Catatan Hati Seorang Istri 2
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia Bagian 2
Kesadaran itu, kesadaran akan segala keputusan dengan
sebab akibatnya itu... Menggugatku!
"Kita mau ke mana lagi, Mama"" Pada saat bersamaan
anakku terbangun, agaknya bisa menangkap
kebimbanganku. Kubiarkan dia menikmati cokelatnya
sebagai pengulur waktu. Aku memang tak bisa langsung
menyahut, kugigiti ujung-ujung bibirku. Benakku
mendadak suntuk, dikejar bayangan-bayangan yang belum
pasti untuk masa depan kami. Bagaimana reaksi keluargaku
jika mengetahui lakonku di Belanda ini" Tensi ayahku
niscaya akan melejit, bisa-bisa stroke.
Apa yang harus kukatakan kepada mereka, andaikan
kami pulang ke Indonesia dalam keadaan serba kacau-balau, dan sangat mengenaskan begini" Lagipula, aku tak
punya tiket untuk pulang, tak punya uang selain 50 gulden
di saku jaketku. Bagaimana kalau aku tak mendapatkan apa
yang kuinginkan di Kedutaan Besar Indonesia"
"Mama, ingat tidak Om Paul" Yang memberiku cokelat
dan permen di pesta"" anakku mengusikku lagi. Oh, dia
mengira klub itu tempat pesta" Aku meliriknya dan
terheran-heran, mengapa anak ini masih mengenang sosok
yang telah memelintir tangan si Gez malam itu"
"Ya, Nak, ada apa dengan orang itu""
"Om Paul sudah janji mau bantu kita, Mama. Aku ingat
janjinya itu, Mama," cetus anakku terdengar
mengambang.Aku memandangi wajahnya lekat-lekat .Di
mataku pipi-pipinya tampak semakin tirus, kelelahan,
kesakitan dan ketakutan yang sangat.Ya Tuhan, aku
sungguh telah mengingkari hak-haknya.
"Maafkan Mama, ya Nak, maafkan segala kelemahan
Mama, maafkan..." Aku meracau penuh penyesalan. Seketika kupeluk erat-erat tubuhnya, kuciumi pipi putihnya, berharap bisa
menyatukan seluruh daya yang masih kami miliki.
Akhirnya kubiarkan, kubiarkan, ya, kubiarkan saja segala
kepedihan itu membuncah ruah. Semoga air mata ini
menjadi terapi bagi hati kami, jiwa kami, fisik kami yang
telah porak-poranda. "Mama nangis... aku juga mau nangis, hikkksss
"Iya Nak, Cinta, tidak mengapa kita menangis saja, ya,"
Pada saat bersamaan di dalam hati aku pun mengucap
sumpah. "Tuhanku, dengarlah sumpahku ini, jika Engkau tetap
ada untuk kami berdua... Demi Engkau Yang Maha Tinggi,
aku akan membesarkan anakku, dan memberinya masa
depan sebaik-baiknya! Dengarlah sumpah seorang ibu yang
teraniaya ini, ya Tuhan, dengarlah!"
Betapa ingin kulengkingkan, kujeritkan, kulo-longkan
sumpahku. Tidak, ternyata hanya mampu kuperdengarkan
untuk diriku sendiri, di dalam hatiku sendiri. Kupahatkan
dengan tinta nurani seorang ibu di relung-relung jiwaku.
Sehingga aku takkan pernah mampu mengingkarinya
sepanjang hayat dikandung badan.
"Kita cari Om Paul saja, ya Mama"" tanya anakku
setelah puas kami bertangisan, masih di bangku di sudut
stasiun Utrecht. Kubersit hidung dan kuhapus air mata yang
membasahi pipi-pipiku. Anakku mengikuti kelakuanku,
cepat-cepat menghapus air matanya dengan ujung-ujung
jaketnya. Ya, Tuhan! Aku berjanji dalam hati, sejak saat itu
aku takkan pernah menangis lagi di hadapan siapapun.
Terutama di hadapan anakku, mata hatiku, sumber
semangat hidupku, kepada siapa aku telah berutang janji.
"Baiklah, kita kan cari Om Paul!" kuputuskan untuk
menerima gagasan anakku. Kupikir sudah saatnya memberi
kesempatan kepada anak kecil ini, lima tahun setengah. Ya,
mengapa tidak" Selama ini aku telah melakukan kesalahan
yang berimbas terhadap kehidupan anakku.
Kami kembali ke Hilversurn dengan sangat waspada,
supaya tidak bertemu lagi dengan "monster" itu. Setelah
bertanya kesana-kemari akhirnya kami menemukan tempat
tinggal keluarga Moorsel.
"Oh, mijn God, rnijn God!" seru Paul menyambut
kedatangan kami, langsung bereaksi begitu mencermati
kondisi kami berdua. "Malang sekali kalian, malang sekali
kalian... Maafkan, aku tidak bisa membantu kalian tempo
hari." "Tidak beradab, binatang itu pantas mati!"
"Kita harus segera melaporkannya ke pihak berwajib!"
Kemarahan dan kegeraman dalam sekejap menggema di
ruangan yang hangat dan nyaman itu. Kedua orang tua
Paul, belakangan aku memanggil mereka Muder dan Fader,
segera bergabung dan memberi bantuan. Aku mengatakan
kepada mereka bahwa untuk saat ini, kami berdua hanya
ingin kedamaian, perlindungan dan kenyamanan.
Segalanya yang di luar itu biarlah belakangan dibenahi.
"Tentu saja, Nak, jangan pikirkan apa-apa lagi.
Tinggallah di rumah kami, ya Nak. Kami jamin, kalian
aman dan akan baik-baik saja berada di sini," ujar ayah
Paul dengan sorot mata memancarkan kebajikan,
mengingatkanku kepada ayahku nun di kampung halaman.
Selama beberapa hari kemudian aku membiarkan orang-orang baik itu merawat diriku dan anakku. Sekilas lakonku
di apartemen Gez kuungkap, tetapi rincinya kusimpan baik-baik dalam diari hatiku. Suatu kekejian luar biasa yang
telah menimbulkan kerusakan lahir-batin, trauma pada
jiwaku dan anakku hingga berbelas tahun kemudian.
(Aliet Sartika) Coretan 7 Label Baru Seorang Istri "Tindakan mereka telah memberikan pelabelan baru
yang tidak mengenakkan bagi istri pertama."
Semua mata mengarah ke panggung utama. Termasuk
saya yang saat itu duduk di barisan paling belakang. Tidak
berapa lama muncul seorang muslimah cantik dengan
atribut serba pink, dari jilbab hingga rok bertumpuk yang
dikenakannya. Muda, cantik dan berbakat. Itulah yang ada di kepala,
hingga seorang perempuan yang duduk selisih dua kursi
dari saya, mulai menunjuk-nunjuk muslimah yang sedang
bernyanyi di depan kami, "Eh, itu istri tuanya si anu kan""
Komentarnya menyebut nama pelantun lagu islami yang
sangat terkenal. Teman yang diajak bicara mengiyakan.
Saya sempat terganggu dengan komentar yang menurut
saya bukan pada tempatnya. Terbayang perasaan muslimah
berbusana pink itu, jika tahu dia bernyanyi, dan komentar
yang tidak nyambung itu yang justru ditujukan padanya.
Tapi sedih saya bertarnbah-tarnbah, setelah saya pulang,
dan menerima SMS dari seorang teman.
"Asma, tadi Pak Nurhan bilang ke saya sambil menunjuk
mbak fu lanah... 'Itu kan istri tuanya Pak Fulan.' Benar Pak
Fulan poligami, ya""
Istri tua... istri tua. Saya yakin perempuan-perempuan yang dibicarakan ini
memiliki hati yang lapang, terbukti dari kesiapan mental
yang telah mereka tunjukkan ketika suami menikah lagi.
Dengan hati sekuat itu, saya kira mereka akan bijak
menanggapi hal ini. Hanya saja saya tiba-tiba tercenung cukup lama, berpikir.
Apakah para lelaki yang berpoligami,mereka yang
beralasan menikah lagi dalam kerangka sunnah Nabi atau
alasan mulia lain,pernah sekejap saja merenung bahwa
tindakan mereka telah menggoreskan tidak hanya luka yang
coba diobati oleh para perem puan, tetapi juga stempel baru
yang tidak mengenakkan bagi istri pertama"
Perempuan yang menempuh banyak pengorbanan agar
bisa bersama lelaki yang dulu mendatangi mereka dengan
kalimat-kalimat penuh bunga.
Perempuan yang menyertai mereka di awal perkawinan,
ketika pekerjaan suami belum lagi mapan.
Perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan
anak-anak dengan baik hingga menjadi sosok yang
membanggakan. Perempuan yang telah menghabiskan
kemudaan dan kecantikannya dalam bakti, cinta dan
keikhlasan bertahun-tahun hingga suami mereka sampai
pada posisi sekarang. Katakan jika saya salah, tidak kah setelah semua yang
mereka lakukan, seharusnya mereka dimuliakan"
"Tetapi dengan menikah lagi suami berusaha
memuliakan istri tuanya, Asma... hingga mudah
mendapatkan surga!" Ya, ya... saya mencoba mengerti kalimat itu.
Tetapi apakah dimadu dan menjadi istri tua, merupakan
jalan satu-satunya untuk mendekatkan perempuan (yang
telah menghabiskan tahun-tahun dalam kepatuhan dan
bakti itu) pada surga"
3 Maret 2007 Sebab Aku Berhak Bahagia "Tepat ketika aku berjuang melawan rasa sakit karena
melahirkan, aku sempat berpikir, barangkali sebaiknya
aku mati saja. Dengan begitu, selesailah semua
penderitaanku." Palu pun diketuk! H ari ini selesailah sudah seluruh drama rumah
tanggaku, di tempat yang paling muskil dan di hadapan
orang-orang tak kukenal. Aneh memang! Sepuluh tahun itu,
yang kumulai dengan tawa sukacita, pesta pora, dan
berkumpulnya segenap keluarga, ku akhiri pada hari ini
dengan banjir air mata, dalam kesepian yang mencekam
dan memilukan antara aku dan ayahku, dan para hakim
serta panitera. Inilah tempat yang muskil itu, tempat
pertemuan terajaib di dunia bagi dua orang yang mengaku
suami dan istri: Pengadilan Agama!
Maka perpisahan itupun dipertegas lagi, setelah hakim
ketua mengetukkan palunya, menyatakan bahwa perceraian
kami sah, kami aku dan 'bekas' suamiku berjalan keluar
ruang sidang dan menuju arah yang berlainan.Pulang ke
rumah masing-masing. Tak ada lagi saling menjemput dan
mengingatkan waktu pulang. Tak ada lagi rumah yang
menjadi tujuan bersama. Tak ada lagi suami dan istri. Yang
ada hanyalah pribadi-pribadi. Dia dan aku. Tak ada lagi
'kami'. Ya....perpisahan itu nyata sudah. Statusku kini berubah
sudah. Aku bukan lagi istri seseorang. Aku bukan milik
siapa-siapa. Aku milik Allah dan....kebebasan. Bahagiakah
aku karena aku bebas" Tidak! Tak ada yang
membahagiakan dari sebuah perceraian. Yang ada adalah
rasa sedih karena semua ini harus terjadi, karena jalan ini
harus kupilih, karena aku harus melakukan sesuatu yang
meski halal tapi paling dibenci Allah, karena anak-anakku
harus berpisah dengan ayah mereka. Ya! Ini adalah sebuah
kerusakan. Tapi bahkan kerusakan sekalipun, ketika itu
menjadi jalan satu-satunya cara untuk tetap hidup,
menghindarkan diri dari kehancuran, untuk kemudian
membangun hidup baru yang lebih baik, maka pilihan
itupun harus diambil dan dilakukan. Selebihnya
memperkuat kesabaran dan berlapang dada menerima
segala cobaan. Maka ketika aku melewatkan malam-malamku setelah
itu dengan menangis, tangisku bukanlah tangis penyesalan
dan kehilangan, apalagi ketakutan. Tidak! Tangisku adalah
percampuran antara rasa sedih karena harus mengalami
sebuah perceraian dan gembira karena akhirnya aku
berhasil membuat keputusan teramat penting dalam
hidu pku. Aku berhasil membuat sebuah pilihan yang meski
pahit dan menyakitkan tapi kutahu merupakan pilihan yang
benar agar aku tetap hi dup. Hidup yang bahagia. Sebab,
aku berhak untuk berbahagia.
Kilas Balik Sungguh tak pernah terpikir olehku, akan beginilah nasib
pernikahan yang sepuluh tahun lalu ku-perjuangkan mati-matian. Orang yang dulu kuyakini dapat bertanggung jawab
atasku hingga aku rela meninggalkan rumah orang tuaku
dan hidup bersamanya, ternyata suatu saat dapat menjadi
orang yang paling tidak peduli padaku.
Betapa tipis batas antara suka dan tak suka, cinta dan tak
cinta. Sikapnya yang semula baik, mulai berubah pada
tahun kesekian pernikahan kami. Ia yang semula begitu
kasihan melihatku bekerja keras, malah menjadi orang yang
paling tega rnembiarkanku bekerja seharian dan kemudian
menggunakan hasil kerjaku untuk kepentingannya;
Membuka bisnis ini dan itu, yang tak satupun berhasil.
Ia juga yang kemudian menjadi penganjur nomor satu
agar aku tetap bekerja, sebab bila tidak maka rumah tangga
kami akan limbung dan segala mimpi kami untuk dapat
hidup berkecukupan akan hancur. Ia bahkan
membiarkanku bekerja di daerah lain, memisahkanku
dengan kedua anak kami. Bahkan ketika anak ketiga kami lahir, dan aku ingin
berhenti bekerja, ia tetap meyakinkanku bahwa sebaiknya
aku tak berhenti bekerja. Ia bahkan lebih suka melihatku
pindah ke daerah tempatku bekerja dengan membawa
ketiga anak kami. Sementara ia tetap di daerah asal kami
dengan alasan ia tak mungkin meninggalkan dinasnya.
Maka begitulah. Perkawinan kami kian aneh saja. Aku
yang lebih banyak menafkahi keluarga. Di satu pihak, aku
menyadari bahwa rumah tanggaku mulai timpang. Ada
ketidakpuasan pada diriku dengan posisiku dalam rumah
tangga. Ada yang salah. Aku iri melihat para istri yang
berderet di depan ATM pada hari gajian suami-suami
mereka. Aku iri melihat para ibu dengan tenang mengantar
anak-anak mereka ke sekolah setelah melepas suami pergi
bekerja. Aku iri melihat para ibu sibuk menyiapkan
penganan sore hari untuk suami yang baru pulang bekerja,
kemudian duduk bersantai di depan rumah se mbari
memandangi dan sesekali mentertawai kelucuan perilaku
anak-anak mereka yang bermain di ha laman. Sungguh
gambaran yang jauh dari rumah tanggaku.
Di daerah asing, aku sendirian. Suamiku dengan tenang
melepasku bekerja. Setiap pagi hatiku pilu meninggalkan
anak-anakku di tangan pembantu rumah tanggaku. Melihat
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak keduaku menangis dan anak ketiga yang belum
mengerti apa-apa berada dalam gendongan pembantuku.
Sepulang bekerja, dalam keadaan lelah, aku masih harus
mengajari si sulung pelajaran sekolahnya dan menunda
waktu bersama si tengah dan si bungsu. Pedih hati ini
karena begitu sedikit waktu untuk ketiga anakku. Tapi aku
sendirian. Sungguh tak guna untuk terlalu banyak
mengeluhkan keadaan. Aku tak mungkin memprotes suamiku. Tentulah ia benar
menyuruhku untuk terus bekerja dan melepasku pergi ke
daerah lain. Tentulah ia punya alasan yang baik, bahwa
semua ini untuk kebahagiaan kami. Maka aku terima.
Bukankah aku ingin menjadi istri yang baik" Maka aku tak
boleh berpikiran buruk tentang suamiku.
Tak mungkin ia bermaksud jahat dan hanya rne-manfaatkanku saja. Bukankah ia suamiku dan ayah anak-anakku" Maka ketika pikiran buruk itu berbagai prasangka
yang kutujukan pada suamiku karena membiarkanku
bekerja bahkan ke daerah lain datang, segera saja
kusingkirkan dari benakku. Suamiku adalah orang yang
mencintaiku dan aku harus percaya padanya.
Ketika ia memintaku membeli mobil, tentunya karena ia
ingin agar ketika kami berkumpul bersama, ia dapat
membawa kami semua sekaligus. Atau ketika ia memintaku
membeli tanah dan rumah atas namanya, tentunya ia
berpikir bahwa menggunakan namanya akan jauh lebih
aman. Sebab ia lelaki, katanya. Dan jauh lebih mudah
mengurus semua surat jual beli sebab ia pegawai
negeri.Tentu ia benar dengan semua itu. Atau ketika ia
meminta modal dari-ku untuk berbisnis ini dan itu, tentulah
ia ingin agar aku segera dapat berkumpul dengannya. Meski
kemudian semuanya gagal karena ia tak pandai
mengurusnya. Maka selama hampir tujuh tahun kami menjalani
kehidupan seperti itu. Terpisahkan oleh jarak. Beberapa kali
aku mencoba menggali jalan pikiran suamiku tentang
keadaan kami yang terpisah, tapi yang kudapatkan
hanyalah ketidakpedulian tersamar. Suamiku selalu berkata,
bahwa aku harus tetap bekerja demi masa depan keluarga
kami. Setiap kali aku menanyakan kapan ia akan
mengeluarkanku dari situasi seperti ini,ia selalu berkata
bahwa aku harus realistis. Tanpa penghasilanku rumah
tangga kami akan kolaps. "Kalau begitu, apa usaha Abang untuk rnelepaskanku
dari situasi ini"" tanyaku selalu. Tetapi jawaban yang
kuterima sungguh mengecewakan,
"Yah, kamu boleh saja berhenti bekerja, asalkan kamu
sanggup hidup dengan gajiku yang tak seberapa,"
Dari situ naluriku mulai bicara. Rasanya ada sesuatu
yang salah dengan reaksi suamiku. Bukankah ia telah
menghabiskan begitu banyak uang untuk memulai berbagai
usaha" Dan ketika kutanya mengapa ia gagal, ia berkata,
"Semua gara-gara kamu tidak cukup mendukungku!"
Lalu apakah namanya setelah begitu banyak tabunganku
yang telah digunakannya untuk memulai usaha dan
membeli ini dan itu" Ah, baiklah...barangkali dukunganku
belum cukup banyak. Membeli rumah, tanah, dan
sebagainya,belum lagi cukup untuk mendukungnya.
Tapi dalam hatiku aku bertanya tanya, bukankah sikap
seperti itu adalah sikap laki-laki yang tak bertanggung
jawab" Bukankah semestinya ia berusaha keras untuk
menyatukan kami dalam satu atap, dan bukannya bertahan
untuk terus berlama-lama hidup terpisah" Aneh....
Tapi kutekan semua prasangka itu dan selalu ku
meminta ampun pada Allah, setiap kali pikiran seperti itu
muncul. Mungkin tak ada yang aneh dalam diri suamiku.
Itu hanya perasaanku saja. Maka aku harus bersabar. Tapi
aku tetap ingin lepas dari situasi itu. Aku tetap ingin
menjadi ratu dalam rumah tanggaku. Aku ingin berada di
rumah untuk anak-an akku, seperti perempuan lainnya.
Maka satu pelajaran yang kupetik dari situasi itu adalah,
bahwa akulah satu-satunya yang bisa melepaskan diriku
dari himpitan kesulitan ini. Akulah yang harus berusaha.
Maka aku bekerja lebih keras, mendorong suamiku untuk
membuka bisnis dan usaha sampingan dengan memberinya
modal. Sementara itu, hidup kami makin aneh saja. Pada
suatu titik, suamiku mulai terlihat berbeda. Bila kami
bertemu, entah karena aku dan anak-anak pulang ke daerah
kami, atau ia yang berkunjung ke te mpat kami, ia sering
tak mempeduli kanku, memarahiku karena hal-hal remeh
seperti salah meletakkan pulpen atau kertas kerja miliknya,
terlambat membayar tagihan, terlambat membukakan pintu
gerbang, dan sebagainya. Tentu aku tak mengatakan bahwa diriku benar. Aku
memang salah, sungguh tak kutampik kenyataan
itu.Kekurangrnarnpuanku menjadi perempuan dan istri
yang cermat dalam mengatur barang-barang nya, efisien
dalam mengatur waktuku, memang tak bisa dibenarkan.
Masalahnya adalah, aku bekerja seharian di sebuah
perusahaan swasta asing milik warga negara Jepang, yang
terkenal disiplin dan ketat dalam mengatur waktu kerja.
Maka, aku harus mempekerjakan seorang pembantu rumah
tangga, yang mengurusi segala tetek bengek rumah tangga
kami, termasuk keperluannya, yang semuanya di bawah
instruksiku. Malangnya, pembantuku ini tidaklah selalu bisa
bekerja dengan baik. Ada kalanya ia membuat begitu
banyak kesalahan. Malangnya lagi, setiap kesalahan yang
diperbuatnya, akan merupakan bencana bagiku, karena
begitu aku pulang dari bekerja, dalam keadaan lelah luar
biasa, aku akan menerima segala amarah dan omelan dari
suamiku. Baiklah! Aku ini perempuan. Sudah menjadi tugasku
untuk mengatur semua urusan rumah tangga. Ketika
pembantu rumah tanggaku alpa, maka itu adalah salahku.
Tanggung jawabku! Aku terima. Aku pun terima ketika
suamiku menegurku dengan cara mendiamkanku berlama-lama, tak menerima maafku meski aku menangis dan
menyembah. Ketika itu kupikir, baiklah...aku memang
salah.Tentu seorang suami berhak memarahi istrinya. Maka
aku pun membiarkannya mendiamkanku beberapa hari
bahkan ber minggu-minggu. Hingga lama-lama aku terbiasa
dengan cara itu, bahkan ketika ia memdiamkanku selama
beberapa bulan karena kesalahan yang tak jelas.Kupikir,
sebagai istri aku harus menurut dan menerima. Barangkali
memang begitu jugalah para suami lainnya ketika
memarahi istrinya. Aku tak pernah berpikir untuk melawan,aku malah
berpikir bagaimana cara menebus dan memperbaiki semua
kesalahanku. Bagaimana cara membuatnya tenang dan mau
berbaik-baik denganku. Bagaimana caranya agar ia
mencintaiku lagi. Kupikir, barangkali ego kelelakiannya telah kusi-nggung
sebab aku berpenghasilan 5 kali lipat lebih besar
dibandingkan penghasilannya.Barangkali ia cemburu dan
begitulah caranya menyalurkan kecemburuannya, tapi di
satu pihak ia tak sanggup menghidupi kami.
Berpikir seperti itu membuatku kasihan padanya. Maka
kuputuskan untuk menyerahkan seluruh gaji dan bonus
bonus yang kuperoleh dari perusahaan padanya. Aku hanya
mengambil seperlunya untuk keperluan seharihari rumah
tanggaku. Selebihnya, kubiarkan ia mengelola keuanganku.
Kupikir dengan begitu ia akan merasa dipercaya dan tahu
bahwa sungguh aku tak pernah memikirkan uang. Yang
penting bagiku adalah kami semua bahagia.
Akupun setuju ia membeli tanah, rumah, dan banyak
lagi yang lainnya. Aku juga makin mendukung sepenuhnya
dan membebaskannya menggunakan ua ng hasil kerjaku
untuk berbisnis. Meski, setiap kutanya apa hasilnya ia akan
marah dan mendiamkanku untuk beberapa lama.
Semakin ia marah dan makin lama mendiamkanku,
semakin aku merasa harus melakukan sesuatu untuk
menebus kesalahanku. Entah mengapa aku selalu merasa
bahwa semua sikapnya itu adalah reaksi dari perbuatanku,
dari kesalahan yang kubuat. Maka akupun makin mencoba
membeli perasaannya, cintanya. Kubelikan ia hadiah-hadiah, yang seringkah malah tak cocok dengan seleranya
dan menjadi kemarahan lainnya. Kubujuk ia untuk pergi ke
toko bersamaku dan memilih baju atau apa saja
kesukaannya. Sungguh aku makin giat berusaha
mendapatkan kembali cintanya.
Dalam hati, sering muncul pertanyaan, "Mengapa
suamiku sepertinya membenciku" Apakah ia tidak
mencintaiku lagi"" Lalu, sisi hati yang lain membantah,
"Tentu ia mencintaimu. Bukankah ia suamimu"". "Tapi jika
memang ia mencintaiku, mengapa ia selalu bersikap
rnernusuhiku"" kata sisi hati lainnya.
Ku bertahan. Bahkan hingga aku hamil anak ke empat.
Kupikir, dengan memberinya seorang anak lagi, tentu ia
akan senang dan sembuh dari semua kemarahannya.
Mempersembahkan seorang anak lagi, tentu akan
merekatkan kembali hati kami. Ingin kutebus cintanya
dengan anak kami yang keempat ini.
Tapi ternyata, harapanku tinggal harapan. Suamiku
makin menjadi-jadi. Ia mendiamkanku berbu lan-bulan
karena kesalahan-kesalahan kecil atau bahkan tak jelas apa
yang membuatnya marah padaku. Bahkan dalam keadaan
aku hamil tua dan kemudian melahirkan, ia
mendiamkanku. Ketika itu, tepat ketika aku berjuang
melawan rasa sakit karena melahirkan , aku sempat
berpikir, barangkali sebaiknya aku mati saja. Dengan
begitu, selesailah semua penderitaanku. Aku menangis
sembari menahan rasa sakit yang amat sangat. Aku begitu
putus asa. Sungguh aku tak tahu lagi cara mengambil hati
suamiku. Tapi tangis bayi membuatku menarik keinginan itu. Bayi
bermata indah itu membutuhkanku. Juga ketiga anakku
yang lain. Aku harus hidup. Apapun yang terjadi.
Maka kupilih untuk bersabar. Kupikir lagi, barangkali
kalau ada rizki dan aku bisa membawa suamiku berhaji, itu
akan menjadi obat baginya, bagi kami. Maka itulah niatku.
Aku mulai mengumpulkan uang untuk bisa pergi haji.Aku
ingin bermunajat pada Allah di tanah suci, agar aku bisa
mendapatkan cinta suamiku. Aku juga ingin mendapat
jawaban, mengapa aku tak lagi dicintai. Aku banyak
berdoa, dan salah satu doa yang paling sering kuucapkan
adalah: Allah humma arinal haqqa haqqan, warzuknatti
ba'ah, wa arinal batiia batilan warzuknajtinabah (Ya Allah,
tunjukkanlah yang hak adalah hak dan berilah hamba
kekuatan untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah yang batil
adalah batil, dan berilah hamba kekuatan untuk
menjauhinya). Malangnya, justru ketika uang untuk berangkat berhaji
telah terkumpul, nasib berkata lain. Rupanya Allah SWT
mendengar doaku. Aku mengetahui mengapa suamiku
membenciku. Aku memergokinya memiliki perempuan
lain. Bukan hanya satu, tapi ia juga menggoda banyak
perempuan. Awalnya aku tak percaya. Sempat aku
mengabaikan pesan-pesan mesra di telepon gengga
mnya yang diakuinya sebagai orang salah kirim.Tapi belakangan,
rasa penasaran membuatku mencari tahu, hingga akhirnya
aku mendapat pengakuan dari beberapa orang.
Maka terjawablah semua teka-teki mengapa ia lebih suka
membiarkanku bekerja di daerah lain dan dengan sukacita
menerima semua uang penghasilanku tanpa rasa malu dan
bersalah. Itu pula sebabnya ia tak mempedulikanku dan
banyak mendiamkanku. Semua itu membuat hatiku hancur. Aku pun mulai mau
mengakui bahwa naluriku yang merasakan hal-hal tak beres
dalam rumah tangga kami ternyata benar adanya. Aku
mengakui pula, bahwa suamiku bukanlah suami yang baik.
Meski pahit, tapi aku harus mulai mau menerima
kenyataan, bahwa apa yang dilakukan suamiku tidaklah
benar menurut hukum perkawinan universal maupun
hukum agama. Aku telah dikhianati.
Kenyataan bahwa suamiku menggoda beberapa
perempuan,bahkan hingga pada tahap menjurus pada
hubungan badan, telah menghancurkan kepercayaanku
padanya. Aku pun merasa terhina. Harga diriku sebagai
istri dan perempuan diinjak-injak. Aku mulai tak terima dan
putik-putik pemberontakan mu lai bersemi dalam benakku.
Aku mulai bertanya-tanya, kemana perkawinan kami ini
akan kubawa" Sementara suamiku bukannya mengakui
kesalahan dan meminta maaf, malah berbalik menyerang
dan makin memojokkan dan menghinaku. Diamnya makin
menjadi-jadi. Ia bahkan mulai tak peduli pada keluargaku
yang datang menjenguk kami dan mengata-ngatai orang
tuaku. Ya Allah... Aku, dalam kekalutanku, mulai mengalami stre-ss.Aku
terombang-ambing pada keadaan di mana aku
menginginkan perceraian tapi aku takut untuk hidup
sendiri.Sementara di pihak lain, aku tahu, aku tak lagi bisa
mentolerir perbuatan suamiku. Aku membencinya dan
hidup bersamanya serta harus melayaninya lahir dan bathin
telah bergeser dari kenikmatan menjadi siksaan dan deraan
yang membuatku kian sakit dan terpuruk. Bagaimana
mungkin aku terus hidup dengan orang yang
mengkhianatiku" Yang membohongiku" Yang menyia-nyiakanku"
Tapi perceraian" Ya Allah, aku bahkan tak berani
memikirkannya.Tak berani melafazkannya, apalagi
melakukannya" Lagipula,bukankah itu perbuatan yang
meski halal namun sangat dibenci Allah"
Bercerai atau menderita"
Aku terombang-ambing dalam keadaan tanpa
keputusan.Aku takut mengajukan gugatan cerai. Aku
terpuruk, tenggelam dalam kekalutan dan kesedihan yang
amat sangat. Aku takut mengambil ke-putusan.Akupun
memperbanyak doa dan sholat malam, memohon pada
Allah agar diberi petunjuk.
Dan memang, Allah Maha Baik dan Mendengar. Aku
bertemu dengan seorang laki-laki yang kebetulan bekerja di
Pengadilan Agama. Darinya kudengar kalimat ini,
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bu, dalam perkawinan, kedua belah pihak haruslah
berbahagia. Bila satu pihak berbahagia di atas penderitaan
pihak lainnya, maka perkawinan itu sudah tak bisa
dikatakan baik. Dalam hal ini, perempuan dan laki-laki
memiliki hak untuk berbahagia dengan porsi yang sama."
Kepadanya kuceritakan masalahku. Tentang kemarahan
suamiku serta sikap diamnya, ia berkata,
"Kasus ibu termasuk dalam kekerasan rumah tangga."
Aku terpana.Bagaimana mungkin mendiamkan dan tidak
memukul bisa dikatakan kekerasan"
"Suami saya tak pernah memukul saya, Pak. Tidak
pernah sama sekali!" bantahku.
"Kekerasan dalam rumah tangga itu bukan cuma
tindakan memukul, Bu. Membuat istri merasa tertekan
bathinnya, menyakitinya terus menerus dan
mengintimidasinya hingga mempengaruhi kondisi kejiwaan
dan rnentalnya juga disebut kekerasan. Membuat istri
merasa khawatir dan ketakutan terus menerus, juga disebut
kekerasan." Aku diam, mencoba mencerna kata-kata lelaki itu. Harus
kuakui, aku memang selalu merasa ketakutan dan khawatir
suamiku akan meledak amarahnya hanya karena aku atau
pembantuku salah meletakkan barang miliknya, terlambat
memberi makan hewan peliharaannya, terlambat
membukakan pintu gerbang, atau hal-hal lainnya.
"Sering mengancam, seperti mengancam akan
membunuh, menyakiti, dan meneror dengan melontarkan
kata-kata ancaman atau menghina dengan kata-kata yang
tak pantas hingga membuat pasangan kita merasa tertekan
jiwanya dan merasa tak aman, juga disebut kekerasan.
Sekarang terserah Ibu. Jik
a memang masih bisa diperbaiki,sebaiknya diperbaiki. Jika tidak, maka ambillah
langkah yang benar. Sebab tinggal dan bertahan dalam
rumah tangga yang sudah tak lagi dapat dipertahankan
akan membuat semua pihak menderita."
"Tapi anak-anak saya.....," kataku terbata.
"Orang seringkah lupa, bahwa rumah tangga yang tak
harmonis, jika dibiarkan berlarut-larut juga dapat
mempengaruhi anak-anak. Melihat orang tuanya bertengkar
setiap hari, tak ada kemesraaan, rumah tangga bagaikan
neraka. Apalagi jika banyak terjadi kekerasan, meski tak
ada pemukulan, tapi suasana rumah yang selalu tegang dan
membuat takut para penghuninya sungguh bukan tempat
yang baik bagi anak-anak. Jika keadaan sudah seperti itu,
haruskah kita pertahankan meski membawa ke-mudharatan" Coba pikirkan. Saya tak menyuruh bercerai.
Tapi saya ingin Ibu memikirkan kondisi Ibu, dan membuat
keputusan yang tepat, sebab Ibulah yang paling tahu
kondisinya. Keputusan ada di tangan Ibu."
"Tapi bagaimana membuktikan hal-hal seperti itu di
pengadilan" Saya tak punya bekas pukulan, bahkan tak ada
lebam sama sekali untuk dapat dijadikan bukti!" kataku
ragu. "Bu, semua yang Ibu ceritakan pada saya tadi, dapat
menjadi alasan yang sangat kuat untuk mengajukan
gugatan cerai. Pengadilan Agama tahu apa itu kekerasan
dalam rumah tangga. Undang-Undang yang mengaturnya
pun ada dan jelas." lanjut lelaki itu.
