Pencarian

Dendam Manusia Kelelawar 1

Pendekar Hina Kelana 17 Dendam Manusia Kelelawar Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama,
tempat dan ide, hanya kebetulan belaka
DENDAM MANUSIA KELELAWAR Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza lantai2, B69
Samanhudi No. 14, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-
tulis dari penerbit
D.Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Dendam Manusia Kelelawar
1 Setiap kemarahan para bawahan Senopati
Karpa meluap hingga sampai puncaknya. Maka se-
buah pedang panjang di tangan algojo yang mengkilat tajam itu terayun mengarah
batang leher salah seorang dari sekian banyak pencuri yang sedang antri menunggu
pengadilan terakhir. Kalau sudah demikian
keadaannya, maka tak banyak yang dapat dilakukan
oleh para pencuri itu terkecuali bersikap pasrah. Menyerahkan nasibnya pada Sang
Hyang Widi. Dalam pengadilan yang tiada memiliki dasar,
terkecuali pelampiasan amarah dan kebencian terse-
but, sebagian besar dari golongan pencuri, perampok dan sejenisnya itu
kebanyakan mereka mengalami nasib tragis. Tewas di tangan algojo secara semena-
mena. Kenyataannya memang begitulah halnya yang
terjadi di daerah Muara Panjang sejak beberapa tahun terakhir kerajaan kecil itu
dipimpin oleh seorang senopati yang telah berhasil menggulingkan raja yang lama
Jaya Suprana. Tiga tahun kerajaan Muara Panjang dalam
pimpinan Senopati Karpa, kehidupan rakyat semakin
bertambah melarat dan sengsara. Kesengsaraan itu
semakin menjadi-jadi manakala pajak hidup dan upeti dibebankan di pundak rakyat
jelata. Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, belum lagi di-
tambah kemarau yang berkepanjangan menjadikan
beberapa gelintir penduduk melakukan pencurian di
rumah-rumah pejabat kerajaan korup yang memiliki
harta kekayaan berlimpah ruah.
Malang sekali nasib mereka, karena sesung-
guhnya para penduduk desa itu bukanlah jenis manu-
sia yang biasa melakukan pencurian. Mereka-mereka
ini pada akhirnya tertangkap, dipenjarakan dengan
perlakuan-perlakukan yang sangat keji sekali.
Begitu besarnya kesulitan hidup yang mereka
alami, sampai-sampai mereka sudah tiada mengenal
rasa takut atas hukuman-hukuman yang telah me-
nimpa kawan-kawannya. Begitulah hukuman atas diri
pencuri-pencuri itu berlangsung setiap satu purnama sekali. Sebagaimana halnya
yang terjadi pada siang itu di pinggiran sebuah jurang yang sangat dalam luar
biasa. Demikianlah satu demi satu para pencuri itu diadili secara kejam oleh
algojo-algojo Senopati Karpa.
Sesuai dengan nama-nama urut masing-masing. Maka
akhirnya tibalah giliran seorang pemuda berbadan
gempal dengan rambut dan kulit tubuhnya yang hitam
mengkilat. "Sagara....!" panggil salah seorang Algojo yang bertugas memanggil nama-nama
terhukum satu persa-tu. Yang dipanggil acungkan tangan ke atas, kemudian dengan
pandangan matanya yang tiada mengenal takut, dia maju selangkah demi selangkah.
Berbeda dengan para terhukum terdahulu, kali ini beberapa orang algojo yang
bertugas tidak langsung memancung pemuda itu, sebaliknya mereka memandangi
Sagara den- gan sesungging senyum sinis.
Kemudian salah seorang dari sekian algojo
yang berada di pinggiran jurang itu pun tanpa sadar menyela "Kau yang bernama
Sagara...?" hardik seseorang yang berbadan gemuk bagai seekor ikan buntal
sembari mengamangkan pedangnya yang telah berlu-
mur darah yang sudah mengering. Tanpa menjawab
sebaliknya Sagara meludahi muka si Algojo yang me-
miliki badan bagai raksasa tersebut. Tindakan yang
sangat sembrono itu sudah barang tentu membuatnya
marah bukan main. Lalu sambil menggeram dengan
gerakan yang agak lamban, si algojo itu ayunkan tin-junya yang sebesar kelapa
gading itu ke arah bagian perut Sagara. Tak ayal lagi tubuh Sagara tersentak ke
belakang, kemudian terpelanting sambil merintih-rintih dan memegangi perutnya
yang terasa mules ba-
gai diaduk-aduk.
Para algojo yang berada di sekitar tempat itu
keluarkan suara tawa tergelak-gelak. Dengan tertatih-tatih pemuda yang bernama
Sagara itu berusaha
bangkit kembali, pertama sekali usahanya untuk ber-
diri pada posisinya mengalami kegagalan. Tapi setelah bersusah payah dan
mengerahkan segenap tenaganya.
Maka tak begitu lama kemudian dia telah berdiri tegak dengan agak terhuyung-
huyung. Kedua bola matanya kelihatan memerah, se-
buah kebencian begitu saja membuncah di dalam ha-
tinya. Algojo yang tadi telah menyodoknya dengan satu pukulan keras, tampak
keluarkan suara tawa mengekeh, selanjutnya algojo itu pun mulai mengajukan
pertanyaan-pertanyaan.
"Sudra Blonteng kata, kau bukanlah seorang
pencuri biasa. Kau telah berani memasuki ruangan
rahasia milik Sudra Blonteng tangan kanan Senopati
Karpa...!" bentaknya memandang sejurus pada Sagara.
"Coba kau akui apa sebenarnya yang ingin kau cari dalam ruangan rahasia milik
saudara Sudra Blonteng
itu...!" Laki-laki muda berbadan hitam tegap itu gelengkan kepalanya. Saat itu
dia pun sudah berpikir
bahwa melawan terhadap algojo kerajaan itu rasa-
rasanya sudah tiada gunanya. Begitu pun dia masih
punya satu tekad untuk menyelamatkan diri.
"Coba jawab dengan kata-kata! Kami tak mau
dengar alasan yang macam-macam, salah saja kau
memberi pengakuan, maka nasibmu akan lebih buruk
lagi dari para pendahulu-pendahulumu...!" kata salah seorang algojo lainnya
dengan nada penuh ancaman.
Tegang wajah Sagara mendengar ancaman
itu, dia bukanlah orang yang takut akan kematian,
bahkan keberadaan prajurit-prajurit Muara Panjang
baginya bukanlah apa-apa. Tiada rasa takut dan sejenisnya bersarang di hatinya.
Sebab sebagai ketua
penggerak rakyat dia sudah memperhitungkan segala
sesuatunya. Kalau pun malam itu dia menyusup di
tempat kediaman Sudra Blonteng hal itu hanyalah ka-
rena didorong oleh rasa penasaran apakah rahasia
yang dimilik oleh si perut gemuk muka cekung itu,
hingga dia sangat kebal dengan berbagai senjata pusa-ka.
Malangnya belum lagi dia dapat bertindak le-
bih leluasa di rumah kediaman Sudra Blonteng bebe-
rapa orang penjaga sempat memergoki segala tindak
tanduknya. Walaupun saat itu dia berusaha melaku-
kan perlawanan sebanyak yang dia mampu. Namun
para pengawal kerajaan itu rata-rata berkepandaian
sangat tinggi. Dalam pertarungan menjelang dua puluh jurus dia sudah kena
dibekuk, kemudian digebuki bagai seorang maling.
"Bocah ireng yang bernama Sagara... cepat
kau jawab pertanyaan kami. Kalau tidak maka kema-
tianmu akan bertambah cepat karena ulah mu...!" bentak si algojo pertama yang
tadi sempat memberinya sa-tu pukulan yang telak.
