Pencarian

Biru Laut 2

Biru Laut Karya Asma Nadia Bagian 2


"Copeeettt!!!" Jamilah bengong. Tidak mengira aksi Jai cuma segitu doang. Tetapi, abangnya yang melihat kebengongan si Adik, cuma mengedipkan mata, lalu teriak lagi. Lebih keras. Lebih panjang.
"Copeeettt!" Je Je Es Malam minggu, tumben Jai dan Jamilah lagi akur. Dua saudara itu sejak sore udah jalan ke mal, ngiter-ngiter, gak jelas tujuannya.
"Bang, mau beli apaan, sih""
"Tenang... ntar juga tau," sahut Jai kalem. Jamilah jadi nebak-nebak. Lalu senyumnya terkembang.
"Abang habis dapat rezeki, ya"" Jai tidak menjawab. Dia malah berhenti di depan sebuah toko sepatu yang terkenal. Kedua matanya merayapi sepatu-sepatu yang terpampang di etalase. Ringan, tangannya menyambar Jamilah.
"Masuk, yuk! Kali ada sepatu yang cocok."
Dengan riang, Jamilah mengikuti langkah-langkah lebar Jai. Keduanya disambut ramah penjaga toko.
"Ada yang bisa saya bantu, Om"" sapa si Penjaga Toko dengan senyum secermerlang iklan pasta gigi.
Anak-anak muda yang barusan masuk ini, memang gak begitu meyakinkan penampilannya, tapi... biar gimana pembeli kan raja, si Penjaga Toko ngebatin, ya harus nyambut ramah dong. Apalagi dari pagi belum ada yang beli.
"Mau liat-liat dulu boleh, kan"" Tanpa menunggu jawaban, Jai mendekati jejeran sepatu yang dipajang. Tidak lama ...
"Jim, coba yang ini dijajal, kira-kira muat gak""
Ngomong begitu, Jai menyodorkan sepasang sepatu kepada adiknya. Jamilah langsung duduk di bangku yang sudah disediakan dan mencoba sepatu. Wajahnya cerah. "Lumayan nih, Bang," suara Jamilah riang, senang banget dia karena bakal dapat sepatu baru.
"Mmm... Cuma itu yang keluar dari mulut Jai. Cowok yang berwajah manis itu malah nyipitin matanya, pasang tampang mikir.
"Dari segi warna yang kayak gini udah out of date. Coba yang lain deh, Jim!"
Jamilah nurut. Penjaga toko terburu-buru membantu mencarikan model lain.
"Kalau yang ini gimana, Om"" tanyanya tak lama kemudian. "Keliatannya cocok nih, buat pacarnya."
"Eh, jangan sembarangan, ya"" Jai agak ewot. "Memang gak liat, muka dia dengan muka saya mirip pinang dikampak dua""
Melihat tampang Jai jadi keruh, mbak si Penjaga Toko buru-buru minta maaf. Tetapi dengan lagak tuan besar, Jai tidak menghiraukan. Matanya masih mencari-cari model yang kira-kira pas untuk Jamilah. Berkali-kali pula si Mbak menyodorkan sepatu, namun hanya disambut tatapan dingin Jai.
"Cak, gak oks itu, Mbak!"
"Kalo yang ini, Om""
"Mmm... mungkin bisa. Tapi, gak Mbak! Terlalu... gimana gitu!"
Si Mbak yang bertubuh sedang seperti Jamilah, tampak agak putus asa. Untunglah tidak lama Jai mengulurkan sepasang sepatu yang dipilihnya sendiri.
"Coba yang ini, Jim! Abang mau liat."
Jamilah mencoba sepatu yang disodorin. Lalu tersenyum karena ukurannya pas di kakinya. Di sebelahnya, Jai terus memperhatikan sambil sesekali menggeleng kepala, lalu mengangguk-angguk, terus menggeleng lagi. Si Penjaga Toko yang melihat ulah Jai jadi deg-degan.
"Gimana, Bang""
Jai mikir, serius. "Coba berdiri, terus jalan bolak-balik!"
Tanpa banyak bicara, Jamilah ngikutin perintah abangnya.
Sepatu pantofel yang rada sportif itu, terasa pas dan nyaman banget di kaki Jamilah. Gadis berkepang dua itu pun makin melebarkan senyumnya.
"Pas banget nih Bang, warnanya juga oke!" Lalu dengan mimik sama cerahnya, Jamilah memandang penjaga toko sepatu, seolah meminta dukungan, "Iya kan, Mbak""
Refleks si Mbak mengiyakan, "Iya Om, mumpung lagi diskon!"
Jai menghela napas. Suaranya terdengar rendah ketika bicara.
"Jim," panggil Jai sambil ngedeketin Jamilah, warna udah oke. Ada diskon lagi. Hanya modelnya nih, yang begini gak fleksibel!"
"Gak fleksibel gimana, Bang"" Jamilah gak mengerti.
"Ini cuma cocok buat dibawa ke pesta, gak cocok dibawa ke pantai, apalagi buat olahraga!"
Senyum di wajah Jamilah dan si Penjaga Toko urut. Namun, rup
anya mbak berbaju garis-garis itu belum nyerah. Matanya cepat menjelajah rak, lalu mencomot sepasang sepatu.
"Om, kalau buat pergi ke pantai ada nih yang cocok," ujarnya, seraya nyodorin sepatu pada Jai.
Wah... yang ini yahud, nih," kata Jai kegirangan. "Coba Mbak pake, terus... Mbak jalan keluar kira-kira seratus meter dan balik lagi ke sini. Ya""
Jamilah mengerutkan kening. Si Penjaga Toko yang juga tidak mengerti apa maunya si Om cerewet di depannya, spontan bertanya, "Seratus meter" Kok jauh banget jalannya, Om""
Oh, begitu. Bagus, itu pertanyaannya," ujar Jai dengan senyum terkembang yang kini mulai mencurigakan di mata Jamilah.
Begini, Mbak. Adik saya punya masalah dengan cara berjalan, apalagi kalau pake sepatu bagus kayak gini. Nah, dia juga pemalu berat," kata Jai asal, tapi meyakinkan, "makanya saya minta si Mbak memberi contoh cara berjalan yang baik dan anggun."
Yah, apa boleh buat Keinginan yang aneh, tetapi... pembeli selalu benar!
Begitulah barangkali yang ada di benak si Mbak penjaga toko. Karena kemudian tanpa pikir panjang, gadis yang ditaksir Jai beberapa tahun lebih muda daripada dia itu, lantas saja berjalan dengan gaya peragawati.
Semeter. Dua meter. Sepuluh meter. Si Mbak masih berjalan. Sesekali tersenyum dan melambaikan tangan ke arah J-Two. Dua puluh meter. Tiga puluh meter.
Mendekati lima puluh meter, Jai menarik tangan Jamilah. "Jim ...."
"Ya, Bang""
"Dah, yuk" Kita cari di tempat lain!"
Jamilah bengong. Meski kecewa, gadis itu buru-buru mengikuti langkah Jai. Daripada dia tetap di situ dan dijambak si Mbak Penjaga Toko" Kan berabe. Meski begitu, protes-protesnya terdengar juga.
"Lain kali jangan begitu dong, Bang! Kan, kasihan si Mbaknya udah capek-capek melayani." Jamilah mempercepat langkahnya. Sementara, kepalanya masih sesekali menoleh ke belakang. Alhamdulillah, mereka gak dikejar sama mbak penjaga toko sepatu tadi.
"Bang! Jangan gitu lagi, ya!" ulang Jamilah sambil menarik tangan abangnya. Jai menghentikan langkah.
"Habis, gimana dong" Modelnya gak ada yang bagus dan pas buat kamu. Harganya mahal lagi!"
Iya, ya. Harga sepatunya memang selangit di toko tadi. Jamilah mulai mereda. Mereka jalan lagi. Namun baru sebentaran, Jai kembali menarik tangan adiknya.
"Eh, Jim! Sini, yuk!"
Kali ini, dia mengajak adiknya masuk ke toko pakaian, yang penjaganya lagi mejeng bareng manequin.
"Misi, Mbak," tegur Jai sopan banget, "boleh liat-liat dulu kan, kali ada yang cocok buat adik saya."
Orang yang ditanya cuma diam. Jai keki juga, tapi masih pasang muka sopan. "Mbak ..."
Tiba-tiba terdengar suara "hihihi", Jai cepet menengok, "Mas, yang itu boneka," kata seorang gadis. "Masa gak bisa bedain kita sama boneka, sih. Emangnya kita cakep banget, ya"" lanjut si Penjaga Toko geer.
Jai tersenyum, cepat menguasai situasi. Salah dia juga, nanya dari tadi sambil nundukin kepala. Maka, dengan wajah disetel tenang, cowok itu pun menjelaskan.
"Oh, maaf juga. Saya kira si Mbak petugas cleaning servicel Hehehe...
Mendengar jawaban Jai, si Mbak kontan cemberut. Tetapi, tidak lama, sebab dia sadar yang datang, biarpun kucel kayak yang ada di depannya, tetap saja calon pembeli yang harus dilayani.
"Silakan di liat-liat dulu Mas, barangkali ada yang cocok, harga masih bisa kurang deh!" kata si Mbak belakangan, sambil tangannya menyilakan Jai dan Jamilah masuk.
Mereka berdua pun masuk. Dan seperti sebelumnya, Jai bergerak cepat. Langsung mengambil beberapa potong pakaian dan disodorkannya pada Jamilah.
Melihat gaya Jai yang terkesan royal, si Mbak jadi ngebatih, Gile... kucel-kucel banyak juga duitnya, nih anak! Wah... jangan-jangan dia anak orang kaya yang lagi menyamar jadi orang miskin.
Jai yang diperhatiin, cuek aja. Tangannya masih memilah-milih pakaian yang tergantung, dan mengambil satu-dua lagi yang dikiranya asyik buat dipake Jamilah.
"Ini Jim, coba juga nih!"
Meski melotot melihat baju yang disodorin Jai, sebab warnanya terang-terang banget dan banyak manik-manik mengkilapnya, kayak kostum penyanyi dangdut, Jamilah menerima juga.
"Bang.... bisik Jamilah ragu-rag
u, "apa yang begini gak terlalu ngartis"" Jai tertawa.
"Tenang aja, Jim. Mana tau, suatu saat kamu jadi pemain sinetron, kan gak usah beli baju lagi!"
Jamilah masih menatap abangnya beberapa lama, mengecek keseriusan Jai. Tetapi, Jai malah mengibaskan tangan dan memberi kode agar Jamilah cepat masuk ruang ganti. Terpaksalah gadis SMU itu mengalah.
Gak lama. "Gimana Bang"" tanya Jamilah. Sebenarnya, dia risih juga pake baju yang bagian lehernya terbuka banget gitu, malah warnanya bikin silau.
"Mmm... Seperti desainer mengamati mahakaryanya, Jai menyuruh Jamilah muter ke kiri dan ke kanan, sambil nyenandungin lagu potong bebek angsa,
Goyang ke kiri Goyang ke kanan Syalalalalalalalala.... Begitu diulang beberapa kali, sampai Jamilah nyaris teriak, baru cowok itu ngomong,
"Ah, N.G., Jim! No goodl Kamu jadi mirip ondel-ondel, daripada artis! Hm ..." Jai celingak-celinguk lagi. Matanya seperti mencari-cari, lalu tersenyum lebar sambil menunjuk baju lain.
"Nah, coba yang ini!" suaranya yakin, sambil terus ngasih baju model tank top. "Kalo dilihat model yang ini, kayaknya kamu pasti jadi secakep model iklan sabun .., colek! Hehehe
Jamilah terperangah. Buru-buru dia protes,
"Masa, Bang Jai suruh pake baju begini" Gimana kata dunia, eh, kata Mbak Sarah nanti" Terus, komentar teman-teman Rohis. Ogah, ah. Amit-amit!" Jamilah cemberut.
Jai masih belum nyerah. Dengan sepenuh hati, dia membujuk Jamilah.