Aku terkesiap mendengar kata-katanya. Benarkah"
Suamiku memang beberapa kali melontarkan ancaman
akan membunuhku, hingga membuatku takut sendirian
bersamanya. "Pikirkan juga ini, Bu. Dalam Islam, tak dibenarkan
seorang suami mengambil hasil jerih payah istrinya. Tidak
sepeserpun kecuali atas izin si istri. Apa-apa yang dihasilkan
istri adalah haknya dan si istri berhak untuk
membelanjakannya sesuka hatinya as alkan di jalan yang
benar dan sesuai syariat. Tidakkah Ibu merasa heran
dengan tindakan suami Ibu yang mengambil semua milik
Ibu" Membeli rumah dan tanah dan mengatasnamakannya
dengan namanya sendiri meski semua itu dibeli sepenuhnya
dengan uang Ibu" Saya rasa setiap orang setuju bahwa itu
adalah perbuatan yang sangat memalukan dan tak
bertanggung jawab." Aku diam, tapi setiap kata-kata lelaki itu menghujam
begitu dalam. Sebab, ia benar.Dan kali ini tak ada jalan
bagiku untuk mengelak, untuk membenarkan segala
perbuatan suamiku. Apa yang dilakukannya salah dan aku
harus mengakuinya. "Dan itulah kelemahan perempuan, Bu. Jelas-jelas suami
sudah berbohong, berkhianat, bahkan ada yang sampai
memukul dan menyiksa lahir dan bathin, masih saja tinggal
diam. Bahkan baru-baru ini, ada perempuan yang sampai
disuruh memotong jempol kakinya oleh suaminya, tapi
masih tetap juga ngotot bertahan dalam rumah tangga,
padahal je las-jelas suaminya salah.Padahal, Islam
memberikan hak kepada perempuan untuk hidup bahagia,
dihormati, dihargai, dicintai dan dilindungi. Dan jika hak
itu tak diperoleh dari suaminya,maka perempuan bo leh
memperjuangkan haknya. Tak ada yang salah apalagi
dengan itu!" Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya mengusap air mata
yang mengalir diam-diam. Keputusan itu... Suamiku makin tak terkendali. Dia makin sering
mengintimidasiku, mengancam akan membunuh,
mendiamkanku atau bahkan berteriak-teriak memarahiku di
hadapan anak-anak kami.Ia mulai membanting barang-barang, beberapa kali hampir memukulku dengan benda
yang dipegangnya meski tak pernah benar-benar
melakukannya. Suasana rumah kian memanas. Rumah tangga kami
sudah seperti neraka. Anak-anak kami makin suka
menangis dan berteriak tak karuan. Anak sulungku
seringkah melamun dan mudah menangis serta tersinggung.
Sedang anak kedua dan ketiga mudah mengamuk dan
berteriak jika apa yang diinginkan tak diperolehnya.
Maka diam-diam, setiap kemarahan serta ancaman, atau
diam suamiku, justru menjadi jalan setapak yang kulalui
hingga kusampai pada keputusan itu. Sungguh bukan
keputusan yang mudah, karena pada dasarnya aku masih
saja takut jangan-jangan ini semua adalah salahku. Namun
satu hal yang membuatku tak menyurutkan langkah adalah
bahwa aku merasa tak mampu lagi hidup bersama lelaki
yang telah 10 tahun menjadi suamiku ini.
Aku tak lagi memiliki sedikit pun keikhlasan untuk melayaninya. Dan
aku tahu, setiap ketidakikhlasanku itu hanya akan menjadi
jalan bagiku untuk berbuat dosa. Aku tahu, perkawinan ini
tak akan lagi menjadi ladang a-mal bagiku, sebab aku
membenci suamiku dan tak akan mampu lagi hidup
bersamanya dengan ikhlas, sabar dan suka cita.
Maka aku pergi menemui lelaki petugas Pengadilan
Agama itu. Aku bertanya apa-apa yang kubutuhkan untuk
menggugat cerai suamiku. Ternyata sederhana saja. Aku
hanya perlu menyerahkan foto copy KTP dan Surat Nikah
serta membuat pengaduan. Ia pun menyarankanku untuk
menyimpan surat-surat tanah yang mungkin masih bisa
kuselamatkan dan kubaliknamakan, menyimpan surat-surat
kendaraan, dan surat-surat rumah, agar jangan sampai
suamiku menguasai seluruhnya tanpa memberiku bagian
sedikit pun. Maka proses itupun dimulai. Perlahan-lahan dan
diarndiarn, kukumpulkan semua milikku. Uang gajiku yang
tadinya hampir seluruhnya masuk ke dalam rekening bank
suamiku, sedikit demi sedikit kukurangi. Aku telah
merencanakan, begitu aku mengajukan gugatan cerai, maka
seluruh uangku akan masuk ke rekening bankku saja. Dan
hari itu tibalah. Aku menebalkan tekad dengan sholat
malam dan memperbanyak doa. Dengan menguatkan hati,
kumasuki kantor Pengadilan Agama. Tak terkira debaran
jantungku dan sekuat tenaga kutahan air mataku. Aku tidak
akan surut. Dan hari itu, di bulan Agustus, aku pun membuat
pengaduan. Selang beberapa hari kemudian, tepatnya
seminggu setelah pengaduan dibuat, surat panggilan untuk
menghad iri sidang pun datang. Ketika itu, aku telah
berpisah rumah dengan suamiku yang pada suatu malam
menjadi demikian marah dan gila hingga mengusir aku dan
keempat anakku dari rumah kami. Ketika itu pukul 3
dinihari. Dan kejadian itu, menorehkan luka begitu
dalamnya di hatiku, hingga melecutku serta memberiku
kekuatan untuk akhirnya mendatangi Kantor Pengadilan
Agama. Rasa Bersalah Persidangan itu begitu menakutkanku. Belum pernah aku
merasa begitu kecil, terhina, dan menderita karena aku
harus menceritakan aibku sendiri
Idi hadapan orang-orang asing yang bernama Hakim
Ketua, dua Hakim Anggota, dan seorang Panitera. Belum
lagi kenyataan bahwa orang yang kulawan adalah suamiku
sendiri. Bagaimana mungkin semua ini terjadi" Aku
merasakan kesedihan yang amat hebat, hingga tak jarang
aku menangis di hadapan orang-orang yang hadir dan tak
mampu berkata-kata. Akupun memilih untuk lebih banyak
menyampaikan pembelaan dan pengakuanku dalam bentuk
tertulis. Itulah suasana teraneh yang pernah kualami. Berseteru
dengan orang yang pernah begitu kucintai, saling
menyerang, saling membuka kesalahan dan aib. Oh...entah
ke mana cinta yang dulu ada di antara kami. Sungguh
begitu mudah cinta tercerabut, hingga ke akar akarnya,
hingga kami bisa saling berhadapan dan saling
memburukkan satu sama lain. Ketika akhirnya gugatanku
dikabulkan, aku merasa bebas. Tapi belakangan aku didera
rasa bersalah, terutama setiap kali melihat wajah keempat
anakku. Oh, Tuhanku... apa yang telah kulakukan"
Bersalahkah aku" Berdosakah aku telah membuat
anakanakku terpisah dengan ayah rnereka"Egoiskah aku"
Benarkah aku memberikan yang terbaik bagi anak-anakku"
Benarkah aku melakukan semua ini demi ketenangan
mereka, demi perkembangan jiwa mereka yang telah kerap
menyaksikan pertengkaran demi pertengkaran, mendengar
ancaman demi ancaman" Benarkah" Benarkah"
Aku menjadi sakit. Berbagai dokter kukunjungi, sakitku
tak juga sembuh. Hingga suatu hari, salah seorang
keluargaku membawaku menemui seorang dokter yang
terkenal taat ibadahnya. Dari dialah aku mendengar bahwa
aku sebenarnya tak sakit. Aku sehat-sehat saja. Yang sakit
adalah jiwaku. "Sakit perut seperti mag, sakit punggung yang
berkelanjutan, merasa kedinginan setiap saat, pusing yang
terus menerus, adalah gejala stress. Pergerakan usus Ibu
normal, tak ada yang bermasalah. Apa yang Ibu
khawatirkan dan pikirkan" Stress tak ada obatnya. Obatnya
datang dari diri sendiri. Dari penguatan diri. Saran saya,
apapun masalah Ibu, perbanyaklah berdoa dan shalat
malam. Semua masalah ada jalan keluarnya. Berserah diri
pa da Allah," kata dokter itu sambil tersenyum.
Sejak itu, aku tak lagi membiarkan diriku tenggelam
dalam siksaan rasa bersalah. Aku banyak berdoa, banyak
sholat malam dan lebih memasrahkan diri pada
Allah.Kupandangi anak-anakku. Melihat wajah mereka,
aku pun 'terjaga' dari tidurku selama ini. Jika aku jatuh dan
terpuruk, siapa yang akan menjaga anak-anakku" Jika aku
tenggelam dalam kesedihan, siapa yang akan
menggembirakan anak-anak ku" Akulah satu-satunya
harapan mereka. Aku telah menciptakan situasi ini.
Menangis sungguh tak akan membawa hasil apaapa. Apa
yang telah terjadi adalah menjadi bagian dari hidup yang
harus kuhadapi. Allah lebih tahu apa yang terbaik bagiku.
Jika ini yang terbaik,maka aku terima dengan lapang dada.
Aku pun sampai pada kesadaran, bahwa aku adalah
orang yang 'terpilih' untuk menerima ujian ini. Mengapa
aku" Tentunya karena Allah tahu sesuatu yang aku tak
tahu. Maka aku tak lagi mempertanyakan mengapa Allah
menimpakan ujian ini. Semangat hidupku bangkit lagi. Aku kian giat berusaha
dan bermunajat kepada Allah. Dalam doa, aku meminta
agar Allah menghilangkan rasa bersalah, kegelisahan dan
ketidaktenangan dari dalam jiwaku.
Lagi-lagi, Allah menjawab doaku. Sebab, pada suatu hari
aku berkenalan dengan seorang laki-laki yang tak sengaja
bertemu denganku di sebuah seminar. Lelaki yang
belakangan kutahu seorang us-tadz ini, berkata padaku
setelah kami cukup dekat dan aku dapat menceritakan
tentang perceraianku. "Mbak, Allah yang membenci perceraian itu, adalah
Allah yang sama yang juga mengajari kita cara untuk
melakukan perceraian secara ma'ruf. Jadi, Allah sudah tahu
bahwa akan ada di antara hambanya yang tak akan berhasil
dengan rumah tangganya, sehingga Dia pun membolehkan
perceraian untuk mengatasi masalah yang sudah tak dapat
lagi dicarikan jalan keluarnya."
Aku diam mendengarkan. "Jadi, perceraian itu memang ada dan diperbolehkan.
Meski memang dibenci Allah.Tapi bila memang tak ada
jalan keluar dan alasan-alasan untuk melakukan perceraian
sesuai syariat, maka itu boleh. Tak usah merasa
bersalah.Allah Maha Tahu dan Mengerti. Jangan siksa diri
dengan perasaan bersalah itu. Mbak tidak bersalah! Suami
Mbak berkhianat dan Mbak tidak bisa mentolerirnya."
"Tapi orang lain bisa. Jangan-jangan seharusnya saya
bertahan dan bersabar," kataku.
"Bertahan gimana" Suami Mbak tidak mengaku bersalah.
Apalagi mau minta maaf dan memperbaiki diri.
Sudahlah...Mbak tidak bersalah!" katanya meyakinkanku.
"Sekarang, banyak-banyaklah memohon pertolongan
Allah, agar Mbak diberi kekuatan."
Jalan masih panjang
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan begitulah...Allah sungguh Maha Adil. Makin hari,
makin ditunjukkannya bukti-bukti tentang kesalahan
suamiku, kadang dengan cara-cara yang sa ngat ajaib.
Misalnya, aku bertemu sahabat lama yang telah lebih dari
10 tahun tak berjumpa dan darinya kudengar bahwa
suamiku berselingkuh dengan seorang karyawati,yang
ternyata adalah teman sekantor tetangga dekat rumahnya.
Ada juga kejadian, ketika suamiku salah kirim sms yang
ditujukan kepada kekasihnya ternyata terkirim ke HPku.
Maka semua kejadian itu membuatku semakin yakin pada
jalan yang kutempuh. Setelah merasa yakin dan rasa bersalah berkurang sedikit
demi sedikit, aku mulai memperoleh kepercayaan diri lagi.
Aku membangun hidup dengan memprioritaskan
kepentingan anak-anak. Aku harus kuat sebab akulah
tempat anak-anak bersandar.
Ketika saat-saat sedih datang menyesaki dada, aku
banyak mengadu pada Allah dalam sholat-sho lat malam
yang p anjang.Aku tumpahkan seluruh beban dan air mata
ini hanya kepada Allah. Sebab Dia sebaik-baik pendengar.
Dari apa yang kujalani, aku pun banyak belajar.Salah
satunya adalah, bahwa akulah satu-satunya yang mampu
membuat keputusan untuk hidupku,atas pertolongan Allah.
Bahwa sebenarnya, akulah yang paling mengerti apa yang
kubutuhkan, apa yang kurasakan, apa yang harus
kulakukan. Bahkan keluarga terdekat sekalipun, tak dapat
sepenuhnya mengerti perasaanku. Akan ada masanya
mereka merasa jenuh mendengar keluh kesahku, sementara
masih begitu banyak yang ingin kukeluhkan, seolah tak
pernah ada habisnya. Dari situlah aku mengerti,bahwa
han ya dirikulah yang bisa mengendalikan perasaanku
dengan cara bersabar dan bertawakkal. Dan hanya Allah
sebaik-baik tempat mengadu.
Pengalaman ini juga memperkuat apa yang selama ini
kuyakini; bahwa bagaimana pun, sebaiknya perempuan
haruslah mandiri dan bekerja. Tentu tak harus bekerja di
luar rumah jika itu memang menyulitkan. Bekerja dari
rumah dan menghasilkan sesuatu bagi dirinya sendiri,
merupakan hal yang baik untuk memupuk kemandirian
serta kesiapan mental ketika terjadi musibah. Bukan hanya
karena perceraian, tetapi untuk menghadapi saat-saat ketika
suami tak ada di rumah, entah karena bepergian, jatuh sakit
yang tak memungkinkannya bekerja, kecelakaan,atau
bahkan meninggal dunia. Semua pengalaman ini membuatku yakin, bahwa
sebenarnya perempuan mampu bila keadaan memaksa
untuk hidup dan berjuang sendirian. Keteguhan serta
keberanian serta kegigihan dan kesabaran untuk tetap
berjuang dan bertahan hidup demi diri sen diri dan anak
anak adalah senjata yang sangat ampuh, yang rasanya wajib
dimiliki oleh seorang perempuan.
Tentu, tak seorang perempuan pun ingin diceraikan
apalagi menceraikan, tak seorang perempuan pun ingin
ditinggal mati suaminya, tak seorang perempuan pun ingin
berjuang sendirian karena suami tiba-tiba jatuh sakit, tak
seorang perempuan pun ingin menjadi janda. Tapi ketika
semua itu harus terjadi, karena takdir ilahi,maka seorang
perempuan yang paling lemah sekalipun, harus siap
memanggul beban dipundak. Sebab perempuan berhak
sekaligus berkewajiban untuk berusaha dalam hidup. Tetap
kuat dan sabar menjawab setiap tantangan, tetap terpacu
untuk mencari kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sebab,perempuan juga berhak bahagia. Dan aku berhak
bahagia, sebab aku juga seorang perempuan dan seorang
hamba Allah. Insya Allah. (Nejla Humaira) Momen Kecil yang Meninggalkan Jejak
Catatan 8 Hal-hal Sederhana Yang Dirindukan
"I'm a mother of two kids, and i'm proud of it!"
Apakah yang paling dirindukan seorang perempuan
ketika jauh dari tanah airnya"
Sandra Nicole Rolden, penulis dari Filipina iseng-iseng
membuat catatan lima hal yang paling dirindukannya sejak
di Korea, sebagai berikut:
1. Kitty (her dog) 2. Her boyfriend 3. Her farnily and friends
4. Her kitchen 5. Surnmer time (kami tiba di akhir musim dingin)
Saat itu kami berada di sebuah coffee shop di depan
Istana Gyeongbokgung yang indah. Dari enam writers in
residence hanya saya, Sandra,mas Cecep dan Surachat
Petchelela yang pagi itu memutuskan untuk menghabiskan
waktu di Seoul Collection, semacam klub bagi para
foreigners di Korea, di mana mereka bisa menonton film
film korea setiap pekannya lengkap dengan teks berbahasa
Inggris, hanya dengan 3000 won (Rp. 30.000), sambil
menikmati teh, kopi atau juice.
Sebuah cara yang nyaman untuk break dari aktivitas
belajar bahasa Korea (lima kali sepekan di Korea
Universit y) yang cukup melelahkan. Ketika mendengar
lima hal yang dirindukan Sandra, maka saya mencoba
menganalisa lagi, apa yang paling sa ya rindukan.
1. Caca dan Adam 2. Suami 3. Mami, HTR dan Ibu mertua
4. Kantor 5. Masakan Indonesia Saya amati lagi list tersebut, dan merasa yakin... ya
kelima itulah yang paling saya rindukan. Jauh dari keluarga
selama sebulan ini, ada beberapa hal yang berubah pada
rutinitas saya. Pertama pola hidup yang jelas jauh lebih
teratur, dan tidak seenaknya seperti di Jakarta. Sedikitnya
ada tiga kebiasaan jelek saya dulu: tidur menjelang pagi,
bangun siang (habis subuh tidur lagi) dan terakhir kerap
lupa waktu makan. Kebiasaan jelek pertama masih belum bisa diubah total
dan kadang sungguh menyiksa. Pernah saya sama sekali
tidak bisa tidur dua malam berturut-turut dan harus
berusaha keras untuk fokus di kampus keesokan harinya.
Yang kedua, alhamdulillah jam berapa pun tidurnya,
sempat tidur atau tidak, saya 'hidup' lebih pagi. Dan yang
ketiga, soal telat makan... saya jaga benar-benar agar tidak
terjadi. Hari kelima di Korea perut saya sempat perih luar
biasa gara-gara melewatkan makan siang. Ternyata jamuan
makan yang dijanjikan di 63 Building dalam Opening
Ceremony, bukan makan siang melainkan makan malam.
Saya benar-ben ar jeri, sebab dengan perut sakit hingga
nyaris pingsan, saya harus menempuh jalan cukup jauh ke
subway station terdekat dalam cuaca 2 derajat celcius pula!
Tapi perubahan besar lainnya terkait hal-hal yang saya
rindukan. Setelah jauh dari tanah air dan orang-orang yang
saya cintai, saya jadi lebih mampu menghargai momen-momen kecil, yang sebenarnya sejak dulu pun saya nikmati.
Tiba-tiba saya merasa belum cukup mensyukurinya. Apa
saja" Pertama, saya sangat bersyukur menjadi ibu. Dan
kalimat itulah yang dengan bangga saya sampaikan kepada
teman-teman dari berbagai negara, ketika cukup banyak
yang menyembunyikan status seraya bercanda: Petualangan
itu perlu untuk proses kreatif, Asma! Apalagi bagi seorang
penulis! Tetapi saya tidak bisa melakukan itu. Menjadi ibu adalah
hal terbaik yang terjadi pada saya dan tidak ingin saya
tutupi. "Yes, I'm a mother of two kids, and i'm proud of it!"
Tapi saya harus memerinci syukur itu lagi, saya kira.
Betapa mengantarkan anak-anak tidur, adalah sebuah
nikmat yang ternyata telah memberi saya banyak
kebahagiaan yang sanggup menghapus kesedihan,
kekecewaan dan hal-hal tidak enak yang saya lalui seharian.
Betapa saya bersyukur setiap pagi bisa terbangun dari
tidur dan menemukan anak-anak di sisi. Menemani Caca
sarapan pagi hingga jemputan sekolah datang, dan
melepasnya pergi setelah mencium tangan saya.
Betapa saya bersyukur mendapatkan kecupan di kening
setiap pagi oleh Adam ketika dia berpamitan ke
sekolah.Betapa saya bersyukur bisa berada di sisi mereka
ketika mereka ada masalah. Bahkan ketika keduanya
bertengkar dan mencari saya sebagai hakim.
Betapa saya bersyukur ada di dekat Caca, setiap kali dia
sedih dan berlari ke arah saya dengan tangan terkembang
untuk sebuah pelukan. Betapa saya bersyukur bisa mendengar kalimat: I love u,
Bunda (Caca), I love u, Mama (Adam), atau mendapatkan
tatapan Adam yang memandang dalam sebelum berkata:
Bunda tahu nggak" Adam tuh cinta sekali sama Bunda!
Kalimat yang biasanya diikuti gerakan tangannya menarik
leher saya lembut agar mendekat kepadanya,untuk
kemudian mengecup kening saya tepat di tengah-tengah.
Betapa saya bersyukur bisa membaca lembar demi
lembar tulisan Caca yang dicoretnya di diary ibu dan anak
yang kami miliki, di mana hanya kami berdua yang
memiliki akses untuk membacanya.
Betapa saya bersyukur bisa berada di sana, ketika Caca
berkata: Menurut Bunda, aku sebaiknya pakai baju apa ya
hari ini" Betapa saya bersyukur bisa bermain kartu tebak-tebakan
bersama mereka, bisa mendongeng (meski kadang di tengah
kantuk),bisa berjalan sambil menggandeng keduanya di sisi
kiri dan kanan saya. Begitu banyak hal yang harus saya syukuri.
Juga suami bertanggung jawab yang Allah kirimkan
untuk saya. Mami dengan 'kecerewetan' dan perhatian yang tak
pernah berkurang meski anak perempuannya ini sudah
berusia kepala tiga. Ibu mertua yang kerap membawa masakannya ke
rumah, dan menjadi teman ngobrol di telepon.
Juga kakak baik hati yang Allah berikan untuk saya.
Kakak yang memberi saya hadiah acara ulang tahun saya di
rumahnya sebelum keberangkatan. Sahabat perempuan
terbaik dan teman jalan-jalan yang mengasyikkan.
Baru tiga pekan, sudah begitu banyak kerinduan. Tapi
berada jauh dari mereka untuk rentang enam bulan ini
sungguh membuat saya menghargai hal-hal kecil namun
ternyata telah menjadi sumber dari banyak kebahagiaan.
Hal-hal sederhana yang kini terasa mewah.
Seoui, 10 April, 2006 2 x 24 jam "Bagaimana perasaan seorang istri, jika menyadari
bahwa kebersamaan dengan lelaki yang dicintai mungkin
akan berakhir, sebelum 2 k 24 jam""
Seperti baru kemarin, Nita Sundari, bagian keuangan
kami, tergopoh-gopoh berpamitan dari kantor,
"Mbak Asma, Nita pamit dulu..." Ada nada panik pada
suaranya ketika melanjutkan, "Adik ipar Nita, suaminya
Inge kecelakaan motor."
Kebersamaan kami sejak awal mendirikan Penerbit
Lingkar Pena, cukup membuat saya mengenal sosok Nita
Sundari dengan baik.Pribadi bertanggung jawab yang tidak
segan-segan melemburkan diri di kantor demi
menyelesaikan tugas-tugasnya. Situasi sang adik ipar
mestilah mengkhawatirkan hingga Nita sampai meras
a perlu segera meninggalkan kantor.
Ujian di tahun kelima perkawinan
Saya tidak mengenal sosok Inge, adik Nita dengan baik.
Hanya satu dua kali pertemuan. Hingga peristiwa
kecelakaan motor hari itu, yang meninggalkan catatan
mendalam di hati saya. Usia perkawinan Inge dan Taufik Rahman baru
menginjak tahun ke lima ketika peristiwa pahit itu terjadi.
Lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan di LSM
UI Depok itu ditemukan orang tergeletak dalam keadaan
luka parah di jalan menurun se telah Universitas Indonesia.
Sampai saat ini tidak ada kejelasan bagaimanakah
peristiwa sebenarnya. Apakah Taufik terjatuh mengingat
memang ada lubang besar tidak jauh dari motornya
ditemukan, ataukah lelaki itu merupakan korban tabrak
lari" Kondisinya masih sadar ketika orang-orang
membawanya ke RS. Tugu, kemudian dirujuk ke RS UKI.
Masih bisa mengatakan lapar, atau protes ketika
pakaiannya hendak dibuka di UGD.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan
Inge, ibu dari tiga orang anak, ketika kemudian dokter
datang, dan memberinya dua pilihan; Taufik harus segera
dioperasi, sekalipun peluang berhasil tidak besar.
Pendarahan di otak terlalu parah, ada kemungkinan setelah
operasi dilakukan, kalaupun selamat maka akan
menimbulkan cacat mental, dalam pengertian suami Inge
nanti akan berbicara dan bersikap tak ubahnya anak-anak.
Tetapi jika tidak dioperasi maka Inge dan anak anak
tinggal menunggu waktu, hanya bisa pasrah menyaksikan
lelaki terkasih itu berpulang.
"Operasi...'' Keputusan itu akhirnya keluar dari bibir Inge.
Saya kira istri mana pun akan berjuang dan memberikan
yang terbaik demi pendamping hidup mereka. Apalagi
hubungan keduanya sangat harmonis. Inge dan Taufik telah
saling melengkapi selama bertahun-tahun, nyaris tanpa
pertengkaran. Operasi dilakukan di tempat. Melihat keadaan Taufik,
dokter tidak berani memindahkannya dari UG D dan
membawanya ke ruang operasi.Semua benar-benar berpacu
dengan waktu.
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Masa-masa kritis itu... Setelah selesai operasi, dokter memanggil pihak
keluarga, dan bicara pada sepupu keluarga yang me wakili.
Tidak berapa lama setelah sepupu mereka menyampaikan
hasil kesimpulan dokter, Inge langsung pingsan, diikuti ibu
mertua dan terakhir Ibu Inge ikut pingsan.
Kondisi pasca operasi Taufik terbilang sangat buruk.
"Kita lihat dalam 2 x 24 jam."
Jika lelaki itu bisa melewati masa kritisnya, maka
kemungkinan besar Taufik akan selamat. Jika tidak, maka 2
x 24 jam itulah sisa waktu yang dimiliki Inge bersama lelaki
yang dicintainya. Hhh... saya tidak kuat membayangkan jika harus berada
di posisi Inge saat itu. Terlebih mengingat tiga buah hati
mereka, Jihan yang masih berusia tiga tahun,Salsabila yang
baru dua tahun dan si bungsu Hamzah yang baru berusia
dua bulan, ketiganya masih sangat kecil.
Alhamdulillah 1 x 24 jam pertama terlewati.
Seluruh keluarga menyusun tangan ke atas, terus
memanjatkan doa untuk Taufik. Lelaki yang selama ini
meski tidak banyak bicara tetapi punya banyak sekali
teman. Lelaki sederhana yang kerap menun da-nunda
mengganti kacamata, meski sebelah kacanya sudah pecah,
untuk keperluan-keperluan keluarga, yang menurutnya
lebih penting. Lelaki yang kerap diprotes ipar-iparnya
karena dianggap terlalu memanjakan anak-anak.
"Masa sih Mbak... misal anaknya habis pipis. Dia mau
tuh turun bantu si kecil bersih-bersih. Terus setiap kali
anaknya bilang airnya dingin dan minta air hangat. Buat
kita kan repot... apalagi sudah di kamar mandi. Tapi Taufik
tuh sabar bukan main. Di-turutin aja meski harus bolak
balik ke dapur." Begitu sekelumit cerita Nita, yang cukup
menggambarkan sosok lelaki itu sebagai bapak yang spesial
dan amat dekat dengan anak-anaknya. Cerita-cerita Nita
membuat saya diam-diam ikut menunggu perkembangan
kondisi lelaki itu. Meski tentu tidak bisa mengalahkan
debaran di hati Inge saat detik demi detik bergulir. Akankah
sang suami tercinta bertahan dan melewati masa kritisnya
yang 24 jam lagi" Waktu terasa berjalan selambat butiran air yang jatuh
satu-satu dari ketinggian, ketika akhirnya telepon berdering.
Pihak rumah sakit mengabarkan kondisi Taufik yang
semakin memburuk. K etika keluarga datang, tampak alat perekam dan pompa
jantung yang sudah dipasangkan. Dokter kembali memberi
dua kemungkinan. Jika kondisi membaik, maka tindakan
akan dilanjutkan. Jika sebaliknya, maka alat medis tersebut
akan dilepas, "Sebab itu berarti tubuhnya tidak kuat, bu." Inge terlihat
tabah menerima keterangan dokter. Sejak tiba, menurut
Nita, adiknya terus mengaji. Surat yang dilantunkan adalah
kesukaan Taufik, surat Ar- Rahman.
Fabi ayyi alaa i rabbikurnaa tukadzdzibaan...
Maka nikmat Aliah manakah yang kamu ingkari"
Mendengar dan menyaksikan betapa tenangnya Inge
membacakan ayat satu demi satu, seluruh keluarga nyaris
tak bisa menahan tangis. Tidak juga sepupu mereka yang
seorang polwan. Sikap Inge yang bahkan masih bisa
tersenyum dan menenangkan ya ng lain semakin membuat
yang hadir bertambah-tambah sedih. Dan tepat, ketika ayat
terakhir dari surat Ar Rahman dibacakan, Taufik
mengembuskan napas terakhirnya, seiring tanda garis
mendatar pada alat perekam jantung yang dipasangkan.
Allah! 2 x 24 jam. Ternyata memang sesingkat itulah kebersamaan mereka
dengan Taufik; suami, ayah, anak, menantu, dan ipar yang
dicintai. Tangis keluarga pecah, satu persatu mendekati
Inge. Perempuan berkacamata itu sebaliknya masih terlihat
tenang, malah menabahkan sanak keluarga yang menangis
saat merengkuhnya. Memberi mereka kalimat-kalimat yang
me neduhkan. Meminta mereka semua untuk sabar.
Mata saya tak urung berkaca mendengar cerita Nita,
sambil membatin. Betapa tabahnya Inge. Betapa tawakalnya dia. Betapa
hebat perempuan muda itu mengemas air matanya!
Sampai saat ini, tiga tahun sejak peristiwa itu, Inge masih
terus menyimpan kenangan tentang almarhum Taufik
dengan baik dan rapi. Kerap kali lontaran kenangan muncul
dalam percakapan Inge dengan keluarganya. Meski mereka
berusaha tidak lagi menyinggung-nyinggung tentang lelaki
itu. "Pernah Nita cerita, Mbak. Kepala Nita pusing kayak
vertigo. Langsung aja Inge menyambar, 'Inge juga pernah
begitu, sakit kepalanya. Terus dipijitin sama Taufik sampai
hilang sakitnya...' "
Atau ketika keluarga menyantap sate kambing,
"Wah, ini makanan kesukaan Taufik, nih!"
Terkadang kalimat serupa lahir dari Jihan, terutama saat
mereka ke Kebun Binatang atau saat me reka melewati
lapangan bola, "Jihan pernah diajak abi ke situ... terus main sama
temannya abi." Kalimat yang diam-diam membuat air mata yang
mendengar terasa tertahan di pelupuk. Siapa yang menduga
kenangan-kenangan terakhir dengan ayahnya begitu
melekat dalam ingatan si sulung" Padahal Nita bahkan
tidak terlalu yakin apakah Jihan mengerti arti kepergian
ayahnya, ketika mereka semua menjelaskan kepada Jihan
bahwa mulai saat itu abi akan tidur di sana (sambil
menunjuk ke arah gundukan tanah).
"Tapi Inge tidak pernah menangis selama prosesi""
Nita menggelengkan kepala.
"Selama tujuh hari saya dan Ika (adik Nita yang lain)
menemani Inge. Kalau bertemu kami pasang wajah biasa.
Baru ketika pulang saya dan Ika menangis, tidak kuat
melihat sabarnya Inge..."
Hanya satu alasan yang mampu memberi kekuatan pada
seorang ibu, apa pun kondisinya: Anak-anak.
Nita mengiyakan. Sepertinya memang itulah alasan kuat kenapa Inge
berusaha tegar menghadapi kepergian Taufik. Betapapun
hatinya menangis, betapa pun gamang karena sejak itu dia
akan hidup dan membesarkan anak-anak tanpa ayah. Tapi
anak-anak masih kecil. Si bungsu malah masih menyusu.
Dan seorang ibu yang baik mengerti betul betapa
pentingnya ASI ba gi anak-anak, dan betapa mudahnya
situasi batin ibu mempengaruhi kelancaran keluarnya ASI.
Hhh... saya lagi-lagi hanya bisa menarik napas dalam.
Beberapa detik saya dan Nita hanya terdiam. Barangkali
membayangkan bagaimana jika hal serupa terjadi pada
kami masing-masing. Akan kuatkah"
"Dan Inge tidak pernah menangis"" Nita, perempuan
berkulit hitam manis itu tidak langsung
menjawab.Barangkali mengajak ingatannya kembali ke
hari-hari yang memilukan itu,
"Hanya sekali, Mbak... sebulan setelah meninggalnya
Taufik. Ya... setelah sebulan, dan hanya sekali itu."
Dalam kenangan cinta: 22 Februari 1974 -
Taufik Rahman 17 Maret 2005
Catatan 9 Dua Pasang Suami Is tri "Dalam keadaan cacat fisik dan kekurangan materi,
apakah yang menjadi sumber kebahagiaan keduanya""
Dua peri stiwa. Dua pasang suami istri yang tidak saya kenal. Satu
pertemuan. Dan seumur hidup saya, kemungkinan besar hanya
sekali itulah saya bersinggungan dengan keduanya. Itu pun
tidak lebih dari sepuluh menit. Tapi ikatan kuat di hati
setiap pasangan suami istri itu, begitu menyentuh.
Gunung Sahari, 22 Oktober 2006
Saya bertemu dengan pasangan suami istri ini saat
bersama teman-teman Rumah Cahaya Pusat melaksanakan
kegiatan tahunan kami. Setelah selama sebulan
mengumpulkan sumbangan dari teman-teman melalui milis
dan biog, tiba saatnya menyalurkan amanah yang diterima.
Persis seperti tahun sebelumnya, beberapa hari
menjelang hari raya Iedul Fitri kami menyusuri jalan-jalan
Jakarta. Dari Depok, Buncit, Saharjo, masuk ke Manggarai,
terus menuju Jalan Proklamasi, mengarah ke Mangga Dua,
Tubagus Angke dan berakhir di Grogol, kemudian kembali
dengan rute yang hampir sama.
