Yang Terasing 3
Yang Terasing Karya S H Mintarja Bagian 3
134 muridku yang tinggal seorang ini akan binasa pula ditangani anak perempuaumu. Seandainya aku berhasil membunuhmu, aku kira hidupku tidak akan banyak berarti lagi. Aku tidak akan segera dapat membentuk seseorang yang siap menerima tetesan ilmuku yang sempurna" "Jadi, apa maksudmu kemudian" "Niatku, aku minta diri. Aku akan menunda pembalasan dendam ini, Tetapi kalau kau takut, bahwa pada suatu saat kau tidak akan dapat mengatasi kemampuan kami, maka sekarang kau mendapat kesampatan untuk mengalahkan kami berdua. Anakmu dapat membunuh muridku, dan aku akan menyerahkan hidup matiku kepadamu" "Jangan berputus asa Palaran. Pintu masih selalu terbuka. Pintu yang akan menghubungkan kau dengan duniamu yang bakal datang ALLAH Maha Pengampun" Kiai Sampar Angin tertawa, katanya "Terima kasih. Beribu terima kasih" "Palaran, apakah hatimu memang sudah membeku?" "Tentu tidak. Hatiku masih cair. Tetapi maaf bahwa. aku memilih jalan lain. Kalau kau masih berani melihat kesempatan bagi kami dimasa datang, kami akan minta diri. Tetapi walaupun demikian, kemungkinan yang bakal terjadi, kau dan anak muridmulah yang bakal manjadi korban" Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. "Tetapi kalau kau tidak berani mengalami akibat yang buruk itu, kau dapat membunuh kami sekarang" "Tidak Aku tidak akan membunuh. Dan akupun berharap bahwa kau dan muridmu itupun tidak akan membunuh kami kelak"
135 Tentu, kami sudah dibakar oleh dendam. Kami akan membunuh kalian kelak kalau kalian tidak membunuh kami sekarang" Waktu itu cukup panjang bagimu dan bagi muridmu untuk merenungi hari-hari lampaumu. Waktu itu cukup panjang bagi seorang anak untuk mengenal arti rindu kepada seorang ibu yang melahirkannya. Aku berharap bahwa waktu itu akan datang. Bukan pembunuhan, tetapi taubat kepada Sang Pengampun" Ki Sampar Angin menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kau memang mengagumkan Pandean. Kau terlampau percaya kepada diri sendiri" "Lebih dari itu. Aku. percaya kepada kekuasaan ALLAH SWT, itulah sebabnya aku percaya bahwa kalian juga akan mendapatkan hidayahnya" Sekali lagi Sampar Angin tersenyum. Kemudian ia berpaling kepada muridnya sambil berkata "Marilah kita pergi. Mereka tidak ingin membunuh kita sekarang. Meraka akan memberi kesempatan kepada kita untuk membunuh mereka dikemudian hari" Hantu Bertangan Api tidak menjawab. Tetapi terdengar giginya gemeretak. Sejenak kemudian Ki Sampar Angin itupun berdiri dan minta diri" "Mudah-mudahan kau segera kembali ke Gajah Mungkur, muridmu kembali kepada ibunya yang semakin tua" "Kami akan datang ke Gajah Mungkur untuk melepaskan dendam yang membakar hati kami" seru Hantu Bertangan Api. "Akan datang saatnya, api di tanganmu akan padam. Kau bukan hantu yang menakut-nakuti ibumu Suwela. Kau baginya adalah seorang yang paling dicintai dimuka bumi"
136 "Diam. diam" Pucang Tunggalpun terdiam. Dipandanginya saja Kiai Sampar Angin dan muridnya yang kemudian meninggalkan Kiai Pucang Tunggal dan Puranti yang termangu-mangu. "Ayah, ayah" desis Puranti setalah mereka tidak tampak lagi terbenam didalam kegelapan "jadi ayah sudah mengenal mereka yang justru berasal dari Gajah Mungkur juga" Kenapa ayah tidak mengatakan bahwa gurunya berasal dari daerah yang jauh sekali?" Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menggelengkan kepalanya sambil menjawab "Aku berbohong saat itu supaya kau tidak ragu-ragu apabila kau berhadapan dengan muridnya, Hantu Bertangan Api itu" "Dan ayah juga mengetahui banyak tentang muridnya yang menghuni Goa Pabelan itu" "Ya. Aku mengetahui" "Tetapi ayah sengaja membiarkan kami membinasakan mereka?" "Aku hampir tidak melihat lagi bahwa mereka akan dapat menempuh jalan kembali" ia berhenti sejenak, lalu "meskipun demikian aku mencoba untuk yang terakhir kalinya. Aku melepaskan mereka untuk tetap hidup. Aku ingin melihat apa yang akau mereka lakukan" "Apakah ayah sudah mencoba sebelum ini?" "Ya. Tetapi bukan aku sendiri. Ayah kedua Hantu itulah yang datang kepada anak-anaknya. Tetapi sebelum ia mencapai mulut Goa Pabelan, ia telah dikeroyok oleh anak buahnya" "Apakah kedua hantu itu tidak melihat?"
137 "Mereka melihatnya. Tetapi mereka takut menemui ayahnya sehingga mereka membiarkan, ayahnya itu menjadi korban keganasan anak buahnya" "Apakah ayahnya tidak dapat mengatakan keperluannya?" Kiai Pucang Tunggal merenung sejenak. Tampak nafasnya tertahan-tahan. Dari sela-sela bibirnya ia berkata lirih "Kedua anaknya itulah yaug agaknya dengan sengaja memberi kesempatan kepada anak buahnya untuk membunuh laki-laki tua itu" "O, terkutuklah" "Itulah sebabnya aku tidak berkeberatan kau membunuhnya Anak durhaka yang tidak pantas lagi hidup dibumi Tuhan ini" Tetapi suara Kiai Pucang Tunggal meuurun "Tetapi kita adalah orang-orang yang berjiwa kerdil. Aku baru sadar bahwa sepasang Hantu itu adalah justru manusia yang paling malang. Manusia yang harus dikasihani. Dan aku mencoba untuk menaban dirii saat ini. Ketika Hantu yang muda itu datang bersama gurunya." Puranti menarik nafas dalam-dalam. Ia mengurungkan niatnya untuk bertanya, kenapa ayahnya tidak menyuruhnya membinasakan Suwela itu sama sekali, justru mereka telah datang untuk membalas dendam. "Sudahlah Puranti" berkata ayahnya "kita mencoba untuk melupakan sejenak. Tetapi ingatlah, bahwa dendam itu masih menyala dihati mereka, meskipun kita mengharap bahwa pada suatu saat api dendam itu akan padam" "Ya ayah" "Pada saatnya kau harus tetap berhati-hati" "Ya ayah" "Sudahlah. Marilah kita lihat, apakah Pikatan dapat beristirahat"
138 Keduanyapun kemudian memasuki ruangan didalam rumah itu. Mereka melihat Pikatan masih duduk bersandar dinding sambil menyilangkan tangan didadanya. Tatapan matanya yang jauh itupun kemudian berpaling ketika ra mendengar desir kaki memasuki ruangan itu, yang ternyata alalah gurunya dan Puranti. "Apakah orang-orang itu sudah pergi" terdengar suaranya purau. "Ya. Mereka telah pergi" jawab gurunya. "Aku mendengar pembicaraan guru dengan orang yang bernama Kiai Sampar Angin menurut pendengaranku. "Kau mendengar?" "Sebagian guru. Dan aku juga mendengar bahwa Hantu bertangan api itu telah membiarkan ayahnya terbunuh" "Ya" "Dan apakah guru mendengar dari, Sumber ,yang dapat dipercaya?" "Aku tidak sekedar mendengar dari orang Iain. Aku melihat hal itu terjadi" Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya. Katanya " Orang itu tidak mati. Orang itu masih hidup. Aku berhasil merampasnya dari anak buah Suwela saat itu. "Ayah kedua Hantu itu masih hidup" "Ya. Aku berusaha menyembunyikannya di tempat yang tidak mudah dikenali, karena aku masih mencemaskan usaha pembunuhan yang dapat dilakukan oleh anak buah Hantu kakak baradik itu"
139 Puranti tidak menyahut lagi. Namun terasa dadanya menjadi semakin sesak. Penyesalan yang semakin dalam telah menusuk jantungnya. Ternyata bahwa orang yang disebut Hantu Bertangan Api itu benar-benar manusia terkutuk. Bukan saja karena ia telah mengganggu ketenteraman penduduk di lereng Merapi, bahkan sampai ke tempat yang jauh, namun mereka juga telah melakukau dosa terbesar didalam hidupnya. Melawan orang tua sendiri. Pikatan menggeram "Mereka memang harus dibinasakan" tetapi ia telah terlempar kedalam Suatu kenyataan, bahwa ia tidak berhasil melakukan tugas, pendadaran apalagi membinasakan Hantu Bertangan Api itu. Pasukan kecil yang datang dari Demak itu ternyata telah gagal. Bukan saja karena Hantu Bertangan Api yang muda itu sempat lolos, tetapi bahwa pasukan calon prajurit itu sebenarnya tidak berhasil mengatasi lawannya tanpa bantuan seorang gadis yang tibatiba saja telah melibatkan diri didalam perkelahian yang dahsyat itu. Bahkan ia tidak dapat ingkar pula, bahwa nyawanya sendiri seolah-olah telah diselamatkan oleh Puranti. Berbagai perasaan telah bergajolak didalam dada Pikatan. Karena itulah maka ia menjadi gelisah. "Sudahlah-Pikatan" berkata gurunya yang seolah-olah mengetahui perasaan muridnya "beristirahatlah., Darahmu terlampau banyak mengalir, sehingga tubuhmu pasti menjadi sangat lemah. Berbaringlah dan berusahalah untuk dapat tidur meskipun hanya sekejap. Kau akan merasa bertambah segar karenanya Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia mengangguk sambil menjawab "Ya guru. Aku akan mencoba tidur sejenak" Tetapi Pikatan tidak juga membaringkan dirinya, la masih juga duduk ditempatnya bersandar dinding,
140 Tetapi gurunya tidak memaksanya lagi dibiarkannya Pikatan merenungi keadaannya. meskipun gurunya mengetahui, betapa Pikatan menyesali kegagalannya. Puranti yang mengerti juga perasaan Pikatan, sama sekali tidak menegurnya. Baginya, lebih baik Pikatan tetap hidup betapapun merasa tersinggung daripada mati karena tangan penghuni Goa Pabelan didalam pendadaran yang sangat berat itu. "Kau sajalah beristirahat Puranti " berkata ayahnya "tidurlah. Aku akan berjaga-jaga." Puranti tidak menjawab. Tetapi ia pergi ke dalam kamar. Diatas sebuah pembaringan yang kecil ia membaringkan dirinya. Namun seperti juga Pikatan, Puranti sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Tanpa mereka sadari. maka malampun bergerak perlahanlahan menjelang pagi. Mereka yang terbaring karena lukalukanya yang berat terdengar merintih menahan sakit. Malam yang sepi se-akan2 berjalan terlampau lamban, sehingga dingin angin malam serasa semakin membuat luka-luka mereka bertambah pedih. Kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan membuat mereka berpengharapan, bahwa akan segera datang orangorang dari Demak untuk berbuat sesuatu atas mereka. Sejenak kemudian maka langitpun menjadi semakin merah. Puranti yang tidak dapat tidur sekejappun telah bangkit pula dari pembaringannya dan berjalan keluar. Di ruang depan ia memandang Pikatan sejenak. Pikatan yang masih juga duduk bersandar dinding. Tetapi ia tidak menyapanya sama sekali. Di halaman Puranti melihat ayahnya duduk diatas sebuah batu sambil memandang keatas pebukitan. Sementara cahaya yang merah menjadi semakin merah. Angin yang sejuk mengusap rambut Puranti yang kusut.
141 "Apakah yang dapat aku kerjakan sekarang ayah?" bertanya Puranti kepada ayahnya. "Pergilah kepada pemilik rumah ini. Pinjamlah alat-alat sekedarnya. Kau harus merebus air. Air yang hangat, akan menyegarkan mereka. Apalagi apabila kita dapat menyediakan gula kelapa dan sekedar makan. Mereka pasti lapar. "Dari mana kita akan mendapatkan beras?" "Kau dapat meminjam dari penuuduk padukuhan ini Puranti. Aku yakin bahwa pimpinan Prajurit di Damak akan bersedia menggantinya berlipat" Puranti tampak ragu-ragu. "Kalau tidak, kelak kita akan datang dan menukarnya dengan beras pula" Puranti, mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun kemudian pergi menemui penghuni rumah itu yang terpaksa tinggal didapur, karena rumahnya sedang dipinjam oleh para calon prajurit. Dari orang itu Puranti mendapat gula kelapa dan beras. Orang itu pulalah yang mencari pinjaman kepada tetanggatetangganya untuk mencukupi kebutuhan beras bagi para calon prajurit itu. Dibantu oleh penghuni rumah itu, Purantipun segera sibuk menyediakan makan dan minum bagi mereka yang terluka. Seperti kebanyakan gadis-gadis padukuhan, Purantipun ternyata mampu bekerja didapur. Meskipun kadang-kadang ujung pedangnya agak mengganggunya, namun ia dapat menyiapkan semuanya itu dengan cepat. "Tetapi kami tidak mempunyai perSediaan lauk sama sekali" berkata penghuni rumah itu "kadang-kadang kami hanya mencari ikan disungai. atau memikat burung dengan getah. Yang selalu kami lakukan disini adalah memetik
142 dedaunan yang kami rebus, dengan sekedar garam dan gula kelapa" "Apakah bibi masih mempunyai persediaan garam?" Penghuni rumah itu menganggukkan kepalanya. "Kelapa?" Sekali lagi perempuan itu mengangguk. "Itu sudah cukup bibi. Biarlah aku mengukur kelapa. Tentu akan sedap sekali makan nasi hangat dengan kelapa dan garam" Nasi hangat itu ternyata telah memberikan kenikmatan yang besar,bagi para calon prajurit yang terluka itu. Seakanakan telah menumbuhkan sebagian dari kekuatan mereka yang telah hilang. Tetapi Pikatan sama sekali tidak berminat untuk makan. Hatinya terasa jauh lebih pedih dari luka di pundaknya. Betapapun ia berusaha, namun nasi yang sudah disuapkannya kedalam mulutnya, terasa terlampau sulit untuk ditelannya. "Makanlah kakang" minta Puranti "aku sendiri yang memasaknya. Bukankah kau sering makan dengan lauk serupa ini dipadepokan" Kau senang sekali makan dengan kelapa seperti kucing kesayanganmu itu" Pikatan tidak menyahut. Ditatapnya wajah Puranti sejenak. Dilihatnya perasaan yang tulus memancar dari mata gadis itu, sehingga dengan susah payah ia berusaha menelannya sesuap demi sesuap agar ia tidak menyakiti hati gadis itu. Namun perasaan Pikatan menjadi semakin pahit ketika ia melihat Puranti sebagai seorang gadis dengan cekatan melayani para calon prajurit yang terluka itu. Ternyata bahwa pasukan kecil ini seluruhnya telah tergantung kepada seorang gadis. Nyawa mereka dan kini perawatan mereka "Memalukan Sekali" berkata Pikatan didalam hatinya "Kenapa kita laki-laki
143 yang bertubuh besar tidak dapat berbuat lebih banyak dari seorang gadis yang tampaknya begitu lembut" Tetapi Pikatan tetap menyimpan perasaan itu didalam hati. Matahari yang tersembul diatas punggung-punggung bukit, semakin lama menjadi semakin tinggi. Datanglah harapan baru didalam setiap hati. Prajurit yang memimpin mereka akan segera datang. Apapun yang akan dilakukannya, pastilah suatu keadaan yang lebih baik dari keadaan mereka kini. Apalagi mereka telah digayuti oleh satu pengharapan, bahwa mereka akan dapat diterima menjadi seorang prajurit. meskipun tugas mereka tidak mutlak berhasil. Betapa menjemukan sekali, berbaring didalam sebuah pondok yang panas sambil menunggu. Menunggu dan seakanakan hidup mereka telah habis buat menunggu. meskipun baru setengah hari. Udara yang panas dan angin dari pebukitan gersang, membuat orang-orang yang terluka itu semakin menderita. Apalagi mereka sadar, bahwa disebelah dinding ruang itu terbujur beberapa sosok mayat dan juga orang-orang Goa Pabelan yang terluka. Kadang-kadang kebencian yang memuncak terhadap mereka hampir-hampir tidak tertahankan lagi, sehingga kadang-kadang timbul niat diantara mereka, untuk melepaskan kejemuan mereka dengan membalas sakit hati dan apalagi karena kawan-kawan mereka ada yang terbunuh. Namun untunglah, setiap kali mereka masih dapat mengekang diri. Apalagi mereka sadar, betapa Puranti yang telah menolong jiwa mereka. melayani orangorang yang terluka itu seperti melayani mereka sendiri. Hampir tersentak dada mereka, ketika di tengah hari mereka mendengar derap kaki-kaki kuda. Sebuah pertanyaan segera hinggap disetiap hati "Siapakah mereka" Kawan atau lawan?" Purantilah yang pertama-tama meloncat keluar dari pintu rumah itu diiringi oleh ayahnya. Bagaimanapun juga mereka
144 harus tetap bersiaga. Mungkin Suwela yang disebut Hantu Bertangan Api itu datang membawa beberapa orang kawan. Tetapi Puranti itupun kemudian menarik nafas dalamdalam. la melihat orang yang berpacu paling depan adalah prajurit yang pemimpin pasukan kecil itu. Semakin dekat, Puranti menjadi semakin gembira melihat sekelompok prajurit yang datang itu. Empat orang. Ketika mereka menjadi semakin dekat, merekapun segera menarik kendali kudanya, sehingga kuda itupun berhenti dimuka regol yang sudah agak miring. "Mereka masih ada didalam" berkata Puranti. Prajurit yang memimpin pasukan kecil itupun menganggukkan kepalanya. Tanpa berkata sesuatu ia segera meloncat turun. Tetapi hampir saja kakinya tergelincir seandainya tangannya tidak segera berpegangan pada tiang regol yang miring itu. "Prajurit itu lelah sekali" desis Puranti didalam hati "la pasti berpacu sepanjang malam, dan setengah hari ini" Tetapi kuda yang dipergunakan sudah bukan kuda yang dipergunakannya dari padukuhan ini. Kini ia naik diatas seekor kuda yang tegar dan besar. Bersama kawan-kawannya prajurit itupun kemudian memasuki halaman. Setelah mengikat tali kudanya pada sebatang pohon. merekapun langsung masuk keruang, dalam. "Bagaimana dengan kalian" prajurit itu bertanya dengan suara yang dalam. "Mereka berangsur baik" Purantilah yang menjawab. "Terima kasih. Kami berterima kasih sekali kepadamu" "Kami lelah makan pula" berkata salah seorang dari mereka yang terluka "perempuan itu memasak untuk kami"
145 "Ah" Puranti berdesah dan prajurit itu menganggukanggukkan kepalanya. Katanya "Bantuanmu akan sampai kepada pimpinan tertinggi di Demak" "Ah, aku tidak berbuat apa-apa" Prajurit j;u mamandang wajah Puranti yang kemerahmerahan. Bahkan wajah itupun segera tertunduk dalamdalam. "Tidak ada kesan kegarangan pada wajah yang tunduk itu" berkata prajurit itu didalam hatinya "wajah itu adalah wajah seorang perempuan sewajarnya. Tetapi ia memiliki kemampuan yang melebihi laki-laki" Sejenak kemudian maka prajurit itupun segera menceriterakan, apa yang dapat dilakukan. Katanya "Sayang sekali, bahwa kita tidak mendapatkan kesempatan membawa kawan-kawan kita yang telah gugur itu kembali ke Demak. Kita mendapatkan banyak kesulitan perjalanan. Namun demikian, kita akan menguburkannya disini, sebagai pahlawan-pahlawan" Ruangan itu menjadi sepi. "Setiap saat kami akan mengunjungi makam itu bersama keluarga mereka. Kami akan menitipkan mereka kepada penghuni padukuhan kecil ini" Tidak seorangpun yang berbicara. Dan prajurit itu melanjutkan "sedang kita yang masih hidup mengharap nanti malam atau besok pagi akan datang beberapa pedati yang akan membawa kita kambali ke Demak. Mereka yang terluka parah pasti tidak akan dapat duduk diatas punggung kuda seandainya kami membawa beberapa ekor kuda" Berita itu telah menumbuhkan kegembiraan bagi mereka yang terluka. Apalagi ketika prajurit itu berkata "Meskipun belum merupakan keputusan, tetapi aku berani menjamin, bahwa kalian telah berjuang selaku seorang prajurit sejati.
146 Itulah sebabnya maka kalian akan aku perlakukan sebagai seorang prajurit. Baik yang sudah gugur, maupun yang masih hidup. Jelasnya, aku berani mempertanggung jawabkan katakataku, bahwa kalian akan diterima menjadi prajurit sepenuhnya. Kalian dapat memegang kata-kataku ini. Didalam jenjang keprajuritan, aku adalah seorang Tumenggung yang parnah memegang pimpinan sebagai Senapati atas pasukan segelar sepapan dibanyak medan. Dan yang kemudian diserahi. untuk mengambil keputusan dalam pendadaran calon-calon prajurit. Sebagai jaminan jika kalian tidak diterima, aku akan meletakkan jabatanku sebagai seorang prajurit" Sejenak wajah-wajah itu menegang. Namun kemudian Seperti titik embun yang membasahi jantung, orang-orang yang terluka itu melupakan luka-luka mereka sejenak. Seperti kanak-kanak mereka bergeramang diantara mereka dalam kesuka-citaan. Tetapi ketika Puranti memandang wajah Pikatan dengan sudut matanya, dadanya berdesir. Wajah Pikatan sama sekali tidak berubah. Kepalanya masih menunduk dan seolah-olah ia acuh tidak acuh saja atas pernyataan yang menggembirakan itu. "Kenapa kakang Pikatan tidak tertarik sama sekali mendengar penjelasan itu" pertanyaan itu telah mengganggunya, meskipun tidak dinyatakannya lewat bibirnya. Meskipun mereka kemudian harus menunggu lagi. tetapi rasa-rasanya dada rnereka telah menjadi lapang. Mereka tidak lagi merasa tertekan. Bahkan ada diantara mereka yang kemudian sempat tidur dengan nyenyaknya. Sementara itu, para prajurit dibantu joleh penghuni padukuhan itu, segera mengubur mayat para calon prajurit yang telah gugur, sedangkan Puranti dengan dibantu oleh beberapa orang perempuan menyiapkan makan dan minum mereka.
