Pencarian

Capung Keseratus 2

Capung Keseratus The 100th Dragonfly Karya Ary Yulistiana Bagian 2


5. Nocturno KINANTI cuma terdiam di depan pintu. Sepulang sekolah, ia mendapati bundanya mena-menangis terisak di ruang kerja, menghadap jendela besar tempat kolam teratai terlihat dengan jelas. Di meja
samping tempatnya duduk, tampak buku-buku dan kertas-kertas berantakan. Sebagian berserakan di lantai.
Bunda kenapa, ya" Kedua tangan bunda menutupi wajahnya, dari sela jemarinya tampak tetesan bening air mata. Napasnya terlihat naik turun seolah memperlihatkan betapa dadanya sungguh disesaki beban yang teramat berat. Tapi, bunda tetap terlihat cantik.
Isakan itu terasa menyayat hati Kinanti. Belum pernah ia melihat bundanya seperti itu. Selama ini, bunda adalah sosok yang lembut dan tegar. Bahkan, waktu ayah tiada, bunda tabah sekali.
Kinanti ingat, waktu peti jenazah ayahnya diangkat untuk dinaikkan ke mobil ambulans dan
diberangkatkan ke tempat pemakaman, bunda berucap "Sugeng tindak, Mas Bagus. " Selamat jalan, Mas Bagus.
Bunda nggak menangis, malah mengucapkan selamat jalan buat ayah. Bunda tak pernah mengajari Kinanti jadi cewek cengeng dan manja.
Tak sadar, air mata Kinanti meleleh di pipi. Perlahan didekatinya bunda. Dengan diselimuti perasaan bimbang, Kinanti berlutut di samping kursi kayu hitam dan meraih tangan bunda. Mengetahui kehadiran Kinanti, tangis bunda tambah menyayat.
Duh, hati Kinanti juga ikut teriris-iris rasanya. Bunda membelai rambut dan mencium kening Kinanti.
"Bunda kenapa"" ucap Kinanti lirih.
Bunda menatap Kinanti penuh haru. "Kinanti sayang, maafkan Bunda
"Kinanti nggak ngerti Bunda, apa maksud Bunda"" tanya Kinanti sambil menatap bunda lekat.
Bunda... BAHAGIA sekali rasanya hidupku saat ini. Mengarungi hidup bersama Bagus Kusumodjati, laki-laki terbaik yang telah dikirim Tuhan untuk menemaniku.
Aku mengenai Mas Bagus di Keraton Surakarta setahun lalu. Waktu itu, ia sedang menemani serombongan turis Jepang yang tengah berkunjung
ke Solo. Sedangkan aku sendiri mengantar Rachel, kawanku dari Jakarta yang mengadakan riset untuk menyelesaikan novelnya yang kedua. Rachel tertarik untuk bergabung dengan rombongan turis itu dan memohon supaya aku mau minta izin pada guide yang menemani mereka.
Akhirnya, aku menemui guide itu dan mengutarakan maksud Rachel, ternyata kami diperbolehkan mengikuti rombongan. Ketika rombongan istirahat dan turis-turis itu mencicipi jamu di beranda museum, Rachel sibuk mengobservasi tingkah laku mereka. Saat itulah, guide rombongan duduk di sampingku dan mengajakku mengobrol.
Ternyata, memang nggak salah dia memilih guide sebagai pekerjaannya. Orangnya begitu menyenangkan, charming, dan pandai bercerita. Seringkali aku dibuat tergelak oleh gurauannya. Ketika turis-turis Jepang tersebut puas mencicipi javanesse traditional beverage, obrolan kami berakhir. Mas Bagus begitu dia minta dipanggil memintaku menuliskan nomor telepon di buku sakunya.
Perkenalan itu ternyata berbuntut panjang, Mas Bagus mulai berani datang ke rumah. Kami yang tinggal dalam satu kota, nggak merasa kesulitan mengatur waktu pertemuan. Kesibukanku sebagai penar di samping mengajar di sebuah sanggar tari banyak dimanfaatkan Mas Bagus untuk memperkenalkan turis-turisnya pada aset budaya kota kami yang begitu luhur. Kegemaran kami yang
sama, mengoleksi barang antik, menambah kedekatan kami.
Nggak membutuhkan waktu lama untuk menunggu Mas Bagus meminangku. Begitu bahagianya aku saat itu, sampai-sampai waktu kurasakan begitu cepatnya. Lamaran, akhirnya akad nikah.
Sampai ketika aku sedang dirias untuk upacara temu, salah satu rangkaian upacara pengantin adat Jawa, pada malam harinya. Ketika juru rias sedang memasangkan hiasan cunduk mentul keemasan di atas gelung di kepalaku, ada perubahan susunan acara dari panitia.
"KAMU makan dulu, Kinanti," ucap bunda sambil menuntun Kinanti bangkit.
"Tapi, Bunda," Kinanti tak jadi meneruskan protesnya karena mendapat sorotan memohon dari mata teduh bundanya. Akhirnya Kinanti mengalah, segera masuk kamar, menukar pakaian seragamnya dengan blus merah muda dan rok pendek putih. Sambil mengekor kuda rambut panjangnya, Kinanti berjalan ke ruang makan.
Di sana, bunda sudah menunggu. Kinanti mengambilkan nasi untuk bunda yang disambut dengan sebuah senyuman yang belum dilihat Kinanti sejak ia pulang sekolah.
Hm, ada pecel, cumi pedas, sayap goreng tepung, dan emping manis.
" Bagaimana tadi di sekolah"" tanya bunda memecah kesunyian.
"Mmm, just fine, tapi lumayan menyenangkan. Sophie bawa blackforest, katanya sih, untuk merayakan fashion show-nya yang sukses semalam. Anak itu memang sering aneh. Anak-anak sekelas sih, senang dapat blackforest gratisan." Kinanti menggigit emping manisnya. "Kami malah nyaranin Sophie biar lebih rajin dan serius di setiap fashion show. Kalo sukses terus, bisa bawa kue terus ke sekolah. Hihihi ...."
Senyum bunda semakin nyata. Kinanti lega bisa menghibur bunda.
"Tadi Kinanti baca mading, ada pengumuman lomba menulis essai."
"O, ya" Kamu mau ikut"" bunda antusias.
"Nggak, tapi Grey mau ikut. Hahaha nekat anak itu," sahut Kinanti sambil kepedasan karena terlalu banyak ngambil bumbu pecel.
"Lho, kok, kamu ketawain gitu, bukannya mendukung"" Bunda heran.
"Bukan gitu. Ih, Bunda kayak nggak ngerti si Grey itu seperti apa. Bikin satu paragraf aja masih diorder ke Kinanti, gimana dia bisa menulis essai"! Kinanti tahu kok, Bunda, dia itu ikut karena mau cari perhatian Sita, yang sering jadi juara menulis essai itu."
Kali ini, bunda betul-betul tertawa sambil menggeleng, "Supaya Grey bisa mendekati dan memacari Sita""
Kinanti mengangguk cepat sambil mengacungkan
sendok makannya. Bunda dan Kinanti tertawa bersama, tapi diam-diam bunda makin sedih.
Selesai makan dan membereskan meja, Bunda mengajak Kinanti ke tepian kolam teratai. Senja mulai gelap. Kinanti paham, itu kebiasaan bunda. Ketika ada sesuatu yang terasa berat, bunda selalu ingin memandang kolam teratainya.
Hampir lima belas menit mereka duduk di batu-batuan tepi kolam, tapi bunda belum membawa Kinanti ke pembicaraan yang berarti. Kinanti merasa, bunda bingung mengutarakan isi hatinya. Hanya bertanya hal-hal ringan, dan selebihnya diam. Sorot redup lampu taman di samping kolam tak mampu menyembunyikan sirat kebimbangan di wajah bunda.
Mereka larut dalam diam ketika dering telepon membahana dari meja sudut di ruang tengah. Kinanti setengah berlari masuk rumah, siap memarahi Grey dan menyarankan supaya untuk mengerjakan pe-er sendiri. Kinanti meninggalkan HP-nya di kamar karena ia nggak mau pembicaraannya dengan bunda terganggu. Di jam-jam seperti ini, biasanya Grey yang suka neiepon.
"Halo, Grey""
"Halo, Ndhuk, ini Bude Tantri. "
"Oh, Bude, maaf Bude. Kirain teman Kinanti."
"Ndak apa-apa. Ibumu ada, Ndhuk""
"Ada Bude, tunggu sebentar ya, Kinanti panggilkan." Kinanti merasa nggak enak, karena obrolannya dengan bunda, akan tertunda lagi. Kinanti menaruh gagang telepon di atas meja dan menemui bunda.
"Bude Tantri, nyari Bunda."
Bundanya tampak mengemyit sekilas, lalu beranjak masuk rumah.
Kinanti memilih duduk di atas batu tepian kolam, daripada mengikuti bunda. Ia berpangku tangan sambil memandangi beberapa teratai yang mulai menguncup.
Bundanya sering memperlihatkan pada Kinanti, di habitat aslinya, teratai memang tumbuh di tempat yang kotor dan berlumpur. Namun, daunnya selalu bersih. Kalo ada butiran debu yang menempel, teratai menghilangkannya dengan cara yang menarik. Teratai mengalirkan tetesan air hujan pada permukaan daunnya ke arah butiran debu. Tetesan air hujan menghimpun seluruh debu, membawanya mengalir dan jatuh ke permukaan air. Itulah mengapa teratai selalu bersih sehingga dijadikan lambang kesucian.
Cukup lama bunda berada di dalam rumah. Kinanti mulai curiga. Nggak biasanya juga Bude Tantri nelepon lama. Di keluarga besar, bunda dikenal nggak terlalu suka ngobrol lama di telepon. Kinanti merasa harus menengok bunda ke dalam rumah. Siapa tahu butuh bantuan, pikimya.
Di pintu antara ruang tamu dan ruang tengah, Kinanti tercekat. Pemandangan yang hampir sama seperti tadi sore terulang lagi di depan matanya. Bunda menangis terisak dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Dari sela jarinya, tampak tetesan bening air mata.
Kinanti merasa langkah kakinya berat ketika mencoba mendekat ke arah bunda. Wajahnya nyaris
tanpa ekspresi. Ada apa lagi ini"
Kinanti mencoba melakukan hal yang tadi sore ia lakukan, berlutut. Kali ini di depan bunda.
"Bunda," ucap Kinanti perlahan.
"Eyang Kakung sudah menemani ayahmu Kin
anti diam. Seperti nggak mendengar apa yang diucapkan bunda barusan.
Bunda memeluk Kinanti. "Kita harus merelakan Eyang Kakung
DEG! Hati Kinanti seperti berhenti berdetak dan nggak tahu harus berbuat apa.
"Lantas, apa yang mau Bunda bicarakan tadi"" Kinanti merasa otaknya mulai nggak bisa berfungsi dengan baik.
Bunda menghela napas dalam-dalam. "Itu kita bicarakan lain waktu saja, Sayang," katanya kemudian.
Kinanti bangkit dan berlari menuju kamamya di belakang rumah. Kinanti nggak bisa menerima ucapan bunda. Bukan apa-apa, sejak siang, ia merasa ada sesuatu yang nggak beres di rumah ini.
Tangisan bunda nggak wajar, bahkan belum pernah terjadi di rumah ini. Tapi sebelum ia mengetahui sebabnya, sudah ada berita lain lagi yang mengguncangkan dirinya. Berita lain yang nggak bisa ditunda lagi untuk disampai-kan pada Kinanti.
Kinanti jelas sedih atas berita meninggalnya Eyang Kakung, meskipun begitu, ia tahu ia nggak akan berlama-lama menangis dan memanjakan kesedihannya. Ia sudah belajar banyak dari ayah
dan bundanya bagaimana menyikapi masa sulit, menyikapi emosi, kesedihan, dan kehilangan.
Tapi, nggak untuk hari ini, pikir Kinanti. Di saat dirinya masih berada pada tanda tanya besar atas suatu hal yang ia sendiri nggak tahu apa, Kinanti menangis dalam diam.
Dihampirinya kotak kaca tempat capung-capung-nya. Dipandanginya satu demi satu capung itu, diingatnya waktu kali pertama ia menangkap capung bersama Eyang Kakung.
Bertahun-tahun kemudian, Kinanti banyak belajar dari capung-capung itu. Capung, serangga cerdas yang mampu menghadapi keadaan sulit. Capung yang mampu melakukan manuver dengan sangat hebat. Pada kecepatan atau arah bagaimanapun ia bergerak, capung dapat berhenti mendadak atau terbang kembali dengan arah yang berlawanan, atau tetap diam di udara untuk berburu.
Ketika bertemu mangsanya, ia akan terbang dengan sangat cepat sampai empat puluh kilometer per jam. Apabila bertabrakan dengan mangsanya, maka akan terjadi guncangan yang sangat kuat. Tetapi, tubuh capung yang lentur mampu meredam guncangan yang terjadi. Sebaliknya, mangsa capung itu akan kehilangan kesadarannya, bahkan mati karena guncangan tersebut.
Kinanti sangat terinspirasi. Ia jadi tahu gimana harus bersikap dalam menghadapi segala sesuatu, gimana membawa diri, gimana memahami kehidupan yang teramat singkat ini, karena ia tahu capung pun memliliki kehidupan teramat singkat, hanya sepuluh
hari, atau beberapa minggu.
Kinanti nggak akan menyianyiakan hidup-nya karena ia tahu semua akan berlangsung singkat. Kinanti berusa-ha mengisi seluruh hidupnya dengan cinta, pada Tuhan, pada bunda, pada almarhum ayah, pada Eyang Kakung, pada Grey, bahkan pada Daren White yang belum pernah ditemuinya.
Tapi nggak untuk hari ini, di saat kehampa-an tengah menyergap dirinya. Kinanti hanya merasa hidupnya seka-rang ini dilanda kegelap-an. Seperti ia juga tahu, capung nggak akan pernah berhasil terbang di malam hari, capung nggak akan mampu melihat dengan baik dalam gelap. Capung hanya akan menabrak segala sesuatu ....