Sebenarnya paket dalam kantung plastik hitam yang
kami salurkan tidak terlalu banyak. Isinya pun sederhana
saja, terdiri dari sirup, indomie, biskuit kaleng, astor, kurma
dan susu kaleng, ditambah sedikit uang dalam amplop.
Tetapi saya dan sahabat-sahabat dari rumah cahaya
berusaha unt uk memilih betul target yang menerima, agar
tidak salah sasaran ke pengemis musiman yang hijrah
berbondong-bondong memenuhi ibukota setiap lebaran.
Hari telah gelap ketika saya dan teman-teman melewati
pemandangan yang tidak biasa: lelaki tua yang mengayuh
sepeda bututnya pelan-pelan. Di belakangnya duduk sang
istri. Punggungnya penuh oleh buntalan barang yang
dihampirkan dengan sehelai kain batik.
Yang menarik adalah tangan si istri yang dipenuhi
kantung plastik tapi berusaha keras meraih pinggang
suaminya.Meski kadang terlepas karena mengatur
keseimbangan. Sepeda melaju tenang. Si bapak terlihat hati-hati. Sekilas
pandang, saya yang melintas, bisa melihat wajah si bapak
tua yang berkilat oleh keringat, seolah telah menempuh
perjalanan jauh. Beberapa kejap tatapan saya masih terpaku pada tangan
kurus milik ibu tua yang seperti sebelumnya berusaha
meraih pinggang si bapak.
Momen sederhana yang terasa penuh makna dan
menyedot perhatian saya. Dan kenyataan pakaian
keduanya yang lusuh, atau sandal jepit sekarat yang mereka
kenakan menjadi tidak penting.
Sebelah tangan kurus yang jatuh bangun berusaha
bertaut pada sosok tua si bapak. Romantis!
Ketika kami meminta mereka berhenti, raut keduanya
tampak kaget. Si bapak seketika turun. Istrinya melakukan
hal yang sama, dan cepat mengambil posisi di belakang,
seolah mencari perlindungan dari sosok kurus si bapak yang
kini terlihat heroik dan gagah di mata saya. Saya dan
sahabat-sahabat rumah cahaya sempat bercakap-cakap
dengan pasangan suami istri ini. Dugaan terdahulu saya
benar, berduaan mereka telah menempuh perjalanan cukup
jauh untuk berdagang makanan di suatu tempat.
Ah, berapa lama mereka sudah bersama" Paling sedikit
tiga puluh tahun, pikir saya sambil mengamati sepeda tua
yang catnya telah mengelupas dan kedua bannya nyaris
gundul. Ketika salah seorang dari kami mengulurkan kantung
plastik hitam yang tidak seberapa itu, wajah dua orang tua
itu langsung saja tersenyum. Rasa syukur mereka wujudkan
dengan kalimat harnda-lah dan terima kasih berulang-ulang.
Saya melihat si ibu menerima bingkisan sambil
melempar pandangan ke arah suaminya, penuh arti.
Kehidupan mereka pasti tak mudah, batin saya sambil
merayapi guratan usia di wajah keduanya.
Garis-garis yang lahir ditempa kerasnya kehidupan di
Jakarta. Tapi kemesraan sederhana namun indah yang sampai ke
mata saya dan teman-teman, terlalu rne-nyolok untuk luput
dari perhatian. Dengan pemikiran seperti itu, saya melepas mereka.
Kaki kurus si bapak kembali menggenjot sepeda, di
belakangnya sang istri duduk dengan sebelah tangan
memegang erat-erat beberapa barang.
Dan barangkali seperti ribuan hari sebelumnya, sebelah
tangannya yang lain, diantara kantung plastik lain yang
memenuhi tangannya, berusaha menggapai pinggang bapak
tua. Song Gwang Sa Temple, 3 September 2006
Per temuan dengan bapak dan ibu tua yang berboncengan
sepeda, menarik ingatan saya pada pasangan lain yang
meninggalkan kesan serupa beberapa bulan sebelumnya.
Fieldtrip terakhir bersama rombongan Writers in
Residence. Ada beberapa tempat yang telah ditentukan oleh
Yea Jin, program manajer kami selama di Korea, untuk
dikunjungi: Oedo island, Bosung Tea Farm, dan dua temple
terkenal. Tempat-tempat yang indah. Oedo Paradise Island
merupakan pulau pribadi yang seperti namanya, dibangun
menyerupai bayangan surga oleh pemiliknya. Saya yakin
hanya dengan cinta dan kesungguhan pulau yang konon
awalnya tandus bisa ber ubah menjadi surga tanaman
tropis, dengan lebih dari 3000 jenis tumbuh-tumbuhan,
diantaranya Canellias dan Kaktus.
Masih dengan benak menyimpan keindahan Oe do
Island, saya dan rombongan melanjutkan perjalanan ke
Song Gwang Sa Temple. Saat bis akhirnya berhenti, kami semua turun dan
melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Saya ingat
hanya berjalan sendirian karena teman-teman lain
memutuskan untuk makan siang dahulu.
Tetapi langkah-langkah cepat saya segera terhenti. Ada
'sesuatu' di hadapan yang menyita perhatian saya.Satu
pemandangan yang bagi sebagian besar pendatang mungkin
bukan apa-apa, terbukti begitu banyak orang yang melintas
hanya satu dua yang berhenti dan menghampiri. Sepasang
pengemis tua yang buta, duduk di atas tikar kecil, tepat di
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sisi kiri jalan setapak, beberapa meter dari gerbang.
Hati saya langsung berdesir. Ah, cinta seperti apa yang
mempertemukan mereka"
Cinta seperti apa pula yang tidak kunjung memisahkan
keduanya" Imajinasi saya sebagai penulis sontak membayangkan
betapa suami istri tua itu telah melalui sebagian besar
bilangan usia mereka dalam hari-hari yang sulit. Bukan
hanya bahu membahu untuk makan sehari-hari, tetapi juga
saling membantu dalam melakukan aktivitas harian yang
sederhana. Kesulitan yang semakin menjadi ketika usia
bertambah tua. Barangkali mereka tidak memiliki anak. Hingga suami
menjadi tumpuan istri, begitu pun sebaliknya.
Allah, bagaimana jika salah satu sakit" Bagaimana
mereka merawat pasangan dalam keterbatasan fisik"
Ketika jalanan semakin sepi, saya melihat keduanya
mengobrol. Ada senyum yang sesekali terlihat di wajah
sang istri. Senyum yang sama yang terkadang terulas di
bibir suaminya. Mungkin mereka membicarakan hal-hal
yang lucu. Mungkin juga bergembira membayangkan hasil
mengemis hari itu. Entahlah. Tapi kebersamaan keduanya sungguh di luar
nalar saya. Dalam keadaan cacat fisik dan kekurangan
materi,apakah yang menjadi sumber kebahagiaan
keduanya" Terlintas di pikiran saya tidak sedikit suami istri yang
bertengkar karena kurangnya saling pengertian, saling
menyalahkan atas sikap-sikap yang dianggap menyinggung
dan tidak berkenan. Atau seperti pasangan-pasangan lain
meributkan uang belanja yang tidak cukup, sementara
harga-harga sernbako semakin tinggi.
Ahh... sepasang pengemis tua yang buta itu mungkin
tidak memiliki apa-apa.Saya yakin sebagian besar di antara
kita jauh lebih kaya. Tetapi sesuatu yang teduh dan
menenangkan menelusup dalam hati, ketika saya
memandang mereka lekat. Pertemuan dengan kedua pasang suami istri ini telah
membuka mata saya terhadap bentuk cinta yang
indah.Sungguh, mereka memiliki cinta yang tidak setiap
orang memiliki, bahkan oleh orang-orang yang dilimpahi
keberkahan materi sekalipun.
Barangkali karena cinta seperti itu hanya diberikan
Tuhan kepada mereka yang terpilih.
Mami "Memang Mami sering menangis di hadapan kami,
tapi selalu menangisi orang lain."
Pengorbanan, Itu yang menjadi catatan pertama, ketika mencoba
melakukan kilas balik dan belajar dari kehidupan Mami
menjaga perkawinan selama nyaris empat puluh tahun.
Terlahir dengan nama Liauw Min Hoa, ibunda saya
adalah putri dari Leo Arifin, pengusaha berdarah Jawa dan
Cina yang sukses membangun bisnis transportasinya kala
itu. Menikah dengan Papa barangkali menjadi ke-putusan
paling besar dalam hidup Mami. Sebab menikah dengan
lelaki berdarah Aceh itu berarti Mami harus meninggalkan
tradisi Katholiknya dan menjadi seorang muslim.
Keputusan yang menimbulkan konflik baru: m
enikah tanpa restu. Saya membayangkan kisah cinta
romantis ketika mengetahui hal ini.
Keberanian Papa,ketabahan dan
kekuatan hati Mami. Pastilah
ibunda saya memiliki banyak
pertimbangan, kenapa tidak
menempuh cara seperti yang
belakangan popular di tanah air,
pernikahan beda agama. Padahal
sebagai gadis belia paras Mami
tergolong cantik dan menarik,
keturunan keluarga terpandang di
Medan pula. Artinya tidak akan sulit
bagi Mami untuk mendapatkan pendamping lain.
Dengan kata lain Mami bukan tidak memiliki bargai-ning position ke Papa. Meski mungkin tidak akan mudah,
sebab Papa berasal dari keluarga muslim yang dihormati
barangkali di seluruh Sumatra. Untuk satu titik temu itulah
Mami berkorban. Dan mengikuti kehidupan gadis Liauw Min Hoa yang
kemudian berubah nama menjadi Siti Maryam itu, berarti
mengikuti tahap demi tahap kehidupan yang penuh
perjuangan dan pengorbanan.Sebab Pa pa dengan profesi
pemain musik kala itu tidak bisa memberikan kehidupan
mewah yang dulu menjadi ke seharian Mami.
Hijrah ke Jakarta, pasangan itu bertekad hidup mandiri.
Saya ma sih ingat meski samar, betapa kami berempat
(waktu itu adik saya belum lahir); Papa, Mami, saya dan
kakak sempat tinggal di wilayah kumuh di samping rel
kereta api Gunung Sahari. Sebelum berpindah-pindah dari
rumah petak satu (yang hanya memiliki satu kamar, dan
kamar mandi di luar menyatu dengan rumah induk) ke
rumah petak yang lain. Sebagai pencipta lagu dan pemain musik, Papa bukanlah
sosok yang malas. Beliau berusaha sekuatnya untuk
menafkahi istri dan anak-anak. Bermain musik hingga
menjelang pagi di tempat-tempat hiburan, sementara
menjual lagu ke produser rekaman begitu sulitnya, hingga
bisa dibilang keluarga kami nyaris tidak memiliki
pemasukan tetap setiap bulannya.
Saya kembali membayangkan perubahan drastis gadis
bernama Liauw Min Hoa dalam mengikuti kata hatinya.
Tetapi pernahkah saya melihat sedikit saja Mami
mengeluh kepada kami, anak-anaknya" Tidak!
Pernahkah sedikit saja terbersit perasaan menyesal telah
menikah dengan Papa" Tidak!
Pernahkah Mami termenung-menung lama bernostalgia
dengan masa lalunya sebagai gadis cantik dari keluarga
amat berada" Tidak. Di mata kami, Mami selalu terlihat bersemangat dan
tidak pernah putus asa. Kami tiga kakak beradik tumbuh remaja dan mencatat
perjuangan Mami yang luar biasa. Sebagai ibu dari tiga
orang anak, Mami mendidik kami dengan tegas tapi juga
hangat. Keluarga kami memang minim secara materi, tetapi
Mami memastikan anak-anak berpakaian pantas, memiliki
peralatan sekolah juga seluruh buku pelajaran. Tidak jarang
beliau membantu mencari tambahan penghasilan dengan
menjual sprei, baju dan apa saja yang diambilnya dari
seorang teman. Saya tidak mengatakan Mami berhasil mendidik anak-anaknya hingga jadi 'orang'. Sebab secara materi dan
prestasi anak-anak Mami rasanya biasa saja. Malah masih
banyak yang belum bisa kami berikan kepada orang tua,
terutama Mami sebagai rasa hormat dan cinta kami pada
perjuangan beliau. Tetapi tidak satu dua teman lama Mami yang masih
menghubunginya hingga saat ini (Mami memang sangat
menjaga silaturahirn, ini satu lagi nilai penting yang saya
catat namun belum bisa contoh dengan baik),
mengomentari Mami sebagai ibu yang beruntung karena
berhasil mendidik anak-anaknya hingga semua mapan.
Ah, inikah jawaban bagi pertanyaan saya, ketika
mendengar kisah hidup mereka yang berhasil padahal
terlahir dari keluarga rniskin"Benarkah itu berpulang pada
bagaimana sosok ibu dalam keluarga membesarkan,
memberi energi positif dan menempatkan pendidikan
sebagai prioritas bagi anak-anak nya, apapun kendalanya"
Meski harus berhutang ke kanan kiri, meski harus bolak
balik ke sekolah meminta keringanan, meski harus berjuang
hingga kaki menjadi kepala dan kepala menjadi kaki"
Pendidikan anak itu nomor satu!
Situasi berbeda yang saya temui ketika menemani
wartawan dari harian Boston, mencoba menelusuri sindikat
penjualan bayi. Kami mewawancarai seorang ibu yang
pada awalnya dicurigai polisi telah menjual 3 anak
kandungnya. Belakangan terkuak bahwa perempuan itu telah dibodohi
hingga mau 'menitipkan' bayinya ke se
orang ibu yang kemudian menjualnya ke pasangan asing secara ilegal.
Sebagai imbalan (yang sebetulnya nyaris tak ada) maka
biaya melahirkan ditanggung dan ada ha diah berupa beras
lima kilogram, minyak tanah, gula dan susu beberapa
kaleng yang diserahkan kepada keluarga yang melahirkan.
Selama wawancara, saya perhatikan perempuan yang
tampak pucat karena baru saja melahirkan anak ke
tujuhnya. Sang suami yang tidak memiliki pekerjaan, duduk
di lantai dekat istrinya. Sementara ketiga anak mereka yang
lain tampak bermain di luar.
Dari manakah sumber pendapatan keluarga"
Jawabannya tertumpu pada sosok anak lelaki mereka
yang baru berusia 12 tahun,yang telah berhenti sekolah
sejak lama. Setiap hari anak lelaki ini pergi ke pasar menjual
plastik atau membantu ibu-ibu, membawakan barang
belanjaan mereka yang berat.
"Sebulan bisa dapat tiga ratus ribu, mbak."
Hati saya miris membayangkan kehidupan bocah berusia
12 tahun yang putus sekolah, juga adik-adiknya, yang bisa
jadi tumbuh besar kemudian menapaki siklus kemiskinan
yang sama, yang telah dilakoni orang tuanya tanpa punya
keterampilan untuk mengubah nasib.
Yang paling menyedihkan adalah saya tidak menemukan
buku kecuali buku tulis di rumah mereka. Saya tahu pasti
karena pada kedatangan kedua dan ketiga, saya mengikuti
Jonathan, fotografer dari tabloid asing tersebut masuk
hingga ke sudut-sudut rumah.
Saya ingat Mami dan kehidupan kami yang sama
miskinnya dulu. Di luar hal-hal lain yang membedakan,
saya mer asa beruntung karena Papa terus berusaha. Karena
Mami tidak menyerah dan mengedepankan pendidikan.
Semua anak-anak Mami bisa membaca sebelum sekolah
dasar, meski tidak melalui pendidikan TK. Semua anak-anak Mami memiliki waktu belajar yang cukup. Untuk itu
Mami tidak pernah merepotkan anak anak dengan tugas-tugas dapur, beliau mengerjakan semuanya sendiri, meski di
kemudian hari ini membuat anak-anak perempuan Mami
tidak piawai untuk urusan masak-memasak.
Ahh, kembali pada ibunda yang saya cintai. Seolah ujian
tidak cukup menghampiri beliau, di usia ke tujuh saya
divonis dokter menderita gegar otak, jantung dan paru-paru
hingga membutuhkan pengobatan yang intensif bertahun-tahun dengan biaya yang tidak sedikit.
Runtuhkah pertahanan Mami" Tidak!
Memang Mami sering menangis di hadapan kami, tapi
selalu menangisi orang lain.
Anak cacat yang dilihatnya dalam perjalanan ke pasar.
Pengemis tua yang nyaris tak bisa lagi berjalan, ibu-ibu
yang berpakaian lusuh dan tanpa alas kaki yang
mencegatnya meminta tambahan ongkos. Kami bahkan
biasa melihat Mami menangis ketika dari layar tivi yang
hitam putih, terpampang peristiwa pembongkaran pedagang
kaki lima yang dikejar-kejar aparat, atau berita kebakaran
dan musibah lain di tanah air.
"Kasihan..." ucap beliau dengan isak yang keras seolah
salah satu keluarga dekat kami baru saja meninggal dunia.
Ibunda kami tak pernah kehilangan syukur, harapan juga
doa. Doa dengan caranya yang lugu, sebab Papa dengan
kesibukannya mencari nafkah tidak cukup punya waktu
untuk membimbing Mami menjadi muslimah dengan
pemahaman agama yang lebih. Tetapi rasa syukur Mami
rasanya melampaui pemahamannya yang sederhana
tentang Islam. Setelah dua anaknya menikah dan mulai bisa memberi,
berapa pun pemberian kami, rasa terima kasih Mami jauh
lebih besar. "Terima kasih ya, sayang. Mami doakan semoga kamu
sekeluarga sehat dan diberikan kelapangan rejeki."
"Terima kasih banyak, Rani... membantu sekali."
"Terima kasih banyak Evy..." "Eron juga sekarang sudah
bisa bantu, Mami. Alhamdulillah anak-anak Mami sayang
sama Mami." Padahal pemberian kami tidak seberapa.
Padahal Mami layak mendapatkan lebih dari itu!
Ketika saya mendengar kisah dari teman-teman yang
sudah menikah dan kerap 'direcoki' orang tua, saya nyaris
tidak menemukan itu. Mami tidak pernah meminta kepada
anak-anaknya. Mami masih sosok perempuan yang sama yang
membesarkan kami tanpa keluh kesah. Yang amat 'tahu
diri' dan berusaha keras tidak merepotkan an ak-anaknya
setelah mereka menikah. "Kalian kan punya keluarga sendiri sekarang, harus
hemat-hemat, nggak usah kasih Mami apa-apa."
Kalaupun sangat terdesa k, Mami akan memilih meminjam ke teman-temannya ketimbang mengadu pada
anak. Hal yang membuat saya kembali ingin menangis.
"Anak-ana k Mami mungkin belum kaya, tapi Mami
nggak perlu pinjam ke orang lain untuk urusan ini itu,"
tegur saya suatu hari. Sementara Mami hanya menatap sayang kepada saya
dan menjawab hati-hati, "Mami takut kamu lagi susah."
Bukan hanya perkara uang yang membuat saya haru,
tetapi bagaimana Mami mencatat kebaikan, sedikit apapun
dari anak-anaknya dengan rasa syukur yang luar biasa.
"Rani itu anak istimewa," cetusnya suatu hari ketika
seorang wartawan dari Bandung mewawancarai saya dan
kebetulan menemukan sosok Mami.
Dan Mami pun menjelaskan panjang lebar kepada si
wartawan, betapa anaknya yang bernama Rani itu selalu
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
prihatin sejak kecil dan tidak pernah melawan orang tua.
"Sampai besar pun dia tidak pernah menyakiti hati saya,"
lanjut Mami lagi. Apakah anaknya nomor dua itu tidak pernah berbuat
salah" "Bagaimana dia sempat menyakiti atau bikin dosa
kepada, saya jika sehabis bertemu selalu mencium tangan
dan minta maaf" Coba bayangkan, orang gajian misalnya,
kan wajar jika ada keterlambatan. Tetapi Rani jika
memberikan bulanan misalnya terlambat satu atau dua hari,
pasti dia sms atau telepon, kasih tahu dan meminta maaf.
Itu sebabnya... bagi saya dia anak istimewa."
Allah... Saya mendengar cerita itu dari Mami di taksi, setelah
saya bertanya sebenarnya apa saja yang Mami obrolkan
dengan si wartawan. Saya gel eng-geleng kepala dengan 'anak istimewa' yang
Mami bicarakan. Julukan itu sungguh tidak pantas saya
sandang. Sebagai manusia kesalahan saya bertumpuk,
sebagai anak, saya masih belum bi sa membalas kebaikan
orang tua. Saya tatap Mami lekat-lekat dalam sisa perjalanan,
dengan hati mengucap doa:
Semoga Allah mencatat setiap pengorbanan, setiap rasa
syukur, setiap keikhlasan Mami dan memberinya kebaikan
yang berlimpah. Allahumma Amin.
Setelah 11 tahun "Tahukah cinta, betapa tampan dan berseri-serinya
wajahmu malam itu" Saat kau meminta maaf berulang-ulang."
Apa yang Di sa kukatakan tentangmu"
Suamiku yang bertanggung jawab.
Lelaki pengertian, yang selalu memperlakukan istri,
anak, orang tua, sanak saudara dan tetangga-tetangganya
dengan amat baik. Engkau mengajariku hidup apa adanya.
"Jangan pernah lupa mensyukuri nikmat," nasihatmu
berulang kali. Engkau juga yang mengajariku untuk tidak
mempermasalahkan hal-hal yang kecil.
Sebelas tahun menikah, sulit bagiku untuk mencari
kekuranganmu, sebaliknya harus kukatakan begitu banyak
pelajaran yang kau ajarkan padaku, dengan sayang...
dengan cinta. Sebelas tahun, mungkin cukup lama menurut orang, tapi
masih terlalu singkat untukkku. Dan selama sebelas tahun
ini tidak sedetikpun perasaanku terhadapmu berubah. Jika
saja boleh dan tidak diledek oleh para ABG, akan
kuteriakkan perasaanku pada dunia:
Kau pujaanku, tambatan hatiku.
Panutanku, kebanggaanku, Pahlawanku... Kau, yang selalu mengalirkan kekuatan dalam setiap
denyut nadiku. Kekuatan yang kini coba kutemukan, dalam kesendirian,
dengan membayangkan sosokmu.
Tahukah cinta, betapa tampan dan berseri-serinya
wajahmu malam itu" Saat kau meminta maaf berulang-ulang. Awalnya kukira permintaan maaf itu karena
keterlambatan pulang. Sebab kau masuk rumah ketika jam
berdentang dua kali di pagi hari. Selepas melawat salah satu
tetangga kita yang ibu nya baru saja meninggal.
"Maafkan ayah, Bu. Maafkan ayah..." Cinta, harusnya
kau tahu betapa aku selalu mempercayaimu.Sebab tidak
pernah ada kesalahanmu yang terlalu besar untuk
kurnaafkan. Tapi seolah tak yakin, kau masih mengulang-ulang kalimat yang sama hingga tiga kali,
Suaramu terdengar amat bersungguh-sungguh sambil
memeluk dan mencium keningku. Meski tidak mengerti
kuanggukkan kepala, dan mengingatkanmu jika belum
shalat isya. Aku masih ingat bagaimana kau langsung bangkit dan
melaksanakan shalat. Setelahnya kau kembali memeluk dan
menciumku, sembari mengulang-ulang permintaan maaf.
Ah, kesalahan apa yang harus kumaafkan, Cinta"
Tapi kubiarkan kau memelukku erat hingga beberapa
lama. Kutatap wajahmu yang tampak bercahaya. Dari
lisanmu terlempar kalimat itu
sekali lagi, "Maafkan, ayah..."
Setelah kalimat itu kau sempat menyebut asma Allah
lirih, sebelum terdiam. Hanya suara dengkuran lambat-lambat yang terdengar, kemudian kepalamu jatuh di
bahuku. Seharusnya aku mengerti. Maafkan aku yang mengira
kau hanya tertidur pulas karena kecapekan. Sempat
kubiarkan kau tertidur menelungkupiku. Tetapi karena
merasa berat, aku coba rnernbangunkanmu agar berpindah
ke sisiku. "Ayah, bangun sayang..."
Tapi hingga berulang-ulang tubuhmu tetap bergeming.
Kaku dalam pelukanku. Ketika akhirnya berhasil
memindahkan tubuhmu ke samping, aku mulai panik.
Kugoyang-goyangkan badanmu, tapi tak ada reaksi.
Panikku bertambah saat kaki dan tanganmu terasa dingin,
hanya badanmu yang masih hangat.
Dalam keadaan bingung dan perasaan bercampur aduk,
kupanggil kedua orangtuaku yang tidur di ruangan sebelah,
kuminta mereka melihat keadaanmu. Tangis mulai tumpah.
Aku bahkan sempat menjerit histeris melihat tubuhmu yang
terbaring kaku. Meski dengan cepat aku beristighfar...
berharap kau cuma pingsan, atau sengaja bercanda dengan
berpura-pura pingsan. Kuyakinkan diri bahwa sebentar lagi
kau akan bangun dan tersenyum padaku.
Orang-orang mulai datang. Sebagian memang berasal
dari rumah tetangga kita yang baru kau jenguk,mereka yang
mengaji dan melawat sampai pagi. Seperti aku, mereka
coba menyadarkanmu dengan berbagai cara. Sementara kau
terbaring tak ubahnya seseorang yang tertidur pulas karena
lelah, bahkan masih terselip senyuman di wajah.
Perasaanku semakin tak menentu. Limbung. Kudengar
orang-orang bertanya jika aku ingin memanggil dokter atau
membawamu ke rumah sakit.
Aku mengangguk, tak sepenuhnya mengerti, meski
dalam hati aku mulai memohon: Cinta, jangan
pergi...Jangan sekarang! Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku masih
berharap kau hanya pingsan. Tetapi kenyataan berkata lain.
Setelah sampai dan dilakukan pemeriksaan yang teliti,
dokter mengucapkan kata-kata yang seolah menggodam
kepalaku dengan keras. Badanku luluh lantak.
Persendianku terasa copot. Jantungku bagai berhenti
berdenyut. "Maaf, bu. Kami tidak bisa menolongnya."
Masya Allah! Hatiku terasa hancur berkeping-keping. Sebelas tahun
perkawinan kita Cinta, dan inilah ujian terberat untukku.
Kepergianmu... Kupeluk kedua putri kita yang histeris melihatku
menangis. Aku sendiri berusaha keras untuk tetap berpijak
pada ambang kesadaran, bahwa kau telah dipanggil Sang
Pencipta. Aku peluk kedua putri kita lebih erat. Sungguh,
jika tidak karena mereka, mungkin aku sudah putus asa,
atau hilang kewarasan. Kepergianmu yang tiba-tiba, bagaimana bisa"
Usiamu baru 40 tahun, sehat dan tidak kurang apa pun
sebelumnya. Hari itu Jumat, tepat pukul 3 pagi. Saat kau pergi
meninggalkan aku dan dua putri kita yang masih
membutuhkan perhatianmu. Cinta... Sampai saat ini aku masih sering tidak percaya jika kau
benar-benar sudah pergi. Meninggalkan Tari gadis kita yang
manis yang baru duduk di kelas 5 Sekolah Dasar, dan Hana
yang baru berusia 6 tahun.
Aku tahu, untuk mereka berdua aku harus kuat dan
berjuang. Tetapi beratnya Cinta, betapa beratnya harus
melakukan itu semua sendiri, tanpamu.
Alhamdulillah semua prosesi pemakaman berjalan
lancar. Banyak sekali orang yang melayat, rnenyolatkan di
masjid, hingga mengantar ke kuburan.
Hingga detik ini aku tidak pernah berhenti
mengenangmu, Cinta. Mengenang perjalanan singkat
kebahagiaan kita. Memang kehidupan kita sederhana dan
tidak melimpah dengan harta. Tetapi nyaris tak pernah
terjadi perselisihan di antara kita. Sebaliknya begitu banyak
hari di mana kau dan aku mensyukuri kebersamaan kita,
juga karunia Allah berupa dua putri yang membanggakan.
Tetapi takdir berkata lain, dan aku harus menerima.
Meski terkadang aku masih merasa hampa. Terlebih bulan-bulan pertama kepergianmu. Begitu beratnya hingga aku
tak yakin bisa melalui ujian ini. Tanpamu, setiap hari aku
berjalan bagai tak menapak, limbung dan kehilangan arah.
Aku nyaris tak bisa makan. Kalaupun akhirnya
menyuapkan nasi ke mulut, tak lebih memenuhi kebutuhan
fisik semata. Setiap malam tiba, mataku sulit dipicingkan.
Terkadang aku membayangkan sosokmu, namun de
ngan cepat angan ini hempas ketika melihat ruang kosong di sisi
tempat tidur yang dulu terisi olehmu.
Allah, kusebut namanya berulang-ulang.
Jika saja tak ada iman, Cinta, aku nyaris tak kuasa
melanjutkan hidup tanpamu.
(Tak sabar kutunggu pertemuan itu, semoga Aliah
mempertemukan cinta kita nanti, ketika maut menjemputku...)
Enam lembar surat curahan hati dari mbak Yayu, ibunda
Hana, teman sepermainan Adam, putra kedua saya, sampai
ke tangan saya beberapa hari setelah kepergian suaminya.
Enam lembar yang ditulis dengan sepenuh hati dan
memberikan gambaran detik-detik sakaratul maut sang
suami, dan beratnya kehidupan setelah itu. Ketika
berlembar-lembar tulisan yang diketik rapi itu sampai ke
tangan saya, ide menyusun buku ini bahkan belum lagi
muncul. Saya menerima sambil mencatat dalam hati, suatu hari
saya akan menulis ulang catatan hati mbak Yayu. Pada
kenyataannya saya hanya mampu mengubah penyajian
tulisan, sementara sebagian besar kata-kata mengalir persis
seperti mbak Yayu mencatatnya. Sengaja saya tidak ingin
mengubah kenangan mbak Yayu terhadap almarhum
suami, saya ingin mbak Yayu melihat catatan hatinya
secara utuh. Terima kasih saya karena mbak Yayu berkenan
menuliskannya untuk saya. Hal yang amat saya sarankan
kepada perempuan-perempuan Indonesia. Menulis agar kita
memiliki sesuatu untuk dikenang. Menulis apa saja tentang
hari-hari yang kita lalui sebagai istri dan ibu.
Apakah anda akan membaginya dengan orang yang bisa
anda percaya, atau tidak... tidak jadi soal. Paling tidak
dengan menuliskannya bisa menjadi terapi tersendiri, saat
hati terbebani ribuan masalah dan kesedihan.
* * * (Yayu Purwaningsih dan Asma Nadia)
Catatan 11 Obrolan Pagi di Kereta "Jika cerita itu benar, bagaimanakah ekspresi Pak
Dosen saat mengucapkan kalimat itu""
Dering telepon berulang. Perhatian saya kontan terarah
kepada nama yang tertera di layar ponsel. Kang Gito.
Kontak batin mungkin. Sehari sebelumnya saya sempat
menelpon ke rumah beliau, namun tidak ada yang
mengangkat.Dan kesibukan mempersiapkan se gala sesuatu
untuk PULPEN (Pelatihan Menulis Cerpen), membuat saya
luput menghubungi beliau kembali.
Dana beasiswa dari Diknas yang saya peroleh memang
saya pergunakan untuk mengadakan PULPEN di 3 kota;
Jakarta dan sekitarnya, Pekalongan, dan terakhir di Aceh.
Untuk keperluan itu, semua hal nyaris diurus sendiri.
Mulai mempersiapkan bingkisan buku dan notes untuk
seluruh peserta, sertifikat, mengcopy makalah, termasuk
buku-buku doorprize. Hasilnya sekardus besar yang luar
biasa berat untuk saya angkut sendiri ke Pekalongan.
Dan dering telepon di ponsel terdengar, ketika saya
belum lama akhirnya berhasil beristirahat setelah beberapa
menit berpikir di mana saya harus meletakkan kardus besar,
yang ternyata tidak muat di deck yang ada di atas kursi
penumpang kereta api ini.
Kang Gito. Saya berhutang janji untuk menjenguknya. Telepon
terakhir lelaki itu menceritakan pengapuran di tulang
belakang yang harus dioperasi. Di kemudian hari saya tahu
ternyata ada sel-sel kanker yang kembali muncul
merongrong kesehatan beliau.
Kang Gito dan saya, sejujurnya hanya beberapa kali
bertemu. Tetapi uniknya seperti teman baik yang kemudian
saling 'mencemburui'. Saya sejujurnya cemburu, bahkan iri
pada komitmen taubat dan hijrah beliau, mantan vokalis
The Rollies, yang juga mengenal baik papa saya. Sebaliknya
Kang Gito sering mengungkapkan kecemburuannya pada
saya, yang menurutnya terus 'berjalan', apa pun kondisinya.
Juga ruang aktivitas yang menurutnya kondusif terhadap
upaya membangun keikhlasan.
Wallahu alam. Bagi saya kata ikhlas memiliki ranjau-ranjau yang membuat orang dengan mudah tergelincir dari
niat semula. Ikhlas menjadi tidak ikhlas. Sesuatu yang sulit
diraih tetapi sangat mudah hilang dari genggaman hati.
Dari obrolan selama nyaris dua puluh menit itu, ada satu
cerita yang saya rasakan mengiris hati dan lagi-lagi
membuat saya tidak bisa mengerti benak laki-laki.
Saya tahu dunia tidak hitam putih. Tidak semua lelaki
jahat. Seperti tidak semua perempuan baik. Tetapi seperti
saya, bagaimanakah anda akan mencerna cerita ini"
"Seorang m uslimah, Asma... datang ke tempat saya.
Rapi dengan jilbab yang tidak ketat seperti jilbab kamu,"
Kang Gito membuka ceritanya.
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Muslimah tersebut sudah menikah dan memiliki tiga
orang anak. Kedatangannya ke tempat Kang Gito untuk
meminta bantuan. Entah bagaimana ceritanya si muslimah
yang masih kuliah di salah satu kampus Islam terkenal di
Jakarta itu, terlibat hutang dalam jumlah yang cukup besar.
Berbagai upaya dilakukan, termasuk meminta bantuan
ustadz dan ustadzah terkenal, namun konon dibukakan
pintu pun tidak. Saya berprasangka baik, barangkali rumah
ustadz/ustadzah tersebut da lam keadaan kosong dan
mereka sedang tidak berada di tempat.
