Yang Terasing 2
Yang Terasing Karya S H Mintarja Bagian 2
70 "Siapakah yang akan turun dari atas tebing tepat diatas goa itu?" ' "Pemimpin kita. Prajurit itu bersama anak muda yang bernama Pikatan." Puranti mengerutkan keningnya. Kini ia tahu, orang-orang itu adalah sekelompok calon prajurit yang datang bersama kakaknya dari Demak. Ternyata ia berhasil mendahului mereka, yang agaknya baru saja tiba. Namun mereka telah membagi diri dan mengepung Goa Pabelan dari beberapa jurusan. "Pasti ada yang datang dari arah yang lain disepanjang sungai ini " berkata Puranti didalam hatinya " kemudian ada yang datang dari hadapan goa itu, selebihnya akan turun dari alas tebing, langsung kemulut goa. Dan orang itu adalah Pikatan bersama pemimpin mereka." Dalam pada itu orang2 itu berbisik diantara mereka seterusmya "Anak muda yang bernama Pikatan itu memang mempunyai beberapa kelebihan dari kita. Sebenarnya ia tidak memerlukan pendadaran lagi. Kalau ia mengalami cidera didalam pendadaran semacam ini, sayang sekah." "Peraturan yang berlaku itu harus dilaksanakan. Semua orang yang ingin menjadi seorang prajurit memang harus melalui pendadaran, supaya prajurit Demak benar2 merupakan prajurit pilihan." "Seperti kita?" desis yang lain. Ketiganya tertawa. Tetapi suaranya segera tertahan ketika salah seorang dari mereka berkata "Kita berada dimulut buaya. Jangan lengah. Kita menunggu isyarat." "Tidak malam ini. Tetapi besok, apabila fajar telah menyingsing."
71 "Tetapi siapa tahu, salah seorang penghuni goa ini melihat kehadiran kita. Bukankah jika demikian, menurut prajurit itu. kita harus segera melakukan serangan tanpa menunggu besok apabila fajar menyingsing ?" "Itu akan lebih baik. Kita akan segera bertempur, sehingga kita tidak terlalu lama disiksa oleh kegelisahan menunggu." Tidak ada jawaban. Namun kawannya yang lain kemudian berkata " Kita menunggu disini. Aku akan berbaring diatas batu ini." "Jangan diatas batu. Kau akan segera terlihat oleh seseorang. Kalau kau ingin berbaring, berbaringlah diatas batu2 kerikil itu." "O" dan orang itu tidak menunggu lagi. Per-lahan2 ia melangkah menepi. Kemudian ia membaringkan dirinya diatas batu-batu kerikil yang berserakan meskipun agak basah. "Kita menunggu perkembangan " desisnya. Kawannya, kemudian mendekatinya. Merekapun kemudian duduk pula diatas kerikil2 itu. Namun salah seorang dari mereka berkata "Tetapi jangan lengah. Kita harus bertempur, bukan menyerahkan leher kita untuk dipancung." Yang lain terdiam. Tetapi yang dua orang diantara mereka tetap duduk sambil meagawasi keadaan. "He" berkata salah seorang dari mereka "kau akan benar2 tertidur." "Aku memang akan tidur" "Kalau terjadi sesualu, kau akan terkejut." "Bangunkan aku." "Kalau kami tidak sempat?" "Aku akan bungun sendiri."
72 Puranti yang mendengar pembicaraan itu mengangkat alisnya. Ada juga calon prajurit yang begitu "tenang menghadapi tugas yang berbahaya. Ia masih juga sempat memikirkan untuk tidur sejenak. Ketika Puranti menjenguk mereka sekali lagi, ia melihat yang dua diantara mereka. selain yang berbaring, kini telah duduk bersandar batu. Agaknya merekapun merasa lelah dan ngantuk. Tetapi mereka berusaha untuk tidak tertidur karena mereka telah berada dilingkungan Goa Pabelan. Purantilah yang kemudian menjadi kebingungan. Apakah ia akan tetap berada di dasar jurang itu dan menyaksikan pertempuran yang akan terjadi dari dekat" Tetapi jika dengan demikian Pikatan melihatnya, maka hal itu pasti akan mempengaruhinya. Mungkin ia tidak dapat memusatkan pikirannya pada lawan yang sedang dihadapinya. Apalagi apabila satu dua orang penghuni goa itu melihatnya dan menyerangnya. "Aku akan menjadi penonton " katanya "aku tidak mau mengganggu Pikatan. sehingga ia lebih memikirkan aku daripada tugasnya. Meskipun ia belum seorang prajurit, tetapi ia sedang mengemban tugas negara yang tidak dapat dikesampingkan untuk melakukan pekerjaan lain. Melindungi aku misalnya." Karena itu, maka Puranti memutuskan untuk kembali keatas bukit padas putih ke-hitam2an itu. Ia akan kembali memanjat pohon benda itu, dan akan melihat apa yang terjadi besok dari sebatang dahan yang besar pada pohon itu. Per-lahan2 Puranti beringsut dari tempatnya. Dan hati2 ia memanjat tebing beberapa langkah dari orang2 yang sedang beristirahat itu. Puranti berusaha agar orang2 itu tidak dapat melihatnya. Karena itu. ia merayap dibalik bebatuan dan pohon2 perdu yang tumbuh di tebing sungai.
73 Gadis yang kemudian berhasil bertengger lagi diatas sebatang dahan pohon benda di bukit kecil itupun menarik nafas dalam2. Ia merasa lapang ketika ia sudah berada kembali ditempatnya bersembunyi. Kini ia tinggal menunggu apa yang akan terjadi. Dari tempatnya ia akan menyaksikan suatu perkelahian yang pasti sangat seru. Namun demikian, ia masih juga selalu dirayapi oleh kebimbangan. Ia tahu betapa berbahayanya penghuni Goa Pabelan itu. Meskipun ia tahu pula, bahwa Pikatan mempunyai cukup bekal untuk menghadapi orang2 di Goa Pabelan, tetapi apabila kawan2-nya tidak memiliki kemampuan yang seimbang, maka Purantilah yang akan memikul sebagian besar dari tugas itu. "Sedikitnya harus ada dua orang yang berilmu cukup diantara mereka. Yang seorang kakang Pikatan, dan mudah2an yang seorang prajurit yang memimpin kelompok kecil itu." berkata Puranti kemudian kepada dirinya sendiri. Namun kemudian "Tetapi masih ada seorang lagi. Jangkung yang timpang tu." Puranti mencoba untuk menyisihkan kegelisahannya. Ia masih mempunyai waktu untuk beristirahat. "Mudah2an pertempuran itu terjadi besok. Kalau karena sesuatu hal mereka bertempur malam ini, aku terpaksa mendekati mereka." Tetapi hampir semalam tidak terjadi sesuatu. Meskipun Puranti kadang2 terlena juga diatas dahan benda tua itu. namun seandainya terjadi sesuatu, ia pasti juga mendengar isyarat2 yang terlontar dari keduabelah pihak. Dada gadis itu menjadi ber-debar2 ketika dilihatnya warna merah. sudah membayang. Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Dengan demikian, didasar sungai yang sepi itu akan segera berkobar pertempuran yang seru.
74 "Ternyata orang2 Goa Pabelan tidak keluar dari goa mereka semalam, setelah mereka gagal menemukan orang yang meninggalkan jejak." Berkata Puranti kepada diri sendiri. Sebenarnyalah bahwa orang2 goa Pabelan tidak berusaha mencari terus. Mereka menyangka bahwa jejak kaki yang hanya seorang itu, pasti tidak akan mempunyai akibat yang berat bagi mereka. Meskipun demikian, orang di Goa Pabelan itu tidak lengah. Mereka menempatkan beberapa orang untuk ber-jaga2 diluar goa, sehingga apabila ada orang2 yang mendekati goa itu, mereka akan dapat melihatnya dan memberikan isyarat kepada mereka yang ada didalam. Dengan demikian, mereka yang ada di dalam goa itu, tidak akan mengalami bencana karena mereka tidak sempat keluar dari goanya. Dalam pada itu, bintang2 di langit bergeser terus kebarat. Dan cahaya merah di Timur menjadi semakin jelas. Meskipun Puranti bukan termasuk mereka yang akan menangkap penjahat2 yang bersembunyi di Goa Pabelan itu, namun iapun membenahi pakaiannya. Sambil bertenggoi diatas dahan, ia berdiri. Dikeraskannya ikat pinggang kulitnya yang khusus dibuat oleh ayahnya untukpya. Dibetulkannya rambutnya yang disanggulnya tinggi2, agar apabila terjadi sesuatu, rambulnya tidak terurai dan mengganggunya. Bahkan kemudian ditariknya pedangnya. Di-amat2inya, se-olah2 ia ingin meyakinkan, apakah pedang itu sudah siap pula untuk bertempur apabila dlperlukan. Terasa debar jantungnya menjadi semakin eepat. Se-akan2 ia ikut serta berada diambang pintu Goa Pabelan. Lambat laun, matanya yang tajam berhasil menembus kere-gan fajar, yang semakin lama justru menjadi semakin terang,
75 Batu2 yang berserakan sudah mulai tampak, dan dedaunan yang hijau ditanggul sungaipun menjadi semakin jelas. Terbayang dirongga mata Puranti, disaat itu, Pikatan dan kawan-kawannya sedang merayap mendekati mulut Goa Pabelan yang masih belum dapat dilihatnya karena kabut yang tipis didalam jurang curam itu. Dada Puranti berdesir ketika tiba2 saja ia mendengar teriakan nyaring. Bukan oleh dari orang2 yang datang dari Demak, tetapi justru suara orang yang menghuni Goa Pabelan itu sendiri. "Awas, kita terkepung." "He " suara itu menggema menyelusuri jurang. "Kita terkepung. Bersiaplah menghadapi orang2 yang menghantar nyawanya ini." Puranti masih berdiri diatas dahan. Ketika kabut yang tipis Itu mulai menguak, maka per-lahan2 seperti tersembul dari balik tabir yang putih, ia mulai melihat sebuah lubang goa di tebing yang curam itu "Itulah Goa Pabelan." desisnya. Meskipun belum begitu jelas, tetapi Puranti melihat beberapa orang ber-lari2an keluar dari goa itu dengan senjata ditangan masing-masing. "Hem" Puranti menarik nafas dalam2 "agaknya ada seseorang yang lebih dahulu melihat kehadiran calon2 prajurit dari Demak itu." Ternyata baru sejenak kemudian Puranti mendengar isyarat yang diperdengarkan oleh calon2 prajurit itu. Seperti suara seruling yang melengking tinggi. Sejenak kemudian suara itu disahut oleh suara sending yang lain dalam nada yang panjang dan datar
76 "Mereka akan segera mulai" desis Puranti Kini Puranti berdiri tegak diatas sebatang dahan yang besar bersandar batang benda itu. Dari tempatnya ia dapat melibat dengan jelas, apa yang akan terjadi di depan mulut Goa Pabelan, bahkan apa yang akan terjadi didasar jurang disekitar goa itu. Sambil menyilangkan tangan di dadanya, Puranti memandang keadaan yang terhampar disekelilingnya. Gumuk2 kecil. pasir dan batu. Gerumbul2 liar dipinggir jurang dan mulut goa yang disebut Goa Pabelan. Jantungnya menjadi semakin cepat mengalir ketika ia melihat. dari beberapa arah, calon2 prajurit Demak ber-lari2an mendekati mulut goa itu, yang sejenak kemudian kedua belah pihak sudah saling bertemu dan bertempur diantara bebatuan didasar jurang. Puranti mengerutkan keningnya ketika ia melihat jumlah yang kurang sepadan. Justru calon prajurit dari Demak itu masih belum genap sepuluh orang. Tiga orang dari samping kanan, tiga dari kiri dan tiga lagi dari depan. Mereka se-akan2 meluncur saja turun pada tebing yang curam itu. Namun sejenak kemudian Puranti menarik nafas dalam2. Dilihatnya seutas tali terjulur tepat diatas goa itu. Kemudian beberapa orang meluncur turun langsung berdiri dimuka mulut goa yang berada ditebing sungai. Diantara mereka adalah seorang, yang mengenakan pakaian seorang prajurit, dan yang lain, meskipun dari kejauhan, Puranti yakin, bahwa ia adalah Pikatan. Dengan demikian Puranti mengetahui, bahwa inti dari pasukan kecil itu adalah mereka yang turun langsung kemulut Goa Pabelan. Dalam pada itu, ketika mereka sudah berada dimulut goa, merekapun segera harus memilih lawan. Beberapa orang
77 calon prajurit yang lain harus bertempur melawan penghuni goa itu, yang segera menyerang mereka. Diantara penghuni goa yang kemudian menghadapi para penyerangnya adalah dua orang kakak beradik. Keduanya itulah yang disebut hantu bertangan api. Ternyata prajurit yang memimpin pasukan kecil itulah yang mendapat tugas untuk menghadapi salah seorang dari keduanya, sedang yang lain, diserahkan kepada calon prajurit yang mendapat kepercayaan tertinggi. Orang itu adalah Pikatan. Sejenak kemudian lembah sungai yang curam itu telah digetarkan oleh suara tertawa hantu bertangan api itu. Yang tertua diantara mereka berdiri bertolak pinggang menghadapi Pikatan yang datang mendekalinya. "He, anak dungu. Siapakah yang menyuruh kalian datang kemari?" Pikatan tidak segera menjawab. Dipandanginya hantu itu dari ujung kepala sampai keujung kakinya. Ternyata orang itu sama sekali tidak seperti yang dibayangkan. Hantu bertangan api itu sama sekali tidak seperti hantu. Wajahnya bersih dan matanya terang. Rambutnya terpelihara rapi. Agaknya ia tidak sempat mempergunakan ikat kepalanya, sehingga ikat kepalanya itu hanya dilingkarkan saja dilehernya. Tetapi seperti kata orang, hantu itu memang bertubuh tinggi kekar. Berbulu lebat di dadanya yang terbuka. "Kenapa kau datang kemari bersama prajurit itu?" bertanya hantu itu pula. Pikatan tidak segera menyahut pertanyaan itu. Bahkan ia bertanya "Kaukah yang disebut hantu bertangan api?" Orang itu tersenyum. Jawabnya "Ya. Akulah yang sering disebut orang Hantu bertangan api. Tetapi sudah tentu hanya orang yang tidak waras sajalah yang menyebutnya demikian.
78 Tanganku tidak ada bedanya dengan tanganmu, dengan tangan setiap orang." Pikatan mengerutkan keningnya. Ketika ia mencoba memandang kawan2nya, sebagian terbesar dari mereka telah terlibat didalam perkelahian. "Siapakah sebenarnya namamu ?" bertanya Pikatan. "Aku tidak ingin menyebutkan namaku yang sebenarnya. Ibuku sampai saat ini masih hidup. Aku lari daripadanya beberapa puluh tahun yang lalu. Kalau ia mendengar namaku, dan apalagi mengetahui bahwa akulah yang memimpin perampok di Goa Pabelan bersama adikku, alangkah menderitanya hati orang tua itu. Karena itu, sebut saja aku dengan nama apa saja yang kau sukai. Gendon, Entung atau Setan Alas atau apa saja. Aku juga tidak berkeberatan kau memanggilku Hantu bertangan api, meskipun itu menggelikan sekali, se-olah2 tanganku mempunyai nilai lain dari kebanyakan tangan manusia." Pikatan tercengang sejenak. Ternyata penjahat berwajah bersih ini dapat juga bersikap rendah hati. "Siapakah yang mengirimkan kalian kemari?" bertanya Hantu bertangan api itu kemudian. "Aku datang atas kehendakku sendiri. Aku ingin menangkap kau dan anak buahmu. Tetapi menilik sikapmu, kau dapat juga diajak berbicara dengan baik. Apakah kau pernah mempertimbangkan untuk menghentikan kugiatan ini ?" Hantu bertangan api yang tua itu menggeleng "Tidak" katanya. Pikatan menarik nafas dalam2. Kemudian katanya sambil berpaling "Lihat, semuanya sudah mulai bertempur Menilik perhitunganku, ada kelebihan sedikii dipihakku"
79 "Kelebihan jumlah tidak berpengaruh" jawab pimpinan penjahat itu. "Cobalah berpikir, apakah gunanya kau merampok, merampas kekayaan dan menimbunnya disini", kau tidak pernah sempat mempergunakannya. Kau tidak pernah menikmati arti hidup yang sebenarnya dan nilai barang2 hasil rampokanmu itu, kau selalu gelisah dan cemas setiap saat" Tetapi hantu itu tertawa "Kau salah, aku dapat mempergunakan harta benda itu untuk kepentinganku dan anak buahku. Setiap kali bergiliran mempergunakannya kekota. Apakah kau sangka aku selalu bersembunyi di goa ini?" "Tetapi kau selalu dibayangi oleh kecernasan. Sebenarnya kau dapat memilih dunia yang Iain. Kau pasti pernah mendengar bahwa armada Demak pernah. dikirim untuk mengusir orang2 asing yang mulai menyentuh perairan kita" Kenapa kau tidak berminat untuk menyertainya sebagai seorang prajurit. Atau apa yang kini sedang dilakukan oleh Demak. Mengikat kesatuan yang tampak mulai retak karena beberapa pihak yang mementingikan diri sendiri. Dalam keadaan itu kau masih juga ikut menggaaggu ketenangan dan ketentraman negeri yang sama2 kita bangun untuk kepentingan bersama ini." Tetapi Hantu bertangan api itu justru tertawa sedemikian keras Katanya "Kau memang bodoh anak muda. Kau sangka bahwa nasihatmu itu bermanfaat" namun tiba2 wajah Hantu itu menjadi tegang, "Jangan kau ulangi. Kata2mu sangat menyakiti hatiku. Aku tidak mau mendengarnya lagi. Aku adalah seorang penjahat. Aku seorang perampok. Dan itu aku sadari." Pikatan mengerutkan keningnya. Justru ia melihat didalam sudut hati Hantu itu yang paling dalam tersembunyi suatu pengakuan. Maka katanya "Kau silau melihat tingkah lakumu sendiri. Kau segan berkisar dari jalan yang sudah terlanjur kau
80 tempuh, meskipun sebenarnya kau melihat noda yang melekat didalam dirimu sendiri. Apalagi, apakah kau tidak pernah merindukan ibumu yang dimasa kecilmu mengasuhmu, memeliharamu." "Cukup, cukup." Hantu itu menggeram. Lalu " Lihat, pertempuran menjadi bertambah sengit. Kau jangan banyak berbicara. Adikku yang juga disebut Hantu bertangan api sudah bertempur melawan prajurit itu. Sekarang bagaimana dengan kau?" "Bagiku sudah jelas. Akulah yang bertanya kepadamu, bagaimana kau?" "Tutup mulutmu" Hantu bertangan api itu berteriak. Ber bareng dengan itu, tanpa ancang2 hantu itu mulai menyerang Pikatan. Tetapi Pikatan memang sudah siap menghadapi setiap kemungkinan, sehingga karena itu, maka iapun dengan cepatnya menghindari serangan yang pertama itu. Sambil meloncat kesamping ia berputar setengah lingkaran. Demikian Hantu itu meluncur disampingnya, Pikatanpun dengan tangkasnya telah melontarkan kakinya kelambung lawannya. Tetapi hantu itu benar2 mampu bergerak cepat. Ia masih sempat menggeliat sambil memukul kaki Pikatan kesamping. Namun Pikatan segera menarik serangannya. Dengan cepatnya ia meloncat maju. Tangannya terjulur lurus keleher Hantu bertangan api. Serangan itu benar2 mengejutkan. Pikatan ternyata mampu bergerak demikian cepatnya. Sekali lagi Hantu itu tidak dapat menghindari sepenuhnya. Dengan tangannya sekali lagi ia mencoba menangkis serangan Pikatan. Tetapi sekali lagi Pikatanpun menarik tangangannya sebelum tangan Hantu itu menyentuhnya. Ia sadar bahwa kekuatan Hantu itu se-akan terpusat ditangannya, sehingga orang menyebutnya bertangan api
81 Demikianlah, maka Pikatan dan orang disebut Hantu bertangan api itu bertempur semakin seru. Di halaman yang sempit itu pula prajurit yang memimpin sedang pasukan kecil itu sedang bertempur pula melawan hantu yang muda. Dibawah, didasar jurang itu, diantara bebatuan dan di tengah-tengah sungai yang mengalir gemerieik diatas batubatu kerikil, beberapa anak buah Hantu bertangan api itu bertempur melawan para prajurit yang sedang mengalami pendadaran. Pendadaran yang cukup berat. Mereka harus benar2 harus bertempur mempertahankan nyawa. Kalau gagal, maka merekapun akan akan benar-benar mati terbunuh sebelum mereka dapat diterima menjadi seoran prajurit. Tetapi jumlah yang lebih besar agaknya telah memperingan tugas mereka. Dua orang bersama-sama menghasapi perampok tingi jangkung yang timpang itu. Namun ternyata, orang itupun memilki kemampuan yang tinggi, sehingga meskipun ia harus melawan dua orang sekaligus, namun ia masih juga dapat tertawa, sambil membusungkan dadanya ia berkata "Kenapa kalian tersesat kemari anak-anak manis. Sayang, bahwa kau tidak akan dapat keluar dari lembah ini bersama dengan tubuhmu." Tidak ada yang sempat menjawab, kedua lawannya bertempur dengan gigihnya. Ditempat yang lain, pertempuran terjadi dengan sengitnya. Satu dua orang calon prajurit Demak yang tidak mendapat lawan, segera bergabung dengan kawan-kawannya yang lemah. Demikian pula yang mereka lakukan saat itu. Tidak seorangpun dari calon prajurit itu yang tidak terkejut menghadapi kawanan para perampok sedemikian kasarnya, sedemikian liar. Sambil bertempur mereka ber-teriak2, mengumpat2 dengan kata-kata yang kasar, liar dan kotor. Sementara senjata mereka berputaran mengerikan.
82 Jenis2 senjata para perampok itupun sangat membingungkan, Ada yang bersenjata pedang, golok panjang, parang dan senjata yang sering dijumpai oleh calon2 prajurit itu. Tetapi ada diantaranya yang mempergunakan senjata2 yang aneh. Bola besi berantai besi yang panjang dan berujung runcing seperti pisau terkait seperti duri pandan. Sepasang bindi berduri dan yang lebih membingungkan adalah pisau2 kecil yang mereka lontarkan dari jarak yang belum terjangkau oleh senjata2 jarak pendek. --ooo0dw0ooo-
Jilid 02 DALAM pada itu, pemimpin mereka, prajurit itu, sedang bertempur mati2an melawan Hantu bertangan api yang muda, sedang Pikatan, seorang anak muda yang memiliki ilmu yang paling menonjol diantara calon prajurit itu, harus bertempur melawan Hantu yang tua, sehingga mereka berdua seolaholah sudah terikat dengan lawan masing2, Meskipun mereka melihat kelemahan calon2 prajurit yang lain, tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Puranti yang masih berada diatas sebatang pohon benda, menyaksikan pertempuran itu dengan dada yang ber-debar2. Ia sama sekaii tidak. menduga, bahwa penjahat yang bersarang di Goa Pabelan itu mempunyai kekuatan yang demikian besar. Jumlah mereka tidak hanya sepuluh orang seperti yang diperkirakan, tetapi lebih dari itu. Prajurit Demak yang membawa lima belas anak buah itu, ternyata tidak banyak yang berdiri bebas.
83 "Satu, dua, tiga" Puranti menghitung calon2 prajurit yang berkesempatan bertempur berpasangan" Hanya tiga. Dengan demikian, maka jumlah perampok itu pasti tiga belas" Dengan gelisahnya Puranti menyaksikan pertempuran itu. Sebenarayalah bahwa pendadaran itu agak terlampau berat bagi para calon prajurit, meskipun mereka yang sampai pada pendadaran terakihir itu pastilah orang2 pilihan, apalagi mereka telah mendapat beberapa petunjuk dan latihan keprajuritan. Mereka sudah mendapat latihan, bagaimana mereka bertempur didalam ikatan kesatuan selain peningkatan kemampuan seorang demi seorang. Namun demikian, ternyata bahwa di dalam pertempuran itu, calon2 prajurit Demak itu rnengalami beberapa kesulitan Prajurit yang memimpin pasukan kecil itupun menjadi cemas Ternyata petunjuk tentang gerombolan yang sampai di Demak agak meleset dari kenyataan. Menurut petunjuk yang diterima, anak buah Hantu bertangan api itu beserta para pemimpinnya tidak lebih dari sepuluh orang. Bahkan kadang2 kurang, karena tidak seluruhnya selalu berada di goa itu. Namun kini ternyata jumlah mereka lebih banyak dari itu, sehingga prajurit itu mengakui, bahwa pendadaran itu agak terlampau berat dan berbahaya. Dalam pada itu, matahari merayap semakin tinggi dikaki langit sebelah Timur. Sinarnya mulai terasa menggigit kulit. Namun mereka yang berkelahi iu sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Mereka sedang bergulat diantara hidup dan mati. Ujung2 senjata mereka yang. ber-kilat2 berbenturan, dan bahkan satu dua diantara mereka, telah, menitikkan darah dari kulitnya. Penjahat2 itupun kemudian bertempur semakin garang dan buas. Mereka berteriak2 semakin keras memekakkan lelinga. Mereka meng-umpat2 semakin kotor dan kasar, seperti tata gerak mereka yang menjadi semakin kasar pula.
