Pencarian

Bidadari Bidadari Surga 2

Bidadari Bidadari Surga Karya Tere Liye Bagian 2


nya, deh! Bagus, kan"" Yashinta menghentikan gerakan tangannya lagi. Menyeringai sambil menyodorkan kertas gambarnya, Kak Laisa menoleh, menyimak. Tersenyum. Mengangguk. Yashinta menyeringai senang, kan jarang-jarang Kak Laisa tersenyum. Mamak Lainuri juga beranjak mendekat melihat gambar Yashinta. Ikut tersenyum. Yashinta memang berbakat melukis. Meski hanya dengan pensil, gambarnya tetap bagus. Lima berang-berang itu terlihat begitu nyata. Andai saja ia bisa membelikan putri bungsunya crayon warna. Mamak menghela nafas pelan, meneruskan menganyam. Sejak dulu Yashinta sudah minta dibelikan. Ikanuri dan Wibisana juga melirik selintas, meski lantas sok serius kembali lagi ke buku. Dalimunte masih sibuk dengan kertas-kertasnya. Entah membuat apa. Sejurus, Yashinta menguap. Beranjak membereskan pensil dan kertas gambar. Sudah hampir pukul 21.00. Saatnya tidur. Hanya ada satu kamar di rumah panggung itu. Mamak, Kak Laisa dan ia tidur di kamar, beralaskan kasur butut. Sementara, Dalimunte, Wibisana dan Ikanuri tidur di ruang tengah. Pakai tikar pandan dan sarung. "Ah-iya, Ikanuri lupa " Entah kenapa Ikanuri tiba-tiba bangkit dari belajarnya. Semua menoleh. Langkah Yashinta tertahan. Ikanuri mengambil bungkusan kecil dari kota kecamatan tadi. Lantas menyerahkannya ke Yashinta. "Buat, Yashinta!" " Apa-an"" Yashinta bertanya sambil menguap. "Buka saja " Ikanuri nyengir. Yashinta tanpa perlu diperintah dua kali, membuka ikatan kantung plastik kecil. Sekejap terdiam memegang kotak berwarna itu. Seperti tidak percaya. Satu detik. Dua detik. Lantas berseru senang sekali. "CRAYON 12 WARNA " Yashinta tertawa lebar. Ikanuri ikut tertawa. Mengusap jidatnya. "TERIMAKASIH, KAK!" Ah, malam itu, di tengah sejuknya angin malam menilisik lubang.-lubang dinding. Di tengah gemerlap sejuta bintang di angkasa sana. Malam itu, Mamak Lainuri setelah seharian bekerja, setelah sepanjang malam mengkal melihat ulah anak lelakinya, akhirnya bisa tersenyum lebar. Juga Kak Laisa....
"Abi, Tante Yashinta juga pulang, kan"" Dalimunte yang mendorong koper sepanjang lorong garbarata pesawat mengangguk pelan. Ummi berjalan di belakang. Asyik. Asyik. Kalau begitu ia bisa lihat-lihat kamera keren Tante Yashinta. Lihat-lihat foto yang indah. Dulu waktu Intan masih kecil, Tante Yashinta yang suka ngajarin melukis. Makanya Intan suka dengan pelajaran itu di sekolah. "Oom Ikanuri" Oom Wibisana juga pulang, Bi"" Dalimunte mengangguk lagi. Teringat sesuatu. Urusan ini benar-benar membuatnya tak sempat berpikir panjang. Bagaimana mungkin dia belum menghubungi mereka satu pun" Sejak menerima SMS di konferensi fisika. Itu berarti tiga jam berlalu, dan dia belum tahu apa yang sedang dilakukan adik-adiknya. Juga kabar Kak Laisa dan Mamak Lainuri di perkebunan strawberry. Dalimunte mengeluarkan HP dari sakunya. Antrian penumpang keluar dari pintu garbarata membuat langkah terhenti. Menyalakan telepon genggam. "Kalau begitu Delima dan Juwita juga datang.... Horee!" Intan tertawa lebar. Meraba tasnya. Ia bisa memaksa mereka berdua memakai empat gelang karet "Safe The Planet". Meski sedikit nyengir ketika kemudian membayangkan Oom Ikanuri dan Oom Wibisana. Pasti mereka lagi-lagi suka jahil ngerjain Intan. Dulu pernah hamster belang Intan disembunyikan di tong belakang perkebunan. Untung ada Wak Laisa yang belain. Perasaan Oom Ikanuri dan Oom Wibisana nurutnya hanya sama Wak Laisa, deh, Sekarang" Kata Abi tadi kan Wak Laisa lagi sakit. Jadi tidak ada yang belain Intan kalau lagi dikerjain Oom Ikanuri dan Oom Wibisana. Ah, Wak Laisa paling sakit perut atau mencret-mencret, tidak bakal serius ini. Masih bisa menemani Intan jalan-jalan di kebun strawberry. Intan sibuk mikir sambil memperhatikan Abi yang menunggu nada sambung. Orang dewasa tuh rumit, ya" Kenapa pula coba tampang Abi tegang begini sejak tadi dari sekolah. Cemas karena Wak Laisa sakit" Lah" Kan dikasih oralit, mencret Wak Laisa paling juga sudah sembuh. Intan jago kok bikin minuman itu.
10 PERTEMUAN DI BALAI KAMPUNG
PAGI BERIKUTNYA datang lagi. Wak Burhan mengumandangkan adzan shubuh. Meski sudah sepuh, suara Wak
Burhan yang tanpa speaker dari surau terdengar menggema di perkampungan bawah Lembah Lahambay. Dalimunte terkantuk-kantuk menarik sarung adik-adiknya. Kerlip lampu canting semakin lemah, minyak tanahnya hampir habis. "Bangun Ikanuri! Wibisana!" Yang dibangunkan hanya menggeliat sebal. Menarik bantal. Lantas menutupkannya ke kepala. Dalimunte menggosok-gosok mata, sedikit terhuyung berdiri. Pagi ini penting baginya. Sebenarnya juga bagi seluruh penduduk kampung. Seperti kesepakatan minggu lalu, bakal ada pertemuan rutin tahunan di balai kampung. Membicarakan soal panen ladang-ladang mereka, perbaikan jalan bebatuan selebar tiga meter itu, perselisihan antar tetangga (jika ada), perambah hutan dari luar lembah yang semakin sering masuk, hal-hal kecil. Dulu, waktu Babak masih ada, Babak-lah jadi wakil di pertemuan, mereka bersama-sama datang ke balai kampung. Asyik menyimak pembicaraan. Dalimunte menguap sekali lagi, melangkah mengambil kopiah. Mamak sejak jam empat tadi sudah sibuk di dapur, masak air enau, Ditemani Kak Laisa. Brr... dingin. Musim kemarau, dinginnya semakin terasa menusuk tulang. Tapi Dalimunte semangat shalat di surau. Teringat ada hal penting yang harus dikerjakannya hari ini. Itulah kenapa kemarin dia nekad bolos, dia ingin melakukannya sendiri sebelum pertemuan kampung dilakukan. Suara kokok ayam hutan terdengar dari kejauhan. Juga lenguh pagi uwa. Beberapa tetangga membawa obor bambu menuju surau. Jalanan kampung masih gelap. Obor itu
sekalian juga penerangan di surau. Tidak banyak peserta shalat shubuh, paling berbilang enam-tujuh orang. Dan satu-satunya peserta anak kecil, ya, Dalimunte. Sekembali dari surau, Ikanuri dan Wibisana masih tertidur, saling membelakangi punggung, dengan kaki-kaki menyilang. Dalimunte nyengir melihat posisi aneh itu, malas membangunkan lagi; menuju kertas-kertasnya yang ditumpuk di atas meja. Siapapun di lembah itu tahu persis, di sekolah Dalimunte dikenal sebagai anak yang paling pintar, meski sekolah ini benar-benar seadanya. Dan satu bakat besar milik Dalimunte (meski untuk yang ini tidak semua penduduk lembah tahu), dia suka sekali mengutak-atik sesuatu. Diam-diam melakukannya di sela-sela membantu Mamak di ladang, Apa saja. Menciptakan alat-alat yang aneh. Seperti keranjang aneh penangkap udang, alat panjang penyadap damar, dan sebagainya. Ahad pagi, hari ini sekolah libur. Selepas Kak Laisa meneriaki Ikanuri dan Wibisana bangun agar shalat shubuh, sesudah sarapan nasi goreng, benar-benar hanya nasi yang digoreng plus potongan cabai dan bawang merah, mereka beramai-ramai berangkat ke balai kampung. Pertemuan rutin warga kampung. "Kakak bawa apa, sih"" Yashinta bertanya, melihat kertas-kertas yang dipegang Dalimunte. "Biasa, penemu. Paling juga bawa peta harta karun " Ikanuri dan Wibisana nyengir. Tertawa menggoda. Mereka berdua selama ini juga suka jahil merusak kertas-kertas atau apa saja yang dikerjakan Dalimunte. Dalimunte tidak mempedulikan. Balai kampung itu sudah ramai saat mereka tiba. Pertemuan sengaja dilakukan sepagi mungkin, biar selepas acara, mereka masih sempat bekerja di ladang. Kursi-kursi bambu berjejer rapi. Sudah disiapkan sejak semalam oleh pemuda kampung. Wak Burhan, sesepuh kampung berdehem, setelah memastikan semua warga hadir, mengetukkan palu dari bonggol bambu, segera memulai pertemuan. Warga kampung diam memperhatikan. Pertama, mereka membicarakan soal kesepakatan lumbung kampung. Berapa kaleng yang harus disetorkan setiap rumah untuk cadangan padi kampung. Per-kepala atau per-hasil panen. Lima belas menit penuh seruan-seruan. Usul-usul. Kalimat-kalimat keberatan. Usul-usul lagi. Satu dua kalimat tidak penting. Satu dua usul lagi. Setuju. Beres. Mamak Lainuri menyeka dahi. Meski lima kaleng itu benar-benar akan mengurangi penghasilan ladang mereka yang tidak luas, cadangan padi selalu penting. Dua tahun silam saat ladang mereka terkena hama belalang, lumbung kampung memastikan perut anak-anaknya tetap kenyang. Setidaknya panen kali ini semoga masih ada sisa buat membeli seragam sekolah buat Yashinta. Lebih banyak lagi waktu dihabiskan unt
uk membahas soal perambah hutan dari daerah lain, Seruan-seruan marah makin ramai. Memaki. Mengancam. Wak Burhan, yang masih terhitung saudara Mamak Lainuri (dan juga warga kampung lainnya) menengahi. Sepakat melaporkan soal itu ke polisi hutan kota kecamatan. Separuh dari hutan di Lembah Lahambay itu adalah kawasan taman nasional. Daerah konservasi. Hanya lokasi-lokasi tertentu yang dibolehkan diolah, meski penduduk setempat sendiri kadang juga melanggarnya dengan menangkapi uwa, kukang, atau binatang dilindungi lainnya. Tapi perlakuan perambah hutan itu memang mencemaskan, mereka tega membawa senso (gergaji mesin) besar, dan tanpa ampun mulai menebangi pohon-pohon raksasa. Perbaikan jalan bebatuan tiga meter itu diputuskan hanya dalam hitungan menit. Keputusannya adalah: Menunggu. Menunggu pemerintah kota berbaik hati sajalah. Mereka sudah terlalu repot dengan kehidupan sehari-hari untuk ditambahi memperbaiki jalan sepanjang duapuluh kilometer itu. Lagipula desa-desa sekitar mereka juga menolak memperbaikinya, agar perambah hutan tidak semakin sembarangan masuk membawa truk-truk yang akan mengangkuti kayu gelondongan hasil jarahan.
Membicarakan perselisihan batas ladang, sepakat memberikan tanda baru untuk setiap batas kebun. Jadwal pengajian mingguan. Gotong-royong perbaikan tangga kayu di cadas setinggi lima meter sungai. Sumbangan rutin buat acara besar (Maulid, Isra Mi'raj). Dan beberapa masalah kecil lainnya. "Masih ada yang ingin dibicarakan"" Dua jam berlalu sejak tadi pagi, Wak Burhan sekarang menatap seluruh balai kampung. Lengang sejenak. "Masih ada"" Wak Burhan bertanya sekali lagi. Sepertinya sudah selesai. Tidak ada lagi yang hendak melaporkan sesuatu. Wak Burhan tersenyum, meraih pentungan dari bongkol bambu, bersiap menutup pertemuan. Saat itulah, saat penduduk kampung menggeliat santai karena pertemuan sudah selesai, saat mereka beranjak merapikan baju yang terlipat, tiba-tiba Dalimunte mengangkat tangannya. Awalnya ragu-ragu, tapi karena sudah kadung, sudah sejak seminggu lalu meniatkan diri, maka sambil menggigit bibir, Dalimunte menaikkan tangannya lebih tinggi, Muka-muka tertoleh. Muka-muka bingung. Bukannya sudah selesai" Mamak Lainuri mengernyitkan dahi. Kak Laisa yang merasa ganjil, menyikut bahu Dalimunte yang duduk di sebelahnya. Ikanuri dan Wibisana yang sejak tadi hanya jahil tertawa-tawa saling berbisik menganggu dan sibuk berkomentar terhenti cengirannya. Hanya mata Yashinta yang membesar penuh rasa ingin tahu. "Ya, kau ingin menyampaikan sesuatu Dalimunte"" Wak Burhan meletakkan palu bonggol kayunya. Tersenyum tipis. Itu janggal sekali, pertemuan tahunan itu meski diikuti oleh seluruh penduduk kampung, hanya pria dewasalah yang bicara. Sisanya menonton. "Ergh, eee, iya Wak...." Dalimunte menelan ludah, amat gugup dengan tatapan penduduk lainnya. "Baik. Apa yang ingin kau sampaikan, Dalimunte"" Wak Burhan tersenyum lebih lebar, mengeluarkan sirih dari mulut. Dia mengenal sekali anak Lainuri yang satu ini. Rajin shalat berjamaah di surau. Masih anak-anak. Tapi siapa bilang dia masih anak ingusan umur dua belas tahun. Sejak Babak mereka meninggal, anak-anak Lainuri tumbuh berbeda dengan yang lain, tumbuh menjadi anak-anak yang bisa diandalkan. "Ergh, sebentar " Dalimunte dengan tangan sedikit bergetar membawa kertas-kertasnya ke depan. Saking gugupnya, beberapa kertas berjatuhan. Dalimunte patah-patah mengumpulkannya. Mamak Lainuri masih mengernyitkan dahi. Kak Laisa menatap lebih bingung. Buat apa kertas-kertas itu" Penduduk lain menunggu. "Ee, maaf kalau, maaf kalau " Dalimunte mengusap dahinya. "Kau tidak perlu gugup begini, Dalimunte. Katakan sajalah. Kami akan mendengarkan!" Wak Burhan mengangguk mantap padanya. Dalimunte menelan ludah. Menatap Kak Laisa, menatap Mamak Lainuri. Menatap Yashinta. Lantas sedikit tersenyum tanggung demi melihat wajah adiknya. Lihatlah, adiknya dengan bola mata membulat penuh rasa ingin tahu balas menatapnya. Ekspresi yang sama seperti setiap kali Yashinta diajak melihat anggrek hutan raksasa. Atau melihat pohon salak hutan. Atau melihat sigung berkejaran.
