Atheis 1
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja Bagian 1
Karya : Achdiat Karta Mihardja
Atheis Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
Riwayat Hidup Achdiat Karta Mihardja lahir di Cibatu, Garut, 6 Maret 1911.
Tahun 1932 tamat dari Algemene Middelbare School "bagian
Al di Solo. Ia juga mempelajari mistik (tarikat) aliran Kadariyah
Naksabandiah dari Kiyai Abdullah Mubarak yang terkenal juga
dengan nama Ajengan Gedebag. Kecuali itu belajar filsafat
pada pater Dr. Jacobs S.J., dosen pada Universitas Indonesia,
dalam Filsafat Thomisme. Tahun 1943 ia menjadi anggota redaksi Bintang Timur
merangkap redaktur mingguan Peninjauan (bersama Sanusi
Pane, Armin Pane, PF Dahler, Dr. Amir dan Dr. Ratulangi).
Tahun 1937 pembantu harian Indie Bode dan Mingguan
Tijdbeeld dan Zaterdag, juga sebentar bekerja di Aneta. Tahun
1938 jadi pimpinan redaksi tengah-bulanan Penuntun
Kemajuan. Tahun 1941 jadi redaksi Balai Pustaka, sejak saat
itu tumbuh minatnya kepa da kesusastraan. Tahun 1943
menjadi redaksi dan penyalin di kantor pekabaran radio,
Jakarta. Tahun 1946 jadi pimpinan umum mingguan
Gelombang Zaman dan setengah mingguan berbahasa Sunda
Kemajuan Rakyat. Tahun 1948 kembali jadi redaksi di Balai
Pustaka. Pada tahun 1949 terbitlah roman Atheis-nya ini.
Tahun 1951 bersama-sama Sutan Takdir Alisjahbana dan
Dr. Ir. Sam Udin mewakili PEN Club Indonesia menghadiri
Konperensi PEN Club International di Lausanne, Switserland.
Saat itu ia juga mengunjungi Nege ri Belanda, Inggris, Prancis,
Jerman Barat, dan Roma. Tahun 1952 berkunjung ke Amerika
dan Eropa Barat dengan tugas dari Dep. PP&K untuk
mempelajari soal-soal pendidikan orang dewasa (termasuk
penerbitan bacaan-bacaannya) dan 'university extension
courses'. Kesempatan ini digunakan juga untuk mempelajari
seni drama di Amerika Serikat. Tahun 1956 selama setahun
memperdalam bahasa Inggris serta sastranya di Sydney
University dalam rangka Colombo Plan. Tahun 1960 menjabat
Kepala Inspeksi Kebudayaan Djakarta Raya dan memberi
kuliah pada FS-UI tentang Kesu sastraan Indonesia Modern.
Tahun 1961 menjabat sebagai Lektor Kepala pada
Australian National University di Canberra, mengajar sastra
Indonesia Modern dan bahasa Sunda. Sampai sekarang ia
masih tinggal di Australia.
Roman Atheis ini salah satu karya terpenting yang lahir dari
tangan Achdiat K. Mihardja. Pergeseran nilai-nilai dalam
masyarakat kita yang terus berubah menjadi tema sentral
roman ini. Masalah-masalah itu sampai sekarang masih
relevan, walaupun roman ini telah berusia lebih 30 tahun dan
telah mengalami cetakan yang ketujuh.
BP 1.0021 90 ISBN 979 407 185 4 ATHEIS ATHEIS Roman oleh ACHDIAT K. MIHARDJA BALAI PUSTAKA Jakarta 1990
Perum Penerbitan dan Percetakan BALAI PUSTAKA
BP No. 1725 Hal pengarang dilindungi undang-undang
Cetakan kesatu 1949 Cetakan kedua 1953 Cetakan ketiga 1957 Cetakan keempat 1960 Cetakan kelima 1969 Cetakan keenam 1976 Cetakan ketujuh 1981 Cetakan kedelapan 1983 Cetakan kesembilan 1986 Cetakan kesepuluh 1989 Cetakan kesebelas 1990 808.83 Mih Mihardja, Achdial K.
a Atheis : Roman / oleh Achdiat K Mihardja - cct
-- Jakarta : Balai Pustaka, 1990
232 hal. : ilus. ; 21 cm. -- (Seri BP no. 1725)
1. Ceritera Roman. 1. Judul. II. Seri.
ISBN 979 407 185 4 Perancang kulit: Supriyono Gambar dalam oleh S. Sutikho
Kata Pengantar Roman Atheis mengetengahkan perkembangan yang tipikal
bagi masyarakat Indonesia sejak permulaan abad kedua
puluh, yakni pergeseran gaya hidup yang tradisional ke gaya
hidup yang modern. Pergeseran itu membawa serta
perselisihan dan bentrokan antara paham-paham yang lama
dengan yang baru, terjadi kh ususnya di lapangan sosial
budaya dan politik. Perkembangan di dalam masyarakat itu
tidak luput meninggalkan peng aruhnya kepada pengalaman
batin manusia. Keresahan batin di tengah-tengah bergeloranya
pertentangan paham di zaman penjajahan Belanda dan
Jepang menjadi pokok perhatian roman ini.
Atheis kini mengalami cetakan yang kesembilan. Hal itu
menandakan betapa besar sambutan masyarakat pembaca
kita terhadap karangan penulis terkenal Achdiat K. Mihardja.
Kecuali itu, kita boleh b
erkesimpulan, bahwa penyajian tema
dan struktur roman itu telah memenuhi harapan orang banyak
akan hasil sastra yang bermutu.
Balai Pustaka merasa gembira dapat menerbitkan kembali
roman ini. Balai Pustaka Bagian I Apa artinya sesal, kalau harapan telah tak ada lagi untuk
memperbaiki segala kesalahan" Untuk menebus segala dosa"
Akan tetapi hilangkah pula sesal, karena harapan untuk
menebus dosa itu telah hilang" Ah, bila demikian halnya,
barangkali takkan seberat itu segala dosa menekan jiwa
Kartini. Tapi tidakkah malah se baliknya" Bahwa semakin hilang
harapan, semakin berat pula sesal menekan"
Sempoyongan Kartini keluar dari sebuah kamar dalam
kantor Ken Peitai. *) Matanya kabur terpancang dalam muka
yang pucat. Selopnya terseret-ser et di atas lantai gedung yang
seram itu. Tangan kirinya berpegang lemah pada pundak Rusli
yang membimbingnya, sedang saya memegang lengan
kanannya. Perempuan malang itu amat lemah dan lesu nampaknya,
seolah-olah hanya seonggok daging layaknya yang tak
berhayat diseret-seret di atas lantai.
Serdadu-serdadu dan opsir-opsir Kenpei Jepang
berkerumun-kerumun di gang-gang dan di ruangan-ruangan
yang kami lalui. Semuanya kelihatannya sangat lesu juga.
Serupa onggokan-ong-gokan daging juga yang tak berdaya
apa-apa pula. Ada juga yang masih tertawa-tawa, seakan-akan tidak mau dipandang sebagai onggbkan daging yang tak
berdaya. Akan tetapi terdengar tertawanya itu dibikin-bikin.
Dua minggu yang lalu mereka itu masih merasa dirinya
singa yang suka makan daging. Kini telah menjadi daging
yang hendak dimakan singa. Mereka telah hancur
kekuasaannya oleh tentara Sekutu dan Rusia.
Ya, sic transit glofia mundi! Di dunia tiada yang tetap, tiada
yang kekal, tiada yang abadi. Segala-gala serba berubah,
serba bergerak, serba tumbuh dan mati. Yang abadi hanya
yang Abadi, yang tetap hanya yang Tetap, yang kekal hanya
yang Kekal. Tapi apakah yang demikian itu manusia tidak
mengetahuinya, sebab abadi, tetap, kekal itu adalah
pengertian waktu, sedang waktu
*) Polisi Militer Jepang
Hidung terbenam dalam saputangannya yang basah..
adalah pengertian ukuran.
Dan ukuran ditetapkan oleh manusia jua. Padahal manusia
beranggapan, bahwa manusia ditetapkan oleh yang Abadi. ...
Berpikir-pikir seperti saya jugakah singa-singa yang
sekarang sudah menjadi onggok-onggok daging itu"
Selop Kartini terseret-seret terus di atas lantai.
Kami bertiga tidak berkata apa-apa. Terlalu terpukau
rasanya oleh berita yang baru terdengar dua-tiga menit yang
lalu itu. Terutama Kartini.
Alon-alon Rusli membimbing perempuan yang lemah itu.
Terseok-seok Kartini berjalan. Kepalanya tunduk. Hidung
terbenam dalam saputangan yang basah karena air mata.
Bahwasanya manusia hidup di tengah-tengah sesama
mahluk-nya. Berbuat jasa atau dosa terhadap sesama
hidupnya. Merasa bahagia, bila ia telah berjasa. Menebus dosa
terhadap siapa ia berbuat dosa.
Akan tetapi kepada siapakah ia harus menebus dosanya,
harus menyatakan sesalnya, pabila orang terhadap siapa ia
berbuat dosa itu sudah tidak lagi, sudah meninggal dunia"
Kepada Tuhan" Karena Tuhan adalah sumber segala cinta,
yang melarang manusia berbuat dosa terhadap sesama
mahkluk-nya" Tapi bagaimana caranya"
Kepada manusia-manusia lain" Karena manusia-manusia itu
sama sependirian, bahwa berbuat dosa itu adalah suatu
perbuatan yang dilarang" Tapi bagaimana pula caranya"
Sesungguhnya, semua itu meminta cara. Meminta cara oleh
karena hidup di dunia ini berarti menyelenggarakan segala
perhubungan lahir-batin antara kita sebagai manusia dengan
sesama mahluk kita, dengan Alam beserta Pencintanya. Dan
penyelenggaraan semua perhubungan itu meminta cara. Cara
yang sebaik-baiknya, seadil-adilnya, seindah-indahnya,
setepat-tepatnya, tapi pun sepraktis-praktisnya dan
semanfaat-manfaatnya bagi kehidupan segenapnya.
Demikian saya berpikir sambil menopang Kartini yang lemas
terseok-seok itu. Satu jam yang lalu,.......tidak! Bahkan lima menit yang lalu
masih ada api harapan bernyala dalam hati Kartini,
sekalipun hanya berkedip-kedip kecil seperti lilin tengah
malam yang sedang tercekik lambat-lambat oleh gelita
. Kini harapan itu sudah mati sama sekali. Sejak lima menit
yang lalu. Tak ada lagi pegangan baginya.
Kami meninggalkan gedung yang seram itu. Hampir
terjatuh-jatuh Kartini ketika ia turun dari tangga gedung itu,
jika kami berdua tidak menopangnya.
Kami menginjak halaman. Terhuyung-huyung masih Kartini.
Tergores-gores tanah bekas selop yang diseret-seret.
Harapannya telah hilang sama sekali. Hilang menipis seperti
uap. Habis tak berbekas. Hasan ternyata telah meninggal dunia. Beberapa menit
yang lalu hal itu baru diketahui oleh Kartini. Rupanya badan
Hasan yang lemah berpenyakit tbc itu tidak sanggup
mengatasi segala siksaan algojo-algojo Kenpei yang kejam itu.
Di mana ia dikubur" Entahlah. Kapan tewasnya" Entahlah.
Selaku orang sakit oleh seorang juru rawat, demikianlah
Kartini ditopang dan dibimbing oleh Rusli. Saya mengintil di
sampingnya. Sekali-kali kupegang lengannya, apabila ia
menggontai ke sebelahku. Bercucuran air matanya. Ia seakan-akan berpijak di atas
dunia yang tidak dikenalnya la gi. Hampa, kosong, serba kabur
seperti di dalam mimpi. Tak ada lagi orang, kepada siapa ia hendak memperlihatkan
sesalnya yang begitu berat menekan jiwanya selama itu. Ya,
kepada siapa" Kepada siapa" Dan sesal tiada berkurang
karena bertanya demikian itu. Malah sebaliknya! Makin
membesar, makin menekan, makin menindas.
Alangkah mudahnya, kalau Hasan masih ada, masih hidup
di sampingnya. Kartini akan lebih setia kepadanya, akan lebih
berbakti kepadanya, akan tund uk dan taat kepada segala
perintahnya. Pendek kata, segala sesalnya akan mudah
diperbaikinya, segala dosanya akan ditebusnya. Tapi
sekarang"! Sekarang"!
Bersembahyang, berpuasa, bertapa" Akan leburkah segala
sesal" Tiba-tiba Kartini menjerit-jerit. Suaranya menggores
tajam dalam hatiku seperti suara paku di atas batu tulis.
Serdadu-serdadu dan opsir-opsir Kenpei Jepang yang
berke-rumun-kerumun di muka gedung itu menoleh semuanya
ke arah kami dengan agak kaget sedikit, seolah-olah baru
sekali itu mereka mendengar jeritan yang pedih itu. Tapi
sejurus kemudian muka-muka kuning yang bermata sipit itu
berpaling lagi dengan tak acuh. Mereka merunduk kembali,
seakan-akan masing-masing me neruskan lagi pertanyaan
dalam hati: nasib apakah yang akan kita dapati sekarang"
Belum seminggu yang lalu pemerintahnya telah menyerah
kalah kepada kekuatan kaum Sekutu dan Rusia.
Kartini menangis terisak-isak.
Rusli berdaya upaya untuk membujuk-bujuknya, untuk me-lipurkan segala kesedihannya. Dengan payah ia-mengemukakan pendapatnya seolah-olah akan banyak
faedahnya sebagai pelipur, "Ya, Tin, umur manusia singkat,
tapi kemanusiaan lama, begitulah katanya, lupakanlah segala
kesedihanmu itu dengan lebih giat lagi bekerja. Bekerja untuk
kemanusiaan......" Bagian II Ketika itu saya lagi menganggur. Tapi ah, dikatakan
menganggur sebetulnya tidak begitu benar, sebab
bagaimanakah orang akan bisa hidup dengan menganggur,
kalau harga beras yang dulu hanya 6 sen satu liter, ketika itu
sudah memuncak sampai dua rupiah Ciang Jepang, bahkan
sampai tiga rupiah"! Karena it u di samping menganggur saya
menyatut. Ketika itulah perkenalanku mulai dengan seorang laki-laki
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang memerlukan datang pada suatu sore ke rumahku.
"Sudah lama saya ingin berkenalan dengan Saudara,"
ujarnya ketika ia sudah duduk di hadapanku, tapi rupanya
kesempatan baru sekarang mengizinkan.
Seperti biasa saya suka berpegang kepada kesan pertama.
Kalau kesan pertama itu baik, maka itu bagiku seperti ilham
bagi seorang pengarang. Ia me lancarkan percakapanku seperti
ilham melancarkan pena pengarang.
Dan kesan pertama dari laki-laki muda itu simpatik.
Simpatik semata-mata. Mu ngkin kesan demikian itu
disebabkan oleh karena seluruh sikapnya dan segala
perkataannya melukiskan minat dan hormat terhadap diriku
sendiri. "Ya, sesungguhnya Saudara, sudah lama saya berharap-harap akan adanya sesuatu ke sempatan untuk berkenalan
dengan Saudara." "Ada apa sih""
Saya bertanya demikian itu dengan penuh harapan baik.
Memang bunyi suaraku pun seperti langgam suara orang yang
riang dan bangga, karena mera sa dirinya dibutuhkan dan
dianggap pentin g ol eh orang lain. "Tiada lain, karena ... ah entahlah saya selalu ingin
berkenalan dengan orang yang telah banyak berpengalaman
hidup." "Bagaimana"" tanyaku agak heran. Tapi terasa olehku,
bahwa keriangan lebih terdengar dalam bunyi suaraku itu
daripada rasa keheranan. Dengan perkenalan yang dimulai dengan cara demikian,
maka tentulah saja tidak mengherankan benar, kalau tak lama
kemudian kami sudah bergaul seperti dua orang yang sudah
lama bersahabat-an. Ternyata, bahwa ia segera mencurahkan
seluruh kepercayaannya kepadaku.
Ia bernama Hasan . .. (tapi ba iklah saya ceritakan sekarang
saja, bahwa itu sebetulnya bukan nama benarnya, dan juga
orang-orang yang bersangkutan dengan dia, yang nanti akan
ternyata kepada kita dari sebuah naskah yang diberikannya
kepada saya, bukanlah Kartini, Rusli, Anwar dan lain-lain
melainkan mereka itu mempunyai nama yang lain sekali. Tapi
biasa saja di dalam suatu cerita Dichtung und Wahrheit seperti
yang dibikin Hasan itu, nama-nama benarnya diganti dengan
nama lain). Seperti namanya pula, rupa dan tampang Hasan pun biasa
saja, sederhana. Hanya badannya kurus, dan karena kurus
itulah maka nampaknya seperti orang agak yang tinggi. Mata
dan pipinya cekung. Sakit-sakit rupanya. (Memang, kemudian
aku tahu bahwa ia berpenyakit tbc). Dari gerak-gerik dan
ucapan-ucapannya nampak, bahwa dia itu ada yang secfang
diperjuangkan dalam batin.
Dia seorang pencari. Dan sebaga i seorang pencari, maka ia
selalu terombang ambing dalam kebimbangan dan kesangsian.
Tapi suatu kesan pula, bahwa ia bukan seorang pencari yang
baik. Artinya ia bukan seorang ahli pikir atau penyelidik yang
radikal, yang sanggup menyelami dan memeriksa hal-hal yang
menjadi soalnya itu sampai kepada akar-akarnya. Baginya
agaknya cukuplah sudah, kalau dia dalam mencari itu banyak
bertanya-tanya kepada orang- orang yang dianggapnya lebih
tahu daripada dia. Seperti misaln ya kepadaku sendiri. Tapi itu
hanya kesan saja. 2 Baru satu bulan saya be rKenalan dengan Hasan.
Pada suatu malam datang lagi ia ke rumahku.
Seperti biasanya pada malam hari, ia memakai mantel
gabardin hijau tua yang tertutup lehernya. Maklumlah ia
berpenyakit dada. Kepalanya bertopi vilt hitam, merk
Borsalino. Mukanya makin puca t karena warna mantel dan
topinya itu. Di bawah ketiaknya terkepit sebuah portefeuille, tempat
surat-surat. Dan sambil melemparkan topinya ke atas sebuah
kursi, duduklah ia. "Apa itu"" tanyaku, ketika ia sudah duduk di hadapanku dan
membuka tali portefeuille itu, lantas mengeluarkan dari
dalamnya setumpukan kertas, yang kira-kira seratus lembar
folio banyaknya. Ia tersenyum, sambil mema ndang kepada kertas yang
tertimbun di atas meja itu.
Kuambil lima lembar yang paling atas.
"Karangan"!" kataku seraya membaca beberapa baris.
"Karangan siapa" Karangan Saudara""
Dengan agak heran bercampur kagum saya memandang ke
dalam mukanya yang tersenyum-senyum itu. Dan sebagai
jawaban, maka ia mengangguk dengan tertawa kecil, entah
karena malu, entah karena merasa megah.
Kubaca-baca sedikit. Hasan melihat saja kepadaku, selaku
seorang murid yang sedang diperiksa hitungannya.
Demikianlah beberapa menit. Tapi akhirnya, atas
pertanyaanku, berkatalah ia, "Sebetulnya bung, saya ini
seorang yang sungguh celaka. Ce laka, karena saya ini seorang
yang sangat besar punya hasrat untuk mengarang, tapi tak
ada sama sekali bakat atau kepandaian untuk itu. Saya ingin
sekali pertolongan dan nasehat Saudara. Itulah maka saya
bawa karangan ini sekedar suatu percobaan, dan penuh
harapan saya mudah-mudahan Saudara mau menolong
memeriksanya dan menerangkan segala kekurangannya."
"Kenapa Saudara ingin mengaran g"" "Tidak, begitu saja."
"Saya bertanya begitu itu, karena kalau SaudaTa ingin
mengarang tentu ada sesuatu yang menurut pikiran Saudara
amat penting untuk diketahui oleh orang lain, tegasnya oleh
pembaca yang banyak jumlahnya. Apakah ada sesuatu hal
demikian itu"" Hasan tersenyum lagi, seolah-olah berkatalah ia dalam
hatinya, "Alangkah bodohnya pertanyaanmu itu!"
Saya agak malu melihat senyumnya.
"Yang penting sih tidak ada," katanya kemudian dengan
lembut set elah ia beberapa jurus hanya tersenyum saja,
"artinya, untuk orang lain. Ini pun hanya sekedar belajar saja."
Saya mengerti. Hasan terlalu perendah hati untuk memberi
jawaban yang lain bunyinya. Akan tetapi justru karena
jawaban yang demikian itulah, maka saya merasa lebih
tertarik lagi oleh karangannya itu.
Semalam-malaman itu saya baca naskah Hasan itu sampai
tamat. Rupanya ceritanya itu sebuah "Dichtung und Wahrheit"
dengan mengambil sebagai pokok lakon dan pengalaman
Hasan sendiri. Jadi semacam "autobiographical novel".
Inilah naskahnya. Bagian III Di lereng gunung Telaga Bodas di tengah-tengah
pergunungan Priangan yang indah, terletak sebuah kampung,
bersembunyi di balik hijau pohon-pohon jeruk Garut, yang
segar dan subur tumbuhnya berkat tanah dan hawa yang
nyaman dan sejuk. Kampung Panyeredan namanya. Kampung
itu terdiri dari kurang lebih du a ratus rumah besar kecil. Yang
kecil yang jauh lebih besar jumla hnya dari yang besar, adalah
kepunyaan buruh-buruh tani ya ng miskin, dan yang besar
ialah milik petani-petani "kaya" (artinya yang mempunyai
tanah kurang lebih sepuluh hektare) yang di samping bertani,
bekerja juga sebagai tengkulak-tengkulak jeruk dan hasil bumi
lainnya. Di antara rumah-rumah kecil dan rumah-rumah besar
dari batu itu, ada lagi beberapa rumah yang dibikin dari
"setengah batu", artinya lantainya dari tegel tapi dindingnya
hanya sampai kira-kira seperempat tinggi dari batu, sedang ke
atasnya dari dinding bambu bias a. Rumah-rumah demikian itu
yang jumlahnya lebih banyak daripada rumah-rumah batu,
adalah kepunyaan penduduk yang "santana", artinya yang
mempunyai tanah barang sehektare dua hektare.
Di salah sebuah rumah setengah batu itulah tinggal orang
tuaku, Raden Wiradikarta.
Ia seorang pensiunan manteri guru.*) Dengan pensiunnya
yang besarnya hanya enam puluh rupiah, ia bisa hidup
sederhana di kampung itu.
Sebelum pensiun, berpindah-pindah saja tempat tinggalnya.
Mula-mula sebagai guru-bantu di kota Tasikmalaya, lantas
pindah ke Ciamis, ke Banjar , ke Tarogong dan beberapa
tempat kecil lagi, sampai pada akhirnya ia dipensiun sebagai
manteri guru di Ciamis. Ayah dan ibuku tergolong orang yang sangat saleh dan
alim. Sudah sedari kecil jala n hidup ditempuhnya dengan
tasbeh dan mukena. Iman Islamnya sangat tebal. Tidak ada
yang lebih nikmat dilihatnya da ripada orang yang sedang
bersembahyang, seperti *) Kepala Sekolah Dasar (SD).
tidak ada pula yang lebih nikmat bagi penggemar film
daripada menonton film bagus.
Memang baik Ayali maupur Ibu, kedua-duanya keturunan
keluarga yang alim pula. Ujun g cita-cita mereka mau menjadi
haji. Tapi oleh karena kurang mementingkan soal mencari
kebendaan, maka mereka tidaklah mampu untuk
melaksanakan pelayaran ke tanah suci.
Pada suatu hari ketika Ayah masih menjadi guru bantu di
Tasikmalaya, ia kedatangan tamu, seorang haji dari Banten.
Haji Dahlan, begitulah nama orang itu sesudah memakai
sorban, masih famili dari Ibu. Dulunya ia bernama Wiranta.
Apa perlunya ia merobah nama dan memakai sorban, rupanya
tidak pernah menjadi pertanyaan baginya.
Tiga malam Haji Dahlan menginap di rumah orang tuaku.
Pada hari kedua, sepulang berjumat dari mesjid, sambil
duduk-duduk dan minum-minum di tengah rumah, Ayah
berkata kepada Haji Dahlan, "Kakak lihat adik selalu memetik
tasbeh." Rupanya perkataan Ayah itu laksana jari yang melepaskan
cangkolan gramopon yang baru diputar, sebab "piring hitam"
bersorban itu lantas berputar dengan segera, "O, Kakak
rupanya belum punya guru" Ka lau begitu sayang sekali,
karena sesungguhnya Kak, be ribadat dengan tidak memakai
bimbingan seorang guru adalah seperti seorang penduduk
desa dilepaskan di tengah-t engah keramaian kota besar
seperti Jakarta atau Singapur. Ia akan tersesat. Tak ubahnya
dengan seorang supir yang tahu jalankan mobil, tapi tidak
tahu jalan mana yang harus ditempuh. Ya, kita bisa
mengucapkan usali sampai aw esalam, bisa membungkuk,
bersujud, akan tetapi apa fa edahnya, kalau kita tidak
mempunyai pedoman untuk menempuh jalan yang paling
dekat dan paling benar untuk sampai kepada tujuan kita.
Bukan begitu, Kak""
B anyajc sekali serta penuh dengan semangat Haji Dahlan
menguraikan pendapatnya tentang agama Islam.
"Apa arti bungkus kalau tidak ada isinya. Betul tidak, Kak"
Yang kita perlukan terutama isinya, bukan" Tapi biarpun
begitu, isi pun tidak akan sempurna kalau tidak berbungkus.
Ambil saja mentega atau minyak samin. Akan sempurnakah
makanan itu kalau tidak berbungkus" Kan tidak. Atau pisang
ini" (sambil mengupas sebuah pisang ambon yang sebesar
lengannya). Oleh karena itu, maka sareat, tarekat, hakekat
dan makrifat, semuanya itu sama-sama perlu bagi kita. Sareat
yaitu ibarat bungkus, tarekat yait u......tapi ah, lebih baik saya
ambil kiasan yang lebih tepat.
Kiasan mutiara misalnya."
Haji itu berhenti sebentar, mi num. Dan Ayah segera mengisi
lagi cangkirnya dengan air teh yang kuning kemerah-merahan
ke luar dari cerek poci. "Terima kasih," kata Haji Dahlan, meneruskan, "Mutiara itu
makrifat-hakekat, tujuan kita. Sareat yaitu kapal. (Kadang-kadang haji Dahlan mengucapkannya kafal, pakai f, malah
tetapi kadang-kadang juga dikatakannya tetafi). Tenaga dan
fedoman kita untuk mendayung kafal dan kemudian menyelam
ke dasar segara untuk mengambil mutiara itu, ialah tarekat.
Kita tidak mungkin dapat mutiara kalau tidak punya kafal dan
tidak punya tenaga serta pedoman untuk mendayung serta
menyelam ke dalam segara. Alhasil semuanya perlu ada dan
perlu kita jalankan bukan" Kapal tidak akan ada artinya kalau
kita tidak ada tenaga untuk me ndayungnya dan tidak ada pula
t edoman melancarkan ke jalan yang benar. Itulah maka
sareat dan tarekat perlu kedua-duanya, bukan""
Ayah mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Duduknya
rapi, bersila, dan badannya agak condong ke depan.
Telunjuknya bergerak-gerak di atas tikar yang didudukinya
membikin lingkaran-lingkaran dan bentuk-bentuk lain yang tak
berbekas. "Nah sekarang kita lihat diri Kakak," kata Haji Dahlan
melanjutkan. "Kapal, artinya sareat, Kakak sudah punya
bukan" Yaitu aturan sembahyang yang Kakak jalankan tiap
hari lima kali, bukan" Tapi pedoman, yaitu tarekat, rupanya
Kakak belum punya. Bukan begitu, Kak" Padahal, seperti tadi
adik sudah katakan, semua-muanya sama perlunya. Jadi pun
tarekat. Barulah kita bisa sampai kepada makrifat dan
hakekat. Jadi sekali lagi, tare kat pun perlu, sebab dengan
tidak ada pedoman, kapal tentu akan terkatung-katung.
