Pencarian

Maryamah Karpov 2

Maryamah Karpov Karya Andrea Hirata Bagian 2


Kesepian tiba-tiba menusukku dari segala penjuru. Dadaku disesaki sesuatu yang tak dapat kupahami. Kulihat sekeliling, tempat ini, pasar ini, kampung ini, seperti stoples, waktu tersasar ke dalamnya dan terperangkap. Tempayan-tempayan sedap malam di serambi toko, masih persis seperti kutinggalkan dulu. Bangku-bangku pincang di bawah pohon kersen, juga masih sama. Tanaman berbaju gynura masih saja tampak cemburu pada echeveria, yang makin genit dirayu-rayu lebah madu. Kucing-kucing pasar masih menguap malas di bibir jendela loteng, dan masih kudengarsuara A Ling menyanyikan lagu sendu, berusaha memerdu-merdukan suara, seakan ingin menenangkan riak-riak Sungai Linggang di bawah jendela rumahnya.
44 Nyanyinya pelan, kecil, dan sumbang. Kuingat lagunya itu: Rayuan Pulau Kelapa. Tak satu hal pun berubah, tak juga perasaanku.
Aku segera sadar bahwa ke mana pun nasib telah membawaku, semuanya bermula dari tempatku berdiri di depan Toko Sinar Harapan ini, dari satu detik ketika A Ling tersenyum padaku di balik tirai keong-keong kecil di ambang pintu itu. Air mataku menepi karena kehilangan nan tak tertanggungkan. Senyum itu, satu detik keramat, saat cinta menyambarku untuk kali pertama, dan kurasakan bahagia sampai rasanya malam hanya turun untukku, sungai mengalir hanya demiku, dan purnama tak kan terbit kalau bukan karenaku. Betapa dahsyat kejadian itu. Aku telah mengelana hampir separuh dunia, demi cinta yang tak mungkin itu. Kini aku siuman di sini, mendapati diriku tak lebih dari seorang anak kampung di sudut dunia yang tak dipedulikan siapa pun, yang tak pernah tampak
di peta mana pun. Tapi aku tahu, cinta pertama itu masih akan membawaku ke tempat-tempat asing yang tak pernah kubayangkan. Utara, selalu kurasakan A Ling memanggilku dari utara, dan aku akan ke sana untuk mencarinya, karena meski berbelas-belas tahun telah berlalu, aku masih melihat A Ling berdiri di ambang pintu toko itu, tersenyum padaku.
Mozaik 15 Selamat Datang, Tonto! SUDAH banyak kukenal orang. Baru kutemukan yang model Ketua Karmun: saklek, humoris, tanpa tedeng aling-aling Hemat kata, Ketua Karmun adalah pria yang dramatis. Tapi rakyatnya cinta setengah mati padanya. Karena di balik sikap yang menjengkelkan itu, tulusnya tiada banding.
Tak seperti di Jawa barangkali, jadi kepala kampung di Melayu Dalam, tak ada enak-enaknya, dan pasti lebih miskin daripada pemilik warung kopi. Karena tak ada proyek bikin-bikin sumur, tak ada bantuan sapi, tak ada tanah bengkok, dan tak ada kemungkinan punya istri banyak. Sebab tak ada tempat untuk menyembunyikan gundik. Di kampung kami, Kawan, tiang bendera pun bertelinga, karena sudah jadi tabiat orang Melayu untuk repot-repot mengurus urusan orang lain, padahal urusannya sendiri kocar-kacir. Komunal, komunal sekali.
Ketua Karmun, nama aslinya Karmun Azizi bin Sakti Syahran, dipanggil Ketua Karmun sebab dia kepala kampung, berdiri tegak sebagai martir, rela memanggul jabatan kemarau itu demi melayani orang Melayu, Tionghoa, Sawang, dan orang-orang bersarung.
Dari simpang jalan, Ketua Karmun, yang jangkung, tampak olehku lebih dulu. Dengan gaya terkengkeng ber-kacak pinggang ia bersandar di pagar kayu saling-silang rumah ibuku. Aku gugup, tak berdusta rupanya surat Arai, kepala kampung memang menyambutku. Apa urusannya" Toh biasa saja aku ini. Sarjana di kampungku bukanlah hal yang terlalu istimewa dan sudah ada sebelumnya. Pak Cik Makruf, Bc.J.E, tamatan akademi sipir di Bandung yang khusus mempelajari ilmu pengetahuan untuk mengurusi penghuni bui, adalah sarjana pertama kampung kami, dan kepala kampung tak menyambutnya waktu ia pulang dulu.
Tapi aku tak ambil pusing soal penyambutan ini. Dalam pikiranku, hanya ada ayahku. Aku mematut-matut seragam door man ku, mengancingkannya, dan merapikan lipatan kerahnya.
Aku tiba. Pertama-tama, kucium tangan Ibu. Meski tersenyum melepas rindu, tampaknya beliau tak terlalu senang dengan penampilan baruku. Lelaki berambut panjang, tak masuk dalam harinya.
"Bukan main, anak muda Melayu zaman sekarang, ya"" cetusnya.
Pandangannya penuh selidik, menakar-nakar, bagian mana dari akhlak
anaknya yang telah dikorupsi Eropa.
Aku tahu, Ibu langsung ingin melayangkan kumplen. Namun, dengan sukses serta-merta kualihkan pembicaraan dengan mengeluarkan oleh-oleh istimewa untuknya: Al-Quran lengkap tiga puluh juz seukuran surat kabar. Iya, Kawan, tak berlebihan, seukuran surat kabar. Lengkap dengan sebuah kaca pembesar bertangkai. Aku tahu mata Ibu makin kurang awas saja beberapa tahun terakhir ini sehingga susah membaca Al-Quran ukuran normal. Kitab suci itu kubeli di kota kecil di Turki dekat Gunung Ararat. Di gunung inilah, menurut temuan arkeologi terakhir, bahtera Nabi Nuh kandas. Ibu terbelalak melihat Al-Quran raksasa itu.
"Bujang, coba kauteruskan cerita perahu yang kandas itu, soal kologi-kobgi itu!"
Sukses bukan" Tak ada lagi lenguhnya soal rambutku yang seperti orang edan. Kemudian kupahami bahwa rasa ingin tahuku yang obsesif, yang selalu akhirnya menjebakku dalam situasi runyam, kuwarisi dari Ibu.
Dan, aih, lelaki kurus tinggi itu, di sebelah Ibu, tersenyum. Aku terkesiap melihatnya. Daging tak simetris yang dulu bercokol di wajahnya sebagai hidung, fungsional saja, hadir di tengah sana sebagai lubang napas, kini terurai menjadi panjang senada wajahnya yang, tak tahu kena apa, sekarang j adi'tirus mengesankan. Pangkal hidungnya berubah menjadi serupa lembah di antara dua bola mata yang sorotnya secemeriang otaknya. Ia telah menjelma menjadi pria muda yang tampan.
"Selamat datang, Tonto."
Ia memelukku, memelukku kuat sekali dan mengangkatku, seperti dulu ia menjulangku di pundaknya, jika kami bermain mengejar kapuk yang beterbangan di lapa
ngan sekolah nasional. Kami berpelukan lama. Tak tertahankan air mataku meleleh. Betapa aku merindukannya. Dia Kawan, dialah Lone Ranger-ka, pahlawanku selalu: Arai.
Lalu ayahku, tersenyum-senyum kecil saja, tanpa kata, meski aku tahu dadanya gemuruh melihatku. Aku juga memeluknya, kuat sekati. Terlepaslah rindu itu.
Ayah masih saja pendiam. Sering aku bertanya pada diri sendui mengapa ayahku begitu pendiam" Apakah ia sedang menjalani semacam ujian" Adakah sesuatu yang amat buruk pernah menimpanya" Ataukah ia sedang menebus satu perasaan bersalah yang likat" Tak pernah kutemukan jawaban, misterius.
47 Aku ingat, selama kelas satu SMA dulu aku hanya mendapat tujuh kalimat darinya. Kelas dua turun jadi lima, dan selama kelas tiga ada peningkatan sedikit: delapan kalimat. Aku masih ingat setiap baris kalimatnya itu.
Tapi yang Ayah ucapkan lewat ekspresinya, sebenarnya jauh lebih artikulatif daripada suku-suku kata. Bertahun jadi anaknya aku telah terlatih membaca wajah Ayah. Jika bibir rapat, alis bertemu, kedua telinga bergerak-gerak, itu berarti: jangan ribut saja Bujang, sana belajar. Jika kepala menggeleng-geleng, berjalan hilir mudik tujuh langkah maju mundur, maknanya: Bujang, kau nakal sekali, mau jadi apa kau itu" Kalau nakalku tak bisa diredam, Ayah juga tetap diam, mendekatiku, lalu meniup ubun-ubunku tiga kali.
Jika dahi Ayah mengernyit, alis sebelah kanan naik, wajah kaku, mulut komat-kamit, maknanya: sudahkah kau mengaji" Dengan air muka yang sama, tapi yang naik alis sebelah krri: sudahkah kau shalai" Kalau mulut Ayah sedikit dimonyongkan, berjalan berputar kecil-kecil agak cepat, mata terpejam, maksudnya: Bujang, jangan lupa kaututup pintu kandang bebek kita itu!
Jika wajah Ayah terang dan mata penuh bersinar: Ta\ Silakan, aku setujui Sedang jika wajahnya datar, pandangan kosong, artinya: Tidak Bujang, aku tidak setuju. Tapi tatapan kosong itu hampir tak pernah diperlihatkan Ayah padaku. Karena apa pun yang kuminta, apa pun, sepanjang ia masih mampu, ia tak kan mengatakan tidak. Kuingat dulu, waktu kecil, aku merengek ingin mainan yoyo. Ayah berangkat naik sepeda malam hari, seratus kilometer ke Tan-jong Pandan, hanya untuk membelikanku yoyo.
Tak dapat kutahan air mataku waktu memeluk Ayah. Ia kurindukan sampai sesak dadaku. Dan sejurus kemudian aku girang tak kepalang. Sebab sejak tiba tadi mulut Ayah beberapa kali terbuka bulat seperti ikan mas koki dan bola matanya berlari-lari kian kemari. Sinyal itulah yang kutunggu-tunggu, selalu kutunggu sepanjang hidupku, karena itu pertanda Ayah ingin mengatakan sesuatu! Apa yang akan diucapkannya boleh jadi satu-satunya kalimat untukku tahun ini.
Pasti Ayah ingin mengucapkan selamat padaku karena telah menyelesaikan kuliah tepat waktu, atau menanyakan pengalamanku di Prancis. Atau bertanya mengenai kehidupan orang Islam di Eropa, bagaimana masjidnya, bagaimana orang muslim shalat Jumat di sana, siapa modin, penghulu, muazin, atau punggawa masjidnya, atau soal teknologi di Eropa, transportasi. Mungkin pula tentang teman-temanku, tentang salju, dan keju, atau ingin melihat ijazahku dan betapa ia bangga. Namun, aku tahu Ayah tak
kan mengatakan apa pun di depan orang-orang yang menyambutku ini. Aku sampai berpikir kurang ajar, ingin agar para tamu penyambut cepat pulang saja, karena aku tak sabar menunggu momen langka itu, saat ayahku bicara nanti.
Para tamu pun pulang Aku gugup mendekati Ayah, ingin kudengar dengan jelas, dan akan kuingat baik-baik apa yang akan diucapkannya. Bukankah aku pernah berjanji untuk menempatkan setiap katanya di atas nampan pualam" Kalimat dari pria pendiam seperti orang gagu ini bak bulir-bulir mutiara bagiku. Ayah sumringah menatapku melangkah ke arahnya. Ia tampak tak sabar menyampaikan apa yang telah ia siapkan sejak tadi, atau mungkin selama tiga tahun aku merantau ke Eropa. Kata-kata seolah ingin melompat dari mulutnya. Lalu aku berdiri tegak di depannya, tegang menunggu kalimahnya, dan Ayah pun berbisik tegas.
"Bujang! Seragammukah itu" AUahu akbar, Mahabesar Allah! Luar biasa, Bujang, hebat bukan buatan! Sampai berdebar-debar Ayah m
elmatnya." Mozaik 16 Bulan Pecah, Malaikat Bertaburan
KETUA Karmun, sore itu datang ke rumah ibuku sama sekali bukan untuk menyambutku, tapi ingin membicarakan sesuatu yang disebutnya sebagai: sebuah kemajuan penting yang akan membebaskan kampung kami dari zamanjahiliah.
Begitulah, Kawan, jika tidak dramatis tentu bukan Ketua Karmun namanya. Ia, yang hanya beriajazah SMP, itu pun dari ujian persamaan Paket B, sebenarnya tak pernah mendapat pendidikan formal tentang leadership. Administrasi desa dikelolanya berdasarkan ilmu dari buku zaman lawas Tiga Serampai Tata Usaha dan Pengendalian Kantor karya seorang guru SMEA di Jawa Tengah, Hartono Muntasis, B.Sc, dan sedikit inspirasi dari buku-buku Kho Ping Ho, terutama seri Kisah para Pendekar Pulau Es tiga puluh dua jilid.
Jika sedang bersemangat, Ketua Karmun suka berteriak: bintang kejora! Jarinya menunjuk langit. Soal teriakan itu, Kawan, tak sepele sejarahnya.
Konon dulu, pada satu dini hari nan dingin dan kelam, Ketua Karmun disuruh ibunya menimba air. Mendadak alam terang benderang, setiap benda di muka bumi menjadi putih, berkilat menyilaukan. Karmun tertegun menatap langit, miliaran meteor bintang sapu, kata orang Melayu melesat menuju Laut China Selatan, melintas dahsyat di langit Pulau Belitong. Karmun kecil terkesima.
"Subhanallah" kenangnya pada setiap orang.
"Itulah kejadian paling indah dalam hidupku. Bintang kejora meledak di angkasa raya, bulan pecah berkeping-keping malaikat bertaburan."
Setiap menceritakannya, dada Ketua Karmun turun-naik, sering sampai matanya berkaca-kaca.