Terakhir muslimah ini meminta bantuan kepada seorang
dosen yang mengajar di kampusnya. Seperti ada kesejukan
yang meniup saat Pak Dosen mengangguk.
Alhamdulillah, akhirnya ada jalan keluar.
Akhirnya ada seseorang yang mengangkat beban yang
menggayuti pundak si muslimah. Benarkah"
"Dengan satu syarat," lelaki itu melanjut, "kamu harus
tidur dengan saya." Si muslimah tersentak kaget.
Saya yang hanya mendengar cerita itu dari orang kedua
pun tersentak. Tak percaya. Sebagai penulis yang kerap
berimajinasi, seketika kepala saya membayangkan, jika
cerita itu benar, bagaimanakah ekspresi Pak Dosen saat
mengucapkan kalimat itu"
Apalagi dalam gamang si muslimah sempat bertanya
ragu kepada dosen tersebut,
"Sekali saja, ya Pak""
Lelaki di hadapannya menggeleng, "Pokoknya sampai
saya anggap lunas!" Masya Allah. Di mana nurani" Dimana ketulusan" Di manakah
moralitas " Saya tidak tahu apakah sang dosen sudah menikah,
mempunyai anak atau masih lajang. Kisah serupa pernah
saya dengar sebelumnya. Seorang teman yang bekerja di
dunia film sempat menceritakan, betapa peluang terbuka
lebar bagi pekerja film, terutama sutradara atau asistennya
untuk 'mengerjai' calon pemain yang minta peran.
Meluluskan dengan imbalan calon pemain yang biasanya
gadis-ga dis muda itu, bersedia tidur dengan mereka.
Dan gadis-gadis yang gelap mata karena ambisi, tidak
sedikit yang menerima syarat tersebut.
Tetapi untuk kasus yang satu ini" Tetap saja dengan
logika mana pun saya sulit mengerti bagaimana laki-laki
bisa melihat 'kesempatan' sedemikian, saat seorang
perempuan datang dalam keputusasa-an dan memohon
bantuan" Terlukis di benak saya, raut memelas dan putus asa dari
muslimah tersebut ketika bertanya terakhir kali kepada
Kang Gito, "Apa saya harus bercerai dulu dari suami, terus menikah
dengan dosen itu, Kang" Baru setelahnya kembali pada
suami"" Saudariku sayang, saya tidak mengenalmu. Tetapi
semoga Allah memberi kemudahan dan kekuatan, untuk
tidak pernah menuruti kehendak lelaki yang telah
kehilangan mata hati. ArgoAnggrek, 15 Maret 2007
Cinta Tak Sempurna "Sungguh sia-sia menemukan alasan kenapa suaminya
menceraikannya begitu saja."
Saya tidak tahu, apa kekurangan perempuan yang
berdiri di hadapan saya. Wajah dan senyumnya manis.
Tutur katanya lembut dan santun, khas perempuan
Jawa.Tubuhnya" Jangan tanya. Untuk perempuan yang
telah melahirkan enam orang anak, sosoknya lebih dari
sempurna. Dan saya sama sekali tidak berlebihan dalam menilai.
Sebab perempuan berwajah ayu itu jauh lebih ramping dan
bagus tubuhnya, bahkan bila dibandingkan rata-rata gadis
SMA sekarang. Lantas apa yang salah"
Mengenalnya selama lebih dari lima tahun ternyata tidak
juga memberikan jawaban bagi saya, atas sebuah
pertanyaan kenapa" Lima tahun tanpa saya mampu menemukan deretan
kekurangannya. Padahal hubungan kami ter bilang dekat.
Usianya masih muda ketika menikah dengan seorang
penceramah kondang. Lelaki yang diharapkan perempuan
ini, bisa menuntunnya ke surga.
Kehidupan pernikahan bisa dibilang berjalan baik. Satu
dua pertengkaran atau ketidakcocokan rasanya biasa dalam
romantika pernikahan. Perempuan ini melahirkan lima
orang anak, yang dididiknya dengan baik. Kelima anaknya
semua penurut, prihatin, dan tidak banyak menyusahkan.
Hingga tanpa ada permasalahan yang jelas, suaminya
menjatuhkan talak. Cerai. Begitu saja. Tidak ada
pertengkaran hebat, tidak ada perempuan lain, setidaknya
dalam pengetahuan teman saya ini. Lalu di mana yan
g salah" "Saya tidak tahu," bisiknya lirih, "sebagai istri rasanya
saya tidak banyak menuntut, tidak minta dibelikan ini dan
itu. Sejak dulu orang tua selalu mengajarkan saya untuk
nrimo.Bersyukur dengan pemberian suami."
Bukan karena pertemanan saya menerima bu lat-bulat
penjelasannya. Melainkan, memang begitu juga teman-teman lain mengenalnya. Perempuan yang lembut, apa
adanya yang pandai menata rumah. Meskipun
mungil,tempat tinggalnya selalu terlihat asri dan fungsional.
Tidak banyak pajangan antik atau mahal yang terpampang
di ruang tamu. Hanya perabot biasa yang memang
diperlukan. "Saya bukan tidak pernah bertanya kepada diri saya
sendiri, Asma. Saya pikir, apa karena saya terlalu
menadahkan tangan pada suami""
Istri menadahkan tangan pada suami sendiri rasanya
wajar saja.Selama tidak meminta yang aneh-aneh. Tapi dia
yang saya kenal, tidak begitu.
"Bukannya mbak dari dulu sudah mengajar""
Dia mengangguk, "Sejak tahun ketiga pernikahan."
Sungguh sia-sia menemukan alasan kenapa suaminya
menceraikannya begitu saja. Kadang saya gemas dengan
kepasrahannya menghadapi semua.
"Biarlah Asma. Selama Allah ridha kepada saya."
Omongan tetangga kiri kanan sungguh tidak
mengenakan. Apalagi sang suami penceramah kondang
yang dianggap berilmu dan jam terbangnya sudah tinggi.
Otomatis kesalahan dibebankan pada sang is tri.
"Wah, kalau didengarkan omongan orang, tidak ada
habisnya. Panas kuping. Tapi mau apa""
Membela diri, protes, meluruskan, tegakkan keadilan!
Setidaknya itulah yang akan saya lakukan, jika hal
serupa terjadi pada saya. Tapi perempuan ini
menggelengkan kepala. "Saya terima saja. Mungkin ini takdir saya."
Kepasrahan,keikhlasannya menggetarkan saya.
Juga ketika kemudian sahabat saya ini menikah lagi.
Membawanya ke masalah lain, kemarahan banyak pihak.
"Saya tidak tahu dia sudah menikah. Dia tidak pernah
memberitahu saya." Protes, berontak, batalkan pernikahan!
Lagi-lagi pikiran kritis meledak di kepala saya. Sahabat
saya yang ayu, sahabat saya yang memiliki tubuh bagus
Kenapa harus tersangkut menjadi istri kedua" Bukankah
dia bisa memilih" Tapi itulah hidup. Lelaki yang dipilihnya ternyata milik
perempuan lain. Setelah pernikahan belasan tahun dia dan
istrinya belum juga memiliki seorang anak. Tanpa
sepengetahuan istrinya, lelaki itu melamar dan menikahi
sahabat saya. Saya tidak tahu bagaimana harus bersikap ketika
beberapa lama kemudian sahabat saya mengabarkan via
SMS bahwa dia sedang hamil. Berita yang sekaligus
menjadi puncak kegembiraannya.
Sebab sejak itu sang suami tak pernah lagi muncul. Istri
pertamanya semakin cemburu mengetahui kehamilan
madunya. Begitulah, hingga jabang bayi itu kemudian lahir,
dan beranjak dua tahun, baru sekali sosok ayah mampir di
matanya. Tak ada nafkah. Tak ada kasih sayang. Tak ada pemenuhan kewajiban
apapun. Dan seolah sudah demikian seharusnya, sahabat
saya hanya diam. Tidak protes, tidak menuntut ini itu yang
menjadi haknya. Hanya diam.
Hanya kalimat itu yang bermain di matanya, saat
menatap keenam buah hatinya yang semakin besar, dan
dewasa dalam kasih tanpa ayah. Ketegaran yang tidak
pernah menguap oleh waktu.
"Biarlah, Asma. Selama Allah ridha kepada saya..."
Catatan 12 Hari Pertama Memandangmu "Ketika membuka mata saya melihat suster berlalu
lalang dalam pakaian hijau dan masker. Tidak berapa
lama terdengar suara kelegaan."
17 Juli 1996 Setahun setelah pernikahan, hingga hari ini, saya merasa
momen di mana saya dipertemukan dengan lelaki yang
sekarang menjadi suami, adalah hal terbaik yang pernah
terjadi pada saya. 24 jam kemudian saya tahu saya salah.
RS. Haji 18 Juli 1996 Berjam-jam di rumah sakit. Konstraksi terus menerus.
Diinduksi sudah, dimasukkan sejenis obat untuk
merangsang pembukaan juga sudah. Tapi situasi tidak
berubah. Pembukaan satu dan tidak maju-maju.
Tubuh saya lelah, keringat saya mengucur. Posisi tubuh
jadi serba salah. Duduk sakit.Berbaring ke kanan atau ke
kiri terasa sakit. Setelah 24 jam saya tidak sanggup makan
apa-apa lagi. Padahal saya masuk ke rumah sakit dalam keadaan
bugar dan bisa berjalan gagah. Tidak ada mu las-mulas
karena konstraksi sebelu m dipancing obat. Dokter mengatakan rahim saya sudah tua dan karenanya harus
segera dirawat dan diinduksi.
Pukul 14.00 siang. Bercak-bercak darah, lebih banyak dari biasa.
Pukul 14.15 siang, ketuban pecah.
Suster berlari memanggil dokter, yang ternyata sedang
dalam perjalanan kembali ke rumahnya. Kami menunggu
cemas. Ketika dokter datang, ruang operasi segera disiapkan.
Saya nyaris tak bisa bersuara. Hanya mengangguk. Apa
saja, pikir saya... setelah keletihan 30 jam ini, rasanya saya
siap menghadapi tindakan apa pun.
Tepat pukul 15.00 Seperti berada dalam perahu yang terayun-ay un dengan
pelan. Saya dengan dokter berbicara. Ketika membuka
mata saya melihat suster berlalu la lang dalam pakaian hijau
dan masker. Tidak berapa lama terdengar suara kelegaan.
"Bayinya sudah keluar... kasih lihat ibunya."
Saya seperti diloncatkan dari kesadaran yang minim.
Bayi... bayi saya" "Apa semuanya lengkap, Dok" Jari-jarinya" Tubuhnya""
Saya tahu setiap anak adalah anugerah luar biasa dari
Yang Maha. Saya tahu seorang ibu harus menerima apapun kondisi
bayinya, dan tetap bersyukur terhadap anu-grah yang
diberikan. Dan dengan sepenuh hati saya mengagumi potret para
ibu yang dikaruniai anak-anak 'istimewa' namun sanggup
menerimanya dengan keikhlasan, ya ng dibuktikan dengan
kegigihan membesarkan anak mereka.
Sekalipun menderita hdyrocephallus.
Sekalipun memiliki cacat fisik.
Sekalipun mengalami down syndrorne.
Ahh, sementara saya... apa saya akan siap"
Saya kira, dibandingkan para ibu yang saya kagumi itu,
keimanan saya mungkin berada jauh di anak tangga paling
rendah. Buktinya pertanyaan itulah yang pertama terloncat
dari mulut saya. Syukurlah kondisi ananda baik.
Seorang suster menggendong satu sosok mungil setengah
telanjang, hanya dibalut kain bedong seadanya dan
menyodorkannya agar saya bisa melihat lebih jelas.
Putih kemerahjambuan, montok. Matanya yang
terpejam terlihat sipit. Bibir mungilnya berbentuk segitiga
sempurna. Seorang bayi perempuan!
Subhanallah... Sulit bagi saya melukiskan perasaan, tapi setiap Ibu akan
mengerti. Hari pertama menjadi ibu.
Hari pertama ketika menerima hadiah terbaik yang Allah
limpahkan kepada setiap perempuan.
Karunia yang di kemudian hari menjadi sumber
kekuatan bagi setiap istri ketika merasa begitu lemah dan
linglung mencari pegangan. Sumber dari semua keceriaan,
di saat hati diam-diam menangis.
Jadi, sungguh saya tidak mengerti bagaimana bisa
seorang perempuan menolak kodratnya menjadi seorang
ibu, dan menolak anugerah yang diberikan Tuhan"
Perempuan Istimewa di Hati Abah Agil
"Ibu talalu barsi dan ikhlas untuk beta. Jadi Aba seng
bisa ganti dengan orang lain. " ("Ibu terlalu bersih (menjaga
kehormatannya) dan ikhlas untuk saya, Saya tidak mungkin
menggantikannya dengan orang lain. Nak.")
(Aba Agil, di ruang tengah rumah kami)
Sudah cukup lama saya pesimis dengan kesetiaan laki-laki. Sebagian besar kisah yang saya tuangkan di sini
rasanya cukup memberikan gambaran bagi sa ya, betapa
tipisnya kesetiaan lelaki zaman sekarang.
Kadang saya berpikir, lagi-lagi dengan pesimis, berapa
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lamakah waktu yang diperlukan lelaki untuk siap menikah
lagi, setelah istri mereka berpulang"
Ini mungkin lahir dari sentimentil saya. Sebab saya tahu,
dalam agama, bahkan dibenarkan bagi lelaki untuk
menikah lagi ketika istri masih hidup (poligami), apalagi
jika istri sudah tidak ada" Sama sekali tidak diperlukan
batasan waktu untuk itu. Barangkali karena saya perempuan yang besar dengan
kisah-kisah cinta dunia yang abadi. Taj Mahal, Romeo dan
Juliet, dan banyak lagi, hingga merasa secara pribadi
penting menyoalkan hal ini.
Hingga suatu hari, saya kedatangan seorang pengarang
muslimah yang saya kagumi semangat dan kejujuran
tulisannya. Ida Azuz, muslimah asli Ambon ini
mengomentari pernikahan kedua seorang ustadz terkenal
yang ketika itu menjadi berita yang mengguncang banyak
pihak. "Yang jelas, pernikahan beliau membuat saya makin
bangga dengan ayah saya, Mbak Asma."
Ida Azuz lalu menceritakan sosok Aba Agil, ayahnya...
dan kisah cinta yang terus ingin dikenang lelaki itu hingga
maut datang. Begitu menyentuh hingga saya
memintanya untuk membagi kisah tersebut, sambil berharap semoga
kisah terakhir ini menjadi catatan akhir yang indah, di hati
sesama istri. Gelegar suara Aba Agil pada saya ketika sarapan pagi
membuat saya mengerut ketakutan. Memang hanya dua
kata yang dikeluarkannya, tetapi saya benar-benar takluk.
Saya benar-benar tidak berdaya dibuatnya. Saya ketakutan.
Saya benar-be nar tidak siap dengan reaksi keras atas
permintaan yang saya sampaikan dengan penuh ketulusan.
Padahal untuk menyampaikan permintaan itu, saya
menyusun kata-kata sejak semalam agar tidak menyinggung
perasaan Aba.Tetapi gelegar suara itu belum cukup, dengan
satu gerakan cepat, Aba langsung meninggalkan meja
makan, masuk ke kamar dan menguncinya dengan suara
yang keras. Seumur-umur saya baru sekali ini melihat Aba marah
demikian keras. Apalagi kami masih berada dalam suasana
duka karena Ibu berpulang baru dua bulan yang lalu.
Kemarahan yang keras di meja makan kemudian
meninggalkan meja makan dalam kultur kami merupakan
hal yang sangat jarang kami lakukan. Jika itu terjadi,
pertanda kemarahan telah menghampiri batas-batasnya.
Dan itu saya dapatkan dari Aba Agil di pagi hari. Terus
terang saya tidak siap. Aba lalu mengunci diri di kamar. Dengan perasaan
takut, saya menunggu Aba untuk makan siang. Sejam dua
jam berlalu, Aba tidak mau keluar dari kamar. Kali ini Aba
betul-betul marah pada saya. Padahal yang saya sampaikan
itu menurut pandangan kami, anak-anak Aba, adalah untuk
kebaikan Aba juga. Apa yang saya sampaikan sebetulnya atas usul ustadz
Agung Wirawan setelah mengetahui bahwa Aba masih
dirundung sedih karena ditinggal Ibu dua bulan yang lalu.
Ustadz Agung mengatakan pada saya, sebaiknya kami
membicarakan secara baik-baik pada Aba, untuk mencari
pengganti Ibu di sisi Aba.
Ini sebetulnya awal kemarahannya itu pada saya. Dua
bulan setelah ibu berpulang, saya melihat Aba seperti
kehilangan semangat hidup. Kerap Aba duduk di teras
rumah memandang jauh, dan dengan gerakan yang samar,
mengelap matanya yang mulai berair. Saya juga sering
mendapati Aba selesai shalat malam, duduk berdoa sambil
menangis. Ah, di manakah semua ketabahan dan ketegaran
yang Aba miliki itu"
Kami, anak-anaknya, berupaya keras bergantian
menghibur Aba dari duka yang mendalam itu. Saya
memahami kedukaannya itu dengan baik. Saya menyadari
dengan sepenuhnya bahwa ketika Ibu berada pada saat-saat
kritis dalam hidupnya, ketika Ibu berdiri di ujung lekukan
kehidupan dunianya, Aba, lelaki yang membuat Ibu
semakin paham agama itu, justru tidak sempat
membisikkan kalimat-kalimat pe ngantar untuk berpulang
keharibaan Allah. Ketidakhadiran Aba di samping ibu pada
saat saat terakhirnya ternyata membuat Aba terpukul.
Saya masih ingat, sehari sesudah Ibu kami tidurkan di
tanah merah berliat Sudiang (Lokasi pemakaman di
Makassar), Aba baru tiba dari Ambon. Saya menjemputnya
di pelabuhan kapal, karena tidak mungkin menggunakan
pesawat secara bebas dalam suasana konflik di Ambon.
Saya dan Aba bertemu pandang di pelabuhan, kami tidak
berkata-kata, saya hanya menggelengkan kepala. Saya ingin
mengirim isyarat bahwa perempuan yang kami cintai telah
berpulang. Lidah saya kelu untuk mengucapkan kata-kata
kepulangan itu. Terlalu sakit bagi saya. Sesaat kami
bersitatap, Aba memeluk saya erat-erat, lalu saya
mendengar nafas Aba yang berat. Ada yang basah di bahu
saya. Dua bulan telah berlalu. Saya masih menangkap kelabu
di mata Aba. Aba lebih suka menyendiri atau tidur
menghadap dinding. Sebagai anak, saya tahu, mata aba
pastilah sudah basah. Kesedihan Aba tetap menggantung di
matanya. Lalu saya bertemu dengan ustadz Agung
Wirawan yang kenal baik dengan keluarga kami. Ustadz
Agung menanyakan kabar Aba. Dan saya menyampaikan
kalau Aba masih berat ditinggalkan Ibu. Dan meluncurlah
usulan untuk mencarikan pengganti Ibu bagi Aba. Kata
ustadz Agung, memang anak bisa merawat Aba dengan
baik, tetapi beda dengan kehadiran seorang istri di samping.
Ini bukan saja berkaitan dengan persoalan fisik, tetapi
secara mental, Aba butuh pendamping. Urai ustadz Agung.
Meskipun saya anak tertua, tetapi untuk hal-hal begini,
saya perlu berunding dengan adik-adik saya. Kami sepakat
untuk mencarikan pengganti Ibu. Tiba-tiba ada kesedihan
yang menyerga p kami saat berunding. Kami sedih sekali
ketika menyadari ada orang lain yang akan mengantikan
posisi ibu. Fidaan, si bungsu, mengatakan tidak mungkin
orang lain bisa menempati tempat Ibu di hati kami. Tetapi
untuk menemani Aba, apa boleh buat,kami harus mencari
orang lain. Berempat, kami memikirkan siapa kira-kira yang akan
kami usulkan untuk Aba. Kami berprinsip bahwa kami
harus mendapatkan orang yang mengetahui latar belakang
keluarga kami, yang betul-betul dapat menghormati Ibu
yang sudah pulang, juga dapat membuat kami hormat
padanya. Dalam pikiran kami, kehadiran seorang pengganti
Ibu, bukan sekedar untuk menemani Aba semata, tetapi
mestilah dapat merangkum kami semua dengan kasih
sayang yang tulus. Karena begitu orang lain menjadi ibu
kami, kami harus menaruh hormat padanya layaknya anak
pada seorang ibu. Kami ingin menghormatinya tidak
sekedar sebagai istri Aba, tetapi dia adalah juga ibu bagi
kami. Itu yang ada dalam dalam curah pendapat antara
kami, anak-anak Aba. Maka ketika kami telah sepakat
untuk siap memiliki ibu baru, pembicaraan kemudian
meloncat pada ftgure siapakah yang kiranya cocok dengan
Aba dan kami semua, setelah timbang sana, timbang sini,
kami telah mendapatkan satu ftgure untuk Aba.
Masalah baru muncul seketika, siapa yang akan
menyampaikan usulan ini pada Aba.
Semua mata tertuju pada saya. "Ca ida kan yang tertua,
jadi ca Ida yang musti bilang par An-tua." ("Ca Ida kan anak
tertua, jadi Ca ida yang harus menyampaikannya ke beliau.")
Saya tersudut, saya tahu kami semua takut
menyampaikan hal ini pada Aba.Kami tidak mau
berspekulasi. Semua adik-adik saya menghindar. Mereka
memiliki alasan yang kuat dan tidak dapat dibantah, yakni
kedudukan saya selaku anak tertualah ya ng harus
bertanggung jawab. Apalagi saya yang pertama membuka
pembicaraan ini. Kata sepakat telah kami ambil. Saya akan
menyampaikan usulan sekaligus dengan figure calon ibu
bagi kami. Saya memilih waktu sarapan pagi untuk
menyampaikan usulan kami. Dan ketika dengan suara
terbata-bata, karena gugup menghadapi Aba, saya
memulainya dengan menceritakan saat-saat bahagia kami
bersama Ibu. Saya melihat Aba tersenyum, saya
menangkap Aba mulai gembira. Ahai... ini entry yang
bagus untuk memulainya. Dengan mengucapkan bismillahirramanirrahim dalam
hati, saya melompat ke pembicaraan lain. Saya dengan
suara yang rendah menyampaikan bah wa kami anak-anak
sayang sama Aba. Dan takut Aba sakit karena bersedih.
Kami juga takut kehilangan Aba. pokoknya kami ingin Aba
senang. Ahai saya menangkap cahaya kehidupan di
matanya.Aba menghentikan makannya sejenak, melihat ke
mata saya, menyentuh lengan saya, "Beta sayang dong
samua, apalagi Ibu su seng ada lai." ("Saya menyayangi
kalian semua, terlebih lagi ketika Ibu sudah berpulang.")
Ah...saya tertegun mendengarnya.
Dengan satu helaan nafas panjang, saya menyampaikan
bahwa anak-anak meminta saya menyampaikan apa yang
sudah kami rundingkan. Kami juga akan menyiapkan
mental untuk itu. "Mangkali katong musti cari Ibu lain par
Aba, supaya ada yang hibur Aba." ("Mungkin sudah saatnya
kami mencari pengganti Ibu untuk Aba, biar ada yang menghibur
Aba.") Ah, akhirnya keluar juga kata-kata yang berat
membebani hati saya. Dalam hitungan detik, ketika kalimat itu sampai
ditelinganya dan difaharni dengan baik, saya mendapatkan
reaksi yang keras. Aba langsung berdiri di depan saya, dan
dengan suara yang keras menembus gendang telinga saya
aba membentak saya. "Pakai Otak!" Saya memandangnya
tidak percaya. Bukankah itu simbol kemarahan yang tinggi"
Membentak di meja makan adalah hal yang tabu dalam
kultur kami.Aba telah melanggar kultur kami.Aba telah
melanggar apa-apa yang ditanamkan pada kami sejak kecil.
Sesaat saya melihat ke matanya, merah berkilat. Saya
kemudian menunduk takut dan pasrah.Dalam hitungan
detik, Aba melangkah, melewati saya, masuk kamar dan
mengunci pintu dari dalam. Tamatlah saya.
Sehari semalam Aba tidak keluar kamar. Saya menunggu
Aba keluar dengan perasaan takut-takut .Pin
tu kamarnya sudah tidak terkunci. Saya masuk mengajaknya makan
malam. Tetapi saya hanya mendapati punggungnya. Aba
tidur menghadap dinding. Diam, membeku. Ketakutan dan
penyesalan semakin membebani kami.Saya menunggu di
depan pintu kamarnya di ashar hari kedua sesudah Aba
mendiamkan kami. Bukan hanya mendiamkan, makanan
yang saya berikanpun tidak disentuhnya. Aba hanya
memakan roti yang dibelinya sendiri. Saya bertekad untuk
mengakhiri kediaman Aba hari itu juga. Tidak bisa
dibiarkan lagi. Saya sudah sampai pada keputusan harus
bertindak mengakhiri perang dingin ini.
Dalam menunggu itu, saya melihat Aba berdiri di pintu
kamar, saya melihat ke wajahnya, sudah tidak ada lagi
kemarahan, yang tinggal adalah kemuraman yang
mendalam. Melihat Aba di depan pintu kamar, saya
langsung lompat memeluknya. "Aba, maaf beta juga,
katong su seng pung Ibu, jang Aba Uang dari katong. Kalau
Aba bagini, katong musti pi mana" ("Aba, maafkan saya,
kami semua sudah tidak punya Ibu, janganlah Aba hilang dari
kami. Jikalau Aba begini, kemana kami harus pergi.")
Saya merasakan tangan Aba yang besar melingkar di
badan saya. Aba mengeratkan dekapannya pada saya. Aba
mengangkat wajah saya. Kami bertatapan. Dengan suara
pelan tetapi jelas terdengar oleh saya, "Dengar nak, Ibu
taiaiu bar si dan ikhlas untuk beta. Jadi Aba seng bisa ganti
dengan orang lain." ("Ibu terlalu bersih (menjaga
kehormatannya) dan ikhlas untuk saya. Saya tidak mungkin
menggantikannya dengan orang lain. Nak.")
Bless...saya menyerah. Mata saya basah. Sebetulnya di
sudut hati saya, saya juga tidak menginginkan hal yang
serupa. Saya dan Aba lalu duduk di karpet sederhana kami. Aba
menceritakan pada saya bahwa Ibu dan Aba sejak lama "Su
seng sama orang muda-muda" ("Tidak seperti pasangan yang
masih muda.") Bagi Aba, hubungan biologis tidak terlampau penting
lagi. Dalam perkawinan ada hal lain yang melebihi itu. Hati
Ibu Ica terlalu bersih dan ikhlas untuk Aba. Itu yang
mengikat Aba. Apa yang bisa Aba balas untuk semua
kebaikan, keilhasan dan kebersihan hati Ibu Ica,
menempatkan Ibu saja di hati Aba. "Tidak ada yang
melebihi Ibumu, Nak. Kalau Aba sendiri begini, ini juga
cara Aba tunjukkan sayang par Ibu sampai kapan pun."
Saya mengangguk. Aba meraih saya, menyeka yang
mengalir, sesaat kemudian Aba mengatakan pada saya.
"Ida, katong tutup pembicaraan ini. Jangan pernah berfikir
untuk cari orang lain par Aba. Ibu Ica meskipun su seng
ada, su cukup par beta. Jangan ulangi lagi pembicaraan ini."
("Ida, kita tutup pembicaraan ini. Jangan pernah berfikir untuk
mencari orang lain untuk Aba. Ibu Ica, meskipun sudah
berpulang, sudah cukup untuk saya. Jangan ulangi pembicaraan
ini.") Aba meraih tangan saya, mengecup punggung tangan
saya.Saya tahu ini gerakan yang jarang Aba lakukan,
mencium tangan saya adalah ungkapan sayang yang
mendalam dari Aba, meskipun saya anaknya. Aba
memberikan saya senyum kelegaan. Kami terdiam lama
sekali, mungkin Aba juga seperti saya, mengenang Ibu Ica
yang telah pulang. Ah. Saya memunguti kenangan ini, ketika kami berdebat
keras tentang poligami dalam kelas bahasa Inggris di lantai
empat PPB UI. Aba meskipun telah menyusul Ibu, tetapi
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih menyisakan penghormatan kami padanya. Saya
bangga punya Aba Agil. Kebanggaan itu bertambah, justru
ketika Aba Agil sudah tidak bersama kami lagi,lelaki yang
sebetulnya dengan status sosial yang dimilikinya di Ambon,
mampu beristri lagi, bahkan ketika Ibu masih hidup
sekalipun... Akhir Januari, 2007 (Ida Azuz & Asma Nadia)
Terima kasih Saya kepada:
1. Caca dan Adam, dua permata hati yang sering saya
'curi' waktunya demi selesainya buku ini.
2. Suami yang berkenan membaca, mengoreksi serta
membantu saya memberikan masukan untuk
memperdalam materi tulisan.
3. Ibunda Maria, Ibunda Eva Murma, kakak saya Helvy
Tiana Ro sa yang selalu mendukung keterlibatan saya di
dunia menulis. 4. Sahabat-sahabat saya di Lingkar Pena: Nita Sundari,
Taufan E. Prast, Misbahul Hakim.
5. Dyotami untuk kesabaran tak terhingga selama
mendesain dan membuat ilustrasi hingga selalu keren.
6. Semua nara sumber yang telah memercayai saya untuk
menggengga m kisah mereka. 7. Mbak Tri Harsih, teman setia keluarga kami.
8. Mr. Yang Hyun Geun, Busan for his beautiful picture.
9. Mark untuk diskusinya.
10. Kang Gito Rollies . 11. Nemi Chandra, Ms. Oh Soo Yoen, dan Monica
Oemardi untuk waktu mereka membaca naskah ini dan
endorsmentnya. 12. Rekan-rekan di milis pembacaanadia@yahoo
groups.com (khususnya Sita Sidharta) dan Forum
Lingkar Pena. 13. Seluruh p embaca yang telah membeli (dan bukan
meminjam) buku ini. Doakan, semoga Aliah memberikan banyak kekuatan
dan kemampuan agar saya bisa terus menulis.
Sekilas Asma Nadia Asma Nadia adalah penulis yang sangat produktif.
Lebih dari 30 bukunya sudah diterbitkan berbagai penerbit
di Indonesia seperti Gramedia Pustaka Utama, Mizan,
Qanita, Syaamil dan Lingkar Pena Publishing House.
Berbagai prestasi, baik nasional maupun regional, telah
diraih ibu dari Caca (10 thn) dan Adam (6 thn) ini, antara
lain: - Pengarang Nasional terbaik versi Adikarya Ikapi (tahun
2001, 2002, 2005). - Peserta Terbaik dalam 10 tahun Majelis Sastra Asia
Tenggara-2005. - Naskah Teaternya "Preh" menjadi salah satu naskah
terbaik Loka karya Perempuan Penulis
Naskah Drama dan diterbitkan dalam dua bahasa oleh
Dewan Kesenian Jakarta. - Dll. Terakhir pada tahun 2006 lalu, Asma Nadia tercatat
sebagai satu dari dua sastrawan Indonesia yang
mendapatkan kesempatan diundang mengikuti Residency
Exchange Program for Asian Writers, untuk menetap di
Korea Selatan selama 6 bulan.
Saat ini Asma Nadia merupakan CEO Lingkar Pena
Publishing House, penerbit buku-buku Islam berkualitas. Di
waktu luang Asma kerap diundang untuk mengisi berbagai
workshop dan seminar kepenulisan baik di dalam dan luar
negeri, serta berbagai seminar tentang perempuan, anak dan
keislaman. Boo kgrafi 1. Pesantren Impian (Syaamil, 2000)
2. Rembulan di Mata Ibu (Mizan, 2000)
3. Dialog 2 Layar (Mizan 2001)
4. Pelangi Nurani (Syaamil, 2002)
5. Derai Sunyi (Mizan, 2002)
6. Meminang Bidadari (FBA Press, 2002)
7. Cinta Tak Pernah Menari (Gramedia Pustaka Utama,
2003) 8. Aku ingin Menjadi Istrimu (Lingkar Pena Publishing
House) 9. Ada rindu di Mata Peri (Lingkar Pena Publishing
House) 10. Cinta Laki-laki Biasa (Asy Syaamil)
11. Jadilah Istriku (Lingkar Pena Publishing House)
12. Jangan Jadi Muslimah Nyebelin (Lingkar Pena
Publishing House) 13. Rumah Cinta Penuh Warna (Qanita)
14 . Dll. Beberapa buku yang sempat disusun:
" Ketika Penulis Jatuh Cinta (Lingkar Pena, 05)
" Kisah Seru Pengantin Baru (Lingkar Pena, 05)
" Jilbab Pertamaku (L ingkar Pena, 2005)
" Miss Right Where R U" Suka duka dan tips jadi
jornblo beriman (Lingkar Pena, 2005)
" Jatuh Bangun Cintaku (Lingkar Pena, 2005)
" Gara-gara Jilbabku (Lingkar Pena, 2006)
" The Real Dezperate Housewives (Lingkar Pena,
2006) " Ketika 'Aa' Menikah Lagi (Lingkar Pena, 2007)
Asma Nadia Penulis 30 buku dan CEO penerbitan ini telah banyak
mengangkat persoalan perempuan dalam karya-karyanya.
Ibunda dari Caca (l0th)dan Adam (6 th) ini telah lama aktif
mengajak generasi muda -terutama para perempuan
Indonesia- agar tidak hanya membaca melainkan juga
menulis. Untuk itu Asma aktif menjelajah berbagai tempat hingga
pelosok-pelosok terpencil guna memberikan workshop
kepenulisan dan seminar. Bahkan, dalam upaya
menyediakan ruang baca dan tulis itu. disediakan pula lini
khusus EduMoms di Lingkar Pena Publishing House
penerbit yang sejak awal dibidaninya.
Catatan Hati Seorang Istri merupakan perwujudan
empati dan rekaman perjalanan Asma Nadia -sebagai
seorang perempuan, istri dan ibu- terhadap perempuan
Indonesia. tamat Pahlawan Harapan 9 Kapas Kapas Di Langit Karya Pipiet Senja Sepasang Naga Penakluk Iblis 2
Kesadaran itu, kesadaran akan segala keputusan dengan
sebab akibatnya itu... Menggugatku!
