Pencarian

Maryamah Karpov 6

Maryamah Karpov Karya Andrea Hirata Bagian 6


Dari pintu salah satu rumah panggung, keluar seorang lelaki setengah baya berambut putih dan berwajah dingin. Ia berjalan pelan. Caranya berjalan, tatap matanya, gerak-geriknyu jelas ia tak takut pada apa pun dan nyata ia
seorang pembunuh. Dialah Tambok. Seorang pria dengan rencong di pinggangnya berbisik pada Tambok. Mereka berbicara: Tambok, Tuk, Dayang Kaw, dan lelaki rencong itu. Ternyata perundingan sesama kaum lanun tak makan banyak waktu. Tuk dan keluarga Dayang Kaw kembali ke perahu, angkat sauh, berlalu.
Lelaki pembisik tadi mendekati kami.
"Serahkan apa yang telah kalian siapkan, cari apa yang ingin kalian cari, jangan lebih dari tiga hari."
Hal ini telah kuantisipasi. Aku menyerahkan segepok uang hasil tabungan bersusah payah dari mendulang timah dan berae. Mereka masih belum puas. Mereka menyita beras, gula, bahkan jam tanganku. Dari kejauhan kulihat Dayang Kaw berdiri di haluan. Ia menunjukkan tiga jarinya. Aku mafhum maksudnya agar kami tak melanggar perjanjian tiga hari dengan Tambok. Karena jika melanggar mufakat, maut akibnya. Perahunya menjauh. Aku ingin meneriakkan terima kasih, tapi pasti ia tak mendengar.
Mozaik 63 Kisah Sebelas Pulau KAMI bergegas ke perahu memulai pencarian. Sebelas pulau kecil dalam gugus itu jaraknya berjauhan dan akan makin sulit ditempuh pada musim barat ini.
Dua perahu anak buah Tambok lekat mengawasi kami. Lima jam diperlukan untuk mencapai pulau, pertama. Merapat disana aku menemukan kenyataan yang mengejutkan tentang para pelintas batas ini. Jumlahnya ratusan dari berbagai tempat sebagian besar orang Melayu dan orang Tionghoa dari Teluk Kuantan dan Singkawang. Banyak yang telah bertahun-tahun menunggu kesempatan untuk menyeberangi Selat Singapura. Mereka terjebak di Kepulauan Batuan dalam kuasa Tambok. Mereka dijadikan manusia dagangan dan dipaksa bekerja menjemur ikan, menjalin pukat, atau membuat perahu. Mereka tak dapat melarikan diri karena Batuan tak ubahnya Nusa Kambangan yang dikurung oleh samudra ganas, kawanan ikan hiu, dan karang-karang tajam. Selain itu, setiap pulau dijaga ketat oleh puluhan anak buah Tambok. Keadaan mereka sangat menyedihkan, tak ubahnya budak. Mereka tinggal di bedeng-bedeng panjang yang dipagari kawat berduri.
Kami masuk ke bedeng untuk bertanya. Chung Fa memperlihatkan rajah di lengannya untuk mengetahui apakah ada di antara mereka yang pernah melihat rajah itu, semuanya menggeleng. Aku mempelihatkan pada setiap orang foto A ling. Keadaan foto ini tidak banyak membantuku karena hanya wajah A Ling waktu kecil, hitam putih, dan buram. Tak seorang pun mengenalinya.
Tanpa istirahat, kami beranjak ke pulau kedua. Makin dalam ke barat daya. Sampai di sana hampir tengah malam. Kami bertanya dengan teliti pada setiap orang. Kembali aku kecewa. Tak seorang pun mengenal A Ling dan rajah Chung Fa. Malam larut. Pencarian hari pertama hanya dapat menggapai dua pulau, dan sia-sia.
Hari berikutnya, dini hari benar, kami berangkat ke pulau ketiga. Pulau ini jauh dan kami kembali dihantam badai yang menyebabkan tiang layar hampir patah.
Keadaan penghuni pulau ini lebih parah dari dua pulau sebelumnya. Sebagian besar penghuninya perempuan Khek Singkawang dan Anambas. Anak buah Tambok memberi mereka nasi di atas tampah, mereka menyerbunya seperti hewan. Kami pun ikut makan dari tampah itu karena beras kami telah disita Tambok. Di pulau ini aku mengetahui kuatnya sindikat perompak Selat Malaka. Anak buah Tambok ternyata berjumlah ratusan. Seluruh gugus Pulau
Batuan berada dalam kuasa mereka. Pulau-pulau itu pada satu masa lalu pernah dikuasai keluarga Dayang Kaw. Tak ada kesan-kesan heroik di pulau-pulau ini seperti ditinggalkan oleh Dayang Kaw atau Hang Tuah, yang ada hanya penindasan, tempat menyimpan harta rompakan, dan manusia-manusia yang diperdagangkan.
Di pulau ketiga juga tak ada yang mengenal wajah dari foto yang kuperlihatkan, tak juga rajah kupu-kupu. Namun, ada seorang pria yang bercerita tentang dua perahu yang mencoba lari da
ri Batuan untuk menyeberangi Selat Singapura beberapa bulan lalu. Katanya perahu itu karam, semua penumpangnya tewas. Mereka tak tahu kalau sebenarnya perahu itu diserang Tambok dan sengaja dikaramkan. Berarti cerita Tuk Bayan Tula tak dusta dan semuanya kian jelas bagiku. Sangat besar kemungkinan keluarga kupu-kupu hitam termasuk A Ling berada dalam dua perahu itu. Kenyataan bahwa kemungkinan A Ling telah tewas membuatku bergetar. Kami ingin mengorek keterangan lebih lanjut dari orang itu, tapi ia takut berpanjang cerita.
Sampai ke pulau kelima kami masih tak menemukan A Ling. Begitu banyak perempuan Tionghoa muda digugusan Pulau Batuan, tapi tak ada A Ling dan tak seorang pun mengenalnya. Aku mulai dihinggapi perasaan putus asa. Kami berangkat dengan tangan hampa ke perahu berikutnya. Disana kami mendapat informasi mengejutkan bahwa seseorang mungkin mengenal A Ling. Tapi, orang itu berada di pulau sebelah pulau ini. Kami segera berangkat. Seorang lelaki tua memberi tahu bahwa memang ada wanita benama A Ling di bedengnya. Jantungku berdegup kencang. Aku berlari-lari kecil menuju bedeng. Tak dapat kusambarkan perasaanku. Lelah tak kurasakan lagi karena aku yakin kali ini akan menemukan A Ling. Aku memang menemukannya, tapi ia bukan A Ling yang kucari. Empat pulau kami jelajahi sampai larut malam, hasilnya nihil. Tak nungkin lagi melanjutkan perjalanan. Dua hari hilang percuma. Tinggal satu hari tersisa. A Ling masih tak ketahuan rimbanya.
Mozaik 64 Pulau Kuburan MESKI tubuhku remuk redam, tak dapat kupejamkan mata. Malam ini langit terang dan aku memandangi bintang gemintang. Tinggal sehari lagi kesempatan yang diberikah Tambok. Dalam sehari itu tak mungkin aku dapat menjelajahi seluruh sisa Pulau Batuan. Angin barat makin kencang mengadang perahu. Sepanjang malam aku berdoaagar dipertemukan dengan A Ling. Aku ingin mendengar berita tentangnya, berita buruk sekalipun. Aku telah mencarinya selama belasan tahun, rasanya aku telah mencarinya seumur hidupku. Aku telah mencarinya sampai ke Selatan Prancis, sampai ke Taiga Siberia di pelosok Rusia sana, sampai ke pedalaman Zaire di tengah-tengah Benua Afrika. Aku ingin sekali berjumpa dengannya. Aku harus berjumpa denganya. Aku merindukannya sampai aku tak dapat bernafas. Jika ia mati di Selat Singapura, paling tidak di Batuan aku ingin berjumpa dengan orang yang tahu persis kejadian itu, biar aku tenang pulang.
Berbulan-bulan aku membuat perahu dengan tanganku sendiri. Berminggu aku terombang-ambing samudra yang ganas berurusan dengan orang-orang yang kasar, bertaruh nyawa demi pencarian ini, tak seberkas pun titik terang. Mungkinkah aku telah menjumpainya di antara orang-orang yang telah kutemui di pulau-pulau ini, tapi ia tak lagi mengenaliku, atau aku tak lagi mengenalinya" Karena kali terakhir melihatnya, waktu ia duduk di sampingku di atas komidi putar, belasan tahun lalu, ketika kami masih kelas dua SMP.
Esoknya kami segera berlayar ke sisa-sisa pulau yang jaraknya amat jauh. Perahu terseok-seok melawan badai. Layar telah robek, tiang layar miring, dan linggi perahu bergeser karena desakan ombak. Menjelang sore kami baru sampai. Bersusah payah menggapai pulau asing ini hanya untuk mendapati pulau yang kosong. Malam itu anak buah Tambok mengingatkan bahwa besok pagi kami harus pergi dan mengancam kami agar jangan buka mulut pada aparat soal aktivitas mereka di pulau-pulau Batuan. Mereka juga mengatakan percuma mencari kedua pulau terakhir karena tak ada apa-apa di sana selain orang-orang sakit dan kuburan.
Malam itu diam-diam kami berunding di dalam bedeng. Chung Fad an Kalimut takut pada ancaman anak buah Tambok, tapi aku dan Mahar berkeras tak mau pulang. Aku ingin menyelesaikan apa yang telah kumulai.
"Kita pulang saja, berbahaya"
"Tinggal dua pulau lagi, Fa, tinggal dua pulau lagi!"
"Bagaimana kalau tetap nihil""
"Kita menyeberang ke Singapura!" Mahar menaikkan sarungnya sampai hidung. Aku paham maksudnya. Kami menyelinap keluar bedeng.
Diam-diam kami menaikkan layar untuk berangkat ke pulau berikutnya. Dini hari perahu merapat. Kami melintasi padang ilalang yan
g diselang-seling gundukan tanah. Itulah kuburan dengan tanda dahan-dahan pohon dan batu-batu yang digeletakkan sekenanya. Tanda nyawa tak berharaga di Batuan. Di balik padang kuburan itu kami melihat bedeng yang reot. Gelap.
Kami mengetuk pintu bedeng. Terdengar seseorang bangun di dalam dan ia menyalakan lampu minyak. Ia adalah seorang perempuan Tionghoa tua yang renta. Seluruh rambutnya putih. Ia mengatakan bahwa ia merawat orang-orang sakit di bedeng itu. Ia sendiri penduduk asli pulau itu. Kami memberitahukan maksud kedatangan kami. Aku memperlihatkan foto A Ling. Ia tak mengenalnya. Lalu, kami tanyakan tentang rajah kupu-kupu hitam. Jawabannya mengejutkan. Katanya, ia pernah melihat paling tidak ada lima orang memiliki rajah seperti itu di lengannya. Tiga lelaki dan dua perempuan. Ia berkisah bahwa orang-orang berajah kupu-kupu itu menyeberang ke Singapura, tapi perahu mereka karam. Dua jenazah lelaki bertanda seperti itu dan belasan jenazah lainnya dikuburkan di pulai ini. Nasib ketiga orang lainnya tak diketahui. Chung Fa tersedu sedan. Ibu tua itu lain mempersilakan kami melihat orang-orang yang ada dalam bedeng, kalau ada yang kami kenal.
Aku menerima lampu minyak darinya. Pelan-pelan aku menghampiri mereka satu per satu. Orang-orang sakit ini tidur di atas dipan yang saling berjauhan. Mereka berwajah Melayu dan Tionghoa. Tak satu pun kukenali. Namun, di dipan paling ujung aku terkejut melihat seseorang yang tidur membelakangiku. Tubuhnya tinggi dan kurus. Ia beipakaian panjang berlapis-lapis. Aku terkesiap melihat tangannya yang terjuntai di sisi dipan. Firasat yang aneh menyelinap dalam hatiku. Kudekatkan lampu minyak untuk melihat tangan itu dan jantungku berdetak. Rasanya aku mengenal jari-jemarinya. Aku berusaha meyakinkan diri. Dulu pernah kukenal paras-paras kuku itu. Tak mungkin kulupa. Siapakah perempuan ini" Mungkinkah ini A Ling" Apakah aku telah menemukannya" Aku mengamatinya baik-baik. Seribu kata ingin meledak, tapi mulutku kelu. Tanganku ingin menggapainya, tapi sendi-sendiku mati. Ia terbangun, berbalik. dan aku terempas di atas lututku. Ia terpana menatapku, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia berusaha bangkit, tapi terlalu lemah. Air mata mengumpul di pelupuknya. Aku bergetar, seluruh tubuhku bergetar waktu ia menyebut namaku.
"Ikal.....," katanya
"Ikal....." Mozaik 65 Pulang DINI hari kelam, bulan pucat. Kami bergegas meninggalkan Pulau Kuburan karena kami tahu perahu-perahu Tambok pasti sedang mengejar. Karena masih sakit, A Ling harus dibopong melintasi padang ilalang. Kami berlari-lari kecil. Mendekati pangkalan terdengar suara mesin motor tempel menderu-deru.
Kami mengucapkan perpisahan yang menyedihkan dengan Kalimut. Ia berkeras ingin menyeberang ke Singapura. Berkali-kali aku membujuknya agar ia ikut pulang karena Batuan ternyata jauh lebih berbnhaya daripada yang pernah kubayangkan. Kalimut trlah berketetapan hati.
"Pulanglah kalian," katanya.
"Kehormatan naik perahu denganmu, Kapitan," ucapnya lirih sambil memelukku dan Chung Fa. Pipi lelaki perkasa itu basah. "Kehormatan jadi kawanmu, Kalimut." Ia mendorong perahu. "Doakan aku, Kapitan, doakan aku." Perahu menjauh. Kalimut melambai-lambai. "Selamat jalan, Kapitan!"