"Kalau kalian melihatnya, kalian akan tahu betapa besar kuasa Allah, kalian tak kan berani sekali pun meninggalkan shalat!"
Sejak itu, setiap menemukan hal yang membuatnya senang Ketua Karmun berteriak bintang kejoral Untuk mengenang miliaran meteor itu, untuk mengenang satu subuh yang megah saat Allah menghujaninya dengan hidayah.
Menjelang aku pulang, rupanya sebulan sudah Ketua Karmun tak nyaman tidur. Musababnya, selama lima belas tahun jadi kepala kampung akhirnya ia berhasil mencetak prestasi paling gemilang, yaitu sukses membujuk petinggi di Tanjong Pandan, setelah dibujuknya selama bertahun-tahun, agar
50 memberi kampung kami seorang dokter.
Memang hebat prestasi itu. Karena puluhan tahun merdeka, untuk kali pertamanya kampung kami akan punya dokter! Dokter! Bayangkan itu, seisi kampung mendadak gembira. Kami seperti mendapat duren saat musim mangga. Sejak Meskapai Timah gulung tikar, bertahun berselang, baru kali ini kami mendengar kabar baik
"Dokter gigi Budi Ardiaz namanya! Kalau kalian ingin tahu!" kata
Minar. Minar yang menor, hulu ledak gosip kampung kami itu. Ia girang lantaran beritanya akan segera jadi topik hangat. Masterpiece bagi seorang tukang gosip adalah breaking news. Desas-desus pun menyebar secepat kilat.
Bahkan, Ketua Karmun sendiri belum tahu nama dokter itu. Ia memang pernah berkhotbah di muka karang taruna.
"Memang sudah saatnya kita punya dokter gigi, lihatlah, di mana-mana orang sakit gigi. Gigi kita cepat keropos gara-gara phyrite dalam air minum berkadar timah." Lagaknya seolah dirinya ahli.
"Persoalan gigi bukan perkara sederhana. Ini perkara serius, Boi! Bagaimana kalian bisa bersaing dengan daerah lain pada masa pembangunan ini kalau gigi-gigi kalian tonggos begitu!"
Apa kataku, saklek bukan"
Selama ini persoalan akut itu hanya ditangani oleh A Put, dukun gigi Hokian itu.
"Ini zaman modern, Boi, tata cara perdukunan harus sudah ditinggalkan! Yang paling kita perlukan adalah seorang dokter gigi! Secepatnya! Bintang kejoral"
Ketua Karmun yang jangkung, makin melengkung karena kurus. Pening kepalanya memikirkan kemaslahatan umat Keningnya menonjol dan matanya cekung seakan diisap tengkoraknya. Hidungnya bengkok dan rambutnya kaku acak-acakan. Giginya sendiri hitam runcing-runcing Karena potongan macam itu, jika usai magrib aku melihatnya keluar dari Masjid Al-Hikmah, aku sering teringat pada drakula. Tak jarang anjing-anjing warga Tionghoa melolong panjang setiap melihat Ketua Karmun melintas dengan sepeda kumbang reotnya.
"Aku tahu dari juru tulis kep
ala dinas di Tanjong Pandan." Minar menjelaskan anatomi pergosipannya di pasar ikan. "Kalau juru tulis itu bohong, berarti aku dusta pada kalian!" Ia mengingatkan risiko jamak gosip pada orang-orang yang merubungnya.
"Siapa tadi namanya, Kak"" tanya Xian Lin penjual lobak asin.
"Pasang telinga lobakmu baik-baik, lin, Dokter gigi Budi Ardiaz! Amboi, Tak ada nama orang Melayu sehebat itu! Dapat kubayangkan laki-laki itu dari namanya, paling tidak ia segagah W.D. Mochtar!"
"Memangnya kalau dokter selalu gagah, Kak""
Satam, tukang minyak tanah, kumal, buta huruf, menyela seenaknya sembari bertengger di atas jeriken. Minar sangat tak suka bicaranya dicela.
"Paling tidak dia bersih! Pandai membaca! Dan sering menggosok gigi!" Tawa pun berderai-derai di pasar ikan.
Mozaik 17 Penyambutan nan Mengharukan
"IKAL, kau kuberi kehormatan menjadi ketua panitia penyambutan dokter itu." Ketua Karmun lebih menunjukkan sikap memerintah daripada meminta.
"Kau baru pulang sekolah, ilmumu masih panas, jangan rendahkan dirimu sendiri dengan menampik tugas mulia ini, mengerti!""
Tak ada peluang berkelit.
"Tugasmu sederhana saja, buat penyambutan agar sejak hari pertama di kampung kita, dokter itu langsung terkesan! Ia sudah mau datang ke pulau terpencil ini saja kita sudah untung, jadi tak ada yang bisa kita lakukan selain membuatnya kerasan, dan ingat, kesan pertama! Kesan pertama sangat penting, Boi. Kalau sampai gagal, aku sendiri yang akan mencabuti gigimu!"
Aku tak berkutik. Tanpa buang tempo aku dan Arai mulai bekerja. Kami membuat konsep sambutan penuh kejutan. Kami melakukan semacam casting untuk memilih siapa penari Serampang Dua Belas untuk-menyambut dokter gigi itu turun dari mobil, siapa yang akan mengalungkan bunga, yang akan membaca deklamasi, dan yang akan menjadi penyanyi dan musisi. Kami berkali-kali melakukan gladi. Konon, hanya sekali kampung kami pernah melakukan penyambutan semegah ini, yaitu waktu dulu menyambut wakil presiden, yang bertandang untuk meresmikan motor lampu. Semuanya tampak sempurna.
Akhirnya, hari bersejarah itu datang. Sejak siang, seisi kampung sudah tumplek di balai negeri. Balai negeri adalah gedung pertemuan kampung. Tempat duduk yang disediakan panitia, penuh. Tak ada undangan yang tak hadir. Mereka adalah para pejabat Pemda dan pemimpin berbagai instansi Hadir pula para guru dan siswa dari semua sekolah. Para kepala dusun, perwakilan pulau-pulau kecil, tokoh-tokoh masyarakat, seniman, pengusaha, dan para dukun semua urusan: angin, api, hewan, laut, gunung, hutan, sawan, sungai, gigi, hujan, tulang, petir, dan beranak. Meriah!
Masyarakat awam, yang tak kebagian tempat duduk, rjejal di serambi balai, berderet-deret di luar pagar, dan panas-panas di halaman. Semuanya tak sabar ingin lihat dokter gigi yang gagah dari Jakarta, dokter gigi dean kumis baplang seganteng bintang film kawakan W.D. Mochtar. Di antara mereka, tampak Minar dan gengnya. Bedaknya tebal seperti artis Kabuki. Ia sibuk mengipas-ngipasi wajahnya.
Ketua Karmun, stand by, beserta istri dan empat anaknya di mulut gerbang. Ini adalah hari besarnya. Ia siap menyongsong sang dokter. Putri
bungsunya sendiri yang akan mengalungkan bunga ke leher dokter ganteng itu nanti. Ketua Karmun tak berhenti tersenyum sebab kedatangan dokter itu merupakan puncak prestasinya.
Karena memperkirakan Dokter Budi Ardiaz adalah orang Jawa, maka Ketua Karmun sekeluarga mengenakan batik, semuanya seragam. Orang Melayu pakai batik, elok bukan kepalang. Ia selalu membanggakan batiknya yang ia beli di Pangkal Pinang ketika mengikuti kursus pengelolaan penggali kubur di kantor gubernur tempo hari.
Tiba juga saat yang sangat mendebarkan itu. Dari jauh tampak mobil ambulans yang membawa sang dokter dari lapangan terbang perintis Tanjong Pandan. Sirene meraung-raung karena membawa tamu penting. Aku memberi aba-aba supaya para penari Serampang Dua Belas bersiap-siap. Arai menyiapkan para musisi orkes Melayu. Rencananya, pijakan kaki pertama dokter gagah itu di kampung kami akan disambut dengan satu mars yang membahana. Putri bungsu Ketua Karmun sudah tak sabar dengan
kalungan bunganya. Beratus-ratus hadirin lekat menatap ambulans yang makin dekat.
Ambulans perlahan memasuki halaman balai negeri. Suasana sedikit nervous, tampak rasa tegang tapi tegang yang menyenangkan pada setiap orang Ambulans pun berhenti di lokasi yang terhormat yang memang telah disiapkan sesuai protokol acara. Sekarang semua pandangan terhunjam pada kaca depan ambulans yang gelap. Pintu mobil terbuka dan sekonyong-konyong, mengejutkan, meloncatlah seorang gadis kecil nan lucu. Ia tersenyum lebar, polos, dan sangat gembira. Rupanya dokter Budi Ardiaz membawa serta putrinya. Kelas tiga SMP barangkali. Gadis kecil itu langsung mengingatkanku pada O shin. Poninya seperti anak SD, rambut belakangnya kuncir dua diikat pita merah muda. Ia menyandang ransel kecil kodok dari bahan wol, warnanya pink. Bajunya kaus putih seputih kulitnya. Celananya katun hanya sampai lutut Sepatunya kets, kaus kala semata kaki. Ia adalah gadis Tionghoa yang cantik dan mungil.
"Selamat datang, Dik sambut Ketua Karmun ramah. Ia mengangguk, sopan sekali. "Bapakmu masih di dalam mobil, ya ...""
Kami mendekati ambulans. Tentulah Dokter Budi Ardiaz demikian terharu melihat penyambutan besar-besaran sehingga ia tak sanggup keluar dari mobil. Jangan-jangan ia sedang terisak karena merasa begitu dihargai. Atau dokter yang gagah itu sangat pemalu menghadapi orang banyak maka kami harus menjemputnya. Kami melongok ke dalam ambulans, tapi tak ada orang selain Marsanip sopir. Belum hilang rasa heran kami, gadis mungil tadi
mendekati kami dan mengulurkan tangannya menyalami Ketua Karmun. "Saya Diaz ucapnya tegas, genggaman tangannya kuat, tangguh. "Budi Ardiaz sambungnya lagi. "Dokter Gigi Budi Ardiaz Tanuwijaya."
Aku memberi aba-aba kepada Arai yang bertindak selaku dirigen. Ia menjentikkan tongkat kecilnya, para penyanyi koor mengambil tempat, dan seluruh pengunjung serempak berdui. Sepuluh pemain biola mengantarkan intro yang anggun, lalu lamat-lamat, lagu Indonesia Raya mengalir, syahdu tapi bertenaga. Dokter Budi Ardiaz Tanuwijaya mengeluarkan jas dari tasnya dan mengenakannya dengan bangga. Jas almamater biru itu berlambang trisula nan keramat. Lalu, ia melangkah pelan tapi gagah. Dadaku bergemuruh dan aku merinding menyaksikan perempuan muda itu berjalan diantarkan dua remaja putri Melayu menuju podium diiringi bahana lagu Indonesia Raya dari seribu siswa. Kini, dalam balutan jas almamater biru itu, kesan tentangnya sama sekali berbeda. Ada sesuatu dalam dirinya, dalam caranya melangkah, dalam caranya menatap, ada keberanian menantang, ada kekuatan dahsyat yang tak terjelaskan. Ia menegakkan bahunya, wajahnya terharu tapi tegar.
Mozaik 18 Perempuan Itu Tak Menangis
SUDAH kuduga, Kawan, kau pasti ingin tahu kenapa dokter ini bisa menjadi sangat istimewa. Ah, engkau memang selalu ingin tahu. Terpaksalah kuceritakan kepadamu. Tapi, jangan tanya dari mana aku tahu karena kisah ini sangat rahasia.
Lim Soe Nyam telah melihat naga dalam diri cucunya. Cucunya itu putri bungsu dari anaknya, Hcndrawan Tanuwijaya.
"Tapi ia akan membuatmu bangga lebih dari harta dan anak-anakmu yang lain," begitu pesan Lim waktu seluruh keluarga besar berkumpul karena lim sedang di ujung tanduk nyawanya.
Tanuwijaya belum paham maksud papanya itu. Lim menarik satu napas panjang yang tak pernah diembuskan lagi. Istri, anak, cucu, mantu, ipar, adik, para sepupu, dan kongsi-kongsi bersimbah air mata meratapi Lim, kecuali putri bungsu Tanuwijaya yang masih SD yang disebut-sebut kakeknya itu. Ia sedih, tapi tak setitik pun air matanya luruh. Karena, ia adalah perempuan naga.
Lim dimakamkan, akhir kisah keluarga satu babak.
55 Hendrawan Tanuwijaya kaya mendadak bukan karena ia seorang politisi. Lagi pula ia tak suka politik.
"Susah jadi politisi," ujarnya selalu.
"Kalau kaya, disangka korupsi, kalau nyumbang, bangun-bangun sekolah, disangka money laundry, cuci-cuci uang." Ia kaya semata-mata karena ia pintar.
"Lebih baik punya kantor sendiri saja," katanya merendah. "Kecil-kecilan, dok apa-apa."
Sikap low profile itu dan bisnisnya yang bersifat state of the art, canggih-tak m
udah dipahami orang awam-menyebabkan ia tak terendus. Tidak oleh masyarakat, televisi, tabloid gosip, aparat, tidak pula orang pajak, bahwa Tanuwijaya sebenarnya salah seorang manusia terkaya di Indonesia. Lagi pula bisnisnya berbasis di luar negeri. Tapi semuanya legal dan Tanuwijaya terkenal jujur. Ia merencanakan usahanya sejak masih jadi mahasiswa cemerlang di Fakultas Teknik Elektro sebuah universitas kondang di Salemba, Jakarta.
Lulus kuliah, Tanuwijaya jadi trainee di AT&T (American Telephone and Telegraph). Tanuwijaya yang pintar
dipercaya mentornya. Setelah mentornya itu pensiun dari AT&T, mereka patungan menyewa transponder satelit. Awalnya mereka menggarap jaringan data perbankan di Indonesia. Naluri bisnis Tanuwijaya, kecerdasannya, digabung dengan pengalaman pakar telekomunikasi dari Amerika itu, dalam waktu singkat membuat perusahaan mereka leading. Yang tak banyak orang tahu, melalui dukungan koneksi yang kuat di Amerika, mereka mulai menguasai jaringan data lembaga-lembaga keuangan internasional. Dari klien mereka para penyedia jasa segala bentuk instrumen pembayaran yang menggurita secara global, termasuk provider kartu-kartu kredit ternama perusahaan Tanuwijaya meraup income dalam valuta asing. Jika dibayangkan konversinya, mengingat nilai tukar uang republik ini yang makin lama makin banci saja, Tanuwijaya jadi terkaya di Indonesia tak alang kepalang, tak ada bandingnya.
