Bekisar Merah 1
Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari Bagian 1
Bekisar Merah Oleh Ahmad Tohari Edit & Convert Jar: Inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Ahmad Tohari KEMARAU di kawasan Banyumas, Jawa Tengah, pada masa kini mungkin tidak lagi sedahsyat akibatnya dibanding masa lalu, ketika hutan-hutan jati di daerah Jatilawang mengering, tanah pecah-pecah, penduduk merana kelaparan. Dulu, seperti ditunjukkan Ahmad Tohari (47), penulis yang pernah menghasilkan novel Ronggeng Dukuh Paruk, hutan menyala menjadi korban kebakaran akibat pertikaian politik yang menyusup sampai ke desa-desa pada masa sebelum 1965.
Ahmad Tohari dilahirkan di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas tanggal 13 Juni 1948. Pendidikan formalnya hanya sampai SMAN II Purwokerto. Namun demikian beberapa fakultas seperti ekonomi, sospol, dan kedokteran pernah dijelajahinya. Semuanya tak ada yang ditekuninya. Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya yang mewarnai seluruh karya sastranya.
Lewat trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (dua yang lainnya Lintang Kemukus Dinihari dan Jentera Bianglala), ia telah mengangkat kehidupan berikut cara pandang orang-orang dari lingkungan dekatnya ke pelataran sastra Indonesia. Sesuai tahun-tahun penerbitannya, karya Ahmad Tohari adalah Kubah (novel, 1980), Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982) Lintang Kemukus Dinihari (novel, 1984), Jentera Bianglala (novel, 1985), Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1989), Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1990), Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1993), Bekisar Merah (novel, 1993), Mas Mantri Gugat (kumpulan kolom, 1994).
BAGIAN PERTAMA Dari balik tirai hujan sore hari pohon-pohon kelapa di seberang lembah itu seperti perawan mandi basah; segar, penuh gairah, dan daya hidup. Pelepah-pelepah yang kuyup adalah rambut basah yang tergerai dan jatuh di belahan punggung. Batang-batang yang ramping dan meliuk-liuk oleh embusan angin seperti tubuh semampai yang melenggang tenang dan penuh pesona. Ketika angin tiba-tiba bertiup lebih kencang pelepah-pelepah itu serempak terjulur sejajar satu arah, seperti tangan-tangan penari yang mengikuti irama hujan, seperti gadis-gadis tanggung berbanjar dan bergurau di bawah curah pancuran.
Pohon-pohon kelapa itu tumbuh di tanah lereng di antara pepohonan lain yang rapat dan rimbun. Kemiringan lereng membuat pemandangan seberang lembah itu seperti lukisan alam gaya klasik Bali yang terpapar di dinding langit. Selain pohon kelapa yang memberi kesan lembut, batang sengon yang lurus dan langsing menjadi garis-garis tegak berwarna putih dan kuat. Ada beberapa pohon aren dengan daun mudanya yang mulai mekar; kuning dan segar. Ada pucuk pohon jengkol yang berwarna coklat kemerahan, ada bunga bungur yang ungu berdekatan dengan pohon dadap dengan kembangnya yang benar-benar merah. Dan batang-batang jambe rowe, sejenis pinang dengan buahnya yang bulat dan lebih besar, memberi kesan purba pada lukisan yang terpajang di sana.
Dalam sapuan hujan panorama di seberang lembah itu terlihat agak samar. Namun cuaca pada musim pancaroba sering kali mendadak berubah. Lihatlah, sementara hujan tetap turun dan angin makin kencang bertiup tiba-tiba awan tersibak dan sinar matahari langsung menerpa dari barat. Lukisan besar di seberang lembah mendadak mendapat pencahayaan yang kuat dan menjadikannya lebih hidup. Warna-warninya muncul lebih terang, matra ketiganya makin jelas. Muncul pernik-pernik mutiara yang berasal dari pantulan sempurna cahaya matahari oleh dedaunan yang kuyup dan bergoyang. Dari balik bukit, di langit timur yang biru-kelabu, muncul lengkung pelangi. Alam menyelendangi anak-anak perawannya yang selesai mandi besar dengan kabut cahaya warna-warni.
Ketika dengan tiba-tiba pula matahari lenyap, suasana kembali samar. Apalagi
hujan pun berubah deras menyusul ledakan guntur yang bergema di dinding-dinding lembah. Angin kembali bertiup kencang sehingga pohon-pohon kelapa itu seakan hendak rebah ke tanah. Ketika itulah dada Darsa terasa berdenyut. Darsa yang sejak lama memandangi pohon-pohon kelapanya di seberang lembah itu, hampir putus harapan. Bila hujan dan angin tak kunjung berhenti Darsa tak mun
gkin pergi menyadap pohon-pohon kelapanya. Sebagai penderes, penyadap nira kelapa, Darsa sudah biasa turun-naik belasan pohon dalam hujan untuk mengangkat pongkor yang sudah penuh nira dan memasang pongkor baru. Namun hujan kali ini disertai angin dan guntur. Penderes mana pun tak akan keluar rumah meski mereka sadar akan akibatnya; nira akan masam karena pongkor terlambat diangkat. Nira demikian tidak bisa diolah menjadi gula merah. Kalaupun bisa hasilnya adalah gula gemblung, yakni gula pasta yang harga jualnya sangat rendah. Padahal, sekali seorang penyadap gagal mengolah nira, maka terputuslah daur penghasilannya yang tak seberapa. Pada saat seperti itu yang bisa dimakan adalah apa yang bisa diutang dari warung.
Dari emper rumah bambunya Darsa kembali menatap ke timur, menatap pohon-pohon kelapanya yang masih diguyur hujan nun di seberang lembah. Darsa gelisah. Kesejatian seorang penyadap serasa tertantang. Bagi Darsa, bagi setiap lelaki penyadap, pohon-pohon kelapa adalah harapan dan tantangan, adalah teras kehidupan yang memberi semangat dan gairah hidup. Tetapi karena hujan dan angin yang belum juga mereda, Darsa tak berdaya mendekati pohon-pohon kelapa yang terasa terus melambaikan pelepah-pelepah ke arahnya.
Guntur kembali bergema dan hujan menderas lebih hebat lagi. Hati Darsa makin kecut. Mungkin sore ini Darsa harus merelakan niranya berubah menjadi cairan asam karena tidak terangkat pada waktunya. Darsa hampir putus asa. Tetapi pongkor, seruas bambu penadah nira yang bergantungan pada manggar-manggar kelapa, terus memanggil dan mengusik hatinya minta diangkat. Manakala hujan agik surut, harapannya muncul. Namun bila hujan kembali deras dan guntur meledak-ledak, harapan itu lenyap. Sementara suara beduk dari surau Eyang Mus sudah terdengar, sayup menyelinap ke hujan. Asar sudah lewat dan senja hampir tiba. Makin kecil saja kemungkinan Darsa bisa mengangkat niranya sore ini, karena belum juga tampak tanda-tanda cuaca akan berubah.
Sambil menjatuhkan pundak karena merasa hampir kehilangan harapan, Darsa membalikkan badan lalu masuk ke rumah. Berdiri di ruang tengah Darsa melihat Lasi, istrinya, sedang merentang kain basah pada tali isisan di emper
sebelah barat. Lasi selesai mandi. Rambutnya basah tergerai, terjun ke belakang telinga kanan, melintir ke depan dan terjumbai di dada. Sekejap Darsa terbayang akan pohon-pohon kelapanya yang sedang disiram hujan. Dan karena Lisi berdiri membelakang, Darsa dapat melihat punggung istrinya yang terbuka. Juga tengkuknya. Ada daya tarik yang aneh pada kontras warna rambut yang pekat dengan kulit tengkuk Lasi yang putih, lebih putih dari tengkuk perempuan mana pun yang pernah dilihat oleh Darsa. Penyadap muda itu tak habis merasa beruntung punya istri dengan kulit sangat putih dan memberi keindahan khas terutama pada bagian yang berbatasan dengan rambut seperti tengkuk dan pipi. Apalagi bila Lasi tertawa. Ada lekuk yang sangat bagus di pipi kirinya.
Di mata Darsa, pesona dan gairah hidup yang baru beberapa detik lalu direkamnya dari pohon-pohon kelapa di seberang lembah, kini berpindah sempurna ke tubuh Lasi. Sama seperti pohon-pohon kelapa yang selalu menantang untuk disadap, pada diri Lasi ada janji dan gairah yang sangat menggoda. Pada Lasi terasa ada wadah pengejawantahan diri sebagai lelaki dan penyadap. Pada diri istrinya juga Darsa merasa ada lembaga tempat kesetiaan dipercayakan. Dan lebih dari pohon-pohon kelapa yang tak putus meneteskan nira, Lasi yang sudah tiga tahun menjadi istrinya, meski belum memberinya keturunan, adalah harga dan cita-cita hidup Darsa sendiri.
Lasi selesai mengisis kain basahan. Ketika hendak masuk ke dalam matanya bersitatap dengan suaminya. Entah mengapa Lasi terkejut meski ia tidak merasa asing dengan cara Darsa menatap dirinya. Ia pun kadang-kadang mencuri pandang, memperhatikan tubuh suaminya dari belakang; sebentuk tubuh muda dengan perototan yang kuat dan seimbang, khas tubuh seorang penyadap yang tiap hari dua kali naik-turun belasan atau bahkan puluhan pohon kelapa. Dalam gerakan naik-turun pada tatar-tatar batang kelapa, seluruh
perototan seorang penyadap digiatkan, terutama otot-otot tungkai, tangan, dan punggung. Hasilnya adalah sebentuk tubuh ramping dengan otot liat dan seimbang. Bila harus dicatat kekurangan pada bentuk tubuh seorang penyadap, itu adalah pundaknya yang agak melengkung ke depan karena ia harus selalu memeluk batang kelapa ketika memanjat maupun turun.
Lasi dan Darsa sama-sama tersenyum. Di luar, hujan masih deras. Rumah bambu yang kecil itu terasa sepi dan dingin. Hanya terdengar suara hujan dan tiupan angin pada rumpun bambu di belakang rumah kecil itu. Atau suara induk ayam dan anak-anaknya di emper belakang. Dari satu-satunya rumah yang dekat pun, rumah orangtua Lasi, tak terdengar kegiatan apa-apa. Lasi dan
Darsa kembali berpandangan dan kembali sama-sama tersenyum.
"Las, apa aku harus tidak berangkat""
"Kan masih hujan."
"Bagaimana bila aku berangkat juga""
"Terserah, Kang. Tetapi kurang pantas, dalam cuaca seperti ini kamu bekerja
juga." "Berasmu masih ada""
"Masih, Kang. Uang juga masih ada sedikit. Kita besok masih bisa makan andaikata nira sore ini terpaksa tidak diolah."
"Tapi sayang sekali bila pongkor-pongkor dibiarkan tetap bergantungan dan niranya masam. Manggar bisa busuk."
"Ya. Soalnya, hujan masih lebat, Kang."
"Hujan masih lebat ya, Las""
"Ya..." Lasi tak meneruskan kata-katanya karena tiba-tiba suasana berubah. Darsa memandang Lasi dengan mata berkilat. Keduanya beradu senyum lagi. Darsa selalu berdebar bila menatap bola mata istrinya yang hitam pekat. Seperti kulitnya, mata Lasi juga khas; berkelopak tebal, tanpa garis lipatan. Orang sekampung mengatakan mata Lasi kaput. Alisnya kuat dan agak naik pada kedua ujungnya. Seperti Cina. Mungkin Darsa ingin berkata sesuatu. Tetapi Lasi yang merasa dingin masuk ke bilik tidur hendak mengambil kebaya. Dan Darsa mengikutinya, lalu mengunci pintu dari dalam. Keduanya tak keluar lagi. Ada seekor katak jantan menyusup ke sela dinding bambu, keluar melompat-lompat menempuh hujan dan bergabung dengan betina di kubangan yang menggenang. Pasangan-pasangan kodok bertunggangan dan kawin dalam air sambil terus mengeluarkan suaranya yang serak dan berat. Induk ayam di emper belakang merangkul semua anaknya ke balik sayap-sayapnya yang hangat. Udara memang sangat dingin.
Darsa hampir terlelap di samping istrinya ketika suasana di luar tiba-tiba berubah. Hujan benar-benar berhenti, bahkan matahari yang kemerahan muncul dari balik awan hitam. Semangat penyadap sejati membangunkan Darsa. Ia segera bangkit dan keluar dari bilik tidur. Lasi pun mengerti, suaminya terpanggil oleh pekerjaannya, oleh semangat hidupnya. Penderes mana saja akan segera pergi mengangkat pongkor pada kesempatan pertama. Sementara Darsa pergi ke sumur untuk mengguyur seluruh tubuhnya, Lasi menyiapkan perkakas suaminya; arit penyadap, pongkor-pongkor dan pikulannya, serta caping bambu. Kemudian Lasi pun menyusul ke sumur, juga untuk mengguyur seluruh tubuhnya. Lasi mandi besar lagi meski rambutnya belum sempat kering.
Tanpa kata sepatah pun Lasi melepas Darsa berangkat. Terdengar kelentang-kelentung suara tabung-tabung bambu saling beradu ketika sepikul pongkor naik ke pundak Darsa. Seorang penyadap muda melangkahkan kakinya yang ramping dan kuat di atas tanah basah yang di sana-sini masih tergenang air hujan. Darsa terus melangkah menuju tanah lereng di seberang lembah. Sisa air hujan menetes dari dedaunan, beberapa tetes jatuh menimpa caping bambu yang menutup kepalanya. Gemercik air dalam parit yang tertutup berbagai jenis pakis-pakisan yang basah dan hijau segar. Darsa melintas titian dua batang bambu. Ketika tepat berada di tengahnya ia melihat setangkai pelepah pinang kuning tiba-tiba runduk lalu lepas dari batang dan melayang jatuh ke tanah. Pelepah itu terpuruk menimpa rumpun nanas liar. Di atas sana pelepah pinang itu meninggalkan mayang putih bersih dan masih setengah terbungkus selubung kelopak. Darsa merasa seakan baru melihat sebuah kematian setangkai pelepah pinang datang hampir bersamaan dengan kelahiran sejumbai
mayang. Lepas dari titian bambu Darsa menelusur jalan setapak yang naik bertatar
yang dipahat pada lereng cadas. Turun lagi, melintas titian kedua, dan di hadapan Darsa terhampar sawah yang menjadi dasar lembah. Di ujung lembah adalah tanah lereng. Di sanalah pekarangan Darsa dan di sana pula pohon-pohon kelapanya tumbuh.
Darsa menurunkan pikulan dari pundaknya, mengambil dua pongkor. Sisa air hujan masih meluncur sepanjang batang kelapa yang hendak dipanjatnya. Sambil naik ke tatar pertama, Darsa mengikatkan ujung tali kedua pongkor pada kait logam yang terdapat pada sabuk bagian punggung. Maka ketika memanjat tatar demi tatar kedua pongkor itu seperti ekor yang berayun-ayun ke kiri dan ke kanan. Arit penyadap terselip di pinggang. Tetes air berjatuhan ketika pohon kelapa bergoyang oleh gerakan tubuh Darsa yang mulai naik. Darsa terus memanjat dengan semangat yang hanya ada pada seorang penyadap.
Selalu eling dan nyebut, adalah peringatan yang tak bosan disampaikan kepada para penyadap selagi mereka bekerja di ketinggian pohon kelapa. Darsa pun tak pernah melupakan azimat ini. Seperti semua penyadap, Darsa tahu apa akibat kelalaian yang dilakukan dalam pekerjaannya. Terjatuh dari ketinggian pohon kelapa adalah derita yang sangat niscaya dan dalam musibah demikian hanya sedikit penyadap yang bisa bertahan hidup. Maka Darsa tahu bahwa ia harus tetap berada dalam kesadaran tinggi tentang di mana ia sedang berada dan apa yang sedang dilakukannya serta keadaan apa yang berada di sekelilingnya. Ia harus eling. Untuk mengundang dan menjaga taraf kesadaran seperti itu diajarkan turun-temurun kepada para penyadap: nyebut, ucapkan dengan lidah dan hati bahwa pekerjaanmu dilakukan atas nama Yang Mahaselamat.
Tetapi ketika duduk ngangkang di atas pelepah sambil mengiris manggar kesadaran Darsa tidak terpusat penuh pada pekerjaan yang sedang dilakukannya. Saat itu Darsa merasa sangat sulit melupakan keberuntungan yang baru dikenyamnya beberapa saat lalu di rumah. Anehnya, sulit juga bagi Darsa meyakinkan diri bahwa sumber keberuntungan itu, Lasi, adalah istrinya yang tak kurang suatu apa. Bukan karena Darsa tidak percaya akan keabsahan perkawinannya. Bukan pula karena Darsa meragukan ketulusan Lasi. Keraguan
Darsa datang karena banyak celoteh mengatakan bahwa Lasi yang berkulit putih dengan mata dan lekuk pipi yang khas itu sesungguhnya lebih pantas menjadi istri lurah daripada menjadi istri seorang penyadap. Darsa juga pernah mendengar selentingan yang mengatakan bahwa rumah bambunya yang kecil adalah kandang bobrok yang tak layak ditempati seorang perempuan secantik Lasi. Lalu, Darsa sendiri sering melihat bagaimana mata para lelaki tiba-tiba menyala bila mereka memandang Lasi.
Turun dari pohon kclapa pertama, kedua pongkor yang bergdantungan pada sabuk Darsa sudah bertukar. Kini kedua tabung bambu itu berisi nira. Sebelum sampai ke tatar terendah, Darsa mencabut tali pongkor dari kaitnya lalu meletakkan keduanya dengan hati-hati di tanah. Diambilnya dua pongkor baru dan Darsa siap memanjat pohon kelapa berikut. Entah mengapa Darsa sangat senang menyadap pohon kedua ini. Barangkali karena dari atas pohon ini pemandangan ke barat lebih bebas. Dari ketinggian Darsa dapat melihat rumahnya. Bahkan Darsa dapat juga melihat istrinya, meski samar, apabila Lasi kebetulan keluar. Atau karena kelapa ini tumbuh sangat dekat dengan sebatang pohon pinang. Pucuk pohon pinang itu berada di bawah mata ketika Darsa duduk di antira pelepah-pelepah kelapanya. Dan di sela-sela ketiak pelepah pinang itu ada sarang burung jalak. Anak-anak burung yang masih terpicing mata itu selalu menciap minta makan bila ada gerakan di dekatnya. Mulut mereka merah. Mereka kelihatan sangat lemah, tetapi menawan. Darsa biasa berlama-lama menatap anak-anak burung itu. Ia juga senang memperhatikan betapa sibuk induk jalak pergi-pulang untuk mencari makanan bagi anak-anaknya. Tetapi karena anak-anak burung itu Darsa jadi sering berkhayal, kapan Lasi punya bayi" Bila ada keindahan tercipta ketika seekor induk jalak menyuapi anaknya, betapa pula keindahan yang akan menjelma ketika terlihat seorang ibu sedang meneteki bayinya, apalagi bila si ibu itu ad
alah Lasi" Tiga tahun usia perkawinan tanpa anak sering menjadi pertanyaan berat bagi Darsa. Ada teman, meski hanya dalam gurauan, mengatakan Darsa tidak becus sehingga sampai sekian lama Lasi belum juga hamil. Gurauan ini saja sudah sangat menyakitkan hatinya. Apalagi ketika ia menyadari sesuatu yang lebih gawat dan justru khih mendasar; anak adalah bukti pengejawantahan diri yang amat penting sekaligus menjadi bubul perkawinannya dengan Lasi. Sebagai bukti perkawinan, surat nikah boleh disimpan di bawah tikar. Tapi anak" Bila Lasi sudah membopong bayi, Darsa boleh berharap segala celoteh segera hilang. Kukuh sudah kedaulatannya atas Lasi. Orang tak usah lagi berkata bahwa sesungguhnya Lasi lebih pantas menjadi istri lurah karena dia adalah ibu yang sudah melahirkan anak Darsa.
Pasangan induk jalak datang. Keduanya membawa belalang pada paruh masing-masing. Tetapi mereka tak berani mendekat sarang selama Darsa masih bertengger di atas pelepah kelapa. Anak-anak jalak menciap karena mendengar suara induk mereka. Darsa menghentikan kegiatan dan mengarahkan pandang ke pucuk pinang di sebelahnya. Anak-anak burung itu membuka mulutnya yang merah segar. Namun dalam pandangan Darsa, anak-anak burung itu adalah seorang bayi yang tergolek dan bergerak-gerak menawan dalam buaian. Darsa menarik napas panjang.
Di rumah, Lasi menyiapkan tungku dan kawah untuk mengolah nira yang sedang diambil suaminya. Senja mulai meremang. Setumpuk kayu bakar diambilnya dari tempat penyimpanan di belakang tungku. Sebuah ayakan bambu disiapkan untuk menyaring nira. Pada musim hujan Lasi sering mengeluh karena jarang tersedia kayu bakar yang benar-benar kering. Mengolah nira dengan kayu setengah basah sungguh menyiksa. Bahkan bila tak untung, gula tak bisa dicetak karena pengolahan yang tak sempurna.
Pernah, karena ketiadaan kayu kering dan kebutuhan sangat tanggung, Lasi harus merelakan pelupuh tempat tidurnya masuk tungku. Tanggung, karena sedikit waktu lagi nira akan mengental jadi tengguli. Dalam tahapan ini pengapian tidak boleh terhenti dan pelupuh tempat tidur adalah kemungkinan yang paling dekat untuk menolong keadaan. Meskipun begitu tak urung Lasi ketakutan, khawatir akan kena marah suaminya karena telah merusak tempat tidur mereka satu-satunya. Untung, untuk kesulitan semacam ini emak Lasi mempunyai nasihat yang jitu: segeralah mandi, menyisir rambut, dan merahkan bibir dengan mengunyah sirih. Kenakan kain kebaya yang terbaik lalu sambutlah suami di pintu dengan senyum. Nasihat itu memang manjur. Darsa sama sekali tidak marah ketika diberitahu bahwa tempat tidur satu-satunya tak lagi berpelupuh. Daripada melihat tempat tidur yang sudah berantakan, Darsa lebih tertarik kepada istrinya yang sudah berdandan. Malam itu lampu di rumah Darsa padam lebih awal meski mereka harus tidur dengan menggelar tikar di alas lantai tanah.
Beduk kembali terdengar dari surau Eyang Mus. Magrib. Pada saat seperti itu selalu ada yang ditunggu oleh Lasi; suara "hung", yaitu bunyi pongkor kosong yang ditiup suaminya dari ketinggian pohon kelapa. Untuk memberi aba-aba bahwa dia hampir pulang. Darsa biasa mendekatkan mulut pongkor kosong ke mulut sendiri. Bila ia pandai mengatur jarak pongkor di depan mulutnya, "hung" yang didengungkannya akan menciptakan gaung yang pasti akan terdengar jelas
dari rumah. Setiap penyadap mempunyai gaya sendiri dalam meniup "hung" sehingga aba-aba ini gampang dikenali oleh istri masing-masing.
Api di tungku sudah menyala. Tapi Lasi masih meniup-niupnya agar yakin api tidak kembali padam. Pipi Lasi yang putih jadi merona karena panas dari tungku. Ada titik pijar memercik. Dan Lasi menegakkan kepala ketika terdengar suara "hung". Wajahnya yang semula tegang, mencair. Tetapi hanya sesaat karena yang baru didengarnya bukan "hung" suaminya. Tak salah lagi. Lasi mengenal aba-aba dari suaminya seperti ia mengakrabi semua perkakas pengolah nira.
Lasi kembali jongkok di depan tungku. Wah, kawah yang masih kosong sudah panas, sudah saatnya nira dituangkan. Tetapi Darsa belum juga muncul. Di luar sudah gelap. Lasi bangkit ingin berbuat sesuatu.
K etika yang pertama terlihat adalah lampu minyak tercantel pada tiang, Lasi sadar bahwa yang harus dilakukannya adalah menyalakan lampu itu. Malam memang sudah tiba. Diraihnya lampu minyak itu, dibawanya ke dekat tungku untuk dinyalakan. Cahaya remang segera terpancar memenuhi ruang sekeliling. Lasi mengembalikan lampu ke tempat semula. Dan pada saat itu ia mendengar suara langkah berat mendekat; langkah lelaki yang membawa beban berat dan berjalan di tanah basah. Apa yang biasa dilakukan Lasi pada saat seperti itu adalah menyongsong suaminya, membantunya menurunkan pikulan, kemudian segera menuangkan nira dari pongkor-pongkor ke dalam kawah yang sudah panas.
Tetapi pada senja yang mulai gelap itu Lasi malah tertegun tepat di ambang pintu. Samar-samar ia melihat sosok lelaki yang mendekat dengan langkah amat tergesa. Lelaki itu datang bukan dengan beban di pundak melainkan di gendongannya. Beban itu bukan sepikul pongkor melainkan sesosok tubuh yang tak berdaya. Setelah mereka tertangkap cahaya lampu minyak segalanya jadi jelas; lelaki yang membawa beban itu bukan Darsa melainkan Mukri. Dan Darsa terkulai di punggung lelaki sesama penyadap itu. Ada rintihan keluar dari mulut yang mengalirkan darah.
Lasi beku. Jagatnya limbung, berdengung, dan penuh bintang beterbangan.
Kesadarannya melayang dan jungkir balik.
"Katakan, ada kodok lompat!" ujar Mukri dalam napas megap-megap karena ada beban berat di gendongannya. "Jangan bilang apa pun kecuali ada kodok lompat," ulangnya.
Lasi ternganga tanpa sepotong suara pun keluar dari mulutnya. Bahkan Lasi hanya memutar tubuh dengan mulut tetap ternganga ketika Mukri menyerobot masuk dan menurunkan Darsa ke lincak bambu di ruang tengah. Darsa langsung rebah terkulai dan mengerang panjang. Dan tiba-tiba Lasi tersadar dari kebimbangannya. Lasi hendak menubruk suaminya tetapi Mukri menangkap pundaknya.
"Tenang, Las. Dan awas, jangan bilang apa-apa kecuali, ada kodok lompat!"
Wajah Lasi tergetar menjadi panggung tempat segala rasa naik pentas. Kedua bibirnya bergetar. Air mata cepat keluar. Cuping hidungnya bergerak-gerak cepat. Kedua tangannya mengayun ke sana kemari tanpa kendali. Tenggorokan rasa tersekat sehingga Lasi belum bisa berkata apa pun. Dan ketika Lasi benar-benar sadar akan apa yang terjadi, tangisnya pecah.
"Innalillahi... ada-kodok-lompat""
"Ya! Bukan apa-apa, sekadar kodok lompat," jawab Mukri dengan pembawaan tenang. Tetapi Lasi menjerit dan terkulai pingsan. Separuh badannya tersampir di balai-balai dan separuh lagi selonjor di tanah. Darsa kembali mengerang panjang.
Wiryaji dan istrinya segera datang karena mendengar jerit Lasi. Wiryaji adalah ayah tiri Lasi dan juga paman Darsa. Menyusul kemudian tetangga-tetangga yang lebih jauh. Eyang Mus, orang yang dituakan di kampung itu dijemput di rumahnya dekat surau. Seseorang disuruh segera memberitahu orangtua Darsa
di desa sebelah. Semua yang berkumpul tahu apa yang terjadi dan semua hanya berkata ada kodok lompat. Kata 'jatuh' amat sangat dipantangkan di kalangan para penyadap kelapa. Dengan kepercayaan semacam itu para penyadap berusaha menampik sebuah kenyataan buruk dengan mengundang sugesti bagi kembalinya keadaan yang baik.
Orang-orang perempuan mengurus Darsa dan Lasi. Celana pendek Darsa yang basah dilepas dengan hati-hati. Ada yang memaksa Darsa menenggak telur ayam mentah. Mereka lega setelah menemukan tubuh Darsa nyaris tanpa cedera kecuali beberapa luka goresan pada tangan dan punggung. Tetapi bau kencing terasa sangat menyengat. Lasi pun siuman setelah seorang perempuan meniup-niup telinganya. Selembar kain batik kemudian menutupi tubuh Darsa dari kaki hingga lehernya. Lasi menangis dan menelungkup dekat kaki Darsa yang tampak sangat pucat. Namun seseorang kemudian menyuruhnya berbuat sesuatu: menyeduh teh panas untuk menghangatkan tubuh suaminya.
Tergeletak tanpa daya, Darsa sesekali mengerang. Tetapi Mukri terus bercerita kepada semua orang ihwal temannya yang naas itu. Dikatakan, ia sedang sama-sama menyadap kelapa yang berdekatan ketika musibah itu terjadi.
"Aku tidak lupa apa yang semestinya kulakukan. Mel
ihat ada kodok lompat, aku segera turun. Aku tak berkata apa-apa. Aku kemudian melepas celana yang kupakai sampai telanjang bulat. Aku menari menirukan monyet sambil mengelilingi kodok yang lompat itu."
"Bau kencing itu"" tanya entah siapa.
"Ya. Tubuh Darsa memang kukencingi sampai kuyup."
"Mukri betul," ujar Wiryaji. "Itulah srana yang harus kalian lakukan ketika menolong kodok lompat. Dan wanti-wanti jangan seorang penyadap pun boleh melupakannya."
