Pencarian

Arok Dedes 2

Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 2


Dari pengelihatan sekilas ia segera tertarik pada Temu. Ia seorang yang lincah, cerdas, matanya jernih memancar, hanya tak bisa tenang. Temannya, Tanca, sebaliknya, seorang yang tenang, juga cerdas, hanya tidak lincah, lebih tepat dapat dikatakan lamban.
Dalam tiga bulan dua-duanya telah bisa baca tulis dan mulai mempelajari paramasastra Jawa.
Kecerdasan mereka menyebabkan Tantripala ingin tahu tentang orangtua mereka. Bango Samparan dipanggil. Tanca adalah anak petani biasa, yang turun-temurun tinggal di desa Karang-ksetra. Hanya Temu yang tidak jelas siapa orangtuanya.[Dalam beberapa cerita disebutkan orangtuanya bernama Ken En-dog. Endog, berarti telor, artinya orangtuanya tidak jelas.]
Setahun kemudian Temu meninggalkan Tanca dalam pelajaran, karena Tantripala menganggapnya telah cukup kuat untuk mempelajari Sansakerta. Ternyata anak itu mempunyai semangat tinggi dalam belajar. Ingatan dan kecerdasannya melebihi daripada yang diduganya. Sekali lagi ia panggil Bango Samparan, bagaimana cerita sesungguhnya tentang asal anak itu.
Bango Samparan mengulangi ceritanya yang dulu.
"Bagaimana anak ini sampai menjadi anak-pungutmu""
Sampai pada bagian itu Arok tersenyum. Ia singkirkan ronta! itu dan melengkapinya dengan ingatannya sendiri ....
Dengan serombongan anak-anak desa Randualas mereka melintangi jalanan dengan batang-batang pisang. Sebuah kereta Tumapel dalam pengawalan prajurit berkuda terhenti di depan batang-batang lintangan itu. Rombongan itu ragu-ragu untuk menyerang, walau mereka tahu, kereta tertutup dengan pengawalan demikian selalu membawa upeti emas dan perak ke Kediri.
Keragu-raguan mengakibatkan penyerangan itu gagal. Anak-anak itu terpaksa buyar melarikan diri, melalui jalan-jalan yang tak dapat ditempuh oleh kuda.
Juga Temu melarikan diri, ke jurusan barat. Ia mempunyai susunan otot kuat, dan paru-paru lebih kuat lagi.
Ia masih dapat membayangkan dengan jelas saat itu. Ia lari memasuki desa Karangksetra. Napasnya sudah hampir putus waktu ia tiba di sebuah ladang. Lima orang bapak-beranak dilihatnya sedang mencangkul. Di belakangnya suara prajurit-prajurit itu ramai bersorak menyuruh penduduk membantu menangkapnya. Memasuki desa ini ia pasti tertangkap bila mereka dibantu beramai-ramai. Ia meliha
t sebatang pacul yang berdiri tak dipergunakan. Cepat ia ambil dan mulai ikut mencangkul. Suara sorak para prajurit itu semakin mendekat. Bapak dan empat orang anaknya memperhatikannya, mengerti apa yang sedang terjadi, dan meneruskan pekerjaan mereka seakan tiada terjadi sesuatu pun. "Ya, kerja saja tenang-tenang," kata bapak itu. ia mencangkul dengan irama ayunan seperti yang lain-lain. Para prajurit pengejar itu memasuki ladang dan memeriksa mereka berenam, bertanya pada bapak itu: "Siapa saja semua ini""
"Anakku semua," jawabnya, kemudian menuding ke jurusan rumah, "dan itu rumahku."
Para prajurit pengejar itu meneruskan pemburuannya dan tak kembali lagi.
Tak lama kemudian datang seorang anak memikul air.
"Kalau dia tidak aku suruh pergi mengambil air," kata bapak itu,"tak mungkin kau ikut mencangkul. Semestinya di sini juga kau tadi tertangkap."
"Terimakasih, Bapak."
Sejak itu ia diambil anak pungut oleh Ki Bango Samparan Ia mulai membaca lagi.
Keterangan ayah pungutnya terasa agak berbeda daripada yang dialaminya sendiri. Dalam catatan Tantripala itu tidak didapatkan keterangan setelah anak yang disuruh mengambil air itu mengajak berkenalan. Ia ingat betul kata-kata Ki Bango Sampar-an waktu itu:
"Prajurit-prajurit itu! Kerjanya hanya memburu-buru kita, mengancam kita yang terlambat menyerahkan upeti. Mengapa kau dikejar mereka""
Ia menceritakan duduk perkaranya.
"Betul, emas dan perak dalam kereta itu kita semua yang punya. Tidak ada salahnya kalau kita mengambilnya kembali. Hanya tidak patut kalau dimakan sendiri. Perbuatan itu akan menjadi sama dengan perbuatan mereka."
Ia angkat matanya dan menatap wajah Ki Bango Samparan. ia senang mendengar seorang tua yang membenarkan tindakannya. Selama ini prajurit-prajurit Tumapel mengejarnya, orang-orang lain mengecam, anak-anak lain menjauhi, menganggap diri dan teman-temannya sebagai: brandalan. Orang tua yang seorang ini membenarkan! Tentu punya alasan.
Hampir-hampir ia bertanya kalau bukan Ki Bango Samparan mendahului dengan seruannya:
"Jagad Pramudita! Mata apakah yang sedang memandang padaku sekarang ini"" Ki Bango Samparan mendekatinya dan memperhatikan matanya. Kemudian: "Ini bukan mata sembarang mata!"
Disuruhnya semua anaknya meneruskan pekerjaan dan ia dibawanya pulang.
"Tentunya kau lapar setelah lari-lari sejauh itu."
Istri Ki Bango Samparan. yang kemudian jadi ibu pungutnya menjamunya. Ia makan dengan lahap, dan dua orang itu memperhatikan dengan gembira.
Setelah itu terjadi tanyajawab:
"Siapa namamu""
"Orang memanggil sahaya si Temu.'"
"Mengapa orang memanggilmu si Temu" Bagaimana orang-tuamu memanggil""
"Tidak pernah." "Tidak pernah""
"Tak ada yang tahu siapa orangtua sahaya. Sahaya sendiri pun tidak tahu."
"Jagad Pramudita! Anak secakap ini, dengan mata bersinar seperti ini. Jagad Pramudita! Para dewa telah mengirimkan anak ini kepada kita, Nyi," katanya pada istrinya. "Siapa tahu dia putra tunggal Hyang Brahma sendiri""
Ia masih ingat Ki Bango Samparan berdiri di hadapannya dan mengaguminya.
Pada waktu itu muncul seorang gadis kecil. Dan istri Bango Samparan mengatakan padanya:
"Nah, ini kau mendapat abang baru. Temu namanya. Nah, Temu, ini saudaramu yang bungsu, si Umang."
Memang semua itu tidak ditulis oleh Tantripala, ia tidak mengetahui. Mungkin juga dianggapnya tidak penting. Dalam rontal itu disebutkan bekas gurunya telah bertahun-tahun mencari keterangan siapa sesungguhnya dirinya, dan tidak pernah berhasil. Ia sendiri pernah ditanyai langsung, dan ia tidak memberikan sesuatu padanya. Biarlah orang hanya tahu sampai pada anak-pungut Ki Bango Samparan.
Tulisan Tantripala itu tiba-tiba menimbulkan perasaan teri-makasih yang mendalam pada orangtua pungut itu. Dan ia berjanji pada suatu kali akan membalas semua kebaikannya. Juga pada semua saudara pungutnya, juga pada Umang si gadis kecil yang suka melebihkan jatah makannya.
Ia tersenyum. Barangkali anak itu kini sudah mulai dewasa. Umang! Begitu sakit-sakitan ia dulu semasa kecil.
Dan ia ingat betul hari pertama
ia tinggal di rumah keluarga itu. Umang masih menungguinya waktu Bango Samparan datang padanya dan berkata:
"Semoga kau memang putra tunggal Hyang Brahma. Sini, biar beruntung aku hari ini," dan diciumnya ubun-ubunnya.
Keesokan harinya Ki Bango datang di tempat kerjanya di ladang, langsung memeluknya dan mencium ubun-ubunnya, berseru:
"Brahmaputra, ya, Brahmaputra!" ia sorongkan pada genggamannya lima buah mata uang perak dari masing-masing satu catak, kemudian berjalan bergegas pulang.
Dari saudara-saudara pungutnya ia mengerti, Ki Bango Samparan adalah seorang pemain dadu.
Apa artinya lima catak untuknya" Ia bisa memegang dan memiliki ratusan kali jumlah itu. Yang lima catak itu ia bagikan pada saudara-saudaranya. Dan mereka menerimanya tidak dengan wajah gembira. Bahkan yang tertua dengan nada protes bersungut:
"Apa sebabnya catak ini datang ke tangan kami melalui tanganmu""
Pada waktu itu juga ia mengerti mereka cemburu pada kasih bapak mereka kepada dirinya, seorang pendatang yang tak menentu asalnya. Dan ia berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan melakukannya lagi.
Bertahun-tahun ia tinggal pada keluarga itu. Setiap hari ia bekerja bersama saudara-saudaranya. Bila Ki Bango Samparan pergi, ia pun pergi, mengumpulkan teman-temannya di desa Karangksetra. Kembali ia memimpin mereka melakukan gangguan di pusat-pusat pengumpulan dana negeri Tumapel, mempersenjatai barisannya, dan membangunkan dana sendiri, dengan Tanca sebagai pengurusnya.
Bertahun-tahun" Berapa tahun" Tidak lebih dari tiga. Dan cemburu saudara-saudara meningkat jadi tiga kali. Ki Bango Samparan semakin sayang padanya, hampir tak lagi turun ke sawah atau ladang, menjadi bandar dadu, dan selalu membawa pulang kemenangan.
Semakin banyak yang diterimanya, dan dengan sembunyi-sembunyi diberikannya pada Umang.
"Biar aku simpankan untuk Kakang," sambutnya selalu.
"Buat apa aku" Untuk kau sendiri."
Dengan diam-diam Umang menyimpannya untuk dirinya. Dan ia semakin terpikat pada budi bahasanya yang manis tanpa pamrih. Sayang dia tidak rupawan, sering ia menyesali Umang.
Cemburu saudara-saudaranya kemudian pecah menjadi kebencian waktu mereka menemukan simpanan Umang dan mulai memeriksanya. Dengan menangis gadis itu mengadu pada Nyi Bango Samparan, mengakui itu milik Temu yang disimpan-kannya. Sekarang giliran datang padanya diperiksa mereka, dari mana catak sebanyak itu.
"Kami tahu, kau datang kemari hanya badan berlapis selembar cawat. Kau curi dari mana harta sebanyak ini""
"Jangan katakan aku mencuri."
"Banyak orang menduga kau pencuri. Banyak pencurian terjadi. Biarpun tidak tertangkap, kami tahu kau sering pergi malam."
"Sayang kalian saudara-saudaraku ..."
"Apa yang disayangkan" Kami tak pernah menyayangi pencuri. Tak pernah kami ceritakan pada siapa pun kau pernah merampok kereta upeti. Tak perlu kau sayangi kami. Sekiranya kami tidak mengingat bapak kami, prajurit Tumapel akan datang membekuk kau. Sudah sejak pertama kali kau datang!"
Ki Bango Samparan yang pulang dari dadu menengahi:
"Ada apa ini ramai-ramai""
Anak-anaknya mengadu. Ki Bango Samparan yang menyedari, ia lebih mengasihi Temu, tak dapat mengatakan semua itu berasal dari hadiahnya. Dan Temu dapat mengerti sepenuhnya.
Melihat ketenangan, pembisuan hanya pandang mata tertuju padanya, dan suara sayup dari sedan Umang, ia mengangkat sembah pada ayah angkatnya dan bermohon diri untuk pergi meninggalkan mereka
"Kau hendak ke mana, Temu"" tanya Nyi Bango Samparan.
"Ya, Mak, anakmu ini datang kemari tanpa asal. Apalah salah pergi juga ke mana saja tanpa tujuan""
Ki Bango Samparan tak mampu bicara. Umang menjerit dan menghampirinya:
"Kalau Kakang pergi, bawalah sahaya."
"Kau masih kecil, Umang," tegah ibunya.
"Dengarkan, Umang, jangan ikuti aku. Kau masih kecil. Simpanan itu adalah milikmu, Umang. Tak ada yang berhak selain kau. Barang-barang itu bukan dari curian, tapi dari pemberian seorang yang mengasihi Kakang."
Ia menyembah Ki Bango dan istrinya, kemudian meninggalkan rumah itu sebagaimana tiga tahun yang
lalu ia datang. "Temu, jangan pergi dulu!"
Ia berbalik dan menghampiri ayah pungutnya. Dengan sopan ia berdiri mengapurancang.
"Barangkali para dewa telah menentukan kau harus pergi dari sini. Kau seorang anak yang cerdas, lincah, pandai dan ingatanmu sempurna. Biar aku tuliskan surat." Ia menulis sampai tiga lembar rontal. "Pergilah kau pada Bapa Tantripala di desa Kapun-dungan. Belajarlah kau baik-baik di sana. Kau seorang tani. Itu kau jangan lupa. Biar kau sudah dibenarkan Bapa Tantripala untuk meninggalkan rumahnya, kau harus selalu ingat: kau seorang tani."
Untuk terakhir kali ia dibuka destarnya dan dicium ubun-ubunnya.
Belum lagi jauh Umang telah terlepas dari pegangan dan memburunya. Ia berhenti untuk menyambutnya. "Umang!"
Ia merangkulnya, dan terus menangis, minta dibawa ikut. "Umang, mari aku antarkan pulang. Pada suatu kali aku akan kembali mendapatkan kau. Percayalah." "Aku ikut."
"Kakang bilang: tidak. Apakah Kakang pernah berbohong padamu" Mari pulang, dan jangan pikirkan aku Pada suatu kali aku akan datang."
"Aku ikut" "Kalau kau tak mau dengarkan, tidak ada gunanya aku datang lagi nanti. Kau dengarkan atau tidak"" ia mengangguk dan masih menangis.
Temu menggandeng membawanya pulang, menyerahkannya pada orangtuanya, kemudian ia pergi, diiringkan oleh tangis pilu gadis Umang ....
Anak itu mungkin sudah besar dan sudah melupakan aku, pikirnya. Ia pandangi kelilingnya, berdiri, meniup mati damar, dan menyusul teman-temannya di pondok. Ia lihat mereka telah tidur nyenyak dengan nafas bersahut-sahutan. Ia letakkan rontal hadiah itu di atas bantal, kemudian merebahkan diri juga.
Sebagai terimakasih batin pada Dang Hyang Lohgawe sisa dari malam ini hendak dipergunakannya untuk mengenangkan kembali masa silamnya. Tantripala tidak mungkin dapat melengkapinya. Hanya dirinya sendiri yang mungkin, dan dengan demikian memperbaiki yang kurang patut dan meningkatkan apa yang dianggapnya telah tepat.
