Pencarian

Rendezvous 2

Balada Si Roy 03 Rendezvous Karya Gola Gong Bagian 2


"Pengarang"" Roy keheranan. "Apakah sudah layak, Tante, jika ditanya soal cita-cita lantas jawabnya: menjadi seorang pengarang" Kalau sebagai jalan pintas mungkin lebih cocok."
"Kenapa tidak, Roy" Cita-cita menjadi seorang pengarang sama baiknya dengan menjadi dokter, nsinyur; atau pilot. Bahkan Tante rasa, menjadi pengarang itu harus disertai ketabahan yang lebih.
"Apakah ada sekolah yang mengeluarkan ijazah pengarang" Kan tidak ada. Orang harus mencarinya sendiri. Menemukannya sendiri. Dan tidak semua orang bisa melakukannya.
"Nah, mulailah dari sekarang bercita-cita menjadi pengarang yang baik, yang bisa mengubah ebuah zaman. Abadi sepanjang masa."
Roy menggelengkan kepalanya. "Untuk menjadi pengarang seperti yang Tante maksudkan tadi, saya tidak akan mampu dan tidak akan pernah sampai ke sana. Sekarang yang ada di dalam benak saya adalah, dengan mengarang saya mendapatkan uang.
"Inilah altematif saya, setelah sadar tidak bisa melakukan apa-apa lagi untuk bisa membantu mama saya, Tante." Kalimat Roy berhenti sampai di situ, karena Jesse sudah muncul dengan baki hidangan.
"Asyik sekali ngobrolnya." Jesse tersenyum meletakkan ketiga gelas es jeruk dan sepiring pisang goreng. Lantas dia duduk di sebelah mamanya.
Mereka terlibat pembicaraan yang ringan-ringan saja.
Roy selalu mencuri-curi pandang kepada wanita itu. Sekilas dia bisa melihat pada sorot matanya, sesuatu yang disembunyikan, persis seperti mamanya. Sebuah penderitaan yang berkepanjangan. Penderitaan seorang ibu yang memilih mencintai masa depan anak-anaknya dan keharmonisan rumah tangganya di depan orang banyak, walaupun semuanya harus ditebus dengan derita batinnya.
Wanita itu meninggalkan sepasang burung dara di teras. Ada pekeriaan di dapur yang ditinggalkan tadi. Itulah kebiiaksanaan orangtua kepada anak gadisnya.
"Mamamu mengagumkan sekali," kata Roy.
Jesse tersenyum. "Ke mana saja, sih""
"Aku sibuk ngeberesin rumah, Jesse."
Jesse menaikkan kedua kakinya ke kursi. Dia bersila. "Kamu bolos lagi, ya" Payah, kalau semua orang kayak kamu! Bisa-bisa hancur nasib bangsa ini!" Roy tertawa. "Kelihatannya nggak risau lagi, Jesse."
Si keren itu mengangguk. Menatap Roy. "Katanya aku mesti realistis. Mesti berani menghadapi hidup." Suaranya ada tekanan. Ada keyakinan. "Lalu""
"Kami sudah merembukkannya. Mereka meminta pendapatku. Mereka terlebih dulu membeberkan masalah yang sebenamya, yang jauh-jauh hari sudah aku duga.
"Mereka bilang, aku sudah dewasa. Sudah harus mengambil sikap. Mengambil keputusan."
"Terus"" Ternyata memang mamakulah kuncinya. Segalanya bermula dari Mama. Setelah aku lahir secara bedah caesar, lantas sepuluh tahun kemudian lahir adikku, juga secara caesar. Setelah itu dokter melarang Mama untuk melahirkan lagi.
Lalu Mama menyarankan Papa untuk kawin lagi. Kedengarannya memang menyakitkan. Tapi ini untuk menjaga kesehatan dan keharmonisan keluarga. Aku sekarang baru mengerti apa sebenamya yang sedang terjadi pada keluargaku. Mama adalah wanita yang sabar dan bijaksana. Sedangkan Papa adalah lelaki yang penuh tanggung jawab kepada keluarga." Nada bicaranya datar dan tidak ada emosi. Si keren ini tampaknya sudah siap menghadapi kenyataan. Melawan hidup. Itu bagus. Kalau tidak begitu, kehancuran bakal menjadi karib selanjutnya.
" Aku nggak usah memihak kepada siapa-siapa kan, Roy""
Roy tersenyum. "Tidak usah." "Sekarang kita ngapain""
"Karena semuanya sudah beres, sekarang kita bisa kencan dengan tenang." Roy tertawa.
Jesse memberengut. "Kita nonton, yuk!" Jesse mengangguk.
Pertunjukan sore hari memang sepi sekali. Roy mengajak Jesse duduk di barisan belakang dan agak mojok. Lalu ketika lampu dimatikan dan di layar muncul slide-slide iklan, Roy pun mulai memegang
tangan Jesse. "Apaan, sih! " Jesse menepiskan tangan Roy yang mulai kurang ajar.
Sialan! maki Roy. Dia kini meremas jemari Jesse. Tiba-tiba dia menjerit kesakitan. Jesse mencubit pahanya dengan keras.
"Hussst!" Jesse membungkam mulut Roy. "Kalau mau teriak-teriak di luar, sana!.' katanya tertawa geli.
Roy meringis. Dengan kesal dan gemas dia menyerobot, mencium pipi Jesse dengan nekat. Cup! "Kena!" katanya tertawa. Nakal sekali si Roy. Dia malah bersiul-siul.
"Kamu tuh norak!" maki Jesse berang. "Keterlaluan!" Dia meloncati satu-dua baris kursi di depannya. "Barbar!" makinya masih belum habis. Jesse sudah duduk memisah dua baris di depan Roy.
Roy pun melompati satu baris kursi di depannya. Duduk persis di belakang Jesse. Dia mencolek pipi si keren itu.
"Kita kan mau nonton, Roy!"
"Nonton sambil kencan," bisik Roy di telinga Jesse.
"Sudah, diam!" hardik Jesse serius.
Film utama pun mulai diputar. Si Roy jadi malas dengan suasana yang tidak bersahabat ini. Dia memilih diam saja. Memilih memejamkan matanya setelah mengatur posisi duduk seenak mungkin.
Si Roy betul-betul tertidur.
Sedangkan sepanjang film itu diputar Jesse gelisah sekali, karena napas si tengil tidak terdengar. Biasanya si tengil ini paling tidak bisa diam. Ingin betul dia menengok dan menyindirnya, tumben kok diem! Tapi batinnya memprotes keras. Untung saja wajah sang aktor menghibur dan membawanya larut ke dalam cerita, sehingga dia tidak mempedulikan lagi apakah si tengil masih ada di kursinya atau tidak.
Tidak terasa film pun usai.
Semua penonton beranjak. Ada yang meraba kantong celana bagian belakang dulu atau memeriksa tempat duduknya, karena siapa tahu dompet atau barangnya ketinggalan di situ.
Jesse berdiri pelan-pelan. Heh, mana si tengil" batinnya. Akhirnya dia menengok juga. Dan...wealah! Si keren itu menutup mulutnya menahan geli. Tapi, ketawanya terlontar juga.
Si tengil itu tertidur di kursi. Duduknya melingkar dan begitu nyenyak sekali. Mungkin dia sedang asyik dengan mimpi sorenya. Jesse meningalkannya. Biar tahu rasa! kata batinnya.
Si Roy terlonjak kaget begitu ada yang menepuk-nepuk pundaknya. "Heh, di mana ini "" Dia kebingungan. Matanya menyapu seluruh ruangan yang terang-benderang dan penuh deretan kursi. "Lho, filmnya udahan, ya"" Dia meringis lalu. Mengusap-usap matanya. Lalu ngeloyor menyandang tas punggungnya.
Jesse sialan! dia mengumpat-umpat. Kualat, kamu! Awas, aku balas nanti! dia terus uring-uringan. Di luar gedung dia masih berharap bisa melihat Jesse, tapi gadis itu memang sengaja meninggalkan kamu, Roy!
Di luar hujan rapat sekali. Malam baru saja turun. Dia berjalan memepet di emperan toko-toko. Dia melihat para pedagang kagetan menutpi jualannya dengan plastik. Bahkan ada satu-dua yang sudah mengemasi barang jualannya.
Langit betul-betul gelap.
Lalu Roy berteriak-teriak memanggil tukang becak.
VII. GONJLENGAN "Saya berpesan pada anak-anak yang punya persoalan dengan orangtua, janganlah kalian putus asa. Percayalah pada diri kalian sendiri. Teruslah berjuang, karena itu yang akan mengubah nasibmu...
-Danny Lalande *** SI bandel itu buru-buru membayar ongkos becak. Dia berlari sambil menutupi kepalanya dengan selembar koran dari gerimis hujan. Hampir-hampir dia tergelincir. Dia berusaha menjaga keseimbangannya. Diraihnya dahan pohon itu dan menggelayutlah dia untuk menghindari kubangan.
Dipencetnya bel. Buset, mereka pasti pada di belakang! gerutunya. Diintipnya lewat gorden. Ruangan tengah rumah ini gelap, sehingga dia hanya bisa meraba-raba saja. Dengan kesal dipencetnya lagi bel berulang-ulang.
Ada teriakan dari dalam. Roy malah sengaja memencet bel lagi.
Kali ini makian. "Heh, jam berapa nih"!" Toni yang membukakan pintu. Roy tertawa. "Belon juga midnight!"