Kinanti nggak mau itu terjadi. Harapan satu-satunya, bunda, justru yang menyimpan kegelapan itu untuk dirinya. Kinanti mencoba mencari kekuatan dengan me-nyentuh satu demi satu capungnya. Tapi, capung-capung itu seolah mengatakan mereka juga nggak berdaya menghadapi kegelapan.
Kinanti memandangi capung dari Grey yang hanya tinggal memiliki tiga sayap, karena Grey nggak bisa me-nang-kapnya dengan baik. Lalu, matanya beralih ke capung pemberian Daren yang sungguh tampak berkilat sem-puma. Juga memandangi capung-capung hasil tangkap-an-nya di halaman belakang rumah Eyang Kakung di Solo.
Dulu, waktu akan pindah ke Jakarta, capung-capung itu tertinggal di atas meja rumah Eyang Kakung. Kinanti terus-terusan ngambek dan
nggak mau makan. Bujukan ayah yang menangkapkan beberapa ekor capung di halaman rumah baru pun diabaikannya. Akhirnya, Eyang Kakung sendiri yang berangkat ke Jakarta mengantarkan capung-capung itu. Diam-diam, Kinanti gembira karena ada beberapa capung hasil tangkapan ayahnya yang menambah koleksinya Kinanti sedikit tersenyum mengingat keja-dian it
u. Ternyata, capung-capung itu masih mampu menghibur hatinya.
Kinanti menarik napas dalam-dalam, dan beranjak ke luar kamar. Ia tak akan membiarkan bundanya berkemas sendirian.
SELAMA perjalanan menuju bandara, bunda lebih banyak diam. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tak lebih dari hal-hal ringan, seperti; "HP-mu nggak tertinggal"", "Kamarmu sudah dikunci"", "Apakah baju yang kamu bawa sudah cukup"" dan peranyaan-pertanyaan semacamnya.
Kinanti tahu, bunda kalut dan mencoba mengendalikan suasana, yang lebih penting nggak membuat Kinanti ikut terseret dalam arus kesedihannya.
Sebelum taksi berhenti di depan terminal keberangkatan domestik, Kinanti sempat melihat bunda mengusap pipinya. Ah, Bunda menangis lagi. Setelah mendapat boarding pass dan duduk di
ruang tunggu, Kinanti menyempatkan diri menelepon Grey. Sudah pasti Grey menolak untuk ditelepon, ia menyuruh Kinanti untuk menutup teleponnya dan sebagai gantinya, ia menelepon balik Kinanti.
Grey menyampaikan rasa dukanya. Bagaimanapun, Grey adalah salah satu "mahluk" tempat Kinanti berbagi cerita tentang eyang-nya. Mahluk yang lain tentu saja capung-capung di kamamya.
"Balik ke Jakarta lagi kapan""
"Mungkin dua atau tiga hari lagi, Grey."
"Oke, kamu baik-baik di sana. Masalah izin sekolah, serahkan saja padaku."
"Thanks Grey." 'Kin." "Ya"" "Kalo mau kutelepon, kirim SMS, ya""
"Ya." Klik. Kinanti melihat bundanya menyibukkan diri membaca majalah. Kinanti tetap duduk sampai terdengar suara announcer mengumumkan waktu keberangkatan dan meminta penumpang untuk bersiap.
Tak sampai satu jam kemudian, pesawat sudah siap mendarat di Bandara Intemasional Adi Sumarmo, sebelah barat Solo. Bunda masih dalam kekakuannya, sempat memperingatkan Kinanti agar jangan mengabaikan perintah-perintah dari pramugari yang sedang bertugas.
HAMPIR pukul sebelas malam ketika Kinanti dan bunda tiba di rumah joglo itu. Kesibukan persiapan upacara pemakaman tampak di sana-sini. Beberapa orang memasang tenda untuk tamu di halaman, yang lain menyiapkan kursi-kursi dan peralatan sound system untuk besok.
Beberapa kerabat menyambut mereka. Ada Bude Tantri yang tadi menelepon, Pakde Noto, suaminya, Bulek Rat, Mbak Ndari, dan beberapa saudara yang lain. Tetangga-tetangga yang sudah berkumpul melangsungkan pembacaan Surat Yasin di ruang depan, tempat jenazah Eyang Kakung disemayamkan.
Kinanti seperti tak mampu melangkah dari depan pintu jati berukir ketika melihat lembaran-lembaran jarik menutupi tubuh Eyang Kakung yang terbujur kaku. Di sampingnya dupa yang ditaruh berdekatan dengan lampu teplok mengepulkan asapnya, mengeluarkan bau yang sungguh menyengat.
Kinanti pernah bertanya pada eyang alasan membakar dupa. Eyang menjelaskan, membakar dupa memban-tu untuk berkonsentrasi karena wangi asapnya nggak akan terkalahkan oleh bau lain yang mungkin akan menganggu pikiran.
Kinanti mengekor bunda menuju jenazah Eyang Ka-kung. Langkahnya makin berat.
Bunda... Bapak juga sudah pergi, menyusul Mas Bagus. Padahal, masih terlalu banyak hal yang selama ini tersimpan rapat-rapat. Duh, Gusti Allah, bantu aku. Besok mungkin ia akan datangh ke sini dan menanyakan lagi kesanggupanku.
KETIKA orang-orang kembali sibuk membereskan halaman, bunda ditemani Pakde Noto masuk ke ruang depan. Mbak Ndari, anak tertua Pakde Noto mengajak Kinanti menemaninya pulang ke rumahnya yang nggak terlalu jauh dari rumah Eyang Kakung.
Mereka jalan kaki berdua, di beberapa tempat tampak sebaran bunga tabur yang mengiringi keberangkatan jenazah Eyang Kakung ke pemakaman tadi.
"Kinanti pernah ke Madyotaman"" tanya Mbak Ndari sambil menyebutkan sebuah kampung di tengah Kota Solo.
"Belum pernah, Mbak. Memangnya rumah siapa""
"Sama Almarhum Om Bagus juga belum pernah""
"Belum pernah."
Mbak Ndari nggak meneruskan pertanyaan, mereka sampai di depan sebuah rumah asri bercat hijau. Mbak Ndari lalu mengajak Kinanti masuk ke rumah. Kinanti duduk di sofa ruang tamu, tanpa sadar dirinya menguap dan dilihat oleh Mbak Ndari.
"Kalo ngantuk tidur aja di sini, Kin. Belum tentu di rumah Eyang nanti kamu bisa tidur. Masih banyak orang di sana."
Benar juga, siap a tahu bisa beristirahat lebih enak di sini. Lalu, Kinanti menerima tawaran Mbak Ndari untuk tidur di kamamya. Tak lama, Kinanti sudah terlelap di atas seprai biru tempat tidur Mbak Ndari.
HAMPIR magrib ketika Kinanti mendengar bundanya ngobrol dengan Bude Tantri di ruang tamu. Tenggorokan Kinanti yang terasa kering dan gatal karena kurang minum semenjak siang membuatnya terbatuk, dan didengar oleh bunda.
"Tidumya enak, Kin"" Bunda sudah berada di depannya.
"Iya, Bunda, sampai nggak tahu kalo sudah gelap begini. Pulang ke rumah Eyang yuk, Bunda"!" ajak Kinanti.
Bunda diam sejenak. "Kenapa Bunda""
"Nggak apa-apa. Yuk!"
Kinanti akhirnya pulang bersama bunda. Bude Tantri dan Mbak Ndari ikut lagi ke rumah Eyang, katanya masih banyak pekerjaan yang harus dibereskan.
Benar kata Mbak Ndari, di rumah Eyang Kakung masih banyak orang. Kinanti segera bersiap untuk mandi, dilihat HP-nya. Ada SMS dari Grey.
Gmn Kin" Baik2 aja" Ada yg bs kubantu"
Balesan: It's Ok. I'm fine. Thx 4 your att.
Kinanti mandi, lalu ikut gabung makan malam bersama. Suasana nggak enak masih melingkupi hatinya. Hanya, Kinanti nggak tahu apa sebabnya. Usai makan malam, bunda dan Pakde Noto mengajak Kinanti ke kamar Eyang Kakung. Kinanti merasa ada yang nggak beres.
Bunda ... Sampai ketika aku dirias untuk acara temu pada malam harinya, ketika juru rias memasangkan hiasan cunduk mentul keemasan di atas gelung di kepalaku, ada perubahan susunan acara dari panitia. Ada acara tambahan sebelum panggih, nanti aku diharuskan melakukan upacara ngecos
mawa, penyiraman arang membara yang diletakkan di depan Mas Bagus.
Limbung rasanya mendengar berita itu, ngecos mawa hanya dilakukan ketika mantu duda sekar. Pemikahan dengan pria yang belum lama bercerai, tapi kenapa aku" Kenapa Mas Bagus" Aku sungguh nggak bisa mengerti. Selama acara berlangsung, aku banyak terdiam. Aku ingin berontak. Apa maksudnya ini" Mengapa aku baru diberi tahu sekarang, supaya nggak bisa protes" Supaya nggak bisa berontak" Apa ini ..."
Usai acara, seluruh keluarga berkumpul, dan disampaikan/ah berita yang mahadahsyat itu padaku. Mas Bagus sesungguhnya sudah menikah dua tahun lalu. Tiga bulan yang lalu istrinya melahirkan, dan satu bulan yang lalu mereka resmi bercerai.
Air mataku rasanya sudah nggak mampu lagi mengalir. Tentu saja aku protes, kenapa nggak disampaikan dari dulu" Kenapa semua orang membohongiku" Mas Bagus bilang itu semua demi kebaikanku, karena ia sangat mencintaiku. Ah, cinta . katanya.
Semua sudah terjadi, aku sudah disahkan menjadi istrinya. Sedangkan istrinya yang pertama pergi ke luar Jawa, meninggalkan bayinya yang berusia tiga bulan pada Mas Bagus. Padaku tentu saja. Kinanti Sekar Kusumodjati, begitu bapaknya Mas Bagus memberi nama. Aku tak bisa berbuat apa-apa pada bayi cantik itu selain mencintai dan menyayanginya.
Kinanti, begitu penurutnya anak itu. Aku merasa sanggup hidup berdua saja dengannya ketika Mas Bagus meninggal terkena serangan jantung beberapa tahun lalu. Kami tinggal berdua beratapkan sayang dan berjendelakan cinta.
Anak itu suka sekali dengan capung, sempat kurasakan keresahannya dulu ketika hendak pindah ke Jakarta. Kinanti pernah takut nggak mendapati capung di Jakarta. Tapi, aku pernah membaca artikel di koran tentang serangga itu. Disebutkan sebelum menjadi capung dewasa, larva capung hidup di dalam air. Nggak salah kalo dulu Kinanti sering menemukan capung di pinggiran kolam di belakang rumah bapak.
Dari situlah aku meminta Mas Bagus membuatkan sebuah kolam yang agak besar di rumah baru kami di Jakarta nanti. Dan berhasil, capung-capung mau hidup menghias tepian kolam. Ku tambah kolam itu dengan bunga teratai, lambang kesucian. Kolam dan teratai itu merupakan simbol perasaanku yang begitu suci. Bagiku, kolam itu salah satu perwujudan kecil dari rasa cintaku yang begitu besar padanya.
Tapi datanglah ia, Krismaryati, istri Mas Bagus yang pertama. Datang meminta kembali anak perempuannya, ah bukan, meminta lagi anakku. Tuhan hanya meminjam rahimnya untuk memberiku anak. Tuhan memang nggak memberikan kesempumaan pada rahimku. Tapi, aku dikaruniai segenap
jiwa seorang ibu, yang bahkan memelihara seorang anak dengan kadar cinta melebihi ibu kandung manapun di dunia ini. Aku dikaruniai Kinanti
melalui rahimnya. Sekarang, enam belas tahun kemudian, ia ingin mengambilnya kembali. Ia memintaku untuk segera membicarakan hal ini pada Kinanti, dengan ancaman dia sendiri yang akan menemui Kinanti kalau aku nggak mau berbicara.
Duh Gusti, sekarang aku hanya bisa pasrah. Semua tentu sudah kamu gariskan. Aku hanya memohon kekuatan darimu. Izinkan aku mencoba berbicara dengan Kinanti ....
TATAPAN Kinanti kosong sama sekali mendengar cerita itu. Pada akhirnya, ia memang mendengar apa yang ingin disampaikan bunda. Rasanya, ia udah nggak ada di dunia ini lagi.
Otaknya benar-benar nggak bisa berfungsi lagi. Dadanya berkecamuk. Kepalanya ingin meledak. Kinanti ingin berontak. Berontak ...! Tapi, Kinanti nggak sanggup. Bunda tampak berteriak histeris. Pakde Noto sibuk membaringkan tubuh Kinanti di tempat tidur. Kinanti pingsan.
Kinanti tak ingin bangun, tak ingin melihat apa-apa, dan tak ingin merasakan apa-apa.
Capung tak bisa berbuat apa-apa dalam gelap. Capung tak berdaya di malam hari. Kinanti merasa gelap dan merasa seperti capung di malam hari ....
Gelap. Nocturno .... 6. Aurora Di luar, Krismaryati menunggu. Ia ingin segera
menemui anak perempuannya, yang pernah
menghuni rahimnya selama sembilan bulan. Tapi, Pakde Noto meminta Krismaryati menangguhkan keinginannya, melihat kondisi Kinanti. Akhirnya, Krismaryati menuruti pesan Pakde Noto, ia akan kembali lagi besok sebelum Kinanti pulang ke Jakarta.
BUNDA nggak bisa berbuat apa-apa. Bunda hanya menunggui Kinanti yang mulai pulih kesadarannya, tapi belum mau diajak bicara.
Kinanti hanya diam, memandang sekeliling dengan tatapan kosong. Tubuhnya masih terasa lunglai. Betapa pilu hati Kinanti, dalam waktu yang begitu singkat ia harus segera mengambil keputusan. Bunda atau perempuan itu. Kinanti perlahan mulai mengingat kembali kehidupannya. Masa kecil di
Solo, pindah ke rumah baru di Jakarta, teman-teman baru, SMP, SMA ....
Grey! Tiba-tiba, Kinanti ingat Grey. Kinanti meraba saku rok biru mudanya, mencari HP dan memilih keluar kamar, menuju hala-man belakang. Anjuran bunda untuk tetap di tempat tidur tak dihiraukannya, sekali ini. Tawaran saudara-saudaranya untuk menemaninya ke halaman belakang, tak ada yang diterimanya.
