Pencarian

Bukan Impian Semusim 1

Bukan Impian Semusim Karya Marga T Bagian 1


BUKAN IMPIAN SEMUSIM Marga T Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Djvu: http://ebukita.wordpress.com
Edit & Convert to Jar, Txt, Pdf: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
- ini adalah kisah fiktif
- segala persamaan nama tokoh, tempat, serta plot hanyalah kebetulan belaka
Pengantar Khusus Bukan Impian Semusim Ini adalah Bukan Impian Semusim yang sudah saya revisi. Dialog-dialog diubah dan dipersegar. Menanggapi keluhan banyak pembaca, maka akhir kisah pun saya rombak menjadi happy-end. Selain itu memang sebaiknya Miki disembuhkan saja, sebab perkembangan Kedokteran sudah maju pesat sekali. Alasan terakhir adalah karena versi yang dulu memberi kesan seakan Tuhan mau membalas dendam terhadap Nina yang batal masuk biara, dan Miki penyebabnya. Dalam versi ini Tuhan justru membalas kesetiaan Miki dengan berlipat ganda, sebab dia sudah mempersembahkan kedua anaknya bagi-Nya.
Walau kau telah mengingkariKu,
Jangan mengira Aku tak lagi mencintaimu.
(terjemahan bebas dari lagu rohani)
Nama Adri saya ubah menjadi Miki agar tidak keliru dengan Andi, anaknya.
-Pengarang dipersembahkan kepada: - semua guru-guru saya di SMP dan SMA Santa Ursula, terutama Pak Taryo yang merasa dilupakan murid-muridnya.
- semua teman-teman sekaula walau jauh kita berpisah dalam kenangan kita
jumpa sampai nanti di suatu pesta.
- sebuah puri tua, dengan anginnya yang semilir menyejuki otak yang panas terbakar Stereo, dengan tanahnya yang sarat kenangan, dengan dindingnya yang menyimpan gema rahasia masa lalu.
- semua yang tidak abadi, topi toh abadi juga, dalam kenangan.
Bab 1 BAPAK Aljabar berdiri sebentar di muka kelas III B, lalu melihat arlojinya. Jam sebelas lewat lima. Dia menghela napas lalu membuka pintu. Suara berisik segera menerpa telinganya. Ketika dia melangkahkan kaki ke muka kelas didengarnya di belakangnya suara sepatu-sepatu bergesekan dengan lantai, lalu, "Selamat siaaang, Paaak!"
Diletakkannya buku-bukunya di atas meja. Dia tersenyum dan membalas, "Selamat siang!" Pandangannya yang ahli segera melihat bahwa Nina terlambat lagi berdiri. Dia baru bergerak ketika teman-temannya sudah mau duduk kembali, sehingga dibatalkannya niatnya untuk berdiri. Cuma bibirnya yang kelihatan komat-kamit. Teman di belakangnya yang duduk di bangku penghabisan segera memukul bahunya dengan mistar. "Buset! Lu ngantuk lagi, Nina"!"
Nina tidak menjawab. Dia pura-pura tidak mendengar. Teman sebangkunya sudah mulai sibuk mengeluarkan buku dan pensil. Dia cepat-cepat meniru.
"Hm... soal-soal nomor berapa"" tanya Bapak Aljabar pada Ketua Kelas.
Ketua Kelas lekas-lekas menelan sisa cabe rawit di dalam mulutnya dan sedetik gelagapan sebab kerongkongannya panas terbakar. Tapi dengan kesigapan yang mengagumkan dia se-gera memberi jawaban.
"Nomor tiga ratus empat lima itu susah be'eng, Pak," sambungnya sambil meraih sepotong belimbing muda dari dalam laci.
"Ah, mana bisa," tukas Bapak Aljabar tersenyum. "Tukang becak juga dapat membuatnya!" 'Tukang becak mana, Pak"" tanya Loli dengan suara keras. "Coba suruh kemari. Kita mau lihat!" "Ayo kita mulai!" kata Bapak Aljabar dengan senyum patennya tanpa mengacuhkan teriakan Loli. "Mulai dari sini. Ayo, Rini! Maju!"
Rini menggeliat dulu dua kali, baru berdiri lalu keluar dari bangku. Setelah dia siap melangkah ke depan, tiba-tiba disadarinya kakinya telanjang. Dengan tenang dia membungkuk lalu meraih sepatu dari bawah bangku dan memakainya.
"Ayo, lekas! Banyak soal hari ini! Ingat! Ujian sudah dekat!"
"Sorry, Pak," kata Rini mesem. "Sepatu kita rupanya tadi dicopot orang." Dengan lemah gemulai gadis itu berjalan ke papan tulis. Ketika dia lewat di dekat Bapak Aljabar disapukannya ujung kepang rambutnya yang sepanjang pinggang itu ke lengan Bapak. Grrr. Anak-anak tertawa riuh. Bapak Aljabar yang tidak merasakan sapuan itu, menoleh sejenak ke bangku-bangku untuk melihat apa sebabnya tiba-tiba timbul guruh itu, tapi dia tidak melihat apa-apa. Ketika itu Rini sudah berdiri di atas bangku panjang di muka papan dan sedang bersiap-siap untuk melempar potongan kapur ke arah Bapak. Bapak
Aljabar mempunyai firasat kurang baik ketika dia memandangi mata anak-anak, maka dia cepat-cepat menoleh. Tapi Rini lebih gesit. Dia sudah asyik menulis soal. Kembali Bapak kecewa. Tadi dia melihat semua mata memandang ke papan dengan senyum tertahan, tapi seperti biasa dia selalu terlambat.
Ketua Kelas melempar potongan belimbing dan garam ke dalam mulutnya. Anak di belakangnya menyentuh bahunya. Ketua mengoper kaleng belimbing ke belakang, lalu mengunyah di balik telapak tangannya sambil menunduk, berlagak asyik membandingkan pe-ernya dengan pe-er teman sebangkunya.
Bapak Aljabar sudah duduk di atas takhtanya yang satu meter lebih tinggi dari bangku anak-anak. Sambil bersandar dengan relax dilayangkannya pandangnya ke seluruh kelas. Bukan main. Santa Ursula memang istana segala macam gadis. Yang cantik. Yang tidak cantik. Yang kaya. Tidak kaya. Yang modern. Yang kuno. yang kurus. Yang gemuk. Yang... aaah, tapi yang paling putih di kelas ini adalah Nina. Gadis itu sedang asyik ngobrol dengan teman di sebelah kanannya dan teman sebangkunya. Mereka ketawa sembunyi-sembunyi. Baru saja Bapak Aljabar mau membuka mulut, sudut matanya menangkap gerakan aneh di sebelah kiri. Dia menoleh. Seorang nona berbaju biru tengah membuka kertas bonbon sementara teman-teman di sekitarnya mengambil gula-gula itu seorang satu dari dalam kantong plastik.
"Siapa yang ulang tahun"" tanya Bapak.
"Hiii...," gelak ketawa Sisi.
"Memangnya kalau enggak ulang tahun, apa enggak boleh makan bonbon"" tanya si Baju-biru.
"Iya, enggak boleh!"
"Hukum apa itu""
"Hukum Dalton!" seru Nina.
Grrr... guruh kembali menggelegar.
"Eh, Nina mulai bandel sekarang, ya," kata Bapak dengan nada sayang.
Rini sudah turun dari bangku dan kembali ke tempatnya. Tanpa menunggu perintah, Mimi maju ke depan untuk membuat soal berikut. Nina serta konco-konconya masih sibuk ngoceh sendiri.
"Nina," seru Bapak (masih dengan nada sayang), "kalau kamu tidak juga diam, nanti saya suruh buat soal berikutnya!"
"Iiih, maunya!" balas Nina merengut.
"Nina... Nina...," Loli meniru-niru panggilan Bapak.
"Nina... bobo... Oh, Nina bobo...."
Bapak Aljabar segera celingukan mencari asal suara merdu itu. Tapi ketika radar kupingnya sudah menemukan area sumber gangguan, suara tadi sudah lenyap.
Mimi telah selesai dengan soalnya yang pen-dek. Kini giliran Astuti. Anak itu menguap tapi sempat menutupi mulutnya dengan tangan sebelum dilihat Bapak.
"Ayo, Astuti!" "Enggak bisa, Pak." Dia menggeleng sambil memasang roman lesu. "Ayo! Apa yang enggak bisa!"
"Sungguh, Pak. Bapak aja deh yang bikin. Nanti saya salin," tukas Astuti dengan manja, lupa bahwa dia bukan sedang bercanda dengan jantung hatinya.
"Ayo! Lekas! Tukang becak pun bisa! Apa sih sukarnya"!" "Tapi saya kan bukan tukang becak, Pak!" sahutnya bandel.
Bapak coba-coba melotot namun kurang meyakinkan. Tapi Astuti toh berlagak takut juga. "Minta ampun aja deh, Pak," katanya memelas.
"Saya bukan Tuhan, kok dimintai ampun!" gerutu Bapak lalu menyapu seluruh kelas. "Ayo, siapa yang bisa"!" Tidak ada sukarelawati yang mau mengacungkan telunjuk. Nina malah makin asyik ngobrol sambil berusaha menyembunyikan kepalanya di belakang temannya. "Nina! Ayo, kamu saja yang bikin!!"
Nina kaget setengah mati. Matanya yang bulat jernih membesar sehingga kelihatan makin jeli dan makin menarik. Bapak Aljabar sampai membatin, aduh, menariknya setan kecil ini! Entah siapa pacarnya!
"Saya, Pak"" tanya gadis itu dengan nada kurang percaya sambil memiringkan kepala ke samping. "Kemarin dulu juga saya!"
"Ya! Kamu!" "Tulisan saya jelek, Pak. Kasihan Boni, nanti belingnya tambah tebal saja!" Nina mencoba akal terakhir tapi Bapak tidak memberi komentar. Semua orang tahu, mata Boni memang sudah dari sononya tidak beres. Walaupun dia disuruh duduk di bawah papan tulis, tetap saja kacamatanya harus diganti setiap tahun.
Bapak turun dari singgasana dan mengambil sepotong kapur. Diacungkannya benda itu kepada Nina. "Ayo, Nina!" perintahnya. Ketua Kelas ikut-ikutan seakan mau menunjukkan jasa dengan menyuruh anak buahnya mematuhi perintah. Tapi seis
i kelas sudah tahu bahwa itu cuma lelucon. Apalagi ketika Nina mengangkat bahu, melirik ke kiri dan ke kanan lalu keluar dari bangku. Begitu Bapak balik belakang, suara merdu tadi kembali berkumandang. Tapi begitu dia menghadap ke kelas, bunyi itu terputus. Sia-sia dia mencoba menerka siapa biduanitanya. Semua anak kelihatan tak acuh., seakan tak ada apa-apa.
Sementara Nina menulis dengan arah mendaki ke langit, Bapak berjalan-jalan mengontrol bangku-bangku. Gerakan tangan Ketua menimbulkan curiganya. Dia lekas-lekas membelok di antara baris pertama dan kedua lalu membungkuk di muka laci Ketua.
"Iiih!" teriak Ketua Kelas melengking. "Bapak genit! Liat-liat apa, begitu"!"
Wajah bapak yang masih muda itu langsung bertambah gelap karena darahnya menyembur semua ke atas. Dengan tersipu-sipu diluruskannya punggungnya setelah sempat dilihatnya sebuah kaleng roti berisi potongan-potongan belimbing muda serta garam dan beberapa cabe rawit.
"Mau, Pak"" tantang Ketua, mengeluarkan kalengnya dan meletakkannya di atas meja.
Semua anak memandang Bapak. Yang dipandang makin tersipu. Dengan berlagak tetap tenang dia melangkah balik ke depan kelas sambil memperhatikan papan tulis. Cakar ayam Nina memang betul-betul keterlaluan. Rupanya itu akalnya supaya jangan sering-sering disuruh nulis di papan. Bisa gawat kalau dia kebetulan tidak bikin pe-er!
Tulisan Nina yang memang kecil, sengaja lebih diperkecilnya, sehingga Boni yang duduk di bangku kedua dari depan terpaksa membersihkan kacamatanya dua kali dengan saputangan.
Ketika tidak juga berhasil melihat dengan lebih jelas, dia langsung protes.
"Bapak, Bapak... saya enggak bisa melihat apa-apa," serunya minta keadilan.
"Aaah, manja lu!" tuduh Ani sambil menarik rambut Boni.
"Nina, tulislah lebih besar lagi!"
Nina menoleh dan mengangkat bahu. Diraihnya penghapus. Bapak dengan terkejut cepat-cepat mencegah. "Yang sudah ditulis, biarkan. Bisa sampai minggu depan tidak selesai kalau mau diulang semua!"
Ketika ketiga papan sudah penuh dengan tiga buah soal, mulailah Bapak membahas mereka. Mula mula ditanyakannya siapa-siapa yang belum mengerti. Tiga perempat kelas mengacungkan tangan untuk mencapai referendum supaya soal-soal itu dibahas. Sebetulnya itu tidak perlu. Sebab Bapak selalu bersedia menerangkan meskipun yang belum mengerti cuma satu orang.
"Gue lapar be'eng," bisik Ani di tengah-tengah keasyikan Bapak menerangkan persamaan tersamar. "Kemarin sayur toge kita ada kecoanya!"
"Ah, masa"" tanya teman sebangkunya tidak percaya.
"Huh, betul! Masa gue bo'ong sih."
"Makanannya enak-enak, bukan" Kalau aku lewat dekat dapur, selalu tercium harum masakan."
