Pencarian

Maryamah Karpov 5

Maryamah Karpov Karya Andrea Hirata Bagian 5


Demikian berulang-ulang sampai kami kelelahan dan hampir putus asa. Semuanya seakan sia-sia. Eksyen dan gengnya makin girang Hari menjelang sore, belum membuahkan hasil apa pun. Ejekan Eksyen makin melemahkan mental kami. Lintang mengatakan padaku, cukuplah pekerjaan hari ari. Ia mengakui kelemahan desainnya bahwa ia kurang teliti menghitung momen penghampaan drum. Eksyen melonjak-lonjak girang melihat kami mulai akan berkemas.
Namun, aku meminta Lintang mencoba sekali lagi, dan aku berdoa kepada Yang Mahatinggi, agar percobaan terakhir ini berhasil. Drum-drum kembali diisi air, lalu dicemplungkan. Sepuluh penyelam Sawang, untuk keseki-an puluh kali, kembali terjun ke sungai. Dengan satu aba-aba dari Lintang, pompa isap dihidupkan. Kulihat butiran udara menyembul dari dasar
air membentuk lingkaran peras seperti gelembung udara yang diembuskan paus bongkok untuk menjebak ikan-ikan salmon. Hal ini telah terjadi pada puluhan percobaan sebelumnya, tapi kali ini berbeda sebab gelembung itu membentuk lingkaran sempurna, marak dan besar meluap-luap ke permukaan. Mata Lintang terbelalak. Dadaku berdebar-debar karena ini pertanda penghampaan drum berlangsung secara bersamaan. Empat buah drum di sisi timur yang selalu timbul lebih dulu tak tampak. Penonton di atas jembatan terpana melihat dahsyatnya gelembung-gelembung udara.
Tiba-tiba jembatan bergetar seperti kena gempa enam skala Richter. Getaran itu diiringi gemuruh suara yang berat menderam-deram dari bawah sungai laksana binatang raksasa mengaum dalam. Para penonton berteriak ketakutan. Anak-anak kecil semburat berlarian. Namun, cuma sebentar, gelembung udara kian dahsyat, tak tampak satu pun drum menyembul karena mereka sedang bergerak secara simultan ke permukaan. Para penyelam berenang menjauhi perahu karena mereka takut terisap energi yang besar. Gelembung udara kian menjadi-jadi karena tekanan kuat yang bergolak di bawah sana. Lalu, Lintang seperti tak dapat bernapas dan aku terkesima karena tampak satu sosok yang amat besar menggelinjang-gelinjang dari dasar sungai. Liar dan ganas.
Aku terperanjat tak kepalang melihat dua puluh empat drum terlompat ke atas
bersamaan dan detik berikutnya lututku gemetar melihat makhluk raksasa hitam terlonjak ke permukaan sungai, menyeruak dahsyat di antara gelembung air disertai suara bak paus raksasa menyemburkan napas. Setelah ratusan tahun bersemadi, tiba-tiba ia teronggok di situ, di permukaan sungai. Sangat besar, hitam berkilat. Sangat gagah, tapi sangat tua, berlumut dan bertali-tali menakutkan. Ia limbung ke kiri-kanan sebentar seperti mammoth yang terluka lalu ia diam melenguh karena takluk pada tali-temali belenggunya. Sungguh hebat makhluk itu. Lambungnya berlubang besar kena hantam meriam ... kumpeni pada empat bagian. Modelnya khas perahu orang Melayu kepulauan. Namun, meski terluka parah, haluannya masih gagah mendongak, buritannya masih kukuh-persegi dan tinggi-bak bahu Hercules. Dua tiang layarnya masih tegap menantang angin. Tak sedikit pun hilang aura garangnya. Inilah kendaraan bala tentara bajak laut durjana yang pernah merajalela di Selat Malaka. Darinya terembus darah dan ketakutan.
Perahu ini tak bernama. Tapi ada masanya dulu, ketika orang sepanjang pesisir Sumatra hanya berani menyebut perahu ini dengan umpama. Ketika ia dianggap tabu, bahkan dengan menyebut namanya, mulut harus ditabur beras sebab dianggap telah mengundang bencana. Tiba-tiba, setelah malang
melintang melegenda, perahu lanun itu muncul di kampung kami, laksana terlempar dalam lorong waktu. Sore ini, setelah berabad terkubur, ruhnya dibangkitkan oleh Dahi Lintang, dibangkitkan oleh ilmu, untuk bernapas kembali.
Para penonton terpana. Beberapa orang seperti berdoa dan menggumamkan asma-asma Bahi. Mereka susah percaya dengan pandangan sendiri. Mereka sulit percaya melihat perahu lanun berusia ratusan tahun terapung tepat di depan hidung mereka, dan lebih dari itu, mereka tak percaya aku dan Lintang dapat melakukan sesuatu yang mereka anggap sangat mustahil. Mereka diam, tapi pelan-pelan mulai terdengar tepuk tangan, kian lama, kian membahanan.
Mozaik 55 Tak tertanggungkan aku senang kami berhasil mengangkat perahu lanun dari dasar Sungai Linggang, terutama karena sulit kubayangkan A Tong kalah taruhan. Akibat yang ditimbulkan tawon mahkota emas itu di dalam celananya, pasti tak tertanggungkan.
Pagi ini seisi pasar terpingkal-pingkal melihat A Ngong yang tambun berjualan ikan sambil memakai helm. A Tong rupanya telah memilih helm mirip helm perang tentara sekutu yang lucu. Ia melubangi sisi kiri dan kanan helm, dekat telinga, agar dapat dipasangi rantai. Rantai itu disambung melilit dua kali melalui dagu A Ngong dan digembok pakai kunci kecil sehingga A Ngong tak bisa membukanya selama empat hari. Kuncinya disimpan A Tong baik-baik.
Namun, semua orang tahu. Meski A Tong tak menggembok helm itu, A Ngong tak kan membukanya sebelum lunas masa perjanjian. Ia tak kan melepaskan helm meski tak ada yang melihatnya. Mereka adalah turunan prajurit-prajurit Ho Pho yang gagah berani. Taruhan bukan perkara main-main bagi mereka, tapi soal martabat untuk menjunjung tinggi apa yang telah disumpahkan. Leluhur mereka juga begitu. Kumpeni tengik mengkhianati mereka bulat-bulat, tapi mereka tetap berperang untuk kumpeni karena mereka telah dibayar dan telah berikrar sejak awal. Orang-orang Ho Pho tak pernah cedera janji, wah amanah yang tepercaya, dan hal itu adalah bagian paling mengesankan dari sosiologi Ho Pho. A Ngong serius saja sikapnya meski semua orang menertawakannya, dan ia tetap memegang konsekuen pada taruhan awalnya. Seisi pasar ikan kembali terpingkal-pingkal melihat A Ngong hanya beraliskan satu. Dalam kesimpulanku, A Ngong dan A Tong telah menderita sakit gila nomor tiga puluh tujuh, kecanduan taruhan.
Eksyen dan kelompoknya yang kalah total, kian jengkel padaku. Ia terpaksa menyogok Rustam Simpan Pinjam untuk pinjam uang dari koperasi karena harus mentraktir lawan taruhnya dua minggu. Rustam Simpan Pinjam sendiri harus meminjam uang dari kas kantornya karena ia kalah taruhan dari Zainul Helikopter dan Marhaban Hormat Grak II. Tapi uang itu meluncur saja seperti menggenggam lele, hanya numpang lewat di telapak Marhaban Hormat Grak II lantaran ia kala
h bertaruh dalam jumlah yang sama pada Muslimat Rambo.
Mustahaq Davidson berjaya membangkrutkan Tancap bin Seliman. Mustajab Charles Martin Smith yang membeli taruhan Muharam Ini Budi, juga
sehat sentosa. Namun, jika di bawah lembar buku hitung dagang berko-lom dua ditarik garis kecil saldo akhir pendapatan dan pengeluaran, kas Mustajab Charles Martin Smith tetap defisit, sebab ia kalah besar dari Mursyiddin 363. Semua disetor dan rupanya Mursyiddinlah taipan taruhan kali ini. Ia sukses menggulungtikarkan Muas Petang 30 dan Ma-hadip Sheriff. Ia girang betul. Setelah berkali-kali dijebloskan Sheriff ke sel polsek akhirnya, untuk kafi pertamanya, ia merasa di atas angin atas Banpol itu. Kemenangan itu baginya lebih bernilai daripada jumlah uang taruhan.
Yang menyedihkan adalah Rofi'i Bruce Lee. Gara-gara ia harus memecahkan empat biji kemiri dengan jidatnya demi taruhannya pada Marsanip Sopir Ambulans, Berahim Harap Tenang Yunior, Marhaban Hormat Grak II, dan Makruf Bui, Bc.I.P, empat benjol bermunculan di jidatnya itu. Jumiadi Setengah Tiang akhirnya tersedu sedan karena kalah dari Kamsir si Buta dari Gua Hantu. Ia meratap betapa tak adilnya dunia ini. Yang paling aneh Daud Biduan. Jika semua orang menyesal karena kalah taruhan, ia malah girang tak kepalang. Pada siapa pun, dengan gembira, ia mengatakan ia telah kalah dan siap menyanyi di kenduri siapa pun tanpa dibayar, cuma-cuma, lantas melenggoklah pantun girangnya.
"Anggota dewan ikan kepuyu
"Sama kawan, sama Melayu ....
"Ah, cincailah Daud, menderita sakit gila nomor empat puluh satu: keranjingan manggung.
Sementara itu, Nur Gundala Putra Petir marah-marah dan melaporkan kelakuan Mahmuddin Pelupa pada Syamsiar Bond, administrator taruhan. Mahmuddin yang kalah taruhan tak sudi menyerahkan sepedanya pada Nur sebab katanya, seumur hidupnya ia tak pernah bertaruh melawan siapa pun. Ia malah berkhotbah.
"Bertaruh adalah nyanyian Syaiton.' Penghinaan pada agama Islam, judil" bicaranya persis Modin Mahligai.
"Periksa kalimahmu, NurJ Gampang betul kaubicara. Periu kau tahu, aku ini umat Muhammad yang lurus, mana pernah aku berjudi!"
Waktu diperlihatkan catatan taruhannya pada buku besar Syamsiar Bond, dan jelas ada parafnya tanda ia mufakat pada lajur tanda tangan, bahkan tertera tanggal dan jamnya di situ, Mahmuddin tetap ingkar. Ia bersikeras bahwa tanda tangannya telah diselewengkan Syamsiar, dan ia menuduh Syamsiar serta Nur Gundala Putra Petir telah bersekongkol dengan iblis untuk menekorkan agama Islam.
Dengan mudah perahu lanun ditarik ke hanggar perahuku di bantaran sungai. Aku langsung membongkar papan lambungnya. Gembira hatiku mendapat papan-papan seruk masa lampau yang kondisinya masih sangat bagus, bahkan lebih bagus daripada papan-papan seruk yang baru sebulan lalu kutebang Papan-papan arkeologi ini kuserut sedikit saja lalu kubor sisi-sisinya untuk memasang telebut. Bentuknya yang memang telah mengikuti irama gradasi lengkung lambung perahuku membuat pekerjaanku jadi lebih mudah.
Aku tak hirau dengan ramainya taruhan di warung kopi karena aku pirnya taruhan padaku sendiri. Taruhan yang lama. Kubuka sepasang linggi perahu lanun. Linggi-linggi itu sepasang kayu bulin penyangga utama perahu yang amat kukuh. Kupahat pangkal dan ujungnya dengan teliti, seartistik mungkin, lalu kuukir sebuah nama. Tengah malam, langit kelam, bulan sabit mengerling Aku mengendap-endap ke kuburan Islam kampung lama. Senyap. Aku telah tahu tempatnya, di sana, di bawah pohon kam-boja paling tua. Di sanalah kumpulan pusara keluarga besar Muslim Ansyari. Tampak makam anggota keluarga yang meninggal paling belakang terletak di ujung sekumpulan pusara. Kucabut nisan bertulisan Marhaban Hormat Grak pada kubur terakhir itu, lalu kutanam dalam-dalam nisan bulin ratusan tahun berukir nama dari tanganku sendiri, nama sejati mendiang yang gagah: Marhaban Fadillah Ansyari bin Hasan Muslim Ansyari. Fadillah, artinya, Kawan, adalah keutamaan agama.
Lintang Dengan pisau lipat Kuukir pelan-pelan Kalimat yang dalam Dari perasaanku yang larat
Karena hormatku yang sarat
Untuk pesona persahabatan dan ke
cerdasan Lintang hatimu yang benderang
Qui genus humawan ingenio superavit
Manusia genius tiada tara
Mozaik 56 Mimpi mimpi Lintang AKHIRNYA, tibalah aku pada tahap akhir pembuatan perahuku, yaitu mengerjakan tiang layar. Pekerjaan itu dilakukan paralel dengan memasang kulit kayu putih pada celah-celah kecil, mendempul lambung, lalu mengecatnya.
Aku bekerja sendirian mendirikan tiang layar dan terus berpacu dengan waktu. Musim barat tinggal seminggu. Malam hari hingga larut, aku menjahit layar, memasang cincin-cincin klemnya, mengikuti pola rangka tiang layar dan mekanisme tali-temalinya. Pekerjaan ini dulu pernah kukerjakan bersama Tunggal Weh. Dialah yang mengajariku semua hal tentang layar. Aku tak berhenti bekerja, jika kelelahan, aku tertidur lupa dengan pahat dempul atau jarum jahit dalam genggamanku. Lima hari menjelang musim barat, pada satu dini hari yang senyap saat sungai taruk beriak-riak, dan muara berkilauan disirami cahaya rembulan, perahuku rampung kukerjakan.