"Aku ini orang melarat! Kedatanganku di ru-
mahnya Sudra Blonteng hanyalah ingin mengambil se-
dikit hartanya yang berlimpah ruah itu...!"
"Buuuk...!" Sekali lagi tinju algojo itu kembali bersarang di dada Sagara.
"Arrrgghk...!"
Sagara memekik keras sembari memegangi
dadanya yang terasa bagai remuk. Dan pada kenya-
taannya darah menggelogok dari mulut Sagara. Tu-
buhnya kembali terbanting menyebabkannya memaki
panjang pendek.
"Manusia-manusia dajal. argh... kalian me-
mang sebangsanya anjing-anjing geladak pembunuh
yang sangat memuakkan...!" teriaknya setengah ter-sendat-sendat. Semakin
bertambah mendidihlah darah
si algojo yang bernama Wintang Kelelep itu. Serta merta dia angkat kakinya
tinggi-tinggi dengan maksud ingin menginjak tubuh Sagara yang menelentang di ba-
wahnya, namun kejadian itu tidak sampai berlangsung karena algojo-algojo yang
lain sudah keburu mence-gahnya. "Jangan lakukan itu saudara Wintang! Hal itu
menyalahi peraturan hukum dalam mengadili manusia
yang satu ini...!" tukas rekannya sembari menarikkan tangan Wintang Kelelep
dengan tangan kirinya. Wintang Kelelep nampaknya masih kurang puas dengan
tindakan pencegahan yang telah dilakukan oleh ka-
wannya. Pada dasarnya sebagai seorang algojo dia
memang orang yang cepat naik darah, maka wajar saja jika dalam bertindak dia
lebih cenderung mengikuti
hawa amarah. "Kutu busuk ini bikin aku marah saja...! Ka-
lau tidak sedang menjalankan perintah, sudah sejak
tadi dia kuangkat ke jurang...!" Mengumpat Wintang Kelelep sambil meludahi wajah
Sagara berulang kali.
Sukur kalau bau ludahnya itu harum!
"Sudahlah mengalah sedikit tak ada salah-
nya, tokh nanti juga dia bakal menerima hukuman
yang sangat menyakitkan...!" menyela salah seorang kawannya yang bernama Godam
sedikit sabar dari
orang pertama. Wintang Kelelep melangkah undur, se-
baliknya Godam mendekati Sagara. Dengan suaranya
yang besar namun serak dia pun mulai mengajukan
beberapa pertanyaan pada Sagara.
"Sagara... hemm, sebuah nama yang cukup
mengagumkan...!" gumam laki-laki gemuk bertelanjang baju tersebut sembari
memilin-milin kumisnya yang
lebat dan panjang-panjang. "Bocah, katakan dengan jujur, apakah tujuanmu hingga
kau begitu berani memasuki ruangan rahasia Junjungan Sudra Blon-
teng...?" Mendapat perlakuan yang sedikit lunak, sudah barang tentu Sagara pun
bersikap lunak pula.
Namun tidak mengurangi ketegasannya.
"Selama kerajaan Muara Panjang diperintah
oleh Senopati Karpa! Belum pernah kulihat sebuah kejujuran dalam tindak
tanduknya. Yang ada hanyalah
para pembesar tukang korup, pemeras rakyat. Dan
menghambur-hambur harta milik seluruh penduduk
negeri ini. Tidakkah kalian lihat kesengsaraan yang diderita oleh rakyat. Tidak
kalian lihatkah rintihan para penduduk dan bocah-bocah kecil dalam kelaparan
yang menakutkan...! Kini kalian ingin memintaku agar berkata jujur" Kalau
kejujuran merupakan satu-satunya milik manusia, pernah kalian berpikir bahwa
sebuah kejujuran itu sangat mahal harga-nya...!" gumam Sagara seperti buat
dirinya sendiri.
"Bangsat! Aku tak butuh khotbahmu... yang
kuinginkan adalah jawabmu...!" maki Godam panik ju-ga akhirnya.
"Tidak usah diadili, penggal saja kepa-
lanya...!" celetuk Wintang Kelelep terasa panas ku-pingnya. Namun nampaknya
laki-laki yang berbadan
sama gemuknya dengan kembrat-kembratnya yang
lain ini masih berusaha meredam luapan kemarahan-
nya yang sudah hampir memuncak.
"Bukan jawaban seperti itu yang kuinginkan,
kampret...!" maki Godam sembari pelototkan kedua matanya. "Sudah kukatakan sejak
dari semula, bahwa aku ini hanyalah seorang maling kecil. Kalau saat itu aku
sampai kesasar ke dalam ruangan rahasia milik si setan itu. Hal ini dikarenakan
sebagai seorang pencuri yang awam aku tak tahu arah yang tepat...!" kilah Sagara
tenang. "Keparat pendusta...! Jangan kira kami tak
tahu apa yang menjadi tujuanmu sehingga kau telah
begitu berani memasuki ruangan rahasia milik Yang
Mulia Sudra Blonteng...!" teriak Godam merasa semakin gatal tangannya.
Selanjutnya dia menoleh pada
konco-konconya yang lain, hanya sebentar saja dia sudah kembali memandang pada
Sagara. "Kawan-kawan! Hukuman apa yang paling
pantas untuk seorang pendusta seperti maling ireng
ini...?" tanyanya seolah meminta persetujuan.
"Pancung saja lehernya! Beres dah...!" sahut Wintang Kelelep dan beberapa orang
algojo lainnya.
Godam geleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak, terlalu enak hukuman itu buat dia!
Aku tahu dia sengaja datang ke ruangan rahasia di
rumah Yang Mulia Sudra Blonteng hanyalah untuk
mencari titik kelemahan dari ilmu kebal yang dimiliki oleh yang Mulia Sudra
Blonteng...!"
"Benarkah itu...?" tanya Wintang Kelelep ter-longong-longong bagai tak percaya
dengan apa yang
barusan didengarnya.
"Tidak salah, karena dialah yang punyai niat
untuk menggerakkan amarah rakyat dalam melakukan
pemberontakkan...!" sahut Godam, saat kemudian sudah mencabut pedang panjang
yang mengkilat-kilat.
"Hukuman apa yang akan kita jatuhkan buat
manusia yang coba-coba berani membangkang pada
kerajaan...?" tanya Wintang Kelelep, seraya melirik pa-da Godam yang kini nampak
mulai menimang-nimang
pedangnya. "Menurut titah raja, orang ini paling pantas
dibuntungi kedua tangannya dan sebelah kakinya...!"
Tegas sekali nada ucapan Godam sehingga membuat
Sagara menjadi menggigil tubuhnya. Keputusan Go-
dam itu disambut gelak tawa oleh algojo-algojo lainnya.
"Manusia iblis! Lebih baik kalian bunuh
aku...!" teriak Sagara.
"Terlalu enak bagimu untuk mati dengan cara
seperti itu, nah sekarang siapa di antara kalian yang ingin memulai pesta ini
terlebih dahulu...?" tanya Godam, lalu melirik Wintang Kelelep. Selanjutnya
algojo yang bernama Wintang Kelelep tersebut tanpa berkata-kata lagi langsung
mengayunkan pedangnya ke arah
tangan dan kaki Sagara.


Pendekar Hina Kelana 17 Dendam Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jrees! Jrees! Jrees...!"
Tiga kali berkelebat pedang di tangan Wintang
Kelelep, maka dua tangan dan sebelah kaki Sagara
terkutung dari badannya. Pemuda itu menjerit-jerit kesakitan namun, tak mampu
menutuk jalan darahnya
yang terus mengalirkan darah. Tidak sampai di situ sa-ja tindakan mereka, dengan
beramai-ramai mereka
melemparkan tubuh Sagara yang tiada daya itu ke da-
lam jurang yang sangat dalam. Selanjutnya pula tanpa berkata-kata lagi mereka
pun membantai maling-maling yang tersisa. Kejam sekali tindakan mereka ini,
tiada kemanusiaan sedikit pun. Sampai akhirnya pekerjaan mereka pun usai, dengan
masih tergelak-gelak mereka meninggalkan jurang pembantaian itu menuju
ke arah kerajaan.