84 Ketika matahari sudah berada diujung pepohonan, Puranti melihat, bahwa satu dua dari calon prajurit yang bertempur itu merasa mulai susut tenaganya. Hati merekapun menjadi semakis kecil. Apalagi mereka yang sudah mulai tergores oleh ujung senjata. Beberapa orang dari mereka mulai berpikir "Apakah aku harus mati sebelum aku menjadi seorang prajurit?" Ternyata pikiran itu telah menyusutkan gairah mereka. bertempur melawan penjahat2 itu, sehingga dengan demikian justru mereka menjadi semakin terdesak. Tetapi selain mereka yang berhati kerdil, ada juga beberapa calon prajurit yang menggeretakkan giginya sambil berkata kepada diri sendiri. "Ternyata mereka memang penjahat2 yang buas. Mereka harus dimusnahkan," Dan mereka yang berpendirian demikian, tidak memikirkan lagi, apakah dirinya sudah menjadi prajurit atau belum, namun sudah menjadi kewajiban setiap orang beradab untuk ikut serta melenyapkan kejahatan. Pemimpin pasukan kecil itupun bertempur dengan dahsyatnya pula, ternyata Hantu bertangan api yang mudapun memiliki kemampuan yang tidak berbeda dengan kakaknya. Hantu bertangan api itu benar2 dapat menggetarkan hati prajurit Demak yang memimpin pasukan itu, Tetapi Pikatan yang bukan saja mendapat pengetahuan keprajuritan, namun juga ilmu yang cukup matang, mampu bertahan dari serangan2 Hantu bertangan api yang tua. Ilmu yang dituntutnya selama beberapa tahun dipadepokan terpeneil itu ternyata kini besar sekali artinya baginya. Selain sebagai bekal untuk menjadi seorang prajurit, ilmu itupun mampu melindungi jiwanya dari tangan api penghuni Goa Pabelan itu. Lambat laun namun pasti, Pikatan berhasil mendesak lawannya. Hantu bertangan api yang selama petualangannya
85 tidak pernah terkalahkan, tiba2 ia mendapat lawan yang tidak diduganya. Jangankan sekelompok anak2 seperti yang datang dimulut goanya, sedangkan;beberapa orang pengawal Kademangan disekitar goa itu pun tidak ada yang mampu menangkapnya. Ternyata ilmu yang diterimanya dari Kiai Pucang Tunggal berhasil melampaui ketajaman ilmu Hantu penghuni Goa Pabelan itu. Ilmu yang ditekuni tanpa mengenal waktu selama beberapa tahun itu kini telah terbukti kemampuannya. Namun dalam pada itu, tidak semua kawan2nya mampu bertahan. Tidak semua calon prajurit itu mempunyai tekad yang mantap. Ternyata ketika maut membayang, ada juga diantara mereka yang kehilangan segala macam cita2nya yang pernah disusunnya melambung setinggi awan dilangit. Pemimpin pasukan yang bertempur melawan Hantu yang muda. itu agaknya melihat, beberapa anak buahnya mulai terdesak terus. Karena itu, maka iapun segera berteriak "He anak2. Jangan hiraukan kekasaran lawanmu. Mereka sekedar menutupi kekurangan mereka. Mereka bertempur tidak dengan kemampuan ilmu mereka, tetapi sekedar berteriak2 memekakkan teiinga. Kalau kalian terpengaruh oleh teriakan2 kasar itu, maka kalian akan menjadi korban yang per-tama2" Teriakan prajurit itu ternyata telah membangkitkan gairah di hati beberapa orang yang mulai ragu2. Namun demikian masih ada juga yang hatinya justru menjadi semakin kecil. "Kalian adalah prajurit2" teriak prajurit itu seanjutnya "setidak2nya kalian harus berjiwa prajurit. Kalian menjadi harapan setiap orang untuk mendapatkan perlindungan. Kalau. kalian berlhali sekecil menir, maka apakah yang dapat diharapkan dari kalian oleh rakyat yang ketakutan?" Prajurit itu terdiam karena lawannya tiba2 mendesaknya. Selangkah ia, meloncat surut, namun kemudian ia segera
86 berhasil memperbaiki kedudukannya, sehingga perkelahian itu menjadi seimbang pula. Pikatan yang mendapat lebih banyak kesempatan dari prajurit itupun kemudian menyambung dengan suara lantang, se-akan2 menggema didaerah pebukitan itu "Kesempatan ini adalah kesempatan yang per-tama2, kita dapat untuk menunjukkan kesetiaan kita kepada rakyat yang telah menerima, kehadiran kita diantara mereka. Kesetiaan kita kepada Demak yang besar dan kesetiaan kita kepada kasih diantara sesama. Disinilah kesempatan untuk berkorban bagi kesejahteraan rakyat, itu kita dapatkan. Karena itu, kita harus menghancurkan penjahat2 di Goa Pabelan ini" "Omong kosong " Hantu bertangan api yang tua itu berteriak " Pikatan tidak menghiraukannya. Tetapi ia berkata terus "Marilah kita selamatkan rakyat kita dari kejahatan" "Diam, diam" teriak Hantu, bertangan api itu. "Kau takut mendengarnya?" bertanya Pikatan. Hantu itu tidak. menjawab. Tetapi ia menyerang semakin garang. Dalam pada itu Puranti yang masih berdiri diatas sebatang dahan dipohon benda menjadi semakin berdebar2. la mendengar lamat2, suara Pikatan yang menggema se-akan2 menyelusur setiap lekuk pebukitan, "Hem" ia menarik nafas dalam2. Tetapi ia semakin lama menjadi semakin cemas. Betapapun juga, namun calon2 prajurit yang masih muda itu menjadi ragu2 juga untuk bertempur terus. "Memang terlampau berat" desis Puranti. Tiba2 wajahnya menegang ketika ia melihat perubahan yang terjadi diarena. Ternyata penjahat2 itu tidak begitu
87 menghiraukan lagi calon2 prajurit yang lain, sehingga salah seorang dari mereka telah menyerahkan lawannya kepada kawannya. Meskipun kawannya, harus berkelahi melawan dua orang calon prajurit sekaligus, namun agaknya kemampuan dan kekasarannya masih dapat dibanggakan. Ternyata orang yang jangkung dan timpang, namun dapat bergerak secepat burung sikatan itu mengambil keputusan lain. Ia tidak mau lagi berkelahi melawan calon2 prajurit yang tidak banyak mempunyai pengaruh didalam perkelahian itu. Bahkan dengan mudahnya ia berhasil melukai seorang diantara mereka. Namun agaknya ia mempunyai perhitungan, bahwa apabila orang2. yang penting dari kelompok; anak2 muda yang telah berani menyerang goa mereka itu dibinasakan, maka yang lain pasti akan segera dapat mereka kuasai. Sejenak orang yang jangkung itu memandang dua lingkaran perkelahian yang terjadi. Yang sepesang adalah Hantu bertangan api yang muda melawan seorang prajurit, sedang yang lain. Hantu yang tua melawan seorang anak muda yang perkasa. Orang jangkung itu menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menilai perkelahian itu sejenak. Ternyata Hantu. yang muda itu masih mampu mengimbangi lawannya. Tetapi agaknya Hantu yang tua semakin lama menjadi semakin terdesak oleh lawannya. "Setan manakah yang sudah merasuk kedalam anak muda itu" geram orang yang jangkung itu. Perlahan-lahan ia maju mendekati perkielahian itu. Kemudian dengan lantangnya ia berteriak "Aku akan ikut membinasakan anak itu. Barulah yang lain akan mendapat giliran" Sebenarnyalah didalam keadaan yang wajar, Hantu bertangan api itu sama sekali tidak senang berkelahi
88 berpasangan. Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa lawannya kali ini adalah seorang anak muda yang perkasa. Itulah sebabnya maka ia tidak menolak meskipun ia tidak menjawab. Orang jangkung itu melangkah semakin dekat. Sekali ia berpaling untuk melihat arena yang ditinggalkannya. Namun agaknya anak buahnya berhasil bertahan. Bahkan dengan kasarnya mereka sekali-sekali dapat mendesak calon-calon prajurit yang masih terlampau hijau untuk terjun didalam pertempuran yang liar serupa itu. Orang jangkung itu tertawa. Kemudian sekali lagi ia berteriak "Lawanmu adalah anak-anak ingusan. Hancurkan mereka, mereka tidak akan banyak memberikan perlawanan" Tetapi diantara calon-calon prajurit itu ada juga yang berhati baja. Meskipun beberapa orang kawannya terdesak mundur, namun anak-anak muda yang sudah bertekad menyerahkan dirinya kedalam suatu pengabdian, sebagai prajurit atau bukan, sama sekali tidak gentar. Bahkan satu dua diantara mereka telah kehilangan pengamatan diri, sehingga untuk melawan orang-orang yang kasar itu, merekapun telah menjadi, kasar pula. Namuri pengalaman yang jauh berbeda, mengakibatkan perkelahian itu kemudian menjadi berat sebelah. Calon-calon prajurit itu semakin lama benar-benar menjadi semakin terdesak. Beberapa orang telah terluka, meskipun mereka berhasil melukai lawan-lawan mereka pula. Dengan demikian maka darah sudah mulai menitik diatas pasir tepian. Bahkan telah memerahi air yang memercik disela-sela bebatuan. Namun dalam pada itu, orang yang timpang itupun menjadi semakin dekat dengan lingkaran perkelahian Pikatan. Sejenak ia memandang sikap dan tata gerak anak muda itu sambil menunggu kesempatan.
89 Puranti yang menyasikan hal itu menjadi semakin cemas, la kini meragukan, apakah Pikatan dapat melawan dua orang itu sekaligus. Dengan gelisahnya Puranti menghentak-menghentakkan kakinya pada dahan benda. Kadang-kadang ia bergeser maju sambil bergantung pada dahan diatasnya. Tetapi kemudian ia surut kembali bersandar pada batangnya. Ia menekan dadanya dengan telapak tangannya ketika ia melihat orang yang timpang itu mulai menerjunkan dirinya melawan Pikatan. Sementara calon-calon prajurit yang lain masih juga berusaha bertempur dengan sekuat tenaga. Orang-orang yang mulai berkeriput tidak juga sempat meninggalkan arena itu, karena lawan mereka tidak memberi kesempatan. Karena itu, mau tidak mau mereka harus bertempur terus. Beberapa orang diantara mereka yang berhati jantan, berusaha untuk menolong kawan-kawan mereka yang terdesak. Karena jumlah yang lebih banyak, maka beberapa orang dapat berloncatan membantu kawan-kawan mereka yang hampir kehilangan kesempatan mempertahankan dirinya. Tetapi yang lebih mendebarkan jantung adalah perkelahian antara Pikatan melawan dua orang lawannya. Dua orang yang memiliki ilmu yang cukup linggi. Tetapi Pikatan sama sekali tidak gentar. Dengan seganap kemanipuan yang ada ia melawan dengan gigihnya. Senjatanya berputaran seperti baling-baling. Sedang kakinya dengan lincahnya melontarkan tubuhnya seperti memereik tanpa bobot. Meskipun demikian, kemampuan Pikatan ternyata juga terbatas. Betapapun juga ia sempat melawan dan mengimbangi kecepatan ujung senjata lawan-lawannya, tetapi ia tidak dapat melawan kelelahan yang mulai merayapi ototototnya setelah ia memaksa diri mengerahkan segenap
90 kemampuan yang ada padanya melampaui kewajaran tata gerak yang dapat dilakukan, karena ia menghadapi dua orang, lawan yang tangguh. Itulah sebabnya, maka lambat laun, Pikatan mulai terdesak. Puranti yang bertengger diatas pohon itupun menjadi terlampau gelisah. Kini seolah-olah ia berdiri dipersimpangan jalan. Apakah ia akan rnembiarkan saja Pikatan menjadi korban penjahat Goa Pabelan, dan sudah pasti kemudian akan menyusul calon-calon prajurit yang lain" Tanpa Pikatan, maka Hantu bertangan api itu akan dapat membunuh calon-calon prajurit yang lain seperti menebas batang ilalang. Bersama dengan orang yang timpang itu, mereka sama sekali tidak akan menemui kesulitan apapun. Dalam sekejap maka caloncalon prajurit itu pasti akan menjadi, mayat disamping mayat Pikatan. Juga prajuril yang memimpin pasukan kecil itupun tidak akan dapat melepaskan dirinya. Ia tidak akan dapat memberikan laporan lagi kepada pimpinannya, tentang tugas yang kini dibebankan kepadanya itu. Tetapi apabila ia ikut serta didalam perkelahian itu, apakah Pikatan tidak tersinggung karenanya. Pikatan tidak memberinya ijin untuk ikut. Ke Goa Pabelan meskipun hanya menonton dari kejauhan. Apalagi Pikatan adalah seorang yang berhati sekeras batu padas. Apa yang dikehendaki, akan dipertahankannya sampai kesempatan yang paling akhir. Kehadirannya dipertempuran itu pasti akan dianggap sebagai suatu pelanggaran atas kehendaknya. Puranti menjadi ragu-ragu didalam kegelisahan yang semakin memuncak. Tiba-tiba Puranti terpekik kecil. Namun tangannya segera menutup mulutnya. Tetapi biji matanya seakan-akan telah meloncat dari peupuknya ketika ia melihat ujung senjata lawan. yang terjulur lurus menyentuh pundak kanannya. Senjata yang berada ditangan kiri Hantu bertangan api itu. Ternyata bukan saja tangan kanannya yang dapat menyengat
91 lawannya sepanas bara api, tetapi tangan kirinya mampu menggerakkan senjatanya secepat ujung-ujung jari tangan kanannya. Pikatan terlempar beberapa langkah surut sambil berusaha untuk mengambil jarak. Sejenak ia terhuyung-huyung, namun kemudian ia berhasil tegak kembali dengan mantap. Senjatanya yang menyilang didepan dadanya masih bersih, sebersih ketika senjata itu disarungkan disaat ia berangkat dari Demak. "Aku harus membunuhmu" ia menggeram. Tetapi orang yang jangkung itu tertawa melengking "Lihat Tangan Api telah melukaimu. Agaknya kau adalah orang yang pertama kali dilukainya dengan senjata, karena kau adalah anak muda yang luar biasa. Lawan-lawannya yang terdahulu pasti berhasil dibinasakan dengan tangannya, dengan jarijarinya. Tetapi kau tidak. Dan kau akan binasa dengan senjatanya" "Marilah, marilah" desis Pikatan. Matanya menjadi merah oleh kemarahan yang memuncak. Kini mereka tidak lagi menghiraukan, apakah penghuni Goa Pabelan itu bertangan api atau bertangan embun. Tetapi mereka telah bertempur dengan senjata. Ternyata ujung senjata yang tajam itu masih lebih berbahaya dari jari-jari. Hantu bertangan api itu. Namun melawan dua orang, Pikatan benar-benar kehilangan kesempatan. Apalagi pundaknya telah terluka, dan luka itu bukan luka sekedar pada kulitnya. Tangan kanannya serasa menjadi semakin lemah karenanya, dan bahkan kemudian seolah-olah menjadi lumpuh. Karena itu, maka Pikatan telah memindahkan senjatanya ditangan kiri.
92 Tetapi Pikatan bukan seorang yang kidal, sehingga bagaimanapun juga ia berlatih menggerakkan senjata dengan kedua tangannya, namun tangan kanannyalah yang lebih tangkas dari tangan kirinya. Dan kini, ia harus melawan dua orang yang berilmu tinggi itu dengan tangan kirinya, setelah tangan kanannya mengalami luka. Dengan demikian, maka Pikatan menjadi semakin terdesak karenanya. Ia merasa benar-benar didalam kesulitan. Tangan kirinya ternyata tidak selangkas tangan kanan, apalagi lukanya semakin lama terasa semakin pedih. Darah yang mengalir semakin banyak. Pikatanpun menjadi semakin lemah karenanya. Dalam pada itu, calon-calon prajurit yang bertempur dengan anak buah Hantu bertangan api itupun menjadi semakin lemah pula. Apalagi apabila mereka melihat, bahwa Pikatan juga sudah terluka. Harapan mereka kemudian hanyalah pada prajurit yang memimpin pasukan kecil itu. Tetapi sesudah Pikatan, maka prajurit itupun akan dibinasakan juga. Kemudian satu demi. satu, yang lain akan segera mengalami pembantaian pula. Kenyataan itu semakin jelas. Para calon prajurit itu menjadi semakin terdesak. Setiap kali terdengar desah tertahan karena ujung senjata yang menyentuh tubuh mereka, meskipun satu dua diantara mereka berhasil pula melukai lawannya. Akhirnya sampailah pada batas kemungkinan untuk tetap bertahan. Juga Pikatan yang menjali semakin lemah, tidak lagi dapat menghindarkan diri dari kemungkinan terburuk yang dapat terjadi atasnya. Meskipun ia tidak menyesal karena ujung senjata lawannya yang akan menembus kulitnya namun ia merasa kecewa, bahwa ia tidak dapat mengemban tugas yang dibebankan kepada pasukan keeil ini. Dengan demikian maka penjahat di Goa Pabelan akan merasa dirinya semakin
93 kuat. Mereka tidak begitu bodoh untuk menunggu, pasukan berikutnya yang pasti akan dipersiapkan dengan lebih baik lagi. Mungkin duapuluh orang prajurit pilihan yang untuk sementara ditarik dari medan di daerah Timur. Dengan demikian mereka pasti akan mencari tempat yang baru sebagai sarang. Dan mereka pasti akan menumbuhkan ketakutan dan kecemasan pula dilingkungan yang baru itu. Yang terdengar kemudian adalah suara Hantu bertangan api yang tua "Dugaanmu salah anak muda. Aku tetap akan membunuhmu dengan tanganku. Tidak dengan senjataku. Kawan-kawanmu akan melihat bekas jari-jariku yang membakar nadi dilehermu. Pikatan tidak menyahut. Ia sudah menyerahkan semuanya kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Meskipun ia masih tetap berusaha melawan, namun ia sadar, bahwa apa yang terjadi bukanlah ditentukan oleh rencana manusia. Manusia hanya berusaha sejauh dapat dilakukan, namun keputusan yang terakhir dari setiap peristiwa adalah ditangan Allah Swt. Demikianlah ketika saat-saat yang mendebarkan itu berlangsung, disaat-saat para calon prajurit itu kehilangan setiap harapan untuk dapat mempertahankan diri, tiba-tiba dari atas tanggul sungai mereka melihat sebuah bayangan yang melayang seperti seekor burung seriti, Begitu kakinya menjejak diatas sebuah batu yang besar, maka tiba-tiba saja ujung pedangnya sudah menyentuh pundak seorang anak buah Hantu bertangan api. Namun belum lagi yang lain menyadari keadaan itu, sekali lagi bayangan itu meloncat dan seorang lagi dari penghuni Goa Pabelan itu memekik kesakitan. Sambaran ujung pedang telah menyobek pundaknya. Semua perhatian tiba-tiba telah dirampas oleh bayangan yang bagaikan terbang mengitari daerah pertempuran itu.
94 Pada saat Pikatan terdorong jatuh dan tidak berdaya lagi melawan, ia melihat bayangan itu sudah berdiri disampingnya. "Puranti" desis Pikatan. Puranti memandanginya sejenak. Lalu berkata hampir berbisik "Maaf kakang Pikatan. Aku berada ditempat ini juga. Tetapi biarlah aku memberikan alasanku nanti" "Tetapi, apakah kau sadar, bahwa kau berhadapan dengan Hantu bertangan api?" Puranti menganggukkan kepalanya. Pikatan yang sudah terlampau lemah itu mencoba berdiri. Dipandanginya Puranti sejenak, kemudian lawan-lawannya. Pertempuran dilembah sungai itu seakan-akan terhenti sejenak. Pemimpin pasukan calon prajurit itupun menjadi heran. Meskipun berpakaian laki-laki tetapi mereka melihat dengan jelas, bahwa yang berdiri di samping Pikatan, menghadap Hantu bertangan api beserta seorang kawannya itu adalah seorang gadis. "Tidak ada waktu untuk menonton aku" berkata Puranti "kalian berdiri di peperangan. Betapapun kecilnya, yang terjadi adalah peperangan antara kebenaran dan kejahatan. Marilah kita selesaikan perang ini dengan segenap kemampuan yang ada pada kita." Kata-kata Puranti yang melengking tinggi itu ternyata telah membuat setiap hati. Calon-calon prajurit yang kelelahan itupun memegang sinjata mereka semakin mantap. Lawan mereka telah berkurang. Setidak-tidaknya dua orang yang terluka itu tidak akan dapat berkelahi sepenuhnya. "Puranti" Pikatan berdiri terlatih-tatih "aku sudah terluka parah. Aku tidak lagi dapat, bertahan. Kenapa kau memberanikan diri berdiri diarena ini" Apa kau sangka aku akan dapat bertempur bersamamu atau melindungimu?"
95 "Aku harap kita dapat bertempur berpasangan. Tidak adil, bahwa kau harus melawan dua orang sekaligus" Ternyata Hantu bertangan api sudah dapat menguasai perasaan herannya. Terdengar suaranya yang besar "Apakah masih ada perhitungan keadilan didalam pertempuran semacam ini" Apakah kawan-kaanmu juga berbuat demikian?" Tetapi sebelum Puranti menjawab, Pikatan berkata "Puranti selagi masih ada sisa tenagaku, pergilah. Aku akan melawan keduanya sampai akhir hayatku. Sampaikan baktiku kepada Kiai Pucang Tunggal di Gajah Mungkur" "Aku disini kakang Pikatan" jawab Puranti "kita tidak mendapat kesempatan berdebat. Marilah kita teruskan" "Puranti, dengar kata-kataku" Pikatan membentak "pergi. Tinggalkan tempat ini" Tetapi terdengar suara tertawa. Suara orang yang timpang "Kau sangka begitu mudah untuk meninggalkan tempat ini" Kau seorang perempuan. Bagus sekali, karena didalam goa kami tidak ada seorang perempuan" "Setan" geram Pikatan, dan sekali lagi ia membentak "Puranti, pergi" "Jangan" sahut orang yang timpang itu "kau sudah datang kemari. Jangan hiraukan anak, yang akan mati itu. Eh, apakah kau isterinya?" "Tutup mulutmu" bentak Pikatan. "Marilah kita lihat" berkata Puranti "apakah kau dapat memaksaku tinggal didalam goamu" Tidak seorangpun yang dapat mengatur aku sekarang. Aku datang atas kehendakku sendiri. Aku hanya dapat pergi apabila aku kehendaki. Apabila aku berkehendak untuk pergi, tidak ada seorangpun yang akan menghalangi aku"
96 Kata-kata itu benar-benar mendebarkan setiap jantung. Bukan saja orang yant timpang itu, tetapi Hantu bertangan api tua. dan muda, bahkan Pikatan sendiri. Dalam pada itu, prajurit yang memimpin pasukan kecil itupun berkata "Sebaiknya kau pergi. Kami adalah orang-orang yang memang sudah menyerahkan diri pada tugas ini" "Sudah aku katakan, aku hanya akan pergi apabila aku menghendakinya. Tugas kita disini tidak berbeda. Kami bersama-sama ingin menghancurkan penjahat yang bersarang di Goa Pabelan ini. Akupun berhak berbuat demikian, siapapun aku dan siapapun kalian. "Piranti, pergilah selagi bisa" "Beristlrahallah kakang Pikatan. Darahmu terlampau banyak mengalir" "Tetapi, apakah yang akan kau lakukan?" "Akulah yang akan melawan kedua orang ini" "Puranti, apakah kau bermimpi. Kau masih terlampau kanak-kanak. sehingga kau tidak mengenal bahaya yang dapat terjadi atasmu disini" Tetapi Puranti tidak menghiraukan lagi. Ia maju selangkah sambil menjulurkan pedangnya. Katanya "Jangan mimpi. Ayo, kita mulai lagi. tiba-tiba Puranti berkata lantang "Marilah. Kesempatan yang begini baik, belum tentu akan terulang lagi. Kesempatan untuk menunjukkan kesetiaan kita kepada sesama, dan tanah pepunden ini" Kata-katanya bagaikan sentuhan bara yang menyalakan api di setiap dada. Api yang sudah hampir padam sama sekali. Apalagi ketika Puranti berkata "Kita akan mendapat perlindungan-Nya, karena kita berada di pihak yang benar"
97 Tanpa menunggu jawaban,. Puranti mulai menggerakkan pedangnya. Ia belum mulai menyerang, tetapi seakan-akan ia sedang menggelitik lawannya dengan ujung pedangnya. Sikapnya benar-benar telah menggetarkan hati lawanlawan Pikatan. Kedua orang itu berdiri termangu-mangu. Namun kemudian mereka merasa juga terhina. Pikatan, seorang anak muda yang perkasa itu telah dapat dilumpuhkan. Kini mereka berhadapan dengan seorang perempuan yang berpakaian, seperti laki-laki. "Aku masih akan memberimu keringanan dan kesempatan" Hantu bertangan api itu berkata. Kawannya yang timpang menyambungnya "Kau akan mendapat tempat didalam goa itu" "Gila" Pikatan meriggeram "kau membuat hatiku semakin parah Puranti. Lebih parah dari lukaku" Dada Puranti berdesir. Tetapi ia tidak akan dapat membiarkan Pikatan mati di peperangan itu. Karena itu, ia mencoba untuk tidak menghiraukannya lagi. Sejenak kemudian, sekali lagi Puranti melangkah maju sambil menggerakkan pedangnya. Ketika orang yang timpang itu mulai membuka mulutnya sekali lagi, tiba tiba saja Puranti meloncat dengan cepatnya. Hampir saja ujung pedangnya menyentuh bibir orang yang timpang itu. Untunglah ia masih sempat mengelak. Sekali lagi. Kini Purantilah yang menggantikan kedudukan Pikatan, Ia bertempur melawan dua orang yang telah berhasil mengalahkan Pikatan itu. Prajurit yang memimpin pasukan kecil calon-calon prajurit itu menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi ketika pertempuran sudah menyala kembali, maka iapun berkata didalam hatinya "Aku tidak mengundangnya. Tidak melihatkannya pula. Ia datang atas kemauannya sendiri, dan aku serta Pikatan sudah mencoba untuk mencegahnya"
98 Pikatan yang terluka menjadi termangu-mangu pula. Sejenak ia berniat untuk melindungi Puranti yang dianggapnya belum mengetahui benar-benar bahaya yang dapat mengancam jiwanya. Namun kemudian anak. muda itu telah terpukau melihat tata gerak Puranti. Gadis itu mampu bergerak secepat burung sriti di udara, seperti burung sikatan direrumputan. Cepat, tangkas dan trengginas. "Bagaimana mungkin Puranti dapat bertempur seperti itu" bertanya Pikatan didalam hatinya. Ia adalah murid Kiai Pucang Tunggal yang sudah beberapa tahun berada di padepokan Gajah Mungkur. Ia sudah mengenal Puranti sejak beberapa tahun itu. Namun ternyata pengenalanya sama sekali tidak lengkap. Ia tidak mengetahui, bahwa Puranti memiliki kemampuan yang mendebarkan jantung. Sambil bersandar batu padas Pikatan menyaksikan bagaimana Puranti melawan kedua orang yang berilmu tinggi itu. Hampir tidak masuk akal, bahwa Puranti berhasil menguasai mereka meskipun Pikatan menganggap, bahwa kedua lawannya masih dipengaruhi oleh keragu-raguan dan keseganan. Tetapi yang ternyata kemudian, harus diakui oleh Pikatan. Puranti sebagai seorang gadis, secara alamiah, tidak mempunyai kekuatan sebesar seorang laki-laki. Namun dengan latihan-latihan yang tekun, Puranti dapat mengisi kekurangannya itu dengan kecepatan bergerak dan kemampuan memanfaatkan arah gerak. Dorongan kekuatan lawan dan ayunan senjata mereka sendiri, kadang-kadang telah mendorong mereka kedalam suatu kesulitan. Penguasaan tenaga eadangan yang tidak mudah dilakukan oleh setiap orang dapat dilakukannya dengan hampir sempurna, sehingga seakan-akan kekuatan Puranti menjadi berlipati ganda karenanya.
99 Di bagian lain, calon-calon prajurit itupun seakan-akan telah dijalari oleh kekuatan baru. Apalagi lawan mereka sudah berkurang. Perlawanan dua orang yang dilukai oleh Puranti itu hampir tidak berarti lagi. Dengan demkian maka keseimbangan pertempuran itu menjadi berubah, meskipun lambat laun. Namun demikian, seorang calon prajurit yang terluka, tidak lagi dapat bertahan karena darah yang terlampau banyak mengalir. Perlahanlahan iai. terjatuh diatas pasir. Tetapi lawannya tidak sempat membunuhnya, karena tibatiba kawannya telah melindunginya. Meskipun orang yang melindungi itupun sudah terluka, tetapi ia masih dapat bertempur dengan mantap. Sebuah pekik kesakitan telah melengking diantara dentang senjata ketika seorang anak buah Hantu bertangan api itu jatuh di tanah. Ternyata sepucuk pedang telah menghunjam ke dadanya langsung menyentuh jantung. Demikianiah pertempuran itu menjadi semakin seru, meskipun masing-masing pihak seakan-akan telah menjadi susut kekuatannya. Namun kemudian datanglah saat-saat yang menentukan. Saat-saat mereka roboh karena kehabisan tenaga, namun juga karena senjata lawannya langsung menembus bagian-bagian tubuh yang menentukan. Pemimpin pasukan calon prajurit itu masih juga diselebungi oleh kecemasan. Ia melihat satu-satu anak buahnya jatuh terkulai diatas, pasir, meskipun demikian juga lawan-lawan mereka. Namun dengan demikian ternyata, bahwa tugas ini adalah tugas yang terlampau berat bagi calon prajurit yang sedang melakukan pendadaran. Sekilas prajurit itu sempat memandang Pikatan. Agaknya anak muda itu tidak lagi kuat berdiri bersandar batu padas. Oleh darahnya yang mengalir dari lukanya, maka tubuhnya menjadi semakin lemah, sehingga akhirnya Pikatan itu jatuh tertunduk. Meskipun demikian, ia masih tetap mengikuti perkelahian antara Puranti
100 melawan dua orang pemimpin penjahat yang bersarang di Goa Pabelan. Pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran yang sangat dahsyat. Hampir semua orang di kedua belah pihak telah tidak berdaya lagi. Kalau masih ada satu dua yang berkelahi, maka tenaga merekapun sudah tidak memadai. Kadang-kadang mereka terseret jatuh oleh ayunan senjata sendiri. Tetapi lawannyapun tidak segera dapat membunuhnya, karena kakinya seakan-akan terhunjam ke dalam pasir tepian. Matahari dilangit serasa membakar pabukitan yang tandus itu. Pasir-pasir tepian dan batu-batu menjadi panas membara, Sepanas hati mereka yang sedang menyabung nyawa di arena. Prajurit yang memimpin pasukan kecil dari Demak, masih bertempur terus melawan Hantu Pabelan yang muda, sedang Puranti melawan dua orang pemimpin yang lain. Namun demikian, meskipun Puranti harus melawan dua orang yang berilmu tinggi, ternyata ia tidak dapat segera dikuasai. Bahkan kelincahan dan kecepatannya bergerak kadang-kadang membuat kedua lawannya menjadi bingung. "Setan betina" geram Hantu bertangan api yang tua siapakah yang telah mengajari kau berkelahi begitu dahsyatnya?" Puranti tidak menjawab. Dengan pedangnya ia menyerang kedua lawannya berganti-ganti. Begitu cepatnya, sehingga kadang-kadang mereka tidak sempat memperhitungkan arah geraknya. Pikatan melihat Puranti seperti didalam mimpi. Hampirhampir ia tidak percaya pada penglihatannya. Namun apabila perasaan pedih menyengat lukanya, sadarlah ia bahwa sebenarnya hal itu memang terjadi. Puranti memang sedang
101 berkelahi melawan dua orang pemimpin penjahat yang berada di Goa Pabelan. Hampir tidak masuk akal, bahwa lambat laun justru Puranti-lah yang mampu mendesak lawannya. Orang yang tinggi jangkung dan timpang itu sama sekali tidak berdaya menghadapi putaran senjata Puranti. Ia hanya dapat bertahan dan membantu Hantu tua apabila ia terdesak. Kemudian meloncat menjauh menghindarkan diri dari seranganserangannya yang bernafas maut. Namun ternyata keseluruhan dari pertempuran itu telah membuat Puranti seakan-akan kehilangan kendali. Darah yang memerah dipasir tepian sungai kecil yang curam itu, membuat kemarahannya-pun menyala didalam dadanya. Ia melihat sendiri, betapa orang-orang yang tinggal di Goa Pabelan itu merupakan orang-orang yang ganas dan terlampau buas. Karena itu, selagi ia berada di goa itu, selagi ia tidak harus berkelahi sendiri, maka ia merasa wajib untuk menghentikan segala keganasannya. Karena itulah maka Puranti telah melupakan dorongan apakah yang. sebenarnya telah membawanya ketempat itu. Ia tidak lagi sempat mempertimbangkan bahwa sebenarnya ia hanya sekedar ingin menyaksikan pendadaran calon-calon prajurit Demak. Tetapi gadis itu merasa bahwa kini datanglah saat baginya untuk melakukannya. Menumpas penjahat2 di Goa Pabelan. Karena itulah maka Puranti-pun Kemudian mengerahkan segenap ilmu yang pernah dipelajarinya dari ayah dan sekaligus gurunya. Kekuatan-kekuatan yang didalam kehidupannya sehari-hari merupakan kekuatan yang tersembunyi, telah dibangunJannya dan disalurkannya pada tangannva yang menggenggam senjata. Puranti sadar, bahwa senjatanya adalah senjata yang dapat dibanggakan, yang tidak akan mudah patah karena keseimbangan kekuatan yang melampaui kekuatan pedangnya.
