Pencarian

Atheis 5

Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja Bagian 5


saya itu tidak lain maksudnya hanyalah untuk membelokkan
pikirannya kepada soal-soal yang lebih manfaat untuk
direnungkan dan diselesaikan, oleh karena soal-soal ini ada "di
dalam daerah kekuasaan kita " untuk menyelesaikannya.
"Dalam naskah Saudara, An war pernah berkata, bahwa
salah satu sifat manusia itu ialah "selalu ingin tahu semua".
Bukan begitu, Saudara""
Hasan mengangguk lagi. Masih lemah seperti tadi.
"Nah, dengan akal pikiran yang terbatas itu, manusia insyaf,
bahwa ia tak mungkin bisa mengetahui semua-muanya
rahasia yang ada di sekeliling soal "hidup" atau soal "ada" itu.
Dalam keadaan demikian itu maka dibentuknya bermacam-macam "penambah" kepada kekurangan pengetahuannya itu,
ialah seperti disebut oleh Anwa r berupa hayal, kepercayaan,
tahyul, hypotese dan lain-lain."
"Masih kue basi!" seakan-akan kata Hasan yang masih
duduk merunduk dengan agak tak acuh itu pada wajahnya.
Sambungku pula dengan mata terpancang kepada kepalanya
yang tunduk dengan belahan rambutnya yang lurus, "Semua
pendapat Anwar itu benar. Sekalipun dinamakan "ilmu
pengetahuan" atau "we-tenschappelijk" 'atau "filsafat",
kekuasaan otak manusia dan akalnya itu tetap terbatas. Ia
tidak akan bisa menyelami segala rahasia "ada" dan "hidup" ini
sampai kepada segala seluk-beluknya, dengan tiada
mempergunakan "penambah-penambah" tadi itu. Jadi daerah
kepercayaan, hayal, hypotese da n lain-lain itu akan tetap ada
di dalam daerah "pengetahuan manusia."
Hasan batuk-batuk lagi. Agak hebat lagi. Saya lekas
mengambil air lagi ke belakang, untuk mengelakkan batuknya.
Sesudah reda kembali saya tanya, "Barangkali saudara mau
berbaring dulu di kamar""
Ia menggelengkan kepala. "Biarlah saja, (suaranya setengah berbisik). Teruskan saja
sau-~dara bicara. Sangat senang saya mendengarkan."
Saya merasa senang juga mendengar anjuran itu. Maka
saya lanjutkan pula. Dengan in syaf saya sengaja mengadakan
semacam "afleidings-manoeuvre" untuk membelokkan
perhatiannya. Maka ujarku, "Seperti telah saya katakan tadi,
akal dan pikiran it u adalah alat yang paling utama untuk
digunakan dalam menyelesaikan soal-soal hidup di sini, di
dunia ini, artinya di daerah sebe lah sini dari kubur. Dan soal-soal inilah hendaknya kita pandang lebih penting daripada
soal-soal di balik kubur atau di "pintu kubur" seperti "sekarat"
itu. Soal-soal hidup di dunia in ilah minta penyelesaian dan kita
harus bisa menyelesaikannya, karena soal-soal itu berada
dalam daerah kesanggupan kita dengan menggunakan akal,
pikiran, budi serta tenaga dan kemauan kita. Sesungguhnya
saudara, kenyataan atau "werkelijkheid" itu, kalau menurut
saya, adalah hidup di sini ini. Saya tahu, bahwa banyak
manusia mengu-nyah-ngunyah soal "kenyataan" atau
"realiteit" itu. Ya, ada yang mengemukakan faham, bahwa
hidup yang nyata ini adalah cu ma bayangan dari "kenyataan"
yang sebetulnya. Dan macam-macam lagi pendapat orang
yang semuanya hypotese pula, "penambah" pula kepada
kekurangan pengetahuan akal pikirannya yang
terbatas itu, yang pada hakekatnya hanya kompensasi semata-mata
kepada nafsunya "ingin mengetahui semua" itu. Akan tetapi
bagi saya, orang-orang yang demikian itu adalah laksana
anjing dari dongeng lama, yang melepaskan tulang yang nyata
dari mulutnya, karena mau mencaplok bayangan di atas
permukaan air. Mereka mengesampingkan soal-soal yang
nyata ini seperti soal-soal politik, ekonomi, sosial, kebudayaan
dan lain-lain untuk soal-soal lain yang bukan-bukan.
Sebetulnya mereka itu telah menghianati kewajibannya yang
telah diberikan Tuhan kepadany a, ialah hidup. Hidup, yang
mengandung arti pula, menyelesaikan segala soal-soalnya,
menyempurnakan segala perhubungan."
Mungkin karena kias anjing itu, Hasan mengangkat sedikit
kepalanya yang terkulai itu se olah-olah lehernya bertulang
lagi. Matanya yang suram itu bersinar sedikit dan melihat
sebentar ke dalam mataku.
"Ada sebuah sajak (sambungku pula) yang pernah saya
baca dalam sebuah buku yang begini bunyinya:
O hellevrees, op heemlen zich verheugen!
Een ding tenminste is vast. Dit leven vliedt.
Een ding is vast, en al de rest een leugen.
De bloem, die bloeide eens, gaat voor goed te niet.
Satu perkara yang pasti, katanya, yaitu bahwa hidup ini
akan habis riwayatnya. Inilah yang pasti dan lain-lainnya
hanyalah "bohong" semata-mata.
Sampai menetapkannya sebagai "bohong" atau dusta, saya
tidak mau. Tapi bahwa kita bisa mengetahuinya, tidak bisa
membuktikannya atau memeriksanya dengan akal dan pikiran,
dengan pancaindera dan segala tenaga yang serba "kasar", itu
adalah benar. Karena itulah maka semua itu masuk daerah
kepercayaan, hayal atau hypotese, atau menurut istilah mistik,
masuk ke dalam daerah "pengalaman gaib."
Kecuali kiasan anjing tadi itu, rupanya bagi Hasan segala
uraian-ku ini tidak begitu berkesan. Tapi saya tidak putus
harapan. Saya tetap akan berusaha, supaya jiwa yang sudah
patah dan sangat ketakutan itu akan tegak kembali. Dan satu-satunya jalan ialah "afleidings-manoevre" tadi itu. Kuulangi
lagi, "Dengan ini saya hany a mau menyatakan kepada
saudara, bahwa di samping soal -soal kepercayaan serta yang
gaib itu, banyak lagi soal-soal yang minta diselesaikan, yang
wajib kita selesaikan, dan yang lebih sanggup kita
menyelesaikannya." Dalam mengatakan kalimat terakhir ini saya memandang
lagi ke dalam wajah Hasan. Tapi ia sedang tunduk lagi,
sehingga kulihat lagi belahan rambutnya yang lurus itu seperti
saluran air disoroti cahaya bulan.
"Soal-soal hidup seperti ekonomi, politik, kesehatan,
pendidikan dan sebagainya itu, kita kunas, kita selidiki, kita
periksa sedalam-dalamnya, seluas-luasnya, dengan pikiran
yang tajam, yang cerdas dan kritis, sehingga kita tidak lekas
percaya begitu saja kepada sesuatu ucapan seorang teman
seperti misalnya teman saudara yang menceritakan tentang
teori Freud tadi itu. Lebih baik kita pelajari sendiri dengan
sungguh-sungguh teori tersebut dari buku-buku Freud sendiri
dengan memperluas pula pengetahuan kita tentang ilmu jiwa
pada umumnya. Hasan mengangguk lemah. Menyetujui agaknya anjuranku
itu. "Pada masa kini misalnya, kita sedang berada di tengah-tengah satu soal hidup yang maha hebat, yaitu di tengah-tengah perang dunia yang maha dahsyat.
Soal ini seharusnya minta segenap perhatian seluruh
ummat manusia jadi juga minta perhatian saudara dan saya,
oleh karena perang yang sehebat itu dengan senjata dan alat-alat teknisnya yang begitu dahsyat, mengancam kehidupan
seluruh ummat. Memang soal perang dan damai itu adalah
soal hidup yang maha penting. Jauh lebih penting daripada
soal neraka di balik kubur atau di pintu kubur. Sampai
sekarang manusia selalu dian cam oleh bahaya peperangan.
Seluruh sejarah kemanusiaan menunjukkannya. Akan tetapi
apa yang menjadi pokok al asan dari segala macam
peperangan itu" Soal ini harus bisa kita kupas supaya bisa
lekas menyelesaikannya. Hasan mengangguk lagi dengan lemah seperti tadi.
Kemudian membenarkan duduknya. Agak tegak sekarang.
Mulai tertarikkah ia oleh uraianku ini"
"Ada saya baca dalam naskah saudara itu, bahwa 'dunia
baru akan damai, kalau penduduknya hanya terdiri dari kanak-kan
ak melulu'. Mengemukakan pernyataan begitu, sebetulnya
sudah berarti satu tanda, bahwa saudara ada mempunyai
sesuatu pokok pikiran tentang soal itu. Baiklah, kalau saudara
sudi mengupasnya terus dengan berpegang kepada pokok
pikiran tersebut. Jadi Saudara ha rus berpikir terus, menyelidiki
terus. Memang, saya pun seperti saudara ada mempunyai
sesuatu pikiran tentang soal perang dan damai itu. Saya yakin,
bahwa perang itu bisa dihindarkan, asal manusia mau
memenuhi syarat-syaratnya untuk mengadakan perdamaian
yang kekal. Kalau sifat ini kita hidup-hidupkan dan nyala-nyalakan sehingga menjadi kuat untuk menentang tiap nafsu
mau perang"! Itu sudah berupa satu usaha yang berharga ke
arah perdamaian. Tapi itu tidak cukup, karena di samping itu,
kita tidak boleh melupakan, bahwa manusia adalah juga
"hasil" masyarakatnya sendiri. Bahwa keadaan masyarakat itu
besar sekali pengaruhnya-- kepada gerak-gerik jiwa dan
pikiran serta tingkah laku manusia dalam hidupnya.
Masyarakat yang penuh ketidakadilan dan penindasan, tidak
akan mungkin mempunyai anggota-anggotanya yang ingin
damai. Bahkan sebaliknya, mereka itu malah mau perang,
mau berontak, mau menggulingkan penindas-penindasnya.
Keadaan demikian misalnya dalam masa kita sekarang ini,
dalam masa kita ditindas oleh suatu bangsa penjajah yaitu
penjajah Jepang, seperti sebelum itu oleh penjajah Belanda.
Dalam masyarakat jajahan tida k mungkin ada suasana damai.
Tapi bukan di tanah-tanah jajahan saja suasana damai itu
tidak akan ada, tapi pun juga di negara merdeka, yang
masyarakatnya bercorak kias-kias yang saling tindas, di mana
ketidakadilan masih merajalela dengan hebatnya. Dengan
demikian, maka berusaha ke arah perdamaian itu tidak hanya
harus berupa pendidikan orang-orang saja, melainkan juga
harus berupa perbaikan keadaan dan susunan masyarakat,
yang harus bebas dari segala hal yang berbau penindasan,
dan hanya berdasar atas keadilan semata-mata. Hanya dan
semata-mata dalam keadaan dan susunan masyarakat
demikianlah kita bisa hidup dalam keadaan yang damai."
Terasa oleh saya, bahwa saya telah jauh membawa Hasan
menyimpang dari soal neraka dan hal-hal yang gaib-gaib itu.
Memang itulah pula maksudku, ialah membawa dia kembali
kepada dunia yang "nyata" ini. Akan berhasilkah segala usaha
saya itu" Saya menoleh kepadanya. Menggeliat ia.sedikit. Menggeliat
seperti orang yang sakit pinggan g, karena terlalu lama duduk.
Sudah kesalkah dia, dan mau pulang"
Tiba-tiba batuk-batuk lagi dia. Batuk-batuk seperti tadi,
agak hebat. Maka ketika sudah reda kembali, aku pun
bertanya pula seperti tadi, "Sau dara sakit rupanya. Tidakkah
lebih baik berbaring-baring saja dulu dalam kamarku""
Terasa oleh saya, bahwa pert anyaanku itu hanya sekedar
pertanyaan "kehormatan" saja. Tidak dengan hati yang tulus
dan rela. Dan rupanya saja, keadaan hatiku itu terasa juga
oleh Hasan sendiri, sebab katanya, "Ah, terima kasih Saudara,
jangan susah-susah (bangkit, menggeleng sedikit, karena
lututnya agak lemah). Baiklah saya permisi saja dulu."
"Saudara terlalu sakit," kata saya pula.
"Ah tidak," sahutnya tersenyum, seraya memungut topinya
dari kursi di sebelahnya. "Jadi mau pulang saja""
"Ya, permisi saja, dan terima kasih atas segala
pemandangan Saudara itu."
"Sebetulnya kita belum membicarakan naskah saudara itu."
"Ali, biarlah lain kali saja."
Ia melangkah ke pintu. Saya hantarkan sampai ke tangga.
"Lain kali, lebih baik saudara jangan datang malam-malam,"
ujarku ketika ia mau pergi.