Ia tampilkan kembali Umang pada mata batinnya. Mengapa anak itu lebih mengasihinya daripada saudara-saudaranya sendiri" Mengapa dia selalu melakukan segala yang bisa mendatangkan kesenangannya" Adakah secara naluriah dia telah mencintainya sejak semula"
Ia tidak pernah mengenal cinta. Pada teman-temannya ia mendapat kesetiaan. Dari orang-orang yang lebih tua tidak pernah. Ki Bango Samparan dan istri mengasihinya. Tetapi Umang! Kasih atau cintakah yang ditaburkannya pada dirinya"
Ia berjanji pada suatu kali untuk menemuinya dan mempertimbangkan sekali lagi bagaimana seharusnya ia berlaku terhadap dia.
Kemudian Tanca ditampilkannya pada mata batinnya.
Setelah meninggalkan rumah Bango Samparan ia pergi ke sawah. Didapatinya Tanca sedang mempersiapkan sawah ayahnya menjelang penghujan itu:
"Tanca, aku akan tinggalkan Karangksetra ini."
"Aku ikut denganmu."
"Kau harus membantu keluargamu."
"Terserah padamu bagaimana aku harus membantu, tetapi aku ikut denganmu. Ke mana kau hendak pergi""
"Bapa Bango Samparan menyuruh aku belajar, pada Bapa Tantripala di Kapundungan."
"Kalau begitu aku ikut denganmu."
"Kau punya orangtua, mintalah restunya."
Ia naik ke pematang, mengangkat pacul dan berangkat pulang.
"Kau mau ke mana sekarang"" tanyanya melihat Temu tidak menemaninya pulang.
"Menemui teman-teman. Aku susul kau nanti."
Siang itu teman-temannya di Karangksetra mengepungnya. Dan ia memberikan nasihat agar tetap berseia-sekata seperti semula. Ia akan berikan petunjuk dari Kapundungan, dan dimintanya semua saja membantu ayah Tanca, karena Tanca akan dibawanya pergi belajar.
Di rumah Tanca ia dapatkan temannya telah siap dengan bawaannya. Orangtuanya sangat gembira anaknya punya keinginan hendak belajar pada guru Tantripala. Ia senang melihat temannya dilepas dengan rela dan restu.
Di tengah perjalanan ke desa Kapundungan Tanca memperlihatkan dua catak perak pesangon dari orangtuanya. Ia sendiri mendapat pesangon rontal. Kemudian dibicarakan harta benda milik bersama yang disimpan dalam sebuah gua di hutan.
"Barang-barang itu takkan mungkin pi
ndah tempat. Kecuali bila ada yang berkhianat."
Kemudian mereka terdiam, membayang-bayangkan pengalaman belajar yang bakal datang.
"Ki Bango Samparan benar, dia kirimkan aku pada Bapa Tantripala." "Aku pun benar, mengikuti kau belajar"
"Ya, kita harus belajar, Tanca. Kalau tidak, kita akan begini-begini saja."
"Kita harus bisa tandingi mereka." "Bukan, kalahkan."
"Kalahkan" Bisakah kita kalahkan mereka"" "Bukankah kita sudah sering mengalahkan mereka"" "Mereka tak pernah kalah, hanya kehilangan." "Kita pun tak pernah kalah, tapi mendapat." "Tapi kita belum pernah kalahkan mereka." "Kita sering kalahkan mereka. Hanya mereka terlalu banyak dan kita terlalu sedikit. Kekuatan mereka tak habis-habisnya, dan kita terbatas. Maka kita akan belajar, Tanca. Kemudian kita akan tahu lebih banyak, mengalahkan lebih gemilang." "Kalau kau menang, kau akan jadi raja, Temu"" "Kau akan jadi patihku." "Selama ini aku telah jadi patihmu." Temu tertawa terbahak. Juga Tanca. Kemudian: "Hanya kecil-kecilan, Tanca." "Jadi kita belajar untuk bisa besar-besaran"" Sekali lagi Temu terbahak tawa, kemudian lari mendahului. Dan Tanca lari mengikuti, seperti tumitnya sendiri ....
Ia menengok untuk melihat Tanca. Dari sinar pelita itu ia lihat pemuda itu tidur dengan mulut dan tapuk mata setengah terbuka. Betapa jelek kau kalau tidur seperti itu. Ia tutupkan selembar kain pada mulutnya. Nah, begitu kau kelihatan lebih patut. Ia bisikkan pada telinganya:
"Patih Tanca. aku perintahkan padamu untuk bertemu dengan Ki Bango Samparan, dan persembahkan padaku bagaimana keadaannya, dan Nyi Bango, dan Umang."
Ia tersenyum-senyum kembali ke ambinnya. Kemudian meneruskan tinjauannya pada masa lalunya:
Sejak bertemu pertama kali ia tahu Bapa Tantnpala jatuh kasih padanya. Mata itu! ia sering dengar guru itu menyebut. Juga Bango Samparan kasih padanya sejak pandang pertama karena matanya. Untuk pertama kali pula dalam hidupnya di Kapun-dungan ia melihat wajahnya pada cermin perak, didapatnya dari penyerbuan pada seorang saudagar yang sedang meninjau keluarganya di desa itu. Orang itu datang dari Tuban, pergi ke Gresik, memudiki Brantas melalui Porong Erlangga. Ia perhatikan matanya, dan ia lihat memang berbeda dari yang lain-lain. Telengnya besar dan bersinar-sinar.
Dalam perguruan ini ia tinggalkan semua temannya. Tantripala tak mengerti apa harus diajarkannya lagi padanya. Pada suatu kali untuk menyatakan kasihnya, guru itu membawanya masuk ke hutan. Di sana secara rahasia ia ajar tentang atman dan brahman, bagaimana mencapai keadaan nirwikana[keadaan bersatu antara brahman dan atman, jagad pra-mudita dan diri, makrokosmos dengan mikrokosmos; pantheisme], bagaimana menjalankan yoga tantri untuk mendapatkan siddhi[kesaktian.], diawali dengan sumpah untuk tidak akan menyampaikan pada siapa pun, dan keterangan: "Aku adalah tantri memang berasal dari yogin Samyanatera barang dua ratus tahun yang lalu. Kaum brahmana dari aliran lama di Jawa pada umumnya menentang Buddha termasuk yoga dan tantri, aku menganggapnya sebagai ilmu yang bisa dipelajari dan dipergunakan. Tetapi aku tak mau bertikai dengan para brahmana lain, maka tak perlu diketahui mereka. Tetapi untukmu, kau, pemuda penuh harapan, boleh jadi kau membutuhkan untuk pesangon hidupmu. Kau lebih tepat merebut tempat dalam kasta satria. Erlangga pernah menjatuhkan titah: triwangsa bukan hanya ditentukan oleh para dewa, juga manusia bisa melakukan perpindahan kasta karena dharmanya, sudra bisa jadi satria, sudra bisa jadi brahmana. Sejak itu triwangsa sudah tidak murni lagi. Aku sendiri seorang brahmana bukan karena keturunan, tapi karena ilmuku. Dan kau, Temu, kau bisa jadi satria karena kemampuanmu. Tingkah lakumu bukan lazim pada seorang sudra, tapi satria. Matamu bukan mata satria, tapi brahmana. Kau patut mendapat kelengkapan secukupnya."
Hari pertama itu ia diajar melakukan darana[konsentrasi.] dengan pandang matanya, sampai pada pratyahara[bebas dan pengaruh luar diri sendiri.] berlatih sekaligus pranayama[pengaturan nafas.] untuk mencapai ekagrata[tinggal satu titik yang d
iperhatikan yang nampak.] pandang, seperti dalam cerita sewaktu Arjuna membidik dengan anak panahnya.
Di luar dugaan Tantripala, hanya dalam tiga kali latihan Temu telah berhasil.
"Temu," serunya, "dengan kemampuan seperti ini, pandangmu akan menguasai manusia dan benda."
Dan dimulailah ia mengajarkan memasukkan cipta dan karsa dalam ekagrata. ia menyedari betapa dengan latihannya itu benda-benda bergerak atas cipta dan berubah bentuk menurut karsanya.[kehendak, keinginan, yang diinginkan.]
Tantripala terpakukan pada tanah melihat itu. Tiga tahun ia baru berhasil melaksanakan. Muridnya ini hanya dalam seminggu. Ia peluk muridnya, menyebut:
"Jagad Dewa!, pimpinlah anak ini. Dia akan mencapai segala yang diimpikannya. Dia akan menjadi mahasiddha[orang yang memiliki siddhi, orang sakti.]. Hanya Engkaulah yang bisa memberi petunjuk. Kalau kau biarkan dia tumbuh tanpa petunjukMu, dia akan jadi penjahat yang memunahkan kemanusiaan."
Tantripala tak berani memimpinnya lebih lanjut untuk menjadi mahasiddha. Tanggungjawabnya sebagai guru terlalu berat. Ia kirimkan Temu pada Dang Hyang Lohgawe.
Dan Lohgawe tidak memimpinnya menjadi mahasiddha. Ia membawanya ke jalan ke arah brahmana ....
Sebelum menyuruhnya pergi sekali lagi ia dibawa ke hutan, mengajar, mewejang dan berpesan:
"Dahulu kala sebelum ada Erlangga, sebelum ada Sri Dhar-mawangsa," ia mulai bicara tentang sejarah sebagai kesukaan kaum brahmana pada umumnya, "pada awal abad tujuh Saka, karena tak kuat menahan serangan Sriwijaya, Sailendra melarikan diri ke Jawa dan melindungkan diri pada Sri Baginda Sun-naha dari Mataram. Sailendra pelarian itu mendapat dari Sri Baginda Sunnaha kekuasaan atas bumi bagian timur Mataram. Sunnaha digantikan oleh Sanjaya, dan Sanjaya oleh Pancapana Rakai Parangkaran. Pada waktu itu Mataram telah dikuasai oleh Sailendra. Pancapana Rakai Panangkaran sekarang menjadi taklukan, dan oleh Sri Baginda Indra dari wangsa Sailendra, yang beragama Buddha itu, diperintahkan membangun candi-candi Buddha. Di antara yang dibangunkannya adalah candi Kalasan untuk memuliakan Hyang Dewi Tara.
"Tentu kau tidak kenal siapa Hyang Dewi Tara. Kau tidak mengenal agama Buddha, Mahayana, Tantrayana dan Yoga. Dia adalah Dewi Kesaktian penganut Buddha dari Tantrayana dan Yoga. Setiap delapan tahun sekali semua dari setiap yogin dan yogini, para mahasiddha, datang dari segala penjuru, darat dan pulau, untuk memuliakan. Dewi Tara adalah lambang juga bagi kemenangan Buddha atas Syiwa Mataram. Mereka menang dengan pertolongan para mahasiddha.
"Aku tidak membenci pengikut Buddha, apalagi ajarannya, bahkan yoganya, tantrinya, aku pelajari. Karena itu, sebelum kau pindah belajar, aku berpesan dua hal padamu: pertama, pada suatu kali dalam hidupmu, bila kau menjadi yogin atau mahasiddha, berkunjunglah ke Kalasan untuk memuliakan Dewi Tara. Kedua, pelajari betul Yama.[Yama, larangan; didewakan jadi Yama(dipati) dewa pencabut nyawa (mereka yang melanggar Hyang Yama).] Dang Hyang Lohgawe akan membantumu."
Sudah lama ia menyangsikan, kini kata-kata penutup itu meyakinkannya: Tantripala adalah seorang Buddha yang tak memperlihatkan kebuddhaannya. Ucapan itu juga menjelaskan padanya ia sudah melewati pendidikan cantrik, mangayu. jejang-gan, uluguntung. Kini ia sudah sampai pada ringkat cikil, tingkat kelima dalam tata pendidikan. Di atasnya masih ada tiga tingkat lagi: wasi, resi dan bagawan. Meneruskan belajar pada Dang Hyang Lohgawe berani ia akan mencapai tingkat wasi.
Juga Dang Hyang Lohgawe sudah pada hari pertama terpesona oleh matanya. Dan semua pertanyaan Mahaguru tentang dirinya ia jawab, kecuali dua hal, yoga dari Tantripala dan masa kecilnya. Boleh jadi Mahaguru yang tinggi peradabannya itu akan mengusirnya bila mengetahuinya.
Sampai di situ Arok menyimpulkan: tidak semua kebenaran dan kenyataan perlu dikatakan pada seseorang atau pada siapa pun. Pengusiran seorang guru tidak akan memberinya sesuatu kebaikan. Bahwa haus ilmu dirasakannya seirama dengan haus keadilan, kasih dan sayang. Dan betapa ia haus akan kasih sayang itu!
Sebagai pelajar ia ikut menggarap ladang dan sawah untuk penghidupannya. Di waktu senggang ia pimpin teman-temannya yang dulu di Karangksetra, Kapundungan dan juga sekarang di Pangkur.
Bila mendapat kesempatan menyendiri ia teruskan melatih ilmu dari Tantripala. Ia tahu, dengan ilmu itu ia dapat menguasai siapa saja, bukan sekedar mempengaruhi. Tetapi waktu diketahuinya latihan-latihan merugikan kecerdasannya, ia terpaksa menghentikannya. Tantripala pernah mengajarkan: karunia terbesar yang paling diinginkan manusia dari para dewa ialah kekuatan menguasai dan mempengaruhi sesamanya; dengan karunia itu orang akan mendapat segala dalam hidupnya. Untuk menjaga agar para dewa tidak mencabut kembali kekuatan itu, manusia harus sujud pada Hyang Yama.
Tantripala kurang betul, ia yakinkan dirinya untuk ke sekian kali. Kekuatan yang dimaksudkan itu masih rapuh kalau yang memiliki tidak berpengetahuan seperti Tunggul Ametung. Dan tak ada daya yang dapat memaksa seseorang untuk bersujud kepada Yama kalau dia telah begitu besar dayanya, mungkin Yama-lah yang kemudian ditaklukkannya.
Kesimpulannya sudah tak dapat diubahnya lagi: ia akan tetap belajar untuk tidak terlalu banyak melakukan kekeliruan, baik terhadap para dewa maupun manusia.
Dan ia terus belajar pada Dang Hyang Lohgawe. Gurunya bukan seorang mahasiddha, seorang yang menolak segala yang bersifat Buddha, ia mempertimbangkan segala berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang dikuasainya. Mahaguru itu juga menaruh kasih padanya karena kecerdasannya. Arok mendapat kebebasan penuh daripadanya. Kebebasan itu ia pergunakan terus untuk memimpin para pemuda menyerbui mana saja dan apa saja yang menguntungkan Tunggul Ametung dan teman-temannya. Tumapel tidak pernah tenang. Satu hal yang ia belum dapat menemukan adalah: sumber emas Sang Akuwu.
Dari pengalaman-pengalamannya ia mengetahui, semua pejabat Tumapel menaruh takut bukan hanya hormat pada lambang-lambang para dewa.
"Itu berasal dari kejahatannya yang terlalu banyak terhadap sesama manusia," ia memutuskan.
Dan pengetahuannya itu akan dipergunakannya untuk menaklukkan para pejabat itu sendiri.
Sampai di situ ia masih tetap berpendapat: semua yang dilakukannya selama ini tidak menyalahi Hyang Yama. Buktinya semua temannya setia padanya. Tak ada seorang pun yang pernah berkhianat. Bahkan dari hasil rampasan-rampasan itu, sebuah di antaranya pernah dipersembahkan untuk dirinya pribadi: sebuah mata uang emas yang indah dengan gambar wajah seorang yang indah pula sampai leher, dengan tulisan aneh yang ia tak pernah dapat baca.
ia berpaling pada Tanca yang masih juga nyenyak dalam tidurnya. Banyak petualangan telah mengikatkan dirinya pada teman yang seorang itu. Dan ia percaya dan sayang padanya.