2 Ketika pemuda berkuncir dengan sebuah pe-
riuk penuh jelaga melintasi Desa Kedung Meranti. Pe-mandangan kanan kiri jalan
yang dia lewati hanyalah rumah-rumah reot, rintih dan gelepar anak-anak kecil
yang sedang menderita kelaparan. Tak jarang pada
tempat-tempat tertentu pemuda berwajah sangat tam-
pan itu mendapati beberapa sosok mayat yang sudah
mengering, dan menebarkan bau yang sangat menu-
suk hidung. Sampai di persimpangan jalan di tengah-
tengah desa itu, berpuluh-puluh kaum pengemis yang
terdiri dari kaum anak, ibu, dan para orang tua menadahkan tangannya bagai orang
yang sedang antri un-
tuk menerima jatah dari tuannya. Keadaan mereka
memang sangat memelas. Wajah pucat layu, badan
kurus kering hingga menampakkan tulang belulang
yang bertonjolan.
Pemuda tampan yang sudah tak asing lagi
bagi kita ini, nampak merogoh saku jubahnya yang
berwarna merah dan kumal. Beberapa keping uang pe-
rak dia bagi-bagikan kepada pengemis yang jumlahnya tidak kurang dari tiga puluh
orang tersebut. Tetapi begitu Buang Sengketa selesai membagi-bagikan uang
perak tadi, mendadak dari sebuah warung kumuh, ke-
lihatan puluhan berhamburan keluar memburu ke
arah si pemuda.
"De... aden... kami belum mendapat jatah...!
Kasihan den... sudah empat hari kami belum ma-
kan...!" rintih orang-orang itu secara serentak mereka menadahkan tangannya.
Buang jadi kelabakan juga
melihat para pengemis yang sebenarnya masih meru-
pakan penduduk daerah itu juga dengan jumlah yang
tiada sedikit. "Hei... apa-apaan nih... aku bukan juragan
kalian! Aku cuma pengelana, mana aku ada uang...?"
"Ah... tuan hanya berpura-pura... masa tuan
tidak merasa kasihan pada kami yang sedang dilanda
kelaparan...!" kata para pengemis itu hampir bersamaan. "Hemm. Keadaan bisa
semakin runyam andai aku terus bertahan di sini" Ada baiknya kalau aku ka-bur
saja...!" batin Pendekar Hina Kelana.
Selanjutnya tanpa menoleh-noleh lagi, pemu-
da itu menggenjot tubuhnya. Sekali dia berkelebat,
maka lenyaplah tubuhnya dari pandangan para pen-
gemis desa itu. Terheran-heran, para pengemis itu
memandangi kepergian Buang Sengketa dengan tata-
pan mata hampa.
Karena dalam berlari-lari itu Pendekar Hina
Kelana mengerahkan ilmu lari cepatnya, yaitu ajian
Sepi Angin, maka dalam waktu sekejap saja dia telah berlari menjauh meninggalkan
desa itu. Namun beberapa saat kemudian dia telah
menghentikan langkah begitu dari kejauhan sana dia
melihat sebuah kereta kuda berjalan pelan mengarah
pada jalan yang dilaluinya. Buang Sengketa menyi-
pitkan kelopak matanya untuk melihat lebih jelas sia-pa adanya rombongan
tersebut. Tetapi karena jaraknya masih terlalu jauh, Buang masih belum dapat
memas-tikan siapa adanya rombongan yang berada di atas kereta kuda tersebut.
Maka tanpa buang-buang waktu
lagi Pendekar Hina Kelana segera bersembunyi di balik sebatang pohon yang
berukuran cukup besar.
Semakin lama, rombongan kereta kuda itu
semakin mendekat ke arah di mana Buang Sengketa
berada. Saat itu dengan seksama pemuda ini memper-
hatikan gerakan mereka.
Orang-orang tersebut terdiri dari tujuh orang
laki-laki penunggang kuda yang mungkin saja bertin-
dak sebagai pengawal atas diri orang yang berada di dalam kereta itu. Melihat
pakaian yang mereka kena-kan, nampak jelas bahwa orang-orang bertampang
sangar dan sadis itu tak lain merupakan prajurit-
prajurit kerajaan. Mungkin inilah prajurit-prajurit kerajaan Muara Panjang yang
dikatakan oleh para pen-
duduk itu sebagai orang yang melakukan tindakan se-
wenang-wenang itu. Batin si pemuda.
"Hhh. Ada baiknya kalau aku mengajukan
beberapa pertanyaan-pertanyaan pada mereka....
Mungkin pula orang yang berada di dalam kereta kuda itu termasuk salah seorang
yang penting dalam kerajaan Muara Panjang...!" gumamnya pula.
"Heuup...!" Dengan sekali lompat saja, maka Pendekar Hina Kelana telah keluar
dari semak-semak
tempat di mana dia bersembunyi.
Kini dia telah berdiri di tengah-tengah jalan
itu dengan sikap menghadang. Sudah barang tentu pa-
ra pengawal kereta kuda itu di samping merasa terkejut juga sangat heran
bercampur marah. Maka tanpa
basa basi lagi, salah seorang di antara mereka langsung membentak
"Bocah gembel...! Minggir... majikanmu mau
lewat...!" Bersikap seperti orang tuli, pemuda itu masih tetap tegak di tengah-
tengah jalan berbatu yang akan dilalui oleh rombongan kereta kuda itu. Hal ini
membuat para pengawal kereta kuda menjadi gusar. Maka:
"Jlig.... Jlig...!"
Tiga orang laki-laki berloncatan turun, se-
mentara beberapa orang lainnya masih tetap berada di atas punggung kudanya
masing-masing. Orang-orang
yang sudah berloncatan dari atas punggung kudanya
itu kembali menghardik dengan kata-kata yang sangat kasar.
"Budak... berani sekali kau menghadang ja-
lannya majikanmu, siapakah kau ini yang sebenar-
nya...?" "Kakang Sumali! Melihat tampangnya, nampaknya dia merupakan orang asing
di Desa Kedung Meranti ini! Jangan-jangan dia datang ke mari dengan membawa maksud yang tak
baik...!" berkata salah seorang di antara mereka yang memiliki badan lebih
pendek dibandingkan yang lainnya. Laki-laki yang dipanggil Sumali yang sekaligus
dalam rombongan kereta ku-da tersebut merupakan kepala pengawal tampak
memperhatikan Buang dengan sangat teliti dan sorot
mata penuh curiga. Kenyataannya memang benar apa
yang dikatakan oleh bawahannya itu, pemuda berkun-
cir dengan pakaiannya yang lecek tersebut baru kali ini dia melihatnya. Padahal
sudah hampir satu tahun dia dan orang yang berada di dalam kereta kuda sering
datang ke Desa Kedung Meranti dalam upaya mengum-
pulkan upeti pemerintah kerajaan. Tapi selama itu belum pernah mereka bertemu
muka dengan pemuda
berpenampilan aneh seperti itu. Hh, agaknya benar seperti apa yang dikatakan
oleh kembratnya tadi, mungkin saja kedatangan pemuda itu di daerah Kedung Me-
ranti membawa maksud yang tak baik. Kalau memang
benarlah apa yang diperkirakannya. Hal ini merupa-
kan satu bahaya yang sewaktu-waktu dapat mengan-
cam kewibawaan pemerintahan Senopati Karpa.
Dugaan yang masih mereka-reka itu mem-
buatnya semakin bertambah curiga atas diri pemuda
asing yang masih tetap berdiri di hadapan mereka.