102 Dengan demikian, maka perkelahian itupun segera mencapai puncaknya. Baik Puranti maupun kedua lawannya tidak lagi sempat menghiraukan apapun juga. Mereka tidak lagi dapat melihat bagaimana nasib anak buah penghuni Goa Pabelan, tetapi juga tidak lagi sempat mengetahui, bagaimanakah keadaan para calon prajurit Demak itu. Namun dengan demikian, maka kedua lawan Puranti sama sekali tidak mendapat kesempatan lagi untuk membela diri. Apalagi orang yang timpang itu, Setiap kali ia hanya dapat meloncat menghindar dan mencoba menangkis setiap serangan. Tetapi serangan Puranti menjadi semakin cepat. Tidak saja seperti burung sikatan menyambar bilalang, tetapi benarbenar seperti loncatan tatit diudara. Sebelum lawannya menyadari apa yang dilakukan. ujung pedang Puranti telah menyentuh dadanya. Demikianlah, orang yang jangkung dan timpang. itu akhirnya tidak lagi mampu mengimbangi kecepatan bergerak tangan Puranti. Ketika serangan Puranti menyentuh dadanya, ia terdorong surut. Terdengar ia memekik tertahan. Namun orang itu tidak sempat menyelesaikan keluhannya, karena tikaman Puranti berikutnya tepat mengenai jantungnya. Ketika Puranti menarik ujung pedangnya yang merah karena darah, orang itupun terjatuh ditanah tanpa dapat bangkit lagi untuk selama-lamanya. Hantu bertangan api yang tua melihat hal itu dengan dada yang berdebar-debar. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa akan datang lawan yang begitu garangnya. Apalagi seorang perempuan. Dipinggir arena perkelahian itu, Pikatan menahan nafasnya, Hatinyapun menjadi berdebar-debar. Tanpa sesadarnya ia berdesis "Luar biasa. Ternyata bahwa Kiai Pucang Tunggal
103 masih juga condong untuk memberikan ilmunya kepada anaknya. Tidak kepada muridnya" Tetapi hatinya sendiri membantah "Itu adalah wajar sekali. Puranti sudah ada diperguruan itu sejak anak-anak. Sejak ia berlatih berdiri dau melangkah. Sejak itulah ayahnya pasti sudah mengakrabkan setiap gerak anak itu. Dan sekarang ternyata Puranti adalah seorang gadis yang aneh, yang justru menjadi seorang gadis yang tidak sewajarnya. Tidak seperti gadis gadis yang lain" Namun lebih daripada itu, Pikatan merasa malu kepeda dirinya sendiri, bahwa selama ini ia selalu merasa melindungi gadis itu. Tetapi ternyata, didalam keadaan yang gawat itu, Purantilah yang telah menyelamatkannya. Pikatan merasa berterima kasih kepada gadis itu, yang seakan-akan telah menyelamatkan nyawanya. Ternyata Tuhan masih mengijinkannya untuk hidup lebih lama lagi. Tetapi disamping perasaan terima kasihnya itu, menyelinap pula perasaan lain yang mengganggunya. Harga dirinya sebagai laki-laki telah diguncangkan oleh peristiwa ini. Adalah memalukan sekali apabila setiap kali ia akan mengatakan kepada diri sendiri, bahwa tanpa Puranti, nyawanya sudah tidak akan tertolong lagi. Tiba-tiba Pikatan menggerarn. Sejenak ia masih melihat Puranti mendesak lawannya yang tinggal seorang itu dengan dahsyatnya. Dibagian perkelahian yang lain, prajurit yang memimpin pasukan kecil itu masih bertempur dengan gigihnya. Seolaholah kedua-duanya memiliki ilmu yang seimbang, sehingga perkelahian yang dahsyat itu masih akan berlangsung lama. Keduanya telah mengerahkan segenap ilmu yang ada pada diri masing-masing. Desak mendesak, dan udara maut berputaran diantara mereka, seolah-olah sedang memilih, dimanakah ia akan hinggap.
104 Tetapi bagi Hantu yang tua, nasibnya seakan-akan memang sudah ditentukan. Puranti berhasil mendesaknya dengan dahsyat sekali. Bahkan meskipun Hantu yang tua itu mengerahkan segala macam ilmu yang diagungkannya selama ini. Ia hanya dapat memperpanjang perlawanannya. Tetapi ia tidak lagi dapat menghindarkan diri dari cengkeraman maut, Gadis dari padepokan Gajah Mungkur itu seakan-akan tidak memberinya kesempatan lagi. Sambaran pedangnya yang mendatar, pada suatu saat telah menyobek dada Hantu yang selama ini tidak terkalahkan itu. Yang selama petualangannya telah menggetarkan bukan saja daerah di sebelah Timur Gunung Merapi, tetapi juga sampai ke pesisir Kidul dan kaki Gunung Lawu. Darah yang memancar dari luka itu telah mengejutkannya. Hantu itu hampir tidak percaya bahwa perempuan itu benar2 telah melukainya. Benar-benar telah berhasil menumpahkan darahnya keatas pasir didepan mulut Goa Pabelan ini. Namun justru karena ia termangu-mangu itulah, maka sekali lagi Puranti berhasil menghunjamkan ujung pedangnya langsung membelah jantungnya. Hantu bertangan api itupun kemudian menggeliat dan ketika Puranti menarik pedangnya, iapun jatuh menelungkup. Dada Puranti bergetar menyaksikan hasil dari perlawanannya Sekali ia berpaling melihat orang jangkung yang timpang, dan kemudian dipandanginya lagi Hantu bertangan api yang sudah tidak bernafas lagi itu. Tiba-tiba saja terasa sesuatu menggelegak didadanya. Seolah ia berteriak kepada dirinya sendiri Aku sudah membunuh. Aku sudah membunuh" Puranti menjadi gemetar. Tertatih-tatih ia berjalan menepi. Seakan-akan ia tidak lagi mampu menahan tubuhnya lagi. Setelah ia memeras segenap tenaganya, melawan dua orang
105 penjahat yang memiliki ilmu yang cukup tangguh, diguncang pula oleh kenyataan bahwa ia telah membunuh sesama, maka Puranti seakan-akan telah terlempar kedalam suatu keadaan yang sangat asing. Asing dan mengerikan sekali. Ketika matanya menjadi berkunang-kunang, maka Purantipun menyandarkan dirinya pada batu-batu padas. Sekilas ia melihat pedangnya yang kemerah-merahan oleh darah. Sambil memalingkan wajahnya, gadis itu masih berusaha menghunjamkan daun pedangnya itu kedalam pasir. Berulang-ulang. Ia mengharap, agar darah yang masih membasah itu akan terhapus. Ternyata usahanya itu berhasil. Meskipun tidak sebersih seperti pada saat pedang itu belum menyentuh tubuh lawannya, namun daun pedangnya itu sudah tidak dilumuri lagi oleh darah yang merah membara Karena keadaannya itulah, maka Puranti tidak sempat melihat apa yang terjadi dengan Hantu yang muda. Ternyata Hantu yang muda itu sempat melihat, bahwa kawankawannya sudah tidak berdaya lagi. Apalagi setelah kakaknya jatuh menelungkup, dan tidak bangkit lagi untuk seterusnya. Maka Hantu yang muda itupun tidak mempunyai harapan lagi. Meskipun lawannya masih belum berhasil mengalahkannya, bahkan senjata prajurit itu sama sekali belum menyentuhnya, tetapi ia harus menyadari keadaannya. Hantu yang muda itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali berusaha menghindari perkelahian itu. Karena itu, ketika terbuka kesempatan, maka iapun segera meloncat surut. Kemudian dengan sisa tenaganya ia berlari meninggalkan arena. Prajurit itu masih berusaha mengejarnya sejenak. Tetap kemudian iapun merasa bahwa tenaganya tidak akan cukup kuat lagi untuk berlari-larian diatas pasir dan bebatuan. Apalagi ketika ia sadar bahwa tidak ada seorangpun lagi yang dapat membantunya, Perempuan yang berhasil membunuh kedua lawannya, agaknya telah kehabisan tenaga. Tetapi
106 bukan itu saja, Goncangan perasaannya-lah yang telah membuatnya berdiri membeku bersandar batu padas. Sejenak kemudian prajurit itu berdiri termangu-mangu. Tetapi ia tetap sadar, apa yang sedang dihadapinya. Anak buahnya yang hampir semuanya terkapar tidak berdaya. Bahkan. mungkin satu dua diantara mereka sudah tidak bernyawa lagi. Namun ternyata pula anak buah Hantu bertangan apipun telah terbaring silang melintang Mungkin ada juga satu dua yang sudah terbunuh. Tetapi ada pula diantara mereka yang melarikan diri disaat-saat terakhir. Prajurit itu masih melihat dua tiga anak buahnya yang masih mampu berdiri dan berjalan tertatih-tatih mendekatinya. "Bagaimana dengan luka2 kalian?" prajurit itu bertanya. Calon-calon prajurit itu menyeringai menahan sakit. Merekapun kemudian duduk berserakan bersandar bebatuan dipinggir kali yang hanya mengalirkan airnya tidak lebih dalam dari mata kaki, tetapi yang dipagari oleh jurang yang sangat dalam. Pemimpin pasukan itu menarik nafas dalam-dalam. Disanasini beberapa sosok mayat tergolek diatas pasir. Diantaranya adalah calon-calon prajurit yang gagal dalam pendadaran itu. Bukan saja gagal melakukan tugas yang dibebankan kepadanya, tetapi gagal mempertahankan hidupnya. "Bagaimanapun juga mereka adalah pahlawan-pahlawan" desis prajurit itu "mereka telah berjuang untuk menegakkan ketenteraman dan kedamaian hati rakyat" Tiba-tiba prajurit itu tersentak. Diantara mereka terdapat seorang perempuan yang dengan suka rela telah ikut serta di dalam perjuangan yang berat ini. Yang tidak kalah beratnya dari berperang di medan sepanjang pesisir, atau melawan musuh yang datang dari lautan sekalipun, musuh orang-orang asing yang agaknya mulai mengarahkan pamrih mereka pada kesuburan tanah ini.
107 "Bagaimana dengan kau?" bertanya prajurit itu. Puranti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera menjawab. Dengan nanar ia memandang keadaan sekelilingnya. Agaknya ada sesuatu yang dicarinya. "Apakah kau melihat Pikatan?" Puranti bertanya. Prajurit itu mengerutkan keningnya. Jawabnya "Bukankah ia tadi berada disini?" "Ya. Tetapi aku tidak melihatnya" Prajurit itu menjadi berdebar-debar. Dipandanginya sebuah lekuk batu padas beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Disanalah Pikatan terduduk menyaksikan perkelahian yang masih berkobar. "Ia duduk disana" desis Prajurit itu. "Tetapi ia tidak ada. ditempatnya" Wajah prajurit itupun menegang. Katanya "Aku akan mencarinya" "Jangan" cegah Puranti "kau masih harus.mengurus anak buahmu. Hampir semuanya terluka parah. Kau harus berbuat sesuatu atas mereka. Biarlah aku mencari Pikatan" Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun Puranti telah mendesaknya "Serahkan kakang Pikatan kepadaku" "Siapakah kau sebenarnya" Agaknya kau sudah mengenal Pikatan dengan baik." "Aku saudaranya. Adik angkatnya" "O" prajurit itu mengangguk-angguk "tetapi ternyata kau mempunyai kemampuan melampaui Pikatan. Apalagi kau seorang perempuan." "Hanya suatu kebetulan" jawab Puranti, lalu "silahkanlah. Anak buahmu memerlukanmu"
108 Prajurit itu mengangguk "Baiklah. Dan kau?" "Aku akan mencari kakang Pikatan" Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandangiuya saja Puranti yang kemudian tertatih-tatih melangkahkan kakinya, mencari Pikatan. Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya didalam hati "Seorang perempuan yang aneh. Cantik, tetapi tandangnya seperti seekor macan betina" Purantipun kemudian mendekati batu padas, tempat Pikatan menyandarkan diri. Dilihatnya setitik darah membasahi bebatuan dan pasir yang putih. "Agaknya dengan sengaja ia meninggalkan tempat ini" berkata Puranti didalam hatinya. Tetapi ia mendapat beberapa petunjuk. Selain jejak kakinya, juga titik-titik darah yang berceceran telah membawanya mengikuti arah Pikatan yang dengan diam-diam meninggalkan gelanggang. "Kemanakah orang ini pergi?" Puranti bertanya kepada diri sendiri. Tetapi Puranti tidak perlu menyelusurinya terlampau jauh. Beberapa puluh langkah disebelah kelokan sungai, dilihatnya sesosok Tubuh yang terbaring diatas pasir. Namun dadanya menjadi berdebar-debar ketika dilihatnya seseorang sedang berjongkok merenungi tubuh itu dengan saksama. Perlahan-lahan Puranti mendekatinya. Semakin lama debar jantungnya menjadi semakin cepat. Kemudian terdengarlah orang yang merenungi tubuh yang terbaring itu berkata "Kemarilah Puranti" Puranti menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya "Baiklari ayah. Tetapi kenapa ayah berada ditempat ini pula?"
109 Orang itu adalah Kiai Pucang Tunggal. Perlahan-iahan ia berpaling. Dilihatnya puterinya berjalan tetatih-tatih mendekatinya. . "Kau lelah sekali. Tetapi goncangan perasaanmulah yang paling dalam menusuk jantungmu, sehingga tampaknya kau seperti seorang yang tidak mempunyai sisa-sisa tenaga sama sekali" Puranti mengangguk "Ya ayah" "Pikatanlah yang benar-benar terluka parah dipundaknya." Puranti tidak menyahut. Ia sudah berjongkok pula disamping ayahnya. "Apakah ayah menyaksikan seluruh pertempuran itu?" ia justru bertanya Ayahnya mengangguk. "Melihat kakang Pikatan terluka?" . Sekali lagi orang tua itu mengangguk " Aku datang tepat pada waktunya" "Apakah ada sesuatu yang memaksa ayah datang kemari?" "Sepeninggalmu, aku menjadi gelisah" jawab ayahnya "apalagi ketika aku mendengar bahwa pasukan kecil itu benarbenar sudah berangkat dari Demak. Aku menjadi cemas, kalau-kalau guru orang yang disebut bernama Hantu bertangan api itu ada disini. Itulah sebabnya aku segera menyusulmu. Tetapi aku datang tepat disaat yang gawat. Disaat kau mengambil keputusan untuk ikut serta. menerjunkan diri kedalam pertempuran itu" "Dan ayah membiarkan semuanya itu terjadi" Calon-calon prajurit yang menjadi korban dan bahkan kakang Pikatan?" "Sudah aku katakan. Aku datang pada saat kau mulai menerjunkan dirimu." jawab ayahnya
110 "karena itu aku mengambil keputusan untuk memberimu kesempatan. Ternyata kau berhasil" "Tetapi calon-calon prajurit itu?" "Akupun hampir saja mencoba melindungi mereka. Tetapi pada saat kau berhasil membunuh seorang dari kedua lawanmu, tiba-tiba aku melihat Pikatan mulai bergeser. Aku tidak dapat menunggui pertempuran itu lebih lama lagi. Aku mencoba untuk mengikuti Pikatan. la terlampau lemah. Adalah berbahaya sekali baginya, apabila pada suatu saat ia bertemu dengan seorang dari penghuni goa ini. Dengan mudahnya ia akan dapat dibunuhnya" "Ayah tidak melihat Hantu yang tua itu tersobek dadanya oleh pedangku?" Kiai Pucang Tunggal menggeleng "Tidak Puranti. Tetapi aku yakin, bahwa kau akan dapat mengatasi lawanmu itu, karena kau sudah berhasil membinasakan yang seorang" "Dan ayah juga tidak tahu bahwa Hantu yang muda melarikan diri?" "Melarikan diri" Jadi ia berhasil melarikan diri?" Puranti mengangguk. Ayahnya menarik nafas dalam-dalam, Katanya Jika demikian, maka persoalan ini masih belum selesai. Ia akan menemui gurunya dan menceriterakan apa yang sudah terjadi disini" "Maksud ayah, kemungkinan pembalasan dendam dari golongan mereka?" Ayahnya mengangguk "Ya" jawabnya "dan itu bukan sekedar suatu kemungkinan. Tetapi hampir dapat diyakini" Puranti termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata "Itu adalah akibat yang harus sudah diperhitungkan. Tetapi bukankah kita tidak perlu cemas ayah?"
111 Ayahnya menggeleng "Tidak. Kita tidak usah cemas. Tetapi kerja ini menjadi kerja yang patah ditengah. Kerja yang belum selesai." Puranti tidak segera menjawab. Ditatapnya saja wajah Pikatan yang pucat dengan mata yang terpejam. Tetapi agaknya nafasnya sudah mulai mengalir sewajarnya. Kiai Pucang Tunggal mengambil tabung dari kantung ikat pinggangnya, ia mencoba mengobati luka yang diderita oleh Pikatan. Diteberkannya serbuk berwarna kekuning-kuningan ke pundak Pikatan. "Lukanya terlampau dalam" desis Kiai Pucang Tunggal. "Tetapi, bukankah luka itu tidak membahayakan jiwanya, Ayah" "Secara langsung tidak" sahut ayahnya. "Apakah maksud ayah?" Puranti menjadi berdebar-debar Tetapi ayahnya menggelengkan kepalanya. Katanya "Tidak apa-apa. Kita menunggu dia sadar. Kemudian membantunya berjalan meninggalkan tempat ini" Puranti tidak bertanya lagi. Tetapi kata-kata ayahnya itu berkesan dihatinya. Lamat-lamat ia dapat membayangkan maksudnya, meskipun ia tidak dapat meyakini kebenarannya. Namun demikian, ia sadar, bahwa ayahnya tidak ingin memberinya penjelasan lebih jauh lagi. Karena itu, maka Purantipun hanya sekedar berjongkok saja disamping ayahnya. Sekali-sekali ditatapnya, wajah Pikatan yang pucat. Namun, tanpa sesadarnya ia mulai menilai wajah yang pucat itu sebagai wajah seorang anak muda. Puranti menarik nafas dalam-dalam. Ia mempunyai banyak kawan di padukuhannya. Laki-laki dan perempuan. Tetapi Pikatan sudah tinggal dan bergaul setiap hari untuk waktu yang lama. Meskipun sikapnya sehari-
112 hari tidak lebih dan tidak kurang dari sikap seorang kakak, tetapi Puranti tahu dengan pasti, bahwa Pikatan bukanlah kakaknya. Kini Pikatan mengetahui seluruhnya tentang dirinya. Selama beberapa tahun ia berusaha untuk menyembunyikan kelebihannya dari anak muda itu, agar ia tidak merasa dirinya kecil. Namun di dalam saat-saat yang gawat, maka ia tidak lagi mampu berbuat demikian. Itulah agaknya yang telah menyakiti hatinya, sehingga diam-diam Pikatan telah berusaha meninggalkannya. Tetapi darah yang mengalir dari lukanya, menyebabkannya pingsan. Untunglah bahwa ayahnya melihat hal itu, sehingga dengan segera dapat memberikan pertolongan kepadanya. Sejenak kemudian Puranti melihat Pikatan mulai bergerakgerak. Mula-mula kepalanya, kemudian tangan dan kakinya bergeser sedikit. Puranti menarik nafas dalam-dalam. Sejengkal ia maju mendekat. Seolah-olah ia ingin mengguncangnya, agar Pikatan menyadari dirinya. Pikatan perlahan-lahan membuka matanya. Sambil mengerutkan keningnya, anak muda itu ingin melihat, bayangan yang samar-samar dan yang semakin lama menjadi semakin jelas. "Guru" desisnya. Tetapi ketika ia mencoba untuk segera bangkit, tangannya yang sebelah kanan terasa betapa sakitnya, sehingga tubuhnya kembali terbaring dengan lemahnya. "Berbaring sajalah" berkata Kiai Pucang Tunggal "jangan berusaha, bangun dahulu. Tenangkan hatimu, dan cobalah menguasai segenap perasaan dan nalar" Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ditatapnya sejenak wajah Puranti yang tegang.
113 Ketika tatapan mata mereka bertemu, terasa dada keduanya berdesir tajam. Pikatan merasa bahwa ia telah diselamatkan olehnya, namun sekaligus, perasaan malu yang tiada taranya telah mencengkamnya. Harga dirinya sebagai seorang laki-laki benar-btear telah tersinggung, karena justru Purantilah yang telah melindunginya. Bukan sebaliknya seperti yang seliap kali dikatakannya. Kiai Pucang Tunggal yang bijaksana, seakan-akan dapat membaea perasaan anak muda itu. Karena itu, maka katanya "Pikatan. Jangan hiraukan apa yang sudah terjadi. Akulah yang telah berbuat untukmu, karena aku tahu, bahwa kau tidak akan mampu melawan kedua orang lawanmu itu. Tetapi sudah tentu tidak sepantasnya aku turun ke arena. Karena itu, aku suruh Puranti menjadi wadag perkelahian, dan aku mengamatinya dari kejauhan" Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Luka di pundaknya terasa semakin pedih menggigit tulangnya. "Kalau keadaanmu sudah berangsur baik, kita akan segera kembali ke Gajah Mungkur. Kau akan mendapat perawatan sampai luka-lukamu sembuh" Pikatan tidak segera menjawab. Terasa dadanya menjadi semakin bergejolak. "Tenangkanlah hatimu" Tetapi jawab Pikatan telah mengejutkan gurunya "Terima kasih guru. Ternyata aku adalah orang yang tidak berharga sama sekali. Aku sudah mengecewakan pimpinan prajurit Demak, karena aku gagal didalam pendadaran ini. Tetapi terlebih-lebih lagi, aku sudah gagal menjunjung narna perguruanku. Bahkan aku telah di selamatkan oleh seorang gadis yang selama ini aku anggap sebagai adikku yang harus aku lindungi"
114 "Jangan pikirkau yang bukan-bukan. Sekarang kau terluka. Kau harus mendapat kesembuhan dahulu, sebelum kau menentukan sikap apapun juga" Tetapi Pikatan menggelengkan kepalanya "Biarkan aku menebus segala kekecewaan itu. Tinggalkan aku disini guru. Pada suatu saat aku akan menghadap guru dan mempersembahkan kemenangan yang kini lepas dari tanganku" "Kau salah Pikatan" jawab gurunya "aku tidak pernah mengatakan kepadamu, bahwa ilmu yang kau dapat itu adalah ilmu yang tidak ada duanya didunia. Dan aku tidak pernah mengajarmu untuk mengingkari kenyataan. Kalau kau merasa bahwa. kau tidak akan terkalahkan, maka itu adalah kekalahanmu yang pertama. Selagi kita masih bernama manusia, maka kita pasti masih mempunyai kelemahankelemahan. Orang yang ingkar akan kelemahan-kelemahan ini adalah orang yang tidak percaya kepada kekuatan yang sempurna. Sumber dari semua kekuatan, Dan sumber itu hanyalah satu. ALLAH Swt. Tidak ada yang lain" Pikatan tidak segera menjawab. Tetapi setiap kali ia menahan sakit dipundaknya. "Apakah kau mengerti Pikatan?" "Aku mengerti guru" jawab Pikatan "meskipun demikian apapun yang datang dari Sumber yang Tunggal. itu tidak akan datang dengan sendirinya, seperti air hujan yang turun dari langit. Kita diwajibkan berusaha seperti yang guru katakan. Dan aku akan berusaha" "Ya. Kita harus berusaha, Tetapi kita harus berdiri diatas kenyataan ini. Kau sedang terluka parah. Nah, apakah kau akan ingkar bahwa lukamu ini dapat membahayakan jiwamu?" "Aku akan menanggungnya guru"
115 "Apakah bedanya dengan suatu tindakan membunuh diri?" Pikatan tidak dapat menjawab. Karena itu, iapun terdiam. Namun tampak membayang diwajahnya, hatinya yang sedang bertolak. "Aku mengerti perasaanmu. tetapi agaknya kau keliru. Kau lebih menghargai dirimu sendiri. Kau harus yakin bahwa Allah itu Maha pemurah dan Maha Penyayang" Pikatan masih tetap berdiam diri. ta mencoba mengerti kata-kata gurunya, meskipun sekali-sekali dadanya masih juga bergetar mengingat kegagalan yang hampir mutlak itu" "Kalau tubuhmu terasa segar, marilah, aku akan menolongmu berjalan, Sebaiknya kau kembali kepada pasukanmu yang sudah hampir lumpuh sama sekali itu. Tetapi aku berharap bahwa sebagian dari mereka tidak benar-benar terbunuh. Mereka agaknya hanya terluka parah. Kalau aku mendapat kesempatan, barangkali aku dapat membantu memperingan penderitaan mereka itu" Pikatan tidak dapat menolak lagi, ditolong oleh gurunya, perlahan-lahan ia bangkit. Meskipun pundaknya masih terasa sangat sakit, tetapi ia berusaha juga berjalan, bergantung pada pundak gurunya. Meskipun melihat bentuk lahiriahnya, gurunya sudah menjelang tua, tetapi ternyata tubuhnya masih kuat. Tampaknya Kiai Pucang Tunggal dari Gajah Mungkur itu sama sekali lidak mengalami kesulitan apapun, memapah Pikatan berjalan kembali kemulut Goa Pabelan" "Pikatan" berkata gurunya "bau darah telah memanggil burung-burung itu. Kalau kau pingsan diantara mereka, maka burung-burung itu tidak akan memberimu kesempatan untuk sadar kembali" Tanpa sesadarnya Pikatan menengadahkan wajahnya. Dilihatnya beberapa ekor burung hitam pekat berterbangan diudara berputar-putar diatas mulut Goa Pabelan.
116 Tanpa disadarinya, dadanya tergetar. Burung-burung yang buas itu akan dapat membunuhnya selagi ia pingsan. Paruh yang tajam akan. Menyobek bekas lukanya itu menjadi semakin lebar, kemudian membelah dadanya dan mengorek isi perutnya. Beberapa langkah, kemudian, merekapun segera sampai pula di depan mulut Goa Pabelan. Mereka segera melihat prajurit yang memimpin pasukan kecil itu berusaha mengumpulkan anak buahnya yang masih hidup, meskipun terluka parah. Ketika ia melihat Pikatan dipapah Kiai Pucang Tunggal, maka iapun menyongsongnya sambil bertanya "Darimana kau Pikatan" "Aku tadi haus sekali. Aku berusaha mencari belik untuk minum. Tetapi aku menjadi pingsan" Pemimpin pasukan kecil itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban Pikatan memang masuk akal. Air belik kecil memang lebih bersih dari air sungai, sehingga karena itu, ia tidak bertanya lagi kepadanya. Yang dipandanginya kemudian adalah Kiai Pucang Tunggal yang memapah Pikatan. "Siapakah kau, Ki Sanak" " ia bertanya. "Aku sedang mencari kayu bakar, tuan" jawab Pucang Tunggal "aku menemukan anak muda ini sedang pingsan. Aku mencobanya menitikkan air di bibirnya. Dan iapun kemudian dapat sadar kembali" "Terima kasih" jawab pemimpin pasukan itu "ia adalah. seorang calon prajurit yang uar biasa. Ternyata ia memiliki kemampuan bukan saja melampaui kawan-kawannya, caloncalon prajurit yang lain, tetapi ia mempunyai kemampuan melampaui prajurit yang sudah lama bertugas" "Ah" Pikatan menyahut "tidak. Ternyata aku telah gagal"
117 "Jangan pikirkan" potong Puranti "sekarang, bagaimana dengan kawan-kawanmu yang terluka lainnya" Pemimpin pasukan itu mengerutkan keningnya. Ia tidak segera menemukan pemecahan, bagaimana mengurus kawankawannya yang terluka itu. Adalah tidak mungkin ia membawa mereka kembali ke kota dalam keadaan serupa itu" Selagi pemimpin pasukan kecil itu termangu-mangu, maka Puranti berkata "Apakah tuan. tidak berkeberatan apabila aku pergi ke padukuhan terdekat, minta bantuan kepada penghuninya, agar mereka bersedia menolong kita dan memberikan tempat untuk sekedar menumpang dan bersamasama mengubur mayat-mayat yang berserakan ini?" "Aku akan berusaha, apabila mungkin, membawa mayat kawan-kawanku kembali ke Demak" jawab prajurit itu. "Maksudku mayat para penghuni Goa Pabelan ini" Pemimpin prajurit itu berpikir sejenak, lalu "Aku sangat berterima kasih atas segala bantuanmu" Puranti menggelengkan kepalanya, jawabnya "Aku sekedar melakukan kuwajibanku" Tetapi, apakah ada seseorang yang akan bersedia membantu kita" "Aku akan berusaha" Pikatan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ketika Kiai Pucang Tunggal meletakkannya diatas sebuah batu, maka Pikatanpun segera menundukkan kepalanya dalam-dalam. Pucang Tunggal tidak mengatakan apa-apa kepadanya. Ia tahu benar, apakah yang sedang bergolak didalam hati anak muda itu. Kegagalannya dan kehadiran Puranti agaknya telah sangat menyinggung perasaannya. Apalagi luka dipundaknya adalah termasuk luka yang berat, meskipun tidak membahayakan jiwanya.