Toni dengan konyol nemplok di punggung Roy. Kruknya dijinjing. Roy menggendong sobatnya sambil tertawa-tawa. Betapa hangat dan dekat batin mereka. Bisa kalian bayangkan, dua orang remaja (yang seorang kakinya invalid) tertawa-tawa bergendongan mengelilingi seluruh halaman belakang.
Roy melepaskan gendongannya. Duduk di bangku terengah-engah. Tapi wajahnya bersinar-
sinar. Toni juga begitu. Dia memandang sobatnya sambil bertumpu pada kruknya.
Roy memperhatikan halaman belakang rumah Iwin ini. Luas sekali. Ada kolam ikan dan di tengah-tengahnya sengaja dibangun sebuah gubuk untuk bersantai. Suasananya disulap persis seperti di alam pedesaan. Di sudut halaman banyak berjejer kandang ayam. Ada beberapa ekor ayam aduan yang kandangnya terpisah. Gagah-gagah dan ganas-ganas jika dilihat dari paruh serta tajinya.
Roy melihat ketiga sobatnya sedang mencabuti bulu ayam.
"Nyuci beras, Roy!" suruh Iwin selaku tuan rumah.
"Oke, Bos!" kata Roy mengerling kepada Edi.
Malam ini mereka berkumpul di rumah Iwin hendak melakukan tradisi turun-temurun para remaja di kota ini. Biasanya dilakukan malam Minggu, setelah mereka wakuncar dulu. Soal tempat memang tidak jadi masalah. Di kebun, di pantai, atau di sebuah rumah kosong seperti halnya di rumah Iwin ini, yang kebetulan seluruh keluarganya pergi ke Jakarta.
Orang-orang sini menyebutnya gonjlengan. Kata dewa dangdut kita sih begadang. Tapi gonjlengan ini bukan begadang sembarang begadang lho. Harus selalu ada embel-embel makannya. Tidak berlaku tuh istilah mangan ora mangan asal ngumpul. Tapi ini "ngumpul-ngumpul harus mangan". Yang khas dari gonjlengan ini terletak pada nasinya. Makanya disebut "nasi gonjlengan". Resepnya" Siapkan saja bumbu-bumbu dapur seperti bawang, cabe, kunyit, merica, salam, garam, dan vetsin. Setelah digerus, lalu digoreng. Jangan lupa siapkan santan. Campurkan bumbu itu dengan santan. Nah, rebuslah sama-sama dengan beras. Persis kalau kita ngeliwet, ya!
Soal lauknya sih terserah kalian. Dengan ikan asin, wah, nikmat sekali. Yang paling kacau adalah anak-anak badung yang kepingin lauknya daging ayam. Biasanya jauh-jauh hari mereka punya rencana hunting ke sebuah tempat di mana banyak ayam tidak bertuan berkeliaran. Mereka berbekal jerat dan racun potas. Hohoho, nyuri memang. Tapi kata mereka, justru itulah seninya! Weh, jangan kalian tiru!
"Mu, tolong periksa jendela sama pintu, ya!" kata Iwin.
Mumu menuju ruang depan. Memeriksa dan mengunci rapat semua pintu dan jendela. Setelah semuanya beres, dia bermaksud ke belakang lagi. Tapi, terdengar suara gemerisik kerikil diinjak orang. Dia berjingkat dan menyingkap gorden pelan-pelan. Diintainya seluruh halaman depan dan samping yang remang-remang. Bulu kuduknya berdiri juga.
Rumah Iwin memang di pinggiran kota. Jarak rumah-rumah di sini berjauhan. Lampu penerangan jalan pun tidak cukup kuat untuk menerangi jalan yang banyak ditumbuhi pohon mahoni dan pesawahan di sekeliling pemukiman, sehingga kesan seram dan sepi menggigit lebih terasa.
Mumu tiba-tiba terlonjak kaget ketika ada tangan yang menyentuh pundaknya. Matanya langsung melotot jengkel begitu melihat si Roy yang tertawa geli.
"Ada apa, sih"" tanya Roy ikut mengintip dekat sobatnya yang jagoan zig-zag di sadel RX, ketika masih sama-sama dengan kelompok mereka, RM, tempo hari. Sayang Roni, personal RM satu lagi, dipindahkan sekolahnya ke Bandung karena tidak naik kelas.
"Seperti ada orang, Roy ," bisik Mumu serius.
"Yang bener aja" Masa baru jam sepuluh maling udah berani beroperasi"" Roy menarik lengan Mumu. "Cuma perasaan kamu aja, Mu."
Mumu masih penasaran. Tapi akhirnya dia ke belakang juga.
Sambil menunggu nasi gonjlengan matang, Roy dan Iwin asyik ngobrol di gubuk di tengah kolam itu. Sedangkan yang lainnya asyik muter video.
Iwin memutar-mutar gelombang radio minicomponya. Terdengar call stations, Musik radio, KLM, 555 KHz. Iwinmembetulkan gelombang lagi dan membesarkan volume. Terdengar suara si penyiar mendesah membelai malam, "Selamat pagi, jaka-dara, di sini Marwan Artista. Seperti biasanya tepat jam kosong-kosong, setiap malam Minggu, 'Beatles Program' menemani jaka-dara." Lalu sebagai penggebrak di malam yang dingin ini, Back In the USSR diputar. "
Malam kini jadi terasa hangat.
"Ayam-ayam aduan itu, Win""
" Aku memang gemar ngadu ayam, Roy."
"Boleh aku tahu kondisi kamu""
"Untuk apa" Untuk kamu tulis di dalam cerita-ceritamu, Roy"" Iwin tertawa, tapi terasa getir dan hambar.
Roy memperhatikan sobat barunya yang
sedang memandang jauh ke dasar kolam. Dia sudah sering mengalami dan melihat, sehingga bisa menerobos jauh ke balik mata Iwin. Ada sesuatu yang disembunyikan di dalamnya, begitu kesimpulan si Roy.
Iwin di sekolah atau di mana saja memang berpembawaan tenang. Bicara seperlunya saja. Karakter seseorang memang ada juga yang dari pembawaan. Tapi tidak mustahil karakter seseorang bisa berubah drastis, karena sesuatu Sesuatu yang menyebabkan guncang jiwanya, shock. Dan seperti itulah tampaknya yang terjadi pada Iwin.
"Heh, mau pada makan nggak"!" teriak Edi.
Yuhuuuu! mereka bersorak. Berebutan mengambil piring dan melahap nikmat nasi gonjlengan.
Waktu sudah menggelincir dari angka satu. Angin malam di pinggiran kota mendesir. Suara kodok di pesawahan dan suara satwa liar lainnya berdentingan memukuli suasana dinihari.
Suasana jadi terasa menggelisahkan.
"Aku dari enam bersaudara, Roy," Iwin meneruskan obrolan yang tertunda tadi. "Dua lelaki dan empat perempuan. Yang paling tua lelaki. Aku nomor tiga.
"Kakakku yang lelaki itu kuliah di Bandung. Sedang bikin skripsi. Dia kebanggaan keluarga dan kebanggaanku juga. Kadang aku suka iri melihat dia yang selalu diberi perhatian lebih oleh keluarga. Bahkan kadang aku suka benci sama dia, kalau seisi rumah sudah membanding-bandingkan aku dengan dia." Iwin menghela napas dulu. Ada yang menyesakkan dadanya.
"Setahun yang lalu," Iwin memulai lagi, "bulan Juli..." Dia tidak meneruskan ceritanya. Matanya berkaca-kaca. Dia berusaha menahannya. Berusaha mengusir kepedihannya.
"Aku nggak memaksamu untuk bercerita panjang-lebar, Win, kalau itu mengorek kenangan pahitmu," Roy merasa tidak enak.
Iwin menggeleng dan berusaha tersenyum. Dia meneruskan ceritanya, "Waktu itu kakakku diajak kawan-kawannya ke Bogor, untuk menghadiri pernikahan kawan sekuliah.
"Di Puncak, sebuah bis jahanam melabrak mobil mereka. Tiga orang tewas dan tiga lainnya luka-luka. Kakakku salah seorang dari yang tewas itu, Roy." Suaranya datar-datar saja.
Roy mengerutkan kening. "Akulah sekarang tumpuan keluarga dalam mengarungi hidup yang serba kompetitif ini." Kalimat yang ini terasa sekali penuh beban. Kata Iwin lagi, "Aku merasa sudah kehilangan ombak, kehilangan sosok yang aku banggakan, yang kini jadi bayang-bayang dalam mataku. Yang jadi segumpal daging dan berjuta tetes darah dalam hati dan jantungku.
"Kakakku sudah melunaskan perjalanan hidupnya yang masih muda. Dia seorang yang baik, penurut, dan mencintai keluarga. Jauh berbeda denganku. Ibaratnya dia air, aku api. Dia putih, aku hitam. Langit dan bumi, tak pernah bisa disatukan."
Tiba-tiba ayam-ayam di kandang itu ribut sekali. Gelisah sekali. Iwin hanya terpengaruh sesaat. Lantas meneruskan lagi, "Sekarang bayang-bayang itu kian deras saja menyeretku ke kerinduan akan sosoknya yang bersembunyi di balik jiwaku. Dia seperti berbisik, Adikku, janganlah kecewakan keluarga. Kaulah kini kebanggaan mereka selanjutnya.' Bisikan itu terus terdengar," katanya merintih.
Ayam-ayam mulai tenang lagi.
"Sudahlah, Win."Roy merangkul pundaknya.