"Bocah, katakanlah apa yang menjadi tu-
juanmu sehingga kau berani menghadang perjalanan
rombongan pemungut upeti kerajaan...!" Sengaja kata-kata terakhir itu agak
ditekan dengan maksud mema-
merkan siapa adanya mereka itu
Buang Sengketa hanya tersenyum mencibir
demi mendengar penjelasan laki-laki berbadan gemuk
yang bernama Sumali itu. Sebaliknya dengan suara
merendah dia berucap pelan; "Maaf Ki Sanak! Kukira kalian merupakan rombongan
dermawan yang datang
ke Desa Kedung Meranti untuk membagi-bagikan har-
ta benda yang berlebih, tak tahunya... kiranya kalian ini tak lebih seorang
pemeras tengik yang semakin
membuat penderitaan rakyat semakin parah...!" Ucapan Buang yang begitu berani
ini sama sekali di luar dugaan para pemungut upeti kerajaan, jelas saja
membuat orang-orang itu menjadi gusar sekali. Begitu pun mereka masih berusaha
menekan kemarahannya.
Di luar dugaan orang yang berada di dalam
kereta kuda yang sedari tadi hanya diam saja kini telah menyela dengan suaranya
yang serak, namun
menggetarkan udara di sekitarnya.
"Sumali! Kau telah membuang-buang waktu
dengan melayani tikus buduk bicara. Apakah kau te-
lah kehilangan nyali untuk menabrak siapa saja yang berani menghalangi jalannya
orang-orang penting kerajaan...?" bentak si laki-laki yang berada di dalam
kereta kuda tersebut dengan nada kurang senang. Buang Sengketa tersenyum tipis,
dalam hati dia mengakui
bahwa orang yang berada di dalam kereta kuda itu
memiliki tenaga dalam yang sangat sempurna. Terbuk-
ti dia sempat merasakan, betapa tubuhnya bergetar
sesaat ketika orang itu berbicara tadi. Sungguh pun begitu hal itu tak punya
pengaruh berarti terhadap
pendekar titisan Raja siluman tersebut. Dalam pada
itu Sumali dengan tergagap-gagap berusaha memberi-
kan penjelasan pada atasannya; "Maaf junjungan!
Nam... nampaknya kunyuk yang ada di depan kita ini
merupakan orang yang mencurigakan. Jangan-jangan
dia merupakan sahabatnya Sagara yang telah mampus
beberapa hari yang lalu di tangan algojo...!"
"Tak usah banyak tanya... kalian ringkus
gembel itu...!" perintah orang yang dipanggil junjungan tersebut ketus sekali.
Buang Sengketa sebenarnya masih belum mengerti apa yang baru saja dikatakan oleh
orang-orang itu. Bahkan dia sendiri pun merasa tak
mengenal dengan orang yang bernama Sagara. Namun
menurut perhitungannya, siapapun adanya orang yang
bernama Sagara tersebut, yang jelas mungkin meru-
pakan orang yang dimusuhi oleh pihak kerajaan Mua-
ra Panjang. Menyadari para pengawal pemungut upeti
itu telah bergerak mengurung dirinya, sambil melangkah undur dia berseru:
"Tunggu... tunggu dulu! Kalian tidak boleh seenaknya menuduh orang secara
sembarangan. Aku sama sekali tak mengenal siapa adanya
orang yang baru saja kalian sebut-sebut tadi...!" selak si pemuda berusaha
membantah. "Jangan coba-coba berdalih monyet gembel!
Jelaskanlah persoalanmu nanti andai telah berhada-
pan dengan gusti Senopati Karpa...!" bentak Subali.
Belum lagi sedetik ucapannya itu usai, mendadak dia melompat ke depan dengan
sebilah pedang terhunus.
Cepat sekali gerakan pengawal kepala ini sehingga di luar kesadaran Buang, tahu-
tahu tubuhnya telah
hinggap di atas tanah dekat Buang Sengketa. Belum
lagi hilang rasa terkejut di hati si pemuda, tiga babatan pedang yang sangat
tajam dan berhawa racun ganas
itu telah menderu ke arah bagian kepala, perut dan
kakinya. Pendekar Hina Kelana terlonjak dan cepat-
cepat buang dirinya ke samping kanan, berguling-
guling menjauhi ancaman pedang; Celakanya Sumali
yang berbadan gembul itu terus memburunya tanpa
memberi peluang pada Buang walau barang sedikit
pun. "Gila!" maki Buang Sengketa, lalu dengan sedikit mengerahkan ilmu
meringankan tubuh yang sangat
sempurna tubuh Buang melentik ke udara.
Serangan pedang Subali luput dari sasaran-
nya, tapi dalam keadaan seperti itu enam orang pen-
gawal lainnya telah mengurung Buang Sengketa den-
gan beringas sekali.
"Haiiit! Ciat... ciaat...!"
Nampaknya para pengawal itu merupakan
orang-orang yang sudah terlatih baik, dan rata-rata memiliki ilmu silat dan
tenaga dalam yang tidak men-gecewakan, Terbukti setiap serangan yang mereka
lancarkan mengandung jurus-jurus maut yang sewaktu-
waktu dapat membahayakan keselamatan lawannya.
Menjelang pertarungan sampai sepuluh jurus,
Buang masih saja mempergunakan jurus pertama dari
empat Jurus Koreng Seribu yang dimilikinya. Inti jurus pertama dari Jurus Koreng
Seribu masih merupakan
gerak mengelak dan menghindari serangan-serangan
ganas lawan-lawannya. Gerakan mengelak menghindar
yang sangat luar biasa cepatnya itu membuat Subali
dan enam orang kawannya menjadi gusar bukan alang
kepalang. "Pergunakan Jurus Bayang-bayang Menggila...!" teriak Subali pada
kawan-kawannya. Serentak dengan teriakan Subali itu, maka detik selanjutnya
tubuh lawan-lawannya sudah berkelebat lenyap. Buang
menjadi gugup seketika begitu menghadapi sambaran
angin pedang yang datangnya bertubi-tubi. Namun
dengan masih mempergunakan Jurus Koreng Seribu
tingkat kedua dan dibantu dengan ilmu mengentengi
tubuh yang sudah sangat sempurna sekali, dia masih
berhasil lolos dari sergapan-sergapan senjata lawannya.
"Hieee...!" Pedang di tangan Subali menyambar dahsyat mengarah pada bagian
kepala si pemuda.
Buang Sengketa cepat mengegoskan kepalanya lalu ba-
las kirimkan satu pukulan tangan kosong pada bagian dada Subali. Pengawal kepala
ini nampaknya tidak
menduga adanya serangan balasan yang sangat cepat
luar biasa itu. Secepatnya dia berusaha berkelit ke samping kiri, tidak terduga
tangan kanan lawannya
datang menyambut.
"Buukk...!"
Sungguh luar biasa daya tahan tubuh laki-
laki berkumis melintang itu. Pukulan yang dilancarkan Buang sebenarnya bukanlah
pukulan biasa, bahkan
lawan-lawannya yang lain juga merasakan betapa pu-
kulan yang dilakukan oleh Buang mendatangkan an-
gin menderu dan hawa panas yang hebat. Namun
hanya berakibat terhuyung-huyung saja bagi pengawal gemuk itu.
"Shaaat.... Ngungg!..!"
Pengawal lainnya marah sekali melihat ata-
sannya kena dipukul oleh pihak lawan. Mereka me-


Pendekar Hina Kelana 17 Dendam Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyadari andai saja kembratnya tidak memiliki ilmu
kebal "Kulit Baja" sudah dapat dipastikan menerima akibat yang sangat patal.
Sungguh pemuda itu merupakan seorang lawan yang sangat berbahaya. Maka se-
rentak mereka berusaha mendesak pemuda berperiuk
itu dengan serangan dari pukulan-pukulan ganas yang sangat berbahaya sekali.