Tidak. Yashinta sedikitpun tidak merasa ganjil dengan Dalimunte yang tiba-tiba berdiri di tengah balai kampung. Yashinta hanya ingin tahu. Baiklah, Dalimunte menekuk ibu jari kakinya, ini semua mudah. Tersenyum penuh penghargaan sekali lagi ke arah Yashinta. Maka meluncurlah penjelasan itu
"HALLO! HALLO! PROFESOR " Ikanuri terdengar berteriak di seberang sana. Meningkahi berisiknya suara krsk telepon genggam. "Kau kemana saja, Dalimunte" Aku sejak sejam lalu berusaha menelepon. Hallo" Hallo" Ya, kau dengar" Aku sejak tadi menelepon kau. Tidak ada sinyal, Dali. Sama sekali tidak ada. Akhirnya justru kau yang menghubungi sekarang. Bah, sejak kapan kau memattkan HP urusan keluarga"" "Tadi di pesawat " "Apa" Hallo" Oo, pesawat Kau sudah di mana"" Sinyal sambungan langsung internasional itu payah, putus-putus. Dengan jeda waktu bicara lama pula. Jadi kalian bicara sekarang, baru tiga detik kemudian terdengar di seberang sana. Juga sebaliknya. "Kami persis di pegunungan Alpen, Swiss. Ya ampun, ini benar-benar sialan semua urusan ini Ada longsor yang menimbun jalan kereta! SWISS. Kami di SWISS, bukan ITALIA, PROFESOR. Hallo" Hallo" Tidak. Kami tidak berangkat dari Roma. Sepakbola sialan ini membuat semua penerbangan dari kota-kota di Italia penuh hingga dua hari ke depan. Terpaksa berangkat dari Paris. PARIS, bukan SWISS " Suara gemuruh hujan terdengar dari latar suara Ikanuri. "Tidak. Tidak. Kami akan terbang dari Paris, Dalimunte. Dengan penerbangan besok pagi, jika semua tanah sialan ini berhasil dibersihkan. Di sini sedang hujan deras. Ada tebing yang longsor. Tanahnya memenuhi jalanan kereta. Apa" Sialan. SUARANYA PUTUS-PUTUS, DALIMUNTE! APA" Oo-Juwita, Delima, dan Ummi mereka sudah dalam perjalanan ke sana. Seharusnya dua-tiga jam lagi tiba di bandara. Kau sudah dijemput di bandara"" Ikanuri entah untuk ke berapa kalinya memaki. Sementara di sini, sambil menelepon, Dalimunte melangkah cepat menuju lobi depan bandara. Mobil jemputan perkebunan strawberry sudah menunggu sejak tiga jam lalu. Perjalanan Jakarta menuju ibukota provinsi ini hanya butuh satu jam. Tujuh jam berikutnya dihabiskan dengan perjalanan darat menuju Lembah Lahambay. Dulu itu menjadi perjalanan yang menantang. Terpaksa tiga kali ganti kendaraan. Satu kali menumpang bus ke kota kabupaten. Satu kali lagi menumpang angkutan pedesaan terbuka menuju kota kecamatan. Terakhir naik starwagoon tua itu menuju perkampungan. Sekarang tidak lagi, sejak perkebunan strawberry punya cabang pabrik pengalengan di kota provinsi, akses ke sana jauh lebih mudah. "Apa" Hallo" YASHINTA" Aku tidak tahu, Dalimunte!" Ikanuri berteriak, suara hujan semakin deras, "Aku sudah hampir sepuluh kali menghubungi telepon genggam satelit Yashinta. Tidak ada sinyal. APA" HALLO" TIDAK TAHU! Aku tidak tahu! Tentu saja ia baik-baik saja, Dalimunte " Kedua kakak-beradik itu (satu di Italia, satu di sini) mengernyit berbarengan. Dalimunte melipat dahinya lebih lebal, terlihat amat cemas. Dia juga sudah tiga kali mengontak HP Yashinta tadi. Sama. Sama sekali tidak ada sinyal. "Mematikan HP" Tidak mungkin ia sudah di pesawat, bukan" Apa" Oo Terakhir aku ditelepon Yashinta tadi malam. Ia menginap di punggung lereng Semeru. Apa" Tentu tidak, Dalimunte. Kenapa pula kau persis seperti Mamak, mencemaskan hal-hal kecil. Anak itu dua kali lebih atletis dibandingkan Kak Laisa, apalagi dibandingkan kau! DIA AKAN BAIK-BAIK SAJA, DALIMUNTE!" Pembicaraan itu terdiam sejenak. Kelu. Dalimunte menelan ludah mendengar nama Kak Laisa disebut Ikanuri.
"Kau sudah menelepon Mamak di kampung"" Ikanuri setelah ikut terdiam sebentar, bertanya. Dengan intonasi sedikit berbeda. Juga ikutan merasa ganjil setelah menyebut nama Kak Laisa. "Baik. Baik. Jika kau tiba tujuh jam lagi bilang Mamak, aku dan Wibisana akan berusaha segera tiba di sana, Dalimunte. Ya ampun, apa yang sering kubilang dulu" Kau seharusnya sudah menemukan alat agar kami bisa pindah kemana saja dalam sekejap, Profesor. Bukan hanya mengurus soal bulan yang terbelah, itu kan sudah jelas pasti benar, Mamak dulu juga sudah bilang itu benar dalam cerita-c
eritanya lepas Shubuh, tak perlu kau buktikan " Ikanuri mencoba bergurau, sebelum menutup sambungan internasional. Lengang. Dalimunte mengusap wajahnya sekali lagi. Terdiam. Bukan karena gurauan Ikanuri soal penelitiannya. Wibisana dan Ikanuri berdua memang sejak kecil kompak sudah suka mengganggu 'penelitian-penelitiannya'. Menyembunyikan alat-alatnya. Dalimunte terdiam karena memikirkan sesuatu. Cemas. "Abi, jadi naik nggak"" Intan berseru memanggil dari dalam mobil. Putrinya sudah duduk rapi memeluk si belang. Sopir perkebunan strawberry juga sejak dari tadi menunggu. Dalimunte menghela nafas. Ya Allah, bertambah satu lagi hal mencemaskan. Yashinta! Kemana pula adik bungsunya itu" Ganjil sekali HP satelitnya tidak ada sinyal. Apa dia harus cek GPS (global positioning system) agar tahu posisi Yashinta" Tapi kalau HP satelitnya saja mati, apalagi GPS-nya. Itu satu paket dengan gagdet canggih Yashinta. Dalimunte setelah menghela nafas untuk kesekian kalinya, beranjak menghempaskan pantat di jok mobil. Mengangguk, memberikan kode jalan ke sopir.
11 LIMA KINCIR ANGIN "MAKSUDMU, kita bisa mengangkat air sungai itu dengan kincir-kincir itu, Dali"" Salah seorang pemuda bertanya, memecah lengang setelah Dalimunte selesai menunjukkan gambar-gambarnya. Dalimunte mengangguk mantap. "Lantas membuatnya mengairi ladang-ladang kita"" Bertanya lagi. Sedikit terpesona, lebih banyak sangsinya. Dalimunte mengangguk sekali lagi. Bahkan kincir-kincir itu bisa sekalian digunakan sebagai pembangkit listrik. "Itu lima meter tingginya, Dalimunte! Sebesar apa kincir yang harus kita buat agar bisa mengangkat air dari sungai bawah cadas" Kau harusnya tahu itu." Pemuda itu berseru sedikit putus-asa. "Tidak besar. Tidak besar!" Dalimunte menjawab cepat. Setelah lima menit menjelaskan kertas-kertasnya dengan terbata-bata, meski masih gugup, dia jauh lebih tenang sekarang, "Tapi kita akan membuat lima kincir air, membuatnya bertingkat! Tidak besar!" "Mustahil! Itu tidak mudah dilakukan " Pemuda yang lainnya menimpali, memotong, "Bagaimana kau akan memastikan kincir-kincir itu bisa bergerak bersamaan" Menyusunnya agar bisa sesuai satu sama lain" Memasangnya di cadas batu"" "Ergh, dengan, dengan disusun secara tepat...." "Secara tepat" Bah, secara tepat menurutmu itu apa. Kau tahu tidak ada yang sekolah hingga kelas enam di sini selain kau...." Tertawa, beberapa penduduk menyeringai. "Lantas bagaimana pula kau akan memastikan air itu bisa dialirkan sejauh satu kilometer ke ladang-ladang kita"" Yang lain berseru. Bertanya. "Dengan pipa-pipa "
"Pipa-pipa" Itu pasti mahal membuatnya, Dalimunte! Belum lagi kayu-kayu. Pasak besi, Rel pemutar! Mana cukup uang kas kampung...." Mengeluh. "Tidak! Tidak mahal, hanya dengan pipa bambu " "Bambu" Omong-kosong! Kincir air itu tidak akan cukup kuat. Babak-babak kita dulu pernah membuatnya," Seruan-seruan sangsi terdengar. Balai kampung itu ramai kembali oleh seruan-seruan. "Ergh, aku sudah membuat dua kemarin.... Sudah ada di sungai bawah cadas " Dalimunte mencoba meningkahi keramaian setelah terdiam sebentar, dia tidak menyangka akan ada banyak pertanyaan, seruan ragu-ragu semacam ini. Sepanjang pagi tadi dia hanya memikirkan hanya bilang soat idenya. Sisanya terserah Wak Burhan. Ternyata "Kau sudah buat dua" Lantas apa kincirnya bekerja"" Pemuda yang lain mendesak. Ingin tahu. Mata-mata serempak memandang ingin tahu. Dalimunte seketika terdiam. Dia tidak tahu itu. Mana sempat lihatnya, keburu disuruh pulang Kak Laisa. Jangan-jangan kincirnya malah roboh duluan tidak cukup kokoh dihantam arus deras sungai. Dalimunte mulai ragu dengan idenya. Menatap sekitar mencari dukungan. Wak Burhan hanya diam. Seruan-seruan semakin ramai terdengar. Dalimunte menelan ludah. Tertunduk. Sia-sia. Idenya akan mubazir. Tidak ada yang menanggapinya serius. Persis seperti selama ini, penduduk kampung seolah sudah pasrah dengan takdir cadas lima meter itu. Mereka toh dulu sudah berkali-kali membuat kincir air raksasa, dan tidak ada hasilnya. Dalimunte perlahan mengumpulkan kertas-kertas, tertunduk, menelan ludah. "Tentu saja kincir-
kincir itu bekerja!" Seseorang tiba-tiba berseru. Berseru dengan suara lantang sekali. Membuat dengung lebah terdiam. Seketika. Dalimunte menoleh. Gerakan tangannya terhenti. Dia kenal sekali intonasi suara itu. Kak Laisa! Kak Laisa sudah berdiri dari duduknya. "Kita bisa melakukannya. Apa susahnya membuat kincir-kincir itu. Jika Dalimunte bisa membuat dua dengan bambu seadanya, kita bisa membuatnya yang lebih bagus, lebih kokoh." Kak Laisa berseru, melangkah ke depan. Mata-mata sekarang memandang Kak Laisa. Gadis tanggung berumur enam belas tahun itu dengan berani justru 'galak' membalas tatapan penduduk lainnya yang jelas-jelas lebih tua dan lebih besar darinya. Kak Laisa terlihat begitu yakin dengan setiap kalimatnya. Sama sekali tidak terlihat gugup. "Itu akan membuang-buang tenaga, Lais " Pemuda yang tadi menyahut, berusaha menurunkan intonasi suaranya. "Tidak ada yang akan membuang-buang tenaga, Tidak ada, Jogar " Kak Laisa menukas cepat. Lebih galak. "Siapa yang akan memastikannya akan berhasil, Lais" Kita dulu pernah membuat kincir besar itu. Dan percuma saja, terlalu besar, air sungai tidak cukup kuat untuk memutarnya, cadas itu terlalu tinggi!" Salah satu orang tua memotong. Berusaha menjelaskan. "Kalian tidak mendengarkan dengan baik kalau begitu. LIMA KINCIR AIR. Dalimunte bilang lima kincir air! Bukan kincir raksasa " "Apa bedanya" Siapa yang akan menjamin itu berhasil"" "Tidak ada. Tidak ada yang menjamin itu akan berhasil. Benar! Itu akan membuang-buang tenaga jika gagal! Tapi jika berhasil" Kita sudah bertahun-tahun hanya menggantungkan nasib ladang kita, hidup kita, kampung kita, dari kebaikan hujan. Sudah saatnya kita
membuat irigasi sendiri untuk ladang-ladang itu. Berpuluh-puluh tahun sejak kincir raksasa itu gagal dibuat tidak ada lagi yang memikirkan bagaimana caranya mengangkat air sungai dari bawah cadas. Tidak ada salahnya mencoba kincir-kincir air itu. Lima kincir bertingkat. Itu masuk akal. Semasuk akalnya seperti kita berharap benih di ladang tumbuh saat musim penghujan! " Kak Laisa berkata lantang dan cepat. Amat meyakinkan. Seruan-seruan terdengar lagi dibalai kampung. Lebih ramai dibanding saat membicarakan perambah hutan tadi. Seruan-seruan ragu-ragu, seruan-seruan sangsi, meski sekarang anggukan-anggukan kecil mulai bermunculan. "Tidak ada salahnya, bukan"" Laisa menatap sekitar. "Sampai kapan kita harus mengalah atas cadas lima meter itu! Sampai kapan"" Penduduk justru saling bersitatap. "Baik. Sekarang siapa yang setuju dengan usul Dalimunte"" Kak Laisa berseru dari tengah-tengah balai kampung, menghentikan dengung lebah untuk kedua kalinya. Menatap tajam. Muka-muka masih saling bersitatap satu-sama-lain. Sedetik. Dua detik. Dalimunte menggigit bibir. Sia-sia. Urusan ini tidak selancar yang dibayangkannya. Ide lima kincir air itu percuma. Lihatlah, tidak ada yang hendak mengacungkan tengan, meski Kak Laisa terlihat amat yakin dengan idenya. "Siapa yang setuju dengan usul Dalimunte"" Kak Laisa bertanya tegas. Sekali lagi. Tiga puluh detik berlalu. Tetap lengang. Yashinta yang pertama kali mengangkat tangannya, takut-takut (entah ia mengerti atau tidak urusan itu). Muka gadis kecil enam tahun itu menyeringai menggemaskan seperti biasa. Orang-orang menoleh. Wak Burhan menyusul, ikut megangkat tangan dengan mantap, sambil tersenyum ke arah Yashinta. Lantas Mamak Lainuri, Ikanuri, Wibisana, terus ibu-ibu kampung lainnya, hingga orang tua, dan akhirnya pemuda-pemuda itu. Kak Laisa tertawa lebar. Menyikut bahu Dalimunte yang berdiri di sampingnya. Anggukan dan seruan 'kenapa tidak' sekarang ramai keluar dari mulut penduduk. Mereka akan mencobanya. Sekali lagi! Tertawa lebar dengan ide lima kincir air itu. Dalimunte mengigit bibir. Menghela nafas, lega. Hari itulah saat Dalimunte menyadari sesuatu. Memang dia yang memulai ide lima kincir air tersebut, tapi semua orang tahu, karena Kak Laisa-lah ide itu akhirnya dikerjakan. Hari itulah, Dalimunte belajar satu hal: bagaimana bicara yang baik di hadapan orang banyak. Belajar langsung dari Kak Laisa yang entah bagaimana caranya menguasai benar h
al tersebut. Begitu yakin. Begitu tenang. Dalimunte mungkin tidak akan pernah tahu. Tidak pernah! Kak Laisa sama gugupnya seperti dia, sama gentarnya bicara di tengah-tengah balai kampung itu. Tetapi Kak Laisa tidak akan pernah membiarkan adik-adiknya kecewa. Tidak akan pernah membiarkan adiknya merasa malu. Jika harus ada yang kecewa dan malu, itu adalah ia. Bukan adik-adiknya. Bagi Laisa, sejak babak pergi, hidupnya amat sederhana. Adik-adiknya berhak atas masa depan yang lebih baik dibandingkan dirinya. Lagipula Laisa akhirnya mengerti kenapa Dalimunte bolos sekolah kemarin. Maka demi rasa sesal telah memukul lengan Dalimunte, keberanian itu muncul begitu saja. Memberikan energi yang luar biasa. Begitu yakin. Begitu tenang. Dan tidak hanya hari itu Laisa melakukannya. Sungguh tidak. Ia melakukannya berkali-kali sepanjang umurnya. Demi keempat adik-adiknya.