Mutiara tidak akan bisa kita dapati, bukan""
Aku masih ingat, betapa asyiknya Ayah mendengarkan. <
Ketika itu aku masih kecil, baru kira-kira enam tahun. Dan
tentu saja aku tidak mengerti apa-apa tentang percakapan
Ayah dan Haji Dahlan itu. Betapa mungkin! Dan kalau
sekarang aku seolah-olah mengulangi lagi uraian Haji Dahlan
itu, sebetulnya hanya kukira-kirakan saja begitu, sebab
tentang soal-soal sareat, tarekat, makrifat dan hakekat itu,
kemudian sesudah dewasa seri ngkah kudengar dari mulut
Ayah sendiri. Rasanya takkan berbeda jauh uraian Haji
*Dahlan itu dari apa yang kemudian suka dikemukakan oleh
Ayah kepadaku. Tapi yang masih ingat sekali, ialah caranya Haji Dahlan
bercerita. Banyak tertawa, dan banyak bertanya: bukan"! di
belakang hampir tiap kalimat. Yang masih aku ingat pula ialah
janggutnya yang meruncing ke depan seperti janggut kambing
benggala. Sambil bercakap ia suka mengelus-elus janggutnya.
Ayah mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Ia duduk
bersila menghadap Haji Dahlan yang duduk di atas sehelai
kulit kambing, seraya tak ada hentinya memetik-metik tasbeh
hitam. Depan masing-masing sebuah mangkok besar berisi
kopi tubruk.
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekali-sekali kalimat Haji Dahlan terputus oleh suara bibir
yang menyeropot air kopi yang masih panas. Kadang-kadang
suara seropot itu disusul oleh suara sendawa "eueueu", yang
segera disusul pula oleh ucapan "alhamdulillah", sedang
gondok lakinya naik ke atas serentak dengan lehernya yang
memanjang. Kemudiaij disahuti pula oleh suara "eueueu" juga
dari kerongkongan ayah. Jarang-jarang Ayah mengemukakan sesuatu pertanyaan,
dan biarpun banyak bertanya "bukan"", atau justru karena
banyak bertanya "bukan"", Haji Dahlan sangat lancar
bicaranya, seperti seorang guru yang masih hafal
pelajarannya. Tetapi sebaliknya, Ayah sendiri seperti seorang
murid yang takut dipandang bodoh, tak berani bertanya
sesuatu. Padahal rupanya banyak juga yang tidak dapat
dimengerti oleh Ayah. Pendek kata, sesudah mangkok dua kali ditambah dan
piring kecilnya sudah penuh de ngan abu dan puntung-puntung
rokok, maka Ayah sudah bisa mengambil keputusan untuk
turut berguru pada kiyai Mahmud di Banten, yaitu seorang
guru tarekat atau mistik yang digurui oleh Haji Dahlan.
2 Sebulan kemudian ayahku memecahkan celengannya, dan
dengan uang yang ada di dalamnya itu berangkatlah ia ke
Banten bersama-sama dengan ibu.
Aku, masih ingat hari bera ngkatnya. Subuh-subuh benar
mereka sudah berangkat dari rumah hendak memburu kereta
api yang paling pagi. Aku te rbangun oleh keributan orang-orang yang berkemas-kemas. Su ara Ibu dan Ayah memerintah
ini itu kepada Siti dan Nata kedua bujang kami. Kadang-kadang piring
seng jatuh, bergelemprang suaranya menepuk ketenangan
masa subuh yang masih sunyi.
Masih ingat aku, ketika aku menangis mau ikut tapi tidak
boleh. Lantas dibujuk-bujuk dengan uang setali yang gilang-gemilang. Ketika mau berangkat Ayah berkata, "Jangan nakal
ya Nak. Ayah dan Ibu takkan lama. Nanti engkau dikirim oleh-oleh ya. Mau apa".. . Jangan lupa, rajin-rajinlah mengaji."
Kepalaku diusap-usapnya. Dan sesudah aku didoai,
berangkatlah mereka diiringi suara ayam yang sudah ramai
berkokok. Sebetulnya anak Ayah ada empat orang, tapi yang masih
hidup cuma aku sendiri. Yang lain mati, ketika masih kecil.
Kemudian, oleh karena aku tidak beradik lagi, dipungutnya
seorang anak yatim dari seorang pamanku, yang banyak
anaknya dan baru saja ditinggalkan mati oleh istrinya.
Fatimah, begitulah nama anak itu, baru berumur satu
tahun, ketika ibunya meninggal. Lantas segeralah diambil oleh
orang tuaku. Baik Ayah maupun Ibu merasa sangat bahagia
dengan anak pungutnya itu. Bu kan karena sekarang mereka
itu seolah-oleh mempunyai seoran g anak lagi, melainkan juga
oleh karena dengan demikian, mereka itu sudah berbuat
sesuatu yang diwajibkan oleh agama, ialah menolong anak
yatim. Seperti telah dikatakan tadi, ketiga kakakku itu semuanya
telah meninggal ketika masih kecil.
Berat nian penderitaan kedu a orang tuaku itu, sebagai
sepasang suami-istri yang masih muda. Dan kalau bukan
keluarga yang alim, mungkinlah mereka itu akan tersesat
mencari pelipur lara di daerah yang tidak baik. Tapi oleh
karena memang sudah dididik dari mulai kecil di dalam
suasana keagamaan, maka penderitaan mereka itu semata-mata dipandang sebagai suatu percobaan Tuhan yang berat
sekali, yang harus diatasinya dengan segala ketawakalan hati.
Karena itulah mereka menjadi le bih alim lagi. Entahlah, benar
juga rupanya kata pepatah Belanda "in de nood leert men bid-den."*) Dan rupanya saja pada orang yang sudah gemar
bersem *) Kesusahan hidup mendorong kita sembahyang.
bahyang seperti pada ayah dan ibuku, "nood" itu
menambah mereka makin rajin bersembahyang.
Orang tuaku sangat cinta kepadaku dan Fatimah.
Tapi biarpun begitu aku tidak menjadi anak yang manja.
Malah sebaliknya, aku merasa bahwa aku adalah seorang anak
yang mau menurut kata orang tua dan amat sayang serta
hormat kepada mereka. Pada usia lima tahun aku su dah dididik dalam agama. Aku
sudah mulai diajari mengaji dan sembahyang.
Sebelum tidur, ibuku sudah biasa menyuruh aku menghafal
ayat-ayat atau surat-surat dari Alquran. Sahadat, selawat dan
kulhu, begitu juga fatehah aku su dah hafal dari masa itu. Juga
nyanyi puji-puji kepada Tuhan dan Nabi.
Selain daripada itu banyak aku diberi dongeng tentang
surga dan neraka. Dan biasanya ibu mendongeng itu sambil
berbaring-baring dalam tempat tidur, sebelum aku tidur. Ia
berbaring di sampingku, sete ngah memeluk aku. Dan aku
menengadah dengan mataku lurus melihat ke para-para
tempat tidur seperti melihat laya r bioskop. Maka terpaparlah di
atas layar itu bayangan-bayanga n khayalku tentang peristiwa-peristiwa dalam neraka.
"Anak yang nakal, yang tidak mau bersembahyang akan
masuk neraka," begitu selalu kata ibu. "Di neraka anak yang
nakal itu akan direbus dalam kancah timah yang bergolak-g
olak. Tidak ada yang bisa menolongnya, ibu-bapaknya pun
tidak bisa. Dalam khayalku sebagai anak kecil, segala dongeng itu
alangkah hidupnya, seolah-olah aku sudah betul-betul pernah
melihat neraka. Terbayang-bayang olehku kedua belah tangan
kecilku menadah ke atas mint a tolong kepada ibuku, ya
kepada ibuku. Sekarang aku merasa aneh, kenapa tidak
kepada ayahku. Dan dalam fantasiku itu kelihatan ibu
mengulurkan tangannya hendak menolong, tapi tidak bisa.
Aku menjerit, "Ibu, Ibu, tolong! Ini Asan! Ini Asan! Aduh
panas! Aduh panas!" Aku merasa takut. Menggigil ketakutan. Merapatkan
badanku kepada badan Ibu yang sedang mendongeng itu. Ibu
memeluk aku lebih rapat lagi sambil berbaring. Dibujuk-bujuknya aku, "Tidak Nak, tidak! Tidak usah engkau takut-takut, asal engkau jangan nakal. Mesti selalu turut kepada
perintah Ayah dan Ibu^ kepada orang-orang tua, dan mesti
rajin bersembahyang dan mengaji. Insyaallah Nak, Ibu doakan
kau semoga selalu selamat dunia akhirat."
Maka ditekannya badanku kepada badannya dengan sangat
mesra. Pada suatu hari Ayah pulang dari pasar. Dibawanya sebagai
oleh-oleh sehelai kain dan se buah pici kecil untukku.
"Ini San, untuk sembahyangmu," kata Ayah sambil
memberikan barang pakaian itu. Sambil menyembah kuterima
barang itu. Segera kupakai dengan sangat riangnya. Megah
dan bangga pula, seolah-olah aku sudah menjadi seorang
santri yang sudah besar, terutama pula ketika Ayah menyebut
aku kiyai kecil." Ayah dan ibu pun sangat bangga. Diceritakan tentang diriku
kepada tiap kenalan. "Sekarang ia sudah bisa sembahyang," kata Ayah.
Dan kenalan-kenalan itu lantas memuji aku, "Bagus Den!
Bagus! (dan kepada anaknya sendiri) Nah, lihatlah Idris! Den
Asan sudah pintar sembahyang! Kau mesti contoh dia! Jangan
cuma suka main kelereng saja! (kepada ayah) Kalau si Idris
nakal saja, juragan! Tidak seperti Den Asan."
Hidungku kembang, dan kepalaku melenggok-lenggok
seperti wayang. Tertawa kemalu-maluan.
Aki' masih ingat ketika aku mu lai 'belajar sembahyang. Aku
berdiri di belakang Ayah, di sa mping Ibu. Dan kalau Ayah dan
Ibu berzikir, maka aku pun turut berzikir pula, tapi kadang-kadang timbul perasaan heran, mengapa' Ibu berpakaian
mukena yang pelik begitu, sedang pakaian Ayan biasa saja. Ya, semua itu
aku masih ingat. Masa bulan puasa aku ikut sembahyang terawih di langgar.
Di langgar banyak anak-anak yang seperti aku juga turut
sembahyang dengan ayahnya. Sebelum sembahyang kami
menyanyikan dulu lagu-lagu pujian kepada Tuhan dan Nabi
Junjungan kita. Sampai sekarang lagu-lagu itu aku masih hafal, dan
kadang-kadang sekarang pun hatiku suka pula menyanyikan
lagu-lagu itu dengan tiada bermaksud apa-apa. Yang paling
hafal ialah yang berbunyi begini:
Allahumaini a'udubika minalikolbi
Iwabinapsihi alaihi marjago
Kanjeng Nabi, ramana Gusti Abdullah
Ibu Siti Aminah, dipendem di dayeuh Mekah.
Apa artinya kata-kata "Arab" (") itu sampai kini aku tidak
tahu. Walaupun masih kecil, aku sudah rajin berpuasa, selalu
tamat sampai magrib. Demikian selanjutnya sampai sebulan
peiuh. "Orang rajin berpuasa akan masuk surga," begitulah selalu
kata Ibu, bila dilihatnya, bahwa aku hampir tak tahan lagi,
mau bocor. Untuk harmoni di dalam rumah tangga, maka babu dan
bujang pun terdiri dari sejodoh orang-orang yang alim juga.
Nata, lakinya pernah belajar mengaji di sebuah pesantren.
Sedang Siti bininya masih seorang keponakan dari kiyai Bajuri,
yang mengajar di pesantren Nata itu.
Siti suka sekali mendongeng, dan sebagai biasanya pandai
pula ia mendongeng. Dan tentu saja yang biasa
didongengkannya itu dongeng ya ng hidup subur di antara
para santri itu. Aku seakan-akan bergantung kepada bibirnya,
mendengarkan. Terutama sekali kalau Siti menceritakan
Abunawas dan Raja Harun Al-rasyid.
Tapi biarpun begitu tidak ada cerita yang lebih berkesan
dalam jiwaku yang masih hijau itu daripada cerita-cerita yang
plastis tentang hukuman-hukuman neraka yang harus diderita
oleh orang-orang yang berdosa di dalam hidupnya di dunia.
"Mereka," kata Siti, "harus me lalui sebuah jembatan pisau
yang sangat tajam, lebih tajam dari sebuah pisau cukur, sebab
pi sau itu tajamnya seperti sehelai rambut dibelah tujuh."
Jembatan pisau itu terbentang di atas godogan timah yang
panas mendidih. Orang yang tida k pernah berbuat dosa dalam
hidupnya akan mudah saja melalui jembatan itu seakan-akan
ia berjalan di atas jalan aspal. Sesudah menyeberangi
jembatan itu, maka sampaila h ia ke depan pintu gerbang
surga. "Akan tetapi," kata Siti selanjutnya, "orang yang banyak
dosanya di dunia ini akan merangkak-rangkak seperti siput di
atas seutas benang yang tajam, dan ia akan selalu terpeleset.
Dan tiap kali ia terpeleset, jatuhlah ia ke dalam godokan timah
di bawahnya. Mulai lagi ia me ncoba menyeberangi jembatan
tersebut. Berkali-kali ia akan jatuh. Seluruh badannya penuh
dengan luka-luka seperti diiris-iris karena harus menarik-narik
dirinya di atas jembatan pisau itu. Darahnya bercucuran dari
tiap luka. Tapi ia mesti merangkak terus.
Maka merangkaklah ia terus sambil menjerit-jerit kesakitan.
Ia merangkak-rangkak, berengso t-engsot, minta tolong, tidak
ada yang bisa menolongnya. Kalau su&ah tidak tahan lagi,
jatuhlah ia untuk sekian kalinya ke dalam godokan timah." "Mati ia""
'Tidak mati," sahut Siti, (dan seperti biasa ia berkata
dengan suara yang penuh kepast ian, seolah-olah ia sendiri
sudah pernah berengsot-engsot di atas jembatan pisau itu),
"tidak mati, sebab orang yang sudah jatuh ke dalam neraka itu
tidak bisa mati lagi, nyawanya terus hidup untuk menjalani
siksaan kubur. Dan siksaan ku bur itu ada bermacam-macam.
Kalau Raden Asan suka menyiksa hewan, kuda misalnya, nanti
di neraka kuda itu akan memb alas dendam. Raden Asan akan
disiksa kembali oleh kuda itu. Disepak-sepak dan digigitnya.
Itulah maka Raden Asan tidak boleh menyiksa hewan. Hewan
apa saja, kecuali yang jahat. Yang jahat harus kita bunuh.
Kalau Raden Asan suka mencuri, nanti tangan Raden Asan
akan dipotong dua-duanya. Kalau Raden Asan suka
mengumpat orang lain, lidah Raden Asan akan didudut dari
kerongkongan. Dan kalau Raden Asan suka makan nasi
goreng, nanti si nasi-nasi kecil itu akan menggoreng Raden
Asan." "Dimakannya""
"Ya! Dimakan oleh nasi-nasi kecil itu seperti ulat-ulat makan
buah mangga. Itulah maka Raden Asan jangan suka makan
nasi goreng. Nasi biasa saja." (Memang gemar sekali aku
makan nasi goreng). Dongeng-dongeng Siti itu sangat berkesan dalam jiwaku,
seperti juga halnya dengan dongeng-dongeng Ibu. Sebagai
anak kecil aku sudah dihinggapi perasaan takut kepada
neraka. Itulah, maka aku sangat taat menjalankan perintah
Ayah dan Ibu tentang agama, dan kalau aku lengah sedikit
saja, maka segeralah aku dipe ringatkan kepada hukuman dan
siksaan dalam neraka. Makin besar, makin rajinlah aku melakukan perin tali
agama, dan dongeng-dongeng tent ang neraka itu tidak luntur,
melainkan malah makin menempel terus dalam hatiku.
4 Pada suatu hari, ketika aku sudah dewasa dan kebetulan
ber-pakansi ke Panyeredan, be rkatalah aku kepada Ayah,
"Ayah, bolehkah saya turut pu la memeluk ilmu yang Ayah dan
Ibu anuti"" Ayali sangat riang nampaknya mendengar permintaan itu.
Rupanya karena sangat terharu atau terlalu bahagia, maka
beberapa jurus lamanya, ia diam saja, seolah-olah ada yang
hendak diucapkannya tapi tidak terlahirkan.
Masih ingat pula-- aku, ketika Ayah mendengar dari
mulutku sendiri, berita yang sangat menggembirakan tentang
kelulusanku dalam ujian tama t sekolah Mulo. Ketika itu
mungkinlah bahwa Ayah merasa lebih berbahagia dari padaku
sendiri, oleh karena untukku kelulusan itu berarti hanya suatu
kejadian yang sudah bisa kura malkan dari semula, bahkan
seolah-olah suatu hal yang bagi ku dengan sendirinya harus
begitu. Masih ingat pula, agaknya bagi Ayali, ketika baru-baru ini
aku diterima bekerja di kantor gemeente *) Bandung.
Alangkah bahagia Ayali nampaknya ketika itu.
Akan tetapi apa artinya bahagia dulu-dulu itu, bila
dibandingkan dengan bahagia yang dirasainya ketika ia
mendengar permintaanku untuk turut menganut ajaran ilmu
tarekat yang dipeluknya"
Beberapa jurus ia memandang kepadaku. Dan melalui sinar
matanya itu seolah-olah mengalirlah perasaan kasih-sayang
yang mesra yang berlimpah-limpah tercurah
dari hatinya ke
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam hatiku. Dengan suara bergetar, maka berkatalah ia,
"Nah, anakku, syukurlah engkau sudah ada niat yang suci
begitu. Sesungguhnya dengan niatmu yang suci itu, telah
hilanglah segala rasa kekua-tiran yang selama ini kadang-kadang suka menekan dalam hatiku, ialah kekuatiran kalau-kalau dalam menempuh jalan hidup yang penuh dengan
godaan dan bencana ini engkau ak an tidak tahan, oleh karena
engkau belum mempunyai senjata yang kuat. Akan tetapi,
kalau engkau sudah turut memeluk tarekat yang Ayah dan Ibu
peluk juga, maka segala kekuat iran dan ketakutan Ayah dan
Ibu itu hilanglah sudah. Insyaallah anakku, siang malam tiada
lain yang Ayah dan Ibu pohonkan kepada Tuhan Rabulizati
keselamatanmu lahir batin, dunia akherat."
Sambil berkata demikian itu, tangan Ayah bergerak-gerak
tak keruan seolah-olah ia hend ak memeluk aku, mengelus-elus
rambutku seperti aku masih kec il. Tapi rupanya ia insyaf,
bahwa aku sekarang sudah dewasa, sudah tidak bisa lagi
dielus-elus seperti dahulu. Aku duduk bersila di hadapan Ayah.
Tunduk. Air-mata mendesak ke kerongkongan. *) Kotapraja.
atheis 3 25 Ibu di dapur segera diberi ta hu tentang niatku itu. Maka
ber-linanglah air mata Ibu.
"Syukurlah anakku," katanya seraya meletakkan tangannya
di atas bahuku. Aku tunduk terharu. Terasa tangan yang terletak di atas
bahuku itu bergetar. Dan bergetar pula suaranya.
"Ya anakku," (menyapu air mata dengan ujung kebayanya),
"kau sekarang sudah cukup dewasa. Sekolah sudah tamat,
pekerjaan sudah punya, tinggal pegangan yang utama dalam
agama yang masih harus kaulaksanakan. Dan itu sekarang kau
sudah minta sendiri. Ibu dan Ayali mengucap syukur
alhamdulillah!" (kepada ayah) "Bap a! Kapan kira-kira kita bisa
mengantar anak kita ini menghadap kepada guru kita di
Banten"" "Nanti kita hitung-hitung dulu waktunya yang baik," sahut
Ayah. Banyak lagi kata-kata yang me ngharukan hatiku dari mulut
kedua orang tuaku itu. Malah me reka tidak diam pada soal
agama saja, sampai-sampai kepada soal kawin, soal-soal
hidup lainnya. Ya kawin! "Sudah cukup pula umurmu untuk mengambil seorang
teman hidup," begitulah kata Ibu, "dan syarat-syaratnya pun
sudah ada, kau sudah bekerja sebagai "juragan komis",
(padahal aku baru menjadi "klerk").
Aku tunduk saja. Mengerti aku, bahwa orang tuaku itu takut
kalau-kalau aku akan menjadi buaya atau akan tersesat ke
jalan pelacuran. Maklumlah kota Bandung.
Padahal mereka itu tidak tahu, bahwa aku memang sudah
punya seorang "calon". Hanyalah aku selalu ragu-ragu untuk
menceritakannya kepada orang tua itu, oleh karena aku tahu
betul, apa yang menjadi idaman mereka tentang
perkawinanku. Mereka selalu bercita-cita, bahwa aku harus
kawin dengan seorang keturuna n menak, artinya orang yang
keturunan "raden". Sedang "calon"ku adalah orang biasa saja.
Untuk memuliakan niatku yang dianggap suci itu, maka
malam itu Ibu mengadakan kenduri untuk Syech Abdul Kadir
Jaelani. Dan sebagai biasa, maka sebelum kenduri, diadakan dulu
pembacaan riwayat Syech Abdul Kadir Jaelani dari kitab "Ma-nakib".
Dan sebagai biasa pula, yang membacanya itu (sebetulnya
menyanyikannya, sebab ri^vayat itu dibaca sambil
dinyanyikan dalam sajak Dandanggula dan sebagainya), ialah
pamanku, Mang Saca. Sejak aku menganut ilmu mistik seperti Ayali dan Ibu itu,
makin rajinlah aku melakukan ibadat. Sekarang ditambah lagi
dengan kewajiban-kewajiban yang berat yang diperintahkan
oleh ajaran mistik yang baru kuanuti itu.
Berat, ya mula-mula memang aku merasakannya amat
berat. Tapi sedikit-sedikit menjadi biasa, dan karena biasa
menjadi ringan, balikan kemudian malah menjadi sebaliknya,
menjadi berat kalau tidak menjalankannya. Terutama pula,
oleh karena aku selalu ingat kepada wejangan-wejangan Ayali,
bahwa aku akan tertimpa oleh hukuman-hukuman dunia
akherat apabila aku melalaikan kewajiban-kewajiban itu.
Hukuman-hukuman gaib akan menimpa dirimu semasih
kamu hidup di dunia ini juga. Demikian selalu kata Ayali.
Dengan masuk ke daerah mistik itu, aku seolah-olah sudah
merasa diriku seorang manusia baru. Sesungguhnya manusia
baru. Perasaan demikian itu dulu pun per
nah ada padaku, yaitu ketika aku baru meninggalkan kampung halamanku pindah
sekolah ke kota besar, ke Mulo *) di Bandung. Ketika itu pun
aku merasa diriku sebagai seorang manusia baru, yang telah
menginjak dunia dan alam baru. Akan tetapi perasaan
sekarang ini ada berlainan dari perasaan dulu. Tentu saja
berlainan, karena dulu itu aku tidak menghadapi sesuatu hal
yang gaib seperti sekarang, yang suci, yang ... ada
mengancam siksaan-siksaan gaib di belakangnya, kalau
kurang sungguh-sungguh aku menjalankannya. Dulu aku
terutama dilimpahi dengan perasaan yang megah. Megah,
oleh karena aku telah meningkat ke sekolah yang lebih tinggi,
ke sekolah tempat aku akan belajar bahasa Inggris, Perancis,
Jerman dan pelajaran-pelajaran lainnya.
Sedang sekarang perasaan megah itu terdesak oleh suatu
perasaan yang lebih bersuara dalam hatiku, ialah perasaan
bahwa aku harus lebih berhati-hati lagi dalam menjalankan
kewajibanku. Dulu perasaan megah itu sering nampak ke luar sebagai
demonstrasi kepintaran misalnya kepintaran bahasa Inggris
dan sebagainya, tetapi sekarang demonstrasi itu tidak ada,
walaupun sekali-sekali ada pula suatu hal yang membual dari
dalam hatiku *) Meer Uitgcbrcid Lager Onderwijs - setingkat
dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP). berupa sesuatu perbuatan yang boleh dibilang hampir
demonstratif sifatnya, yaitu bila aku merasa diriku seolah-olah
sudah menjadi seorang-orang yang sudah sempurna dalam hal
berbakti kepada Tuhan. Seakan dari sebuah tempat yang lebih tinggi aku melihat ke
bawah, ke tempat orang-oran g yang masih "kosong" dalam
hal menjalankan agamanya.
Perasaan "sempurna" itu membikin aku berangan-angan
ingin menginsyafkan orang lain akan kebaikan dan kebenaran
ilmu tarekat yang kupeluk itu. Angan-angan inilah yang
kadang-kadang membikin aku be rbuat agak demonstratif dan
propagandistis* Kadang-kadang pula aku tidak bisa menyembunyikan
kebencian kepada orang-orang yang tidak saleh dan kurang
iman. Pada suatu hari datanglah guruku dari Banten ke Bandung.
Memang sudah menjadi kebiasaannya untuk sewaktu-waktu
berkeliling ke tempat-tempat dan kota-kota, yang ada murid-muridnya. Demikianlah ia berkunjung ke Bandung untuk
mengunjungi murid- muridnya itu.
Pada suatu pertemuan di rumah salah seorang ihwan yang
sebagai biasa sengaja diadak an sesudah bersama-sama
melakukan sembahyang magrib dan isa, untuk menguraikan
soal-soal agama (tidak jarang pula disertai dengan mengejek
orang-orang yang berpendirian la in), maka ada juga beberapa
pertanyaan yang kuajukan kepada guru itu, tetapi selalu dapat
jawaban begini, "lnsyaallah," begitulah katanya selalu, "nanti
pun akan terbuka segala rahasia yang sekarang masih gelap
itu. Bekerja sajalah yang rajin untuk ilmu kita itu,
perbanyaklah berzikir, perbanyaklah bertawadzuh,
perbanyaklah berpuasa dan kurangi tidur, lnsyaallah nanti pun
segala-gala akan menjadi terang . Untuk yang rajin beribadat
dan melakukan segala perintah ajaran ilmu kita, tak akan ada
perkataan "wallahu 'alam" itu. Baginya tak akan ada rahasia
lagi. Sesungguhnya, hanya rohani yang suci '" bisa meningkat
kepada tingkatan makrifat dan hakekat, lnsyaallah, rajin-rajinlah saja menjalankan segala perintah yang telah
kuajarkan kepadamu itu!"
Demikianlah jawaban guruku itu selalu. Karena selalu
mendapat jawaban begitu, maka aku pun tidak mau bertanya
lagi. Aku percaya, bahwa uc apan guruku itu benar.
Kegiatanku kupertambah. Apa la gi oleh karena pada waktu
itu juga seringkah datang su rat dari Ayali yang selalu
mengandung peringatan begini bagiku, "Asan, anakku,
berhati-hatilah engkau dalam laku hidupmu, lebih-lebih oleh
karena sekarang sudah memelu k suatu ilmu yang sungguh
luhur, yang suci, yang murni. Janganlah engkau berbuat
sesuatu yang bertentangan atau melanggar ajaran-ajarannya.
Ingatlah akan akibat-aki batnya dunia akherat!"
5 Demikianlah kutempuh jalan hidup di kota ramai seperti
Bandung itu dengan tidak menyimpang dari perintah-perintah
agama dan mistik. Pada dewasa itu aku agaknya sudah sampai kepada puncak
kegiatanku dalam menjalankan perintah agama. Aku pernah
berpuasa sampai tujuh har
i tujuh malam lamanya. Aku pernah
mandi di kali Cikapundung sampai empat puluh kali selama
satu malam dari sembahyang is a sampai subuh. Tiap kalinya
aku mencemplungkan diri ke da lam air, menyelam ke dalam,
dan sesudah itu lekas ke luar dari dalam air, lalu duduk di
pinggir kali, membiarkan tubuh menjadi kering lagi dengan
tidak boleh mempergunakan handuk. Kalau sudah kering mesti
lekas mencemplungkan diri lagi ke dalam air. Begitulah
seterusnya sampai empat puluh kali. Aku pernah mengunci diri
dalam kamar, tiga hari tiga malam lamanya, dengan tidak
makan, tidak tidur, tidak bercakap-cakap sama orang lain.
Maka dengan demikian tentu sajalah aku makin terasing
dari dunia ramai, dari pergaula n hidup biasa. Pekerjaan kantor
pun seringkah terbengkalai.
Sangat pucat mukaku seperti yang kurang darah. Kawan-kawan sekantor banyak yang bertanya-tanya, "Kenapa kiyai
kita makin pucat saja, ya"!"
Lidah yang berolok-olok menjawab, bahwa aku harus lekas
kawin. "Naik ke atas," kata mereka.
Bukan itu saja, yang paling payah lagi bagiku, ialah oleh
karena pada suatu hari aku jatuh sakit, sehingga harus
dirawat di rumah sakit. Dan di sana ternyatalah, bahwa paru-paruku sudah tidak
sehat lagi. Dokter melihat tanda-tanda penyakit tbc pada paru
paru yang sebelah kanan. Karena itulah, maka aku harus
dirawat. Untung bagiku, oleh karena paru-paru itu belum luka.