Saniar suaranya masih terdengar di antara deru kencang angin.
Sementara perahu-perahu anak buah Tambok makin dekat. Lalu kudengar letupan-letupan senapan. Mereka menembaki perahu kami dengan senapan rakitan. Mahar menaikkan layar dan aku memutar haluan. Tujuan kami adalah timur dan angin barat serta-merta mendorong kami.
Perahu-perahu lanun itu mengambil jalur memotong untuk mengepung kami. Kami diuntungkan oleh perahu yang lebih cepat karena desain lintang dulu. Perahu Tambok yang melaju di sisi kanan mulai tertinggal. Makin lama jaraknya makin jauh. Mahar mengambil parachute signl. Kembang api semboyan bahaya itu ditembakkan oleh Mahar ke perahu-perahu Tambok. Dahsyat seperti tembakan roket menembus layar-layar mereka.
"Itu untuk Nai! Rasakan!" teriak Mahar. Pelayaran pulang berlangsung dengan amat mudah. Perahu didorong angin. Kami bahkan tak perlu men
ghidupkan mesin. A Ling tertidur di lantai geledak. Aku lekat memandangnya. Ia telah menjadi perempuan dewasa. Wajahnya tak banyak berubah. Betapa mengagumkan perempuan Ho Pho ini. Ia menuruni semangat leluhurnya sebagai perantau yang gagah berani. Jauh sebelum masa perantau-perantau Tiongkok lainnya. Mereka pelarian dinasti Han Orang-orang Ho Pho telah
merambah Selat Malaka sejak beratus-ratus tahun lampau.
Senja hari berikutnya kami duduk bersandar di tiang layar. Kami saling menceritakan kisah nasib. Aku mengeluarkan buku yang dulu dihadiahkannya padaku, novel Seandainya Mereka Bisa Bicara. Ia tersenyum.
"Apakah kau telah menemukan Edensor Ikal""
Aku diam saja. Aku juga tidak menceritakan bahwa aku telah mencarinya sampai ke Siberia, sampai ke Afrika.
A Ling berkisah tentang kerasnya Batuan dan berkali-kali ia gagal menyeberangi Selat Singapura.
"Tak ada harapan di sana, tapi aku tahu," ucapnya pelan.
"Aku tahu, kita pasti bertemu lagi."
Aku membisu. Kami memandangi laut dalam senyap. Bergabunglah seribu pujangga melantunkan rima-rima cinta. Bersatulah surya dan awan-gemawan melukis megahnya angkasa. Bersekutulah angin empat musim mengarak halimun Selat Malaka, tak satu pun, tak satu pun dapat menggambarkan indahnya perasaanku.
Hari Keempat pelayaran, menjelang sore perahu Mimpi-mimpi Lintang memasuki leher muara Sungai Linggang. Kami terkejut mendengar orang-orang berteriak dan bantaran muara.
"Kapitan! Kapitan!" seni mereka bersahut-sahutan.
"Kapitan pulang!"
Rupanya nelayan-nelayan yang kami temui di karang lampu telah mengabarkan bahwa kami pulang dari Batuan dan membawa anak gadis Tionghoa itu. Dermaga ramai seperti kami berangkat dulu. Perahu merapat. Lintang berseru sambil melambai-lambaikan tangannya.
"Galilei, Admiral Hook! Selamat datang!"
Rahasia Kuberi tahu satu rahasia padamu, Kawan Buah paling manis dari berani bermimpi Adalah kejadian-kejadian menakjubkan Dalam perjalanan menggapainya
Mozaik 66 Kambuh BERITA BURUK Sang maestro hok lo pan, Lao Mi, didapati anaknya tak bangun-bangun dari kursi goyang. Ia telah dingin. Di kursi goyang rotan tua itulah, Lao Mi mengembuskan napasnya yang terakhir.
Seisi kampung tersentak. Khek yang paling sengak sekaligus paling disayangi itu meninggal tanpa pernah terdengar menderita sakit. Majelis masjid berunding cepat dan memutuskan satu tindakan yang menggambarkan betapa orang Melayu memang sering menyebalkan, tapi mereka berjiwa sangat toleran. Kematian Lao Mi dikabarkan bertalu-talu melalui menara masjid seantro kampong di Munawir Berita Buruk. Suasana begitu menyedihkan karena Munawir yang telah sepuluh tahun terakhir mengumumkan kematian, tak dapat menahan dirinya. Tak pernah ia luruh seperti ini.
Ia mengabarkan wafatnya Lao Mi, seteru abadinya karena mereka senang sekali bertengkar sambil tersedu sedan.
Orang kampung melepaskan apa pun yang sedang dikerjakan, menunda semua rencana, dan berbondong-bondong ke rumah Lao Mi yang sederhana. Tak pernah aku melihat orang melayat sebanyak itu. Ratusan warga Tionghoa, Melayu, Sawang dan orang-orang bersarung bermuram durja dan berlinangan air mata melepas kepergian Lao Mi. Pun aku, sukar menahan air mataku. Betapa menyayat hati. Tak ada lagi pembuat kue hok lo pan legendaris itu. Ialah yang terakhir. Anak-anaknya tak tertarik menjual kue loyang kuno ciptaan orang Khek itu. Mereka lebih suka berdagang kain atau membuka toko sepeda. Bersama dengan terkuburnya Lao Mi, terkubur pula resep pusaka hok lo pan sepanjang empat generasi, tak kurang dari dua ratus Jima puluh tahun.
Ekspedisi ke Batuan telah menjadi semacam waktu yang terpinjam dari hidupku. Setelah kembali pulang, aku harus membayar semuanya, termasuk penyakit gigi yang terlupakan lantaran seluruh perhatianku disita pelayaran itu.
Kelebihan gigi paling belakang sekarang tumbuh jadi sebatang gigi dewasa nan gagah perwira. Kelebihan itu tak hanya melukai gusi, tapi telah pula mengundang infeksi. Sungguh menyiksa sepanjang malam.
Usai magrip, anjing kampung melolong bersahut-sahutanseperti melihat drakula, sekonyong-konyong Ketua Karmun terkengkeng di ambang pintu.
Ia kembali mengimbau, membujuk, mengajak, menggertak, sampai mengancam, agar aku mengunjungi klinik Dokter Diaz demi mengakhiri masa jahiliah perdukunan gigi di kampung. Tapi, seperti dulu, aku tak pernah dapat ditaklukkan. Trauma rumah sakit yang kualami waktu aku dikhitan dulu melekat padaku laksana tokek di pohon pinang. Ia mendekatiku dengan gaya menghiba.
"Adinda Ikal yang bijak," rayunya lembut sekah. "Akhirnya
"Klinik kita itu terpaksa ditutup sebab tak ada pasien yang mau datang. Pekerjaan Dokter Diaz hanya menyuluh dan berkebun. Menyuluh pun tak ada yang mau mendengarnya. Sayang seribu sayang. Dokter cantik yang cerdas itu harus tersia-siakan nasibnya. Betapa tak adilnya dunia ini. Hancur hatiku dibuatnya. Tidakkah kaulihat klinik gigi itu sekarang" Oh, merana, Ikal, sungguh merana!"
Mata Ketua Karmun berkaca-kaca. Nada bicaranya mirip aktor telenovela Meksiko. Tak biasanya, gaya duduknya sangat santun, persis wanita memakai rok mini tapi berusaha menjaga aurat sekuat tenaga. Aku ingin bersimpati pada klinik itu, tapi apa dayaku.
"Terbayangkankah olehmu, Boi"!" teatrikal.
"Sewindu aku berjuang agar kampung ini dapat dokter," dramatis.
"Sekarang, akan ku kemanakan mukaku ini" Ku kemannkan"!"
"Sabarlah Ketua Karmun, seatu hari nanti pasti akan ada pasien, tapi pasien itu bukan aku."
"Apa katamu"! Tak berperasaan! Zamm Hang Tuah dulu lelaki sepertimu itu dikebiri! Dijadikan orang kasim! Sungguh tak berperasaan!"
Dan, sekali lagi. Bukan Ketua Karmun namanya jika menyerah begitu saja. Ia berkeras memperjuangkan apa yang dianggapnya benar.
Tiga hari setelah aku dihardiknya tak berperasaan, ia datang lagi.
Aku sempat pangling. Ketua berbaju rompi wol kotak-kotak dan melilitkan scarf di leher. Sungguh ganteng. Ia jelas telah mandi dengan bersih dan memakai Tancho hijau. Bau karbit yang selalu tercium darinya-selain jadi kepala kampung. Ketua buka usaha las karbit-sirna. Ia tampak amat terpelajar. Dan astaga, dia, yang matanya setahuku baik-baik saja. berkacamata! Kacamata bening bulat yang sangat intelek model Habibie. Rupanya kali ini Ketua tampil selaku ilmuwan.
Sejak masuk tadi. Ketua Karmun telah berbeda. Ketukannya di pintu halus sekali. Harus dibukakan baru ia masuk. Biasanya diputarnya sendiri gagang pintu, lalu menghambur tergesa-gesa. Sebagaimana orang terpelajar umumnya, langkahnya pelan dan banyak berdeham.
Ketua duduk dengan seperti orang terpelajar pada umumnya acuh tak acuh. Aku lewat dibelakangnya untuk menyeduh kopi, sempat kulirik ia dari belakang, lewat kacamatanya tak tampak pendar apa pun. Berarti yang dipakai Knua adalah kacamata netral saja. Ketua telah dihinggapi sakit gila nomor tiga puluh delapan: membiarkan diri ditipu kacamata.
Ketua berlongkat dan menenteng tas kulit cokelat bulukan seperti sering dipakai juru pembukuan Maskapai Timah. Ia menjejer empat buah pulpen yang terkesan mahal di atas meja. Aku tahu, tak satu pun jalan tintanya sebab pulpen-pulpen itu adalah hadiah santiaji P4 dari gubernur-dan sangat dibanggakan Ketua-bertahun silam. Dari dalam tasnya ia mengeluarkan buku Himpunan Pengetahuan Umum. Pasti punya anak si Mahdar yang duduk di kelas dua SMP. Lalu tanpa banyak cincong, Ketua mengeluarkan buku tebal lainnya.
Setiap mengeluarkan buku tebal, ia mengangkat alisnya. Seperti ingin mengatakan padaku: ah yang satu ini juga telah habis kubaca. Ia tersenyum sendiri, mengelus sampul buku lain.
"Hmm, buku yang menarik, tapi ada beberapa teori yang kurasa harus diperiksa lagi."
Tak kurang dari tujuh buku tebal ditumpuk Ketua di atas meja. Kulirik judul-judul buku itu. Ada buku tentang tata cara memerah sapi, buku kemajuau keluarga berencana di Kabupaten Belitong tak tahu tahun kapan, buku risalah shalat lengkap, buku manual pemeliharaan vespa 70 yang juga tak tahu dipulung Ketua dari mana, dan buku wajibnya selain Al-Qur'an, yakni buku Tiga Serampai Tata Usaha dan Pengendalian Kantor karya Hartono Muntasis, B.Sc.
Waktu bicara, Ketua juga terdengar aneh. Kata-katanya asing dan persis kelakuan orang pintar, satu suku kata di belakang dilenguhkan. misalnya: sistmiiiiik. Lima huruf i berd
eret itu diayun dengan cara naik sedikit diawal, melengkung ke hawah di bagian tengah, dan naik lagi di ujung. Sungguh mengesankan.
"Nah, Ikal, tentu engkau kenal Archimedes, Galileo Galilei. Columbus, Marie Curie. Faraday; dan Gandhi, serta Rusulullah Muhammad, bukan""
Dari caranya menyebut nama-nama besar tadi, jelas Ketua baru tadi sore mengetahuinya lewat buku Himpunan Pengetahuan Umum anaknya itu.
"Mereka adalah para pelopor! Dan para pelopor hidup seperti martir,
mereka berkorban demi kemaslahatan umat."
Ia memandangku remeh, tapi penuh nuansa wawasan luas dari balik kacamata palsunya.
"Archimedes, Boi, ia dituduh gila, lalu dipenggal kepalanya oleh kopral balok satu Romawi. Galileo dipaksa membaca tujuh mazmur pertobatan lantaran menentang bapak tua Anstoteles. Muhammad dilempari batu. Colum-bus terbirit-birit dipanah orang Indian, Mary Currie megap-megap kena radiasi, Faraday senewen keracunan merkuri. Gandhi ke penjara seperti ke jamban saja!"
Semangat Ketua Karmun berapi-api.
"Namun, merekalah para pemburu [Merekalah pahlawan [Keajaiban akan muncul bagi orang yang berani mengambil risiko untuk mencoba hal-hal yang baru!"
Hebat betul kata-kata mutiara Ketua.
"Kamu bisa seperti mereka, Kal! Jika kau ke klinik gigi itu, kau akan jadi pelopor pengobatan modern di kampung ini, kau bisa jadi pahlawan!"
Pahlawan" Archimedes pahlawan fisika, Galileo pahlawan astronomi, Marie Curie pahlawan radiasi, Candhi pahlawan hak asasi, dan aku pahlawan gus t! Terima kasih ....
Sesungguhnya aku terkesan dengan ceramah Ketua kali ini. Ia pun menangkap sinyal positif dariku, wajahnya cerah.
"Bayangkan, Boi, apa yang terjadi jika tak ada Faraday, jika tak ada Muhammad Sang Penerang, kita akan hidup dalam kegelapan. Bagaimana" Akankah kau ke klinik itu""
Aku menggeleng sambil meringis menahan sakit gigi. Ketua berdiri tegak, lalu membanting kacamata kodiannya. Ia dongkol bukan buatan. Dari Habibie ia langsung berubah jadi kelasi geladak kapal.