Kinanti duduk di tepian kolam. Terdengar suara Grey di seberang. "Aku telepon balik!" Klik.
Kinanti menghela napas. Sebenamya, ia nggak suka diperlakukan seperti itu. Tapi, Grey nggak peduli.
Layar HP-nya sudah menyala lagi, kali ini tanpa bemyanyi. Handphone Kinanti sengaja di-silent sejak semalam.
Klik. Yes. "Gimana, Kin" Pulang kapan"" "Grey, aku butuh kamu
Grey tersadar seketika. Grey sudah hafal suara Kinanti, saat sedih, senang, bahkan saat bohong. Dan sekarang, Grey langsung ngerti kalo Kinanti lagi bersedih. Pelan-pelan, Kinanti menceritakan apa yang dialaminya. Membagikan beratnya beban yang sedang menimpa pada sahabatnya tercinta.
"Im so sorry for it .... Aku ... aku sungguh nggak tahu harus berbuat apa, Kin. Aku turut bersedih. Tapi percayalah,
Kin. Gimanapun, aku siap membantumu. Sekarang semuanya berpulang padamu. Yakinilah kata hatimu, Kin. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan."
Kinanti cukup terhibur mendengar kata-kata Grey. Paling nggak, sahabatnya hari ini lebih pintar ketimbang sebelumnya.
"Thanks, kamu mau mendengarku."
"Tenangkan hatimu ya, Kin, aku bersamamu
Kinanti tak mengerti mengapa kata-kata Grey mampu memulihkan perasaannya. Sesu-dahnya, Kinanti bisa ngobrol ringan dengan Grey, ngomongin sekolah dan teman-teman sekelas.
Telepon ditutup. Kinanti belum ingin masuk rumah dan mengedarkan pandang ke sekeliling. Malam begini nggak ada capung. Kinanti jadi teringat koleksi capungnya di Jakarta. Jadi teringat Daren juga. Hm, Kinanti merindukannya.
Lama Kinanti termenung, mencoba memutar kembali memorinya. Ayah ... bundanya tercinta ... Grey ... Daren... sampai akhirnya, ia dihadapkan pada kenyataan bundanya yang tercinta bukanlah ibu kandungnya.
Kinanti nggak mengenal perempuan itu. Tapi, dia orang y
ang melahirkanmu, Kinanti, hatinya mengingatkan. Lalu, gimana dengan bunda" Aku harus meninggalkannya sendirian setelah dibesarkan dengan kasih sayangnya" Aku nggak ingin menyakiti bunda. Aku nggak ingin mengecewakan bunda! Ya, baiklah kalo begitu ....
Akhirnya, Kinanti mengambil keputusan. Kinanti ingin tetap tinggal bersama ... bunda ... sampai kapan pun.
Kinanti ke dalam rumah, menemui bunda di kamar Eyang Kakung. Bunda tersenyum tipis melihat Kinanti.
Kinanti memeluk bunda, tanpa air mata. "Kinanti sayang Bunda," katanya.
"Ya, Bunda tahu itu." Bundanya mengelus rambut panjang Kinanti.
"Kinanti mau bersama Bunda
Bunda menarik napas dalam-dalam, ada kelegaan di sana. Maturnuwun duh, Gusti ....
PAGI hari, Kinanti bersama Pakde Noto dan bunda menemui Bu Kris di ruang tamu. Kinanti bingung dan kikuk harus seperti apa. Meskipun diam, jantungnya terus menerus berdegup kencang menghadapi situasi ini. Keringat dingin sudah mengucur sejak pertama kali mendengar kedatangan Bu Kris. Akhirnya, Pakde Noto yang angkat bicara. Beliau menjelaskan bahwa Kinanti ingin bersama bunda di Jakarta, Kinanti merasa berat meninggalkan bunda.
"Semoga Dek Kris bisa memahami perasaan Kinanti. Anak itu merasa berat jika harus meninggalkan Dek Laras sendirian di Jakarta. Mereka sudah bersama selama enam belas tahun. Wajar bila
Kinanti punya perasaan seperti itu," ucap Pakde Noto hati-hati.
Krismaryati menatap Laras, perempuan yang merawat anak kandungnya selama enam belas tahun, dengan sedikit curiga. Perlahan mata Krismaryati semakin tajam menusuk Laras, menuduh Kinanti telah dipengaruhi dalam mengambil keputusan ini.
Kinanti makin menunduk dalam-dalam, nggak tega melihat bunda diperlakukan seperti itu. Tapi juga takut kalo Bu Kris semakin emosi. Kinanti menggigit bibir kuat-kuat.
"De Kris nggak perlu berprasangka terhadap siapa pun di sini, sebaiknya kita tanyakan langsung pada Kinanti." Pakdhe Noto menatap satu demi satu orang-orang yang ada di ruang tamu. DEG!
Kinanti yang merasa namanya disebut, menelan ludah. Rasanya seluruh tubuhnya gemetaran, tengkuknya terasa memanas. Kakinya serasa nggak menyentuh lantai.
"Benar kamu ingin tetap bersama bundamu di Jakarta, cah ayu"" tanya Pakdhe Noto sambil menatap Kinanti lekat-lekat.
Kinanti melirik bunda di seberangnya. Bunda nggak memberi respons apa-apa, ha-nya matanya menatap Kinanti datar. Kinanti menunduk lagi, meremas-remas kedua tangan-nya, menggigit bibir. Tuhan, kuatkan aku ....
Kinanti mengangguk. "Kamu yakin dengan keputusan itu, Ndhukl"
Kinanti mengangguk lagi, kali ini lebih mantap.
Pakdhe Noto menatap Bu Kris dengan pandangan bijak, "De Kris sudah melihat sendiri, anaknya ingin ikut De Laras."
Bu Kris membuang napas, tampak kekecewaan tergurat di wajah perempuan berambut sebahu itu. Tentu saja dengan bercucuran air mata, Bu Kris menyayangkan sikap Kinanti yang lebih memilih bunda daripada dirinya, ibu kandungnya. Namun tekad Kinanti sudah bulat, ia sangat mencintai bunda, seperti bunda sangat mencintai dirinya.
Bu Kris memutuskan pulang. Ketika berpamitan, Bu Kris memeluk Kinanti agak lama. Seolah ingin menuntaskan kerinduan yang telah ditahannya selama belasan tahun. Kinanti sempat mencuri lihat wajah Bu Kris sesaat, ada kesamaan dengan dirinya. Mata yang tajam, dan tulang rahang yang agak menonjol.
"Sesekali, mainlah ke Madyotaman. Ibu menunggumu di sana." Kinanti terperangah. Ibu!
Tapi, tak apa dia menyebut dirinya sebagai ibu, toh dia yang melahirkan aku.
Kinanti hanya mengangguk, rasanya dia belum ingin bicara dengan perempuan itu.
7. Cosplay DI Jakarta, Kinanti melanjutkan kembali kesibukannya. Mengurus lagi capung - capungnya, menulis e-mail untuk Daren, mengerjakan tugas-tugas sekolah, mengikuti rapat-rapat panitia, dan pekerjaannya yang paling penting, membantu Grey mengerjakan pe-er. Itu semua sangat membantu Kinanti melupakan kepergian Eyang Kakung dan kedatangan ibu kandungnya.
Ditambah lagi kesibukan Grey mempersiapkan essai yang hendak dikirimkan ke panitia lomba, Kinanti harus rela jam-jam istirahatnya diambil alih Grey. Dua minggu lagi naskah essai harus sudah dikirim da
n mulai satu minggu yang lalu hampir setiap hari, Grey datang ke rumah Kinanti untuk meminta bantuan.
Ada saja oleh-oleh yang dibawa Grey, martabak kubang, asinan, donat, sampai crepes kesukaan Kinanti. Kinanti sama sekali nggak heran atas kelakuan sahabatnya itu. Belakangan, Kinanti malah meminta Grey nelepon dulu sebelum berangkat ke rumahnya, supaya bisa menentukan
oleh-oleh yang harus dibawa. Hihihi ....
Bahkan, setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Grey datang menjemput. Padahal dulu, Kinanti paling anti yang namanya sekolah diantar jemput. Ia lebih suka naik angkutan umum.
"Kin, kamu kayak jelangkung, deh!" kata Tedi yang baru saja ditolak waktu mau mengantar Kinanti pulang. Kinanti mendelik, "Apanya""
"Iya dong, soalnya ... datang tak dijemput, pulang tak diantar," kata Tedi sambil menjauh, takut dijitak Kinanti.
Kinanti hanya geleng-geleng, malah khawatir kedekatannya dengan Grey akan menghalangi Grey ngedeketin anak-anak cheers atau mahluk-mahluk cantik yang lain di sekolah.
"Ah, santai aja. Aku lagi menyusun strategi baru kok, sama mereka, lihat aja nanti," begitu ucap Grey ketika Kinanti menyampaikan kekhawatirannya.
Ya udah, kalo gitu. PAGI di kelas, Rico sang ketua kelas tampak serius menerangkan sesuatu sambil mencorat-coret whiteboard. Teman-teman yang lain mendengarkan, sesekali mengangguk, tapi ada juga yang iseng melempari Rico dengan kacang.
Wah, mirip situasi di kebun binatang jadinya, lebih parah lagi, Rico nggak jarang menggaruk
kepalanya ketika tak bisa menjawab pertanyaan dari anak-anak sekelas. Berarti, persis di kandang simpans ... ups. Kinanti terkikik melihat kelakuan Rico. Sophie, si supermodel yang mengaku memiliki tujuh sertifikat sekolah kepribadian, cuma tersenyum anggun sambil menyelipkan anak-anak ram-butnya ke belakang telinga.
Rupanya, mereka sedang mempersiapkan kostum cosplay yang akan dilangsungkan bersamaan dengan puncak acara ulang tahun nanti, pentas band dan penyanyi idola mereka.
Cosplay, costume play, anak-anak SMA Antariksa juga suka berdandan ala tokoh idola. Sebagian besar meniru karakter tokoh anime dari komik Jepang. Beberapa yang lain suka ber cosplay meniru tokoh-tokoh di game on-line macam Ragnarok, atau juga meniru dandanan kelompok musik rock luar negeri. Untuk perayaan ulang tahun sekolah besok, panitia menetapkan bahwa cosplay yang akan diselenggarakan nggak dibatasi untuk karakter dari Jepang aja.
Rico sedang menerangkan, sebaiknya, anak-anak sekelas mulai merancang dari sekarang. Ya, kalo itu sih, anak-anak udah tahu. Membuat kostum itu makan waktu lama, harus nyari contoh model paling nggak gambar berwarna yang jelas mencari bahan yang warnanya mirip, menjahitkan, dan mencari atribut atau aksesori yang biasa dikenakan si tokoh contoh rambut, perhiasan, pedang, atau senjata yang lain.
"Sebaiknya, kostum kita sama," kata Rico.
"Wah, nggak bisa, Ric, mana enak dilihat. Kayak kita nggak punya ide aja!" sahut Karman.
"Temanya aja yang sama, film action, anime, game on-line, atau grup band\" tentang Dodi.
"Atau kebun binatang! Madagascar kan, asyik untuk kita contoh, nanti ada yang pakai baju zebra, singa, jerapah, si Rico nanti pakai baju monyet," kata Karman yang disambut protes seisi kelas.
"Iya, kamu nanti pakai baju trenggiling," Rico mem-balas
"Di Madagascar nggak ada tokoh trenggilingnya!" protes Karman.
"Itu sih, kamaval, bukan cosplay\" ujar Kinanti.
"Udah-udah, pada pakai baju Barbie saja, nanti aku bantuin cari aksesorinya," ujar Sophie centil.
"Ah, mending juga pake baju Batman," sahut Rico.
"Iya, biar item elo nggak keliatan. Hahaha jawab Tedi senang.
"Pakai kostumnya tokoh di Inuyasha aja!"
"Di Haruka aja!"
"Bleach!" "Yu-gi-oh!" "Doraemon!" "Udah deh , lebih bai k kita besok bawa majalah-majalah anime sama majalah musik. Terus, kita lihat bareng-bareng, mana yang paling kita suka. Daripada berantem begini!" sahut Kinanti yang mulai melihat ancaman perang di kelasnya.
Grey melirik Kinanti, tersenyum menatap keceri-
aan cewek yang mulai kembali itu. Grey ingat, nanti malam ada kunjungan lagi ke rumah Kinanti, menyelesaikan esai.
USAI jam pelajaran terakh
ir, Kinanti bemiat ke perpus-takaan. Mau cek e-mail dari Daren, mungkin aja ada balasan. Pengiriman e-mail nggak kayak dulu. Daren makin sibuk mengadakan penelitian. Waktu ke Amsterdam, Daren nggak mengirimkan cerita apa-apa.
Di koridor, Grey menjajari langkahnya. Kinanti hanya mencangklong tas putihnya dan tersenyum pada Grey.
"Mau ke mana"" tanya Grey yang merasa berkewajiban mengantar Kinanti pulang. "Perpus." "Ngapain"" "Berenang."
Tuk! Kinanti dijitak Grey yang berlari sambil tertawa-tawa. Kinanti langsung mengejar Grey. Awas kamu, Grey!
Begitu masuk ruang perpustakaan, tawa mereka langsung terhenti seketika. Pandangan Madam Rosita yang sedingin puncak Everest mampu membuat mereka terdiam. Kinanti meminta kunci locker pada Madam Rosita yang hari itu mengenakan blazer hijau toska. Sambil berjingkat-jingkat dan tertawa tertahan, Kinanti
dan Grey menuju jajaran locker di bawah tangga.
"Itu Grey, di locker paling bawah," kata Kinanti sambil menunjuk locker terbawah.
Grey segera menunduk untuk membuka pintu locker, dan ... Juki ganti Kinanti yang menjitak Grey.
"Satu sama sahut Kinanti sambil tersenyum penuh kemenangan dan menaikkan sebelah alisnya.
Grey nggak bisa lagi membalas karena Kinanti berkelit cepat dan melangkah di depan Madam Rosita. Grey tersenyum, bahagia.
Subject : Pekan depan aku ke Asia!
