Pencarian

1001 Hari Di Hongkong 1

Bagian 1


1001 Hari di Hongkong Penulis: Lan Fang Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerber femina 2005
Tina Ng, Desember 2005, Quarry Bay
Ini hari Minggu. Jalanan lebih padat dibanding hari-hari biasa. Padahal, udara sangat dingin karena sudah memasuki bulan Desember. Aku melenggang santai menuju stasiun MRT menuju Victoria Park. Tidak ada alasan untuk terburu-buru karena hari Minggu adalah hari mutlak untukku. It's time to hang out! Dan, udara dingin ini pun tidak membuat acara kumpul-kumpul dengan teman di Victoria Park terganggu.
Semua pekerjaan sudah kuselesaikan. Tugas dari Yau Man, mengedit sebagian naskah dan artikel, serta membalas e-mail sudah kuselesaikan kemarin. Selain itu, semua pekerjaan rumah sudah kubereskan sebelum aku keluar rumah. Aku sudah menyapu lantai, membersihkan dapur, menyiapkan sarapan pagi dan makan siang untuk Bobo (nenek) dan Yau Man. Biasanya, aku sudah pulang menjelang petang untuk menyiapkan makan malam. Semua obat-obat Bobo sudah kusiapkan.
"Uh... uh...," Bobo menggumam ketika aku pamitan padanya.
"Saya akan pulang sebelum pukul lima sore," jawabku dalam bahasa Canton.
"Uh... uh...," Bobo lagi-lagi berkata begitu.
"Ya, saya akan hati-hati," sahutku.
Entah kenapa, aku selalu menjawab 'uh... uh...' Bobo, walaupun aku tidak tahu apa yang dikatakannya.
Bobo baru berusia enam puluh tahun. Sebetulnya, belum terlalu tua. Tetapi, stroke membuat tubuh sebelah kanannya tidak bisa digerakkan, sehingga ia harus menghabiskan waktunya di kursi roda dan cuma bisa mengatakan 'uh... uh...'. Jika ada sesuatu yang diperlukan, ia hanya memanggilku dengan 'uh... uh...', lalu berbicara 'uh... uh... uh...', kadang-kadang disertai gerakan tangan kiri.
Awalnya, aku sulit mengerti maksudnya. Tetapi, aku berusaha mengerti keinginannya dengan mengikuti aktivitas irama tubuhnya setiap hari. Pagi-pagi, aku membersihkan tubuhnya, membantunya ke kamar mandi untuk buang air, meletakkan beberapa lembar tisu di sampingnya. Bobo masih bisa membersihkan kotorannya sendiri, asal aku menyediakan tisu. Ia tidak suka aku memperlakukannya seperti bayi. Setelah selesai, ia akan memanggilku 'uh... uh...' lagi, lalu aku memapahnya dari kamar mandi kembali ke kursi rodanya.
Kemudian, aku menyiapkan sarapan paginya. Bobo hanya sarapan dengan semangkuk bubur encer dan pak lobak (sayur lobak putih). Kadang-kadang, aku menyuapinya. Tetapi, kadang-kadang, ia lebih suka mencoba makan sendiri dengan tangan kirinya. Setelah selesai makan, biasanya Bobo juga akan 'uh... uh...' lagi kepadaku. Aku mengerti, ia minta diajak berjalan-jalan menikmati matahari pagi. Aku akan mendorong kursi rodanya, lalu berjalan-jalan di taman di dalam kompleks apartemen kami. Di sana banyak juga orang tua yang berkumpul, sekadar bertukar cerita, sambil minum teh. Kalau Bobo hendak pergi agak jauh, tangan kirinya akan memberikan petunjuk arah ke mana aku harus mendorong kursi rodanya.
Semua berjalan seperti itu setiap hari. Sehingga, lama kelamaan, aku sudah terbiasa dengan irama hidupnya. Hampir tidak ada kesulitan lagi bagiku untuk menyesuaikan diri dengan 'uh... uh...' Bobo.
Di apartemen itu, Bobo tinggal bersama anak bungsunya, Yau Man. Seorang pria muda yang super sibuk, menurutku. Ia berangkat pagi-pagi setelah minum segelas kopi, meraih koran pagi, memakai jas, dan pergi dengan langkah tergesa-gesa. Ia jarang bicara denganku. Kalaupun bicara, ia hanya berpesan, "Jangan lupa memberi makan burung-burung." Itu saja. Ia memelihara beberapa ekor burung. Tetapi, aku yang bertugas memberi makan dan minum, serta membersihkan sangkarnya setiap minggu.
Kemudian, ia pulang setelah langit gelap dan sinar-sinar lampu di Hong Kong mengalahkan kerlip bintang di langit. Bobo selalu menunggunya untuk makan malam bersama. Setelah makan malam, mereka duduk menonton televisi sebentar, sementara aku membersihkan dapur. Aku jarang sekali mendengar mereka berbincang-bincang. Mungkin, karena Bobo cuma bisa mengatakan 'uh... uh...'. Setelah dapur kubereskan, aku akan mendorong kursi roda Bobo ke kamar, memapahnya naik ke tempat tidur,
menyelimutinya, lalu mengucapkan, "Selamat malam, Bobo...."
Aku masuk ke kamarku sendiri.
Yau Man lalu meneruskan pekerjaannya sampai tengah malam.
Setiap hari, seperti itulah yang kukerjakan di rumah ini.
Ng Yau Man, Agustus 2004, di rumah
Ini hari Minggu. Cece (kakak perempuan) membawa seorang gadis lagi ke rumah. Ini adalah gadis ketiga yang dibawa Cece untuk Mama.
Sebelumnya, seorang gadis Cina bernama Amey. Ia pintar memasak. Tetapi, Amey hanya bertahan sebulan di rumah. Kami tidak suka padanya. Ia tidak rapi, ,jorok dan kotor. Lalu, kami mengembalikannya ke agen, tempat kami mengambilnya.
Gadis kedua yang dibawa Cece adalah gadis Filipina. Namanya Luna. Bahasa Inggrisnya bagus, padahal ia tidak menyelesaikan sekolah menengah di negaranya. Aku tidak mengalami kesulitan berkomunikasi dengannya dalam Bahasa Inggris. Tetapi, ia juga cuma bertahan sebulan di rumah kami. Karena, walaupun ia bisa berkomunikasi denganku, ia tidak bisa mengerti apa yang diinginkan Mama dengan bahasa 'uh... uh...'. Padahal, kami membutuhkannya untuk merawat Mama. Bukan merawatku.
Mama sudah enam bulan mengalami stroke dan hanya duduk di kursi roda. Tubuh sebelah kanannya tidak bisa digerakkan. Lumpuh total karena serangan hipertensi. Hanya tubuh sebelah kirinya yang masih bisa digerakkan. Tetapi, sudah pasti, sangat sulit melakukan kegiatan dengan tubuh sebelah kiri. Selain itu, stroke itu juga membuat Mama kesulitan bicara. Ia hanya mampu mengatakan 'uh... uh...', sambil menggerak-gerakkan tangan kirinya.
Aku tinggal berdua dengan Mama di sebuah apartemen yang tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Ada tiga kamar dan dua kamar mandi, selain sebuah dapur di apartemenku. Lantainya dilapis kayu sehingga ketika musim dingin, hawa hangat bisa menguap dari kayu itu. Dan, ketika musim panas, kayu bisa menyerap udara panas menjadi lebih sejuk.
Selain itu, aku juga memelihara beberapa ekor burung karena Mama suka mendengarkan kicau burung di pagi hari. Memang, sulit sekali mendengarkan kicau burung di antara sela-sela gedung pencakar langit di Hong Kong. Sebelum terkena stroke, Mamalah yang selalu memberikan makan dan membersihkan sangkar burung-burung itu. Tetapi, sejak mengalami stroke, mau tidak mau, itu menjadi tugasku.
Sebetulnya, masalah memberi makan dan membersihkan sangkar burung-burung itu bukanlah tugas yang berat. Yang lebih berat justru tugas merawat Mama karena ia selalu membutuhkan bantuan orang lain. Tetapi, aku tidak mungkin tinggal selama 24 jam merawat dan menjaganya. Karena, aku bekerja di bagian redaksi, sebuah majalah wanita di Hong Kong. Pekerjaanku selalu padat dan dikejar-kejar deadline. Karena, majalah kami terbit seminggu sekali dengan oplah yang cukup besar. Kadang-kadang, aku bahkan bekerja sampai larut malam. Sehingga, sulit jika harus ditambah tugas merawat Mama. Lagi pula, sulit sekali bagi seorang pria merawat wanita tua yang terkena stroke, walaupun itu ibunya sendiri.
Aku belum menikah. Aku tidak keberatan Mama tinggal bersamaku. Karena, memang sudah seharusnya Mama tinggal bersama anak laki-lakinya. Tunanganku, Wenny Yeung, seorang model. Ia cantik, tinggi semampai, dan sangat photogenic. Kariernya sedang berada di puncak dan jadwal pemotretannya sudah sangat padat. Tidak mungkin dia merawat Mama. Itu menjadi kesulitan baru. Karena, aku tidak mungkin meninggalkan Mama sendirian di rumah setiap hari.
Kakak perempuanku ada dua. Keduanya sudah menikah. Yang sulung, masih tinggal bersama mertuanya. Ia tidak bekerja. Tetapi, karena ia masih tinggal serumah dengan mertuanya, tentu ia tidak bisa merawat Mama. Yang kedua mempunyai dua anak, yang masih berusia tiga tahun dan setahun. Ia sudah cukup direpotkan dengan kedua anak kecilnya, sehingga tidak mungkin sempat merawat Mama.
Gadis ketiga yang dibawa Cece ke rumah hari ini berkulit kecokelatan. Ia tidak banyak bicara kecuali menyapaku, "Hallo, how are you"" Aksennya jauh dari bagus. Tetapi, ia tersenyum. Cukup manis dan ramah. Kelihatannya ia gadis periang.
Aku tidak menanyakan siapa namanya dan dari mana asalny
a. Kurasa, itu tidak terlalu perlu. Toh, nanti aku akan tahu dengan sendirinya. Aku juga sudah tidak terlalu mempermasalahkan, apakah dia bisa berbahasa Inggris atau tidak, apakah ia pintar memasak atau tidak, apakah ia jorok atau tidak, atau hal" " hal lainnya. Yang penting, ia bisa merawat, menemani, dan mengerti Mama. Karena, itulah yang akan dihadapinya setiap hari.
