Sang Pemimpi 1
Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata Bagian 1
SANG PEMIMPI Karya Andrea Hirata Cetakan Pertama, Juli 2006
Penyunting: Imam Risdiyanto
Desain dan ilustrasi sampul: Andreas Kusumahadi
Pemeriksa aksara: Yayan R.H.
Penata aksara: lyan Wb. Diterbitkan oleh Penerbit Bentang
Anggota IKAPI (PT Bentang Pustaka) Jln. Pandega Padma 19,Yogyakarta 55284
Telp. (0274) 517373 - Faks. (0274) 541441
E-mail: bentangpustaka@yahoo.com
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Sang pemimpi/Andrea Hirata; penyunting, Imam Risdiyanto.
Hirata, Andrea Yogyakarta: Bentang, x + 292 hlm; 20,5 cm ISBN 979-3062-92-4 I. Judul. 2006. II. Imam Risdiyanto. 813 Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama Jin. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146
Ujungberung,Bandung 40294
Telp. (022) 7815500 - Faks. (022) 7802288
E-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id a
Mozaik 1 What a Wonderful World Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyat
kataklismik. Menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung di atasnya, langit
terbelah dua. Di satu bagian langit, matahari rendah memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungi
cendawan gelap gulita, menjerang pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan
ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut yang bisu bertapis minyak, jingga serupa kaca-kaca gereja,
mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti reign of fire, lingkaran api. Dan di sini, di sudut
dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku terkurung, terperangkap, mati kutu.
Aku gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju.
Berjingkat-jingkat di balik tumpukan peti es, kedua kakiku tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yang
merebak dari peti-peti amis, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahkan rasa takut.
Jimbron yang tambun dan invalid kakinya panjang sebelah terengah-engah di belakangku. Wajahnya
pias. Dahinya yang kukuh basah oleh keringat, berkilat-kilat. Di sampingnya, Arai, biang keladi seluruh
kejadian ini, lebih menyedihkan. Sudah dua kali ia muntah. la lebih menyedihkan dari si invalid itu. Dalam
situasi apapun, Arai selalu menyedihkan. Kami bertiga baru saja berlari semburat, pontang-panting lupa
diri karena dikejar-kejar seorang tokoh paling antagonis. Samar-samar, lalu semakin jelas, suara langkah
sepatu terhunjam geram di atas jalan setapak yang ditaburi kerang-kerang halus. Kami mengendap.
Tersengal Arai memberi saran. Seperti biasa, pasti saran yang menjengkelkan. "Ikal.... Aku tak kuat
lagihhh.... Habis sudah napasku.... Kalian lihat para-para itu...""
Aku menoleh cepat. Dua puluh meter di depansana teronggok reyot pabrik cincau dan para-para
jemuran daun cincau. Cokelat dan doyong. Di berandanya, dahan-dahan bantan merunduk kuyu
menekuri nasib anak-anak nelayan yang terpaksa bekerja . Salah satunya aku kenal : Laksmi . Seperti
laut, mereka diam . DangdutIndia dari kaset yang terlalu sering diputar meliuk-liuk pilu dari pabrik itu.
"Lompati para-para itu, menyelinap ke warung A Lung, dan membaur di anta a para pembeli tahu, aman
...." Aku meliriknya kejam. Mendengar ocehannya, ingin rasanya aku mencongkel gembok peti es untuk
melempar kepalanya. "Hebat sekali teorimu, Rai! Tak masuk akal sama sekali! Jimbron mau kau apakan""!!"
Jimbron yang penakut memohon putus asa.
"Aku tak bisa melompat, Kal...."
Lebih tak masuk akal lagi karena aku tahu di balik para-para itu berdiri rumah turunan prajurit Hupo,
Tionghoa tulen yang menjadi paranoid karena riwayat perang saudara. Ratusan tahun mereka
menanggungkan sakit hati sebab kalah bertikai. Dulu, bersama Cina Kuncit, mereka jadi antek Kumpeni,
ganas menindas orang-orang Kek. Kini dimusuhi bangsa sendiri, dikhianati Belanda, dan dijauhi orang
Melayu membuat mereka selalu curiga pada siapa pun. Tak segan mereka melepaskan anjing untuk
mengejar orang yang tak dikenal. Aku hafal lingkungan ini karena sebenarnya aku, Jimbron, dan Arai
tinggal di salah satu los di pasar kumuh ini. Untuk menyokong keluarga, sudah dua tahun kami menjadi
kuli ngambat tukang pikul ikan di d
ermaga. Semuanya memang serba tidak masuk akal. Bagaimana
mungkin hanya karena urusan sekolah kami bisa terperangkap di gudang peti es ini. Aku mengawasi
sekeliling. Pancaran matahari menikam lubang-lubang dinding papan seperti batangan baja stainless,
menciptakan pedang cahaya, putih berkilauan, tak terbendung melesat-lesat menerobos sudut-sudut
gelap yang pengap. Aku mengintip keluar, 15 Agustus 1988 hari ini, musim hujan baru mulai. Mendung
menutup separuh langit. Pukul empat sore nanti hujan akan tumpah, tak berhenti sampai jauh malam,
demikian dikota pelabuhan kecil Magai di Pulau Belitong, sampai Maret tahun depan.
Semuanya gara-gara Arai. Kureka perbendaharaan kata kasar orang Melayu untuk melabraknya. Tapi
lamat-lamat berderak mendekat suara sepatu pantofel. Aku mundur, tegang dan hening, keheningan
beraroma mara bahaya. Arai menampakkan gejala yang selalu ia alami jika ketakutan: tubuhnya
menggigil, giginya gemeletuk, dan napasnya mendengus satu-satu. Bayangan tiga orang pria berkelebat,
memutus sinar stainless tadi dan sekarang pemisah kami dengan nasib buruk hanya beberapa keping
papan tipis. Ketiga bayangan itu merapat ke dinding, dekat sekali sehingga tercium olehku bau keringat
seorang pria kurus tinggi bersafari abu-abu. Ketika ia berbalik, aku membaca nama pada emblem hitam
murahan yang tersemat di dadanya: MUSTAR M. DJAI'DIN, B.A.
Aku tercekat menahan napas. Sebelah punggungku basah oleh keringat dingin. Dialah tokoh antagonis
itu. Wakil kepala SMA kami yang frustrasi berat. Ia Westerling berwajah tirus manis. Bibirnya tipis,
kulitnya putih. Namun, alisnya lebat menakutkan. Sorot matanya dan gerak-geriknya sedingin es. Berada
dekat dengannya, aku seperti terembus suatu pengaruh yang jahat, seperti pengaruh yang timbul dari
sepucuk senjata. Pak Mustar menyandang semua julukan seram yang berhubungan dengan tata cara lama yang keras
dalam penegakan disiplin. Ia guru biologi, Darwinian tulen, karena itu ia sama sekali tidak toleran. Lebih
dari gelar B.A. itu ia adalah suhu tertinggi perguruan silat tradisional Melayu Macan Akar yang ditakuti.
"Berrrrandalll!!"
Ia menekan dengan gusar hardikan khasnya, menjilat telunjuknya, dan menggosok-gosokkan telunjuk itu
untuk membersihkan emblem namanya yang berdebu. Aku melepaskan napas yang tertahan ketika ia
membalikkan tubuh. Sebenarnya Pak Mustar adalah orang penting. Tanpa dia, kampung kami tak 'kanpernah punya SMA. la
salah satu perintisnya. Akhirnya, kampung kami memiliki Sebuah SMA, sebuah SMA Negeri! Bukan
main! Dulu kami harus sekolah SMA ke Tanjong Pandan, 120 kilometer jauhnya. Sungguh hebat SMA
kami itu, sebuah SMA Negeri! Benar-benar bukan main! Namun, Pak Mustar berubah menjadi monster
karena justru anak lelaki satu-satunya tak diterima di SMA Negeri itu. Bayangkan, anaknya ditolak di
SMA yang susah payah diusahakannya, sebab NEM anak manja itu kurang 0,25 dari batas minimal.
Bayangkan lagi, 0,25! Syaratnya 42, NEM anaknya hanya 41,75.
Setelah empat puluh tahun bumi pertiwi merdeka akhirnya Belitong Timur, pulau timah yang kaya raya
itu, memiliki sebuah SMA Negeri. Bukan main. SMA ini segera menjadi menara gading takhta tertinggi
intelektualitas di pesisir timur, maka ia mengandung makna dari setiap syair lagu "Godeamus Igitur" yang
ketika mendengarnya, sembari memakai toga, bisa membuat orang merasa IQ-nya meningkat drastis
beberapa digit. Pemotongan pita peresmian SMA ini adalah hari bersejarah bagi kami orang Melayu pedalaman, karena
saat pita itu terkulai putus, terputus pula kami dari masa gelap gulita matematika integral atau tata cara
membuat buku tabelaris hitung dagang yang dikhotbahkan di SMA. Tak perlu lagi menempuh 120
kilometer ke Tanjong Pandan hanya untuk tahu ilmu debet kredit itu. Karena itu berbondong-bondonglah
orang Melayu, Tionghoa, Sawang, dan orang-orang pulau berkerudung ingin menghirup candu ilmu di
SMA itu. Tapi tak segampang itu. Seorang laki-laki muda nan putih kulitnya, elok parasnya, Drs. Julian
Ichsan Balia, sang Kepala Sekolah, yang juga seorang guru kesusastraan bermu
tu tinggi, di hari pendaftaran memberi mereka pelajaran paling dasar tentang budi pekerti akademika.
"... Ngai mau sumbang kapur, jam dinding, pagar, tiang bender a ...," rayu seorang tauke berbisik agar
anaknya yang ber-NEM 28 dan sampai tamat SMP tak tahu ibukota provinsinya sendiri Sumsel,
mendapat kursi di SMA BukanMain .
"Aha! Tawaran yang menggiurkan!!" Pak Balia meninggikan suaranya, sengaja mempermalukan tauke itu
di tengah majelis. "Seperti Nicholas Beaurain digoda
berbuat dosa di bawah pohon"! Kau tahu 'kankisah itu" 'Gairah Cinta di Hutan'" Guy de Maupassant""
Sang tauke tersipu. Dia hanya paham sastra sempoa. Senyumnya tak enak.
"Bijaksana kalau kausumbangkan jam dindingmu itu ke kantor pemerintah, agar abdi negara disana tak
bertamasya ke warung kopi waktu jam dinas! Bagaimana pendapatmu""
Kapitalis itu meliuk-liuk pergi seperti dedemit dimarahi raja hantu. Dan saat itulah Pak Mustar, sang
jawara yang temperamental, tak kuasa menahan dirinya. Tanpa memedulikan situasi, di depan orang
banyak ia memprotes Pak Balia, atasannya sendiri.
"Tak pantas kita berdebat di depan para orangtua murid. Bicaralah baik-baik ...," bujuk Pak Balia.
Pak Mustar yang merasa memiliki SMA itu menatapnya dari atas ke bawah, artinya kurang lebih, "...
Sok idealis. Anak muda bau kencur, tahu apa ...." Benar saja.
"Saya berani bertaruh, angka 0,25 tidak akan membedakan kualifikasi anak saya dibanding anak-anak
lain yang diterima, apalah artinya angka 0,25 itu"!"
Anak saya, kata-kata yang ditindas kuat oleh Pak Mustar. Semua keluarga, dari suku mana pun,
menyayangi anak. Namun, anak lelaki bagi orang Melayu lebih dari segala-galanya, sang rembulan,
permata hati. Ayahku, yang mengantarku saat pendaftaran itu, berusaha membekap telingaku dan telinga
Arai, anak angkat keluarga kami, agar tak mendengar pertengkaran yang sungguh tak patut ini. Tapi aku
mengelak. Maka kudengar jelas argumen cerdas Pak Balia, "0,25 itu berarti segala-galanya, Pak. Angka
kecil seperempat itu adalah simbol yang menyatakan lembaga ini sama sekali tidak menoleransi
persekongkolan!!" Tersinggung berat, Pak Mustar muntab dan sertamerta memprovokasi, "Bagaimana para orangtua""
Setuju dengan pendapat itu"!" la petantang-petenteng hilir mudik sambil bertelekan pinggang.
"Tanpa saya SMA ini tak 'kanpernah berdiri!! Saya babat alas di sini!!"
Pak Balia, memang masih belia, tapi ia pengibar panji ahlakul karimah. Integritasnya tak tercela. Ia
seorang bumiputra, amtenar pintar lulusan IKIP Bandung. Baginya ini sudah keterlaluan, merongrong
wibawa institusi pendidikan! Guru muda ganteng ini jadi emosi.
"Tak ada pengecualian!! Tak ada kompromi, tak ada katebelece, dan tak ada akses istimewa untuk
mengkhianati aturan. Inilah yang terjadi dengan bangsa ini,
terlalu banyak kongkalikong!!"
Dada Pak Mustar turun naik menahan marah tapi Pak Balia telanjur jengkel.
"Seharusnya Bapak bisa melihat tidak diterimanya anak Bapak sebagai peluang untuk menunjukkan
pada khalayak bahwa kita konsisten mengelola sekolah ini. NEM minimal 42, titik!! Tak bisa
ditawar-tawar!!" Pidato itu disambut tepuk tangan para orangtua. Jika wakil rakyat berwatak seperti Pak Balia, maka
republik ini tak 'kanpernah berkenalan dengan istilah studi banding. Namun, akibatnya fatal. Setelah
kejadian itu, Pak Mustar berubah menjadi seorang guru bertangan besi. Beliau menumpahkan
kekesalannya kepada para siswa yang diterima.
"Disiplin yang keras!! Itulah yang diperlukan anak-anak muda Melayu zaman sekarang." Demikian
jargon pamungkas yang bertalu-talu digaungkannya.
la juga selalu terinspirasi kata-kata mutiara Deng Xio Ping yang menjadi pedoman tindakan represif
tentara pada mahasiswa di Lapangan Tiannanmen, "Masalah-masalah orang muda seperti akar rumput
yang kusut. Jika dibiarkan, pasti berlarut-larut. Harus cepat diselesaikan dengan gunting yang tajam!!"
Senin pagi ini kuanggap hari yang sial. Setengah jam sebelum jam masuk, Pak Mustar mengunci pagar
sekolah. Beliau berdiri di podium menjadi inspektur apel rutin. Celakanya banyak siswa yang
terlambat, termasuk aku, Jimbron, dan Arai. Lebih celaka lagi beberapa siswa yang terlambat justru mengejek Pak
Mustar. Dengan sengaja, mereka meniru-nirukan pidatonya. Pemimpin para siswa yang berkelakuan
seperti monyet sirkus itu tak lain Arai!!
Pak Mustar ngamuk. la meloncat dari podium dan mengajak dua orang penjaga sekolah mengejar kami.
Saat itu aku dan Jimbron sedang duduk penuhgaya di atas sepeda jengkinya yang butut. Sekelompok
siswi kelas satu yang juga terlambat nongkrong berderet-deret. Hanya aku dan Jimbron pejantan disana .
"Kesempatan baik, Bron!!" aku girang, celingukan kiri kanan.
"Tak ada kompetisi!!"
Wajah Jimbron yang bulat jenaka merona-rona seperti buah mentega.
"Mmhhh ... mmhhaa ... mainkan, Kal!!"
Tak membuang tempo, segera kami keluarkan segenap daya pesona yang kami miliki secara
habis-habisan untuk menarik perhatian putri-putri kecil semenanjung itu. Jimbron membunyikan kliningan
sepedanya dan menyiul-nyiulkan lagu sumbang yang tak jelas. Sedangkan aku, sebagai siswa SMA yang
cukup kreatif, telah lama memiliki taktik khusus untuk situasi semacam ini, yaitu mengaduk kepalaku
dengan minyak hijau ajaib Tancho yang selalu ada dalam tasku, menyisir seluruh rambutku ke belakang, lalu dengan
tangan dan tenaga penuh menariknya kembali. Maka muncullah
bongkahan jambul berbinar-binar. Dan inilah puncak muslihat anak Melayu kampung: di dekat para
siswi tadi, aku berpura-pura menunduk untuk membetulkan tali sepatu, yang sebenarnya tidak apa-apa,
sehingga ketika bangkit aku mendapat kesempatan menyibakkan jambulku sepertigaya pembantu
membilas cucian. Ah, elegan, elegan sekali. Sangat Melayu!
Sayangnya, gadis-gadis kecil itu rupanya telah dikaruniai Sang Maha Pencipta semacam penglihatan
yang mampu menembus tulang-belulang, sehingga bagi mereka tubuhku transparan. Aku ada disana , hilir
mudik pasang aksi seperti bebek, tapi mereka tak melihatku, sebab tak seorang pun ingin memedulikan
laki-laki yang berbau seperti ikan pari. Dan bukannya mendapat simpati, ketika melakukan gerakan
mengayun jambul dengan sedikit putaran manis setengah lingkaran seperti aksi Jailhouse Rock Elvis
Presley, aku malah terperanjat tak alang kepalang karena para siswi di depanku menjerit-jerit histeris.
Mereka menatap sesuatu di belakangku seperti melihat kuntilanak.
Tak sempat kusadari, secepat terkaman macan akar, secara amat mendadak, Pak Mustar telah berdiri
di sampingku. Wajahnya yang dingin putih menyeringai kejam. Aku menjejalkan pijakan langkahku untuk
melompat tapi terlambat. Pak Mustar merenggut kerah bajuku, menyentakku dengan keras hingga
seluruh kancing bajuku putus. Kancing-kancing itu berhamburan ke udara, berjatuhan gemerincing. Aku
meronta-ronta dalam genggamannya, menggelinjang, dan terlepas!
Lalu wuttthhhh!!! Hanya seinci dari telingaku, Pak Mustar menampar angin sebab aku merunduk. Aku
berbalik, mencuri momentum dengan menumpukan seluruh tenaga pada tunjangan kaki kanan dan
sedetik kemudian aku melesat kabur.
"Berrrandallllll!!!"
Suara Pak Mustar membahana. la serta-merta mengejarku dan berusaha menjambak rambutku dengan
tangan cakar macannya. Kedua penjaga sekolah tergopoh-gopoh menyusulnya. Segerombolan siswa,
termasuk Arai dan Jimbron, semburat berhamburan ke berbagai arah. Dan yang paling sial adalah aku,
selalu aku! Pak Mustar jelas-jelas hanya menyasar aku. Suara peluit penjaga sekolah meraung-raung
menerorku. Pritt!! Prriiiiiitttt... priiiiiiiiiittttt!!
Aku berlari kencang menyusuri terali sekolah. Pengejarku juga sial karena aku adalah sprinter SMA
Bukan Main. Seluruh siswa berhamburan menuju pagar, riuh menyemangatiku karena mereka membenci
Pak Mustar. Seumur-umur aku tak pernah diperhatikan seorang pun putri semenanjung, namun kini gadis-gadis manis
Melayu itu, yang tadi tak sedikit pun mengacuhkan aku, melolong-lolong mendukungku.
"Ikal!! Ikal!! Ayo!! Ikal, lari!! Lariiiiiiii...!!"
Tenagaku terbakar. Kulirik sejenak jejeran panjang tak putus-putus pagar nan ayu, ratusan jumlahnya,
berteriak-teriak histeris membelaku, hanya membelak
u sendiri, sebagian melonjak-lonjak, yang lainnya
membekap dada, khawatir jagoannya ditangkap garong.
"Lari!! Lari Kal!! Lari, Sayang ...."
Oh, aku melambung tinggi, tinggi sekali. Setiap langkahku terasa ringan laksana loncatan-loncatan
anggun antelopTibet . Walau gemetar ketakutan tapi aku melesat sambil tersenyum penuh arti. Bajuku
yang tak berkancing berkibar-kibar seperti jubah Zorro. Aku merasa tampan, merasa menjadi pahlawan.
Dan yang terpenting, dalam kepanikan itu, sempat kutarik pelajaran moral nomor tujuh: Ternyata rahasia
menarik perhatian seorang gadis adalah kita harus menjadi pelari yang gesit.
Aku menyeberangi jalan dan berlari kencang ke utara, memasuki gerbang pasar pagi. Pak Mustar
bernafsu menangkapku, jaraknya semakin dekat. Aku ketakutan dan tergesa-gesa meloncati palang besi
parkir sepeda. Celaka! Salah satu sepeda tersenggol. Lalu tukang parkir terpana melihat ratusan sepeda
yang telah dirapikannya susah payah, rebah satu per satu seperti permainan mendirikan kartu domino,
menimbulkan kegaduhan yang luar biasa di pasar pagi. Aku terjerembap, bangkit, dan pontang-panting
kabur. Kejar-kejaran semakin seru saat aku melintasi pelataran dengan pilar-pilar menjulang yang dipenuhi
pedagang kakilima . Aku melesat meliuk-liuk di antara gerobak sayur dan ratusan pembeli. Pak Mustar
dan komplotannya lekat di belakangku. Suara peluit menjerit-jerit. Orang-orang berteriak gaduh. Aku
berbelok tajam ke gang permukiman Kek yang panjang, berlari sekencang-kencangnya hingga mencapai
akselerasi sempurna. Pak Mustar ketinggalan di belakangku, semakin lama semakin jauh. Sebenarnya
aku dapat lolos jika tak memedulikan panggilan sial ini, "Ikal!! ... Ikal!!"
Aku berbalik dan tepat disana ,lima belas meter dariku, baru saja berbelok dari sebuah mulut gang,
Jimbron dan Arai terengah-engah saling berpegangan. Jika berlari, Jimbron yang invalid harus dibopong.
Mereka yang tadi semburat tak menyadari arah pelariannya melintasi jalur perburuan Pak Mustar.
"Ikal... tolong, Kal.... Tolong ...."
Aku terkesiap, kasihan, dan kesal.
"Biang keladi! Cukup sudah aku dengan tabiatmu, Rai. Lihat! Macan itu akan menerkammu!!"
Melihat sasaran nomplok tiba-tiba muncul di depannya, Pak Mustar sumringah dan kembali bernafsu
memburu kami. Jimbron dan Arai terseok-seok tak berdaya. Aku ingin menyelamatkan Jimbron
walaupun benci setengah mati pada Arai. Aku dan Arai menopang Jimbron dan beruntung kami berada
dalam labirin gang yang membingungkan. Kami menyelinap, hingga akhirnya di gudang peti es inilah kami
terperangkap. Pak Mustar dan kedua penjaga sekolah mondar-mandir di luar tanpa menyadari kami ada di dalam
Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gudang peti es. Tatapanku lekat pada setiap gerakan kecil Pak Mustar. Seakan dapat kurasakan setiap
tarikan napasnya. Aku memiliki gambaran jelas tentang karakter orang seperti Pak Mustar. Pria-pria
berwajah manis dan kekejaman mereka yang tak terbayangkan. Aku pernah mengunjungi uwakku yang
menjadi sipir di penjara Karimun. Di penjara itu kulihat pesakitan yang sangar, sok jago, dekil, omong
besar, dan bertato disana sini berada di blok A, dikurung beramai-ramai seperti ayam karena mereka tak
lebih dari pencuri ayam atau tukang nyolong jemuran. Namun, mereka yang sampai hati merampok
TKW atau membunuh tanpa melepaskan rokok di mulutnya, berada di blok B, sel isolasi.
Penghuni blok B adalah pria-pria kecil yang rapi, pintar, bersih, santun lisannya, dan manis sekali
senyumnya. Sejarah menunjukkan bahwa Alexander Agung yang membakar ribuan wanita dan
anak-anak, Cortez yang membantai orang Indian sampai menggenangkan darah setinggi lutut, semua
penjagal yang disebut legenda itu tak lain adalah pria-pria tampan berwajah manis. Maka berurusan
dengan Pak Mustar aku menyadari bahwa kami sedang berada dalam situasi yang tak dapat diduga.
Tapi aku tak tahan di kandang mendidih berbau amis ini. Pun aku tak melihat celah untuk lolos. Aku
menunggu keajaiban sebelum menyerahkan diri. Dan ia tak datang, harapanku habis. Aku berjalan
menuju pintu gudang diikuti Jimbron yang terpincang-pincan
g. Tapi tiba-tiba kami terperanjat karena dentuman knalpot vespa Lambretta. Dan kami panik tak dapat
menguasai diri. Benar-benar sial berlipat-lipat sebab penunggang vespa itu adalah Nyonya Lam Nyet
Pho, turunan prajurit Hupo, semacam capo, ketua preman pasar ikan. Ia pemilik gudang ini dan
penguasa 16 perahu motor. Anak buahnya ratusan pria bersarung yang hidup di perahu dan tak pernah
melepaskan badik dari pinggangnya. Beperkara dengan nyonya ini urusan bisa runyam. Karena kami
telah menyelinap dalam gudangnya, pasti ia akan menuduh kami mencuri.
Nyonya Pho bertubuh tinggi besar. Rambutnya tebal, disemir hitam pekat dan kaku seperti sikat. Alisnya
seperti kucing tandang. Bahunya tegap, dadanya tinggi, dan raut mukanya seperti orang terkejut. Sesuai
tradisi Hupo, ia bertato, lukisan naga menjalar dari punggung sampai ke bawah telinga, bersurai-surai
dengan tinta Cina. Bengis, tega, sok kuasa, dan tak mau kalah tersirat jelas dari matanya.Lima orang
pembantu setia Nyonya Pho Parmin, Marmo, Paijo, Tarji, dan Nasio membuka pintu gudang. Gagal
menjadi petani jagung, para transmigran ini bermetamorfosis jadi kuli serabutan. Mesin Lambretta
dimatikan dan aku diserang kesenyapan yang menggiriskan. Jimbron memeluk kedua kakinya dan mulai
terisak-isak. Tubuhku merosot lemas. Nasib kami di ujung tanduk. Namun dalam detik yang paling
genting, aku terkejut sebab ada tangan mengguncang pundakku, tangan Arai.
"Ikal!" bisiknya sambil melirik peti es. Aku paham maksudnya! Luar biasa dan sinting!!
Itulah Arai dengan otaknya yang ganjil. Aku suspense. Otakku berputar cepat mengurai satu per satu
perasaan cemas, ide yang memacu adrenalin, dan waktu yang sempit. Arai mencongkel gembok dan
menyingkap tutup peti. Wajah kami seketika memerah saat bau amis yang mengendap lama menyeruak.
Isi peti mirip remah-remah pembantaian makhluk bawah laut. Sempat terpikir olehku untuk
mengurungkan rencana gila itu, tapi kami tak punya pilihan lain.
"Ikal! Masuk duluan!" perintah Arai sok kuasa.
Tatapanku berkilat mengancam Arai. Ingin sekali aku membenamkan kepalanya kemulut ikan hiu gergaji
raksasa yang menganga di depanku. Itu penyiksaan karena berarti aku harus bersentuhan langsung
dengan balok es di dasar peti dan menanggung beban tubuh Jimbron dan Arai. Berat Jimbron sendiri tak
kurang dari 75 kilo. "Tak adil! Ini idemu Rai, kau masuk duluan!!"
"Jangan banyak protes! Badanmu paling kecil. Kalau tak masuk duluan, Jimbron tak bisa masuk!!"
Aku merasa in charge. Aku pemimpin pelarian ini, maka hanya aku yang berhak membuat perintah.
"Tak sudi! Bagaimana pendapatmu, Bron""
Arai jengkel. "Ini bukan demokrasi! Atau kau mau berurusan dengan Capo"!"
Aku melongok ke dasar peti. Aku tak sanggup.
"Tak bisa, Rai! Bisa kudisan aku kena umpan busuk itu...."
Arai menyeringai seperti jin kurang sajen. Habis sudah kesabarannya dan meledaklah serapah khasnya
yang legendaris. "Kudisan"!! Kudisan katamu" Kau tak punya wewenang ilmiah untuk menentukan penyakit!!"
"Masuk!!" Aku merasakan siksaan yang mengerikan ketika dua tubuh kuli ngambat dengan berat tak kurang dari
130 kilo menindihku. Tulang-tulangku melengkung. Jika bergeser, rasanya akan patah. Setiap tarikan
napas perih menyayat-nyayat rusukku. Perutku ngilu seperti teriris karena diikat dinginnya sebatang balok
es. Aku menggigit lenganku kuat-kuat menahan penderitaan. Bau anyir ikan busuk menusuk hidungku
sampai ke ulu hati. Tatapan nanar bola mata mayat-mayat ikan kenangka yang terbelalak dan kelabu
membuatku gugup. Nyonya Pho dan pembantunya memasuki gudang.
"Min, Mo, angkut yang ini!"
Peti itu miring kami tercekat tapi sama sekali tak terangkat. Pembantu Nyonya Pho mencoba
berkali-kali, masih tak terangkat. Peti itu membatu seperti menhir keramat. Nyonya Pho kecewa berat.
Di luar gudang Pak Mustar dan dua orang penjaga sekolah tadi tengah duduk merokok. Aku
membayangkan sebuah kejadian janggal dan belum sempat kucerna firasatku, kejanggalan itu benar
terjadi. Suara Nyonya Pho kembali menggelegar seperti pengkhotbah di puncak Bukit Golgota.
"Bujang! Tolong sini! Angkat peti ini ke stanplat. Daripada kalian merokok saja di situ, aya ya ... tak
berguna!" Sekarang delapan orang memikul peti dan peti meluncur menuju pasar pagi yang ramai. Di sekitar peti
tukang parkir berteriak-teriak menimpali obralan pedagang Minang yang menjual baju di kakilima .
Klakson sepeda motor dan kliningan sepeda sahut-menyahut dengan jeritan mesin-mesin parut dan
ketukan palu para tukang sol. Lenguh sapi yang digelandang ke pejagalan beradu nyaring dengan suara
bising dari balon kecil yang dipencet penjual mainan anak-anak. Di punggungku kurasakan satu per satu
detakan jantung Jimbron, lambat namun keras, gelisah dan mencekam.
Berbeda dengan Arai. Waktu peti melewati para pengamen ia menjentikkan jemarinya mengikuti
kerincing tamborin. Dan ia tersenyum. Aku mengerti bahwa baginya apa yang kami alami adalah sebuah
petualangan yang asyik. la melirikku yang terjepit tak berdaya, senyumnya semakin girang.
"Fantastik bukan"" pasti itu maksudnya.
Aku merasa takjub dengan kepribadian Arai. Tatapanku menghujam bola matanya, menyusupi lensa,
selaput jala, dan iris pupilnya, lalu tembus ke dalam lubuk hatinya, ingin kulihat dunia dari dalam jiwanya.
