Pencarian

Rendezvous 1

Balada Si Roy 03 Rendezvous Karya Gola Gong Bagian 1


BALADA SI ROY 03 - RENDEZ-VOUS
PENGARANG: GOLA GONG Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Cerita ini pernah dimuat bersambung di HAI.
(kecuali episode IX dan X ada perbaikan pada alur cerita)
"kebahagiaan itu harus diperjuangkan. Bukan dengan cara mengemis minta belas kasihan,
rendah diri, dan pasrah nasib! Jadi: hidup adalah perjuangan!"
I. HOME SWEET HOME rumahku entah di mana tak kutemukan di sajak-sajak di matahari, dan di bulan karena tidurku di bawah bintang-bintang jauh di rimba belantara tenggelam di dasar lautan mesti pulang ke mana setelah letih mengembara"
-Heri H. Harris *** SI Avonturir jalanan itu mengusap-usap jendela bis yang basah kena hujan, sehingga membentuk sebuah lingkaran. Dia mengintip lewat lingkaran itu. Melihat lio, tempat pembakaran bata-genteng, yang kini posisinya mulai terjepit rumah dan pabrik. Persawahan yang biasanya melatarbelakangi lio itu, kini sudah jarang kita temui.
Di sepanjang Tangerang-Serang, yang dulu dihiasi sawah.menghijau, kini sudah banyak berubah jadi rumah dan pabrik. Bahkan masih bisa kita lihat satu-dua tanah
kosong ditancapkan papan pengumuman "TANAH INI AKAN DIJUAL". Mungkin di situ akan berubah jadi rumah dan pabrik lagi. Lantas kalau semua sawah dijadikan bangunan, kita makan apa nanti"
Tiba-tiba bis merayap pelan. Lalu berhenti. Tampak kendaraan lain pun banyak yang berhenti, membuat antrean panjang.
"Ada apa, Pak"" Roy berdiri, melihat ke depan. Begitu banyak orang berkerumun, pikimya.
"Ada orang mati!" kata seseorang.
Roy meloncat turun. Selayaknyalah kita menghormati orang yang mati untuk penghabisan kali, karena orang itu sudah selesai menjalani hidup. Sudah selesai dengan segala kewajibannya sebagai hamba Tuhan. Sekarang, orang itu sedang menuju ke "kerajaan"Nya. Membawa segala rupa perbuatan dan tanggung jawabnya.
Berpuluh-puluhorang tampak mengekor keserombongan orang yang mengusung keranda. Iring-iringan itu melintasi jalan. Mereka sedang mengantar tubuh ke sebuah "rumah" yang jauh, yang diidam-idamkan seluruh insan, karena "rumah" itu terbebas dari nafsu serakah orang-orang yang mengumbar janji dan bayangan menakutkan tentang perang nuklir.
Sebuah rumah peristirahatan abadi! Di mana para dayangnya adalah bidadari. Minumannya adalah sungai-sungai yang mengalir di taman-taman. Dan makanan yang tidak ada habisnya.
Oh, rumah idaman yang hanya ada di angan-angan!
Tiba-tiba saja seperti ada yang menyentak dada si Roy. Bagai aliran listrik. Menyengat dan menakutkan. Ya, dia merasa ngeri sekali melihat iring-iringan kematian itu.
Si bandel kini ingat rumahnya. Ingat tiang-tiang yang menyangga atapnya. Ingat tanaman segar yang meniupkan hawa sejuk dari halaman. Pagar yang membatasi dari hingar-bingar dunia luar. Dan orang-orang yang berlindung di dalamnya dari ganasnya alam.
I am home, Mama! teriak batinnya. Oh, betapa dia sudah rindu ingin memeluk dan mencium kening mamanya. Mengantarkan jahitan-jahitan ke para langganannya. Dan memijiti pundak mamanya setelah letih menjahit.
Bis memasuki terminal, yang di mana-mana kini letaknya selalu di pinggiran kota. Tambah ramai saja terminal ini. Bis-bis yang keluar-masuk diparkir begitu semrawut. Apalagi pintu gerbangnya persis di persimpangan, sehingga kemacetan sering merepotkan para polisi (biar ada kerjaan). Ditambah lagi dengan para pelajar dari luar kota yang ikut membumbui kesemrawutan terminal ini.
Roy pelan-pelan turun. Seluruh tubuhnya bergetar. Angin sore menampar-nampar jiwanya. Ada sesuatu yang asing menyelinap dan merembesi tubuhnya begitu melihat awan hitam lebat menggantung di langit.
Langkah kakinya jadi sangat tergesa. Dia sedang menuju rumahnya. Menuju di mana dia menghabiskan hidup bersama mamanya. Menuju pelukan dan kasih sayang mamanya. Menuju semuanya. Harapannya.
"Pulang kemping ni yee," ledek dua gadis yang baru pulang sekolah sore. Mereka manis-manis bagai permen, penghias toples-toples di setiap toko. Menyenangkan memang jika bisa mengulum permen itu.
Roy mengedipkan matanya. Untuk intermezzo, dia memang menyukai permainan kecil di jalan seperti tadi.
"Abis naek gunung, ya"" kata yang paling centil.
Roy mengangguk. "Gunung apa"" yang memakai bertel nimbrung.
"Gunung 'kembar' punya kalian!" Si bandel noraknya kumat. Dia melompat ke angkutan kota. Tertawa ngakak sambil mengacungkan jari tengahnya. "Sialan!" Si centil mengacungkan jari tengahnya juga. "Kuwalat, kamu!" si bertel menimpali.
Roy sudah tidak menggubris. Dia kini sedang membayangkan rumahnya berada di sebuah taman indah. Ada kupu-kupu aneka warna. Bunga-bunga. Ikan-ikan yang berloncatan gembira. Dan burung-burung dengan cericitnya yang merdu di pohon-pohon. Dan mamanya yang tersenyum bahagia.
Rindunya semakin meletup-letup.
Di depan mesjid kota, semua kendaraan berhenti, karena terjebak oleh kerumunan orang. Ada iring-iringan kematian lagi! Dia terhenyak. Buru-buru dia menyeret ranselnya. Berlari-lari menyibak kerumunan orang. Dia berusaha menerobos orang-orang sampai ke rombongan paling depan. Dia berusaha terus walaupun orang-orang menghalangi dan ranselnya tercecer. Dia berhasil sampai ke rombongan pengusung j enazah.
Dia melihat keranda itu diselimuti kain serba putih. Ujungnya yang menjuntai melambai-lambai kena tiup angin. Dia berusaha meraihnya, tapi orang-orang menghalaunya dengan kasar. Roy berusaha lagi. Dan dia meronta-ronta ketika orang-orang memberangusnya.
"Lepaskan, lepaskan!" teriaknya panik. Dia terus meronta, bahkan melawan, hingga orang-orang kebingungan melihatnya. "Mama!" teriaknya tambah panik.
Dia merintih sendirian. Ada seseorang yang mengenalnya. Kawan sekelasnya. Kenapa kamu, Roy" katanya membimbing si bandel ke tempat yang agak terpisah.
"Mamaku! Mamaku!" Roy masih belum terlepas dari bayangan menakutkan itu.
"Ada apa dengan mamamu, Roy"" Kawannya mengguncang-guncangkan tubuhnya. "Itu bukan mamamu, Roy!"
Roy tersentak. Dia menatap kawannya. Lalu duduk begitu saja dan bersandar pada batang pohon asam. Merenung. Menyembunyikan wajahnya di sela-sela lututnya.
"Baru dateng, Roy"" Kawannya menyerahkan ranselnya.
Roy mengangguk pelan. "Setiap Edi dapet surat dari kamu, kami sekelas rame-rame ikut ngebaca. Sebetulnya kami ingin membalas surat-surat kamu, Roy. Tapi, kamu tidak pernah punya alamat tetap. Jadi mesti kami kirimkan ke mana"" Budi tersenyum simpul.
Roy tidak menanggapi. "Kamu tahu keadaan mamaku sekarang, Bud"" nadanya
cemas. Budi menyodorkan rokoknya. Tapi Roy tidak mencomotnya. Budi tampak gelisah dan kikuk sekali ketika menyulut rokok, karena Roy memandanginya terus. "Kamu menyembunyikan sesuatu, Bud!" Budi semakin kikuk.
"Katakan, Bud! Ayolah!" Gelisah sekali si Roy. "Kamu memang nggak pemah sabaran, Roy!" Budi mulai kesal. "Jangan bertele-tele, Bud!"
"Oke. Tentang mamamu, sungguh, aku nggak tahu. Tapi, jangan kaget, dua bulan yang lalu si Ani kawin, Roy."
Roy tertawa hambar." Apa hubungannya berita perkawinan si Ani sama aku, heh"" dia berubah berang dan panik. "Aku nanya tentang mamaku, Bud!" Dia mencekal bahu kawannya. Menatapnya. Seperti mencari kebenaran pada matanya.
Budi berusaha tertawa. "Jangan munafik, Roy. Semua orang tahu kok kalau si petualang itu selalu merindukan bidadarinya. Cerita-cerita kamu mewakili semuanya,
Roy!" Dewi Venus kawin" batinnya gelisah. Betulkah mulut si Budi sialan itu" Kenapa mesti kabar buruk dulu yang aku terima" batinnya memprotes. Begitu cepatkah segalanya berubah"
Roy kini hanya bisa menghitung langkah, kegelisahan, dan kesepian yang merejamnya nanti. Lantas dia membayangkan dirinya yang hendak pulang untuk mereguk kebahagiaan bersama mamanya, tapi sementara itu ada sebagian orang dari desa-desa yang meninggalkan rumahnya untuk mengadu nasib di kota, berimpitan di kolong jembatan, padahal rumah mereka di desa amatlah nyaman. Memunguti remah-remah nasi untuk makan, padahal kebun-kebun mereka di desa melimpah-ruah menyediakan makanan.