Muka pucat itu mengangguk lemah. Senyumnya mengalun
samar-samar. Sejurus kemudian, maka mantel dan topi hitam itu sudah
hilang, bersatu dengan hitam malam gelap dalam gang yang
sempit itu. 3 Saya merasa heran, sebab sejak "malam Freud" itu, Hasan
tidak pernah muncul-muncul lagi ke rumah saya. Sampai kini
sudah kurang lebih ada dua bulan. Saya merasa heran, dan
tidak lama kemudian kehera nan itu malah menjadi suatu
kecemasan, suatu kekuatiran. Cemas dan kuatir, kalau-kalau
ada apa-apa yang terjadi dengan dirinya. Maklumlah, orang
yang berada dalam keadaan jiwa yang demikian! Segala
kemungkinan bisa terjadi atas dirinya.
Akan tetapi agak terlipurkan juga kekuatiranku itu oleh
pikiran, bahwa bilamana ada ap a-apa yang "hebat" atas diri
kawan yang malang itu, tentulah saya akan mendengarnya
atau mengetahuinya dari sura t kabar atau dengan jalan
bagaimana saja____ Dalam pada itu saya telah berusaha untuk berkenalan
dengan Kartini, Rusli dan Anwar.
Ternyata, bahwa Kartini telah bercerai dengan Hasan.
Dan yang sangat menyedihkan hati saya, dari Kartini pula
saya dengar bahwa Hasan sudah, sebulan ini ditahan oleh
Kenpei. Bukan main saya terkejut, ke tika mendengar kabar sedih
itu. Dalam sekilat saja saya mengerti, bahwa Hasan takkan
mungkin bisa mengatasi segala siksaan dan penderitaan dalam
cengkeraman kuku polisi militer Jepang yang kejam itu. Dia
pasti akan mati, pikirku. Badann ya yang berpenyakit t.b.c itu
tentu akan hancur dalam kekejaman itu.
Tapi rupanya Kartini tidak insyaf akan hal itu. Nampaknya ia
masih mengandung harapan ju ga, bahwa ia akan segera
bertemu kembali dengan bekas suaminya itu.
Kenapa sebetulnya maka ia sampai ditangkap Kenpei"
4 Dengan pikiran, bahwa Hasan itu tentu sudah meninggal,
maka saya seringkah teringat lagi akan naskah karangannya
itu. Pada hemat saya, alangkah baiknya kalau saya sekarang
luluskan permintaan Hasan beberapa bulan yang lalu itu untuk
memeriksa naskahnya itu. Saya insyaf, bahwa tidak mau saya
banyak meng-ubah-ubahnya, karena hatiku tidak
mengizinkannya, kalau tidak dirundingkan dulu dengan Hasan
sendiri, sedang kawan itu sekarang menurut saya tentu sudah
meninggal. Akan tetapi biarpun begitu, dua perkara harus saya
jalankan mengenai naskah itu:
Pertama: Saya sendiri akan membubuhi beberapa bagian
sebagai bagian penghabisan yaitu yang akan melukiskan
pengalaman-pengalaman Hasan yang terakhir sebelum ia
masuk siksaan Kenpei. Untuk itu haruslah saya mencari
keterangan-keterangan yang lebih lengkap dan tegas tentang
apa-apa yang telah dialami oleh Hasan selama akhir-akhir itu.
Saya akan mengunjungi tempat-tempat, ke mana ia pernah
pergi, dan meminta keterangan yang cukup kepada orang-orang yang pada masa itu pernah bergaul atau berhubungan
dengan Hasan. Pendek kata, saya akan berusaha supaya sedapat mungkin
saya bisa memberi lukisan yang tidak begitu banyak


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyimpang dari kejadian-kejadian yang sebenarnya tentang
pengalaman-pengalaman Hasan itu, supaya karangannya
betul-betul merupakan suatu kara ngan yang bersifat "Dichtung
und Wahrheit." Kedua: "stijl aku" yang dipakai dalam naskah itu akan saya
robah menjadi "stijl dia" saja.
Demikian rencana saya terhadap naskah itu, yang akan
saya usahakan supaya bisa selesai dalam sebulan ini.
5 Setelah saya pergi ke sana-sini mencari keterangan yang
selengkap-lengkapnya tentang diri Hasan selama aKhir-akhir
itu, sampai-sampai saya pergi pula mengunjungi tempat
kediaman ibunya di kampung Panyeredan itu (ya, saya sebut
saja Panyeredan, padahal bukan di Panyeredan tempat tinggal
ibunya itu), maka dalam tiga minggu selesailah sudah
pekerjaan saya. Bagian-bagian berikutnya ini ialah suatu lukisan dari
kejadian-kejadian di sekitar di ri Hasan, yang saya susun
dengan mempergunakan bahan-bahan keterangan dan lain-lain sebagai hasil penyelidikan saya. Banyak sekali keterangan
yang saya dapat dari Kartini sendiri, yang untunglah, sangat
besar kepercayaannya kepada sa ya untuk mencurahkan segala
isi hatinya. Bagian XIV Sore itu, setelah berkelahi dengan Hasan, Kartini dengan
bersedih hati lalu meninggalkan rumahnya. Hasan lagi ke
belakang, ketika Kartini menyelinap diam-diam meninggalkan
rumahnya, menjinjing sebuah tas pakaian.. Maksudnya,
supaya menyingkiri api amarah yang berkobar-kobar di antara
dia dan suaminya itu. Kx mana ia hendak pergi" Be lum tahu ia. Asal pergi saja
dulu dari sana. Ia ingat, ba hwa masih ada seorang famili di
Padalarang, yaitu seorang saudara sepupu dari mendiang
ayahnya. Akan ke sana sajakah ia" Naik kereta api
penghabisan" "Tapi ah, aku malu," pikir Kartini, sambil tunduk jalannya.
"Biarpun ia masih seorang bibi dari padaku, tapi karena ada
semacam "permusuhan" antara ibuku dan keluarga ayahku,
aku tidak begitu kenal rapat d
engan bibi itu.....Ke rumah
Partinah, seorang teman sekolahku dulu, yang sekarang menjadi
guru dan berumah sendirian" Tapi aku sudah lama tidak
pernah datang lagi kepadanya. Dan kalau sekarang datang ke
sana, karena.... ah, kesannya kurang baik juga tentu .. .Ke
rumah Rusli! Sekali-kali tidak boleh aku pergi ke sana.
Tidakkah itu nanti malah akan berarti mau mematikan api
dengan minyak" Sekalipun Anwar sudah tidak tinggal lagi di
sana!" Demikianlah Kartini berjalan, dengan menjinjing tas
pakaiannya, seraya merenung-renung.
"Delman,Nya"" tanya seorang kusir.
'Tidak, Kang!" * Sebetulnya kakinya merasa lemas, tapi Kartini
menjawab "tidak" juga, karena ia tidak tahu hendak ke mana
ia sebetulnya. "Delman, Nya"" lagi seorang kusir menawarkan
kendaraannya. 'Tidak!" jawab Kartini pula. Ia berjalan terus.
Tiba-tiba, sedang ia berjalan dan merenung-renung
demikian itu, ditepuklah bahunya dari belakang. Ketika
menoleh dilihatnya Anwar, yang tertawa-tawa dalam keriang-riangan. Tertawa-tawa
seperti bulan purnama tertawa terhadap dunia yang hitam
kelam. "Mau ke mana kau ini""
Kartini tidak segera menjawab. Terlalu terkejut ia, dan
kemudian malah merasa cemas.
"Kenapa"" tanya Anwar pula.
"Ah tidak apa-apa," sahut Kartini pendek dengan maksud
hendak mengelakkan pertanyaan Anwar selanjutnya.
Akan tetapi, seperti biasanya jawaban yang demikian itu
malah makin menimbulkan hasrat untuk mengetahui lebih
lanjut. Apalagi pada Anwar, yang sudah menjadi sifatnya
untuk mendesak-desak. Dan Kartini didesak-desaknya supaya
menceritakan apa yang telah terjadi itu. Kartini menjadi sangat
bingung. Takut pula, kalau-ka lau Hasan akan memergokinya
bahwa ia bersama-sama lagi dengan Anwar. Akan tetapi,
entahlah, ia berjalan jua, seakan-akan ada daya yang lebih
kuat daripada perasaan takut itu, yang melangkahkan kakinya
di samping Anwar. Mereka berjalan terus, dan Kartini pun pada akhirnya
berterus terang saja, menceritakan dengan terputus-putus
tentang peristiwa yang baru terjadi itu. Cuma dirahasiakannya
dengan kukuh tentang alasannya, yang berupa kecemburuan
Hasan terhadap Anwar. Dengan terputus-putus Kartini
bercerita, dan kadang-kadang be rbisik-bisik, karena ragu-ragu
atau takut-takut terdengar oleh orang-orang yang berpapasan
jalan atau yang seiring jalannya dengan mereka.
"Marilah kita minum-minum dulu, supaya kita bisa
bercakap-cakap dengan lebih tenang," kata Anwar, ketika
mereka lewat ke sebuah restoran kecil. 'Tapi aku terus terang
saja, tidak punya uang."
Sepuluh menit yang lalu Kart ini tentu akan menolaknya,
akan tetapi sejak ia berterus terang menceritakan hal ihwal
dirinya itu, maka seolah-olah terdorong oleh sikap yang sudah
"nekat", maulah juga ia diajak Anwar masuk restoran itu. Dan
memang tujuan masih belum terdapat juga oleh Kartini. Masih
tidak tahu juga ia mau ke mana.
Kebetulan restoran itu masih kosong, dan ada tempat di
situ yang agak tersembunyi. Mereka masuk. Kursi-kursi dan
meja-meja laksana sedang tidur. Jongos memburu dari
belakang sebuah bupet. Dua kursi menggerit ditarik di atas lantai. Kartini dan Anwar
duduk. "Kau mau minum apa"" Anwar bertanya setelah mereka
duduk. Dan bersama telunjuknya, matanya menyusur nama-nama makanan dan harga-harganya di atas sebuah daftar
makanan yang sudah kumal. Dengan teliti ia mempelajari
daftar makanan itu. "Nah, aku coklat susu saja. Dan kau apa, Tin"" ujarnya
sebentar kemudian, sambil menjengketkan kaki belakang dari
kursinya, seperti kuda yang melompat, menunggingkan kaki
belakangnya. "Mintakan kopi susu es saja untuk saya," sahut Kartini
lemas, seraya mengipas-ngi pas mukanya dengan sapu
tangannya. "Kue-kuenya""
"Saya tidak mau makan apa-apa. Hanya mau minum saja."
"Ik wel! Aku agak lapar. Kau toh ada uang cukup, Tin" Aku
mau nasi gulai." Anwar berdiri, lalu melangkah ke lemari kaca, yang masih
penuh dengan makanan dan kue-kue dalamnya.
"Hai jongos! Coba minta kue-kue ini!" (menunjuk, dengan
kuku telunjuknya menokok kaca).
"Lapis legit, Tuan""
"Bukan! Onde-onde! Itu yang bundar-bundar seperti gundul
'saudara tua' kita." *)
Jongos tertawa tertahan, seda ng matanya berp
utar dalam kelopaknya, seolah-olah mau menyapu seluruh ruangan
dengan sinarnya, takut ada spion Jepang yang mendengar.
"Dan bikinlah satu piring nasi gulai, ya!" sambung Anwar,
sambil berputar kembali melihat kepada jongos. "Pakai sambal
yang pecTas ya! Dan* acar, jangan lupa! Kerupuk juga!
Campur emping, ya! O ya, satu piring gado-gado juga!
Bumbunya kasih gula supaya sedikit manis ya!"
"Baik, Tuan! Minumnya apa""
"O ya, kopi susu es dan coklat susu satu! Juga pakai es ya!
Dan itu gado-gado, jangan lupa pakai gula bumbunya, ya!"
Jongos mengangguk-angguk, lalu menghilang ke belakang.
Anwar kembali duduk. Kaki kursinya yang belakang dijeng-ketkannya lagi ke atas, sehingga ia duduk dengan perutnya
menekan kepada pinggir meja, sedang kedua belah sikutnya
terpancang di atas daun meja. Tangan kanannya bermain-main dengan cangklongnya.
"Coba Tin, teruskan ceritamu tadi itu." *) Penjajah Jepang
menamakan dirinya "saudara tua" bangsa Indonesia.
Kartini rupanya sedang melantur-lantur dengan pikirannya
entah ke mana. Ia sedikit ragu -ragu, termangu-mangu saja
sejenak sambil menggigit kuku.
"Ceritamu belum habis, Tin! Kenapa kau sampai mau
melarikan diri. Bertengkaran kan soal biasa antara suami-istri.
Tak usah sampai melarikan diri, kalau tidak sangat hebat. Ini
tentu hebat soalnya."
Maka Kartini pun mulailah lagi bercerita. Hati-hati ia
bercerita. Rupanya ia takut tergelincir lidahnya, kalau-kalau ia
terlalu terus terang. Takut men ceritakan, bahwa yang menjadi
tujuan perasaan cemburu pada Hasan itu justru Anwar sendiri.
Tapi tak mungkin agaknya menyembunyikan peristiwa
"siksaan" yang dilakukan oleh Hasan terhadap dirinya. Dan
ketika ia menceritakan kejadian itu, maka bum!