Tiba-tiba aku merasa seakan berdiri di balik pintu, pada sebuah temaram dini hari, mengamati ayahku
yang sedang duduk mendengarkan siaran radio BBC. Lalu lagu syahdu "What a Wonderful World"
mengalir pelan. Seiring alunan lagu itu dari celah-celah peti kusaksikan pasar yang kumuh menjadi
memesona. Anak-anak kecil Tionghoa yang membawa kado melompat-lompat harmonis bermain tali
dikelilingi gelembung-gelembung busa. Lalu-lalang kendaraan adalah serpihan-serpihan cahaya yang
melesat-lesat menembus fatamorgana aurora. Burung-burung camar mematuki cumi yang berjuntai di
lubang-lubang peti, terbang labuh. Sayap-sayap kumbang berkilauan terbias warna-warni dedaunan
maranta. Demikian indahkah hidup dilihat dari mata Arai" Beginikah seorang pemimpi melihat dunia"
"Brragghh!!!" Lamunanku terhempas di atas meja baru pualam putih yang panjang. Kudengar langkah para
pengangkat peti bergegas pergi. Kami menunggu dengan tegang detik demi detik berikutnya. Jantungku
berdetak satu persatu mengikuti derap langkah Nyonya Pho mendekati peti. Dan tibalah momen yang
dramatis itu ketika Capo mengangkat tutup peti dan langsung, saat itu juga, ia menjerit sejadi-jadinya.
Wajahnya yang memang sudah seperti orang terkejut membiru seperti anak kecil melihat hantu. Kami
bertiga bangkit serentak tanpa ekspresi.
Nyonya Pho ternganga dan bibirnya bergetar-getar. Cerutunya merosot dan jatuh tanpa daya di atas
lantai stanplat yang becek. Kami tak sedikit pun memedulikannya.
Ratusan pembeli ikan terperangah menyaksikan kami berbaris dengan tenang di atas meja pualam yang
panjang: tak berbaju, berminyak-minyak, dan busuk belepotan udang rebon basi. Kami melenggang
tenang dipimpin seorang laki-laki pemimpi yang hebat bukan main. Ketika kami melewatiNyonya Pho,ia
terjajar hampir jatuh. Mukanya pias seakan ingin mati berdiri. Tangannya menunjuk-nunjuk kami.
Mulutnya komat-kamit mengucapkan kata-kata seperti orang tercekik.
"Ikkhhhh ... ikkhhh ... ikkha ... ikan duyung!!!"
Mozaik 2 Simpai Keramat Arai adalah orang kebanyakan. Laki-laki seperti ini selalu bertengkar dengan tukang parkir sepeda,
meributkan uang dua ratus perak. Orang seperti ini sering duduk di bangku panjang kantor pegadaian
menunggu barangnya ditaksir. Barangnya itu dulang tembaga busuk kehijau-hijauan peninggalan
neneknya. Kalau polisi menciduk gerombolan bromocorah pencuri kabel telepon, maka orang berwajah
serupa Arai dinaikkan ke bak pick up, dibopong karena tulang keringnya dicuncung sepatu jatah kopral.
Dan jika menonton TVRI, kita biasa melihat orang seperti Arai meloncat-loncat di belakang presiden
agar tampak oleh kamera. Wajah Arai laksana patung muka yang dibuat mahasiswa-baru seni kriya yang baru pertama kali
menjamah tanah liat, pencetsana , melendung sini. Lebih tepatnya, perabotan di wajahnya seperti hasil
suntikan silikon dan mulai meleleh.
Suaranya kering, serak, dan nyaring, persis vokalis mengambil nada
falseto mungkin karena kebanyakan menangis waktu kecil. Gerak-geriknya canggung serupa belalang
sembah. Tapi matanya istimewa. Di situlah pusat gravitasi pesona Arai. Kedua bola matanya itu, sang
jendela hati, adalah layar yang mempertontonkan jiwanya yang tak pernah kosong.
Sesungguhnya, aku dan Arai masih bertalian darah. Neneknya adalah adik kandung kakekku dari pihak
ibu. Namun sungguhmalang nasibnya, waktu ia kelas satu SD, ibunya wafat saat melahirkan adiknya.
Arai, baru enam tahun ketika itu, dan ayahnya, gemetar di samping jasad beku sang ibu yang memeluk
erat bayi merah bersimbah darah. Anak-beranak itu meninggal bersamaan. Lalu Arai tinggal berdua
dengan ayahnya. Kepedihan belum mau menjauhi Arai. Menginjak kelas tiga SD, ayahnya juga wafat.
Arai menjadi yatim piatu, sebatang kara. Ia kemudian dipungut keluarga kami.
Aku teringat, beberapa hari setelah ayahnya meninggal, dengan menumpang truk kopra, aku dan ayahku
menjemput Arai. Sore itu ia sudah menunggu kami di depan tangga gubuknya, berdiri sendirian di tengah
belantara ladang tebu yang tak terurus. Anak kecil itu mengapit di ketiaknya karung kecampang berisi
beberapa potong pakaian, sajadah, gayung tempurung kelapa, mainan buatannya sendiri, dan bingkai
plastik murahan berisi foto hitam putih ayah dan ibunya ketika pengantin baru. Sebatang potlot yang
kumal ia selipkan di daun telinganya, penggaris kayu yang sudah patah disisipkan di pinggangnya. Tangan
kirinya menggenggam beberapa lembar buku tak bersampul. Celana dan bajunya dari kain belacu lusuh
dengan kancing tak lengkap. Itulah seluruh harta bendanya. Sudah berjam-jam ia menunggu kami.
Tampak jelas wajah cemasnya menjadi lega ketika melihat kami. Aku membantu membawa
buku-bukunya dan kami meninggalkan gubuk berdinding lelak beratap daun itu dengan membiarkan pintu
dan jendela-jendelanya terbuka karena dipastikan tak 'kanada siapa-siapa untuk mengambil apa pun.
Laksana terumbu karang yang menjadi rumah ikan di dasar laut, gubuk itu akan segera menjadi sarang
luak, atapnya akan menjadi lumbung telur burung kinantan, dan tiang-tiangnya akan menjadi istana liang
kumbang. Kami menelusuri jalan setapak menerobos gulma yang lebih tinggi dari kami. Kerasak tumpah ruah
merubung jalan itu. Arai menengok ke belakang untuk melihat gubuknya terakhir kali. Ekspresinya datar.
Lalu ia berbalik cepat dan melangkah dengan tegap. Anak sekecil itu telah belajar menguatkan dirinya.
Ayahku berlinangan air mata. Dipeluknya pundak Arai erat-erat. Di perjalanan aku tak banyak bicara
karena hatiku ngilu mengenangkan nasibmalang yang menimpa se-pupu jauhku ini. Ayahku duduk di atas
tumpukan kopra, memalingkan wajahnya, tak sampai hati memandang Arai. Aku dan Arai duduk
berdampingan di pojok bak truk yang terbanting-banting di atas jalan sepi berbatu-batu. Kami hanya
diam. Arai adalah sebatang pohon kara di tengahpadang karena hanya tinggal ia sendiri dari satu garis
keturunan keluarganya. Ayah ibunya merupakan anak-anak tunggal dan kakek neneknya dari kedua
pihak orangtuanya juga telah tiada. Orang Melayu memberi julukan Simpai Keramat untuk orang terakhir
yang tersisa dari suatu klan.
Aku mengamati Arai. Kelihatan jelas kesusahan telah menderanya sepanjang hidup. Ia seusia denganku
tapi tampak lebih dewasa. Sinar matanya jernih, polos sekali. Lalu tak dapat kutahankan air mataku
mengalir. Aku tak dapat mengerti bagaimana anak semuda itu menanggungkan cobaan demikian berat
sebagai Simpai Keramat. Arai mendekatiku lalu menghapus air mataku dengan lengan bajunya yang
kumal. Tindakan itu membuat air mataku mengalir semakin deras. Sempat kulirik ayahku yang
mencuri-curi pandang kepada kami, wajah beliau sembap dan matanya semerah buah saga. Melihatku
pilu, kupikir Arai akan terharu tapi ia malah tersenyum dan pelan-pelan ia merogohkan tangannya ke
dalam kacung kecampangnya. Air mukanya memberi kesan ia memiliki sebuah benda ajaib nan rahasia.
"Ikal, lihatlah ini!!" bujuknya.
Dari dalam karung, ia mengeluarkan se
buah benda mainan yang aneh. Aku melirik benda itu dan aku
semakin pedih membayangkan ia membuat mainan itu sendirian, memainkannya juga sendirian di
tengah-tengah ladang tebu. Aku tersedu sedan.
Tapi bagaimanapun perih aku tertarik. Mainan itu semacam gasing yang dibuat dari potongan-potongan
lidi aren dan di ujung lidi-lidi itu ditancapkan beberapa butir buah kenari tua yang telah dilubangi. Sepintas
bentuknya sepertii helikopter. Jalinan lidi pada mainan itu agaknya mengandung konstruksi mekanis. Aku
tergoda melihat Arai memutar-mutar benda itu setengah lingkaran untuk mengambil ancang-ancang.
Setelah beberapa kali putaran, sebatang lidi besar yang menjadi tuas konstruksi itu melengkung lalu saat
putaran terakhir dilepaskan, ajaib!
Lengkungan tadi melawan arah menimbulkan tendangan tenaga balik yang memelintir gasing aneh ini
dengan sempurna 360 derajat, berulang-ulang. Lebih seru lagi putaran balik ini menyebabkan butir-butir
kenari tadi saling beradu menimbulkan harmoni suara gemeretak yang menakjubkan. Aku tergelak. Mata
Arai bersinar-sinar. Aku tersenyum tapi tangisku tak reda karena seperti mekanika gerak balik helikopter purba ini, Arai
telah memutarbalikkan logika sentimental ini. la justru berusaha menghiburku pada saat aku seharusnya
menghiburnya. Dadaku sesak.
"Cobalah, Ikal...."
Aku merebut gasing aneh itu, mengamatinya dengan teliti bukan hanya sebagai mainan yang menarik hati
tapi sebagai sebuah kisah tentang anak kecil yang menciptakan mainan untuk melupakan kepedihan
hidupnya. Aku memutar gasing itu sekali, namun aku terperanjat sebab tiba-tiba ia berputar sendiri
dengan keras sehingga konstruksinya bingkas, lidi-lidinya patah, dan buah-buah kenari itu berhamburan
ke mukaku. Aku telah memutarnya terlalu kencang. Arai terkekeh melihatku. Ia memegangi perutnya
menahan tawa. Belum hilang rasa terkejutku, Arai kembali merogohkan tangannya ke dalam karung
kecampang. "Masih ada lagi!!"
Ia tersenyum penuh arti karena tahu telah berhasil menghiburku. Kali ini ia mengeluarkan sebuah cupu
dari kayu medang yang berlubang-lubang. Biasa dipakai orang Melayu untuk menyimpan tembakau. Tak
kusangka cupu itu telah dibelah dan sambungannya tak kasat. Arai membukanya pelan-pelan.
"Aiih ... kumbang sagu!!"
Aku memekik tak terkendali. Kumbang sagu, serangga mainan langka yang susah ditangkap. Jika
dipelihara dan diberi makan remah kelapa, kumbang bersayap mengilat seperti tameng patriot Spartan itu
dapat menjadi jinak. Tak berkedip aku melihat Arai membiarkan kumbang itu merayapi lengannya.
Makhluk kecil yang memesona itu meloncat-loncat kecil ingin terbang. Arai membelai serangga kecil itu,
menggenggamnya dengan lembut lalu melemparkannya ke udara.
Ditiup angin kencang di atas truk kumbang itu meregangkan sayap-sayapnya, mengapung sebentar,
berputar-putar seolah merayakan kemerdekaannya lalu melesat menembus rimbun dedaunan kemang di
tepi jalan. Lalu Arai melangkah menuju depan bak truk. la berdiri tegak disana serupa orang berdiri di
hidung haluan kapal. Pelan-pelan ia melapangkan kedua lengannya dan membiarkan angin menerpa
wajahnya. Ia tersenyum penuh semangat. Agaknya ia juga bertekad memerdekakan dirinya dari duka
mengharu biru yang membelenggunya seumur hidup. Ia telah berdamai dengan kepedihan dan siap
menantang nasibnya. Jahitan kancing bajunya yang rapuh satu per satu terlepas hingga bajunya
melambai-lambai seperti sayap kumbang sagu tadi. Ia menggoyang-goyang tubuhnya bak rajawali di
angkasa luas. "Dunia...!! Sambutlah aku...!! Ini aku, Arai, datang untukmu ...!!" Pasti itu maksudnya.
Ayahku tersenyum mengepalkan tinjunya kuat-kuat dan aku ingin tertawa sekeras-kerasnya, tapi aku
juga ingin menangis sekeras-kerasnya
Mozaik 3 The Lone Ranger Aku dan Arai ditakdirkan seperti sebatang jarum di atas meja dan magnet di bawahnya. Sejak kecil
kami melekat kesana kemari. Aku semakin dekat dengannya karena jarak antara aku dan abang
pangkuanku, abangku langsung, sangat jauh. Arai adalah saudara sekaligus sahabat terbaik buatku. Dan
meskipun kami seusia, ia lebih abang dari abang mana pun. Ia selalu melindungiku. Sikap itu tecermin dari
hal-hal paling kecil. Jika kami bermain melawan bajak laut di Selat Malaka dan aku sebagai Hang Tuah,
maka ia adalah Hang Lekir. Dalam sandiwara memerangi kaum Quraishi pada acara di balai desa, aku
berperan selaku Khalifah Abu Bakar, Arai berkeras ingin menjadi panglima besar Hamzah. Jika aku
Batman, ia ingin menjadi Robin atau paling tidak menjadi kelelawar. Jika di kampung anak-anak bermain
memperebutkan kapuk yang beterbangan dari pohonnya seperti hujan salju, Arai akan menjulangku di
pundaknya, sepanjang sore berputar-putar di lapangan tak kenal lelah, tak pernah mau kugantikan. la
mengejar layangan untukku, memetik buah delima di puncak pohonnya hanya untukku, mengajariku
berenang, menyelam, dan menjalin pukat. Sering bangun tidur aku menemukan kuaci, permen gula
merah, bahkan mainan kecil dari tanah liat sudah ada di saku bajuku. Arai diam-diam membuatnya
untukku. Dan seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin di kampung kami yang rata-rata beranjak remaja
mulai bekerja mencari uang, Arai-lah yang mengajariku mencari akar banar untuk dijual kepada penjual
ikan. Akar ini digunakan penjual ikan untuk menusuk insang ikan agar mudah ditenteng pembeli. Dia juga
yang mengajakku mengambil akar purun (perdu yang tumbuh di rawa-rawa) yang kami jual pada
pedagang kelontong untuk mengikat bungkus terasi. Waktu itu kami ingin sekali menjadi caddy dipadang
golf PN Timah tapi belum cukup umur. Kami masih SMP. Untuk jadi caddy, paling tidak harus SMA.
Sejak melihat aksi Arai di bak truk kopra tempo hari, aku mengerti bahwa ia adalah pribadi yang
istimewa. Meskipun perasaannya telah luluh lantak pada usia sangat muda tapi ia selalu positif dan
berjiwa seluas langit. Mengingat masa lalunya yang pilu, aku kagum pada kepribadian dan daya
hidupnya. Kesedihan hanya tampak padanya ketika ia mengaji Al-Qur'an. Di hadapan kitab suci itu ia
seperti orang mengadu, seperti orang yang takluk, seperti orang yang kelelahan berjuang melawan rasa
kehilangan seluruh orang yang dicintainya. Setiap habis magrib Arai melantunkan ayat-ayat suci
Al-Qur'an di bawah temaram lampu minyak dan saat itu seisi rumah kami terdiam. Suaranya sekering
ranggas yang menusuk-nusuk malam. Ratap lirihnya mengirisku, menyeretku ke sebuah gubuk di tengah
ladang tebu. Setiap lekukan tajwid yang dilantunkan hati muda itu adalah sayat kerinduan yang tak
tertanggungkan pada ayah-ibunya.
Jika Arai mengaji, pikiranku lekat pada anak kecil yang mengapit karung kecampang, berbaju seperti
perca dengan kancing tak lengkap, berdiri sendirian di muka tangga gubuknya, cemas menunggu harapan
menjemputnya. Jika Arai mengaji, aku bergegas menuruni tangga rumah panggung kami, kemudian berlari
sekuat tenaga menerabas ilalang menuju lapangan di tepi kampung. Di tengah lapangan itu aku berteriak
sejadi-jadinya. Karena berkepribadian terbuka, memiliki mentalitas selalu ingin tahu dan terus bertanya, Arai
berkembang menjadi anak yang pintar. la selalu ingin mencoba sesuatu yang baru.
"Oh, amboi, Ikal... tengoklah ini! Model rambut paling mutakhir! Aiiihhh.... Toni Koeswoyo, rambut
belah tengahnya itu! Elok bukan buatan! Lihatlah, Kal, semua pemain Koes Plus rambutnya belah
tengah!" Demikian hasutan Arai sambil mengagumi foto Koes Plus di sampul buku PKK-nya. la telah
menerapkan belah tengah seminggu sebelumnya dan tak sedikit pun kulihat nilai tambah pada wajahnya.
Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi karena Arai memang diberkahi dengan bakat menghasut, maka aku termakan juga. Ketika
becermin, aku sempat tak kenal pada diriku sendiri. Aku gugup bukan main saat pertama kali keluar
kamar dengangaya rambut Toni Koeswoyo itu. Aku berdiri mematung di ambang pintu karena
abang-abangku menertawakan aku sampai berguling-guling.
"Ha ha ha! Lihatlah orang-orangan ladang!!" ejek mereka bersahut-sahutan seperti segerombolan lutung
berebut ketela rambat. Rasanya aku ingin kabur masuk kembali ke kamar. Aku tak menyalahkan mereka
karena aku memang mirip orang-orangan ladang. Rambutku yang ikal, panjang
, dan tipis ketika dibelah
tengah lepek di atasnya namun ujung-ujungnya jatuh melengkung lentik di atas pundakku. Persis ekor
angsa. Aku menyesal telah mengubah sisiranku dan di ambang pintu kamar itu aku demam panggung
sebelum memperlihatkan penampilan baruku pada dunia. Tapi pada saat aku akan melangkah mundur,
Arai serta-merta menghampiriku.
"Jangan takut, Tonto ...," ia menguatkan aku dengangaya Lone Ranger.
Arai menggenggam tanganku erat-erat dan menuntunku dengan gagah berani melewati ruang tengah
rumah. Dalam dukungan Arai, aku tak sedikit pun gentar menghadapi badai cemoohan. Papan-papan
panjang lantai rumah berderak-derak ketika kami berdua melangkah penuhgaya .
Demikianlah, arti Arai bagiku. Maka sejak Arai tinggal di rumah kami, tak kepalang senang hatiku. Aku
semakin gembira karena kami diperbolehkan menempati kamar hanya untuk kami berdua. Walaupun
kamar kami hanyalah gudang peregasan, jauh lebih baik daripada tidur di tengah rumah,
bertumpuk-tumpuk seperti pindang bersama abang-abangku yang kuli, bau keringat, dan mendengkur.
Peregasan adalah peti papan besar tempat menyimpan padi. Orangtuaku dan sebagian besar orang
Melayu seangkatan mereka demikian trauma pada pendudukan Jepang maka di setiap rumah pasti ada
peregasan. Padi di dalam peregasan sebenarnya sudah tak bisa lagi dimakan karena sudah disimpan
puluhan tahun. Saat ini peregasan tak lebih dari surga dunia bagi bermacam-macam kutu dan keluarga
tikus berbulu kelabu yang turun-temurun beranak pinak di situ. Namun, jangan sekali-sekali
membicarakan soal peregasan. Ini perkara sensitif. Jika sedikit saja kami menyinggung soal
peregasan, misalnya kenapa padi lapuk itu tak dibakar saja, maka ibuku, sambil bersungut-sungut, akan
melantunkan sabda rutinnya yang membuat kami bungkam.
Preambul: "Kalian tak tahu apa-apa soal kesulitan hidup kecuali kalian hidup di zaman Jepang."
Latar belakang masalah: "Pernahkah kalian melihat kaum pria bercelana karung goni sehingga kulitnya
keras seperti kulit beduk" Aiii...."
Kesimpulan: "Padi itu akan tetap di situ. Melihat keadaan negara sekarang, bisa-bisa Jepang datang
lagi!!" Rekomendasi: "Maka Bujang-bujangku, daripada kaupusingkan soal padi itu, lebih berguna hidupmu
jika kaupetikkan aku daun sirih!!"
Paraorangtua Melayu tahu persis bahwa padi di dalam peregasan sudah tak bisa dimakan. Namun, bagi
mereka peregasan adalah metafora, budaya, dan perlambang yang mewakili periode gelap selama tiga
setengah tahun Jepang menindas mereka. Ajaibnya sang waktu, masa lalu yang menyakitkan lambat laun
bisa menjelma menjadi nostalgia romantik yang tak ingin dilupakan.
Mozaik 4 Biola Nurmi Sore yang indah. Perkebunan kepala sawit di kaki gunung sebelah timur kampung kami seperti garis
panjang yang membelah matahari. Bagian bawahnya menyingsingkan fajar di negeri-negeri orang berkulit
pucat dan sisa setengah di atasnya menyemburkan lazuardi merah menyala-nyala. Dan pada momen yang
spektakuler itu aku tengah membicarakan persoalan yang sangat serius dengan Arai melalui telepon.
Kami membahas kerusakan lingkungan karena ulah PN Timah dan jumlah ganti rugi yang akan kami
tuntut karena tanah ulayat kami rusak berantakan.
"Tiga miliar untuk air minum yang tercemar phyrite, empat miliar untuk risiko kontaminasi radio aktif,
tujuh miliar kompensasi beban psikologis karena kesenjangan sosial, dan dua miliar untuk hancurnya
habitat pelanduk," usul Arai berapi-api.
Aku duduk santai di atas talang mendengarkan usulannya melalui pesawat telepon kaleng susu Bendera
yang dihubungkan dengan kawat nyamuk. Arai meneleponku melalui kaleng Botan, posisinya di kandang
ayam. Saat itulah seorang wanita gemuk berjilbab yang matanya bengkak memasuki pekarangan.
Wanitamalang setengah baya itu Mak Cik Maryamah, datang bersama putrinya dan seperti ibunya, mata
mereka bengkak, semuanya habis menangis.
Aku dan Arai berlari menuju Mak Cik tapi ibuku lebih dulu menghampiri mereka.
"Kakak ...," Mak Cik memelas.
"Kalau masih ada beras, tolonglah pinjami kami ...."
Air mata Mak Cik meleleh . Kesusahan seakan tercetak di keningnya. Lahir untuk susah, demikian
stempelnya. Putrinya yang terkecil tertidur pulas dalam dekapannya. Yang tertua, Nurmi yang kurus tinggi
kurang gizi itu, baru kelas dua SMP, sama denganku dan Arai, tampak tertekan batinnya. la memeluk
erat sebuah koper hitam lusuh berisi biola. Dia seorang pemain biola berbakat. Ingin menjadi musisi,
itulah impian terbesarnya. Bakat dan biola itu diwarisinya dari kakeknya, ketua gambus kampung kami.
Sudah tiga kali Minggu ini Mak Cik datang meminjam beras. Keluarga kami memang miskin tapi Mak
Cik lebih tak beruntung. la tak berdaya karena tak lagi dipedulikan suaminya, antara lain karena ia hanya
bisa melahirkan anak-anak perempuan itu.
Ibuku memberi isyarat dan Arai melesat ke gudang peregasan. Ia memasukkan beberapa takar beras ke
dalam karung, kembali ke pekarangan, memberikan karung beras itu kepada ibuku yang kemudian
melungsurkannya kepada Mak Cik.
"Ambillah...." Mak Cik menerimanya dengan canggung dan berat hati. Aku tak sampai hati melihatnya. Ia berkata
terbata-bata, "Tak 'kanmampu kami menggantinya, Kak...."
Lalu Mak Cik menatap Nurmi. Wajahnya menanggungkan perasaan tak sampai hati namun beliau
benar-benar tak punya pilihan lain.
"Hanya biola ini milik kami yang masih berharga," ucapnya pedih.
Nurmi memeluk biolanya kuat-kuat. Air matanya mengalir. Ia tak rela melepaskan biola itu.
"Nurmi...," panggil ibunya.
Nurmi berupaya keras menguat-nguatkan dirinya. Ia mendekati ibuku. Langkahnya terseret-seret untuk
menyerahkan koper biolanya. Air matanya berurai-urai.
Ibuku tersenyum memandangi Nurmi.
"Jangan sekali-kali kaupisahkan Nurmi dari biola ini, Maryamah. Kalau berasmu habis, datang lagi ke
sini." Nurmi cepat-cepat menarik tangannya dan kembali memeluk biolanya kuat-kuat. la tersedu sedan. Kami
mengiringi Mak Cik keluar pekarangan dan memandangi anak-beranak itu berjalan menjauh. Nurmi
melangkah paling cepat mendahului ibu dan adik-adiknya seakan ia ingin segera pulang menyelamatkan
biolanya. Mata Arai berkaca-kaca melihat Mak Cik bergandengan tangan dengan anak-anaknya sambil
menenteng setengah karung beras. Lalu aku heran melihat ekspresi Arai. Sulit kuartikan makna air
mukanya: dingin, datar, dan gundah. Kulihat ketidakpuasan, ada juga kilatan kemarahan. Lebih dari itu,
kulihat sebuah rencana yang aneh. Instingku mengabari bahwa sesuatu yang dramatis pasti sedang
berkecamuk dalam kepala manusia nyentrik ini.
Benar saja, tiba-tiba Arai membanting telepon kaleng botan dan menyeretku ke gudang peregasan. Aku
terbengong-bengong melihat tingkah Arai. Ibuku sibuk menggulung kabel telepon yang kami campakkan.
Aku semakin tak mengerti waktu Arai bergegas membuka tutup peregasan, mengambil celengan ayam
jagonya, dan tanpa ragu menghempaskannya. Uang logam berserakan di lantai. Napasnya memburu dan
matanya nanar menatapku saat ia mengumpulkan uang koin. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun dan
pada detik itu aku langsung terperangkap dalam undangan ganjil dari sorot matanya. Seperti tersihir aku
tergoda pada berbagai kemungkinan yang ditawarkan kelakuan sintingnya. Tanpa berpikir panjang aku
menjangkau celenganku di dasar peregasan dan melemparkannya ke dinding. Aku terpana melihat
koin-koin tabunganku berhamburan, baru kali ini aku memecahkan ayam jago dari tanah Hat itu.
Arai terkekeh. Aku tak tahu apa yang telah merasukiku. Aku juga tak secuil pun tahu apa rencana Arai.
Yang kutahu adalah Allah telah menghadiahkan karisma yang begitu kuat pada sang Simpai Keramat ini
mungkin sebagai kompensasi kepedihan masa kecilnya. Hanya dengan menatap, ia mampu menguasaiku.
Atau mungkin juga aku bertindak tolol karena persekongkolan kami sudah mendarah daging.
"Kumpulkan semua, Ikal!!" perintahnya bersemangat. "Masukkan ke dalam karung gandum." Koin-koin
itu hampir seperempat karung gandum.
'Ayo ikut aku, cepat!! Pakai dua sepeda!!" Kami berlari menuju sepeda sambil menenteng karung
gandum yang berat gemerincing. Kelakuan kami persis perampok telepon koin. Arai mengayuh sepeda
seperti or ang menyelamatkan diri dari letusan gunung berapi. Di luar pekarangan ia menikung tajam
dalam kecepatan tinggi. Aku pontang-panting mengikutinya dengan hati penasaran. Yang terpikir olehku
kami akan menghibahkan tabungan kami untuk Mak Cik. Mengingat kesulitan Mak Cik, aku tak
keberatan. Tapi ketika sepeda melewati perempatan, Arai berbelok ke kiri. Aku tersengal-sengal
memanggilnya. "Rai!! Mau ke mana""!!" Jika ingin ke rumah Mak Cik, seharusnya ia belok kanan.
"Aku tahu, Kal. Ikut saja!!" Maka layar pun digulung dan drama dimulai.
Arai ngebut, sepedanya terpantul-pantul di atas jalan pasir meluapkan debu berwarna kuning. Aku
zigzag di belakangnya untuk menghindari debu. Aku terheran-heran pada kelakuan Arai tapi menikmati
ketegangan pengalaman hebat ini. Dua orang bersepeda beriringan kejar-mengejar dengan kecepatan
tinggi sambil membawa karung uang. Bukankah kami seperti buronan di film-film"
Arai jelas sedang menuju ke pasar. Tak dapat kuduga apa maksudnya. Begitulah Arai, isi kepalanya
tak'kan pernah dapat ditebak. Di depan toko A Siong ia berhenti. Dia turun dari sepeda dan
menghampiriku yang kehabisan napas. la mengambil karung uang yang sedang kusandang. Sambil
mengumbar senyum tengiknya dia mengedipkan sebelah mata sembari mengeluarkan suara "khekkh!!"
persis tekukur dilindas truk.
Langkahnya pasti memasuki toko A Siong. Aku was was mengantisipasi tindakannya. Aku tak rela uang
jerih payah berjualan tali purun itu dihamburkannya untuk hal yang konyol. Perlu diketahui, untuk
menebas purun harus berendam dalam rawa setinggi dada dengan risiko ditelan buaya mentah-mentah.
Tapi seperti biasanya Arai selalu meyakinkan. Lihatlah ekspresi dan gayanya berjalan. Aku terhipnotis
oleh kekuatan kepercayaan dirinya. Aku seperti kerbau dicucuk hidung, digiring kepejagalan pun manut
saja. Bahkan hanya untuk bertanya mulutku telanjur kelu. Kami memasuki toko yang sesak.
Barang-barang kelontong berjejal-jejal di rak-rak yang tinggi. Arai berhenti sebentar di tengah toko
persis di bawah sebuah fan besar berdiameter hampir dua meter dan berputar sangat kencang: wuttth ...
wuttth ... wutttthh. Istri A Siong besar di Hongkong. Hanya fan untuk pabrik itu yang membuatnya betah
tinggal di Belitong yang panas. Arai membuka kancing atas bajunya, menengadahkan wajahnya, dan
ketika angin fan membasuh wajahnya yang bersimbah peluh ia terpejam syahdu, sebuahgaya yang sangat
mengesankan. Lalu ia menghampiri istri A Siong. Nyonya ini sedang mengepang rambut putrinya, Mei Mei. Siapa pun
yang melihat gadis kecil ini akan segera teringat pada tofu. Mereka berdua gendut-gendut tapi cantik.
"Prranggggg!!!"
Arai menumpahkan isi karung gandum tadi di atas meja kaca. Nyonya Tionghoa yang punya nama
sangat bagus itu: Deborah Wong melompat terkejut melihat uang logam membukit seperti tumpeng.
"Ayya ... ya ... ya ... Lui...!!"
Ibu mertua Nyonya Deborah yang berumur hampir seratus tahun dan sedang duduk juga terkejut.