118 Ternyata bahwa Puranti benar-benar telah meninggalkan mereka pergi, kepadukuhan yang terdekat. Dengan segala usaha ia meyakinkan orang-orang di padukuhan itu, apa yang telah terjadi di Goa Pabelan. Ternyata Puranti menemui banyak kesulitan. Orang-orang di padukuhan terdekat tidak segera dapat mempercayainya. Bahkan salah seorang dari. mereka berkata "Tetapi, apakah kau bukan dari lingkungan mereka?" "Tentu bukan. Kalau aku orang yang tinggal di Goa Pabelan, apakah keuntunganku minta pertolongan kalian" Katakanlah aku akan menjebak kalian, apakah gunanya" Kalau aku penghuni Goa Pabelan dan ingin membunuh kalian, kami tidak usah membohongi kalian dengan dalih apapun. Tetapi kami akan datang kemari dan berbuat apa saja sesuka hati kami" Puranti berhenti sejenak. lalu "percayalah, bahwa aku mohon bantuan kalian atas nama pimpinan prajurit Demak" Orang-orang padukuhan itu masih saja ragu-ragu. Namun akhirnya mereka tidak dapat menolak lagi. Seandainya orang perempuan yang membawa pedang itu orang yang menghuni Goa Pabelan. maka menolak permintaannyapun akan berarti bancana bagi padukuhan itu. Demikianlah maka beberapa orang dari pedukuhan itu telah mengikuti Puranti. Dan merekapun menemui kenyataan, bahwa mereka benar-benar telah membantu tugas prajurit dari Demak yang telah membinasakan sebagian terbesar dari penghuni Goa Pabelan. Dalam pada itu, para calon prajurit yang terlukapun mendapat tempat pula diantara. penduduk padukuhan kecil yang hidup dalam keadaan sederhana, Namun justru demikian, mereka telah berbuat sebaik-baiknya bagi para calon prajurit itu. Untuk menyelesaikan semua masalah, pengiriman kembali para calon prajurit yang gugur, dan pengawalan orang-orang
119 yang terluka, maka pemimpin prajurit itu minta agar Puranti bersedia mermnggui para prajurit yang terluka untuk satu hari. Prajurit itu sendiri akan segera pergi ke Demak dan membawa segala peralatan yang diperIukan untuk mengambil semuanya itu. "Aku memerlukan seekor kuda" desisnya "supaya aku cepat kembali dan membawa korban-korban itu kembali ke Demak. Puranti mengerutkan keningnya. Memang ngeri sekali menunggui orang-orang yang terluka dan beberapa sosok mayat yang berbaring berjajar-jajar diamben yang besar. Tetapi apabila tertunda sehari saja, maka keadaan itu akan menjadi semakin buruk. Karena itu, maka puranti tidak dapat berbuat lain. Ketika ia memandang ayahnya, orang tua itu menganggukkan kepalanya. "Baiklah" berkata Puranti "pergilah. Tetapi tuan harus cepat kembali. Kalau besok pagi tuan belum kembali, maka kami akan menguburkan mayat-mayat ini" "Aku akan segera kembali. Berhasil atau tidak berhasil mendapatkan bantuan untuk kepentingan itu. Prajurit yang memimpin pasukan kecil itupun segera berusaha untuk mendapatkan seekor kuda. Adalah sulit sekali didalam padukuhan kecil itu. Tetapi untunglah, bahwa ada juga seseorang yang memiliki seekor kuda meskipun tidak begitu tegar. Tetapi meskipun demikian kuda itu akan dapat mempercepat perjalanan. Sepeninggal prajurit itu, Puranti dan Kiai Pucang Tunggal telah berusaha merawat mereka yang terluka sebaik-baiknya. Bukan saja Pikatan, tetapi setiap orang mendapat perawatan dan pengobatan sementara. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Kiai Pucang Tunggal, bahwa persoalan Goa Pabelan itu pasti masih akan
120 berkepanjangan, Hantu Bertangan Api yang muda itu pasti akan segera menemui gurunya dan mengatakan apa yang sudah terjadi. Kiai Pucang Tunggal dan Puranti tidak perlu menunggu terlampau lama. Ketika kemudian malam datang menyelubungi padukuhan kecil didekat Goa Pabelan itu, maka dua orang berjalan tergesa-gesa mendekatinya. Mereka telah mencium usaha para calon prajurit itu, untuk merawat diri sementara dipadukuhan kecil itu. Seorang anak buahnya yang lolos sempat mengintipnya dan kejauhan. "Kita harus membinasakan semuanya" berkata Hantu yang muda itu kepada gurunya. "Siapakah yang akan dapat menghindarkan dirinya?" gurunya menggeram "orang-orang yang sombong itu akan menyesal. Tetapi perempuan yang kau katakan itu menumbuhkan pertanyaan bagiku. Jarang sekali, atau bahkan belum pernah aku dengar bahwa ada seorang perempuan yang memiliki kemampuan demikian tinggi. Yang sanggup melawan kakakmu sekaligus dengan pembantunya yang timpang itu" "Itulah guru. Kegagalan kami sebagian terbesar karena perempuan itu" "Jadi menurut pertimbanganmu ada tiga orang yang harus mendapat perhatian. Perempuan itu, orang yang mula-mula berkelahi melawan kakakmu tetapi kemudian ia justru terluka dan seorang prajurit. Begitu?" Hantu yang muda itu mengangguk "Ya guru. Tetapi laki-laki yang telah terluka itu aku kira sudah tidak akan dapat berbuat banyak" Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya "Jadi dua orang saja?" "Ya"
121 "Kita akan segera selesai" Hantu yang muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangannya sudah gemetar oleh nafsu dendamnya yang melonjak sampai keubun-ubun "Namun demikian ia masih juga sempat berpikir "Perempuan itu rupanya cukup cantik juga" Demikianlah keduanya tanpa ragu-ragu langsung pergi keahalaman rumah yang telah dipinjam oleh para calon prajurit untuk sekedar beristirahat. Tanpa ragu-ragu Hantu Bertangan Api yang muda segera berteriak dari halaman "He, orang-orang yang gila. Sekarang kalian akan menyesal, bahwa kalian telah datang ke Goa Pabelan" Semua. orang yang ada didalam rumah itu mendengar suara yang bagaikan petir yang meledak diatas bumbungan atap. Dada mereka berdesir tajam dan jantung mereka serasa berdentangan. Dalam keadaan itu, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Satu-Satunya orang yang akan dapat bertempur melawan para penjahat itu tinggallah perempuan yang sebenarnya bukan termasuk didalam pasukan kecil itu. Apalagi pemimpin mereka pada saat itu sedang pergi ke Demak. Para calon prajurit yang terluka itu saling berpandangan sejenak. Sebelum ada seseorang yang dapat menjawab, suara diluar sudah terdengar lagi "Kedatangan kami kali ini ingin menebus kekelahan kami, Nyawa kawan-kawan kami, apalagi nyawa kakakku itu. nilainya adalah seratus kali lipat dari nyawa kalian. Dengan demikian. maka kalian semuanya akan kami binasakan dengan cara kami untuk memberikan sedikit imbangan dari kesombongan kalian" Para calon prajurit yang ada didalam rumah itu sama sekali tidak dapat berbuat apapun juga. Mereka yang berhati tabah, hanya dapat pasrah diri, karena mereka tidak lagi mempunyai
122 kekuatan untuk melawan. Namun tangan mereka masih juga meraba senjata masing-masing sambil berbaring di amben. Sedang mereka yang hatinya telah susut oleh kengerian melihat perkelahian yang telah terjadi, mulai menggigil ketakutan. Pikatan yang duduk bersandar dinding mengerutkan keningnya. Ditatapnya Puranti yang duduk disisi ayahnya, Kiai Pucang Tunggal. Ada suatu ketenangan yang menyiram dadanya, justru karena gurunya ada. Tetapi sekali lagi merasa dihentakkan oleh nilai harga dirinya yang seakan-akan, terlempar ketempat sampah. Karena itu, Pikatan sama sekali tidak berbuat apapun juga. Ia tahu, bahwa dalam keadaan yang memaksa, gurunya pasti tidak akan tinggal diam. Namun demikian masih tergantung juga siapakah yang datang. Pikatanpun sudah menduga, bahwa Hantu berrtangan api yang muda itu pasti datang bersama gurunya. Puranti sendiri masih belum beranjak dari tempatnya. Sekilas ia memandang wajah ayahnya yang sedikit berubah. Oleh cahaya lampu yang redup, Puranti melihat dahi orang tua itu berkerut. "Mereka datang " desis Kiai Pucang Tunggal. "Ya. Agaknya mereka telah datang" sahut Puranti sambil bertanya "apakah menurut dugaan ayah, mereka datang bersama gurunya?" "Mungkin sekali. Hantu yang muda itu sempat naik kegunung Merapi. Disanalah gurunya tinggal. Dilereng-lereng Gunung Merapi itu" Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Itulah agaknya mereka memilih tempat ini. Tempat yang tidak begitu jauh dari padepokan gurunya"
123 Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Apakah kita akan keluar ayah?" Ayahnya tidak segera menjawab. Sekilas dipandanginya wajah Pikatan yang tertunduk. Namun kemudian kepalanyapun terangguk-angguk lemah. Purantipun berpaling sejenak pula. Tetapi ia tidak ingin beradu pandang dengan Pikatan. Ia sadar, bahwa perasaan Pikatan sedang tertekan karenanya. Sejenak kemudian iapun telah berdiri. Dibenahinya pakaiannya dan dirabanya hulu pedangnya. "Aku akan keluar ayah" "Marilah" berkata ayahnya. Namun Kiai Pucang Tunggal masih juga berkata kepada Pikatan "aku akan melihat siapakah prang yang ada dihalaman itu" Pikatan mengangkat wajahnya. Wajah itu terangguk kecil, dan terdengar suaranya lirih "Silahkanlah guru" "Tetapi Pikatan tidak memandang lagi gurunya yang berjalan dibelakang Puranti menuju kepintu depan. Sejenak kemudian pintu itupun berderit. Purantilah yang pertama-tama melangkah keluar. "Ha, kau masih ada disini" berkata Hantu Bertangan Api yang muda "aku memang memerlukan kau. Dimanakah prajurit itu?" "Untuk apa kau mencarinya?" bertanya Puranti. "Pertanyaanmu aneh. Aku datang untuk membinasakan kalian" "Apakah kau tahu akibatnya?" Hantu yang muda itu tidak segera menyahut. "Kalau kau bunuh prajurit itu, maka apakah kau akan berani melawan kekuasaan Demak" Itu berarti bahwa kalian
124 telah memberontak, tidak sekedar melakukan kejahatan. Tetapi telah melakukan pengkhianatan" Sejenak Hantu yang muda itu terdiam. Namun kemudian ia berkata "Apapun yang kami lakukan, kami memang sudah berhadapan dengan kekuasaan Demak. Kami akui, bahwa pada suatu saat kami tidak akan dapat menghadapi sepasukan prajurit pilihan. Tetapi ada kelebihan kami dari prajurit pilihan itu. Kami dapat bersembunyi di goa-goa dan di padukuhanpadukuhan terpencil." "Tidak akan ada sejengkal tanahpun yang akan lolos dari pengamatan prajurit Demak" "Persetan. Aku tidak peduli, Menyerahlah. Mungkin aku mengambil keputusan lain karena kau seorang perempuan" "Akulah yang membunuh saudara tuamu" Hantu yang muda itu menggeram. Tiba-tiba dendamnya menyala di dadanya. Katanya "Ya. Aku akan membunuhmu" "Aku mengalahkan kakakmu. Sekarang kau akan melawan aku" Atau kau membawa seseorang yang kau sangka dapat mengalahkan aku ?" "Aku tidak mengelak. Aku datang bersama guruku" Puranti mengerutkan keningnya, lalu "Maaf, Aku belum mengenalnya. Orang itukah gurumu?" "Ya. Inilah guruku. Kau tidak akan dapat menengadahkan kepalamu lagi. Berlututlah, dan biarlah kami memutuskan, apakah yang akan kami lakukan atasmu" Dada Puranti berdesir, Tetapi untunglah bahwa ayahnya menyusulnya pula, sehingga ia tidak perlu cemas, meskipun Hantu Bertangan Api itu datang bersama gurunya. "Cepat" bentak Hantu itu "sebelum aku mengambil keputusan lain"
125 "Apakah kita akan bertempur dan disaksikan oleh gurumu" Apakah kau akan memperlihatkan bagaimana nasib kakakmu kepada gurumu?" "Jangan terlampau sombong ngger" suara itu serak dan dalam "aku sudah mendengar bahwa muridku yang tua telah terbunuh. Aku kagum mendengarnya, bahwa seorang perempuan telah dapat mengalahkan muridku yang tua, yang bertempur berpasangan dengan pembantunya yang terpercaya" "Jadi?" potong Puranti. "Terpaksa aku datang untuk menuntut kematian muridku itu. Kau akan menjadi orang yang berbahaya bagi duniaku, ngger cah ayu, dan terutama bagi muridku yang muda" Sebelum Puranti menjawab, ayahnyalah yang mendahuluinya menyahut "Kiai Sampar Angin, apakah tidak sebaiknya kita serahkan persoalan anak-anak itu kepada anakanak saja?" Pertanyaan itu benar-benar telah mengejutkan orang yang dipanggil Sampar Angin. Dicobanya untuk mengenal wajah orang yang berdiri dimuka pintu itu. Tetapi justru karena sinar pelita di dalam rumah, maka orang yang berdiri itu bagaikan bayangan hitam, yang nampak hanya sekedar sebuah bentuk tanpa lekuk dan relung diwajahnya. "Siapa kau" bertanya Kiai Sampar Angin. Kiai Pucang Tunggal tidak segera menjawab. Namun bahwa ia langsung dapat menyebut namanya, Purantipun menjadi heran pula karenanya. "Siapa kau?" bertanya Sampar Angin sekali lagi. "Apakah kau tidak mengenal aku lagi?" bertanya Pucang Tunggal "kita pernah menjadi kawan bermain dimasa muda, kita pernah berguru bersama-sama. Tetapi kemudian jalan
126 kita berpisah. Kau mendapatkan seorang guru lain yang kau anggap lebih sesuai dengan jiwa petualanganmu" "Kaukah anak dungu itu" Kaukah yang dahulu bernama Pandean anak Gajah Mungkur itu?" "Ya, ternyata kau masih ingat kepadaku. Bukankah kau juga berasal dari Gajah Mungkur?" "O" tiba-tiba wajah Kiai Sampar Angin menjadi suram. "Palaran" berkata Kiai Pucang Tunggal "sudah lama aku ingin menemuimu. Sudah lama aku mengenal jejakmu. Aku tahu bahwa selama ini kau tinggal dilereng Gunung Marapi dan menyebut dirimu Sampar Angin. Meskipun kau seakanakan terasing dikaki Gunung itu dilereng Selatan, namun aku masih berhasil menemukanmu" "Apakah maksudmu membayangi aku Pandean?" "Aku tidak pernah bermaksud mernbayangimu Palaran. Tetapi aku masih ingin berbuat sesuatu sebagai seorang sahabat." Sampar Angin yang juga bernama Palaran itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia bartanya "Jadi perempuan ini muridmu?" "Ya" "Kau memang aneh, apakah tidak ada laki-laki di dunia ini, sehingga kau mengambil perempuan menjadi muridmu?" "Selain muridku, ia adalah anakku" "O" Palaran terkejut " jadi perempuan itu anakmu " Dan siapakah laki-laki yang dikatakan oleh muridku, berhasil mengimbangi kemampuan muridku yang tua", tetapi tidak barhasil melawannya berpasangan" Apakah laki-laki itu suami anakmu?"
127 Pucang tunggal menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Bukan. Laki-laki itu adalah muridku" Sampar Angin mengangguk-anggukkan kepalanya. Katika Kiai Pucang Tunggal melangkah mendekatinya, hatinya menjadi berdebar-debar. "Kita bertemu dalam keadaan serupa ini" berkata Kiai Pucang Tunggal. "Ya. Murid-muridmulah yang telah membuat hubungan kita seakan-akan menjadi semakin jauh" sahut Sampar Angin "apakah kau tidak tahu bahwa murid-muridmu mengaja telah menyerang murid-muridku" Padahal kau tahu bahwa dengan demikian akan dapat menanamkan dendam di hati kita masing-masing" "Terpaksa sekali" sahut Pucang Tunggal "aku mempunyai pertimbangan tersendiri" Kiai Sampar Angin menundukkan kapalanya. Ada sesuatu yang terasa menggetarkan hatinya pada pertemuan yang tidak disangka-sangkanya itu Hantu Bertangan Api yang muda menjadi termangu-mang seperti juga Puranti. Mereka tidak menyangka, bahwa guru mereka ternyata telah saling kenal. "Guru" bertanya Hantu yang muda itu "jadi, apakah yang akan kita lakukan sekarang?" Kiai Sampar Angin menarik nafas dalam-dalam. "Apakah kita akan sekedar menanam dendam dihati kita dan membiarkan kematian kakang tidak berbalas?" Gurunya tidak segera menyahut. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya Kiai Pucang Tunggal memandanginya dengan tajamnya. Dan sebelum ia berkata sesuatu, Pucang Tunggal mendahuluinya "Sampai sekarang aku masih tetap berada di Gajah Mungkur. Memang aku pernah pergi meninggalkan tanah perbukitan itu untuk beberapa tahun,
128 tetapi setiap kali aku selalu kembali ke kampung halaman. Berbeda dengan kau, kau tidak pernah puiang. Kau berpindah dari satu tempat ketempat yang lain, sehingga beberapa tahun terakhir kau menetap dilereng Selatan Gunung Merapi. dan murid-muridmu mengambil tempat bersembunyi yang tidak jauh dari padepokanmu itu" "Guru" desak Hantu yang muda itu. Gurunya tidak menjawab. "Marilah kita berbicara" berkata Kiai Pucang Tunggal. "Jangan guru. Orang itu berusaha untuk melemahkan niat kita untuk membalas dendam kematian kakang. Jangan dibiarkan ia berbicara terlampau banyak. Kita bunuh saja mereka" Puranti mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. "Kita dapat duduk diatas batu-batu itu" barkata Kiai Pucang Tunggal. "Tidak. Kami tidak akan duduk" Hantu yang muda itulah yang menjawab "Kami akan menuntut kematian dengan kematian. Tetapi hantu yang muda itu terkejut. Ternyata gurunya menggelengkan kepalanya. Katanya "Tenanglah. Aku akan berbicara dengan orang ini" "Apakah yang akan guru bicarakan?" "Ada beberapa persoalan yang akan kita bicarakan." Terasa dada hantu yang muda itu bergetar. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Dadanya serasa meledak ketika ia melihat kedua orang tua-tua itu kemudian duduk. diatas sebuah. Batu yang besar yang terdapat dipinggir halaman itu, sedang Puranti berdiri di belakang ayahnya bersandar sebatang pohon. "Palaran" berkata Pucang Tunggal setelah mereka duduk sejenak "sudah lama sekali aku berusaha menemuimu
129 berhadapan seperti sekarang. Tetapi aku tidak pernah mendapat kesempatan, setiap kali aku datang ke padukuhan tempat tinggalmu, kau selalu tidak tida di rumah" Sampar Angin tidak menyahut. "Apakah kau mengerti kenapa aku berusaha mencarimu?" Sampar Angin menatap wajah Pandean sejenak. Kemudian tanpa disadarinya ia berpaling kepada muridnya. "Aku tahu siapakah sebenarnya murid-muridmu itu" Palaran menarik nafas dalam dalam. Namun kata-kata itu telah menggetarkan dada Hantu Bertangan Api yang muda itu. "Kenapa kau tidak mencegahnya sebelum terlambat" Dan bahkan tampaknya kau justru melindungi mereka?" bertanya Kiai Pucang Tunggal. Ki Sampar Angin tidak menjawab. "Sejak kanak-kanak kita memang hidup dalam kesulitan, kita adalah anak petani-petani miskin. Tetapi aku tidak jatuh kedalam cengkeraman serba benda seperti kau. Aku tidak jatuh menjadi budak badani seperti itu. Aku masih berusaha memelihara keseimbangan lahir dan batin" "Pandean" potong Sampar Angin "sudahlah. Kita sudah sama-sama tua. Kita sudah sama-sama mengenal yang buruk dan yang baik. Jangan menggurui aku seperti menggurui anak-anak" "Tetapi aku cemas melihat tingkah lakumu selama ini" "Jangan hiraukan aku Pandean. Aku senang dan bangga melihat kau tumbuh subur. Bahkan barangkali paling subur diantara anak-anak Gajah Mungkur. Apalagi kau menjadi seorang yang saleh dan suci. Tetapi, biarlah kita memilih jalan kita masing-masing" "Tentu tidak Palaran. Aku sama sekali bukan seorang yang saleh dan suci. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang suci.
130 Semua pasti tersentuh oleh kesalahan dan dosa. Demikian juga aku. Tetapi bukankah kita wenang untuk mencari jalan yang sebaik-baiknya" "Terima kasih. Kau memang seorang guru yang lengkap. Kau dapat menjadikan muridmu seorang yang perkasa, tetapi juga membuat mereka berhati lembut seperti nabi" "Jangan berlebih-lebihan Palaran" berkata Pandean "aku juga seorang yang tamak. Aku juga seorang yang kadangkadang dibayangi oleh harga diri yang berlebih-lebihan. Kalau aku seorang yang saleh dan suci, buat apa aku mempelajari olah kanuragan" Bahwa aku merasa perlu untuk mempelajarinya dan kemudian menurunkan ilmu itu kepada anak dan muridku, itu sudah selingkar noda didalam hidupku. Bahwa aku masih membayangkan bahwa pada suatu saat aku atau anak dan muridku, memerlukan suatu tindak kekarasan" Pucang Tunggal berhenti sejenak, lalu "Dan itu adalah dosa. Dosa dapat terjadi dalam perbuatan, tetapi juga sekedar didalam ucapan dan angan-angan, meskipun belum terungkapkan dalam perbuatan" Sampar Angin menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Sudahlah. Aku mengerti, Jangan kau sangka bahwa aku tidak dapat membedakan baik dan buruk. Jangan kau sangka aku tidak mengeiti, bahwa kelimpahan harta benda yang aku dapatkan dengan cara yang di tempuh oleh murid-muridku itu salah. Seperti kau dan kebanyakan orang, aku tahu. Aku mengerti dan bahkan aku yakin. Tetapi aku tidak kuasa menentang nafsu. Nafsu yang aku mengerti bahwa itu tidak baik" "Apakah untuk selama-lamanya kau sudah menganggap cukup dengan pengertianmu itu, tetapi jauh dari perbuatan yang nyata itu?" Sampan Angin mengerutkan keningnya. Tetapi sekali lagi ia berkata "Pandean. Aku kira setiap orang yang paling jahat sekalipun mengerti, mana yang baik dan mana yang tidak
131 baik. Tetapi kami, orang-orang yang disebut orang jahat, kadang-kadang tidak lagi menghiraukannya apa yang baik dan tidak baik itu. Kami tidak mempedulikannya lagi. Kami berani menanggung segala akibat dari perbuatan tidak baik itu. Seperti sekarang ini, meskpun harus ditebus dengan kematian. Dan bahkan kami masih datang untuk. membalas dendam" "Aku juga tahu" sahut Pandean "tetapi apakah tidak pernah terpikir olehmu, bahwa pada suatu saat, pertanggung-jawaban itu bukan sekedar pertanggungan jawab duniawi" "Sudahlah, sudahlah guru" potong Hantu yang muda "kita tidak sedang berguru ilmu kebatinan atau agama apapun juga. Kita datang untuk menuntut balas" "Duduklah" berkata Kiai Sampar Angin "cobalah menahan hati sedikit. Akupun sedang menjelaskan, bahwa aku dan kau dan semua orang yang berada di dalam pengaruh kita, tidak sedang berguru dalam ilmu saleh" "Tetapi kita tidak usah berbicara. Kita bunuh saja mereka. "Duduklah" "Aku tidak ingin duduk guru. Aku ingin, membunuh" "Baiklah" berkata Kiai Sampar Angin "kita memang datang untuk membunuh. Aku sudah kehilangan seorang murid terkasih. Aku harus berusaha mengobati sakit hati. Nah, Hantu Bertangan Api. Lawanlah perempuan itu, aku jakan berusaha membunuh gurunya" Tiba-tiba dada Hantu yang muda itu berdesir. Ia kenal ketinggian ilmu perempuan yang bernama Puranti itu. Ia telah melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana perempuan itu membunuh dua orang lawannya berturut-turut. Hantu Bertangan Api yang tua dan pembantunya yang paling dipercaya.
132 Karena itu, tawaran gurunya itu justru membuatnya terbungkam, sehinggga untuk sejenak ia tidak dapat menjawab. "Duduklah" tiba-tiba saja suara gurunya merendah "aku harus mengakui kenyataan ini dihadapan seorang sahabatku, meskipun kami berselisih jalan. Pandean adalah seorang guru yang pasti mumpuni. Ia dapat membentuk anak perempuannya menjadi seorang yang hampir tidak masuk akal didalam keadaannya yang wajar" Tiba-tiba Hantu itu membeku ditempatnya. Ia terlempar pada kenyataan yang tidak akan dapat dielakkannya lagi. "Palaran" berkata Kiai Pucang Tunggal "aku tahu, bahwa kau bukan anak-anak. Semua yang kau lakukan pasti bukan tidak beralasan dan pasti kau lambari dengan suatu keyakinan pula. Tetapi baiklah kau pikirkan sekali lagi. Apakah manfaatnya kau tetap pada pendirianmu. Kau sudah kehilangan seorang muridmu" Kiai Pucang Tunggal berbenti sejenak, lalu "Adalah suatu perbuatan yang aneh-aneh pula, bahwa kau menamai muridniu Hantu Bertangan Api. Kenapa tidak kau panggil saja namanya Suwela dan yang terbunuh itu bernama Subentar" Kiai Sampar Angin menarik nafas dalam-dalam. "Aku tahu. Selain mereka bermaksud menakut-nakuti lawan-lawannya dengan nama itu, merekapun berusaha lari dari keluarganya. Sebenarnya keluarganya bukan keluarga yang memungkinkan membuatnya seperti itu. Ibunya pasti selalu merindukan anak-anaknya sepanjang hidupnya. Dan anak-anaknya itu kini berkeliaran tidak menentu" "Sudahloh Pandean. Aku berterima kasih atas paringatanperigatanmu itu. Tetapi kau kurang bijaksana, Kau mengatakan hal itu dihadapan hidung orang itu sendiri. Dihadapan Suwela"
133 Kiai Pucang Tunggal tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah Hantu Bertangan Api yang muda itu sejenak. tampaklah wajah itu menjadi semakin tegang. Bahkan kemudian Hantu Bertangan Api itu menundukkan kepalanya. "Kiai Sampar Angin" berkata Kiai Pucang Tunggal "aku memang sengaja ingin menyentuh hatinya. Aku tahu sebenarnya siapakah Suwela itu. Aku tahu benar siapakah Ki Jagasanta, ayah anak-anak muda yang menyebut dirinya atau mungkin kaulah yang menerima Hantu Bertangan Api itu. Aku kenal pula ibunya, perempuan yang terlampau lembut itu" "Cukup, cukup" tiba-tiba Hantu Bertangan Api yang muda itu berteriak "jangan mencoba melemahkan hatiku dengan cerita khayalmu itu" "Apakah kau sempat mengingatnya" Atau membayangkan wajahnya" Seorang ibu yang berlinang air mata karena merindukan anaknya yang pergi dari sisinya" "Sudahlah" potong Sampar Angin "apakah sebenarnya maksudmu mengungkit hal itu?" "Kiai Sampar Angin" berkata Pucang Tunggal "jangan membiarkan kedua anak Ki Jagasanta itu mengalami nasib yang sama. Aku mengharap bahwa masih ada kesempatan baginya untuk kembali kepada ibunya" "Diam, diam" bentak Hantu Bertangan Api. Dan sebelum Pucang Tunggal menyahut, Sampar Angin telah mendahuluinya "Sudahlah Pandean. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Tetapi bukan itu tujuan kedatanganku. Aku memang ingin membalas dendam. Namun demikian, tidak ada gunanya aku berbuat sesuatu. Meskipun aku belum tahu betapa jauh kau mencapai tingkat kesempurnaan ilmumu, tetapi baiklah aku mengakui bahwa menghadapi kau dan anakmu, kami memang belum siap. Itulah sebabnya setelah aku melihatmu ada disini pula, aku sama sekali tidak berminat lagi untuk berkelahi. Yang pasti,
Maut Dari Hutan Rangkong 2 Pendekar Naga Putih 104 Perantauan Ke Tanah India Pendekar Misterius 7
70 "Siapakah yang akan turun dari atas tebing tepat diatas goa itu?" ' "Pemimpin kita. Prajurit itu bersama anak muda yang bernama Pikatan." Puranti mengerutkan keningnya. Kini ia tahu, orang-orang itu adalah sekelompok calon prajurit yang datang bersama kakaknya dari Demak. Ternyata ia berhasil mendahului mereka, yang agaknya baru saja tiba. Namun mereka telah membagi diri dan mengepung Goa Pabelan dari beberapa jurusan. "Pasti ada yang datang dari arah yang lain disepanjang sungai ini " berkata Puranti didalam hatinya " kemudian ada yang datang dari hadapan goa itu, selebihnya akan turun dari alas tebing, langsung kemulut goa. Dan orang itu adalah Pikatan bersama pemimpin mereka." Dalam pada itu orang2 itu berbisik diantara mereka seterusmya "Anak muda yang bernama Pikatan itu memang mempunyai beberapa kelebihan dari kita. Sebenarnya ia tidak memerlukan pendadaran lagi. Kalau ia mengalami cidera didalam pendadaran semacam ini, sayang sekah." "Peraturan yang berlaku itu harus dilaksanakan. Semua orang yang ingin menjadi seorang prajurit memang harus melalui pendadaran, supaya prajurit Demak benar2 merupakan prajurit pilihan." "Seperti kita?" desis yang lain. Ketiganya tertawa. Tetapi suaranya segera tertahan ketika salah seorang dari mereka berkata "Kita berada dimulut buaya. Jangan lengah. Kita menunggu isyarat." "Tidak malam ini. Tetapi besok, apabila fajar telah menyingsing."