"Archimedes, Gandhi, Faraday harus menyabung nyawa untuk jadi pahlawan! Sementara kau! Bisa jadi pahlawan hanya dengan membuka tekak busukmu itu! Kau dan Tancap, cocoklah dibuai sekandang, sekali tiga uang!"
Mozaik 67 Sama dengan Hukum Menambah Istri
BERITA Ketua Karmun sedang memaksaku agar ke klinik gigi menyebar. Telinga orang-orang Ho Pho berdiri.
"Ikal dating lagi, ada taruhan baru!" bisik-bisik sesame mereka.
Kampung tenang-tenang menghanyutkan dan keadaan itu membuat kelompok etnik yang unit itu bosan. Bagi Ho Pho, hidup tanpa taruhan mirip sepeda tanpa kliningan dan segeralah aku jadi favorit mereka sebab segala hal tentangku, menurut mereka, selalu bisa dipertaruhkan. Suatu ketika secara dramatis seorang Ho Pho tua pernah berkisah di depan majelis bahwa, konon dahulu kala tetua paling dihormati suku mereka pernah bermimpi bahwa suatu hari nanti, ke atas muka bumi akan dilahirkan seorang lelaki istimewa yang akan selalu membuat orang Ho Pho bahagia karena lelaki itu akan selalu membuat orang Ho Pho bertaruh Pak tua itu haqqul yakin lelaki dimaksud adalah aku.
Merebaklah taruhan-taruhan aneh di pasar ikan, dan sibuk tak terkiralah Syamsiar Bond sang administrator taruhan. Dua buku register besarnya sudah habis untuk taruhan masa yang lalu. Dengan bangga, ia memamerkan buku register yang baru dibelinya dengan lembar-lembar berkolom tujuh berjudul masing-masing: nama petaruh, bertaruh melawan siapa, bentuk taruhan, tanda tangan tanda mufakat bertanggal (tak boleh sekadar paraf), nama para saksi, dan tanda tangan saksi bertanggal, juga tak boleh hama paraf. Syamsiar menegakkan aturan yang ketat sebab tak jarang, terutama orang Melayu berusaha mangkir dari kewajibannya jika kalah. Bukan karena mereka lupa seperti sering terjadi pada Mahmuddin Pelupa, melainkan karena licik. Sementara Syamsiar cukup bahagia dengan tiga keadaan: taruhan makin meramaikan Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi miliknya, ongkos pendaftaran lima ratus perak per peserta, dan komisi dua persen dari pemenang taruhan uang.
Beragam taruhan digelar. Sempat terjadi pertengkaran kecil gara-gara Mahmuddin Pelupa memaksa bertar
uh melawan Mustajab Charle, Martin Smith.
"Taruhanmu waktu itu pun, belum Pak Cik bayar, sekarang mau bertaruh lagi" Tak sudi awak!"
Semua orang tak kan lupa mufakat mereka tempo hari bahwa jika aku berhasil membuat perahu, Mahmuddin berjanji akan membayari kopi Mustajad selama seminggu. Mahmuddin, dengan wajah anak ingusan tanpa dosa,
menyalak. "Jab aku ini memang miskin, tapi perlu kautahu ya, aku ini wali amanah. Mana pernah aku cedera janji. Periksa lagi, Pasti bukan aku yang bertaruh begitu rupa denganmu!"
Mustajab serta-merta meraih buku register lama Syamsiar.
"Lihat ini, terang betul tanda tangan Pak Cik." Mahmuddin melongokkan mukanya ke kolom tanda tangan. Dengan syahdu ia menggeleng-gelengkan kepalanya, lantas menatap tajam pada Syamsiar.
"Siar, kuingatkan padamu, pemalsuan tanda tangan sama hukumnya seperti menambah istri tanpa izin istri tua. Keduanya termasuk delik pidana! Tak kurang dan lima tahun kurungan ganjarannya!"
"Manalah masuk akal Pak Cik ni"Pak Cik sendiri yang teken di sini."
Syamsiar tak sangsi. "Iya, itu pasti tekanan Pak Cik, aku kenal betul."
Nur Gundala Putra Petir menyambut. Ia jengkel benar karena waktu bertaruh apakah aku bisa mengangkat papan lambung perahu lanun dari dasar Sungai Linggang dulu, Mahmuddin kalah tapi menolak menyerahkan sepedanya pada Nur. Mahmuddin berkeras bahwa ia tak pernah bertaruh melawan Nur.
Mahmuddin Pelupa kini tekepung, tapi ia kukuh tak mengaku. Ia malah menuduh Syamsiar Bond, Mustajab Charles Martin Smith, dan Nur Gundala Putra Petir telah bersekongkol melawan orang miskin.
Masalah terbesar pada Mahmuddin adalah ia sama sekali menolak mengakui dan menerima, bahwa dirinya pelupa. Baginya, orang lainlah yang selalu lupa. Kawan, ini bentuk sakit gila nomor sembilan.
Akibat kejadian itu Syamsiar menambahkan dua kolom pada bukti registernya yaitu kolom nama para saksi, dan kolom tanda tangan saksi bertanggal. Hal ini meyakinkan Munawir Berita Buruk untuk berani bertaruh melawan Mahmuddin. Sejak kematian Lao Mi, Munawir kehilangan selera mengabarkan orang wafat. Mahmuddin menantangnya benaruh: jika aku berani ke klinik gigi Dokter Diaz, ia siap menggantikan tugas Munawir selama sebulan. Jika aku tak berani, Munawir harus memberinya uang. Munawir yang memang ingin cuti dulu, menangkap tantangan itu. Namun, ia menuntut paling tidak empat saksi menandatangani buku register. Mahmuddin dipersilakan memilih saksinya sendiri sebab ia sudah tak percaya pada Syamsiar Bond Mustajab Charles Martin Smith, dan Nur Gundah Putra Petir. Orang-orang itu dianggapnya khianat. Saksi-saksi piilihannya adalah Rustam Simpan Pinjam Muas Petang 30, Satam Minyak, dan Mursyidin 363. Tak cukup sampai di situ ,
Munawir memanggil Karim Kodak untuk memotret Mahmuddin dan saksi-saksinya sambil mengangkat buku register, untuk bukti nyata kelak jika Mahmuddin bekelit. Ketika dipotret, Mahmuddin tersenyum lebar.
Mozaik 68 Tertawa Enam Tahun MALAM itu Ketua Karmun tak datang. Aneh. Seseorang yang tak diinginkan tapi selalu datang, seseorang yang selalu ditampik tapi terus hadir, lambat laun menjadi seseorang yang diharapkan, dirindukan boleh jadi. Beginilah tenaga dahsyat kebiasaan. Kebiasaan bak hujan, perlahan tapi menundukkan.
Mungkin Ketua Karmun telah menyerah hamper setahun membujuknya agar ke klinik gigi Dokter Diaz, dan aku tetap menolak. Mungkin ia muak denganku dan berusaha mencari pasien lain.
Tapi, malam ini aku kedatangan tamu istimewa : A Ngong.
Ia menyandarkan sepedanya di tangga rumah panggung kami dan menaiki tangga sambil melirik kiri-kanan. Lelaki Ho Pho itu tak ubahnya maling. Setelah yakin tak ada yang melihatnya, ia berjingkat-jingkat ke dalam rumah.
Aku terpana melihat A Ngong. Sungguh menyedihkan keadaannya. Jalannya terpincang-pincang, bahunya bengkak. Di lengan, leher, dan wajahnya centang perenang goresan gulma lais yang tajam. Itu akibat ia diuber paling tidak enam ekor buaya betina muara karena mendekati sarang mereka. Semua itu harus ia tanggung lantaran kalah bertaruh dengan A Tong soal apakah aku dapat membawa A Ling pulang dari Batuan. A Ngong memperlihatkan alis
nya yang belum lagi tumbuh rata karena kalah bertaruh soal papan lambung perahu di dasar Sungai Linggang dulu.
Lantas A Ngong mengisahkan kesusahannya memakai helm siang dan malam selama empat hari, walaupun sedang mandi atau tidur dengan istrinya. Ia terpaksa menelan tiga butir bola pingpong waktu, lagi-lagi kalah, bertaruh dengan A Tong soal aku mampu membuat perahu. Gara-gara itu ia menderita Sembelit seminggu. Bola-bola pingpong itu baru bisa dikeluarkan dari sistem pencernaannya setelah istrinya memaksanya menenggak setengah gelas minyak jelantah.
"Ngai menderita, Kal, menderita sekali!"
Aku ingin tertawa, tapi tak tega. Di sisi lain aku kagum pada keteguhan orang Ho Pho menjunjung tinggi janji. Inilah bagian paling mengesankan dari mereka.
"Ngai benci sama A Tong, Boi. Ngai muak kalah taruhan. Ampat kali Ngai kalah terus. Ngai terlalu meragukan kemampuanmu, maafkan Ngai, Boi."
Kali ini aku terkikik, tapi A Ngong tetap serius. Ia Mengatakan warga Ho Pho akan menertawakannya selamu enam tahun gara-gara ia kalah empat
taruhan. Aku ingin beri padanya, lalu kusampaikan apa yang bisa kubantu.
"Nah, Ikal, maksud kedatangan ngai adalah soal sakit itu, apakah kau akan ke klinik gigi atau tidak" Sebab Ngai akan bertaruh lagi soal ini melawan A Tong, taruhan yang paling hebat!"
Wajah A Ngong menyala menyebut taruhan yang hebat itu. Seakan taruhan itu jika dimenangkannya akan mengembalikan martabatnya dan sekaligus menghapus tawa enam tahun itu. Ini taruhan pamungkas dan pasti sangat sinting. Aku ingin tahu.
"Ngong, taruhan apa gerangan""
A Ngong mendekatiku. Benar saja, mereka sudah tidak waras.
"Siapa yang kalah, ia harus menyambut dengan tangan kosong buah duren yang jatuh dari pohonnya."
Edan! Bagaimana dia sampai terpikir pada ide taruhan segila itu" ANgong girang melihatku terkejut. Ia bangga.
"Itu ide ngai Kal!" ia terkekeh. Tubuhnya yang tambun menggigil-gigil.
"Sebrntar lagi musim duren, taruhan di kebun duren Taikong Hamim."
Aku menggeleng-gelengkan kepala karena aku tahu betapa tingginya pohon-pohon diren di kebun Taikong. A Ngong tambah girang.
"Jadi, apa maksudmu kesini""
Ia diam sejenak, lalu berbisik seperti orang mengajak berkhianat.
"Apakah kau akan ke klinik itu. Kal" Beri tahu sejujurnya."
Seketika aku paham. Ini adalah rencana tengik. Dalam ilmu politik kantor apa yang sedang kami rundingkan termasuk persekongkolan insider trading, yakni pihak tertentu meraup keuntungan berdagang dengan memanfaatkan informasi dan orang dalam.
Kutatap A Ngong tajam-tajam, ia menunduk dan tampak bersalah. Aku ingin mendampratnya sebab informasi yang mungkin kuberikan tak adil bagi A Tong. Namun, lihatlah A Ngong. Lihatlah tubuh gendutnya itu, lihatlah sandal jepitnya, lihatlah kaus singlet 777-nya, lihatlah hidupnya yang miskin dan matanya yang lucu. Bayangkan ia pontang-panting diuber buaya bunting, bayangkan ia minum minyak jelantah untuk mengeluarkan tiga biji bola pingpong. Ia telah babak belur dibuat A Tong.
Orang-orang mengatakan A Ngong, tukang tahu, selalu kalah taruhan Nasib sial tercetak seperti peta di keningnya. Aku ingin membantunya, tapi itu berarti menelikung A Tong. A Ngong tetap menunduk sambil menggaruk-garuk bekas sayatan gulma dibahunya. Ia pasrah. Ah, Ngong, kau membuatku berada dalam situasi rumit.
Akhirnya, aku melihat situasiku dari sudut yang berbeda, yaitu aku jujur
soal klinik itu, kujawab bahwa, meskipun Ketua Karmun menyeretku, aku tetap tak mau ke klinik itu, tak mungkin, apa pun yang terjadi. Seperti sikap Tancap bin Seliman dulu, meski Ketua mencabut nyawaku, tak sudi aku berurusan dengan rumah sakit. Aku sangat traumatis. Biarlah klinik itu tutup, biarlah Dokter Diaz pulang lagi ke Jakarta.
Kusampaikan pada A Ngong, itulah kejujuran yang hakiki dariku. Perkara ia akan menggunakan info itu untuk taruhan bukanlah urusanku. Dialah yang akan menanggung dosanya. Kawan, beginilah cara orang bodoh tipis iman berpikir.
"Terima kasih, Ikal," katanya sembari mau menyembahku. Ia senang tak kepalang.
"Kali ini A Tong akan menyambut buah duren!"
A Ngong memegang daun telingaku. Begitu cara orang Ho Pho m
enghormati orang dan mengikrar janji.
Ia meninggalkan rumahku sambil celingukan, mengendap-endap, tak ubahnya maling.
Baru saja beberapa menit A Ngong pergi, ada pula yang mengetuk pintu. "Ketua Karmun!"
Aku terkejut. Pikirku ia tak kan bertandang malam ini.
Dan aku terperanjat bukan buatan sebab Ketua datang bersama Mahar dan, seseorang yang membuatku seperti disiram air es: A Ling!
Sekonyong-konyong aku salah tingkah. Aku mohon diri sebentar untuk alasan yang kurang jelas, bergegas menuju kamar, bersisir.
Aku kembali dengan degup jantung yang tak dapat kuredakan. Satu hal yang selalu menimpaku soal A Ling adalah: setiap kali melihatnya, aku selalu merasa melihatnya untuk kali pertama.