Aku mundur beberapa langkah. Kulihat perahuku dari satu jarak. Mulanya aku berdiri, lalu lututku gemetar hingga tak kuat menopang tubuhku. Aku terhempas di atas lututku. Perasaaan takjub memasuki rongga-rongga dadaku dan menguasaiku. Aku tak percaya rasanya, dan siapa pun tak kan pernah percaya, bahwa aku, dengan tanganku sendiri, telah menyelesaikan pekerjaan paling berat dan paling mustahil dalam hidupku: membuat perahu tradisional sepanjang sebelas meter, seberat hampir tiga ton, bertiang layar lima meter. Tujuh bulan hidupku kuhabiskan untuk perahu ini. Berangkat dari kesangsian akan kemampuan, kemudian terjun ke dalam pekerjaan yang memboyakkan : menebang dan memikul hingga punggung terasa patah, pundak terasa timpang. Lalu melengkungkan papan dengan presisi sampai milimeter, dan berkelana di dalam dunia ajaib kecerdasan Lintang dan alam fantasi misterius Mahar, dicemooh, dicerca, diremehkan. Namun Kawan, lihatlah itu. Perahuku tampak tampan rupawan di atas dudukannya. Ialah putra pertamaku. Haluannya bergaris Melayu tapi lambungnya seindah perahu-perahu Bulukum-ba. Tak kalahlah tampaknya ia dengan sepupu perahu Mapangi Cahaya Intan yang kini tengah chtingkah riak-riak samudra.
Aku membelai lambung perahuku. Aroma kayu seruk yang telah menyaksikan beribu purnama, mengembuskan satu kisah padaku: bahwa semangat dan ilmu dapat menaklukkan apa pun. Sekarang, aku dapat melihat perahuku seperti aku melihat perahu Mapangi, Cahaya Intan dulu.
Aku mengambil kuas untuk menorehkan sentuhan terakhir pada
perahuku. Inilah saat sakral yang dinantikan semua pembuat perahu, saat yang kutunggu-tunggu sejak tujuh bulan silam, saat kulukis nama perahuku: Mimpi-Mimpi Lintang.
Tanpa kutahu, keluarga Mapangi telah mengatur ritual tarik perahu untukku. Rafiqi, cucu tertua dari putra tertuanya, yang berusia dua belas tahun, mendapat kehormatan memegang simpul simpai pating muka, seperti dulu aku mendapat kehormatan memegang simpul simpai perahu Cahaya Intan. Mungkin telah terbit pula firasat Mapangi bahwa suatu hari kelak Rafiqi akan meneruskan tradisi keluarga Mapangi sejak beratus tahun silam: membuat perahu.
Sejak kuukir di bahu haluan Mimpi-Mimpi Lintang tak lagi aku dibolehkan Mapangi mendekati perahu itu. Pekerjaan kecil-kecil membereskan baut-baut di kamar mesin, menyimpul mati ujung tali-temali, melilit layar pada tiangnya, dan mengatur benda-benda di dalam palka, diambil alih oleh putra-putranya. Mereka menyiapkan kayu-kayu bulat yang dipasang berjejer di atas jalur menuju pangkal di atasnyalah Mimpi-Mimpi Lintang akan digelinding.
Aku diminta mengunyah sirih dan gambir bersama tetua orang-orang bersarung waktu tamborin dan tabJa mulai dibunyikan, seorang perempuan tua orang bersarung menaburkan bunga dan beras di sepanjang jalur kayu-kayu bulat, dan Rafiqi berteriak memberi aba-aba agar puluhan lelaki bertubuh kekar menjejakkan kaki dengan tegas ke bumi, menarik napas, dan membuangnya sambil menyentak perahu. Dalam satuan waktu yang tepat, Rafiqi bersorak; haihu.' Dan dalam setiap teriakan haihu yang diikuti berderap lelaki-lelaki laut yang perkasa itu, da
daku berdetak-detak. Ratusan orang kampung yang bertengger-tengger di jerejak besi jembatan Linggang, di pagar pembatasnya, dan yang berjejal-jejal di dermaga riuh rendah melihat perahuku. Mereka yang kalah bertaruh tampak tertegun tak berdaya, mereka yang memang melonjak-lonjak gembira, mereka yang ragu bahwa aku mampu membuat perahu, terpana Sementara, kian dekat ke pangkalan, dadaku kian berdentum, sebab semuanya, semua jerih payah tujuh bulan penuh, akan ditentukan dengan beberapa kali sentakan lagi sampai perahuku diaumkan dengan permukaan air: apakah ia akan membatu atau ia langsung tertelungkup. Orang-orang seperti Eksyen dan komplotannya tentu berharap sebaliknya. Dari wajah mereka tampak betul mereka mengharapkan perahuku karam seketika, agar mereka bisa tertawa sampai setahun dan bersukacita mengarang-ngarang julukan untuk menghinaku seumur hidup.
Kayu-kayu bulat yang melandasi lantai geladak silih berganti dipindahkan setiap depa perahu berderak maju. Lintang berdiri di sisi paling timur dermaga bak bayangan peri di ujung anak sungai yang menjelma menjadi selendang perak karena memantulkan matahari Jingga. Hatiku tak berhenti berdoa agar perahu itu tak karam. Aku menahan napas waktu Rafiqi melepaskan simpai yang melilit bahunya dan ia berteriak lantang untuk kali terakhir: hai-ho! Mimpi-Mimpi Lintang meluncur deras ke permukaan sungai. Ratusan orang terpaku melihat perahu itu melintas di atas permukaan air dengan canggung. Ia melenggak-lenggok dengan keras seperti belibis terpanah kepaknya. Eksyen berdiri dan berlari ke bantaran sungai sambil berteriak menyumpahi perahuku.
"Linggar! Linggar! Karam! Karam!" Aku ngeri melihat perahuku bergoyang hebat hanya karena kecipak halus ombak sungai. Di permukaan air, ia seakan minyak di atas loyang yang licin: limbung timpang gelisah, meski tetap meluncur. Itulah, pada papan lambung sebelas meter itu, segalanya: kecerdasan lintang jerih payah tujuh bulan, dan martabatku, ku pertaruhkan. Aku gamang Jangan-jangan perhitungan Lintang telah keliru, jangan-jangan jarak lengkung lambung antara linggi haluan dan buritannya terlalu dekat, perahu ini terlalu pilas lengkung lambungnya sehingga tak stabil. Lintang meneguhkan hatiku.
"Jangan cemas, Ikal. Jika akan karam, seharusnya sejak tadi."
Beberapa orang bergabung dengan Eksyen dan bersorak-sorak.
"Linggar! Karam!"
Namun, kian keras mereka menyumpahi perahuku, kian lurus luncurnya, dan kian reda olengnya, lalu pelan-pelan ia mulai mengikuti irama ombak. Riak menampar lambungnya halus, ia beranjak senada kehendak ombak. Ombak mengangkatnya ia melonjak, ombak surut ia berturut. Perahuku dan ombak, telah sepakat.
Sontak ratusan pendukungku bersorak-sorak girang, lintang memeluk pundakku.
"Lihat itu, Boi! Apa kataku! Sains Boi, jangan sekali-kali kauremehkan
sains!" Eksyen ternganga mulutnya melihat perahuku bergeming diam tenang dan tampan, serupa angsa Kanada atau Branta canadensis yang tengah melamun. Ia mengucek matanya beikali-kali, dan wajahnya pucat membayangkan akan menelan lagi taruhannya mentah-mentah. Lelaki itu beranjak dari dermaga dan masih sempat melompatkan hujatan lain.
"Burung pungguk mencium bulan!" teriaknya berkali-kali.
Ia berani bertaruh apa pun bahwa aku tak kan mampu membawa A Ling pulang. Tak sebersit pun ia percaya aku akan dapat melakukan itu. Sejujurnya aku sendiri sangsi. Aku bahkan ragu bahwa A Ling ada di Batuan. Namun, sementara ini, pilihanku hanya musim barat yang kian dekat dan aku harus segera berlayar. Pilihan hidupku, hanya mencari A Ling di mana pun ia berada.
"Deal, ingat kataku. Bawa parangmu. Kau tak kan pulang Tambok, Tamboklah yang akan menyambutmu, rasakan olehmu!"
Ah, nama itu lagi: Tambok, apakah ia lebih ganas daripada ombak musim barat" Aku mengangkat tinggi-tinggi sarung terampangku. Berteriaklah engkau, Eksyen, sampai habis suaramu. Aku tak kan surut.
Para penarik kembali menarik perahu ke bantaran. Aku dan Mahar melompat ke atasnya. Mahar, Kalimut, dan Chung Fa memuat semua keperluan untuk berlayar. Mahar, yang kutugaskan sebagai juru layar dan lasing, menaikkan layar. Aku, san
g nakhoda, memutar kemudi. Hari ini kami akan langsung bertolak ke Batuan. Mimpi-Mimpi Lintang mengembang layar bak rajawali mengepak sayap. Ia berbelok lalu meluncur di bawah jembatan. Sungai Linggang nan tenang terpecah segitiga sampai ke bantaran. Layar Mimpi-Mimpi lintang berkibar-kibar megah. Aku berdiri tegak di pucuk haluan. Tepuk tangan bergemuruh dari ratusan orang yang berkerumun di tepi sungai. Melihatku, mereka berseru.
"Kapitan! Kapitan!"
Aku menjelma menjadi lelaki yang kulihat menghunus pedang menantang badai waktu gemintang berdebur bak samudra tujuh bulan yang lalu, ketika rasi-rasi menyeruak menjadi bahtera. Sampai jauh masih kudengar sorak-sorai. Mimpi-Mimpi lintang menyelusuri delta, menelan seluruh sisa-sisa muara, lalu memasrahkan dirinya dalam pelukan samudra.
Mozaik 57 Dia Tak Perlu Radio SUNGAI Linggang yang makin payau tersamar warna aslinya ketika kami meninggalkan muara. Bergradasi pelan dari cokelat, lalu cokelat tua karena bercampur dengan biru laut, lalu biru jernih. Tak terasa kami telah berada di lepas Pantai Belitong.
Gunung Selumar dan undakan-undakan bukit sekitarnya termangu-mangu. Dari jauh, mereka bak ditopang keluarga pohon dungun yang beradu tinggi menggapai-gapai sinar matahari karena cahayanya terlindung Gunung Gudha. Barisan pohon bintang berbelang-belang, sebagian terendam air. Garis pantai berkilau akibat ilmenit yang melapisi aluvial tertinggal tatkala pantai digerus abrasi. Sesekali tampak buaya muara, enam tujuh meter panjangnya, menggeliat-geliat dalam kubangan serpih-serpih pasir perak itu.
Semenanjung mulai tampak jelas lekak-lekuknya karena dijauhi perahu dan pulau, satu per satu bermunculan.
Pulau-pulau kecil di perairan Belitong, seratus delapan puluh satu jumlahnya, seperti ditaburkan Tuhan seke-nanya dari langit Siang hari dikuasai kalong, malam hari dikuasai badai. Sebagian kebun kelapa, dan tinggallah di sana keluarga Melayu petani kopra seperti keluarga Lintang. Sisanya tak bertuan, disinggahi penyelundup timah atau mereka yang ingin mengasingkan diri dari ingar-bi-ngar peradaban. Termasuk dalam orang-orang ini adalah Tuk Bayan Tula. Ia baginda raja di pulau-pulau asing itu, paduka tanpa rakyat dan singgasana.
Aku sadar, samudra inilah kawah candradimuka bagi sikap nekatku berlayar ke Batuan. Seluruh kesulitan membuat perahu hanyalah semacam pembukaan. Sebab tantangan sesungguhnya adalah pelayaran ini. Pertaruhannya, tak kurang dari nyawaku sendiri. Kini rakyat telah ter-kembang, tak kan aku surut Aku sedikit banyak turunan pelaut Kakekku dari pihak ibu adalah pelaut yang membawa kopra sampai ke perairan Timor. Cerita Ibu, lurus ke belakang dalam silsilah Ibu, tak ada lelaki yang tak jadi nelayan. Lagi pula pelayaran ini bukanlah yang pertama bagiku. Dulu dengan Weh, aku sering melintasi perairan Melidang sampai ke Teluk Balok untuk mengadang migrasi hiu gergaji dari terumbu-terumbu Belonna. Aku diajarinya membaca rasi belantik, bintang timur, dan rasi-rasi Auriga penunjuk jalan. Dari Mentigi aku pernah dipercaya Weh melayarkan perahu pulang dan aku mampu melakukan itu. Namun, ketika itu aku hanyalah ibarat mualim bagi nakhoda Weh, hanya ibarat kelasi bagi samudra, dan sekarang, di atas perahu ini, akulah sang
kapitan. Penumpang perahu, tak boleh lebih dari empat orang Begitu petuah Lintang. Lantaran bobot perahu berpengaruh langsung pada kecepatannya. Semua perhitungan matematika canggih Lintang untuk membuat perahu asteroid bisa luntur kesaktiannya jika aku sembrono soal muatan. Aku yakin, suatu saat nanti di Batuan, soal kecepatan ini akan menjadi penentu hidup mati penumpang perahu ini. Maka aku mentilih kru dengan teliti.
Mahar jelas harus ikut karena ialah yang akan berurusan dengan Tuk Bayan Tula. Ia sudah tak sabar ingin berjumpa dengan gurunya itu. Ia membawa sebuah benda persegi yang dibungkusnya dengan kain merah lama berenda-renda bertuliskan huruf-huruf Arab gundul semacam tulisan jampi-jampi. Benda itu tampak sangat mistik. Kata Mahar, dengan benda itulah ia akan bernegosiasi dengan Tuk. Benda itu terkesan seperti sebuah benda keramat yang diamb
il Mahar dari sebuah gua di lereng gunung di tengah laut. Meski kudesak berkali-kali, Mahar tak mau memberi tahu benda apa dalam bungkusan merah itu.