Kini Roy sudah berdiri di muka rumahnya.
Betapa sepi dan mati rumah itu. Cat temboknya sangat kusam dan suram. Kaca-kacanya kotor berdebu. Halamannya semrawut dihiasi daun-daun kering berserakan. Huh! Seperti tidak ada denyut kehidupan di sini!
Sesuatu pasti sedang terjadi dengan mamaku, batinnya.
Seorang anak kecil membuka
pintu. Wajahnya gembira campur keheranan. Ini pasti Opik, bisik si Roy. Anak kecil yang selalu menemani Mama selama aku pergi, bisiknya lagi.
"Mama mana, Pik""
"Kak Roy""
Roy tersenyum mengusap rambutnya. "Mama mana"" Dengan gelisah dia masuk ke ruang tengah. Dia merasa di ruangan ini tidak ada sentuhan lembut seorang wanita pada perabot-perabot rumah. Semuanya dibiarkan terlantar. Debu-debu mengotorinya.
"Mama!" panggil Roy cemas. Dia berharap akan mendengar jawaban dari ruang belakang. "Roy pu1ang, Ma!" dia mencoba sekali lagi sambil berlari ke ruang belakang. Tapi tetap tidak ada jawaban.
"Mama di rumah sakit, Kak," Opik hati-hati sekali bicara. Anak kecil itu menunduk dan berpegangan pada kursi.
Roy terlonjak. Mencekal pundak Opik yang tampak menyesal sekali telah mengatakan sesuatu yang buruk tentang mamanya.
Tanpa berkata-kata lagi dia berlari. Dia berusaha agar bisa berlari lebih cepat lagi. Tapi kakinya seperti terbenam dan ada yang mengisapnya. Dia sudah berlari ke setiap sal. Memasuki dan meneliti pasien-pasiennya, siapa tahu mamanya tergolek di situ.
Dia merasa capek tapi mamanya belum juga ketemu.
Saat itu, dia melihat uwak-nya sedang membaca koran di depan sebuah paviliun. Dia langsung menyerbu dan memeluknya. Dia tidak bisa apa-apa selain menangis. "Maafkan Roy, Wak," itu saja yang dikatakannya.
"Sudahlah, jangan cengeng begitu. Yang penting kamu sudah pulang." Uwaknya menariknya ke dekat jendela.
Roy melihat mamanya sedang terbaring nyenyak.
Pelan-pelan si bandel itu membuka pintu. Hati-hati. Dan mengendap-endap mendekati pembaringan. Dia memperhatikan wajah mamanya yang tampak jadi lebih tua ketimbang umumya. Wajah mamanya keliatan menyimpan derita yang berkepanjangan. Tapi walaupun begitu, wajah itu tetap berseri-seri memancarkan kemauan untuk terus hidup.
Roy merintih memegang jemari mamanya. Menggenggamnya erat-erat. Mendekapkannya ke dadanya. Dia mengecup keningnya perlahan. Air matanya menetes menjatuhi wajah mamanya.
"Roy pulang, Ma," isaknya di telinga mamanya.
Pelan-pelan kelopak mata mamanya terbuka. Wajahnya semakin memancarkan gairah hidup. Di bibirnya kontan terlukis senyum bahagia. Tangannya erat menggenggam jemari anaknya.
Mereka tampak begitu bahagia. Tidak ada bandingannya.
"Mama yakin kamu pasti pulang, Roy." Ada air menetes menelusuri pipinya. "Tadi Mama bermimpi ketemu kamu, Roy." Kini mamanya tersenyum.
"Sekarang bukan mimpi, Ma." Roy menghapus air mata itu dengan punggung jari-jarinya.
Mereka berpelukan. Air mata mereka sudah larut bersama. Kerinduan anak-beranak itu pun klimaksnya adalah saat ini. Mereka adalah induk dan anak ayamnya. Busur dan anak panahnya.
Merekalah kebahagiaan abadi itu!
*** Setelah pulang dari perjalanan jauh, pengembaraan yang belum lengkap, si petualang jalanan itu kini dihadapkan pada kenyataan hidup: mamanya sudah beranjak tua dan sakit-sakitari. Juga sekolahnya yang terlantar, dan yang paling menyebalkan: Dewi Venus dibidik seorang pemburu!
Dia sedang memikirkan semuanya.
"Roy," mamanya memanggilnya.
"Ya, Ma." Dia berdiri dan mendekat ke jendela.
"Kamu nggak usah bingung tentang biaya rumah sakit Roy. Mama punya tabungan kok." Wanita itu meraih tangan anaknya. Dia sudah tampak segar. Dan besok sudah bisa meninggalkan rumah sakit. "Honor karangan-karanganmu, Roy, sebaiknya ditabungkan saja."
"Ya, sebaiknya ditabungkan saja! Tiba-tiba uwaknya muncul. "Besok, kamu sudah bisa sekolah, Roy ," kata uwaknya sambil menyebutkan salah satu sekolah swasta di kota ini.
Roy mengangguk. Dia merasa bergairah lagi ketika menyadari akan duduk di bangku sekolah lagi. Masa remaja memang paling indah. Apalagi plus sekolah, olala, alangkah lebih komplet indahnya!
*** Roy sedang tidur-tiduran di bangku. Angin sore yang bertiup lewat pepohonan di sepanjang sungai di samping rumah sakit, mengelus-elus dan meninabobokkannya.
"Halo, Avonturir!" Edi menepuk bahunya. Dia sudah mantan OSIS sekarang. Sudah jadi rakyat biasa lagi. Tidak punya jabatan apa-apa. Tidak punya wewenang apa-apa lagi.
Roy membuka matanya. Tersenyum lebar. "Katanya sama si Toni"" "Tuh!" Edi menunjuk ke seseorang
yang tertatih-tatih menyeret kaki kirinya yang palsu.
"Ayo, Ton!" Roy tersenyum menyuruhnya agar lebih cepat berjalan. Banyak kemajuan tuh anak," kagum sekali dia. "Dari jauh kayak nggak cacat aja ya, Di"" Edi mengangguk.
"Aku mulai sekolah lagi besok, Di. Di swasta tentunya."
"Syukurlah." Edi tampak seperti ragu-ragu hendak mengatakan sesuatu. "Ada kabar buruk, Di"" Roy tersenyum.
Edi mau tidak mau tertawa. "Tadi aku ketemu Ani. Dia nitip salam sama kamu." "Kamu cerita kalau aku sudahpulang""
Edi hanya tersenyum. Lalu menyerahkan secarik kertas yang disobek sembarangan. Roy meneliti angka-angka yang kelihatannya ditulis tergesa-gesa. Toni baru saja sampai. Dia berkeringat dan kepayahan sambil mengumpat-umpat karena Edi tidak mau menuntunnya.
"Nomor telepon dia, Di""
"He-eh. Kalau mau ngebel lebih bagus pagi hari. Selagi suaminya kerja." "Alah, nggak usah ngurusin yang udah punya suami, Roy!" Toni nimbrung. Roy meninju bahunya.
Tiba-tiba dari radio tempat para perawat jaga terdengar sayup-sayup lagu Jump-nya David Lee Roth. Darahnya selalu saja bergelora setiap mendengar lagu energik semacam ini. Mungkin hanya lagu Satisfaction-nya Stones saja yang bisa menandingi lagu Van Hallen itu.
Si bandel itu langsung berlari menuju pos jaga, menyambar radio mini itu. Meletakkannya di halaman. Dibesarkannya volume. Dia berjingkrak-jingkrak mengikuti lengkingan gitar yang mengentak-entak tubuhnya. Dia menikmati lagu itu sambil menendangkan kakinya ke sana kemari. Lagaknya seperti rocker saja. Dia seolah-olah sedang mengentak-entakkan kekesalan dan kejengkelannya. Rock memang kadang kala bisa membuat seorang muda menyalurkan dan melupakan kegelisahannya.
Dan kalau sudah gembira seperti itu, dia lupa dengan sekelilingnya.
"Jump!" teriak si bandel sambil meloncat ke udara.
II. RENDEZ-VOUS mengapa penderitaan kaupinang
padahal kesenangan dapat kauraih dengan gampang
ah, mengapa masih saja bertanya tentang itu
biarkan, biarkan aku menempuh jejak di rimba
biarkan, biarkan aku mereguk kisah-kisah
jangan suruh aku berhenti
dengan tangis atau senyummu
sebab aku tak akan peduli!
-Toto ST Radik *** ROY sedang berada di kotak kaca telepon umum. Dia masih ragu-ragu untuk memasukkan logam lima puluhan ke boks telepon. Apa yang mesti aku katakan nanti" batinnya. Ayolah, Roy! Tidak ada salahnya kita bersilaturahmi, menanyakan kabar seorang kawan yang pernah dekat dengan kita.
Lalu tangannya pelan-pelan memasukkan logam itu. Ragu-ragu mengangkat gagang telepon dan memutar angka-angkanya dengan hati-hati.
"Halo," ada suara wanita di sana.
Roy termenung. Tidak berani menjawab. Dia masih belum yakin pada dirinya sendiri. Dewi Venus-kah itu"
"Halo, ada orang di sana" " Suara itu terdengar lagi. Roy masih diam.
"Halo!" Suara itu mulai kesal. Lalu terdengar gerutuan sambil membanting gagang teleponnya.
Roy menghela napas. Tapi dia tidak membanting gagang telepon, karena benda ini milik negara. Merusak barang negara bukankah dilarang" Bahkan katanya, melanggar hukum juga.
Masukkan lagi logam lima puluhannya, Roy! Ayo, jangan pengecut kamu, Roy! Lalu tergesa-gesa dia memasukkan uang logamnya dan memutar angka-angka itu lagi.