"Kan, gak dipake tiap hari Jim. Sewaktu-waktu aja kalau ada acara sama Tamara Bleszinsky, atau bareng Rachel Maryam," kata Jai sambil ngedipin mata ke Jamilah.
Jamilah jadi curiga, tetapi belum sempat protes, si Mbak penjaga udah ngasih komentar.
"Iya Mbak, si Mbak pasti tambah cantik," katanya ramah, terus ngedeketin Jamilah malu-malu. "Nanti saya minta tanda tangannya ya, Mbak, terus sekalian salam sama artis-artis yang Mbak kenal!"
Lha" Tetapi, Jamilah tidak sempat berpikir sebab Jai sudah teriak lagi. Kali ini sambil mendorong adiknya ke kamar ganti.
"Heh, udah coba gih!"
Lima menit kemudian. "Gimana Bang""
Ya ampun, si Jim ... Jadi sexy dan ...
"Tangan kamu kekar juga ya, jim" Hihihi
Jamilah melotot. Gak urung matanya melirik ke kaca. Duh, bener aja, ketat banget! Mana pangkal tangannya tampak kekar gitu. Padahal dia kan gak gemuk"
Meski Jamilah tahu, banyak cewek yang senang make tank top, biarpun tangannya lebih kekar daripada dia, dan bisa cuek aja walau gak pantes, jamilah sepertinya tidak bisa begitu. Kalau sudah gak sreg ya, gak sreg. Susah komprominya.
"Jim! Lha, melamun ya"" Jai menjentikkan jarinya depan muka Jamilah. Si Adik tersipu.
"Ini baru ok, Jim!" Lalu katanya lagi, tanpa memedulikan tampang Jamilah yang gak rela, "Kalau yang ini harganya berapa, Mbak""
Mbak penjaga toko yang merasa ada harapan, bertepuk tangan dalam hati, "Murah Mas, cuma enam ratus sembilan puluh sembilan ribu!"
Segitu mahalnya dibilang cuma" Jai membatin. Tampangnya tiba-tiba berangsur butek, mirip akuarium tidak dikuras sebulan.
"Wah, kemahalan, Mbak!"
Aduh, pelanggan pertama aja mereka belum dapet! Jangan sampai gak jadi! Bisik si Mbak khawatir.
"Bisa kurang dikit kok, Mas!"
Berikutnya, terjadilah tawar-menawar yang menarik di hadapan Jamilah.
"Kalau tujuh puluh ribu bisa, gak"" tawar Jai sambil mengeluarkan dompetnya yang pakai lambang Batman.
Si Mbak kelihatan shock. Enam ratus sekian ditawar... berapa tadi" Tujuh puluh ribu"
"Biar jadi aja nih. Lima ratus sembilan puluh sembilan ribu, Mas! Tuh udah didiskon cepek. ujar si Mbak bermurah hati.
Jai menggeleng. "Tujuh puluh satu ribu, deh!"
Ih, Bang Jai! Jamilah yang mendengarnya saja ikut malu. Sementara, si Mbak dari air mukanya kelihatan kesel abis. Gimana gak kesel" Nih anak nawarnya kelewatan banget, masa cuma nambahin seceng. Gila aja!
Tapi dari tadi mereka belum punya pembeli. Jadi ...
"Empat ratus sembilan puluh sembilan ribu!" Jai diam. Gak lama kepalanya menggeleng lagi.
"Tujuh puluh satu ribu lima ratus!" kata Jai kalem. "Kalo dikasih saya ambil, kalau gak... ya gak apa-apa!"
Si Mbak terdiam, mikir campur gedek sama bocah gondrong di depan
nya. Biar kata adiknya kenal banyak artis, ogah deh titip salam kalau begini caranya.
Beberapa lama tidak ada jawaban, Jai menggandeng tangan Jamilah keluar dari toko.
"Yuk, Jim kita jalan," ajak cowok gondrong itu. "Sebenernya, baju ini pas banget buat kamu, tapi apa mau dikata harganya ...."
Jamilah tidak membantah. Dan lagi dia tidak begitu suka pakai baju yang kelihatan ketiak gitu. Bisa dibayangin juga reaksi Inot sama Nunu, terus si Bella dan Septi (Aduh Jim, kamu memberi legalitas ya, pada eksploitasi kaum kital).
Setelah mengucapkan makasih ke mbak penjaga toko, disertai iming-iming yang menambah pucat di paras si Mbak,
"Lain kali kita mampir lagi deh, Mbak. Tenang aja. Janji, deh!"
J-Two melangkah keluar, tetapi langkah mereka terhenti karena teriakan si Penjaga Toko,
"Hei, tunggu dulu!"
Jai dan Jamilah memutar kepala ke belakang.
Wah, dikasih juga ternyata sama si Mbak. Dalam hati Jai geer. Gimana caranya biar gak jadi, ya" Mana si Mbak melangkah mendekati mereka. Heeh.
"Jim, kamu bener suka sama bajunya"" Jai pura-pura ngambil dompetnya. "Kalau ragu, gak usah dipaksain, kita cari yang lebih bagus."
Jamilah terdiam. Sebetulnya dia gak suka. Kata Mbak Sarah, waktu gak sengaja mereka ketemu lagi dan akhirnya ngobrol di Masjid Amir Hamzah, TIM, kalau belum bisa pakai jilbab, kita sebaiknya berbusana yang wajar dan tidak merendahkan perempuan, persis kampanye Septi selama ini. Tapi, kan kasihan juga sama si Mbak yang udah capek-capek menyervis"
"Ngngng... suka bener, gak juga sih, Bang," jawab Jamilah setengah ragu. "Tapi kalau Abang mau beliin boleh juga. Kali bisa dipake nanti-nanti, pake jaket."
Beberapa saat, Jamilah dan Jai masih terdiam, menimbang-nimbang. Sementara, si Mbak semakin mendekat.
"Mas," tegur si Mbak Penjaga Toko, mukanya yang tadi ramah berubah jadi asem, "kalau gak jadi, gak apa, tapi bajunya dibalikin dong!"
Opsssl Jai nyengir. Jamilah yang baru ngeh masih memakai baju tank top itu malu luar biasa. Apalagi, ternyata banyak pengunjung yang mulai memperhatikan mereka berdua!
Buru-buru Jamilah masuk kembali ke toko itu untuk melepas, dan mengembalikan baju yang tadi dijajalnya. Sementara, Jai yang melihat orang banyak berkumpul, cepat mengeluarkan jurus aktingnya.
"Maaf, ini cuma kesalahpahaman. Kami berdua adalah petugas pengawasan layanan masyarakat yang ingin membuktikan bahwa si Mbak ini... suara Jai keras sambil nunjuk si Mbak, layak mendapat penghargaan karena sudah menjalankan tugasnya dengan baik."
Orang-orang yang berkerumun mengangguk-angguk. Sebagian malah ada yang tepuk tangan, ngikutin Jai yang gayanya udah mirip pejabat lagi meresmikan gedung. Si Mbak yang tadi sempet keki sama Jai, sekarang bisa senyum dan tampak senang sebab udah dipuji dan jadi perhatian banyak orang.
"Ehm, ehm..'' Jai mulai kewalahan meneruskan aktingnya. Mesti gimana lagi, nih" Ia melirik jam tangannya, sudah sepuluh menit dan Jamilah belum juga keluar dari ruang ganti. Apa perlu dijemput"
"Sebentar, saya tinggal dulu ya, Bapak, Ibu, Saudaraku sekalian!"
Sewajar mungkin Jai melangkah meninggalkan kerumunan, masuk ke dalam toko dan mendekati kamar ganti.
"Jim ... Jim!" Gak ada jawaban. Cuma suara "ah-uh" yang terdengar, dan membuat Jai makin khawatir.
"Jim" Jim ... lama amat" Keluar dong, buruan!"
Hening. "Jim! Buruan sebelum kita ditimpukin sama si Mbak!"
Kalimat terakhir Jai membuahkan jawaban.
"Uh ... gak bisa, Bang!"
"Kenapa gak bisa"" tanya cowok itu heran. "Lepasin bajunya, terus cepet keluar!"
"Iya, tau!!! Tapi gak bisa, Bang!"
Di dekat Jai, si Mbak Penjaga Toko sudah mendekat dengan tampang curiga. Cowok itu sampai harus pasang senyum lebih lebar supaya si Mbak rada menjauh.
"JIIIM!" "Gak bisa!" "Kenapa"" Terdengar suara "ah-uh" lagi, seperti orang lagi berjibaku di dalam. Lalu, kepala Jamilah melongok dari celah tirai kamar ganti. Suara gadis itu terdengar lirih,
"Bajunya ketat banget, Bang. Bisa masuk, gak bisa dilepas!"
J-Two vs The Boy Setelah melewati jerih payah luar biasa, jamilah berhasil juga melepaskan baju tank top ketat tadi dari badannya. Omelanny
a masih terdengar panjang pendek. Dia kesel bukan hanya soal baju yang ketat tadi, melainkan juga karena sikap Jai yang mempermainkan orang.
"Bang Jai, nyebelin!"
Jai menghentikan langkahnya. Di dekatnya sang Adik tampak meradang. Mata Jamilah melotot, mukanya yang merah jambu makin merah. Sementara, tangannya berkacak pinggang.
"Kenapa sih, Jim" Apa salah dan dosaku""
Ih, keruan aja Jamilah makin kesel dengan lagak Jai yang tidak merasa bersalah sama sekali.
"Nih, ya, Ade kasih tau!"
Suara Jamilah kencang dengan telunjuk diarahkan ke muka abangnya. Jai mundur satu langkah. Biarpun tampangnya lembut begitu, si Jim kalo marah, bisa ngalahin banteng. Miriplah sama Ibu.
"Ssst... jangan kenceng-kenceng dong. Gak enak diliatin orang, Jim! Nyebut, eling, sadar! Istigh... apa kata Sarah dulu, ya""
"Istighfar!" tegas Jamilah galak.
"Betul. Istighfar dulu dong. Tarik napas, ingat Gusti Allah. Terus, istighfar deh tiga kali!" Jai sok ngajarin. Padahal shalatnya aja masih belang bentong. Do re mi gitu, kadang-kadang bolong kalo gak dicerewetin dan diingetin adiknya.
"Abang tuh yang istighfarl" Jamilah makin angot. "Ngaku deh, dari tadi Bang Jai emang gak mau beliin apa-apa, kan" Cuma pengen ngerjain Ade sama si penjaga toko, Hayo ngaku!"
Jai cengar-cengir. Sesekali kepalanya mengangguk kepada beberapa pengunjung mal yang memandang mereka dengan tatapan aneh.
"Ngaku apa" Bahwa Abang sayang sama kamu" Cinta" Siap ngebela sampai mati"" Jai berimprovisasi. Dia membuat orang-orang yang lewat, berhenti dan pasang kuping lebih saksama.
Jamilah gondok setengah mati. Ih, sekarang dia bingung mau nerusin marahnya. Orang-orang ini pasti ngirain macam-macam. Sementara, Jai yang urat malunya kayaknya dari dulu udah putus, tampak santai aja.
"Kasihan dong, Bang, mbak-mbak yang tadi!" ujar Jamilah dengan nada lebih tenang. "Gak punya rasa kemanusiaan, sih!"
"Bukan begitu, Sayang."
Sekitar mereka makin kasak-kusuk. Mungkin berpikir, pertengkaran dua kekasih, atau suami-istri muda ini seru dan bisa menghibur juga.
Jai bukan tidak bisa membaca perkiraan orang-orang. Emang itu yang dia mau. Mumpung si Jamilah lagi mood-mood-nya, mending diajak adu akting sekalian.
"Bukan begitu gimana, Bang" Gak cukup apa, yang tadi Abang lakukan""
Jai mendekati Jamilah, tangannya diletakkannya di pundak gadis itu, lagaknya romantis banget.
"Iya, Abang mengaku salah. Tetapi... Abang kan, tidak mungkin menikahi mereka semua, Sayang. Lantas, gimana kamu nanti""
Ihhh!!! Jamilah gemes bukan main. Maunya sih, ngejitak Jai! Di sekitar, orang-orang memandang mereka makin lekat. Jai yang melihat adenya mau meledak, buru-buru menggamit tangan gadis itu.