"Kita mau ke mana lagi, Mama"" Pada saat bersamaan
anakku terbangun, agaknya bisa menangkap
kebimbanganku. Kubiarkan dia menikmati cokelatnya
sebagai pengulur waktu. Aku memang tak bisa langsung
menyahut, kugigiti ujung-ujung bibirku. Benakku
mendadak suntuk, dikejar bayangan-bayangan yang belum
pasti untuk masa depan kami. Bagaimana reaksi keluargaku
jika mengetahui lakonku di Belanda ini" Tensi ayahku
niscaya akan melejit, bisa-bisa stroke.
Apa yang harus kukatakan kepada mereka, andaikan
kami pulang ke Indonesia dalam keadaan serba kacau-balau, dan sangat mengenaskan begini" Lagipula, aku tak
punya tiket untuk pulang, tak punya uang selain 50 gulden
di saku jaketku. Bagaimana kalau aku tak mendapatkan apa
yang kuinginkan di Kedutaan Besar Indonesia"
"Mama, ingat tidak Om Paul" Yang memberiku cokelat
dan permen di pesta"" anakku mengusikku lagi. Oh, dia
mengira klub itu tempat pesta" Aku meliriknya dan
terheran-heran, mengapa anak ini masih mengenang sosok
yang telah memelintir tangan si Gez malam itu"
"Ya, Nak, ada apa dengan orang itu""
"Om Paul sudah janji mau bantu kita, Mama. Aku ingat
janjinya itu, Mama," cetus anakku terdengar
mengambang.Aku memandangi wajahnya lekat-lekat .Di
mataku pipi-pipinya tampak semakin tirus, kelelahan,
kesakitan dan ketakutan yang sangat.Ya Tuhan, aku
sungguh telah mengingkari hak-haknya.
"Maafkan Mama, ya Nak, maafkan segala kelemahan
Mama, maafkan..." Aku meracau penuh penyesalan. Seketika kupeluk erat-erat tubuhnya, kuciumi pipi putihnya, berharap bisa
menyatukan seluruh daya yang masih kami miliki.
Akhirnya kubiarkan, kubiarkan, ya, kubiarkan saja segala
kepedihan itu membuncah ruah. Semoga air mata ini
menjadi terapi bagi hati kami, jiwa kami, fisik kami yang
telah porak-poranda. "Mama nangis... aku juga mau nangis, hikkksss
"Iya Nak, Cinta, tidak mengapa kita menangis saja, ya,"
Pada saat bersamaan di dalam hati aku pun mengucap
sumpah. "Tuhanku, dengarlah sumpahku ini, jika Engkau tetap
ada untuk kami berdua... Demi Engkau Yang Maha Tinggi,
aku akan membesarkan anakku, dan memberinya masa
depan sebaik-baiknya! Dengarlah sumpah seorang ibu yang
teraniaya ini, ya Tuhan, dengarlah!"
Betapa ingin kulengkingkan, kujeritkan, kulo-longkan
sumpahku. Tidak, ternyata hanya mampu kuperdengarkan
untuk diriku sendiri, di dalam hatiku sendiri. Kupahatkan
dengan tinta nurani seorang ibu di relung-relung jiwaku.
Sehingga aku takkan pernah mampu mengingkarinya
sepanjang hayat dikandung badan.
"Kita cari Om Paul saja, ya Mama"" tanya anakku
setelah puas kami bertangisan, masih di bangku di sudut
stasiun Utrecht. Kubersit hidung dan kuhapus air mata yang
membasahi pipi-pipiku. Anakku mengikuti kelakuanku,
cepat-cepat menghapus air matanya dengan ujung-ujung
jaketnya. Ya, Tuhan! Aku berjanji dalam hati, sejak saat itu
aku takkan pernah menangis lagi di hadapan siapapun.
Terutama di hadapan anakku, mata hatiku, sumber
semangat hidupku, kepada siapa aku telah berutang janji.
"Baiklah, kita kan cari Om Paul!" kuputuskan untuk
menerima gagasan anakku. Kupikir sudah saatnya memberi
kesempatan kepada anak kecil ini, lima tahun setengah. Ya,
mengapa tidak" Selama ini aku telah melakukan kesalahan
yang berimbas terhadap kehidupan anakku.
Kami kembali ke Hilversurn dengan sangat waspada,
supaya tidak bertemu lagi dengan "monster" itu. Setelah
bertanya kesana-kemari akhirnya kami menemukan tempat
tinggal keluarga Moorsel.
"Oh, mijn God, rnijn God!" seru Paul menyambut
kedatangan kami, langsung bereaksi begitu mencermati
kondisi kami berdua. "Malang sekali kalian, malang sekali
kalian... Maafkan, aku tidak bisa membantu kalian tempo
hari." "Tidak beradab, binatang itu pantas mati!"
"Kita harus segera melaporkannya ke pihak berwajib!"
Kemarahan dan kegeraman dalam sekejap menggema di
ruangan yang hangat dan nyaman itu. Kedua orang tua
Paul, belakangan aku memanggil mereka Muder dan Fader,
segera bergabung dan memberi bantuan. Aku mengatakan
kepada mereka bahwa untuk saat ini, kami berdua hanya
ingin kedamaian, perlindungan dan kenyamanan.
Segalanya yang di luar itu biarlah belakangan dibenahi.
"Tentu saja, Nak, jangan pikirkan apa-apa lagi.
Tinggallah di rumah kami, ya Nak. Kami jamin, kalian
aman dan akan baik-baik saja berada di sini," ujar ayah
Paul dengan sorot mata memancarkan kebajikan,
mengingatkanku kepada ayahku nun di kampung halaman.
Selama beberapa hari kemudian aku membiarkan orang-orang baik itu merawat diriku dan anakku. Sekilas lakonku
di apartemen Gez kuungkap, tetapi rincinya kusimpan baik-baik dalam diari hatiku. Suatu kekejian luar biasa yang
telah menimbulkan kerusakan lahir-batin, trauma pada
jiwaku dan anakku hingga berbelas tahun kemudian.
(Aliet Sartika) Coretan 7 Label Baru Seorang Istri "Tindakan mereka telah memberikan pelabelan baru
yang tidak mengenakkan bagi istri pertama."
Semua mata mengarah ke panggung utama. Termasuk
saya yang saat itu duduk di barisan paling belakang. Tidak
berapa lama muncul seorang muslimah cantik dengan
atribut serba pink, dari jilbab hingga rok bertumpuk yang
dikenakannya. Muda, cantik dan berbakat. Itulah yang ada di kepala,
hingga seorang perempuan yang duduk selisih dua kursi
dari saya, mulai menunjuk-nunjuk muslimah yang sedang
bernyanyi di depan kami, "Eh, itu istri tuanya si anu kan""
Komentarnya menyebut nama pelantun lagu islami yang
sangat terkenal. Teman yang diajak bicara mengiyakan.
Saya sempat terganggu dengan komentar yang menurut
saya bukan pada tempatnya. Terbayang perasaan muslimah
berbusana pink itu, jika tahu dia bernyanyi, dan komentar
yang tidak nyambung itu yang justru ditujukan padanya.
Tapi sedih saya bertarnbah-tarnbah, setelah saya pulang,
dan menerima SMS dari seorang teman.
"Asma, tadi Pak Nurhan bilang ke saya sambil menunjuk
mbak fu lanah... 'Itu kan istri tuanya Pak Fulan.' Benar Pak
Fulan poligami, ya""
Istri tua... istri tua. Saya yakin perempuan-perempuan yang dibicarakan ini
memiliki hati yang lapang, terbukti dari kesiapan mental
yang telah mereka tunjukkan ketika suami menikah lagi.
Dengan hati sekuat itu, saya kira mereka akan bijak
menanggapi hal ini. Hanya saja saya tiba-tiba tercenung cukup lama, berpikir.
Apakah para lelaki yang berpoligami,mereka yang
beralasan menikah lagi dalam kerangka sunnah Nabi atau
alasan mulia lain,pernah sekejap saja merenung bahwa
tindakan mereka telah menggoreskan tidak hanya luka yang
coba diobati oleh para perem puan, tetapi juga stempel baru
yang tidak mengenakkan bagi istri pertama"
Perempuan yang menempuh banyak pengorbanan agar
bisa bersama lelaki yang dulu mendatangi mereka dengan
kalimat-kalimat penuh bunga.
Perempuan yang menyertai mereka di awal perkawinan,
ketika pekerjaan suami belum lagi mapan.
Perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan
anak-anak dengan baik hingga menjadi sosok yang
membanggakan. Perempuan yang telah menghabiskan
kemudaan dan kecantikannya dalam bakti, cinta dan
keikhlasan bertahun-tahun hingga suami mereka sampai
pada posisi sekarang. Katakan jika saya salah, tidak kah setelah semua yang
mereka lakukan, seharusnya mereka dimuliakan"
"Tetapi dengan menikah lagi suami berusaha
memuliakan istri tuanya, Asma... hingga mudah
mendapatkan surga!" Ya, ya... saya mencoba mengerti kalimat itu.
Tetapi apakah dimadu dan menjadi istri tua, merupakan
jalan satu-satunya untuk mendekatkan perempuan (yang
telah menghabiskan tahun-tahun dalam kepatuhan dan
bakti itu) pada surga"
3 Maret 2007 Sebab Aku Berhak Bahagia "Tepat ketika aku berjuang melawan rasa sakit karena
melahirkan, aku sempat berpikir, barangkali sebaiknya
aku mati saja. Dengan begitu, selesailah semua
penderitaanku." Palu pun diketuk! H ari ini selesailah sudah seluruh drama rumah
tanggaku, di tempat yang paling muskil dan di hadapan
orang-orang tak kukenal. Aneh memang! Sepuluh tahun itu,
yang kumulai dengan tawa sukacita, pesta pora, dan
berkumpulnya segenap keluarga, ku akhiri pada hari ini
dengan banjir air mata, dalam kesepian yang mencekam
dan memilukan antara aku dan ayahku, dan para hakim
serta panitera. Inilah tempat yang muskil itu, tempat
pertemuan terajaib di dunia bagi dua orang yang mengaku
suami dan istri: Pengadilan Agama!
Maka perpisahan itupun dipertegas lagi, setelah hakim
ketua mengetukkan palunya, menyatakan bahwa perceraian
kami sah, kami aku dan 'bekas' suamiku berjalan keluar
ruang sidang dan menuju arah yang berlainan.Pulang ke
rumah masing-masing. Tak ada lagi saling menjemput dan
mengingatkan waktu pulang. Tak ada lagi rumah yang
menjadi tujuan bersama. Tak ada lagi suami dan istri. Yang
ada hanyalah pribadi-pribadi. Dia dan aku. Tak ada lagi
'kami'. Ya....perpisahan itu nyata sudah. Statusku kini berubah
sudah. Aku bukan lagi istri seseorang. Aku bukan milik
siapa-siapa. Aku milik Allah dan....kebebasan. Bahagiakah
aku karena aku bebas" Tidak! Tak ada yang
membahagiakan dari sebuah perceraian. Yang ada adalah
rasa sedih karena semua ini harus terjadi, karena jalan ini
harus kupilih, karena aku harus melakukan sesuatu yang
meski halal tapi paling dibenci Allah, karena anak-anakku
harus berpisah dengan ayah mereka. Ya! Ini adalah sebuah
kerusakan. Tapi bahkan kerusakan sekalipun, ketika itu
menjadi jalan satu-satunya cara untuk tetap hidup,
menghindarkan diri dari kehancuran, untuk kemudian
membangun hidup baru yang lebih baik, maka pilihan
itupun harus diambil dan dilakukan. Selebihnya
memperkuat kesabaran dan berlapang dada menerima
segala cobaan. Maka ketika aku melewatkan malam-malamku setelah
itu dengan menangis, tangisku bukanlah tangis penyesalan
dan kehilangan, apalagi ketakutan. Tidak! Tangisku adalah
percampuran antara rasa sedih karena harus mengalami
sebuah perceraian dan gembira karena akhirnya aku
berhasil membuat keputusan teramat penting dalam
hidu pku. Aku berhasil membuat sebuah pilihan yang meski
pahit dan menyakitkan tapi kutahu merupakan pilihan yang
benar agar aku tetap hi dup. Hidup yang bahagia. Sebab,
aku berhak untuk berbahagia.
Kilas Balik Sungguh tak pernah terpikir olehku, akan beginilah nasib
pernikahan yang sepuluh tahun lalu ku-perjuangkan mati-matian. Orang yang dulu kuyakini dapat bertanggung jawab
atasku hingga aku rela meninggalkan rumah orang tuaku
dan hidup bersamanya, ternyata suatu saat dapat menjadi
orang yang paling tidak peduli padaku.
Betapa tipis batas antara suka dan tak suka, cinta dan tak
cinta. Sikapnya yang semula baik, mulai berubah pada
tahun kesekian pernikahan kami. Ia yang semula begitu
kasihan melihatku bekerja keras, malah menjadi orang yang
paling tega rnembiarkanku bekerja seharian dan kemudian
menggunakan hasil kerjaku untuk kepentingannya;
Membuka bisnis ini dan itu, yang tak satupun berhasil.
Ia juga yang kemudian menjadi penganjur nomor satu
agar aku tetap bekerja, sebab bila tidak maka rumah tangga
kami akan limbung dan segala mimpi kami untuk dapat
hidup berkecukupan akan hancur. Ia bahkan
membiarkanku bekerja di daerah lain, memisahkanku
dengan kedua anak kami. Bahkan ketika anak ketiga kami lahir, dan aku ingin
berhenti bekerja, ia tetap meyakinkanku bahwa sebaiknya
aku tak berhenti bekerja. Ia bahkan lebih suka melihatku
pindah ke daerah tempatku bekerja dengan membawa
ketiga anak kami. Sementara ia tetap di daerah asal kami
dengan alasan ia tak mungkin meninggalkan dinasnya.
Maka begitulah. Perkawinan kami kian aneh saja. Aku
yang lebih banyak menafkahi keluarga. Di satu pihak, aku
menyadari bahwa rumah tanggaku mulai timpang. Ada
ketidakpuasan pada diriku dengan posisiku dalam rumah
tangga. Ada yang salah. Aku iri melihat para istri yang
berderet di depan ATM pada hari gajian suami-suami
mereka. Aku iri melihat para ibu dengan tenang mengantar
anak-anak mereka ke sekolah setelah melepas suami pergi
bekerja. Aku iri melihat para ibu sibuk menyiapkan
penganan sore hari untuk suami yang baru pulang bekerja,
kemudian duduk bersantai di depan rumah se mbari
memandangi dan sesekali mentertawai kelucuan perilaku
anak-anak mereka yang bermain di ha laman. Sungguh
gambaran yang jauh dari rumah tanggaku.
Di daerah asing, aku sendirian. Suamiku dengan tenang
melepasku bekerja. Setiap pagi hatiku pilu meninggalkan
anak-anakku di tangan pembantu rumah tanggaku. Melihat
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak keduaku menangis dan anak ketiga yang belum
mengerti apa-apa berada dalam gendongan pembantuku.
Sepulang bekerja, dalam keadaan lelah, aku masih harus
mengajari si sulung pelajaran sekolahnya dan menunda
waktu bersama si tengah dan si bungsu. Pedih hati ini
karena begitu sedikit waktu untuk ketiga anakku. Tapi aku
sendirian. Sungguh tak guna untuk terlalu banyak
mengeluhkan keadaan. Aku tak mungkin memprotes suamiku. Tentulah ia benar
menyuruhku untuk terus bekerja dan melepasku pergi ke
daerah lain. Tentulah ia punya alasan yang baik, bahwa
semua ini untuk kebahagiaan kami. Maka aku terima.
Bukankah aku ingin menjadi istri yang baik" Maka aku tak
boleh berpikiran buruk tentang suamiku.
Tak mungkin ia bermaksud jahat dan hanya rne-manfaatkanku saja. Bukankah ia suamiku dan ayah anak-anakku" Maka ketika pikiran buruk itu berbagai prasangka
yang kutujukan pada suamiku karena membiarkanku
bekerja bahkan ke daerah lain datang, segera saja
kusingkirkan dari benakku. Suamiku adalah orang yang
mencintaiku dan aku harus percaya padanya.
Ketika ia memintaku membeli mobil, tentunya karena ia
ingin agar ketika kami berkumpul bersama, ia dapat
membawa kami semua sekaligus. Atau ketika ia memintaku
membeli tanah dan rumah atas namanya, tentunya ia
berpikir bahwa menggunakan namanya akan jauh lebih
aman. Sebab ia lelaki, katanya. Dan jauh lebih mudah
mengurus semua surat jual beli sebab ia pegawai
negeri.Tentu ia benar dengan semua itu. Atau ketika ia
meminta modal dari-ku untuk berbisnis ini dan itu, tentulah
ia ingin agar aku segera dapat berkumpul dengannya. Meski
kemudian semuanya gagal karena ia tak pandai
mengurusnya. Maka selama hampir tujuh tahun kami menjalani
kehidupan seperti itu. Terpisahkan oleh jarak. Beberapa kali
aku mencoba menggali jalan pikiran suamiku tentang
keadaan kami yang terpisah, tapi yang kudapatkan
hanyalah ketidakpedulian tersamar. Suamiku selalu berkata,
bahwa aku harus tetap bekerja demi masa depan keluarga
kami. Setiap kali aku menanyakan kapan ia akan
mengeluarkanku dari situasi seperti ini,ia selalu berkata
bahwa aku harus realistis. Tanpa penghasilanku rumah
tangga kami akan kolaps. "Kalau begitu, apa usaha Abang untuk rnelepaskanku
dari situasi ini"" tanyaku selalu. Tetapi jawaban yang
kuterima sungguh mengecewakan,
"Yah, kamu boleh saja berhenti bekerja, asalkan kamu
sanggup hidup dengan gajiku yang tak seberapa,"
Dari situ naluriku mulai bicara. Rasanya ada sesuatu
yang salah dengan reaksi suamiku. Bukankah ia telah
menghabiskan begitu banyak uang untuk memulai berbagai
usaha" Dan ketika kutanya mengapa ia gagal, ia berkata,
"Semua gara-gara kamu tidak cukup mendukungku!"
Lalu apakah namanya setelah begitu banyak tabunganku
yang telah digunakannya untuk memulai usaha dan
membeli ini dan itu" Ah, baiklah...barangkali dukunganku
belum cukup banyak. Membeli rumah, tanah, dan
sebagainya,belum lagi cukup untuk mendukungnya.
Tapi dalam hatiku aku bertanya tanya, bukankah sikap
seperti itu adalah sikap laki-laki yang tak bertanggung
jawab" Bukankah semestinya ia berusaha keras untuk
menyatukan kami dalam satu atap, dan bukannya bertahan
untuk terus berlama-lama hidup terpisah" Aneh....
Tapi kutekan semua prasangka itu dan selalu ku
meminta ampun pada Allah, setiap kali pikiran seperti itu
muncul. Mungkin tak ada yang aneh dalam diri suamiku.
Itu hanya perasaanku saja. Maka aku harus bersabar. Tapi
aku tetap ingin lepas dari situasi itu. Aku tetap ingin
menjadi ratu dalam rumah tanggaku. Aku ingin berada di
rumah untuk anak-an akku, seperti perempuan lainnya.
Maka satu pelajaran yang kupetik dari situasi itu adalah,
bahwa akulah satu-satunya yang bisa melepaskan diriku
dari himpitan kesulitan ini. Akulah yang harus berusaha.
Maka aku bekerja lebih keras, mendorong suamiku untuk
membuka bisnis dan usaha sampingan dengan memberinya
modal. Sementara itu, hidup kami makin aneh saja. Pada
suatu titik, suamiku mulai terlihat berbeda. Bila kami
bertemu, entah karena aku dan anak-anak pulang ke daerah
kami, atau ia yang berkunjung ke te mpat kami, ia sering
tak mempeduli kanku, memarahiku karena hal-hal remeh
seperti salah meletakkan pulpen atau kertas kerja miliknya,
terlambat membayar tagihan, terlambat membukakan pintu
gerbang, dan sebagainya. Tentu aku tak mengatakan bahwa diriku benar. Aku
memang salah, sungguh tak kutampik kenyataan
itu.Kekurangrnarnpuanku menjadi perempuan dan istri
yang cermat dalam mengatur barang-barang nya, efisien
dalam mengatur waktuku, memang tak bisa dibenarkan.
Masalahnya adalah, aku bekerja seharian di sebuah
perusahaan swasta asing milik warga negara Jepang, yang
terkenal disiplin dan ketat dalam mengatur waktu kerja.
Maka, aku harus mempekerjakan seorang pembantu rumah
tangga, yang mengurusi segala tetek bengek rumah tangga
kami, termasuk keperluannya, yang semuanya di bawah
instruksiku. Malangnya, pembantuku ini tidaklah selalu bisa
bekerja dengan baik. Ada kalanya ia membuat begitu
banyak kesalahan. Malangnya lagi, setiap kesalahan yang
diperbuatnya, akan merupakan bencana bagiku, karena
begitu aku pulang dari bekerja, dalam keadaan lelah luar
biasa, aku akan menerima segala amarah dan omelan dari
suamiku. Baiklah! Aku ini perempuan. Sudah menjadi tugasku
untuk mengatur semua urusan rumah tangga. Ketika
pembantu rumah tanggaku alpa, maka itu adalah salahku.
Tanggung jawabku! Aku terima. Aku pun terima ketika
suamiku menegurku dengan cara mendiamkanku berlama-lama, tak menerima maafku meski aku menangis dan
menyembah. Ketika itu kupikir, baiklah...aku memang
salah.Tentu seorang suami berhak memarahi istrinya. Maka
aku pun membiarkannya mendiamkanku beberapa hari
bahkan ber minggu-minggu. Hingga lama-lama aku terbiasa
dengan cara itu, bahkan ketika ia memdiamkanku selama
beberapa bulan karena kesalahan yang tak jelas.Kupikir,
sebagai istri aku harus menurut dan menerima. Barangkali
memang begitu jugalah para suami lainnya ketika
memarahi istrinya. Aku tak pernah berpikir untuk melawan,aku malah
berpikir bagaimana cara menebus dan memperbaiki semua
kesalahanku. Bagaimana cara membuatnya tenang dan mau
berbaik-baik denganku. Bagaimana caranya agar ia
mencintaiku lagi. Kupikir, barangkali ego kelelakiannya telah kusi-nggung
sebab aku berpenghasilan 5 kali lipat lebih besar
dibandingkan penghasilannya.Barangkali ia cemburu dan
begitulah caranya menyalurkan kecemburuannya, tapi di
satu pihak ia tak sanggup menghidupi kami.
Berpikir seperti itu membuatku kasihan padanya. Maka
kuputuskan untuk menyerahkan seluruh gaji dan bonus
bonus yang kuperoleh dari perusahaan padanya. Aku hanya
mengambil seperlunya untuk keperluan seharihari rumah
tanggaku. Selebihnya, kubiarkan ia mengelola keuanganku.
Kupikir dengan begitu ia akan merasa dipercaya dan tahu
bahwa sungguh aku tak pernah memikirkan uang. Yang
penting bagiku adalah kami semua bahagia.
Akupun setuju ia membeli tanah, rumah, dan banyak
lagi yang lainnya. Aku juga makin mendukung sepenuhnya
dan membebaskannya menggunakan ua ng hasil kerjaku
untuk berbisnis. Meski, setiap kutanya apa hasilnya ia akan
marah dan mendiamkanku untuk beberapa lama.
Semakin ia marah dan makin lama mendiamkanku,
semakin aku merasa harus melakukan sesuatu untuk
menebus kesalahanku. Entah mengapa aku selalu merasa
bahwa semua sikapnya itu adalah reaksi dari perbuatanku,
dari kesalahan yang kubuat. Maka akupun makin mencoba
membeli perasaannya, cintanya. Kubelikan ia hadiah-hadiah, yang seringkah malah tak cocok dengan seleranya
dan menjadi kemarahan lainnya. Kubujuk ia untuk pergi ke
toko bersamaku dan memilih baju atau apa saja
kesukaannya. Sungguh aku makin giat berusaha
mendapatkan kembali cintanya.
Dalam hati, sering muncul pertanyaan, "Mengapa
suamiku sepertinya membenciku" Apakah ia tidak
mencintaiku lagi"" Lalu, sisi hati yang lain membantah,
"Tentu ia mencintaimu. Bukankah ia suamimu"". "Tapi jika
memang ia mencintaiku, mengapa ia selalu bersikap
rnernusuhiku"" kata sisi hati lainnya.
Ku bertahan. Bahkan hingga aku hamil anak ke empat.
Kupikir, dengan memberinya seorang anak lagi, tentu ia
akan senang dan sembuh dari semua kemarahannya.
Mempersembahkan seorang anak lagi, tentu akan
merekatkan kembali hati kami. Ingin kutebus cintanya
dengan anak kami yang keempat ini.
Tapi ternyata, harapanku tinggal harapan. Suamiku
makin menjadi-jadi. Ia mendiamkanku berbu lan-bulan
karena kesalahan-kesalahan kecil atau bahkan tak jelas apa
yang membuatnya marah padaku. Bahkan dalam keadaan
aku hamil tua dan kemudian melahirkan, ia
mendiamkanku. Ketika itu, tepat ketika aku berjuang
melawan rasa sakit karena melahirkan , aku sempat
berpikir, barangkali sebaiknya aku mati saja. Dengan
begitu, selesailah semua penderitaanku. Aku menangis
sembari menahan rasa sakit yang amat sangat. Aku begitu
putus asa. Sungguh aku tak tahu lagi cara mengambil hati
suamiku. Tapi tangis bayi membuatku menarik keinginan itu. Bayi
bermata indah itu membutuhkanku. Juga ketiga anakku
yang lain. Aku harus hidup. Apapun yang terjadi.
Maka kupilih untuk bersabar. Kupikir lagi, barangkali
kalau ada rizki dan aku bisa membawa suamiku berhaji, itu
akan menjadi obat baginya, bagi kami. Maka itulah niatku.
Aku mulai mengumpulkan uang untuk bisa pergi haji.Aku
ingin bermunajat pada Allah di tanah suci, agar aku bisa
mendapatkan cinta suamiku. Aku juga ingin mendapat
jawaban, mengapa aku tak lagi dicintai. Aku banyak
berdoa, dan salah satu doa yang paling sering kuucapkan
adalah: Allah humma arinal haqqa haqqan, warzuknatti
ba'ah, wa arinal batiia batilan warzuknajtinabah (Ya Allah,
tunjukkanlah yang hak adalah hak dan berilah hamba
kekuatan untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah yang batil
adalah batil, dan berilah hamba kekuatan untuk
menjauhinya). Malangnya, justru ketika uang untuk berangkat berhaji
telah terkumpul, nasib berkata lain. Rupanya Allah SWT
mendengar doaku. Aku mengetahui mengapa suamiku
membenciku. Aku memergokinya memiliki perempuan
lain. Bukan hanya satu, tapi ia juga menggoda banyak
perempuan. Awalnya aku tak percaya. Sempat aku
mengabaikan pesan-pesan mesra di telepon gengga
mnya yang diakuinya sebagai orang salah kirim.Tapi belakangan,
rasa penasaran membuatku mencari tahu, hingga akhirnya
aku mendapat pengakuan dari beberapa orang.
Maka terjawablah semua teka-teki mengapa ia lebih suka
membiarkanku bekerja di daerah lain dan dengan sukacita
menerima semua uang penghasilanku tanpa rasa malu dan
bersalah. Itu pula sebabnya ia tak mempedulikanku dan
banyak mendiamkanku. Semua itu membuat hatiku hancur. Aku pun mulai mau
mengakui bahwa naluriku yang merasakan hal-hal tak beres
dalam rumah tangga kami ternyata benar adanya. Aku
mengakui pula, bahwa suamiku bukanlah suami yang baik.
Meski pahit, tapi aku harus mulai mau menerima
kenyataan, bahwa apa yang dilakukan suamiku tidaklah
benar menurut hukum perkawinan universal maupun
hukum agama. Aku telah dikhianati.
Kenyataan bahwa suamiku menggoda beberapa
perempuan,bahkan hingga pada tahap menjurus pada
hubungan badan, telah menghancurkan kepercayaanku
padanya. Aku pun merasa terhina. Harga diriku sebagai
istri dan perempuan diinjak-injak. Aku mulai tak terima dan
putik-putik pemberontakan mu lai bersemi dalam benakku.
Aku mulai bertanya-tanya, kemana perkawinan kami ini
akan kubawa" Sementara suamiku bukannya mengakui
kesalahan dan meminta maaf, malah berbalik menyerang
dan makin memojokkan dan menghinaku. Diamnya makin
menjadi-jadi. Ia bahkan mulai tak peduli pada keluargaku
yang datang menjenguk kami dan mengata-ngatai orang
tuaku. Ya Allah... Aku, dalam kekalutanku, mulai mengalami stre-ss.Aku
terombang-ambing pada keadaan di mana aku
menginginkan perceraian tapi aku takut untuk hidup
sendiri.Sementara di pihak lain, aku tahu, aku tak lagi bisa
mentolerir perbuatan suamiku. Aku membencinya dan
hidup bersamanya serta harus melayaninya lahir dan bathin
telah bergeser dari kenikmatan menjadi siksaan dan deraan
yang membuatku kian sakit dan terpuruk. Bagaimana
mungkin aku terus hidup dengan orang yang
mengkhianatiku" Yang membohongiku" Yang menyia-nyiakanku"
Tapi perceraian" Ya Allah, aku bahkan tak berani
memikirkannya.Tak berani melafazkannya, apalagi
melakukannya" Lagipula,bukankah itu perbuatan yang
meski halal namun sangat dibenci Allah"
Bercerai atau menderita"
Aku terombang-ambing dalam keadaan tanpa
keputusan.Aku takut mengajukan gugatan cerai. Aku
terpuruk, tenggelam dalam kekalutan dan kesedihan yang
amat sangat. Aku takut mengambil ke-putusan.Akupun
memperbanyak doa dan sholat malam, memohon pada
Allah agar diberi petunjuk.
Dan memang, Allah Maha Baik dan Mendengar. Aku
bertemu dengan seorang laki-laki yang kebetulan bekerja di
Pengadilan Agama. Darinya kudengar kalimat ini,
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bu, dalam perkawinan, kedua belah pihak haruslah
berbahagia. Bila satu pihak berbahagia di atas penderitaan
pihak lainnya, maka perkawinan itu sudah tak bisa
dikatakan baik. Dalam hal ini, perempuan dan laki-laki
memiliki hak untuk berbahagia dengan porsi yang sama."
Kepadanya kuceritakan masalahku. Tentang kemarahan
suamiku serta sikap diamnya, ia berkata,
"Kasus ibu termasuk dalam kekerasan rumah tangga."
Aku terpana.Bagaimana mungkin mendiamkan dan tidak
memukul bisa dikatakan kekerasan"
"Suami saya tak pernah memukul saya, Pak. Tidak
pernah sama sekali!" bantahku.
"Kekerasan dalam rumah tangga itu bukan cuma
tindakan memukul, Bu. Membuat istri merasa tertekan
bathinnya, menyakitinya terus menerus dan
mengintimidasinya hingga mempengaruhi kondisi kejiwaan
dan rnentalnya juga disebut kekerasan. Membuat istri
merasa khawatir dan ketakutan terus menerus, juga disebut
kekerasan." Aku diam, mencoba mencerna kata-kata lelaki itu. Harus
kuakui, aku memang selalu merasa ketakutan dan khawatir
suamiku akan meledak amarahnya hanya karena aku atau
pembantuku salah meletakkan barang miliknya, terlambat
memberi makan hewan peliharaannya, terlambat
membukakan pintu gerbang, atau hal-hal lainnya.
"Sering mengancam, seperti mengancam akan
membunuh, menyakiti, dan meneror dengan melontarkan
kata-kata ancaman atau menghina dengan kata-kata yang
tak pantas hingga membuat pasangan kita merasa tertekan
jiwanya dan merasa tak aman, juga disebut kekerasan.
Sekarang terserah Ibu. Jik
a memang masih bisa diperbaiki,sebaiknya diperbaiki. Jika tidak, maka ambillah
langkah yang benar. Sebab tinggal dan bertahan dalam
rumah tangga yang sudah tak lagi dapat dipertahankan
akan membuat semua pihak menderita."
"Tapi anak-anak saya.....," kataku terbata.
"Orang seringkah lupa, bahwa rumah tangga yang tak
harmonis, jika dibiarkan berlarut-larut juga dapat
mempengaruhi anak-anak. Melihat orang tuanya bertengkar
setiap hari, tak ada kemesraaan, rumah tangga bagaikan
neraka. Apalagi jika banyak terjadi kekerasan, meski tak
ada pemukulan, tapi suasana rumah yang selalu tegang dan
membuat takut para penghuninya sungguh bukan tempat
yang baik bagi anak-anak. Jika keadaan sudah seperti itu,
haruskah kita pertahankan meski membawa ke-mudharatan" Coba pikirkan. Saya tak menyuruh bercerai.
Tapi saya ingin Ibu memikirkan kondisi Ibu, dan membuat
keputusan yang tepat, sebab Ibulah yang paling tahu
kondisinya. Keputusan ada di tangan Ibu."
"Tapi bagaimana membuktikan hal-hal seperti itu di
pengadilan" Saya tak punya bekas pukulan, bahkan tak ada
lebam sama sekali untuk dapat dijadikan bukti!" kataku
ragu. "Bu, semua yang Ibu ceritakan pada saya tadi, dapat
menjadi alasan yang sangat kuat untuk mengajukan
gugatan cerai. Pengadilan Agama tahu apa itu kekerasan
dalam rumah tangga. Undang-Undang yang mengaturnya
pun ada dan jelas." lanjut lelaki itu.