"Halo," terdengar suara lelaki. "Bisa bicara dengan Ani, Pak""
"Ani" Mungkin Saudara salah sambung. Di sini nggak ada yang namanya Ani. "Sialan!" tanpa sadar Roy mengumpat.
"Heh Saudara bilang apa tadi" Yang sopan dong kalau menelepon!" Suara itu tidak mau terima.
Roy makin kesal. Dia membanting gagang telepon. Dia lupa kalau tindakannya itu bisa merusak milik negara. Tapi dia sedang tidak peduli. Lalu merenung sebentar. Tiba-tiba keberaniannya muncul lagi. Mengulangi lagi perbuatan yang tadi. Sekarang lebih hati-hati dan penuh perhitungan.
"Halo," masih suara perempuan tadi.
"Selamat pagi" tenang sekali bicaranya.
"Pagi." Roy berusaha menghapal suara itu. Sangat sukar sekali menebak suara seseorang kalau sedang di telepon. Tapi, ini pasti Ani! Nalurinya berkata begitu. Tiba-tiba saja dia tidak bisa menguasai debar jantungnya. Rasanya ingin sekali dia berlari ke rumah Venus itu, dan menumpahkan segala kerinduannya.
"Apa kabar, Ani"" b
ergetar suaranya. "Baik. Siapa, ya""
"Saya... saya Roy, Ani."
"Roy"!" pekiknya kaget sekali. "Betul kamu, Roy""
"Ya." "Apa kabar, Roy" Lama sekali kita nggak ketemu, ya"" "Ya, lama sekali."
"Gimana kisah petualangannya, Roy" Ani masih suka tuh ngikutin di majalah." "Seperti yang kamu baca itulah."
"Surat-surat kamu keterima semuanya, Roy. Makasih, ya. Ani seneng sekali ngebacanya."
"Bisa kita ketemu, Ani"'
"Dateng saja ke sini, Roy. Sekalian Ani kenalkan dengan suami Ani." Duh! Perih hatinya ketika mendengar kata "suami" diucapkan. Dia diam saja. Segalanya memang sudah berubah.
"Roy" Mau kan, Roy"" Roy masih diam.
"Kamu bisa mengerti posisi saya sekarang kan, Roy""
"Kamu juga bisa mengerti perasaan saya, Ani""
Keduanya terdiam. Jadi tidak enak.
"Sekolah kamu, Roy"" Ani mengalihkan pembicaraan.
"Sore hari, Ani. Di swasta."
Sepi lagi. "Ani," kini Roy yang membuka suara. "Ini permintaan saya yang terakhir. Bisakah kita bertemu" Hanya saya dan kamu""
"Roy... " "Saya hanya ingin melihatmu saja dan mengucapkan beberapa patah kata, Ani" "Bagaimana ya, Roy""
"Saya punya ide, Ani. Saya jamin nggak bakalan ada kejadian apa-apa selanjutnya. Kita ketemu di Royal Plaza. Di toko kaset. Kita seperti sedang beli kaset saja. Kita ngobrol di sana. Spontan saja.
"Pertemuan yang wajar kan"
"Saya ada di sana jam empat. Gimana""
"Sore ini""
"Ya, sore ini."
"Insya Allah, Roy."
"Saya percaya kamu akan datang, Ani. Saya tunggu!" Roy langsung meletakkan gagang telepon. Bukan apa-apa, logam lima puluhannya habis. Daripada obrolannya menggantung, lebih baik ditutup saja.
*** Sudah tiga puluh menit menggeliricir dari waktu yang dijanjikan. Roy masih sabar dan pasang muka tebal lagi kepada penjaga toko kaset, karena sejak tadi kerjaannya memilih-milih kaset. Penjaga toko kelihatannya sudah kesal, karena satu pun kaset tidak ada yang cocok. Roy memang pintar, karena mencari kaset yang tidak ada.
"King Crimson juga nggak ada"" Tuh kan, dia menanyakan group band yang pemah kondang dengan lagu Epitaph itu. Kalian pasti sudah mendengar lagu itu. "Kalo King Kong sih ada!" kata penjaga itu kesal. Roy tertawa.
Ada seorang gadis cantik berdiri di sampingnya. Roy meliriknya. Dewi Venus! Dia sudah menebaknya, tapi dadanya berguncang juga. Betapa bahagianya dia, batinnya. Mengenakan gaun yang serasi dengan kuning langsatnya, dia begitu dewasa dan tampak anggun.
"Halo," sapa Roy.
"Halo lagi." Ani tersenyum.
"Masih inget sama saya"" kelakarnya.
"Masih dong." Ani tersenyum geli.
"Mau beli kaset apa"" si penjaga nyelonong.
"Kaset Broery yang terbaru, ada""
Si penjaga toko menyodorkan kaset yang diminta. Mengeluarkan isinya. Mencobanya. Lalu terdengar suara paten Broery melantunkan lagunya yang sedang hit di mana-mana.
"Kenapa saya nggak kamu undang pada pesta perkawinanmu, Ani""
Ani memandangnya. "Mesti saya kirim ke mana kartu undangannya, Roy"" Senyum simpulnya tampak.
Roy menggaruk kepalanya. Dia menyadari kebodohannya barusan. Ya, bukankah selama ini dia tidak punya alamat tetap"
"Kenapa semuanya di luar rencana, Ani""
Tiba-tiba Ani seperti mengeluh. Wajahnya berubah murung. "Bapakku meninggal, Roy suaranya pelan sekali. Hampir tertahan di tenggorokan.
Roy ternganga. Inalillahi... batinnya. Dia sungguh tidak menyangka sama sekali. Semuanya memang sudah berubah. Perjalanan hidup seseorang, siapa pemah bisa menduga"
"Saya masih berutang main catur sama bapakmu, Ani. Saya tadinya mau melunasinya," maksud Roy sih menghibur.
"Bapak kena serangan jantung, Roy. Kami sekeluarga tidak menduga Bapak akan pergi secepat itu.
"Itulah sebabnya kenapa saya buru-buru dinikahkan, Roy. Rupanya saya dijodohkan dengan putra sahabat Bapak semasa revolusi dulu untuk tetap menjalin persaudaraan.
"Saya tidak ingin jadi anak yang durhaka kepada orangtua, Roy. Tidak ingin merusak persaudaraan yang telah dibina sejak lama." Roy hanya mendengarkan saja.
"Dia suami yang baik, Roy. Saya mencintainya. Dan lagi, saya ingin Bapak tenang di alam kuburnya. Mungkin inilah bakti saya sebagai seorang anak." "Berarti kamu bahagia, Ani." "Ya, saya bahagia."
"Saya nggak akan bisa melupakan kamu, Ani."
"Saya juga, Roy."
"Saya akan selalu mengenangmu."
Ani tersenyum. Roy merogoh saku belakang seragam abu-abunya. "Kamu masih suka bolos, Roy." Ani tertawa kecil.
Si bandel itu meringis. "Ini fotomu, Ani. Foto yang kamu berikan ketika saya berangkat avonturir dulu. sudah lusuh dan bau keringat, ya. saya memang jorok. Sori, ya." Dia menyerahkan foto ukuran postcard itu.
"Simpan saja, Roy, kalau kamu ingin mengenangnya."
"Saya nggak bisa, Ani. Ini sentimentil jadinya."
"Hampir magrib, Roy. saya mesti pulang."
Roy mengangguk. Tapi hatinya kecewa dan lara. Kenapa begitu cepat pertemuan kecil ini" Aku masih ingin menikmati keindahannya, batinnya.
"Sampai jumpa, Roy. Sebetulnya saya kangen sekali ingin bercakap-cakap sama kamu. Mungkin lewat cerita-ceritamu saya bisa mengobati kekangenan itu. Tapi, jangan kamu ceritakan tentang kita ini, ya! Soalnya saya nggak pernah sepeser pun menerima royaltinya!" Tawa kecilnya terdengar.
Roy hanya memandanginya saja. Gerakan-gerakannya masih tetap sempurna, harmonis, dan diperhitungkan seperti dulu. Tapi, bidadarimu ini sudah terbang direnggut seorang pemburu!
"Ani!" tanpa sadar dia memanggil.
Ani menoleh. Dengan bijaksana dia tersenyum manis. Mungkin itu senyumnya yang terakhir diperuntukkan bagi Roy. Dan Roy menikmatinya. "Sampai jumpa!"
Ani masih tersenyum sambil melambaikan tangannya.
Maka tertutuplah sudah segala harapannya. Ini mesti dihadapinya. Bintang-bintang di langit mustahil bisa diraih, Roy. Cukup dinikmati aja setiap malam jika kamu teringat padanya. Inilah perpisahan abadi, Roy. Venus-mu sudah milik orang.
Kegetirannya tiba-tiba meloncati batas langit. Ya, sudah terlalu menumpuk kisahnya berserakan di jalan-jalan. Inikah akhir hidupku" bisiknya lirih. Huh! Frustrasi di umur tujuh belas, Roy"
Tragis! Dia lalu duduk di anak tangga. Memandangi orang-orang yang berbelanja. Melihat orang-orang yang menghambur-hamburkan uangnya hanya untuk memuaskan selera konsumtif mereka. Tiba-tiba matanya berkilat-kilat lagi begitu melihat seorang gadis sedang membeli jeruk. Rambutnya dipotong pendek. Tidak sembarang dipotong. Setidak-tidaknya ada tangan ahli yang memotongnya. Gerakannya gesit dan lincah.
Keren sekali! decaknya. Roy sudah lupa dengan keruwetan yang membelenggunya apabila sudah melihat hal-hal yang indah. Biasanya yang indah-indah itu suka banyak ditemui pada wanita, ya!
Dia memungut bungkusan permen. Menimpuk si keren itu! "Sialan! Siapa sih yang usil"!" si keren itu memaki,sambil mencari-cari orang yang menimpuknya.
"Saya, Non!" Roy mengacungkan tangannya. Begitulah si bandel itu.