Ini adalah kejutan yang sangat menyenangkan. Seumur-umur sejak kecil dulu tak pernah aku berjumpa A Ling tanpa perjanjian lebih dulu. Karena bapaknya, A Miauw, sangat galak dan karena harus mencuri-curi waktu antara aku izin pada orangtua untuk mengaji dan ia sembahyang di kelenteng. Tiba-tiba sekarang ia berada di rumah ibuku, juga untuk kali pertamanya.
Perempuan Ho Pho itu tersenyum kecil padaku. Napasku macet. Dulu waktu remaja ia seperti Michelle Yeoh, kini dewasa, ia dua kali lebih cantik. Tinggi semampai, mengenakan pakaian favoritnya, chong kiun biru muda yang rapat sampai mata kaki. Kancingnya di leher, bentuknya seperti paku.
Rambutnya yang telah dipotong tak terlalu panjang lagi tapi juga tak terlalu pendek. Diikat tinggi-tinggi dan dikunci dengan tiga konde bambu hitam berkilat-kilat. Ia duduk miring. Paras-paras kuku, yang ia tumpangkan di atas lutut, seindah mutiara raja brana, menyambar seluruh perhatianku. Melihatnya, tak seorang pun menyangka perempuan halus anggun ini memiliki tekad sekeras besi, nyali seliat tembaga. Tak kan ada yang menyangka ia pernah melintasi Selat Malaka sampai ke Batuan. Tak surut mengadu nyawa menyeberangi Selat Singapura di atas perahu kecil berdesakan. Tak getar berhadapan dengan bajak laut paling ganas.
A Ling tak berkata apa pun, hanya tersenyum-senyum. Apa gerangan maksud kedatangannya"
Ketua Karmun dan Mahar duduk berseberangan dengan A Ling .Berarti kedua pria Melayu itu berada di kiri-kananku. Ketua Karmun tersenyum penuh arti pada Mahar, dan mulai berpidato. Kali ini ia mengambil gaya politisi.
"Sebagaimana kita telah ketahui bersama, Saudara-Saudari, bahwasanya
Ia jeda untuk menarik napas. Pastilah karena ia akan menyampaikan sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
"Klinik gigi kita itu sudah tutup. Sebabnya tak lain karena Dokter Diaz tak kunjung mendapat pasien."
Ia jeda lagi. "Mengingat pentingnya klinik itu
Nada suara Ketua menekankan betapa pentingnya klinik, sambil melirik Mahar dan A Ling. Jantungku berdetak, aku mencium gelagat tak beres.
"Maka kita memerlukan kerelaan dari seorang pemuda desa yang berjiwa besar untuk menjadi pasien Dokter Diaz."
Mereka saling pandang. Detik itu aku paham siasat lihai Ketua Karmun dan Mahar. Mereka memanfaatkan A Ling mentah-mentah untuk menggiringku ke klinik gigi itu. Mereka tahu, aku tak kan berkutik di depan perempuan Ho Pho itu. Kurang ajar betul!
"Setujukah kau dengan pendapatku itu, Nona Njoo Xian Ling""
Suara Ketua berat dan bijak. A Ling menjawab lembut, tapi pasti.
"Tentu, Ketua Karmun."
Keringat dingin bercucuran di punggungku.
"Nah, kebetulan sekali, pemuda desa yang rela berkorban, bijak, cerdas, tangkas dan malangnya sedang menderita sakit gigi busuk yang sangat menjijikkan, tak lain adalah saudara kita, Ikal."
"Bertahun-tahun mengenal keluarga ini, aku sangat paham.
bahwasanya saudara kita. Ikal, dengan senang hati berkorban demi kemajuan kampungnya."
Aku berusaha menenangkan tubuhku yang menggigil. Bau karbol menusuk hidungku, membuatku mual. Warna putih berkelebat, sirene meraung, dan benda-benda tajam berkilauan dimasukkan seseorang ke dalam mulutku. Aku melihat ke bawah di antara selangkangku seperti tergenang darah. Itulah situasi yang dulu kualami ketika dikhitan secara tidak sukses oleh para perawat magang. Tak mungkin. Tak mungkin aku mau ke klinik. Apa pun taruhannya. Aku trauma berat. Meski mereka bertiga men
yeretku dengan rantai, merajamku sepanjang jalan seperti jalan Yesus di Jerusalem, aku tetap tak mau ke klinik. Namun kudengar suara itu, satu suara lembut selendang sutra, sejuk menyelinap.
"Mau kan kau ke klinik itu, Ikal""
Aku mencari-cari asal suara itu. O, rupanya dimulut seekor burung sekretaris yang telah menjelma menjadi seorang putrid. Ia tersenyum padaku, dan tiba-tiba kudengar sorang lain menjawab dengan mantap, "Oh, A Ling, tentu saja aku aku bersedia, tak ada masalah sama sekali!"
Aku melihat ke kiri-kanan, ke belakang berkeliling. Siapakah yang menjawab begitu" lak ada siapa-siapa dekatku, Astaga! Aku baru sadar, seseorang telah menyita mulutku dan menggunakannya untuk mengatakan sesuatu mewakiliku, tanpa persetujuanku! Selanjutnya aku terpana melihat Ketua Karmun melonjak-lonjak seperti ia baru saja mendapat izin dari istrinya untuk kawin lagi, sementara Mahar berteriak girang. Ketua mendekatiku yang masih terpaku.
"Sampai jumpa besok di klinik gigi, Boi! Bintang kejora!"
Aku terbelalak memandangi langit-langit kamar. Aku seperti orang yang tak sengaja menelan jarum. Tengkukku bergidik sepanjang malam membayangkan ngeri yang akan kualami esok di klinik gigi. Aku tak tahu bagaimana mengatasi traumaku.
Dalam masyarakat modern, seharusnya orang sepertiku diterapi dulu bertahun-tahun baru dihadapkan lagi secara langsung pada situasi yang dulu pernah membuatnya trauma. Setiap kucoba memejamkan mata, rasanya darah meluap-luap dalam kamar itu dan rasa ngilu merayap dari gigi sampai ke ubun-ubuaku.
Bagaimana tadi aku bisa menjawab dengan begitu tolol"
Aku menyumpahi diriku sendiri mengapa tak pernah bisa mengatakan tidak pada A Ling. Aku padanya, layaknya ayahku padaku. Tak pernah, tak pernah meski hanya sekali. Ayah mengatakan tidak padaku. Berbulan-bulan Ketua Karmun membujuk, mengimingi, bahkan mengancamku agar aku ke klinik aku tak pernah takluk. Berapa jam dan berkali-kali ia menceramahiku soal pentingnya, dan strategisnya bagi masyarakat kami, jika aku ke klinik tak pernah aku berkenan. Namun dengan A Ling, hanya dari satu pertemuan tak lebih dari sepuluh menit, semuanya berubah drastis. Sungguh tak tertanggungkan daya bius perempuan itu padaku.
Meski jengkel, aku kagum juga dengan taktik ini. Tentu Mahar yang telah memberi ide pada Ketua. Mahar pasti paham: seseorang yang menjadi sumber kekuatan terbesar adalah pula sumber kelemahan terbesar.
Aku menerawang membayangkan nasib sialku esok. Cinta, kadang kala memang amat menyusahkan. Namun, tiba-tiba aku terperanjat karena teringat akan sesuatu: A Ngong!
Aku melompat dari dipan, melompat lagi dari tangga rumah panggung, dan melompat lagi ke atas sadel sepeda. Aku mengayuh sepeda sekuat tenaga, lintang pukang menuju pasar ikan. Aku ngebut lupa diri.
Lewat sedikit tengah malam aku sampai dan langsung berbelok menuju rumah A Ngong di belakang pasar ikan. Namun, semuanya terlambat. Aku tiba pas saat A Ngong dan A Tong saling memegang daun telinga, berarti mereka telah mufakat. Setelah memegang daun telinga A Tong, kulihat dari jauh A Ngong terbahak-bahak. Mereka tak melihatku di remang bias lampu toko-toko kelontong Sungguh sial lelaki Ho Pho gendut yang sedang tertawa itu. Tak terbayangkan nanti ia harus menyambuti buah durian yang jatuh dari pohonnya. Untuk itu, pasti ia akan ditertawakan, tidak hanya enam tahun, tapi seumur hidupnya.
Mozaik 69 Ruang Pucat Jilid 2 NAH , Kawan, begitulah riwayatnya bagaimana aku bisa terjebak dalam ruang pucat ini, seperti tempo hari pernah kuceritakan di mula kisah ini.
Dan jika tak sensasional, tentu bukan pula Ketua karmun namanya.
Ia mengatakan bahwa peristiwa kedatanganku ke klinik adalah peristiwa terbesar yang pernah dialami kampung Melayu udik ini sejak kedatangan seorang penyanyi dangdut ibu kota dua puluh tahun silam. Gengsinya yang rontok berantakan gara-gara klinik gigi itu berhasil ia tegakkan kembali.
Tak tanggung-tanggung, enam puluh tempt duduk telah dipasang di keparangan klinik. Orang-orang penting dari suku Sawang-lima kepala suku yang masih hidup-orang-orang bersarung, melayu, Tionghua semua variasi suku d
an dukun semua urusan diundang. Perwakilan dari instansi pemerintah, sekolah-sekolah, dan madrasah juga akan hadir. Juru potret didatangkan khusus dari Tanjong Fandan. Tiga orang sekaligus, termasuk Karim Kodak, fotografer setempat. Koresponden sebuah koran lokal di Pangkal Pinang dipanggil dan diberi fasilitas istimewa oleh Ketua, yaitu menginap di masjid. Mahmud Corong, penyiar kondang radio dangdut AM Suara Pengejawantahan yang amat populer di kampung diminta Ketua untuk melakukan semacam siaran langsung dari klinik Dokter Diaz.
Dua puluh tempat duduk paling depan adalah untuk VVIP(Very Very Important Person), orang-orang amat penting, dan duduklah di sana, dengan anggun, pendulang timah Tancap bin Seliman, yang berkali-kali pula menolak ke klinik. Subuh tadi Ketua Karmun secara pribadi menjemputnya. Didudukkannya Tancap di sadel belakang sepeda Sim Kine-nya. lalu didudukkannya lagi di kursi VVIP yang terhormat. Tak ada, Kawan: di gedung-gedung DPR, di kantor-kantor cabinet, di kantor-kantor dinas, apalagi di kantor-kantor partai politik, pemimpin seperti ini. Carilah olehmu, tak kan ada.
Di samping Tancap, pahlawan acara ini - Mahar - tak henti-henti tersenyum simpul sejak tiba tadi. Mukanya bersih berseri, tanpa sebersitpun beban. Riang dan bercahaya. Tentulah karena dia senang tak kepalang membanyangkan penderitaanku nanti. A Tong, juga terus-terusan mengulum senyum kemenangan. Bajunya rapi kemeja lengan panjang yang dimasukkan ke dalam. Abu-abu sejuk warnanya. Dalam soal pakaian, orang Tionghoa selalu lebih rapi daripada orang Melayu. Mereka bisa membedakan pakaian ke kelenteng, ke gereja, ke acara ulang tahun, atau ke kantor, dengan pakaian untuk memetik kangkung atau untuk mengangon babi. Orang Melayu udik
sering bingung dalam hal ini. Tak jarang mereka ke masjid dengan pakaian mau ke bengkel las. Sementara kulihat nun di sana, di pojok pekarangan, A Ngong meremas-remas daun beluntas. Wajahnya seperti orang yang tak diajak Nabi Nuh naik ke bahteranya.
Di samping Mahar, duduklah dukun gigi A Put. Ia tak kurang gembiranya dari Dokter Diaz waktu mendengar aku bersedia ke klinik. Ia sebenarnya telah lama ingin menutup praktiknya. Di kiri-kanan A Put, masih di lokasi VVIP, adalah para pelanggan tetap A Put. Di bagian belakang: para tetua, mereka yang masih setengah hati menerima wanita asing dari Jakarta yang bukan muhrim memasukkan tangan ke mulut seorang lelaki. Akhirnya, berjejer orang-orang muda berpakaian pelajar. Mereka telah dipilih dengan teliti oleh Ketua Karmun dan sekolah dan madrasah. Mereka adalah anak-anak yang bercita-cita menjadi dokter gigi, perawat, dan bidan.
Hadir pula Eksyen dan puluhan anggota komplotannya rapi bukan untuk menyemangatiku atau untuk menyaksikan pengobatan gigi modern untuk kali pertamanya, seperti yang lain. Tujuan mereka jelas, ingin melihatku menderita dan gagal.
Tapi rupanya tempat duduk masih kurang sehingga banyak Warga yang berdiri di halaman klinik, menggelar tikar di depan klinik, dan berdesakan melongok-longokkan kepalanya. Daun-daun jendela klinik sampai dicopot engselnya dan pintu dibuka lebar-lebar agar khalayak dapat melihat sepak terjang Dokter Diaz waktu menggarapku nanti.
Tepuk tangan meriah menyambut Dokter Diaz. Ia memakai jubah dokter yang masih sangat baru. Stetoskop ia kalungkan. Sungguh terpelajar penampilannya. Wajah yang bulat ditudungi poni itu tersenyum simpul karena setelah menunggu setahun, akhirnya ia dapat seorang pasien.
Jubahnya putih bersih, disetrika sangat rapi, dan ....
Dokter Diaz tak langsung masuk ke klinik, tapi mengambil posisi yang elegan di samping Ketua Karmun yang akan berpidato sedikit.
"Saudara-Saudara. Dokter diaz ini adalah seorang pelajar yang bermutu tinggi di bidang gigi sehingga dia sangat ahli. Tak perlu diragukan kemampuannya, sama sekali tak perlu! Kalian dengar itu!"
Pengunjung yang tadinya agak ragu sekarang mulai pasti.