71 "Tetapi siapa tahu, salah seorang penghuni goa ini melihat kehadiran kita. Bukankah jika demikian, menurut prajurit itu. kita harus segera melakukan serangan tanpa menunggu besok apabila fajar menyingsing ?" "Itu akan lebih baik. Kita akan segera bertempur, sehingga kita tidak terlalu lama disiksa oleh kegelisahan menunggu." Tidak ada jawaban. Namun kawannya yang lain kemudian berkata " Kita menunggu disini. Aku akan berbaring diatas batu ini." "Jangan diatas batu. Kau akan segera terlihat oleh seseorang. Kalau kau ingin berbaring, berbaringlah diatas batu2 kerikil itu." "O" dan orang itu tidak menunggu lagi. Per-lahan2 ia melangkah menepi. Kemudian ia membaringkan dirinya diatas batu-batu kerikil yang berserakan meskipun agak basah. "Kita menunggu perkembangan " desisnya. Kawannya, kemudian mendekatinya. Merekapun kemudian duduk pula diatas kerikil2 itu. Namun salah seorang dari mereka berkata "Tetapi jangan lengah. Kita harus bertempur, bukan menyerahkan leher kita untuk dipancung." Yang lain terdiam. Tetapi yang dua orang diantara mereka tetap duduk sambil meagawasi keadaan. "He" berkata salah seorang dari mereka "kau akan benar2 tertidur." "Aku memang akan tidur" "Kalau terjadi sesualu, kau akan terkejut." "Bangunkan aku." "Kalau kami tidak sempat?" "Aku akan bungun sendiri."
72 Puranti yang mendengar pembicaraan itu mengangkat alisnya. Ada juga calon prajurit yang begitu "tenang menghadapi tugas yang berbahaya. Ia masih juga sempat memikirkan untuk tidur sejenak. Ketika Puranti menjenguk mereka sekali lagi, ia melihat yang dua diantara mereka. selain yang berbaring, kini telah duduk bersandar batu. Agaknya merekapun merasa lelah dan ngantuk. Tetapi mereka berusaha untuk tidak tertidur karena mereka telah berada dilingkungan Goa Pabelan. Purantilah yang kemudian menjadi kebingungan. Apakah ia akan tetap berada di dasar jurang itu dan menyaksikan pertempuran yang akan terjadi dari dekat" Tetapi jika dengan demikian Pikatan melihatnya, maka hal itu pasti akan mempengaruhinya. Mungkin ia tidak dapat memusatkan pikirannya pada lawan yang sedang dihadapinya. Apalagi apabila satu dua orang penghuni goa itu melihatnya dan menyerangnya. "Aku akan menjadi penonton " katanya "aku tidak mau mengganggu Pikatan. sehingga ia lebih memikirkan aku daripada tugasnya. Meskipun ia belum seorang prajurit, tetapi ia sedang mengemban tugas negara yang tidak dapat dikesampingkan untuk melakukan pekerjaan lain. Melindungi aku misalnya." Karena itu, maka Puranti memutuskan untuk kembali keatas bukit padas putih ke-hitam2an itu. Ia akan kembali memanjat pohon benda itu, dan akan melihat apa yang terjadi besok dari sebatang dahan yang besar pada pohon itu. Per-lahan2 Puranti beringsut dari tempatnya. Dan hati2 ia memanjat tebing beberapa langkah dari orang2 yang sedang beristirahat itu. Puranti berusaha agar orang2 itu tidak dapat melihatnya. Karena itu. ia merayap dibalik bebatuan dan pohon2 perdu yang tumbuh di tebing sungai.
73 Gadis yang kemudian berhasil bertengger lagi diatas sebatang dahan pohon benda di bukit kecil itupun menarik nafas dalam2. Ia merasa lapang ketika ia sudah berada kembali ditempatnya bersembunyi. Kini ia tinggal menunggu apa yang akan terjadi. Dari tempatnya ia akan menyaksikan suatu perkelahian yang pasti sangat seru. Namun demikian, ia masih juga selalu dirayapi oleh kebimbangan. Ia tahu betapa berbahayanya penghuni Goa Pabelan itu. Meskipun ia tahu pula, bahwa Pikatan mempunyai cukup bekal untuk menghadapi orang2 di Goa Pabelan, tetapi apabila kawan2-nya tidak memiliki kemampuan yang seimbang, maka Purantilah yang akan memikul sebagian besar dari tugas itu. "Sedikitnya harus ada dua orang yang berilmu cukup diantara mereka. Yang seorang kakang Pikatan, dan mudah2an yang seorang prajurit yang memimpin kelompok kecil itu." berkata Puranti kemudian kepada dirinya sendiri. Namun kemudian "Tetapi masih ada seorang lagi. Jangkung yang timpang tu." Puranti mencoba untuk menyisihkan kegelisahannya. Ia masih mempunyai waktu untuk beristirahat. "Mudah2an pertempuran itu terjadi besok. Kalau karena sesuatu hal mereka bertempur malam ini, aku terpaksa mendekati mereka." Tetapi hampir semalam tidak terjadi sesuatu. Meskipun Puranti kadang2 terlena juga diatas dahan benda tua itu. namun seandainya terjadi sesuatu, ia pasti juga mendengar isyarat2 yang terlontar dari keduabelah pihak. Dada gadis itu menjadi ber-debar2 ketika dilihatnya warna merah. sudah membayang. Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Dengan demikian, didasar sungai yang sepi itu akan segera berkobar pertempuran yang seru.
74 "Ternyata orang2 Goa Pabelan tidak keluar dari goa mereka semalam, setelah mereka gagal menemukan orang yang meninggalkan jejak." Berkata Puranti kepada diri sendiri. Sebenarnyalah bahwa orang2 goa Pabelan tidak berusaha mencari terus. Mereka menyangka bahwa jejak kaki yang hanya seorang itu, pasti tidak akan mempunyai akibat yang berat bagi mereka. Meskipun demikian, orang di Goa Pabelan itu tidak lengah. Mereka menempatkan beberapa orang untuk ber-jaga2 diluar goa, sehingga apabila ada orang2 yang mendekati goa itu, mereka akan dapat melihatnya dan memberikan isyarat kepada mereka yang ada didalam. Dengan demikian, mereka yang ada di dalam goa itu, tidak akan mengalami bencana karena mereka tidak sempat keluar dari goanya. Dalam pada itu, bintang2 di langit bergeser terus kebarat. Dan cahaya merah di Timur menjadi semakin jelas. Meskipun Puranti bukan termasuk mereka yang akan menangkap penjahat2 yang bersembunyi di Goa Pabelan itu, namun iapun membenahi pakaiannya. Sambil bertenggoi diatas dahan, ia berdiri. Dikeraskannya ikat pinggang kulitnya yang khusus dibuat oleh ayahnya untukpya. Dibetulkannya rambutnya yang disanggulnya tinggi2, agar apabila terjadi sesuatu, rambulnya tidak terurai dan mengganggunya. Bahkan kemudian ditariknya pedangnya. Di-amat2inya, se-olah2 ia ingin meyakinkan, apakah pedang itu sudah siap pula untuk bertempur apabila dlperlukan. Terasa debar jantungnya menjadi semakin eepat. Se-akan2 ia ikut serta berada diambang pintu Goa Pabelan. Lambat laun, matanya yang tajam berhasil menembus kere-gan fajar, yang semakin lama justru menjadi semakin terang,
75 Batu2 yang berserakan sudah mulai tampak, dan dedaunan yang hijau ditanggul sungaipun menjadi semakin jelas. Terbayang dirongga mata Puranti, disaat itu, Pikatan dan kawan-kawannya sedang merayap mendekati mulut Goa Pabelan yang masih belum dapat dilihatnya karena kabut yang tipis didalam jurang curam itu. Dada Puranti berdesir ketika tiba2 saja ia mendengar teriakan nyaring. Bukan oleh dari orang2 yang datang dari Demak, tetapi justru suara orang yang menghuni Goa Pabelan itu sendiri. "Awas, kita terkepung." "He " suara itu menggema menyelusuri jurang. "Kita terkepung. Bersiaplah menghadapi orang2 yang menghantar nyawanya ini." Puranti masih berdiri diatas dahan. Ketika kabut yang tipis Itu mulai menguak, maka per-lahan2 seperti tersembul dari balik tabir yang putih, ia mulai melihat sebuah lubang goa di tebing yang curam itu "Itulah Goa Pabelan." desisnya. Meskipun belum begitu jelas, tetapi Puranti melihat beberapa orang ber-lari2an keluar dari goa itu dengan senjata ditangan masing-masing. "Hem" Puranti menarik nafas dalam2 "agaknya ada seseorang yang lebih dahulu melihat kehadiran calon2 prajurit dari Demak itu." Ternyata baru sejenak kemudian Puranti mendengar isyarat yang diperdengarkan oleh calon2 prajurit itu. Seperti suara seruling yang melengking tinggi. Sejenak kemudian suara itu disahut oleh suara sending yang lain dalam nada yang panjang dan datar
76 "Mereka akan segera mulai" desis Puranti Kini Puranti berdiri tegak diatas sebatang dahan yang besar bersandar batang benda itu. Dari tempatnya ia dapat melibat dengan jelas, apa yang akan terjadi di depan mulut Goa Pabelan, bahkan apa yang akan terjadi didasar jurang disekitar goa itu. Sambil menyilangkan tangan di dadanya, Puranti memandang keadaan yang terhampar disekelilingnya. Gumuk2 kecil. pasir dan batu. Gerumbul2 liar dipinggir jurang dan mulut goa yang disebut Goa Pabelan. Jantungnya menjadi semakin cepat mengalir ketika ia melihat. dari beberapa arah, calon2 prajurit Demak ber-lari2an mendekati mulut goa itu, yang sejenak kemudian kedua belah pihak sudah saling bertemu dan bertempur diantara bebatuan didasar jurang. Puranti mengerutkan keningnya ketika ia melihat jumlah yang kurang sepadan. Justru calon prajurit dari Demak itu masih belum genap sepuluh orang. Tiga orang dari samping kanan, tiga dari kiri dan tiga lagi dari depan. Mereka se-akan2 meluncur saja turun pada tebing yang curam itu. Namun sejenak kemudian Puranti menarik nafas dalam2. Dilihatnya seutas tali terjulur tepat diatas goa itu. Kemudian beberapa orang meluncur turun langsung berdiri dimuka mulut goa yang berada ditebing sungai. Diantara mereka adalah seorang, yang mengenakan pakaian seorang prajurit, dan yang lain, meskipun dari kejauhan, Puranti yakin, bahwa ia adalah Pikatan. Dengan demikian Puranti mengetahui, bahwa inti dari pasukan kecil itu adalah mereka yang turun langsung kemulut Goa Pabelan. Dalam pada itu, ketika mereka sudah berada dimulut goa, merekapun segera harus memilih lawan. Beberapa orang
77 calon prajurit yang lain harus bertempur melawan penghuni goa itu, yang segera menyerang mereka. Diantara penghuni goa yang kemudian menghadapi para penyerangnya adalah dua orang kakak beradik. Keduanya itulah yang disebut hantu bertangan api. Ternyata prajurit yang memimpin pasukan kecil itulah yang mendapat tugas untuk menghadapi salah seorang dari keduanya, sedang yang lain, diserahkan kepada calon prajurit yang mendapat kepercayaan tertinggi. Orang itu adalah Pikatan. Sejenak kemudian lembah sungai yang curam itu telah digetarkan oleh suara tertawa hantu bertangan api itu. Yang tertua diantara mereka berdiri bertolak pinggang menghadapi Pikatan yang datang mendekalinya. "He, anak dungu. Siapakah yang menyuruh kalian datang kemari?" Pikatan tidak segera menjawab. Dipandanginya hantu itu dari ujung kepala sampai keujung kakinya. Ternyata orang itu sama sekali tidak seperti yang dibayangkan. Hantu bertangan api itu sama sekali tidak seperti hantu. Wajahnya bersih dan matanya terang. Rambutnya terpelihara rapi. Agaknya ia tidak sempat mempergunakan ikat kepalanya, sehingga ikat kepalanya itu hanya dilingkarkan saja dilehernya. Tetapi seperti kata orang, hantu itu memang bertubuh tinggi kekar. Berbulu lebat di dadanya yang terbuka. "Kenapa kau datang kemari bersama prajurit itu?" bertanya hantu itu pula. Pikatan tidak segera menyahut pertanyaan itu. Bahkan ia bertanya "Kaukah yang disebut hantu bertangan api?" Orang itu tersenyum. Jawabnya "Ya. Akulah yang sering disebut orang Hantu bertangan api. Tetapi sudah tentu hanya orang yang tidak waras sajalah yang menyebutnya demikian.
78 Tanganku tidak ada bedanya dengan tanganmu, dengan tangan setiap orang." Pikatan mengerutkan keningnya. Ketika ia mencoba memandang kawan2nya, sebagian terbesar dari mereka telah terlibat didalam perkelahian. "Siapakah sebenarnya namamu ?" bertanya Pikatan. "Aku tidak ingin menyebutkan namaku yang sebenarnya. Ibuku sampai saat ini masih hidup. Aku lari daripadanya beberapa puluh tahun yang lalu. Kalau ia mendengar namaku, dan apalagi mengetahui bahwa akulah yang memimpin perampok di Goa Pabelan bersama adikku, alangkah menderitanya hati orang tua itu. Karena itu, sebut saja aku dengan nama apa saja yang kau sukai. Gendon, Entung atau Setan Alas atau apa saja. Aku juga tidak berkeberatan kau memanggilku Hantu bertangan api, meskipun itu menggelikan sekali, se-olah2 tanganku mempunyai nilai lain dari kebanyakan tangan manusia." Pikatan tercengang sejenak. Ternyata penjahat berwajah bersih ini dapat juga bersikap rendah hati. "Siapakah yang mengirimkan kalian kemari?" bertanya Hantu bertangan api itu kemudian. "Aku datang atas kehendakku sendiri. Aku ingin menangkap kau dan anak buahmu. Tetapi menilik sikapmu, kau dapat juga diajak berbicara dengan baik. Apakah kau pernah mempertimbangkan untuk menghentikan kugiatan ini ?" Hantu bertangan api yang tua itu menggeleng "Tidak" katanya. Pikatan menarik nafas dalam2. Kemudian katanya sambil berpaling "Lihat, semuanya sudah mulai bertempur Menilik perhitunganku, ada kelebihan sedikii dipihakku"
79 "Kelebihan jumlah tidak berpengaruh" jawab pimpinan penjahat itu. "Cobalah berpikir, apakah gunanya kau merampok, merampas kekayaan dan menimbunnya disini", kau tidak pernah sempat mempergunakannya. Kau tidak pernah menikmati arti hidup yang sebenarnya dan nilai barang2 hasil rampokanmu itu, kau selalu gelisah dan cemas setiap saat" Tetapi hantu itu tertawa "Kau salah, aku dapat mempergunakan harta benda itu untuk kepentinganku dan anak buahku. Setiap kali bergiliran mempergunakannya kekota. Apakah kau sangka aku selalu bersembunyi di goa ini?" "Tetapi kau selalu dibayangi oleh kecernasan. Sebenarnya kau dapat memilih dunia yang Iain. Kau pasti pernah mendengar bahwa armada Demak pernah. dikirim untuk mengusir orang2 asing yang mulai menyentuh perairan kita" Kenapa kau tidak berminat untuk menyertainya sebagai seorang prajurit. Atau apa yang kini sedang dilakukan oleh Demak. Mengikat kesatuan yang tampak mulai retak karena beberapa pihak yang mementingikan diri sendiri. Dalam keadaan itu kau masih juga ikut menggaaggu ketenangan dan ketentraman negeri yang sama2 kita bangun untuk kepentingan bersama ini." Tetapi Hantu bertangan api itu justru tertawa sedemikian keras Katanya "Kau memang bodoh anak muda. Kau sangka bahwa nasihatmu itu bermanfaat" namun tiba2 wajah Hantu itu menjadi tegang, "Jangan kau ulangi. Kata2mu sangat menyakiti hatiku. Aku tidak mau mendengarnya lagi. Aku adalah seorang penjahat. Aku seorang perampok. Dan itu aku sadari." Pikatan mengerutkan keningnya. Justru ia melihat didalam sudut hati Hantu itu yang paling dalam tersembunyi suatu pengakuan. Maka katanya "Kau silau melihat tingkah lakumu sendiri. Kau segan berkisar dari jalan yang sudah terlanjur kau
80 tempuh, meskipun sebenarnya kau melihat noda yang melekat didalam dirimu sendiri. Apalagi, apakah kau tidak pernah merindukan ibumu yang dimasa kecilmu mengasuhmu, memeliharamu." "Cukup, cukup." Hantu itu menggeram. Lalu " Lihat, pertempuran menjadi bertambah sengit. Kau jangan banyak berbicara. Adikku yang juga disebut Hantu bertangan api sudah bertempur melawan prajurit itu. Sekarang bagaimana dengan kau?" "Bagiku sudah jelas. Akulah yang bertanya kepadamu, bagaimana kau?" "Tutup mulutmu" Hantu bertangan api itu berteriak. Ber bareng dengan itu, tanpa ancang2 hantu itu mulai menyerang Pikatan. Tetapi Pikatan memang sudah siap menghadapi setiap kemungkinan, sehingga karena itu, maka iapun dengan cepatnya menghindari serangan yang pertama itu. Sambil meloncat kesamping ia berputar setengah lingkaran. Demikian Hantu itu meluncur disampingnya, Pikatanpun dengan tangkasnya telah melontarkan kakinya kelambung lawannya. Tetapi hantu itu benar2 mampu bergerak cepat. Ia masih sempat menggeliat sambil memukul kaki Pikatan kesamping. Namun Pikatan segera menarik serangannya. Dengan cepatnya ia meloncat maju. Tangannya terjulur lurus keleher Hantu bertangan api. Serangan itu benar2 mengejutkan. Pikatan ternyata mampu bergerak demikian cepatnya. Sekali lagi Hantu itu tidak dapat menghindari sepenuhnya. Dengan tangannya sekali lagi ia mencoba menangkis serangan Pikatan. Tetapi sekali lagi Pikatanpun menarik tangangannya sebelum tangan Hantu itu menyentuhnya. Ia sadar bahwa kekuatan Hantu itu se-akan terpusat ditangannya, sehingga orang menyebutnya bertangan api
81 Demikianlah, maka Pikatan dan orang disebut Hantu bertangan api itu bertempur semakin seru. Di halaman yang sempit itu pula prajurit yang memimpin sedang pasukan kecil itu sedang bertempur pula melawan hantu yang muda. Dibawah, didasar jurang itu, diantara bebatuan dan di tengah-tengah sungai yang mengalir gemerieik diatas batubatu kerikil, beberapa anak buah Hantu bertangan api itu bertempur melawan para prajurit yang sedang mengalami pendadaran. Pendadaran yang cukup berat. Mereka harus benar2 harus bertempur mempertahankan nyawa. Kalau gagal, maka merekapun akan akan benar-benar mati terbunuh sebelum mereka dapat diterima menjadi seoran prajurit. Tetapi jumlah yang lebih besar agaknya telah memperingan tugas mereka. Dua orang bersama-sama menghasapi perampok tingi jangkung yang timpang itu. Namun ternyata, orang itupun memilki kemampuan yang tinggi, sehingga meskipun ia harus melawan dua orang sekaligus, namun ia masih juga dapat tertawa, sambil membusungkan dadanya ia berkata "Kenapa kalian tersesat kemari anak-anak manis. Sayang, bahwa kau tidak akan dapat keluar dari lembah ini bersama dengan tubuhmu." Tidak ada yang sempat menjawab, kedua lawannya bertempur dengan gigihnya. Ditempat yang lain, pertempuran terjadi dengan sengitnya. Satu dua orang calon prajurit Demak yang tidak mendapat lawan, segera bergabung dengan kawan-kawannya yang lemah. Demikian pula yang mereka lakukan saat itu. Tidak seorangpun dari calon prajurit itu yang tidak terkejut menghadapi kawanan para perampok sedemikian kasarnya, sedemikian liar. Sambil bertempur mereka ber-teriak2, mengumpat2 dengan kata-kata yang kasar, liar dan kotor. Sementara senjata mereka berputaran mengerikan.
82 Jenis2 senjata para perampok itupun sangat membingungkan, Ada yang bersenjata pedang, golok panjang, parang dan senjata yang sering dijumpai oleh calon2 prajurit itu. Tetapi ada diantaranya yang mempergunakan senjata2 yang aneh. Bola besi berantai besi yang panjang dan berujung runcing seperti pisau terkait seperti duri pandan. Sepasang bindi berduri dan yang lebih membingungkan adalah pisau2 kecil yang mereka lontarkan dari jarak yang belum terjangkau oleh senjata2 jarak pendek. --ooo0dw0ooo-
Jilid 02 DALAM pada itu, pemimpin mereka, prajurit itu, sedang bertempur mati2an melawan Hantu bertangan api yang muda, sedang Pikatan, seorang anak muda yang memiliki ilmu yang paling menonjol diantara calon prajurit itu, harus bertempur melawan Hantu yang tua, sehingga mereka berdua seolaholah sudah terikat dengan lawan masing2, Meskipun mereka melihat kelemahan calon2 prajurit yang lain, tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Puranti yang masih berada diatas sebatang pohon benda, menyaksikan pertempuran itu dengan dada yang ber-debar2. Ia sama sekaii tidak. menduga, bahwa penjahat yang bersarang di Goa Pabelan itu mempunyai kekuatan yang demikian besar. Jumlah mereka tidak hanya sepuluh orang seperti yang diperkirakan, tetapi lebih dari itu. Prajurit Demak yang membawa lima belas anak buah itu, ternyata tidak banyak yang berdiri bebas.
83 "Satu, dua, tiga" Puranti menghitung calon2 prajurit yang berkesempatan bertempur berpasangan" Hanya tiga. Dengan demikian, maka jumlah perampok itu pasti tiga belas" Dengan gelisahnya Puranti menyaksikan pertempuran itu. Sebenarayalah bahwa pendadaran itu agak terlampau berat bagi para calon prajurit, meskipun mereka yang sampai pada pendadaran terakihir itu pastilah orang2 pilihan, apalagi mereka telah mendapat beberapa petunjuk dan latihan keprajuritan. Mereka sudah mendapat latihan, bagaimana mereka bertempur didalam ikatan kesatuan selain peningkatan kemampuan seorang demi seorang. Namun demikian, ternyata bahwa di dalam pertempuran itu, calon2 prajurit Demak itu rnengalami beberapa kesulitan Prajurit yang memimpin pasukan kecil itupun menjadi cemas Ternyata petunjuk tentang gerombolan yang sampai di Demak agak meleset dari kenyataan. Menurut petunjuk yang diterima, anak buah Hantu bertangan api itu beserta para pemimpinnya tidak lebih dari sepuluh orang. Bahkan kadang2 kurang, karena tidak seluruhnya selalu berada di goa itu. Namun kini ternyata jumlah mereka lebih banyak dari itu, sehingga prajurit itu mengakui, bahwa pendadaran itu agak terlampau berat dan berbahaya. Dalam pada itu, matahari merayap semakin tinggi dikaki langit sebelah Timur. Sinarnya mulai terasa menggigit kulit. Namun mereka yang berkelahi iu sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Mereka sedang bergulat diantara hidup dan mati. Ujung2 senjata mereka yang. ber-kilat2 berbenturan, dan bahkan satu dua diantara mereka, telah, menitikkan darah dari kulitnya. Penjahat2 itupun kemudian bertempur semakin garang dan buas. Mereka berteriak2 semakin keras memekakkan lelinga. Mereka meng-umpat2 semakin kotor dan kasar, seperti tata gerak mereka yang menjadi semakin kasar pula.