Sementara itu, laki-laki berperut gemuk yang
berada di dalam kereta kuda, kelihatannya sudah tak sabar lagi melihat
pertempuran yang bertele-tele ini.
Para pengawalnya merupakan orang-orang terlatih
dengan memiliki jurus pedang yang sangat dahsyat.
Namun kenyataannya setelah pertarungan sudah
mencapai lebih dari dua puluh jurus, mereka masih
juga belum mampu membekuk pemuda itu. Hal itu sa-
ja sudah merupakan satu bukti baginya, betapa ke-
pandaian yang dimiliki oleh pihak lawan masih berada
di atas para pengawalnya.
"Minggir...!" bentak orang yang berada di dalam kereta kuda itu. Suara bentakan
tersebut diikuti dengan melesatnya sosok tubuh dari dalam kereta ku-da tadi.
Melihat cara dan gerakan laki-laki berperut buncit saat menginjakkan kakinya di
atas tanah, tahu-lah pemuda itu bahwa laki-laki tersebut sesungguhnya memiliki
ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat
sempurna. Begitu laki-laki ini sampai di hadapan
Buang Sengketa sejenak dia memandang padanya
dengan sinis. "Berani mati kau jual lagak di depan orang-
orang penting kerajaan!" bentak si perut buncit yang tak lain adalah Sudra
Blonteng adanya. Melihat kepada si perut buncit, maka teringatlah oleh Buang
akan penderitaan yang dialami oleh penduduk Desa Kedung
Meranti. Kehidupan mereka sudah begitu sangat men-
derita, tapi masih juga dibebani pajak yaitu yang berupa upeti. Di lain pihak
dia melihat kehidupan kaum
bangsawan maupun para pembesar kerajaan yang ber-
gelimpangan dengan kemewahan. Semua itu mereka
dapatkan dengan cara memeras hasil keringat golon-
gan bawah, sungguh satu keadaan yang sangat keter-
laluan sekali. Sebenarnya dia menjadi sangat marah
sekali, namun betapapun besar kemarahannya dia
masih dapat menahannya dengan dimilikinya jurus-
jurus Koreng Seribu warisan si Bangkotan Koreng Se-
ribu. "Sekali lagi, maafkan aku...! Kiranya aku yang bodoh ini tidak tahu betapa aku
sedang berhadapan
dengan anjing-anjing kerajaan pemeras rakyat...!"
ucapnya sambil tertawa-tawa jenaka. Dihina sedemi-
kian rupa Sudra Blonteng memerah wajahnya, tan-
gannya terkepal erat tanda bahwa dia sedang dilanda kemarahan luar biasa.
"Keparaaat...! Seumur hidup baru kau seo-
rang berani menghina kami sedemikian rupa. Tak ta-
hukah kau, betapa ucapanmu itu dapat menyeret mu
ke tiang gantungan...?" maki Sudra Blonteng.
Saat itu juga laki-laki gemuk muka angker itu
telah pula bersiap-siap melancarkan pukulan maut-
nya. Buang meskipun kelihatan masih tenang-tenang
saja, namun sebenarnya telah mempersiapkan Jurus
Koreng Seribu tingkat tiga.
"Seluruh desa dalam kekuasaan kerajaan ka-
lian semuanya sudah terlalu lelah dalam penderitaan.
Itu sebabnya mereka tak berani melakukan perlawa-
nan terhadap kaum pemerintah kerajaan. Betapapun
tiang gantungan selamanya membuat kecut setiap
makhluk yang bernyawa. Namun bagiku, kematian itu
sendiri merupakan sesuatu yang bakal menimpa mak-
hluk mana pun...!"
Ketenangan Buang Sengketa dalam berbicara
itu saja sudah merupakan tanda bahwa sebenarnya
dia merupakan seorang pemuda yang tak pernah men-
genal rasa takut akan sebuah kematian. Namun ke-
nyataan itu kiranya masih belum juga membuka mata
si perut Buncit, bahwa seseorang yang berani berkata begitu, sudah pasti
memiliki sesuatu yang dapat dian-dalkannya.
"Budak hina.... Sebutkanlah siapa kau ini se-
belum kematian benar-benar menjemput mu"!" bentak Sudra Blonteng dengan gigi-
gigi bergemeletukkan. Sementara tujuh orang pengawalnya sudah mengepung
Buang dengan posisi melingkar.
*** 3 Melihat lingkaran kepungan tersebut, Buang
sunggingkan seulas senyum sinis. Namun walaupun
sudah dalam keadaan terkepung sedemikian rupa, tapi pemuda titisan raja siluman
dari negeri Bunian ini masih kelihatan tenang-tenang saja.
"Namaku! He... he... he...! Rasa-rasanya tak
perlu ku sebut-sebut. Tapi agar kalian tidak penasaran, orang-orang selalu
menyebutku si Hina Kelana!"
"Hina Kelana?" kata Sudra Blonteng setengah menggumam, alisnya mengerenyit
seperti berusaha
mengingat-ingat sesuatu. Namun sepertinya dia mera-
sa sangat asing dengan julukan pemuda itu. Maka de-
tik selanjutnya tanpa berkata-kata lagi dia sudah menerjang Buang Sengketa
dengan diawali satu lengkin-
gan keras. Angin pukulan yang mengandung hawa yang
sangat dingin itu menyambar dahsyat mengarah pada
bagian perut lawannya. Buru-buru pemuda itu mem-
buang tubuhnya ke samping kiri. Tapi gerakan itu pun segera pula disambut dengan
babatan pedang yang dilakukan oleh para pengawal Sudra Blonteng. Merasa
diburu dengan serangan pedang yang datangnya silih
berganti. Maka Buang Sengketa pada satu kesempatan
yang sangat baik melentikkan, tubuhnya ke udara.
Nampaknya dia mulai merasa kewalahan menghadapi
utusan kerajaan pemungut upeti yang rata-rata memi-
liki kepandaian silat tinggi. Tapi sejauh itu pendekar ini masih tetap
mempergunakan jurus Koreng Seribu.
"Haiiit.... Hiaaaaat...!"
Orang-orang kerajaan tersebut mulai mende-
sak lawannya dengan cara memperkecil jarak perta-
rungan. Pedang-pedang mereka berkelebat dari segala
menusuk dan membabat pada satu arah. Mendapat
keroyokan sedemikian rupa dalam jarak yang sangat
rapat pula. Maka pendekar Hina Kelana dengan sedikit mengerahkan tenaga dalamnya
berusaha memapaki
serangan yang bertubi-tubi itu dengan jurus Koreng
Seribu. Demikianlah, begitu tusukan pedang, dan be-
berapa babatan lainnya datang menderu. Dengan ke-
dua tangan terpentang Buang Sengketa sedikit pun
tiada bermaksud mengelakkan serangan itu.
"Desss! Jeees! Bleeek...!"
Namun sebagai akibatnya sungguh sangat
sulit untuk dipercaya bagi pihak lawan-lawannya. Bagaimana tidak, senjata-
senjata yang menghunjam di
tubuh Buang menjadi lengket sehingga sangat sulit
untuk ditarik kembali.
Sudra Blonteng yang melihat kejadian itu
menjadi terpana, kedua matanya terbelalak. Sebagai
orang yang sudah sangat berpengalaman dalam perta-
rungan bagaimana pun bentuknya. Sedikit banyaknya
dia tahu bahwa saat itu pihak lawan sedang membetot tenaga dalam lawannya. Hal
itu andai tetap dibiarkan terus berlanjut, sudah pasti akan berakibat sangat
patal bagi para pengawalnya.