Nenek ini tak pernah tersenyum. Bajunya, kulitnya, rambutnya, alisnya, gusinya yang sudah tak ditenggeri
sebijipun gigi, dan kucingnya, semuanya berwarna kelabu. Murung. Itulah kesan keseluruhan dirinya.
Agaknya, ia melalui hari demi hari dipenuhi perasaan muak. Wajahnya selalu kesal mengapa malaikat
maut tak kunjung menjemputnya. Ia tak tertarik lagi dengan kehidupan. Mendengar gemerincing koin
yang ribut, ia merasa terganggu, mukanya menyeringai marah.
"Nyah ...," seru Arai pada Nyonya Deborah. Santun dan berwibawa, seolah ia akan memborong seluruh
isi toko dengan koin-koin itu.
"Terigu 10 kilo, gandum 10 kilo, gula ...." Aku terkejut tak kepalang.
"Rai! Apa-apaan ini"!"
"Untuk apa segala terigu ...." Tangkas, Arai menekan jarinya di atas mulutku.
"Sstttt!!Diam,Kal."
"Nyah, jangan lupa minyak ...." Kutepis tangannya dengan marah, Arai tersentak.
"Diamlah, Ikal. Lihat saja ...." Langsung kupotong, "Ke mana pikiranmu, Rail! Sudah setahun lebih kita
menabung!!" "Tong! Tong! Tong!! Tong! Tong!!" Sang ibu mertua Nyonya Deborah menampar-namparkan piring
kaleng tempat makanan ku cing, menyuruh kami diam.
"Sabar, Kal.Nan ...."
"Tak ada sabar!!"
"Ini penting, Kal. Bahan-bahan ini akan ...."
"Tak ada penting!! Lupakah kau untuk apa kita susah payah menabung""!!"
Arai marah karena alasannya kupotong terus. Dia geram karena aku tak mau mendengar penjelasannya.
"Ya Tuhan, jangan lagi aku dipertemukan dengan orang ini!!!"
Aku melompat menuju tumpukan koin, membuka karung gandum dan meraup permukaan meja untuk
melungsurkan koin-koin itu kembali ke dalam karung. Arai tak tinggal diam. Disambarnya tanganku dan
dikekangnya tubuhku dari belakang seperti pegulat tradisionalIran . Terjadi tarik-menarik yang seru
memperebutkan gunungan uang koin. Meja kaca bergoyang-goyang hebat. Nyonya Deborah terperanjat
melihat pergumulangaya koboi di tokonya.
"Tagem!!! Taggeeeeeem!!"
Nyonya Deborah menjerit ketakutan memanggil-manggil Tagem, kulinya. Kuli Sawang itu tengah
bersandar kelelahan mengipasi dadanya dengan sobekan kardus di pokok pohon seri di muka toko.
Lalu-lalang kendaraan menelan teriakan Nyonya Deborah. Anehnya putri kecil Mei Mei justru senang
bukan main melihat kami beradu otot. la cekikikan, bertepuk tangan, dan ia jelas memihakku. Tanpa
peduli duduk perkaranya, anak kecil pasti akan memihak orang yang berpenampilan lebih apik. Bagi
anak TK itu, aku yang berkulit lebih terang dan keriting adalah jagoannya, pangeran penumpas
kejahatan. Bentuk rahang Arai yang aneh pasti telah membuatnya menduga kalau Arai penjahat.
"Ayo, Abang Keliting, sepak!! Sepak!! Kik ... kik ... kik ... hi... hi... sepak!! Tendang pelutnya!!"
Adu tenaga semakin dahsyat karena Arai berhasil mengekang kedua tanganku. Ia unggul karena
badannya lebih besar. Ia memitingku dari belakang dan memepetkan tubuhku ke lemari dagangan
tembakau. Aku menguik ketika terjajar menghantam lemari itu.
Mei Mei semakin girang. Gadis cilik yang tak kenal takut itu naik ke atas meja. Ibunya hilir mudik
ketakutan. "Ayo, tinju, Bang. Talik lambutnya ...."
Aku dan Arai berusaha sekuat tenaga saling mengalahkan. Mei Mei yang gendut berlari-lari di atas meja
seperti wasit tinju. Mulutnya berkicau-kicau tak keruan.
" Saudala-saudala, datanglah belamai-lamai!! Inilah peltandingan antala pendekal keliting melawan ...."
Mei Mei terdiam menatap Arai. Kami juga terdiam, serentak menoleh padanya. Dengan ekspresi
lugunya, putri kecil itu mengamati wajah Arai lalu ia berteriak ngeri, "Dlakulaaaaaaa ...!!!"
Arai tersinggung berat dan menumpahkan kekesalannya padaku. Ia menjepit leherku dengan tekukan
sikunya. Tapi seperti kucing yang dimasukkan ke dalam karung, aku memberontak sejadi-jadinya. Ibu
mertua Nyonya Deborah memaki-maki namun anehnya kemudian ia tertawa. Pek!! Pek!! Pek!! Pek!!
Pek!! Ia bertepuk tangan dengan pinggan kaleng tadi seperti orang main tamborin. Ia menunjuk-nunjuk
aku sambil mengepalkan tinjunya, kakinya menyepak-nyepak. Beliau jelas memihak Arai.
Karena mendapat dukungan, Arai semakin beringas. Ia mendorongku ke lemari tembakau. Sebaliknya,
aku semakin liar melawannya. Rak tembakau yang terbuat dari batangan besi setinggi tiga meter dengan
berat ratusan kilo mulai bergoyang. Jika rak ini tumbang, seisi toko bisa celaka.
"Tageeeeeeeeemmm!! Puik Tageeeeeemmmmm!!!"
Nyonya Deborah berteriak histeris. Karena panik, Nyonya Deborah terpaksa memakai kata puik,
sebuah makian dalam bahasa Sawang. Tagem masih tenang-tenang saja. la malah melambai-lambai,
menggoda iringan wanita penjaga toko. Sebaliknya, melihat pertarungan semakin dahsyat, Mei Mei
girang tak kepalang. la menjerit-jerit seperti burung prigantil yang dicabuti bulunya.
"Ayo, Abang Keliting, sepak!! Tinju!!"
Semangatku terpompa. Aku merasa memiliki tenaga ekstra sebab aku yakin sedang membela
kebenaran. Aku meronta sejadi-jadinya dari kuncian Arai, menggelinjang seperti belut sehingga lemari
raksasa itu limbung dan tiba-tiba ....
Shrrrookkkk... braggghhh... brruukkkk!!! Brruuk-kkk!!!Brruukkkk!!!
Tiga karung kertas yang berisi kapuk berjatuhan dari rak lemari tembakau. Karung-karung itu pecah
berantakan dan gumpalan-gump
alan kapuk yang berbentuk seperti awan terhambur memenuhi lantai.
Lalu tampak olehku pemandangan yang menakjubkan karena fan besar di tengah ruangan mengisap
kapuk di atas lantai dan ribuan awan-awan putih kecil berdesingan melingkar naik ke atas, indah dan
harmonis membentuk spiral seperti angin tornado.
Mei Mei terpana melihat pemandangan ajaib itu. Mulut mungilnya yang dari tadi berkicau kini terkunci
lalu pelan-pelan menganga seperti ikan mas koki. la tertegun saat pusaran kapas itu maju mundur
mendekatinya. Mata bulat buah hamlam-nya bersinar-sinar seakan ia melihat sesosok malaikat yang
besar, tampan, dan bersayap melayang-layang ingin memeluknya. Mei Mei pucat pasi karena terpukau
dalam ketakutan yang indah.
Pinggan kaleng yang tengah digenggam ibu mertua Nyonya A Siong terjatuh tanpa disadarinya lalu
berguling-guling ke tengah ruangan toko. Nyonya Deborah sendiri berhenti berteriak. Wutthh ... wutthh
... wutthhhh suara fan besar menggulung setiap gumpalan kapuk seperti jutaan kunang-kunang yang
serentak beranjak. Arai melepaskan kunciannya dari tubuhku. Ia menengadah.
"Subhanallah ...."
"Subhanallah Ikal, lihatlah itu ...."
Kepalaku berputar-putar mengikuti kisaran angin tornado awan-awan kapuk yang terkumpul ke atas
dan terapung-apung memenuhi plafon sehingga toko kelontong itu seperti berada di atas awan, seperti
hanyut di langit. Semua orang yang ada di dalam toko bungkam karena terperangah. Kami memandangi
langit-langit toko yang dipenuhi kapuk seperti awan yang rendah.
Pemandangan semakin sensasional ketika Nyonya Deborah mematikan fan dan saat itu pula awan-awan
kecil itu berjatuhan, melayang-layang dengan lembut tanpa bobot.
Mei Mei berteriak-teriak girang sambil melompat-lompat, "Hujan saljuuuuuuu...."
Mei Mei menangkap awan-awan kecil yang berjatuhan. Ibunya menghampiri anaknya, memeluknya.
Mereka menari berputar-putar di bawah hujan salju. Aku dan Arai bersandar kelelahan. Di bawah hujan
salju yang memesona pertikaian kami telah berakhir dengan damai.
"Arai, kita memerlukan tabungan itu."
"Aku tak punya banyak waktu, Kal...."
"Nanti kujelaskan. Ikuti saja rencanaku, percayalah...."
Aku menatap mata Arai dalam-dalam. Dia memang aneh tapi aku tahu tak ada bibit culas dalam dirinya.
Di luar kami lihat Tagem berjalan gontai memasuki toko. Di ambang pintu ia berteriak, "Puik Tagem!!" la
terkejut melihat toko telah kacau-balau dan menjadi putih, sementara juragannya bersukaria
bermain-main di bawah hujan kapuk dan mertua Nyonya Deborah bertepuk tangan dengan piring kaleng.
Kami kembali bersepeda dengan tergesa-gesa, meliuk-liuk membawa karung gandum dan terigu. Di
perempatan Arai belok kiri. Aku masih tak mengerti maksud Arai waktu ia memasuki pekarangan rumah
Mak Cik Maryamah. Kami masuk ke dalam rumah yang senyap. Dari dalam kamar, sayup terdengar
Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nurmi sedang menggesek biola. Arai menyerahkan karung-karung tadi pada Mak Cik. Beliau
terkaget-kaget. Lalu aku tertegun mendengar rencana Arai: dengan bahan-bahan itu dimintanya Mak Cik
membuat kue dan kami yang akan menjualnya.
"Mulai sekarang, Mak Cik akan punya penghasilan!" sera Arai bersemangat.
Mata Mak Cik barkaca-kaca. Seribu terima kasih seolah tak'kancukup baginya.
Tubuhku yang dari tadi kaku karena tegang mengantisipasi rencana Arai kini pelan-pelan merosot
sehingga aku terduduk di balik daun pintu. Aku menunduk dan memeluk lututku yang tertekuk. Aku
merasa sangat malu pada diriku sendiri. Bibirku bergetar menahan rasa haru pada putihnya hati Arai. Air
mataku mengalir pelan. Sungguh tak sedikit pun kuduga Arai merencanakan sesuatu yang sangat mulia
untuk Mak Cik. Sebuah rencana yang akan kudukung habis-habisan. Sejak itu, aku mengenal bagian
paling menarik dari Arai, yaitu ia mampu melihat keindahan di balik sesuatu, keindahan
yang hanya biasa orang temui di dalam mimpi-mimpi. Maka Arai adalah seorang pemimpi yang
sesungguhnya, seorang pemimpi sejati. Dan sejak itu, kami naik pangkat dari penebas akar banar dan
pencabut rumpun purun menjadi penjual kue basah. Karena sasaran pasar kami
adalah orang-orang bersarung, maka kami berjualan dari perahu ke perahu. Jika ada pertandingan sepak bola, kami
berjualan di pinggir lapangan bola. Penghasilan sebagai penjual kue rupanya jauh lebih baik dari penjual
akar banar. Yang paling menggembirakan, Mak Cik tak perlu lagi meminjam beras ke mana-mana.
Bertahun-tahun berikutnya kami berganti dari satu profesi ke profesi lain untuk membantu nafkah
orangtua. Ketika keluar dari kamarnya, Nurmi terkejut melihat karung-karung gandum dan tepung terigu. Dan ia
terhenyak mendengar rencana Arai. Wajahnya sembap, namun Arai serta-merta menghiburnya.
"Adinda, sudikah membawakan sebuah lagu untuk Abang""
Nurmi tersenyum. "'Juwita Malam'. Abang ingin lagu 'Juwita Malam'."
Kami mengambil tempat duduk di dapur yang kumal itu, siap menyimak Nurmi. Dan sore yang sangat
indah itu semakin memesona karena gesekan syahdu biola Nurmi. Merinding aku mendengar jeritan
panjang biola yang meliuk-liuk pilu, jauh, dalam, dan tegar. Nurmi membawakannya dengan sepenuh
jiwa seakan Arai adalah pahlawan keluarganya yang baru turun dari bulan.
Juwita malum, siapakah gerangan puan
Juwita malam, dari bulankah puan ....
Mozaik 5 Tuhan Tau, tapi menunggu Aku dan Arai beruntung sempat melihat aksinya. Ketika itu kami masih kelas empat sekolah dasar. la
sungguh-sungguh pria tua jempolan. A Put namanya, terpesona aku dibuatnya. Waktu itu aku
menganggapnya manusia paling hebat ketiga di dunia ini setelah ayahku dan seorang laki-laki berjanggut
lebat, senang memakai jubah, bermata syahdu meradang yang tinggal diJakarta dan menciptakan lagu
merdu berjudul "Begadang". Kami merasa beruntung sempat menyaksikan kepiawaian A Put sebab
ketika ia wafat ilmunya terkubur bersama dirinya. Tak ada yang mewarisinya. Anak cucunya malah malu
membicarakan ilmu unik A Put yang mungkin hanya dikuasainya sendiri sejagat raya ini.
Siang itu A Put duduk santai mengisap cangklong. Sarung bawahannya, kaus kutang bajunya, sandal
jepit alas kakinya, tujuh puluh tahun usianya. Pasiennya nongkrong meringis-ringis persis anak-anak
kucing tercebur ke kolam kangkung. A Put adalah dokter gigi kampung kami, dukun gigi lebih tepatnya.
Mengaku mendapat ilmunya dari peri tempayan, laki-laki Hokian itu sungguh sakti mandraguna.
Namanya kondang sampai ke Tanjong Pandan. Bagaimana tidak, ia mampu menyembuhkan sakit gigi
tanpa menyentuh gigi busuk itu. Bahkan tanpa melihatnya. Alat diagnosisnya hanya sepotong balok,
sebilah palu, dan sebatang paku. Ruang praktiknya adalah lingkar teduh daun pohon nangka dan ia hanya
berpraktik berdasarkan suasana hati. Gigi-giginya sendiri tonggos hitam-hitam.
"Ini" Ini katamu! Aya, ya... tolol sekali! Yang betul! Ini" Di sini" Yakin"" Begitu pertanyaan A Put pada
pasiennya. Ia menggerus-gerus permukaan balok dengan ujung paku, mencari-cari satu titik posisi gigi
yang sakit. Maka balok itu adalah representasi gusi orang. Hebat luar biasa. Sang pasien merasa seakan sebuah
benda bergerak-gerak dalam mulutnya, meraba setiap giginya. Ini
adalah komunikasi telepatik antara sepotong balok, sebatang paku, seorang dukun nyentrik, dan sebuah
tekak busuk. Jika benda imajiner itu terasa mengenai gigi yang sakit, sang pasien berteriak, "Yah ... hooh,
hooh!! Di situ!!" A Put serta-merta memukul kepala paku dengan keras, menghunjamkannya ke dalam balok dan detik
itu pula byarrr! Abrakadabra! Sim salabim! Tak tahu karena campur tangan jin, ilmu hitam, berkah sajen
pada raja setan, atau sugesti, rasa sakit pada gigi itu dijamin lenyap saat itu juga, menguap seperti dompet
ketinggalan di stasiun, aneh binti ajaib!! Tak ada sebiji pun obat, bahkan tak perlu membuka mulut!
Suatu ketika antrean pasien A Put telah melampaui pagar kandang babinya.Para tetua Melayu
kasak-kusuk dan pagi-pagi sekali esoknya mereka mengantar senampan pulut panggang.
"Selamat, Dokter A Put. Pimpinlah kampung ini, semoga sejahtera, Kawan...."
Jika A Put memakan pulut panggang itu, maka saat itu pula ia dilantik jadi kepala kampung. Demikianlah
prosesi di kampung kami, sangat fungsional. Jik
a hujan berkepanjangan, pawang hujan akan mendapat
kiriman pulut panggang. Jika buaya mulai nakal, maka dukun buaya dinobatkan jadi kepala kampung.
Jika anak-anak Melayu banyak lahir, sang paraji, penguasa tali pusar itu, dipastikan jadi ketua adat. A
Put mendapat kehormatan jadi presiden kampung kami karena tahun itu kasus borok gigi melonjak
tajam. Kepemimpinan berdasarkan perintah alam itu berakhir sampai orang-orang Pasai membawa Islam ke
suku-suku Melayu pedalaman.Para dukun dan pawang bangkrut pamornya digantikan oleh penggawa
masjid. Belakangan kami dikenalkan pada model demokrasi aneh yang mungkin di dunia hanya ada di
republik ini. Petinggi di Jakarta menyebutnya Demokrasi Terpimpin! Mengada-ada tentu saja. Sejak itu
kampung-kampung orang Melayu diserbu manusia-manusia kiriman dariPalembang . Mereka tak kami
kenal, rata-rata bergelar B.A. Mereka menjadi camat, bupati, sampai ketua KUA. Tapi itu pun tak lama.
Segera setelah mahasiswa mengobrak-abrik kejahiliahan penyelenggaraan negara, kami dipimpin oleh
bumiputra yang dalam pemilihan diwakili gambar jagung, pisang, dan kacang kedelai.Para mahasiswa
yang hebat itu telah menebarkan kenikmatan demokrasi sampai jauh ke pulau-pulau terpencil.
Saat ini Kacang Kedelai memimpin kampung kami. la dicintai dan berkuasa karena legitimasinya penuh,
de jure hanya de jure, sebab kenyataannya penguasa tertinggi kampung kami, tak lain tak bukan, de
facto, tak dapat diganggu gugat, tetaplah penggawa masjid.Para penggawa masjid sangat disegani.
Mereka seperti trias politika: Taikong Hamim sang eksekutif atau pelaksana pemerintahan masjid
sehari-hari, Haji Satar pembuat aturan sehingga seperti lembaga legislatif, dan Haji Hazani selaku
yudikatif. Namun, dalam praktik mereka adalah robot-robot budi pekerti yang menganggap besi panas
merupakan alat yang setimpal untuk meluruskan tabiat anak-anak Melayu yang telah terkorupsi
akhlaknya. Mereka keras seperti tembaga. Setelah pulang sekolah, jangan harap kami bisa berkeliaran.
Mengaji dan mengaji Al-Qur'an sampai khatam berkali-kali.
Dan jika sampai tamat SD belum hafal Juz Amma, siap-siap saja dimasukkan ke dalam beduk dan
beduknya dipukul keras-keras sehingga ketika keluar berjalan zigzag
seperti ayam keracunan kepiting
batu. Mereka lebih kejam dari orangtua kami sebab merekalah yang mengajari orangtua kami mengaji.
Bahkan Pak Ketua Kacang Kedelai tak berkutik pada trias politika karena yang menyunat bapaknya,
dengan kulit bambu, adalah Taikong Hamim. Dalam budaya orang Melayu pedalaman, siapa yang
mengajarimu mengaji dan menyunat perkakasmu adalah pemilik kebijakan hidupmu.
Aku dan Arai sering dihukum Taikong Hamim. Karena napasku tak panjang kalau mengaji pada suatu
subuh yang dingin, aku disuruh menimba air dan mengisi tong sampai penuh, lalu aku dipaksa menyelam
ke dalam tong itu membawa jerikenlima liter. Leher jeriken itu kecil sekali dan aku tak boleh timbul
sebelum jeriken itu penuh. Aku megap-megap dengan bibir membiru dan mata mau meloncat. Arai lebih
parah. Karena terlambat salat subuh, ia disuruh berlari mengelilingi masjid sambil memikul gulungan
kasur. Kami terpingkal-pingkal melihatnya berlari seperti orang kebakaran rumah.
Dalam kancah kawah candradimuka masjid, di bawah pemerintahan trias politika itulah, kami mengenal
Jimbron. Jimbron tak lancar berbicara. la gagap, tapi tak selalu gagap. Jika ia panik atau sedang
bersemangat maka ia gagap. Jika suasana hatinya sedang nyaman, ia berbicara senormal orang biasa.
Jimbron bertubuh tambun. Secara umum ia seperti bonsai kamboja Jepang: bahu landai, lebar, dan lungsur, gemuk berkumpul di
daerah tengah. Wajahnya seperti bayi, bayi yang murung, seperti bayi yang ingin menangis jika
melihatnya langsung timbul perasaan ingin melindunginya.
Jimbron adalah seseorang yang membuat kami takjub dengan tiga macam keheranan. Pertama, kami
heran karena kalau mengaji, ia selalu diantar seorang pendeta. Sebetulnya, beliau adalah seorang pastor
karena beliau seorang Katolik, tapi kami memanggilnya Pendeta Geovanny. Rupanya setelah sebat
ang kara seperti Arai, ia menjadi anak asuh sang pendeta. Namun, pendeta berdarah Italia itu tak sedikit pun
bermaksud mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika mengantarkan Jimbron
mengaji ke masjid. Nasib Jimbron tak kalah menggiriskan dengan Arai. Dan gagapnya itu berhubungan
dengan sebuah cerita yang memilukan. Dulu bicaranya normal seperti anak-anak lainnya. Jimbron adalah
anak tertua dari tiga bersaudara. la memiliki dua adik kembar perempuan. Ibunya wafat ketika Jimbron
kelas empat SD. Jimbron sangat dekat dan sangat tergantung pada ayahnya.
Ayahnya adalah orientasi hidupnya. Suatu hari, belum empat puluh hari ibunya wafat, Jimbron bepergian
naik sepeda dibonceng ayahnya, masih berkendara ayahnya terkena serangan jantung. Konon Jimbron
pontang-panting dengan sepeda itu membawa ayahnya ke Puskesmas. la berusaha sekuat tenaga, panik,
dan jatuh bangun terseok-seok membonceng ayahnya yang sesak napas sambil kesusahan
memeganginya. Sampai di Puskesmas Jimbron, anak kelas empat SD itu, kehabisan napas dan pucat
pasi ketakutan. la kalut, tak sanggup menjelaskan situasinya pada orang-orang. Lagi pula sudah
terlambat. Beberapa menit di Puskesmas ayahnya meninggal. Sejak itu Jimbron gagap. Pendeta Geovanny, sahabat
keluarga itu, lalu mengasuh Jimbron. Kedua adik kembar perempuannya mengikuti bibinya ke Pangkal
Pinang, PulauBangka . Keheranan kami yang kedua adalah Jimbron sangat menyukai kuda. Kata orang-orang, ini berhubungan
dengan sebuah film di televisi balai desa yang ditonton Jimbron seminggu sebelum ayahnya wafat. Dalam
film koboi itu tampak seseorang membawa orang sakit untuk diobati dengan mengendarai kuda secepat
angin sehingga orang itu dapat diselamatkan. Barangkali Jimbron menganggap nyawa ayahnya dapat
tertolong jika ia membawa ayahnya ke Puskesmas dengan mengendarai kuda.
Di kampung kami tak ada seekor pun kuda tapi Jimbron mengenal kuda seperti ia pernah melihatnya
langsung. Jimbron adalah pemuda yang mudah mengantuk tapi jika sedikit saja ia mendengar tentang
kuda, maka telinga layunya sontak berdiri. Jimbron segera menjadi pencinta kuda yang fanatik. Ia tahu
teknik mengendarai kuda, asal muasal kuda, dan mengerti makna ringkikan kuda. Ia hafal nama kuda
Abraham Lincoln, nama kuda Napoleon, bahkan nama kuda Syaidina Umar bin Khatab. Dengan melihat gambar wajah
kuda, ia langsung tahu jenis kelamirmya. Tak ada satu pun hal lain yang menarik di dunia ini bagi Jimbron
selain kuda. Jika kami menonton film Zorro di TV balai desa, maka jangan tanyakan pada Jimbron jalan
ceritanya. Ia tak tahu. Tapi tanyakan jumlah kuda yang terlihat, berapa kuda hitam dan putih, bahkan
berapa kali terdengar suara kuda meringkik, ia ingat betul. Jimbron terobsesi pada kuda, penyakit gila
nomor 14. "Kud.... Kudddaa aadd... addaalah... kendarrraan perrranggg, Kal!!
"He... he ... hewan yang... mm... mmemenangkan ... pph ... ppe ... pperrrang Badarrrrrr...."
Ia ingin melanjutkan ceritanya tapi kelelahan oleh gagapnya. Semakin ia excited, semakin parah
gagapnya. Aku prihatin melihat mukanya. Sebuah wajah yang menimbulkan perasaan ingin selalu melindunginya.
Polos, bersih seperti bayi. Kuduga Jimbron tak 'kanpernah tampak tua walaupun nanti usianya tujuh
puluh tahun. "Binatang yang gagah berani Bron, hebat sekali, aku setuju," kuringankan beban hidupnya dengan
mengakui bahwa kuda memang hebat. Ia sumringah. Tak perlu lagi meyakinkan aku meskipun
sesungguhnya aku sudah sangat bosan. Jika berjumpa dengannya, tak ada cerita selain kuda, dari pagi
sampai sore. "Kita tak bisa sembarangan dengan kuda, bisa-bisa kualat. Begitukan maksudmu, Bron""
Ah, Jimbron mengangguk-angguk, tersenyum lebar sambil tersengal menahan kata yang terperangkap
dalam kerongkongannya, terkunci dalam gagapnya. Ia menatapku sarat arti: aku sayang padamu,
Sahabatku. Sungguh penuh pengertian!
Dan suatu hari Taikong Hamim marah besar sebab di meja Jimbron berserakan gambar kuda dan tak
ada lembar kosong di buku TPA-nya selain lukisan kuda. Jimbron disuruh maju ke tengah madrasah,
dipe rtontonkan pada ratusan santri dan dipaksa meringkik. Matanya yang lugu, tubuhnya yang gemuk
dan bahunya yang lungsur tampak lucu ketika tangannya menekuk di dadanya seperti bajing. Dan kami
dilanda keheranan ketiga: Jimbron senang bukan main dengan hukuman itu.
Meskipun Jimbron gembira dengan hukuman apapun yang berhubungan dengan kuda, bagi kami
Taikong Hamim tetap antagonis. Beliau selalu menerjemahkan aturan Haji Satar secara kaku tanpa
perasaan. Maka dengan segala cara, kami berusaha membalas Taikong. Otak pembalasan ini tentu saja
Arai. Cara yang paling aman, sehingga paling sering dipraktikkan Arai adalah mengucapkan amin dengan
sangat tidak tuma'ninah. Cara ini sebenarnya sangat keterlaluan, tapi maklum waktu itu kami masih SD
dan Arai memang memiliki bakat terpendam di bidang nakal. Setiap Taikong Hamim menjadi imam salat
jamaah dan tiba pada bacaan akhir Al-Fatihah: "Whalad dholiiiiiin ...."
Maka Arai langsung menyambut dengan lolongan seperti serigala mengundang kawin.
"Aaammmiiinnn ... mmiiinn ... mmiiiiiiiinnnnn ...."
Arai meliuk-liukkan suaranya dan terang-terangan merobek-robek wibawa Taikong. Suaranya yang
nyaring dan parau berkumandang dengan lucu membuyarkan kekhusyukan umat. Kami tak bisa menahan
cekikikan sampai perut kaku. Kejahatan ini aman menurut Arai sebab Taikong tak bisa menentukan
siapa pelakunya di antara ratusan anak-anak di saf belakang. Dan kami selalu kompak melindungi Arai.
Menurut kami, cara ini adalah pembalasan setimpal untuk Taikong.
Namun lihat saja, kejahatan ini, belasan tahun kemudian akan diganjar Tuhan dengan tunai melalui cara
yang secuil pun tak terpikirkan oleh Arai. Taikong Hamim memang tak tahu tapi Tuhan mencatat dan
Tuhan akan membalas. Seperti kata Anton Chekov: Tuhan tahu, tapi menunggu.
Mozaik 6 Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum
Karena di kampung orangtuaku tak ada SMA, setelah tamat SMP aku, Arai, dan Jimbron merantau ke
Magai untuk sekolah di SMA BukanMain . Pada saat itulah PN Timah Belitong, perusahaan di mana
sebagian besar orang Melayu menggantungkan periuk belanganya, termasuk ayahku, terancam kolaps.
Gelombang besar karyawan di-PHK. Ledakan PHK itu memunculkan gelombang besar anak-anak yang
terpaksa berhenti sekolah dan tak punya pilihan selain bekerja untuk membantu orangtua.
Anak-anak yang kuat tenaganya menjadi pendulang timah. Seharian berendam di dalam lumpur,
mengaduk-aduk aluvial, meraba-raba urat timah di bawah tanah, mempertaruhkan kelangsungan hidup
pada kemampuan menduga-duga. Mereka yang kuat nyalinya bekerja di bagian tengah laut. Pekerjaan
berbahaya yang berbulan-bulan baru bisa bertemu keluarga. Mereka yang kuat tenaga dan kuat nyalinya
siang malam mencedok pasir gelas untuk mengisi tongkang, makan seperti jembel dan tidur di bawah
gardan truk, melingkar seperti biawak. Anak-anak Melayu ini paling miris nasibnya. Karena
sesungguhnya setiap butir pasir itu adalah milik ulayatnya, setiap bongkah kuarsa, topas, dan galena itu
adalah harkat dirinya sebagai orang Melayu asli, tapi semuanya mereka muat sendiri ke atas tongkang
untuk menggendutkan perut para cukong di Jakarta atau pejabat yang kongkalikong. Menjadi pendulang,
nelayan bagan, dan kuli pasir, berarti mengucapkan selamat tinggal pada Tut Wuri Handayani.
Mereka yang masih bersemangat sekolah umumnya bekerja di warung mi rebus. Mencuci piring dan
setiap malam pulang kerja harus menggerus tangan tujuh kali dengan tanah karena terkena minyak babi.