Sekarang Tanuwijaya ongkang-ongkang. Bolak-balik ke New York seperti orang Melayu ke jamban. Waktu lebih banyak ia habiskan di lapangan golf atau tur mencicipi beragam rasa wine dari satu kebun anggur ke kebun anggur lainnya di California.
Eugene Tanuwijaya, putra sulungnya, lebih sering mewakili Tanuwijaya mengurus holding yang meraksasa. Candra Tanuwijaya, putra kedua, membangun perusahaan-perusahaan VSAT (Very Small Aperture Terminal). Nature bisnisnya masih sama dengan papinya, berurusan dengan media telekomunikasi paling mutakhir dan bisnis finance
tingkat tinggi. Sudah kubilang tadi, Kawan, ini persoalan canggih, tak semua awam tahu. Usaha Eugene meraja lela sepanjang east coast Amerika dan Eropa Timur. Eugene segera jadi Taipan dalam usia amat muda. Sementara putra ketiga, William Tanuwijaya, masih sekolah bisnis di In-sead, Prancis. Jika lulus, ia sudah digadang-gadang sang papi menjadi CEO salah satu perusahaan paling prospektif dalam holding mereka.
Dalam semanggar kelapa, tak semuanya dapat menjadi cupat Itu pepatah Melayu purba. Si bungsu, satu-satunya perempuan, membuat Tanuwijaya gelisah sejak melihat raut dinginnya waktu kakek Lim meregang nyawa dulu. Ada sesuatu yang tak terbayangkan-dan agak menakutkan- dalam diri anak bungsu berlian keluarga itu.
Lulus SMA, si bungsu menolak diHrim ke Boston. Tadinya direncanakan ia akan ikut program bridging untuk siap-siap mengincar Harvard Business School. Kurang apa ia diimingi.
"Yang paling diperlukan sekarang," Tanuwijaya membujuk, "adalah analis yang dapat menilai risiko-risiko bisnis Papi. Kamulah orangnya. Kamu akan jadi direktur yang menangani soal itu. Kamu akan berkantor di San Fran-sisco, akan jadi salah satu orang paling penting di holding."
Tapi, si bungsu tak secuil pun tertarik. Tanuwijaya tak habis pikir setan apa yang merasuki putri kesayangannya itu.
Si bungsu ini, begitu terinspirasi pada petualangan, perlawanan, dan pemberontakan-pemberontakan, amat paradoks dengan penampilannya yang mungil dan lembut. Ia tak senang serba kecukupan. Ia terobsesi pada hidup serbasusah penuh perjuangan untuk mandiri. Ia ingin membangun hidupnya sendiri, tak mau dibantu siapa pun. Pahlawan bagi si bungsu adalah relawan Medecins Sans Frontieres. Kamarnya ia tempeli gambar Nelson Mandela dan Mahatma Gandhi.
Meski telah berkali-kali dipaksa ke Boston, si bungsu hanya mau sekolah di Jakarta, di sebuah universitas, dengan satu alasan, universitas itu melahirkan banyak orang hebat untuk negeri ini. Waktu memilih jurusan di universitas, ia menolak jurusan-jurusan menjanjikan yang disarankan papinya, yaitu International Business atau Financial Management. Sebaliknya, ia memilih jurusan yan
g sama sekali berbeda dengan rencana besar keluarga,
bahkan jurusan ini mulai dianggap orang tak menarik untuk mencari uang setelah lulus nanti. Cita-cita si bungsu memang unik dan membuat Tanuwijaya bergidik. Namun, gadis kecil itu tak bisa dibelok-belokkan lagi maunya. Ia bertekad mengabdi di daerah terpencil atau menjadi relawan red cross di garis-garis depan perang. Sekarang Tanuwijaya mengerti maksud bapaknya, Lim, bahwa dalam diri putri bungsunya, Dokter Budi Ardiaz Tanuwijaya, itu memang tumbuh seekor naga.
Mozaik 19 Syzygium Fambos SEPERTI pernah kubayangkan, meski berbeda bak itik dan merak dibanding Paris, hidupku kembali berlinang madu di kampungku.
Aku sedang duduk di beranda siang itu waktu Ayah tersenyum padaku. Senyumnya penuh arti. Gairahku meletup. Kucoba mengingat-ingat, membongkar perbendaharaan berupa-rupa senyum Ayah.
Senyum ajakan mentandik-kah itu" Tapi ini masih April, masih kemarau muda, masih jauh dari acara mentandik- ucapkan dengan ujung k yang tak penuh, Kawan. Mentandik adalah acara seru bulan kering Agustus, yaitu menjerat burung-burung berebak tempuruk-juga dengan "k" lemah-yang kehausan hingga turun ke pinggir danau.
Ataukah senyum ngenjaring" Tak mungkin pula. Bulan sudah tua begini, menjangan makin liar, susah dijaring. Pasti senyum ajakan menonton muangjong! Tapi bukankah sudah lewat" Maret kemarin suku S awang sudah buang sial ke laut lewat ritual muangjong yang magis itu.
Senyum nulat juga pasti bukan, karena kulat-jamur tiong-sudah busuk di ujung musim hujan. Senyum Ayah kian berbunga, dan teranglah maknanya bagiku, itu tak lain senyum jambu mawar! Sejak kecil, Ayah selalu mengajakku ke tempat-tempat istimewa. Setiap bulan sepanjang tahun, ada saja rencananya. Kuingat semua, mulai dari menyarai madu Bulan Januari, berebut jambu mawar dengan kawanan lutung pada bulan ApriL sampai menangguk ikan mungil cempe-dik di puncak hujan bulan Desember. Semuanya asyik tak terperi.
Ayah memompa ban sepeda Forever-nya. Aku bergegas mengambil ambong7 dan galah. Ayah berdiri siaga, ingin memboncengku. Kuingatkan bahwa aku sudah tak kecil lagi, aku sudah besar dan berat Wajahnya tegak, menatap lurus. Itu artinya: Bujang, janganlah banyak komentarmu, aku sudah tahu, naik saja. Nah, Kawan, ada jenis orangtua yang tak pernah menganggap anaknya sudah besar, bagi mereka, anaknya tak lain si ingusan dulu yang suka mengacau saja. Ayahku termasuk jenis itu.
Jambu mawar alias Syzygiumjambos, tak paham aku mengapa dimasukkan dalam familia jambu-jambuan myrtaceae. Barangkali karena bijinya serupa biji jambu air saja. Maksudnya serupa adalah, jika tergigit, rasa panirnya sama,
59 lekat di punggung lidah selama dua belas menit. Atau karena bentuk daunnya mirip daun jambu air.
Bagiku, jambu mawar adalah buah hutan biasa, seperti buah meranti, atau buah tampui. Tabiatnya, tak ubah tabiat kenari dan delima, yaitu tak ada orang yang pernah dengan sengaja membenamkan bijinya agar ia tumbuh. Namun, tiba-tiba ia mencuat sendiri, dengan daun-daun kecil hijau yang sehat berkilat-kilat, di ujung pagar, di pojok pekarangan, atau dekat-dekat sumur. Lalu jika bahu-bahu dahannya mengembang, perlakuan man rumah padanya mirip perlakuan pada kenari dan delima, yakni: tak seorang pun tega menebangnya. Antara lain, karena pohon jambu mawar dengan murah hati sering menjulurkan lengan rendahnya yang liat untuk digantungi ayunan. Belum seberapa, jika nanti ia berbuah dan topi serupa mahkota ibu suri kerajaan Britania Raya merekah di leher buahnya yang gendut itu, segeralah Syzygium itu menjadi pohon kesayangan keluarga.
Malangnya, hampir seluruh hewan menggemari jambu mawar, bahkan sejak bunganya bersemi. Burung kerucik-sepupu burung matahari-yang tak tahu tata krama itu, sering sekali menggugurkan putiknya dan mengacak-acak serabut bunganya. Tanpa merasa bersalah, burung mungil rakus bermoncong tajam itu menikami
penampang bunga untuk mengecap manis nektar, sambil menjerit-jerit histeris: krucik-krucik.
Yang selamat sampai putik, segera saja diijon oleh kumbang moncong dan ulat-ulat buah. Hewan renik yang bergerak-gerak klemat-k
kmut seperti orang bergoyang dangdut itu, tak disangka tak dinyana siapa pun ternyata berjiwa perampok sebab gerak-geriknya amat santun, pelan, lembut malu-malu. Namun, kerusakan yang dibuatnya bukan main. Jika mulut imutnya yang suka komat-kamit itu sudah menembus daging tipis jambu mawar, maka ia akan menyeruduk tak berhenti sampai ke sisi balik buah-buah belia itu. Sungguh tak berperasaan.
Lolos dari ulat buah, seumpama putik sempat membesar-tapi tetap masih mentah-musang, tupai, tikus pohon, kelaras, dan hewan-hewan pengerat kecil mengambil alih. Akhirnya, jika matang, jambu mawar akan diperebutkan oleh makhluk-makhluk yang lebih besar: kera, lutung, dan manusia.
Lutung, dengan bentakan teritorialnya yang menciutkan: cegoook-cegoookl Amat disiplin dan sistematis kerja timnya. Mereka memborong buah ranum jambu mawar sebelum azan subuh. Jika mereka beraksi, hewan lain menyingkir. Saat matahari naik, kawanan itu kabur.
Di hulu Sungai Sembuktk, dengan perut buncit, lu-tung-lutung itu bergelantungan di dahan-dahan tinggi pohon perepat, berleha-leha kekenyangan, mencari kutu, berebut istri, berasyik-masyuk, dan buang hajat sesukanya. Biji bijian yg tak sempurna di cerna lambung mereka berasyik-masyuk, dan buang hajat sesukanya.Biji bijian yg tak sempurna di cerna lambung mereka berjatuhan ke tanah dan lambat-laun terciptalah kebun liar jambu mawar sepanjang bantaran hulu. Ke sanalah Ayah mengajakku setiap tahun, pada April, untuk memetik buah jambu mawar di kebun alam, dari putik yang bersemi sejak Februari.
Matahari masih terang ketika kami tiba, pukul tiga sore. Hutan jambu mawar berbaris rapi mengikuti garis lengkung semenanjung. Ditiup angin muara, seluruhnya condong ke utara. Buahnya bergelayutan, yang tua berguguran, hanyut lamat-lamat di tepi sungai nan tenang Di sinilah dulu Ayah mengajariku berenang, mengajariku membedakan bunyi gemeletar punggung buaya mabuk cinta dan kecipak anak-anak ikan kemuring. Mendidikku membedakan suara katak daun dan keciap ular manau, yang menyaru suara katak untuk melahapnya. Sering aku dan Ayah menyelusupi celah-celah nifah, menyelam di bawah gemeresik pelepahnya, saling menguji ketahanan tidak bernapas. Aku memandang sekeliling dan sadar betapa aku merindukan semuanya, merindukan saat-saat ajaib yang kulalui bersama Ayah di hutan, delta, dan hulu-hulu sungai.
Tapi rupanya, kami terlambat. Kawanan besar lutung, dipimpin oleh seekor pej antan alpha gemuk pendek, dan bermata seram, telah mengangkangi dahan jambu mawar yang terlebat buahnya. Ia dikelilingi oleh lutung-lutung lain-pasti betina-betinanya-yang mulutnya cerewet sekali menyuruh kami menjauh. Aku ingin lari terbirit-birit ketika mendengar gembong para begundal itu berteriak membahana: cegooook sembari memamerkan taring panjangnya.
Tapi Ayah bergeming, diam saja. Aku mengajak Ayah pergi untuk menghindari serangan kawanan lutung yang marah. Kekuatan tak berimbang. Lagi pula masih banyak pohon jambu mawar lain. Mengapa harus berebut dengan primata ganas itu. Bukannya surut, Ayah malah maju. Aku lupa, ini bukan lagi soal memetik jambu mawar, tapi soal seorang Ayah ingin menjadi pahlawan di depan anak.
Gemetar aku melihat Ayah memanjat pohon jambu mawar yang telah dikuasai kawanan itu. Selanjutnya, kulihat pemandangan yang menakutkan
sekaligus menggelikan ketika Ayah saling berebut dahan dengan kaum lutung. Ayah sibuk mengisi ambong-nya dengan buah masak, pejan-tan alpha marah-marah. Ia mengguncang-guncang dahan hingga Ayah beberapa kali hampir jatuh, dan para betina lutung histeris, ngomel-ngomel melihat makan malam mereka dirampok Ayah, sekaligus jengkel pada suami andalannya yang hanya bisa menggertak-gertak saja.
Ambang terisi penuh, Ayah melompat turun. Ayah menghampiriku yang masih gemetar. Beliau memilih buah jambu paling ranum, membersihkannya dengan menggosokkan pada bajunya, dan memberikan padaku. Pejantan alpha yang terluka harga dirinya ikut melompat ke tanah tapi hanya hilir mudik saja. Betina-betinanya merepet-repet jengkel bersahut-sahutan. Jelas sekali mereka kecewa pada suami poligamis yang tak becus itu.
Mozaik 20 Berahim Harap Tenang USAI ritual jambu mawar itu, kami pulang dan berhenti di muka bioskop lama. Ayah membelikanku tebu yang ditusuk tangkai-tangkai lidi, seperti selalu dilakukannya dulu.
Aku terhenyak. Begitu banyak kenangan manis di bioskop ini.
Tak pudar kenanganku, dulu, waktu kelas lima SD, Ayah pernah berjanji padaku.
"Bujang, minggu depan kita ke Manggar, nonton film." Demi Tuhan, seminggu aku tak bisa tidur dibuat janji itu. Ini akan jadi pengalaman pertamaku nonton film. Aku sering mendengar cerita orang tentang film dan televisi. Namun, kedua benda itu tak pernah kulihat seumur hidupku.