Wiryaji terus mengangguk-angguk untuk memberi tekanan pada nasihatnya. "Untunglah kamu yang ada di dekatnya waktu itu. Bila orang lain yang ada di sana, mungkin ia berteriak-teriak dan mengambil langkah yang keliru. Mukri, terima kasih atas pertolonganmu yang jitu."
"Ya. Tetapi aku harus pergi dulu. Pekerjaanku belum selesai."
"Sudah malam begini kamu mau meneruskan pekerjaanmu""
Pertanyaan itu berlalu tanpa jawab. Mukri lenyap dalam kegelapan meski langkahnya masih terdengar untuk beberapa saat. Kini perhatian semua orang sepenuhnya tertuju kepada Darsa. Lasi tak putus menangis. Orang-orang tak henti menyuruh Darsa nyebut, menyerukan nama Sang Mahasantun.
Dari cerita Mukri orang tahu bahwa Darsa jatuh dari pohon kelapa yang tinggi. Bahwa dia tidak cedera parah, arit penyadap tidak melukai tubuhnya, bahkan kata Mukri sejak semula Darsa tidak pingsan, banyak dugaan direka orang. Bagi Wiryaji, kemenakan dan sekaligus menantu tirinya itu pasti habis riwayatnya apabila Mukri salah menanganinya. Tetapi semuanya menjadi lain karena Mukri tidak menyimpang sedikit pun dari kepercayaan kaum penyadap ketika menolong Darsa. Atau, lebih kena adalah perkiraan lain; ketika melayang jatuh tubuh Darsa tersangga lebih dulu oleh batang-batang bambu yang tumbuh condong sehingga kekuatan bantingan ke tanah sudah jauh berkurang. Dan hanya Eyang Mus yang berkata penuh yakin bahwa tangan Tuhan sendiri yang mampu menyelamatkan Darsa. Bila tidak, Darsa akan seperti semua penderes yang tertimpa petaka jatuh dari ketinggian pohon kelapa; meninggal atau paling tidak cedera berat.
Pada malam yang dingin dan basah itu rumah Lasi penuh orang. Sementara Darsa diurus oleh seorang perempuan tua, Wiryaji minta saran para tetangga bagaimana menangani Darsa selanjutnya. Ada yang bilang, karena Darsa tidak cedera berat, perawatannya cukup dilakukan di rumah. Yang lain bilang, sebaiknya Darsa segera dibawa ke rumah sakit. Orang ini bilang, sering terjadi seorang penyadap jatuh tanpa cedera tetapi keadaannya tiba-tiba memburuk dan meninggal.
"Wiryaji," kata Eyang Mus. "Keputusan berada di tanganmu. Namun aku setuju Darsa dibawa ke rumah sakit. Betapapun kita harus berikhtiar sebisa-bisa kita."
Semua orang terdiam, juga Wiryaji. Lasi yang diminta ketegasannya malah menangis. Dan Darsa kembali mengerang.
"Eyang Mus, kami tak punya biaya," kata Wiryaji setelah sekian lama tak bersuara. Semua orang kembali terdiam. Eyang Mus menyandar ke belakang sehingga lincak yang didudukinya berderit. Suasana pun cepat berubah dari kecemasan menghadapi seorang kerabat yang kena musibah menjadi kebimbangan karena tiadanya biaya untuk berobat. Dan bagi para penyadap, hal seperti itu bukan pengalaman aneh atau baru sekali mereka hadapi.
"Las," kata Wiryaji dengan suara rendah. "Kamu punya sesuatu yang bisa dijual""
Semua mata tertuju kepada Lasi. Dan jawaban Lasi hanya gelengan kepala dan air mata yang tiba-tiba kembali mengambang.
"Bagaimana jika pohon-pohon kelapa kalian digadaikan""
"Jangan," potong Eyang Mus. "Nanti apa yang bisa mereka makan""
Mbok Wiryaji, emak Lasi, berjalan hilir-mudik di ruang yang sempit itu.
"Kalau sudah begini," kata Mbok Wiryaji, "apa lagi yang bisa kita lakukan kecuali datang kepada Pak Tir. Lasi selalu menjual gula kepadanya."
Semua yang hadir diam. Mereka membenarkan Mbok Wiryaji tetapi mereka juga tahu apa artinya bila Lasi meminjam uang kepada Pak Wir. Nanti Lasi tak boleh lagi menjual gulanya kepada pcdagang lain dan harga yang diterimanya selalu lebih rendah. Malangnya bagi istri seorang penyadap kepahitan ini masih lebih manis daripada membiarkan suami tak berdaya dan terus mengerang.
Wiryaji, at as nama Lasi, pergi ke rumah Pak Tir. Meski tahu Pak Tir biasa menolak meminjamkan uang pada malam hari, Wiryaji berangkat juga dengan keyakinan apa yang sedang menimpa Darsa bukan hal biasa. Sementara Wiryaji pergi, orang-orang sibuk mengurus Darsa. Ada yang menyeka tubuhnya dengan air hangat agar lumpur serta bau kencing Mukri yang membasahi tubuhnya hilang. Darsa mengerang lebih keras ketika luka-luka di kulitnya terkena air. Beberapa lelaki mempersiapkan usungan darurat. Dua-tiga obor juga dibuat dari potongan hambu.
*** Karangsoga adalah sebuah desa di kaki pegunungan vulkanik. Sisa-sisa kegiatan gunung api masih tampak pada ciri desa itu berupa bukit-bukit berlereng curam, lembah-lembah atau jurang-jurang dalam yang tertutup berbagai jenis pakis dan paku-pakuan. Tanahnya yang hitam dan berhumus tebal mampu menyimpan air sehingga sungai-sungai kecil yang berbatu-batu dan parit-parit alam gemercik sepanjang tahun. Karena banyaknya parit alam yang selalu mengalirkan air, banyak sekali titian yang menyambungkan jalan setapak di Karangsoga. Pipa-pipa bambu dibuat orang untuk menyalurkan air dari tempat tinggi ke kolam-kolam ikan, pancuran, atau sawah-sawah yang tanahnya tak pernah masam karena air selalu mengalir dan mudah dikeringkan. Bila hujan turun, air cepat terserap ke dalam tanah sehingga tak ada genangan dan sungai-sungai tetap jernih.
Kecuali di sawah dan tegalan yang merupakan bagian sempit desa Karangsoga, sinar matahari sulit mencapai tanah. Kesuburan tanah vulkanik membuat semua tetumbuhan selalu hijau dan rindang. Rumpun bambu tumbuh sangat rapat.
Pekarangan-pekarangan yang sejuk kebanyakan berbatas deretan rumpun salak. Anehnya, pohon kelapa tidak tumbuh dengan baik. Ada orang bilang Karangsoga terlalu tinggi dari permukaan laut sehingga udaranya agak dingin, kurang cocok untuk tanaman dari keluarga palma itu. Tetapi ada pula yang bilang, Karangsoga terlalu subur untuk tanaman selain kelapa sehingga yang terakhir itu tak berpeluang mengembangkan pelepah-pelepahnya. Di Karangsoga, pohon kelapa tumbuh dengan pelepah agak kuncup, karena tak sempat mengembang dalam bulatan penuh sehingga tak bisa menghasilkan buah yang banyak. Boleh jadi karena keadaan itu orang Karangsoga pada generasi terdahulu memilih menyadap pohon-pohon kelapa mereka daripada menunggu hasil buahnya yang tak pernah memuaskan. Apalagi tupai yang berkembang biak dalam rumpun-rumpun bambu yang tumbuh sangat rapat menjadi hama kelapa yang tak mudah diberantas.
Dahulu, sebelum mengenal pembuatan gula kelapa, orang Karangsoga menyadap pohon aren. Nira aren adalah bahan pembuat tuak yang sudah sangat lama dikenal orang. Namun sejak dianjurkan tidak minum tuak, orang Karangsoga mengolah nira aren menjadi gula untuk kebutuhan sendiri. Ketika gula aren mulai berubah menjadi baban perdagangan, orang mulai berpikir tentang kemungkinan pembuatan gula dari nira kelapa. Di Karangsoga penyadapan pohon kelapa berkembang sangat cepat karena, meski subur dan tak pernah kurang air, tanah datar yang bisa digarap untuk sawah dan tegalan terlalu sempit untuk jumlah penduduk yang terus meningkat.
Malam itu ada usungan dipikul dua orang keluar dari salah satu sudut Karangsoga. Iring-iringan kecil itu dipandu oleh sebuah obor minyak, diikuti oleh seorang lelaki dan dua perempuan. Satu obor lagi berada di ekor iring-iringan. Barisan itu menyusur jalan setapak, naik tataran yang dipahatkan pada bukit cadas, turun, menyeberang titian batang pinang, lalu hilang di balik kelebatan pepohonan. Muncul lagi di jalan kecil yang berdinding tebing bukit, melintas titian kedua, kemudian masuk membelah pekarangan yang penuh pohon salak. Asap obor mereka menggelombang warna kelabu, ekornya terburai, dan makin jauh makin samar tertelan gelap malam. Seekor kelelawar terbang mendekat dan tertangkap cahaya obor, berbalik dengan gerakan tak terduga dan lenyap. Tetapi seekor belalang hijau meluncur langsung menabrak nyala obor. Sayap arinya yang tipis terbakar dalam sekejap dan serangga malang itu jatuh ke tanah. Pepohonan bergoyang oleh tiupan angin dan sisa hujan tadi siang berjatuh
an seperti gerimis. Lima orang yang beriringan itu hampir tak pernah berbicara. Lebih sering
terdengar suara erangan Darsa yang tergeletak dalam usungan darurat yang ditutup kain. Atau sesekali isak Lasi yang berjalan tepat di belakang usungan. Senyap. Hanya suara langkah. Hanya suara berbagai serangga atau bunyi katak hijau dari balik semak di lereng jurang. Dan desau api obor yang terayun-ayun seirama dengan langkah orang yang membawanya.
Melewati titian ketiga mereka menempuh tanjakan terakhir sebelum masuk ke lorong yang lebih lebar dan berbatu-batu. Dari rumah-rumah di tepi lorong itu muncul penghuni yang kebanyakan sudah mendengar tentang musibah yang menimpa Darsa. Mereka melipat tangan di dada, komat-kamit membaca doa bagi keselamatan kerabat yang sedang menanggung musibah. Mereka sadar bahwa nasib serupa bisa juga menimpa suami, anak lelaki, atau saudara mereka.
Malam makin dingin ketika usungan dan pengantarnya itu memasuki jalan besar. Dari titik masuk itu mereka berbelok ke barat dan akan berjalan lima kilometer menuju poliklinik di sebuah kota kewedanan. Mereka mempercepat langkah karena ada pertanda hujan akan kembali turun. Kilat makin sering tampak membelah langit. Ketika langit sedetik benderang terlihat awan hitam mulai menggantung. Lasi mengisak karena mendengar dari jauh suara burung hantu. Orang Karangsoga sering menghubungkan suara burung itu dengan kematian. Untung, pada saat yang sama terdengar Darsa mengerang. Jadi bagaimana juga keadaannya Darsa masih hidup. Dan Lasi melangkah lebih cepat mengikuti iring-iringan yang sedang berkejaran dengan turunnya hujan, berkejaran dengan keselamatan Darsa.
*** Bagi siapa saja di Karangsoga berita tentang orang dirawat karena jatuh dari pohon kelapa sungguh bukan hal luar biasa. Sudah puluhan penderes mengalami nasib yang jauh lebih buruk daripada musibah yang menimpa Darsa dan kebanyakan mereka meninggal dunia. Si Itu patah leher ketika jatuh dan arit yang terselip di pinggang langsung membelah perut. Si Ini jatuh terduduk dan menghunjam tepat pada tonggak bambu sehingga diperlukan tenaga beberapa orang untuk menarik tubuhnya yang sudah menjadi mayat. Si Pulan bahkan tersambar geledek ketika masih duduk di atas pelepah kelapa dan mayatnya
terlempar jatuh ke tengah rumpun pandan. Mereka, orang-orang Karangsoga, sudah terbiasa dengan peristiwa seperti itu sehingga mereka mudah melupakannya.
Namun tidak demikian halnya ketika mereka mendengar malapetaka semacam menimpa Darsa. Orang-orang Karangsoga membicarakannya di mana-mana dengan penuh minat, penuh rasa ingin tahu. Dan hal ini terjadi pasti bukan karena Darsa terlalu penting bagi mereka melainkan karena istrinya, Lasi! Lasi akan menjadi janda apabila Darsa meninggal. Orang banyak mengatakan, Karangsoga akan hangat kembali oleh bisik-bisik, celoteh, dan gunjingan tentang Lasi seperti ketika dia masih gadis. Lasi akan kembali menjadi bahan perbincangan, baik oleh lelaki maupun perempuan. Bahkan orang juga menduga cerita tentang asal-usul Lasi dan perkosaan yang pernah dialami emaknya akan merebak lagi. Atau tentang ayah Lasi yang menyebabkan istri Darsa itu memiliki penampilan sangat spesifik, tak ada duanya di Karangsoga.
Karangsoga, 1961, jam satu siang. Bel di sekolah desa itu berdering. Terdengar ramai para murid memberi salam bersama kepada guru. Sepuluhan anak lelaki dan perempuan keluar dari ruang kelas enam. Lepas dari pintu kelas mereka bersicepat menghambur ke halaman dan langsung diterpa terik matahari. Anak-anak lelaki terus berlari meninggalkan sekolah, melesat seperti anak-anak kambing dibukakan kandang. Tetapi tiga murid perempuan berjalan biasa sambil bersenda gurau. Ketiganya berambut ekor kuda dan bertelanjang kaki. Buku tulis dan kayu penggaris ada pada tangan masing-masing.
Keluar dari halaman sekolah mereka melangkah menyusur jalan kampung yang berbatu-batu, menaiki tanjakan terjal, turun lagi, lalu masuk lorong di bawah rimbun pepohonan dan rumpun bambu. Pada sebuah simpang tiga, seorang di antara ketiga gadis kecil itu memisahkan diri. Lasi dan seorang temannya meneruskan perjalanan. Na
mun tak jauh dari simpang tiga itu teman Lasi yang terakhir membelok ke halaman rumahnya. Sebelum berpisah, teman ini mencubit pipi Lasi dengan nakal. "Pantas, Pak Guru suka sama kamu, karena kamu cantik!" Teman itu kemudian lari. Lasi hanya meringis dan mengemyitkan alis. "Betul" Aku cantik""
Kini Lasi tak berteman. Berjalan seorang diri, Lasi mempercepat langkah karena ingin segera sampai ke rumah. Ketika melintas titian batang pinang pun Lasi tidak memperlambat langkahnya. Tetapi Lasi mendadak berhenti sebelum
kakinya menginjak titian yang kedua. Di atas titian yang mclintas kali kecil itu Lasi biasa berdiri berlama-lama menatap ke bawah. Karena air sangat jernih, Lasi dapat melihat kepiting-kepiting batu yang merayap-rayap di dasar parit. Binatang berkaki delapan itu senang berkumpul di sana, boleh jadi karena ada anak suka berak di titian. Karena terbiasa dengan tinja yang jatuh, kepiting-kepiting itu segera muncul dari tempat persembunyian bila ada benda dilempar ke dalam air.
Lasi menjatuhkan sebutir tanah. Seperti yang ia harapkan, serempak muncul empat atau lima kepiting besar dan kecil. Dan Lasi sangat senang kepada salah satu di antara binatang air itu. Kepiting kesukaan Lasi bukan yang paling besar, tetapi ia punya tangan penjepit sangat kukuh dan hampir sama besar dengan ukuran tubuh binatang itu. Semua kepiting bergerak menuju benda yang dijatuhkan Lasi namun dengan gerak yang perkasa Si Jepit Kukuh mengusir yang lain. Lasi meremas-remaskan jarinya dan tanpa disadari mulutnya bergumam, "Tangkap dan jepit sampai remuk!"
Tak ada yang tertangkap, tak ada juga yang terjepit sampai remuk. Tetapi Lasi puas dan kepiting-kepiting itu kembali bersembunyi. Lasi ingin mengulang pertunjukan yang sama. Tetapi ia mengangkat muka karena mendengar suara langkah dari seberang titian. Empat anak lelaki sebaya cengar-cengir, bersipongah. Tiga di antara mereka adalah teman sekelas Lasi sendiri dan yang paling kecil dan kelihatan sebagai anak bawang adalah Kanjat, anak Pak Tir. Ketiga teman sekelas itu biasa menggoda Lasi, baik di dalam kelas apalagi di luarnya. Kini ketiganya cengir-cengir lagi dan Lasi menatap mereka dengan mata membulat penuh. Pipinya serta-merta merona. Ada ketegangan merentang titian pinang sebatang. Kanjat yang kelihatan hanya ikut-ikutan, memandang silih berganti dengan wajah cemas. Tetapi ketiga temannya terus cengar-cengir dan mulai mengulang kebiasaan mereka menggoda Lasi.
"Lasi-pang, si Lasi anak Jepang," ujar yang satu sambil memonyongkan mulut dan menuding wajah Lasi. Seorang lagi menjulurkan lidah.
"Emakmu diperkosa orang Jepang. Maka pantas, matamu kaput seperti Jepang," ejek yang kedua.
"Alismu seperti Cina. Ya, kamu setengah Cina."
"Aku Lasiyah, bukan Lasi-pang," teriak Lasi membela diri.
"Lasi-pang." "Lasiyah!" "Lasi-pang! Lasi-pang! Lasi-pang! Si Lasi anak Jepang!"
"Emakmu diperkosa Jepang. Emakmu diperkosa!"
Dan Lasi mencabut kayu penggaris dari ketiaknya, lari menyeberang titian dan siap melampiaskan kemarahan kepada para penggoda. Di bawah kesadarannya Lasi merasa jadi kepiting batu jantan dengan tangan penjepit kukuh perkasa. Ia takkan segan menggunting hingga putus leher ketiga anik lelaki itu. Tetapi yang ada bukan tangan penjepit melainkan kayu penggaris. Dua penggoda lari dan seorang lagi tetap tinggal, bahkan membiarkan punggungnya dipukul Lasi dengan kayu penggaris. Dia hanya meringis sambil tertawa. Malah Lasi yang menangis.
Puas karena yang mereka goda sudah menangis, ketiga anak lelaki itu lari menghilang. Tetapi Kanjat tak bergerak dari tempatnya. Matanya yang bulat dan jernih terus memandang Lasi yang masih berurai air mata. Lama-lama mata Kanjat ikut basah.
"Las, aku tidak ikut nakal," ujar Kanjat yang tubuhnya lebih kecil karena usianya dua tahun lebih muda. "Kamu tidak marah padaku, bukan""
Lasi mengangguk dan berusaha tersenyum. Tanpa ucapan apa pun Lasi sudah mengerti Kanjat tidak ikut nakal. Bahkan di mata Lasi, Kanjat adalah anak kecil sangat lucu; matanya bulat dan tajam, tubuhnya gemuk dan bersih. Baju dan celananya bagus, paling bagus di antara pakaain yang dikenakan
oleh semua anak Karangsoga. Pak Tir, orangtua Kanjat, adalah pedagang pengumpul gula kelapa dan dialah orang terkaya di Karangsoga.
Masih dengan mata basah, Lasi meneruskan perjalanan. Kanjat mengikutinya dari belakang dan baru mengambil jalan simpang setelah Lasi sekali lagi mencoba tersenyum kepadanya. Lasi berjalan menunduk. Langkahnya menimbulkan bunyi sampah daun bambu yang terinjak. Bayang-bayang ranting bambu seperti berjalan dan menyapu tubuhnya. Menyeberang titian terakhir, naik tatar yang dipahat pada tanjakan batu cadas, lalu simpailah Lasi ke sebuah rumah bambu dengan pekarangan bertepi rumpun-rumpun salak. Lasi langsung masuk kamar dan tidak keluar lagi. Panggilan Mbok Wiryaji, emaknya, yang menyuruh Lasi makan, juga diabaikan.
Dalam kamarnya Lasi duduk dengan pandangan mata kosong. Lasi masih tercekam oleh pengalaman digoda anak-anak sebaya. Meskipun godaan anak-anak nakal hampir terjadi setiap hari, Lasi tak pernah mudah melupakannya. Bahkan ada pertanyaan yang terus mengembang dalam hati; mengapa anak-anak perempuan lain tidak mengalami hal yang sama" Mengapa namanya selalu dilencengkan menjadi Lasi-pang" Dan apa itu orang Jepang" Itu yang paling membingungkan Lasi; apa sebenarnya arti diperkosa" Emaknya diperkosa" Juga, mengapa banyak orang melihat dengan tatapan mata yang aneh seakan pada dirinya ada kelainan" Apa karena dia anak seorang perempuan yang pernah diperkosa"
Pertanyaan panjang itu membaur dan berkembang sejak Lasi masih bocah. Selentingan lain yang samar-samar pernah didengarnya juga tak kurang meresahkannya; bahwa Wiryaji adalah ayah tiri bagi Lasi. Bahwa ayah kandungnya adalah orang Jepang yang hilang sejak lama, sejak Lasi masih dalam kandungan. Selentingan lain lagi menyebut tentang perkosaan atas diri emaknya dan dirinya adalah anak haram buah perkosaan itu. Tetapi apa itu perkosaan" Dan hasrat sangat kuat untuk mengetahui cerita mana yang benar selalu membuat hati Lasi panas. Dalam keadaan demikian hanya satu keinginan Lasi; menjadi kepiting jantan dengan jepitan perkasa untuk menggunting leher semua orang Karangsoga, juga leher emaknya kerena perempuan itu belum pernah menjelaskan banyak hal yang selalu meresahkan hatinya.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka dan Mbok Wiryaji masuk. Wajah perempuan itu langsung suram ketika melihat Lasi duduk termenung dengan wajah tegang dan mata berkaca-kaca. Bukan baru sekali Mbok Wiryaji mendapati anaknya dalam keadaan seperti itu. Namun mendung di wajah Lasi kali ini sungguh gelap. Emak dan anak saling tatap dan Mbok Wiryaji melihat sinar kemarahan dan kekecewaan terpancar dari mata Lasi. Mbok Wiryaji tertegun. Ingin dikatakannva sesuatu kepada Lasi namun ucapan yang hendak keluar teredam di tenggorokan. Ia hanya menelan ludah dan berbalik hendak keluar. Tetapi tanpa disangka Lasi memanggilnya. Anak dan emak kembali bersitatap.
Mbok Wiryaji menunggu apa yang hendak dikatakan anaknya. Namun Lasi hanya menatap lalu menunduk dan mulai terisak. Napas yang pendek-pendek menandakan ada gejolak yang tertahan dalam dada Lasi.
"Anak-anak mengganggumu lagi""
"Selalu!" jawab Lasi tajam. Sinar kemarahan masih terpancar dari matanya. Terasa ada tuntutan yang runcing dan menusuk diajukan oleh Lasi; mengapa dia harus menghadapi ejekan dan celoteh orang setiap hari. Dan Mbok Wiryaji seakan mendengar anaknya berteriak, "Kalau bukan karena engkau, takkan aku mengalami semua kesusahan ini!"
Mbok Wiryaji mendesah dan melipat tangan di dadanya. Perempuan itu paham dan menghayati sepenuhnya kesusahan yang selalu mengusik hati Lasi. Mbok Wiryaji juga sadar, amat sadar, kesusahan Lasi adalah perpanjangan kesusahan Mbok Wiryaji sendiri; kesusahan yang sudah puluhan tahun mengeram dalam jiwanya.
Sesungguhnya Mbok Wiryaji sudah bertekad menanggung sendiri kesusahan itu. Tak perlu orang lain, apalagi Lasi, ikut menderita. Namun orang Karangsoga gemar bersigunjing sehingga Lasi mendengar rahasia yang ingin disembunyikannya. Bahkan cerita yang sampai ke telinga Lasi ditambah atau dikurangi, atau sama sekali diselewengkan untuk memenuhi kepuasan si
penutur. Mbok Wiryaji juga tidak ha
bis pikir mengapa orang Karangsoga terus mengungkit cerita memalukan yang sebenarnya sudah lama berlalu. Atau, inikah yang dimaksud oleh kata-kata orang tua bahwa akan datang suatu masa ketika sedulur ilang sihe, persaudaraan tanpa kasih" "Apakah mereka tak ingin aku dan anakku hidup tenteram" Atau karena Lasi cantik dan sesungguhnya mereka iri hati""
Mbok Wiryaji bergerak perlahan dan duduk di sebelah Lasi. Dengan mata sayu dipandangnya anaknya yang tetap membisu. Dalam hati Mbok Wiryaji bangga akan anaknya; kulitnya bersih dengan rambut hitam lurus yang sangat lebat dan badannya lebih besar daripada anak-anak sebayanya. Tungkainya lurus dan berisi. Dan siapa saja akan percaya kelak Lasi akan tumbuh jadi gadis cantik. "Lalu mengapa anakku harus menjadi bahan olokan orang setiap hari""
Ketika Lasi melirik, Mbok Wiryaji tersentak, karena merasa ada tusukan ke arah jantungnya. Ya. Mbok Wiryaji tahu dengan cara itu anaknya minta penjelasan banyak hal yang menyebabkan anak-anak dan juga orang-orang dewasa sering mengejeknya. Ya. Dan Mbok Wiryaji merasa tak perlu lagi merahasiakan sesuatu. Ia ingin membuka semuanya. Mbok Wiryaji siap membuka mulut tetapi tiba-tiba ada yang mengganjal niatnya. Bukankah Lasi baru tiga belas tahun" Pantaskah anak seusia itu mendengar pengakuan tentang sesuatu yang memalukan seperti tindak rudapaksa berahi" Mbok Wiryaji surut. Ada pikiran baru yang mencegahnya berterus terang karena ia merasa saatnya belum tiba. Mungkin kelak, bila Lasi sudah berumah tangga, semua bisa dibuka untuknya.
Mungkin karena lama ditunggu emaknya tak berkata sepatah pun, Lasi jadi gelisah. Dan tanpa mengubah arah wajahnya, sebuah pertanyaan meluncur dari mulutnya.
"Apa betul Wiryaji bukan ayah saya""
Mbok Wiryaji terkejut dan mendadak meluruskan punggung.
"Ya, Las. Dia bukan ayah kandungmu," jawab Mbok Wiryaji agak terbata.
"Jadi siapa ayah saya yang sebenarnya" Orang Jepang""
"Ya." Mbok Wiryaji menelan ludah.
"Kok bisa begitu""
"Dulu di sini banyak orang Jepang. Mereka tentara."
"Kata orang, Emak diperkosa orang Jepang. Diperkosa itu bagaimana""
Mbok Wiryaji menelan ludah lagi. Dan gugup, sangat gugup. Bibirnya gemetar. Tangannya bergerak tak menentu. Air mata mulai meleleh dari mata dan hidungnya. Dan Mbok Wiryaji kembali terkejut ketika Lasi dengan suara mantap mengulangi pertanyaannya.
"Diperkosa, artinya dipaksa," ujar Mbok Wiryaji masih dalam kegagapan.
"Dipaksa bagaimana"" kejar Lasi.
"Oalah, Las, emakmu dipaksa cabul. Mengerti""
Mata Lasi terbelalak. Meski tidak jelas benar, Lasi mengerti apa yang dimaksud emaknya. Rona amarah muncul sangat jelas pada wajahnya yang putih. Bibirnya bergerak-gerak hendak mengucapkan sesuatu tetapi Lasi hanya tergagap. Ketika akhirnya meluncur sebuah pertanyaan dari mulutnya, giliran Mbok Wiryaji yang tergagap.
"Karena diperkosa itu kemudian Emak mengandung saya""
"Oh, tidak, Nak! Tidak."
"Emak bohong""
"Oalah, Las, Emak tidak bohong. Dengarlah. Kamu lahir tiga tahun sesudah peristiwa cabul yang amat kubenci itu. Entah bagaimana setelah tiga tahun menghilang orang Jepang itu muncul lagi di Karangsoga. Kedatangannya yang kedua tidak lagi bersama bala tentara Jepang melainkan bersama para pemuda gerilya. Tampaknya ayahmu menjadi pelatih para pemuda. Dan mereka, para pemuda itu, juga Eyang Mus minta aku memaafkan ayahmu, bahkan aku diminta juga menerima lamarannya."
"Emak mau""
"Mula-mula, Las, karena aku tak bisa menolak permintaan dari pemuda dan Eyang Mus. Tetapi aku akhirnya tahu, ayahmu baik, kok."
Sejenak Lasi terdiam. Alisnya berkerut.
"Las, akhirnya aku menikah dengan ayahmu dan sesudah itu kamu lahir. Tetapi, Las, ayahmu kemudian pergi lagi bersama para pemuda dan tak pernah
kembali, padahal kamu sudah lima bulan dalam kandunganku. Kabarnya ayahmu meninggal dalam tawanan tentara Belanda."
Lasi mengerutkan kening. Wajahnya tetap beku namun ketegangannya lambat laun mereda.
"Oh ya, Las," sambung Mbok Wiryaji, "ayahmu seperti Cina dan agak lucu apabila pakai kain sarung dan kopiah. Kata orang, sebenarnya ayahmu bernama Miyaki atau Misaki barangkali. Entahlah, namun Eyang Mus kemu
dian memberinya nama baru, Marjuki."