Atau menjadi buruh pabrik kepiting. Berdiri sepanjang malam menyiangi kepiting untuk dipaketkan
keJakarta dengan risiko dijepiti hewan nakal itu. Atau, seperti aku, Arai, dan Jimbron, menjadi kuli
ngambat. Sebelum menjadi kuli ngambat kami pernah memiliki pekerjaan lain yang juga memungkinkan
untuk tetap sekolah, yaitu sebagai penyelam dipadang golf. Tentu susah dipahami kalau kampung kami
yang miskin sempat punya beberapapadang golf bahkan sampai 24 hole. Dan tentu aneh dipadang golf
ada pekerjaan menyelam. Orang-orang kaya baru dari PN Timah yang tak berbakat dan datang hanya
untuk menega skan statusnya tak pernah mampu melewatkan bola golf melampaui sebuah danau bekas
galian kapal keruk di tengahpadang golf itu. Penjagapadang golf akan membayar untuk setiap bola golf
yang dapat diambil pada kedalaman hampir tujuh meter di dasar danau. Bola golf di dasar danau dengan
mudah dapat ditemukan karena indah berkilauan, persoalannya, danau itu adalah tempat buaya-buaya
sebesar tong berumah tangga. Lalu kami beralih menjadi part time office boy di kompleks kantor
pemerintah. Mantap sekali judul jabatan kami itu dan hebat sekali job description-nya: masuk kerja
subuh-subuh dan menyiapkan ratusan gelas teh dan kopi untuk para abdi negara. Persoalannya, lebih
sadis dari ancaman reptil cretaceous itu, yaitu berbulan-bulan tak digaji.
Sekarang kami bahagia sebagai kuli ngambat. Karena pekerjaan ini kami menyewa sebuah los sempit di
dermaga dan pulang ke rumah orangtua setiap dua minggu.
Ngambat berasal dari kata menghambat, yaitu menunggu perahu nelayan yang tambat.Para penangkap
ikan yang merasa martabat profesinya harus dijaga baik-baik sampai batas dermaga, tak pernah mau
repot-repot memikul tangkapannya ke pasar ikan. Lalu yang mereka tindas habis-habisan untuk
melakukan pekerjaan sangat kasar berbau busuk itu disebut kuli ngambat. Selain anak-anak yang tekad
ingin sekolahnya sekeras tembaga, pemangku jabatan kuli ngambat umumnya adalah mereka yang patah
harapan. Tak diterima kerja di mana-mana, karena saking tololnya sampai tak tahu nama presiden
republik ini, atau karena saking jelek konditenya bahkan perkumpulan calo karcis yang juga
merupakan gerom-bolan bromocorah tak mau mengajak mereka. Setiap pukul dua pagi, berbekal
sebatang bambu, kami sempoyongan memikul berbagai jenis makhluk laut yang sudah harus tersaji di
meja pualam stanplat pada pukullima , sehingga pukul enam sudah bisa diserbu ibu-ibu. Artinya, setelah
itu kami leluasa untuk sekolah.
Setiap pagi kami selalu seperti semut kebakaran. Menjelang pukul tujuh, dengan membersihkan diri
seadanya karena itu kami selalu berbau seperti ikan pari kami tergopoh-gopoh ke sekolah. Jimbron
menyambar sepedanya, yang telah dipasanginya surai sehingga baginya sepeda jengki reyot itu adalah
kuda terbang pegasus. Aku dan Arai berlari sprint menuju sekolah. Sampai di sekolah, semua kelelahan
kami serta-merta lenyap, sirna tak ada bekasnya, menguap diisap oleh daya tarik laki-laki tampan ini,
kepala sekolah kami ini, guru kesusastraan kami: Bapak Drs. Julian Ichsan Balia. Sebagai anak-anak
yang sejak sekolah dasar diajarkan untuk menghargai ilmu pengetahuan dan seni, aku, Arai, dan Jimbron
sungguh terpesona pada Pak Balia. Berpostur sedang, berkulit bersih, 170 cm kurang lebih, Pak Balia
selalu tampil prima karena ia mencintai profesinya, menyenangi ilmu, dan lebih dari itu, amat menghargai
murid-muridnya. Setiap representasi dirinya ia perhitungkan dengan teliti sebab ia juga paham di depan
kelas ia adalah center of universe dan karena yang diajarkannya adalah sastra, muara segala keindahan.
Wajahnya elegan penuh makna seperri sampul buku ensiklopedia. Tulang pipi yang lonjong membuatnya
tampak sehat dan muda ketika timbangannya naik dan membuatnya berkarakter menawan waktu ia
kurus. Warna cokelat adalah sandang kesenangannya sebab seirama dengan warna bola matanya. Ilmu
yang terasah oleh usia yang senantiasa bertambah, menjadikan dua bola kecil cokelat yang teduh itu bak
perigi yang memeram ketinggian ilmu dalam kebijaksanaan umur. Kreatif! Merupakan daya tarik utama
kelasnya. Ketika membicarakan syair-syair tentang laut, beliau memboyong kami ke kampung nelayan.
Mengajari kami menggubah deburan ombak menjadi prosa, membimbing kami merangkai bait puisi dari
setiap elemen kehidupan para penangkap ikan. Indah menggetarkan.
Tak pernah mau kelihatan letih dan jemu menghadapi murid. Jika kelelahan beliau mohon diri sebentar
Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk membasuh mukanya, mengelapnya dengan handuk putih kecil bersulamkan nama istri dan
putri-putrinya, yang selalu dibawanya ke mana-mana, lalu dibasahinya rambutnya dan disisirnya kembali
rapi-rapi b ergaya James Dean. Sejenak kemudian beliau menjelma lagi di depan kelas sebagai pangeran
tampan ilmu pengetahuan. "What we do in life ..." kata Pak Balia teatrikal, "... echoes in eternity...!! Setiap peristiwa di jagat raya
ini adalah potongan-potongan mozaik. Terserak disana sini, tersebar dalam rentang waktu dan
ruang-ruang. Namun, perlahan-lahan ia akan bersatu membentuk sosok seperti montase Antoni Gaudi.
Mozaik-mozaik itu akan membangun siapa dirimu dewasa nanti. Lalu apa pun yang kaukerjakan dalam
hidup ini, akan bergema dalam keabadian ....
"Maka berkelanalah di atas muka bumi ini untuk menemukan mozaikmu!"
Matahari sore kuning tua berkilat di mata cokelat Pak Balia. Sinarnya yang terang tapi lembut menghalau
sisa-sisa siang. Di lapangan sekolah kami duduk rapat-rapat merubungnya. Terpesona akan
kata-katanya. Kami lena dibelai ujung-ujung putih perdu kapas yang bergelombang ditiup sepoi angin
bak buih lautan, lena disihir kalimah-kalimah sastrawi guru kami ini. Dan tak dinyana, apa yang dikatakan
dan diperlihatkan Pak Balia berikut ini bak batu safir yang terhunjam ke hatiku dan Arai, membuat hati
kami membiru karena kilaunya. Menahbiskan mimpi-mimpi yang muskil bagi kami.
"Jelajahi kemegahan Eropa sampai ke Afrika yang eksotis. Temukan berliannya budaya sampai ke
Prancis. Langkahkan kakimu di atas altar suci almamater terhebat tiadatara : Sorbonne. Ikuti jejak-jejak
Sartre, Louis Pasteur, Montesquieu, Voltaire. Di sanalah orang belajar science, sastra, dan seni hingga
mengubah peradaban...."
Aku dan Arai tak berkedip waktu Pak Balia memperlihatkan sebuah gambar. Dalam gambar itu tampak
seorang pelukis sedang menghadapi sebidang kanvas.
Adasedikit coretan impresi. Dan nun disana , di belakang kanvas itu, berdiri menjulang Menara Eiffel
seolah menunduk memerintahkan Sungai Seine agar membelah diri menjadi dua tepat di kaki-kakinya.
Sungai itu pun patuh. Riak-riak kecilnya membiaskan cahaya seumpama jutaan bola-bola kaca yang
dituangkan dari langit. Pada saat itulah aku, Arai, dan Jimbron mengkristalisasikan harapan agung kami dalam satu statement
yang sangat ambisius: cita-cita kami adalah kami ingin sekolah ke Prancis! Ingin menginjakkan kaki di
altar suci almamater Sorbonne, ingin menjelajah Eropa sampai ke Afrika. Harapan ini selanjutnya
menghantui kami setiap hari. Begitu tinggi cita-cita kami. Mengingat keadaan kami yang amat terbatas,
sebenarnya lebih tepat cita-cita itu disebut impian saja. Tapi di depan tokoh karismatik seperti Pak Balia,
semuanya seakan mungkin. Pak Balia mengakhiri session sore dengan menyentak semangat kami. "Bangkitlah, wahai Para
Pelopor!!. Pekikkan padaku kata-kata yang menerangi gelap gulita rongga dadamu! Kata-kata yang
memberimu inspirasi!!"Para Pelopor!! Panggilan Pak Balia untuk kami sebagai siswa angkatan pertama
SMA Negeri Bukan Main. Panggilan itu senantiasa membuncahkan tenaga dalam pembuluh darah kami. Tangan-tangan muda
Melayu serta-merta menuding langit, puluhan jumlahnya, berebutan ingin tampil.
"Makruf!!" Beruntung sekali, ia terpilih. Ketua Pramuka SMA Bukan Main ini meloncat ke depan. Kata-katanya
patah-patah menggelegar seperti prajurit TNI ditanya jatah oleh komandan kompi.
"Kaum Muda! Yang kita butuhkan adalah orang-orang yang mampu memimpikan sesuatu yang tak
pernah diimpikan siapa pun! John R Kennedy, Presiden Amerika paling masyhur!"
"Hebat sekali, Ruf! Hebat sekali! Oke, Mahader!!" Mahader sudah seperti cacing kepanasan dari tadi.
Seperti aku, Arai, dan Jimbron, ia termasuk dalam gelombang besar endemik kemiskinan yang melanda
anak-anak para kuli timah ketika perusahaan itu mulai diintai kolaps pertengahan 80-an. Mahader tak
sabar ingin mengabarkan pada dunia kata-kata yang membuatnya tabah bangun setiap pukul tiga subuh
untuk menggoreng getas dan menjunjungnya keliling kampung. Wajahnya sendu namun tegar selayaknya
orang yang menanggung beban kesusahan menghidupi adik-adiknya. Kata-katanya garau dan syahdu,
penuh tekanan seperti deklamasi.
"Kesulitan .... Seluruh kesulitan dalam hidup ini ... adala
h bagian dari suatu tatanan yang sempurna dan
sifat yang paling pasti dari sistem tata surya ini....
"Pierre Simon de Laplace, bisa kita sebut sebagai seorang astronom nomor satu ...."
Saktinya sastra, ungkapan seorang astronom dua ratuslima puluh tahun yang lalu di negeri antah berantah
dapat menjadi penyebar semangat hidup seorang anak Melayu tukang getas yang bahkan tak dapat
menyebut namanya dengan benar. Kami bersuit-suit mendengar kata-kata yang berkilauan itu dan
selanjutnya tak terbendung kata-kata negarawan, ilmuwan, dan pahlawan membanjiri kelas Pak Balia
yang memesona. "Zakiah Nurmala!!"
Ditunjuk Pak Balia membuat hidungnya kembang kempis. la melonjak berdiri, suaranya melengking, "I
Shall return! Jenderal Douglas Mac-Arthur, pahlawan Perang Dunia Kedua!!"
Itulah kalimat keramat yang diucapkan sang jenderal besar itu untuk menyemangati tentara Amerika di
Filipina. Kata-kata yang membakar semangat setiap orang hingga kini. Tiba-tiba, tanpa diminta Pak
Balia, Arai melompat bangkit, melolong keras sekali, "Tak semua yang dapat dihitung, diperhitungkan,
dan tak semua yang diperhitungkan, dapat dihitung!! Albert Einstein! Fisikawan nomor wahid!"
Tinggi, runyam, membingungkan. Matanya melirik-lirik Nurmala. Pak Balia terpana dan berkerut
keningnya, tapi memang sudah sifat alamiah beliau menghargai siswanya.
"Cerdas sekali, Anak Muda, cerdas sekali...."
Aku tahu taktik tengik Arai. la menggunakan kata-kata langit hanya untuk membuat Nurmala terkesan.
Kembang SMA Bukan Main itu telah ditaksirnya habis-habisan sejak melihatnya pertama kali waktu
pendaftaran. Meskipun seumur-umur tak pernah punya pacar tapi Arai punya teoriasmara yang sangat
canggih. "Perempuan adalah makhluk yang plin-plan, Kal, maka pertama-tama, buatlah mereka bingung!!"
Sehebat muslihat Casanova, kenyataannya, setiap melirik Arai, Nurmala tampak seperti orang terserang
penyakit angin duduk. "Ikal!!" Oh, Pak Balia menunjukku. Dari tadi aku tak mengacung karena aku tak punya kata-kata mutiara. Aku
tak segera bangkit. Aku panik.
"Ya, kau, Ikal...."
Semua mata memandangku melecehkan. Tak pernah Pak Balia harus meminta dua kali. Memalukan!
Aku gemetar karena tak siap. Tapi aku tetap harus berdiri. Tak mungkin mengkhianati euforia kelas ini.
Dan pada detik menentukan, aku senang sekali, eureka!! Sebab aku teringat akan ucapan seniman besar
favoritku. Akan kukutip salah satu syair lagunya. Aku berdiri tegak-tegak, berteriak, "Masa muda, masa
yang berapi-api!! Haji Rhoma Irama!"
Setiap memandangi anak-anak Sungai Manggar yang berkejaran menuju muara aku terus teringat
dengan gambar Sungai Seine dari Pak Balia dulu. Anak-anak Sungai Manggar itu, muara, dan barisan
hutan bakau adalah pemandangan yang terbentang jika kami membuka jendela los kontrakan kami di
dermaga. Namun, tak seindah cerita romansa Sungai Seine, muara itu adalah muara air mata. Beberapa
tahun lalu sebuah keluarga Melayu berkebun di pulau kecil tak jauh dari muara. Dalam perjalanan pulang,
perahu mereka terbalik. Dua hari kemudian orang melihat sosok-sosok mengambang pelan, lekat satu
sama lain, mengikuti anak Sungai Manggar. Sang ayah, dengan kedua tangannya, memeluk, merengkuh,
menggenggam seluruh anggota keluarganya. Istrinya dan ketiga anaknya semuanya berada dalam
dekapannya. Ia ingin menyelamatkan semuanya. Sebuah upaya yang sia-sia. Tapi anak tertuanya,
Laksmi, selamat. Gadis kecil itu tak sadarkan diri, tersangkut di akar-akar bakau. Sejak itu semenanjung
tempat keluarga itu ditemukan dinamakan orang Semenanjung Ayah. Laksmi dipungut seorang Tionghoa
Tongsan pemilik pabrik cincau dan ia bekerja di situ. Tapi seperti Jimbron dengan Pendeta Geo, bapak
asuh Laksmi justru menumbuhkan Laksmi menjadi muslimah yang taat. Sayangnya sejak kematian
keluarganya, kehidupan seolah terenggut dari Laksmi. Ia dirundung murung setiap hari.
Jelas, meskipun sudah bertahun-tahun terjadi, kepedihan tragedi di Semenanjung Ayah masih lekat
dalam dirinya. Dan selama bertahun-tahun itu pula, tak pernah lagi tak pernah walau hanya
sekali oran g melihat Laksmi tersenyum.
Senyumnya itu sangat dirindukan semua orang yang mengenalnya. Karena senyumnya itu manis sebab
wajahnya lonjong dan ada lesung pipit yang dalam di pipi kirinya. Tapi kejamnya nasib hanya menyisakan
sedikit untuk Laksmi: sebuah pabrik cincau reyot, masa depan tak pasti, dan wajahnya yang selalu
sembap. Laksmi selalu menampilkan kesan seakan tak ada lagi orang yang mencintainya di dunia ini,
padahal, diam-diam, Jimbron setengah mati cinta padanya. Jimbron bersimpati kepada Laksmi karena
merasa nasib mereka sama-sama memilukan. Mereka berdua, dalam usia demikian muda, mendadak
sontak kehilangan orang-orang yang menjadi tumpuan kasih sayang. Kepedihan yang menghunjam dalam
diri mereka menyebabkan Laksmi kehilangan senyumnya, dan Jimbron kehilangan suaranya. Mereka
berdua mengandung kehampaan yang tak terkira-kira dalam hatinya masing-masing. Setiap Minggu pagi
Jimbron menghambur ke pabrik cincau. Dengan senang hati, ia menjadi relawan pembantu Laksmi.
Tanpa diminta ia mencuci kaleng-kaleng mentega Palmboom wadah cincau itu jika isinya telah kosong
dan ikut menjemur daun-daun cincau. Seperti biasa, Laksmi diam saja, dingin tanpa ekspresi. Di antara
kaleng-kaleng Palmboom mereka berdua tampak lucu.
Jimbron yang gemuk gempal, sumringah, dan repot sekali, hanya setinggi bahu Laksmi yang kurus
jangkung, berwajah lembut, dan tak peduli. Sering Jimbron datang ke pabrik membawakan Laksmi buah
kweni dan pita-pita rambut. Jimbron ingin sekali, bagaimanapun caranya, meringankan beban Laksmi
meskipun hanya sekadar mencuci baskom.
Jika pembeli sepi, Jimbron beraksi. Bukan untuk merayu atau menyatakan cinta, bukan, sama sekali
bukan, tapi untuk menghibur Laksmi. Dari kejauhan aku dan Arai sering terpingkal-pingkal melihat
Jimbron bertingkah seperti kelinci berdiri. Tak diragukan, dia sedang meringkik, sedang menceritakan
kehebatan seekor kuda. Laksmi semakin datar karena kuda sama sekali asing baginya, asing bagi semua
orang Melayu. Kadang-kadang, dengan penuh semangat, Jimbron memamerkan aksesori baru sepeda jengkinya pada
Laksmi yaitu sadelnya yang ia buat seperti pelana kuda. Kulit kambing didapatnya dari beduk apkir.
Lengkap pula dengan kantong kecil untuk menyelipkan senapan meski kenyataannya diisinya botol air.
Atau sepatunya yang ia pasangi ladam jadi seperti sepatu kuda, atau aksesori berupa tanduk sapi yang
diikatkan pada setang sepedanya. Laksmi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sering Jimbron menghampiri Pak Balia untuk meminta cerita-cerita komedi. Bersusah payah,
terbata-bata, Jimbron membaca cerpen "Lelucon Musim Panas" karya Alberto Moravia atau "Karma"
karya Khushwant Singh untuk Laksmi, Laksmi tetap saja murung. Jimbron, aku, Arai, atau siapa pun,
bagaimanapun kami telah mencoba, tak pernah sekali pun berhasil memancing senyum Laksmi. Laksmi
telah lupa cara tersenyum. Senyum Laksmi telah tertelan kegelapan nasibnya. Jika mendengar kami
mengisahkan fabel dan parodi, Laksmi memalingkan wajahnya, miris memandang langit, gamang melalui
hari demi hari, perih memandang sulur-sulur anak Sungai Manggar di Semenanjung Ayahnya.
Bertahun-tahun sudah Jimbron berusaha menarik Laksmi dari jebakan perangkap kesedihan. Tapi
Laksmi seperti orang yang sudah terjebak jiwanya. Kami mulai cemas, sekian lama dalam kungkungan
duka yang gulita, jangan-jangan Laskmi mulai tergantung pada perasaan yang mengharu biru itu, bahkan
mulai menyukainya. Seperti veteran PerangVietnam yang kecanduan pada rasa takut. Menurut kami,
sudah saatnya Laksmi ditangani orang yang ahli. Setiap kami singgung kemungkinan itu pada Jimbron,
dengan tujuan agar ia tidak kecewa, agar tak terlalu memendam harap, ia terpuruk, terpuruk dalam
sekali. "Aku hanya ingin membuatnya tersenyum...," katanya berat.
Mozaik 7 Afghanistan Di televisi balai desa kami menyimak ulasan Ibu Toeti Adhitama tentang sepak terjang seorang patriot
muda Mujahiddin yang baru saja menumbangkan komandan resimen utara Tentara Merah Rusia.Pemuda
Mujahid itu Oruzgan Mourad Karzani,berasal dariklan Karzani dan putr
a pahlawan Zahid Jirga Karzani.Zahid adalah imam karismatikyang terpandang di bagian lain Afghanistan,Baloch.Keluarga ini
turun-temurun memimpin gerilyawan Baloch sehaj Afganistan melawan pendudukan Inggris dan sampai
saat terbuhuhnya komandan Rusia itu,sudah hampir sepuluh tahun mereka menggempur invasi Rusia.
Kejadiaanya berlangsung di Lembah Towraghondi,sebuah zona perang,dua ratus meter diluar garis
batas Afghanistan dan Turkmenistan.Oruzugan yang seusia dengan aku,Arai,dan Jmbron- baru 17 tahun
ternyata pemimpin pasukan elite Mujahiddin.Oruzgan telah menapaki jejak kepahlawanan keluarganya
sejak belia. Terbunuhnya komandan resimen utara Tentara Merah menjadi tonggak penting direbutnya kembali zona
utara dari penaklukan Tentara Merah,sekaligus pemicu hengkangnya Rusia dari Afghanistan tahun
berikutnya.Oruzgan disambut bak pahlawan.Dalam waktu singkat,ia menjadi imam besar baloch.Ia
mewarisi karisma ayahnya yang mampu merangkul sub-sub etnik Pashtuns, Tajik, Hazara, Aimak dan
Baloch yang sering konflik satu sama lain.Sayangnya,karena friksi dengan Taliban,Oruzgan dan
pengikutnya harus hengkang dari Afghanistan.Mereka mendapat suaka di sebuah Negara asing.
Ketika menonton berita itu tak tebersit olehku dan Arai bahwa pertempuran di Towraghondi itu, yang
terjadi pada waktu yang sama ketika kami dikejar Pak Mutar sampai ke gudang peti es:15 Agustus
1988,akan menjadi potongan mozaik hidupkami.Kami juga tak sadar bahwa hari itu langit telah mengisap
teriakanikan duyung sangCapo seperti langit mengisap teriakan Arai yang melatunkan amin secara
kurang ajar untuk membalas Taikong Hamim.Diam-diam langit menyimpannya, pelan-pelan hanyut
mengintai aku dan Arai,dan suatu hari nanti akan menumpahkannya ke sekujur tubuh kami sebagai
kutukan. Mozaik 8 Baju Safari Ayahku Ibuku,jelas lebih pintar dari ayahku.Ibuku paling tidak biasa menuliskan namanya dengan
huruf Latin.Ayahku,hanya bisa menuliskan namanya dengan huruf Arab,huruf Arab
gundul.Dan tanda tangannya pun seperti hurufshot .Tahu, kan"Sebelumtho dan zho itu.
Dan ayahhku adalah pria yang sangat pendiam.Jika berada di rumah dengan ibuku,rumah
kami menjadi pentas menolong ibuku,berpenonton satu orang.Namun,belasan tahun
sudah jadi anaknya.Aku belajar bahwa pria pendiam sesungguhnya memiliki rasa kasih
sayang yang jauh berlebih disbanding pria sok ngatur yang merepet saja mulutnya.
Buktinya,jika tiba hari pembagian rapor,ayahku mengambil cuti dua hari dari menyekop
xenotim di instalasi pencucian timah,wasrai.Hari pembagian raporku adalah hari besar
bagi beliau.Tanpa banyak cincong hari pertama beliau mengeluarkan sepatunya yang
bermerek Angkasa.Dijemurnya sepatu kulit buaya yang rupanya seperti tatakan kue
sempret itu,dipolesnya lembut dengan minyak rem dicampur tumbukan arang.lalu ikat
pinggangnya,dari plastic tapi meniru motif ular,juga mendapat sentuhan semir istimewa
itu.Dijemurnya pula kaus kakinya,sepasang kaus kaki sepak bola yang tebal sampai ke
lutut,berwarna hijau tua.
Setelah itu,special sekali,beliau akan menuntun keluar sepedaRally Robinson made in
England-nya yang masih mengilap.Sejak dibeli kakeknya tahun 1920,tak habis hitungan
jari tangan kaki sepeda itu pernah dikeluarkan.Diperiksanya dengan teliti ban dan
rantainya,dicobanya dynamo dan kliningnnya,dan tak lupa,sepeda itu pun mendapat
kehormatan dipoles ramuan semir merek beliau sendiri tadi.
Dan yang terakhir,hanya,sekali lagi hanya,untuk acara yang sangat penting,beliau
mengeluarkan busana terbaiknya:baju safari empat saku!Baju ini punya nilai histories
bagi keluarga kami.Aku ingat,setelah bertahun-tahun menjadi tenagalangkong ,semacam
calon pegawai PN Timah,akhirnya ayahku diangkat menjadi kuli tetap.
Bonus pengangkatan itu adalah kain putih kasar bergaris-garis hitam.Oleh ibuku kain itu
dijadikanlima potong celana dan baju safari sehingga pada hari raya Idul Fitri
ayahku,aku,adik laki-lakiku,dan kedua abangku memakai baju seragam:safari empat
saku!Kami silahturahmi keliling kampung seperti rombongan petugas cacar.
Saat pembagian rapor,ibuku pun tak
kalah repot.Sehari semalam beliau merendam daun
pandan dan bunga kenanga untuk dipercikkan di baju safari empat saku ayahku itu ketika
menyetrikanya. Persiapan ayahku mengambil rapor akan ditutup dengan berangkat ke kawasan los pasar
ikan untuk mencukur rambut dan kumis ubannya.Disana ,sambil memperlihatkan amplop
undangan dari Pak Mustar,wakil kepala sekolah kami itu,beliau sedikit bicara,seperti
berbisik,pada kawan-kawan dekatnya,para pejabat trias politika Masjid Al-Hikmah.
Besok,akan mengambil rapor Arai dan Ikal &.
Senyum ayahku indah sekali.Karena baginya aku dan Arai adalah pahlawan keluarga
kami. Oh...si Kancil Keriting itu,Pak Cik"
Taikong Hamin selalu menatap ayahku lama-lama untuk mengharapkan lebih banyak
kata meluncur dari mulut beliau.itulah orang pendiam,kata-katanya ditunggu
orang.Sebenarnya,dengan memperlihatkan isi amplop itu ayahku bisa membual sejadijadinya.Karena dalam undangan tertulis aku dan Arai berada dalam barisan bangku garda
depan.Siswa yang tak buruk prestasinya di SMAN Negeri Bukan Main.Tapi bagai
ayahku,tujuh kata itu:besok,akan mengambil rapor Arai dan Ikal,yang terdiri atas tiga
puluh empat karakter itu,sudah cukup.
Pada hari pembagian rapor,ayah ibuku telah menyiapkan segalanya.Suami istri itu
bangun pukul tiga pagi.Ibuku menyalakan arang dalam setrikaan,mengipasngipasinya,dan dengan gesit memercikkan air pandan dan bunga kenanga,yang telah
direndamnya sehari semalam,di sekujur baju safari empat saku keramat itu.Ayahku
kembali melakukan pengecekan pada sepedanya untuk sebuah perjalanan jauh yang
sangat penting. Usai salat subuh ayahku siap berangkat.Dengan setelan lengkapnya:ikat pinggang
bermotif ular tanah,sepatu kulit buaya yang mengilap,dan kaus kaki sepak bola,serta baju
safari jahitan istrinya tahun 1972,yang sekarang berbau harum seperti kue bugis,kesan
seorang buruh kasar di intalasi pencucian timah menguap dari ayahandaku.Sekarang
beliau adalah mantri cacar,syahbandar,atau paling tidak,tampak laksana juru tulis kantor
desa.Ibuku menyampirkan karung timah berisi botol air minum dan handuk untuk
menyeka keringat,Lalu beliau bersepeda ke Magai,ke SMA Negeri Bukan Main,30
kilometer jauhnya,untuk mengambil rapor anak-anaknya.
Dibawah rindang dedaunan bungur,di depan aula tempat pembagian rapor,sejak pagi aku
dan Arai menunggu ayahku.Aku membayangkan beliau,yang akan pensiun bulan
depan,bersepada pelan-pelan melalui hamparan perdu apit-apit,kebun-kebun liar,dan
jejeran panjang pohon angsana reklamasi bumi Belitong yang dihancurkanleburkan PN
Timah..Lalu beliau beristirahat di pinggir jalan.
Beliau pasti menuntun sepedanya waktu mendaki Bukit Selumar,dan tetap menuntunnya
ketika menuruni undakan itu sebab terlalu curam berbahaya,Beliau kembali melakukan
hal yang sama saat melewati Bukit Selinsing,dan kembali terseok-seok mengayuh sepeda
melawan angin melaluipadang sabana belasan kolometer menjelang Magai.
Tapi tak mengapa,sebab kesurupan beliau akan kami obati disini.Di dalam aula itu,Pak
Mustar mengurutkan dengan teliti seluruhrangking dari tiga kelas angkatan pertama
SMA kami.Darirangking pertama sampai terakhir 160.Semua orangtua murid
dikumpulkan di aula dengan nomor kursi besar-besar,sesuairangking anaknya.Nomor itu
juga dicatumkan dalam undangan.Bukan Pak Mustar namanya kalau tidak keras seperti
itu.Maka pembagian rapor adalah acara yang dapat membanggakan bagi sebagian orang
tua sekaligus memalukan bagi sebagian lainnya.
Pak Mustar menjejer sepuluh kursi khusus di depan.Di sanalah berhak duduk para orang
Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tua yang anaknya meraih prestasi sepuluh besar.
Sepuluh terbaik itu adalah anak-anak Melayuavant garde ,garda depan, katanya bangga
ketika mengenalkan konsepnya pada rapat orangtua murid.
Dan kebetulan,aku dan Arai berada di garda depan.Aku urutan ketiga,Arai
kelima.Adapun Jimbron,mempersembahkan nomor kursi 78 untuk Pendeta Geo.Biasanya
acara pembagian rapor akan berakhir dengan makian-makian kasar orangtua pada anakanaknya
di bawah jajaran pohon bungur di depan aula tadi.
Berani-beraninya kaududukkan bapakmu
di kursi nomor 147!Apa kerjamu di sekolah
selama ini"! Bikin malu!Semester depan kau cari bapak lain untuk mengambil rapormu!!
Metode Pak Mustar memang keras,tapi efektif.Anak-anak yang dimaki bapaknya itu
biasanya belajar jungkir balik dalam rangka memperkecil nomor kursinya.Mereka sadar
bahwa muka bapaknya dipertaruhkan langsung di depan majelis.
Aku dan Arai serentak berdiri ketika melihat sepeda ayahku.Sepeda itu mudah dikenali
dari kap lampu alumunium putih yang menyilaukan ditimpa sinar matahari.Beliau
melihat kami melambai-lambai dan mengayuh sepedanya makin cepat.Lima meter
menjelang kami,dadaku sejuk berbunga-bunga karena aroma daun pandan.
Beliau turun dari sepeda,seperti biasa,hanya satu ucapan pelan Assalamu alaikum ,tak
ada kata lain.Beliau menepuk-nepuk pundak kami sambil memberikan senyumnya yang
indah.Beliau mengelap keringat,merapikan rambutnya dengan tangan.dan berjalan tenang
memasuki aula dengangaya jalannya yang pengkor,mencari kursi nomor tiga.