"Tahu, deh. Tanya aja Nina. Aku sih, pokoknya asal ada sambal, pasti bisa makan. Untuk itu, aku tempel si Mbok di dapur. Kalau enggak, aku cuma kebagian sambal sesendok. Mana cukup."
"Besok mau barter roti lagi"" tanya teman sebangku itu yang kasihan melihat nasib anak-anak asrama yang selalu kelaparan. "Aku bawakan roti sama liver paste" Atau keju""
"Aw, jangan liver paste. Nanti kumat lagi jerawatku. Kalau keju... boleh juga. Bawakan aku tomat tiga, ya!"
"Banyak be'eng. Iya, deh. Tapi keju... anu... enggak apa-apa buat jerawat""
"Ani...!" seru Bapak melempar kapur ke depannya. "Sudah jelas""
"Jelas, Pak," sahut Ani kontan, tapi sama sekali tidak tahu maksud Bapak.
"Lu ngerti"" tanya teman sebangkunya.
"Ntar gue tanya si Nina! Beres!"
Setelah ketiga soal itu dijelaskan, anak-anak langsung melenggut semua. Itu sudah merupakan penyakit menahun. Jam dua belas, setiap gadis manis jadi mengantuk. Setiap gadis Ursula yang manis-manis. Bapak Aljabar tak dapat protes meskipun dia selalu berharap, pelajarannya dapat diajukan lebih pagi. Seharusnya gerak badan dijadwalkan paling akhir, supaya semua mata lesu jadi melotot lagi.
Ketika lonceng berbunyi, aneh bin ajaib, semua anak terbangun kembali. Terbirit-birit semuanya memasukkan buku-buku ke dalam tas.
Seorang anak berdiri lalu membetulkan onderdilnya yang telah turun melewati gaunnya. Ketua Kelas berdiri sambil memasukkan kaki-kakinya ke dalam sepatu sandalnya lalu melih
at berkeliling. Anak buahnya sudah berdiri semua. Bapak segera berdiri di samping singgasana dan menekur dengan khidmat.
"Atas nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Amin," kata Ketua. "Salam Maria..."
"Salam Maria," bisik Nina lalu diam mendengarkan. Matanya yang tajam menangkap seorang anak tengah memasukkan tali be-senya yang melorot
"Amiiin!" seru Ketua, dan Nina tersentak. Doa itu rasanya baru saja dimulai tapi ternyata sudah berakhir. Tergesa-gesa digerakkannya jarinya membuat tanda salib. "Amin." Dia ikut-ikutan.
"Selamat siang, Pak!" seisi kelas menggelegar.
"Selamat siang, anak-anak," sahut Pak Guru seraya mengeluh dalam hati. Bah! Anak-anak"! Mereka sudah pantas
menggendong bayi! Sayang kebanyakan masih cengeng dan manja sama Mami!
* * * Nina masuk ke kamarnya lalu terjun ke atas tempat tidur. Ani sudah duluan berbaring. Dua ranjang yang lain masih kosong. Ana rupanya jadi minta izin mau ke dokter gigi di Pasar Baru. Dan Lili ikut mengantar. Dokter gigi itu dikenal banyak anak asrama. Prakteknya mulai jam lima sore di antara Toko Sinar Matahari dan Toko Europa. Tentu saja tak boleh terlalu sering ke sana. Lama-lama Mere asrama bisa curiga, enggak lucu deh!
"Si Ana pasti ke rumah tantenya dulu, ya," kata Nina sambil membungkuk dari pinggir ranjang ke kolong.
"Pasti!" sahut Ani yang sedang asyik melalap komik Story of Love. Buku "rahasia" itu diselundupkan ke kamar dengan taktik a Ia Al Capone menyelundupkan minuman keras. Komik-komik itu disuplai oleh Titin yang memperolehnya dari ayahnya yang sering mondar-mandir ke Singapura. Sebenarnya isinya cuma kisah percintaan remaja yang selalu memompa air mata dan Mere mungkin tidak keberatan anak-anak membacanya, asal jangan di kamar tidur. Boleh saja dibaca waktu istirahat atau sore, di ruang rekreasi. Seperempat jam pasti selesai. Tapi itu kan tidak lucu! Anak-anak baru merasakan lucu dan sedapnya kalau membacanya di tempat terlarang. Di kamar tidur!
Nina menarik keluar sebuah sepatu dan dari dalamnya dikeluarkannya sebuah bungkusan. Dibukanya talinya hingga terbuka. Dibiarkannya di lantai. Sambil menjuntaikan kepala ke bawah diambilnya sebuah kana manis dari situ. Rambutnya yang turun ke bawah menutupi mukanya.
"Mau"" tanyanya tanpa menoleh.
"Mau!" sahut Ani tanpa peduli apa yang ditawarkan. Pokoknya bukan racun dan bisa ditelan. Nina melemparkan sebuah kana ke atas perut temannya.
"Cuma satu"" tanya Nina menunjuk komik di tangan Ani.
"Iya," sahut yang ditanya sambil melempar kana ke dalam mulut. "Ada dua lagi. Besok. Tadi dibawa sama Widya dan Mimi."
Nina serta Ani asyik makan kana. Habis satu ambil lagi. Biji-bijinya disembunyikan dengan rapi dalam bungkusan koran, baru nanti dilempar ke tong sampah. Sedaaap. lih. Lebih sedap daripada kalau dimakan di bawah, di tempat yang seharusnya.
Nina meraih catatan Ilmu Kesehatannya dari bawah bantal dan mencoba membacanya. "Brengsek Ibu Sarah!" gumamnya tanpa kedengaran Ani. "Baru minggu lalu ulangan, masa besok udah mau ulangan lagi" Mentang-mentang udah dekat ujian akhir!"
Ani menghapus air mata sementara mulutnya asyik mengunyah. Blo'on be'eng, pikir Nina. Mana ada orang nangis sambil makan"!
"Kasihan si Pirang," gumam Ani tidak pada siapa-siapa. "Pacarnya sudah kena pelet gadis kaya dan enggak mau lagi sama dia! 'Dia bahkan ogah ketawa lagi padaku, Mam,' isak si Pirang pada ibunya. Padahal dulu dia begitu cinta...." Ani menyeka matanya sekali lagi. Nina terbahak-bahak.
"Eh, kalau kau selalu nangis tiap kali ada yang patah hati, aduh... aduh... matamu pasti bakal merah bengkak terus-terusan!"
Ani berlagak pilon. Dia sendiri merasa malu pada dirinya, tapi dia tidak kuasa mencegah keluarnya air mata brengsek ini! Setiap kali dia membaca kisah yang mengharukan atau nonton film yang...
"Eh, kedengarannya seperti suara tukang toge kita," mendadak didengarnya Nina dari ranjang sebelah.
Di bawah jendela kamar memang terdengar orang berseru pelan, "Toge, toge...." Penjual toge goreng biasanya tidak bersuara menjajakan dagangannya, tapi bila lewat di bawah jendela asrama Ursula dibuatnya kekecualian istimewa. L
angganannya banyak di situ. Jendela-jendela panjang di tingkat dua itu selalu dipandangnya penuh harap. Kalau-kalau terbuka.
Ketika Ani tidak juga menanggapi, Nina bangun dari telungkup lalu duduk. Disambarnya seutas tali panjang dari bawah kasur, kemudian dijangkaunya sepatunya dari lantai. Diikatkannya tali itu pada sepatu. Lalu dia berdiri dan berjalan ke jendela.
"Mau apa"" tanya Ani tiba-tiba.
"Ada toge." "Aku udah pesan asinan sama Ana."
"Benar" Kenapa enggak bilang-bilang"" Nina melemparkan lagi sepatunya ke lantai, lalu menghampiri temannya. Ani dengan sigap berguling ke sisi lain, menghindari uluran tangan Nina yang siap merampas komiknya. "Kunyuk!" gerutu Nina kesal sebab kalah gesit. "Sabar, mek, si Bill hampir balik sama pacarnya semula!"
Nina berbaring lagi. Suara tukang toge sudah lenyap. Berganti dengan suara derit jendela sebelah yang dibuka hati-hati. Rupanya ada yang ngidam toge di kamar sebelah! Tapi kita bakal makan asinan! pikirnya tersenyum. Diliriknya arloji. Uh! Baru jam dua lewat. Paling cepat setengah delapan Ana dan Lili baru akan pulang, sebab "dokter gigi" itu banyak menjual baju dan barang-barang yang menarik! Ini kan habis bulan! Ingat wesel, Nina jadi ingat surat ibunya.
"An, orangtuaku mungkin bakal pindah ke Jakarta."
"Ngapain" Palembang kan enak"!"
"Soalnya, Babe dioper kerja."
"Uh... uh...," keluh Ani menyusut air mata penghabisan lalu melempar komik itu ke ranjang temannya. Nina terbirit-birit menyambuti dan langsung membuka halaman pertama. "Enak, dong!"
"Apanya yang enak"" tanya Nina sudah kurang acuh. "Tinggal di rumah orangtua!"
Nina tidak menjawab. Dia asyik terpesona melihat cara Bill memeluk pacarnya di stasiun kereta api. Ani menghela napas. Konconya itu sudah tak dapat diajak bicara lagi. Dia mengangkat bantal, menutupi mukanya lalu tidur. Lima menit kemudian dengkurnya yang halus sudah memenuhi ruangan tidur seperti suara angin yang menerpa ratusan daun-daun bambu di tepi sungai.
* * * Ana dan Lili pulang sebelum jam tujuh, jadi pintu di jalan Lapangan Banteng belum dikunci, sebab masih ada kursus bahasa Inggris. Mereka berjalan santai dan tenang. Orang yang berlarian akan menarik perhatian Mere penjaga pintu serta anjingnya. Di sudut dekat tempat sepeda duduk Marie, seorang wanita yang sudah tua dan sedikit pikun. Matanya jelas rabun, tapi dia selalu harus melihat dari sebelah atas kacamatanya. Aneh sekali.
"Halo, Marie!" sapa Lili. "Sedang nungguin nyamuk""
"Ah, kamu!" bantah Marie dengan tidak berdaya.
"Selamat malam, Mere," sapa Ana yang tiba-tiba melihat beliau.
"Selamat malam. Dari mana kalian""
"Dari dokter gigi, Mere," sahutnya mantap. Soal berdusta, nanti gampang diurus waktu mengaku dosa, pikirnya. Bapak pengakuan mereka sangat penuh pengertian! "Wah! Kenapa" Berlubang""
"Iya, Mere." Wajahnya polos dan tulus. Paling-paling nanti dihukum lima Bapa Kami dan lima Salam Maria!
"Jangan suka ngemut bonbon di tempat tidur! Sering-sering berkumur dengan air garam. Itu baik buat gusi."
"Iya, Mere," sahut keduanya berbareng, lalu dengan sopan mengambil langkah lima ratus yang dipercepat jadi langkah seribu begitu mereka lenyap dari pandangan Mere. Dengan terengah-engah keduanya tiba di halaman dalam yang terletak di depan ruang gerak badan. Di situ terdapat gua Santa Maria dari Lourdes. Suasana pada sore dan malam hari amat lengang. Cuma sedikit sekali kemungkinannya ada Mere yang akan mengontrol ke situ, kecuali kalau ada anak dinyatakan hilang! Jadi leluasa sekali duduk-duduk di bangku batu depan gua, dan Nina serta Ani sudah menunggu cukup lama.
Melihat siapa yang muncul, mereka segera bangkit, menyerbu dan mengamankan kantong plastik di tangan Ana. Tanpa membuka mulut, Nina segera membagi-bagikan asinan. Mereka duduk berdekatan dan'makan tanpa bicara. Bila dirasanya Ani tidak melihat, Nina lekas-lekas menjulurkan jari-jarinya lalu menjepit sepotong buah dari daun temannya. Suatu kali Ani melihat "Eiiit!" serunya tidak berani keras-keras, sebab terdengar bunyi piano dari kamar di dekat gua, di mana Mere Margriet sedang memberi les. "Serakah, nih ya"
" Ani memukul tangan Nina lalu secepat kilat menyambar tiga potong kedondong dan mangga dari daun pisang Nina. "Ini ganti yang kauambil tadi, kunyuk!" Karena tertangkap basah, Nina tak bisa berbuat apa-apa.
Setelah daun-daun menjadi licin dan berkilat lagi, mereka memandang berkeliling mencari tempat pengamanan. Wajah keempatnya sudah merona merah, terutama bibir-bibir mereka.
"Itu," seru Lili menunjuk tong sampah dekat keran leding.
"Jangan. Kurang aman. Lebih baik tong sampah SMP. Mereka akan mengira murid-murid yang jajan, bukan anak-anak asrama!"
Semua setuju dengan usul Ana. Untuk mengurangi rasa pedas sehingga tidak usah berhiha-hiha, mereka minum air keran dengan telapak tangan. Lalu tanpa menunjukkan muka bersalah keempatnya memasuki ruang belajar dan duduk di situ, pura-pura belajar sambil menunggu waktu makan.
* * * Di kamar tidur Ana dan Lili membongkar hasil petualangan masing-masing sore itu. Mereka membeli bahan pakaian untuk pesta minggu depan.
"Aku enggak mau beli baju baru," kata Nina.
"Masih ada dua yang belum kupakai. Tapi tasmu itu cakep juga. Jadi kepingin beli."