84 Ketika matahari sudah berada diujung pepohonan, Puranti melihat, bahwa satu dua dari calon prajurit yang bertempur itu merasa mulai susut tenaganya. Hati merekapun menjadi semakis kecil. Apalagi mereka yang sudah mulai tergores oleh ujung senjata. Beberapa orang dari mereka mulai berpikir "Apakah aku harus mati sebelum aku menjadi seorang prajurit?" Ternyata pikiran itu telah menyusutkan gairah mereka. bertempur melawan penjahat2 itu, sehingga dengan demikian justru mereka menjadi semakin terdesak. Tetapi selain mereka yang berhati kerdil, ada juga beberapa calon prajurit yang menggeretakkan giginya sambil berkata kepada diri sendiri. "Ternyata mereka memang penjahat2 yang buas. Mereka harus dimusnahkan," Dan mereka yang berpendirian demikian, tidak memikirkan lagi, apakah dirinya sudah menjadi prajurit atau belum, namun sudah menjadi kewajiban setiap orang beradab untuk ikut serta melenyapkan kejahatan. Pemimpin pasukan kecil itupun bertempur dengan dahsyatnya pula, ternyata Hantu bertangan api yang mudapun memiliki kemampuan yang tidak berbeda dengan kakaknya. Hantu bertangan api itu benar2 dapat menggetarkan hati prajurit Demak yang memimpin pasukan itu, Tetapi Pikatan yang bukan saja mendapat pengetahuan keprajuritan, namun juga ilmu yang cukup matang, mampu bertahan dari serangan2 Hantu bertangan api yang tua. Ilmu yang dituntutnya selama beberapa tahun dipadepokan terpeneil itu ternyata kini besar sekali artinya baginya. Selain sebagai bekal untuk menjadi seorang prajurit, ilmu itupun mampu melindungi jiwanya dari tangan api penghuni Goa Pabelan itu. Lambat laun namun pasti, Pikatan berhasil mendesak lawannya. Hantu bertangan api yang selama petualangannya
85 tidak pernah terkalahkan, tiba2 ia mendapat lawan yang tidak diduganya. Jangankan sekelompok anak2 seperti yang datang dimulut goanya, sedangkan;beberapa orang pengawal Kademangan disekitar goa itu pun tidak ada yang mampu menangkapnya. Ternyata ilmu yang diterimanya dari Kiai Pucang Tunggal berhasil melampaui ketajaman ilmu Hantu penghuni Goa Pabelan itu. Ilmu yang ditekuni tanpa mengenal waktu selama beberapa tahun itu kini telah terbukti kemampuannya. Namun dalam pada itu, tidak semua kawan2nya mampu bertahan. Tidak semua calon prajurit itu mempunyai tekad yang mantap. Ternyata ketika maut membayang, ada juga diantara mereka yang kehilangan segala macam cita2nya yang pernah disusunnya melambung setinggi awan dilangit. Pemimpin pasukan yang bertempur melawan Hantu yang muda. itu agaknya melihat, beberapa anak buahnya mulai terdesak terus. Karena itu, maka iapun segera berteriak "He anak2. Jangan hiraukan kekasaran lawanmu. Mereka sekedar menutupi kekurangan mereka. Mereka bertempur tidak dengan kemampuan ilmu mereka, tetapi sekedar berteriak2 memekakkan teiinga. Kalau kalian terpengaruh oleh teriakan2 kasar itu, maka kalian akan menjadi korban yang per-tama2" Teriakan prajurit itu ternyata telah membangkitkan gairah di hati beberapa orang yang mulai ragu2. Namun demikian masih ada juga yang hatinya justru menjadi semakin kecil. "Kalian adalah prajurit2" teriak prajurit itu seanjutnya "setidak2nya kalian harus berjiwa prajurit. Kalian menjadi harapan setiap orang untuk mendapatkan perlindungan. Kalau. kalian berlhali sekecil menir, maka apakah yang dapat diharapkan dari kalian oleh rakyat yang ketakutan?" Prajurit itu terdiam karena lawannya tiba2 mendesaknya. Selangkah ia, meloncat surut, namun kemudian ia segera
86 berhasil memperbaiki kedudukannya, sehingga perkelahian itu menjadi seimbang pula. Pikatan yang mendapat lebih banyak kesempatan dari prajurit itupun kemudian menyambung dengan suara lantang, se-akan2 menggema didaerah pebukitan itu "Kesempatan ini adalah kesempatan yang per-tama2, kita dapat untuk menunjukkan kesetiaan kita kepada rakyat yang telah menerima, kehadiran kita diantara mereka. Kesetiaan kita kepada Demak yang besar dan kesetiaan kita kepada kasih diantara sesama. Disinilah kesempatan untuk berkorban bagi kesejahteraan rakyat, itu kita dapatkan. Karena itu, kita harus menghancurkan penjahat2 di Goa Pabelan ini" "Omong kosong " Hantu bertangan api yang tua itu berteriak " Pikatan tidak menghiraukannya. Tetapi ia berkata terus "Marilah kita selamatkan rakyat kita dari kejahatan" "Diam, diam" teriak Hantu, bertangan api itu. "Kau takut mendengarnya?" bertanya Pikatan. Hantu itu tidak. menjawab. Tetapi ia menyerang semakin garang. Dalam pada itu Puranti yang masih berdiri diatas sebatang dahan dipohon benda menjadi semakin berdebar2. la mendengar lamat2, suara Pikatan yang menggema se-akan2 menyelusur setiap lekuk pebukitan, "Hem" ia menarik nafas dalam2. Tetapi ia semakin lama menjadi semakin cemas. Betapapun juga, namun calon2 prajurit yang masih muda itu menjadi ragu2 juga untuk bertempur terus. "Memang terlampau berat" desis Puranti. Tiba2 wajahnya menegang ketika ia melihat perubahan yang terjadi diarena. Ternyata penjahat2 itu tidak begitu
87 menghiraukan lagi calon2 prajurit yang lain, sehingga salah seorang dari mereka telah menyerahkan lawannya kepada kawannya. Meskipun kawannya, harus berkelahi melawan dua orang calon prajurit sekaligus, namun agaknya kemampuan dan kekasarannya masih dapat dibanggakan. Ternyata orang yang jangkung dan timpang, namun dapat bergerak secepat burung sikatan itu mengambil keputusan lain. Ia tidak mau lagi berkelahi melawan calon2 prajurit yang tidak banyak mempunyai pengaruh didalam perkelahian itu. Bahkan dengan mudahnya ia berhasil melukai seorang diantara mereka. Namun agaknya ia mempunyai perhitungan, bahwa apabila orang2. yang penting dari kelompok; anak2 muda yang telah berani menyerang goa mereka itu dibinasakan, maka yang lain pasti akan segera dapat mereka kuasai. Sejenak orang yang jangkung itu memandang dua lingkaran perkelahian yang terjadi. Yang sepesang adalah Hantu bertangan api yang muda melawan seorang prajurit, sedang yang lain. Hantu yang tua melawan seorang anak muda yang perkasa. Orang jangkung itu menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menilai perkelahian itu sejenak. Ternyata Hantu. yang muda itu masih mampu mengimbangi lawannya. Tetapi agaknya Hantu yang tua semakin lama menjadi semakin terdesak oleh lawannya. "Setan manakah yang sudah merasuk kedalam anak muda itu" geram orang yang jangkung itu. Perlahan-lahan ia maju mendekati perkielahian itu. Kemudian dengan lantangnya ia berteriak "Aku akan ikut membinasakan anak itu. Barulah yang lain akan mendapat giliran" Sebenarnyalah didalam keadaan yang wajar, Hantu bertangan api itu sama sekali tidak senang berkelahi
88 berpasangan. Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa lawannya kali ini adalah seorang anak muda yang perkasa. Itulah sebabnya maka ia tidak menolak meskipun ia tidak menjawab. Orang jangkung itu melangkah semakin dekat. Sekali ia berpaling untuk melihat arena yang ditinggalkannya. Namun agaknya anak buahnya berhasil bertahan. Bahkan dengan kasarnya mereka sekali-sekali dapat mendesak calon-calon prajurit yang masih terlampau hijau untuk terjun didalam pertempuran yang liar serupa itu. Orang jangkung itu tertawa. Kemudian sekali lagi ia berteriak "Lawanmu adalah anak-anak ingusan. Hancurkan mereka, mereka tidak akan banyak memberikan perlawanan" Tetapi diantara calon-calon prajurit itu ada juga yang berhati baja. Meskipun beberapa orang kawannya terdesak mundur, namun anak-anak muda yang sudah bertekad menyerahkan dirinya kedalam suatu pengabdian, sebagai prajurit atau bukan, sama sekali tidak gentar. Bahkan satu dua diantara mereka telah kehilangan pengamatan diri, sehingga untuk melawan orang-orang yang kasar itu, merekapun telah menjadi, kasar pula. Namuri pengalaman yang jauh berbeda, mengakibatkan perkelahian itu kemudian menjadi berat sebelah. Calon-calon prajurit itu semakin lama benar-benar menjadi semakin terdesak. Beberapa orang telah terluka, meskipun mereka berhasil melukai lawan-lawan mereka pula. Dengan demikian maka darah sudah mulai menitik diatas pasir tepian. Bahkan telah memerahi air yang memercik disela-sela bebatuan. Namun dalam pada itu, orang yang timpang itupun menjadi semakin dekat dengan lingkaran perkelahian Pikatan. Sejenak ia memandang sikap dan tata gerak anak muda itu sambil menunggu kesempatan.
89 Puranti yang menyasikan hal itu menjadi semakin cemas, la kini meragukan, apakah Pikatan dapat melawan dua orang itu sekaligus. Dengan gelisahnya Puranti menghentak-menghentakkan kakinya pada dahan benda. Kadang-kadang ia bergeser maju sambil bergantung pada dahan diatasnya. Tetapi kemudian ia surut kembali bersandar pada batangnya. Ia menekan dadanya dengan telapak tangannya ketika ia melihat orang yang timpang itu mulai menerjunkan dirinya melawan Pikatan. Sementara calon-calon prajurit yang lain masih juga berusaha bertempur dengan sekuat tenaga. Orang-orang yang mulai berkeriput tidak juga sempat meninggalkan arena itu, karena lawan mereka tidak memberi kesempatan. Karena itu, mau tidak mau mereka harus bertempur terus. Beberapa orang diantara mereka yang berhati jantan, berusaha untuk menolong kawan-kawan mereka yang terdesak. Karena jumlah yang lebih banyak, maka beberapa orang dapat berloncatan membantu kawan-kawan mereka yang hampir kehilangan kesempatan mempertahankan dirinya. Tetapi yang lebih mendebarkan jantung adalah perkelahian antara Pikatan melawan dua orang lawannya. Dua orang yang memiliki ilmu yang cukup linggi. Tetapi Pikatan sama sekali tidak gentar. Dengan seganap kemanipuan yang ada ia melawan dengan gigihnya. Senjatanya berputaran seperti baling-baling. Sedang kakinya dengan lincahnya melontarkan tubuhnya seperti memereik tanpa bobot. Meskipun demikian, kemampuan Pikatan ternyata juga terbatas. Betapapun juga ia sempat melawan dan mengimbangi kecepatan ujung senjata lawan-lawannya, tetapi ia tidak dapat melawan kelelahan yang mulai merayapi ototototnya setelah ia memaksa diri mengerahkan segenap
90 kemampuan yang ada padanya melampaui kewajaran tata gerak yang dapat dilakukan, karena ia menghadapi dua orang, lawan yang tangguh. Itulah sebabnya, maka lambat laun, Pikatan mulai terdesak. Puranti yang bertengger diatas pohon itupun menjadi terlampau gelisah. Kini seolah-olah ia berdiri dipersimpangan jalan. Apakah ia akan rnembiarkan saja Pikatan menjadi korban penjahat Goa Pabelan, dan sudah pasti kemudian akan menyusul calon-calon prajurit yang lain" Tanpa Pikatan, maka Hantu bertangan api itu akan dapat membunuh calon-calon prajurit yang lain seperti menebas batang ilalang. Bersama dengan orang yang timpang itu, mereka sama sekali tidak akan menemui kesulitan apapun. Dalam sekejap maka caloncalon prajurit itu pasti akan menjadi, mayat disamping mayat Pikatan. Juga prajuril yang memimpin pasukan kecil itupun tidak akan dapat melepaskan dirinya. Ia tidak akan dapat memberikan laporan lagi kepada pimpinannya, tentang tugas yang kini dibebankan kepadanya itu. Tetapi apabila ia ikut serta didalam perkelahian itu, apakah Pikatan tidak tersinggung karenanya. Pikatan tidak memberinya ijin untuk ikut. Ke Goa Pabelan meskipun hanya menonton dari kejauhan. Apalagi Pikatan adalah seorang yang berhati sekeras batu padas. Apa yang dikehendaki, akan dipertahankannya sampai kesempatan yang paling akhir. Kehadirannya dipertempuran itu pasti akan dianggap sebagai suatu pelanggaran atas kehendaknya. Puranti menjadi ragu-ragu didalam kegelisahan yang semakin memuncak. Tiba-tiba Puranti terpekik kecil. Namun tangannya segera menutup mulutnya. Tetapi biji matanya seakan-akan telah meloncat dari peupuknya ketika ia melihat ujung senjata lawan. yang terjulur lurus menyentuh pundak kanannya. Senjata yang berada ditangan kiri Hantu bertangan api itu. Ternyata bukan saja tangan kanannya yang dapat menyengat
91 lawannya sepanas bara api, tetapi tangan kirinya mampu menggerakkan senjatanya secepat ujung-ujung jari tangan kanannya. Pikatan terlempar beberapa langkah surut sambil berusaha untuk mengambil jarak. Sejenak ia terhuyung-huyung, namun kemudian ia berhasil tegak kembali dengan mantap. Senjatanya yang menyilang didepan dadanya masih bersih, sebersih ketika senjata itu disarungkan disaat ia berangkat dari Demak. "Aku harus membunuhmu" ia menggeram. Tetapi orang yang jangkung itu tertawa melengking "Lihat Tangan Api telah melukaimu. Agaknya kau adalah orang yang pertama kali dilukainya dengan senjata, karena kau adalah anak muda yang luar biasa. Lawan-lawannya yang terdahulu pasti berhasil dibinasakan dengan tangannya, dengan jarijarinya. Tetapi kau tidak. Dan kau akan binasa dengan senjatanya" "Marilah, marilah" desis Pikatan. Matanya menjadi merah oleh kemarahan yang memuncak. Kini mereka tidak lagi menghiraukan, apakah penghuni Goa Pabelan itu bertangan api atau bertangan embun. Tetapi mereka telah bertempur dengan senjata. Ternyata ujung senjata yang tajam itu masih lebih berbahaya dari jari-jari. Hantu bertangan api itu. Namun melawan dua orang, Pikatan benar-benar kehilangan kesempatan. Apalagi pundaknya telah terluka, dan luka itu bukan luka sekedar pada kulitnya. Tangan kanannya serasa menjadi semakin lemah karenanya, dan bahkan kemudian seolah-olah menjadi lumpuh. Karena itu, maka Pikatan telah memindahkan senjatanya ditangan kiri.
92 Tetapi Pikatan bukan seorang yang kidal, sehingga bagaimanapun juga ia berlatih menggerakkan senjata dengan kedua tangannya, namun tangan kanannyalah yang lebih tangkas dari tangan kirinya. Dan kini, ia harus melawan dua orang yang berilmu tinggi itu dengan tangan kirinya, setelah tangan kanannya mengalami luka. Dengan demikian, maka Pikatan menjadi semakin terdesak karenanya. Ia merasa benar-benar didalam kesulitan. Tangan kirinya ternyata tidak selangkas tangan kanan, apalagi lukanya semakin lama terasa semakin pedih. Darah yang mengalir semakin banyak. Pikatanpun menjadi semakin lemah karenanya. Dalam pada itu, calon-calon prajurit yang bertempur dengan anak buah Hantu bertangan api itupun menjadi semakin lemah pula. Apalagi apabila mereka melihat, bahwa Pikatan juga sudah terluka. Harapan mereka kemudian hanyalah pada prajurit yang memimpin pasukan kecil itu. Tetapi sesudah Pikatan, maka prajurit itupun akan dibinasakan juga. Kemudian satu demi. satu, yang lain akan segera mengalami pembantaian pula. Kenyataan itu semakin jelas. Para calon prajurit itu menjadi semakin terdesak. Setiap kali terdengar desah tertahan karena ujung senjata yang menyentuh tubuh mereka, meskipun satu dua diantara mereka berhasil pula melukai lawannya. Akhirnya sampailah pada batas kemungkinan untuk tetap bertahan. Juga Pikatan yang menjali semakin lemah, tidak lagi dapat menghindarkan diri dari kemungkinan terburuk yang dapat terjadi atasnya. Meskipun ia tidak menyesal karena ujung senjata lawannya yang akan menembus kulitnya namun ia merasa kecewa, bahwa ia tidak dapat mengemban tugas yang dibebankan kepada pasukan keeil ini. Dengan demikian maka penjahat di Goa Pabelan akan merasa dirinya semakin
93 kuat. Mereka tidak begitu bodoh untuk menunggu, pasukan berikutnya yang pasti akan dipersiapkan dengan lebih baik lagi. Mungkin duapuluh orang prajurit pilihan yang untuk sementara ditarik dari medan di daerah Timur. Dengan demikian mereka pasti akan mencari tempat yang baru sebagai sarang. Dan mereka pasti akan menumbuhkan ketakutan dan kecemasan pula dilingkungan yang baru itu. Yang terdengar kemudian adalah suara Hantu bertangan api yang tua "Dugaanmu salah anak muda. Aku tetap akan membunuhmu dengan tanganku. Tidak dengan senjataku. Kawan-kawanmu akan melihat bekas jari-jariku yang membakar nadi dilehermu. Pikatan tidak menyahut. Ia sudah menyerahkan semuanya kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Meskipun ia masih tetap berusaha melawan, namun ia sadar, bahwa apa yang terjadi bukanlah ditentukan oleh rencana manusia. Manusia hanya berusaha sejauh dapat dilakukan, namun keputusan yang terakhir dari setiap peristiwa adalah ditangan Allah Swt. Demikianlah ketika saat-saat yang mendebarkan itu berlangsung, disaat-saat para calon prajurit itu kehilangan setiap harapan untuk dapat mempertahankan diri, tiba-tiba dari atas tanggul sungai mereka melihat sebuah bayangan yang melayang seperti seekor burung seriti, Begitu kakinya menjejak diatas sebuah batu yang besar, maka tiba-tiba saja ujung pedangnya sudah menyentuh pundak seorang anak buah Hantu bertangan api. Namun belum lagi yang lain menyadari keadaan itu, sekali lagi bayangan itu meloncat dan seorang lagi dari penghuni Goa Pabelan itu memekik kesakitan. Sambaran ujung pedang telah menyobek pundaknya. Semua perhatian tiba-tiba telah dirampas oleh bayangan yang bagaikan terbang mengitari daerah pertempuran itu.
94 Pada saat Pikatan terdorong jatuh dan tidak berdaya lagi melawan, ia melihat bayangan itu sudah berdiri disampingnya. "Puranti" desis Pikatan. Puranti memandanginya sejenak. Lalu berkata hampir berbisik "Maaf kakang Pikatan. Aku berada ditempat ini juga. Tetapi biarlah aku memberikan alasanku nanti" "Tetapi, apakah kau sadar, bahwa kau berhadapan dengan Hantu bertangan api?" Puranti menganggukkan kepalanya. Pikatan yang sudah terlampau lemah itu mencoba berdiri. Dipandanginya Puranti sejenak, kemudian lawan-lawannya. Pertempuran dilembah sungai itu seakan-akan terhenti sejenak. Pemimpin pasukan calon prajurit itupun menjadi heran. Meskipun berpakaian laki-laki tetapi mereka melihat dengan jelas, bahwa yang berdiri di samping Pikatan, menghadap Hantu bertangan api beserta seorang kawannya itu adalah seorang gadis. "Tidak ada waktu untuk menonton aku" berkata Puranti "kalian berdiri di peperangan. Betapapun kecilnya, yang terjadi adalah peperangan antara kebenaran dan kejahatan. Marilah kita selesaikan perang ini dengan segenap kemampuan yang ada pada kita." Kata-kata Puranti yang melengking tinggi itu ternyata telah membuat setiap hati. Calon-calon prajurit yang kelelahan itupun memegang sinjata mereka semakin mantap. Lawan mereka telah berkurang. Setidak-tidaknya dua orang yang terluka itu tidak akan dapat berkelahi sepenuhnya. "Puranti" Pikatan berdiri terlatih-tatih "aku sudah terluka parah. Aku tidak lagi dapat, bertahan. Kenapa kau memberanikan diri berdiri diarena ini" Apa kau sangka aku akan dapat bertempur bersamamu atau melindungimu?"
95 "Aku harap kita dapat bertempur berpasangan. Tidak adil, bahwa kau harus melawan dua orang sekaligus" Ternyata Hantu bertangan api sudah dapat menguasai perasaan herannya. Terdengar suaranya yang besar "Apakah masih ada perhitungan keadilan didalam pertempuran semacam ini" Apakah kawan-kaanmu juga berbuat demikian?" Tetapi sebelum Puranti menjawab, Pikatan berkata "Puranti selagi masih ada sisa tenagaku, pergilah. Aku akan melawan keduanya sampai akhir hayatku. Sampaikan baktiku kepada Kiai Pucang Tunggal di Gajah Mungkur" "Aku disini kakang Pikatan" jawab Puranti "kita tidak mendapat kesempatan berdebat. Marilah kita teruskan" "Puranti, dengar kata-kataku" Pikatan membentak "pergi. Tinggalkan tempat ini" Tetapi terdengar suara tertawa. Suara orang yang timpang "Kau sangka begitu mudah untuk meninggalkan tempat ini" Kau seorang perempuan. Bagus sekali, karena didalam goa kami tidak ada seorang perempuan" "Setan" geram Pikatan, dan sekali lagi ia membentak "Puranti, pergi" "Jangan" sahut orang yang timpang itu "kau sudah datang kemari. Jangan hiraukan anak, yang akan mati itu. Eh, apakah kau isterinya?" "Tutup mulutmu" bentak Pikatan. "Marilah kita lihat" berkata Puranti "apakah kau dapat memaksaku tinggal didalam goamu" Tidak seorangpun yang dapat mengatur aku sekarang. Aku datang atas kehendakku sendiri. Aku hanya dapat pergi apabila aku kehendaki. Apabila aku berkehendak untuk pergi, tidak ada seorangpun yang akan menghalangi aku"
96 Kata-kata itu benar-benar mendebarkan setiap jantung. Bukan saja orang yant timpang itu, tetapi Hantu bertangan api tua. dan muda, bahkan Pikatan sendiri. Dalam pada itu, prajurit yang memimpin pasukan kecil itupun berkata "Sebaiknya kau pergi. Kami adalah orang-orang yang memang sudah menyerahkan diri pada tugas ini" "Sudah aku katakan, aku hanya akan pergi apabila aku menghendakinya. Tugas kita disini tidak berbeda. Kami bersama-sama ingin menghancurkan penjahat yang bersarang di Goa Pabelan ini. Akupun berhak berbuat demikian, siapapun aku dan siapapun kalian. "Piranti, pergilah selagi bisa" "Beristlrahallah kakang Pikatan. Darahmu terlampau banyak mengalir" "Tetapi, apakah yang akan kau lakukan?" "Akulah yang akan melawan kedua orang ini" "Puranti, apakah kau bermimpi. Kau masih terlampau kanak-kanak. sehingga kau tidak mengenal bahaya yang dapat terjadi atasmu disini" Tetapi Puranti tidak menghiraukan lagi. Ia maju selangkah sambil menjulurkan pedangnya. Katanya "Jangan mimpi. Ayo, kita mulai lagi. tiba-tiba Puranti berkata lantang "Marilah. Kesempatan yang begini baik, belum tentu akan terulang lagi. Kesempatan untuk menunjukkan kesetiaan kita kepada sesama, dan tanah pepunden ini" Kata-katanya bagaikan sentuhan bara yang menyalakan api di setiap dada. Api yang sudah hampir padam sama sekali. Apalagi ketika Puranti berkata "Kita akan mendapat perlindungan-Nya, karena kita berada di pihak yang benar"
97 Tanpa menunggu jawaban,. Puranti mulai menggerakkan pedangnya. Ia belum mulai menyerang, tetapi seakan-akan ia sedang menggelitik lawannya dengan ujung pedangnya. Sikapnya benar-benar telah menggetarkan hati lawanlawan Pikatan. Kedua orang itu berdiri termangu-mangu. Namun kemudian mereka merasa juga terhina. Pikatan, seorang anak muda yang perkasa itu telah dapat dilumpuhkan. Kini mereka berhadapan dengan seorang perempuan yang berpakaian, seperti laki-laki. "Aku masih akan memberimu keringanan dan kesempatan" Hantu bertangan api itu berkata. Kawannya yang timpang menyambungnya "Kau akan mendapat tempat didalam goa itu" "Gila" Pikatan meriggeram "kau membuat hatiku semakin parah Puranti. Lebih parah dari lukaku" Dada Puranti berdesir. Tetapi ia tidak akan dapat membiarkan Pikatan mati di peperangan itu. Karena itu, ia mencoba untuk tidak menghiraukannya lagi. Sejenak kemudian, sekali lagi Puranti melangkah maju sambil menggerakkan pedangnya. Ketika orang yang timpang itu mulai membuka mulutnya sekali lagi, tiba tiba saja Puranti meloncat dengan cepatnya. Hampir saja ujung pedangnya menyentuh bibir orang yang timpang itu. Untunglah ia masih sempat mengelak. Sekali lagi. Kini Purantilah yang menggantikan kedudukan Pikatan, Ia bertempur melawan dua orang yang telah berhasil mengalahkan Pikatan itu. Prajurit yang memimpin pasukan kecil calon-calon prajurit itu menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi ketika pertempuran sudah menyala kembali, maka iapun berkata didalam hatinya "Aku tidak mengundangnya. Tidak melihatkannya pula. Ia datang atas kemauannya sendiri, dan aku serta Pikatan sudah mencoba untuk mencegahnya"
98 Pikatan yang terluka menjadi termangu-mangu pula. Sejenak ia berniat untuk melindungi Puranti yang dianggapnya belum mengetahui benar-benar bahaya yang dapat mengancam jiwanya. Namun kemudian anak. muda itu telah terpukau melihat tata gerak Puranti. Gadis itu mampu bergerak secepat burung sriti di udara, seperti burung sikatan direrumputan. Cepat, tangkas dan trengginas. "Bagaimana mungkin Puranti dapat bertempur seperti itu" bertanya Pikatan didalam hatinya. Ia adalah murid Kiai Pucang Tunggal yang sudah beberapa tahun berada di padepokan Gajah Mungkur. Ia sudah mengenal Puranti sejak beberapa tahun itu. Namun ternyata pengenalanya sama sekali tidak lengkap. Ia tidak mengetahui, bahwa Puranti memiliki kemampuan yang mendebarkan jantung. Sambil bersandar batu padas Pikatan menyaksikan bagaimana Puranti melawan kedua orang yang berilmu tinggi itu. Hampir tidak masuk akal, bahwa Puranti berhasil menguasai mereka meskipun Pikatan menganggap, bahwa kedua lawannya masih dipengaruhi oleh keragu-raguan dan keseganan. Tetapi yang ternyata kemudian, harus diakui oleh Pikatan. Puranti sebagai seorang gadis, secara alamiah, tidak mempunyai kekuatan sebesar seorang laki-laki. Namun dengan latihan-latihan yang tekun, Puranti dapat mengisi kekurangannya itu dengan kecepatan bergerak dan kemampuan memanfaatkan arah gerak. Dorongan kekuatan lawan dan ayunan senjata mereka sendiri, kadang-kadang telah mendorong mereka kedalam suatu kesulitan. Penguasaan tenaga eadangan yang tidak mudah dilakukan oleh setiap orang dapat dilakukannya dengan hampir sempurna, sehingga seakan-akan kekuatan Puranti menjadi berlipati ganda karenanya.
99 Di bagian lain, calon-calon prajurit itupun seakan-akan telah dijalari oleh kekuatan baru. Apalagi lawan mereka sudah berkurang. Perlawanan dua orang yang dilukai oleh Puranti itu hampir tidak berarti lagi. Dengan demkian maka keseimbangan pertempuran itu menjadi berubah, meskipun lambat laun. Namun demikian, seorang calon prajurit yang terluka, tidak lagi dapat bertahan karena darah yang terlampau banyak mengalir. Perlahanlahan iai. terjatuh diatas pasir. Tetapi lawannya tidak sempat membunuhnya, karena tibatiba kawannya telah melindunginya. Meskipun orang yang melindungi itupun sudah terluka, tetapi ia masih dapat bertempur dengan mantap. Sebuah pekik kesakitan telah melengking diantara dentang senjata ketika seorang anak buah Hantu bertangan api itu jatuh di tanah. Ternyata sepucuk pedang telah menghunjam ke dadanya langsung menyentuh jantung. Demikianiah pertempuran itu menjadi semakin seru, meskipun masing-masing pihak seakan-akan telah menjadi susut kekuatannya. Namun kemudian datanglah saat-saat yang menentukan. Saat-saat mereka roboh karena kehabisan tenaga, namun juga karena senjata lawannya langsung menembus bagian-bagian tubuh yang menentukan. Pemimpin pasukan calon prajurit itu masih juga diselebungi oleh kecemasan. Ia melihat satu-satu anak buahnya jatuh terkulai diatas, pasir, meskipun demikian juga lawan-lawan mereka. Namun dengan demikian ternyata, bahwa tugas ini adalah tugas yang terlampau berat bagi calon prajurit yang sedang melakukan pendadaran. Sekilas prajurit itu sempat memandang Pikatan. Agaknya anak muda itu tidak lagi kuat berdiri bersandar batu padas. Oleh darahnya yang mengalir dari lukanya, maka tubuhnya menjadi semakin lemah, sehingga akhirnya Pikatan itu jatuh tertunduk. Meskipun demikian, ia masih tetap mengikuti perkelahian antara Puranti
100 melawan dua orang pemimpin penjahat yang bersarang di Goa Pabelan. Pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran yang sangat dahsyat. Hampir semua orang di kedua belah pihak telah tidak berdaya lagi. Kalau masih ada satu dua yang berkelahi, maka tenaga merekapun sudah tidak memadai. Kadang-kadang mereka terseret jatuh oleh ayunan senjata sendiri. Tetapi lawannyapun tidak segera dapat membunuhnya, karena kakinya seakan-akan terhunjam ke dalam pasir tepian. Matahari dilangit serasa membakar pabukitan yang tandus itu. Pasir-pasir tepian dan batu-batu menjadi panas membara, Sepanas hati mereka yang sedang menyabung nyawa di arena. Prajurit yang memimpin pasukan kecil dari Demak, masih bertempur terus melawan Hantu Pabelan yang muda, sedang Puranti melawan dua orang pemimpin yang lain. Namun demikian, meskipun Puranti harus melawan dua orang yang berilmu tinggi, ternyata ia tidak dapat segera dikuasai. Bahkan kelincahan dan kecepatannya bergerak kadang-kadang membuat kedua lawannya menjadi bingung. "Setan betina" geram Hantu bertangan api yang tua siapakah yang telah mengajari kau berkelahi begitu dahsyatnya?" Puranti tidak menjawab. Dengan pedangnya ia menyerang kedua lawannya berganti-ganti. Begitu cepatnya, sehingga kadang-kadang mereka tidak sempat memperhitungkan arah geraknya. Pikatan melihat Puranti seperti didalam mimpi. Hampirhampir ia tidak percaya pada penglihatannya. Namun apabila perasaan pedih menyengat lukanya, sadarlah ia bahwa sebenarnya hal itu memang terjadi. Puranti memang sedang
101 berkelahi melawan dua orang pemimpin penjahat yang berada di Goa Pabelan. Hampir tidak masuk akal, bahwa lambat laun justru Puranti-lah yang mampu mendesak lawannya. Orang yang tinggi jangkung dan timpang itu sama sekali tidak berdaya menghadapi putaran senjata Puranti. Ia hanya dapat bertahan dan membantu Hantu tua apabila ia terdesak. Kemudian meloncat menjauh menghindarkan diri dari seranganserangannya yang bernafas maut. Namun ternyata keseluruhan dari pertempuran itu telah membuat Puranti seakan-akan kehilangan kendali. Darah yang memerah dipasir tepian sungai kecil yang curam itu, membuat kemarahannya-pun menyala didalam dadanya. Ia melihat sendiri, betapa orang-orang yang tinggal di Goa Pabelan itu merupakan orang-orang yang ganas dan terlampau buas. Karena itu, selagi ia berada di goa itu, selagi ia tidak harus berkelahi sendiri, maka ia merasa wajib untuk menghentikan segala keganasannya. Karena itulah maka Puranti telah melupakan dorongan apakah yang. sebenarnya telah membawanya ketempat itu. Ia tidak lagi sempat mempertimbangkan bahwa sebenarnya ia hanya sekedar ingin menyaksikan pendadaran calon-calon prajurit Demak. Tetapi gadis itu merasa bahwa kini datanglah saat baginya untuk melakukannya. Menumpas penjahat2 di Goa Pabelan. Karena itulah maka Puranti-pun Kemudian mengerahkan segenap ilmu yang pernah dipelajarinya dari ayah dan sekaligus gurunya. Kekuatan-kekuatan yang didalam kehidupannya sehari-hari merupakan kekuatan yang tersembunyi, telah dibangunJannya dan disalurkannya pada tangannva yang menggenggam senjata. Puranti sadar, bahwa senjatanya adalah senjata yang dapat dibanggakan, yang tidak akan mudah patah karena keseimbangan kekuatan yang melampaui kekuatan pedangnya.