"Udah ah, nanti mereka kirain kita pasangan yang lagi bertengkar. Jalan, yuk""
Meski menurut, Jamilah masih meneruskan kekesalannya. Tampangnya pun masih ditekuk tiga belas seperempat.
"Dari tadi kan, Abang yang menggiring mereka biar mikir kayak gitu. Dasar punya Abang nyebelin. Sok akting di mana-mana! Gak ngerti perasaan orang! Gedek! Kekiii. Improv sih, improv. Tapi, jangan jadi ngibul di mana-mana dong."
"Lho ... itu kan, latihan" Dan gak ada latihan akting yang lebih baik, selain di alam nyata gini. Beda dong sama bohong atau ngibul."
Jai berkilah. Tapi, Jamilah gak mau kalah.
"Alah sama aja. Dosa hukumnya!"
Tetapi, Jai gak mendengarkannya lagi. Perhatian cowok hitam manis itu terpusat pada sesuatu tak jauh dari mereka.
"Ssst... Jim, diam dulu. Lihat tuh arah pukul tiga!"
Jamilah menghentikan omelannya. Matanya mengikuti arah yang ditunjukkan Jai.
"Aduh, kasihan Bang!" perasaan ibanya muncul. Jai juga. Tuh cowok memang cuek sama orang, tapi paling gak bisa melihat orang menangis, apalagi anak kecil.
"Kenapa dia nangis ya, Bang"" tanya Jamilah, lupa sudah dengan pertengkaran mereka.
"Kita tanya, yuk""
Jai mengangguk. Dua pasang langkah J-Two serentak mendekati seorang anak kecil dengan wajah lugu dan innocent, yang menundukkan kepala. Dari tampang dan pakaiannya, kelihatan jelas bahwa anak itu bukan anak sembarangan, tetapi... ya ampun... isaknya itu, lho. Persis anak gak dikasih jajan
seminggu. Jamilah jadi trenyuh.
"Dik," ujar Jai sambil jongkok deket tuh anak.
Si Bocah yang lagi nangis, kaget mendapat teguran tiba-tiba. Terutama ketika matanya bertatapan sama Jai.
"Whuaaa... tolong, ada penjahat!" jerit si Bocah histeris.
Keruan aja, Jai jadi blingsatan dan serba salah. Tetapi,... bukan Jai namanya kalau dalam situasi gawat begitu gak bisa mengatasi.
"Tenang ya, Sayang."
Suara Jai lembut dan penuh kasih. Tangan cowok itu mengusap-usap kepala si Anak. Namun bukannya diam, si Anak malah makin menaikkan volume nangis dan jeritannya.
Orang-orang yang tadi sempet bubar waktu Jai dan Jamilah bertengkar, sekarang bergerombol kembali dekat mereka.
Jai... lagi-lagi mesti ngeluarin jurus aktingnya yang selama ini udah diasah dengan tajam (Golok kali, ya!). Biarpun cuek, Jai terus terang belum siap kalau dianggap tukang culik anak kecil, apalagi sampai dihajar satpam dan dikeroyok massa. Jangan sampai, deh. Maka, dengan sepenuh perasaan cowok itu mulai membujuk si Anak.
"Tenang dong, Sayang... jangan nangis terus," rayunya lembut dan kebapakan. "Sekarang maunya apa" Ayo, ngomong minta apa aja pasti Papa beliin. Iya kan, Ma"" Jai mengerlingkan matanya ke Jamilah. Dia berharap si Adik bisa membantu.
Jamilah sebetulnya kesal berada pada situasi begini. Tetapi, setelah dipikir-pikir dia senang juga sebab merasa Jai bakal kena batunya. Coba aja bayangin, Jai yang biasa selengean, iseng, dan semau gue, sekarang mesti ngurusin anak hilang yang orangtuanya entah di mana.
"Iya, iya ...," respons Jamilah cepat.
Jai cepat-cepat menggandeng si Anak pergi dari situ, biar tidak lama-lama jadi perhatian orang.
Setiba di pojokan deket lift, Jai baru menegur si Anak kembali. Kali ini ditambah sedikit ancaman.
"Hei!" kata Jai tolak pinggang, matanya dipe-lototin supaya si Bocah keder, terus,tidak ngambek lagi. Tetapi, rupanya si Bocah belum menyerah. Malah, jeritannya yang melengking keras terdengar, sampai membangunkan satpam yang lagi enak-enak tiduran di pos jaga dekat lift.
Jai melirik. Dilihatnya si Satpam melotot sembari ngucek-ngucek matanya. Cepat cowok itu improv lagi.
"Kita beli itu, yuk"" ajak Jai, tangannya nunjuk ke toko kecil yang menjual pop corn.
"Gak mau! Maunya yang di situ."
Bocah bertampang imut itu menunjuk stand pizza yang kebetulan memang sedang ramai pembeli.
Jelas saja Jai bengong, Jamilah juga. Nih anak ngeyel banget, ya. Mukanya aja yang mengibakan. Tingkahnya mah nyerah deh. Tapi posisi mereka gak menguntungkan. J-Two melirik satpam yang mulai melangkah dengan pandangan curiga ke arah mereka.
Wah, gawat! Kata Jai dalam hati, masa dia dan si Jim bisa dikerjain sama anak kecil kayak gini"
Jai muter otaknya yang tiba-tiba saja terasa bebal. Sementara, Pak Satpam makin mendekat. Satu, dua, tiga ....
"Mas Satpam! Untung situ datang. Jadi, saya bisa tanya," kata Jai berakrab ria. Satu tangannya menepuk-nepuk pundak Mas Satpam.
Satpam, yang kumisnya melintang kayak palang pintu kereta api itu, awalnya sempat tersinggung. Masa ada anak muda nepuk-nepuk bahu dengan seenaknya begitu" Di mana wibawa kumis tebalnya mau ditaruh" Namun, demi menatap sinar mata Jai yang tulus dan hormat, lelaki itu berubah pikiran.
"Ada apa ya, Dik"" kata si Satpam sambil mendongak, maklum dia kalah tinggi sama anak muda yang lagi berdiri di depannya.
Jai berdehem beberapa kali.
"Begini ... saya mau jajanin anak ini," kata Jai, matanya melirik ke sana kemari mencari-cari sesuatu, "tapi saya gak tau di mana tempat yang enak dan cocok, sesuai dengan prinsip empat sehat lima sempurna."
"Ooo ...," si Satpam manggut-manggut. Surprised juga dia. Baru deh, nemuin bapak muda yang baik hati dan sangat peduli dengan pola makan sehat. Walah, dia aja udah mulai-mulai lupa.
"Kalo mau sehat, Mas," sahut Pak Satpam setelah menimbang-nimbang empat sehat lima sempurna, "mending makan gado-gado lontong pake telor. Nah, minum susu deh sesudahnya. Kalo gak salah inget sih, udah komplet tuh."
Jai memandang Pak Satpam dengan raut penuh terima kasih. Lalu dengan lagak memberi pengertian kepada si Anak, ia menatap bocah tamben
g di sisi Jamilah, "Nah, apa tadi Papa bilang" Pak Satpam saja bilang lebih baik pizzanya diganti gado-gado."
Perkataan Jai kontan membuat si Anak cemberut. Melihat ini, satpam yang berkeinginan melaksanakan tugas negara dengan mulia, jadi ikut tergerak juga, menambahi.
"Betul, Nak. Makanan yang barat-barat itu belum tentu bagus. Udah gitu, mahal lagi. Enakan juga gado-gado. Nanti badanmu jadi gede, deh. Tahu Popeye, kan" Nah, jagoan kayak dia aja makannya cuma bayam! Lagian kan, sekarang sedang pecah perang. Jadi, jangan terlalu American minded-lah!"
Jai tersenyum lebar. Jamilah juga. Keren juga gaya bahasa Mas Satpam.
"Nah, apa Papa bilang, kan"" timpal Jai sambil tangannya menghapus air mata yang membasahi pipi si Anak. Kemudian dengan santun, Jai menjabat tangan Pak Satpam kuat-kuat, mengakhiri dialog mereka.
Begitulah, mereka pun meninggalkan Mas Satpam yang memandangi dari kejauhan.
Pasrah, anak kecil bandel itu, terpaksa mengikuti langkah Jai dan Jamilah. Sambil sesekali memandang sebal ke arah Pak Satpam di belakang. Resek! Gagal deh, rencananya makan pizza!
Tetapi, rupanya si anak kecil belum benar-benar menyerah. Saat lewat di depan waralaba terkenal yang menjual ayam goreng, dia berulah lagi.
"Whuaaa ...!" teriaknya histeris sambil guling-gulingan di lantai, membuat orang-orang yang kebetulan lewat di dekat mereka jadi terkejut, dan menaruh perhatian.
"Ada apa, sih""
"Kenapa Dik, teriak-teriak""
"Aduh kasihan tuh anak. Orangtuanya kejam banget, sih" Anak nangis dibiarin!"
Jai dan Jamilah yang menyadari banyaknya tatapan negatif gitu, mengurut dada. Apalagi Jamilah. Kalau Jai kan, memang mentalnya baja asli. Lha si Jamilah"
"Bang, gimana dong nih!"
Jamilah mencolek abangnya. Paras gadis kelas dua SMU itu kusut.
Kali ini Jai memerlukan waktu lebih lama, sebelum mengubah tampilan wajahnya menjadi sewibawa mungkin.
"Kamu maunya apa"" tanya Jai kebapakan. "Makan pizza sudah, jajan es krim sudah, main game juga sudah. Sekarang mau apa lagi""
Nah, lho ... Jamilah tersenyum, mulai menangkap akting abangnya.
"Iya, Nak Mama-Papa udah gak punya duit lagi," tanggap Jamilah sambil terisak-isak. Sekarang saja buat ongkos pulang gak ada."
Jai, dalam hati tersenyum melihat adiknya kini berakting. Sampai nangis segala. Walah! Benar-benar tidak percuma si Jim jadi adik aktor, pikirnya geer.
Tetapi, sekarang gimana lagi" Si Bocah masih menangis dan tidak mau beranjak. Ah, J-two diam-diam mulai berdoa dalam hati. Mereka udah capek banget, dan otak keduanya sudah rada-rada buntu.
Untunglah doa mereka terjawab.
Seorang bapak berusia lima puluhan mendekati dengan wajah ramah.


Biru Laut Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dik, mari ikut saya," ajaknya. "Kita makan. Biar saya yang bayar."
Tanpa menunggu jawaban, bapak berbaju koko itu langsung menggendong si Bocah, yang kini berseri-seri mendengar dirinya bakal ditraktir.
Jai dan Jamilah sebenarnya tidak enak hati. Sayangnya, mereka dari tadi sudah ber-Mama Papa, jadi kan gak mungkin mundur" Pengen lari... aduh, rasanya sayang melarikan diri pas mau ditraktir.
"Silakan, silakan, pesan apa saja yang kalian mau," ujar si Bapak lagi ketika mereka sudah berada di restoran. Mata lelaki berusia lima puluhan itu terus memperhatikan pasangan di depannya, dan anak kecil yang tampak sangat kelaparan.
Mereka masih muda, tetapi anak mereka sudah besar, pikir si Bapak. Hm, apa mereka nikah waktu umur lima belasan, ya" Usia yang cowok mungkin dua puluh satu, itu berarti si Gadis menikah sebelum umur sepuluh tahun" Kasihan
"Kenapa, Pak" Bapak belum pesan apa-apa." Jai menegur si Bapak yang dari tadi cuma memandangi mereka bertiga.
"Oh, kalian sudah pesan" Kalau begitu saya pesan ..."
Tidak berapa lama, semua pesanan sudah terhidang di meja. Beberapa potong ayam goreng dan ayam bakar, nasi sebakul, lalapan, tahu, tempe, emping, kerupuk udang, dan sambel. Komplet!
