Pencarian

Atheis 2

Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja Bagian 2


jatuh cinta kepada seorang wanita yang begitu mondain*)
seperti Kartini. Biarpun begitu kadang-kadang tersembul pula
sesuatu nafsu dari gua hitam sanubariku, mengalir secepat
listrik ke dalam otak mencipta pikiran-pikiran yang kemudian
memalukan rasa keagamaanku.
Sambil berbaring-baring demikian itu, kupeluk guling. Tiba-tiba khayal membentangkan di muka mata batinku bayangan
sesuatu scene. Aneh, tak tahan lagi aku! Aku menjadi sebal
dan mual. Jijik, jijik, pikirku, Gadis yang jelita dan tidak
berdosa itu harus menjadi korban, dibaktikan kepada seorang
tua bangka, yang suka makan riba itu"! Kupejamkan mataku,
menyusukkan kepala ke bawah bantal: Aku tidak mau
mengingatnya, tidak mau, jijik!
Hampir berteriak aku dalam hati. Hatiku berontak. Berontak
terhadap si Arab tua itu. Benci kepadanya. Bukan hanya
karena ia suka makan riba, tapi pun juga (atau terutama juga)
karena ia pernah mengawini Kartini.
Entahlah, bila kukupas benci kepada si tua bangka itu, tak
tahulah aku, manakah yang paling berat: benci karena
perasaan agamaku tersinggung ol eh karena si rentenir itu
suka makan riba, atau benci karena ia sudah mengambil
Kartini sebagai istrinya yang nomor empat" Entahlah! Tapi
yang pasti kutahu, ialah bahwa pada saat ini si rentenir itulah
manusia yang paling aku benci.
Aku merajuk-rajuk. Guling kutendang ke sudut kanan.
Bangkit aku. Lalu duduk depan meja.
Malam sudah sunyi benar. Radio punya tetangga sudah
bung-kem. Hanya dari jauh se kali-sekali kedengaran suara
tuter mobil sayup-sayup mene mbus ke dalam kamarku.
Dari kamar sebelah terdengar pintu berderit. Sebentar
kemudian suara berkumur-kumur, disambung dengan suara
curahan air dari mulut ke dalam sebuah tempat ludah: krrlok,
krrrlok... *) Kedunia-duniaan. Masih terdengar olehku tadi perkataan Rusli, "Aku telah
angkat dia dari rawa kebusukan. Dan sekarang kucoba bawa
dia ke arah jalan yang baik. Di a seorang perempuan terpelajar
yang baik pula sifat tabiatnya. Sekarang kucoba bangkitkan
perhatiannya kepada perjuangan politik kita."
Kalimat-kalimat Rusli itu masih jelas terdengar dalam
telingaku. Masih jela s, seperti suara cetus korek api yang
kukorekkan di dalam sunyi itu untuk menyalakan lagi sebatang
sigaret. Aku merokok lagi.
"Ke arah jalan yang baik," kata Rusli tadi.
Tapi mana bisa Rusli membawa dia ke jalan yang baik"!
Rusli sendiri harus "diislamkan" dulu. Dia sendiri harus
dibangunkan dulu, dibimbing ke arah keagamaan. Tidakkah ia
tadi berani berolok-olok secara tidak senonoh yang sebetulnya
sangat menghina perasaan keagamaanku dengan bertanya,
"Belumkah saudara kenyang juga dengan sembahyang tiap
hari lima kali itu" Belum dikabulkan juga segala
permohonanmu itu oleh Tuhan . .""
Haha! Hendak membawa Kartini ke arah jalan yang baik,
tapi musim sembahyang ia me mbawanya ke bioskop. Ada-ada
saja, mencari kebaikan di tempat kebusukan. Ya, tempat
kebusukan, itulah satu-satunya arti bioskop, arti film, tempat
kapir-kapir memberi contoh bercium-ciuman, berpeluk-pelukan
atau berzinah .... Tidak, kalau ada orangnya yang harus
membawa dia kembali ke jalan yang baik, ialah mesti orang-orang yang alim, yang saleh, yang rajin beramal ibadat, bukan
macam si Rusli itu. Sesungguhnya, satu-satunya jalan yang
baik bagi ummat ialah jalan Allah, jalan agama yang telah
dirintis oleh Rasul-Nya, Nabi Muhammad s.a.w. Jalan inilah
yang harus ditempuh oleh Kartini, bukan jalan bioskop.
Kuhisap-hisap rokok. "Hai Hasan! Tidakkah itu kewajibanmu""
Aku terkejut, seakan-akan suara guruku, Kiyai Mahmud,
yang kudengar itu. Beberapa jurus aku termangu-mangu saja.
Memang, itu adalah pewajibanku, seolah-olah aku
menjawab pertanyaan yang berarti perintah dari guruku itu.
Kurenung-renungkan "perintah gaib" itu sehingga bulatlah
sesuatu tekadku. Asap sigaret berkepul-kepul, melingkar-lingkar ke atas,
bulat-bulat. Ya bulat-bulat! seolah-olah lambang bagiku.
Lambang tekad hatiku yang sudah bulat sebulat-bulatnya
untuk sesuatu maksud yang akan kujalankan.
Girang rasa hatiku seperti seorang pemuda yang baru
mengambil putusan yang optimistis. Mukaku berseri-seri
seperti muka danau menyambut matahari pagi.
Ya, kataku dalam hati dengan tegas, dua-duanya akan
kubawa ke jalan yang baik, ke jalan agama! Dua-duanya!
Seluruh jiwaku serasa penuh dengan tenaga dan semangat
berjuang. Berkali-kali ku tinju- tinju telapak tangan yang kiri,
sedang mulut kukatupkan erat-erat seperti biasanya orang
yang penuh semangat berjuang.
Mesti! Mesti! Aku mesti bikin mereka sadar akan
kewajibannya sebagai orang-orang Islam!
Seolah-olah jendral agama rasaku yang hendak
menundukkan kapir-kapir. Tapi teringatlah segera olehku, bahwa agama melarang
orang berperasaan takabur. Maka lekas-lekaslah aku pun
mengusap muka seraya berbisik: Astagfirullah! Astagfirullah!
Malam sudah sangat sunyi. Bersorak rotan, kalau aku
berubah duduk di atas kursi. Jam bertiktak di ruang tengah.
Cecak-cecak bercerecek. Kadang-kadang dari kamar sebelah terdengar pula suara
bibi berkeluh. Mimpi ditagih hutang rupanya, atau rugi kue-kuenya tidak laku.
Neng...neng . . . neng....
Dua belas kali. Aku lekas bangkit. Mengambil air wudu ke
kamar mandi. Maka tak lama kemudian aku pun dengan penuh perasaan
khidmat kepada Tuhan sudah asyik-masyuk melakukan
sembahyang "taat". Dengan khusuk aku memohon kepada
Tuhan Rabbulizzati, supaya dibe ri-Nya aku taufik dan hidayat
untuk menjalankan kewajibanku sebagai seorang ummat Islam
terhadap sesama hidu pnya yang tersesat.
Dengan "Allahu Akbar" yang bergema dari lubuk hatiku,
serta sambil mengusap muka, maka bangkitlah aku dari lapik.
Dan dengan ringan kuletakkan badanku kembali ke atas
tempat tidur. Besok, besok, aku mulai! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Dengan tasbeh berbelit di anta ra jari-jariku, maka masuklah
aku ke alam mimpi. 4 E sok harinya sehabis sembahyang Asar, aku sudah
mendayung lagi ke Kebon Manggu. Hatiku penuh harapan dan
kesanggupan. Melancarlah sepedaku didorong optimisme.
Di jalan Raden Dewi aku berpapasan dengan seorang
pemuda naik sepeda yang dibonceng oleh seorang pemudi.
Mereka membawa raket. Menilik arahnya, rupanya mau main
tennis di lapang "Swarha". Meli hat itu aku tersenyum: Aku ada
pekerjaan yang lebih penting daripada memukul-mukul bola,
kata hatiku. Aku mendayung terus, berbelok ke jalan Pangeran
Sumedang, menuju ke jalan Karang Anyar.
Hari itu baik sorenya. Jalan-jalan sudah mulai ramai setelah
sepi dari kira-kira jam setengah tiga sampai setengah lima.
Orang" orang yang hendak main sport atau plesiran ke Pasar
Baru, alun-alun atau Braga, su dah mengalir di tepi jalan,
mandi dalam cahaya matahari yang hendak pamit. Delman-delman berkeleneng-ke-leneng, seolah-olah tidak mau kalah
oleh suara tuter mobil-mobil yang menyusul atau berpapasan
dengan mereka, seakan-akan du a abad desak-mendesak mau
menyatakan hasilnya, atau seakan-akan hasil jiwa
terkungkung tidak mau kalah suaranya oleh hasil jiwa yang
merdeka. Sepeda-sepeda berkerining-kerining, lincah
melancar-lancar di antara hasil dua abad itu. Indahnya sore
membikin aku lebih gembira lagi. Dan agaknya di antara
ribuan manusia yang berkeliara n di jalan-jalan itu tidak ada
seorang pun yang seperti aku mau menundukkan kapir-kapir.
Tapi bagaimanakah caranya nanti aku mengislamkan
mereka itu" pikirku sambil mendayung. Tapi ah, kenapa itu
harus kupikirkan sekarang. Bagaimana nanti saja, Insyaallah,
Tuhan tentu ada di sampingku, sebab maksudku baik, suci.
Ning-neng! Ning-neng! Untung aku lekas mengelak. Hampir ketabrak delman.
"Jangan ngelamunBung"!" bentak bung kusir.
Aku pura-pura tak mendengar, tersenyum-senyum saja,
mem-bikin-bikin sikap seakan-akan kemarahan bung kusir itu
bukan dialamatkan kepada diriku. Maka aku pun mendayung
terus, berpikir terus. Atau "n gelamun" terus, kalau menurut
bentakan bung kusir tadi.
Ya, bagaimana aku mesti mulai" Tapi agak ragu, akan
adakah Rusli di rumahnya" Dan juga Kartini" Aku tahu, Kartini
tidak tinggal di sana, tapi siapa tahu, barangkali dia sekarang
ada di sana, untuk keperluan ini itu barangkali.
Sedetik dua detik timbul perasaan curiga dalam hatiku
terhadap Rusli itu. Memang siapa yang tidak akan menaruh
kecurigaan kalau ia tahu, bahwa Rusli seorang bujangan yang
sudah lebih dari dewasa, bersah abatan dengan seorang janda
muda yang begitu bebas dalam gerak-geriknya. Lebih-lebih
lagi karena aku tahu betul, bahwa Rusli itu adalah seorang
anak yang nakal ketika masih kecil. Anak yang nakal sudah
membawa bakat untuk menjadi or ang yang jahat, begitulah
kata ayah dulu. Pendeknya sekurang-kurangnya anak yang
nakal demikian tidak akan be gitu baik kesusilaannya.
Ning-neng! Ning-neng! Aduh hampir ketabrak lagi. Napas kuda sudah terasa di atas
pundak. Kudengar seorang laki-laki penumpang membentak
dari delman yang menyisir melalui sepedaku.
"Borong jalan, Bung"" teriak bung kusir, sambil
melemparkan pandangnya yang marah dari matanya yang
melotot, melalui pundaknya yang tetap tegak mengarah ke
depan. Aku tak acuh. Mendayung terus. Curiga terus kepada Rusli.
Dan lihatlah saja, di mana Rusli itu memilih tempat
tinggalnya" Bukankah di gang yang banyak rumah-rumah
pelacuran" Sebetulnya aku merasa malu untuk masuk gang
itu. Tapi ya, karena masih siang, tentu tidak akan.
mencurigakan apa-apa, pikirku selanjutnya.
Ning-neng! Ning-neng! Sekarang aku hati-hati, lekas sedikit ke pinggir. Sesaat
kemudian terdengarlah orang be rseru-seru dari delman yang
dalam pada itu sudah meliwati aku dengan sangat cepatnya.
Dan ketika kulihat, maka tampaklah Rusli menoleh ke
belakang dengan wajahnya berseri-seri, "San! San! Mau ke
mana"!" Mau ke rumahmu! Begitulah setadinya aku mau menjawab,
akan tetapi ketika kulihat, bahwa Rusli tidak sendirian,
melainkan bersama-sama Kartini, maka kujawablah dengan
cepat, "Ah tidak! Mau jalan-jalan saja!"
"Kami hendak ke Bojongloa! Ada perlu!" teriak Rusli. Kartini
mengangguk, ketika aku memandangnya. Kemudian ia
ters enyum-senyum saja, melihat kepadaku yang mengintil di
belakang del- atheis 5 57 man, seperti anak kuda mengintil di belakang biangnya.
"Kapan ke rumahku lagi "" teriak Rusli pula.
Apa harus kujawab, sebab sebe tulnya sore itu aku sudah
mau berkunjung lagi ke rumahnya, mau "mengislamkan"nya.
"Besok sore ada di ruma h"" tanyaku kembali.
"Besok sore" .... Ada! Datanglah! O ya, air sudah jalan
sejak tadi pagi! Terima kasih!"
Di perapatan Pangeran Sumedang dan Pungkur, delman
Rusli berbelok ke jalan Karang Anyar.
"Sampai besok, ya!" seru Rusli mengangkat tangan
kanannya selaku seorang kepa la stasiun menyuruh keretanya
berangkat. "Insya Allah!" sahutku, menabi k kembali secara orang Arab.
Kartini mengangguk ringan disertai senyum.
" Sepedaku melancar terus ke arah Tegallega, membawa
sesal dan kecewa, meninggalkan semangat yang riang. Entah
di mana. 5 Malam itu aku merasa kecew a, karena sudah masak
kuidam-idamkan akan berkunjung ke rumah Rusli sore itu, tapi
Rusli pergi. Dan kenapa mereka itu selalu bersama-sama saja. Seolah-olah mereka itu su dah menjadi laki-bin i. Kecewa hatiku
berteman sekarang dengan curiga.
Pernah kudengar teman-teman sekantorku bercerita
tentang apa yang dinamakan mereka "cinta merdeka" yang
katanya banyak dilakukan oleh or ang-orang Barat, artinya laki-laki dan perempuan bisa hidup bersama seperti suami-istri,
tapi tidak kawin. Dan katanya antara orang-orang Indonesia
pun kebiasaan itu sudah mulai berjangkit. Mungkin Rusli dan
Kartini pun . . . " Menggigil aku. Hatiku makin sebal. Hidup demikian berarti
bagiku berzinah. Lain tidak.