Bobo Ng, Juni 2004, menuju rumah
Besok hari Minggu. Aku selalu menanti-nanti kedatangan hari Minggu. Seperti biasa, setiap hari Minggu, anak-anak perempuanku akan datang, membawa cucu-cucuku bermain ke rumah Yau Man. Wenny Yeung, tunangan Yau Man juga datang. Rumah menjadi lebih ramai dan semarak. Tidak sunyi, seperti hari-hari yang biasa kulalui hanya dengan menonton televisi dan mendengarkan kicau burung peliharaan Yau Man.
Kadang-kadang, aku juga berkumpul dengan beberapa teman sebaya di taman di tengah kompleks apartemen, untuk bercakap-cakap, minum teh, atau main mah yong (seperti sejenis kartu dari balok-balok). Tetapi, tetap saja ada perasaan bosan.
Kedua anak perempuanku sudah menikah dan memberiku empat cucu luar (cucu dari garis anak perempuan). Sedangkan, Yau Man, anak lelaki satu-satunya dan anak bungsuku, masih belum mau menikah, meski sudah bertunangan setahun lebih. Padahal, aku ingin sekali mempunyai cucu dalam (cucu dari garis keturunan anak laki-laki) untuk meneruskan marga Ng.
Selain itu, tahun ini aku sudah merayakan ulang tahunku yang ke-59. Sebetulnya, belum terlalu tua. Aku masih segar, bahkan mampu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mulai dari membersihkan rumah, memasak, sampai pergi berbelanja ke pasar. Aku tidak mempunyai penyakit jantung atau diabetes, walau kadang-kadang aku merasa lelah dan pusing. Tetapi, bila aku beristirahat sejenak, pusing dan lelahku akan hilang dengan sendirinya.
Tetapi, bagi orang Cina, usia 59 tahun adalah usia yang cukup membahayakan karena mengandung angka sembilan. Menurut kepercayaan Cina, bila menginjak usia yang mempunyai kelipatan angka sembilan atau berbuntut sembilan, biasanya akan menghadapi banyak kesulitan. Entah itu keuangan, kesehatan, atau apa saja. Karena itu, aku ingin Yau Man cepat-cepat menikah dan memberiku cucu dalam, mumpung aku masih segar.
Tetapi, aku sungguh tidak bisa mengerti jalan pikiran anak-anak muda zaman sekarang. Yau Man sudah mempunyai apartemen dan pekerjaan mapan. Ia juga sudah bertunangan setahun lebih. Aku selalu mendesak Yau Man untuk segera menikah. Apa lagi yang ditunggu" Yau Man sudah berusia 28. Wenny Yeung berusia sudah 25 tahun. Di zamanku, pada usia 21 tahun, aku sudah mempunyai tiga anak.
Jika aku mendesak mereka untuk segera menikah, dengan tenang mereka menjawab, "Nanti saja, buat apa terburu-buru" Sekarang karier Wenny sedang di puncak. Kalau sudah menikah, ia tidak laku lagi sebagai model. Dua tahun lagi menikah juga tidak masalah. Selain itu, pekerjaan di kantor sangat padat. Oplah majalah semakin meningkat. Kami harus banyak mencari berita-berita aktual tentang mode dan gaya hidup wanita muda yang aktif dan dinamis. Waktu terasa sangat sempit karena harus berlomba dengan berita yang naik cetak."
Yau Man memang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Ia berangkat pagi-pagi dan pulang malam-malam. Jika aku tidak meneleponnya, ia pun tidak meneleponku. Jadi, setiap hari aku menelepon untuk sekadar menanyakan jam berapa ia akan pulang atau apakah Wenny Yeung akan ikut makan malam bersama di rumah.
Calon menantuku cantik sekali. Kulitnya putih bersih. Raut wajahnya campuran antara Gong Li, Zhang Zi Yi, sampai Maggie Chung. Ia memang artis. Ia muncul di majalah-majalah dan televisi sebagai model kosmetik dan sabun mandi yang mahal di Hong Kong. Ia juga sibuk pemotretan di mana-mana.
Sungguh, aku tidak mengerti. Bukan saja tidak mengerti penjelasan tentang kesibukan mereka. Aku sungguh tidak mengerti jalan pikiran mereka.
Apakah pekerjaan itu lebih penting daripada menikah" Apakah popularitas sebagai model lebih berarti daripada membangun rumah tangga dan memiliki anak-anak yang lucu" Bagaimanapun sibuknya pekerjaan, rum
ah adalah istana yang paling nyaman. Bagaimanapun puncak ketenaran, anak-anak yang sehat, lucu, dan cerdas, adalah harta yang tidak ternilai.
Tapi, semua anakku adalah orang-orang muda yang selalu sibuk.
Anak perempuan pertamaku sibuk mengurus suami, anak, dan mertuanya. Ia tinggal serumah dengan mertuanya karena suaminya anak tunggal. Bagi orang Cina, menantu perempuan wajib merawat dan taat pada mertuanya seperti orang tuanya sendiri. Karena, ketika menikah, ia meninggalkan keluarganya dan menjadi bagian dari keluarga besar suaminya.
Anak perempuanku yang kedua disibukkan oleh suami dan anak-anaknya yang masih kecil. Ia memang tidak tinggal bersama mertuanya karena ia menikah dengan anak laki-laki kedua. Mertuanya tinggal serumah dengan anak laki-laki pertamanya. Tetapi, kehadiran dua anaknya yang masih kecil itu sangat menyita waktu.
Yang terakhir, Yau Man dan Wenny Yeung, lebih banyak disibukkan oleh pekerjaan mereka masing-masing.
Jadi, aku sering bercerita tentang anak-anakku, cucu-cucuku, kebosananku, tentang harapanku, kepada burung-burung yang kupelihara di rumah. Burung-burung itu setia berkicau, menyela sepi yang setiap hari mengambang di udara. Aku sibuk memberi mereka makan dan minum, serta membersihkan kandang mereka. Kadang-kadang, kupikir, ternyata aku bisa juga sesibuk anak-anakku.
Tetapi, yang paling kutunggu adalah hari Minggu. Karena hari Minggu akan membuatku sibuk dengan anak dan cucuku, bukan sibuk dengan burung-burungku. Setiap Sabtu, aku sudah berbelanja untuk persiapan memasak hari Minggu. Kulkas kupenuhi dengan buah-buahan dan aku selalu menyiapkan kue kesukaan cucu-cucuku.
Seperti saat ini, aku baru pulang dari pasar yang tidak terlalu jauh dari apartemenku. Aku membawa belanjaan cukup banyak. Selain sayur-sayuran dan daging, aku mendapatkan ikan segar yang cukup besar. Kupikir, ikan segar itu pasti lezat bila ditim dengan racikan bawang putih, untuk makan siang.
"Baru dari pasar"" pria yang menjaga pintu lift apartemen menyapaku.
"Hai a (iya)," jawabku, sambil menekan tombol lift.
"Wah, begitu banyak."
"Besok hari Minggu, anak dan cucuku akan datang," sahutku.
"Oh, iya...," jawabnya, sambil tersenyum lebar.
Tidak lama kemudian, pintu lift terbuka.
Aku masuk ke dalam lift, sambil membawa belanjaanku.
Kutekan tombol sembilan. Lift bergerak naik. Nyut..., mendadak aku merasa pusing dan berkunang-kunang. Kupikir, karena terlalu capai berjalan membawa belanjaan yang cukup banyak.
Lift berhenti di lantai sembilan. Aku keluar dan berjalan ke kanan, menuju pintu apartemenku. Kuletakkan belanjaan dan mengeluarkan anak kunci untuk membuka pintu. Aku berpapasan dengan tetangga sebelah. Seorang ibu muda dengan anaknya yang masih kecil. Ia membuatku selalu teringat pada anakku yang kedua.
"Selamat siang, Bobo," anaknya menyapaku, seraya memamerkan gigi depannya yang masih ompong.
"Halo, selamat siang, baru pulang sekolah"" balasku.
Bocah itu mengangguk. "Wah... belanjanya banyak sekali. Besok mau pesta, ya"" kata ibu muda itu, sambil memasukkan kunci, membuka pintunya.
"Seperti biasa, besok hari Minggu. Anak-anak dan cucu-cucuku akan datang," sahutku, gembira.
Tetapi, pusing di kepalaku semakin menjadi-jadi. Bahkan, jantungku terasa berdebar lebih cepat. Dadaku terasa sesak. Aliran darahku seakan-akan tidak terkendali. Kepalaku seperti akan pecah.
Ah, tidak biasanya aku begini. Aku ingin cepat masuk rumah dan beristirahat sejenak.
"Bobo kelihatannya pucat. Tidak enak badan"" ia bertanya lagi.
"Tidak. Hanya pusing sedikit," sahutku, sambil memegang pelipisku.
Kenapa darahku seakan terpompa lebih cepat"
"Bobo...." Aku hanya mendengar samar-samar suaranya memanggilku.
"Bobo...." Aku hanya merasa tubuhku limbung.
Ambruk. Selanjutnya, entah bagaimana hari-hari yang akan kulalui setiap hari.
Wenny Yeung, Febuari 2005, pada suatu makan malam
Besok hari Minggu. Seperti biasanya, setiap malam Minggu, aku dan Yau Man makan malam di rumahnya. Karena, di hari" " hari biasa, kami selalu diburu-buru pekerjaan. Sang
at sulit mempunyai waktu untuk ngobrol dengan santai. Terlebih lagi, Yau Man termasuk tipe laki-laki workaholic.
Aku juga suka makan malam di rumah Yau Man. Selain punya waktu lebih banyak untuk ngobrol dengan Yau Man, malam Minggu dan hari Minggu, juga kupergunakan untuk berkumpul dengan saudara-saudara dan mama Yau Man.
Terlebih lagi, sudah beberapa bulan ini calon mertuaku terkena stroke dan cuma bisa duduk di kursi roda. Kami semua sibuk menjaga dan merawatnya secara bergantian. Walaupun aku belum resmi menjadi menantunya, ia adalah calon mertuaku. Jika aku menikah dengan Yau Man, ia akan menjadi tanggung jawabku juga.