Ia tinggalkan Tanca dan meneruskan meneropong masalalu-nya. Sudah terlalu sering ia melakukannya, karena pekerjaan mawas diri adalah juga syarat untuk jadi seorang brahmana yang baik. Dan ia belum pernah mengubah penilaiannya selama ini.
Kini untuk pertama kali ia hendak menilai masalalunya sebelum jadi anak pungut Ki Bango Samparan.
Ia tampilkan Ki Lembung di hadapan mata-batinnya. Tubuhnya tinggi. Otot-ototnya nampak berserat-serat tetapi mengandung kekuatan tangguh. Ia seorang yang gesit dan bermata jeli, baik di siang maupun malam hari. Dialah juga yang mengajarinya dapat melihat dalam kegelapan: setiap pekan, pagi-pagi sehabis tidur, mencuci matanya dengan bagian tengah air kencing sendiri. Ia lakukan terus ajarannya itu sampai sekarang. Dengan matanya tak ada satu gerak pun dapat lepas dari perhatiannya.
Ki Lembung! Dialah orang pertama-tama di dunia ini yang ia kenal sebagai pengasihnya. Menurut ceritanya, dialah juga yang menemukan dirinya sebagai bayi, dibuang oleh orangtuanya di gerbang sebuah pura desa. Tengah malam:
"Aku dengar tangis bayi kedinginan. Gelap waktu itu. Tapi aku dapat melihat kau. Dewa Bathara!, kau masih bayi, begitu kecil, tergolek pada selembar tikar usang. Bayi semuda itu disuruh menjaga gerbang! Siapakah yang menaruh kau di situ" Aku angkat kau, masuk dalam pelataran perta
ma pura, melalui padu-raksa[pintu gerbang halaman kedua pura] mengintip ke halaman kedua. Sepi-sunyi. Aku dekapkan kau pada dadaku. Tetapi kau masih juga menangis. Aku lepas destar dan kuselimutkan padamu. Halaman kedua itu kosong, juga halaman ketiga. Kau masih juga menangis. Aku batalkan maksudku dan kubawa kau pulang."
Ki Lembung[Lembung, arti aksarawi adalah: pencuri. Tidak jelas apakah nama pribadi sesungguhnya atau nama ejekan.] tinggal di tengah hutan, seorang petani yang memiliki kerbau. Bayi itu diserahkan pada istrinya:
"Para dewa telah mengirimkan pada kita bayi lelaki yang seorang ini. Peliharalah dia sebagai anak sendiri."
Arok tidak pernah tidak merasa berterimakasih bila mengenangkan suami-istri petani di Randualas itu. Merekalah yang membesarkannya tanpa pamrih. Menginjak umur enam tahun ia sudah terbiasa bergaul dengan kerbau, memandikan dan menggembalakan, menggiringnya ke sawah dengan Ki Lembung memikul garu atau luku di belakangnya.
Memasuki umur sepuluh ia mulai membantu bertani. Dan dalam perawatannya kerbau itu berbiak menjadi belasan.
Nyi Lembung seorang wanita mandul. Ia tak punya teman bermain di rumah. Tempat penggembalaan adalah medan ia bermain dengan teman-temannya. Kegesitan, kekuatan, kecerdasan dan kekukuhan menyebabkan ia hampir selalu keluar sebagai pemenang dalam permainan dan perkelahian. Dengan sendirinya sebagai murid dari pengalamannya ia meningkatkan diri di atas mereka menjadi jago dan pemimpin.
Orangtua-pungutnya bangga padanya. Dan ia tak pernah mengadu tidak perlu. Ia selalu dapat mengatasi persoalannya sendiri.
Sering ia serahkan penggembalaan hewannya pada teman-temannya, dan dengan beberapa orang ia mengembarai hutan dan desa-desa lain. Pengetahuannya menjadi jauh lebih banyak daripada teman-temannya.
Tak ada sesuatu yang terlepas dari perhatian dan pengamatannya. Ia dapat bercerita tentang hewan, tanaman dan manusia yang pernah diketahuinya. Dan jadilah ia guru bagi teman-temannya.
Dalam pengembaraannya untuk pertama kali ia melihat seorang prajurit Tumapel memasuki rumah penduduk dan merampas kambingnya. Seorang bocah menangisi binatang kesayangannya itu. Prajurit itu tidak peduli, dan binatang itu terus juga diseret masuk ke dalam hutan. Hatinya berontak melihat pemandangan itu. Dihiburnya anak itu, dan dijanjikan padanya:
"Nanti aku bawakan kambing untukmu."
Dicurinya seekor anak kambing dan diantarkannya kepada bocah itu. Ia mendapatkan kebahagiaan dengan perbuatan itu. Dan dengan demikian mulailah ia dan teman-temannya mencuri.
Sekali peristiwa ia melihat empat orang prajurit menyeret seorang gadis, dibawa masuk ke dalam hutan. Ia kerahkan semua temannya dan mengikuti prajurit-prajurit itu, mengganggu mereka, sehingga terpaksa melepaskan korban mereka. Penduduk desa membiarkan perbuatan anak-anak itu, pura-pura tidak tahu.
Mulailah ia memimpin teman-temannya dalam perbuatan-perbuatan berbahaya.
Arok tersenyum senang. Ia menyimpulkan, justru karena perbuatan prajurit-prajurit Tumapel sendiri ia dan teman-temannya menjadi berani dan penentang. Ia tidak pernah menyesali perbuatannya ini. Ia justru bangga. Hatinya besar, dan karena itu tubuhnya tumbuh dengan cepat dan kekuatan berlipatganda. ia memasuki medan perkelahian di desa-desa lain untuk merebut keunggulan.
Ki Lembung! Seorang bapak yang berwibawa dan pengasih itu. Daripadanya ia mendapatkan cara menangkis dan menyerang, dengan tongkat, kemudian pun dengan senjata tajam. Betapa ia hormat padanya. Ki Lembung adalah juga gurunya yang pertama.
Kemudian datanglah bencana itu - bencana yang berisi karunia para dewa. Sekali waktu ia pulang dari pengembaraannya langsung mendapatkan gembalaannya, tempat itu sepi. Teman-temannya lari mendapatkannya. Tak ada nampak seekor kerbau pun.
"Kami semua lari, Temu. Juga binatang-binatang kita. Seekor macan telah menyeret seekor dari kepunyaanmu." "Jagad Pramudita!" serunya.
Bersama dengan teman-temannya ia pergi ke tempat binatang-binatang itu dikumpulkan. Dan pulang mereka ke tempat masing-masing.
ia menggiring kerbaunya yang
berpuluh-puluh itu. Ayah-pungutnya seperti biasa menunggu di depan kandang, ia menghitungnya seekor demi seekor, dan:
"Kurang satu," katanya. Ki Lembung masuk ke dalam kandang dan menghitungnya sekali lagi. "Kurang satu," katanya lebih keras, ia menghitung lagi. "Kurang satu!" pekiknya. "Sini, kau hitung sendiri!"
"Memang kurang satu, diterkam macan!"
"Ke mana saja kau sampai kerbau diterkam macan""
Itulah untuk pertama kali Ki Lembung yang mengasihinya marah luarbiasa. Ia tahu marahnya bukan karena hilangnya kerbau, karena ia tidak setia pada tugasnya.
Sekejap ia dapat melihat wajah Ki Lembung yang marah membara. Ia tak dengar lagi apa yang disemburkan padanya. Ia malu pada dirinya sendiri, berbalik dan lari.
Sampai di luar Randu Alas ia baru berhenti lari, kemudian berjalan pelan-pelan menyusun pikiran. Ia timbang kembali tindakannya. Ia mengakui tidak setia pada tugasnya menggembala kerbau itu. Tapi apakah dengan demikian ia harus selalu jadi penggembala dalam kesetiaannya" Ada hal-hal lebih berharga dan lebih penting daripada kerbau. Dan dengan demikian ia memutuskan tidak akan kembali ke rumah orangtua-pungut yang mengasihi itu.
Dan bermulalah kehidupan yang membusa-busa: perkelahian, penyerbuan, pencurian, perampokan, pencegatan sendiri atau dengan teman-temannya yang mengikutinya. Melukai dan dilukai, kalah dan menang. Ia keluar-masuk desa-desa baru, bergabung dengan penjahat besar dan tanggung untuk kemudian menaklukkan dan ditaklukkan, dan meninggalkannya.
Arok menilai masa petualangannya ini banyak mengandung kekeliruan dan pengawuran. Ada beberapa kejadian yang ia sesali dan lebih banyak lagi yang membikin ia bangga pada perbuatannya. Yang keliru dan mengawur itu ia takkan ulangi lagi. Yang benar ia akan kembangkan.
Dan ia merasa bersalah tak pernah lagi mengunjungi Ki Lembung dan istrinya lebih enam tahun. Ia putuskan untuk sekali waktu datang ke sana, sebagai anak yang tahu membalas budi. Ia harus datang....
Ayam telah berkeruyuk untuk kedua kali. Teman-temannya sepengajaran bangun. Juga Arok bangun dari pengembaraannya pada masalalunya. Tubuhnya tetap tergeletak.
"Temu, Arok," Tanca membangunkannya.
"Ceritakan tentang impianmu, Tanca."
"Ya, aku bermimpi kau suruh aku pulang ke Karangksetra. Aku pergi, Arok. Tahukah kau bagaimana aku impikan mereka" Lima anak lelaki Ki Bango Samparan telah meninggalkan orang-tuanya. Semua turun ke Gresik. Boleh jadi belayar. Mereka pergi karena Ki Bango jatuh miskin. Tiada suatu binggal padanya. Catak yang kau berikan pada Umang telah habis pula di medan judi. Ia sudah tak mau membayar semua hutangnya. Boleh jadi sebentar lagi akan diseret dalam perbudakan. Betapa buruk mimpi itu, Arok."
"Tiada kau impikan si Umang""
"Aku impikan dia kurus kering. Emaknya telah meninggal."
"Dengar, Tanca, boleh jadi Bapa Mahaguru akan membutuhkan aku dalam beberapa hari ini. Pergilah kau ke Karangksetra. Barangkali impianmu benar. Suruh pemuda-pemuda itu lindungi Ki Bango. Tak boleh dia diseret ke dalam perbudakan. Dan jangan lupa katakan pada si Umang, aku akan datang dalam beberapa minggu atau bulan ini."
Mereka berangkat ke huma. Ia tinggal seorang diri. Ia tahu masa belajarnya pada Dang Hyang Lohgawe telah selesai. Ia bukan pelajar lagi. Ia telah seorang Wasi.[Wasi, tingkat 6]
Sekarang ia mulai memusatkan pikirannya untuk memasuki haridepan. Sebagai seorang yang terdidik untuk jadi pandita ia telah terlatih untuk melakukan sesuatu dengan perencanaan dan pertimbangan.
Ia merasa telah mempunyai kekuatan cukup, ilmu dan pengetahuan memadai. Ia akan gulingkan Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel. Ia dapat kerahkan semua temannya di desa-desa sebelah barat Tumapel. Tetapi jumlah dan peralatan mereka belum mencukupi. Orang-orang yang disembunyikannya di hutan Sanggarana bukanlah prajurit, belum bisa dipergunakan.
Dan bila Tunggul Ametung tidak digulingkan oleh dirinya, siapa yang berani melakukan" Dua puluh tahun, seumur hidupnya, Akuwu itu telah merajalela perampok besar yang diberi penggada oleh Sri Baginda Kretajaya.
Kalau Tunggul Am etung dapat digulingkan, balatentara Kediri akan datang.
Sampai di situ ia berhenti berpikir. Ia belum tahu jalan. Ia harus mempelajari kemungkinan itu.
Dan kala matahari mulai memancarkan sinarnya dari balik puncak gunung, ia bangun dan menyusul pergi ke huma. Didapatinya Tanca sudah tiada. Ia ambil alatnya dan mulai bekerja.
Pagar yang mengelilingi taman larangan, tepat di belakang Bilik Agung, dilingkari pagar tanah liat bakar. Dunia selebihnya terpisah dari taman ini. Dedes senang pada semua yang bersifat seni. Dan gambar-gambar timbul sepanjang pagar itu tak pernah diperhatikannya. Dari pandang sekilas ia sudah dapat menangkap ceritanya. Pada penghujung sana adalah permulaan dari cerita itu sebatang pohon dengan Anoman di antara cabang dan ranting. Pada gambar kemudian satria monyet, Anoman itu, turun di taman untuk menemui Sinta .... Ia tak tertarik untuk memperhatikan karya besar itu. Ia tetap sibuk dengan hatinya sendiri.
Ia tak hitung sudah berapa siang ia lewatkan hidupnya dalam Taman Larangan ini. Bahkan dayang pun tak jarang diusirnya.
Kesukaannya adalah duduk bermenung di bawah sebatang mlinjo yang dipangkas indah. Di sekitarnya berserakan guguran bunganya yang putih kecil-kecil. Juga sekarang ini. Hamba yang duduk pada kakinya terus-menerus menyanyikan berbagai lagu berahi nyanyian yang pernah dinyanyikan oleh setiap orang.
Tiba-tiba wanita itu berhenti, mengusap-usap betis Dedes. Diangkat kepalanya untuk melihat wajah pengantin baru itu Dan pandang Ken Dedes masih juga menjangkau jauh.
Ia meneruskan lagunya. Mengetahui tak mendapat perhatian ia kemudian berdiri mohon ampun dari sang Paramesywari, dan mulai membetulkan rambut majikannya yang hampir-hampir kacau digalau angin pancaroba.
Bahkan kepala pengantin baru dengan hiasan mahkota pita bertaburan permata itu segan bergerak.
"Yang Mulia masih juga belum pernah nampak tersenyum," ia mencoba-coba memancing percakapan.
Hanya hembusan keluh terdengar.
"Berapa berbahagia Yang Mulia muda, cantik-rupawan, berilmu, wanita pertama dan utama di seluruh Tumapel. Kasih para dewa nampaknya hanya untuk Yang Mulia seorang. Apa lagikah yang patut disedihkan" Semua wanita mengharap mendapatkan kasih sebanyak itu. Sangat, sangat banyak yang bahkan mendapatkan satu macam pun tidak pernah untuk sepanjang hidupnya."
Ken Dedes menyentuh tangan wanita itu untuk menghentikan perawatannya. Ia berdiri dan berjalan lambat-lambat meninggalkan tempat duduk. Ia mengikuti di belakangnya.
"Yang Mulia pun lebih berbahagia daripada Dewi Sinta itu," ia meneruskan lagi, kemudian menyanyikan satu bait dari kisah Dewi Sinta yang terculik oleh Rahwana dan dikurung dalam taman Argasoka.
"Bukankah Dewi Sinta itu kemudian tidak berbahagia seumur hidup, Yang Mulia"" hamba itu tertawa.