"Aku nggak sanggup, Roy," isak Iwin. "Akulah duri di dalam keluarga. Mereka menginginkan aku jadi dokter atau insinyur kelak, tapi aku malah masuk jurusan sosial. Mereka menginginkan aku masukdi SMA Negeri, NEM-ku malah jeblok. Mereka menginginkan aku..., ahhh!" Dia melemparkan rokoknya dengan kuat ke kolam.
"Hadapi saja realitas hidup ini, Win. Aku yakin keluargamu nggak jauh berprasarangka buruk seperti yang kamu duga. Mereka hanya meminta pertanggungjawaban kamu sebagai anak lelaki milik mereka satu-satunya kini," kata Roy sambil meneliti setiap sudut halaman, karena ayam-ayam di kandang mulai ribut dan gelisah lagi.
Roy ikut gelisah dan mencekal pundak Iwin. "Wajar aku rasa, Win. Semua anak lelaki dalam sebuah keluarga, mau nggak mau harus menanggung beban itu. Aku juga termasuk di dalamnya," suaranya agak direndahkan. Telinganya dipasangnya kuat-kuat. "Sepi sekali Win," bisik Roy. "Kamu nggak merasakan sesuatu"" Roy menggeser kakinya, menuju teras belakang.
"Apa mereka sudah tidur"" Iwin melihat ke dalam rumahnya. Tampaknya dia mulai
curiga. Dengan nyalang dia meneliti seluruh halaman belakang rumahnya. Dia mengambil sepotong kayu besar untuk senjata kalau nanti ada apa-apa.
Tiba-tiba mereka terlonjak dan menyerbu ke dalam rumah begitu terdengar ribut-ribut; bunyi gelas pecah dan benda-benda lainnya. Langkah mereka terhenti di pintu. Lutut mereka gemetar.
Seseorang dengan wajah ditutupi topeng dari kain sarung dan sebilah golok terhunus di tangan kanannya, menghadang mereka dengan bengis.
"Masuk!" hardiknya garang.
Dengan perasaan kalang-kabut kedua remaja itu digiring ke dalam. Tampak Toni sedang duduk memegangi kruknya. Wajahnya pucat. Mumu berdiri di belakangnya. Sama juga pucat. Sedangkan Edi tergeletak memegangi perutnya. Roy memeriksanya.
"Aku kena tendang, Roy ." Edi masih mengerang dan berusaha berdiri.
Roy membantunya berdiri. Dia melihat kedua maling bertopeng kain sarung itu sedang berembuk. Tergesa-gesa dan ceroboh sekali gerakan mereka. Dilihat dari perawakan yang tidak jauh berbeda dan suara yang kecil tapi dibesar-besarkan, Roy mulai menebak-nebak kalau kedua maling sialan ini masih amatiran dan iseng-iseng belaka. Paling-paling mereka korban undian dengan iming-iming ratusan juta rupiah atau korban judi buntut!
Tapi golok mereka yang terhunus itulah yang jadi masalah. Yang bikin mereka dut. Golok ya tetap golok. Setumpul apa pun kalau ditebaskan sekuat tenaga, ya tetap terasa golok. Coba saja.
"Kalau mau maling, santai ajalah. Nggak usah buru-buru. Kami nggak akan berteriak atau melawan," kata Iwin konyol dan duduk seenaknya di kursi.
Yang lebih jangkung maju mengacungkan goloknya. "Diam!" bentaknya kalap.
Iwin langsung mengerut. Roy memperhatikan setiap gerakan terkecil maling-maling amatiran ini. Semakin buru-buru dan gelisah. Mereka seperti tidak tahu apa yang mesti dilakukan selanjutnya. Dia melihat maling yang agak pendek mengeluarkan tali-tali dari kantong celananya.
"Kamu!" kata si jangkung menunjuk kepada Edi.
Si pendek menghampiri Edi yang masih memegangi perut. Dengan kasar ditariknya kedua lengan Edi dan disatukannya di sela-sela lututnya. Saking tergesa-gesa si pendek dengan teledor meletakkan golok persis dalam jangkauan kaki Roy. Dia sendiri sibuk mencari-cari tali yang cocok untuk mengikat tawanannya.
Roy dengan nekat tapi penuh perhitungan memberi kode kepada sobat-sobatnya. Dia memperhitungkan jarak dengan si jangkung yang kira-kira tiga meteran sambil merogoh saku jeansnya. Dia sudah menggenggam erat-erat Zippo-nya. Lantas dia mengangguk satu kali kepada sobat-sobatnya.
Pada saat itulah dia menendang gagang golok si pendek ke arah Mumu. Tangan kanannya sekejap berkelebat, melemparkan Zippo sekuat tenaga ke arah si jangkung. Persis membentur kening maling sialan itu. Pada saat selanjutnya, Edi menerkam si pendek. Mumu menubruk golok yang bergulir ke arahnya. Iwin menubruk si jangkung hendak merebut goloknya. Dan Toni berlari dengan kruknya ke pintu depan.
Edi tampak sudah membekuk si pendek. Mumu mengancam dengan goloknya. Iwin masih saling berebut golok dengan si jangkung. Roy ikut menyerbu. Dia menekan lengan si jangkung kuat-kuat, sehingga goloknya terlepas. Tapi si jangkung berhasil meninju Iwin, yang terhuyung-huyung dan tersungkur persis dekat golok si jangkung yang terlepas tadi. Kontan Iwin tersenyum sambil mengacung-acungkan golok itu kepada si jangkung.
Si jangkung sadar posisinya terjepit, mundur ke sudut.
Dengan nyalang dia mencabut belatinya. Mengibas-ngibaskan kepada Roy.
"Sudah, Ing, nyerah saja!" si pendek berteriak ketakutan karena Mumu menekan kuat-kuat lehemya dengan golok.
Edi menyeret si pendek ke pintu belakang. Mumu mengancam lehemya terus dengan golok. Iwin mengikutinya. Di pintu depan mulai terasa banyak suara orang. Rupanya Toni berhasil meminta pertolongan.
Si jangkung semakin kalap. Dia nekat menerjang Roy. Karena diserang begitu, mau tidak mau Roy menyambut serangan itu. Dia pikir, asal belati itu tidak menancap di tempat rawan saja, itu tidak jadi soal. Kalau robek atau tergores sedikit, ya biarlah. Itu risiko.
Roy mengibaskan kakinya ke belati. Tapi luput. Untung-untungan dia menepiskan
nya dengan telapak tangannya. Serangan pertama bisa ditangkisnya. Tapi ketika si jangkung itu semakin membabi-buta menyabetkan belati, Roy tampak kewalahan. Dia terkurung di sofa.
Sobat-sobatnya memperhatikan dengan cemas. Tapi, Edi diam-diam bergerak cepat dengan sepotong kayu di tangan. Roy masih berhasil menghindari tusukan yang diarahkan ke perutnya. Dia terguling. Si jangkung menyabetkan lagi belatinya ke punggung. Roy melemparkan tubuhnya ke arah lain, tapi dia mendengar bunyi jaket Levi'snya robek. Dia merasa punggungnya perih.
Pada saat itu Edi mengayunkan kayu dan menyabetkannya ke lengan maling sialan itu. Belati itu terpental. Si jangkung mengerang kesakitan. Roy menendang dagunya. Memberondongnya dengan pukulan.
Si jangkung sudah tersungkur.
"Orang-orang meringkus kedua maling amatiran itu. Ketika topeng kain sarung mereka dibuka, ternyata kedua maling sial itu tidak jauh dengan mereka. Paling-paling setahun dua tahun di atas mereka. Wajah mereka tampak menyesal sekali.
"Kami ke kantor polisi ya, Roy," kata Edi. "Ton, anter Roy ke rumah sakit, ya!" suruhnya. Sifat kepemimpinannya keluar lagi.
Kedua maling itu digusur ke kantor polisi.
Sedangkan Roy dan Toni membisu di atas becak. Sesekali dia meringis jika ban becak masuk lubang. Toni paling-paling yang uring-uringan membentak tukang becak agar lebih hati-hati menjalankan becaknya.
Tiba-tiba terdengar kokok ayam membelah pagi. Mereka tersadar kalau hari lain datang lagi. Hari kemarin biarlah berlalu. Ya, apa dan bagaimanapun bentuknya hari kemarin, biarlah. Hanya jadikan saja cermin untuk kita padaNya. Jadikan untuk perbandingan bagi hari-hari selanjutnya.
Roy menengok. Memandang ke langit timur. Dia berharap masih bisa menikmati bola merah raksasa itu muncul memberikan sinar kehidupanNya. Ya, dia terus melihat langit timur itu, karena di sana ada keindahan yang tidak ada taranya.
Cobalah kalian juga tengok fajar itu.
VIII. SABUNG AYAM berjalan menempuh ilalang yang tak henti menghadang kawan seperjalanan cuma gelisah mengatasi sepi
hidup pun seolah nyanyian panjang
merjan ketidakpastian: mimpi buruk yang selalu berulang!
-Toto S T Radik *** TUBUH tanpa baju itu tertelungkup kelelahan. Ada perban kemerahan tertempel di punggungnya. Jadi-nya seperti pita hiasan yang bertengger di kado-kado ulang tahun saja. Sesekali kepala tubuh itu bergerak-gerak pindah posisi.
Seorang wanita setengah baya sedari tadi duduk di sisi pembaringan. Cemas sekali memperhatikan perban yang menutupi luka kena sayatan belati maling sialan itu.
Wanita itu mengusap-usap rambut anaknya.
Roy menggeliat. "Makan ya, Roy," kata mamanya.