Roy, Roy, Roy! Mau ke mana sebenarnya kamu"
III. JESSE, NAMANYA Toto S T Radik *** KAMAYASA-Kumpulan Mahasiswa Tirtayasa-adalah perkumpulan putra-putra daerah yang kuliah di Bandung. Setiap liburan semester, mereka mudik ke daerah. Dan untuk mengisi liburannya, mereka mengadakan kegiatan olahraga yang sifatnya kompetisi. Untuk liburan sekarang, mereka mengadakan Open Tournament Basket Ball antar SLT A dan klub.
Kebetulan sekolah SMA swasta Roy persis di depan alun-alun, di mana tempat pertandingan basket itu dipertandingkan. Setiap jam istirahat pertama, sekolahnya dibebaskan. Maksudnya untuk memberi support kepada tim basket sekolahnya.
Remaja bandel itu sudah menyelinap ke pinggir lapangan. Tentunya dia lebih interest nonton cewek-cewek yang main. Dia berdecak kagum begitu melihat keindahan pada gadis-gadis yang sehat energik itu. Keringat mereka mengucur, sehingga kulit mereka jadi licin mengkilap. Dia sedari tadi menikmati gadis yang meloncat bagai kijang ke sana kemari untuk menyambar operan kawannya. Gerakan gadis itu begitu enak dipandang dan membuat mata pria mana pun enggan berkedip.
Si kijang itu rambutnya pendek. Keren sekali. Tubuhnya tinggi ramping. Kulitnya putih bersih, terawat baik, dan selalu diisi makanan bergizi. Makanan yang tidak akan pemah sering dikecap oleh orang kebanyakan.
Si bandel itu tersenyum lebar. Dia berhasil mengumpulkan gambar-gambar yang berkelebatan di benaknya. Setelah rendez-vous dengan si Venus yang tersesat ke KUA, dia nongkrong di anak tangga Royal Plaza. Lalu
menimpuk dengan bungkusan permen ke seorang gadis keren! Inilah dia orangnya! sorak batinnya gembira.
Ah, lagi-lagi wanita, Roy! Wanita memang magis dan indah. Misteri sekaligus material. Dunia memang akan gersang tanpa makhluk ajaib ini.
Selagi asyik-asyiknya melamun, dia terjengkang. Bola bundar itu melayang menampar wajahnya. Keki sekaligus nervous juga dia, karena seluruh penonton menyorakinya.
Sambil nyengir dia mengambil bola itu.
"Makanya kalau nonton jangan pake acara ngelamun segala," ledek si keren itu, mengambil bola dari tangan Roy. Sambil tersenyum simpul, si keren melempar bola ke dalam. Mengoper kepada kawannya.
"Oiii!" teriak Roy. "Masih inget nggak""
Si keren itu masih sempat menoleh. Dia seperti pemah mendengar suara tadi. Pemah mengenal tampangnya yang tengil tapi menyenangkan itu.
Dia terpaksa menunda pikirannya tentang lelaki itu, karena bola terarah kepadanya. Dia langsung menyambar bola itu. Melewati satu-dua musuhnya. Dia berdiri di luar lingkaran dan menembak ke jaring. Plus! Mulus sekali bola itu masuk ke jaring.
Ternyata sampai pertandingan usai, regu si keren itu tetap unggul. Mereka bersorak gembira. Itu berarti melaju ke babak final. Itu berarti menuju ke puncak.
Roy sengaja menunggu si keren di tempat parkir. Tas ransel yang lagi ngetren menggantung santai di pundaknya. Dia pasang aksi dengan senyum nakalnya ketika si keren itu melintas dengan kedua kawannya.
"Halo,cewek!" Mereka senyum-senyum. Rupanya mereka masih ingat kejadian ketika si Roy terjengkang kena bola tadi.
"Permainan kalian bagus deh." Roy menyodorkan lengannya. "Selamat, ya!"
"Lho, siapa yang ulang tahun"" Dia melirik kepada kedua kawannya. "Kamu, Suci"" tanyanya pada si Manis. "Kamu, Lia"" pada kawannya yang tinggi besar.
Kedua kawannya menggeleng sambil tertawa kecil.
Roy nyengir. Menarik lagi lengannya. Sense of humor mereka lumayan juga. "Kita pernah ketemu," Roy merendengi jalan si keren itu. "Aku nggak ngerasa." "Alaah, nggak usah bertele-telelah." "Kok maksa sih"" si manis Suci menimpali.
"Orang kita nggak ada minat ketemu sama model bajingan begini," begitu juga
Lia. Roy tertawa. "Aku memang bajingan, ya. Tapi sebagai bajingan, aku telah kalian terima!" dia menyitir sebaris sajak Rendra.
"Emang ketemu di mana sih, Jesse"" Lia penasaran.
"Bukan ketemu!" Jesse meralat.
"Lantas apa "" Suci menyerobot.
"Dia ngerjain aku!" Jesse tampaknya sewot.
"Aku pernah nyuri hatinya. Bukan begitu, Jesse""
Si keren semakin menggerutu kepada Lia, karena sudah teledor menyebut namanya di depan si tengil ini. Lia pun sebaliknya menggerutu kepada Jesse, karena melakukan hal yang sama. Suci cuma tersenyum melihat tingkah kedua kawannya.
Roy semakin keras tawanya. "Namaku Roy!"
"Kita nggak nanya!" si keren cuek saja.
"Ih, ge-er!" "Hei, mata kalian yang bertanya!" Roy tidak mau kalah.
Akhimya peperangan itu reda sendiri. Sambil menyusuri trotoar, mereka saling memperkenalkan diri. Memulai lagi dari awal dengan basa-basi setiap perkenalan. Misalnya, rumahnya di mana" Sekolahnya" Kelas berapa dan jurusan apa"


Balada Si Roy 03 Rendezvous Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di persimpangan, Lia dan Suci memisah. Mereka menuju arah yang berlainan. Ini tentunya menyenangkan bagi si bandel. Terlihat dari wajahnya yang berseri-seri.
"Thanks, ya!" kata Roy.
"For what" " Lia pura-pura bingung.
"Ngasih kesempatan berdua-duaan sama dia!"
Mereka tertawa. Dua remaja itu berjalan menyusuri trotoar di saat matahari hampir menggelincir di ufuk timur. Mereka seperti sahabat yang sudah lama tidak bertemu saja. Selayaknyalah begitu kalau sesama remaja. Sering-seringlah kita punya kawan baru tanpa perlu menaruh prasangka buruk dulu. Pergaulan itu tidak ada ruginya. Dengan bergaul kita bisa mempelajari karakter seseorang dan bisa banyak belajar dari obrolan-obrolan itu sendiri. Jadilah seorang ekstrovert kalau ingin bertahan hidup di zaman edan seperti sekarang ini. Hanya waspadalah. Ambil yang baik dan buang yang jeleknya, begitu kata orangtua atau guru-guru. Tapi jangan seperti orang-orang yang memakai sandal jelek ke mesjid lalu pulangnya menyambar sandal orang yang lebih bagus, ya!"
"Kamu pernah ngerasain kangen yang a
mat sangat sama seseorang"" Di Sabtu sore yang lain Roy sudah mengunjungi si keren. "Pernah. Sama almarhum kakekku." "Kakekmu sudah meninggal""
"Makanya aku panggil almarhum tuh, karena udah meninggal. Bego banget sih!" Jesse tertawa.
Roy juga tertawa. Lantas si keren itu bernostalgia tentang kakeknya yang wafat di bulan puasa dan pas waktu beduk asar. Kata orang pintar, "Barangsiapa yang wafat di bulan puasa dan punya wudu, orang itu akan masuk surga." Kalau betul begitu, oh, beruntung sekali orang-orang yang ditakdirkan hidup seperti kakek si keren ini. .
Jesse bercerita lagi, "Ada kenangan manis yang ggak bakalan aku lupain, sampai kapan pun. Waktu itu orangtuaku pergi ke Bandung. Di rumah cuma ada aku, adikku yang masih kecil, dan kakekku.
'Tengah malam rumahku kemasukan maling. Kamu tahu apa yang Kakek lakukan waktu itu" Dia tantang maling amatiran itu, Roy! Kakekku jago silat! Hanya dalam beberapa jurus saja maling itu diringkusnya. Padahal maling konyol itu membawa senjata tajam!"
"Beruntung sekali kalau aku punya kakek segagah itu."
"Kamu masih punya kakek, Roy""
"Ada. Opa-oma dari pihak almarhum papaku.Tapi, kayaknya aku merasa seperti nggak punya Opa-oma tuh. Habisnya mereka juga seperti nggak ngerasa punya cucu macem aku." Nada si Roy kedengaran tidak peduli.
"Papamu sudah meninggal. sori, aku nggak tahu."
Roy jadi tampak kikuk. Jesse memandangi si bandel. Dia berusaha menerobos masuk untuk menyelami segala persoalan yang tersembunyi di balik mata lelaki yang tiba-tiba saja berubah murung.
"Kayaknya hidup kamu banyak persoalan, Roy."
Roy jadi gelisah. Dia merogoh saku belakang jinsnya. Hendak menyulut rokok. Tapi, si keren buru-buru mencegahnya.
"Sori, no smoking di sini!"
"Kenapa"" "Mamaku paling nggak suka sama bau rokok." "Mamamu, mana""
"Ada di belakang. Mengurusi tamannya. Ya, sekadar untuk mengisi kesepiannya." Kalimatnya seperti akan ada kelanjutan cerita menyedihkan di baliknya. "Papamu dines ke luar kota""
"Lagi ke Bandung. Nggak tahu deh mau ngapain. Aku nggak peduli mau urusan dines kek, atau urusan apa kek!" Ada terselip emosi di dalamnya.