Semua orang, mulai dari penjaga pintu air, Polsus Meskapai Timah, kedi-kedi padang golf Meskapai Timah, sampai muazin Masjid Al-Hikrnah kuberi tahu bahwa minggu depan aku akan diajak ayahku nonton film.
Minggu yang mendebarkan itu akhirnya tiba. Film baru akan diputar pukul tiga sore, tapi aku telah siap dengan setelan menonton film mulai pukul tujuh pagi.
Ayah memboncengkanku naik sepeda, tiga puluh kilometer ke Manggar. Sampai di gedung bioskop, lagu pembukaan Garuda Pancasila karya Sudharnoto bertalu-talu lewat speaker TOA. Tanda film segera main.
Aku gemetar. Begitu banyak manusia. Kulihat rombongan besar keluarga suku Sawang dan anak-anak Tionghoa yang berbaju paling bagus dibanding siapa pun. Orang-orang bersarung datang bersama anak-anaknya, juga memakai baju-baju terbaik mereka, berwarna-warni, tapi tetap menutupi kepalanya dengan sarung.
Yang paling banyak adalah keluarga Melayu. Semarak seperti Lebaran. Suku ini memang penggemar pertunjukan, penikmat seni sejati. Ada seniman bersembunyi dalam setiap diri orang Melayu. Semuanya gembira, lupa akan nasib yang penat. Lalu seperti biasa, merekalah yang paling besar bicaranya. Terutama Kamsir si Buta dari Gua Hantu yang ke mana-mana selalu menenteng monyet persis pendekar Si Buta dari Gua Hantu.
Kuberi tahu, Kawan, bagaimana namanya bisa ajaib begitu. Karnsk, bujang lapuk juru dempul perahu, tak pernah cukup jika belum menonton film-yang sama-delapan kali. Dia terobsesi pada film, seperti sahabatku Jim-bron pada kuda.
Meski bioskop kosong, Kamsir pasti duduk paling depan. Suatu ketika
ia menonton film Si Buta dari Gua Hantu. Pulang dari bioskop dia jadi senewen. Ibunya bingung melihat Kamsir tak mau makan, tak mau tidur, gelisah, karena ingin berjumpa dengan Ratno Timoer pemeran pendekar buta dari gua hantu, yang berjalan ke mana-mana dibimbing seekor monyet. Stabilitas rumah tangga dua anak-be-ranak itu goyah gara-gara ulah Kamsir. Ia menabung hasil mendempul dua belas perahu selama empat bulan, dan tak seorang pun bisa mencegahnya berlayar ke Jakarta untuk menemui Ratno Timoer. Kamsir dilanda sakit gila nomor sebelas: ingin jadi jagoan seperti dalam film.
Sebulan kemudian Kamsir merapat kembali di Pelabuhan Olivir, Belitong Timur. Penampilannya compang-camping seperti baru saja dikeroyok sepuluh ekor gorila. Ia tak berhasil menjumpai Ratno Timoer karena alamat yang ia tahu hanya Ratno Timoer tinggal di Jakarta. Dikiranya Jakarta luas sedikit saja dari Tanjong Pandan. Sejak itu, ia menerima akibat kebiasaan buruk orang Melayu yang gemar menjuluki orang, namanya yang indah Abdullah Kamsir bin Azhari Rabani berubah jadi Kamsir si Buta dari Gua Hantu. Namun, sakit gilanya berangsur sembuh sejak orang kampung menghadiahinya monyet, dan orang-orang mengatakan itulah monyet pendekar gua hantu. Tak berjumpa dengan Ratno Timoer tak mengapa, cukuplah berjumpa dengan monyetnya.
Suara hiruk pikuk dalam bioskop sontak reda waktu lampu dimatikan. Sejurus kemudian cahaya dan teks hitam putih menyambar-nyambar layar. Film dimulai. Aku terpesona, tak mau duduk. Aku berdiri terkesima melihat layar besar berwarna-warni, gambar-gambar bergerak cepat, suara musik dan orang bicara bercampur-campur. Lalu, di layar muncullah para pemain film. Wajah mereka tak seperti wajah orang Melayu, kulitnya bersih-bersih, bajunya bagus-bagus, dan bahasa Indonesianya lancar. Banyak kata yang tak kupahami.
Sungguh hebat film itu: Ira Maya Putri Cinderella, film terhebat yang pernah kusaksikan seumur hid
upku, yang memang baru sekali itu nonton film. Sering aku bertanya pada Ayah arti beberapa kata berbahasa Indonesia, misalnya waktu seorang lelaki muda berkata pada seorang gadis.
"Asmara... kubawakan bunga ini untukmu, cerminan rasa cintaku padamu......."
"Ayah, apakah arti semua itu" Cerminan" Asmara" Apa maksudnya,
Ayah"" Ayah yang juga baru kali pertama menonton film, ternganga mulutnya.
Beliau memandangku dan berpikir keras, tapi agaknya beliau tak begitu paham arti kata cerminan.
"Tonton saja, Bujang, usahlah kaurisaukan, itu bahasa orang Jakarta!"
Sepertinya Ayah tak begitu tertarik dengan kisah film sebab dari tadi kepalanya menoleh-noleh mengikuti sinar Jingga, biru, merah, dan hijau seperti pelangi yang ditembakkan proyektor ke layar, Ayah pasti heran bagaimana orang-orangjakarta itu bisa berada di dalam layar. Baginya, teknologi bioskop adalah sihir yang menggetarkan. Namun, aku cerewet sekali. Aku bertanya setiap kudengar kata baru. Ayah mencabut potongan tebu segi empat kecil di ujung lidi, memasukkan ke dalam mulutku, baru aku diam.
Aku masih berdiri sampai di layar tampak tulisan TAMAT. Lampu dinyalakan lagi dan lagu Rayuan Pulau Kelapa berkumandang. Film yang sangat mengesankan itu usai sudah. Berkali-kali aku menarik napas panjang.
Penonton di bioskop itu pada umumnya hampir selalu terkesan akan cerita, meskipun pernah terjadi pada pemutaran film sebelumnya, film yang terdiri atas lima rol, dan jika berganti rol ada jeda sepuluh menit, telah salah putar.
Berahim Harap Tenang, juru pancar film-ia dianugerahi julukan antik itu sebab setiap ganti rol, ia memasang slide text HARAP TENANG di layar- rupanya memutar rol kelima pada jeda ketiga. Maka ia tertukar, rol teiakhir diputarnya jadi rol keempat. Ia keliru, akibatnya penjahat film itu yang tadinya sudah mati jadi hidup lagi.
Selidik punya selidik, Berahim Harap Tenang rupanya sering melakukan kesalahan yang sama. Desas-desus beredar, ia dicurigai sengaja salah, terutama jika dalam rol kedua film jagoan atau penjahatnya mati. Ki Chong, pemilik bioskop, tak dapat bertindak lantaran hanya Berahim satu-satunya umat Nabi Muhammad di Belitong Timur yang dapat mengoperasikan proyektor film kuno yang banyak tuas, tombol, dan kabel-kabelnya itu. Maka suka-suka Berahimlah. Ia meng-fait accompli Ki Chong dan menjadikan dirinya sendiri sutradara dengan cara menukar-nukar rol film. Maka mati hidup penjahat atau jagoan dalam film berada di tangannya. Berahim menderita sakit gila nomor tiga puluh: merasa dirinya seperti Dewa Marduk pujaan kaum sesat Babilonia, bisa menghidupkan orang mati.
Di luar bioskop, beberapa orang bersarung berdebat dengan orang Tionghoa tentang penjahat yang mati lalu hidup lagi itu. Larengke marah-
65 marah. "Aku tonton pelem ini di Pangkal Pinang, penjahatnya itu dikasih mati sama itu pendekar, mati! Tak pernah dia hidup lagi!" Nyong Tet, keponakan Ki Chong, punya teori.
"Ke, dari dulu kudengar kabar, film-film di Pangkal Pinang memang tak ada yang beres! Kalau mau cerita yang benar, di bioskop pamanku inilah." "Mana mungkin! Pelem-nya. sama!"
"Mungkin saja! Semua bisa terjadi dalam pelem. Orang miskin bisa jadi kaya, orang kaya jadi miskin! Laki-laki jadi perempuan, perempuan jadi setan, bisa saja, Ke!"
"Tapi tak ada orang mati bisa hidup lagi!"
Pertengkaran memanas. Terpaksa mereka merubung Berahim Harap Tenang Berahim sedang membuka gembok sepedanya waktu itu. Ia memandang orang-orang yang bertengkar dengan takzim, dan menjawab secara sangat filosofis, tanpa rasa bersalah.
"Tak usahlah kalian cemaskan. Jagoan atau penjahat yang mati dalam pelem, semuanya masuk neraka!"
Lalu, ia ngeloyor. Di dalam diri Berahim, aku melihat bagaimana seseorang nantinya akan berevolusi dari sakit saraf menjadi psikopat. Dari 44 macam sakit gila yang telah kudaftar, yang model Berahim ini adalah yang paling berbahaya.
Maka tinggallah Kamsir Si Buta dari Gua Hantu yang bisa diharapkan dapat memberi solusi bagi silang pendapat yang sengit itu. Tapi ketika ditanya, Kamsir seperti orang bingung. Ia mengatakan bahwa ia belum begitu mengerti jalan cerita film yang
baru saja ditontonnya. Padahal Kawan, ia telah menonton film itu lima kali. Ia bahkan sudah memesan karcis pada Ki Chong untuk nonton lagi besok.
Kamsir tampak prihatin karena tidak bisa memenuhi harapan orang-orangyangbertengkar agar memberijawab-an tuntas. Ia berkali-kali menarik napas panjang. Monyetnya pun tampak prihatin. Dari raut wajahnya tampak betul Kamsir ingin membantu, tapi apa daya. Akhirnya Kamsir menjawab dengan bijak, "Kawanku, mungkin nanti setelah kutonton barang tujuh atau delapan kafi, baru aku bisa memberi sedikit penjelasan pada kalian, sabar, ya."
Sabar ya itu diucapkan Kamsir dengan khidmat sembari membekapkan kedua tangannya di dada, seolah ia bersyukur tak terkira-kira akan kemurahan Tuhan karena Tuhan telah menciptakan para pembuat film di muka bumi ini sehingga ia bisa menonton, dan semoga ia diberi umur panjang agar dapat menonton setiap film paling tidak dua belas kali.
66 Pulang nonton film Ira Maya Putri Cinderella, sepanjang perjalanan aku masih terus bertanya ini-itu pada Ayah. Beliau diam saja. Aku terus bertanya dan beliau tetap diam. Aku seperti bermonolog. Memang begitu komunikasiku dengan Ayah, Sepihak saja. Maka jika dengan Ayah aku belajar bertanya dan menjawab sendiri. Kadang kala aku mencip-takan semacam alter ego, manusia bayangan yang menjawabiku.
Tapi jawaban dari Ayah sebenarnya tak penting bagiku. Caranya menaikkanku ke sadel belakang sepeda, caranya mengikat kedua kakiku ke tuas sepeda agar tak terjerat jari-jari ban, caranya mendengarkan dan tersenyum, dan bau pandan baju safari empat sakunya adalah seribu jawaban bagiku. Ketika aku bertanya mengapa di bioskop Ki Chong setiap film akan dimulai selalu dimainkan lagu Garuda Pancasila, bukan lagu Begadang karya Kak Rhoma Irama, Ayah menjawab, "Nanti, Bujang," katanya. "Kalau kau sudah tamat SMA, Ayah ajak nonton film Rhoma Irama."
Aku berteriak-teriak girang, melonjak-lonjak, sampai limbung sepeda Forever Ayah.
Dan di sinilah aku kini. Di depan bioskop Ki Chong ini. Kenangan akan indahnya diajak Ayah nonton film Ira Maya Putri, Cinderella itu masih terasa-rasa sampai aku dewasa kini. Aku tersenyum melihat poster terpal besar film. Seorang pria berjenggot lebat dengan tatapan syahdu meradang, memegang gitar seperti Rambo menenteng peluncur roket Jubahnya melayang-layang di atas sederet tulisan judul film: Rhoma Irama Berkelana. Sungguh mendebarkan.
Kupeluk pundak Ayah. Beliau diam-diam telah memperhitungkan semuanya. Kami singgah di sini tidak hanya untuk membeli tebu, tapi ayah ingin memenuhi janjinya belasan tahun yang lalu. Janji yang diucapkannya padaku waktu kami pulang menonton film Ira Maya Putri Cinderella dulu.
Bioskop Ki Chong, masih seperti dulu. Orang-orang bersarung, warga Tionghoa, dan orang-orang Melayu berduyun-duyun. Kamsir Si Buta dari Gua Hantu masih duduk di bangku paling depan. Ia sudah tua, tapi kecintaannya pada film Indonesia tak luntur-luntur. Film Rhoma Irama Berkelana ini kabarnya telah ditontonnya empat belas kali. Berahim Harap Tenang sudah meninggal. Tugasnya sebagai pemutar film digantikan anaknya, namanya di juluki orang Melayu persis nama ayahnya, dengan sedikit tambahan: Berahim Harap Tenang Yunior.
Film usai, malam larut. Kami pulang melewati sabana terbuka. Purnama penuh, bola api merah Jingga, bulat besar menyala seakan kami melintas tepi dunia. Angin timur meliuk-liuk, sepeda sempoyongan. Ayah tetap teguh meski letih, dan senyumnya mengembang. Ia senang karena telah memetikkanku buah
jambu mawar dan menebus janji lamanya mengajakku nonton film Rhoma Irama.
Sepeda melewati hamparan seribu danau, dalam bias rembulan. Kulihat wajah Ayah. Membelaku dengan konyol di depan kawanan lutung, berkeras mengayuh sepeda meski kelelahan, tebu yang ditusuk tangkai-tangkai lidi itu, dan janji yang disimpannya dengan teliti selama belasan tahun itu, itulah melepas rindu baginya. Beginilah artiku baginya. Semuanya sangat sederhana dan sangat diam, tapi indah, indah tak terperi. Rasanya aku tak mau turun dari sepeda. Betapa beruntungnya aku, menjadi anak dari lelaki berhati emas ini.