Jam menunjukkan pukul sebelas. Aku masih berbaring-baring di atas kursi malas di tengah rumah. Malam sudah
sunyi benar sehingga kadang -kadang kudengar napasku
sendiri. Radio di sebelah sudah bungkem dari jam delapan
tadi. Rupanya tetangga yang empunya itu sakit, sebab
biasanya ia pasang radionya itu sampai lagu penutup
terdengar. Bibi sebagai bias a sudah masuk kamar dari jam
sepuluh, sebab esoknya ia harus sudah bangun pagi-pagi
benar, membikin kue-kue yang akan dijajakan oleh Pak
Ingi pada siangnya. Malam sunyi, tapi karena sunyi itu makin ramailah
terdengar suara bermacam-macam di dalam hatiku. Aku makin
jengkel dan curiga. Dan entahlah, perasaan pun agaknya
seperti kanak-kanak juga. Seperti kanak-kanak yang nakal,
yang hendak melakukan sesuatu perbuatan yang busuk lantas
mengajak teman-temannya yang lain yang seperti dia nakal-nakal juga. Maka beramai-ramailah mereka itu bersorak-sorak,
berseru-seru, berteriak-teriak, seolah-olah masing-masing mau
saling atasi suaranya dengan teman-temannya yang lain.
Demikianlah agaknya di dalam ha tiku itu; bahkan seakan-akan
sudah seperti di rapat besar agaknya. Riuh!
Pa Curiga sedang bicara, tegas suaranya, matanya


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkedip-kedipan atau memicing sebelah, kadang-kadang
suaranya ber-desis-desis berbisik. Mas Dongkol memberengut
seperti jeruk masam, meludah- ludah, menyikut ke kiri
menyikut ke kanan, merajuk-rajuk, Nona Kecewa berkecak-kecak dalam mulutnya sambil menggigit-gigit ujung
saputangannya. Empo Marah membentak-bentak dan
merentak-rentak kakinya dengan menyingsingkan kainnya
sedikit ke atas, sedang Siti Cemburu menggaung-gaung
seperti anjing melolong-l olong di malam purnama.
Riuhnya rapat besar dalam hatiku itu ditingkah lagi oleh
ramainya sorak rotan, kalau aku bergerak. Jam bertiktak.
Cecak bercerecak. Panas rasanya dalam dadaku. Melangkah aku ke meja yang
ada di tengah ruangan, di bawah lampu. Seekor kecuak
terbang dari bawah poci. Kutuangkan air teh ke dalam cangkir,
seakan-akan dengan harapan supaya segala perasaan yang
mengganggu itu akan hilang tertuangkan dari kalbuku seperti
air teh dari dalam poci itu. Minumlah aku beberapa teguk.
Segar rasanya. Tapi sebentar kemudian terganggu lagi oleh
perasaan-perasaan tadi itu, seolah-olah segala perasaan itu
masuklah kembali ke dalam jiwa ku bersama air teh yang ku
teguk. Aku melangkah lagi ke kursi malas. Berbaring lagi. Ramailah
lagi rapat besar. Dengan keras aku mau mematikan segala perasaan itu
supaya jangan bersuara lagi, seperti pernah aku mematikan
suara Netty a tau Annie Landow atau Bing Crosby dengan
hanya memutarkan sebuah knop saja. Tapi suara hati bukan
suara radio. Cinta merdeka! Rusli dan Kartin i, cinta merdeka! Berzinah
itu! A'udzubillah! Kuusap mukaku . Menggigil lagi seluruh
badanku. Gelisah aku, berguling- guling di atas kursi malas.
Tepat jam dua belas malam, aku melakukan lagi
sembahyang "taat". Dengan penuh khidmat, aku memohon
kepada Tuhan Subhanahu Wataala, supaya dijauhkan-Nya dari
segala noda dan dosa. Jauhkanlah hendaknya aku dari
perbuatan-perbuatan yang sesat seperti yang dijalankan oleh
Rusli dan Kartini itu. Maka dengan tak terasa lagi berlinanglah
air mata, ketika aku dengan segenap jiwaku bersujud
memohon ke hadirat Tuhan, supa ya kedua orang itu diberi nur
Ilahi, agar mereka tahu menempuh jalan yang benar.
Mengkilatlah ilham dalam hati ku: Perbanyaklah ibadatmu,
memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya mereka itu
dikembalikan ke jalan yang lurus, yang benar.
Maka pada malam itu kuambil putusan tidak akan bertemu
lagi dengan Rusli dan Kartini. Bergaul dan merapati mereka,
terlalu berbahaya bagiku. Lenyaplah sudah segala angan-angan dan niatku tadi untuk mencoba meyakinkan kedua
orang itu untuk menempuh jalan agama yang benar. Cita-cita
itu telah kuke-sampingkan. Aku hanya akan mendoa saja
diam-diam dari jauh. Aku hanya akan memperbanyak ibadatku
saja untuk mereka. Demikian lah putusanku malam itu.
6 Tapi, sore esoknya aku sudah mendayung lagi menuju
Kebon Manggu. Memang, manusia itu kadang-kadang bisa
meloncat dari ujung ke ujung, berpindah niat atau pendirian
dengan sangat tiba-tiba. Tapi kenapakah sebetulnya bisa
begitu" Hasil "perjuangan batin". Apakah itu sebetulnya"
Perjuangan pikiran" Perjua ngan perasaan" Perjuangan
kemauan" Ingatlah aku akan kata guruku, bahwa manusia itu
selalu harus awas dan waspada dalam memperjuangkan
sesuatu dalam batinnya, oleh karena katanya sering-sering
kita tidak tahu, bahwa kita sudah disesatkan oleh bimbingan
setan. Hanya orang yang bermak sud suci selalu berada dalam
bimbingan Tuhan. Maksudku suci. Aku yakin akan hal ini. Dan
oleh karena itu aku yakin pula, bahwa aku berada dalam
bimbingan Tuhan. Sepedaku melancar didorong oleh keyakinan suci. Tidak
mengambil jalan kemarin, melainkan mengambil jalan
terobosan, yaitu melalui Gang Awiwulung. Seakan-akan suatu
lambang bagiku sebagai seorang mistikus untuk selalu
mengambil jalan yang singkat. Bukankah mistik itu jalan yang
sesingkat-singkatnya untuk bers atu dengan Tuhan" Begitulah
kata guruku. Masuk gang tersebut, sepedaku harus berbelok-belok,
karena dalam gang yang sempit itu banyak sekali anak-anak
yang sedang bermain-main.
Sebuah jeruk hijau disepak-sepa k oleh kaki-kaki kecil yang
belasan itu jumlahnya. Tali layang-layang hampir mengait
kepada daguku. Dan tak ada dua meter kemudian piciku jatuh,
karena tali yang lain mengirisnya dari rambutku sehingga aku
terpaksa turun. Dengan meloto t sedikit kepada anak yang
memegang tali layang-layang itu aku melanjutkan
perjalananku. Tapi sepeda tidak kunaiki lagi.
Jalan yang pendek memang tidak selamanya jalan yang
mudah, pikirku. Kualami sendiri dengan mistik.
Tukang-tukang jualan sayuran dan tukang-tukang loak yang
biasa berderet-deret di tepi gang itu, sudah pada pulang.
Sekarang giliran para penjual pisang goreng, bajigur, bandrek
dan lain-lain. Mereka sudah mulai benah-benah. Bale-bale
tempat pisang goreng dijajakan, sudah ditutupi dengan daun
pisang. Dan di sampingnya, wajan besi di atas api sudah
merupakan sebuah kawah minyak yang bercericis-cericis
suaranya, apabila tusuk besinya membolak-balikkan pisang-pisang yang berbaju tepung. Ma Ciah dan Bi Unah, dua
kongkiren, sedang giat beraksi, adu cericis. Selain kedua
perempuan itu juga Mang Am an, sudah siap sedia untuk
meneruskan perjuangannya sehari-hari yang sudah bertahun-tahun itu dijalankannya.
Sebentar kemudian aku sudah sampai ke tikungan Kebon
Manggu. Di gang ini pun ada lagi segerombolan anak-anak
yang lain. Tapi di sini aku tidak terganggu oleh mereka itu.
Memang mereka pun tidak se banyak anak-anak di gang
Awiwulung itu. Oleh karena itu
aku bisa mengobrol lagi dalam
hatiku. Ya, pikirku, memang tidak baik putusanku tadi malam itu.
Aku disesatkan setan tadi malam itu, sebab mengapakah aku
harus takut bergaul dengan Rusli dan Kartini, padahal
bukankah guruku pernah berkat a, bahwa kita boleh bergaul
dengan siapa saja, asal kita harus tetap kuat, jangan sampai
tergoda atau tersesat ke jalan yang sesat. Dan bukankah kata
guru pula, bahwa kita sebagai orang Islam diwajibkan untuk
membawa semua ummat kepada jalan yang baik, sekurang-kurangnya harus memberi nasihat kepada orang-orang yang
telah tersesat menempuh jalan yang haram seperti Rusli dan
Kartini itu" Ya, itu adalah kewajibanku. Mereka harus
kuislamkan. Sekurang-kurangnya harus kuberi nasihat.
Sampailah aku ke rumah Rusli.
Ia menyambut kedatanganku dengan membukakan pintu.
Ia memakai kimono coklat. Aku masuk sesudah mengunci
sepeda. Dan seperti perasaanku , bahwa sepedaku itu tidak
akan dicuri orang, seperti itulah pula perasaanku, bahwa aku
akan berhasil dalam "mengislamkan kapir modern" itu. Maka
dengan kepastian demikianlah wajahku berseri-seri
menyambut sambutan Rusli itu kembali.
"Silakanlah duduk!" kata Rusli dengan ramali. "Tapi permisi
dulu ya, saya belum mandi. Wah sekarang saya bisa
berkecimpung di kamar mandi." Sambil tertawa badan
berkimono itu menghilang ke belakang.
Aku duduk seraya membebaskan mata melihat-lihat
keadaan di dalam serambi muka itu. Sekarang segala-gala
sudah beres teratur. Tidak banyak perkakas rumahnya di
serambi itu. Hanya satu stel kursi, tempat aku duduk, dan
sebuah dipan rapat pada dinding dekat sebelah kiri yang
ditilami dengan sehelai kain ba tik. Selanjutnya di sudut kanan
sebuah meja kecil dengan sebuah kursi makan di
belakangnya, yang bila menilik buku-buku dan tempat tinta
yang ada di atasnya menunjukkan bahwa meja itu
dimaksudkan untuk dipakai sebagai meja tulis. Kesan itu
diperkuat pula oleh sebuah kalender yang kadang-kadang
bergelebar-gelebar alon-alon tert iup angin kecil bergantung di
sebelah kiri dari meja itu dan sebuah rak di sebelah kanan
yang penuh dengan buku-buku. Pada dinding bergantung pula
beberapa pigura yang melukisk an potret orang-orang yang
tidak kukenal. Tidak ada lapad-lapad atau gambar Mekah
dengan Kaabah di tengah-tengah seperti yang menghiasi
kamarku. Aku berdiri ingin tahu siapa sebetulnya pigu-ra-pigura itu. Melangkah ke bawah salah-satunya, kubaca, di
bawahnya: Friedrich Engels.
Entahlah, aku tidak tahu siapa Friedrich Engels itu. Seorang
petani Belanda yang kaya raya barangkali, pikirku.
Tidak jauh dari potret itu tergantung sebuah lagi potret
seperti itu, berjanggut kaya-raya. Kubaca di bawahnya: Kari
,Marx. Belum pernah pula aku mendengar nama tersebut. Mungkin
kakek si Rusli, pikirku be rolok-olok sambil tersenyum
sendirian. Dari potret itu aku melangkah ke rak buku dekat meja tulis.
Banyak bukunya, pikirku, tapi buku-buku apa semuanya"
Banyak bahasa Inggris juga. Ingin aku mengetahuinya, tapi
dari awalnya sudah bisa kupastikan, bahwa tentunya tidak ada
tentang agama Islam. Buku-buku kapir semuanya, pikirku.
Tiba-tiba teringat aku kepada ucapan Ayah, tatkala aku
masih sekolah dulu. Kata Ayali, "San, berhati-hatilah engkau
dalam hal bacaan. Banyak buku-b uku yang tak baik kaubaca."
Maksud Ayah itu terutama mengenai buku-buku cabul yang
biasa menimbulkan nafsu birahi yang buruk pada orang-orang
muda yang membacanya. Tapi bukan terhadap buku-buku
cabul demikian saja Ayali memp eringatkan aku itu, melainkan
pun juga terhadap buku-buku tentang agama Kristen yang
banyak disebarkan oleh Zend ing dan Missie, yang bisa
merusak imanku sebagai ummat Muhammad.
"Lebih baik bacalah buku-buku yang mengandung teladan
bagi keselamatan hidupmu dunia-akhirat. Tapi lebih baik lagi,
kalau kau sering membaca Kitab Suci Alquran, terutama surat
Yasin pada tiap malam Jumat."
Demikianlah wejangan Ayali. Dan wejangan Ayali itu tidak
pernah kulupakan, kalau aKu berhadapan dengan buku. Maka
sekarang pun aku sama sekali tidak merasa tertarik oleh buku-buku "kapir" itu sehingga satu pun tak ada yang kujamah.
"Wah sayang, Bung," tiba-tib a kudengar
Rusli berada di belakangku. Aku menoleh dari rak buku, kelihatan Rusli menuju kursi
seraya bersin-bersin. Masuk angin rupanya ia. Aku lantas
kembali duduk di atas kursi tadi.
Sangat segar nampaknya Rusli. Hanya hidungnya sedikit
merah. Rambutnya mengkilap karena pomade. Kulit mukanya
yang agak kasar itu sekarang menjadi halus nampaknya
karena memakai "Hazeline Snow". Wangi pomade dan
hazeline- bercampur dengan wa ngi sabun Lux semerbak dari
seluruh badannya yang sekarang memakai piyama yang masih
rata seterikanya. "Sayang," kata Rusli pula, setelah kami duduk, sambil
menying-sring ke dalam saputangannya, "sayang tadimalam
saudara tidak turut nonton. Sungguh bagus film itu! Bukan
main! Dari mulai sampai habis seakan-akan satu kali pun aku
tidak mengejapkan mata. Mataku seperti lengket kepada film
itu!" Aku diam saja, tidak menyahut apa-apa, karena memang
tidak pernah aku merasa tertarik oleh bioskop. Malah sedikit
memper-kutuki "racun agama" itu. Maka ucapan "mataku
seperti lengket" dari mulut Rusli itu pun, malah hanya
menimbulkan asosiasi pikiran kepada rambutnya saja yang
lengket karena tebalnya poma de. Begitu pula perkataan
"sayang" yang diucapkan oleh Rusli itu sama sekali tidak
terasa olehku. Tidak terpikir olehku, kenapa aku harus merasa
sayang, hanya karena tidak menonton bioskop saja.