Sigap, si Anak Kecil yang dari tadi mengikuti Jai dan Jamilah, langsung makan. Lewat sudut matanya, bapak baik hati itu mengawasi dan tampak ikut senang menyaksikan kelahapan si Anak. Lebih takjub lagi, waktu matanya menatap Jai.
Abang Jamilah yang uda h lapar berat sejak tadi, memang memutuskan untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan. Malah nasi sebakul, sebagian besar dia yang ngabisin. Dua potong ayam bakar, ludes. Masih ditambah sepotong ayam goreng, beberapa potong tahu, dan tempe goreng.
Wajar, kalau si Bapak mulai khawatir melihat cara makan cowok gondrong itu. Perasaan, tadi anaknya deh yang kelaperan minta makan. Ini kok ....
"Makan, Pak," tegur Jai, yang menyadari tatapan si Bapak. Tangan cowok itu menyuapkan ayam goreng keempat. "Jhangan dhiliathin ajha Phak."
"Iya, Pak. Makhan dhong," timpal Jamilah dengan mulutnya kepedasan. "Khan engghak hahh enhak khalau nhasinya dhahh dhingin!"
Si Bapak mengangguk-angguk. Bingung, menjawab apa. Dia senang bisa menolong orang yang tepat; suami, istri, anak, yang semuanya kelaparan. Tetapi, terlintas juga pikiran, mereka kok, gak tahu diri gitu ya" Malah, sesudah tidak ada yang tersisa di meja, tanpa menunggu jeda lama, anak beranak itu langsung pamit. Setelah tak lupa mengucapkan terima kasih beberapa kali.
Begitu pula Jai dan Jamilah, setelah keluar restoran, mulai bingung lagi. Nih, anak masih nempel aja, maunya diapain ya" Apalagi, kecuali lapar dan minta ini-itu, dia kelihatan santai sekali. Boro-boro minta dicariin orangtuanya.
"Gimana, Jim""
Sambil duduk meluruskan kaki di lantai, Jai memandang Jamilah. Si Anak yang juga ikut menyelonjorkan kakinya, menyenderkan kepalanya ke Jai dengan mata terkantuk-kantuk. Sementara, Jamilah cuma berdiri.
"Kenapa urusannya jadi belibet begini ya, Bang"" tanya Jamilah.
"Mmm...!"Jai hanya mengangkat bahu. Tangannya sibuk membersihkan potongan daging ayam yang nyelip di giginya.
"Apa kita bawa pulang aja ke rumah""
"Mmm ..." "Bang," kata Jamilah, matanya mendadak berbinar, "gimana kalau kita serahin nih anak ke satpam, biar mereka ngasih pengumuman bahwa kita udah nemuin anak hilang!"
"Wah, bener juga, kali aja kita dikasih hadiah," sahut Jai tidak kalah hepi.
"Tapi ..." Jamilah ragu-ragu.
"Tapi kenapa""
"Kalau ternyata orangtuanya gak ada, gimana""
"Mmm ...! Jai "em-em" lagi.
"Kita jual aja Bang," usul Jamilah sambil kedipin mata ke abangnya.
Jai yang paham isyarat adiknya, menimpali.
"Wah, boleh juga! Tapi, tampang jelek gitu apa ada yang minat""
Si Bocah yang tau dirinya dibilang jelek melotot ke Jai.
"Jadi, gimana dong"" Jamilah mulai gak sabar.
"Kita serahin ke kantor polisi!"
Kakak beradik itu kompak tersenyum, kenapa gak dari tadi aja, ujar keduanya dalam hati. Jadi, kan mereka bisa cepat pulang" Capek udah, keliling-keliling di mal udah, kenyang udah. Apa lagi yang kurang"
Berbeda dengan Jai dan adiknya, si Bocah berangsur gelisah mendengar rencana itu, apalagi waktu mendengar kata polisi. Cepat-cepat dia bangun, tetapi belum sempat dia jalan, Jai sudah mencekal tangannya.
"E... mau ke mana"" tegur Jai. Tangannya menggandeng si Anak kuat-kuat. Si Bocah meronta-ronta. Tetapi, Jai dengan santai bernyanyi-nyanyi.
Menjelang pos satpam, ketiganya nyaris bertubrukan dengan sepasang suami-istri yang berjalan dari arah berlawanan diiringi seorang satpam bertampang galak. Sekonyong-konyong
"Ini pasti orangtuanya!"
Teriak si Ibu Muda, seraya menunjuk-nunjuk muka Jai dan Jamilah. Awalnya, Jai terperanjat juga, tapi dengan cepat menyimpulkan bahwa sergahan barusan cuma ulah orang gila. Jadi, Jai tetap menggandeng si Anak di satu sisi, dan Jamilah di tangannya yang lain.
"Heh, malah kabur! Orangtua tidak bertanggung jawab!"
Jai masih senyum-senyum, berpikir untuk menganggap panggilan yang kedua cuma angin lalu. Tetapi, ketika tiba-tiba ia mendengar suara lain yang lebih keras menyuruhnya berhenti, ditambah bunyi periwitan, cowok itu pun berhenti.
"Bang, kayaknya yang diperiwitin kita deh. Nengok jangan"" bisik Jamilah khawatir.
Pelan-pelan, Jai membalikkan badan. Jamilah juga. Tapi, anak kecil yang digandengnya, tidak mau. Belakangan, setelah tangannya disentak, baru anak itu nurut meski tetap masih menyembunyikan mukanya di balik punggung Jai.
"Heh, kamu budek apa tuli sih""
Bentakan satpam barusan bukannya membuat jai takut, malah celingak-celing
uk kayak orang linglung. "Saya Pak"" tanya Jai polos.
Satpam di depannya mengangguk dingin.
"Ya kamu, memangnya siapa"" suara si Satpam mangkel. Belum pernah dia sesulit ini menyuruh orang berhenti.
Belum lagi Jai dan Jamilah mengerti masalah yang sebenarnya, perempuan muda yang rambutnya dipotong pendek itu, sudah menyerang dengan kalimat-kalimat cepat.
"Gak salah lagi. Ini pasti orangtuanya!" Tangan perempuan itu terayun-ayun ke arah J-Two.
"Eh, gondrong! Kalau punya anak, didik yang] bener dong! Ajari sopan santun, dikasih makan bangku sekolahan."
Mendengar kalimat yang bertubi-tubi,! bernada tak enak diarahkan kepada mereka, J-two jelas heran.
Tadi satpam yang membunyikan senjatanya" kayak wasit sepak bola Liga Indonesia. Eh, sekarang ada tukang obat nyasar di mal" Hihihi Jai ketawa sendiri.
"Eh, malah ketawa. Jawab!"
Lho... memangnya tadi nanya apaan" Jai rada gelagepan.
"Bang!" Jamilah mencuwil tangan abangnya, "Lawan dong!" suaranya pelan. Cemes juga melihat dari tadi mereka dituding macam-macam, dan si Jai yang biasa banyak akal cuma bengong. Masih bisa senyum-senyum lagi.
"Jawab apaan, Jim""
Heeh. "Itu," Jamilah menunjuk kedua orang tua yang dianggapnya gak malu-malu, malu-maluin orang lain.
"Itu apaan"" bisik Jai makin terdesak sebab si Nyonya Muda, di depannya, kayaknya udah siap lagi membombardir, setelah beberapa lama dibiarkan diam mengisi peluru (perang 'kaliii...).
"Mereka itu mungkin ortunya si Anak, Bang!"
"Terus"" "Ya, mungkin mereka kira kita nyulik anaknya kali!"
Jai manggut-manggut. "Bisa jadi, Jim! Liat aja mukanya sama. Sama-sama nyebelin!" celutuk Jai pelan, sambil bibirnya tetap menyunggingkan senyum ramah pada tiga orang di depannya.
"Wah, kebetulan sekali. Pasti Bapak dan Ibu mau ngucapin terima kasih sama kita, ya"" Sapaan ramah Jai ternyata tidak berhasil. Cowok itu malah kena semprot lagi.
"Eh, gondrong dekil... mestinya situ dong, yang ngucapin terima kasih sama saya!"
Terima kasih" Jai dan Jamilah tambah bingung.
"Terima kasih kek karena tuh anak sudah saya beliin pakaian, sudah saya kasih uang jajan. Tetapi, jangan kurang ajar dong!"
"Anak-anak juga jangan dilepas sembarangan," si Bapak yang tadinya diam saja, sewot juga lama-lama demi melihat sikap Jai yang nyantai begitu, "apalagi kalau di tempat ramai."
"Nah, itu Bapak sudah paham," cetus Jai, sembari mengangguk-angguk sama adiknya.
"Bukan begitu, saya justru ngomong begitu ke Adik supaya...," balas si Bapak dengan intonasi meninggi.
"Saya tau... saya paham kok, maksud Bapak!"
"Kalau gitu, dijaga dong anaknya. Udah dibaikin, malah bawa belanjaan saya lagi!" Ibu muda itu kembali memanasi suasana.
Jai masih berusaha cool, malah senyumnya gak lepas-lepas. "Lho, itu berarti bagus dong, Bu. Artinya kan, dia anak berbakti. Ya gak, Jim""
Jamilah mengangguk setuju. Tetapi, ibu muda di depan mereka malah makin geregetan.
"Bukan itu!" "Bukan"" "Maksud saya... dia bukan bawain barang belanjaan saya, tapi ..."
J-Two pandang-pandangan. "Tetapi, bawa kabur barang belanjaan saya!"
Hah" Sekarang dua abang-adik itu baru nyambung. Jadi tuh anak ..."
Ingin rasanya, Jai dan Jamilah menjewer telinga anak itu segera. Tetapi ...
"Lho, Bang, anak tadi mana""
Kepala Jai noleh kiri dan kanan. Tapi, bocah bangor itu gak kelihatan.
"Tadi kan, Abang pegang tangannya"" suara Jamilah gemas.
iya, ya ... ke mana tuh bocah"
"Pak Satpam lihat gak""
Setelah beberapa kejap kebingungan sendiri, Jai memberanikan diri bertanya pada satpam yang dari tadi cuma jadi penonton yang baik.
"Pak Satpam lihat gak tuh anak ke mana""
Tetapi satpam yang ditanya cuma bisa garuk-garuk kepala di bawah topinya yang sekarang tiba-tiba gatal. Mukanya serba salah.
"Pak Satpam lihat gak"" kejar Jai dan Jamilah semakin tidak sabar.
Serba salah, lelaki berkumis tebal itu akhirnya menjawab, "Ya ... lihat, sih. Anak itu sempat pamit malah waktu ibu-ibu dan bapak pada ribut. Katanya ..."
Jai dan Jamilah menunggu, juga pasangan suami-istri di dekat mereka. Ingin tahu.
"Katanya....dia pengen pipis."
Kompetisi Pe De Ka Te Jai dan dua sohib cs-nya lagi makan es kelapa muda di kantin Badrun, ketika seorang cewek jangkung, cantik, dan berambut sebahu yang dijepit ke atas, lewat. Tiga cowok yang lagi asyik dengan minumannya itu, langsung gak kedip. "Ck, ck, ck
Jai berdecak. Mata cokelat cowok itu berbinar sesaat.
"Busyet! Terang banget tuh kulit," komentar Jacko gak kalah terpananya. Sedangkan Oscar yang malu-malu, agak kombinasi reaksinya. Curi-curi pandang, terus nunduk, terus nyuri lagi. Persis maling jemuran kepergok hansip.
"Anak mana, ya""
Otak Jai langsung muter secepat mixer ngocok telor.
"Tadi sih, keluarnya dari gedung Fakultas Film," Jacko nyahut. Pengamatan cowok berkacamata yang hari itu mengenakan baju warna salem terang, ternyata jeli juga.
"Kalo liat orangnya sih, kayaknya punya selera musik yang gak jauh dari Bethoven, Mozart, Chovin, Strauss, sampai Richard Clayderman. Yah ... just like mel"
Jai kontan melotot, mendengar komentar Jacko.