Mozaik 21 Barbara T AK terasa, sebulan sudah aku di kampung. Tanpa pekerjaan, berijazah universitas, maka profil demografiku dapat digambarkan seperti ini: pengangguran paling intelek di Pantai Timur Belitong.
Konsolidasi, itulah yang kulakukan sekarang, konsolidasi. Secara diplomatis istilahnya begitu. Namun, yang sesungguhnya terjadi adalah ungkapan konsolidasi itu untuk membujuk diri sendiri. Sebab, aku ini tak lebih dari jutaan orang muda berijazah perguruan tinggi di negeri ini yang gugup ketar-ketir menghadapi masa depan. Jika melihat tabiat para petinggi dan wakil-wakil rakyat di negeri ini, rasanya suram, suram sekali masa depan itu.
Maka, aku belajar melihat hidupku dari perspektif yang berbeda. Yakni, saat-saat ini kuanggap aku tengah memberi hadiah pada diriku sendiri dengan sedikit berLeha-Leha di kampung. Cooling down, begitulah kira-kira. Toh, selama ini aku telah mendidik diriku demikian keras, sejak kecil, tanpa rehat, demi pendidikan itu, demi masa depan itu.
Karena itu, saban pagi, kunikmati saja saat-saat ketika ibuku menjelma menjadi warta berita RRI pukul tujuh. Merepetlah sindiran tentang mengapa aku tak kunjung bekerja, tentang betapa pemalasnya anak-anak muda Melayu zaman sekarang.
"Sudah kubilang dulu!" cetusnya.
"Masuk saja madrasah, mengajar mengaji, cepat-cepat cari istri, dapat pahala, dapat ransum beras!"
Ibu sendiri, sangat bangga dengan sepucuk kertas yang menandai dirinya pernah sekolah dua tahun di SR (Sekolah Rakyat). Ia juga mendapat pendidikan tambahan madrasah. Ijazah SR itu memberinya perbedaan sangat besar dari kebanyakan lelaki dan perempuan angkatannya. Pada masa itu Ibu dianggap sangat terpelajar. Perbedaan ini adalah bisa membaca.
Sari berita Ibu kemudian berulang-ulang soal si A yang anaknya sudah masuk SD, si B yang anaknya kembar tiga, dan si C yang akan segera beranak.
"Apa yang kaucari dalam hidupmu itu"!"
Aku tafakur seperti orang mengheningkan cipta. Dengan cara apa aku dapat menerangkan pada Ibu soal konsep ekuilibrium ekonomi" Bahwa aku, seperti halnya jutaan sarjana yang sedang gugup itu, memiliki cita-cita demikian tinggi, tapi sistem keseimbangan ekonomi republik ini belum bisa menampung orang-orang seperti kami. Sempit sekali lapangan kerja itu. Seandainya Ibu kenal sedikit saja dengan Edgeworth, secepat kilat dapat
69 kulukis diagram di atas meja makan ini bahwa ekonomi bangsa ini salah-salah bisa bangkrut, dan orang sepertiku dengan gampang tergulung dalam kebangkrutan itu. Tak jadi sarjana, dan tak tinggi harapan, barangkah akan membuat hidup lebih mudah. Maka di negeri ini, para pemimpi adalah para pemberani. Mereka kesatria di tanah nan tak peduli. Medali harus dikalungkan di leher mereka.
Warung kopi bersemi, pukul tujuh pagi. Diam-diam, saat Ibu berpaling sedikit saja, aku melompat kabur menuju pasar.
Bergabunglah aku di Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi dengan orang-orang Ho Pho, Khek, Hokian, Tongsan, Sawang, orang-orang bersarung, dan orang-orang Melayu. Aku duduk melamunkan masa laluku nan berlika-liku dan masa depanku yang kabur sayup-sayup sampai di atas papan catur. Betapa tak menyenangkan hidup menganggur. Berusia di atas dua puluh lima tahun, masih makan beras hasil jerih payah orangtua, masih berteduh di bawah atap rumah orangtua yang beranjak uzur, adalah bentuk penderitaan diam-diam, persis kanker usus dua belas jari yang kronis. Aku telah mengambil hikmah dari beragam pengalaman pahit hidupku tapi nyaris tak ada hikmah apa pun dari menganggur. Para penganggur bertempur seuap hari melawan rasa pesimis yang menggerogoti pelan-pelan, waktu yang hampir habis, kesempatan yang kian tipis, saingan yang makin ganas, kepercayaan diri yang merosot, dan harga diri yang longsor, pertempuran dalam perang yang terlupakan. Perang yang tak pernah dibuatkan novel dan film. Sekarang aku mafhum mengapa para penganggur sering tampak seperti orang linglung. Dan, mataku terbelalak membaca angka pengangguran Indonesia mencapai puluhan juta orang" Begitu banyak orang menderita di sini" Sudah kukatakan padamu, Kawan, di negeri ini, mengharapkan bahagia datang dari pemerintah, agak sedikit r
iskan. Aku punya banyak ide sebenarnya tentang masa depan itu. Menyadari sudah sangat terlambat untuk menjadi seorang pemain bulu tangkis, tak mengapa, aku masih bisa mengangankan diriku jadi guru, jadi pegawai kantoran di sebuah instansi pemerintah, jadi penyiar radio, juru taksir pegadaian, atau mungkin jadi pelatih sepak bola, atau paling tidak, wasitnya. Namun, ide-ide itu tertelan lagi setiap kuteguk kopiku. Saat ini, kurasakan merupakan saat setiap pagi aku masih tetap mendapati diriku sebagai seorang Melayu pemimpi. Demikian kulalui hari demi hari, dengan gugup.
Bahagia, satu-satunya, hanya jika sore menjelang dan aku menyeduh teh
dan kopi yang kudapat dari petualanganku di berbagai penjuru negeri untuk Ayah. Kami duduk berdua dalam diam. Ayah dengan syahdu, mencium aroma teh dan menakar rasa di ujung lidahnya. Momen magis itu datang waktu ia mengangkat wajahnya dari cangkir dan satu kedutan kecil di matanya membuatku paham bahwa teh Alhambra ini lebih enak daripada teh Darjeeling kemarin. Aku telah begitu lihai membaca wajah ayahku. Lalu, kami lewatkan sore yang indah berdua, tetap diam.
Bahagia lainnya muncul di warung kopi. Setiap orang dari setiap suku mulai kukenal sebagai pribadi. Tak hanya namanya kutahu, tapi pekerjaannya dan asal usulnya. Aku senang mengamati tabiat subetnik sekelilingku. Bagiku, lingkungan adalah semacam laboratorium perilaku. Masing-masing punya kisahnya sendiri.
Orang-orang Khek, Hokian, atau Tongsan di kampung kami adalah suku yang serius. Terutama yang tua-tua. Mereka menyadari diri sebagai perantau dan mendidik turunannya dengan mentalitas perantau: disiplin, efektif, keras.
Humor mereka tak lucu, hambar, kemarau, dan orang-orang itu selalu berada di kutub-kutub ekstrem. Jika kaya, kayanya tiada banding. Jika miskin, ibaratnya, sampai makan tanah. Jika berwajah jelek, mohon maaf, wajahnya rata. Namun, jika cantik-A Ling contohnya-tatapannya mampu mencairkan tembaga.
Begitu pula jika baik, dermawan lebih daripada siapa pun, memberi pada siapa saja tak pandang bulu, mulia sekali bak santa-santa. Di kampung kami, beberapa konfusius Tionghoa tak sungkan menyumbang pada orang Melayu untuk membangun masjid, bahkan ada yang membangun sendiri masjid itu. Namun jika sudah jahat, tak sekadar menggarong, tapi merekalah gembongnya.
Berbeda dengan orang-orang bersarung. Semula kuduga kehidupan mereka yang keras di laut membuat mereka tak punya selera humor. Namun, aku salah duga. Mereka memang sulit tertawa. Jarang kulihat mereka terbahak-bahak seperti orang Melayu, tapi ternyata jiwa komedi mereka amat memikat.
Kelucuan bagi mereka, tak masuk akal siapa pun. Ini kusebut-istilahku sendiri-superficial joke, yakni komedi dangkal, spontan tanpa rencana, lugu, dan menjadi lucu bukan karena substansi komedi itu, melainkan karena cara mengomunikasikannya.
Misalnya, mereka menyamakan wajah kepala suku mereka dengan
wajah ikan kerapu. Hal itu sangat lucu bagi mereka dan mereka tertawakan- hal yang sama itu-selama dua tahun. Atau, hanya karena temannya kebesaran kopiahnya, tengik bau sarungnya, atau terbalik menyalakan rokok, mereka bisa menertawakannya berbulan-bulan. Kejadian-kejadian itu sebenarnya tak lucu, tapi lihadah ketika mereka berkisah, siapa pun akan tergelak. Lebih dari itu, sesungguhnya orang-orang bersarung adalah suku yang bahagia sebab bisa gembira dari hal-hal yang sederhana.
Tak dinyana, suku Sawang, yangjuga keras peri kehidupannya, pemangku pekerjaan kasar yang tak mampu dikerjakan suku lain, para kesatria dok-dok kapal, pahlawan bengkel-bengkel bubut, pangeran penggali sumur di lubang batu, buruh kasar penjahit karung yuka, kuli-kuli panggul pelabuhan, sangar-sangar tampangnya, teguh garis wajahnya, tegas rahangnya, ternyata punya selera humor yang hebat.
Sore, usai membanting tulang, mereka mengelilingi juru-juru parodi mereka yang bergaya meniru-nirukan pidato pejabat yang mereka lihat di televisi. Atau berjoget riang menyaru para artis dangdut, sambil bernyanyi. Syairnya mereka ganti dengan frasa Jenaka dari bahasa mereka sendiri, untuk menggoda temannya, merayu kekasihnya, ata
u menyindir majikan. Inilah intelligent joke: guyonan bernuansa ironi, penuh apresiasi akan sendi-sendi sosial termasuk seni. Jarang ada di antara mereka yang sekolah tapi humor mereka humanis, santun, dan terpelajar.
Humor orang Ho Pho, lain pula. Komunitas ini jumlahnya kecil. Mereka turunan prajurit Ho Pho, tentara bayaran dari daratan Tiongkok, kongsi kumpeni dulu. Humor mereka agak ganjil, psikopatik, dan sering agak membahayakan.
Misalnya, mereka dengan sengaja memelihara anjing yang dari waktu ke waktu diberi makan kumbang hitam sehingga galaknya seperti Firaun. Jika mereka berburu mendapat babi hutan, sebelum babi itu dilungsurkan ke penggorengan, sang anjing didandani seperti seorang gladiator, diadu dengan babi hutan tadi, yang mereka dandani seperti kopral kumpeni. Babi Hutan menguik-nguik, mereka terbahak-bahak di luar kandang.
Bentuk lain humor bagi subetnik Ho Pho yang unik ini adalah taruhan. Taruhan merupakan salah satu guyonan favorit mereka, dan taruhan mereka selalu gila-gilaan. Misalnya, zaman dulu, konon mereka mempertaruhkan istri dalam adu babi hutan melawan anjing itu.
Mereka bertaruh untuk mempertaruhkan hal-hal yang konyol, tak penting, dan tak masuk akal. Misalnya, jika Presiden berpidato di televisi, mereka taruhan berapa kali Presiden batuk. Mereka menyimak pidato Presiden dengan saksama tapi sama sekali tak peduli dengan isi pidato. Suka-sukalah Presiden mau bicara apa, tak ada urusan dengan mereka. Mereka menghitung dengan teliti berapa kali Presiden batuk, yang kalah taruhan sungguh mengenaskan nasibnya, misalnya harus minum kecap campur spiritus, atau k makan seratus cabe rawit mentah yang paling pedas dan B setelah itu tak boleh minum selama sehari-semalam.
Hanya berdasarkan berapa merah rapor anaknya, mereka berani bertaruh mengupas kelapa hanya dengan menggunakan gigi. Namun, mereka selalu gentleman. Jika sudah bertaruh, mereka konsekuen. Taruhan disepakati dengan cara saling memegang daun telinga. Berbeda dengan orang Melayu. Ketika membualkan taruhan sungguh luar biasa lagaknya, jika kalah, dan akan dituntut taruhannya, ia menghilang, tak tahu ke mana. Alasannya selalu, waktu itu ia hanya bercanda saja.
Orang Ho Pho senang berburu dan membuat kalung dari telinga monyet yang dikeringkan, bagi mereka itu seru dan lucu. Atau, untuk tujuan bercanda, mereka memasukkan berbagai ramuan sinting ke dalam minuman temannya sehingga temannya mabuk dua h ari-dua malam. Ramuan itu tak kira-kira: gula aren dicampur ragi dan sedikit spiritus. Melihat temannya bergulung-gulung di tempat tidur, mereka tertawa berguling-guling.
Baru-baru ini San Thong, orang Ho Pho tukang tambal ban, harus berurusan dengan polisi.
Demi menghibur pelanggannya, San Thong memasukkan ujung pipa kompresor gas angin pada seekor kambing yang kebetulan melintas di depan bengkelnya. Kontan, kambing itu kembung.
Sema'un, pemilik kambing, tersinggung berat kambing betinanya diperlakukan tidak senonoh. Apalagi gara-gara itu, Barbara, nama kambingnya itu, kehilangan nafsu makan. Sebab ia menderita sembelit-stafikasi alias susah buang hajat. Kabarnya penyakit ini banyak menimpa para eksekutif muda di Jakarta.
Sema'un mengadukan kelakuan San Thong pada Mahadip Sheriff, seorang Banpol alias bantuan polisi. Ma-hadip Sheriff kesulitan menemukan delik untuk pelecehan terhadap kambing. Akhirnya, pertikaian diselesaikan secara kekeluargaan. San Thong disuruh membaca permintaan maaf secara terbuka pada Sema'un, dan Barbara tentu saja, dan diwajibkan mengangon Barbara selama dua bulan. Sejak itulah nama Sema'un jadi Sema'un Barbara
dan San Thong jadi San Thong Pompa.