Mendadak terdengar suara langkah di depan kamar. Mereka berpandangan sejenak. Lalu secepat kilat lampu dipadamkan. Barang-barang yang sedang dipamerkan langsung didorong ke bawah ranjang. Ana tidak sempat lagi menukar baju, jadi dia masuk saja ke bawah selimut dan menutupi dirinya sampai ke leher. Ani segera mengatur dengkurnya supaya kedengaran meyakinkan. Mere tentu sudah apal betul siapa-siapa yang mendengkur. Lili mengambil rosarionya dari bawah bantal dan mencoba mencari perlindungan di situ. Nina telungkup sekenanya, membenamkan muka dalam bantal. Lumayan sumpeknya. Napasnya terasa sesak. Apa boleh buat, dia terpaksa bertahan, tak bisa bergerak.
Pintu terbuka tanpa derit. Rupanya tiap minggu engsel-engsel itu diberi minyak, supaya Mere dapat masuk tanpa ketahuan dan menangkap basah anak-anak yang suka menyelundupkan kitab catatan, terutama menjelang festival ujian.
Senter bekerja sebentar. Mendapati suasana tenang, dan mendengar suara napas yang teratur, Mere tersenyum senang lalu menutup pintu pelan-pelan dan berlalu.
Ana segera duduk lagi di ranjang. Ditutupinya lampu dengan kertas koran sebelum menyalakannya kembali. Lalu diseretnya barang-barangnya dari kolong. Pameran dibuka lagi.
Bab 2 PELAJARAN pertama pagi itu adalah Ilmu Alam. Seperti biasa Pak Sutopo selalu datang tepat. Sandra masuk setelah doa pagi selesai.
"Halo, Sandra," tegur Bapak Alam. "Selamat pagi, Pak."
"Pagi. Lho, kamu habis berkelahi, ya"" tanyanya dengan heran. "Enggak!"
"Lho, kok matamu keduanya hitam legam begitu"!"
"Ini kan namanya eye-shadow, Pak," sahut Sandra mendongkol. Dia tahu, dia sedang dijadikan bulan-bulanan. Di seluruh kelas memang baru Sandra yang ber-eye-shadow dan berkuku enam milimeter.
"Ow, ow, jadi itu namanya bayangan, toh! Lha ya, saya mana tahu...! Saya belum punya istri," kata Pak Guru tersenyum, menambah panas hah Sandra.
"Siapa yang mau sama orang cerewet begitu"" dia mendumal pelan.
Pelajaran segera dimulai. Bapak Alam menerangkan teori baru disertai contoh soal. Sedang anak-anak menyalin, dia duduk di singgasana menikmati sebatang rokok. Matanya yang iseng segera menyambar kuku-kuku Sandra yang merah menyala. Timbul lagi jailnya.
"Wah, saya berani taruhan, Sandra pasti enggak bisa menyambal!"
"Tahunya"" tantang Ketua Kelas.
"Itu. Lihat saja kuku-kukunya. Mana mungkin masuk ke dapur dengan kuku sepanjang itu! Salah-salah bukan bawang yang teriris, tapi... haa! Eh, mari saya kasih tahu: perempuan harus bisa bikin sambal! Kalau enggak, suami takkan betah di rumah!"
"Ah, masa bodoh!" seru Sandra yang memang berani dengan semua guru. "Bapak cari istri atau cari koki, sih"" "Ya dua-duanya, dong!"
Bapak turun dari takhta lalu menghapus papan pertama. Dia menulis sebuah rumus baru dan beberapa gambar keterangan di bawahnya.
"Pak, kalau saya bisa menyambal, nanti Bapak kasih saya Alam delapan, ya"!" teriak Sandra penasaran. Bapak memandangnya sejenak, tercengang lalu ketawa. "Ooh, delapan itu gampang. Yang penting
, bukti dulu. Sambal dan ayam goreng!"
"Huh, maunya!" gerutu Sandra pada teman sebangku. "Lebih baik gue enggak dapat delapan, deh!" Karena hari masih pagi dan Bapak Alam memang penuh humor, maka pelajaran masuk otak dengan lancar. "Eh, minggu depan abangmu ajak kemari, ya," bisik Nadia pada Ita. "Kalau dia mau. Soalnya dia enggak suka cewek-cewek!" "Ah, masa"!"
"Uh, lu enggak tahu sih. Babe kan sering bilang, 'Miki, kalau kau terus-terusan anti cewek, nanti kubawa kau ke dokter jiwa!'"
"Haa"! Betul babe lu bilang gitu" Hiii... nanti aku akan bilang begitu kalau ketemu si Mikael!" "Aduh, jangan! Kiamat gue nanti."
Nina mendengarkan dengan asyik sambil tersenyum dalam hati. Dia tidak kenal abang si Ita dan juga tidak ingin tahu, tapi lucu juga mendengar kisahnya. Anak-anak Kanisius biasanya justru suka cewek. Begitu juga sebaliknya. Anak-anak Ursula senang dengan warga Kanisius. Tentu ada kekecualian, sebab ini bukan axioma Ilmu Ukur Ruang. Di antara penyimpangan itu terdaftar nama Nina.
"Eh, hweeshio (pendeta), cerita silat apa yang terbit minggu lalu"" tanya Bapak Alam tiba-tiba. Anak yang dipanggil dengan istimewa itu mengangkat mukanya dari halaman kitab yang sedang ditulisinya. Wajahnya tampak sedikit kaget seakan ketahuan menyembunyikan barang terlarang. Linda dengan rambutnya yang panjang dan raut muka yang manis tentu saja tidak mirip pendeta. Tapi karena dia agen tunggal cersil di kelas, terpaksa diterimanya saja gelar kehormatan itu. Celakanya kalau dalam cersil pendeta-pendeta itu kebanyakan selalu dihormati dan dikagumi, Linda malah sebaliknya. Selalu diancam....
"Belum ada yang terbit, Pak," sahutnya ketawa.
Pak Guru melotot melihat senyum yang mencurigakan itu. "Mau soal ujian atau tidak"" ancamnya. "Mau dong!" teriak Ketua Kelas diikuti oleh seluruh kelas.
"Nah, kalau begitu, lebih baik serahkan buku silat itu sekarang juga!" perintahnya. "Iiih, Bapak ngancam, nih"! Kita kasih tahu Mere!" seru Ketua.
"Eh, apa Mere punya soal-soal ujian" Saya kan bikin soal-soal buat ujian! Siapa tahu soal saya keluar"! Kan untung kalian! Ayo, mana cerita silat itu""
Linda berpandangan dengan Ketua Kelas. Mungkin Bapak enggak bohong. Seandainya dia betul-betul membuat soal ujian, lalu soalnya keluar! Wow! Biarpun cuma satu soal, kan lumayan"! Kedua anak yang duduk di ujung kiri dan kanan kelas itu saling melirik serta mengangkat alis. Akhirnya Ketua Kelas angkat bahu, menyerah. Linda menoleh sejenak pada Bapak Alam yang sedang mengawasinya dengan senyum kemenangan seperti Don Kisot di depan kincir angin yang patah-patah.
Linda pelan-pelan membuka tas lalu mengeluarkan sebuah buku tipis bersampul hijau dengan gambar seorang pendekar bertangan satu ditemani seekor rajawali. Dia bangun dari duduk dan berjalan ke depan menyerahkan "upeti"-nya.
"Nah, begitu!" seru Yang Mulia, sama girangnya dengan pemadat mendapat heroin. Buku itu langsung diamankannya ke dalam saku celana -kalau kepergok Mere, gawat juga, dong!- lalu dia mulai lagi membuat contoh soal di papan.
"Awas ya, kalau soal Bapak enggak ada yang keluar nanti!" ancam Linda.
"Eh, itu kan wewenang panitia! Saya sih cuma diminta membuat soal. Sukur-sukur keluar, berarti saya bakal dapat honor."
"Wah, belum apa-apa udah mungkir!" tuduh Ketua Kelas. "Pendeknya, kita enggak mau ngerti deh!"
"Biasa, cowok! Terang bulan terang di kali!" Sandra rupanya masih sengit dan ingin membantu memojokkan Bapak. "Buaya timbul disangka mati! Jangan percaya mulut lela..."
"Sudah, sudah! Yang penting, asal kalian selalu memperhatikan pelajaran saya baik-baik, pasti kalian akan bisa membuat soal apa pun!"
"Uuuh, mau soal Bapak saja!" rengek Ketua dengan manja.
"Nina!" seru Bapak tiba-tiba. "Di mana pikiranmu" Kok melamun" Pacarmu sudah berapa lama absen"" "Iiih!" desis Nina mendongkol campur kaget sebab dia memang sedang "mimpi" di siang belong. "Siapa yang melamun""
"Oke, kalau sedang enggak melamun, coba bikin soal ini!"
Nina maju tanpa ragu. Dia memang termasuk anak-anak yang encer otaknya. Alam, Kimia, Aljabar, dan Stereo dilahapnya seperti nyamikan.
"Ita, kakakmu seben arnya ada berapa sih"" tanya Nadia. "Abang gue atu, kakak perempuan enggak punya." "Apa si Miki itu pemalu""
"Pemalu sih enggak. Barangkali dia kelewat sering diperintah sama ibuku, jadi dia alergi sama cewek." "Wah, bilangin dia dong, kita sih enggak suka main perintah!" bisik Nadia ketawa. "Paling-paling cuma maksa! Enggak diturutin, ngambek! Hiii...."
"Eh, kalian sedang menertawakan apa"" tegur Bapak Alam. "Sudah selesai dengan soal ini"" "Beeereees!" seru keduanya spontan.
Mendengar itu Pak Guru melihat arlojinya. Sayang tak ada waktu lagi untuk soal baru. lerpaksa dia menunggu saja Nina menyelesaikan soal di papan, lalu menerangkannya. Setelah itu diberinya pe-er.
"Nah, untuk lain kali bikin soal-soal nomor tiga-tiga-empat sampai dengan tiga-empat-empat!"
"Aduh! Kebanyakan, Pak!" teriak Ketua.
"Kita kan mau bermalam Minggu, Pak!" seru Sandra.
"Bisa ubanan nih, Pak, disuruh mikirin soal begini banyak!" jerit Loli sambil membelalakkan mata-gundunya kepada Bapak.
"Tega be'eng, Pak. Padahal udah dipinjamin cersil!" gerutu Linda.
"Mau lulus atau enggak"" tantang Pak Guru lalu berjalan ke pintu sebab bel sudah berbunyi.
* * * Nina beserta konco-konconya sedang berdiri di balkon memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang ke atau dari kantor pos. Anak-anak kelas sebelah juga berdiri-diri di depan kelas mereka. SMA memang terletak di loteng. Balkon mereka kebetulan menghadap ke jalan, bukan ke halaman dalam.
Seorang anak makan roti. Kertas pembungkusnya diremuk lalu dilemparnya ke bawah. Nina kebetulan melihat ke tanah. Seorang laki-laki sedang berjalan ke kantor pos ketika kertas roti itu melayang jatuh dan hinggap di kepala-nya. Orang itu terkejut. Digoyangnya kepalanya lalu dia menunduk untuk melihat benda apa yang telah menimpanya. Nina melihat laki-laki itu membungkuk, memungut kertas itu lalu menengadah. Tapi anak yang makan roti tadi sudah berdiri dekat pintu kelas sehingga tidak kelihatan lagi dari bawah. Di balkon cuma ada Nina dan Mimi. Laki-laki itu menoleh sejenak pada Nina, tapi tidak memperlihatkan reaksi apa-apa. Mimi ketawa melihat adegan itu. Nina ikut-ikutan geli ketika dilihatnya orang itu setengah ngibrit berjalan menjauh.
Ketika bel berbunyi, semua anak berlarian masuk kelas. Dalam sekejap suasana di luar kembali sunyi. Pelajaran jam itu adalah Bahasa Indonesia yang monoton dan sangat membosankan. Kelas sepi. Bukan karena anak-anak asyik menyimak, tapi karena mereka semua mengantuk.
Kelesuan itu langsung terusir dengan munculnya Mere Rosa dari balik pintu yang membuka ke balkon. Rupanya beliau baru saja mengunjungi kelas sebelah. Anak-anak serentak berdiri. Ibu Bahasa menoleh dan ikut berdiri. Mere tidak membalas senyum mereka. Mimi tiba-tiba mendapat firasat jelek. Disepaknya kaki Nina di depannya. Nina menggerakkan tangan tanda mengerti. Dia juga mendapat firasat yang sama.
Mere menyilakan mereka duduk kembali. Su-aranya dingin seperti es. "Anak-anak," katanya tanpa membuang-buang waktu, "tadi ada seorang laki-laki yang memberikan ini pada saya!"
Diperlihatkannya kertas putih di telapak tangannya. Mimi menyepak Nina sekali lagi.
"Kalian tahu apa yang terjadi" Orang itu dilempar kepalanya dengan kertas ini!" Mere berhenti sebentar untuk melihat reaksi mereka. Adakah seraut wajah yang tampak ketakutan atau kaget" Matanya yang biru menatap tajam dari balik kacanya. Bibirnya yang tipis kemerahan tampak terkatup erat Mimi menunduk, pura-pura sibuk membetulkan dasi bajunya.
"Saya sungguh-sungguh malu dan amat kecewa!" sambung Mere ketika merasa tidak berhasil menjebak si penjahat. Tapi saya yakin, anak yang melakukannya masih punya rasa tanggung jawab dan mau mengakui kesalahannya. Saya tunggu dia di kantor. Selamat siang!"