Sebulan kemudian aku boleh pulang ke rumah.'
Bagian IV Loket bagian jawatan air dari Kotapraja tidak begitu ramai
seperti biasa. Ruangan di muka loket-loket yang berderet itu
sudah tipis orang-orangnya. Mema ng hari pun sudah jam satu
lebih. Yang masih berderet di muka loketku hanya beberapa
orang saja lagi. Aku asyik meladeni mereka. Seorang demi
seorang meninggalkan loket setela h diladeni. Ekor yang terdiri
dari orang-orang itu makin pendek, hingga pada akhirnya
hanya tinggal satu orang saja lagi.
Pada saat itu masuklah seorang lakMaki muda dari pintu
besar ke dalam ruangan. Ia diiringi oleh seorang perempuan.
Setelah masuk, kedua orang itu berdiri beberapa jurus melihat
ke kiri ke kanan, membaca merek-merek yang bertempel di
atas loket-loket. "Itu!" kata si laki-laki muda it u sambil menunjuk ke loketku.
Dengan langkah yang tegap ia bergegas menuju loketku.
Sepasang selop merah berkeletak di belakangnya, diayunkan
oleh kaki kuning langsep yang dilangkahkan oleh seorang
wanita berbadan lampai. Laki-laki itu kira-kira berumur dua puluh delapan tahun.
Parasnya tampan, matanya menyinarkan intelek yang tajam.
Kening di atas pangkal hidungnya bergurat, tanda banyak
berpikir. Pakaiannya yang terdir i dari sebuah pantalon flanel
kuning dan kemeja creme, serta pantas dan bersih. Ia tidak
berbaju jas, tidak berdasi.
Terkejut aku sejenak, ketika aku melihat perempuan yang
melenggoi-lenggoi di belakangnya itu. Hampir-hampir aku
hendak berseru. Kukira Rukmini...
Wanita itu nampaknya tidak jauh usianya dari dua puluh
tahun. Mungkin ia lebih tua, tapi pakaian dan lagak-lagunya
mengurangi umurnya. Parasnya cantik. Hidungnya bangir dan
matanya berkilau seperti mata seorang wanita India. Tahi lalat
di atas bibirnya dan rambutny a yang ikal berlomba-lombaan
menyempurnakan kecantikannya itu. Badannya lampai tapi
penuh berisi. Ia memakai kebaya merah dari sutra yang tipis, ditaburi
dengan bunga melati kecil-kecil yang lebih putih nampaknya di
atas latar yang merah. Kainnya batik Yogya yang juga
berlatarkan putih. Orang penghabisan sudah kuladeni. "Sekarang Tuan,"
kataku. "Saya baru pindah ke Kebon Manggu 11," sahut laki-laki itu
sambil bertelekan dengan tanga nnya di atas landasan loket.
"O minta pasang""
"Betul, Tuan! ..." (sejurus ia menatap wajahku)" ... Tapi ...
tapi (tiba-tiba) astaga, ini kan Saudara Hasan, bukan"!"
"Betul," (sahutku agak tercengang, lantas menegas-negas
wajah orang itu, dan saudara .. -. siapa""
"Lupa lagi"" (tersenyum) "Masa lupa" Coba ingat-ingat!"
Kutegas-tegas lagi. "An! Tentu saja aku tidak lupa" Masa lupa! Ini kan Saudara
Rusli"" (riang mengeluarkan tangan ke luar loket untuk
berjabatan). Saat itu pula dua badan yang terpisah oleh dinding, sudah
bersambung oleh sepasang tangan kanan yang erat
berjabatan. Mengalir seakan-akan rasa persahabatan yang
sudah lama itu membawa kenangan kembali dari hati ke hati
melalui jembatan tangan yang bergoyang-goyang turun-naik
seolah-olah menjadi goyah karena derasnya aliran rasa itu.
Kepalaku seakan-akan turut tergoncangkan, menggeleng-geleng sambil berkata, "Astag a, tidak mengira kita akan
berjumpa lagi ya. Di mana sekarang""
"Di sini, baru seminggu pindah dari Jakarta."
"Di sini" Sukurlah . . . Astaga (menggeleng lagi kepala)!
Sudah lama kita tidak berjumpa ya" Sejak kapan""
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya rasa sejak sekolah HIS *) di Tasikmalaya dulu. Sejak
itu kita tidak pernah berjumpa lagi."
"Memang, memang (menganggu k-angguk) memang sudah
lama sekali ya" Sudah berapa tahun""
"Saya rasa tidak kurang dari lima belas tahun."
"Ya, ya, lima belas tahun (b erkecak-kecak dengan lidah)
bukan main lamanya ya! Tak terasa waktu beredar. Tahu-tahu
kita sudah tua, bukan""
*) Hollands Inlandse School = Sekolah Rakyat dengan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya.
Kami tertawa. "Eh perkenalkan dulu, adikku, Kartini (menoleh kepada
perempuan itu). Tin! Tin! Perk enalkan, ini Saudara Hasan,
teman sekolahku dulu."
Dengan senyum manis Kartini berkisar dari belakang ke
samping Rusli, lantas dengan mengerling wajahku
diulurkannya tangannya yang halus itu ke dalam loket.
Sejenak aku agak ragu-ragu untuk menyambutnya, dan
sedetik dua detik hanya kutatap saja tangannya yang terulur
itu. Akan tetapi sekilat kemudi an dengan tidak kuinsyafi lagi,
tangan perempuan yang halu s itu sudah bersilaturahmi
dengan tanganku yang kasar.
"Hasan," bisikku dalam mulut.
"Kartini," sahut mulut dari ba lik loket itu dengan tegas.
Sebentar kemudian urusan minta pasang air sudah selesai.
Aku sudah tabah mencatat seperti seorang jurutulis pegadaian
yang sudah biasa meladeni' beratus-ratus rakyat kecil yang
butuh uang. "Sangat kangen saya kepada Saudara," kata Rusli sambil
melipatkan sehelai formulir yang harus dibawanya ke loket
keuangan untuk membayar uang jaminan di sana.
"Saya pun begitu," (memungut potlot yang jatuh)
"datanglah ke rumahku."
"Baik, di mana rumah Saudara""
"Sasakgantung 18."
"Baik, tapi baiknya saudara dulu datang ke rumahku."
"O ya, ya, insyaallah, memang tuan rumah dulu yang harus
memberi selamat datang kepada orang baru."
"Datanglah nanti sore, kalau saudara sempat. Nanti kita
ngo-brol. Datanglah kira-kira setengah lima begitu!"
"Insyaallah! Di mana rumah saudara itu" Oya, ya, ini kan
ada dalam daftar: Kebon Manggu 11."
Dengan gembira mereka berpisah dengan aku. Kartini
mengangguk sambil tersenyum. Aku mengangguk kembali
agak kemalu-maluan. Entahlah, terasa jantungku sedikit
berdebur ketika mataku bertemu dengan matanya.
Kubereskan buku-buku. Semua permohonan pasang air
kumasukkan ke dalam buku yang spesial untuk itu. Begitu
juga dengan permintaan penyet opan air yang kumasukkan ke
dalam buku lain yang khusus untuk itu saja.
Akan tetapi aneh sekali, sambil bekerja demikian itu, terasa
olehku bahwa ada suatu perasaan yang, entahlah, tak
mungkin aku mengatakannya perasaan apa. Yang tegas saja
ialah bahwa aku merasa gembir a seperti tiap orang yang
bertemu dengan seorang sahabatnya yang sudah lama tidak
berjumpa. Akan tetapi biarpun begitu harus kukatakan, bahwa
padaku ada lagi sesuatu yang agak lebih daripada hanya
perasaan gembira saja semata-mata.
Rusli itu adalah seorang kawanku ketika kecil. Agak karib
juga kami berteman, bukan saja oleh karena satu kelas, tapi
pun juga oleh karena kami bertetangga. Kami banyak
bersama. Sepak bola di alun-alun, main gundu di pekarangan
orang, memungut buah kenari yang banyak tumbuh di tepi
jalan raya, selalu kami bers ama. Malah sakit pun pernah
bersama-sama, sebab terlalu banyak makan rujak Guga
bersama-sama). Hanya dalam dua hal kami tidak pernah bersama-sama,
yaitu kalau Rusli berbuat nakal, dan apabila aku sembahyang.
Orang tuaku melarang nakal, menyuruh sembahyang. Orang
tua Rusli tak peduli. Dan kalau kami bersama-sama pergi ke mesjid, maka aku
untuk sembahyang, sedang Rusli untuk mengganggu khatib
tua yang tuli atau unt uk memukul-mukul bedug. Dan tak
jarang pula aku sendiri diganggunya dalam sembahyang,
dikili-kilinya telingaku, aku dipelu knya dari belakang, kalau aku
sedang berdiri hendak me lakukan rakaat pertama.
Sesungguhnya, kami berdua sangat berbedaan tabiat, tapi
anehnya, biarpun begitu masih ju ga kami bisa bergaul dengan
karib. Memang anak-anak belum merenggangkan satu dari
yang lainnya lantaran sikap hidup yang berlainan. Oleh karena
itu barangkali dunia ini baru akan bisa aman dan damai, kalau
penduduknya hanya terdiri dari kanak-kanak melulu.
Sedang aku asyik menulis dalam buku permintaan pasang
air, lewatlah lagi Rusli dan Kart ini pulang dari loket keuangan.
"Sampai nanti sore, Bung!" seru Rusli sambil mengangkat
tangannya yang kanan, menabik.
"Ya," sahutku. Kartini mengangguk sedikit. Beradu pula pandanganku
untuk kedua kalinya dengan pandangan Kartini. Aku tunduk.
Terasa darah tersirap ke muka.
Rusli dan Kartini sudah sampai ke ambang pintu ke luar.
Kebetulan dengan tidak bermaksud apa-apa, aku mengangkat
kepala dari buku yang sedang kutulis, melepas pandangan ke
arah pintu itu. Pada saat itulah pula Kartini menoleh ke
belakang. Maka untuk ketiga kalinya aku bertemu pandang
lagi dengan dia. Sekali ini rupanya Kartini merasa agak malu.
Ia lekas membuang mukanya ke depan, tapi masih sempat
tersenyum sedikit. Senyum tak sengaja rupanya. Tapi cukup
untuk meninggalkan kesan yang tak mudah akan hilang dari
hatiku. 2 Sambil mendayung ke Gang Kebon Manggu, bertanya-tanya-lah aku dalam hati, "Siapa kah sebetulnya dia itu" Rusli
bilang, adiknya. Tapi baru sekarang aku mendengar bahwa dia
mempunyai adik perempuan. Kartini! Tegas sekali ia menyebut
namanya tadi. . . Tapi ah, peduli apa sama dia sih!"
Tapi biarpun begitu, hatiku tidak mau diam juga. Peduli
apa! Tapi menyelinap pula bayangan wajah yang cantik itu ke
muka mata batinku. Al i, barangkali istrinya.
Dot-doot! Untung lekas mengelak. Hampir tertabrak aku oleh sebuah
mobil yang tiba-tiba datang dari tikungan jalan Pungkur. Bung
supir memaki-maki. Tepat jam setengah lima seperti telah dijanjikan, aku tiba di
rumah Rusli. Tidak sukar me ncari nomor sebelas itu.
"Ah Saudara" Silahkan masuk, Saudara!" Rusli menegur
dengan ramah ketika dilihatnya aku masuk halaman
menyenderkan sepeda kepada tembok. "Sepedanya kunci
saja, Bung!" Pintu menggerit dibuka Rusli. Aku masuk.
"Silakan duduk, Bung!"
Nampaknya Rusli belum mand i. Kulit mukanya seperti
seorang Jepang. "Saya baru saja beres-beres rumah," ujarnya.
Rokok sebungkus keluar dari kantongnya, yang lantas
disodorkannya kepadaku. Beberapa batang meloncor dari
bungkusan, siap untuk dicapit jari-jari pindah ke bibir.
"Mari merokok, Bung! Saya sendiri tidak begitu suka
merokok sigaret. Saya lebih suka menggulung sek saja, atau
kalau ada malah lebih suka rokok kawung saja."
Maka sejurus kemudian kami berdua sudah asyik
menceritakan lakon masing-masing semenjak berpisahan lima
belas tahu" yang lalu. Sambil bercerita kami merokok terus.
' Rusli bercerita, bahwa setela h tamat dari sekolah rendah
di Tasikmalaya, ia lantas mengunjungi sekolah dagang di
Jakarta." Tapi tidak tamat, hanya sampai kias tiga, oleh karena
ia lantas tertarik, oleh pergerakan politik. Sebagai seorang
pemuda yang berkobar-kobar semangat kebangsaannya, ia
masuk anggota salah satu partai politik. Setelah partai
tersebut dilarang dan banyak pemimpin-pemimpinnya
ditangkap, maka Rusli menyingkir ke Singapura.
Di kota besar itu ia banyak bergaul dengan kaum
pergerakan dari segala bangsa. Nafkah dicarinya dengan jalan
bekerja sebagai buruh pelabuhan atau sebagai sopir taksi,
tempo-tempo berdagang kecil-kecilan. Soal nafkah memang
tidak menjadi soal berat bagi Rusli, oleh karena sebagai
seorang pemuda bujangan ia tidak mempunyai banyak
kebutuhan. Memang sebagai pemuda yang berjuang untuk
cita-cita politiknya, soal mencari nafkah itu agak berkisar ke
belakang. Begitulah keterangan Rusli.
Empat tahun Rusli hidup di Singapura. Dan selama empat
tahun itu ia banyak belajar tentang soal-soal politik. Bukan
hanya dengan jalan banyak membaca buku-buku politik saja,
akan te tapi juga banyak bergaul dengan orang-orang
pergerakan internasional. Pergaulan macam begitu mudah
sekali dijalankan di suatu kota "internasional" seperti
Singapura. Macam-macam aliran dan stelsel, serta ideologi-ideologi politik dipelajariny a dengan sungguh-sungguh,
terutama sekali ideologi Maccisme.
Dari Singapura Rusli pindah ke Palembang. Di sana ia
sambil berdagang, banyak menulis di surat-surat kabar
dengan memakai nama samaran. Kemudian ia pindah ke
Jakarta, dan pada akhirnya pindah pula ke Bandung.
"Dan di sini apa yang kaukerjakan," tanyaku setelah Rusli
habis bercerita. "Ah biasa saja," (menggulung-gulung rokok kawungnya)
"jual-jual sedikit, menulis-nulis untuk surat-surat kabar dengan
harapan tentu bahwa surat-surat kabar itu sanggup membayar
honorarium. Dan kalau cukup perhatian, saya pun akan
mencoba-coba buka kursus baha sa Inggris. Itulah maka saya
ambil rumah ini yang agak besar."
"O ya, memang rumah ini besar, saya Uk-Sft. (berdiri).
Boleh saya lihat dalamnya""
'Tentu saja! Silahkan!" (berdiri juga).
Seperti kebanyakan rumah di kota dingin seperti Bandung,
serambi muka ditutup dengan kaca. Demikian juga serambi
belakang yang akan dipakai tempat mengajar oleh Rusli.
Dindingnya setengah tembok setengah gedek. Lantainya tegel,
dan kamarnya ada tiga buah.
"Wali ini terlalu besar bagi satu orang . . . tapi eh, saya lupa
tanyakan, apa kau ini masi h bujangan, atau ....""
"Kaulihat sendiri," sahut Rusli sambil menunjuk ke dapur
yang masih sunyi dan dingin.
O jadi dia belum kawin, pikirku dengan sedikit gembira.
Tapi segeralah aku bertanya lagi, "Belum punya bujang juga""
"Belum, dia baru datang besok."
Kami duduk kembali ke temp at tadi di serambi muka.
"Yang tadi bersama-sama ka u itu, siapa sebetulnya"
Kusangka istrimu." "Istriku"" (tertawa).
"Jadi bukan istrimu""
Makin jelas terasa olehku kegembiraan dalam hatiku yang
seolah-olah terhela oleh sesuatu harapan mau melepas bebas
ke luar. Sesuatu harapan, ya, sesungguhnya! Tapi . . .
harapan apa" Kabur-kabur rasanya masih. Nampaklah
perasaanku itu kepada Rusli" Entahlah. Kemudian aku merasa
malu terhadap dia, seakan-akan sudah pasti bagiku, bahwa
Rusli itu sudah bisa menjenguk ke dalam hati sanubariku
melihat apa isinya pada saat itu. Dan untuk menyembunyikan
semua itu, kucoba membelokkan percakapan kepada soal lain.
"Jambangan sebagus ini," kataku sambil menjangkau sebual
jambangan bunga di atas sebuah rak. Tapi dalam kegugupan,
rak itu tersinggung oleh tanganku, sehingga jatuh
jambangannya Berdering-dering suaranya, seolah-olah
menjerit kesakitan, pecah di atas lantai.
Aku makin gugup. Mau memungut semua pecahan-pecahai
itu satu per satu dari lant ai seraya bersungut-sungut
mengutuk diriku sendiri. Kata-kata minta maaf berhamburan
dari mulut ku. Rusli terbenam dalamnya, tapi ia cuma tertawa saja.
"Kenapa saudara amat gugup" " katanya sambil pergi ke
belakar mengambil saDU. Kuburu dia. Lekas kurebut sapu dari tangannya. Mau
menyapu. Rusli tersenyum mengerti, seolah-olah pikirnya. "Dia mau
memperbaiki kesalahannya dengan jalan mau menyapu sendiri
Aku makin malu. Setelah beres kembali, kami duduk lagi. Aku merasa
tenteram lagi, dan Rusli menggulung-gulung lagi rokok
kawungnya. "Sedikit basah daun kawung ini, lekas padam," katanya.
Kami bercakap-cakap lagi. Dari soal rumah meloncat ke soal
hawa, soal hujan, soal musim duren, tapi semua itu dengan
sepintas lalu saja, sebab pada akhirnya kembalilah lagi kami
kepada kenang-kenangan pada jaman kami masih kecil di
Tasikmalaya. Tidak kurang dari sepuluh bata ng rokok kawung yang telah
digulung Rusli selama kami ngobrol itu.
Pada akhirnya percakapan itu kembali pula kepada Kartini.
Bukan aku yang memulai, melainkan Rusli sendiri, ketika ia
menceritakan seorang teman se kolah perempuan dulu yang
sering diperolok-olokkannya, tiba-tiba meloncat kepada Kartini
dengan pertanyaan, "Tidakkah wajah si Aminah itu hampir
serupa dengan Kartini, San""
Maka mulailah lagi acara Kartini.
Rusli pandai sekali bercakap-cakap supaya sesuatu hal
menjadi sangat menarik hati dengan jalan banyak
mengemukakan pertanyaan-pertan
yaan yang disela-selakan di
antara obrolannya. "Masa kau belum tahu, San" Kau kan selama ini selalu ada
di Bandung"! Di mana kau simpan kedua belah matamu itu"!"
Aku hampir tidak sabar lagi ingin mengetahuinya.
"Kauperkenalkan dia kepadaku tadi sebagai adikmu. Kukira
kau hanya berolok-olok saja, sebab setahuku kau tidak pernah
mengatakan punya adik seorang perempuan."
"Kupikir kau ini agaknya ingin sekali mengetahui siapa dia
itu. Betul tidak, San"" (matanya memicing sebelah).
'Tidak! Sekali-kali tidak, Rus!"
Dengan berkata begitu aku membikin isyarat dengan
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan, seolah-olah mau memper lihatkan bahwa hal itu adalah
suatu hal yang tidak penting bagiku. Akan tetapi terasa benar
olehku, bahwa isyarat-isyarat itu sangat setengah-setengah
sehingga rupanya jelas bagi Rusli, bahwa memang sebenarnya
aku itu ingin " tahu.
"Betul-betul tidak""
"Tidak!" sahutku dengan agak tegas. Tapi ketika kulihat
Rusli tersenyum-senyum, terasa olehku darah naik ke kuping.
Dan seolah-olah tak acuh akan reaksiku itu, maka
berceritalah Rusli. Panjang lebar ia menceritakan riwayat
Kartini. Ternyata, bahwa Kartini itu telah dipaksa kawin oleh ibunya
dengan seorang rentenir Arab ya ng kaya. Arab itu sudah tua,
tujuh puluh tahun lebih umurnya, sedang Kartini baru tujuh
belas, gadis remaja yang masih sekolah Mulo, baru naik ke
kelas dua. Tapi karena dipaksa kawin, maka gadis itu terpaksa
keluar dari sekolahnya. Ibunya memaksa kawin dengan si Arab
tua itu, semata-mata untuk mencari keuntungan belaka. Dan
entah bagaimana jalannya tapi berhasillah agaknya kepada si
Ibu itu untuk menggaruk sedikit dari kekayaan si Arab kikir itu:
tanah dua bau dan rumah satu, yaitu rumah di Lengkong
Besar yang sekarang didiami oleh Kartini. Desas-desus pula,
Kartini dan ibunya itu "diborong" oleh si Arab tua itu.
"Tapi itu hanya propokasi lidah busuk saja," kata Rusli.
Alangkah malangnya bagi Kartini, karena ia sebagai seorang
gadis remaja yang masih suka berplesiran dan belajar dalam
suasana bebas, sesudah kawin dengan Arab tua itu (notabene
sebagai istri nomor empat) seakan-akan dijebloskan ke dalam
penjara, karena harus hidup secara wanita Arab dalam
kurungan. Maka tidak mengherankan, kalau Kartini setelah ibunya
meninggal dunia, segera melarikan diri dari kungkungan si
Arab tua itu. Dan tidaklah mengherankan pula agaknya, kalau ia yang
sudah mengicip-icip pelajaran dan didikan modern sedikit-dikit,
kemudian setelah ia lepas dari "penjara Timur kolot" itu segera
menempuh cara hidup yang kebarat-baratan.
Rusli masuk kamar dulu dan setelah kembali dengan seikat
daun kawung baru, ia melanjutkan, "Barangkali bagi Saudara,
cara hidupnya demikian itu agak menyolok mata, karena tidak
biasa, tapi di balik semua itu tidak ada kejahatan apa-apa.
Dan kalau dikatakan orang bahwa ia sudah "jatuh", maka
jatuhnya itu semata-mata dilantarankan oleh sesuatu stelsel
yang buruk, yaitu stelsel kapitalisme. Jadi bukan karena
memang dasar budinya jahat. Sekali-kali tidak. Itulah maka
Kartini sekarang telah menjadi seorang wanita pejuang yang
insyaf dan sadar untuk menentang stelsel itu. Ia mulai belajar
politik. Ya bung, pengalamannya yang pahit itulah telah
membikin dia menjadi seorang Sr ikandi yang berideologi tegas
dan radikal. Mungkin dalam mata orang-orang yang kolot dan
konservatif, ia seolah-olah seorang wanita yang sudah pecat
imannya. Memang, ia pun sudah pecat imannya, tapi dari etika
feodal dan etika burjuis. Itu benar! Bukan begitu, Bung""
Aku tidak menjawab. Tidak mengerti, apa yang
dimaksudkan oleh Rusli itu. Apa etika feodal" Apa etika
burjuis" Mendengar kata-katanya pun baru sekali itu aku.
Terharu juga aku mendengar riwayat Kartini yang dipaksa
kawin itu. Tapi akan kesimpulan Rusli itu yang
menghubungkan semuanya kepada stelsel kapitalisme, aku
tidak mengerti. Mungkin kesimpulannya itu dicari-cari saja,
atau mungkin pula hal itu adalah suatu tinjauan politik yang
tinggi, yang tidak tercapai ol eh otak dan pengetahuanku.
"Untung," kata Rusli setelah ia ke belakang sebentar untuk
kencing, ibunya yang serakah itu sekarang sudah meninggal.
Belum lama, baru saja kira
-kir a delapan bulan yang lalu. Dan
segala kekayaannya yang lumayan itu, termasuk juga sawah
yang dua bau dan rumahnya yang dibelikan si Arab itu
sekarang semuanya jatuh kepada Kartini, karena Kartini
adalah seorang anak tunggal. Ta pi sulitnya baginya ialah oleh
karena ada seorang keponakan si Arab tua itu yang selalu
mengganggunya dan mengancamnya dengan bermacam-macam ancaman. Ia cinta sama Kartini. Itulah maka Kartini
selalu mencari perlindungan kepadaku dan orang-orang lain
yang agak rapat kepadanya . . . ." (tiba-tiba bangkit dari
kursinya). "Nah itu datang dia!"
Astaga, betul itu dia! bisikku dalam hati, memanjangkan
leher melihat ke luar jendela.
Dari jauh sudah jelas garis-garis dan bentuk bagian-bagian
tubuh Kartini yang penuh berisi itu. Entahlah, makin dekat
badan yang kuning lampai itu menghampiri, makin keras
hatiku berdebur. Aduh, betapa persis ia menyerupai "dia"! Sekilas pikiran itu
timbul dalam hatiku. Rusli berg egas membuka pintu. "Hallo
Tin! Mari, mari masuk!"
Rusli sangat ramah dan gembira. Terlalu ramali, menurut
ukuranku. "Tidak terlalu sore saya datang"!" tanya Kartini tersenyum.
Kakinya meloncat dari tangga ke ambang pintu. Dadanya
membusung ke depan. Air mukanya penuh kesadaran,
seakanakan tidak ada yang ditakutinya. Matanya lincah
berkilau-kilau-an. Ia memakai kebaya crepe warna kuning
mengkilap. Pada dadanya sebelah kiri terlukis sekuntum bunga
aster berwarna nila dengan tiga helai daunnya yang hijau tua.
Kainnya jelamprang yang dipakaikan secara "gejed mulo",
artinya demikian rupa hingga dalam ia melangkah, betisnya
yang kuning langsep itu seolah-olah tilem-timbul, sekali
langkah kelihatan, sekali lagi te rtutup oleh kainnya. Sehelai
kain leher yang panjang dari sutera hijau muda yang
berbunga-bunga merah membelit kendur pada lehernya.
Bibirnya merah dengan lipstick dan pipinya memakai rouge
yang tidak terlalu merah. Segala-galanya serba modern, tapi
tepat sederhana, tidak dilebih-lebihkan.
"Tidak terlalu sore toh"" Kartini mengulangi lagi
pertanyaannya setelah ia berjabatan tangan dengan kami. Aku
berdiri di samping kursi dengan sikap hormat yang terasa agak
kaku. "Ah tidak," sahut Rusli tertawa menjawab pertanyaan
Kartini tadi," malah benar kata orang, kalau kita sedang
mengumpat setan, terpijaklah ekornya."
"O kalau begitu si setan itu me sti lekas-lekas sajalah duduk,
supaya jangan terpijak lagi ekornya."
Dan dengan berkata begitu dijatuhkannyalah badannya ke
atas kursi yang paling dekat kepadanya seraya tertawa-tawa.
Kursi itu kursiku sendiri. Aku mundur beberapa langkah. Agak
heran melihat tingkah-lakunya itu. Sangat bebas. Terlalu
bebas, menurut ukuranku. Tapi entahlah, biarpun begitu sesaat kemudian seluruh
perhatianku telah terpaku ke pada wajah perempuan yang
sedang tertawa itu. "O, maaf, Saudara," katanya ia menengadah dari kursinya
ke dalam wajahku dengan air muka berseri-seri dan dengan
gerak tangan seperti serimpi, mempersilahkan aku duduk di
atas kursi sebelahnya. "Silahkan, Bung," kata Rusli.
Aku lantas duduk. Demikian juga Rusli.
Kartini mengipas-ngipas mukanya dengan sebuah kipas
kecil dari ebonit. Wangi bedak dan minyak berombak-ombak
masuk hidungku. "Agak panas sore in i," kata Rusli.
"Lihat saja muka saya ini," jawab Kartini, kipasnya lebih
cepat. Dibukanya tasnya, lalu meneliti mukanya dalam sebuah
kaca kecil yang ada di dalamnya. Dengan sebuah
puderdons lantas diratakannya lagi bedaknya yang sedikit
retak-retak oleh keringat.
"Di kamarku ada kaca besar," kata Rusli. "Boleh saya""
tanya Kartini bangkit. 'Tentu saja, kenapa tidak boleh! Tak usah kuhantarkan
toh"" sahut Rusli berolok-olok.
"Aku sudah besar. Tahu jalan. Jangan takut, takkan
tersesat!" jawab Kartini tertaw a sambil menghilang ke dalam
kamar. Aku tercengang-cengang saja melihat semua itu. Ia masuk
ke kamar. Kamar seorang laki-laki bujangan. Mimpikah aku"
Atau bagaimana ini" .... Sungguh bebas ia! Terlalu bebas,
menurut ukuranku. Aku tidak me ngucap apa-apa. Bermacam-macam perasaan simpang siur dalam hatiku. Menoleh aku
kepada Rusli yang sedang runduk menggulung-gulung rokok
kawungnya. Batang ke se kian belas. Heran, pikirk u, si Rusli ini
cuma tersenyum-senyum sendiria n saja, seperti ada yang lucu
atau menggembirakan. Baru-sekali itu aku berada dalam keadaan yang
menimbulkan perasaan-perasaan yang tidak tentu bagiku:
heran, kecewa, sayang, mencela, curiga tapi pun juga
gembira. Ya, juga gembira.