"Saya kagum melihat kecakapan dan kemajuan manusia!
Sampai sedemikian pandainya me ncipta," sambung Rusli. Ia
menggulung-gulung rokok kawung lagi. Maka berhamburanlah
kata-kata pujian dari mulutn ya tentang film tersebut.
Meloncat-loncat. Mula-mula tentang pemain-pemainnya,
kemudian tentang tekniknya, tentang pemain-pemainnya lagi,
lalu tentang scene-scene ya ng indah atau yang penuh
ketegangan. Tapi hatiku tetap beku saja. Biarpun begitu, aku
tidak bisa berdiam diri seperti se buah arca dari batu. Entahlah,
aku pun turut mengangguk-angguk atau menggeleng-geleng
kepala seraya lidah berkecak-kecak seperti orang yang heran
atau yang kagum. Mula-mula aku berbuat demikian itu hanya sekedar untuk
menghormati tuan rumah saja. Akan tetapi lama-lama, berkat
kecakapan Rusli bercerita, aku pun mulai tertarik juga oleh
ceritanya itu, sehingga te rjatuhlah seakan-akan suatu
pertanyaan dari ujung lidahku, "Bagaimana ceritanya""
Saat itu pula aku merasa menyesal sekali, karena sejurus
itu juga terpikirlah olehku, bahw a dengan pertanyaan tersebut
akan terpaksalah aku mendengarkan seluruh lakon yang akan
diceritakan oleh Rusli itu. Padahal maksudku datang ke sana,
ialah hendak "mengislamkan" dia.
Aku buang-buang waktu saja, pikirku. Lebih baik aku mulai
saja dengan pembicaraan tentang agama.
Tapi terlambat. Rusli sudah mulai dengan ceritanya. Dan
Rusli bukan radio, tidak ad a knop untuk menyetopnya.
Pandai benar Rusli bercerita, sehingga aku yang mula-mula
beku terhadap film itu, sekarang turut pula tertawa kalau Rusli
tertawa, dan turut membilang "hebat" kalau Rusli
menceritakan keindahannya.
Dalam ia bercerita, tak putus-putusnya Rusli merokok.
Habis sebatang menggulung lagi yang lain, dan seterusnya.
Sungguh lokomotip yang rakus ia!
Kepandaian Rusli terutama terletak dalam melukiskan dan
mengupas watak para pelakunya dan dalam mengemukakan
perkara kecil-kecil yang muskil, tapi yang sebetulnya
merupakan cetusan-cetusan jiwa yang meletus ke luar dari
"kesadaran bawah" (seperti menurut istilah Rusli) dari para
pelakunya. Aku merasa tertarik oleh cara Rusli mengupas
demikian itu. Tapi dalam pada itu aku tetap meruncingkan pula telingaku
untuk maksud kunjunganku itu. Seperti kucing yang sabar
menunggu-nunggu kesempatan untuk menyergap tikus yang
sedang diintainya, demikianlah agaknya aku menunggu-nunggu kesempatan untuk memindahkan wesel, supaya
pembicaraan berbelok ke rel lain, ke rel agama.
Alhamdulillah, setelah hampir jemu aku mendengarkan,


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka kesempatan itu datanglah. Tapi persis ketika Rusli sudah
tamat menceritakan film itu.
"Aku betul-betul kagum," kata Rusli menutup ceritanya
yang persis habis bersama dengan rokok kesekian batang
yang dimati-kannya puntungnya di atas tempat abu. "Manusia
itu nyata sangat pandai. Sampai sedemiki
an tenaga khayal dan pikirannya untuk mencipta sesuatu. Itu hanya baru
berupa film. Tapi cobalah pikirkan, betapa hebatnya ciptaan-ciptaannya seperti kapal terbang, radio, listrik dan lain-lain."
Ha! pikirku, setengah bersorak dalam hati. Inilah
kesempatan yang tiba. Keluarlah kata-kata dari mulutku sebagai pembukaan untuk
memukul Rusli dengan agama.
"Ya," kataku sambil menggeser kursiku lebih dekat kepada
Rusli, tapi apa artinya kepandaian manusia itu, bila
dibandingkan dengan kepandaian Tuhan yang menciptanya."
Dengan tak kusangka-sangka, Rusli tidak menjawab, hanya
tersenyum-senyum saja, sambil menggulung-gulung lagi
sebatang rokok baru. Mukanya tetap tenang.
Beberapa jurus kemudian, barulah ia berkata lagi, tapi
seolah-olah tak acuh akan perk ataan barusan itu. Ujarnya,
"Dan saya yakin, bahwa pada suatu saat, entah sepuluh tahun
lagi, entah seratus tahun lagi, entah seribu, dua ribu tahun
lagi, kepandaian dan pengetahuan manusia itu akan
sedemikian majunya, sehingga ia akan sanggup
menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati."
Astagfirullah, dia mengacok! pikirku.
"Ucapan gila barangkali dalam telinga Saudara, bukan" Tapi
segila itu sebetulnya tidak! Kita pikirkan saja begini: seratus
atau dua ratus tahun yang lalu, tidak ada seorang pun yang
mengira, bahwa di dalam udara yang tidak terlihat ini
(tangannya menggapai-gapai) ada listrik yang kemudian,
berkat kepandaian seorang otak besar, yaitu Edison yang
termasyhur itu, bisa diambil da ri udara ini lantas digunakan
untuk keperluan manusia. Ini suatu bukti, bahwa apa yang
tidak bisa dilihat itu, belum berarti tidak ada. Dan berpegang
kepada kenyataan ini, kita lanj utkan pikiran kita, bahwa dalam
udara yang tidak terlihat ini, mungkin masih banyak lagi hal-hal yang pada saat ini belum diketahui orang, tapi sekali kelak
akan ketemu juga seperti listrik pada puluhan tahun yang lalu
itu." Rusli berhenti sebentar, menyingsring lagi ke dalam
saputangannya. Rupanya membikin waktu untuk berpikir dulu"
Sambungnya, "Jadi, mungkin sekali dalam udara atau disebut
juga "ether" ini, masih banyak unsur-unsur yang belum
diketahui oleh orang (berhenti lagi sebentar). O ya, sebetulnya
saya harus mulai dengan menyat akan, bahwa segala apa yang
ada di dunia ini mengalami sesuatu proses kimia. Segala
perobahan itu sebenarnya berarti perobahan kimia, berarti
berlakunya proses kimia."
Aku sebetulnya tidak mengerti, tapi kubiarkan saja dulu
Rusli bicara terus, katanya, "Juga manusia adalah sesuatu
benda yang terdiri dari bermacam-macam unsur kimia, yang
dengan sendirinya mengalami juga proses kimia. Dengan
menggunakan ilmu kimia atau ilmu pisah kita akan bisa
mengetahui semua bagian-bagian atau unsur-unsur yang
menjadikan seorang manusia itu. Pada saat sekarang manusia
belum sampai kepada pengetahuannya untuk mengetahui
benar-benar, apakah sebetulnya nyawa itu. Kita baru bisa
mengatakan, bahwa nyawa itu sangat halus. Dari unsur-unsur
apa terjadinya nyawa itu" Tentu dari unsur-unsur yang sangat
halus pula yang demikian halusnya, sehingga pada saat
sekarang belum ada sesuatu alat bikinan manusia yang bisa
memotretnya atau melihatnya seperti dengan sebuah
mikroskop. Akan tetapi tidak mungkinkah bahwa sekali kelak
manusia itu akan bisa juga membikin sesuatu alat yang bisa
digunakan untuk memeriksa dan mengetahui benar-benar
tentang Keadaan dan hakekat nyawa itu" Tahu akan unsur-unsurnya dan bagaimana proses kimianya dan sebagainya"
Nah, tidak mungkinkah pula, bahwa manusia itu sekali kelak
akan bisa menemui unsur-unsur yang belum ditemuinya di
udara sekarang ini, unsur-unsur mana akan ternyata bisa kita
ambil dan gunakan untuk me mbikin nyawa manusia""
"Hahaha! Hahaha!" Tiba-tiba terbahak-bahak aku tertawa.
Entahlah, aku yang selama itu diam saja, tiba-tiba karena
kalimat Rusli yang penghabisan ini menjadi cetusan ketawa
yang hebat. Tapi Rusli nampaknya tenang saja walaupun ia turut
tertawa juga, tapi tentu saja bukan mentertawakan kalimatnya
barusan itu. "Saudara ketawa," kata Rusli dengan mata yang riang tapi
bercampur sedikit heran, "tapi kita jangan lupa, bahwa juga
Pasteur, Stevenson, Wright, Edison dan lain-lain raksasa-raksasa ahli pikir dan ahli ilmu pengetahuan yang besar-besar
itu, dalam hidupnya itu mula-mula ditertawakan orang juga,
tapi kemudian ternyata, bahw a dunia dan kemanusiaan lebih
berhutang budi kepada mereka daripada kepada orang-orang
yang mentertawakan itu."
"Saya tertawa," jawabku, "o leh karena bagiku manusia
yang berangan-angan mau memb ikin nyawa, adalah orang
yang miring otaknya, kemasukan setan. Dan sebetulnya bukan
harus tertawa saya tadi itu, melainkan harus menangis. Orang
macam begitu itu adalah orang yang kufur, yang murtad, yang
durhaka, karena mau menyamai Tuhan Maha Pencipta."
"Ah mengapa Saudara berkata begitu" Itu pikiran kolot.
Tuhan tidak ada, Saudara!"
A'udzubilah! seperti geledek ucapan Rusli itu menyambar
kepalaku. Perkataan "kolot" te rasa seperti batu berdentar
kepada batu kepalaku. Aku mera sa sangat tersinggung dalam
harga diriku. Akan tetapi itu tidak seberapa, kalau
dibandingkan dengan perasa an keagamaan yang sangat
tertusuk. Beberapa jurus aku tidak bisa mengucapkan apa-apa.
Bukan saja karena terlalu tercen gang oleh ucapan Rusli yang
tak ku-sangka-sangka itu, melainkan juga oleh karena aku
mesti menahan amarahku. Sesak rasa dadaku, serasa dibakar
dalamnya tiada hawa. Gila dia! Kapir dia! Murtad dia! pikirku. Hampir-hampir
keluar kata-kat a pikiran itu.
Marah benar aku dalam hati, beberapa jurus aku
memberengut saja. Tanganku kaku menggeserkan tempat
abu. Tapi lama-lama insyaflah aku, bahwa dengan marah-marah
aku tidak akan bisa mencapai maksudku. Dan memang tidak
baik aku, sebagai seorang tamu, marah kepada tuan rumah.
Begitulah suara pikiran, tapi su ara nafsu masih berteriak-teriak
juga. Dan pertempuran antara pikiran dan nafsu amarah itu
rupanya terbayang pada mukaku dan kelihatan oleh Rusli,
sehingga berkatalah Rusli de ngan suara yang mengandung
sesal, "O maaf Saudara, buka n sekali-kali maksud saya untuk
menyinggung hati Saudara, apalagi menyinggung kepercayaan
Saudara^sekali-kali itu bukanlah maksud saya."
Merendah sekali suara Rusli itu seperti matahari yang dalam
pada itu sudah merendah pula hendak terbenam di belakang
gunung. Entahlah, barangkali agar menenteramkan hatiku,
bangkitlah ia minta permisi hend ak ke belakang dulu. Pergilah
ia. Terdengar benar olehku bahwa Rusli sungguh-sungguh
menyesal hatinya, sehingga perkataannya tadi itu bisa
kupandang sebagai suatu kekhilafan lidah yang tidak diinsyafi
benar olehnya. Maka kemarahank u pun menjadi reda sedikit.
Sebentar kemudian Rusli kembali lagi dari belakang dengan
dua gelas berisi air teh dalam kedua belah tangannya, yang
ditaruhnya di atas meja, satu untuk dia dan satu lagi untukku.
"Mari minum Bung," ujarnya dengan ramah seraya
mendahului menyeropot airnya. "Masa kita ngobrol seperti di
tanah Arab, eh di gurun pasir sa ja. Tapi yah, begitulah nasib
orang bujangan. Maaf saja Bung, hanya teh melulu."
"Ah tidak mengapa," sahutku, menyeropot pula airku.
Setelah beberapa kali kami meneguk air masing-Ynasing,
Rusli mengulang lagi minta maaf, "Jadi sekali lagi Saudara,
janganlah Saudara sampai salah faham."
Rupanya Rusli ingin melanjutka n pembicaraan kami tentang
agama itu, sebab kalau tidak, mengapa tidak meloncat kepada
soal lain, sedang dia tahu, bahwa sedikit banyaknya aku
merasa tersinggung hatiku. Atau mungkin juga karena ia
merasa terlalu menyesal akan ucapannya tadi itu, sehingga
tidak cukuplah ia minta maaf dengan sekali saja.
"Ah tidak mengapa, Saudara, saya pun tidak marah,
mengapa Saudara harus minta m aaf" Saya tadi hanya merasa
agak heran, karena sesungguhnya tidak masuk di hati saya,
bagaimana mungkin orang seperti Saudara, yang saya kenal
dari kecil sebagai keturunan orang-orang muslimin, sampai
bisa menjadi seorang kafir yang tidak percaya lagi kepada
adanya Tuhan. Saya heran sebab tidakkah itu suatu
penghianatan terhadap agama leluhur sendiri""
Rusli tersenyum. Katanya, "Ya, kafir! Atau dengan kata
asing disebut juga atheis. Me mang banyak sekarang orang-orang atheis. Tidak percaya lagi kepada Tuhan atau agama."
Tenang saja Rusli berkata demikian itu. Rupa
nya sering ia berdebat tentang agama dengan orang-orang lain yang
dijumpainya di dalam hidupnya yang penuh pengalaman itu.
Ia tersenyum saja, seolah-olah perkataan seperti yang
kuucapkan itu bukan sekali itu didengarnya.
Senyuman yang samar-samar itu disertai dengan
pandangan mata yang meng erling ke dalam wajahku,
membikin aku agak gelisah.