TAK sabar Kinanti mengklik perintah untuk membuka e-mail dari pujaannya itu. Grey yang mondar-mandir di depan kubikelnya tak dihiraukan Kinanti. Kinanti tahu, Grey bingung mau ngapain di perpustakaan. Grey nggak pernah mau ke perpustakaan selain menguntit Kinanti. Sekarang, Grey malah melongok dari atas kubikelnya.
"Kin!" Kinanti mendongak. "Apa"" "Masih lama"" tanya Grey tak sabar. "Sampai minggu depan."
Kinanti menatap monitomya yang menampilkan e-mail Daren.
To : df_girl@nicemail.com


Capung Keseratus The 100th Dragonfly Karya Ary Yulistiana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

From : your_daren@worldmail.com
Subject : Pekan depan, aku ke Asia!
Betul-betul kabar gembira, Kinanti. Kalo nggak ada perubahan jadwal, pekan mendatang aku berangkat ke Asia bersama Prof. James Barriers. Kalo benar ke Indonesia, berarti aku bisa membawakan capung yang keseratus untukmu. Aku akan membawakan capung raksasa yang lebar sayapnya berukuran 18 cm. Capung ini kudapat waktu kami mengadakan penelitian di Amerika Selatan. Sungguh hadiah yang sangat luar biasa yang akan kuberikan padamu.
Aku sudah merindukanmu, Kinanti. Aku juga ingin melihat betapa wajahmu akan bersinar-sinar setelah capungmu genap berjumlah seratus ekor. Aku ingin melihat semuanya, Kinanti. Aku ingin melihat keseratus ekor capungmu. Izinkan aku, Kinanti. Izinkan aku untuk berlabuh di hatimu pula ....
Pemberitahuan selanjutnya akan kusampaikan paling lambat sehari sebelum keberangkatan. Semoga kamu mau menungguku.
With my best, Daren White Daren White "Greeeyyy ...!"
"Apa, Kin" Lho, kok, kamu nangis gitu. Kenapa, Kin"" Grey tergopoh-gopoh menghampiri kubikel Kinanti.
"Daren mau ke Asia!" "Maksudmu""
"Coba baca e-mail dari Daren ini."
Grey ragu-ragu masuk ke kubikel dan membaca e-mail yang dimaksud Kinanti. Mata kecokelatannya kelihatan bersinar terkena pantulan layar monitor yang terang. Hanya sebentar, Grey selesai membaca.
Kinanti masih gembira atas kata-kata yang dikirimkan Daren, sampai nggak mendengar alarm SMS masuk ke HP Grey.
"Tunggu sebentar ya, Kin. Aku keluar, ada yang ngirim SMS."
Kinanti mengangguk. Grey keluar kubikel, tampak serius berkutat dengan HP. Kinanti membalas e-mail Daren, bingung harus menulis apa.
To : your_daren@iworldmail.com
From : df_girl@nicemail.com
Subject : Re: Pekan depan aku ke Asia!
Kinanti masih belum mulai mengetik ketika Grey tiba-tiba masuk lagi ke kubikelnya. Belum sempat bicara, ringtone HP Grey berbunyi.
"Halo" Oh, ya. Kenapa" Mmm .... sekarang" Nggak bisa ditunda" Keburu laper" Iya deh, iya ya .... Yup, see you. Oke, oke, tunggu aku di situ ya .... Daaagh."
Grey menutup panggilan dari teleponnya.
"Siapa"" Grey kelihatan salah tingkah. Lalu, katanya, "Ehm ... mmm, ng ... Sophie."
Kinanti tertawa kecil. "Gitu aja kok, grogi. Kok, tadi ada laper-lapemya. Dia mau ngajak kamu makan" Atau jangan-jangan, kamu mau dimakan sama
dia"" Grey tertawa sumbang. "Ya sudah, aku pulang duluan ya, Kin""
"Lho, tadi katanya mau makan sama Sophie""
"Ehm, iya ... iya. Habis makan terus pulang."
"Ya udah, sana. Aku nanti naik bus aja." Kinanti bersiap mengetik.
Grey cepat-cepat keluar dari kubikel.
Hi! Betapa romantisnya kamu, Daren. Aku sungguh nggak percaya secepat ini kita akan bertemu. Padahal, semua Padahal, semua hanya berawal dari tayangan talkshow itu. Semua berawal dari ... capung.
Tentu aku akan menunggumu Daren, sampai kamu datang. Akan kupersiapkan capung-capungku untuk menyambutmu. Nanti kuajak kamu datang ke rumah, bunda tentu akan senang menerima kehadiranmu. Kamu tahu, aku menceritakan semua e-mail kamu pada bunda.
Really miss u, Kinanti Sekar Kusumodjati.
Kinanti tersenyum puas memandangi tulisannya. Dengan sekali klik, terkirim e-mail itu ke mailbox Daren.
8. Daren Goes to Asia! BEBERAPA hari ini, Kinanti lebih rajin lagi memeriksa maiibox-nya. Bahkan beberapa malam, ia nekat pergi ke net-cafe dekat jalan raya tempat biasa menunggu angkutan umum.
Sudah tiga hari ini Kinanti mengunjungi situs lang-ganannya, tapi yang muncul di maiibox-nya hanyalah penawaran lotere, penawaran barang elektronik, undangan untuk bergabung di Friendster, tips-tips kesehatan, atau cerita-cerita lucu yang entah dari siapa pengirimnya.
Rencananya pulang sekolah nanti, Kinanti mau ke perpustakaan untuk cek e-mail. Tapi, ups ... lupa. Nanti siang kan, ada rapat panitia lagi. Kinanti mencari-cari undangan yang tadi ia selipkan di buku bahasa Inggris. Ini dia, ketemu.
Begitu istirahat pertama dimulai, Kinanti berkeliling ke kelas-kelas menyampaikan undangan rapat. Pertama, ia harus ke kelas dua, ada beberapa anak yang ikut panitia. Setelah itu dia ke kelas IPA, mengantar undangan untuk Boy dan beberapa temannya.
"Ya ampun, Grey ... lagi nungguin siapa di sini""
tanya Kinanti yang ngedapatin Grey celingukan di pintu.
Grey terkejut, kemudian tersenyum bingung. "Mau minjem pe-er," jawabnya.
"Dih, sejak kapan kelas kita ada pelajaran Kimia"" tanya Kinanti sambil masuk kelas, mencari Boy.
Grey membuntuti. "Kan, pe-er bahasa Indonesia," jawab Grey di belakang Kinanti.
"Kan, gurunya beda," sahut Kinanti sambil menaruh undangan di atas meja Boy.
Grey tertawa kecil. "Susah ya, bohong sama kamu!"
Kinanti mencibir. "Lagian, siapa suruh bohong." Kinanti keluar, nyebarin sisa undangan.
"Kin, nanti agak sorean ya, aku ke rumah-mu!" Kejar Grey.
"Nanti rapat dulu, bisa-bisa sore baru selesai. Lagian, aku mau cek e-mail sebentar."
"Iya ... iya, atau sekalian aja langsung ke rumahmu. Aku nggak usah pulang dulu," bujuk Grey. Kinanti diam sebentar, lalu menjawab, "Ya udah. Gitu juga boleh."
PANITIA ultah sekolah makin intensif menggelar rapat. Waktu persiapan tinggal tiga minggu lagi.
"Kepanitiaan udah sembilan puluh persen siap. Sponsor udah ada yang masuk. Minuman ringan,
permen, provider telepon selular ... mm ... ya ... ya Grey membaca laporan tertulis yang diserahkan padanya. "Sophie, susunan acaranya sudah siap, belum"" tanya Grey.
"Belum selesai, soalnya aku masih bingung. Kalo yang hari pertama sih, udah jelas cuma apel khusus sama bazar, tapi yang hari kedua masih belum jelas. Band dari beberapa sekolah undangan belum ngerespons mau ikutan tampil apa nggak," lapor Sophie.
"Daripada kelamaan nunggu, mending kita datangin aja," usul Boy serius.
"Iya, kita datangin mereka rame-rame, biar cepat dijawab," kata Sophie.
"Iya, sekalian diajak tawuran," kata Boy kesal mendengar respons Sophie yang seperti itu.
"Kok, kamu jadi kesal gitu"" protes Sophie tanpa dosa.
"Ya jelas, dong! Maksudku, kita datang ke sana itu perwakilan aja. Satu atau dua orang, untuk konfirmasi. Ngapain sih, rame-rame kayak gitu"" jawab Boy mulai emosi.
Sophie cemberut. "Iya ... iya, kita sepakati aja usulan Boy untuk minta konfirmasi langsung ke sekolah yang udah dikirimin undangan, biar susunan acara bisa lebih cepat dibuat," Kinanti menengahi. Setelah berkali-kali debat, rapat akhirnya bisa ditutup dengan sukses. Sebelum meninggalkan kelas, Grey menghampiri Kinanti.
"Jadi nggak"" tanya Grey.
Kinanti yang lagi nge beresin berkas - berkas rapat ke map biru muda, melirik pergelangan tangannya. Jam tiga!
"Masih jam segini, Grey. Aku mungkin agak lama di perpustakaan. Mau browsing juga, nggak cuma cek e-mail."
"Mmm ditungguin, deh." Kinanti beranjak. Sambil melangkah keluar kelas, Kinanti nerusin pembicaraannya dengan Grey, "Kamu sekalian saja cari bahan, Grey. Tulisan esai kamu kan, masih banyak yang hancur, kurang berisi."
"Kamu mirip Pak Robert kalo ngomong gitu," jawab Grey.
"Lho, bukannya kamu ngeidolain dia" Sampai dibelain ikutan lomba esai gitu. Lagian, Sita lagi ngecengin anak IPA 2 itu lho, yang ngurusin buletin. Kamu sama Pak Robert aja. Apa boleh buat, karena Sita udah ke lain hati."
Grey tersenyum kecut. "Ah, biarin aja." Kinanti terbahak. "Hahaha ...! Pantang menyerah nih, yeee!" Grey ikutan tertawa.
Kinanti masuk ke kubikel paling ujung, tempat favoritnya. Grey menyusul masuk kubikel, tapi segera diusir Kinanti.
"Lho, kok, kamu ikutan masuk ke sini. Sana ... kubikel depan. Kamu kan, harus nyari bahan untuk tulisan kamu."
"Kamu yang nyariin sekalian, ya," bujuk Grey.
"Eit, nggak bisa. Udah, cari sendiri sana!"
Grey menurut, ia masuk ke kubikel seberang. Kinanti membuka e-mail sambil browsing situs capung. Meski nggak seantusias biasanya, Kinanti membuka mailbox.
Inbox (2) Kinanti bersiap untuk kecewa lagi setelah membaca itu. Ah, paling-paling hanya iklan lagi. Eh ... nggak, ternyata dari ... Daren!
Kinanti merasakan degup jantungnya lebih kencang. Rasanya tak percaya .... Senyumnya mulai mengembang. Air mukanya mendadak cerah. Segera ia memerintahkan layar untuk menampilkan e-mail kiriman Daren.
To : df_girl@nicemail.com
From : your_daren@worldmail.com
Subject : Aku jadi ke Asia!
Hai, Kin! Besok, aku sudah meninggalkan Kanada, menuju Asia. Tapi, Prof. James mengatakan kami akan ke Jepang. Kebetulan, Mr. Katsumata, entomolog dari Jepang, mengundang kami mengadakan penelitian di sana. Kami belum jadi ke Indonesia, mungkin di penelitian selanjutnya.
Maaf, Kin, aku sibuk dan harus segera berkemas. Nanti aku kirimi e-mail lagi beberapa hari setelah berada di Jepang, aku janji.
Maafkan aku, Daren White Siuttt.... Kirain ke Indonesia! Kinanti lemas, nggak disangka kunjungan Daren yang begitu ia harapkan gagal lagi. Ditariknya napas dalam-dalam, Kinanti mencoba untuk percaya dengan kata-kata Daren, dan tetap berharap Daren akan mengunjunginya, memberikan capung untuk koleksinya yang keseratus.
Tiga hari kemudian ... To : df_girl@nicemail.com
From : your_daren@worldmail.com
Supject : Im in Japan. Kinanti, Penelitian dimulai sejak dua hari lalu. Seperti yang telah kusampaikan, kami bekerja sama dengan peneliti lokal. Ada beberapa hal menarik yang ingin kuceritakan padamu, Kinanti.
Di Jepang, masyarakatnya percaya bahwa capung adalah roh dari tanaman padi. Capung juga dianggap sebagai pertanda akan adanya panen raya. Selain itu, mereka menganggap capung membawa keberuntungan dalam pertempuran. Sekitar 1600 tahun lalu, capung dijadikan simbol bagi sebuah angkatan prajurit Jepang yang hebat. Kemudian, capung menjadi salah satu lambang
kekaisaran Jepang. Jepang juga memiliki nama lain yaitu Akitsu-shimu, artinya Kepulauan Capung. Awal mulanya, dulu kaisar pertama Jepang, Jimmu Tenno berpikir, apabila dilihat dari puncak gunung maka kepulauan Jepang terlihat seperti capung yang sedang menjilat ekomya.
Capung juga disebut-sebut dalam berbagai puisi dan lagu-lagu di Jepang. Masyarakat Jepang begitu mengagumi keindahan capung dan menyebutnya diantara benda yang lain tombo iki.
Ada cerita lain yang menarik pula, Kinanti, Kota Nakamura di Jepang menyebut dirinya Kota Capung, The City of the Dragonfly, dan setiap tahun, mereka menyelenggarakan festival untuk menentukan siapa yang dapat menangkap capung yang terbesar atau megangkap capung dalam jumlah yang banyak. Bila sudah selesai, capung-capung yang telah ditangkap akan dilepaskan kembali. Mereka juga telah mereklamasi sekitar 5 acre lahan persawahan dan membangun sebuah danau agar kelestarian capung dapat terjaga.
Wow, betapa luar biasanya capung dalam kehidupan masyarakat Jepang.
Semoga e-mail ini bisa mengobati kekecewa-nmu, begitu ada kesempatan, aku akan mengirim kabar yang lain. Kami akan tinggal agak lama di sini, mungkin satu bulan.