Roy tertegun juga. Kok, bisa begini" Ini jelas persoalan hidup yang sering dihadapi sebuah keluarga mapan. Di mana soal materi bukan persoalan. Di mana sang ayah sibuk di luar dengan dalih mencari uang, sementara sang ibu dan anak menunggu di rumah dengan waswas.
*** Namanya, Jesse. Atau Jesse, namanya. Ini bukan nama pasaran. Bukan nama sales, kata orang-orang Singapore. Ditilik dari segala apa yang ada pada si keren itu, memang tidak sembarangan. Dia bagai boneka etalase, yang ditempeli apa saja akan selalu tampak. menarik dan menimbulkan selera bagi para pembeli. Ya, kalau ada duit di dompet memang bukan masalah. Tapi, jika dompet kosong, weh, boneka etalase cuma jadi impian sepanjang zaman!
Sekarang dengan kulot dan T -shirt, dia melompat riang menghindar bidikan pemburu. Roy hanya menikmati keagungan Tuhan itu. Inilah lukisan yang akan abadi sepanjang zaman. Tak akan ada milyuner mana pun yang mampu merogoh koceknya untuk mengoleksikan lukisan "seniman" besar ini. Tak akan pernah ada.
"Jadi kita pergi"" Jesse menggelayut saja.
Roy mengangguk. Menggandeng lengannya.
"Where are we going""
"Ke pasar kaget! Kita cari makanan yang khas kota ini !" Jesse kontan meringis. "Mudah-mudahan aku suka."
Di mana-mana, setelah pukul lima sore, ada sebuah jalan yang cukup strategis yang sengaja diperuntukkan bagi para pedagang kagetan. Di situlah mereka berjejer memasang tenda-tenda jualannya, sehingga berkesan semarak. Macam-macam orang menjulukinya. Ada yang bilang pasar kaget, pasar senggol, pasar mambo, dan pasar malam.
"Aku suka banget dengan hal nature seperti ini. Tapi, kalau mencicipi jajanannya, duh, aku risi sekali." Dia menyebar pandang ke tenda-tenda. Roy meminta pengertian darinya.
"Aku pernah sakit perut, bahkan muntah-muntah setelah jajan di pinggir jalan. Ini jadi trauma buatku. Tapi bukannya aku sok borjuis, Roy ."
Roy bisa memakluminya. Dia lalu menariknya masuk ke sebuah tenda. Di mana di sana tertulis "Sedia Sumsum, Ditanggung Puas, dan Bakalan Ketagihan
". Sumsum adalah nasi yang dicampur sumsum sapi, dibungkus daun, lalu dipanggang seperti memanggang sate sampai setengah matang saja. Makanan ini gurih sekali. Semua remaja di kota ini pasti mengenal sumsum, karena di saat senggang sering mereka menghabiskan waktunya di pasar kaget ini.
"Kamu coba dulu deh, " Roy memesan.
Jesse duduk dengan rikuh.
Sumsum pun dihidangkan. Asapnya tampak masih.mengepul. Roy membukanya pelan-pelan. Meniupinya. Lalu menyendok sambal kacang dan menaburkannya. Jesse memperhatikan segala gerak-gerik si bandel itu.
"Cicipi pelan-pelan dulu. Ditanggung deh, nggak bakalan sakit perut."
Mau tidak mau Jesse mencicipi sumsum itu.
"Kalau kamu suka, kamu yang jadi bos!" Roy tertawa.
Pelan-pelan si keren itu mengunyah. Merasakannya. Kelihatannya sangat menikmati sekali. Lantas memandang malu-malu ke arah Roy. Katanya, "Kayaknya aku jadi bos malem ini!" sambil tertawa juga. "Tapi kalau aku sakit perut, kamu yang nanggung biaya rumah sakitnya, Roy!"
Roy tertawa saja. Dia sudah habis empat bungkus.
Jesse sendiri memesan sebungkus lagi.
"Biar aku yang bayar" Roy merogoh saku jeans bluwek-nya.
"Hei, kita sudah sepakat tadi, aku yang jadi bos!"
"Tapi aku kan yang ngajak kamu kemari!" Roy tidak mau kalah.
"Nggak, nggak bisa!" Jesse juga begitu.
Kedua-duanya sama keras kepala. Roy tetap pada pendiriannya, bahwa dialah yang mengajak Jesse kemari. Sedangkan si keren itu berpegang pada omongan Roy, bahwa kalau dia suka jajanan itu maka dia yang jadi bos.
"Oke, kita bayar masing-masing saja!" kata Roy.
"Kamu harus konsekuen dong, Roy!"
Roy mulai kesal. "Duitmu itu dari mana, sih" Paling-paling kamu ngambil bunga yang didepositokan oleh babe kamu!" si bandel itu mulai ngawur ngomongnya.
Jesse tersenyum geli. Lelaki ini pemberang juga, pikimya. "Aku kira tadi bukan basa-basi, Roy" tampaknya si keren mulai mengalah. "Okey, you are the boss!"
Tanpa banyak omong Roy membayar.
Kini mereka berjalan agak menjaga jarak. Kikuk. Roy sesekali meliriknya. Dia jelas menyesal, karena sudah membentak-bentak tadi. "Kamu pasti marah," katanya. Jesse menggeleng. "Aku kok jadi norak gitu, ya"" "Dari dulu kamu emang norak." Jesse tersenyum. "Seharusnya kamu emang yang bayar tadi." "Forget it!"
"Sori, ya. Lain kali aku nggak bakalan kayak tadi deh."
"Lho" Lain kali belum tentu kan aku mau diajak jalan sama kamu"" Jesse tersenyum simpul.
Roy nyengir. "Aku senang bisa kenal sama kamu, Jesse," kalimat ini serius sekali diucapkan. Jesse tetap tersenyum seperti tadi. Dia hendak menutup pintu pagar rumahnya, tapi tangari Roy memegangnya. Dadanya tiba-tiba berdesir. "Sungguh, aku senang sama kamu, Jesse." "Thanks" Diam sejenak.
"Roy, apa kamu mengatakan hal yang sama kepada setiap cewek yang baru kamu kenal seperti aku""
Roy tertawa kecil. "Besok sore kamu final basket, ya"" dia mengalihkan pembicaraan. "Kamu pasti jadi pemain favorit, Jesse!"
"Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi, Roy."
Si bandel itu tertawa lagi.
"Aku boleh baca karangan-karanganmu""
"Ya, nanti aku pinjami!" kata Roy sambil mundur beberapa langkah. Tangannya melambai. "See you, Jesse!"
Jesse memandangi lelaki yang begitu optimis memandang hidup ini. Begitu agresif, pemurung, tapi meledak-ledak! Dia langsung menyimpulkan.
Di dalam kamarnya si keren itu menatap langit-langit kamarnya. Masa lalu dan masa depan berkelebatan. Dia merenungkan semuanya. Tentang papa-mama dan adik-lelaki kecilnya. Apa yang akan terjadi denganku" Keluargaku" Aku tahu kenapa Papa sering pergi ke Bandung, batinnya merintih.
Papa punya istri muda di sana!
Tapi dia memejamkan matanya. Berusaha membunuh bayangan menakutkan itu. Berusaha menendang bayangan kehancuran itu. Ya, dia berusaha memejamkan matanya terus. Sekarang dia ingin bermimpi dulu. Mimpi apa saja.
Semoga mimpi yang indah-indah.
Ya, dia memejamkan matanya terus dan betul-betul bermimpi.
IV. ELEGI BUAT JESSE selembar daun jatuh terguling ke jalanan selembar daun jatuh terkulai sendirian selembar daun jatuh terisak kesepian selembar daun jatuh terempas dari kehidupan
-Toto ST Radik *** MINGGU yang cerah dan segar. Sang kehidupan menyembul
leluasa di musim hujan ini. Penuh kehangatan. Sepertinya Tuhan memberi kesempatan untuk enjoy di hari Minggu menyenangkan ini. Kalau sudah begini, matahari pasti akan menyengat, dan tentu rezeki bagi pedagang es, karena orang-orang akan cepat kehausan. Tapi, sialnya neraka bagi para pembantu, karena sang majikannya pasti akan sering mengganti pakaiannya yang basah berkeringat.
Si bandel muncul dari belakang rumah dengan seember cat dan kuas besar. Dia bersiul-siul dan melagukan California Girl-nya David Lee Roth. Diperhatikannya seluruh tembok rumah tuanya yang kusam. Lantas dia mencelupkan kuasnya. Dan masih dengan bersiul-siul dia memulas tembok rumahnya. Mula-mula tembok paling atas dulu. Terus dia memulas. Diulanginya terus. Diulanginya. Pulasannya hati-hati dan rata sekali. Sesudah beberapa tembok bagian depan rumahnya tampak bercahaya, dia berhenti. Mundur beberapa langkah.
Bagai seniman besar, dia memperhatikan hasil sapuan kuasnya. Dia tampak puas sekali. Lalu mamanya muncul dengan segelas es jeruk. Roy buru-buru menyongsongnya, "Aduh, Ma, khawatir sekali suaranya. "Mama kan mesti banyak istirahat. Kalau Roy haus ntar bikin sendiri, Ma."
Mamanya tersenyum. Tampak bahagia sekali. Wanita itu seperti merasa ada kekuatan baru dalam hidupnya. Dia merasa jiwanya semakin melemah saja, karena digerogoti terus oleh penderitaan yang tidak kunjung habis. Tapi, begitu si bandel ini pulang, wajahnya kembali memancarkan gairah hidup.
Di mana-mana, separah apa pun sakit si ibu, dia akan sembuh bila putra-putrinya menjenguk. Kalau tidak percaya, tanyakan pada orangtua kalian. Karenanya berdosa besarlah bila kita membiarkan orangtua sakit tanpa mau menjenguk. Tempat yang jauh dan biaya bukanlah alasan yang tepat untuk membela diri. Situasi dan kondisi seperti itu tetap bullshit bagi anak-anak yang mencintai orangtuanya. Gunung kan kudaki, lautan kan kuseberangi! Pepatah lama itu bagi mereka boleh jadi.