Setan Bongkok 1 Dewa Arak 73 Pembantai Dari Mongol Golok Bulan Sabit 11
SANG PEMIMPI Karya Andrea Hirata Cetakan Pertama, Juli 2006
Penyunting: Imam Risdiyanto
Desain dan ilustrasi sampul: Andreas Kusumahadi
Pemeriksa aksara: Yayan R.H.
Penata aksara: lyan Wb. Diterbitkan oleh Penerbit Bentang
Anggota IKAPI (PT Bentang Pustaka) Jln. Pandega Padma 19,Yogyakarta 55284
Telp. (0274) 517373 - Faks. (0274) 541441
E-mail: bentangpustaka@yahoo.com
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Sang pemimpi/Andrea Hirata; penyunting, Imam Risdiyanto.
Hirata, Andrea Yogyakarta: Bentang, x + 292 hlm; 20,5 cm ISBN 979-3062-92-4 I. Judul. 2006. II. Imam Risdiyanto. 813 Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama Jin. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146
Ujungberung,Bandung 40294
Telp. (022) 7815500 - Faks. (022) 7802288
E-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id a
Mozaik 1 What a Wonderful World Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyat
kataklismik. Menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung di atasnya, langit
terbelah dua. Di satu bagian langit, matahari rendah memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungi
cendawan gelap gulita, menjerang pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan
ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut yang bisu bertapis minyak, jingga serupa kaca-kaca gereja,
mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti reign of fire, lingkaran api. Dan di sini, di sudut
dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku terkurung, terperangkap, mati kutu.
Aku gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju.
Berjingkat-jingkat di balik tumpukan peti es, kedua kakiku tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yang
merebak dari peti-peti amis, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahkan rasa takut.
Jimbron yang tambun dan invalid kakinya panjang sebelah terengah-engah di belakangku. Wajahnya
pias. Dahinya yang kukuh basah oleh keringat, berkilat-kilat. Di sampingnya, Arai, biang keladi seluruh
kejadian ini, lebih menyedihkan. Sudah dua kali ia muntah. la lebih menyedihkan dari si invalid itu. Dalam
situasi apapun, Arai selalu menyedihkan. Kami bertiga baru saja berlari semburat, pontang-panting lupa
diri karena dikejar-kejar seorang tokoh paling antagonis. Samar-samar, lalu semakin jelas, suara langkah
sepatu terhunjam geram di atas jalan setapak yang ditaburi kerang-kerang halus. Kami mengendap.
Tersengal Arai memberi saran. Seperti biasa, pasti saran yang menjengkelkan. "Ikal.... Aku tak kuat
lagihhh.... Habis sudah napasku.... Kalian lihat para-para itu...""
Aku menoleh cepat. Dua puluh meter di depansana teronggok reyot pabrik cincau dan para-para
jemuran daun cincau. Cokelat dan doyong. Di berandanya, dahan-dahan bantan merunduk kuyu
menekuri nasib anak-anak nelayan yang terpaksa bekerja . Salah satunya aku kenal : Laksmi . Seperti
laut, mereka diam . DangdutIndia dari kaset yang terlalu sering diputar meliuk-liuk pilu dari pabrik itu.
"Lompati para-para itu, menyelinap ke warung A Lung, dan membaur di anta a para pembeli tahu, aman
...." Aku meliriknya kejam. Mendengar ocehannya, ingin rasanya aku mencongkel gembok peti es untuk
melempar kepalanya. "Hebat sekali teorimu, Rai! Tak masuk akal sama sekali! Jimbron mau kau apakan""!!"
Jimbron yang penakut memohon putus asa.
"Aku tak bisa melompat, Kal...."
Lebih tak masuk akal lagi karena aku tahu di balik para-para itu berdiri rumah turunan prajurit Hupo,
Tionghoa tulen yang menjadi paranoid karena riwayat perang saudara. Ratusan tahun mereka
menanggungkan sakit hati sebab kalah bertikai. Dulu, bersama Cina Kuncit, mereka jadi antek Kumpeni,
ganas menindas orang-orang Kek. Kini dimusuhi bangsa sendiri, dikhianati Belanda, dan dijauhi orang
Melayu membuat mereka selalu curiga pada siapa pun. Tak segan mereka melepaskan anjing untuk
mengejar orang yang tak dikenal. Aku hafal lingkungan ini karena sebenarnya aku, Jimbron, dan Arai
tinggal di salah satu los di pasar kumuh ini. Untuk menyokong keluarga, sudah dua tahun kami menjadi
kuli ngambat tukang pikul ikan di d
ermaga. Semuanya memang serba tidak masuk akal. Bagaimana
mungkin hanya karena urusan sekolah kami bisa terperangkap di gudang peti es ini. Aku mengawasi
sekeliling. Pancaran matahari menikam lubang-lubang dinding papan seperti batangan baja stainless,
menciptakan pedang cahaya, putih berkilauan, tak terbendung melesat-lesat menerobos sudut-sudut
gelap yang pengap. Aku mengintip keluar, 15 Agustus 1988 hari ini, musim hujan baru mulai. Mendung
menutup separuh langit. Pukul empat sore nanti hujan akan tumpah, tak berhenti sampai jauh malam,
demikian dikota pelabuhan kecil Magai di Pulau Belitong, sampai Maret tahun depan.
Semuanya gara-gara Arai. Kureka perbendaharaan kata kasar orang Melayu untuk melabraknya. Tapi
lamat-lamat berderak mendekat suara sepatu pantofel. Aku mundur, tegang dan hening, keheningan
beraroma mara bahaya. Arai menampakkan gejala yang selalu ia alami jika ketakutan: tubuhnya
menggigil, giginya gemeletuk, dan napasnya mendengus satu-satu. Bayangan tiga orang pria berkelebat,
memutus sinar stainless tadi dan sekarang pemisah kami dengan nasib buruk hanya beberapa keping
papan tipis. Ketiga bayangan itu merapat ke dinding, dekat sekali sehingga tercium olehku bau keringat
seorang pria kurus tinggi bersafari abu-abu. Ketika ia berbalik, aku membaca nama pada emblem hitam
murahan yang tersemat di dadanya: MUSTAR M. DJAI'DIN, B.A.
Aku tercekat menahan napas. Sebelah punggungku basah oleh keringat dingin. Dialah tokoh antagonis
itu. Wakil kepala SMA kami yang frustrasi berat. Ia Westerling berwajah tirus manis. Bibirnya tipis,
kulitnya putih. Namun, alisnya lebat menakutkan. Sorot matanya dan gerak-geriknya sedingin es. Berada
dekat dengannya, aku seperti terembus suatu pengaruh yang jahat, seperti pengaruh yang timbul dari
sepucuk senjata. Pak Mustar menyandang semua julukan seram yang berhubungan dengan tata cara lama yang keras
dalam penegakan disiplin. Ia guru biologi, Darwinian tulen, karena itu ia sama sekali tidak toleran. Lebih
dari gelar B.A. itu ia adalah suhu tertinggi perguruan silat tradisional Melayu Macan Akar yang ditakuti.
"Berrrrandalll!!"
Ia menekan dengan gusar hardikan khasnya, menjilat telunjuknya, dan menggosok-gosokkan telunjuk itu
untuk membersihkan emblem namanya yang berdebu. Aku melepaskan napas yang tertahan ketika ia
membalikkan tubuh. Sebenarnya Pak Mustar adalah orang penting. Tanpa dia, kampung kami tak 'kanpernah punya SMA. la
salah satu perintisnya. Akhirnya, kampung kami memiliki Sebuah SMA, sebuah SMA Negeri! Bukan
main! Dulu kami harus sekolah SMA ke Tanjong Pandan, 120 kilometer jauhnya. Sungguh hebat SMA
kami itu, sebuah SMA Negeri! Benar-benar bukan main! Namun, Pak Mustar berubah menjadi monster
karena justru anak lelaki satu-satunya tak diterima di SMA Negeri itu. Bayangkan, anaknya ditolak di
SMA yang susah payah diusahakannya, sebab NEM anak manja itu kurang 0,25 dari batas minimal.
Bayangkan lagi, 0,25! Syaratnya 42, NEM anaknya hanya 41,75.
Setelah empat puluh tahun bumi pertiwi merdeka akhirnya Belitong Timur, pulau timah yang kaya raya
itu, memiliki sebuah SMA Negeri. Bukan main. SMA ini segera menjadi menara gading takhta tertinggi
intelektualitas di pesisir timur, maka ia mengandung makna dari setiap syair lagu "Godeamus Igitur" yang
ketika mendengarnya, sembari memakai toga, bisa membuat orang merasa IQ-nya meningkat drastis
beberapa digit. Pemotongan pita peresmian SMA ini adalah hari bersejarah bagi kami orang Melayu pedalaman, karena
saat pita itu terkulai putus, terputus pula kami dari masa gelap gulita matematika integral atau tata cara
membuat buku tabelaris hitung dagang yang dikhotbahkan di SMA. Tak perlu lagi menempuh 120
kilometer ke Tanjong Pandan hanya untuk tahu ilmu debet kredit itu. Karena itu berbondong-bondonglah
orang Melayu, Tionghoa, Sawang, dan orang-orang pulau berkerudung ingin menghirup candu ilmu di
SMA itu. Tapi tak segampang itu. Seorang laki-laki muda nan putih kulitnya, elok parasnya, Drs. Julian
Ichsan Balia, sang Kepala Sekolah, yang juga seorang guru kesusastraan bermu
tu tinggi, di hari pendaftaran memberi mereka pelajaran paling dasar tentang budi pekerti akademika.
"... Ngai mau sumbang kapur, jam dinding, pagar, tiang bender a ...," rayu seorang tauke berbisik agar
anaknya yang ber-NEM 28 dan sampai tamat SMP tak tahu ibukota provinsinya sendiri Sumsel,
mendapat kursi di SMA BukanMain .
"Aha! Tawaran yang menggiurkan!!" Pak Balia meninggikan suaranya, sengaja mempermalukan tauke itu
di tengah majelis. "Seperti Nicholas Beaurain digoda
berbuat dosa di bawah pohon"! Kau tahu 'kankisah itu" 'Gairah Cinta di Hutan'" Guy de Maupassant""
Sang tauke tersipu. Dia hanya paham sastra sempoa. Senyumnya tak enak.
"Bijaksana kalau kausumbangkan jam dindingmu itu ke kantor pemerintah, agar abdi negara disana tak
bertamasya ke warung kopi waktu jam dinas! Bagaimana pendapatmu""
Kapitalis itu meliuk-liuk pergi seperti dedemit dimarahi raja hantu. Dan saat itulah Pak Mustar, sang
jawara yang temperamental, tak kuasa menahan dirinya. Tanpa memedulikan situasi, di depan orang
banyak ia memprotes Pak Balia, atasannya sendiri.
"Tak pantas kita berdebat di depan para orangtua murid. Bicaralah baik-baik ...," bujuk Pak Balia.
Pak Mustar yang merasa memiliki SMA itu menatapnya dari atas ke bawah, artinya kurang lebih, "...
Sok idealis. Anak muda bau kencur, tahu apa ...." Benar saja.
"Saya berani bertaruh, angka 0,25 tidak akan membedakan kualifikasi anak saya dibanding anak-anak
lain yang diterima, apalah artinya angka 0,25 itu"!"
Anak saya, kata-kata yang ditindas kuat oleh Pak Mustar. Semua keluarga, dari suku mana pun,
menyayangi anak. Namun, anak lelaki bagi orang Melayu lebih dari segala-galanya, sang rembulan,
permata hati. Ayahku, yang mengantarku saat pendaftaran itu, berusaha membekap telingaku dan telinga
Arai, anak angkat keluarga kami, agar tak mendengar pertengkaran yang sungguh tak patut ini. Tapi aku
mengelak. Maka kudengar jelas argumen cerdas Pak Balia, "0,25 itu berarti segala-galanya, Pak. Angka
kecil seperempat itu adalah simbol yang menyatakan lembaga ini sama sekali tidak menoleransi
persekongkolan!!" Tersinggung berat, Pak Mustar muntab dan sertamerta memprovokasi, "Bagaimana para orangtua""
Setuju dengan pendapat itu"!" la petantang-petenteng hilir mudik sambil bertelekan pinggang.
"Tanpa saya SMA ini tak 'kanpernah berdiri!! Saya babat alas di sini!!"
Pak Balia, memang masih belia, tapi ia pengibar panji ahlakul karimah. Integritasnya tak tercela. Ia
seorang bumiputra, amtenar pintar lulusan IKIP Bandung. Baginya ini sudah keterlaluan, merongrong
wibawa institusi pendidikan! Guru muda ganteng ini jadi emosi.
"Tak ada pengecualian!! Tak ada kompromi, tak ada katebelece, dan tak ada akses istimewa untuk
mengkhianati aturan. Inilah yang terjadi dengan bangsa ini,
terlalu banyak kongkalikong!!"
Dada Pak Mustar turun naik menahan marah tapi Pak Balia telanjur jengkel.
"Seharusnya Bapak bisa melihat tidak diterimanya anak Bapak sebagai peluang untuk menunjukkan
pada khalayak bahwa kita konsisten mengelola sekolah ini. NEM minimal 42, titik!! Tak bisa
ditawar-tawar!!" Pidato itu disambut tepuk tangan para orangtua. Jika wakil rakyat berwatak seperti Pak Balia, maka
republik ini tak 'kanpernah berkenalan dengan istilah studi banding. Namun, akibatnya fatal. Setelah
kejadian itu, Pak Mustar berubah menjadi seorang guru bertangan besi. Beliau menumpahkan
kekesalannya kepada para siswa yang diterima.
"Disiplin yang keras!! Itulah yang diperlukan anak-anak muda Melayu zaman sekarang." Demikian
jargon pamungkas yang bertalu-talu digaungkannya.
la juga selalu terinspirasi kata-kata mutiara Deng Xio Ping yang menjadi pedoman tindakan represif
tentara pada mahasiswa di Lapangan Tiannanmen, "Masalah-masalah orang muda seperti akar rumput
yang kusut. Jika dibiarkan, pasti berlarut-larut. Harus cepat diselesaikan dengan gunting yang tajam!!"
Senin pagi ini kuanggap hari yang sial. Setengah jam sebelum jam masuk, Pak Mustar mengunci pagar
sekolah. Beliau berdiri di podium menjadi inspektur apel rutin. Celakanya banyak siswa yang
terlambat, termasuk aku, Jimbron, dan Arai. Lebih celaka lagi beberapa siswa yang terlambat justru mengejek Pak
Mustar. Dengan sengaja, mereka meniru-nirukan pidatonya. Pemimpin para siswa yang berkelakuan
seperti monyet sirkus itu tak lain Arai!!
Pak Mustar ngamuk. la meloncat dari podium dan mengajak dua orang penjaga sekolah mengejar kami.
Saat itu aku dan Jimbron sedang duduk penuhgaya di atas sepeda jengkinya yang butut. Sekelompok
siswi kelas satu yang juga terlambat nongkrong berderet-deret. Hanya aku dan Jimbron pejantan disana .
"Kesempatan baik, Bron!!" aku girang, celingukan kiri kanan.
"Tak ada kompetisi!!"
Wajah Jimbron yang bulat jenaka merona-rona seperti buah mentega.
"Mmhhh ... mmhhaa ... mainkan, Kal!!"
Tak membuang tempo, segera kami keluarkan segenap daya pesona yang kami miliki secara
habis-habisan untuk menarik perhatian putri-putri kecil semenanjung itu. Jimbron membunyikan kliningan
sepedanya dan menyiul-nyiulkan lagu sumbang yang tak jelas. Sedangkan aku, sebagai siswa SMA yang
cukup kreatif, telah lama memiliki taktik khusus untuk situasi semacam ini, yaitu mengaduk kepalaku
dengan minyak hijau ajaib Tancho yang selalu ada dalam tasku, menyisir seluruh rambutku ke belakang, lalu dengan
tangan dan tenaga penuh menariknya kembali. Maka muncullah
bongkahan jambul berbinar-binar. Dan inilah puncak muslihat anak Melayu kampung: di dekat para
siswi tadi, aku berpura-pura menunduk untuk membetulkan tali sepatu, yang sebenarnya tidak apa-apa,
sehingga ketika bangkit aku mendapat kesempatan menyibakkan jambulku sepertigaya pembantu
membilas cucian. Ah, elegan, elegan sekali. Sangat Melayu!
Sayangnya, gadis-gadis kecil itu rupanya telah dikaruniai Sang Maha Pencipta semacam penglihatan
yang mampu menembus tulang-belulang, sehingga bagi mereka tubuhku transparan. Aku ada disana , hilir
mudik pasang aksi seperti bebek, tapi mereka tak melihatku, sebab tak seorang pun ingin memedulikan
laki-laki yang berbau seperti ikan pari. Dan bukannya mendapat simpati, ketika melakukan gerakan
mengayun jambul dengan sedikit putaran manis setengah lingkaran seperti aksi Jailhouse Rock Elvis
Presley, aku malah terperanjat tak alang kepalang karena para siswi di depanku menjerit-jerit histeris.
Mereka menatap sesuatu di belakangku seperti melihat kuntilanak.
Tak sempat kusadari, secepat terkaman macan akar, secara amat mendadak, Pak Mustar telah berdiri
di sampingku. Wajahnya yang dingin putih menyeringai kejam. Aku menjejalkan pijakan langkahku untuk
melompat tapi terlambat. Pak Mustar merenggut kerah bajuku, menyentakku dengan keras hingga
seluruh kancing bajuku putus. Kancing-kancing itu berhamburan ke udara, berjatuhan gemerincing. Aku
meronta-ronta dalam genggamannya, menggelinjang, dan terlepas!
Lalu wuttthhhh!!! Hanya seinci dari telingaku, Pak Mustar menampar angin sebab aku merunduk. Aku
berbalik, mencuri momentum dengan menumpukan seluruh tenaga pada tunjangan kaki kanan dan
sedetik kemudian aku melesat kabur.
"Berrrandallllll!!!"
Suara Pak Mustar membahana. la serta-merta mengejarku dan berusaha menjambak rambutku dengan
tangan cakar macannya. Kedua penjaga sekolah tergopoh-gopoh menyusulnya. Segerombolan siswa,
termasuk Arai dan Jimbron, semburat berhamburan ke berbagai arah. Dan yang paling sial adalah aku,
selalu aku! Pak Mustar jelas-jelas hanya menyasar aku. Suara peluit penjaga sekolah meraung-raung
menerorku. Pritt!! Prriiiiiitttt... priiiiiiiiiittttt!!
Aku berlari kencang menyusuri terali sekolah. Pengejarku juga sial karena aku adalah sprinter SMA
Bukan Main. Seluruh siswa berhamburan menuju pagar, riuh menyemangatiku karena mereka membenci
Pak Mustar. Seumur-umur aku tak pernah diperhatikan seorang pun putri semenanjung, namun kini gadis-gadis manis
Melayu itu, yang tadi tak sedikit pun mengacuhkan aku, melolong-lolong mendukungku.
"Ikal!! Ikal!! Ayo!! Ikal, lari!! Lariiiiiiii...!!"
Tenagaku terbakar. Kulirik sejenak jejeran panjang tak putus-putus pagar nan ayu, ratusan jumlahnya,
berteriak-teriak histeris membelaku, hanya membelak
u sendiri, sebagian melonjak-lonjak, yang lainnya
membekap dada, khawatir jagoannya ditangkap garong.
"Lari!! Lari Kal!! Lari, Sayang ...."
Oh, aku melambung tinggi, tinggi sekali. Setiap langkahku terasa ringan laksana loncatan-loncatan
anggun antelopTibet . Walau gemetar ketakutan tapi aku melesat sambil tersenyum penuh arti. Bajuku
yang tak berkancing berkibar-kibar seperti jubah Zorro. Aku merasa tampan, merasa menjadi pahlawan.
Dan yang terpenting, dalam kepanikan itu, sempat kutarik pelajaran moral nomor tujuh: Ternyata rahasia
menarik perhatian seorang gadis adalah kita harus menjadi pelari yang gesit.
Aku menyeberangi jalan dan berlari kencang ke utara, memasuki gerbang pasar pagi. Pak Mustar
bernafsu menangkapku, jaraknya semakin dekat. Aku ketakutan dan tergesa-gesa meloncati palang besi
parkir sepeda. Celaka! Salah satu sepeda tersenggol. Lalu tukang parkir terpana melihat ratusan sepeda
yang telah dirapikannya susah payah, rebah satu per satu seperti permainan mendirikan kartu domino,
menimbulkan kegaduhan yang luar biasa di pasar pagi. Aku terjerembap, bangkit, dan pontang-panting
kabur. Kejar-kejaran semakin seru saat aku melintasi pelataran dengan pilar-pilar menjulang yang dipenuhi
pedagang kakilima . Aku melesat meliuk-liuk di antara gerobak sayur dan ratusan pembeli. Pak Mustar
dan komplotannya lekat di belakangku. Suara peluit menjerit-jerit. Orang-orang berteriak gaduh. Aku
berbelok tajam ke gang permukiman Kek yang panjang, berlari sekencang-kencangnya hingga mencapai
akselerasi sempurna. Pak Mustar ketinggalan di belakangku, semakin lama semakin jauh. Sebenarnya
aku dapat lolos jika tak memedulikan panggilan sial ini, "Ikal!! ... Ikal!!"
Aku berbalik dan tepat disana ,lima belas meter dariku, baru saja berbelok dari sebuah mulut gang,
Jimbron dan Arai terengah-engah saling berpegangan. Jika berlari, Jimbron yang invalid harus dibopong.
Mereka yang tadi semburat tak menyadari arah pelariannya melintasi jalur perburuan Pak Mustar.
"Ikal... tolong, Kal.... Tolong ...."
Aku terkesiap, kasihan, dan kesal.
"Biang keladi! Cukup sudah aku dengan tabiatmu, Rai. Lihat! Macan itu akan menerkammu!!"
Melihat sasaran nomplok tiba-tiba muncul di depannya, Pak Mustar sumringah dan kembali bernafsu
memburu kami. Jimbron dan Arai terseok-seok tak berdaya. Aku ingin menyelamatkan Jimbron
walaupun benci setengah mati pada Arai. Aku dan Arai menopang Jimbron dan beruntung kami berada
dalam labirin gang yang membingungkan. Kami menyelinap, hingga akhirnya di gudang peti es inilah kami
terperangkap. Pak Mustar dan kedua penjaga sekolah mondar-mandir di luar tanpa menyadari kami ada di dalam
Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gudang peti es. Tatapanku lekat pada setiap gerakan kecil Pak Mustar. Seakan dapat kurasakan setiap
tarikan napasnya. Aku memiliki gambaran jelas tentang karakter orang seperti Pak Mustar. Pria-pria
berwajah manis dan kekejaman mereka yang tak terbayangkan. Aku pernah mengunjungi uwakku yang
menjadi sipir di penjara Karimun. Di penjara itu kulihat pesakitan yang sangar, sok jago, dekil, omong
besar, dan bertato disana sini berada di blok A, dikurung beramai-ramai seperti ayam karena mereka tak
lebih dari pencuri ayam atau tukang nyolong jemuran. Namun, mereka yang sampai hati merampok
TKW atau membunuh tanpa melepaskan rokok di mulutnya, berada di blok B, sel isolasi.
Penghuni blok B adalah pria-pria kecil yang rapi, pintar, bersih, santun lisannya, dan manis sekali
senyumnya. Sejarah menunjukkan bahwa Alexander Agung yang membakar ribuan wanita dan
anak-anak, Cortez yang membantai orang Indian sampai menggenangkan darah setinggi lutut, semua
penjagal yang disebut legenda itu tak lain adalah pria-pria tampan berwajah manis. Maka berurusan
dengan Pak Mustar aku menyadari bahwa kami sedang berada dalam situasi yang tak dapat diduga.
Tapi aku tak tahan di kandang mendidih berbau amis ini. Pun aku tak melihat celah untuk lolos. Aku
menunggu keajaiban sebelum menyerahkan diri. Dan ia tak datang, harapanku habis. Aku berjalan
menuju pintu gudang diikuti Jimbron yang terpincang-pincan
g. Tapi tiba-tiba kami terperanjat karena dentuman knalpot vespa Lambretta. Dan kami panik tak dapat
menguasai diri. Benar-benar sial berlipat-lipat sebab penunggang vespa itu adalah Nyonya Lam Nyet
Pho, turunan prajurit Hupo, semacam capo, ketua preman pasar ikan. Ia pemilik gudang ini dan
penguasa 16 perahu motor. Anak buahnya ratusan pria bersarung yang hidup di perahu dan tak pernah
melepaskan badik dari pinggangnya. Beperkara dengan nyonya ini urusan bisa runyam. Karena kami
telah menyelinap dalam gudangnya, pasti ia akan menuduh kami mencuri.
Nyonya Pho bertubuh tinggi besar. Rambutnya tebal, disemir hitam pekat dan kaku seperti sikat. Alisnya
seperti kucing tandang. Bahunya tegap, dadanya tinggi, dan raut mukanya seperti orang terkejut. Sesuai
tradisi Hupo, ia bertato, lukisan naga menjalar dari punggung sampai ke bawah telinga, bersurai-surai
dengan tinta Cina. Bengis, tega, sok kuasa, dan tak mau kalah tersirat jelas dari matanya.Lima orang
pembantu setia Nyonya Pho Parmin, Marmo, Paijo, Tarji, dan Nasio membuka pintu gudang. Gagal
menjadi petani jagung, para transmigran ini bermetamorfosis jadi kuli serabutan. Mesin Lambretta
dimatikan dan aku diserang kesenyapan yang menggiriskan. Jimbron memeluk kedua kakinya dan mulai
terisak-isak. Tubuhku merosot lemas. Nasib kami di ujung tanduk. Namun dalam detik yang paling
genting, aku terkejut sebab ada tangan mengguncang pundakku, tangan Arai.
"Ikal!" bisiknya sambil melirik peti es. Aku paham maksudnya! Luar biasa dan sinting!!
Itulah Arai dengan otaknya yang ganjil. Aku suspense. Otakku berputar cepat mengurai satu per satu
perasaan cemas, ide yang memacu adrenalin, dan waktu yang sempit. Arai mencongkel gembok dan
menyingkap tutup peti. Wajah kami seketika memerah saat bau amis yang mengendap lama menyeruak.
Isi peti mirip remah-remah pembantaian makhluk bawah laut. Sempat terpikir olehku untuk
mengurungkan rencana gila itu, tapi kami tak punya pilihan lain.
"Ikal! Masuk duluan!" perintah Arai sok kuasa.
Tatapanku berkilat mengancam Arai. Ingin sekali aku membenamkan kepalanya kemulut ikan hiu gergaji
raksasa yang menganga di depanku. Itu penyiksaan karena berarti aku harus bersentuhan langsung
dengan balok es di dasar peti dan menanggung beban tubuh Jimbron dan Arai. Berat Jimbron sendiri tak
kurang dari 75 kilo. "Tak adil! Ini idemu Rai, kau masuk duluan!!"
"Jangan banyak protes! Badanmu paling kecil. Kalau tak masuk duluan, Jimbron tak bisa masuk!!"
Aku merasa in charge. Aku pemimpin pelarian ini, maka hanya aku yang berhak membuat perintah.
"Tak sudi! Bagaimana pendapatmu, Bron""
Arai jengkel. "Ini bukan demokrasi! Atau kau mau berurusan dengan Capo"!"
Aku melongok ke dasar peti. Aku tak sanggup.
"Tak bisa, Rai! Bisa kudisan aku kena umpan busuk itu...."
Arai menyeringai seperti jin kurang sajen. Habis sudah kesabarannya dan meledaklah serapah khasnya
yang legendaris. "Kudisan"!! Kudisan katamu" Kau tak punya wewenang ilmiah untuk menentukan penyakit!!"
"Masuk!!" Aku merasakan siksaan yang mengerikan ketika dua tubuh kuli ngambat dengan berat tak kurang dari
130 kilo menindihku. Tulang-tulangku melengkung. Jika bergeser, rasanya akan patah. Setiap tarikan
napas perih menyayat-nyayat rusukku. Perutku ngilu seperti teriris karena diikat dinginnya sebatang balok
es. Aku menggigit lenganku kuat-kuat menahan penderitaan. Bau anyir ikan busuk menusuk hidungku
sampai ke ulu hati. Tatapan nanar bola mata mayat-mayat ikan kenangka yang terbelalak dan kelabu
membuatku gugup. Nyonya Pho dan pembantunya memasuki gudang.
"Min, Mo, angkut yang ini!"
Peti itu miring kami tercekat tapi sama sekali tak terangkat. Pembantu Nyonya Pho mencoba
berkali-kali, masih tak terangkat. Peti itu membatu seperti menhir keramat. Nyonya Pho kecewa berat.
Di luar gudang Pak Mustar dan dua orang penjaga sekolah tadi tengah duduk merokok. Aku
membayangkan sebuah kejadian janggal dan belum sempat kucerna firasatku, kejanggalan itu benar
terjadi. Suara Nyonya Pho kembali menggelegar seperti pengkhotbah di puncak Bukit Golgota.
"Bujang! Tolong sini! Angkat peti ini ke stanplat. Daripada kalian merokok saja di situ, aya ya ... tak
berguna!" Sekarang delapan orang memikul peti dan peti meluncur menuju pasar pagi yang ramai. Di sekitar peti
tukang parkir berteriak-teriak menimpali obralan pedagang Minang yang menjual baju di kakilima .
Klakson sepeda motor dan kliningan sepeda sahut-menyahut dengan jeritan mesin-mesin parut dan
ketukan palu para tukang sol. Lenguh sapi yang digelandang ke pejagalan beradu nyaring dengan suara
bising dari balon kecil yang dipencet penjual mainan anak-anak. Di punggungku kurasakan satu per satu
detakan jantung Jimbron, lambat namun keras, gelisah dan mencekam.
Berbeda dengan Arai. Waktu peti melewati para pengamen ia menjentikkan jemarinya mengikuti
kerincing tamborin. Dan ia tersenyum. Aku mengerti bahwa baginya apa yang kami alami adalah sebuah
petualangan yang asyik. la melirikku yang terjepit tak berdaya, senyumnya semakin girang.
"Fantastik bukan"" pasti itu maksudnya.
Aku merasa takjub dengan kepribadian Arai. Tatapanku menghujam bola matanya, menyusupi lensa,
selaput jala, dan iris pupilnya, lalu tembus ke dalam lubuk hatinya, ingin kulihat dunia dari dalam jiwanya.