"Marjuki" Jadi ayah saya Marjuki""
"Ya. Dan mirip Cina."
"Mirip Cina""
"Betul. Orang Jepang memang mirip Cina."
"Mak"" "Apa"" "Tetapi mengapa mereka selalu bilang saya haram jadah""
Mbok Wiryaji terdiam. Matanya kembali merah.
"Las, mereka tahu apa dan siapa kamu sebenarnya. Tetapi aku tak tahu mengapa mereka lebih suka cerita palsu, barangkali untuk menyakiti aku dan kamu. Sudahlah, Las, biarkan mereka. Kita sebaiknya nrima saja. Kata orang, nrima ngalah luhur wekasane, orang yang mengalah akan dihormati pada akhirnya."
Kamar itu mendadak senyap. Hanya suara napas Mbok Wiryaji yang mendesah panjang. Perempuan itu merasa telah menurunkan sebagian besar beban yang sudah bertahun-tahun menindih pundaknya. Dan kini ia menatap Lasi karena ingin membaca tanggapan atas pengakuannya. Tetapi Lasi tak bergeming. Gadis tanggung itu menatap tanah. Jarinya mengutik-utik sudut tikar pandan. Lalu, tanpa menoleh ke emaknya, Lasi bangkit dan keluar dari kamar. Mbok Wiryaji mengikuti dengan pandangan matanya. Dan ia lega ketika melihat Lasi membuka tudung saji di atas meja. Mbok Wiryaji percaya, hanya hati yang damai bisa diajak makan.
Tamat sekolah desa usia Lasi genap 14 tahun. Empat teman perempuan yang bersama-sama meninggalkan sekolah segera mendapat jodoh masing-masing. Lasi pun akan segera berumah wngga andaikan orangtuanya menerima lamaran Pak Sambeng, guru Lasi sendiri. Lamaran itu ditolak karena Pak Guru sudah beristri. Dan hampir enam tahun sesudah itu Lasi belum juga menemukan jodoh; suatu hal yang agak bertentangan dengan ukuran kewajaran di Karangsoga terutama karena Lasi sungguh tidak jelek apalagi cacat. Namun siapa saja akan segera mengerti mengapa gadis secantik Lasi lama tak mendapatkan jodoh. Orang Karangsoga sangat mempertimbangkan segi asal-usul dalam hal mencari calon istri atau menantu. Ayah Lasi, meski semua orang Karangsoga tahu siapa dia, adalah orang asing yang hanya muncul beberapa bulan di Karangsoga, bahkan sudah lama meninggal tetapi entah di mana kuburnya. Di Karangsoga, gadis dari keluarga yang tidak utuh kurang disukai. Dan cerita tentang perkosaan itu membuat citra Lasi buruk. Lasi telanjur mendapat citra haram jadah meskipun semua orang tahu sebutan itu terlalu kejam dan sama sekali tidak benar.
Ada juga orang bilang Lasi berbeda dengan semua gadis Karangsoga sehingga perjaka di sana enggan melamarnya. Tidak aman mempunyai istri yang terlalu mudah menarik perhatian lelaki lain, kata mereka. Anehnya, mereka tetap senang menjadikan Lasi bahan celoteh di mana-mana.
Jadilah Lasi tetap gadis sampai usianya hampir dua puluh. Di Karangsoga mungkin hanya seorang gadis bisu yang belum menikah pada usia itu. Padahal Lasi tak kurang suatu apa. Bahkan mungkin Lasi adalah gadis tercantik di antara gadis-gadis seangkatannya di Karangsoga. Dan kenyataan demikian malah membuat Lasi makin jadi omongan orang sehingga membuatnya segan keluar rumah.
Hari-hari Lasi adalah hari-hari anak perawan keluarga Wiryaji, satu di antara sekian banyak keluarga penyadap kelapa di Karangsoga. Pagi-pagi Lasi mempunyai pekerjaan tetap: menyiapkan tungku dengan kawah besar. Nira akan dituangkan dari pongkor-pongkor lewat ayakan bambu sebagai saringan. Yang tersaring bisa macam-macam, dari sisa irisan malai, lebah mati, sampai kumbang tanduk yang terjebak ke dalam pongkor. Atau bila cuaca buruk nira sering berbusa kental berwarna putih. Dan Lasi selalu bergidik bila ada cecak atau tikus kecil mati tenggelam dalam nira.
Lasi senang memperhatikan nira menggelegak dalam kawah. Baunya enak dan gejolaknya mengundang gairah. Uap tebal yang naik bergulung-gulung bisa mendatangkan khayal teniang keperkasaan seorang lelaki penyadap. Atau bila nira mulai menjadi tengguli, warnanya berubah jadi coklat lalu merah tua. Gelembung-gelembung kecil muncul, ketika pecah menimbulkan letupan-letupan halus. Pada saat ini tengguli yang mendidih hampir mencapai titik jenuh dan kawah akan diangkat dari tungku. Sambil menanti titik jenuh itu tengguli yang sudah berbentuk pasta diaduk-aduk dan mulai dituangkan ke dalam sengkang
, cetakan berupa gelang-gelang bambu setebal empat jari.
Lasi yang hampir tak pernah bicara kecuali dengan emaknya akan mendapat teman bila Wiryaji yang sudah tua kebetulan sakit. Bila Wiryaji tak bisa bekerja, Darsa akan menggantikan pamannya itu menyadap nira kelapa. Darsa pendiam dan Lasi menyukainya. Bukan apa-apa, seorang pendiam bagi Lasi punya arti khusus. Siapa yang pendiam tentu tidak banyak omong dan tidak suka berceloteh seperti kebanyakan orang Karangsoga. Atau karena Darsa setidaknya tidak buruk. Memang tidak juga bagus telapi sosok kelelakiannya jelas. Badannya seimbang dan ototnya liat, khas otot para penyadap. Apalagi Darsa masih sangat muda, usianya hanya beberapa tahun di atas Lasi.
Atau lagi, Darsa sering menyelipkan sesuatu di antara ikatan pongkor-nya. Kadang salak yang masak, kadang mangga. Bila Lasi bertanya, "ini untuk aku"" Darsa hanya tersenyum. Dan matanya menyala. Anehnya Darsa tertunduk malu ketika suatu kali tertangkap oleh Mbok Wiryaji sedang saling pandang dengan Lasi. Padahal bagi Mhok Wiryaji suasana manis antara anak sendiri dan kemenakan suaminya itu sudah lama diketahuinya. Suasana itu malah memberi Mbok Wiryaji ilham; menjodohkan Lasi dan Darsa, bila bisa diatur, akan memupus semua celoteh yang telah menyiksanya selama bertahun-tahun. Orang selalu bilang, seorang gadis, apalagi ia cantik, akan tetap menjadi bahan omongan para tetangga sampai ia menikah, mapan, dan beranak-pinak. Sebelum hal itu tercapai, mungkin hanya masalah cara dia berjalan akan diperhatikan orang. Tetapi ungkapan itu terbukti tidak sepenuhnya benar. Omongan tentang Lasi, tentang perkosaan terhadap emaknya, atau tentang ayahnya yang hilang sesekali masih terdengar meski Lasi telah menjadi istri Darsa.
*** Kabut pagi yang tipis memberi sapuan baur pada lembah dan lereng-lereng bukit di sekitar Karangsoga. Namun karena kabut itu pula muncul tekanan pada matra ketiga pemandangan di sana. Karena sapuan kabut, makin jelaslah lereng atau bukit yang dekat dan yang lebih jauh. Di timur sinar matahari menyemburat dari balik bayangan bukit. Puncak-puncak pepohonan mulai tersapu sinar merah kekuningan. Dari sebuah sudut di Karangsoga pemandangan jauh ke selatan mencapai dataran rendah yang sangat luas. Karena letaknya yang tinggi, dari tempat ini orang Karangsoga setiap pagi dapat melihat iring-iringan burung kuntul terbang di bawah garis pandang mata. Dengan cara menunduk pula mereka dapat melihat hamparan sawah dan ladang. Kota kewedanan kelihatan seluruhnya dan berbatasan dengan cakrawala adalah garis pantai laut selatan.
Pagi ini Lasi berangkat hendak menjenguk Darsa di rumah sakit kecil di kota kewedanan itu. Lasi sengaja memilih jalan pintas agar tidak bertemu dengan orang-orang yang hendak pergi ke pasar. Mereka terlalu ingin tahu dan Lasi sudah bosan menjawab pertanyaan mereka. Dalam keremangan pagi Lasi
melihat banyak pohon kelapa bergoyang karena sedang dipanjat oleh penyadap. Tetes-tetes embun berjatuhan membuat gerimis setempat. Kelentang-kelentung suara pongkor yang saling beradu ketika dibawa naik. Ketika melintas titian Lasi tertegun sejenak, heran mengapa dulu ia sering berlama-lama melihat kepiting batu di bawah sana. Ada burung paruh udang terbang menuruti alur jurang, suaranya mencicit lalu hilang di balik rumpun salak. Suara tokek dari lubang kayu memecah keheningan pagi yang masih sangat berembun. Seekor burung ekor kipas berkicau meriah, lalu melesat ketika melihat lalat terbang. Tubuhnya yang kecil tampak berkelebat bila unggas itu melompat dari dahan satu ke dahan lain dalam rimbunan semak. Dengung kumbang yang terbang-hinggap pada bunga bungur. Sepasang kadal bekejaran melintas jalan setapak di depan Lasi. Dan bunyi riang-riang mulai menggoda kelengangan pagi.
Lasi terus berjalan cepat tanpa menoleh kiri kanan. Sampai di mulut jalan kampung Lasi naik delman yang sudah berisi beberapa penumpang. Kini Lasi tak bisa menghindar dari pertanyaan penumpang lain yang semuanya orang Karangsoga. Ldsi hanya menjawab seperlunya karena hatinya sudah sampai ke kamar Darsa di rumah sakit. Sudan seminggu Darsa diraw
at di sana dan luka-luka di kulitnya berangsur pulih. Tubuh seorang penyadap muda selalu punya daya sembuh yang kuat. Darsa juga sudah doyan makan. Dan Lasi sudah bertanya kepada perawat tentang jumlah binya yang harus dibayarnya. Dari jawaban perawat Lasi dapat menghitung uang yang dipinjamnya dari Pak Tir hanya cukup untuk merawat Darsa selama sepuluh hari. Tetapi Lasi mendengar bisik-bisik di antara para perawat bahwa mungkin Darsa perlu perawatan di rumah sakit besar karena sampai demikian jauh masih ada yang tak beres pada tubuhnya; kencingnya terus menetes tak terkendali. Para perawat itu berbicara juga tentang kemungkinan bedah syaraf atas diri Darsa.
Bedah syaraf" Apa itu" Lasi pening memikirkannya dan sangat takut bila perawatan semacam itu mengancam jiwa suaminya. Lagi pula berapa biayanya" Dan pagi ini Lasi mendapat jawaban atas semua pertanyaan itu. Dokter kepala poliklinik memanggilnya untuk mendapat penjelasan tentang Darsa.
"Suamimu sudah lepas dari bahaya. Tetapi dia harus dibawa ke rumah sakit yang besar agar bisa dirawat dengan sempurna," kata dokter yang masih muda itu. "Kamu tahu, bukan, pakaian suamimu masih terus basah. Suamimu masih terus ngompol."
Lasi tak berani mengangkat muka. Rasa cemas mulai membayang di wajahnya.
"Apakah nanti Kang Darsa membutuhkan biaya besar"" tanya Lasi dengan bibir gemetar.
"Saya kira begitu. Mungkin puluhan, atau malah bisa ratusan ribu."
Lasi menelan ludah dan menelan ludah lagi. Dia merasa ada dinding terjal mendadak berdiri di depan wajahnya. Pandangan matanya buntu dan kosong. Pada wajahnya tidak hanya tergambar kecemasan melainkan juga ketidakberdayaan.
"Nanti akan saya bicarakan dengan orangtua saya," kata Lasi setelah lama terdiam, kemudian berlalu dari hadapan dokter.
Lasi terus berjalan cepat tanpa menoleh kiri kanan. Sampai di mulut jalan kampung Lasi naik delman yang sudah berisi beberapa penumpang. Kini Lasi tak bisa menghindar dari pertanyaan penumpang lain yang semuanya orang Karangsoga. Ldsi hanya menjawab seperlunya karena hatinya sudah sampai ke kamar Darsa di rumah sakit. Sudan seminggu Darsa dirawat di sana dan luka-luka di kulitnya berangsur pulih. Tubuh seorang penyadap muda selalu punya daya sembuh yang kuat. Darsa juga sudah doyan makan. Dan Lasi sudah bertanya kepada perawat tentang jumlah binya yang harus dibayarnya. Dari jawaban perawat Lasi dapat menghitung uang yang dipinjamnya dari Pak Tir hanya cukup untuk merawat Darsa selama sepuluh hari. Tetapi Lasi mendengar bisik-bisik di antara para perawat bahwa mungkin Darsa perlu perawatan di rumah sakit besar karena sampai demikian jauh masih ada yang tak beres pada tubuhnya; kencingnya terus menetes tak terkendali. Para perawat itu berbicara juga tentang kemungkinan bedah syaraf atas diri Darsa.
Bedah syaraf" Apa itu" Lasi pening memikirkannya dan sangat takut bila perawatan semacam itu mengancam jiwa suaminya. Lagi pula berapa biayanya" Dan pagi ini Lasi mendapat jawaban atas semua pertanyaan itu. Dokter kepala
poliklinik memanggilnya untuk mendapat penjelasan tentang Darsa.
"Suamimu sudah lepas dari bahaya. Tetapi dia harus dibawa ke rumah sakit yang besar agar bisa dirawat dengan sempurna," kata dokter yang masih muda itu. "Kamu tahu, bukan, pakaian suamimu masih terus basah. Suamimu masih terus ngompol."
Lasi tak berani mengangkat muka. Rasa cemas mulai membayang di wajahnya.
"Apakah nanti Kang Darsa membutuhkan biaya besar"" tanya Lasi dengan bibir gemetar.
"Saya kira begitu. Mungkin puluhan, atau malah bisa ratusan ribu."
Lasi menelan ludah dan menelan ludah lagi. Dia merasa ada dinding terjal mendadak berdiri di depan wajahnya. Pandangan matanya buntu dan kosong. Pada wajahnya tidak hanya tergambar kecemasan melainkan juga ketidakberdayaan.
"Nanti akan saya bicarakan dengan orangtua saya," kata Lasi setelah lama terdiam, kemudian berlalu dari hadapan dokter.
Di kamar perawatan Darsa, Lasi berusaha menyembunyikan kebimbangannya. Sambil duduk di tepi dipan ia berusaha tersenyum, memijit-mijit lengan Darsa lalu bangkit untuk menukar kain sarung yang dikenakan suaminya itu. Bau sengak menyeng
at. Selesai menukar kain sarung Lasi membuka bungkusan makanan yang dibawanya dari rumah. Tetapi Darsa tak tertarik melihat lontong dan telur asin yang di bawa Lasi.
Sesungguhnya Lasi ingin menyampaikan kata-kata dokter Yang diterimanya
beberapa menit berselang. Tetapi niat itu urung setelah Lasi menatap wajah suaminya yang masih pucat dan kelihatan sangat tertekan. Maka Lasi membuka pembicaraan lain sekadar untuk mencairkan suasana.
"Kang, bila malam rumah kita kosong. Aku tidur di rumah Emak."
Darsa hanya mengangkat alis.
"Sekarang Mukri yang menyadap kelapa kita," kata Lasi lagi, "sampai kamu sembuh."
"Berapa harga gula sekarang"" Suara Darsa serak.
"Enam rupiah, tidak cukup untuk satu kilo beras."
Darsa mengangkat alis lagi. Tetapi dia tidak kaget. Seorang penyadap sudah terbiasa bermimpi tentang harapan yang tetap tinggal harapan. Mereka, para penyadap, punya harapan mendapatkan harga gula seimbang dengan harga beras; sebuah harapan bersahaja namun jarang menjadi kenyataan. Berapa harga gula, adalah pertanyaan sehari-hari para penyadap. Celakanya mereka selalu cemas ketika menanti jawabnya. Harga gula adalah pertanyaan kejam yang tak pernah mempertimbangkan betapa besar risiko yang harus dihadapi para penyadap. Suami bisa jatuh dan istri bisa terperosok ke dalam tengguli mendidih. Untuk kedua risiko ini nyawalah yang menjadi taruhan. Tetapi harga gula jarang mencapai tingkat harga beras.
"Kang, aku pulang dulu, ya. Pakaianmu harus dicuci. Besok pagi aku datang
lagi." Darsa hanya mengangguk. Lalu dipandangnya Lasi yang sedang membungkus
pakaian kotor dan baunya amat menyengat. Ketika Lasi berangkat sekilas tampak tengkuknya yang putih. Mata Darsa menyala dan jantungnya terbakar. Angan-angannya melayang tetapi segera terpupus ketika ia menyadari tubuhnya masih lemah dan kencingnya masih terus menetes. Sejak mendapat kecelakaan seminggu yang lalu Darsa bahkan mcrasa mengalami gejala yang sangat dibenci oleh setiap lelaki: lemah pucuk.
Tiba di Karangsoga, Lasi langsung menuju rumah orangtuanya. Belum lagi melangkahi ambang pintu air matanya sudah berderai. Suami-istri Wiryaji yang mengira keadaan Darsa bertambah buruk, segera menjemput Lasi.
"Bagaimana suamimu"" tanya Mbok Wiryaji memburu.
"Masih seperti kemarin, Mak," jawab Lasi sambil mengusap air matanya. Tetapi kala dokter, Kang Darsa harus dibawa ke rumah sakit besar karena dia masih terus ngompol. Mak, kata dokter biayanya besar sekali. Bisa ratusan ribu."
Lasi terisak. Suami-istri Wiryaji terpaku di tempat duduk masing-masing. Dan keduanya terkejut ketika Lasi tiba-tiba bertanya.
"Kita harus bagaimana, Mak""
Pertanyaan pendek itu lama tak berjawab. Puluhan atau bahkan ratusan ribu" Uang sebanyak itu tak pernah terbayang bisa mereka miliki. Tak pernah.
"Kita harus bagaimana"" ulang Lasi. Wiryaji terbatuk. Istrinya mendesah. Lasi yang melihat orangtuanya bimbang makin terisak. Pikirannya kacau dan hatinya gelap. Suasana rumah pun mati dan mencekam karena Lasi dan kedua orangtuanya sama-sama merasa tak punya kata-kata untuk diucapkan. Namun kesunyian cair kembali ketika Mukri, Eyang Mus, dan beberapa tetangga masuk. Mereka juga ingin tahu kabar terakhir tentang Darsa. Dan penjelasan yang diberikan Lasi membuat mereka tercengang.
"Kami bingung. Uang sebanyak itu hanya bisa kami miliki bila rumah dan pekarangan yang ditempati Lasi kami jual," ujar Wiryaji sambil menunduk. "Lalu, apakah hal itu harus kulakukan" Kalaupun ya, siapa yang bisa membelinya dencan cepat""
"Kang, soal membeli dengan cepat Pak Tir bisa melakukannya," ujar Mbok Wiryaji. "Masalahnya, tanpa pekarangan dan rumah anakku mau tinggal di mana" Beruntung bila Darsa sembuh, bila tidak" Apakah ini bukan taruhan yang terlalu mahal dan sia-sia""
"Mak, tapi kasihan Kang Darsa," sela Lasi. "Saya ingin dia dirawat sampai sembuh. Untuk Kang Darsa, apakah kebun kelapa saya tidak bisa dijual""
"Jangan, Las," potong Mak Wiryaji. "Tanah adalah sumber penghidupanmu dan juga persediaan bagi anak-anakmu kelak. Tanah itu, meski hanya secuil, adalah masa depanmu dan keturunanmu. Aku tak akan membiarkan kamu main-main de
ngan tanah." "Tetapi, Mak, kasihan Kang Darsa," ulang Lasi.
"Las, siapa yang tak kasihan kepada Darsa" Tapi puluh-puluh Nak, kita tak punya biaya. Kita hanya bisa pasrah."
Lasi kembali terisak. Eyang Mus terbatuk. Mbok Wiryaji menarik napas panjang. Selebihnya adalah kelengangan yang mencekam. Eyang Mus terbatuk lagi. Lelaki tua itu tahu dirinya adalah rujukan dan nara sumber untuk dimintai pendapat. Maka Eyang Mus ingin berkata sesuatu. Namun lidahnya terasa kelu karena Eyang Mus teringat musibah sama yang menimpa Parja setahun yang lewat. Parja pun jatuh ketika sedang menyadap nira. Melihat cederanya parah, keluarga Parja tidak mau membawanya ke rumah sakit. Mereka tak mau menggali utang untuk membiayai pengobatan Parja karena usaha semacam itu
terasa hanya sebagai kerja untung-untungan. Waktu itu Eyang Mus bersikeras meminta orangtua Parja membawa anaknya ke rumah sakit meskipun harus mencari pinjaman uang untuk biaya.
Ternyata nyawa Parja tak dapat dipertahankan. Parja meninggal dan keluarganya menanggung uang yang tak kunjung lunas. Anak dan istri Parja jatuh dan dua kali menderita. Sampai sekarang Eyang Mus sangat menyesal, apalagi bila kebetulan bertemu dengan anak-anak Parja yang yatim dan kurang terurus. Untuk ketiga kali Eyang Mus terbatuk dan gagal mengucapkan sesuatu. Bahkan orang tua itu hanya termangu ketika Wiryaji jelas-jelas minta nasihatnya.
Suasana masih hening. Kecuali desah-desah panjang. Atau burung-burung yang terus berkicau di atas pepohonan. Mereka tak mengenal duka. Dari jauh terdengar ceblak-cebluk suara orang mengaduk tengguli yang siap naik cetakan. Baunya yang harum merambah ke mana-mana menjadi ciri utama kampung penghasil gula kelapa, ciri utama Karangsoga.
"Rasanya kami sudah berusaha semampu kami," ujar Wiryaji mencairkan kebisuan. "Utang sudah kami gali dan tentu tak akan mudah bagi kami mengembalikannya. Bila usaha kami ternyata tak cukup untuk menyembuhkan Darsa, kami tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kami tinggal pasrah."
"Ya," sambung Mbok Wiryaji. "Kami pasrah. Besok Darsa kami jemput dan akan kami rawat di rumah. Siapa tahu, di rumah Darsa bisa sembuh. Kita percaya, bila mau menurunkan welas-asih Gusti Allah tak kurang cara. Iya, kan, Eyang Mus""
Eyang Mus tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Namun warna getir muncul di wajahnya. Lasi bangkit dan pergi ke sumur. Di sana Lasi mencuci pakaian suaminya yang bau sengak. Air matanya terus menetes. Mukri dan para tetangga pulang sambil menundukkan kepala. Matahari hampir mencapai pucuk langit dan angin yang lembut menggoyang pohon-pohon kelapa di Karangsoga.
BAGIAN KEDUA Musim pancaroba telah lewat dan kemarau tiba. Udara Karangsoga yang sejuk berubah dingin dan acap berkabut pada malam hari. Namun kemarau di tanah vulkanik itu tak pernah mendatangkan kekeringan. Pepohonan tetap hijau karena tanah di sana kaya akan kandungan air. Suara gemercik air tetap terdengar dari parit-parit berbatu atau dari dasar jurang yang tertutup rimbunan pakis-pakisan. Kemarau di Karangsoga hanya berarti tiadanya hujan dalam satu atau dua bulan. Alam sangat memanjakan kampung itu dengan memberinya cukup air dan kesuburan. Lalu, mengapa para penyadap kelapa di Karangsoga hidup miskin adalah kenyataan ironik, yang anehnya tak pernah dipermasalahkan apalagi dipertanyakan di sana.
Kehidupan di Karangsoga tetap mengalir seperti air di sungai-sungai kecil yang berbatu-batu. Manusianya hanyut, terbentur-bentur, kadang tenggelam atau bahkan membusuk di dasarnya. Tak ada yang mengeluh, tak ada yang punya gereget, misalnya mencari kemungkinan memperoleh mata pencarian lain karena menyadap nira punya risiko sangat tinggi dengan hasil sangat rendah. Atau menggalang persatuan agar mereka bisa bertahan dari kekejaman pasar bebas yang sangat leluasa memainkan harga gula.
Tidak. Karangsoga tetap adhem-ayem seperti biasa, tenang, seolah kemiskinan para penyadap di sana adalah kenyataan yang sudah dikemas dan harus mereka terima. Malam itu pun Karangsoga tenang. Bulan yang hampir bulat leluasa mendaulat langit karena awan hanya sedikit menyaput ufuk barat.
Eyang Mus turun dar i suraunya yang kecil setelah beberapa lelaki tua lebih dulu meninggalkannya. Di emper surau Eyang Mus mengangkat muka untuk sejenak menatap langit. Dan cahaya bulan yang menerpa wajah serta-merta menyejukkan hatinya. Bunyi terompah yang teratur mengiringi langkahnya dan segera berganti nada ketika Eyang Mus menginjak lantai rumah.
Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pintu berderit ketika Eyang Mus masuk. Mbok Mus sudah menyiapkan teh hangat dan kotak tembakau di meja ruang depan. Pasangan orang tua itu biasa
duduk berlama-lama sambil menunggu mata mengantuk. Tak ada kesibukan pada malam seperti itu bagi pasangan yang sudah ditinggal oleh anak-anak. Keempat anak mereka sudah lama berumah tangga dan memisahkan diri.
Namun malam ini Eyang Mus tak ingin duduk termangu. Bulan hampir bulat yang dilihatnya sejenak ketika ia turun dari surau telah mengusik hatinya lalu menuntun langkahnya ke pojok ruang depan. Di sana ada gambang kayu keling yang usianya mungkin lebih tua daripada Eyang Mus sendiri. Eyang Mus yang sering mendapat sebutan santri kuno, mahir memainkan gambang tunggal untuk mengiringi bait-bait suluk yang biasa ditembangkannya dalam irama sinom atau dhandhanggula. Bagi seorang santri kuno seperti Eyang Mus, suluk yang diantar oleh irama gambang tak lain adalah tangis rindu seorang kawula akan Gustinya; tangis seorang pengembara yang ingin menyatu kembali dengan asal-mula dan tujuan akhir segala yang ada, sangkan paraning dumadi. Maka bila sudah tenggelam dalam suluk-nya Eyang Mus lupa akan sekeliling, mabuk, keringat membasahi tubuh, dan air matanya berjatuhan. Suaranya ngelangut menusuk malam, menusuk langit. Apalagi bila yang ditembangkannya adalah bait-bait pilihan.
Wong kas ingkang sampun makolih Hakul yakin tingale pan nyata sarta lan sapatemone Pan sampun sirna luluh tetebenge jagat puniki Kabotan katingalan ing wardayanipun Anging jatine Sanghyang Suksma Datan pegat anjenengaken mangkyeki Kang ketung mung Pangeran Sapolahe dadi pangabekti Salat daim pan datan wangenan
Pan ora pesti wektune pan ora salat wulu Tan pegat ing ulat liring Madhep maring Hyang Suksma Salir kang kadulu andulu jatining tunggal jroning bekti miwah sajabaning bekti Sampun anunggal tingal
Adalah manusia istimewa yang telah sampai kepada kebenaran sejati; pandangan hatinya menjadi bening begitu ia berhadapan dcngan Tuhan. Luluh lebur segala tabir dunia. Pandangannya larut dalam kebesaran Tuhan-nya. Tak putus menyebut nama-Nya. Baginya yang ada hanyalah Allah.
Semua geraknya menjadi sembah, salat jiwanya tegak sepanjang waktu bahkan ketika raganya dalam keadaan tak suci. Mata hatinya tak putus memandang Allah. Kenyataan yang ada baginya adalah kesatuan wujud baik ketika dalam salat maupun di luarnya. Hasrat manusiawi 'lah terselaraskan dengan kehendak
Ilahi. Dan semuanya baru berhenti apabila Eyang Mus, oleh matra kemanusiaan sendiri, tersadar dirinya terhadirkan di alam kesehatian.
Orang Karangsoga, bahkan Mbok Mus sendiri tak pernah mengerti betapa jauh jiwa Eyang Mus mengembara ketika lelaki tua itu sedang bersila di depan gambangnya. Mereka tidak tahu, ketika mata Eyang Mus terpejam hatinya malah melihat dunia yang lebih nyata. Namun demikian orang Karangsoga setidaknya mampu menangkap muatan wadhag, muatan lahiriah suara gambang Eyang Mus. Muatan itu adalah irama gambang yang menyapa hati, menyentuh jiwa sehingga mereka betah mendengarkannya. Apalagi ketika tengah malam cahaya bulan membuat bayang-bayang pepohonan di halaman dan udara musim kemarau terasa sangat dingin; orang-orang Karangsoga larut dalam kelembutan
suara gambang yang melantun merayapi sudut-sudut kampung, memantul pada lereng-lereng tebing, dan menghilang setelah jauh merayap menyusur lembah.
Eyang Mus bangkit setelah selesai dengan beberapa pupuh suluk lalu duduk di bangku panjang. Lelaki tua itu sedang menggulung rokok dan istrinya sedang membersihkan bibir dengan susur ketika seorang perempuan uluk salam. Eyang Mus dan istrinya sudah kenal suara itu, suara Mbok Wiryaji.