Menggodamlah kepalan Anwar di atas meja. Matanya melotot.
Giginya berderik-derik. '7erlalu zeg! Bakeru!" *)
Plak! Menepuk meja. "Apakah itu perbuatan seorang gentleman"! Cih!.... (plak!
menepuk meja lagi). Apa maksudmu sekarang"!" Kartini tidak
menjawab. "Kalau aku, daripada dihina begitu, lebih baik aku putuskan
segala perhubungan dengan di a! Ceraikan dia! Verdomd!"
Kartini diam saja. Tangannya menggulung-gulung sapu
tangannya. "Buat apa lama-lama hidup dalam neraka" Kita harus
membikin hidup ini seperti se buah surga, Untuk apa lama-lama hidup bersama seorang laki -laki yang membikin hidupmu
menjadi suatu neraka jahanam! Cih! (ludahnya menyebrot ke
atas meja, disapunya lekas dengan telapak tangannya).
Sorry!" Kartini tidak menyahut apa-apa^Tapi Anwar bercerita terus.
Dan sambil bercerita itu ia ti dak diam. Kursinya berungkit-ungkit. Atau kakinya beredeg-edeg, atau cangklongnya
menokok-nokok daun meja. Ia sebetulnya sudah bukan
bercerita biasa lagi, melainkan menghasut melulu. Menghasut
Kartini terhadap Hasan. Bahkan menghasut seluruh wanita
untuk berontak terhadap nasibnya yang dikungkung oleh
kaum laki-laki, yang katanya, sudah membikin peraturan-peraturan kawin yang berat sebelah, yang membikin enak bagi
kaum laki-laki saja, seperti dibolehkannya kawin dengan lebih
dari satu perempuan, sedang perempuan tidak boleh *) Kata
pemaki-maki dan memperkutuki sesuatu dalam bahasa
Jepang. kawin dengan lebih dari seorang laki-laki.
"Oleh karena itu, (keras, ka rena api semangatnya yang
berkobar-kobar) tak usah kau kembali ke dalam neraka
jahanam itu! Bahkan sebaliknya, kau harus memberi contoh
dan memelopori penghancuran ikatan-ikatan peraturan yang
sewenang-wenang seperti peraturan-peraturan kawin itu, yang
melulu diadakan oleh kaum laki -laki dengan tidak dirundingkan
dulu dengan kaum perempuan. Dan sekarang hendak ke mana
engkau sebetulnya""
Kartini tidak bisa menjawab segera. Memang, ia masih
bingung. Belum ada sesuatu keputusan yang diambilnya. Tapi
katanya kemudian, "Kalau masih bisa, aku hendak ke bibiku di
Pada-larang." Entahlah, barangkali karena ia sama sekali tenggelam
dalam kebingungan maka keluarlah putusan itu secara intuitif
saja, yang tadi sebetulnya sudah ditolaknya sendiri.
'Tidak bisa lagi. Kereta api yang penghabisan sudah
berangkat. Lihat saja sekarang sudah pukul 5.05, sedang
kereta itu berangkatnya persis pukul 5."
Kartini k ecewa tak kecewa. T unduk saja beberapa jurus.
Kukunya menggarut-garut di atas meja.
Jongos datang. Membawa makanan dan minuman yang
dipesan di atas sebuah baki yang besar.
Segeralah baki itu menjadi kosong, dan meja menjadi
penuh. Tapi tak lama kemudian, meja itu pun menjadi kosong,
dan perut Anwar menjadi penuh. Sebanyak Anwar
mengeluarkan kata-kata dari mulutnya tadi, sebanyak itu pula
ia sekarang memasukkan gado-gado dan lain-lain ke dalam
mulutnya. Kartini hanya minum saja. Seperti tak berkemauan apa-apa
lagi ia layaknya. Lesu saja kelihatannya seperti orang yang
sedang sakit berpuasa. Sehabis makan dan minum-min um, mereka tidak lantas
pergi dari restoran itu, melainkan masih duduk-duduk terus,
sambil bercakap-cakap lagi. Ar tinya Anwar yang berbicara.
Dan dalam kebimbangannya itu, Kartini yang tiada tahu
tujuan hendak ke mana, tiada bedanya dengan seorang-orang
yang berada di tengah-tengah lautan manusia yang berdesak-desak. Ia didesak ke sana, dita rik ke sini. Tersentak-sentak.
Tersungkur-sungkur. Ia sama sekali tidak berdaya apa-apa
lagi. Tidak berkuasa lagi untuk menguasai kemudi dirinya
sendiri. Dan kalau ada sesuat u tenaga yang lebih kuat
daripadanya menghela dia ke arah sesuatu
jurusan, maka tenaga itulah yang menguasai dia. Maka
akan tibalah dia ke tempat mana tenaga itu menariknya.
Demikianlah layaknya Kartin i, ketika Anwar setengah
membujuk setengah mendesak mengusulkan, supaya malam
itu ia menginap saja di sebuah penginapan dekat stasiun, agar
besok paginya Kartini bisa terus berangkat dengan kereta api
yang paling pagi ke Padalarang.
"Kamar kosong kebetulan masih ada satu, Tuan!" kata
jongos Amat. "Aku pun cuma perlu satu," sahut Anwar.
Sesudah mengisi buku tamu, An war lantas kembali lagi ke
serambi muka dari penginapan itu, tempat Kartini sedang
duduk di atas sebuah kursi, menunggu.
Hari sudah mulai gelap. Lampu-lampu sudah mulai
dinyalakan. Dan semuanya ditutupi dengan sebuah selubung
hitam atau biru, supaya tidak memancar ke atas atau ke
pinggir. 'Tin, kamar ada. (dan kepada Amat) Di mana kamar itu,
Bung"" "Sini, Tuan," sahut Amat.
Anwar dan Kartini mengikuti Amat. Melalui deretan kamar-kamar yang bernomor. Seperti di rumah penjara, maka dari
beberapa kamar mengintai dari belakang jendela yang
berjerajak orang-oran g yang ingin tahu siapa yang lewat. Dari
beberapa kamar lain terdengar orang bercumbu-cumbuan
seperti dalam kamar pengantin.
"Ini Tuan," kata Amat. Setela h mereka sampai depan kamar


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

8 Amat membuka pintu. "Silakan Tuan."
Anwar segera masuk, tapi Kartini segan-segan. Hawa apek
mendupak hidungnya. "Masuk, Tin!" kata Anwar samb il melihat-lihat keadaan di
dalam kamar itu. Setengah gelap dalamnya karena lampunya
seperti lampu-lampu yang lain ditutupi dengan selubung
hitam. Kartini masih berdiri saja depan pintu, selaku seorang raden
ayu melihat kamar jongos yang kotor.
"Masuklah!" kata Anwar pula, menarik tangan Kartini.
Kartini masuk agak tersentak.
Trak! Kunci diputar. "Kenapa dikunci, War""
Dengan cemas Kartini melihat kepada Anwar, yang
tangannya 204 belum melepaskan anak kunci, yang baru diputarkannya itu.
'Tak usah!" ujar Kartini pula.
Trak! Anak kunci berputar ke mbali dalam lubangnya. Tak
jadi pintu dikunci. Hanya ditutup saja.
Kartini lantas menaruh tas pakaiannya di sisi dinding, yang
penuh ditempeli dengan bermacam-macam gambar. Ada
gambar propaganda "tanam jarak" dan "perajurit ekonomi"
alias "ro-musha" dan ada juga beberapa kartu pos bergambar
yang melukiskan sebuah gereja tua di Eropa di samping
potret-potret bintang film yang setengah telanjang.
Sesudah tasnya ditaruhnya di sisi dinding, Kartini lantas
duduk di atas sebuah kursi ya ng sudah goyah depan sebuah
meja kecil yang politurnya sudah kehitam-hitaman, karena
daki yang tebal. Beberapa lingkaran bekas gelas panas
merupakan gelang-gelang putih di atasnya. Seperti gelang-gelang dari tulang layaknya. Selain daripada meja dan kursi
yang sudah goyah itu, dalam kamar itu adalah sebuah tempat
tidur tua yang komplit dengan kelambunya yang tua pula.
Warnanya sudah kehitam-hitaman, menyatakan bahwa ia
sudah lama tidak bertemu dengan tukang cuci. Berlubang-lubang lagi. Berbentuk telor-te lor kecil lubangnya itu. Pada
suatu tempat malah bisa masuk tinju. Di kolong tempat tidur
itu agak ke tengah, kelihatan sebuah pispot, yang sudah
kekuning-kuningan dalamnya. Hawa apek memualkan hati
Kartini. Di atas tempat tidur itu Anwar lantas duduk, setengah
dibelakangi oleh Kartini yang duduk tak bergerak di atas kursi.
'Terima kasih, War," kata Kartini setelah mereka beberapa
jurus berdiam diri. "Untuk apa"" tanya Anwar menegakkan dirinya dari
duduknya yang setengah berbaring itu.
"Karena kau telah mengan tarkan aku ke sini."
Dengan tiada menjawab apa-apa, Anwar tiba-tiba meloncat
dari tempat tidurnya ke arah te mpat Kartini. Memegang Kartini
pada bahunya dari belakang. Kartini mengelak sedikit dengan
tidak berkisar duduknya. Anwar terdiam beberapa jurus, tapi tak lama kemudian
berkatalah pula ia dengan su ara yang agak aneh baginya,
karena tidak biasa selembut itu suaranya. Tanyanya, "Kau
masih cinta sama dia Tin"'-'
Kartini tidak menjawab. Hening beberapa jurus. Di luar terdengar bakiak orang-orang berkelatrak-keletrak di atas lantai. Di kamar samping
suara orang-orang mengobrol dan tertawa-tawa. Suara laki-laki dan perempuan.
Anwar memandang Kartini dari atas. Matanya bersinar
harapan. "Masih cinta, Tin"" Tanyanya pula. Lebih lembut suaranya.
Kartini tunduk saja. Matanya terpancang kepada lingkaran-lingkaran putih di atas meja, bekas gelas-gelas panas itu.
"Kulihat hidupmu sama sekali tidak berbahagia," kata Anwar
pula. Suaranya masih aneh seperti tadi. Malah sekarang hampir-hampir meningkat kepada suara yang penuh dengan belas
kasihan. "Kau tidak bahagia. Benar atau tidak, Tin"" JCartini masih
tidak menjawab juga. "Aku tahu, bahwa keadaanmu tidak mungkin bahagia . . . ."
Hening lagi beberapa jurus.
Di luar bakiak-bakiak masih berkeletrak-keletrak. Orang-orang masih pada bolak-balik ke kamar mandi. Bermacam-macam suara simpang-siur keluar dari macam-macam
kerongkongan, laki-laki, perempuan-perempuan, tertawa-tawa, ngomong-ngomong.
Anwar melepaskan tangannya dari bahu Kartini. Melangkah
dari belakang ke depan serta duduk kemudian di atas meja
kecil itu. Kartini berkisar sediki t dengan kursinya ke belakang.
Mengge-rit suara paku menggores lantai. Linu, mengiris hati.
Maka dengan banyak bergerak-gerak dengan tangan dan
telunjuknya, serta dengan suara yang biasa lagi, Anwar
mengulangi lagi hasutan-hasutan yang tadi di restoran pernah
dikeluarkannya, "Kenapa kau tidak mau membebaskan diri dari
neraka semacam itu" Kenapa kau masih saja suka dibelenggu
oleh suatu ikatan yang terkutuk seperti perkawinan itu" Tidak
terasakan olehmu, bahwa kau, fihak perempuan, menjadi
budak di dalamnya, sedang suamimu, fihak laki-laki, berlaku
seperti seorang raja yang kejam, yang ganas, yang
menempeleng" Tidakkah itu suatu hinaan yang nista bagi
dirimu" Cih! Menempeleng pere mpuan! Seperti tak ada saja
laki-laki untuk dijadikan lawan! (diam sebentar). Tin! Tin!
Tidakkah itu suatu hinaan besar bagi dirimu" Ya, bagi kaum
wanita seluruhnya!" Kartini dengar tak dengar. Diam saja. Tak ada agaknya
sedikit nafsu padanya untuk berbicara. Mungkin juga tak ada
nafsu untuk mendengarkan. Akan tetapi Anwar ngomong
terus. "Ah, mana cita-citamu hendak menjunjung derajat kaum
ibu itu" Mana, Tin" Mana" .... Ka u sendiri suka dihina demikian
oleh seorang laki-laki yang menganggap dirinya punya hak
mutlak untuk menghina dan menyiksa kau dengan sewenang-wenang. Tiada lain hanya karena ia dilindungi oleh tali
perkawinan yang terkutuk itu. Padahal apa arti tali itu, kalau
tali yang lebih kuat, yaitu tali cinta sudah ti dak ada lagi" Atau -----atau
masih ada tali cinta itu padamu, Tin""
Anwar diam lagi sebentar. Menunggu jawaban yang masih
diharap-harapkannya juga. Akan tetapi Kartini masih diam
saja. Bermacam-macam pikiran simpang-siur dalam
kepalanya. Tunduk lagi ia.