Roy melanjutkan pekerjaannya lagi.
"Opik bantu, Kak," anak kecil itu menawarkan diri.
Roy mengusap rambut si yatim-piatu itu. Walaupun mamanya hidup sederhana, tapi masih sanggup memikirkan penderitaan anak kecil ini, batinnya. Bukankah dosa hukumnya bila kita menelantarkan yatim-piatu"
"Ambil air seember ya, Pik."
Dengan semangat Opik berlari ke belakang rumah. Tidak lama dia sudah menenteng seember air. Good job, batin Roy.
Sambil memulas tembok dekat jendela, dia berpikir-pikir tentang kondisi mamanya yang semakin melemah saja. Bukankah hidup ini perjuangan, Roy" Saking asyiknya dia bekerja sambil melamun, dia tidak menyadari kalau sejak tadi ada seorang gadis berdiri di luar pagar memperhatikan pekerjaannya.
Gadis itu tersenyum. Hatinya mau tidak mau berdecak kagum. Dia tidak menyangka kalau lelaki ini masih sempat memikirkan kondisi rumahnya. Pribadi yang menarik! batinnya lagi.
"Jamunya, Mas, " iseng-iseng dia menirukan suara penjual jamu."
"Saya nggak pernah minum jamu lho, Mbok," tanpa menoleh si Roy menirukan logat Jawa.
"Dengan minum jamu, tenaga Mas akan tetap perkasa lho, kali ini dengan suara aslinya."
Roy kenal betul suara tadi. Dia menghentikan pekerjaannya dan menoleh. "Sialan!" makinya.
Ternyata si keren! "Boleh masuk, Roy"" Jesse masih berdiri di luar pagar.
"Bawa KTP nggak" Soalnya zaman sekarang banyak penipu!" Sambil tertawa dia membuka pintu pagar. "Silakan masuk, Tuan Putri." Roy membungkuk seperti layaknya sang jongos kepada majikannya.
"Sori ngeganggu, Roy," tiba-tiba suaranya sendu.
Roy meliriknya. Mata si keren sembap dan merah. Rupanya semalam dia tenggelam dalam tangisnya. Weh, ada apa nih" "Ma! Mama!" Roy berteriak sambil mempersilakan Jesse duduk.
Tapi Jesse tidak duduk. Matanya lebih tertarik memperhatikan isi ruangan. Benda-benda antik yang terpajang di bufet. Benda-benda yang diperoleh tidak di sembarang tempat. Benda-benda hasil imajinasi penduduk asli yang tersebar di pelosok bumi kita.
"Itu koleksi papaku. Setiap bepergian, papaku selalu membawa oleh-oleh khas daerah yang disinggahinya. Aku memang bisa mengenang papaku lewat benda-benda itu." Di dalam bicaranya jelas sekali tersirat kerinduan.
Kemudian si keren itu memperhatikan foto-foto yang tergantung di tembok. Foto seorang lelaki dengan jeans lusuh, ransel, dan alam.
"Itu papaku." "Gagah banget!"
"Anaknya jauh lebih gagah." Roy mengedipkan matanya. "Ih, ge-eran juga kamu!"Jesse tersenyum kecil.
Jesse menurunkan sebuah foto. Di situ ada Roy kecil, papanya, dan seekor anjing kecil. "Ini kamu " Kok, jelek banget!" Si keren itu tertawa. "Anjingmu, mana""
"Itu masa lalu, Jesse." Roy menempelkan lagi foto itu di tembok. "Joe, anjingku, mati terbunuh ketika aku terlibatperkelahian dengan sekelompok orang. Aku berutang nyawa kepada Joe. Kepada seekor anjing, Jesse. Yang paling aku sesali, Joe adalah hadiah dari papaku ketika hendak pergi untuk selamanya.
"Aku betul-betul kehilangan mereka. Papaku dan Joe."
"Oh, sori. Aku mengorek masa lalumu, Roy."
Seorang wanita muncul dari ruang dalam, membawa hidangan. .
"Ini mamaku," katanya memperkenalkan diri. "Ini pacar Roy, Ma," seenaknya saja si sableng itu bicara.
Jesse merasa ada semburat merah melintang di wajahnya.
Wanita itu tersenyum. Dia sudah hafal betul karakter anaknya. "Silakan, ya. Ibu sedang masak buat tukang cat ini," kata wanita itu tersenyum.
Jesse duduk. Tidak berkata apa-apa.
"Ada apa, Jesse""
Jesse menyembunyikan wajahnya.
"Nanti sore kan final basket," Roy mengingatkan.
Mata Jesse tampak berkaca-kaca.
"Kenapa, sih""
"Aku nggak ada gairah buat main nanti sore." "Kasihan kawan-kawanmu, Jesse." "Aku nggak peduli!" "Sedang ada masalah"" "Mau nemani aku, Roy""
"Kalau nemani minum Baygon, aku nggak mau!"
Jesse merengut. "Temani aku ya, Roy." Sebutir air bergulir. Buru-buru dia mengusapnya.
"Kemana"" "Ke mana saja. Ke tempat yang hening dan damai." "Itu sih kuburan!" Tawanya meledak. "Aku seriuus, Roy!" Dia kini terisak.
Roy memandang si keren. Dia merasa ada sebuah beban sedang mengimpit gadis itu. Ada badai yang mengombang-ambingkannya dari segala jurusan. Dan mungkin akan menenggelamkannya. Si bandel itu tersenyum melihatnya. Hidupku sendiri sudah terlalu banyak kisah, batinnya.
Ah, hidup! Kadang kala si bandel suka berpikir dan bertanya-tanya: apa sih. hidup-pacar cantik, kekayaan, atau selalu mendapat kiriman kartu ucapan ulang tahun-kalau jiwa kita sendiri tidak bahagia"
"Oke, kita ke pantai!"
*** Suara tangis si keren bersamaan dengan debur ombak sangat menyayat bagi yang mendengarnya. Si keren itu membiarkan saja ombak memukuli hatinya. Memukuli tubuhnya membiarkannya larut dan kuyup bersama gelisahnya.
"Sudahlah, Jesse." Roy membimbingnya untuk berdiri.
"Papa punya bini muda!" isaknya tidak kepada siapa-siapa. "Ohhh!" teriaknya menuding langit. "Hancur, hancur semuanya!"
Roy mendengarkan saja. Camar-camar gelisah berkelebatan.
"Mungkin papamu punya alasan kenapa kawin lagi""
"Alasan apa" Kekayaan, istri cantik, dan dua orang anak, apa itu bisa jadi alasan untuk kawin lagi"!"
"Barangkali papamu pengen punya anak lagi""
Jesse tercenung. Tiba-tiba dia mengobrak-abrik pasir. Menendang ke sana kemari. Dengan panik dia berlari ke pantai. Terjun, berenang agak ke tengah, dan berusaha menenggelamkan dirinya.
Roy mengejarnya. Menyeretnya. Mereka bergumul dengan air garam. Mata mereka sudah terasa penh.
"Lepaskan, lepaskan, Roy!"
"Ayolah, Jesse! Berpikirlah realistis!"
"Aku kepengen mati saja, Roy." Dia menangis kelelahan. Membiarkan dirinya diseret Roy ke pantai.
"Lihat kapal itu, Jesse!" Roy duduk merapat. Menunjuk ke tengah laut, ke sebuah kapal yang merayap bagai pesut.
"Ya, kenapa"" Dada si keren turun-naik.
"Kapal itu nggak selamanya melaut dengan tenang. Ada kalanya badai menggempur nakhoda dan para kelasinya. Tapi, mereka toh nggak pernah kapok untuk melaut lagi, Jesse!"
"Ah, klise itu!"
"Ya, memang klise. Tapi, apa kamu punya perumpamaan baru selain itu" Apa ada sesuatu yang baru saat ini" Kita lahir belakangan, setelah para filsuf menciptakan pemikirannya. Kita hanya melanjutkan dan mengikuti ajaran-ajaran mereka saja. Semuanya sudah ada dalam buku-buku dan kita tinggal membacanya atau berkata: 'O begini, o begitu.' Kalau kita ngomong berbau filsafat saja, orang-orang pasti nuduh: 'Dia terpengaruh a
jaran si anu, ajaran si anu !'
Bagaimana menurutmu, Jesse""
"Omonganmu ngelantur, Roy!" Jesse memejamkan matanya. Bibirnya bergerak-gerak dan tambah menggemaskan.
Roy semakin merapat. "Pejamkan terus matamu,Jesse," dia berbisik ke telinganya.
"Bayangkan dalam benakmu tentang kapal tadi. Tentang burung-burung yang mengitarinya, yang seolah-olah berteriak memberi kabar kepada nakhoda dan para kelasinya: itulah daratan! Itulah rumah kalian! Turunkan jangkar!
"Badai itu sudah lewat, Jesse." Pada kalimat terakhir tadi, Roy pelan-pelan mendekatkan wajahnya. Mendekatkan bibirnya. Mencium si keren.
Jesse memang hanyut oleh kalimat-kalimat Roy tadi. Dia sungguh tidak menyadari ketika ada sesuatu yang hangat menyentuh bibimya. Anehnya dia merasa larut dan menikmatinya. Tapi ketika ombak berdebur keras di dadanya, dia tiba-tiba tersadar. Terlonjak. Didorongnya tubuh Roy. Bahkan menyembumya dengan pasir.
"Kamu, kamu, Roy!" bentaknya kebingungan. Dia menuding dan mengusap-usap bibirnya. "Kamu memang bajingan!" Tangannya melayang, menampar wajah Roy. "Kamu menjebakku!"
Roy cengar-cengir memegangi pipinya. Dia menuju bibir pantai. Membiarkan ombak menjilati kakinya. Lantas menoleh. Si keren itu masih menangis. Dia berbalik. Memegang pundaknya. Membenamkan kepala si keren ke dadanya.