"Dan disebabkan daripada keahliannya itu, pemerintah telah mengeluarkan surat yang syah yang memberikan hak untuk memasukkan tangannya ke dalam mulut-mulut kalian! Mengerti""
Hadirin mengangguk-angguk tak
zim. "Nah, Saudara," Ketua memegang megafon sambil hilir mudik.
"Tokoh selanjutnya ....
"Juga tak kurang istimewa. Kalian selalu menganggapnya si keriting tukang bikin onar di kampung" Periksa kembali syak wasangka itu! Karena itu kekacauan pendapat yang dapat mengarah pada fitnah nan keji! Tidak adil, tidak adil sama sekali!"
Pengunjung paham bahwa yang dimaksud Ketua adalah aku.
"Aku sendiri sangat menyesal telah menganggapnya manusia tak berguna selama ini!"
Tepuk tangan membahana. Sementara aku makin gemetar di ruang tunggu. Apalagi seorang perawat masuk dan menyuruhku membuka pakaian untuk diganti dengan pakaian seperti baju monyet dengan tali-temali.
Dokter Gigi Diaz menerimaku di kliniknya bak keluarga mempelai wanita menerima rombongan mempelai pria dari seberang pulau, dan telah datang pada musim bada, bulan Desember. Tangan terbekap di dadanya serupa dirigen sekolah siap memberi aba-aba empat per empat lagu Indonesia Raya. Matanya penuh pancaran selamat datang di haribaan klinik giginya yang sederhana.
Belum apa-apa, aku sudah demam panggung melihat kelengkapan klinik. Peralatan yang ada hanya kaca mulut, pinset, lampu, sonde untuk memeriksa lubang gigi, dan ember. Botol-botol rendah dan gendut anriseptik berjejer di para-para dinding. Tak tahu sejak kapan ada di situ. Sejumlah benda mengerikan berbentuk ragum-semacam cakar elang, pisau stenlis kecil yang diletakkan dalam sebuah neirbeken tampak tajam berkilat-kilat. Aku berdebar.
Aku tahu sebagaimana pernah kulihat pada brosur klinik gigi modern di Jakarta, seharusnya ember itu tak ada di situ, dan lampu untuk menengok ke dalam mulut juga bukan lampu meja untuk belajar itu.
Pada brosur itu sang dokter gigi berdiri gagah dalam ruangan berisi vas-vas bunga yang semuanya sedang bersemi. Ia memegang alat pengisap sterilisator elektrik yang canggih. Di sampingnya duduk seorang pasien putri kecil yang tersenyum seperti piknik saja ke klinik gigi. Ayah-ibunya juga tersenyum. Bahkan, sapi-sapi yang ada di gambar almanak di dinding klinik juga tersenyum. Tak diragukan, cita-cita anak kecil itu pasti ingin jadi dokter.
Lampunya halogen berkekuatan seratus watt tapi tidak panas, mahal, dan memiliki sendi putar 360 derajat. Tak kelihatan ada benda-benda tajam dan botol-botol obat yang menakutkan. Bocah kecil itu dibaringkan di atas sebuah
dental chair yang sandarannya bisa dinaikturunkan dan terhubung melalui bersulur-sulur kabel menuju sebuah komputer, berbagai panel dan ektektor digital. Sementara aku di klinik ini, dibaringkan diatas sebuah branker karatan yang rodanya sudah macet dan dulu dipaki untuk mengangkut orang yang terdesak ingin beranak. Disampingku teronggok ember. Di dinding depanku ada poster ajakan keluarga berencana: usia ideal menikah, lelaki 25 tahun, perempuan 20 tahun. Wajah lelaki dalam poster itu seperti tak sabar ingin segera membuat anak, dan wajah calon istrinya seperti tertekan batinnya.
Dokter Diaz membuka koper beradanya dan mengeluarkan beberapa kitab tebal. Kulirik. Satu judul buku membuatku bergidik: Anaphylactk Shock. Aku pernah tahu, buku itu soal pingsan karena berbagai sebab. Ah, seharusnya Dokter Diaz sedikit bijaksana sehingga judulnya tak terlihat olehku. Pingsan karena berbagai sebab benar-benar membuatku putus asa!
Dokter Diaz mendekatiku, la tersenyum lagi dan bersabda, "Ok, Bujang, mari kita mulai."
Penonton serempak bertepuk tangan mendengar kata-kata Dokter Diaz. Mereka tak sabar melihat dokter perempuan dari Jakarta itu beraksi. Dokter Diaz memegang sonde dan kaca mulut. Ia memintaku membuka mulut.
Ia menyelidiki isi mulutku dengan kaca. Ketua Karmun berseru, "Nah, lihat itu, Saudara-Saudara, bukankah hebat""
Penonton kagum mengangguk-angguk melihat kaca kecil persegi empat yang sinarnya terbias di wajah kuli mereka yang kumal. Mereka tak pernah melihat A Put menggunakan alat-alat semacam itu.
Namun, tak demikian dengan Dokter Diaz. Setelah mengamati gigiku, seyum yang tadi dikulumnya tertelan. Ia menjadi agak pucat. Aku cemas.
"Impacted....."
Lenguh Dokter Diaz dengan nada yang sengaja ia keraskan sedikir dan bernada amat a
kademis. Hal ini telah diatur oleh Ketua Karmun agar Dokter Diaz, selain beraksi, juga memberi penjelasan sebanyak mungkin pada penonton. Agar penonton terkesan. Agar penonton menganggap Doker Diaz tahu betul apa yang sedang ia hadapi. Agar penonton yakin akan pengobatan gigi modern dan tak berobat pada dukun gigi A Put lagi. Untuk itulah mengapa mereka beramai-ramai diundang Ketua Karmun ke klinik.
"Impactedpada molar ketiga. Gerahamnya tak tumbuh sempurna."
Dokter Diaz mendekatkan lampu belajar itu dengan saksama dan mematut-matut posisi kaca. Suaranya yang tadi telah tertekan, sekarang terjepit. Aku gugup.
"Akar geraham bungsunya mungkin tersangkut di bawah akar gigi sebelahnya. Sudah sangat terlambat. Sekarang telah terjadi operculitis."


Maryamah Karpov Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketua Karmun, kembali berseru, "Kalian dengar itu" Hebat bukan buatan si Ikal ini!"
Penonton bertepuk tangan. Namun, Ketua mendekati Dokter Diaz dan berbisik. "Kira-kira maksudnya apa, Bu dokter"'"
"Gusi yang menutupi molar ketiga, geraham paling belakang itu, menghalangi infeksi, peradangannya sudah parah, geraham itu harus dicabut.
"Jadi, Dokter""
Dokter Diaz mengucapkan sesuatu yang seakan tak ingin ia ucapkan. Tercium beban dalam keseluruhan kalimatnya. "Tak ada pilihan lain, odontektomi...."
Odontektomi" Aku merinding takut. Tak pernah kudengar kata itu sebelumnya, tapi dari rangkaian suku katanya firasatku mengatakan sesuatu yang menyakitkan akan menimpaku.
"Artinya, Bu Dokter""
"Odontektomi, operasi gigi."
"Operasi gigi"! Bintang kejora!"
Ketua Karmun melonjak. "Operasi gigi, Saudara-Saudara. Pahlawan kita ini akan mengalami operasi gigi! Hebat betul!"
Penonton bersorak-sorai. Aku terperanjat. Keringatku bercucuran, dingin. Sungguh mengerikan: operasi gigi. Dokter Diaz pun tampak ciut. Sekarang aku paham mengapa sejak melihat gigiku dengan kaca persegi itu kalimatnya penuh beban. Aku adalah pasien pertamanya dan ia langsung hams melakukan operasi gigi. Barangkali ini bukan perkara lumrah bagi dokter gigi baru.
Mungkin pula selama ini ia hanya beraksi di bawah pengawasan ketat seniornya, sebagai Siswa magang, mengerjakan tugs remeh-remeh membersihkan karang atau memasang kawat gigi. Tapi kini di dunia nyata, berbekal peralatan ini, ia langsung menghadapi kasus pertama berisiko ting. Ia tampak sangsi nervous. Ia memang dokter yang pintar tapi ia belum berpengalaman. Ia pasti tak pernah melakukan odontoktomi sebelumnya.
Aku dan Dokter Diaz saling pandang. Secara telepatik kami menimbang situasi yang sama, yaitu: aku adalah seorang lelaki dewasa. Geraham molar ketiga itu juga telah tumbuh sebagai sebuah gigi dewasa karena paling tidak telah sepuluh bulan tertancap di tempat yang tak seharusnya itu. Dan geraham itu sehat walafiat, lebih sehat dari diriku, lebih sehat dari pikiranku sendiri,
yang infeksi hanya gusinya.
Akar geraham itu pasti telah menjalar ke sana kemari. Panjangnya mungkin 3 cm dan sebagian besar tertanam dalam. Barangkai telah terpatri pada tulang rahangku. Meskipun infeksi, tapi gusi sekelilingnya masih menggenggam molar ketiga itu dengan kuat sekuat cakar elang mencekal leher kelinci. Lalu Dokter Diaz sendiri, tak lebih dari gadis mungil 153 cm, beratnya tak lebih dari 45 kg dengan tangan sehalus tangan marmut dan berambut poni. Aku yakin, haqqul yakin, diperlukan satu sikap agresif, kasar, kalap dan tenaga yang besar untuk memaksa molar ketiga itu agar tercabut. Sifat-sifat semacam itu, tak secuil pun tampak pada Dokter Diaz.
Secara umum kesimpulan : tak perlu harus masuk fakultas kedokteran gigi untuk menakar situasi ini, bahwa dalam ruang gerak yang amat sempit di belakang mulut sana, kekuatan geraham sehat itu tertanam, peralatan manual ala kadarnya dan tenaga mungil Dokter Diaz, akan terjadi kesulitan tak terbayangkan mencabut geraham itu.
Dokter Diaz seerli ingin mengurungkan odontektomi, tapi bak bahtera, sauh telah diangkat layar telah terkembang, tak mungkin ia surut Lagi pula ia mengemban misi yang lebih penting daripada sekadar operasi gigi ini, yaitu meyakinkan masyarakat. Jika ia mundur, akan jadi antiklimaks usaha susah payahnya bersama Ketua Kar
mun selama setahun penuh membujuk orang ke klinik gigi. Maka sekarang situasinya jelas: penonton ingin meyakinkan mereka sendiri, Dokter Diaz ingin membuktikan dirinya. Ketua Karmun ingin menjaga reputasinya, dan aku akanjadi tumbal.
Dokter Diaz membasuh tangannya dengan antiseptik dan memasukkan sarung tangan plastik. Ia menjejer benda-benda kecil yang tajam di atas sehelai handuk. Mulanya ia berdiri dalam jarak yang cukup sopan dariku. Lain, ia melangkah maju. Inilah momen yang kutakutkan selama belasan tahun. Tubuhku menggigil melihat Dokter Diaz menjentik-jentikkan jarinya pada tabung kristal janim suntik berisi 3 cc pehacain untuk membiusku. Aku gemetar. Perlahan tapi pasti aku mulai ditelan bulat-bulat oleh traumaku.
Aku berusaha mengalihkan ketegangan dengan memandangi poster keluarga berencana. Gagal. Dokter Diaz kembali menyuruhku membuka mulut, meletakkan spatula di atas lidahku. Aku memejamkan mata, sesuatu menyengat gusiku, pahit, dadaku berdegup. Sejurus kemudian aku merasa tak berkepala. Aku meraba telingaku dan hanya menyentuh angin. Aku menoleh sekeliling,
tapi serasa melihat melalui kepala orang lain. Aku mencubit telingaku yang sakit jemariku. Sungguh ajaib perkembangan ilmu anastesi dewasa ini.
Lalu, dengan sebilah perabot aneh ia menyiangi lapisan daging yang membungkus permukaan gigi agar benda semacam cakar elang dapat menangkap gigiku. Kemudian tang ini, tanpa permisi memasuki mulutku. Mulanya Dokter Diaz menggoyang-goyang gigiku. Semua gerakan ia lakukan dengan elegan, penuh kelembutan, dan terpelajar.
Secara intens Dokter Diaz menggoyang gigiku dan mulai berusaha mencabutnya dengan cakar elang itu, tapi usahanya yang elegan itu tak mengalami kemajuan. Gigiku tak sedikit pun mengacuhkannya. Maka ia meningkatkan tenaganya. Ia mencoba berkali-kali menarik gigi itu. Hasilnya nihil. Ia terus mencoba dan terus gagal. Ia mulai kewalahan. Molar ketiga itu ternyata sangat kukuh dan diam membatu seperti menhir kena kutuk.
Dokter Diaz mengubah posisinya. Ia bergeser ke sebelah kepalaku. Posisi ini memungkinkannya untuk mengerahkan segenap kekuatannya. Kembali ia mengungkit-ungkit, sampai bercucran keringatnya. Sang gigi bergeming. Diam saja di situ.
Lalu, untuk kali kedua belasnya, Dokter Diaz kembali mencoba mencabut gigiku. Ia menggenggam erat-erat tang gigi. Urat-urat berwarna biru meruap dipunggung tangannya yang mulus. Titik-titik keringat sebesar biji jagung bertimbulan di dahinya, yang licin. Napasnya tersengal. Matanya yang tadi lembut kini menyala-nyala. Senyumnya yang menyimpul-nyimpul tak ada lagi. Pipinya merah seperti buah hamlam. Ia menarik napas panjang dan menahan napas ketika mencabut gigiku sekuat tenaganya. Terdengar bunyi ngik dari kerongkongannya. Namun sial, seperti kebanyakan sifat anak bungsu, geraham bungsuku ini ternyata manja dan keras kepala bukan main. Ia sama sekali menolak beranjak dari cangkang gusiku yang telah meradang.