"Kau Tin, sebagai seorang wanita yang maju, yang
mengerti, yang terpelajar, harus bisa memberi contoh. Harus
bisa menentang ketidakadilan se perti yang kauderita sekarang
itu! Ceraikan laki-laki yang ke jam itu! Bikin surga baru dari
hidupmu ini!" Tiba-tiba Anwar tertawa. Tertawa mengejek.
"Hahaha! Ya, ya, aku menger ti sekarang. Kau rupanya
masih percaya, bahwa perempuan yang sabar itu akan
dianugerahi surga kelak di dalam kubur. Halia! Abad ke-20
harus sudah membikin perhitungan dengan ketaliyulan seperti
itu. Ketahyulan yang sengaja dibikin oleh kaum laki-laki,
supaya bini-bininya tetap sabar, supaya dia sendiri bisa
berlaku sekehendak hatinya, mengambil dan menceraikan
bininya menurut sekehendak hatinya pula! Insyaflah Tin!
Insyaflah!" Anwar diam lagi sebentar. Mengeluarkan cangklongnya dari
saku belakang celananya. Diisi dengan tembakau. Kemudian
dengan tiba-tiba sekali, melonjaklah ia dari mejanya, lalu
berdiri lebih rapat di muka Kartini.
"Jangan, Tin! Jangan kembali lagi kepada si kejam itu!
Runtuhkan nerakamu itu! Bikin surga baru! (dan dengan suara
yang merendah menjadi lembut). Surga baru dengan aku!"
Agak cemas Kartini. Mengangk at kepalanya. Memandang ke
dalam wajah Anwar, yang matanya menyala-nyala penuh api
keberanian. Kartini takut. Tapi ia menahan-nahan dirinya
supaya tetap tenang. Ujarnya, "War, saya merasa terlalu
lemas dan letih. Saya ingin tidur. Dan besok pagi-pagi benar
harus sudah bangun."
Anwar tidak segera menjawa b. Agak kecewa rupanya ia
akan reaksi Kartini terhadap cintanya itu. Ia gugup. Dan untuk
menghilangkan kegugupannya itu, dinyalakannya
cangklongnya. Dihisap-hisapnya. Berkerolok-kerolok suara
hisapannya dalam cangklon gnya. Kemudian dengan
membuang korek apinya, ia memandang lagi ke dalam wajah
Kartini, seraya katanya, "Silakan, Tin. Tempat tidurmu sudah
menunggu." Sambil berkata demikian, ia membungkuk dengan hormat
dibikin-bikin. Membungkuk selaku seorang hamba istana di
zamani abad ke-I6 terhadap raja "matahari" Louis XIV.
Tertawa ia. Tapi Kartini malah makin gelisah saja.
'Tidak terlalu lat untukmu"" ta nya Kartini, seraya hendak
bangkit, tapi segera tertunduk kembali, karena didengarnya
Anwar berkata, "Aku pun hendak tidur di sini juga, Tin."
"Di sini" Di sini di mana"!" ta nya Kartini kaget-kaget cemas.
"Di sini! (suara pasti, menunjuk dengan cangklongnya ke
arah tempat tidur). Sudah kubilang tadi sama jongos, bahwa
kamar inntntuk dua orang: aku dengan istriku."
Kartini melongo saja. Makin keheran-heranan bercampur
cemas. Ragu-ragu, "Kau berolok-olok toh . . ."
"Sesungguhnya, Tin! Ke napa berolok-olok"!"
Ia lebih mendekati lagi kepa da Kartini dengan matanya
menyala-nyala seperti tadi. Membungkuk ia seperti hendak
mencium pipi Kartini. "Kau gila, War!" kata Kartini setengah berteriak, sambil
mengelakkan mulut Anwar yang sudah memoncong itu.
Anwar lurus kembali dengan tersenyum masam, seraya
memicingkan matanya sebelah, memandang lurus ke dalam
mata Kartini yang takut-takut itu.
"Memang aku tergila-gila kepadamu, Tin! Aku cinta
kepadamu! Cinta sejak mulai kukenal engkau! Dan itu pun
tentu kautahu juga. Ya aku cinta! Aku cinta!" (suaranya
bergetar karena api berahi).
Kartini menjadi sangat takut. Dilihatnya Anwar bersinar-sinar matanya seperti mata singa yang hendak menerkam.
Dadanya turun-naik. Seluruh badannya seakan-akan sudah
dibakar oleh api berahi. Dan pada saat itu pula kedua belah
tangannya tiba-tiba hendak merangkum badan Kartini yang
sudah lemas itu. Tapi Kartini lekas berdiri mengelak, Kursi
menggelotrak, jatuh tersinggung, dibarengi oleh suara
cangklong yang terjatuh juga di atas lantai.
"War! Anwar, insyaflah akan dirimu! Sedadah engkau!"
Setengah menangis suara Kartini.
Tapi Anwar sudah melonjak rapat ke depan Kartini, yang
dalan1 pada itu sudah mund ur ke sudut, sehingga
terkurunglah ia seakan-akan di sana. Anwar makin bernafsu.
Bernafsu seperti gurila yang terlalu lama terkurung, tiba-tiba
dilepaskan kepada betinanya. Dipegangnya tangan Kartini, dan
pinggang yang lesu itu sudah dipeluknya dengan tangannya
yang sebelah lagi, tapi Kartini bergerinjal-gerinjal seraya
mengancam, "Kenapa kau begitu, War" Awas aku akan
menjerit minta tolong!"
Tapi nafsu berahi Anwar terl alu kuat untuk memperhatikan
segala ancaman Kartini itu. Maka ditariknya tangan Karti
ni, lalu pinggangnya dipeluknya lagi. Tapi licin seperti belut Kartini
bisa melepaskan dirinya serta melompat keluar dari sudut
yang sempit itu. Dengan cepat seperti tukang copet,
tangannya yang kiri menjewang tas pakaiannya dari lantai,
lalu lari keluar, meninggalkan Anwar dalam kamar yang tidak
berani terus mengejar keluar kamar. Kartini bergegas-gegas
terus dengan menjinjing tasnya seperti orang yang hendak
memburu kereta api. Ia bergegas keluar hotel. Ke jalan.
Meloncat ke dalam sebuah delm an yang kebetulan lewat ke
sana. "Kebon Manggu, Bang! Lekas!"
Kusir mencambuk kudanya. Tar! Tar! Kuda lari di atas aspal
dalam malam yang sunyi. Ke tepak-ketepak! ketepok-ketepok!
Seirama dengan tepukan hati Kartini....
Bagian XV Stasiun Bandung sudah samar-samar diselimuti oleh senja,
ketika kereta api dari Cibatu masuk. Matahari sedang
mengundurkan diri, pelan-pelan dan hati-hati seperti pencuri
yang hendak menghilang ke dalam gelap.
Kota Bandung tidak sepert i tiga tahun yang lalu.
Pada senja hari yang indah seperti itu, di jaman yang lalu
kota itu seolah-olah mulai berdandan. Lampu-lampu listrik di
jalan-jalan, di toko-toko dan di rumah-rumah mulai dipasang,
seakan-akan manusia bersedia-sedia untuk mulai berjuang
membantu Ormuzd, dewa terang, dalam perjuangannya yang
abadi melawan Ahriman, dewa gelap. Di mana-mana bola-bola
lampu sudah bernyala, riang terang seperti jambu-jambu api
yang makin lama makin terang untuk berbaur pada akhirnya
menjadi suatu lautan cahaya yang benderang. Orang-orang,
mobil-mobil dan kendaraan-kendaraan lain bergerak-gerak,
laksana ikan-ikan kecil yang bergerak-gerak di atas dasar
segara cahaya. Kebaya merah, rok kuning, stelan gabardin,
beriring-iring berpapasan, susu l-menyusul di atas trotoir,
depan toko-toko yang bermandi cahaya. Packard, Ford,
Erskine. Willys mengkilap-kilap di atas aspal, menyiakkan
Fongers, Raleigh, Humber da n "mobil-mobil cap kuda" ke
pinggir. Benar kata orang, bahwa kota Bandung yang
mendapat julukan "Paris pulau Jawa", mulai hidup dari jam 6
sore. Tapi lain dulu lain sekarang.
Tidak demikian halnya, ketika kereta api masuk stasiun sore
itu. Ahriman agaknya sudah bisa melumpuhkan semangat
Ormuzd. Tak berani lagi Ormuzd berpesta di kota Bandung.
Bandung sekarang seolah-olah se dang berkabung. Kini tak ada
lagi lampu-lampu yang terang-benderang itu. Tak ada lagi
toko-toko yang bermandi caha ya. Tak ada lagi kendaraan-kendaraan yang bersim-pang-siur itu. Beberapa lampu yang
jauh-jauh jaraknya terpencil yang satu dari yang lain, seperti
ragu-ragu agaknya memberikan cahayanya, laksana putri
Timur, yang ragu-ragu pula menyinarkan cahaya
kecantikannya, karena wajahnya ditutupi dengan tudung
telingkup. Lampu-lampu itu pun diselubungi dengan sebuah
selubung dari timah sari yang dicat hitam, sehingga tak ada
cahaya yang memancar ke pinggir atau ke atas, melainkan
hanya ke bawah saja, ke atas jalan aspal. Dan di sana, di atas
aspal hitam itu, terlihatlah cahaya bulat-bulat seperti bulan
purnama yang sedang pudar cahayanya.
Truk-truk yang penuh dengan serdadu-serdadu Jepang
mundar-mandir terbang dengan bergemuruh di atas jalan.
Lampunya bergerak-gerak di dalam gelap seperti bola-bola
biru menari-nari, sepasang-sepasang. Selain truk-truk dan
mobil-mobil Jepang yang tidak begitu banyak itu ada juga


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa delman, yang rupanya lekas-lekas hendak pulang,
seperti burung-burung di kala senja buru-buru mencari
sarangnya. Maklumlah, akhir-akhir ini seringkah ada bahaya
udara. Kecuali kendaraan-kendaraan tersebut, jalan-jalan itu
boleh dibilang sepi sama sekali.
Persis pukul 6.36 (menurut ja m Jepang sudah pukul 8.06)
kereta api masuk stasiun. Jadi sudah mulai gelap.
Hasan lekas-lekas turun. Tas pakaian dijinjingnya, dan
mantelnya diselampaikan di atas pundaknya. Seperti semua
penumpang yang lain, ia pun bergegas-gegas meninggalkan
gedung stasiun. Di atas tangga ia berdiri sebentar, melihat ke
kiri ke kanan. Mencari delman atau becak. Tapi satu dua
delman yang ada di halaman sudah diambil orang lain. Karena
itu Hasan terpaksa berjalan kaki dengan harapan mudah-mudahan saja di teng
ah jalan akan bertemu dengan delman
atau becak kosong. Sebetulnya ia merasa terl alu lemah dan lemas untuk
menempuh jalan ke rumahnya di Tegallega itu. (Sejak ia
bercerai dengan Kartini, ia tidak lagi berumah di Lengkong
Besar, melainkan pindah ke Tegallega"). Terseok-seok ia
berjalan.*Dan kuli tidak ada lagi. Pakaian dalam tasnya serasa
sudah menjadi batu semuanya. Tangannya yang menjinjing
tas itu melengket, karena keringat. Karena itu tasnya
berpindah-pindah saja, dari tangan kiri ke kanan, dari tangan
kanan ke kiri. Dan bersama itu bahunya turun-naik seperti
neraca. Ia terseok-seok terus. Berkali-ka li tersusul oleh orang-orang
lain yang lebih cepat jalannya. Hari makin gelap.
Persis pada persimpangan ja lan Suniaraja, terdengarlah
tiba-tiba sirene berbunyi . Ngeeeoooooong, ngeeeooong!
"Kusyu keiho! Kusyu keiho!"*) teriak orang-orrng yang pada
lari mencari lobang perlindungan.
"Kusyu keiho! Kusyu keiho!" sa mbung seorang laki-laki yang
berteriak-teriak dengan menggunakan sebuah corong
pengeras suara. Ia naik sepeda lari ke sana ke mari dengan
corong depan mulutnya, sepert i seekor burung ganjil yang
besar patuknya. Orang-orang pada ribut. Yang satu lari ke sini, yang satu
lari ke sana. Seperti ayam-ayam takut elang. Tiap kaki lari
cepat. Tiap hati berdebar-debar . Tiap mata mencari lobang
perlindungan yang paling dekat.
Hasan bingung. Ia bergegas ke sebuah lobang perlindungan
yang tidak jauh letaknya dari sana. Tapi dilihatnya sudah
terlalu penuh. Tidak jadi masu k. Mencari perlindungan lain.
Mantelnya mengge-losor dari bahunya, jatuh ke bawah.
Dipungutnya. "Ayo, Bung! Lekas berlindung!" teriak seorang keibodan**)
dengan picinya dari anyaman bambu, dan memegang senapan
dari kayu. Dengan menyeret-nveret mantelnya yang menyapu jalan,
Hasan bergegas lagi mencari perlindungan lain. Lari ia tidak
berani. Takut akan paru-parunya. Napasnya mengkrak-meng-krik.
Sirene menggaung-gaung terus. Dan lampu-lampu sudah
padam semua. Mati serentak, seolah-olah tertiup semuanya
oleh napas sirene yang berputar-putar di udara seperti kincir.