Tiba-tiba aku merasa seakan berdiri di balik pintu, pada sebuah temaram dini hari, mengamati ayahku
yang sedang duduk mendengarkan siaran radio BBC. Lalu lagu syahdu "What a Wonderful World"
mengalir pelan. Seiring alunan lagu itu dari celah-celah peti kusaksikan pasar yang kumuh menjadi
memesona. Anak-anak kecil Tionghoa yang membawa kado melompat-lompat harmonis bermain tali
dikelilingi gelembung-gelembung busa. Lalu-lalang kendaraan adalah serpihan-serpihan cahaya yang
melesat-lesat menembus fatamorgana aurora. Burung-burung camar mematuki cumi yang berjuntai di
lubang-lubang peti, terbang labuh. Sayap-sayap kumbang berkilauan terbias warna-warni dedaunan
maranta. Demikian indahkah hidup dilihat dari mata Arai" Beginikah seorang pemimpi melihat dunia"
"Brragghh!!!" Lamunanku terhempas di atas meja baru pualam putih yang panjang. Kudengar langkah para
pengangkat peti bergegas pergi. Kami menunggu dengan tegang detik demi detik berikutnya. Jantungku
berdetak satu persatu mengikuti derap langkah Nyonya Pho mendekati peti. Dan tibalah momen yang
dramatis itu ketika Capo mengangkat tutup peti dan langsung, saat itu juga, ia menjerit sejadi-jadinya.
Wajahnya yang memang sudah seperti orang terkejut membiru seperti anak kecil melihat hantu. Kami
bertiga bangkit serentak tanpa ekspresi.
Nyonya Pho ternganga dan bibirnya bergetar-getar. Cerutunya merosot dan jatuh tanpa daya di atas
lantai stanplat yang becek. Kami tak sedikit pun memedulikannya.
Ratusan pembeli ikan terperangah menyaksikan kami berbaris dengan tenang di atas meja pualam yang
panjang: tak berbaju, berminyak-minyak, dan busuk belepotan udang rebon basi. Kami melenggang
tenang dipimpin seorang laki-laki pemimpi yang hebat bukan main. Ketika kami melewatiNyonya Pho,ia
terjajar hampir jatuh. Mukanya pias seakan ingin mati berdiri. Tangannya menunjuk-nunjuk kami.
Mulutnya komat-kamit mengucapkan kata-kata seperti orang tercekik.
"Ikkhhhh ... ikkhhh ... ikkha ... ikan duyung!!!"
Mozaik 2 Simpai Keramat Arai adalah orang kebanyakan. Laki-laki seperti ini selalu bertengkar dengan tukang parkir sepeda,
meributkan uang dua ratus perak. Orang seperti ini sering duduk di bangku panjang kantor pegadaian
menunggu barangnya ditaksir. Barangnya itu dulang tembaga busuk kehijau-hijauan peninggalan
neneknya. Kalau polisi menciduk gerombolan bromocorah pencuri kabel telepon, maka orang berwajah
serupa Arai dinaikkan ke bak pick up, dibopong karena tulang keringnya dicuncung sepatu jatah kopral.
Dan jika menonton TVRI, kita biasa melihat orang seperti Arai meloncat-loncat di belakang presiden
agar tampak oleh kamera. Wajah Arai laksana patung muka yang dibuat mahasiswa-baru seni kriya yang baru pertama kali
menjamah tanah liat, pencetsana , melendung sini. Lebih tepatnya, perabotan di wajahnya seperti hasil
suntikan silikon dan mulai meleleh.
Suaranya kering, serak, dan nyaring, persis vokalis mengambil nada
falseto mungkin karena kebanyakan menangis waktu kecil. Gerak-geriknya canggung serupa belalang
sembah. Tapi matanya istimewa. Di situlah pusat gravitasi pesona Arai. Kedua bola matanya itu, sang
jendela hati, adalah layar yang mempertontonkan jiwanya yang tak pernah kosong.
Sesungguhnya, aku dan Arai masih bertalian darah. Neneknya adalah adik kandung kakekku dari pihak
ibu. Namun sungguhmalang nasibnya, waktu ia kelas satu SD, ibunya wafat saat melahirkan adiknya.
Arai, baru enam tahun ketika itu, dan ayahnya, gemetar di samping jasad beku sang ibu yang memeluk
erat bayi merah bersimbah darah. Anak-beranak itu meninggal bersamaan. Lalu Arai tinggal berdua
dengan ayahnya. Kepedihan belum mau menjauhi Arai. Menginjak kelas tiga SD, ayahnya juga wafat.
Arai menjadi yatim piatu, sebatang kara. Ia kemudian dipungut keluarga kami.
Aku teringat, beberapa hari setelah ayahnya meninggal, dengan menumpang truk kopra, aku dan ayahku
menjemput Arai. Sore itu ia sudah menunggu kami di depan tangga gubuknya, berdiri sendirian di tengah
belantara ladang tebu yang tak terurus. Anak kecil itu mengapit di ketiaknya karung kecampang berisi
beberapa potong pakaian, sajadah, gayung tempurung kelapa, mainan buatannya sendiri, dan bingkai
plastik murahan berisi foto hitam putih ayah dan ibunya ketika pengantin baru. Sebatang potlot yang
kumal ia selipkan di daun telinganya, penggaris kayu yang sudah patah disisipkan di pinggangnya. Tangan
kirinya menggenggam beberapa lembar buku tak bersampul. Celana dan bajunya dari kain belacu lusuh
dengan kancing tak lengkap. Itulah seluruh harta bendanya. Sudah berjam-jam ia menunggu kami.
Tampak jelas wajah cemasnya menjadi lega ketika melihat kami. Aku membantu membawa
buku-bukunya dan kami meninggalkan gubuk berdinding lelak beratap daun itu dengan membiarkan pintu
dan jendela-jendelanya terbuka karena dipastikan tak 'kanada siapa-siapa untuk mengambil apa pun.
Laksana terumbu karang yang menjadi rumah ikan di dasar laut, gubuk itu akan segera menjadi sarang
luak, atapnya akan menjadi lumbung telur burung kinantan, dan tiang-tiangnya akan menjadi istana liang
kumbang. Kami menelusuri jalan setapak menerobos gulma yang lebih tinggi dari kami. Kerasak tumpah ruah
merubung jalan itu. Arai menengok ke belakang untuk melihat gubuknya terakhir kali. Ekspresinya datar.
Lalu ia berbalik cepat dan melangkah dengan tegap. Anak sekecil itu telah belajar menguatkan dirinya.
Ayahku berlinangan air mata. Dipeluknya pundak Arai erat-erat. Di perjalanan aku tak banyak bicara
karena hatiku ngilu mengenangkan nasibmalang yang menimpa se-pupu jauhku ini. Ayahku duduk di atas
tumpukan kopra, memalingkan wajahnya, tak sampai hati memandang Arai. Aku dan Arai duduk
berdampingan di pojok bak truk yang terbanting-banting di atas jalan sepi berbatu-batu. Kami hanya
diam. Arai adalah sebatang pohon kara di tengahpadang karena hanya tinggal ia sendiri dari satu garis
keturunan keluarganya. Ayah ibunya merupakan anak-anak tunggal dan kakek neneknya dari kedua
pihak orangtuanya juga telah tiada. Orang Melayu memberi julukan Simpai Keramat untuk orang terakhir
yang tersisa dari suatu klan.
Aku mengamati Arai. Kelihatan jelas kesusahan telah menderanya sepanjang hidup. Ia seusia denganku
tapi tampak lebih dewasa. Sinar matanya jernih, polos sekali. Lalu tak dapat kutahankan air mataku
mengalir. Aku tak dapat mengerti bagaimana anak semuda itu menanggungkan cobaan demikian berat
sebagai Simpai Keramat. Arai mendekatiku lalu menghapus air mataku dengan lengan bajunya yang
kumal. Tindakan itu membuat air mataku mengalir semakin deras. Sempat kulirik ayahku yang
mencuri-curi pandang kepada kami, wajah beliau sembap dan matanya semerah buah saga. Melihatku
pilu, kupikir Arai akan terharu tapi ia malah tersenyum dan pelan-pelan ia merogohkan tangannya ke
dalam kacung kecampangnya. Air mukanya memberi kesan ia memiliki sebuah benda ajaib nan rahasia.
"Ikal, lihatlah ini!!" bujuknya.
Dari dalam karung, ia mengeluarkan se
buah benda mainan yang aneh. Aku melirik benda itu dan aku
semakin pedih membayangkan ia membuat mainan itu sendirian, memainkannya juga sendirian di
tengah-tengah ladang tebu. Aku tersedu sedan.
Tapi bagaimanapun perih aku tertarik. Mainan itu semacam gasing yang dibuat dari potongan-potongan
lidi aren dan di ujung lidi-lidi itu ditancapkan beberapa butir buah kenari tua yang telah dilubangi. Sepintas
bentuknya sepertii helikopter. Jalinan lidi pada mainan itu agaknya mengandung konstruksi mekanis. Aku
tergoda melihat Arai memutar-mutar benda itu setengah lingkaran untuk mengambil ancang-ancang.
Setelah beberapa kali putaran, sebatang lidi besar yang menjadi tuas konstruksi itu melengkung lalu saat
putaran terakhir dilepaskan, ajaib!
Lengkungan tadi melawan arah menimbulkan tendangan tenaga balik yang memelintir gasing aneh ini
dengan sempurna 360 derajat, berulang-ulang. Lebih seru lagi putaran balik ini menyebabkan butir-butir
kenari tadi saling beradu menimbulkan harmoni suara gemeretak yang menakjubkan. Aku tergelak. Mata
Arai bersinar-sinar. Aku tersenyum tapi tangisku tak reda karena seperti mekanika gerak balik helikopter purba ini, Arai
telah memutarbalikkan logika sentimental ini. la justru berusaha menghiburku pada saat aku seharusnya
menghiburnya. Dadaku sesak.
"Cobalah, Ikal...."
Aku merebut gasing aneh itu, mengamatinya dengan teliti bukan hanya sebagai mainan yang menarik hati
tapi sebagai sebuah kisah tentang anak kecil yang menciptakan mainan untuk melupakan kepedihan
hidupnya. Aku memutar gasing itu sekali, namun aku terperanjat sebab tiba-tiba ia berputar sendiri
dengan keras sehingga konstruksinya bingkas, lidi-lidinya patah, dan buah-buah kenari itu berhamburan
ke mukaku. Aku telah memutarnya terlalu kencang. Arai terkekeh melihatku. Ia memegangi perutnya
menahan tawa. Belum hilang rasa terkejutku, Arai kembali merogohkan tangannya ke dalam karung
kecampang. "Masih ada lagi!!"
Ia tersenyum penuh arti karena tahu telah berhasil menghiburku. Kali ini ia mengeluarkan sebuah cupu
dari kayu medang yang berlubang-lubang. Biasa dipakai orang Melayu untuk menyimpan tembakau. Tak
kusangka cupu itu telah dibelah dan sambungannya tak kasat. Arai membukanya pelan-pelan.
"Aiih ... kumbang sagu!!"
Aku memekik tak terkendali. Kumbang sagu, serangga mainan langka yang susah ditangkap. Jika
dipelihara dan diberi makan remah kelapa, kumbang bersayap mengilat seperti tameng patriot Spartan itu
dapat menjadi jinak. Tak berkedip aku melihat Arai membiarkan kumbang itu merayapi lengannya.
Makhluk kecil yang memesona itu meloncat-loncat kecil ingin terbang. Arai membelai serangga kecil itu,
menggenggamnya dengan lembut lalu melemparkannya ke udara.
Ditiup angin kencang di atas truk kumbang itu meregangkan sayap-sayapnya, mengapung sebentar,
berputar-putar seolah merayakan kemerdekaannya lalu melesat menembus rimbun dedaunan kemang di
tepi jalan. Lalu Arai melangkah menuju depan bak truk. la berdiri tegak disana serupa orang berdiri di
hidung haluan kapal. Pelan-pelan ia melapangkan kedua lengannya dan membiarkan angin menerpa
wajahnya. Ia tersenyum penuh semangat. Agaknya ia juga bertekad memerdekakan dirinya dari duka
mengharu biru yang membelenggunya seumur hidup. Ia telah berdamai dengan kepedihan dan siap
menantang nasibnya. Jahitan kancing bajunya yang rapuh satu per satu terlepas hingga bajunya
melambai-lambai seperti sayap kumbang sagu tadi. Ia menggoyang-goyang tubuhnya bak rajawali di
angkasa luas. "Dunia...!! Sambutlah aku...!! Ini aku, Arai, datang untukmu ...!!" Pasti itu maksudnya.
Ayahku tersenyum mengepalkan tinjunya kuat-kuat dan aku ingin tertawa sekeras-kerasnya, tapi aku
juga ingin menangis sekeras-kerasnya
Mozaik 3 The Lone Ranger Aku dan Arai ditakdirkan seperti sebatang jarum di atas meja dan magnet di bawahnya. Sejak kecil
kami melekat kesana kemari. Aku semakin dekat dengannya karena jarak antara aku dan abang
pangkuanku, abangku langsung, sangat jauh. Arai adalah saudara sekaligus sahabat terbaik buatku. Dan
meskipun kami seusia, ia lebih abang dari abang mana pun. Ia selalu melindungiku. Sikap itu tecermin dari
hal-hal paling kecil. Jika kami bermain melawan bajak laut di Selat Malaka dan aku sebagai Hang Tuah,
maka ia adalah Hang Lekir. Dalam sandiwara memerangi kaum Quraishi pada acara di balai desa, aku
berperan selaku Khalifah Abu Bakar, Arai berkeras ingin menjadi panglima besar Hamzah. Jika aku
Batman, ia ingin menjadi Robin atau paling tidak menjadi kelelawar. Jika di kampung anak-anak bermain
memperebutkan kapuk yang beterbangan dari pohonnya seperti hujan salju, Arai akan menjulangku di
pundaknya, sepanjang sore berputar-putar di lapangan tak kenal lelah, tak pernah mau kugantikan. la
mengejar layangan untukku, memetik buah delima di puncak pohonnya hanya untukku, mengajariku
berenang, menyelam, dan menjalin pukat. Sering bangun tidur aku menemukan kuaci, permen gula
merah, bahkan mainan kecil dari tanah liat sudah ada di saku bajuku. Arai diam-diam membuatnya
untukku. Dan seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin di kampung kami yang rata-rata beranjak remaja
mulai bekerja mencari uang, Arai-lah yang mengajariku mencari akar banar untuk dijual kepada penjual
ikan. Akar ini digunakan penjual ikan untuk menusuk insang ikan agar mudah ditenteng pembeli. Dia juga
yang mengajakku mengambil akar purun (perdu yang tumbuh di rawa-rawa) yang kami jual pada
pedagang kelontong untuk mengikat bungkus terasi. Waktu itu kami ingin sekali menjadi caddy dipadang
golf PN Timah tapi belum cukup umur. Kami masih SMP. Untuk jadi caddy, paling tidak harus SMA.
Sejak melihat aksi Arai di bak truk kopra tempo hari, aku mengerti bahwa ia adalah pribadi yang
istimewa. Meskipun perasaannya telah luluh lantak pada usia sangat muda tapi ia selalu positif dan
berjiwa seluas langit. Mengingat masa lalunya yang pilu, aku kagum pada kepribadian dan daya
hidupnya. Kesedihan hanya tampak padanya ketika ia mengaji Al-Qur'an. Di hadapan kitab suci itu ia
seperti orang mengadu, seperti orang yang takluk, seperti orang yang kelelahan berjuang melawan rasa
kehilangan seluruh orang yang dicintainya. Setiap habis magrib Arai melantunkan ayat-ayat suci
Al-Qur'an di bawah temaram lampu minyak dan saat itu seisi rumah kami terdiam. Suaranya sekering
ranggas yang menusuk-nusuk malam. Ratap lirihnya mengirisku, menyeretku ke sebuah gubuk di tengah
ladang tebu. Setiap lekukan tajwid yang dilantunkan hati muda itu adalah sayat kerinduan yang tak
tertanggungkan pada ayah-ibunya.
Jika Arai mengaji, pikiranku lekat pada anak kecil yang mengapit karung kecampang, berbaju seperti
perca dengan kancing tak lengkap, berdiri sendirian di muka tangga gubuknya, cemas menunggu harapan
menjemputnya. Jika Arai mengaji, aku bergegas menuruni tangga rumah panggung kami, kemudian berlari
sekuat tenaga menerabas ilalang menuju lapangan di tepi kampung. Di tengah lapangan itu aku berteriak
sejadi-jadinya. Karena berkepribadian terbuka, memiliki mentalitas selalu ingin tahu dan terus bertanya, Arai
berkembang menjadi anak yang pintar. la selalu ingin mencoba sesuatu yang baru.
"Oh, amboi, Ikal... tengoklah ini! Model rambut paling mutakhir! Aiiihhh.... Toni Koeswoyo, rambut
belah tengahnya itu! Elok bukan buatan! Lihatlah, Kal, semua pemain Koes Plus rambutnya belah
tengah!" Demikian hasutan Arai sambil mengagumi foto Koes Plus di sampul buku PKK-nya. la telah
menerapkan belah tengah seminggu sebelumnya dan tak sedikit pun kulihat nilai tambah pada wajahnya.
Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi karena Arai memang diberkahi dengan bakat menghasut, maka aku termakan juga. Ketika
becermin, aku sempat tak kenal pada diriku sendiri. Aku gugup bukan main saat pertama kali keluar
kamar dengangaya rambut Toni Koeswoyo itu. Aku berdiri mematung di ambang pintu karena
abang-abangku menertawakan aku sampai berguling-guling.
"Ha ha ha! Lihatlah orang-orangan ladang!!" ejek mereka bersahut-sahutan seperti segerombolan lutung
berebut ketela rambat. Rasanya aku ingin kabur masuk kembali ke kamar. Aku tak menyalahkan mereka
karena aku memang mirip orang-orangan ladang. Rambutku yang ikal, panjang
, dan tipis ketika dibelah
tengah lepek di atasnya namun ujung-ujungnya jatuh melengkung lentik di atas pundakku. Persis ekor
angsa. Aku menyesal telah mengubah sisiranku dan di ambang pintu kamar itu aku demam panggung
sebelum memperlihatkan penampilan baruku pada dunia. Tapi pada saat aku akan melangkah mundur,
Arai serta-merta menghampiriku.
"Jangan takut, Tonto ...," ia menguatkan aku dengangaya Lone Ranger.
Arai menggenggam tanganku erat-erat dan menuntunku dengan gagah berani melewati ruang tengah
rumah. Dalam dukungan Arai, aku tak sedikit pun gentar menghadapi badai cemoohan. Papan-papan
panjang lantai rumah berderak-derak ketika kami berdua melangkah penuhgaya .
Demikianlah, arti Arai bagiku. Maka sejak Arai tinggal di rumah kami, tak kepalang senang hatiku. Aku
semakin gembira karena kami diperbolehkan menempati kamar hanya untuk kami berdua. Walaupun
kamar kami hanyalah gudang peregasan, jauh lebih baik daripada tidur di tengah rumah,
bertumpuk-tumpuk seperti pindang bersama abang-abangku yang kuli, bau keringat, dan mendengkur.
Peregasan adalah peti papan besar tempat menyimpan padi. Orangtuaku dan sebagian besar orang
Melayu seangkatan mereka demikian trauma pada pendudukan Jepang maka di setiap rumah pasti ada
peregasan. Padi di dalam peregasan sebenarnya sudah tak bisa lagi dimakan karena sudah disimpan
puluhan tahun. Saat ini peregasan tak lebih dari surga dunia bagi bermacam-macam kutu dan keluarga
tikus berbulu kelabu yang turun-temurun beranak pinak di situ. Namun, jangan sekali-sekali
membicarakan soal peregasan. Ini perkara sensitif. Jika sedikit saja kami menyinggung soal
peregasan, misalnya kenapa padi lapuk itu tak dibakar saja, maka ibuku, sambil bersungut-sungut, akan
melantunkan sabda rutinnya yang membuat kami bungkam.
Preambul: "Kalian tak tahu apa-apa soal kesulitan hidup kecuali kalian hidup di zaman Jepang."
Latar belakang masalah: "Pernahkah kalian melihat kaum pria bercelana karung goni sehingga kulitnya
keras seperti kulit beduk" Aiii...."
Kesimpulan: "Padi itu akan tetap di situ. Melihat keadaan negara sekarang, bisa-bisa Jepang datang
lagi!!" Rekomendasi: "Maka Bujang-bujangku, daripada kaupusingkan soal padi itu, lebih berguna hidupmu
jika kaupetikkan aku daun sirih!!"
Paraorangtua Melayu tahu persis bahwa padi di dalam peregasan sudah tak bisa dimakan. Namun, bagi
mereka peregasan adalah metafora, budaya, dan perlambang yang mewakili periode gelap selama tiga
setengah tahun Jepang menindas mereka. Ajaibnya sang waktu, masa lalu yang menyakitkan lambat laun
bisa menjelma menjadi nostalgia romantik yang tak ingin dilupakan.
Mozaik 4 Biola Nurmi Sore yang indah. Perkebunan kepala sawit di kaki gunung sebelah timur kampung kami seperti garis
panjang yang membelah matahari. Bagian bawahnya menyingsingkan fajar di negeri-negeri orang berkulit
pucat dan sisa setengah di atasnya menyemburkan lazuardi merah menyala-nyala. Dan pada momen yang
spektakuler itu aku tengah membicarakan persoalan yang sangat serius dengan Arai melalui telepon.
Kami membahas kerusakan lingkungan karena ulah PN Timah dan jumlah ganti rugi yang akan kami
tuntut karena tanah ulayat kami rusak berantakan.
"Tiga miliar untuk air minum yang tercemar phyrite, empat miliar untuk risiko kontaminasi radio aktif,
tujuh miliar kompensasi beban psikologis karena kesenjangan sosial, dan dua miliar untuk hancurnya
habitat pelanduk," usul Arai berapi-api.
Aku duduk santai di atas talang mendengarkan usulannya melalui pesawat telepon kaleng susu Bendera
yang dihubungkan dengan kawat nyamuk. Arai meneleponku melalui kaleng Botan, posisinya di kandang
ayam. Saat itulah seorang wanita gemuk berjilbab yang matanya bengkak memasuki pekarangan.
Wanitamalang setengah baya itu Mak Cik Maryamah, datang bersama putrinya dan seperti ibunya, mata
mereka bengkak, semuanya habis menangis.
Aku dan Arai berlari menuju Mak Cik tapi ibuku lebih dulu menghampiri mereka.
"Kakak ...," Mak Cik memelas.
"Kalau masih ada beras, tolonglah pinjami kami ...."
Air mata Mak Cik meleleh . Kesusahan seakan tercetak di keningnya. Lahir untuk susah, demikian
stempelnya. Putrinya yang terkecil tertidur pulas dalam dekapannya. Yang tertua, Nurmi yang kurus tinggi
kurang gizi itu, baru kelas dua SMP, sama denganku dan Arai, tampak tertekan batinnya. la memeluk
erat sebuah koper hitam lusuh berisi biola. Dia seorang pemain biola berbakat. Ingin menjadi musisi,
itulah impian terbesarnya. Bakat dan biola itu diwarisinya dari kakeknya, ketua gambus kampung kami.
Sudah tiga kali Minggu ini Mak Cik datang meminjam beras. Keluarga kami memang miskin tapi Mak
Cik lebih tak beruntung. la tak berdaya karena tak lagi dipedulikan suaminya, antara lain karena ia hanya
bisa melahirkan anak-anak perempuan itu.
Ibuku memberi isyarat dan Arai melesat ke gudang peregasan. Ia memasukkan beberapa takar beras ke
dalam karung, kembali ke pekarangan, memberikan karung beras itu kepada ibuku yang kemudian
melungsurkannya kepada Mak Cik.
"Ambillah...." Mak Cik menerimanya dengan canggung dan berat hati. Aku tak sampai hati melihatnya. Ia berkata
terbata-bata, "Tak 'kanmampu kami menggantinya, Kak...."
Lalu Mak Cik menatap Nurmi. Wajahnya menanggungkan perasaan tak sampai hati namun beliau
benar-benar tak punya pilihan lain.
"Hanya biola ini milik kami yang masih berharga," ucapnya pedih.
Nurmi memeluk biolanya kuat-kuat. Air matanya mengalir. Ia tak rela melepaskan biola itu.
"Nurmi...," panggil ibunya.
Nurmi berupaya keras menguat-nguatkan dirinya. Ia mendekati ibuku. Langkahnya terseret-seret untuk
menyerahkan koper biolanya. Air matanya berurai-urai.
Ibuku tersenyum memandangi Nurmi.
"Jangan sekali-kali kaupisahkan Nurmi dari biola ini, Maryamah. Kalau berasmu habis, datang lagi ke
sini." Nurmi cepat-cepat menarik tangannya dan kembali memeluk biolanya kuat-kuat. la tersedu sedan. Kami
mengiringi Mak Cik keluar pekarangan dan memandangi anak-beranak itu berjalan menjauh. Nurmi
melangkah paling cepat mendahului ibu dan adik-adiknya seakan ia ingin segera pulang menyelamatkan
biolanya. Mata Arai berkaca-kaca melihat Mak Cik bergandengan tangan dengan anak-anaknya sambil
menenteng setengah karung beras. Lalu aku heran melihat ekspresi Arai. Sulit kuartikan makna air
mukanya: dingin, datar, dan gundah. Kulihat ketidakpuasan, ada juga kilatan kemarahan. Lebih dari itu,
kulihat sebuah rencana yang aneh. Instingku mengabari bahwa sesuatu yang dramatis pasti sedang
berkecamuk dalam kepala manusia nyentrik ini.
Benar saja, tiba-tiba Arai membanting telepon kaleng botan dan menyeretku ke gudang peregasan. Aku
terbengong-bengong melihat tingkah Arai. Ibuku sibuk menggulung kabel telepon yang kami campakkan.
Aku semakin tak mengerti waktu Arai bergegas membuka tutup peregasan, mengambil celengan ayam
jagonya, dan tanpa ragu menghempaskannya. Uang logam berserakan di lantai. Napasnya memburu dan
matanya nanar menatapku saat ia mengumpulkan uang koin. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun dan
pada detik itu aku langsung terperangkap dalam undangan ganjil dari sorot matanya. Seperti tersihir aku
tergoda pada berbagai kemungkinan yang ditawarkan kelakuan sintingnya. Tanpa berpikir panjang aku
menjangkau celenganku di dasar peregasan dan melemparkannya ke dinding. Aku terpana melihat
koin-koin tabunganku berhamburan, baru kali ini aku memecahkan ayam jago dari tanah Hat itu.
Arai terkekeh. Aku tak tahu apa yang telah merasukiku. Aku juga tak secuil pun tahu apa rencana Arai.
Yang kutahu adalah Allah telah menghadiahkan karisma yang begitu kuat pada sang Simpai Keramat ini
mungkin sebagai kompensasi kepedihan masa kecilnya. Hanya dengan menatap, ia mampu menguasaiku.
Atau mungkin juga aku bertindak tolol karena persekongkolan kami sudah mendarah daging.
"Kumpulkan semua, Ikal!!" perintahnya bersemangat. "Masukkan ke dalam karung gandum." Koin-koin
itu hampir seperempat karung gandum.
'Ayo ikut aku, cepat!! Pakai dua sepeda!!" Kami berlari menuju sepeda sambil menenteng karung
gandum yang berat gemerincing. Kelakuan kami persis perampok telepon koin. Arai mengayuh sepeda
seperti or ang menyelamatkan diri dari letusan gunung berapi. Di luar pekarangan ia menikung tajam
dalam kecepatan tinggi. Aku pontang-panting mengikutinya dengan hati penasaran. Yang terpikir olehku
kami akan menghibahkan tabungan kami untuk Mak Cik. Mengingat kesulitan Mak Cik, aku tak
keberatan. Tapi ketika sepeda melewati perempatan, Arai berbelok ke kiri. Aku tersengal-sengal
memanggilnya. "Rai!! Mau ke mana""!!" Jika ingin ke rumah Mak Cik, seharusnya ia belok kanan.
"Aku tahu, Kal. Ikut saja!!" Maka layar pun digulung dan drama dimulai.
Arai ngebut, sepedanya terpantul-pantul di atas jalan pasir meluapkan debu berwarna kuning. Aku
zigzag di belakangnya untuk menghindari debu. Aku terheran-heran pada kelakuan Arai tapi menikmati
ketegangan pengalaman hebat ini. Dua orang bersepeda beriringan kejar-mengejar dengan kecepatan
tinggi sambil membawa karung uang. Bukankah kami seperti buronan di film-film"
Arai jelas sedang menuju ke pasar. Tak dapat kuduga apa maksudnya. Begitulah Arai, isi kepalanya
tak'kan pernah dapat ditebak. Di depan toko A Siong ia berhenti. Dia turun dari sepeda dan
menghampiriku yang kehabisan napas. la mengambil karung uang yang sedang kusandang. Sambil
mengumbar senyum tengiknya dia mengedipkan sebelah mata sembari mengeluarkan suara "khekkh!!"
persis tekukur dilindas truk.
Langkahnya pasti memasuki toko A Siong. Aku was was mengantisipasi tindakannya. Aku tak rela uang
jerih payah berjualan tali purun itu dihamburkannya untuk hal yang konyol. Perlu diketahui, untuk
menebas purun harus berendam dalam rawa setinggi dada dengan risiko ditelan buaya mentah-mentah.
Tapi seperti biasanya Arai selalu meyakinkan. Lihatlah ekspresi dan gayanya berjalan. Aku terhipnotis
oleh kekuatan kepercayaan dirinya. Aku seperti kerbau dicucuk hidung, digiring kepejagalan pun manut
saja. Bahkan hanya untuk bertanya mulutku telanjur kelu. Kami memasuki toko yang sesak.
Barang-barang kelontong berjejal-jejal di rak-rak yang tinggi. Arai berhenti sebentar di tengah toko
persis di bawah sebuah fan besar berdiameter hampir dua meter dan berputar sangat kencang: wuttth ...
wuttth ... wutttthh. Istri A Siong besar di Hongkong. Hanya fan untuk pabrik itu yang membuatnya betah
tinggal di Belitong yang panas. Arai membuka kancing atas bajunya, menengadahkan wajahnya, dan
ketika angin fan membasuh wajahnya yang bersimbah peluh ia terpejam syahdu, sebuahgaya yang sangat
mengesankan. Lalu ia menghampiri istri A Siong. Nyonya ini sedang mengepang rambut putrinya, Mei Mei. Siapa pun
yang melihat gadis kecil ini akan segera teringat pada tofu. Mereka berdua gendut-gendut tapi cantik.
"Prranggggg!!!"
Arai menumpahkan isi karung gandum tadi di atas meja kaca. Nyonya Tionghoa yang punya nama
sangat bagus itu: Deborah Wong melompat terkejut melihat uang logam membukit seperti tumpeng.
"Ayya ... ya ... ya ... Lui...!!"
Ibu mertua Nyonya Deborah yang berumur hampir seratus tahun dan sedang duduk juga terkejut.
Nenek ini tak pernah tersenyum. Bajunya, kulitnya, rambutnya, alisnya, gusinya yang sudah tak ditenggeri
sebijipun gigi, dan kucingnya, semuanya berwarna kelabu. Murung. Itulah kesan keseluruhan dirinya.