"Bagaimana" Enak tehnya" Tidak terlalu pahit"" katanya
menentang. "Tidak." "Barangkali mau pakai gula"" "Tidak. Cukup begini saja."
Diputar-putarnya rokoknya di antara bibirnya. Ditariknya
hisapan dua kali. Asap berkepul -kepul. Meludah-ludah kecil,
membuang potongan-potongan tembakau yang melengket
pada bibirnya. Sikap Rusli yang tenang dan senyuman yang samar-samar
itu malah membikin aku menjadi gelisah dan jengkel. Maka
kataku, "Bagi saya, orang-orang yang tidak percaya kepada
Tuhan dan agama itu, tak ada bedanya dengan binatang."
Tersenyum lagi dia. Aku agak ragu-ragu, tapi melanjutkan,
"Bagi saya, manusia itu ialah mahluk yang percaya kepada
Tuhan. Karena itulah, maka manusia yang tidak percaya
kepada Tuhan berarti sama dengan hewan."
"Ha! Itu bagus! Saud ara bisa berpikir rasionil, berpikir
secara logis, a = b;.b = c ;a = c. Kenapa tidak konsekwen
berpikir rasional" (berhenti se bentar). O ya, pernah Saudara
memikirkan lebih dalam lagi tentang perbedaan antara
manusia dengan hewan itu, selain daripada perbedaan yang
berupa ada dan tidak adanya kepercayaan kepada Tuhan""
Aku berpikir. Rusli memandang dengan mata yang tajam ke
dalam wajahku. Terasa tajamnya.
"Ya tentu ada lagi perbedaannya."
"Ha, bagus itu! Jadi ru panya Saudara pun pernah
memikirkan soal itu. Apa lagi perbedaan itu"" "Akal dan
pikiran," sahutku. "Ha! Benar itu! Begitulah juga kata agama, bukan"" Aku
mengangguk. "Marilah kita turutkan lagi jalan pikiran Saudara yang alge-brais*) tadi itu. Manusia itu adalah mahluk yang berpikir.
Hewan tidak berpikir. Karena itu manusia yang tidak berpikir
adalah sama dengan hewa n. Begitulah, bukan""
Aku mengangguk dengan mengira-ngirakan, bahwa Rusli
belum habis bicaranya. "Jadi dengan sendirinya, makin banyak dan makin cerdas
orang berpikir, makin jauh jaraknya daripada hewan.
Tegasnya, makin tinggi ia derajatnya sebagai mahluk. Bukan
begitu"" Aku mengangguk lagi. Tapi dengan agak ragu-ragu.
"Tapi barangkali masih ada lagi yang Saudara anggap
sebagai anasir yang membedakan manusia dari hewan""
Aku berpikir lagi, mencari.
"Tentu susunan tubuhnya," sahutku, "manusia bertangan,
berkaki." Rusli tersenyum. Kakinya yang kiri bergoyang-goyang di
atas yang kanan. "Tidak ada lagi" Coba pikir-pikir lagi."
Tapi dengan tidak memberi kesempatan kepadaku untuk
berpikir, sambungnya, "Saudara lupa yang paling penting,
yaitu bahwa manusia itu adalah mahluk yang mengandung
perasaan peri kemanusiaan dan pertimbangan susila, atau
geweten,**) kalau kata orang Bela nda. Sifat-sifat inilah yang
paling penting di samping akal pikiran tadi itu.m Manusia yang
paling tinggi akal pikirannya dan yang paling dalam perasaan
peri kemanusiaan dan pertimbangan susilanya atau
gewetennya itu, maka dialah manusia yang paling tinggi
derajatnya. Coba renungkanlah hal-hal ini dengan seksama
oleh Saudara. Saudara lihat, bahwa soal perbedaan manusia
dengan hewan saja, sudah begitu banyak segi dan coraknya.
Belum lagi kita percakapkan perbedaan-perbedaan antara
manusia dengan manusia, atau bangsa dengan bangsa,
agama dengan agama, ideologi dengan ideologi, dan
sebagainya. Belum pula *) Secara aljabar. **) Hari nurani.
kita pikirkan dan selidiki perbandingan-perbandingan
kekuatan antara satu golongan dengan lain golongan, satu
kias dengan lain kias, seluk- beluk masyarakat, seluk-beluk
ekonomi, politik .... Wah terlal u banyak untuk disebutkan satu
persatu. Sesungguhnya, Saudara, hidup ini adalah suatu
gudang yang maha besar, yang sarat dengan bermacam-macam soal yang minta diselesaikan. Kebenaran dan
kesempurnaan tersembunyi di dalam timbunan soal-soal itu
seperti berlian dalam timbunan rumput dan sampah yang
berbukit-bukit besarnya. Dan alat yang terpenting yang ada
pada manusia untuk menguakkan tumpukan so
al-soal itu agar terdapat kebenaran, adalah pikiran tadi itu. Pernahkah
Saudara turut memikirkan soal-soal hidup yang sebanyak itu""
Sambil bertanya demikian, mata nya terasa lagi menancap
tajam di atas kepalaku. "Tidak," sahutku, menggelengkan kepala.
"Padahal alangkah banyak soal-soal hidup itu, bukan" Dan
agama hanyalah salah satu dari bentuk-bentuk kehidupan
yang banyak itu, yang masing-masingnya mempunyai soal-soalnya sendiri yang sama-sama minta dikupas dan
diselesaikan oleh kita. Barangkali Saudara belum pernah juga


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memikirkan, kenapa misalnya negara-negara yang beragama
Kristen pada jaman sekarang lebih maju daripada negara-negara atau bangsa-bangsa yang memeluk agama Islam"
Kenapa dulu Islam maju, seka rang tidak" Kenapa agama-agama itu timbulnya di Asia" Kenapa di dunia ini ada
bermacam-macam agama" Kenapa tidak cukup satu agama
saja" Padahal tiap agama mengakukan dirinya untuk segenap
manusia" Kenapa perbedaan-perbedaan agama itu sangat
banyak, dan kadang-kadang malah bertentangan, seperti
antara agama Islam dan Hindu. Agama Hindu memandang
sapi sebagai binatang yang suci, sedang bagi umat Islam
binatang itu sangat enak untuk dibikin gulai. Agama Kristen
tidak mengharamkan babi, tapi agama Islam
mengharamkannya. Kenapa begitu" Kenapa agama Hindu
yang memuja sapi sebagai suat u binatang yang suci sampai
bisa mempunyai kasta manusia yang ditindas dan dihina
seperti kasta-kasta paria dan kasta sudra oleh kasta-kasta
lainnya" Selanjutnya apakah ti dak ada dasar-dasar yang sama
pada pelbagai macam agama itu""
Rusli diam sebentar, seolah-olah capek ia meluncurkan
pertanyaan-pertanyaan itu, atau mungkin juga karena ia mau
memberi waktu kepadaku untuk meresapkan apa yaag
dikatakannya itu. Tapi sebentar kemudian melu ncurlah lagi kata-katanya
seperti anak-anak panah dari busurnya. Pertanyaan pula.
"Sudah terpikirkan oleh * Saud ara, mengapa misalnya dunia
dan kehidupan ini selalu kacau saja, padahal agama sudah
beribu-ribu tahun dipeluk manusia" Mengapa ketidakadilan
dan kelaliman malah sekarang makin merajalela saja" Ingatlah
kepada imperialisme dan bahaya fascisme yang menyeringai
hendak menyergap kemanusiaan . Sesungguhnya Saudara,
sebagai kataku tadi, hidup di dunia ini adalah laksana sebuah
gudang yang maha besar, yang penuh dengan 1001 macam
soal yang minta diselesaikan oleh kita. Dan pada hematku,
tiap orang yang betul-betul insyaf akan tugas kewajibannya
sebagai suatu mahluk yang hidu p di dunia ini akan sungguh-sungguh mengutamakan dulu so al-soal hidup inilah daripada
soal-soal lain, yang berada di luar daerah hidup kita di dunia
yang nyata ini. Ia akan merasa turut bertanggung jawab akan
keselamatan seluruh kehidupa n semua umat manusia yang
sama-sama hidup di kolong la ngit ini. Ia akan turut
memecahkan soal-soal hidup tadi menurut kecakapan atau
kepandaiannya. Ia insyaf, bahwa tiap soal yang sudah
dipecahkan membawa kita lebih dekat kepada kebenaran,
yang berarti juga kesempurnaan hidup yang sejati. Pernahkah
soal-soal hidup itu menj adi pikiran Saudara""-
Untuk kesekian kalinya aku menggelengkan lagi kepalaku.
Banyak lagi Rusli mengemukakan soal-soal yang
ditanyakannya kepadaku. Malah ditanyakannya juga, apakah
aku sudah pernah menyelidiki da n mempelajari "politik agama"
yang dijalankan oleh pemerintah kolonial asing yang beragama
Kristen terhadap bangsa ki ta yang beragama Islam"
Entahlah mungkin karena Rusli begitu banyak bertanya-tanya, yang semuanya harus kujawab dengan menggelengkan
kepala, maka pada akhirnya timbullah semacam perasaan
kurang harga diriku terhadap dia. Maka sikapku pun tiada lain
daripada hanya mendengarkan saja segala uraian Rusli itu.
Akan tetapi biarpun begitu, aku tidak selamanya menyetujui
segala uraiannya. Apalagj, ketika Rusli menguraikan bahwa
agama dan Tuhan itu adalah ciptaan manusia sendiri, hasil
atau akibat dari sesuatu keadaan masyarakat dan susunan
ekonomi pada suatu jaman.
Hatiku berontak, ketika Rusli menguraikan hal itu, tapi
entahlah, aku tidak mau mendebatnya, seakan-akan sudah
ada prasangka padaku, bahwa jika pun aku mendebatnya,
Rusli toh sudah bersedia dengan jawabannya. Pun juga, oleh
karena berkali-kali Rusli me negaskan, bahwa "kita harus
pandai meneropong soal-soal hidup itu dengan akal dan
pikiran yang bebas lepas. Pikiran dan penglihatan kita tidak
boleh dikaburkan oleh fanatisme atau dogma. Apalagi oleh
perasaan takut yang bukan-bukan."
7 Sampai di rumah, aku terus bergegas ke kamar mandi.
Bunyi tabuh telah menghilang, ke tika aku masih mendayung di
jalan Raden Dewi. "Dari mana, San"" tanya bibi, keluar dari kamar mandi,
seraya menciprat-cipratkan air dari muka dan lengannya.
"Dari rumah teman, Bi," sahut ku, menghilang ke belakang
pintu kamar mandi. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Hayya alalfalah! Hayya
alalfalah! Mendayu-dayu suara orang berazan di langgar yang tak
jauh letaknya dari rumahku.
Tak lama kemudian aku pun berazan pula. Bergemalah
seolah-olah suara orang di la nggar itu ke dalam kamarku.
Langgam dan irama Arab me mbawa aku ke alam suci.
Akan tetapi tak lama kemudian aku sudah seperti kemarin
lagi. Diganggu oleh bermacam-macam pikiran. Tak sanggup
memusatkan pikiran dan seluruh jiwa ke hadirat Ilnhi.
Mendenging-denging lagi suara Rusli yang mengatakan,
bahwa kita harus pandai meneropong soal-soal hidup ini
dengan pikiran yang bebas lepas, dengan pikiran dan
penglihatan yang tidak boleh dibikin kabur oleh fanatisme dan
dogma. Dalam aku bersujud, terbayang-bayanglah wajah Rusli,
yang di balik keramahannya itu sebetulnya ada menaruh
celaan yang terasa sekali olehku, seakan-akan matanya yang
tajam itu melihat sampai ke da sar hatiku.Celaan inilah yang
sangat mengganggu hatiku, celaan yang mungkin hanya ada
dalam perasaan dan khayalku belaka. Tapi ah, apa bedanya"
Yang penting ialah terasa' atau tidaknya olehku sendiri.
Mencela ia (atau terasa olehku ia mencela), "Dalam
kefanatikanmu kau sudah terbelen ggu oleh dogma yang tidak
memungkinkan kaumelihat dunia dan hidup dari pelbagai
sudut, dari pelbagai segi. Dalam kefanatikan demikian kau
tidak lepas dari perbuatan at au sikap dan anggapan-anggapan
yang tidak adil terhadap sesama mahluk. Padahal engkau
menepuk-nepuk dada seolah-olah engkau manusia utama, dan
orang-orang lain yang tidak sependirian dengan engkau
adalah murtad dan ka pir." Allahu Akbar!
Selesai rukuk kedua. Aku berdiri lagi. Kukernyitkan
keningku. Mata kupejamkan erat-erat. Tapi payah, sampai
tutup rukuk penghabisan, kepa la dan dadaku ramai terus.
Sungguh besar pengaruh perc akapan dengan Rusli itu
kepada keadaan jiwaku sekarang. Aku pun merasa malu
sedikit akan diriku sendiri. Ma lu, karena aku selalu terdesak
dalam perdebatan dengan dia itu. Malu pula akan angan-angan semula untuk "mengislamkan" Rusli, oleh karena
ternyata, bahwa pekerjaan itu mengatasi tenagaku. Sungguh
malu aku, biarpun bercampur jengkel, ketika Rusli berkata,
bahwa aku harus banyak bergau l dengan orang-orang macam
dia, banyak bercakap-cakap dan bertukar pikiran tentang
bermacam-macam soal hidup.
Nasihat demikian hanya bisa diucapkan oleh seorang yang
menganggap dirinya Jebih tinggi daripadaku. Tapi ya, biarpun
menjengkelkan, diam-diam harus kuakui juga, bahwa Rusli itu,
memang ternyata lebih banyak pengalaman dan
pengetahuannya tentang soal-soal hidup dari padaku, bahkan
pun juga tentang soal-soal agama, yang dipandangnya hanya
salah satu daripada bentuk-b entuk kehidupan yang banyak
ragamnya itu. "Bagiku," begitulah katanya ta di, "bukanlah agama meliputi
hidup, melainkan hidup meliputi agama, seperti pula halnya
hidup meliputi politik, meliputi ekonomi, sosial dan
sebagainya. Hendaknya pandangan saya ini, saudara
renungkan benar tidaknya." Begitulah katanya tadi.
Dalam pada itu aku sudah bertekun sambil bersila di atas
pelapikan, mencoba lagi memusatkan seluruh jiwa rohani ke
hadirat Yang Esa. Aku bertawadzuh. Seperti biasa kututupi
seluruh panca indera, sedang lidah kulipatkan, seakan-akan
kata hati bisa bungkem juga dengan akal begitu. Demikian
pula mata kupejamkan erat-erat, seakan-akan mata khayalku
akan menjadi buta juga karenanya.