147 Tetapi dalam pada itu, hati Puranti selalu digelisahkan oleh wajah Pikatan yang muram. Wajah yang seakan-akan selalu diselubungi oleh mendung yang tebal. Ternyata bukan Puranti saja yang menjadi gelisah. Tetapi juga gurunya. Kiai Pucang Tunggal memang mengenal Pikatan sebagai seorang yang keras hati. Ia sadar bahwa anak muda itu telah tersinggung karena justru Purantilah yang menolongnya. Namun perasaan itu tidak boleh berlarut-larut. Ia harus menyadari kenyataan itu dan kemudian rusaha menyesuaikan dirinya dengan keadaan. Karena itu, maka ketika kebanyakan para calon prajuri itu tertidur, meskipun disiang hari karena kelelahan lahir dan batin, maka Kiai Pucang Tunggalpun segera mendekati muridnya. "Pikatan" berkata gurunya perlahan-lahan "apakah kau tidak menyambut gembira keterangan prajurit itu, bahwa kalian telah mendapat jaminan untuk menjadi seorang prajurit" " Pikatan mengerutkan keningnya. "Bukankah semua kesulitan ini kau lakukan karena kau ingin menjadi seorang prajurit?" Pikatan mengangkat wajahnya. Sambil memandang lubanglubang dinding bertanya "Kenapa aku diterima menjadi seorang prajurit guru?" Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya "Kau sudah melakukan sesuatu yang nilainya sama dengan nilai perbuatan seorang prajurit" "Bukankah aku gagal sama sekali?" "Tidak, kau berhasil" "Yang pantas menjadi seorang prajurit adalah Puranti. Bukan aku"
148 Jawaban itu telah menggetarkan dada Kiai Pucang Tunggal. Ditatapnya wajab muridnya yang muram. Yang selalu menyilangkan tangan di dadanya "Pikatan" berkata gurunya "yang penting dalam suatu pendadaran adalah pengenalan nilai seseorang. Apakah alat pelaksanaan pendadaran itu dapat dilakukan atau tidak, itu bukan suatu penilaian yang mutlak. Karena itu, di dalam suatu kelompok pendadaran, berhasil atau tidak berhasil, ada yang dapat diterima dan ada yang tidak dapat diterima menjadi seorang prajurit. Apakah kau mengerti?" Pikatan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian "Dengan demikian menjadi semakin nyata, bahwa aku telah gagal sama sekali. Seandainya Puranti tidak datang ke mulut Goa Pabelan. aku sudah mati. Dan bagi seorang yang yang sudah mati, tidak akan ada kesempatan apapun juga untuk menjadi seorang prajurit" "Hatimu terlampau getas Pikatan, seperti seorang anak remaja yang patah hati" sahut gurunya "Seharusnya kau sudah menjadi cukup dewasa. Jangan merajuk lagi. Kalau kau menjadi seorang prajurit, kau akan mendapat kesempatan untuk menebus kegagalanmu. Mungkin kau dapat berbuat sesuatu yang sekaligus dapat mengangkat niatmu semakin tinggi. Tetapi kalau kau menolak. maka kau akan banyak kehilangan kesempatan, meskipun aku tahu, bahwa disegala aat dan tempat, kau dapat saja melakukan pengabdian terhadap negeri ini" Kepala Pikatan tiba-tiba tertunduk lesu. "Pikatan" gurunya berkata pula "kau jangan mendambakan ketinggian hatimu itu. Cobalah melihat kenvataan. Bertolak pada kenyataan yang sudah terjadi, kau wajib berusaha untuk seterus-nya. Jangan patah ditengah. Seandainya kali ini kau terantuk batu dan kemudian terjatuh, itu memang suatu kelemahan bagi seorang laki-laki. Tetapi kalau kemudian kau
149 tidak ingin bangkit sama sekali, maka kelemahanmu menjadi berlipat ganda" Pikatan tidak segera menyahut. Tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk. "Kenapa kau tidak menyahut Pikatan. Cobalah tengadahkan wajahmu. Pandanglah mataku. Kau akan menemukan sesuatu yang dapat menguatkan hatimu" Pikatan rnasih tetap berdiam diri sambil menundukkan kepalanya. "Pikatan. Jangan seperti perempuan cengeng. Tengadahkan wajahmu, tantangan masa depan itu harus mendapat jawaban" Perlahan-lahan Pikatan mengangkat wajahnya. Tetapi gurunya terperanjat ketika ia melihat mata itu menjadi merah dan basah. "Pikatan" desis gurunya "apakah kau benar-benar se orang perempuan cengeng. Meskipun perempuan aku kira Puranti tidak akan berbuat demikian" Pikatan menelan ludannya. Tampak ia mau berbicara. Tetapi suaranya seakan-akan tersangkut dikerongkongan. "Berkatalah. Ucapkan seluruh isi hatimu" "Guru" berkata Pikatan perlahan-lahan. Suaranya parau dan dalam "apakah guru dapat mengatakan serba sedikit tentang lukaku ini" Aku pernah mempelajari beberapa hal tentang tubuh manusia selama aku berada dibawah pimpinan guru, untuk meyakinkan ilmu yang sedang aku hayati. Tetapi sudah tentu sama sekali kurang mencukupi untuk dapat mengatakan, apakah yang akan terjadi dengan langan kananku" "Kenapa tangan kananmu?" "Sebaiknya guru melihatnya"
150 Hati Pucang Tunggal menjadi berdebar-debar. Dengan ragu-ragu ia bergeser maju. Pikatanpun kemudian mengurai tangannya yang bersilang di dada. Namun demikian tangan kirinya terlepas, tangan kanannya itu bergantung dengan lemahnya disisi tubuhnya. "Aku tidak dapat menggerakkan tangan kananku" "Jadi" wajah Pucang Tunggal menjadi tegang. Dengan tergesa-gesa ia meraba pundak Pikatan yang terluka. Pikatan menyeringai menahan sakit. Dipejamkannya matanya dan dibiarkannya gurunya merab-raba tanganya. Dengan dada yang berdebar-debar Kiai Pucang Tunggal meraba tangan Pikatan dari pundaknya sampai keujung jari. Dipijit-pijitnya urat nadinya dan diputarnya setiap sendi ditangannya itu "Gerakkan jarimu, Pikatan" Pikatan masih memejamkan mntunya. Dicobanya untuk menggerakkan ujung jarinya. Tetapi terasa betapa sakitnya. Mesgipun demikian dipaksakannya juga. Sambil menggeram, ia menghentakkan ujung jari-jarinya. Tiba-tiba Pikatan menundukkan kepalanya dalam dalam, sambil menutup wajahnya dengan telapak tanganya. Kemudian kepalanya tergeleng lemah "Tidak dapat guru, aku tidak dapat" Bukan saja Pikatan, tetapi gurunyapun telah dicegkam oleh kecemasan yang mendalam. Namun demikian, gurunya berusaha untuk menekan perasaan sedalam-dalamnya. Semuanya masih dapat diusahakan. Tangan itupun masih akan dapat diusahakan. Meskipun demikian di sudut hatinya terpercik pertanyaan, apakah mungkin?" "Guru" berkata Pikatan kemudian dengan suara yang parau "apakah guru menemukan sesuatu pada tanganku?" Gurunya ragu-ragu sejenak, lalu "Luka itu Pikatan"
151 "Tangan ini tidak akan dapat sembuh lagi seperti sedia kala" "Ah" gurunya berdesah "Kau terlalu cepat mengambil kesimpulan. Kita masih akan mencoba, kau masih tetap mempunyai harapan" Pikatan menatap wajah gurunya, namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam "Mudah-mudahan harapan itu bukan sekedar harapan yg hampa" "Serahkan dirimu kepada ALLAH SWT" Pikatan tidak menjawab. Tetapi sekali lagi kepalanya tertunduk lemah. "Memang sebaiknya kau kembali ke Gajah Mungkur lebih dahulu, Pikatan. Aku ingin mencoba mengobati tanganmu dengan pengharapan yang utuh. Mudah-mudahan tanganmu akan dapat pulih kembali" "Guru" suara Pikatan lambat sekali "kalau tanganku itu cacat maka semua harapanku akan lenyap. Tidak ada seorang prajurit yang hanya mempunyai sebelah tangan. Ia tidak akan memenuhi syarat yang diwajibkan. Prajurit tidak boleh mempunyai cacat jasmani yang dapat mengganggu tugasnya. Padahal cacat ini adalah cacat ditangan. Tangan kananku" "Sudahlah Pikatan. Sekali lagi aku peringatkan, jangan padam dari pengharapan. Berdoalah. Mudah-mudahan tanganmu dapat sembuh. Kalau tidak sepekan, sebulan. Dan kalau tidak sebulan, setahun" "Kalau nanti tanganku sembuh, aku sudah terlampau tua untuk menjadi seorang prajurit guru" "Pandanglah cahaya cerah dilangit. Kalau hatimu selalu diliputi awan yang buram Pikatan, maka semuanya akan menjadi kelam"
152 Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan kepalanya teragguk-angguk kecil. Demikianlah. maka Pikatanpun kemudian menyampaikan keadaannya kepada prajurit yang telah memimpinnya didalam pendadaran itu. Ia tidak dapat ikut ke Demak bersama-sama dengan kawan kawannya karena keadaan jasmaninya yang memerlukan perawatan khusus. "Di Demak ada dukun-dukun yang pandai. Ia akan mengobati luka-lukamu dan semua orang yang terluka. Apalagi lukamu tampaknya tidak terlampau berat dibandingkan dengan orang orang yang lain. Ada diantara mereka yang hampir tidak dapat bangkit sama sekali. Tetapi ia tetap berpengharapan untuk menjadi seorang prajurit" "Akupun demikian. Akupun tetap berpengharapan menjadi seorang prajurit" sahut Pikatan "tetapi biarlah aku kembali kepadepokanku. Biarlah orang tuaku mengobati luka-lukaku. Apabila kelak luka-luka itu sembuh, aku akan segera menghadap ke Demak. Aku memang ingin menjadi seorang piajurit" "Dengan siapa kau akan pergi ke padepokanmu?" Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Namun kemudian ia menjawab juga " Puranti. Gadis itu" Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata "Kalau itu keputusanmu, aku tidak akan dapat merubahnya. Tetapi pintu keprajuritan tetap turbuka bagimu. Kapan saja kau datang, kau akan diterima dengan senang hati. Hasil pendadaran yang terlalu berat akan berlaku sepanjang waktu" Pikatan tidak menyahut. "Aku belum pernah mengalami pendadaran yang begini berat. Ternyata ada kesalahan pada penilaian para petugas sandi atas kekuatan Hantu Bertangan api di Goa Pabelan, sehingga menimbulkan beberapa korban, bukan saja luka-
153 luka, tetapi ada diantara kita yang gugur. Karena itu, sudah sepantasnya. bahwu kalian, terlebih-lebih kau, harus mendapat penghargaan dan pimpinan keprajuritan di Demak. Dan aku sudah melaporkan semuanya tentang pendadaran ini" Pikatan menggelengkan kepalanya Tetapi niatnya untuk menjawab diurungkannya. Demikianlah, maka dihari berikutnya telah datang beberapa buah pedati yang ditarik masing-masing oleh sepasang lembu yang besar. Pedati-pedati itulah yang akan membawa calon prajurit yang terluka. Bukan saja para calon prajurit, tetapi juga orang-orang yang selama ini menghuni Goa Pabelan yang yang terluka di dalam pertempuran yang baru saja terjadi. Perwira itu tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada rakyat yang telah memberikan pertolongan kepada para calon prajurit itu, dan memberi mereka ganti atas segala sumbangan mereka berlipat, meskipun mereka tidak mengharapkan sama sekali. Ternyata berita tentang hancurnya gerombolan yang tinggal di Goa Pabelan itu memberikan banyak kegembiraan bagi orang-orang, bukan saja orang-orang yang tinggal di daerah sekitar goa itu, tetapi sampai juga ke tempat-tempat yang jauh. Hantu Bertangan Api di Goa Pabelan telah cukup lama membuat kegelisahan di kalangan rakyat, terutama di daerah Selatan dan lereng Gunung Merapi. Dengan demikian, maka hasil yang telah dicapai calon prajurit itu merupakan hasil yang melampaui dugaan. Beberapa orang petugas sandi terpaksa harus menelan peringatan yang pahit, karena mereka hampir saja mengorbankan beberapa orang calon prajurit yang terjerumus ke dalam mulut seekor naga yang dahsyat. "Kita masih menunggu kedatangan seorang lagi" berkata Tumenggung yang memimpin pasukan kecil itu "kita akan
154 menerima Pikatan diantara kita kelak apabila ia sudah sembuh" Demikianlah, maka para calon prajurit yang telah sembuh dari luka-luka merekapun segera mendapat wisuda, diangkat menjadi prajurit penuh dengan segala macam hak. tetapi juga segala macam kewajibannya. Bahkan para prajurit yang mengalami pendadaran di Goa Pabelan itu, seakan-akan merupakan prajurit-prajurit saringan, bukan saja kemampuan mereka. tetapi nyawa mereka yang seolah-olah telah tergantung diujung pedang. Selagi para prajurit baru di Demak itu menginjak hari-hari mereka yang pertama, maka Pikatan dengan kepala tunduk berada di padepokannya. Dengan hati yang cemas, setiap kali Pikatan mencoba menggerakkan tangannya, bahkan sekedar jari-jarinya. Tetapi ia tidak pernah berhasil. Setiap kali ia gagal, maka hatinya bagaikan runtuh dari tangkainya. Semua harapan seakan-akan telah punah. Selama ini ia berusaha dengan keras, tidak menghiraukan waktu. Siang dianggapnya malam, dan malam dijadikannya siang di dalam, menuntut ilmu. Namun belum lagi ia mendapat kesempatan yang dicitacitakan, ia sudah mengalami bencana yang dahsyat itu. Namun setiap kali gurunya selalu menghiburnya. Memberinya harapan-harapan dan memberinya petunjuk. Tetapi setiap kali hatinya itu masih juga terasa pedih. Perlahan-lahan luka dipundak Pikatan itu berangsur sembuh Tetapi luka yang agaknya telah memotong nadi induk dipundaknya itu telah melumpuhkan lengannya. Luka yang tidak terasa sakit itu, justru telah membuat hatinya semakin pedih. "Guru" berkata Pikatan pada suatu kali "luka itu sudah hampir sembuh. Tetapi aku masih belum berhasil menggerakkan jari-jariku. Aku sudah meminum semua obat yang guru berikan. Aku sudah merendamnya setiap pagi dan sore hari di dalam air hangat. Aku sudah mengurutnya setiap
155 saat, dan aku telah mematuhi segala perintah guru. Tetapi tanganku masih tetap lumpuh" Gurunya menjadi berdebar-debar. Tetapi, dicobanya untuk menyembunyikan perasaan itu, meskipun harapan didalam dadanyapun menjadi semakin tipis pula. Bahkan akhirnya ia berkata kepada diri sendiri "Kenapa aku menunggu sebuah keajaiban" Seharusnya aku sudah mengetahui, bahwa tangan ini tidak akan dapat pulih kembali untuk waktu yang lama sekali. Bahkan mungkin untuk selama-lamanya" Meskipun demikian Kiai Purang Tunggal merasa mulutnya seakan-akan tersumbat ketika ia ingin mengatakannya berterus-terang. Sehingga dengan demikian. maka setiap kali rencananya untuk memberi tahukan hal itu selalu tertunda. Hubungan Pikatan dengan Purantipun selama itu seakanakan menjadi semakin renggang. Setiap kali Puranti selalu berusaha menemaninya di dalam kesepian, tetapi Pikatan sudah menjadi orang asing baginya. Dan sikap Pikatan itu telah membuat hati Puranti menjadi pedih "Apakah aku bersalah kakang" bertanya Puranti pada suatu saat kepada Pikatan, setelah perasaan itu tidak tertahankan lagi didalam dadanya. "Tidak Puranti. Tentu tidak" jawab Pikatan "kenapa kau tiba-tiba saja merasa bersalah" "Sikapmu menjadi sangat asing bagiku" "Tidak sama sekali tidak" "Kalau kakang Pikatan masih Juga menganggap kehadiranku di Goa Pabelan itu sebagai suatu kesalahanku, aku ninta maaf" "Jangan kau sebut itu lagi, Puranti" "O, bukan maksudku" Puranti tergagap "tetapi aku sekedar ingin menjernihkan hubungan kita, kakang sekarang ini,
156 seolah-olah acuh tidak acuh saja terhadapku. Seolah-olah aku orang lain sama sekali bagi kakang di rumah ini, sudah bertahun-tahun kita berkumpul di dalam satu atap. Kenapa tiba-tiba saja sikap kakang telah berubah" Sudah tentu kakang mempunyai alasan untuk berbuat demikian. Kalau kakang tidak berkebaratan, aku ingin mendengar alasan itu, agar aku tidak selalu mencari kesalahan pada diriku sendiri" Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "Tidak ada yang berubah pada diriku, Puranti. Semuanya sama saja seperti sedia kala. Aku rasa sikapku tidak berubah' Pikatan berhenti sejenak, lalu "yang berubah adalah tanganku, tangan kananku" Puranti menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, ia mengetahui pula, bahwa tangan itu menjadi lumpuh. Tangan yang cepat cekatan menggerakkan senjata itu, seolah-olah tidak dapat bergerak sama sekali. "Kakang" berkata Puranti kemudian "bukankah kau mempunyai dua tangan" Pikatan mengerutkan keningnya, namun wajahnya kemudian menjadi datar, seakan-akan tidak ada kesan apapun lagi di dalam hatinya menanggapi setiap persoalan. "Aku bukan orang kidal Puranti. Aku tidak dapat berbuat terlampau banyak dengan tangan kiriku Mungkin benar kata guru, bahwa pada suatu saat tangan kananku akan dapat bergerak lagi, tetapi sudah tentu hanya sekedar bergerak. Tetapi tidak lagi dapat menggerakkan senjata sebagaimana dituntut oleh persyaratan bagi seorang prajurit" Purantipun menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat berkata apa-apa tentang tangan kanan itu. Sebenarnyalah iapun mengetahui, betapa dalamnya luka dihati Pikatan. Betapa kecewa hati anak muda itu. Ia merasa bahwa jalan yang selama ini dirintisnya, kini sudah tertutup rapat-rapat.
157 "Tetapi, meskipun tanganmu cacat. kemampuanmu sama sekali tidak berubah. Meskipun seandainya tangan kirimu tidak setangkas tangan kananmu kakang, tetapi kemampuanmu masih melampaui kemampuan orang-orang lain didalam tata keprajuritan" Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Puranti. Aku sudah gagal segala-galanya. Aku tidak berhasil didalam pendadaran itu. Sekarang tanganku cacat. Apakah yang dapat memberikan harapan lagi buatku?" "Ah" "Kalau tidak ada pertolongan orang lain, maka aku kini aku sekarang sudah mati. Itukah yang dapat aku banggakan apabila aku menjadi seorang prajurit yang buntung" "Ah, cukup kakang" potong Puranti "kau tidak mau mendengar aku mengatakan serba sedikit tentang pertempuran itu. Sekarang kau sendiri yang mengulangulanginya. Bukankah sudah aku katakan. bahwa apabila kau menganggap aku bersalah, aku minta maaf dengan hati yang ikhlas" "Tidak. tidak Puranti. Kau tidak bersalah, justru akulah yang berterima kasih kepadamu. Tetapi aku hanya ingin mengatakan, bahwa kenyataan itu tidak akan dapat memberi kesempatan aku menjadi seorang prajurit. Kemampuanku tidak lebih dari kemampuan seorang gadis. selagi tanganku masih utuh. Selagi kedua tanganku masi dapat bergerak dan menggerakkan senjata. Apalagi kiri....." "Cukup, cukup kakang "sekali lagi Puranti memotong. Pikatan. Kini ia berdiri tegak sambil memandang Pikatan dengan tajamnya, tetapi di matanya telah mengembang air mata. Air mata seorang gadis di hadapan seorang anak muda. Dan tiba-tiba saja Puranti telah meloncat berlari meninggalkan Pikatan langsung masuk kedalam biliknya.
158 Didorongnya pintu biliknya hingga berderak. Kemudian dijatuhkannya dirinya diatas pembaringannya. Tidak ada seorangpun yang kemudian menjenguknya. Ayahnya baru pergi kesawah. Sedang Pikatan seakan-akan telah membeku di tempatnya. Beberapa orang pembantu yang berada didapur sama sekali, tidak mengetahui, apa yang telah terjadi didalam rumah itu Purantipun kemudian menangis sepuas-puasnya. Sama sekali tidak terkasan bahwa gadis yang sedang menangis sambil menelungkup dan menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya. Tangan yang sama-sama telah pernah menggemparkan Goa Pabelan. Gadis yang sebenarnya lebih berhak menyebut dirinya prajurit atas pendadaran di Goa Pabelan itu dari Pikatan. Pikatan masih membeku di tempatnya. Kepahitan yang bertimbun di dadanya membuatnya seakan-akan kehilangan arti dari hidupnya. la tidak melihat lagi, apakah sebenarnya ia masih berguna. Harga diri dan kekerasan hati membuatnya mudah patah. Patah seperti patahnya arang. Tidak mudah untuk dipertautkannya kembali. Demikianlah hati Pikatan yang getas itu. Jalur jalannya telah dianggapnya patah. Patah sama sekali. Gurunya yang selama itu masih saja tidak mempunyai kesempatan untuk mengatakan keadaan Pikatan yang sebenarnya, pada suatu saat telah memaksa dirinya untuk berterus-terang. Ketik luka Pikatan telah menjadi sembuh, sedang tangannya masih saja tergantung disisi tubuhnya, gurunya tidak lagi dapat memberinya pengharapanpengharapan yang sebenarnya kosong sama sekali. Ketika pada suatu saat Pikatan merasa bahwa jari-jarinya dapat digerakkannya tanpa dikehendakinya sendiri. Ia malonjak kegirangan. Tetapi ketika ia mencobanya sekali lagi,
159 ia selalu gagal. Gagal dan gagal. Sehingga akhirnya, Pikatan sama sekali tidak mempunyai keberanian lagi untuk mencoba menggerakkan jari-jarinya itu. "Tanganku sudah lumpuh. Lumpuh sama sekali" anak muda yang gagah itu menangis didalam hati. Dan apalagi ketika saat itu tiba. Saat gurunya berterus terang kepadanya, bahwa harapan bagi tangannya menjadi semakin tipis. "Pikalan" berkata gurunya "aku merasa bahwa lebih baik aku berterus terang" "Aku sudah tahu guru" potong Pikatan "bukankah guru ingin mengatakan, bahwa tangan kananku sudah tidak dapat diharapkan lagi?" Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya terangguk-angguk kecil. "Tetapi Pikatan, kelumpuhan tanganmu itu tidak mutlak menurut pengamatanku. Kau masih dapat berharap, bahwa tanganmu itu dapat bergerak sedikit demi sedikit. Aku berharap bahwa jari-jarimu masih dapat memegang sesuatu pada suatu saat, apabila kau melatinya, setiap hari kau harus merendam didalam air hangat. "Aku sudah cukup lama mencoba guru. Tetapi aku tidak pernah berhasil" "Lambat laun. Tetapi jangan berputus asa" "Seandainya tangan itu dapat berhasil guru, tetapi tangan itu hanya sekedar dapat menggenggam suap-suap nasi. Tidak menggenggam senjata" "Pikatan" berkata gurunya apakah hidup dan kehidupan ini selalu sejalan dengan senjata di dalam genggaman " Apakah kau tidak melihat sudut-sudut lain yang tidak kalah artinya dari senjata ditangan?"
160 "Guru, aku sudah memilih jalan Aku tidak akan dapat berbelok" "Kalau jalan itu teitutup?" "Itu artinya aku harus berhenti, aku sudah berhenti sampai disini guru" Sekali lagi Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah, Pikatan dengan tatapan mata yang sayu. "Pikatan" berkata gurunya "misalnya kita ini sebangsa tumbuh-tumbuhan yang tumbuh menjulang tinggi, namun, namun tiba-tiba saja tunas kita menyentuh anjang-anjang apapun, maka ujung batang kita pasti akan merunduk, mencari jalan keluar untuk tetap dapat tumbuh menjulang naik. Kalau mingkin sampai ke matahari" Pikatan menarik nafas dalam-dalam, tetapi wajahnya kini seakan-akan telah benar-benar membeku,tidak ada bekasbekas sentuhan kata-kata gurunya itu. Perubahan yang benarbenar telah mengejutkan. Pikatan adalah anak muda yang tertarik pada nasehat-nasehat bagi jalan hidupnya kelak. Tetapi kini semuanya itu bagaikan berlalu diantara kedua lubang telinganya tanpa membekas sama sekali. "Pikatan" berkata gurunya kemudian "selain harapanharapan bagi tanganmu, kau masih mempunyai sebelah tangan, tajam senjatamu bagi kemanusiaan dan kedamaian hati, aku masih mempunyai jalan. Tetapi apa yang akan kau lakukan kemudian Kalau kau memang bercita-cita mencari hidup di jalan ALLAH. ALLAH pasti akan memberimu jalan keluar. Bukan untuk melepaskan dendam karena cacat tangan kananmu, ataupun karena kekecewaan-kekecewaan yang lain" "Apa yang dapat aku lakukan guru" " "Tangan kirimu. Aku akan melatihmu, khusus mempergunakan tangan kiri"
161 "Ah" Pikatan berdesis "selagi aku rnasih mempunyai sepasang tanganpun aku tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi kini aku hanya mempunyai sebelah tangan. Apakah artinya?" Pikatan berhenti sejenak. lalu "Sudahlah guru. Biarlah aku berhenti disini., Aku akan kembali ke rumahku. Aku akan tinggal diantara orang-orang yang memang hidup di sekelilingku semasa kanak-kanak2. Aku telah pergi meninggalkan mereka dengan penuh pengharapan. Biarlah aku kembali kepada mereka membawa kegagalan ini. Rumah itu adalah rumahku. Kampung halaman itu adalah kampung halamanku. Aku akan kembali kepada mereka yang pernah aku tinggalkan" "Apakah yang akan kau lakukan?" bertanya gurunya. Pikatan termenung sejenak. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya "Tidak ada guru" "Pikatan" berkata gurunya kemudian "kalau kau memang memilih daerah kelahiranmu bagi hidupmu mendatang, berbuatlah sesuatu bagi tanah itu. Bukankah kau pernah mengatakan. bahwa tanah itu adalah tanah yang kering dan tandus. Tanah yang hanya basah apabila hujan turun" gurunya berhenti sejenak, lalu "dan kau pernah berkata, bahwa justru ada sebatang sungai yang mengalir tidak jauh dari padukuhanmu yang kering itu" Pikatan, itu juga suatu lapangan pengabdian. Kau dapat memilihnya. Tanah yang kering dan tandus adalah garapan yang tidak kalah nilainya dari medan peperangan. Apabila kau memilihnya, maka kau sudah melanjutkan cita-citamu yang kau bawa ketika kau berangkat" Pikatan menundukkan kepalanya. Dengan suara rendah ia berkata "Tidak ada yang dapat aku lakukan guru. Aku sudah cacat Aku sudah kehilangan semua kesempatan" Gurunya menggelengkan kepalanya. Katanya "Tidak. kau tidak kehilangan kesempatan apapun"
162 Pikatan tidak menyahut. Dipandanginya noda-noda di kejahuan. Tetapi wajahnya sama sekali tidak memberikan kesan apapun juga. "Pikatan" berkata kurunya "kalau kau hanya ingat melarikan diri dari kekecewaan. sebaiknya kau tetap disini" Pikatan masih tetap berdiam diri. Kepalanya kini menunduk dalam-dalam. Tetapi tidak ada kata-kata yang diucapkannya. Kiai Pucang Tunggalpun tidak mendesaknya lagi. Sambil menarik nafas dalam-dalam, ditinggalkannya Pikatan seorang diri. Dibiarkannya anak muda itu mencoba merenungi hatinya sendiri. Tetapi ternyata bahwa hatinya masih tetap kelam. Kenyataan yang dihadapinya memang terlampau pahit. Cacat tubuhnya baginya telah membunuh segala harapan dan telah menutup hari depannya yang sebenarnya masih panjang. Hati Pikatan menjadi semakin pedih kelika pada suatu hari, padepokan yang sunyi. itu telah didatangi oleh tiga orang prajurit. Salah seorang daripadanya. sudah dikenal oleh Pikatan sebagai pemimpin pasukan kecilnya yang beberapa saat yang lampau menyerang Goa Pabelan. Betapapun juga dipaksanya dirinya menemui ketiga prajurit itu, meskipun hatinya serasa dibebani segumpal batu. "Ha, kau sudah sembuh Pikatan" berkata prajurit itu begitu ia melihat Pikatan berdiri menyongsongnya, Pikatan mencoba merubah wajahnya yang bagaikan sudah membeku. Ia mencoba untuk tersenyum, betapa pahitnya. "Ya. Aku sudah sembuh " jawabnya. Ketiga prajurit itupun segera dipersilahkannya naik ke pendapa. "Akhirnya aku menemukan padepokan ini" berkata Tumenggung itu.
163 "Aku tidak pernah menyembunyikannya" Pikatan mencoba tersenyum. Ketiga tamunya tertawa. Dalam pada itu. Puranti telah mengintip kehadiran ketiga prajurit itu di pendapa rumahnya. Dengan penuh pengharapan ia melihat perubahan pada wajah Pikatan, "Mudah-mudahan kedatangan prajurit itu dapat membangunkannya" berkata Puranti didalam hati. Tetapi dugaannya ternyata keliru. Setelah dihidangkan minuman dan makanan, maka prajurit itu pun mulai mengatakan maksud kedatangannya. Tanpa prasangka apapun ia berkata "Pikatan. Kami sudah terlampau lama menunggu. Aku kira kau masih tetap pada niatmu untuk menjadi seorang prajurit. Kini agaknya kau telah sembuh. Kawan-kawanmu selalu mengharapkan kedatanganmu. Kau dapat memberikan kesegaran di dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi lebih dari itu. kau memang mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawanmu" Dada Pikalan bagaikan tertusuk duri mendengar pujian itu Hampir saja ia berteriak memekikkan kelumpuhan tangannya yang sebelah kanan. Namun ia masih berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk menahankannya. "Nah Pikatan" berkata prajurit itu seterusnya "apa sekarang" Apakah kau akan segera pergi ke Demak?" Pikatan masih tetap berdiam diri. "Aku merasa, meskipun kita baru untuk pertama kali berada di dalam salu pasukan yang sama, tetapi kesan yang aku dapat dari peristiwa Goa Pabelan itu tidak akan pernah aku lupakan. Bahkan aku telah memerlukan datang kepadamu. karena aku menganggap, bahwa kau terlampau lama tidak datang ke Demak, untuk mengisi tempat yang memang telah disediakan untukmu.
164 Pikatan menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ia ingin menenangkan hatinya yang sedang bergejolak dengan dahsyatnya. Karena Pikatan tidak segera menjawab, maka prajurit iiu bertanya lagi "Bagaimana Pikatan, apakah kau sudah tidak tertarik lagi untuk menjadi seorang prajurit seperti aku?" Sekali lagi Pikatan menarik nafas. Tetapi ia tidak dapat berdiam diri tanpa memberikan jawaban apapun. Karena itu, tidak ada alasan lain yang dapat dikatakannya selain keadaannya yang sesungguhnya "Aku tidak akan mungkin dapat menjadi seorang prajurit" Prajurit-prajurit itu terkejut. Meskipun sejak semula mereka melihat tangan kanan Pikatan yang selalu tergantung disisi tubuhnya. namun mereka tidak menyangka, bahwa tangan itu menjadi lumpuh. Karena itu, untuk sejenak mereka diam membeku. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka katakan. Keadaan itu sama sekalitidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. "Itulah kenyataanku sekarang. Dan aku tidak akan dapat bermimpi untuk, menjadi seorang prajurit, apalagi seorang perwira, karena aku tahu, bahwa untuk menjadi seorang prajurit, seseorang tidak boleh mengalami cacat jasmani yang dapat mengganggu kemampuannya" Prajurit-prajurit yang datang kepadepokan kecil itu berpandangan sejenak. Merekapun tahu dengan pasti. karena cacat itu, maka tidak akan ada kesempatan lagi bagi Pikatan untuk menjadi seorang prajurit. Karena iiu, tanpa disadarinya salah seorang prajurit itu berdesis "Pikatan. Kau telah berjuang sepenuh tenagamu. Kau justru orang yang paling banyak berjasa di dalam persoalan itu. Kaulah yang seakan-akan menjadi sebab kekalahan Hantu bertangan api bersama orang-orangnya. Meskipun kau sendiri terluka, tetapi perempuan yang kemudian datang itu, telah
165 menyelamatkan bukan saja kau sendiri, tetapi seluruh pasukan" ia berhenti sejenak lalu "namun sekarang tiba-tiba kau menjadi cacat, sehinggga kemungkinanmu untuk menjadi prajurit menjadi lenyap sama sekali" sekali lagi ia berhenti "tetapi itu bukan berarti bahwa kau tidak dapat bekerja sama sekali di pusat pemerintahan. Meskipun bukan sebagai seorang prajurit, tetapi pasti ada yang dapat kau kerjakan" "Pekerjaan apa?" bertanya Pikatan. "Aku dapat menghubungi beberapa pihak di pusat pemerintahan. Aku dapat mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi atasmu. Dengan demikian, pasti akan ada pengertian dari beberapa pejabat yang akan merasa iba melihat keadaanmu. Kau pasti akan mendapat pertolongan dari manapun juga, sehingga kau akan mendapatkan pekerjaan juga meskipun bukan sebagai seorang prajurit" "Tidak" tiba-tiba Pikatan memotong "aku tidak ingin menjajakan cacatku untuk mendapat belas kasihan. Aku tidak ingin orang menerima aku di dalam lingkungannya hanya karena belas kasihan dan iba. Tidak. Dan aku berniat untuk menjadi seorang prajurit bukan sekedar karena aku tidak mendapatkan pekerjaan lain. Bukan sekedar karena aku menjadi penganggur. Tidak. Aku berniat menjadi prajurit, karena aku ingin menjadi seorang prajurit. Sejenak ketiga orang prajurit itu terdiam. Mereka saling berpandangan dengan sorot mata yang aneh. "Sudahlah" nada suara Pikatan menurun "aku tidak mendapat tempat lagi di keprajuritan. Itu sudah aku terima. Keadaan itu sudah aku terima dengani lapang dada" Ketiga prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. "Marilah kita berbicara tentang masalah-masalah lain" berkata Pikatan kemudian "dan aku mempersilahkan kalian minum dan makan makanan yang sudah tersedia"
166 Prajurit-piajurit itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mengerti bahwa hati Pikatan menjadi terlampau sakit karena cacatnya. Itulah sebabnya mereka tidak bertanya lagi. Dengan ragu-ragu merekapun kemudian mengambil mangkuk dan melekatkannya pada bibir masing-masing. Seteguk air hangat telah membasahi kerongkongan mereka yang terasa menjadi kering. Prajurit yang memimpin pasukan kecil di Goa Pabelan itu menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengelakkan pembicaraan tentang cacat tubuh Pikatan. Dan tiba-tiba saja ia bertanya "Tetapi, siapakah sebenarnya perempuan yang dahulu menolong kita di Goa Pabelan itu?" "Adikku. Adik angkatku" "O, ya. Perempuan itu juga sudah mengatakannya, bahwa ia adik angkatmu. Dimanakah ia sekarang?" "Ia berada di rumah ini pula" sahut Pikatan "He. kenapa ia tidak juga menemui kita " Apakah ia selalu sibuk?" Pikatan menggelengkan kepalanya. "Suruh ia menemui kita. Apakah ia sudah bersuami?" "Tidak. Eh, maksudku belum. Ia belum bersuami. Apakah kau jantuh cinta padanya?" Pertanyaan itu terasa bagaikan guruh yang meledak. Prajurit itupun. mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia merasa, bahwa arah pembicaraannya tidak menyenangkan hati Pikatan. Dengan demikian maka prajurit-prajurit itu merasa. bahwa kedatangannya kali ini sama sekali tidak diharapkan oleh Pikatan. Tetapi prajurit- prajurit itupun mencoba untuk mengerti, bahwa kekecewaan yang amat sangat telah membuat Pikatan menjadi agak berubah. Sifat-sifatnya yang
167 dahulu hampir tidak ditemuinya lagi. Wajahnya yang jernih meskipun keras, kini telah berubah menjadi wajah yang beku tanpa tanggapan apapun atas persoalan yang terjadi di sekitarnya bahkan yang langsung menyentuh dirinya. Bukan saja prajurit-prajurit itu, tetapi Puranti yang meskipun tidak begitu jelas. mendengar percakapan itu dari dalam, menjadi berdebar-debar sehingga, tangannya gemetar. Tangannya yang mantap menggenggam pedang itu serasa menjadi lemah, setelah ia mendengar pertanyaan Pikatan kepada tamunya tentang dirinya. "Maafkan kami Pikatan" berkata prajurit itu "sebenarnya kami tidak bermaksud apa-apa. Kami hanya sekedar bergurau seperti kebiasaan kami. Kalau aku bertanya tentang adik angkatmu itupun, aku tidak mempunyai maksud apa apa. Terus terang, kami sangat silau memandangnya. Meskipun ia seorang gadis, tetapi ia memiliki kemampuan lebih besar dari kami, sebagai para prajurit" prajurit itu berhenti sejenak, lalu "tetapi baiklah. Baiklah kita berbicara tentang yang lain. Aku memang tidak mengetahui keadaanmu sebelunmya, sehingga barangkali kata-kataku telah menyinggung perasaanmu" Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Meskipun prajurit-prajurit itu kemudian mencoba berbicara tentang bermacam-macam hal yang lain, namun suasana pertemuan itu menjadi seakan-akan dibatasi oleh ketegangan yang tersembunyi. Diruang dalam, Puranti yang tidak dapat menahan perasaannya sebagai seorang gadis. perlahan-lahan sambil berjingkat melangkah ke dalam biliknya. Dengan hati yang kesal dibaringkannya tubuhnya di pembaringannya. Ternyata harapannya, bahwa kedatangan prajurit-prajurit itu akan dapat membangunkan Pikatan yang sedang di cengkam oleh kekecewaan, sama sekali tidak terjadi. Justru setiap persoalan yang dikatakan oleh prajurit-prajurit itu telah salah di pendengaran Pikatan.