Ternyata, menjaga dan merawat Mama (aku sudah memanggilnya Mama) tidak semudah yang kukira. Sebelum menderita stroke, Mama adalah orang tua yang tidak bisa duduk diam. Ada saja yang dikerjakannya.
Membersihkan rumah, memasak, sampai membersihkan sangkar-sangkar burung peliharaan Yau Man. Mama juga sangat teliti dan pembersih. Sehingga, ketika ia cuma bisa duduk di kursi roda dan mengeluarkan kata 'uh... uh...', rasanya semua yang kami lakukan tidak ada yang benar. Semua salah dan tidak tepat.
Jujur saja, aku tidak tahu, apakah yang kami lakukan itu tidak tepat atau Mama melebih-lebihkan kerewelannya sehingga menjadi seperti anak kecil. Ia sendiri tentunya kesal karena tergantung pada orang lain. Semakin hari Mama semakin rewel. Sementara, kami tidak punya cukup waktu untuk mengurusnya. Kedua kakak perempuan Yau Man sudah berkeluarga dan sudah tidak bisa terus-menerus merawat Mama. Aku sendiri juga tidak mungkin berdiam diri di rumah seharian untuk menjaganya karena jadwal pemotretanku yang padat. Tetapi, tidak mungkin meninggalkan Mama sendirian di rumah.
Akhirnya, kami memutuskan untuk mencari orang untuk menjaga dan merawat Mama. Tetapi, lagi-lagi tidak bertahan lama. Entah siapa yang salah. Mereka yang terlalu malas menjaga seorang wanita tua yang menderita stroke atau Mama yang terlalu cerewet. Mereka cuma bertahan sebulan.
Sampai akhirnya, sekarang ada gadis ketiga yang bertahan lebih 6 bulan.
Gadis itu lebih muda daripada aku. Ketika kutanya, ia sudah menyelesaikan sekolah menengah. Bahasa Inggrisnya lumayan, meski masih jauh dari bagus. Tetapi, yang paling penting, ia mengerti bahasa 'uh... uh...' Mama.
Sekarang setelah lebih dari 6 bulan menjaga dan merawat Mama, kulihat ia sudah banyak berubah. Ia tidak seperti saat pertama kali datang dengan kulit kecokelatan seperti terpanggang. Kulitnya tetap cokelat, tetapi kelihatan lebih halus dan terawat. Ia sudah mengenal lipstik. Aku melihatnya memakai lipstik ketika ia keluar pada hari Minggu. Lipstik merah muda itu membuat ia tampak lebih menarik. Ia juga tampak modis dengan celana jins yang modern serta sweater kuning terang. Warnanya tidak serasi untuk kulitnya yang kecokelatan. Tetapi, bisa dimaklumi, karena ia memang bukan seorang model seperti aku. Toh, setidaknya, ia sudah cukup untuk menarik perhatian. Bahasa Inggrisnya pun mengalami kemajuan pesat, begitu juga dengan Bahasa Canton-nya.
Yang lebih mengejutkan, ia bukan saja menguasai area dapur di rumah Yau Man, tetapi juga sudah menguasai komputer Yau Man di ruang tamu. Jemarinya bukan saja cekatan di atas kompor, tetapi juga lincah menari di atas tuts keyboard komputer.
Aku mengetahuinya ketika Yau Man menyuruhnya memeriksa e-mail yang masuk ke alamat Yau Man.
"Ia gadis yang cerdas. Ia dapat belajar dengan cepat," begitu kata Yau Man, ketika melihat aku terkejut.
"Kadang-kadang, ia juga membantuku mengedit naskah," sambung Yau Man.
Aku bingung, tidak tahu apa yang harus kukatakan.
Dulu, aku tidak mengeluh jika anak-anakku rewel atau menangis. Sekarang, saat aku hanya minta diperhatikan, mereka bilang aku cerewet.
Ngatinah, Maret 2004, Desa Lipursari
Aku lupa besok hari apa. Karena, tidak ada bedanya buatku. Setiap hari aku merasa hari-hari yang kulalui sama saja. Bangun pagi, mandi dengan siraman air dingin yang terasa menggigit kulit, memasak air panas untuk mandi adikku yang masih berusia tiga tahun, memakan nasi kemarin untuk sekada
r mengisi perut. Lalu, pergi berjalan kaki, melewati jalan setapak yang masih berupa tanah merah menuju rumah Pak Min, yang berjarak kurang lebih lima puluh langkah dari rumahku.
Di rumah Pak Min, yang berdinding kayu dan beratap bambu, hawa hangat menyeruak dari bagian belakang rumahnya. Di sanalah aku bekerja, berdiri di depan pemangganganan kue kering, menaruh loyang-loyang di dalam oven batu, dan menjaga bara api dari arang yang disebarkan di dalam oven itu.
Aku suka berdiri di depan oven itu. Bukan saja karena hawa hangatnya yang menyeruak, tetapi juga suka melihat gemeretak bara api. Oven itu terbuat dari batu besar dengan bilik pintu kecil di depannya. Di sebelahnya, aku meletakkan kayu-kayu yang dibakar sampai menjadi bara. Setelah menjadi bara, baru kumasukkan ke dalam oven. Bara-bara itu menyebarkan panas yang merata ke seluruh dalam bilik. Kemudian, bara-bara kayu itu menjadi serpihan-serpihan merah yang bergemeretak bunyinya.
Lalu, aku mulai mengambil loyang-loyang yang sudah ditumpuk. Di atas loyang aluminium itu berjejer adonan kue yang siap dipanggang. Aku meletakkannya di atas sebilah kayu pipih, lalu menyorongnya, memasukkannya ke dalam oven itu, menyusun dari yang paling ujung dalam sampai paling luar. Setelah seluruh bilik oven penuh, kututup pintu kecil di depan bilik oven itu.
Aku menunggu sekitar sepuluh menit. Ketika kurasakan panasnya sudah merata, kubuka pintu kecil bilik oven. Kulihat, kue-kue kering di atas loyang sudah berwarna kecokelatan dan menyemburkan aroma yang menggiurkan. Kue-kue kering itu sudah matang. Dengan sebilah kayu pipih tadi, aku kembali mengangkat loyang-loyang aluminium itu keluar dari dalam bilik oven.
Selain aku, ada beberapa tiga orang gadis lain yang bekerja di rumah Pak Min. Mereka memasukkan kue yang sudah matang ke dalam bungkus-bungkus plastik. Resep adonan kue kering dilakukan oleh Bu Min sendiri. Hanya resep sederhana, berupa tepung terigu, gula pasir, dan mentega murahan, yang diadon, lalu dipanggang. Hanya kue kering khas desa.
Jika kue-kue kering itu sudah selesai dimasukkan ke dalam plastik dengan rapi, Pak Min akan membawanya dengan sepeda motor sampai ke Purwokerto, bahkan kadang-kadang sampai ke Semarang. Pak Min menempuh jarak yang cukup jauh dari Desa Lipursari di Wonosobo, membawa sekitar dua ratus bungkus kue kering setiap hari. Sebungkus plastik kue kering dijual seharga dua ribu lima ratus rupiah. Otakku yang sederhana, tidak terlalu pusing untuk menghitung berapa keuntungan yang dia dapat dalam sebulan. Asalkan, aku menerima uang gajiku, yang cukup untuk membayar uang sekolah adik-adikku, karena ibuku hanya memiliki sepetak kecil sawah warisan dari Bapak.
Aku melakukan tugasku sepanjang hari sampai sore. Ketika magrib, aku pulang ke rumahku yang beratap rumbia. Di rumah, hawa dingin kembali menggigit. Setelah mandi, aku makan bersama dengan Ibu dan tujuh orang adikku yang masih kecil-kecil. Setelah kenyang, kami membaringkan diri di dipan dan menyulam mimpi tentang hari esok.
Hari esok yang selalu sama dengan hari-hari kemarin.
Bobo Ng, September 2004, di rumah
Aku tidak mau tahu besok hari apa.
Sudah tiga bulan lebih aku menderita stroke. Aku menderita sekali dengan keadaanku. Sekarang aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku jadi tergantung pada orang lain. Aku tidak bisa memasak, membersihkan rumah, dan membersihkan sangkar-sangkar burung Yau Man, makan, berjalan-jalan, sembahyang ke kelenteng, bahkan juga untuk keperluanku yang sangat pribadi.
Coba bayangkan! Sangat mengesalkan jika merepotkan banyak orang.
Aku tahu, kedua anak perempuanku tidak mungkin tinggal bersamaku. Sedangkan Wenny Yeung, tidak mungkin terus-menerus menjaga dan merawat nenek jompo yang menderita stroke. Aku sendiri juga tidak mau membebani gadis semuda dan secantik dia dengan segala kesulitanku.
Lalu, mereka memutuskan mencari orang untuk menjaga dan merawatku. Itu mungkin lebih baik kalau mereka mendapatkan orang yang tepat. Atau, sebetulnya, mereka sudah mencari orang yang tepat, tetapi aku terlalu rewel, karena terlalu kesal pada
diriku sendiri. Gadis Cina yang pertama, menurutku, sangat malas dan jorok. Sehabis memasak ia tidak pernah merapikan dapur. Ia selalu tergesa-gesa hendak menonton televisi. Bila aku menyuruhnya 'uh... uh...', sambil menggerak-gerakkan tangan kiriku, ia tidak memedulikan aku. Ia juga tidak mau membersihkan sangkar-sangkar burung sehingga berbau pesing. Bahkan, ada seekor burung mati kelaparan, karena ia tidak memberikan biji-biji jagung selama seminggu. Kalau aku menyuruhnya 'uh... uh...', ia cuma menoleh, lalu memasang walkman di telinganya.
Menjengkelkan, bukan" Tetapi, aku tidak bisa bercerita pada Yau Man atau anak-anak perempuanku. Akhirnya, gadis itu dikembalikan ke agennya, setelah Yau Man melihat dapur berantakan dan burungnya mati kelaparan.
Gadis kedua sangat menyebalkan. Dia sok tahu. Dia berbicara dengan Yau Man dalam bahasa Inggris. Yau Man pastilah menyuruhnya merawat dan menjagaku dengan baik. Tetapi, kenapa ia tidak menanyakan kepadaku, apa yang kuinginkan" Bukankah ia merawatku, bukan merawat Yau Man"
Pagi-pagi, ia membangunkanku dan membersihkan badanku. Ia membuka pakaianku, lalu menyekanya dengan air, yang kadang-kadang terlalu dingin, kadang-kadang terlalu panas. Kalau aku merasa tidak nyaman dan berkata 'uh... uh...' kepadanya, ia tidak peduli. Ia tetap menyekaku seperti anak bayi.