Roy memicingkan matanya ke arah jendela. Sudah benderang. Sudah bergeser dari tengah hari. Pelan-pelan dia bangkit. Duduk bersebelahan dengan mamanya. Merapikan rambutnya yang gondrong awut-awutan. Mengusap wajahnya. Matanya masih merah. Lantas merangkul mamanya.Mengecup keningnya dan tersenyum.
"Mumpung masih anget, Roy." Mamanya menggandengnya ke meja makan.
Aih, aih! Air liur si bandel langsung terbit begitu melihat nasi mengepul, sambel merah, ikan asin, dan sayur asem. Buru-buru dia ke kamar mandi. Masa iya sih, bangun tidur langsung makan.
Tidak lama dia sudah menyikat makan siangnya dengan lahap. Sambil makan dia menyelingi dengan cerita tentang maling-maling sialan itu. Bibimya kepedasan. Disambamya air putih. Melap bibir dengan punggung tangannya. Dadanya mulai mengkilap berkeringat. Tersenyum puas sambil memegangi perut. Membereskan meja makan dan memasukkannya ke lemari.
Mamanya tersenyum saja memperhatikannya.
Roy mengenakan kaus. Duduk di ruang tengah sambil memutar-mutar gelombang transistornya. Terdengar kring-kring-kring telepon di gelombang 555 KHz.
"Radio KLM, selamat siang menjelang sore," Bayu, sang penyiar, bersuara genit dan ramah mengangkat gagang telepon. Semua penyiar pasti begitu. Seorang yang bisa menghibur pendengar dan menarik simpati pendengamya. Kalau tidak begitu, dia akan gagal menjadi seorang penyiar.
"Acara Anjang Sono, ya"" suara perempuan merdu sekali.
"Yo-i, Non! Minta lagu apa""
"A Groovy-nya Phil Collins, ya."
"Dari siapa dan dikirimin buat siapa""
"Dari Novi dan buat saya sendiri. Tadinya mau buat kamu, tapi, ih, ngerugi-rugiin." Novi tertawa renyah.
Bayu, sang penyiar, tertawa juga.
Roy asyik juga mendengarkan percakapan di radio via telepon itu. Rupanya ada special program juga. Dan dasar sableng, isengnya kumat. Dia buru-buru berlari ke rumah uwaknya. Memutar lima angka telepon radio swasta itu. Roy minta Never Say Goodbye-nya Bon Jovi.
"Dikirim buat Novi. Salam kenal gitu." Roy tertawa konyol. "Thanks, ya!" Dia menutup teleponnya.
Ketika kembali ke rumahnya, Iwin sudah menunggunya di ruang tengah. Roy langsung membesarkan volume radio.
"Mau ikut aku, Roy""
"Ke mana""
"Aku mau ngadu ayam."
"Kelihatannya kompensasi kamu ngadu ayam ya, Win"" Iwin tercenung.
Roy tiba-tiba memberi kode untuk diam. Dia mendengarkan dengan serius percakapan di radio itu. Roy tertawa geli. "Itu suaraku kan, Win"" Masih sambil tertawa.
Iwin juga tertawa melihat kepolosan sobat barunya ini. "Sama jeleknya dengan suara yang asli," ledeknya.
Roy tertawa lagi. "Heh, tentang kompensasi tadi, gimana""
Iwin meringis. "Aku senang melihat ayam-ayam itu bertarung. Melihat darah yang berceceran pada paruhnya serta kebiadaban orang-orang yang menonton.
"Darah, Roy, darah!" Nadanya tinggi. " Aku masih sempat melihat darah kakakku di kamar mayat. Darah itu aku lumurkan dan aku cium baunya. Kakakku meninggalkan darah buatku, karena kebiadaban yang diciptakan manusia. Aku jadi bisa menikmati kebiadaban seperti itu lewat adu ayam, Roy. Nanti kamu pun bisa merasakannya ketika nonton."
Roy menarik napas. Dia tidak menyangka sampai sejauh itu trauma Iwin dengan darah. Mengerikan. Iwin malah seperti melampiaskan dendamnya dan menikmatinya lewat sabung ayam.
Di radio transistornya ada percakapan lagi.
"Minta lagu lagi, boleh"" Novi rupanya.
"Buat Novi boleh, deh," Kali ini Andre yang menerima. "Eh, tadi ada yang ngajak kenalan tuh. Diterima nggak"" ledek Andre tertawa. "Makanya Novi ngebel lagi, nih. Siapa, sih"" "Tau tuh. Namanya sih Roy."
"Roy"" Novi tertawa manja. "Bang Andre, puterin Stevie sama Julio, ya. Dikirim buat si Roy aja. Salam kenalnya dipikir-pikir dulu gitu," tawanya semakin renyah mengudara.
Andre, sang penyiar, tertawa.
Iwin juga ikut-ikutan tertawa.
Lalu lagu My Love terdengar.
Roy meringis. Dia beranjak ke ruang belakang mencari mamanya. Dilihatnya mamanya sedang menyapu halaman. Roy duduk di bangku bambu. Tersenyum kepada mamanya.
"Ada temanmu, Roy."
Roy mengangguk. "Mau pergi""
Roy tersenyum lebar. Kalau mamanya sudah bertanya begitu, berarti segalanya heres. Berarti mamanya sudah menyerahkan segala sesuat tentang dirinya terhadap dirinya sendiri. Inilah kehebasan yang hertanggung jawab. Sesuatu yang sudah lama didambakannya, karena selalu saja setiap bepergian pasti terbentur: bagaimana dengan Mama"
"Yuk, Win!" Roy mematikan radio. "Kamu kepengen kenal sama Novi nggak""
"Novi"" "Yang barusan kamu gombalin di radio, tuh." "Boleh juga." Roy menutup pintu pagar. "Kamu kenal"" Iwin mengangguk, "Dia sobatku sejak SMP, Roy." Roy hanya tersenyum.
*** Sebuah Colt berhenti di tempat yang sepi. Tampak dua remaja melompat turun. Mereka memasuki jalan setapak. Melompati parit-parit, berjalan di pematang sawah, dan sesekali naik-turun bukit.
"Jauh juga ya, Win." Roy mulai berkeringat.
"Kalau lewat perkampungan di sana, aku khawatir kepergok polisi," Iwin menerangkan. Sabung ayam ini hanya tersebar dari mulut ke mulut saja. Setiap awal bulan diadakan dan tempatnya selalu berpindah-pindah. Pernah suatu kali digerebek polisi. Rupanya ada seseorang yang melaporkannya.
Mereka menyeberangi jembatan dari dua bilah bambu. Kalau tidak hati-hati, ya lumayan tercebur ke sungai irigasi. Lalu memasuki hutan bambu.
"Tuh!" Iwin menunjuk ke bawah. Ke sebuah kampung di lembah. "Tempatnya sangat rahasia sekali ya, Roy."
Roy melihat di lapangan kecil banyak orang-orang berkerumun. Juga banyak warung kagetan. Rupanya peristiwa insidentil ini menguntungkan masyarakat setempat. Membawa rezeki. Memang sudah menjadi aturan, bahwa jika sebuah kampung ditunjuk untuk tempat sabung ayam, mak
a dari mulai membuat arena, pungutan karcis, dan tetek-bengek lainnya diserahkan sepenuhnya kepada kampung tersebut. Jadi para penyabung tinggal vini vidi vici saja.
Mereka menuruni bukit. Lokasi sabung ayam ini memang sangat terlindung, Entah tepatnya di sebelah mana. Mungkin dicari di atlas pun tidak bakalan ketemu. Orang-orang sudah mengelilingi arena yang berukuran dua kali dua meter. Ringnya terbuat dari karung setinggi satu meter. Di sekeliling ring dipasangi bangku. Itu khusus untuk orang-orang penting, bos-bos yang banyak duitnya. Setiap orang yang duduk di situ dipungut tarif lima ratus perak. Sisanya cukup berdiri saja.
Roy menyelinap di antara orang-orang dan berusaha memanjangkan lehemya agar bisa jelas melihat ke arena.
"Ayo hajar, Kipas!" teriak penonton di timur, ketika ayam aduan mereka mematuk kepala musuh. Sayap ayam itu berkepak-kepak menerbangkan debu. Mungkin itulah kenapa disebut si Kipas, karena sayapnyalah yang berkepak-kepak bagai kipas.
Musuh si Kipas melepaskan diri. Tiba-tiba saja ayam itu berubah ganas dan berbalik menyerang. Penonton di barat kini ganti bersorak, "Hajar, Tysoooon!"
Roy meringis mendengar nama si leher beton disebut-sebut. Dia melihat si Tyson itu berputar-putar mengurung si Kipas. Paruhnya menancap di mata sebelah kiri si Kipas. Pada saat itulah si Tyson menerjang dan menghunjamkan tajinya ke dada si Kipas. Paruhnya juga terus mematuk-matuk. Darah berceceran. Si Kipas sempoyongan menyandar di ring. Dan dengan bengis para penonton menggiringnya ke tengah arena. Lalu si Tyson menyambutnya dengan terjangan yang maha dahsyat.
Si Kipas menggelepar-gelepar lalu mati.
Dan penonton bersorak bengis.
Roy malah bergidik melihat pembantaian itu.
Ayam tadi memang ganas bagai Mike Tyson dari Harlem, yang selalu menjadi beringas jika diserang atau disakiti duluan.