168 "Hatinya segetas arang" desis Puranti " apakah tidak ada cara untuk menumbuhkan gairah hidupnya kembali?" Puranti tetap berada didalam biliknya meskipun kemudian ia mendengar prajurit-prajurit itu minta diri. Hatinya sudah tidak terbuka lagi untuk menemui tamu-tamu itu, karena pertanyaan Pikatan kepada prajurit-prajurit itu tentang dirinya. Sebagai seorang gadis, ia menjadi segan keluar ke ruang depan. Hal itu akan dapat menambah kelesuan di hati Pikatan. Sepeninggal prajurit-prajurit itu, hati Pikatan justru menjadi semakin gelap. Terasa dunianya menjadi semakin sepi. Puranti, yang setiap hari melihat kemuraman wajah itu, menjadi murung pula. Bagaimanapun juga ia berusaha, tetapi Pikatan tidak dapat bangkit lagi dari keruntuhan perasaannya itu. Bahkan semakin lama justru menjadi semakin dalam. Kiai Pucang Tunggal juga sudah tidak berhasil menarik kegairahan Pikatan pada olah kanuragan. Meskipun setiap kali Kiai Pucang Tunggal mencoba untuk membawanya berlatih, namun Pikatan sama sekali sudah tidak berminat lagi. "Pikatan" berkata gurunya "selama ini aku mengenalmu sebagai seorang murid yang rajin dan patuh. Kau tidak pernah menolak cara apapun yang aku pergunakan untuk meningkatkan ilmumu. Tetapi sekarang kau sama sekali telah berubah" "Bagiku olah kanuragan sudah tidak berarti lagi guru" jawab Pikatan "aku tidak akan dapat menjadi seorang prajurit" "Ruang lingkup kehidupan ini bukan sekedar dibatasi di dalam lingkaran keprajuritan Pikatan. Kau dapat menyesuaikan diri dengan keadaanmu" "Ya guru. Dan guru sudah mengatakannya berulang kali. Tetapi sudah berulang kali pula aku jawab, bahwa aku sudah mengarahkan hidupku. Dan kini aku gagal"
169 Kiai Pucang Tunggal hanya dapat menggelengkan kepalanya "Karena itu guru. Aku sudah tidak berguna lagi. Tidak berguna bagi Demak dan tidak berguna bagi padepokan Pucang Tunggal." Kiai Pucang Tunggal tidak menjawab. Ditatapnya saja wajah Pikatan dengan penuh iba. Namun ia memalingkan wajahnya ketika Pikatan berkata "Kalau aku pergi ke Demak dan mencoba memasuki lapangan pengabdian yang lain, itu adalah sekedar pelarian, karena aku gagal. Maka aku mencari yang lain, yang manpun yang dapat aku raih. Itupun aku masih harus menunggu belas kasihan dari orang-orang lain yang akan bersedia menolong untuk bangkit dari kegagalan ini. Demikian juga bagi padepokan Pucang Tunggal di pegunungan Gajah Mungkur ini. Aku tidak lebih dari orang anak yang harus dikasihani. Dimanjakan dan dijaga agar aku tidak kecewa. Makan minum dan keperluanku disediakakn baik-baiknya supaya aku tidak merajuk dan merengek" "Pikatan" berkata Kiai Pucang Tunggal "ternyata kemampuan jasmaniahmu tidak serasi dengan keteguhan hatimu. Karena itu, kekecewaan yang kecil membuatmu patah sama sekali." "Memang, persoalanku adalah persoalan yang kecil bagi guru, tetapi tidak untukku" Kiai Pucang Tunggal hanya dapat menarik nafas panjang kalau ia berbantah dengan anak itu, maka ia.hanya akan menambah benih luka di hatinya. Kiai Pucang Tunggal mengerti, bahwa semuanya telah berubah pada Pikatan. Tidak saja tangannya yang tidak lagi dapat digerakkan, tetapi juga hatinya sudah membeku. "Guru, aku ingin pergi dari padepokan ini. Aku ingin mencari hidupku kembali" berkata Pikatan "tetapi walau bagaimanapun, pada suatu saat aku akan kembali kesini"
170 Jilid 05 WIYATSIH memandang Tanjung sejenak, kemudaan beralih kepada Kesambi. Gadis itu seakan-akan tidak menghiraukan kata-kata Tanjung sama sekali, tetapi justru ia mencoba memperbandingkan keduanya. Meskipun Tanjung tampak lebih segar dari Kesambi, tetapi kedalaman tatapan mata Kesambi menunjukkan bahwa anak muda ini agaknya memang lebih cerdas dari Tanjung. "Wiyatsih" berkata Tanjung kemudian "marilah pulang. Kenapa kau menjadi seperti orang bingung?" Wiyatsih tersenyum. Jawabnya "Tanjung, apakah yang membuatmu begitu gelisah" Bukan aku yang menjadi seperti orang bingung, tetapi kau. Apakah salahnya kalau aku ada disini" Kalau senja turun dan tepian ini menjadi gelap, kau mempunyai alasan yang kuat untuk mengajakku pulang. Aku tahu, ibu memang sering minta kau mencari aku. Tetapi disiang hari aku berani pulang tendiri" "Tetapi kau, sudah terlalu lama pergi Wiyatsih. Aku mencarimu bukan atas kehendakku sendiri. Tetapi ibumu menunggu kau dengan gelisah. Kita sama-sama tahu, bahwa keadaan padukuhan ini tidak begitu baik. Apalagi nama Pikatan baru menjadi sasaran dendam" "He?" Wiyatsih mengerutkan keningnya "siapa mengatakan bahwa kakang Pikatan menjadi sasaran dendam?"
349 "Bukankah Pikatan ikut campur ke dalam persoalan perampok itu. Seharusnya ia tidak berbuat demikian. Ia memang wajib menjaga rumahnya, tetapi tidak memusuhi mereka selagi mereka tidak menjamah halamannya. Dengan demikian ia tidak akan menjadi sasaran dendam dari para perampok itu. Selama Pikatan sekedar mempertahankan miliknya sendiri, maka hal itu dianggap wajar oleh para perampok" Wiyatsih menjadi sangat heran mendengar kata-kata itu. Ternyata disamping perasaan kagum dari orang-orang disekitarnya atas tindakan yang mereka sangka dilakukan oleh Pikatan itu, ada juga yang menyesalinya meskipun sebenarnya ada rasa cemas atas nasib Pikatan sendiri. Dan Wiyatsih mencoba menghubungkan keterangan Tanjung itu dengan sikap ibunya. Agaknya pendirian ibunya tidak jauh pula dari pandirian Tanjung ini. Tetapi meskipun Wiyatsih masih cukup muda, ia mencoba berpikir dewasa. Jika benar ibunya berpendiriam demikian, itu adalah karena ibunya mencintai Pikatain. Ibunya mencemaskan nasib anak laki-lakinya itu, meskipun di dalam beberapa hal, pikiran mereka tidak sejalan. "Bagaimanapun juga, hati seorang ibu adalah hati yang memancarkan sayang terhadap anak-anaknya" desisnya didalam hatinya. Wiyatsih mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Tanjung berkata pula "Marilah Wiyatsih" Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia masih seorang gadis kecil yang bermain-main terlalu lama ditepian. Tetapi akhirnya Wiyatsih menganggukkan kepalanya. Katanya Baiklah Tanjurig. Kalau memang ibu memanggil aku pulang, aku akan pulang"
350 Tanjung tidak menyahut. Tetapi ditatapnya wajah Kesambi sejenak. Namun wajah itu tidak berkesan apa-apa. "Sudahlah Kesambi "berkata Wiyatsih "aku, akan pulang. Apakah kau masih akan mencuci cangkulmu?" Kesambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya "Ya. Aku sebenarnya akan mandi. Tetapi karena kau ada disini, aku menunggu sampai kau pergi" "Ah" Wiyatsih berdesah. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi. Ditinggalkannya Kesambi berdiri termangu-mangu ditepian. Namun sepeninggal Wiyatsih, Kesambi benar-benar menceburkan dirinya kedalam air dibelakang batu besar, setelah ia melepaskan pakaiannya Tetapi ia masih sempat berkata kepada dari sendiri "Agaknya Tanjung benar-benar seorang pencemburu yang besar. Belum lagi Wiyatsih menjadi isterinya, setiap laki-laki yang berbicara dengan gadis itu telah dicurigai. Huh, dikira aku sudah berani berpikir tentang seorang gadis" Makan untuk diri seadiri saja sulitnya bukan main. Apalagi untuk sebuah keluarga betapapun kecilnya" Tetapi tiba-tiba saja tangan Kesambi memukul air Kali Kuning itu sambil menggeram "Kalau saja air ini dapat sampai kesawah dan pategalanku yang kering dan tandus itu, Aku pasti akan segera berani meminang seorang gadis. Apalagi jika sawah dibulak sebelah menjadi hijau dan pategalan itu dapat menjadi kebun buah-buahan" Kesambi tiba-tiba mulai berangan-angan "aku akan menanam padi setahun dua kali, dengan palawija yang berumur pendek diantaranya. Pategalanku akan aku lanami pohon melinjo dan nangka di pematang dan jagung atau ubi. Tetapi kalau air cukup, pategalan itupun akan dapat ditanami padi seperti sawah. Setidak-tidaknya padi gaga" Kesambi menarik nafas dalam-dalam, Katanya kemudian "Kalau saja Pikatan tidak cacat dan tidak kehilangan gairah"
351 namun kemudian seolah-olah terdengar suara Wiyatsih "Bukankah kau laki-laki seperti Pikatan" Kau masih muda seperti Pikatan dan kau bertubuh kuat kekar seperti Pikatan?" Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia menggeram pula "Ya, kenapa harus menunggu Pikatan" Kenapa harus menggantungkan diri kepada Pikatan?" Kesambi itupun segera meloncat dari dalam air. Tetapi iapun segera berjongkok kembali. Hampir saja ia lupa bahwa ia masih belum berpakaian sama sekali, karena anganangannya yang sedang melambung. Perlahan-lahan ia bergeser kesebuah batu besar dan meraih pakaiannya yang diletakkan diatas batu itu. "Untunglah, tepian ini sudah sepi" katanya "kalau masih ada perempuan yang mencuci pakaian, aku harus menyembunyikan wajahku untuk tiga hati" Dalam pada itu, Wiyatsih berjalan pulang diikuti oleh Tanjung di belakangnya. Namun Wiyatsih berjalan terlampau cepat, sehingga Tanjung sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk berkata apapun juga. "Wiyatsih" akhirnya Tanjung memanggilnya. Wiyatsih berpaling tetapi ia masih berjalan terus. "Berhenti. Berhentilah sebentar" "Katamu ibu sudah menunggu dengan gelisah" "Hanya sebentar. Sebentar sekali" Wiyatsih memperlambat langkahnya dan Tanjungpun menyusulnya. Sejenak keduanya berjalan berdampingan. Tetapi Tanjung tidak berkata sesuatu. Seolah-olah mulutnya Justru terbungkam. Sedangkan Wiyatsih sama sekali tidak bertanya apapun kepadanya.
352 Tetapi ketika mereka hampir hampir sampai ke sudut desa. Tanjung telah memaksa dirinya untuk berkata "Wiyatsih. Sebenarnya ida sesuatu yang akan aku katakan kepadamu" "O" Wiyatsih mengerutkan keningnya "katakanlah" "Tetapi tidak sekarang dan tidak ditempat ini" "Kenapa" Kenapa tidak sekarang dan kenapa harus di tempat yang lain?" "Aku memerlukan ketenangan untuk menyatakan perasaanku" "Aneh kau Tanjung. Aku kira disini cukup tenang dan cukup waktu. Katakanlah, aku akan mendengarkannya, Mungkin kau akan berbicara tentang sawah yang kering" Air sungai" Atau pekerjaan yang kau lakukan sehubungan dengan tugas-tugas yang diberikan ibu kepadamu?" Tanjung menjadi semakin bingung. Wiyatsih sama sekali tidak membantu membuka jalan baginya. Karena itu, maka jawabnya kemudian "Aku tidak dapat mengatakannya sekarang, Anak-anak dari padukuhan kita kadang-kadang saja berkeliaran disudut desa ini" "Apakah salahaya?" "Tidak Wiyatsih. Aku ingin menemuimu besok malam ditepian. Seperti saat-saat kau berdiri sendiri menunggu bulan terbit. Aku akan datang dan kita akan dapat berbicara dengan tenang. Wiyatsih menarik nafas. Tetapi jawabnya "Tanjung, bukankah keadaan padukuhan sekarang kurang baik, Kadang-kadang timbul kerusuhah dan keributan. Aku sekarang tidak berani berada ditepian seorang diri disenja hari seperti yang sudah" "Ah, kau selalu aneh Wiyatsih, Pada saat yang paling sering terjadi kerusuhan, kau masih. juga berada ditepian menunggu
353 bulan terbit, tetapi justru. Sekarang keadaan sudah mereda kau takut pergi ke tepian seorang diri" "Bukankah kau juga mengatakan, bahwa dendam kepada kakang Pikatan dapat terpercik kepadaku?" "Jangan takut Wiyatsih. Aku akan datang lebih dahulu, sehingga kalau ada apapun juga, kau tidak usah cemas. Aku akan melindungimu" "Kau berkata sebenarnya" "Ya. Aku menjamin bahwa kau akan terbebas dari gangguan siapapun juga" Wiyatsih memandang wajah Tanjung dengan tajamnya. Dari sorot matanya memancar keheranannya dan bahkan bayangan tidak percaya atas janji itu. "Wiyatsih" berkata Tanjung "bukan maksudku menyombongkan diri. Tetapi aku rasa keadaan sekarang sudah menjadi agak tenang. Memang mungkin ada dendam pada Pikatan, tetapi mereka tidak akan mencarinya ditepian. Mereka akan mencari Pikatan dirumahnya. Namun para penjaga dirumahmu agaknya harus diperhitungkan juga oleh setiap orang yang akan memasuki halamanmu, karena kedua orang penjaga regolmu itu adalah orang-orang yang disegani sejak muda" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tetapi apabila terjadi sesuatu juga ditepian. maka aku akan memhawa sebuah kentongan kecil. Aku akan membunyikannya dan memanggil anak-anak muda untuk datang menolong kita" Hampir saja Wiyatsih tidak dapat menahan suara tertawanya, ternyata Tanjung tidak mempercayakan keselamatannya kepada diri sendiri, tetapi kepada sebuah kentongan kecil. Untunglah bahwa. Wiyatsih masih dapat
354 menahan kegeliannya, sehingga ia tidak melepaskan suara tertawanya. Baiklah Tanjung. Aku akan pergi ketepian besok senja. Aku ingin mendengar kau berbicara tentang padukuhan yang kering ini" "Tidak, tidak Wiyatsih. Bukan tentang padukuhan yang kering ini, tetapi tentang diri kita" "O, jadi tentang diri kita sendiri?" "Ya!" "Baiklah. Aku akan datang. Jangan lupa membawa sebuah kentongan kecil, supaya kalau terjadi sesuatu, kita masih mempunyat alat untuk menyelamatkan diri dalam suasana yang kalut nanti" "Terima kasih Wiyatsih. Aku menunggumu" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. Lalu iapun bertanya "Jadi bagaimana sekarang?" "Marilah kita pulang" "Baikiah" Keduanyapun kemudian berjalan lagi beriringan. Wiyatsih di depan dan beberapa langkah dibelakangnya adalah Tanjung yang berjalan dengan kepala tunduk. Tetapi sekali-sekali dipandanginya Wiyatsih yang berjalan dihadapannya. Setiap kali dada Tanjung berdesir melihat kaki Wiyatsih yang melangkah dengan lincahnya. Ayunan tangannya seperti lambaian pelepah kelapa digoyang angin. Rambutnya yang hitam disanggul tinggi, sehingga lehernya yang jenjang tersembul diantara pundaknya. Tanjung terperanjat ketika tiba-tiba saja ia mendengar desis disampingnya, diantara gerumbul dipinggir desa. Ketika ia berpaling, dilihatnya seorang kawannya tertawa tertahan sambil berbisik "Darimana kau gembalakan gadis itu"'
355 "Hus" desis Tanjung. Kawannya sama sekali tidak menyahut. Tetapi ia menutup mulutnya dengan kedua belah tangannya. "Kebetulan saja aku lewat bersamaan" berkata Tanjung perlahan-lahan. "Ya. kebetulan" sahut kawannya. Tanjung tidak menjawab lagi. Ditinggalkannya kawannya yang berada digerumbulan itu. Tetapi ia masih berpaling sekali, lalu dengan tergtsa-gesa, disusulnya Wiyatsih yang telah berjalan lebih dahulu. Ketika mareka sampai diregol rumah Wiyatsih, maka Wiyatsihpun berhenti sambil berkata kepada Tanjung yang sudah berdiri di belakangnya "Terima kasih Tanjung. Aku berani pulang sendiri. Disenja haripun aku berani pulang sendiri, apalagi disiang hari. Dan bukankah besok senja aku harus pergi ketepian?" "Ya Wiyatsih. Tetapi, sekarang aku akan singgah sebentar untuk menemui ibumu. Aku mempunyai beberapa persoalan yang harus aku selesaikan" "O, baikiah. Mungkin ibu ada dirumah" "Ya. Tenlu. Aku tadi sudah datang kemari menemui ibumu dan disuruhnya aku mencarimu. Kau sekarang sering sekali pergi sehari penuh. Pagi, siang. sore. Apakah kau tidak lelah mencuci hampir setengah nari, kemudian pergi ke sawah dan sepulangnya dari sawah, kau sudah berada ditepian lagi?" Wiyatsih tersenyum. Tetapi ia tidak dapat mengatakan, bahwa sebagian waktunya telah dipergunakannya untuk mendalami ilmu kanuragan yang diterimanya dari Puranti. "Jadi memang masuk akal, bahwa Puranti pergi menyendiri untuk mendalami ilmunya "berkata Wiyatsih di dalam hati say
356 a "dengan demikian, ia dapat menekuninya setiap waktu tanpa terganggu" Tetapi kemudian teringat olehnya kata-kata Puranti "Kau tidak perlu memisahkan diri dari lingkunganmu Wiyatsih. Kalau Kau mampu membagi waktu, maka kau akan dapat melakukannya dengan baik. Mungkin untuk beberapa bulan lamanya, kau akan merasakannya sebagai saat-saat yang berat. Tetapi asal kau dapat mengimbangi dengan jenis makan yang baik buat tubuhmu, jamu dan param yang tepat, kesehatanmu tidak akan terganggu. Namun demikian, ternyata ibu Wiyatsih melihat juga kelainan pada gadisnya dan ternyata pula bahwa berat badannya telah susut. Wiyatsih terkejut ketika Tanjung bertanya "Apalagi yang kau tunggu Wiyatsih?" "O, tidak. Aku tidak menunggu siapapun. Marilah, marilah masuk kalau kau akan menemui ibuku" Wiyatsihpun kemudian membawa Tanjung masuk kehalaman rumannya. Bersama-sama mereka melintasi halaman dan naik ke pendapa. "Silahkan duduk. Ibu akan menemuimu kalau kau masih mempunyai persoalan. Aku akan pergi ke dapur" Tanjung menganggukkan kepalanya. Jawabnya "Ya, aku memang masih mempunyai keperluan sedikit" Wiyatsihpun kemudian masuk kedalam mencari ibunya untuk mengatakan bahwa Tanjung menunggu dipendapa. Namun dalam pada itu sepasang mata memandang kedua anak muda itu dengan tajamnya. Ketika dilihatnya Wiyatsih telah masuk ke dalam dan sejenak kemudian ibunya keluar kependapa menemui Tanjung, maka orang yang selalu mengikuti dengan tatapan matanya itupun segera beringsut dari tempatnya.
357 Wiyatsih yang masih berada di dalam biliknya terkejut ketika tiba-tiba saja pintunya, terbuka. Dilihatnya kakaknya berdiri dimuka pintu sambil memandanginya dengan tajamnya. Hati Wiyatsih menjadi berdebar-debar. Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja kakaknya memandang begitu asing kepadanya. "Wiyatsih" berkata Pikatan kemudian "sudah beberapa kali aku melihat atau mendengar, setiap kali kau pergi kau pasti membawa anak itu kemari" "O" Wiyatsih terkejut. "Buat apa kau bawa penjilat itu he" Ia adalah salah satu contoh yang paling buruk dari kekerdilan jiwa anak-anak muda dari padukuhan di sekitar Alas Sambirata ini, bahkan diseluruh Kademangan Sambisari, la sama sekali tidak berusaha memperbaiki tata kehidupan masyarakat disekitarnya, tetapi ia justru berusaha mempergunakan keadaan yang parah ini untuk kepentingan diri sendiri. Dengan modal yang didapatnya dari ibu, ia melakukan pekerjaan yang serupa. la rnemperbanyak potongan-potongan lidi, di dalam bumbungbumbung itu. Dan dengan demikian, ia sendiri akan mendapat keuntungan apapun yang akan dialami oleh orang-orang yang menjadi korban. Apakah kau sangka perbuatan itu tidak lebih buruk dari perampok-perampok kecil yang hanya didorong oleh perutnya yang lapar dan rengek anak bayinya karena susu ibunya sudah kering, yang mendorongnya untuk melakukan kejahatan. Apakah kau sangka, kau dapat hidup dengan tenteram apabila kau kelak dihidupi dengan cara itu, cara yang sama sekali tidak berperikemanusiaan" Apakah kau sama sekali tidak mempunyai gagasan yang lebih baik dari hidup semacam itu, apakah ......" "Tunggu" potong Wiyatsih "aku tidak tahu, apakah yang kau katakan itu kakang"
358 "Anak kerdil itu. Tentu kau tahu darimana ia dapat membeli seeker lembu" Wiyatsih mengerutkan keningnya. Sambil menganggukanggukkan kepalanya ia menjawab "Ya, aku tahu. Ibu mengatakannya bahwa Tanjung diberinya uang untuk membeli seekor lembu. Tetapi tentu dengan syarat, bahwa Tanjung akan membantu ibu mengerjakan sawah kita. Tanjung sendiri sudah mempunyai seekor lembu, sehingga sepasang lembu yang dimilikinya sekarang, dapat dipergunakannya bekerja disawah. Membajak misalnya dan menarik pedati. Kau tenang melihal hal semacam itu" Apakah Tanjung cukup mempunyai harga diri dengan menerima pemberian itu" "Apakah salahnya kakang" Ia menerima upah dari jerih Payahnya. la bekerja untuk ibu dan ibu memberinya sesuatu. Bukankah itu sudah wajar" Tetapi tidak demikian halnya dengan Tanjung. Ia tidak sekedar bekerja sebagai orang upahan. Tetapi ia mempunyai pamrih. Pamrih yang jauh lebih banyak daripada itu sendiri. Ia sadar, bahwa ibu senang kepadanya. Dan ia memang mengharap, agar ia kelak dapat diambil menjadi menantu. Nah, tanpa mengingat harga dirinya sebagai seorang laki-laki, ia merayap di pendapa ini. Ia ingin mendapat kau dan seisi rumah ini" "Kakang" potong Wiyatsih. Tetapi ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya. "Dan kau sendiri selalu membawanya kemari. Agaknya kau senang mempunyai seorang suami berjiwa kerdil semacam itu?" "Kakang, kakang" Wiyatsih benar-benar tidak dapat berkata sepatah katapun lagi. Tiba-tiba saja ia berlari ke pembaringannya. Dijatuhkan saja dirinya diatas pembaringan sambil menelengkupkan kepalanya.
359 Pikatan masih berdiri termangu-mangu. Sejenak kemudian ia mendengar isak Wiyatsih yang tidak dapat menahan gejolak hatinya lagi. Perlahan-lahan Pikatan melangkah mendekat. Dengan tangan kirinya ia menepuk bahu adiknya yang menelungkupkan wajahnya pada kedua tangannya. "Maaf Wiyatsih" berkata Pikatan "bukan maksudku menyakiti hatimu. Aku hanya ingin menasehati agar kau tidak terlampau dekat dengan anak yang tidak mempunyai harga diri itu. Tetapi mungkin aku terlampau kasar. Mungkin aku memang tidak pantas mengucapkan nasahat itu. sehingga dengan demikian aku sudah menyinggung hatimu" Wiyatsih tidak menjawab. Isaknya justru mengeras, sehingga pembaringannya berguncang-guncang. "Sudahlah. Aku akan pergi. Jangan menangis lagi. Seharusnya aku tidak mengatakannya. Barangkali aku memang tidak pantas lagi menasehatimu. Aku yang kini telah terasing sama sekali tidak dapat mengetahui dengan pasti. apakah sebenarnya masih ada harga diri itu atau sekarang jaman sudah herubah. sehingga tidak ada lagi yang lebih berharga dari kepentingan lahiriah dihari ini, meksipun harus dikorbankan nilai-nilai pribadi yang bagiku sangat beiharga. Wiyatsih mencoba mengusap matanya, tetapi air yang bening masih saja mengalir tidak henti-hentinya. "Sudahlah Wiyatsih. Aku memang tidak pantas untuk memberikan nasehat. Orang yang cacat, memang tidak ada harganya lagi aku minta inaaf dan aku tidak akan berbuat lagi lain kali" "Tidak kakang, tidak" tiba-tiba Wiyatsih bangkit "kau salah paham lagi. Aku berterima kasih bahwa kau talah memberikan nasehat ini"
360 "Begitukah caramu mengucapkan terima kasih" Dengan air mata dan tangis?" "Tidak kakang. Tetapi kau salah mengerti. Aku sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan Tanjung, apalagi membawanya kemari" Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "Sudahlah, Wiyatsih. Memang aku selalu keliru. Aku selalu salah mengerti. sudahlah. Aku akan tidur saja supaya aku bermimpi bagus" "Kakang, kakang" Pikatan tidak menghiraukannya lagi. Ditinggalkannya bilik Wiyatsih langsung menuju kebiliknya sendiri. Sepeninggal Pikatan. Wiyatsihpun menutup biliknya pula. Kemudian sekali lagi dijatuhkannya tubuhuya diatas pembaringannya. Sambil menelungkup pada kedua tangannya ia menangis sejadi-jadinya. Untunglah bahwa ibunya masih berada di pendapa bersama Tanjung. Masih banyak yang dipersoalkannya. Tentang tanah. tantang lembu, tentang uang yang diputar dan tentang penyerahan barang-barang dari tetangga-tetangga yang memerlukan uang. "Sukurlah kalau usahamu berjalan lancar" berkata ibu Wiyatsih "mudah-mudahan kau dapat berbuat lebih baik dihari-hari mendatang" "Ya, mudah-mudahan" Tanjung mengangguk-anggukkan kepalanya dalam-dalam. "Kau sudah cukup dewasa" berkata Nyai Sudati "sebentar lagi kau perlukan bekal untuk sebuah rumah tangga, karena itu kau harus rajin bekerja" Sekali lagi Tanjung mengangguk dalam-dalam.