Agaknya, ia melalui hari demi hari dipenuhi perasaan muak. Wajahnya selalu kesal mengapa malaikat
maut tak kunjung menjemputnya. Ia tak tertarik lagi dengan kehidupan. Mendengar gemerincing koin
yang ribut, ia merasa terganggu, mukanya menyeringai marah.
"Nyah ...," seru Arai pada Nyonya Deborah. Santun dan berwibawa, seolah ia akan memborong seluruh
isi toko dengan koin-koin itu.
"Terigu 10 kilo, gandum 10 kilo, gula ...." Aku terkejut tak kepalang.
"Rai! Apa-apaan ini"!"
"Untuk apa segala terigu ...." Tangkas, Arai menekan jarinya di atas mulutku.
"Sstttt!!Diam,Kal."
"Nyah, jangan lupa minyak ...." Kutepis tangannya dengan marah, Arai tersentak.
"Diamlah, Ikal. Lihat saja ...." Langsung kupotong, "Ke mana pikiranmu, Rail! Sudah setahun lebih kita
menabung!!" "Tong! Tong! Tong!! Tong! Tong!!" Sang ibu mertua Nyonya Deborah menampar-namparkan piring
kaleng tempat makanan ku cing, menyuruh kami diam.
"Sabar, Kal.Nan ...."
"Tak ada sabar!!"
"Ini penting, Kal. Bahan-bahan ini akan ...."
"Tak ada penting!! Lupakah kau untuk apa kita susah payah menabung""!!"
Arai marah karena alasannya kupotong terus. Dia geram karena aku tak mau mendengar penjelasannya.
"Ya Tuhan, jangan lagi aku dipertemukan dengan orang ini!!!"
Aku melompat menuju tumpukan koin, membuka karung gandum dan meraup permukaan meja untuk
melungsurkan koin-koin itu kembali ke dalam karung. Arai tak tinggal diam. Disambarnya tanganku dan
dikekangnya tubuhku dari belakang seperti pegulat tradisionalIran . Terjadi tarik-menarik yang seru
memperebutkan gunungan uang koin. Meja kaca bergoyang-goyang hebat. Nyonya Deborah terperanjat
melihat pergumulangaya koboi di tokonya.
"Tagem!!! Taggeeeeeem!!"
Nyonya Deborah menjerit ketakutan memanggil-manggil Tagem, kulinya. Kuli Sawang itu tengah
bersandar kelelahan mengipasi dadanya dengan sobekan kardus di pokok pohon seri di muka toko.
Lalu-lalang kendaraan menelan teriakan Nyonya Deborah. Anehnya putri kecil Mei Mei justru senang
bukan main melihat kami beradu otot. la cekikikan, bertepuk tangan, dan ia jelas memihakku. Tanpa
peduli duduk perkaranya, anak kecil pasti akan memihak orang yang berpenampilan lebih apik. Bagi
anak TK itu, aku yang berkulit lebih terang dan keriting adalah jagoannya, pangeran penumpas
kejahatan. Bentuk rahang Arai yang aneh pasti telah membuatnya menduga kalau Arai penjahat.
"Ayo, Abang Keliting, sepak!! Sepak!! Kik ... kik ... kik ... hi... hi... sepak!! Tendang pelutnya!!"
Adu tenaga semakin dahsyat karena Arai berhasil mengekang kedua tanganku. Ia unggul karena
badannya lebih besar. Ia memitingku dari belakang dan memepetkan tubuhku ke lemari dagangan
tembakau. Aku menguik ketika terjajar menghantam lemari itu.
Mei Mei semakin girang. Gadis cilik yang tak kenal takut itu naik ke atas meja. Ibunya hilir mudik
ketakutan. "Ayo, tinju, Bang. Talik lambutnya ...."
Aku dan Arai berusaha sekuat tenaga saling mengalahkan. Mei Mei yang gendut berlari-lari di atas meja
seperti wasit tinju. Mulutnya berkicau-kicau tak keruan.
" Saudala-saudala, datanglah belamai-lamai!! Inilah peltandingan antala pendekal keliting melawan ...."
Mei Mei terdiam menatap Arai. Kami juga terdiam, serentak menoleh padanya. Dengan ekspresi
lugunya, putri kecil itu mengamati wajah Arai lalu ia berteriak ngeri, "Dlakulaaaaaaa ...!!!"
Arai tersinggung berat dan menumpahkan kekesalannya padaku. Ia menjepit leherku dengan tekukan
sikunya. Tapi seperti kucing yang dimasukkan ke dalam karung, aku memberontak sejadi-jadinya. Ibu
mertua Nyonya Deborah memaki-maki namun anehnya kemudian ia tertawa. Pek!! Pek!! Pek!! Pek!!
Pek!! Ia bertepuk tangan dengan pinggan kaleng tadi seperti orang main tamborin. Ia menunjuk-nunjuk
aku sambil mengepalkan tinjunya, kakinya menyepak-nyepak. Beliau jelas memihak Arai.
Karena mendapat dukungan, Arai semakin beringas. Ia mendorongku ke lemari tembakau. Sebaliknya,
aku semakin liar melawannya. Rak tembakau yang terbuat dari batangan besi setinggi tiga meter dengan
berat ratusan kilo mulai bergoyang. Jika rak ini tumbang, seisi toko bisa celaka.
"Tageeeeeeeeemmm!! Puik Tageeeeeemmmmm!!!"
Nyonya Deborah berteriak histeris. Karena panik, Nyonya Deborah terpaksa memakai kata puik,
sebuah makian dalam bahasa Sawang. Tagem masih tenang-tenang saja. la malah melambai-lambai,
menggoda iringan wanita penjaga toko. Sebaliknya, melihat pertarungan semakin dahsyat, Mei Mei
girang tak kepalang. la menjerit-jerit seperti burung prigantil yang dicabuti bulunya.
"Ayo, Abang Keliting, sepak!! Tinju!!"
Semangatku terpompa. Aku merasa memiliki tenaga ekstra sebab aku yakin sedang membela
kebenaran. Aku meronta sejadi-jadinya dari kuncian Arai, menggelinjang seperti belut sehingga lemari
raksasa itu limbung dan tiba-tiba ....
Shrrrookkkk... braggghhh... brruukkkk!!! Brruuk-kkk!!!Brruukkkk!!!
Tiga karung kertas yang berisi kapuk berjatuhan dari rak lemari tembakau. Karung-karung itu pecah
berantakan dan gumpalan-gump
alan kapuk yang berbentuk seperti awan terhambur memenuhi lantai.
Lalu tampak olehku pemandangan yang menakjubkan karena fan besar di tengah ruangan mengisap
kapuk di atas lantai dan ribuan awan-awan putih kecil berdesingan melingkar naik ke atas, indah dan
harmonis membentuk spiral seperti angin tornado.
Mei Mei terpana melihat pemandangan ajaib itu. Mulut mungilnya yang dari tadi berkicau kini terkunci
lalu pelan-pelan menganga seperti ikan mas koki. la tertegun saat pusaran kapas itu maju mundur
mendekatinya. Mata bulat buah hamlam-nya bersinar-sinar seakan ia melihat sesosok malaikat yang
besar, tampan, dan bersayap melayang-layang ingin memeluknya. Mei Mei pucat pasi karena terpukau
dalam ketakutan yang indah.
Pinggan kaleng yang tengah digenggam ibu mertua Nyonya A Siong terjatuh tanpa disadarinya lalu
berguling-guling ke tengah ruangan toko. Nyonya Deborah sendiri berhenti berteriak. Wutthh ... wutthh
... wutthhhh suara fan besar menggulung setiap gumpalan kapuk seperti jutaan kunang-kunang yang
serentak beranjak. Arai melepaskan kunciannya dari tubuhku. Ia menengadah.
"Subhanallah ...."
"Subhanallah Ikal, lihatlah itu ...."
Kepalaku berputar-putar mengikuti kisaran angin tornado awan-awan kapuk yang terkumpul ke atas
dan terapung-apung memenuhi plafon sehingga toko kelontong itu seperti berada di atas awan, seperti
hanyut di langit. Semua orang yang ada di dalam toko bungkam karena terperangah. Kami memandangi
langit-langit toko yang dipenuhi kapuk seperti awan yang rendah.
Pemandangan semakin sensasional ketika Nyonya Deborah mematikan fan dan saat itu pula awan-awan
kecil itu berjatuhan, melayang-layang dengan lembut tanpa bobot.
Mei Mei berteriak-teriak girang sambil melompat-lompat, "Hujan saljuuuuuuu...."
Mei Mei menangkap awan-awan kecil yang berjatuhan. Ibunya menghampiri anaknya, memeluknya.
Mereka menari berputar-putar di bawah hujan salju. Aku dan Arai bersandar kelelahan. Di bawah hujan
salju yang memesona pertikaian kami telah berakhir dengan damai.
"Arai, kita memerlukan tabungan itu."
"Aku tak punya banyak waktu, Kal...."
"Nanti kujelaskan. Ikuti saja rencanaku, percayalah...."
Aku menatap mata Arai dalam-dalam. Dia memang aneh tapi aku tahu tak ada bibit culas dalam dirinya.
Di luar kami lihat Tagem berjalan gontai memasuki toko. Di ambang pintu ia berteriak, "Puik Tagem!!" la
terkejut melihat toko telah kacau-balau dan menjadi putih, sementara juragannya bersukaria
bermain-main di bawah hujan kapuk dan mertua Nyonya Deborah bertepuk tangan dengan piring kaleng.
Kami kembali bersepeda dengan tergesa-gesa, meliuk-liuk membawa karung gandum dan terigu. Di
perempatan Arai belok kiri. Aku masih tak mengerti maksud Arai waktu ia memasuki pekarangan rumah
Mak Cik Maryamah. Kami masuk ke dalam rumah yang senyap. Dari dalam kamar, sayup terdengar
Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nurmi sedang menggesek biola. Arai menyerahkan karung-karung tadi pada Mak Cik. Beliau
terkaget-kaget. Lalu aku tertegun mendengar rencana Arai: dengan bahan-bahan itu dimintanya Mak Cik
membuat kue dan kami yang akan menjualnya.
"Mulai sekarang, Mak Cik akan punya penghasilan!" sera Arai bersemangat.
Mata Mak Cik barkaca-kaca. Seribu terima kasih seolah tak'kancukup baginya.
Tubuhku yang dari tadi kaku karena tegang mengantisipasi rencana Arai kini pelan-pelan merosot
sehingga aku terduduk di balik daun pintu. Aku menunduk dan memeluk lututku yang tertekuk. Aku
merasa sangat malu pada diriku sendiri. Bibirku bergetar menahan rasa haru pada putihnya hati Arai. Air
mataku mengalir pelan. Sungguh tak sedikit pun kuduga Arai merencanakan sesuatu yang sangat mulia
untuk Mak Cik. Sebuah rencana yang akan kudukung habis-habisan. Sejak itu, aku mengenal bagian
paling menarik dari Arai, yaitu ia mampu melihat keindahan di balik sesuatu, keindahan
yang hanya biasa orang temui di dalam mimpi-mimpi. Maka Arai adalah seorang pemimpi yang
sesungguhnya, seorang pemimpi sejati. Dan sejak itu, kami naik pangkat dari penebas akar banar dan
pencabut rumpun purun menjadi penjual kue basah. Karena sasaran pasar kami
adalah orang-orang bersarung, maka kami berjualan dari perahu ke perahu. Jika ada pertandingan sepak bola, kami
berjualan di pinggir lapangan bola. Penghasilan sebagai penjual kue rupanya jauh lebih baik dari penjual
akar banar. Yang paling menggembirakan, Mak Cik tak perlu lagi meminjam beras ke mana-mana.
Bertahun-tahun berikutnya kami berganti dari satu profesi ke profesi lain untuk membantu nafkah
orangtua. Ketika keluar dari kamarnya, Nurmi terkejut melihat karung-karung gandum dan tepung terigu. Dan ia
terhenyak mendengar rencana Arai. Wajahnya sembap, namun Arai serta-merta menghiburnya.
"Adinda, sudikah membawakan sebuah lagu untuk Abang""
Nurmi tersenyum. "'Juwita Malam'. Abang ingin lagu 'Juwita Malam'."
Kami mengambil tempat duduk di dapur yang kumal itu, siap menyimak Nurmi. Dan sore yang sangat
indah itu semakin memesona karena gesekan syahdu biola Nurmi. Merinding aku mendengar jeritan
panjang biola yang meliuk-liuk pilu, jauh, dalam, dan tegar. Nurmi membawakannya dengan sepenuh
jiwa seakan Arai adalah pahlawan keluarganya yang baru turun dari bulan.
Juwita malum, siapakah gerangan puan
Juwita malam, dari bulankah puan ....
Mozaik 5 Tuhan Tau, tapi menunggu Aku dan Arai beruntung sempat melihat aksinya. Ketika itu kami masih kelas empat sekolah dasar. la
sungguh-sungguh pria tua jempolan. A Put namanya, terpesona aku dibuatnya. Waktu itu aku
menganggapnya manusia paling hebat ketiga di dunia ini setelah ayahku dan seorang laki-laki berjanggut
lebat, senang memakai jubah, bermata syahdu meradang yang tinggal diJakarta dan menciptakan lagu
merdu berjudul "Begadang". Kami merasa beruntung sempat menyaksikan kepiawaian A Put sebab
ketika ia wafat ilmunya terkubur bersama dirinya. Tak ada yang mewarisinya. Anak cucunya malah malu
membicarakan ilmu unik A Put yang mungkin hanya dikuasainya sendiri sejagat raya ini.
Siang itu A Put duduk santai mengisap cangklong. Sarung bawahannya, kaus kutang bajunya, sandal
jepit alas kakinya, tujuh puluh tahun usianya. Pasiennya nongkrong meringis-ringis persis anak-anak
kucing tercebur ke kolam kangkung. A Put adalah dokter gigi kampung kami, dukun gigi lebih tepatnya.
Mengaku mendapat ilmunya dari peri tempayan, laki-laki Hokian itu sungguh sakti mandraguna.
Namanya kondang sampai ke Tanjong Pandan. Bagaimana tidak, ia mampu menyembuhkan sakit gigi
tanpa menyentuh gigi busuk itu. Bahkan tanpa melihatnya. Alat diagnosisnya hanya sepotong balok,
sebilah palu, dan sebatang paku. Ruang praktiknya adalah lingkar teduh daun pohon nangka dan ia hanya
berpraktik berdasarkan suasana hati. Gigi-giginya sendiri tonggos hitam-hitam.
"Ini" Ini katamu! Aya, ya... tolol sekali! Yang betul! Ini" Di sini" Yakin"" Begitu pertanyaan A Put pada
pasiennya. Ia menggerus-gerus permukaan balok dengan ujung paku, mencari-cari satu titik posisi gigi
yang sakit. Maka balok itu adalah representasi gusi orang. Hebat luar biasa. Sang pasien merasa seakan sebuah
benda bergerak-gerak dalam mulutnya, meraba setiap giginya. Ini
adalah komunikasi telepatik antara sepotong balok, sebatang paku, seorang dukun nyentrik, dan sebuah
tekak busuk. Jika benda imajiner itu terasa mengenai gigi yang sakit, sang pasien berteriak, "Yah ... hooh,
hooh!! Di situ!!" A Put serta-merta memukul kepala paku dengan keras, menghunjamkannya ke dalam balok dan detik
itu pula byarrr! Abrakadabra! Sim salabim! Tak tahu karena campur tangan jin, ilmu hitam, berkah sajen
pada raja setan, atau sugesti, rasa sakit pada gigi itu dijamin lenyap saat itu juga, menguap seperti dompet
ketinggalan di stasiun, aneh binti ajaib!! Tak ada sebiji pun obat, bahkan tak perlu membuka mulut!
Suatu ketika antrean pasien A Put telah melampaui pagar kandang babinya.Para tetua Melayu
kasak-kusuk dan pagi-pagi sekali esoknya mereka mengantar senampan pulut panggang.
"Selamat, Dokter A Put. Pimpinlah kampung ini, semoga sejahtera, Kawan...."
Jika A Put memakan pulut panggang itu, maka saat itu pula ia dilantik jadi kepala kampung. Demikianlah
prosesi di kampung kami, sangat fungsional. Jik
a hujan berkepanjangan, pawang hujan akan mendapat
kiriman pulut panggang. Jika buaya mulai nakal, maka dukun buaya dinobatkan jadi kepala kampung.
Jika anak-anak Melayu banyak lahir, sang paraji, penguasa tali pusar itu, dipastikan jadi ketua adat. A
Put mendapat kehormatan jadi presiden kampung kami karena tahun itu kasus borok gigi melonjak
tajam. Kepemimpinan berdasarkan perintah alam itu berakhir sampai orang-orang Pasai membawa Islam ke
suku-suku Melayu pedalaman.Para dukun dan pawang bangkrut pamornya digantikan oleh penggawa
masjid. Belakangan kami dikenalkan pada model demokrasi aneh yang mungkin di dunia hanya ada di
republik ini. Petinggi di Jakarta menyebutnya Demokrasi Terpimpin! Mengada-ada tentu saja. Sejak itu
kampung-kampung orang Melayu diserbu manusia-manusia kiriman dariPalembang . Mereka tak kami
kenal, rata-rata bergelar B.A. Mereka menjadi camat, bupati, sampai ketua KUA. Tapi itu pun tak lama.
Segera setelah mahasiswa mengobrak-abrik kejahiliahan penyelenggaraan negara, kami dipimpin oleh
bumiputra yang dalam pemilihan diwakili gambar jagung, pisang, dan kacang kedelai.Para mahasiswa
yang hebat itu telah menebarkan kenikmatan demokrasi sampai jauh ke pulau-pulau terpencil.
Saat ini Kacang Kedelai memimpin kampung kami. la dicintai dan berkuasa karena legitimasinya penuh,
de jure hanya de jure, sebab kenyataannya penguasa tertinggi kampung kami, tak lain tak bukan, de
facto, tak dapat diganggu gugat, tetaplah penggawa masjid.Para penggawa masjid sangat disegani.
Mereka seperti trias politika: Taikong Hamim sang eksekutif atau pelaksana pemerintahan masjid
sehari-hari, Haji Satar pembuat aturan sehingga seperti lembaga legislatif, dan Haji Hazani selaku
yudikatif. Namun, dalam praktik mereka adalah robot-robot budi pekerti yang menganggap besi panas
merupakan alat yang setimpal untuk meluruskan tabiat anak-anak Melayu yang telah terkorupsi
akhlaknya. Mereka keras seperti tembaga. Setelah pulang sekolah, jangan harap kami bisa berkeliaran.
Mengaji dan mengaji Al-Qur'an sampai khatam berkali-kali.
Dan jika sampai tamat SD belum hafal Juz Amma, siap-siap saja dimasukkan ke dalam beduk dan
beduknya dipukul keras-keras sehingga ketika keluar berjalan zigzag
seperti ayam keracunan kepiting
batu. Mereka lebih kejam dari orangtua kami sebab merekalah yang mengajari orangtua kami mengaji.
Bahkan Pak Ketua Kacang Kedelai tak berkutik pada trias politika karena yang menyunat bapaknya,
dengan kulit bambu, adalah Taikong Hamim. Dalam budaya orang Melayu pedalaman, siapa yang
mengajarimu mengaji dan menyunat perkakasmu adalah pemilik kebijakan hidupmu.
Aku dan Arai sering dihukum Taikong Hamim. Karena napasku tak panjang kalau mengaji pada suatu
subuh yang dingin, aku disuruh menimba air dan mengisi tong sampai penuh, lalu aku dipaksa menyelam
ke dalam tong itu membawa jerikenlima liter. Leher jeriken itu kecil sekali dan aku tak boleh timbul
sebelum jeriken itu penuh. Aku megap-megap dengan bibir membiru dan mata mau meloncat. Arai lebih
parah. Karena terlambat salat subuh, ia disuruh berlari mengelilingi masjid sambil memikul gulungan
kasur. Kami terpingkal-pingkal melihatnya berlari seperti orang kebakaran rumah.
Dalam kancah kawah candradimuka masjid, di bawah pemerintahan trias politika itulah, kami mengenal
Jimbron. Jimbron tak lancar berbicara. la gagap, tapi tak selalu gagap. Jika ia panik atau sedang
bersemangat maka ia gagap. Jika suasana hatinya sedang nyaman, ia berbicara senormal orang biasa.
Jimbron bertubuh tambun. Secara umum ia seperti bonsai kamboja Jepang: bahu landai, lebar, dan lungsur, gemuk berkumpul di
daerah tengah. Wajahnya seperti bayi, bayi yang murung, seperti bayi yang ingin menangis jika
melihatnya langsung timbul perasaan ingin melindunginya.
Jimbron adalah seseorang yang membuat kami takjub dengan tiga macam keheranan. Pertama, kami
heran karena kalau mengaji, ia selalu diantar seorang pendeta. Sebetulnya, beliau adalah seorang pastor
karena beliau seorang Katolik, tapi kami memanggilnya Pendeta Geovanny. Rupanya setelah sebat
ang kara seperti Arai, ia menjadi anak asuh sang pendeta. Namun, pendeta berdarah Italia itu tak sedikit pun
bermaksud mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika mengantarkan Jimbron
mengaji ke masjid. Nasib Jimbron tak kalah menggiriskan dengan Arai. Dan gagapnya itu berhubungan
dengan sebuah cerita yang memilukan. Dulu bicaranya normal seperti anak-anak lainnya. Jimbron adalah
anak tertua dari tiga bersaudara. la memiliki dua adik kembar perempuan. Ibunya wafat ketika Jimbron
kelas empat SD. Jimbron sangat dekat dan sangat tergantung pada ayahnya.
Ayahnya adalah orientasi hidupnya. Suatu hari, belum empat puluh hari ibunya wafat, Jimbron bepergian
naik sepeda dibonceng ayahnya, masih berkendara ayahnya terkena serangan jantung. Konon Jimbron
pontang-panting dengan sepeda itu membawa ayahnya ke Puskesmas. la berusaha sekuat tenaga, panik,
dan jatuh bangun terseok-seok membonceng ayahnya yang sesak napas sambil kesusahan
memeganginya. Sampai di Puskesmas Jimbron, anak kelas empat SD itu, kehabisan napas dan pucat
pasi ketakutan. la kalut, tak sanggup menjelaskan situasinya pada orang-orang. Lagi pula sudah
terlambat. Beberapa menit di Puskesmas ayahnya meninggal. Sejak itu Jimbron gagap. Pendeta Geovanny, sahabat
keluarga itu, lalu mengasuh Jimbron. Kedua adik kembar perempuannya mengikuti bibinya ke Pangkal
Pinang, PulauBangka . Keheranan kami yang kedua adalah Jimbron sangat menyukai kuda. Kata orang-orang, ini berhubungan
dengan sebuah film di televisi balai desa yang ditonton Jimbron seminggu sebelum ayahnya wafat. Dalam
film koboi itu tampak seseorang membawa orang sakit untuk diobati dengan mengendarai kuda secepat
angin sehingga orang itu dapat diselamatkan. Barangkali Jimbron menganggap nyawa ayahnya dapat
tertolong jika ia membawa ayahnya ke Puskesmas dengan mengendarai kuda.
Di kampung kami tak ada seekor pun kuda tapi Jimbron mengenal kuda seperti ia pernah melihatnya
langsung. Jimbron adalah pemuda yang mudah mengantuk tapi jika sedikit saja ia mendengar tentang
kuda, maka telinga layunya sontak berdiri. Jimbron segera menjadi pencinta kuda yang fanatik. Ia tahu
teknik mengendarai kuda, asal muasal kuda, dan mengerti makna ringkikan kuda. Ia hafal nama kuda
Abraham Lincoln, nama kuda Napoleon, bahkan nama kuda Syaidina Umar bin Khatab. Dengan melihat gambar wajah
kuda, ia langsung tahu jenis kelamirmya. Tak ada satu pun hal lain yang menarik di dunia ini bagi Jimbron
selain kuda. Jika kami menonton film Zorro di TV balai desa, maka jangan tanyakan pada Jimbron jalan
ceritanya. Ia tak tahu. Tapi tanyakan jumlah kuda yang terlihat, berapa kuda hitam dan putih, bahkan
berapa kali terdengar suara kuda meringkik, ia ingat betul. Jimbron terobsesi pada kuda, penyakit gila
nomor 14. "Kud.... Kudddaa aadd... addaalah... kendarrraan perrranggg, Kal!!
"He... he ... hewan yang... mm... mmemenangkan ... pph ... ppe ... pperrrang Badarrrrrr...."
Ia ingin melanjutkan ceritanya tapi kelelahan oleh gagapnya. Semakin ia excited, semakin parah
gagapnya. Aku prihatin melihat mukanya. Sebuah wajah yang menimbulkan perasaan ingin selalu melindunginya.
Polos, bersih seperti bayi. Kuduga Jimbron tak 'kanpernah tampak tua walaupun nanti usianya tujuh
puluh tahun. "Binatang yang gagah berani Bron, hebat sekali, aku setuju," kuringankan beban hidupnya dengan
mengakui bahwa kuda memang hebat. Ia sumringah. Tak perlu lagi meyakinkan aku meskipun
sesungguhnya aku sudah sangat bosan. Jika berjumpa dengannya, tak ada cerita selain kuda, dari pagi
sampai sore. "Kita tak bisa sembarangan dengan kuda, bisa-bisa kualat. Begitukan maksudmu, Bron""
Ah, Jimbron mengangguk-angguk, tersenyum lebar sambil tersengal menahan kata yang terperangkap
dalam kerongkongannya, terkunci dalam gagapnya. Ia menatapku sarat arti: aku sayang padamu,
Sahabatku. Sungguh penuh pengertian!
Dan suatu hari Taikong Hamim marah besar sebab di meja Jimbron berserakan gambar kuda dan tak
ada lembar kosong di buku TPA-nya selain lukisan kuda. Jimbron disuruh maju ke tengah madrasah,
dipe rtontonkan pada ratusan santri dan dipaksa meringkik. Matanya yang lugu, tubuhnya yang gemuk
dan bahunya yang lungsur tampak lucu ketika tangannya menekuk di dadanya seperti bajing. Dan kami
dilanda keheranan ketiga: Jimbron senang bukan main dengan hukuman itu.
Meskipun Jimbron gembira dengan hukuman apapun yang berhubungan dengan kuda, bagi kami
Taikong Hamim tetap antagonis. Beliau selalu menerjemahkan aturan Haji Satar secara kaku tanpa
perasaan. Maka dengan segala cara, kami berusaha membalas Taikong. Otak pembalasan ini tentu saja
Arai. Cara yang paling aman, sehingga paling sering dipraktikkan Arai adalah mengucapkan amin dengan
sangat tidak tuma'ninah. Cara ini sebenarnya sangat keterlaluan, tapi maklum waktu itu kami masih SD
dan Arai memang memiliki bakat terpendam di bidang nakal. Setiap Taikong Hamim menjadi imam salat
jamaah dan tiba pada bacaan akhir Al-Fatihah: "Whalad dholiiiiiin ...."
Maka Arai langsung menyambut dengan lolongan seperti serigala mengundang kawin.
"Aaammmiiinnn ... mmiiinn ... mmiiiiiiiinnnnn ...."
Arai meliuk-liukkan suaranya dan terang-terangan merobek-robek wibawa Taikong. Suaranya yang
nyaring dan parau berkumandang dengan lucu membuyarkan kekhusyukan umat. Kami tak bisa menahan
cekikikan sampai perut kaku. Kejahatan ini aman menurut Arai sebab Taikong tak bisa menentukan
siapa pelakunya di antara ratusan anak-anak di saf belakang. Dan kami selalu kompak melindungi Arai.
Menurut kami, cara ini adalah pembalasan setimpal untuk Taikong.
Namun lihat saja, kejahatan ini, belasan tahun kemudian akan diganjar Tuhan dengan tunai melalui cara
yang secuil pun tak terpikirkan oleh Arai. Taikong Hamim memang tak tahu tapi Tuhan mencatat dan
Tuhan akan membalas. Seperti kata Anton Chekov: Tuhan tahu, tapi menunggu.
Mozaik 6 Aku Hanya Ingin Membuatnya Tersenyum
Karena di kampung orangtuaku tak ada SMA, setelah tamat SMP aku, Arai, dan Jimbron merantau ke
Magai untuk sekolah di SMA BukanMain . Pada saat itulah PN Timah Belitong, perusahaan di mana
sebagian besar orang Melayu menggantungkan periuk belanganya, termasuk ayahku, terancam kolaps.
Gelombang besar karyawan di-PHK. Ledakan PHK itu memunculkan gelombang besar anak-anak yang
terpaksa berhenti sekolah dan tak punya pilihan selain bekerja untuk membantu orangtua.
Anak-anak yang kuat tenaganya menjadi pendulang timah. Seharian berendam di dalam lumpur,
mengaduk-aduk aluvial, meraba-raba urat timah di bawah tanah, mempertaruhkan kelangsungan hidup
pada kemampuan menduga-duga. Mereka yang kuat nyalinya bekerja di bagian tengah laut. Pekerjaan
berbahaya yang berbulan-bulan baru bisa bertemu keluarga. Mereka yang kuat tenaga dan kuat nyalinya
siang malam mencedok pasir gelas untuk mengisi tongkang, makan seperti jembel dan tidur di bawah
gardan truk, melingkar seperti biawak. Anak-anak Melayu ini paling miris nasibnya. Karena
sesungguhnya setiap butir pasir itu adalah milik ulayatnya, setiap bongkah kuarsa, topas, dan galena itu
adalah harkat dirinya sebagai orang Melayu asli, tapi semuanya mereka muat sendiri ke atas tongkang
untuk menggendutkan perut para cukong di Jakarta atau pejabat yang kongkalikong. Menjadi pendulang,
nelayan bagan, dan kuli pasir, berarti mengucapkan selamat tinggal pada Tut Wuri Handayani.
Mereka yang masih bersemangat sekolah umumnya bekerja di warung mi rebus. Mencuci piring dan
setiap malam pulang kerja harus menggerus tangan tujuh kali dengan tanah karena terkena minyak babi.