"Maafkan aku, Jesse. Aku memang bajingan."
"Aku memang butuh seseorang untuk melindungiku," isaknya.
Roy diam saja. "Papaku punya bini muda dan mamaku setuju saja!" "Kalau mamamu setuju, kenapa mesti bingung"" "Maksudku, kenapa mamaku setuju,Roy"!" "Tanyakan dong."
Jesse membanting kakinya ke pasir. Dia duduk memandang ke laut lepas. Ada misteri, Jesse" Ya, aku dilahirkan secara bedah caesar. Lantas sepuluh tahun penantian, aku baru bisa mempunyai adik lelaki yang cakep. Tapi itu pun mesti dengan bedah caesar. Sekarang setelah tujuh tahun kelahiran adikku, aku tidak melihat ada tanda-tanda akan memperoleh adik lagi.
Apakah hanya karena itu Papa kawin lagi" Kalau betul begitu, kenapa tidak mengajakku berembuk" Apakah umur tujuh belas tahun masih dianggap "hijau" untuk membicarakan masalah seks"
"Minta rokoknya, Roy""
Roy menyodorkan rokoknya. Menyalakan Zippo-nya. Jesse terbatuk-batuk ketika mengisapnya. Roy tertawa. Sebetulnya dia tahu kalau Jesse tidak pernah menyentuh rokok. Biasalah orang yang sedang tidak pertaya diri, suka mencari-cari sesuatu untuk kompensasinya.
"Jesse, Jesse." Roy masih terpingkal-pingkal.
Si keren itu membanting dan menginjak-injak rokoknya. " Aku harus memihak ke mana, Roy"" sambungnya.
"Kalau aku nggak akan memihak siapa-siapa setelah tahu permasalahannya. Kamu sudah tahu permasalahannya ""
Jesse mengangguk, walaupun masih belum yakin.
"'Kamu harus berani melawan hidup, Jesse."
"Apa yang mesti aku lakukan""
"Mintalah agar orangtuamu merembukkan masalah ini dengan kamu. Bicarakan baik-baik dan jangan sepihak. Kamu mesti jadi penengah, Jesse. "Papamu tampaknya membutuhkan sesuatu yang lain." "Ya, aku harus menerimanya."
Roy merangkul pundaknya. Mereka sama-sama memandang ke laut. Ke sampan para nelayan, yang disinyalir golongan paling miskin di bumi ini. Semalaman mereka melaut melawan angin malam dan ombak. Tapi begitu di darat, para tengkulak selalu mencuri hasil buruan mereka. Anehnya para nelayan itu tetap bahagia dan tidak jera melaut lagi.
"Waduh, sudah jam dua!" tiba-tiba Jesse berteriak melihat jamnya: "Aku final basket sekarang." Dia berdiri dengan semangat. Berlari ke mobilnya. Roy tersenyum menyusulnya.
V. VIVA, JESSE! bulan empat belas menyelinap
di kamarku yang kelam dan senyap
kilau peraknya menerpa potretmu
duh! masih engkaukah yang berkelebat"
bulan empat belas, tak mau tahu
kilau peraknya mengerjap dalam tatapanku
mengingatkan aku pada gelisahmu
-Rys Revolta *** SPORT HALL yang dibangun pemerintah daerah di sebelah timur alun-alun kota ketika POMDA IV (Pekan Olahraga Mahasiswa Daerah) Jabar, 1974, sore ini hangat dan meriah oleh tepuk tangan dan teriakan penonton.
Final basket Kamayasa Cup sedang berlangsung.
"Gimana, nih"" Lia menggerutu kebingungan.
Suci, si manis, hanya mengangkat bahu.
"Sudah! Dengan atau ta
npa Jesse, kita tetap main!" Nada-nadanya sang pelatih juga gusar. Pasalnya, dia memakai po1a double pivot offence, menempatkan dua penyerang jauh di sudut pertahanan lawan. Satu di ujung kiri dan satunya lagi di ujung kanan. Jesse dan Suci-lah kedua ujung tombak itu!
"Lantas yang gantiin Jesse, siapa "" Lia, sang playmaker, merasa regunya akan timpang tanpa Jesse.
"Titi! Kamu gantiin Jesse!" perintah sang pelatih. "Ayo, baris sana!"
Kedua regu yang akan saling menggempur di lapangan untuk mengibarkan panji sekolahnya sudah berbaris ke belakang. Seperti sedang antre beli karcis di bioskop atau di stasiun kereta api. Gelisah dan kegerahan.
Peluit ditiup sang penguasa.Nyaring melengking ditimpati pekik hangat penonton. Mereka menghambur satu per satu bagai para penerjun yang dimuntahkan dari perut pesawat. Lepas sudah segala ketegangan setelah lelah menunggu semalaman.
Di tengah lapangan mereka berbaris memanjang. Memberi salam kepada penonton. Berfoto-foto sejenak untuk mengisi album, untuk kenangan bahwa pada suatu saat mereka pernah mengabdi untuk sekolahnya.
"Hei, Jesse mana"!" teriak penonton di tribun timur.
Lia hanya mengumpat dalam hati.
Teriakan-teriakan penonton yang menanyakan Jesse memang mengganggu konsentrasi mereka. Terbukti baru beberapa saat saja bola memantul-mantul, jaring mereka kebobolan!
Jesse, ke mana sih kamu" batin Lia memaki.
Pasti dengan si tengil itu! Lantas pelan-pelan dia men-dribbling bola. Melihat kepada kawan-kawannya. Biasanya Suci sudah berkelebat dengan trik-trik khususnya untuk mengecoh lawan supaya Jesse menyusup menyambar baseball pass-nya, operan samping jarak jauhnya. Lalu menceploskannya ke jaring musuh. Tapi sekarang"
Lia melihat Suci berkelebat seperti biasanya dan Titi pun bisa menangkap arti situasi itu. Titi menyusup. Lia mengopernya. Ah! Tangkapan Titi kurang mulus.
Waktu bergulir dan bola terus memantul-mantul. Sepuluh orang yang mulai mengkilap dibasahi keringat itu berkelebatan memperebutkan sebuah bola. Ya, sebuah bola. Mereka sudah tenggelam dengan permainan yang diciptakan oleh Dr. James A. Naismith. Sebuah permainan yang sudah dimainkan sejak tahun 1892, hampir satu abad lalu. Gerakan-gerakan mereka yang energik dan menggairahkan itu selalu diiringi musik yang tidak keruan dari mulut penonton.
Beberapa kali Lia tampak mengeluh karena Titi ternyata belum sanggup mengisi posisi Jesse. Tapi, sang playmaker itu terus memompa semangat kawan-kawannya. Suci juga tampak mulai putus asa. Mereka ketinggalan dua bola.
Penonton terus menyoraki mereka.
Ronde pertama tersisa lima menit lagi.
Tiba-tiba di pinggir lapangan terdengar ribut-ribut. Pemain cadangan pada berdiri mengerumuni seseorang. Penonton pun ikut-ikutan melihat sambil cari perhatian.
Jesse ada di sana! Lia berlari ke pinggir. "Cepat ganti pakaian, Jesse!" teriaknya girang sekaligus gemas. Dia melihat si tengil itu cengar-cengir kepadanya. "Kamu apakan Jesse, heh"!" hardiknya berang.
Roy tersenyum dan menuju tribun, berkumpul dengan kawan-kawan di sekolahnya yang baru. Regu putra sekolahnya ternyata masuk final juga. "Sekolah kita belum main, kan"' tanyanya pada Iwin, kawan sebangkunya yang kelak akan memberinya banyak pengalaman tentang hidup.
"Sesudah ini, Roy."
Jesse masuk menggantikan Titi di menit akhir ronde pertama. Penonton begitu sibuk memberi tepukan hangat. Semuanya dalam sekejap berubah jadi begitu bergairah. Ada suasana baru ketika si keren itu berlari-lari mengatur posisi.
"Ada affair rupanya kamu "dengan dia," ledek Iwin menunjuk ke lapangan, ke si
keren. Roy tersenyum. Di lapangan Lia men-dribbling bola. Suci seperti biasa dengan tipuannya berkelebat seperti hendak menyambar umpan Lia. Dua orang musuh mengubemya. Padahal Jesse sudah menyusup menyambut operan terobosan Lia. Dan menceploskannya dengan mulus.
Penonton bersorak semakin bergairah.
Ronde pertama usai. Di pinggir lapangan si keren diberondong beragam pertanyaan oleh kawan-kawannya. Dia tenang saja melap keringatnya. Meneguk minuman mineralnya. Lalu melihat ke papan angka. Wah! masih tiga setengah bola, gerutunya.
"Dari mana, sih""
"Badanmu bau laut!" "Si tengil itu"" tebak Lia penasaran.
"Nanti aku cerita, deh. Sekarang, tuh!" Jesse menunjuk ke papan angka.
"Bisa kita kejar!" Lia optimis sekali. "Dari pantai, ya""
Jesse tersenyum. Mengangguk biasa-biasa saja.
"Terus"" Lia kalau sudah urusan ngegosip pantang mundur.
"Terus apanya""
"Alah, pura-pura bego!"
"Wah, pikiranmu tuh kotor melulu!" Jesse tertawa.
Peluit melengking nyaring lagi. Ronde kedua berlangsung. Semua pemain menempati Posisinya lagi. Memperebutkan bola lagi. Berusaha menjaringkan ke jaring lawan sebanyak-banyaknya. Berusaha untuk keluar sebagai pemenang. Sebagai kebanggaan umum. Kebanggaan sekelompok. Atau dirinya sendiri.
Angka saling kejar-mengejar. Pihak lawan kewalahan juga mempertahankan keunggulannya.