"Aku tak pangling akan suaramu. Bersama siapa"" tanya Eyang Mus sambil membukakan pintu.
"Sendiri, Yang."
"Suamimu""
"Di rumah." D i bawah sorot lampu gantung tampak wajah Mbok Wiryaji yang gelap. Eyang Mus suami-istri sudah hafal, istri Wiryaji itu selalu datang bila ada kekusutan di rumah.
"Duduklah. Rasanya wajahmu mendung. Cekcok lagi""
"Biasa, Yang. Mungkin sudah jadi suratan, saya dan suami saya harus sering cekcok."
"Kalian sudah beruban tetapi belum juga berubah."
"Yang, pada awalnya saya dan suami saya bicara soal Lasi. Bicara ke sana kemari, eh, lama-lama kami bertengkar. Daripada ramai di rumah lebih baik saya menyingkir ke sini."
"Cobalah, sesekali kamu datang kemari dengan nasi hangat dan gulai ikan tawes, pasti kuterima dengan gembira. Jangan selalu soal pusing kepala yang kamu sodorkan kepadaku. Sekarang urusan apa lagi""
"Lasi, Yang. Maksud saya, suaminya si Darsa itu. Sudah empat bulan dirawat di rumah keadaannya tak berubah."
"Masih ngompol""
"Ngompol terus, malah perangai Darsa sekarang berubah. Ia jadi suka marah, sepanjang hari uring-uringan. Kemarin Darsa membanting piring hanya karena Lasi agak lama pergi ke warung. Aku kasihan kepada Lasi. Suami seperti kambing lumpuh, pakaiannya yang sengak harus dicuci tiap hari, tapi saban kali Lasi malah kena marah."
"Siapa yang menyiapkan kayu bakar""
"Nah, itu! Mengolah nira memang pekerjaan Lasi sejak kecil. Tetapi soal mencari kayu" Eyang Mus, saya tak tega melihat Lasi tiap hari bersusah payah mengambil kayu di hutan. Dan yang membuat saya cemas, apakah penderitaan Lasi bisa berakhir" Bagaimana kalau Darsa tak bisa sembuh""
"Kamu jangan berpikir seperti itu."
"Eyang Mus, Lasi masih muda. Apa iya, seumur-umur ia harus ngewulani suami yang hanya bisa ngompol"" Mbok Wiryaji tersenyum pahit.
"Hus." "Saya tidak main-main, Eyang Mus. Sekarang Darsa memang hanya bisa ngompol, ditambah perangainya yang berubah jadi pemarah. Dengan keadaan seperti itu, sampai kapan Lasi bisa bertahan, dan haruskah saya diam belaka""
"Nanti dulu. Kalau perasaanku tak salah, aku menangkap maksud tertentu dalam kata-katamu. Kamu tidak lagi menghendaki Darsa jadi menantumu""
Mbok Wiryaji terkejut. Wajahnya berubah. Eyang Mus tersenyum karena percaya dugaannya jitu.
"Jangan tergesa-gesa. Sebelum mendapat kecelakaan Darsa adalah suami yang baik. Kini Darsa tak berdaya karena sesuatu yang berasal dari luar kehendaknya. Lalu, apakah kamu mau tega""
"Aku ikut tanya," sela Mbok Mus. "Apakah Lasi kelihatin tak suka lagi bersuami
Darsa"" "Tidak juga. Saya kira Lasi tetap setia menemani suaminya yang bau sengak itu. Dan hal itulah yang membuat saya malah jadi lebih kasihan kepadanya. Masalahnya, apakah Lasi harus mendnderita lahir-batin seumur hidup""
"Sebelum kamu punya pikiran pendek seperti tadi, apa kamu sudah cukup ikhtiar untuk menyembuhkan Darsa""
"Sudah tak kurang, Eyang Mus. Tidak sembuh di rumah sakit, kemudian segala jamu sudah banyak diminum. Jampi sudah banyak disembur."
"Ya. Ikhtiar harus tetap dijalankan. Juga doa. Dulu kamu sendiri bilang, bila hendak memberikan welas-asih, Gusti Allah tidak kurang cara. Tetapi mengapa sekarang kamu jadi berputus asa" Kamu tak lagi percaya bahwa Gusti Allah ora sare, tetap jaga untuk menerima segala doa""
"Iya, Eyang Mus. Semua itu saya percaya. Tetapi..."
"Teruskan, kenapa terputus""
Mbok Wiryaji kelihatan ragu.
"Eyang Mus, saya berterus terang saja, ya. Kemarin saya mendapat pesan dari Pak Sambeng, guru yang dulu mengajar Lasi. Ketika Lasi masih gadis Pak Sambeng melamarnya tetapi kami tolak karena waktu itu Pak Sambeng masih punya istri. Kini, dia menduda. Dia masih menghendaki Lisi. Katanya, bila tak kena perawan, jandanya pun jadi."
"Cukup! Rupanya inilah hal terpenting mengapa kamu datang kemari. Rupanya kamu sedang mendambakan punya menantu seorang guru. Sebenarnya kamu harus menolak begitu mendengar pesan Pak Sambeng itu. Satu hal kamu tak boleh lupa: Jangan sekali-kali menyuruh orang bercerai. Juga jangan lupa, Darsa adalah kemenakan suamimu. Salah-salah urusan, malah kamu dan suamimu ikut kena badai. Oh, Mbok Wiryaji, aku tak ikut kamu bila kamu punya pikiran demikian. Aku hanya berada di pihakmu bila kamu terus berikhtiar dan berdoa untuk kesembuhan Darsa."
"Soa l berikhtiar, Eyang Mus, percayalah. Sampai sekarang pun kami terus berusaha. Kini pun Darsa sedang ditangani oleh seorang tukang urut; Bunek."
"Bunek si dukun bayi""
"Ya. Bunek memang dukun bayi. Tetapi banyak orang bilang pijatannya terbukti bisa menyembuhkan beberapa lelaki peluh, eh, lelaki yang anu-nya mati."
"Kamu yang menghubungi Bunek""
"Bukan. Lasi sendiri yang menyerahkan suaminya untuk ditangani peraji itu."
"Nah, itu namanya pikiran waras. Aku sungguh-sungguh ikut berdoa semoga ikhtiar kalian kali ini berhasil."
Mbok Wiryaji hanya mengangguk. Tetapi kesan tak puas masih tersisa pada wajahnya. Emak Lasi itu lalu merebahkan diri di balai-balai yang didudukinya.
"Kamu boleh beristirahat di sini. Tapi jangan menginap. Ora ilok, tak baik meninggalkan suami sendiri di rumah," dan tangan Eyang Mus meraih kotak tembakau. Sesaat kemudian terdengar bunyi pemantik api serta embusan napas dengan asap rokok. Sepi dari luar merayap masuk. Mbok Mus menyuruh emak Lasi pulang tetapi hanya mendapat jawaban desah napas. Mbok Wiryaji pulas.
*** Orang bilang ciri paling nyata pada diri Bunek adalah cara jalannya yang cepat.
Cekat-ceket. Langkahnya panjang dan ayunan tangannya jauh, mungkin karena Bunek biasa tergesa bila berjalan memenuhi panggilan perempuan yang sedang menunggu detik kelahiran bayinya. Namun cirinya yang lain pun tak kalah mencolok. Bunek selalu kelihatan paling tinggi bila berada di antara perempuan-perempuan lain. Tawanya mudah ruah, juga latahnya. Pada saat latah, ucapan yang paling cabul sekalipun dengan mudah meluncur dari mulutnya. Namun dalam keadaan biasa pun Bunek biasa berkata mesum seringan ia menyebut sirih yang selalu dikunyahnya. Wajah Bunek bulat panjang dan semua orang percaya ia cantik ketika masih muda. Kulitnya malah masih lembut meskipun Bunek sudah punya beberapa cucu. Rambutnya yang lebat mulai beruban tetapi Bunek rajin menyisirnya sehingga menambah kesannya yang rapi dan singset. Ia selalu ingin bergerak cepat.
Banyak perempuan menjadi pelanggan Bunek. Konon karena pijatan tangannya yang lembut namun tetap bertenaga. Keterampilan demikian konon tak mudah tertandingi oleh peraji lain. Telapi lebih banyak orang bilang, bukan hanya pijatan Bunek yang disukai melainkan juga suasana cair dan ringan yang selalu dibawanya di mana pun Bunek berada. Bagi Bunek segala masalah boleh dihadapi dengan tertawa, bahkan dengan latah yang cabul. Rasa sakit yang menusuk perut ketika seorang perempuan melahirkan hanya perkara enteng di mata Bunek. "Aku juga pernah melahirkan. Rasa sakit ketika jabang bayi mau keluar bisa membuat aku ingin meremas suami sampai remuk. Namun heran, sungguh heran, aku tidak jera. Aka bunting lagi dan bunting lagi. Aka kecanduan. Eh, apa kamu tidak begitu" Tidak" He-he-he!"
Suatu kali seorang ibu meraung-raung ketika hendak melahirkan. Perempuan itu bersumpah habis-habisan demi langit dan bumi bahwa dia tak sudi hamil lagi. Tak sudi! Tetapi Bunek menanggapinya sambil tersenyum ringan. "Tahun lalu kamu bersumpah demi bapa-biyung, sekarang kamu bersumpah demi langit dan bumi, tetapi aku percaya tahun depan kamu hamil pula. Lalu kamu akan bersumpah demi apa lagi" Ayolah, aku belum bosan mendengar sumpahmu, he-he-he."
Apabila ada perempuan tidak memilih Bunek, sebabnya mungkin karena kesukaan dukun bnyi itu berterus terang. Bunek biasa blak-blakan menyuruh seorang suami jajan bila tak sabar menunggu istrinya sehat kembali setelah melahirkan. Bila disanggah orang karena nasihatnya yang samin itu dengan enteng Bunek bilang, "Lelaki ngebet itu biasa, wajar. Dan siapa yang bisa menahan diri boleh dipuji. Lho, yang tidak" Jujur saja, apa mereka harus mencari liang kepiting" He-he-he."
Selama merawat Darsa, Bunek tetap membawa suasana yang menjadi cirinya, cair dan enteng. Mula-mula Darsa agak tersinggung karena terasa betul Bunek menyepelekan penderitaannya. Namun lama-kelamaan Darsa menikmati keserbacairan dukun bayi itu. Tentang kemih Darsa yang terus menetes misalnya, Bunek hanya bilang, "Ah, tidak apa-apa. Cuma air yang merembes. Seperti nira yang kamu sadap, kemihmu akan berhenti men
etes pada saatnya." Atau tenting pucuk Dirsa yang lemah, "Itu juga tidak apa-apa. Seperti ular tidur, nanti akan menggeliat bangun bila cuaca mulai hangat."
Kata "tidak apa-apa" yang selalu diulang dengan senyum Bunek yang ringan akhirnya mampu membangkitkan kepercayaan Darsa, percaya bahwa cacat tubuh yang disandangnya hanya masalah sementara, tidak apa-apa, dan tidak mustahil Bunek bisa mengatasinya. Maka Darsa makin patuh kepada Bunek. Dia serahkan dirinya untuk diurut dari kaki sampai kepala. Bagian pusar dan selangkangannya selalu mendapat garapan khusus.
"Pantas, bocah-mu mati. Urat-urat di selangkanganmu dingin seperti bantal kebocoran," kata Bunek suatu kali. "Kamu harus banyak bergerak agar urat-uratmu tidak beku."
Darsa hanya melenguh. "Tak lupa minum jamu""
Darsa melenguh lagi. "Ya. Meski pahit namun harus kamu minum. Bahannya bukan apa-apa, sekadar akar ilalang dan ujung akar pinang serta cengkih. Kamu tahu mengapa akar ilalang""
"Tidak." "Akar ilalang akas dan punya daya tembus hebat. Tanah cadas yang keras pun dapat diterobosnya."
Darsa nyengir. "Kamu tahu mengapa cengkih""
Darsa nyengir lagi. "Cengkih bisa menimbulkan kehangatan. Ya. Karena semuanya bermula dari berhangat-hangat."
Pada pekan pertama setiap hari Bunek datang merawat Darsa di rumah. Namun selanjutnya Darsa diminta datang ke rumah Bunek pada malam hari. "Di siang hari pekerjaanku terlalu banyak," kata Bunek. "Lagi pula kamu perlu banyak berjalan untuk menghidupkan kembali urat-urat tungkaimu yang dingin."
Dengan senang hati Darsa memenuhi permintaan Bunek karena pergi malam hari jarang bertemu orang lain. Darsa malu, setiap orang akan menutup hidung bila berpapasan dengan dia. Sengak. Lasi sering menemani Darsa pergi ke rumah Bunek. Namun bila badan terasa letih, Lasi melepas Darsa berangkat seorang diri.
Hujan pertama sudah turun mengakhiri musim kemarau selama hampir lima bulan. Perdu yang meranggas pada dinding-dinding lembah dan lereng jurang menghijau kembali karena munculnya pucuk daun muda dan tunas-tunas baru. Rumpun puyengan yang menutupi tanah-tanah liar mulai berbunga, seakan
menaburkan warna marak kekuningan di mana-mana. Relung-relung muda bermunculan di tengah hamparan pikis-pakisan sepanjang lereng jurang.
Ketika matahari naik ratusan kupu dari berbagai jenis dan warna beterbangan mengelilingi bunga-bunga liar atau berkejaran dengan pasangannya. Pagi hari ribuan laron keluar, terbang berhamburan mengundang burung-burung dan serangga pemangsa. Pagi yang meriah, suasana khas awal musim hujan. Burung layang-layang, keket, dan si ekor kipas pamer ketangkasan mereka menyambar mangsa. Tapi capung maling tak lagi mengejar buruannya apabila sudah ada seekor laron di mulutnya. Sedikit laron yang selamat adalah yang segera bertemu pasangannya. Laron jantan akan menggigit pantat laron betina, turun ke bumi, dan melepas sendiri sayap-sayap mereka. Keduanya akan merayap beriringan, menggali tanah di tempat yang tersembunyi, dan siap berkembang biak untuk membangun koloni baru.
Di pekarangan yang penuh pepohonan Darsi sedang mengumpulkan ranting-ranting mati untuk kayu bakar. Sudah beberapa hari Darsa bisa kembali bekerja yang ringan-ringan. Setengah tahun terpaksa beristirahat membuat otot-ototnya hampir kehilangan kekuatan. Maka Darsa belum berani menyadap sendiri pohon-pohon kelapanya. Meskipun demikian beberapa perubahan jelas nampak pada diri Darsa. Wajahnya mulai bercahaya dan segala gerak-geriknya kelihatan lebih bertenaga. Dan Lasi merasakan perubahan lain, Darsa makin jarang marah. Suaminya itu juga sudah mau bercakap-cakap, bahkan kadang tertawa dan bergurau bersama Mukri. Padahal biasanya wajah Darsa berubah gelap apabila Mukri datang mengantar nira. Apalagi bila Lasi kelihatan terlalu bersemangat membantu Mukri menurunkan pongkor dari pundaknya. Memang, Mukri suka mencuri pandang dan kadang senyumnya nakal. Lasi yang sekian bulan tidak diapa-apakan bisa tersengat oleh ulah Mukri. Hanya tersengat, selebihnya tidak ada apa-apa lagi.
Dan ada perubahan yang lebih nyata. Suatu kali Darsa mendekati Lasi yang sedang jongkok di depan tun
gku. Dengan wajah terang Darsa berbisik,
"Las, celana yang kupakai sejak pagi masih kering."
Lasi menatap suaminya dengan mata bercahaya. Senyumnya mengembang,
"Syukur, Kang. Oh, pantas, cucianmu makin sedikit."
"Kamu senang, Las""
Lasi menunduk. Wajahnya memerah.
"Kamu sendiri senang apa tidak""
Lasi dan Darsa berpandangan. Lasi tersengat dan ada gelombang kejut menyentak jantungnya. Pipinya merona. Namun Lasi segera menundukkan kepala.
"Nanti kita bikin selamatan, ya, Kang. Kita syukuran."
"Ya, bila aku sudah benar-benar pulih-asal, kembali segar seperti sediakala."
"Ya, Kang." Lasi terus bekerja mengendalikan api. Nira dalam kawah menggelegak seperti mengimbangi semangat yang tiba-tiba mengembang di hati Lasi. Asap mengepul dan bergulung naik ke udara. Bau nira yang mulai memerah tercium lebih harum. Oh, betul Gusti Allah ora sare, bisik Lasi untuk diri sendiri. Akhirnya Kang Darsa sembuh karena welas-asih-Nya. Orang yang senang menyebutku randha magel, janda kepalang tanggung, boleh menutup mulut. Emak yang selalu menyebut-nyebut nama Pak Sambeng juga boleh tutup mulut. Lasi mengembuskan napas lega. Air matanya menggenang.
Tadi malam hujan turun sejak sore dan baru berhenti bersamaan dengan bunyi beduk subuh di surau Eyang Mus. Beberapa bagian lantai tanah rumah Lasi tampak basah karena genting di atasnya bocor. Udara sangat dingin namun pagi ini Lasi dan Darsa sama-sama mandi keramas. Ada luap kegembiraan yang tertahan. Mereka bergurau, saling menyiramkan air. Di atas mereka seekor burung ekor kipas mencecet dan selalu bergerak sigap seperti mewakili semangat yang sedang menggeliat dalam hati pasangan penyadap muda itu. Darsa sudah mengambil kembali pekerjaan yang selama ia sakit dipercayakan kepada tetangganya, Mukri.
Meski punya pengalaman pahit terbanting dari ketinggian puncak kelapa, semangat Darsa tetap tinggi, tak terlihat kesan khawatir akan jatuh buat kali kedua. Di Karangsoga belum pernah terdengar cerita seorang penyadap jera karena jatuh. Rakam, misalnya, jatuh sampai tiga kali dan meninggal pada kecelakaan yang keempat. Mungkin ia akan tetap menyadap nira apabila nyawanya tak melayang. Meskipun begitu kemarin Lasi berdiri lama di depan pintu ketika melepas Darsa pergi menyadap. Mulut Lasi komat-kamit. Mangkat slamet, bali slamet, bisik Lisi. Amit-amit jangan seperti dulu, mangkat slamet, kembali sudah terkulai dalam gendongan Mukri.
Menjelang matahari tergelincir Lasi sudah selesai mengolah niranya. Gula merah sudah siap dalam sebuah bakul kecil ditutup daun-daun waru kering sebagai pengisap kelembapan. Dengan selendang tua bakul itu diangkatnya ke punggung. Simpul selendang menekan dadanya. Lasi tak pernah sadar dalam keadaan seperti itu ada bagian tubuh yang memadat yang tampak lebih menyembul kcluar dan menarik mata laki"laki.
Dengan sebakul gula merah di punggungnya Lasi keluar rumah dan berjalan cepat menuju rumah Pak Tir. Lebih nyaman terasa, menjual hasil sadapan suami daripada hasil sadapan orang lain. Matahari bersinar penuh sehingga Lasi harus menyipitkan matanya selama perjalanan. Kupu-kupu masih banyak beterbangan. Bunga bungur yang selalu muncul pada awal musim hujan mekar dalam dompolan ungu berputik kuning dan berlatar daun yang hijau berkilat. Beberapa ekor kumbang yang berpunggung kuning terbang-hinggap pada bunga yang masih segar dan meluruhkan kelopak yang sudah tua. Sepasang kutilang melompat-lompat pada ranting-rantingnya. Si jantan melantunkan kicaunya yang nyaring dan bening. Suara riang-riang membuat suasana tengah hari makin terasa hidup.
Lasi terus melangkah. Menyeberang titian pinang sebatang, tersenyum sendiri karena teringat dulu ia sering berlama-lama di situ, lalu mendaki dan muncul pada gang yang lurus menuju rumah Pak Tir. Sudah ada beberapa perempuan yang sama-sama hendak menjual gula. Lasi menunggu giliran. Dan merasakan suasana tiba-tiba berubah kaku dan hening. Tiba-tiba terasa ada jarak antara dirinya dan semua orang yang ada di sana. Perempuan-perempuan itu kelihatan menahan diri, enggan bertegur-sapa, malah mereka tersenyum aneh di antara mereka sendiri. Atau sali
ng mengedipkan mata. Tiga laki-laki yang sedang mengangkat peti-peti gula dari gudang ke bak truk yang diparkir di halaman juga tersenyum dan saling pandang setelah mereka mengetahui kedatangan Lasi.
Pak Tir sendiri sibuk dengan batang timbangan. Lelaki gemuk dengan kepala bulat yang mulai botak itu bekerja cepat dan mekanis. Tangannya selalu tangkas memainkan batang timbangan, menangkapnya pada saat yang tepat, yaitu ketika batang kuningan itu mulai bergerak naik. Keterampilan seperti itu akan memberikan keuntungan sepersekian ons gula sekali timbang. Maka Pak Tir kadang tersinggung apabila ada orang terlalu saksama memperhatikan caranya menimbang gula. Pembayaran gula pun dilakukan Pak Tir dengan gampang dan dingin.
"Hari ini harga gula turun lagi. Aku hanya menuruti aturan tauke. Bila mereka menaikkan harga, aku ikut. Bila turun, aku juga ikut."
Para istri penyadap sudah terbiasa mendengar kabar buruk seperti itu. Maka mereka selalu hanya bisa menanggapinya dengan cara menelan ludah dan alis yang berat. Tak bisa lain. Menolak harga yang ditentukan Pak Tir lalu membawa gula mereka pulang" Tak mungkin, karena kebanyakan mereka punya utang pada tengkulak gula itu. Juga, hasil penjualan hari ini adalah hidup mereka hari ini yang tidak mungkin mereka tunda. Maka bagi mereka harga gula adalah ketentuan menakutkan yang entah datang dari mana dan harus mereka terima, suka atau tidak suka.
Tentang harga yang turun kadang Pak Tir punya cerita; sekarang musim buah-buahan. Maka kebutuhan orang akan makanan yang manis berkurang. Atau,
tauke bilang pabrik kecap di Jakarta yang biasa menerima gula terbakar sehingga stok gula menumpuk di gudang. Atau lagi, harga solar naik karena pemerintah memotong subsidi harga bahan bakar minyak. Tauke terpaksa menurunkan harga pembelian gula untuk menutup kenaikan biaya angkutan.
Istri-istri penyadap itu selalu mendengarkan cerita Pak Tir dengan setia. Mereka menganggukkan kepala setiap kali Pik Tir selesai dengan satu cerita. Tetapi mereka sungguh tidak bisa mengerti apa hubungan antara musim buah dan jatuhnya harga gula, tentang pabrik kecap yang terbakar, dan kenaikan bahan bakar minyak. Mereka mengangguk karena itulah satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan. Ya, mengangguk bukan karena mereka mengerti. Anggukan mereka lebih terasa sebagai pertanda ketidakberdayaan.
Ketika akhirnya giliran Lasi tiba, Pak Tir menatapnya sejenak lalu berdecak sambil menggelengkan kepala. Sama seperti semua orang yang berada di sekelilingnya, Pak Tir pun tersenyum aneh. Suaranya bernada penuh simpati ketika Pak Tir berkata perlahan,
"Oalah, Las, buruk amat peruntunganmu. Kamu harus bisa sabar. Puluh-puluh, Las, barangkali sudah jadi garis nasibmu."
"Pak Tir, apa maksud Anda"" tanya Lasi gagap. Wajahnya menunjukkan kcbimbangan yang amat sangat.
"Lho, apa kamu belum tahu""
"Tahu hal apa, Pak" Ada apa sebenarnya"" Wajah Lasi makin tak menentu. Bibirnya gemetar.
Pak Tir kembali menggelengkan kepala. Terasa ada yang aneh dan muskil.
"Las, aku tak ingin mengatakan sampai kamu tahu sendiri apa yang kumaksud. Memang aneh, Las. Aneh. Orang sekampung sedih tahu tetapi kamu sendiri malah tak merasa apa-apa."
Dengan tangan gemetar karena risau, Lasi menerima uang pembayaran gula yang diberikan Pak Tir. Tanpa menghitung uang itu Lasi langsung melangkah pulang. Sekilas dilihatnya orang-orang masih memandangnya dengan cara aneh. Terasa ada cakar tajam menusuk dadanya. Kuduk Lasi terasa panas, seakan semua mata orang melekat di sana. Lasi berjalan setengah berlari agar bisa secepatnya sampai di rumah. Langkahnya panjang-panjang. Tak dipedulikannya seekor si kaki seribu yang merayap melintas jalan di depannya. Padahal biasanya Lasi paling ngeri melihat binatang yang lamban dan menjijikkan itu. Lasi hampir masuk ke halaman rumah ketika dari arah samping muncul emaknya. Mbok Wiryaji berjalan sambil mengangkat kain tinggi-tinggi. Kemarahan yang luar biasa kelihatan dari wajahnya yang terbakar.
"Oalah, Lasi, anakku. Kaniaya temen awakmu! Sial amat peruntunganmu!"
"Apa, Mak" Sebetulnya ada apa, Mak""
"Gusti. Jadi kamu belum tahu" Da
rsa, suamimu, tengik! Dia bacin! Dia kurang ajar. Sipah sedang menuntutnya agar dikawin. Kamu tidak usah pulang ke rumahmu. Kamu harus minta cerai."
Lasi masih mendengar emaknya terus nyapnyap dengan ledakan kata-kata yang sangat pedas dan tajam. Lasi juga masih melihat bayangan emaknya bergerak-gerak dalam kemabukannya. Tetapi Lasi sendiri terpaku, matanya terbuka lebar tanpa kedip, kedua bibirnya berhenti pada posisi seperti hendak berkata-kata. Dan kesadarannya melayang ke dalam dunia yang asing. Lasi melihat semua orang. Pepohonan dan burung-burung menyeringai mengejeknya. Matahari terlihat kuning kotor dan air di dasar jurang menyuarakan gelak tawa. Muncul Bunek bertelanjang dada, teteknya menggelantung sampai ke pusar, menyeringai dengan gigi membusuk dan jarang. Rambutnya gembel menjadi gumpalan serabut kotor. Bunek terkekeh dan meringkik panjang. Suara yang buruk dan menyakitkan telinga itu bergaung lalu memantul berulang-ulang
pada setiap dinding lembab.
Dunia Lasi terus jungkir balik dan malang melintang. Segala sesuatu melayang, berhamburan, dan berbaur dengan sejuta kunang-kunang, sejuta bintang dan sejuta kembang api yang meledak bersama. Ada ular belang siap mematuk. Ada kalajengking. Lalu ada suara berdenting pecah dalam liang telinga Lasi. Lalu segalanya hening. Yang jungkir balik perlahan mereda. Yang herhamburan perlahan berhenti dan luruh. Yang tampak pekat mencair. Yang keruh mengendap. Perlahan Lasi hadir kembali ke dalam dunia nyata.
Dalam kesadaran yang belum sepenuhnya pulih Lasi melihat Sipah, perawan lewat umur anak bungsu Bunek. Gadis berkaki pincang dan amat pemalu itu sedang menuntut Darsa mengawininya" Pada detik pertama Lasi mempercayai kenyataan itu, bakul yang sedang dipegangnya jatuh ke tanah. Juga uang yang digenggamnya. Kelenting receh logam jatuh ke tanah berbatu. Kedua tangan Lasi mengepal. Lasi terlempar kembali ke dalam dunia khayal, menjadi kepiting batu raksasa dengan capit dari gunting baja. Lasi siap memangkas putus pertama-tama leher Bunek, kemudian leher Darsa, kemudian leher semua orang. Tapi tak pernah ada kepiting raksasa atau jari dari gunting baja. Yang tergelar di depan Lasi adalah kenyataan dirinya terlempar dari pentas tempat selama ini dia hadir. Lasi kini merasa di alam awang-uwung, antah berantah. Tak ada layar atau cermin tempat ia melihat pantulan dirinya sendiri. Tak ada sesuatu untuk membuktikan bahwa dirinya ada. Lasi merasakan dirinya tak lagi mewujud. Hilang, atau ketiadaan yang menghunjamkan rasa amat sakit ke dalam dadanya.
Seperti kelaras pisang tertiup angin, Lasi bergoyang lalu berjalan. Dengan matanya yang tak pernah berkedip dan wajah mati rasa Lasi menjadi sosok yang bergerak tanpa kesadaran penuh. Masih terus mengutuk dan mengumpat Darsa, Mbok Wiryaji mengikuti Lasi, pulang. Sampai di ambang pintu Mbok Wiryaji melihat suaminya sedang duduk diam seperti pongkor kosong. Serta-merta kemarahannya meruah lebih dahsyat.
