Pencarian

Traveller 1

Balada Si Roy 09 Traveller Karya Gola Gong Bagian 1


Balada si Roy 09 - Traveller
Gola Gong Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
I. ANTILOGI Tak seorang pun berdiam di tempat tinggal yang aman, yakni rumah yang sebenarnya. Kita semua merupakan " orang yang di mana-mana tinggal di rumah sewaan"', dan berupaya mati-matian serta nekat untuk mengadakan hubungan yang menenteramkan batin dengan para tetangga kita.
-Edward Allbee *** SATU MAMANYA berteriak kesakitan, dua puluh tahun yang lalu, ketika melahirkannya. Kata sang dokter, kepala si bayi terlalu besar. Menurut beberapa orang yang percaya takhayul, si bayi bakal jadi "besar kepala", "kepala besar", atau "orang besar", sehingga si bapak
yang suka tidak betah di rumah ketakutan, melemparkan ari-ari bayi dambaannya ke su"Bahaya kalau ditanam di tanah- Bisa-bisa suatu hari dia menggali dan meminta warisannya. Padahal aku, ayahnya, tak bisa mewariskan apa-apa selain ilmu dan semangat," begitu alasannya. "Aku tak ingin anakku nanti tahu, bahwa di ari-arinya itu ada 'darah biru' dari kakeknya- Biarlah semua omong kosong warisan para leluhur itu hanyut ke laut dan dimangsa hiu-hiu!"
Si ibu tidak peduli hal itu. Dia cuma ber-seri-seri, membelai kepala si bayi dengan ba-hagia. Karena leluhurnya kaum petani, yang jadi mayoritas di negeri ini, dia berkata lem-but, "Biarlah anak kita tumbuh bersama alam: sungai, samudra, pegunungan, dan lumpur. Biarlah alam jadi gurunya. Biarlah udara se-lalu mengisi paru-parunya."
Suami dan istri dari dua kutub yang berlawanan itu berpelukan bahagia. Penuh sukacita. Karena ada cinta, kasih, dan pengertian, serta status, kehormatan, dan omong kosong dipertautkan. Tak ada kerabat-kerabat mereka yang mendengar dan menyaksikan tangis si bocah. Cuma kawan-kawan grup pencinta alam saja, yang ikut menimang-nimang si bocah. Kata mereka, "Taklukkanlah puncak-puncak dunia, karena di situlah sebetulnya hidup!"
Dan si ibu menatap si ayah, karena si bocah menangis.
DUA Si bocah yang merangkak mengikuti laju matahari dan musim, selalu menguntit ke mana si ayah pergi. Kata si ayah, menjadi seorang petualang itu tidak keharusan. Tapi, menjadi seorang lelaki itu penting- Memang dengan berpetualang, mendaki gunung, misalnya, bukan berarti menaklukkan puncaknya sambil mengibarkan bendera kebanggaan. Bukan itu. Tapi lihat dan rasakanlah kehidupan terakhir di sebuah gunung. Rumah-rumah terpencil yang dikelilingi hal-hal alami, padahal pemuda-pe-mudinya berlarian ke kota jadi buruh, pemban-tu, maling, atau kupu-kupu malam. Juga air sungai yang masih dingin dan bening, padahal asap dan limbah pabrik mulai merajalela- Dan seorang lelaki, kata si ayah lagi, harus memiliki keberanian untuk mengusir ketakutan. Ketakutan macam apa pun. Ketakutan berbuat salah dan benar. Ketakutan berbicara salah dan benar. Ketakutan untuk segala-galanya.
"]adi telaki adalah keberanian," kata si ayah suatu hari, menjelang keberangkatannya ke Irian Jaya, untuk mendaki sebuah puncak bersalju di sana. Dan si ayah tidak pernah pulang lagi.
Si bocah meraung-raung di pelukan si ibu. Jasad orang yang mereka cintai, kata orang-orang, terbujur kaku di dasar jurang. Si ayah terperosok, karena nekat mencari jalur baru. itulah, mungkin, keberanian untuk mengusir ketakutan berbuat salah dan benar. Sepucuk surat yang ditulis tergesa-gesa oleh si ayah, sebelum maut menjemputnya, ditemukan hancur kena hujan- Setelah si bocah dewasa, itulah warisan paling berharga selain Joe, anjing herdernya, yang masih saja disimpan.
TIGA Roy, nama si bocah itu. Lengkapnya, Roy Boy Harris. Tumbuh liar dan punya senyum nakal. Selalu bergerak mengikuti gemulainya wanita cantik, dan berlari mencari ari-arinya, yang dibuang si ayah ke sungai. "Harus aku temukan sampai ke ujung dunia mana pun!" katanya.
Berkali-kali si ibu mengajak si bocah beranjangsana ke kerabat si ayah, berharap si opa akan memeluk cucu lelakinya. Tapi yang diterima selalu kepedihan. Dua kutub berbenturan lagi. Roy cuma bisa berteriak-teriak menuding langit. Tuhan memang menyeimbangkan segalanya; mesti ada yang brengsek dan sok punya wewenang serta ada yang lemah- si tertindas.
"Kita me ngungsi," kata si ibu, mengajak si bocah yang sedang dalam usia penuh gejolak, tujuh belas, ke kota leluhurnya, di paling barat Pulau Jawa.
Mengungsilah mereka ke kota leluhur, yang terkenal penuh kisah seram: magic dan hal-hal di luar logika. Kisah menyedihkan pun beruntun menindihnya. Joe, anjing herder warisan papanya, mati ditenggelamkan sekelompok anak jagoan sisa masa lalu di Selat Sun-da; dan Ani, gadis bak putri keraton dari kaki gunung, mengombang-ambingkan keragu-raguannya tentang cinta.
EMPAT Kematian dan cinta membuat jiwanya terguncang. Dia kadang berteriak-teriak pada bulan dan bintang. Hari-harinya bergulir di jalanan; bersahabat dengan debu, cewek genit, angin malam, air, api, dan tablet berwarna.
Dia sudah tercerabut dari alam sadarnya dan berada di ambang batas kenyataan dan khayalan. Semua, memang, telah hilang pada dirinya: Papa, Joe, dan cinta. Tapi masih tersisa Mama, wanita setengah baya yang masih cantik dan teramat dicintainya, walaupun ke-bebasannya terbelenggu.
Kadang kala dia ingin kembali jadi anak kecil, berlarian di kaki-kaki hujan, membiarkan tubuh basah dan mendongak ke langit jika hujan berhenti. Anak-anak kecil yang tak pernah tahu, jika dari air hujan itu masa depan mereka berada. Mereka cuma bergulir bersama hari-hari dan bergolak ketika remaja; melesat dari busur mencari-cari sasaran.
Seperti juga Roy. "Jadilah busur. Mama. Roy anak panahnya. Bidikkanlah ke segala penjuru," kata si anak pada ibunya. Wanita tua itu mengambil busur dan mencabut sebuah anak panah dari dasar hatinya. Anak panah yang sudah belasan tahun digosok, ditimang; dan diberi wewangian.
Si ibu tersedu-sedu, "Melesatlah, anakku, janganlah buta dan tuli terhadap sekeliling. jaga lidahmu, jangan mengecap yang manis-manis, jika sementara orang kebanyakan masih merasakan yang pahit.
"Jaga mulutmu. Jangan sesumbar seperti tong sampah. Pergunakan saja telinga dan matamu, cuma untuk melihat dan mendengar, jika tak mampu berbuat."
Sang pembidik pun kini berdiri sendirian. Anak panahnya yang cuma satu melesat ke segala arah mata angin.
LIMA Sekolah. Ya, sekolah adalah "musuh" Roy. Dia selalu jadi biang kerok, karena kurikulum
membelenggu dan para guru selalu ketakutan jika sang murid punya inisiatif dan progresif. Akibatnya Roy lebih kerasan berteriak-teriak pada alam.
"Kita korban masa lalu. Kita tak punya kebanggaan untuk berbuat sesuatu, karena orang-orang masa lalu selalu menagih kita untuk berbuat hal yang sama.
"Kita anak-anak masa kini. Ya sudah, kita nikmati saja kemerdekaan yang dibikin para pendahulu kita, bersama-sama dengan politikus karbitan, pengusaha rakus, pelawak yang kadang menjual kemiskinan dan kekurangan orang agar ditertawakan, atau juga pencipta lagu yang tak malu menjiplak dan membual."
Hidup sebagai remaja adalah kebebasan, se-lama masih murni dan tidak ditunggangi atau dijadikan kekuatan oleh sebuah kelompok. Biarkan mereka merasakan sakitnya dipukul dan jera sendiri dengan perbuatannya. Janganlah dikejar-kejar seperti pencuri, padahal pencuri sesungguhnya berkeliaran dengan jas-dasi dan bersembunyi di gedung-gedung mewah serta mobil ratusan juta.
"Berteriaklah, berteriaklah, biar langit menangis!" begitu si avonturir bandel berdiri di muka kelas, ketika dosen tak bisa memberi kuliah dengan alasan entahlah. "Bumi hampir mati dan matahari"semakin bengis!"
Lantas sebelum bumi mati, dia ingin menjadi sahabatnya dulu. Tak ada yang bisa menghalanginya jika dia sudah mengemasi blue ran-sel-nya. Tak ada. Orangtua ataupun cinta.