12 BAGI MEREKA URUSAN INI SEDERHANA
"DALIMUNTE sudah di mana"" "Sudah naik mobil jemputan perkebunan strawberry, bersama Kak Cie Hui dan Intan." Ikanuri memasukkan telepon genggam ke saku. Merapatkan jaket hujan yang dikenakan. Kereta ekspres itu berhenti persis di tengah hutan. Di depan Sana belasan lampu sorot berkekuatan ribuan watt menerangi lokasi longsoran tebing. Hanya butuh setengah jam sejak longsoran itu terjadi, tim tanggap darurat kepolisian dan pasukan militer Swiss dari kota terdekat tiba di lokasi. Membawa alat-alat berat untuk membersihkan tanah liat yang menumpuk sepanjang lima belas meter. Mereka terbilang taktis dan gesit. Ada sekitar dua peleton pasukan di sana. Tapi hujan yang turun semakin deras, membuat pekerjaan semakin sulit. Apalagi, baru saja bersih lima meter, tebing itu longsor lagi. Lebih banyak. "Signori, siete pregati di rientrare nelle carrozze, per favore" Senior, sebaiknya kalian segera masuk kembali ke gerbong, please"" Gadis berambut pirang, petugas berseragam yang melayani penumpang kabin kereta (macam pramugari di pesawat terbang) berteriak dari pintu gerbong dengan toa. Ikanuri menoleh, mendesis sebal. "epiu confortevole dentro " Gadis itu membujuk lagi. "Sebentar Lagi " Ikanuri yang bete sejak tadi, menjawab mengkal seruan itu ( dengan bahasa Indonesia pula). Gadis itu mengernyit, tidak mengerti. Mereka baru tiga jam dari Roma. Kereta beranjak melintasi perbatasan Swiss. Tidak bisa tidur, meski kabin itu amat lega dan nyaman. Saat sedang berusaha menelepon Yashinta, Mamak Lainuri, dan Dalimunte kereta tiba-tiba berhenti. Aneh. Kereta itu kereta express, mana boleh berhenti sembarangan macam kereta di Indonesia. Ada apa" Ikanuri dan Wibisana beranjak keluar dari kabin. Segera mencari tahu. Dan segera pula menyumpah-nyumpah (Ikanuri) saat tahu masalahnya. Karena sebal, Ikanuri dan Wibisana memutuskan turun dari kereta, ingin melihat langsung pekerjaan pembersihan rel. Masinis berbaik hati meminjami dua jaket hujan besar. Malam ini, kereta hanya berpenumpang tujuh orang. Penumpang yang lain sibuk tidur di kabin masing-masing. Tidak peduli. Siapa pula yang mau hujan-hujanan di luar dengan suhu nyaris nol derajat celcius. Masinis itu malah santai menonton siaran live sepak bola Juventus-Manchester United dari teve mungilnya. Kejadian ini berkah baginya, dia jelas tidak boleh menonton saat menjalankan kereta. "Kau sudah telepon Yashinta lagi" Tersambung"" Wibisana mengangguk, sudah. Terus menggeleng, tidak tersambung. "Kenapa pula di situasi sepenting ini HP anak itu dimatikan"" Ikanuri mendengus jengkel. Menatap putus asa puluhan petugas kepolisian dan pasukan militer yang seliweran membersihkan rel kereta. Lihatlah, dinding tebing itu longsor lagi setelah mereka berhasil memindahkan separuh tumpukan lumpur di atas rel. Bisa tidak sih mereka berpikir jenius seperti Dalimunte! sepuluh persen saja dari otak hebat Dalimunte. Dinding tebing itu harusnya di tahan dulu. Diberikan konstruksi penahan, atau entahlah yang penting bisa mencegah longsoran baru. Baru dibersihkan rel keretanya. Kalau begini urusannya, masih butuh berjam-jam lagi kereta ini bergerak. Bah! Percuma juga mereka taktis dan gesit kalau melakukannya dengan bodoh. "
Juwita dan Sekar sudah tiba di mana"" Ikanuri bertanya.
"Lima menit lalu mereka bilang sudah di bandara, menunggu jadwal penerbangan dua jam lagi." Wibisana menjawab. "Semoga kita bukan yang terakhir tiba." "Tentu tidak, Ikanuri " "Semoga kita tidak datang terlambat." Ikanuri mengeluh sekali lagi. Itu benar-benar keluhan tertahan. Wibisana menepuk-nepuk bahu Ikanuri. Tersenyum. Berbisik, "Tidak akan terjadi apa-apa, Ikanuri. Kita akan tiba tepat waktu. Berdoalah, Kak Laisa akan baik-baik saja...." Hujan turun semakin deras. Badai semakin kencang.
Empat jam setelah Dalimunte dan keluarganya mendarat di bandara kota provinsi, giliran Jasmine, istri Ikanuri, Wulan, istri Wibisana, beserta anak-anak mereka, Juwita dan Delima tiba di sana. Repot sekali Juwita dan Delima mendorong sepeda BMX mereka keluar dari lobi kedatangan bandara. Tadi meski Ummi mereka berdua memaksa buruan, kedua anak nakal usia enam tahun itu justru kompak memaksa membawa sepeda BMX spesialis trek gunung masing-masing, "NGGAK MAU! Juwita harus bawa sepeda! Kan, asyik buat keliling kebun strawberry bareng Eyang Lainuri dan Wawak Laisa!" Karena rumah mereka berseberangan halaman, maka jika yang satu membawa sepeda, otomatis yang lainnya juga ikutan bawa. Tidak mau kalah. Juwita dan Delima memutuskan untuk tidak banyak berdebat lagi. Membiarkan saja putri-putri tunggal mereka membawanya. Jadi terlihat sedikit mencolok saat dua anak perempuan berumur enam tahun itu mendorong sepedanya dari counter pengambilan bagasi bandara. "Mi, Kak Intan sudah sampai, belum"" Delima bertanya, "Masih di perjalanan, di mobil jemputan perkebunan " Wulan, Ummi Delima memasukkan telepon genggamnya ke tas tangan. Barusan menelepon Cie Hui, Ummi Intan. "Eh, Mi, Kak Intan bawa sepeda juga, nggak"" Juwita yang bertanya ke Umminya. "Tidak tahu, sayang. Yang Ummi tahu Kak Intan pasti bawa gelang 'Safe The Planet'-nya" Jasmine, Ummi Juwita tertawa kecil. Membantu memotong tali rafia. Perkebun strawberry mengirimkan jemputan kijang kapsul, jadi dua sepeda itu terpaksa diikat diatas mobil. Dua gadis kecil itu menyeringai, bersitatap satu sama lain, idih, pasti Kak Intan maksa-maksa lagi makai gelang itu. Perasaan baru dua minggu lalu mereka dikirimi satu kotak. Disuruh-suruh jual ke teman-teman di sekolah. Ditanyain tiap hari lewat telepon dan email. Orang mereka berharapnya kak Intan juga bawa sepeda, kan asyik bisa bertiga keliling kebun strawberry bareng Eyang atau Wawak. Siapa pula yang mau dipaksa-paksa pakai gelang karet norak itu. "Mi, Tante Yashinta sudah di mana"" "Nggak tahu, sayang " "Tante Yashinta juga pulang, kan"" "Nggak tahu. Harusnya iya " "Abi kapan tibanya dari Itali, Mi"" "Ummi nggak tahu, Delima. Keretanya masih terjebak badai " "Eh, Wak Laisa emang sakitnya apaan sih, Mi"" "Nggak tahu, Delima " Ummi melotot, ia sibuk membantu sopir mengikat sepeda, Delima justru sibuk bertanya. "Terus yang Ummi tahu apaan, dong" Payah nih!" Delima nyengir, sedikitpun merasa tidak berdosa dengan celetukannya.
Imbalannya lengan Delima dicubit. Meringis. Dua gadis kecil itu benar-benar menyerupai Ikanuri dan Wibisana waktu kecil. Bedanya, mereka lebih jago bicaranya, ngeles. Terlatih. Lah, mereka belajar dari guru terbaiknya: Abi-nya yang sering kasih contoh di rumah. Setengah jam berlalu, mobil kedua melesat menuju perkampungan Lembah Lahambay. Melewati hampir tiga ratus kilo perjalanan. Kota-kota kabupaten. Kota-kota kecamatan. Pedesaan. Hutan-hutan lebat. Semak-belukar. Pohon bambu. Perkebunan kelapa sawit. Perkebunan karet. Padang rumput meranggas. Naik turun lembah. Melingkari bukit barisan. Sungai-sungai yang meliuk. Persawahan. Menyaksikan monyet yang berani bergelantungan di tepi-tepi hutan. Satu-dua babi liar yang nekad menyeberangi jalan aspal. Itu semua sebenarnya pemandangan yang menarik, sayang tidak untuk situasi saat ini. Juwita dan Delima pun sejak separuh perjalanan akhirnya lebih banyak tertidur. Lelah bertengkar di atas mobil. Bertengkar soal siapa yang akan duduk di tengah-tengah Eyang dan Wawak Laisa pas makan malam, padahal percuma juga mereka rebutan sekaran
g, toh Kak Intan biasanya ngusir mereka dari kursi strategis itu. Juwita dan Delima tertidur dengan wajah polos. Saling memegangi jidat. Bagi mereka, urusan ini sederhana.
13 KAU BUKAN KAKAK KAMI OMELAN MAMAK LAINURI malam itu hanya mempan seminggu. Ikanuri dan Wibisana memang rajin sekolah, sok rajin belajar, shalat di surau, lancar ngajinya, tidak banyak bertingkah, patuh dengan Kak Laisa selama seminggu terakhir. Namun lepas satu pekan, tabiat lama mereka kembali lagi. Lebih parah malah. Ahad berikutnya, seperti kesepakatan pekan lalu, penduduk kampung bergotong-royong membuat lima kincir air di pinggir cadas sungai. Melaksanakan ide Dalimunte. Lelaki dewasa, mulai dari orang tua hingga pemuda tanggung, setengah hari menghabiskan waktu di hutan, menebang belasan batang bambu besar-besar, setidaknya tak kurang satu jengkal diameternya. Setengah hari lagi dihabiskan untuk memotong-motong, mengikatnya dengan tali rotan, memakunya dengan pasak besi. Wak Burhan dua hari lalu juga memutuskan menggunakan uang kas warga kampung, membelinya di kota kecamatan, beserta semen dan keperluan pondasi lainnya. Sementara ibu-ibu dan gadis tanggung membantu meyiapkan kue-kue kecil macam serabi, putri salju, juga teh panas. Beserta pula makan siang. Meski seadanya, hanya dengan sayur terong dan sambal terasi, tapi setelah lelah bergotong-royong seperti ini, makan sepiring nasi yang masih mengepul terasa nikmat nian walau tanpa lauk. Apalagi mereka mengerjakan kincir air itu langsung di pinggir sungai bawah cadas. Asyik benar duduk di atas bebatuan sambil menyantap makan siang. Jika sudah sampai sejauh ini, maka tak ada lagi yang sibuk bertanya apa semuanya akan berhasil. Apa salahnya mencoba (lagi). Maka sesiang itu, Dalimunte sibuk membentangkan kertas-kertas miliknya, sibuk menjelaskan bagan konstruksi yang telah dibuatnya. Sebenarnya ganjil sekali melihatnya, lihatlah, tubuh kecil Dalimunte terselip di antara belasan lelaki dewasa lainnya. Wajah-wajah yang mengangguk-angguk mendengarkan penjelasannya, tidak banyak bicara. Ahad ini seluruh penduduk kampung 30-40 atap rumah itu berkumpul di pinggir sungai. Semua bekerja, membantu. Tak terkecuali Yashinta, ia membantu mengangkut bebatuan dengan keranjang rotan, bakal pondasi kincir. Anak-anak kecil lainnya juga sibuk mengumpulkan pasir. Yang sedikit besaran, terampil melubangi ruas bambu. Membuat 'pipa-pipa'. Jika pun tidak ikut bekerja, anak-anak kecil lainnya sibuk 'menonton' di pinggir sungai sambil bermain-main. Membuat sekitar ramai oleh teriakan (juga tangisan setelah satu sama lain bertengkar).