Sejurus kemudian terdengar lagi suara selop berketepok
kembali keluar dari kamar.
"Aku tidak sesat toh""
Senyum memancar dari wajahnya. Dan dengan "permisi
tuan" yang segera disusul oleh "silakan nyonya" dan deritan
kursi yang digeserkan di atas te gel, Kartini lewat di belakang
kursiku. Udara berombak lagi membawa wangi "Soir de Paris". Dan
pusat ombak semerbak itu segera lah duduk di atas kursinya
lagi. Kaki kanannya bersilang di atas yang kiri, sehingga
kainnya tersingkap sedikit ke atas memperlihatkan betis yang
mengemas kuning. "Jadi kita pergi"" ia bertanya memandang Rusli.
"Tentu saja," sahut Rusli, memadamkan rokoknya dalam
asbak. Dan sejurus kemudian bangkitlah ia dengan permisi
hendak mandi dulu. "Saudara-saudara bercakap-cakaplah saja dulu," katanya
pula. Mau ke mana mereka, pikirku.
"Saya permisi pulang saja," kataku, karena merasa
barangkali mengganggu mereka.
atheis 4 41 "E-e-eeh," kata Rusli, "Apa ini" Masa tidak menghormati
tamu yang baru datang" Or.ang baru datang, ini mau pergi.
Wali, itu tidak bagus dong!"
Aku agak malu, terasa darah membakar telinga lagi. Hidung
bergerak tak keruan. Dan sambil menarik-narik jari melebarlah
bibirku seolah-olah hendak te rtawa atau ada yang hendak
kukatakan. Tapi tiada suara yang keluar.
Rupanya nampak kepada Rusli, bahwa aku malu karena
ucapannya itu, dan untuk memperbaiki lagi suasana, maka
lekaslah ia berkata dengan se nyuman yang ramah dan lagu
yang setengah membujuk, "Ah tentu saja Saudara Hasan mau
duduk-duduk sebentar sampai saya selesai mandi dan
berpakaian, bukan" Masih sore toh""
Aku mengangguk, gembira karena ada harapan untuk
memperbaiki sikapku yang kurang hormat itu.
Rusli kemudian masuk kamarnya, dan segera keluar lagi
me-nyelampaikan handuknya di atas bahu, sedang tangannya
membawa tempat sabun dan sebuah gelas berisi sebuah sikat
gigi. "Tuan sudah lama"" tiba-tiba Kartini bertanya.
"Sudah satu jam kira-kira," sahutku, sedikit terperanjat,
karena pikiranku sudah melayang-layang tak tentu lagi.
"Rumah Tuan di mana""
"Dekat. Di Jalan Sasakgantung 18."
"O dekat. Saya pun tidak jauh dari sana."
"Di mana"" (sebetulnya aku sudah tahu dari Rusli tadi, dan
rasanya dia pun tahu alamatku, sebab bukankah tadi siang
telah kukatakan kepada Rusli, ketika mereka datang ke
kantorku" Tapi mungkin juga Kartini tidak menaruh perhatian).
"Saya di Lengkong Besar 27."
Beberapa jurus hening. Kemudian Kartini mengeluarkan satu pak sigaret dari tasnya
lantas disodorkannya kepadaku, "Silakan Tuan!"
Aku tertegun sejenak. Timbul lagi perasaan heran dalam
hatiku. Sungguh perempuan aneh dia, pikirku, bukan saja bebas
tapi pun merokok pula. "Tuan tidak merokok barangkali," katanya pula sambil
meno-kok-nokok sebatang rokok di atas meja.
"Saya terlalu banyak merokok," jawabku sekedar jangan
terus bungkem saja. Hening lagi beberapa jurus.
"Saudara Rusli tidak suka merokok sigaret. Ia lebih suka
rokok kawung atau sek," kata Kartini, memasukkan rokoknya
ke dalam mulut. Dinyalakannya sigaret itu sendiri. Sebentar kemudian ber-kepul-kepullah sudah asap dari mulutnya. Sangat indah cara
wanita muda itu menjepit sigaretnya dengan telunjuk dan jari
tengahnya yang runcing itu, cara mengeluar-masukkan
sigaretnya ke bibir yang merah itu dan terutama pula lenggak-lenggik tangannya yang berirama seperti serimpi. Asap
panjang-panjang mengelu dari ujung sigaret, langsing-1
ampai, melenggok-lenggok seperti serimpi pula. Kadang-kadang serimpi-serimpi halus kebiru-biruan itu ditiupnya alon-alon. Maka berpencaranlah mereka, bergelut-gelut di udara
tak berketentuan, dan udara berombak-ombak menyebarkan
paduan wangi dari sigaret dan "Soir de Paris".
Agaknya Kartini senang bermai n-main dengan asap itu.
Mendesir suaranya dari mulutnya kalau ia meniup serimpi-serimpi asap itu. Ha mpir tak kedengara
n. Aku memandangnya dari samping. Indah sekali hidungnya
yang bangir *) itu ditilik da ri samping! Sungguh perempuan
cantik ia! "Datanglah sekali-sekali ke rumahku."
Agak tercengang aku mendenga r suara tiba-tiba itu. Tidak
menoleh ia ketika mengucapkann ya itu, melainkan tetap asyik
melihat asap rokoknya yang sekarang sengaja ditiupnya bulat-bulat dari mulutnya.
Tak mengira seujung rambut pun, bahwa aku akan
mendapat undangan semacam itu dari mulutnya. Maka aku
pun tidak menjawab dengan tegas, hanya mengangguk saja
dengan setengah tertawa setengah melongo. Entahlah,
apakah aku merasa girang, atau heran, atau sangsi, atau
bagaimana, aku tidak tahu benar.
Hanya terasa olehku bahwa hatiku sudah tak tentu lagi.
"Dan sekarang" Tuan toh akan ikut juga menonton""
"Menonton""
Belum pernah aku menonton bersama-sama dengan
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang perempuan, atau diajak oleh seorang perempuan.
Apalagi oleh seorang perempuan asing yang baru saja kukenal
seperti Kartini *) .mancung. itu. Apa kata orang nanti" Dan memang aku pun tidak suka
menonton. Didikan keagamaanku tidak sesuai dengan sifat-sifat keriahan dan keduniawian macam menonton bioskop itu.
Maka jawabku pun tegas, "Ah tidak!"
"Sayang, mengapa tidak mau ikut" Filmnya bagus. Gone
with the wind. Clark Gable pegang peranan utama."
"Ya, San, ikutlah!" kata Rusli setengah berteriak dari dalam
kamar yang ditutupkan pintunya. Ia sudah selesai mandi dan
sedang berpakaian." Makin banyak teman, makin gembira.
Dan ingatlah kita sudah lama berpisahan. Marilah untuk
malam ini kita sama-sama bersuka-ria."
"Saya ada urusan lain mesti ke rumah Paman," jawabku
sekedar alasan yang kucari-cari. Entah terdengar atau tidak
oleh Rusli, sebab berteriak di muka Kartini aku tidak berani.
Aku berbohong, tidak biasa berbohong. Tapi tidak
mengapa, agama pun memperkenankan bohong, kalau
memang perlu untuk keselamatan agama dan sesama hidup.
Aku merasa terpaksa berbohong demikian, karena aku tidak
suka menonton. Dan terutama sekali: apa akan kata orang
nanti. Aku sudah dikenal orang sebagai seorang alim dan
saleh, dan tiba-tiba kelihatan duduk di bioskop bersama-sama
dengan seorang perempuan yang bukan muhrim. Dan
perempuan macam apa lagi! Macam
Kartini! Perempuan yang terlalu modern, dan.....mungkin
harus disangsikan pula kesusilaannya. Tidak! Aku tidak mau, tidak
boleh. 3 Sampai di rumah Magrib menyambut aku dengan tabuh.
Aku terbang ke kamar mandi mengambil air wudu.
Sejurus kemudian aku sudah terbenam dalam suasana
kesucian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Hayya alalfalah! Hayya
alalfalah! Hayya alassolah ....
Bergetarlah rasa jiwaku dalam menadahkan tanganku ke
atas. Kupejamkan mataku. Segala pancaindera kututup.
Seluruh jiwa kupusatkan ke hadirat Ilahi.
Allahu Akbar kabiran, walhamdulillahi kasiran. ..
meluncurlah rasanya seluruh jiwaku ke dalam ketiadaan yang
tak berbentuk tak berbatas.
Akan tetapi itu hanya untuk beberapa detik saja, sebab
sesaat kemudian dengan tiada kuinsyafi lagi pikiranku sudah
melantur-lantur lagi. Dibawanya aku pindah lagi ke Kebon
Manggu 11. Terkejut aku. Kebon Manggu kudesak lagi supaya
hilang. Tapi makin keras aku berusaha, makin keras
bayangannya menempel dalam pikiran. Keras-keras
kuucapkan. Allah Akbar! Allahu Akbar!
Bertelungkup kedua belah tanganku di atas jantung.
Hilang juga Kebon Manggu. Tapi muncul kantor kotapraja.
Laksana dalam bioskop agaknya, dari scene*) ke satu
meloncat ke scene lain, seakan-akan tak ada saat peralihan,
seakan-akan tak ada pertaliannya satu sama lain, padahal tali
cerita menghubungkannya. Demikian pulalah hidup sehari-hari, merupakan untaian scene ke scene, hari ini scene di
Bandung, besok di Garut, lusa mungkin di Surabaya, di Jakarta
dan sebagainya. Detik ini scene di kamar mandi, detik tadi di
jalan raya, detik nanti di war ung kopi, di pasar baru, di
bioskop dan sebagainya. Scene ke scene seolah tak ada
pertaliannya, padahal tali hidup mempertali-kannya,
membentang dari scene lahir ke dunia sampai ke scene masuk
lobang kubur .... Astaga, melantur-lantur lagi pikiranku. Allahu Akbar!
Bersujudlah aku, kening bertemu dengan lapik. Tiga kali
kubaca: subhanahu robbial a'la! Hilanglah pula aku, hanyut ke dalam ketiadaan.
Tetapi sebentar cuma. Maka dengan tak kuinsyafi pula,
muncullah tiba-tiba dari ketiadaan wajah Kartini dengan
senyumnya berseri-seri. Bers impuhlah aku membaca ayat
attahiyat awal dalam rakaat kedua. Maka terbayang-bayanglah
lagi segala peristiwa tadi di kantor kira-kira jam satu siang.
Sadar lagi aku bahwa aku sedang sembahyang. Jengkel,
karena sekarang aku bersembahyang tidak seperti biasa. Aku
tidak bisa mengekang pikiran da n khayal dan kenangan yang
licin seperti belut itu menobros lagi, tampil ke muka mata
batinku. Sungguh kosong ucapan orang, bahwa katanya manusia itu
tidak bisa berbuat sesuatu berbarengan dengan perbuatan-perbuatan lain. Padahal seluruh hidupnya tidak lain daripada
melakukan perbuatan-perbuatan yang berbarengan. Begitulah
pikirku. Lihat saja aku sendiri. Aku bersujud sambil ngelamun.
Tadi duduk berhadap-hadapan dengan Kartini sambil merasa
heran melihat tingkah-lakunya, tapi pun sambil kagum juga
akan keindahan hidungnya dan akan kecantikan wajahnya.
Tadi siang bertemu dengan Ru sli sambil memegang potlot.
Pendek kata manusia itu *) adegan adalah suatu dunia yang
ramai.... A'udzubillah! Kenapa sembahyangku sampai melantur
begini" Merajuk-rajuk aku dalam hati. Kupusatkan lagi seluruh
jiwaku ke hadirat Tuhan yang Ma ha Esa. Maka hilanglah lagi
segala ke dalam ketiadaan. Bahkan tak terasa olehku bahwa
badan dan segala anggotanya bergerak-gerak melakukan
segala gerakan sembahyang Magrib. Semua berlaku dalam
ketidakinsyafan. Khayal dan pikiran sudah mati. Pun diriku
sendiri sudah hilang tenggela m ke dalam ketiadaan. Scene-scene tak ada lagi. Hilang semua. Tiada nampak apa-apa lagi
keoadaku', selain ruang yang terang-terang kabur, tak
berbatas tak berbentuk. Tapi entahlah, apakah ruang itu,
apakah waktu apakah apa, ak u tidak tahu. Hanya aku tahu,
bahwa itulah sembahyang yang dianggap sembahyang yang
sempurna, karena hati dan pikiran kita sedang bulat
menghadap ke hadirat Ilahi.
Demikianlah keadaan dalam rakaat ketiga. Tapi tak
lama kemudian aku sudah berpin dah lagi ke alam nyata, ke
Kebon Manggu lagi. Malah tiba-tiba meloncatlah ke jaman
kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Sekilas mengkilat di muka
mata batin wajah "dia". . . wajah Rukmini.
Maka seakan-akan suatu "perbuka" dari Tuhan, insyaflah
aku, bahwa Kartini itu sangat sama rupanya dengan Rukmini,
bahwa mungkin karena itulah, maka aku merasa tertarik
kepada Kartini itu. Selesai sembahyang aku tidak lantas ke luar, melainkan
terus duduk bersila di atas lapik. Kuambil tasbeh yang terletak
di sampingku. Lantas berzikirlah aku. Lailaha illallah! Lailaha
illallah! Berzikir, berzikir ... makin keras, makin cepat. Makin
lama bertambah cepat, seperti kincir kapal udara layaknya:
mula-mula berputar lambat-lambat, tapi makin lama makin
cepat sehingga terban glah pada akhirnya.
Demikianlah pula dengan diriku dalam berdikir. Makin lama
makin cepat zikirku, sehingga pada akhirnya serasa terbanglah
juga diriku, ringan terapu ng-rapung laksana bersayap.
(Tidakkah mungkin dunia tempat kita hidup ini pun sedang
"terbang" juga, karena ia berputar, dan jika ia tidak berputar
lagi, dengan sendirinya akan jatuh" Ke mana"). Dan dalam
kecepatan dzikir yang memuncak itu, maka kalimat "lailaha
illallah" itu pun sudah tak tent u lagi kedengarannya, sudah
berubah menjadi "eha-eha" Tasbeh pun sudah tak keruan juga
berputarnya. Dari alat menghitung sudah berganti menjadi
alat pengatur irama. Pusing kepalaku, tapi ringan terasa seluruh badanku.
Ringan seperti orang yang baru turun dari korsel.
Berhenti aku dengan berzikir, lantas bertawadzuh. Duduk
bertekun. Dagu menekan ke pada kerongkongan, napas
kutahan-tahan. Semua pancaindera kututup lagi erat-erat, dan
seluruh jiwa kupusatkan lagi ke hadirat Ilahi.
Tapi setali tiga uang. Seperti dalam sembahyang juga,
dalam tawadzuh pun alangkah sukarnya bagiku untuk
memusatkan seluruh jiwa ke hadirat Yang Maha Esa. Pikiran
dan khayal membawa lagi scene-scene seperti tadi.
Sekali-sekali aku menarik napas panjang, mengumpulkan
tenaga baru gu na membulatkan lagi seluruh jiwa rohani
kepada Tuhan. Dalam pada itu, waktu mengalir terus.
Sampailah kepada suatu tanda-tanda bikinan manusia: suara
beduk Isa yang dipukul orang di langgar.
Aku tunduk kepada disiplin. Berdiri lagi, mengucap, "Usali
fardu Isa......" Pun dalam sembahyang Isa aku banyak terbawa melantur
oleh pikiran dan khayal. Maka sesudah selesai keluarlah aku dari kamar dengan hati
yang agak kesal. "Makanlah duluan, Nak," kata bibi dari kamar sebelah.
Aku tinggal pada bibi itu sejak bersekolah di Mulo. Bibi
adalah seorang janda yang telah berusia kira-kira lima puluh
tahun. Ia menjadi janda sejak lima bela s tahun terahir ini, dan tak
ada kepunyaannya selain daripada rumah yang didiaminya
sekarang itu.'Sekedar untuk turut makan, maka ia menerima
anak-anak sekolah atau buja ngan-bujangan yang sudah
bekerja numpang padanya. Akan tetapi seperti dengan musim
duren atau dengan air laut yang pasang-surut, demikianlah
pula halnya dengan permin taan orang-orang yang mau
menumpang kepadanya: kadang-kadang sampai ada lima
enam orang, tetapi kadang-kadang pula hanya satu-dua. Dan
sejak tiga bulan ini, hanya aku sendiri yang tinggal kepadanya.
Aku tahu, bahwa keadaan hidup bibiku itu sangat sukar.
Oleh karena itulah maka sekedar untuk menolongnya, aku
memberi bayaran yang lebih besar dari biasa. Selain menerima
orang-orang indekos, sebagai penambah-nambah 'nafkah,
bibi itu membikin juga kue-kue yang dijual oleh Pak lngi,
seorang pedagang yang rajin.
Mungkin karena kesukaran-kesukaran itu, bibi sangat rajin
beribadat. Ia pun masih bersembahyang, ketika ia menyuruh
aku makan duluan itu. "Biar Bi, saya tunggu bibi saja," sahutku melangkah ke
sebuah kursi malas di sudut serambi tengah.
Dengan lesu kuhempaskan diri ke atas kursi malas itu.
Berbaring menengadah ke para-para dengan berbantal
tangan. Ce-cak-cecak berkejar-k ejaran. Bercerecek suaranya.
Ada yang bere-but-rebutan nyam uk atau kupu-kupu kecil, ada
juga yang ber-cumbu-cumbua n. Seakan-akan cecak-cecak itu
sengaja mau memperingatkan aku kepada dua soal hidup
yang terpapar serentak di muka mataku. Mempertahankan
hidup diri sendiri dan mempertahankan hidup sejenis.
Tadi ketika sembahyang, kudesak sekeras-kerasnya dua
wajah wanita yang hampir serupa itu. Tapi sekarang
kupersilakan ia muncul dengan leluasa dalam mata batinku.
Maka hilanglah seolah-olah cecak-cecak dengan dua macam
soal hidup itu. Terpaparlah di atas para-para bayangan
kenangan kepada peristiwa-peri stiwa pada kira-kira setahun
yang lalu. Ketika itu aku ditimpa oleh suatu kesedihan yang rupanya
takkan berbeda dengan kesedihan Sri Rama ketika ia
mengetahui, bahwa kekasihnya Dewi Sinta diculik oleh
Rahwana. Ketika itu Rukmini di paksa kawin oleh orang tuanya.
Hanyut lagi aku dalam kenangan kepada permulaan aku
berkenalan dengan gadis itu, ialah ketika aku masih "volontair"
atau magang di kantor kotapraja ("herdines*) model baru",
menurut istilah Rusli, oleh karena orang disuruh kerja dengan
tidak digaji). Rukmini adalah seorang anak Haji Kosasih, yaitu seorang
pedagang besar di kota Bandung. Ia baru saja tamat sekolah
kepandaian putri yang diselenggarakan oleh missie. Tapi
biarpun bersekolah Katolik, ia tetap rajin melakukan
sembahyang, berpuasa dan lain -lain lagi perintah agama
Islam. Memang perasaan keagamaan pada gadis itu sangat
tebal. Walaupun begitu, ia tida k kaku dalam pergaulan, selalu
riang dan ramah, suka sekali be rcakap-cakap dan pandai pula
bersolek. Cita-citanya sama dengan aku, mau mengabdi dan
memajukan agama kita. *) maksudnya: "herendienst" =
kerja paksa tanpa bayaran di jaman VOC
Lambat-laun kami itu diikat oleh tali cinta.
Tapi alangkah malangnya bagi kami, karena orang tuanya
sama sekali tidak setuju dengan percintaan kami itu. Memang
orang tuaku pun (kalau mereka tahu, tapi aku belum berani
bilang apa-apa kepada mereka) tentu tak akan menyetujuinya.
Pendek kata, percintaan kami pada akhirnya menjadi korban
daripada pertentangan antara dua kias, kias feodal dan kias
burjuis. (Begitulah menurut istilah Rusli, ketika tadi
kuceritakan hal riwayat itu kepadanya).
Orang tua Rukmini tidak mau anaknya dikawinkan dengan
seorang "menak". Pernah Ha ji Kosasih berkata begini
(menurut pengaduan Rukmini kepadaku).
"Jangan Nak, jangan engkau berangan-angan hendak kawin
dengan seorang keturunan "rad en" atau "menak". Ingatlah
Bustom, seorang wedana yang ke mudian dilepas itu. Bibimu
bukan saja dihina oleh seluruh famili wedana itu tapi juga
sesudah kekayaannya habis dihisap oleh si menak itu, ia
dibuang begitu saja."
Sebaliknya orang tuaku pun, bercita-cita supaya aku
mengambil istri dari kalangan "Raden" pula.
Pada akhirnya, karena selalu didesak-desak dan dibujuk-bujuk maka Rukmini pun lantas mau juga dikawinkan kepada
seorang saudagar dari Jakarta.
Serasa kiamatlah sudah bagiku, ketika perkawinan
kekasihku itu dilangsungkan. Sejak itu lamalah aku merasa
diriku laksana mobil yang maju tak bersupir. Tiada pegangan
lagi bagiku yang berupa harapan untuk hidup bahagia di dunia
fana ini. Berbulan-bulan aku terhuyung-huyung seperti
mendukung beban yang berat. Bahkan hampir-hampir aku
hendak jatuh sakit lagi. Pada saat itulah, seakan-akan petunjuk Tuhan, timbullah
ilham padaku untuk mencari pe lipur hati dalam agama yang
lebih mendalam. Terasa olehku , bahwa agama yang kupeluk
itu tidak memberi pelipur yang kuinginkan dalam kesedihan
yang menguasai seluruh jiwaku itu.
Itulah maka aku memohon kepada ayah, supaya aku
dibolehkan turut memeluk ilmu tarekat atau mistik yang
dianutnya itu.
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rasanya aku akan terus hanyut ke dalam kenangan, kalau
tidak tiba-tiba terdengar suara bibi yang keluar dari kamarnya,
"Belum juga makan, San""
"Belum, Bi," sahutku terkejut, lalu bangkit.
"Mari kita makan dulu," ajak bibi, seraya pergi ke serambi
belakang. Kuikuti dia dengan ha ti yang lebih suka ngelaniun
terus daripada dengan perut yang minta isi.
Si Minah, babu kecil berumur dua belas tahun, sedang
mengantuk menunggu kami makan.
"Hai Minah!" Bibi membenta k sambil bertepuk tangan.
"Bangun!" Si Minah bangun terperanja t, "Ada kucing,Nya"! Ada
kucing"! Aku tidak begitu nafsu makan. Entahlah, gigi serasa
menjadi panjang, lidah menjadi tebal dan geraham menjadi
besi. "Kenapa sedikit amat makannya , San"" tanya bibi dengan
perasaan seakan-akan agak malu, karena kebetulan tidak
banyak lauk-pauknya. "Sudah kenyang, Bi! Tadi disuguhi kue-kue di rumah
teman!" jawabku berbohong.
Sehabis makan, bibi lalu duduk seperti biasa di atas dipan di
serambi tengah. Kedua belah kakinya dilunjurkannya. Makan
sirih. "Pijat kakiku, sunaya hilang kantukmu!" perintahnya kepada
si Minah yang baru habis makan.
Dari kamar makan aku terus saja masuk ke kamar tidur.
Lampu kunyalakan, sebab terasa belum ngantuk. Kusiakkan
kelambu, sebab ingin berbaring-baring sambil merokok. Enak
merokok sesudah makan. Padahal aku tidak boleh banyak
merokok. Asap berkepul-kepul dari mulut, menipis hilang
seperti kata-kata pidato yang kosong, tak berkesan apa-apa.
Maka terbayang-bayanglah lagi segala apa yang diceritakan
oleh Rusli tadi. Riwayat Rusli yang begitu banyak
pengalamannya, di Singapura, di Palembang, di Jakarta.
Tapi riwayat Rusli itu tidak begitu berkesan kepadaku, bila
dibandingkan dengan riwayat Kartini yang kudengar tadi juga
dari mulut Rusli. Tapi meng apa sebetulnya maka begitu"
Pernah pertanyaan itu terkilat dalam hati.
Entahlah, aku tidak tahu, da n tidak pula aku berusaha
untuk memberi jawaban kepada pertanyaan kilat itu. Tapi
biarpun begitu, tidak mudah aku melupakan "dia".
Tiba-tiba terkilatlah pula pertanyaan dalam hatiku, "Tidak
mungkinkah ini suatu kemurahan Tuhan jua""
Sungguh sudah sama kedua orang itu.
Rakhmat-Nya berkat kerajinan beribadat" Suatu bukti yang
harus meyakinkan aku akan keluhuran ilmu tarekat yang
kuanut itu" Bukankah aku sedang berkial-kial dalam kesedihan
karena ditinggalkan oleh Ruk, tiba-tiba aku diperkenalkan
dengan seorang wanita yang persis dia" Tidakkah ini berarti
bahwa Kartini itu pengganti Ruk"
Mengkilat pertanyaan-pertanyaan itu dalam hati.
Maka meloncatlah aku dengan tiba-tiba dari tempat tidurku,
bergegas ke meja tulis. Kubuka salah satu lacinya, mengambil
sebuah album dari dalamnya. Kemudian kembali
*ke tempat tidur, berbaring lagi setengah duduk, membuka-buka album.
Agak lama kutatap potret Rukminf. * Persis dia.
Aneh, potret itu seolah-olah sebuah anak kunci bagiku,
yang membukakan pintu hatiku untuk mengeluarkan lagi
segala perasaan yang sudah lama kusimpan dalamnya.
Kucium potret itu. Kemudian albumnya kupeluk dan kutekan
dengan mesra ke dada. Tapi ti ba-tiba kulemparkan lagi. Tidak
boleh, pikirku, ia sudah menjad i istri orang lain. Sudah mati
bagiku.... Kutaruh lagi album itu ke dalam laci meja tulis.
Maka berpindahlah lagi kenanganku ke Kebon Manggu 11.
Sungguh sama kedua orang itu! Terutama sekali tertawanya.
Bedanya hanya karena Ruk tidak mempunyai tai lalat di atas
bibirnya, dan jalan Ruk kurang lincah, kurang bebas. Memang
Ruk tidak memberi kesan yang modern seperti Kartini.
Kunyalakan lagi rokok sebata ng, setelah puntung kesatu
kubuang. Aku tidak boleh bany ak merokok, tapi malam itu
seperti tak peduli larangan d okter itu bagiku. Lantai dekat
tempat tidur sudah penuh dengan abu.
Aku tertawa dalam hati. Ingat kepada album tadi. Aneh,
mengapa kusimpan juga" Untuk apa" Padahal telah
kutetapkan dalam hatiku send iri, bahwa Ruk sudah mati
bagiku. Ya, mati____ Tertawa juga aku, berhubung dengan
jawaban yang kuberi sendiri kepada pertanyaan itu. Ya, jawabku, kan tiap
orang yang mati itu harus mempunyai kuburannya. Dan
kuburan Ruk itu ialah album itulah. Kuburan yang sekali-sekali
kukunjungi pada saat kalau aku merasa terlampau rindu
kepadanya. Sebab, en tahlah, kadang-kadang sangat rindu aku
kepadanya. Tak kan beda rasanya dengan rindu tiap orang
yang ditinggalkan mati oleh kekasihnya. (
Tapi kini Rukmini seolah-olah sudah hidup kembali.
Menjelma kembali dalam diri Kartini.
Tiba-tiba aku batuk-batuk. Terselak kerongkongan karena
asap sigaret. Kubuang rokok ya ng baru seperempat terhisap
itu ke lantai. Setelah reda batukku, kutatap rokok yang masih bernyala
itu. Sebentar menyelinap perasaan takut melihat puntung itu,
takut kebakaran. Akan tetapi hanya sekilat saja, karena
kulihat, bahwa puntung itu jatuh di tengah-tengah tegel yang
dingin, jauh dari sesuatu benda yang bisa terbakar. Secepat
perasaan takut itulah pula agaknya yang pernah juga timbul
dalam hatiku, ialah ketika mengkilat pikiran dalam hati, kalau-kalau aku akan jatuh cirt fa kepada Kartini itu.
Tapi perasaan yang ganjil itu hilang sudah pada saat itu
juga, ketika terpikir olehku bahwa mustahillah aku akan bisa
Lembah Tiga Malaikat 13 Goosebumps - 20 Teror Orang Orangan Sawah Kisah Membunuh Naga 37
Karya : Achdiat Karta Mihardja
Atheis Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
Riwayat Hidup Achdiat Karta Mihardja lahir di Cibatu, Garut, 6 Maret 1911.