Miss u, Your Daren Hm, menarik sekali. Kinanti tersenyum membacanya, mengagumi oleh-oleh Daren dari Jepang tentang kehidupan capung di Negeri Matahari Terbit itu.
Beberapa hari sesudahnya, Daren masih mengirim e-mail tentang Jepang, Daren berceri-ta tentang folklore capung yang beredar di masyarakat Jepang.
Folklore berjudul Dragonfly Millionaire itu, bercerita tentang seorang petani miskin yang tertidur setelah lelah mengerjakan sawahnya. Ketika tidur, petani itu bermimpi mendapati sake yang begitu enak di dekatnya. Ketika dia sedang bermimpi, istrinya melihat seekor capung yang menggerak-gerakkan ekomya selama beberapa kali di mulut petani itu. Kemudian, capung itu terbang dan mereka mengejamya. Di dekat bebatuan tempat capung itu hinggap, mereka menemukan sebuah danau kecil yang rasa aimya seperti sake.
Perlahan, kepercayaannya pada Daren muncul kembali. Kinanti mulai bermimpi lagi tentang Daren dan ... air ... terjun ... Niagara.
9. Mirip Nobita DATANG juga hari yang sudah ditunggu- tunggu seluruh warga SMA Antariksa. Rangkaian acara
ulang tahun ke-20 sekolah yang terletak di jantung ibu kota itu. Kemarin acara peringatan diawali dengan apel khusus di halaman sekolah.
Mr. Rodriguez, the principal, memberi sambutan panjang lebar dengan suara menggelegar melalui mikrofon. Tentu saja, berulang-ulang.
"Selamat pagi, guru, karyawan, dan siswa tercinta, selamat pagi ...!"
Koor anak-anak peserta apel menyahut, "Pa-aagiii...!!!"
"Ya, hari ini adalah perayaan ulang tahun ke-20 sekolah kita, perayaan ulang tahun ke-20. Banyak sekali kemajuan dan perkembangan sekolah ini, banyak sekali kemajuan dan perkembangannya. Ini tak lain adalah hasil kerja kita semua, guru, karyawan, dan juga siswa. Ya, guru, karyawan, juga siswa ... bla ... bla ... bla
Matahari pagi mulai menggigiti kulit anak-anak SMA Antariksa yang sedang apel. Keringat mulai
menetes dari balik baju seragam. Rico nggak bersin-bersin lagi. Karman, Dodi, Tedi, dan beberapa anak cowok lainnya juga tampak tenang. Ternyata, mereka terlindungi spanduk dan kibaran bendera sponsor warna-warni yang banyak dijajarkan di pagar pinggir lapangan.
"Ted, tuker tempat, dong," pinta Sophie.
"Kamu kan, cewek, masa upacara mau berdiri di belakang, nggak boleh," jawab Tedi.
"Iya, di sini kan, sarang penyamun!" sahut Rico yang di mata Sophie benar-benar mirip penyamun.
"Ayo dong, aku takut make-up luntur ... mana tadi ke salon pagi-pagi
"Lagian, kamu centil banget sih, berangkat sekolah aja harus ke salon dulu," Tedi menyahut lagi.
"Lho, aku kan, harus jadi host pembukaan bazar nanti .... Kalian lupa"" Sophie makin mengiba. Sophie memang dianggap memenuhi syarat untuk membawakan acara itu. Apalagi, Sophie selalu mengatasnamakan tujuh lembar sertifikat kursus kepribadiannya.
"Ya udah, tukeran aja sama Nadi!" Karman menunjuk Nadi yang berdiri tepat di depan pagar.
"Iya ... iya, ayo, Nadi maju!" kata Tedi. Nadi yang agak telmi, malah menengok ke samping kiri dan kanannya.
"Yeee dipanggil malah nengok, e-mang- yang namanya Nadi ada berapa biji di sini ..."!" Tedi malah sewot sendiri.
Anak-anak yang ada di barisan belakang memaksa Nadi, anak pendiam yang mukanya mirip Nobita di
serial Doraemon, untuk maju bertukar tempat dengan Sophie. Setelah nggak tahan didorong-dorong oleh tangan-tangan tak berperasaan itu, akhirnya Nadi menurut, pindah ke barisan depan.
Nadi celingukan, di sebelahnya ada Peni yang menguap, di sebelahnya lagi Pingkan yang kipas-kipas, di depannya ada Kinanti, dan di belakangnya ada Imel. Nadi yang pendiam jadi kebingungan, salah tingkah di antara cewek ....
Begitu apel dinyatakan selesai, anak-anak langsung berhamburan ke pinggir lapangan. Barusan ada instruksi dari pembawa acara yang meminta anak-anak untuk langsung menuju ke aula menyaksikan pembukaan bazar.
Bener aja, anak-anak langsung ribut di depan aula, berebut berdiri paling depan. Baru kali ini anak-anak SMA Antariksa berebut ingin deket sama Mr. Rodriguez. Bi
asanya paling anti, takut kena semprot. Tapi ini acara spesial, reporter dari majalah remaja yang diundang udah datang. Harapan anak-anak, apa lagi kalo bukan supaya kena jepret kamera dan ikut termuat di salah satu halaman majalah remaja yang ngetop itu.
Hm, semangat sekali anak-anak SMA Antariksa hari ini. Gimana nggak" Tiga hari ini akan diselenggarakan rangkaian acara peringatan ulang tahun sekolah. Lumayan, ngurangin jatah belajar di kelas. Hari ini apel khusus dan pengguntingan pita oleh Mr. Rodriguez di depan aula, tempat bazar kecil berlangsung. Setelah itu, guru mengadakan
acara syukuran di ruang guru, dan murid-murid meramaikan bazar di aula dan sebagian di tepi lapangan, sedangkan panitia menggelar acara gladi resik untuk pentas seni besok.
Keesokan harinya akan digelar acara yang ditunggu-tunggu, pentas seni dan cosplay. Pentas seni alias Pensi akan diramaikan oleh grup band dan vokal grup dari SMA Antariksa dan beberapa undangan dari sekolah lain.
Di puncak acara, Mahameru grup band idola mereka akan mengisi pentas. Sophie mencoret fashion show dari daftar acara. Sebagai gantinya, dia akan membawa tiga kostum untuk dipakai secara bergantian di acara cosplay besok.
"Sophie, emangnya kamu nggak capek besok mau gonta-ganti kostum segitu banyak"" tanya Rico iseng.
"Nggak, besok saatnya menunjukkan diri ke semua anak Antariksa. Kesempatan emas!"
Sebenamya, diam-diam Rico naksir Sophie sejak kelas satu. Tapi, tentu saja berat sekali untuk mendapatkan cinta Sophie. Antara keduanya kan, bagaikan metromini dengan Jaguar.
"Sophie, kamu kok, bisa cantik gitu, sih"" tanya Rico merayu.
"Loh, ya jelas, dong. Aku rajin perawatan ke salon. Seminggu aja bisa tiga kali. Lagian, aku udah cantik dari sananya. Maniaku aja cantik banget, persis bintang telenovela," urai Sophie.
"Maniaku juga hampir sama seperti aku, tapi mamaku rambutnya panjang, dan lebih tinggi
beberapa senti. Mamaku dulu juga seorang model terkenal," tambah Sophie lagi.
"Memangnya, besok pakai kostum apa aja"" tanya Rico.
"Kostum maniaku"" tanya Sophie bersungguh-sungguh.
"Bukan! Kostum kamu," jawab Rico mulai il feel. "Mmm yang pertama Putri Salju, yang kedua Rapunzel, yang ketiga Cinderella
JREEENNG ...!!! HARI ini, pensi sekaligus cosplay digelar. Panggung berukuran besar di lapangan upacara tampak megah. Warna-warni umbul-umbul dan bendera sponsor semarak di sepanjang pagar dan pinggir lapangan.
Band pertama mulai beraksi, musiknya berdentum-dentum memenuhi lapangan. Stan bazar udah banyak yang buka, ada stan shaker buat yang suka milkshake, ada stan baju-baju murah, stan aksesori, ada stan makan-an yang dikelola oleh beberapa orangtua murid, ada juga stan ramal yang ternyata dikelola oleh Pak Sabar, satpam sekolah yang mengaku bisa membaca karakter dan nasib orang hanya melalui suara.
Herannya, anak-anak pada percaya. Pada-hal gampang. Kata Pak Sabar, yang suaranya bagus dibilang rajin karena mungkin rajin berlatih nasibnya
jadi orang kaya kalo jadi penyanyi! Sedangkan yang suaranya jelek, masih bisa memperbaiki nasib di ... stadion sepak bola, jadi suporter bayaran! Biar kedegarannya konyol, antrean di depan stan ramalan Pak Sabar bisa melebihi antrean di depan wahana Kora-Kora di Dunia Fantasi.
Wah, ramai dan seru pokoknya. Apalagi di setiap stan memutar musik kesayangan masing-masing. Anak-anak kelas satu yang membuka stan baju murah, memutar kaset kompilasi band hasil audisi yang sedang naik daun, stan sampingnya yang berjualan aksesori memutar lagu-lagu barat ala Britney, stan orang-tua murid memutar musik keroncong, stan ramal Pak Sabar memutar Siti Nurhaliza. Sedangkan panggung utama, menampilkan musik-musik superberisik.
Anak-anak yang ikut cosplay mulai berdatangan. Kostumnya aneh-aneh. Mulai dari karakter binatang, kartun, sampai film action. Malah nggak ada bedanya, cosplay atau kamaval. Soalnya ada pula yang nekat memakai seragam polisi lalu lintas.
Sophie, sesuai janjinya memakai kostum Putri Salju di sesi pertama. Nekatnya, Sophie mengajak beberapa keponakannya untuk didandani jadi kurcaci.
"Biar emosinya dapet," katanya.
"Sophie, siapa tuh, yang kamu ajak"" tanya Imel yang berkostum pink karakter Misha di serial Inuyasha.
"Keponakan. Nanti nggak mirip dong, kalo putri saljunya tanpa kurcaci," jawab Sophie manis.
"Sekalian aja terlentang di panggung. Putri salju kan, sekarat abis makan apel pemberian nenek sihir!" kata Imel lagi.
Hampir saja Sophie nekat ke panggung. Untung cepat-cepat ditarik keponakan-keponakannya.
Rico yang terancam alergi sinar matahari, kambuh lagi, memakai kostum robot ala penjaga sumur maut di acara Benteng Takeshi. Rico kelihatan susah berjalan sambil mencari-cari Putri Saljunya. Untung, Putri Salju jalan pelan-pelan, jadi masih bisa dikejar oleh si robot. Kalo dari kejauhan bisa diberi judul "Putri Salju di Luar Angkasa".
Di depan panggung, beberapa anak bergaya gothic dengan rambut jabrik-jabrik tampak sedang berjingkrak-jingkrak seiring dentuman musik rock yang ditampilkan oleh kelompok band dari sekolah undangan.
Kinanti ada di kelompok Mita, Pingkan, dan Peni. Kinanti memakai kostum karakter Lacus Clyne dari Gundam SEED Destiny. Kinanti memakai seragam pilot pesawat Etemal, setelan putih dengan kerah berwarna merah. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, kelihatan cantik dan smart.
Mita, Pingkan, dan Peni sepakat memilih karakter dari serial Haruka. Mita berkostum mirip karakter Motomiya Akane, dengan atasan ungu berbunga pink bergaya kimono dengan lengan yang melebar di bagian bawah, dipadukan dengan rok pendek kuning dan sepatu bersol tebal. Rambut pendeknya malah disemprot pirang kecokelatan.
Pingkan benar-benar mirip Eisen. Mengenakan
kimono kuning hijau dengan rambut keunguan. Tangan kanannya memegang gelang tasbih. Sedangkan Peni tampak feminin dengan kostum karakter Ran, si cewek misterius.
Peni memakai gaun pendek warna salem bergaya semi kimono berpita kuning besar di bagian depan. Rambutnya diikat dua dan semua kuku jarinya berkuteks merah.
Dari kejauhan, tampak Grey dalam kostum karakter ObiWan Kenobi, sang ksatria Jedi dari film science fiction Star Wars. Grey makin tampan dalam jubah cokelat lebar dan rambut yang tertata rapi, ditambah dengan pedang Light Saber-nya yang bercahaya, Grey terlihat gagah sekali. Begitu masuk ke arena cosplay, hampir semua cewek menjerit melihat penampilan Grey. Sekarang, Grey lagi sibuk meladeni foto bareng penggemar.
Hm, asyik juga! Mengingat selama ini sekolah hanya diramaikan putih abu-abu, atau seragam kebesaran SMA Antariksa, putih-putih dengan dasi biru tua.
Satu jam kemudian, Boy yang ditunjuk Sophie menjadi MC tampak naik ke panggung. Siang itu, ia
berubah menjadi sosok Harry Potter. Jubah hitamnya berkibar-kibar. Kacamata bundar bertengger di hidungnya. Waktu baru datang tadi, Boy langsung mampir ke stan tato temporer di bazar minta dibuatkan bekas sambaran kilat di jidatnya. Sip, setelah mengacak-acak rambutnya, Boy berkaca. Sambil bersiul untuk diri sendiri, Boy tersenyum puas. Setelah itu, pergi ke kantin untuk
... meminjam sapu lidi. Yup, Harry Potter harus membawa Firebolt, sapu terbang supercanggihnya.
Boy beranjak ke bagian depan panggung. Sapu lidi diletakkan begitu saja di lantai panggung. Setelah berdehem-dehem untuk mengetes mikrofon, ia mulai bertingkah.
"Petri ficus totaius!" Boy mengucap mantra sambutan yang diambil dari buku JK. Rowling itu. Boy memang asal, padahal itu mantra untuk mengikat tangan dan kaki.
Peserta cosplay mulai mendekat ke depan panggung, mengikuti acara inti cosplay, mencari the best cosplayer.
"Selamat siang teman-teman. Selamat datang di Hogwarts, eh, di SMA Antariksa. "Boy membetulkan kacamatanya yang melorot. "Bersama saya, Harry Potter, sekarang kita sudah sampai di acara inti, yaitu pemilihan cosplayer terbaik alias the best cosplayer'."
Boy mengepit mikrofon, kemudian bertepuk tangan yang serempak diikuti oleh tepukan dan suitan para cosplayer dari depan panggung.