Para penonton yang mencium situasi tak beres menghambur ke jendela klinik meninggalkan bangku-bangku panjang mereka. Kepala mereka berebutan melongok-longok ke dalam. Mahmud Corong yang melakukan siaran langsung berbisik-bisik penuh ketegangan melaporkan situasi genting yang terjadi di klinik pada seluruh pendengar radio dangdut AM Suara Pengejawantahan. Tancap bin Seliman berkali-kali menggumamkan asma-asma Allah. Wajahnya seakan mengatakan, "Untung saja, aku tak berurusan dengan semua ini! Rasakan olehmu, Ikal, apa kataku dulu!"
Dokter Diaz terus berusaha mengungkit-ungkit gigiku, dan terus sia-sia. Ia frustrasi. Matanya yang semula lembut, lain ragu, lalu menguatkan diri. sekarang berubah menjadi merah. Hadirin yang berebutan menonton mulai
berkomentar. Biasalah Melayu. Mereka jelas meragukan kemampuan Dokter Diaz. Situasi ini membuat Dokter Diaz berada dalam situasi menjengkelkan. Beberapa pennonton mencoba menyemangati Dokter dan orang-orang ini membuat Dokter Diaz makin jengkel.
Ketua Kurmun pucat pasi. Bukan karena cemas pada kondisiku, melainkan khawatir kalau-kalau Dokter Diaz tak bisa menyelesaikan masalah gigiku dan aku terpaksa harus dirujuk ke
rumah sakit besar di Tanjong Pandan. Itu tak boleh terjadi. Ini berarti misinya bersama Dokter Diaz gagal total. Itu akan menghancurkan reputasi mereka berdua.
Sementara itu. Dokter Diaz sadar betul ia sedang mempertaruhkan reputasinya. Setiap kali upayanya mencabut gigiku gagal, berarti satu tingkat wibawanya melorot. Maka ia menolak menyerah. Ia menarik napas lagi dan mencoba menarik gigiku dengan tenaganya yang mulai tandas. Kasihan aku melihatnya. Ia mendesah lirih kelelahan. Ia berdengik-dengik. Di sudut matanya kulihat titik-titik bening air mata putus asa. Selama hampir satu jam Dokter Diaz mengerahkan segenap tenaganya, masih sia-sia.
Semuanya belum apa-apa sebab ketika Dokter Diaz menyentak tang gigi itu. untuk kali kedua puluh enamnya. dan kembali gagal, aku merasa sepercik asin darah dalam mulutku. Dan drama yang sesungguhnya dimulai. Aku dapat merasakan asin. berarti pembiusanku khatam. Ternyata aku tak cukup sensitif untuk menahan daya bius 3 cc pehacain sampai lebih dari sejam.
Kejadian di Rumah Sakit Manggar waktu aku dikhitan dulu terulang kembali. Seperti pembalasan Tuhan yang hakiki, trauma itu pun kembali. Tubuhku mengigil hebat karena kekuatan. Darah seakan memancar dari selangkangku. Mati rasa dalam mulutku mulai lindap diusir rasa sakit yang tak tertahankan. Dokter Diaz tahu aku tak lagi merasakan daya bius. Ia menyuntikkan lagi 3 cc pehacain tapi aneh, tak berpengaruh sama sekali padaku. Ia tak kan sembarangan membiusku lagi, bisa fatal akibatnya. Maka tak ada pilihan lain baginya selain melanjutkan aksinya, menyelesaikan apa yang telah dimulainya.
Aku berteriak-teriak karena ngilu yang sangat. Dokter Diaz tak peduli. Ia untuk puluhan kali yang tak terhitung, kembali berusaha mencabut gigiku, dan lagi-lagi, gagal. Aku mengaduh, Dokter Diaz hilang akal. Ia frustrasi karena tak dapat menaklukkan gigiku. Ia jengkel karena orang-orang kampung mulai meragukannya. Ia marah karena beberapa orang menyemangatinya, dan ia naik pitam karena aku tak berhenti mengaduh. Ia mencoba lagi dan aku meronta sejadi-jadinya. Aku mau kabur! Tak ada satu pun perawat di situ, Dokter Diaz memerintahkan pada penonton untuk menenangkanku, dan
terjadilah kejahatan seperti pernah kuceritakan padamu tempo hari, Kawan. "Pegangi dia! Pegangi kuat-kuat!"
Lenganku direngkuh dua lelaki kasar. Aku terbelalak kesakitan, menggelinj ang-gelinj ang.
"Kamu!Ya, kamu, masuk!Tangkap kakinya!
Seorang pria sangar menghambur. Ia memeluk kakiku. Kukais-kaiskan tumit untuk menerjang. Seorang pria lain, tanpa diperintah, meloncat. Ia menindihkan tubuh gempalnya diatas lututku, liat berminyak-minyak. Aku tak berkutik. Ngilu memuncak diubun-ubun.
Dokter Diaz mencoba lagi, tetap tak berhasil. Aku kesakitan dan kelelahan. Aku sudah tak sanggup. Ingin sekali aku melompat bangkit, menyumpahi orang-orang ini. Sinar lampu yang bergoyang-goyang menjilati wajah putus asa setiap orang dalam ruangan pengap yang telah kacau-balau. Dokter Diaz memasukkan lagi spatula ke dalam mulutku untuk menekan lidahku. Rasa sakit yang amat sangat menimbulkan gerakan refleks yang tak diduganya sama sekali.
"Krrak!!" Aku menggigit spatula kayu itu. Patah tiga tanpa ampun. Emosi Dokter Diaz mendidih. "Diam! Diam kataku!!"
Ia tak bisa lagi menguasai diri. Ia mendekatiku seperti ingin menggagahiku. Ia menarik napas panjang dan mencengkeram kuat-kuat tang cakar elang, kali ini dengan kedua tangannya. Lalu dengan kedua tangan yang halus itu ia melakukan gerakan mencabut. Ia kerahkan seluruh tenaga, harga diri, dan wibawanya. Ia berdengik seperti orang mengangkat barbel 200 kilo. Alisnya bertemu. Kuncirnya berdiri. Para juru potret menghambur masuk, tak bisa dihalangi. Mereka menjepret sana sini tak henti-henti, mengabadikan peristiwa yang paling seru dalam klinik. Mahmud Corong tak lagi berbisik-bisik tapi berteriak-teriak melaporkan situasi pada para pendengar radio dangdut AM Suara Pengejawantahan. Para penonton berdesakan di jendela dan ingin masuk. Sementara gerakan Dokter Diaz yang semula lembut, elegan, dan intelek ketika menggoyang dan mencabut gigiku, kini berubah menjadi
gerakan kuli bangunan meneongkel tutup septic tank. Wajahnya yang ayu berubah menjadi wajah Suzanna Sundcl Bolong. Aku raerasa seperti sedang mengunyah segenggam pasir. Setup kali Dokter memaksa mencabut gigiku, rasanya sepotong kawat ditusukkan ke dalam mataku, menembus kepakku, dan keluar melalui telingaku.
Dokter Diaz bersimbah peluh. Matanya terhunjam ke dalam mataku.
Kesannya, "Jangan sangka aku akan menyerah,Boi"
Ia mencoba lagi, dengan kedua tangannya, lalu terdengar suara kreekh
Aku megap-megap dengan mata melotot serupa ikan terlempar dari akuarium. Aku tak dapat merasakan kakiku. Geraham itu pelan-pelan meninggalkan ragaku dan kesadaran pelan-pelan meninggalkan otakku.
Samar-samar, di antara gemuruh tepuk tangan yang membahana, kudengar seseorang berteriak. Suaranya panjang, bergelombang-gelombang.
"Bintang kejora...!"
Lalu, aku semaput. Gelap Ketika pingsan, aku tak sadar. Ahm bodoh sekali.
Maksudku ketika pingsan, aku tahu bahwa aku sedang pingsan. Bodoh
lagi. Ketika pingsan, pandangan mataku seperti menangkap sebuah danau: luas, diam dan dingin.
Di satu sisi, sebagian indraku berfungai tapi di sisi lain, sesuatu yang asing menguasaiku. Aku hilang dalam gelap. Aku mencari-cari cahaya. Akhirnya, cahaya itu datang. Mulanya seperti rintik-rintik air hujan di atas danau tadi, lalu flash flash flash berulang-ulang disertai tawa berderai-derai.
Aku kembali ke dunia fana. Yang pertama kulihat adalah sekelompok manusia bergaya di depan kamera yang menembakkan cahaya flash tadi. Mereka berpose penuh sukacita di depan brankar reyot tempatku terbaring. Tak seorang pun memedulikanku, malah tak ada yang peduli apakah aku, yang baru saja menjadi pahlawan gusi ini, tampak atau tidak oleh kamera.
Ketua Karmun menjepit sebilah gigi dengan jarinya dan menyodorkannya ke dekat kamera. Dipamerkannya gerahamku itu seperti iklan puyer. Lalu, mereka berfoto lagi beramai-ramai sambil memandangi geraham itu, dengan penuh takzim. Aku yang meregang nyawa, hanya mereka jadikan latar belakang.
Dokter Diaz mendekatiku. Ia membuka maskernya yang basah oleh keringat.
Ia tersenyum. Senyum itu, Kawan, khas senyu kaum tabib. Itulah senyum dokter dan juga dukun, setelah sukses membereskan sebuah kasus. Terlebih, dilihat dari aspek mana pun, mengingat kondisi yang amat terbatar,
odontektomi itu telah berhasil gilang-gemilang. Meski Dokter Diaz harus babak belur mengerahkan segenap tenaganya, tapi lihatlah ia sekarang. Lihatlah ia berdiri di situ berbinar-binar diwawancarai secara on Air oleh Mahmud Corong, seluruh tubuhnya, dari ujung rambut sampai ke ujung-ujung jari-jemari kakinya terbungkus kepompong kebanggaan. Kebanggaan atas profesi yang hebat: membebaskan umat manusia dari derita borok gigi.
Momen ini mengejawantahkan penghormatan abadiku pada profesi dokter gigi. Sebab, ke mana pun kita berkelana di atas muka bumi ini, kita tak kan pernah menemui profesi dengan tiga kombinasi kualifikasi sekaligus seperti yang dimiliki seorang dokter gigi, yaitu kecerdasan otak, kecantikan wajah, dan tenaga kuli.
Mozaik 70 Empat Puluh Enam Tahun AJAIB, kejadian di klinik gigi itu membuat seisi kampong jadi bersemangat. Semuanya serba menggairahkan.
Hati setiap orang menjadi seeerah langit biru.
Sehari setelah operasi gigi yang hebat itu. Doker Diaz dengan wajah berseri-seri, pagi-pagi sekali langsung menerima pasien keduanya. Maka pagi itu, pecah sudah mitos gaib peri tempayan khas Hokian dari tabib gigi A Put. Yang berarti pada Ketua Karmun telah berhasil membebaskau kampung kami dari zaman jahiliah perdukunan gigi. Ah, memang menyebalkan lelaki itu. Tembaga pendiriannya dan batu kepalanya, tapi ia adalah pemimpin berjiwa mulia tiada banding.
Adapun lelaki satu itu, yang tergopoh-gopoh datang ke klinik gigi Dokter Diaz dan mencatatkan dirinya dalam sejarah klinik sebagai pasien kedua, dandanannya seperti seorang biduan akan naik panggung. Ia disambut seorang perawat yang bohai dan berdiri di ambang pintu dengan senyum terbaiknya. Karena kesuksesan operasi gerahamku, perawat yang semula diperbantukan di Puskesmas ditarik kembali ke klinik gigi.
Peraw at memperalakan lelaki itu masuk dengan gaya pramugari menawan permen. Dan ia diminta menulis namanya pada urutan kedua setelah nama lelaki ikal yang malang kemarin. Ia menyingsingkan lengan bajunya yang ketat dan menulis dengan mantap namanya: Hazbullah Zaitiin bin Yakub Zamzam.
Kawan, ia tak lain tak bukan, adalah Bang Zaitun.
Pada kolom pekerjaan diukir dengan sepenuh jiwa, profesi agungnya, Pemimpin Orkes Melayu Bumbu Tiga.
Ya, sebagai bagian dari kegairahan kampung yang baru. Bang Zaitun meninggalkan profesinya sebagai sopir Bus Dendang Gembira Suka-Suka, lagi pula bus itu makin sering batuk dan jika ingin mogok, sesuka hatinya saja. Ia membentuk kembali formasi baru orkesnya, yang ia namai Orkes Melayu Bumbu Tiga, lantaran pemain gitarnya hanya bisa membawakan nada C, F, dan G.
Aku menemani Bang Zaitun ke klinik. Sangkaku pasti kunjungannya ke klinik berhubungan dengan dua bilah gigi palsu enam putih yang dibanggakannya mati-matian itu. Gigi-gigi palsu akan segera menjadi legenda kampong. Atau mungkin, karena waktu memasang gigi palsu itu ia mencabuti dua gigi taringnya yang sehat, sekarang mulai timbul masalah.
Tapi ternyata, perkaranya berbeda.
Bagi pemain orkes seperti Abang, Boi...," katanya bijak.
"Bayaran, nomor tiga. Penonton, nomor dua. Nada, nomor empat. Tapi penampilan, adalah nomor satu."
Bang Zaitun mengeluarkan sisir yang sangat besar dari saku belakangnya dan merapikan jambulnya. Aku terpesona. Sayang seribu sayang. Pada masa mutakhir ini, semakin jarang kulihat pria Melayu mengantongi sisir di saku belakang celana. Selain kisah lanun penebuk, bahasa Sawang yang indah, acara berebut duit koin saat selamatan bayi, kebiasaan pria mengantongi sisir di saku belakang, tampaknya akan segera punah pula dari daratan Melayu.
"Karena itulah, Boi...," bijak nian.
"Abang ke sini bermaksud memasang kawat gigi! Pernah Abang lihat orang Jakarta memakainya, elok bukan buatan!"