Tahun 1932 tamat dari Algemene Middelbare School "bagian
Al di Solo. Ia juga mempelajari mistik (tarikat) aliran Kadariyah
Naksabandiah dari Kiyai Abdullah Mubarak yang terkenal juga
dengan nama Ajengan Gedebag. Kecuali itu belajar filsafat
pada pater Dr. Jacobs S.J., dosen pada Universitas Indonesia,
dalam Filsafat Thomisme. Tahun 1943 ia menjadi anggota redaksi Bintang Timur
merangkap redaktur mingguan Peninjauan (bersama Sanusi
Pane, Armin Pane, PF Dahler, Dr. Amir dan Dr. Ratulangi).
Tahun 1937 pembantu harian Indie Bode dan Mingguan
Tijdbeeld dan Zaterdag, juga sebentar bekerja di Aneta. Tahun
1938 jadi pimpinan redaksi tengah-bulanan Penuntun
Kemajuan. Tahun 1941 jadi redaksi Balai Pustaka, sejak saat
itu tumbuh minatnya kepa da kesusastraan. Tahun 1943
menjadi redaksi dan penyalin di kantor pekabaran radio,
Jakarta. Tahun 1946 jadi pimpinan umum mingguan
Gelombang Zaman dan setengah mingguan berbahasa Sunda
Kemajuan Rakyat. Tahun 1948 kembali jadi redaksi di Balai
Pustaka. Pada tahun 1949 terbitlah roman Atheis-nya ini.
Tahun 1951 bersama-sama Sutan Takdir Alisjahbana dan
Dr. Ir. Sam Udin mewakili PEN Club Indonesia menghadiri
Konperensi PEN Club International di Lausanne, Switserland.
Saat itu ia juga mengunjungi Nege ri Belanda, Inggris, Prancis,
Jerman Barat, dan Roma. Tahun 1952 berkunjung ke Amerika
dan Eropa Barat dengan tugas dari Dep. PP&K untuk
mempelajari soal-soal pendidikan orang dewasa (termasuk
penerbitan bacaan-bacaannya) dan 'university extension
courses'. Kesempatan ini digunakan juga untuk mempelajari
seni drama di Amerika Serikat. Tahun 1956 selama setahun
memperdalam bahasa Inggris serta sastranya di Sydney
University dalam rangka Colombo Plan. Tahun 1960 menjabat
Kepala Inspeksi Kebudayaan Djakarta Raya dan memberi
kuliah pada FS-UI tentang Kesu sastraan Indonesia Modern.
Tahun 1961 menjabat sebagai Lektor Kepala pada
Australian National University di Canberra, mengajar sastra
Indonesia Modern dan bahasa Sunda. Sampai sekarang ia
masih tinggal di Australia.
Roman Atheis ini salah satu karya terpenting yang lahir dari
tangan Achdiat K. Mihardja. Pergeseran nilai-nilai dalam
masyarakat kita yang terus berubah menjadi tema sentral
roman ini. Masalah-masalah itu sampai sekarang masih
relevan, walaupun roman ini telah berusia lebih 30 tahun dan
telah mengalami cetakan yang ketujuh.
BP 1.0021 90 ISBN 979 407 185 4 ATHEIS ATHEIS Roman oleh ACHDIAT K. MIHARDJA BALAI PUSTAKA Jakarta 1990
Perum Penerbitan dan Percetakan BALAI PUSTAKA
BP No. 1725 Hal pengarang dilindungi undang-undang
Cetakan kesatu 1949 Cetakan kedua 1953 Cetakan ketiga 1957 Cetakan keempat 1960 Cetakan kelima 1969 Cetakan keenam 1976 Cetakan ketujuh 1981 Cetakan kedelapan 1983 Cetakan kesembilan 1986 Cetakan kesepuluh 1989 Cetakan kesebelas 1990 808.83 Mih Mihardja, Achdial K.
a Atheis : Roman / oleh Achdiat K Mihardja - cct
-- Jakarta : Balai Pustaka, 1990
232 hal. : ilus. ; 21 cm. -- (Seri BP no. 1725)
1. Ceritera Roman. 1. Judul. II. Seri.
ISBN 979 407 185 4 Perancang kulit: Supriyono Gambar dalam oleh S. Sutikho
Kata Pengantar Roman Atheis mengetengahkan perkembangan yang tipikal
bagi masyarakat Indonesia sejak permulaan abad kedua
puluh, yakni pergeseran gaya hidup yang tradisional ke gaya
hidup yang modern. Pergeseran itu membawa serta
perselisihan dan bentrokan antara paham-paham yang lama
dengan yang baru, terjadi kh ususnya di lapangan sosial
budaya dan politik. Perkembangan di dalam masyarakat itu
tidak luput meninggalkan peng aruhnya kepada pengalaman
batin manusia. Keresahan batin di tengah-tengah bergeloranya
pertentangan paham di zaman penjajahan Belanda dan
Jepang menjadi pokok perhatian roman ini.
Atheis kini mengalami cetakan yang kesembilan. Hal itu
menandakan betapa besar sambutan masyarakat pembaca
kita terhadap karangan penulis terkenal Achdiat K. Mihardja.
Kecuali itu, kita boleh b
erkesimpulan, bahwa penyajian tema
dan struktur roman itu telah memenuhi harapan orang banyak
akan hasil sastra yang bermutu.
Balai Pustaka merasa gembira dapat menerbitkan kembali
roman ini. Balai Pustaka Bagian I Apa artinya sesal, kalau harapan telah tak ada lagi untuk
memperbaiki segala kesalahan" Untuk menebus segala dosa"
Akan tetapi hilangkah pula sesal, karena harapan untuk
menebus dosa itu telah hilang" Ah, bila demikian halnya,
barangkali takkan seberat itu segala dosa menekan jiwa
Kartini. Tapi tidakkah malah se baliknya" Bahwa semakin hilang
harapan, semakin berat pula sesal menekan"
Sempoyongan Kartini keluar dari sebuah kamar dalam
kantor Ken Peitai. *) Matanya kabur terpancang dalam muka
yang pucat. Selopnya terseret-ser et di atas lantai gedung yang
seram itu. Tangan kirinya berpegang lemah pada pundak Rusli
yang membimbingnya, sedang saya memegang lengan
kanannya. Perempuan malang itu amat lemah dan lesu nampaknya,
seolah-olah hanya seonggok daging layaknya yang tak
berhayat diseret-seret di atas lantai.
Serdadu-serdadu dan opsir-opsir Kenpei Jepang
berkerumun-kerumun di gang-gang dan di ruangan-ruangan
yang kami lalui. Semuanya kelihatannya sangat lesu juga.
Serupa onggokan-ong-gokan daging juga yang tak berdaya
apa-apa pula. Ada juga yang masih tertawa-tawa, seakan-akan tidak mau dipandang sebagai onggbkan daging yang tak
berdaya. Akan tetapi terdengar tertawanya itu dibikin-bikin.
Dua minggu yang lalu mereka itu masih merasa dirinya
singa yang suka makan daging. Kini telah menjadi daging
yang hendak dimakan singa. Mereka telah hancur
kekuasaannya oleh tentara Sekutu dan Rusia.
Ya, sic transit glofia mundi! Di dunia tiada yang tetap, tiada
yang kekal, tiada yang abadi. Segala-gala serba berubah,
serba bergerak, serba tumbuh dan mati. Yang abadi hanya
yang Abadi, yang tetap hanya yang Tetap, yang kekal hanya
yang Kekal. Tapi apakah yang demikian itu manusia tidak
mengetahuinya, sebab abadi, tetap, kekal itu adalah
pengertian waktu, sedang waktu
*) Polisi Militer Jepang
Hidung terbenam dalam saputangannya yang basah..
adalah pengertian ukuran.
Dan ukuran ditetapkan oleh manusia jua. Padahal manusia
beranggapan, bahwa manusia ditetapkan oleh yang Abadi. ...
Berpikir-pikir seperti saya jugakah singa-singa yang
sekarang sudah menjadi onggok-onggok daging itu"
Selop Kartini terseret-seret terus di atas lantai.
Kami bertiga tidak berkata apa-apa. Terlalu terpukau
rasanya oleh berita yang baru terdengar dua-tiga menit yang
lalu itu. Terutama Kartini.
Alon-alon Rusli membimbing perempuan yang lemah itu.
Terseok-seok Kartini berjalan. Kepalanya tunduk. Hidung
terbenam dalam saputangan yang basah karena air mata.
Bahwasanya manusia hidup di tengah-tengah sesama
mahluk-nya. Berbuat jasa atau dosa terhadap sesama
hidupnya. Merasa bahagia, bila ia telah berjasa. Menebus dosa
terhadap siapa ia berbuat dosa.
Akan tetapi kepada siapakah ia harus menebus dosanya,
harus menyatakan sesalnya, pabila orang terhadap siapa ia
berbuat dosa itu sudah tidak lagi, sudah meninggal dunia"
Kepada Tuhan" Karena Tuhan adalah sumber segala cinta,
yang melarang manusia berbuat dosa terhadap sesama
mahkluk-nya" Tapi bagaimana caranya"
Kepada manusia-manusia lain" Karena manusia-manusia itu
sama sependirian, bahwa berbuat dosa itu adalah suatu
perbuatan yang dilarang" Tapi bagaimana pula caranya"
Sesungguhnya, semua itu meminta cara. Meminta cara oleh
karena hidup di dunia ini berarti menyelenggarakan segala
perhubungan lahir-batin antara kita sebagai manusia dengan
sesama mahluk kita, dengan Alam beserta Pencintanya. Dan
penyelenggaraan semua perhubungan itu meminta cara. Cara
yang sebaik-baiknya, seadil-adilnya, seindah-indahnya,
setepat-tepatnya, tapi pun sepraktis-praktisnya dan
semanfaat-manfaatnya bagi kehidupan segenapnya.
Demikian saya berpikir sambil menopang Kartini yang lemas
terseok-seok itu. Satu jam yang lalu,.......tidak! Bahkan lima menit yang lalu
masih ada api harapan bernyala dalam hati Kartini,
sekalipun hanya berkedip-kedip kecil seperti lilin tengah
malam yang sedang tercekik lambat-lambat oleh gelita
. Kini harapan itu sudah mati sama sekali. Sejak lima menit
yang lalu. Tak ada lagi pegangan baginya.
Kami meninggalkan gedung yang seram itu. Hampir
terjatuh-jatuh Kartini ketika ia turun dari tangga gedung itu,
jika kami berdua tidak menopangnya.
Kami menginjak halaman. Terhuyung-huyung masih Kartini.
Tergores-gores tanah bekas selop yang diseret-seret.
Harapannya telah hilang sama sekali. Hilang menipis seperti
uap. Habis tak berbekas. Hasan ternyata telah meninggal dunia. Beberapa menit
yang lalu hal itu baru diketahui oleh Kartini. Rupanya badan
Hasan yang lemah berpenyakit tbc itu tidak sanggup
mengatasi segala siksaan algojo-algojo Kenpei yang kejam itu.
Di mana ia dikubur" Entahlah. Kapan tewasnya" Entahlah.
Selaku orang sakit oleh seorang juru rawat, demikianlah
Kartini ditopang dan dibimbing oleh Rusli. Saya mengintil di
sampingnya. Sekali-kali kupegang lengannya, apabila ia
menggontai ke sebelahku. Bercucuran air matanya. Ia seakan-akan berpijak di atas
dunia yang tidak dikenalnya la gi. Hampa, kosong, serba kabur
seperti di dalam mimpi. Tak ada lagi orang, kepada siapa ia hendak memperlihatkan
sesalnya yang begitu berat menekan jiwanya selama itu. Ya,
kepada siapa" Kepada siapa" Dan sesal tiada berkurang
karena bertanya demikian itu. Malah sebaliknya! Makin
membesar, makin menekan, makin menindas.
Alangkah mudahnya, kalau Hasan masih ada, masih hidup
di sampingnya. Kartini akan lebih setia kepadanya, akan lebih
berbakti kepadanya, akan tund uk dan taat kepada segala
perintahnya. Pendek kata, segala sesalnya akan mudah
diperbaikinya, segala dosanya akan ditebusnya. Tapi
sekarang"! Sekarang"!
Bersembahyang, berpuasa, bertapa" Akan leburkah segala
sesal" Tiba-tiba Kartini menjerit-jerit. Suaranya menggores
tajam dalam hatiku seperti suara paku di atas batu tulis.
Serdadu-serdadu dan opsir-opsir Kenpei Jepang yang
berke-rumun-kerumun di muka gedung itu menoleh semuanya
ke arah kami dengan agak kaget sedikit, seolah-olah baru
sekali itu mereka mendengar jeritan yang pedih itu. Tapi
sejurus kemudian muka-muka kuning yang bermata sipit itu
berpaling lagi dengan tak acuh. Mereka merunduk kembali,
seakan-akan masing-masing me neruskan lagi pertanyaan
dalam hati: nasib apakah yang akan kita dapati sekarang"
Belum seminggu yang lalu pemerintahnya telah menyerah
kalah kepada kekuatan kaum Sekutu dan Rusia.
Kartini menangis terisak-isak.
Rusli berdaya upaya untuk membujuk-bujuknya, untuk me-lipurkan segala kesedihannya. Dengan payah ia-mengemukakan pendapatnya seolah-olah akan banyak
faedahnya sebagai pelipur, "Ya, Tin, umur manusia singkat,
tapi kemanusiaan lama, begitulah katanya, lupakanlah segala
kesedihanmu itu dengan lebih giat lagi bekerja. Bekerja untuk
kemanusiaan......" Bagian II Ketika itu saya lagi menganggur. Tapi ah, dikatakan
menganggur sebetulnya tidak begitu benar, sebab
bagaimanakah orang akan bisa hidup dengan menganggur,
kalau harga beras yang dulu hanya 6 sen satu liter, ketika itu
sudah memuncak sampai dua rupiah Ciang Jepang, bahkan
sampai tiga rupiah"! Karena it u di samping menganggur saya
menyatut. Ketika itulah perkenalanku mulai dengan seorang laki-laki
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang memerlukan datang pada suatu sore ke rumahku.
"Sudah lama saya ingin berkenalan dengan Saudara,"
ujarnya ketika ia sudah duduk di hadapanku, tapi rupanya
kesempatan baru sekarang mengizinkan.
Seperti biasa saya suka berpegang kepada kesan pertama.
Kalau kesan pertama itu baik, maka itu bagiku seperti ilham
bagi seorang pengarang. Ia me lancarkan percakapanku seperti
ilham melancarkan pena pengarang.
Dan kesan pertama dari laki-laki muda itu simpatik.
Simpatik semata-mata. Mu ngkin kesan demikian itu
disebabkan oleh karena seluruh sikapnya dan segala
perkataannya melukiskan minat dan hormat terhadap diriku
sendiri. "Ya, sesungguhnya Saudara, sudah lama saya berharap-harap akan adanya sesuatu ke sempatan untuk berkenalan
dengan Saudara." "Ada apa sih""
Saya bertanya demikian itu dengan penuh harapan baik.
Memang bunyi suaraku pun seperti langgam suara orang yang
riang dan bangga, karena mera sa dirinya dibutuhkan dan
dianggap pentin g ol eh orang lain. "Tiada lain, karena ... ah entahlah saya selalu ingin
berkenalan dengan orang yang telah banyak berpengalaman
hidup." "Bagaimana"" tanyaku agak heran. Tapi terasa olehku,
bahwa keriangan lebih terdengar dalam bunyi suaraku itu
daripada rasa keheranan. Dengan perkenalan yang dimulai dengan cara demikian,
maka tentulah saja tidak mengherankan benar, kalau tak lama
kemudian kami sudah bergaul seperti dua orang yang sudah
lama bersahabat-an. Ternyata, bahwa ia segera mencurahkan
seluruh kepercayaannya kepadaku.
Ia bernama Hasan . .. (tapi ba iklah saya ceritakan sekarang
saja, bahwa itu sebetulnya bukan nama benarnya, dan juga
orang-orang yang bersangkutan dengan dia, yang nanti akan
ternyata kepada kita dari sebuah naskah yang diberikannya
kepada saya, bukanlah Kartini, Rusli, Anwar dan lain-lain
melainkan mereka itu mempunyai nama yang lain sekali. Tapi
biasa saja di dalam suatu cerita Dichtung und Wahrheit seperti
yang dibikin Hasan itu, nama-nama benarnya diganti dengan
nama lain). Seperti namanya pula, rupa dan tampang Hasan pun biasa
saja, sederhana. Hanya badannya kurus, dan karena kurus
itulah maka nampaknya seperti orang agak yang tinggi. Mata
dan pipinya cekung. Sakit-sakit rupanya. (Memang, kemudian
aku tahu bahwa ia berpenyakit tbc). Dari gerak-gerik dan
ucapan-ucapannya nampak, bahwa dia itu ada yang secfang
diperjuangkan dalam batin.
Dia seorang pencari. Dan sebaga i seorang pencari, maka ia
selalu terombang ambing dalam kebimbangan dan kesangsian.
Tapi suatu kesan pula, bahwa ia bukan seorang pencari yang
baik. Artinya ia bukan seorang ahli pikir atau penyelidik yang
radikal, yang sanggup menyelami dan memeriksa hal-hal yang
menjadi soalnya itu sampai kepada akar-akarnya. Baginya
agaknya cukuplah sudah, kalau dia dalam mencari itu banyak
bertanya-tanya kepada orang- orang yang dianggapnya lebih
tahu daripada dia. Seperti misaln ya kepadaku sendiri. Tapi itu
hanya kesan saja. 2 Baru satu bulan saya be rKenalan dengan Hasan.
Pada suatu malam datang lagi ia ke rumahku.
Seperti biasanya pada malam hari, ia memakai mantel
gabardin hijau tua yang tertutup lehernya. Maklumlah ia
berpenyakit dada. Kepalanya bertopi vilt hitam, merk
Borsalino. Mukanya makin puca t karena warna mantel dan
topinya itu. Di bawah ketiaknya terkepit sebuah portefeuille, tempat
surat-surat. Dan sambil melemparkan topinya ke atas sebuah
kursi, duduklah ia. "Apa itu"" tanyaku, ketika ia sudah duduk di hadapanku dan
membuka tali portefeuille itu, lantas mengeluarkan dari
dalamnya setumpukan kertas, yang kira-kira seratus lembar
folio banyaknya. Ia tersenyum, sambil mema ndang kepada kertas yang
tertimbun di atas meja itu.
Kuambil lima lembar yang paling atas.
"Karangan"!" kataku seraya membaca beberapa baris.
"Karangan siapa" Karangan Saudara""
Dengan agak heran bercampur kagum saya memandang ke
dalam mukanya yang tersenyum-senyum itu. Dan sebagai
jawaban, maka ia mengangguk dengan tertawa kecil, entah
karena malu, entah karena merasa megah.
Kubaca-baca sedikit. Hasan melihat saja kepadaku, selaku
seorang murid yang sedang diperiksa hitungannya.
Demikianlah beberapa menit. Tapi akhirnya, atas
pertanyaanku, berkatalah ia, "Sebetulnya bung, saya ini
seorang yang sungguh celaka. Ce laka, karena saya ini seorang
yang sangat besar punya hasrat untuk mengarang, tapi tak
ada sama sekali bakat atau kepandaian untuk itu. Saya ingin
sekali pertolongan dan nasehat Saudara. Itulah maka saya
bawa karangan ini sekedar suatu percobaan, dan penuh
harapan saya mudah-mudahan Saudara mau menolong
memeriksanya dan menerangkan segala kekurangannya."
"Kenapa Saudara ingin mengaran g"" "Tidak, begitu saja."
"Saya bertanya begitu itu, karena kalau SaudaTa ingin
mengarang tentu ada sesuatu yang menurut pikiran Saudara
amat penting untuk diketahui oleh orang lain, tegasnya oleh
pembaca yang banyak jumlahnya. Apakah ada sesuatu hal
demikian itu"" Hasan tersenyum lagi, seolah-olah berkatalah ia dalam
hatinya, "Alangkah bodohnya pertanyaanmu itu!"
Saya agak malu melihat senyumnya.
"Yang penting sih tidak ada," katanya kemudian dengan
lembut set elah ia beberapa jurus hanya tersenyum saja,
"artinya, untuk orang lain. Ini pun hanya sekedar belajar saja."
Saya mengerti. Hasan terlalu perendah hati untuk memberi
jawaban yang lain bunyinya. Akan tetapi justru karena
jawaban yang demikian itulah, maka saya merasa lebih
tertarik lagi oleh karangannya itu.
Semalam-malaman itu saya baca naskah Hasan itu sampai
tamat. Rupanya ceritanya itu sebuah "Dichtung und Wahrheit"
dengan mengambil sebagai pokok lakon dan pengalaman
Hasan sendiri. Jadi semacam "autobiographical novel".
Inilah naskahnya. Bagian III Di lereng gunung Telaga Bodas di tengah-tengah
pergunungan Priangan yang indah, terletak sebuah kampung,
bersembunyi di balik hijau pohon-pohon jeruk Garut, yang
segar dan subur tumbuhnya berkat tanah dan hawa yang
nyaman dan sejuk. Kampung Panyeredan namanya. Kampung
itu terdiri dari kurang lebih du a ratus rumah besar kecil. Yang
kecil yang jauh lebih besar jumla hnya dari yang besar, adalah
kepunyaan buruh-buruh tani ya ng miskin, dan yang besar
ialah milik petani-petani "kaya" (artinya yang mempunyai
tanah kurang lebih sepuluh hektare) yang di samping bertani,
bekerja juga sebagai tengkulak-tengkulak jeruk dan hasil bumi
lainnya. Di antara rumah-rumah kecil dan rumah-rumah besar
dari batu itu, ada lagi beberapa rumah yang dibikin dari
"setengah batu", artinya lantainya dari tegel tapi dindingnya
hanya sampai kira-kira seperempat tinggi dari batu, sedang ke
atasnya dari dinding bambu bias a. Rumah-rumah demikian itu
yang jumlahnya lebih banyak daripada rumah-rumah batu,
adalah kepunyaan penduduk yang "santana", artinya yang
mempunyai tanah barang sehektare dua hektare.
Di salah sebuah rumah setengah batu itulah tinggal orang
tuaku, Raden Wiradikarta.
Ia seorang pensiunan manteri guru.*) Dengan pensiunnya
yang besarnya hanya enam puluh rupiah, ia bisa hidup
sederhana di kampung itu.
Sebelum pensiun, berpindah-pindah saja tempat tinggalnya.
Mula-mula sebagai guru-bantu di kota Tasikmalaya, lantas
pindah ke Ciamis, ke Banjar , ke Tarogong dan beberapa
tempat kecil lagi, sampai pada akhirnya ia dipensiun sebagai
manteri guru di Ciamis. Ayah dan ibuku tergolong orang yang sangat saleh dan
alim. Sudah sedari kecil jala n hidup ditempuhnya dengan
tasbeh dan mukena. Iman Islamnya sangat tebal. Tidak ada
yang lebih nikmat dilihatnya da ripada orang yang sedang
bersembahyang, seperti *) Kepala Sekolah Dasar (SD).
tidak ada pula yang lebih nikmat bagi penggemar film
daripada menonton film bagus.
Memang baik Ayali maupur Ibu, kedua-duanya keturunan
keluarga yang alim pula. Ujun g cita-cita mereka mau menjadi
haji. Tapi oleh karena kurang mementingkan soal mencari
kebendaan, maka mereka tidaklah mampu untuk
melaksanakan pelayaran ke tanah suci.
Pada suatu hari ketika Ayah masih menjadi guru bantu di
Tasikmalaya, ia kedatangan tamu, seorang haji dari Banten.
Haji Dahlan, begitulah nama orang itu sesudah memakai
sorban, masih famili dari Ibu. Dulunya ia bernama Wiranta.
Apa perlunya ia merobah nama dan memakai sorban, rupanya
tidak pernah menjadi pertanyaan baginya.
Tiga malam Haji Dahlan menginap di rumah orang tuaku.
Pada hari kedua, sepulang berjumat dari mesjid, sambil
duduk-duduk dan minum-minum di tengah rumah, Ayah
berkata kepada Haji Dahlan, "Kakak lihat adik selalu memetik
tasbeh." Rupanya perkataan Ayah itu laksana jari yang melepaskan
cangkolan gramopon yang baru diputar, sebab "piring hitam"
bersorban itu lantas berputar dengan segera, "O, Kakak
rupanya belum punya guru" Ka lau begitu sayang sekali,
karena sesungguhnya Kak, be ribadat dengan tidak memakai
bimbingan seorang guru adalah seperti seorang penduduk
desa dilepaskan di tengah-t engah keramaian kota besar
seperti Jakarta atau Singapur. Ia akan tersesat. Tak ubahnya
dengan seorang supir yang tahu jalankan mobil, tapi tidak
tahu jalan mana yang harus ditempuh. Ya, kita bisa
mengucapkan usali sampai aw esalam, bisa membungkuk,
bersujud, akan tetapi apa fa edahnya, kalau kita tidak
mempunyai pedoman untuk menempuh jalan yang paling
dekat dan paling benar untuk sampai kepada tujuan kita.
Bukan begitu, Kak""
B anyajc sekali serta penuh dengan semangat Haji Dahlan
menguraikan pendapatnya tentang agama Islam.
"Apa arti bungkus kalau tidak ada isinya. Betul tidak, Kak"
Yang kita perlukan terutama isinya, bukan" Tapi biarpun
begitu, isi pun tidak akan sempurna kalau tidak berbungkus.
Ambil saja mentega atau minyak samin. Akan sempurnakah
makanan itu kalau tidak berbungkus" Kan tidak. Atau pisang
ini" (sambil mengupas sebuah pisang ambon yang sebesar
lengannya). Oleh karena itu, maka sareat, tarekat, hakekat
dan makrifat, semuanya itu sama-sama perlu bagi kita. Sareat
yaitu ibarat bungkus, tarekat yait u......tapi ah, lebih baik saya
ambil kiasan yang lebih tepat.
Kiasan mutiara misalnya."
Haji itu berhenti sebentar, mi num. Dan Ayah segera mengisi
lagi cangkirnya dengan air teh yang kuning kemerah-merahan
ke luar dari cerek poci. "Terima kasih," kata Haji Dahlan, meneruskan, "Mutiara itu
makrifat-hakekat, tujuan kita. Sareat yaitu kapal. (Kadang-kadang haji Dahlan mengucapkannya kafal, pakai f, malah
tetapi kadang-kadang juga dikatakannya tetafi). Tenaga dan
fedoman kita untuk mendayung kafal dan kemudian menyelam
ke dasar segara untuk mengambil mutiara itu, ialah tarekat.
Kita tidak mungkin dapat mutiara kalau tidak punya kafal dan
tidak punya tenaga serta pedoman untuk mendayung serta
menyelam ke dalam segara. Alhasil semuanya perlu ada dan
perlu kita jalankan bukan" Kapal tidak akan ada artinya kalau
kita tidak ada tenaga untuk me ndayungnya dan tidak ada pula
t edoman melancarkan ke jalan yang benar. Itulah maka
sareat dan tarekat perlu kedua-duanya, bukan""
Ayah mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Duduknya
rapi, bersila, dan badannya agak condong ke depan.
Telunjuknya bergerak-gerak di atas tikar yang didudukinya
membikin lingkaran-lingkaran dan bentuk-bentuk lain yang tak
berbekas. "Nah sekarang kita lihat diri Kakak," kata Haji Dahlan
melanjutkan. "Kapal, artinya sareat, Kakak sudah punya
bukan" Yaitu aturan sembahyang yang Kakak jalankan tiap
hari lima kali, bukan" Tapi pedoman, yaitu tarekat, rupanya
Kakak belum punya. Bukan begitu, Kak" Padahal, seperti tadi
adik sudah katakan, semua-muanya sama perlunya. Jadi pun
tarekat. Barulah kita bisa sampai kepada makrifat dan
hakekat. Jadi sekali lagi, tare kat pun perlu, sebab dengan
tidak ada pedoman, kapal tentu akan terkatung-katung.