PLOK ... PLOK ... PLOK! SUIT! SUIT ...!!!
Boy ge-er. "Setelah tadi dewan juri kebingungan menentukan pemenangnya. Akhirnya, diputuskan bahwa pemenangnya adalah Boy menghentikan
kalimatnya sok misterius.
Anak-anak terdiam. Penasaran.
"Adalah Boy diam lagi.
Anak-anak yang kegera han dan kepanasan, tambah kesal nunggu kalimat Boy yang sengaja diputus-putus.
"Adalah ... SAYA SENDIRI!!!" teriak Boy bangga.
"HUUU ...!!!" Anak-anak nggak terima. Mereka mulai melempar botol plastik air mineral yang memang udah disiapin kalo Boy macam-macam. Hehehe ....
Bletak! Bietak! Bruk! Boy kewalahan, kebingungan untuk berkelit. Akhirnya, Boy teriak-teriak melalui mikrofon sambil mengangkat sebelah tangannya, "Lumos! Alohomora! Riddikulus! Expecto Patronum! Wingardium Leviosa!"
Boy berusaha menghentikan pelemparan botol terhadap dirinya. Gawat, kalo Boy benar-benar punya kekuatan, entah apa yang sudah terjadi dengan diucapkannya mantra sebanyak itu tadi.
Setelah para cosplayer puas dan persediaan botol air mineral sudah habis, aksi pelemparan dihentikan, Boy teriak lagi, "Obliviate! Oke, oke. Tenang-tenang. Itu tadi bercanda!"
Anak-anak kembali protes.
Bletak! Sebuah botol minuman mendarat lagi di panggung.
"Pemenangnya adalah ... OBI-WAN ... KENOBI ... !!!"
AAAA ...!!! "Silakan yang barusan disebut, naik ke pentas, kalo nggak, hadiahnya disita!" ancam Boy. Para cewek histeris seketika. Yang memakai karakter Obi-Wan Kenobi itu adalah Grey!
Anak-anak berebutan mengerubungi Obi-Wan Kenobi gadungan yang belum bisa naik ke atas panggung, karena dikepung berbagai karakter, mulai dari Shizuka, Sailormoon, sampai Cinderella. Semua gemas, dan semakin memandang Grey dengan kagum. Semakin yakin bahwa mereka nggak salah pilih idola.
Grey menyalami penggemamya, kali ini ditambah salam para Jedi, "May the Force be with you Dari atas panggung, Boy berkoar-koar lagi, "Sedangkan, penghargaan khusus diberikan kepada
Anak-anak penasaran lagi, ternyata ada hadiah tam-bah-an berupa penghargaan khu-sus. Kemarin-kemarin panitia nggak bilang. By the way, Obi-Wan Kenobi sudah berhasil lolos naik ke panggung.
"Putri Salju alias Rapunzel, alias Cinderella yang udah total menyemarakkan cosplay kali ini dengan tiga kostum!!!" AAA ...!!!
Sophie!!! Brukkkk!!! Sophie yang sudah berganti kostum Cinderella, pingsan karena terlalu bahagia, juga kepanasan dipanggang sinar matahari.
Sophie digotong ke atas panggung karena terlalu jauh bila harus dibawa ke ruang kelas atau ke klinik sekolah. Rico mengikuti rombongan petugas Palang Merah Remaja dari belakang, karena mengkhawatirkan Sophie. Sepatu kaca yang dipakai Sophie lepas sebelah, tak sadar diinjak oleh Rico.
Padahal rencana Sophie, sepatu itu akan dibuang ke lapangan. Grey yang baik hati seperti pangeran, pasti akan mencari-cari pemilik sepatu dan mengajaknya berdansa di panggung. Tapi, malang sekali rencananya tak bisa terlaksana.
Sophie malah pingsan, dan sepatu kacanya diinjak robot. Pasti tambah ngamuk nanti kalo Sohpie sadar.
Beberapa menit kemudian, setelah hidungnya diberi minyak angin, Sophie siuman. Sayangnya, yang pertama kali dilihat adalah Rico yang masih terbungkus dalam kostum robotnya. Sophie pingsan lagi.
Grey kegirangan menerima penghargaan the best cosplayer, jiwa artisnya kembali bangkit dan mulai memberikan sambutan, "May the Force be with you. Terima kasih! Terima kasih sa
Begitu mendengar suara Grey, Sophie siuman. Dengan tubuh yang masih lemas, ia berdiri dibantu Grey. Sophie jelas bahagia, apalagi tahu kalo sepatunya tinggal sebelah. Dikiranya, benar-benar diselamatkan Grey.
Grey batal memberikan sambutan karena ada perwakilan panitia berkostum drakula yang naik ke panggung untuk memberikan hadiah. Dari atas panggung yang masih disesaki oleh berbagai instrumen para pemain band, Cinderella dan Obi-Wan Kenobi melambaikan tangan bahagia, didampingi Drakula dan Harry Potter. Yang cewek iri setengah mati, menyesal karena hanya bawa satu kostum.
SELURUH panitia betul-betul lega sekaligus gembira. Rangkaian acara yang disiapkan selama berbulan-bulan, terselenggara dengan sukses. Kemarin, di hari ketiga perayaan, ada donor darah yang dilaksanakan oleh siswa, guru, dan karyawan SMA Antariksa. Sorenya, Mr. Rodriguez berkenan menutup acara ulang tahun SMA Antariksa.
"Terima kasih! Ya, terima kasih! Saya betul-betul bangga dengan kalian, betul-betul bangga. Acara ulang tahun ke-20 se
kolah kita tahun ini diselenggarakan dengan penuh kesan .... Acara ulang tahun ke-20 yang penuh kesan."
Mr. Rodriguez diam sejenak, tampak memandangi barisan anak-anak di depannya. Panitia juga bangga dengan hasil kerja keras selama ini.
"Kalian adalah anak-anak yang cerdas dan kreatif. Anak-anak yang cerdas dan kreatif!"
Rico mulai lagi. Sambil cengengesan, dia berbisik, "Kalo ada maunya aja, baik banget. Kalo kita berulah dikiiit aja, langsung diskors."
"Tau, kita kerjain aja yuk, Ric," kata Karman yang rupanya sudah mulai nyambung dengan ucapan Rico.
"Eh, dosa lho, ngerjain orang, apalagi kepala sekolah!" sergah Sophie.
Rico dan Karman berbarengan menoleh. Sophie melanjutkan lagi, "Jangan ngerjain orang!
Kalo kalian kesal, lebih baik ban mobilnya aja dikempesin, atau tempat duduknya ditempeli permen karet."
Rico dan Karman terbahak.
Sophie diam saja, merasa sudah mencegah sebuah rencana kejahatan dan memberikan solusi terbaik.
"Hahaha .... Makanya, Sophie yang cantik, jangan hanya ngurus sekolah kepribadian, tapi juga sekolah beneran yang kayak gini. Biar nggak tulalit, oke"" kata Rico.
Sophie tersenyum, karena dibilang cantik.
10. Penantian Daren, aku selalu merindukanmu ...
DALAM belum terlalu larut, Kinanti ada di kamamya. Di pojok meja rias, sepotong lilin aroma menyala malu-malu. Sambil terbakar nyala Jingga di ujung sumbunya, lilin kemerahan itu menyebarkan harum mawar yang romantis.
Sebetulnya, Kinanti sendiri bingung, suasana romantis yang tercipta itu karena kangen Daren, atau cuma gara-gara efek lilin aroma.
Kinanti menatap satu per satu capung di kotak kaca yang tetap berkilau di bawah sinar redup. Selama ini, kalo Kinanti merindukan Daren, maka yang akan dia lakukan adalah memandangi capung-capungnya. Capung favorit tentu saja kiriman dari Daren.
Bagaimanapun, Kinanti yakin tak lama lagi ia akan berjumpa dengan Daren. Daren White, harapannya. Daren White, impiannya. Kinanti menghela napas, rasanya aliran darahnya ikut membiru karena kerinduannya yang tengah memuncak. Duh, beneran nggak sih, jangan-jangan
cuma karena semakin banyak aroma lilin yang dihirup.
Belakangan, Kinanti sengaja nggak berburu capung lagi. Capung-capungnya kini sudah berjumlah 99 ekor. Dua minggu yang lalu, Kinanti menemukan seekor capung yang sudah mati, tergeletak begitu saja di halaman parkir sekolah. Akhirnya, Kinanti membawa pulang capung itu untuk melengkapi koleksi.
Kinanti berharap, capungnya yang keseratus nanti adalah capung pemberian Daren. Capung raksasa yang katanya punya panjang sayap 18 cm dari Amerika Selatan seperti yang pernah dijanjikan di e-mail beberapa waktu lalu.
Kinanti senang, ia nggak sekadar mengoleksi capung-capung itu, tapi juga punya banyak pengetahuan tentang capung. Capung juga telah banyak sekali mengajarkan segala sesuatu padanya, Kinanti banyak belajar dari kehidupan capung.
Dalam salah satu e-mail, Daren pernah bercerita tentang aktifnya dragonfly society di berbagai negara. Mereka bergerak untuk me-nye-lamatkan capung yang bisa saja punah seiring dengan perilaku manusia yang lebih peduli pada pembangunan kota, dan kurang peduli pada lingkungan.
Di Inggris Raya, ada dua spesies capung yang punah. Padahal, capung adalah predator yang bermanfaat dalam ekosistem, binatang ini banyak sekali memakan serangga-serangga kecil, nyamuk
dan lalat misalnya. Para pemerhati capung itu bergerak dengan cara memberi pengetahuan dan pengalaman pada siswa sekolah melalui kampanye untuk turut serta memerhatikan capung. Selain itu, kegiatan lain yang dilakukan adalah memba-ngun kolam untuk tempat perkembangbiakan capung, juga mengadakan festival capung secara rutin.
Kinanti ingin sekali mengajak teman-temannya mendirikan dragonfly society di Indonesia. Atau paling nggak, mereka mulai belajar mengoleksi serangga. Kalo sudah mengoleksi, pasti akan peduli juga pada daur hidup serangga, dan akhirnya akan peduli dengan lingkungan.
Daren juga bercerita tentang Entomological Society of Ontario (ESO), salah satu kelompok pemerhati serangga, yang berdiri sejak 127 tahun lalu. Kegiatannya selalu aktif sampai sekarang, antara lai
n melalui pertemuan tahunan dan kampanye. Anggotanya, yang terdiri dari berbagai kalangan, setiap tahun mendapatkan jumal dan news letter, juga menghadiri pertemuan tahunan yang biasanya dimanfaatkan sebagai ajang bertukar informasi dari para pesertanya.
Meskipun markas ESO berada di University of Guelph, tempat Daren belajar, antusiasme terhadap organisasi ini berasal dari seluruh dunia, jumal ESO selalu diminta ratusan intitusi dan anggota perorangan setiap tahunnya.
Nyala lilin dalam mangkuk kaca semakin meredup. Aroma mawar masih menyebarkan kelembutannya.
Kinanti naik ke tempat tidur dan mimpi bertemu Daren.
Grey ... KINANTI, cewek ramah dan pintar itu benar-benar menarik perhatian. Tapi sayang, hatinya sudah diberikan semua untuk Daren White.
Beruiangkaii aku menutupi perasaanku yang terdalam padanya. Aku tak mau merusak kebahagiaan dia kalo aku tiba-tiba mengatakan bahwa aku mencintainya sepenuh hati.


Capung Keseratus The 100th Dragonfly Karya Ary Yulistiana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku pernah berpura-pura mengatakan Sophie mendadak ada jadwal pemotretan, padahal aku sendiri, nggak mau berada di antara Sophie dan teman-temannya yang selalu berebut perhatianku. Aku pernah pura-pura menerima telepon dari Sophie yang mengundangku makan di dekat studionya, padahal aku nggak mau Kinanti terlarut dalam masalah keluargaku. Aku sering menghidupkan alarm hanya untuk berpura-pura menerima telepon dari cewek-cewek lain karena aku nggak sanggup melihat wajahnya yang bersinar bahagia menunggu kehadiran Daren.
Aku mengikuti lomba penulisan essai juga bukan karena ingin mendekati Sita, melainkan benar-benar ingin lebih dekat dengannya. Supaya selalu punya alasan untuk mengunjunginya setiap hari.
Aku selalu ingin bersamanya dan ada di dekatnya. Aku mengikutinya ke perpustakaan, duduk di dekatnya ketika di kelas, atau ke mana pun Kinanti pergi. Aku sempat kehilangan jejak Kinanti, waktu istirahat aku sempat kebingungan karena Kinanti nggak ada di bangku-nya. Kucari-cari dia, kata teman-teman, dia lagi membagikan undangan rapat. Langsung saja aku susul dia, akhirnya ketemu juga di kelas Boy.
Aku selalu khawatir bila tiba-tiba Daren benar-benar datang ke Indonesia, dan mengajak Kinanti ke Air Terjun Niagara. Aku tahu, kalo itu benar-benar terjadi, maka nggak akan ada lagi kesempatan untukku.
Kinanti selalu menganggap aku menyukai Sophie dan kecentilan teman-teman segengnya. Aku tahu Kinanti nggak akan marah melihat sikapku yang secara terbuka menerima perhatian anak-anak perempuan di SMA Antariksa ini. Sebenamya, aku nggak pernah berpikir panjang atas apa yang kulakukan terhadap mereka. Mereka hanyalah teman-temanku yang baik, teman-temanku yang manis. Aku juga nggak tega menolak permintaan mereka.
PULANG sekolah, Kinanti iseng-iseng mem-buka mailbox. Sekarang, ia nggak terlalu berharap Daren rajin menulis e-mail untuknya. Mungkin aku akan
mengunjungi situs capung, begitu pikir Kinanti ketika mencoba membuka search engine sambil menunggu tampilan di mailbox-nya.
Tiba-tiba, layar komputer menunjukkan ada sebuah surat untuk Kinanti. Tanpa harapan, Kinanti membuka surat itu. Oh, ternyata dari Daren!
Kinanti sebenarnya nggak terlalu bersemangat membukanya. Mungkin ada cerita mengenai pengalaman penelitian di Jepang lagi, pikir Kinanti.