Kalimut, seorang lelaki yang membuatku sering memalingkan muka jika melihatnya berjalan, karena aku tak sampai hati, telah kukenal lama. Lelaki Sawang ini sahabatku sejak kecil. Ia seusia denganku tapi wajahnya tampak lebih tua. Kahmut memikul karung timah sejak usianya sebelas tahun. Sekecil itu ia telah mencari nafkah. Waktu ia membantuku menyelami perahu lanun, aku telah berjanji untuk mengajaknya ke Batuan, dan aku menghormati keputusannya yang ingin mengadu nasib di Singapura, setelah Jakarta mengkhianatinya.
Chung Fa, ayah gadis kecil Shiet Lu, yang dulu kutemui di Kapal Lawit, memaksa ikut berlayar. Aku tak tahu alasan sebenarnya Katanya ia akan membantu apa saja. Aku tak tega melihat mata pria tambun yang memohon sangat. Ber-minggu-minggu kuingatkan akan bahaya besar perjalanan ini, bahwa ia punya empat putri dan istri tanggungan. Ia tetap berkeras. Bagiku, tak ada yang lebih baik daripada mendapatkan anggota rim yang benar-benar termotivasi. Maka Samson yang akan ikut terpaksa digantikan Chung Fa.
Lebih dari itu, aku senang dengan kombinasi ketiga orang itu. Mereka seperti dilahirkan untuk dipertemukan nasib di atas perahuku. Chung Fa sangat periang. Dia punya bermacam-macam cerita Jenaka. Meski hidupnya susah, senyum jarang pudar dari wajahnya yang tembam lucu itu. Di perahuku, ia
kutugaskan sebagai semacam pembantu umum. Ia memasak, mengangkat apa pun, dan membersihkan apa pun. Istimewanya, ia seperti terobsesi pada kebersihan. Pertama tiba di perahu ia langsung mengambil ember, mengepel geladak, menyapu sana sini. Kemudian, ia mengambil sesuatu dari saku celananya, sebuah sikat sepatu. Konon sikat itu selalu ada di sakunya ke mana pun ia pergi. Dengan sikat itu ia menggosok apa pun dalam jangkauannya. Ia menggosok tutup palka, menggosok kemudi, menggosok lambung perahu, menggosok teropong, menggosok pelampung, bahkan menggosok sandal Mahar. Habis yang akan digosok, ia menggosok jangkar.
Kalimut, seumur hidupnya terkungkung dalam lingkung minoritas suku Sawang. Suku yang selalu dipandang sebelah mata dalam soal menghimng, menulis, dan membaca. Namun, Kalimut ingin memecah belenggu itu. Ia menganggap dirinya orang Sawang zaman baru. Ia selalu bersemangat ingin menjelajah dunia baru. Ia merantau ke Jakarta, sesuatu yang amat jarang dilakukan orang Sawang dan sekarang ia ingin bertualang ke Singapura melalui Batuan. Jika melihat Kahmut, semangatku pun turut meletup. Jika Chung Fa terobsesi pada kebersihan, maka Kahmut terobsesi ingin membuktikan dirinya sendiri. Salah satu dunia baru yang ditemukan Kalimut adalah buku.
Kahmut selalu membaca setiap ada kesempatan. Aku senang menanggapi pertanyaan-pertanyaan sederhana darinya jika ia sedikit tak paham soal bacaannya. Ia sendiri gembira bukan main dibekali Ketua Karmun sebuah novel western berjudul Djago lembak Tiada Bernama, karya Vechel Howard yang disadur oleh Darmo Ario, terbit pada 1963. Sebuah buku istimewa yang pada sampulnya terdapat taklimat tentang dahsyatnya cerita, napasku sampai macet membacanya.
.....Tahun 1830, di masa itu di Benua Amerika. Siapa jang tertjepat
mentjabut pistol, dialah jang menang. Ketangkasan serta keah lian mempergunakan pistol mendjadi djaminan keselamatan diri. Istrinja tjantik, Sukar ditjari tandingannja. Teman semendjak ketjii mendjadi musuh jang ingin membunuhnja untuk memiliki peternakannja. Saudaranja sendiri, seorang perempuan yang kedjam, ingin memiliki perusahaan peternakannja. Pertarungan dengan pistol silih berganti dengan tidak diketahuinja sebab musababnja. Hilang ingatan karena suatu ketjelakaan, mengarungi daerah luas dengan tidak mengetahui siapa dan dari mana ia berasal, sementara istrinja mengalami daripada siksaan bathin serta mendengarkan fitnahan setiap hari. Tapi Leonidas West kembali ... dengan tindju dan pistol, untuk merobohkan lawan-
196 lawannja.... Setiap membaca buku itu, meskipun belum lancar benar membaca, wajah Kalimut seakan sayang kehabisan setiap bu
tir kata. Ia mengulangi setiap lembarnya berkali-kali, dan ia tersenyum meskipun pada halaman itu diceritakan penderitaan Sheriff sedang dianiaya para begundal. Aku curiga Kalimut mungkin tak terlalu peduli pada cerita. Ia hanya menggemari buku dan kata-kata. Setiap usai membaca beberapa lembar novel itu, Kahmut berjalan dengan gaya yang berbeda, seperti koboi ingin beradu tembak.
Kedua orang itu, Chung Fa dan Kalimut, ketika didekatkan dengan Mahar menjadi sangat cocok. Karena jika Mahar bekisah, yang tentu saja tak masuik akal, Chung Fad an Kalimut duduk menyimak seperti orang mendengar khotbah Jumat. Meskipun kisah itu misalnya Mahar, yang uga kutugaskan sebagai markonis, mengaku tak memerlukan radio 10 mil itu di perahu itu. Karena, katanya serius, jika keadaan gawat, ia akan langsung mentransmisikan sinyal SOS melalui kedua daun telinganya yang lambing itu langsung ke satelit CIA di langit.
"Kalau menerima pesanku, USA segera mengirim pasukan garda nasional untuk membantu kita, tak ada yang periu dirisaukan!"
Chung Fa dan Kalimut tak sedikit pun ragu akan cerita itu, dan secara tak resmi mereka segera mengangkat Mahar sebagai atasan. Dengan satu kata transmisi, cukuplah bagi Chung Fa dan Kalimut untuk memastikan bahwa Mahar lebih pandai daripada mereka. Maka mereka adalah kelasi bagi Mahar, dan Mahar adalah mualim bagiku.
Laut Horizon, horizon setelah itu, tak ada hal lain
Horizon di langit dan horizon sejauh jangkau pandang
Muara menyempit, delta mengerut
Hutan Endap, daratan kelabu
Lalu laut, laut seluas langit
Datar, tetap, tak berhingga, biru mendebarkan
Mozaik 58 MUSIM BARAT UNTUK mempersiapkan pelayaran ini, aku telah belajar dasar-dasar navigasi, astronomi, dan cara membaca peta laut dari buku-buku yang kudapat dari para pelaut kapal-takap tanker yang sandar di dermaga minyak Olivir. Aku telah pula membeli fragmen-fragmen peta laut untuk jalur ke Karimata. Menghitung jarak, itulah yang pertama harus kulakukan sehingga aku dapat memperhitungkan masa pelayaran ke Batuan.
Pada buku saku Collins Gem World Atlas yang selalu kuandalkan sejak backpacking di Eropa dulu, tampak Pulau Belitong dan Batuan berada dalam kuadran bumi yang berbeda. Sungguh hebat buku Collins ini, kecil tapi lengkap. Kepulauan Batuan tersebar berada di atas ekuator sehingga posisinya ada di Bujur Timur Lintang Utara, sementara Belitong di Bujur Timur Lintang Selatan. Kedua pulau hampir berada dalam satu garis bujur, artinya meski jaraknya terpisah jauh, tak kan ada perbedaan waktu. Kuadran kedua pulau lalu kudetailkan di atas pera lain dengan skala 25 mil. Dengan jangka antara aku mendapat jarak antara Belitong ke Pulau Karimata sepanjang 13,2 garis, berarti 330 mil laut. ekuivalen 600 dalam bahasa Kilometer. Dengan cara yang sama, kudapat jarak Karimata ke Batuan dan kudapat jarak antara Belitong dan Batuan kurang lebih 800 mil laut atau kira-kira 1.400 kilometer. Paling lambat tiga hari pelayaran kuharapkan kami telah mencapai Karimata. Kurencanakan kami akan singgah sehari di Karimata untuk menemui Tuk Bayan Tula, lalu langsung bertolak ke Batuan. Jika kami bisa menempuh Batuan dalam empat hari dari Karimata maka kami masih dapat melayari perairan Batuan yang ganas sebelum musim barat turun.
Navigasi nyaris tak jadi masalah. Bentangan pulau-pulau kecil dapat dijadikan patokan. Tak lama kemudian, bayang-bayang pulau itu lenyap. Perahu hanya dikelilingi kaki langit. Seluas mata memandang hanya laut. Aku lantas berpegang pada peta laut dan mawar pedoman kompas. Malam menjelang mawar pedoman kusinkronkan dengan lukisan langit.
Kami diuntungkan oleh angin selatan artinya angin yang bertiup dari selatan, sehingga mendorong kami dan arus barat, artinya arus yang menerjang ke barat. Karena kebaratlah tujuan kami. Dengan teropong Mahar mengamari langit. Untuk menentukan posisi satelit CIA katanya. Mesin belum dinyalakan sehingga Kalimut dapat asyik dengan novelnya. Chung Fu sekali mengelap dayung.
Sesuai dengan perhitunganku, dalam tiga hari kami merapat di dermaga
kayu Karimata. Di pantai aku melihat gunungan buah kelapa, tandan-tandan pisang,
dan berkarung-karung ubi yang mulai membusuk karena pelaut Mempawah tak berani meneruskan pelayaran ke Sunda Kelapa, Belawan, Teluk Bayur, atau Bagan Siapi-api. Mereka bertahan di Karimata karena kata mereka musim barat akan datang lebih cepat. Informasi itu membuatku gugup. Perahu-perahu nelayan Karimata sendiri diangkat dengan takal, dan dijerang dengan bara api, untuk direparasi, untuk didempul, diganti sumpalan kulit kayu putihnya, dan dicat kembali. Musim barat selama tiga atau empat bulan umumnya dimanfaatkan nelayan untuk memperbaiki perahu, menjalin lubang-lubang pukat yang koyak karena dipakai sepanjang tahun, atau mencari balok-balok baru untuk membangun bagan. Musim barat bukanlah saatnya melaut.
Selaku kapitan, aku tentu bertanggung jawab pada kelangsungan nyawa kru perahuku. Kuingatkan pada mereka tentang bahaya angin barat dan arus selatan. Pulau Belitong ada di selatan Karimata. Barang siapa tak sanggup melanjutkan pelayaran ke Batuan kupersilakan pulang menumpang nelayan yang akan berlayar ke Belitong. Akan amat mudah pelayaran pulang karena akan didorong angin barat dan dihanyutkan arus selatan. Ke Batuan akan sebaliknya. Akan menyongsong angin dan arus, dan kian hari gelombang kian tinggi.
Mahar, tak gentai, karena aku tahu justru yang ia cari dalam hidupnya adalah petualangan-petualangan sinting dan ia kecanduan berada dalam situasi nyawanya di ujung tanduk. Kalimut tampak takut, tapi ia tak kan pulang karena telah sesumbar dengan sukunya bahwa ia akan mencapai Singapura. Chung Fa, jelas sekali tak berani ke Batuan karena ancaman badai. Ia sama sekali tak terbiasa dengan perahu. Ia adalah tukang gulung sepul dinamo. Tapi ia, sambil menggosok-gosok tiang layar dengan sikat sepatu, mengatakan akan tetap ikut. Sekali lagi kuingatkan Chung Fa akan bahaya besar pelayaran berikutnya. Tidak hanya karam, tapi dari seseorang bernama Tambok, yang tak jelas siapa. Namun, Chung Fa berkeras. Ia seperti tak punya pilihan lain. Kutanyakan berkali-kali apa alasannya nekat begitu, ia tak menjawab.
"Apa kau diusir istrimu, Fa""
Dia menggeleng. "Mertuamu""
Ia menggeleng lagi. "Melarikan diri dari utang""
Ia mendelik. Artinya, sama sekali bukan.
"Kau mau ke Singapura, Kawan" Seperti Kalimut""
"Bukan, Kapitan."
Waktu aku mengucapkan Singapura, wajah Chung Fa sedih. Aku berhenti menginterogerasinya karena matanya berkaca-kaca. Ada sesuatu yang misterius tentang Chung Fa Aku tak paham mengapa wajahnya redup mendengar Singapura. Lelaki Khek yang polos itu menyembunyikan tujuannya ke Batuan. Ia rela mengambil risiko maut untuk tujuan yang hanya ia yang tahu.
Kepada nelayan Karimata kami ceritakan bahwa tujuan kami Batuan. Mereka serta-merta menyebut nama Tuk Bayan Tula dan satu nama lain yang membuatku terkejut. Nama itu, Dayang Kaw, disebut salah seorang dari mereka dengan sikap hormat. Telingaku berdiri dan bulu kudukku merinding. Dari sebuah kitab lama, yang tak jelas nyata atau khayalan tentang kaum lanun, aku pernah menemukan nama Dayang Kaw. Dialah ketua tertinggi kaum lanun. Pada masanya dulu ia bahu-membahu dengan Hang Jebat memerangi kumpeni. Dia amat ditakuti dan dia adalah seorang perempuan. Tapi peristiwa itu berlangsung ratusan tahun silam. Bagaimana mungkin Dayang Kaw masih hidup" Kenyataan ini meyakinkanku bahwa ekspedisi ke Batuan tak kan sekadar perjalanan berbahaya menghadapi badai dan bajak laut Selat Malaka demi mencari A Ling, tapi di negeri laut dan kepulauan ini, akan pula aku bertemu hal-hal baru yang misterius dan mencengangkan.
Sungguh kuat pengaruh Tuk dan Dayang Kaw sebab setelah mengatakan hal itu, satu per satu nelayan Karimata menyingkir. Tak ada yang mau berpanjang kisah soal Tuk, Dayang, dan Batuan. Seorang dari mereka mengatakan bahwa Tuk tinggal di balik bukit kapur di tepian utara Karimata.