Suatu sore, datanglah ke kampung kami rombongan pemain sandiwara Melayu Dul Muluk. Mereka tampil di lapangan sekolah nasional.
Orang Melayu berduyun-duyun menonton paling depan dan tertawa senang melihat penampilan karakter ko-median yang terampil memainkan atraksi api obor. Tawa mereka tentu saja dibarengi komentar sana sini tentang pakaian sang komedian, tentang caranya memainkan obor, tentang kesalahan-kesalahan kecil karakter itu. Orang Melayu memang senang berkomentar san
a sini. Orang Sawang juga tertawa, terutama saat sang komedian menymdh-nyindir paduka raja dengan rima-rima pantun. Mereka bersenda gurau sambil meniru-nirukannya.
Orang-orang Khek, Hokian, dan Tongsan yang berbaris rapi di belakang diam saja. Mereka, yang kering jiwa humornya itu, sama sekali tak bisa menangkap substansi lucu dari adegan-adegan itu. Bagi mereka, laki-laki dibe-daki untuk jadi tontonan adalah hal yang mengerikan. Tak seharusnya seorang lelaki berbuat begitu. Apa sudah tak ada pekerjaan lain" Dasar pemalas!
Rombongan orang Ho Pho yang menonton di belakang orang-orang Khek, Hokian, dan Tongsan juga tampak dingin, bahkan tersenyum saja tidak.
Tiba-tiba, celaka, sang komedian melakukan kesalahan. Api obor yang ia semburkan lewat bensin dari mulutnya membakar wajahnya sendiri. Ia panik dan menjerit-jerit. Orang-orang Melayu dan Sawang serentak berdiri dan terpana tak dapat bergerak. Mereka terpaku melihat pemandangan yang mencemaskan. Orang-orang Khek, Hokian, dan Tongsan berteriak-teriak ketakutan, dan berkali-kali berseru, 'Apa kataku tadi!" Jangan main-main dengan api! Berbahaya! Haiyaaaa Sebaliknya, orang-orang Ho Pho yang dari tadi diam membatu kini malah tertawa terbahak-bahak. Bagi mereka, inilah bagian paling lucu dari pertunjukan. Mereka melonjak-lonjak girang tapi hanya mereka yang terpikir untuk menolong komedian malang itu. Sambil berlarian membawa ember air, mereka tertawa terpingkal-pingkal.
Mozaik 22 Juru Muda Pompa NAH, inilah hikayat orang Melayu Dalam sang mayoritas.
Sikap mereka selalu moderat, berada di tengah karakter kaum minoritas Khek, Hokian, Tongsan, Ho Pho, orang-orang bersarung, dan suku Sawang.
Jika orang Melayu kaya cukuplah untuk sekali ke Tanah Suci. Umpama miskin, selalu merasa dirinya beruntung. Maka tak pernah ada yang melarat. Jika baik, tanggung, jika jahat, tak kan lebih dari bromocorah pencuri setandan pisang, itu pun pisang mentah. Jika pintar jadi carik kantor desa, jika bodoh bahkan tak bisa membedakan huruf B dengan M. Tak tahu kalau Purwakarta dan Purwokerto itu berbeda.


Maryamah Karpov Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Komedi orang Melayu Dalam bersifat artifisial dan politikal. Karena itu, salah satu bentuk klasik humor mereka adalah membual.
Mereka seriang sekali membualkan bahwa semua orang penting dikenalnya, semua artis sobatnya, bahwa menteri A itu kerabatnya. Padahal, hanya karena ia bertetangga dengan ipar menteri itu dan ayam mereka pernah ketahuan kawin. Sang menteri sendiri tak mengaku iparnya yang berengsek itu sebagai saudara. Harapan si pembual tentu saja agar dia disegani karena banyak mengenal pejabat. Inilah yang kumaksud sebagai humor artifisial-humor palsu-dan humor politikal.
Namun, obrolan ngalor-ngidul di warung kopi atau di kenduri-kenduri selalu kurang afdol jika si pembual belum datang.
Sang pembual sering malah dengan sengaja dibelikan kopi dan kue hok lo pan, lalu ditanggap sejadi-jadinya. Bualan itu, minta ampun, sungguh sinting, misalnya seorang pembual mengisahkan ia memasang pukat dua ratus hasta. Seratus hasta dipasang di sungai, sedang ujung seratus hasta lebihnya ia biarkan melintang di darat.
"Dari pukat di sungai, aku dapat ikan tapa, tak kurang dari sebesar paha," bualnya edan. "Dan dari pukat yang di darat, aku dapat pelanduk."
Seisi warung kopi tertawa terpingkal-pingkal. Tepuk tangan bertubi-tubi. Pembual lain tak mau kalah.
"Pak Cik, di tempat kau memasang pukat itu, minggu lalu aku menyelam," ujarnya serius.
"Ah, di dasar sungai kutemukan termos, kubuka termos itu, amboi, ada air panas di dalamnya, kubuatlah kopi' dalam air."
Tawa meledak lebih keras dari bualan pukat tadi. Demikian sahut-menyahut cerita-cerita gila. Pengunjung tak henti-henti mengipasi kedua
75 pembual. Bahkan, mereka rela patungan untuk menambah gelas kopi dan hok lo pan agar kedua pembual tak cepat pulang
Anehnya, setiap orang tahu bahwa semua itu hanya bualan. Semua orang mafhum bahwa peristiwa-peristiwa itu tak pernah terjadi. Namun, tak seorang pun merasa dirinya dibohongi, tak seorang pun merasa risi, merasa dihina intelektualitasnya, dibodohi, direndahkan, atau tersinggung, dan tak seorang pun me
ncoba memberikan gambaran logis pada para pembual dan hadirin.
Lama aku memikirkan fenomena ini. Akhirnya kutemukan jawaban. Bahwa yang dikagumi dan ditertawakan para pengunjung dari para pembual sesungguhnya bukan kisah bualnya, melainkan kemampuan imajinasi pembual sehingga mampu terpikir akan misalnya: memasang pukat di sungai dan di darat atau menemukan termos di dasar sungai. Fenomena membual membuatku makin memahami kaumku sendiri bahwa imajinasi adalah salah satu esensi dari nature orang Melayu. Begitulah cara mereka menertawakan kepedihan nasib.
Maka, paling tidak di Tanah Melayu, tidaklah mudah menjadi pembual. Mesti kreatif dan imajinatif. Karena itu, pembual merupakan jabatan informal yang penting. Biasanya pembual memiliki keterampilan generik lain, yakni jago pantun. Jasanya selalu diperlukan oleh rombongan mempelai pria untuk upacara berebut pintu. Sang jago pan tun mengadu pantunnya dengan wakil mempelai perempuan. Jika menang, mempelai perempuan baru mau keluar lewat pintu. Karena itu, saat musim kawin tiba, pada bulan-bulan Agustus atau September sebelum musim hujan, para pembual sentosa berjaya.
Biang pembual paling jempolan tak lain Zainul Arifin. Za-inul yang bertubuh gempal khas kuli dan berwajah seperti orang lugu tapi banyak utang adalah pembual kelas satu. Jika membual ada dalam olimpiade, dia pasti juara.
Bukan main bualan Zainul. Ia misalnya, bercerita tentang kehebatannya ngebut Waktu ia menikung di tikungan Buding yang terkenal itu, ujarnya serius, ia mendengar suara bersuit tak tahu dari mana. Rupanya, ia berhenti sejenak sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
"Suara bersuit itu dari lubang hidungku sendiri! Saking kencangnya motorku!"
Penonton yang merubungnya kontan bertepuk tangan. "Seratus delapan puluh kilometer per jam! Kecepatan-ku, seratus delapan puluh kilometer, per jam! Kalau kalian mau tahu!"
Orang-orang berdecak kagum.
"Speedometer motorku, sampai tak bisa lagi mengatasi putaran gas! Tanganku sampai terkilir sebab terlalu lama memutar gas secara pol!"
Padahal, Kawan, sepeda motornya itu tak lebih dari Suzuki tangki biji nangka tahun 1968 yang jika digas keras-keras, bubuk karat berhamburan dari kap rodanya dan tutup kunci sampingnya, lampu seinnya, speedometer yang sudah tak berjarum itu, sadelnya, bahkan tangkinya bisa copot satu per satu.
Lain waktu ia membual pernah disalami Rhoma Irama. Ahai, mana mungkin" Kalau Kak Rhoma pernah ke Tanjong Pandan, aku pasti tahu!
Yang paling dahsyat, adalah bualnya soal helikopter tempur TNI AU.
Zainul, juru muda pompa semprot Meskapai Timah, dinas malam waktu itu. Tiba-tiba, dini hari, ia dan keempat kawannya seregu terkejut melihat sebuah helikopter terbang rendah dan limbung dekat tambang mereka. Helikopter Tempur Puma milik TNI AU itu jelas sedang mengalami kerusakan teknis dan harus segera mendarat darurat. Lampu merah tanda bahaya berkilat-kilat dan satu lampu depan helikopter menyorot Zainul dan kawan-kawannya.
Regu penyemprot paham maksud pilot helikopter. Mereka segera menyalakan obor dan membuat isyarat dengan menunjuk-nunjuk satu dataran tanah lempung yang kering tempat helikopter dapat mendarat. Helikopter itu pun mendarat dengan selamat.
Kejadian helikopter itu benar terjadi, helikopter itu akhirnya memang selamat, tapi versi zainul berbeda. Di Warung Kopi Nyiur Melambai ia membual.
"Waktu itu pukul dua pagi, gelap gulita!" katanya de" ngan wajah
tegang. "Petang tiga puluh!"
Petang tiga puluh, bukan main, gelap sekali. Istilah itu adalah ungkapan orang Melayu untuk menyebut malam paling pekat jika bulan hilang setiap tanggal tiga puluh almanak
"Helikopter itu berputar-putar di depanku, ekornya berasap karena baru saja ditembak oleh rudal kapal selam negeri jiran! Kapal selam ku sembunyi di muara!"
Hadirin menahan napas. "Lima belas pesawat jet tempur F-16 musuh men-deru-deru mencari helikopter! Ah, aku keliru, bukan lima belas! Dua puluh enam! Suaranya dahsyat, sesekali mereka menembakkan roket, bumi bergetar-getar!"
Hadirin merubung meja Zainul.
"Ada pula penerjun payung, pasukan katak!" Kian ramai pengunjung
77 warung kopi meng elilingi Zainul, meninggalkan kopi mereka, bahkan melupakan papan-papan catur yang hampir skak mati. "Keadaan sangat genting!"
Wajah para hadirin khawatir. Mereka bertanya bagaimana keadaan Zainul dan keempat kawan seregunya para juru muda pompa semprot waktu itu.
"Hanya aku yang masih berdiri tegak! Rajab, Jum, Jemali, Mahitar, teibiritrbirit ketakutan, mereka tiarap di dalam parit"
Zainul menceritakan itu sambil mendelik kiri-kanan kalau-kalau salah satu koleganya itu ada di situ.
"Lalu, lalu para hadirin tak sabar.
"Helikopter makin kacau! Berputar-putar linglung hampir jatuh, api berkobar-kobar di ekornya, kipasnya ber-siut-siut tak terkendali."
Cerita makin seru. Seseorang menambah cangkir kopi di depan Zainul, semangatnya meluap-luap.
"Sekonyong-konyong, pilot mendongakkan kepala ke luar jendela helikopter, astaga! Ternyata mereka adalah pasukan baret merah TNI AU, bangsa kita sendiri!"
Hadirin melonjak, terbakar jiwa patriotnya.
"Pilot itu berteriak padaku: hoiii, kau yang di sanaaa, tolonglah kamiii,
kami mau mendaraaat, helikopter ini akan meledaaaak..........."
Hadirin tegang, mulut mereka ternganga.
"Lampu menyorot dari hidung helikopter itu, kupikir pastilah lampu sorot itu dapat dipakai untuk menyelamatkan tentara kita itu!"
"Jadi, apa yang kaulakukan, Nul"" hampir serempak hadirin bertanya. Mereka cemas, karena mereka ingin membela TNI AU. Zainul serta-merta berdiri dan melakukan gerakan semacam nyengir kuda, memamerkan gigi-gigi kuningnya.
"Inilah yang kulakukan untuk menyelamatkan helikopter tempur itu!" "Apa maksudnya, Nul""
"Waktu helikopter itu menyinariku, melalui gigi-gigiku yang bercahaya kena lampu sorotnya, aku memberi mereka kode-kode Morse SOS agar mereka mendapat pedoman untuk mendarat darurat!"
Zainul menjelaskan maksudnya dengan membuka tump bibirnya, persis kuda mengunyah rumput. Hadirin terpana sejenak... terpana ... terpana ... lalu bergemuruhlah bertepuk tangan. Suitan sahut-menyahut tanda salut pada ZainuL
"Akhirnya para tentara kita itu selamat, tak kurang suatu apa!"
"Nul, tak kusangka kau secerdas itu! Tak percuma kau ikut Pramuka waktu itu!" puji Syarifuddin pemilik Warung Kopi Nyiur Melambai.
Zainul kemudian menceritakan bahwa karena tindakan heroiknya ku ia akan segera diundang oleh Markas Besar TNI AU dan menteri kesehatan untuk menerima bintang jasa di sebuah gedung di Taman Ismail Marzuki, di Jakarta. Dengan takzim, satu per satu hadirin menyalaminya. Beberapa orang memeluknya dengan haru. Wajah Zainul pias karena terharu. Dadanya naik-turun.
Mozaik 23 Presiden KEJADIAN mendaratkan helikopter tempur TNI AU dengan gusinya benar-benar mengharumkan nama Zainul. Sejak itu ia ditasbihkan menjadi Zainul Helikopter. Zainul dikagumi karena jangkauan imajinasinya yang mampu menghubungkan cerita helikopter rusak teknis itu dengan satu fragmen pertempuran sengit TNI melawan negeri jiran. Namun, meski hebat, Zainul tak berani macam-macam denganku. Dengan orang-orang lain, bolehlah ia berkicau-kicau. Kalau ada aku di sana, dia diam seribu bahasa. Bagaimana bisa begitu rupa"
Hikayatnya begini. Rupanya Zainul memang telah memperlihatkan bakat membual sejak kecil. Waktu itu aku, dia dan anak-anak ain sedang bersama orangtua kami, mengantre di bangku panjang Rumah Sakit M anggar untuk membuka perban pertama setelah dikhitan tiga hari sebelumnya.