"Sumali...! Kita harus bersama-sama menye-
lamatkan mereka. Mari kita pergunakan Pukulan Ban-
teng Ketaton Menyeruduk Singa Gurun...!" ucapnya setengah berbisik. Tanpa
menjawab, kepala pengawal itu hanya menganggukkan kepalanya. Hampir secara
bersamaan, Sumali dan Sudra Blonteng mengangkat ke-
dua tangannya tinggi-tinggi ke atas, sejajar dengan kepalanya. Terdengar bunyi
berkerokotan saat mana ke-
dua utusan pemungut upeti ini mengarahkan tenaga
dalamnya mengaliri bagian telapak tangan mereka.
Tubuh mereka sekejap kemudian sudah nampak me-
negang dengan kulit merona merah. Selanjutnya tubuh
mereka mengepulkan uap tipis, semakin lama semakin
bertambah menebal. Serentak dengan berhembusnya
angin dari bagian tenggara, maka tercium pula bau be-lerang yang sangat menusuk
penciuman. Semua itu
sebenarnya tidak luput dari perhatian Buang, tapi saat itu dia masih memusat-kan
perhatiannya pada penya-luran hawa murni, untuk membersihkan pengaruh ra-
cun yang ikut tersedot dari tenaga dalam pihak lawan-lawan yang mengalir deras
melalui senjata lawan yang menempel di beberapa bagian tubuhnya.
Sementara itu enam orang pengawal sudah
nampak mulai pucat wajahnya, nafas terengah-engah
bagai baru habis berlari puluhan ribu tombak. Keringat dingin terus membanjiri
tubuh mereka. Saat-saat menegangkan seperti itu, mereka merasakan tubuh
masing-masing sangat lemas luar biasa.
Buang Sengketa masih terus bertahan pada
jurus Koreng Seribu tingkat ketiga.
Namun beberapa detik selanjutnya, secara
mendadak dia menyentakkan tubuhnya dari senjata-
senjata yang menempel di badannya saat mana dia
melihat Sumali dan Sudra Blonteng melesat cepat ke
arahnya. Enam orang pengawal terpelanting dengan
tubuh lemah lunglai tiada bertenaga, namun dia sudah tiada memperdulikannya
lagi. Sebaliknya sekali tubuhnya melentik ke udara untuk menghindari pukulan
beracun yang dilancarkan oleh pihak lawan, maka pa-
da saat Buang menjejakkan kakinya di atas permu-
kaan tanah. Kedua lawannya telah memburunya kem-
bali dengan pukulan Banteng Ketaton Menyeruduk
Singa Gurun yang sangat ampuh itu. Jarak yang san-
gat dekat itu, sebenarnya sudah tak memungkinkan
bagi si pemuda untuk mengelakkan pukulan kedua
lawannya. Dia telah bertekad untuk memapaki seran-
gan lawan dengan tujuan membentur beberapa sisi tu-
buh lawan-lawannya. Tapi Sumali maupun Sudra
Blonteng kiranya cukup cerdik. Mereka sudah menge-
tahui betapa akan sangat berbahaya andai sampai me-
reka bersentuhan dengan pihak lawan. Maka dalam ja-
rak yang tak lebih hanya satu meter itu, kedua lawan ini secara bersamaan
melepaskan pukulan beracun-nya.
"Wuuut! Weeer!"
"Aghk...!" Pendekar Hina Kelana keluarkan pekik tertahan saat dia merasakan
datangnya angin
pukulan yang berhawa panas dan dingin menyambar
bagian pundak dan kepalanya. Laksana kilat dia banting tubuhnya ke belakang,
celakanya pukulan Banteng Ketaton Menyeruduk Singa Gurun masih terus menge-
jarnya, sungguh pun dia telah berguling-guling menghindari pukulan yang berhawa
dingin dan panas.
"Der...! Arggk...!"
Pendekar Hina Kelana menggerung saat mana
bagian bahunya masih saja tersambar pukulan yang
dilancarkan oleh Sumali dan Sudra Blonteng. Masih
untung dalam saat berguling-guling tadi dia menge-
rahkan seperempat tenaga dalamnya untuk melindun-
gi bagian tubuhnya. Andai tidak sudah pasti tubuhnya akan hangus membeku dilanda
pukulan lawannya.
Sungguh pun begitu pendekar Hina Kelana masih saja
merasakan bagian bahunya menjadi panas sekali.
Ternyata Sumali dan Sudra Blonteng tidak
berhenti hingga sampai di situ saja. Dari pukulan yang mereka lancarkan tadi,
mereka sudah menduga bahwa
pemuda berpakaian lusuh itu, walaupun memiliki ilmu silat namun masih tidak
seberapa bila dibandingkan
dengan kepandaian yang mereka miliki. Walau me-
mang tak dapat mereka pungkiri bahwa dalam berge-
brak melawan para pengawalnya, pemuda itu memiliki
semacam ilmu kepandaian yang dapat melumpuhkan
lawan-lawannya tanpa melukai. Namun mereka tera-
mat yakin, selama dalam pertarungan itu mereka
menghindari bentrok tangan dengan si pemuda. Mere-
ka beranggapan kemenangan sudah barang tentu be-
rada di pihak mereka. Maka tanpa ayal-ayalan lagi, dalam gebrakan-gebrakan
berikutnya mereka sudah me-
lancarkan pukulan-pukulan mautnya yang sangat ga-
nas disertai dengan tendangan kaki dan tangan hingga menimbulkan deru angin yang
hebat pula. "Caaatt...!"
"Blaaaaar.... Blaaaar...!"
Kembali Buang Sengketa terbanting tubuh-
nya, hawa panas dan dingin sempat pula dia rasakan
menjalar di sekujur tubuhnya. Walaupun saat itu
Buang sempat mengerahkan sebagian besar tenaga da-
lamnya. Tapi walau bagaimana pun dia harus menga-
kui bahwa pihak lawan dengan pukulan Banteng Keta-
ton Menyeruduk Singa Gurun benar-benar merupakan
sebuah pukulan yang sangat dahsyat. Sedikit demi sedikit, batas kesabaran yang
dimiliki oleh Buang Sengketa akhirnya pupus juga. Apalagi pukulan Banteng
Ketaton Menyeruduk Singa Gurun masih menimbul-
kan nyeri luar biasa pada bagian dadanya. Selanjutnya dengan sekali lompat, maka
dia sudah menjauh dari
para lawan-lawannya. Liar pandangan matanya, mena-
tap tajam pada lawan-lawannya satu demi satu.
"Cukup sudah kesempatan yang kuberikan
pada kalian...!" katanya menggeram marah. Sebaliknya Sudra Blontang malah
mendengus. "Kau bisa apa bocah, daripada mati percuma!
Alangkah lebih baik jika kau menyerahkan diri dengan sukarela...?" perintah
Sudra Blonteng dengan nada meremehkan. Tiada terdengar jawaban. Diiringi dengu-
san keras, Buang Sengketa mengawali serangan per-
tama, dengan tapak tangan kanan terbuka mengan-
cam bagian dada Sumali. Sedangkan tangan kiri yang
terkepal mengarah pada bagian kepala Sudra Blon-
teng. Baik Sudra Blonteng maupun Sumali terperanjat bukan main. Keterkejutannya
itu bukanlah karena pihak lawan telah mengerahkan pukulan andalannya,
melainkan gerakan pukulan yang sedemikian cepat,
hingga tahu-tahu telah memukul sasaran yang dituju
tanpa sempat dielakkan oleh kedua orang itu.
"Buk! Buk...!"