361 "Teruskan usahamu dengan tekun. Tetapi hati-hatilah, jangan lengah dimasa-masa seperti ini. Hanya mereka yang dapat dipercaya sajalah yang harus kau layani. Selebihnya, terpaksa sekali, kita tidak dapat menolongnya" "Aku mengerti" sahut Tanjung "setiap pinjaman aku nilai dengan kemungkinan yang dapat dihasilkan oleh sawah mereka itu pula" Nyai Sudati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang puas melihat cara Tanjung bekerja. Anak itu dapat diharapkan, kelak dapat menggantikan, kedudukannya, menghitung lidi di dalam bumbung. Demikianlah, ketika sudah tidak ada pesan apapun lagi, Tanjungpun minta diri. Berbagai angan-angan telah dibawanya pulang. Kepercayaan Nyai Sudati yang meningkat dan tanggapan Wiyatsih yang baik kepudanya. Besok Wiyatsih akan datang ketepian. Ia pasti sudah tahu, apa yang akan aku katakan. Kalau ia tidak menanggapi sikapku dengan baik, ia pasti menolak untuk datang besok malam" berkata Tanjung didalam hatinya. Nyai Sudati yang masih duduk di pendapapun ternyata telah berangan-angan pula. Ia benar-benar berharap bahwa Tanjung akan dapat diambilnya sebagai seorang menantu yang baik, yang taat dan setia kepada mertua dan mudahmudahan juga kelak kepada isterinya. Seorang yang rajin dan tekun dan memiliki kemampuan yang baik untuk meneruskan usahanya. Setiap kali Nyai Sudati selalu mengeluh, bahwa kedua anak-anaknya sama sekali tidak berminat pada pekerjaan yang dilakukan. Bahkan setiap kali mereka selalu mencoba menghentikan usaha itu. "Darimana kita akan mendapat makan?" Nyai Sudati selalu bertanya.
362 "Bukankah sawah kita cukup luas dan kebetulan berada di daerah yang paling baik dari padukuhan ini?" Nyai Sudati tidak dapat meyakinkan kedua anak-anaknya, bahwa mereka tidak boleh sekedar menjadi seorang petani biasa. Petani yang hanya mengharapkan hasil panenan tanpa berbuat yang lain. "Aku akan berbuat yang lain" berkata Wiyatsih "tetapi tidak seperti yang ibu lakukan" Dan hal itulah yang membuat Nyai Sudati menjadi prihatin. Anak-anaknya tidak mau menjadi seorang yang meminjamkan uang dan bibit kepada tetangga-tetangganya, meskipun usaha itu menghasilkan banyak uang dan hasil panenan. Tetapi Tanjung agaknya mampu melakukannya. Bahkan telah nampak, usahanya dengan modal sedikit yang diberikan kepadanya, telah mulai berkembang. Apalagi orang tua itu melihat bahwa Tanjungpun agaknya menaruh minat kepada Wiyatsih. "Meskipun Wiyatsih tidak, senang melakukan hal itu, tetapi Tanjung kelak akan menuntunnya, sehingga man tidak mau, ia akan melakukannya pula" berkata Nyai Sudati didalam hatinya. Dan agaknya Nyai Sudati sama sekali sudah tidak memperhitungkan Pikatan yang hatinya seakan-akan telah patah. Patah sama sekali. Sejenak kemudian Nyai Sudatipun meninggalkan pendapa rumahnya. Ia mengerutkan keningaya melihat kedua bilik anak-anaknya tertutup. Tetapi ia tidak lagi mendengar Wiyatsih terisak. Nyai Sudati sama sekali tidak menyapa kedua anaknya. Ia pun langsung pergi kebelakang, melihat orang-orangnya yang sedang bekerja. Disore hari, ketika Wiyatsih keluar dari biliknya dan pergi ke pakiwan, ibunya melihat matanya yang merah. Bukan saja
363 karena tertidur, tetapi pada mata itu tampak sesuatu yang mengatakan bahwa Wiyatsih baru saja menangis. Tetapi Nyai Sudati tidak bertanya. Dibiarkannya Wiyatsih sendiri dan berpakaian didalam biliknya yang tertutup pula. "Anak-anak itu membuat kepalaku menjadi selalu pening" berkata ibu Wiyatsih itu kepada diri sendiri "Apa pula yang ditangisinya. Tentu ia sudah berselisih lagi dengan Pikatan" Namun ketika lampu-lampu sudah menyala dan diluar gelap telah menyelubungi padukuhan kecil itu, ibunya telah memanggil Wiyatsih di pringgitan. "Wiyatshih, aku tahu bahwa kau telah berselisih lagi dengan kakakmu" Wiyatsih tidak menjawab. Ia hanya menundukkan kepalanya saja. "Sebaiknya kau menghindarinya Wiyatsih. Kita harus menyadari keadaannya. Ia telah dikecewakan oleh cacat tangannya, sehingga ia menjadi sangat mudah tersinggung" Wiyatsih mengangguk perlahan-lahan. "Usahakan agar kau tidak pernah membicarakan soal apapun dengan kakakmu. Berbicaralah soal sahari-hari saja. Makanan, minuman dan pakaiannya. Tidak lebih dari itu" Wiyatsih mengangguk pula. Tetapi soal makanpun dapat membuat kakaknya merajuk. Dan baru kemarin hal itu terjadi ketika la mencoba bertanya kepada Pikatan, makanan apakah yang diingimnya untuk hari itu. "Aku tidak berhak menentukan Wiyatsih" jawab Pikatan "Aku adalah orang yang sekedar menerima pemberian. Terserahlah kepadamu dan kepada ibu" Wiyatsih hanya dapat mengusap dadanya. Ia ingin kakaknya sedikit senang atas perhatian yang diberikan oleh keluarganya. Tetapi Kakaknya selalu berwajah suram.
364 "Wiyatsih" berkata ibunya kemudian dengan nada yang dalam "dua orang bersaudara akan selalu sering berselisih apabila mereka masih tinggal di dalam satu kandang. Tetapi apabila salah seorang daripadanya telah berumah tangga sendiri atau kedua-duanya, keadaannya pasti akan berbeda. Persaudaraan itu akan lebih tampak dan lebih akrab, karana keduanya tidak terlampau sering bertemu. Demikian juga agaknya kau dengan Pikatan" Wiyatsih mengangkat wajahnya sejenak. Tetapi wajah itu segera tertunduk kembali. Ia sudah dapat menebak arah pembicaraan ibunya. Dan ternyata Wiyatsih tidak keliru. Sejenak kemudian ibunya berkata "Wiyatsih. Kau kini sudah benar-benar seorang gadis dewasa. Sudah sepantasnya kau menempuh suatu kehidupan baru. Bukan saja agar kau tidak selalu berselisih dengan kakakmu di rumah ini, tetapi sudah sepantasnya kau kawin" Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. "Tidak baik seorang gadis menunggu hari-hari perkawinannya sampai umurnya merayap terlalu tinggi. Tetangga-tetangga akan mempercakapkannya, seolah-olah gadis itu tidak laku lagi" "Ah" Wiyatsih berdesah "apakah seorang gadis itu seperti barang dagangan saja ibu?" "Tentu tidak Wiyatsih. Aku juga seorang Perempuan. Tetapi tetangga-tetangga akan beranggapan, bahwa gadis yang sampai batas kedewasaannya tidak ada seorangpun yang meminang adalah seorang gadis yang tidak laku. Bukan saja karena ia tidak cantik, tetapi banyak penilaian orang tentang seorang gadis. Mungkin sifat-sifatntya, mungkin Katuranggan dan mungkin juga kelakuannya" "Katuranggan adalah penilikan ciri-ciri buat seekor kuda Tidak buat seorang perempuan"
365 "Tetapi, istilah itu memang sering dipakai, Wiyatsih" ibunya menyabut "atau baikiah, kita mempergunakan istilah lain. Namun kesimpulannya adalah, seorang gadis yang terlambat kawin adalah seorang gadis yang tidak disukai" Wiyatsih tidak segera menyahut. "Karena itu Wiyatsih. kau harus segera menempuh hidup berkeluarga" suara ibunya merendah "apakah kau mengerti?" Wiyatsih mengangguk. Jawabnya "Aku tidak berkeberatan Ibu. Tetapi berikan aku kesempatan untuk menilai bakal suamiku apabila saatnya itu memang sudah tiba" Ibunya mengerutkan keningnya. Katanya "Seorang perempuan tidak boleh terlampau banyak menuntut. Aku belum mengenal ayahmu sama sekali ketika aku kawin. Aku belum perhah melihat wajahnya, apalagi sifat dan tabiatnya. Tetapi lambat laun kami dapat saling menyesuaikan diri. Dan lahirlah Pikatan dan kau. Kami hidup rukun sampai saatnya, ayahmu kembali menghadap Allah Sang Pencipta. Sjak itu, sama sekali tidak timbul niatku untuk kawin lagi dengan lakilaki yang manapun juga, karena aku tidak dapat melupakan kebahagiaan perkawinanku dengan ayahmu" Wiyatsih menarik nafas. Semakin dalam. "Aku akan memilih seorang bakal suami yang baik buatmu Wiyatsih" "Ah" Wiyatsin berdesah. Tetapi ia tidak menyahut. "Aku adalah ibumu. Sudah tentu aku tidak akan menjerumuskan kau ke dalam kesulitan. Kau adalah satusatunya anak gadisku. Hidupku ini justru tinggal untuk anakanakku. Aku sudah kehilangan gairah keduniawian. Aku tidak lagi menginginkan sesuatu didalam hidup ini, selain melihat anak-anakku menjadi orang terpandang" Wiyatsih mengangkat wajahnya. Ditatapnya wajah ibunya sejenak. Di dalam hatinya melonjak pertanyaan yang tidak
366 terucapkan "Tetapi ibu senang sekali mengumpulkan harta benda dan kekayaan?" Namun meskipun pertanyaan itu tidak diucapkan, seakanakan Ibunya dapat membaca sorot matanya, sehingga katanya kemudian "Wiyatsih... Kalau aku sekarang bekerja keras, semata-mata karena aku ingin meninggalkan sesuatu yang berarti buatmu. Sesuatu yang akan berharga didalam hidupmu kelak. Rumah yang baik, sawah yang luas dan sedikit perhiasan. Selain barang-barang itu akan berharga bagimu, apabila kau mempunyai bekal yang cukup, maka suamimu pasti akan menghargaimu. Ia tidak akan berbuat sesuka hatinya, karena kekayaanmu itu akan berpengaruh atasnya. Wiyatsih tidak menyahut. Tetapi kepalanya tertunduk kembali. Semakin dalam Apalagi Wiyatsih sudah dapat menduga, laki-laki yang manakah yang akan dikehendaki oleh ibunya itu. "Tentu Tanjung" berkata Wiyatsih didalam hatinya "dan bagiku Tanjung tidak lebih dari seorang anak cengeng" "Tetapi baiklah kau pikirkan Wiyatsih. Mungkin pada suatu saat yang pendek, kau akan mengetahui bakal suamimu. Dan mudah-mudahan kau dapat menerimanya dengan ikhlas" Wiyatsih mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia berkata "Ibu, agaknya aku akan menurut petunjuk ibu. Tetapi sebaiknya ibu mempertimbangkannya dengan kakang Pikatan. Ia adalah satu-satunya laki-laki didalam keluarga kita, yang barangkali dapat menggantikain kedudukan ayah didalam persoalan ini. Aku akan senang sekali apabila ibu dan kakang Pikatan sependapat" Ibunya teinenung sejenak. Lalu katanya "Pikatan hampir tidak mempedulikan apapun lagi. Tetapi baiklah, aku akan mencoba berbicara. Tetapi sudah tentu apabila semuanya sudah mendekati kepastian" Wiyatsih mengangguk-anggukan kepalanya.
367 "Nah, sekarang tidurlah. Kau tentu lelah" "Aku belum lama bangun ibu" "Tetapi kau menangis. Mungkin kau perlu ketenangan. Pergilah kedalam bilikmu" "Bukankah hari masih belum terlalu malam" Baru saja kita menyalakan lampu" Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Terserahlah kepadamu. Aku akan menyelesaikain pekerjaanku" "Menghitung lidi?" "Ya. Menghitung lidi untuk hari ini" ibunya memandang wajah Wiyatsih sejenak, lalu "seharusnya kau membantu. Kalau kau masih belum akan pergi kebilikmu, bantulah" Wiyatsih menarik nafas sekali lagi. Katanya "Aku tidak telaten ibu. Nanti aku salah menghitung" Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdesis "Pada suatu saat, kaulah yang akan melanjutkan Pekerjaan ibu ini. Sudah aku katakan, kau jangan hanya sekedar menjadi petani saja. Tetapi berbuatlah yang lain. Lihat, bagaimana keadaan kita dibandingkan dengan tetangga-tetangga, kita di daerah kering ini" Wiyatsih tidak menjawab. Dipandanginya saja ibunya yang kemudian berdiri untuk mengambil beberapa buah bumbung yang berisi lidi. "Ibu" berkata Wiyatsih kemudian "aku akan keluar sebentar. Udara di dalam rumah ini terasa terlampau panas. Mungkin dilangit telah mulai mengambang beberapa lembar awan. Dan kita akan menghavap bahwa hujan segera akan datang" "Tentu tidak segera. Masih ada bunyi walang centring, dan bintang waluku masih menelentang"
368 Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata ibunya mengenal juga tanda-tanda alam bagi musim. Dan rasa-rasanya musim kering ini berkepanjangan tidak hentihentinya. Tetapi Wiyatsihpun kemudian meninggalkan pringgitan, keluar kependapa. Namun ibunya masih berpesan "Jangan pergi kemanapun Wiyatsih" "Aku hanya dihalaman ibu" Ibunya memandanginya sejenak. Namun Wiyatsihpun kemudian menutup pintu pringgitan, setelah ia berada dipendapa. Terasa udara yang dingin mulai menyentuh kulitnya. Tetapi dengan demikian tubuhnya terasa menjadi segar. Sekali-sekali ia mengusap matanya yang terasa gatal, karena tangisnya yang lama. Sejenak Wiyatsih menyapu halaman rumahnya dengan tatapan matanya yang seakan-akan menjadi semakin tajam. Latihan-latihan yang berat membuatnya seakan-akan berkembang. Bukan saja tenaganya, kecepatan bergerak dan pengetahuannya atas tata gerak olah kanuragan, tetapi juga inderanya dan kelantipannya. Ketika Wiyatsih memandang keregol Halaman, dilihatnya dua orang penjaga yang duduk berkerudung kain panjang. Senjata mereka berada dekat disisinya. "Memang mereka bukan orang kebanyakan" berkata Wiyatsih didalam hatinya menilik bentuk senjatanya, mereka memang mempunyai pengalaman bertualang didalam olah kanuragan." Tetapi dada Wiyatsih berdesir ketika ia melihat pintu regol itu berderit. Hampir berbareng kedua penjaganya bangkit berdiri dan bertanya serentak "Siapa?"
369 "Aku" terdengar sebuah jawaban. Dan tersembullah sebuah kepala diantara daun Pintu. Tanjung. "Huh" Wiyatsih mengerutkan keningnya. Lalu diam-diam iapun meninggalkan pendapa, melingkar lewat sebelah rumahnja dan pergi kepintu butulan yang memang belum diselarak. Kedua penjaga rumah itu sudah mengenal Tanjung dengan baik. Apalagi hari masih belum terlampau malam, sehingga dibiarkannya Tanjung masuk dan pergi kepringgitan. Wiyatsih tidak menghiraukannya lagi. Ia memang mendengar suara anak muda itu yang kemudian bercakapcakap dengan ibunya Tetapi Wiyatsih justru masuk kedalam biliknya dan menutup pintunya meskipun tidak terlampau rapat. Wiyatsih masih mendengar Tanjung minta diri. Dan ia masih mendengar ibunya menyelarak pintu dan berjalan keruang dalam. Bahkan kemudian ibunya itu menjenguknya dari sela-sela daun pintu biliknya. "Apakah kau sudah tidur Wiyatsih" "Belum ibu" jawab Wiyatsih. "Aku kira kau masih berada diluar." "Aku masuk lewat pintu butulan. Dan aku sudah menutupnya" Ibunya menarik nafas. Tetapi ia masih belum dapat mengatakan kepada Wiyatsih bahwa ia menghendaki Tanjung untuk menjadi bakal suami anak gadisnya itu. Sejenak kemudian ibunyapun segera masuk kedalam biliknya, setelah melihat pintu-pintu rumahnya, apakah semuanya telah tertutup rapat. Yang masih terbangun kemudian tinggallah Wiyatsih. la sama sekali tidak ingin tidur, karena kecuali ia sudah tidur
370 ketika ia menangis di biliknya, iapun seolah-olah digelisahkan oleh perasaannya. sehingga ia mengharap Puranti segera datang kehalaman rumahnya. la akan dapat mengatakan kesulitan-kesulitannya kepada gadis itu, yang kecuali gurunya didalam olah kanuragan, tetapi ia juga dianggapnya sebagai pengganti kakaknya, Pikatan. Karena itu, maka ia hampir tidak mempunyai rahasia lagi yang disimpannya terhadap Puranti. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggunya, untuk mengatakan niat Tanjung menemuinya besok ditepian. Dan ia akan menumpahkan kegelisahanaya karena sikap ibunya. "Tetapi kalau ibu benar-benar akan membicarakannya dengan kakang Pikatan, biarlah kakang Pikatan menolaknya" berkata Wiyatsih didalam hatinya. Wiyatsih yang berangan-angan itu sama sekali tidak menyadari. bahwa malam semakin menjadi kelam Suara angkup dikejauhan terdengar seperti keluhan hatinya yang gelisah. Wiyatsih terperanjat ketika ia mendengar desir di dinding biliknya. Kemudian isyarat seperti yang sudah terlalu sering didengarnya. "Puranti sudah datang" desisnya. Perlahan-lahan Wiyatsih bangkit berdiri. Kemudian dengan hati-hati pula ia melangkah keluar dari biliknya dan menutup pintu itu rapat-rapat, ia masih mencoba untuk mengetahui apakah seisi rumahnya benar-benar telah tertidur nyenyak. "Semuanya sudah tertidur" desisnya. Seperti biasanya Wiyatsihpun segera pergi keluar lewat pintu butulan. Dan seperti biasanya, Puranti telah menunggunya di longkangan. Tetapi kali ini Wiyatsih terkejut ketika ia melihat sebuah bayangan seorang laki laki di dalam kegelapan di kebun
371 belakang. Semakin dekat, ia menjadi semakin jelas, bahwa laki-laki itu adalah seorang yang telah hampir lanjut usia. "Siapa?" tanpa sesadarnya ia bertanya. "Ayah" jawab Puranti "ia adalah ayahku. Guru kakang Pikatan" "O" Wiyatsihpun kemudian mengangguk dalam-dalam "maafkan aku Kiai. Aku tidak mengetahui sebelumnya" Orang tua itu tersenyum. Katanya "Tentu kau belum mengenal aku. Aku jarang sekali mengunjungi Puranti, dan kali ini aku memerlukan menemuimu disini." "Ya, Kiai" "Sudan lama sekali aku tidak datang menengoknya. Sebenarnya aku juga ingin menemui Pikatan, tetapi agaknya keadaannya belum memungkinkan. Jika aku memaksa menemuinya, maka aku kira akibatnya justru kurang baik bagi dirinya." Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. "Untuk mengurangi kecewa atas kelakuan Pikatan, aku sekarang ingin melihat, apakah kau dapat menggantikannya" "O" desis Wiyatsih " "Tentu aku tidak ingin menggantikan kedudukan kakhne Pikatan. la adalah saudara tuaku. Bagaimana-pun iuga, aku lidak akan dapat menyamainya" Kiai Pucang Tunggal terrenyum. Katanya " Kau adalah seorang adik yang baik bagi Pikatan. Maksudku bukan kau menggantikan kedudukan Pikatan didalam segala hal. Tetapi tentu Pikatan mempunyai cita-cita. Nah, apakah kau dapat melanjutkan cita-citanya itu" Cita-citanya dalam olah kanuragan yang patah karena cacatnya, dan cita-citanya tentang kampung halarnan"
372 Wiyatsih tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil diluar sadarnya. "Nah, sekarang jangan membuang waktu. Mulailah berlatih seperti biasa. Anggaplah aku tidak ada disini sekarang, karena aku memang hanya ingin melihat" Wiyatsih memang merasa agak segan terhadap kehadiran Kiai Pucang Tunggal. Tetapi Puranti mendesaknya, sehingga merekapun kemudian segera berlatih seperti yang mereka lakukan sehari-hari. "Bagus sekali" berkata Kiai Pucang Tunggal setelah latihan itu selesai "Ternyata kau benar-benar adik Pikatan. Meskipun kau seorang gadis, tetapi kau memiliki tenaga yang kuat dan kelincahan yang cukup. Aku berharap bahwa kau akan segera mendapatkan Kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi padukuhan ini dan bagi sesama. Selama ini kau masih harus menyembunyikan kemampuanmu, karena banyak hal yang belum memungkinkannya. Dan llmumu sendiri masih belum siap untuk hadir didalam kericuhan yang terjadi didaerah ini. Tetapi sebentar lagi kau akan menjadi semakin masak" Kiai Pucang Tunggal berhenti sebentar, lalu "Apakah kau tidak berkeberatan apabila akulah yang akan menuntunmu untuk beberapa saat kemudian?" Wiyatsih terkejut. Ditatapnya mata Puranti sejenak. Tetapi Puranti tersenyum dan berkata "Tidak ada apa-apa. Tentu ayah mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak dari aku sendiri. Dan tentu ayah akan dapat mempercepat tingkat-tingkat ilmu yang akan kau capai" "Tetapi bagaimania dengan kau?" "Aku akan selalu datang. Tetapi untuk beberapa hari aku tidak hadir disini" "Kenapa?"
373 "Persoalanku sendiri. Ternyata di rumah biyung angkatku ada seorang tamu yang melibatkan aku kedalam suatu persoalan. Sebenarnya ayah hanya datang sekedar menengokku. Tetapi akulah yang minta kepada ayah untuk menggantikan kedudukanku, karena itu aku harus menyelesaikan masalahku. Tetapi hal itu tentu akan menguntungkan bagimu." Wiyatsih masih ragu-ragu. Dan Purantipun berkata seterusnya "tetapi sudah aku katakan, setiap kali aku masih akan datang" Wiyatsih mengangguk-anggukan kepalanya. "Bagus" berkata Puranti "kau akan menjadi semakin cepat maju. Kelak aku akan berceritera kepadamu, apa saja yang telah terjadi atasku" Sekali lagi Wiyatsih mengangguk. "Tetapi apakah besok kau tidak datang?" "Untuk beberapa saat ini aku tidak dapat mengatakan dengan Pasti, Wiyatsih. Persoalanku termasuk persoalan yang rumit bagi anak seorang janda yang miskin. Tetapi aku akau mengatasinya secepat-cepatnya" Wiyatsih menjadi termangu-mangu sejenak. Sekali ditatapnya wajah Puranti, kemudian dipandanginya wajah Kiai Pucang Tunggal. "Jangan ragu-ragu Wiyatsih. Ilmuku aku dapatkan dari ayah pula, sehingga apa yang akan kau peroleh dari ayah tidak akan berbeda dari vang pernah aku berikan, kepadamu. Justru pasti akan menjadi lebih sempurna. Wiyatsih mengangguk-anggukan kepalanya. Namun kemudian diantara desah nafasnya ia berkata dengan raguragu "Tetapi, tetapi aku akan mengatakan sesuatu kepadamu. Puranti."
374 Puranti mengerutkan keningnya. Namun ia dapat mengerti maksud Wiyatsih. Gadis itu pasti ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia masih segan karena kehadiran Kiai Pucang Tunggal yang belum begitu dikenalnya. Karena itu maka sambil tersenyum ia berkata "Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan hanya kepadaku saja?" Wiyatsih tidak menjawab. tetapi kepalanya tertunduk. "Baikiah berkata Kiai Pucang Tunggal sambil tersenyum pula "aku akan pergi lebih dahulu. Agaknya aku sedikit mengganggu ceriteramu Wiyatsih" "Ah" Wiyatsih berdesah. Kiai Pucang Tunggalpun kemudian minita diri, mendahului Puranti yang masih akan tinggal sejenak. Agaknya Wiyatsih ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Sepeninggal Kiai Pucang Tunggal, maka Wiyatsihpun mulai mengatakan tentang Tanjung dan dirinya sendiri. Tentang niat Tanjung menemuinya besok ditepian. Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi iapun kemudian bertanya "Wiyatsih. Kau, jangan menilai seseorang dari satu segi. Mungkin Tanjung bukan seorang yang sejalan dengan kau didalam perencanaan bendungan, Tetapi segi-segi kehidupan bukan hanya sekedar ditentukan oleh satu hal. Mungkin didalam persoalau yang lain yang lebih besar bagi kehidupan keluargamu kelak, kau menemukan titik-titik persamaan dengan pendiriannya" Wiyatsih menggelengkan kepalanya. Katanya "la seorang yang tidak akan mungkin berdiri sendiri. Hidupnya sangat tergantung pada keadaan dan pada pertolongan orang lain. Ia tidak mempunyai minat untuk menentukan hidupnya sendiri"' "Tetapi bagaimanakah sebenarnya kata nuranimu lepas dari kekurangan-kekurangan" bertanya Puranti kemudian
375 "seandainya kau menemukan seuatu pada dirinya, maka kau akan dapat mencoba mengisi kekurangan itu perlahan-lahan" Wiyatsih menundukkan kepalanya. Dan terdengar suaranya lirih "Aku sama sekali tidak menyukainya" Puranti menarik nafas dalam-dalam. Memang terlalu sulit untuk memberikan petunjuk yang menentukan di dalam pilihan semacam itu, Karena itu, maka katanya "Jangan segera mengambil keputusan, Wiyatsih. Kau dapat menjajaginya lebih dalam. Justru pertemuan yang diminta oleh Tanjung akan memberi kesempatan kepadamu, mengetahui sifat-sifatnya, tabiat, dan keadaannya lebih banyak lagi" Wiyatsih mengangguk-angguk. "Wiyatsih, berpikirlah dengan tenang. Memang ibumu pasti tidak akan mencelakakanmu. Ibumu pasti berusaha membuat kau bahagia sesuai dengan keinginannya. Tetapi agaknya yang dicita-citakan berbeda dengan cita-citamu sendiri. Namun demikian kau harus tetap menghargai niatnya yang baik buatmu itu" Wiyatsih masih mengangguk-anggukkan kepalanya. "Nah Wiyatsih" berkata Puranti kemudian "aku akan minta diri, bukan berarti bahwa aku tidak akan datang lagi. Aku akan selalu datang. Dan apabila persoalanku sendiri sudah selesai, maka aku pulalah yang akan datang setiap malam kerumahmu. Bahkan mungkin kita akan menentukan tempattempat lain di siang hari. Ayah sudah barang tentu tidak akan dapat terlampau lama meninggalkan padepokannya" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia bertanya "Tetapi apakah sebenarnya Persoalanmu itu?" Puranti merenung sejenak. Lalu katanya sambil tersenyum "Tidak terlalu penting. Ternyata janda yang mengambil aku sebagai anaknya itu menemukan persoalan. Tiba-tiba saja
376 seorang laki-laki mempersoalkan aku meskipun sehari-hari aku memakai pakaian kumal karena aku adalah anak seorang janda yang miskin" O" Wiyatsih hampir terpekik "Itu karena kau memang terlampau cantik" "Sst" Puranti berdesis "jangan membangunkan isi rumahmu. Persoalan itu cukup membingungkan janda itu. Juga aku menjadi bingung. Kadang-kadang laki-laki itu datang ke rumah kami. Dan kedatangannya sama sekali tidak menghitung waktu" "O" Wiyatsih tertawa "dan kau harus menemuinya" Duduk berdua di dalam gelap?" "Sst" sekali lagi Puranti berdesis "jangan berprasangka. Dan tugaskku adalah menghindarinyakan diri dari laki-laki itu, tanpa meninggalkan rumah janda itu. Kau mengerti?" "Kenapa., tidak kau terima saja lamarannya kalau ia memang melamarmu?" "Aku memang sudah bepikir demikian " "He " tiba-tiba saja Wiyatsih terkejut. "Maksudku, mungkin laki laki itu lebih baik dari Tanjung. Aku akan menerima lamarannya untuk menukar Tanjung dengan laki-laki itu buatmu" "Ah kau" tiba-tiba saja Wiyatsih mencubit Puranti di lengannya, Puranti sebenarnya mempunyai daya tahan yang kuat untuk tidak merasakan sakit pada cubitan itu. Tetapi ternyata Wiyatsih terlampau kuat oleh latihan-latihan jari yang terus-menerus. Sehingga karena itu, Purantipun berdesis "Sst, jangan. Sakit Wiyatsih" Ketika Wiyatsih melepaskannya, Puranti berkata "Tanganmu kini menjadi sekeras besi. Latihan jari-jarimu
Hina Kelana 1 Jodoh Rajawali 07 Mempelai Liang Kubur Kisah Sepasang Rajawali 29
134 muridku yang tinggal seorang ini akan binasa pula ditangani anak perempuaumu. Seandainya aku berhasil membunuhmu, aku kira hidupku tidak akan banyak berarti lagi. Aku tidak akan segera dapat membentuk seseorang yang siap menerima tetesan ilmuku yang sempurna" "Jadi, apa maksudmu kemudian" "Niatku, aku minta diri. Aku akan menunda pembalasan dendam ini, Tetapi kalau kau takut, bahwa pada suatu saat kau tidak akan dapat mengatasi kemampuan kami, maka sekarang kau mendapat kesampatan untuk mengalahkan kami berdua. Anakmu dapat membunuh muridku, dan aku akan menyerahkan hidup matiku kepadamu" "Jangan berputus asa Palaran. Pintu masih selalu terbuka. Pintu yang akan menghubungkan kau dengan duniamu yang bakal datang ALLAH Maha Pengampun" Kiai Sampar Angin tertawa, katanya "Terima kasih. Beribu terima kasih" "Palaran, apakah hatimu memang sudah membeku?" "Tentu tidak. Hatiku masih cair. Tetapi maaf bahwa. aku memilih jalan lain. Kalau kau masih berani melihat kesempatan bagi kami dimasa datang, kami akan minta diri. Tetapi walaupun demikian, kemungkinan yang bakal terjadi, kau dan anak muridmulah yang bakal manjadi korban" Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. "Tetapi kalau kau tidak berani mengalami akibat yang buruk itu, kau dapat membunuh kami sekarang" "Tidak Aku tidak akan membunuh. Dan akupun berharap bahwa kau dan muridmu itupun tidak akan membunuh kami kelak"
135 Tentu, kami sudah dibakar oleh dendam. Kami akan membunuh kalian kelak kalau kalian tidak membunuh kami sekarang" Waktu itu cukup panjang bagimu dan bagi muridmu untuk merenungi hari-hari lampaumu. Waktu itu cukup panjang bagi seorang anak untuk mengenal arti rindu kepada seorang ibu yang melahirkannya. Aku berharap bahwa waktu itu akan datang. Bukan pembunuhan, tetapi taubat kepada Sang Pengampun" Ki Sampar Angin menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kau memang mengagumkan Pandean. Kau terlampau percaya kepada diri sendiri" "Lebih dari itu. Aku. percaya kepada kekuasaan ALLAH SWT, itulah sebabnya aku percaya bahwa kalian juga akan mendapatkan hidayahnya" Sekali lagi Sampar Angin tersenyum. Kemudian ia berpaling kepada muridnya sambil berkata "Marilah kita pergi. Mereka tidak ingin membunuh kita sekarang. Meraka akan memberi kesempatan kepada kita untuk membunuh mereka dikemudian hari" Hantu Bertangan Api tidak menjawab. Tetapi terdengar giginya gemeretak. Sejenak kemudian Ki Sampar Angin itupun berdiri dan minta diri" "Mudah-mudahan kau segera kembali ke Gajah Mungkur, muridmu kembali kepada ibunya yang semakin tua" "Kami akan datang ke Gajah Mungkur untuk melepaskan dendam yang membakar hati kami" seru Hantu Bertangan Api. "Akan datang saatnya, api di tanganmu akan padam. Kau bukan hantu yang menakut-nakuti ibumu Suwela. Kau baginya adalah seorang yang paling dicintai dimuka bumi"
136 "Diam. diam" Pucang Tunggalpun terdiam. Dipandanginya saja Kiai Sampar Angin dan muridnya yang kemudian meninggalkan Kiai Pucang Tunggal dan Puranti yang termangu-mangu. "Ayah, ayah" desis Puranti setalah mereka tidak tampak lagi terbenam didalam kegelapan "jadi ayah sudah mengenal mereka yang justru berasal dari Gajah Mungkur juga" Kenapa ayah tidak mengatakan bahwa gurunya berasal dari daerah yang jauh sekali?" Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menggelengkan kepalanya sambil menjawab "Aku berbohong saat itu supaya kau tidak ragu-ragu apabila kau berhadapan dengan muridnya, Hantu Bertangan Api itu" "Dan ayah juga mengetahui banyak tentang muridnya yang menghuni Goa Pabelan itu" "Ya. Aku mengetahui" "Tetapi ayah sengaja membiarkan kami membinasakan mereka?" "Aku hampir tidak melihat lagi bahwa mereka akan dapat menempuh jalan kembali" ia berhenti sejenak, lalu "meskipun demikian aku mencoba untuk yang terakhir kalinya. Aku melepaskan mereka untuk tetap hidup. Aku ingin melihat apa yang akau mereka lakukan" "Apakah ayah sudah mencoba sebelum ini?" "Ya. Tetapi bukan aku sendiri. Ayah kedua Hantu itulah yang datang kepada anak-anaknya. Tetapi sebelum ia mencapai mulut Goa Pabelan, ia telah dikeroyok oleh anak buahnya" "Apakah kedua hantu itu tidak melihat?"