Duduk di sampingku, Zainul mulai membual.
"Ikal, kaulihat ini, ha"" katanya sambil menepuk-nepuk lengan bapaknya. Bapaknya itu pegawai kantor dinas perikanan Kabupaten Beli tong. "Bapakku kuat sekali tahu, seperti Herkules."
Bapaknya diam saja sambil membaca koran. Bapak Zainul memang kekar. Aku tak acuh.
"Minggu lalu," cetusnya sambil bersungut.
"tasan bapakku, kepala dinas perikanan, jatuh ke tambak. Ia tak bisa berenang. Ia diselamatkan bapakku. Badannya diangkat bapakku, pakai satu tangan saja," kembali ia menepuk-nepuk otot kawat lengan besi bapaknya.
Aku masih tak acuh. Apa peduliku"
Kuabaikan, Zainul jengkel.
"Ayahmu pasti tak bisa mengangkat orang pakai satu tangan." Aku tersentak, tapi masih tak peduli. "Ayahmu tak sekuat bapakku." Telingaku
panas. "Apa kauhilang""
"Kubilang, bapakku bisa mengangkat kepala dinas perikanan Belitong dengan satu tangan. Bapakku lebih kuat daripada ayahmu!"
80 Kurang ajar betul. "Ayahku bisa mengangkat Bupati Belitong, tahu! Atasan dari atasan bapakmu!"
Zainul tak terima, suaranya tinggi.
"Bapakku bisa mengangkat Kepala Wilayah Perikanan Sumatra Selatan!"
Pertikaian memanas. Semua hadirin di ruang tunggu memandangi kami. Wajah ayahku tak enak dan menceng-menceng, artinya: sudahlah Bujang, jangan ribut soal begitu. Tapi jika menyangkut ayahku, aku tak rela. Aku juga meninggikan suara, meski jika teriak, selangkangku ngilu.
"Ayahku bisa mengangkat gubernur Sumatra Selatan!"
Zainul tak kalah siasat. "Bapakku bisa mengangkat menteri perikanan!"
"Ayahku bisa memberhentikan menteri perikanan!"
Kulihat ayahku menutup wajahnya. Hadirin di ruang tunggu tegang menyimak pertengkaran, Zainul terpojok, tapi akalnya panjang.
"Bapakku bisa mengangkat ketua DPR-MPR RI!" Tak ambil tempo, dia langsung kuskak.
"Ayahku bisa mengangkat Presiden Republik Indonesia, beserta ibu, beserta bapakmu, sekaligus!!"
Zainul kontan terdiam. Penonton bertepuk tangan memihakku, sebagian terpingkal-pingkal. Ayah meniup ubun-ubunku tiga kali. Tapi wajahnya tak dapat menyembunyikan perasaan senang. Sementara Zainul kehabisan muslihat. Mungkin ia tahu, waktu itu Presiden adalah sinu-hun tertinggi, yang lebih tinggi daripada Presiden hanya langit, bahkan waktu itu ketua DPR-MPR bisa dibelok-belokkan Presiden.
Namaku dipanggil untuk membuka perban sunat. Ayahku menggandengku. Jalanku terkangkang-kangkang menuju brankar. Aku masih sewot. Aku berpaling lagi pada Zainul.
"Pakai tangan kiri!" teriakku.
Penonton bersorak-sorai. Selangkangku ngilu. Ayah meniup lagi ubun-ubunku, tiga kali.
Mozaik 24 Janji Setia Empat Puluh Tahun
BERMINGGU-minggu aku mencari informasi, bertanya-tanya sana sini, aku penasaran ingin tahu, bagaimana sepupu jauhku Arai bisa berubah menjadi ganteng begitu. Akhirnya kutemukan jawabannya, dari ibuku.
"Semuanya gara-gara sepucuk surat," bisik ibu.
Arai ada dekat situ, ia nyengir.
Surat itu membuat rasa penasaranku jadi hilang misterinya, Zakiah Nurmala binti Berahim Matarum itulah yang langsung terjun dalam pikiranku. Pasti semua ini berhubungan dengan wanita saraf tegang itu. Apa yang terjadi gerangan"
Rupanya, beberapa minggu setelah dipulangkan dari Sorbonne gara-gara penyakit Asthma bronchiole, Arai dikirimi Zakiah surat. Surat yang dititipkan lewat bibi Zakiah itu diterima Arai sebulan lalu. Isinya singkat saja, yaitu sesudah menimbang dengan saksama ini dan itu, Zakiah memberi Arai kesempatan untuk menjemputnya di Bandar Udara Tanjong Pandan. Zakiah akan pulang kampung untuk menjenguk orangtuanya.
Sekarang, yang membuatku makin penasaran, bagaimana Zakiah, yang hatinya selalu tertutup rapat bak benteng Fort Knox, yang tak pernah mengucapkan sepatah pun kata manis untuk Arai, selain kata-kata tampikan yang keras, bisa mengirim surat macam begitu" Firasat yang halus menyusup dalam hatiku. Tak dapat kujelaskan. It's just too easy.
Selidik punya selidik, rupanya selama bertahun-tahun bibi Zakiah-adik ibunya-diam-diam memata-matai sepak terjang Arai. Memang sudah jadi kebiasaan lama orang Melayu untuk teliti menafsir calon menantu. Dari tradisi inilah mungkin bermula istilah intel Melayu. Setelah diamari dengan saksama selama tujuh tahun, Arai dianggap layak untuk dipertimbangkan. Pelajaran moral nomor enam belas dapat ditarik dari kejadian ini, yaitu diperlukan penyelidikan paling tidak tujuh tahun, untuk benar-benar tahu bahwa seorang pria bukan bajingan.
Sejak menerima surat itu, Ibu bercerita, Arai sering terkekeh-kekeh tanpa alasan jelas. Semangat hidupnya meluap, proses penyembuhan penyakitnya maju pesat.
"Bahkan waktu tidur, ia mengulum senyum," tukas ibuku heran.
Tapi aku tak heran karena aku tahu persis arti Zakiah Nurmala bagi Arai. Ia tak pernah, sekalipun berpaling pada perempuan lain. Sejak ia mengenal Zakiah kelas satu SMA dulu, meski tak pernah ada seberkas pun harapan, Arai tak pernah mundur, Arai adalah seorang pemimpi kelas satu
. Kuamati Arai yang sedang mengaji, mengaji sambil tersenyum, dan aku berpikir, ia jadi tampan sesungguhnya bukan karena secara anatomis wajahnya berubah, melainkan ada aura lain memancar dari dalam dirinya. Aura yang dapat membuat siapa pun tampak lebih rupawan. Kawan, itulah cahaya cinta.
Dan sekarang, banyak sekali teorinya.
"Tahukah kau, Ikal" Perempuan perlu tahu bahwa kita, laki-laki ini, tak gampang hilang akal, itulah mentalitas yang membuat mereka paling terkesan," ia mengatakan itu dengan nada pasti seperti orang yang amat berpengalaman.
"Jika kita, laki-laki, kelihatan seperti orang mudah bingung, mereka akan mendepak kita! Semudah itu saja, Boi."
Hatiku dongkol mendengarnya.
"Pasti, tak ragu-ragu, akurat! Demikian kualitas-kualitas yang diidamkan perempuan di luar sana."
Rasanya ingin aku melemparnya dengan asbak. "Lha," kata hatiku.
"Lupakah dia" Berpuluh-puluh kali mati kutu di depan Zakiah. Ada sedikit harapan sekarang semata-mata karena rekomendasi bibi Zakiah, intelMelayu itu, bukan karena segala macam kati tengiknya itu."
"Minggu depan di Tanjong Pandan, tengoklah abangmu ini beraksi."
Arai mengakhiri ceramahnya sambil mengelus-elus surat Zakiah yang disandarkannya dengan hati-hati pada sebuah vas bunga. Sejak menerima surat itu, Arai yang tak pernah menyukai bunga, mendadak menjadi seperti seorang florist. Vas bunga itu diisinya beragam bunga, berbeda setiap hari, lain pagi dan lain pula sore. Pagi umumnya kembang sepatu ... dan sore ... keluarga-keluarga Orchidaceae. Hobi barunya adalah mematut-matut kecocokan antara warna bunga di dalam vas dengan warna biru muda amplop surat Zakiah. Kawan, kadang kala, cinta dan gila, samar bedanya.
Jika malam, Arai tidur seperti lele hidup diceburkan ke penggorengan. Pembicaraan soal baju apa yang akan dipakai waktu menjemput nanti sampai memeningkan kepalaku. Maka aku cemas, karena ini hanya menjemput, bukan melamar. Siapa tahu keadaan sebenarnya adalah Zakiah belum puas mendamprat Arai ketika kami meneleponnya pagi buta dulu dari Estonia, sisanya mungkin akan ia tumpahkan di Bandara di Tanjong Pandan nanti.
Kucoba mengingatkan Arai agar jangan terlalu excited. Aku tak sampai
hati kalau ia kembali menelan biji duku pahit. Apalagi kalimat dalam surat itu jelas menunjukkan Zakiah ragu-ragu. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, tabiat Zakiah selalu susah diduga. Aku telah banyak melihat akibat buruk cinta, aku tak ingin menimpa sepupu jauhku yang hatinya putih ini.
Peringatanku itu membuat Arai tak enak makan seminggu dan tak mau bicara denganku. Aku mengutuki diriku sendiri telah mengatakan itu. Namun, mental dan muslihat memang mesti disiapkan untuk menghadapi bola panas ini. Kusarankan Arai menghadap sang guru cinta, tentu saja Bang Zaitun, demi petuah sepatah dua.
Kami tiba di rumah Bang Zaitun dalam suasana yang berbeda. Dulu rumah itu seperti harem di jazirah: perempuan hilir mudik, irama Melayu mengalun, angin semilir, stanggi wangi, tilam, pinggan, pita, dan tirai berwarna-warni. Dulu kursi-kursi bak pelaminan, meja berkilat, karpet plastik licin, dan gelas berdenting. Begitu melimpah cinta dari empat istrinya di rumah itu, sampai meluap-luap. Karena rupanya kebanyakan, cinta itu tak dapat lagi dikendalikan dan akhirnya menguap. Kini hampa. Rumah tanpa perempuan, seperti rumah tak dihuni.
Ayam-ayam kampung setengah liar naik ke rumah panggung, tak dipedulikan Bang Zaitun. Semangat Bang Zaitun patah karena jiwanya merana. Api yang meletup-letup dalam dirinya padam sudah. Ia bahkan sudah kehilangan minat untuk mengusir ayam-ayam yang menyerbu rumahnya. Rumah Bang Zaitun dikuasai ayam.
Secara pribadi, aku adalah pencinta binatang, tapi aku benci nian pada ayam. Hewan itu, demi Tuhan, kurang ajar betul. Jika diusir dengan sapu, masih sempat-sempatnya ia berkelat-kelit di antara kaki meja, tujuannya untuk mengumpulkan tenaga tekan dan mencuri satu momen yang pas untuk menyemprotkan kotorannya di dalam rumah, lalu ia berkeok nyaring terbang melalui jendela seolah mengejek: terimalah itu! Tuan rumah pelit!
Ayam, tak pernah kutahu tampil di sirkus karena hewan itu
sama sekali tak dapat menerima pendidikan. Bodoh dan berwatak keras. Betinanya adalah pencemburu buta luar biasa sekaligus pelaku kejahatan seksual incest yang tak dapat dijangkau hukum. Jantannya senang pamer, maka tak lain mereka itu kaum exhibitionist. Lebih parah lagi, usai menggagahi betinanya, dipanikinya, maksudnya barangkali untuk menegaskan bahwa ia tak bermaksud mengawininya. Semua contoh keburukan ada pada ayam. Karena itu, dalam
84 hikayat-hikayat para nabi agama apa pun, ayam tak pernah diajak-ajak. Seandainya mereka bisa menghitung, pasti mereka berjudi.
Di rumah Bang Zaitun, ayam ribut sekali. Ada yang berkakak-kokok, ada yang peletak-peletok, bertengkar tak keruan. Betina-betina gendut yang sewot hilir mudik dengan pantat bergoyang-goyang, ngomel-ngomel, masing-masing diikuti belasan anaknya, mentidt-cicit beradu cepat mematuki beras. Ada yang terbang ke atas lemari rastik lalu bertelur di situ, banyak yang bertengger di palang wuwungan, dan ada yang tanpa malu-malu, berasyik masyuk, kawin di depan tamu! Bayangkan itu! Benar-benar tak senonoh. Semua keluarga ayam di rumah Bang Zaitun riang gembira, sama sekali tak bersimpati pada perasaan tuannya. Pelajaran moral nomor tujuh belas kutarik: jika Anda berencana untuk poligami, jangan memelihara ayam.
Pada Bang Zaitun kami sampaikan rencana penjemputan Zakiah dan siasat menghadapi perempuan yang tengah dilanda bimbang Bang Zaitun tercenung. Ia sedih karena teringat akan kisah cintanya yang bangkrut dan istri-istrinya yang minggat, matanya berair, tapi tetap saja .... "Hiii... hii... hiii."
Gigi palsu emas putih pun berkilau-kilau.
"Tak banyak yang bisa kubantu, Boi desahnya pasrah.
"Jadi bagaimana, Bang""
Bang Zaitun memandang jauh. Berkali-kali ia melenguh. "Pokoknya begini sajah........."
Ia menerawang, menyarikan hikmah dari pengalaman buruknya.
"Jika kau berjumpa dengan Zakiah, tak perlulah banyak kata, Boi, tak perlu banyak lagak, tak perlu bawa bunga segala. Cukup kautunjukkan raut muka bahwa kau bersedia menyuapinya nanti jika ia sakit, bersedia menggendongnya ke kamar mandi jika ia sudah renta tak mampu berjalan. Bahwa, kau, dengan segenap hatimu, bersedia mengatakan di depannya betapa jelitanya ia, meski wajahnya sudah keriput seperti jeruk purut, dan kau bersedia tetap berada di situ, tak ke mana-mana, di sampingnya selalu, selama empat puluh tahun sekalipun....."