Lalu, ia akan membawaku ke kamar mandi, mendudukkan aku di toilet, dan menyuruhku mengejan. Padahal, aku belum ingin buang air. Kalau aku mengatakan 'uh... uh...', kepadanya, ia akan tetap mendudukkanku berjam-jam di toilet, sampai aku berhasil buang air. Jika malam hari aku terjaga hendak buang air, aku berulang kali memanggilnya 'uh... uh...'. Tapi, ia tetap lelap atau hanya pura-pura terlelap supaya tidurnya tidak terganggu. Sehingga, aku harus menahan kandung kemihku menggembung sampai esok pagi.
Belum lagi jika aku ingin berjalan-jalan ke taman. Jika aku menunjuk arah kanan, ia mendorong kursi rodaku ke kiri. Di situ banyak teman sebayaku duduk bercengkerama di taman, sambil minum teh. Padahal, aku tidak ingin berkumpul dengan mereka. Aku lebih suka menikmati udara pagi yang segar dan matahari pagi yang hangat sendirian. Aku tidak suka mendengar teman-temanku bertanya-tanya tentang keadaanku yang sangat tidak menyenangkan.
Aku pun makin rewel karena apa yang dilakukannya tidak pernah sesuai keinginanku. Ia mengadu pada Yau Man. Aku tahu, ia pasti mengatakan aku cerewet. Padahal, aku tidak bisa mengatakan apa-apa kecuali 'uh... uh....'
"Ma, jangan terlalu rewel...," Yau Man berkata begitu kepadaku setiap kali habis mendengarkan laporan dari gadis itu.
"Uh... uh...," aku cuma bisa mengatakan begitu.
Aku senang sekali ketika gadis itu minta berhenti dengan alasan tidak kerasan meladeni kerewelanku.
Lalu, ketika gadis ketiga itu datang, Yau Man cuma berkata kepadaku, "Ma, kami semua sibuk bekerja. Tetapi, harus ada seorang yang menjaga, merawat, dan menemani Mama. Aku tidak bisa bekerja dengan tenang kalau Mama sendirian di rumah. Tapi, Mama jangan terlalu cerewet karena nanti dia jadi tidak kerasan dan kami semua jadi repot."
Aku diam saja mendengar kata-katanya yang menyinggung perasaanku. Aku benar-benar orang tua jompo yang menjadi beban untuk orang lain. Aku sungguh-sungguh merasa tidak berguna!
Cerewet" Bah! Kapan aku cerewet" Aku mengomel dalam hati.
Aku tidak pernah cerewet, walaupun harus memasak, membersihkan rumah, dan membersihkan sangkar-sangkar burungnya. Bukankah aku sudah melakukannya berpuluh-puluh tahun" Aku melakukannya dengan penuh sukacita karena aku menyayangi anak-anakku. Aku sendiri tidak suka menjadi orang tua cerewet, bawel, dan rewel. Lalu, kalau aku stroke dan akhirnya cuma bisa duduk di atas kursi roda ini, apakah kemudian aku menjadi cerewet" Apakah aku suka pada keadaanku ini"
Itulah anak-anak! Anak-anak yang tidak pernah kumengerti jalan pikirannya. Anak-anak yang kulahirkan, kurawat, dan kubesarkan.
Repot" Huh! Ketika kecil, bagaimanapun mereka cerewet, aku tetap merawat dan menjaga mereka dengan senang hati. Ketika mereka rewel dan menangis, ak
u terburu-buru memeriksa, apakah mereka sakit atau ada binatang kecil yang menggigit mereka. Ketika mereka ngompol, aku akan cepat-cepat membersihkan mereka. Ketika mereka belum bisa berbicara dan hanya bisa mengucapkan 'uh... uh...' sambil menunjuk-nunjuk, aku bisa mengerti mereka menginginkan biskuit. Apakah aku pernah merasa direpotkan" Tidak!
Lalu, sekarang mereka mengatakan aku cerewet"
Itu bukan kesalahanku. Itu kesalahan gadis-gadis yang tidak becus itu.
Sekarang aku tidak boleh rewel, supaya gadis ketiga ini bisa kerasan.
Gadis ketiga itu berkulit cokelat dengan sepasang mata besar yang indah. Ketika pertama kali bertemu denganku, mata indahnya langsung memikatku. Matanya lugu, polos, dan kelihatannya tulus.
Tulus" Ah, tunggu dulu. Apakah bisa tulus bila setiap hari harus menghadapi seorang perempuan tua jompo yang terkena stroke, yang hanya bisa duduk di kursi roda dan mengatakan 'uh... uh...'"
Aku ingin melihat ketulusannya sampai besok, besok, dan besok lagi.
Dulu, aku tidak mengeluh jika anak-anakku rewel atau menangis. Sekarang, saat aku hanya minta diperhatikan, mereka bilang aku cerewet.
Tina Ng, Desember 2004, Kelenteng Wong Tai Sin
Beberapa hari lagi tahun baru.
Udara sangat dingin menjelang tahun baru. Tetapi, pagi-pagi Bobo sudah 'uh... uh...' memanggilku. Tangan kirinya bergerak-gerak memintaku untuk mengganti bajunya. Setelah bersama Bobo cukup lama, aku mulai mengerti, bila ingin berganti baju, akan keluar rumah.
"Mau keluar" Di luar udara sangat dingin," kataku.
"Uh... uh...," jawabnya.
"Tunggu sebentar. Aku siapkan sweater dan syal. Kita mau ke mana""
Aku hanya mendorong kursi rodanya sesuai petunjuk arah darinya. Ke kanan, ke kiri, lurus, menyeberang, dan seterusnya. Kami terus memasuki MTR. Aku tak tahu, ia hendak ke mana.
Ketika masuk ke dalam kereta bawah tanah, orang-orang menepi dan memberikan tempat karena melihat Bobo menggunakan kursi roda. Akhirnya, kami berhenti di tengah kota dekat stasiun kereta bawah tanah. Bobo terus menunjukkan arah sampai kami berhenti di sebuah kelenteng. Kelenteng Wong Tai Sin, kelenteng tertua di Hong Kong.
Kulihat, cukup banyak orang bersembahyang, menyalakan lilin dan mengangkat hio. Kepulan asap hio memenuhi ruangan kelenteng itu. Aromanya khas dan semerbak. Mengikat gumpalan udara di dalam wangi yang mencair ke dalam seluruh rongga dada.
"Ada apa"" tanyaku, kepada seorang wanita separuh baya yang tiba bersamaan dengan kami.
"Ini mau sembahyang menyambut tahun baru," sahutnya, seraya tersenyum. Lalu, ia bertanya kepada Bobo, "Mau bersembahyang juga""
Bobo cuma menjawab dengan senyuman. Aku tahu, tugasku adalah memberi jawaban pada wanita itu. Karena, Bobo tidak suka bila orang lain mengetahui bahwa ia cuma bisa berkata 'uh... uh....' Karena itu, ia lebih banyak memilih diam jika ditanya orang yang tidak dikenal.
"Ya, Nenek juga mau bersembahyang."
Bukan sok tahu bila aku memberi jawaban seperti itu. Tetapi, untuk apa lagi Bobo pergi ke kelenteng kalau bukan untuk bersembahyang"
Kupikir, jawabanku tidak salah. Karena, Bobo juga memberikan anggukan dan senyum ramah kepada wanita itu.
Selanjutnya, tanpa disuruh, aku sudah harus mengerti sendiri apa yang harus kulakukan. Aku harus menyulut hio dan lilin untuk setiap altar. Dari pintu paling depan, aku memapah Bobo agar ia mengangkat hio untuk mengagungkan Thian (Tuhan), lalu berjalan menopang bagian belakang tubuhnya, sambil setengah memapahnya. Karena, ia hanya bisa berjalan dengan menyeret-nyeretkan langkah kaki kanannya yang lumpuh, dari meja altar yang satu ke meja altar berikutnya.
Setelah selesai mengelilingi seluruh meja altar di Kelenteng Wong Tai Sin, aku memapah Bobo kembali ke kursi rodanya yang kutitipkan di bagian depan. Tentu melelahkan bagi orang tua setengah lumpuh seperti dia untuk berjalan bersembahyang mengelilingi kelenteng besar ini.
Ditambah dengan berjejalnya orang yang masing-masing membawa batang-batang hio. Tetapi, Bobo bisa menyelesaikannya dengan baik. Hatiku trenyuh melihatnya. Kurasakan degup jantungnya yang mender
u ketika aku memapahnya dengan memeluk tubuhnya dari belakang.
"Bobo capek"" tanyaku, setelah membantunya duduk di atas kursi roda. Semestinya, tidak perlu kutanyakan karena napas hangatnya menampar-nampar pipiku, dadanya yang tipis berlomba turun-naik dengan helaan napasnya.
Aku memarkir kursi roda itu agak ke pinggir supaya tidak tersenggol orang lain yang memadati kelenteng. Aku mengangkat tuas rem, supaya kursi roda itu tidak bergerak-gerak. Lalu, aku melangkah ke meja yang di atasnya terdapat cawan-cawan dan teko-teko teh. Aku menuangkannya untuk Bobo.
Mata tua itu berseri ketika aku mengangsurkan teh untuknya. Tanpa disangka, sebelum menerima cawan teh itu, tangan kirinya terulur, menepuk-nepuk pipiku. "Uh... uh...," ujarnya seperti biasa.
"Kenapa" Apa ada yang salah"" tanyaku, tidak mengerti.
"Uh... uh...," kali ini mulutnya membentuk sebuah senyum lebar. Garis-garis keriput di sekitar bibirnya terangkat ketika ia memberikan senyum kepadaku. Mungkin, sebuah senyum terima kasih, pikirku. Karena, hatiku mendadak terasa hangat ketika melihat pancaran kebahagiaan di wajahnya.
Ketika akan pulang, aku mulai mendorong kursi roda Bobo. Kurasakan telapak tangan kirinya yang keriput itu menggenggam tanganku. Perasaan nyaman mengalir ke segenap penjuru batinku. Ketika pandangan kami bertaut, tidak ada kata-kata lagi untuk menguraikan kebahagiaan yang kami rasakan.