"Lais, kau lihat Ikanuri dan Wibisana"" Mamak bertanya pelan. "Ee.. bukannya tadi ada di sana, Mak"" Laisa menoleh, menyeka dahinya, melepas gagang pelepah nyiur, uap mengepul dari dandang besar penanak nasi, menunjuk kelompok anak lelaki tanggung yang asyik membuat pipa-pipa. "Tidak ada, Lais" "Ee, tadi ada di sana, Mak...." "Benar-benar sigung bebal! Kemana pula mereka pergi ketika semua sedang sibuk bekerja. Bikin malu keluarga saja!" Mamak Lainuri mendesis sebal. Memperbaiki bebat kain di kepala. Laisa menelan ludah. Mengangguk dalam hati. Kemana pula Ikanuri dan Wibisana sekarang. Lihatlah, semua penduduk kampung berkumpul di sini, bergotong-royong, dan mereka berdua entah kabur kemana. Menatap sekitar. Berkeliling. Tidak ada. Di dekat cadas Yashinta sedang tertawa bersama teman sepantarannya, ada satu yang terpeleset di air saat membawa keranjang pasir, basah kuyup. Di sisi lain, Dalimunte masih sibuk menunjuk-nunjuk kincir air yang mulai berbentuk. Tidak ada Ikanuri dan Wibisana. Juga tidak ada di antara anak-anak lainnya. "Apa perlu Lais cari, Mak"" Mamak Lainuri berpikir cepat, "Nanti. Lepas dzuhur kalau tidak kelihatan juga ekornya, kau cari mereka. Dasar tak tahu malu. Tidak pernah ada di keluarga kita yang berpangku tangan saat orang lain sibuk bekerja " Mamak mengomel tertahan. "Jangan-jangan mereka ikut starwagoon ke kota lagi, Mak!" Muka Mamak mendadak memerah. Sebal. Kemungkinan itu benar-benar membuat Mamak marah. Apa tidak kapok juga keduanya setelah diomelin minggu la
lu. "Ee, atau hanya pulang sebentar ke rumah disuruh Dali ambil sesuatu " Laisa menelan ludah. Menyesal kemungkinan soal starwagoon itu. Mencoba membuat Mamak lebih nyaman. Percuma. Kalimat itu keliru, kalau dengan Laisa saja mereka berdua enggan menurut, apalagi dengan Dalimunte. Mana mau mereka disuruh-suruh begitu. Dan jelas Laisa keliru kalau membayangkan urusan kali ini sesederhana itu. Menjelang dzuhur, dua kincir air selesai. Dengan pasak besi, bebatan batang rotan, kincir bambu itu terlihat kokoh. Disandarkan di dinding cadas sungai. Dalimunte tersenyum senang, juga yang lain. Sejauh ini rancangan Dalimunte hanya keliru satu hal, jumlah potongan bambu yang dibutuhkan. Beberapa lelaki dewasa terpaksa masuk lagi ke hutan, mengambil belasan bambu berikutnya. "Mak, Ikanuri dan Wibisana belum kelihatan juga " Laisa berbisik ke Mamak. Muka Mamak yang sedang membawa piring-piring plastik kentara sekali jengkel. Sementara penduduk kampung berkumpul di pinggir sungai, duduk membuat kelompok-kelompok di atas bebatuan. Wak Burhan menyuruh mereka makan siang. Istirahat hingga satu jam ke depan. Beberapa selepas makan beranjak ke surau. Shalat dzhuhur. "Kau cari sekarang, Lais. Bila perlu seret saja dua sigung bebal itu kemari " Mamak menahan marah. Bagaimana pula ia tak marah, tadi salah satu tetangga sebelah rumah sempat bertanya di mana Ikanuri dan Wibisana. Pertanyaan itu tidak serius, hanya bertanya apa kedua anak itu sakit" Pulang" Tidak enak badan" Mamak hanya tersenyum tipis, mengangguk. Bagi Mamak urusan ini sensitif sekali. Laisa tidak perlu diperintah dua kali, segera bergegas meletakkan ceret air yang digunakannya untuk mengisi gelas-gelas. Melepas kain celemek butut. Lantas beranjak menyeberangi sungai. Ia sama sekali tidak punya ide di mana Ikanuri dan Wibisana berada. Meski begitu, tempat yang pertama kali harus diperiksa adalah rumah. Siapa tahu mereka berdua sedang tidur mendengkur di bale bambu.
Tidak ada. Laisa tidak menemukan Ikanuri dan Wibisana saat tiba di rumah sepuluh menit kemudian. Mungkin mereka bermain-main di desa atas. Laisa menyeka keringat di leher. Matahari siang, terik membakar lembah. Dari surau, Wak Burhan mengumandangkan adzan. Baiklah. Mamak menyuruhnya mencari. Itu artinya cari sampai dapat. Tidak ada kata kembali ke pinggir sungai itu tanpa Ikanuri dan Wibisana. Maka tubuh gemuk dan gempal Laisa beranjak menuruni anak tangga rumah panggung. Percuma. Satu jam berlalu. Ikanuri dan Wibisana tidak ada di desa atas. Starwagoon tua itu juga terparkir rapi di halaman rumah pemiliknya. Laisa menyeka keringat yang mengucur semakin deras, satu kilo berjalan, sia-sia. Memutuskan untuk memeriksa tempat kedua anak itu suka bermain-main. Tidak ada. Mereka tidak ada di Curug Cuak (air terjun). Tidak ada juga di jembatan gantung desa satunya lagi. Tidak ada di tempat biasa mereka mancing. Tidak ada. Laisa menelan ludah. Matahari sudah tergelincir dari puncaknya. Sudah pukul tiga. Laisa dan penduduk kampung terlatih sekali membaca jam dari gerakan matahari dan bayangan pepohonan. Di pinggir sungai, penduduk kampung sudah sejak tadi meneruskan pekerjaan. Jangan-jangan dua sigung itu sudah kembali ke pinggir sungai" Laisa mendesis jengkel. Baik, ia akan kembali ke sana sambil menyelusuri jalan yang berbeda dari berangkatnya tadi. Melewari kebun-kebun penduduk. Siapa tahu dua anak itu tiduran di pondok rumbia ladang padi mereka. Angin lembah bertiup lembut, Laisa menghela nafas sedikit lega, itu membantu banyak di tengah terik matahari awal musim kemarau. Kebun penduduk terlihat menguning. Batang padi merekah oleh bilur-bilur buahnya yang montok. Sebulan lagi mereka panen bersama. Penduduk kampung lembah itu umumnya berladang. Jika sudah dua-tiga kali mereka menanam padi, biasanya diganti dengan kopi atau lada. Atau diseling dengan jagung dan sejenisnya. Apa saja yang hasilnya bisa dijual di kota kecamatan. Setengah jam lagi berlalu. Ikanuri dan Wibisana tidak ada di pondok rumbia ladang mereka. Laisa mendengus sebal. Meneruskan langkah kaki. Harapan satu-satunya, dua anak nakal itu sudah kembali ke ping
gir sungai setelah berpuas diri bermain. Saat itulah, saat Laisa mulai putus asa, tanpa sengaja sudut matanya yang terlatih menangkap gerakan dedaunan pohon mangga kebun Wak Burhan, di kejauhan lembah. Tidak lazim. Angin tidak akan membuat cabangnya bergoyang sedemikian rupa. Dan tidak ada uwa atau monyet yang sampai di sini, sungai dengan cadas lima meter itu bagai "tembok besar" membuat kampung mereka seolah terpisah dari hutan rimba. Laisa mendekat. Menyelidik. Menatap tajam pohon mangga yang sedang ranum-ranumnya berbuah. Daunnya yang rimbun seperti dipenuhi benjol-benjol buah yang besar-besar. Dahan pohon itu bergoyang-goyang lagi. Laisa melangkah semakin cepat. Tinggal sepelemparan batu, tinggal lima belas meter, akhirnya ia bisa melihat bayangan yang membuat pohon itu bergerak. "Cepat, Ikanuri " Berbisik tertahan. "Sebentar." Suara itu ikut tertahan. "Kak Laisa! Ada Kak Laisa! Cepat turun..." "Sebentar, celanaku tersangkut " GEDEBUK! Ikanuri yang bergegas turun dari pohon mangga malah terjatuh, kehilangan keseimbang saat buru-buru, menimpa Wibisana yang sudah turun duluan. Tidak tinggi benar, hanya satu meter, karena mereka sudah tiba di dahan terendah. Tapi itu membuat pelarian mereka gagal total. Ikanuri yang sibuk mengaduh selama lima detik, memberikan waktu yang cukup bagi Laisa untuk mengenali siapa. "IKANURI! WIBISANA!"
Persis seperti radio yang tiba-tiba disetel kencang-kencang. Laisa berseru galak. Berlari mendekat. Ikanuri dan Wibisana tersedak. Menatap jerih Kak Laisa yang mendekat. Berusaha menyembunyikan bukti kejahatan "APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI"" "Ergh, ee, kita sedang memeriksa pohon mangga Wak Burhan, benar begitu kan, Wibi" " Ikanuri menjawab cepat, khas Ikanuri, seadanya bin ngarang, dengan wajah sama sekali merasa tidak berdosa. Wibisana tidak kalah begonya ikut mengangguk, "Ya, Kak. Kita lagi menghitung jumlah buahnya. Ada berapa gitu " "DIAM!!" "Err, bener Kak. Ada seratus sembilan puluh " "DIAM!! Kalian benar-benar tak tahu malu! Semua orang bekerja di cadas sungai, kalian justru di sini. MENCURI MANGGA!" Kak Laisa semakin galak, semakin dekat, tangannya cepat mematahkan salah satu ujung dahan semak belukar. Ikanuri dan Wibisana tahu persis apa yang akan terjadi. Mereka beringsut mundur. Laisa semakin dekat. Tertahan, gerakan Ikanuri dan Wibisana tertahan pohon mangga di belakangnya. Ujung dahan di tangan Laisa sudah terarah sempurna ke dada mereka berdua. "Katakan apa ini" Apa yang kau lihat"" Kak Laisa menunjuk dua-tiga buah mangga hampir ranum yang tergeletak di ujung kaki mereka. Terjatuh dari saku celana. "Eee, aku tidak melihat apa-apa, ya kan Wibi"" "Ya, ya, kami tidak melihat apa-apa. Memangnya ada apaan " Kak Laisa benar-benar jengkel. "Berani sekali kalian mencurinya. BERANI SEKALI Tidak ada di keluarga kita yang menjadi pencuri meski hidup kita susah, TIDAK ADA." Kak Laisa berseru marah. Menusuk nusukkan ujung dahan itu ke dada Ikanuri. Mereka berdua terdiam. Ikanuri meringis. Tidak sakit, hanya berpura-pura saja. Dia sudah kebal dipukul Kak Laisa. "Apa yang kalian lakukan sepanjang siang" Main-main di Curug Cuak" Lantas pulang mencuri mangga Wak Burhan Tidak tahu malu. Apa yang akan dibilang Wak Burhan kalau dia tahu! APA COBA!"" Diam, Ikanuri dan Wibisana bungkam. "Kalian tidak pernah jera. Tidak pernah! Mau jadi apa kalian, hah" MAU JADI APA""" Kak Laisa mendesis. "Kalau Mamak tahu kalian mencuri lagi, kalian pasti dihukum tidak boleh masuk rumah malam ini. Kalau Mama tahu...." Kak Laisa menelan ludah, berusaha mengendalikan diri. Kalau Mamak tahu Ikanuri dan Wibisana ternyata justru sedang mencuri saat orang lain sibuk bekerja" Itu benar-benar akan jadi marah besar. "Pulang. Kalian ikut denganku ke pinggir sungai, sekarang " Laisa melotot, menatap galak. Memberikan perintah. Ikanuri dan Wibisana tetap bungkam seribu bahasa. "AYO, PULANG!" Tusukan ujung dahan itu semakin kencang, Ikanuri meringis, tapi dia tetap tidak beranjak berdiri. "PULANG KATAKU! SEKARANG!!" "TIDAK MAU!" Ikanuri entah apa yang sedang ada di kepalanya, tiba-tiba berteriak tidak kalah kencangnya. Melaw
an. Menepis kasar ujung dahan di dadanya.