Keliling dunia memang obsesinya. Dia bukan orang kaya. Dia orang kebanyakan, yang tak akan mendapatkan kartu ucapan selamat jika ulang tahun atau Lebaran. Dia cuma punya uang ala kadarnya dari honorarium tulisan-tulisannya yang ditabung dan keberanian yang diperhitungkan. Uang kalau cuma disimpan, seperti bos-bos rakus yang mendepositokan dan memakan bunganya, untuk apa"
Pergilah, pergilah dari rumah, anak muda. Wanita, cinta, dan orangtua, itu akan ada babak berikutnya. Jadilah dulu lelaki yang mengetahui segala-galanya, karena pada saatnya nanti, wanita bersandar meminta perli
ndungan. ENAM Sekali lagi, biar tidak lupa, dia sangat suka dipanggil si avonturir bandel, karena orang-tua-orangtua kita juga secara sembunyi-sembunyi bandel. Punya gadis simpanan di rumah-rumah, yang tanahnya dibeli dengan dalih pembangunan dan sedikit paksaan.
Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi, selain mama, yang kini mulai terbiasa betah
sendirian dan kesepian. Dia kini sudah memutuskan jadi bagian dari alam. Dengan menulislah dia isi hari-harinya. Tak pernah diam. Bergerak ke mana-mana dengan ha! baru. Kadang benaknya jadi penuh dan Luber. Ya menulislah kini pelariannya. Kalau tidak, dia bisa gila.
Bumi memang hampir mati, dan orang-orang yang ada di "awang-awang"-nya semakin rakus. Anak-anak masa lalu sudah tak mampu berbuat apa-apa, selain mengurus periuknya sendiri. Sementara anak-anak masa kini semakin rakus menumpuk harta.
"Aku manusia pejalan," katanya. Mengejar matahari dan bayangannya sendiri. Bukankah matahari adalah sang bapak dan purnama sang bunda" Dia kini siap jadi anak mereka, walaupun tak pernah tahu siapa sang kakek. Ya, dia jadi lelaki pejalan. Fajar dan senja yang jadi awal dan akhir hidupnya.
II. KARNAVAL Lelaki memiliki luanita, tapi dia dimiliki semua. Dia memang harus pergi, tapi juga fiarus kembali, karena ada yang mengasihi dan dikasihi.
-Heri H. Harris *** BEBERAPA anak kecil berpakaian lusuh dan badan berkeringat campur debu menyerbu, ketika bus dan Pontianak berhenti. Mereka penuh semangat dan senyum menawarkan jasa; barangkali ada orang yang mau dibawakan koper atau barangnya. Ongkos lelahnya cuma lima ratus perak menyeberangi Pos Lintas Batas. Beberapa penumpang ada yang dengan suka hati menyisihkan rupiahnya untuk mereka, setelah duduk delapan jam di bus. Tapi ada juga yang capek-capek menjinjing atau memanggulnya agar sedikit ekonomis. Seorang lelaki berambut gondrong berteriak, menyuruh kenek bus menurunkan blue ransel. Hup! Dia menahannya. Dengan menyesal dia menggeleng, ketika seorang bocah menghampirinya. Dia mengacak-acak rambut bocah itu sambil tersenyum. Blue ransel, yang sudah jadi bagian hidupnya, kini disandangnya. Dia menyeret langkahnya. Matanya mengitari kawasan kecil yang memisahkan kedua negara, Indonesia dan Serawak.
Ini Entikong, sebuah Pos Lintas Batas. Bukit gersang yang diberi celah; dan lewat sinilah orang-orang yang keluar-masuk dikontrol. Di seberangnya PLB Tebedu, Serawak. Lewat pintu ini bisa menghemat uang fiskal dan ongkos pesawat jika hendak ke luar negeri. Malah dari Pontianak ada bus terusan ke Ku-ching, ibu kota Serawak, Malaysia Timur.
Si gondrong itu menuju warung. Dia masih belum ada keinginan untuk menyeberang, meninggalkan bumi tercinta dalam waktu tak terhingga. Bola matanya terus bergerak: tukang ojek, bocah yang menjual tenaga, pedagang suvenir kodian, dan puluhan pemuda lugu dari desa di pelosok Jawa, yang akan mengadu nasib mengais ringgit di Malaysia.
Dia meneguk es Coca-Cola.
Hari betul-betul terik, karena khatulistiwa melintas beringas di sini.
Dari obrolan di warung yang ibarat arisan ibu-ibu kompleks, si gondrong mulai paham
kondisi kawasan ini, yang selalu berselisih soal tenaga kerja. Untuk pelintas batas di kedua kota, Pontianak dan Kuching, diberikan kemudahan. Cuma dengan SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor), mereka bisa leluasa berkeliaran. Maka jangan heran kalau ada oknum penyalur tenaga kerja yang memboyong pemuda-pemuda lugu Jawa ke sini. Memesan KTP sekejap-jap pada oknum setempat, dan abrakadabra... secara ajaib SPLP pun digenggam. Berduyun-duyunlahlah mereka lewat pintu ini, dengan harapan ringgit di negeri seberang.
Siapa tidak jatuh air liurnya jika di kipas-kipasi upah 15.000 sehari" Buruh-buruh di negara kita saja sering unjuk rasa soa! upah yang bikin jengkel! Tapi kenyataannya, setelah tiba di Pontianak upah itu menurun drastis hampir sepertiganya! Yang tidak setuju dipersilakan pulang. Padahal mereka sudah menjual sapi serta sawah warisan leluhurnya.
Ah, ini lagu lama. Dia kini menyeret langkah lagi. Bayangannya masih mengekor. Segalanya sudah bulat kini: menjelajahi belantara kota di negeri seberang.
"Selamat jalan, Roy!" kata seorang petugas PLP Entikong.
Roy, si gondrong itu, tersenyum dan menyandang blue ransel-nya. Dia sudah beberapa
langkah di luar buminya. Di depannya kini terbentang bumi asing. Sekali lagi dia menengok. Entah sampai kapan dia meninggalkan rumah; orang-orang yang dikasihi dan mengasihinya. Yang pasti, hari-harinya bakal bergolak dan penuh warna.
Matahari masih saja terik sehingga bumi hampir mati. Gambar-gambar sebelum keberangkatannya pun berkelebatan. Tumpang tindih. Berbenturan. Membelenggu pikirannya seperti asap pabrik yang hitam mencekik.
Di kiri-kanan jalan utama kota, orang-orang sudah berjejalan. Berdiri rapi di trotoar jalan untuk- menonton tradisi tahunan yang berlangsung hampir di seluruh kota di Bumi Pertiwi. Ini bentuk lain dari rasa sukacita, karena bangsa ini sudah lepas dari cengkeraman bule-bule serakah yang merambah mencari tanah-tanah baru. Ratusan tahun terjajah membuat luka yang lalu jadi borok. Kini seluruh rakyat berpesta pora mengenangnya.
"Bangun, Roy." Mamanya duduk di sisi pembaringan. "Katanya mau lihat karnaval. Mau menghabiskan rasa kangen pada kota ini," sambil membelai rambut anaknya.
Roy menggeliat dan tersenyum. Dia bangkit. Jendela kamarnya sudah dibuka mamanya sejak tadi. Kalau saja dia melongok dan melihat ke luar sana, akan banyak pelajar seusianya yang baru lulus SLTA, kebingungan tidak diterima di PTN, tapi juga tidak punya uang untuk beli karcis di PTS.
Roy sebetulnya sudah setahun kuliah di fakultas sastra sebuah PTN di kota leluhur al marhum papanya. Tapi, dengan alasan yang dicari-cari, dia meminta restu mamanya untuk berhenti. Di zaman sekarang percuma buat orang seperti kita mengeluarkan uang untuk pendidikan, begitu kata Roy pada mamanya. Dia memang terlalu malas untuk menghafal setiap definisi ilmu menurut si anu dan si anu di diktat yang harus beli dari dosen, karena gajinya sebagai pegawai pemerintah tidak (pernah) cukup.
Hasilnya memang menyebalkan. Dia tidak pernah mampu menjawab keinginan sang dosen. Nilai-nilainya selalu jeblok. Berwarna merah, yang sering diartikan simbol keberanian. Untuk cari muka, daripada dituduh jadi pihak ketiga perkelahian pelajar yang tidak ada hentinya dan jadi beban negara, dia memutuskan jadi manusia independen lagi. Manusia merdeka yang hidup dari honor tulisan-tulisan. Biarlah aku jadi raja kecil buat diri sendiri, batinnya. Aku harus mengakui kenyataan, bahwa teoretikus dan praktisi berjalan pada jalurnya masing-masing. Jangan saling berebut jalan dan rezeki. Jangan saling minteri dan sikut-menyikut, seperti halnya di
kota Jakarta, yang sudah buta warna. Mana putih dan hitam.
Karnaval pun mengalir. Anak-anak Pertiwi masih saja disuruh ba-ris-berbaris; dua kali belok kanan, serong kiri, serong kanan. Ada juga yang memakai seragam pejuang tempo dulu.
"Suci tuh." Toni, si amputi kaki, menyikutnya sambal tersenyum. Dia sekarang jadi mahasiswa penurut dan ingin menambahkan sebuah nama mentereng di belakang nama pemberian orangtuanya. Nama yang berarti status dan kehormatan. Kata Toni, orang cacat seperti aku, Roy, harus punya sesuatu yang bisa dibanggakan, sehingga orang-orang respek. Kalau tidak harta, ya kehormatan. Jika tidak, ya bersiap-siaplah jadi "manusia pinggiran".
Roy menghampiri Suci. "Mau nonton karnaval atau nonton yang menonton karnaval, Roy"" ledek Suci, si hitam manis itu.
"Tergantung keadaan." Roy tersenyum.