Radio umum sudah bungkem juga, seperti suara gaang dalam
tanah yang tiba-tiba berhenti karena mendengar langkah
orang. Dan mobil-mobil serta kendaraan-kendaraan lain sudah
berlindung di tepi-tepi jalan yang tersembunyi tidak terlihat
dari udara. Jalan-jalan mendadak sepi. Hitam. Bungkam. Mati.
Ya, mati semua-muanya. Gedung-gedungnya mati, toko-toko-nya mati, rumah-rumahnya mati, lampu-lampunya, radio-radionya, mobil-mobilnya mati semua. Akan tetapi tidak
dernikian halnya dengan oran g-orangnya. Orang-orangnya
tidak mati. Baru hanya takut mati.
Hasan sudah berada dalam perlindungan lain.
"Masuk terus!" perintah si Amin, seorang keibodan yang
kerjanya sehari-hari menjad i benatu. Hasan didorong-dorongnya dari belakang, sehingga ia tersonggok-songgok
makin menyusuk *) Bahaya Udara. **) Pe njaga keamanan kampung
ke dalam lobang yang gelap itu.
"Duduk semua!" perintah si Amin pula. "Hai! Buang itu
rokok! Tidak tahu tidak boleh merokok, nah! Emangnya kita
mesti mati semua!" (cara membentak ala Jepang
berhamburan dari mulut si Amin).
Mas Karto yang lupa akan kusyu keiho lekas membuang
rokok kreteknya. Bok Karto mengomel, "Kok, wong tua tidak tahu aturan,
kaya bocah cilik saja. Daripada minta-minta kepada Tuhan
supaya pada selamat semuan ya, ini kok mengepooool saja.
Us!" Kemudian bibir perempuan tua itu kernyat kernyit membaca
surat fatehah dan kulhu dengan maksud supaya jangan ada
bom jatuh ke sana. Hasan duduk di samping Mas Karto. Hasan pun mengucap
syukur, karena mas Karto tidak merokok lagi. Asap rokok tidak
baik bagi orang tbc. Sebentar kemudian sunyi senyaplah dalam lobang
perlindungan itu, seperti dalam kuburan. Sirene sudah tidak
berbunyi lagi. Dan orang-orang sudah pada bungkem
semuanya, seperti mayat dalam kuburan. Hanya sekali-sekali
jangkerik mengerik-kerik di ba wah bangku perlindungan. Krik-krik, krik-krik. Sekali-sekali terdengar juga suara bibir Bok
Karto mendesis-desis membaca kulhu dan fatehah.
Masing-masing orang dengan pikirannya sendiri-sendiri.
Tapi tiap hati berdenyut s
e irama: takut mati. Berdenyut
seirama pula: mohon selamat ke pada Tuhan. Dan tiap muka
tak bersinar, seperti daun pisang didiang, layu.
Memang, apa bedanya keadaan mereka itu dengan tikus-tikus yang takut kucing, atau anak-anak ayam yang takut
elang" Mungkin bedanya cuma, karena ayam atau kucing tidak
berdenyut hatinya minta selamat kepada Tuhan. Tapi
entahlah, itu tidak bisa kita kontrol, karena kita tidak mengerti
bahasa kucing atau bahasa ayam.
Hasan merenung-renung. Ia pun takut mati. Perasaan
demikian itu sudah bukan perasaan yang akhir-akhir ini makin
sering mengganggu dia. Mungkin, karena ia merasa, bahwa
penyakit paru-parunya sudah makin berat lagi. Dan dalam
ketakutan itu segala dongeng-dongeng dahulu ketika "kecil
tentang neraka, malaikat, jin dan lain-lain itu hidup kembali
dalam khayalnya. Makin hidup kh ayalnya, makin takut ia. Dan
makin takut ia, makin hidup pula khayalnya. Dan dalam
ketakutan itu, ia merasa bahwa ia hanya sesuatu mahluk yang
kecil sekali, yang tidak berd aya apa-apa. Dengan seluruh
jiwanya bersujudlah ia kembali kepada Tuhan memohon-
mohon kepada-Nya, supaya ia lekas baik dari sakitnya, dan
sekarang di dalam lobang itu, supaya ia selamat jangan kena
bom. Makin keras ia memohon pertolongan kepada Tuhan, makin
tenteramlah ia merasa dalam hatinya. Lupa ia akan segala
ucapan dan ajaran Rusli tentang tidak adanya Tuhan. Bahkan
ia sekarang merasa lebih dekat lagi kepada Tuhan.
Sebagai seekor burung yang kedinginan, Hasan duduk
merunduk di dalam lobang itu.
Tiada lama, berkat kerasnya ia memohon pertolongan
Tuhan, maka perasaan takutnya makin menipis dalam hatinya.
Akan tetapi ia termenung-menung terus.
Timbullah lagi bayangan-bayangan yang melukiskan
peristiwa-peristiwa berat dalam hari-hari yang baru lalu itu.
Seminggu yang lalu Hasan mendapat telegram dari Garut
yang ditandatangani oleh Fatimah. Di sana diterangkan,
bahwa Raden Wira sakit keras. Dan Hasan diminta datang.
Maka Hasan pun hari itu juga minta perlop dari kantornya, dan
sore itu juga berangkatlah ia dengan kereta api yang
penghabisan ke halte Wana-raja untuk terus ke Penyeredan
dengan naik delman. Sampai di sana ternyatalah, bahwa Raden Wira sudah
sangat repot sakitnya. Kemarin d okter telah dipanggil dari kota
Garut dan dia menyatakan, bahwa keadaan penyakit Raden
Wira itu sangat berat. Menghawatirkan, sekalipun tidak
berarti, bahwa harapan su dah putus sama sekali.
Oleh karena itulah maka ibu Hasan menyuruh Fatimah pergi
ke Garut menelegram Hasan.
Pada saat Hasan tiba, kira-kira pada pukul 5 sore, kebetulan
sekali dokter dari Garut baru saja selesai memeriksa Raden
Wira. Dari dokter itu Hasan mendengar lagi keterangan,
bahwa penyakit ayahnya sangat berat. Harus baik-baik
menjaganya. Memang sehari-harian itu Raden Wira berkali-kali jatuh
pingsan. Ketika Hasan masuk kamar ayahnya, Raden Wira
masih menutup matanya. Alon-alon seraya berjengket-jengket, Hasan mendekati tempat tidur ayahnya, lalu duduk di
atas sebuah kursi yang ada di sampingnya. Dengan sayu
Hasan menatap wajah ayahnya. Hampir tak dikenalnya lagi
ayahnya itu. Mukanya pucat lesi. Matanya dan pipinya cekung.
Rambut dan janggutnya yang tidak terurus lagi itu sudah
menjadi putih sama sekali seperti rambut Tagore. Kulit
mukanya kerisut-kerisut dan sinarnya pudar. Amat lesu dan
amat tua nampaknya. Ia berbaring telentang dengan mukanya lurus ke atas.
Mulutnya ternganga sedikit.J Dadanya turun-naik. Dari lengan
bajunya tersembul kedua bela h tangannya kurus kering
terkatup di atas dadanya. Pembuluh-pembuluh darah tegas
sekali seperti sungai-sungai dala m peta, kebiru-biruan di atas
warna kulit tangannya yang pucat itu. Di antara jari-jarinya
terselampai sebuah tasbeh yang panjang hitam. Sampai pada
ketiak, seluruh badannya ditutupi dengan sehelai kain batik
yang panjang. Mata Hasan menyusur dari wajah ayahnya yang sakit itu ke
seluruh badannya. Biarpun ditutu pi dengan kain batik yang
panjang tapi nampaklah kepada Hasan, bahwa tubuh yang tua
itu sekarang sudah sangat kurus sekali.
Selaku lampu senter mata Hasan menyusur terus. Dari
badan yang kurus kecil itu kepada
bantal dan guling yang bersarung putih bersih. Dari bawah bantal putih itu kelihatan
tersempii sebuah buku kecil me rah: buku suci Surat Yasin.
Dari kitab suci itu mata Hasan menyusur terus ke atas meja
kecil yang ditutupi dengan taplak kain batik yang melukiskan
peta dunia dengan tulisan pada pinggirannya "selamat pakai".
Di atas meja itu kelihatan beberapa botol kecil dan sebuah dos
beretiket. Etiket itu dibacanya "Raden Wira 3 kali sehari satu
puder". Dos dibukanya: selaku membuka dos korek api.
Ditutupnya lagi, lalu ditaruhnya lagi di atas meja.
Dari atas meja, kedua senter kecil itu menyusur terus ke
bawah tempat tidur yang setengahnya kelihatan dari kursi
Hasan oleh karena sepreinya tidak panjang. Di bawah tempat
tidur itu kelihatan juga se buah pedupaan yang masih
berkepul-kepul asap kemenyan.
"Mengapa begini lama, ya Tuan"!"
Hasan terbangun, ketika terd engar di sampingnya suara
berat dari Mas Karto yang bertanya itu. Dalam sekejap mata
Hasan sudah pindah lagi dari kamar ayahnya yang sakit itu ke
lobang perlindungan kembali.
"Kenapa si bapa ini cekcok saja!" bentak Bok Karto yang
masih asyik membaca-baca kulhu dan alfatihah.
Sebentar kemudian sudah suny i lagi dalam perlindungan
yang gelap itu. Masing-masing kembali lagi pada pikirannya
sendirisendiri. Bok Karto asyik lagi membaca kulhu dan
alfatihah. Suaranya mendesis-desis lagi.
Tiba-tiba Hasan menutupi mu kanya dengan kedua belah
tangannya. Kedua belah matanya dipejamkannya, seolah-olah
tidak mau ia melihat sesuatu yang ada di depannya. Dan
sejurus kemudian terdengarlah keluhan yang berat melepas
dari dadanya mengisi seluruh lobang, "Astagfirullah ..."
Orang menyangka, Hasanlah yang paling takut di antara
mereka itu. Tapi seperti halnya dengan tertawa, keluhan orang
pun agaknya mudah berjangkit. Maka orang-orang lain pun
turut- pula mengeluh seperti Hasan. Bergiliran. Dan setelah
orang lain reda kembali, maka berkeluhlah lagi Hasan.
"Kau seorang anak yang du rhaka! Seorang anak yang
berdosa! Seorang anak yang membunuh ayahnya! Ya,
pembunuh! Kau pembunuh! Kau . .. .!"
Mengeluh lagi Hasan. Menutupi lagi mukanya dengan
tangannya mengusai-usai rambutnya. Memukul-mukul
benaknya. "Kau pembunuh ayahmu! Ka u pembunuh ayahmu!"
Mendesis-desis suara itu dalam hatinya. Mendakwa!
Menuduh! Terbayang-bayang lagi di dalam mata batinnya peristiwa
yang sangat sedih itu, ialah peristiwa ketika Raden Wira
membuka matanya yang lesu, memandang sejenak ke dalam
wajah Hasan yang baru dilihatnya itu. Memandang sejenak
untuk menutup kembali, tapi kemudian berkata setengah
berbisik dan terputus-putus, "Janganlah engkau dekat-dekat
kepadaku .... janganlah kauganggu aku dalam imanku, agar
mudah kutempuh perjalananku ke hadirat-Nya
Lambat-lambat ayahnya mengeluarkan kata-katanya itu
dengan terputus-putus dan hampir tak kedengaran.
Tangannya menggapai-gapai memberi isyarat kepada Hasan,
supaya meninggalkan kamarnya.
Maka dengan menangis terhisak-hisak Hasan pun
meninggalkan kamar ayahnya. Tapi ia tak mau jauh dari
kamar itu. Dengan menangis tersedu-sedu duduklah ia di atas
sebuah kursi dekat pintu yang sengaja tidak ditutupkan erat-erat olehnya.
Ibunya mencoba melipurkan kesedihan Hasan itu dengan
beberapa ucapan seperti kepada kanak-kanak.
"Tidak apa-apa, Nak. Ayahmu cuma ingin tenang
menghadapi Tuhan. Ia akan segera sembuh kembali. Sudahlah
jangan menangis." Tapi dengan demikian kese dihan Hasan itu malah makin
menjadi-jadi. Pedih rasa hatinya bukan terutama oleh karena
ia diusir akan tetapi oleh karena insyaflah ia, bahwa selama itu
ia telah membikin ayahnya menderita berat, berhubung
dengan perselisihan faham yang mengenai kepercayaan
agamanya itu. Tak lama kemudian terdengarlah olehnya suara napas
penghabisan terhembus dari dalam kamar ayahnya ....
Ayahnya sudah tak ada la gi. Hayat telah terbang
meninggalkan raga, laksana burung lepas dari kurungan.
"Kamu telah berdosa! Ayahmu sampai mati, karena tak
tertahan lagi penderitaannya memikirkan pendirianmu yang
sesat! Kamu telah ingkar dari agamamu sendiri! Kamu telah
pecat dari imanmu kepada Tuhan! Telah murtad! Kafir!


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Atheis!" Mendesing-desing suara itu, seolah-olah dalam lobang
perlindungan yang gelap itu ada seorang yang berdiri di depan
Hasan, menghardik dan mencela habis-habisan. Hasan
memejamkan matanya lagi. Tidak berani ia melihat apa-apa
lagi. Tapi air matanya merembes di antara celah kelopaknya.