Mahar terpaku mendengar nama Tuk. Sejak awal aku memang telah menyadari bahwa ketiga penumpang perahuku memiliki tujuan berbeda. Kalimut ingin menjadi pendatang haram ke Singapura. Mahar hanya tertarik akan pertemuan dengan Tuk Bayan Tula, ia balikan tak peduli sama sekali pada Batuan. Ia tak sabar ingin
melihat lagi Tuk. Perjumpaan terakhir mereka adalah ketika kami kelas tiga SMP dulu. Sebuah pertemuan vang mengesankan di Pulau Lanun. Aku benekad mencari A Ling, dan tujuan Chung Fa, masih misteri.
Aku ingin segera menjumpai Tuk sore ini agar duduk perkara ke Batuan menjadi jelas, agar kami dapat segera bertolak ke Batuan. Tapi Mahar memaksa agar menunggu tengah malam keesokan harinya. Persis purnama raya ke tujuh belas, katanya. Tentu karena ia ingin menciptakan sebuah suasana mistik yang dramatis pada pertemuan pentingnya dengan tokoh siluman itu.
Mozaik 59 Nai SEORANG nelayan Karimata yang amat tua, Puniai namanya, mempersilakan kami naik ke rumah panggungnya dan memberi kami air bersih. Kami menghabiskan malam di rumah itu.
Dini hari, bulan purnama keenam belas kelam menjelang subuh. Tak ada suara kecuali desis angin yang menelisik daun-daun kelapa. Aku ingin mengambil wudu. Aku melangkah menuju dapur rumah Mugae dan terperanjat tak kepalang ketika membuka pintu dapur. Di sudut yang gelap aku melihat perca bergerak-gerak. Lalu, aku memekik ketakutan karena perca-perca itu bangkit. Satu wajah tengkorak perempuan yang seram menyeringai tepat di depanku. Dalam pantulan lampu minyak matanya hanya seperti lingkaran-lingkaran hitam. Pipinya cekung tak berdaging, rambutnya sangat panjang, kusut dan masai, warnanya kelabu, tak terpelihara. Baunya seperti bau arang kayu pelawan. Ia seperti kelaparan. Kupastikan ia seorang perempuan muda. tapi tampak tua renta. Seisi rumah terbangun mendengar pekikanku tadi.
"Namanya Nai." ujar Puniai dengan berat
"Dia anakku. Tak pernah dia tidur, selalu mendengus selalu minta makan. Dia sudah empat tahun sakit, dibuat Tambok."
Tambok. Sekali lagi kudengar nama itu, dan setiap kudengar namanya pasti berhubungan dengan sesuatu yang menyakitkan, kekejaman, kejahatan.
Nai amat menyedihkan. Ia sangat kurus bak tulang terbunekus kulit saja. Sinar matanya jelas menandakan ia tengah menanggung beban yang berat. Panggulnya menonjol. Dan ganjil sekali, tubuhnya melengkung, bukan bongkok ke depan, melainkan condong ke belakang. Ia seperti ditarik ke belakang dengan seutas tali yang ditambatkan di lehernya, ia seperti dijambak. Urat-urat wajahnya bertimbulan karena ia melawan beban berat yang membebani punggungnya. Sepanjang waktu deritanya menahan jambakan itu tergambar jelas pada wajahnya. Ia menahan dan mengumpulkan tenaga. Napasnya mendengus dengan kelelahan. Gigimya gemeretak. Rahangnya keras dan menonjol karena berperang melawan sesuatu yang tak tampak, sesuatu yang magis.
Nai juga terkejut dan sangat malu karena tiba-tiba aku secara tak sengaja melihatnya di dapur. Kami memandangnya penuh rasa kasihan, kecuali Mahar. Ia menatap Nai dengan nanar, bukan Nai, tapi seseorang atau mungkin sesosok makhluk, dibelakang perempuan itu. Makhluk yang hanya bisa dilihat oleh Mahar, tak kasat oleh kami.
Pagi menjelang, dan kembali aku menyaksikan pemandangan yang menakjubkan ketika melihat Nai makan. Puniai menyajikan dua ekor ikan pari bakar yang besar dan sebakul nasi. Tanpa basa-basi, Nai menyerbu makanan itu bak singa yang telah seminggu tak makan. Makanan yang banyak itu habis dalam waktu amat singkat. Puniai kembali menyajikan sebakul nasi dan Nai melahapnya dengan nafsu yang sama seperti tadi. Aku tak habis mengerti, bagaimana perempuan sekurus belalang sembah ini makan begitu banyak, tak bisa kenyang seperti hiu, ke manakah perginya semua makanan yang dilahapnya"
Sejak subuh tadi ketika kami menemukan Nai, Mahar tak sedetik pun berpaling menatap perempuan itu. Wajah Mahar penuh kebencian. "Isap raga," bisik Mahar padaku. "Ini ilmu jahat isap raga."
Aku tak terlalu acuh. Karena aku tahu, sangat susah memegang bicara Mahar. Sebagian hanya bualan sok tahu saja. Mahar mengeluarkan secarik kain hitam dari karung kecampangnya.
"Kau ingin melihatnya, Boi""
"Melihat apa""
"Lihatlah, tutuplah mattunu dengan kain ini."
Tak masuk akal. Aku disuruh melihat, tapi mataku akan ditutupnya dengan sehelai bandana hitam. Lagi pula aku tak perlu melihat apa pun. Semuanya jelas di depanku. Wanita sakit jiwa yang kuru
s kering, tapi makan seperti sumo. Namun, Mahar mendesak dan aku ingin menyenangkan hatinya. Mahar menyuruhku menunduk. Ia lalu membalut mataku dengan kain hitam. Mahar menyuruhku mengangkat wajah, seketika aku menjerit dan terjajar ke belakang. Aku ketakutan lebih daripada ketika melihat Nai subuh tadi. Cepat-cepat kubuka ikatan bandana yang menutup mataku dan kulemparkan. Tubuhku dingin karena nyaliku lumpuh. Melalui kain hitam yang menutup mataku, aku melihat sesuatu yang mengerikan, yaitu sesosok hitam manusia, tapi berbulu-bulu seperti kera. Perutnya buncit dua matanya menyala. Ia telanjang, bertaring, dan ia lekat di punggung Nai. Posisinya seperti manusia memanjat tiang pada ornamen kayu sebuah suku Asmat di Papua. Tangan makhluk itu mencekik leher Nai. Kedua telapak kakinya menekan punggungnya seperti orang memanjat kelapa. Makhluk itu menggelayuti Nai.
"Semua yang dimakan Nai masuk ke perut iblis itu," tukas Mahar.
Aku gemertar. Mahar berdiri dan mengambil dahan-dahan beluntas dari karung kecampangnya. Tanpa basa-basi, di depan semua orang, ia menghantam
punggung Nai yang sedang makan.perempuan itu tersedak dan menjerit kesakitan. Nasi terhambur dan mulutnya. Mahar tak peduli. Berkali-kali ia mencambuk punggung Nai sambil merapal mantra-mantra, Nai berguling-guling, meraung-raung kesakitan. Sungguh pilu melihatnya, tapi Puniai dan kami tahu Mahar sedang mengobati Nai. Kami diam saja. Nai menggelepar-gelepar, lalu terbaring mendengus-dengus. Keringatnya bercucuran. Pelan-pelan wajah Nai yang tegang karena menahan beban yang telah menggelayut di punggungnya selama empat tahun mulai mengendur. Dengusnya kian lama kian reda, kemudian ia tertidur.
Kami menyaksikan Nai tidur pulas. Puniai gembira melihat perubahan pada anaknya. Mungkin bertahun-tahun ia tak pernah melihat Nai terlelap seperti itu. Puniai yang telah lama ditinggal mati istrinya, mengucapkan terima kasih berkali-kali pada Mahar dengan air mata berlinang-linang. Aku terpana memandang Mahar seperti aku tak pernah mengenalnya. Sungguh tak dapat lagi Mahar dianggap sebelah mata. Begitu jauh ia telah terlibat dalam ilmu hitam, sehingga ia bisa, untuk kali pertamanya dalam hidupku, membuatku mampu melihat hantu.
Cerita Puniai, Nai mulai sakit ketika menolak pinangan seorang lelaki Batuan bernama Tambok. Dan Puniailah akhirnya aku tahu hikayat Tambok. Sungguh menakutkan lelaki itu.
Aku meraih kain hitam yang tadi kucampakkan, kukenakan lagi. Aneh, dari kain hitam yang tebal itu aku dapat melihat Nai, tapi iblis bermata merah itu tak lagi tampak. Mahar merenggut kain hitam dari wajahku dengan ekspresi jangan simbarangan! Ini bukan barang mainan! Lalu dengan gayanya yaag khas, ia berlalu. Kupandangi ia dari bolakan. Aku tak percaya pada peyembuhan magis dan aku tak pernah mau berdekatan dengan syirik. Aku selalu mendidik diriku berpandangan logis. Namun, aku baru saja melihat iblis melalui kain hitam yang mistis itu dan aku masih percaya pada mataku sendiri. Aku melihat iblis! Dengan cara ilmiah seperti apa aku dapat menjelaskan semua itu" Ini ilmu baru yang tak kudapat di bangku sekolah manapun.
Mozaik 60 Pirates Of Caribbean LAMBAT laun aku mengerti bahwa aku mampu membuat perahu, mampu melakukan pelayaran yang tak terbayangkan siapa pun sebelumnya, adalah karena aku trial, dengan tekun mempelajari sains perahu tradisional, dasar-dasar navigasi, sedikit ilmu astronomi, dan karena setiap waktu aku seclalu memelihara mentalitas saintifik. Bukan karena keahlian turunan bakat atau pengalaman.
Bulir-bulir ilmu yang kutemukan menumpuk bak arsenal, bak gudang peluru, untuk memerangi segala hal bidang yang awalnya tampak seperti tak mungkin. Penjelajah dalam ilmu-ilmu yang baru itu seperti petualangan yang tak kalah menarik dari pelayaran ini sendiri dan yang mempesona dari keseluruhan studi itu adalah studiku tentang bajak laut.
Sejak mengetahui bahwa cepat atan lambat, dalam pelayaran ke Bantuan, aku akan berhadapan dengan perompak Selat Malaka aku berusaha mempelajari mereka. Informasi kukumpulkan dan sana sini. Makin dalam aku mengenal mereka dan buku-buku seja
rah, cerita nelayan tua di warung-warung kopi, cerita heroik para marinir, kisah dnlam novel-novel roman dari legenda dan dongeng antah-berantah hikayat bajak laut membawaku pada satu dunia baru yang tak pernah kukenal sebelumnya. Dunia penuh misteri mara bahaya sekaligus pesona tak berujung.
Sebagai orang Melayu kepulauan, sejak telingaku bias mendengar rasanya aku telah mendengar kisah tentang kaum lanun. Di surau-surau, di pasar-pasar, dalam kenduri, dalam sandiwara radio, di bangku-bangku pegadaian, di kantor pos, sambil antre beras di gudang Meskapai Timah, sambil merokok sambil minum kopi, sambil memancing, dari pensiunan angkatan laut, dari pegawai syah bandar, dari nelayan, rasanya selalu kudengar orang mengisahkan bajak laut Selat Malaka. Kuingat dulu, di masjid, di sekolah, kami sering main sandiwara pertempuran sengit lanun melawan kumpeni.
Kembali ke masa waktu perahuku tengah kukerjakan. Sempat aku dilena buku-buku tua hikayat lanun. Salah satu buku itu berjudul Moestika Senunandjoeng, amboi, tak jemu-jemu aku membacanya. Tak lunas-lunas pula terawang pikiranku tentang kaum yang unik ini. Banyak kisah menggambarkan mereka merampok kapal-kapal juragan hasil bumi yang kaya dan tamak, lalu membagikan hasil rompakan itu kepada orang-orang Melayu pulau yang miskin. Apakah mereka penjahat" Atau justru pahlawan" Robin Hoodkah mereka" Pertempuran sengit lain dalam dadaku mempertanyakan pilihan-
204 pilihan itu, membuat kisah bajak laut Selat Malaka, selalu menjadi hal yang romantik bagiku. Karena, nun jauh dalam kalbuku, aku ingin menganggap orang-orang itu pahlawan.
Terima atau tidak, bajak laut adalah bagian dari budaya kami, roh mitologi masyarakat kami. Meski hanya sangat sedikit orang Melayu pernah melihat mereka, tapi berabad-abad bajak laut hidup dalam pantun dan petuah tetua kami. Karena itu, hanya kamilah, orang Melayu yang punya kata khusus untuk perompak dan bajak laut, yakni lanun. Lanun hidup dalam perumpamaan, metafora, dan ketakutan kami, dalam gelora jiwa untuk berlayar, menaklukkan, dan mengelana samudra. Lanun adalah inspirasi bagi mereka yang terlahir untuk senang menantang dirinya sendiri, yang berjiwa pemberontak, yang terhinadinakan dan terbuang. Untuk mereka yang memilih hidup keras, membenci daratan, gentayangan serupa hantu penasaran. Lanun hidup dalam ajaran kebijakan kami tentang kebaikan dan keburukan.