Kawan, di antara riuh rendah suara ayam kawin, aku terkesima menyimak semua itu. Ini adalah petuah asmara paling dahsyat yang pernah kudengar seumur hidupku. Arai menyalami Bang Zaitun erat-erat, air mata Bang Zaitun menggenang, getir.
Mozaik 25 Mereka Tak Butuh Dokter Gigi
MALAM kelam, angin bersiut-siut, petir sambar-me-nyambar. Mencekam. Anjing warga Tionghoa melolong panjang, sahut-menyahut menyambut hantu yang berjingkat-jingkat di wuwungan. Semua orang menutup rumah rapat-rapat. Ketakutan. Inilah malam zombie bangkit dari kubur. Aku bergidik mendengar lolong serombongan besar anjing menuju rumahku. Kian lama, kian jelas. Dedemit, kuntilanak, drakula pasti sudah masuk pekarangan. Terdengar ketukan keras di pintu. Rasanya ingin aku terkencing-kencing. Aku dan Arai tak berani mendekat. Gagang pintu terputar dengan kasar, satu sosok hitam mengambang, benar, drakula berdiri di situ.
"Ketua Karmun!"
Jantungku hampir copot. Ia membanting pintu, menyerbu masuk, tanpa basa-basi ia menyemprot, "Kalian ke manakan mukaku ini" Benar-benar bikin malu!" "Ada apa, Ketua Karmun""
"Memalukan, Boi! Sudah kaude ngarkah soal dokter yang baru itu"! Kurang ajar betul!"
Dokter gigi Budi Archaz Tanuwijaya selalu bangun mendahului matahari. Ia menyirami peperomia kesayangannya, yang berderet-deret di beranda rumah dinasnya. Lalu menangkas pucuk-pucuk pohon tehtehan atau Durante repens, untuk memelihara bentuknya agar tetap seperti angsa.
Pukul tujuh ia telah rapi berseri-seri, cantik, wangi, penuh gairah, dan tampak sangat terpelajar dalam jubah putihnya. Ia berangkat ke kliniknya.
Seperti hari pertama tugasnya, sampai kemarin, sampai hari mi, di depan klinik itu ia hilir mudik seperti orang kehilangan kun
ci. Itulah yang dilakukannya sepanjang pagi.
Bosan hihr mudik, ia menyeduh teh, membawa cangkir teh manisnya lalu duduk di bangku panjang klinik, tempat seharusnya pasien mengantre. Duduk di situ, sendirian, ia berusaha tenang, tapi gelisah terlukis di mata "anak kecil"-nya yang lucu.
Tehnya tandas. Ia masuk ke khnik, memarut-marut benda-benda kecil perkakas tugasnya, meniup-niupnya, dan mengelapnya berulang-ulang Lalu ia menyapu lantai klinik. Meski lantai itu tidak kotor, sebab tak seorang pasien
pun pernah masuk. Kemudian Dokter Diaz menyeduh teh lagi. Demikian berlangsung setiap hari, sebulan sudah. Kasihan Dokter Diaz, megah penyambutannya, menggelora semangatnya, tapi sepi tanggapan masyarakat padanya.
Sebenarnya telah disediakan seorang perawat untuk membantu Dokter Diaz. Tapi karena tak ada pasien, Dokter Diaz meminta perawat itu untuk membantu di Puskesmas saja. Maka sendirilah Dokter Diaz, menunggu pasien yang tak kunjung tiba. Sesekali aku mengunjungi Dokter Diaz, berbincang dengannya. Sebenarnya aku menyelidikinya. Darinya aku belajar satu hal bahwa perempuan tak selalu seperti mereka tampaknya. Motivasi mereka runyam seperti labirin. Aku bertanya, mengapa ia mengasingkan diri dari gemah ripah janji masa depan di kota besar, jawab singkat tapi bersayap.
"Hidup untuk memberi, memesona, seperti menggubah kata jadi puisi," katanya tenang.
Sejak sore itu, atau sembarang waktu, jawaban itu, sering secara misterius menembus kalbuku, lalu bot dengung-dengung di dalam sana, tak bisa keluar.
Ironisnya, tepat di depan klinik Dokter Diaz berdirilah rumah dukun gigi Lim Siong Put, alias A Put, dan di rumah itu sampai ditempeli plang yang mengancam:
Koebilangi Saoedara! Djangan sekali-sekali Saoedara mengetoek-ngetoek daripada pintoe roemah ini dari poekoel doea sampai poekoel ampat! Disebabken saja, A Poet, maoe tidoer! Oeroesan gigi bolehlah poekoel toejoeh malem.
Ttd A Poet Bayangkan legendarisnya A Put. Plang itu telah berada di situ sejak tahun lima puluhan. Setiap hari orang datang untuk berobat gigi padanya. Bahkan ada yang datang dari Blinyu, Pulau Bangka sana. Seperti dulu pernah kuceritakan padamu, Kawan. Lelaki Hokian tua ini mengaku mendapat wangsit dari peri tempayan. Sejak itu, dengan hanya bermodal paku, balok, dan palu, ia bisa mengobati gigi.
A Put mendiagnosis salat gigi dengan ujung paku di atas sepotong balok yang secara imajiner dianggapnya sebagai tekak manusia. Ia menggeser-geser ujung paku untuk mencari gigi yang sakit, jika pasiennya mengangguk karena-secara imajiner pula-merasakan ujung paku itu mengenai giginya, A Put akan menghantam kepala paku dengan palu, keras, dan byar! Sakit gigi pun sirna. Tanpa perlu membuka tekak, bahkan tanpa perlu disentuh secuil pun oleh A Put. Ajaib dan magis.
Pukul tiga sore, Dokter Diaz kembali ke bunga-bunga peperomia itu. Menyiangi rumput-rumput liar di sekitar pokoknya. Jika tak ada lagi rumput yang disiangi, ia hanya berdiri menatapnya lama-lama. Sering ia memandangi orang kampung yang berduyun-duyun menuju poliklinik umum di Puskemas, atau berbaris antre di rumah A Put, tak satu pun berbelok ke klinik giginya. Ia melihat mereka dengan sedih. Betapa ia merindukan interaksi dengan pasien. Ia adalah seorang dokter. Panggilan jiwanya menyembuhkan orang, berbicara dengan pasien tentang penyakit mereka, dan terharu melihat kesembuhan. Ia ingin merasakan pengalaman praktik yang sebenarnya, ingin mengatasi beragam kasus. Ia ingin membuktikan diri, pada dirinya sendiri dan pada keluarganya. Ia menyukai tantangan, perubahan, dan ia siap bekerja keras. Sama sekali tak diduganya kenyataan di lapangan akan seperti ini. Tak pernah ia sangka pamornya akan dikalahkan oleh seorang dukun gigi yang bahkan tak pandai membaca. Tak seorang pun memedulikan semangat dan ilmu yang meluap-luap di kepalanya. Perempuan naga itu tertunduk pilu. Ia berusaha keras menahan air matanya.
Tentu saja Ketua Karmun tak senang dengan perkembangan ini.
Tapi, aku paham apa yang terjadi. Salah satu sifat kekal orang Melayu Dalam yang kupahami adalah bahwa mereka sangat skeptis: tidak gampang percay
a pada apa pun, siapa pun, dan memiliki kecenderungan kuat untuk tidak mau berubah. Mereka betah sekali dalam rutinitas dan apa adanya, bahkan aku curiga, banyak di antaranya yang menikmati kemiskinan dan bersukacita merayakan kebodohan.
Contohnya, tak jarang juru kampanye pening menghadapi orang Melayu Dalam. Jika diberi kaus, mereka terima semuanya, gambar partai apa pun. Bantuan kambing, sembako, pukat, dan bola voli juga mereka terima, tapi jangan harap mereka akan dengan mudah memilih partai yang murah had itu karena meski juru kampanye berbusa-busa, mereka tak kan percaya.
Dalam urusan gigi ini, ada pula hal lain, yaitu, seperti halnya selangkang, bagi Orang Melayu pedalaman, mulut rupanya hal yang pribadi. Orang-orang udik itu tak kan mungkin percaya untuk mempertontonkan isi mulut mereka pada orang asing yang sama sekali tak mereka kenal. Maka, disebabkan A Put mengobati gigi tanpa pasiennya harus membuka mulut, A Put-lah pilihan yang paling patut bagi mereka.
Habis akal, akhirnya Ketua Karmun berusaha mengatasi masalah ini dengan mengajak Dokter Diaz melakukan penyuluhan kesehatan gigi.
Di kampung Bira, tempat dan waktu pertemuan sudah ditetapkan, tak seorang pun hadir. Ketua Karmun mencak-mencak tak keruan. Berita penyuluhan pun tersebar cepat, tapi penolakan meningkat pula. Di kampung Limbong penyuluhan juga tak mendapat tanggapan. Setiap Ketua Karmun melintasi pemukiman suku Sawang, orang-orang Sawang cepat-cepat berjejer rapi di pinggir jalan, lalu mereka nyengir kuda memamerkan gigi geligi mereka seperti orang senyum akan dipotret Maksudnya adalah bahwa gigi mereka, meskipun kuning-kuning dan berantakan ke sana kemari, tapi kuat dan sehat, mereka tak butuh dokter gigi.
Mozaik 26 Perempuan Saraf Tegang HARI ini Arai bersukacita. Baju kemeja lengan panjang dan pantalon berwarna cokelat, yang dibuat khusus untuk penjemputan Zakiah, diserahkan oleh penjahit, lalu ia gantung pakaian itu secara terhormat di kamar.
Tiga malam terakhir sebelum Zakiah datang, kepalaku tambah pening. Arai sama sekali tak bisa tidur. Ia lelap sebentar, mengigau-igau. Sering tiba-tiba ia terlompat bangun, bersimbah keringat, dadanya naik-turun. Katanya, ia mimpi buruk melihat pesawat terbang yang akan mendarat tiba-tiba disambar dan ditelan oleh kecoa raksasa. Mengerikan, cinta buta telah berubah jadi halusinasi, penyakit gila nomor dua puluh dua.
Namun, lebih sering tengah malam Arai bangun lalu berdiri di depan kaca, lama sekali. Dari balik selimut aku mengintip kelakuannya. Ia memandang dirinya sendiri:
serius, dingin, dan penuh wibawa. Kadang ekspresinya seperti tak peduli tapi penuh antisipasi, kadang polos tapi berharap, kadang meringis minta dikasihani, dan kadang menceng-menceng tak keruan. Aku tahu, dia sedang melatih dirinya untuk menunjukkan air muka seperti disarankan Bang Zaitun. Tampaknya Arai berusaha keras, tapi ia gelisah karena tak mampu menerapkan saran Bang Zaitun. Memang tak gampang menunjukkan wajah bersedia mengatakan jelita pada perempuan peot.
Malam terakhir menjelang penjemputan, Arai tak tidur sepiring pun. Belum terang tanah kami sudah berangkat ke Tanjong Pandan. Sampai di lapangan terbang perintis Buluh Tumbang di Tanjong Pandan, tak ada siapa-siapa. Gerbangnya masih tutup, bahkan petugas Bandara belum datang.
Matahari menanjak, masih pagi tapi langsung menggelegak. Kutawari Arai sarapan dulu, tapi wajah tegangnya menyatakan ia telah kehilangan selera atas apa pun kecuali atas seorang perempuan yang akan keluar dari pintu ruang pengambilan bagasi, lima puluh meter di depannya.
Pukul sembilan pagi, pesawat harusnya sudah tiba.
Arai berdiri tegak di bawah tiang bendera Bandara. Pandangannya tak lepas dari ambang pintu ruang bagasi. Aku berteduh di bawah pohon jarak, kira-kira dua puluh meter dari posisi Arai, suspense menunggu peristiwa ajaib apa lagi yang akan terjadi dalam drama cinta Arai dan Zakiah Nurmala. Lagi
90 pula sepupu jauhku telah sesumbar padaku akan menunjukkan aksinya.
Matahari kian panas, Arai masih berdiri bak arca. Peluh bercucuran dari dahinya yang pucat karena tak tidur, membasahi ker
ah baju barunya. Rambut yang dilumuri Tancho hijau berlebihan mulai lepek. Lamat-lamat terdengar deru pesawat berbahng-baling. Arai kian tegak lurus.
Pesawat mendarat. Penumpang berhamburan, penjemput menyongsong. Tak lama kemudian kulihat seorang perempuan terseok-seok keluar dari ruang bagasi ditambat! berupa-rupa tas yang besar. Tak diragukan, meski posturnya sama sekali telah berubah karena ia makin jangkung, gaya jilbab dan cantiknya tetap kukenal. Ia tak lain tak bukan, satu-satunya dan hanya satu-satunya, perempuan saraf tegang: Zakiah Nurmala binti Berahim Mataram.
'Arai! Arai!" teriakku.
Maksudnya agar ia mengambil suatu tindakan gentleman untuk mengatasi persoalan koper-koper Zakiah yang mahabesar itu. Namun, Arai diam membeku seperti Mauri Kundang kena kutuk. Wajahnya kaku, tak dapat kuartikan. Zakiah berhenti kelelahan. Ia heran mengapa Arai tak menyongsongnya untuk membantu. Ditatap Zakiah, Arai malah makin menegakkan posisinya. Sekarang ia seperti tiang bendera. Aku segera paham apa yang terjadi. Arai sesungguhnya demam panggung karena berkali-kali dijatuhkan mentalnya secara telak tanpa ampun oleh perempuan galak itu. Wajahnya yang kaku dan pias itu adalah penolakannya karena diperlakukan tidak adil. Ia sudah lelah ditampik, kini ia ingin berita baru. Kurasa bolehlah sikap Arai ini disebut sebagai mekanisme survival.
Pengasuh Setan 1 Miss Cupid Karya Mia Arsjad Dendam Manusia Kelelawar 1
^