Sebelum menginjak ke pertarungan berikutnya, orang-orang yang sejak tadi begitu beringas beristirahat dulu. Ada yang jajan-jajan mengisi perut dulu dan ada pula yang mengatur strategi taruhan berikutnya. Masyarakat setempat yang menyediakan lokasi sabung ayam ini sangat ramah meladeni tamu-tamunya, yang menggantungkan harapan untuk memperoleh uang taruhan sebanyak-banyaknya lewat sabung ayam ini. Ini memang merusak moral. Tapi masyarakat setempat yang menyediakan lokasi sabung ayam jangan dipersalahkan. Mereka hanya memunguti rezeki dari sisa-sisa uang para petaruh yang terbuang percuma.
Roy mencari-cari Iwin. Dilihatnya Iwin sedang berkelompok di bawah pohon. "Ayam aduanmu"" Roy nongkrong memperhatikan ayam aduan. Yang sedang dipijit-pijit. Tubuh ayam aduan itu sesekali disembur air oleh sang pelatih.
Iwin mengangguk. "Si Tyson menang lagi""
"Si Kipas, lawannya, mati."
"Ayamku ini namanya si Algojo." Iwin memegangi taji ayamnya yang mengkilat menyeramkan.
"Algojo "" Roy menaikkan alisnya.
"Tajinya ini selalu memangsa leher musuh-musuhnya." Iwin masih mengusap-usap taji si Algojo. "Lawannya si Musashi sekarang."
"Musashi"" Roy tertawa geli mendengar nama si samurai itu. Ada-ada saja julukan ayam-ayam aduan ini. "Mungkin paruh ayam itu berkelebat memangsa musuh-musuhnya ibarat Musashi menyabetkan pedangnya," kata Roy masih tertawa.
Iwin tidak menggubrisnya. Dia sudah berubah sekarang. Wajahnya dingin dan kadang kala kelihatan bengis kalau sudah memandangi ayam aduannya. Dia ikut mengantar si Algojo bersama kelompoknya ke tengah arena.
Algojo dan Musashi sudah dibawa pelatihnya ke tengah arena. Masing-masing menukarkan ayam aduannya. Mengangkat dan menimbang-nimbang berat badannya, apakah betul sesuai. Mereka tampak puas dan mengangguk.
Sabung ayam ini dilangsungkan lima ronde. Setiap ronde berlangsung selama lima menit. Kalau sampai babak akhir kedua ayam aduan itu masih saling bertempur atau tidak ada salah satu ayam aduan yang meninggalkan arena atau juga mati, berarti pertarungan itu seri.
Di dalam arena pertempuran itu ada dua orang pencatat untuk masing-masing pihak yang akan menaikkan taruhannya selagi ayam-ayam aduan itu masih bertempur. Kedua pencatat itu harus gesit, cekatan, dan memasang telinganya kuat-kuat, karena su
ara-suara saling campur-baur penuh teriakan.
Ayam-ayam aduan itu mulai dilepaskan.
Orang-orang pun berteriak menghangatkan arena. Bengis dan beringas kedengarannya. Wajah-wajah mereka seperti para penjagal dari zaman prasejarah. Tidak beradab. Padahal ayam-ayam aduan itu juga sama makhluk Tuhan.
Si Algojo dan Musashi sudah saling mematuk, menerjang, dan berusaha menyudahi pertempuran secepat mungkin. Darah mulai berceceran. Ada yang menempel di paruh mereka dan menetes di taji-taji mereka. Sesekali arena disiram air agar debunya tidak beterbangan dan mengganggu mata para penonton.
Ronde pertama usai. Ayam-ayam aduan itu dipijiti. Dimandikan supaya segar. Darah ayam-ayam itu pun dibersihkan. Dalam sekejap jadi kelihatan bergairah dan bengis lagi. Siap untuk bertarung lagi.
Roy sebetulnya sudah tidak tahan lagi. Dia kini hanya mencuri-curi pandang kepada Iwin, yang selama pertempuran itu tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Tapi wajahnya itu begitu bengis dan mengerikan.
Ayam-ayam itu sudah kelelahan. Entah sudah berapa puluh kali tubuh mereka kena sambar paruh dan kena hunjaman taji. Kedua mata mereka pun sudah berleleran darah. Mereka betul-betul kehabisan napas. Kadang kala mereka hanya saling menggosok-gosokkan tubuhnya saja, atau bergantian menyerang.
Ronde keempat. Arena disiram lagi.
Ayam-ayam aduan itu malah berdiam diri. Mereka sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Bahkan mata mereka sudah tidak bisa menentukan arah. Sudah tertutup darah.
Orang-orang menyoraki. Kesal dan geram. Mereka saling menggiring kedua ayain itu untuk saling berdekatan. Cara itu berhasil. Si Algojo menyerang. Tajinya melabrak Musashi persis di lehemya. Musashi menggelepar. Tapi anehnya, ketika para penonton di barat bersorak girang, Musashi bangkit. Paruhnya menyambar-nyambar batok kepala si Algojo.
Kedua ayam itu sudah kelojotan sudah mau ambruk. Sudah mau...
Saat itulah, "Polisi, polisi! Bubar, bubar, ada polisi!" seseorang berteriak-teriak. Kontan pesta terselubung itu bubar dan pecah berhamburan ke segala penjuru. Di segala sudut para petugas berseragam coklat bermunculan. Siap siaga dengan pentungan, memblokade jalan. Rupanya tempat itu sudah dikurung.
"Roy!" teriak Iwin.
Si bandel itu melihat Iwin meloncati pagar. Dia berlari ke sana. Mereka terjerumus di sawah. Terus berlari meronta-ronta melepaskan diri dari kubangan lumpur sawah. Sempoyongan menjaga keseimbangan tubuh di antara pematang. Seorang polisi berusaha mengejar mereka.
"Cepat, Roy!" Iwin menerobos seinak-semak.
Menjatuhkan dirinya dari bukit. Meluncurkan tubuhnya di tanah merah yang licin kena hujan semalam. Mau tidak mau Roy meluncurkan tubuhnya juga. Dia memakai pantatnya saja, karena punggungnya luka kena sabetan belati maling sialan semalam. Mereka selamat juga dari kejaran polisi. Mereka lari lagi menyeberangi sungai. Menghilang di semak-semak berikutnya.
"Kemana, Win"" Roy terengah-engah.
Iwin memperlambat larinya. "Kita ke kampung di balik bukit itu." Dia menunjuk ke utara.
Roy meringis. Dia turun dulu ke sungai. Membersihkan pakaiannya yang penuh lumpur. Mencuci mukanya. Iwin juga meniru tingkah sobatnya. "Nasib yang lainnya gimana tuh, Win""
"Nggak usah dipikirin. Yang jelas, bulan depan mereka sudah asyik bertaruh seperti tadi lagi.
"Cuma, kasihan si AIgojo." Iwin melepas lelah di sebuah batu.
Matahari semakin bergulir. Hampir senja. Kedua remaja itu terus menyusuri pematang dan keluar-masuk semak belukar.
"Tuh jalan, Win!" Roy berseru gembira menunjuk ke jalan kecil berbatu-batu. "Kita terus ke mana" Apa ada mobil angkutan dari sini, Win""
"Gimana kalau ke rumah Novi""
Roy memandangnya. "Jangan gila, Win! Dengan keadaan kotor begini""
"Apa boleh buat!" Iwin tersenyum. "Novi sweet seventeen malam ini. Aku sebetulnya malas dateng. Makanya dengan tubuh kotor begini, aku ada alasan untuk cepat pulang." Dia tertawa.


Balada Si Roy 03 Rendezvous Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oke. Lebih cepat lebih bagus!" Roy juga tertawa.
Mereka menyetop angkutan pedesaan. Ketika mereka melompat ke atas angkutan pedesaan itu, matahari persis menghilang dan hanya semburat merahnya saja yang masih tersisa.
IX. HAPPY SWEET 17 tujuh belas lilin warna-warni menyala bergoyang-goyang kenangan masa kecil membayang di matamu
dan aku pun termangu mencari masa lalu
yang terlupa ditelan pengembaraan panjang:
O, betapa asingnya! betapa asingnya!
-Toto ST Radik *** KEDUA remaja yang kotor dan bau lumpur itu masih berdiri di luar pagar rumah mewah. Kadang kala mereka memberi jalan kepada para tamu yang hendak masuk. Mereka memandangi cahaya wama-wami dan-meriahnya tawa muda-mudi. Ke telinga mereka menyusup musik ceria yang mengentak-entakkan seluruh tubuh.
"Gimana, masih kepengen kenal sama Novi""
Roy memandang Iwin dengan kesal. "Hei, kamu yang punya rencana, Win!" "Oke!" Iwin tersenyum masuk ke halaman rumah.
Tapi Roy mencegahnya. "Nggak sopan kalau kita masuk, Win. Merusak suasana. Norak," sambil mengingatkan tubuh mereka yang belepotan lumpur.
Ada beberapa tamu yang necis dan harum melirik risi kepada mereka. Roy geram juga diperlakukan begitu. Dia balas mendelik sambil menggerutu kepada para borjuis remaja itu.
Iwin menarik lengannya. Melewati para tamu yang sedang menyantap hidangan. Dengan mangkel dan kikuk Roy berusaha ramah. Hidungnya berkali-kali mencium wangi parfum dari berbagai merek. Lalu ketika dia mencium bau tubuhnya, uh, dia jadi tersenyum sendiri.
Iwin memutar lewat halaman belakang. Masuk lewat dapur. Menyapa dan tersenyum kepada orang-orang. Rupanya dia sudah cukup akrab dan dikenal baik di sini.
"Selamat malam, Tante," salamnya kepada wanita cantik yang sedang menata hiasan di meja makan.
"Oh, Iwin." Dia tersenyum. "Lho, kenapa"" kaget sekali. "Kecebur got, ya"" tertawa. Lalu menuju ke ruang tengah. "Sebentar, Tante panggil Novi dulu, ya."