"APA KAU BILANG" AYO, PULANG!" "TIDAK MAU!" Ikanuri melotot. Dua ekor burung pipit terbang rendah di bawah pohon mangga itu. Mendesing menjauh mendengar keributan. "Kami tidak mau pulang. Tidak mau. Kau bukan Kakak kami, kenapa pula kami harus menurut!" Ikanuri mendesis tak kalah galak. Wajah anak berumur sepuluh tahun itu mengeras. Kalimat itu benar-benar membungkam waktu. Selaksa senyap di bawah pohon mangga. Seekor elang melenguh di atas sana, suaranya seperti dibatukan udara. Terdiam. Laisa sempurna membeku. "A-pa.... A-pa yang kau katakan"" "Kau bukan Kakak kami! Kenapa pula kami harus nurut" Ikanuri mengatakannya sekali lagi. Lebih lantang. Lebih kencang. Beranjak berdiri, malah. Melawan semakin berani. "LIHAT! Kulit kau hitam. Tidak seperti kami, yang putih. Rambut kau gimbal, tidak seperti kami, lurus. Kau tidak seperti kami, tidak seperti Dalimunte dan Yashinta. KAU BUKAN KAKAK KAMI. Kau pendek! Pendek! Pendek!" Kali ini kalimat Ikanuri benar-benar bak roket yang ditembakkan tiga kali di lubang yang sama. Berdebum. Membuat lubang besar itu menganga lebar-lebar, hitam pekat. Laisa terperangah. Sesak. Nafasnya sesak seketika. Ya Allah, apa yang barusan dikatakan adiknya. Apa ia sungguh tak salah dengar" Laisa gemetar. Tangannya yang mencengkeram ranting bergetar, terlepas. "Kenapa" Kenapa kau diam" Kau marah kami mengatakan itu, hah"" Ikanuri tanpa rasa iba bertanya bengis. Laisa menelan ludah.Matanyat iba-tiba berair. Ya Allah, aku mohon, jangan pernah, jangan pernah buat aku menangis di depan adik-adikku. jangan pernah! Itu akan membuat mereka kehilangan teladan. Laisa meremas pahanya kencang-kencang. Berusaha mengalihkan rasa sakit di hati ke rasa sakit di tubuhnya. "Kami tidak akan lagi menurut... Kau bukan Kakak kami. Bukan! Bukan! BUKAN!" Ikanuri berseru amat puas. Berkali-kali. "Hentikan Ikanuri. Hentikan...." Laisa berseru, terbata. "Kau bukan kakak kami!" "Hentikan Ikanuri, atau kau kuadukan pada Mamak, dan kalian akan dihukum tidak boleh masuk rumah selama seminggu," Laisa berkata dengan suara bergetar. Menahan tangis. "Kau jelek! Jelek! JELEK!" "Hentikan Ikanuri " "Pendek! Pendek!" "Hentikan, Ikanuri. Aku mohon " "Jelek! Jelek! Pendek! Pendek!" Ikanuri tertawa lepas. Lantas beranjak melangkah dari bawah pohon mangga dengan seringai penuh kemenangan, disusul oleh Wibisana (yang tertunduk dalam-dalam, sedikit merasa ganjil dengan teriakan kasar Ikanuri). Laisa sudah jatuh terduduk. Sempurna jatuh terduduk. Menatap punggung adik-adiknya yang menghilang dari balik semak belukar. Seekor jangkrik di batang pohon mangga berderik. Pelan. Meningkahi isak tertahan.Gadis tanggung berumur enam belas tahun itu mendekap wajahnya. Ia tak kuasa lagi menahan sedih di hati. Bukan karena Ikanuri melawannya, karena toh selama ini Ikanuri selalu berani melawan. Tapi karena itu benar! Ya Allah, apa yang
dikatakan adiknya benar sekali. Ia bukan siapa-siapa bagi mereka. Ia bukan Kakak mereka. Seluruh penduduk lembah itu juga tahu. Ia bukan kakak mereka. Senyap. Hanya tangis tertahan yang terdengar. Senyap. Juga hanya tangis tertahan yang terdengar di sini. Kereta ekspress Eurostar melesat membelah perbatasan Swiss-Perancis. Kecepatan super tinggi. Maximum speed. Masinisnya berusaha membayar dua jam waktu yang terbuang di pegunungan Alpen. Setelah untuk ketiga kalinya tebing itu longsor lagi saat dibersihkan, beberapa insinyur dari dewan terdekat akhirnya tiba di lokasi dengan helikopter, mereka memberikan saran konstruksi darurat untuk menahan laju longsoran berikutnya. Satu jam berlalu, sejak dinding seadanya dipasang, kereta ekspress itu bisa kembali melesat menuju Paris. Menjejak batangan baja relnya. Hujan sejak lima belas menit lalu juga sudah berhenti. Jalan kereta yang meliuk melangkahi pegunungan sudah lama digantikan oleh hamparan tanah luas. Perkebunan anggur. Hamparan padang rumput. Pohon cemara tinggi-tinggi sudah tertinggal di belakang, Sepuluh menit lagi Eurostar akan tiba di perbatasan tanah bekas kekuasaan Kaisar Louis, Perancis. Wibisana memutuskan tidur. Lelah. Me
mbiarkan Ikanuri yang sejak kereta berjalan lagi tadi tetap terjaga. Pukul 03.30 dini hari di sini. Di luar terlihat gelap. Hanya sesekali cahaya lampu yang berasal dari rumah pedesaan kecil pedalaman Swiss terlihat. Seperti kerlip kunang-kunang dari kejauhan. Indah. Mengembalikan semua kenangan. Wibisana menggeliat, merubah posisi tidurnya. Kabin itu luas. Lazimnya diisi berempat, karena mereka hanya berdua, jadi nyaman tidur di kursi panjang berhadapannya. Tapi Ikanuri tidak tidur, ia tidak bisa tidur sejak kereta jalan lagi, ia justru sedang sibuk menyeka ujung-ujung matanya. Ikanuri terisak pelan. Tertahan. Menatap kosong keluar melewati jendela kereta. Kunang-kunang Ya Allah, dia jahat sekali. Jahat! Dua puluh lima tahun silam. Seperempat abad lalu. Kejadian itu tidak akan pernah terlupakan. Tidak akan. Wajah Kak Laisa yang menangis saat itu. Wajah Kak Laisa yang seperti tak percaya mendengar dia mengatakan kalimat-kalimat menusuk itu. Ikanuri tersedan. Lihatlah, wajah Kak Laisa sekarang seperti mengukir sempurna di bayangan jendela kereta. Wajahnya yang tersenyum, wajahnya yang selalu melindungi mereka, adik-adiknya yang bebal. Semua pengorbanan itu. Semua.... Ikanuri tersungkur. Tergugu. Dia benar-benar tidak tahan lagi Menangis terisak. Ya Allah, jika ada yang bertanya siapa yang paling penting dalam hidupnya.... Jika ada yang bertanya: Siapa" Maka itu sungguh adalah Kak Laisa.
14 PENGUASA GUNUNG KENDENG
CELAKA. Benar-benar celaka. Kesibukan penduduk Lembah Lahambay hari itu ternyata tidak berhenti saat senja tiba. Tapi benar-benar hingga malam hari, 24 jam. Menjelang maghrib setelah dipotong istirahat shalat ashar, lima kincir air itu sudah berderet rapi di dinding cadas sungai. Lubang-lubang pondasi sudah dituangi cor semen. Belum terpasang. Meski pondasinya sudah siap, lima kincir itu baru akan dipasang minggu depan, jadwal gotong-royong berikutnya. Pondasinya dibiarkan dulu kering. Wak Burhan, para orang tua, pemuda dewasa, menyeringai lega melihat pekerjaan mereka. Lembah mulai remang, Wak Burhan menghentikan gotong-royong. Cukup untuk ahad ini. Kesibukan di pinggir sungai itu memang berhenti ketika mereka beramai-ramai beranjak pulang. Mandi. Berganti pakaian. Siap menjemput malam, beristirahat. Tetapi kesibukan lainnya mendadak menyusul. Lebih ramai dari sebelum-sebelumnya.
Laisa setelah hampir setengah jam menangis di bawah pohon mangga beranjak kembali ke pinggir sungai. Menyeka luruh sisa-sisa tangis. Berusaha senormal mungkin saat bilang ke Mamak kalau Ikanuri dan Wibisana tidak mau nurut. Mereka bermain-main di ladang, dan justru lari menghindar saat disuruh pulang. Mamak mengomel, berjanji dalam hati akan menghukum dua sigung itu nanti malam. Meneruskan pekerjaan memberesi peralatan masak. Senja mulai turun, jingga membungkus lembah. Sementara Yashinta sejak tadi hanya duduk-duduk saja di pinggir sungai selepas asyik mengejar capung air bersama teman-temannya. Tetapi keliru. Laisa yang berpikir Ikanuri dan Wibisana setelah pergi meninggalkan dirinya akan kembali ke rumah itu keliru. Juga Mamak yang sudah berencana membuat aturan main baru di rumah saat mengomel nanti malam. Keliru, Ikanuri dan Wibisana ternyata tidak pulang-pulang. Juga saat mereka sudah bersiap-siap shalat berjamaah. Dua sigung itu tetap tidak kelihatan batang hidungnya. Lepas maghrib, saat orang-orang pulang dari surau, denting kecemasan itu mulai tumbuh. Mamak Lainuri menatap cemas dari bingkai jendela depan yang masih terbuka. Kemana pula dua anak nakalnya pergi" Adzan isya. Lepas shalat isya. Lembah sempurna gelap. Dan sedikit pun tidak kelihatan tanda-tanda batang hidung Ikanuri dan Wibisana. Mamak semakin cemas. Menatap siluet hutan rimba dengan nafas bergetar. Pukul 19.30. Tegang sekali. Pukul 20.00, Mamak Lainuri akhirnya menyererah. Sejengkel apapun ia dengan Ikanuri dan Wibisana, dawai kecemasannya sudah berdenting terlalu tinggi. Ia menyambar obor di depan pintu. Melangkah cepat ke rumah Wak Burhan. Kak Laisa, yang meski hatinya masih bagai buah tersayat-sayat sejak kejadian tadi sore ikut ke rumah Wak Burhan. Mamak h
endak melapor. Dua anaknya belum pulang. "Belum pulang bagaimana, Lainuri"" "Belum pulang, Bang! Ikanuri dan Wibisana belum pulang ke rumah!" Mamak mengusap wajahnya, tegang, cemas. "Sejak kapan"" Wak Burhan menyemburkan sirihnya. "Sejak tadi siang " "Ada yang tahu tadi siang anak itu kemana"" Wak Burhan menyambar obor di depan pintunya, memotong kalimat Mamak. "Ee, tadi siang, tadi siang mereka bermain-main di ladang " Laisa menjawab patah-patah. Serba salah. Ia tidak ingin menceritakan pertengkaran itu. Tidak ingin orang tahu kalau Ikanuri mengatakan kalimat kasar itu. "Dan belum pulang"" Wak Burhan memotong lagi. Cemas. "Belum, Wak " "Sekarang sudah hampir setengah sembilan," Wak Burhan menyimak gerakan bulan malam ketiga belas di atas sana, "Ya Allah, Lainuri. Ini benar-benar mencemaskan." Mamak menelan ludah, wajahnya mengeras, amat tegang. "Apa yang harus kulakukan, Bang"" Wak Burhan bergumam. Seperti membaca mantra sajalah. Berhitung dengan cepat. Lantas berseru cepat. "LAIS, BUNYIKAN BEDUK DI SURAU! Panggil seluruh pemuda kampung, suruh kumpul di balai, SEKARANG!" Wak Burhan menyemburkan ludah sirinya. "Dan kau Lainuri, ikut denganku ke balai pertemuan!" Ini serius. Serius sekali. Semua orang juga tahu, kampung mereka berada di dekat hutan rimba. Di seberang cadas sungai, di hutan rimba sana, malam-malam begini ada sejuta mara bahaya mengintai. Pemuda dewasa saja berpikir dua kali kalau harus mencari kumbang
masuk jauh-jauh ke dalam sana. Mereka biasanya hanya merambah dekat-dekat dengan cadas sungai. Itupun harus berombongan. Dua anak kecil" Laisa tidak perlu diteriaki dua kali. Dengan tangan gemetar, ikut merasakan ketegangan yang segera meninggi, langsung berlari menuruni anak tangga. Semoga adik-adiknya tidak kenapa-napa. Semoga mereka hanya bermain di desa atas, memutuskan untuk tidak mau pulang. Atau entah pergi ke manalah. Semoga mereka... Ya Allah, kenangan masa lalu itu serentak menyergapnya. Ya Allah! Wajah robek tak berbentuk. Tubuh tercabik-cabik bersimbah darah. Laisa menggigil. Ketakutan. Kakinya yang berlari terasa berat sekali. Bangkai korban sang siluman memenuhi pelupuk matanya. Hanya dalam waktu lima belas detik. Beduk masjid melenguh kencang. Kentongan bambu telah di pukul ramai-ramai. Sahut-menyahut. Bertalu-talu. Semua penduduk kampung keluar. Hilang sudah lelah tadi siang. Disingkirkan jauh-jauh. Benar-benar rusuh. Mereka mengenali ramai bunyi kentongan itu. Terakhir terdengar dipukul delapan tahun silam. Mereka berkumpul di balai kampung. Membawa obor. Membawa golok. Membawa tombak. Apa saja senjata yang bisa dibawa. Wajah-wajah cemas. Tegang. Balai kampung ramai kembali. Wak Burhan berdiri di tengah-tengah balai kampung, Kerlip cahaya obor membasuh wajah tuanya. Umur Wak Burhan sudah berbilang tujuh puluh, tapi dia masih gagah. Masih tegap sekali. Dalam situasi serius seperti ini, kedut wajahnya terlihat amat mengesankan. Kumis melintang. Rahang kokoh. Mata yang tajam. Makanya penduduk kampung amat segan padanya. "Dua orang mencari ke desa atas. Dua orang mencari ke desa seberang. Kau dan teman-temanmu ke Curug Cuak.... yang lain ikut aku...." Wak Burhan membagi kelompok-kelompok dengan cepat. "Satu jam dari sekarang, saat bulan berada persis di atas gunung Kendeng, semua kembali ke sini... Jika Ikanuri dan Wibisana tidak ditemukan juga, seluruh rombongan akan dipecah dua, kita harus menyusuri hutan rimba. Kita harus melakukannya " Kepala-kepala mengangguk. Seruan-seruan kecil setuju. Sekejap. Pencarian itu dimulai. Mamak Lainuri sudah sejak tadi hanya terduduk di kursi bambu. Dipegangi oleh ibu-ibu lainnya. Mamak semaput. Wajahnya pucat oleh perasaan gentar. Ya Allah, ia seperti bisa melihat kejadian delapan tahun silam. Seperti tergambar jelas di depannya. Wak Burhan yang waktu itu lebih muda, juga dengan cepat memberikan perintah. Orang-orang yang membawa obor. Tombak. Golok. Pencarian hingga dinihari. Dan hasilnya" Mamak Lainuri jatuh pingsan lagi. Laisa berusaha menyeka keringat di wajah Mamak. Dalimunte yang terlalu kecil untuk ikut rombongan pencari duduk tertunduk di dekatnya, ge
ntar. Yashinta memeluk lutut. Bahkan ia masih terlalu kecil untuk ingat banyak kejadian. Masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang sedang terjadi. "Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja"" Laisa mengangguk pelan ke arah Dalimunte. Cahaya obor rombongan pencari yang bergerak terlihat mulai menjauh. Ada yang menaiki lembah, ke desa atas. Menyeberangi ladang-ladang. Ke kiri. Ke kanan. Kerlap-kerlip. Meski nyaris separuh penduduk kampung mencari Ikanuri dan Wibisana, balai kampung tetap ramai. Seluruh penduduk membawa anggota keluarganya ke sini. Tidak ada yang ingin meninggalkan anak-anaknya di rumah setelah mengerti maksud bunyi kentongan tadi. Mereka bermalam di balai kampung bersama-sama. Di atas kursi-kursi bambu Saling bersitatap ketakutan.