"Jadi avonturir ke negeri seberangnya, Roy"" Suci tampak ragu-ragu bertanya.
Roy mengangguk. "Kamu nggak bilang-bilang mau ke sini." Dia mengangguk ramah pada kedua kawan Suci, yang semasa SMA berjibaku membela nama sekolah dalam tim basket. (Baca Balada Si Roy: Rendez-Vous.)
"Disuratin mereka nih." Suci juga mengangguk, ketika kedua kawannya bermaksud ke tempat lain untuk nonton karnaval.
Mereka berjalan ke sebuah sudut di keresidenan. Duduk di rumput di bawah pohon kenari yang umurnya sudah puluhan tahun. Karnaval sudah tidak menarik lagi buat mereka.
Angin berembus kencang dan daun kenari yang kering berjatuhan. Satu-dua menimpa kepala mereka.
"Sebetulnya Suci menyesal kenal sama kamu, Roy," gadis
manis itu memulai pembicaraan.
Roy tersentak bersamaan dengan tabuhan drum band karnaval.
"Nggak pernah kebayang jika punya pacar sok jagoan dan sok petualang kayak kamu."
Roy tertegun. Drum band semakin menggema.
"Di Bandung, baru tahun pertama saja kamu sudah sok mau menaklukkan puncak-puncak gunung ketimbang ngeberesin kuliah. Dan sekarang, kamu sudah keras kepala lagi, mau menaklukkan dunia."
"Suci,.." "Berapa hari yang "bisa kamu sempatkan datang ke rumah dalam sebulan, Roy" Di sini ataupun di Bandung" Kamu tahu, betapa malam-malam Minggu Suci selalu saja sepi.
"Sepi, Roy," si manis ini tidak memberi kesempatan bicara.
Roy menyender ke bacang pohon kenari yang besar- Kalimat Suci memukul jiwanya. Aku sok petualang" Sok Jagoan" Keras kepala" Salah kah aku jika punya cita-cita" Salahkah aku jika ingin mengejar impian masa mudaku dengan melihat dunia"
"Roy, apakah kamu nggak pernah mengakui kenyataan, bahwa kamu dan mama mu itu merupakan kesatuan" Lupakan dulu Suci. Lupakan kita. Lupakan, Roy.
"Tapi mama mu, Roy, mamamu.
"Ah, Suci banyak omong, ya, Roy. Suci tahu kok, kalau pada akhirnya kamu memang selalu pergi."
Roy beringsut. Meraih bahunya. "Kamu sudah mengenal aku bukan satu purnama saja. Suci. Bahkan kamu..."
Belum juga tuntas kalimat Roy, Suci memotongnya lagi, "Pergilah, pergilah, Roy, seperti apa maumu- Nggak ada gunanya Suci ngo-mong banyak kayak tadi. Nggak akan ada yang bisa mengubah pikiran kamu jika urusannya avontur. Begitu, kan" Termasuk mamamu.
"Ah, kenapa kita nggak ngomong yang manis-manis saja, Roy" Misalnya, saat kita kenalan pertama kali. Saat kamu kena bola basket itu. Nggak kerasa, ya, perjalanan waktu itu" Atau, saat kamu dateng ke rumah, terus Wiwit bilang Suci nggak ada, padahal ada. Atau yang lain-lainnya, Roy," bicara Suci sudah tidak terarah. Sekenanya saja.
Ya, Roy tiba-tiba ingat saat perkenalan yang penuh sensasi itu dengan Suci- Bermula dari Jesse, si keren, yang merampok hatinya. Saat itu Roy ketiban sial, bola basket menghajar wajahnya. Usai Jesse, si manis Suci giliran merampok hatinya. Cinta memang aneh. Sukar dipahami. Cinta tidak bisa dikuasai, tapi malah berbalik menguasai.
Cuma, ah, kenapa darahku selalu bergolak jika melihat persawahan yang mulai sedikit dan aroma dunia yang semakin brengsek. Aku memang petualang jalanan. Hutanku adalah beton-beton yang menuding langit, sehingga matahari sangat susah dinikmati. Hewan-hewanku adalah manusia itu sendiri, yang kata beberapa orang frustrasi, "We are more than animal!" Itulah sebabnya, selagi la-ngit menangis dan bumi belum mati, aku ingin merasakan dan menikmatinya.
Karnaval terus bergerak. Sorak-sorai mengangkasa. Pesta sehari yang menghabiskan ratusan atau puluhan juta rupiah di seluruh pelosok negeri, betul-betul dinikmati orang-orang. Bisa jadi sebagai pelarian dari rutinitas keseharian, yang tidak jelas arahnya. Apakah nasib akan menuju ke
depan atau malah mundur. Yang penting, mari berpesta mengenang para leluhur yang mengorbankan darah untuk Bumi Pertiwi.
Siang panas di saat perayaan Kemerdekaan RI itu melemparkan mereka pada kenyataan, bahwa di satu pihak kodrat lelaki mengalir seperti halnya nenek moyang mereka yang gagah berani. Columbus si pembawa petaka bagi kaum pribumi Amerika, Marcopolo, dan bahkan nabi-nabi yang melanglang jagat menyiarkan ajaran-ajarannya. Lantas di lain sisi kodrat wanita kadang sebagai penggoda ibarat Cleopatra, Delilah, Ken Dedes; tapi juga penyejuk macam Kartini, Indira Gandhi, dan Madame Theresa.
"Suci...," napas Roy berada di ujung teng-gorokan, "aku berangkat minggu depan. Aku nggak akan ngomong apa-apa, selain pamit Minta restu.
"Mungkin setahun. Tapi mungkin juga cuma sekadar omong kosong. Aku cuma punya rencana, tapi Tuhan-lah yang jadi penentu.*'
"Kamu percaya Tuhan, rupanya," sindir Suci.
Roy menggigit bibirnya. Karnaval mencapai titik puncaknya. Selain pelajar yang geraknya semakin sempit dan tidak bisa apa-apa, berbagai instansi pemerintah, partisipan masyarakat, atau organisasi kepemudaan dengan seragam menakutkan pun
ikut meramaikan. Jutaan rupiah Judes-des hari ini, sementara oran
g-orang di pinggiran jalan banyak yang mumet mikirin uang pendidikan, kredit rumah, serta pajak yang disamaratakan dengan konglomerat.
Tapi biarlah, setidak-tidaknya anak-cucu para pahlawan akan menangis bahagia, karena leluhurnya dulu, hanya dengan bambu runcing dan asma Tuhan, berhasil mewariskan kebanggaan.
"Suci..." Roy menyentuh lengannya.
Bola mata Suci yang Jenaka berkaca-kaca. Matahari sore masih saja terik. Orang-orang mulai berseliweran dan karnaval pun usai. Pesta sehari yang gegap gempita. Kini Roy
sudah memutuskan, bahwa alam adalah pelariannya yang sempurna. Artinya: hidup di Pertiwi ini, setiap sarapan pagi cuma disur guhi berita koran tentang kebobrokan, kebohongan, ketamakan, dan sisi primitif manusia.
"Sudah hampir sore," seorang pelintas batas mengingatkan Roy untuk segera masuk ke PLB Tebedu, Malaysia Timur.
Gambar-gambar itu kini berlarian. Hilang mengangkasa untuk sekejap. "Di depannya kini ada sebuah bangunan yang jauh megah ketimbang PLB Entikong, Pontianak. Beberapa pelintas batas sudah menggenggam paspornya. Dan beberapa pemuda lugu dari pelosok Jawa antre satu-satu dengan wajah penuh kegembiraan. Tampaknya mereka ingin cepat-cepat meninggalkan tanah leluhurnya, karena di negeri seberang harapan hidup lebih baik membentang.
Roy menyeret langkahnya. Menyeret blue ransel-nyaDi depannya juga membentang hari-hari yang entah bentuknya akan seperti apa. Hari sudah sore. Matahari hampir turun.
III. BULAN Kebenaran itu seperti cicak, yang kita tangkap selalu cuma ekornya yang menggelepar seperti hidup sementara cicak itu sendiri lepas.
-Ivan Turgenev Si AVONTURIR bandel itu berada di mulut PLB Tebedu. Dia masih ragu-ragu untuk masuk ke dalam antrean. Orang-orang sudah banyak yang menyeberang ke Negeri Ringgit. Yang lewat travel biro tampak sangat mudah, tidak harus lewat prosedur macam-macam. Juga para tenaga kerja, sudah dikemas dan tinggal dikirim ke seluruh sudut Malaysia. Banyak bus yang siap mengangkut mereka ke seberang sana.
Roy masih menengok lagi ke buminya, yang akan ditinggalkannya. Salahkah kepu-tusanku ini" Dia melihat ke langit barat. Macahari mulai bergulir. Ayolah, Roy! Dia berjalan pelan-pelan dengan gundah gulana. Ada yang selalu menyertainya ke mana-mana, wajah mamanya, yang tersenyum dan menangis.
PLB Tebedu, Serawak, begitu mewah. Pemeriksaan barang-barang sudah dengan alat canggih. Inilah yang suka merepotkan orang-orang kita yang datang dari kampung hendak mengadu nasib di negeri jiran. Beberapa petugas customs setempat menerangkan ini-itunya dengan kesal.
Roy menuju sebuah taman kecil. Duduk di bawah sebuah pohon. Dia betul-betul menyisakan waktunya yang sedikit lagi untuk berpikir mantap agar tidak salah langkah. Segala sesuatunya tergantung saat ini.