Waktu aku kecil, yang paling kami, anak-anak Melayu, takuti adalah segerombalan orang yang disebut orang tua kami penebok. Ada kalanya bumi seakan bara sehingga kaki kami lak pernah berhenti melangkah, bermain jauh dari rumah. Cukup sekali saja orangtua menyebut nama itu yang diucapkan secara dramatis dengan cara dibisikkan di telinga kami akan mengerut di ketiak ayah-ayah kami. Dengan cara apa pun biasanya sulit mencegah kami menyusuri pinggiran laut. Namun, dengan ditakuti bahwa penebok akan menculik memasukkan anak kecil ke dalam karung lalu melarikannya dengan perahu, kami bahkan tak berani keluar ruimah seharian. Demikian kuat sugesti penebok. Pada masaku anak-anak kecil yang mendengarnya bisa gemetar. Lalu aku takjub, dalam lembar-lembar tua Moestika Semenandjoeng, dilengkapi bukti yang sulit diragukan, kudapati laporan beberapa kejadian pada masa lampau tentang kaum lanun yang buang sauh di tengah. Mereka mendekati pulau dengan sampan-sampan kecil, untuk menculik anak-anak perempuan guna dijadikan istri Penebok, tak lain tak bukan adalah lanun Selat Malaka. Sayangnya masa sekarang tak ada lagi orangtua Melayu yang menceritakan pada anak-anaknya tentang hikayat penebok seperti semua hal yang indah di negeri ini, hikayat tua pmbok pun, terancam punah.
Lembar-lembar Moestika Semenandjoeng membuaiku. Kutamatkan dalam semalam, lalu aku beranjak pada buku-buku lain, masih soal para bajak laut, lantaran telah jatuh hatiku untuk mempelajari riwayat pendekar samudra itu.
Dari sebuah buku berjudul Emperors of the Sea, kudapati kisah yang menarik.
Rupanya kapal-kapal dagang yang membawa tekstil bubuk mesiu, keramik, dan sutra dari Nangjin dan Shanghai untuk diangkut ke Eropa, terpaksa harus tu
run mengarungi Samudra Pasifik, berputar di bawah perairan Indonesia, lalu tembus ke Samudra Hindia. Kapal-kapal itu melewati Teluk Aden-antara Yemen dan Jibouti menyusuri Laut Merah, Alexandria, Jerusalem, untuk sampai pada tujuan akhirnya di selatan Eropa, yakni Turki atau Yunani.
Pelayaran yang tak terbilang jauhnya itu, makan tempo berbulan-bulan, terpaksa ditempuh lantaran Selat Bering-jalur yang lebih dekat menuju Eropa melalui Rusia-telah dikuasai berpuluh armada bajak laut.
Eropa, bagi pedagang China Timur mestinya lebih dekat dengan bergerak ke atas melalui Shakalin, Laut Bering, Laut Barents, lalu Skandinavia di barat Eropa.
Pada masa itu jika para pedagang pantai timur China ingin memasuki Rusia, hanya berani berlayar di celah antara Pusan dan Hiroshima. Dengan begitu, mereka melindungi arak-arakan kapalnya di antara daratan Jepang dan Korea. Mereka tak kan berlayar lebih jauh dari Shakalin.
Dengan meramu berbagai bacaan, aku berhipotesis, barangkali ada satu masa di mana kaum bajak laut menguasai setiap selat dalam jalur-jalur perdagangan besar dan bandar-bandar yang ramai, seantero bumi.
Bandar-bandar yang makmur, nyaris tak pernah aman dari para perompak. Pada laut-laut sempit, Mediterania misalnya, yang diapit Eropa dan Afrika, perompak mengangkangi jalur emas mulai dari Pulau Sardinia sampai ke pantai-pantai Cyprus.
Aku telah mengumpulkan ratusan cerita tentang bajak lain dan wilayah-wilayah kuasa mereka mulai dari lanun tak ternama di Teluk Santa Catalina di wilayah Pantai California, lanun Laut Tasman di Australia, perompak Teluk Bothnia Skandinavia, perompak Portugis dan Spanyol yang menguasai Selat Gibraltar, sampai kisah perompak Laut Arab yang sepertinya hanya merupakan bagian dari Dongeng 1001 Malam.
Orang-orang Balkan pun pernah punya hikayat perompak di Laut Adriatik. Orang India menjadi perompak di Selat Bengali. Lelaki-lelaki ganas Wales dan Irlandia amat terkenal hikayat bajak lautnya. Mereka beroperasi di Kanal Saint George. Wilayah ini adalah bagian dari Irish Sea. Sepak terjang mereka sampai ke Selat Dover.
Perompak Turki dilaporkan menjarah di kedua sisi daratannya, yaitu di
Laut Aegean dan Laut Hitam. Ada pula lanun yang beroperasi kecil-kecilan seperti bajing-bajing loncat di anak-anak Sungai Mekong. Mereka menjarah hasil-hasil bumi di perahu-perahu penduduk lokal. Bajak laut yang paling brutal pernah berjaya di perairan yang disebut sebagai Outer Hebridges di Skotlandia. Manusia-manusia barbar itu tidak hanya merompak, tapi membunuh. Mereka menyalakan api sebagai mercusuar palsu untuk menyesatkan kapal sehingga terjebak di karang-karang Semenanjung Kyle Lochaish. Mereka menyalib awak kapal, bahkan yang tak melawan dan membakarnya hidup-hidup. Nanti, dari seluruh studiku tentang bajak laut, aku memahami bahwa ada perbedaan besar antara lanun dan pembunuh.
Dari sekian hikayat tentang perompak tak ada yang lebih legendaris daripada bajak laut Kepulauan Kiribia dan bajak laut Selat Malaka.
Bajak laut Karibia, yang kondang disebut Pirates of Caribbean, menguasai wilayah yang amat luas mulai dari Teluk Meksiko sampai ke Panama. Mereka sulit ditaklukkan sebab amat susah dikejar. Mereka sembunyi di begitu banyak celah pulau-pulau terpencil yang membentang dari Granada, Costa Rica, sampai ke Puerto Rico. Kekuasaan mereka meliputi perairan puluhan negara, termasuk Jamaika, Haiti, Dominika, sampai ke Kepulauan Bahamas. Bahkan sering dilaporkan mereka beroperasi di pantai-pantai Miami.
Mereka tak hanya menjarah kapal dagang, tapi berperang melawan angkatan laut Inggris yang terkenal. Perompak Karibia mampu mengusir kolonial bersenjata kanon modern. Mereka adalah ikon dalam dunia bajak laut. Nama mereka mampu menggetarkan jiwa pelaut pemberani sekalipun. Namun pendapatku, dari studiku tentu saja kaum lanun Selat Malaka jauh lebih hebat ketimbang Pirates of Caribbean.
Perompak di berbagai selat, bandar, dan perairan di muka bumi ini. tak pernah lagi dilaporkan aktivitasnya. Perompak Mediterania tak muncul-muncul lagi. amblas ke dasar laut sejak dibasmi tentara laut Alexander The Great.
Perompak barb ar di Outer Hebridges Skotlandia, bergelimpangan di tengah laut dihabisi pelaut-pelaut Viking Skandinavia. Bajak laut Selat Dover musnah karena diperangi bersama oleh angkatan laut Inggris dan Prancis. Perompak Wales saling bunuh dengan perompak Irlandia. Lanun Portugis berseteru dengan lanun Spanyol saling memusnahkan. Sejak itu. Selat Gibraltar aman dari bajak laut. Karena nafsu serakah perompak Selat Bering saling bunuh sesama mereka sendiri. Semuanya raib.
Perompak Teluk Santa Catalina di Pantai California, Laut Tasman. Teluk Bothnia, dan perompak Balkan di Laut Adriatik. serta perompak di mana pun, umumnya musnah digasak tentara maritim kolonial atau angkatan laut negerinya sendiri. Mereka kalah pula akan kapal dagang vang lebih canggih, bersenjata, dan lebih cepat. Sementara perompak Laut Arab dalam cerita seribu satu malam tetap hidup dan berjaya, sebagai dongeng.
Kemusnahan juga melanda Pirates of Caribbean yang legendaris. Mereka menjadi terkenal seantero jagat karena mengalahkan armada Inggris dan Spanyol. Mereka justru musnah diperangi Henry Morgan yang juga bajak laut. Kejadian ini terjadi pada abad kedelapan belas, tiga ratus silam.
Namun, tengoklah perompak Selat Malaka. Mereka tetap hidup, sampai hari ini, tetap berjaya, sampai hari ini. Bahkan minggu lalu aku masih membaca di koran tentang ditangkapnya beberapa orang perompak Selat Malaka. Perahu mereka digiring polisi air ke kantor polisi di Pulau Penyengat.
Perompak Selat Malaka telah ada jauh sebelum Alexander Agung membasmi para perompak Mediterania. Jauh sebelum pelaul Viking menenggelamkan lanun Skotlandia. Nama mereka disinggung-singgung dalam kisah kerajaan Sriwijaya. Nama mereka telah disebut-sebut swjak ekspedisi Sumpah Palapa Gajah Mada. Mereka terlibat dalam sepak terjang Hang Tuah, Hang Jebat, dan Hang Lekir, dan perang melawan kumpeni. Jika ada kerajaan yang masih mampu bertakhta sampai saat ini, jika ada organized crime tertua dalam sejarah manusia-jauh lebih tua dari-pada cosa nostra atau mafia klasik Sisilia, dan jika ada penjahat yang paling rapi, paling sistematis, serta paling mampu bertahan dari generasi ke generasi maka semua itu pastilah lanun Selat Malaka.
Ratusan bahkan ribuan tahun lanun Selat Malaka telah diserang armada Majapahit, tentara Tiougkok dari dinasti ke dinasti, tentara Sriwijaya, pengawal armada Cheng Ho, kumpeni, marinir Indonesia, Singapura, Inggris, dan tentara Diraja Malaysia tapi sampai hari ini layar-layar perahu bajak laut Selat malaka masih berkibar garang.
Beribu tahun, tak seorang pun dapat membasmi mereka. Mereka adalah legenda hidup orang Melayu pulau. Merekalah penebok. Kejahatan mereka selalu saja terlaporkan paling tidak sebulan sekali oleh patroli laut, kantor syah bandar, bahkan koran-koran. Sampai hari ini, otoritas pelayaran selalu mengingatknn markonis kapal yang melintasi Selat Malaka agar waspada akan bahaya lanun.
Namun, dalam hikayat lama, tampak ada perbedaan besar antara lanun zaman dulu dan sekarang. Dulu mereka bahu-membahu dengan pribumi dan kerajaan-kerajaan di Sumatra untuk mengusir kompeni. Mereka merompak sebagi pajak melayari Selat Malaka yang mereka anggap milik leluhur. Siapa pun yang melintas harus membayar.
Mereka merompak untuk makan dan berlaku semacam Robin Hood bagi penduduk pesisir yang miskin. Para nelayan bahkan bersahabat dengan mereka karena mereka melindungi wilayah tangkap ikan dari serbuan nelayan-nelayan negeri jiran.
Para lanun klasik dulu bukanlah pembunuh. Mereka adalah keluarga-keluarga kecil yang saling bertalian darah dan mereka menganggap dirinya pewaris Selat Malaka. Jika orang bisa melakukan hal serupa di daratan, mengapa tak bisa melakukannya di lautan" Demikian pendirian mereka. Selat Malaka adalah ulayah, kerajaan bagi mereka.
Berbagai cerita menakjubkan beredar tentang kaum lanun klasik itu. Mereka dikabarkan lahir, hidup dan mati di laut. Jenazah mereka dilemparkan ke kawanan ikan hiu. Mereka mengumpankan ari-ari bayi mereka pada burung elang gugok. Agama mereka agama pagan. Mereka menyembah petir dan gelombang. Banyak diantara mereka yang tak pernah
menginjak daratan seumur hidup karenn yakin bahwa jika menginjak daratan, kesaktian mereka akan sirna.
Tabiat lanun kuno itu amat berbeda dengan Lanun Selat Malaka sekarang. Lanun sekarang adalah jagal di laut. Mereka bukan keluarga, melainkan kumpulan para renegade. Orang-orang terbuang, bromocorah, dan buronan. Jika merompak kapal, tak ada yang tersisa, bahkan nyawa amblas. Kapal kosong ditarik ke darat untuk dijual. Yang melawan pasti jadi mayat.
Kian hari mereka kian ganas. Tak hanya merompak, tapi menyelundupkan timah dan manusia ke negeri-negeri jiran. Mereka memungut pajak sekehendak hati dari orang-orang pulau yang ingin jadi pelintas batas memasuki Singapura atau Malaysia. Jika tak mufakat, nyawa melayang. Jenazah-jenazah yang dihanyutkan ombak sampai ke perairan Belitong sehingga akhirnya membawaku pada pelayaran ini, pastilah korban lanun Selat Malaka.
Perompak-perompak itu mengenakan upeti yang mencekik leher dan bersekongkol dengan kapal-kapal yang menyelundupkan pasir kuarsa dan kayu balakan liar dari Bangka, Belitong, dan Riau kepulauan ke negeri jiran. Senjata mereka mulai dari senjata tajam sampai meriam lantakan, bom ikan, pistol
rakitan, dan senapan M16.
Tokoh yang paling ditakuti, gembong mereka bernama Tambok. Anak buahnya ratusan, armadajiya puluhan perahu cepat. Siang, mereka menyamar sebagai nelayan, malam menjadi garong.
Tambok tak diketahui asal imusalnya. Dia penguasa Kepulauan Batuan dan dialah yang menenung Nai karena sakit hari ditampik. Dibiarkannya gadis remaja itu mati pelan-pelan. Tambok seperti pembenci kehidupan. Konon ia mengutuki diri telah dilahirkan. Ilmu hitamnya sangat tinggi konon setinggi Tuk Bayan Tula. Ia tak mempan peluru dan tak putus ditampas. Sentikan jemarinya dapat mengarak awan. Di muka bumi ini hanya ia dan Tuk Bayan Tula yang dapat meneluh orang di seberang samudra, hanya mereka yang punya ilmu hitam yang tak mampu ditawar lautan.
Sementara itu, keluarga-keluarga lanun tulen dikabarkan telah lenyap. Keluarga terakhir ditangkapi pada 1959, dijebloskan ke penjara Karimun. Dua belas orang jumlahnya, anak-beranak. Sekarang tak tahu rimbanya. Ketua klan terakhir ini adalah seorang.
Setelah tahun 1959 sering ditemukan mayat-mayat berkepala terdampar di pesisir Anambas, Lingga, dan singkep. Karma, sejak itulah Tambok berkuasa. Di tangan Tambok, Selat Malaka menjadi neraka.