Roy mendelik kepada Iwin yang sedari tadi cengar-cengir.
Tidak lama di ambang pintu muncul seorang dara berkulit khas bumi Priangan, kuning langsat. Bergaun pesta. Warnanya serba putih. Anggun dan cantik. Tangan kirinya memegang seikat mawar. Di bibimya yang mungil tipis dipulas merah, semerbak mengembang sebuah senyum. Wangi sekali.
"Terlalu kamu, Win." Novi meneliti tubuh Iwin yang berlumpur. "Masa sih kamu nggak ikut ngerayain pesta tujuh belasku"" nadanya sangat kecewa. Bola matanya yang bening terhenti ketika, membentur tubuh yang belum dikenalnya.
Roy mengangguk serba kikuk.
"Sori ya, Vi." Iwin tersenyum. "Happy sweet seventeen, deh." Dia mengulurkan tangannya.
"Tanganmu kotor! Nggak mau aku!"
Iwin tertawa. "O, ya, kenalin sobat baruku, Vi."
Dia merangkul si Roy sambil memperkenalkan. Si bandel itu ragu-ragu mengulurkan tangannya, karena takut telapak tangannya yang kasar melukai telapak tangan Novi yang mulus, halus, dan hangat.
"Met ultah juga, ya. Semoga...," kata Roy kikuk.
"Semoga apa"" tidak disangka Novi menyambutnya.
Roy buru-buru menarik lengannya. "Semoga... semoga apa, nih, Win"" Roy tertawa konyol kepada sobatnya.
"Semoga dapat pacar aja deh," Iwin menimpali. Novi tertawa renyah.
Roy nyeletuk, "Semoga salamku di radio KLM diterima sama kamu gitu," sambil mesem-mesem.
Novi langsung merem tawanya. Dia meminta penjelasan kepada Iwin. Ujung matanya tetap memperhatikan lelaki sableng itu.
"Saya Roy," si sableng itu menyebut namanya.
Iwin mesem-mesem melihat Novi yang serba salah.
"Kalian sekongkol rupanya!" Novi meringis.
Wanita cantik itu menghampiri putrinya. Merapikan letak kalung yang menghiasi leher jenjang putrinya. "Acara tiup lilinnya sekarang, Sayang," katanya lembut.
Novi mengangguk. "Kamu nggak ngebantuin aku niup lilin, Win"" Iwin tertawa kecil. "Ngebantuin di belakang aja, deh. Siapa tahu ada cucian." "Oke, aku tinggal dulu, ya." Dara cantik itu menuju pestanya. "Hei, persoalan kita belum beres kan, Roy"" Senyum wanginya menyebar. "Ajak kawanmu makan ya, Win," kata wanita itu.
"Iya, Tante." Mereka makan dengan lahap di taman di halaman belakang. Seorang pembantu membawakan mereka sepiring buah-buahan untuk cuci mulut. Aih, sedapnya. "Masih kepengen nonton sabung ayam lagi, Roy""
Roy menggeleng cepat. "Sadis, Win! Biadab! Gimana di akhirat nanti, ya" Kata mamaku, kalau kita suka ngadu ayam, jangkrik, atau binatang lainnya, di hari pembalasan nanti kitalah yang gantian disabung oleh
binatang-binatang itu. Kamu percaya itu, Win" " Iwin diam saja.
"Kompensasimu salah, Win.
Iwin memandangnya tidak enak. "Aku dengar kompensasimu ke obat ya, Roy"" Roy tertawa kecut.
"Tentang kompensasimu itu gimana, Roy"" Iwin mendesak terus.
Roy menghela napas. "Pada mulanya memang kompensasi, Win. Tapi lama-lama obat laknat itu menjadi keharusan. Aku lantas jadi budaknya." "Mamamu tahu""
Roy mengangguk. "Tapi sekarang mamaku menduga aku sudah berhenti menelan obat-obat laknat itu.
"Ah, sudahlah. Aku sekarang berusaha membuangnya. Pelan-pelan, nggak bisa sekaligus.
Aku nggak akan minta tolong siapa-siapa, karena yang bisa menyembuhkan diri kita, ya kita sendiri, bukan orang lain." "Kenapa mesti ke obat, Roy"" "Ya, kenapa mesti ke obat"" Roy menggumam.
"Memang nggak semua orang menelan obat-obat itu. Tapi saat itu aku bergaul dengan orang-orang yang dikelilingi benda-benda laknat itu. Aku terjerumus. Detik-detik napasku saat itu sungguh mengerikan.
"Kadang kala aku suka membenci diriku sendiri. Kau anak yatim, Roy! begitu batinku berkata. Mamalah tinggal milikmu satu-satunya! Dan biasanya setelah itu, aku suka ingin jadi orang lain saja," dia mengeluh panjang. Beban hidupnya seperti menumpuk lagi. Matanya menerawang ke langit. Ke bintang-bintang yang bertebaran itu.
Iwin merapatkan duduknya. Dia seperti menyesal sudah menyudutkan Roy. "Heh!" Dia meninju bahu Roy. "Novi, bagaimana"" Dia tersenyum berusaha mengalihkan suasana.
Roy juga berusaha tersenyum. Dia bisa mengerti maksud sobatnya. "Dia cantik sekati. Aku senang bisa kenal sama dia. Apa kamu ada rencana ngejodohin dia sama aku"" Roy nyengir.
Iwin tertawa ngakak. "Jesse, dikemanakan""
Jesse" Dia melongo sendiri, karena siang tadi mereka sudah appointment untuk pergi ke pantai. Oala! Tapi, ketika dia ingat ulah Jesse meninggalkannya di bioskop, dia lantas tidak mempedulikannya. Dia memasabodohkannya.
Lelaki memang egois. Itu harus kalian akui. Dan wanita" Makhluk ini lembut, penuh misteri, magis, dan materialistis. Itu juga harus kalian akui. Seimbang, kan" Tuhan memang menciptakan kelebihan serta kekurangan pada setiap makhluk ciptaannya. "Yang ini jangan kamu ganggu, Roy." Iwin tersenyum.
"Kenapa"" Iwin tertawa. "Dia permaisuriku!"
Roy juga tertawa. Mengacak-acak rambut sobatnya dengan gemas, karena sudah mempermainkannya. "Sialan!" maki Roy.
Tiba-tiba seorang pembantu lelaki mendekati mereka. Tampaknya kebingungan
sekali. "Ada apa, Mang Asep"" Iwin memperhatikannya.
"Anu... " Mang Asep menunjuk ke halaman depan, "ada yang pada berantem," katanya lagi.
Kedua remaja itu bergegas ke depan. Mereka melihat tamu-tamu pada bubar dan satu-dua bahkan ada yang pulang. Kursi-kursi terbalik. Piring dan gelas bergeletakan semrawut di halaman.
Ada tiga pasang sedang berkelahi. Rupanya ada beberapa pengacau tidak diundang menyelundup ke pesta ini. Dan di jalan terdengar bunyi mesin motor meraung-raung. Mereka memang sengaja datang untuk menyebarkan keributan.
"Aku kenal sama mereka," kata Roy pada Iwin. "Mereka Borsalino." Roy menuju ke jalan raya. Dia menghampiri salah seorang joki GL. "Masih inget sama aku, Man"" Roy menyapanya.
Eman tampak kaget sekati. Dia mengendurkan gas dan menyuruh dua orang yang lain mengendurkan gasnya pula.
"Aku nggak nyangka sepeninggal Dulah, Borsalino jadi doyan bikin ribut di pesta-pesta orang!" kata Roy menyindir kesal. "Bukankah kamu juga ikut ngedenger, Man, kalau-aku sama Dulah udah janji untuk saling menghormati"" Roy mulai geram. Dia mencekal kerah jaket kutit Eman. Menyeretnya kedalam, "Suruh kawan-kawanmu itu berhenti, Man!"
Eman berteriak-teriak menyuruh ketiga kawannya untuk berhenti dan pergi. Ketiga pengacau itu dengan kesal menghentikan pestanya. Dengan angkuh melangkahi kursi-kursi, dan bahkan menendang piring gelas yang menghalangi langkah mereka"
Di pintu gerbang salah seorang mendekati Roy. Kata orang itu dengan kesal. "Aku kepengen kenal sama kamu. Malam ini aku tunggu di ujung jalan sana," tantangnya sambil berlalu.
Roy balas menatapnya. Iwin dan Novi sudah berdiri di sampingnya.
Lalu satu-satu para tamu beranjak pulang. Mereka
masih mencoba untuk tersenyum ketika pamitan, walaupun hati mereka mendongkol karena pesta ini tidak mereka nikmati sampai tuntas. Apalagi si empunya pesta. Perasaan galaunya masih saja mendera, walaupun dia selalu menebar senyum wanginya sambil tidak lupa mengucapkan "terima kasih atas kunjungannya".
Siapa yang tidak akan nelangsa ketika pesta yang selatu ditunggu dan didamba seluruh gadis remaja tujuh belas tahun, temyata akan porak-poranda oleh ulah para berandal. Pesta yang penuh lelucon-lelucon, bahwa sang gadis tidak perlu lagi memanipulir umur untuk nonton film tujuh belas tahun ke atas dan tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi pacaran.
Novi hanya terisak sendirian. Dia memandangi kursi-kursi yang terbalik, piring gelas yang bergeletakan, dan tawa riang yang terkubur ke perut bumi.
Oh! batinnya merintih. Musik pun dimatikan. Pesta tujuh belas tahun yang malang.