"Enak, ya, jadi lelaki, Roy, bisa keluyuran ke mana-mana," kata Suci di sebuah sudut kota, ketika bulan sabit bertengger dikelilingi bintang. "Nggak ada yang bakalan berburuk sangka, yang ngusili. Orangtua pun nggak akan khawatir, karena lelaki memang jarang menjadi akibat."
Roy merebahkan badannya di rumput. Kedua lengannya dijadikan bantal. Matanya menatap bulan sabit, yang seperti memenggal jiwanya. Katanya pelan, "Aku nggak bisa nge-jawab omongan kamu. Suci. Sebetulnya seuntuk memilih, aku tentu akan memilih jadi perempuan.
"Diam di rumah bersama keluarga, menunggu sang pacar saban malam Minggu, dan nggak akan digunjingkan seperti kata kamu. Itu memang kodratnya."
"Tapi, harus bagaimana lagi""
"Nikmati sajalah peran yang sudah digariskan Tuhan ini. Suci. Kita masih beruntung ketimbang yang lain. Terlebih kamu, memiliki segala-galanya. Keluarga yang utuh, status, dan kehormatan. Sementara yang lainnya" Atau aku""
Suci menatap lelaki yang penuh gairah hidup, tapi kadang kala kesepian ini. Susah untuk menebak apa dan bagaimana dia. Yang ada di benaknya sekarang adalah lelaki peng-gelisah ini keras kepala. Tak mau menggubris perasaan orang lain, terlebih-lebih perasaan wanita, kekasihnya.
Mata Suci tampak berkaca-kaca, memantulkan bayangan benangnya air kolam. Bibirnya bergerak-gerak, tapi kini tak sanggup mengeluarkan sepatah k
ata pun. Dia merogoh kantong kemeja bermereknya. Sebuah surat beramplop romantis digenggamnya. Ragu-ragu dia menyodorkannya pada Roy.
"Semuanya ada di surat ini, Roy. Bacalah nanti di perjalanan. Aku nggak punya kekuatan apa-apa untuk melarang kamu," suara Suci tersendat-sendat.
Surat itu ada di telapak tangan Roy. Dipandanginya lama-lama. Jiwanya bergemuruh tidak keruan. Angin malam yang dingin menampar jiwanya. Dia memancarkan gejolaknya lewat bahasa mata. Beringsut. Menggenggam jemari Suci. Mengecup dan menciumnya dengan perasaan yang teramat sedih. Merasa akan kehilangan.
Pohon-pohon kenari melindungi mereka.
Tapi bulan sabit jadi saksi mereka. Sepotong bulan yang singgah di hati mereka. Sepotong bulan yang tetap mampu menerangi dunia. Menerangi hati manusia.
Bulan sabit yang tak ada dua indahnya selain purnama.
"Berapa lama, Roy"" Suci melepaskan diri dari cengkeraman Roy, yang nantinya bakal terus dirindukan.
Roy menggeleng lemah. "Aku nggak bisa janji kapan pulang. Aku mengikuti naluri saja. Mengejar matahari. Jika kangen, pulang adalah sebuah jawaban yang baik."
"nggak ada capek-capeknya, Roy""
Roy tersenyum. "Suci, kadang aku iri melihat petualang-petualang kita atau para traveler mancanegara, dalam usia yang relatif muda, bisa mencapai sebagian impian masa mudanya. Melanglang buana ke mana saja.
Ke puncak-puncak gunung. Menyundul langit dan meraih awan.
"Mereka dengan keberanian mencari kesempatan untuk melihat karya-karya agung Tuhan, tanpa karcis masuk. Karya agung yang sangat menakjubkan.
"Sejak kecil, impian itu selalu menyelimuti tubuh dan jiwaku. Papaku juga mengajari aku ke sana. Saban Sabtu sore, papaku mengajakku jalan-jalan ke Gunung Gede atau ke pelosok-pelosok desa."
"Betapa indah. Natural. Alami."
"Aku bilang sama Papa, ketika beliau menanyakan, 'Kalau udah gede nanti, mau jadi apa kamu, Roy"' Aku jawab, 'Petualang gunung. Menaklukkan dunia seperti Columbus atau Old Shaterhand. Semuanya bisa ditulis, kan, Pa"' Aku berani ngomong begitu sama Papa, karena itulah dunia Papa.
"Like father tike sonr
Suci diam saja. Roy memanggil tukang bakso. Memesan dua mangkok- Mereka membisu beberapa saat sambil menikmati bakso. Alun-alun kota yang dikelilingi pohon asam dan kenari berumur puluhan tahun, mengelilingi alun-alun dan melindungi orang-orang yang hendak berleha-leha, jika udara sedang panas.
"Kalau aku pulang nanti, kalau kamu nggak keberatan, aku pasti akan datang menengok kamu. Membawa oleh-oleh, tentu." Roy tersenyum. "Tapi terserah, pintu rumah mau kamu buka atau nggak. Atau kamu usir. Aku cuma ingin bersilaturahmi; melihat keadaan kamu beberapa tahun nanti.
"Ingatkah sama aku" Semakin suburkah perasaan itu padaku""
"Entahlah." "Yang jelas, aku akan selalu memelihara perasaan itu. Cuma, Suci, jarak nanti akan memisahkan kita. Jarak dan waktu. Ini sekadar pesan atau saran, kita masing-masing berusaha agar janganlah rindu itu dikobarkan. Berbahaya. Bisa membakar jiwa kita. Cukup dipelihara saja baik-baik. Disiram dan biarkanlah bersemi.
"Oh, sori, aku terlalu banyak ngomong, ya""
Suci cuma iseng-iseng mengumpulkan daun-daun kering.
"Suci, jika ada cowok yang naksir kamu, atau juga sebaliknya, aku nggak akan dan nggak punya hak untuk ngelarang. Bebas, bebaslah kamu bergerak. Jadilah wanita yang bertanggung jawab pada setiap tindakan yang kamu buat.
"Kamu ngedengerin omongan aku. Suci""
Si manis yang betul-betul merampok hati dan jiwa Roy, tanpa diduga, memeluk Roy. Mengecup keningnya. "Happy birthday, Roy. Tekat dua hari, ya, Roy"" katanya gembira.
Roy terkesima- Bergetar. Cahaya bulan sabit berpendar dan masuk ke dalam hatinya. Kata mama dan papanya, di bulan ada makhluk yang jadi mitos, Nenek Anteh, yang katanya menunggu bulan sambil menggendong bayi.
Ah, kenapa bulan sabit ini begitu indah cahayanya, tapi berumur pendek" Roy memeluk Suci. Penuh perasaan. Wajah mereka seperti tersemat di bulan sabit. Duduk berdua di singgasana. Menyaksikan dunia yang makin morat-marit.
Sejenak kemudian Suci dengan manja mendorong rubuh Roy. "Nanti ketangkep hansip, nggak bisa keliling dunia, rasain, lho!" tambahnya me
ncubit paha Roy yang mengaduh kesakitan.
"Aku sebetulnya nggak pernah inget hari lahirku. Apalagi merayakannya, wah, perlu modal banyak. Dulu ketika sweet seventeen saja, dibantuin si Toni, Mumi, dan Andi. Ya nggak ada artinya, cuma nongkrong di jalan. Atau ke bar-bar.
"Sekarang nggak lagi. Biarkan, saja umur
bergulir bersama hari. Aku nggak berani ngi-tung umur. Terasa seperti jadi tua dan pendek. Jadi biarkan sajalah."
Beberapa saat mereka menikmati bulan sabit. Buat mereka bulan sabit adalah sebuah harapan menuju purnama. Menuju kesempurnaan. Lewat cahaya dan bentuknya, mereka merasa menemukan keindahan yang tak akan ditemui di sanggar-sanggar lukis atau pameran lukisan di ruang-ruang ber-AC.
Bulan sabit adalah lukisan buat mereka. Lukisan agung, yang mewakili sepotong hati mereka. Tak ada lagi yang bisa direguk kini. Semua sudah paham, bahwa manusia itu punya keinginan berbeda. Ibarat sebuah pohon, betapa banyak ranting; yang ke kiri, ke kanan, ke atas, dan ke bawah. Semuanya mengambil jalur masing-masing. Semuanya menjadi diri sendiri.
Jadi berangkat menyeberang ke Serawak, Roy"
Anak adalah titipan Tuhan. Anak adalah masa depan.
Orangtua cuma melahirkan, mendidik, dan mengarahkan saja.
Oke, berangkatlah, Roy! Bulan sabit tiba-tiba tertutup segumpal awan.
Bumi jadi remang-remang. Kegelapan menyelimuti hati mereka.
Roy tercenung. Tinggal beberapa orang lagi yang sedang antre. Dia tetap belum mau menyeberang- Masih ada beberapa saat menjelang senja, ketika PLB Tebedu ditutup untuk pelintas batas kedua negara.
Si avonturir bandel itu merogoh-rogoh kantong luar blue ransel-nya.. Amplop yang romantis itu agak kusut. Selalu dibawa-bawa ke mana saja. Sudah hampir menjadi bagian dari jiwanya.
Beberapa burung kuntul terbang membentuk arah panah. Roy menikmatinya. Mereka pulang ke rumahnya, sementara sekarang aku malah pergi. Oh, Mama, sang pembidik, aku sebagai anak panah sudah lepas melesat. Aku masih mencari busur lain lagi, Ma, untuk bisa dibidik-kan lagi pada pembidik pertama, Mama.
Dibukanya lagi amplop itu untuk yang ke-sekian kali.