Namun, bukanlah baru kemarin nelayan Karimata menyebut nama Dayang Kaw" Apakah ada yang selamat dari turunan lanun asli itu" Apakah mereka telah bergabung dengan Tuk Bayan Tula"
Mozaik 61 Dayang Kaw... SEJAK magrib Mahar hilir mudik, gelisah menunggu tengah malam. Ta tak sabar ingin berjumpa dengan Tuk. Dan, aku gugup. Nelayan yang menyebut nama Dayang Kaw kemarin memberiku firasat bahwa kali ini, setelah menunggu dan mempelajarinya bertahun-tahun, untuk kali pertamanya aku akan berjumpa dengan Lanun asli secara langsung. Aku tak bisa meramalkan apa yang akan terjadi nanti. Bisa saja kami datang pada mereka hanya untuk mengantarkan nyawa. Itu tak penting, karana dalam segala kemungkinan yang serbasamar dan risiko yang tak bisa dikalkulasi, di situlah tersimpan salah satu daya tarik ekspedisi ini.
Nama Dayang Kaw berdengung-dengung dalam kepalaku. Tak bisa dipungkiri, itu adalah nama Melayu zaman lawas. Nama-nama semacam itu, masih dapat dijumpai di beberapa tempat terpencil di Pulau Belitong. Misalnya Gedibok, Sa'arai, atau Gelatin. Sungguh aku ingin melihat wajah perempuan yang pernah sangat ditakuti di laut ini. Seperti apa gerangan rupama"
Pukul sebelas malam kami mubu mendaki bukit kapur yang pucat menyeramkan karena tampias cahaya rembulan. Rombongan kami persis orang-orang kontet yang mencari cincin bertuah agar dunia ini tidak kiamat. Chung Fa dan Kalimut tak banyak bicara sejak berangkat karena takut. Nama Tuk telah melahap mentah-mentah nyali mereka. Mereka tak paham apa pun soal lanun Selat Malaka, dan aku tak bercerita bahwa dengan berlayar ke Batuan sebenarnya seperti memasukkan kepala ke dalam kerongkongan singa. Aku terfokus pada Dayang Kaw dan Tuk yang punya hubungan dengan Tambok. Tuk a
dalah sumber informasi yang tahu soal mayat-mayat yang terlempar ke perairan Belitong Timur tempo hari. Dari sinilah aku akan menyusun siasat mencari A ling.
Dari puncak bukit kami melihat satu-satunya bangunan di tengah hamparan ilalang.
Tampak biasa saja pondok beratap rumbia itu, tapi jelas ia berdiri di situ lewat perhitungan yang matang. Pondok dicat hitam sehingga tersamarkan dengan batu-batu granit dibelakangnya. Aksesnya ke puncak karang sangat dekat sehingga mudah melarikan diri ke jurang untuk terjun ke laut atau mengambil posisi unggul untuk menyerang. Jarak dengan pangkalan perahu juga sangat dekat sehingga mudah melarikan diri. Pangkalan itu sendiri menjorok di antara perdu apit-apit yang sengaja dibiarkan rindang. Sehingga tiga atau empat perahu bobot tiga ton tak kan dari sudut mana pun. Maka
pondok itu adalah sebuah tempat pengintaian, penyamaran, penyerangan, sekaligus bagian dari sebuah mekanisme pertahanan.
Sinar lampu minyak menembus dinding kulit kayu pondok. Terdengar sayup suara orang berbicara dari dalamnya, diselingi debur ombak.
Kami menuruni bukit. Beberapa ekor anjing berhamburan, menyalak-nyalak menyongsong kami. Pintu pondok terbuka, lalu keluarlah beberapa lelaki. Kami mengucapkan salam, mereka tak menjawab.
Pria-pria itu, lima orang jumlahnya, tirus-tirus dingin wajahnya. Tak tampak Tuk Bayan Tula. Mereka berdiri tegak dengan sikap waspada. Parang mereka terhunus, dan tampak jelas mereka sedang mengantisipasi serangan. Chung Fa dan Kalimut ingin kabur, tapi Malaar menenangkan mereka. Aku tahu, satu sikap mengancam dan kami akan membuat malam buta yang senyap ini bersimbah darah. Mayat-mayat bisa bergelimpangan di bawah sendu sinar rembulan ketujuh belas. Salah satu cara bersikap tidak mengancam itu telah dikuasai Mahar. Ia memberi isyarat padaku, Chung Fa, dan Kalimut agar berjalan berbaris, bukan bejajar, dan meletakkan kedua tangan di dada. Mahar selalu tahu hal-hal semacam ini.
Orang-orang asing di depan kami, terlihat amat berpengalaman dan tahu betul bahaya. Mereka dengan saksama mengamati kedua tangan kami. Tak surut curiga dalam pandang mereka. Posisi mereka adalah formasi serangan yang terlatih untuk saling mendukung satu sann lain. Secara naluriah mereka telah membagi korbannya masing-masing. Kalimut yang bertubuh paling besar nyawanya seakan telah ditawar oleh dim di antara lima lelaki itu.
Kami berdiri dengan kaku dalam satu jarak yang menenangkan dengan mereka. Mahar memberi isyarat lagi agar kanu menurunkan ke tanah barang-barang bawaan kami termasuk bungkusan keramatnya. Lalu Mahar memberi isyarat agar kami maju mendekat. Formasi kelima lelaki itu tetap ketat bergeming. Mahar paling depan, aku di belakangnya.
Kian dekat dengan pria-pria itu, jantungku kian kencang berdetak. Aku yakin mereka adalah orang-orang yang telah lama ingin kutemui, merekalah lanun asli Selat Malaka. Sebab, cahaya lampu minyak yang terlempar melalui pintu pondok yang terbuka menerangi sundang dan terampang yang terselip di pinggang kiri-kanan mereka. Itulah senjata-senjata purba orang Melayu pulau.
Dua dari kelima pria itu menutupi wajahnya. Selebihnya, menampakkan mata yang gelap seperti mata orang Parsi. Alis mereka seperti orang Gujarat.
Raut wajah mereka menyerupai raut lelaki Pasai, dan bentuk mata pedang mereka mirip mata orang Tiongkok. Garis wajah semacam iru persis ungkapan Albert Buffon, atropolog yang kali pertama secara ilmiah mengidentifikasi ras Malay. Di antara salak gaduh anjing yang berusaha menyerang aku mengamati kelima pria itu dengan teliti. Aku waswas sekaligus kagum. Bagiku, ini adalah discovery yang luar biasa. Tingkatnya seperti menemukan sekeluarga spesies yang telah dinyatakan punah. Jika benar orang-orang semacam ini yang ditemukan Buffon, maka keluarga lanun di depanku ini adalah pewaris langsung darah leluhur seluruh orang Melayu, nenek moyangku sendiri. Dengan kata lain, secara hipotesis dapat kukatakan bahwa ayah-ibuku dan aku sendiri, boleh jadi sesungguhnya turunan kaum lanun Selat Malaka.
Kami tetap pada posisi yang mengesankan tidak akan menyerang dan mereka tetap
diam dalam posisi siap diserang. Hening dan tegang. Jika mereka menyerang, kami pasti binasa. Sebab, tak ada di antara kami yang memiliki keahlian bela diri. Kami hanyalah manusia nekat, dan kami anti kekerasan. Mahar memang punya ilmu-ilmu aneh untuk melindungi diri, tapi hanya ia sendiri yang percaya pada khasiatnya. Chung Fa bahkan tak tega membunuh lalat. Kalimut punya sedikit lagak yang ia pelajari dari novel Djago Tembak Tiada Bmiama, itu pun hanya cara koboi berjalan.
Tensi baru kendur ketika seseorang dari dalam pondok menepuk-nepuk dinding lelak kayu meranti untuk meredakan salak anjing. Orang itu lalu keluar dari pondok. Sosoknya menaungi ambang pintu, hitam dan berkilau-kilau. Wajahnya telah terbenam lama dalam kepalaku. Tak kan kulupa wajah itu. Dialah sang dukun siluman Tuk Bayan Tula. Mahar menghempaskan tubuh di atas lututnya berampuh di depan junjungannya dengan sikap bahkan rela lehernya dipancung.
Tuk Bayan Tula turun dari pondok panggung. Ia melangkah pelan mendekati kami. Anjing-anjing kampung hitam yang tadi ganas melingkar-lingkar di kakinya. Tuk tampak tua dan wajahnya tak lagi segarang seperti kutemui belasan tahun lalu di Pulau Lanun. Hal-hal mustahil kadang kala mampu ditakluk ilmu: ilmiah maupun musyrik. Namun, kesaktian sang waktu tak tertekuk apa pun, siapa pun. Waktu bertindak sepasti ganjaran Tuhan. Bahkan, dukun langit Tuk Bayan Tula, lindap diisap waktu.
Pakaian Tuk, kain yang dililit-lilitkan semacam jubah biksu, tongkat kayu renggadaian berhulu kepala ular tanah belang berbisa maut-pinang barik-masih seperti dulu. Matanya tetap hitam berkilat serupa mata burung bayan. Dalam hematku, bukanlah itu mata manusia, tapi tak lain mata iblis. Meski makin renta, aura seramnya tak kisut. Hawa dirinya selaku sekutu hantu,
tak pula luntur. Juga seperti dulu, tanpa harus mendengar taklimat kami, beliau telah mafhum bahwa kami menyambanginya demi berunding soal pelayaran kami ke Batuan. Sementara ini, kehadiran Tuk telah meredakan suasana tegang berbau darah.
Salah seorang dari kelima pria tadi lalu mengatakan sesuatu pada kami dengan bahasa yang tak biasa kami pakai tapi kami pahami. Bahasa itu adalah Melayu orang pesisir pelosok di Belitung. Satu dua patah kasa sama sekali asing bagi kami. Aku senang tak terbilang waktu Tuk mengenalkan kelima orang tadi sebagai cucu cicit Dayang Kaw. Berarti benar, masih ada yang selamat dari keluar asli lanun tulen itu. Begitu lama aku telah mempelajari mereka. Betapa berarti bagiku pertemuan ini.
Sesudah penjelasan itu, kedua dari lima pria itu mambuka sarung yang menutup wajahnya, dan kami terperanjat karena mereka adalah perempuan muda belasan tahun yang elok parasnya. Mereka mirip. Mungkin mereka saudara-saudara sekandung atau sepupu-sepupu yang sangat dekat. Yang lelaki amat tampan wajahnya. Tak dinyana jika mereka adalah para perompak yang ditakuti. Semua gambaran tentang para bajak laut: wajah sangar, rambut panjang, gigi perak, pedang, ikat kepala hitam bergambar tengkorak, baju panjang seperti jubah kedodoran, meriam, burung betet, peti harta karun, pistol antik, kalung, gelang, dan giwang akan sirna di depan orang-orang ini. Mereka adalah orang-orang yang halus, tapi kelihatan amat teguh wataknya.
Tuk mengatakan bahwa perundingan harus dilakukan di atas perahu sebab Dayang Kaw lak mau menginjak daratan. Dadaku didesaki pertanyaan: bukankah perempuan itu telah mati ratusan tahun silam"
Kami digiring ke pangkalan yang ditutupi gulma apit-apit, lalu meloncat satu per satu ke atas perahu. Kedua perempuan tadi mengenalkan diri sebagai Maura dan Bagua. Bangua mempersilakan kami duduk digeladak atas. Maura masuk ke geladak bawah dan kembali bersama seorang perempuan lain yang langsung duduk bersila di depan kami. Mulanya kami saling diam. Kalimut memandangi Tuk karena takut sikaligus takjub Chung Fa mengawasi tiga lelaki pengawal Dayang Kaw, cemas kami salah bersikap dan bicara tak kena di hati mereka, lalu memarang kami di atas perahu ini. Aku menatap Dayang Kaw dan terpesona akan sejarah keluarganya, atas pilihan keras hidupnya. Dan Mahar, sejak Maura melepa
s penutup wajahnya tadi, tak lepas-lepas menatap perempuan paras elok itu.
214 Tuk mengatakan perempuan itu adalah Dayang Kaw, dan aku segera paham bahaya nama Dayang Kaw diturunkan terus pada anak-anak perempuan tertua keluarga lanun itu. Maka. perempuan di depan kami inilah pemimpin mereka sekarang. Kutaksir Dayang Kaw berusia tak lebih dari dua puluh dua tahun. Tak ada penerangan selain purnama raya ketujuh belas, tapi tak dapat disamarkan bahwa ia sangat elok seperti Maura dan Bagua. Hanya saja ia lebih dingin dan sorot matanya sangat kuat.
Dayang Kaw dan adik-adiknya tersenyum mendengar kami ingin berlayar ke Batuan.
"Pulanglah, perahu akan ditiup angin ke barat," nasihat perempuan muda itu.
Selagi masih ada waktu. Tabok, tak lagi punya hati."
Taki kami meneguhkan sila, pertanda kami tak kan pulang. Mahar, matanya, masih terpaku pada Maura.
Dengan kata yang kupilih hati-hati, aku bertanya pada Tukdan Dayang Kaw tentang jenazah yang hanyut sampai ke Pantai Belitong tempo hari. Aku juga mengatakan terus terang bahwa tujuan kami ke Batuan untuk mencari seorang perempuan Hokian bernama A Ling. Ku perlihatkan foto A Ling waktu ia kelas dua SMP dulu. Tuk dan keluarga Dayang Kaw mengaku tak mengenal wajah pada foto itu.
"Mereka itu pendatang haram. Tambok mengharamkan mereka, dua perahu, di Tanjung Jabung."
Jawaban Tuk membuatku merasa kian dekat dengan A Ling sekaligus kian jauh, kian putus harapan. Kusampaikan bahwa dua perahu itu berasal dari pulauku dan kami ingin mencari sisa-sisa rombongan pelintas batas itu ke Batuan.