Akan tetapi segala usaha itu sia-sia belaka. Laksana burung
yang tidak mau diikat dalam sesuatu kurungan, pikiranku pun
sel alu sudah melayang-layang lagi terbang menurutkan
kehendak hati. Dur! Dur! Dur! Torok-tok! Dur!
Tabuh di langgar membunyikan Isa. Aku berdiri lagi.
Allahu Akbar! Keras aku mengucapkan nama Tuhan itu pada tiap kali aku
berubah sikap. Keras-keras, supa ya bisa mengatasi suara hati
dan pikiran. Keras-keras pula nama Tuhan itu kuucapkan
dalam hati. Tapi tak lama kemudian melantur-lantur lagi
pikiran itu. Sekarang malah makin simpang siur, makin kacau
rasanya. Malam kemarin dulu aku masih bisa sampai kepada suatu
kepuasan hati dan kepada su atu harapan. Tapi sekarang"
Kepuasan telah berganti dengan kehampaan, dan harapan
telah berubah menjadi kekecewaan.
Kadang-kadang dunia serasa akan berubah bagiku. Seakan-akan Rusli telah memberi sesuatu kaca mata yang lain
kepadaku untuk meninjau dunia dengan cara lain.
Perasaan hampa dan gelisah itu menemani aku terus
sampai ke meja makan. "Kemarin kau makan sedikit, sekarang pun sedikit juga, ada
apa gerangan, Nak" Sakitkah engkau""
"Ah tidak, Bi," sahutku singkat, dengan maksud
seperti'biasa terkandung dalam jawaban semacam itu.
"Tapi lesu amat nampakmu. Nanti bibi bikinkan sambel
tomat dulu untukmu, supaya timbul lagi nafsu makanmu."
"Tidak usah Bi!" Tapi dalam pada itu bibi sudah berseru-seru, "Minah! Minah! Bikin sambel tomat!"
Seperti kemarin malam setelah makan aku terus saja masuk
kamar, lantas berbaring di atas tempat tidur. Dan seperti
kemarin pula aku segeralah hany ut lagi dalam arus ngelamun.
Kata Rusli tadi, "Agama dan Tuhan adalah bikinan manusia.
Akibat dari sesuatu keadaan masyarakat dan susunan ekonomi
pada sesuatu jaman yang tidak sempurna. Dari mulai ada,
manusia itu sudah harus berhadapan dengan alam. Ia harus
hidup dari alam. dari tanam-tanaman yang tidak tumbuh di
atas tanah, dari ikan yang hi dup di dalam air, dari burung-burung yang beterbangan di udara, pendek kata dari segala
apa yang ada di dalam alam . Dalam berkelana mencari
makanan-makanan itu ia sering ditimpa hujan yang lebat,
ditimpa banjir yang dahsyat, kadang-kadang gunung meletus
memuntahkan api dan lahar, menyebarkan maut, membasmi
ke kiri ke kanan. Di tepi la ut ia melihat ombak bergulung-gulung, memukul-mukul, memecah di pantai. Semua itu
hebat, dahsyat. Dan manusia merasa kecil menghadapinya.
Maka pikirnya, semua ini bukan pekerjaan manusia, tapi mesti
pekerjaan sesuatu mahluk yang lebih berkuasa daripada
manusia. Maka dibikinnyalah dengan khayalnya makhluk-makhluk yang berkuasa itu, seperti setan, dewa-dewa,
mambang, dan lain-lain. Dan dengan demikian timbullah
kepercayaan kepada dewa-dewa, setan-setan, dan lain-lain
itu." Terasa olehku, bahwa aku tidak boleh membenarkan pikiran
Rusli itu tapi terasa pula olehku, bahwa sementara ini tak ada
alasan-alasan yang kuat padaku untuk membuktikan, bahwa
pikiran-pikirannya itu salah. Tapi biar bagaimanapun juga,
yang jelas dan nyata sekarang, ialah bahwa soal itu sudah
menjadi soal juga bagiku, yang sebelum itu tidak pernah
menjadi masalah pikiran padaku.
Dalam berpikir-pikir begitu, dengan tak sadar aku telah me-nyusukkan tanganku ke bawah bantal, mengambil tasbih yang
baru saja kususukkan ke bawahnya. Dan dengan otomatis
pula, jari-jariku sudah memetiknya. Semua itu seakan-akan
sesuatu tenaga gaib menyuruh aku berzikir dalam hati
menghadap lagi ke hadirat Tuhan. Tapi secepat tasbih
berlerai-lerai di antara jari-jar iku, secepat itu pula aku terus
berpikir-pikir. Masih kelihatan olehku, beta pa pastinya seolah-olah
keyakinan Rusli yang terlihat dari caranya ia berkata.
"Dalam benua-benua yang ti dak begitu hebat alamnya,"
begitulah keterangan Rusli tadi, "seperti di tanah-tanah yang
banyak serta luas-luas padang pasirnya, di mana manusia
hanya menghadapi ketenangan dan kesunyian lautan pasir
dengan bulannya yang terang-benderang dan binatang-binatangnya yang bertaburan di langit yang tiada melakukan
pekerjaan lain daripada hanya berkedip-kedip saja sepanjang
malam, di sana, di daerah-daerah yang tenang-tenteram
demikian itu alamnya, manusia tidak membutuhkan dewa-dewa yang banyak jumlahnya, seperti dewa api, dewa kawah,
dewa hujan, dewa gunung, d
ewa laut dan sebagainya. Cukuplah dengan satu saja, yaitu yang disebutnya Tuhan,
Yahwe atau Allah. Timbullah agama yang mengandung
kepercayaan kepada adanya hanya satu Tuhan. Padahal
Tuhan itu, baik namanya Allah, God atau Yahwe, untuk
masing-masing manusia berlain-lainan rupanya dan sifat-sifatnya. Itu bergantung sema ta-mata kepada pikiran dan
khayal masing-masing."
Masih terasa olehku, bahwa hatiku memberontak terhadap
uraian Rusli itu. Malah entahlah apa yang akan terjadi tadi,
kalau Rusli tidak lekas berkata begini dengan halus dan ramah
sekali, "Tentu saja Saudara Hasan tidak akan membenarkan
pendapat saya itu. Itu saya dapat mengerti dan hargai, dan
memang tak usah Saudara Hasan menerima segala apa yang
saya katakan itu. Dalam hal ini kita tidak boleh mendesak-desakkan pikiran kita kepada orang lain. Paling-paling kita
hanya boleh mengemukakan pikiran kita sendiri. Dan kalau
pikiran kita itu lantas direnungkan oleh orang lain, kepada
siapa kita mengemukakan pikiran kita itu, maka itu sudah
suatu keuntungan bagi kita. Kalau tidak, tidak boleh pula kita
memaksakannya. Sesungguhnya, kita harus selalu bersikap
luas, jangan picik, apalagi dogm atis atau fanatik yang sempit.
Kebenaran bukan .untuk dipaksakan, melainkan untuk
diyakinkan". Perkataan-perkataan Rusli itu, yang diucapkannya dengan
amat tenang sekali, membikin aku tenang kembali.
Sesungguhnya, harus kuakui, bahwa Rusli itu adalah orang
yang sangat pandai berbicara, terutama sekali oleh karena
rupanya ia berhati-hati benar, supaya segala apa yang
diuraikannya itu jangan sampai menyinggung hati orang lain.
Dan kalau ketahuan bahwa ada ucapannya yang menyinggung
hati, maka lekas-lekaslah diperbaikinya dengan kata-kata yang
lembut dan ramah, serta dengan suara yang selamanya
tenang, jauh dari segala perasaan sentimen. Inilah agaknya,
yang membikin aku tidak pernah merasa bosan, biarpun tidak
selamanya aku setuju dengan pikiran-pikirannya itu.
Masih terbayang-bayang wajah Rusli yang tenang itu,
sambil tangannya menggulung-gulung rokoknya.


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil mengenang-ngenang se mua itu, aku berbaring-baring saja dalam tempat tidurku. Entahlah, sangat lesu
rasaku. Tasbih masih berbelit di antara jari-jariku, tapi tidak
berputar lagi. Ku-' peluk guling, sedang mataku terpancang ke
bawah lemari di sudut kamar. Sepasang sepatu dan sepasang
sandal buruk berderet di bawahnya, membelakangi aku,
seolah-olah benda-benda itu ber-sembunyi-sembunyi takut
mengganggu aku dalam keasyikan termenung-menung.
'Tak usah juga saudara menerimanya," begitulah Rusli
selanjutnya, "Kalau saya berk ata, bahwa agama pun adalah
suatu hal yang relatif, seperti demikian pula halnya dengan
segala apa yang ada di dunia ini. Artinya begini, bahwa sekali
kelak, yaitu apabila manusia sudah sampai kepada puncak
kemajuannya, di mana ia suda h merasa sempurna dan senang
keadaannya, yaitu apabila segala kebutuhannya lahir batin
sudah bisa terpenuhi semuanya, maka pada saat itulah
manusia tidak akan butuh lagi kepada adanya agama, tidak
perlu lagi ia minta-minta tolong kepada sesuatu Tuhan atau
Yahwe atau apa saja, oleh karena segala kebutuhannya lahir
batin sudah bisa terpenuhi di dunia ini. Tak perlu lagi ia
kenada pertolongan sesuatu yang disebutnya "Maha Pengasih"
atau "Maha Pemurah" untuk mengangkatnya dari jurang
kesengsaraan atau kemiskin an, karena tidak ada lagi
kesengsaraan dan kemiskinan itu. Nah, semua ini
mengandung arti, bahwa agama dan Tuhan itu adalah akibat
dari keadaan hidup manusia yang tidak sempurna, yang penuh
dengan kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi. Berarti
pula, bahwa agama dan Tuhan itu akan tidak ada lagi, apabila
hidup manusia itu sudah sampai kepada tingkatan
kesempurnaan, yang bebas dari segala kemiskinan, bebas dari
segala kesengsaraan, bebas dari segala ketakutan, bebas dari
segala ketidakadilan dan tindasan.
Aku merasa gelisah memikirkan segala uraian Rusli itu.
Apakah mungkin manusia itu sekali kelak mencapai sesuatu
keadaan yang sempurna itu"
Entahlah, karena berpikir-pikir demikian itu dada dan pikiran
serasa panas. Maka bangkitl ah aku. Kulemparkan tasbih,
lant as berjalan-jalan hilir-mudik dalam kamar.
Aku tidak percaya! Tidak boleh percaya! Tentulah saja
semua uraiannya itu diambilnya dari buku-buku bikinan orang-orang yang murtad, yang kapir! Demikianlah seakan-akan
hatiku mencetus dengan tiba-tiba.
Akan tetapi sekeras-kerasnya hatiku bersuara demikian,
suara lain tersisip-sisip juga menyelinap ke dalam kesadaran
seperti pelembungan-pelembungan air merembes dari bawah
ke atas. Selidikilah dan pelajarilah saja dulu...
8 Aku tak tahan lagi diam dalam kamarku. Panas rasanya
dalam kamar itu. Padahal malam Bandung cukup sejuk.
Kupakai pici, lalu keluar.
"Mau ke mana, San"" tanya bibi dari kamarnya, ketika
terdengar olehnya aku membukakan pintu depan dan
menguncinya kemudian dari luar.
"Jalan-jalan dulu Bi, cari hawa. Di dalam amat panas."
Krikil berkerecek di bawah bakiakku memecah kesunyian
malam! Anjing menggonggong sebentar dari halaman
tetanggaku, ditingkah oleh suara laki-laki yang mendehem-dehem dari dalam rumah. Aku mendehem kembali sebagai
pemberian tahu, bahwa akul ah yang berjalan itu.
Di perapatan Pungkur Pasundan belum sunyi benar. Nyi
Icih, tukang jualan pisang goreng baru beres-beres hendak
pulang. Lampunya sudah diti up, dan api dalam tungkunya
sudah dicurahi air. Tukang ba jigur masih dikerumuni oleh
beberapa orang langganannya . Rupanya karena dingin,
beberapa dari mereka duduk merunduk berselimutkan kain
pelekatnya. Dan rupanya mereka itu pedagang-pedagang kecil
hasil bumi. Mereka minum-min um seraya ngobrol tentang
harga kentang dan tentang peremp uan. Tukang jualan kacang
tanah masih kedip-kedip lampunya. Rupanya ia masih punya
harapan akan lewat delman yang kosong ke sana yang
kusirnya suka jajan. Tapi yang masih ramai ialah di warung kopi Nyi Cioh. Dari
jauh sudah terdengar tertawa beberapa perempuan yang lebih
nyaring lagi kedengarannya di dalam kesunyian malam. Kata
orang, ada penyair yang mena makan tertawa demikian itu
"tertawa berlian". Entah kenapa disebut berlian, kalau
menurut telingaku tertawa demikian itu lebih memper kepada
suara kuda meringkik. Di bawah sinar lampu yang ditutupi dengan kertas hijau dan
kertas merah, tersembunyi di belakang stoples-stoples yang
berisi kue bolu, goreng sale pisang, tenteng kacang, koya dan
lain-lain, duduklah beberapa pasang turunan Adam dan Hawa
sedang asyik memainkan proloo g untuk sesuatu lakon yang
akan membawanya ke alam be bas antara bumi dan langit.
Tiap cubit dan cium dibuntuti oleh tertawa yang berderai-derai
dibikin ekstra nyaring. Nyanyi dan dendang mendayu-dayu
dari mulut perempuan-perempuan yang merokok.
Lewat di sana aku membungkuk-bungkuk saja ke arah
Lengkong Besar. "Ehm! Ehm!" kudengar seorang perempuan mendehemi
aku* dari belakang deretan stoples-stoples itu. Aku tak acuh.
'Tidak mampir dulu, kekasihku"" ujar kupu-kupu yang lain.
Aku tetap tak acuh. "Kenapa intan hatiku itu-begitu suram malam ini"" tegur
kupu-kupu satu lagi sambil menonjol ke luar warung kecil itu.
Aku merasa agak takut. Tapi jengkel pula. Langkah
kupercepat sedikit. "Mampir dulu dong," kata yang lain pula. Aku menoleh
sebentar. Kulihat muka putih menyeringai sambil mengisap-isap sigaret. Gigi mas bersinar dari mulutnya.