Aku terkesiap mendengar kata-katanya. Benarkah"
Suamiku memang beberapa kali melontarkan ancaman
akan membunuhku, hingga membuatku takut sendirian
bersamanya. "Pikirkan juga ini, Bu. Dalam Islam, tak dibenarkan
seorang suami mengambil hasil jerih payah istrinya. Tidak
sepeserpun kecuali atas izin si istri. Apa-apa yang dihasilkan
istri adalah haknya dan si istri berhak untuk
membelanjakannya sesuka hatinya as alkan di jalan yang
benar dan sesuai syariat. Tidakkah Ibu merasa heran
dengan tindakan suami Ibu yang mengambil semua milik
Ibu" Membeli rumah dan tanah dan mengatasnamakannya
dengan namanya sendiri meski semua itu dibeli sepenuhnya
dengan uang Ibu" Saya rasa setiap orang setuju bahwa itu
adalah perbuatan yang sangat memalukan dan tak
bertanggung jawab." Aku diam, tapi setiap kata-kata lelaki itu menghujam
begitu dalam. Sebab, ia benar.Dan kali ini tak ada jalan
bagiku untuk mengelak, untuk membenarkan segala
perbuatan suamiku. Apa yang dilakukannya salah dan aku
harus mengakuinya. "Dan itulah kelemahan perempuan, Bu. Jelas-jelas suami
sudah berbohong, berkhianat, bahkan ada yang sampai
memukul dan menyiksa lahir dan bathin, masih saja tinggal
diam. Bahkan baru-baru ini, ada perempuan yang sampai
disuruh memotong jempol kakinya oleh suaminya, tapi
masih tetap juga ngotot bertahan dalam rumah tangga,
padahal je las-jelas suaminya salah.Padahal, Islam
memberikan hak kepada perempuan untuk hidup bahagia,
dihormati, dihargai, dicintai dan dilindungi. Dan jika hak
itu tak diperoleh dari suaminya,maka perempuan bo leh
memperjuangkan haknya. Tak ada yang salah apalagi
dengan itu!" Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya mengusap air mata
yang mengalir diam-diam. Keputusan itu... Suamiku makin tak terkendali. Dia makin sering
mengintimidasiku, mengancam akan membunuh,
mendiamkanku atau bahkan berteriak-teriak memarahiku di
hadapan anak-anak kami.Ia mulai membanting barang-barang, beberapa kali hampir memukulku dengan benda
yang dipegangnya meski tak pernah benar-benar
melakukannya. Suasana rumah kian memanas. Rumah tangga kami
sudah seperti neraka. Anak-anak kami makin suka
menangis dan berteriak tak karuan. Anak sulungku
seringkah melamun dan mudah menangis serta tersinggung.
Sedang anak kedua dan ketiga mudah mengamuk dan
berteriak jika apa yang diinginkan tak diperolehnya.
Maka diam-diam, setiap kemarahan serta ancaman, atau
diam suamiku, justru menjadi jalan setapak yang kulalui
hingga kusampai pada keputusan itu. Sungguh bukan
keputusan yang mudah, karena pada dasarnya aku masih
saja takut jangan-jangan ini semua adalah salahku. Namun
satu hal yang membuatku tak menyurutkan langkah adalah
bahwa aku merasa tak mampu lagi hidup bersama lelaki
yang telah 10 tahun menjadi suamiku ini.
Aku tak lagi memiliki sedikit pun keikhlasan untuk melayaninya. Dan
aku tahu, setiap ketidakikhlasanku itu hanya akan menjadi
jalan bagiku untuk berbuat dosa. Aku tahu, perkawinan ini
tak akan lagi menjadi ladang a-mal bagiku, sebab aku
membenci suamiku dan tak akan mampu lagi hidup
bersamanya dengan ikhlas, sabar dan suka cita.
Maka aku pergi menemui lelaki petugas Pengadilan
Agama itu. Aku bertanya apa-apa yang kubutuhkan untuk
menggugat cerai suamiku. Ternyata sederhana saja. Aku
hanya perlu menyerahkan foto copy KTP dan Surat Nikah
serta membuat pengaduan. Ia pun menyarankanku untuk
menyimpan surat-surat tanah yang mungkin masih bisa
kuselamatkan dan kubaliknamakan, menyimpan surat-surat
kendaraan, dan surat-surat rumah, agar jangan sampai
suamiku menguasai seluruhnya tanpa memberiku bagian
sedikit pun. Maka proses itupun dimulai. Perlahan-lahan dan
diarndiarn, kukumpulkan semua milikku. Uang gajiku yang
tadinya hampir seluruhnya masuk ke dalam rekening bank
suamiku, sedikit demi sedikit kukurangi. Aku telah
merencanakan, begitu aku mengajukan gugatan cerai, maka
seluruh uangku akan masuk ke rekening bankku saja. Dan
hari itu tibalah. Aku menebalkan tekad dengan sholat
malam dan memperbanyak doa. Dengan menguatkan hati,
kumasuki kantor Pengadilan Agama. Tak terkira debaran
jantungku dan sekuat tenaga kutahan air mataku. Aku tidak
akan surut. Dan hari itu, di bulan Agustus, aku pun membuat
pengaduan. Selang beberapa hari kemudian, tepatnya
seminggu setelah pengaduan dibuat, surat panggilan untuk
menghad iri sidang pun datang. Ketika itu, aku telah
berpisah rumah dengan suamiku yang pada suatu malam
menjadi demikian marah dan gila hingga mengusir aku dan
keempat anakku dari rumah kami. Ketika itu pukul 3
dinihari. Dan kejadian itu, menorehkan luka begitu
dalamnya di hatiku, hingga melecutku serta memberiku
kekuatan untuk akhirnya mendatangi Kantor Pengadilan
Agama. Rasa Bersalah Persidangan itu begitu menakutkanku. Belum pernah aku
merasa begitu kecil, terhina, dan menderita karena aku
harus menceritakan aibku sendiri
Idi hadapan orang-orang asing yang bernama Hakim
Ketua, dua Hakim Anggota, dan seorang Panitera. Belum
lagi kenyataan bahwa orang yang kulawan adalah suamiku
sendiri. Bagaimana mungkin semua ini terjadi" Aku
merasakan kesedihan yang amat hebat, hingga tak jarang
aku menangis di hadapan orang-orang yang hadir dan tak
mampu berkata-kata. Akupun memilih untuk lebih banyak
menyampaikan pembelaan dan pengakuanku dalam bentuk
tertulis. Itulah suasana teraneh yang pernah kualami. Berseteru
dengan orang yang pernah begitu kucintai, saling
menyerang, saling membuka kesalahan dan aib. Oh...entah
ke mana cinta yang dulu ada di antara kami. Sungguh
begitu mudah cinta tercerabut, hingga ke akar akarnya,
hingga kami bisa saling berhadapan dan saling
memburukkan satu sama lain. Ketika akhirnya gugatanku
dikabulkan, aku merasa bebas. Tapi belakangan aku didera
rasa bersalah, terutama setiap kali melihat wajah keempat
anakku. Oh, Tuhanku... apa yang telah kulakukan"
Bersalahkah aku" Berdosakah aku telah membuat
anakanakku terpisah dengan ayah rnereka"Egoiskah aku"
Benarkah aku memberikan yang terbaik bagi anak-anakku"
Benarkah aku melakukan semua ini demi ketenangan
mereka, demi perkembangan jiwa mereka yang telah kerap
menyaksikan pertengkaran demi pertengkaran, mendengar
ancaman demi ancaman" Benarkah" Benarkah"
Aku menjadi sakit. Berbagai dokter kukunjungi, sakitku
tak juga sembuh. Hingga suatu hari, salah seorang
keluargaku membawaku menemui seorang dokter yang
terkenal taat ibadahnya. Dari dialah aku mendengar bahwa
aku sebenarnya tak sakit. Aku sehat-sehat saja. Yang sakit
adalah jiwaku. "Sakit perut seperti mag, sakit punggung yang
berkelanjutan, merasa kedinginan setiap saat, pusing yang
terus menerus, adalah gejala stress. Pergerakan usus Ibu
normal, tak ada yang bermasalah. Apa yang Ibu
khawatirkan dan pikirkan" Stress tak ada obatnya. Obatnya
datang dari diri sendiri. Dari penguatan diri. Saran saya,
apapun masalah Ibu, perbanyaklah berdoa dan shalat
malam. Semua masalah ada jalan keluarnya. Berserah diri
pa da Allah," kata dokter itu sambil tersenyum.
Sejak itu, aku tak lagi membiarkan diriku tenggelam
dalam siksaan rasa bersalah. Aku banyak berdoa, banyak
sholat malam dan lebih memasrahkan diri pada
Allah.Kupandangi anak-anakku. Melihat wajah mereka,
aku pun 'terjaga' dari tidurku selama ini. Jika aku jatuh dan
terpuruk, siapa yang akan menjaga anak-anakku" Jika aku
tenggelam dalam kesedihan, siapa yang akan
menggembirakan anak-anak ku" Akulah satu-satunya
harapan mereka. Aku telah menciptakan situasi ini.
Menangis sungguh tak akan membawa hasil apaapa. Apa
yang telah terjadi adalah menjadi bagian dari hidup yang
harus kuhadapi. Allah lebih tahu apa yang terbaik bagiku.
Jika ini yang terbaik,maka aku terima dengan lapang dada.
Aku pun sampai pada kesadaran, bahwa aku adalah
orang yang 'terpilih' untuk menerima ujian ini. Mengapa
aku" Tentunya karena Allah tahu sesuatu yang aku tak
tahu. Maka aku tak lagi mempertanyakan mengapa Allah
menimpakan ujian ini. Semangat hidupku bangkit lagi. Aku kian giat berusaha
dan bermunajat kepada Allah. Dalam doa, aku meminta
agar Allah menghilangkan rasa bersalah, kegelisahan dan
ketidaktenangan dari dalam jiwaku.
Lagi-lagi, Allah menjawab doaku. Sebab, pada suatu hari
aku berkenalan dengan seorang laki-laki yang tak sengaja
bertemu denganku di sebuah seminar. Lelaki yang
belakangan kutahu seorang us-tadz ini, berkata padaku
setelah kami cukup dekat dan aku dapat menceritakan
tentang perceraianku. "Mbak, Allah yang membenci perceraian itu, adalah
Allah yang sama yang juga mengajari kita cara untuk
melakukan perceraian secara ma'ruf. Jadi, Allah sudah tahu
bahwa akan ada di antara hambanya yang tak akan berhasil
dengan rumah tangganya, sehingga Dia pun membolehkan
perceraian untuk mengatasi masalah yang sudah tak dapat
lagi dicarikan jalan keluarnya."
Aku diam mendengarkan. "Jadi, perceraian itu memang ada dan diperbolehkan.
Meski memang dibenci Allah.Tapi bila memang tak ada
jalan keluar dan alasan-alasan untuk melakukan perceraian
sesuai syariat, maka itu boleh. Tak usah merasa
bersalah.Allah Maha Tahu dan Mengerti. Jangan siksa diri
dengan perasaan bersalah itu. Mbak tidak bersalah! Suami
Mbak berkhianat dan Mbak tidak bisa mentolerirnya."
"Tapi orang lain bisa. Jangan-jangan seharusnya saya
bertahan dan bersabar," kataku.
"Bertahan gimana" Suami Mbak tidak mengaku bersalah.
Apalagi mau minta maaf dan memperbaiki diri.
Sudahlah...Mbak tidak bersalah!" katanya meyakinkanku.
"Sekarang, banyak-banyaklah memohon pertolongan
Allah, agar Mbak diberi kekuatan."
Jalan masih panjang
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan begitulah...Allah sungguh Maha Adil. Makin hari,
makin ditunjukkannya bukti-bukti tentang kesalahan
suamiku, kadang dengan cara-cara yang sa ngat ajaib.
Misalnya, aku bertemu sahabat lama yang telah lebih dari
10 tahun tak berjumpa dan darinya kudengar bahwa
suamiku berselingkuh dengan seorang karyawati,yang
ternyata adalah teman sekantor tetangga dekat rumahnya.
Ada juga kejadian, ketika suamiku salah kirim sms yang
ditujukan kepada kekasihnya ternyata terkirim ke HPku.
Maka semua kejadian itu membuatku semakin yakin pada
jalan yang kutempuh. Setelah merasa yakin dan rasa bersalah berkurang sedikit
demi sedikit, aku mulai memperoleh kepercayaan diri lagi.
Aku membangun hidup dengan memprioritaskan
kepentingan anak-anak. Aku harus kuat sebab akulah
tempat anak-anak bersandar.
Ketika saat-saat sedih datang menyesaki dada, aku
banyak mengadu pada Allah dalam sholat-sho lat malam
yang p anjang.Aku tumpahkan seluruh beban dan air mata
ini hanya kepada Allah. Sebab Dia sebaik-baik pendengar.
Dari apa yang kujalani, aku pun banyak belajar.Salah
satunya adalah, bahwa akulah satu-satunya yang mampu
membuat keputusan untuk hidupku,atas pertolongan Allah.
Bahwa sebenarnya, akulah yang paling mengerti apa yang
kubutuhkan, apa yang kurasakan, apa yang harus
kulakukan. Bahkan keluarga terdekat sekalipun, tak dapat
sepenuhnya mengerti perasaanku. Akan ada masanya
mereka merasa jenuh mendengar keluh kesahku, sementara
masih begitu banyak yang ingin kukeluhkan, seolah tak
pernah ada habisnya. Dari situlah aku mengerti,bahwa
han ya dirikulah yang bisa mengendalikan perasaanku
dengan cara bersabar dan bertawakkal. Dan hanya Allah
sebaik-baik tempat mengadu.
Pengalaman ini juga memperkuat apa yang selama ini
kuyakini; bahwa bagaimana pun, sebaiknya perempuan
haruslah mandiri dan bekerja. Tentu tak harus bekerja di
luar rumah jika itu memang menyulitkan. Bekerja dari
rumah dan menghasilkan sesuatu bagi dirinya sendiri,
merupakan hal yang baik untuk memupuk kemandirian
serta kesiapan mental ketika terjadi musibah. Bukan hanya
karena perceraian, tetapi untuk menghadapi saat-saat ketika
suami tak ada di rumah, entah karena bepergian, jatuh sakit
yang tak memungkinkannya bekerja, kecelakaan,atau
bahkan meninggal dunia. Semua pengalaman ini membuatku yakin, bahwa
sebenarnya perempuan mampu bila keadaan memaksa
untuk hidup dan berjuang sendirian. Keteguhan serta
keberanian serta kegigihan dan kesabaran untuk tetap
berjuang dan bertahan hidup demi diri sen diri dan anak
anak adalah senjata yang sangat ampuh, yang rasanya wajib
dimiliki oleh seorang perempuan.
Tentu, tak seorang perempuan pun ingin diceraikan
apalagi menceraikan, tak seorang perempuan pun ingin
ditinggal mati suaminya, tak seorang perempuan pun ingin
berjuang sendirian karena suami tiba-tiba jatuh sakit, tak
seorang perempuan pun ingin menjadi janda. Tapi ketika
semua itu harus terjadi, karena takdir ilahi,maka seorang
perempuan yang paling lemah sekalipun, harus siap
memanggul beban dipundak. Sebab perempuan berhak
sekaligus berkewajiban untuk berusaha dalam hidup. Tetap
kuat dan sabar menjawab setiap tantangan, tetap terpacu
untuk mencari kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sebab,perempuan juga berhak bahagia. Dan aku berhak
bahagia, sebab aku juga seorang perempuan dan seorang
hamba Allah. Insya Allah. (Nejla Humaira) Momen Kecil yang Meninggalkan Jejak
Catatan 8 Hal-hal Sederhana Yang Dirindukan
"I'm a mother of two kids, and i'm proud of it!"
Apakah yang paling dirindukan seorang perempuan
ketika jauh dari tanah airnya"
Sandra Nicole Rolden, penulis dari Filipina iseng-iseng
membuat catatan lima hal yang paling dirindukannya sejak
di Korea, sebagai berikut:
1. Kitty (her dog) 2. Her boyfriend 3. Her farnily and friends
4. Her kitchen 5. Surnmer time (kami tiba di akhir musim dingin)
Saat itu kami berada di sebuah coffee shop di depan
Istana Gyeongbokgung yang indah. Dari enam writers in
residence hanya saya, Sandra,mas Cecep dan Surachat
Petchelela yang pagi itu memutuskan untuk menghabiskan
waktu di Seoul Collection, semacam klub bagi para
foreigners di Korea, di mana mereka bisa menonton film
film korea setiap pekannya lengkap dengan teks berbahasa
Inggris, hanya dengan 3000 won (Rp. 30.000), sambil
menikmati teh, kopi atau juice.
Sebuah cara yang nyaman untuk break dari aktivitas
belajar bahasa Korea (lima kali sepekan di Korea
Universit y) yang cukup melelahkan. Ketika mendengar
lima hal yang dirindukan Sandra, maka saya mencoba
menganalisa lagi, apa yang paling sa ya rindukan.
1. Caca dan Adam 2. Suami 3. Mami, HTR dan Ibu mertua
4. Kantor 5. Masakan Indonesia Saya amati lagi list tersebut, dan merasa yakin... ya
kelima itulah yang paling saya rindukan. Jauh dari keluarga
selama sebulan ini, ada beberapa hal yang berubah pada
rutinitas saya. Pertama pola hidup yang jelas jauh lebih
teratur, dan tidak seenaknya seperti di Jakarta. Sedikitnya
ada tiga kebiasaan jelek saya dulu: tidur menjelang pagi,
bangun siang (habis subuh tidur lagi) dan terakhir kerap
lupa waktu makan. Kebiasaan jelek pertama masih belum bisa diubah total
dan kadang sungguh menyiksa. Pernah saya sama sekali
tidak bisa tidur dua malam berturut-turut dan harus
berusaha keras untuk fokus di kampus keesokan harinya.
Yang kedua, alhamdulillah jam berapa pun tidurnya,
sempat tidur atau tidak, saya 'hidup' lebih pagi. Dan yang
ketiga, soal telat makan... saya jaga benar-benar agar tidak
terjadi. Hari kelima di Korea perut saya sempat perih luar
biasa gara-gara melewatkan makan siang. Ternyata jamuan
makan yang dijanjikan di 63 Building dalam Opening
Ceremony, bukan makan siang melainkan makan malam.
Saya benar-ben ar jeri, sebab dengan perut sakit hingga
nyaris pingsan, saya harus menempuh jalan cukup jauh ke
subway station terdekat dalam cuaca 2 derajat celcius pula!
Tapi perubahan besar lainnya terkait hal-hal yang saya
rindukan. Setelah jauh dari tanah air dan orang-orang yang
saya cintai, saya jadi lebih mampu menghargai momen-momen kecil, yang sebenarnya sejak dulu pun saya nikmati.
Tiba-tiba saya merasa belum cukup mensyukurinya. Apa
saja" Pertama, saya sangat bersyukur menjadi ibu. Dan
kalimat itulah yang dengan bangga saya sampaikan kepada
teman-teman dari berbagai negara, ketika cukup banyak
yang menyembunyikan status seraya bercanda: Petualangan
itu perlu untuk proses kreatif, Asma! Apalagi bagi seorang
penulis! Tetapi saya tidak bisa melakukan itu. Menjadi ibu adalah
hal terbaik yang terjadi pada saya dan tidak ingin saya
tutupi. "Yes, I'm a mother of two kids, and i'm proud of it!"
Tapi saya harus memerinci syukur itu lagi, saya kira.
Betapa mengantarkan anak-anak tidur, adalah sebuah
nikmat yang ternyata telah memberi saya banyak
kebahagiaan yang sanggup menghapus kesedihan,
kekecewaan dan hal-hal tidak enak yang saya lalui seharian.
Betapa saya bersyukur setiap pagi bisa terbangun dari
tidur dan menemukan anak-anak di sisi. Menemani Caca
sarapan pagi hingga jemputan sekolah datang, dan
melepasnya pergi setelah mencium tangan saya.
Betapa saya bersyukur mendapatkan kecupan di kening
setiap pagi oleh Adam ketika dia berpamitan ke
sekolah.Betapa saya bersyukur bisa berada di sisi mereka
ketika mereka ada masalah. Bahkan ketika keduanya
bertengkar dan mencari saya sebagai hakim.
Betapa saya bersyukur ada di dekat Caca, setiap kali dia
sedih dan berlari ke arah saya dengan tangan terkembang
untuk sebuah pelukan. Betapa saya bersyukur bisa mendengar kalimat: I love u,
Bunda (Caca), I love u, Mama (Adam), atau mendapatkan
tatapan Adam yang memandang dalam sebelum berkata:
Bunda tahu nggak" Adam tuh cinta sekali sama Bunda!
Kalimat yang biasanya diikuti gerakan tangannya menarik
leher saya lembut agar mendekat kepadanya,untuk
kemudian mengecup kening saya tepat di tengah-tengah.
Betapa saya bersyukur bisa membaca lembar demi
lembar tulisan Caca yang dicoretnya di diary ibu dan anak
yang kami miliki, di mana hanya kami berdua yang
memiliki akses untuk membacanya.
Betapa saya bersyukur bisa berada di sana, ketika Caca
berkata: Menurut Bunda, aku sebaiknya pakai baju apa ya
hari ini" Betapa saya bersyukur bisa bermain kartu tebak-tebakan
bersama mereka, bisa mendongeng (meski kadang di tengah
kantuk),bisa berjalan sambil menggandeng keduanya di sisi
kiri dan kanan saya. Begitu banyak hal yang harus saya syukuri.
Juga suami bertanggung jawab yang Allah kirimkan
untuk saya. Mami dengan 'kecerewetan' dan perhatian yang tak
pernah berkurang meski anak perempuannya ini sudah
berusia kepala tiga. Ibu mertua yang kerap membawa masakannya ke
rumah, dan menjadi teman ngobrol di telepon.
Juga kakak baik hati yang Allah berikan untuk saya.
Kakak yang memberi saya hadiah acara ulang tahun saya di
rumahnya sebelum keberangkatan. Sahabat perempuan
terbaik dan teman jalan-jalan yang mengasyikkan.
Baru tiga pekan, sudah begitu banyak kerinduan. Tapi
berada jauh dari mereka untuk rentang enam bulan ini
sungguh membuat saya menghargai hal-hal kecil namun
ternyata telah menjadi sumber dari banyak kebahagiaan.
Hal-hal sederhana yang kini terasa mewah.
Seoui, 10 April, 2006 2 x 24 jam "Bagaimana perasaan seorang istri, jika menyadari
bahwa kebersamaan dengan lelaki yang dicintai mungkin
akan berakhir, sebelum 2 k 24 jam""
Seperti baru kemarin, Nita Sundari, bagian keuangan
kami, tergopoh-gopoh berpamitan dari kantor,
"Mbak Asma, Nita pamit dulu..." Ada nada panik pada
suaranya ketika melanjutkan, "Adik ipar Nita, suaminya
Inge kecelakaan motor."
Kebersamaan kami sejak awal mendirikan Penerbit
Lingkar Pena, cukup membuat saya mengenal sosok Nita
Sundari dengan baik.Pribadi bertanggung jawab yang tidak
segan-segan melemburkan diri di kantor demi
menyelesaikan tugas-tugasnya. Situasi sang adik ipar
mestilah mengkhawatirkan hingga Nita sampai meras
a perlu segera meninggalkan kantor.
Ujian di tahun kelima perkawinan
Saya tidak mengenal sosok Inge, adik Nita dengan baik.
Hanya satu dua kali pertemuan. Hingga peristiwa
kecelakaan motor hari itu, yang meninggalkan catatan
mendalam di hati saya. Usia perkawinan Inge dan Taufik Rahman baru
menginjak tahun ke lima ketika peristiwa pahit itu terjadi.
Lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan di LSM
UI Depok itu ditemukan orang tergeletak dalam keadaan
luka parah di jalan menurun se telah Universitas Indonesia.
Sampai saat ini tidak ada kejelasan bagaimanakah
peristiwa sebenarnya. Apakah Taufik terjatuh mengingat
memang ada lubang besar tidak jauh dari motornya
ditemukan, ataukah lelaki itu merupakan korban tabrak
lari" Kondisinya masih sadar ketika orang-orang
membawanya ke RS. Tugu, kemudian dirujuk ke RS UKI.
Masih bisa mengatakan lapar, atau protes ketika
pakaiannya hendak dibuka di UGD.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan
Inge, ibu dari tiga orang anak, ketika kemudian dokter
datang, dan memberinya dua pilihan; Taufik harus segera
dioperasi, sekalipun peluang berhasil tidak besar.
Pendarahan di otak terlalu parah, ada kemungkinan setelah
operasi dilakukan, kalaupun selamat maka akan
menimbulkan cacat mental, dalam pengertian suami Inge
nanti akan berbicara dan bersikap tak ubahnya anak-anak.
Tetapi jika tidak dioperasi maka Inge dan anak anak
tinggal menunggu waktu, hanya bisa pasrah menyaksikan
lelaki terkasih itu berpulang.
"Operasi...'' Keputusan itu akhirnya keluar dari bibir Inge.
Saya kira istri mana pun akan berjuang dan memberikan
yang terbaik demi pendamping hidup mereka. Apalagi
hubungan keduanya sangat harmonis. Inge dan Taufik telah
saling melengkapi selama bertahun-tahun, nyaris tanpa
pertengkaran. Operasi dilakukan di tempat. Melihat keadaan Taufik,
dokter tidak berani memindahkannya dari UG D dan
membawanya ke ruang operasi.Semua benar-benar berpacu
dengan waktu.
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Masa-masa kritis itu... Setelah selesai operasi, dokter memanggil pihak
keluarga, dan bicara pada sepupu keluarga yang me wakili.
Tidak berapa lama setelah sepupu mereka menyampaikan
hasil kesimpulan dokter, Inge langsung pingsan, diikuti ibu
mertua dan terakhir Ibu Inge ikut pingsan.
Kondisi pasca operasi Taufik terbilang sangat buruk.
"Kita lihat dalam 2 x 24 jam."
Jika lelaki itu bisa melewati masa kritisnya, maka
kemungkinan besar Taufik akan selamat. Jika tidak, maka 2
x 24 jam itulah sisa waktu yang dimiliki Inge bersama lelaki
yang dicintainya. Hhh... saya tidak kuat membayangkan jika harus berada
di posisi Inge saat itu. Terlebih mengingat tiga buah hati
mereka, Jihan yang masih berusia tiga tahun,Salsabila yang
baru dua tahun dan si bungsu Hamzah yang baru berusia
dua bulan, ketiganya masih sangat kecil.
Alhamdulillah 1 x 24 jam pertama terlewati.
Seluruh keluarga menyusun tangan ke atas, terus
memanjatkan doa untuk Taufik. Lelaki yang selama ini
meski tidak banyak bicara tetapi punya banyak sekali
teman. Lelaki sederhana yang kerap menun da-nunda
mengganti kacamata, meski sebelah kacanya sudah pecah,
untuk keperluan-keperluan keluarga, yang menurutnya
lebih penting. Lelaki yang kerap diprotes ipar-iparnya
karena dianggap terlalu memanjakan anak-anak.
"Masa sih Mbak... misal anaknya habis pipis. Dia mau
tuh turun bantu si kecil bersih-bersih. Terus setiap kali
anaknya bilang airnya dingin dan minta air hangat. Buat
kita kan repot... apalagi sudah di kamar mandi. Tapi Taufik
tuh sabar bukan main. Di-turutin aja meski harus bolak
balik ke dapur." Begitu sekelumit cerita Nita, yang cukup
menggambarkan sosok lelaki itu sebagai bapak yang spesial
dan amat dekat dengan anak-anaknya. Cerita-cerita Nita
membuat saya diam-diam ikut menunggu perkembangan
kondisi lelaki itu. Meski tentu tidak bisa mengalahkan
debaran di hati Inge saat detik demi detik bergulir. Akankah
sang suami tercinta bertahan dan melewati masa kritisnya
yang 24 jam lagi" Waktu terasa berjalan selambat butiran air yang jatuh
satu-satu dari ketinggian, ketika akhirnya telepon berdering.
Pihak rumah sakit mengabarkan kondisi Taufik yang
semakin memburuk. K etika keluarga datang, tampak alat perekam dan pompa
jantung yang sudah dipasangkan. Dokter kembali memberi
dua kemungkinan. Jika kondisi membaik, maka tindakan
akan dilanjutkan. Jika sebaliknya, maka alat medis tersebut
akan dilepas, "Sebab itu berarti tubuhnya tidak kuat, bu." Inge terlihat
tabah menerima keterangan dokter. Sejak tiba, menurut
Nita, adiknya terus mengaji. Surat yang dilantunkan adalah
kesukaan Taufik, surat Ar- Rahman.
Fabi ayyi alaa i rabbikurnaa tukadzdzibaan...
Maka nikmat Aliah manakah yang kamu ingkari"
Mendengar dan menyaksikan betapa tenangnya Inge
membacakan ayat satu demi satu, seluruh keluarga nyaris
tak bisa menahan tangis. Tidak juga sepupu mereka yang
seorang polwan. Sikap Inge yang bahkan masih bisa
tersenyum dan menenangkan ya ng lain semakin membuat
yang hadir bertambah-tambah sedih. Dan tepat, ketika ayat
terakhir dari surat Ar Rahman dibacakan, Taufik
mengembuskan napas terakhirnya, seiring tanda garis
mendatar pada alat perekam jantung yang dipasangkan.
Allah! 2 x 24 jam. Ternyata memang sesingkat itulah kebersamaan mereka
dengan Taufik; suami, ayah, anak, menantu, dan ipar yang
dicintai. Tangis keluarga pecah, satu persatu mendekati
Inge. Perempuan berkacamata itu sebaliknya masih terlihat
tenang, malah menabahkan sanak keluarga yang menangis
saat merengkuhnya. Memberi mereka kalimat-kalimat yang
me neduhkan. Meminta mereka semua untuk sabar.
Mata saya tak urung berkaca mendengar cerita Nita,
sambil membatin. Betapa tabahnya Inge. Betapa tawakalnya dia. Betapa
hebat perempuan muda itu mengemas air matanya!
Sampai saat ini, tiga tahun sejak peristiwa itu, Inge masih
terus menyimpan kenangan tentang almarhum Taufik
dengan baik dan rapi. Kerap kali lontaran kenangan muncul
dalam percakapan Inge dengan keluarganya. Meski mereka
berusaha tidak lagi menyinggung-nyinggung tentang lelaki
itu. "Pernah Nita cerita, Mbak. Kepala Nita pusing kayak
vertigo. Langsung aja Inge menyambar, 'Inge juga pernah
begitu, sakit kepalanya. Terus dipijitin sama Taufik sampai
hilang sakitnya...' "
Atau ketika keluarga menyantap sate kambing,
"Wah, ini makanan kesukaan Taufik, nih!"
Terkadang kalimat serupa lahir dari Jihan, terutama saat
mereka ke Kebun Binatang atau saat me reka melewati
lapangan bola, "Jihan pernah diajak abi ke situ... terus main sama
temannya abi." Kalimat yang diam-diam membuat air mata yang
mendengar terasa tertahan di pelupuk. Siapa yang menduga
kenangan-kenangan terakhir dengan ayahnya begitu
melekat dalam ingatan si sulung" Padahal Nita bahkan
tidak terlalu yakin apakah Jihan mengerti arti kepergian
ayahnya, ketika mereka semua menjelaskan kepada Jihan
bahwa mulai saat itu abi akan tidur di sana (sambil
menunjuk ke arah gundukan tanah).
"Tapi Inge tidak pernah menangis selama prosesi""
Nita menggelengkan kepala.
"Selama tujuh hari saya dan Ika (adik Nita yang lain)
menemani Inge. Kalau bertemu kami pasang wajah biasa.
Baru ketika pulang saya dan Ika menangis, tidak kuat
melihat sabarnya Inge..."
Hanya satu alasan yang mampu memberi kekuatan pada
seorang ibu, apa pun kondisinya: Anak-anak.
Nita mengiyakan. Sepertinya memang itulah alasan kuat kenapa Inge
berusaha tegar menghadapi kepergian Taufik. Betapapun
hatinya menangis, betapa pun gamang karena sejak itu dia
akan hidup dan membesarkan anak-anak tanpa ayah. Tapi
anak-anak masih kecil. Si bungsu malah masih menyusu.
Dan seorang ibu yang baik mengerti betul betapa
pentingnya ASI ba gi anak-anak, dan betapa mudahnya
situasi batin ibu mempengaruhi kelancaran keluarnya ASI.
Hhh... saya lagi-lagi hanya bisa menarik napas dalam.
Beberapa detik saya dan Nita hanya terdiam. Barangkali
membayangkan bagaimana jika hal serupa terjadi pada
kami masing-masing. Akan kuatkah"
"Dan Inge tidak pernah menangis"" Nita, perempuan
berkulit hitam manis itu tidak langsung
menjawab.Barangkali mengajak ingatannya kembali ke
hari-hari yang memilukan itu,
"Hanya sekali, Mbak... sebulan setelah meninggalnya
Taufik. Ya... setelah sebulan, dan hanya sekali itu."
Dalam kenangan cinta: 22 Februari 1974 -
Taufik Rahman 17 Maret 2005
Catatan 9 Dua Pasang Suami Is tri "Dalam keadaan cacat fisik dan kekurangan materi,
apakah yang menjadi sumber kebahagiaan keduanya""
Dua peri stiwa. Dua pasang suami istri yang tidak saya kenal. Satu
pertemuan. Dan seumur hidup saya, kemungkinan besar hanya
sekali itulah saya bersinggungan dengan keduanya. Itu pun
tidak lebih dari sepuluh menit. Tapi ikatan kuat di hati
setiap pasangan suami istri itu, begitu menyentuh.
Gunung Sahari, 22 Oktober 2006
Saya bertemu dengan pasangan suami istri ini saat
bersama teman-teman Rumah Cahaya Pusat melaksanakan
kegiatan tahunan kami. Setelah selama sebulan
mengumpulkan sumbangan dari teman-teman melalui milis
dan biog, tiba saatnya menyalurkan amanah yang diterima.
Persis seperti tahun sebelumnya, beberapa hari
menjelang hari raya Iedul Fitri kami menyusuri jalan-jalan
Jakarta. Dari Depok, Buncit, Saharjo, masuk ke Manggarai,
terus menuju Jalan Proklamasi, mengarah ke Mangga Dua,
Tubagus Angke dan berakhir di Grogol, kemudian kembali
dengan rute yang hampir sama.