Laisa menggigit bibir. Mengusap wajahnya berkali-kali. Gelisah melihat sekitar. Ia sungguh cemas. Ini pasti gara-gara ia tadi siang mengancam adik-adiknya. Ya Allah & Ini semua salahnya. Mereka pasti enggan pulang gara-gara dibilang akan dihukum tidak boleh masuk rumah, harus tidur di bale bambu, bawah rumah. Apakah ia harus menceritakan pertengkarannya ke Mamak" Tidak. Itu tidak perlu, dan jelas tidak bisa dilakukannya. Tapi kalau terjadi kenapa-napa dengan Ikanuri dan Wibisana" Ya Allah, semoga tidak. Semoga mereka hanya bermalam di desa atas. Gemerlap bintang di atas entah kenapa pelan mulai diselimuti gumpalan awan hitam. Seperti menambah tinggi tingkat kecemasan. Hening. Mencekam. Sudah pukul 22.00. Lembah itu mulai hening. Suara jangkrik berderik pelan mereda. Uhu burung hantu. melemah. Suara uwa menghilang. Malam beranjak matang. Satu jam berlalu. Rombongan pencari satu per satu kembali. Melapor. Hasilnya kosong Maka benar-benar tegang sudah balai kampung itu. "Hati-hati... Tetap dalam rombongan, jangan ada satupun yang terpisah " Wak Burhan berkata dengan intonasi suara tegas tanpa kompromi. Kelompak lelaki dewasa yang sudah terbagi menjadi dua rombongan tersebut, mengangguk "Saat pijar matahari pagi terlihat di kejauhan, saat merah terlihat menyemburat membungkus lembah, kita berkumpul lagi di sini.... Sebelum itu, cari sampai dapat. Periksa seluruh semak belukar, jangan sampai ada yang tertinggal. Pastikan kalian mengenali bercak darah...." Mamak Lainuri yang sudah siuman mengeluh tertahan. Kalimat Wak Burhan, kalimat terakhir Wak Burhan bukan lagi perintah mencari orang yang masih hidup. Bercak darah &. "Hati-hati, jangan sampai ada yang terpisah dari rombongan. Sang siluman mungkin masih mencari korban berikutnya...." Balai kampung itu terdiam. Seruan-seruan terhenti. Menelan ludah. Nama itu akhirnya tersebutkan sudah. Sang Siluman. Laisa sudah menggigil ketakutan. Wak Burhan memberikan instruksi dua-tiga kalimat lagi. Lantas dua rombongan bergerak meninggalkan bangunan. Rombongan membawa obor itu menghilang di tengah gelapnya hutan rimba seberang cadas lima belas menit kemudian. Menyisakan ketegangan yang meninggi. "Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja"" Dalimunte bertanya mencicit. Cemas. Dari tadi ia tidak bisa memejamkan mata. Tegang. Sementara Yashinta di sebelahnya sudah jatuh tertidur. Meringkuk di atas kursi bambu balai kampung. Kali ini Laisa hanya diam membeku. Tak kuasa mengangguk. Delapan tahun... delapan tahun silam. Ia menyaksikan sendiri dengan mata-kepalanya. Babak mereka dibawa pulang dari hutan persis saat semburat jingga pagi tiba. Setelah pencarian enam jam tanpa henti. Setelah hutan rimba. Muka yang robek tak berbentuk. Tubuh yang tercabik-cabik itu dibawa pulang. Sudah tak bernafas. Babak diterkam penguasa rimba, sang siluman, itulah nama seram menakutkan harimau Gunung Kendeng. Waktu itu umurnya baru delapan, Dalimunte empat, Ikanuri dan Wibisana dua tahun. Yashinta masih di kandungan. Hari itu, babak mereka pergi Malam itu yang mereka tahu Babak hanya bilang hendak mencari kumbang bersama dua temannya ke hutan rimba seberang cadas, tidak jauh. Tapi entah apa pasalnya, rombongan mereka terpisah. Dua temannya panik. Pulang, segera melapor. Tidak ada yang mengerti, bagaimana mungkin mayat Babak justru ditemukan jauh sekali dari cada
s sungai. Masuk ke dalam hutan rimba. Bukankah Babak seperti penduduk lainnya amat hafal dengan hutan itu" Bagaimana mungkin babak malah tersasar jauh ke sana" Seruan-seruan ganjil terdengar,
Semua orang tahu tentang pemikat sang siluman, penguasa Gunung Kendeng. Membuat siapa saja yang berani merambah wilayahnya di malam hari akan tersesat di dalam hutan. Hanya berputar-putar saja di satu titik, lantas tanpa disadarinya sudah masuk ke dalam perangkap sang siluman. Sudah delapan tahun berlalu kejadian mengenaskan itu tidak terjadi lagi di lembah mereka. Dulu, waktu Laisa masih kecil, ia dua kali melihat kejadian serupa. Salah satu penduduk kampung yang tidak pulang-pulang hingga malam hari, besoknya ditemukan sudah dengan tubuh tercabik-cabik. Orang dewasa di kampung itu mengerti benar, kalau Ikamuri dan Wibisana sampai berani masuk ke dalam hutan rimba, pencarian mereka malam ini akan berakhir sama Juga Wak Burhan. Siapa yang akan lupa lima belas tahun silam saat anak tunggal Wak Burhan yang berumur dua puluh empat tahun ditemukan keesokan paginya, hanyut di sungai deras dengan wajah berbilur cakaran. Yang membuat Wak Burhan tinggal sendirian hingga hari ini, karena istrinya sudah kapan tahun meninggal. "Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja " Dalimunte pelan menyentuh lengan Laisa, bertanya cemas ke sekian kalinya. Laisa menoleh. Menggigit bibir. Entah menjawab apa. Ia sama sekali tidak mendengarkan pertanyaan Dalimunte. Kenangan buruk itu membungkus kepalanya. Kemana adik-.adiknya malam ini" Kemana Ikanuri dan Wibisana" Kemana, ya Allah.... Dan entah mengapa akhirnya kesadaran itu ditanamkan di kepalanya. Laisa mendadak ingat sesuatu. Ia ingat pernah mendengar pembicaraan Ikanuri dan Wibisana beberapa hari lalu setelah kejadian starwagoon tua itu. Ia tahu. Laisa tahu di mana harus mencari adiknya. Mukanya menyeringai oleh buncah cemas tak tertahankan. Berdiri. Bergegas. "Kak Lais, hendak kemana"" Dalimunte memotong. Tercekat. Hendak kemana" Pertanyaan Dalimunte barusan menyadarkan Laisa tujuan sebenarnya Ikanuri dan Wibisana. Ya Allah, Laisa gemetar seketika saat benar-benar baru menyadari adiknya dulu. "Jalan pintas terdekat menuju kota kecamatan sebenarnya melalui Gunung Kaideng. Hanya delapan kilo jika melewati gunung itu...." Ikanuri dan Wibisana langsung menuju ke jantung sarang Siluman, entah apakah dua sigung nakal itu menyadarinya atau tidak. "Aku ikut " "TIDAK!! Kau tetap di sini, menjaga Mamak dan Yashinta " "Aku ikut!" Dalimunte menjawab tegas. Cepat berlari ke dalam rumah. Suara kakinya membuat lantai rumah panggung mereka berderak. Sejurus, dia sudah keluar lagi, membawa tombak panjang peninggalan Babak. "Aku ikut kemana pun Kak Laisa pergi malam ini " Tegas sekali Dalimunte berkata. Wajahnya dipenuhi ekspresi penghargaan. Keberanian" Tentu saja dia takut, dia tahu kakaknya akan pergi ke Gunung Kendeng. Tapi, sumpah, Dali tidak takut mesti harus memasuki daerah terlarang itu. Lihatlah wajah Kak Lais, wajah yang selalu berani dalam hidupnya, demi adik-adik mereka. Wajah yang selalu melindungi. Melihat wajah itu, Dali tidak akan pernah takut lagi. Laisa menelan ludah. Wajah tegang itu dibasuh cahaya obor yang dibawanya. Kerlap-kerlip. Menatap adiknya sejenak. Berpikir cepat. Lantas mengangguk. Tak apalah. Tak apalah adiknya ikut. Ya Allah, sekali ini tolong baiklah dengan kami, tolong.... Laisa menggigit bibir. Lantas melangkah menuruni anak tangga. Diikuti langkah Dalimunte. Lima menit lalu Laisa memutuskan juga mencari adiknya. Ia tahu di mana adiknya berada malam ini. Mereka berdua pasti memutuskan kabur dari rumah, pergi ke kota kecamatan. Jalan pintas. Ia tahu, hanya Ikanuri dan Wibisani yang menganggap wanti-wanti tentang
harimau Gunung Kendeng itu lelucon. Ingatlah dua minggu lalu mereka malah memperolok-olok Yashinta soal berang-berang yang lucu. Bagi mereka harimau-lah yang lucu. Dalimunte demi melihat kakaknya berdiri, dengan ikut berdiri. Melihat kakaknya berlari pulang ke rumah mengambil obor dan golok, dengan cepat mengikuti. Mamak Lainuri yang masih semaput tidak bisa bicara hanya me
natap kosong mereka berdua. Tidak ada warga di balai kampung yang bisa mencegah. Terlalu penat setelah kerja seharian. Penat dengan segenap kecemasan. Tidak ada. Hanya membiarkan. Maka bergeraklah dua obor itu menuruni cadas sungai. Menyeberangi sungai. Masuk ke gerbang hutan rimba. Pukul 02.00. Empat jam berlalu. Rombongan lelaki penduduk kampung terus menyisir rimba belantara. Karena mereka harus memastikan setiap semak-belukar bersih ditelusuri, pergerakan mereka lamban. Berteriak-teriak memanggil. Suara itu membuat diam binatang hutan. Kosong. Sejauh ini kosong. Tidak ada selain babi hutan yang melintas, berlari dengan anak- anaknya. Tidak ada selain desau burung malam yang terbang berderak, terganggu. Langit semakin kelam. Gerakan Laisa dan Dalimunte jauh lebih cepat. Karena mereka langsung menuju satu titik. Gunung Kendeng. Semakin masuk ke dalam hutan, pepohonan semakin lebat. Golok di tangan Laisa tangkas memotong semak belukar yang menghalangi langkah. Sudah sejak dua jam lalu jalan setapak yang biasa digunakan penduduk mencari damar, rotan, menghilang. Mereka harus menerabos semak belukar, belalai rotan, dan tumbuhan berduri lainnya. Jarang sekali ada penduduk yang merambah hingga ke atas gunung. Jalan setapak hanya ada di tempat-tempat biasa merek menyadap damar, mencari rotan, menangkap kumbang, dan sebagainya. Pukul 02.30, Laisa berhenti sejenak. Memperhatikan semak di depannya. Jantungnya berdetak amat kencang. Seketika. "Ada apa, Kak"" Dalimunte mendekat, ikut melihat ke depan. Laisa menelan ludah, mendekatkan obor ke ujung dahan salah satu pohon kecil. Patah. Khas sekali. Itu bukan karena uwa, bukan karena binatang liar. Tapi dipatahkan oleh manusia. Benar. Ya Allah, ia benar, Ikanuri dan Wibisana baru saja melewati gunung ini.... Laisa menggigit bibir. Cepat! Ia harus buru-buru. Meski harapan itu kecil, meski janji itu bagai embun yang segera sirna oleh cahaya matahari pagi, ia harus buru-buru. Menyusul Ikanuri dan Wibisana. Semoga belum terlambat. Semoga adik-adiknya belum kenapa-napa. Semoga belum.... Golok di tangan Laisa galak membabat ujung-ujung semak di depan yang menghalanginya. Laisa kalap, tangannya gemetar, kakinya apalagi. Tapi rasa cinta yang besar itu membungkus segenap ketakutan. Adik-adiknya, dimanapun saat ini dua sigung nakal itu berada.... mereka membutuhkan dia, kakaknya. Laisa terus maju dengan kecepatan tinggi.
15 KAKAK TIDAK AKAN TERLAMBAT
GERBANG perbatasan Perancis. Juga Melesat. Eurostar melesat dengan kecepatan tinggi " Apa yang sedang kau pikirkan, Ikanuri"" "Tidak. Tidak apa-apa...." Senyap sejenak. Hanya deru roda kereta menghujam batangan baja. "Kau barusan menangis"" "Tidak!" "Kau menangis " "TIDAK. Aku tidak menangis " Jawaban itu serak.
Hening lagi. Desau suara pendingin kabin terdengar pelan. Cahaya lampu rumah-rumah pinggiran Perancis terlihat. Lebih banyak lagi perkebunan anggur. Di luar Sana masih gelap. Wibisana menatap datar wajah adiknya. "Aku hanya takut. Takut terlambat tiba " Ikanuri berkata pelan. Tertunduk menatap keluar jendela. Berusaha menyeka matanya. Wibisana menelan ludah. Menepuk lembut bahu Ikanuri. "Kita tidak akan terlambat, Ikanuri, tidak akan...." Ikanuri hanya diam. Berusaha mengendalikan dirinya. "Kau tahu, kenapa"" Wibisana tersenyum getir. Ikanuri menoleh. Susah sekali menyembunyikan perasaan hati. Susah. Sejak tadi, sejak seluruh kenangan itu buncah kembali memenuhi memori kepalanya, semua terasa sesak. Matanya berkaca-kaca lagi. Sejak tadi dia menangis, malah tanpa sengaja membuat Wibisana terbangun dari tidurnya. Dia tidak bisa berpura-pura lagi. Mengenang semua itu membuatnya benar- benar tersentuh. Biarlah. Biarlah Wibisana melihatnya menangis. Maka Ikanuri tergugu menyeka pipinya. Wibisana menelan ludah, terdiam sejenak... Menatap wajah sendu Ikanuri lamat-lamat, lantas mengulang pertanyaan itu dengan segenap perasaan, "Kita tidak akan terlambat, Ikanuri.... Kau tahu, kenapa"" Ikanuri menggeleng, pelan. "Ka-re-na.... Karena Kak Laisa tidak pernah datang terlambat untuk kita. Tidak pernah. Kak Laisa tidak pernah sedetik pun datang te
rlambat dalam hidupnya untuk kita... Kak Laisa tidak pernah mengingkari janji-janjinya, demi kita adik-adiknya... Ya Allah...." Suara Wibisana terputus. Menggantung di langit-langit kabin. Hilang ditelan suaranya sendiri yang bergetar, Wibisana ikut tertunduk. Ikanuri menyeka matanya. Terisak lebih kencang. Kereta ekspress Eurostar itu terus melesat menuju Paris! Itu benar sekali. Kak Laisa tidak akan pernah terlambat.