Dedes merasa malu. Ia merasa tersindir. Sinta tidak pernah memberikan diri dan hatinya pada Rahwana. Ia telah berikan dirinya pada Tunggul Ametung. Bukankah Akuwu Tumapel tidak lebih baik daripada raksasa Rahwana" seorang yang tak jauh dari ajaran, hidup dalam ketidaktahuan dan penghinaan terhadap Sang Yama" Mungkinkah karena ia memberikan dirinya ia harus mengulangi nasib Dewi Amisani, mati termakan racun"
Ia tak dapat berdamai dengan hatinya sendiri, mengetahui benih raksasa Tumapel itu telah memasuki dirinya.
"Apakah Yang Mulia pikirkan selama ini""
Ken Dedes menjatuhkan pandang. Dayang itu melihat butiran jatuh dari pasang matanya.
"Ah, Yang Mulia, Yang Mulia, betapa Yang Mulia menganiaya diri seperti ini," dengan setangan ia keringkan airmata majikannya dengan hati-hati. "Segala kemewahan, kekuasaan dan cinta Yang Mulia Akuwu rupanya tak mengurangi beban di hati Yang Mulia Paramesywari."
Mendengar kata-kata bersimpati itu Dedes tersedan, membungkuk. Dari balik kedua tangannya terdengar tangis yang ditekan.
Dan hamba itu juga menangis. Dikuat-kuatkan hatinya. "Tak tahan sahaya melihat begini setiap hari, Yang Mulia. Selama dalam pekuwuan begini terus. Jangan, Yang Mulia, jangan hancurkan diri sendiri. Masih ada banyak hari disediakan oleh para dew
a, mengapa hari-hari ini saja Yang Mulia indahkan" Demi Hyang Parwati, katakanlah apa yang sahaya bisa lakukan untuk meringankan dukacita Yang Mulia."
Ken Dedes melangkah lambat-lambat mendekati pagar tanah liat bakar. Ia pura-pura memperhatikan Sinta yang sedang dihadap oleh Anoman. Di atas mereka bulan purnama memancar tepat di atas pohon Nagasari itu. Ia raba muka Sinta dengan jarinya yang bercincin susun. Karya seni itu tetap tidak menarik hatinya. Ia agak terhibur mendengarkan nada simpati itu. Hanya: adakah sumpahnya pada Hyang Parwati hanya pemanis bibir"
"Yang Mulia," Rimang berbisik di belakang kupingnya.
Ia tak berpaling. "Tak ada seorang pun di pekuwuan ini dapat dipercaya, Yang Mulia. Hati-hati, waspadalah."
Ken Dedes tahu, Yama tak diindahkan di mana-mana, kecuali di desa-desa dalam lindungan gunung. Juga ia tak percaya pada hamba yang seorang ini.
"Demi Hyang Dewi Parwati. Tidakkah cukup sumpah sahaya""
Ken Dedes melangkah dan melangkah lambat. Dan Rimang berbisik lagi:
"Seluruh isi pekuwuan tidaklah parut mendapatkan karunia kepercayaan dari Yang Mulia. Tapi Rimang ini tidak sama dengan yang selebihnya."
Ken Dedes berhenti, berpaling:
"Jangan cemarkan Hyang Parwati di hadapanku."
"Ampun. Bukan sahaya yang pernah mencemarkan."
"Berapa kali dalam hidupmu kau pernah bersumpah demi Hyang Parwati""[Parwati atau Durga atau Kali, syakti dari Syiwa.]
"Baru sekali ini, Yang Mulia."
"Kalau di pura ada, akan kubawa kau ke sana untak bersumpah di hadapannya."
"Sahaya bersedia, Yang Mulia. Nanti sebentar lagi kalau Hyang Surya telah terbenam, sahaya akan iringkan Yang Mulia ke pura."
Ken Dedes berpaling padanya untuk melihat airmukanya. Ia melihat Rimang tidak berdusta. Dan inang itu meneruskan:
"Sebaiknya pabila bulan sudah mulai muncul dari lereng Gunung Welirang."
"Apakah seorang hamba boleh masuk untuk kepentingan itu""
"Ada di belakang dapur sahaya bangunkan pura pribadi, ya, Yang Mulia, sahaya anyam sendiri Hyang Parwati dari rontal."
"Kau menantang murka""
Rimang tidak menunduk, membela diri:
"Memang hanya sahaya pribadi mendirikan Dewi Parwati, juga untuk sahaya sendiri."
"Apakah di desamu dulu orang punya patungnya sendiri untuk puranya sendiri""
"Tidak, Yang Mulia. Di sini, ke manakah sahaya harus pergi kalau tidak membangunkan sesembahan sendiri""
"Kau menyalahi aturan. Mengapa kau menyembah Parwati""
"Siapakah yang mau dengarkan seorang sahaya dari desa kalau bukan dewi sesembahan" Yang Mulia seorang brahmani muda, katakanlah pada sahaya: adakah kiranya seorang dewi berkenan mendengarkan suara seorang dayang""
Hati Ken Dedes tersentuh. Sebentar ia merenung. Bertanya:
"Apakah kastamu""
"Hanya sudra, Yang Mulia."
Sudra hanya harus memuliakan para dewa. Dan barangkali juga para dewa tidak mempunyai sesuatu kewajiban terhadapnya.
Ia iba terhadap wanita sudra ini. Dan ia menduga nasib Rimang tidak lebih baik dari dirinya. Ia tak bertanya. Ia berjalan menuju ke Bilik Agung. Dan dayang itu mengikutinya membawa bakul rias.
"Kau bisa membaca""
"Bisa, Yang Mulia"
"Tak ada rontal padamu""
"Ah, Yang Mulia, Pandita Wanita itu melarang mendekatkan rontal apa pun pada Yang Mulia Paramesywari."
Ken Dedes mengangguk mengerti: semua harus sesuai dalam ketidaktahuan dengan Tunggul Ametung. Dan ia merasa dirampas dari segala yang ia perlukan. Bahkan membaca pun ia tidak diperkenankan. "Tahukah kau siapa aku sebenarnya"" "Setidak-tidaknya bukan dari kraton, bukan dari gedung-gedung para satria, ya, Yang Mulia." "Di mana perbedaan antara diriku dengan mereka"" "Yang Mulia terlalu cantik, tidak berbahagia menjadi Paramesywari, sebaliknya mereka akan berjingkrak gila karena sukacita. Sewajarnya Yang Mulia ini seorang brahmani." "Apakah kau duga aku seorang gadis desa"" "Nampak seperti itu, Yang Mulia. Bukankah waktu pertama kali Yang Mulia tiba belum tahu sesuatu apa tentang pekuwuan""
"Ya, Rimang, aku pun dari desa seperti kau. Apa kata orang tentang diriku""


Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak ada yang berani bicara, Yang Mulia."
Ken Dedes meme jamkan mata. Saat ini ia merasa berkewajiban mengenangkan ayahnya. Ia tak dengar lagi Rimang bicara:
"Betapa pengasih Dewi Parwati. Apa yang sahaya pohon selama ini telah menjadi kenyataan:Yang Mulia sudi bicara dengan sahaya ini ..."
Kenangan Ken Dedes sudah melayang pulang ke desa Panawijil.
Sore hari sebelum pergi orang setengah baya itu telah berpesan padanya:
"Anakku Dedes, boleh jadi lama aku akan tinggalkan kau. Hati-hati kau menunggu rumah," dan ayahnya itu pergi membawa semua pemuda yang belajar secara diam-diam padanya.
Ia tinggal di rumah hanya dengan bujang-bujang wanita.
Seorang brahmana tidak pernah meninggalkan rumah kecuali karena urusan yang sangat penting. Ia tahu kepergiannya hendak bertemu dengan brahmana lain, entah siapa, entah di mana, dengan satu pokok pembicaraan: mencari jalan untuk menegakkan kembali cakrawarti Hyang Mahadewa Syiwa.
Sejak kecil ia diajar untuk membuang muka, membenci, terhadap siapa saja yang tidak mengindahkan Hyang Syiwa. Kemudian dari pelajaran ayahnya ia tahu, Tunggul Ametung adalah seorang penjahat, karena ia tidak mengindahkan Hyang Syiwa, bahkan memusuhi. Seorang pemuja Hyang Syiwa adalah orang yang tahu diri, karena selalu menimbang masa dan hari lewat, menghukum diri sendiri untuk setiap kekeliruan dan kesalahan. Orang-orang seperti dia tidak ada harganya untuk dikenal, sekali pun kekayaannya menyentuh langit dan kekuasaannya disokong dan dibenarkan semua drubiksa sepenuh Jagad Pramudita.
Dan setiap ayahnya menerima tamu seorang brahmana ia selalu disertakan dalam pembicaraan. Sejak kecil ibunya telah meninggal. Semua kasih-sayang Mpu Parwa tertumpah padanya sebagai anak tunggal. Antara ayah dan anak terjalin ikatan kemesraan, yang mengharukan bagi para brahmana yang datang berkunjung. Dan mereka tidak menolak kesertaannya dalam samadhi bersama. Tidak jarang samadhi itu ditujukan untuk hancurnya Tunggul Ametung, agar Hyang Manakala tidak membinasakan semua-mua karena kesesatannya.
Malam itu ia membaca seorang diri tanpa ayahnya. Seorang bujang datang mengganggu, memberitakan: Rombongan Sang Akuwu sedang menginap di desa tetangga. Maka besok, bila rombongannya lewat untuk meneruskan perjalanan memeriksa negeri, semua penduduk harus hadir di sepanjang jalan raya negeri untuk mempersembahkan hormat.
ia tak sudi menyembah seorang akuwu yang belum patut mendapat penghormatannya, apalagi dari ayahnya seorang yang telah mendapatkan gelar Mpu karena keterpelajarannya. Pagi hari ia turun ke pancuran untuk menghindarkan diri. ambil menghafal sepuluh syair Sansakerta ia bermain-main dengan air curah dari pancuran bambu itu. Kainnya basah. Air bermanik-manik pada bahu, muka, dan buahdadanya. Seorang bujang datang berlari-lari, memberitakan: Datang seorang penunggang kuda ke rumah, Ayu, mencari Sang Mpu Parwa." "Tiada kau katakan sedang pergi"" Sudah Menakutkan orangnya, Ayu. Seorang satria berge-lang, berkroncong binggal, dan berkalung serba emas." "Bukankah rombongan Akuwu sudah lewat"" "Sudah, Ayu, mereka tidak melalui sini." "Tapi satria itu""
Dia tidak turun dari kudanya. Mengetahui Sang Mpu tak ada, ia perintahkan sahaya memanggil anak Sang Mpu."
"Kembali kau. Katakan dia sedang pergi ke hutan," Dedes mengangkat kain, mendaki lereng bukit, lari menuju ke arah hutan.
Begitu melewati lereng bukit ia sampai di bentangan padang rumput. Ia berhenti untuk meninjau keliling. Sunyi-senyap. Baru kemudian ia menyeberangi padang itu. Lari, lari, tanpa menoleh lagi ke belakang- Ia tahu betul takkan ada orang menyaksikannya. Rumahnya terpencil tanpa tetangga.
Sampai di tepi hutan ia terengah-engah, berhenti sebentar untuk memeriksa keliling. Ia merasa aman. sambil memperbaiki kain dan rambut ia melangkah lambat-lambat masuk ke dalam. Ia kenal hutan sekeliling ini. Dan ia tak pernah takut memasukinya.
"Dedes!" panggil seseorang.
Ia terkejut, terpakukan pada tanah. Di hadapannya, di dalam semak, dilihatnya tubuh seekor kuda kelabu. Di atasnya seorang pria setengah baya. Celananya satu telapak di atas lutut. Kain penutupnya jatuh di atas pela
na. Dan celana itu tersulam dengan benang emas bergambar lengkung sulur dan dedaunan. Pada kaki di atas sanggurdi berkilau binggal dengan kepala naga, bermata intan.
Sekaligus ia mengerti: itulah Akuwu Tumapel. Tunggul Ametung si terkutuk. Ia tak mencoba menentang mukanya.
"Betul yang dikatakan orang," kata pria itu dari atas kudanya, "lima atau sepuluh Paramesywari Kediri masih kalah dibandingkan dengan kau seorang, Dedes. Mari, Permata, demi Hyang Wisynu, akan kududukkan kau di singgasana mendampingi aku. Mari, mari...."
Dedes mulai kehilangan kekagetannya. Kini ketakutan menguasai dirinya. Seluruh persendiannya goyah dan gemetar.
"Ayah! Tolong!" pekik Dedes. Tapi suara tak keluar dari mulutnya.
"Kurangkah kemuliaan seorang akuwu, maka kau tak berbuat sesuatu! Perlukah aku rebut Kediri untuk mendapatkan jawabanmu"" ia tetap duduk di atas punggung kuda, dengan tangan memegangi kendali.
Demi Hyang Mahadewa, Dedes menyebut dalam hari. Ia mendapatkan ketabahannya kembali. Hilang goyah persendian dan geletar tangan, ia tentang mata Tunggul Ametung. Mata itu bening, dengan lingkaran kuning lebih luas, dan tidak bersinar Hidungnya tidak bangir seperti dirinya. Bibirnya tebal dan begitu penuh mengisi wajahnya yang nampak terlalu kecil untuk itu. Dadanya bidang berbulu Juga tangannya, juga kakinya.
"Mata yang seindah itu ..."
Sekaligus Dedes menunduk.
"Buah dada yang sebagus itu ..."
ia berbalik dan bersiap meninggalkan hutan. Dari belakangnya ia dengar suara rayu itu:
"Memang kau tak perlu berikan penghormatan pada seorang Akuwu, Dedes. Sri Baginda Kretajaya pun belum patut mendapatkan lirikanmu," ia turun dari kuda.
Dedes mendengar kaki Akuwu menenangi semak, menyibaki lamtara muda. ia mencoba mempercepat jalan, tapi persendiannya menolak Dan ia rasakan tangan Tunggul Ametung menangkap bahunya. Ia kebaskan tangan itu:
"Jangan sentuh aku!" ia merasa dirinya kotor tersentuh oleh seorang Wisynu.
"Betapa galak, seperti brahmana lain-lain dan semuanya," ia tangkap tangan Dedes, dihadapkan padanya,"sebagai akuwu aku melarang kau menjadi pedanda. Mari Permata, aku iringkan kau ke Kutaraja, naik kuda, ke tempat terlayak bagimu. Mari, sayang."
Tunggul Ametung menariknya dengan hati-hati pada tubuhnya. Dedes mengangkat muka dan meludahinya. Dan akuwu itu ternyata tidak marah, bahkan mendekapkan tubuhnya pada dadanya yang berbulu, ia gigit dada itu, dan ia rasai keras seperti batu. Akuwu itu tertawa.
ia meronta dan meronta. Akuwu itu tertawa lunak. Dan ia tak dapat lepas dari tangannya ia tahu Akuwu dapat membinasakannya di hutan ini. Tak ada seorang pun menyaksikan. Saksi pun takkan dapat mencegahnya. Sekiranya ada senjata di tangannya ia akan tikam dia. orang Wisynu yang tak kenal Hyang Yama ini.
Ia mulai mencakar dengan tangannya yang bebas.Tunggul Ametung tertawa manis.
"Anak macan juga macan," ia tertawa. "Kau, anak desa yang belum lagi tahu: semua brahmana telah takluk menyembah pada kaum satria. Apakah Mpu Parwa, ayahmu, belum ajarkan itu padamu""
Amarah tanpa daya itu membikin Dedes terhisak-hisak menangis.