Dor, ketemu lagi! Sori, ya, Roy, kalau Suci ngomong pakai surat. Selama ini Suci mikir terus tentang kita. Hubungan kita. Ah, kenapa sih kamu brenti kuliah" Keliling dunia kan nggak mesti ngorbanin kuliah, Roy. Tau kan kamu, Roy, bahwa derajat manusia dinilai dari ilmu dan amal perbuatannya"
Roy, tadinya Suci nggak ingin ngeliat karnaval. Takut ketemu kamu. Ngapain. Kita kan udah nggak jelas hubungannya. Tapi, Suci kangen sama kota ini. Sekalian oma kamu juga yang norak. Apalagi, ketika denger dari temen-temen, bahwa kamu keluar dari kuliah dan mau avontur ke luar, saya tambah pengen libur ke sini. Ya, ketemu Apa sama Mamah juga sih. Maklum, minta subsidi.
Suci yakin, kamu pasti nongkrong di tempat
biasa. Ngegodain cewek-cewek, terutama anak drum band. Hobi kamu emang iseng gitu. Nge-selin. Tapi, sesudah dipikir, ditimbang, diperhatikan, diolah, dimasak (campur Ajinomoto), dan diputuskan (mirip TAP MP R, euy!), ya sudah, kamu pergi saja avontur, kalau memang itu obsesi kamu sejak kecil. Suci berdoa, semoga kamu sukses. Tentu Suci teh ikut seneng, bahagia, kalau kamu sukses. Kalau mati di jalan, yah, paling-paling baca tahlilan doang. Maga-moga nggak, ya. Roy,
Ntar kalau udah nyampe ke... ke mana sih" Ke Asia dulu, ya" Kirim post card, ya" Tiap negara, lho. Buat koleksi and so pasti prangkonya. Itu juga kalau masih inget Soalnya kata kamu di Bandung tempo hari, "Manusia itu dalam sekejap bisa saja berubah pikiran." Betul juga. Bisa kamu duluan, atau malah aku. Wait and see aja deh.
What else, Roy" Kayaknya surat ini panjang nih. Gini, Roy. Ada pesen. Keramat banget, lho. Pesennya samalah dengan mama kamu, yang tempo hari kamu omongin sambil tertawa-tawa. Satu, jangan lupa salat lima waktu. Number two, rambut nggak boleh gondrong kayak aliran metal tuh. Hih, kayak kuntilanak. Heh, sini tak omongin. Kamu itu lebih ganteng dengan potongan rambut pendek, lhol (Ge-er deh nih!) jadi dicukur, ya, Roy. Biar ngganteng. Ehem! Sungguh, lho, Ray, temen-temen pada bilang. Begicu, lho. Satu lagi. Ini yang
penting, lho. Tau, kan"
Suci tahu, kamu tuh pengagum cewek. Apalagi yang manis-manis kayak Suci. (Ge-er, ya. Tapi, emang manis kok. Buktinya, kamu kepelet.) Nah, di luar negeri nanti, jangan jail atau iseng, ya. Pesennya, Roy, jangan ngegaet cewek luar deh. Apalagi cewek bule, amit-amit. Kena AIDS, hiiih, tau rasa deh.
Tapi, up to you deh, Roy. Suci cuma ngi-ngetin, karena kamu itu sangat berarti buat hidup Suci. jiwa dan raga. Timbanglah dulu sebelum kamu berbuat sesuatu, karena itu di negeri orang. Adat istiadatnya jelas berbeda.
Udah, ya, petualang jalanan. Nanti Suci kasih surat lagi. (Asal kamu balas and ninggalin ala-mat. Di Poste Restante, Kantor Pos Besar, ya") Tungguin aja deh. Surat-surat Suci pasti deh bisa jadi obat kangen kamu.
Have a nice trip, anak bandel.
Akhir kata, "Cun cayang buat Loy ceolang."
Suci si Hitam Manis Surat itu dilipat dan dimasukkan ke kantong luar blue ransel-nya. Dia berdiri pelan-pelan. Menepuk-nepuk rumput yang menempel di pakaiannya. Sudah hampir senja. Ayo, Roy! Dia berjalan pelan-pelan. Blue ransel-nya diseret. Matanya berkeliling ke mana-mana. Di sini sudah tampak perbedaannya. Padahal cuma Pos Lintas Batas. Negara yang selalu menulis perbedaannya di koran dengan bangga. Terutama dalam hal ekonomi, yang mereka claim, bahwa mereka lebih besar empat kali lipat dari ekonomi Indonesia. Pada kenyataannya: Yesf
"Turis atau mau cari kerja"" Selalu pertanyaan sinis pada WNI seperti ini terlontar.
"Turis," Roy kalem saja.
"Bisa lihat kondisi keuangan""
"Banyak." Roy membuka dompet. Lembaran-lembaran dolar menyembul. "Silakan itung. Saya cuma seminggu saja kok. Cukup, kan" Dari sana saya mau langsung muter-muter Thailand." Nada bicaranya kedengaran sombong sekaligus jengkel. Sombong, karena kebanyakan dari mereka selalu menganggap rendah pelintas batas dari bumi kita. Jelek, pelayanan mereka selalu dengan sebelah mata, walaupun pada dasarnya mereka beker-ja secara profesional. Cuma mungkin kepada -pelintas batas dari kita mereka cenderung menganaktirikan, sehingga muncul anekdot "Mau kerja atau turis"". Kalau kerja, silakan pergi, dan turis, oh, Welcome!
Ketika acara bongkar tas, si bandel sempat kebat-kebit juga. Dadanya berdebur keras, kuatir tragedi Basri Masse akan terulang. Dia melihat beberapa petugas membeset beberapa karung dengan pisau, sehingga isinya amburadul.
Ada tiga orang lagi di depan si bandel. Yang membuat nyalinya tidak bisa diam adalah isi di kotak P3K. Obat-obat. Selain jenis obat-obatan penyelamatan pertama: obat merah, obat flu, dan sebagainya yang bersifat luar, ternyata si bandel juga menyelipkan beberapa lembar tablet laknat, yang dengan mudah dapat dibeli di Pasar Senen atau Tanah Abang.
Tinggal dua orang lagi. Setahu dia, benda-benda narkotika, ganja, misalnya, itu sangat berbahaya sekali jika dibawa masuk ke negara Malaysia ini. Tanpa ampun, nyawalah bayarannya. Tapi, tablet laknat" Tiba-tiba, si bandel kelihatan sibuk. Dia membongkar isi ranselnya tanpa basa-basi. Isinya amburadul- Dia berteriak-teriak, "Mana kamar kecil! Kamar kecil!" sambil mencari-cari kotak obat di ransel.
Beberapa petugas memperhatikannya.
"Saya sakit perut." Roy sebisa mungkin bersandiwara. Kotak obat itu dilapisi handuk.
Seseorang menunjukkannya. Roy melihat nasib si orang yang membawa barang cetakan lebih parah. Barang-barangnya disita! Tak ada pikiran lagi untuk itu. Dia langsung mengunci pintu kamar kecil. Membongkar kotak obat sambil memutar keran, agar air mengucur terus. Tanpa banyak pertimbangan, obat-obat laknat yang menghancurleburkan hampir sebagian besar remaja kita, dibuang ke toilet. Tanpa sisa. Beberapa butir memang ditelannya. Sayang juga sih, jika mengingat soal harganya yang mencekik kantong.
Hati Roy kini mantap. Sambil bersiul-siul dia keluar dari kamar kecil. Menuju tempat air mineral yang selalu tersedia di setiap sudut. Pura-pura meminum obat sakit perut. Lagaknya betul-betul jempolan. Dia mengangguk dan menjawab cas-cis-cus sambil tersenyum, jika ada petugas yang menanyakan kondisi perutnya.
Tapi ketika dia tiba ke tempat pemeriksaan barang, blue ransel, bagian ji
wa dan hatinya, raib entah ke mana. Dia berubah kalap. Naluri primitifnya melonjak. Dia berteriak-teriak tapi para petugas malah ketawa-ketawa.
Si bandel itu semakin gusar dan meledak-ledak.
Blue ransel, blue ransel, oh!
Dia merasa sia-sia dan kecewa, karena baru saja melangkah segalanya sudah diputuskan untuk sia-sia di sini.
Matahari sudah bergulir. Langit barat begitu indahnya dengan perpaduan warna: merah, biru, dan kuning. Warna senja yang khas. Warna yang tak akan bisa kita dapati di lukisan-lukisan mana pun.
Tapi Roy tak bisa menikmati senja itu.
IV. TRAVELER 1 aku manusia pejalan dari kemarau ke bulan melepas fajar menanti senja mengejar bayanganku sendiri
"jangan tinggalkan rumah," kata Ibu karena di sana aku lahir, besar, dan mimpi-mimpi tapi aku lompati pagar aku ikuti jalan raya
memilih barat ketimbnjig timur hanyut di sungai, terapung di lautan, terkapar di jalanan
aku lelaki pejalan tak tahu kapan mesti berhenti
-Heri H. Harris Si BANDEL berambut gondrong itu kalang kabut, panik, dan berkeliaran ke mana-mana menanyakan blue ransel-nya. Oh, jangan sampai tragedi blue ransel terjadi lagi. (Baca Balada Si Roy 5: Blue Ransel.) Dia memang gampang meledak-ledak, pemberang, dan kadang lepas kontrol. Seorang psikiater memang harus memeriksa jiwanya. Dia terlahir dari dua lingkungan yang berbeda latar belakangnya. Si ibu yang orang kebanyakan dan si ayah yang dari kelompok feodal, sisa-sisa masa lalu. Atau juga pengaruh dari masa remajanya yang berantakan: meminum air api, tablet berwarna, dan rumput-rumput kering terbakar. Yang kesemuanya musuh seluruh bangsa. Musuh orangtua, tapi malah jadi sahabat dekat anak muda.