102 Dengan demikian, maka perkelahian itupun segera mencapai puncaknya. Baik Puranti maupun kedua lawannya tidak lagi sempat menghiraukan apapun juga. Mereka tidak lagi dapat melihat bagaimana nasib anak buah penghuni Goa Pabelan, tetapi juga tidak lagi sempat mengetahui, bagaimanakah keadaan para calon prajurit Demak itu. Namun dengan demikian, maka kedua lawan Puranti sama sekali tidak mendapat kesempatan lagi untuk membela diri. Apalagi orang yang timpang itu, Setiap kali ia hanya dapat meloncat menghindar dan mencoba menangkis setiap serangan. Tetapi serangan Puranti menjadi semakin cepat. Tidak saja seperti burung sikatan menyambar bilalang, tetapi benarbenar seperti loncatan tatit diudara. Sebelum lawannya menyadari apa yang dilakukan. ujung pedang Puranti telah menyentuh dadanya. Demikianlah, orang yang jangkung dan timpang. itu akhirnya tidak lagi mampu mengimbangi kecepatan bergerak tangan Puranti. Ketika serangan Puranti menyentuh dadanya, ia terdorong surut. Terdengar ia memekik tertahan. Namun orang itu tidak sempat menyelesaikan keluhannya, karena tikaman Puranti berikutnya tepat mengenai jantungnya. Ketika Puranti menarik ujung pedangnya yang merah karena darah, orang itupun terjatuh ditanah tanpa dapat bangkit lagi untuk selama-lamanya. Hantu bertangan api yang tua melihat hal itu dengan dada yang berdebar-debar. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa akan datang lawan yang begitu garangnya. Apalagi seorang perempuan. Dipinggir arena perkelahian itu, Pikatan menahan nafasnya, Hatinyapun menjadi berdebar-debar. Tanpa sesadarnya ia berdesis "Luar biasa. Ternyata bahwa Kiai Pucang Tunggal
103 masih juga condong untuk memberikan ilmunya kepada anaknya. Tidak kepada muridnya" Tetapi hatinya sendiri membantah "Itu adalah wajar sekali. Puranti sudah ada diperguruan itu sejak anak-anak. Sejak ia berlatih berdiri dau melangkah. Sejak itulah ayahnya pasti sudah mengakrabkan setiap gerak anak itu. Dan sekarang ternyata Puranti adalah seorang gadis yang aneh, yang justru menjadi seorang gadis yang tidak sewajarnya. Tidak seperti gadis gadis yang lain" Namun lebih daripada itu, Pikatan merasa malu kepeda dirinya sendiri, bahwa selama ini ia selalu merasa melindungi gadis itu. Tetapi ternyata, didalam keadaan yang gawat itu, Purantilah yang telah menyelamatkannya. Pikatan merasa berterima kasih kepada gadis itu, yang seakan-akan telah menyelamatkan nyawanya. Ternyata Tuhan masih mengijinkannya untuk hidup lebih lama lagi. Tetapi disamping perasaan terima kasihnya itu, menyelinap pula perasaan lain yang mengganggunya. Harga dirinya sebagai laki-laki telah diguncangkan oleh peristiwa ini. Adalah memalukan sekali apabila setiap kali ia akan mengatakan kepada diri sendiri, bahwa tanpa Puranti, nyawanya sudah tidak akan tertolong lagi. Tiba-tiba Pikatan menggerarn. Sejenak ia masih melihat Puranti mendesak lawannya yang tinggal seorang itu dengan dahsyatnya. Dibagian perkelahian yang lain, prajurit yang memimpin pasukan kecil itu masih bertempur dengan gigihnya. Seolaholah kedua-duanya memiliki ilmu yang seimbang, sehingga perkelahian yang dahsyat itu masih akan berlangsung lama. Keduanya telah mengerahkan segenap ilmu yang ada pada diri masing-masing. Desak mendesak, dan udara maut berputaran diantara mereka, seolah-olah sedang memilih, dimanakah ia akan hinggap.
104 Tetapi bagi Hantu yang tua, nasibnya seakan-akan memang sudah ditentukan. Puranti berhasil mendesaknya dengan dahsyat sekali. Bahkan meskipun Hantu yang tua itu mengerahkan segala macam ilmu yang diagungkannya selama ini. Ia hanya dapat memperpanjang perlawanannya. Tetapi ia tidak lagi dapat menghindarkan diri dari cengkeraman maut, Gadis dari padepokan Gajah Mungkur itu seakan-akan tidak memberinya kesempatan lagi. Sambaran pedangnya yang mendatar, pada suatu saat telah menyobek dada Hantu yang selama ini tidak terkalahkan itu. Yang selama petualangannya telah menggetarkan bukan saja daerah di sebelah Timur Gunung Merapi, tetapi juga sampai ke pesisir Kidul dan kaki Gunung Lawu. Darah yang memancar dari luka itu telah mengejutkannya. Hantu itu hampir tidak percaya bahwa perempuan itu benar2 telah melukainya. Benar-benar telah berhasil menumpahkan darahnya keatas pasir didepan mulut Goa Pabelan ini. Namun justru karena ia termangu-mangu itulah, maka sekali lagi Puranti berhasil menghunjamkan ujung pedangnya langsung membelah jantungnya. Hantu bertangan api itupun kemudian menggeliat dan ketika Puranti menarik pedangnya, iapun jatuh menelungkup. Dada Puranti bergetar menyaksikan hasil dari perlawanannya Sekali ia berpaling melihat orang jangkung yang timpang, dan kemudian dipandanginya lagi Hantu bertangan api yang sudah tidak bernafas lagi itu. Tiba-tiba saja terasa sesuatu menggelegak didadanya. Seolah ia berteriak kepada dirinya sendiri Aku sudah membunuh. Aku sudah membunuh" Puranti menjadi gemetar. Tertatih-tatih ia berjalan menepi. Seakan-akan ia tidak lagi mampu menahan tubuhnya lagi. Setelah ia memeras segenap tenaganya, melawan dua orang
105 penjahat yang memiliki ilmu yang cukup tangguh, diguncang pula oleh kenyataan bahwa ia telah membunuh sesama, maka Puranti seakan-akan telah terlempar kedalam suatu keadaan yang sangat asing. Asing dan mengerikan sekali. Ketika matanya menjadi berkunang-kunang, maka Purantipun menyandarkan dirinya pada batu-batu padas. Sekilas ia melihat pedangnya yang kemerah-merahan oleh darah. Sambil memalingkan wajahnya, gadis itu masih berusaha menghunjamkan daun pedangnya itu kedalam pasir. Berulang-ulang. Ia mengharap, agar darah yang masih membasah itu akan terhapus. Ternyata usahanya itu berhasil. Meskipun tidak sebersih seperti pada saat pedang itu belum menyentuh tubuh lawannya, namun daun pedangnya itu sudah tidak dilumuri lagi oleh darah yang merah membara Karena keadaannya itulah, maka Puranti tidak sempat melihat apa yang terjadi dengan Hantu yang muda. Ternyata Hantu yang muda itu sempat melihat, bahwa kawankawannya sudah tidak berdaya lagi. Apalagi setelah kakaknya jatuh menelungkup, dan tidak bangkit lagi untuk seterusnya. Maka Hantu yang muda itupun tidak mempunyai harapan lagi. Meskipun lawannya masih belum berhasil mengalahkannya, bahkan senjata prajurit itu sama sekali belum menyentuhnya, tetapi ia harus menyadari keadaannya. Hantu yang muda itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali berusaha menghindari perkelahian itu. Karena itu, ketika terbuka kesempatan, maka iapun segera meloncat surut. Kemudian dengan sisa tenaganya ia berlari meninggalkan arena. Prajurit itu masih berusaha mengejarnya sejenak. Tetap kemudian iapun merasa bahwa tenaganya tidak akan cukup kuat lagi untuk berlari-larian diatas pasir dan bebatuan. Apalagi ketika ia sadar bahwa tidak ada seorangpun lagi yang dapat membantunya, Perempuan yang berhasil membunuh kedua lawannya, agaknya telah kehabisan tenaga. Tetapi
106 bukan itu saja, Goncangan perasaannya-lah yang telah membuatnya berdiri membeku bersandar batu padas. Sejenak kemudian prajurit itu berdiri termangu-mangu. Tetapi ia tetap sadar, apa yang sedang dihadapinya. Anak buahnya yang hampir semuanya terkapar tidak berdaya. Bahkan. mungkin satu dua diantara mereka sudah tidak bernyawa lagi. Namun ternyata pula anak buah Hantu bertangan apipun telah terbaring silang melintang Mungkin ada juga satu dua yang sudah terbunuh. Tetapi ada pula diantara mereka yang melarikan diri disaat-saat terakhir. Prajurit itu masih melihat dua tiga anak buahnya yang masih mampu berdiri dan berjalan tertatih-tatih mendekatinya. "Bagaimana dengan luka2 kalian?" prajurit itu bertanya. Calon-calon prajurit itu menyeringai menahan sakit. Merekapun kemudian duduk berserakan bersandar bebatuan dipinggir kali yang hanya mengalirkan airnya tidak lebih dalam dari mata kaki, tetapi yang dipagari oleh jurang yang sangat dalam. Pemimpin pasukan itu menarik nafas dalam-dalam. Disanasini beberapa sosok mayat tergolek diatas pasir. Diantaranya adalah calon-calon prajurit yang gagal dalam pendadaran itu. Bukan saja gagal melakukan tugas yang dibebankan kepadanya, tetapi gagal mempertahankan hidupnya. "Bagaimanapun juga mereka adalah pahlawan-pahlawan" desis prajurit itu "mereka telah berjuang untuk menegakkan ketenteraman dan kedamaian hati rakyat" Tiba-tiba prajurit itu tersentak. Diantara mereka terdapat seorang perempuan yang dengan suka rela telah ikut serta di dalam perjuangan yang berat ini. Yang tidak kalah beratnya dari berperang di medan sepanjang pesisir, atau melawan musuh yang datang dari lautan sekalipun, musuh orang-orang asing yang agaknya mulai mengarahkan pamrih mereka pada kesuburan tanah ini.
107 "Bagaimana dengan kau?" bertanya prajurit itu. Puranti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera menjawab. Dengan nanar ia memandang keadaan sekelilingnya. Agaknya ada sesuatu yang dicarinya. "Apakah kau melihat Pikatan?" Puranti bertanya. Prajurit itu mengerutkan keningnya. Jawabnya "Bukankah ia tadi berada disini?" "Ya. Tetapi aku tidak melihatnya" Prajurit itu menjadi berdebar-debar. Dipandanginya sebuah lekuk batu padas beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Disanalah Pikatan terduduk menyaksikan perkelahian yang masih berkobar. "Ia duduk disana" desis Prajurit itu. "Tetapi ia tidak ada. ditempatnya" Wajah prajurit itupun menegang. Katanya "Aku akan mencarinya" "Jangan" cegah Puranti "kau masih harus.mengurus anak buahmu. Hampir semuanya terluka parah. Kau harus berbuat sesuatu atas mereka. Biarlah aku mencari Pikatan" Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun Puranti telah mendesaknya "Serahkan kakang Pikatan kepadaku" "Siapakah kau sebenarnya" Agaknya kau sudah mengenal Pikatan dengan baik." "Aku saudaranya. Adik angkatnya" "O" prajurit itu mengangguk-angguk "tetapi ternyata kau mempunyai kemampuan melampaui Pikatan. Apalagi kau seorang perempuan." "Hanya suatu kebetulan" jawab Puranti, lalu "silahkanlah. Anak buahmu memerlukanmu"
108 Prajurit itu mengangguk "Baiklah. Dan kau?" "Aku akan mencari kakang Pikatan" Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandangiuya saja Puranti yang kemudian tertatih-tatih melangkahkan kakinya, mencari Pikatan. Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya didalam hati "Seorang perempuan yang aneh. Cantik, tetapi tandangnya seperti seekor macan betina" Purantipun kemudian mendekati batu padas, tempat Pikatan menyandarkan diri. Dilihatnya setitik darah membasahi bebatuan dan pasir yang putih. "Agaknya dengan sengaja ia meninggalkan tempat ini" berkata Puranti didalam hatinya. Tetapi ia mendapat beberapa petunjuk. Selain jejak kakinya, juga titik-titik darah yang berceceran telah membawanya mengikuti arah Pikatan yang dengan diam-diam meninggalkan gelanggang. "Kemanakah orang ini pergi?" Puranti bertanya kepada diri sendiri. Tetapi Puranti tidak perlu menyelusurinya terlampau jauh. Beberapa puluh langkah disebelah kelokan sungai, dilihatnya sesosok Tubuh yang terbaring diatas pasir. Namun dadanya menjadi berdebar-debar ketika dilihatnya seseorang sedang berjongkok merenungi tubuh itu dengan saksama. Perlahan-lahan Puranti mendekatinya. Semakin lama debar jantungnya menjadi semakin cepat. Kemudian terdengarlah orang yang merenungi tubuh yang terbaring itu berkata "Kemarilah Puranti" Puranti menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya "Baiklari ayah. Tetapi kenapa ayah berada ditempat ini pula?"
109 Orang itu adalah Kiai Pucang Tunggal. Perlahan-iahan ia berpaling. Dilihatnya puterinya berjalan tetatih-tatih mendekatinya. . "Kau lelah sekali. Tetapi goncangan perasaanmulah yang paling dalam menusuk jantungmu, sehingga tampaknya kau seperti seorang yang tidak mempunyai sisa-sisa tenaga sama sekali" Puranti mengangguk "Ya ayah" "Pikatanlah yang benar-benar terluka parah dipundaknya." Puranti tidak menyahut. Ia sudah berjongkok pula disamping ayahnya. "Apakah ayah menyaksikan seluruh pertempuran itu?" ia justru bertanya Ayahnya mengangguk. "Melihat kakang Pikatan terluka?" . Sekali lagi orang tua itu mengangguk " Aku datang tepat pada waktunya" "Apakah ada sesuatu yang memaksa ayah datang kemari?" "Sepeninggalmu, aku menjadi gelisah" jawab ayahnya "apalagi ketika aku mendengar bahwa pasukan kecil itu benarbenar sudah berangkat dari Demak. Aku menjadi cemas, kalau-kalau guru orang yang disebut bernama Hantu bertangan api itu ada disini. Itulah sebabnya aku segera menyusulmu. Tetapi aku datang tepat disaat yang gawat. Disaat kau mengambil keputusan untuk ikut serta. menerjunkan diri kedalam pertempuran itu" "Dan ayah membiarkan semuanya itu terjadi" Calon-calon prajurit yang menjadi korban dan bahkan kakang Pikatan?" "Sudah aku katakan. Aku datang pada saat kau mulai menerjunkan dirimu." jawab ayahnya
110 "karena itu aku mengambil keputusan untuk memberimu kesempatan. Ternyata kau berhasil" "Tetapi calon-calon prajurit itu?" "Akupun hampir saja mencoba melindungi mereka. Tetapi pada saat kau berhasil membunuh seorang dari kedua lawanmu, tiba-tiba aku melihat Pikatan mulai bergeser. Aku tidak dapat menunggui pertempuran itu lebih lama lagi. Aku mencoba untuk mengikuti Pikatan. la terlampau lemah. Adalah berbahaya sekali baginya, apabila pada suatu saat ia bertemu dengan seorang dari penghuni goa ini. Dengan mudahnya ia akan dapat dibunuhnya" "Ayah tidak melihat Hantu yang tua itu tersobek dadanya oleh pedangku?" Kiai Pucang Tunggal menggeleng "Tidak Puranti. Tetapi aku yakin, bahwa kau akan dapat mengatasi lawanmu itu, karena kau sudah berhasil membinasakan yang seorang" "Dan ayah juga tidak tahu bahwa Hantu yang muda melarikan diri?" "Melarikan diri" Jadi ia berhasil melarikan diri?" Puranti mengangguk. Ayahnya menarik nafas dalam-dalam, Katanya Jika demikian, maka persoalan ini masih belum selesai. Ia akan menemui gurunya dan menceriterakan apa yang sudah terjadi disini" "Maksud ayah, kemungkinan pembalasan dendam dari golongan mereka?" Ayahnya mengangguk "Ya" jawabnya "dan itu bukan sekedar suatu kemungkinan. Tetapi hampir dapat diyakini" Puranti termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata "Itu adalah akibat yang harus sudah diperhitungkan. Tetapi bukankah kita tidak perlu cemas ayah?"
111 Ayahnya menggeleng "Tidak. Kita tidak usah cemas. Tetapi kerja ini menjadi kerja yang patah ditengah. Kerja yang belum selesai." Puranti tidak segera menjawab. Ditatapnya saja wajah Pikatan yang pucat dengan mata yang terpejam. Tetapi agaknya nafasnya sudah mulai mengalir sewajarnya. Kiai Pucang Tunggal mengambil tabung dari kantung ikat pinggangnya, ia mencoba mengobati luka yang diderita oleh Pikatan. Diteberkannya serbuk berwarna kekuning-kuningan ke pundak Pikatan. "Lukanya terlampau dalam" desis Kiai Pucang Tunggal. "Tetapi, bukankah luka itu tidak membahayakan jiwanya, Ayah" "Secara langsung tidak" sahut ayahnya. "Apakah maksud ayah?" Puranti menjadi berdebar-debar Tetapi ayahnya menggelengkan kepalanya. Katanya "Tidak apa-apa. Kita menunggu dia sadar. Kemudian membantunya berjalan meninggalkan tempat ini" Puranti tidak bertanya lagi. Tetapi kata-kata ayahnya itu berkesan dihatinya. Lamat-lamat ia dapat membayangkan maksudnya, meskipun ia tidak dapat meyakini kebenarannya. Namun demikian, ia sadar, bahwa ayahnya tidak ingin memberinya penjelasan lebih jauh lagi. Karena itu, maka Purantipun hanya sekedar berjongkok saja disamping ayahnya. Sekali-sekali ditatapnya, wajah Pikatan yang pucat. Namun, tanpa sesadarnya ia mulai menilai wajah yang pucat itu sebagai wajah seorang anak muda. Puranti menarik nafas dalam-dalam. Ia mempunyai banyak kawan di padukuhannya. Laki-laki dan perempuan. Tetapi Pikatan sudah tinggal dan bergaul setiap hari untuk waktu yang lama. Meskipun sikapnya sehari-
112 hari tidak lebih dan tidak kurang dari sikap seorang kakak, tetapi Puranti tahu dengan pasti, bahwa Pikatan bukanlah kakaknya. Kini Pikatan mengetahui seluruhnya tentang dirinya. Selama beberapa tahun ia berusaha untuk menyembunyikan kelebihannya dari anak muda itu, agar ia tidak merasa dirinya kecil. Namun di dalam saat-saat yang gawat, maka ia tidak lagi mampu berbuat demikian. Itulah agaknya yang telah menyakiti hatinya, sehingga diam-diam Pikatan telah berusaha meninggalkannya. Tetapi darah yang mengalir dari lukanya, menyebabkannya pingsan. Untunglah bahwa ayahnya melihat hal itu, sehingga dengan segera dapat memberikan pertolongan kepadanya. Sejenak kemudian Puranti melihat Pikatan mulai bergerakgerak. Mula-mula kepalanya, kemudian tangan dan kakinya bergeser sedikit. Puranti menarik nafas dalam-dalam. Sejengkal ia maju mendekat. Seolah-olah ia ingin mengguncangnya, agar Pikatan menyadari dirinya. Pikatan perlahan-lahan membuka matanya. Sambil mengerutkan keningnya, anak muda itu ingin melihat, bayangan yang samar-samar dan yang semakin lama menjadi semakin jelas. "Guru" desisnya. Tetapi ketika ia mencoba untuk segera bangkit, tangannya yang sebelah kanan terasa betapa sakitnya, sehingga tubuhnya kembali terbaring dengan lemahnya. "Berbaring sajalah" berkata Kiai Pucang Tunggal "jangan berusaha, bangun dahulu. Tenangkan hatimu, dan cobalah menguasai segenap perasaan dan nalar" Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ditatapnya sejenak wajah Puranti yang tegang.
113 Ketika tatapan mata mereka bertemu, terasa dada keduanya berdesir tajam. Pikatan merasa bahwa ia telah diselamatkan olehnya, namun sekaligus, perasaan malu yang tiada taranya telah mencengkamnya. Harga dirinya sebagai seorang laki-laki benar-btear telah tersinggung, karena justru Purantilah yang telah melindunginya. Bukan sebaliknya seperti yang seliap kali dikatakannya. Kiai Pucang Tunggal yang bijaksana, seakan-akan dapat membaea perasaan anak muda itu. Karena itu, maka katanya "Pikatan. Jangan hiraukan apa yang sudah terjadi. Akulah yang telah berbuat untukmu, karena aku tahu, bahwa kau tidak akan mampu melawan kedua orang lawanmu itu. Tetapi sudah tentu tidak sepantasnya aku turun ke arena. Karena itu, aku suruh Puranti menjadi wadag perkelahian, dan aku mengamatinya dari kejauhan" Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Luka di pundaknya terasa semakin pedih menggigit tulangnya. "Kalau keadaanmu sudah berangsur baik, kita akan segera kembali ke Gajah Mungkur. Kau akan mendapat perawatan sampai luka-lukamu sembuh" Pikatan tidak segera menjawab. Terasa dadanya menjadi semakin bergejolak. "Tenangkanlah hatimu" Tetapi jawab Pikatan telah mengejutkan gurunya "Terima kasih guru. Ternyata aku adalah orang yang tidak berharga sama sekali. Aku sudah mengecewakan pimpinan prajurit Demak, karena aku gagal didalam pendadaran ini. Tetapi terlebih-lebih lagi, aku sudah gagal menjunjung narna perguruanku. Bahkan aku telah di selamatkan oleh seorang gadis yang selama ini aku anggap sebagai adikku yang harus aku lindungi"
114 "Jangan pikirkau yang bukan-bukan. Sekarang kau terluka. Kau harus mendapat kesembuhan dahulu, sebelum kau menentukan sikap apapun juga" Tetapi Pikatan menggelengkan kepalanya "Biarkan aku menebus segala kekecewaan itu. Tinggalkan aku disini guru. Pada suatu saat aku akan menghadap guru dan mempersembahkan kemenangan yang kini lepas dari tanganku" "Kau salah Pikatan" jawab gurunya "aku tidak pernah mengatakan kepadamu, bahwa ilmu yang kau dapat itu adalah ilmu yang tidak ada duanya didunia. Dan aku tidak pernah mengajarmu untuk mengingkari kenyataan. Kalau kau merasa bahwa. kau tidak akan terkalahkan, maka itu adalah kekalahanmu yang pertama. Selagi kita masih bernama manusia, maka kita pasti masih mempunyai kelemahankelemahan. Orang yang ingkar akan kelemahan-kelemahan ini adalah orang yang tidak percaya kepada kekuatan yang sempurna. Sumber dari semua kekuatan, Dan sumber itu hanyalah satu. ALLAH Swt. Tidak ada yang lain" Pikatan tidak segera menjawab. Tetapi setiap kali ia menahan sakit dipundaknya. "Apakah kau mengerti Pikatan?" "Aku mengerti guru" jawab Pikatan "meskipun demikian apapun yang datang dari Sumber yang Tunggal. itu tidak akan datang dengan sendirinya, seperti air hujan yang turun dari langit. Kita diwajibkan berusaha seperti yang guru katakan. Dan aku akan berusaha" "Ya. Kita harus berusaha, Tetapi kita harus berdiri diatas kenyataan ini. Kau sedang terluka parah. Nah, apakah kau akan ingkar bahwa lukamu ini dapat membahayakan jiwamu?" "Aku akan menanggungnya guru"
115 "Apakah bedanya dengan suatu tindakan membunuh diri?" Pikatan tidak dapat menjawab. Karena itu, iapun terdiam. Namun tampak membayang diwajahnya, hatinya yang sedang bertolak. "Aku mengerti perasaanmu. tetapi agaknya kau keliru. Kau lebih menghargai dirimu sendiri. Kau harus yakin bahwa Allah itu Maha pemurah dan Maha Penyayang" Pikatan masih tetap berdiam diri. ta mencoba mengerti kata-kata gurunya, meskipun sekali-sekali dadanya masih juga bergetar mengingat kegagalan yang hampir mutlak itu" "Kalau tubuhmu terasa segar, marilah, aku akan menolongmu berjalan, Sebaiknya kau kembali kepada pasukanmu yang sudah hampir lumpuh sama sekali itu. Tetapi aku berharap bahwa sebagian dari mereka tidak benar-benar terbunuh. Mereka agaknya hanya terluka parah. Kalau aku mendapat kesempatan, barangkali aku dapat membantu memperingan penderitaan mereka itu" Pikatan tidak dapat menolak lagi, ditolong oleh gurunya, perlahan-lahan ia bangkit. Meskipun pundaknya masih terasa sangat sakit, tetapi ia berusaha juga berjalan, bergantung pada pundak gurunya. Meskipun melihat bentuk lahiriahnya, gurunya sudah menjelang tua, tetapi ternyata tubuhnya masih kuat. Tampaknya Kiai Pucang Tunggal dari Gajah Mungkur itu sama sekali lidak mengalami kesulitan apapun, memapah Pikatan berjalan kembali kemulut Goa Pabelan" "Pikatan" berkata gurunya "bau darah telah memanggil burung-burung itu. Kalau kau pingsan diantara mereka, maka burung-burung itu tidak akan memberimu kesempatan untuk sadar kembali" Tanpa sesadarnya Pikatan menengadahkan wajahnya. Dilihatnya beberapa ekor burung hitam pekat berterbangan diudara berputar-putar diatas mulut Goa Pabelan.
116 Tanpa disadarinya, dadanya tergetar. Burung-burung yang buas itu akan dapat membunuhnya selagi ia pingsan. Paruh yang tajam akan. Menyobek bekas lukanya itu menjadi semakin lebar, kemudian membelah dadanya dan mengorek isi perutnya. Beberapa langkah, kemudian, merekapun segera sampai pula di depan mulut Goa Pabelan. Mereka segera melihat prajurit yang memimpin pasukan kecil itu berusaha mengumpulkan anak buahnya yang masih hidup, meskipun terluka parah. Ketika ia melihat Pikatan dipapah Kiai Pucang Tunggal, maka iapun menyongsongnya sambil bertanya "Darimana kau Pikatan" "Aku tadi haus sekali. Aku berusaha mencari belik untuk minum. Tetapi aku menjadi pingsan" Pemimpin pasukan kecil itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban Pikatan memang masuk akal. Air belik kecil memang lebih bersih dari air sungai, sehingga karena itu, ia tidak bertanya lagi kepadanya. Yang dipandanginya kemudian adalah Kiai Pucang Tunggal yang memapah Pikatan. "Siapakah kau, Ki Sanak" " ia bertanya. "Aku sedang mencari kayu bakar, tuan" jawab Pucang Tunggal "aku menemukan anak muda ini sedang pingsan. Aku mencobanya menitikkan air di bibirnya. Dan iapun kemudian dapat sadar kembali" "Terima kasih" jawab pemimpin pasukan itu "ia adalah. seorang calon prajurit yang uar biasa. Ternyata ia memiliki kemampuan bukan saja melampaui kawan-kawannya, caloncalon prajurit yang lain, tetapi ia mempunyai kemampuan melampaui prajurit yang sudah lama bertugas" "Ah" Pikatan menyahut "tidak. Ternyata aku telah gagal"
117 "Jangan pikirkan" potong Puranti "sekarang, bagaimana dengan kawan-kawanmu yang terluka lainnya" Pemimpin pasukan itu mengerutkan keningnya. Ia tidak segera menemukan pemecahan, bagaimana mengurus kawankawannya yang terluka itu. Adalah tidak mungkin ia membawa mereka kembali ke kota dalam keadaan serupa itu" Selagi pemimpin pasukan kecil itu termangu-mangu, maka Puranti berkata "Apakah tuan. tidak berkeberatan apabila aku pergi ke padukuhan terdekat, minta bantuan kepada penghuninya, agar mereka bersedia menolong kita dan memberikan tempat untuk sekedar menumpang dan bersamasama mengubur mayat-mayat yang berserakan ini?" "Aku akan berusaha, apabila mungkin, membawa mayat kawan-kawanku kembali ke Demak" jawab prajurit itu. "Maksudku mayat para penghuni Goa Pabelan ini" Pemimpin prajurit itu berpikir sejenak, lalu "Aku sangat berterima kasih atas segala bantuanmu" Puranti menggelengkan kepalanya, jawabnya "Aku sekedar melakukan kuwajibanku" Tetapi, apakah ada seseorang yang akan bersedia membantu kita" "Aku akan berusaha" Pikatan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ketika Kiai Pucang Tunggal meletakkannya diatas sebuah batu, maka Pikatanpun segera menundukkan kepalanya dalam-dalam. Pucang Tunggal tidak mengatakan apa-apa kepadanya. Ia tahu benar, apakah yang sedang bergolak didalam hati anak muda itu. Kegagalannya dan kehadiran Puranti agaknya telah sangat menyinggung perasaannya. Apalagi luka dipundaknya adalah termasuk luka yang berat, meskipun tidak membahayakan jiwanya.