"Tak bersisa, mungkin ada satu dua yang selamat, jika terdampar kembali ke Batuan, aku tak tahu."
Aku gamang. Tuk tak peduli pada rencana kami dan sama sekali tak bersimpati pada jenazah-jenazah itu. Keluarga Dayang Kaw tampak seakan menggantungkan tindakan mereka pada pertimbangan Tuk. Kami minta bantuan Tuk dan Dayang Kaw untuk menghubungkan kami dengan Tambok dan membawa kami ke Batuan. Tak ada lagi siapa pun kecuali Dayang Kaw dan Tuk yang masih disegani Tambok.
Mendengar permohonan kami, Tuk diam membisu. Mahar mulai beraksi mengambil hatinya. Ia membuka satu bungkusan kainnya.
"Aku membawa pekeras untuk Datuk," bujuk Mahar bersemangat karenn ia sangat senang bisa membawa oleh-oleh untuk dukun junjunganya itu.
Ia mengeluarkan benda-benda aneh properti perklenikan: kenyenan dan dupa-dupa. Tuk memalingkan wajah tanda tak sudi. Tinnkat mistiknya sudah tak setingkat lagi dengan perkara remeh-temen seperti kemenyan dan kawan-kawan. Benda-benda itu adalah properti dukun-dukun pemula yang amatir.
Tak mempan dengan rayuan pertama, Mahar kembali mengeluarkan pernak-pernik yang lebih aneh, yaitu tanduk menjangan gunung, uban kucing pohon, telur pertama penyu yang baru kali pertama kawin, dan kuku lutung putih yang masih perawan. Para peminat dunia gelap selalu terobsesi untuk memiliki benda-benda yang menurut mereka amat makul khasiatnya itu. Luar biasa, petualangan Mahar bersama Societeit de Limpai turun-naik gunung menyusuri lembah dan padang, telah mempertemukan mereka dengan benda-benda aneh bin ajaib.
Namun, dengan satu gerakan angkuh Tuk menyibakan stagen yang melilit pinggangnya. Kulihat badiknya berhulu tanduk menjangan gunung. Maksudnya benda-benda itu, dia telah lama punya. Dia tak butuh. Tuk menyentik tongkat berhulu ular pinang barik yang telah dikeraskan. Kawan, dalam dunia dukun Melayu, pinang barik lebih makul ketimbang tanduk menjangan gunung. Chung Fa mendekat ingin mengelap kepala ular pinang birik itu. Tuk menepisnya dengan jengkel.


Maryamah Karpov Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahar tak kalah kasiat. Ia tersenyum penuh rahasia. Tentu kali ini ia punya barang yang sangat special. Ia mengeluarkan kantung kecil kain hitam dari pinggang kirinya.
Senyumnya manis waktu ia mengeluarkan batu kecil dari kantong kain hitam itu.
"Buntat, Datuk!" tawarnya bangga.
O, buntat! Kami terbelalak melihatnya. Istimewa bukan buatan. Dari mana gerangan Mahar mendapat benda superkeramat itu" Bahkan Dayang Kaw mendongak untuk melihat buntat yang mungkin kerap ia dengar kesaktiannya, tapi baru kali ini dilihatnya. Keluarga itu saling berbisik kagum. Mahar
mengerling pada Maura, satu detik aku melihat kilatan di dalam mata lelaki eksentrik itu. Sesuatu yang tak pernah kulihat sebelumnya sejak kami berteman jauh sebelum kami dikhitan. Sukakah ia pada Maura" Aku tak tahu. Yang kutahu Mahar belum pernah jatuh cinta, yang kutahu tiba-tiba ia menjadi begitu gembira, dan kutahu persis, ia ingin membuat perempuan lanun itu terkesan. Semua ini jadi makin menarik!
Buntat adalah masterpiece dunia jampi-jampian. Rupanya macam batu dan ia diambil dari perut raja kelabang. Raja kelabang amat langka, ialah raksasa kelabang. Saking besarnya, warnanya berubah dari merah jadi ungu
kehijau-hijauan. Jika menggigit Jangankan manusia, kerbau pun almarhum. Buntat amat langka. Dalam seratus tahun belum tentu sebiji ditemukan. Khasiatnya, oleh orang-orang seperti Tuk dan Mahar, diyakini dapat menawar tenung mana pun. Jika disentuhkan sedikit saja pada perempuan yang ditaksir maka perempuan itu menjadi seperti kebamakan makan jengkol, mabuk, tak bisa lagi menghitung sampai sepuluh, akan ikut ke mana saja diajak, ke dalam sumur sekalipun.
Demi melihat buntat itu, dengan tangkas Tuk membuka serbannya, meletakkannya di lantai palka, dan menggelarnya. Astaga! Di atas lembar serban berkilauan dua butir buntat yang tampak jauh lebih tua daripada buntat Mahar. Mahar terkesima melihatnya. Ia seakan tak percaya pada matanya sendiri.
Mahar kalah lagi dari Tuk, tapi ia kembali tersenyum sebab ia masih memiliki benda andalan lain. Ia merogohkan tangannya ke dalam bajunya. Pasti ini benda yang sangat penting sebab Mahar telah menjahit saku khusus untuk menyimpan benda keramat ini di bagian dalam baju. Mahar mengambil secarik kain yang terlipat-lipat dari saku itu. Kain itu berwarna merah bertuliskan kombinasi aksara Tionghoa dan Arab. Tak tahu gerangan artinya. Mahar membuka hipatan pelan-pelan. Kami terbelalak melihat benda yang disembunyikan dalam lipatan itu: jenazah seekor cecak!
Kami merubung Mahar. Apa yang istimewa dari bangkai cecak yang telah kering itu" Kami bertanya-tanya. Setelah diamati lebih dekat lewat terang cahaya bulan, rupanya memang istimewa, sebab cecak itu sangat aneh, ekornya bercabang dua. Sungguh langka binatang itu. Aku pernah membaca hikayat lama orang Melayu yang berkisah bahwa cecak dengan ekor bercabang dua menandakan seumur hidupnya tak pernah kalah bertarung sesamanya atau melawan pemangsanya sehingga ia tak pernah perlu memutuskan ekornya sendiri untuk mengelabui musuh. Karena itu, ekornya lama-lama bercabang.
Para dukun sesat percaya, barang siapa berhasil menangkap dan memiliki cecak berekor cabang, maka ia tak kan kalah berkelahi melawan siapa pun, tak kan bisa dibunuh musuh.
Kami sungguh takjub. Berkali-kali kami meyakinkan diri apakah cecak itu palsu atau hanya buatan Mahar dari tanah kelitang. Namun, cecak itu benar-benar asli. Bau busuknya sangat khas bangkai. Dari mana Mahar menemukan cecak berekor cabang itu" Mahar selalu penuh kejutan, dan setiap kejutan darinya menunjukkan bahwa ia memang bertekad sepenuh jiwa untuk menjadi dukun sakti. Bukan dukun amatir tapi dukun langit siluman paling sakti mandraguna. Jangan-jangan ia ingin lebih sakti daripada Tambok dan Tuk
Bayan Tula. Sebab, benda-benda aneh ini tak mungkin dapat ditemukan oleh orang yang setengah-setengah saja.
Mahar kembali mengerling bangga pada Maura. Perempuan cantik itu tersipu. Kami legang menunggu reaksi Tuk. Tentu ia sangat tertarik pada pada cecak ekor cabang ini. Dukun mana yang tak kan tertarik dengan makhluk sangat langka itu. Tapi ia malah tersenyum makin remeh, seakan ia punya benda yang jauh lebih sakti dibanding cecak ekor cabang. Benda apakah gerangan" Lalu Tuk, dengan tenang mengluarkan sesuatu dari karung kecampangnya. Ia menggenggamnya. Waktu ia membuka genggamannya, kami terlonjak kaget dan napas kami macet melihat benda di telapak tangannya: tokek berekor cabang.
Mahar mengucek-ucek matanya melihat bangkai tokek kering berekor cabang dua di tangan Tuk. Dalam pertempuran memamerkan benda-benda mistik terbukti Mahar tertinggal jauh dibanding koleksi gaib Tuk. Kami mafhum sekarang mengapa
Tuk menjadi dukun kondang yang amat disegani, sampai dianggap setengah siluman.
Tuk memalingkan wajah tanda tak tertarik dengan tawaran kami. Ini gawat sebab bisa berarti ia tak mau mempertemukan kami dengan Tambok, dan putuslah harapan untuk dapat menemukan A Ling.
Mahar menarik napas panjang. Ia tampak putus asa karena hanya tinggal punya dua harapan lagi. Ia mengeluarkan lagi satu bungkusan hitam kecil dari pinggangnya. Ia membukanya. Benda ini tak kami pahami. Hanya sebentuk ranting.
"Dari sarang burung terakub, Tuk."
Kali ini napasku benar-benar tercekat. Dulu, ketika aku kecil sering kudengar cerita yang mengerikan tentang orang-orang Melayu kuno yang tinggal di lereng-lereng gunung. Jika menemukan sarang burung terakub, dengan kejam mereka mematahkan kaki anak-anak burung langka itu. Burung terakub lalu menyembuhkan kaki-kaki anaknya yang patah dengan membawa semacam ranting yang kulitnya akan dipatuki anak-anaknya. Sampai sekarang tak diketahui berasal dari pohon apa ranting itu. Orang-orang kejam tadi mendatangi lagi sarang burung terakub untuk mengambil ranting misterius itu. Konon jika diseduh dengan air panas, seduhan ranting itu mampu menyembuhkan penyakit apapun. Sungguh luar biasa. Dari mana Mahar mendapat ranting ajaib itu"
Namun malang, sekali lagi Tuk tak tertarik. Ia mengeluarkan sebatang tongkat yang disebut orang Belitong sebagai simpor laki, kayu yang juga sangat langka dan dipercayai dapat menangkal gangguan hantu.
Akhirnya, Mahar hanya tinggal punya satu harapan, yaitu bungkusan yang selalu dibawanya ke mana-mana, yang selalu dipeluknya setiap perahu kami akan karam dihantam badai. Benda keramat inilah pinangan pamungkasnya pada Tuk Bayan Tula. Benda yang tak boleh disentuh siapa pun. Benda itu dibungkusnya dengan kain seukuran taplak meja bertulisan huruf-huruf Arab gundul seperti sebaris mantra selayaknya orang menyimpan benda pusaka. Tentu sangat berkhasiat benda itu. Tak tahu dari gua mana Mahar menemukannya. Mungkin dari sebuah pulau terpencil.
Mahar pelan-pelan membuka ikatan bungkus. Kami tak boleh gagal kali ini. Tuk dengan sikap congkak masih memalingkan wajah. Seringainya merendahkan sekaligus menantang Mahar. Apa lagi yang kau punya, dukun anak bawang" Begitu mungkin maksudnya. Kemenyan, dupa, tanduk menjangan gunung, uban kucing pohon, kuku lutung putih perawan, buntat kelabang. Dan cecak ekor cabang yang susah payah didapat Mahar dari pertapaan di gua-gua yang dalam dan gelap, dari puasa empat puluh hare, dari tumbal dan kelana belasan tahun seantero alam, tak Satu pun mempan bagi Tuk.
Semua menatap lekat gerakan jemari Mahar membuka berlapis-lapis kain menutup bungkusan terakhirnya. Aku, Chung Fa, dan Kalimut berdebar-debar. Terbuka sedikit, dan aku melihat tangkai logam menyembul, lalu tampak bidang seperti kaca. Benda gaib apakah ini" Sungguh aneh. Mahar sekonyong-konyong menyibakkan seluruh bungkus kain menutup seperti pesulap menyingkap kandang harimau. Semuanya terbuka dan aku terperanjat tak kepalang melihat benda keramat itu. Benda itu adalah televisi hitam putih Sanyo portable bekas yang pasti dibeli Mahar di pasar loak di Tanjung Pinang. Chung Fa dan Kalimut terkikik sementara mulutku ternganga, tapi pada saat bersamaan keluarga Dayang Kaw merubung dan terkagum-kagum. Tuk Bayan Tula mendelik. Ia menggeser posisi duduknya untuk menghadapi televisi kecil yang butut itu. Ia jelas ingin tahu. Mahar merespons reaksi itu dengan cepat. Ia serta-merta mengeluarkan dua buah batu baterai Eveready kucing hitam dari sakunya, memasukkannya ke dalam rongga belakang televisi yang tak bertutup lagi, lalu memutar tombol On.
Tentu saja televise itu tak dapat menangkap siaran mana pun tapi Tuk Bayang Tula dan keluarga Dayang Kaw, termasuk Maura yang sejak tadi tersipu-sipu malu memandangi Mahar, merangsek maju dan terkesiap melihat jutaan semut berbuih-buih di layar kaca dengan suara seperti sekawanan madu angina diasapi. Mereka kian terpesona waktu Mahar menarik antenna dan memainkannya naik-turun sehingga gemuang lebah madu timbul-tenggelam.
Tuk menyentuh-nyentuh layar dengan ragu. Ia sep
erti ingin tau apa yang terjadi di dalam kotak televisi. Ingin tahu darimana suara dan gambar semut itu berasal. Listrik statis dari layar yang menyengat tangannya membuatnya kian berminat. Ia tersenyum riang.
Aku tahu kami telah berhasil mengambil hati Tuk lewat televisi jinjing rongsokan itu. Kami meninggalkan perahu untuk pulang ke rumah Puniai. Dari puncak bukit, kami melihat dukun siluman Tuk Bayan Tula dan sekeluarga Dayang Kaw, simpai terakhir keluarga lanun tulen Selat Malaka, asyik menonton televsi. Acaranya sejuta semut berkelap-kelip.