Sebenarnya paket dalam kantung plastik hitam yang
kami salurkan tidak terlalu banyak. Isinya pun sederhana
saja, terdiri dari sirup, indomie, biskuit kaleng, astor, kurma
dan susu kaleng, ditambah sedikit uang dalam amplop.
Tetapi saya dan sahabat-sahabat dari rumah cahaya
berusaha unt uk memilih betul target yang menerima, agar
tidak salah sasaran ke pengemis musiman yang hijrah
berbondong-bondong memenuhi ibukota setiap lebaran.
Hari telah gelap ketika saya dan teman-teman melewati
pemandangan yang tidak biasa: lelaki tua yang mengayuh
sepeda bututnya pelan-pelan. Di belakangnya duduk sang
istri. Punggungnya penuh oleh buntalan barang yang
dihampirkan dengan sehelai kain batik.
Yang menarik adalah tangan si istri yang dipenuhi
kantung plastik tapi berusaha keras meraih pinggang
suaminya.Meski kadang terlepas karena mengatur
keseimbangan. Sepeda melaju tenang. Si bapak terlihat hati-hati. Sekilas
pandang, saya yang melintas, bisa melihat wajah si bapak
tua yang berkilat oleh keringat, seolah telah menempuh
perjalanan jauh. Beberapa kejap tatapan saya masih terpaku pada tangan
kurus milik ibu tua yang seperti sebelumnya berusaha
meraih pinggang si bapak.
Momen sederhana yang terasa penuh makna dan
menyedot perhatian saya. Dan kenyataan pakaian
keduanya yang lusuh, atau sandal jepit sekarat yang mereka
kenakan menjadi tidak penting.
Sebelah tangan kurus yang jatuh bangun berusaha
bertaut pada sosok tua si bapak. Romantis!
Ketika kami meminta mereka berhenti, raut keduanya
tampak kaget. Si bapak seketika turun. Istrinya melakukan
hal yang sama, dan cepat mengambil posisi di belakang,
seolah mencari perlindungan dari sosok kurus si bapak yang
kini terlihat heroik dan gagah di mata saya. Saya dan
sahabat-sahabat rumah cahaya sempat bercakap-cakap
dengan pasangan suami istri ini. Dugaan terdahulu saya
benar, berduaan mereka telah menempuh perjalanan cukup
jauh untuk berdagang makanan di suatu tempat.
Ah, berapa lama mereka sudah bersama" Paling sedikit
tiga puluh tahun, pikir saya sambil mengamati sepeda tua
yang catnya telah mengelupas dan kedua bannya nyaris
gundul. Ketika salah seorang dari kami mengulurkan kantung
plastik hitam yang tidak seberapa itu, wajah dua orang tua
itu langsung saja tersenyum. Rasa syukur mereka wujudkan
dengan kalimat harnda-lah dan terima kasih berulang-ulang.
Saya melihat si ibu menerima bingkisan sambil
melempar pandangan ke arah suaminya, penuh arti.
Kehidupan mereka pasti tak mudah, batin saya sambil
merayapi guratan usia di wajah keduanya.
Garis-garis yang lahir ditempa kerasnya kehidupan di
Jakarta. Tapi kemesraan sederhana namun indah yang sampai ke
mata saya dan teman-teman, terlalu rne-nyolok untuk luput
dari perhatian. Dengan pemikiran seperti itu, saya melepas mereka.
Kaki kurus si bapak kembali menggenjot sepeda, di
belakangnya sang istri duduk dengan sebelah tangan
memegang erat-erat beberapa barang.
Dan barangkali seperti ribuan hari sebelumnya, sebelah
tangannya yang lain, diantara kantung plastik lain yang
memenuhi tangannya, berusaha menggapai pinggang bapak
tua. Song Gwang Sa Temple, 3 September 2006
Per temuan dengan bapak dan ibu tua yang berboncengan
sepeda, menarik ingatan saya pada pasangan lain yang
meninggalkan kesan serupa beberapa bulan sebelumnya.
Fieldtrip terakhir bersama rombongan Writers in
Residence. Ada beberapa tempat yang telah ditentukan oleh
Yea Jin, program manajer kami selama di Korea, untuk
dikunjungi: Oedo island, Bosung Tea Farm, dan dua temple
terkenal. Tempat-tempat yang indah. Oedo Paradise Island
merupakan pulau pribadi yang seperti namanya, dibangun
menyerupai bayangan surga oleh pemiliknya. Saya yakin
hanya dengan cinta dan kesungguhan pulau yang konon
awalnya tandus bisa ber ubah menjadi surga tanaman
tropis, dengan lebih dari 3000 jenis tumbuh-tumbuhan,
diantaranya Canellias dan Kaktus.
Masih dengan benak menyimpan keindahan Oe do
Island, saya dan rombongan melanjutkan perjalanan ke
Song Gwang Sa Temple. Saat bis akhirnya berhenti, kami semua turun dan
melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Saya ingat
hanya berjalan sendirian karena teman-teman lain
memutuskan untuk makan siang dahulu.
Tetapi langkah-langkah cepat saya segera terhenti. Ada
'sesuatu' di hadapan yang menyita perhatian saya.Satu
pemandangan yang bagi sebagian besar pendatang mungkin
bukan apa-apa, terbukti begitu banyak orang yang melintas
hanya satu dua yang berhenti dan menghampiri. Sepasang
pengemis tua yang buta, duduk di atas tikar kecil, tepat di
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sisi kiri jalan setapak, beberapa meter dari gerbang.
Hati saya langsung berdesir. Ah, cinta seperti apa yang
mempertemukan mereka"
Cinta seperti apa pula yang tidak kunjung memisahkan
keduanya" Imajinasi saya sebagai penulis sontak membayangkan
betapa suami istri tua itu telah melalui sebagian besar
bilangan usia mereka dalam hari-hari yang sulit. Bukan
hanya bahu membahu untuk makan sehari-hari, tetapi juga
saling membantu dalam melakukan aktivitas harian yang
sederhana. Kesulitan yang semakin menjadi ketika usia
bertambah tua. Barangkali mereka tidak memiliki anak. Hingga suami
menjadi tumpuan istri, begitu pun sebaliknya.
Allah, bagaimana jika salah satu sakit" Bagaimana
mereka merawat pasangan dalam keterbatasan fisik"
Ketika jalanan semakin sepi, saya melihat keduanya
mengobrol. Ada senyum yang sesekali terlihat di wajah
sang istri. Senyum yang sama yang terkadang terulas di
bibir suaminya. Mungkin mereka membicarakan hal-hal
yang lucu. Mungkin juga bergembira membayangkan hasil
mengemis hari itu. Entahlah. Tapi kebersamaan keduanya sungguh di luar
nalar saya. Dalam keadaan cacat fisik dan kekurangan
materi,apakah yang menjadi sumber kebahagiaan
keduanya" Terlintas di pikiran saya tidak sedikit suami istri yang
bertengkar karena kurangnya saling pengertian, saling
menyalahkan atas sikap-sikap yang dianggap menyinggung
dan tidak berkenan. Atau seperti pasangan-pasangan lain
meributkan uang belanja yang tidak cukup, sementara
harga-harga sernbako semakin tinggi.
Ahh... sepasang pengemis tua yang buta itu mungkin
tidak memiliki apa-apa.Saya yakin sebagian besar di antara
kita jauh lebih kaya. Tetapi sesuatu yang teduh dan
menenangkan menelusup dalam hati, ketika saya
memandang mereka lekat. Pertemuan dengan kedua pasang suami istri ini telah
membuka mata saya terhadap bentuk cinta yang
indah.Sungguh, mereka memiliki cinta yang tidak setiap
orang memiliki, bahkan oleh orang-orang yang dilimpahi
keberkahan materi sekalipun.
Barangkali karena cinta seperti itu hanya diberikan
Tuhan kepada mereka yang terpilih.
Mami "Memang Mami sering menangis di hadapan kami,
tapi selalu menangisi orang lain."
Pengorbanan, Itu yang menjadi catatan pertama, ketika mencoba
melakukan kilas balik dan belajar dari kehidupan Mami
menjaga perkawinan selama nyaris empat puluh tahun.
Terlahir dengan nama Liauw Min Hoa, ibunda saya
adalah putri dari Leo Arifin, pengusaha berdarah Jawa dan
Cina yang sukses membangun bisnis transportasinya kala
itu. Menikah dengan Papa barangkali menjadi ke-putusan
paling besar dalam hidup Mami. Sebab menikah dengan
lelaki berdarah Aceh itu berarti Mami harus meninggalkan
tradisi Katholiknya dan menjadi seorang muslim.
Keputusan yang menimbulkan konflik baru: m
enikah tanpa restu. Saya membayangkan kisah cinta
romantis ketika mengetahui hal ini.
Keberanian Papa,ketabahan dan
kekuatan hati Mami. Pastilah
ibunda saya memiliki banyak
pertimbangan, kenapa tidak
menempuh cara seperti yang
belakangan popular di tanah air,
pernikahan beda agama. Padahal
sebagai gadis belia paras Mami
tergolong cantik dan menarik,
keturunan keluarga terpandang di
Medan pula. Artinya tidak akan sulit
bagi Mami untuk mendapatkan pendamping lain.
Dengan kata lain Mami bukan tidak memiliki bargai-ning position ke Papa. Meski mungkin tidak akan mudah,
sebab Papa berasal dari keluarga muslim yang dihormati
barangkali di seluruh Sumatra. Untuk satu titik temu itulah
Mami berkorban. Dan mengikuti kehidupan gadis Liauw Min Hoa yang
kemudian berubah nama menjadi Siti Maryam itu, berarti
mengikuti tahap demi tahap kehidupan yang penuh
perjuangan dan pengorbanan.Sebab Pa pa dengan profesi
pemain musik kala itu tidak bisa memberikan kehidupan
mewah yang dulu menjadi ke seharian Mami.
Hijrah ke Jakarta, pasangan itu bertekad hidup mandiri.
Saya ma sih ingat meski samar, betapa kami berempat
(waktu itu adik saya belum lahir); Papa, Mami, saya dan
kakak sempat tinggal di wilayah kumuh di samping rel
kereta api Gunung Sahari. Sebelum berpindah-pindah dari
rumah petak satu (yang hanya memiliki satu kamar, dan
kamar mandi di luar menyatu dengan rumah induk) ke
rumah petak yang lain. Sebagai pencipta lagu dan pemain musik, Papa bukanlah
sosok yang malas. Beliau berusaha sekuatnya untuk
menafkahi istri dan anak-anak. Bermain musik hingga
menjelang pagi di tempat-tempat hiburan, sementara
menjual lagu ke produser rekaman begitu sulitnya, hingga
bisa dibilang keluarga kami nyaris tidak memiliki
pemasukan tetap setiap bulannya.
Saya kembali membayangkan perubahan drastis gadis
bernama Liauw Min Hoa dalam mengikuti kata hatinya.
Tetapi pernahkah saya melihat sedikit saja Mami
mengeluh kepada kami, anak-anaknya" Tidak!
Pernahkah sedikit saja terbersit perasaan menyesal telah
menikah dengan Papa" Tidak!
Pernahkah Mami termenung-menung lama bernostalgia
dengan masa lalunya sebagai gadis cantik dari keluarga
amat berada" Tidak. Di mata kami, Mami selalu terlihat bersemangat dan
tidak pernah putus asa. Kami tiga kakak beradik tumbuh remaja dan mencatat
perjuangan Mami yang luar biasa. Sebagai ibu dari tiga
orang anak, Mami mendidik kami dengan tegas tapi juga
hangat. Keluarga kami memang minim secara materi, tetapi
Mami memastikan anak-anak berpakaian pantas, memiliki
peralatan sekolah juga seluruh buku pelajaran. Tidak jarang
beliau membantu mencari tambahan penghasilan dengan
menjual sprei, baju dan apa saja yang diambilnya dari
seorang teman. Saya tidak mengatakan Mami berhasil mendidik anak-anaknya hingga jadi 'orang'. Sebab secara materi dan
prestasi anak-anak Mami rasanya biasa saja. Malah masih
banyak yang belum bisa kami berikan kepada orang tua,
terutama Mami sebagai rasa hormat dan cinta kami pada
perjuangan beliau. Tetapi tidak satu dua teman lama Mami yang masih
menghubunginya hingga saat ini (Mami memang sangat
menjaga silaturahirn, ini satu lagi nilai penting yang saya
catat namun belum bisa contoh dengan baik),
mengomentari Mami sebagai ibu yang beruntung karena
berhasil mendidik anak-anaknya hingga semua mapan.
Ah, inikah jawaban bagi pertanyaan saya, ketika
mendengar kisah hidup mereka yang berhasil padahal
terlahir dari keluarga rniskin"Benarkah itu berpulang pada
bagaimana sosok ibu dalam keluarga membesarkan,
memberi energi positif dan menempatkan pendidikan
sebagai prioritas bagi anak-anak nya, apapun kendalanya"
Meski harus berhutang ke kanan kiri, meski harus bolak
balik ke sekolah meminta keringanan, meski harus berjuang
hingga kaki menjadi kepala dan kepala menjadi kaki"
Pendidikan anak itu nomor satu!
Situasi berbeda yang saya temui ketika menemani
wartawan dari harian Boston, mencoba menelusuri sindikat
penjualan bayi. Kami mewawancarai seorang ibu yang
pada awalnya dicurigai polisi telah menjual 3 anak
kandungnya. Belakangan terkuak bahwa perempuan itu telah dibodohi
hingga mau 'menitipkan' bayinya ke se
orang ibu yang kemudian menjualnya ke pasangan asing secara ilegal.
Sebagai imbalan (yang sebetulnya nyaris tak ada) maka
biaya melahirkan ditanggung dan ada ha diah berupa beras
lima kilogram, minyak tanah, gula dan susu beberapa
kaleng yang diserahkan kepada keluarga yang melahirkan.
Selama wawancara, saya perhatikan perempuan yang
tampak pucat karena baru saja melahirkan anak ke
tujuhnya. Sang suami yang tidak memiliki pekerjaan, duduk
di lantai dekat istrinya. Sementara ketiga anak mereka yang
lain tampak bermain di luar.
Dari manakah sumber pendapatan keluarga"
Jawabannya tertumpu pada sosok anak lelaki mereka
yang baru berusia 12 tahun,yang telah berhenti sekolah
sejak lama. Setiap hari anak lelaki ini pergi ke pasar menjual
plastik atau membantu ibu-ibu, membawakan barang
belanjaan mereka yang berat.
"Sebulan bisa dapat tiga ratus ribu, mbak."
Hati saya miris membayangkan kehidupan bocah berusia
12 tahun yang putus sekolah, juga adik-adiknya, yang bisa
jadi tumbuh besar kemudian menapaki siklus kemiskinan
yang sama, yang telah dilakoni orang tuanya tanpa punya
keterampilan untuk mengubah nasib.
Yang paling menyedihkan adalah saya tidak menemukan
buku kecuali buku tulis di rumah mereka. Saya tahu pasti
karena pada kedatangan kedua dan ketiga, saya mengikuti
Jonathan, fotografer dari tabloid asing tersebut masuk
hingga ke sudut-sudut rumah.
Saya ingat Mami dan kehidupan kami yang sama
miskinnya dulu. Di luar hal-hal lain yang membedakan,
saya mer asa beruntung karena Papa terus berusaha. Karena
Mami tidak menyerah dan mengedepankan pendidikan.
Semua anak-anak Mami bisa membaca sebelum sekolah
dasar, meski tidak melalui pendidikan TK. Semua anak-anak Mami memiliki waktu belajar yang cukup. Untuk itu
Mami tidak pernah merepotkan anak anak dengan tugas-tugas dapur, beliau mengerjakan semuanya sendiri, meski di
kemudian hari ini membuat anak-anak perempuan Mami
tidak piawai untuk urusan masak-memasak.
Ahh, kembali pada ibunda yang saya cintai. Seolah ujian
tidak cukup menghampiri beliau, di usia ke tujuh saya
divonis dokter menderita gegar otak, jantung dan paru-paru
hingga membutuhkan pengobatan yang intensif bertahun-tahun dengan biaya yang tidak sedikit.
Runtuhkah pertahanan Mami" Tidak!
Memang Mami sering menangis di hadapan kami, tapi
selalu menangisi orang lain.
Anak cacat yang dilihatnya dalam perjalanan ke pasar.
Pengemis tua yang nyaris tak bisa lagi berjalan, ibu-ibu
yang berpakaian lusuh dan tanpa alas kaki yang
mencegatnya meminta tambahan ongkos. Kami bahkan
biasa melihat Mami menangis ketika dari layar tivi yang
hitam putih, terpampang peristiwa pembongkaran pedagang
kaki lima yang dikejar-kejar aparat, atau berita kebakaran
dan musibah lain di tanah air.
"Kasihan..." ucap beliau dengan isak yang keras seolah
salah satu keluarga dekat kami baru saja meninggal dunia.
Ibunda kami tak pernah kehilangan syukur, harapan juga
doa. Doa dengan caranya yang lugu, sebab Papa dengan
kesibukannya mencari nafkah tidak cukup punya waktu
untuk membimbing Mami menjadi muslimah dengan
pemahaman agama yang lebih. Tetapi rasa syukur Mami
rasanya melampaui pemahamannya yang sederhana
tentang Islam. Setelah dua anaknya menikah dan mulai bisa memberi,
berapa pun pemberian kami, rasa terima kasih Mami jauh
lebih besar. "Terima kasih ya, sayang. Mami doakan semoga kamu
sekeluarga sehat dan diberikan kelapangan rejeki."
"Terima kasih banyak, Rani... membantu sekali."
"Terima kasih banyak Evy..." "Eron juga sekarang sudah
bisa bantu, Mami. Alhamdulillah anak-anak Mami sayang
sama Mami." Padahal pemberian kami tidak seberapa.
Padahal Mami layak mendapatkan lebih dari itu!
Ketika saya mendengar kisah dari teman-teman yang
sudah menikah dan kerap 'direcoki' orang tua, saya nyaris
tidak menemukan itu. Mami tidak pernah meminta kepada
anak-anaknya. Mami masih sosok perempuan yang sama yang
membesarkan kami tanpa keluh kesah. Yang amat 'tahu
diri' dan berusaha keras tidak merepotkan an ak-anaknya
setelah mereka menikah. "Kalian kan punya keluarga sendiri sekarang, harus
hemat-hemat, nggak usah kasih Mami apa-apa."
Kalaupun sangat terdesa k, Mami akan memilih meminjam ke teman-temannya ketimbang mengadu pada
anak. Hal yang membuat saya kembali ingin menangis.
"Anak-ana k Mami mungkin belum kaya, tapi Mami
nggak perlu pinjam ke orang lain untuk urusan ini itu,"
tegur saya suatu hari. Sementara Mami hanya menatap sayang kepada saya
dan menjawab hati-hati, "Mami takut kamu lagi susah."
Bukan hanya perkara uang yang membuat saya haru,
tetapi bagaimana Mami mencatat kebaikan, sedikit apapun
dari anak-anaknya dengan rasa syukur yang luar biasa.
"Rani itu anak istimewa," cetusnya suatu hari ketika
seorang wartawan dari Bandung mewawancarai saya dan
kebetulan menemukan sosok Mami.
Dan Mami pun menjelaskan panjang lebar kepada si
wartawan, betapa anaknya yang bernama Rani itu selalu
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
prihatin sejak kecil dan tidak pernah melawan orang tua.
"Sampai besar pun dia tidak pernah menyakiti hati saya,"
lanjut Mami lagi. Apakah anaknya nomor dua itu tidak pernah berbuat
salah" "Bagaimana dia sempat menyakiti atau bikin dosa
kepada, saya jika sehabis bertemu selalu mencium tangan
dan minta maaf" Coba bayangkan, orang gajian misalnya,
kan wajar jika ada keterlambatan. Tetapi Rani jika
memberikan bulanan misalnya terlambat satu atau dua hari,
pasti dia sms atau telepon, kasih tahu dan meminta maaf.
Itu sebabnya... bagi saya dia anak istimewa."
Allah... Saya mendengar cerita itu dari Mami di taksi, setelah
saya bertanya sebenarnya apa saja yang Mami obrolkan
dengan si wartawan. Saya gel eng-geleng kepala dengan 'anak istimewa' yang
Mami bicarakan. Julukan itu sungguh tidak pantas saya
sandang. Sebagai manusia kesalahan saya bertumpuk,
sebagai anak, saya masih belum bi sa membalas kebaikan
orang tua. Saya tatap Mami lekat-lekat dalam sisa perjalanan,
dengan hati mengucap doa:
Semoga Allah mencatat setiap pengorbanan, setiap rasa
syukur, setiap keikhlasan Mami dan memberinya kebaikan
yang berlimpah. Allahumma Amin.
Setelah 11 tahun "Tahukah cinta, betapa tampan dan berseri-serinya
wajahmu malam itu" Saat kau meminta maaf berulang-ulang."
Apa yang Di sa kukatakan tentangmu"
Suamiku yang bertanggung jawab.
Lelaki pengertian, yang selalu memperlakukan istri,
anak, orang tua, sanak saudara dan tetangga-tetangganya
dengan amat baik. Engkau mengajariku hidup apa adanya.
"Jangan pernah lupa mensyukuri nikmat," nasihatmu
berulang kali. Engkau juga yang mengajariku untuk tidak
mempermasalahkan hal-hal yang kecil.
Sebelas tahun menikah, sulit bagiku untuk mencari
kekuranganmu, sebaliknya harus kukatakan begitu banyak
pelajaran yang kau ajarkan padaku, dengan sayang...
dengan cinta. Sebelas tahun, mungkin cukup lama menurut orang, tapi
masih terlalu singkat untukkku. Dan selama sebelas tahun
ini tidak sedetikpun perasaanku terhadapmu berubah. Jika
saja boleh dan tidak diledek oleh para ABG, akan
kuteriakkan perasaanku pada dunia:
Kau pujaanku, tambatan hatiku.
Panutanku, kebanggaanku, Pahlawanku... Kau, yang selalu mengalirkan kekuatan dalam setiap
denyut nadiku. Kekuatan yang kini coba kutemukan, dalam kesendirian,
dengan membayangkan sosokmu.
Tahukah cinta, betapa tampan dan berseri-serinya
wajahmu malam itu" Saat kau meminta maaf berulang-ulang. Awalnya kukira permintaan maaf itu karena
keterlambatan pulang. Sebab kau masuk rumah ketika jam
berdentang dua kali di pagi hari. Selepas melawat salah satu
tetangga kita yang ibu nya baru saja meninggal.
"Maafkan ayah, Bu. Maafkan ayah..." Cinta, harusnya
kau tahu betapa aku selalu mempercayaimu.Sebab tidak
pernah ada kesalahanmu yang terlalu besar untuk
kurnaafkan. Tapi seolah tak yakin, kau masih mengulang-ulang kalimat yang sama hingga tiga kali,
Suaramu terdengar amat bersungguh-sungguh sambil
memeluk dan mencium keningku. Meski tidak mengerti
kuanggukkan kepala, dan mengingatkanmu jika belum
shalat isya. Aku masih ingat bagaimana kau langsung bangkit dan
melaksanakan shalat. Setelahnya kau kembali memeluk dan
menciumku, sembari mengulang-ulang permintaan maaf.
Ah, kesalahan apa yang harus kumaafkan, Cinta"
Tapi kubiarkan kau memelukku erat hingga beberapa
lama. Kutatap wajahmu yang tampak bercahaya. Dari
lisanmu terlempar kalimat itu
sekali lagi, "Maafkan, ayah..."
Setelah kalimat itu kau sempat menyebut asma Allah
lirih, sebelum terdiam. Hanya suara dengkuran lambat-lambat yang terdengar, kemudian kepalamu jatuh di
bahuku. Seharusnya aku mengerti. Maafkan aku yang mengira
kau hanya tertidur pulas karena kecapekan. Sempat
kubiarkan kau tertidur menelungkupiku. Tetapi karena
merasa berat, aku coba rnernbangunkanmu agar berpindah
ke sisiku. "Ayah, bangun sayang..."
Tapi hingga berulang-ulang tubuhmu tetap bergeming.
Kaku dalam pelukanku. Ketika akhirnya berhasil
memindahkan tubuhmu ke samping, aku mulai panik.
Kugoyang-goyangkan badanmu, tapi tak ada reaksi.
Panikku bertambah saat kaki dan tanganmu terasa dingin,
hanya badanmu yang masih hangat.
Dalam keadaan bingung dan perasaan bercampur aduk,
kupanggil kedua orangtuaku yang tidur di ruangan sebelah,
kuminta mereka melihat keadaanmu. Tangis mulai tumpah.
Aku bahkan sempat menjerit histeris melihat tubuhmu yang
terbaring kaku. Meski dengan cepat aku beristighfar...
berharap kau cuma pingsan, atau sengaja bercanda dengan
berpura-pura pingsan. Kuyakinkan diri bahwa sebentar lagi
kau akan bangun dan tersenyum padaku.
Orang-orang mulai datang. Sebagian memang berasal
dari rumah tetangga kita yang baru kau jenguk,mereka yang
mengaji dan melawat sampai pagi. Seperti aku, mereka
coba menyadarkanmu dengan berbagai cara. Sementara kau
terbaring tak ubahnya seseorang yang tertidur pulas karena
lelah, bahkan masih terselip senyuman di wajah.
Perasaanku semakin tak menentu. Limbung. Kudengar
orang-orang bertanya jika aku ingin memanggil dokter atau
membawamu ke rumah sakit.
Aku mengangguk, tak sepenuhnya mengerti, meski
dalam hati aku mulai memohon: Cinta, jangan
pergi...Jangan sekarang! Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku masih
berharap kau hanya pingsan. Tetapi kenyataan berkata lain.
Setelah sampai dan dilakukan pemeriksaan yang teliti,
dokter mengucapkan kata-kata yang seolah menggodam
kepalaku dengan keras. Badanku luluh lantak.
Persendianku terasa copot. Jantungku bagai berhenti
berdenyut. "Maaf, bu. Kami tidak bisa menolongnya."
Masya Allah! Hatiku terasa hancur berkeping-keping. Sebelas tahun
perkawinan kita Cinta, dan inilah ujian terberat untukku.
Kepergianmu... Kupeluk kedua putri kita yang histeris melihatku
menangis. Aku sendiri berusaha keras untuk tetap berpijak
pada ambang kesadaran, bahwa kau telah dipanggil Sang
Pencipta. Aku peluk kedua putri kita lebih erat. Sungguh,
jika tidak karena mereka, mungkin aku sudah putus asa,
atau hilang kewarasan. Kepergianmu yang tiba-tiba, bagaimana bisa"
Usiamu baru 40 tahun, sehat dan tidak kurang apa pun
sebelumnya. Hari itu Jumat, tepat pukul 3 pagi. Saat kau pergi
meninggalkan aku dan dua putri kita yang masih
membutuhkan perhatianmu. Cinta... Sampai saat ini aku masih sering tidak percaya jika kau
benar-benar sudah pergi. Meninggalkan Tari gadis kita yang
manis yang baru duduk di kelas 5 Sekolah Dasar, dan Hana
yang baru berusia 6 tahun.
Aku tahu, untuk mereka berdua aku harus kuat dan
berjuang. Tetapi beratnya Cinta, betapa beratnya harus
melakukan itu semua sendiri, tanpamu.
Alhamdulillah semua prosesi pemakaman berjalan
lancar. Banyak sekali orang yang melayat, rnenyolatkan di
masjid, hingga mengantar ke kuburan.
Hingga detik ini aku tidak pernah berhenti
mengenangmu, Cinta. Mengenang perjalanan singkat
kebahagiaan kita. Memang kehidupan kita sederhana dan
tidak melimpah dengan harta. Tetapi nyaris tak pernah
terjadi perselisihan di antara kita. Sebaliknya begitu banyak
hari di mana kau dan aku mensyukuri kebersamaan kita,
juga karunia Allah berupa dua putri yang membanggakan.
Tetapi takdir berkata lain, dan aku harus menerima.
Meski terkadang aku masih merasa hampa. Terlebih bulan-bulan pertama kepergianmu. Begitu beratnya hingga aku
tak yakin bisa melalui ujian ini. Tanpamu, setiap hari aku
berjalan bagai tak menapak, limbung dan kehilangan arah.
Aku nyaris tak bisa makan. Kalaupun akhirnya
menyuapkan nasi ke mulut, tak lebih memenuhi kebutuhan
fisik semata. Setiap malam tiba, mataku sulit dipicingkan.
Terkadang aku membayangkan sosokmu, namun de
ngan cepat angan ini hempas ketika melihat ruang kosong di sisi
tempat tidur yang dulu terisi olehmu.
Allah, kusebut namanya berulang-ulang.
Jika saja tak ada iman, Cinta, aku nyaris tak kuasa
melanjutkan hidup tanpamu.
(Tak sabar kutunggu pertemuan itu, semoga Aliah
mempertemukan cinta kita nanti, ketika maut menjemputku...)
Enam lembar surat curahan hati dari mbak Yayu, ibunda
Hana, teman sepermainan Adam, putra kedua saya, sampai
ke tangan saya beberapa hari setelah kepergian suaminya.
Enam lembar yang ditulis dengan sepenuh hati dan
memberikan gambaran detik-detik sakaratul maut sang
suami, dan beratnya kehidupan setelah itu. Ketika
berlembar-lembar tulisan yang diketik rapi itu sampai ke
tangan saya, ide menyusun buku ini bahkan belum lagi
muncul. Saya menerima sambil mencatat dalam hati, suatu hari
saya akan menulis ulang catatan hati mbak Yayu. Pada
kenyataannya saya hanya mampu mengubah penyajian
tulisan, sementara sebagian besar kata-kata mengalir persis
seperti mbak Yayu mencatatnya. Sengaja saya tidak ingin
mengubah kenangan mbak Yayu terhadap almarhum
suami, saya ingin mbak Yayu melihat catatan hatinya
secara utuh. Terima kasih saya karena mbak Yayu berkenan
menuliskannya untuk saya. Hal yang amat saya sarankan
kepada perempuan-perempuan Indonesia. Menulis agar kita
memiliki sesuatu untuk dikenang. Menulis apa saja tentang
hari-hari yang kita lalui sebagai istri dan ibu.
Apakah anda akan membaginya dengan orang yang bisa
anda percaya, atau tidak... tidak jadi soal. Paling tidak
dengan menuliskannya bisa menjadi terapi tersendiri, saat
hati terbebani ribuan masalah dan kesedihan.
* * * (Yayu Purwaningsih dan Asma Nadia)
Catatan 11 Obrolan Pagi di Kereta "Jika cerita itu benar, bagaimanakah ekspresi Pak
Dosen saat mengucapkan kalimat itu""
Dering telepon berulang. Perhatian saya kontan terarah
kepada nama yang tertera di layar ponsel. Kang Gito.
Kontak batin mungkin. Sehari sebelumnya saya sempat
menelpon ke rumah beliau, namun tidak ada yang
mengangkat.Dan kesibukan mempersiapkan se gala sesuatu
untuk PULPEN (Pelatihan Menulis Cerpen), membuat saya
luput menghubungi beliau kembali.
Dana beasiswa dari Diknas yang saya peroleh memang
saya pergunakan untuk mengadakan PULPEN di 3 kota;
Jakarta dan sekitarnya, Pekalongan, dan terakhir di Aceh.
Untuk keperluan itu, semua hal nyaris diurus sendiri.
Mulai mempersiapkan bingkisan buku dan notes untuk
seluruh peserta, sertifikat, mengcopy makalah, termasuk
buku-buku doorprize. Hasilnya sekardus besar yang luar
biasa berat untuk saya angkut sendiri ke Pekalongan.
Dan dering telepon di ponsel terdengar, ketika saya
belum lama akhirnya berhasil beristirahat setelah beberapa
menit berpikir di mana saya harus meletakkan kardus besar,
yang ternyata tidak muat di deck yang ada di atas kursi
penumpang kereta api ini.
Kang Gito. Saya berhutang janji untuk menjenguknya. Telepon
terakhir lelaki itu menceritakan pengapuran di tulang
belakang yang harus dioperasi. Di kemudian hari saya tahu
ternyata ada sel-sel kanker yang kembali muncul
merongrong kesehatan beliau.
Kang Gito dan saya, sejujurnya hanya beberapa kali
bertemu. Tetapi uniknya seperti teman baik yang kemudian
saling 'mencemburui'. Saya sejujurnya cemburu, bahkan iri
pada komitmen taubat dan hijrah beliau, mantan vokalis
The Rollies, yang juga mengenal baik papa saya. Sebaliknya
Kang Gito sering mengungkapkan kecemburuannya pada
saya, yang menurutnya terus 'berjalan', apa pun kondisinya.
Juga ruang aktivitas yang menurutnya kondusif terhadap
upaya membangun keikhlasan.
Wallahu alam. Bagi saya kata ikhlas memiliki ranjau-ranjau yang membuat orang dengan mudah tergelincir dari
niat semula. Ikhlas menjadi tidak ikhlas. Sesuatu yang sulit
diraih tetapi sangat mudah hilang dari genggaman hati.
Dari obrolan selama nyaris dua puluh menit itu, ada satu
cerita yang saya rasakan mengiris hati dan lagi-lagi
membuat saya tidak bisa mengerti benak laki-laki.
Saya tahu dunia tidak hitam putih. Tidak semua lelaki
jahat. Seperti tidak semua perempuan baik. Tetapi seperti
saya, bagaimanakah anda akan mencerna cerita ini"
"Seorang m uslimah, Asma... datang ke tempat saya.
Rapi dengan jilbab yang tidak ketat seperti jilbab kamu,"
Kang Gito membuka ceritanya.
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Muslimah tersebut sudah menikah dan memiliki tiga
orang anak. Kedatangannya ke tempat Kang Gito untuk
meminta bantuan. Entah bagaimana ceritanya si muslimah
yang masih kuliah di salah satu kampus Islam terkenal di
Jakarta itu, terlibat hutang dalam jumlah yang cukup besar.
Berbagai upaya dilakukan, termasuk meminta bantuan
ustadz dan ustadzah terkenal, namun konon dibukakan
pintu pun tidak. Saya berprasangka baik, barangkali rumah
ustadz/ustadzah tersebut da lam keadaan kosong dan
mereka sedang tidak berada di tempat.
Terakhir muslimah ini meminta bantuan kepada seorang
dosen yang mengajar di kampusnya. Seperti ada kesejukan
yang meniup saat Pak Dosen mengangguk.