"Itu, Darsa kemenakanmu. Tengik bacin! Tak tahu diuntung. Setengah tahun hanya menjadi kambing lumpuh yang harus dicatu, kini dia malah menghina anakku. Kamu tidak tahu Lasi secepatnya akan dapat suami baru bila ia jadi janda" Suami barunya nanti seorang priyayi. Guru. Punya gaji. Bukan cuma penderes dungu yang bau nira masam. Apek. Mau tahu; banyak lelaki menunggu
Pengelana Rimba Persilatan 1 Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta Kelemahan The Weakness 2
Bekisar Merah Oleh Ahmad Tohari Edit & Convert Jar: Inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Ahmad Tohari KEMARAU di kawasan Banyumas, Jawa Tengah, pada masa kini mungkin tidak lagi sedahsyat akibatnya dibanding masa lalu, ketika hutan-hutan jati di daerah Jatilawang mengering, tanah pecah-pecah, penduduk merana kelaparan. Dulu, seperti ditunjukkan Ahmad Tohari (47), penulis yang pernah menghasilkan novel Ronggeng Dukuh Paruk, hutan menyala menjadi korban kebakaran akibat pertikaian politik yang menyusup sampai ke desa-desa pada masa sebelum 1965.
Ahmad Tohari dilahirkan di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas tanggal 13 Juni 1948. Pendidikan formalnya hanya sampai SMAN II Purwokerto. Namun demikian beberapa fakultas seperti ekonomi, sospol, dan kedokteran pernah dijelajahinya. Semuanya tak ada yang ditekuninya. Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya yang mewarnai seluruh karya sastranya.
Lewat trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (dua yang lainnya Lintang Kemukus Dinihari dan Jentera Bianglala), ia telah mengangkat kehidupan berikut cara pandang orang-orang dari lingkungan dekatnya ke pelataran sastra Indonesia. Sesuai tahun-tahun penerbitannya, karya Ahmad Tohari adalah Kubah (novel, 1980), Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982) Lintang Kemukus Dinihari (novel, 1984), Jentera Bianglala (novel, 1985), Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1989), Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1990), Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1993), Bekisar Merah (novel, 1993), Mas Mantri Gugat (kumpulan kolom, 1994).
BAGIAN PERTAMA Dari balik tirai hujan sore hari pohon-pohon kelapa di seberang lembah itu seperti perawan mandi basah; segar, penuh gairah, dan daya hidup. Pelepah-pelepah yang kuyup adalah rambut basah yang tergerai dan jatuh di belahan punggung. Batang-batang yang ramping dan meliuk-liuk oleh embusan angin seperti tubuh semampai yang melenggang tenang dan penuh pesona. Ketika angin tiba-tiba bertiup lebih kencang pelepah-pelepah itu serempak terjulur sejajar satu arah, seperti tangan-tangan penari yang mengikuti irama hujan, seperti gadis-gadis tanggung berbanjar dan bergurau di bawah curah pancuran.
Pohon-pohon kelapa itu tumbuh di tanah lereng di antara pepohonan lain yang rapat dan rimbun. Kemiringan lereng membuat pemandangan seberang lembah itu seperti lukisan alam gaya klasik Bali yang terpapar di dinding langit. Selain pohon kelapa yang memberi kesan lembut, batang sengon yang lurus dan langsing menjadi garis-garis tegak berwarna putih dan kuat. Ada beberapa pohon aren dengan daun mudanya yang mulai mekar; kuning dan segar. Ada pucuk pohon jengkol yang berwarna coklat kemerahan, ada bunga bungur yang ungu berdekatan dengan pohon dadap dengan kembangnya yang benar-benar merah. Dan batang-batang jambe rowe, sejenis pinang dengan buahnya yang bulat dan lebih besar, memberi kesan purba pada lukisan yang terpajang di sana.
Dalam sapuan hujan panorama di seberang lembah itu terlihat agak samar. Namun cuaca pada musim pancaroba sering kali mendadak berubah. Lihatlah, sementara hujan tetap turun dan angin makin kencang bertiup tiba-tiba awan tersibak dan sinar matahari langsung menerpa dari barat. Lukisan besar di seberang lembah mendadak mendapat pencahayaan yang kuat dan menjadikannya lebih hidup. Warna-warninya muncul lebih terang, matra ketiganya makin jelas. Muncul pernik-pernik mutiara yang berasal dari pantulan sempurna cahaya matahari oleh dedaunan yang kuyup dan bergoyang. Dari balik bukit, di langit timur yang biru-kelabu, muncul lengkung pelangi. Alam menyelendangi anak-anak perawannya yang selesai mandi besar dengan kabut cahaya warna-warni.
Ketika dengan tiba-tiba pula matahari lenyap, suasana kembali samar. Apalagi
hujan pun berubah deras menyusul ledakan guntur yang bergema di dinding-dinding lembah. Angin kembali bertiup kencang sehingga pohon-pohon kelapa itu seakan hendak rebah ke tanah. Ketika itulah dada Darsa terasa berdenyut. Darsa yang sejak lama memandangi pohon-pohon kelapanya di seberang lembah itu, hampir putus harapan. Bila hujan dan angin tak kunjung berhenti Darsa tak mun
gkin pergi menyadap pohon-pohon kelapanya. Sebagai penderes, penyadap nira kelapa, Darsa sudah biasa turun-naik belasan pohon dalam hujan untuk mengangkat pongkor yang sudah penuh nira dan memasang pongkor baru. Namun hujan kali ini disertai angin dan guntur. Penderes mana pun tak akan keluar rumah meski mereka sadar akan akibatnya; nira akan masam karena pongkor terlambat diangkat. Nira demikian tidak bisa diolah menjadi gula merah. Kalaupun bisa hasilnya adalah gula gemblung, yakni gula pasta yang harga jualnya sangat rendah. Padahal, sekali seorang penyadap gagal mengolah nira, maka terputuslah daur penghasilannya yang tak seberapa. Pada saat seperti itu yang bisa dimakan adalah apa yang bisa diutang dari warung.
Dari emper rumah bambunya Darsa kembali menatap ke timur, menatap pohon-pohon kelapanya yang masih diguyur hujan nun di seberang lembah. Darsa gelisah. Kesejatian seorang penyadap serasa tertantang. Bagi Darsa, bagi setiap lelaki penyadap, pohon-pohon kelapa adalah harapan dan tantangan, adalah teras kehidupan yang memberi semangat dan gairah hidup. Tetapi karena hujan dan angin yang belum juga mereda, Darsa tak berdaya mendekati pohon-pohon kelapa yang terasa terus melambaikan pelepah-pelepah ke arahnya.
Guntur kembali bergema dan hujan menderas lebih hebat lagi. Hati Darsa makin kecut. Mungkin sore ini Darsa harus merelakan niranya berubah menjadi cairan asam karena tidak terangkat pada waktunya. Darsa hampir putus asa. Tetapi pongkor, seruas bambu penadah nira yang bergantungan pada manggar-manggar kelapa, terus memanggil dan mengusik hatinya minta diangkat. Manakala hujan agik surut, harapannya muncul. Namun bila hujan kembali deras dan guntur meledak-ledak, harapan itu lenyap. Sementara suara beduk dari surau Eyang Mus sudah terdengar, sayup menyelinap ke hujan. Asar sudah lewat dan senja hampir tiba. Makin kecil saja kemungkinan Darsa bisa mengangkat niranya sore ini, karena belum juga tampak tanda-tanda cuaca akan berubah.
Sambil menjatuhkan pundak karena merasa hampir kehilangan harapan, Darsa membalikkan badan lalu masuk ke rumah. Berdiri di ruang tengah Darsa melihat Lasi, istrinya, sedang merentang kain basah pada tali isisan di emper
sebelah barat. Lasi selesai mandi. Rambutnya basah tergerai, terjun ke belakang telinga kanan, melintir ke depan dan terjumbai di dada. Sekejap Darsa terbayang akan pohon-pohon kelapanya yang sedang disiram hujan. Dan karena Lisi berdiri membelakang, Darsa dapat melihat punggung istrinya yang terbuka. Juga tengkuknya. Ada daya tarik yang aneh pada kontras warna rambut yang pekat dengan kulit tengkuk Lasi yang putih, lebih putih dari tengkuk perempuan mana pun yang pernah dilihat oleh Darsa. Penyadap muda itu tak habis merasa beruntung punya istri dengan kulit sangat putih dan memberi keindahan khas terutama pada bagian yang berbatasan dengan rambut seperti tengkuk dan pipi. Apalagi bila Lasi tertawa. Ada lekuk yang sangat bagus di pipi kirinya.
Di mata Darsa, pesona dan gairah hidup yang baru beberapa detik lalu direkamnya dari pohon-pohon kelapa di seberang lembah, kini berpindah sempurna ke tubuh Lasi. Sama seperti pohon-pohon kelapa yang selalu menantang untuk disadap, pada diri Lasi ada janji dan gairah yang sangat menggoda. Pada Lasi terasa ada wadah pengejawantahan diri sebagai lelaki dan penyadap. Pada diri istrinya juga Darsa merasa ada lembaga tempat kesetiaan dipercayakan. Dan lebih dari pohon-pohon kelapa yang tak putus meneteskan nira, Lasi yang sudah tiga tahun menjadi istrinya, meski belum memberinya keturunan, adalah harga dan cita-cita hidup Darsa sendiri.
Lasi selesai mengisis kain basahan. Ketika hendak masuk ke dalam matanya bersitatap dengan suaminya. Entah mengapa Lasi terkejut meski ia tidak merasa asing dengan cara Darsa menatap dirinya. Ia pun kadang-kadang mencuri pandang, memperhatikan tubuh suaminya dari belakang; sebentuk tubuh muda dengan perototan yang kuat dan seimbang, khas tubuh seorang penyadap yang tiap hari dua kali naik-turun belasan atau bahkan puluhan pohon kelapa. Dalam gerakan naik-turun pada tatar-tatar batang kelapa, seluruh
perototan seorang penyadap digiatkan, terutama otot-otot tungkai, tangan, dan punggung. Hasilnya adalah sebentuk tubuh ramping dengan otot liat dan seimbang. Bila harus dicatat kekurangan pada bentuk tubuh seorang penyadap, itu adalah pundaknya yang agak melengkung ke depan karena ia harus selalu memeluk batang kelapa ketika memanjat maupun turun.
Lasi dan Darsa sama-sama tersenyum. Di luar, hujan masih deras. Rumah bambu yang kecil itu terasa sepi dan dingin. Hanya terdengar suara hujan dan tiupan angin pada rumpun bambu di belakang rumah kecil itu. Atau suara induk ayam dan anak-anaknya di emper belakang. Dari satu-satunya rumah yang dekat pun, rumah orangtua Lasi, tak terdengar kegiatan apa-apa. Lasi dan
Darsa kembali berpandangan dan kembali sama-sama tersenyum.
"Las, apa aku harus tidak berangkat""
"Kan masih hujan."
"Bagaimana bila aku berangkat juga""
"Terserah, Kang. Tetapi kurang pantas, dalam cuaca seperti ini kamu bekerja
juga." "Berasmu masih ada""
"Masih, Kang. Uang juga masih ada sedikit. Kita besok masih bisa makan andaikata nira sore ini terpaksa tidak diolah."
"Tapi sayang sekali bila pongkor-pongkor dibiarkan tetap bergantungan dan niranya masam. Manggar bisa busuk."
"Ya. Soalnya, hujan masih lebat, Kang."
"Hujan masih lebat ya, Las""
"Ya..." Lasi tak meneruskan kata-katanya karena tiba-tiba suasana berubah. Darsa memandang Lasi dengan mata berkilat. Keduanya beradu senyum lagi. Darsa selalu berdebar bila menatap bola mata istrinya yang hitam pekat. Seperti kulitnya, mata Lasi juga khas; berkelopak tebal, tanpa garis lipatan. Orang sekampung mengatakan mata Lasi kaput. Alisnya kuat dan agak naik pada kedua ujungnya. Seperti Cina. Mungkin Darsa ingin berkata sesuatu. Tetapi Lasi yang merasa dingin masuk ke bilik tidur hendak mengambil kebaya. Dan Darsa mengikutinya, lalu mengunci pintu dari dalam. Keduanya tak keluar lagi. Ada seekor katak jantan menyusup ke sela dinding bambu, keluar melompat-lompat menempuh hujan dan bergabung dengan betina di kubangan yang menggenang. Pasangan-pasangan kodok bertunggangan dan kawin dalam air sambil terus mengeluarkan suaranya yang serak dan berat. Induk ayam di emper belakang merangkul semua anaknya ke balik sayap-sayapnya yang hangat. Udara memang sangat dingin.
Darsa hampir terlelap di samping istrinya ketika suasana di luar tiba-tiba berubah. Hujan benar-benar berhenti, bahkan matahari yang kemerahan muncul dari balik awan hitam. Semangat penyadap sejati membangunkan Darsa. Ia segera bangkit dan keluar dari bilik tidur. Lasi pun mengerti, suaminya terpanggil oleh pekerjaannya, oleh semangat hidupnya. Penderes mana saja akan segera pergi mengangkat pongkor pada kesempatan pertama. Sementara Darsa pergi ke sumur untuk mengguyur seluruh tubuhnya, Lasi menyiapkan perkakas suaminya; arit penyadap, pongkor-pongkor dan pikulannya, serta caping bambu. Kemudian Lasi pun menyusul ke sumur, juga untuk mengguyur seluruh tubuhnya. Lasi mandi besar lagi meski rambutnya belum sempat kering.
Tanpa kata sepatah pun Lasi melepas Darsa berangkat. Terdengar kelentang-kelentung suara tabung-tabung bambu saling beradu ketika sepikul pongkor naik ke pundak Darsa. Seorang penyadap muda melangkahkan kakinya yang ramping dan kuat di atas tanah basah yang di sana-sini masih tergenang air hujan. Darsa terus melangkah menuju tanah lereng di seberang lembah. Sisa air hujan menetes dari dedaunan, beberapa tetes jatuh menimpa caping bambu yang menutup kepalanya. Gemercik air dalam parit yang tertutup berbagai jenis pakis-pakisan yang basah dan hijau segar. Darsa melintas titian dua batang bambu. Ketika tepat berada di tengahnya ia melihat setangkai pelepah pinang kuning tiba-tiba runduk lalu lepas dari batang dan melayang jatuh ke tanah. Pelepah itu terpuruk menimpa rumpun nanas liar. Di atas sana pelepah pinang itu meninggalkan mayang putih bersih dan masih setengah terbungkus selubung kelopak. Darsa merasa seakan baru melihat sebuah kematian setangkai pelepah pinang datang hampir bersamaan dengan kelahiran sejumbai
mayang. Lepas dari titian bambu Darsa menelusur jalan setapak yang naik bertatar
yang dipahat pada lereng cadas. Turun lagi, melintas titian kedua, dan di hadapan Darsa terhampar sawah yang menjadi dasar lembah. Di ujung lembah adalah tanah lereng. Di sanalah pekarangan Darsa dan di sana pula pohon-pohon kelapanya tumbuh.
Darsa menurunkan pikulan dari pundaknya, mengambil dua pongkor. Sisa air hujan masih meluncur sepanjang batang kelapa yang hendak dipanjatnya. Sambil naik ke tatar pertama, Darsa mengikatkan ujung tali kedua pongkor pada kait logam yang terdapat pada sabuk bagian punggung. Maka ketika memanjat tatar demi tatar kedua pongkor itu seperti ekor yang berayun-ayun ke kiri dan ke kanan. Arit penyadap terselip di pinggang. Tetes air berjatuhan ketika pohon kelapa bergoyang oleh gerakan tubuh Darsa yang mulai naik. Darsa terus memanjat dengan semangat yang hanya ada pada seorang penyadap.
Selalu eling dan nyebut, adalah peringatan yang tak bosan disampaikan kepada para penyadap selagi mereka bekerja di ketinggian pohon kelapa. Darsa pun tak pernah melupakan azimat ini. Seperti semua penyadap, Darsa tahu apa akibat kelalaian yang dilakukan dalam pekerjaannya. Terjatuh dari ketinggian pohon kelapa adalah derita yang sangat niscaya dan dalam musibah demikian hanya sedikit penyadap yang bisa bertahan hidup. Maka Darsa tahu bahwa ia harus tetap berada dalam kesadaran tinggi tentang di mana ia sedang berada dan apa yang sedang dilakukannya serta keadaan apa yang berada di sekelilingnya. Ia harus eling. Untuk mengundang dan menjaga taraf kesadaran seperti itu diajarkan turun-temurun kepada para penyadap: nyebut, ucapkan dengan lidah dan hati bahwa pekerjaanmu dilakukan atas nama Yang Mahaselamat.
Tetapi ketika duduk ngangkang di atas pelepah sambil mengiris manggar kesadaran Darsa tidak terpusat penuh pada pekerjaan yang sedang dilakukannya. Saat itu Darsa merasa sangat sulit melupakan keberuntungan yang baru dikenyamnya beberapa saat lalu di rumah. Anehnya, sulit juga bagi Darsa meyakinkan diri bahwa sumber keberuntungan itu, Lasi, adalah istrinya yang tak kurang suatu apa. Bukan karena Darsa tidak percaya akan keabsahan perkawinannya. Bukan pula karena Darsa meragukan ketulusan Lasi. Keraguan
Darsa datang karena banyak celoteh mengatakan bahwa Lasi yang berkulit putih dengan mata dan lekuk pipi yang khas itu sesungguhnya lebih pantas menjadi istri lurah daripada menjadi istri seorang penyadap. Darsa juga pernah mendengar selentingan yang mengatakan bahwa rumah bambunya yang kecil adalah kandang bobrok yang tak layak ditempati seorang perempuan secantik Lasi. Lalu, Darsa sendiri sering melihat bagaimana mata para lelaki tiba-tiba menyala bila mereka memandang Lasi.
Turun dari pohon kclapa pertama, kedua pongkor yang bergdantungan pada sabuk Darsa sudah bertukar. Kini kedua tabung bambu itu berisi nira. Sebelum sampai ke tatar terendah, Darsa mencabut tali pongkor dari kaitnya lalu meletakkan keduanya dengan hati-hati di tanah. Diambilnya dua pongkor baru dan Darsa siap memanjat pohon kelapa berikut. Entah mengapa Darsa sangat senang menyadap pohon kedua ini. Barangkali karena dari atas pohon ini pemandangan ke barat lebih bebas. Dari ketinggian Darsa dapat melihat rumahnya. Bahkan Darsa dapat juga melihat istrinya, meski samar, apabila Lasi kebetulan keluar. Atau karena kelapa ini tumbuh sangat dekat dengan sebatang pohon pinang. Pucuk pohon pinang itu berada di bawah mata ketika Darsa duduk di antira pelepah-pelepah kelapanya. Dan di sela-sela ketiak pelepah pinang itu ada sarang burung jalak. Anak-anak burung yang masih terpicing mata itu selalu menciap minta makan bila ada gerakan di dekatnya. Mulut mereka merah. Mereka kelihatan sangat lemah, tetapi menawan. Darsa biasa berlama-lama menatap anak-anak burung itu. Ia juga senang memperhatikan betapa sibuk induk jalak pergi-pulang untuk mencari makanan bagi anak-anaknya. Tetapi karena anak-anak burung itu Darsa jadi sering berkhayal, kapan Lasi punya bayi" Bila ada keindahan tercipta ketika seekor induk jalak menyuapi anaknya, betapa pula keindahan yang akan menjelma ketika terlihat seorang ibu sedang meneteki bayinya, apalagi bila si ibu itu ad
alah Lasi" Tiga tahun usia perkawinan tanpa anak sering menjadi pertanyaan berat bagi Darsa. Ada teman, meski hanya dalam gurauan, mengatakan Darsa tidak becus sehingga sampai sekian lama Lasi belum juga hamil. Gurauan ini saja sudah sangat menyakitkan hatinya. Apalagi ketika ia menyadari sesuatu yang lebih gawat dan justru khih mendasar; anak adalah bukti pengejawantahan diri yang amat penting sekaligus menjadi bubul perkawinannya dengan Lasi. Sebagai bukti perkawinan, surat nikah boleh disimpan di bawah tikar. Tapi anak" Bila Lasi sudah membopong bayi, Darsa boleh berharap segala celoteh segera hilang. Kukuh sudah kedaulatannya atas Lasi. Orang tak usah lagi berkata bahwa sesungguhnya Lasi lebih pantas menjadi istri lurah karena dia adalah ibu yang sudah melahirkan anak Darsa.
Pasangan induk jalak datang. Keduanya membawa belalang pada paruh masing-masing. Tetapi mereka tak berani mendekat sarang selama Darsa masih bertengger di atas pelepah kelapa. Anak-anak jalak menciap karena mendengar suara induk mereka. Darsa menghentikan kegiatan dan mengarahkan pandang ke pucuk pinang di sebelahnya. Anak-anak burung itu membuka mulutnya yang merah segar. Namun dalam pandangan Darsa, anak-anak burung itu adalah seorang bayi yang tergolek dan bergerak-gerak menawan dalam buaian. Darsa menarik napas panjang.
Di rumah, Lasi menyiapkan tungku dan kawah untuk mengolah nira yang sedang diambil suaminya. Senja mulai meremang. Setumpuk kayu bakar diambilnya dari tempat penyimpanan di belakang tungku. Sebuah ayakan bambu disiapkan untuk menyaring nira. Pada musim hujan Lasi sering mengeluh karena jarang tersedia kayu bakar yang benar-benar kering. Mengolah nira dengan kayu setengah basah sungguh menyiksa. Bahkan bila tak untung, gula tak bisa dicetak karena pengolahan yang tak sempurna.
Pernah, karena ketiadaan kayu kering dan kebutuhan sangat tanggung, Lasi harus merelakan pelupuh tempat tidurnya masuk tungku. Tanggung, karena sedikit waktu lagi nira akan mengental jadi tengguli. Dalam tahapan ini pengapian tidak boleh terhenti dan pelupuh tempat tidur adalah kemungkinan yang paling dekat untuk menolong keadaan. Meskipun begitu tak urung Lasi ketakutan, khawatir akan kena marah suaminya karena telah merusak tempat tidur mereka satu-satunya. Untung, untuk kesulitan semacam ini emak Lasi mempunyai nasihat yang jitu: segeralah mandi, menyisir rambut, dan merahkan bibir dengan mengunyah sirih. Kenakan kain kebaya yang terbaik lalu sambutlah suami di pintu dengan senyum. Nasihat itu memang manjur. Darsa sama sekali tidak marah ketika diberitahu bahwa tempat tidur satu-satunya tak lagi berpelupuh. Daripada melihat tempat tidur yang sudah berantakan, Darsa lebih tertarik kepada istrinya yang sudah berdandan. Malam itu lampu di rumah Darsa padam lebih awal meski mereka harus tidur dengan menggelar tikar di alas lantai tanah.
Beduk kembali terdengar dari surau Eyang Mus. Magrib. Pada saat seperti itu selalu ada yang ditunggu oleh Lasi; suara "hung", yaitu bunyi pongkor kosong yang ditiup suaminya dari ketinggian pohon kelapa. Untuk memberi aba-aba bahwa dia hampir pulang. Darsa biasa mendekatkan mulut pongkor kosong ke mulut sendiri. Bila ia pandai mengatur jarak pongkor di depan mulutnya, "hung" yang didengungkannya akan menciptakan gaung yang pasti akan terdengar jelas
dari rumah. Setiap penyadap mempunyai gaya sendiri dalam meniup "hung" sehingga aba-aba ini gampang dikenali oleh istri masing-masing.
Api di tungku sudah menyala. Tapi Lasi masih meniup-niupnya agar yakin api tidak kembali padam. Pipi Lasi yang putih jadi merona karena panas dari tungku. Ada titik pijar memercik. Dan Lasi menegakkan kepala ketika terdengar suara "hung". Wajahnya yang semula tegang, mencair. Tetapi hanya sesaat karena yang baru didengarnya bukan "hung" suaminya. Tak salah lagi. Lasi mengenal aba-aba dari suaminya seperti ia mengakrabi semua perkakas pengolah nira.
Lasi kembali jongkok di depan tungku. Wah, kawah yang masih kosong sudah panas, sudah saatnya nira dituangkan. Tetapi Darsa belum juga muncul. Di luar sudah gelap. Lasi bangkit ingin berbuat sesuatu.
K etika yang pertama terlihat adalah lampu minyak tercantel pada tiang, Lasi sadar bahwa yang harus dilakukannya adalah menyalakan lampu itu. Malam memang sudah tiba. Diraihnya lampu minyak itu, dibawanya ke dekat tungku untuk dinyalakan. Cahaya remang segera terpancar memenuhi ruang sekeliling. Lasi mengembalikan lampu ke tempat semula. Dan pada saat itu ia mendengar suara langkah berat mendekat; langkah lelaki yang membawa beban berat dan berjalan di tanah basah. Apa yang biasa dilakukan Lasi pada saat seperti itu adalah menyongsong suaminya, membantunya menurunkan pikulan, kemudian segera menuangkan nira dari pongkor-pongkor ke dalam kawah yang sudah panas.
Tetapi pada senja yang mulai gelap itu Lasi malah tertegun tepat di ambang pintu. Samar-samar ia melihat sosok lelaki yang mendekat dengan langkah amat tergesa. Lelaki itu datang bukan dengan beban di pundak melainkan di gendongannya. Beban itu bukan sepikul pongkor melainkan sesosok tubuh yang tak berdaya. Setelah mereka tertangkap cahaya lampu minyak segalanya jadi jelas; lelaki yang membawa beban itu bukan Darsa melainkan Mukri. Dan Darsa terkulai di punggung lelaki sesama penyadap itu. Ada rintihan keluar dari mulut yang mengalirkan darah.
Lasi beku. Jagatnya limbung, berdengung, dan penuh bintang beterbangan.
Kesadarannya melayang dan jungkir balik.
"Katakan, ada kodok lompat!" ujar Mukri dalam napas megap-megap karena ada beban berat di gendongannya. "Jangan bilang apa pun kecuali ada kodok lompat," ulangnya.
Lasi ternganga tanpa sepotong suara pun keluar dari mulutnya. Bahkan Lasi hanya memutar tubuh dengan mulut tetap ternganga ketika Mukri menyerobot masuk dan menurunkan Darsa ke lincak bambu di ruang tengah. Darsa langsung rebah terkulai dan mengerang panjang. Dan tiba-tiba Lasi tersadar dari kebimbangannya. Lasi hendak menubruk suaminya tetapi Mukri menangkap pundaknya.
"Tenang, Las. Dan awas, jangan bilang apa-apa kecuali, ada kodok lompat!"
Wajah Lasi tergetar menjadi panggung tempat segala rasa naik pentas. Kedua bibirnya bergetar. Air mata cepat keluar. Cuping hidungnya bergerak-gerak cepat. Kedua tangannya mengayun ke sana kemari tanpa kendali. Tenggorokan rasa tersekat sehingga Lasi belum bisa berkata apa pun. Dan ketika Lasi benar-benar sadar akan apa yang terjadi, tangisnya pecah.
"Innalillahi... ada-kodok-lompat""
"Ya! Bukan apa-apa, sekadar kodok lompat," jawab Mukri dengan pembawaan tenang. Tetapi Lasi menjerit dan terkulai pingsan. Separuh badannya tersampir di balai-balai dan separuh lagi selonjor di tanah. Darsa kembali mengerang panjang.
Wiryaji dan istrinya segera datang karena mendengar jerit Lasi. Wiryaji adalah ayah tiri Lasi dan juga paman Darsa. Menyusul kemudian tetangga-tetangga yang lebih jauh. Eyang Mus, orang yang dituakan di kampung itu dijemput di rumahnya dekat surau. Seseorang disuruh segera memberitahu orangtua Darsa
di desa sebelah. Semua yang berkumpul tahu apa yang terjadi dan semua hanya berkata ada kodok lompat. Kata 'jatuh' amat sangat dipantangkan di kalangan para penyadap kelapa. Dengan kepercayaan semacam itu para penyadap berusaha menampik sebuah kenyataan buruk dengan mengundang sugesti bagi kembalinya keadaan yang baik.
Orang-orang perempuan mengurus Darsa dan Lasi. Celana pendek Darsa yang basah dilepas dengan hati-hati. Ada yang memaksa Darsa menenggak telur ayam mentah. Mereka lega setelah menemukan tubuh Darsa nyaris tanpa cedera kecuali beberapa luka goresan pada tangan dan punggung. Tetapi bau kencing terasa sangat menyengat. Lasi pun siuman setelah seorang perempuan meniup-niup telinganya. Selembar kain batik kemudian menutupi tubuh Darsa dari kaki hingga lehernya. Lasi menangis dan menelungkup dekat kaki Darsa yang tampak sangat pucat. Namun seseorang kemudian menyuruhnya berbuat sesuatu: menyeduh teh panas untuk menghangatkan tubuh suaminya.
Tergeletak tanpa daya, Darsa sesekali mengerang. Tetapi Mukri terus bercerita kepada semua orang ihwal temannya yang naas itu. Dikatakan, ia sedang sama-sama menyadap kelapa yang berdekatan ketika musibah itu terjadi.
"Aku tidak lupa apa yang semestinya kulakukan. Mel
ihat ada kodok lompat, aku segera turun. Aku tak berkata apa-apa. Aku kemudian melepas celana yang kupakai sampai telanjang bulat. Aku menari menirukan monyet sambil mengelilingi kodok yang lompat itu."
"Bau kencing itu"" tanya entah siapa.
"Ya. Tubuh Darsa memang kukencingi sampai kuyup."
"Mukri betul," ujar Wiryaji. "Itulah srana yang harus kalian lakukan ketika menolong kodok lompat. Dan wanti-wanti jangan seorang penyadap pun boleh melupakannya."