Lagi korban-korban kapitalisme, pikirku. Artinya
sepanjang pendapat Rusli. "Ah berlianku rupanya sudah lupa lagi kepada si kembang
kampung dari gunung ini," ka ta perempuan yang mula-mula
menegurku tadi itu. 'Tentu saja, mana mau berlian berteman batu dari kali,"
sambung temannya. Mereka tertawa-tawa lagi. Aku makin takut, karena tak
mustahil mereka itu mengejar aku. Maka aku pun percepat
lagi langkahku. Aku berjalan terus sampai suara yang tertawa-tawa ramai
itu hanya sayup-sayup saja lagi terdengar di belakangku.
Tiba-tiba persis dekat simpangan ke Gang Asmi,
terdengarlah di belakangku seor ang-orang yang setengah lari
menyusul. 'Tuan! Tuan!" seninya. Suara seorang perempuan. Aku
terkejut dan setengah takut.
'Tuan! Tunggu dulu!" Su aranya makin mendekat.
Mau apa dia, pikirku setengah lari. Tentu salah seorang
kupu-kupu itu! Tapi mengapa ia ketakutan" .. . Atau hanya
pura-pura saja" Aku merasa takut.
Mau belok ke Gang Asmi, lebih takut lagi, sebab gang itu lebih gelap daripada jalan
besar. Perempuan itu makin cepat jalannya. Ia lari malah. Dan
seketika itu juga ia sudah te rdengar terengah-engah hanya
semeter lagi agaknya daripadaku.
'Tuan! Tolong saya!" katanya terkapah-kapah.
Sangat ketakutan ia rupanya.
"Serdadu mabuk, Tuan!"
Dan dengan perkataan itu ia sudah berada di sampingku.
Ber-kali-kali ia menoleh ke belakang sambil terus berjalan
menyesuaikan cepatnya dengan langkahku.
"Ada apa"" tanyaku agak cemas bercampur heran.
"Serdadu mabuk, Tuan!" "Di mana""
"Di warung kopi itu barusan. Saya lewat di sana, tiba-tiba
dari warung kopi keluar dua orang serdadu Belanda,
menyanyi-nyanyi tak karuan, manggil-manggil saya. Saya lari."
Sambil bercerita itu ia berkali-kali menoleh ke belakang.
Dan aku pun menoleh juga. Tapi setelah dilihatnya, bahwa
serdadu-serdadu itu ternyata tidak terus mengejar dia, maka
dia pun agak tenang kembali nampaknya. Demikian juga aku.
Ia berjalan terus di sampingku. Dan setelah cukup meminta
maaf kepadaku, karena katanya ia sudah "mengganggu" dan
membikin aku terkejut, maka bungkemlah dia.
Dari perkataannya dan begitu pula dari tindakannya
selanjutnya, harus kuakui, bahwa perempuan itu adalah
perempuan yang sopan. Hanya, kenapa ia berani berjalan
malam-malam sendirian" Ia memakai mantel putih dari flanel,
dan kepala serta telinganya ditutupi dengan sebuah "driehoek"
yang dibikin dari sutra merah yang berkembang-kembang
putih. Kutegasi semuanya itu, apabila kami persis berjalan di
bawah lampu. Biarpun begitu, aku tidak berani menegas-negas rupanya, hanya di dalam kami berjalan sambil bungkem
itu, dalam hati, aku terus bertanya-tanya, di manakah aku
pernah mendengar su ara perempuan itu.
Sayup-sayup teringat olehku, bahwa pernah aku bercakap-cakap dengan seorang perempuan yang suaranya persis
seperti dia. Tapi dalam pada itu aku merasa gelisah juga, oleh karena
tidak pernah aku berjalan bersama-sama dengan seorang
perempuan tengah malam yang sunyi senyap senerti itu.
Apalagi dengan seorang peremp uan yang sama sekali asing
bagiku. Ketika ada sebuah delman yang lewat, lekaslah aku
mengelak sebentar ke belakang sebatang pohon di tepi jalan.
Takut ada kenalan di dalamnya.
Tiba-tiba perempuan itu membelah sunyi dengan beitanya,
'Tuan, bolehkah saya turut jalan bersama tuan sampai ke
rumah"" "Rumahnya di mana""
Aku elakkan bertanya rumah "nyonya" atau rumah "nona"
karena aku tidak tahu, apa dia itu. "Lengkong Besar 27."
Ha, pikirku, sekarang aku tahu! Hampir-hampir bersorak
aku! Entahlah, kenapa seriang itu aku! Maka terjatuhlah
pertanyaan dari lidahku, "Nyonya kan nyonya Kartini""
"Ya, ya, betul Tuan! Tapi, tapi eh, maaf saja, kalau saya
tidak keliru, bukanlah tuan itu tu an. . eh tuan yang sudah saya
berkenalan di rumah Saudara Ru sli tempo hari" O ya, ya, saya
ingat sekarang, tuan kan Tuan Hasan, bukan""
"Betul, Nya!" "Ah maaf saja, karena malam kurang terang, saya tidak
lekas mengenal tuan. Dan juga karena tuan sekarang
memakai piyama." "Ya begitu juga saya. Maaf saja. Saya pun tidak segera
mengenal nyonya, karena gela p, dan nyonya pakai kudungan
dan mantel. Dari mana nyon ya malam-malam begini""
"Dari Gang Yuda."
Maka berceritalah Kartini bahwa malam itu ia pergi ke
sebuah pertemuan di rumah Bung Sura, salah seorang kawan
"sefaham" di Gang Yuda.
Biarpun Kartini bukan anggota partai mereka, tapi ia sering
diajak oleh Bung Rusli untuk menghadiri pertemuan-pertemuan semacam itu. Sebetulnya pertemuan-pertemuan itu
biasa saja tidak bersifat apa-apa yang khas. Hanyalah yang
mengunjunginya biasanya orang- orang itu juga, dan soal-soal
yang dipercakapkan adalah soal-soal ideologi politik atau
kejadian-kejadian sehari-hari yang penting. Akan tetapi
segala-galanya dengan secara mengobrol saja, artinya tidak
secara rapat atau secara kursus. Dengan cara demikian, maka
mereka mengobrolkan tentang stelsel .stelsel kapitalisme,
feodalisme, sosialisme, komunisme dan lain-lain.
Rusli biasanya berlaku, sebaga i pembicara yang terpenting.
Orang suka sekali mendengarkan uraian-uraiannya, karena
sangat je las dan mudah difahami, juga oleh orang-orang yang
tidak begitu terpelajar. Memang, tujuan Rusli pun bukan
mengemukakan kepandaian dan pengetahuannya, melainkan
semata-mata untuk memberi penerangan tentang cita-cita
politik yang dianutnya. Tidak pernah ia berlagak-lagak
memakai perkataan-perkataan asing. Itulah maka
penerangannya pun sangat jelas seperti gelas. Begitulah kata
Kartini. "Bagaimana menarik juga semua itu untuk nyonya""
"Ah kenapa Saudara bilang 'nyonya'" Panggil sajalah
'saudari'." Sejak Kartini berbicara begitu bebas terhadapku tentang
pertemuan-pertemuan tadi itu, maka aku pun merasa lebih
bebas pula. Dan sekarang ditambah lagi oleh permintaannya,
supaya aku memanggilnya saudari saja. Entahlah dalam hati
kecilku aku merasa bahagia.
"Menjawab pertanyaan Saudara tadi itu (menoleh sebentar
Kartini kepadaku) pertemuan-pertemuan semacam itu sangat
menarik bagi saya. Banyak saya ambil pelajaran dari obrolan-obrolan mereka itu. Maka baik sekali kalau Saudara pun suka
datang sekali-sekali mengunjunginya. Sayang tadi saya
merasa pening kepala, sehingga saya minta pulang duluan."
Perempuan istimewa dia, pikirku. Tidak banyak perempuan
yang tertarik oleh soal-soal macam begitu, oleh soal-soal
politik. Dan mengapa ia berani berjalan malam-malam
sendirian" Keheran-anku itu kunyatakan juga kepadanya.
"Ah saya tidak mau mengganggu mereka (bersemangat),
dan memang suatu pendirian saya juga, bahwa perempuan itu
jangan tergantung kepada ka um laki-laki. Tadi pun ada
seorang kawan yang mau mengantarkan saya ke rumah, tapi
saya tolak. Saya bilang, bahwa sakit saya tidak seberapa dan
saya akan naik delman. Tapi sayang delman tidak ada.
Biasanya kakak saya yang selalu mengantarkan saya pulang.
Tapi tadi ia masih asyik memberi penerangan-penerangan."
"Siapa kakak saudara itu""
"Eh, Bung Rusli, itulah kakak saya," sahutnya sedikit
tertawa. Bung Rusli, pikirku agak heran. Rusli bercerita lain tentang
diri Kartini itu. Dan mengapa ia tertawa" Bagaimana
sebetulnya pertalian Kartini deng an Rusli itu. Mula-mula sekali,
ketika "ku pertama kali bertemu dengan mereka di muka
loketku. Rusli memperkenalkan Kartini itu sebagai adiknya
pula. Tapi kemudian di rumahn ya Rusli menceritakan lebih
jauh tentang riwayat Kartini itu. Dan ketika itu tidak dikatakan
olehnya, bahwa perempuan itu adiknya.
Kuingat-ingat sebentar percak apan dengan Rusli tentang
diri Kartini itu. Adakah ketika itu dikatakan oleh Rusli bahwa
Kartini itu bukan adiknya" Adakah" Seingatku tidak. Tidakkah
mungkin perempuan itu adik Rusli seayah atau barangkali
seibu" Atau mungkin juga adik tiri" Memang aku tidak


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui keluarga Rusli itu sampai kepada segala seluk-beluknya.
Kamj berjalan terus. Bungkem, seperti alam sekeliling kami,
tapi tidak seperti hati dan pikiran. Angin utara meniup.
"Dingin ya," kata Kartini, sambil menggigil. Tangannya
membenar-benar kain kepalanya. Pun aku sekarang merasa
dingin. Apalagi oleh karena aku hanya berpakaian piyama
yang tipis saja. Kartini mengambil saputangan dari saku
mantelnya lantas ditutupkannya lebih rapat lagi.
Wangi "Soir de Paris" terhambu r, ketika sapu tangan itu
terayun dari sakunya ke leher. Meresap dari hidung sampai ke
hati. Dan entahlah, ada sesuatu naluri yang agak
terbangkitkan oleh wangi minyak itu. Dan tatkala tangan
Kartini mengayun ke bawah lagi setelah mengikatkan sapu
tangan kepada lehernya, bersentuhanlah tangan kami.
Sebentar menggeletar jiwaku seakan ada aliran listrik
mengaliri seluruh tubuh. Rupanya Kartini mau mengucapkan "maaf tapi
perkataannya itu seakan-akan tercangkol pada lidahnya,
karena hanya suara yang tak tert entu terdengar dari bibirnya.
Kami berjalan terus, sambil bungkem, seolah-olah segan
mengganggu kesunyian alam.
Sampai di perapatan Pungkur Lengkong Besar, kami
berbelok ke kiri menempuh jala n Lengkong Besar. Pun jalan
besar ini sudah tidur. Sekali-sekali kami bertemu dengan
tukang gado-gado atau tukang bandrek yang sudah habis
jualannya, pulang. Mereka itu berdendang-dendang, bersiul-siul, entah karena gembira ha bis jualannya, entah supaya
jangan terlalu sunyi di jalan, mungki
n juga untuk menghiburkan hatinya, karena rugi dagangnya. Kadang-kadang berketepuk-ketepuk dari jauh suara kuda delman
mendatang dengan suara bel kecil berkerincing-kerincing di
atas kepala kuda itu. Rodanya yang sudah goyah dan jalan
yang tidak begitu rata menarikan kedua lampunya naik-turun.
Aku sudah membungkuk-bungkuk, dan pada saat delman itu
lewat lekaslah aku membuang muka dan meminggir, pura-pura ada yang kucari.
Tiba-tiba dari tikungan Tuindorp, datanglah sebuah mobil
sedan. Lampunya menyorot besa r. Tumpah seluruh cahayanya
kepada kami. Aku serasa ditelanjangi. Dan ketika maQ
mengambil tikungannya, maka mobil itu terlalu ke pinggir,
sehingga dengan menjerit ketakutan, Kartini meloncat ke
pinggir persis jatuh ke hadapanku. Kakinya terpelecok dan
tangannya menggapai-gapai di udara mencari pegangan.
Aduh, pekiknya. Untunglah aku masih dapat menyangga
badannya yang hendak jatuh itu, dan seketika itu juga badan
yang lampai itu sudah berada dalam pelukan kedua belah
tanganku. "O maaf Saudara," kata Kartini sambil lekas berdiri tegak
melepaskan dirinya dari pelukan tanganku itu.
Aku melongo saja, karena peristiwa itu begitu cepat
terjadinya, sehingga seketika it u aku tidak insaf benar tentang
apa yang sebetulnya telah terj adi. Tapi sejurus kemudian
kataku patah-patah, "Eh.....eh, sakit Saudara" Saya. . . . eh,
saya . . . . " Aku tidak bisa lanjut. Hatiku berdegup tak keruan. Malukah
aku, atau menyesal atau malah cemas, karena aku sudah
beradu kulit dengan seorang perempuan yang bukan muhrim"
Entahlah, belum pernah hatiku berdegup demikian. Belum
pernah aku merasa dihinggapi perasaan yang demikian
dengan sehebat itu. Memang hebat benar pengaruh-pengaruh
yang bekerja atas diriku pada malam itu: kesunyian malam,
harum bedak dan minyak wangi dan selanjutnya masih terasa
benar di ujung jari-jari dan telapak kedua belah tanganku
keempukan buah dada Kartini, ketika dia hendak jatuh
terlentang ke dalam pelukanku. Masih terasa pula rambut
yang berombak-ombak dan wangi itu berkisar ke atas daguku,
ketika dia dengan kepalanya bersandar di atas dadaku.
Bergeseran pula pipi yang haru m dan halus itu dengan pipiku,
ketika ia mau bangkit ke mbali dari pelukanku.
Sesungguhnya, belum pernah aku mengalami peristiwa
yang sehebat itu. Maka makin keraslah pula hati bertalu-talu,
seolah-* olah ada suar a gaib, suara setan yang hendak
membawa aku ke ja lan yang jahat.