137 "Mereka melihatnya. Tetapi mereka takut menemui ayahnya sehingga mereka membiarkan, ayahnya itu menjadi korban keganasan anak buahnya" "Apakah ayahnya tidak dapat mengatakan keperluannya?" Kiai Pucang Tunggal merenung sejenak. Tampak nafasnya tertahan-tahan. Dari sela-sela bibirnya ia berkata lirih "Kedua anaknya itulah yaug agaknya dengan sengaja memberi kesempatan kepada anak buahnya untuk membunuh laki-laki tua itu" "O, terkutuklah" "Itulah sebabnya aku tidak berkeberatan kau membunuhnya Anak durhaka yang tidak pantas lagi hidup dibumi Tuhan ini" Tetapi suara Kiai Pucang Tunggal meuurun "Tetapi kita adalah orang-orang yang berjiwa kerdil. Aku baru sadar bahwa sepasang Hantu itu adalah justru manusia yang paling malang. Manusia yang harus dikasihani. Dan aku mencoba untuk menaban dirii saat ini. Ketika Hantu yang muda itu datang bersama gurunya." Puranti menarik nafas dalam-dalam. Ia mengurungkan niatnya untuk bertanya, kenapa ayahnya tidak menyuruhnya membinasakan Suwela itu sama sekali, justru mereka telah datang untuk membalas dendam. "Sudahlah Puranti" berkata ayahnya "kita mencoba untuk melupakan sejenak. Tetapi ingatlah, bahwa dendam itu masih menyala dihati mereka, meskipun kita mengharap bahwa pada suatu saat api dendam itu akan padam" "Ya ayah" "Pada saatnya kau harus tetap berhati-hati" "Ya ayah" "Sudahlah. Marilah kita lihat, apakah Pikatan dapat beristirahat"
138 Keduanyapun kemudian memasuki ruangan didalam rumah itu. Mereka melihat Pikatan masih duduk bersandar dinding sambil menyilangkan tangan didadanya. Tatapan matanya yang jauh itupun kemudian berpaling ketika ra mendengar desir kaki memasuki ruangan itu, yang ternyata alalah gurunya dan Puranti. "Apakah orang-orang itu sudah pergi" terdengar suaranya purau. "Ya. Mereka telah pergi" jawab gurunya. "Aku mendengar pembicaraan guru dengan orang yang bernama Kiai Sampar Angin menurut pendengaranku. "Kau mendengar?" "Sebagian guru. Dan aku juga mendengar bahwa Hantu bertangan api itu telah membiarkan ayahnya terbunuh" "Ya" "Dan apakah guru mendengar dari, Sumber ,yang dapat dipercaya?" "Aku tidak sekedar mendengar dari orang Iain. Aku melihat hal itu terjadi" Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya. Katanya " Orang itu tidak mati. Orang itu masih hidup. Aku berhasil merampasnya dari anak buah Suwela saat itu. "Ayah kedua Hantu itu masih hidup" "Ya. Aku berusaha menyembunyikannya di tempat yang tidak mudah dikenali, karena aku masih mencemaskan usaha pembunuhan yang dapat dilakukan oleh anak buah Hantu kakak baradik itu"
139 Puranti tidak menyahut lagi. Namun terasa dadanya menjadi semakin sesak. Penyesalan yang semakin dalam telah menusuk jantungnya. Ternyata bahwa orang yang disebut Hantu Bertangan Api itu benar-benar manusia terkutuk. Bukan saja karena ia telah mengganggu ketenteraman penduduk di lereng Merapi, bahkan sampai ke tempat yang jauh, namun mereka juga telah melakukau dosa terbesar didalam hidupnya. Melawan orang tua sendiri. Pikatan menggeram "Mereka memang harus dibinasakan" tetapi ia telah terlempar kedalam Suatu kenyataan, bahwa ia tidak berhasil melakukan tugas, pendadaran apalagi membinasakan Hantu Bertangan Api itu. Pasukan kecil yang datang dari Demak itu ternyata telah gagal. Bukan saja karena Hantu Bertangan Api yang muda itu sempat lolos, tetapi bahwa pasukan calon prajurit itu sebenarnya tidak berhasil mengatasi lawannya tanpa bantuan seorang gadis yang tibatiba saja telah melibatkan diri didalam perkelahian yang dahsyat itu. Bahkan ia tidak dapat ingkar pula, bahwa nyawanya sendiri seolah-olah telah diselamatkan oleh Puranti. Berbagai perasaan telah bergajolak didalam dada Pikatan. Karena itulah maka ia menjadi gelisah. "Sudahlah-Pikatan" berkata gurunya yang seolah-olah mengetahui perasaan muridnya "beristirahatlah., Darahmu terlampau banyak mengalir, sehingga tubuhmu pasti menjadi sangat lemah. Berbaringlah dan berusahalah untuk dapat tidur meskipun hanya sekejap. Kau akan merasa bertambah segar karenanya Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia mengangguk sambil menjawab "Ya guru. Aku akan mencoba tidur sejenak" Tetapi Pikatan tidak juga membaringkan dirinya, la masih juga duduk ditempatnya bersandar dinding,
140 Tetapi gurunya tidak memaksanya lagi dibiarkannya Pikatan merenungi keadaannya. meskipun gurunya mengetahui, betapa Pikatan menyesali kegagalannya. Puranti yang mengerti juga perasaan Pikatan, sama sekali tidak menegurnya. Baginya, lebih baik Pikatan tetap hidup betapapun merasa tersinggung daripada mati karena tangan penghuni Goa Pabelan didalam pendadaran yang sangat berat itu. "Kau sajalah beristirahat Puranti " berkata ayahnya "tidurlah. Aku akan berjaga-jaga." Puranti tidak menjawab. Tetapi ia pergi ke dalam kamar. Diatas sebuah pembaringan yang kecil ia membaringkan dirinya. Namun seperti juga Pikatan, Puranti sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Tanpa mereka sadari. maka malampun bergerak perlahanlahan menjelang pagi. Mereka yang terbaring karena lukalukanya yang berat terdengar merintih menahan sakit. Malam yang sepi se-akan2 berjalan terlampau lamban, sehingga dingin angin malam serasa semakin membuat luka-luka mereka bertambah pedih. Kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan membuat mereka berpengharapan, bahwa akan segera datang orangorang dari Demak untuk berbuat sesuatu atas mereka. Sejenak kemudian maka langitpun menjadi semakin merah. Puranti yang tidak dapat tidur sekejappun telah bangkit pula dari pembaringannya dan berjalan keluar. Di ruang depan ia memandang Pikatan sejenak. Pikatan yang masih juga duduk bersandar dinding. Tetapi ia tidak menyapanya sama sekali. Di halaman Puranti melihat ayahnya duduk diatas sebuah batu sambil memandang keatas pebukitan. Sementara cahaya yang merah menjadi semakin merah. Angin yang sejuk mengusap rambut Puranti yang kusut.
141 "Apakah yang dapat aku kerjakan sekarang ayah?" bertanya Puranti kepada ayahnya. "Pergilah kepada pemilik rumah ini. Pinjamlah alat-alat sekedarnya. Kau harus merebus air. Air yang hangat, akan menyegarkan mereka. Apalagi apabila kita dapat menyediakan gula kelapa dan sekedar makan. Mereka pasti lapar. "Dari mana kita akan mendapatkan beras?" "Kau dapat meminjam dari penuuduk padukuhan ini Puranti. Aku yakin bahwa pimpinan Prajurit di Damak akan bersedia menggantinya berlipat" Puranti tampak ragu-ragu. "Kalau tidak, kelak kita akan datang dan menukarnya dengan beras pula" Puranti, mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun kemudian pergi menemui penghuni rumah itu yang terpaksa tinggal didapur, karena rumahnya sedang dipinjam oleh para calon prajurit. Dari orang itu Puranti mendapat gula kelapa dan beras. Orang itu pulalah yang mencari pinjaman kepada tetanggatetangganya untuk mencukupi kebutuhan beras bagi para calon prajurit itu. Dibantu oleh penghuni rumah itu, Purantipun segera sibuk menyediakan makan dan minum bagi mereka yang terluka. Seperti kebanyakan gadis-gadis padukuhan, Purantipun ternyata mampu bekerja didapur. Meskipun kadang-kadang ujung pedangnya agak mengganggunya, namun ia dapat menyiapkan semuanya itu dengan cepat. "Tetapi kami tidak mempunyai perSediaan lauk sama sekali" berkata penghuni rumah itu "kadang-kadang kami hanya mencari ikan disungai. atau memikat burung dengan getah. Yang selalu kami lakukan disini adalah memetik
142 dedaunan yang kami rebus, dengan sekedar garam dan gula kelapa" "Apakah bibi masih mempunyai persediaan garam?" Penghuni rumah itu menganggukkan kepalanya. "Kelapa?" Sekali lagi perempuan itu mengangguk. "Itu sudah cukup bibi. Biarlah aku mengukur kelapa. Tentu akan sedap sekali makan nasi hangat dengan kelapa dan garam" Nasi hangat itu ternyata telah memberikan kenikmatan yang besar,bagi para calon prajurit yang terluka itu. Seakanakan telah menumbuhkan sebagian dari kekuatan mereka yang telah hilang. Tetapi Pikatan sama sekali tidak berminat untuk makan. Hatinya terasa jauh lebih pedih dari luka di pundaknya. Betapapun ia berusaha, namun nasi yang sudah disuapkannya kedalam mulutnya, terasa terlampau sulit untuk ditelannya. "Makanlah kakang" minta Puranti "aku sendiri yang memasaknya. Bukankah kau sering makan dengan lauk serupa ini dipadepokan" Kau senang sekali makan dengan kelapa seperti kucing kesayanganmu itu" Pikatan tidak menyahut. Ditatapnya wajah Puranti sejenak. Dilihatnya perasaan yang tulus memancar dari mata gadis itu, sehingga dengan susah payah ia berusaha menelannya sesuap demi sesuap agar ia tidak menyakiti hati gadis itu. Namun perasaan Pikatan menjadi semakin pahit ketika ia melihat Puranti sebagai seorang gadis dengan cekatan melayani para calon prajurit yang terluka itu. Ternyata bahwa pasukan kecil ini seluruhnya telah tergantung kepada seorang gadis. Nyawa mereka dan kini perawatan mereka "Memalukan Sekali" berkata Pikatan didalam hatinya "Kenapa kita laki-laki
143 yang bertubuh besar tidak dapat berbuat lebih banyak dari seorang gadis yang tampaknya begitu lembut" Tetapi Pikatan tetap menyimpan perasaan itu didalam hati. Matahari yang tersembul diatas punggung-punggung bukit, semakin lama menjadi semakin tinggi. Datanglah harapan baru didalam setiap hati. Prajurit yang memimpin mereka akan segera datang. Apapun yang akan dilakukannya, pastilah suatu keadaan yang lebih baik dari keadaan mereka kini. Apalagi mereka telah digayuti oleh satu pengharapan, bahwa mereka akan dapat diterima menjadi seorang prajurit. meskipun tugas mereka tidak mutlak berhasil. Betapa menjemukan sekali, berbaring didalam sebuah pondok yang panas sambil menunggu. Menunggu dan seakanakan hidup mereka telah habis buat menunggu. meskipun baru setengah hari. Udara yang panas dan angin dari pebukitan gersang, membuat orang-orang yang terluka itu semakin menderita. Apalagi mereka sadar, bahwa disebelah dinding ruang itu terbujur beberapa sosok mayat dan juga orang-orang Goa Pabelan yang terluka. Kadang-kadang kebencian yang memuncak terhadap mereka hampir-hampir tidak tertahankan lagi, sehingga kadang-kadang timbul niat diantara mereka, untuk melepaskan kejemuan mereka dengan membalas sakit hati dan apalagi karena kawan-kawan mereka ada yang terbunuh. Namun untunglah, setiap kali mereka masih dapat mengekang diri. Apalagi mereka sadar, betapa Puranti yang telah menolong jiwa mereka. melayani orangorang yang terluka itu seperti melayani mereka sendiri. Hampir tersentak dada mereka, ketika di tengah hari mereka mendengar derap kaki-kaki kuda. Sebuah pertanyaan segera hinggap disetiap hati "Siapakah mereka" Kawan atau lawan?" Purantilah yang pertama-tama meloncat keluar dari pintu rumah itu diiringi oleh ayahnya. Bagaimanapun juga mereka
144 harus tetap bersiaga. Mungkin Suwela yang disebut Hantu Bertangan Api itu datang membawa beberapa orang kawan. Tetapi Puranti itupun kemudian menarik nafas dalamdalam. la melihat orang yang berpacu paling depan adalah prajurit yang pemimpin pasukan kecil itu. Semakin dekat, Puranti menjadi semakin gembira melihat sekelompok prajurit yang datang itu. Empat orang. Ketika mereka menjadi semakin dekat, merekapun segera menarik kendali kudanya, sehingga kuda itupun berhenti dimuka regol yang sudah agak miring. "Mereka masih ada didalam" berkata Puranti. Prajurit yang memimpin pasukan kecil itupun menganggukkan kepalanya. Tanpa berkata sesuatu ia segera meloncat turun. Tetapi hampir saja kakinya tergelincir seandainya tangannya tidak segera berpegangan pada tiang regol yang miring itu. "Prajurit itu lelah sekali" desis Puranti didalam hati "la pasti berpacu sepanjang malam, dan setengah hari ini" Tetapi kuda yang dipergunakan sudah bukan kuda yang dipergunakannya dari padukuhan ini. Kini ia naik diatas seekor kuda yang tegar dan besar. Bersama kawan-kawannya prajurit itupun kemudian memasuki halaman. Setelah mengikat tali kudanya pada sebatang pohon. merekapun langsung masuk keruang, dalam. "Bagaimana dengan kalian" prajurit itu bertanya dengan suara yang dalam. "Mereka berangsur baik" Purantilah yang menjawab. "Terima kasih. Kami berterima kasih sekali kepadamu" "Kami lelah makan pula" berkata salah seorang dari mereka yang terluka "perempuan itu memasak untuk kami"
145 "Ah" Puranti berdesah dan prajurit itu menganggukanggukkan kepalanya. Katanya "Bantuanmu akan sampai kepada pimpinan tertinggi di Demak" "Ah, aku tidak berbuat apa-apa" Prajurit j;u mamandang wajah Puranti yang kemerahmerahan. Bahkan wajah itupun segera tertunduk dalamdalam. "Tidak ada kesan kegarangan pada wajah yang tunduk itu" berkata prajurit itu didalam hatinya "wajah itu adalah wajah seorang perempuan sewajarnya. Tetapi ia memiliki kemampuan yang melebihi laki-laki" Sejenak kemudian maka prajurit itupun segera menceriterakan, apa yang dapat dilakukan. Katanya "Sayang sekali, bahwa kita tidak mendapatkan kesempatan membawa kawan-kawan kita yang telah gugur itu kembali ke Demak. Kita mendapatkan banyak kesulitan perjalanan. Namun demikian, kita akan menguburkannya disini, sebagai pahlawan-pahlawan" Ruangan itu menjadi sepi. "Setiap saat kami akan mengunjungi makam itu bersama keluarga mereka. Kami akan menitipkan mereka kepada penghuni padukuhan kecil ini" Tidak seorangpun yang berbicara. Dan prajurit itu melanjutkan "sedang kita yang masih hidup mengharap nanti malam atau besok pagi akan datang beberapa pedati yang akan membawa kita kambali ke Demak. Mereka yang terluka parah pasti tidak akan dapat duduk diatas punggung kuda seandainya kami membawa beberapa ekor kuda" Berita itu telah menumbuhkan kegembiraan bagi mereka yang terluka. Apalagi ketika prajurit itu berkata "Meskipun belum merupakan keputusan, tetapi aku berani menjamin, bahwa kalian telah berjuang selaku seorang prajurit sejati.
146 Itulah sebabnya maka kalian akan aku perlakukan sebagai seorang prajurit. Baik yang sudah gugur, maupun yang masih hidup. Jelasnya, aku berani mempertanggung jawabkan katakataku, bahwa kalian akan diterima menjadi prajurit sepenuhnya. Kalian dapat memegang kata-kataku ini. Didalam jenjang keprajuritan, aku adalah seorang Tumenggung yang parnah memegang pimpinan sebagai Senapati atas pasukan segelar sepapan dibanyak medan. Dan yang kemudian diserahi. untuk mengambil keputusan dalam pendadaran calon-calon prajurit. Sebagai jaminan jika kalian tidak diterima, aku akan meletakkan jabatanku sebagai seorang prajurit" Sejenak wajah-wajah itu menegang. Namun kemudian Seperti titik embun yang membasahi jantung, orang-orang yang terluka itu melupakan luka-luka mereka sejenak. Seperti kanak-kanak mereka bergeramang diantara mereka dalam kesuka-citaan. Tetapi ketika Puranti memandang wajah Pikatan dengan sudut matanya, dadanya berdesir. Wajah Pikatan sama sekali tidak berubah. Kepalanya masih menunduk dan seolah-olah ia acuh tidak acuh saja atas pernyataan yang menggembirakan itu. "Kenapa kakang Pikatan tidak tertarik sama sekali mendengar penjelasan itu" pertanyaan itu telah mengganggunya, meskipun tidak dinyatakannya lewat bibirnya. Meskipun mereka kemudian harus menunggu lagi. tetapi rasa-rasanya dada rnereka telah menjadi lapang. Mereka tidak lagi merasa tertekan. Bahkan ada diantara mereka yang kemudian sempat tidur dengan nyenyaknya. Sementara itu, para prajurit dibantu joleh penghuni padukuhan itu, segera mengubur mayat para calon prajurit yang telah gugur, sedangkan Puranti dengan dibantu oleh beberapa orang perempuan menyiapkan makan dan minum mereka.