Berat benar dakwaan yang selalu terdengar dalam hati
kecilnya itu. Makin lesu ia duduknya, bersender kepada salah
sebuah tiang yang menahan atap perlindungan itu.
Angin malam menyisir dingin ke dalam perlindungan. Hasan
menggigil kedinginan. Untung, di sampingnya sebelah kanan
duduk Bah Kim Long seorang Cina yang badannya gemuk,
sehingga Hasan bisa berlindung sedikit di belakangnya.
Hasan batuk-batuk. Dalam batuk-batuk demikian itu, ia
menyinggung sedikit kepada Mas Karto.
"Lo gimana ini sih!" bentak Bok Karto lagi kepada suaminya,
mendesak-desak saja! Kiranya aku ini ikan peda yang misti
berdempet-dempet di desak-desak" Geser dikit sana!
Mas Karto menggeser sedikit, mendesak Hasan lagi.
Malam makin gelap. Dan bagi Hasan mulailah terasa sangat
dingin. Oleh karena itu, maka lekaslah mantelnya dipakainya
yang selama itu digunakannya sebagai bantal duduk di atas
bangku dari bambu itu. Dirapatkannya leher mantelnya. Dan
sambil bersilangkan tangan depan dadanya, duduklah ia makin
merunduk lagj. Batuk-batuk lagi ia sebentar. Kemudian hening lagi. Hanya
suara Bok Karto masih terus berdesis-desis. Entah berapa ribu
kali kulhu sudah dibacanya.
Mendesing-desing lagi. "Sampai sejauh itu kekejamanm u"! Kamu kan tahu, bahwa
ayahmu itu seorang tua yang a lim, yang taat kepada Tuhan""
"Kejam"! Kejam kejam"! Tidakkah fanatisme ayahku sendiri
yang menghukum dia"! Bukankah selalu ia berkata, bahwa
agama memerintahkan kepada um atnya supaya saling cinta-mencintai, tapi kenapa dia membenci orang yang berpendirian
lain"" Tapi cuma sayup-sayup suara itu terdengar dalam hati
Hasan. Hampir tak terdengar. Dan sekilas cuma.
Maka terbayang-bayanglah lagi peristiwa dahulu, ketika
ayahnya berkata kepadanya, "Baiklah, mulai sekarang kita
berpisauan jalan saja."
Hasan makin gelisah lagi duduknya. Menutup lagi matanya
dengan kedua belah tangannya, seakan-akan bayangan batin
bisa mati dengan menutupi mata jasmaninya.
"Tapi kau sebagai seorang an ak harus menghormati orang
tuamu sendiri. Kesombonganmu sudah melukai hatinya,
sehingga ia meninggal ka renanya. Ya, itu cuma
kesombonganmu belaka! Sombong, seolah-olah kau ini orang
yang paling pinter, yang paling tahu, sehingga berani bermulut
lancang, menyatakan kepada ayahmu yang kau tahu
menjunjung tinggi nama Tuhan, bahwa Tuhan yang dipujanya
itu tidak ada! Bahwa yang ada itu hanya khayal manusia
belaka, seperti juga halnya de ngan hantu, jin, mambang dan
lain-lain. Tidakkah itu bera rti, bahwa kamu itu sudah
menganggap kepada orang tuamu sebagai orang-orang yang
mimpi, yang tidak sehat lagi otaknya"! Itu cuma
kesombongan! Tahu!" Mendesing-desing semua itu! Memusingkan kepalanya.
Muncullah lagi kenangan kepada kejadian di kuburan Emban
Jambrong. "Ya, si Anwar itulah yang menyesatkan daku! .... Ya, tapi
aku sendiri pun bodoh. Aku bodoh, karena aku selalu mudah
dipengaruhi dan tak sanggup membikin keyakinan sendiri yang
kukuh kuat!" Tegaslah terbayang-bayang ke mudian tubuh ayahnya yang
tak berhayat lagi telentang di hadapan mata batinnya.
Kemudian tempat kuburannya di atas sebuah bukit kecil, di
bawah sebatang pohon kemboja yang masih muda. Tanah
muda agak merah yang baru dipacul dengan dua papan yang
terpancang bertentang-tentangan dalam tanah. Pada yang
satu tertulis dengan ter hitam dalam huruf Arab: nama Raden
Wira dan tanggal meninggalnya. Dan di antara kedua papan
tetengger itu bunga rampai bertaburan. Sedang dekat
tetengger kaki sebuah pedupaan . Ayahnya kini tak ada lagi.
Hasan menyapu air matanya. Menyingsring-nyingsring ke
dalam sapu tangannya. Tiba-tiba seperti halilintar me nggores langit, mengkilatlah
suatu pikiran yang terang dan tegas dalam hati Hasan,
seakan-akan sinar ilham yang terang benderang menyiakkan
tabir gelap dalam jiwa yang bimbang. Terang, terang sekali
seakan-akan pikirannya. Berpikirlah ia, " Ayah sudah tidak ada lagi. Tapi aku, ibu,
Fatimah masih ada, masih hidup. Kalau Tuhan betul bikinan
khayal manusia, seperti kata Rusli dan Anwar, maka Tuhan
pun akan habislah riwayatnya, kalau mahluk yang dinamai
"manusia" itu sekali kelak sudah tidak ada lagi dari dunia ini.
Tidakkah manusia itu pun seperti mahluk-mahluk lainnya pula,
misalnya saja binatang-binatang dari jaman prasejarah, seperti
mommouth, minotaurus dan lain-lain, mungkin akan lampus
juga dari dunia ini" Mengapa ti dak mungkin" Apalagi kalau kita
melihat gelagatnya sekara ng, yang tiada hentinya
menunjukkan umat manusia yang saling bunuh, saling basmi
terus-menerus"! Dan tidakkah ilmu pengetahuan
menunjukkan, bahwa sekarang sudah banyak binatang-binatang yang sudah lampus, ya ng sudah tidak ada lagi jenis
atau keturunannya pada jaman sekarang" Dan bukankah
manusia pun, menurut ilmu pe ngetahuan adalah termasuk
suatu jenis binatang juga" Jenis binatang yang menyusui" Dan
andai kata, jenis manusia itu pada suatu saat sudah lampus
sama sekali dari dunia seperti mammouth dan minotaurus,
apakah dengan hal itu berartila h pula, bahwa Tuhan pun akan
habiskah riwayatnya, bahwa Tuhan pun akan turut tidak ada
lagi bersama-sama dengan jenis manusia itu" Tidakkah malah
lebih masuk di akal, bahwa Tuhan itu akan terus ada" Terus
ada sebagai Pencipta Alam Semesta yang tidak turut pula
lampus bersama dengan lam-pusnya jenis manusia, seperti
halnya juga dengan aku, ibu dan Fatimah yang masih terus
ada dan hidup, biarpun ayah sudah meninggal" Jadi dengan
sendirinya, ucapan yang mengat akan bahwa Tuhan itu adalah
bikinan manusia, tidak bisa aku terima. Tidak boleh aku
terima! Ya, kenapa hal ini samp ai tidak terpikirkan olehku
dulu"!" Tiba-tiba Hasan menegakkan dirinya. Tidak bersender lagi
kepada tiang, melainkan melu ruskan pinggangnya dengan
membusungkan sedikit dadanya. Kedua belah tangannya,
yang selama itu bersilang di atas dadanya, kini menganjur
lepas, selaku orang yang merasa terdesak-desak mau
menyiakkan khalayak ke pinggir. Dalam gerak-geriknya itu ia
sedikit menyinggung lagi Mas Karto yang berkisar lagi
duduknya mendesak Bok Karto. Perempuan tua itu segera
diam sebentar dengan desis-desisnya, tapi sejurus kemudian
terus lagi ia dengan, "allahuma ssoliala . . .." dan lain-lain.
Hasan kembali lagi kepada sikap seperti bermula.
Melengkung lagi pinggangnya. Tapi tangannya berkepal, dan
giginya-berderik-derik, "Ya, si Anwar dan si Ruslilah yang
sudah menyesatkan daku! Mereka yang membikin aku
berbentrokan dengan ayahku sendiri! Ya, mereka yang
terkutuk! Mereka yang harus kuhancurkan!"
Tangan Hasan yang kurus kering itu berkepal-kepal dan
me-ninju-ninju pahanya sendiri. Gemas ia! Maka terbayang-bayanglah lagi wajah Anwar dengan jilatan matanya yang
penuh dengan nafsu berahi te rhadap istrinya. Terbayang-bayang lagi khayal tentang perhubungan Anwar dengan
istrinya di belakang punggungny a, kalau ia sedang di kantor.
Etc, etc. "Si Anwar! Cih!"
Panas rasanya dalam dadanya. Serasa terbakar oleh api
neraka! Berputar-putar segala dalam kepalanya. Serasa-rasa
mau lari ia! Entah ke mana! Serasa-rasa mau menjerit-jerit
pula! Entah untuk apa! Terasa olehnya air mata mencekik
lehernya. Tapi dengan sekuat tenaga ia mau menenangkan hatinya.
Beberapa kali ia menarik napas panjang.
"Ya, memang aku sudah bers alah, aku terima segala
dosaku. Memang aku adalah seorang anak yang durhaka,
seorang anak yang murtad , seorang pembu . . .."
Tak tahan lagi ia. Air matanya yang selama itu ditekan-tekannya, tidak
dengan diinsyafinya lagi sudah berderai-derai di atas pipinya,
berjatuhan ke atas pangkuannya.
"Bagaimana hendak kutebus dosaku" Di manakah ayahku
sekarang" " Pernah Hasan melihat gambar Yesus yang dilingkari
kepalanya dengan bulatan cahaya , berada di atas gumpalan
mega. Maka Pada akhirnya dengan tak diinsyafi..,
sayup-sayup terbayang-bayanglah pula ayahnya pun perada
di atas gumpalan mega se perti itu. pi langit....""
"Bagaimana hendak kutebus dosaku" Bagaimana hendak
kubuktikan kesalahan hatiku terhadap segala perbuatanku
terhadap ayahku itu" Bagaimana....""
Demikianlah be berapa jurus. Bersoal-soal Hasan dalam
hatinya sendiri. Makin sunyi dalam perlindungan. Bok Karto
sudah tidak berdesis-desis lagi. Sudah capek rupanya.
Mungkin ia hanya ber-desis-desis dalam hatinya saja. Mungkin
juga ngantuk. Pada akhirnya dengan tak diinsyafi benar, jari-jari Hasan
sudah memetik-metik lagi tasbeh yang pernah dipegang oleh
ayahnya ketika ia melepaskan napas penghabisannya. Hasan
teringat lagi kepada Tuhan. Be rsujud lagi ia dalam hatinya
kehadirat-Nya dengan ketaatan dan kemesraan seperti dulu.
Tasbeh dipetik-petik terus. Makin lama, makin cepat. Persis
seperti dulu ia biasa berlaku, kalau ia sedang berzikir. Maka
sekarang pun berzikirlah pula ia dalam hatinya. Makin lama,
makin cepat: Allahu Allahu Allah,....
Dalam pada itu dunia sudah satu jam lagi bertambah tua.
Tapi belum juga "aman kembali".
Malam makin dingin. Ditambah lagi dengan angin dingin
yang tajam menyisir ke dalam lobang. Sungguh tidak enak
dingin itu terasa oleh Ha san. Ia batuk-batuk lagi.
Ia mencengkungkan lagi badannya lebih menyusuk di
belakang Babah Kim Long yang amat gemuk itu. Demikianlah
seperti cecak di belakang sebuah jeruk Bali yang kuning
matang, Hasan berlindung di belakang Bah Kim Long itu.
Karena angin amat derasnya, maka leher mantelnya ditariknya
lebih ke atas lagi, sehingga ke palanya tenggelam di dalamnya.
Terasa olehnya, bahwa ia makin pucat. Berkali-kali ia batuk
lagi. Batuknya kosong. Bergema suaranya dalam lobang.
Kosong seperti suara batuk dalam kaleng. Dan tiap kali ia
batuk menimbulkan perasaan ya ng kurang enak dan gelisah
kepada orang-orang yang berada dalam lobang itu. Pada yang
satu seolah-olah takut ketularan oleh penyakit Hasan. Pada
yang satu lagi seolah-olah batuknya itu akan terdengar oleh
musuh, sehingga mereka akan jatuhkan bomnya ke sana.
Hanya Bah Kim Long yang tak acuh, karena ia sudah terjatuh
ke dalam mimpi. Ia sudah mulai mendengkur.
Tiba-tiba: Ngeeooongng ng, ngeeeooongng ....
ngeeeoongng. Alhamdulillah! Tiap napas lega lagi. ^
Dan seolah-olah atas suatu komando, orang-orang bangkit
serempak dari duduknya. Kecuali Bah Kim Long yang masih
mendengkur. Dan jeruk Bali itu baru bangun terperanjat,
ketika Bok Karto dalam gelap tersandung kakinya dan dalam
mencari sesuatu pegangan supaya jangan jatuh, tangannya
yang sedang memegang sisig mencakar muka sang babah
juara tidur itu. Karena tercakar mukanya demikian barulah Bah
Kim Long mengangkat tulang da n dagingnya yang 90 kilo itu
beratnya, lalu bergontai-gontai keluar lobang sambil berkutuk-kutuk dalam mulut, karena cep ah merah mencofengi mukanya
yang kuning itu. Tiap hati merasa lega kembali. Menghirup udara nyaman di
luar. Lampu-lampu yang dibatasi itu, serempak terang
kembali. Seolah-olah bersorak karena riangnya.