Tapi, bukankah usia Bang Zaitun sudah hampir lima puluh" Aku tak mau melukai hatinya. Bang Zaitun berdiri penuh gairah.
"Dapatkah kau bayangkan, Boi"! Kawat itu berkombinasi dengan dua gigi omas putihku! Pasti aduhai, Boi!"
Nah sekarang aku pahan. Bang Zaitun sama sekali tak mengerti bahwa kawat gigi bukanlah hiasan. Kawat gigi dipakai orang untuk membentuk formasi gigi dan ada batasan usia untuk keperluan ini. Seni, itulah satu kata untuk Bang Zaitun.
Doter Diaz dengan senang hati menerima Bang Zaitun dan member penjelasan soal kawat gigi. Dan, ia tak ingin mengecewakan Bang Zaitun. Maka ia memberikan servis pembersihan karang-karang gigi Bang Zaitun. Diperlukan waktu hamper satu jam.
Usai perawatan yang amat elegan itu, Bang Zaitun berlalu dengan tak berhenti tertawa hi... hi... hi.... Beliau menyampikan pada Dokter Diaz bahwa Bu Dokter akan selalu mendapat tempat duduk paling depan saban kali ada pertunjukan Orkes Melayu Bumbu Tiga.
Hari berikutnva. Tak kalah istimewa, datanglah Tancap bin Seliman.
Pada hari itu sendiri tak kurang dari empat pasien lain datang. Seminggu setelah aku ke klinik itu, A Put menutup praktik dukun giginya yang telah berumur hampir empat puluh enam tahun. Penutupan ditandai dengan upacara membakar uang-uang palsu dari kertas. Para pasien lamanya saling berpelukan. Jumiadi Setengah Tiang berlinang-linang matanya.
Sementara itu, aku berpikir keras bagaimana minta maaf pada A Ngong. Akhirnya, kutemukan caranya. Pertama, kusampaikan pesan pada istrinya bahwa nanti malam aku akan berkunjung ke rumahnya.
Waktu aku tiba, A Ngong telah menungguku. Ia duduk di bangku dan di belakang meja, di ruang tamu sekaligus ruang makan, dan sekaligus dapur keluarga Ho Pho miskin itu. Ia tak tersenyum sama sekali, tak mempersilahkan ku masuk. Wajahnya cemberut. Tubuhnya yang tambun makin tambun karena bengkak dan baret-baret disana sini akibat menyambut buah duren. Sialnya malam itu membayar janji dengan A Tong, angin ribut, sehingga banyak sekali buah duren yang harus disambuti A Ngong. Orang-ang Ho Pho yang jadi saksi taruhan itu konon tertawa sampai berguling-guling.
Dengan perasaan tak enak, aku masuk saja dan lansung duduk di depa
n A Ngong yang gendut bergeming seperti patung Ganesha.
"Ngong, maafkan aku."
Ia diam saja. Alisnya saling menukik, mukanya kian masam. Kujelaskan bahwa ada satu keadaan force majeure, alias sebab kahar, alias suatu keadaan yang di luar batas kemampuanku untuk mengatasinya, yaitu rayuan A Ling, sehingga aku terpaksa ke klinik gigi. Dan bahwa, hal itu terjadi setelah aku menyampaikan informasi padanya, malah aku berusaha memberi tahunya kemudian, tapi terlambat.
A Ngong masih muntab. Aku bangkit menuju dapur, menghidupkan api, dan menjerang air. A Ngong mengikuti gerak gerikku masih jengkel. Air mendidih, kukeluarkan bungkusan kecil dari tasku. Kuambil cangkir, kuseduh kopi. Kuhidangkan di depannya.
"Spesial untukmu, Ngong"
Ragu-ragu mulanya ia, tapi melirik-lirik bungkusan kopiku dan mendengus-dengus, Masih malu juga, tapi berusaha mengendus aroma kopi yang berasap dari cangkirnya. Ia tahu, kopiku adalah kopi asli dari gunung. Perlu waktu tak kurang dari seminggu aku mengosengnya, menggilingnya, mengosengnya lagi, lalu menggilingnya lagi, menambahi racikan cengkeh, kayu manis, sedikit ketumbar dan daun salam agar mendapatkan kopi nan isrimewa. A Ngong paham, aku berusaha keras untuk itu, tanda aku berusaha keras minta maaf.
Tak sanggup menanggung godaan kopi, ia menjulurkan tangannya ke telinga cangkir, mengangkatnya, dan menghirup kopi dengan syahdu. Lalu. ia tersenyum. Ia bangkit dan memegang daun telingaku. Perseteruan kami, berakhir dengan damai.
Berbeda dengn kisah Mahmuddin Pelupa. Jelas-jelas ia kalah taruhan karena aku bersedia ke klinik, tapi seperti biasa, mati-matian ia berkelit dari tuntutan. Namun, ia tak berkutik waktu Munawir Benta Buruk memperlihatkan
fotonya, yang nyengir sambil mengangkat buku register taruhan di antara empat saksi, jepretan Karim Kodak tempo hari.
"Aduh, maaf Kawan, kali ini kalian benar, akulah yang lupa."
Setahuku, baru kali ini Mahmuddin mengaku bahwa ia lupa.
Maka berdasarkan perjanjian dengan Munawir Berita Buruk, tugas mengumumkan orang meninggal dilungsurkan sementara pada Mahmuddin. Munawir mau cuti dulu untuk momperbaiki mood-nya yang mendung karena kepergian seteru sekaligus sahabat karib Leo Mi.
Sepasti miskinnya negeri ini, kematian tak terbendung. Belum lama mengemban amanah dari Munawir, Muktamar bin Mustofa Karmun wafat. Dalam usia relatif muda: empat puluh lima tahun.
Malang nian retak takdir Muktamar sang juru tebang. Jika ada pohon kemiri atau sempret yang rapuh dekat rumah, atau kelapa yang kian condong mengamcam dapur, Muktamar dipanggil warga. Pekerjaan itu berisiko tinggi dan memerlukan keahlian luar biasa. Jika salah tebang, pohon bisa menghantam rumah atau membahayakan jiwa. Jasa Muktamar sering dimanfaatkan Meskapai Listrik atau Meskapai Timah untuk membereskan dahan-dahan liar yang mengganggu kawat-kawat listrik mereka di pinggir jalan. Muktamar naik pohon menyandang parang dan melilitkan tali di pinggangnya. Lihai bukan main. Kecepatan panjatnya sepiawai beruk, keahlian gelantungnya sehebat lutung. Tapi, barangkali nasib Muktamar memang melingkar di pokok-pokok pohon. Pagi tadi, pulang buang air di hutan, ia wafat akibat sebatang pohon jambu boi tua tumbang dan menghantamnya. Ia wafat di tempat. Jambu boi itu bukan pohon yang sedang ditebangnya.
Yang berwenang mengurusi administrasi orang meninggal di masjid tak lain Taikong Hamim, salah seorang dari tiga petinggi trias politika kedaulatan masjid yang amat berkuasa, selain Modin Mahligai dan Mandor Djuasin. Taikonglah yang bertanggiuig jawab memverifikasi informasi sebelum diudarakan, dan Taikong mafhum betul bahwa Mahmuddin itu parah pelupanya.
"Din, kuulangi lagi, namanya Muktamar bin Mustafa Karmun. Usianya empat puluh lima tahun. Musabah wafatnya tak perlulah diumumkan, tak pernah masjid mengumumkan soal itu. Tanamkan itu kuat-kuat dalam kepalamu, Din. Jangan kau lupa. Gawat kita nanti.
Kalimat itu telah diulangi Taikong dengan cermat sebanyak lima kali.
"Mana mungkin aku lupa. Kong, ini perkara terang yang sederhana. Aku tak pernah lupa, kalianlah yang sering lupa."
Sebenarnya Taikong ingin mengulanginy
a lagi, dan sejatinya ia bermaksud mengulanginya paling tidak tujuh kali. Sebab, ada kepercayaan kuno orang Melayu, jika seorang anak dihilangi tiga kali dan masih saja melakukan hal yan dilarang maka si anak disebut nakal. Dan jika dihilangi tujuh kali masih saja nakal maka si anak disebut gila. Karena Mahmuddin adalah manusia waras, Taikong akan merasa puas meski saat mengumumkan nanti Mahmuddin keliru sebab ia telah mengingatkan Mahmuddin seperti mengingatkan orang gila. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya lebih dari itu. Namun, Mahmuddin menunjukkan wajah jengkel dan tak terima diingatkan terus seperti anak kecil.
'"Kong, aku bisa melakukannya jauh lebih baik daripada Munawir. Awak ni orang pintar, lebih pintar daripada Munawir."
Mahmuddin tamat SD Munawir Berita Buruk tak pernah sekolah.
Apa susahnya, mengumumkan saja. Pekerjaan ini terlalu gampang untuk orang berijasah."
"Yakinkah kau, Din" Kalau salah, nanti aku tak mau ditalahkan, berbusa-busa sudah mulutku mengajarimu."
Suara Mahmuddin tinggi. "Haqqul yakin Kong. Tangan mencincang bahu memikul, jika nanti salah, akulah yan kan menanggung salah, bukan Taikong!"
Melihat Mahmuddin jengkel, Taikong senang. Hanya orang itu ia bisa meyakinkan dirinya bahwa Mahmuddin ingat.
Taikong berlalu. Belum jauh, sebab kliningan sepedanya masih terdengar waktu Mahmuddin naik mimbar.
"Percobaan ... percobaan ... satu dua ... satu dua .... "Percobaan mik ... satu dua
Lalu, menggelegarlah suaranya Seantero kampung melalui pengeras-pengeras suara TOA ke empat penjuru angin di puncak menara masjid. "Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuuuhhh
"Innalillahi Wainnailaihi Rojiuuuuuuuunnnn Jika mendengar dua kalimat itu dari corong masjid, biasanya seisi kampung terpaku menyimak. Senyap. Lantaran dalam kampung yang kecil, orang saling bertalian darah atau paling tidak saling kenal. Maka berita wafat menjadi sangat penting. Apa pun yang sedang dikerjakan dilepaskan. Yang berkendara naik motor berhenti-mematikan mesin. Mobil umum pun berhenti dulu-mematikan mesin. Semua yang berbunyi keras dimatikan, misalnya mesin bubut, mesin parut, atau alat pemutar VCD di kaki lima. Orang-orang di rumah mengecilkan suara radio.
Para guru, pegawai kantor desa, pegawai kantor KUA keluar dari ruangan menuju halaman untuk mendengar Pengumuman duka. Pengunjung warung kopi melakukan gencatan tengkar politik mereka sebentar dan menunduk seperti orang mengheningkan cipta. Dan rupanya, Mahmuddin memang sangat cocok menggantikan Mimawir sebab suaranya jauh lebih nyaring dan lantang.
" S audara- saudaraaaaaa
Membahana bak sangkakala hari kiamat.
"Telah meninggal dunniaaaaaa....
"Ketuaaa Karmuuuuunnnnnn ....
"Dalam usia lima pnluh empat tahuuuunnn ....
"Karena ditimpa pohon jambu booooolll
Sontak, seisi kampung tersentak. Ketua Karmun, kepala kampung yang amat kami sayangi meninggal secara tragis ditimpa pohon jambu boi. Orang-orang Sawang histeris. Orang-orang bersarung menangis. Orang-orang Tionghoa pemilik mesin-mesin parut menutup mulutnya, terperanjat tak percaya. Ibu-ibu guru terduduk lemas di halaman-halaman sekolah. Mereka meratap-ratap memanggil nama Ketua Karmun. Sampai ada yang pingsan. Pasien yang sedang antre di bangku Puskesmas memukuli kepala mereka sendiri, ada yang meraung-raung. Para pegawai kantor desa tertegun tak dapat berkata-kata. Air mata mereka berlinang-linang. Taikong Hamim yang tengah bersepeda tanpa sadar menikung, lalu tertungging ke dalam parit. Ratusan orang di warung-warung kopi menghambur keluar demi mendengar berita yang menyengat itu. Mereka seakan tak percaya.
"Mana mungkin!" teriak Mastahaq Davidson
"Baru tadi pagi Ketua minum kopi denganku!"
Lalu, ratusan orang meraih sepedanya dan berbondong-bondong ke
masjid. Sampai di masjid, Mahmuddin dengan wajah amat berduka, tapi sangat tenang sedang mengunci pintu masjid. Orang banyak bergegas menyongsongnya.
"Din, apa betul Ketua Karmun meninggal"!"
Mahmuddin menunduk pilu. "Itulah yang terjadi, Kawan."
"Tapi tadi pagi Ketua masih segar bugar."
Mahmuddin menjawab santai, tanpa rasa bersalah.
"Kelahiran, nafkah, jodoh, dan kematian
adalah rahasia Ilahi. Kuasa mutlak Tuhan. Sehat walafiat sekarang sejam lagi bisa mati tertungging."
Orang-orang jengkel. "Mana mungkin, Din! Kau pasti salah!"
Apalagi pada saat bersamaan, tibalah Saderi Karbon dari kantor desa yang mengatakan bahwa bos Ketua Karmun tengah asyik membaca novel Kho Ping Ho seri Sitting Emas Naga Siluman. Orang-orang tambah muntab.
"Nah, Din! Dengar itu, kau keliru!"
Mahmuddin masih kalem saja.
"Kawan, aku hanya mengemban amanah daripada Badan Kemakmuran Masjid untuk mengumumkan kabar duka. Bukan aku yang mengurusi administrasi. Bukan aku yang mencabut nyawa orang. Taikong menyuruhku mengumumkan begitu, ya kuumumkan persis kehendaknya. Kalau kalian ingin mnnyalahkan, salahkan saja malaikat maut dan Taikong Hamim sana."