Mendadak, aku merasa, hari esok akan lebih baik.
Bobo Ng, Oktober 2004, di sebuah taman
Seperti yang setiap hari kulakukan.
Di bulan Oktober udara sangat nyaman. Tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Anginnya sejuk dan sepoi. Aku suka berjalan-jalan di taman, menikmati hangatnya matahari pagi, dan menghirup dalam-dalam udara segar yang memenuhi paru-paruku yang makin tua. Aku tidak mau kehilangan kesempatan untuk menikmati kesegaran bulan Oktober ini.
Di Hong Kong, sulit sekali mencari sejengkal tanah untuk menikmati udara segar karena tiap jengkal tanah pasti dipergunakan untuk membangun gedung-gedung pencakar langit. Tetapi, setiap kompleks apartemen selalu menyediakan tempat lapang, yang dihiasi kursi, pohon, dan ayunan.
Gadis ketiga ini mendorong kursi rodaku pelan-pelan, memutari taman. Sudah tiga bulan ini dia merawatku. Dia rajin, sabar, telaten, dan cukup pintar untuk mengerti 'uh... uh....' Ia tidak jorok seperti gadis Cina itu dan tidak sok pintar seperti gadis yang selalu berbahasa Inggris dengan Yau Man.
Ia selalu menanyakan apa yang aku suka dan apakah aku setuju dengan yang dilakukannya. Sebelum menyekaku, ia selalu bertanya dan menyuruhku merasakan air yang disiapkannya. Ia juga tahu bahwa aku tidak suka dipaksa-paksa mengejan di toilet. Ia cuma membantu memapahku ke toilet, bila aku memanggilnya. Lalu, ia mendudukkan aku di toilet, menyiapkan tisu di sampingku, dan menutup pintu. Jika sudah selesai, aku akan memanggilnya 'uh... uh....' Lalu, ia masuk dan membantuku merapikan pakaian.
Ia juga cekatan membersihkan rumah dan memasak. Ia selalu bertanya padaku, ingin makan apa untuk hari ini. Ia tidak pernah lupa meletakkan obat-obatku. Ia juga tidak pernah sok tahu mendorong kursi rodaku ke arah teman-teman sebayaku yang duduk di bangku taman.
Aku kesal pada anak-anakku, yang mengatakan aku cerewet, bawel, dan rewel karena menderita stroke ini. Mereka merasa aku merepotkan mereka, sehingga mencari orang lain untuk menjaga dan merawatku. Gadis-gadis tidak becus itu menyalahkan aku karena aku cerewet.
Sebagai pelampiasan kekesalanku, ada saja yang kurasakan tidak beres. Makin lama makin kucari-cari alasannya. Bahkan, gadis-gadis yang tidak becus itu sering kubangunkan tengah malam dengan berbagai alasan. Tentu akhirnya mereka tidak betah merawatku. Dengan begitu, anak-anakku akan kembali memerhatikanku. Aku cuma ingin diperhatikan.
Aku juga rewel pada gadis ketiga ini. Dari semula, ia memang kelihatan paling ramah dan tulus. Tetapi, aku ingin mencobanya. Apakah ketulusan yang kulihat itu terpancar sungguh dari dalam hatinya" Maka, kecerewetanku makin menjadi.
Aku kerap membangunkannya tengah
malam untuk minta diantar ke toilet atau sekadar minta segelas air putih hangat. Pasti tidak mudah dan tidak menyenangkan bangun tengah malam hanya untuk membantu seorang wanita tua. Kupikir, akan lebih bagus kalau akhirnya dia tidak kerasan dan minta berhenti. Dengan begitu, aku bisa menarik perhatian anak-anakku lagi.
Aku juga rewel pada gadis ketiga ini. Dari semula, ia memang kelihatan paling ramah dan tulus. Tetapi, aku ingin mencobanya. Apakah ketulusan yang kulihat itu terpancar sungguh dari dalam hatinya" Maka, kecerewetanku makin menjadi. Aku kerap membangunkannya tengah malam untuk minta diantar ke toilet atau sekadar minta segelas air putih hangat. Pasti tidak mudah dan tidak menyenangkan bangun tengah malam hanya untuk membantu seorang perempuan tua. Kupikir, akan lebih bagus kalau akhirnya dia tidak kerasan dan minta berhenti. Dengan begitu, aku bisa menarik perhatian anak-anakku lagi.
Tetapi, dia selalu membantuku dengan senang hati. Tak pernah sekali pun bibirnya cemberut, meski matanya terkantuk-kantuk. Aku cukup sekali memanggilnya 'uh... uh...', ia langsung bangun dan membantuku. Tidak seperti dua gadis sebelumnya, yang begitu malas dan membiarkan aku tersiksa.
Melihatnya begitu sigap membantuku, tanpa berkeluh-kesah, akhirnya, aku merasa tak pantas merepotkannya atau melampiaskan kekesalanku kepadanya. Sehingga, tiap kali sebelum tidur, aku selalu meminta diantar ke toilet terlebih dahulu dan meminta segelas air putih hangat dan sedotan di meja kecil samping tempat tidurku.
Bukan itu saja. Ia juga sangat cekatan dan telaten. Ia tidak sekadar membersihkan butir-butir nasi yang berhamburan ketika aku makan sendiri dengan tangan kiri, tetapi juga telaten menyuapiku. Setelah aku selesai makan, ia selalu memberiku lap untuk membersihkan mulutku, lalu mengambilkan obat-obatan yang diberikan dokter untukku.
Ada lagi. Gadis itu juga suka berbicara. Aku hanya berucap 'uh... uh...', tetapi ia bisa menjawab panjang lebar dengan mata bulatnya menatapku jenaka. Ia berbicara tentang apa saja. Sambil memasak, ia berbicara. Ketika membersihkan rumah, ia menyanyi. Jika mendorong kursi rodaku, ia bercerita. Ia hanya diam ketika sedang tidur. Ia bicara apa saja yang ia lihat. Aku tidak tahu, apakah ia berbicara pada dirinya sendiri, pada burung-burung, atau pada diriku. Yang jelas, setiap kali ia mengakhiri bicaranya, ia selalu menoleh kepadaku dan memberikan sebuah senyum lebar yang jenaka.
"Bobo sudah ingin makan" Ingin makan apa hari ini" Bubur atau nasi" Hari ini saya masak cha sam choi (ca sayur caisim) dan phou kei kiok thong (sup kentang dan ceker ayam)."
"Udara sangat cerah. Bobo ingin jalan-jalan""
"Bobo ingin menonton televisi" Baiklah, ingin acara apa" Ada Wenny Yeung siu ce (nona) di channel delapan."
Ia juga suka bicara pada burung-burung peliharaan Yau Man.
"Halo, Ken, apa kabarmu hari ini" Sangkarmu sudah kubersihkan. Ini air minummu yang baru. "Hai, Jon, kemarin Bobo dan aku berjalan-jalan cukup lama. Apakah kamu kesepian" Tapi, bukankah di rumah banyak teman""
Mula-mula aku merasa terganggu karena ia selalu berbicara panjang lebar. Aku tidak suka gadis yang terlalu banyak bicara. Apalagi, selama ini aku cuma tinggal berdua dengan Yau Man dan Yau Man juga tidak pernah banyak bicara. Akhirnya, lama-kelamaan, aku merasa gadis berkulit cokelat ini lucu juga. Sehingga, aku merasa kehilangan bila tidak mendengar suaranya.
"Bobo, kenapa tidak suka berkumpul dengan teman-teman"" ia bertanya ketika aku menyuruhnya untuk mencari tempat agak ke pinggir di taman.
Aku diam. Apa urusanmu aku suka atau tidak suka berkumpul dengan teman-temanku" Jika kau jadi aku, apakah kau suka mendapatkan pertanyaan seputar, "Bagaimana kesehatanmu" Ah, kamu masih belum bisa berjalan. Wah, ini gadis ketiga yang merawatmu. Tentunya, susah sekali merawat orang stroke. Kenapa kamu tidak mencoba terapi"" Dan, pertanyaan-pertanyaan lain yang membuatku sadar bahwa aku benar-benar merepotkan orang lain.
"Tetapi, duduk di sini juga nyaman. Tidak terlalu ramai dan banyak orang," gadis itu menjawab sen
diri pertanyaannya tadi. Siapa bilang tidak ramai" Ocehanmu sudah cukup ramai di dalam kesendirianku, sergahku dalam hati.
"Hari ini matahari hangat sekali, Bobo. Seperti matahari di desaku," ia berkata, sambil mengambil tempat duduk di depanku.
Aku sudah tahu bahwa matahari bulan Oktober sangat nyaman. Tidak usah kau beri tahu lagi. Karena itu, aku ingin berjalan-jalan keluar. Tetapi, katanya, seperti matahari di desanya" Seperti apa desanya"
"Desaku cantik sekali, Bobo. Di sana tidak ada gedung-gedung yang menjulang tinggi seperti di Hong Kong. Yang tampak menjulang adalah Gunung Merbabu. Di sepanjang jalan menuju desaku, banyak sawah dengan sistem tanam dan pengairan bertingkat. Sawah-sawah itu melingkari punggung gunung. Indah sekali dipandang mata.
Udaranya sejuk. Airnya dingin karena dari pegunungan. Di sana, aku bisa mendengar suara angin yang bergesekan dengan pelepah pisang, suara air bergemercik mengairi sawah, sampai suara jangkrik bersahutan ketika malam. Juga ada suara burung dan ayam. Tetapi, burung-burung di desaku terbang bebas, tidak seperti burung-burung yang kita pelihara. Tentu mereka sedih sekali hidup di dalam sangkar seperti itu."
Hmm... kedengarannya menarik sekali. Memang di Hong Kong ada gunung. Tetapi, bukan sawah yang menghiasi sisi-sisi tebingnya, melainkan gedung-gedung tinggi. Di Hong Kong, telingaku tidak pernah mendengar desis angin atau gemercik air. Yang terdengar hanya ketukan langkah sepatu ribuan pasang kaki manusia yang berlomba dengan detik jarum jam. Bahkan, untuk mendengarkan suara kicau burung, aku harus memeliharanya dalam sangkar.