Alhamdulillah, akhirnya ada jalan keluar.
Akhirnya ada seseorang yang mengangkat beban yang
menggayuti pundak si muslimah. Benarkah"
"Dengan satu syarat," lelaki itu melanjut, "kamu harus
tidur dengan saya." Si muslimah tersentak kaget.
Saya yang hanya mendengar cerita itu dari orang kedua
pun tersentak. Tak percaya. Sebagai penulis yang kerap
berimajinasi, seketika kepala saya membayangkan, jika
cerita itu benar, bagaimanakah ekspresi Pak Dosen saat
mengucapkan kalimat itu"
Apalagi dalam gamang si muslimah sempat bertanya
ragu kepada dosen tersebut,
"Sekali saja, ya Pak""
Lelaki di hadapannya menggeleng, "Pokoknya sampai
saya anggap lunas!" Masya Allah. Di mana nurani" Dimana ketulusan" Di manakah
moralitas " Saya tidak tahu apakah sang dosen sudah menikah,
mempunyai anak atau masih lajang. Kisah serupa pernah
saya dengar sebelumnya. Seorang teman yang bekerja di
dunia film sempat menceritakan, betapa peluang terbuka
lebar bagi pekerja film, terutama sutradara atau asistennya
untuk 'mengerjai' calon pemain yang minta peran.
Meluluskan dengan imbalan calon pemain yang biasanya
gadis-ga dis muda itu, bersedia tidur dengan mereka.
Dan gadis-gadis yang gelap mata karena ambisi, tidak
sedikit yang menerima syarat tersebut.
Tetapi untuk kasus yang satu ini" Tetap saja dengan
logika mana pun saya sulit mengerti bagaimana laki-laki
bisa melihat 'kesempatan' sedemikian, saat seorang
perempuan datang dalam keputusasa-an dan memohon
bantuan" Terlukis di benak saya, raut memelas dan putus asa dari
muslimah tersebut ketika bertanya terakhir kali kepada
Kang Gito, "Apa saya harus bercerai dulu dari suami, terus menikah
dengan dosen itu, Kang" Baru setelahnya kembali pada
suami"" Saudariku sayang, saya tidak mengenalmu. Tetapi
semoga Allah memberi kemudahan dan kekuatan, untuk
tidak pernah menuruti kehendak lelaki yang telah
kehilangan mata hati. ArgoAnggrek, 15 Maret 2007
Cinta Tak Sempurna "Sungguh sia-sia menemukan alasan kenapa suaminya
menceraikannya begitu saja."
Saya tidak tahu, apa kekurangan perempuan yang
berdiri di hadapan saya. Wajah dan senyumnya manis.
Tutur katanya lembut dan santun, khas perempuan
Jawa.Tubuhnya" Jangan tanya. Untuk perempuan yang
telah melahirkan enam orang anak, sosoknya lebih dari
sempurna. Dan saya sama sekali tidak berlebihan dalam menilai.
Sebab perempuan berwajah ayu itu jauh lebih ramping dan
bagus tubuhnya, bahkan bila dibandingkan rata-rata gadis
SMA sekarang. Lantas apa yang salah"
Mengenalnya selama lebih dari lima tahun ternyata tidak
juga memberikan jawaban bagi saya, atas sebuah
pertanyaan kenapa" Lima tahun tanpa saya mampu menemukan deretan
kekurangannya. Padahal hubungan kami ter bilang dekat.
Usianya masih muda ketika menikah dengan seorang
penceramah kondang. Lelaki yang diharapkan perempuan
ini, bisa menuntunnya ke surga.
Kehidupan pernikahan bisa dibilang berjalan baik. Satu
dua pertengkaran atau ketidakcocokan rasanya biasa dalam
romantika pernikahan. Perempuan ini melahirkan lima
orang anak, yang dididiknya dengan baik. Kelima anaknya
semua penurut, prihatin, dan tidak banyak menyusahkan.
Hingga tanpa ada permasalahan yang jelas, suaminya
menjatuhkan talak. Cerai. Begitu saja. Tidak ada
pertengkaran hebat, tidak ada perempuan lain, setidaknya
dalam pengetahuan teman saya ini. Lalu di mana yan
g salah" "Saya tidak tahu," bisiknya lirih, "sebagai istri rasanya
saya tidak banyak menuntut, tidak minta dibelikan ini dan
itu. Sejak dulu orang tua selalu mengajarkan saya untuk
nrimo.Bersyukur dengan pemberian suami."
Bukan karena pertemanan saya menerima bu lat-bulat
penjelasannya. Melainkan, memang begitu juga teman-teman lain mengenalnya. Perempuan yang lembut, apa
adanya yang pandai menata rumah. Meskipun
mungil,tempat tinggalnya selalu terlihat asri dan fungsional.
Tidak banyak pajangan antik atau mahal yang terpampang
di ruang tamu. Hanya perabot biasa yang memang
diperlukan. "Saya bukan tidak pernah bertanya kepada diri saya
sendiri, Asma. Saya pikir, apa karena saya terlalu
menadahkan tangan pada suami""
Istri menadahkan tangan pada suami sendiri rasanya
wajar saja.Selama tidak meminta yang aneh-aneh. Tapi dia
yang saya kenal, tidak begitu.
"Bukannya mbak dari dulu sudah mengajar""
Dia mengangguk, "Sejak tahun ketiga pernikahan."
Sungguh sia-sia menemukan alasan kenapa suaminya
menceraikannya begitu saja. Kadang saya gemas dengan
kepasrahannya menghadapi semua.
"Biarlah Asma. Selama Allah ridha kepada saya."
Omongan tetangga kiri kanan sungguh tidak
mengenakan. Apalagi sang suami penceramah kondang
yang dianggap berilmu dan jam terbangnya sudah tinggi.
Otomatis kesalahan dibebankan pada sang is tri.
"Wah, kalau didengarkan omongan orang, tidak ada
habisnya. Panas kuping. Tapi mau apa""
Membela diri, protes, meluruskan, tegakkan keadilan!
Setidaknya itulah yang akan saya lakukan, jika hal
serupa terjadi pada saya. Tapi perempuan ini
menggelengkan kepala. "Saya terima saja. Mungkin ini takdir saya."
Kepasrahan,keikhlasannya menggetarkan saya.
Juga ketika kemudian sahabat saya ini menikah lagi.
Membawanya ke masalah lain, kemarahan banyak pihak.
"Saya tidak tahu dia sudah menikah. Dia tidak pernah
memberitahu saya." Protes, berontak, batalkan pernikahan!
Lagi-lagi pikiran kritis meledak di kepala saya. Sahabat
saya yang ayu, sahabat saya yang memiliki tubuh bagus
Kenapa harus tersangkut menjadi istri kedua" Bukankah
dia bisa memilih" Tapi itulah hidup. Lelaki yang dipilihnya ternyata milik
perempuan lain. Setelah pernikahan belasan tahun dia dan
istrinya belum juga memiliki seorang anak. Tanpa
sepengetahuan istrinya, lelaki itu melamar dan menikahi
sahabat saya. Saya tidak tahu bagaimana harus bersikap ketika
beberapa lama kemudian sahabat saya mengabarkan via
SMS bahwa dia sedang hamil. Berita yang sekaligus
menjadi puncak kegembiraannya.
Sebab sejak itu sang suami tak pernah lagi muncul. Istri
pertamanya semakin cemburu mengetahui kehamilan
madunya. Begitulah, hingga jabang bayi itu kemudian lahir,
dan beranjak dua tahun, baru sekali sosok ayah mampir di
matanya. Tak ada nafkah. Tak ada kasih sayang. Tak ada pemenuhan kewajiban
apapun. Dan seolah sudah demikian seharusnya, sahabat
saya hanya diam. Tidak protes, tidak menuntut ini itu yang
menjadi haknya. Hanya diam.
Hanya kalimat itu yang bermain di matanya, saat
menatap keenam buah hatinya yang semakin besar, dan
dewasa dalam kasih tanpa ayah. Ketegaran yang tidak
pernah menguap oleh waktu.
"Biarlah, Asma. Selama Allah ridha kepada saya..."
Catatan 12 Hari Pertama Memandangmu "Ketika membuka mata saya melihat suster berlalu
lalang dalam pakaian hijau dan masker. Tidak berapa
lama terdengar suara kelegaan."
17 Juli 1996 Setahun setelah pernikahan, hingga hari ini, saya merasa
momen di mana saya dipertemukan dengan lelaki yang
sekarang menjadi suami, adalah hal terbaik yang pernah
terjadi pada saya. 24 jam kemudian saya tahu saya salah.
RS. Haji 18 Juli 1996 Berjam-jam di rumah sakit. Konstraksi terus menerus.
Diinduksi sudah, dimasukkan sejenis obat untuk
merangsang pembukaan juga sudah. Tapi situasi tidak
berubah. Pembukaan satu dan tidak maju-maju.
Tubuh saya lelah, keringat saya mengucur. Posisi tubuh
jadi serba salah. Duduk sakit.Berbaring ke kanan atau ke
kiri terasa sakit. Setelah 24 jam saya tidak sanggup makan
apa-apa lagi. Padahal saya masuk ke rumah sakit dalam keadaan
bugar dan bisa berjalan gagah. Tidak ada mu las-mulas
karena konstraksi sebelu m dipancing obat. Dokter mengatakan rahim saya sudah tua dan karenanya harus
segera dirawat dan diinduksi.
Pukul 14.00 siang. Bercak-bercak darah, lebih banyak dari biasa.
Pukul 14.15 siang, ketuban pecah.
Suster berlari memanggil dokter, yang ternyata sedang
dalam perjalanan kembali ke rumahnya. Kami menunggu
cemas. Ketika dokter datang, ruang operasi segera disiapkan.
Saya nyaris tak bisa bersuara. Hanya mengangguk. Apa
saja, pikir saya... setelah keletihan 30 jam ini, rasanya saya
siap menghadapi tindakan apa pun.
Tepat pukul 15.00 Seperti berada dalam perahu yang terayun-ay un dengan
pelan. Saya dengan dokter berbicara. Ketika membuka
mata saya melihat suster berlalu la lang dalam pakaian hijau
dan masker. Tidak berapa lama terdengar suara kelegaan.
"Bayinya sudah keluar... kasih lihat ibunya."
Saya seperti diloncatkan dari kesadaran yang minim.
Bayi... bayi saya" "Apa semuanya lengkap, Dok" Jari-jarinya" Tubuhnya""
Saya tahu setiap anak adalah anugerah luar biasa dari
Yang Maha. Saya tahu seorang ibu harus menerima apapun kondisi
bayinya, dan tetap bersyukur terhadap anu-grah yang
diberikan. Dan dengan sepenuh hati saya mengagumi potret para
ibu yang dikaruniai anak-anak 'istimewa' namun sanggup
menerimanya dengan keikhlasan, ya ng dibuktikan dengan
kegigihan membesarkan anak mereka.
Sekalipun menderita hdyrocephallus.
Sekalipun memiliki cacat fisik.
Sekalipun mengalami down syndrorne.
Ahh, sementara saya... apa saya akan siap"
Saya kira, dibandingkan para ibu yang saya kagumi itu,
keimanan saya mungkin berada jauh di anak tangga paling
rendah. Buktinya pertanyaan itulah yang pertama terloncat
dari mulut saya. Syukurlah kondisi ananda baik.
Seorang suster menggendong satu sosok mungil setengah
telanjang, hanya dibalut kain bedong seadanya dan
menyodorkannya agar saya bisa melihat lebih jelas.
Putih kemerahjambuan, montok. Matanya yang
terpejam terlihat sipit. Bibir mungilnya berbentuk segitiga
sempurna. Seorang bayi perempuan!
Subhanallah... Sulit bagi saya melukiskan perasaan, tapi setiap Ibu akan
mengerti. Hari pertama menjadi ibu.
Hari pertama ketika menerima hadiah terbaik yang Allah
limpahkan kepada setiap perempuan.
Karunia yang di kemudian hari menjadi sumber
kekuatan bagi setiap istri ketika merasa begitu lemah dan
linglung mencari pegangan. Sumber dari semua keceriaan,
di saat hati diam-diam menangis.
Jadi, sungguh saya tidak mengerti bagaimana bisa
seorang perempuan menolak kodratnya menjadi seorang
ibu, dan menolak anugerah yang diberikan Tuhan"
Perempuan Istimewa di Hati Abah Agil
"Ibu talalu barsi dan ikhlas untuk beta. Jadi Aba seng
bisa ganti dengan orang lain. " ("Ibu terlalu bersih (menjaga
kehormatannya) dan ikhlas untuk saya, Saya tidak mungkin
menggantikannya dengan orang lain. Nak.")
(Aba Agil, di ruang tengah rumah kami)
Sudah cukup lama saya pesimis dengan kesetiaan laki-laki. Sebagian besar kisah yang saya tuangkan di sini
rasanya cukup memberikan gambaran bagi sa ya, betapa
tipisnya kesetiaan lelaki zaman sekarang.
Kadang saya berpikir, lagi-lagi dengan pesimis, berapa
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lamakah waktu yang diperlukan lelaki untuk siap menikah
lagi, setelah istri mereka berpulang"
Ini mungkin lahir dari sentimentil saya. Sebab saya tahu,
dalam agama, bahkan dibenarkan bagi lelaki untuk
menikah lagi ketika istri masih hidup (poligami), apalagi
jika istri sudah tidak ada" Sama sekali tidak diperlukan
batasan waktu untuk itu. Barangkali karena saya perempuan yang besar dengan
kisah-kisah cinta dunia yang abadi. Taj Mahal, Romeo dan
Juliet, dan banyak lagi, hingga merasa secara pribadi
penting menyoalkan hal ini.
Hingga suatu hari, saya kedatangan seorang pengarang
muslimah yang saya kagumi semangat dan kejujuran
tulisannya. Ida Azuz, muslimah asli Ambon ini
mengomentari pernikahan kedua seorang ustadz terkenal
yang ketika itu menjadi berita yang mengguncang banyak
pihak. "Yang jelas, pernikahan beliau membuat saya makin
bangga dengan ayah saya, Mbak Asma."
Ida Azuz lalu menceritakan sosok Aba Agil, ayahnya...
dan kisah cinta yang terus ingin dikenang lelaki itu hingga
maut datang. Begitu menyentuh hingga saya
memintanya untuk membagi kisah tersebut, sambil berharap semoga
kisah terakhir ini menjadi catatan akhir yang indah, di hati
sesama istri. Gelegar suara Aba Agil pada saya ketika sarapan pagi
membuat saya mengerut ketakutan. Memang hanya dua
kata yang dikeluarkannya, tetapi saya benar-benar takluk.
Saya benar-benar tidak berdaya dibuatnya. Saya ketakutan.
Saya benar-be nar tidak siap dengan reaksi keras atas
permintaan yang saya sampaikan dengan penuh ketulusan.
Padahal untuk menyampaikan permintaan itu, saya
menyusun kata-kata sejak semalam agar tidak menyinggung
perasaan Aba.Tetapi gelegar suara itu belum cukup, dengan
satu gerakan cepat, Aba langsung meninggalkan meja
makan, masuk ke kamar dan menguncinya dengan suara
yang keras. Seumur-umur saya baru sekali ini melihat Aba marah
demikian keras. Apalagi kami masih berada dalam suasana
duka karena Ibu berpulang baru dua bulan yang lalu.
Kemarahan yang keras di meja makan kemudian
meninggalkan meja makan dalam kultur kami merupakan
hal yang sangat jarang kami lakukan. Jika itu terjadi,
pertanda kemarahan telah menghampiri batas-batasnya.
Dan itu saya dapatkan dari Aba Agil di pagi hari. Terus
terang saya tidak siap. Aba lalu mengunci diri di kamar. Dengan perasaan
takut, saya menunggu Aba untuk makan siang. Sejam dua
jam berlalu, Aba tidak mau keluar dari kamar. Kali ini Aba
betul-betul marah pada saya. Padahal yang saya sampaikan
itu menurut pandangan kami, anak-anak Aba, adalah untuk
kebaikan Aba juga. Apa yang saya sampaikan sebetulnya atas usul ustadz
Agung Wirawan setelah mengetahui bahwa Aba masih
dirundung sedih karena ditinggal Ibu dua bulan yang lalu.
Ustadz Agung mengatakan pada saya, sebaiknya kami
membicarakan secara baik-baik pada Aba, untuk mencari
pengganti Ibu di sisi Aba.
Ini sebetulnya awal kemarahannya itu pada saya. Dua
bulan setelah ibu berpulang, saya melihat Aba seperti
kehilangan semangat hidup. Kerap Aba duduk di teras
rumah memandang jauh, dan dengan gerakan yang samar,
mengelap matanya yang mulai berair. Saya juga sering
mendapati Aba selesai shalat malam, duduk berdoa sambil
menangis. Ah, di manakah semua ketabahan dan ketegaran
yang Aba miliki itu"
Kami, anak-anaknya, berupaya keras bergantian
menghibur Aba dari duka yang mendalam itu. Saya
memahami kedukaannya itu dengan baik. Saya menyadari
dengan sepenuhnya bahwa ketika Ibu berada pada saat-saat
kritis dalam hidupnya, ketika Ibu berdiri di ujung lekukan
kehidupan dunianya, Aba, lelaki yang membuat Ibu
semakin paham agama itu, justru tidak sempat
membisikkan kalimat-kalimat pe ngantar untuk berpulang
keharibaan Allah. Ketidakhadiran Aba di samping ibu pada
saat saat terakhirnya ternyata membuat Aba terpukul.
Saya masih ingat, sehari sesudah Ibu kami tidurkan di
tanah merah berliat Sudiang (Lokasi pemakaman di
Makassar), Aba baru tiba dari Ambon. Saya menjemputnya
di pelabuhan kapal, karena tidak mungkin menggunakan
pesawat secara bebas dalam suasana konflik di Ambon.
Saya dan Aba bertemu pandang di pelabuhan, kami tidak
berkata-kata, saya hanya menggelengkan kepala. Saya ingin
mengirim isyarat bahwa perempuan yang kami cintai telah
berpulang. Lidah saya kelu untuk mengucapkan kata-kata
kepulangan itu. Terlalu sakit bagi saya. Sesaat kami
bersitatap, Aba memeluk saya erat-erat, lalu saya
mendengar nafas Aba yang berat. Ada yang basah di bahu
saya. Dua bulan telah berlalu. Saya masih menangkap kelabu
di mata Aba. Aba lebih suka menyendiri atau tidur
menghadap dinding. Sebagai anak, saya tahu, mata aba
pastilah sudah basah. Kesedihan Aba tetap menggantung di
matanya. Lalu saya bertemu dengan ustadz Agung
Wirawan yang kenal baik dengan keluarga kami. Ustadz
Agung menanyakan kabar Aba. Dan saya menyampaikan
kalau Aba masih berat ditinggalkan Ibu. Dan meluncurlah
usulan untuk mencarikan pengganti Ibu bagi Aba. Kata
ustadz Agung, memang anak bisa merawat Aba dengan
baik, tetapi beda dengan kehadiran seorang istri di samping.
Ini bukan saja berkaitan dengan persoalan fisik, tetapi
secara mental, Aba butuh pendamping. Urai ustadz Agung.
Meskipun saya anak tertua, tetapi untuk hal-hal begini,
saya perlu berunding dengan adik-adik saya. Kami sepakat
untuk mencarikan pengganti Ibu. Tiba-tiba ada kesedihan
yang menyerga p kami saat berunding. Kami sedih sekali
ketika menyadari ada orang lain yang akan mengantikan
posisi ibu. Fidaan, si bungsu, mengatakan tidak mungkin
orang lain bisa menempati tempat Ibu di hati kami. Tetapi
untuk menemani Aba, apa boleh buat,kami harus mencari
orang lain. Berempat, kami memikirkan siapa kira-kira yang akan
kami usulkan untuk Aba. Kami berprinsip bahwa kami
harus mendapatkan orang yang mengetahui latar belakang
keluarga kami, yang betul-betul dapat menghormati Ibu
yang sudah pulang, juga dapat membuat kami hormat
padanya. Dalam pikiran kami, kehadiran seorang pengganti
Ibu, bukan sekedar untuk menemani Aba semata, tetapi
mestilah dapat merangkum kami semua dengan kasih
sayang yang tulus. Karena begitu orang lain menjadi ibu
kami, kami harus menaruh hormat padanya layaknya anak
pada seorang ibu. Kami ingin menghormatinya tidak
sekedar sebagai istri Aba, tetapi dia adalah juga ibu bagi
kami. Itu yang ada dalam dalam curah pendapat antara
kami, anak-anak Aba. Maka ketika kami telah sepakat
untuk siap memiliki ibu baru, pembicaraan kemudian
meloncat pada ftgure siapakah yang kiranya cocok dengan
Aba dan kami semua, setelah timbang sana, timbang sini,
kami telah mendapatkan satu ftgure untuk Aba.
Masalah baru muncul seketika, siapa yang akan
menyampaikan usulan ini pada Aba.
Semua mata tertuju pada saya. "Ca ida kan yang tertua,
jadi ca Ida yang musti bilang par An-tua." ("Ca Ida kan anak
tertua, jadi Ca ida yang harus menyampaikannya ke beliau.")
Saya tersudut, saya tahu kami semua takut
menyampaikan hal ini pada Aba.Kami tidak mau
berspekulasi. Semua adik-adik saya menghindar. Mereka
memiliki alasan yang kuat dan tidak dapat dibantah, yakni
kedudukan saya selaku anak tertualah ya ng harus
bertanggung jawab. Apalagi saya yang pertama membuka
pembicaraan ini. Kata sepakat telah kami ambil. Saya akan
menyampaikan usulan sekaligus dengan figure calon ibu
bagi kami. Saya memilih waktu sarapan pagi untuk
menyampaikan usulan kami. Dan ketika dengan suara
terbata-bata, karena gugup menghadapi Aba, saya
memulainya dengan menceritakan saat-saat bahagia kami
bersama Ibu. Saya melihat Aba tersenyum, saya
menangkap Aba mulai gembira. Ahai... ini entry yang
bagus untuk memulainya. Dengan mengucapkan bismillahirramanirrahim dalam
hati, saya melompat ke pembicaraan lain. Saya dengan
suara yang rendah menyampaikan bah wa kami anak-anak
sayang sama Aba. Dan takut Aba sakit karena bersedih.
Kami juga takut kehilangan Aba. pokoknya kami ingin Aba
senang. Ahai saya menangkap cahaya kehidupan di
matanya.Aba menghentikan makannya sejenak, melihat ke
mata saya, menyentuh lengan saya, "Beta sayang dong
samua, apalagi Ibu su seng ada lai." ("Saya menyayangi
kalian semua, terlebih lagi ketika Ibu sudah berpulang.")
Ah...saya tertegun mendengarnya.
Dengan satu helaan nafas panjang, saya menyampaikan
bahwa anak-anak meminta saya menyampaikan apa yang
sudah kami rundingkan. Kami juga akan menyiapkan
mental untuk itu. "Mangkali katong musti cari Ibu lain par
Aba, supaya ada yang hibur Aba." ("Mungkin sudah saatnya
kami mencari pengganti Ibu untuk Aba, biar ada yang menghibur
Aba.") Ah, akhirnya keluar juga kata-kata yang berat
membebani hati saya. Dalam hitungan detik, ketika kalimat itu sampai
ditelinganya dan difaharni dengan baik, saya mendapatkan
reaksi yang keras. Aba langsung berdiri di depan saya, dan
dengan suara yang keras menembus gendang telinga saya
aba membentak saya. "Pakai Otak!" Saya memandangnya
tidak percaya. Bukankah itu simbol kemarahan yang tinggi"
Membentak di meja makan adalah hal yang tabu dalam
kultur kami.Aba telah melanggar kultur kami.Aba telah
melanggar apa-apa yang ditanamkan pada kami sejak kecil.
Sesaat saya melihat ke matanya, merah berkilat. Saya
kemudian menunduk takut dan pasrah.Dalam hitungan
detik, Aba melangkah, melewati saya, masuk kamar dan
mengunci pintu dari dalam. Tamatlah saya.
Sehari semalam Aba tidak keluar kamar. Saya menunggu
Aba keluar dengan perasaan takut-takut .Pin
tu kamarnya sudah tidak terkunci. Saya masuk mengajaknya makan
malam. Tetapi saya hanya mendapati punggungnya. Aba
tidur menghadap dinding. Diam, membeku. Ketakutan dan
penyesalan semakin membebani kami.Saya menunggu di
depan pintu kamarnya di ashar hari kedua sesudah Aba
mendiamkan kami. Bukan hanya mendiamkan, makanan
yang saya berikanpun tidak disentuhnya. Aba hanya
memakan roti yang dibelinya sendiri. Saya bertekad untuk
mengakhiri kediaman Aba hari itu juga. Tidak bisa
dibiarkan lagi. Saya sudah sampai pada keputusan harus
bertindak mengakhiri perang dingin ini.
Dalam menunggu itu, saya melihat Aba berdiri di pintu
kamar, saya melihat ke wajahnya, sudah tidak ada lagi
kemarahan, yang tinggal adalah kemuraman yang
mendalam. Melihat Aba di depan pintu kamar, saya
langsung lompat memeluknya. "Aba, maaf beta juga,
katong su seng pung Ibu, jang Aba Uang dari katong. Kalau
Aba bagini, katong musti pi mana" ("Aba, maafkan saya,
kami semua sudah tidak punya Ibu, janganlah Aba hilang dari
kami. Jikalau Aba begini, kemana kami harus pergi.")
Saya merasakan tangan Aba yang besar melingkar di
badan saya. Aba mengeratkan dekapannya pada saya. Aba
mengangkat wajah saya. Kami bertatapan. Dengan suara
pelan tetapi jelas terdengar oleh saya, "Dengar nak, Ibu
taiaiu bar si dan ikhlas untuk beta. Jadi Aba seng bisa ganti
dengan orang lain." ("Ibu terlalu bersih (menjaga
kehormatannya) dan ikhlas untuk saya. Saya tidak mungkin
menggantikannya dengan orang lain. Nak.")
Bless...saya menyerah. Mata saya basah. Sebetulnya di
sudut hati saya, saya juga tidak menginginkan hal yang
serupa. Saya dan Aba lalu duduk di karpet sederhana kami. Aba
menceritakan pada saya bahwa Ibu dan Aba sejak lama "Su
seng sama orang muda-muda" ("Tidak seperti pasangan yang
masih muda.") Bagi Aba, hubungan biologis tidak terlampau penting
lagi. Dalam perkawinan ada hal lain yang melebihi itu. Hati
Ibu Ica terlalu bersih dan ikhlas untuk Aba. Itu yang
mengikat Aba. Apa yang bisa Aba balas untuk semua
kebaikan, keilhasan dan kebersihan hati Ibu Ica,
menempatkan Ibu saja di hati Aba. "Tidak ada yang
melebihi Ibumu, Nak. Kalau Aba sendiri begini, ini juga
cara Aba tunjukkan sayang par Ibu sampai kapan pun."
Saya mengangguk. Aba meraih saya, menyeka yang
mengalir, sesaat kemudian Aba mengatakan pada saya.
"Ida, katong tutup pembicaraan ini. Jangan pernah berfikir
untuk cari orang lain par Aba. Ibu Ica meskipun su seng
ada, su cukup par beta. Jangan ulangi lagi pembicaraan ini."
("Ida, kita tutup pembicaraan ini. Jangan pernah berfikir untuk
mencari orang lain untuk Aba. Ibu Ica, meskipun sudah
berpulang, sudah cukup untuk saya. Jangan ulangi pembicaraan
ini.") Aba meraih tangan saya, mengecup punggung tangan
saya.Saya tahu ini gerakan yang jarang Aba lakukan,
mencium tangan saya adalah ungkapan sayang yang
mendalam dari Aba, meskipun saya anaknya. Aba
memberikan saya senyum kelegaan. Kami terdiam lama
sekali, mungkin Aba juga seperti saya, mengenang Ibu Ica
yang telah pulang. Ah. Saya memunguti kenangan ini, ketika kami berdebat
keras tentang poligami dalam kelas bahasa Inggris di lantai
empat PPB UI. Aba meskipun telah menyusul Ibu, tetapi
Catatan Hati Seorang Istri Karya Asma Nadia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih menyisakan penghormatan kami padanya. Saya
bangga punya Aba Agil. Kebanggaan itu bertambah, justru
ketika Aba Agil sudah tidak bersama kami lagi,lelaki yang
sebetulnya dengan status sosial yang dimilikinya di Ambon,
mampu beristri lagi, bahkan ketika Ibu masih hidup
sekalipun... Akhir Januari, 2007 (Ida Azuz & Asma Nadia)
Terima kasih Saya kepada:
1. Caca dan Adam, dua permata hati yang sering saya
'curi' waktunya demi selesainya buku ini.
2. Suami yang berkenan membaca, mengoreksi serta
membantu saya memberikan masukan untuk
memperdalam materi tulisan.
3. Ibunda Maria, Ibunda Eva Murma, kakak saya Helvy
Tiana Ro sa yang selalu mendukung keterlibatan saya di
dunia menulis. 4. Sahabat-sahabat saya di Lingkar Pena: Nita Sundari,
Taufan E. Prast, Misbahul Hakim.
5. Dyotami untuk kesabaran tak terhingga selama
mendesain dan membuat ilustrasi hingga selalu keren.
6. Semua nara sumber yang telah memercayai saya untuk
menggengga m kisah mereka. 7. Mbak Tri Harsih, teman setia keluarga kami.
8. Mr. Yang Hyun Geun, Busan for his beautiful picture.
9. Mark untuk diskusinya.
10. Kang Gito Rollies . 11. Nemi Chandra, Ms. Oh Soo Yoen, dan Monica
Oemardi untuk waktu mereka membaca naskah ini dan
endorsmentnya. 12. Rekan-rekan di milis pembacaanadia@yahoo
groups.com (khususnya Sita Sidharta) dan Forum
Lingkar Pena. 13. Seluruh p embaca yang telah membeli (dan bukan
meminjam) buku ini. Doakan, semoga Aliah memberikan banyak kekuatan
dan kemampuan agar saya bisa terus menulis.
Sekilas Asma Nadia Asma Nadia adalah penulis yang sangat produktif.
Lebih dari 30 bukunya sudah diterbitkan berbagai penerbit
di Indonesia seperti Gramedia Pustaka Utama, Mizan,
Qanita, Syaamil dan Lingkar Pena Publishing House.
Berbagai prestasi, baik nasional maupun regional, telah
diraih ibu dari Caca (10 thn) dan Adam (6 thn) ini, antara
lain: - Pengarang Nasional terbaik versi Adikarya Ikapi (tahun
2001, 2002, 2005). - Peserta Terbaik dalam 10 tahun Majelis Sastra Asia
Tenggara-2005. - Naskah Teaternya "Preh" menjadi salah satu naskah
terbaik Loka karya Perempuan Penulis
Naskah Drama dan diterbitkan dalam dua bahasa oleh
Dewan Kesenian Jakarta. - Dll. Terakhir pada tahun 2006 lalu, Asma Nadia tercatat
sebagai satu dari dua sastrawan Indonesia yang
mendapatkan kesempatan diundang mengikuti Residency
Exchange Program for Asian Writers, untuk menetap di
Korea Selatan selama 6 bulan.
Saat ini Asma Nadia merupakan CEO Lingkar Pena
Publishing House, penerbit buku-buku Islam berkualitas. Di
waktu luang Asma kerap diundang untuk mengisi berbagai
workshop dan seminar kepenulisan baik di dalam dan luar
negeri, serta berbagai seminar tentang perempuan, anak dan
keislaman. Boo kgrafi 1. Pesantren Impian (Syaamil, 2000)
2. Rembulan di Mata Ibu (Mizan, 2000)
3. Dialog 2 Layar (Mizan 2001)
4. Pelangi Nurani (Syaamil, 2002)
5. Derai Sunyi (Mizan, 2002)
6. Meminang Bidadari (FBA Press, 2002)
7. Cinta Tak Pernah Menari (Gramedia Pustaka Utama,
2003) 8. Aku ingin Menjadi Istrimu (Lingkar Pena Publishing
House) 9. Ada rindu di Mata Peri (Lingkar Pena Publishing
House) 10. Cinta Laki-laki Biasa (Asy Syaamil)
11. Jadilah Istriku (Lingkar Pena Publishing House)
12. Jangan Jadi Muslimah Nyebelin (Lingkar Pena
Publishing House) 13. Rumah Cinta Penuh Warna (Qanita)
14 . Dll. Beberapa buku yang sempat disusun:
" Ketika Penulis Jatuh Cinta (Lingkar Pena, 05)
" Kisah Seru Pengantin Baru (Lingkar Pena, 05)
" Jilbab Pertamaku (L ingkar Pena, 2005)
" Miss Right Where R U" Suka duka dan tips jadi
jornblo beriman (Lingkar Pena, 2005)
" Jatuh Bangun Cintaku (Lingkar Pena, 2005)
" Gara-gara Jilbabku (Lingkar Pena, 2006)
" The Real Dezperate Housewives (Lingkar Pena,
2006) " Ketika 'Aa' Menikah Lagi (Lingkar Pena, 2007)
Asma Nadia Penulis 30 buku dan CEO penerbitan ini telah banyak
mengangkat persoalan perempuan dalam karya-karyanya.
Ibunda dari Caca (l0th)dan Adam (6 th) ini telah lama aktif
mengajak generasi muda -terutama para perempuan
Indonesia- agar tidak hanya membaca melainkan juga
menulis. Untuk itu Asma aktif menjelajah berbagai tempat hingga
pelosok-pelosok terpencil guna memberikan workshop
kepenulisan dan seminar. Bahkan, dalam upaya
menyediakan ruang baca dan tulis itu. disediakan pula lini
khusus EduMoms di Lingkar Pena Publishing House
penerbit yang sejak awal dibidaninya.
Catatan Hati Seorang Istri merupakan perwujudan
empati dan rekaman perjalanan Asma Nadia -sebagai
seorang perempuan, istri dan ibu- terhadap perempuan
Indonesia. tamat Pahlawan Harapan 9 Kapas Kapas Di Langit Karya Pipiet Senja Sepasang Naga Penakluk Iblis 2