Hanya bagi Hasan semua itu tidak memberi perbedaan
perasaan benar. Terseok-seok ia melanjutkan perjalanannya
.... 2 "Satu kamar untuk satu oran g"! .... Ada Tuan! Ada! Mari
ikut saja Tuan!" Hasan mengikuti jongos Amat yang menjinjing tas
pakaiannya. Selincah jongos itu bergerak, selesu Hasan
berjalan. Terseok-seok menyeret kakinya.
Memang Hasan merasa terlalu lesu, terlalu lemah untuk
terus pulang ke rumahnya. Apa lagi angin malam yang dingin
itu sangat tajam mengiris ku lit. Sangat berbahaya bagi
penyakit dadanya. Karena itulah maka ia masuk ke sebuah
penginapan yang tidak jauh letaknya dari tempat perlindungan
itu. "Nah ini kamarnya, Tuan," kata Amat sambil membuka
pintunya, yang berangka 8 di atas daunnya yang sudah kumal
dan retak-retak catnya. Trak! Lampunya dinyalakan.
"Bisa tuan pakai kamar ini" Ya ng lain tidak ada lagi. Sudah
penuh semuanya. Bisa pakai, Tuan""
Hasan mengangguk lemah. Masuk.
Ia menjatuhkan diri ke atas sebuah kursi yang sudah
goyah. Mengeluh berat. Cape k benar ia, seakan-akan baru
mendaki ia ke atas sebuah bukit.
"Ini Tuan punya ko por, Tuan," kata Amat sambil menaruh
tas Hasan di atas meja yang dihadapinya. "Permisi sebentar."
(lalu pergi keluar). Hasan duduk dengan kepalanya terkulai.
Orang-orang masih pada ribut, karena baru saja kembali
dari lobang perlindungan. Suaran ya bercerecet-cerecet seperti
di pasar burung. Suara perempuan bercampur dengan suara
laki-laki, bercampur pula de ngan suara langkah kaki-kaki
berketepak-ketepok di atas lant ai, dan sekali-sekali suara pintu
ditutup dan dibuka, menggelebruk atau menggeret.
Pada umumnya orang-orang itu masih murung dalam
tekanan takut. Tapi kadang-kadang terdengar juga orang
tertawa berderai-derai. Hampir semuanya orang-orang itu
menjinjing atau men-gendong kopornya, yang dibawanya
turut mengumpat ke dalam perl indungan. Maklumlah mereka
itu semuanya tamu-tamu penginapan.


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebentar kemudian Amat masuk lagi ke kamar Hasan
membawa sepasang bakiak dan semangkok air teh panas.
Uapnya putih tipis laksana sutra meriak-riak di atas air yang
jernih kekuning-kuningan warnanya. Bakiak ditaruhnya di
bawah kursi dan air teh di atas meja, di sisi tas pakaian.
"Ini bakiak dan air teh, Tuan," kata Amat.
Hasan mengangguk. Amat keluar. Sebelum menutup pintu,
menoleh dulu ia sebentar dengan ekor matanya ke arah
Hasan. Agak heran ia rupanya, melihat Hasan merunduk saja
itu. "Sakitkah ia"" pikirnya, "atau kalah main rupanya!" (Amat
suka sekali main keplek deng an teman-temannya supir atau
tukang beca). Hasan masih merasa terlalu lesu untuk bicara.
Tidak lama Amat sudah kembali pula mengepit sebuah buku
besar: buku tamu yang harus diisi oleh Hasan.
"Tarohlah saja dulu di sana," kata Hasan lesu.
Suaranya hampir berbisik. Da ri gerak matanya dan mimik
wajahnya, Amat mengerti, bahwa buku itu harus ditaroh di
atas tas pakaian yang dihadapinya.
Kemudian jongos yang lincah itu hendak keluar lagi. Tapi
sampai di depan pintu, ia me noleh kembali ke arah Hasan,
seraya katanya dengan mimik yang penuh arti serta
memegang knop pintu, 'Tuan sakit rupanya. Tidak perlu
dipijat, Tuan""
Hasan menggelengkan kepala.
"Kalau perlu ada banyak, Tu an. Mau laki-laki ada. Mau
perempuan ada. Mau yang tua ada. Mau yang muda ada.
Malah ehm, ada yang baru Tuan. Baru saja datang dari
kampung. Baru cerai dari lakinya. Dia begini Tuan!"
(mengajukan jempolnya). 'Tidak!" kata Hasan dengan pendek. Tangan kirinya
bergerak-gerak memberi isyarat kesal.
Amat tertawa agak kemaki-maluan. Lalu pergi,
meninggalkan Hasan seorang diri. "Karena kalah maen, tidak
ada nafsu dia!" pikirnya, mengangkat bahu.
Orang-orang di luar tidak riuh lagi. Sudah pada masuk ke
kamarnya masing-masing. Beberapa sudah dikunci. Di kamar
sebelah terdengar seorang perempuan bernyanyi kecil.
Kemudian suara laki-laki. Dan kemudian pula1 suara letusan
tertawa dari dua mulut. Suara kecil menghihi-hihi berbaur
dengan suara besar menghaha-haha. Kemudian hening
kembali. Hasan membuka mantelnya, bajunya, sepatunya. Lantas
membuka tasnya. Mengambil piyama. Dipakainya. Menggeliat
sedikit. Menguap. Jari-jarinya bertepuk-tepuk di muka
mulutnya yang melongo. Mantelnya kemudian dipakainya lagi. Begitu pula kaos
kakinya tidak dicopotnya. Bakiak menggantikan sepatu. Selain
dari itu lehernya diikat pula dengan halsduknya. Dengan
begitu, ia mengharap akan bisa tidur nyenyak. Menggeliat lagi.
Menguap beberapa kali. Tapi sebelum meletakkan badannya di atas tempat tidur, ia
hendak mengisi buku tamu dulu. Duduk lagi di atas kursinya.
Buku tamu dibuka-bukanya.
Setelah beres ia mengisi sega la keterangan, maka dengan
tak ada maksud tertentu dibuka-bukanyalah lagi lembaran-lembaran buku tebal itu. Ada ya ng bagus seperti tulisan guru
sekolah rendah, ada yang mereng-mencong seperti tulisan
juru tulis pegadaian atau dokter. Begitu pula dengan tanda
tangannya. Ada yang jelas bisa dibaca ada yang seperti
tumpukan kayu bakar, atau rumpunan rumput. Namanya pun
bermacam-macam. Ada Rivai, ada Tatang, ada Tan Tjong
Seng, ada Bafagih, dan banyak lagi. Nama pakai Achmad atau
Mohammad paling banyak. Kalau diketahui, betapa
bermacam-macamnya pikiran dan soal-soal yang
memusingkan kepalanya masing-masing! Wah!
Hasan membuka-buka terus seperti seorang gadis
membuka-buka sebuah albu m teman sekolahnya. Suka
rupanya ia membaca-baca apa ya ng tertulis dalamnya itu.
Tiba-tiba terpancanglah matanya kepada suatu nama yang
tertulis di atas halaman bani dengan huruf yang bagus:
"Anwar dengan is tri, pedagan g, dari Jakarta, hendak ke
Tasikmalaya, tanggal 15 Februari, kamar nomor 8, untuk
beberapa malam." Hasan termenung sebentar. Bert anya-tanya dalam hatinya:
"Anwar" .... Anwar" Anwar dan istri" .... Ya, aku tidak ragu
lagi. Ya ini tulisan Anwar" Tan datangan Anwar! Ya, tidak
ragu! Tapi kenapa ditulisnya "dengan istri" itu" Setahuku ia
belum kawin. Masih bujang. Tapi .... ya barangkali, ya ya
mungkin itu mungkin sekali.
Memang ia adalah orang* yang mempunyai pendirian yang
aneh, yang sangat lepas, terl alu lepas, tentang soal-soal
perempuan dan kesusilaan. Bukankah kata Rusli, Anwar itu
dulu ketika di HBS*) dipecat dari sekolahnya, karena ia
berbuat yang tidak senonoh dengan seorang gadis Belanda,
anak seorang administratur dari salah sebuah onderneming""
Terdengar lagi dari kamar sebelah perempuan dan laki-laki
tadi tertawa. Dan cetusan tertawa itu menimbulkan sesuatu
lukisan dalam khayal Hasan: Anwar dengan seorang
perempuan itu. Sembarang peremp uan jalang saja barangkali.
Masih ingat pula Hasan tentang pendapat Anwar yang
mengenai soal percabulan. "Dat is het echte leven!" katanya,
"itulah hidup yang sebenarnya! Lepas-bebas, belum tersepuh
dengan segala kepalsuan yang ada pada apa yang dinamakan
peradaban atau kesusilaan yang pura-pura suci itu!"
Begitulah katanya. Hasan menggigil. Menggeleng-geleng
kepalanya. "Bagaimana mungkin," begitulah pikirnya, "seorang
terpelajar seperti dia, dan seniman pula, sampai bisa
berpendapat sepicik itu" Tidakkah terinsyafi olehnya
penderitaan-penderitaan yang harus dialami oleh kurban-kurban masyarakat itu" Kurban-kurban masyarakat yang
sudah begitu jauh jatuhnya ke dalam jurang kesengsaraan"
Tidakkah terinsyafi olehnya, bahwa pada umumnya
perempuan-perempuan itu terpaksa harus menjual dirinya
untuk mencari sesuap nasi semata-mata. Bahwa mereka itu
sesungguhnya korban stelsel kapitalisme yang terkutuk itu,
seperti kata Rusli" Bahwa mereka itu, yang setiap malam
harus meladeni kadang-kadang sampai belasan orang laki-laki
yang pada melepaskan nafsu-he waninya, tidak mungkin bisa
merasakan kenikmatannya, melainkan tentu hanya merasa
sebal belaka" Dan dalam kepalsuan justru ada pada cabo-cabo
itu, karena tiap kali ia harus bersandiwara, pura-pura cinta
untuk membangkitkan hawa nafsu si pembelinya itu. Dan
hidup semacam itu yang penuh dengan kekotoran dan
kepalsuan itu, tapi pun juga penuh dengan kesedihan dan
kesengsaraan, oleh si Anwar dianggap sebagai "het echte
leven!" Entahlah, aku tidak mengerti, apa sebetulnya yang
dimaksudkan dengan het leven itu"!" *) Hogere Burger
School = Sekolah Menengah Atas.
Hasan mengangkat kepalanya. Menatap pintu. Dilihatnya,
bahwa pada daun pintu itu ada lagi angka 8 seperti pada
bagian mukanya. Cuma yang di muka ditulis dengan cat,
sedang yang ini hanya dengan kapur biasa saja. Nampak pula
kepadanya, betapa tuanya sudah pintu itu. Catnya sudah
kumal, retak-retak, berbintik-bintik. Angka 8 seolah-olah
mengambung-ngembung di atas air yang keruh kehijau-hijauan. Melihat pintu yang sudah tua itu. Hasan hanyutlah
dengan khayal seperti kanak-kanak lagi yang bercakap-cakap
dengan sesuatu benda. "Kau sudah tua amat," katanya dalam
hati kepada pintu itu," tentu sudah banyak pengalaman sudah
banyak penglihatanmu! Sudah banyak yang telah kau
saksikan!" Maka seolah-olah menyahutlah pintu itu, "Banyak, banyak
sekali yang telah kusaksikan se lama hidupku ini! Dan kalau
Tuhan itu betul Maha Mengetahui, maka itu berarti pula,
bahwa Dia bersama aku turut pula menyaksikan segala yang
pernah atau sedang terjad i dalam kamar ini. Dengan
demikian, maka dalam hal ini, tak adalah Saksi Mutlak selain
daripada Tuhan dan aku sendiri. Tapi tidak, sebetulnya masih
ada lagi yang juga merupakan Saksi Mutlak seperti Tuhan dan
aku itu, ialah kejujuran yang ada dalam hati orang-orang yang
bersangkutan. Kejujuran yang pa da dasarnya ada dalam tiap-tiap hati manusia. Alhasil, selain daripada melalui diriku ini,
maka Tuhan itu melihat juga melalui kejujuran hati manusia.
Cuma alangkah sayangnya karena aku ini hanya berupa
sepotong benda yang tidak berhayat, tidak ber
nyawa, yang tiada hidup, sehingga tidak bisa aku berlaku seperti saksi yang
hidup. Maka karena demikian, hanya Tuhan dan kejujuran hati
manusialah yang bisa dianggap sebagai dua-duanya saksi
mutlak dalam tiap-tiap kejadian yang mengenai dirinya sendiri.
Tapi ah, kenapakah manusia suka membikin kedua Saksi
Mutlak itu menjadi seperti aku juga, suatu benda yang
mati......."" Mengeluh Hasan, seakan-akan ia mewakili pintu,
mengeluarkan keluhan pintu itu. Berkeluh ia sambil mencela
orang-orang yang suka berzinah. Orang-orang semacam
Anwar! Ya, kembalilah ia kepada Anwar.