Sumali dan Sudra Blonteng terpelanting tu-
buhnya, berserosotan hingga dua tombak. Kepala pen-
gawal itu merasakan kepalanya berdenyut-denyut ba-
gai mau pecah. Lain lagi halnya dengan Sudra Blon-
teng, hanya sekejapan saja dia merasakan dadanya
yang terpukul itu seperti remuk dan mendatangkan


Pendekar Hina Kelana 17 Dendam Manusia Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rasa nyeri. Di luar dugaan sambil menyeringai beringas, dia telah bangkit
kembali bagai tak merasakan
pukulan lawan yang sebenarnya menggunakan seper-
tiga tenaga dalamnya. Lalu dengan disertai jeritan
membahana Sudra Blonteng, untuk yang kesekian ka-
linya lancarkan satu pukulan Banteng Ketaton Menye-
ruduk Singa Gurun.
Pukulan maut yang menimbulkan udara din-
gin dan panas serta mengandung racun yang sangat
keji itu pun kembali menghajar Buang Sengketa, na-
mun kali ini nampaknya pendekar dari negeri Bunian
itu sudah tak ingin lagi memberi hati pada lawannya.
Maka dengan mempergunakan jurus Si Gila Menga-
muk, tubuhnya berloncatan kian kemari. Sekali waktu dia pun kirimkan pukulan
Empat Anasir Kehidupan.
Laksana kilat, satu rangkaian gelombang sinar violet yang mengandung hawa panas
luar biasa menderu
memapaki datangnya sinar hitam dan biru yang mele-
sat dari tangan Sudra Blonteng.
4 Enam pengawal yang siap berjaga-jaga, nam-
pak terperanjat bahkan tiga di antaranya keluarkan
suara pekikan tertahan. Apalagi pada saat dua puku-
lan yang mengandung tenaga sakti itu saling bertu-
brukan satu sama lainnya.
"Buuum!"
Tak dapat dibayangkan betapa besarnya aki-
bat yang ditimbulkan atas pertemuan tenaga dalam
itu. Keenam pengawal pemungut upeti kerajaan Muara
Panjang terjajar, dua di antaranya terpelanting menabrak sebuah pohon secara
beruntun. Dua pengawal
berbadan tegap itu hanya menggeliat begitu kepalanya remuk membentur pohon tak
jauh di belakangnya. Sedangkan keempat orang sisanya, walaupun masih
mampu bertahan hidup, namun tak luput dari luka
dalam yang sangat parah.
Saat itu Sudra Blonteng nampak kerengkan-
gan berusaha bangkit dari semak-semak tempat di
mana dia roboh. Laki-laki berperut buncit ini merasakan dadanya sesak bukan
alang kepalang. Kemudian
terbatuk-batuk dengan disertai menggelogoknya darah kental kehitaman dari
mulutnya. Di pihak Buang Sengketa sendiri, selain ke-
dua kakinya amblas sebatas betis, juga baju bagian
depan terobek sebesar telapak tangan. Kini sadarlah dia bahwa pihak lawan selain
memiliki kekebalan terhadap segala senjata tajam, namun juga memiliki pu-
kulan yang sangat keji. Secepatnya dia seka darah
yang meleleh di celah-celah hidung dan bibirnya. Saat itu dari sisi kiri, Sumali
dengan senjata terhunus, telah pula menerjang ke arahnya. Cepat-cepat Buang hen-
takkan kakinya, hingga detik berikutnya tubuh pemu-
da itu telah melesat ke udara, pedang di tangan Sumali yang mengancam pada
bagian perutnya mencapai
tempat kosong. Hanya angin sambaran pedang yang
begitu cepat berkibas sejengkal di bawah kakinya.
"Sialan...!" rutuk kepala pengawal tersebut.
Dalam kemarahannya itu dia kirim satu pukulan Ba-
dak Gila. Kembali serangkum gelombang sinar kelua-
rkan bunyi mendesing saat mana tangan laki-laki bertelanjang baju itu dorongkan
tangannya ke atas.
"Weeer...!"
Pendekar Hina Kelana yang masih berjumpa-
litan di udara terkesiap juga, demi melihat Sumali masih sempat kirimkan satu
pukulan yang cukup berba-
haya. "Hiiik.... Chaaa...!"
Sambil terus berjumpalitan menghindar,
Buang lepaskan satu pukulan si Hina Kelana Merana.
Akibatnya sungguh luar biasa, kiranya dalam jeritan tadi, Buang juga ternyata
keluarkan jeritan Ilmu Pe-menggal Roh yang sangat mematikan itu. Tidak sampai di
situ saja. Selarik sinar merah menyala yang ber-sumber dari pukulan Si Hina
Kelana Merana telah pula menyebabkan perubahan yang sangat dahsyat. Bumi
terasa panas terbakar, sementara suara teriakan yang sangat dahsyat tersebut
membuat tubuh mereka
menggeletar. Begitu masing-masing pukulan saling
bertemu, maka tanpa ampun terdengar suara ledakan
keras bagai letusan gunung berapi. Tampaknya Sumali memiliki tenaga dalam jauh
di bawah pendekar Hina
Kelana. Tanpa ampun tubuh Sumali amblas ke dalam
bumi, lenyap begitu saja seolah ada tangan-tangan
gaib yang menyentakkannya hingga pada kedalaman
yang tiada terukur.
Tiada terdengar jerit suara lolongan dari mu-
lut Sumali, empat orang pengawal yang dalam keadaan terluka parah terkapar tanpa
nyawa lagi. Dari telinga
mereka mengalir darah kental.
Diam-diam di luar sepengetahuan pendekar
Hina Kelana, Sudra Blonteng yang melihat kejadian itu menjadi lumer juga
nyalinya. Mempergunakan kesempatan yang sangat terbatas. Sudra Blonteng menyeli-
nap pergi dengan membawa luka dalam yang cukup
lumayan. "Ahh, si perut buncit telah merat di luar dugaan! Aku yakin urusan
pasti semakin runyam. Un-
tung-untung aku masih dapat menyelamatkan pendu-
duk dari amukan tentara kerajaan. Aku yakin mereka
pasti mengira, bahwa aku bersekongkol dengan rakyat untuk memberontak...!" gumam
pemuda itu. Kemudian tanpa menghiraukan mayat-mayat para pengawal
kerajaan Muara Panjang yang bergelimpangan tak ka-
ruan. Buang Sengketa menghampiri kereta kuda dan
mendapatkan seorang kusir yang sudah sangat tua se-
kali bersembunyi di balik dinding kereta dengan wajah ketakutan sekali. Tanpa
menghiraukan kusir itu,
Buang memeriksa keadaan di dalamnya. Tak terdapat
barang apapun terkecuali beberapa kantung uang pe-
rak di dalam sebuah peti yang berlapiskan emas.
Setelah mengambil dua kantung di anta-
ranya, pemuda berkuncir itu pun menghampiri kusir
kereta. "Pak tua...! Angkat mayat-mayat tiada berguna itu. Beri laporan pada
rajamu, bahwa satu saat kelak, andai dia tidak menghentikan pemungutan upeti
ini. Maka aku akan menghancurkan kerajaan Muara
Panjang...!" tukasnya, kemudian tanpa menoleh-noleh lagi Buang cepat-cepat
melangkah pergi.
Kusir kereta kuda yang sudah sangat tua itu
hanya mengangguk-angguk dengan tubuh gemetaran.
Selama ini kusir itu sadar akan kehebatan yang dimiliki oleh majikannya itu.
Tapi siapa sangka kalau hari
ini seorang pemuda berpakaian gembel mampu menga-
lahkan majikannya. Bahkan ternyata pemuda itu me-
miliki kesaktian yang sangat sulit untuk diukur kehe-batannya.
* * * Waktu terus bergulir tanpa terasa, hari ber-
ganti minggu, musim berganti musim. Dalam guyuran
air hujan lebat, nampak sosok tubuh cacat kedua tangan dan sebelah kakinya
sedang melatih diri dengan
jurus-jurus silat yang sangat ampuh dan dahsyat.