Sampai esok hari tidak ada anak yang menyerahkan diri dan Mere Rosa menjadi marah. Semua kelas yang terletak di loteng sebelah timur dihukum sampai ada anak yang mau mengaku. Mereka tidak diliburkan tapi juga tidak diberi pelajaran. Murid-murid harus duduk terus dalam kelas, juga pada waktu istirahat
"Gimana nih, Nin"" tanya Mimi. "Apa kita kasih tau saja siapa orangny
a" Jangan-jangan anak itu sendiri enggak merasa. Dia enggak menengok ke bawah, jadi enggak tahu ada orang berjalan di situ."
"Ya, aku rasa memang begitu," sahut Nina.
"Akan kita laporkan""
"Enggak ada gunanya."
"Tapi kita yang jadi korban! Kan kesal sekali disetrap kayak gini. Lebih baik kita berdua melaporkannya."
"Anak itu pasti akan menyangkal, Mi. Sebab dia enggak merasa bersalah." "Kan ada barang bukti." "Kertas roti yang putih" Banyak anak lain membawa roti dibungkus kertas begituan." "Tapi kita kan jadi korban, Nin!" Mimi berkeras. "Konyol be'eng begini. Orang lain yang berbuat, kita kena getahnya!"
"Berunding soal apa, nih"" tanya Ani yang mendadak nimbrung.
Mimi menatap Nina sejenak lalu menggeleng.
"Enggak apa-apa. Kita sedang ngomongin soal pesta nanti."
"Huh! Lagi dongkol-dongkol begini, masih ingat pesta!" dengus Ani.
"Aku mau ke WC, boleh enggak, ya"" tanya Nina.
"Kalau enggak boleh, apa kelas ini mau dijadikan WC"" Mimi melotot.
"Masih encer otak lu rupanya!" sindir Ani, masih dongkol entah pada siapa.
Nina ketawa meringis mendengar argumen teman-temannya. Dia bangkit dan berjalan ke pintu.
"Hei, mau ke mana lu"" tegur Ketua Kelas yang merasa bertanggung jawab atas ketaatan anak buahnya. "Enggak tahu ya ada jam siang" Kita enggak boleh keluar kelas!"
"Aku mau ke belakang."
"Ah, gue juga," ada yang latah.
Nina terkejut. "Jangan! Nanti ketahuan. Baikan sendiri-sendiri. Kamu tunggu deh aku balik," katanya membujuk. "Iya, lu jangan cari gara-gara, Ita! Tunggu aja Nina balik. Sendiri-sendiri, deh," tukas Ketua, dan Nina dengan lega membuka pintu kelas.
Gang sepi. Kamar Mere Rosa terletak di ujung. Pintunya tertutup. Nina gemetar juga. Sejenak dia ragu. Betulkah tindakannya" Apakah dia tidak mencampuri urusan orang" Seandainya anak kelas sebelah itu datang mengaku, apa kata Mere tentang dirinya" Tidakkah dia akan dianggap bohong" Atau lancang" Atau malah sok jadi pahlawan" Nina memandang ke kiri dan ke kanan dengan hati berdebar-debar. Keberaniannya sudah hilang separuh. Mendadak dilihatnya pintu kelas di seberang terbuka. Dengan gesit Nina membungkuk, pura-pura membetulkan kancing sepatunya.
"Hai, lagi ngapain"" tegur anak IIB itu.
"Betulin sepatu."
Anak itu berlari ke kamar guru. Sebentar kemudian dia sudah kembali dengan segenggam kapur. Nina sudah melangkah dengan tenang.
"Mau ke mana, Nin"" tanyanya. "Ke WC"
"Dikonsinyir, ya" Kesal banget!"
"He-eh." Nina mengangguk sambil memperlambat langkahnya. Ketika tiba di depan pintu Mere Direktris, dia menoleh ke belakang. Anak tadi sudah menghilang ke dalam kelas. Nina menjulurkan tangan, tapi cepat-cepat menariknya kembali. Dia berdiri terpaku menatap gerendel sementara pikirannya campur aduk. Andaikata di dalam ada orang lain" Misalnya seorang guru yang sedang bicara dengan Mere" Lalu seandainya guru itu tidak diminta keluar oleh Mere, tapi diperbolehkan ikut mendengarkan 'pengakuan'-nya, gimana" Aduh, malunya kayak apa!!! Jangan-jangan bisa tersebar di antara guru-guru bahwa Nina adalah anak yang kurang sopan serta ceroboh! Huiii! Dia merasa panas-dingin.
Tapi andaikan guru ini dipersilakan keluar pun, akibatnya sama saja. Guru tersebut pasti bisa menebak untuk urusan apa dia menjumpai Mere. Apalagi kalau setelah itu hukuman langsung dicabut...!
Nina makin panas-dingin. Jantungnya serasa mau mendobrak dada, meloncat keluar. Kakinya sudah bergerak mau mengajaknya balik ke kelas, namun dia segera teringat pada hukuman yang menjemukan itu. Kaki dan lengannya seakan lumpuh. Geraknya terhenti. Dia terpaku lagi di tempat. "Ah," keluhnya dalam hati. "Harus! Tapi..." Sebelum pikirannya sempat berdalih, Nina melihat jari-jari yang gemetar terjulur ke pintu. Seakan itu tangan orang lain saja. Dia tidak menyadari gerakannya. Seakan dalam mimpi. Tok... tok... tok....
"Ya, silakan masuk."
Dari mana suara itu" Aneh kedengarannya. Seperti sim-sala-bim, pintu terbuka. Ajaib, pikirnya. Padahal sebenarnya tangannya sendiri yang membuka pintu.
Dia masuk. Mendadak timbul lagi gemetarnya. Dia berdiri terpaku memandang Mere yang sedang asyik menulis. Jantu
ngnya serasa sudah naik ke leher, berdenyut dengan gencarnya, terdengar memekakkan telinga. Pasti Mere mendengarnya juga, sebab saat itu beliau mengangkat kepala dan menatapnya dari balik kacamata. Pandangannya terasa aneh, mungkin juga karena Mere kelihatan heran.
"Ada apa, Nina"" tanyanya tanpa senyum seperti biasanya. Pasti masih mendongkol pada kami, pikir Nina.
"Eh, uh...." Mendadak dia jadi gagap.
"Yaaa"" Mere meletakkan pena yang dipe-gangnya. Dikatupkannya kedua tangannya di atas meja. Nina serasa mau lari ditatap seperti itu. Tangannya dikepalkannya untuk mencegah mereka gemetaran seperti kipas angin. "Mere, ini mengenai... mengenai... kertas roti itu... huk!" Dia nyaris tersedak.
"Sooo"!" Mere mengangguk dengan serius. "Apa engkau tahu anak yang melakukannya""
Ya, Tuhan! Mere menyangka, saya ini seorang pengkhianat! Nina memegang daun pintu erat-erat sampai buku-buku tangannya memutih. Mere tidak menyuruhnya duduk. Pengkhianat mana perlu kursi! "Mere, anu... saya... saya... mau... mengaku... bahwa... bahwa..."
Mere menatapnya tanpa kedip. Hidungnya terlihat lebih panjang dan tajam sekali ujungnya. Bibirnya yang tipis-mungil itu hampir tak terlihat lagi. Yang tampak jelas cuma sepasang mata yang biru. Amat biru. Seperti lautan di pantai Sumatera. Dan laut itu seakan bergelora, siap mau menelannya setiap saat.
Nina menelan ludah. Dikumpulkannya seluruh keberaniannya. Sebelum semangatnya cerai-berai lagi, cepat-cepat dia membuka mulut, "Mere, sayalah yang melakukannya! Huk!" Tenggoroknya bagai tersumbat. Kalimat itu selesai dalam satu tarikan napas. Nina menatap mata biru di depannya. Tajam sekali. Seakan mau menembus ke ulu hati.


Bukan Impian Semusim Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi, aneh. Mereka sekarang kelihatan lebih ramah. Kelopak yang berbulu lentik itu berkedip-kedip. Mere tidak lagi tampak keheranan.
"So" katanya dengan sedikit lunak. "Saya sangat menghargai keberanianmu. Saya sungguh-sungguh sangat menghargainya. Melakukan kesalahan adalah biasa. Tapi berani mengakuinya adalah hal yang luar biasa. Itu betul-betul membutuhkan karunia serta rakhmat Tuhan."
Mere kini tersenyum. Nina ikut-ikutan tersenyum. Dia tidak akan dimarahi"
'Tapi selain itu saya ingin tahu mengapa engkau melakukannya" Setahu saya, engkau adalah anak yang sopan." "Saya... saya... tidak sengaja, Mere. Huk! Waktu... melempar... kertas itu saya... tidak... menengok ke bawah. Huk!"
Mere mengangguk seraya tetap menatapnya dengan tajam. Wajah Nina memerah. Dia menunduk. Hatinya berdebar keras. Tahukah Mere bahwa dia telah berdusta" Mere adalah sarjana Ilmu Jiwa... dapatkah dia melihat kebohongan di muka seseorang"
"Oke. Kembalilah ke kelasmu. Persoalan ini saya akhiri sampai di sini. Lain kali berhati-hatilah."
"Ya, Mere. Terima kasih." Nina nyaris berbisik saking leganya tidak ditanyai melit-melit dan juga tidak dihukum. Seandainya dia sampai dihukum, aduh! Seluruh sekolah pasti akan tahu! Dia tidak memikirkan kemungkinan kena hukuman begitu ketika dia mau sok jadi pahlawan! Malunya kalau sampai dihukum! Un-tunglah...!
Dia mengucapkan selamat siang dan berbalik mau membuka pintu.
"Nina." "Ya, Mere," sahutnya spontan. Jantungnya yang sudah tenang kembali berdebar kencang. Mere baru teringat bahwa dia belum dihukum! Aduh! "Selamat!"
Nina tertegun, memandang Mere dengan ter-cengang, tidak tahu mesti bilang apa. Mere menangkap keheranannya.
'Tentunya engkau ingin tahu, selamat untuk apa, bukan"" Suara Mere menjadi lembut. "Untuk karunia Tuhan, Nina. Yang sudah membuat engkau jadi berani datang kemari!"
Nina semakin bingung sampai dia lupa mengucapkan terima kasih. Dia lupa apa yang seharusnya dilakukannya. Dia lupa menutup pintu. Dia bahkan lupa bagaimana caranya dia bisa balik ke kelas dengan selamat.
Ketika dia membuka pintu, suasana pasar ayam menerpa telinganya. Semua kepala menoleh.
"Lama be'eng, sih! Sampai rasanya enggak tertahan lagi!" jerit seorang anak yang tergopoh-gopoh berlari ke luar.
Grrr. Yang lain ketawa geli. Bunyinya begitu dahsyat sehingga Nina lekas-lekas menutup pintu.
"Gue kirain lu udah sekalian ngabur pulang!" tuduh Ita. "Si Linda ketakutan jan
gan-jangan lu kesambet setan jamban! Lihat, tuh! Dia sudah pakai sepatu, siap mau ke sana menolongmu!" tukas Ketua Kelas menunjuk kaki Linda yang memang bersepatu. Ini adalah hal yang luar biasa kalau tidak mau disebut aneh. Sebab di dalam kelas mereka ogah pakai sepatu. Panas, sempit, sesak, tidak bebas, mengganggu... adalah sedikit dari seratus satu alasan untuk bertelanjang kaki.
"Uh! Kau kebanyakan baca cersil!" tuduh Nina sambil melangkah ke bangkunya. Grrr.
"Kurang terima kasih!" agen cersil mendumel. "Orang mau nolongin, malah balas diejek! Coba, seandainya lu beneran kesambet, gimana ayo" Siapa yang tahu" Seandainya dibawa kolong-wewe, bisa-bisa lu jadi gagu seumur hidup! Rasain!"
"Ah, Lin, di dunia mana ada setan!" bantah Nina gagah.
"Uh, lu belum pernah nginap di tempat eyang gue, sih!"
"Eh, tahu enggak vila Pikaso di Puncak" Ada penunggunya, lho!" kata Loli dengan tampang serius. "Kakakku pernah kepergok Malam-malam ceritanya dia mau ke WC. Sendirian. Enggak jauh dari WC ada pintu kaca yang tembus ke halaman belakang. Eh, dia melihat seorang perempuan berambut panjang. Semula disangkanya pembantu. Pas mau dipanggil, wanita itu membelok. Aduh! Kakakku katanya sampai menggigil saat itu juga! Bayangin! Tubuh perempuan itu ternyata gepeng seperti papan! Tipisnya seperti kertas! Tapi dari depan enggak kelihatan begitu. Cuma dari samping baru ketahuan.
"Setelah ngomong-ngomong sama pembantu vila, baru kakakku tahu, di situ ada penghuninya. Tentu saja dia enggak mau ke sana lagi!"
"Tetangga nenekku sama juga. Mereka punya buto ca..." Yang lain jadi latah mau ikut-ikutan cerita hantu. Tapi kalimat yang menjanjikan sesuatu yang bisa bikin jantung loncat-loncatan itu jadi terputus ketika pintu terkuak dan... Yang Mulia Bapak Ilmu Hayat melangkah masuk.
Anak-anak ketawa geiak melihat siapa yang masuk. "Iiidiiih, Bapak apa-apaan"!" seru Ketua Kelas terbahak geli. "Orang enggak ada pelajaran, kok! Kita kan sedang libur besar, Pak, masa enggak tahu""
"Siapa bilang" Hari ini kita akan melihat slide tumbuh-tumbuhan. Harap mikroskop-mikroskop dikeluarkan!"
"Iiih, pokoknya, enggak ada pelajaran!" Ketua berkeras tak mau bergeser dari bangku.