Karena malam itu sempuma sudah Laisa menunaikan janjinya. Tepat waktu. Tak terlambat sedetik pun. Selepas dari pohon mangga Wak Burhan, usai bertengkar dengan Kak Laisa, Ikanuri dan Wibisana memang akhirnya memutuskan untuk kabur dari rumah. Mereka berpikir pendek: Kak Laisa pasti mengadu ke Mamak tentang mencuri mangga. Kak Laisa pasti juga mengadu kalau mereka sudah menghinanya soal bukan kakak kami itu. Jadi mereka pasti disuruh tidur di bale bambu bawah rumah. Bisa jadi dihukum selama seminggu. Tidur di luar selama seminggu itu sama saje dengan mengusir mereka. Sekalian, kalau begitu lebih baik mereka kabur saja. Mereka tidak ingin kabur ke desa atas. Pasti segera ketahuan. Setelah berdebat sebentar, Ikanuri dan Wibisana memutuskan kabur ke kota kecamatan. Ada dua puluh kilo jika mereka harus berjalan lewat jalan batu lebar tiga meter itu. Artinya mungkin baru besok siang tiba di sana. Terlalu lambat, masih bisa disusul oleh starwgoon yang berangkat pagi-pagi buta, dan pelarian mereka diketahui. Maka tanpa berpikir panjang, Ikanuri dan Wibisana mengambil jalan pintas. Gunung Kendeng. Mereka tahu jalan pintas itu dari percakapan orang-orang, pemburu, di kota kecamatan dua minggu lalu. Berangkatlah dua kakak-adik nakal itu. Agak sedikit lambat, memutari desa, karena tidak mungkin melewati pinggiran sungai tempat orang-orang sedang bekerja membuat kincir. Pukul 20.00, saat pertama kali Mamak berlari ke rumah Wak Burhan, mereka berdua baru setengah jam perjalanan dari gerbang masuk ke dalam hutan rimba. Melangkah pasti. Bintang-gemintang dan bulan malam tiga-belas membuat perjalanan mereka mudah dilakukan, meski tanpa bantuan obor dan golok.
Pukul 22.00 saat rombongan pencari mulai masuk ke hutan rimba, masalah mereka mulai serius. Awan mendung yang menutupi langit membuat rimba gelap seketika. Hanya kerlip kunang-kunang, tapi itu tidak membantu banyak. Apalagi tidak ada lagi jalan setapak. Tanpa golok, mereka hanya menyibak dan mematahkan semak-belukar dengan tangan untuk memudahkan langkah. Sekali dua beristirahat. Bersitatap satu sama lain. Semakin masuk ke dalam, mereka berdua semakin menyadari ini semua keliru. Benar-benar keliru. Mereka terlalu menganggap sepele banyak hal. Menggampangkan masalah. Salah perhitungan. Pukul 24.00 saat Laisa dan Dalimunte menyusul, Ikanuri dan Wibisana benar-benar dalam masalah. Mereka masih jauh dari kota kecamatan, jangankan kota kecamatan, puncak Gunung Kendeng pun belum terlihat. Mereka tertahan di punggung Gunung Kendeng. Ikanuri dan Wibisana tersesat. Dua anak kecil yang meski amat ringan menganggap semua perkataan orang, jelas-jelas masih anak kecil, mulai mengkerut ketakutan saat menyadari setiap lima belas menit mereka berjalan, mereka sempurna kembali lagi ke titik semula. Berputar-putar. Begitu-begitu saja. Ikanuri mulai mengeluh. Wibisana mengusap dahinya yang berkeringat. Ini semua menakutkan.... Dan, hei, bukankah mereka pernah (sebenarnya sering) mendengar kisah tentang harimau Gunung Kendeng yang dulu setiap tahun mencari tumbal" Hei, bukankah Babak juga salah satu dari tumbal itu. Cemas. Ikanuri dan Wibisana tersengal. Berjalan semakin cepat. Percuma. Kembali lagi ke titik semula. Hei, bukankah ini pertanda sang siluman mengeluarkan jerat pamungkasnya" Pukul 02.00, sempurna sudah keduanya mengkerut takut. Setelah hampir dua jam hanya bolak-balik di tempat yang sama, mereka memutuskan untuk bertahan di Sana. Menunggu besok, ketika cahaya matahari memudahkan menentukan arah. Wajah mereka pucat oleh perasaan gentar, cemas. Tubuh mereka mulai gemetar. Sedikit saja suara gerakan di sekitar, cukup sudah untak membuat jantung mereka berdetak lebih kencang. I
kanuri dan Wibisana berdiri saling membelakangi punggung. Mematahkan batang semak belukar yang besar, berusaha mempersenjatai diri. Saat itu, Laisa dan Dalimunte sudah dekat sekali. Tetapi pukul 02.30 mendadak hutan di sekitar mereka lengang. SEMPURNA LENGANG. Seperti ada yang jahil menekan mati tombol volume derik jangkrik dan serangga lainnya. Ikanuri dan Wibisana saling menoleh. Bersitatap dengan cahaya mata redup. Ganjil sekali. Suasana hutan yang mendadak lengang terasa amat ganjil. Bahkan angin pun seolah takut berdesau. Langit gelap, pekat. Awan hitam menutupi berjuta bintang dan bulan. Hanya nafas cepat mereka yang menderu. Apa yang sedang terjadi" Ada apa" Wahai, kalian seharusnya lima kali lebih takut saat di sekitar kalian mendadak senyap, hening. Bukan takut saat mendadak ada suara teriakan atau cekikikan. Wahai, senyap yang datang tiba-tiba, itu berarti pertanda ada maut besar yang mengintai. Pertanda kehadiran kekuasaan besar yang mengendalikan sebuah tempat. Dan itu benar. Saat itulah, lima belas detik kemudian, suara gerung pelan itu terdengar menggantung di langit-langit hutan rimba. Awalnya pelan, semakin lama semakin mengeras. Gerungan maut sang siluman. "RRRRR-" Ikanuri dan Wibisana seperti sudah mati rasa. Berdiri kaku. Terkencing-kencing. "RRRRR-" Mata-mata itu terlihat menakutkan dari balik semak. Cemerlang. Mengerikan. Semakin mendekat. Semak belukar itu pelan bergoyang, lantas tersibak. Tiga harimau dewasa sebesar anak sapi mendekat. Berkilauan kuning legam dengan loreng
hitam. Ikanuri dan Wibisana membeku sudah. Tidak bisa menggerakkan tubuh lagi. Menggigil. Satu detik. Satu meter lebih dekat. "RRRRR-" Lima detik. Tinggal lima meter. Sepuluh detik. Tiga ekor harimau itu berhitung dengan situasi, mengukur bagaimana cara terbaik menerkam Ikanuri dan Wibisana. Waktu benar-benar berjalan lambat, untuk tidak bilang seperti terhenti. Aroma kematian menggantung pekat di langit-langit hutan. Hanya soal kapan Hanya soal detik Saat Ikanuri dan Wibisana hampir jatuh pingsan, ketakutan. Saat harimau terbesar yang berada paling dekat bersiap meloncat. Saat itulah Kak Laisa menunaikan janjinya. "TIDAK! TIDAK BOLEH!" Terhenti. Gerakan tubuh harimau terbesar itu terhenti. "TIDAK! PUYANG TIDAK BOLEH MEMAKAN MEREKA!" Kak Laisa, entah apa yang ada di kepalanya, yang sedetik baru tiba di sana, sedetik terpana menyaksikan pemandangan di depannya, tanpa berpikir panjang, seperseribu detik langsung loncat dari balik semak, menerobos ke tengah kerumunan. Mukanya terlihat begitu tegang. Ia sungguh gentar. Ia sungguh ketakutan. Siapa pula yang tidak akan jerih melihat tiga ekor harimau dari jarak dua meter tanpa penghalang" Tapi perasaan itu, perasaan melindungi adik-adiknya membuat Laisa menyeruak, nekad masuk ke kematian. Mengacung-acungkan obornya ke depan. Tiga harimau itu mundur satu langkah. Menahan terkaman. Sedikit jerih melihat obor Laisa. Ekor mereka bergerak. Berhitung dengan situasi baru. "RRRRR-" Harimau -harimau itu menggerung lagi. Amat menakutkan. Tubuh mereka yang hampir sebesar anak sapi itu terlihat lebih jelas, tertimpa cahaya obor Kak Laisa. Kerlap-kelip. Kulit yang tebal, mengkilat. Wajah, taring, cambang, sungguh menakutkan. "Puyang tidak boleh memakan mereka... Laisa mohon. tidak boleh " Kak Laisa mencicit, berkali-kali mengibas-ngibaskan obornya. "RRRR-" "Pergilah Ikanuri, Wibisana. Pergi dari sini! PERGI!" Kak Laisa mendorong Ikanuri dan Wibisana yang pucat pasi di belakangnya. Sementara wajah Kak Laisa terus bersitatap dengan harimau-harimau itu. Menjaga segala kemungkinan. Gerungan terdengar semakin keras. Tiga harimau itu mengambil posisi baru. Tidak masalah. Empat mangsa lebih baik dari dua. "Dali, bawa adik-adikmu lari.... LARI!!" Kak Laisa berseru panik. Situasinya semakin mencekam. Harimau-harimau kembali bersiap. Dalimunte yang menatap ketakutan dari balik semak mendecit. "Dali, CEPAT! Bawa adik-adikmu lari!" Kak Laisa membentak. Suaranya parau. Panik. Mereka tidak punya waktu lagi. Gemetar Dalimunte masuk ke dalam lingkaran, patah-patah menarik tubuh membeku Ikanuri dan Wibisana ke l
uar. Laisa terus menatap tiga ekor harimau itu. Menelan ludah. Mencoba menahan mereka dengan obor yang teracung. "RRRRR-" "Dali, bilang Mamak, bilang Mamak, Lais pergi "RRRRR-" "Dali, bilang Mamak, maafkan Lais " Kak Laisa berkata dengan suara semakin serak. Ia tahu, malam ini harimau-harimau ini membutuhkan mangsa. Tumbal. Maka biarlah ia yang menggantikan adik-adiknya.... Ia tahu,
waktunya sudah selesai. Biarlah begitu. Biar ia yang menahan mereka sementara adik-adiknya berlari.... Suara gerungan itu tiba di puncaknya. Kepala-kepala menakutkan itu terangkat siap menerkam. Laisa dengan mata bercahaya, buncah oleh air mata menatap ke depan. Menunggu. Bersiap. Sementara Dalimunte yang sedikit pun tidak mengerti apa yang sedang dilakukan Kak Laisa, tunggang langgang menarik tubuh Ikanuri yang sempat terjatuh, mereka harus kabur sesegera mungkin dari situ. Seperseribu detik berlalu. Ekor harimau yang paling besar, yang paling menakutkan, yang bersitatap dengan mata Laisa, tiba-tiba bergoyang. Harimau itu menggerung keras. Laisa menggigit bibir. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia sudah pasrah. Ia sudah siap. Tapi hei, kenapa" Kenapa belum ada satu pun harimau yang menerkamnya" Dua detik. Tetap begitu. Tiga detik" Tidak ada yang bergerak. Wahai, apa yang telah terjadi" Keajaiban itu! Hanya kuasa Allah yang tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi malam itu, sang siluman entah oleh kekuatan apa mendadak mengurungkan niatnya menerkam tubuh pasrah Laisa. Lima detik berlalu, harimau terbesar setelah sekali lagi menggerung lebih keras, perlahan melangkah mundur. Memberikan perintah, memutar tuhuhnya. Pergi. Dua harimau lainnya mengikuti. Dalimunte yang terjerambab di semak belukar setelah berlari sepuluh langkah bersama adik-adiknya menatap kosong tiga harimau yang melewati mereka, melangkah di atas tubuh-tubuh mereka yang terjerambab. Begitu saja Lima detik. Lima belas detik. Senyap. Hening.