"Belum tentu! Siapa tahu dia demen metal, rock, ska, atau bahkan dangdut" Kelihatan orangnya open minded terhadap semua jenis musik! Ya ... kayak guelah!"
"Enak aja, belum tentu!"
Oscar yang awalnya tidak diperhitungkan tahu-tahu sewot. Jai dan Jacko jadi melongo. Lho, teman mereka yang atletis namun sering gak pede itu, ternyata minat juga toh"
"Terus menurut lo, dia sukanya apaan, Os""
Oscar gak langsung menjawab. Dia kelihatan rikuh sebentar. Namun gak lama menegakkan duduknya, hingga dada tegapnya nyeplak di kaos. Melihat ini, Jai dan Jacko langsung mengelus dada mereka yang kerempeng. Ampun... untung tuh cewek tadi gak n geliat Oscar lagi begitu. Kalau gak, wah... bisa kelepek-kelepek juga, kan"
"Kalau melihat dari tamffangnya yang mirip Madhuri Dixit, dan fferawakannya yang kayak Rani Mukherjee sih... hm... gimana, ya"" Oscar tersipu-sipu lagi, gak menyelesaikan kalimatnya.
Spontan Jacko nyelak. "Wah, Jai, kalo dia sampe bandingin sama bintang film India, itu artinya dia minat banget! You gimana""
"Gue juga minat!"
"Gue gimana""
Yah, si Jacko malah nanya sendiri.
"Maksudnya"" tanya Oscar gak nyambung.
"Ya, gue ditanya dong, minat apa kagak" Dari tadi kan, gue yang nanya-nanya. Kan, gak mungkin gue nanyain diri gue sendiri, Man!"
Hihihi ... ada-ada aja si Jacko.
"Ya, udah," suara Jai sambil ngusap-usap rambutnya yang rada gondrong.
"Ayo, cepetan, gue ditanya dong!" kata Jacko yang gak sabar liat gaya Jai yang tiba-tiba tampak feminin. Kayak putri keraton lagi membelai-belai rambut panjang mereka. Malah sambil begitu, posisi duduknya diubah. Dengkul merapat, persis cewek. Ih, nyebelin!
"Sabar. Tunggu dulu. Hm, sekarang rambut ike udah bener!" Jai ketawa sendiri. Nggak peduli kalau dua teman baiknya tampak kesel.
"Nah, gimana Jack""
"Gue sih ..." "Bagus!" Jai memotong kalimat cowok kerempeng itu tanpa basa-basi.
"Apanya yang bagus" Kan, gue belum selesai""
"Tapi udah bagus lo berhenti di situ Jack. Gue udah ngerti."
"Ngerti"" "Iya! Lo juga udah ngerti kan, Os""
Oscar gelagapan. Ah, si Jai apaan lagi seh nehl Pikir cowok tegap itu bingung.
"Ya, gue udah tahu. Lo gak minat sama dia, kan" Beres! Berarti, tinggal gue sama Osc ..."
"Sembarangan!" suara Jacko keki, "Jalan gue jangan dipotong gitu dong. Lo yang fair kalo main... be sportive dong!"
Fhew... Jai menarik napas panjang. Sepertinya, persaingan serius akan segera terjadi. Padahal tadi niatnya baik, biar Jacko gak patah hati.
"Eh, Jai... emangnya menurut lo, gue gak punya harapan" Heh, tell me!"
Melihat roman Jacko yang mulai ungu kayak ikan sesak napas gitu, Oscar agak menciut badannya. Dia memang paling gak tahan keributan. Rasanya di mana-mana damai dan sejahtera lebih indah... sssaaahhh.
"Bukan begitu, tapi ..."
"Sudahlah, gak usah tapi-tapian! Kita taruhan!"
Jai nyaris tertawa, namun cepat dibatalkannya demi melihat roman Jacko yang siap meledak. Bayangin aja cowok kurus kerempeng, betis juga gak ada, terus kacamatanya yang gede banget! Udah gitu, pas marah pake angkat-angkat kaki lagi ke kursi. Malah "dengan berani" menghadap Oscar, yang badannya dua setengah kali lipat Jacko. Kan, lucu"
"Taruhan, maksudnya... eh
, maksudnya affa nih""
Oscar sebetulnya keder, tetapi dipaksanya memberanikan diri. Habis, cewek tadi manis banget sih.
"Taruhan. Siapa yang duluan gaet cewek itu, menang."
"Opsss, tunggu dulu. Itu mah kejauhan. Kalo kita bertiga ditolak, nggak ada pemenangnya dong," protes Jai disambut anggukan Oscar.
"So"" "Kita bikin simpel aja!"
"Gimana Jai""
"Kaki lo turun dulu, Jack!"
Berkata begitu, kedua tangan Jai menurunkan sebelah kaki Jacko yang masih menclok di bangku.
"Oh, maaf. Gue emang emosi tadi. Sorry Man!"
"Gak apa." Oscar lega.
"Jadi, gimana taruhannya"" tanya Jacko dengan suara lebih normal.
"Hm, sebentar ...," tanpa rasa berdosa, Jai menaikkan sebelah kakinya ke bangku, "Nah, ini lebih pas." Lalu tertawa kepada Jacko, "Pantes tadi betah begini, friend!"
Jacko dari balik kacamata minus yang besarnya melebihi kaca nako, kelihatan banget kekinya.
"Udah, cepetan. Gimana aturan mainnya""
Sejurus kemudian, Jai meraih kedua pundak sahabatnya. Gak berapa lama, mereka bertiga tampak berbisik-bisik. Terus tegang. Terus geleng-geleng kepala. Tegang lagi. Bisik-bisik lagi. Terus ngangguk bareng-bareng.
"Sippp!" *** "Itu namanya judi, tau! Haram! Gimana sih, Bang Jai""
Jamilah yang angot hanya dibalas tepukan di pundak oleh Jai. Lalu dengan wajah bijaksana, cowok yang tampangnya rada-rada mirip Keanu Reeves kalau diliat pake botol limun dari puncak monas, itu pun menjawab, "Adikku, ini namanya bukan judi. Tapi taruhan, eh kompetisi. Judulnya... hm apa ya, yang bagus buat pementasan""
Jai mengernyitkan dahinya sambil masukkin kelingking ke hidungnya. Jamilah makin gedek aja, ngeliat kelakuan si Abang.
"Nah, dapet!" Santai aja cowok itu menjentikkan jari. Gak peduli sama sekali dengan paras Jamilah yang geli.
"Dapat apaan Jai-se"" samber Ibu sekonyong-konyong, yang sore itu udah rapi dengan kerudungnya, dan kelihatan siap berangkat pengajian.
"Judul, Bu," jawab Jai sembari mengelap kelingking yang kotor ke ujung baju.
"Judul ap-se"" tanya Ibu lagi sambil muter-muter ke kiri dan kanan di kaca bufet mereka.
Jai dan Jamilah diam-diam nahan tawa. Dengan kerudung pajang berumbai-rumbai disemat di bahu, ditambah selop yang tingginya hampir satu meter (wah, bombastis banget!), Ibu mereka mirip komedi puter yang lagi ditanggap di lapangan bola. Hihihi ....
"Judul taruhan, Bu. Namanya Kompetisi Merayu! Bagus, kan""
Heeh. Jamilah makin manyun aja. Gadis berambut dikepang dua itu mencibir.
"Tuh, tanya ke Ibu soal taruhan!" Gaya Jamilah pengaduan banget.
"Aduh, Ibu udah telat, Say. Lain kali aj-se nanyanya, ya"" jawab Ibu sambil muter sekali lagi. Tangannya direntangin ke kiri-kanan sambil megang kerudung, persis banget pesawat capung mau landing.
Ayah yang tumben di rumah, dan gak tugas ke luar kota, menurunkan korannya dikit.
"Anak nanya, dijawab dulu dong, Bu. Lagian Ibu udah mirip, kok!"
Mirip" Jai dan Jamilah pandang-pandangan. Ibu yang heran, mendekati Ayah. "Mirip ap-se, Yah""
Dengan gaya sama seriusnya, Ayah menurunkan kacamatanya. Lalu ngomong,
"Coba muter lagi kayak tadi!" pinta laki-laki separuh baya itu bernada perintah.
"Kayak gin-se""
Singngng.... Ibu muter ke kanan.
"Lagi, coba"" pinta Ayah lagi.
Singngng .... Ibu muter ke kiri.
"Benar-benar mirip!" Ayah mengacungkan jempol, lalu kembali membaca koran. Ibu yang gak sabar menepuk pundak Ayah.
"Jawab dulu, dari tadi suruh muter-muter kenap-se" Ibu mirip artis tempo dulu, ya" Tetty Kadi" Brigitte Bardot""
Ayah menggeleng. "Britney Spears""
"Bukan!" Uh, Ibu cemberut. Make up-nya yang rada menor, dan gelang emas berjejer di tangan, tampak menyilaukan mata.
"Jadi mirip ap-se dong""
"Orang terjun payung!"
liih, Ayah bisa aja! Jai dan Jamilah terbahak-bahak. Habis mereka aja dari tadi udah nahan-nahan biar tidak keceplosan dan bikin Ibu tersinggung. Eh, si Ayah malah....
Namun, ajaibnya Ibu gak marah apalagi tersinggung. Perempuan yang usianya mendekati empat puluh lima tahun itu, malah mencium pipi Ayah sebelum pamit, sambil berkata,
"Maksud Ayah, Ibu lincah, kan" Makasih deh, Yah, Pap, Daddy...."
Wuaaahhh .... "Eh, Ibu jangan pergi
dulu dong. Itu si Jai taruhan gimana""
Ibu menghentikan langkahnya sebentar, sebelum jalan lagi cepat-cepat.
"Tanya Ayah, sana!"
Tanya Ayah" Ih, Jai dan Jamilah bergidik. Ayah mereka itu orangnya serius meski kadang suka bercanda.
Tapi kalau lagi diam... duhhh, gak enak deh ngusiknya.
"Taruhan apa""
Suara berat Ayah tiba-tiba terdengar. Jamilah yang merasa dapat angin cepat-cepat menjawab, "Itu tuh Yah, Bang Jai taruhan sama Jacko dan Oscar!"
Rasain! Batin Jamilah bersorak.
Ayah diam sebentar. Tegang.
"Benar begitu, Jai""
Wajah lelaki itu kelihatan kecewa. Koran yang baru dibaca setengah, ditaruhnya di meja.
"I... iya, Yah. Jai minta ma...," jawab Jai salah tingkah. Jarang-jarang Ayah memberi perhatian seserius gini.
"Taruhan itu tidak baik."
"Tuh kan, Ade bilang juga apa" Marahin, Yah!"
Ih, Jamilah provokator banget. Jai mendelik-kan matanya, yang dibalas Jamilah dengan meleletkan lidah.
"Taruhan itu tidak baik," Ayah mengulangi pernyataannya lebih tegas, "Tapi omong-omong, taruhan apaan sih""
Sekarang Jai mulai cengar-cengir penuh kemenangan. Tidak berapa lama, Ayah dan anak itu pun asyik mengobrolkan hadiah taruhan atau kompetisi yang diadakan untuk merebut hati si Cewek Jangkung.
Jamilah mendengarkan saja dari kejauhan. Kalau gak salah sih, hadiahnya... "Kulkas aja!"
"Kegedean, Yah. Berat bawanya!"
"Tivi 21 inci, gimana""
"Mahal, Yah! Kalo Jai yang kalah, repot nanti!"
"Hmmm," Ayah tampak mikir, "Anak kambing aja kalo gitu, kan bisa dipiara, bisa jalan sendiri lagi! Hehehe ...."
"Itu mah buat kurban, Yah!"
"Jadi, apa dong""
Jurus Jitu Merayu Jim pssst... sini!" "Apaan sih""
Jamilah yang lagi belajar bareng-bareng sama Inot, Nunu, Bella, dan Septi, agak malas menoleh.
"Apaan sih""
"Boleh gabung sebentar gak""
Gadis berkepang dua yang lagi mengenakan kaos garis-garis dan celana jeans itu, awalnya pengen nolak. Tetapi, Bella yang tampang dan penampilannya suka nyama-nyamain sama Christina Aguirella buru-buru nanggapin.