"Bicaralah, Permata, tak urung kau akan kuboyong ke pekuwuan. Betapa banyak wanita mengimpikan kesempatan itu, Dedes. Kau tidak suka" Justru karena itu lebih indah lagi, lebih berharga lagi kau di mataku, di hariku. Tidakkah kau mengerti Mpu Parwa bisa binasa karena kau" Bukankah dia sedang pergi mencari sekutu-sekutunya kaum brahmana" Tidakkah kau mengerti hukuman bagi persekutuan" Diikat dengan nagabanda, seluruh keluarga, berbaris masuk ke dalam rumahnya yang dibakar""
"Karena hanya itu yang kau bisa lakukan." "Hanya itu"" Akuwu Tumapel senang mendengar Dedes mau bicara "Hanya itu" Jauh lebih banyak dari itu, Permata." "Dan jauh lebih kejam dan hina."
"Ratusan, ribuan tahun yang lalu kaum brahmana jauh lebih kejam. Tak pernahkah kau dengar kampung-kampung yang dipersembahkan pada Hyang Durga" Itulah pekerjaan para brahmana. Ayahmu tidak cukup jujur kalau tak pernah ajarkan itu. Ah, putri brahmana, seorang brahmani. Aku mengerti kau merasa terhina tersentuh o
lehku. Tentunya ayahmu sudah mengajarkan padamu aku hanya seorang sudra." ia dekapkan Dedes semakin lekat, dan berbisik:
"Mulialah Sri Erlangga Bathara Wisynu, dengan titahnya semua orang bisa jadi satria atau brahmana demi dharmanya."
Dedes tak dapat menangkis, badan maupun jiwanya. Badannya tak berdaya dalam pelukannya, ilmu dan pengetahuannya juga tak berdaya membantahnya. Ia hanya dapat mendesis.
"Penipu!" Dengan tangan sebelah Tunggul Ametung mengangkat tubuh Dedes dan diciuminya mukanya, tersenyum puas:
"Adakah brahmani diajari juga bicara mengumpat" Tiada aku sangka."
"Lepaskan aku!"
"Sekali tertangkap tangan takkan lagi kau kulepaskan." "Keji! Yang mengerti tentang kemuliaan para dewa, mengerti tentang kehinaan manusia, yang mengerti tentang kehinaannya tidak akan lakukan perbuatan semacam ini."
Tunggul Ametung membelai-belai rambut Dedes dengan tangannya yang bebas.
"Justru karena kegaranganmu aku tergila-gila padamu, Dedes. Umpanlah aku, gigit dan garuk, tumpahkan semua ajaran Mpu Parwa. Untuk semua itu menjadi syahlah aku mendapatkan kau," Mengerti bahwa Tunggul Ametung tak dapat dikatakan tanpa pengetahuan menyebabkan ia lumpuh dalam amarahnya. Dan ia dengar lagi yang lebih menyakitkan:
"Ayolah, kutuk aku, seperti semua brahmana mengutuk semua orang di luar kastanya. Akan aku perlihatkan pada dunia: kaum brahmana takkan bisa bikin apa-apa pada waktu seorang brahmani bernama Dedes aku dudukkan di atas singgasana Tumapel. Dengar, Dedes, Permataku, tidak percuma Sri Erlangga mengutuk triwangsa bikinan kaum Brahmana. Kalian tak juga sedar, hidup terus dalam keseakanan, merasa tertinggi di atas segala kasta .... Hanya mimpi Dedes, hanya keseakanan. Itulah kekeliruan kaum brahmana! Kalian tak pernah tahu kenyataan. Dan itulah juga kejahatan ayahmu, membikin kau buta terhadap kenyataan." "Kenyataan harus takluk pada ajaran."
Tunggul Ametung menurunkan tubuh Dedes sambil tertawa terbahak-bahak:
"Akulah kenyataan. Aku tak takluk pada kaum brahmana dan ajarannya. Kumpulkan semua brahmana di atas bumi ini. Mereka takkan dapat taklukkan Tunggul Ametung."
Juga mempertahankan kemuliaan ajaran ia tidak mampu. Dan semua tamu brahmana itu memuji kecerdasannya Begitu banyak pujian dan sanjungan selama ini .Waktu ia jatuh ke tangan musuh pokoknya begini, ternyata ia tak berdaya. Dan Akuwu yang mendekapnya adalah kenyataan - kenyataan yang tak perlu takluk pada ajaranmu, memperlakukan makhluknya demikian macam"
"Barangkali kau tak mengerti ucapanku. Barangkali kau lebih tahu Sansakerta bahasa kahyangan itu daripada bahasa orang Tumapel."
"Betapa pongahnya kau seakan pemenang di atas jagad para dewa ini."
"Bagus, Dedes, senang aku mendengar suaramu, kegarangan-mu.Tapi kulepaskan kau tidak. Tahukah kau, orang-orang Buddha itu tak memerlukan dewa-dewamu" Orang-orang tani juga tidak- Mereka menyembah Hyang Wisynu yang pengasih dan pemurah. Dengarkan, Dedes, hanya kaum brahmana hidup dalam mimpi, hidup mereka pun dari kemurahanku. Jangan dengarkan janji dewa-dewamu itu. Mereka hanya dongengan untuk bocah-bocah yang tak pernah dewasa."
"Pongah!" Dedes lebih mempertahankan ajaran daripada diri sendiri.
"Kalian kaum brahmana lebih pongah dalam pikiran, tapi menunduk-nunduk merangkak-rangkak di hadapanku. Itu tidak jujur, Dedes. Juga kau tidak jujur, kau menantang-nantang di hadapanku begini, tapi kau sudah ada dalam tanganku, dan kau tahu, kau tak dapat menolak Tunggul Ametung. Tidak dapat, demi HyangWisynu!"
Ia lepaskan Dedes, dan seperti ditiupkan kekuatan pada dirinya ia lari.
"Akuwu Tumapel belum ijinkan kau pergi. Brenti!"
Dedes lari dan lari. Dan tak antara lama di hadapannya telah menghadang Tunggul Ametung di atas kuda. Dan ia disambar dari atas. Ia meronta dan menggigit lengannya, namun pegangan itu tak dapat lepas. Mengetahui Akuwu tak juga sakit atau pun mengaduh, ia hendak tikam hatinya dengan kata-kata tajam, tapi semua ajaran telah menjadi batu dalam ingatannya.
"Belum jera-jera kau menggigit, Dedes. Kau tahu sendiri, lengan yang seindah ini takkan kulepaska
n lagi." "Lepas, demi Hyang Mahadewa, terkutuklah kau."
Tunggul Ametung tertawa: "Mari naik, Permata. Dewa-dewamu tak berdaya menghadapi aku."
Dan Tunggul Ametung mengangkatnya dengan dua tangan. Ia meronta, kembali mencakar-cakar, sekarang menyasar wajah sang Akuwu.
"Ayah!" pekik Dedes. Suara itu kemudian padam dalam ciuman Tunggul Ametung. Ia pukuli wajah Akuwu. Dan lelaki itu tidak menjadi kesakitan karena pukulannya. Bahkan tetap tersenyum, menarik tali kendali, dan kuda itu mulai berpacu cepat.
Pada waktu itu Dedes mengerti: ia kalah, semua usahanya sia-sia, ayahnya pun tak berdaya, juga sekiranya ia melihat kejadian ini.
Duduk di atas kuda dalam pelukan di depan Tunggul Ametung ia dapat dengarkan langkah kuda, dapat rasakan nafasnya yang keluar masuk dari perutnya. Ia tak berani menggigit tangan yang memeganginya, ia pun takut jatuh dari kuda yang sedang mencongklang lari itu.Terdiam dalam ketidakdayaan akhirnya ia hanya bisa menangis kelelahan.
"Dedes," bisik Tunggul Ametung, dan ia rasai kumisnya menyentuh pipinya, "teruskan cakaran dan gigitanmu. Tidak mau" Baik, teruskan umpatanmu terhadapku pada suatu kali kau akan tahu semua itu akan jadi tak ternilai indahnya dalam kenangan setiap kali kau mengingatnya kembali, dan kau akan bertambah berbahagia. Hyang Wisynu telah tentukan aku jadi suamimu. Nasib tidak bisa kau elakkan. Aku pun lakukan ini bukan atas kehendak sendiri hanya karena petunjuknya juga."
Kekacauan hati membikin Dedes jadi sesak, dan ia sadari dirinya mulai memasuki kepingsanan. Pengelihatannya telah berayun-ayun, dan gemuruh hati dan derap kuda mulai samar. Waktu ia sadar lagi, yang terdengar mula-mula adalah bunyi telapak kuda itu juga. Tak ada sesuatu yang dapat dilihatnya, gelap-gelita. Waktu tangannya mulai dapat digerakkannya, ia mulai meraba-raba hadapannya. Tiada sesuatu yang teraba. Dan waktu tangannya jatuh, ia rasai kehalusan sesuatu. Jarinya mulai merabai kehalusan itu bulu, bulu kuda! Ia sadar masih berada di atas punggung kuda.
Hari itu memang gelap pekat. Kuda itu tidak lagi lari. Ia angkat tangannya lagi, dan dirasainya sebuah tangan, yang bukan tangannya sendiri. Dan tangan itu merangkul pinggangnya.
"Kau sudah bangun, Permata"" ia dengar suara, tepat pada kuping kanannya. Suara lelaki, bukan suara Mpu Parwa.
Ia meronta, tapi pelukan itu semakin ketat sampai-sampai ia merasa tersekat.
Ia mengingat dan berpikir, berpikir dan mengingat, dan tahulah ia, seseorang telah menculiknya dari Panawijil.
Waktu bulan tua itu mulai muncul, kuda itu mulai lari lagi, langkahnya menderap berirama. Hutan di kiri kanan jalan ber-larian menghilang seperti malu menjadi saksi.
Dan teringadah ia pada Akuwu Tumapel di belakangnya.
"Berani kau bawa aku tanpa ijin ayahku""
"Tak tepat kau di desa."
"Kutukan semoga jatuh ke atas kepalamu."
"Tidakkah kau akan menyesal, Dedes" mengutuki seorang yang akan jadi ayah dari anak-anakmu""
"Anak-anakku tidak berayahkan kau!" dan Dedes kembali menjadi kacau. Ia tahu anak bukan urusan manusia, tapi urusan para dewa.
"Takkan lama lagi, dan kau akan tahu, akulah bakal ayah dari anak-anakmu. Tumapel menunggu seorang Paramesywari dan seorang anak calon penguasa penggantiku. Hyang Wisynu menunjuk kau sebagai ibu yang terpilih itu."
Juga sekali ini Dedes tak mampu menandingi Tunggul Ametung dengan Hyang Wisynunya.
"Kau akan menyesal menguruki calon suami, yang akan membawa kau ke singgasana. Jangan remehkan satria. Tanpa satria brahmana tak bisa berbuat sesuatu. Tanpa brahmana satria bisa bikin segala-galanya. Dunia menghormati satria, raja-raja, juga akuwu. Setidak-tidaknya hari ini telah kudapatkan anak perawan brahmani, seorang brahmani yang masyhur akan kesuciannya, untuk jadi permata bagi hidupku dan bagi Tumapel."
Dedes pingsan lagi karena kekacauannya. Waktu ia sadar lagi dirasainya tubuhnya telah tertutup dengan kain. Angin malam itu tak lagi menggigit kulit dan membekukan darahnya. Barangkali Tunggul Ametung telah menyelimutinya dengan destar atau kain penutup celana. Ia merasa dihinakan dan tet
ap tak dapat berbuat sesuatu.
Ditutupnya matanya, kini memohon perlidungan dari Hyang Dewi Laksmi.
Ia dengar Sang Akuwu mendengus. Ia tunggu kata-katanya. Tapi tak lagi keluar suara dari mulutnya. Ia tahu ia mulai menyerah.
Waktu airmatanya jatuh menetesi lengan yang memeluknya baru ia dengar suaranya lagi:
"Jangan menangis, Permataku. Para dewa telah berikan dirimu padaku. Kau hanya menjalani sebagaimana juga aku. Tak pernah ada wanita menantang, melawan dan menolak Tunggul Ametung. Hanya kau! Karena itu kau dipilih lebih daripada putri-putri Tumapel, Kediri dan seluruh buana, satu-satunya perawan yang berani menggigit dan mencakar Tunggul Ametung sungguh-sungguh perawan pilihan. Yang berani meludahinya betul-betul manusia dewi. Tumpahkan airmatamu, Permata, karena setelah ini takkan dia titik lagi, seluruh kebahagiaan makhluk di atas bumi hanya milikmu."
Tunggul Ametung bicara terus. Dan ia makin dapat mengerti. sama sekali dia tak dapat dikatakan dungu. Kata-katanya teratur dan bersumber pada kepercayaannya pada HyangWisynu "Dedes, kaulah permata di antara semua jenis wanita. Tak ada perawan dari triwangsa dan di luarnya lebih terpilih daripada kau Daripadamu akan lahir raja-raja besar di bumi Jawa. Ah, Dedes, apakah Mpu Parwa pernah tahu semua ini"" Airmata Dedes semakin deras.
"Dedes, Dedesku, dalam hatimu saja terdapat api sang Mun-cukunda[seorang tokoh yang dengan pandang matanya telah membinasakan raksasa Kalayawana dalam peperangannya melawan Kresna.]. Di luar kau semua hanya sampah di hadapan matamu. Permataku! Permataku!"
Perawan itu menjadi ragu apakah orang yang memeluknya ini benar menjalankan petunjuk dewa ataukah memang hanya drubiksa meminjam suara para dewa. Segala apa tentangnya yang didengarnya dari ayahnya dan para brahmana tidak cocok. Ia bukan seorang yang dungu, tahu berlemah lembut. Ataukah memang demikian semua penjahat dalam usahanya" Dan mengapa para brahmana, yang menganggap dirinya benar karena sejalan dengan ajaran tunduk takluk pada Hyang Yama, tidak mampu berbuat Sesuatu terhadapnya" Adakah Akuwu Tumapel yang memeluknya benar-benar lebih kuat dari semua dewa sekaligus" Dia telah bicara tentang Muncukunda, cerita dan tafsiran yang diberikan hanya kepada siswa-siswa tingkat cikil dan wasi. Benarkah dia butahuruf, dan mengetahui segala hanya dari tangan kedua"
Suatu kemestian bagi brahmana adalah berpikir dahulu sebelum bertindak. Dan nampaknya Tunggul Ametung melakukan ini setelah masak berpikir. Maka dia tahu ke mana ia pasti akan lari menghindarinya, dan menunggu di sana sampai ia datang.
Kembali ia diserang kekacauan. Semua yang diajarkan oleh ayahnya terancam akan runtuh dalam tangan orang yang dapat menggagahi segala-galanya ini.
Di sela-sela derap kaki kuda itu terdengar dalam ingatannya suara ayahnya: Kaum satria adalah pemukul segala dosa; dunia akan binasa karena mereka; dan hanya kaum brahmana bisa selamatkan manusia dan dunia; maka semua usaha kaum brahmana harus dipusatkan pada kembalinya tatatertib Jagad Pramudita.
Sekarang ia dalam pelukan seorang sudra yang disamakan oleh Kediri. Dan ia tak dapat membela diri. Dewa-dewa juga tidak menolongnya. Hyang Laksmi juga tidak membantunya. Hyang Mahadewa yang setiap hari dipujanya dalam samadhi juga tidak melepaskan trisulanya untuk menolong dirinya.