Sungguh pun keadaan tubuhnya cacat sedemikian ru-
pa, namun tiada, sedikit pun rasa putus asa mem-
bayang di wajahnya. Sepanjang hari yang dilakukan-
nya hanyalah berlatih dan terus berlatih. Semangat
dan dendam telah menyatu di dalam dirinya, orang-
orang kerajaan Muara Panjang! Pabila dia teringat
sampai ke situ, maka semakin berkobarlah tekad di
dalam dadanya untuk selekasnya dapat menyelesaikan
jurus-jurus Kelelawar yang terdapat di dalam dinding gua tempat di mana dia
tinggal selama ini.
Tidak begitu jauh dari tempat laki-laki cacat
itu melatih diri memang terdapat sebuah gua yang di-huni oleh ribuan kelelawar.
Di sanalah dia menetap selama kurang lebih dua tahun, setelah para ponggawa
kerajaan membuntungi kedua lengan dan sebelah kaki
kirinya untuk kemudian mencampakkannya ke dalam
jurang yang sangat dalam itu.
Masih untung dalam keadaan seperti itu, tu-
buhnya yang terluka parah jatuh tepat di sebuah da-
han yang berdaun rimbun. Sehingga dia masih dapat
terhindar dari kematian, begitupun dia tetap tak sa-darkan diri karena hampir
kehabisan darah. Di luar
sepengetahuannya, serombongan kelelawar yang ber-
diam di dalam gua yang terdapat di dasar lembah, ber-kenan memberi pertolongan
padanya. Dan nampaknya
masyarakat kelelawar itu bukanlah kelelawar biasa.
Terbukti setelah dia siuman dari pingsannya masyarakat kelelawar itu melalui
mulutnya memberikan sema-
cam obat untuk menyembuhkan luka-luka yang dideri-
tanya. Ribuan kelelawar yang tinggal di tempat itu
nampaknya sangat bersahabat dengan laki-laki cacat
yang tak lain Sagara adanya. Mereka tidak merasa ter-ganggu dengan kehadiran
Sagara, sebaliknya Sagara
tanpa menghiraukan bau busuk yang menyengat ting-
gal pula bersama masyarakat kelelawar yang berada di dalam goa tersebut.
Kesembuhan yang dia derita akhirnya datang
juga, hampir setiap hari dia berusaha untuk melatih kekurangan-kekurangan akibat
cacat yang dideritanya.
Sampai akhirnya beberapa ekor kelelawar memberinya
petunjuk tentang adanya rahasia yang tersembunyi di dalam gua itu 'Rahasia
Jurus-Jurus Kelelawar Hitam'.
Jurus-jurus kelelawar itu tertulis di dinding gua yang berbatu cadas. Dari
tulisan-tulisan yang digurat dengan tangan biasa jelas nyata. Kalau orang yang
men- ciptakan jurus-jurus itu tentu merupakan seorang tokoh yang memiliki tenaga
dalam yang sangat sempur-
na. Demikianlah sejak saat itu, Sagara mulai giat melatih diri dengan jurus-
jurus Kelelawar Hitam pening-galan seorang tokoh yang tidak dikenalnya. Ternyata
jurus kelelawar ini sangat sesuai dengan cacat fisiknya Tiada kenal lelah Sagara
terus berlatih dan
berlatih hampir setiap waktu yang terluang. Sebaliknya Sagara pun tiada
menyadari perubahan-perubahan fisik yang dialaminya. Badannya yang berkulit
hitam itu semakin bertambah hitam, dari pori-pori kulitnya
tumbuh pula bulu-bulu halus yang tidak terbatas ba-
nyaknya. Keanehan lainnya, pada saat-saat mengerah-
kan tenaga dalam maupun pada waktu melepaskan
pukulan 'Kelelawar Terbang Malam', sebagian wajah
Sagara berubah secara total menjadi ujud kepala kelelawar hitam yang sangat
beringas. Kini laki-laki cacat itu duduk di depan mulut gua, tak lama tadi dia
baru saja menyelesaikan latihan jurus terakhir yang terdapat pada batu dinding
gua itu. Perhatian Sagara kini terarah pada tebing curam yang berada di atasnya,
dia memperhitungkan tak mungkin rasanya dapat keluar
melalui tebing yang sangat curam yang dalamnya lebih dari seratus meter. Sungguh
pun saat itu dia telah
menguasai ilmu Kelelawar Hitam Merayap. Cacat kaki
dan tangannya telah membuatnya selalu mengalami
banyak kesulitan untuk berbuat banyak di dasar ju-
rang itu. Nampaknya tiada jalan lain untuk dapat keluar dari tempat itu. Sebab
beberapa hari yang lalu pun dia telah memeriksa seluruh sudut-sudut lembah.
Semua jalan terasa buntu. "Hh. Aku seperti sudah di-takdirkan untuk menghuni
lembah ini sampai hari ma-
tiku. Tinggal dengan masyarakat kelelawar memang terasa enak, tiada rasa iri,
dengki atau sejenisnya. Mereka semua walaupun tinggal di sebuah tempat yang
sama, namun aku tak pernah melihat mereka berteng-
kar, saling cakar, maupun saling tindas sesamanya.
Tapi...! Andai aku tetap tak dapat menemukan jalan
keluar dari lembah ini pupuslah sudah harapanku un-
tuk mengadili orang-orang yang telah hampir membua-
tku celaka. Entah bagaimana nasib penduduk desa
sampai saat ini, mereka pasti menjadi korban kelaparan yang sangat panjang!"
gumam Sagara lirih. Pada saat itu mendadak dia teringat pada adik satu-satunya.
Ambarwati. Masih di Desa Kedung Meranti
gadis itu tinggal, tiada sanak dan keluarga selain Sagara satu-satunya. "Aku
berharap moga tak terjadi sesuatu apapun pada adikku, tapi kalau sampai terjadi
se- suatu yang tidak aku inginkan. Kerajaan Muara Pan-
jang akan ku-bumihanguskan...!"
Dengan hanya mengandalkan kakinya yang
hanya tinggal sebelah, Sagara mulai menuruni gua
tempat dia tinggal selama ini. Tanpa mengenal rasa
putus asa, kini laki-laki cacat itu kembali memeriksa setiap sudut lembah.
Menjelang senja Sagara melihat serombongan kelelawar mulai bergerak keluar
meninggalkan gua yang juga merupakan tempat tinggalnya.
Binatang-binatang itu terus bergerak bukannya me-
nembus ketinggian jurang! Tetapi menuju ke satu arah yang dipenuhi dengan
tetumbuhan yang berdaun lebat. Semua itu tak luput dari perhatian Sagara. Dia
terperangah begitu melihat kelelawar itu tak muncul-muncul dari kerimbunan pohon
yang tadi mereka ser-
bu. "Tak mungkin kelelawar-kelelawar itu berpin-
dah tempat hanya untuk tidur. Yang ku tahu selama ini makhluk-makhluk kawanku
itu tinggal di dalam
gua bersamaku. Sebentar lagi malam tiba, aku yakin
mereka keluar untuk mencari makan. Tapi... eeh...!"
Sagara setengah berjingkrak manakala dia teringat sesuatu yang dapat membesarkan
hatinya. "Baiknya ku-periksa kerimbunan pohon itu, mungkin juga merupa-
kan jalan keluar satu-satunya dari lembah ini...!"
Ketika Sagara mulai bergerak memeriksa
tempat kelelawar-kelelawar itu lenyap, kala itu bulan purnama penuh kelihatan
memancarkan sinarnya
yang kuning keemasan. Sesekali terdengar pula cicit makhluk-makhluk yang selama
ini telah menjadi kawannya di lembah itu. Tak sampai setengah jam ke-
mudian Sagara telah menemukan sebuah gua kecil
memanjang yang tadinya merupakan jalan yang dilalui oleh kelelawar-kelelawar
Pedang Kayu Harum 14 Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L Pendekar Pemetik Harpa 25
^