Entahlah, siapa di sini yang salah.
Keseimbangan emosi orangtua dan si anak memang sudah dalam batas yang tak jelas sekarang.
"Don't panic, boy" kata seorang petugas customs.
"Okay, okay! But, blue ransel gue mana"" kata Roy dalam bahasa Inggris amburadul.
Beberapa petugas tertawa dan menggiring Roy menuju bus. Beberapa penumpang sudah duduk dengan rapi, sudah kebiasaan mereka. Kalau penumpang kita selalu berebut naik, takut tidak kebagian tempat. Tapi di sini tidak.
Semua mengerti, siapa yang pertama antre, dialah yang berhak naik duluan. Ongkos untuk ke Kuching terjangkau, cuma delapan ringgit (1 dolar US = 2,5 ringgit). Bus dengan interior bagus. Ada bel di setiap tempat duduk, sehingga jika ada penumpang yang ingin turun tinggal memijit, dan harus hafal letak-letak shelter bus- Tak akan ada seorang sopir yang menaik-turunkan penumpang selain di shelter bus. Mereka pun menjalankan busnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sekitar delapan puluh atau tujuh puluh km/jam.
Seorang kondektur menunjuk blue ransel di tumpukan barang. Sialan! Dia memaki kebodohannya sendiri. Ranselnya sudah dikemas dan rapi. Rupanya mereka memberikan service yang jempolan."
"Welcome to Malaysia," kata kondektur tadi dengan ramah. Ini salah satu cara mereka untuk mengeruk dolar lewat pariwisata- Kabarnya dana untuk berleha-leha ini 40 juta dolar US, Broer! Maka jangan kaget jika dalam Visit Malaysia '90, mereka kebanjiran turis sebanyak 7,5 juta jiwa! Bandingkan dengan kita yang cuma kebanjiran 2,5 juta jiwa pada VIY '91 lalu.
Roy, si petualang jalanan, menghela napas. lega. Plong. Kini kelelahan dan kesedihan mulai merembes, karena bus mulai merayap. Dia melihat pepohonan dan persawahan berlarian dari balik jendela, seperti meninggalkannya. Bumi hampir mati, Roy. Hutan, gunung, sungai, laut, semua sudah di ambang kehancuran. Alam semesta kini terletak di tangan konglomerat yang duitnya dari kita-kita juga. Makanya, sebelum bumi mati, susurilah. Nikmatilah keagungan Tuhan itu.
Roy memejamkan matanya. Terlelap. Wajah mamanya hadir bersimbah air mata, persis ketika mereka sama-sama menangis diguyur hujan, ketika orang yang mereka cintai tewas di sebuah gunung di Irian.
"Ke luar negeri, Roy"" cemas sekali suara mamanya.
Roy mengangguk, tapi tak mampu menatap wajah mamanya. Dia berjalan dan melihat ke luar lewat jendela kamarnya. Di sana ada orang-orang seusianya, yang entah akan bagaimana nasibnya. Setelah lulus SMA, karen
a tak ada biaya kuliah, paling-paling mereka jadi buruh pabrik dengan standar gaji yang dipaksakan.
Mamanya mengajaknya ke ruang tamu. Mereka berdiri di depan sebuah foto ukuran 20R. Seorang lelaki gagah, dengan celana berkantong besar-besar, sepatu gunung, scarf merah (warna ini simbol keberanian, kata si ayah), dan ransel berwarna biru seperti yang dimiliki Roy.
"Papamu dulu ingin sekali menaklukkan puncak-puncak gunung di luar negeri, Roy. Seperti Seven Summit Climbing, Pendakian Ketujuh Puncak Dunia," mamanya bernostalgia. Matanya berkaca-kaca. "Tapi papamu, dia lebih suka jalan sendiri. Katanya, 'Yang membuat aku bahagia ketika naik gunung, bukan ketika berada di puncaknya, tapi ketika sedang mendakinya.
"Melihat persawahan, desa-desa terpencil, dan suara satwa alam yang merdu. Dia paling gemar mandi di sungai, ikut membajak sawah bersama petani. Bagi papamu, puncak gunung tidaklah begitu penting, karena tak ada kehidupan di sana. Tak ada interaksi sosial dengan manusia.
"Tapi sesekali, jika berada di puncak sebuah gunung, papamu bilang, 'Ma, kok ternyata di gunung itu ada yang lebih tinggi lagi, ya" Batu atau kerikil, misalnya. Atau yang lebih tinggi lagi. Jadi sebetulnya, apakah yang tertinggi, yang ditaklukkan itu"' Itulah kata papamu, Roy.
"Berdialog dengan Tuhan lewat alam, itu memang sangat disukai papamu. Kata papamu, 'Ma, aku baru tahu bahwa ternyata teori dan praktek itu sangat jauh berbeda. Contohnya petani. Di sekolah kita diajari bagaimana caranya bertani yang baik, tapi mereka tetap begitu-begitu saja. Alat-alat canggih belum bisa masuk, traktor misalnya.
'"Mereka tetap menggunakan kerbau untuk membajak sawah, tapi para pengusaha kadang memborong hasil tani mereka dengan harga sangat murah.
"Puncak di Bogor, misalnya, kata papamu lagi, 'Suatu hari. Puncak mungkin akan amblas dan porak-poranda. Persediaan air tak bisa tertampung lagi dan risikonya, Bogor atau Jakarta akan kewalahan. Banjir kiriman. Bisa jadi, Ma, Jakarta akan tenggelam. Jakarta akan lenyap di muka bumi ibarat benua Atlantis.'


Balada Si Roy 09 Traveller Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Roy, itulah yang sering Papa bicarakan sama Mama, ketika masa pacaran dulu Papa bilang lagi, 'Pengusaha tahunya cuma harus ada tanah. Lantas mereka membangun gedung-gedung dan perumahan tanpa memperhatikan bahwa pepohonan itu adalah paru-paru kita.'
"Papamu termasuk meledak-ledak, seperti kamu inilah. Lelaki memang harus begitu, mungkin. Mama harus rela. Harus mau melepas kamu. Kalau saja semua orangtua seperti Mama, Roy, mungkin akan ada berjuta-juta ibu yang menangis sedih dan kesepian, karena ditinggalkan anak lelakinya. Kebanggaannya."
Roy menggamit bahu mamanya. Mereka masih saja mengagumi potret lelaki gagah itu, yang sangat digilai cewek-cewek kampus dan
paling pemberang di antara kawan-kawan grup pencinta alamnya.
"Cuma, impian papamu tidak kesampaian, Roy. Dia tampaknya memilih mati di gunung. Di keheningan alam, tanpa sumpah serapah dan kepanikan. Papamu menikmati kematian-nya dengan berdialog langsung dengan Tuhan."
Mata Roy berkaca-kaca. Seorang ayah adalah dambaannya. Dia tidak lama merasakan kehangatan seorang ayah. Setelah umur tujuh tahun, dia tidak bisa merasakan kemanjaan yang diberikan ayahnya lagi. Dengan Joe, anjing herder hadiah ulang tahun dari Papa, mereka suka avontur ke luar kota. Sekarang, itu tidak akan pernah lagi.
Oh, Papa. Makna pelangi, yang Papa ajarkan ketika duduk di atas genteng, tentang dewi-dewi yang tengah mandi, padahal sebetulnya di balik itu ada sesuatu yang lain. Pelangi (baca Balada Si Roy 6: Solidarnos) adalah sebuah legenda tentang putri-putri yang sedang mandi dan Jaka Tarub, seorang pemuda kampung yang mencuri selendang salah seorang putri. Kemudian mereka beranak-pinak. Tapi sebetulnya, pelangi itu sebuah lukisan abadi, yang tak bisa dibeli berapa pun harganya. Tak bisa dinanti setiap saat. Sebuah keajaiban dunia, melebihi Tujuh Keajaiban Dunia lainnya ciptaan manusia: Borobudur, Tembok Cina, dan sebagainya. Itulah yang selalu diajarkan papanya, bahwa lewat alam tersembunyi hakikat hidup: tentang kebesaran, keagungan, keindahan, dan kemisteriusan Tuhan.
"Mama takut n anti kamu seperti Papa, Roy." Mamanya tersedu-sedu. "Kamulah milik Mama satu-satunya."
Roy merangkul mamanya. Merebahkan kepala mamanya di dada. "Nggak, Ma, nggak. Roy nggak akan naik ke puncak-puncak gunung. Roy cuma traveling, Ma. Melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lainnya. Gunungnya adalah kota, Ma. Hewan-hewannya adalah manusia.
"Kalaupun naik gunung, paling-paling Roy cuma sampai di kampung terakhirnya saja. Seperti juga Papa, melihat desa terpencil, sungai, dan persawahan."
"Keliling dunia, Roy" Oh, itu memakan waktu lama. Bertahaplah dulu, Roy. Mama nggak akan kuat hidup kesepian tanpa kamu. Bertahaplah, Roy.
"Umpamanya kamu pergi setahun. Mama mungkin masih bisa tahan. Tapi jika lebih dari itu, dua atau tiga tahun, atau . Oh, Roy, janganlah lakukan itu. Mama sudah tua dan lelah.
"Ya, ya, betul kata kamu, jika kangen sama kamu, Mama baca saja tulisan-tulisanmu di majalah. Mungkin itu cara yang terbaik agax Mama merasa kamu masih tetap seperti ada di samping Mama.