"Rumahku jauh di puncak gunung. Dari jalan raya harus masuk kurang lebih lima kilometer melalui jalan berkelok tajam naik dan turun. Jalanan itu belum beraspal. Hanya berupa batu-batu gunung yang disusun. Kalau hujan, batu-batu itu licin sekali. Di samping jalan ada semak-semak dan jurang."
"Uh... uh...," aku tidak tahan hanya diam saja mendengar ceritanya. Aku tahu, mungkin ia tidak mengerti. Tetapi, aku ingin menanyakan bagaimana caranya bisa sampai ke rumahnya kalau jalannya saja begitu sulit.
"Kalau hendak naik ke rumah atau turun ke kota, kami naik ojek. Wah, ojek di desaku hebat-hebat. Mereka seperti pembalap. Tidak semua orang bisa mengendarai motor seperti itu. Ketika tanjakan tajam, penumpangnya seakan ikut melorot ke belakang. Tetapi, ketika jalannya melandai turun, penumpang di belakang juga ikut merosot ke depan." Gadis itu bercerita dengan ceria.
Mau tidak mau, aku juga tertawa ketika mendengar ceritanya.
Menggembirakan sekali mendengar cerita gadis ini.
"Ah, aku jadi kangen desaku. Aku ingin pulang," gumamnya, tiba-tiba.
Jangan! Jangan pulang! Aku menyergah. Tapi, yang keluar dari mulutku cuma 'uh... uh...' lagi.
Kuraih tangannya. Hangat seperti matahari bulan Oktober.
Ngatinah, April 2004, di Wonosobo
Hari ini ada sesuatu yang berbeda.
Bulik (bibi) Katmi baru pulang dari Hong Kong awal tahun lalu. Ia tinggal di Hong Kong sudah dua tahun. Ia pulang ke desa dengan perubahan yang luar biasa. Kami semua pangling dan tidak mengenalinya. Ia makin cantik dengan celana jins yang banyak rantai dan paku-paku berkilat, serta memakai kaus ketat merah menyala. Rambutnya pun dicat berwarna, seperti warna seng berkarat. Ia membawa ponsel ke mana-mana, bahkan ponselnya bisa dipakai untuk memotretku. Aku terpana ketika melihat wajahku muncul di layar ponselnya. Ia juga memakai kamera yang langsung bisa dilihat hasilnya. Katanya, itu kamera digital. Aku tidak mengerti apa maksudnya, tetapi pokoknya ia serba wah!
Usia Bulik Katmi cuma selisih setahun denganku. Tetapi, aku harus memanggilnya bulik karena ia adalah adik ibu yang terkecil. Kami sangat akrab karena usia kami tidak terpaut jauh.
"Kamu masih kerja di tempatnya Pak Min, Nah"" tanyanya, ketika kami pergi ke kota. Ia mentraktirku makan bakso dan es dawet di pasar Wonosobo. Lalu, membelikan sebuah celana jins untukku. Setelah berkeliling pasar, kami duduk di hamparan rumput di taman kota.
"Wah, taman kota ini seperti Victoria Park di Hong
Kong. Tapi, taman ini kecil sekali dibandingkan Victoria Park...," ujarnya.
Aku tidak tahu seperti apa Victoria Park itu. Tapi, aku sangat suka taman kota di Wonosobo. Taman kota ini rindang sekali. Banyak pohon-pohon besar mengelilinginya dan ada sebuah kolam buatan di tengahnya. Rumput hijau terawat rapi. Dan, di sepanjang sisi taman ada beberapa kursi dari batu. Aku yakin, tidak ada tempat yang lebih menyenangkan, kecuali taman di kotaku sendiri.
"Kamu tidak bosan bekerja di sana" Tidak ingin kerja ke Hong Kong"" tanyanya lagi
"Kerja ke Hong Kong" Kerja apa" Ijazahku cuma SMU," cetusku.
"Lebih baik kerja di Hong Kong daripada di tempat Pak Min. Gajinya lebih besar. Kerjanya macam-macam. Ada yang momong anak kecil, ada yang menjaga orang tua. Pokoknya, semua pekerjaan rumah tangga. Kalau kamu mau, nanti aku yang bicara pada ibumu. Nanti kita berangkat sama-sama ke Hong Kong."
Gaji besar" Apakah bisa membeli pakaian baru untuk Ibu dan adik-adik di pasar Wonosobo" Apakah bisa mengganti atap rumah dari rumbia menjadi genteng" Bisakah membangun rumah dengan tembok dan lantai keramik, seperti rumah kepala desa" Apakah bisa untuk membeli sepeda motor, sehingga tidak perlu berjalan kaki untuk mencapai jalan raya"
"Apa aku bisa kerja di Hong Kong" Jauh sekali.... Seperti apa Hong Kong itu"" Aku masih tidak bisa membayangkan Hong Kong itu seperti apa. Memimpikannya pun aku tidak berani.
Lalu, Bulik Katmi bercerita tentang Hong Kong. Tentang gedung-gedung tinggi, tentang kereta api bawah tanah, tentang pakaian-pakaian bermerek, tentang ponsel, tentang Victoria Park, tentang banyak teman-teman lain yang ada di sana, tentang hari-hari yang selalu berbeda, juga tentang Rajiv....
"Rajiv"" tanyaku, keheranan.
"Kekasihku, Nah. Dia dari Pakistan. Tinggi besar, ganteng, hidungnya mancung, tatapan matanya dalam dan memabukkan. Ia juga bekerja di Hong Kong."
"Lho, bukannya Mas Wawan..."" kalimatku menggantung. Aku bingung, karena setahuku Mas Wawan sedang mendekati Bulik Katmi.
Mas Wawan adalah pemuda yang cukup disegani di desa. Rumahnya hanya berjarak lima puluh langkah dari rumahku. Bapaknya pernah menjabat sebagai kepala desa. Keluarga mereka memiliki beberapa kolam pembibitan lele dumbo. Mas Wawan sendiri sangat menarik. Walaupun dia tidak terlalu tinggi, senyumnya sangat ramah. Dan, ada segaris kumis tipis di atas bibirnya.
Ketika aku masih dilanda kebingungan, ponsel Bulik Katmi berbunyi. Lalu, kudengar ia bicara dalam bahasa Inggris dan bahasa yang belum aku mengerti. Mungkin, bahasa Kanton. Aku hanya mendengar kata-kata terakhirnya, "Yes, Rajiv, Cathy misses you too...."
"Cathy" Siapa lagi"" tanyaku, sungguh tidak mengerti.
"Aku." "Hah"!" tawaku hampir menyembur keluar.
"Hush! Di Hong Kong panggil aku Cathy. Jangan Katmi."
Kupikir, aku harus mengubah hari-hariku.
Wenny Yeung, Maret 2005 Kupikir, kurasa, mulai banyak hari-hari yang berubah.
Tapi, perubahan itu bukan pada diriku. Aku tidak tahu pasti apa yang berubah. Hanya, naluriku mengatakan bahwa telah terjadi suatu perubahan.
Apakah perubahan itu terjadi pada diri Yau Man"
Ah... kuperhatikan lebih teliti, Yau Man tidak terlalu berubah. Ia masih saja sibuk mengejar deadline, tetapi masih tidak lupa meneleponku, paling tidak sehari sekali. Ia juga tetap tidak banyak bicara.
Hei... aku mulai menyadari apa yang berubah!
Yau Man memang tetap tidak banyak bicara, tetapi sekarang dalam pembicaraannya selalu terselip nama Tina.
"Wenny, nanti kujemput untuk makan malam di rumah, ya. Mama kangen padamu. Oh, ya, kata Tina, ia akan masak tim yie (ikan kukus) kesukaanmu."
"Hei, semalam kamu cantik sekali. Kamu pantas memakai blouse warna pink seperti itu. Wajahmu kelihatan makin berseri. Tidak seperti Tina... Ha... ha... ha... dia memakai warna pink ketika pergi ke pasar hari Minggu kemarin. Aduh, sangat tidak pantas!"
Yau Man memang tidak pernah memuji Tina secara khusus. Tapi, kata-katanya yang terdengar datar itu selalu menunjukkan bahwa ia juga memerhatikan gadis itu. Ia tahu Tina akan memasak apa untuk
makan malam, bahkan memerhatikan pakaian Tina.
Huh! Dadaku seolah terbakar. Tapi, aku tidak bisa marah dan menuduh macam-macam. Karena, Tina memang cekatan. Sejak ada Tina, mama Yau Man tidak pernah rewel dan cerewet lagi. Mama cukup duduk manis di atas kursi rodanya, dan Tina sudah mela-kukan semuanya, tanpa perlu disuruh. Mama lebih banyak tersenyum dan jarang mengeluarkan suara 'uh... uh...' dengan nada tinggi. Nah, bukankah itu juga perubahan"
Selain itu, Tina sendiri kulihat juga banyak berubah. Ia makin pandai mematut diri! Walaupun pakaiannya tidak seperti seorang model, seperti aku, jika ia keluar untuk berhari Minggu, ia sudah memakai celana jins bermerek cukup populer. Ia juga mulai memulas blush on, eye shadow, dan lipstik. Membuat keindahan mata bulatnya makin menonjol karena maskara membuat bulu matanya lentik, seperti memayungi kelopak matanya. Ia juga tidak perlu menggunakan eye liner untuk mempertajam garis matanya. Karena, matanya sudah bulat dan indah. Ia seperti seekor anak itik buruk rupa yang berubah menjadi angsa jelita.


di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ah... apakah tidak boleh seorang gadis mematut diri" Tentu saja boleh.... Tapi, di rumah itu ada Yau Man, tunanganku! Batinku berseru dengan sengit, tak mampu mencegah rasa cemburu yang membakar hatiku.
Aku menghabiskan setiap akhir pekan di rumah Yau Man. Dan, setiap kali pula, aku melihat Tina tampak semakin cantik. Bukan saja penampilannya, tetapi keramahannya juga mampu menarik perhatian semua orang di rumah itu. Ia selalu menyapa setiap orang. Bukan sekadar senyum di bibirnya, tapi juga di matanya yang bulat bercahaya itu.
Seisi rumah selalu memuji masakan Tina. Keponakan-kepo-nakan Yau Man pun suka bermain dengannya. Calon mertuaku pun sekarang selalu memberikan 'uh... uh...' dengan senyum lebar. Bahkan, burung-burung peliharaan Yau Man sibuk mengepak-ngepakkan sayap mereka, bila Tina datang memberikan biji-biji jagung.