Klik. Open. Yes. To : df_girl@nicemail.com
From : your_daren@worldmail.com
Subject : Ke Indonesia! Kinanti membelalak, mengucek-ucek matanya. Jangan-jangan, salah lihat! Kinanti cepat-cepat membaca tulisan yang ada di bawahnya.
Kinanti, Karena ingin segera meneliti serangga tropis, Profesor Barners mengajak mampir ke Indonesia. Rupanya, Profesor Barners semakin nggak sabar mendengar penuturan Mr. Katsumata yang mengatakan bahwa keanekaragaman hayati di Papua, bagian paling timur dari Indonesia, masih sangat tinggi, bahkan 75 persen hutannya masih dalam kondisi baik. Katanya, seluruh ekosistem yang ada di Papua
diperkirakan me-nyumbang separuh dari total keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia.
Ini sungguhan, Kinanti. Bahkan, Profesor Barriers sudah menentukan tempat-tempat penelitian, di antaranya sekitar lembah Sungai Mamberamo. Tiga hari lagi kami berangkat, Mr. Katsumata sendiri
yang akan menemani kami. Bersiap-siaplah, Kinanti! Diperkirakan hari Minggu tanggal 20 Juni besok, akan mendarat di Jakarta. Kalo tidak terlambat, kami sampai pada pukul 11.00.
Aku tetap akan membawakan capungmu yang keseratus, Kinanti. Karena entah mengapa aku membawa serta capung yang hendak kuhadiahkan padamu, mulanya hanya untuk berjaga-jaga. Tapi, pada akhirnya ini benar-benar terjadi, Kinanti. Kita memang sudah ditakdirkan untuk bertemu, kamu adalah jodohku.
Love u, Daren White DEG ... DEG ... DEG .... Kinanti membaca e-mail itu berulang-ulang, seolah mencoba mencari kesungguhan di sana. Berulang-ulang. Sungguh! Daren ke Indonesia!
Benar-benar sulit mengekspresikan perasaan yang ada dalam hatinya saat ini. Ingin rasanya mengumumkan ke seluruh dunia bahwa tiga hari lagi ia akan bertemu dengan Daren White! Kinanti benar-benar melayang. Darah yang mengalir di tubuhnya seolah ikut membiru bersama kerinduannya pada Daren.
Daren juga bicara soal jodoh. Bukankah dulu juga Kinanti sempat menganggap mereka berjodoh!
11. My 1st Lover , My 100th Dragonfly
SEJAK dua hari lalu, Kinanti sibuk menyiapkan baju baru, ke salon supaya rambutnya terlihat lebih bagus, bahkan rela nerima saran Sophie untuk manicure-pedicure. Kinanti merasa ada baiknya juga punya teman seperti Sophie yang menguasai peta salon dan butik di seluruh pelosok Jakarta.
Kemarin, Grey juga bolak-balik menawarkan diri mengantar Kinanti, tapi bolak-balik juga Kinanti menolaknya.
"Ayolah, Kin. Ngapain juga naik taksi. Lebih baik, aku yang ngantar," Grey memohon.
Kinanti nggak tahan melihat wajah sahabatnya yang makin kelihatan culun. "Hahaha .... Grey, kamu ganteng lho, kalo bertampang memelas seperti itu."
Grey malah makin gencar merayu Kinanti. "Kamu nggak kasihan sama aku Kin, besok aku nggak ada kerjaan. Kasihani aku, dong!"
"Salah sendiri nggak punya kerjaan. Lebih baik, kamu temani Sophie. Minggu ini, dia ada fashion show lagi di Hilton, siapa tahu ada yang menawanmu jadi model
"Bener nih, kamu mau berangkat naik taksi aja"" "Iya. Maunya sih, naik monorail, tapi di Jakarta belum ada."
"Ya udah, hati-hati kalo gitu. Eh, besok berangkat jam berapa"" "Jam sembilan."
"Sekarang aku antar pulang, ya"" "Jangan deh, aku mau pergi sama Sophie mau beli baju."
"Naik apa""
"Naik mobil papa Sophie. Dia udah nelepon sopimya, kok."
Sophie yang merasa namanya disebut-sebut, menghampiri Grey dan Kinanti. "Kenapa, Kin" Jadi, nggak"" tanya Sophie sambil berdiri di samping Grey.
"Jadi. Grey pengin ngantar aku pulang. Padahal, kita kan, mau pergi," sahut Kinanti.
"Lho, bukannya bagus" Kalo gitu, kita minta antar Grey aja! Yuk, sekarang!" ujar Sophie dengan semangat empat lima.
Grey diam. Kinanti juga. "Yuk! Nunggu apa lagi"" ulang Sophie.
Grey beranjak. Kinanti mendelikkan matanya sambil membuang napas. Pfff...!!!
Mereka bertiga segera ke mobil Grey di tempat parkir. Kinanti membiarkan Sophie duduk di depan, Grey mulai bersiul-siul. Kinanti jengah. Tuh kan, begitu ada Sophie, dia siul-siul. Tapi, suasana hatinya berubah lagi ingat besok mau ketemu Daren.
Begitu Nissan X-trail Grey mendekati gerbang sekolah, tampak BMW memasuki gerbang, mobil papa Sophie. Sophie membuka jendela dan meneriaki Pak Medi, sopir keluarganya.
"Pak Medi! Pak Medi! Balik aja lagi! Udah diantar Grey, kok! Udah nggak papa, nanti aku telepon papa, deh! Udah, balik aja! Hah" Aduh nggak dengaaar!!! Apa" O, iya-iya! Bilangin mama, nanti aku neiepon! Iyaaa ...! Udaaah buruan sanaaa!"
Sophie pasti lupa sama tujuh lembar sertifikat sekolah kepribadiannya, lupa dengan pelajaran tata krama. Pak Medi bengong. Sophie menutup jendela, kembali tersenyum manis dan mengangguk kecil pada Grey,
Nissan X-trail merah menyala kembali menderu, menerbangkan debu-debu di belakangnya.
HARI ini, Daren White akan menepati semuanya. Mengunjungi Kinanti di Jakarta sekaligus melunasi janjinya, memberi Kinanti capung dari tempat penelitian sebelumnya di Amerika Selatan. Capung raksasa dengan sayap berukuran 18 cm seperti yang telah dijanjikan. Capung yang akan menjadi koleksi Kinanti keseratus. Daren meminta Kinanti menjemputnya di b
andara untuk kemudian mengantar rombongan ke hotel sambil menunggu penerbangan ke Papua.
"Yuk!" Kinanti senyum-senyum sendiri di depan kaca. Baru dandan aja rasanya sudah deg-degan begini. Gimana nanti kalo ketemu" Jangan-jangan, malah pingsan!
Kinanti berulang kali bercermin untuk memastikan penampilannya. Pokoknya, Kinanti nggak mau Daren melihatnya tanpa kesan.
Rok lebar putih dengan cardigan simpel kuning yang dipakai ini sebetulnya pilihan Sophie. Hehehe ... , boleh juga nih, seleranya. Wah, ternyata aku cantik juga. Kinanti kege-eran sendiri dengan baju barunya. Rambut panjang-nya dibiarkan tergerai, hanya diberi tambahan jepit berak-sen bunga kecil di atas telinga kirinya. Diulaskannya sekali lagi lipgloss merah muda ke atas bibimya.
"Duh, cantiknya putri Bunda." Tahu-tahu, bunda sudah berdiri di depan pintu kamar Kinanti yang memang nggak ditutup.
"Eh, Bunda ngagetin saja. Kirain siapa," sahut Kinanti.
Bunda tersenyum dan duduk di pinggir tempat tidur Kinanti, memerhatikan Kinanti yang mematut.
"Jadi, jemput Daren di bandara""
"Bunda" Kok, nanya itu lagi" Udah pasti, dong. Memangnya Bunda yang mau jemput Daren" Bisa kaget dia nanti karena nggak sesuai dengan yang ada di foto ...!" jawab Kinanti sambil memakai sepatu bermodel feminin warna putih.
Bunda tertawa." Jam berapa pesawatnya mendarat""
"Katanya sih, sekitar jam sebelas. Nggak apa
deh, Bunda, Kinanti nunggu agak lama, daripada dia ngabur, kan""
"Kamu masih ingat wajahnya"" Bunda bertanya sambil membantu Kinanti membe-tul-kan letak pita di rok putihnya.
Mata Kinanti menyipit. "Sudah agak lupa sih, tayangan di acara News Media itu kan, sudah lebih dari setahun yang lalu. Lagi pula, Daren belum pernah mengirim foto. Jadi, nanti aku hanya bawa tulisan. Tuh, ada di atas meja."
Bunda meraih tulisan yang dimaksud Kinanti. Kertas karton putih bertuliskan "Daren White" dengan spidol biru tua di bagian atas dan nama Kinanti di bagian bawah, juga gambar seekor capung di tepi sebelah kiri.
Waktu Kinanti hampir memesan taksi, Grey menelepon.
"Sudah berangkat, Kin""
"Belum, baru mau pesan taksi. Kenapa" Kamu mau pesan taksi buatku, gih, bilang suruh cepetan," sahut Kinanti sambil berjalan menuju meja sudut di ruang tengah.
Klik. Telepon ditutup dari seberang.
"Payah, begitu aja marah." Kinanti mijit nomor telepon taksi langganannya.
KINANTI menunggu di arrival gate, lama sekali. Ah, paling juga pesawatnya terlambat, batin Kinanti.
Sambil menunggu, Kinanti coba mencari kesibukan, bermain game di HP-nya, meneliti scrapbook
yang akan dipamerkan ke Daren nanti, membaca novel yang dibeli minggu lalu. Ah, lama-lama bosan juga. Lagi pula susah konsentrasi, setiap ada suara yang keras sedikit saja Kinanti langsung deg-degan. Apalagi kalo ada suara announcer, telinganya langsung dipasang tajam tajam.
Kinanti melihat kesibukan di sekeliling, tapi belum ada announcer yang memberitahukan kedatangan pesawat dari Jepang. Duh, mudah-mudahan pesawat berikutnya, Kinanti mencoba bersabar.
Pukul satu siang. Berarti udah tiga jam Kinanti menunggu, berarti pula pesawat yang dijanjikan datang pukul sebelas sudah terlambat dua jam. Beberapa kali bunda nelepon dan bertanya apakah Kinanti sudah bertemu Daren.
Kinanti melirik jam tangannya, tiga puluh menit lewat dari jam satu. Kakinya yang terbungkus sepatu putih mengetuk-ngetuk lantai licin mengilat beberapa kali, seperti menimbang-nimbang sesuatu. Akhirnya, Kinanti memutuskan menuju meja informasi.
Perempuan cantik berseragam biru tua dan kemeja putih, menerima Kinanti dengan senyum ramah. "Ada yang bisa dibantu""
"Pesawat yang dari Jepang kok, belum ada yang mendarat sih, Mbak"" tanya Kinanti sambil melirik bros berbentuk capung yang tersemat di seragam petugas itu.
Petugas yang berambut hitam sebahu tertata
rapi itu meminta Kinanti menunggu. Setelah memeriksa komputernya sesaat, petugas itu menjawab pertanyaan Kinanti, "Oh, baru nanti malam ada pesawat yang dari Jepang."
Kinanti kaget, "Lho, kok, baru nanti malam""
"Iya, ada keterlambatan. Pesawat dari Central Air mengalami sedikit kerusakan, sekarang baru diperbaiki di tempat transit di Ch
angi Airport, Singapura."
Yaaah Kinanti diam, bingung ia harus berbuat apa. Apa harus menunggu sampai nanti malam" Atau harus pulang dulu, lalu nanti malam ke sini lagi" Ah, menyesal rasanya selama ini nggak bertukar nomor telepon dengan Daren. Selama ini, Kinanti hanya sibuk memikirkan capung bersama Daren. Kinanti menggeleng.
Sia-sia rasanya Kinanti berdandan dan datang sepagi itu. Selama ini, ia nggak pernah mau menerima pendapat orang-orang bahwa menunggu adalah pekerjaan yang menjemukan dan bikin capek. Kinanti selalu menepis pemyataan itu dan menikmati hari-harinya ketika ia menunggu e-mail dari Daren, atau bahkan menunggu kehadiran Daren ke Indonesia yang beberapa kali gagal.
Tapi, hari ini semua rasanya menjadi berbalik. Kinanti sudah menunggu berjam-jam, tapi masih harus menunggu lagi sampai nanti malam! Bukan main bergejolaknya perasaan Kinanti. Sedih, kecewa, jenuh. Punggungnya juga pegal-pegal karena selalu duduk dalam keadaan tegang.
Kinanti mengeluarkan HP dari tas kecil putihnya. Maksudnya akan menelepon bunda, melaporkan kabar yang baru saja diterimanya,
"Bunda "Ya, Sayang." "Pesawat dari Jepang datang nanti malam, Kinanti harus gimana"" "Kinanti." "Ya, Bunda""
"Kamu bisa pulang dulu. Nanti malam, Bunda temani. Kita ke bandara sama-sama."
"Tapi Bunda, kalo sewaktu-waktu Daren datang, gimana" Padahal, dia nggak menyimpan nomor telepon Kinanti
"Ya udah, kalo kamu mau, tunggu aja di sana. Jangan lupa makan dulu, pasti kamu lapar. Nanti sesekali, Bunda telepon. Coba cari juga penjual majalah di sana, mungkin bisa mengusir jenuhmu."
Kinanti tiba-tiba merasa perutnya benar-benar lapar. "Iya Bunda, Kinanti makan dulu."
Klik. Kinanti mencari restoran fastfood di kompleks bandara. Setelah bertanya pada petugas, akhirnya ia berhasil menemukan. Kinanti sengaja berlama-lama di tempat itu, untuk menghabiskan banyak waktu.
Lumayan juga, jadi lebih segar rasanya setelah minum orange juice dingin. Kinanti menarik napas dalam-dalam, baru kemudian mulai makan spageti yang sudah tersaji di depannya.
Kinanti sengaja memelintir bakmi Italia itu
berlama-lama, sebelum menyuapkannya ke mulut. Kalaupun bisa, Kinanti sebenarnya memilih untuk memakan bakmi itu helai demi helai, supaya habisnya lama.