16 SEJUTA KUNANG-KUNANG BAGI penduduk di lembah itu, legenda tentang harimau Gunung Kendeng selalu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mungkin dulu sengaja dibuat begitu agar penduduk kampung tidak berani merambah wilayah berbahaya tersebut. Cerita itu juga dikisahkan ke anak-anak agar mereka tidak sejahil dan segampang Ikanuri dan Wibisana yang bebal justru melintasi sarang harimau. Atau setidaknya membuat anak-anak yang susah disuruh tidur dan banyak merengek segera beranjak naik ke atas dipan. Alkisah, di lembah dan gunung itu, ratusan tahun silam bangsa harimau dan manusia hidup damai berdampingan. Penduduk lembah tidak mengganggu mereka, harimau juga sebaliknya. Itu perjanjian tak tertulis para leluhur. Hingga pada suatu ketika, masa-masa berdamai itu berakhir oleh sebuah kejadian. Salah seorang penduduk kampung yang berburu di dalam hutan tidak sengaja masuk ke wilayah terlarang. Entah apa pasal, pemburu itu malah menombak seekor anak harimau. Maka rusaklah perjanjian tersebut. Kelompok harimau meminta ganti rugi. Nyawa ditukar nyawa. Tapi penduduk kampung menolak. Mereka menolak menyerahkan pemuda yang melakukan kesalahan tersebut. Kelompok harimau gunung memutuskan balas dendam. Maka terjadilah pertikaian. Lebih banyak lagi harimau yang mati terbunuh. Suatu malam, sekelompok harimau yang tersisa mengambil belasan anak-anak kecil dari kampung secara diam-diam sebagai ganti-rugi. Bertahun-tahun tidak ada yang tahu ke mana anak-anak itu menghilang. Sebagian bilang mereka berubah jadi harimau. Sebagian yang lain bilang dijadikan tumbal. Yang pasti sejak hari itu, manusia dan harimau di lembah dan gunung terus saling menyerang. Atas kejadian itu, harimau kemudian disebut sang siluman, karena mencuri sembunyi-sembunyi anak kecil. Sejak hari itu juga, kata-kata puyang (atau kakek) disematkan kepada
harimau. Karena legenda itu mewariskan pemahaman bahwa harimau yang ada di puncak gunung sekarang tidak lain adalah kakek-kakek (anak-anak) mereka dulu yang dicuri. Sejak delapan tahun silam, populasi harimau di Gunung Kendeng sebenamya semakin terdesak. Perambah hutan membuat mereka mulai tersingkir. Belum lagi harga kulit dan
taring mereka yang mahal. Harimau Gunung Kendeng, diburu oleh kelompok-kelompok pemburu profesional dari kota provinsi. Dengan bedil. Perangkap besi. Legenda itu tinggal cerita belaka. Tinggal sebutan, nama-nama. Tidak ada penduduk yang menganggapnya serius. Masih disampaikan kepada anak-anak hanya agar mereka mengerti kalau gunung itu berbahaya. Tapi meskipun begitu, semua penduduk mengerti benar berapa pun jumlahnya sekarang harimau tetaplah binatang berbahaya. Setengah jam berlalu dari kejadian hebat itu.... Setelah sepotong lereng gunung tempat tiga harimau tadi bersiap menerkam Ikanuri dan Wibisana kembali ramai oleh derik jangkrik, ramai kembali oleh serangga malam, Laisa menuntun adik-adiknya, pulang. Obor sudah padam. Tidak sengaja padam saat kejadian seru tadi. Tombak Dalimunte juga entah tercecer di mana. Terjatuh. Tidak ada yang sempat memikirkannya. Mereka berjalan pelan. Beriringan. Ikanuri dan Wibisana yang mulai bisa bernafas normal melangkah tertunduk di depan. Sementara masih banyak sekali pertanyaan yang menyesaki kepala Dalimunte. Laisa tidak banyak bicara. Ujung tangannya masih berkedut sekali dua. Kakinya masih sering gemetar menopang tubuh. Sisa perasaan gentarnya tadi saat tiga harimau itu bersiap menerkam. Tapi karena ia ingin buru-buru pulang, agar Mamak tak terlalu lama menunggu, tak terlalu lama menanggung cemas, Laisa meneguhkan hati, membujuk kakinya agar berjalan senormal mungkin. Menjelang larik jingga muncul di ufuk sana, menjelang matahari pagi akhirnya terbit, saat Wak Burhan dan penduduk kampung masih sibuk dan mulai putus asa mencari Ikanuri dan Wibisana, mereka tiba di gerbang hutan seberang dinding Kerlip kunang-kunang lebih ramai di sini. Terbang berkelompok. Beranjak pulang ke sarang. Langkah Laisa terhenti. Menatap cahaya mereka yang indah. "Ikanuri, Wibisana, Dalimunte...." Berkata pelan. Langkah adik-adiknya di depan ikut terhenti. "Lihatlah! Kunang-kunang yang indah " Ikanuri dan Wibisana mengangkat kepalanya. "Suatu hari nanti...." Kak Laisa terdiam sebentar, ia tersenyum amat tulus sambil menatap wajah adik-adiknya di remang semburat merah langit, wajahnya sungguh kontras dengan mereka, ia berkulit hitam, sementara adik-adiknya putih, ia berambut gimbal, sementara adik-adiknya lurus, "Suatu hari nanti, sungguh kalian akan melihat berjuta kerlip cahaya lampu yang jauh lebih indah di luar sana, di luar lembah kita... Satu kunang-kunang berdesing di depan mereka. Kepala Dalimunte tertunduk. "Ikanuri, Wibisana, suatu saat nanti kalian akan melihat betapa hebatnya kehidupan ini.... Betapa indahnya kehidupan di luar sana. Kalian akan memiliki kesempatan itu, yakinlah.... Kakak berjanji akan melakukan apapun demi membuat semua ini terwujud...." Dalimunte menyeka ingusnya. "Tapi sebelum hari itu tiba, sebelum masanya datang, dengarkan Kakak, kalian harus rajin sekolah, rajin belajar, dan bekerja keras. Bukan karena hanya demi Mamak yang sepanjang hari terbakar matahari di ladang. Bukan karena itu. Tapi Ikanuri, Wibisana, Dalimunte, kalian harus selalu bekerja keras, bekerja keras, bekerja keras, karena dengan itulah janji kehidupan yang lebih baik akan berbaik hati datang menjemput...." Dalimunte sudah menangis pelan.
"Kelak kalian akan melihat kerlip cahaya yang lebih indah...." Dalimunte sudah terisak. Dia mengerti. Amat mengerti segalanya
Juga di sini Ikanuri juga benar-benar menangis. Lihatlah! Menara Eiffel terlihat cemerlang. Penghujung tahun begini. Menara Eiffel bagai pohon natal raksasa. Kerlip berjuta lampu kota Paris yang tersaput selimut salju putih tak mau kalah, terlihat begitu mempesona. Seperti sejuta kunang-kunang. Menyeruak berpendar-pendar. Ikanuri mendekap wajahnya. Umurnya sekarang tiga puluh enam. Wibisana tiga puluh tujuh. Kejadian itu lebih seperempat abad silam berlalu. Ya Allah, Kak Laisa, Kak Laisa tidak pernah datang terlambat untuk mereka. Tidak sedikit pun. Seperti kalimat Kak Laisa pagi itu, Kak Laisa menunaikan seluruh janjinya. Tidak ingkar sekalipun. Tidak pernah.... Kereta eskpress Eurostar itu melesat membelah indahnya kota Paris. Semburat merah
muncul di angkasa. Pagi datang menjelang. Membuat gemeriap lampu kota yang belum dimatikan terlihat begitu menawan. Kabut pagi menambahinya. Syahdu. "Sudahlah, Ikanuri " Wibisana mendekap bahu adiknya. "Kau tahu.... Kau tahu, waktu itu aku mengatakan Kak Laisa bukan kakak kita. Kau tahu itu!" Ikanuri tersedak. Mendekap wajahnya. Dia tidak bisa menahan lagi perasaan itu. Dan melihatnya tertunduk menangis sungguh menyedihkan. Wahai, kalian akan lebih terharu saat melihat seseorang yang selama dikenal nakal, tukang jahil, bebal, atau apalah tiba-tiba menangis. Sungguh. "Kak Laisa tidak pernah marah dengan itu, Ikanuri." Wibisana mengusap bahu adiknya. Ikanuri justru tersedan lebih keras. Itu benar sekali. Kak Laisa tidak pernah marah soal itu sedikitpun. Tidak pernah. Bahkan Kak Laisa tidak pernah mengungkit-ungkitnya lagi. Ya Allah, karena itulah dia merasa bersalah sekali. Menyesalinya sepanjang hidup. Dua puluh lima tahun berlalu, ketika takdir kehidupan yang lebih baik menjemput keluarga sederhana mereka di Lembah Lahambay, bahkan dia tidak pernah meminta maaf soal itu. Meski Kak Laisa sebenarnya sudah memaafkan detik itu juga di bawah pohon mangga tersebut. Tapi dia selama ini tidak pernah merasa harus meminta maaf. Bagainiana jika mereka terlambat dan tidak ada waktu lagi" "Tolong.... Tolong sambungkan sekali Iagi ke Mamak " Ikanuri menyeka matanya. Berusaha mengendalikan diri. Wibisana mengerti. Mengambil HP di saku. Pelan menekan nomor HP Mamak Lainuri. Tadi berkali-kali mereka menelepon ke perkebunan strawberry, kata Mamak, Kak Laisa masih tertidur (atau begitulah yang dokter bilang). Mereka tidak ingin membangunkan Kak Laisa. Biarlah mereka akan menelepon lagi. Suara tunggu itu bernyanyi satu kali. Dua kali. "Assalammualaikum...." Suara renta Mamak terdengar. "Waalaikumussalam..." Wibisana menelan ludah suaranya bergetar, berusaha tersenyum. Tangannya yang satu lagi masih mendekap bahu Ikanuri, menenangkan. "Kak Lais sudah bangun, Mak" " "Sudah. Sebentar, anakku " Senyap. Suara Mamak yang bertanya pada dokter terdengar samar-samar. Handsfree. Dokter mengaktifkan handsfree, agar Kak Laisa bisa bicara meski sambil terbaring, "Silahkan, Pak Wibisana, Pak Ikanuri, kalian bisa bicara sekarang, tapi jangan lama-lama, Ibu Laisa masih dalam kondisi kritis. Silahkan, " Dokter berkata dari seberang.
Ikanuri dan Wibisana justru terdiam. Menelan ludah. "Kak Lais " Bergetar. "I-ka-nu-ri"" Terbatuk. "Itu kau di sana, Ikanuri" " Samar suara Kak Lais terdengar dari speaker telepon genggam. Ikanuri seketika kehabisan kata-katanya, kecuali tangis. Benar-benar kecuali tangis. Satu minggu berlalu. Hari ini seluruh kampung bersuka-cita. Sejak shubuh mereka sudah berkumpul di pinggir cadas. Beramai-ramai, bergotong-royong memasang kincir-kincir di atas pondasinya. Benar, Perhitungan Dalimunte sejauh ini tepat. Saat ikatannya dilepas, kincir pertama yang terbenam di air sungai berderak mulai berputar mengikuti arus, sambil membawa air di ujung-ujung bumbungnya. Naik. Terus naik. Lantas tumpah persis di puncak kincir. Mengisi bumbung bambu kincir kedua. Kincir kedua pelan, mulai ikut berputar. "NAIK! NAIK! NAIK!" Penduduk kampung berseru-seru. Wajah mereka tegang. Meski seringai yakin mulai terpancar di sana-sini. Kincir mereka kokoh, pondasinya kuat. Tidak akan ada yang salah. Susunannya tepat, konstruksinya baik. Percuma mereka punya jagoan pintar macam Dalimunte. Kincir air kedua sedikit bergetar membawa air terus berputar. Naik ke atas. Tumpah. Mengisi bumbung kincir ketiga. "NAIK! NAIK! NAIK!" Seruan penduduk kampung semakin meriah. Satu-dua anak kecil malah bertepuk-tangan. Macam nonton kumedi putar di kota kecamatan. Wak Burhan yang berdiri di depan kerumunan melepas topi anyaman rotan. Menyeka keringat di dahi, pertanyaan terbesarnya adalah apa cukup kekuatan air-air yang terus mengalir ke atas itu untuk memutar lima kincir air" Dulu saat mereka membuat kincir raksasa, masalah terbesamya air deras sungai tidak cukup kuat memutarnya. Tapi kincir air yang ketiga justru berputar lebih cepat. Dalimunte sudah menghitung kemungkina
n itu. Membuat kincir-kincir tersebut proporsional mengecil hingga ke atas. Menyusunnya dengan posisi lebih condong, lebih mudah digerakkan. Dia juga membuat klahar bantalan pemutarnya jauh lebih licin dengan gemuk yang dibeli Wak Burhan dari kota kecamatan. "NAIK! NAIK! NAIK!" Kincir keempat bergerak meyakinkan. "NAIK! NAIK! NAIK!" Seruan semakin ramai. Yang membuat penduduk semakin yakin, sejauh ini air itu sudah naik empat meter, tinggal satu meter lagi. Tinggal satu kincir lagi. Kincir kelima berderak sebentar. Pondasinya di dinding cadas bergetar. Membuat nafas tertahan. Bumbung bambu pertamanya menerima tumpahan air dari kincir keempat. Penuh. Lantas pelan, mulai ikut berputar. Dan akhirnya, air dari bumbungnya tumpah persis di atas cadas setinggi lima meter. Pinggir sungai itu buncah sudah oleh tawa-gembira. Seruan-seruan senang. Tepuk-tangan "Bah! Apa kubilang! Kita pasti berhasil!" Beberapa pemuda saling memukul lengan, tertawa. "Benar! Kita pasti berhasil!" "Bukan main, kau hebat Dali!" Yang lain mengangkat tubuh kecil Dalimunte. Mengaraknya ke tengah sungai. Tertawa lebih keras. "CBYUR!"Terjatuh.Terpeleset bebatuan.Pemuda-pemuda itu basah kuyup. Juga Dalimunte. Tertawa lebih lebar. Wak Burhan menghembuskan nafas lega. Engkau sungguh baik ya, Rabb. Menatap wajah Dalimunte yang tertawa-tawa, bangkit dari air sungai sedalam pinggang. Menatap wajah Lainuri yang berdiri bersama ibu-ibu kampung lainnya. Wajah Lainuri yang tersenyum lebar.
Menatap wajah Laisa yang tersenyum lebih lebar. Wajah Yashinta yang berdiri dengan teman-teman sepantarannya. Ikut berteriak-teriak riang meski mereka tidak mengerti benar. Menatap wajah Ikanuri dan Wibisana. Dua sigung bebal itu bersama anak-anak tanggung lainnya ikut melompat ke inang sungai, ikut menyirami Dalimunte dengan air. Tertawa-tawa. Benar-benar melupakan kejadian heboh seminggu lalu. Pagi ini, kabar baik memenuhi langit-langit lembah. Engkau sungguh pemurah, Rabb. Wak Burhan memasang topinya. Berteriak menyuruh mereka mulai bekerja. Hari ini mereka harus menyelesaikan sambungan pipa-pipa bambu sepanjang satu kilo. Dengan begitu, ladang-ladang mereka mulai bisa diairi. Dengan begitu, lepas panen bulan depan, mereka langsung bisa mengolah tanah lagi. Tidak perlu menunggu musim penghujan, Sekarang, nasib mereka berada di tangan mereka sendiri. Tujuh puluh tahun tinggal di kampung itu, tidak pernah Wak Burhan merasakan antusiasme hidup yang begitu hebat. Meski baru seminggu lalu dia seperti kembali melihat hantu masa lalunya. Tapi itu tidak terjadi. Kecemasan kembali terulangnya kejadian delapan tahun silam tidak terbukti. Saat mereka benar-benar putus-asa, mulai berangsur pulang setelah lelah menelusuri hutan rimba, saat bersiap melaporkan kejadian itu ke polisi di kota kecamatan, saat tiba di balai kampung, Ikanuri dan Wibisana justru ditemukan sudah berbaring kelelahan, dikelilingi ibu-ibu yang berusaha memberikan minum. Laisa dan Dalimunte terbata menceritakan apa yang terjadi. Satu patah, dua kali helaan nafas. Mereka juga lelah. Naik turun Gunung Kendeng bukan urusan mudah, apalagi dalam situasi buruk seperti itu. Maka cerita mereka hingga kapanpun, mungkin tak akan pernah terlupakan. Mungkin berpuluh-puluh tahun ke depan tetap dikenang penduduk kampung. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi, kenapa tiga harimau itu urung menerkam Laisa. Satu dua bilang mungkin harimau itu sudah kenyang, habis memangsa babi liar. Satu dua bilang harimau itu mungkin takut dengan obor api. Satu dua berseru, mungkin harimau itu lagi sakit gigi. Semakin dibicarakan, semakin ngaco seruan-seruan penduduk. Malah ada yang menduga mungkin karena Laisa mewarisi Jurus Pesirah, ilmu silat mengendalikan harimau yang konon dulu pernah dikuasai leluhur mereka. Atau mungkin pula harimau itu takut melihat mata melotot Laisa, bukankah minggu lalu saat Laisa galak berseru-seru soal ide lima kincir di balai, pemuda kampung saja jerih melihatnya, nah, apalagi harimau itu. Entahlah. Laisa tidak banyak berkomentar, ia hanya bilang ia juga takut malam itu, tapi apalagi yang harus dilakukannya" Ia tidak punya
Cinta Dalam Diam 2 Animorphs - 28 Eksperimen The Experiment Sejuknya Kampung Halaman 5
^