118 Ternyata bahwa Puranti benar-benar telah meninggalkan mereka pergi, kepadukuhan yang terdekat. Dengan segala usaha ia meyakinkan orang-orang di padukuhan itu, apa yang telah terjadi di Goa Pabelan. Ternyata Puranti menemui banyak kesulitan. Orang-orang di padukuhan terdekat tidak segera dapat mempercayainya. Bahkan salah seorang dari. mereka berkata "Tetapi, apakah kau bukan dari lingkungan mereka?" "Tentu bukan. Kalau aku orang yang tinggal di Goa Pabelan, apakah keuntunganku minta pertolongan kalian" Katakanlah aku akan menjebak kalian, apakah gunanya" Kalau aku penghuni Goa Pabelan dan ingin membunuh kalian, kami tidak usah membohongi kalian dengan dalih apapun. Tetapi kami akan datang kemari dan berbuat apa saja sesuka hati kami" Puranti berhenti sejenak. lalu "percayalah, bahwa aku mohon bantuan kalian atas nama pimpinan prajurit Demak" Orang-orang padukuhan itu masih saja ragu-ragu. Namun akhirnya mereka tidak dapat menolak lagi. Seandainya orang perempuan yang membawa pedang itu orang yang menghuni Goa Pabelan. maka menolak permintaannyapun akan berarti bancana bagi padukuhan itu. Demikianlah maka beberapa orang dari pedukuhan itu telah mengikuti Puranti. Dan merekapun menemui kenyataan, bahwa mereka benar-benar telah membantu tugas prajurit dari Demak yang telah membinasakan sebagian terbesar dari penghuni Goa Pabelan. Dalam pada itu, para calon prajurit yang terlukapun mendapat tempat pula diantara. penduduk padukuhan kecil yang hidup dalam keadaan sederhana, Namun justru demikian, mereka telah berbuat sebaik-baiknya bagi para calon prajurit itu. Untuk menyelesaikan semua masalah, pengiriman kembali para calon prajurit yang gugur, dan pengawalan orang-orang
119 yang terluka, maka pemimpin prajurit itu minta agar Puranti bersedia mermnggui para prajurit yang terluka untuk satu hari. Prajurit itu sendiri akan segera pergi ke Demak dan membawa segala peralatan yang diperIukan untuk mengambil semuanya itu. "Aku memerlukan seekor kuda" desisnya "supaya aku cepat kembali dan membawa korban-korban itu kembali ke Demak. Puranti mengerutkan keningnya. Memang ngeri sekali menunggui orang-orang yang terluka dan beberapa sosok mayat yang berbaring berjajar-jajar diamben yang besar. Tetapi apabila tertunda sehari saja, maka keadaan itu akan menjadi semakin buruk. Karena itu, maka puranti tidak dapat berbuat lain. Ketika ia memandang ayahnya, orang tua itu menganggukkan kepalanya. "Baiklah" berkata Puranti "pergilah. Tetapi tuan harus cepat kembali. Kalau besok pagi tuan belum kembali, maka kami akan menguburkan mayat-mayat ini" "Aku akan segera kembali. Berhasil atau tidak berhasil mendapatkan bantuan untuk kepentingan itu. Prajurit yang memimpin pasukan kecil itupun segera berusaha untuk mendapatkan seekor kuda. Adalah sulit sekali didalam padukuhan kecil itu. Tetapi untunglah, bahwa ada juga seseorang yang memiliki seekor kuda meskipun tidak begitu tegar. Tetapi meskipun demikian kuda itu akan dapat mempercepat perjalanan. Sepeninggal prajurit itu, Puranti dan Kiai Pucang Tunggal telah berusaha merawat mereka yang terluka sebaik-baiknya. Bukan saja Pikatan, tetapi setiap orang mendapat perawatan dan pengobatan sementara. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Kiai Pucang Tunggal, bahwa persoalan Goa Pabelan itu pasti masih akan
120 berkepanjangan, Hantu Bertangan Api yang muda itu pasti akan segera menemui gurunya dan mengatakan apa yang sudah terjadi. Kiai Pucang Tunggal dan Puranti tidak perlu menunggu terlampau lama. Ketika kemudian malam datang menyelubungi padukuhan kecil didekat Goa Pabelan itu, maka dua orang berjalan tergesa-gesa mendekatinya. Mereka telah mencium usaha para calon prajurit itu, untuk merawat diri sementara dipadukuhan kecil itu. Seorang anak buahnya yang lolos sempat mengintipnya dan kejauhan. "Kita harus membinasakan semuanya" berkata Hantu yang muda itu kepada gurunya. "Siapakah yang akan dapat menghindarkan dirinya?" gurunya menggeram "orang-orang yang sombong itu akan menyesal. Tetapi perempuan yang kau katakan itu menumbuhkan pertanyaan bagiku. Jarang sekali, atau bahkan belum pernah aku dengar bahwa ada seorang perempuan yang memiliki kemampuan demikian tinggi. Yang sanggup melawan kakakmu sekaligus dengan pembantunya yang timpang itu" "Itulah guru. Kegagalan kami sebagian terbesar karena perempuan itu" "Jadi menurut pertimbanganmu ada tiga orang yang harus mendapat perhatian. Perempuan itu, orang yang mula-mula berkelahi melawan kakakmu tetapi kemudian ia justru terluka dan seorang prajurit. Begitu?" Hantu yang muda itu mengangguk "Ya guru. Tetapi laki-laki yang telah terluka itu aku kira sudah tidak akan dapat berbuat banyak" Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya "Jadi dua orang saja?" "Ya"
121 "Kita akan segera selesai" Hantu yang muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangannya sudah gemetar oleh nafsu dendamnya yang melonjak sampai keubun-ubun "Namun demikian ia masih juga sempat berpikir "Perempuan itu rupanya cukup cantik juga" Demikianlah keduanya tanpa ragu-ragu langsung pergi keahalaman rumah yang telah dipinjam oleh para calon prajurit untuk sekedar beristirahat. Tanpa ragu-ragu Hantu Bertangan Api yang muda segera berteriak dari halaman "He, orang-orang yang gila. Sekarang kalian akan menyesal, bahwa kalian telah datang ke Goa Pabelan" Semua. orang yang ada didalam rumah itu mendengar suara yang bagaikan petir yang meledak diatas bumbungan atap. Dada mereka berdesir tajam dan jantung mereka serasa berdentangan. Dalam keadaan itu, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Satu-Satunya orang yang akan dapat bertempur melawan para penjahat itu tinggallah perempuan yang sebenarnya bukan termasuk didalam pasukan kecil itu. Apalagi pemimpin mereka pada saat itu sedang pergi ke Demak. Para calon prajurit yang terluka itu saling berpandangan sejenak. Sebelum ada seseorang yang dapat menjawab, suara diluar sudah terdengar lagi "Kedatangan kami kali ini ingin menebus kekelahan kami, Nyawa kawan-kawan kami, apalagi nyawa kakakku itu. nilainya adalah seratus kali lipat dari nyawa kalian. Dengan demikian. maka kalian semuanya akan kami binasakan dengan cara kami untuk memberikan sedikit imbangan dari kesombongan kalian" Para calon prajurit yang ada didalam rumah itu sama sekali tidak dapat berbuat apapun juga. Mereka yang berhati tabah, hanya dapat pasrah diri, karena mereka tidak lagi mempunyai
122 kekuatan untuk melawan. Namun tangan mereka masih juga meraba senjata masing-masing sambil berbaring di amben. Sedang mereka yang hatinya telah susut oleh kengerian melihat perkelahian yang telah terjadi, mulai menggigil ketakutan. Pikatan yang duduk bersandar dinding mengerutkan keningnya. Ditatapnya Puranti yang duduk disisi ayahnya, Kiai Pucang Tunggal. Ada suatu ketenangan yang menyiram dadanya, justru karena gurunya ada. Tetapi sekali lagi merasa dihentakkan oleh nilai harga dirinya yang seakan-akan, terlempar ketempat sampah. Karena itu, Pikatan sama sekali tidak berbuat apapun juga. Ia tahu, bahwa dalam keadaan yang memaksa, gurunya pasti tidak akan tinggal diam. Namun demikian masih tergantung juga siapakah yang datang. Pikatanpun sudah menduga, bahwa Hantu berrtangan api yang muda itu pasti datang bersama gurunya. Puranti sendiri masih belum beranjak dari tempatnya. Sekilas ia memandang wajah ayahnya yang sedikit berubah. Oleh cahaya lampu yang redup, Puranti melihat dahi orang tua itu berkerut. "Mereka datang " desis Kiai Pucang Tunggal. "Ya. Agaknya mereka telah datang" sahut Puranti sambil bertanya "apakah menurut dugaan ayah, mereka datang bersama gurunya?" "Mungkin sekali. Hantu yang muda itu sempat naik kegunung Merapi. Disanalah gurunya tinggal. Dilereng-lereng Gunung Merapi itu" Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Itulah agaknya mereka memilih tempat ini. Tempat yang tidak begitu jauh dari padepokan gurunya"
123 Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Apakah kita akan keluar ayah?" Ayahnya tidak segera menjawab. Sekilas dipandanginya wajah Pikatan yang tertunduk. Namun kemudian kepalanyapun terangguk-angguk lemah. Purantipun berpaling sejenak pula. Tetapi ia tidak ingin beradu pandang dengan Pikatan. Ia sadar, bahwa perasaan Pikatan sedang tertekan karenanya. Sejenak kemudian iapun telah berdiri. Dibenahinya pakaiannya dan dirabanya hulu pedangnya. "Aku akan keluar ayah" "Marilah" berkata ayahnya. Namun Kiai Pucang Tunggal masih juga berkata kepada Pikatan "aku akan melihat siapakah prang yang ada dihalaman itu" Pikatan mengangkat wajahnya. Wajah itu terangguk kecil, dan terdengar suaranya lirih "Silahkanlah guru" "Tetapi Pikatan tidak memandang lagi gurunya yang berjalan dibelakang Puranti menuju kepintu depan. Sejenak kemudian pintu itupun berderit. Purantilah yang pertama-tama melangkah keluar. "Ha, kau masih ada disini" berkata Hantu Bertangan Api yang muda "aku memang memerlukan kau. Dimanakah prajurit itu?" "Untuk apa kau mencarinya?" bertanya Puranti. "Pertanyaanmu aneh. Aku datang untuk membinasakan kalian" "Apakah kau tahu akibatnya?" Hantu yang muda itu tidak segera menyahut. "Kalau kau bunuh prajurit itu, maka apakah kau akan berani melawan kekuasaan Demak" Itu berarti bahwa kalian
124 telah memberontak, tidak sekedar melakukan kejahatan. Tetapi telah melakukan pengkhianatan" Sejenak Hantu yang muda itu terdiam. Namun kemudian ia berkata "Apapun yang kami lakukan, kami memang sudah berhadapan dengan kekuasaan Demak. Kami akui, bahwa pada suatu saat kami tidak akan dapat menghadapi sepasukan prajurit pilihan. Tetapi ada kelebihan kami dari prajurit pilihan itu. Kami dapat bersembunyi di goa-goa dan di padukuhanpadukuhan terpencil." "Tidak akan ada sejengkal tanahpun yang akan lolos dari pengamatan prajurit Demak" "Persetan. Aku tidak peduli, Menyerahlah. Mungkin aku mengambil keputusan lain karena kau seorang perempuan" "Akulah yang membunuh saudara tuamu" Hantu yang muda itu menggeram. Tiba-tiba dendamnya menyala di dadanya. Katanya "Ya. Aku akan membunuhmu" "Aku mengalahkan kakakmu. Sekarang kau akan melawan aku" Atau kau membawa seseorang yang kau sangka dapat mengalahkan aku ?" "Aku tidak mengelak. Aku datang bersama guruku" Puranti mengerutkan keningnya, lalu "Maaf, Aku belum mengenalnya. Orang itukah gurumu?" "Ya. Inilah guruku. Kau tidak akan dapat menengadahkan kepalamu lagi. Berlututlah, dan biarlah kami memutuskan, apakah yang akan kami lakukan atasmu" Dada Puranti berdesir, Tetapi untunglah bahwa ayahnya menyusulnya pula, sehingga ia tidak perlu cemas, meskipun Hantu Bertangan Api itu datang bersama gurunya. "Cepat" bentak Hantu itu "sebelum aku mengambil keputusan lain"
125 "Apakah kita akan bertempur dan disaksikan oleh gurumu" Apakah kau akan memperlihatkan bagaimana nasib kakakmu kepada gurumu?" "Jangan terlampau sombong ngger" suara itu serak dan dalam "aku sudah mendengar bahwa muridku yang tua telah terbunuh. Aku kagum mendengarnya, bahwa seorang perempuan telah dapat mengalahkan muridku yang tua, yang bertempur berpasangan dengan pembantunya yang terpercaya" "Jadi?" potong Puranti. "Terpaksa aku datang untuk menuntut kematian muridku itu. Kau akan menjadi orang yang berbahaya bagi duniaku, ngger cah ayu, dan terutama bagi muridku yang muda" Sebelum Puranti menjawab, ayahnyalah yang mendahuluinya menyahut "Kiai Sampar Angin, apakah tidak sebaiknya kita serahkan persoalan anak-anak itu kepada anakanak saja?" Pertanyaan itu benar-benar telah mengejutkan orang yang dipanggil Sampar Angin. Dicobanya untuk mengenal wajah orang yang berdiri dimuka pintu itu. Tetapi justru karena sinar pelita di dalam rumah, maka orang yang berdiri itu bagaikan bayangan hitam, yang nampak hanya sekedar sebuah bentuk tanpa lekuk dan relung diwajahnya. "Siapa kau" bertanya Kiai Sampar Angin. Kiai Pucang Tunggal tidak segera menjawab. Namun bahwa ia langsung dapat menyebut namanya, Purantipun menjadi heran pula karenanya. "Siapa kau?" bertanya Sampar Angin sekali lagi. "Apakah kau tidak mengenal aku lagi?" bertanya Pucang Tunggal "kita pernah menjadi kawan bermain dimasa muda, kita pernah berguru bersama-sama. Tetapi kemudian jalan
126 kita berpisah. Kau mendapatkan seorang guru lain yang kau anggap lebih sesuai dengan jiwa petualanganmu" "Kaukah anak dungu itu" Kaukah yang dahulu bernama Pandean anak Gajah Mungkur itu?" "Ya, ternyata kau masih ingat kepadaku. Bukankah kau juga berasal dari Gajah Mungkur?" "O" tiba-tiba wajah Kiai Sampar Angin menjadi suram. "Palaran" berkata Kiai Pucang Tunggal "sudah lama aku ingin menemuimu. Sudah lama aku mengenal jejakmu. Aku tahu bahwa selama ini kau tinggal dilereng Gunung Marapi dan menyebut dirimu Sampar Angin. Meskipun kau seakanakan terasing dikaki Gunung itu dilereng Selatan, namun aku masih berhasil menemukanmu" "Apakah maksudmu membayangi aku Pandean?" "Aku tidak pernah bermaksud mernbayangimu Palaran. Tetapi aku masih ingin berbuat sesuatu sebagai seorang sahabat." Sampar Angin yang juga bernama Palaran itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia bartanya "Jadi perempuan ini muridmu?" "Ya" "Kau memang aneh, apakah tidak ada laki-laki di dunia ini, sehingga kau mengambil perempuan menjadi muridmu?" "Selain muridku, ia adalah anakku" "O" Palaran terkejut " jadi perempuan itu anakmu " Dan siapakah laki-laki yang dikatakan oleh muridku, berhasil mengimbangi kemampuan muridku yang tua", tetapi tidak barhasil melawannya berpasangan" Apakah laki-laki itu suami anakmu?"
127 Pucang tunggal menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Bukan. Laki-laki itu adalah muridku" Sampar Angin mengangguk-anggukkan kepalanya. Katika Kiai Pucang Tunggal melangkah mendekatinya, hatinya menjadi berdebar-debar. "Kita bertemu dalam keadaan serupa ini" berkata Kiai Pucang Tunggal. "Ya. Murid-muridmulah yang telah membuat hubungan kita seakan-akan menjadi semakin jauh" sahut Sampar Angin "apakah kau tidak tahu bahwa murid-muridmu mengaja telah menyerang murid-muridku" Padahal kau tahu bahwa dengan demikian akan dapat menanamkan dendam di hati kita masing-masing" "Terpaksa sekali" sahut Pucang Tunggal "aku mempunyai pertimbangan tersendiri" Kiai Sampar Angin menundukkan kapalanya. Ada sesuatu yang terasa menggetarkan hatinya pada pertemuan yang tidak disangka-sangkanya itu Hantu Bertangan Api yang muda menjadi termangu-mang seperti juga Puranti. Mereka tidak menyangka, bahwa guru mereka ternyata telah saling kenal. "Guru" bertanya Hantu yang muda itu "jadi, apakah yang akan kita lakukan sekarang?" Kiai Sampar Angin menarik nafas dalam-dalam. "Apakah kita akan sekedar menanam dendam dihati kita dan membiarkan kematian kakang tidak berbalas?" Gurunya tidak segera menyahut. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya Kiai Pucang Tunggal memandanginya dengan tajamnya. Dan sebelum ia berkata sesuatu, Pucang Tunggal mendahuluinya "Sampai sekarang aku masih tetap berada di Gajah Mungkur. Memang aku pernah pergi meninggalkan tanah perbukitan itu untuk beberapa tahun,
128 tetapi setiap kali aku selalu kembali ke kampung halaman. Berbeda dengan kau, kau tidak pernah puiang. Kau berpindah dari satu tempat ketempat yang lain, sehingga beberapa tahun terakhir kau menetap dilereng Selatan Gunung Merapi. dan murid-muridmu mengambil tempat bersembunyi yang tidak jauh dari padepokanmu itu" "Guru" desak Hantu yang muda itu. Gurunya tidak menjawab. "Marilah kita berbicara" berkata Kiai Pucang Tunggal. "Jangan guru. Orang itu berusaha untuk melemahkan niat kita untuk membalas dendam kematian kakang. Jangan dibiarkan ia berbicara terlampau banyak. Kita bunuh saja mereka" Puranti mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. "Kita dapat duduk diatas batu-batu itu" barkata Kiai Pucang Tunggal. "Tidak. Kami tidak akan duduk" Hantu yang muda itulah yang menjawab "Kami akan menuntut kematian dengan kematian. Tetapi hantu yang muda itu terkejut. Ternyata gurunya menggelengkan kepalanya. Katanya "Tenanglah. Aku akan berbicara dengan orang ini" "Apakah yang akan guru bicarakan?" "Ada beberapa persoalan yang akan kita bicarakan." Terasa dada hantu yang muda itu bergetar. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Dadanya serasa meledak ketika ia melihat kedua orang tua-tua itu kemudian duduk. diatas sebuah. Batu yang besar yang terdapat dipinggir halaman itu, sedang Puranti berdiri di belakang ayahnya bersandar sebatang pohon. "Palaran" berkata Pucang Tunggal setelah mereka duduk sejenak "sudah lama sekali aku berusaha menemuimu
129 berhadapan seperti sekarang. Tetapi aku tidak pernah mendapat kesempatan, setiap kali aku datang ke padukuhan tempat tinggalmu, kau selalu tidak tida di rumah" Sampar Angin tidak menyahut. "Apakah kau mengerti kenapa aku berusaha mencarimu?" Sampar Angin menatap wajah Pandean sejenak. Kemudian tanpa disadarinya ia berpaling kepada muridnya. "Aku tahu siapakah sebenarnya murid-muridmu itu" Palaran menarik nafas dalam dalam. Namun kata-kata itu telah menggetarkan dada Hantu Bertangan Api yang muda itu. "Kenapa kau tidak mencegahnya sebelum terlambat" Dan bahkan tampaknya kau justru melindungi mereka?" bertanya Kiai Pucang Tunggal. Ki Sampar Angin tidak menjawab. "Sejak kanak-kanak kita memang hidup dalam kesulitan, kita adalah anak petani-petani miskin. Tetapi aku tidak jatuh kedalam cengkeraman serba benda seperti kau. Aku tidak jatuh menjadi budak badani seperti itu. Aku masih berusaha memelihara keseimbangan lahir dan batin" "Pandean" potong Sampar Angin "sudahlah. Kita sudah sama-sama tua. Kita sudah sama-sama mengenal yang buruk dan yang baik. Jangan menggurui aku seperti menggurui anak-anak" "Tetapi aku cemas melihat tingkah lakumu selama ini" "Jangan hiraukan aku Pandean. Aku senang dan bangga melihat kau tumbuh subur. Bahkan barangkali paling subur diantara anak-anak Gajah Mungkur. Apalagi kau menjadi seorang yang saleh dan suci. Tetapi, biarlah kita memilih jalan kita masing-masing" "Tentu tidak Palaran. Aku sama sekali bukan seorang yang saleh dan suci. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang suci.
130 Semua pasti tersentuh oleh kesalahan dan dosa. Demikian juga aku. Tetapi bukankah kita wenang untuk mencari jalan yang sebaik-baiknya" "Terima kasih. Kau memang seorang guru yang lengkap. Kau dapat menjadikan muridmu seorang yang perkasa, tetapi juga membuat mereka berhati lembut seperti nabi" "Jangan berlebih-lebihan Palaran" berkata Pandean "aku juga seorang yang tamak. Aku juga seorang yang kadangkadang dibayangi oleh harga diri yang berlebih-lebihan. Kalau aku seorang yang saleh dan suci, buat apa aku mempelajari olah kanuragan" Bahwa aku merasa perlu untuk mempelajarinya dan kemudian menurunkan ilmu itu kepada anak dan muridku, itu sudah selingkar noda didalam hidupku. Bahwa aku masih membayangkan bahwa pada suatu saat aku atau anak dan muridku, memerlukan suatu tindak kekarasan" Pucang Tunggal berhenti sejenak, lalu "Dan itu adalah dosa. Dosa dapat terjadi dalam perbuatan, tetapi juga sekedar didalam ucapan dan angan-angan, meskipun belum terungkapkan dalam perbuatan" Sampar Angin menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Sudahlah. Aku mengerti, Jangan kau sangka bahwa aku tidak dapat membedakan baik dan buruk. Jangan kau sangka aku tidak mengeiti, bahwa kelimpahan harta benda yang aku dapatkan dengan cara yang di tempuh oleh murid-muridku itu salah. Seperti kau dan kebanyakan orang, aku tahu. Aku mengerti dan bahkan aku yakin. Tetapi aku tidak kuasa menentang nafsu. Nafsu yang aku mengerti bahwa itu tidak baik" "Apakah untuk selama-lamanya kau sudah menganggap cukup dengan pengertianmu itu, tetapi jauh dari perbuatan yang nyata itu?" Sampan Angin mengerutkan keningnya. Tetapi sekali lagi ia berkata "Pandean. Aku kira setiap orang yang paling jahat sekalipun mengerti, mana yang baik dan mana yang tidak
131 baik. Tetapi kami, orang-orang yang disebut orang jahat, kadang-kadang tidak lagi menghiraukannya apa yang baik dan tidak baik itu. Kami tidak mempedulikannya lagi. Kami berani menanggung segala akibat dari perbuatan tidak baik itu. Seperti sekarang ini, meskpun harus ditebus dengan kematian. Dan bahkan kami masih datang untuk. membalas dendam" "Aku juga tahu" sahut Pandean "tetapi apakah tidak pernah terpikir olehmu, bahwa pada suatu saat, pertanggung-jawaban itu bukan sekedar pertanggungan jawab duniawi" "Sudahlah, sudahlah guru" potong Hantu yang muda "kita tidak sedang berguru ilmu kebatinan atau agama apapun juga. Kita datang untuk menuntut balas" "Duduklah" berkata Kiai Sampar Angin "cobalah menahan hati sedikit. Akupun sedang menjelaskan, bahwa aku dan kau dan semua orang yang berada di dalam pengaruh kita, tidak sedang berguru dalam ilmu saleh" "Tetapi kita tidak usah berbicara. Kita bunuh saja mereka. "Duduklah" "Aku tidak ingin duduk guru. Aku ingin, membunuh" "Baiklah" berkata Kiai Sampar Angin "kita memang datang untuk membunuh. Aku sudah kehilangan seorang murid terkasih. Aku harus berusaha mengobati sakit hati. Nah, Hantu Bertangan Api. Lawanlah perempuan itu, aku jakan berusaha membunuh gurunya" Tiba-tiba dada Hantu yang muda itu berdesir. Ia kenal ketinggian ilmu perempuan yang bernama Puranti itu. Ia telah melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana perempuan itu membunuh dua orang lawannya berturut-turut. Hantu Bertangan Api yang tua dan pembantunya yang paling dipercaya.
132 Karena itu, tawaran gurunya itu justru membuatnya terbungkam, sehinggga untuk sejenak ia tidak dapat menjawab. "Duduklah" tiba-tiba saja suara gurunya merendah "aku harus mengakui kenyataan ini dihadapan seorang sahabatku, meskipun kami berselisih jalan. Pandean adalah seorang guru yang pasti mumpuni. Ia dapat membentuk anak perempuannya menjadi seorang yang hampir tidak masuk akal didalam keadaannya yang wajar" Tiba-tiba Hantu itu membeku ditempatnya. Ia terlempar pada kenyataan yang tidak akan dapat dielakkannya lagi. "Palaran" berkata Kiai Pucang Tunggal "aku tahu, bahwa kau bukan anak-anak. Semua yang kau lakukan pasti bukan tidak beralasan dan pasti kau lambari dengan suatu keyakinan pula. Tetapi baiklah kau pikirkan sekali lagi. Apakah manfaatnya kau tetap pada pendirianmu. Kau sudah kehilangan seorang muridmu" Kiai Pucang Tunggal berbenti sejenak, lalu "Adalah suatu perbuatan yang aneh-aneh pula, bahwa kau menamai muridniu Hantu Bertangan Api. Kenapa tidak kau panggil saja namanya Suwela dan yang terbunuh itu bernama Subentar" Kiai Sampar Angin menarik nafas dalam-dalam. "Aku tahu. Selain mereka bermaksud menakut-nakuti lawan-lawannya dengan nama itu, merekapun berusaha lari dari keluarganya. Sebenarnya keluarganya bukan keluarga yang memungkinkan membuatnya seperti itu. Ibunya pasti selalu merindukan anak-anaknya sepanjang hidupnya. Dan anak-anaknya itu kini berkeliaran tidak menentu" "Sudahloh Pandean. Aku berterima kasih atas paringatanperigatanmu itu. Tetapi kau kurang bijaksana, Kau mengatakan hal itu dihadapan hidung orang itu sendiri. Dihadapan Suwela"
133 Kiai Pucang Tunggal tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah Hantu Bertangan Api yang muda itu sejenak. tampaklah wajah itu menjadi semakin tegang. Bahkan kemudian Hantu Bertangan Api itu menundukkan kepalanya. "Kiai Sampar Angin" berkata Kiai Pucang Tunggal "aku memang sengaja ingin menyentuh hatinya. Aku tahu sebenarnya siapakah Suwela itu. Aku tahu benar siapakah Ki Jagasanta, ayah anak-anak muda yang menyebut dirinya atau mungkin kaulah yang menerima Hantu Bertangan Api itu. Aku kenal pula ibunya, perempuan yang terlampau lembut itu" "Cukup, cukup" tiba-tiba Hantu Bertangan Api yang muda itu berteriak "jangan mencoba melemahkan hatiku dengan cerita khayalmu itu" "Apakah kau sempat mengingatnya" Atau membayangkan wajahnya" Seorang ibu yang berlinang air mata karena merindukan anaknya yang pergi dari sisinya" "Sudahlah" potong Sampar Angin "apakah sebenarnya maksudmu mengungkit hal itu?" "Kiai Sampar Angin" berkata Pucang Tunggal "jangan membiarkan kedua anak Ki Jagasanta itu mengalami nasib yang sama. Aku mengharap bahwa masih ada kesempatan baginya untuk kembali kepada ibunya" "Diam, diam" bentak Hantu Bertangan Api. Dan sebelum Pucang Tunggal menyahut, Sampar Angin telah mendahuluinya "Sudahlah Pandean. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Tetapi bukan itu tujuan kedatanganku. Aku memang ingin membalas dendam. Namun demikian, tidak ada gunanya aku berbuat sesuatu. Meskipun aku belum tahu betapa jauh kau mencapai tingkat kesempurnaan ilmumu, tetapi baiklah aku mengakui bahwa menghadapi kau dan anakmu, kami memang belum siap. Itulah sebabnya setelah aku melihatmu ada disini pula, aku sama sekali tidak berminat lagi untuk berkelahi. Yang pasti,
Maut Dari Hutan Rangkong 2 Pendekar Naga Putih 104 Perantauan Ke Tanah India Pendekar Misterius 7