Satu setengah jam kemudian, Kinanti keluar dari restoran fastfood dan kembali duduk di ruang tunggu terminal kedatangan. Sebelumnya, Kinanti mencari-cari penjual majalah sesuai anjuran bunda.
Setengah jam kemudian, perhatian Kinanti terarah ke breaking news sebuah televisi swasta.
DEG ... DEG ... DEG .... Refleks, Kinanti berdiri menghadap I ayar. Majalah yang dipegangnya jatuh. Kinanti seperti nggak percaya melihat tayangan televisi itu.
Pesawat terbang Central Air yang lepas landas dari tempat transitnya di Changi Intemational Airport meng-alami kecelakaan. Kerusakan awal yang sudah menimpa pesawat itu, ternyata nggak bisa diatasi dengan baik. Beberapa kilometer dari bandara Singapura, pesawat kembali mengalami ketidakstabilan. Kapten penerbangan memutuskan untuk kembali lagi ke Changi Airport. Tapi begitu melakukan pendaratan darurat, pesawat justru tergelincir dan mengalami kecelakaan. Badan pesawat tersebut hancur sebagian karena menabrak hanggar dan pagar pembatas, kemudian terempas sampai beberapa belas meter.
Dua puluh penumpang tewas seketika, termasuk pilot dan seorang pramugari. Sisanya mengalami luka berat dan segera dilarikan ke beberapa rumah sakit. Stasiun televisi yang menyiarkan berita itu,
belum bisa menayangkan gambar dari tempat kejadian. Hanya terdengar suara koresponden yang kebetulan berada di Singapura, dan laporan daftar nama korban yang berhasil dihimpun.
Kepala Kinanti seperti dihantam baja berkekuatan besar ketika membaca nama-nama penumpang pesawat yang menjadi korban ....
Nggak ... nggak ... jangan dia ....
Michael Fong ... Yamato Kazuhito ... Akiharu Katsumata ... Tuhan, lindungilah Daren ....
Anton Ashadi ... Jessica Howden ... James Barners ...
Ya Tuhan .... Daren White ... ..... koresponden kami memberitakan... Singapura ... rumah sakit ... tewas... evakuasi ....
Kinanti benar-benar limbung, ia merasa t
ak mampu lagi menopang tubuhnya dan seperti nggak tahu harus berbuat apa. Impiannya kandas secara tiba-tiba ....
Tuhan, apa lagi ini" Apakah akan kamu biarkan aku mengalami kegelapan lagi" Kegelapan ....
Kinanti merasa lunglai, ia nggak bisa berpikir. Kinanti merasa pandangannya kabur. Kabur oleh air mata yang terus menerus melelehi wajahnya.
Seorang petugas berseragam merah hati kebetulan sedang melintas di ruang tunggu. Ia
menangkap kejanggalan pada diri Kinanti dan segera membimbing Kinanti untuk duduk.
Dua orang wanita setengah baya yang duduk nggak jauh dari Kinanti juga mendekat. Mereka terenyuh melihat keadaan Kinanti, kemudian mencoba memeluk dan mengelus punggung Kinanti. Orang-orang yang berada di ruangan itu menatap iba pada Kinanti, meskipun belum mengerti apa sesungguhnya yang tengah menimpa Kinanti.
Kinanti terus terisak, tanpa tahu harus berbuat apa ... Kinanti bingung. Apakah aku harus sedih untuk seseorang yang belum pernah aku temui sebelumnya" Nggak! Kinanti pernah bertemu Daren! Di layar televisi, dan di mimpi-mimpinya!
Tapi, kini Daren White ....
Daren yang selalu membantuku, Daren yang kurindukan ... Daren yang memberiku capung yang indah ... Daren yang berjanji mengajakku melihat Air Terjun Niagara ....
Lantas, capungku yang keseratus"
Aku nggak akan menemukan capungku yang keseratus" Aaaah ...!!!
BEBERAPA saat kemudian setelah kelelahan menangis, Kinanti mencoba untuk tenang. Tangisnya mulai reda walaupun hatinya masih luka. Pelan-pelan, ia mulai menarik napas dalam-dalam,
mencoba membuang sesak di dadanya.
Satu-dua tarikan napasnya masih tersendat karena ia menangis cukup lama. Kinanti menerima air minum yang sejak tadi disiapkan untuknya.
Dihapusnya air mata yang sejak tadi mengaburkan pandangan. Kinanti kini mulai dapat melihat sekelilingnya dengan jelas.
Tiba-tiba dari arah depan, dekat pintu kaca, tampak sosok yang begitu dikenalnya mengenakan kemeja lengan pendek berwarna merah anggur dan celana panjang putih ... dengan rambut tersisir rapi.
Grey" Grey! Kinanti terkejut. Grey menyusulnya ke bandara! Seperti tersihir, pandangan Kinanti terus mengikuti langkah Grey yang semakin mendekat ke arahnya.
Setelah sampai di depannya, Grey tersenyum dan berlutut. Cowok itu mengangsurkan sebuah kotak melamin bercorak kehijauan dengan tangan kanannya yang sejak tadi ia sembunyikan di punggung.
Kotak melamin bercorak kehijauan! Persis seperti yang dipakai Daren untuk mengiriminya capung!
Kinanti tercekat. Apa maksudnya ini" Apakah selama ini orang yang mengaku bemama Daren White tak lain adalah Grey Genoveve" Apakah selama ini Grey menipuku mentah-mentah dan sekarang tiba saatnya untuk membuka rahasia" Apakah nasibku sama dengan nasib bunda pada
masa lalu, dibohongi orang tercinta" Apakah memang aku selalu berhadapan dengan orang yang bukan sebenarnya" Apakah ini sama dengan kenyataan bahwa ibu kandungku bukanlah bunda, melainkan Bu Krismaryati" Lalu, mengapa nama Daren White ada di daftar nama korban" Apakah itu kebetulan atau memang rekayasa Grey juga" Atau, Daren sudah menitipkan capungnya pada Grey sebelum meninggal"
Oh, jangan, jangan! Nggak! Aku nggak akan sanggup menghadapi kenyataan yang lebih pahit lagi!
Grey tersenyum, menatap Kinanti dalam-dalam. Sorot lampu ruangan yang tepat berada di atas Grey, menjadikan wajah tampan itu terlihat semakin tampan.
"Kinanti." Kinanti diam, ia masih curiga dengan sikap Grey. Hatinya masih waspada kalau-kalau Grey akan mengungkapkan kejadian yang sebenarnya, bahwa dirinyalah Daren White yang sedang dinanti Kinanti.
"Aku tahu kamu sedang menunggu capung yang keseratusmu di tempat ini," ucap Grey pelan.
Tentu saja kamu tahu, bukankah ini rencana-mu, bisik hati Kinanti.
"Tapi, kalo memang capung yang kamu tunggu nggak kunjung datang, maukah kamu menerima capung yang keseratus itu dariku""
Kinanti menelan ludah, mulai terharu oleh sikap Grey, tapi juga teringat Daren lagi. Berarti benar.
Grey adalah Grey, dan Daren White sudah tiada dalam kecelakaan pesawat terbang di Singapura tadi.
Mata Kinanti mulai berkaca - kaca. Kinanti menunduk, nggak tahan menerima sorotan m
emohon dari mata Grey. Tes! Setitik air mata jatuh lagi ke pangkuannya.
"Kin Grey memanggilnya lagi.
Kinanti mendongak. Grey menelan ludah, mengangguk sedikit, memohon supaya Kinanti mau menerima capung pemberiannya.
Kinanti baru menyadari, di sekitar tempat duduknya sudah nggak ada siapa-siapa lagi. Orang-orang yang mem-bantunya tadi, menyingkir begitu melihat Grey datang. Sekarang, di tempat itu hanya mereka berdua.
"Kin," Grey mengangguk lagi, memberi isyarat supaya Kinanti mau menerima pemberiannya.
Kinanti menarik napas dalam- dalam, makin nggak tahan dengan sorot memohon dari Grey. Kinanti lalu mengulurkan tangannya, meneri-ma kotak melamin bercorak kehijauan dari Grey.
Kinanti menerima capung yang keseratus dari Grey. Sekarang, ganti Grey yang menun-duk. Mereka saling berkata dalam diam. Kinanti menarik napas dalam-dalam, merasa sedikit lebih baik daripada sebelumnya. Hati Kinanti terasa lebih lapang sekarang. Ada kelegaan aneh yang menghuni hatinya. Ternyata segalanya belum berakhir, bahkan baru akan dimulai. Lama mereka berdua saling diam. Beberapa saat kemudian,
secara bersamaan mereka saling tatap.
Kinanti tersenyum. Grey juga. Grey berdiri, mengajak Kinanti untuk bangkit dari duduknya.
Akhirnya mereka berdua beranjak, keluar dari ruang tunggu. Gemuruh pesawat yang lepas landas di luar sana mengiringi langkah mereka. Di dekat pintu keluar, Kinanti menoleh pada petugas dan orang-orang yang menolongnya tadi, tersenyum dan mengangguk. Mereka juga tersenyum, dan melambaikan tangan.
DI mobil, Kinanti berusaha bersikap sebiasa mungkin meskipun masih kaku. Tangannya meraih panel-panel di dashboard untuk memutar DVD Peterpan karena bingung harus berbuat apa.
Grey melirik sebentar, lantas berkonsentrasi lagi menyetir. Sepertinya, Grey juga nggak berani mengajak Kinanti bicara.
"Grey ...!" Kinanti memecah kesunyian.
"Ya"" "Dari mana kamu tahu kejadian ini""
"Aku tadi nonton teve di kamar. Seperti yang aku bilang padamu kemarin, hari ini aku kurang kerjaan. Lalu, ada berita tentang kecelakaan pesawat terbang di Singapura. Entah mengapa, aku langsung ingat kamu." Grey menatap Kinanti.
Kinanti diam saja. Setiap kali mendengar "kecelakaan pesawat terbang" rasanya ada perih
yang lagi-lagi menggores dada.
"Bundamu juga sedang menonton siaran itu, kemudian meneleponku. Minta supaya aku menjemputmu di bandara."
"Lantas, capung yang kamu berikan padaku ini"" Kinanti penasaran.
"Yaaah, itu waktu aku di belakang rumah. Ada seekor capung yang ternyata bisa kutangkap. Sudah sejak empat bulan lalu. Waktu itu, aku mau memberikannya padamu, kamu malah cerita baru saja menerima kiriman capung dari Daren. Aku tak berani memberikannya."
Kinanti diam, mengingat kejadian Grey malam-malam datang ke rumah beberapa bulan lalu. Ada rasa kasihan terhadap Grey, tapi juga geli. Kinanti tersenyum kecil.
"Lantas, kotak melamin yang sama"" tanya Kinanti lagi.
Grey tertawa. "Nggak sepenuhnya sama, kok. Waktu itu, kamu pernah menunjukkan koleksi capungmu. Aku melihat dua kali Daren mengirim capung, tempatnya selalu sama. Kamu kelihatan senang sekali dengan kotak itu. Waktu aku bolos sekolah selama berhari-hari, aku pernah mampir ke rumahmu untuk meminjam kotak melamin itu pada bunda. Lalu, kubawa sebentar ke pabrik melamin di dekat Tangerang sana."
Kinanti menatap Grey dengan pandangan bertanya.
"Aku mencari alamat pabrik melamin itu dari ye-
Slow pages," sahut Grey seperti mengetahui maksud Kinanti.
"Tapi kok, aku nggak pernah merasa kehilangan kotak itu""
"Ya, aku langsung mengembalikannya lagi begitu selesai kuperlihatkan di pabrik. Capung serangga yang pantang menyerah, Kinanti. Seperti aku "Dari mana kamu tahu""
"Aku baca di sebuah situs web, waktu kamu paksa aku mencari bahan untuk essai. Kamu payah, Kinanti," ucap Grey lagi, kali ini cemberut.
"Maksudmu""
"Katanya kamu cerdas seperti capung. Padahal, mata capung jumlahnya tiga puluh ribu, harusnya kamu bisa melihat semua hal di sekeliling. Tapi, nggak melihat aku. Yang menyukaimu sejak pertemuan pertama kita di ruang guru piket dulu
Kinanti tersipu. Sekarang, dia memang baru sadar kalo Grey juga
bagian dari hari-harinya. Kinanti yang sedih waktu mengira Grey jadi pindah ke Washington, Kinanti yang selalu mencari Grey sewaktu ada beban berat menimpa, Kinanti yang mau membantu apa saja untuk Grey. Sekarang, Grey datang memperjelas semuanya.
Kinanti menatap Grey tak percaya, tapi akhirnya mereka tertawa bersama. Di luar, jalanan yang mulai bermandikan sinar merkuri dan gedung-gedung yang mulai berhias kelap-kelip lampu seperti ikut tertawa sambil mema-merkan sinar terangnya ....
"Kok, nggak dibuka kotaknya"" tanya Grey tiba-tiba.
"Oh, iya!" Kinanti meraih kotak melamin hijau itu dari pangkuannya. Mencoba membukanya, sepelan mungkin.
JREEENG ...!!! Kinanti terkikik melihat capung hasil tangkapan Grey kali ini. Bagian ekor putus dan sayap sebelah kanan sedikit robek. Grey menambalnya dengan plester bening.
Mereka berdua tertawa ....
Nissan X-trail merah itu melewati terowongan gelap, lalu muncul lagi di ujung depan. Peterpan masih menemani mereka berdua.
Dan rasakan semua bintang
memanggil tawamu terbang ke atas
tinggalkan semua hanya kita dan bintang ....
Tentang Penulis Ary Yulistiana lahir di Solo, 6 Juli 1982. Kegiatannya sekarang adalah berusaha ber-saha-bat dengan diri sendiri karena merasa susah di mengerti. Selalu menikmati bertemu banyak orang dan senang melakukan hal baru. Sampai sekarang, masih suka memandangi bulan sambil mengkhayalkan kehadiran Mamoru Chiba. The 100th Dragonfly adalah debutnya dan berharap bisa merilis novel-novel berikutnya. "Aku masih punya banyak ide untuk dituangkan. Tunggu, ya!" tegasnya.
tamat Pendekar Sakti 14 Pendekar Mata Keranjang 5 Ratu Petaka Hijau Awal The Beginning 1
^