Bapak Hayat menghampiri bangku Ketua. Tangannya terulur. "Mana kunci""
"Pak!" seru Ketua kesal. "Heran banget sih, Bapak enggak mau percaya kami" Kita sedang dihukum, Pak. Enggak ada pelajaran. Kita kan sedang asyik belajar Ilmu Hitam!" Ketua memandang Bapak lalu melirik teman-temannya dengan seringai orang setengah. "Siapa sih yang nggak mau pintar" Kita kan juga mau belajar, tapi sekarang kita lagi disetrap!"
"Mere tadi meminta saya mengajar," Bapak ngotot sambil terus menadahkan tangan, menuntut kunci lemari.
"Bohong, ah!" Ketua tak mau menyerah. "Coba kita tanya Mere dulu!" Pada saat itu pintu terbuka dan Mere masuk. Kelas menjadi sunyi seketika. Semua mata menatap Mere dengan waswas. Mere mengibaskan lengan bajunya dengan santai. Dengan wibawa seorang pemimpin disapunya seluruh kelas dengan matanya yang biru, lalu berdehem. Anak-anak mengerut dalam hati.
"Nah," ujar Mere tersenyum, mula-mula pada Bapak Hayat, lalu pada seisi kelas, "saya rasa Pak Sudiro sudah memberitahu, hukuman kalian telah berakhir!"
Kelas gaduh sedetik, penuh bisik-bisik, tapi menjadi tenang lagi ketika Mere mengibaskan tangan "Pelajaran-pelajaran dapat diteruskan kembali seperti biasa,"
Nina merasa dak-dik-duk. Dia takut sekali jangan-jangan Mere akan membuka rahasia... seorang di antaramu telah mengaku...!
Tapi Mere berlalu tanpa memberi penjelasan apa-apa. Anak-anak main tebak sendiri. "Kalau begitu, anak kelas sebelah sudah ngaku!" cetus Mimi. "Barangkali memang ketahuan, jadi bukannya ngaku sendiri," kata Loli. "Menurutmu gimana, Nin" Ngaku apa ketahuan"" tanya teman sebangku Nina. 'Tahu, deh. Barangkali anak itu memang ngaku sendiri."
Bapak Hayat jadi ingin tahu persoalan apa yang menyebabkan sekian banyak kelas disetrap setengah harian. Mimi menceritakan kisah selembar kertas roti yang melayang jatuh menimpa kepala seseorang. Lantas, warga terhormat itu datang pada Mere menuntut keadilan. A
kibatnya, kita semua dihukum, sampai anak tersebut mau mengaku. Dan itu rupanya sudah dilakukannya.
"Kau tahu anaknya""
Mimi mengangkat bahu. "Yang pasti, bukan anak kelas kami, Pak," katanya mengelak.
Bab 3 PELAJARAN agama hari itu bertemakan Panggilan Seorang Wanita. Seperti biasa anak-anak cuma mendengarkan dengan sebelah kuping, tapi rupanya hal itu tidak disadari oleh Mere Rosa. Beliau terus bicara dengan tenang namun bersemangat, seakan didengarkan penuh minat oleh empat puluh pasang telinga, bukan hanya oleh Nina seorang.
"Setiap wanita mempunyai tiga pilihan dalam hidupnya," kata Mere dengan kedua tangan terlipat. "Pertama, dia dapat membujang. Ini memang belum begitu disukai oleh masyarakat kita, meski ada juga wanita-wanita demikian. Di negara saya dan beberapa negara Eropa lain, hal semacam itu sudah sangat lazim. Para wanita memimpin asrama putri atau menjadi perawat atau pekerja sosial atau bahkan bekerja di kantor dan mereka tidak menikah. Mereka punya penghasilan yang cukup, kehidupan yang menyenangkan, dan sama sekali tidak tergantung pada orang lain, baik orangtua maupun suami. Mereka sangat mandiri. Mungkin kalian sulit membayangkan seorang wanita yang hidup sendirian serta melakukan segala-galanya sendiri. Tapi, yah!" Mere mengembangkan lengannya seakan menyerah. "Itu memang terjadi di Barat Tante saya misalnya, sejak umur dua puluh sudah pergi dari rumah untuk tinggal sendirian di kota besar. Penghasilannya tinggi. Sebenarnya dia cantik. Banyak pemuda yang naksir, tapi dia sendiri enggan menikah. 'Lebih enak sendirian,' katanya. 'Tanpa beban serta tanggung jawab rumah tangga yang terkadang bisa membuat orang jadi stres sebab terlalu berat,'"
"Hm, memang agak egoistis. Tapi itu hak seorang individu."
Sandra melempar temannya dengan karet penghapus, sayang tidak kena. Karet brengsek itu malah menggelinding ke depan kelas. Mere menoleh dan dengan tenang membungkuk untuk memungutnya. Merah muka Sandra. "Terima kasih, Mere," gumamnya menerima kembali benda kurang ajar itu.
"Pilihan kedua," kata Mere melanjutkan, "adalah pilihan yang paling banyak diambil oleh kaum kita. Pilihan ini tidak kalah martabat maupun kesuciannya dibanding pilihan mana pun. Yaitu menikah dan menjadi seorang ibu. Wanita, sejak dia masih di dalam kandungan, sudah dipersiapkan untuk tugas mulia ini. Kalian tahu dari Ilmu Hayat, bahwa organ-organ seorang wanita berbeda dengan seorang lelaki."
"Kita telah diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk melaksanakan sebuah tugas yang tiada bandingannya di dunia: menjadi ibu. Seorang wanita sejati yang memandang bayinya untuk pertama kali pasti akan mengerti bahwa seorang bayi adalah mukjizat yang terbesar dalam hidupnya. Bahwa dia telah terpilih dari antara wanita-wanita lain untuk menjadi ibu anak tadi."
"Tuhan bersabda pada janin itu, Inilah ibu yang Kupilih bagimu. Dan janin itu dengan rela serta pasrah menerima sang wanita sebagai ibunya. Memang untung, masih banyak wanita yang dengan gembira serta bangga menyambut kedatangan tamu agung itu di dalam rahimnya. Mereka sadar, janinnya diciptakan Tuhan tepat sama seperti dirinya dulu diciptakan, dengan hak dan kewajiban serupa, diberkati cinta dan kurnia Tuhan juga. Tapi apa yang sering terjadi""
Anak-anak resah. Monolog seperti itu membosankan, apalagi sebab Pater Thomas juga sudah mengulasnya minggu lalu. Mereka sebenarnya mengharapkan Mere akan menyambung pembicaraan dua minggu berselang tentang pembuahan pada segala macam makhluk hidup, dari tanaman sampai manusia. Semua kecewa ketika Mere tidak menyinggung-nyinggung topik itu. Mungkin dia lupa atau mengira tema itu sudah selesai dibahas. Mungkin juga disangkanya itu bahan untuk kelas lain. Mere Rosa mengajar Agama dan Budi Pekerti pada semua kelas terakhir SMA.
"Sang calon ibu tidak menerima si Kecil dalam tubuhnya! Mereka bersedia melakukan apa saja asal janin itu dilenyapkan! Seribu satu alasan yang menjadi keberatannya. Anak ini akan menyukarkan hidup saya. Tubuh saya akan jadi gendut, kulit saya akan penuh bintik-bintik coklat, kaki saya akan bengkak, wah, pendeknya, saya ak
an jadi jelek! Saya tidak boleh bepergian jauh-jauh, tidak boleh menunggang kuda, tidak boleh segala-galanya. Dunia akan jadi neraka. Suami akan berpaling dan mencari wanita lain yang langsing. Wah, sangat celaka!' Lalu..."
Mere mengibaskan lengan bajunya dan minta supaya Ita menghentikan ketukan mistarnya di atas bangku, "...mereka membunuh anak itu! Mereka membunuh Yesus, sebab Yesus bilang, Apa yang kaulakukan pada sesamamu, kaulakukan padaKu!'"
Nina menelan air matanya diam-diam, tapi teman sebangkunya sudah memperhatikannya sejak tadi. Ditendangnya tulang kering Nina. Aw! Pekik kesakitan itu terlontar tanpa suara, takut kedengaran Mere. Tapi rasa nyeri berhasil menolong Nina untuk menghentikan segera produksi air matanya yang berlebihan.
"Sebenarnya wanita begitu tidak pantas menyebut dirinya seorang wanita. Dia sesungguhnya tidak lagi memiliki martabat manusiawi. Bahkan tidak juga martabat hewani. Sebab seekor hewan sekalipun, takkan membunuh anaknya sendiri. Syukur memang, wanita-wanita seperti itu jumlahnya belum sebanyak wanita-wanita sejati.
"Nah, sekarang mengenai pilihan ketiga. Hidup membiara. Selain dalam agama Katolik, cara hidup ini juga dikenal dalam agama lain. Misalnya agama Budha.
"Pada abad pertengahan, biara Katolik terkadang merupakan tempat untuk menyendiri atau menghukum seseorang. Istri-istri yang tidak setia dipaksa oleh suami mereka untuk menjadi non (biarawati). Ada juga putri-putri bangsawan yang sejak lahir sudah dicalonkan untuk menghuni biara oleh orangtuanya. Tentu saja banyak pula yang masuk dengan kemauan sendiri. Mereka menolak menikah, walaupun calonnya sudah ada, seorang pangeran yang kaya dan tampan."
"Para janda yang anak-anaknya sudah dewasa, sering kali juga ingin menghabiskan sisa hidupnya untuk Tuhan, dalam biara."
"Nah, marilah kita lihat apa saja yang dapat dilakukan oleh seorang biarawati, Banyak yang berprasangka - terutama para orangtua- bahwa masuk biara itu sama saja dengan dikubur hidup-hidup! Para biarawati takkan mungkin bisa bahagia. Itu sama sekali tidak benar!"
"Banyak orang juga menyangka, biarawan atau biarawati adalah orang-orang yang pernah patah hati! Pacarnya meninggal atau kecantol yang lain. Itu juga salah!"
"Masyarakat atau awam, rupanya tidak tahu bahwa biara mempunyai ketentuan-ketentuan yang cukup keras dalam penerimaan anggota baru. Hanya mereka yang benar-benar sehat jasmani dan rohani yang dapat diterima. Orang-orang yang sebenarnya mampu menjadi ibu atau ayah secara normal. Bisa kita bayangkan apa jadinya kalau seseorang dengan kelainan mental harus hidup bersama puluhan manusia lain dalam tempat tertutup. Neurotisnya pasti akan mengganggu hidup rohani yang lain. Dia tidak akan tahan kritik, tidak bisa menjadi sabar, tidak toleran terhadap kelalaian orang lain."
"Nah, tugas-tugas apa saja yang dapat dilakukan oleh seorang suster" Kita kenal banyak ordo. Ada yang bergerak di bidang pendidikan, sebagai guru. Ini niemang sangat sesuai dengan harkat wanita sebagai pendidik, baik untuk anak-anaknya sendiri atau murid-murid.
"Ada juga yang bekerja dalam kalangan medis, sebagai perawat atau dokter. Misalnya dalam leproseri (rumah sakit atau tempat penampungan penderita kusta) di Afrika Tengah, India atau negara berkembang lainnya.
"Apakah hanya dua itu kemungkinan kami" Tidak sama sekali. Di Amerika Serikat sudah banyak suster yang bekerja di kantor. Mereka membawa mobil sendiri, mengenakan gaun biasa dan bertingkah laku mirip wanita-wanita di sekitarnya. Kalian pasti akan bertanya, 'Lalu apa tugas mereka sebagai non"' Tentu saja banyak. Tugas utama adalah, mereka harus merasul dan memberi teladan hidup yang baik."
"Gue laparrr!" bisik Ita. "Brengsek 'ni lonceng! Kenapa sih belum juga setengah satu""
"Gue ngantuk! Bisa-bisa pulang terus makan lalu tidur!"
"Lantas... Stereo buat besok" Udah bikin""
"Masa bodoh! Nanti gue nyontek aja dari abang gue. Dia kan baru tahun lalu keluar SMA" Buku-bukunya masih rapi."
"Ssst!" bisik Nina tanpa menoleh. Ita menusuk tengkuknya dengan ujung segitiga. Nina kaget dan kegelian, tapi tidak berani bergerak.
Mere masih meneruskan kata-katanya, lalu melihat arloji-sakunya. Dikatupkannya kedua tangannya sehingga menimbulkan bunyi yang cukup mengejutkan anak-anak yang sedang merem melek dibuai angin dari jendela.
"Nah, waktu sudah hampir habis. Saya sungguh-sungguh berharap, kalian akan memikirkan dengan serius apa yang barusan saya katakan. Sebentar lagi kalian akan keluar dari sini. Mungkin sebagian akan melanjutkan pelajaran. Sebagian lagi mau langsung terjun ke masyarakat. Tapi bagi masing-masing dari kalian selalu tersedia tiga buah pilihan: membujang, menikah, atau membiara. Pilihlah yang terbaik bagimu. Berdoalah banyak-banyak supaya Tuhan menerangi pikiranmu dan engkau tidak memilih yang salah!"
Bab 4 LILI melirik arlojinya untuk kesepuluh kalinya. "Buset! Justru pada sore ini semua jam di Jakarta rupanya menjadi karet!" dia mendumal. "Justru saat kita kepingin lekas-lekas jam tujuh supaya film bisa dimulai!" "Kenapa jadi sewot, Nek"" Ani ketawa. "Gimana Nenek enggak sengit," ujar Ana. "Dia udah ngebet mau ketemu Kakek!" "Tutup moncongmu!" seru Lili.