Yau Man juga memperbolehkan Tina memakai komputer. Kerap kali Tina berfungsi sebagai sekretaris Yau Man, menyeleksi e-mail-e-mail yang masuk. Bahkan, untuk e-mail-e-mail yang bersifat umum, Yau Man mengizinkan Tina membalasnya.
"Bahasa Inggrisnya makin bagus. Tidak ada salahnya ia melatih bahasa Inggrisnya dengan membalas e-mail-e-mail-ku. Ia juga punya bakat menulis artikel. Beberapa artikelnya sudah pernah kumuat dan pembaca memberikan respons yang bagus. Amazing! Unbelievable!" begitu jawab Yau Man, ketika kutanya.
Aku sebenarnya senang karena ia tidak lagi terlihat kampungan. Bukannya aku tidak suka ia mengalami kemajuan dalam berbahasa Inggris, mengerti teknologi komputer, berkomunikasi mengunakan e-mail, atau bahkan menjadi seorang penulis sekalipun. Tapi, masalahnya, aku merasa Yau Man telah memberikan perhatian yang berlebihan untuknya.
Ugh! Mataku terasa mengembun. Tapi, hati dan kepalaku seperti terbakar. Kupikir, aku memang harus cepat berubah untuk hari-hari berikutnya.
Ngatinah, November 2004, mimpi
Ini entah sudah hari keberapa aku di Hong Kong.
Sungguh seperti suatu mimpi aku bisa menjejakkan kaki di negara yang tidak pernah berani kumimpikan. Lalu, tiba-tiba saja, aku sudah berada di negara yang penuh gedung-gedung menjulang dan begitu banyak orang berjalan kaki dengan tergesa-gesa. Semua berjalan seperti hanya dalam kerjapan mata. Seperti sebuah tidur lelap ketika aku terlalu lelah berdiri di depan bilik panggangan roti kering di rumah Pak Min. Lalu, ketika aku terbangun, membuka mata, aku sudah berada di tengah gedung-gedung pencakar langit.
Aku gemetar ketika menjejakkan kaki di negara kecil yang megah ini. Sungguh jauh berbeda dari desa kecilku yang sederhana. Di sini tidak ada senyum-senyum ramah karena semua sibuk berjalan cepat, mengejar kereta dan bus. Di sini tidak ada halaman luas. Tidak ada anak-anak bermain petak umpet. Yang ada cuma flat-flat dengan dinding yang saling menempel. Di sini aku juga harus terbiasa untuk antre ketika berbelanja di pasar dan ketika membayar di kasir supermarket. Aku tidak boleh sembarangan membuang sampah, harus belajar mengerti bahasa Kanton. Tapi, itu belum s
eberapa. Ada yang lebih sulit.
Tidak pernah terbayang olehku sebelumnya, aku harus berada di sebuah rumah, yang semua penghuninya seakan-akan bisu. Sungguh jauh berbeda dari rumah di desaku, yang penuh suara adik-adikku yang riuh rendah.
Pemilik rumah ini adalah seorang pria muda, yang setiap pagi hanya berpesan agar aku memberi makan burung-burung peliharaannya, lalu pergi, dan pulang kembali, hanya untuk makan malam dan bekerja di depan komputernya.
Yang seorang lagi adalah seorang nenek yang duduk di kursi roda dan cuma bisa mengucapkan 'uh... uh...' bernada tinggi, lalu menggerak-gerakkan tangan kirinya dengan kasar. Aku tidak pernah mengerti apa yang diinginkannya. Semua yang kulakukan salah dan tidak pernah ada yang sesuai keinginannya.
Rumah mereka memang tidak terlalu besar. Tidak sulit untuk membersihkannya. Tapi, sangat banyak peralatan yang tidak kumengerti. Kompor mereka tidak sama dengan kompor Ibu di desa. Mereka juga tidak mengepel lantai, tetapi menggunakan sebuah tabung untuk mengisap debu, sehingga rumah mereka selalu bersih. Kemudian, ada sebuah mesin untuk mencuci pakaian dengan banyak tombol yang membingungkan. Aku harus memisahkan pakaian-pakaian yang berwarna dari yang putih, yang katun dari yang wool. Bukankah mencuci pakaian cukup dengan tangan"
Belum lagi untuk memasak. Memasak bubur untuk nenek tua itu harus dengan ukuran air yang sudah ditentukan. Menumis sayur tidak boleh terlalu asin, karena nenek tua itu menderita tekanan darah tinggi. Lalu, ada sebuah kotak yang bisa memanaskan makanan dengan cepat, hanya dengan menekan tombol. Tentang kompor, aku tidak boleh lupa menutup tombolnya karena bisa menyebabkan kompor itu meledak. Dapur pun harus selalu bersih.
Tapi, aku tidak bisa bertanya pada siapa pun tentang bagaimana aku harus melakukan semua tugas itu. Karena, tidak ada satu orang pun yang bisa kuajak bicara. Pria muda itu sudah pergi pagi-pagi. Kalaupun aku bertanya padanya, ia akan menjawab dalam bahasa Inggris dengan tergesa-gesa. Padahal, ia tahu, bahasa Inggris-ku hanya seadanya.
Nenek tua itu lebih memusingkan. Sepanjang hari, ia duduk di kursi roda dan mengamati semua yang kulakukan dengan cemberut. Karena, menurutnya, tidak satu pun yang kulakukan benar. Walaupun ia cuma mengeluarkan suara 'uh... uh...', aku tahu bahwa ia mengomel panjang lebar. Lalu, apakah aku harus bertanya pada burung-burung di dalam sangkar itu" Padahal, burung-burung itu juga sama memusingkannya. Kepak-kepak sayap mereka riuh rendah dan suara mereka menjerit, bila aku terlambat memberikan biji-biji jagung.
Itu belum termasuk meladeni si nenek itu.
Pagi-pagi, aku sudah harus menyiapkan air hangat untuk menyeka tubuhnya. Jika terlalu panas atau terlalu dingin, ia akan mengeluarkan 'uh... uh...' panjang dengan mulut yang cemberut. Membantunya berganti pakaian dan memapahnya ke toilet. Kupikir, aku harus membantunya sampai ke dalam toilet. Tapi, ia pernah membanting pintu toilet dengan keras. Sejak itu, aku membiarkan ia sendiri di dalam toilet, sampai ia memanggilku lagi.
Nenek itu sangat suka makan ikan. Tapi, sudah pasti, ia tidak bisa memisahkan sendiri duri-duri ikan itu. Jadi, aku akan memisahkannya dan meletakkan daging ikan itu di mangkuk nasinya. Itu sudah biasa kulakukan ketika aku menyuapi adikku yang kecil. Tapi, nenek itu pernah menyemprotku dengan 'uh... uh...' yang keras, ketika aku langsung memilah-milah daging ikan, tanpa mencuci tanganku lebih dahulu. Ia juga sempat melotot kepadaku, ketika aku membersihkan butir-butir nasi di sudut mulutnya. Sejak itu, aku selalu berusaha untuk mencuci tangan, setiap kali aku hendak melayaninya makan. Aku tidak berani lagi membersihkan butir-butir nasi di sudut mulutnya. Aku hanya mengangsurkan sebuah lap, lalu ia akan membersihkan mulutnya sendiri.
Nenek tua ini bukan saja cerewet ketika pagi dan siang hari. Malam pun ia tidak kalah rewelnya. Ada saja yang dimintanya ketika kantuk menyerangku. Dalam semalam, ia bisa berulang kali memanggilku untuk memapahnya ke toilet. Lalu, membangunkanku hanya untuk meminta segelas air hanga
t, atau sekadar menyuruhku menggaruk punggungnya yang gatal.
Sebetulnya, pekerjaan ini tidak berat. Bagiku, semua pekerjaan sama saja. Di rumah aku juga mencuci pakaian, merebus air panas untuk mandi adikku yang kecil (karena air di desa kami sangat dingin), menanak nasi, membersihkan rumah, menggendong dan menyuapi adik-adikku yang masih kecil. Setelah itu, aku berdiri sepanjang hari di depan bilik oven Pak Min, sambil menjaga bara api oven itu agar tetap panas. Bila hendak turun ke kota, aku harus berjalan kaki melalui jalan terjal berbatu sejauh lima kilometer.
Di Hong Kong, semua pekerjaan rumah tangga yang kulakukan dibantu oleh tombol-tombol. Tidak ada jalanan terjal berbatu. Yang ada justru jalanan rata, yang penuh oleh bus dan kereta yang tepat waktu. Rumah pun tidak berisik oleh suara anak-anak kecil.
Tapi, aku tidak kerasan. Aku tidak tahan hanya berhadapan dengan wajah cuek pria muda itu, yang selalu berbicara pendek-pendek. Bila aku tidak mengerti ucapannya, ia memandangku dengan pandangan jengkel, kemudian menggerutu dalam bahasa Kanton. Sedangkan nenek tua itu hanya mengeluarkan suara 'uh... uh...' yang tidak kumengerti. Bila yang kulakukan tidak sesuai keinginannya, 'uh... uh...' itu akan makin tinggi, dengan mata melotot dan tangan kiri yang digerak-gerakkan.
Aku ingin pulang saja. Ingin tidur di istana rumbiaku, lalu berbagi kehangatan dengan celoteh adik-adikku. Ingin kurasakan becek dan licinnya jalan berbatu yang terjal di desaku. Di sepanjang tebingnya, aroma rumput liar menguap. Ingin membiarkan panas bara dari bilik oven Pak Min menerpa wajahku sepanjang hari. Aku ingin pulang!
Tapi, aku sudah menandatangani kontrak kerja. Aku bahkan dianggap berutang banyak pada agen yang memberangkatkan aku ke Hong Kong sebagai ongkos pelatihan kerja dan ongkos pesawat. Padahal, kalau hanya sekadar membersihkan rumah dan memberi makan pada burung-burung, aku tidak membutuhkan pelatihan. Itu sudah kulakukan sehari-hari di desa.