"Permataku!" ia rasai wajah Tunggul Ametung itu menciumnya. Dan ia dengar suara itu tidak mengandung kama, tapi kasih sayang. "Segalanya akan dipersembahkan pada Dedes dan kesuciannya, dan kemuliaannya. Apakah kurang aku menghormatimu" Apakah aku kurang halus terhadapmu" Kau, perawan dengan hati memeram api Muncukunda! Kau, ibu dari raja-raja besar yang bakal dilahirkan. Singgasana Tumapel adalah milikmu. Tidak percuma para dewa bisikkan padaku setiap kali ber-samadhi."
Dedes tak rasai lagi dingin angin pancaroba menjelang pagi. "Bahkan rambutmu kurasai seperti belaian sorga." "Lepaskan aku, Tunggul Ametung," ia mulai meronta lagi. "Kulepaskan kau setelah sampai di keputrian pekuwuan." "Terkutuk kau!"
"Aku terima kutukanmu, Dedes. Seorang satria ak
an terima segala dari para dewa, sama beraninya dengan waktu di medan perang. Tapi jangan kutuki anak-anakmu sendiri."
"Penipu! Pembohong! Penculik!" Dedes memberontak, juga ajaran yang telah diterimanya menggugatnya mengapa ia tidak melawan.
Kembali ia pingsan. Menjelang terbit Hyang Surya, kuda itu memasuki pekuwuan, tanpa mengindahkan para pengawal yang sedang lalai dalam kantuknya. ia turun dari kuda membopong Dedes, masuk ke dalam keputrian, dan membawanya masuk ke dalam Bilik Paramesywari.
Dedes sadar kembali. Ia dapat melihat Tunggul Ametung membangunkan seorang wanita yang tidur di lantai di atas tikar dengan kakinya. Dan ia dengar:
"Rimang! Aku serahkan padamu putrimu Sang Paramesywari. Lehermu jadi petaruh."
Ia lihat Rimang mengangkat sembah, dan sepasang matanya bersinar-sinar.
Sang Akuwu meletakkannya di atas ranjang bertilam sutra. Ia tahu pria itu berlutut padanya, berbisik:
"Permataku, semua ada di bawah perintahmu. Jangan tinggalkan tempat ini," ia pergi entah ke mana.
Rimang sekarang yang berlutut padanya:
"Yang Mulia, Yang Mulia ..."
Dedes menangis sejadi-jadinya.
Di mana ayahnya kini, ia tak tahu. Sejak peristiwa penculikan dalam hutan di semak lamtara muda itu, ia tak pernah dengar sesuatu dari desanya, Panawijil. Antara dirinya dengan masalalu-nya seakan telah tergunting putus. Tak ada orang yang mengenalnya di pekuwuan. Ia diserahkan pada segala yang asing, dan pedandi itu memata-matainya tanpa jera, membanjirinya dengan nasihat tetekbengek. Pada suatu kali, tanpa bicara ia telah usir pedandi itu dengan gerak tangan. Ia tak perlukan nasihat bagaimana harusnya seorang istri terhadap suami, yang oleh para dewa dititahkan jadi satria untuk menduduki tempatnya mempertahankan keseimbangan jagad pramudita.
Ia tak perlukan nasihat dari siapa pun yang tak punya persinggungan hidup dengan dirinya.
Pada mulanya ia dengarkan semua, seperti ia dengarkan setiap pelajaran dari ayahnya. Ia hafalkan dalam hatinya yang pengap karena dukacita. Keinginan untuk tahu segala dan jiwanya yang sedang kembang dengan sarwacita, memang terbuka terhadap semua penjelasan tenung kedudukan manusia di tengah-tengah jagadnya, di tengah-tengah hubungan antar manusia dan dengan para dewa. Akhirnya pintu harinya terkunci erat begitu ia menye-dari setiap nasihat bertujuan menuntut dari dirinya kesetiaan mutlak kepada Sang Akuwu.
Ia muak. ia tak mempunyai perasaan bersetia pada suaminya. Pernikahannya yang tanpa saksi, bahkan tidak menyebut namanya dan nama ayahnya, mantra-mantra dalam Sansakerta yang banyak salahnya semua itu ia rasakan tak punya dasar yang kuat untuk menuntut kesetiaan daripada dirinya. Tak ada yang lebih menyakitkan mengetahui, ayahnya samasekali tidak dimasukkan dalam hitungan.
Bahkan sampai empat puluh hari pun orang tak tahu siapa nama dirinya, apalagi nama ayahnya. Apalagi penculikan itu dilakukan oleh Tunggul Ametung seorang. Tanpa saksi.
Dan siang itu Tunggul Ametung tidak menjenguknya. Sore hari juga tidak. Kemudian ia mengetahui: suaminya telah meninggalkan Tumapel langsung menuju ke Kediri dalam iringan pasukan kuda.
"Bahkan minta diri dari aku pun ia merasa tidak perlu."
Itu juga menjadi petunjuk baginya: ia tidak terikat pada suatu kesetiaan pada Sang Akuwu.
Tepat pada waktu matan tenggelam Rimang mengeringkannya ke belakang dapur, keluar dari keputrian. Para pengawal yang kebetulan terpapasi menyingkir memberikan jalan dan mengge-dikkan pangkal tombak pada tanah.
Mereka sudah lebih seratus langkah di belakang dapur, memasuki kebun buah-buahan yang semua sedang berbunga lebat.
"Di sini pujaan sahaya. Yang Mulia Paramesywari," Rimang berhenti di bawah pohon jambu mede muda, rendah dan lebat, "setiap han sahaya beri pohon ini air cucian daging."
Ken Dedes mengawasi Rimang, terheran-heran. Inang itu mengangkat sembah pada pohon itu. "Pohon mede ini Dewi Parwatimu""
Rimang tak menjawab, tenggelam dalam kekhusukan. Dedes membuang muka kecewa dalam rembang senja. Tapi ia tak hendak memperlihatkannya.
Setelah selesai baru Rimang berkata:
"Di sinilah Dewi Parwati. Yang Mulia," dan dengan matanya ia menuding ke arah cabang.
Sebuah patung Parwati dari dua jengkal berdiri dari cabang itu, terlindungi oleh rimbun dedaunan.
Dedes mengangkat sembah pada patung anyaman rontal itu. Dalam hari ia mengherani betapa bisa dewi itu sampai mendapatkan tempat begitu tidak layak di bawah kekuasaan seorang satria Tumapel.
"Di sinilah, Yang Mulia, demi Dewi Parwati, demi Hyang Candra, sahaya bersumpah untuk membantu dan bersetia pada Yang Mulia, hidup sampai pun mati."
Mereka berjalan kembali ke keputrian, kemudian masuk ke Bilik Agung.
Di bawah sinar damar Dedes memperhatikan Rimang yang duduk di lantai, mencoba menerka siapa dia sesungguhnya. Dan dayang itu mengangkat muka padanya.
"Kau dulu cantik, Rimang."
"Tentu saja, Yang Mulia."
"Berapa umurmu sekarang""
"Tiga puluh tujuh tahun surya, Yang Mulia."
"Tidakkah kau pernah bersuami""
"Bukan hanya bersuami,Yang Mulia. Dahulu sahaya pun ada dua orang anak, semua lelaki." "Mengapa kau tinggalkan mereka""
"Sama dengan pengalaman Yang Mulia, diambil dari rumah dan disekap dalam keputrian sampai sekarang."
"Jagad Dewa. Jagad Pramudita. Maksudmu, Rimang, adakah kedatanganku ini mendesak tempatmu""
"Tidak, Yang Mulia, Sang Akuwu sudah tujuh tahun ini tidak memerlukan sahaya lagi."
Dedes berdiri, berlutut di hadapan Rimang, memegangi dua belah bahunya:
"Manakah anakmu dengan Akuwu""
"Sahava telah bersumpah takkan mengandungkan benihnya." "Kau membenci dia, Rimang""
"Yang Mulia seorang Paramesywari, tidak patut mencontoh sahava." "Kau membenci dia"" "Sahava anak sudra, Yang Mulia." "Kau membenci aku karena Paramesywari"" "Demi Parwati. Tentu ada di antara para selir yang membenci Yang Mulia, tetapi bukan Rimang ini." "Tiadakah kau ingin mendapatkan seluruh kasih Akuwu"" "Selama lima belas tahun ini saya selalu mengenangkan suami dan anak-anak sahaya. Entah di mana mereka sekarang." "Kasih betul kau pada mereka."
"Merekalah suami dan anak-anak sahaya. Sebelum mati, sahaya masih ingin bertemu. Yang Mulia. Suami sahaya dan sahaya tidak pernah bertengkar. Sahaya masih ingat terakhir kali melihatnya pergi menggendong anak sahaya yang masih kecil dan menggandeng yang lebih besar. Diusir keluar dari negeri Tumapel. Sahaya memekik memanggil-manggil agar dibawa, tapi prajurit-prajurit itu menyeret sahaya ke Kutaraja."
Ken Dedes duduk lagi di atas. Pada wajah Rimang tak tergambarkan dukacita Garis-garis keras tertarik pada ujung-ujung mulut garis-garis dendam.
"Kau bilang, kau anak sudra."
"Benar, Yang Mulia."
"Apa alasan Tunggul Ametung""
"Pernah sahaya cantik tiada tandingan di desa sahaya sejauh pemuda-pemuda yang melamar itu menyatakan, sejauh suami sahaya selalu memuji Itu saja sudah suatu alasan, Yang Mulia."
Bukankah untuk itu tak perlu suami dan anak-anakmu di-usir dari negeri""
"Adik suami sahaya menginginkan sahaya dan alasan dicari-cari. Mula-mula adik ipar sahaya memancing-mancingnya bertikai tentang wayang. Suami sahaya seorang Syiwa seperti sahaya, seperti orang Syiwa lainnya tidak setuju mempergelarkan keagungan para dewa melalui bayang-bayang kulit. Keterbatasan manusia tidak memungkinkan dia melukiskan kebesaran mereka. Semakin rendah yang memainkan wayang itu, semakin mentertawakan para dewa dibuatnya. Para dewa hanya layak disampaikan oleh para pujangga dan brahmana ..."
Ken Dedes tahu betul tentang persoalan itu. Wayang adalah permainan bodoh dari orang-orang bodoh yang tak mengerti ajaran. Hanya para brahmana yang berhak menafsir dan menerangkan tentang para dewa. Tetapi Sang Hyang Erlangga setelah sepuluh tahun naik tahta telah menitahkan." bukan hanya kaum brahmana saja yang berhak tahu tentang para dewa, semua orang boleh tahu, pergelarkan melalui wayang, karena bayang-bayang para leluhur dalam wayang adalah sama dengan bayang-bayang para dewa .... Sampai sekarang ia seperti para brahmana lain belum pernah menontonnya.
Melihat Ken Dedes tidak mendengarkan ceritanya Rimang berhenti.
"Mengapa kau diam" Apa kemudian diperbuat oleh
adik iparmu"" "Itu saja sudah cukup jadi dalih untuk menuduhnya menghujat Sri Erlangga dan kaum Wisynu. Dan itu belum semuanya. Pertikaian itu kemudian berkisar pada soal Ramayana. Ipar sahaya memulai sampai monyet pun mengabdi pada Hyang Wisynu yang menitis pada Rama. Rama sebaliknya mengangkat monyet-monyet itu jadi satria. Suami sahaya tadinya diam saja. Makin lama adik ipar sahaya semakin menjadi-jadi, mengatakan, kasih dan kemurahan Hyang Wisynu tanpa batas menyumram-bahi sampai titah yang sekecil-kecilnya. Sehingga, akhirnya suami sahaya menambahi begini: monyet-monyet yang berjasa pada Hyang Wisynu itu tetaplah menjadi monyet dalam kekesatriaannya, tak pernah jadi manusia. Seminggu kemudian prajurit Tumapel datang, dan beginilah jadinya nasib kami." "Kau sendiri bagaimana"" "Sahaya selalu berpihak pada suami sahaya." "Hyang Wisynu tidak pernah memanusiakan monyet, sekali pun monyet bukan kekuasaan Hyang Wisynu, Rimang. Itu hanya kekuasaan Hyang Mahadewa Syiwa, Dialah yang berkuasa mengubah bentuk apa pun dalam Jagad Pramudita. Bentuk, Rimang. Adapun tentang isi, titah sendiri yang menentukan."
"Sahaya hanya seorang sudra, Yang Mulia, tak banyak tahu tentang kiwan[pengetahuan tentang para dewa.], tengenan[pengetahuan tentang manusia.] pun cuma sedikit. Sahaya hanya tahu tentang kasih pada suami dan anak."
Betapa tidak berdaya anak sudra di hadapannya ini. Ia, seorang brahmani, yang tahu banyak tentang kiwan dan tengenan, juga tidak berdaya. Para dewa tidak menolongnya, semua manusia juga tidak. Ayahnya sendiri tak terdengar wartanya. Ia terse-dan-sedan. Apakah sia-sia semua ilmu dan pengetahuan yang telah diserapnya sejak kecil ini" Apakah percuma saja semua yang telah dipelajarinya" Benarkah kalau ajaran percuma, sama yang tergelar dalam Jagad Pramudita ini juga sia-sia"
"Yang Mulia, Yang Mulia," Rimang berdiri, "ampuni sahaya telah sedihkah hati Yang Mulia."
"Kau telah tidak berdaya, Rimang. Aku pun tak lebih dari kau, biar pun aku bukan sudra."
"Berbelas tahun terkurung di sini sahaya jadi mengerti, Yang Mulia tiada punya teman. Jangan, Yang Mulia, tak ada guna berteman. Percayalah, tak ada seorang pun bisa dipercaya. Dari sesama yang busuk, boleh jadi Rimang ini yang kurang busuknya."
Rimang terdiam melihat pedandi itu masuk, menggelar tikar dan duduk di hadapan Dedes. Suasana berubah karena kedatangannya:
"Berhubung Yang Mulia Akuwu berhalangan datang, sahaya datang untuk menemani" "Tak perlu aku kau temani." "Sahaya menjalankan perintah Yang Suci." "Temanilah Yang Suci, jangan aku." Pedandi itu mengerutkan kening:
"Setidak-tidaknya hari ini Yang Mulia Paramesywari sudi bicara pada sahaya. Beribu terimakasih. Marilah kita nyanyikan bersama puji Kebesaran. Yang Mulia," tanpa menunggu jawaban ia mulai menyanyi.
Dedes menyertai, mula-mula dalam Sansakerta.Waktu berpindah dalam Jawa Dedes berhenti.
"Yang Mulia Paramesywari tak suka menyanyi Jawa. Sansa-kerta Yang Mulia bagus, tepat tekanan dan panjang-pendeknya. Siapakah guru Yang Mulia""
"Siapa dewa pujaanmu""
"Sang Hyang Mahadewa."
"Syiwa"" "Syiwa Manakala, Yang Mulia."
"Jagad Pramudita!"
"Mengapa, Yang Mulia""
"Aku kira semua di sini penyembah Wisynu."
Pedandi itu mengangkat kepala lagi, memperhatikan sang Paramesywari yang malam ini mulai mau bertanya-tanya.