147 Tetapi dalam pada itu, hati Puranti selalu digelisahkan oleh wajah Pikatan yang muram. Wajah yang seakan-akan selalu diselubungi oleh mendung yang tebal. Ternyata bukan Puranti saja yang menjadi gelisah. Tetapi juga gurunya. Kiai Pucang Tunggal memang mengenal Pikatan sebagai seorang yang keras hati. Ia sadar bahwa anak muda itu telah tersinggung karena justru Purantilah yang menolongnya. Namun perasaan itu tidak boleh berlarut-larut. Ia harus menyadari kenyataan itu dan kemudian rusaha menyesuaikan dirinya dengan keadaan. Karena itu, maka ketika kebanyakan para calon prajuri itu tertidur, meskipun disiang hari karena kelelahan lahir dan batin, maka Kiai Pucang Tunggalpun segera mendekati muridnya. "Pikatan" berkata gurunya perlahan-lahan "apakah kau tidak menyambut gembira keterangan prajurit itu, bahwa kalian telah mendapat jaminan untuk menjadi seorang prajurit" " Pikatan mengerutkan keningnya. "Bukankah semua kesulitan ini kau lakukan karena kau ingin menjadi seorang prajurit?" Pikatan mengangkat wajahnya. Sambil memandang lubanglubang dinding bertanya "Kenapa aku diterima menjadi seorang prajurit guru?" Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya "Kau sudah melakukan sesuatu yang nilainya sama dengan nilai perbuatan seorang prajurit" "Bukankah aku gagal sama sekali?" "Tidak, kau berhasil" "Yang pantas menjadi seorang prajurit adalah Puranti. Bukan aku"
148 Jawaban itu telah menggetarkan dada Kiai Pucang Tunggal. Ditatapnya wajab muridnya yang muram. Yang selalu menyilangkan tangan di dadanya "Pikatan" berkata gurunya "yang penting dalam suatu pendadaran adalah pengenalan nilai seseorang. Apakah alat pelaksanaan pendadaran itu dapat dilakukan atau tidak, itu bukan suatu penilaian yang mutlak. Karena itu, di dalam suatu kelompok pendadaran, berhasil atau tidak berhasil, ada yang dapat diterima dan ada yang tidak dapat diterima menjadi seorang prajurit. Apakah kau mengerti?" Pikatan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian "Dengan demikian menjadi semakin nyata, bahwa aku telah gagal sama sekali. Seandainya Puranti tidak datang ke mulut Goa Pabelan. aku sudah mati. Dan bagi seorang yang yang sudah mati, tidak akan ada kesempatan apapun juga untuk menjadi seorang prajurit" "Hatimu terlampau getas Pikatan, seperti seorang anak remaja yang patah hati" sahut gurunya "Seharusnya kau sudah menjadi cukup dewasa. Jangan merajuk lagi. Kalau kau menjadi seorang prajurit, kau akan mendapat kesempatan untuk menebus kegagalanmu. Mungkin kau dapat berbuat sesuatu yang sekaligus dapat mengangkat niatmu semakin tinggi. Tetapi kalau kau menolak. maka kau akan banyak kehilangan kesempatan, meskipun aku tahu, bahwa disegala aat dan tempat, kau dapat saja melakukan pengabdian terhadap negeri ini" Kepala Pikatan tiba-tiba tertunduk lesu. "Pikatan" gurunya berkata pula "kau jangan mendambakan ketinggian hatimu itu. Cobalah melihat kenvataan. Bertolak pada kenyataan yang sudah terjadi, kau wajib berusaha untuk seterus-nya. Jangan patah ditengah. Seandainya kali ini kau terantuk batu dan kemudian terjatuh, itu memang suatu kelemahan bagi seorang laki-laki. Tetapi kalau kemudian kau
149 tidak ingin bangkit sama sekali, maka kelemahanmu menjadi berlipat ganda" Pikatan tidak segera menyahut. Tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk. "Kenapa kau tidak menyahut Pikatan. Cobalah tengadahkan wajahmu. Pandanglah mataku. Kau akan menemukan sesuatu yang dapat menguatkan hatimu" Pikatan rnasih tetap berdiam diri sambil menundukkan kepalanya. "Pikatan. Jangan seperti perempuan cengeng. Tengadahkan wajahmu, tantangan masa depan itu harus mendapat jawaban" Perlahan-lahan Pikatan mengangkat wajahnya. Tetapi gurunya terperanjat ketika ia melihat mata itu menjadi merah dan basah. "Pikatan" desis gurunya "apakah kau benar-benar se orang perempuan cengeng. Meskipun perempuan aku kira Puranti tidak akan berbuat demikian" Pikatan menelan ludannya. Tampak ia mau berbicara. Tetapi suaranya seakan-akan tersangkut dikerongkongan. "Berkatalah. Ucapkan seluruh isi hatimu" "Guru" berkata Pikatan perlahan-lahan. Suaranya parau dan dalam "apakah guru dapat mengatakan serba sedikit tentang lukaku ini" Aku pernah mempelajari beberapa hal tentang tubuh manusia selama aku berada dibawah pimpinan guru, untuk meyakinkan ilmu yang sedang aku hayati. Tetapi sudah tentu sama sekali kurang mencukupi untuk dapat mengatakan, apakah yang akan terjadi dengan langan kananku" "Kenapa tangan kananmu?" "Sebaiknya guru melihatnya"
150 Hati Pucang Tunggal menjadi berdebar-debar. Dengan ragu-ragu ia bergeser maju. Pikatanpun kemudian mengurai tangannya yang bersilang di dada. Namun demikian tangan kirinya terlepas, tangan kanannya itu bergantung dengan lemahnya disisi tubuhnya. "Aku tidak dapat menggerakkan tangan kananku" "Jadi" wajah Pucang Tunggal menjadi tegang. Dengan tergesa-gesa ia meraba pundak Pikatan yang terluka. Pikatan menyeringai menahan sakit. Dipejamkannya matanya dan dibiarkannya gurunya merab-raba tanganya. Dengan dada yang berdebar-debar Kiai Pucang Tunggal meraba tangan Pikatan dari pundaknya sampai keujung jari. Dipijit-pijitnya urat nadinya dan diputarnya setiap sendi ditangannya itu "Gerakkan jarimu, Pikatan" Pikatan masih memejamkan mntunya. Dicobanya untuk menggerakkan ujung jarinya. Tetapi terasa betapa sakitnya. Mesgipun demikian dipaksakannya juga. Sambil menggeram, ia menghentakkan ujung jari-jarinya. Tiba-tiba Pikatan menundukkan kepalanya dalam dalam, sambil menutup wajahnya dengan telapak tanganya. Kemudian kepalanya tergeleng lemah "Tidak dapat guru, aku tidak dapat" Bukan saja Pikatan, tetapi gurunyapun telah dicegkam oleh kecemasan yang mendalam. Namun demikian, gurunya berusaha untuk menekan perasaan sedalam-dalamnya. Semuanya masih dapat diusahakan. Tangan itupun masih akan dapat diusahakan. Meskipun demikian di sudut hatinya terpercik pertanyaan, apakah mungkin?" "Guru" berkata Pikatan kemudian dengan suara yang parau "apakah guru menemukan sesuatu pada tanganku?" Gurunya ragu-ragu sejenak, lalu "Luka itu Pikatan"
151 "Tangan ini tidak akan dapat sembuh lagi seperti sedia kala" "Ah" gurunya berdesah "Kau terlalu cepat mengambil kesimpulan. Kita masih akan mencoba, kau masih tetap mempunyai harapan" Pikatan menatap wajah gurunya, namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam "Mudah-mudahan harapan itu bukan sekedar harapan yg hampa" "Serahkan dirimu kepada ALLAH SWT" Pikatan tidak menjawab. Tetapi sekali lagi kepalanya tertunduk lemah. "Memang sebaiknya kau kembali ke Gajah Mungkur lebih dahulu, Pikatan. Aku ingin mencoba mengobati tanganmu dengan pengharapan yang utuh. Mudah-mudahan tanganmu akan dapat pulih kembali" "Guru" suara Pikatan lambat sekali "kalau tanganku itu cacat maka semua harapanku akan lenyap. Tidak ada seorang prajurit yang hanya mempunyai sebelah tangan. Ia tidak akan memenuhi syarat yang diwajibkan. Prajurit tidak boleh mempunyai cacat jasmani yang dapat mengganggu tugasnya. Padahal cacat ini adalah cacat ditangan. Tangan kananku" "Sudahlah Pikatan. Sekali lagi aku peringatkan, jangan padam dari pengharapan. Berdoalah. Mudah-mudahan tanganmu dapat sembuh. Kalau tidak sepekan, sebulan. Dan kalau tidak sebulan, setahun" "Kalau nanti tanganku sembuh, aku sudah terlampau tua untuk menjadi seorang prajurit guru" "Pandanglah cahaya cerah dilangit. Kalau hatimu selalu diliputi awan yang buram Pikatan, maka semuanya akan menjadi kelam"
152 Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan kepalanya teragguk-angguk kecil. Demikianlah. maka Pikatanpun kemudian menyampaikan keadaannya kepada prajurit yang telah memimpinnya didalam pendadaran itu. Ia tidak dapat ikut ke Demak bersama-sama dengan kawan kawannya karena keadaan jasmaninya yang memerlukan perawatan khusus. "Di Demak ada dukun-dukun yang pandai. Ia akan mengobati luka-lukamu dan semua orang yang terluka. Apalagi lukamu tampaknya tidak terlampau berat dibandingkan dengan orang orang yang lain. Ada diantara mereka yang hampir tidak dapat bangkit sama sekali. Tetapi ia tetap berpengharapan untuk menjadi seorang prajurit" "Akupun demikian. Akupun tetap berpengharapan menjadi seorang prajurit" sahut Pikatan "tetapi biarlah aku kembali kepadepokanku. Biarlah orang tuaku mengobati luka-lukaku. Apabila kelak luka-luka itu sembuh, aku akan segera menghadap ke Demak. Aku memang ingin menjadi seorang piajurit" "Dengan siapa kau akan pergi ke padepokanmu?" Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Namun kemudian ia menjawab juga " Puranti. Gadis itu" Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata "Kalau itu keputusanmu, aku tidak akan dapat merubahnya. Tetapi pintu keprajuritan tetap turbuka bagimu. Kapan saja kau datang, kau akan diterima dengan senang hati. Hasil pendadaran yang terlalu berat akan berlaku sepanjang waktu" Pikatan tidak menyahut. "Aku belum pernah mengalami pendadaran yang begini berat. Ternyata ada kesalahan pada penilaian para petugas sandi atas kekuatan Hantu Bertangan api di Goa Pabelan, sehingga menimbulkan beberapa korban, bukan saja luka-
153 luka, tetapi ada diantara kita yang gugur. Karena itu, sudah sepantasnya. bahwu kalian, terlebih-lebih kau, harus mendapat penghargaan dan pimpinan keprajuritan di Demak. Dan aku sudah melaporkan semuanya tentang pendadaran ini" Pikatan menggelengkan kepalanya Tetapi niatnya untuk menjawab diurungkannya. Demikianlah, maka dihari berikutnya telah datang beberapa buah pedati yang ditarik masing-masing oleh sepasang lembu yang besar. Pedati-pedati itulah yang akan membawa calon prajurit yang terluka. Bukan saja para calon prajurit, tetapi juga orang-orang yang selama ini menghuni Goa Pabelan yang yang terluka di dalam pertempuran yang baru saja terjadi. Perwira itu tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada rakyat yang telah memberikan pertolongan kepada para calon prajurit itu, dan memberi mereka ganti atas segala sumbangan mereka berlipat, meskipun mereka tidak mengharapkan sama sekali. Ternyata berita tentang hancurnya gerombolan yang tinggal di Goa Pabelan itu memberikan banyak kegembiraan bagi orang-orang, bukan saja orang-orang yang tinggal di daerah sekitar goa itu, tetapi sampai juga ke tempat-tempat yang jauh. Hantu Bertangan Api di Goa Pabelan telah cukup lama membuat kegelisahan di kalangan rakyat, terutama di daerah Selatan dan lereng Gunung Merapi. Dengan demikian, maka hasil yang telah dicapai calon prajurit itu merupakan hasil yang melampaui dugaan. Beberapa orang petugas sandi terpaksa harus menelan peringatan yang pahit, karena mereka hampir saja mengorbankan beberapa orang calon prajurit yang terjerumus ke dalam mulut seekor naga yang dahsyat. "Kita masih menunggu kedatangan seorang lagi" berkata Tumenggung yang memimpin pasukan kecil itu "kita akan
154 menerima Pikatan diantara kita kelak apabila ia sudah sembuh" Demikianlah, maka para calon prajurit yang telah sembuh dari luka-luka merekapun segera mendapat wisuda, diangkat menjadi prajurit penuh dengan segala macam hak. tetapi juga segala macam kewajibannya. Bahkan para prajurit yang mengalami pendadaran di Goa Pabelan itu, seakan-akan merupakan prajurit-prajurit saringan, bukan saja kemampuan mereka. tetapi nyawa mereka yang seolah-olah telah tergantung diujung pedang. Selagi para prajurit baru di Demak itu menginjak hari-hari mereka yang pertama, maka Pikatan dengan kepala tunduk berada di padepokannya. Dengan hati yang cemas, setiap kali Pikatan mencoba menggerakkan tangannya, bahkan sekedar jari-jarinya. Tetapi ia tidak pernah berhasil. Setiap kali ia gagal, maka hatinya bagaikan runtuh dari tangkainya. Semua harapan seakan-akan telah punah. Selama ini ia berusaha dengan keras, tidak menghiraukan waktu. Siang dianggapnya malam, dan malam dijadikannya siang di dalam, menuntut ilmu. Namun belum lagi ia mendapat kesempatan yang dicitacitakan, ia sudah mengalami bencana yang dahsyat itu. Namun setiap kali gurunya selalu menghiburnya. Memberinya harapan-harapan dan memberinya petunjuk. Tetapi setiap kali hatinya itu masih juga terasa pedih. Perlahan-lahan luka dipundak Pikatan itu berangsur sembuh Tetapi luka yang agaknya telah memotong nadi induk dipundaknya itu telah melumpuhkan lengannya. Luka yang tidak terasa sakit itu, justru telah membuat hatinya semakin pedih. "Guru" berkata Pikatan pada suatu kali "luka itu sudah hampir sembuh. Tetapi aku masih belum berhasil menggerakkan jari-jariku. Aku sudah meminum semua obat yang guru berikan. Aku sudah merendamnya setiap pagi dan sore hari di dalam air hangat. Aku sudah mengurutnya setiap
155 saat, dan aku telah mematuhi segala perintah guru. Tetapi tanganku masih tetap lumpuh" Gurunya menjadi berdebar-debar. Tetapi, dicobanya untuk menyembunyikan perasaan itu, meskipun harapan didalam dadanyapun menjadi semakin tipis pula. Bahkan akhirnya ia berkata kepada diri sendiri "Kenapa aku menunggu sebuah keajaiban" Seharusnya aku sudah mengetahui, bahwa tangan ini tidak akan dapat pulih kembali untuk waktu yang lama sekali. Bahkan mungkin untuk selama-lamanya" Meskipun demikian Kiai Purang Tunggal merasa mulutnya seakan-akan tersumbat ketika ia ingin mengatakannya berterus-terang. Sehingga dengan demikian. maka setiap kali rencananya untuk memberi tahukan hal itu selalu tertunda. Hubungan Pikatan dengan Purantipun selama itu seakanakan menjadi semakin renggang. Setiap kali Puranti selalu berusaha menemaninya di dalam kesepian, tetapi Pikatan sudah menjadi orang asing baginya. Dan sikap Pikatan itu telah membuat hati Puranti menjadi pedih "Apakah aku bersalah kakang" bertanya Puranti pada suatu saat kepada Pikatan, setelah perasaan itu tidak tertahankan lagi didalam dadanya. "Tidak Puranti. Tentu tidak" jawab Pikatan "kenapa kau tiba-tiba saja merasa bersalah" "Sikapmu menjadi sangat asing bagiku" "Tidak sama sekali tidak" "Kalau kakang Pikatan masih Juga menganggap kehadiranku di Goa Pabelan itu sebagai suatu kesalahanku, aku ninta maaf" "Jangan kau sebut itu lagi, Puranti" "O, bukan maksudku" Puranti tergagap "tetapi aku sekedar ingin menjernihkan hubungan kita, kakang sekarang ini,
156 seolah-olah acuh tidak acuh saja terhadapku. Seolah-olah aku orang lain sama sekali bagi kakang di rumah ini, sudah bertahun-tahun kita berkumpul di dalam satu atap. Kenapa tiba-tiba saja sikap kakang telah berubah" Sudah tentu kakang mempunyai alasan untuk berbuat demikian. Kalau kakang tidak berkebaratan, aku ingin mendengar alasan itu, agar aku tidak selalu mencari kesalahan pada diriku sendiri" Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "Tidak ada yang berubah pada diriku, Puranti. Semuanya sama saja seperti sedia kala. Aku rasa sikapku tidak berubah' Pikatan berhenti sejenak, lalu "yang berubah adalah tanganku, tangan kananku" Puranti menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, ia mengetahui pula, bahwa tangan itu menjadi lumpuh. Tangan yang cepat cekatan menggerakkan senjata itu, seolah-olah tidak dapat bergerak sama sekali. "Kakang" berkata Puranti kemudian "bukankah kau mempunyai dua tangan" Pikatan mengerutkan keningnya, namun wajahnya kemudian menjadi datar, seakan-akan tidak ada kesan apapun lagi di dalam hatinya menanggapi setiap persoalan. "Aku bukan orang kidal Puranti. Aku tidak dapat berbuat terlampau banyak dengan tangan kiriku Mungkin benar kata guru, bahwa pada suatu saat tangan kananku akan dapat bergerak lagi, tetapi sudah tentu hanya sekedar bergerak. Tetapi tidak lagi dapat menggerakkan senjata sebagaimana dituntut oleh persyaratan bagi seorang prajurit" Purantipun menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat berkata apa-apa tentang tangan kanan itu. Sebenarnyalah iapun mengetahui, betapa dalamnya luka dihati Pikatan. Betapa kecewa hati anak muda itu. Ia merasa bahwa jalan yang selama ini dirintisnya, kini sudah tertutup rapat-rapat.
157 "Tetapi, meskipun tanganmu cacat. kemampuanmu sama sekali tidak berubah. Meskipun seandainya tangan kirimu tidak setangkas tangan kananmu kakang, tetapi kemampuanmu masih melampaui kemampuan orang-orang lain didalam tata keprajuritan" Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Puranti. Aku sudah gagal segala-galanya. Aku tidak berhasil didalam pendadaran itu. Sekarang tanganku cacat. Apakah yang dapat memberikan harapan lagi buatku?" "Ah" "Kalau tidak ada pertolongan orang lain, maka aku kini aku sekarang sudah mati. Itukah yang dapat aku banggakan apabila aku menjadi seorang prajurit yang buntung" "Ah, cukup kakang" potong Puranti "kau tidak mau mendengar aku mengatakan serba sedikit tentang pertempuran itu. Sekarang kau sendiri yang mengulangulanginya. Bukankah sudah aku katakan. bahwa apabila kau menganggap aku bersalah, aku minta maaf dengan hati yang ikhlas" "Tidak. tidak Puranti. Kau tidak bersalah, justru akulah yang berterima kasih kepadamu. Tetapi aku hanya ingin mengatakan, bahwa kenyataan itu tidak akan dapat memberi kesempatan aku menjadi seorang prajurit. Kemampuanku tidak lebih dari kemampuan seorang gadis. selagi tanganku masih utuh. Selagi kedua tanganku masi dapat bergerak dan menggerakkan senjata. Apalagi kiri....." "Cukup, cukup kakang "sekali lagi Puranti memotong. Pikatan. Kini ia berdiri tegak sambil memandang Pikatan dengan tajamnya, tetapi di matanya telah mengembang air mata. Air mata seorang gadis di hadapan seorang anak muda. Dan tiba-tiba saja Puranti telah meloncat berlari meninggalkan Pikatan langsung masuk kedalam biliknya.
158 Didorongnya pintu biliknya hingga berderak. Kemudian dijatuhkannya dirinya diatas pembaringannya. Tidak ada seorangpun yang kemudian menjenguknya. Ayahnya baru pergi kesawah. Sedang Pikatan seakan-akan telah membeku di tempatnya. Beberapa orang pembantu yang berada didapur sama sekali, tidak mengetahui, apa yang telah terjadi didalam rumah itu Purantipun kemudian menangis sepuas-puasnya. Sama sekali tidak terkasan bahwa gadis yang sedang menangis sambil menelungkup dan menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya. Tangan yang sama-sama telah pernah menggemparkan Goa Pabelan. Gadis yang sebenarnya lebih berhak menyebut dirinya prajurit atas pendadaran di Goa Pabelan itu dari Pikatan. Pikatan masih membeku di tempatnya. Kepahitan yang bertimbun di dadanya membuatnya seakan-akan kehilangan arti dari hidupnya. la tidak melihat lagi, apakah sebenarnya ia masih berguna. Harga diri dan kekerasan hati membuatnya mudah patah. Patah seperti patahnya arang. Tidak mudah untuk dipertautkannya kembali. Demikianlah hati Pikatan yang getas itu. Jalur jalannya telah dianggapnya patah. Patah sama sekali. Gurunya yang selama itu masih saja tidak mempunyai kesempatan untuk mengatakan keadaan Pikatan yang sebenarnya, pada suatu saat telah memaksa dirinya untuk berterus-terang. Ketik luka Pikatan telah menjadi sembuh, sedang tangannya masih saja tergantung disisi tubuhnya, gurunya tidak lagi dapat memberinya pengharapanpengharapan yang sebenarnya kosong sama sekali. Ketika pada suatu saat Pikatan merasa bahwa jari-jarinya dapat digerakkannya tanpa dikehendakinya sendiri. Ia malonjak kegirangan. Tetapi ketika ia mencobanya sekali lagi,
159 ia selalu gagal. Gagal dan gagal. Sehingga akhirnya, Pikatan sama sekali tidak mempunyai keberanian lagi untuk mencoba menggerakkan jari-jarinya itu. "Tanganku sudah lumpuh. Lumpuh sama sekali" anak muda yang gagah itu menangis didalam hati. Dan apalagi ketika saat itu tiba. Saat gurunya berterus terang kepadanya, bahwa harapan bagi tangannya menjadi semakin tipis. "Pikalan" berkata gurunya "aku merasa bahwa lebih baik aku berterus terang" "Aku sudah tahu guru" potong Pikatan "bukankah guru ingin mengatakan, bahwa tangan kananku sudah tidak dapat diharapkan lagi?" Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya terangguk-angguk kecil. "Tetapi Pikatan, kelumpuhan tanganmu itu tidak mutlak menurut pengamatanku. Kau masih dapat berharap, bahwa tanganmu itu dapat bergerak sedikit demi sedikit. Aku berharap bahwa jari-jarimu masih dapat memegang sesuatu pada suatu saat, apabila kau melatinya, setiap hari kau harus merendam didalam air hangat. "Aku sudah cukup lama mencoba guru. Tetapi aku tidak pernah berhasil" "Lambat laun. Tetapi jangan berputus asa" "Seandainya tangan itu dapat berhasil guru, tetapi tangan itu hanya sekedar dapat menggenggam suap-suap nasi. Tidak menggenggam senjata" "Pikatan" berkata gurunya apakah hidup dan kehidupan ini selalu sejalan dengan senjata di dalam genggaman " Apakah kau tidak melihat sudut-sudut lain yang tidak kalah artinya dari senjata ditangan?"
160 "Guru, aku sudah memilih jalan Aku tidak akan dapat berbelok" "Kalau jalan itu teitutup?" "Itu artinya aku harus berhenti, aku sudah berhenti sampai disini guru" Sekali lagi Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah, Pikatan dengan tatapan mata yang sayu. "Pikatan" berkata gurunya "misalnya kita ini sebangsa tumbuh-tumbuhan yang tumbuh menjulang tinggi, namun, namun tiba-tiba saja tunas kita menyentuh anjang-anjang apapun, maka ujung batang kita pasti akan merunduk, mencari jalan keluar untuk tetap dapat tumbuh menjulang naik. Kalau mingkin sampai ke matahari" Pikatan menarik nafas dalam-dalam, tetapi wajahnya kini seakan-akan telah benar-benar membeku,tidak ada bekasbekas sentuhan kata-kata gurunya itu. Perubahan yang benarbenar telah mengejutkan. Pikatan adalah anak muda yang tertarik pada nasehat-nasehat bagi jalan hidupnya kelak. Tetapi kini semuanya itu bagaikan berlalu diantara kedua lubang telinganya tanpa membekas sama sekali. "Pikatan" berkata gurunya kemudian "selain harapanharapan bagi tanganmu, kau masih mempunyai sebelah tangan, tajam senjatamu bagi kemanusiaan dan kedamaian hati, aku masih mempunyai jalan. Tetapi apa yang akan kau lakukan kemudian Kalau kau memang bercita-cita mencari hidup di jalan ALLAH. ALLAH pasti akan memberimu jalan keluar. Bukan untuk melepaskan dendam karena cacat tangan kananmu, ataupun karena kekecewaan-kekecewaan yang lain" "Apa yang dapat aku lakukan guru" " "Tangan kirimu. Aku akan melatihmu, khusus mempergunakan tangan kiri"
161 "Ah" Pikatan berdesis "selagi aku rnasih mempunyai sepasang tanganpun aku tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi kini aku hanya mempunyai sebelah tangan. Apakah artinya?" Pikatan berhenti sejenak. lalu "Sudahlah guru. Biarlah aku berhenti disini., Aku akan kembali ke rumahku. Aku akan tinggal diantara orang-orang yang memang hidup di sekelilingku semasa kanak-kanak2. Aku telah pergi meninggalkan mereka dengan penuh pengharapan. Biarlah aku kembali kepada mereka membawa kegagalan ini. Rumah itu adalah rumahku. Kampung halaman itu adalah kampung halamanku. Aku akan kembali kepada mereka yang pernah aku tinggalkan" "Apakah yang akan kau lakukan?" bertanya gurunya. Pikatan termenung sejenak. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya "Tidak ada guru" "Pikatan" berkata gurunya kemudian "kalau kau memang memilih daerah kelahiranmu bagi hidupmu mendatang, berbuatlah sesuatu bagi tanah itu. Bukankah kau pernah mengatakan. bahwa tanah itu adalah tanah yang kering dan tandus. Tanah yang hanya basah apabila hujan turun" gurunya berhenti sejenak, lalu "dan kau pernah berkata, bahwa justru ada sebatang sungai yang mengalir tidak jauh dari padukuhanmu yang kering itu" Pikatan, itu juga suatu lapangan pengabdian. Kau dapat memilihnya. Tanah yang kering dan tandus adalah garapan yang tidak kalah nilainya dari medan peperangan. Apabila kau memilihnya, maka kau sudah melanjutkan cita-citamu yang kau bawa ketika kau berangkat" Pikatan menundukkan kepalanya. Dengan suara rendah ia berkata "Tidak ada yang dapat aku lakukan guru. Aku sudah cacat Aku sudah kehilangan semua kesempatan" Gurunya menggelengkan kepalanya. Katanya "Tidak. kau tidak kehilangan kesempatan apapun"
162 Pikatan tidak menyahut. Dipandanginya noda-noda di kejahuan. Tetapi wajahnya sama sekali tidak memberikan kesan apapun juga. "Pikatan" berkata kurunya "kalau kau hanya ingat melarikan diri dari kekecewaan. sebaiknya kau tetap disini" Pikatan masih tetap berdiam diri. Kepalanya kini menunduk dalam-dalam. Tetapi tidak ada kata-kata yang diucapkannya. Kiai Pucang Tunggalpun tidak mendesaknya lagi. Sambil menarik nafas dalam-dalam, ditinggalkannya Pikatan seorang diri. Dibiarkannya anak muda itu mencoba merenungi hatinya sendiri. Tetapi ternyata bahwa hatinya masih tetap kelam. Kenyataan yang dihadapinya memang terlampau pahit. Cacat tubuhnya baginya telah membunuh segala harapan dan telah menutup hari depannya yang sebenarnya masih panjang. Hati Pikatan menjadi semakin pedih kelika pada suatu hari, padepokan yang sunyi. itu telah didatangi oleh tiga orang prajurit. Salah seorang daripadanya. sudah dikenal oleh Pikatan sebagai pemimpin pasukan kecilnya yang beberapa saat yang lampau menyerang Goa Pabelan. Betapapun juga dipaksanya dirinya menemui ketiga prajurit itu, meskipun hatinya serasa dibebani segumpal batu. "Ha, kau sudah sembuh Pikatan" berkata prajurit itu begitu ia melihat Pikatan berdiri menyongsongnya, Pikatan mencoba merubah wajahnya yang bagaikan sudah membeku. Ia mencoba untuk tersenyum, betapa pahitnya. "Ya. Aku sudah sembuh " jawabnya. Ketiga prajurit itupun segera dipersilahkannya naik ke pendapa. "Akhirnya aku menemukan padepokan ini" berkata Tumenggung itu.
163 "Aku tidak pernah menyembunyikannya" Pikatan mencoba tersenyum. Ketiga tamunya tertawa. Dalam pada itu. Puranti telah mengintip kehadiran ketiga prajurit itu di pendapa rumahnya. Dengan penuh pengharapan ia melihat perubahan pada wajah Pikatan, "Mudah-mudahan kedatangan prajurit itu dapat membangunkannya" berkata Puranti didalam hati. Tetapi dugaannya ternyata keliru. Setelah dihidangkan minuman dan makanan, maka prajurit itu pun mulai mengatakan maksud kedatangannya. Tanpa prasangka apapun ia berkata "Pikatan. Kami sudah terlampau lama menunggu. Aku kira kau masih tetap pada niatmu untuk menjadi seorang prajurit. Kini agaknya kau telah sembuh. Kawan-kawanmu selalu mengharapkan kedatanganmu. Kau dapat memberikan kesegaran di dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi lebih dari itu. kau memang mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawanmu" Dada Pikalan bagaikan tertusuk duri mendengar pujian itu Hampir saja ia berteriak memekikkan kelumpuhan tangannya yang sebelah kanan. Namun ia masih berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk menahankannya. "Nah Pikatan" berkata prajurit itu seterusnya "apa sekarang" Apakah kau akan segera pergi ke Demak?" Pikatan masih tetap berdiam diri. "Aku merasa, meskipun kita baru untuk pertama kali berada di dalam salu pasukan yang sama, tetapi kesan yang aku dapat dari peristiwa Goa Pabelan itu tidak akan pernah aku lupakan. Bahkan aku telah memerlukan datang kepadamu. karena aku menganggap, bahwa kau terlampau lama tidak datang ke Demak, untuk mengisi tempat yang memang telah disediakan untukmu.
164 Pikatan menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ia ingin menenangkan hatinya yang sedang bergejolak dengan dahsyatnya. Karena Pikatan tidak segera menjawab, maka prajurit iiu bertanya lagi "Bagaimana Pikatan, apakah kau sudah tidak tertarik lagi untuk menjadi seorang prajurit seperti aku?" Sekali lagi Pikatan menarik nafas. Tetapi ia tidak dapat berdiam diri tanpa memberikan jawaban apapun. Karena itu, tidak ada alasan lain yang dapat dikatakannya selain keadaannya yang sesungguhnya "Aku tidak akan mungkin dapat menjadi seorang prajurit" Prajurit-prajurit itu terkejut. Meskipun sejak semula mereka melihat tangan kanan Pikatan yang selalu tergantung disisi tubuhnya. namun mereka tidak menyangka, bahwa tangan itu menjadi lumpuh. Karena itu, untuk sejenak mereka diam membeku. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka katakan. Keadaan itu sama sekalitidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. "Itulah kenyataanku sekarang. Dan aku tidak akan dapat bermimpi untuk, menjadi seorang prajurit, apalagi seorang perwira, karena aku tahu, bahwa untuk menjadi seorang prajurit, seseorang tidak boleh mengalami cacat jasmani yang dapat mengganggu kemampuannya" Prajurit-prajurit yang datang kepadepokan kecil itu berpandangan sejenak. Merekapun tahu dengan pasti. karena cacat itu, maka tidak akan ada kesempatan lagi bagi Pikatan untuk menjadi seorang prajurit. Karena iiu, tanpa disadarinya salah seorang prajurit itu berdesis "Pikatan. Kau telah berjuang sepenuh tenagamu. Kau justru orang yang paling banyak berjasa di dalam persoalan itu. Kaulah yang seakan-akan menjadi sebab kekalahan Hantu bertangan api bersama orang-orangnya. Meskipun kau sendiri terluka, tetapi perempuan yang kemudian datang itu, telah
165 menyelamatkan bukan saja kau sendiri, tetapi seluruh pasukan" ia berhenti sejenak lalu "namun sekarang tiba-tiba kau menjadi cacat, sehinggga kemungkinanmu untuk menjadi prajurit menjadi lenyap sama sekali" sekali lagi ia berhenti "tetapi itu bukan berarti bahwa kau tidak dapat bekerja sama sekali di pusat pemerintahan. Meskipun bukan sebagai seorang prajurit, tetapi pasti ada yang dapat kau kerjakan" "Pekerjaan apa?" bertanya Pikatan. "Aku dapat menghubungi beberapa pihak di pusat pemerintahan. Aku dapat mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi atasmu. Dengan demikian, pasti akan ada pengertian dari beberapa pejabat yang akan merasa iba melihat keadaanmu. Kau pasti akan mendapat pertolongan dari manapun juga, sehingga kau akan mendapatkan pekerjaan juga meskipun bukan sebagai seorang prajurit" "Tidak" tiba-tiba Pikatan memotong "aku tidak ingin menjajakan cacatku untuk mendapat belas kasihan. Aku tidak ingin orang menerima aku di dalam lingkungannya hanya karena belas kasihan dan iba. Tidak. Dan aku berniat untuk menjadi seorang prajurit bukan sekedar karena aku tidak mendapatkan pekerjaan lain. Bukan sekedar karena aku menjadi penganggur. Tidak. Aku berniat menjadi prajurit, karena aku ingin menjadi seorang prajurit. Sejenak ketiga orang prajurit itu terdiam. Mereka saling berpandangan dengan sorot mata yang aneh. "Sudahlah" nada suara Pikatan menurun "aku tidak mendapat tempat lagi di keprajuritan. Itu sudah aku terima. Keadaan itu sudah aku terima dengani lapang dada" Ketiga prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. "Marilah kita berbicara tentang masalah-masalah lain" berkata Pikatan kemudian "dan aku mempersilahkan kalian minum dan makan makanan yang sudah tersedia"
166 Prajurit-piajurit itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mengerti bahwa hati Pikatan menjadi terlampau sakit karena cacatnya. Itulah sebabnya mereka tidak bertanya lagi. Dengan ragu-ragu merekapun kemudian mengambil mangkuk dan melekatkannya pada bibir masing-masing. Seteguk air hangat telah membasahi kerongkongan mereka yang terasa menjadi kering. Prajurit yang memimpin pasukan kecil di Goa Pabelan itu menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengelakkan pembicaraan tentang cacat tubuh Pikatan. Dan tiba-tiba saja ia bertanya "Tetapi, siapakah sebenarnya perempuan yang dahulu menolong kita di Goa Pabelan itu?" "Adikku. Adik angkatku" "O, ya. Perempuan itu juga sudah mengatakannya, bahwa ia adik angkatmu. Dimanakah ia sekarang?" "Ia berada di rumah ini pula" sahut Pikatan "He. kenapa ia tidak juga menemui kita " Apakah ia selalu sibuk?" Pikatan menggelengkan kepalanya. "Suruh ia menemui kita. Apakah ia sudah bersuami?" "Tidak. Eh, maksudku belum. Ia belum bersuami. Apakah kau jantuh cinta padanya?" Pertanyaan itu terasa bagaikan guruh yang meledak. Prajurit itupun. mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia merasa, bahwa arah pembicaraannya tidak menyenangkan hati Pikatan. Dengan demikian maka prajurit-prajurit itu merasa. bahwa kedatangannya kali ini sama sekali tidak diharapkan oleh Pikatan. Tetapi prajurit- prajurit itupun mencoba untuk mengerti, bahwa kekecewaan yang amat sangat telah membuat Pikatan menjadi agak berubah. Sifat-sifatnya yang
167 dahulu hampir tidak ditemuinya lagi. Wajahnya yang jernih meskipun keras, kini telah berubah menjadi wajah yang beku tanpa tanggapan apapun atas persoalan yang terjadi di sekitarnya bahkan yang langsung menyentuh dirinya. Bukan saja prajurit-prajurit itu, tetapi Puranti yang meskipun tidak begitu jelas. mendengar percakapan itu dari dalam, menjadi berdebar-debar sehingga, tangannya gemetar. Tangannya yang mantap menggenggam pedang itu serasa menjadi lemah, setelah ia mendengar pertanyaan Pikatan kepada tamunya tentang dirinya. "Maafkan kami Pikatan" berkata prajurit itu "sebenarnya kami tidak bermaksud apa-apa. Kami hanya sekedar bergurau seperti kebiasaan kami. Kalau aku bertanya tentang adik angkatmu itupun, aku tidak mempunyai maksud apa apa. Terus terang, kami sangat silau memandangnya. Meskipun ia seorang gadis, tetapi ia memiliki kemampuan lebih besar dari kami, sebagai para prajurit" prajurit itu berhenti sejenak, lalu "tetapi baiklah. Baiklah kita berbicara tentang yang lain. Aku memang tidak mengetahui keadaanmu sebelunmya, sehingga barangkali kata-kataku telah menyinggung perasaanmu" Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Meskipun prajurit-prajurit itu kemudian mencoba berbicara tentang bermacam-macam hal yang lain, namun suasana pertemuan itu menjadi seakan-akan dibatasi oleh ketegangan yang tersembunyi. Diruang dalam, Puranti yang tidak dapat menahan perasaannya sebagai seorang gadis. perlahan-lahan sambil berjingkat melangkah ke dalam biliknya. Dengan hati yang kesal dibaringkannya tubuhnya di pembaringannya. Ternyata harapannya, bahwa kedatangan prajurit-prajurit itu akan dapat membangunkan Pikatan yang sedang di cengkam oleh kekecewaan, sama sekali tidak terjadi. Justru setiap persoalan yang dikatakan oleh prajurit-prajurit itu telah salah di pendengaran Pikatan.