"Lil, kenapa sih milih si Jimmy" Gue rasa Luki lebih lumayan," tukas Ani. "Di mana Nina"" tanya Lili berlagak pilon.
"Di mana lagi"" seru July sambil memuk tuts piano dan memeriahkan suasana denga We Will Make Love. Lagu ini sedang populer. Setiap orang menyanyikannya, tidak terkecuali penghuni-penghuni biara. Maksudnya anak-anak asrama.
Begitu piano berdenting, semua anak jadi latah mau ikut menyanyi atau bertepuk tanga Tapi Nina tidak mendengar apa-apa. Seperti biasa sore itu dia menantikan lonceng Angelus (malaikat Tuhan) -jam enam- di dalam kapel.
Begitu teraturnya dia masuk kapel, sehingga sebuah tempat tertentu seakan tersedia baginya di baris pertama, sudut sebelah kiri. Tak pernah ada yang duduk di situ kecuali dia. Bahkan bila kapel sedang penuh, misalnya pada bulan-bulan rosario, Mei dan Oktober, di mana murid-murid berbondong-bondong ke sana, tempat di sudut itu tetap menjadi milik Nina. Walaupun dia tidak hadir, tempat itu dibiarkan kosong seakan menunggu pemiliknya.
Beberapa temannya pernah bertanya, "Kenapa sih kau senang betul ke kapel""
"Karena aku suka!" sahutnya polos.
"Suka" Kenapa suka""
"Tahu, deh." Nina mengangkat bahu. "Barangkali sebab aku selalu merasa tenteram di situ. Suasananya sepi dan tenang. Tak ada suara-suara yang mengganggu. Tak ada panas yang menyengat. Dan dari jendela kelihatan kebun yang indah. Mungkin karena itu semua aku di senang duduk di kapel."
"Jadi engkau bukan berdoa""
"Enggak selalu. Terkadang aku cuma duduk saja tanpa memikirkan apa-apa." "Kalau gitu kenapa enggak duduk-duduk di taman saja"" Nina mengangkat bahu, tak bisa menjawab.
Temannya menatapnya, lalu menghela napas. "Mungkin kau harus menjadi Mere, Nin!" "O ya" Bukan main senangnya aku kalau bisa!"
Lonceng Angelus berdentang halus dan nyaring Nina membuat tanda salib lalu berdoa.
Kali ini dia tidak diberi kesempatan berdoa lama-lama. Sentuhan di bahu menyebabkannya tergesa-gesa membuat tanda salib lagi, lalu menoleh. "Ada apa"" bisiknya.
"Ayo, dong!" bisik Ani kembali. "Nanti kita ketinggalan!"
Nina tersenyum lalu bangkit dari berlutut. Sama sekali tidak diperlihatkannya rasa kecewa karena doanya diputus seenak temannya. Dia malah berpikir, aduh kasihannya anak-anak asrama! Begitu gairahnya mereka mau melihat sebuah film tua tanpa teks hanya karena dimeriahkan dengan kehadiran murid-murid serta anak-anak asrama Sese (C.C. = Canisius College = Kanisius)!
Nina dan Ani berjalan ke kamar makan. Tentu saja mereka harus makan dulu. Makanan disediakan lebih sore dari biasa, namun kebanyakan anak sudah tak punya selera.
Malam itu akan diputar film untuk amal. Seluruh hasil pendapatan akan disumbangkan pa-da para korban banjir di Jawa Tengah.
Bersama empat anak dari kelas lain, Nina bertugas memeriksa karcis di pintu masuk. Para tamu kebanyakan terdiri dari orangtua murid. Ada yang membawa anak-anak mereka, tapi umumnya anak-anak lebih suka pergi dengan teman-teman sebaya.
"Yang bener aja, dong!" kata seorang noni. "Masa sih segede ini aku masih harus
di tuntun orangtua" Kalau si Rita sih memang anak Papi!"
Anak yang bernama Rita itu kelihatan menggandeng lengan ayahnya dengan mesra, sementara ibunya memeluk lengan Ayah yang lain. Nina menahan senyumnya mendengar komentar-komentar lebih lanjut mengenai adegan itu. "Buset! Si Rita apa-apaan"" desis Liana dengan alis terangkat "Kayak yang enggak punya teman aja!" Tuti mendumal sengit.
"Lihat! Nengok pun dia ogah! Kita ini dianggapnya lalat 'kali, yang enggak perlu di-dekatin!" Loli ngoceh kesal.
"Mentang-mentang babenya keren!" Sandra menambah dengan mulut celangap saking terpesona. Ayah si Rita memang boleh ditampilkan. Potongan dan jahitan sama-sama pas. Rambutnya berombak, rahangnya persegi, senyumnya menawan, bahkan kacamatanya menambah angka bukannya mengurangi. Dan itu semua masih ditambah lagi dengan tubuh yang atletis.
"Sekeren-kerennya babe kan cuma babe!" tukas Ani yang sudah kecanduan komik love-story.
"Enggak bakalan bisa diajak pacaran. Masa sih mau dempet terus sampai tua""
Grrr. Mereka terbahak. "Memangnya kenapa"" Nina akhirnya buka mulut seakan kasihan mendengar Rita dikritik macam-macam tanpa bisa membela diri. "Itu kan bagus, contoh keluarga yang harmonis!"
Beberapa anak melotot pada Nina, menunjukkan tidak setuju dengan komentarnya yang kuno itu. Namun mereka tidak sempat lagi berdebat, sebab sudah makin banyak tamu yang datang, Bukan main herannya anak-anak SMA itu ketika melihat hampir semua murid SMP datang bersama Mami dan Papi!
"Huh! Masih ingusan!"
"Gue jadi ngeri mau kenalan!" sindir seorang cowok yang sedang berdiri di gang bersama konco-konconya.
"Jangan-jangan makannya masih disuapin dan minum susu botol!" tambah yang lain. Grrr. Mereka terbahak ramai-ramai. Nina melirik tanpa menggerakkan kepala. Yang bicara terakhir itu lebih tinggi dari teman-temannya. Mukanya putih dan bersih, tanpa dihiasi jerawat sebutir pun. Nina cuma melihat profil sebelah kiri. Hidung dan rahang yang kuat Telinga yang besar. Bibir...
Nina lekas-lekas mengalihkan perhatiannya sebab ada tamu menyorongkan karcis. "Silakan naik ke atas, Pak. Tempatnya di aula," katanya mengangguk dengan senyum manis.
"Oke. Tersedia minuman, tidak""
"Akan kami hidangkan, Pak."
"Baiklah, terima kasih."
Nina menepiskan buntut kudanya yang sudah meluncur ke depan. Loli datang menghampiri. "Sudah hampir jam tujuh. Kita ke atas, yuk""
"Sebentar lagi. Masih ada yang datang." Loli kembali ke tempatnya di ujung gang.
"Wah, bukan main cewek-cewek di sini!" cetus salah seorang dari kelompok cowok yang masih berdiri dekat Nina, tapi bukan si Jangkung.
"Ini belum seberapa, mek," sambung temannya, juga bukan si Jangkung. "Kalau mereka sudah mengadakan pesta dansa... wow!"
"Kenapa kau enggak pernah ngajak-ngajak" Pengkhianat!"
"Mana aku tahu kau suka pesta! Biasanya kau alim seperti kucing!"
Nina melirik dan melihat kedua anak yang tadi belum sempat di-survai-nya. Seorang di antara mereka berwajah Indo dengan rambut merah kecoklatan. Dialah yang paling tampan. Yang lainnya bertubuh gemuk dengan mata jenaka, namun pembawaannya simpatik juga.
"Bukan cuma anak Ursula, anak-anak Theresia juga cakep-cakep, mek. Kapan-kapan deh gue kenalin!"
"Heran, lu enggak bisa lihat cewek cakep dikit! 'Tu bola mata kontan deh berputar!" ujar si Jangkung ketawa. "Kalau kau mau ngumpulin yang cakep-cakep melulu, enggak bakal ada ha-bisnya. Yang satu pasti lebih cakep dari yang lain. Yang kedua lebih dari yang kesatu, begitu seterusnya!"
"Lantas, kaupilih yang mana""
"Enggak yang mana-mana!"
"Lu ngomong kayak orang yang banyak pengalaman aja! Padahal sih, hm. Malah aku dengar lu mau diseret ke psikiater, benar enggak""
Sebelum Nina sempat mendengar si Jangkung menjawab, Loli keburu lewat. Cowok Indo itu kebetulan menoleh ke belakang dan melihatnya. Lengannya langsung terulur menjangkau gadis itu. "Hei, Loli-pop! Aduh, saya enggak melihatmu! Tentunya sejak tadi di sini, ya"" tanyanya melirik pita panitia di dada. "Kok enggak mau negur duluan""
"Saya juga enggak melihatmu. Abis sibuk banget, sih," tukas Loli tertawa riang. Loli yang cantik sepe
rti pop (boneka) itu segera diseret untuk di-perkenalkan pada kedua temannya.
"Kenalin, ini teman gue, Loli-pop."
"Enggak pakai pop!" dengus Loli pura-pura merengut.
"Enggak pakai pop jugajadi! Nah, ini Miki. Dan ini Luki."
Loli tiba-tiba menoleh pada Nina. Didapatinya temannya sedang memandangi mereka. Ketika mata keduanya beradu, pipi Nina jadi merona merah seakan malu ketahuan Loli dia tengah menonton. Cepat dialihkannya matanya.
"Bert, kenalin juga dong, itu teman saya, Nina," kata Loli menunjuk Nina yang makin tersipu. Mereka semua menghampiri Nina dan berkenalan.
Jam tujuh lewat dua menit film dimulai. Tamu-tamu sudah naik semua ke aula. Loli dan Mina tinggal di bawah mengurus minuman. Ketika mereka akhirnya naik ke atas, ruangan sudah gelap. Kursi-kursi sudah penuh. Sambil berdiri dekat pintu keduanya ikut menonton. Filmnya sudah tua, tidak berwarna dan tanpa teks. Nina tidak tahu apa yang dapat dinikmati dari film seperti itu. Herannya, tak ada seorang pun penonton yang protes. Bahwa teman-temannya tidak protes, itu tidak aneh. Mereka memang datang bukan untuk nonton!
Ketika film putus, lampu dinyalakan. Loli diundang duduk bersama Albert dan konconya. Karena bangku itu cukup panjang, dia tidak menolak. Tapi bagi Nina tak ada tempat. Miki, si Jangkung, menawarkan jasa baiknya, "Silakan duduk, biar saya berdiri." Nina melihat tawaran itu disertai senyum sinis yang tidak enak dilihat seakan dia dianggap 'dasar cewek', enggak tahan berdiri!
"Ah, enggak usahlah, trims," dia menolak dengan manis. Miki mengangkat bahu tanpa acuh. Benar kan, pikir Nina, dia cuma berlagak baik hati.
"Hei, Nin, mari duduk di sini!" Bukan main leganya hati Nina mendengar seruan Arri. Lekas-lekas dia beranjak dari pinggir pintu.
Lima menit sebelum istirahat semua gadis yang bertugas turun ke bawah untuk membuka botol-botol limun. Para tamu mendapat minuman gratis, tapi sebenarnya sih sudah diperhitungkan dengan harga karcis. "Ei, abangmu datang enggak"" tanya Nadia pada Ita.
"Datang. Tadi gue liat dia bersama konco-konconya. Tunggu, deh. Nanti aku seret dia kemari." "Percuma, kalau dia anti cewek sih!"
"Ah, itu kan relatif," Lili nimbrung. "Belum aja ditemukannya cewek yang bisa nyetrum ke ulu-hatinya!" "Sejak kecantol 'Oom' Jimmy, kau jadi pintar ngomong!" sindir Loli nyengir-nyengir kuda. "Mendingan sama oom daripada sama opa! 'Opa' Albert! Hii..." balas Lili panas.
"Si Albert sama aku enggak ada apa-apa, kok!" Tapi penjelasan Loli tidak kedengaran, ditelan suara cekikikan teman-temannya.
"Kenapa sih lu getol banget mau kenalan sama abang si Ita" Memangnya seganteng apa sih orangnya"" bisik Ana.
Nadia celingukan dulu. Ketika dilihatnya Ita saat itu berdiri cukup jauh, baru dibukanya mulutnya. "Soalnya, lantaran aku ngebet nih pingin dilukis olehnya! Kabarnya, dia jagoan melukis." "Ooh, jadi cuma karena itu" Gue kira, lu naksir!"
"Uh, mana mungkin! Ngeliat juga belum pernah. Ssst, awas jangan sampai kedengaran Ita, lho. Nanti tersinggung."
Istirahat seperempat jam diperpanjang jadi setengah jam, sebab ada kesulitan teknis. Ita jadi punya waktu untuk menciduk abangnya lalu dibawa ke tengah-tengah "harem".
Nina mengangkat muka dari botol-botol kosong yang tengah disusunnya di atas rak. Hm, kiranya si Jangkung! pikirnya. Eeei, memang nama abangnya Miki, bukan" Cocok. Kenapa enggak terpikir olehnya sejak tadi"
Tamu istimewa itu diedarkan. Nina berlagak sibuk. Tapi Ita menarik tangannya. Huh, seakan abangmu itu raja, pikir Nina, masih sengit teringat sikap si Jangkung yang sinis barusan.
"Mik, ini Nina, calon Mere kita!" Ita memperkenalkan. "Enggak boleh diganggu, lho!" Nina ingin betul menginjak kaki temannya. Sayang terlalu jauh.
"Nin, ini Miki, abang gue."