Tapi tiba-tiba membayanglah wajah ayah di muka mata
hatiku. Tajam matanya mencela aku. Maka dengan tak insaf
kuusaplah muka seraya berbisik dalam hati: astagfirullah
aladim. Kami berjalan terus dengan tak mengucap apa-apa lagi.
Tapi tak lama kemudian berkatalah pula Kartini sambil
menunjuk ke arah sebuah rumah berkaca yang terang
dalamnya, "Nah itu rumah saya!"
"O itu"!" sahutku, seakan-akan direnggutkan dari mimpi. "
Sebentar kemudian, kami pun sudah sampai ke pintu
halaman- nya yang segera dibuka oleh Kartini sendiri. Menderit
suaranya, karena sudah tua.
"Mari masuk!" Aku ragu-ragu. Berdiri saja di luar pagar sambil memegang
pintu yang sudah doyong*) itu.
"Mari!" kata Kartini pula sambil tersenyum ramah.
Condong karena sudah tua.
"Ah terima kasih, (agak ragu). Sudah terlalu malam.
Masuklah saja Saudara, saya akan menanti di sini sampai
Saudara sudah masuk ke rumah."
'Tidak mampir dulu""
"Biarlah lain kali saja," jawabku dengan hati yang lebih
teguh. "Baiklah," sahut Kartini sambil menyodorkan tangannya
untuk berjabatan. Sebentar aku tegak ragu untuk menyambutnya, tapi.....,
tahu-tahu aku sudah menggenggam tangan yang halus kuning
itu dengan erat. "Selamat malam dan terima kasih," kata Kartini dengan
suara yang mesra, seraya menarik tangannya dari genggaman
tanganku yang erat itu. Mengan gguk sedikit, lalu bergegas ke
rumahnya, sambil berseru-seru , "Mi! Mimi! Buka pintu!"
Lantas mengetuk-ngetuk pada kaca pintu, sambil berseru-seru terus.
Dari dalam terdengar suara seorang perempuan berseru
pula. "Nyonya....'"!" "Ya! Lekas buka pintu!"
Sejurus kemudian nampaklah si Mimi yang hanya memakai
kutang dan kain sarung yang diikatkan di atas dadanya,
ber-gonta i-gontai dari serambi tengah melangkah ke pintu
depan, sambil menyanggulkan rambutnya yang lepas terurai
ke atas bahunya. Dengan menguap sekali pintu dibukanya.
Kartini melangkah hendak masuk, tapi dengan tak
kusangka-sangka bergegasla h ia kembali ke pagar.
"Ada yang saya lupa," katanya sambil menghampiri aku,
dan dengan suara yang setengah berbisik berkatalah ia,
"Datanglah sering-sering ke rumah kakak saya."
"Ke rumah kakak Saudara"!"
"Ah ya, aku lupa saja, ke ru mah Bung Rusli! Datanglah
sering-sering ke sana, saya pun hampir tiap sore datang."
Dan kemudian dengan suara yang makin melandai kepada
bisik yang mesra, "Kebaikan Saudara akan saya simpan dalam
hati saya seumur hidup."
Dan sebelum aku sempat memberi jawaban apa-apa, sudah
lari ia ke rumahnya, lalu masuk.
Aku termangu-mangu saja, seperti terpesona, dan baru
sadar, ketika lampu di rumah Kartini padam.
Hari Minggu. Jendela-jendela dan tingkap-tingkap kaca di serambi muka
kubuka luas-luas. Hawa pagi sejuk, membikin segar segala.
Sinar matahari condong masuk ke dalam melalui jendela dan
tingkap-tingkap. Aku berbaring-baring di atas kursi-kursi,
dengan badanku terpotong dua: dari perut ke kaki enak
hangat dalam sinar surya, dari perut ke atas dalam teduh.
Lalat-lalat bermain-main, melompat-lompat di atas dan di
sekitar kakiku. Enak juga rupanya bermain-main dalam sinar
matahari pagi itu. Sejak malam Rabu itu, jadi empat hari yang lalu, aku
seolah-olah terombang-ambing di antara riang dan bimbang.
Riang aku, apabila terkenang-kenang kepada Kartini yang
sejak malam itu makin mengikat hatiku saja. Tapi bimbanglah
aku, apabila aku teringat-ingat kepada segala pemandangan
dan pendirian Rusli, yang sedikit banyaknya mempengaruhi
juga pikiran dan pendirianku.
Hari Rabu dan Kamis aku tidak masuk kantor. Salahku
sendiri juga. Kenapa dalam ma lam yang sedingin itu, aku
jalan-jalan ke luar dengan hanya berpakaian piyama yang tipis
saja sehingga aku masuk angin"
Akan tetapi yang membikin aku sakit itu, mungkin juga
bukan karena masuk angin saja, sebab dengan acetosal satu
tablet pun masuk angin itu suda h bisa hilang, melainkan boleh
jadi juga ditambah pula dengan kebimbangan dan kerawanan
hati itulah. Sekarang aku lebih banyak la gi bersunyi-sunyi, mengunci
dari dalam kamar, atau bila di kantor tidak suka lagi bertamu
ke meja orang lain untuk mengobrol.
"Kebaikan budi Saudara akan sa ya simpan dalam hati saya
seumur hidup," bisiknya dengan mesra. Kuambung rambutnya
yang ikal dan wangi itu. Sesudah itu kubimbing tangannya,
kubawa dia ke rumahku. Ku berikan kepadanya sebuah
mukena yang masih baru. Dipakainya. Aduh, alangkah alimnya
nampak mukanya. Persis Rukmini dia!
'Terima kasih, Saudara. Saudara sudah membawa saya ke
jalan yang benar, ke jalan Tuhan." Dan sambil berkata
demikian itu memandanglah ia ke dalam mukaku dengan
penuh rasa bahagia dan terima kasih. Kucium dia pada
keningnya. Tunduk ia ketika kucium.
"Selamat pagi, Bung!"
Aku bangkit terperanjat. Bukan main terkejutnya aku!
Dan ketika aku menoleh ke tangga, nampaklah Rusli sedang
tertawa-tawa. Seperti biasa ia sangat rapi dan necis
pakaiannya. Tapi lebihnya dari biasa terletak pada sehelai
sapu tangan fantasi dari sutra merah yang terjepit oleh
sebuah vulpen tersusuk pada saku atas baju gaberdinnya
warna abu-abu. Sebuah peniti mas, berbentuk keris mengkilap
pada dasinya seperti sepatunya pada kakinya.
"Asyik ngelamun, Bung"" tegurnya, sambil masuk.
Aku tidak menjawab, hanya tert awa-tawa saja selaku tiap
orang yang dikejutkan orang lain dalam ngelamun. Malu,
seolah-olah orang lain itu tahu apa yang sedang kulamunkan.
Tapi sementara itu juga kupersilakan Rusli duduk.
"Apa kabar, Bung"" Ia bertanya sambil menarik sebuah
kursi. "Baik-baik saja," sahutku me mbenar-benar taplak meja.
'Terima kasih. Sebaliknya, bagaimana keadaan Saudara""
Aku merasa agak gelisah, karena sebentar melintas dalam
pikirku, bahwa mungkin sekali Rusli sudah tahu tentang apa
yang telah terjadi pada malam Rabu itu.
Rusli membuka percakapannya dengan "formaliteiten" yang
sudah biasa dilakukan oleh or ang-orang yang untuk pertama
kali da tang berkunjung ke rumah orang lain.
"Enak benar rumah ini," katanya sambil memutarkan
kepalanya ke kiri, "cat dindingn ya creme, enak untuk mata,
(ke kanan) jendelanya tepat memberi pemandangan yang
lapang ke Gunung Tangkuban Pe rahu, (ke atas) sayang para-paranya bukan dari eternit, (ke bawah) tapi wah tegelnya
bagus mengkilap, pabrik Iris punya, (kembali memandang
kepadaku) berapa sewanya""
"Bibi punya," "Jadi saudara tidak usah sewa"" "Bukan! Saya menumpang
pada bibi itu." "O!" mengangguk-angguk.
Mulailah kami bercakap-cakap tentang soal-soal biasa saja.
Pada akhirnya, sampailah Rusli kepada maksudnya,
"Sebetulnya saya datang ke sini, selain dari ingin tahu rumah
Saudara dan sebagai "contra bezoek", juga mau mengajak
Saudara ke rumah saudara Kartini. Tempo hari kan kita sudah
berjanji akan datang ke ruma hnya. Dan kemarin dia tanya,
kapankah kita berdua mau ke sana. Saya bilang besok, jadi
hari ini, dengan tidak berunding dulu dengan Saudara. Tapi mudah-mudahan saja
Saudara akan bisa pergi. Bisa" Ia tentu akan kecewa kalau
hanya saya sendiri yang datang."
Serasa hendak pecah dadaku, karena keriangan mendengar
ajakan Rusli itu. Serasa ingin bersorak-sorak aku, ingin
menari-nari ingin berjingklak-jingklak seperti kanak-kanak.
Dan segala keinginanku itu tentu terbaca pada wajahku oleh
Rusli. "Baik," kataku dengan suara dan sinar mata serupa anak
kecil yang diajak nonton oleh ayahnya. "Kita pergi sekarang""
"Ya, sekarang! Kemarin saya janjikan kira-kira jam 9 atau
setengah sepuluh akan datang. Lekaslah berpakaian."
"Baik," (bangkit dan berseru). "Minah! Bikinkan kopi untuk
tamu!" Aku bergegas ke dalam. Seringan bulu ayam rasa badanku,
terapung-apung oleh kegembiraan.
"Untukku jangan bikin susah apa-apa, Bung! Kita kan akan
segera berangkat." "Minah! Minah! Kopi tak usah lagi bikin!" kataku dari dalam.
Sebentar kemudian, piyama sudah berganti dengan
pantalon, baju jas dan dasi. Siul kecil membarengi gerak-gerikku di muka kaca.
Kami berjalan kaki, mengambil jalan Sasakgantung.
Kelesuan yang selama itu menekan jiwaku, sekarang sudah
tidak ada lagi. Segar dan giat gantinya. Dan pikiran yang
selama itu dipusingkan oleh soal-soal yang pernah
dikemukakan oleh Rusli, sekarang agaknya longsor
melompong. Soal Tuhan seolah-olah sudah tidak menjadi soal
lagi bagiku. Rasa-rasanya Dia huruf besar itu sudah terdesak
oleh si dia huruf kecil. Sangat riang aku melangkah. Matahari nampaknya sudah
bukan matahari yang tadi lagi. Rusli pun sudah bukan Rusli
yang tadi lagi. Sudah bukan Rusl i si kapir lagi, melainkan Rusli
yang akan membawa ak u ke alam bahagia.
Dia ingin aku datang ke rumahnya, bisik hatiku dalam
berjalan. Dan karena rupanya Rusli itu tidak tahu tentang
malam Rabu itu, maka aku pun tidak merasa kaku lagi
terhadap dia. "Ada!" sahut si Mimi, ketika kami sudah sampai di rumah
Kartini. "Nyonya ada di belakang!"
Dan babu montok itu lari ke berakang untuk memberitahu
dengan mengambil jalan di pinggir rumah. Buah pantatnya


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ter-longgok-1 onggok dalam berlari.
Tapi pada saat itu juga, Kartini sudah menjenguk dari
dalam rumah ke serambi muka.
"O mari! Mari masuk," tegurnya dengan ramah seraya
membukakan pintu. Pintu terb uka, meluncurlah pancaran
senyum dan tawa. Kami berjabatan tangan, dan dengan tidak
menunggu dipersilakan dulu, kulihat Rusli sudah duduk di atas
sebuah dipan tauteuil yang be sar model Kero. Aku ditariknya
untuk mengambil tempat di sebelahnya, sedang Kartini
kemudian duduk di atas salah sebu ah kursinya dari stelan Kero
itu. Aku sedikit kagum melihat perkakas rumah yang serba
modern dan serba mengkilap itu. Semuanya merupakan stelan
satu sama lainnya. Dan agak nya satu .stel pula dengan
penghuninya, pikirku. Stelan fauteuil tempat kami duduk itu
ada di bagian kanan dari serambi, dengan dipan yang kami
duduki, rapat pada dinding, sehingga aku dan Rusli
mempunyai pemandangan sepenuhnya kepada seluruh
ruangan. Tempat "strategis", ka ta Rusli. Rapat pada dinding
sebelah kananku, berdiri sebuah piano. Sedang di sudut dekat
pintu kamar depan, ada sebuah meja teh yang berkaca. Di
dalamnya terlihat stelan servis te
h buatan Tsyeko Slowa-kia,
dan di sudut lain lagi sebuah radio Phillips.
Kartini duduk membelakangi pintu yang ke serambi tengah,
berhadap-hadapan dengan kami. Ia berpakaian piyama dari
sutra yang terdiri dari sebuah blus model kozak yang berwarna
hijau muda dan celana yang warna kopi. Sandalnya dari kulit
beranyam merah putih. Rambutnya yang ikal dibelah dari kiri
ke kanan dan sanggulnya bertonggok lepas di atas tengkuk.
Sebagai biasa bibirnya merah dengan lipstick dan pipinya
dengan rouge, tapi tidak berlebih-lebihan.
"Mari merokok!" (riang tersenyum menyodorkan sebuah
selapa dari perak bakar yang berisi sigaret Mascot dan cerutu.
Kemudian sambil bangkit), "Kopi susu atau coklat""
"Saya kopi susu," jawab Rusli.
"Dan Saudara""
Bertemu pandangannya denganku. Aku tunduk sejenak.
"Saudara"" (Kartini mengulan gi pertanyaannya tadi; aku
gugup). "Saudara mau minum apa""
"Saya eh..... saya coklat kopi.....eh kopi coklat."
Mendengar itu Rusli tiba-tiba meletus dalam tertawa
terbahak-bahak. Juga Kartini tert awa, terutama karena melihat
Rusli tertawa dengan mulut ternganga-nganga seperti orang
yang hendak diperiksa amandelnya.
Aku bingung, sebab tidak mengerti, tapi akhirnya turut juga
tertawa sambil pungak-pinguk seperti seorang anak sekolah
yang ditertawakan kawan-kawannya, karena di belakang
punggungnya diganteli kertas "boleh pukul".
"Maksud Saudara Hasan barangkali kopi susu," kata Rusli
setelah reda tertawanya. "Ah bukan, maksud saya seperti Saudara Rusli juga, coklat
susu." 'Tapi saya kopi susu," kata Rusli pula. "Ya itulah, saya juga
kopi susu saja." Dengan masih tertawa-tawa, Kartini menghilang ke
belakang, memberi perintah ke pada si Mimi. Tidak berapa
lama kopi susu, dan kue-kue sudah keluar dibawa si Mimi.