Lalu dari ruang belakang Roy dan Iwin muncul menggotong meja kecil. Kue tart dan 17 lilin warna-wami menghiasi. Mereka meletakkannya di tengah ruangan. Iwin tersenyum meraih lengan permaisurinya.
"Pesta sebentar lagi dimulai, Tuan putri." Iwin berlagak jadi pangeran kesiangan. Novi berusaha tersenyum.
Seisi rumah mulai bergairah lagi. Mama Novi menyalakan ketujuh belas lilin itu. Roy menyuruh mematikan lampu. Tiba-tiba ruangan dipenuhi cahaya lilin. Lilin-lilin itu mulia sekali. Dia menerangi isi bumi yang gulita dengan sinarnya yang kecil, walaupun tubuhnya terbakar. Walaupun setelah tubuhnya habis dia akan dilupakan. Disia-siakan.
Lalu seisi rumah mengelilingi cahaya lilin-lilin itu. Lagu Selamat Ulang Tahun pun menggema. Novi merasa terharu. Matanya semakin berkaca-kaca. Beberapa kali dia mengusap matanya.
Tiba-tiba Roy maju ke muka. Semampunya dia bersajak. Orang-orang tertawa senang. Lalu berbarengan dengan usainya Roy baca sajak, Novi mengumpulkan udara di pipinya. Wussss! Angin bertiup dari pipinya yang menggelembung bagai balon. Ketujuh belas lilin pun padam.
*** Becak yang ditumpangi kedua remaja itu terseok-seok seiring dengan napas pengayuhnya yang ngos-ngosan menyuarakan.keprihatinan kelas bawah. Gaji pegawai negeri boleh naik dan barang-barang pun ikut naik, sehingga orang-orang pun mengumpat merasa dirugikan. Tapi giliran ongkos becak naik, semua, ya semua orang menggerutu. Lantas siapa yang mau peduli nasib mereka"
Makanya janganlah disalahkan kalau mereka sering menggantungkan nasibnya pada nomor buntut atau mungkin SDSB!
Di tempat yang sepi dan gelap, becak yang mereka tumpangi dibuntuti tiga buah motor. Bahkan sebuah motor sengaja zig-zag menghalang-halangi. Iwin menyikut Roy. Mereka tampak tegang sekali.
Ketiga motor GP itu mengurungnya. Roy dan Iwin turun dari becak. Mereka membayar ongkosnya dan menyuruhnya untuk lekas pergi. Seorang lelaki yang dibonceng Eman turun dari sadel motor. Tersenyum sinis dan sombong sekali. Yang lainnya hanya duduk-duduk saja di sadel motor.
"Ada apa lagi, Man"" kata Roy berusaha menjaga jarak.
"Sori, Roy." Eman merasa tidak enak. "Aku bukannya nggak menghormati perjanjian kamu dengan Dulah di pantai itu. Tapi kawanku ini betul-betul ingin kenal sama kamu. Aku nggak bisa ngelarangnya."
Roy tersenyum kepada orang sombong itu. Dia mengulurkan tangannya. Orang itu menyambutnya. Menjabatnya dengan kukuh dan sepenuh tenaga. Saling meremas. Mata mereka tajam berkilat-kilat, saling menembus pertahanan.
Orang itu memukul wajah Roy dengan tinju kirinya. Roy oleng dan langsung mengerang ketika tangan kanannya yang lembek sekejap diremas. Roy balas meninjunya dengan kepalan kirinya pula. Dan ketika orang itu mengerang, dia buru-buru mengencangkan lagi remasan tangan kanannya.
Orang-orang hanya melihat saja keheranan. Ini gaya berkelahi terbaru, pikir mereka. Biasanya mereka suka melihat di fihn-film koboi atau petualangan kedua orang yang bertikai saling berdiri di dalam tingkaran dan memegang tali atau menggigit saputangan. Lantas saling berusaha merobohkan lawan dengan tinju atau belati. Tapi yang ini" Saling bergiliran meninju dengan kepalan kiri" Weh, model berkelahi dari mana pula"!
Sebetulnya pertarungan mereka ter
letak pada lengan kanan yang saling berjabatan. Salah seorang akan lembek sedikit saja, berarti tangannya remuk diremas habis-habisan!
"Masih terus"" Roy melayangkan tinjunya. Napasnya ikut terbuang ke sana. "Dua pukulan lagi!" usul orang itu membalas.
Roy mengeraskan rahangnya. Dia berusaha menahan nyeri. Apalagi luka sayatan belati maling sialan itu di punggungnya masih terasa linu.
Sebetulnya dia sudah merasa pegal dan capek. Terbukti dari pukulan berikutnya yang tidak bertenaga. Lantas dia oleng lagi begitu pukulan terakhir musuhnya mendarat. Dan dia terlonjak menyadari lengan kanannya diremas. Terasa remuk.
Roy berusaha mengumpulkan tenaga sebanyak-banyaknya. Ini pukulan terakhirnya. Dia menarik kaki kirinya ke belakang. Berat tubuhnya juga ikut tertarik. Lengan kirinya sudah teracung. Dan bagai godam dia hantamkan ke ulu hati musuhnya.
Orang sombong itu melenguh panjang. Dia terkulai lemas dan memegangi perutnya dengan lengan kiri. Lengan kanannya masih dipegang si Roy. Seharusnya si Roy bisa saja meremasnya kuat-kuat. Tapi itu tidak dilakukannya. Roy malah menarik dan membantunya untuk berdiri.
Mereka saling pandang. "Thanks, Roy," kata orang itu masih serak.
Roy meringis. "Bibirmu berdarah," orang itu menyindir. "Bibirmu juga."
Orang itu terhuyung-huyung masih memegangi perutnya. Naik ke boncengan dan menyandarkan kepalanya ke punggung Eman. "See you, Roy!" Orang itu mengangkat lengannya. Melambai.
Eman juga melambaikan tangannya.
"Hei, aku belum tahu namamu!" teriak Roy.
Orang itu tersenyum. "Tatang!" teriaknya pula.
Roy menggelengkan kepalanya. Dia lagi-lagi meringis membayangkan perkelahian barusan. Dia duduk di trotoar. Seluruh tulang-tulangnya terasa linu. Iwin menghampirinya. Ikut duduk di sampingnya. Dia juga menggelengkan kepalanya dan meringis begitu melihat bibir Roy yang berdarah.
Pelan-pelan si Roy mengusap darah di bibirnya.
X. BLUES UNTUK MAMA Kau adalah tugu kasih sejati takkan pernah kujumpa dua di tanah ini
Di penghujung malam nan biru senyap
Kaulepas aku dari katup sucimu
Beriring erang tertahan dan selembar nyawa sedia putus asa
Kuyakin kapan pun ketulusanmu
tak bisa kusembunyikan Meski kulari ke langit tingkat tujuh
Pada darahku, darahmu merambah
Menembus sukaNya -Rys Revolfa *** HATI-HATI Roy membuka pintu pagar rumahnya. Mengintip lewat lubang angin. Dilihatnya mamanya tertidur di kursi. TV pun masih menyala, padahal jam siarannya sudah habis. Dia menyandarkan tubuh ke tembok. Mengutuki dirinya karena lupa tidak membawa kunci serep. Si Opik yang biasanya suka tidur di kursi, ke mana dia"
Diketuknya pintu pelan-pelan.
Tidak lama terdengar kunci diputar. Dia merasa serba salah ketika mamanya meneliti wajahnya dan menembus jauh ke balik matanya. Dia menunduk dan merasa berdosa.
Mamanya meraba wajahnya. "Belum bosan berkelahi, Roy""
Roy semakin merasa berdosa. "Maafkan Roy, Ma" katanya.
Mamanya mengobati dengan telaten. "Sudah, tidur sana."
Roy terseok-seok menuju kamarnya. Hatinya pedih. Ya, betapa setiap hari kerjanya hanya menambah beban batin mamanya saja. Menerornya dengan kelakuan yang tidak patut. Itu sama saja dengan membunuh mamamu pelan-pelan, Roy!
O, Gusti! Dia membenamkan wajahnya ke balik bantal.
Lantas dengan gelisah bangkit. Membuka laci meja. Mengambil plastik yang berisi benda-benda laknat itu. Dengan geram diremas-remas dan diinjak-injaknya hingga lumat, hancur, dan jadi debu. Benda-benda itulah yang sudah menghancurkan perjalanan hidupnya. Yang sudah menyeretnya untuk membohongi dirinya sendiri.
Kemudian dia hati-hati menuju kamar mandi. Dibuangnya isi plastik itu ke WC. Disiramnya banyak-banyak dengan air. Lalu dia membersihkan seluruh tubuhnya. Manusia memang suka ingat Tuhannya ketika dalam keadaan terjepit. Padahal kita pun ya waktu 24 jam dalam sehari. Cobalah sisihkan barang satu jam saja untuk memuji kepada Tuhan. Kita sudah bermain seharian tiada habisnya, tapi ketika tiba giliran untuk memuji kepada Tuhan, tiba-tiba bermacam alasan dilontarkan. Ya capeklah, sakitlah, dan macam-macam lagi. Begitu, kan"
*** Si bandel itu membuka pintu kamar mamanya pelan-pelan. Dia
melihat mamanya masih tergolek lemah. Dia berjalan hati-hati takut bunyi langkahnya mengganggu tidur mamanya. Dipandanginya tubuh kurus yang sangat dicintainya. Dia hanya mematung. Merintih. Dan tambah merasa dirinyalah penyebab sakit mamanya.
Dia membetulkan letak selimut mamanya.