Seharusnya, pelatihan yang diberikan adalah bagaimana aku bisa mengerti bicara orang-orang itu dalam bahasa Kanton, supaya aku tidak dipelototi dengan pandangan jengkel oleh semua orang, seakan-akan aku bodoh sekali. Atau, aku harus melakukan perintah mereka berulang-ulang seperti seekor keledai dungu. Juga, kerap aku hanya memakai gerakan tangan, menunjuk-nunjuk seperti orang bisu. Setidaknya, jika aku mengerti apa yang mereka katakan, mereka pasti akan bersikap lebih ramah padaku.
Dan, yang paling penting, seharusnya agen juga memberikan pembekalan agar aku bisa mengerti bahasa 'uh... uh...' nenek tua yang duduk di kursi roda karena menderita stroke itu.
Menurut Bulik Katmi, aku harus bertahan setidaknya tujuh bulan, sejak aku bekerja, untuk membayar utang pada agen yang memberangkatkanku. Tapi, tentu saja bukan itu alasanku harus bertahan. Aku punya mimpi-mimpi yang ingin kuwujudkan. Aku ingin membelikan Ibu sebuah sepeda motor, supaya tidak usah bersusah payah lagi bila ingin keluar menuju jalan raya. Aku ingin membelikan adik-adikku baju baru. Aku juga ingin membelikan Ibu kompor, seperti di Hong Kong ini, sehingga Ibu cukup menekan tombol, bila ingin memasak. Juga, aku ingin membangun istana rumbiaku!
Hanya impian-impian yang sederhana, bukan"
Tapi, untuk impian-impianku yang sederhana itu, aku harus menebusnya dengan setangkup rasa.
Entah berapa hari lagi aku bisa bertahan.
Tina Ng, Febuari 2006, Cep Lap Kok
Banyak yang terjadi di dalam hari-hariku selama di Hong Kong. Hari-hari penuh mimpi, penuh harapan, penuh kepenatan. Sulit kupercaya, tapi nyata.
Ini sungguh mimpi di atas mimpi!
Bulan Maret tahun lalu, Yau Man menikah dengan Wenny Yeung.
Wenny Yeung tampak anggun dengan gaun pengantin ala Eropa berwarna gading dan shanghai dress berwarna merah. Kulitnya makin tampak putih dengan rona kemerahan yang alami di pipinya. Mata sipitnya seakan dipenuhi bintang. Cantik sekali. Semua media dan televisi meliput pernikahan model terkenal Hong Kong itu.
Mereka benar-benar pasangan yang serasi!
Aku masih tinggal bersama mereka, ketika W
enny Yeung melahirkan bayi laki-laki yang montok. Rumah menjadi meriah karena tangis bayi. Bobo Ng gembira sekali. Ia kerap menyuruhku meletakkan cucu laki-lakinya di pangkuannya, lalu kembali berujar "uh... uh...". Tapi, sudah tentu, arti "uh... uh..." itu sungguh berbeda. Tidak lagi bernada tinggi, tapi diiringi senyum lebar. Jika cucu laki-lakinya itu ngompol di pangkuannya, seluruh pakaian Bobo Ng akan basah. Sehingga, tugasku akan menjadi lebih banyak. Bukan saja mengganti celana Vincent Ng, tetapi juga pakaian Bobo. Tapi, sungguh, aku melakukannya dengan suka hati. Sama sekali tidak merasa sebagai beban, karena aku merasakan kebahagiaan yang sama seperti anggota keluarga lain.
Yau Man memberikan kebebasan ruang gerak yang cukup luas untukku, sehingga aku banyak mengisinya dengan berorganisasi di banyak kegiatan. Ada kegiatan seni dan teater, sampai aku aktif di LSM di Hong Kong.
Terakhir, Yau Man merekomendasikan aku pada seorang pemilik tabloid yang beredar di Hong Kong. Aku diterima bekerja sebagai korespondennya untuk wilayah Hong Kong. Yang lebih istimewa, aku dianggap keluarga sehingga diberi marga Ng. Sehingga sekarang namaku lebih dikenal sebagai Tina Ng.
Sebelum mulai bekerja di sana, aku menyempatkan diri untuk pulang ke Wonosobo, melihat impianku. Kudengar dari Ibu, banyak yang berubah di rumah. Impianku bukan sekadar mimpi.
Sewaktu aku pamit pulang, Yau Man dan Wenny Yeung menitipkan sebuah tas tangan yang sangat cantik untuk ibuku. Baby Vincent Ng menjerit-jerit riuh, bersaing dengan suara burung-burung di sangkar, seakan tahu bahwa aku akan meninggalkan mereka. Aku tidak bisa menahan titik air mataku, ketika Bobo memelukku dengan tangan kirinya, seraya berkata "uh... uh..." seperti biasa.
Entah apa yang dikatakannya. Tapi, seperti biasa, aku selalu menyahuti "uh... uh..." itu.
"To che (terima kasih banyak), Bobo." Entah berterima kasih untuk apa. Yang pasti, untuk semua hari yang kulalui bersamanya dan bersama mimpi-mimpiku selama di Hongkong.
Aku bukan sekadar mengisi hari-hariku dengan mimpi, membelikan Ibu sebuah sepeda motor, supaya tidak lelah berjalan menuruni jalanan terjal berbatu di desa, atau membangun sebuah rumah dengan genteng untuk mengganti atap rumbiaku, atau bahkan berpanas-panas di depan oven batu Pak Min untuk mengangkat loyang pipih berisi kue kering.
Karena, sesampainya di rumah, aku sudah mendapati istana rumbiaku sudah menjadi rumah permanen yang hangat untuk Ibu dan adik-adikku. Tidak ada lagi angin dingin yang menyelip di sela-sela ketiak dinding bambu. Walaupun tidak semegah rumah-rumah konglomerat atau pejabat di kota-kota besar, rumahku sungguh-sungguh terlihat seperti istana. Ibu sudah punya sepeda motor. Adik laki-lakiku sekarang setiap hari mangkal di depan jalan raya untuk menarik ojek dengan sepeda motor itu. Setiap hari dapur kami hangat. Bukan saja karena selalu mengepul nasi, yang baru ditanak dari rice cooker yang kubeli di pasar Wonosobo, melainkan karena Ibu selalu gembira memasak di dapur yang penuh seperangkat alat dapur modern. Bukan itu saja. Ibu juga membangun sebuah bilik kecil di depan rumah, yang dipergunakan untuk wartel bagi seluruh penduduk desa. Sekarang, ibu sudah tidak usah bingung memikirkan uang sekolah adik-adikku.
Satu bulan penuh aku di desa. Terakhir, aku sempat bertemu Mas Wawan. Ia sudah menyelesaikan kuliahnya. Sekarang, ia mengelola kolam pembibitan lele dumbo milik ayahnya. Kulihat, petak-petak kolamnya makin banyak. Ia mengajakku jalan-jalan ke alun-alun Wonosobo. Kami duduk memandang lapangan luas, sambil bercerita banyak tentang rencana masa depan.
"Nduk..., di desa saja, ya. Ndak usah kembali ke Hong Kong," katanya.
"Bulan depan aku sudah diterima bekerja di sebuah tabloid di Hong Kong. Aku juga aktif di berbagai organisasi di sana, yang menyangkut kesenian dan pekerja Indonesia. Kalau sekarang aku harus di desa, apa yang harus kukerjakan"" Aku ingat, itu kebalikan dari pertanyaanku dulu, ketika Bulik Katmi mengajakku ke Hong Kong, "Apa yang bisa kukerjakan di Hong Kong""
"Nduk... kita bisa mengelola
kolam pembibitan lele dumbo bersama. Aku kepingin mengelolanya bersamamu sampai tua."
Aku terperangah. Aku tidak terlalu bodoh untuk mengerti ungkapan perasaan seperti itu.
"Mas... bukankah Bulik Katmi...."
"Nduk... sejak dulu aku suka padamu. Tapi, susah sekali bisa bicara denganmu. Kamu selalu sibuk bekerja. Aku dekat dengan Katmi, justru ingin mendekatimu. Tapi, kamu sudah keburu berangkat ke Hong Kong."
Dadaku terasa sesak mendadak. Ini tidak sama dengan sesak yang kurasakan ketika Bobo mendelik dan 'mengomel' panjang lebar.
"Sekarang, kamu sudah pulang. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku tidak mau kehilangan kamu lagi, Nduk...."
Sekarang, dadaku membuncah. Buncahan yang lebih hebat daripada ketika Yau Man memberi kabar bahwa aku diterima bekerja sebagai koresponden di tabloid itu.
"Aku ingin kamu memikirkannya, Nduk...."
Kalau akhirnya aku bertunangan dengan Mas Wawan, sebelum berangkat kembali ke Hong Kong, itu juga salah satu hasil pemikiranku. Aku meminta pengertiannya karena aku sudah telanjur berjanji bekerja di tabloid itu. Dan, aku tidak mungkin mengecewakan Yau Man yang merekomendasikan aku. Aku meminta Mas Wawan memberiku waktu dua tahun lagi untuk pulang dan menikah. Aku masih ingin belajar banyak, sehingga mempunyai banyak ilmu untuk dibawa pulang membangun desa.
Dan, sekarang, aku duduk di Bandara Cep Lap Kok, dipenuhi jutaan manusia yang keluar-masuk Hong Kong, menunggu pesawat yang akan membawaku ke Korea.
Aku ke Korea memenuhi undangan sebuah organisasi, yang tertarik pada tulisan-tulisanku mengenai labour issue untuk pekerja-pekerja Indonesia, Thailand, dan Filipina. Aku diminta sebagai narasumber dan sebagai penulis. Karena, aku pernah menjalani hari-hari sebagai pekerja imigran di sana.
Aku bangga sekali. Sambil menunggu, aku masih merasa seperti bermimpi. Tapi, kali ini bukan mimpi ingin mengganti atap rumbia dengan genteng atau membelikan sepeda motor untuk Ibu. Aku tidak pernah berani memimpikan hari-hariku selanjutnya akan seperti apa. Aku hanya ikut mengalir seperti air. Mengisi semua tempat. Di laut, di pantai, di sungai, di danau, sampai di dalam hati setiap yang orang yang kutemui.
Tapi, ada satu yang bukan mimpi.
Bagaimana pun aku, siapa pun aku, paspor di tanganku tetap bertuliskan Ngatinah!
-Tamat- Rahasia Istana Terlarang 8 Pendekar Naga Putih 28 Laba Laba Hitam Maut Dari Hutan Rangkong 1
^