Mutiara tidak akan bisa kita dapati, bukan""
Aku masih ingat, betapa asyiknya Ayah mendengarkan. <
Ketika itu aku masih kecil, baru kira-kira enam tahun. Dan
tentu saja aku tidak mengerti apa-apa tentang percakapan
Ayah dan Haji Dahlan itu. Betapa mungkin! Dan kalau
sekarang aku seolah-olah mengulangi lagi uraian Haji Dahlan
itu, sebetulnya hanya kukira-kirakan saja begitu, sebab
tentang soal-soal sareat, tarekat, makrifat dan hakekat itu,
kemudian sesudah dewasa seri ngkah kudengar dari mulut
Ayah sendiri. Rasanya takkan berbeda jauh uraian Haji
*Dahlan itu dari apa yang kemudian suka dikemukakan oleh
Ayah kepadaku. Tapi yang masih ingat sekali, ialah caranya Haji Dahlan
bercerita. Banyak tertawa, dan banyak bertanya: bukan"! di
belakang hampir tiap kalimat. Yang masih aku ingat pula ialah
janggutnya yang meruncing ke depan seperti janggut kambing
benggala. Sambil bercakap ia suka mengelus-elus janggutnya.
Ayah mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Ia duduk
bersila menghadap Haji Dahlan yang duduk di atas sehelai
kulit kambing, seraya tak ada hentinya memetik-metik tasbeh
hitam. Depan masing-masing sebuah mangkok besar berisi
kopi tubruk.
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekali-sekali kalimat Haji Dahlan terputus oleh suara bibir
yang menyeropot air kopi yang masih panas. Kadang-kadang
suara seropot itu disusul oleh suara sendawa "eueueu", yang
segera disusul pula oleh ucapan "alhamdulillah", sedang
gondok lakinya naik ke atas serentak dengan lehernya yang
memanjang. Kemudiaij disahuti pula oleh suara "eueueu" juga
dari kerongkongan ayah. Jarang-jarang Ayah mengemukakan sesuatu pertanyaan,
dan biarpun banyak bertanya "bukan"", atau justru karena
banyak bertanya "bukan"", Haji Dahlan sangat lancar
bicaranya, seperti seorang guru yang masih hafal
pelajarannya. Tetapi sebaliknya, Ayah sendiri seperti seorang
murid yang takut dipandang bodoh, tak berani bertanya
sesuatu. Padahal rupanya banyak juga yang tidak dapat
dimengerti oleh Ayah. Pendek kata, sesudah mangkok dua kali ditambah dan
piring kecilnya sudah penuh de ngan abu dan puntung-puntung
rokok, maka Ayah sudah bisa mengambil keputusan untuk
turut berguru pada kiyai Mahmud di Banten, yaitu seorang
guru tarekat atau mistik yang digurui oleh Haji Dahlan.
2 Sebulan kemudian ayahku memecahkan celengannya, dan
dengan uang yang ada di dalamnya itu berangkatlah ia ke
Banten bersama-sama dengan ibu.
Aku, masih ingat hari bera ngkatnya. Subuh-subuh benar
mereka sudah berangkat dari rumah hendak memburu kereta
api yang paling pagi. Aku te rbangun oleh keributan orang-orang yang berkemas-kemas. Su ara Ibu dan Ayah memerintah
ini itu kepada Siti dan Nata kedua bujang kami. Kadang-kadang piring
seng jatuh, bergelemprang suaranya menepuk ketenangan
masa subuh yang masih sunyi.
Masih ingat aku, ketika aku menangis mau ikut tapi tidak
boleh. Lantas dibujuk-bujuk dengan uang setali yang gilang-gemilang. Ketika mau berangkat Ayah berkata, "Jangan nakal
ya Nak. Ayah dan Ibu takkan lama. Nanti engkau dikirim oleh-oleh ya. Mau apa".. . Jangan lupa, rajin-rajinlah mengaji."
Kepalaku diusap-usapnya. Dan sesudah aku didoai,
berangkatlah mereka diiringi suara ayam yang sudah ramai
berkokok. Sebetulnya anak Ayah ada empat orang, tapi yang masih
hidup cuma aku sendiri. Yang lain mati, ketika masih kecil.
Kemudian, oleh karena aku tidak beradik lagi, dipungutnya
seorang anak yatim dari seorang pamanku, yang banyak
anaknya dan baru saja ditinggalkan mati oleh istrinya.
Fatimah, begitulah nama anak itu, baru berumur satu
tahun, ketika ibunya meninggal. Lantas segeralah diambil oleh
orang tuaku. Baik Ayah maupun Ibu merasa sangat bahagia
dengan anak pungutnya itu. Bu kan karena sekarang mereka
itu seolah-oleh mempunyai seoran g anak lagi, melainkan juga
oleh karena dengan demikian, mereka itu sudah berbuat
sesuatu yang diwajibkan oleh agama, ialah menolong anak
yatim. Seperti telah dikatakan tadi, ketiga kakakku itu semuanya
telah meninggal ketika masih kecil.
Berat nian penderitaan kedu a orang tuaku itu, sebagai
sepasang suami-istri yang masih muda. Dan kalau bukan
keluarga yang alim, mungkinlah mereka itu akan tersesat
mencari pelipur lara di daerah yang tidak baik. Tapi oleh
karena memang sudah dididik dari mulai kecil di dalam
suasana keagamaan, maka penderitaan mereka itu semata-mata dipandang sebagai suatu percobaan Tuhan yang berat
sekali, yang harus diatasinya dengan segala ketawakalan hati.
Karena itulah mereka menjadi le bih alim lagi. Entahlah, benar
juga rupanya kata pepatah Belanda "in de nood leert men bid-den."*) Dan rupanya saja pada orang yang sudah gemar
bersem *) Kesusahan hidup mendorong kita sembahyang.
bahyang seperti pada ayah dan ibuku, "nood" itu
menambah mereka makin rajin bersembahyang.
Orang tuaku sangat cinta kepadaku dan Fatimah.
Tapi biarpun begitu aku tidak menjadi anak yang manja.
Malah sebaliknya, aku merasa bahwa aku adalah seorang anak
yang mau menurut kata orang tua dan amat sayang serta
hormat kepada mereka. Pada usia lima tahun aku su dah dididik dalam agama. Aku
sudah mulai diajari mengaji dan sembahyang.
Sebelum tidur, ibuku sudah biasa menyuruh aku menghafal
ayat-ayat atau surat-surat dari Alquran. Sahadat, selawat dan
kulhu, begitu juga fatehah aku su dah hafal dari masa itu. Juga
nyanyi puji-puji kepada Tuhan dan Nabi.
Selain daripada itu banyak aku diberi dongeng tentang
surga dan neraka. Dan biasanya ibu mendongeng itu sambil
berbaring-baring dalam tempat tidur, sebelum aku tidur. Ia
berbaring di sampingku, sete ngah memeluk aku. Dan aku
menengadah dengan mataku lurus melihat ke para-para
tempat tidur seperti melihat laya r bioskop. Maka terpaparlah di
atas layar itu bayangan-bayanga n khayalku tentang peristiwa-peristiwa dalam neraka.
"Anak yang nakal, yang tidak mau bersembahyang akan
masuk neraka," begitu selalu kata ibu. "Di neraka anak yang
nakal itu akan direbus dalam kancah timah yang bergolak-g
olak. Tidak ada yang bisa menolongnya, ibu-bapaknya pun
tidak bisa. Dalam khayalku sebagai anak kecil, segala dongeng itu
alangkah hidupnya, seolah-olah aku sudah betul-betul pernah
melihat neraka. Terbayang-bayang olehku kedua belah tangan
kecilku menadah ke atas mint a tolong kepada ibuku, ya
kepada ibuku. Sekarang aku merasa aneh, kenapa tidak
kepada ayahku. Dan dalam fantasiku itu kelihatan ibu
mengulurkan tangannya hendak menolong, tapi tidak bisa.
Aku menjerit, "Ibu, Ibu, tolong! Ini Asan! Ini Asan! Aduh
panas! Aduh panas!" Aku merasa takut. Menggigil ketakutan. Merapatkan
badanku kepada badan Ibu yang sedang mendongeng itu. Ibu
memeluk aku lebih rapat lagi sambil berbaring. Dibujuk-bujuknya aku, "Tidak Nak, tidak! Tidak usah engkau takut-takut, asal engkau jangan nakal. Mesti selalu turut kepada
perintah Ayah dan Ibu^ kepada orang-orang tua, dan mesti
rajin bersembahyang dan mengaji. Insyaallah Nak, Ibu doakan
kau semoga selalu selamat dunia akhirat."
Maka ditekannya badanku kepada badannya dengan sangat
mesra. Pada suatu hari Ayah pulang dari pasar. Dibawanya sebagai
oleh-oleh sehelai kain dan se buah pici kecil untukku.
"Ini San, untuk sembahyangmu," kata Ayah sambil
memberikan barang pakaian itu. Sambil menyembah kuterima
barang itu. Segera kupakai dengan sangat riangnya. Megah
dan bangga pula, seolah-olah aku sudah menjadi seorang
santri yang sudah besar, terutama pula ketika Ayah menyebut
aku kiyai kecil." Ayah dan ibu pun sangat bangga. Diceritakan tentang diriku
kepada tiap kenalan. "Sekarang ia sudah bisa sembahyang," kata Ayah.
Dan kenalan-kenalan itu lantas memuji aku, "Bagus Den!
Bagus! (dan kepada anaknya sendiri) Nah, lihatlah Idris! Den
Asan sudah pintar sembahyang! Kau mesti contoh dia! Jangan
cuma suka main kelereng saja! (kepada ayah) Kalau si Idris
nakal saja, juragan! Tidak seperti Den Asan."
Hidungku kembang, dan kepalaku melenggok-lenggok
seperti wayang. Tertawa kemalu-maluan.
Aki' masih ingat ketika aku mu lai 'belajar sembahyang. Aku
berdiri di belakang Ayah, di sa mping Ibu. Dan kalau Ayah dan
Ibu berzikir, maka aku pun turut berzikir pula, tapi kadang-kadang timbul perasaan heran, mengapa' Ibu berpakaian
mukena yang pelik begitu, sedang pakaian Ayan biasa saja. Ya, semua itu
aku masih ingat. Masa bulan puasa aku ikut sembahyang terawih di langgar.
Di langgar banyak anak-anak yang seperti aku juga turut
sembahyang dengan ayahnya. Sebelum sembahyang kami
menyanyikan dulu lagu-lagu pujian kepada Tuhan dan Nabi
Junjungan kita. Sampai sekarang lagu-lagu itu aku masih hafal, dan
kadang-kadang sekarang pun hatiku suka pula menyanyikan
lagu-lagu itu dengan tiada bermaksud apa-apa. Yang paling
hafal ialah yang berbunyi begini:
Allahumaini a'udubika minalikolbi
Iwabinapsihi alaihi marjago
Kanjeng Nabi, ramana Gusti Abdullah
Ibu Siti Aminah, dipendem di dayeuh Mekah.
Apa artinya kata-kata "Arab" (") itu sampai kini aku tidak
tahu. Walaupun masih kecil, aku sudah rajin berpuasa, selalu
tamat sampai magrib. Demikian selanjutnya sampai sebulan
peiuh. "Orang rajin berpuasa akan masuk surga," begitulah selalu
kata Ibu, bila dilihatnya, bahwa aku hampir tak tahan lagi,
mau bocor. Untuk harmoni di dalam rumah tangga, maka babu dan
bujang pun terdiri dari sejodoh orang-orang yang alim juga.
Nata, lakinya pernah belajar mengaji di sebuah pesantren.
Sedang Siti bininya masih seorang keponakan dari kiyai Bajuri,
yang mengajar di pesantren Nata itu.
Siti suka sekali mendongeng, dan sebagai biasanya pandai
pula ia mendongeng. Dan tentu saja yang biasa
didongengkannya itu dongeng ya ng hidup subur di antara
para santri itu. Aku seakan-akan bergantung kepada bibirnya,
mendengarkan. Terutama sekali kalau Siti menceritakan
Abunawas dan Raja Harun Al-rasyid.
Tapi biarpun begitu tidak ada cerita yang lebih berkesan
dalam jiwaku yang masih hijau itu daripada cerita-cerita yang
plastis tentang hukuman-hukuman neraka yang harus diderita
oleh orang-orang yang berdosa di dalam hidupnya di dunia.
"Mereka," kata Siti, "harus me lalui sebuah jembatan pisau
yang sangat tajam, lebih tajam dari sebuah pisau cukur, sebab
pi sau itu tajamnya seperti sehelai rambut dibelah tujuh."
Jembatan pisau itu terbentang di atas godogan timah yang
panas mendidih. Orang yang tida k pernah berbuat dosa dalam
hidupnya akan mudah saja melalui jembatan itu seakan-akan
ia berjalan di atas jalan aspal. Sesudah menyeberangi
jembatan itu, maka sampaila h ia ke depan pintu gerbang
surga. "Akan tetapi," kata Siti selanjutnya, "orang yang banyak
dosanya di dunia ini akan merangkak-rangkak seperti siput di
atas seutas benang yang tajam, dan ia akan selalu terpeleset.
Dan tiap kali ia terpeleset, jatuhlah ia ke dalam godokan timah
di bawahnya. Mulai lagi ia me ncoba menyeberangi jembatan
tersebut. Berkali-kali ia akan jatuh. Seluruh badannya penuh
dengan luka-luka seperti diiris-iris karena harus menarik-narik
dirinya di atas jembatan pisau itu. Darahnya bercucuran dari
tiap luka. Tapi ia mesti merangkak terus.
Maka merangkaklah ia terus sambil menjerit-jerit kesakitan.
Ia merangkak-rangkak, berengso t-engsot, minta tolong, tidak
ada yang bisa menolongnya. Kalau su&ah tidak tahan lagi,
jatuhlah ia untuk sekian kalinya ke dalam godokan timah." "Mati ia""
'Tidak mati," sahut Siti, (dan seperti biasa ia berkata
dengan suara yang penuh kepast ian, seolah-olah ia sendiri
sudah pernah berengsot-engsot di atas jembatan pisau itu),
"tidak mati, sebab orang yang sudah jatuh ke dalam neraka itu
tidak bisa mati lagi, nyawanya terus hidup untuk menjalani
siksaan kubur. Dan siksaan ku bur itu ada bermacam-macam.
Kalau Raden Asan suka menyiksa hewan, kuda misalnya, nanti
di neraka kuda itu akan memb alas dendam. Raden Asan akan
disiksa kembali oleh kuda itu. Disepak-sepak dan digigitnya.
Itulah maka Raden Asan tidak boleh menyiksa hewan. Hewan
apa saja, kecuali yang jahat. Yang jahat harus kita bunuh.
Kalau Raden Asan suka mencuri, nanti tangan Raden Asan
akan dipotong dua-duanya. Kalau Raden Asan suka
mengumpat orang lain, lidah Raden Asan akan didudut dari
kerongkongan. Dan kalau Raden Asan suka makan nasi
goreng, nanti si nasi-nasi kecil itu akan menggoreng Raden
Asan." "Dimakannya""
"Ya! Dimakan oleh nasi-nasi kecil itu seperti ulat-ulat makan
buah mangga. Itulah maka Raden Asan jangan suka makan
nasi goreng. Nasi biasa saja." (Memang gemar sekali aku
makan nasi goreng). Dongeng-dongeng Siti itu sangat berkesan dalam jiwaku,
seperti juga halnya dengan dongeng-dongeng Ibu. Sebagai
anak kecil aku sudah dihinggapi perasaan takut kepada
neraka. Itulah, maka aku sangat taat menjalankan perintah
Ayah dan Ibu tentang agama, dan kalau aku lengah sedikit
saja, maka segeralah aku dipe ringatkan kepada hukuman dan
siksaan dalam neraka. Makin besar, makin rajinlah aku melakukan perin tali
agama, dan dongeng-dongeng tent ang neraka itu tidak luntur,
melainkan malah makin menempel terus dalam hatiku.
4 Pada suatu hari, ketika aku sudah dewasa dan kebetulan
ber-pakansi ke Panyeredan, be rkatalah aku kepada Ayah,
"Ayah, bolehkah saya turut pu la memeluk ilmu yang Ayah dan
Ibu anuti"" Ayali sangat riang nampaknya mendengar permintaan itu.
Rupanya karena sangat terharu atau terlalu bahagia, maka
beberapa jurus lamanya, ia diam saja, seolah-olah ada yang
hendak diucapkannya tapi tidak terlahirkan.
Masih ingat pula-- aku, ketika Ayah mendengar dari
mulutku sendiri, berita yang sangat menggembirakan tentang
kelulusanku dalam ujian tama t sekolah Mulo. Ketika itu
mungkinlah bahwa Ayah merasa lebih berbahagia dari padaku
sendiri, oleh karena untukku kelulusan itu berarti hanya suatu
kejadian yang sudah bisa kura malkan dari semula, bahkan
seolah-olah suatu hal yang bagi ku dengan sendirinya harus
begitu. Masih ingat pula, agaknya bagi Ayali, ketika baru-baru ini
aku diterima bekerja di kantor gemeente *) Bandung.
Alangkah bahagia Ayali nampaknya ketika itu.
Akan tetapi apa artinya bahagia dulu-dulu itu, bila
dibandingkan dengan bahagia yang dirasainya ketika ia
mendengar permintaanku untuk turut menganut ajaran ilmu
tarekat yang dipeluknya"
Beberapa jurus ia memandang kepadaku. Dan melalui sinar
matanya itu seolah-olah mengalirlah perasaan kasih-sayang
yang mesra yang berlimpah-limpah tercurah
dari hatinya ke
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam hatiku. Dengan suara bergetar, maka berkatalah ia,
"Nah, anakku, syukurlah engkau sudah ada niat yang suci
begitu. Sesungguhnya dengan niatmu yang suci itu, telah
hilanglah segala rasa kekua-tiran yang selama ini kadang-kadang suka menekan dalam hatiku, ialah kekuatiran kalau-kalau dalam menempuh jalan hidup yang penuh dengan
godaan dan bencana ini engkau ak an tidak tahan, oleh karena
engkau belum mempunyai senjata yang kuat. Akan tetapi,
kalau engkau sudah turut memeluk tarekat yang Ayah dan Ibu
peluk juga, maka segala kekuat iran dan ketakutan Ayah dan
Ibu itu hilanglah sudah. Insyaallah anakku, siang malam tiada
lain yang Ayah dan Ibu pohonkan kepada Tuhan Rabulizati
keselamatanmu lahir batin, dunia akherat."
Sambil berkata demikian itu, tangan Ayah bergerak-gerak
tak keruan seolah-olah ia hend ak memeluk aku, mengelus-elus
rambutku seperti aku masih kec il. Tapi rupanya ia insyaf,
bahwa aku sekarang sudah dewasa, sudah tidak bisa lagi
dielus-elus seperti dahulu. Aku duduk bersila di hadapan Ayah.
Tunduk. Air-mata mendesak ke kerongkongan. *) Kotapraja.
atheis 3 25 Ibu di dapur segera diberi ta hu tentang niatku itu. Maka
ber-linanglah air mata Ibu.
"Syukurlah anakku," katanya seraya meletakkan tangannya
di atas bahuku. Aku tunduk terharu. Terasa tangan yang terletak di atas
bahuku itu bergetar. Dan bergetar pula suaranya.
"Ya anakku," (menyapu air mata dengan ujung kebayanya),
"kau sekarang sudah cukup dewasa. Sekolah sudah tamat,
pekerjaan sudah punya, tinggal pegangan yang utama dalam
agama yang masih harus kaulaksanakan. Dan itu sekarang kau
sudah minta sendiri. Ibu dan Ayali mengucap syukur
alhamdulillah!" (kepada ayah) "Bap a! Kapan kira-kira kita bisa
mengantar anak kita ini menghadap kepada guru kita di
Banten"" "Nanti kita hitung-hitung dulu waktunya yang baik," sahut
Ayah. Banyak lagi kata-kata yang me ngharukan hatiku dari mulut
kedua orang tuaku itu. Malah me reka tidak diam pada soal
agama saja, sampai-sampai kepada soal kawin, soal-soal
hidup lainnya. Ya kawin! "Sudah cukup pula umurmu untuk mengambil seorang
teman hidup," begitulah kata Ibu, "dan syarat-syaratnya pun
sudah ada, kau sudah bekerja sebagai "juragan komis",
(padahal aku baru menjadi "klerk").
Aku tunduk saja. Mengerti aku, bahwa orang tuaku itu takut
kalau-kalau aku akan menjadi buaya atau akan tersesat ke
jalan pelacuran. Maklumlah kota Bandung.
Padahal mereka itu tidak tahu, bahwa aku memang sudah
punya seorang "calon". Hanyalah aku selalu ragu-ragu untuk
menceritakannya kepada orang tua itu, oleh karena aku tahu
betul, apa yang menjadi idaman mereka tentang
perkawinanku. Mereka selalu bercita-cita, bahwa aku harus
kawin dengan seorang keturuna n menak, artinya orang yang
keturunan "raden". Sedang "calon"ku adalah orang biasa saja.
Untuk memuliakan niatku yang dianggap suci itu, maka
malam itu Ibu mengadakan kenduri untuk Syech Abdul Kadir
Jaelani. Dan sebagai biasa, maka sebelum kenduri, diadakan dulu
pembacaan riwayat Syech Abdul Kadir Jaelani dari kitab "Ma-nakib".
Dan sebagai biasa pula, yang membacanya itu (sebetulnya
menyanyikannya, sebab ri^vayat itu dibaca sambil
dinyanyikan dalam sajak Dandanggula dan sebagainya), ialah
pamanku, Mang Saca. Sejak aku menganut ilmu mistik seperti Ayali dan Ibu itu,
makin rajinlah aku melakukan ibadat. Sekarang ditambah lagi
dengan kewajiban-kewajiban yang berat yang diperintahkan
oleh ajaran mistik yang baru kuanuti itu.
Berat, ya mula-mula memang aku merasakannya amat
berat. Tapi sedikit-sedikit menjadi biasa, dan karena biasa
menjadi ringan, balikan kemudian malah menjadi sebaliknya,
menjadi berat kalau tidak menjalankannya. Terutama pula,
oleh karena aku selalu ingat kepada wejangan-wejangan Ayali,
bahwa aku akan tertimpa oleh hukuman-hukuman dunia
akherat apabila aku melalaikan kewajiban-kewajiban itu.
Hukuman-hukuman gaib akan menimpa dirimu semasih
kamu hidup di dunia ini juga. Demikian selalu kata Ayali.
Dengan masuk ke daerah mistik itu, aku seolah-olah sudah
merasa diriku seorang manusia baru. Sesungguhnya manusia
baru. Perasaan demikian itu dulu pun per
nah ada padaku, yaitu ketika aku baru meninggalkan kampung halamanku pindah
sekolah ke kota besar, ke Mulo *) di Bandung. Ketika itu pun
aku merasa diriku sebagai seorang manusia baru, yang telah
menginjak dunia dan alam baru. Akan tetapi perasaan
sekarang ini ada berlainan dari perasaan dulu. Tentu saja
berlainan, karena dulu itu aku tidak menghadapi sesuatu hal
yang gaib seperti sekarang, yang suci, yang ... ada
mengancam siksaan-siksaan gaib di belakangnya, kalau
kurang sungguh-sungguh aku menjalankannya. Dulu aku
terutama dilimpahi dengan perasaan yang megah. Megah,
oleh karena aku telah meningkat ke sekolah yang lebih tinggi,
ke sekolah tempat aku akan belajar bahasa Inggris, Perancis,
Jerman dan pelajaran-pelajaran lainnya.
Sedang sekarang perasaan megah itu terdesak oleh suatu
perasaan yang lebih bersuara dalam hatiku, ialah perasaan
bahwa aku harus lebih berhati-hati lagi dalam menjalankan
kewajibanku. Dulu perasaan megah itu sering nampak ke luar sebagai
demonstrasi kepintaran misalnya kepintaran bahasa Inggris
dan sebagainya, tetapi sekarang demonstrasi itu tidak ada,
walaupun sekali-sekali ada pula suatu hal yang membual dari
dalam hatiku *) Meer Uitgcbrcid Lager Onderwijs - setingkat
dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP). berupa sesuatu perbuatan yang boleh dibilang hampir
demonstratif sifatnya, yaitu bila aku merasa diriku seolah-olah
sudah menjadi seorang-orang yang sudah sempurna dalam hal
berbakti kepada Tuhan. Seakan dari sebuah tempat yang lebih tinggi aku melihat ke
bawah, ke tempat orang-oran g yang masih "kosong" dalam
hal menjalankan agamanya.
Perasaan "sempurna" itu membikin aku berangan-angan
ingin menginsyafkan orang lain akan kebaikan dan kebenaran
ilmu tarekat yang kupeluk itu. Angan-angan inilah yang
kadang-kadang membikin aku be rbuat agak demonstratif dan
propagandistis* Kadang-kadang pula aku tidak bisa menyembunyikan
kebencian kepada orang-orang yang tidak saleh dan kurang
iman. Pada suatu hari datanglah guruku dari Banten ke Bandung.
Memang sudah menjadi kebiasaannya untuk sewaktu-waktu
berkeliling ke tempat-tempat dan kota-kota, yang ada murid-muridnya. Demikianlah ia berkunjung ke Bandung untuk
mengunjungi murid- muridnya itu.
Pada suatu pertemuan di rumah salah seorang ihwan yang
sebagai biasa sengaja diadak an sesudah bersama-sama
melakukan sembahyang magrib dan isa, untuk menguraikan
soal-soal agama (tidak jarang pula disertai dengan mengejek
orang-orang yang berpendirian la in), maka ada juga beberapa
pertanyaan yang kuajukan kepada guru itu, tetapi selalu dapat
jawaban begini, "lnsyaallah," begitulah katanya selalu, "nanti
pun akan terbuka segala rahasia yang sekarang masih gelap
itu. Bekerja sajalah yang rajin untuk ilmu kita itu,
perbanyaklah berzikir, perbanyaklah bertawadzuh,
perbanyaklah berpuasa dan kurangi tidur, lnsyaallah nanti pun
segala-gala akan menjadi terang . Untuk yang rajin beribadat
dan melakukan segala perintah ajaran ilmu kita, tak akan ada
perkataan "wallahu 'alam" itu. Baginya tak akan ada rahasia
lagi. Sesungguhnya, hanya rohani yang suci '" bisa meningkat
kepada tingkatan makrifat dan hakekat, lnsyaallah, rajin-rajinlah saja menjalankan segala perintah yang telah
kuajarkan kepadamu itu!"
Demikianlah jawaban guruku itu selalu. Karena selalu
mendapat jawaban begitu, maka aku pun tidak mau bertanya
lagi. Aku percaya, bahwa uc apan guruku itu benar.
Kegiatanku kupertambah. Apa la gi oleh karena pada waktu
itu juga seringkah datang su rat dari Ayali yang selalu
mengandung peringatan begini bagiku, "Asan, anakku,
berhati-hatilah engkau dalam laku hidupmu, lebih-lebih oleh
karena sekarang sudah memelu k suatu ilmu yang sungguh
luhur, yang suci, yang murni. Janganlah engkau berbuat
sesuatu yang bertentangan atau melanggar ajaran-ajarannya.
Ingatlah akan akibat-aki batnya dunia akherat!"
5 Demikianlah kutempuh jalan hidup di kota ramai seperti
Bandung itu dengan tidak menyimpang dari perintah-perintah
agama dan mistik. Pada dewasa itu aku agaknya sudah sampai kepada puncak
kegiatanku dalam menjalankan perintah agama. Aku pernah
berpuasa sampai tujuh har
i tujuh malam lamanya. Aku pernah
mandi di kali Cikapundung sampai empat puluh kali selama
satu malam dari sembahyang is a sampai subuh. Tiap kalinya
aku mencemplungkan diri ke da lam air, menyelam ke dalam,
dan sesudah itu lekas ke luar dari dalam air, lalu duduk di
pinggir kali, membiarkan tubuh menjadi kering lagi dengan
tidak boleh mempergunakan handuk. Kalau sudah kering mesti
lekas mencemplungkan diri lagi ke dalam air. Begitulah
seterusnya sampai empat puluh kali. Aku pernah mengunci diri
dalam kamar, tiga hari tiga malam lamanya, dengan tidak
makan, tidak tidur, tidak bercakap-cakap sama orang lain.
Maka dengan demikian tentu sajalah aku makin terasing
dari dunia ramai, dari pergaula n hidup biasa. Pekerjaan kantor
pun seringkah terbengkalai.
Sangat pucat mukaku seperti yang kurang darah. Kawan-kawan sekantor banyak yang bertanya-tanya, "Kenapa kiyai
kita makin pucat saja, ya"!"
Lidah yang berolok-olok menjawab, bahwa aku harus lekas
kawin. "Naik ke atas," kata mereka.
Bukan itu saja, yang paling payah lagi bagiku, ialah oleh
karena pada suatu hari aku jatuh sakit, sehingga harus
dirawat di rumah sakit. Dan di sana ternyatalah, bahwa paru-paruku sudah tidak
sehat lagi. Dokter melihat tanda-tanda penyakit tbc pada paru
paru yang sebelah kanan. Karena itulah, maka aku harus
dirawat. Untung bagiku, oleh karena paru-paru itu belum luka.