Kelopak mata mamanya terbuka.
"Makan bubur ya, Ma." Roy menyuruh Opik yang sedari tadi berdiri di pintu untuk membawa semangkuk bubur ayam.
Mamanya berusaha bangkit. Roy membantunya untuk menyandar ke tembok. Dia meletakkan bantal untuk pengganjal. Lalu memegangi mangkuk bubur. Mamanya tersenyum memakan bubur itu suap demi suap. Sebetulnya kalau saja bukan karena anaknya, wanita sakit itu tidak bergairah sama sekali untuk makan. Ada yang terasa nyeri di perutnya.
"Pergi sekolah, sana," kata mamanya. "Mama nggak apa-apa kok. Cuma pusing sedikit. Biasa, penyakit orangtua, Roy."
Roy ragu-ragu untuk meninggalkan mamanya. Di luar sudah terdengar klakson motor Iwin yang biasa menjemputnya setiap pergi ke sekolah. Mamanya mengangguk memberi kepastian.
"Jangan ke mana-mana ya, Pik." Roy mengusap rambut anak yatim-piatu itu. "Roy pergi ya, Ma." Dia mengecup kening mamanya. Di pintu dia masih menengok, memastikan lagi bahwa mamanya tidak akan apa-apa.
Selama jam pelajaran Roy memang tidak bisa konsentrasi. Siapa sih yang akan bisa tenang selagi orangtua kita sakit di rumah" Untung dua pelajaran terakhir tidak ada gurunya. Begitulah kalau sekolah di swasta, di mana staf pengajamya dari sekolah negeri. Mungkin beliau-beliau masih kelelahan setelah sampai pukul satu siang memberikan ilmu-ilmunya di sekolah negeri.
Si bandel itu sengaja tidak pulang diantar Iwin. Dia ingin berjalan semaunya sendirian. Berjalan ke mana saja menyusuri trotoar-trotoar di sepanjang kota. Kegalauan hatinya dia tumpahkan ke jalanan. Dia bagikan kepada yang lalu-lalang. Dia lemparkan ke udara. Dia lindaskan ke roda-roda kendaraan. Dia...
Tapi, apa ada yang peduli"
Dia sudah. duduk di salah satu sudut keramaian. Memperhatikan pedagang kaki lima yang mulai berjejer. Kesannya meriah sekaligus sem rawut. Dia hanya duduk saja dan tidak mempedulikan orang-orang.
Suasana menjelang senja yang meriah itu tidak bisa menghilangkan rasa sepi dan bersalahnya. Dia kini sedang berada pada sesuatu hal yang paling dibencinya; memilih. Ya, memilih di antara sekian pilihan. Perlu kalian ketahui, dia itu paling sulit sekali untuk menuruti nasihat orangtua kalau bau alam sudah memanggil-manggilnya.
Berarti sekarang dia ingin avonturir lagi" Bukankah kamu baru pulang dari petualangan, Roy" Masa kamu tega meninggalkan mamamu sedirian dalam keadaan sakit" Mamamu memang pada akhimya akan melepaskan kepergianmu juga. Tapi, apakah itu bijaksana,
Roy" Hanya dua atau tiga hari saja kok! Batinnya yang lain memberi peluang. Ya, kebetulan Sabtu besok sekolah diliburkan. Sehingga hari Sabtu dan Minggu bisa dimanfaatkan. Rencananya dia dengan Iwin akan pergi ke Baduy, salah satu suku yang mengasingkan diri di Banten Selatan.
Ah, dia merasa bingung! *** Mamanya sudah bisa duduk-duduk di ruang tamu sambil nonton acara TV News, siaran bahasa Inggris. Tubuhnya masih berselimutkan kain tebal. Wajahnya tiba-tiba berubah sendu ketika di layar gelas tampak gambar-gambar orang mati karena gempa, orang-orang yang ditembaki seperti hewan oleh tentara-tentara pendudukan, dan borok-borok dunia lainnya.
Wanita itu menghela napas panjang.
Roy menyodorkan teh hangat bikinannya sendiri. Mamanya tersenyum dan menghirupnya pelan-pelan. Tampak nikmat sekali.
"Bumi kita ini semakin nggak karuan ya, Roy," mamanya masih saja mengikuti berita di layar gelas itu.
Roy mengangguk setuju. Lalu, "Bulan depan nggak usah nerima jahitan ya, Ma. Prei dulu."
Kini giliran mamanya mengangguk.
"Mama betul nggak apa-apa""
"Mama mungkin terlalu capek, Roy."
Diam sejenak "Boleh Roy tanya sesuatu, Ma"" "Tentang apa""
Roy berpikir sejenak. Tampak dia ragu-ragu juga. Tapi, "Ng... sebetulnya yang Mama ingin atau Mama cari dalam hidup ini apa"" Roy bertanya juga.
Mamanya memandangi Roy. Dia meletakkan gelas dulu di meja. "Apa yang Mama ingini, Roy" Yang Mama
ingini cuma melihat kamu bahagia, Roy."
"Bahagia" Dalam hal apa""
"Dalam hal apa saja. Yang penting kamu bahagia dengan apa yang kamu perbuat. Dengan apa yang kamu inginkan, kamu idam-idamkan. Semuanya timbul dari dalam diri kamu, bukan karena pengaruh orang lain. Dengan catatan yang positif.
"Bukan materi atau kedudukan yang Mama inginkan dari kamu. Buat apa keduniawian itu kalau batin kita menderita" Sengsara" Tidak bahagia" Toh, kita kembali padaNya seperti dulu kita datang tanpa membawa apa-apa. Karena itu agamalah sebagai pegangan hidup, Roy. Camkan itu.
"Juga jangan lupa, rencanakan hidup kamu dari sekarang. Kamu harus punya target. Punya sasaran. Mau ke mana kamu ini hidup" Ikut arus, terbawa arus, atau melawan arus" Kenapa harus begitu" Itu agar semua yang kamu perbuat nggak sia-sia. Ada manfaatnya," banyak sekali kalimat yang dikatakan wanita itu pada anak lelaki satu-satunya.
Roy menunduk. Meremas-remas jok kursi.
"Mama nggak akan malu kalau punya anak seorang pengarang nanti"" hati-hati sekali bicaranya.
Mamanya tersenyum. "Apa pun yang akan dipilih anaknya, seorang ibu tidak akan pemah kecewa kalau pilihan anaknya itu tidak melanggar norma-norma agama, masyarakat, atau hukum.
"Dan kamu memilih untuk jadi pengarang, Roy" Kenapa Mama harus malu" Tapi Mama tidak mau kalau kamu mengarang tentang hal-hal yang buruk. Mengaranglah tentang sesuatu yang bisa mengajak pembaca ke hal-hal yang baik.
"Untuk bisa begitu, batin kamu mesti diisi dengan beragam hidup. Tempalah dan latihlah batin kamu langsung dengan alam. Bergurulah kepada alam. Saring dan ambillah inti sarinya untuk pegangan hidup."
"Bagaimana Roy akan bisa seperti yang Mama maksudkan tadi, kalau... " Roy tidak berani meneruskan kalimatnya.
Mamanya merenung. "Mama mengerti," suaranya jadi berat. Dia memandangi anaknya semata wayang. "Selama ini Mama selalu saja menghalang-halangi kamu pergi ya, Roy" Itu wajar. Di mana-mana seorang ibu pasti khawatir kalau anak-anaknya bepergian" Kenapa" Karena seorang ibu pemah mengandung anak-anaknya selama sembilan bulan.
"Tapi kalau kamu tetap ingin bepergian, pergilah. Itu memang harus. Perhitungkanlah segalanya dengan matang. Dengan bepergian itu, kira-kira apa yang akan kamu peroleh" Lebih banyak manfaatnya atau buruknya" Dan jangan sekali-kali kamu larang kekhawatiran orangtua. Biarkan saja. Kamu jangan terpengaruh. Sebaliknya, kamu harus menunjukkan sikap yang bisa meyakinkan orangtua. Misalnya dengan persiapan yang matang."
Si Roy merenungkan kalimat panjang mamanya tadi. Wajahnya bersinar-sinar. "Berarti, berarti Mama nggak melarang Roy untuk avonturir lagi"" Mamanya-menggeleng. Nasihatnya lagi, "Tapi kamu harus yakin, bahwa yang kamu lakukan itu ada manfaatnya untuk kehidupan kamu selanjutnya. Untuk masa depan kamu. Ingat, bukan untuk sekadar gagah-gagahan, Roy! Apalagi hura-hura!"
Roy mengangguk-angguk. "Ada rencana avonturir dalam waktu dekat""
Roy tersipu-sipu. "Sekolah kan belum musim liburan, Roy."
"Sabtu besok nggak ada pelajaran, Ma. Rencananya sama Iwin mau ke Baduy. Hari Senin pasti sudah pulang lagi, Ma."
"Mama sendiri yang asli Banten belum pemah ke Baduy Wanita bijaksana itu tersenyum. Kamu harus ke sana. Harus melihat masyarakat yang mengasingkan diri dari keduniawian ini."
Si bandel itu semakin berbinar-binar. Ternyata saling pengertian antara anak dan ibu adalah jalan keluar yang paling baik. Soal sebab-akibat itu kan variasi hidup. Konsekuensi hidup. Bukankah seseorang yang ingin maju sudah harus siap memperhitungkan dan menghadapi segalanya. Asal jangan konyol saja. Coba, deh.
BERSAMBUNG BALADA SI ROY 04
Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Kursi Perak 1 Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka Pendekar Muka Buruk 12
^