Wiryaji terus mengangguk-angguk untuk memberi tekanan pada nasihatnya. "Untunglah kamu yang ada di dekatnya waktu itu. Bila orang lain yang ada di sana, mungkin ia berteriak-teriak dan mengambil langkah yang keliru. Mukri, terima kasih atas pertolonganmu yang jitu."
"Ya. Tetapi aku harus pergi dulu. Pekerjaanku belum selesai."
"Sudah malam begini kamu mau meneruskan pekerjaanmu""
Pertanyaan itu berlalu tanpa jawab. Mukri lenyap dalam kegelapan meski langkahnya masih terdengar untuk beberapa saat. Kini perhatian semua orang sepenuhnya tertuju kepada Darsa. Lasi tak putus menangis. Orang-orang tak henti menyuruh Darsa nyebut, menyerukan nama Sang Mahasantun.
Dari cerita Mukri orang tahu bahwa Darsa jatuh dari pohon kelapa yang tinggi. Bahwa dia tidak cedera parah, arit penyadap tidak melukai tubuhnya, bahkan kata Mukri sejak semula Darsa tidak pingsan, banyak dugaan direka orang. Bagi Wiryaji, kemenakan dan sekaligus menantu tirinya itu pasti habis riwayatnya apabila Mukri salah menanganinya. Tetapi semuanya menjadi lain karena Mukri tidak menyimpang sedikit pun dari kepercayaan kaum penyadap ketika menolong Darsa. Atau, lebih kena adalah perkiraan lain; ketika melayang jatuh tubuh Darsa tersangga lebih dulu oleh batang-batang bambu yang tumbuh condong sehingga kekuatan bantingan ke tanah sudah jauh berkurang. Dan hanya Eyang Mus yang berkata penuh yakin bahwa tangan Tuhan sendiri yang mampu menyelamatkan Darsa. Bila tidak, Darsa akan seperti semua penderes yang tertimpa petaka jatuh dari ketinggian pohon kelapa; meninggal atau paling tidak cedera berat.
Pada malam yang dingin dan basah itu rumah Lasi penuh orang. Sementara Darsa diurus oleh seorang perempuan tua, Wiryaji minta saran para tetangga bagaimana menangani Darsa selanjutnya. Ada yang bilang, karena Darsa tidak cedera berat, perawatannya cukup dilakukan di rumah. Yang lain bilang, sebaiknya Darsa segera dibawa ke rumah sakit. Orang ini bilang, sering terjadi seorang penyadap jatuh tanpa cedera tetapi keadaannya tiba-tiba memburuk dan meninggal.
"Wiryaji," kata Eyang Mus. "Keputusan berada di tanganmu. Namun aku setuju Darsa dibawa ke rumah sakit. Betapapun kita harus berikhtiar sebisa-bisa kita."
Semua orang terdiam, juga Wiryaji. Lasi yang diminta ketegasannya malah menangis. Dan Darsa kembali mengerang.
"Eyang Mus, kami tak punya biaya," kata Wiryaji setelah sekian lama tak bersuara. Semua orang kembali terdiam. Eyang Mus menyandar ke belakang sehingga lincak yang didudukinya berderit. Suasana pun cepat berubah dari kecemasan menghadapi seorang kerabat yang kena musibah menjadi kebimbangan karena tiadanya biaya untuk berobat. Dan bagi para penyadap, hal seperti itu bukan pengalaman aneh atau baru sekali mereka hadapi.
"Las," kata Wiryaji dengan suara rendah. "Kamu punya sesuatu yang bisa dijual""
Semua mata tertuju kepada Lasi. Dan jawaban Lasi hanya gelengan kepala dan air mata yang tiba-tiba kembali mengambang.
"Bagaimana jika pohon-pohon kelapa kalian digadaikan""
"Jangan," potong Eyang Mus. "Nanti apa yang bisa mereka makan""
Mbok Wiryaji, emak Lasi, berjalan hilir-mudik di ruang yang sempit itu.
"Kalau sudah begini," kata Mbok Wiryaji, "apa lagi yang bisa kita lakukan kecuali datang kepada Pak Tir. Lasi selalu menjual gula kepadanya."
Semua yang hadir diam. Mereka membenarkan Mbok Wiryaji tetapi mereka juga tahu apa artinya bila Lasi meminjam uang kepada Pak Wir. Nanti Lasi tak boleh lagi menjual gulanya kepada pcdagang lain dan harga yang diterimanya selalu lebih rendah. Malangnya bagi istri seorang penyadap kepahitan ini masih lebih manis daripada membiarkan suami tak berdaya dan terus mengerang.
Wiryaji, at as nama Lasi, pergi ke rumah Pak Tir. Meski tahu Pak Tir biasa menolak meminjamkan uang pada malam hari, Wiryaji berangkat juga dengan keyakinan apa yang sedang menimpa Darsa bukan hal biasa. Sementara Wiryaji pergi, orang-orang sibuk mengurus Darsa. Ada yang menyeka tubuhnya dengan air hangat agar lumpur serta bau kencing Mukri yang membasahi tubuhnya hilang. Darsa mengerang lebih keras ketika luka-luka di kulitnya terkena air. Beberapa lelaki mempersiapkan usungan darurat. Dua-tiga obor juga dibuat dari potongan hambu.
*** Karangsoga adalah sebuah desa di kaki pegunungan vulkanik. Sisa-sisa kegiatan gunung api masih tampak pada ciri desa itu berupa bukit-bukit berlereng curam, lembah-lembah atau jurang-jurang dalam yang tertutup berbagai jenis pakis dan paku-pakuan. Tanahnya yang hitam dan berhumus tebal mampu menyimpan air sehingga sungai-sungai kecil yang berbatu-batu dan parit-parit alam gemercik sepanjang tahun. Karena banyaknya parit alam yang selalu mengalirkan air, banyak sekali titian yang menyambungkan jalan setapak di Karangsoga. Pipa-pipa bambu dibuat orang untuk menyalurkan air dari tempat tinggi ke kolam-kolam ikan, pancuran, atau sawah-sawah yang tanahnya tak pernah masam karena air selalu mengalir dan mudah dikeringkan. Bila hujan turun, air cepat terserap ke dalam tanah sehingga tak ada genangan dan sungai-sungai tetap jernih.
Kecuali di sawah dan tegalan yang merupakan bagian sempit desa Karangsoga, sinar matahari sulit mencapai tanah. Kesuburan tanah vulkanik membuat semua tetumbuhan selalu hijau dan rindang. Rumpun bambu tumbuh sangat rapat.
Pekarangan-pekarangan yang sejuk kebanyakan berbatas deretan rumpun salak. Anehnya, pohon kelapa tidak tumbuh dengan baik. Ada orang bilang Karangsoga terlalu tinggi dari permukaan laut sehingga udaranya agak dingin, kurang cocok untuk tanaman dari keluarga palma itu. Tetapi ada pula yang bilang, Karangsoga terlalu subur untuk tanaman selain kelapa sehingga yang terakhir itu tak berpeluang mengembangkan pelepah-pelepahnya. Di Karangsoga, pohon kelapa tumbuh dengan pelepah agak kuncup, karena tak sempat mengembang dalam bulatan penuh sehingga tak bisa menghasilkan buah yang banyak. Boleh jadi karena keadaan itu orang Karangsoga pada generasi terdahulu memilih menyadap pohon-pohon kelapa mereka daripada menunggu hasil buahnya yang tak pernah memuaskan. Apalagi tupai yang berkembang biak dalam rumpun-rumpun bambu yang tumbuh sangat rapat menjadi hama kelapa yang tak mudah diberantas.
Dahulu, sebelum mengenal pembuatan gula kelapa, orang Karangsoga menyadap pohon aren. Nira aren adalah bahan pembuat tuak yang sudah sangat lama dikenal orang. Namun sejak dianjurkan tidak minum tuak, orang Karangsoga mengolah nira aren menjadi gula untuk kebutuhan sendiri. Ketika gula aren mulai berubah menjadi baban perdagangan, orang mulai berpikir tentang kemungkinan pembuatan gula dari nira kelapa. Di Karangsoga penyadapan pohon kelapa berkembang sangat cepat karena, meski subur dan tak pernah kurang air, tanah datar yang bisa digarap untuk sawah dan tegalan terlalu sempit untuk jumlah penduduk yang terus meningkat.
Malam itu ada usungan dipikul dua orang keluar dari salah satu sudut Karangsoga. Iring-iringan kecil itu dipandu oleh sebuah obor minyak, diikuti oleh seorang lelaki dan dua perempuan. Satu obor lagi berada di ekor iring-iringan. Barisan itu menyusur jalan setapak, naik tataran yang dipahatkan pada bukit cadas, turun, menyeberang titian batang pinang, lalu hilang di balik kelebatan pepohonan. Muncul lagi di jalan kecil yang berdinding tebing bukit, melintas titian kedua, kemudian masuk membelah pekarangan yang penuh pohon salak. Asap obor mereka menggelombang warna kelabu, ekornya terburai, dan makin jauh makin samar tertelan gelap malam. Seekor kelelawar terbang mendekat dan tertangkap cahaya obor, berbalik dengan gerakan tak terduga dan lenyap. Tetapi seekor belalang hijau meluncur langsung menabrak nyala obor. Sayap arinya yang tipis terbakar dalam sekejap dan serangga malang itu jatuh ke tanah. Pepohonan bergoyang oleh tiupan angin dan sisa hujan tadi siang berjatuh
an seperti gerimis. Lima orang yang beriringan itu hampir tak pernah berbicara. Lebih sering
terdengar suara erangan Darsa yang tergeletak dalam usungan darurat yang ditutup kain. Atau sesekali isak Lasi yang berjalan tepat di belakang usungan. Senyap. Hanya suara langkah. Hanya suara berbagai serangga atau bunyi katak hijau dari balik semak di lereng jurang. Dan desau api obor yang terayun-ayun seirama dengan langkah orang yang membawanya.
Melewati titian ketiga mereka menempuh tanjakan terakhir sebelum masuk ke lorong yang lebih lebar dan berbatu-batu. Dari rumah-rumah di tepi lorong itu muncul penghuni yang kebanyakan sudah mendengar tentang musibah yang menimpa Darsa. Mereka melipat tangan di dada, komat-kamit membaca doa bagi keselamatan kerabat yang sedang menanggung musibah. Mereka sadar bahwa nasib serupa bisa juga menimpa suami, anak lelaki, atau saudara mereka.
Malam makin dingin ketika usungan dan pengantarnya itu memasuki jalan besar. Dari titik masuk itu mereka berbelok ke barat dan akan berjalan lima kilometer menuju poliklinik di sebuah kota kewedanan. Mereka mempercepat langkah karena ada pertanda hujan akan kembali turun. Kilat makin sering tampak membelah langit. Ketika langit sedetik benderang terlihat awan hitam mulai menggantung. Lasi mengisak karena mendengar dari jauh suara burung hantu. Orang Karangsoga sering menghubungkan suara burung itu dengan kematian. Untung, pada saat yang sama terdengar Darsa mengerang. Jadi bagaimana juga keadaannya Darsa masih hidup. Dan Lasi melangkah lebih cepat mengikuti iring-iringan yang sedang berkejaran dengan turunnya hujan, berkejaran dengan keselamatan Darsa.
*** Bagi siapa saja di Karangsoga berita tentang orang dirawat karena jatuh dari pohon kelapa sungguh bukan hal luar biasa. Sudah puluhan penderes mengalami nasib yang jauh lebih buruk daripada musibah yang menimpa Darsa dan kebanyakan mereka meninggal dunia. Si Itu patah leher ketika jatuh dan arit yang terselip di pinggang langsung membelah perut. Si Ini jatuh terduduk dan menghunjam tepat pada tonggak bambu sehingga diperlukan tenaga beberapa orang untuk menarik tubuhnya yang sudah menjadi mayat. Si Pulan bahkan tersambar geledek ketika masih duduk di atas pelepah kelapa dan mayatnya
terlempar jatuh ke tengah rumpun pandan. Mereka, orang-orang Karangsoga, sudah terbiasa dengan peristiwa seperti itu sehingga mereka mudah melupakannya.
Namun tidak demikian halnya ketika mereka mendengar malapetaka semacam menimpa Darsa. Orang-orang Karangsoga membicarakannya di mana-mana dengan penuh minat, penuh rasa ingin tahu. Dan hal ini terjadi pasti bukan karena Darsa terlalu penting bagi mereka melainkan karena istrinya, Lasi! Lasi akan menjadi janda apabila Darsa meninggal. Orang banyak mengatakan, Karangsoga akan hangat kembali oleh bisik-bisik, celoteh, dan gunjingan tentang Lasi seperti ketika dia masih gadis. Lasi akan kembali menjadi bahan perbincangan, baik oleh lelaki maupun perempuan. Bahkan orang juga menduga cerita tentang asal-usul Lasi dan perkosaan yang pernah dialami emaknya akan merebak lagi. Atau tentang ayah Lasi yang menyebabkan istri Darsa itu memiliki penampilan sangat spesifik, tak ada duanya di Karangsoga.
Karangsoga, 1961, jam satu siang. Bel di sekolah desa itu berdering. Terdengar ramai para murid memberi salam bersama kepada guru. Sepuluhan anak lelaki dan perempuan keluar dari ruang kelas enam. Lepas dari pintu kelas mereka bersicepat menghambur ke halaman dan langsung diterpa terik matahari. Anak-anak lelaki terus berlari meninggalkan sekolah, melesat seperti anak-anak kambing dibukakan kandang. Tetapi tiga murid perempuan berjalan biasa sambil bersenda gurau. Ketiganya berambut ekor kuda dan bertelanjang kaki. Buku tulis dan kayu penggaris ada pada tangan masing-masing.
Keluar dari halaman sekolah mereka melangkah menyusur jalan kampung yang berbatu-batu, menaiki tanjakan terjal, turun lagi, lalu masuk lorong di bawah rimbun pepohonan dan rumpun bambu. Pada sebuah simpang tiga, seorang di antara ketiga gadis kecil itu memisahkan diri. Lasi dan seorang temannya meneruskan perjalanan. Na
mun tak jauh dari simpang tiga itu teman Lasi yang terakhir membelok ke halaman rumahnya. Sebelum berpisah, teman ini mencubit pipi Lasi dengan nakal. "Pantas, Pak Guru suka sama kamu, karena kamu cantik!" Teman itu kemudian lari. Lasi hanya meringis dan mengemyitkan alis. "Betul" Aku cantik""
Kini Lasi tak berteman. Berjalan seorang diri, Lasi mempercepat langkah karena ingin segera sampai ke rumah. Ketika melintas titian batang pinang pun Lasi tidak memperlambat langkahnya. Tetapi Lasi mendadak berhenti sebelum
kakinya menginjak titian yang kedua. Di atas titian yang mclintas kali kecil itu Lasi biasa berdiri berlama-lama menatap ke bawah. Karena air sangat jernih, Lasi dapat melihat kepiting-kepiting batu yang merayap-rayap di dasar parit. Binatang berkaki delapan itu senang berkumpul di sana, boleh jadi karena ada anak suka berak di titian. Karena terbiasa dengan tinja yang jatuh, kepiting-kepiting itu segera muncul dari tempat persembunyian bila ada benda dilempar ke dalam air.
Lasi menjatuhkan sebutir tanah. Seperti yang ia harapkan, serempak muncul empat atau lima kepiting besar dan kecil. Dan Lasi sangat senang kepada salah satu di antara binatang air itu. Kepiting kesukaan Lasi bukan yang paling besar, tetapi ia punya tangan penjepit sangat kukuh dan hampir sama besar dengan ukuran tubuh binatang itu. Semua kepiting bergerak menuju benda yang dijatuhkan Lasi namun dengan gerak yang perkasa Si Jepit Kukuh mengusir yang lain. Lasi meremas-remaskan jarinya dan tanpa disadari mulutnya bergumam, "Tangkap dan jepit sampai remuk!"
Tak ada yang tertangkap, tak ada juga yang terjepit sampai remuk. Tetapi Lasi puas dan kepiting-kepiting itu kembali bersembunyi. Lasi ingin mengulang pertunjukan yang sama. Tetapi ia mengangkat muka karena mendengar suara langkah dari seberang titian. Empat anak lelaki sebaya cengar-cengir, bersipongah. Tiga di antara mereka adalah teman sekelas Lasi sendiri dan yang paling kecil dan kelihatan sebagai anak bawang adalah Kanjat, anak Pak Tir. Ketiga teman sekelas itu biasa menggoda Lasi, baik di dalam kelas apalagi di luarnya. Kini ketiganya cengir-cengir lagi dan Lasi menatap mereka dengan mata membulat penuh. Pipinya serta-merta merona. Ada ketegangan merentang titian pinang sebatang. Kanjat yang kelihatan hanya ikut-ikutan, memandang silih berganti dengan wajah cemas. Tetapi ketiga temannya terus cengar-cengir dan mulai mengulang kebiasaan mereka menggoda Lasi.
"Lasi-pang, si Lasi anak Jepang," ujar yang satu sambil memonyongkan mulut dan menuding wajah Lasi. Seorang lagi menjulurkan lidah.
"Emakmu diperkosa orang Jepang. Maka pantas, matamu kaput seperti Jepang," ejek yang kedua.
"Alismu seperti Cina. Ya, kamu setengah Cina."
"Aku Lasiyah, bukan Lasi-pang," teriak Lasi membela diri.
"Lasi-pang." "Lasiyah!" "Lasi-pang! Lasi-pang! Lasi-pang! Si Lasi anak Jepang!"
"Emakmu diperkosa Jepang. Emakmu diperkosa!"
Dan Lasi mencabut kayu penggaris dari ketiaknya, lari menyeberang titian dan siap melampiaskan kemarahan kepada para penggoda. Di bawah kesadarannya Lasi merasa jadi kepiting batu jantan dengan tangan penjepit kukuh perkasa. Ia takkan segan menggunting hingga putus leher ketiga anik lelaki itu. Tetapi yang ada bukan tangan penjepit melainkan kayu penggaris. Dua penggoda lari dan seorang lagi tetap tinggal, bahkan membiarkan punggungnya dipukul Lasi dengan kayu penggaris. Dia hanya meringis sambil tertawa. Malah Lasi yang menangis.
Puas karena yang mereka goda sudah menangis, ketiga anak lelaki itu lari menghilang. Tetapi Kanjat tak bergerak dari tempatnya. Matanya yang bulat dan jernih terus memandang Lasi yang masih berurai air mata. Lama-lama mata Kanjat ikut basah.
"Las, aku tidak ikut nakal," ujar Kanjat yang tubuhnya lebih kecil karena usianya dua tahun lebih muda. "Kamu tidak marah padaku, bukan""
Lasi mengangguk dan berusaha tersenyum. Tanpa ucapan apa pun Lasi sudah mengerti Kanjat tidak ikut nakal. Bahkan di mata Lasi, Kanjat adalah anak kecil sangat lucu; matanya bulat dan tajam, tubuhnya gemuk dan bersih. Baju dan celananya bagus, paling bagus di antara pakaain yang dikenakan
oleh semua anak Karangsoga. Pak Tir, orangtua Kanjat, adalah pedagang pengumpul gula kelapa dan dialah orang terkaya di Karangsoga.
Masih dengan mata basah, Lasi meneruskan perjalanan. Kanjat mengikutinya dari belakang dan baru mengambil jalan simpang setelah Lasi sekali lagi mencoba tersenyum kepadanya. Lasi berjalan menunduk. Langkahnya menimbulkan bunyi sampah daun bambu yang terinjak. Bayang-bayang ranting bambu seperti berjalan dan menyapu tubuhnya. Menyeberang titian terakhir, naik tatar yang dipahat pada tanjakan batu cadas, lalu simpailah Lasi ke sebuah rumah bambu dengan pekarangan bertepi rumpun-rumpun salak. Lasi langsung masuk kamar dan tidak keluar lagi. Panggilan Mbok Wiryaji, emaknya, yang menyuruh Lasi makan, juga diabaikan.
Dalam kamarnya Lasi duduk dengan pandangan mata kosong. Lasi masih tercekam oleh pengalaman digoda anak-anak sebaya. Meskipun godaan anak-anak nakal hampir terjadi setiap hari, Lasi tak pernah mudah melupakannya. Bahkan ada pertanyaan yang terus mengembang dalam hati; mengapa anak-anak perempuan lain tidak mengalami hal yang sama" Mengapa namanya selalu dilencengkan menjadi Lasi-pang" Dan apa itu orang Jepang" Itu yang paling membingungkan Lasi; apa sebenarnya arti diperkosa" Emaknya diperkosa" Juga, mengapa banyak orang melihat dengan tatapan mata yang aneh seakan pada dirinya ada kelainan" Apa karena dia anak seorang perempuan yang pernah diperkosa"
Pertanyaan panjang itu membaur dan berkembang sejak Lasi masih bocah. Selentingan lain yang samar-samar pernah didengarnya juga tak kurang meresahkannya; bahwa Wiryaji adalah ayah tiri bagi Lasi. Bahwa ayah kandungnya adalah orang Jepang yang hilang sejak lama, sejak Lasi masih dalam kandungan. Selentingan lain lagi menyebut tentang perkosaan atas diri emaknya dan dirinya adalah anak haram buah perkosaan itu. Tetapi apa itu perkosaan" Dan hasrat sangat kuat untuk mengetahui cerita mana yang benar selalu membuat hati Lasi panas. Dalam keadaan demikian hanya satu keinginan Lasi; menjadi kepiting jantan dengan jepitan perkasa untuk menggunting leher semua orang Karangsoga, juga leher emaknya kerena perempuan itu belum pernah menjelaskan banyak hal yang selalu meresahkan hatinya.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka dan Mbok Wiryaji masuk. Wajah perempuan itu langsung suram ketika melihat Lasi duduk termenung dengan wajah tegang dan mata berkaca-kaca. Bukan baru sekali Mbok Wiryaji mendapati anaknya dalam keadaan seperti itu. Namun mendung di wajah Lasi kali ini sungguh gelap. Emak dan anak saling tatap dan Mbok Wiryaji melihat sinar kemarahan dan kekecewaan terpancar dari mata Lasi. Mbok Wiryaji tertegun. Ingin dikatakannva sesuatu kepada Lasi namun ucapan yang hendak keluar teredam di tenggorokan. Ia hanya menelan ludah dan berbalik hendak keluar. Tetapi tanpa disangka Lasi memanggilnya. Anak dan emak kembali bersitatap.
Mbok Wiryaji menunggu apa yang hendak dikatakan anaknya. Namun Lasi hanya menatap lalu menunduk dan mulai terisak. Napas yang pendek-pendek menandakan ada gejolak yang tertahan dalam dada Lasi.
"Anak-anak mengganggumu lagi""
"Selalu!" jawab Lasi tajam. Sinar kemarahan masih terpancar dari matanya. Terasa ada tuntutan yang runcing dan menusuk diajukan oleh Lasi; mengapa dia harus menghadapi ejekan dan celoteh orang setiap hari. Dan Mbok Wiryaji seakan mendengar anaknya berteriak, "Kalau bukan karena engkau, takkan aku mengalami semua kesusahan ini!"
Mbok Wiryaji mendesah dan melipat tangan di dadanya. Perempuan itu paham dan menghayati sepenuhnya kesusahan yang selalu mengusik hati Lasi. Mbok Wiryaji juga sadar, amat sadar, kesusahan Lasi adalah perpanjangan kesusahan Mbok Wiryaji sendiri; kesusahan yang sudah puluhan tahun mengeram dalam jiwanya.
Sesungguhnya Mbok Wiryaji sudah bertekad menanggung sendiri kesusahan itu. Tak perlu orang lain, apalagi Lasi, ikut menderita. Namun orang Karangsoga gemar bersigunjing sehingga Lasi mendengar rahasia yang ingin disembunyikannya. Bahkan cerita yang sampai ke telinga Lasi ditambah atau dikurangi, atau sama sekali diselewengkan untuk memenuhi kepuasan si
penutur. Mbok Wiryaji juga tidak ha
bis pikir mengapa orang Karangsoga terus mengungkit cerita memalukan yang sebenarnya sudah lama berlalu. Atau, inikah yang dimaksud oleh kata-kata orang tua bahwa akan datang suatu masa ketika sedulur ilang sihe, persaudaraan tanpa kasih" "Apakah mereka tak ingin aku dan anakku hidup tenteram" Atau karena Lasi cantik dan sesungguhnya mereka iri hati""
Mbok Wiryaji bergerak perlahan dan duduk di sebelah Lasi. Dengan mata sayu dipandangnya anaknya yang tetap membisu. Dalam hati Mbok Wiryaji bangga akan anaknya; kulitnya bersih dengan rambut hitam lurus yang sangat lebat dan badannya lebih besar daripada anak-anak sebayanya. Tungkainya lurus dan berisi. Dan siapa saja akan percaya kelak Lasi akan tumbuh jadi gadis cantik. "Lalu mengapa anakku harus menjadi bahan olokan orang setiap hari""
Ketika Lasi melirik, Mbok Wiryaji tersentak, karena merasa ada tusukan ke arah jantungnya. Ya. Mbok Wiryaji tahu dengan cara itu anaknya minta penjelasan banyak hal yang menyebabkan anak-anak dan juga orang-orang dewasa sering mengejeknya. Ya. Dan Mbok Wiryaji merasa tak perlu lagi merahasiakan sesuatu. Ia ingin membuka semuanya. Mbok Wiryaji siap membuka mulut tetapi tiba-tiba ada yang mengganjal niatnya. Bukankah Lasi baru tiga belas tahun" Pantaskah anak seusia itu mendengar pengakuan tentang sesuatu yang memalukan seperti tindak rudapaksa berahi" Mbok Wiryaji surut. Ada pikiran baru yang mencegahnya berterus terang karena ia merasa saatnya belum tiba. Mungkin kelak, bila Lasi sudah berumah tangga, semua bisa dibuka untuknya.
Mungkin karena lama ditunggu emaknya tak berkata sepatah pun, Lasi jadi gelisah. Dan tanpa mengubah arah wajahnya, sebuah pertanyaan meluncur dari mulutnya.
"Apa betul Wiryaji bukan ayah saya""
Mbok Wiryaji terkejut dan mendadak meluruskan punggung.
"Ya, Las. Dia bukan ayah kandungmu," jawab Mbok Wiryaji agak terbata.
"Jadi siapa ayah saya yang sebenarnya" Orang Jepang""
"Ya." Mbok Wiryaji menelan ludah.
"Kok bisa begitu""
"Dulu di sini banyak orang Jepang. Mereka tentara."
"Kata orang, Emak diperkosa orang Jepang. Diperkosa itu bagaimana""
Mbok Wiryaji menelan ludah lagi. Dan gugup, sangat gugup. Bibirnya gemetar. Tangannya bergerak tak menentu. Air mata mulai meleleh dari mata dan hidungnya. Dan Mbok Wiryaji kembali terkejut ketika Lasi dengan suara mantap mengulangi pertanyaannya.
"Diperkosa, artinya dipaksa," ujar Mbok Wiryaji masih dalam kegagapan.
"Dipaksa bagaimana"" kejar Lasi.
"Oalah, Las, emakmu dipaksa cabul. Mengerti""
Mata Lasi terbelalak. Meski tidak jelas benar, Lasi mengerti apa yang dimaksud emaknya. Rona amarah muncul sangat jelas pada wajahnya yang putih. Bibirnya bergerak-gerak hendak mengucapkan sesuatu tetapi Lasi hanya tergagap. Ketika akhirnya meluncur sebuah pertanyaan dari mulutnya, giliran Mbok Wiryaji yang tergagap.
"Karena diperkosa itu kemudian Emak mengandung saya""
"Oh, tidak, Nak! Tidak."
"Emak bohong""
"Oalah, Las, Emak tidak bohong. Dengarlah. Kamu lahir tiga tahun sesudah peristiwa cabul yang amat kubenci itu. Entah bagaimana setelah tiga tahun menghilang orang Jepang itu muncul lagi di Karangsoga. Kedatangannya yang kedua tidak lagi bersama bala tentara Jepang melainkan bersama para pemuda gerilya. Tampaknya ayahmu menjadi pelatih para pemuda. Dan mereka, para pemuda itu, juga Eyang Mus minta aku memaafkan ayahmu, bahkan aku diminta juga menerima lamarannya."
"Emak mau""
"Mula-mula, Las, karena aku tak bisa menolak permintaan dari pemuda dan Eyang Mus. Tetapi aku akhirnya tahu, ayahmu baik, kok."
Sejenak Lasi terdiam. Alisnya berkerut.
"Las, akhirnya aku menikah dengan ayahmu dan sesudah itu kamu lahir. Tetapi, Las, ayahmu kemudian pergi lagi bersama para pemuda dan tak pernah
kembali, padahal kamu sudah lima bulan dalam kandunganku. Kabarnya ayahmu meninggal dalam tawanan tentara Belanda."
Lasi mengerutkan kening. Wajahnya tetap beku namun ketegangannya lambat laun mereda.
"Oh ya, Las," sambung Mbok Wiryaji, "ayahmu seperti Cina dan agak lucu apabila pakai kain sarung dan kopiah. Kata orang, sebenarnya ayahmu bernama Miyaki atau Misaki barangkali. Entahlah, namun Eyang Mus kemu
dian memberinya nama baru, Marjuki."