"Boleh saja bergabung," kata Bella dengan sikap anggun, "tapi apakah Bang Jai memenuhi syarat sebagai orang yang ingin bergabung dengan kita" Misalnya saja dari sisi intelektual, status sosial, dannn... per... for... mance""
Inot dan Nunu cepat-cepat mengiyakan, bahkan tanpa melepas permen kojek keduanya, membuat Jamilah mengalah.
"Gimana, Septi""
"Aku abstain! Kecuali kalian pengen tahu gimana asal-muasal, dan peristiwa yang menyebabkan munculnya istilah abstain. Tertarik""
"Kagaaak ..." Kompak teman-teman Jamilah menjawab. Septi tidak protes, hanya menghela napas berat. Beginilah wanita... pikirnya. Tetapi, dia harus menghormati keinginan kaum mulia itu. Deu
"Gini...," Jai mengambil sebuah kursi lagi, lalu duduk dekat adiknya, "kompetisi merayu besok dimulai, jim. Nah, kasih masukan dong yang membuat tuh cewek bisa demen sama abangmu."
"Ah, Bang Jai jadi kura-kura dalam perahu tuh," sindir Jamilah ngaco.
"Itu bagus," potong Septi, "kalau jadi kura-kura, berarti Bang Jai begini," Septi mengacungkan jempolnya.
"Maksudnya"" tanya Jai.
"Kura-kura adalah makhluk yang penuh filosofi. Dalam sejarah Tiongkok Kuno, kura-kura...
"Stop!" Jai melotot. Septi langsung diam.
"Ini serius, Jim. Gue kan mesti nanya. Justru karena kalian kaum perempuan, gue merasa harus nanya." Terus kepada Septi, "Jangan tersinggung ya, Sep, maksud gue ... yah... elo kan juga udah mirip-mirip mereka! Hahaha ...."
Tawa Jai sopan. Anehnya, Septi santai aja. Malah dengan ramah menawarkan,
"Kalau perlu sejarah pergerakan awal perempuan, jangan ragu Bang. Saya siap menjawab. Gerakan feminisme di Prancis itu dimulai oleh ..."
"Opsss, gak perlu!" setop Jai buru-buru. "Gue hanya perlu petunjuk praktis."
Ohhh! "Gimana, ada komen untuk opening-nya, gak""
Maka, meluncurlah usulan-usulan seru! Apalagi yang disampaikan oleh Inot dan Nunu, saudara kembar yang hari itu sepakat ngecat rambutnya warna oranye. Kedua gadis berbadan besar itu memberikan usulan tumpang tindih, dan... tanpa sedikit pun rela melepas sejenak permen kojek kesayangan mereka
"Say it with ..." Inot memulai.
"Flowers"" Jai n
yerobot. "Bukan. Lanjutin Nu!"


Biru Laut Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Say it with... kozek!"
"Apa"" "Permen Kojek!" jawab Inot dan Nunu serempak. Terus, ketawa cekakakan sambil ngadu permen kojek mereka. Ihhh!
Jai sebel. Buru-buru tangannya bergerak. Dalam sekejap, dua permen kojek tadi sudah berpindah tangan. Inot dan Nunu melongo, nyaris tersedu-sedu kalau Jai gak segera mengembalikan permen keduanya.
"Terima kasih!" jawab mereka serentak dengan wajah penuh syukur.
"Next! Ada usulan lain""
Bella memain-mainkan rambutnya yang ikal kayak boneka.
"Menurut pendapatku, wanita adalah makhluk yang kompleks, sumber inspirasi, dan penuh dengan misteri. Jadi menurutku, memperlakukan kaum wanita tidak cukup hanya dengan pemberian hadiah dan sejenisnya, menurutku ..."
"Cukup! Makasih!" potong Jai. Dia gak kuat lagi menerima "menurutku" yang berikutnya.
"Kamu, Septi" Ada masukan lain""
"Perempuan, secara psikologis adalah kaum yang perlu mendapatkan perlindungan ekstra ketat. Secara etimologis, perdan empu ditambah akhiran an, dengan kata dasarnya 'empu', yang berarti mahir, hebat, atau bahasa gaulnya jago banget. Arti lainnya ..."
Aduh, Jai makin pusing dengan kerumitan bahasa Septi. Jamilah yang melihat abangnya nyureng, jadi nyengir sendiri. Salah sendiri, minta saran kok sama mereka, kumpulan anak-anak yang meski baik hati, tapi sering bikin jutek itu.
"Kamu Jim""
Jamilah yang tidak merasa bakal ditanya, cepat mengubah setelan wajahnya, supaya rada serius.
"Ada saran gak, Jimku Sayang""
Jamilah mikir. Hmmm.... "Aku bukan orang yang pro sama pacaran, Bang! Soalnya, kata Mbak Sarah ..."
"Eh, eh, entar dulu. Siapa yang mau pacaran, Jim" Aku kan, cuma mau menangin taruhan... eh, kompetisi."
"Terus, kalo menang jadi pacaran""
Jai cengengesan, ngusap-ngusap bagian depan rambutnya yang basah keringat.
"Gak tau, ya. Mungkin juga."
"Kalau gitu, gak mau kasih saran ah!" rajuk Jamilah membuat cowok itu heran. Kok, belakangan ini adiknya makin alim aja. Kayak....
"Kamu kayak orang udah pake jilbab aja, Jim. Alim gitu."
Jamilah kalem aja menanggapi abangnya.
"Ya, itu kan memang wajib buat perempuan. Ya gak, Friends"
Bella tidak langsung ngangguk. Inot dan Nunu tampak memandang ke jambul oranye mereka. Satu-satunya yang menganggukkan kepala justru... Septi!
"Betul. Dalam sejarah Islam, konsep jilbab itu dikenal di Madinah, dan waktu itu kalangan kami, eh, maksudku kaum Muslimah di sana langsung ambil gorden, taplak meja, dan kain yang ada, dan ditutup ke kepala mereka hingga dada."
"Sep, cukup, cukup! Makasih. Tambah ribet aja deh, urusan gue."
Meski agak bersungut (dikasih tahu sejarah gratis, bukannya terima kasih, batin Septi red.), Septi menghentikan juga ulasan sejarahnya.
"Eh, terus kalo wajib, kenapa kamu belum pake, Jim""
Jamilah diam, kena batunya dia. Tetapi, Septi yang pengetahuannya melebihi guru Sejarah, langsung nyerocos.
"Nah, itu ada sejarahnya juga Bang Jai...
Cepat-cepat Jai mengambil taplak meja, dan melemparkannya ke muka Septi.
"Cukuuuppp!!!" teriaknya keras, dengan kekuatan vokal orang teater.
"Eh, iya, iya," sahut Septi pasrah, "tapi ini udah boleh ditaruh belum, ya"" katanya sambil meraba-raba kain taplak yang masih menutupi wajahnya.
"Terserah," jawab Jai singkat, sementara pandangannya masih fokus pada sang Adik. "Serius dong, Jim."
"Ya ... kalau aku sih, kalau ada cowok naksir, yang aku mau dari cowok ... hmmm..."
"Apa"" Jai gak sabar.
"Aku ingin dia menjadi dirinya sendiri!"
Tegas suara gadis berkepang dua itu yang disampaikan dengan mata polos jernih.
Bukan hanya Jai yang terkesima, tapi juga Bella, Septi, bahkan Inot dan Nunu, yang beberapa saat lupa mengulum permen kojek mereka.
Jamilah memang pantes jadi ketua genk, pikir mereka, soalnya sering banget punya ide dan pendapat yang gak kepikir sama mereka.
Tetapi, ketika semuanya terdiam, Jamilah malah disibukkan oleh pikirannya sendiri. Sesuatu yang tadi ditanyakan abangnya.
"Eh, terus kalo wajib, kenapa kamu belum pake, Jim""
Iya, ya. Kalau memang wajib kenapa dia belum rela memakai jilbab"
Three Man and The Lady Dua pekan kemudian, tiga cowok yang
berbeda penampilan itu pun ngumpul kembali, masih di warung Badrun. Kalau sebelumnya muka-muka mereka biar jelek, tapi cerah (hihihi ...), sekarang asli suram bin buram.
Mereka pun mulai bertukar cerita.
Jacko and The Girl Beberapa kali gue sengaja nemuin pas si Anneke, nama tuh cewek cantik, lagi kelihatan nganggur di kampus. Mulai dari berlagak cuek (katanya cewek demen sama cowok cuek") dan gak butuh, yang ternyata mendapat reaksi yang sama dari si Anneke, sampai gue rutinin smile, bahkan kedip-kedipin mata gue yang imut di balik kacamata yang frame-nya gue tahu gak proporsional, alias kegedean. Alhamdulillah, pas gue udah mulai kedip-kedipin mata, kasih kode begitu, kalau gue demen sama dia, si Anneke mulai ngasih sinyal yang menjanjikan.
Seperti hari itu, dia tidak hanya senyum, melihat gue benerin celana panjang yang beberapa kali merosot karena lupa pake gesper, dia bahkan tertawa waktu gue kedipin mata. Mungkin juga karena jambul gue yang tadi pagi sempat dicelupin teh manis.
"Anneke, ya""
Dia ngangguk. Gue kedip-kedip lagi. Eh, dia nunjuk-nunjuk matanya, seperti mau nanya, apa gue sakit mata meski kaget gue bilang,
"Ah, gak. Saya gak sakit mata kok, 'Ke!"
Sengaja gue manggil dia 'Ke aja, biar akrab. Tapi, matanya yang besar dan indah seperti celingak-celinguk. Apa karena dia nggak biasa dipanggil 'Ke, ya" Padahal dia mirip lho, sama uler 'KE... KET! (bercanda kok, Anne-ku Sayang ...)
Besok-besoknya, bahkan sebelum gue ngomong apa-apa, Anne sering udah mesem-mesem sendiri. Wajar kalau gue jadi berpikir, mungkin dia udah kesengsem sama gue. Kan, hoki banget kalo sampai dia fall in love sama gue. Ternyata"
Ternyata apa pun yang gue ngomong, cuma segitu aja dia nanggepinnya. Sama sekali gak ada kemajuan. No progress, Man. Apa sudah waktunya gue frustrasi"
Sampai.sini, Jacko mengakhiri ceritanya.
Oscar and The Girl Saya tahu, sebetulnya bodi saya gede, atletis ...eh, orang lho yang bilang. Saya memang hobi banget, sedikit-sedikit Gym, maksud saya ngedengerin AA Gym. Taffi, semua juga udah tahu meski tamffang saya lumayan, saya juga jago karate. Eh, iya bener. Terus, modal lain yang namanya kendaraan alhamdulillah udah ffunya moge, alias motor gede. Ffengetahuan"
Sebagai anak yang lahir dan mewarisi darah ningrat, affa sih yang tidak saya tahu tentang ffilm India" Komfflet dengan bintang-bintang Bollywoodnya" Dari Sashi Kaffoor dan Amitabh Bachan, terus SRK yang semffat konser di sini, dan alhamdulillah saya nggak ketinggalan, sampai Salman Khan, terus Arjun Rani Mukherjee, saya tahu!
Tetaffi, ternyata semua hal tersebut memang belum menolong saya untuk menghindar dari fferasaan kurang ffede, yang akhirnya membuat saya kesulitan untuk menegur atau berdekatan dengan cewek. Keffala saya sering tiba-tiba ffusing dan terus mual, bahkan sampai muntah-muntah kalau saya dekat dengan cewek yang saya sukai. Ffarah, kan"
Maka, belum-belum saya sudah salah tingkah dan ffuyeng berhadapan dengan Anneke yang miriff Rani Mukherjee.
"Se ... eh, selama... mat so... sore Rani!"
Cewek cantik di deffan saya tetaff jalan. Ffandangannya lurus-lurus aja ke deffan. Mungkin menunggu jemffutan.
"Ra... eh, ops," (Kenaffa saya jadi manggil dia Rani" Ffasti keffengaruh film India, nih).