"Siapa perempuan itu"... . Tanggal 15 Februari!"
Hasan menggigit potlot yang baru dipakainya. Berputar-putar, potlot di antara giginya.
'Tanggal 15 Februari!... He ..... 15 Februari"! Jadi dua bulan
yang lalu kira-kira"!"
Tiba-tiba buku dikatupkannya. Pak! Nyamuk menguing-nguing ketakutan.
Mendung hitam-hitam bergayut tiba-tiba pada wajah Hasan.
Meramalkan taufan akan mengamuk!
Tinjunya menepuk meja "Gila dia! Zinah dia! .... Tapi
mungkinkah itu" Mungkinkah"! (menderu-deru dalam
kepalanya) "Mungkinkah" Mungkinkah" ..... Tapi kenapa tidak
mungkin"! Kenapa tidak mungkin"! Kenapa tidak mungkin"!"
Gemetar seluruh badannya. Darahnya yang tadi beku itu
sekarang seolah-olah bergolak -golak, mendidih berceridis-ceridis seperti air dalam kancah. Panas. Giginya berderik-derik.
Tangannya yang lemah itu serasa menjadi kuat. Kuat lagi.
Di kamar sebelah terdengar lagi suara orang-orang tertawa.
Makin riuh. Membikin Hasan makin pusing, makin sesak
dadanya. Menimbulkan bayang-bayang khayal yang makin
jelas. Tak tahan lagi ia. Berdiri.....
Amat masuk hendak mengam bil buku tamu kembali.
Melihat jongos masuk, Hasan agak tersedar kembali. Buku
segera dikasih-kannya kepada Amat.
"Terima kasih," kata Amat mengangguk.
Sambil mengangguk menjilat ekor matanya ke dalam wajah
Hasan yang mendung itu. Merasa takut, lalu lekas-lekas
mengepit bukunya hendak pergi. Tapi baru saja dua langkah
didengarnya Hasan berseru, "Hai Bung!"
Amat terkejut. Bukunya hampir menggelosor hendak jatuh.
Berbalik ia. "Ada yang mau saya tanyakan kepadamu," kata Hasan,
setelah jongos dibiarkannya beberapa jurus berdiri di
depannya. "Ada yang...."
Tertegun Hasan. Sedikit ragu. Tidak lanjut bicaranya. Diam
beberapa jurus. Menggigit potlotnya lagi. Mengernyit
keningnya. Amat berdiri sedikit^elisah. Heran bercampur takut.
Menggaruk pipinya dengan telunjuknya, yang kukunya lebih
panjang dari kuku jari-jari yang lain.
Pada akhirnya berkatalah pula Hasan, "Barangkali (ragu)
barangkali.....masih ingat engkau barang dua bulan yang
lalu....."" Amat mengernyitkan keningnya. Mengingat-ingat. Tapi apa
yang diingat-ingatnya itu sebetulnya ia tidak tahu.
Hasan menjangkau buku-buku dari kepitannya. Dibukanya.
Agak cepat ia bisa mendapatkan halaman yang dicarinya.
Dikepitnya lembaran itu dengan telunjuk dan ibu-jari tangan
kirinya. Gemetar lembaran itu seperti selembar pidato, yang
sedang dipidatokan oleh orang yang belum biasa berpidato di
muka umum. "Nah......!" kata Hasan seraya mengetuk-ngetuk dengan
potlot- nya ke atas nama "Anwar". Engkau barangkali masih ingat
kepada orang yang menandatangani ini""
Jongos membungkuk sedikit ke atas buku-tamu itu.
Membaca alon-alon, "Anwar" Tan ggal 15 Februari .... Kamar 8
..."" Lambat-lambat telunjuknya menyuruh huruf-huruf, selaku
anak kecil yang belajar mengaji alip-ba-ta.
Ia mengernyitkan lagi keningnya. Mengingat-ingat.
Mendesis-desis bibirnya, "Lima belasss Pebruawarri ....
Anwarrr..... kamar delapan......." Menengadah sebentar, seperti ayam sedang minum.
Lehernya memanjang seperti hend ak bercukur jenggot. Tiba-tiba berseri-seri seperti anak sekolah mendapat jalan untuk
menyelesaikan sesuatu hitungan yang sulit. Katanya buru-buru, seolah-olah takut lupa lagi, "O tentu! Tentu! Tentu saya
ingat, Tuan! Ya, ya, saya ingat, Tuan!" (mengangguk-n
ganggu k). Berceritalah Amat tentang segala apa yang telah
dilihat dan didengarnya. Ia sangat pandai bercerita dan suka
sekali bercerita. Sekali bercer ita, maunya tetap bercerita.
"Istrinya sangat cantik, Tuan! Ia begini, Tuan! (men
gajukan jempolnya). Rambutnya ikal "mengombak banyu" (tangannya
melukiskan ombak). Di atas bibirnya ada sebuah tai lalat (tak!
ujung kuku telunjuknya mengetik di atas bibirnya). Dan
matanya, Tuan, wah hebat! Berkilau-kilau seperti biduri
(kelima jarinya kembang-kempit). Potongan badannya
langsing seperti.... (kedua belah tangannya membikin lukisan
seperti biola di udara). Pendek kata, ia begini, Tuan!
(mengacungkan lagi jempolnya). Sungguh mati, ia terlalu
cantik buat dia!" Lincah sekali tangan dan mata Amat bergerak-gerak,
selincah lidahnya juga. (Sebelum menjadi jongos. Amat
memang pernah jadi tukang jual obat keliling).
Dalam pada itu Hasan melenguk saja seperti si pungguk
kena pukul. Serasa gondok ia dalam kerongkongannya.
Mengeluh berat, seakan-akan mau melongsongkan sedikit
jalan hawa dari dadanya. Tidak sangsi lagi ia! "Kartini perempuan itu! Kartini! Istriku!"
Tapi biarpun "Tidak sangsi lagi" itu, terloncatlah juga suatu
pertanyaan dari mulutnya, "Bagaimana pakaian perempuan
itu"" "Wah tentu saja itu pun saya masih ingat juga! Pakaiannya


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun begini, Tuan! (mengacungkan lagi jempolnya). Habis deh!
Wah dibanding dia, si lakinya itu amat kumal!.......Aduh,
kainnya bukan main, Tuan. "Jawa Baru", Tuan! Wah berapa
harganya sekarang ya"! Rasanya paling sedikit toh masih 800
rupiah (setengah berbisik lagi). Maklum sekarang uang
"kompos", bukan begitu Tuan" Uang tidak ada tenaganya!
Uang Jepang sih........! Dan kebayanya, Tuan"!....... Sutra kuning dengan sebuah
bunga merah yang besar dibordelkan di atas dadanya
sebelah kiri." Bum!!! Cukuplah! Hasan sudah yakin! Tidak syak lagi!
Tapi sekali bercerita, tetap bercerita. Sekali mendengarkan
tetap mendengarkan. Begitulah se olah-olah perjanjian antara
kedua orang itu. 'Tapi entahlah, Tuan. Apa yang kemudian terjadi, saya
kurang mengerti. Sebab saya tiba-tiba mendengar dalam
kamar itu cekcok. Perempuan itu kedengaran memekik-mekik
dan menyentak-nyentak dan tak lama kemudian ia keluar
menjinjing tas pakaiannya, bergegas ke jalan besar,
memanggil delman, lalu pergi dengan
delman itu entah, ke mana...... Dan Sang Arjuna,
Tuan"!....... Beberapa jurus kemudiah pergi juga ia dengan clela-clili
seperti kucing yang tidak hasil mencari daging."
Hasan masih melengguk saja. Tapi dengan tidak
diinsyafinya, kedua belah tangannya sudah berkepal-kepal.
Bibirnya rapat terkatup. Pipinya bergeletar. Amarah sudah
menjadi-jadi dalam hatinya. Panas seluruh badannya. Mual!
Sebal! Hahaha! Ihi-ihi! Terdengar lagi tertawa laki-laki dan
perempuan di kamar sebelah, ya, mereka sedang bercumbu-cumbuan. Mungkin perempuan itu pun perempuan yang punya
laki juga..... Gelap! Gelap tiba-tiba bagi Hasan.
"Dan mereka berdua itu telah menghina engkau dalam
kamar ini juga. Ya, di ka mar ini! Kamar 8!" Bum!!!
Hasan tak tahan lagi. Dengan menepuk meja, ia bangkit
dengan tiba-tiba. Seperti kucing garong yang hendak
menerkam mangsanya, badannya seolah-olah mengembung
tinggi. Tiba-tiba jongos disiakkannya ke pinggir, lalu
bergegaslah ia ke lu ar. Bergegas.........
Bergegas......... setengah lari ke luar hotel, ke atas trottoir,
ke jalan besar .... dalam n alam yang setengah gelap, Berkelatak
suara., bakiak yang copot dari kakinya. Ia bergegas terus
dengan dadanya berat turun-naik. Bergegas terus. Tidak
melihat ke kiri ke kanan. Tidak perduli apa yang dilaluinya.
Tidak melihat apa-apa lagi. Segala serba kabur. Ia seperti
didorong oleh suatu tenaga yang gaib, yang menguasainya
seluruhnya. Ia menjadi kuat untuk berjalan cepat. Cepat!
Cepat! "Kaubiarkan begitu saja" Kaubiarkan begitu saja" Tidakkah
kau merasa terhina"! Kaubiarkan begitu saja"! Kau.....
Kau... Kau....."!" Suara itu mendesing-desing seperti radio tidak tepat kena
stasiun, memukul-mukul seperti cambuk memukul kuda.
Hasan sudah lupa akan dirinya sendiri, lupa apa yang ada
sekelilingnya. Ia bergegas terus! Bergegas terus!
"Kaubiarkan begitu saja ...." ! Kaubiarkan begitu saja""
Makin cepat makin bergegas! Cepat! Cepat!
"Kaubiarkan begitu saja ...."! Sudah lupa akan ajaran
agama, akan ajaran Tuhan, akan ajaran Kemanusiaan,
Kesusilaan .... Atas nama semu
a itu kau harus membalas dendam! Harus kauhancurkan si pelanggar hukum semua
itu......" Hasan lari terus! Lari terkapah-kapah! Napasnya mengap-mengap.
"Kau harus membalas dendam! Hancurkan dia! Basmi dia!"
Mendesing-desing terus suara itu! Berputar-putar solah-olah
bumi. "Sedang Hamlet si Tukang Sangsi itu, pada akhirnya
membalas juga! Karena tak mau ia dihina-hina! To be or not
to be! To kill or not kill! And he kills! He kills! And you"! You"!"
Ngeeooogng, ngeeeooognng.... ngeeeoooongng. Sirene
tiba-tiba berbunyi. Tanda ba haya udara. Hasan agak
mengeram larinya. Tapi ia lari terus.
"Kaubiarkan begitu saja......."!
"Kusyu Keiho! Kusyu keiho!"
Seorang keibodan berteriak-teriak sambil lari ke sana ke
mari dengan corong pengeras suara.-
"Kusyu Keiho! Kusyu Keiho! Lampu! Lampu Padam!"
ngeeeooongng, ngeeeooong ng, ngeeeooong ....!
Rrrrttt, lampu-lampu semuanya padam. Gelita turun
menyelimuti kota. Orang-orang berlari-larian mencari
perlindungan. Hasan tertegun sebentar. Mau berlinduna^A^dc bimbang.
Tapi dilihatnya masih ada orang- orang yang,lari, maka ia pun
larilah lagi. Lari terus!
"Kaubiarkan begitu saja" Kaubiarkan begitu saja"!"
Mendesing-desing lagi suara itu dalam kepalanya, seperti
suara lebah-lebah yang mengerumuni sirop. Memukul-mukul
terus, tak henti-hentinya sepe rti bedug pada malam Lebaran.
Suara sirene sudah tidak terdengar lagi. Sunyi senyap......
"Kaubiarkan begitu saja"! Kaubiarkan begitu saja""
Makin gencar serasa bumi be rputar-putar bagi Hasan.
Gelap! Gelap baginya! Ia bergegas terus. Tidak peduli ada
bahaya udara. Tidak peduli orang-orang pada berlindung.
Dadanya dibakar terus oleh api amarah yang menjolak-jolak
ke atas, yang menyalakan matanya, mengaburkan telinganya,
mengacaukan pikirannya. la bergegas terus. Dalam gelap gelita ....
Tiba-tiba ... tar! tar! aduh!
Hasan jatuh tersungkur. Darah menyebrot dari pahanya. Ia
jatuh pingsan. Peluru senapan menembus daging pahanya
sebelah kiri. Darah mengalir dari lukanya, meleleh di atas
betisnya. Badan yang lemah itu berguling-guling sebentar di
atas aspal, bermandi darah. Kemudian dengan bibir melepas
kata "Allahu Akbar", tak bergerak lagi ....
"Mata-mata ya! Mata-mata ya! Orang jahat! Bekeru!"
TAMAT tamat Geger Batu Bintang 2 Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Bunga Ceplok Ungu 2
^