Nina memaksakan sebuah senyum manis sambil mengulurkan tangan. Miki menyambutnya setengah hati seperti terhadap cewek-cewek lain. Bedanya, sekali ini dibukanya moncongnya. "Udah kenalan kok tadi!" Lalu dia ketawa sinis.
"Wah, kok lu berlagak belon kenal"" tuduh Ita setengah cemberut
"Biasa, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!" sindir Loli melirik yang lain
. "Supaya bisa jabat tangan sekali lagi!"
Grrr. Anak-anak ketawa. Miki malah ngakak. Bukan main merahnya wajah Nina. Mau rasanya dia selulup ke dalam bumi saat itu juga. Tapi lebih-lebih lagi, betapa inginnya menyepak tulang kering Miki sampai dia terkaing-kaing seperti si Bleki tempo hari disenggol sedan!
Bab 5 PELAJARAN Stereo selalu membuat anak-anak bangun. Sebab itu jam-jam pertama. Tapi andaikan diberikan pada jam penghabisan pun, rasanya mereka akan bangun juga. Karena Bapak Stereo menuntut perhatian seribu-lima-ratus persen!
Pagi itu Ainah ketiban sial. Kebetulan dia tidak membuat pe-er sebab tidak bisa. Sebab kedua adalah film di aula tadi malam. Pulang-pulang sudah ngantuk, mana mungkin memikirkan pe-er lagi. Banyak anak yang sama-sama buku pe-er-nya kosong. Tapi mereka tidak dipanggil, jadi tidak ketahuan.
"Enggak bisa"" sembur Bapak Stereo dengan alis diangkat sampai ke langit. "Baiklah, maju ke sini! Coba tulis dalil-dalil yang diajarkan minggu lalu!"
Ainah maju dengan ragu-ragu. Bibirnya yang pucat komat-kamit sementara matanya melontarkan sinyal SOS ke segala penjuru kelas. Tapi tak seorang pun yang dapat menolong. Sebab setiap dalil terdiri dari beberapa kalimat panjang yang takkan mungkin di-rilei seperti silent-quiz.
Ainah mengambil kapur. Diperhatikannya kapur itu dengan saksama seakan itu potongan intan .yang perlu diteliti karatnya. Setelah diputar-putar beberapa kali, diputuskannya untuk mengganti kapur itu dengan yang baru. Ketika kapur baru itu sudah terangkat ke papan tulis, mendadak dia patah diremuk jari-jarinya tanpa sengaja. Ainah menurunkan kembali tangannya untuk mengembalikan potongan yang lebih pendek.
"Ayo, lekas!" hardik Pak Guru yang mulai tidak sabar. Beliau paham betul taktik rnurid-murid dalam mengulur waktu. "Tulis!"
Ainah menggerakkan tangan tapi papan masih tetap bersih. Bapak menjulurkan leher dari atas singgasananya. "Ayo! Terus terang saja, bisa enggak!"
Ainah menunduk, bermain-main dengan serbuk kapur. Seluruh kelas sunyi senyap. Kalau Bapak Stereo marah, wow! Kalah banteng ngamuk!
"Tulisss!" gelegarnya. Kesabaran beliau memang setipis sutera.
Ainah malah seperti syok, cuma memutar-mutar ujung jarinya yang penuh kapur, membuat lingkaran-lingkaran seperti anak TK yang pertama kali pegang pinsil. "Tidak bisa""""
Ainah memutar kepalanya pelan sekali seperti boneka yang hampir putus lehernya. Dipandangnya Bapak dengan amat sayu. Tapi Bapak mana kenal istilah belas kasihan! Apalagi terhadap siswi yang sebentar lagi mau ujian. "Lupa, Pak," bisiknya dengan bibir menggeletar. "Lupa! Duduk!!!"
Ainah melap kedua tangan pada gaunnya, lalu berputar dan balik ke tempatnya sambil menunduk. Semua anak mendadak jadi sibuk tidak keruan. Ada yang mengibas-ngibaskan pulpen supaya tintanya turun, ada yang meng-garisi pinggiran bukunya, ada yang menunduk menghitung-hitung jari kakinya di bawah bangku jangan-jangan sudah hilang satu. Sebab kalau dewa sudah ngamuk, jangankan jari kaki, kepala pun bisa hilang!
Bapak Stereo mengembuskan asap rokoknya sambil menengadah ke langit-langit. Apa yang dilihatnya di situ rupanya tidak meredakan marahnya, sebab ketika dia memandang kembali seluruh kelas, mendung di wajahnya kelihatan makin pekat. Sekali lagi asap rokok bergulung-gulung naik.
Ketua Kelas menyepak kaki temannya dan sang korban tak berani berkutik, berlainan dengan biasa. Ketua tahu betul memanfaatkan situasi sekadar meredakan ketegangan dalam dirinya sehingga nafsunya untuk menjerit setinggi langit bisa diremnya.
Juga Ani menggunakan kesempatan yang sempit itu untuk menggelitik tengkuk anak yang duduk di depannya. Anak itu tak berani bersuara, walaupun sesekali diangkatnya bahu-nya sebab kegelian.
Untuk beberapa detik anak-anak asyik main sendiri. Tapi bunyi telapak tangan menampar meja menyadarkan mereka bahwa Yang Dipertuan Agung Bapak Stereo masih memegang tampuk kekuasaan.
"Yah, bagus!!" seru Tuanku Yang Agung sambil melirik mereka dengan garang. "Kalian mengira saya berdiri di sini untuk apa" Untuk main-main saja" Coba pikir! Apa gunanya orangtua kalian membayar uang
sekolah mahal-mahal kalau kalian cuma mau main-main saja"! Dan buat apa saya payah-payah menerangkai ini itu kalau cuma bakal masuk kuping kiri lalu keluar kuping kanan" Buat apa" Percuma saja saya buang-buang tenaga dan waktu kalau gitu! Suara saya habis, penghasilan tidak berapa!"
"Eh, kalian kira saya ini digaji berapa sih"! Tidak cukup untuk makan satu bulan, tahu! Tapi saya ingat kalian. Saya ingat anak-anak yang ingin belajar, ingin jadi pandai. Kalau tidak ingat begitu, sudah lama saya diam-diam saja di rumah. Kasih privat-les jauh lebih banyak hasilnya. Dan yang datang anak-anak yang betul-betul mau belajar. Waktu saya takkan terbuang sia-sia, uang pun mengalir masuk dengan deras. Dalam sekejap mata saya dapat menjadi kaya raya.
"Tapi saya tidak melakukalmya. Kenapa" Sebab saya ingat kalian. Saya ingin semuanya menjadi manusia-manusia yang pandai dan kelak berguna bagi masyarakat. Saya rela tidak bisa menjadi kaya. Tidak apa-apa. Tapi sebaliknya, dari kalian, saya minta keinsyafan untuk belajar sungguh-sungguh. Ilmu tidak bisa masuk begitu saja ke dalam otak. Mesti dimasukkan dengan ketekunan dan kerajinan. Tidak cukup bila buku-buku itu dibakar saja lalu diberi air dan diminum! Tidak cukup cuma berdoa saja tiga jam, lima jam di gereja, pagi-sore. Tuhan tidak akan menolong orang yang tidak mau menolong dirinya sendiri. Kalian pikir kepandaian itu akan timbul dalam satu malam bermimpi" Sedangkan pendekar seperti Yo Ko (berpendekar bertangan satu) pun memerlukan latihan bertahun-tahun sebelum dia menjadi lihai dan tak terkalahkan." Seperti Bapak Alam, Bapak Stereo juga pecandu cerita silat kelas berat.
Tuanku kini memercikkan abu rokok ke dalam asbak berupa kaleng bekas pastiles yang diletakkan Ketua Kelas tadi pagi. Asbak yang sebenarnya hilang, entah lari ke mana.
Selama berpidato-atau berkotbah lebih tepat- Bapak tidak sekali pun melirik Ainah, tapi gadis itu menunduk terus dengan rupa salah. Meskipun suara Bapak hilang sejenak, dia tak berani mengangkat muka. Dalam hati dia berpikir-pikir hukuman apa kira-kira yang akan dijatuhkan nanti.
"Dalam berapa bulan lagi kalian akan ujian. Kalau belum mau belajar dari sekarang, lalu kapan mau mulai" Sekarang santai saja terus! Nanti kalau sudah dekat, baru gerabak-gerubuk tidak keruan! Saya bukan mau menakut-nakuti kalian, tapi percayalah, tidak mungkin mempelajari bahan sebanyak itu cuma dalam waktu dua minggu."
"Atau, kalian cuma ingin keluar-masuk gereja melulu" Oke! Lalu nanti waktu ujian, bawalah ember untuk menampung air mata buayamu! Ya, kamu tidak perlu menangis, Ainah! Itu akan terjadi bila kamu semua tidak juga mau insyaf!"
"Sekarang saya mau tanya, apa kalian sungguh-sungguh masih mau belajar atau tidak" Kalau tidak, enggak apa-apa. Malah kebetulan! Gue mau pulang, tidur! Ayo jawab, apa pelajaran saya ini masih mau dilanjutkan"!" "Maaauuu!" seru anak-anak serentak. "Ainah, apa kamu merasa perlu pelajaran ini diteruskan"" Ainah mengangguk sambil memandang Tuanku Agung sekilas. "Saya tidak mendengar suaramu!" kata beliau tanpa kasihan. "Saya tuli sih!" "Perlu, Pak," sahut Ainah dengan air mata berlinang-linang.
"Oke. Kalau begitu, kamu harus menyalin semua dalil-dalil minggu lalu tiga ratus kali. Besok serahkan pada saya!"
Anak-anak terkejut mendengar hukuman yang dahsyat itu. Diam-diam mereka saling melirik. "Ampun," bisik Nina, "aku sih lebih baik mati daripada disuruh nyalin tiga ratus kali!"
Tapi Ainah malah kelihatan lega. Dalam hati dia bersyukur, cuma disuruh menyalin saja, bukannya dimaki-maki kalang kabut seperti ke-biasaan Bapak.
"Kalau di Kanisius, saya sudah suruh kamu buka baju, lari keliling lapangan!!! Sayang di sini cewek melulu sih!"
"Iiih!" desis Mimi bergidik.
"Eh, itu betul," bisik Ita. "Laa, kan abang gue pernah keliling lapangan dua puluh kali! Temannya pernah dipukul dengan jangka. Kalau di sana, dia galak, lho."
Insiden itu segera dilupakan ketika Bapak Kimia yang manis dan pemalu itu masuk ke kelas setelah istirahat. Hari itu beliau kelihatan makin manis dan makin pemalu. Mukanya yang putih kecil tampak bersih berkilat-ki
lat. Banyak noni-noni yang iri melihat kulitnya, terutama mereka yang penuh jerawat.
"Pak, selamat ya," seru Ketua Kelas. Bapak menggigit bibirnya keras-keras sambil tersenyum malu.
"Laki-laki atau perempuan, Pak""
"Jam berapa, Pak""
"Yang keberapa, Pak""
"Nanti dulu, kalau nanya satu-satu," kata Ba-pak mencoba mengatasi malunya. "Anak saya lahir tadi pagi jam enam di rumah sakit. Laki-laki" "Anak keberapa"" teriak Loli. "Keempat."
"Yuhuiii!" bisik Loli pada teman sebangkunya. "Gue enggak sangka, mek. Bapak begitu kerempeng, tahu-tahu anaknya sudah empat!!!" Lalu keduanya mengikik pelan-pelan.
"Pak, Pak," ujar Ketua Kelas dengan lagu manja, "kadonya belakangan ya, Pak. Soalnya kita kan baru tahu hari ini."
Bapak Kimia menggigit kembali bibirnya dengan rupa malu. Tidak usah pakai kado-kadoan," katanya. "Eh, harus dong!" protes anak-anak.
"Sudah. Sudah. Sekarang kita mulai saja. Sampai di mana kita kemarin dulu""
Tiba-tiba terdengar suara aneh dari bagian tengah kelas. Seperti tangis bayi, tapi tidak mirip betul. Lebih menyerupai bunyi kambing kelaparan. Bapak menoleh sekilas, tapi karena suara itu sudah lenyap, dia tidak bilang apa-apa. Langsung saja dia mulai menerangkan bab baru. Sedang asyik-asyiknya mereka menyimak, bunyi yang aneh itu kedengaran lagi. Dua kali malah.
"Suara apa itu"" tanya Bapak.
"Saya enggak mendengar apa-apa!" sahut Ani dengan manis. Tapi tidak lama kemudian suara itu muncul lagi. "Nina, suara apa itu""
"Tahu deh, Pak," sahut Nina dengan rupa tidak berdosa.
Bapak tahu Nina bisa dipercaya, jadi dia tidak bertanya lebih lanjut. Kemudian giliran membuat soal-soal. Ana maju. Ani melihat punggungnya, lalu menunduk menyembunyi-kan senyum. Nina melihat juga. Cepat-cepat diambilnya sapu tangan untuk menutupi mulut. Hampir semua anak yang dilalui Ana terlihat mau ketawa. Bapak jadi curiga. Ketika Ana tiba di depan papan, Bapak menoleh. Astaga! Se-buah dakochan terikat pada pita gaunnya di belakang. Diam-diam Bapak turun dari kursi lalu menghampiri Ana. Dipijatnya boneka hitam itu. Eeeiiik... Ana kaget bukan main. Dia langsung berputar. "Suara dari mana itu"" tukasnya dengan membelalak. Seluruh kelas terbahak. Akhirnya dia tahu di mana "setan"-nya. Sambil menyumpah-nyumpah dalam hati, Ana melepaskan boneka itu sementara otaknya berpikir keras menduga-duga siapa biang keladinya.