"Sepertinya kita ffernah... eh, ffernah ketemu"" tegur saya lagi dengan memomffa seluruh keberanian. Moge yang saya cat warna kelabu karena belakangan ini mendung dan berhujan, saya jadikan sandaran badan, biar nggak oleng meski kepala udah mulai ffusing.
Syukur banget. Cewek itu bereaksi, mungkin karena ... eh, offening saya menarik.
Tataffan matanya sefferti bertanya, "Di mana"" Ffadahal saya ngarang aja soal fferasa-an pernah ketemu dia.
''Hmmm, mungkin ... eh, ng... waktu konser Shahrukh Khan di FfRJ kemarin""
Kontan dan tanffa ragu-ragu, gadis cantik itu menggeleng.
Besok dan besoknya waktu ketemuan, dia makin sering menggeleng ffas diajak ngobrol. Tamffaknya dia tidak tahu satu ffun nama aktor dan artis Bollywood, bahkan film-film yang meledak. Buat saya agak keterlaluan, terutama ffilm yang gres dari SRK, kan semffat masuk nominasi
Oscar" Masa tidak tahu"
Cewek itu menggeleng, kelihatannya benar-benar tidak tahu. Saya gak ngerti mesti cerita affa lagi karena semua ilmu saya, sudah saya keluarkan. Sefferti saya bilang di awal, saya memang gak ffinter-ffinter amat, taffi silakan uji saya soal dunia Bollywood, saya jamin tidak mengecewakan!
Begitulah .... Jai and The Girl "Mulanya gue gak tahu memang."
Jai membuka ceritanya. "Kalau kalian nongkrongin dia pulang kuliah, gue justru pas jam-jam kuliah. Gila aja gue sampai nekat menemui dia yang lagi melukis."
Jacko dan Oscar menunggu kelanjutan kalimat sobatnya yang memang biasa iseng dan melanggar aturan.
"Gue duduk aja di samping dia. Sama dosen, gue bilang ada perlu penting, ada yang meninggal."
Lalu pada dua sohibnya yang gak percaya, Jai meyakinkan.
"Eh, tapi itu bener lagi. Gue nggak bohong, kok. Orang pas mau naik bus gue lihat iring-iringan mobil jenazah."
Hihihi ... iya sih, tapi apa hubungannya dong sama si Anneke"
"Sama seperti kalian, dia memang pendiam sekali. Tidak banyak berkomentar selain senyum, mengangguk atau menggeleng." Jai terdiam sebentar, seperti mengenang hari-hari kompetisi yang dilaluinya.
"Gue sodorin kartu nama."
Lalu" "Yah, dia ternyata gak bilang makasih atau apa, hanya membalas dengan kasih kartu nama juga."
Ohhh .... "Terus, gue tanya juga hobinya apa" Eh, dia dengan santainya menggoyang-goyangkan kuas di depan muka gue seperti ngomong: 'emang-nya lo nggak liat gue lagi ngapain"' Begitu, Man!"
Jai melanjutkan lagi ceritanya, "Jujur, gue belum pernah ketemu sama cewek yang segitu mahalnya ngasih respons ke cowok. Sungguh. Kata Jamilah, dia suka cowok yang jadi dirinya sendiri, maka waktu dia jalan keluar kampus, beberapa kali dengan ikhlas dan sepenuh hati, gue iringin dia jalan sambil pake kacamata hitam. Terus, cuek aja menggandeng tangannya, sebagai penunjuk jalan. Eh, dia masih gak menghargai gue, yang waktu itu sedang berupaya tampil apa adanya gue."
Jacko memberi aba-aba supaya Jai menunda ceritanya. Tangan cowok itu ngobok ke dalam gelas es kelapa, terus basahin jambulnya di bagian depan yang memang sesaat tadi tampak seperti tanaman kurang air.
"Lanjut, ya" Akhirnya, kemarin gue bilang sama dia, kalau dia masih begitu juga caranya ke gue, gue... mau ke rumahnya bawa iring-iringan tanjidor dan ngelamar dia! Beneran! Gak main-main!"
Terus" "Untuk pertama kali si Anneke tampak bingung dan khawatir. Mulutnya sudah bergerak-gerak ingin menjelaskan. Dan gue yakin, dia akan menjelaskan panjang lebar. Dia udah berutang banyak penjelasan pada kita semua, kan""
Terus gimana" Jacko yang punya nama lengkap para pahlawan itu, Sudirman Godam Lincoln, dan Oscar menunggu detik-detik seru cerita Jai.
"Mulutnya udah bergerak-gerak, seperti tadi gue bilang, bahkan kedua tangannya ikut bergerak, seperti ingin menjelaskan sesuatu. Begitu selama beberapa saat. Tetapi, dia gak ngomong apa pun juga. Sampai gue kesel dan ngulangin ancaman gue. Ketika itulah ..."
Ketika itu" Jacko dan Oscar mengernyitkan alis mereka.
"Ya, " Jai mengangguk, "ketika itulah muncul seorang cewek, gue juga tahu dia sering bareng sama si Anneke, cewek yang rambutnya pendek dan tampangnya galak itu mendorong gue dengan bengis dan berkata."
Jai menghela napas. Kelihatan terpukul.
"Udah jangan ngancem-ngancem, deh. Orang bisu dipaksa ngomong! Dasar gak punya perasaan!"
Jacko dan Oscar mendelik.
"Yah, begitulah, gue jadi tahu ... ternyata Anne bisu. Kalau dipikir, dia udah sabar banget ya, merespons ulah kita yang kacau selama ini" Gue jujur jarang tersentuh, tapi kemarin tiba-tiba aja gue merasa jadi orang jahat. Sueri"
Jai menutup ceritanya. Jim, What 's Wrong" Jim ..." Jamilah menengok ke abangnya.
"Mau bantu, gak"" Jamilah kembali asyik membaca.
"P... a ... s ... t ... i
"Makasih ya, Jim. Tapi yang ini agak ngerepotin."
Jamilah diam sebentar. Gak lama ...
"N ... o ... p ... r... o ... b ... I ... e ... m ...."
"Hebat!" Jai bertepuk tangan, "Itu baru namanya adik Abang yang jempolan. Kamu kenal Sarah, kan""
Jamilah diam, lama. "Sarah teman Abang yang kuliah d
i IKJ. Tau, kan""
"M ... a ... h ... a ... s ... i ... s ... w ... i ...."
"Ya, mahasiswi IKJ. Kamu pernah ketemu dia waktu ospek, terus sekali di Mimazah, masjid kampus. Inget, kan""
Jai mendekat ke adiknya, "Tugas kamu cuma satu."
Jamilah menengok lagi ke abangnya.
"Abang bisa diem gak, sih"" suara Jamilah tiba-tiba sewot.
Lah... segitu terganggunya.
Jai nginyem juga dikerasin gitu sama si Jamilah. Untunglah, beberapa saat kemudian mata adiknya terlihat kembali cerah.
"Tinggal satu pertanyaan lagi," cetus Jamilah dengan senyum.
Jai mengangguk. Wajar kalau Jamilah nanya, dari tadi dia memang belum kasih tahu kelanjutan kalimatnya.
"Ok, apa Jim""
"Apa sih, nama mata uang Palestina"" tanya Jamilah, sambil telunjuknya menyusuri kotak demi kotak lembar TTS di pangkuannya.
Jeee ... si Jamilah, kirain!
Gemas, Jai merebut buku teka-teki silang yang dari tadi mencuri perhatian adiknya.
"Serius dong, Jim!"
Hihihi ... model Jai minta orang serius. Kan, lucu. Meski begitu, Jamilah menuruti kehendak abangnya.
"Jadi minta tolong, nih""
"Iya. Jarang-jarang, kan""
"Apaan"" "Nih!" Jai menyodori sepucuk surat. "Buat Sarah!"
"Kenapa gak nyampein sendiri" Kan, Bang Jai lebih sering ketemu."
Bukannya menjawab, Jai malah tersipu-sipu. Dua tangannya direntangkan ke kiri dan ke kanan, mirip orang mau olahraga pagi. Lalu sebelah tangannya mengucek-ucek rambutnya ke belakang. Resah.
Jai" Resah" Ini baru luar biasa. Jamilah tiba-tiba bersemangat.
"Bang Jai jatuh cin... cin... cin ..."
Jai panik. Buru-buru tangannya mendekap mulut Jamilah, dengan perasaan sedikit kesal. Kenapa sih, Jamilah buka aib orang keras-keras gitu. Mau Ibu sama Ayah tahu"
Ajaibnya, mulut Jamilah gak mempan dibungkem, biarpun tangan Jai membekap kuat.
"Cin, cin, hasyiii..."
Ihhh! "Maaf. Lagian orang mau bersin ditutupin. Nih, tisu!"
Jai cepat-cepat mengelap tangannya. Untung, dia bukan orang yang cepat jijik. Tetapi, ...
"Tadi kamu makan bakso, ya""
Jamilah ngangguk, rada heran. "Kok, tahu""
"Tuh baksonya keluar. Hiii..."
Sekarang ganti Jamilah yang malu-malu.
"Udah cepet. Pertanyaan yang lainnya""
"Gak. Cukup kasihin aja suratnya. Gak ada apa-apa lagi."
Tumben, Jamilah siap total gitu menawarkan bantuan, pikir Jai terharu.
"Bukan itu. Ah, gak kreatif nih."
"Oh, oke!" Jai mengambil surat yang ada di tangan adiknya. Terus, membuat motif-motif berbentuk ukiran di tiap sisi surat itu.
"Nah, sekarang udah sip, kan""
"Hhh ..." "Apa lagi" Emangnya kurang bagus nih ukiran""
"Komisinya mana"" Jamilah langsung nembak. Huh, Matre!
Seharian Jai menunggu kabar dari Jamilah soal surat yang dibawa adiknya itu ke Sarah. Resah, gelisah, berdebar. Perasaan itu ternyata melekat pada siapa saja. Gak pandang bulu meski pada orang iseng serupa Jai.
"Sarah ... desah Jai menyebut nama gadis yang membuatnya mabuk kepayang.
Kenyataannya, Sarah memang bukan sembarang gadis. Betul sih, tampangnya gak lebih cakep daripada si Anneke, tapi apa ya, yang membuat dia (sebetulnya, bahkan dari semester pertama kuliah), udah mentok berat"
Sarah yang baik, ramah, murah senyum, dan gak gampang cemberut. Sarah yang pintar, peka terhadap kondisi orang lain, penyayang kucing.... Sarah yang shalat tepat waktu, yang gak pelit, terutama sama orang susah dan Jai. (Dalam hati Jai baru ngeh, jangan-jangan di mata Sarah, dia orang susah juga, wah... gawat dong")
Sarah yang... sempurna"
Mungkin. Hampir. Nyaris. Sebab, katanya tidak ada orang yang sempurna. No body's perfect, begitu kata Jacko. Jai juga gak tahu, apa si Sarah kalau tidur ngorok apa gak, ngiler apa gak" Apa punggungnya bolong apa gak" Telapak kakinya nginjek tanah apa gak, soalnya dia kan selalu pake gamis.
Sampai sini, Jai nyengir sendiri dan buru-buru mengusir pikiran isengnya. Kayaknya gak pantes deh, bisa-bisanya terlintas bandingin Sarah sama sundel bolong. Hihihi ....
Jam kayu di dinding ruang tamu menunjukkan pukul lima kurang seperempat, ketika bayangan Jamilah melintas. Jai yang baru bangun tidur, telat menguber adiknya yang tergesa-gesa menghambur ke kamar mandi.
"Wudhu! Belum shalat, nih!
L alu suara "gedubrak" dan "cibang cibur" yang seru. Mungkin Jamilah gak cuma wudhu, tapi sekalian mandi, batin Jai. Sepuluh menit. Lama-lama gak kuat juga Jai jagain pintu kamar mandi yang gak ada cakep-cakepnya. Cowok berambut sebahu itu pun balik lagi ke kamar.