Puisi Dan tiba-tiba hari-hariku berubah menjadi puisi Semilir dipagi hari Meriang jika siang
Pecah, serupa ombak-ombak pasang kalau malam
Mozaik 71 PUISI YANG paling bahagia dari yang terbahagia tentu saja aku.
Saban sore aku berkunjung ke kawasan pasar ikan, ke rumah Chung Fa, untuk mengunjungi A Ling.
Setiap melihat wajahnya, waktu seakan surut, tertarik ke belakang. Aku kembali menjadi remaja belasan tahun. Hidup dan cinta terdefinisikan ulang pada pengertiannya yang paling mula-mula: sederhana, indah tak terperi, gugup.
Cinta rupanya dapat menisbat waklu, hingga tak berarti.
Jika aku mengunjunginya sore-sore, hanya azan magrib yang dapat menarikku dari bangku panjang, di bawah pohon kersen, di depan beranda rumah Chung Fa. Berlama-lama aku berbincang dengan A Ling, dan tiba-tiba, bahkan soal ember bocor; menjadi sangat penting. Kukayuh sepedaku meninggalkannya pulang, tapi selalu kuulangi momen ajaib itu, yakni, aku menoleh ke belakang dan ia masih berdiri di situ, tersenyum padaku. Setelah itu, waktu kembali menunjukku sifatnya yang anibigu. Ketika aku dekat-dekat A ling, ia singkat dan bersahabat. Ketika aku jauh dari perempuan itu, dalam gelap yang larat hingga dalu, sang waktu menyiksaku dengan rindu. Ia memuai menjadi panjang, berujung satu titik cahaya yang tak kuasa kugapai-gapai sepanjang malam. Cahaya itu: senyum A ling tadi sore.
Perasaan senang menusuk-nusukku dari berbagai penjuru. Aku dapat merasa sangat senang hanya lantaran melihat peneng sebuah sepeda, tak tahu sepeda siapa, yang tahunnva sama dengan tahun peneng sepeda A Ling. Pelajaran moral nomor sembilan belas dari dua kejadian di atas: cinta, bisa saja berbanding terbalik dengan waktu, tapi pasti berbanding lurus dengan gila.
Yang paling mengesankan adalah mencatut uang belanja ibu, lalu membeli kupon atensi @Rp500,00 di radio dangdut AM Suara Pengejawantahan. Saking banyak yang minta diputarkan lagu, radio itu memasang harga Rp500,00 per lagu. Kuponnya pun harus dipesan paling tidak tiga hari sebelumnya. Aku selalu mengirim lagu lama nan aduhai Bunga Seroja untuk seseorang yang telah punya nama udara Putri Tiongkok.
"Tembang inih kata Mahmud Corong dengan gaya khasnya.
"Dipersembahkan dengan segenap jiwah pada Putri Tiongkok nun di pasar ikan. Terlampir salam manis deg-degan dari pendengar setia kamih sepanjang masah ... Pendekhar Ikal, bukan begituh, Pendekhar Ikal""
Oh, syahdu sekali. Hatiku mengembang. Bunga Seroja mengalir pelan.
Aku serta-merta menyita kursi malas Ayah, duduk di situ bergoyang-goyang seirama lagu. Kubayangkan A Ling, mendengarkan kiriman laguku untuknya. Apakah ia tersenyum" Apakah ia, yang sedang menyiangi genjer mungkin, berdiri sebentar untuk mendekati radio" Apakah mengatakan pada dirinya sendiri betapa ia merindukanku" Semua pikiran itu adalah cara yang amat memesona untuk melewatkan hari, dan segera kupahami racun terindah dari cinta adalah imajinasi, tak lain imajinasi.
Hari berganti-ganti. Ramadhan pun tiba. Orang-orang tua yang mengerutkan keningnya melihat tingkah polah anak-anak muda Melayu yang pulang dari rantau untuk merayakan Lebaran segera menegakkan disiplin yang keras .u"cii anak-anak itu kembali ke jalan yang benar.
Adalah ide ibuku agar tarawih sebelas rakaat dinaikkan menjadi dua puluh tiga rakaat. Mendekati rakaat kedua puluh, pemuda-pemuda yang imann
ya makin tipis digores kota besar, termasuk aku tentu saja, mulai berkeluh kesah. Kepala pening sebab kebanyakan rukuk dan sujud, Makin menderita lantaran Taikong Hamim tak pernah membaca ayat-ayat pendek, Yang paling membuatku gelisah, setiap pukul Sembilan malam aku berjanji berjumpa dengan A Lin di pekarangan kelenteng. Masalahnya, Ibu sendiri yang memerintahkanku agar berdiri di saf lelaki paling belakang sehingga ia dapat mengawasiku dengan ketat. Berhari-hari aku tak berkurik, terkunci di masjid, tarawih dua puluh tiga rakaat.
Kuminta pendapat Mahar dan ia memberikan ide yang sangat brilian. Kami membelikan Harun sahabat lama Laskar Pelangi sarung dan pakaian yang sama persis dengan sarung dan baju takwaku. Harun senang tak kepalang. Menjelang tiga rakaat witir terakhir, Harun menggantikan posisiku. Mata ibu yang tak awas karena usia tak menduga siasat ini. Aku kabur lewat jendela, menunda witirku dan melesat lintang pukang naik sepeda menuju kelenteng. Hanya untuk menemui A Ling beberapa menit saja. Love will find away, kata para lirikus, aku setuju tanpa syarat.
Sabtu sore, bak sejoli camar, aku dan A Ling bersampan dari bawah jembatan Linggang sampai ke muara. Malamnya kami mengunjungi pasar malam: tong setan dan komidi putar dari Indramayu di Padang Bulan. Kami membeli belasan karcis agar tak turun dari beranda ajaib itu. Minggu siang kami bersepeda Aku memboncengkannya menerabas sabana dan gulma-gulma, hanya kami berdua dalam lautan irama alam. Melalui tanjakan Bukit Selumar ia
bertanya "Haruskah aku turun, Ikal""
Akupun menjawab, "Tidak perlu, A Ling, tidak perlu sama sekali" Nah Kawan tanjakan Bukit Selumar ini bukan sembarang. Jalanan ini bak naik gunung saja. Sebenarnya aku lelah sekali, sampai pening kepalaku Tapi, stang sepeda kurengkuh kuat-kuat, tubuh kurundukkan dan kutumpukkan ke kanan jika aku mengayuh pedal kanan dan sebaliknya ke kiri jika mengayuh pedal kiri. Bergoyang-goyang, seperti pendayung kayak. A Ling membunceng di termpat duduk belakang sepeda dan berkali-kali menanyakan apakah aku masih kuat. Aku pun tak tahu, bagaimana aku bisa sekuat itu. Sampai di Pasar Manggar, keringatku bercucuran. Ia memandangku sambil tersenyum dan mengucapkan sesuatu yang membuat dunia ini rasanya berputar dan matahari berpijar-pijar.
"Curi aku dari pamanku," katanya.
Mozaik 72 Komedi Putar LAMA bergaul dengan orang-orang Ho Pho, aku sodikit banyak paham metafor mereka. Jika seorang perempuan Ho Pho meminta seorang lelaki mencuri dirinya dari keluarganya, itu artinya ia bersedia dipinang.
Langsung kusampaikan pada Chung Fa. Ia senang, Katanya, ia tak kan menghalangiku. Sepanjang malam tak dapat kupicingkan mata untuk tidur Karena untuk kali pertamanya dalam hidupku, aku disergap oleh satu kata sakti mendraguna yang tak terbilang banyaknya mengubah hidup orang di muka bumi. Dadaku berubah menjadi kaleng, dan kata itu menjelma menjadi tawon yang terjebak berdengung-dengung dalam kaleng itu. Kata nan sakti itu adalah: menikah.
Terlalu cepatkah ini"
Tidak bukankah aku telah mencintai perempuan Ho Pho itu seumur hidupku" Terlalu besarkah rencana ini sehingga aku tak mampu menanganinya" Tapi aku telah mengalami demikian banyak hal besar dalam hidupku, tak pernah aku sampai tak bisa menggambarkan perasaanku seperti sekarang. Ketika ia hilang tak tahu rimbanya, aku juga telah mencarinya seakan seumur hidupku. Kata menikah benar-benar membuatku gugup. Karena terlalu besar cinta, demikian besar, sehingga sulit kupercaya kata ajaib itu akhirnya menghampiriku.
Aku dilanda perasaan senang yang tak terjelaskan. Khayalan-khayalan fantastik tentang menikah dan rumah tangga menyerbuku. Aku telah jadi orang yang berbeda. Sungguh dahsyat akibat dari ide menikah ini. Di dalam kepalaku sekarang ada gambar-gambar misalnya foto keluarga, beranda rumah, perempuan hamil, suara anak kecil, cangkir teh, orang sedang menyiram bunga, aneh, lucu, tapi indah.
Aku menatap mata A Ling dalam-dalam. Ia melihatku dengan cara bahwa ia tahu aku tak mungkin kehilangan dirinya, dan ia tahu, bahwa dalam matanya itu, aku telah menemukan diriku sendi
ri, seorang lain yang pula telah kucari-cari sepanjang hidupku. Sekarang aku sampai pada satu titik pemahaman bahwa dari seluruh lika-liku hidupku, untuk perempuan inilah aku telah dilahirkan. Jarak antara kedua matanya adalah bentangan titik zenit dan nadir ekpedisi hidupku. Di dalam kedua mata itu, petualanganku menempuh benua demi benua, menyeberangi samudra, arungi paeking, dan melawan angin, telah mencapai Tujuannya. Aku jatuh cinta, sungguh jatuh cinta. Kini
tak, hal lain yang kuinginkan selain mencari nafkah dekat-dekat rumah saja, lalu segera pulang untuk perempuan ini, seseorang yang aku ingin memakai namaku di belakang namanya, seseorang yang ingin kulihat kali terakhir jika aku berangkat tidur dan kulihat kali pertama jika aku bangun.
Seperti Seperti puisi yang kautuliskan Seperti nyanyi yang kaulantunkan Seperti senyum yang kausunggingkan Seperti pandang yang kerlingkan Seperti cinta yang kauberikan Aku tak pernah, tak pernah merasa cukup
BERHARI-hari baru dapat kuendapkan letupun perasaan yang melambungkan itu.
Aku kemudian menjumpai kerabat-kerabat terdekat Semuanya sepakat dan mengatakan bahwa aku akan sebahagia sepupu jauhku Arai sekarang.
"Sudah tiba waktumu, Bujang, menetaplah, mencari nafkah, berkeluarga, mulia sekali," ujar bibiku yang terharu sampai berurai-urai air matanya.
Seminggu setelah A Ling mengatakan agar aku mencurinya dari pamannya, malam itu, kami berjanji berjumpa di pasar malam untuk naik komidi putar. Malam itu pula aku akan menyampaikan rencanaku pada ayahku. Aku berjanji untuk menyampaikan kabar gembira pada A Ling nanti jika kami bertemu di pasar malam.
Usai magrib yang senyap, Ayah duduk di kursi malasnya. Sepi. Aku menghampirinya. Ia bangkit dari kursinya. Hanya kami berdua di ruangan yang diterangi cahaya lampu minyak. Dengan hati-hati kusampaikan pada Ayah bahwa aku sudah berbicara dengan keluarga perempuan Ho Pho itu. Dengan amat cermat pula kumohon agar Ayah sudi mengizinkanku meminangnya. Kami berdiri mematung dalam jarak beberapa depa. Tiba-tiha senyap menyergap ruangan dan tubuhku dingin melihat Ayah memandangku
penuh kesedihan. Ayah bergetar-getar. Ia seperti tak mampu menanggungkan perasaanma. Air matanya mengalir pelan. Napasku tercekat dan aku seolah akan runtuh karena dari pantulan cahaya lampu minyak aku melihat wajah ayahku. Matanya kosong, wajahnya pias, aku tahu, aku tahu makna wajah Ayah, bahwa ia mengatakan tidak.
Aku terkesiap Ayah yang tak pernah mengatakan tidak untuk apa pun yang kuminta. Ayah, yang mau memetikkan buah delima di bulan untukku, telah mengatakan tidak, untuk sesuatu yang paling kuinginkan melebihi apa pun. Ayah mengepalkan tangannya erat-erat untuk menguatkan dirinya. Air matanya mengalir deras sampai berjatuhan ke lantai. Tak pernah seumur hidupku melihatnya menangis. Aku tak mampu berkata-kata. Ruh seperti tercabut dari jasadku. Aku terkulai.
AKU membawa apa pun yang dapat kubawa dalam sebuah karung kecampang. Lapangan Padang Bulan telah kosong ketika aku tiba. Pasar malam telah redup, komidi tak lagi berputar, lampu-lampunya telah dimatikan. Yang terdengar hanya suit angin.
Di tengah hamparan ilalang, A Ling berdiri sendirian menungguku. Kami hanya diam, tapi A Ling tahu apa yang telah terjadi. Ia terpaku lalu luruh. Ia bersimpuh dan memeluk lututnya. Matanya semerah saga. Ia sesenggukan sambil meremas ilalang tajam. Seakan tak ia rasakan darah mencucur di telapaknya. Ia menarik putus kalungnya, menggulung lengan bajunya dan memperlihatkan rajah kupu-kupu hitam di bawah sinar bulan. Kukatakan padanya bahwa aku tak kan menyerah pada apa pun untuknya dan akan ada lagi perahu berangkat ke Batuan. Kukatakan padanya, aku akan mencurinya dari pamannya dan melarikannya. Aku akan membawanya naik perahu itu dan kami akan melintasi Selat Singapura.
Perlahan awan kelabu di langit turun menjadi titik gerimis. Butirnya yang lembut serupa tabir putih menyelimuti tubuh kami.
TAMAT Convert Jar: http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Geger Di Kayangan 2 Harry Potter And The Order Of The Phoenix Karya J.k. Rowling Anak Rajawali 14
^