"Aku ingin seorang diri malam ini."
Pedandi itu mengangkat sembah dan pergi.
Jadi perintah Belakangka dapat dipatahkannya. Dengan diam-diam ia menikmati kemenangannya. Dan ia akan pergunakan kekuasaannya sebagai Paramesywari. Tapi benarkah ia telah jadi Paramesywari" majikan di rumah asing ini"
Waktu Rimang datang untuk melakukan tugas menyertanya. Dedes mencoba memerintahnya mengambilkan air panas. Dan
hamba itu pergi dan balik membawa cawan air panas. Ia pandangi wanita itu, meneliti wajahnya. Benar ia telah lakukan perintahnya dengan tulus. "Mengapa kau mau aku perintah""
"Mengapa. Yang Mulia" Semua orang di pekuwuan ini harus lakukan perintah Yang Mulia Paramesywari."
"Rimang, apalah arti diriku di sini maka perintahku harus
dipatuhi"" "Ah, Yang Mulia, Yang Mulia. Kutaraja bukan desa. Rumah Yang Mulia dulu bukan pekuwuan.Yang Mulialah yang berkuasa di seluruh pekuwuan ini. Juga berkuasa atas hidup dan mati."
Dedes meredupkan mata, kemudian melirik pada Rimang:
"Dan Sang Akuwu""
"Yang Mulia Akuwu tidak mengurus pekuwuan ini. Yang Mulia Paramesywari, tapi mengurus negeri. Selingkupan pekuwuan ini di tangan Yang Mulia. Yang Mulia tinggal jatuhkan perintah, dan semua akan terjadi."
Yang demikian tidak pernah ia dengar dari mulut ayahnya, ia dididik tidak untuk menguasai pekuwuan dan manusia seisinya.
"Ulangi kata-katamu, Rimang."
Rimang mengulangi. Dedes menikmati keindahan dan nikmat yang terkandung dalam kekuasaan itu.
"Perintahkan menabuh gamelan, Rimang, dan terangi pen-dopo dengan empat damar lagi."
Rimang pergi, dan sebentar kemudian terdengar gamelan ditabuh.
Rimang datang lagi. "Semua telah terjadi sebagaimana Yang Mulia perintahkan." "Lima belas penyanyi wanita supaya berlagu bersama, Rimang."
"Untuk itu dibutuhkan persiapan. Yang Mulia." "Aku sabar menunggu persiapan itu." Dan Rimang pergi lagi.
Walau pun agak lambat terlaksana, lima belas penyanyi wanita mulai terdengar mengiringi gamelan.
Rimang datang lagi: "Tiadakah Yang Mulia berkenan memeriksa semua"" Ken Dedes bangkit dari duduknya dan bersiap-siap hendak keluar.
"Sabar, Yang Mulia," ia memperbaiki rias Paramesywari, dan menahannya keluar dari Bilik Agung."Belum,Yang Mulia, nanti Yang Mulia akan lihat, semua akan sujud dan menyembah Tetapi pita mahkota ini jangan sekali-sekali terlupa bila nampak di hadapan orang banyak." Ia ambil pita mahkota yang bertaburan intan permata itu dari lemari batu dan mengenakannya pada kepalanya.
Dedes memejamkan mata, memohon pada dewata agar dikembalikan kepercayaannya pada diri sendiri. Dihirupnya nafas dalam-dalam. Ia akan memulai hidup sebagai Paramesywari dengan sepenuh kekuasaan hidup dan mari.
Keluar dari Bilik Agung ia lihat pedandi itu berdiri mengangkat sembah dan membungkukkan badan berbisik:
"Hendak ke manakah. Yang Mulia Paramesywari""
"Tak perlu kau tanyakan."
"Ampun, Yang Mulia, adalah di luar acara ..."
Dedes tak mempedulikannya. Ia melangkah ke bendul untuk memasuki pendopo. Di belakangnya ia dengar suara pedandi itu tertuju pada Rimang:
"Kepalamu akan jatuh karena peristiwa ini."
Dedes berhenti, menunggu Rimang mengiringkannya. Dengan dada tegak dan langkah agung ia memasuki pendopo. Semua penabuh dan penyanyi berhenti, mengangkat sembah, juga para pengawal. Ia gerakkan jarinya memerintah gamelan ditabuh kembali. Dan gamelan itu berbunyi lagi ditingkah oleh nyanyi bersama lima belas orang dara.
Ia tersenyum puas mengetahui wujud dari kekuasaannya sebagai Paramesywari. Pendopo itu dikelilinginya. Dalam han tak henti-henti ia mengucap syukur kepada Hyang Mahadewa. Kekuasaan ini adalah indah dan nikmat. Ia takkan melepaskannya lagi, dan ia akan jadikan benteng untuk dirinya sendiri, juga terhadap dukacita dan rusuh hati.
Sekali mengitari pendopo kemudian ia balik masuk ke Bilik Agung dan memerintahkan pada Rimang supaya gamelan berhenti. Gamelan itu berhenti seketika.
"Hyang Parwati telah lindungi Yang Mulia," bisik Rimang, "Hyang Mahadewa telah anugerahkan kekuasaan tertinggi di tangan Yang Mulia. Pandanglah Rimang yang hina ini. Dengan perintah Yang Mulia, akan sahaya sampaikan untuk jadi kenyataan."
Ken Dedes berlutut mendampingi Rimang. Nafas besar di-hembuskannya. Ia mengangkat sembah dada. Kekuasaan tanpa batas itu terbayang olehnya seperti cakra[anak panah dengan roda sebagai mata; lambang kekuatan Wisynu.] Hyang Wisynu yang mampu menembus segala.
Nyala damar di empat penjuru ruangan ia rasakan seperti karunia dari Hyang Surya sendiri, yang memberinya kekuatan, jauh lebih besar daripada sebelumnya kekuatan untuk mendapatkan segala.
Dalam tunduknya ia tersenyum. Berbisik:
"Jagad Dewa. Jagad Pramudita."
Sudah beberapa hari ia tidak melihat suaminya. Kini ia mulai berubah menjadi orang lain seorang pribadi yang tak pernah dibayangk
annya sebelumnya. Para dewa mempergunakan tubuh hidup manusia untak melakukan kehendak mereka. Melalui tubuhku yang hidup akan kulakukan segala yang jadi kehendak mereka.
Kini ia tidak lagi menyesali menetesnya darah pada malam pertama itu. Kini ia malah bersyukur pada detik perpisahan antara Dedes anak brahmana Mpu Parwa tiada arti menjadi Ken Dedes Sang Paramesywari. Ayahnya hanya bisa menge-cam-ngecam Tunggul Ametung. Ia akan menaklukkannya.
Dan waktu bulan semakin lambat juga terbitnya, sekali dalam iringan Rimang dan para pengawal ia berkunjung ke pura. Rimang kembali sebelum memasuki torana. Para pengawal menunggu dan berkemit di luar. Bahkan penunggu pura ia perintahkan pergi setelah membakarkan dupa-setanggi.
Dengan kepergian Tunggul Ametung ia telah perintahkan mengubah susunan pura. Ia akan mendapat tantangan dari banyak orang, dan ia sengaja hendak menantang mereka.
ia langsung pergi ke sebelah utara, berlutut di hadapan Durga. Mula-mula ragu untuk mengucapkan sesuatu. Diangkatnya mukanya, menatap syakti Sang Syiwa itu, seorang dewi yang menakutkan dengan tangannya yang delapan.
Patung kayu coklat tua mengkilat itu baru sepagi dipasang. Ia perhatikan tangannya satu demi satu, dan lambang-lambang yang dibawanya: sangkala, perisai, panah, busur, pedang .... Ia menunduk lagi.
Dewi yang penuh mujizat itu ....
Ia semakin menunduk, menurunkan sembahnya. Ia tak menyedari buahdadanya sendiri mengerjap seperti buahdada Sang Durga. Dulu ia selalu mempunyai perasaan takut padanya. Kekuasaannya dalam membinasakan menggetarkannya. Bahkan menyebutkan namanya ia gentar. Sekarang ia merasa mendapatkan kasih-sayangnya. Dewinya yang bertangan delapan ini akan tumpas segala dan semua yang akan menghadang jalannya.
Nenek-moyang telah menyiapkan pengertian ini. Mpu Parwa berkali-kali telah memberinya tafsir tentangnya. Seakan semua meretas jalan baginya untuk peristiwa hari ini. Dalam kepalanya muncul Banowati, istri Suyudhana, raja Kaurawa. Bekas pacar Arjuna itu pada suatu kali didatangi oleh kekasihnya yang menyuruhnya menerima pinangan Suyudhana. Dia harus jadi Paramesywari raja Kaurawa, untuk kelak dapat membantunya mengalahkan Kaurawa sendiri di medan perang Bharatayuddha.
Ia angkat lagi kepalanya, menatap ke atas pada mata Sang Durga.
"Inilah sahaya, ya, Durga, inilah Banowatimu, datang menyerahkan hidup dan mati suamiku padamu."
Ia terhenyak di tempat. Suara tawa mengakak itu terdengar memekakkan telinganya. Bulu romanya menggermang dan darahnya menjompak ke kepala. Ia berdiri dan dilihatnya patung itu sesekali tak membukakan mulut.
"Permataku!" Ia berpaling ke arah torana dan dilihatnya suaminya berdiri bertolak-pinggang.
"Mari, Permataku, betapa rindu kakanda sepekan berpisah, mari! Kau tinggalkan Bilik Agung kosong tanpa jiwa ..." tetapi ia tak berusaha naik ke pura.
Ken Dedes kembali pada sikap-duduknya yang semula, meneruskan percakapannya dengan Hyang Durga:
"Itulah suami sahaya, ya, Hyang Durga. Bahkan bicara denganmu pun hendak dihalanginya. Betapa telah hinanya kaum satria ..."
"Ada banyak waktu untuk itu. Permata!" seru Tunggul Ametung dari torana. Ken Dedes tetap dalam keadaannya:
"Inilah sahaya, Hyang Durga, Banowatimu, yang akan jual suami pada musuhnya," ia terhenti, menunduk dalam.
Seakan ia dengar suara sayup dan lembut, keluar dari hati seorang ibu yang mencinta: Kau tegakan suamimu, anakku, hendak kau jual pada musuhnya sendiri" Siapa gerangan musuh suamimu"
"Kaum brahmana, ya, Hyang Durga! Belum lagi sahaya tahu benar, ya, Durga, adalah seorang brahmana muda, brahmana jiwanya, tapi tangannya tangan satria seperti kau. Suamiku telah lari dari dia, pergi menghadap ke Kediri, boleh jadi minta ba-labantuan. Lindungi dan sokonglah brahmana muda itu, ya, Hyang Durga!"
Dan seakan ia mendengar jawaban: Bagaimana bisa, kau, lebih percaya pada brahmana muda yang belum pernah kau kenal" Namanya pun kau tidak tahu"
"Hati wanita ini telah digerakkan oleh Hyang Mahadewa. ya, Bathari, tak mampu memungkiri untuk sekali dapat melihat wajahnya, mendengar su
aranya, mengetahui hatinya. Tidaklah terlalu luas negeri Tumapel ini, ya, Hyang Durga Banowatimu ini ingin tahu siapa dia brahmana muda dengan kumis sekepal itu."
Seakan ia dengan Durga tertawa mengakak membenarkannya, dan: Boleh jadi takkan lama kau akan tahu brahmana muda musuh suamimu itu. Tidak akan lama lagi ....
Ia renungkan jawaban yang seakan didengarnya itu. Adakah itu suara Durga, atau mendiang ibunya sendiri yang tak pernah dikenalnya, atau hanya suara harapannya sendiri" Ia tak tahu.
"Apapun yang kau katakan padaku, ya, Durga, melalui suara siapa pun, menjadilah pedang dan perisai pada tanganku dan petunjuk dalam hatiku."
"Permataku! Betapa lama aku harus menanti"" seru suara itu.
"Itulah satria suamiku, ya, Bathari, yang tidak jera-jera memburu wanita, melepas segala kama yang ada dalam dadanya, seperti anjing yang tak kenal bapa lagi."


Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah harus aku bopong kau keluar dari pura, Permata"" suara dari luar torana itu terdengar lagi.
Ken Dedes mensujudkan diri pada kaki Durga. ia padamkan pancaindera memasuki alam darana[konsentrasi, pemusatan perhatian.]. Waktu terasa mati, bersama Hyang Mahakala merasuki Bathari Durga. Dan waktu ia telah bangun dalam kesedarannya, ia lihat Tunggul Ametung telah duduk di sampingnya. Bau wewangian menyerbaki tubuh pria itu. Jelas ia telah meninggalkan torana pura dan mandi, berganti pakaian dan bersolek diri.
"Cukup, Permataku."
Dedes bangkit berdiri, menundukkan kepala, tak menolak digandeng suami. Tangan itu lemah-lembut menariknya langsung ke gerbang Taman Larangan. Seorang prajurit mengunci kembali gerbang itu di belakang mereka.
Taman Larangan itu senyap. Hanya mereka berdua di dalam, terkepung oleh pagar tanah liat bakar, kemudian lapisan dinding gedung pekuwuan yang memutari.
Ia rasai tangan Tunggul Ametung mulai meremas jari-jarinya. Paramesywari itu menolak berjalan terus, membelok ke kiri dan duduk di bangku. Ia menunggu teguran suaminya karena telah menempatkan Durga dalam pura Wisynu.
Dan Tunggul Ametung tidak menegurnya. Akuwu itu memeluknya. Hari ini adalah awal dari kebinasaanmu, Tunggul Ametung! Paling tidak juga Rimang menyertai aku.
"Kau tiada bertanya dari mana saja kakanda selama ini"" bisiknya mesra. "Urusan satria adalah mengurusi negeri." "Benar, Permata. Tiada aku sangka anak brahmana tahu tentang satria."
Ia rasai tangan Akuwu pindah memeluk pinggangnya yang ramping seperti pinggang lebah. Dan ia membenarkan dirinya dipeluk.
"Aku tunggu kemarahanmu."
"Patutkah Akuwu Tumapel marah pada Paramesywari"" "Kau biarkan Hyang Bathari Durga ada di pura"" "Malam ini juga akan dipindahkan ke Bilik Paramesywari." "Kau takut pada Belakangka""
Ia tertawa, suka istrinya mulai mau bicara, kemudian:
"Takut" Hanya saling memberi dan menerima."
"Apa yang kau berikan dan apa yang kau terima""
Tunggul Ametung tertawa: "Itulah urusan satria, bukan brahmana."
"Hyang Bathari Durga tak perlu dipindahkan"
"Sudah cukup kesulitan di Kediri karena Belakangka Jangan persulit aku."
"Apa yang menyulitkan kau di Kediri"" "Itulah urusan satria."
"Bukan, setidak-tidaknya bukan tentang agama[peraturan timbal-balik antara raja dan kawula.]. Karena menyangkut tentang Belakangka, kiranya tentang igama[peraturan timbal-balik antara dewa dan manusia.].
"Dasar anak brahmana. Hendak terus juga kau mengurusi soal igama""
Tunggul Ametung hendak membisukannya dengan ciuman, tetapi Paramesywari menyorong mukanya: "Kita selesaikan dulu ini."