*** Sehari, dua hari. Jamilah belum ada omongannya. Belakangan dia makin sering keluar, dan pulang-pulang langsung kunci diri di kamar. Padahal, beberapa kali Jai mengurangi acara kumpul-kumpul dengan teman-teman di TIM, supaya bisa pulang lebih cepat dan "menangkap" Jamilah. Cuma ya begitu, masih gagal aja.
Jai tambah bingung. Kok, si Jim yang biasanya ceriwis, banyak protes, meledak-ledak, terus kadang suka error (ingat kan, waktu di bus sama pencopet"), sekarang jadi tertutup begitu, dan cenderung menghindar. Ada apa, ya"
Di kampus, Jai, yang gak tahu gimana nasib suratnya, makin salah tingkah tiap berpapasan sama Sarah.
Supaya bingungnya gak keterusan, Jai putusin untuk menunggui Jamilah pulang malam itu. Dan pas Jamilah mengucapkan salam, terus melenggang melewati Jai yang lagi nonton televisi, cowok manis itu buru-buru lompat dan menjejeri langkah adiknya.
"Jim." Jamilah cuek aja, wajahnya tenang menuju kamar.
"Jim, kamu kenapa sih" Kok, jadi pendiam gitu" Kalau aku ada salah, maafin Ayah dan Ibu dong!"
Kalau kalimat-kalimatnya diharap bisa menggelitik reaksi dari Jamilah, rasanya Jai gatot alias gagal total habis.
"Jim, kenapa sih""
Di dekatnya, Jamilah menghela napas. Urung membuka pintu kamarnya. "Gak ada apa-apa."
"Terus"" "Ya, gak ada terusnya." Jai menatap lekat-lekat paras manis adiknya. Begitu serius. Begitu bening. Gak ada nuansa meledak-ledak, seperti biasa. Jamilah tampak tenang dan lebih percaya diri. Sesuatu sepertinya sedang terjadi. Dan Jai sebel banget karena dia tidak dilibatkan sama sekali.
Jai mengingat-ingat hari-hari belakangan. Soal suratnya ke Sarah. Pasti, ada hubungannya dengan itu. Si Jim berubah drastis semenjak ia minta tolong mengantarkan surat ke gadis berkerudung yang cantik itu.
Jangan-jangan ... Yes! Yes! Yesss!!" Jamilah melongo. Jai seperti orang kesurupan, melompat-lompat sambil mengacungkan tinjunya ke atas. Girang banget.
"Sarah menerima cintaku, ya, kan""
Jamilah makin bengong. "Karena itu kamu cemburu, takut tersisih dari kehidupan abangmu yang ganteng ini, kan""
Adiknya masih diam. "Pasti itu!" Lalu sambil menggandeng adiknya ke sofa di ruang tamu, Jai melingkarkan tangannya di pundak Jamilah.
"Percayalah Jim, Sayang. Selamanya abangmu akan selalu sayang, cinta, melindungi adiknya yang semata wayang ini. Biarpun seribu Sarah, Abang tidak akan lupa diri. Percayalah, Dinda."
Ihhh, mending sinetron gitu ....
"Bang Jai apa-apaan, sih" Siapa yang menerima cinta Abang""
"Sarah! Siapa lagi" Kayaknya aku cuma kirim surat sama cewek satu itu aja, bentar Abang ingat-ingat ya, Jai berlagak mikir. "Yap, positif. Abang gak kirim surat ke Peppy, Lidya, Maya, Agnes ... cuma ke Sarah, kok. Dan, gak mungkin ditolak, kan""
jamilah mendengus kesal, tapi terus mulutnya komat-kamit, dan wajahnya teduh kembali. Sabar, sabar, abangnya hanya satu. Masa gak bisa disabarin"
"Mbak Sarah tuh gak nerima cinta Abang. Katanya, dia maunya gak pacaran. Langsung nikah aja."
Jai kaget. "Dia bilang begitu" Waduh, kok jadi dia yang gak sabaran""
Jamilah bangkit dari sofa, mengedikkan bahunya.
"Jim, tolong sampein ke Sarah lagi, ya" Gue memang cinta, tapi belum siap untuk langsung nikah. Terus...," mata cowok itu tampak menekuri lantai, "apa menurut dia gak terlalu drastis, terlalu cepat untuk minta dinikahin sama Abang""
Yeee ... "Udah ah, Bang. Tuh udah azan. Jim mau shalat dulu, dah isya."
Diingetin begitu. Jai bukan buru-buru wudhu, malah memencet remote kontrol, mengganti channel.
"Untung kamu ingetin. Pukul tujuh tiga puluh, layar emas! Kita tutup dulu soal Sarah, nonton bareng, yuk" Jagoan kamu yang main!"
Tetapi Jamilah tidak menyambut, sebaliknya malah melangkah cepat-cepat ke kamar mandi, setelah berkomentar dingin,
"Film mulu. Pikirin tuh korban invasi Amerika dan Israel!"
*** Tadinya Jai mengira, mas alah sudah selesai, dan adiknya yang manis, tetapi sering cerewet dan error itu bisa kembali pulih seperti sediakala. Nyatanya"
Bang Jai salah apa sama Jamilah" Tanggung Jawab dong, jangan sampai kami, teman-temannya yang jadi korban. Laki-laki di mana-mana sama aja, gak tau tanggung jawab!
Sms pertama diterima Jai pagi itu. Jauh dari segar dan membangkitkan semangat. Yang mengirim siapa lagi, kalau bukan tokoh prasejarah. Cowok kurus tinggi berkulit putih, yang suka ngaku-ngaku pejuang persamaan hak kaumnya (perempuan): Septi.
Setelah itu susul-menyusul sms dari teman-teman dekat Jamilah yang lain.
Bang Jai yang terhormat, saya harus menyampaikan rasa keberatan saya yang sedalam-dalamnya, dan berharap Anda cukup jantan untuk meminta maaf, dan mengakui kesalahan. Posisi Anda sebagai kakak tidak serta-merta menjadikan Anda benar. (Bella)
Jai merasa dadanya bungah. Bukan oleh kebahagiaan, melainkan oleh perasaan bingung. Si Bella Keriting, yang rambutnya mirip bakmi di kampusnya itu, apa pula maksudnya" Lalu Nunu dan Inot"
Woiii... udah dua hari ini, kami tidak makan permen kojek. jadi wajar kan, kalo kami lebih cepat marah" Asal tahu, rambut kami sekarang merah. Jamilah diapain sih, jadi serius dan sedih gitu"
Awalnya Jai tidak paham, apa hubungannya Jamilah sama permen kojek, tapi ketika dua anak kembar, yang selalu berpakaian mahal itu, menjawab sms-nya, baru Jai ngerti.
Oh, soal permen kojek itu gak ada hubungannya. Warung langganan kami tutup. Tapi Jamilah gimana tuh jadinya" Eh, kalo mau subsidi permen kojek, boleh. Yang cokelat, ya" (Nunu dan Inot)
Enak aja! Jai yang semula merasa bersalah, jadi kesal. Tetapi, cowok berkulit sawo matang itu sadar juga. Masalah Jamilah gak boleh dibiarin. Kesadaran ini gak semata muncul karena dia peduli banget, tetapi... kan gak enak, dimarahin dan dituduh kiri-kanan" Belum Ayah sama Ibu. OMG. Oh, My God deh, batin Jai.
"Jai Sayang, si Jim kenap-se sih""
"Iya dong! Adik cuma semata way-se, kok gak diurusin" Be a gentie brother, dong Jai-se!"
Wuaaahhh, kalo Ibu udah turun tangan... Jai cuma bisa ngomong satu kata: Tuluuung!
Kalau Ayah meski lebih cool, tetapi toh dia kena jadi sasaran petuah juga.
"Adikmu diperhatiin dong, Jai. Jangan dibiarin kalau ada masalah."
Heh... Jai mengurut dada. Dalam hati: Jim, please... kamu kenapa sih"
*** Berhari-hari, bahkan lewat dua minggu menyaksikan Jamilah jadi si Pendiam, yang menghabiskan waktu dengan mengunci diri di kamar, membuat Jai gak tahan juga. Belum teror-teror sms yang gak kehitung dari teman Jamilah yang aneh-aneh.
Semua itu, akhirnya menjadi penjelasan wajar. Kenapa cowok berusia dua puluhan itu akhirnya bersikap seperti adegan di bawah ini:
Jai menggedor-gedor pintu kamar Jamilah, - yang sejak pagi tertutup. Hari Minggu itu memang cuma mereka berdua di rumah. Ayah dan Ibu sejak kemarin pergi kondangan ke Bandung, tempat saudara mereka.
"Jim ... please! Jai memulai aksinya. "Jim." la menggedor lagi. Sudah berkali-kali dipanggil, tetapi tak ada jawaban dari Jamilah. Lama-lama cowok itu khawatir juga.
"Jim, kalau kamu punya utang, bilang! Jangan bertindak bodoh apalagi pake bunuh diri."
Hening. "Bilang dong Jim, sebesar apa pun utang-utangmu, bilang! Biar nanti Ibu sama Ayah yang bayarin!"
Jai mulai kehabisan akal. Acara gedar-gedor-nya gak mendapat tanggapan apa pun. Apa perlu pintu didobrak" Pikir Jai cemas. Tapi, apa dia kuat"
"Jim, please, aku capek nih. Jawab dong." Hening lagi.
Jai sudah siap menggedor lagi dengan sekuat-kuatnya, ketika suara Jamilah terdengar. Pendek saja, "Tunggu."
Dari semula merasa cemas, kini Jai jadi curiga. Apa si Jim terlibat tindak kriminal, ya" Apa dia menyembunyikan sesuatu di kamarnya" Hmmm... hidung Jai mulai kembang kempis,
"Jim, kalau kamu terlibat narkoba," Jai menghentikan kalimatnya. Berlebihan gak, sih" Belakangan ini yang dilihatnya ke sana kemari sama Jamilah, ya... si Sarah. Jangan-jangan...
"Kamu terlibat apa sama Sarah" Apa diam-diam dia pengedar" Itu sebabnya kalian akrab sekarang" Ya, ampun... Jim, apa pun itu, tidak ada yang akan terlalu besar bagi kita.
Kamu bisa cerita, kita akan hadapi bersama, please Jim" Atau Sarah menjerumuskanmu pada dunia..."
Jai tiba-tiba terhenyak. Tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Itukah alasannya" Mungkinkah Sarah tak sebaik kelihatannya" Dan Jamilah terjerumus pada ...
Klek! Pintu kamar Jamilah tiba-tiba terbuka. Di sana berdiri gadis berusia enam belas tahun itu, dengan wajah teduh. Dan Jai, menepuk dahinya atas dugaan yang tidak-tidak tadi.
"Bang, ada apa""


Biru Laut Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Duh, Jamilah. Jai tiba-tiba kehabisan kata-kata. Hanya dipandangnya raut Jamilah dalam balutan kerudung biru muda.
"Jim, kamu cantik ..."
Jamilah tersenyum, hanya mengangguk. Mendadak, adik kecilnya di mata Jai tampak begitu dewasa, begitu sabar, begitu anggun. Setidaknya sampai Jai menangkap sesuatu.
"Jim. Jamilah menunggu. Sejak semula, dia sudah mempersiapkan diri untuk ini. Jai mungkin akan tidak setuju, seperti banyak dialami teman-temannya di sekolah yang berkerudung. Barangkali malah tidak hanya Jai. Ayah dan Ibu mungkin akan bersikap sama. Seperti Mama dan Papa Mbak Sarah, yang sempat keberatan karena menganggap belum waktunya bagi anak mereka untuk berbusana demikian. Hal yang membuat Jamilah sempat merenung, kenapa kebaikan harus mengenal kata "belum waktunya""
Jadi, apa pula yang akan dikatakan Jai sekarang" Jamilah menatap mata abangnya lurus, lalu kalimat dari mulut cowok itu, yang meluncur hati-hati.
"Jim, kamu cantik, tapi ... jilbabmu terbalik!"
-Tamat- Salad Days 1 Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Horor Di Camp Jellyjam 2
^