Sebulan kemudian aku boleh pulang ke rumah.'
Bagian IV Loket bagian jawatan air dari Kotapraja tidak begitu ramai
seperti biasa. Ruangan di muka loket-loket yang berderet itu
sudah tipis orang-orangnya. Mema ng hari pun sudah jam satu
lebih. Yang masih berderet di muka loketku hanya beberapa
orang saja lagi. Aku asyik meladeni mereka. Seorang demi
seorang meninggalkan loket setela h diladeni. Ekor yang terdiri
dari orang-orang itu makin pendek, hingga pada akhirnya
hanya tinggal satu orang saja lagi.
Pada saat itu masuklah seorang lakMaki muda dari pintu
besar ke dalam ruangan. Ia diiringi oleh seorang perempuan.
Setelah masuk, kedua orang itu berdiri beberapa jurus melihat
ke kiri ke kanan, membaca merek-merek yang bertempel di
atas loket-loket. "Itu!" kata si laki-laki muda it u sambil menunjuk ke loketku.
Dengan langkah yang tegap ia bergegas menuju loketku.
Sepasang selop merah berkeletak di belakangnya, diayunkan
oleh kaki kuning langsep yang dilangkahkan oleh seorang
wanita berbadan lampai. Laki-laki itu kira-kira berumur dua puluh delapan tahun.
Parasnya tampan, matanya menyinarkan intelek yang tajam.
Kening di atas pangkal hidungnya bergurat, tanda banyak
berpikir. Pakaiannya yang terdir i dari sebuah pantalon flanel
kuning dan kemeja creme, serta pantas dan bersih. Ia tidak
berbaju jas, tidak berdasi.
Terkejut aku sejenak, ketika aku melihat perempuan yang
melenggoi-lenggoi di belakangnya itu. Hampir-hampir aku
hendak berseru. Kukira Rukmini...
Wanita itu nampaknya tidak jauh usianya dari dua puluh
tahun. Mungkin ia lebih tua, tapi pakaian dan lagak-lagunya
mengurangi umurnya. Parasnya cantik. Hidungnya bangir dan
matanya berkilau seperti mata seorang wanita India. Tahi lalat
di atas bibirnya dan rambutny a yang ikal berlomba-lombaan
menyempurnakan kecantikannya itu. Badannya lampai tapi
penuh berisi. Ia memakai kebaya merah dari sutra yang tipis, ditaburi
dengan bunga melati kecil-kecil yang lebih putih nampaknya di
atas latar yang merah. Kainnya batik Yogya yang juga
berlatarkan putih. Orang penghabisan sudah kuladeni. "Sekarang Tuan,"
kataku. "Saya baru pindah ke Kebon Manggu 11," sahut laki-laki itu
sambil bertelekan dengan tanga nnya di atas landasan loket.
"O minta pasang""
"Betul, Tuan! ..." (sejurus ia menatap wajahku)" ... Tapi ...
tapi (tiba-tiba) astaga, ini kan Saudara Hasan, bukan"!"
"Betul," (sahutku agak tercengang, lantas menegas-negas
wajah orang itu, dan saudara .. -. siapa""
"Lupa lagi"" (tersenyum) "Masa lupa" Coba ingat-ingat!"
Kutegas-tegas lagi. "An! Tentu saja aku tidak lupa" Masa lupa! Ini kan Saudara
Rusli"" (riang mengeluarkan tangan ke luar loket untuk
berjabatan). Saat itu pula dua badan yang terpisah oleh dinding, sudah
bersambung oleh sepasang tangan kanan yang erat
berjabatan. Mengalir seakan-akan rasa persahabatan yang
sudah lama itu membawa kenangan kembali dari hati ke hati
melalui jembatan tangan yang bergoyang-goyang turun-naik
seolah-olah menjadi goyah karena derasnya aliran rasa itu.
Kepalaku seakan-akan turut tergoncangkan, menggeleng-geleng sambil berkata, "Astag a, tidak mengira kita akan
berjumpa lagi ya. Di mana sekarang""
"Di sini, baru seminggu pindah dari Jakarta."
"Di sini" Sukurlah . . . Astaga (menggeleng lagi kepala)!
Sudah lama kita tidak berjumpa ya" Sejak kapan""
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya rasa sejak sekolah HIS *) di Tasikmalaya dulu. Sejak
itu kita tidak pernah berjumpa lagi."
"Memang, memang (menganggu k-angguk) memang sudah
lama sekali ya" Sudah berapa tahun""
"Saya rasa tidak kurang dari lima belas tahun."
"Ya, ya, lima belas tahun (b erkecak-kecak dengan lidah)
bukan main lamanya ya! Tak terasa waktu beredar. Tahu-tahu
kita sudah tua, bukan""
*) Hollands Inlandse School = Sekolah Rakyat dengan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya.
Kami tertawa. "Eh perkenalkan dulu, adikku, Kartini (menoleh kepada
perempuan itu). Tin! Tin! Perk enalkan, ini Saudara Hasan,
teman sekolahku dulu."
Dengan senyum manis Kartini berkisar dari belakang ke
samping Rusli, lantas dengan mengerling wajahku
diulurkannya tangannya yang halus itu ke dalam loket.
Sejenak aku agak ragu-ragu untuk menyambutnya, dan
sedetik dua detik hanya kutatap saja tangannya yang terulur
itu. Akan tetapi sekilat kemudi an dengan tidak kuinsyafi lagi,
tangan perempuan yang halu s itu sudah bersilaturahmi
dengan tanganku yang kasar.
"Hasan," bisikku dalam mulut.
"Kartini," sahut mulut dari ba lik loket itu dengan tegas.
Sebentar kemudian urusan minta pasang air sudah selesai.
Aku sudah tabah mencatat seperti seorang jurutulis pegadaian
yang sudah biasa meladeni' beratus-ratus rakyat kecil yang
butuh uang. "Sangat kangen saya kepada Saudara," kata Rusli sambil
melipatkan sehelai formulir yang harus dibawanya ke loket
keuangan untuk membayar uang jaminan di sana.
"Saya pun begitu," (memungut potlot yang jatuh)
"datanglah ke rumahku."
"Baik, di mana rumah Saudara""
"Sasakgantung 18."
"Baik, tapi baiknya saudara dulu datang ke rumahku."
"O ya, ya, insyaallah, memang tuan rumah dulu yang harus
memberi selamat datang kepada orang baru."
"Datanglah nanti sore, kalau saudara sempat. Nanti kita
ngo-brol. Datanglah kira-kira setengah lima begitu!"
"Insyaallah! Di mana rumah saudara itu" Oya, ya, ini kan
ada dalam daftar: Kebon Manggu 11."
Dengan gembira mereka berpisah dengan aku. Kartini
mengangguk sambil tersenyum. Aku mengangguk kembali
agak kemalu-maluan. Entahlah, terasa jantungku sedikit
berdebur ketika mataku bertemu dengan matanya.
Kubereskan buku-buku. Semua permohonan pasang air
kumasukkan ke dalam buku yang spesial untuk itu. Begitu
juga dengan permintaan penyet opan air yang kumasukkan ke
dalam buku lain yang khusus untuk itu saja.
Akan tetapi aneh sekali, sambil bekerja demikian itu, terasa
olehku bahwa ada suatu perasaan yang, entahlah, tak
mungkin aku mengatakannya perasaan apa. Yang tegas saja
ialah bahwa aku merasa gembir a seperti tiap orang yang
bertemu dengan seorang sahabatnya yang sudah lama tidak
berjumpa. Akan tetapi biarpun begitu harus kukatakan, bahwa
padaku ada lagi sesuatu yang agak lebih daripada hanya
perasaan gembira saja semata-mata.
Rusli itu adalah seorang kawanku ketika kecil. Agak karib
juga kami berteman, bukan saja oleh karena satu kelas, tapi
pun juga oleh karena kami bertetangga. Kami banyak
bersama. Sepak bola di alun-alun, main gundu di pekarangan
orang, memungut buah kenari yang banyak tumbuh di tepi
jalan raya, selalu kami bers ama. Malah sakit pun pernah
bersama-sama, sebab terlalu banyak makan rujak Guga
bersama-sama). Hanya dalam dua hal kami tidak pernah bersama-sama,
yaitu kalau Rusli berbuat nakal, dan apabila aku sembahyang.
Orang tuaku melarang nakal, menyuruh sembahyang. Orang
tua Rusli tak peduli. Dan kalau kami bersama-sama pergi ke mesjid, maka aku
untuk sembahyang, sedang Rusli untuk mengganggu khatib
tua yang tuli atau unt uk memukul-mukul bedug. Dan tak
jarang pula aku sendiri diganggunya dalam sembahyang,
dikili-kilinya telingaku, aku dipelu knya dari belakang, kalau aku
sedang berdiri hendak me lakukan rakaat pertama.
Sesungguhnya, kami berdua sangat berbedaan tabiat, tapi
anehnya, biarpun begitu masih ju ga kami bisa bergaul dengan
karib. Memang anak-anak belum merenggangkan satu dari
yang lainnya lantaran sikap hidup yang berlainan. Oleh karena
itu barangkali dunia ini baru akan bisa aman dan damai, kalau
penduduknya hanya terdiri dari kanak-kanak melulu.
Sedang aku asyik menulis dalam buku permintaan pasang
air, lewatlah lagi Rusli dan Kart ini pulang dari loket keuangan.
"Sampai nanti sore, Bung!" seru Rusli sambil mengangkat
tangannya yang kanan, menabik.
"Ya," sahutku. Kartini mengangguk sedikit. Beradu pula pandanganku
untuk kedua kalinya dengan pandangan Kartini. Aku tunduk.
Terasa darah tersirap ke muka.
Rusli dan Kartini sudah sampai ke ambang pintu ke luar.
Kebetulan dengan tidak bermaksud apa-apa, aku mengangkat
kepala dari buku yang sedang kutulis, melepas pandangan ke
arah pintu itu. Pada saat itulah pula Kartini menoleh ke
belakang. Maka untuk ketiga kalinya aku bertemu pandang
lagi dengan dia. Sekali ini rupanya Kartini merasa agak malu.
Ia lekas membuang mukanya ke depan, tapi masih sempat
tersenyum sedikit. Senyum tak sengaja rupanya. Tapi cukup
untuk meninggalkan kesan yang tak mudah akan hilang dari
hatiku. 2 Sambil mendayung ke Gang Kebon Manggu, bertanya-tanya-lah aku dalam hati, "Siapa kah sebetulnya dia itu" Rusli
bilang, adiknya. Tapi baru sekarang aku mendengar bahwa dia
mempunyai adik perempuan. Kartini! Tegas sekali ia menyebut
namanya tadi. . . Tapi ah, peduli apa sama dia sih!"
Tapi biarpun begitu, hatiku tidak mau diam juga. Peduli
apa! Tapi menyelinap pula bayangan wajah yang cantik itu ke
muka mata batinku. Al i, barangkali istrinya.
Dot-doot! Untung lekas mengelak. Hampir tertabrak aku oleh sebuah
mobil yang tiba-tiba datang dari tikungan jalan Pungkur. Bung
supir memaki-maki. Tepat jam setengah lima seperti telah dijanjikan, aku tiba di
rumah Rusli. Tidak sukar me ncari nomor sebelas itu.
"Ah Saudara" Silahkan masuk, Saudara!" Rusli menegur
dengan ramah ketika dilihatnya aku masuk halaman
menyenderkan sepeda kepada tembok. "Sepedanya kunci
saja, Bung!" Pintu menggerit dibuka Rusli. Aku masuk.
"Silakan duduk, Bung!"
Nampaknya Rusli belum mand i. Kulit mukanya seperti
seorang Jepang. "Saya baru saja beres-beres rumah," ujarnya.
Rokok sebungkus keluar dari kantongnya, yang lantas
disodorkannya kepadaku. Beberapa batang meloncor dari
bungkusan, siap untuk dicapit jari-jari pindah ke bibir.
"Mari merokok, Bung! Saya sendiri tidak begitu suka
merokok sigaret. Saya lebih suka menggulung sek saja, atau
kalau ada malah lebih suka rokok kawung saja."
Maka sejurus kemudian kami berdua sudah asyik
menceritakan lakon masing-masing semenjak berpisahan lima
belas tahu" yang lalu. Sambil bercerita kami merokok terus.
' Rusli bercerita, bahwa setela h tamat dari sekolah rendah
di Tasikmalaya, ia lantas mengunjungi sekolah dagang di
Jakarta." Tapi tidak tamat, hanya sampai kias tiga, oleh karena
ia lantas tertarik, oleh pergerakan politik. Sebagai seorang
pemuda yang berkobar-kobar semangat kebangsaannya, ia
masuk anggota salah satu partai politik. Setelah partai
tersebut dilarang dan banyak pemimpin-pemimpinnya
ditangkap, maka Rusli menyingkir ke Singapura.
Di kota besar itu ia banyak bergaul dengan kaum
pergerakan dari segala bangsa. Nafkah dicarinya dengan jalan
bekerja sebagai buruh pelabuhan atau sebagai sopir taksi,
tempo-tempo berdagang kecil-kecilan. Soal nafkah memang
tidak menjadi soal berat bagi Rusli, oleh karena sebagai
seorang pemuda bujangan ia tidak mempunyai banyak
kebutuhan. Memang sebagai pemuda yang berjuang untuk
cita-cita politiknya, soal mencari nafkah itu agak berkisar ke
belakang. Begitulah keterangan Rusli.
Empat tahun Rusli hidup di Singapura. Dan selama empat
tahun itu ia banyak belajar tentang soal-soal politik. Bukan
hanya dengan jalan banyak membaca buku-buku politik saja,
akan te tapi juga banyak bergaul dengan orang-orang
pergerakan internasional. Pergaulan macam begitu mudah
sekali dijalankan di suatu kota "internasional" seperti
Singapura. Macam-macam aliran dan stelsel, serta ideologi-ideologi politik dipelajariny a dengan sungguh-sungguh,
terutama sekali ideologi Maccisme.
Dari Singapura Rusli pindah ke Palembang. Di sana ia
sambil berdagang, banyak menulis di surat-surat kabar
dengan memakai nama samaran. Kemudian ia pindah ke
Jakarta, dan pada akhirnya pindah pula ke Bandung.
"Dan di sini apa yang kaukerjakan," tanyaku setelah Rusli
habis bercerita. "Ah biasa saja," (menggulung-gulung rokok kawungnya)
"jual-jual sedikit, menulis-nulis untuk surat-surat kabar dengan
harapan tentu bahwa surat-surat kabar itu sanggup membayar
honorarium. Dan kalau cukup perhatian, saya pun akan
mencoba-coba buka kursus baha sa Inggris. Itulah maka saya
ambil rumah ini yang agak besar."
"O ya, memang rumah ini besar, saya Uk-Sft. (berdiri).
Boleh saya lihat dalamnya""
'Tentu saja! Silahkan!" (berdiri juga).
Seperti kebanyakan rumah di kota dingin seperti Bandung,
serambi muka ditutup dengan kaca. Demikian juga serambi
belakang yang akan dipakai tempat mengajar oleh Rusli.
Dindingnya setengah tembok setengah gedek. Lantainya tegel,
dan kamarnya ada tiga buah.
"Wali ini terlalu besar bagi satu orang . . . tapi eh, saya lupa
tanyakan, apa kau ini masi h bujangan, atau ....""
"Kaulihat sendiri," sahut Rusli sambil menunjuk ke dapur
yang masih sunyi dan dingin.
O jadi dia belum kawin, pikirku dengan sedikit gembira.
Tapi segeralah aku bertanya lagi, "Belum punya bujang juga""
"Belum, dia baru datang besok."
Kami duduk kembali ke temp at tadi di serambi muka.
"Yang tadi bersama-sama ka u itu, siapa sebetulnya"
Kusangka istrimu." "Istriku"" (tertawa).
"Jadi bukan istrimu""
Makin jelas terasa olehku kegembiraan dalam hatiku yang
seolah-olah terhela oleh sesuatu harapan mau melepas bebas
ke luar. Sesuatu harapan, ya, sesungguhnya! Tapi . . .
harapan apa" Kabur-kabur rasanya masih. Nampaklah
perasaanku itu kepada Rusli" Entahlah. Kemudian aku merasa
malu terhadap dia, seakan-akan sudah pasti bagiku, bahwa
Rusli itu sudah bisa menjenguk ke dalam hati sanubariku
melihat apa isinya pada saat itu. Dan untuk menyembunyikan
semua itu, kucoba membelokkan percakapan kepada soal lain.
"Jambangan sebagus ini," kataku sambil menjangkau sebual
jambangan bunga di atas sebuah rak. Tapi dalam kegugupan,
rak itu tersinggung oleh tanganku, sehingga jatuh
jambangannya Berdering-dering suaranya, seolah-olah
menjerit kesakitan, pecah di atas lantai.
Aku makin gugup. Mau memungut semua pecahan-pecahai
itu satu per satu dari lant ai seraya bersungut-sungut
mengutuk diriku sendiri. Kata-kata minta maaf berhamburan
dari mulut ku. Rusli terbenam dalamnya, tapi ia cuma tertawa saja.
"Kenapa saudara amat gugup" " katanya sambil pergi ke
belakar mengambil saDU. Kuburu dia. Lekas kurebut sapu dari tangannya. Mau
menyapu. Rusli tersenyum mengerti, seolah-olah pikirnya. "Dia mau
memperbaiki kesalahannya dengan jalan mau menyapu sendiri
Aku makin malu. Setelah beres kembali, kami duduk lagi. Aku merasa
tenteram lagi, dan Rusli menggulung-gulung lagi rokok
kawungnya. "Sedikit basah daun kawung ini, lekas padam," katanya.
Kami bercakap-cakap lagi. Dari soal rumah meloncat ke soal
hawa, soal hujan, soal musim duren, tapi semua itu dengan
sepintas lalu saja, sebab pada akhirnya kembalilah lagi kami
kepada kenang-kenangan pada jaman kami masih kecil di
Tasikmalaya. Tidak kurang dari sepuluh bata ng rokok kawung yang telah
digulung Rusli selama kami ngobrol itu.
Pada akhirnya percakapan itu kembali pula kepada Kartini.
Bukan aku yang memulai, melainkan Rusli sendiri, ketika ia
menceritakan seorang teman se kolah perempuan dulu yang
sering diperolok-olokkannya, tiba-tiba meloncat kepada Kartini
dengan pertanyaan, "Tidakkah wajah si Aminah itu hampir
serupa dengan Kartini, San""
Maka mulailah lagi acara Kartini.
Rusli pandai sekali bercakap-cakap supaya sesuatu hal
menjadi sangat menarik hati dengan jalan banyak
mengemukakan pertanyaan-pertan
yaan yang disela-selakan di
antara obrolannya. "Masa kau belum tahu, San" Kau kan selama ini selalu ada
di Bandung"! Di mana kau simpan kedua belah matamu itu"!"
Aku hampir tidak sabar lagi ingin mengetahuinya.
"Kauperkenalkan dia kepadaku tadi sebagai adikmu. Kukira
kau hanya berolok-olok saja, sebab setahuku kau tidak pernah
mengatakan punya adik seorang perempuan."
"Kupikir kau ini agaknya ingin sekali mengetahui siapa dia
itu. Betul tidak, San"" (matanya memicing sebelah).
'Tidak! Sekali-kali tidak, Rus!"
Dengan berkata begitu aku membikin isyarat dengan
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan, seolah-olah mau memper lihatkan bahwa hal itu adalah
suatu hal yang tidak penting bagiku. Akan tetapi terasa benar
olehku, bahwa isyarat-isyarat itu sangat setengah-setengah
sehingga rupanya jelas bagi Rusli, bahwa memang sebenarnya
aku itu ingin " tahu.
"Betul-betul tidak""
"Tidak!" sahutku dengan agak tegas. Tapi ketika kulihat
Rusli tersenyum-senyum, terasa olehku darah naik ke kuping.
Dan seolah-olah tak acuh akan reaksiku itu, maka
berceritalah Rusli. Panjang lebar ia menceritakan riwayat
Kartini. Ternyata, bahwa Kartini itu telah dipaksa kawin oleh ibunya
dengan seorang rentenir Arab ya ng kaya. Arab itu sudah tua,
tujuh puluh tahun lebih umurnya, sedang Kartini baru tujuh
belas, gadis remaja yang masih sekolah Mulo, baru naik ke
kelas dua. Tapi karena dipaksa kawin, maka gadis itu terpaksa
keluar dari sekolahnya. Ibunya memaksa kawin dengan si Arab
tua itu, semata-mata untuk mencari keuntungan belaka. Dan
entah bagaimana jalannya tapi berhasillah agaknya kepada si
Ibu itu untuk menggaruk sedikit dari kekayaan si Arab kikir itu:
tanah dua bau dan rumah satu, yaitu rumah di Lengkong
Besar yang sekarang didiami oleh Kartini. Desas-desus pula,
Kartini dan ibunya itu "diborong" oleh si Arab tua itu.
"Tapi itu hanya propokasi lidah busuk saja," kata Rusli.
Alangkah malangnya bagi Kartini, karena ia sebagai seorang
gadis remaja yang masih suka berplesiran dan belajar dalam
suasana bebas, sesudah kawin dengan Arab tua itu (notabene
sebagai istri nomor empat) seakan-akan dijebloskan ke dalam
penjara, karena harus hidup secara wanita Arab dalam
kurungan. Maka tidak mengherankan, kalau Kartini setelah ibunya
meninggal dunia, segera melarikan diri dari kungkungan si
Arab tua itu. Dan tidaklah mengherankan pula agaknya, kalau ia yang
sudah mengicip-icip pelajaran dan didikan modern sedikit-dikit,
kemudian setelah ia lepas dari "penjara Timur kolot" itu segera
menempuh cara hidup yang kebarat-baratan.
Rusli masuk kamar dulu dan setelah kembali dengan seikat
daun kawung baru, ia melanjutkan, "Barangkali bagi Saudara,
cara hidupnya demikian itu agak menyolok mata, karena tidak
biasa, tapi di balik semua itu tidak ada kejahatan apa-apa.
Dan kalau dikatakan orang bahwa ia sudah "jatuh", maka
jatuhnya itu semata-mata dilantarankan oleh sesuatu stelsel
yang buruk, yaitu stelsel kapitalisme. Jadi bukan karena
memang dasar budinya jahat. Sekali-kali tidak. Itulah maka
Kartini sekarang telah menjadi seorang wanita pejuang yang
insyaf dan sadar untuk menentang stelsel itu. Ia mulai belajar
politik. Ya bung, pengalamannya yang pahit itulah telah
membikin dia menjadi seorang Sr ikandi yang berideologi tegas
dan radikal. Mungkin dalam mata orang-orang yang kolot dan
konservatif, ia seolah-olah seorang wanita yang sudah pecat
imannya. Memang, ia pun sudah pecat imannya, tapi dari etika
feodal dan etika burjuis. Itu benar! Bukan begitu, Bung""
Aku tidak menjawab. Tidak mengerti, apa yang
dimaksudkan oleh Rusli itu. Apa etika feodal" Apa etika
burjuis" Mendengar kata-katanya pun baru sekali itu aku.
Terharu juga aku mendengar riwayat Kartini yang dipaksa
kawin itu. Tapi akan kesimpulan Rusli itu yang
menghubungkan semuanya kepada stelsel kapitalisme, aku
tidak mengerti. Mungkin kesimpulannya itu dicari-cari saja,
atau mungkin pula hal itu adalah suatu tinjauan politik yang
tinggi, yang tidak tercapai ol eh otak dan pengetahuanku.
"Untung," kata Rusli setelah ia ke belakang sebentar untuk
kencing, ibunya yang serakah itu sekarang sudah meninggal.
Belum lama, baru saja kira
-kir a delapan bulan yang lalu. Dan
segala kekayaannya yang lumayan itu, termasuk juga sawah
yang dua bau dan rumahnya yang dibelikan si Arab itu
sekarang semuanya jatuh kepada Kartini, karena Kartini
adalah seorang anak tunggal. Ta pi sulitnya baginya ialah oleh
karena ada seorang keponakan si Arab tua itu yang selalu
mengganggunya dan mengancamnya dengan bermacam-macam ancaman. Ia cinta sama Kartini. Itulah maka Kartini
selalu mencari perlindungan kepadaku dan orang-orang lain
yang agak rapat kepadanya . . . ." (tiba-tiba bangkit dari
kursinya). "Nah itu datang dia!"
Astaga, betul itu dia! bisikku dalam hati, memanjangkan
leher melihat ke luar jendela.
Dari jauh sudah jelas garis-garis dan bentuk bagian-bagian
tubuh Kartini yang penuh berisi itu. Entahlah, makin dekat
badan yang kuning lampai itu menghampiri, makin keras
hatiku berdebur. Aduh, betapa persis ia menyerupai "dia"! Sekilas pikiran itu
timbul dalam hatiku. Rusli berg egas membuka pintu. "Hallo
Tin! Mari, mari masuk!"
Rusli sangat ramah dan gembira. Terlalu ramali, menurut
ukuranku. "Tidak terlalu sore saya datang"!" tanya Kartini tersenyum.
Kakinya meloncat dari tangga ke ambang pintu. Dadanya
membusung ke depan. Air mukanya penuh kesadaran,
seakanakan tidak ada yang ditakutinya. Matanya lincah
berkilau-kilau-an. Ia memakai kebaya crepe warna kuning
mengkilap. Pada dadanya sebelah kiri terlukis sekuntum bunga
aster berwarna nila dengan tiga helai daunnya yang hijau tua.
Kainnya jelamprang yang dipakaikan secara "gejed mulo",
artinya demikian rupa hingga dalam ia melangkah, betisnya
yang kuning langsep itu seolah-olah tilem-timbul, sekali
langkah kelihatan, sekali lagi te rtutup oleh kainnya. Sehelai
kain leher yang panjang dari sutera hijau muda yang
berbunga-bunga merah membelit kendur pada lehernya.
Bibirnya merah dengan lipstick dan pipinya memakai rouge
yang tidak terlalu merah. Segala-galanya serba modern, tapi
tepat sederhana, tidak dilebih-lebihkan.
"Tidak terlalu sore toh"" Kartini mengulangi lagi
pertanyaannya setelah ia berjabatan tangan dengan kami. Aku
berdiri di samping kursi dengan sikap hormat yang terasa agak
kaku. "Ah tidak," sahut Rusli tertawa menjawab pertanyaan
Kartini tadi," malah benar kata orang, kalau kita sedang
mengumpat setan, terpijaklah ekornya."
"O kalau begitu si setan itu me sti lekas-lekas sajalah duduk,
supaya jangan terpijak lagi ekornya."
Dan dengan berkata begitu dijatuhkannyalah badannya ke
atas kursi yang paling dekat kepadanya seraya tertawa-tawa.
Kursi itu kursiku sendiri. Aku mundur beberapa langkah. Agak
heran melihat tingkah-lakunya itu. Sangat bebas. Terlalu
bebas, menurut ukuranku. Tapi entahlah, biarpun begitu sesaat kemudian seluruh
perhatianku telah terpaku ke pada wajah perempuan yang
sedang tertawa itu. "O, maaf, Saudara," katanya ia menengadah dari kursinya
ke dalam wajahku dengan air muka berseri-seri dan dengan
gerak tangan seperti serimpi, mempersilahkan aku duduk di
atas kursi sebelahnya. "Silahkan, Bung," kata Rusli.
Aku lantas duduk. Demikian juga Rusli.
Kartini mengipas-ngipas mukanya dengan sebuah kipas
kecil dari ebonit. Wangi bedak dan minyak berombak-ombak
masuk hidungku. "Agak panas sore in i," kata Rusli.
"Lihat saja muka saya ini," jawab Kartini, kipasnya lebih
cepat. Dibukanya tasnya, lalu meneliti mukanya dalam sebuah
kaca kecil yang ada di dalamnya. Dengan sebuah
puderdons lantas diratakannya lagi bedaknya yang sedikit
retak-retak oleh keringat.
"Di kamarku ada kaca besar," kata Rusli. "Boleh saya""
tanya Kartini bangkit. 'Tentu saja, kenapa tidak boleh! Tak usah kuhantarkan
toh"" sahut Rusli berolok-olok.
"Aku sudah besar. Tahu jalan. Jangan takut, takkan
tersesat!" jawab Kartini tertaw a sambil menghilang ke dalam
kamar. Aku tercengang-cengang saja melihat semua itu. Ia masuk
ke kamar. Kamar seorang laki-laki bujangan. Mimpikah aku"
Atau bagaimana ini" .... Sungguh bebas ia! Terlalu bebas,
menurut ukuranku. Aku tidak me ngucap apa-apa. Bermacam-macam perasaan simpang siur dalam hatiku. Menoleh aku
kepada Rusli yang sedang runduk menggulung-gulung rokok
kawungnya. Batang ke se kian belas. Heran, pikirk u, si Rusli ini
cuma tersenyum-senyum sendiria n saja, seperti ada yang lucu
atau menggembirakan. Baru-sekali itu aku berada dalam keadaan yang
menimbulkan perasaan-perasaan yang tidak tentu bagiku:
heran, kecewa, sayang, mencela, curiga tapi pun juga
gembira. Ya, juga gembira.