"Tapi setahun saja, Roy.
"Seimbangkanlah keinginanmu dengan Mama, Roy.
"Kalau nanti Mama meninggal di saat kamu dalam perjalanan karena Mama didera kekuatiran, kesedihan, dan kegelisahan memikirkan kamu, bagaimana, Roy"
"Bahagiakah kamu, Roy""
Roy tersentak. Mamanya berbicara tentang kematian. Ini melemparkannya ke masa lalu. Ke almarhum papanya. Oh, tidak, tidak. Aku tidak ingin kehilangan keduanya. Aku akan semakin kesepian dan bisa jadi gila kalau begitu nantinya. Tidak, tidak, Ma. Itu tidak akan terjadi.
"Ya. Roy pergi setahun saja, Ma." Koy memeluk mamanya, seperti takut akan kehilangan. Mereka lama sekali berpelukan. Mata Roy basah. Dia mengusap air mata yang mengalir di pipi mamanya.
'Ma, kawin lagi aja deh!" Roy iseng-iseng bicara, supaya tidak tegang melulu. "Biar ada yang nemenin kalau Roy lagi avontur."
Mamanya tertawa kecil dan mengacak-acak rambut anaknya yang bandel. "Cariin dong,"
timpal mamanya. "Bener nih""
Mamanya ngeloyor ke dapur sambil tersenyum simpul. Dari dapur dia berteriak, "Pergi, pergilah, Roy. Mama sudah kuat sekarang. Tepatnya harus kuat. Tapi inget, jika suatu hari Mama minta kamu untuk pulang, ya pulanglah, karena itu berarti kemampuan Mama sudah dalam batas maksimal. Sudah kritis."
"'Siip lah, Ma!" teriak Roy.
Seseorang menepuk pundaknya. "Sudah sampai. Kak."
Si bandel celingak-celinguk. Sudah menjelang pukul delapan malam. Semuanya serba asing. Tak ada satu pun penumpang kecuali dirinya yang belum turun. Penumpang yang lain rata-rata sudah dijemput atau dikoordinir oleh sebuah biro jasa. Mereka punya tujuan pasti. Tapi Roy seorang traveler, tujuannya cuma mengejar matahari dan mencoba menginjak bayangannya sendiri.
Dia duduk di sebuah kafe terbuka. Memesan susu panas. Mengelilingi pandang. mi Kuching, ibu kota Serawak, Malaysia Timur. Kota tua. Bangunan-bangunan kolonial Inggris masih megah dan dirawat untuk dijual pada turis- Jalan-jalannya kecil, ibarat lorong-lorong di seputaran Blok M. Tapi, lalu lintas tidak membludak seperti di Jakarta yang menyebalkan.
Kota Kuching, yang dibelah Sungai Serawak, telah diubah segalanya oleh seorang avonturir Inggris, James Brook, yang singgah tahun 1840. Tadinya pada abad XIII-XIV kota ini di bawah cengkeraman Sriwijaya dan Majapahit. Konon, di sepanjang sungai itu berkeliaran kucing beragam jenis, sehingga di pusat kota terdapat museum kucing. Akhirnya, kota ini jadi beken dengan nama Kuching.
Roy jadi teringat kota Bandung dengan gedung-gedung tuanya. Sambil menyeruput susu hangat, dia mempelajari peta. Di seberang jalan dia melihat serombongan pemuda lugu, para pencari kerja yang dilihatnya di konsulat Malaysia, Pontianak. Mereka tampak kebingungan dan seperti tidak ada yang jadi komando.
Malam mulai sepi. Lengang. Jalan-jalan kosong. Orang-orang tampaknya tidak begitu suka jalan-jalan sore, ngeceng, atau bikin acara "gila-gilaan" seperti remaja kita. Koboi Bandung ngebut di Dago, misalnya. Joki-joki Surabaya di Darmo, driver-driver Betawi di kawasan Thamrin-Sudirman. Tapi, di sini selepas pukul delapan malam, sepi-pi!
Tiba-tiba seseorang dari mereka mendekati meja Roy.
Ikut duduk dan tampak serba salah serta gelisah.
"Ada apa, Mas"" Roy tersenyum. "Ada yang bisa saya bantu""
"Saya..." Dia berpikir sejenak. Logat Jawanya kental sekali. "Saya ndak tahu alamat ini, lho. Mas." Dia menyodorkan sebuah kartu nama.
Dari mulutnya, meluncurlah cerita bahwa dia bersama sepuluh orang lainnya berhasil diberangkatkan ke sini sebagai TKI, setelah hampir setengah tahun menunggu. Awalnya, beberapa calo gerilya ke desa-desa. Dengan Rp7OO.OO0,0O kita bisa berangkat ke Malaysia. Setelah terkumpul beberapa orang dan tentu harus bikin paspor (kalau mampu biaya sendiri), mereka digiring ke Surabaya. Diberi pengarahan. Tentang ini-itu. Bla, bla, bla... Yang ironis, gajinya turun sekian persen dari yang dijanjikan, Rpl5.000,00 per hari. Terus Semarang. Begitu juga, bla, bla, bla... plus penurunan gaji lagi. Terakhir di Pontianak. prosesnya agak lama, karena yang belum punya paspor harus bikin SPLP. Pihak penyalur TKI itu berhubungan dengan beberapa oknum setempat untuk urusan KTP, lantas SPLP pun keluar dalam tempo satu tahun. Beres sudah. Secara bergilir, seperti berangkat naik haji, mereka dikirim sampai ke perbatasan. Dari sana dijemput oleh calo perusahaan Malaysia. Pada proses akhir ini, gaji pun dipotong lagi hampir dua pertiga persen dari yang dijanjikan. Kalau keberatan, dipersilakan pulang dengan hormat.
Ternyata orang gendut yang mengeluh pada Roy itu bilang, di perbatasan tidak ada yang menjemput. Begitu juga di terminal bus stand ini. Mereka betul-betul buta.
Roy membuka peta. Tidak mudah mencari alamat yang dimaksud. Mau tidak mau, akhirnya Roy berjalan di muka, memegang peta. Tak perlu bertanya pada siapa-siapa, pun pada polisi, karena ketika mereka tahu bahwa kita dari Indonesia, pikiran negatif langsung bermunculan. Entah karena luka lama soal konfrontasi atau TKI ilegal.
"Mau cari kerja. Dik"" Si Gendut menjajari langkah Roy.
"Cuma turis, Mas." Roy tersenyum.
"Pakai paspor""
Roy mengangguk. "Kerja aja di sini."
Roy agak tertarik. Dari informasi dia, untuk jadi penjaga pom bensin saja sehari bisa dua belas ringgit. Mengecat sekolah atau gedung, malah bisa kena 25 ringgit. Pantas, betapa banyak pemuda-pemudi kita berlarian ke negeri jiran, karena uang yang beredar di Indonesia sekacang 80% berada di Jakarta.
"Tidur di mana"1' si Gendut bertanya lagi.
"Gampang. Bawa steeping bag dan tenda kecil. Mas. Mungkin di camping site, bumi per-kemahan kayak Buperta Cibubur, tuh yang buat pramuka."
"Wah, tidur sama kita saja, Dik. Ndak apaapa, lho. Ini rumah penampungan. Banyak orang Jawa di sana. Udah, ikut sama kita saja, ya!" Si Gendut menggamit bahu Roy.
Tentu saja Roy senang. Lumayan, ekonomis. Menjadi seorang traveler memang harus begitu, bisa membaca situasi dan kondisi. Mempelajari manusia dengan cara berkomunikasi langsung, tidak melulu cuma membacanya lewat buku. Itu lebih bagus. Mengadakan kontak langsung itu lebih penting ketimbang yang lainnya. Jadilah seorang ekstrover, yang tidak punya prasangka buruk. Tapi, waspada tetap diperlukan.
Kini Roy berada di Sato Street, sebuah kawasan pertokoan. Ramai sekali. Ada pasar senggol, yang satu-dua mulai berkemas. Mereka menuju sebuah tempat makan. Mengambil satu meja besar. Acaranya makan malam. Semua makan dengan lahap dan bayar masing-masing. Tapi, si Gendut, dengan sedikit memaksa, meminta membayar makan malam Roy.
Sekilas Roy memperhatikan si Gendut, yang begitu riang dan tampaknya lebih berpendidikan di antara sembilan orang lainnya, yang betul-betul produk desa, yang tak mengerti modernisasi. Si Gendut tampaknya disegani oleh yang lainnya.
Roy tanya sana-sini dan tidak mengalami kesulitan untuk menemukan alamat penampungan para TKI itu. Semua pedagang pasar senggol kelihatannya begitu penuh tenggang rasa dan memberikan harga-harga khusus bagi calon TKI itu. Dari bisik-bisik, beberapa tahun ke belakang, mereka sama juga, imigran gelap, dan sekarang sudah bisa bernapas lega. Sayangnya, mereka tidak berniat untuk pulang lagi ke negeri leluhur. Bumi Pertiwi kita.
V. TRAVELER 2 Aku seperti air sungai berteman sampah, limbah, dan tak peduli sumpah ser
apah, terus, terus mengalir ke samudra, tak habis-habisnya,
-Heri H, Harris Sebuah rumah besar berlantai dua di jantung
kota Kuching, Beberapa orang berdiri dengan wajah kelelahan, tapi sorot mata mereka bersinar gembira, ibarat bocah-bocah vane baru mendapat mainan impiannya. Mereka saling
pandang dan tersenyum, karena perjalanan panjang dari tanah Jawa sepertinya akan berakhir di sini.