168 "Hatinya segetas arang" desis Puranti " apakah tidak ada cara untuk menumbuhkan gairah hidupnya kembali?" Puranti tetap berada didalam biliknya meskipun kemudian ia mendengar prajurit-prajurit itu minta diri. Hatinya sudah tidak terbuka lagi untuk menemui tamu-tamu itu, karena pertanyaan Pikatan kepada prajurit-prajurit itu tentang dirinya. Sebagai seorang gadis, ia menjadi segan keluar ke ruang depan. Hal itu akan dapat menambah kelesuan di hati Pikatan. Sepeninggal prajurit-prajurit itu, hati Pikatan justru menjadi semakin gelap. Terasa dunianya menjadi semakin sepi. Puranti, yang setiap hari melihat kemuraman wajah itu, menjadi murung pula. Bagaimanapun juga ia berusaha, tetapi Pikatan tidak dapat bangkit lagi dari keruntuhan perasaannya itu. Bahkan semakin lama justru menjadi semakin dalam. Kiai Pucang Tunggal juga sudah tidak berhasil menarik kegairahan Pikatan pada olah kanuragan. Meskipun setiap kali Kiai Pucang Tunggal mencoba untuk membawanya berlatih, namun Pikatan sama sekali sudah tidak berminat lagi. "Pikatan" berkata gurunya "selama ini aku mengenalmu sebagai seorang murid yang rajin dan patuh. Kau tidak pernah menolak cara apapun yang aku pergunakan untuk meningkatkan ilmumu. Tetapi sekarang kau sama sekali telah berubah" "Bagiku olah kanuragan sudah tidak berarti lagi guru" jawab Pikatan "aku tidak akan dapat menjadi seorang prajurit" "Ruang lingkup kehidupan ini bukan sekedar dibatasi di dalam lingkaran keprajuritan Pikatan. Kau dapat menyesuaikan diri dengan keadaanmu" "Ya guru. Dan guru sudah mengatakannya berulang kali. Tetapi sudah berulang kali pula aku jawab, bahwa aku sudah mengarahkan hidupku. Dan kini aku gagal"
169 Kiai Pucang Tunggal hanya dapat menggelengkan kepalanya "Karena itu guru. Aku sudah tidak berguna lagi. Tidak berguna bagi Demak dan tidak berguna bagi padepokan Pucang Tunggal." Kiai Pucang Tunggal tidak menjawab. Ditatapnya saja wajah Pikatan dengan penuh iba. Namun ia memalingkan wajahnya ketika Pikatan berkata "Kalau aku pergi ke Demak dan mencoba memasuki lapangan pengabdian yang lain, itu adalah sekedar pelarian, karena aku gagal. Maka aku mencari yang lain, yang manpun yang dapat aku raih. Itupun aku masih harus menunggu belas kasihan dari orang-orang lain yang akan bersedia menolong untuk bangkit dari kegagalan ini. Demikian juga bagi padepokan Pucang Tunggal di pegunungan Gajah Mungkur ini. Aku tidak lebih dari orang anak yang harus dikasihani. Dimanjakan dan dijaga agar aku tidak kecewa. Makan minum dan keperluanku disediakakn baik-baiknya supaya aku tidak merajuk dan merengek" "Pikatan" berkata Kiai Pucang Tunggal "ternyata kemampuan jasmaniahmu tidak serasi dengan keteguhan hatimu. Karena itu, kekecewaan yang kecil membuatmu patah sama sekali." "Memang, persoalanku adalah persoalan yang kecil bagi guru, tetapi tidak untukku" Kiai Pucang Tunggal hanya dapat menarik nafas panjang kalau ia berbantah dengan anak itu, maka ia.hanya akan menambah benih luka di hatinya. Kiai Pucang Tunggal mengerti, bahwa semuanya telah berubah pada Pikatan. Tidak saja tangannya yang tidak lagi dapat digerakkan, tetapi juga hatinya sudah membeku. "Guru, aku ingin pergi dari padepokan ini. Aku ingin mencari hidupku kembali" berkata Pikatan "tetapi walau bagaimanapun, pada suatu saat aku akan kembali kesini"
170 Jilid 05 WIYATSIH memandang Tanjung sejenak, kemudaan beralih kepada Kesambi. Gadis itu seakan-akan tidak menghiraukan kata-kata Tanjung sama sekali, tetapi justru ia mencoba memperbandingkan keduanya. Meskipun Tanjung tampak lebih segar dari Kesambi, tetapi kedalaman tatapan mata Kesambi menunjukkan bahwa anak muda ini agaknya memang lebih cerdas dari Tanjung. "Wiyatsih" berkata Tanjung kemudian "marilah pulang. Kenapa kau menjadi seperti orang bingung?" Wiyatsih tersenyum. Jawabnya "Tanjung, apakah yang membuatmu begitu gelisah" Bukan aku yang menjadi seperti orang bingung, tetapi kau. Apakah salahnya kalau aku ada disini" Kalau senja turun dan tepian ini menjadi gelap, kau mempunyai alasan yang kuat untuk mengajakku pulang. Aku tahu, ibu memang sering minta kau mencari aku. Tetapi disiang hari aku berani pulang tendiri" "Tetapi kau, sudah terlalu lama pergi Wiyatsih. Aku mencarimu bukan atas kehendakku sendiri. Tetapi ibumu menunggu kau dengan gelisah. Kita sama-sama tahu, bahwa keadaan padukuhan ini tidak begitu baik. Apalagi nama Pikatan baru menjadi sasaran dendam" "He?" Wiyatsih mengerutkan keningnya "siapa mengatakan bahwa kakang Pikatan menjadi sasaran dendam?"
349 "Bukankah Pikatan ikut campur ke dalam persoalan perampok itu. Seharusnya ia tidak berbuat demikian. Ia memang wajib menjaga rumahnya, tetapi tidak memusuhi mereka selagi mereka tidak menjamah halamannya. Dengan demikian ia tidak akan menjadi sasaran dendam dari para perampok itu. Selama Pikatan sekedar mempertahankan miliknya sendiri, maka hal itu dianggap wajar oleh para perampok" Wiyatsih menjadi sangat heran mendengar kata-kata itu. Ternyata disamping perasaan kagum dari orang-orang disekitarnya atas tindakan yang mereka sangka dilakukan oleh Pikatan itu, ada juga yang menyesalinya meskipun sebenarnya ada rasa cemas atas nasib Pikatan sendiri. Dan Wiyatsih mencoba menghubungkan keterangan Tanjung itu dengan sikap ibunya. Agaknya pendirian ibunya tidak jauh pula dari pandirian Tanjung ini. Tetapi meskipun Wiyatsih masih cukup muda, ia mencoba berpikir dewasa. Jika benar ibunya berpendiriam demikian, itu adalah karena ibunya mencintai Pikatain. Ibunya mencemaskan nasib anak laki-lakinya itu, meskipun di dalam beberapa hal, pikiran mereka tidak sejalan. "Bagaimanapun juga, hati seorang ibu adalah hati yang memancarkan sayang terhadap anak-anaknya" desisnya didalam hatinya. Wiyatsih mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Tanjung berkata pula "Marilah Wiyatsih" Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia masih seorang gadis kecil yang bermain-main terlalu lama ditepian. Tetapi akhirnya Wiyatsih menganggukkan kepalanya. Katanya Baiklah Tanjurig. Kalau memang ibu memanggil aku pulang, aku akan pulang"
350 Tanjung tidak menyahut. Tetapi ditatapnya wajah Kesambi sejenak. Namun wajah itu tidak berkesan apa-apa. "Sudahlah Kesambi "berkata Wiyatsih "aku, akan pulang. Apakah kau masih akan mencuci cangkulmu?" Kesambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya "Ya. Aku sebenarnya akan mandi. Tetapi karena kau ada disini, aku menunggu sampai kau pergi" "Ah" Wiyatsih berdesah. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi. Ditinggalkannya Kesambi berdiri termangu-mangu ditepian. Namun sepeninggal Wiyatsih, Kesambi benar-benar menceburkan dirinya kedalam air dibelakang batu besar, setelah ia melepaskan pakaiannya Tetapi ia masih sempat berkata kepada dari sendiri "Agaknya Tanjung benar-benar seorang pencemburu yang besar. Belum lagi Wiyatsih menjadi isterinya, setiap laki-laki yang berbicara dengan gadis itu telah dicurigai. Huh, dikira aku sudah berani berpikir tentang seorang gadis" Makan untuk diri seadiri saja sulitnya bukan main. Apalagi untuk sebuah keluarga betapapun kecilnya" Tetapi tiba-tiba saja tangan Kesambi memukul air Kali Kuning itu sambil menggeram "Kalau saja air ini dapat sampai kesawah dan pategalanku yang kering dan tandus itu, Aku pasti akan segera berani meminang seorang gadis. Apalagi jika sawah dibulak sebelah menjadi hijau dan pategalan itu dapat menjadi kebun buah-buahan" Kesambi tiba-tiba mulai berangan-angan "aku akan menanam padi setahun dua kali, dengan palawija yang berumur pendek diantaranya. Pategalanku akan aku lanami pohon melinjo dan nangka di pematang dan jagung atau ubi. Tetapi kalau air cukup, pategalan itupun akan dapat ditanami padi seperti sawah. Setidak-tidaknya padi gaga" Kesambi menarik nafas dalam-dalam, Katanya kemudian "Kalau saja Pikatan tidak cacat dan tidak kehilangan gairah"
351 namun kemudian seolah-olah terdengar suara Wiyatsih "Bukankah kau laki-laki seperti Pikatan" Kau masih muda seperti Pikatan dan kau bertubuh kuat kekar seperti Pikatan?" Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia menggeram pula "Ya, kenapa harus menunggu Pikatan" Kenapa harus menggantungkan diri kepada Pikatan?" Kesambi itupun segera meloncat dari dalam air. Tetapi iapun segera berjongkok kembali. Hampir saja ia lupa bahwa ia masih belum berpakaian sama sekali, karena anganangannya yang sedang melambung. Perlahan-lahan ia bergeser kesebuah batu besar dan meraih pakaiannya yang diletakkan diatas batu itu. "Untunglah, tepian ini sudah sepi" katanya "kalau masih ada perempuan yang mencuci pakaian, aku harus menyembunyikan wajahku untuk tiga hati" Dalam pada itu, Wiyatsih berjalan pulang diikuti oleh Tanjung di belakangnya. Namun Wiyatsih berjalan terlampau cepat, sehingga Tanjung sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk berkata apapun juga. "Wiyatsih" akhirnya Tanjung memanggilnya. Wiyatsih berpaling tetapi ia masih berjalan terus. "Berhenti. Berhentilah sebentar" "Katamu ibu sudah menunggu dengan gelisah" "Hanya sebentar. Sebentar sekali" Wiyatsih memperlambat langkahnya dan Tanjungpun menyusulnya. Sejenak keduanya berjalan berdampingan. Tetapi Tanjung tidak berkata sesuatu. Seolah-olah mulutnya Justru terbungkam. Sedangkan Wiyatsih sama sekali tidak bertanya apapun kepadanya.
352 Tetapi ketika mereka hampir hampir sampai ke sudut desa. Tanjung telah memaksa dirinya untuk berkata "Wiyatsih. Sebenarnya ida sesuatu yang akan aku katakan kepadamu" "O" Wiyatsih mengerutkan keningnya "katakanlah" "Tetapi tidak sekarang dan tidak ditempat ini" "Kenapa" Kenapa tidak sekarang dan kenapa harus di tempat yang lain?" "Aku memerlukan ketenangan untuk menyatakan perasaanku" "Aneh kau Tanjung. Aku kira disini cukup tenang dan cukup waktu. Katakanlah, aku akan mendengarkannya, Mungkin kau akan berbicara tentang sawah yang kering" Air sungai" Atau pekerjaan yang kau lakukan sehubungan dengan tugas-tugas yang diberikan ibu kepadamu?" Tanjung menjadi semakin bingung. Wiyatsih sama sekali tidak membantu membuka jalan baginya. Karena itu, maka jawabnya kemudian "Aku tidak dapat mengatakannya sekarang, Anak-anak dari padukuhan kita kadang-kadang saja berkeliaran disudut desa ini" "Apakah salahaya?" "Tidak Wiyatsih. Aku ingin menemuimu besok malam ditepian. Seperti saat-saat kau berdiri sendiri menunggu bulan terbit. Aku akan datang dan kita akan dapat berbicara dengan tenang. Wiyatsih menarik nafas. Tetapi jawabnya "Tanjung, bukankah keadaan padukuhan sekarang kurang baik, Kadang-kadang timbul kerusuhah dan keributan. Aku sekarang tidak berani berada ditepian seorang diri disenja hari seperti yang sudah" "Ah, kau selalu aneh Wiyatsih, Pada saat yang paling sering terjadi kerusuhan, kau masih. juga berada ditepian menunggu
353 bulan terbit, tetapi justru. Sekarang keadaan sudah mereda kau takut pergi ke tepian seorang diri" "Bukankah kau juga mengatakan, bahwa dendam kepada kakang Pikatan dapat terpercik kepadaku?" "Jangan takut Wiyatsih. Aku akan datang lebih dahulu, sehingga kalau ada apapun juga, kau tidak usah cemas. Aku akan melindungimu" "Kau berkata sebenarnya" "Ya. Aku menjamin bahwa kau akan terbebas dari gangguan siapapun juga" Wiyatsih memandang wajah Tanjung dengan tajamnya. Dari sorot matanya memancar keheranannya dan bahkan bayangan tidak percaya atas janji itu. "Wiyatsih" berkata Tanjung "bukan maksudku menyombongkan diri. Tetapi aku rasa keadaan sekarang sudah menjadi agak tenang. Memang mungkin ada dendam pada Pikatan, tetapi mereka tidak akan mencarinya ditepian. Mereka akan mencari Pikatan dirumahnya. Namun para penjaga dirumahmu agaknya harus diperhitungkan juga oleh setiap orang yang akan memasuki halamanmu, karena kedua orang penjaga regolmu itu adalah orang-orang yang disegani sejak muda" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tetapi apabila terjadi sesuatu juga ditepian. maka aku akan memhawa sebuah kentongan kecil. Aku akan membunyikannya dan memanggil anak-anak muda untuk datang menolong kita" Hampir saja Wiyatsih tidak dapat menahan suara tertawanya, ternyata Tanjung tidak mempercayakan keselamatannya kepada diri sendiri, tetapi kepada sebuah kentongan kecil. Untunglah bahwa. Wiyatsih masih dapat
354 menahan kegeliannya, sehingga ia tidak melepaskan suara tertawanya. Baiklah Tanjung. Aku akan pergi ketepian besok senja. Aku ingin mendengar kau berbicara tentang padukuhan yang kering ini" "Tidak, tidak Wiyatsih. Bukan tentang padukuhan yang kering ini, tetapi tentang diri kita" "O, jadi tentang diri kita sendiri?" "Ya!" "Baiklah. Aku akan datang. Jangan lupa membawa sebuah kentongan kecil, supaya kalau terjadi sesuatu, kita masih mempunyat alat untuk menyelamatkan diri dalam suasana yang kalut nanti" "Terima kasih Wiyatsih. Aku menunggumu" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. Lalu iapun bertanya "Jadi bagaimana sekarang?" "Marilah kita pulang" "Baikiah" Keduanyapun kemudian berjalan lagi beriringan. Wiyatsih di depan dan beberapa langkah dibelakangnya adalah Tanjung yang berjalan dengan kepala tunduk. Tetapi sekali-sekali dipandanginya Wiyatsih yang berjalan dihadapannya. Setiap kali dada Tanjung berdesir melihat kaki Wiyatsih yang melangkah dengan lincahnya. Ayunan tangannya seperti lambaian pelepah kelapa digoyang angin. Rambutnya yang hitam disanggul tinggi, sehingga lehernya yang jenjang tersembul diantara pundaknya. Tanjung terperanjat ketika tiba-tiba saja ia mendengar desis disampingnya, diantara gerumbul dipinggir desa. Ketika ia berpaling, dilihatnya seorang kawannya tertawa tertahan sambil berbisik "Darimana kau gembalakan gadis itu"'
355 "Hus" desis Tanjung. Kawannya sama sekali tidak menyahut. Tetapi ia menutup mulutnya dengan kedua belah tangannya. "Kebetulan saja aku lewat bersamaan" berkata Tanjung perlahan-lahan. "Ya. kebetulan" sahut kawannya. Tanjung tidak menjawab lagi. Ditinggalkannya kawannya yang berada digerumbulan itu. Tetapi ia masih berpaling sekali, lalu dengan tergtsa-gesa, disusulnya Wiyatsih yang telah berjalan lebih dahulu. Ketika mareka sampai diregol rumah Wiyatsih, maka Wiyatsihpun berhenti sambil berkata kepada Tanjung yang sudah berdiri di belakangnya "Terima kasih Tanjung. Aku berani pulang sendiri. Disenja haripun aku berani pulang sendiri, apalagi disiang hari. Dan bukankah besok senja aku harus pergi ketepian?" "Ya Wiyatsih. Tetapi, sekarang aku akan singgah sebentar untuk menemui ibumu. Aku mempunyai beberapa persoalan yang harus aku selesaikan" "O, baikiah. Mungkin ibu ada dirumah" "Ya. Tenlu. Aku tadi sudah datang kemari menemui ibumu dan disuruhnya aku mencarimu. Kau sekarang sering sekali pergi sehari penuh. Pagi, siang. sore. Apakah kau tidak lelah mencuci hampir setengah nari, kemudian pergi ke sawah dan sepulangnya dari sawah, kau sudah berada ditepian lagi?" Wiyatsih tersenyum. Tetapi ia tidak dapat mengatakan, bahwa sebagian waktunya telah dipergunakannya untuk mendalami ilmu kanuragan yang diterimanya dari Puranti. "Jadi memang masuk akal, bahwa Puranti pergi menyendiri untuk mendalami ilmunya "berkata Wiyatsih di dalam hati say
356 a "dengan demikian, ia dapat menekuninya setiap waktu tanpa terganggu" Tetapi kemudian teringat olehnya kata-kata Puranti "Kau tidak perlu memisahkan diri dari lingkunganmu Wiyatsih. Kalau Kau mampu membagi waktu, maka kau akan dapat melakukannya dengan baik. Mungkin untuk beberapa bulan lamanya, kau akan merasakannya sebagai saat-saat yang berat. Tetapi asal kau dapat mengimbangi dengan jenis makan yang baik buat tubuhmu, jamu dan param yang tepat, kesehatanmu tidak akan terganggu. Namun demikian, ternyata ibu Wiyatsih melihat juga kelainan pada gadisnya dan ternyata pula bahwa berat badannya telah susut. Wiyatsih terkejut ketika Tanjung bertanya "Apalagi yang kau tunggu Wiyatsih?" "O, tidak. Aku tidak menunggu siapapun. Marilah, marilah masuk kalau kau akan menemui ibuku" Wiyatsihpun kemudian membawa Tanjung masuk kehalaman rumannya. Bersama-sama mereka melintasi halaman dan naik ke pendapa. "Silahkan duduk. Ibu akan menemuimu kalau kau masih mempunyai persoalan. Aku akan pergi ke dapur" Tanjung menganggukkan kepalanya. Jawabnya "Ya, aku memang masih mempunyai keperluan sedikit" Wiyatsihpun kemudian masuk kedalam mencari ibunya untuk mengatakan bahwa Tanjung menunggu dipendapa. Namun dalam pada itu sepasang mata memandang kedua anak muda itu dengan tajamnya. Ketika dilihatnya Wiyatsih telah masuk ke dalam dan sejenak kemudian ibunya keluar kependapa menemui Tanjung, maka orang yang selalu mengikuti dengan tatapan matanya itupun segera beringsut dari tempatnya.
357 Wiyatsih yang masih berada di dalam biliknya terkejut ketika tiba-tiba saja pintunya, terbuka. Dilihatnya kakaknya berdiri dimuka pintu sambil memandanginya dengan tajamnya. Hati Wiyatsih menjadi berdebar-debar. Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja kakaknya memandang begitu asing kepadanya. "Wiyatsih" berkata Pikatan kemudian "sudah beberapa kali aku melihat atau mendengar, setiap kali kau pergi kau pasti membawa anak itu kemari" "O" Wiyatsih terkejut. "Buat apa kau bawa penjilat itu he" Ia adalah salah satu contoh yang paling buruk dari kekerdilan jiwa anak-anak muda dari padukuhan di sekitar Alas Sambirata ini, bahkan diseluruh Kademangan Sambisari, la sama sekali tidak berusaha memperbaiki tata kehidupan masyarakat disekitarnya, tetapi ia justru berusaha mempergunakan keadaan yang parah ini untuk kepentingan diri sendiri. Dengan modal yang didapatnya dari ibu, ia melakukan pekerjaan yang serupa. la rnemperbanyak potongan-potongan lidi, di dalam bumbungbumbung itu. Dan dengan demikian, ia sendiri akan mendapat keuntungan apapun yang akan dialami oleh orang-orang yang menjadi korban. Apakah kau sangka perbuatan itu tidak lebih buruk dari perampok-perampok kecil yang hanya didorong oleh perutnya yang lapar dan rengek anak bayinya karena susu ibunya sudah kering, yang mendorongnya untuk melakukan kejahatan. Apakah kau sangka, kau dapat hidup dengan tenteram apabila kau kelak dihidupi dengan cara itu, cara yang sama sekali tidak berperikemanusiaan" Apakah kau sama sekali tidak mempunyai gagasan yang lebih baik dari hidup semacam itu, apakah ......" "Tunggu" potong Wiyatsih "aku tidak tahu, apakah yang kau katakan itu kakang"
358 "Anak kerdil itu. Tentu kau tahu darimana ia dapat membeli seeker lembu" Wiyatsih mengerutkan keningnya. Sambil menganggukanggukkan kepalanya ia menjawab "Ya, aku tahu. Ibu mengatakannya bahwa Tanjung diberinya uang untuk membeli seekor lembu. Tetapi tentu dengan syarat, bahwa Tanjung akan membantu ibu mengerjakan sawah kita. Tanjung sendiri sudah mempunyai seekor lembu, sehingga sepasang lembu yang dimilikinya sekarang, dapat dipergunakannya bekerja disawah. Membajak misalnya dan menarik pedati. Kau tenang melihal hal semacam itu" Apakah Tanjung cukup mempunyai harga diri dengan menerima pemberian itu" "Apakah salahnya kakang" Ia menerima upah dari jerih Payahnya. la bekerja untuk ibu dan ibu memberinya sesuatu. Bukankah itu sudah wajar" Tetapi tidak demikian halnya dengan Tanjung. Ia tidak sekedar bekerja sebagai orang upahan. Tetapi ia mempunyai pamrih. Pamrih yang jauh lebih banyak daripada itu sendiri. Ia sadar, bahwa ibu senang kepadanya. Dan ia memang mengharap, agar ia kelak dapat diambil menjadi menantu. Nah, tanpa mengingat harga dirinya sebagai seorang laki-laki, ia merayap di pendapa ini. Ia ingin mendapat kau dan seisi rumah ini" "Kakang" potong Wiyatsih. Tetapi ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya. "Dan kau sendiri selalu membawanya kemari. Agaknya kau senang mempunyai seorang suami berjiwa kerdil semacam itu?" "Kakang, kakang" Wiyatsih benar-benar tidak dapat berkata sepatah katapun lagi. Tiba-tiba saja ia berlari ke pembaringannya. Dijatuhkan saja dirinya diatas pembaringan sambil menelengkupkan kepalanya.
359 Pikatan masih berdiri termangu-mangu. Sejenak kemudian ia mendengar isak Wiyatsih yang tidak dapat menahan gejolak hatinya lagi. Perlahan-lahan Pikatan melangkah mendekat. Dengan tangan kirinya ia menepuk bahu adiknya yang menelungkupkan wajahnya pada kedua tangannya. "Maaf Wiyatsih" berkata Pikatan "bukan maksudku menyakiti hatimu. Aku hanya ingin menasehati agar kau tidak terlampau dekat dengan anak yang tidak mempunyai harga diri itu. Tetapi mungkin aku terlampau kasar. Mungkin aku memang tidak pantas mengucapkan nasahat itu. sehingga dengan demikian aku sudah menyinggung hatimu" Wiyatsih tidak menjawab. Isaknya justru mengeras, sehingga pembaringannya berguncang-guncang. "Sudahlah. Aku akan pergi. Jangan menangis lagi. Seharusnya aku tidak mengatakannya. Barangkali aku memang tidak pantas lagi menasehatimu. Aku yang kini telah terasing sama sekali tidak dapat mengetahui dengan pasti. apakah sebenarnya masih ada harga diri itu atau sekarang jaman sudah herubah. sehingga tidak ada lagi yang lebih berharga dari kepentingan lahiriah dihari ini, meksipun harus dikorbankan nilai-nilai pribadi yang bagiku sangat beiharga. Wiyatsih mencoba mengusap matanya, tetapi air yang bening masih saja mengalir tidak henti-hentinya. "Sudahlah Wiyatsih. Aku memang tidak pantas untuk memberikan nasehat. Orang yang cacat, memang tidak ada harganya lagi aku minta inaaf dan aku tidak akan berbuat lagi lain kali" "Tidak kakang, tidak" tiba-tiba Wiyatsih bangkit "kau salah paham lagi. Aku berterima kasih bahwa kau talah memberikan nasehat ini"
360 "Begitukah caramu mengucapkan terima kasih" Dengan air mata dan tangis?" "Tidak kakang. Tetapi kau salah mengerti. Aku sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan Tanjung, apalagi membawanya kemari" Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "Sudahlah, Wiyatsih. Memang aku selalu keliru. Aku selalu salah mengerti. sudahlah. Aku akan tidur saja supaya aku bermimpi bagus" "Kakang, kakang" Pikatan tidak menghiraukannya lagi. Ditinggalkannya bilik Wiyatsih langsung menuju kebiliknya sendiri. Sepeninggal Pikatan. Wiyatsihpun menutup biliknya pula. Kemudian sekali lagi dijatuhkannya tubuhuya diatas pembaringannya. Sambil menelungkup pada kedua tangannya ia menangis sejadi-jadinya. Untunglah bahwa ibunya masih berada di pendapa bersama Tanjung. Masih banyak yang dipersoalkannya. Tentang tanah. tantang lembu, tentang uang yang diputar dan tentang penyerahan barang-barang dari tetangga-tetangga yang memerlukan uang. "Sukurlah kalau usahamu berjalan lancar" berkata ibu Wiyatsih "mudah-mudahan kau dapat berbuat lebih baik dihari-hari mendatang" "Ya, mudah-mudahan" Tanjung mengangguk-anggukkan kepalanya dalam-dalam. "Kau sudah cukup dewasa" berkata Nyai Sudati "sebentar lagi kau perlukan bekal untuk sebuah rumah tangga, karena itu kau harus rajin bekerja" Sekali lagi Tanjung mengangguk dalam-dalam.