"Mari saudara-saudara! Cicipi!"
Kartini mau mengedarkan kue-kuenya, tapi dicegah oleh
Rusli, "Biarlah saja, Tin! Nanti kami ambil sendiri. Janganlah
kita kaku-kaku seperti kaum feodal yang kolot! (kepada saya)
Mari, Bung! Kita hantam!"
Ternyata, bahwa Kartini sebagai nyonya rumah sangat
pandai menggembirakan para tamunya. Sambil minum-minum
dan makan kue, kami bercakap -cakap tentang hal-hal yang
sehari-hari saja. Dan entahlah, seolah-olah telah dirundingkan
lebih dahulu, maka dalam percak apannya dengan aku, Kartini
dan Rusli itu mengambil sikap yang sama, mereka sangat
berhati-hari rupanya, supaya jangan sampai mereka
membicarakan soal-soal yang bisa menimbulkan perasaan
yang kurang senang bagiku atau perbedaan yang mungkin
menganggu suasana hari Minggu itu. Itulah rupanya,
menyimpang dari kebiasaan, maka mereka pun hanya
bercakap-cakap tentang soal-soal sehari-hari saja.
Pada suatu saat berkatalah Rusli, "Cobalah Tin, main piano
v sebentar. Saudara Hasan belum pernah mendengar kau
main." "Ah tidak bisa," kata Kartini agak malu-malu.
"Sebentar saja," kata Rusli pula.
Kartini menggeleng-gelengkan kepalanya. "Malu," katanya.
Tapi bisa kulihat bahwa dalam hatinya ia sebetulnya mau,
malah merasa megah diminta main itu. Jari-jarinya menokok-no-kok tangan kursinya. Dan hidungnya kembang, sedang
matanya nampak bersinar. Tapi seperti biasanya dengan
orang yang diminta memperlihat kan kepandaiannya, maka ia
pun menunggu sampai permintaan itu agak mendesak dulu.
"Masa malu" Malu sama siap a sih"" kata Rusli pula.
"Malu sama saya sendiri," jawab Kartini. Wajahnya meleng-gok-lenggok seolah-olah dile nggoKkan oleh senyumnya.
"Sebentar saja, Tin," desak Rusli pula.
Maka terasalah sudah agaknya oleh Kartini, bahwa batas
sudah hampir dilalui antara tahan harga terus dan
mengabulkan. Sebab katanya, "Main lagu apa, ya""
"Lagu apa saja. Ini sekedar menghormat kawan kita yang
sudah lama tidak bertemu."
Rusli tertawa sambil melirik ke arahku. Aku sudah tak tentu
lagi dalam gerak-gerikku, entah karena malu, entah karena
riang, entah bagaimana. "Baiklah!" (tiba-tiba Kartini bangkit sambil tertawa.
Kemudian seraya melangkah ke piano) "Untuk menghormat
tamu dan Saudara kita yang baru."
Serasa terayun aku ke langit dalam kebahagiaan ketika aku
mendengar ucapan Kartini itu.
Ia lantas duduk depan piano dengan setengah
membelakang i kami. Tutup piano dibukanya. Lantas
membuka-buka lembaran buku musik.
"Lagu apa ya"" tanyanya pula seraya menoleh ke arah
Rusli. Bertanya begitu itu rupanya lebih untuk menghilangkan
kegugupan hatinya daripada untuk mendapat sesuatu
jawaban. Ketika menoleh, sanggulnya mengayun di atas
pundaknya. "Entahlah, tanya Saudara Hasan saja," sahut Rusli (ibu
jarinya terungkit menunjuk kepadaku dengan tiada menoleh,
abu jatuh dari sigaretnya), "i ni kan untuk menghormat dia!"
Maka terasalah olehku darahku terserap ke kuping. Aku
sama sekali "buta huruf datam hal musik.
Paling-paling tahu lagu keroncong Kemayoran, atau Es Lilin.
Memang aku tidak pernah merasa tertarik oleh musik dan seni
Barat, yang kuanggap sebagai "buah kebudayaan kapir", yang
mudah membikin kita pecat iman seperti anak-anak jaman
sekarang yang suka sekali be rdansa-dansa dan berpeluk-pelukan di muka mata umum.
"Ayo Saudara! Mau lagu apa"" tanya Rusli, ketika dilihatnya
aku termangu-mangu saja. Berlainan dengan aku, Rusl i ternyata adalah seorang
penggemar musik dan seni umumnya.
"Ah kita ambil lagu yang mudah saja," kata Kartini setelah
dilihatnya aku diam saja.
Maka mulailah ia menarikan jari-jarinya di atas piano.
Kukunya yang kemerah-merahan dengan cutex bergerak-gerak seperti buah lobi-lobi ya ng masak berlompat-lompatan.
Wals Strauss "Donau Wellen" mengalun membuai-buai jiwa
Kartini. Badannya turut mengalun pula dalam irama lagu itu.
Rusli mendengarkan dengan khusuk. Matanya
dipejamkannya. Seperti orang ya ng sedang bertawadzuh saja,
pikirku. Bagus! Bagus! Bis!" kata Ru sli sambil bertepuk tangan,
ketika Kartini selesai dengan mainnya. Aku turut bertepuk
juga. Turut berseru juga, "Bagus! Bagus! Bis! Bis!"
Beberapa lagi lagu lain dimainkan oleh Kartini. Semuanya
yang ringan-ringan saja. Artinya menurut pendapat Rusli.
Kartini belum sanggup memainkan yang berat-berat. Menurut
pendapat Rusli juga. Sesudah main piano, kami lantas beromong-omong lagi.
Juga dalam hal musik dan seni umumnya, Rusli ternyata
mempunyai pengetahuan dan pemandangan yang luas. Apa
yang kuanggap sebagai buah "kebudayaan kapir", oleh Rusli
disebut buah "kebudayaan burj uis", yang katanya, dengan
sendirinya akan hilang apabila masyarakat kapitalis sekarang
sudah berganti menjadi masyarak at sosialis. Sebab, katanya
pula, seperti cabang-cabang ke budayaan lainnya seni dan
musik pun adalah hasil masyarakat. Masyarakatnya kapitalis,
kebudayaannya pun kapitalis. Demikian selanjutnya. Begitulah
kata Rusli. Dan., .aku tidak begitu mengerti akan uraiannya
itu. Terlalu tinggi teori itu bagiku.
Tapi kata Rusli pula, oleh karena masyarakat sosialis itu
sekarang belum ada pada kita , sehingga belum mungkin ada
keseni-an yang dihasilkan oleh masyarakat demikian, maka
sebagai seorang penggemar musi k, musik burjuis pun bisa
dinikmatinya. Bisa kulihat pada matamu yang kaupejamkan
tadi itu, kataku dalam hati.
Kartini permisi pergi dulu ke belakang, mau menyediakan
makanan. Kira-kira jam satu, maka masuklah kami ke ruangan
tengah untuk makan. "Wah makan besar!" kata Rusli, dan matanya
dibelalakkannya melihat sebuah meja yang penuh dengan
tidak kurang dari sepuluh macam makanan. Dan karena
bentuk meja itu bundar, maka keluarlah pula ucapannya,
"Konperensi meja bundar ini!"
"Makan nasi meja bundar!" Ka rtini menyahut. Kami tertawa
semua. Setelah kami duduk semuanya, maka dengan mengangguk
sedikit kepadaku (sebelah kirinya) dan kemudian kepada Rusli
(sebelah kanan), Kartini memp ersilakan kami mulai makan.
"Ya, marilah kita gempur," kata Rusli. Dan dengan garpunya
mulailah ia mengambil sepotong paha ayam.
"Ayo! Jangan malu-malu!" katanya pula kepadaku.
Kartini pandai sekali menyusun mejanya. Taplaknya putih
bersih, baru dari benatu. Demikian pula serbet-serbetnya yang
masih dalam lipatan, warna merah putih berkotak-kotak
pinggirnya. Piring, sendok dan gelas rapi dan beres teratur
pada tempatnya, dan di antara piring-piring dan gelas-gelas
itu ditaburkan bunga-bunga gerb era dan aster yang berwarna
merah dan kuning yang disela dengan daun-daun pengantin
hijau tua. Di tengah-tengah meja dengan diling
kungi oleh piring-piring makanan terletak sebuah jambangan yang penuh
pula dengan bunga-bunga aneka warna.
Aku merasa kecil melihat meja yang penuh dan beres
teratur itu. Bukan penuh saja, tapi indah pula. Satu kali ada
kulihat meja yang penuh seperti itu, malah lebih penuh lagi
yaitu pada pesta perkawinan haji Mukti, akan tetapi tidak
disusun seindah dan semodern seperti meja Kartini ini.
Pada meja makan pun Kartini memperlihatkan
kecakapannya untuk menyenangkan hati tamu-tamunya.
Sambil bersenda gurau ia menganjurkan supaya kami makan
sekenyang-kenyangnya. Dan anjurannya itu tidak bisa
dikatakan tidak berhasil, sebab baik si atheis Rusli maupun si
Muslimin Hasan, nyata berlidah dan berperut yang sama. Yang
satu makan seperti proletar yang lapar, yang satu lagi seperti
fakir miskin yang terlantar. Mungkin pada Rusli karena
memang sudah biasa makan seperti proletar lapar, tapi
padaku terutama ialah disebabkan oleh karena aku sudah
berhari-hari ditinggalkan mati oleh nafsu makan yang
sekarang seolah-olah hidup kembali dan mau menyusul
kerugiannya. Kami tidak begitu banyak bicara karena terlalu asyik makan.
Hanya sebentar-sebentar meluncur kata-kata pujian akan
enaknya sesuatu. Demikianlah, setelah hampir kenyang, maka
tiba-tiba berkata Rusli. 'Tidak mengira saya, bahwa si Mimi itu
pandai sekali masak. Bihun ini serasa dari Ka Ping saja."
Agak susah Rusli mengucapka n pujiannya itu, karena
mulutnya masih penuh dengan bihun goreng. Seperti mulut
kuda penuh 'rumput. "Ya," sahut Kartini tertawa, "memang ini pun dipesan dari
restoran Wang Seng."
Aku turut tertawa juga, tapi tiba-tiba terdiamlah aku. Wang
Seng" Restoran Wang Seng"!
Mataku terpancang kepada daging yang ada di atas nasiku.
Kemerah-merahan warnanya, dan banyak lemaknya.
Sekonyong-konyong tanganku berg etar, demikian pula bibirku.
Sendok dan garpu serasa tidak terangkat lagi olehku.
Tunduklah aku beberapa jurus selaku bertafakur. Perasaan
mual dan sebal tiba-tiba timbul dalam dada. Mendesak ke
atas. Mendesak ke dalam kerongkongan. Mau melemparkan
semua makanan yang ada di dalamnya. Pening kepalaku.
Rusli dan Kartini makan terus. Tidak terlihat rupanya oleh
mereka apa yang sedang kurasai.
'Tapi di antara restoran-restoran Cina itu, memang Ka
Pinglah yang paling enak. Bagaimana pendapatmu""
"Memang, tapi ah makanan si......apa namanya itu"......
restoran apa katamu tadi""
"Wang Seng!" sahut Kartini tertawa.
"Ya, ya! Restoran Wang Seng! Rupanya tidak kalah sama
Ka Ping. Sekurang-kurangnya bihunnya! Sungguh tidak kalah!"
Dan dengan berkata begitu, Rusli menyodok lagi dengan
sendoknya bihun dari piringnya, lalu dijejalkannya lagi ke
dalam mulutnya, sehingga bihun-bihunnya itu bergantungan
dari mulutnya, seperti janggut.
Akan tetapi pada saat itu pula mendesaklah dengan lebih
hebat lagi perasaan mual ke kerongkonganku. Beberapa detik
aku masih bisa bertahan-tahan juga, akan tetapi makin lama
makin mendesak, makin mencekik, sehingga pada akhirnya
aku tak tahan lagi. Bangkitlah aku dengan sekonyong-konyong, lalu lari. Lari dengan menekan dada dengan tangan
kiriku. Lari ke belakang. Ke kamar kecil. Maka muntah-muntahlah aku di sana.
Kartini dan Rusli sangat terkejut melihatku itu. Lekas
mereka memburu ke belakang. Memburu ke kamar kecil.
Dekat pintu ke dapur, si Mimi menabrak nyonyanya, "Tuan
mabok, Nya! Tuan mabok!" katanya gugup seperti ada
kebakaran. Kartini tidak mengacuhkan si Mimi, tapi lekas memburu


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamar kecil. "Kenapa Saudara" Kenapa"!" tanyanya dengan sangat
cemas ketika dilihatnya aku sedang muntah-muntah.
Aku sangat pucat. Tangan kiriku bertopang kepada tembok
sedang yang kanan menekan da da. Kepala dan dada condong
ke atas lubang kloset. O-o! O-o! Berkali-kali aku muntah. Rusli
menolong aku dengan memijat-mijat pundakku dari belakang.
O-o! O-o! Aku muntah-muntah lagi. Rusli memijat-mijat
terus. Kartini gugup. 'Tolong ambilkan air panas, Tin!" kata Rusli.
Kartini lari ke dapur. Hampir menabrak lagi si Mimi yang
dengan wajah yang ingin tahu tapi takut-takut, sedang
memanjangkan lehernya menjenguk ke dalam kamar kecil dari
depan pintu. Kartini tak acuh.
Terus menyerbu ke dapur, mengambil sendiri air teh panas. Lekas dibawanya kembali ke
kamar kecil. "Coba minumlah dulu Saudara," kata Rusli sambil
mendorongkan gelasnya ke bawah mulutku.
Dengan tangan gemetar aku meneguknya, lantas
berkumur-kumur beberapa ka li. Dan kemudian seraya
menyapu air mata dan keringat dari muka, berkatalah aku
setengah berbisik, "Maafkanlah saya!"
Sempoyongan aku dibimbing ke luar oleh Rusli. Dalam pada
itu Kartini sudah lari ke kamar depan.
"Baringkan saja dulu di sini," katanya kepada Rusli, sambil
memberes-bereskan tempat tidur dengan sapu lidi dan
menepuk-nepuk bantal dan guling.
Kemelut Blambangan 13 Jodoh Rajawali 01 Wasiat Dewa Geledek Jauhi Ruang Bawah Tanah 2
^