Senyum Siapa yang menabur senyum Dialah yang akan menuai cinta
Mozaik 62 Mahar dan Maura MESKI aku tahu Tuk Bayan Tula dan keluarga Dayang Kaw bersedia membantu kami di Batuan bukan semata-mata karena televisi butut itu. Mereka sendiri punya kepentingan lain, tapi kuanggap Mahar telah membuat, perundingan berakhir dengan satu solusi yang elegan. Aku menatap Mahar dan ia tersenyum. Seporti sering kukatakan kepadamu, Kawan, ia selalu tak bisa diramalkan. Dalam perspektif yang khusus, sesungguhnya ia juga adalah seorang genius. Genius persis Lintang.
Tiba kembali di ramai Puniai, kami melihat nelayan tua itu tengah menunggui Nai yang telah tidur dua hari dua malam. Wajahnya gembira. Ia seperti baru menemukan putrinya yang telah hilang empat bulan. Nai pun tertidur pulas membayar utang tidur selama empat tahun.
Chung Fa mengangkat sauh. Dari kejauhan tampak seorang perempuan berlari-lari keeil menuju dermaga kayu. Baju jubahnya melayang-layang. Aku tahu siapa itu. Dia Maura. Mahar menatapku, tajam dan gugup.
"Turunlah," kataku.
Mahar gelisah, ia ragu dan ia malu. Perahu perlahan menjauh. "Pasang naik, cepatlah."
Mahar seperti berusaha keras melawan dirinya sendiri. Pantai masih dangkal setinggi lutut.
"Har, kulihat matamu semalam."
Ia hilir mudik, menoleh ke laut, menoleh ke Maura, bergantian. Ia ingin aku mengucapkan lagi kalimat yang membuatnya berani menghampiri Maura. "Cinta, Har, datang sekali saja."
Kusemangati terus dia. Ia kian resah. Lelaki dewasa ini, tak pernah mengenal asmara. Tak pernah membuka hatinya untuk siapa pun. Jika ia memang ada hati pada Maura maka perempuan itu akan jadi perempuannya mula-mula. Jika ia jatuh cinta maka Maura akan jadi cinta pertamanya. Perahu kian jauh diterjang riak ombak.
"Pasang sepinggang," desakku lagi.
Tiba-tiba Mahar mengambil sesuatu dari tasnya dan terjun. Kami bersorak-sorai melihatnya melintas laut setinggi dada menuju dermaga. Ia naik ke darmaga, mendekati Maura dan menyerahkan sepasang tanduk menjangan gunung. Aku memandangi kedua orang itu dari jauh. Sungguh romantis, seorang dukun muda jatuh hati pada seorang putri lanun. Mahar seperti sedang mengucapkan janji akan kembali lagi ke Karimata. Lalu, ia terjun lagi ke laut,
mengarungi pantai dangkal menuju perahu.
Layar dinaikkan. Sore itu, kami bertolak ke Batuan.
Aku memutar kemudi ke arah matahari terbenam. Piring landasan kompas berayun lima belas derajat, sejumlah itu pula aku harus membalik arah haluan agar menemukan posisi Batuan. Delapan ratus mil laut menuju Batuan. Tak kan berhenti siang dan malam. Perahu Tuk dan keluarga Dayang Kaw, karena satu keperluan di Lingga, akan mengambil jalur memutar ke Batuan melalui Singkep.
Sore belum usai, bahkan Pulau Karimata masih kelihatan hijau belum biru, artinya belum jauh, tiba-tiba permukaan laut menghitam mengerikan. Aku tahu apa yang terjadi, ini semacam angin puting beliung, tapi terjadi di bawah air karena dahsyatnya pertemuan Laut Jawa dan Laut China Selatan. Pertemuan itu terjadi tepat di Selat Karimata. Dasar laut berpusar mengangkat lumpur bawah laut sehingga laut berwarna hitam. Jika pusaran itu naik sedikit saja maka apa pun yang ada di atasnya, jangankan perahu, balikan tongkang pasir, dapat terpelanting tanpa daya lalu jatuh kembali ke permukaan laut menjadi remeh-remah. Karena alasan itu, pada musim-musim tertentu Selat ini dihindari oleh pelaut berpengalaman. Namun, kami bukanlah temasuk dalam pelaut yang berpengalaman itu.
Aku mematikan mesin, membiarkan perahu berputar-putar tak tentu arah dan berdoa agar segera
terlepas dari pusaran ini. Hampir setengah jam perahu kami meliuk-liuk seperti gasing, lalu sebuah ombak yang besar melemparkan kami ke utara. Perahu terlonjak hebat, tapi terlepas dari pusaran maut itu.
Malam menjelang. Rasi-rasi berangsur buram sebab dilindungi awan, lalu gemerlap gemintang terhapus, barat daya pekat diikat gelap.
Aku terkejut oleh entakan yang tetap. Kulihat ke buritan. Daun kemudi terantuk-antuk karena perahu bergoyang. Laut yang sejak kemarin tenang pelan-pelan bergolak. Rembulan pucat lalu langit mendadak jatuh, rendah dan kelam. Gelombang mulai menggelinjang. Sekali petir menyambar dan aku gemetar karena dari cahayanya aku melihat gumpalan awan hitam menakutkan mendekati perahu. Bukankah seharusnya tiga hari lagi" Lalu, langit bergemuruh menakutkan. Musim barat, tiba lebih cepat daripada yang kuperkirakan.
Mahar menurunkan layar karena dalam sekejap angin berbalik. Angin
itu dalam waktu yang amat singkat berubahmenjadi topan yang sekarang justru menolak perahu kami menuju ke timur ke arah kami datang, ke Pulau Karimata. Kalimut menghidupkan mesin, tapi perahu tak dapat bergerak maju karena topan amat kencang apalagi perahu kami sangat linggar karena didesain untuk kecepatan. Perahu kubelokkan ke selatan agar mengikuti irama gelombang. Devisi dari jalur semula itu lebih dari empat puluh lima derajat, maka secara matematis, akibat tindakan itu, kami baru akan mencapai Batuan paling cepat dalam waktu enam hari.
Tak tampak pulau apa pun untuk berlindung. Hujan turun, setiap kali petir menjilat laut, aku ngeri melihat gelombang tinggi yang meluap-luap dan pecah menjadi buih berlimpah-limpah. Tak pernah kulihat musim barat mengganas pada tanggal-tanggal mudanya. Situasi amat mencemaskan. Badai mengepung, kami basah kuyup karena hujan yang menghunjam tubuh seperti anak-anak panah. Kami mengalungkan pelampung. Chung Fa yang selalu tersenyum menguap senyumnya, dan mukanya pias ketakutan. Berkali-kali ia bergumam dalam bahasa yang tak kupahami, tapi sering terdengar ia menyebut nama anaknya, Shiet Lu.
Aku mematikan mesin dan membiarkan perahu larat dibawa gelombang karena ombak tak bisa lagi dilawan. Kadang kala perahu berputar seperti gasing. Lepas kendali. Kami berkali-kali harus menimba air yang masuk ke dalam geladak. Kami terancam karam. Keadaan kami amat menyedihkan karena terus-menerus mabuk. Sampai tak ada lagi yang bisa dimuntahkan selain cairan bening yang pahit. Aku tak dapat memperkirakan posisiku karena setiap malam gelap, bintang tak terbaca. Pedomanku hanya kompas dan sama sekali tak dapat kuketahui berada di mana kami dalam jarak antar, Karimata dan Batuan.
Akibat terjangan ombak, tiga telebut di haluan belakang patah. Kami membakar jerigen dan menyumbat kubangnya dengan plastic cair. Perahu berada dalam keadaan genting. Aku teringat akan perkataan ibuku bahwa aku tak pernah mengerti bahaya sebelum mengalaminya sendiri. Kalimat itu bergaung-gaung dalam kepalaku. Namun, aku tak mungkin kembali karena aku telah bersumpah untuk menemukan A Ling. Aku berdoa sepanjang malam, dalam gempita gemuruh kilat dan petir, dalam badai yang bersiut-siut mengaduk laut. Aku ingin bertemu dengannya, meski hanya bertemu dengan orang lain yang tahu kisahnya di Batuan. Aku harus bertemu dengan A Ling. Aku tak punya pilihan lain.
Senja, pelayaran hari kelima, setelah sepanjang siang dihantam gelombang tiba-tiba laut tenang. Tenang sekali seperti danau. Laut diam, diam
membisu. Semula kami heran dengan perubahan drastis ini, tapi tiba-tiba aku sadar. Aku berteriak-teriak agar Mahar, Chung Fa, dan Kalimut mengikatkan diri ke tiang layar. Tak lama kemudian, kami melihat benda hitam yang besar bergulung menderu-deru seperti ribuan helikopter di sisi barat daya. Gelombang yang sangat tinggi menyongsong di depan kami. Kami gemetar ketakutan. Tak ada yang dapat dilakukan selain pasrah. Mahar tafakur memejamkan mata, Chung Fa dan Kalimut menjerit-jerit panik. Seisi laut bergetar dan perahu kami gemeletar. Gelombang raksasa itu kian dekat tapi tiba-tiba kami mendengar deburan yang sangat dasyat. Kami lolos dari maut seba
b setengah mil di depan kami gelombang itu pecah. Ekor gelombang yang masih besar menghantam perahu dan membuatnya tepelanting berputar-putar sampai hampir tertelungkup. Debutan air yang besar bersimbah ke atas perahu, kami semua basah kuyup. Hantaman yang keras itu membingkas ikatan tubuh Chung Fa. Ia terjajar, tangga layar merobek bajunya. Aku terbelalak melihat rajah kupu-kupu hitam di lengannya. Terbongkarlah rahasia Chung Fa ke Batuan. Rajah itu sama dengan rajah jenazah yang terdampar di dermaga tempo hari.
Enam hari enam malam pelayaran telah meluluhlantahkan kami. Tak ada tanda-tanda daratan. Perahu berkali-kali akan karam. Malam hari ketujuh aku terkejut mendengar suara keciap. Aku melongok dan lubang palka dan seekor burung camar bertengger di tali utama layer. Kami melonjak girang. Burung adalah pertanda daratan. Kami waswas menunggu halimun lidap. Aku mengeluarkan teropong. Samar di depanku daratan, hitam, seperti terapung-apung. Kulihat peta laut lama kiriman seorang sahabat yang mendapat kopian peta VOC itu dari sebuah perpustakaan sekolah militer di Breda, Belanda. Inilah peta terbaik yang pernah kudapat tentang Selat Malaka dan aku merasa pasti, dalam rentan lima mil laut di depanku, samara dilindungi gelombang besar dan karang centang perenang itu, tak lain gugusan sebelas pulau yang disebut Kepulauan Batuan.
Sungguh sempurna pulau ini untuk berlindung atau melarikan diri. Jaga sebagai loncatan untuk menyelundupkan apa pun ke Singapura. Jika laut pasaug, tak ada yang menduga bahaya batu karang tajam yang mengelilinginya. Jika surut, karang-karang itu berubah menjadi semacam benteng. Hanya mereka yang amat berpengalaman dan hafal lika-liku Pantai Batuan yang dapat lolos dari jebakan karang. Mesin dimatikan. Kami mendayung mengitari pulau. Senyap tapi siapa pun dapat merasakan ancaman yang diembuskan pulau itu.
Pulau itu lekat mengawasi siapa pun yang mendekat. Pulau itu seakan hidup, seolah berjiwa, karena di sana orang saling bunuh selama berabad-abad.
Mendengarkan saran Dayang Kaw, kami tak mendekati Pulau Batuan jika masih gelap. Menunggu fajar, Chung Fa dengan mata basah, menceritakan padaku bahwa A Ling adalah saudaranya. Lalu, aku tahu bahwa A Ling adalah orang Ho Pho, bukan orang Hokian seperti kuduga selama ini. Ternyata hubungan darah A Ling dengan sepupunya, A Kiong, hanya karena salah satu saudara jauhnya menikahi saudara A Kiong. Chung Fa ingin mencari saudara-saudaranya yang berusaha menyeberang ke Selat Singapura, dan mungkin masih ada yang selamat. Ia merahasiakan semuanya sejak mula karena cemas tak kuajak berlayar.
Fajar tiba. Kami mendekati pangkalan. Tak ada siapa-siapa, tapi dari bayangan lampu minyak di rumah-rumah panggung di pesisir kami tahu di dalamnya orang-orang berjingkat-jingkat mengintai. Perahu merapat ke pangkalan dan aku terkejut melihat perahy Dayang Kaw telah pula sandar. Mereka pasti berlayar ke Teluk Kuantan, berlindung dari badai dengan melipir pulau demi pulau. Dari Kuantan mereka dengan mudah turun ke Batuan tanpa melawan angin barat. Pengalaman memang mengalahkan seealanya.
Terang tanah, kami turun dari perahu. Beberapa lelaki menyongsong kami. Wajah mereka sangar, matanya liar. Tato penjara di sekujur tubuh. Merekalah lanun Selat Malaka yang terkenal kejam itu. Pertama hanya belasan orang, lalu bergabung yang lain, tak kurang dan tiga puluh begundal. Kami seperti sekeluarga pelanduk dalam kepungan kawanan dubuk, serigala. Tak ada yang bicara, tapi seringai mereka mengancam. Bromocorah mi jelas orang-orang terbuang dari berbagai daerah. Hal itu dapat dikenali dari beragam senjata mereka. Beberapa dan mereka menyarungkan mandau, berarti orang Kalimantan. Yang lain bersenjata sundang, terampang, trisula, golok, tombak, celurit, rencong, gobang, badik, parang, dan senapan rakitan. Mereka berkumpul karena satu kesamaan: serakah dan haus darah. Mereka menegakkan hukun di gugus Pulau Batuan berdasarkan senjata paling tajam, nyali, terbesar, dan ilmu hitam.
Meski sama-sama lanun, bertemu dengan orang-orang ini amat berbeda kesannya dengan bertemu Keluarga Dayang Kaw. Mer
eka merangsek dan bermaksud menyerang kami jika tak melihat Tuk Bayan Tula dan Dayang Kaw sekeluarga turun dari perahu.
Sepasang Naga Lembah Iblis 6 Pendekar Bego Karya Can Id Dendam Si Anak Haram 1
^