"Marjuki" Jadi ayah saya Marjuki""
"Ya. Dan mirip Cina."
"Mirip Cina""
"Betul. Orang Jepang memang mirip Cina."
"Mak"" "Apa"" "Tetapi mengapa mereka selalu bilang saya haram jadah""
Mbok Wiryaji terdiam. Matanya kembali merah.
"Las, mereka tahu apa dan siapa kamu sebenarnya. Tetapi aku tak tahu mengapa mereka lebih suka cerita palsu, barangkali untuk menyakiti aku dan kamu. Sudahlah, Las, biarkan mereka. Kita sebaiknya nrima saja. Kata orang, nrima ngalah luhur wekasane, orang yang mengalah akan dihormati pada akhirnya."
Kamar itu mendadak senyap. Hanya suara napas Mbok Wiryaji yang mendesah panjang. Perempuan itu merasa telah menurunkan sebagian besar beban yang sudah bertahun-tahun menindih pundaknya. Dan kini ia menatap Lasi karena ingin membaca tanggapan atas pengakuannya. Tetapi Lasi tak bergeming. Gadis tanggung itu menatap tanah. Jarinya mengutik-utik sudut tikar pandan. Lalu, tanpa menoleh ke emaknya, Lasi bangkit dan keluar dari kamar. Mbok Wiryaji mengikuti dengan pandangan matanya. Dan ia lega ketika melihat Lasi membuka tudung saji di atas meja. Mbok Wiryaji percaya, hanya hati yang damai bisa diajak makan.
Tamat sekolah desa usia Lasi genap 14 tahun. Empat teman perempuan yang bersama-sama meninggalkan sekolah segera mendapat jodoh masing-masing. Lasi pun akan segera berumah wngga andaikan orangtuanya menerima lamaran Pak Sambeng, guru Lasi sendiri. Lamaran itu ditolak karena Pak Guru sudah beristri. Dan hampir enam tahun sesudah itu Lasi belum juga menemukan jodoh; suatu hal yang agak bertentangan dengan ukuran kewajaran di Karangsoga terutama karena Lasi sungguh tidak jelek apalagi cacat. Namun siapa saja akan segera mengerti mengapa gadis secantik Lasi lama tak mendapatkan jodoh. Orang Karangsoga sangat mempertimbangkan segi asal-usul dalam hal mencari calon istri atau menantu. Ayah Lasi, meski semua orang Karangsoga tahu siapa dia, adalah orang asing yang hanya muncul beberapa bulan di Karangsoga, bahkan sudah lama meninggal tetapi entah di mana kuburnya. Di Karangsoga, gadis dari keluarga yang tidak utuh kurang disukai. Dan cerita tentang perkosaan itu membuat citra Lasi buruk. Lasi telanjur mendapat citra haram jadah meskipun semua orang tahu sebutan itu terlalu kejam dan sama sekali tidak benar.
Ada juga orang bilang Lasi berbeda dengan semua gadis Karangsoga sehingga perjaka di sana enggan melamarnya. Tidak aman mempunyai istri yang terlalu mudah menarik perhatian lelaki lain, kata mereka. Anehnya, mereka tetap senang menjadikan Lasi bahan celoteh di mana-mana.
Jadilah Lasi tetap gadis sampai usianya hampir dua puluh. Di Karangsoga mungkin hanya seorang gadis bisu yang belum menikah pada usia itu. Padahal Lasi tak kurang suatu apa. Bahkan mungkin Lasi adalah gadis tercantik di antara gadis-gadis seangkatannya di Karangsoga. Dan kenyataan demikian malah membuat Lasi makin jadi omongan orang sehingga membuatnya segan keluar rumah.
Hari-hari Lasi adalah hari-hari anak perawan keluarga Wiryaji, satu di antara sekian banyak keluarga penyadap kelapa di Karangsoga. Pagi-pagi Lasi mempunyai pekerjaan tetap: menyiapkan tungku dengan kawah besar. Nira akan dituangkan dari pongkor-pongkor lewat ayakan bambu sebagai saringan. Yang tersaring bisa macam-macam, dari sisa irisan malai, lebah mati, sampai kumbang tanduk yang terjebak ke dalam pongkor. Atau bila cuaca buruk nira sering berbusa kental berwarna putih. Dan Lasi selalu bergidik bila ada cecak atau tikus kecil mati tenggelam dalam nira.
Lasi senang memperhatikan nira menggelegak dalam kawah. Baunya enak dan gejolaknya mengundang gairah. Uap tebal yang naik bergulung-gulung bisa mendatangkan khayal teniang keperkasaan seorang lelaki penyadap. Atau bila nira mulai menjadi tengguli, warnanya berubah jadi coklat lalu merah tua. Gelembung-gelembung kecil muncul, ketika pecah menimbulkan letupan-letupan halus. Pada saat ini tengguli yang mendidih hampir mencapai titik jenuh dan kawah akan diangkat dari tungku. Sambil menanti titik jenuh itu tengguli yang sudah berbentuk pasta diaduk-aduk dan mulai dituangkan ke dalam sengkang
, cetakan berupa gelang-gelang bambu setebal empat jari.
Lasi yang hampir tak pernah bicara kecuali dengan emaknya akan mendapat teman bila Wiryaji yang sudah tua kebetulan sakit. Bila Wiryaji tak bisa bekerja, Darsa akan menggantikan pamannya itu menyadap nira kelapa. Darsa pendiam dan Lasi menyukainya. Bukan apa-apa, seorang pendiam bagi Lasi punya arti khusus. Siapa yang pendiam tentu tidak banyak omong dan tidak suka berceloteh seperti kebanyakan orang Karangsoga. Atau karena Darsa setidaknya tidak buruk. Memang tidak juga bagus telapi sosok kelelakiannya jelas. Badannya seimbang dan ototnya liat, khas otot para penyadap. Apalagi Darsa masih sangat muda, usianya hanya beberapa tahun di atas Lasi.
Atau lagi, Darsa sering menyelipkan sesuatu di antara ikatan pongkor-nya. Kadang salak yang masak, kadang mangga. Bila Lasi bertanya, "ini untuk aku"" Darsa hanya tersenyum. Dan matanya menyala. Anehnya Darsa tertunduk malu ketika suatu kali tertangkap oleh Mbok Wiryaji sedang saling pandang dengan Lasi. Padahal bagi Mhok Wiryaji suasana manis antara anak sendiri dan kemenakan suaminya itu sudah lama diketahuinya. Suasana itu malah memberi Mbok Wiryaji ilham; menjodohkan Lasi dan Darsa, bila bisa diatur, akan memupus semua celoteh yang telah menyiksanya selama bertahun-tahun. Orang selalu bilang, seorang gadis, apalagi ia cantik, akan tetap menjadi bahan omongan para tetangga sampai ia menikah, mapan, dan beranak-pinak. Sebelum hal itu tercapai, mungkin hanya masalah cara dia berjalan akan diperhatikan orang. Tetapi ungkapan itu terbukti tidak sepenuhnya benar. Omongan tentang Lasi, tentang perkosaan terhadap emaknya, atau tentang ayahnya yang hilang sesekali masih terdengar meski Lasi telah menjadi istri Darsa.
*** Kabut pagi yang tipis memberi sapuan baur pada lembah dan lereng-lereng bukit di sekitar Karangsoga. Namun karena kabut itu pula muncul tekanan pada matra ketiga pemandangan di sana. Karena sapuan kabut, makin jelaslah lereng atau bukit yang dekat dan yang lebih jauh. Di timur sinar matahari menyemburat dari balik bayangan bukit. Puncak-puncak pepohonan mulai tersapu sinar merah kekuningan. Dari sebuah sudut di Karangsoga pemandangan jauh ke selatan mencapai dataran rendah yang sangat luas. Karena letaknya yang tinggi, dari tempat ini orang Karangsoga setiap pagi dapat melihat iring-iringan burung kuntul terbang di bawah garis pandang mata. Dengan cara menunduk pula mereka dapat melihat hamparan sawah dan ladang. Kota kewedanan kelihatan seluruhnya dan berbatasan dengan cakrawala adalah garis pantai laut selatan.
Pagi ini Lasi berangkat hendak menjenguk Darsa di rumah sakit kecil di kota kewedanan itu. Lasi sengaja memilih jalan pintas agar tidak bertemu dengan orang-orang yang hendak pergi ke pasar. Mereka terlalu ingin tahu dan Lasi sudah bosan menjawab pertanyaan mereka. Dalam keremangan pagi Lasi
melihat banyak pohon kelapa bergoyang karena sedang dipanjat oleh penyadap. Tetes-tetes embun berjatuhan membuat gerimis setempat. Kelentang-kelentung suara pongkor yang saling beradu ketika dibawa naik. Ketika melintas titian Lasi tertegun sejenak, heran mengapa dulu ia sering berlama-lama melihat kepiting batu di bawah sana. Ada burung paruh udang terbang menuruti alur jurang, suaranya mencicit lalu hilang di balik rumpun salak. Suara tokek dari lubang kayu memecah keheningan pagi yang masih sangat berembun. Seekor burung ekor kipas berkicau meriah, lalu melesat ketika melihat lalat terbang. Tubuhnya yang kecil tampak berkelebat bila unggas itu melompat dari dahan satu ke dahan lain dalam rimbunan semak. Dengung kumbang yang terbang-hinggap pada bunga bungur. Sepasang kadal bekejaran melintas jalan setapak di depan Lasi. Dan bunyi riang-riang mulai menggoda kelengangan pagi.
Lasi terus berjalan cepat tanpa menoleh kiri kanan. Sampai di mulut jalan kampung Lasi naik delman yang sudah berisi beberapa penumpang. Kini Lasi tak bisa menghindar dari pertanyaan penumpang lain yang semuanya orang Karangsoga. Ldsi hanya menjawab seperlunya karena hatinya sudah sampai ke kamar Darsa di rumah sakit. Sudan seminggu Darsa diraw
at di sana dan luka-luka di kulitnya berangsur pulih. Tubuh seorang penyadap muda selalu punya daya sembuh yang kuat. Darsa juga sudah doyan makan. Dan Lasi sudah bertanya kepada perawat tentang jumlah binya yang harus dibayarnya. Dari jawaban perawat Lasi dapat menghitung uang yang dipinjamnya dari Pak Tir hanya cukup untuk merawat Darsa selama sepuluh hari. Tetapi Lasi mendengar bisik-bisik di antara para perawat bahwa mungkin Darsa perlu perawatan di rumah sakit besar karena sampai demikian jauh masih ada yang tak beres pada tubuhnya; kencingnya terus menetes tak terkendali. Para perawat itu berbicara juga tentang kemungkinan bedah syaraf atas diri Darsa.
Bedah syaraf" Apa itu" Lasi pening memikirkannya dan sangat takut bila perawatan semacam itu mengancam jiwa suaminya. Lagi pula berapa biayanya" Dan pagi ini Lasi mendapat jawaban atas semua pertanyaan itu. Dokter kepala poliklinik memanggilnya untuk mendapat penjelasan tentang Darsa.
"Suamimu sudah lepas dari bahaya. Tetapi dia harus dibawa ke rumah sakit yang besar agar bisa dirawat dengan sempurna," kata dokter yang masih muda itu. "Kamu tahu, bukan, pakaian suamimu masih terus basah. Suamimu masih terus ngompol."
Lasi tak berani mengangkat muka. Rasa cemas mulai membayang di wajahnya.
"Apakah nanti Kang Darsa membutuhkan biaya besar"" tanya Lasi dengan bibir gemetar.
"Saya kira begitu. Mungkin puluhan, atau malah bisa ratusan ribu."
Lasi menelan ludah dan menelan ludah lagi. Dia merasa ada dinding terjal mendadak berdiri di depan wajahnya. Pandangan matanya buntu dan kosong. Pada wajahnya tidak hanya tergambar kecemasan melainkan juga ketidakberdayaan.
"Nanti akan saya bicarakan dengan orangtua saya," kata Lasi setelah lama terdiam, kemudian berlalu dari hadapan dokter.
Lasi terus berjalan cepat tanpa menoleh kiri kanan. Sampai di mulut jalan kampung Lasi naik delman yang sudah berisi beberapa penumpang. Kini Lasi tak bisa menghindar dari pertanyaan penumpang lain yang semuanya orang Karangsoga. Ldsi hanya menjawab seperlunya karena hatinya sudah sampai ke kamar Darsa di rumah sakit. Sudan seminggu Darsa dirawat di sana dan luka-luka di kulitnya berangsur pulih. Tubuh seorang penyadap muda selalu punya daya sembuh yang kuat. Darsa juga sudah doyan makan. Dan Lasi sudah bertanya kepada perawat tentang jumlah binya yang harus dibayarnya. Dari jawaban perawat Lasi dapat menghitung uang yang dipinjamnya dari Pak Tir hanya cukup untuk merawat Darsa selama sepuluh hari. Tetapi Lasi mendengar bisik-bisik di antara para perawat bahwa mungkin Darsa perlu perawatan di rumah sakit besar karena sampai demikian jauh masih ada yang tak beres pada tubuhnya; kencingnya terus menetes tak terkendali. Para perawat itu berbicara juga tentang kemungkinan bedah syaraf atas diri Darsa.
Bedah syaraf" Apa itu" Lasi pening memikirkannya dan sangat takut bila perawatan semacam itu mengancam jiwa suaminya. Lagi pula berapa biayanya" Dan pagi ini Lasi mendapat jawaban atas semua pertanyaan itu. Dokter kepala
poliklinik memanggilnya untuk mendapat penjelasan tentang Darsa.
"Suamimu sudah lepas dari bahaya. Tetapi dia harus dibawa ke rumah sakit yang besar agar bisa dirawat dengan sempurna," kata dokter yang masih muda itu. "Kamu tahu, bukan, pakaian suamimu masih terus basah. Suamimu masih terus ngompol."
Lasi tak berani mengangkat muka. Rasa cemas mulai membayang di wajahnya.
"Apakah nanti Kang Darsa membutuhkan biaya besar"" tanya Lasi dengan bibir gemetar.
"Saya kira begitu. Mungkin puluhan, atau malah bisa ratusan ribu."
Lasi menelan ludah dan menelan ludah lagi. Dia merasa ada dinding terjal mendadak berdiri di depan wajahnya. Pandangan matanya buntu dan kosong. Pada wajahnya tidak hanya tergambar kecemasan melainkan juga ketidakberdayaan.
"Nanti akan saya bicarakan dengan orangtua saya," kata Lasi setelah lama terdiam, kemudian berlalu dari hadapan dokter.
Di kamar perawatan Darsa, Lasi berusaha menyembunyikan kebimbangannya. Sambil duduk di tepi dipan ia berusaha tersenyum, memijit-mijit lengan Darsa lalu bangkit untuk menukar kain sarung yang dikenakan suaminya itu. Bau sengak menyeng
at. Selesai menukar kain sarung Lasi membuka bungkusan makanan yang dibawanya dari rumah. Tetapi Darsa tak tertarik melihat lontong dan telur asin yang di bawa Lasi.
Sesungguhnya Lasi ingin menyampaikan kata-kata dokter Yang diterimanya
beberapa menit berselang. Tetapi niat itu urung setelah Lasi menatap wajah suaminya yang masih pucat dan kelihatan sangat tertekan. Maka Lasi membuka pembicaraan lain sekadar untuk mencairkan suasana.
"Kang, bila malam rumah kita kosong. Aku tidur di rumah Emak."
Darsa hanya mengangkat alis.
"Sekarang Mukri yang menyadap kelapa kita," kata Lasi lagi, "sampai kamu sembuh."
"Berapa harga gula sekarang"" Suara Darsa serak.
"Enam rupiah, tidak cukup untuk satu kilo beras."
Darsa mengangkat alis lagi. Tetapi dia tidak kaget. Seorang penyadap sudah terbiasa bermimpi tentang harapan yang tetap tinggal harapan. Mereka, para penyadap, punya harapan mendapatkan harga gula seimbang dengan harga beras; sebuah harapan bersahaja namun jarang menjadi kenyataan. Berapa harga gula, adalah pertanyaan sehari-hari para penyadap. Celakanya mereka selalu cemas ketika menanti jawabnya. Harga gula adalah pertanyaan kejam yang tak pernah mempertimbangkan betapa besar risiko yang harus dihadapi para penyadap. Suami bisa jatuh dan istri bisa terperosok ke dalam tengguli mendidih. Untuk kedua risiko ini nyawalah yang menjadi taruhan. Tetapi harga gula jarang mencapai tingkat harga beras.
"Kang, aku pulang dulu, ya. Pakaianmu harus dicuci. Besok pagi aku datang
lagi." Darsa hanya mengangguk. Lalu dipandangnya Lasi yang sedang membungkus
pakaian kotor dan baunya amat menyengat. Ketika Lasi berangkat sekilas tampak tengkuknya yang putih. Mata Darsa menyala dan jantungnya terbakar. Angan-angannya melayang tetapi segera terpupus ketika ia menyadari tubuhnya masih lemah dan kencingnya masih terus menetes. Sejak mendapat kecelakaan seminggu yang lalu Darsa bahkan mcrasa mengalami gejala yang sangat dibenci oleh setiap lelaki: lemah pucuk.
Tiba di Karangsoga, Lasi langsung menuju rumah orangtuanya. Belum lagi melangkahi ambang pintu air matanya sudah berderai. Suami-istri Wiryaji yang mengira keadaan Darsa bertambah buruk, segera menjemput Lasi.
"Bagaimana suamimu"" tanya Mbok Wiryaji memburu.
"Masih seperti kemarin, Mak," jawab Lasi sambil mengusap air matanya. Tetapi kala dokter, Kang Darsa harus dibawa ke rumah sakit besar karena dia masih terus ngompol. Mak, kata dokter biayanya besar sekali. Bisa ratusan ribu."
Lasi terisak. Suami-istri Wiryaji terpaku di tempat duduk masing-masing. Dan keduanya terkejut ketika Lasi tiba-tiba bertanya.
"Kita harus bagaimana, Mak""
Pertanyaan pendek itu lama tak berjawab. Puluhan atau bahkan ratusan ribu" Uang sebanyak itu tak pernah terbayang bisa mereka miliki. Tak pernah.
"Kita harus bagaimana"" ulang Lasi. Wiryaji terbatuk. Istrinya mendesah. Lasi yang melihat orangtuanya bimbang makin terisak. Pikirannya kacau dan hatinya gelap. Suasana rumah pun mati dan mencekam karena Lasi dan kedua orangtuanya sama-sama merasa tak punya kata-kata untuk diucapkan. Namun kesunyian cair kembali ketika Mukri, Eyang Mus, dan beberapa tetangga masuk. Mereka juga ingin tahu kabar terakhir tentang Darsa. Dan penjelasan yang diberikan Lasi membuat mereka tercengang.
"Kami bingung. Uang sebanyak itu hanya bisa kami miliki bila rumah dan pekarangan yang ditempati Lasi kami jual," ujar Wiryaji sambil menunduk. "Lalu, apakah hal itu harus kulakukan" Kalaupun ya, siapa yang bisa membelinya dencan cepat""
"Kang, soal membeli dengan cepat Pak Tir bisa melakukannya," ujar Mbok Wiryaji. "Masalahnya, tanpa pekarangan dan rumah anakku mau tinggal di mana" Beruntung bila Darsa sembuh, bila tidak" Apakah ini bukan taruhan yang terlalu mahal dan sia-sia""
"Mak, tapi kasihan Kang Darsa," sela Lasi. "Saya ingin dia dirawat sampai sembuh. Untuk Kang Darsa, apakah kebun kelapa saya tidak bisa dijual""
"Jangan, Las," potong Mak Wiryaji. "Tanah adalah sumber penghidupanmu dan juga persediaan bagi anak-anakmu kelak. Tanah itu, meski hanya secuil, adalah masa depanmu dan keturunanmu. Aku tak akan membiarkan kamu main-main de
ngan tanah." "Tetapi, Mak, kasihan Kang Darsa," ulang Lasi.
"Las, siapa yang tak kasihan kepada Darsa" Tapi puluh-puluh Nak, kita tak punya biaya. Kita hanya bisa pasrah."
Lasi kembali terisak. Eyang Mus terbatuk. Mbok Wiryaji menarik napas panjang. Selebihnya adalah kelengangan yang mencekam. Eyang Mus terbatuk lagi. Lelaki tua itu tahu dirinya adalah rujukan dan nara sumber untuk dimintai pendapat. Maka Eyang Mus ingin berkata sesuatu. Namun lidahnya terasa kelu karena Eyang Mus teringat musibah sama yang menimpa Parja setahun yang lewat. Parja pun jatuh ketika sedang menyadap nira. Melihat cederanya parah, keluarga Parja tidak mau membawanya ke rumah sakit. Mereka tak mau menggali utang untuk membiayai pengobatan Parja karena usaha semacam itu
terasa hanya sebagai kerja untung-untungan. Waktu itu Eyang Mus bersikeras meminta orangtua Parja membawa anaknya ke rumah sakit meskipun harus mencari pinjaman uang untuk biaya.
Ternyata nyawa Parja tak dapat dipertahankan. Parja meninggal dan keluarganya menanggung uang yang tak kunjung lunas. Anak dan istri Parja jatuh dan dua kali menderita. Sampai sekarang Eyang Mus sangat menyesal, apalagi bila kebetulan bertemu dengan anak-anak Parja yang yatim dan kurang terurus. Untuk ketiga kali Eyang Mus terbatuk dan gagal mengucapkan sesuatu. Bahkan orang tua itu hanya termangu ketika Wiryaji jelas-jelas minta nasihatnya.
Suasana masih hening. Kecuali desah-desah panjang. Atau burung-burung yang terus berkicau di atas pepohonan. Mereka tak mengenal duka. Dari jauh terdengar ceblak-cebluk suara orang mengaduk tengguli yang siap naik cetakan. Baunya yang harum merambah ke mana-mana menjadi ciri utama kampung penghasil gula kelapa, ciri utama Karangsoga.
"Rasanya kami sudah berusaha semampu kami," ujar Wiryaji mencairkan kebisuan. "Utang sudah kami gali dan tentu tak akan mudah bagi kami mengembalikannya. Bila usaha kami ternyata tak cukup untuk menyembuhkan Darsa, kami tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kami tinggal pasrah."
"Ya," sambung Mbok Wiryaji. "Kami pasrah. Besok Darsa kami jemput dan akan kami rawat di rumah. Siapa tahu, di rumah Darsa bisa sembuh. Kita percaya, bila mau menurunkan welas-asih Gusti Allah tak kurang cara. Iya, kan, Eyang Mus""
Eyang Mus tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Namun warna getir muncul di wajahnya. Lasi bangkit dan pergi ke sumur. Di sana Lasi mencuci pakaian suaminya yang bau sengak. Air matanya terus menetes. Mukri dan para tetangga pulang sambil menundukkan kepala. Matahari hampir mencapai pucuk langit dan angin yang lembut menggoyang pohon-pohon kelapa di Karangsoga.
BAGIAN KEDUA Musim pancaroba telah lewat dan kemarau tiba. Udara Karangsoga yang sejuk berubah dingin dan acap berkabut pada malam hari. Namun kemarau di tanah vulkanik itu tak pernah mendatangkan kekeringan. Pepohonan tetap hijau karena tanah di sana kaya akan kandungan air. Suara gemercik air tetap terdengar dari parit-parit berbatu atau dari dasar jurang yang tertutup rimbunan pakis-pakisan. Kemarau di Karangsoga hanya berarti tiadanya hujan dalam satu atau dua bulan. Alam sangat memanjakan kampung itu dengan memberinya cukup air dan kesuburan. Lalu, mengapa para penyadap kelapa di Karangsoga hidup miskin adalah kenyataan ironik, yang anehnya tak pernah dipermasalahkan apalagi dipertanyakan di sana.
Kehidupan di Karangsoga tetap mengalir seperti air di sungai-sungai kecil yang berbatu-batu. Manusianya hanyut, terbentur-bentur, kadang tenggelam atau bahkan membusuk di dasarnya. Tak ada yang mengeluh, tak ada yang punya gereget, misalnya mencari kemungkinan memperoleh mata pencarian lain karena menyadap nira punya risiko sangat tinggi dengan hasil sangat rendah. Atau menggalang persatuan agar mereka bisa bertahan dari kekejaman pasar bebas yang sangat leluasa memainkan harga gula.
Tidak. Karangsoga tetap adhem-ayem seperti biasa, tenang, seolah kemiskinan para penyadap di sana adalah kenyataan yang sudah dikemas dan harus mereka terima. Malam itu pun Karangsoga tenang. Bulan yang hampir bulat leluasa mendaulat langit karena awan hanya sedikit menyaput ufuk barat.
Eyang Mus turun dar i suraunya yang kecil setelah beberapa lelaki tua lebih dulu meninggalkannya. Di emper surau Eyang Mus mengangkat muka untuk sejenak menatap langit. Dan cahaya bulan yang menerpa wajah serta-merta menyejukkan hatinya. Bunyi terompah yang teratur mengiringi langkahnya dan segera berganti nada ketika Eyang Mus menginjak lantai rumah.
Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pintu berderit ketika Eyang Mus masuk. Mbok Mus sudah menyiapkan teh hangat dan kotak tembakau di meja ruang depan. Pasangan orang tua itu biasa
duduk berlama-lama sambil menunggu mata mengantuk. Tak ada kesibukan pada malam seperti itu bagi pasangan yang sudah ditinggal oleh anak-anak. Keempat anak mereka sudah lama berumah tangga dan memisahkan diri.
Namun malam ini Eyang Mus tak ingin duduk termangu. Bulan hampir bulat yang dilihatnya sejenak ketika ia turun dari surau telah mengusik hatinya lalu menuntun langkahnya ke pojok ruang depan. Di sana ada gambang kayu keling yang usianya mungkin lebih tua daripada Eyang Mus sendiri. Eyang Mus yang sering mendapat sebutan santri kuno, mahir memainkan gambang tunggal untuk mengiringi bait-bait suluk yang biasa ditembangkannya dalam irama sinom atau dhandhanggula. Bagi seorang santri kuno seperti Eyang Mus, suluk yang diantar oleh irama gambang tak lain adalah tangis rindu seorang kawula akan Gustinya; tangis seorang pengembara yang ingin menyatu kembali dengan asal-mula dan tujuan akhir segala yang ada, sangkan paraning dumadi. Maka bila sudah tenggelam dalam suluk-nya Eyang Mus lupa akan sekeliling, mabuk, keringat membasahi tubuh, dan air matanya berjatuhan. Suaranya ngelangut menusuk malam, menusuk langit. Apalagi bila yang ditembangkannya adalah bait-bait pilihan.
Wong kas ingkang sampun makolih Hakul yakin tingale pan nyata sarta lan sapatemone Pan sampun sirna luluh tetebenge jagat puniki Kabotan katingalan ing wardayanipun Anging jatine Sanghyang Suksma Datan pegat anjenengaken mangkyeki Kang ketung mung Pangeran Sapolahe dadi pangabekti Salat daim pan datan wangenan
Pan ora pesti wektune pan ora salat wulu Tan pegat ing ulat liring Madhep maring Hyang Suksma Salir kang kadulu andulu jatining tunggal jroning bekti miwah sajabaning bekti Sampun anunggal tingal
Adalah manusia istimewa yang telah sampai kepada kebenaran sejati; pandangan hatinya menjadi bening begitu ia berhadapan dcngan Tuhan. Luluh lebur segala tabir dunia. Pandangannya larut dalam kebesaran Tuhan-nya. Tak putus menyebut nama-Nya. Baginya yang ada hanyalah Allah.
Semua geraknya menjadi sembah, salat jiwanya tegak sepanjang waktu bahkan ketika raganya dalam keadaan tak suci. Mata hatinya tak putus memandang Allah. Kenyataan yang ada baginya adalah kesatuan wujud baik ketika dalam salat maupun di luarnya. Hasrat manusiawi 'lah terselaraskan dengan kehendak
Ilahi. Dan semuanya baru berhenti apabila Eyang Mus, oleh matra kemanusiaan sendiri, tersadar dirinya terhadirkan di alam kesehatian.
Orang Karangsoga, bahkan Mbok Mus sendiri tak pernah mengerti betapa jauh jiwa Eyang Mus mengembara ketika lelaki tua itu sedang bersila di depan gambangnya. Mereka tidak tahu, ketika mata Eyang Mus terpejam hatinya malah melihat dunia yang lebih nyata. Namun demikian orang Karangsoga setidaknya mampu menangkap muatan wadhag, muatan lahiriah suara gambang Eyang Mus. Muatan itu adalah irama gambang yang menyapa hati, menyentuh jiwa sehingga mereka betah mendengarkannya. Apalagi ketika tengah malam cahaya bulan membuat bayang-bayang pepohonan di halaman dan udara musim kemarau terasa sangat dingin; orang-orang Karangsoga larut dalam kelembutan
suara gambang yang melantun merayapi sudut-sudut kampung, memantul pada lereng-lereng tebing, dan menghilang setelah jauh merayap menyusur lembah.
Eyang Mus bangkit setelah selesai dengan beberapa pupuh suluk lalu duduk di bangku panjang. Lelaki tua itu sedang menggulung rokok dan istrinya sedang membersihkan bibir dengan susur ketika seorang perempuan uluk salam. Eyang Mus dan istrinya sudah kenal suara itu, suara Mbok Wiryaji.