"Apa harus diselesaikan" Tiba-tiba kau mau bicara, dan tiba-tiba kau jadi begini keras. Apakah Rimang yang mengajari kau jadi begini" Barangkali dia ingin jadi budak."
"Tak ada tambahan budak selama aku Paramesywari di sini."
"Dia akan dikeluarkan dari pekuwuan."
"Bukan Rimang, pedandi itu!"
"Apa kesalahannya""
"Itulah perintah Paramesywari."
"Dan perintah Sang Akuwu yang sudah dikeluarkan, Durga harus keluar dari pura. Dia boleh tunggui kau di Bilik Paramesywari."
"Terimakasih diperbolehkan aku tinggalkan Bilik Agung."
"Kau belum lagi kuperintahkan," i
a diam sebentar."Mari, hari sudah larut malam. Jangan kau lupa, akulah penguasa seluruh Tumapel."
"Akulah Paramesywari."
"Kau tak lagi ludahi aku, tak lagi pukuli dan cakari. Sama saja, hanya caranya yang berbeda. Tidak apa. Dengan kaulah semua kesulitan bakal teratasi. Mari," ia berdiri dan menarik Dedes.
Paramesywari tidak membantah. Mereka berdua berjalan.
Pintu ke arah Bilik Larangan diketuk. Pintu itu terbuka dan Rimang tampak berlutut mengangkat sembah. Tunggul Ametung berpaling ke kanan: "Itulah pintu Bilik Paramesywari. Dulu kau tinggal di situ tapi pintu itu belum pernah kau lalui.
Tunggul Ametung menyibakkan tabir dari potongan ranting bambu petung. Rimang merangkak meninggalkan Bilik Agung, membawa bantal dan tikar ketiduran. Di bawah damar pojokan ia membiarkan dirinya dipeluk, dicium oleh Tunggul Ametung, kemudian dibopong naik ke peraduan.
"Kakanda tak pernah sampaikan kepadaku tentang nasib ayahku."
"Semestinya dia datang pada Tunggul Ametung untuk merestui kita."
"Mengertikah kau artinya seorang ayah"" ia lihat gelegak darah panas memerahi wajah suaminya. "Adakah ayahku kau bunuh"" "Tidak," jawabnya keras.
"Kau begitu patut kau ketahui kata Hyang Durga padaku ..." Tunggul Ametung tiba-tiba melangkah mundur: "Bicara padamu""
"Paramesywari Tumapel tidak terlalu hina untuk Hyang Bathari. Tidakkah kakanda pernah dengarkan suara dewa"" Suaminya menggeleng. "Suara dewi"" sekali lagi menggeleng.
Darah panas Akuwu susut, berubah mukanya jadi pucat.
"Apa kata Hyang Durga padamu""
"Carilah ayahku, sekarang juga."
"Prajurit-prajurit Tumapel akan mencarinya."
"Tidak, oleh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung sendiri."
"Jagad Dewa! Tidakkah kita lewatkan saja malam ini, besok baru aku cari""
"Bukan aku. Hyang Bathari sendiri yang bilang: sekarang juga, dan oleh Akuwu Tumapel sendiri"
"Sendiri""ia mencoba membujuk istrinya, duduk di peraduan. "Permataku! Permataku! Betapa mahal berparamesywarikan kau," ia mencoba mencium dan Dedes memberikan pipinya.
"Pergilah, jangan kotori dirimu dan pikiranmu. Kewajibanmu pada ayahku belum pernah kau lakukan. Bulan pun sudah terbit."
Tunggul Ametung melangkah meninggalkan ruangan Bilik Agung dengan kaki terseret berat.
Dedes mengantarkan suaminya sampai ke tabir bambu.
Waktu Rimang masuk lagi dan menggelar tikar di bawah peraduan, ia telah lenyap dalam tidur berbahagia. Semua beban telah diserahkannya pada Hyang Bathari Durga. Ia tahu, ia dapat taklukkan suaminya. Ia telah padukan cita dengan keyakinan. Pada wajahnya tersunting senyum - senyum abadi, senyum Ken Dedes.
Rimang memperhatikan senyum itu. Menggeleng-geleng. Tubuh seindah ini, dengan senyum yang sesuci itu, harus diabadikan. Seakan wanita ini bukan seorang Paramesywari tetapi Hyang Laksmi sendiri ....
Ken Dedes terbangun. Dunia dirasainya bergoncang-goncang hendak terbalik.
Rimang berdiri ter huyung-huyung di hadapannya tanpa mengangkat sembah.Tangannya menyambar Paramesywari dan bicara tergesa:
"Gempa, Yang Mulia," ditariknya Dedes turun dan peraduan.
Dengan terhuyung-huyung pula ia berjalan ke setiap pojok dan memadamkan damar.
Bumi terasa kehilangan kekokohannya, mengombak dalam cahaya bulan tua. Sebuah tiang api melesit dari perut bumi, mengalahkan bulan dan bintang-mintang, sekejap, jauh di barat sana, di balik lereng utara Gunung Kawi. Perut bumi terdengar menggeletar.
Terhuyung-huyung Dedes meninggalkan Bilik Agung, meninggalkan Taman Larangan, keluar dari gerbang, lari terhuyung pula menuju ke pura.
Patung Hyang Bathara Guru dan Hyang Bathari Durga sudah tak ada di dalamnya.
Ia merangkak ke tempat bekas Bathari Durga, bertekuk lutut, angan tertengadah:
"Mereka telah khianati kau, ya, Bathari. Apakah semua satria ini akan punah bersama dosa-dosanya" Semoga tidak seluruh titah alami nasib yang sama."
Sebuah dari damar pura jatuh. Cairannya membelabar, membakar sebagian dan geladak kayu. Beberapa orang pengawal masuk ke dalam dan memadamkannya dengan kakinya. Salah seorang datang padanya, mengangkat sembah dan berkata:
"Y ang Mulia Paramesywari, Yang Mulia Sang Akuwu sedang pergi. Lihatlah kawula Yang Mulia, titahkan sesuatu pada mereka dalam bencana menjadi-jadi seperti ini ..."
Ken Dedes melirik pada pengawal itu. Tak dapat ia melihat wajahnya. Damar itu telah mati. Ia berdiri dan melangkah gontai keluar dari pura, turun ke bumi yang goyang. Dalam cahaya bulan tiang api itu berulang berdiri tegak dari perut bumi. Dan ia lihat semua orang berlutut memandang ke arah Gunung Ke-lud. Semua orang mengucapkan puji-pujian.
"Berhenti kalian, nyanyikan puji-pujian untuk Hyang Durga," perintahnya, "tak ada kekuatan pada kalian untuk menahan murkanya," itulah pertama kali ia bicara di depan umum pada kawula.
Mereka mengangkat sembah padanya.
"Khianat! Perempuan khianat!" seorang pengawal memekik padanya, "mendirikan Durga di pura dalam."
Dedes berpaling pada pengawal yang mengiringkannya.
Lelaki berbadan perkasa itu mengangkat tombak dan melemparkannya pada pengawal lain yang masih memekik-mekik itu. Pekikan itu padam. Tubuhnya roboh dan tak bergerak lagi.
Seakan telah jadi seorang brahmani penuh ia mengangkat tangan ke arah mulut Kelud yang menyemburkan kepundan. Ia tahu bumi goncang begini hanya karena amarah Bathari Durga yang dipindahkan dari pura. Seakan di hadapan sidang rahasia kaum brahmana ia mulai menyanyikan baris pertama lagu puja untuk kebesaran Hyang Mahadewa.
Orang bersama mengikutinya, tidak jelas, semua tak memahami Sansakerta.
Baris demi baris telah ia ucapkan sampai selesai. Dan ia telah kehilangan ketakutannya sendiri. Seakan sendiri Hyang Bathari Durga, berkata:
"Apakah sebabnya murka dewata ditimpakan pada bumi dan manusia seperti ini"" Waktu tak ada seorang pun menjawab, ia berjalan memasuki rombongan orang berlutut yang semakin padat itu. "Berdiri kalian semua." Dan semua kawula, laki dan perempuan, juga para pengawal, berdiri. "Tiada sesuatu cedera bakal menimpa kalian. Ingat-ingat hari ini. Mulai saat ini kembalilah memuliakan para dewa, tinggalkan dosa para satria. Hilangkan leluhur itu dari pikiran, dari hati, dari pura dan dari candi. Para dewalah yang sesungguhnya berkuasa, bukan leluhur siapa pun. Celakalah yang mendewakan leluhur. Lihat kalian di langit sebelah barat sana ..."
Tiga buah payung api menyemprot berturut-turut ke udara, disusul oleh tiang api yang lebih rendah. Tiang-tiang itu kemudian semakin rendah, kemudian menetap tingginya seperti api yang keluar dari tanur pandai besi. Bumi semakin kurang meronta.
"Ucapkan syukur kalian semua pada para dewa!" Semua bergerak pergi ke pura pekuwuan, mengiringkan di belakangnya.
ia menaikkan terimakasih atas mujizat yang diterimanya, bahwa semua orang telah mendengarkan kata dan perintahnya orang sebanyak itu, laki dan perempuan, bintara dan prajurit biasa.
Waktu ia menuruni tangga torana prajurit pengawal itu menyambutnya dengan sembah:
"Berlaksa terimakasih, ya. Dewi Kebijaksanaan." "Siapa namamu""
"Dadung Sungging, ya, Dewi Kebijaksanaan, prajurit pengawal Tumapel." Dari kejauhan nampak kebakaran terjadi di beberapa tempat. "Pergi kalian semua, selamatkan semua orang dan rumah dari api kebakaran. Panggil Kepala Pengawal."
Yang dipanggilnya datang menghampiri, menghormat dengan gedikan tombak. "Siapa namamu"" "Pangalasan, Yang Mulia."
"Tak ada prajurit boleh berlenggang tanpa kerja! Pekuwuan tak perlu dikawal. Paramesywari cukup dikawal oleh Dadung Sungging."
Dalam cahaya bulan ia lihat semua prajurit pengawal lari ke semua jurusan di mana nampak api mulai memunahkan rumah.
"Ya, Guru," gumam Dedes, "detik ini telah kau berikan padaku trisula. Semua dengarkan apa yang jadi kehendakku," ia jatuh berlutut dan tersedu-sedu penuh kebahagiaan dan syukur mendapatkan trisula pada tangannya.
Dalam iringan Rimang dan Dadung Sungging, berkerudung kain penutup dingin ia berjalan seperti perawan anak Mpu Parwa dulu di desa sendiri, memeriksa semua bangunan pekuwuan. Di rumah tungguk kemit masih tersisa tiga orang prajurit pengawal. Mereka pun ia usir menyusul teman-temannya. Ia melangkah cepat seperti wanita petani,
tak mengindahkan rambutnya yang buyar berantakan.
Di sebelah selatan kota tanah telah rengkah dan longsor, menyeret barang dua puluh lima rumah dalam timbunan kayu bakar, dan api menandingi Kelud.
Mendekati surya terbit angin mulai meniup pelahan, kemudian kencang sejadi-jadinya menjurus ke barat
Ia awasi sendiri penyelamatan rumah yang masih bisa diselamatkan, korban yang berjajar dalam balai kota, membubungkan orang, rintih dan aduh. Ia masuki balai kota dan melihat sendiri seorang dokter membedah kaki seorang bocah untuk mengeluarkan kepingan kayu dari dalamnya.Tangan dan kaki bocah itu diikat pada ambin dalam keadaan pingsan.
"Kau biarkan anak kecil ini pingsan dalam kesakitan," tegurnya, "hanya karena dia anak paria!"
Dokter itu meneruskan pekerjaannya, berpaling dan membentak:
"Diam kau perempuan celaka."
"Siapa gurumu, maka anak yang tak dapat membela diri ini tak kau bius sebelumnya"" Dokter itu meletakkan pisau, membentak sekali lagi: "Tahu apa kau, perempuan celaka" Pergi!" dan meneruskan pekerjaannya.
"Tak sepatutnya brahmani dapat jawaban seperti itu. Aku perintahkan padamu: bius!" Seakan trisula Hyang Guru tergenggam di tangan dan diacukan padanya.
Dokter itu berbalik. Lampu pada tangan pembantunya memancarkan sinar pada profil Ken Dedes dengan mahkota pita bertaburan intan permata dan pada profil dokter yang sudah tua itu.
Orang tua itu mengangkat sembah dengan lutut kehilangan tenaga, jatuh ke lantai: "Ampun."
Paramesywari Tumapel melangkah meninggalkannya. Dokter itu mendapat kekuatannya kembali, berdiri dan segera mengikuti langkahnya.
"Ampuni sahaya, ya, Yang Mulia," bisiknya.
"Ampuni dia, ya, Dewi Kebijaksanaan," Dedes dengar suara Dadung Sungging.
Ia berhenti dan berpaling sedikit. Tidak mudah seorang brahmani memberikan ampun kunci rahasia keseraman brahmana. Ia berpikir apa harus diperbuatnya.
"Siapa namamu""
"Orang memanggil sahaya, Dalung, ya, Yang Mulia." "Ampun untukmu. Dalung." Dokter itu menjatuhkan diri dan menyembah. Ken Dedes berpaling pada Rimang, berbisik: "Adakah dia orang yang tak kenal para dewa"" "Dilahirkan di desa jauh. Yang Mulia, seorang dokter tercakap, hanya juga jauh dari kebijaksanaan. Patut diampuni. Yang Mulia."
Ayam yang berkokok menyambut datangnya hari baru memberi tanda bumi sudah takkan tergoncang lagi. Tetapi awan hitam mulai menutup langit. Segala benda angkasa hilang ditelannya. matahari pun tak mampu memunculkan muka. Bahkan nyala damar dan kebakaran yang belum terpadamkan mulai jadi redup, seakan Hyang Agni[dewa api] sudah jadi rabun tua, dan itu pun kemudian hilang dalam kekelabuan.
"Kembali, Yang Mulia," Rimang memperingatkan, kemudian menuntun Paramesywari mencari jalan pulang, menggerayang dengan tangan dan kaki. Udara sesak dihirup mengandung panas dan bau belerang.
Sepanjang jalan Ken Dedes menggumamkan mantra. Dan jalan pulang itu terasa sangat, sangat jauh. Orang tak tahu lagi waktu. Dari sana-sini terdengar para prajurit pengawal berseru mencari Sang Paramesywari. Dan Ken Dedes tidak menjawab.
Waktu pada akhirnya sampai di pendopo pekuwuan, Yang Suci Belakangka berdiri di antara damar-damar yang menyala besar.
"Yang Mulia Paramesywari," tegurnya, "semua orang sedang mencari Yang Mulia."
"Apakah patut Yang Suci tinggal aman di sini, sedang yang lain menyelamatkan yang sengsara"" tegurnya kembali.
"Para dewa telah mengutuk manusia yang berdosa. Tak ada sesuatu yang bisa mencegah datangnya hukuman. Mereka hanya harus menjalani."
"Para dewa telah menghukum. Bayi-bayi yang baru lahir itu dihukum, boleh jadi sama sekali tanpa dosa. Apakah Yang Suci tidak pernah belajar ugama"[peraturan yang berlaku antara sesama manusia.] Para dewa benar telah menghukum, bukan Yang Suci.Yang Suci hanya seorang titah," tukasnya berang, dan terus masuk ke Bilik Agung.
Tapak Asmara 1 Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa Amanat Marga 12
^