Dua-tiga orang keluar dari rumah besar berlantai dua itu. Menyambut mereka dengan
sukacita. Kalau ditilik dari tampangnya, mereka rekan senasib. Sama-sama pemburu ring-git. Sama-sama menggantungkan masa depan
pada sesuatu yang samar, yang bisa saja seperti langit biru atau mendung. Tak ada yang tahu pasti akan berakhir seperti apa.
Mereka dibawa ke lantai atas, setelah melewati ruang tamu yang cuma punya pesawat TV colour, tanpa kursi tamu. Roy menggigit bibirnya, ketika melihat juga tak ada apa-apa di ruangan itu. Sudah ada sekitar lima orang yang mengambil tempat. Yang lainnya dengan tenggang rasa, tanpa berebut, mencari-cari tempat. Yang membawa tikar menggelarnya. Ada yang cuma menjadikan tasnya sebagai bantal dan langsung rebahan. Bahkan dua orang langsung pulas tertidur- Mungkin mereka ingin bermimpi indah.
Roy menunggu giliran akhir saja. Dia masih kebagian tempatdi ujung, memepet ke tembok.
Rumah besar berlantai dua ini, lantai dasarnya dihuni sepasang suami-istri. Si suami bekerja di konsulat. Mereka menempati sebuah kamar. Dapurnya dipergunakan untuk semua, para calon TKI itu. Di lantai atas ada tiga ruangan. Dua ruangan yang tanpa perlengkapan apa-apa dipakai untuk menampung calon TKI. Satu ruangan untuk lelaki, dan satunya lagi untuk wanita. Ruangan yang terakhir dihuni pasangan suami-istri lain, yang mengurus serta menggenggam nasib baik atau buruk mereka.
Roy membuka sleeping bag-nya untuk alas tidur. Dia berbaring. Matanya belum terpejam. Dia berusaha merasakan apa yang sedang terjadi di ruangan ini. Kelelahan ternyata mengalahkan segala-galanya.
Malam pun menurunkan jubah-jubah hitamnya.
"Sini, Roy," kata lelaki yang bekerja di konsulat. Dia sedang asyik memberi makan burung-burung dalam sangkarnya, pada sore yang cerah.
Roy sudah satu hari di sini, tapi sudah banyak mendengar persoalan yang meluncur dari para TKI. Yang sudah sangat sering ditulis di koran-koran. Persoalan-persoalan yang bikin trenyuh, muak, dan jengkel. Di sinilah segalanya jadi jelas bagi Roy, bahwa ada orang-orang yang punya uang dan wewenang, juga keserakahan dari kedua negara- Indonesia dan Malaysia, yang mengakali si bodoh. Si pintar, memang suka iseng atau mengisengi si bodoh. Tampaknya legenda David melawan Goliath cuma isapan jempol untuk zaman sekarang. Atau si semut yang bikin keok si gajah. Semua legenda dan pepatah itu, mau tidak mau harus disebut omong kosong sekarang.
"Ada rencana pergi"" tanya si pegawai konsulat.
Roy mengangguk. "Mau ikut nganter, Mas," kata Roy. Dia bercerita, ada tiga wanita yang hendak dikirim ke sebuah perusahaan kayu di belantara Serawak, sebagai pembantu. "Kok orang-orang dari perusahaan kayu itu nggak datang menjemput sih, Mas"" tanya Roy. Tambahnya lagi dengan penasaran, ketiga wanita itu cuma diberi petunjuk untuk naik motor boat, menyusuri Sungai Serawak. Di pemberhentian terakhir, beberapa orang dari pihak perusahaan akan menjemput. Dari sana, kabarnya, mereka akan diangkut dengan jeep ke tempat tujuan.
Si Mas menerawang. Dia seperti tidak mampu berbuat apa-apa. Dia cuma sebagai penyewa lantai bawah rumah besar ini, tapi saban hari dia dipaksa untuk menyaksikan orang-orang senegerinya menderita, yang tidak pernah didaftarkan ke konsulat oleh para penyalurnya.
"Tinggal beberapa hari di sini saja, kamu akan melihat mereka datang dan pergi. Mulanya, wajah mereka begitu gembira, tapi beberapa hari kemudian, mereka akan kembali ke sini. Mengadu dengan putus asa, minta dipulangkan, karena sudah dibohongi."
Baru sehari di sini, Roy sudah banyak mendengar. Betapa kenyataan lebih memuakkan ketimbang yang ditulis di koran-koran. Seperti pemuda yang bekerja di sebuah penggergajian kayu itu. Dia ditempatkan di belantara.
SPLP-nya ditahan bos setempat, yang sudah kaya tapi tetap rakus. Dia tidak pernah sadar bahwa visanya tidak diperpanjang. Dan tidak terpikir olehnya untuk menanyakannya, karena yang ada di benaknya cuma bagaimana caranya mengumpulkan ringgit untuk membayar utang-utangnya di kampung. Ketika sadar visanya tidak diurus sang majikan brengsek, dia kabur karena diancam akan dilaporkan pada polisi. Gaji yang suka dibayarkan telat pun amblas-blas. ini cuma satu cerita bodoh. Masih banyak kebodohan dari negeri kita, yang dijadikan lelucon di negeri jiran ini.
Pemuda itu sekarang ada di sini. Di rumah besar berlantai dua. Bajunya compang-camping dan wajahnya begitu menderita. Roy pernah bercakap-cakap dengannya, yang sejak pertama kali dilihat oleh Roy, pemuda itu cuma meringkuk lemah.
'"Saya belum makan sejak lima hari yang lalu," katanya lirih.
Roy terperanjat. Padahal di dapur banyak makanan. Setiap jam makan tiba, para calon pekerja itu menuju dapur. Memasak ramai-ramai dengan lauk ala kadarnya, yang dijatah dari penyalur yang mengirim mereka ke sini.
"Saya malu," katanya pasrah. "Sudah dua minggu saya di sini. Saya ingin pulang, tapi..." Dia tidak sanggup meneruskan kalimatnya.
Saat itu juga Roy mengajaknya untuk ke luar rumah, makan ala kadarnya di warung-warung pinggir jalan. Itu pun jaraknya cuma beberapa belas meter dari rumah, karena kalau jauh dia keberatan. Tepatnya ketakutan. Siapa tahu ada polisi yang curiga dan memeriksa surat keterangannya.
Pihak konsulat, seperti yang diceritakan si Mas, bukannya tidak tanggap dengan persoalan ini. Sudah terlalu sering dan bikin pusing. Hal-hal seperti ini kan tidak sekadar cuma membalikkan tangan lantas sim salabim. Kasus-kasus seperti ini akan mudah penanganannya jika yang terlibat namanya terdaftar di konsulat.
"Nama saya memang tidak terdaftar. Entahlah, kenapa bisa begitu," dia memaki kebodohannya. Padahal, dia pernah setahun duduk di akademi. "Yang saya pikirkan, cuma bagaimana caranya menyeberangi perbatasan. Tak ada uang pun, kalau yang namanya di negeri sendiri, tak ada masalah." Dia menerawang jauh.
Wajah-wajah penuh cemas, harapan, dan
impian yang tak menentu itu pun tergambar lagi, ketika Roy mengantar tiga orang wanita naik boat. Betapa menyedihkan melihat mereka saling berjabat tangan dan mengingatkan untuk hati-hati.
"Kalau ndak betah, balik lagi aja," kata seorang lelaki yang mengantar pada mereka, dalam bahasa Jawa yang kental.
Dua hari berikutnya, Roy menyaksikan orang-orang datang dan pergi dalam rombongan kecik Semua pembicaraan mereka direkamnya baik-baik. Tak ada yang bernasib mujur pada akhirnya- Beberapa orang memang masih nekat bertahan di sini, menjadi apa saja, ketimbang pulang dengan tangan hampa dan ditertawakan orang sekampung.
"Saya mau ke Kuala Lumpur. Ikut, Roy"" Japri menawarkan. Kisahnya cukup seru juga. Selepas di penggergajian kayu selama tiga bulan, dengan gaji di luar yang dijanjikan, dia part time jadi tukang las di galangan kapal. Sudah satu tahun, terhitung dari awal meninggalkan kampung, dia kini punya uang ala kadarnya dan bersiap-siap bertualang lagi di Kuala Lumpur. Rupanya dia memiliki keberanian dan menyukai tantangan.
Roy belum menjawab tawaran itu. Dia lebih tertarik meneliti dinding kamar dari papan, yang dibangun menempel di dapur rumah besar berlantai dua ini. Betapa darurat. Dinding itu penuh gambar wanita berbikini dan coretan-coretan yang bikin kita mengelus dada. "Sapi dan sawah ludes, ringgit pun amblas," Roy membacanya dalam hati. Yang lain, "Utang 700,000 perak menunggu di kampung, kerbau pun kelimpungan." Atau yang menggelitik, "Kasih, Mas, terlibat utang. Doakan, ya, biar bisa pulang kampung."
Japri tertawa dibuatnya. "Mereka orang-orang bodoh," katanya terus tertawa. "Penderitaan kok digembar-gemborkan." Dia menyulut rokok.
Pada hari keempat, Roy merasakan kebosanan yang sangat. Tak ada apa-apa di kota ini. Tak ada gelegak. Tak ada riak- Apalagi setiap menjelang tidur, dia harus mau mendengarkan keluh kesah mereka. Lama-lama dia bosan juga mendengar penderitaan orang, karena tidak sanggup berbuat apa-apa. Adalah sangat
Penyewa Kamar Berkerudung 1 Love Latte Karya Phoebe Expected One 1
^