Lia, Suci, dan Jesse begitu gigih, ibarat trio dari negeri kincir angin: Rijkaard-Gullit-Basten. Pihak lawan bukannya tidak bergigi. Sesekali lewat pemain jangkungnya mereka melakukan fast break, serangan kilat sebelum lawan sempat menyusun pertahanannya. Seperti tadi, baru saja Jesse menjaringkan bola, si jangkung itu menyambut operan jauh kawannya dan dengan santainya menjaringkannya.
Jesse menggerutu. Tadi regunya sudah unggul setengah bola, kini jadi kebalikannya. Ketegangan mulai merembeti sejuruh tubuhnya ketika sang pelatih memberi kode, bahwa waktu tersisa tiga menit lagi. Celaka! Apalagi penonton pihak lawan mengumandangkan lagu kematian terus.
Bola hanya memantul-mantul di tengah lapangan saja. Saling berpindah tangan. Permainan sudah tidak berbentuk lagi. Mereka hanya berebut bola. Bukan memainkannya seperti yang diajarkan pelatih mereka. Ketegangan jelas terpancar dari roman mereka.
Bola menggelinding keluar. Jesse mengambilnya. Sebelum melakukan throw in, dia mendengar teriakan pendukungnya. Dia mengopernya ke Nani. Bola menggelinding ke luar lagi. Rupanya pihak lawan menempel ketat kawan-kawannya. Mereka mulai man to man defence, pertahanan orang per orang, untuk tetap menjaga keunggulan setengah bola di menit-menit terakhir ini.
Lia men-dribbling bola. Memantulkannya. Nani menyambar dan mengoperkannya lagi. Lia masih berputar-putar. Suci berkelebat dan Jesse menyusup. Tapi Lia mengoper ke belakang, ke Dessi. Giliran Dessi ke Nani.
Tinggal beberapa saat lagi.
Nani memantulkan bola, sebuah operan terobosan. Suci dengan berani menyambarnya. Men-dribbling dan dengan nekat melakukan lay up, tembakan sambil berlari. Bola itu hanya memantul papan ring dan besi lingkarannya. Melayang liar di udara.
Penonton histeris bersorak.
Empat orang melompat hendak meraih bola liar itu. Malah semakin liar terpental lagi. Untung Lia menyambamya. Mengoper langsung kepada Jesse yang langsung menembaknya. Memantul dulu ke papan dan... plus! Masuk ke jaring.
Penonton bersorak. Lia buru-buru berlari ke garis pertahanannya.
Dessi terjatuh bertabrakan dengan lawan. Nani malah kena seruduk si jangkung yang melesat bagai kilat ke jantung pertahanan. Sebuah fast break!
Sedangkan Jesse dan Suci hanya bisa memasrahkan semuanya kepada Lia.
Bola melayang liar! Itu operan untung-untungan. Tapi mengarah ke sebelah kiri. Si jangkung mundur dan Lia menyerbu. Saling rebut.
Bola pun menggelinding ke luar.
Wasit membunyikan peluit kekuasaan sekeras-kerasnya.
Penonton bersorak gembira.


Balada Si Roy 03 Rendezvous Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

The game is over. Jesse dirangkul kawan-kawannya.
Roy mengacungkan jari tengah dan telunjuknya, membentuk huruf V, victory, ketika mata Jesse tertumbuk padanya. Mereka saling melempar senyum dari kejauhan. Hanya mereka berdua saja yang tahu dan merasakannya.
Roy terus mengikuti setiap gerakan terkecil dari Jesse. Betapa bedanya Jesse sekarang dengan Jesse ketika di pantai. Jesse sekarang wajahnya kemerah-merahan, berkeringat, dan berbinar-binar. Sesekali senyumnya menebar wangi kepada orang-orang yang menyalaminya.
Betapa bahagianya si keren sekarang, batinnya.
Lantas tiba-tiba dia jadi ingat mamanya yang sendirian di rumah. Wanita yang sering ditinggalkannya. Wanita yang kesepian dan menelan penderitaannya sendirian. Oh! keluhnya. Hidupku memang terlalu sering dihabiskan di jalan! keluhnya terns. Dia seperti lupa kalau di rumah ada se
orang wanita yang melahirkan dan membesarkannya. Wanita yang menyayangi dan mengharapkannya untuk selalu berada di rumah menemani sisa hidup.
Oh, Mama! batinnya lantas berteriak.
Si bandel langsung rnenyelinap ke luar gedung.
Angin sore yang sejuk menampar-nampar jiwanya.
Sayup-sayup sorak-sorai penonton masih tertangkap di telinganya. Dia membayangkan si keren sedang mengangkat piala kebanggaan, dambaan sumua olahragawan di dunia: sebagai pemain terbaik!
Semoga saja begitu, Jesse!
VI. KENCAN "Kalau ingin menjadi seorang pengarang, pergilah ke tempat yang jauh, atau merantaulah ke negeri, orang. Lalu tulislah pengalaman-pengalaman yang didapat. "
-W. Somersct Maugham *** SABTU sore yang gerah. Nanti malam pasti akan basah, sebab banyak awan gelap menggayut. Kalau betul begitu, celakalah pasangan-pasangan yang sudah merencanakan kencan pertama mereka untuk jalan-jalan di pusat keramaian kota.
Aduh, kasihan juga, ya! Dan di sore yang gerah itu, Roy-masih dengan seragam abu-abunya, sedang menyelipkan tubuhnya di pintu gerbang yang terbuka sedikit. Dia sengaja tidak membukanya lebih lebar lagi, karena melihat si keren sedang memunggunginya menyirami tanaman di halaman samping rumah. Rupanya si Roy mau ngageti si keren. Tapi baru saja beberapa langkah, kakinya menginjak ranting. Bunyinya gemeretak.
Kontan Jesse menoleh. Begitu dilihatnya si Roy kepergok hendak menjailinya, dia tersenyum geli. Dia mengarahkan slang kepada Roy dan menyemprotkannya.
Roy kocar-kacir. "Brengsek, kamu!" umpatnya.
"Sudah, sudah, Jesse!"
Jesse tertawa girang dan masih terus saja menyemprotkannya. Roy terbirit-birit dan bersembunyi di balik teras. Jesse terus saja tertawa dengan slang di tangan dan si Roy masih saja sembunyi di balik teras. Itu berlangsung lama.
Kalau saja Jesse tahu betapa jiwa Roy tiba-tiba menggigil di balik teras itu. Ya, betapa Roy merintih, merasa terlempar lagi ke drama menakutkan sepuluh tahun ke belakang. Ketika Roy kecil bersama mamanya disemprot Rani kecil, saudaranya, persis seperti Jesse menyemprotnya tadi.
Ya, kalau saja Jesse tahu itu.
"Mama," Roy merintih tanpa sadar .
Seorang wanita cantik setengah baya memperhatikan Roy dari ambang pintu. Wanita itu tertegun melihat lukisan ketakutan pada remaja urakan itu. Ketakutan yang sudah menjadi trauma.
"Kenapa, Nak"" tegurnya perlahan sambil melihat kepada putrinya yang masih saja tertawa. "Takut sama air, Nak""
Roy terlempar lagi ke alam sadamya. Mukanya merah. Buru-buru dia merapikan baju seragamnya. Dengan tersipu-sipu dia mengangguk, "Selamat sore, Tante," memberi salam.
Jesse berlari kecil menghampiri mereka. Tawanya yang renyah masih tersisa. Dia tersenyum manja kepada mamanya. "Ini Roy, Ma. Yang pernah Jesse ceritain tuh," katanya.
Roy mengangguk kikuk. "Bikin es jeruk sana," suruh mamanya tersenyum. "Roy-mu ini pasti kehausan," mamanya menggoda.
Jesse tersenyum saja dan masuk ke dalam rumah.
"Jesse sudah cerita banyak tentang kamu, Roy, " katanya.
"Barangkali cerita Jesse terlalu berlebihan, Tante."
Wanita itu tersenyum. "Kata Jesse, kamu seorang pengarang."
Roy belum mengiyakan. "Kenapa ragu-ragu untuk mengiyakan""
Roy kebingungan untuk mencari kalimat yang bagus. "Keadaanlah yang memaksa saya untuk mengarang, Tante," Roy berdiplomasi. Masih amatiran memang. "Kalau tidak mengarang, bagaimana saya bisa membantu mama saya, Tante."
"Jadi betul kamu seorang pengarang""
Sambil mengangguk Roy menjawab, "Ya," pasti sekali.
"Punya cita-cita, Roy"" Bagai seorang dokter wanita ini menanyai Roy sebagai pasiennya.
Cita-cita" Roy merenungkan pertanyaan tadi.
Kata Pope, "Orang yang tidak pernah merasa kecewa adalah orang yang tidak mempunyai cita-cita". Sedangkan dia sudah sering mengalami kekecewaan dalam hidupnya yang jalan tujuh belas tahun itu. Tapi kekecewaan itu dia jadikan gurunya yang paling bijak. Dia belajar dari kekecewaan dan kegagalannya. Dia bangkit kalau jatuh. Dan bangkit lagi kalau jatuh lagi. Begitu terus dia bangkit setiap jatuh. Mungkin setelah ditanam ke asal dia tidak akan bisa bangkit lagi.
"Yang Tante maksud idiom-idiom yang sering diucapkan anak kecil"
Jadi pilot" Dokter, insinyur, dan presiden" Cita-cita itukah yang Tante maksud""
Wanita itu mengangguk dan tersenyum.
"Kalau cita-cita seperti itu saya tidak memilikinya. Saya tidak menempa diri saya ke arah sana. Saya membiarkan diri saya ditempa oleh alam, oleh kenyataan, dan belajar dari sana."
"Secara tidak langsung kamu memproses ke arah cita-cita kamu. Sebagai pengarang, misalnya."
Pedang Kayu Harum 5 Goosebumps - Ksatria Hantu First Love Never Die 2
^