Atau menjadi buruh pabrik kepiting. Berdiri sepanjang malam menyiangi kepiting untuk dipaketkan
keJakarta dengan risiko dijepiti hewan nakal itu. Atau, seperti aku, Arai, dan Jimbron, menjadi kuli
ngambat. Sebelum menjadi kuli ngambat kami pernah memiliki pekerjaan lain yang juga memungkinkan
untuk tetap sekolah, yaitu sebagai penyelam dipadang golf. Tentu susah dipahami kalau kampung kami
yang miskin sempat punya beberapapadang golf bahkan sampai 24 hole. Dan tentu aneh dipadang golf
ada pekerjaan menyelam. Orang-orang kaya baru dari PN Timah yang tak berbakat dan datang hanya
untuk menega skan statusnya tak pernah mampu melewatkan bola golf melampaui sebuah danau bekas
galian kapal keruk di tengahpadang golf itu. Penjagapadang golf akan membayar untuk setiap bola golf
yang dapat diambil pada kedalaman hampir tujuh meter di dasar danau. Bola golf di dasar danau dengan
mudah dapat ditemukan karena indah berkilauan, persoalannya, danau itu adalah tempat buaya-buaya
sebesar tong berumah tangga. Lalu kami beralih menjadi part time office boy di kompleks kantor
pemerintah. Mantap sekali judul jabatan kami itu dan hebat sekali job description-nya: masuk kerja
subuh-subuh dan menyiapkan ratusan gelas teh dan kopi untuk para abdi negara. Persoalannya, lebih
sadis dari ancaman reptil cretaceous itu, yaitu berbulan-bulan tak digaji.
Sekarang kami bahagia sebagai kuli ngambat. Karena pekerjaan ini kami menyewa sebuah los sempit di
dermaga dan pulang ke rumah orangtua setiap dua minggu.
Ngambat berasal dari kata menghambat, yaitu menunggu perahu nelayan yang tambat.Para penangkap
ikan yang merasa martabat profesinya harus dijaga baik-baik sampai batas dermaga, tak pernah mau
repot-repot memikul tangkapannya ke pasar ikan. Lalu yang mereka tindas habis-habisan untuk
melakukan pekerjaan sangat kasar berbau busuk itu disebut kuli ngambat. Selain anak-anak yang tekad
ingin sekolahnya sekeras tembaga, pemangku jabatan kuli ngambat umumnya adalah mereka yang patah
harapan. Tak diterima kerja di mana-mana, karena saking tololnya sampai tak tahu nama presiden
republik ini, atau karena saking jelek konditenya bahkan perkumpulan calo karcis yang juga
merupakan gerom-bolan bromocorah tak mau mengajak mereka. Setiap pukul dua pagi, berbekal
sebatang bambu, kami sempoyongan memikul berbagai jenis makhluk laut yang sudah harus tersaji di
meja pualam stanplat pada pukullima , sehingga pukul enam sudah bisa diserbu ibu-ibu. Artinya, setelah
itu kami leluasa untuk sekolah.
Setiap pagi kami selalu seperti semut kebakaran. Menjelang pukul tujuh, dengan membersihkan diri
seadanya karena itu kami selalu berbau seperti ikan pari kami tergopoh-gopoh ke sekolah. Jimbron
menyambar sepedanya, yang telah dipasanginya surai sehingga baginya sepeda jengki reyot itu adalah
kuda terbang pegasus. Aku dan Arai berlari sprint menuju sekolah. Sampai di sekolah, semua kelelahan
kami serta-merta lenyap, sirna tak ada bekasnya, menguap diisap oleh daya tarik laki-laki tampan ini,
kepala sekolah kami ini, guru kesusastraan kami: Bapak Drs. Julian Ichsan Balia. Sebagai anak-anak
yang sejak sekolah dasar diajarkan untuk menghargai ilmu pengetahuan dan seni, aku, Arai, dan Jimbron
sungguh terpesona pada Pak Balia. Berpostur sedang, berkulit bersih, 170 cm kurang lebih, Pak Balia
selalu tampil prima karena ia mencintai profesinya, menyenangi ilmu, dan lebih dari itu, amat menghargai
murid-muridnya. Setiap representasi dirinya ia perhitungkan dengan teliti sebab ia juga paham di depan
kelas ia adalah center of universe dan karena yang diajarkannya adalah sastra, muara segala keindahan.
Wajahnya elegan penuh makna seperri sampul buku ensiklopedia. Tulang pipi yang lonjong membuatnya
tampak sehat dan muda ketika timbangannya naik dan membuatnya berkarakter menawan waktu ia
kurus. Warna cokelat adalah sandang kesenangannya sebab seirama dengan warna bola matanya. Ilmu
yang terasah oleh usia yang senantiasa bertambah, menjadikan dua bola kecil cokelat yang teduh itu bak
perigi yang memeram ketinggian ilmu dalam kebijaksanaan umur. Kreatif! Merupakan daya tarik utama
kelasnya. Ketika membicarakan syair-syair tentang laut, beliau memboyong kami ke kampung nelayan.
Mengajari kami menggubah deburan ombak menjadi prosa, membimbing kami merangkai bait puisi dari
setiap elemen kehidupan para penangkap ikan. Indah menggetarkan.
Tak pernah mau kelihatan letih dan jemu menghadapi murid. Jika kelelahan beliau mohon diri sebentar
Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk membasuh mukanya, mengelapnya dengan handuk putih kecil bersulamkan nama istri dan
putri-putrinya, yang selalu dibawanya ke mana-mana, lalu dibasahinya rambutnya dan disisirnya kembali
rapi-rapi b ergaya James Dean. Sejenak kemudian beliau menjelma lagi di depan kelas sebagai pangeran
tampan ilmu pengetahuan. "What we do in life ..." kata Pak Balia teatrikal, "... echoes in eternity...!! Setiap peristiwa di jagat raya
ini adalah potongan-potongan mozaik. Terserak disana sini, tersebar dalam rentang waktu dan
ruang-ruang. Namun, perlahan-lahan ia akan bersatu membentuk sosok seperti montase Antoni Gaudi.
Mozaik-mozaik itu akan membangun siapa dirimu dewasa nanti. Lalu apa pun yang kaukerjakan dalam
hidup ini, akan bergema dalam keabadian ....
"Maka berkelanalah di atas muka bumi ini untuk menemukan mozaikmu!"
Matahari sore kuning tua berkilat di mata cokelat Pak Balia. Sinarnya yang terang tapi lembut menghalau
sisa-sisa siang. Di lapangan sekolah kami duduk rapat-rapat merubungnya. Terpesona akan
kata-katanya. Kami lena dibelai ujung-ujung putih perdu kapas yang bergelombang ditiup sepoi angin
bak buih lautan, lena disihir kalimah-kalimah sastrawi guru kami ini. Dan tak dinyana, apa yang dikatakan
dan diperlihatkan Pak Balia berikut ini bak batu safir yang terhunjam ke hatiku dan Arai, membuat hati
kami membiru karena kilaunya. Menahbiskan mimpi-mimpi yang muskil bagi kami.
"Jelajahi kemegahan Eropa sampai ke Afrika yang eksotis. Temukan berliannya budaya sampai ke
Prancis. Langkahkan kakimu di atas altar suci almamater terhebat tiadatara : Sorbonne. Ikuti jejak-jejak
Sartre, Louis Pasteur, Montesquieu, Voltaire. Di sanalah orang belajar science, sastra, dan seni hingga
mengubah peradaban...."
Aku dan Arai tak berkedip waktu Pak Balia memperlihatkan sebuah gambar. Dalam gambar itu tampak
seorang pelukis sedang menghadapi sebidang kanvas.
Adasedikit coretan impresi. Dan nun disana , di belakang kanvas itu, berdiri menjulang Menara Eiffel
seolah menunduk memerintahkan Sungai Seine agar membelah diri menjadi dua tepat di kaki-kakinya.
Sungai itu pun patuh. Riak-riak kecilnya membiaskan cahaya seumpama jutaan bola-bola kaca yang
dituangkan dari langit. Pada saat itulah aku, Arai, dan Jimbron mengkristalisasikan harapan agung kami dalam satu statement
yang sangat ambisius: cita-cita kami adalah kami ingin sekolah ke Prancis! Ingin menginjakkan kaki di
altar suci almamater Sorbonne, ingin menjelajah Eropa sampai ke Afrika. Harapan ini selanjutnya
menghantui kami setiap hari. Begitu tinggi cita-cita kami. Mengingat keadaan kami yang amat terbatas,
sebenarnya lebih tepat cita-cita itu disebut impian saja. Tapi di depan tokoh karismatik seperti Pak Balia,
semuanya seakan mungkin. Pak Balia mengakhiri session sore dengan menyentak semangat kami. "Bangkitlah, wahai Para
Pelopor!!. Pekikkan padaku kata-kata yang menerangi gelap gulita rongga dadamu! Kata-kata yang
memberimu inspirasi!!"Para Pelopor!! Panggilan Pak Balia untuk kami sebagai siswa angkatan pertama
SMA Negeri Bukan Main. Panggilan itu senantiasa membuncahkan tenaga dalam pembuluh darah kami. Tangan-tangan muda
Melayu serta-merta menuding langit, puluhan jumlahnya, berebutan ingin tampil.
"Makruf!!" Beruntung sekali, ia terpilih. Ketua Pramuka SMA Bukan Main ini meloncat ke depan. Kata-katanya
patah-patah menggelegar seperti prajurit TNI ditanya jatah oleh komandan kompi.
"Kaum Muda! Yang kita butuhkan adalah orang-orang yang mampu memimpikan sesuatu yang tak
pernah diimpikan siapa pun! John R Kennedy, Presiden Amerika paling masyhur!"
"Hebat sekali, Ruf! Hebat sekali! Oke, Mahader!!" Mahader sudah seperti cacing kepanasan dari tadi.
Seperti aku, Arai, dan Jimbron, ia termasuk dalam gelombang besar endemik kemiskinan yang melanda
anak-anak para kuli timah ketika perusahaan itu mulai diintai kolaps pertengahan 80-an. Mahader tak
sabar ingin mengabarkan pada dunia kata-kata yang membuatnya tabah bangun setiap pukul tiga subuh
untuk menggoreng getas dan menjunjungnya keliling kampung. Wajahnya sendu namun tegar selayaknya
orang yang menanggung beban kesusahan menghidupi adik-adiknya. Kata-katanya garau dan syahdu,
penuh tekanan seperti deklamasi.
"Kesulitan .... Seluruh kesulitan dalam hidup ini ... adala
h bagian dari suatu tatanan yang sempurna dan
sifat yang paling pasti dari sistem tata surya ini....
"Pierre Simon de Laplace, bisa kita sebut sebagai seorang astronom nomor satu ...."
Saktinya sastra, ungkapan seorang astronom dua ratuslima puluh tahun yang lalu di negeri antah berantah
dapat menjadi penyebar semangat hidup seorang anak Melayu tukang getas yang bahkan tak dapat
menyebut namanya dengan benar. Kami bersuit-suit mendengar kata-kata yang berkilauan itu dan
selanjutnya tak terbendung kata-kata negarawan, ilmuwan, dan pahlawan membanjiri kelas Pak Balia
yang memesona. "Zakiah Nurmala!!"
Ditunjuk Pak Balia membuat hidungnya kembang kempis. la melonjak berdiri, suaranya melengking, "I
Shall return! Jenderal Douglas Mac-Arthur, pahlawan Perang Dunia Kedua!!"
Itulah kalimat keramat yang diucapkan sang jenderal besar itu untuk menyemangati tentara Amerika di
Filipina. Kata-kata yang membakar semangat setiap orang hingga kini. Tiba-tiba, tanpa diminta Pak
Balia, Arai melompat bangkit, melolong keras sekali, "Tak semua yang dapat dihitung, diperhitungkan,
dan tak semua yang diperhitungkan, dapat dihitung!! Albert Einstein! Fisikawan nomor wahid!"
Tinggi, runyam, membingungkan. Matanya melirik-lirik Nurmala. Pak Balia terpana dan berkerut
keningnya, tapi memang sudah sifat alamiah beliau menghargai siswanya.
"Cerdas sekali, Anak Muda, cerdas sekali...."
Aku tahu taktik tengik Arai. la menggunakan kata-kata langit hanya untuk membuat Nurmala terkesan.
Kembang SMA Bukan Main itu telah ditaksirnya habis-habisan sejak melihatnya pertama kali waktu
pendaftaran. Meskipun seumur-umur tak pernah punya pacar tapi Arai punya teoriasmara yang sangat
canggih. "Perempuan adalah makhluk yang plin-plan, Kal, maka pertama-tama, buatlah mereka bingung!!"
Sehebat muslihat Casanova, kenyataannya, setiap melirik Arai, Nurmala tampak seperti orang terserang
penyakit angin duduk. "Ikal!!" Oh, Pak Balia menunjukku. Dari tadi aku tak mengacung karena aku tak punya kata-kata mutiara. Aku
tak segera bangkit. Aku panik.
"Ya, kau, Ikal...."
Semua mata memandangku melecehkan. Tak pernah Pak Balia harus meminta dua kali. Memalukan!
Aku gemetar karena tak siap. Tapi aku tetap harus berdiri. Tak mungkin mengkhianati euforia kelas ini.
Dan pada detik menentukan, aku senang sekali, eureka!! Sebab aku teringat akan ucapan seniman besar
favoritku. Akan kukutip salah satu syair lagunya. Aku berdiri tegak-tegak, berteriak, "Masa muda, masa
yang berapi-api!! Haji Rhoma Irama!"
Setiap memandangi anak-anak Sungai Manggar yang berkejaran menuju muara aku terus teringat
dengan gambar Sungai Seine dari Pak Balia dulu. Anak-anak Sungai Manggar itu, muara, dan barisan
hutan bakau adalah pemandangan yang terbentang jika kami membuka jendela los kontrakan kami di
dermaga. Namun, tak seindah cerita romansa Sungai Seine, muara itu adalah muara air mata. Beberapa
tahun lalu sebuah keluarga Melayu berkebun di pulau kecil tak jauh dari muara. Dalam perjalanan pulang,
perahu mereka terbalik. Dua hari kemudian orang melihat sosok-sosok mengambang pelan, lekat satu
sama lain, mengikuti anak Sungai Manggar. Sang ayah, dengan kedua tangannya, memeluk, merengkuh,
menggenggam seluruh anggota keluarganya. Istrinya dan ketiga anaknya semuanya berada dalam
dekapannya. Ia ingin menyelamatkan semuanya. Sebuah upaya yang sia-sia. Tapi anak tertuanya,
Laksmi, selamat. Gadis kecil itu tak sadarkan diri, tersangkut di akar-akar bakau. Sejak itu semenanjung
tempat keluarga itu ditemukan dinamakan orang Semenanjung Ayah. Laksmi dipungut seorang Tionghoa
Tongsan pemilik pabrik cincau dan ia bekerja di situ. Tapi seperti Jimbron dengan Pendeta Geo, bapak
asuh Laksmi justru menumbuhkan Laksmi menjadi muslimah yang taat. Sayangnya sejak kematian
keluarganya, kehidupan seolah terenggut dari Laksmi. Ia dirundung murung setiap hari.
Jelas, meskipun sudah bertahun-tahun terjadi, kepedihan tragedi di Semenanjung Ayah masih lekat
dalam dirinya. Dan selama bertahun-tahun itu pula, tak pernah lagi tak pernah walau hanya
sekali oran g melihat Laksmi tersenyum.
Senyumnya itu sangat dirindukan semua orang yang mengenalnya. Karena senyumnya itu manis sebab
wajahnya lonjong dan ada lesung pipit yang dalam di pipi kirinya. Tapi kejamnya nasib hanya menyisakan
sedikit untuk Laksmi: sebuah pabrik cincau reyot, masa depan tak pasti, dan wajahnya yang selalu
sembap. Laksmi selalu menampilkan kesan seakan tak ada lagi orang yang mencintainya di dunia ini,
padahal, diam-diam, Jimbron setengah mati cinta padanya. Jimbron bersimpati kepada Laksmi karena
merasa nasib mereka sama-sama memilukan. Mereka berdua, dalam usia demikian muda, mendadak
sontak kehilangan orang-orang yang menjadi tumpuan kasih sayang. Kepedihan yang menghunjam dalam
diri mereka menyebabkan Laksmi kehilangan senyumnya, dan Jimbron kehilangan suaranya. Mereka
berdua mengandung kehampaan yang tak terkira-kira dalam hatinya masing-masing. Setiap Minggu pagi
Jimbron menghambur ke pabrik cincau. Dengan senang hati, ia menjadi relawan pembantu Laksmi.
Tanpa diminta ia mencuci kaleng-kaleng mentega Palmboom wadah cincau itu jika isinya telah kosong
dan ikut menjemur daun-daun cincau. Seperti biasa, Laksmi diam saja, dingin tanpa ekspresi. Di antara
kaleng-kaleng Palmboom mereka berdua tampak lucu.
Jimbron yang gemuk gempal, sumringah, dan repot sekali, hanya setinggi bahu Laksmi yang kurus
jangkung, berwajah lembut, dan tak peduli. Sering Jimbron datang ke pabrik membawakan Laksmi buah
kweni dan pita-pita rambut. Jimbron ingin sekali, bagaimanapun caranya, meringankan beban Laksmi
meskipun hanya sekadar mencuci baskom.
Jika pembeli sepi, Jimbron beraksi. Bukan untuk merayu atau menyatakan cinta, bukan, sama sekali
bukan, tapi untuk menghibur Laksmi. Dari kejauhan aku dan Arai sering terpingkal-pingkal melihat
Jimbron bertingkah seperti kelinci berdiri. Tak diragukan, dia sedang meringkik, sedang menceritakan
kehebatan seekor kuda. Laksmi semakin datar karena kuda sama sekali asing baginya, asing bagi semua
orang Melayu. Kadang-kadang, dengan penuh semangat, Jimbron memamerkan aksesori baru sepeda jengkinya pada
Laksmi yaitu sadelnya yang ia buat seperti pelana kuda. Kulit kambing didapatnya dari beduk apkir.
Lengkap pula dengan kantong kecil untuk menyelipkan senapan meski kenyataannya diisinya botol air.
Atau sepatunya yang ia pasangi ladam jadi seperti sepatu kuda, atau aksesori berupa tanduk sapi yang
diikatkan pada setang sepedanya. Laksmi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sering Jimbron menghampiri Pak Balia untuk meminta cerita-cerita komedi. Bersusah payah,
terbata-bata, Jimbron membaca cerpen "Lelucon Musim Panas" karya Alberto Moravia atau "Karma"
karya Khushwant Singh untuk Laksmi, Laksmi tetap saja murung. Jimbron, aku, Arai, atau siapa pun,
bagaimanapun kami telah mencoba, tak pernah sekali pun berhasil memancing senyum Laksmi. Laksmi
telah lupa cara tersenyum. Senyum Laksmi telah tertelan kegelapan nasibnya. Jika mendengar kami
mengisahkan fabel dan parodi, Laksmi memalingkan wajahnya, miris memandang langit, gamang melalui
hari demi hari, perih memandang sulur-sulur anak Sungai Manggar di Semenanjung Ayahnya.
Bertahun-tahun sudah Jimbron berusaha menarik Laksmi dari jebakan perangkap kesedihan. Tapi
Laksmi seperti orang yang sudah terjebak jiwanya. Kami mulai cemas, sekian lama dalam kungkungan
duka yang gulita, jangan-jangan Laskmi mulai tergantung pada perasaan yang mengharu biru itu, bahkan
mulai menyukainya. Seperti veteran PerangVietnam yang kecanduan pada rasa takut. Menurut kami,
sudah saatnya Laksmi ditangani orang yang ahli. Setiap kami singgung kemungkinan itu pada Jimbron,
dengan tujuan agar ia tidak kecewa, agar tak terlalu memendam harap, ia terpuruk, terpuruk dalam
sekali. "Aku hanya ingin membuatnya tersenyum...," katanya berat.
Mozaik 7 Afghanistan Di televisi balai desa kami menyimak ulasan Ibu Toeti Adhitama tentang sepak terjang seorang patriot
muda Mujahiddin yang baru saja menumbangkan komandan resimen utara Tentara Merah Rusia.Pemuda
Mujahid itu Oruzgan Mourad Karzani,berasal dariklan Karzani dan putr
a pahlawan Zahid Jirga Karzani.Zahid adalah imam karismatikyang terpandang di bagian lain Afghanistan,Baloch.Keluarga ini
turun-temurun memimpin gerilyawan Baloch sehaj Afganistan melawan pendudukan Inggris dan sampai
saat terbuhuhnya komandan Rusia itu,sudah hampir sepuluh tahun mereka menggempur invasi Rusia.
Kejadiaanya berlangsung di Lembah Towraghondi,sebuah zona perang,dua ratus meter diluar garis
batas Afghanistan dan Turkmenistan.Oruzugan yang seusia dengan aku,Arai,dan Jmbron- baru 17 tahun
ternyata pemimpin pasukan elite Mujahiddin.Oruzgan telah menapaki jejak kepahlawanan keluarganya
sejak belia. Terbunuhnya komandan resimen utara Tentara Merah menjadi tonggak penting direbutnya kembali zona
utara dari penaklukan Tentara Merah,sekaligus pemicu hengkangnya Rusia dari Afghanistan tahun
berikutnya.Oruzgan disambut bak pahlawan.Dalam waktu singkat,ia menjadi imam besar baloch.Ia
mewarisi karisma ayahnya yang mampu merangkul sub-sub etnik Pashtuns, Tajik, Hazara, Aimak dan
Baloch yang sering konflik satu sama lain.Sayangnya,karena friksi dengan Taliban,Oruzgan dan
pengikutnya harus hengkang dari Afghanistan.Mereka mendapat suaka di sebuah Negara asing.
Ketika menonton berita itu tak tebersit olehku dan Arai bahwa pertempuran di Towraghondi itu, yang
terjadi pada waktu yang sama ketika kami dikejar Pak Mutar sampai ke gudang peti es:15 Agustus
1988,akan menjadi potongan mozaik hidupkami.Kami juga tak sadar bahwa hari itu langit telah mengisap
teriakanikan duyung sangCapo seperti langit mengisap teriakan Arai yang melatunkan amin secara
kurang ajar untuk membalas Taikong Hamim.Diam-diam langit menyimpannya, pelan-pelan hanyut
mengintai aku dan Arai,dan suatu hari nanti akan menumpahkannya ke sekujur tubuh kami sebagai
kutukan. Mozaik 8 Baju Safari Ayahku Ibuku,jelas lebih pintar dari ayahku.Ibuku paling tidak biasa menuliskan namanya dengan
huruf Latin.Ayahku,hanya bisa menuliskan namanya dengan huruf Arab,huruf Arab
gundul.Dan tanda tangannya pun seperti hurufshot .Tahu, kan"Sebelumtho dan zho itu.
Dan ayahhku adalah pria yang sangat pendiam.Jika berada di rumah dengan ibuku,rumah
kami menjadi pentas menolong ibuku,berpenonton satu orang.Namun,belasan tahun
sudah jadi anaknya.Aku belajar bahwa pria pendiam sesungguhnya memiliki rasa kasih
sayang yang jauh berlebih disbanding pria sok ngatur yang merepet saja mulutnya.
Buktinya,jika tiba hari pembagian rapor,ayahku mengambil cuti dua hari dari menyekop
xenotim di instalasi pencucian timah,wasrai.Hari pembagian raporku adalah hari besar
bagi beliau.Tanpa banyak cincong hari pertama beliau mengeluarkan sepatunya yang
bermerek Angkasa.Dijemurnya sepatu kulit buaya yang rupanya seperti tatakan kue
sempret itu,dipolesnya lembut dengan minyak rem dicampur tumbukan arang.lalu ikat
pinggangnya,dari plastic tapi meniru motif ular,juga mendapat sentuhan semir istimewa
itu.Dijemurnya pula kaus kakinya,sepasang kaus kaki sepak bola yang tebal sampai ke
lutut,berwarna hijau tua.
Setelah itu,special sekali,beliau akan menuntun keluar sepedaRally Robinson made in
England-nya yang masih mengilap.Sejak dibeli kakeknya tahun 1920,tak habis hitungan
jari tangan kaki sepeda itu pernah dikeluarkan.Diperiksanya dengan teliti ban dan
rantainya,dicobanya dynamo dan kliningnnya,dan tak lupa,sepeda itu pun mendapat
kehormatan dipoles ramuan semir merek beliau sendiri tadi.
Dan yang terakhir,hanya,sekali lagi hanya,untuk acara yang sangat penting,beliau
mengeluarkan busana terbaiknya:baju safari empat saku!Baju ini punya nilai histories
bagi keluarga kami.Aku ingat,setelah bertahun-tahun menjadi tenagalangkong ,semacam
calon pegawai PN Timah,akhirnya ayahku diangkat menjadi kuli tetap.
Bonus pengangkatan itu adalah kain putih kasar bergaris-garis hitam.Oleh ibuku kain itu
dijadikanlima potong celana dan baju safari sehingga pada hari raya Idul Fitri
ayahku,aku,adik laki-lakiku,dan kedua abangku memakai baju seragam:safari empat
saku!Kami silahturahmi keliling kampung seperti rombongan petugas cacar.
Saat pembagian rapor,ibuku pun tak
kalah repot.Sehari semalam beliau merendam daun
pandan dan bunga kenanga untuk dipercikkan di baju safari empat saku ayahku itu ketika
menyetrikanya. Persiapan ayahku mengambil rapor akan ditutup dengan berangkat ke kawasan los pasar
ikan untuk mencukur rambut dan kumis ubannya.Disana ,sambil memperlihatkan amplop
undangan dari Pak Mustar,wakil kepala sekolah kami itu,beliau sedikit bicara,seperti
berbisik,pada kawan-kawan dekatnya,para pejabat trias politika Masjid Al-Hikmah.
Besok,akan mengambil rapor Arai dan Ikal &.
Senyum ayahku indah sekali.Karena baginya aku dan Arai adalah pahlawan keluarga
kami. Oh...si Kancil Keriting itu,Pak Cik"
Taikong Hamin selalu menatap ayahku lama-lama untuk mengharapkan lebih banyak
kata meluncur dari mulut beliau.itulah orang pendiam,kata-katanya ditunggu
orang.Sebenarnya,dengan memperlihatkan isi amplop itu ayahku bisa membual sejadijadinya.Karena dalam undangan tertulis aku dan Arai berada dalam barisan bangku garda
depan.Siswa yang tak buruk prestasinya di SMAN Negeri Bukan Main.Tapi bagai
ayahku,tujuh kata itu:besok,akan mengambil rapor Arai dan Ikal,yang terdiri atas tiga
puluh empat karakter itu,sudah cukup.
Pada hari pembagian rapor,ayah ibuku telah menyiapkan segalanya.Suami istri itu
bangun pukul tiga pagi.Ibuku menyalakan arang dalam setrikaan,mengipasngipasinya,dan dengan gesit memercikkan air pandan dan bunga kenanga,yang telah
direndamnya sehari semalam,di sekujur baju safari empat saku keramat itu.Ayahku
kembali melakukan pengecekan pada sepedanya untuk sebuah perjalanan jauh yang
sangat penting. Usai salat subuh ayahku siap berangkat.Dengan setelan lengkapnya:ikat pinggang
bermotif ular tanah,sepatu kulit buaya yang mengilap,dan kaus kaki sepak bola,serta baju
safari jahitan istrinya tahun 1972,yang sekarang berbau harum seperti kue bugis,kesan
seorang buruh kasar di intalasi pencucian timah menguap dari ayahandaku.Sekarang
beliau adalah mantri cacar,syahbandar,atau paling tidak,tampak laksana juru tulis kantor
desa.Ibuku menyampirkan karung timah berisi botol air minum dan handuk untuk
menyeka keringat,Lalu beliau bersepeda ke Magai,ke SMA Negeri Bukan Main,30
kilometer jauhnya,untuk mengambil rapor anak-anaknya.
Dibawah rindang dedaunan bungur,di depan aula tempat pembagian rapor,sejak pagi aku
dan Arai menunggu ayahku.Aku membayangkan beliau,yang akan pensiun bulan
depan,bersepada pelan-pelan melalui hamparan perdu apit-apit,kebun-kebun liar,dan
jejeran panjang pohon angsana reklamasi bumi Belitong yang dihancurkanleburkan PN
Timah..Lalu beliau beristirahat di pinggir jalan.
Beliau pasti menuntun sepedanya waktu mendaki Bukit Selumar,dan tetap menuntunnya
ketika menuruni undakan itu sebab terlalu curam berbahaya,Beliau kembali melakukan
hal yang sama saat melewati Bukit Selinsing,dan kembali terseok-seok mengayuh sepeda
melawan angin melaluipadang sabana belasan kolometer menjelang Magai.
Tapi tak mengapa,sebab kesurupan beliau akan kami obati disini.Di dalam aula itu,Pak
Mustar mengurutkan dengan teliti seluruhrangking dari tiga kelas angkatan pertama
SMA kami.Darirangking pertama sampai terakhir 160.Semua orangtua murid
dikumpulkan di aula dengan nomor kursi besar-besar,sesuairangking anaknya.Nomor itu
juga dicatumkan dalam undangan.Bukan Pak Mustar namanya kalau tidak keras seperti
itu.Maka pembagian rapor adalah acara yang dapat membanggakan bagi sebagian orang
tua sekaligus memalukan bagi sebagian lainnya.
Pak Mustar menjejer sepuluh kursi khusus di depan.Di sanalah berhak duduk para orang
Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tua yang anaknya meraih prestasi sepuluh besar.
Sepuluh terbaik itu adalah anak-anak Melayuavant garde ,garda depan, katanya bangga
ketika mengenalkan konsepnya pada rapat orangtua murid.
Dan kebetulan,aku dan Arai berada di garda depan.Aku urutan ketiga,Arai
kelima.Adapun Jimbron,mempersembahkan nomor kursi 78 untuk Pendeta Geo.Biasanya
acara pembagian rapor akan berakhir dengan makian-makian kasar orangtua pada anakanaknya
di bawah jajaran pohon bungur di depan aula tadi.
Berani-beraninya kaududukkan bapakmu
di kursi nomor 147!Apa kerjamu di sekolah
selama ini"! Bikin malu!Semester depan kau cari bapak lain untuk mengambil rapormu!!
Metode Pak Mustar memang keras,tapi efektif.Anak-anak yang dimaki bapaknya itu
biasanya belajar jungkir balik dalam rangka memperkecil nomor kursinya.Mereka sadar
bahwa muka bapaknya dipertaruhkan langsung di depan majelis.
Aku dan Arai serentak berdiri ketika melihat sepeda ayahku.Sepeda itu mudah dikenali
dari kap lampu alumunium putih yang menyilaukan ditimpa sinar matahari.Beliau
melihat kami melambai-lambai dan mengayuh sepedanya makin cepat.Lima meter
menjelang kami,dadaku sejuk berbunga-bunga karena aroma daun pandan.
Beliau turun dari sepeda,seperti biasa,hanya satu ucapan pelan Assalamu alaikum ,tak
ada kata lain.Beliau menepuk-nepuk pundak kami sambil memberikan senyumnya yang
indah.Beliau mengelap keringat,merapikan rambutnya dengan tangan.dan berjalan tenang
memasuki aula dengangaya jalannya yang pengkor,mencari kursi nomor tiga.
Setan Bongkok 1 Dewa Arak 73 Pembantai Dari Mongol Golok Bulan Sabit 11