Sejurus kemudian terdengar lagi suara selop berketepok
kembali keluar dari kamar.
"Aku tidak sesat toh""
Senyum memancar dari wajahnya. Dan dengan "permisi
tuan" yang segera disusul oleh "silakan nyonya" dan deritan
kursi yang digeserkan di atas te gel, Kartini lewat di belakang
kursiku. Udara berombak lagi membawa wangi "Soir de Paris". Dan
pusat ombak semerbak itu segera lah duduk di atas kursinya
lagi. Kaki kanannya bersilang di atas yang kiri, sehingga
kainnya tersingkap sedikit ke atas memperlihatkan betis yang
mengemas kuning. "Jadi kita pergi"" ia bertanya memandang Rusli.
"Tentu saja," sahut Rusli, memadamkan rokoknya dalam
asbak. Dan sejurus kemudian bangkitlah ia dengan permisi
hendak mandi dulu. "Saudara-saudara bercakap-cakaplah saja dulu," katanya
pula. Mau ke mana mereka, pikirku.
"Saya permisi pulang saja," kataku, karena merasa
barangkali mengganggu mereka.
atheis 4 41 "E-e-eeh," kata Rusli, "Apa ini" Masa tidak menghormati
tamu yang baru datang" Or.ang baru datang, ini mau pergi.
Wali, itu tidak bagus dong!"
Aku agak malu, terasa darah membakar telinga lagi. Hidung
bergerak tak keruan. Dan sambil menarik-narik jari melebarlah
bibirku seolah-olah hendak te rtawa atau ada yang hendak
kukatakan. Tapi tiada suara yang keluar.
Rupanya nampak kepada Rusli, bahwa aku malu karena
ucapannya itu, dan untuk memperbaiki lagi suasana, maka
lekaslah ia berkata dengan se nyuman yang ramah dan lagu
yang setengah membujuk, "Ah tentu saja Saudara Hasan mau
duduk-duduk sebentar sampai saya selesai mandi dan
berpakaian, bukan" Masih sore toh""
Aku mengangguk, gembira karena ada harapan untuk
memperbaiki sikapku yang kurang hormat itu.
Rusli kemudian masuk kamarnya, dan segera keluar lagi
me-nyelampaikan handuknya di atas bahu, sedang tangannya
membawa tempat sabun dan sebuah gelas berisi sebuah sikat
gigi. "Tuan sudah lama"" tiba-tiba Kartini bertanya.
"Sudah satu jam kira-kira," sahutku, sedikit terperanjat,
karena pikiranku sudah melayang-layang tak tentu lagi.
"Rumah Tuan di mana""
"Dekat. Di Jalan Sasakgantung 18."
"O dekat. Saya pun tidak jauh dari sana."
"Di mana"" (sebetulnya aku sudah tahu dari Rusli tadi, dan
rasanya dia pun tahu alamatku, sebab bukankah tadi siang
telah kukatakan kepada Rusli, ketika mereka datang ke
kantorku" Tapi mungkin juga Kartini tidak menaruh perhatian).
"Saya di Lengkong Besar 27."
Beberapa jurus hening. Kemudian Kartini mengeluarkan satu pak sigaret dari tasnya
lantas disodorkannya kepadaku, "Silakan Tuan!"
Aku tertegun sejenak. Timbul lagi perasaan heran dalam
hatiku. Sungguh perempuan aneh dia, pikirku, bukan saja bebas
tapi pun merokok pula. "Tuan tidak merokok barangkali," katanya pula sambil
meno-kok-nokok sebatang rokok di atas meja.
"Saya terlalu banyak merokok," jawabku sekedar jangan
terus bungkem saja. Hening lagi beberapa jurus.
"Saudara Rusli tidak suka merokok sigaret. Ia lebih suka
rokok kawung atau sek," kata Kartini, memasukkan rokoknya
ke dalam mulut. Dinyalakannya sigaret itu sendiri. Sebentar kemudian ber-kepul-kepullah sudah asap dari mulutnya. Sangat indah cara
wanita muda itu menjepit sigaretnya dengan telunjuk dan jari
tengahnya yang runcing itu, cara mengeluar-masukkan
sigaretnya ke bibir yang merah itu dan terutama pula lenggak-lenggik tangannya yang berirama seperti serimpi. Asap
panjang-panjang mengelu dari ujung sigaret, langsing-1
ampai, melenggok-lenggok seperti serimpi pula. Kadang-kadang serimpi-serimpi halus kebiru-biruan itu ditiupnya alon-alon. Maka berpencaranlah mereka, bergelut-gelut di udara
tak berketentuan, dan udara berombak-ombak menyebarkan
paduan wangi dari sigaret dan "Soir de Paris".
Agaknya Kartini senang bermai n-main dengan asap itu.
Mendesir suaranya dari mulutnya kalau ia meniup serimpi-serimpi asap itu. Ha mpir tak kedengara
n. Aku memandangnya dari samping. Indah sekali hidungnya
yang bangir *) itu ditilik da ri samping! Sungguh perempuan
cantik ia! "Datanglah sekali-sekali ke rumahku."
Agak tercengang aku mendenga r suara tiba-tiba itu. Tidak
menoleh ia ketika mengucapkann ya itu, melainkan tetap asyik
melihat asap rokoknya yang sekarang sengaja ditiupnya bulat-bulat dari mulutnya.
Tak mengira seujung rambut pun, bahwa aku akan
mendapat undangan semacam itu dari mulutnya. Maka aku
pun tidak menjawab dengan tegas, hanya mengangguk saja
dengan setengah tertawa setengah melongo. Entahlah,
apakah aku merasa girang, atau heran, atau sangsi, atau
bagaimana, aku tidak tahu benar.
Hanya terasa olehku bahwa hatiku sudah tak tentu lagi.
"Dan sekarang" Tuan toh akan ikut juga menonton""
"Menonton""
Belum pernah aku menonton bersama-sama dengan
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang perempuan, atau diajak oleh seorang perempuan.
Apalagi oleh seorang perempuan asing yang baru saja kukenal
seperti Kartini *) .mancung. itu. Apa kata orang nanti" Dan memang aku pun tidak suka
menonton. Didikan keagamaanku tidak sesuai dengan sifat-sifat keriahan dan keduniawian macam menonton bioskop itu.
Maka jawabku pun tegas, "Ah tidak!"
"Sayang, mengapa tidak mau ikut" Filmnya bagus. Gone
with the wind. Clark Gable pegang peranan utama."
"Ya, San, ikutlah!" kata Rusli setengah berteriak dari dalam
kamar yang ditutupkan pintunya. Ia sudah selesai mandi dan
sedang berpakaian." Makin banyak teman, makin gembira.
Dan ingatlah kita sudah lama berpisahan. Marilah untuk
malam ini kita sama-sama bersuka-ria."
"Saya ada urusan lain mesti ke rumah Paman," jawabku
sekedar alasan yang kucari-cari. Entah terdengar atau tidak
oleh Rusli, sebab berteriak di muka Kartini aku tidak berani.
Aku berbohong, tidak biasa berbohong. Tapi tidak
mengapa, agama pun memperkenankan bohong, kalau
memang perlu untuk keselamatan agama dan sesama hidup.
Aku merasa terpaksa berbohong demikian, karena aku tidak
suka menonton. Dan terutama sekali: apa akan kata orang
nanti. Aku sudah dikenal orang sebagai seorang alim dan
saleh, dan tiba-tiba kelihatan duduk di bioskop bersama-sama
dengan seorang perempuan yang bukan muhrim. Dan
perempuan macam apa lagi! Macam
Kartini! Perempuan yang terlalu modern, dan.....mungkin
harus disangsikan pula kesusilaannya. Tidak! Aku tidak mau, tidak
boleh. 3 Sampai di rumah Magrib menyambut aku dengan tabuh.
Aku terbang ke kamar mandi mengambil air wudu.
Sejurus kemudian aku sudah terbenam dalam suasana
kesucian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Hayya alalfalah! Hayya
alalfalah! Hayya alassolah ....
Bergetarlah rasa jiwaku dalam menadahkan tanganku ke
atas. Kupejamkan mataku. Segala pancaindera kututup.
Seluruh jiwa kupusatkan ke hadirat Ilahi.
Allahu Akbar kabiran, walhamdulillahi kasiran. ..
meluncurlah rasanya seluruh jiwaku ke dalam ketiadaan yang
tak berbentuk tak berbatas.
Akan tetapi itu hanya untuk beberapa detik saja, sebab
sesaat kemudian dengan tiada kuinsyafi lagi pikiranku sudah
melantur-lantur lagi. Dibawanya aku pindah lagi ke Kebon
Manggu 11. Terkejut aku. Kebon Manggu kudesak lagi supaya
hilang. Tapi makin keras aku berusaha, makin keras
bayangannya menempel dalam pikiran. Keras-keras
kuucapkan. Allah Akbar! Allahu Akbar!
Bertelungkup kedua belah tanganku di atas jantung.
Hilang juga Kebon Manggu. Tapi muncul kantor kotapraja.
Laksana dalam bioskop agaknya, dari scene*) ke satu
meloncat ke scene lain, seakan-akan tak ada saat peralihan,
seakan-akan tak ada pertaliannya satu sama lain, padahal tali
cerita menghubungkannya. Demikian pulalah hidup sehari-hari, merupakan untaian scene ke scene, hari ini scene di
Bandung, besok di Garut, lusa mungkin di Surabaya, di Jakarta
dan sebagainya. Detik ini scene di kamar mandi, detik tadi di
jalan raya, detik nanti di war ung kopi, di pasar baru, di
bioskop dan sebagainya. Scene ke scene seolah tak ada
pertaliannya, padahal tali hidup mempertali-kannya,
membentang dari scene lahir ke dunia sampai ke scene masuk
lobang kubur .... Astaga, melantur-lantur lagi pikiranku. Allahu Akbar!
Bersujudlah aku, kening bertemu dengan lapik. Tiga kali
kubaca: subhanahu robbial a'la! Hilanglah pula aku, hanyut ke dalam ketiadaan.
Tetapi sebentar cuma. Maka dengan tak kuinsyafi pula,
muncullah tiba-tiba dari ketiadaan wajah Kartini dengan
senyumnya berseri-seri. Bers impuhlah aku membaca ayat
attahiyat awal dalam rakaat kedua. Maka terbayang-bayanglah
lagi segala peristiwa tadi di kantor kira-kira jam satu siang.
Sadar lagi aku bahwa aku sedang sembahyang. Jengkel,
karena sekarang aku bersembahyang tidak seperti biasa. Aku
tidak bisa mengekang pikiran da n khayal dan kenangan yang
licin seperti belut itu menobros lagi, tampil ke muka mata
batinku. Sungguh kosong ucapan orang, bahwa katanya manusia itu
tidak bisa berbuat sesuatu berbarengan dengan perbuatan-perbuatan lain. Padahal seluruh hidupnya tidak lain daripada
melakukan perbuatan-perbuatan yang berbarengan. Begitulah
pikirku. Lihat saja aku sendiri. Aku bersujud sambil ngelamun.
Tadi duduk berhadap-hadapan dengan Kartini sambil merasa
heran melihat tingkah-lakunya, tapi pun sambil kagum juga
akan keindahan hidungnya dan akan kecantikan wajahnya.
Tadi siang bertemu dengan Ru sli sambil memegang potlot.
Pendek kata manusia itu *) adegan adalah suatu dunia yang
ramai.... A'udzubillah! Kenapa sembahyangku sampai melantur
begini" Merajuk-rajuk aku dalam hati. Kupusatkan lagi seluruh
jiwaku ke hadirat Tuhan yang Ma ha Esa. Maka hilanglah lagi
segala ke dalam ketiadaan. Bahkan tak terasa olehku bahwa
badan dan segala anggotanya bergerak-gerak melakukan
segala gerakan sembahyang Magrib. Semua berlaku dalam
ketidakinsyafan. Khayal dan pikiran sudah mati. Pun diriku
sendiri sudah hilang tenggela m ke dalam ketiadaan. Scene-scene tak ada lagi. Hilang semua. Tiada nampak apa-apa lagi
keoadaku', selain ruang yang terang-terang kabur, tak
berbatas tak berbentuk. Tapi entahlah, apakah ruang itu,
apakah waktu apakah apa, ak u tidak tahu. Hanya aku tahu,
bahwa itulah sembahyang yang dianggap sembahyang yang
sempurna, karena hati dan pikiran kita sedang bulat
menghadap ke hadirat Ilahi.
Demikianlah keadaan dalam rakaat ketiga. Tapi tak
lama kemudian aku sudah berpin dah lagi ke alam nyata, ke
Kebon Manggu lagi. Malah tiba-tiba meloncatlah ke jaman
kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Sekilas mengkilat di muka
mata batin wajah "dia". . . wajah Rukmini.
Maka seakan-akan suatu "perbuka" dari Tuhan, insyaflah
aku, bahwa Kartini itu sangat sama rupanya dengan Rukmini,
bahwa mungkin karena itulah, maka aku merasa tertarik
kepada Kartini itu. Selesai sembahyang aku tidak lantas ke luar, melainkan
terus duduk bersila di atas lapik. Kuambil tasbeh yang terletak
di sampingku. Lantas berzikirlah aku. Lailaha illallah! Lailaha
illallah! Berzikir, berzikir ... makin keras, makin cepat. Makin
lama bertambah cepat, seperti kincir kapal udara layaknya:
mula-mula berputar lambat-lambat, tapi makin lama makin
cepat sehingga terban glah pada akhirnya.
Demikianlah pula dengan diriku dalam berdikir. Makin lama
makin cepat zikirku, sehingga pada akhirnya serasa terbanglah
juga diriku, ringan terapu ng-rapung laksana bersayap.
(Tidakkah mungkin dunia tempat kita hidup ini pun sedang
"terbang" juga, karena ia berputar, dan jika ia tidak berputar
lagi, dengan sendirinya akan jatuh" Ke mana"). Dan dalam
kecepatan dzikir yang memuncak itu, maka kalimat "lailaha
illallah" itu pun sudah tak tent u lagi kedengarannya, sudah
berubah menjadi "eha-eha" Tasbeh pun sudah tak keruan juga
berputarnya. Dari alat menghitung sudah berganti menjadi
alat pengatur irama. Pusing kepalaku, tapi ringan terasa seluruh badanku.
Ringan seperti orang yang baru turun dari korsel.
Berhenti aku dengan berzikir, lantas bertawadzuh. Duduk
bertekun. Dagu menekan ke pada kerongkongan, napas
kutahan-tahan. Semua pancaindera kututup lagi erat-erat, dan
seluruh jiwa kupusatkan lagi ke hadirat Ilahi.
Tapi setali tiga uang. Seperti dalam sembahyang juga,
dalam tawadzuh pun alangkah sukarnya bagiku untuk
memusatkan seluruh jiwa ke hadirat Yang Maha Esa. Pikiran
dan khayal membawa lagi scene-scene seperti tadi.
Sekali-sekali aku menarik napas panjang, mengumpulkan
tenaga baru gu na membulatkan lagi seluruh jiwa rohani
kepada Tuhan. Dalam pada itu, waktu mengalir terus.
Sampailah kepada suatu tanda-tanda bikinan manusia: suara
beduk Isa yang dipukul orang di langgar.
Aku tunduk kepada disiplin. Berdiri lagi, mengucap, "Usali
fardu Isa......" Pun dalam sembahyang Isa aku banyak terbawa melantur
oleh pikiran dan khayal. Maka sesudah selesai keluarlah aku dari kamar dengan hati
yang agak kesal. "Makanlah duluan, Nak," kata bibi dari kamar sebelah.
Aku tinggal pada bibi itu sejak bersekolah di Mulo. Bibi
adalah seorang janda yang telah berusia kira-kira lima puluh
tahun. Ia menjadi janda sejak lima bela s tahun terahir ini, dan tak
ada kepunyaannya selain daripada rumah yang didiaminya
sekarang itu.'Sekedar untuk turut makan, maka ia menerima
anak-anak sekolah atau buja ngan-bujangan yang sudah
bekerja numpang padanya. Akan tetapi seperti dengan musim
duren atau dengan air laut yang pasang-surut, demikianlah
pula halnya dengan permin taan orang-orang yang mau
menumpang kepadanya: kadang-kadang sampai ada lima
enam orang, tetapi kadang-kadang pula hanya satu-dua. Dan
sejak tiga bulan ini, hanya aku sendiri yang tinggal kepadanya.
Aku tahu, bahwa keadaan hidup bibiku itu sangat sukar.
Oleh karena itulah maka sekedar untuk menolongnya, aku
memberi bayaran yang lebih besar dari biasa. Selain menerima
orang-orang indekos, sebagai penambah-nambah 'nafkah,
bibi itu membikin juga kue-kue yang dijual oleh Pak lngi,
seorang pedagang yang rajin.
Mungkin karena kesukaran-kesukaran itu, bibi sangat rajin
beribadat. Ia pun masih bersembahyang, ketika ia menyuruh
aku makan duluan itu. "Biar Bi, saya tunggu bibi saja," sahutku melangkah ke
sebuah kursi malas di sudut serambi tengah.
Dengan lesu kuhempaskan diri ke atas kursi malas itu.
Berbaring menengadah ke para-para dengan berbantal
tangan. Ce-cak-cecak berkejar-k ejaran. Bercerecek suaranya.
Ada yang bere-but-rebutan nyam uk atau kupu-kupu kecil, ada
juga yang ber-cumbu-cumbua n. Seakan-akan cecak-cecak itu
sengaja mau memperingatkan aku kepada dua soal hidup
yang terpapar serentak di muka mataku. Mempertahankan
hidup diri sendiri dan mempertahankan hidup sejenis.
Tadi ketika sembahyang, kudesak sekeras-kerasnya dua
wajah wanita yang hampir serupa itu. Tapi sekarang
kupersilakan ia muncul dengan leluasa dalam mata batinku.
Maka hilanglah seolah-olah cecak-cecak dengan dua macam
soal hidup itu. Terpaparlah di atas para-para bayangan
kenangan kepada peristiwa-peri stiwa pada kira-kira setahun
yang lalu. Ketika itu aku ditimpa oleh suatu kesedihan yang rupanya
takkan berbeda dengan kesedihan Sri Rama ketika ia
mengetahui, bahwa kekasihnya Dewi Sinta diculik oleh
Rahwana. Ketika itu Rukmini di paksa kawin oleh orang tuanya.
Hanyut lagi aku dalam kenangan kepada permulaan aku
berkenalan dengan gadis itu, ialah ketika aku masih "volontair"
atau magang di kantor kotapraja ("herdines*) model baru",
menurut istilah Rusli, oleh karena orang disuruh kerja dengan
tidak digaji). Rukmini adalah seorang anak Haji Kosasih, yaitu seorang
pedagang besar di kota Bandung. Ia baru saja tamat sekolah
kepandaian putri yang diselenggarakan oleh missie. Tapi
biarpun bersekolah Katolik, ia tetap rajin melakukan
sembahyang, berpuasa dan lain -lain lagi perintah agama
Islam. Memang perasaan keagamaan pada gadis itu sangat
tebal. Walaupun begitu, ia tida k kaku dalam pergaulan, selalu
riang dan ramah, suka sekali be rcakap-cakap dan pandai pula
bersolek. Cita-citanya sama dengan aku, mau mengabdi dan
memajukan agama kita. *) maksudnya: "herendienst" =
kerja paksa tanpa bayaran di jaman VOC
Lambat-laun kami itu diikat oleh tali cinta.
Tapi alangkah malangnya bagi kami, karena orang tuanya
sama sekali tidak setuju dengan percintaan kami itu. Memang
orang tuaku pun (kalau mereka tahu, tapi aku belum berani
bilang apa-apa kepada mereka) tentu tak akan menyetujuinya.
Pendek kata, percintaan kami pada akhirnya menjadi korban
daripada pertentangan antara dua kias, kias feodal dan kias
burjuis. (Begitulah menurut istilah Rusli, ketika tadi
kuceritakan hal riwayat itu kepadanya).
Orang tua Rukmini tidak mau anaknya dikawinkan dengan
seorang "menak". Pernah Ha ji Kosasih berkata begini
(menurut pengaduan Rukmini kepadaku).
"Jangan Nak, jangan engkau berangan-angan hendak kawin
dengan seorang keturunan "rad en" atau "menak". Ingatlah
Bustom, seorang wedana yang ke mudian dilepas itu. Bibimu
bukan saja dihina oleh seluruh famili wedana itu tapi juga
sesudah kekayaannya habis dihisap oleh si menak itu, ia
dibuang begitu saja."
Sebaliknya orang tuaku pun, bercita-cita supaya aku
mengambil istri dari kalangan "Raden" pula.
Pada akhirnya, karena selalu didesak-desak dan dibujuk-bujuk maka Rukmini pun lantas mau juga dikawinkan kepada
seorang saudagar dari Jakarta.
Serasa kiamatlah sudah bagiku, ketika perkawinan
kekasihku itu dilangsungkan. Sejak itu lamalah aku merasa
diriku laksana mobil yang maju tak bersupir. Tiada pegangan
lagi bagiku yang berupa harapan untuk hidup bahagia di dunia
fana ini. Berbulan-bulan aku terhuyung-huyung seperti
mendukung beban yang berat. Bahkan hampir-hampir aku
hendak jatuh sakit lagi. Pada saat itulah, seakan-akan petunjuk Tuhan, timbullah
ilham padaku untuk mencari pe lipur hati dalam agama yang
lebih mendalam. Terasa olehku , bahwa agama yang kupeluk
itu tidak memberi pelipur yang kuinginkan dalam kesedihan
yang menguasai seluruh jiwaku itu.
Itulah maka aku memohon kepada ayah, supaya aku
dibolehkan turut memeluk ilmu tarekat atau mistik yang
dianutnya itu.
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rasanya aku akan terus hanyut ke dalam kenangan, kalau
tidak tiba-tiba terdengar suara bibi yang keluar dari kamarnya,
"Belum juga makan, San""
"Belum, Bi," sahutku terkejut, lalu bangkit.
"Mari kita makan dulu," ajak bibi, seraya pergi ke serambi
belakang. Kuikuti dia dengan ha ti yang lebih suka ngelaniun
terus daripada dengan perut yang minta isi.
Si Minah, babu kecil berumur dua belas tahun, sedang
mengantuk menunggu kami makan.
"Hai Minah!" Bibi membenta k sambil bertepuk tangan.
"Bangun!" Si Minah bangun terperanja t, "Ada kucing,Nya"! Ada
kucing"! Aku tidak begitu nafsu makan. Entahlah, gigi serasa
menjadi panjang, lidah menjadi tebal dan geraham menjadi
besi. "Kenapa sedikit amat makannya , San"" tanya bibi dengan
perasaan seakan-akan agak malu, karena kebetulan tidak
banyak lauk-pauknya. "Sudah kenyang, Bi! Tadi disuguhi kue-kue di rumah
teman!" jawabku berbohong.
Sehabis makan, bibi lalu duduk seperti biasa di atas dipan di
serambi tengah. Kedua belah kakinya dilunjurkannya. Makan
sirih. "Pijat kakiku, sunaya hilang kantukmu!" perintahnya kepada
si Minah yang baru habis makan.
Dari kamar makan aku terus saja masuk ke kamar tidur.
Lampu kunyalakan, sebab terasa belum ngantuk. Kusiakkan
kelambu, sebab ingin berbaring-baring sambil merokok. Enak
merokok sesudah makan. Padahal aku tidak boleh banyak
merokok. Asap berkepul-kepul dari mulut, menipis hilang
seperti kata-kata pidato yang kosong, tak berkesan apa-apa.
Maka terbayang-bayanglah lagi segala apa yang diceritakan
oleh Rusli tadi. Riwayat Rusli yang begitu banyak
pengalamannya, di Singapura, di Palembang, di Jakarta.
Tapi riwayat Rusli itu tidak begitu berkesan kepadaku, bila
dibandingkan dengan riwayat Kartini yang kudengar tadi juga
dari mulut Rusli. Tapi meng apa sebetulnya maka begitu"
Pernah pertanyaan itu terkilat dalam hati.
Entahlah, aku tidak tahu, da n tidak pula aku berusaha
untuk memberi jawaban kepada pertanyaan kilat itu. Tapi
biarpun begitu, tidak mudah aku melupakan "dia".
Tiba-tiba terkilatlah pula pertanyaan dalam hatiku, "Tidak
mungkinkah ini suatu kemurahan Tuhan jua""
Sungguh sudah sama kedua orang itu.
Rakhmat-Nya berkat kerajinan beribadat" Suatu bukti yang
harus meyakinkan aku akan keluhuran ilmu tarekat yang
kuanut itu" Bukankah aku sedang berkial-kial dalam kesedihan
karena ditinggalkan oleh Ruk, tiba-tiba aku diperkenalkan
dengan seorang wanita yang persis dia" Tidakkah ini berarti
bahwa Kartini itu pengganti Ruk"
Mengkilat pertanyaan-pertanyaan itu dalam hati.
Maka meloncatlah aku dengan tiba-tiba dari tempat tidurku,
bergegas ke meja tulis. Kubuka salah satu lacinya, mengambil
sebuah album dari dalamnya. Kemudian kembali
*ke tempat tidur, berbaring lagi setengah duduk, membuka-buka album.
Agak lama kutatap potret Rukminf. * Persis dia.
Aneh, potret itu seolah-olah sebuah anak kunci bagiku,
yang membukakan pintu hatiku untuk mengeluarkan lagi
segala perasaan yang sudah lama kusimpan dalamnya.
Kucium potret itu. Kemudian albumnya kupeluk dan kutekan
dengan mesra ke dada. Tapi ti ba-tiba kulemparkan lagi. Tidak
boleh, pikirku, ia sudah menjad i istri orang lain. Sudah mati
bagiku.... Kutaruh lagi album itu ke dalam laci meja tulis.
Maka berpindahlah lagi kenanganku ke Kebon Manggu 11.
Sungguh sama kedua orang itu! Terutama sekali tertawanya.
Bedanya hanya karena Ruk tidak mempunyai tai lalat di atas
bibirnya, dan jalan Ruk kurang lincah, kurang bebas. Memang
Ruk tidak memberi kesan yang modern seperti Kartini.
Kunyalakan lagi rokok sebata ng, setelah puntung kesatu
kubuang. Aku tidak boleh bany ak merokok, tapi malam itu
seperti tak peduli larangan d okter itu bagiku. Lantai dekat
tempat tidur sudah penuh dengan abu.
Aku tertawa dalam hati. Ingat kepada album tadi. Aneh,
mengapa kusimpan juga" Untuk apa" Padahal telah
kutetapkan dalam hatiku send iri, bahwa Ruk sudah mati
bagiku. Ya, mati____ Tertawa juga aku, berhubung dengan
jawaban yang kuberi sendiri kepada pertanyaan itu. Ya, jawabku, kan tiap
orang yang mati itu harus mempunyai kuburannya. Dan
kuburan Ruk itu ialah album itulah. Kuburan yang sekali-sekali
kukunjungi pada saat kalau aku merasa terlampau rindu
kepadanya. Sebab, en tahlah, kadang-kadang sangat rindu aku
kepadanya. Tak kan beda rasanya dengan rindu tiap orang
yang ditinggalkan mati oleh kekasihnya. (
Tapi kini Rukmini seolah-olah sudah hidup kembali.
Menjelma kembali dalam diri Kartini.
Tiba-tiba aku batuk-batuk. Terselak kerongkongan karena
asap sigaret. Kubuang rokok ya ng baru seperempat terhisap
itu ke lantai. Setelah reda batukku, kutatap rokok yang masih bernyala
itu. Sebentar menyelinap perasaan takut melihat puntung itu,
takut kebakaran. Akan tetapi hanya sekilat saja, karena
kulihat, bahwa puntung itu jatuh di tengah-tengah tegel yang
dingin, jauh dari sesuatu benda yang bisa terbakar. Secepat
perasaan takut itulah pula agaknya yang pernah juga timbul
dalam hatiku, ialah ketika mengkilat pikiran dalam hati, kalau-kalau aku akan jatuh cirt fa kepada Kartini itu.
Tapi perasaan yang ganjil itu hilang sudah pada saat itu
juga, ketika terpikir olehku bahwa mustahillah aku akan bisa
Lembah Tiga Malaikat 13 Goosebumps - 20 Teror Orang Orangan Sawah Kisah Membunuh Naga 37