361 "Teruskan usahamu dengan tekun. Tetapi hati-hatilah, jangan lengah dimasa-masa seperti ini. Hanya mereka yang dapat dipercaya sajalah yang harus kau layani. Selebihnya, terpaksa sekali, kita tidak dapat menolongnya" "Aku mengerti" sahut Tanjung "setiap pinjaman aku nilai dengan kemungkinan yang dapat dihasilkan oleh sawah mereka itu pula" Nyai Sudati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang puas melihat cara Tanjung bekerja. Anak itu dapat diharapkan, kelak dapat menggantikan, kedudukannya, menghitung lidi di dalam bumbung. Demikianlah, ketika sudah tidak ada pesan apapun lagi, Tanjungpun minta diri. Berbagai angan-angan telah dibawanya pulang. Kepercayaan Nyai Sudati yang meningkat dan tanggapan Wiyatsih yang baik kepudanya. Besok Wiyatsih akan datang ketepian. Ia pasti sudah tahu, apa yang akan aku katakan. Kalau ia tidak menanggapi sikapku dengan baik, ia pasti menolak untuk datang besok malam" berkata Tanjung didalam hatinya. Nyai Sudati yang masih duduk di pendapapun ternyata telah berangan-angan pula. Ia benar-benar berharap bahwa Tanjung akan dapat diambilnya sebagai seorang menantu yang baik, yang taat dan setia kepada mertua dan mudahmudahan juga kelak kepada isterinya. Seorang yang rajin dan tekun dan memiliki kemampuan yang baik untuk meneruskan usahanya. Setiap kali Nyai Sudati selalu mengeluh, bahwa kedua anak-anaknya sama sekali tidak berminat pada pekerjaan yang dilakukan. Bahkan setiap kali mereka selalu mencoba menghentikan usaha itu. "Darimana kita akan mendapat makan?" Nyai Sudati selalu bertanya.
362 "Bukankah sawah kita cukup luas dan kebetulan berada di daerah yang paling baik dari padukuhan ini?" Nyai Sudati tidak dapat meyakinkan kedua anak-anaknya, bahwa mereka tidak boleh sekedar menjadi seorang petani biasa. Petani yang hanya mengharapkan hasil panenan tanpa berbuat yang lain. "Aku akan berbuat yang lain" berkata Wiyatsih "tetapi tidak seperti yang ibu lakukan" Dan hal itulah yang membuat Nyai Sudati menjadi prihatin. Anak-anaknya tidak mau menjadi seorang yang meminjamkan uang dan bibit kepada tetangga-tetangganya, meskipun usaha itu menghasilkan banyak uang dan hasil panenan. Tetapi Tanjung agaknya mampu melakukannya. Bahkan telah nampak, usahanya dengan modal sedikit yang diberikan kepadanya, telah mulai berkembang. Apalagi orang tua itu melihat bahwa Tanjungpun agaknya menaruh minat kepada Wiyatsih. "Meskipun Wiyatsih tidak, senang melakukan hal itu, tetapi Tanjung kelak akan menuntunnya, sehingga man tidak mau, ia akan melakukannya pula" berkata Nyai Sudati didalam hatinya. Dan agaknya Nyai Sudati sama sekali sudah tidak memperhitungkan Pikatan yang hatinya seakan-akan telah patah. Patah sama sekali. Sejenak kemudian Nyai Sudatipun meninggalkan pendapa rumahnya. Ia mengerutkan keningaya melihat kedua bilik anak-anaknya tertutup. Tetapi ia tidak lagi mendengar Wiyatsih terisak. Nyai Sudati sama sekali tidak menyapa kedua anaknya. Ia pun langsung pergi kebelakang, melihat orang-orangnya yang sedang bekerja. Disore hari, ketika Wiyatsih keluar dari biliknya dan pergi ke pakiwan, ibunya melihat matanya yang merah. Bukan saja
363 karena tertidur, tetapi pada mata itu tampak sesuatu yang mengatakan bahwa Wiyatsih baru saja menangis. Tetapi Nyai Sudati tidak bertanya. Dibiarkannya Wiyatsih sendiri dan berpakaian didalam biliknya yang tertutup pula. "Anak-anak itu membuat kepalaku menjadi selalu pening" berkata ibu Wiyatsih itu kepada diri sendiri "Apa pula yang ditangisinya. Tentu ia sudah berselisih lagi dengan Pikatan" Namun ketika lampu-lampu sudah menyala dan diluar gelap telah menyelubungi padukuhan kecil itu, ibunya telah memanggil Wiyatsih di pringgitan. "Wiyatshih, aku tahu bahwa kau telah berselisih lagi dengan kakakmu" Wiyatsih tidak menjawab. Ia hanya menundukkan kepalanya saja. "Sebaiknya kau menghindarinya Wiyatsih. Kita harus menyadari keadaannya. Ia telah dikecewakan oleh cacat tangannya, sehingga ia menjadi sangat mudah tersinggung" Wiyatsih mengangguk perlahan-lahan. "Usahakan agar kau tidak pernah membicarakan soal apapun dengan kakakmu. Berbicaralah soal sahari-hari saja. Makanan, minuman dan pakaiannya. Tidak lebih dari itu" Wiyatsih mengangguk pula. Tetapi soal makanpun dapat membuat kakaknya merajuk. Dan baru kemarin hal itu terjadi ketika la mencoba bertanya kepada Pikatan, makanan apakah yang diingimnya untuk hari itu. "Aku tidak berhak menentukan Wiyatsih" jawab Pikatan "Aku adalah orang yang sekedar menerima pemberian. Terserahlah kepadamu dan kepada ibu" Wiyatsih hanya dapat mengusap dadanya. Ia ingin kakaknya sedikit senang atas perhatian yang diberikan oleh keluarganya. Tetapi Kakaknya selalu berwajah suram.
364 "Wiyatsih" berkata ibunya kemudian dengan nada yang dalam "dua orang bersaudara akan selalu sering berselisih apabila mereka masih tinggal di dalam satu kandang. Tetapi apabila salah seorang daripadanya telah berumah tangga sendiri atau kedua-duanya, keadaannya pasti akan berbeda. Persaudaraan itu akan lebih tampak dan lebih akrab, karana keduanya tidak terlampau sering bertemu. Demikian juga agaknya kau dengan Pikatan" Wiyatsih mengangkat wajahnya sejenak. Tetapi wajah itu segera tertunduk kembali. Ia sudah dapat menebak arah pembicaraan ibunya. Dan ternyata Wiyatsih tidak keliru. Sejenak kemudian ibunya berkata "Wiyatsih. Kau kini sudah benar-benar seorang gadis dewasa. Sudah sepantasnya kau menempuh suatu kehidupan baru. Bukan saja agar kau tidak selalu berselisih dengan kakakmu di rumah ini, tetapi sudah sepantasnya kau kawin" Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. "Tidak baik seorang gadis menunggu hari-hari perkawinannya sampai umurnya merayap terlalu tinggi. Tetangga-tetangga akan mempercakapkannya, seolah-olah gadis itu tidak laku lagi" "Ah" Wiyatsih berdesah "apakah seorang gadis itu seperti barang dagangan saja ibu?" "Tentu tidak Wiyatsih. Aku juga seorang Perempuan. Tetapi tetangga-tetangga akan beranggapan, bahwa gadis yang sampai batas kedewasaannya tidak ada seorangpun yang meminang adalah seorang gadis yang tidak laku. Bukan saja karena ia tidak cantik, tetapi banyak penilaian orang tentang seorang gadis. Mungkin sifat-sifatntya, mungkin Katuranggan dan mungkin juga kelakuannya" "Katuranggan adalah penilikan ciri-ciri buat seekor kuda Tidak buat seorang perempuan"
365 "Tetapi, istilah itu memang sering dipakai, Wiyatsih" ibunya menyabut "atau baikiah, kita mempergunakan istilah lain. Namun kesimpulannya adalah, seorang gadis yang terlambat kawin adalah seorang gadis yang tidak disukai" Wiyatsih tidak segera menyahut. "Karena itu Wiyatsih. kau harus segera menempuh hidup berkeluarga" suara ibunya merendah "apakah kau mengerti?" Wiyatsih mengangguk. Jawabnya "Aku tidak berkeberatan Ibu. Tetapi berikan aku kesempatan untuk menilai bakal suamiku apabila saatnya itu memang sudah tiba" Ibunya mengerutkan keningnya. Katanya "Seorang perempuan tidak boleh terlampau banyak menuntut. Aku belum mengenal ayahmu sama sekali ketika aku kawin. Aku belum perhah melihat wajahnya, apalagi sifat dan tabiatnya. Tetapi lambat laun kami dapat saling menyesuaikan diri. Dan lahirlah Pikatan dan kau. Kami hidup rukun sampai saatnya, ayahmu kembali menghadap Allah Sang Pencipta. Sjak itu, sama sekali tidak timbul niatku untuk kawin lagi dengan lakilaki yang manapun juga, karena aku tidak dapat melupakan kebahagiaan perkawinanku dengan ayahmu" Wiyatsih menarik nafas. Semakin dalam. "Aku akan memilih seorang bakal suami yang baik buatmu Wiyatsih" "Ah" Wiyatsin berdesah. Tetapi ia tidak menyahut. "Aku adalah ibumu. Sudah tentu aku tidak akan menjerumuskan kau ke dalam kesulitan. Kau adalah satusatunya anak gadisku. Hidupku ini justru tinggal untuk anakanakku. Aku sudah kehilangan gairah keduniawian. Aku tidak lagi menginginkan sesuatu didalam hidup ini, selain melihat anak-anakku menjadi orang terpandang" Wiyatsih mengangkat wajahnya. Ditatapnya wajah ibunya sejenak. Di dalam hatinya melonjak pertanyaan yang tidak
366 terucapkan "Tetapi ibu senang sekali mengumpulkan harta benda dan kekayaan?" Namun meskipun pertanyaan itu tidak diucapkan, seakanakan Ibunya dapat membaca sorot matanya, sehingga katanya kemudian "Wiyatsih... Kalau aku sekarang bekerja keras, semata-mata karena aku ingin meninggalkan sesuatu yang berarti buatmu. Sesuatu yang akan berharga didalam hidupmu kelak. Rumah yang baik, sawah yang luas dan sedikit perhiasan. Selain barang-barang itu akan berharga bagimu, apabila kau mempunyai bekal yang cukup, maka suamimu pasti akan menghargaimu. Ia tidak akan berbuat sesuka hatinya, karena kekayaanmu itu akan berpengaruh atasnya. Wiyatsih tidak menyahut. Tetapi kepalanya tertunduk kembali. Semakin dalam Apalagi Wiyatsih sudah dapat menduga, laki-laki yang manakah yang akan dikehendaki oleh ibunya itu. "Tentu Tanjung" berkata Wiyatsih didalam hatinya "dan bagiku Tanjung tidak lebih dari seorang anak cengeng" "Tetapi baiklah kau pikirkan Wiyatsih. Mungkin pada suatu saat yang pendek, kau akan mengetahui bakal suamimu. Dan mudah-mudahan kau dapat menerimanya dengan ikhlas" Wiyatsih mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia berkata "Ibu, agaknya aku akan menurut petunjuk ibu. Tetapi sebaiknya ibu mempertimbangkannya dengan kakang Pikatan. Ia adalah satu-satunya laki-laki didalam keluarga kita, yang barangkali dapat menggantikain kedudukan ayah didalam persoalan ini. Aku akan senang sekali apabila ibu dan kakang Pikatan sependapat" Ibunya teinenung sejenak. Lalu katanya "Pikatan hampir tidak mempedulikan apapun lagi. Tetapi baiklah, aku akan mencoba berbicara. Tetapi sudah tentu apabila semuanya sudah mendekati kepastian" Wiyatsih mengangguk-anggukan kepalanya.
367 "Nah, sekarang tidurlah. Kau tentu lelah" "Aku belum lama bangun ibu" "Tetapi kau menangis. Mungkin kau perlu ketenangan. Pergilah kedalam bilikmu" "Bukankah hari masih belum terlalu malam" Baru saja kita menyalakan lampu" Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Terserahlah kepadamu. Aku akan menyelesaikain pekerjaanku" "Menghitung lidi?" "Ya. Menghitung lidi untuk hari ini" ibunya memandang wajah Wiyatsih sejenak, lalu "seharusnya kau membantu. Kalau kau masih belum akan pergi kebilikmu, bantulah" Wiyatsih menarik nafas sekali lagi. Katanya "Aku tidak telaten ibu. Nanti aku salah menghitung" Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdesis "Pada suatu saat, kaulah yang akan melanjutkan Pekerjaan ibu ini. Sudah aku katakan, kau jangan hanya sekedar menjadi petani saja. Tetapi berbuatlah yang lain. Lihat, bagaimana keadaan kita dibandingkan dengan tetangga-tetangga, kita di daerah kering ini" Wiyatsih tidak menjawab. Dipandanginya saja ibunya yang kemudian berdiri untuk mengambil beberapa buah bumbung yang berisi lidi. "Ibu" berkata Wiyatsih kemudian "aku akan keluar sebentar. Udara di dalam rumah ini terasa terlampau panas. Mungkin dilangit telah mulai mengambang beberapa lembar awan. Dan kita akan menghavap bahwa hujan segera akan datang" "Tentu tidak segera. Masih ada bunyi walang centring, dan bintang waluku masih menelentang"
368 Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata ibunya mengenal juga tanda-tanda alam bagi musim. Dan rasa-rasanya musim kering ini berkepanjangan tidak hentihentinya. Tetapi Wiyatsihpun kemudian meninggalkan pringgitan, keluar kependapa. Namun ibunya masih berpesan "Jangan pergi kemanapun Wiyatsih" "Aku hanya dihalaman ibu" Ibunya memandanginya sejenak. Namun Wiyatsihpun kemudian menutup pintu pringgitan, setelah ia berada dipendapa. Terasa udara yang dingin mulai menyentuh kulitnya. Tetapi dengan demikian tubuhnya terasa menjadi segar. Sekali-sekali ia mengusap matanya yang terasa gatal, karena tangisnya yang lama. Sejenak Wiyatsih menyapu halaman rumahnya dengan tatapan matanya yang seakan-akan menjadi semakin tajam. Latihan-latihan yang berat membuatnya seakan-akan berkembang. Bukan saja tenaganya, kecepatan bergerak dan pengetahuannya atas tata gerak olah kanuragan, tetapi juga inderanya dan kelantipannya. Ketika Wiyatsih memandang keregol Halaman, dilihatnya dua orang penjaga yang duduk berkerudung kain panjang. Senjata mereka berada dekat disisinya. "Memang mereka bukan orang kebanyakan" berkata Wiyatsih didalam hatinya menilik bentuk senjatanya, mereka memang mempunyai pengalaman bertualang didalam olah kanuragan." Tetapi dada Wiyatsih berdesir ketika ia melihat pintu regol itu berderit. Hampir berbareng kedua penjaganya bangkit berdiri dan bertanya serentak "Siapa?"
369 "Aku" terdengar sebuah jawaban. Dan tersembullah sebuah kepala diantara daun Pintu. Tanjung. "Huh" Wiyatsih mengerutkan keningnya. Lalu diam-diam iapun meninggalkan pendapa, melingkar lewat sebelah rumahnja dan pergi kepintu butulan yang memang belum diselarak. Kedua penjaga rumah itu sudah mengenal Tanjung dengan baik. Apalagi hari masih belum terlampau malam, sehingga dibiarkannya Tanjung masuk dan pergi kepringgitan. Wiyatsih tidak menghiraukannya lagi. Ia memang mendengar suara anak muda itu yang kemudian bercakapcakap dengan ibunya Tetapi Wiyatsih justru masuk kedalam biliknya dan menutup pintunya meskipun tidak terlampau rapat. Wiyatsih masih mendengar Tanjung minta diri. Dan ia masih mendengar ibunya menyelarak pintu dan berjalan keruang dalam. Bahkan kemudian ibunya itu menjenguknya dari sela-sela daun pintu biliknya. "Apakah kau sudah tidur Wiyatsih" "Belum ibu" jawab Wiyatsih. "Aku kira kau masih berada diluar." "Aku masuk lewat pintu butulan. Dan aku sudah menutupnya" Ibunya menarik nafas. Tetapi ia masih belum dapat mengatakan kepada Wiyatsih bahwa ia menghendaki Tanjung untuk menjadi bakal suami anak gadisnya itu. Sejenak kemudian ibunyapun segera masuk kedalam biliknya, setelah melihat pintu-pintu rumahnya, apakah semuanya telah tertutup rapat. Yang masih terbangun kemudian tinggallah Wiyatsih. la sama sekali tidak ingin tidur, karena kecuali ia sudah tidur
370 ketika ia menangis di biliknya, iapun seolah-olah digelisahkan oleh perasaannya. sehingga ia mengharap Puranti segera datang kehalaman rumahnya. la akan dapat mengatakan kesulitan-kesulitannya kepada gadis itu, yang kecuali gurunya didalam olah kanuragan, tetapi ia juga dianggapnya sebagai pengganti kakaknya, Pikatan. Karena itu, maka ia hampir tidak mempunyai rahasia lagi yang disimpannya terhadap Puranti. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggunya, untuk mengatakan niat Tanjung menemuinya besok ditepian. Dan ia akan menumpahkan kegelisahanaya karena sikap ibunya. "Tetapi kalau ibu benar-benar akan membicarakannya dengan kakang Pikatan, biarlah kakang Pikatan menolaknya" berkata Wiyatsih didalam hatinya. Wiyatsih yang berangan-angan itu sama sekali tidak menyadari. bahwa malam semakin menjadi kelam Suara angkup dikejauhan terdengar seperti keluhan hatinya yang gelisah. Wiyatsih terperanjat ketika ia mendengar desir di dinding biliknya. Kemudian isyarat seperti yang sudah terlalu sering didengarnya. "Puranti sudah datang" desisnya. Perlahan-lahan Wiyatsih bangkit berdiri. Kemudian dengan hati-hati pula ia melangkah keluar dari biliknya dan menutup pintu itu rapat-rapat, ia masih mencoba untuk mengetahui apakah seisi rumahnya benar-benar telah tertidur nyenyak. "Semuanya sudah tertidur" desisnya. Seperti biasanya Wiyatsihpun segera pergi keluar lewat pintu butulan. Dan seperti biasanya, Puranti telah menunggunya di longkangan. Tetapi kali ini Wiyatsih terkejut ketika ia melihat sebuah bayangan seorang laki laki di dalam kegelapan di kebun
371 belakang. Semakin dekat, ia menjadi semakin jelas, bahwa laki-laki itu adalah seorang yang telah hampir lanjut usia. "Siapa?" tanpa sesadarnya ia bertanya. "Ayah" jawab Puranti "ia adalah ayahku. Guru kakang Pikatan" "O" Wiyatsihpun kemudian mengangguk dalam-dalam "maafkan aku Kiai. Aku tidak mengetahui sebelumnya" Orang tua itu tersenyum. Katanya "Tentu kau belum mengenal aku. Aku jarang sekali mengunjungi Puranti, dan kali ini aku memerlukan menemuimu disini." "Ya, Kiai" "Sudan lama sekali aku tidak datang menengoknya. Sebenarnya aku juga ingin menemui Pikatan, tetapi agaknya keadaannya belum memungkinkan. Jika aku memaksa menemuinya, maka aku kira akibatnya justru kurang baik bagi dirinya." Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. "Untuk mengurangi kecewa atas kelakuan Pikatan, aku sekarang ingin melihat, apakah kau dapat menggantikannya" "O" desis Wiyatsih " "Tentu aku tidak ingin menggantikan kedudukan kakhne Pikatan. la adalah saudara tuaku. Bagaimana-pun iuga, aku lidak akan dapat menyamainya" Kiai Pucang Tunggal terrenyum. Katanya " Kau adalah seorang adik yang baik bagi Pikatan. Maksudku bukan kau menggantikan kedudukan Pikatan didalam segala hal. Tetapi tentu Pikatan mempunyai cita-cita. Nah, apakah kau dapat melanjutkan cita-citanya itu" Cita-citanya dalam olah kanuragan yang patah karena cacatnya, dan cita-citanya tentang kampung halarnan"
372 Wiyatsih tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil diluar sadarnya. "Nah, sekarang jangan membuang waktu. Mulailah berlatih seperti biasa. Anggaplah aku tidak ada disini sekarang, karena aku memang hanya ingin melihat" Wiyatsih memang merasa agak segan terhadap kehadiran Kiai Pucang Tunggal. Tetapi Puranti mendesaknya, sehingga merekapun kemudian segera berlatih seperti yang mereka lakukan sehari-hari. "Bagus sekali" berkata Kiai Pucang Tunggal setelah latihan itu selesai "Ternyata kau benar-benar adik Pikatan. Meskipun kau seorang gadis, tetapi kau memiliki tenaga yang kuat dan kelincahan yang cukup. Aku berharap bahwa kau akan segera mendapatkan Kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi padukuhan ini dan bagi sesama. Selama ini kau masih harus menyembunyikan kemampuanmu, karena banyak hal yang belum memungkinkannya. Dan llmumu sendiri masih belum siap untuk hadir didalam kericuhan yang terjadi didaerah ini. Tetapi sebentar lagi kau akan menjadi semakin masak" Kiai Pucang Tunggal berhenti sebentar, lalu "Apakah kau tidak berkeberatan apabila akulah yang akan menuntunmu untuk beberapa saat kemudian?" Wiyatsih terkejut. Ditatapnya mata Puranti sejenak. Tetapi Puranti tersenyum dan berkata "Tidak ada apa-apa. Tentu ayah mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak dari aku sendiri. Dan tentu ayah akan dapat mempercepat tingkat-tingkat ilmu yang akan kau capai" "Tetapi bagaimania dengan kau?" "Aku akan selalu datang. Tetapi untuk beberapa hari aku tidak hadir disini" "Kenapa?"
373 "Persoalanku sendiri. Ternyata di rumah biyung angkatku ada seorang tamu yang melibatkan aku kedalam suatu persoalan. Sebenarnya ayah hanya datang sekedar menengokku. Tetapi akulah yang minta kepada ayah untuk menggantikan kedudukanku, karena itu aku harus menyelesaikan masalahku. Tetapi hal itu tentu akan menguntungkan bagimu." Wiyatsih masih ragu-ragu. Dan Purantipun berkata seterusnya "tetapi sudah aku katakan, setiap kali aku masih akan datang" Wiyatsih mengangguk-anggukan kepalanya. "Bagus" berkata Puranti "kau akan menjadi semakin cepat maju. Kelak aku akan berceritera kepadamu, apa saja yang telah terjadi atasku" Sekali lagi Wiyatsih mengangguk. "Tetapi apakah besok kau tidak datang?" "Untuk beberapa saat ini aku tidak dapat mengatakan dengan Pasti, Wiyatsih. Persoalanku termasuk persoalan yang rumit bagi anak seorang janda yang miskin. Tetapi aku akau mengatasinya secepat-cepatnya" Wiyatsih menjadi termangu-mangu sejenak. Sekali ditatapnya wajah Puranti, kemudian dipandanginya wajah Kiai Pucang Tunggal. "Jangan ragu-ragu Wiyatsih. Ilmuku aku dapatkan dari ayah pula, sehingga apa yang akan kau peroleh dari ayah tidak akan berbeda dari vang pernah aku berikan, kepadamu. Justru pasti akan menjadi lebih sempurna. Wiyatsih mengangguk-anggukan kepalanya. Namun kemudian diantara desah nafasnya ia berkata dengan raguragu "Tetapi, tetapi aku akan mengatakan sesuatu kepadamu. Puranti."
374 Puranti mengerutkan keningnya. Namun ia dapat mengerti maksud Wiyatsih. Gadis itu pasti ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia masih segan karena kehadiran Kiai Pucang Tunggal yang belum begitu dikenalnya. Karena itu maka sambil tersenyum ia berkata "Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan hanya kepadaku saja?" Wiyatsih tidak menjawab. tetapi kepalanya tertunduk. "Baikiah berkata Kiai Pucang Tunggal sambil tersenyum pula "aku akan pergi lebih dahulu. Agaknya aku sedikit mengganggu ceriteramu Wiyatsih" "Ah" Wiyatsih berdesah. Kiai Pucang Tunggalpun kemudian minita diri, mendahului Puranti yang masih akan tinggal sejenak. Agaknya Wiyatsih ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Sepeninggal Kiai Pucang Tunggal, maka Wiyatsihpun mulai mengatakan tentang Tanjung dan dirinya sendiri. Tentang niat Tanjung menemuinya besok ditepian. Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi iapun kemudian bertanya "Wiyatsih. Kau, jangan menilai seseorang dari satu segi. Mungkin Tanjung bukan seorang yang sejalan dengan kau didalam perencanaan bendungan, Tetapi segi-segi kehidupan bukan hanya sekedar ditentukan oleh satu hal. Mungkin didalam persoalau yang lain yang lebih besar bagi kehidupan keluargamu kelak, kau menemukan titik-titik persamaan dengan pendiriannya" Wiyatsih menggelengkan kepalanya. Katanya "la seorang yang tidak akan mungkin berdiri sendiri. Hidupnya sangat tergantung pada keadaan dan pada pertolongan orang lain. Ia tidak mempunyai minat untuk menentukan hidupnya sendiri"' "Tetapi bagaimanakah sebenarnya kata nuranimu lepas dari kekurangan-kekurangan" bertanya Puranti kemudian
375 "seandainya kau menemukan seuatu pada dirinya, maka kau akan dapat mencoba mengisi kekurangan itu perlahan-lahan" Wiyatsih menundukkan kepalanya. Dan terdengar suaranya lirih "Aku sama sekali tidak menyukainya" Puranti menarik nafas dalam-dalam. Memang terlalu sulit untuk memberikan petunjuk yang menentukan di dalam pilihan semacam itu, Karena itu, maka katanya "Jangan segera mengambil keputusan, Wiyatsih. Kau dapat menjajaginya lebih dalam. Justru pertemuan yang diminta oleh Tanjung akan memberi kesempatan kepadamu, mengetahui sifat-sifatnya, tabiat, dan keadaannya lebih banyak lagi" Wiyatsih mengangguk-angguk. "Wiyatsih, berpikirlah dengan tenang. Memang ibumu pasti tidak akan mencelakakanmu. Ibumu pasti berusaha membuat kau bahagia sesuai dengan keinginannya. Tetapi agaknya yang dicita-citakan berbeda dengan cita-citamu sendiri. Namun demikian kau harus tetap menghargai niatnya yang baik buatmu itu" Wiyatsih masih mengangguk-anggukkan kepalanya. "Nah Wiyatsih" berkata Puranti kemudian "aku akan minta diri, bukan berarti bahwa aku tidak akan datang lagi. Aku akan selalu datang. Dan apabila persoalanku sendiri sudah selesai, maka aku pulalah yang akan datang setiap malam kerumahmu. Bahkan mungkin kita akan menentukan tempattempat lain di siang hari. Ayah sudah barang tentu tidak akan dapat terlampau lama meninggalkan padepokannya" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia bertanya "Tetapi apakah sebenarnya Persoalanmu itu?" Puranti merenung sejenak. Lalu katanya sambil tersenyum "Tidak terlalu penting. Ternyata janda yang mengambil aku sebagai anaknya itu menemukan persoalan. Tiba-tiba saja
376 seorang laki-laki mempersoalkan aku meskipun sehari-hari aku memakai pakaian kumal karena aku adalah anak seorang janda yang miskin" O" Wiyatsih hampir terpekik "Itu karena kau memang terlampau cantik" "Sst" Puranti berdesis "jangan membangunkan isi rumahmu. Persoalan itu cukup membingungkan janda itu. Juga aku menjadi bingung. Kadang-kadang laki-laki itu datang ke rumah kami. Dan kedatangannya sama sekali tidak menghitung waktu" "O" Wiyatsih tertawa "dan kau harus menemuinya" Duduk berdua di dalam gelap?" "Sst" sekali lagi Puranti berdesis "jangan berprasangka. Dan tugaskku adalah menghindarinyakan diri dari laki-laki itu, tanpa meninggalkan rumah janda itu. Kau mengerti?" "Kenapa., tidak kau terima saja lamarannya kalau ia memang melamarmu?" "Aku memang sudah bepikir demikian " "He " tiba-tiba saja Wiyatsih terkejut. "Maksudku, mungkin laki laki itu lebih baik dari Tanjung. Aku akan menerima lamarannya untuk menukar Tanjung dengan laki-laki itu buatmu" "Ah kau" tiba-tiba saja Wiyatsih mencubit Puranti di lengannya, Puranti sebenarnya mempunyai daya tahan yang kuat untuk tidak merasakan sakit pada cubitan itu. Tetapi ternyata Wiyatsih terlampau kuat oleh latihan-latihan jari yang terus-menerus. Sehingga karena itu, Purantipun berdesis "Sst, jangan. Sakit Wiyatsih" Ketika Wiyatsih melepaskannya, Puranti berkata "Tanganmu kini menjadi sekeras besi. Latihan jari-jarimu
Hina Kelana 1 Jodoh Rajawali 07 Mempelai Liang Kubur Kisah Sepasang Rajawali 29