"Aku tak pangling akan suaramu. Bersama siapa"" tanya Eyang Mus sambil membukakan pintu.
"Sendiri, Yang."
"Suamimu""
"Di rumah." D i bawah sorot lampu gantung tampak wajah Mbok Wiryaji yang gelap. Eyang Mus suami-istri sudah hafal, istri Wiryaji itu selalu datang bila ada kekusutan di rumah.
"Duduklah. Rasanya wajahmu mendung. Cekcok lagi""
"Biasa, Yang. Mungkin sudah jadi suratan, saya dan suami saya harus sering cekcok."
"Kalian sudah beruban tetapi belum juga berubah."
"Yang, pada awalnya saya dan suami saya bicara soal Lasi. Bicara ke sana kemari, eh, lama-lama kami bertengkar. Daripada ramai di rumah lebih baik saya menyingkir ke sini."
"Cobalah, sesekali kamu datang kemari dengan nasi hangat dan gulai ikan tawes, pasti kuterima dengan gembira. Jangan selalu soal pusing kepala yang kamu sodorkan kepadaku. Sekarang urusan apa lagi""
"Lasi, Yang. Maksud saya, suaminya si Darsa itu. Sudah empat bulan dirawat di rumah keadaannya tak berubah."
"Masih ngompol""
"Ngompol terus, malah perangai Darsa sekarang berubah. Ia jadi suka marah, sepanjang hari uring-uringan. Kemarin Darsa membanting piring hanya karena Lasi agak lama pergi ke warung. Aku kasihan kepada Lasi. Suami seperti kambing lumpuh, pakaiannya yang sengak harus dicuci tiap hari, tapi saban kali Lasi malah kena marah."
"Siapa yang menyiapkan kayu bakar""
"Nah, itu! Mengolah nira memang pekerjaan Lasi sejak kecil. Tetapi soal mencari kayu" Eyang Mus, saya tak tega melihat Lasi tiap hari bersusah payah mengambil kayu di hutan. Dan yang membuat saya cemas, apakah penderitaan Lasi bisa berakhir" Bagaimana kalau Darsa tak bisa sembuh""
"Kamu jangan berpikir seperti itu."
"Eyang Mus, Lasi masih muda. Apa iya, seumur-umur ia harus ngewulani suami yang hanya bisa ngompol"" Mbok Wiryaji tersenyum pahit.
"Hus." "Saya tidak main-main, Eyang Mus. Sekarang Darsa memang hanya bisa ngompol, ditambah perangainya yang berubah jadi pemarah. Dengan keadaan seperti itu, sampai kapan Lasi bisa bertahan, dan haruskah saya diam belaka""
"Nanti dulu. Kalau perasaanku tak salah, aku menangkap maksud tertentu dalam kata-katamu. Kamu tidak lagi menghendaki Darsa jadi menantumu""
Mbok Wiryaji terkejut. Wajahnya berubah. Eyang Mus tersenyum karena percaya dugaannya jitu.
"Jangan tergesa-gesa. Sebelum mendapat kecelakaan Darsa adalah suami yang baik. Kini Darsa tak berdaya karena sesuatu yang berasal dari luar kehendaknya. Lalu, apakah kamu mau tega""
"Aku ikut tanya," sela Mbok Mus. "Apakah Lasi kelihatin tak suka lagi bersuami
Darsa"" "Tidak juga. Saya kira Lasi tetap setia menemani suaminya yang bau sengak itu. Dan hal itulah yang membuat saya malah jadi lebih kasihan kepadanya. Masalahnya, apakah Lasi harus mendnderita lahir-batin seumur hidup""
"Sebelum kamu punya pikiran pendek seperti tadi, apa kamu sudah cukup ikhtiar untuk menyembuhkan Darsa""
"Sudah tak kurang, Eyang Mus. Tidak sembuh di rumah sakit, kemudian segala jamu sudah banyak diminum. Jampi sudah banyak disembur."
"Ya. Ikhtiar harus tetap dijalankan. Juga doa. Dulu kamu sendiri bilang, bila hendak memberikan welas-asih, Gusti Allah tidak kurang cara. Tetapi mengapa sekarang kamu jadi berputus asa" Kamu tak lagi percaya bahwa Gusti Allah ora sare, tetap jaga untuk menerima segala doa""
"Iya, Eyang Mus. Semua itu saya percaya. Tetapi..."
"Teruskan, kenapa terputus""
Mbok Wiryaji kelihatan ragu.
"Eyang Mus, saya berterus terang saja, ya. Kemarin saya mendapat pesan dari Pak Sambeng, guru yang dulu mengajar Lasi. Ketika Lasi masih gadis Pak Sambeng melamarnya tetapi kami tolak karena waktu itu Pak Sambeng masih punya istri. Kini, dia menduda. Dia masih menghendaki Lisi. Katanya, bila tak kena perawan, jandanya pun jadi."
"Cukup! Rupanya inilah hal terpenting mengapa kamu datang kemari. Rupanya kamu sedang mendambakan punya menantu seorang guru. Sebenarnya kamu harus menolak begitu mendengar pesan Pak Sambeng itu. Satu hal kamu tak boleh lupa: Jangan sekali-kali menyuruh orang bercerai. Juga jangan lupa, Darsa adalah kemenakan suamimu. Salah-salah urusan, malah kamu dan suamimu ikut kena badai. Oh, Mbok Wiryaji, aku tak ikut kamu bila kamu punya pikiran demikian. Aku hanya berada di pihakmu bila kamu terus berikhtiar dan berdoa untuk kesembuhan Darsa."
"Soa l berikhtiar, Eyang Mus, percayalah. Sampai sekarang pun kami terus berusaha. Kini pun Darsa sedang ditangani oleh seorang tukang urut; Bunek."
"Bunek si dukun bayi""
"Ya. Bunek memang dukun bayi. Tetapi banyak orang bilang pijatannya terbukti bisa menyembuhkan beberapa lelaki peluh, eh, lelaki yang anu-nya mati."
"Kamu yang menghubungi Bunek""
"Bukan. Lasi sendiri yang menyerahkan suaminya untuk ditangani peraji itu."
"Nah, itu namanya pikiran waras. Aku sungguh-sungguh ikut berdoa semoga ikhtiar kalian kali ini berhasil."
Mbok Wiryaji hanya mengangguk. Tetapi kesan tak puas masih tersisa pada wajahnya. Emak Lasi itu lalu merebahkan diri di balai-balai yang didudukinya.
"Kamu boleh beristirahat di sini. Tapi jangan menginap. Ora ilok, tak baik meninggalkan suami sendiri di rumah," dan tangan Eyang Mus meraih kotak tembakau. Sesaat kemudian terdengar bunyi pemantik api serta embusan napas dengan asap rokok. Sepi dari luar merayap masuk. Mbok Mus menyuruh emak Lasi pulang tetapi hanya mendapat jawaban desah napas. Mbok Wiryaji pulas.
*** Orang bilang ciri paling nyata pada diri Bunek adalah cara jalannya yang cepat.
Cekat-ceket. Langkahnya panjang dan ayunan tangannya jauh, mungkin karena Bunek biasa tergesa bila berjalan memenuhi panggilan perempuan yang sedang menunggu detik kelahiran bayinya. Namun cirinya yang lain pun tak kalah mencolok. Bunek selalu kelihatan paling tinggi bila berada di antara perempuan-perempuan lain. Tawanya mudah ruah, juga latahnya. Pada saat latah, ucapan yang paling cabul sekalipun dengan mudah meluncur dari mulutnya. Namun dalam keadaan biasa pun Bunek biasa berkata mesum seringan ia menyebut sirih yang selalu dikunyahnya. Wajah Bunek bulat panjang dan semua orang percaya ia cantik ketika masih muda. Kulitnya malah masih lembut meskipun Bunek sudah punya beberapa cucu. Rambutnya yang lebat mulai beruban tetapi Bunek rajin menyisirnya sehingga menambah kesannya yang rapi dan singset. Ia selalu ingin bergerak cepat.
Banyak perempuan menjadi pelanggan Bunek. Konon karena pijatan tangannya yang lembut namun tetap bertenaga. Keterampilan demikian konon tak mudah tertandingi oleh peraji lain. Telapi lebih banyak orang bilang, bukan hanya pijatan Bunek yang disukai melainkan juga suasana cair dan ringan yang selalu dibawanya di mana pun Bunek berada. Bagi Bunek segala masalah boleh dihadapi dengan tertawa, bahkan dengan latah yang cabul. Rasa sakit yang menusuk perut ketika seorang perempuan melahirkan hanya perkara enteng di mata Bunek. "Aku juga pernah melahirkan. Rasa sakit ketika jabang bayi mau keluar bisa membuat aku ingin meremas suami sampai remuk. Namun heran, sungguh heran, aku tidak jera. Aka bunting lagi dan bunting lagi. Aka kecanduan. Eh, apa kamu tidak begitu" Tidak" He-he-he!"
Suatu kali seorang ibu meraung-raung ketika hendak melahirkan. Perempuan itu bersumpah habis-habisan demi langit dan bumi bahwa dia tak sudi hamil lagi. Tak sudi! Tetapi Bunek menanggapinya sambil tersenyum ringan. "Tahun lalu kamu bersumpah demi bapa-biyung, sekarang kamu bersumpah demi langit dan bumi, tetapi aku percaya tahun depan kamu hamil pula. Lalu kamu akan bersumpah demi apa lagi" Ayolah, aku belum bosan mendengar sumpahmu, he-he-he."
Apabila ada perempuan tidak memilih Bunek, sebabnya mungkin karena kesukaan dukun bnyi itu berterus terang. Bunek biasa blak-blakan menyuruh seorang suami jajan bila tak sabar menunggu istrinya sehat kembali setelah melahirkan. Bila disanggah orang karena nasihatnya yang samin itu dengan enteng Bunek bilang, "Lelaki ngebet itu biasa, wajar. Dan siapa yang bisa menahan diri boleh dipuji. Lho, yang tidak" Jujur saja, apa mereka harus mencari liang kepiting" He-he-he."
Selama merawat Darsa, Bunek tetap membawa suasana yang menjadi cirinya, cair dan enteng. Mula-mula Darsa agak tersinggung karena terasa betul Bunek menyepelekan penderitaannya. Namun lama-kelamaan Darsa menikmati keserbacairan dukun bayi itu. Tentang kemih Darsa yang terus menetes misalnya, Bunek hanya bilang, "Ah, tidak apa-apa. Cuma air yang merembes. Seperti nira yang kamu sadap, kemihmu akan berhenti men
etes pada saatnya." Atau tenting pucuk Dirsa yang lemah, "Itu juga tidak apa-apa. Seperti ular tidur, nanti akan menggeliat bangun bila cuaca mulai hangat."
Kata "tidak apa-apa" yang selalu diulang dengan senyum Bunek yang ringan akhirnya mampu membangkitkan kepercayaan Darsa, percaya bahwa cacat tubuh yang disandangnya hanya masalah sementara, tidak apa-apa, dan tidak mustahil Bunek bisa mengatasinya. Maka Darsa makin patuh kepada Bunek. Dia serahkan dirinya untuk diurut dari kaki sampai kepala. Bagian pusar dan selangkangannya selalu mendapat garapan khusus.
"Pantas, bocah-mu mati. Urat-urat di selangkanganmu dingin seperti bantal kebocoran," kata Bunek suatu kali. "Kamu harus banyak bergerak agar urat-uratmu tidak beku."
Darsa hanya melenguh. "Tak lupa minum jamu""
Darsa melenguh lagi. "Ya. Meski pahit namun harus kamu minum. Bahannya bukan apa-apa, sekadar akar ilalang dan ujung akar pinang serta cengkih. Kamu tahu mengapa akar ilalang""
"Tidak." "Akar ilalang akas dan punya daya tembus hebat. Tanah cadas yang keras pun dapat diterobosnya."
Darsa nyengir. "Kamu tahu mengapa cengkih""
Darsa nyengir lagi. "Cengkih bisa menimbulkan kehangatan. Ya. Karena semuanya bermula dari berhangat-hangat."
Pada pekan pertama setiap hari Bunek datang merawat Darsa di rumah. Namun selanjutnya Darsa diminta datang ke rumah Bunek pada malam hari. "Di siang hari pekerjaanku terlalu banyak," kata Bunek. "Lagi pula kamu perlu banyak berjalan untuk menghidupkan kembali urat-urat tungkaimu yang dingin."
Dengan senang hati Darsa memenuhi permintaan Bunek karena pergi malam hari jarang bertemu orang lain. Darsa malu, setiap orang akan menutup hidung bila berpapasan dengan dia. Sengak. Lasi sering menemani Darsa pergi ke rumah Bunek. Namun bila badan terasa letih, Lasi melepas Darsa berangkat seorang diri.
Hujan pertama sudah turun mengakhiri musim kemarau selama hampir lima bulan. Perdu yang meranggas pada dinding-dinding lembah dan lereng jurang menghijau kembali karena munculnya pucuk daun muda dan tunas-tunas baru. Rumpun puyengan yang menutupi tanah-tanah liar mulai berbunga, seakan
menaburkan warna marak kekuningan di mana-mana. Relung-relung muda bermunculan di tengah hamparan pikis-pakisan sepanjang lereng jurang.
Ketika matahari naik ratusan kupu dari berbagai jenis dan warna beterbangan mengelilingi bunga-bunga liar atau berkejaran dengan pasangannya. Pagi hari ribuan laron keluar, terbang berhamburan mengundang burung-burung dan serangga pemangsa. Pagi yang meriah, suasana khas awal musim hujan. Burung layang-layang, keket, dan si ekor kipas pamer ketangkasan mereka menyambar mangsa. Tapi capung maling tak lagi mengejar buruannya apabila sudah ada seekor laron di mulutnya. Sedikit laron yang selamat adalah yang segera bertemu pasangannya. Laron jantan akan menggigit pantat laron betina, turun ke bumi, dan melepas sendiri sayap-sayap mereka. Keduanya akan merayap beriringan, menggali tanah di tempat yang tersembunyi, dan siap berkembang biak untuk membangun koloni baru.
Di pekarangan yang penuh pepohonan Darsi sedang mengumpulkan ranting-ranting mati untuk kayu bakar. Sudah beberapa hari Darsa bisa kembali bekerja yang ringan-ringan. Setengah tahun terpaksa beristirahat membuat otot-ototnya hampir kehilangan kekuatan. Maka Darsa belum berani menyadap sendiri pohon-pohon kelapanya. Meskipun demikian beberapa perubahan jelas nampak pada diri Darsa. Wajahnya mulai bercahaya dan segala gerak-geriknya kelihatan lebih bertenaga. Dan Lasi merasakan perubahan lain, Darsa makin jarang marah. Suaminya itu juga sudah mau bercakap-cakap, bahkan kadang tertawa dan bergurau bersama Mukri. Padahal biasanya wajah Darsa berubah gelap apabila Mukri datang mengantar nira. Apalagi bila Lasi kelihatan terlalu bersemangat membantu Mukri menurunkan pongkor dari pundaknya. Memang, Mukri suka mencuri pandang dan kadang senyumnya nakal. Lasi yang sekian bulan tidak diapa-apakan bisa tersengat oleh ulah Mukri. Hanya tersengat, selebihnya tidak ada apa-apa lagi.
Dan ada perubahan yang lebih nyata. Suatu kali Darsa mendekati Lasi yang sedang jongkok di depan tun
gku. Dengan wajah terang Darsa berbisik,
"Las, celana yang kupakai sejak pagi masih kering."
Lasi menatap suaminya dengan mata bercahaya. Senyumnya mengembang,
"Syukur, Kang. Oh, pantas, cucianmu makin sedikit."
"Kamu senang, Las""
Lasi menunduk. Wajahnya memerah.
"Kamu sendiri senang apa tidak""
Lasi dan Darsa berpandangan. Lasi tersengat dan ada gelombang kejut menyentak jantungnya. Pipinya merona. Namun Lasi segera menundukkan kepala.
"Nanti kita bikin selamatan, ya, Kang. Kita syukuran."
"Ya, bila aku sudah benar-benar pulih-asal, kembali segar seperti sediakala."
"Ya, Kang." Lasi terus bekerja mengendalikan api. Nira dalam kawah menggelegak seperti mengimbangi semangat yang tiba-tiba mengembang di hati Lasi. Asap mengepul dan bergulung naik ke udara. Bau nira yang mulai memerah tercium lebih harum. Oh, betul Gusti Allah ora sare, bisik Lasi untuk diri sendiri. Akhirnya Kang Darsa sembuh karena welas-asih-Nya. Orang yang senang menyebutku randha magel, janda kepalang tanggung, boleh menutup mulut. Emak yang selalu menyebut-nyebut nama Pak Sambeng juga boleh tutup mulut. Lasi mengembuskan napas lega. Air matanya menggenang.
Tadi malam hujan turun sejak sore dan baru berhenti bersamaan dengan bunyi beduk subuh di surau Eyang Mus. Beberapa bagian lantai tanah rumah Lasi tampak basah karena genting di atasnya bocor. Udara sangat dingin namun pagi ini Lasi dan Darsa sama-sama mandi keramas. Ada luap kegembiraan yang tertahan. Mereka bergurau, saling menyiramkan air. Di atas mereka seekor burung ekor kipas mencecet dan selalu bergerak sigap seperti mewakili semangat yang sedang menggeliat dalam hati pasangan penyadap muda itu. Darsa sudah mengambil kembali pekerjaan yang selama ia sakit dipercayakan kepada tetangganya, Mukri.
Meski punya pengalaman pahit terbanting dari ketinggian puncak kelapa, semangat Darsa tetap tinggi, tak terlihat kesan khawatir akan jatuh buat kali kedua. Di Karangsoga belum pernah terdengar cerita seorang penyadap jera karena jatuh. Rakam, misalnya, jatuh sampai tiga kali dan meninggal pada kecelakaan yang keempat. Mungkin ia akan tetap menyadap nira apabila nyawanya tak melayang. Meskipun begitu kemarin Lasi berdiri lama di depan pintu ketika melepas Darsa pergi menyadap. Mulut Lasi komat-kamit. Mangkat slamet, bali slamet, bisik Lisi. Amit-amit jangan seperti dulu, mangkat slamet, kembali sudah terkulai dalam gendongan Mukri.
Menjelang matahari tergelincir Lasi sudah selesai mengolah niranya. Gula merah sudah siap dalam sebuah bakul kecil ditutup daun-daun waru kering sebagai pengisap kelembapan. Dengan selendang tua bakul itu diangkatnya ke punggung. Simpul selendang menekan dadanya. Lasi tak pernah sadar dalam keadaan seperti itu ada bagian tubuh yang memadat yang tampak lebih menyembul kcluar dan menarik mata laki"laki.
Dengan sebakul gula merah di punggungnya Lasi keluar rumah dan berjalan cepat menuju rumah Pak Tir. Lebih nyaman terasa, menjual hasil sadapan suami daripada hasil sadapan orang lain. Matahari bersinar penuh sehingga Lasi harus menyipitkan matanya selama perjalanan. Kupu-kupu masih banyak beterbangan. Bunga bungur yang selalu muncul pada awal musim hujan mekar dalam dompolan ungu berputik kuning dan berlatar daun yang hijau berkilat. Beberapa ekor kumbang yang berpunggung kuning terbang-hinggap pada bunga yang masih segar dan meluruhkan kelopak yang sudah tua. Sepasang kutilang melompat-lompat pada ranting-rantingnya. Si jantan melantunkan kicaunya yang nyaring dan bening. Suara riang-riang membuat suasana tengah hari makin terasa hidup.
Lasi terus melangkah. Menyeberang titian pinang sebatang, tersenyum sendiri karena teringat dulu ia sering berlama-lama di situ, lalu mendaki dan muncul pada gang yang lurus menuju rumah Pak Tir. Sudah ada beberapa perempuan yang sama-sama hendak menjual gula. Lasi menunggu giliran. Dan merasakan suasana tiba-tiba berubah kaku dan hening. Tiba-tiba terasa ada jarak antara dirinya dan semua orang yang ada di sana. Perempuan-perempuan itu kelihatan menahan diri, enggan bertegur-sapa, malah mereka tersenyum aneh di antara mereka sendiri. Atau sali
ng mengedipkan mata. Tiga laki-laki yang sedang mengangkat peti-peti gula dari gudang ke bak truk yang diparkir di halaman juga tersenyum dan saling pandang setelah mereka mengetahui kedatangan Lasi.
Pak Tir sendiri sibuk dengan batang timbangan. Lelaki gemuk dengan kepala bulat yang mulai botak itu bekerja cepat dan mekanis. Tangannya selalu tangkas memainkan batang timbangan, menangkapnya pada saat yang tepat, yaitu ketika batang kuningan itu mulai bergerak naik. Keterampilan seperti itu akan memberikan keuntungan sepersekian ons gula sekali timbang. Maka Pak Tir kadang tersinggung apabila ada orang terlalu saksama memperhatikan caranya menimbang gula. Pembayaran gula pun dilakukan Pak Tir dengan gampang dan dingin.
"Hari ini harga gula turun lagi. Aku hanya menuruti aturan tauke. Bila mereka menaikkan harga, aku ikut. Bila turun, aku juga ikut."
Para istri penyadap sudah terbiasa mendengar kabar buruk seperti itu. Maka mereka selalu hanya bisa menanggapinya dengan cara menelan ludah dan alis yang berat. Tak bisa lain. Menolak harga yang ditentukan Pak Tir lalu membawa gula mereka pulang" Tak mungkin, karena kebanyakan mereka punya utang pada tengkulak gula itu. Juga, hasil penjualan hari ini adalah hidup mereka hari ini yang tidak mungkin mereka tunda. Maka bagi mereka harga gula adalah ketentuan menakutkan yang entah datang dari mana dan harus mereka terima, suka atau tidak suka.
Tentang harga yang turun kadang Pak Tir punya cerita; sekarang musim buah-buahan. Maka kebutuhan orang akan makanan yang manis berkurang. Atau,
tauke bilang pabrik kecap di Jakarta yang biasa menerima gula terbakar sehingga stok gula menumpuk di gudang. Atau lagi, harga solar naik karena pemerintah memotong subsidi harga bahan bakar minyak. Tauke terpaksa menurunkan harga pembelian gula untuk menutup kenaikan biaya angkutan.
Istri-istri penyadap itu selalu mendengarkan cerita Pak Tir dengan setia. Mereka menganggukkan kepala setiap kali Pik Tir selesai dengan satu cerita. Tetapi mereka sungguh tidak bisa mengerti apa hubungan antara musim buah dan jatuhnya harga gula, tentang pabrik kecap yang terbakar, dan kenaikan bahan bakar minyak. Mereka mengangguk karena itulah satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan. Ya, mengangguk bukan karena mereka mengerti. Anggukan mereka lebih terasa sebagai pertanda ketidakberdayaan.
Ketika akhirnya giliran Lasi tiba, Pak Tir menatapnya sejenak lalu berdecak sambil menggelengkan kepala. Sama seperti semua orang yang berada di sekelilingnya, Pak Tir pun tersenyum aneh. Suaranya bernada penuh simpati ketika Pak Tir berkata perlahan,
"Oalah, Las, buruk amat peruntunganmu. Kamu harus bisa sabar. Puluh-puluh, Las, barangkali sudah jadi garis nasibmu."
"Pak Tir, apa maksud Anda"" tanya Lasi gagap. Wajahnya menunjukkan kcbimbangan yang amat sangat.
"Lho, apa kamu belum tahu""
"Tahu hal apa, Pak" Ada apa sebenarnya"" Wajah Lasi makin tak menentu. Bibirnya gemetar.
Pak Tir kembali menggelengkan kepala. Terasa ada yang aneh dan muskil.
"Las, aku tak ingin mengatakan sampai kamu tahu sendiri apa yang kumaksud. Memang aneh, Las. Aneh. Orang sekampung sedih tahu tetapi kamu sendiri malah tak merasa apa-apa."
Dengan tangan gemetar karena risau, Lasi menerima uang pembayaran gula yang diberikan Pak Tir. Tanpa menghitung uang itu Lasi langsung melangkah pulang. Sekilas dilihatnya orang-orang masih memandangnya dengan cara aneh. Terasa ada cakar tajam menusuk dadanya. Kuduk Lasi terasa panas, seakan semua mata orang melekat di sana. Lasi berjalan setengah berlari agar bisa secepatnya sampai di rumah. Langkahnya panjang-panjang. Tak dipedulikannya seekor si kaki seribu yang merayap melintas jalan di depannya. Padahal biasanya Lasi paling ngeri melihat binatang yang lamban dan menjijikkan itu. Lasi hampir masuk ke halaman rumah ketika dari arah samping muncul emaknya. Mbok Wiryaji berjalan sambil mengangkat kain tinggi-tinggi. Kemarahan yang luar biasa kelihatan dari wajahnya yang terbakar.
"Oalah, Lasi, anakku. Kaniaya temen awakmu! Sial amat peruntunganmu!"
"Apa, Mak" Sebetulnya ada apa, Mak""
"Gusti. Jadi kamu belum tahu" Da
rsa, suamimu, tengik! Dia bacin! Dia kurang ajar. Sipah sedang menuntutnya agar dikawin. Kamu tidak usah pulang ke rumahmu. Kamu harus minta cerai."
Lasi masih mendengar emaknya terus nyapnyap dengan ledakan kata-kata yang sangat pedas dan tajam. Lasi juga masih melihat bayangan emaknya bergerak-gerak dalam kemabukannya. Tetapi Lasi sendiri terpaku, matanya terbuka lebar tanpa kedip, kedua bibirnya berhenti pada posisi seperti hendak berkata-kata. Dan kesadarannya melayang ke dalam dunia yang asing. Lasi melihat semua orang. Pepohonan dan burung-burung menyeringai mengejeknya. Matahari terlihat kuning kotor dan air di dasar jurang menyuarakan gelak tawa. Muncul Bunek bertelanjang dada, teteknya menggelantung sampai ke pusar, menyeringai dengan gigi membusuk dan jarang. Rambutnya gembel menjadi gumpalan serabut kotor. Bunek terkekeh dan meringkik panjang. Suara yang buruk dan menyakitkan telinga itu bergaung lalu memantul berulang-ulang
pada setiap dinding lembab.
Dunia Lasi terus jungkir balik dan malang melintang. Segala sesuatu melayang, berhamburan, dan berbaur dengan sejuta kunang-kunang, sejuta bintang dan sejuta kembang api yang meledak bersama. Ada ular belang siap mematuk. Ada kalajengking. Lalu ada suara berdenting pecah dalam liang telinga Lasi. Lalu segalanya hening. Yang jungkir balik perlahan mereda. Yang herhamburan perlahan berhenti dan luruh. Yang tampak pekat mencair. Yang keruh mengendap. Perlahan Lasi hadir kembali ke dalam dunia nyata.
Dalam kesadaran yang belum sepenuhnya pulih Lasi melihat Sipah, perawan lewat umur anak bungsu Bunek. Gadis berkaki pincang dan amat pemalu itu sedang menuntut Darsa mengawininya" Pada detik pertama Lasi mempercayai kenyataan itu, bakul yang sedang dipegangnya jatuh ke tanah. Juga uang yang digenggamnya. Kelenting receh logam jatuh ke tanah berbatu. Kedua tangan Lasi mengepal. Lasi terlempar kembali ke dalam dunia khayal, menjadi kepiting batu raksasa dengan capit dari gunting baja. Lasi siap memangkas putus pertama-tama leher Bunek, kemudian leher Darsa, kemudian leher semua orang. Tapi tak pernah ada kepiting raksasa atau jari dari gunting baja. Yang tergelar di depan Lasi adalah kenyataan dirinya terlempar dari pentas tempat selama ini dia hadir. Lasi kini merasa di alam awang-uwung, antah berantah. Tak ada layar atau cermin tempat ia melihat pantulan dirinya sendiri. Tak ada sesuatu untuk membuktikan bahwa dirinya ada. Lasi merasakan dirinya tak lagi mewujud. Hilang, atau ketiadaan yang menghunjamkan rasa amat sakit ke dalam dadanya.
Seperti kelaras pisang tertiup angin, Lasi bergoyang lalu berjalan. Dengan matanya yang tak pernah berkedip dan wajah mati rasa Lasi menjadi sosok yang bergerak tanpa kesadaran penuh. Masih terus mengutuk dan mengumpat Darsa, Mbok Wiryaji mengikuti Lasi, pulang. Sampai di ambang pintu Mbok Wiryaji melihat suaminya sedang duduk diam seperti pongkor kosong. Serta-merta kemarahannya meruah lebih dahsyat.
"Itu, Darsa kemenakanmu. Tengik bacin! Tak tahu diuntung. Setengah tahun hanya menjadi kambing lumpuh yang harus dicatu, kini dia malah menghina anakku. Kamu tidak tahu Lasi secepatnya akan dapat suami baru bila ia jadi janda" Suami barunya nanti seorang priyayi. Guru. Punya gaji. Bukan cuma penderes dungu yang bau nira masam. Apek. Mau tahu; banyak lelaki menunggu
Pengelana Rimba Persilatan 1 Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta Kelemahan The Weakness 2