Bab 6 KETIKA pagi itu Nina masuk ke kelas, dilihatnya semua anak mengerumuni bangku Nadia. Dengan penuh tanda tanya dilemparnya tasnya lalu lari ke tempat temannya. Di sana didapatinya Loli sedang memegang sehelai karton tebal berukuran tiga puluh kali tiga puluh sentimeter yang digoyangkannya ke sana kemari. Pada setiap goyangan terdengar pekik yang memilukan dari Nadia. Anak-anak lain ikut juga teriak-teriak sehingga suasananya mirip pasar malam.
Nina berjalan mutar. Sekarang tampak olehnya bagian sebaliknya dari karton itu. Kiranya sebuah lukisan dengan pinsil konte. Karena letaknya miring dalam pegangan Loli, dia tak dapat segera mengenali gambar siapa itu. Tapi suara Ketua Kelas sudah menjelaskan semuanya. "Hei, lu kelihatan cakep di sini! Enggak seperti aslinya!"
"Brengsek, lu! Biar amat gue enggak cakep yang penting pacar gue suka! Masak tampan seperti ini masih dibilang jelek" Abis mau nyari yang gimana" Ya, kalau dibandingkan sama bintang film terang kalah!" Nadia tertawa lebar. Dia tidak pernah tersinggung dikatakan tidak cantik, sebab dia tahu itu cuma bercanda. Dia tahu dirinya amat manis. Cuma tahi lalat di ujung hidung dibencinya bukan main. Mana hitam, besar lagi! Dia mendumal kalau sedang kesal. Nina memiringkan kepalanya supaya bisa melihat gambar itu dengan lebih baik. "Wah, bagus, mek!" serunya terpesona. "Siapa yang melukismu, dia""
Sebelum yang ditanya keburu menjawab, Ita sudah lebih dulu membusungkan dada. "Abang gue. Pintar, ya""
"Aku juga mau, dong," pinta Loli. "Biarpun harus bayar, aku mau!"
"Setan, lu. Memangnya abang gue mata duitan!" semprot Ita.
"Duh, marah. Gue kan cuma bilang, bayar juga enggak keberatan. Kapan gue boleh datang"" "Duilaa, begitu ngebetnya!" sindir Ana ketawa.
"Mau kaupamerkan sama pacarmu"" "Iya, dong. Kenapa kau yang jadi repot" Kapan, Ita""
"Tahu deh, kapan. Abang gue sedang banyak ulangan. Si Taryo enggak kira-kira kalau ngasi pe-er. Tiap malam dia tidur jam dua belas, sampai-sampai mami gue khawatir dia nanti sakit"
Melihat Loli sedikit kecewa, Ita memijit hidung temannya untuk menghibur. "Nanti deh, tanggal dua puluh lima, kalian datang ke rumahku. Abang gue pasti ada bersama konco-konconya. Nanti gue tanyain, kapan dia sempat."
Serta merta Loli dan beberapa anak lain ketawa gembira. Bukan terutama karena ada kesempatan untuk dilukis, tapi sebab "abang gue pasti ada bersama konco-konconya!" Nina tersenyum geli lalu beringsut dari situ. Diambilnya penghapus dan dibersihkannya papan tulis. Meja guru dirapikannya serta dikebut dengan bulu ayam. Dia tidak pernah tertarik dengan percakapan-percakapan seperti itu. Apalagi berebut pacar, seperti yang pernah terjadi di kelas dua. Dasar calon Mere, begitu komentar teman-temannya mengenai sikapnya yang alim dan senang menolong. Tapi terkadang ada yang suka memperalat kebaikannya itu.
"Nin," seru Ketua Kelas, "kapur udah abis, nih. Tolong dong ambilin, gue lagi malas."
"Beres!" sahutnya spontan, lalu berlari keluar kelas dengan ekor kudanya bergoyang riang ke sana kemari.
Ketika lonceng berbunyi, tak seorang pun mendengar. Masing-masing masih asyik mengomentari lukisan wajah Nadia. Ana diam-diam mengambil sepatu kiri Loli -anak ini memang jarang sekali pakai sepatu dalam kelas- lalu meletakkannya di ujung jendela. Daun jendela itu bergerak pada sumbu vertikal yang terletak di tengah-tengahnya. Bila bagian dalam tersentuh, bagian di luar akan bergerak dan sepatu itu akan jatuh, menimpa kepala siapa saja yang duduk di bawah jendela. Bapak Aljabar masuk. Semua anak hiruk pikuk kembali ke tempat masing-masing. Nina muncul dengan segenggam kapur dalam tangannya. Loli kalang kabut mencari sepatunya, tapi tidak sempat melongok ke bawah bangku, sebab doa pagi sudah dimulai. Terbirit-birit dia kembali ke tempatnya. Setelah duduk dikirimnya berita kilat pada Nina, memintanya mengirimkan sepatunya. Sebab pasti sepatu itu ada di bawah bangku Nadia. Anak itu melihat ke bawah lalu menggeleng. "Enggak mungkin," bisik Loli. Anak-anak di sekitar situ ikut mencari juga, tapi sepatu Loli tetap raib. Loli terpaksa diam saja, sebab pelajaran sudah dimulai dan mereka tidak sempat lagi memikirkan masalah lain kecuali Aljabar.
Dengan matanya yang tajam, Nina sebenarnya sudah melihat di mana sepatu Loli, tapi dia ogah bikin ribut. Kalau dia buka mulut, malah akan ketahuan Bapak, ada sepatu menclok (hinggap) di jendela dan itu kan tidak sopan. Bisa-bisa Bapak mau mengusut siapa biang keladinya! Lebih baik diam-diam begini, Bapak takkan tahu.
Ketika tiba giliran membuat soal-soal, anak-anak mulai rileks dan pada saat itulah mereka melihat di mana sepatu Loli.
"Sialan, siapa sih yang naruh di situ"" pemiliknya mendumal.
"Sebaiknya kauambil saja," usul Sisi.
"Kan Bapak jadi tahu" Nanti dikira aku main-main."
"Sudahlah, biarkan di situ!" nasihat yang lain. "Kan enggak kelihatan. Nanti baru kauambil."
Pelajaran berjalan dengan tenang. Bagian kedua sudah berjalan kira-kira sepuluh menit Untung Loli pagi itu tidak kena giliran maju, sebab yang jadi sasaran baris pertama dan kedua. Loli duduk di baris keempat, bangku kelima.
"Siapa sih yang iseng"" bisik teman sebangku Nina menunjuk ke jendela. Nina mengangkat bahu. Sebenarnya dia melihat siapa yang me-lakukannya, tapi dia ogah jadi informan.
"Menurut dugaanmu, siapa"" dia balik bertanya.
"Tahu, deh. Aku enggak bisa nebak."
"Aku juga." Bapak Aljabar lama-lama bosan juga duduk terus di singgasana. Dia turun lalu berjalan hi-lir-mudik di antara barisan bangku-bangku. Anak-anak jadi ribut. Mereka khawatir ketahuan bahwa mereka makan di dalam kelas (itu kan salah satu dosa di mata guru!) Jadi mereka melancarkan Intimidasi supaya Bapak mundur.
"Iiih, seperti Encek Anyin tukang kredit aja!" seru Lili. "Masuk kampung keluar kampung!"
"Iya, nih, ngontrol apa sih, Pak"" Ketua Kelas melengking.
Bujangan yang muda belia itu jadi tersipu-sipu dikeroyok noni-noni. Dia balik ke depan tanpa komentar, lalu berdiri memperhatikan papan. Lewat beberapa menit rupanya capek juga kakinya. Dia bergeser ke pinggir lalu duduk... astaga! Jangan di situ, Pak! bisik anak-anak dalam hati. Tapi Bapak sudah telanjur duduk di bawah jendela. Dilipatnya kedua tangannya. Matanya tetap asyik menyapu papan memperhatikan soal-soal yang sedang dibuat.
Sejenak semua terlena. Angin sepoi-sepoi menerpa masuk dari pepohonan di luar, membuai seisi kelas. Bapak kelihatan melamun. Tanpa sadar dilipatnya kakinya. Beberapa menit kemudian Bapak tiba-tiba mendapati kesalahan besar di depan. Tergesa-gesa dia bergerak mau bangkit. Daun jendela tersentuh! Dan sebelum anak-anak sadar, mereka sudah melihat Pak Guru berdiri di pinggir jendela. Sebelah tangannya mengusap-usap kepala sedangkan tangan yang lain menjinjing sepatu Loli. Matanya dengan tajam menyapu seluruh kelas. Ketika dia tidak berhasil menebak siapa biang keladinya, dia langsung menghardik, "Sepatu siapa ini"!"
Anak-anak menahan napas, tak berani men-tawab.
"Sepatu siapa iniii"""!!!" Bapak menggelegar sambil menaikkan sepatu itu sepanjang-panjang tengannya.
Loli tak dapat mengelak lagi. Diacungkannya langannya seraya berdiri. Dengan sebelah kaki telanjang, dia melangkah dingkluk-dingkluk ke depan Bapak. Tangannya terulur, tapi Pak Guru tak mau menyerahkan sepatu kurang ajar itu begitu saja.
"Kenapa bisa ada di situ"" tanyanya geram, mungkin memikirkan bagaimana barusan rambutnya sempat bersentuhan dengan kotoran kuda.
"Tidak tahu, Pak sahut Loli tanpa rasa bersalah. 'Tidak tahu"! Ini sepatumu, bukan"" "Betul, Pak,"
"Nah, bagaimana kamu jadi tidak tahu" Kenapa ada di situ" Di mana seharusnya sepatu itu"" "Di kaki saya, Pak," sahut Loli yang terkenal suka melucu dan tidak ngeri pada guru, apalagi kalau merasa tidak bersalah.
"Ya!" hardik Bapak. "Di kakimu! Lalu, apakah di situ kakimu""
Loli menoleh ke jendela yang ditunjuk Bapak, tapi tidak menjawab. Dialihkannya pandangnya sejenak ke kelas seakan mau bilang, bodoh banget sih, nanya kok begitu! "Ayo, kenapa sepatu ini ada di situ""
"Saya sudah bilang, saya enggak tahu. Masa sih saya gila, Pak, meletakkan sepatu di jendela!" "Habis, bagaimana bisa ada di situ""
Loli menggerakkan kepalanya ke belakang dengan laku putus asa. Tapi dia tidak pernah takut dengan guru, apalagi yang Odrus yang selalu ramah.
"Sudahlah, Pak. Bapak mau mengembalikan sepatu saya atau enggak""
Anak-anak menahan napas, menunggu reaksi Bapak. Jangan-jangan Vesuvius pindah kemari dan meletus! Tapi bujangan yang simpatik itu tidak sanggup marah pada noni secantik Loli! Terlebih diawasi oleh puluhan gadis lain yang juga serba menarik! Namun karena insiden itu dianggapnya cukup serius, beliau tidak mau memperlihatkan senyum secercah pun padahal selalu tersenyum adalah predikat kesayangan anak-anak baginya.
Diserahkannya sepatu itu tanpa membantah. Tapi jangan mengira perkara ini akan saya sudahi sampai di sini! Saya merasa wajib melaporkannya pada Mere Direktris!"
Loli membelalak pada Bapak yang malang itu. Terserah," katanya mengangkat bahu. "Pokoknya bukan saya yang bersalah!"
"Setidak-tidaknya kamu sudah kurang disiplin! Kenapa sepatu dilepas-lepas""
"Lalu Bapak mau memaksa saya memakai sepatu seharian" Waktu duduk di bangku apa salahnya dicopot"" gumam Loli, mengangkat bahu sekali lagi.
Nina melirik Ana. Gadis itu sedang menahan senyum di balik kitab tulisnya. Mimi juga ikut-ikutan. Aha, rupanya ada anak lain yang juga tahu rahasia ini, pikirnya. Tapi Ana sama sekali tidak kelihatan merasa bersalah. Rupanya dia amat sengit disuruh menggendong-gendong dakochan kemarin!
"Pendeknya," seru Bapak dan kali ini penghapus ikut bicara sebagai ganti palu, "kalau tidak ada yang mau mengaku dan minta maaf, persoalan ini akan saya teruskan pada pimpinan! Saya tunggu sampai bel berbunyi... (Bapak melirik arlojinya)... dua puluh menit lagi!"
"Wah, gawat juga!" bisik Ketua Kelas. Melihat gelagatnya, Bapak tidak main-main lagi. Ketua memandang berkeliling seakan ingin menjebak bia
ng keroknya. Tapi itu sama saja dengan memandangi ikan-ikan sekolam untuk mencari ikan mana yang telah menelan cincin berliannya. Semua wajah tidak memperlihatkan emosi apa-apa kecuali khawatir dan tegang. Tak ada yang tampak ketakutan. Ana dan Mimi malah kelihatan nyengir-nyengir kuda, entah sedang menceritakan gosip apa.
Ketua Kelas menoleh pada Nina. Anak ini biasanya tahu lebih banyak dari yang lain, seolah dia mempunyai indera keenam yang mampu menembus hati orang. Cuma susahnya, Nina bilang, dia ogah mengkhianati teman kecuali dalam pilihan antara hidup dan mati. Keadaan segawat itu memang belum pernah timbul. Masalah sepatu mencium kepala tentunya takkan membawa akibat buruk bagi korban kecuali soal perasaan yang lecet-lecet.
"Siapa sih"" tanya Ketua dengan gaya pantomim supaya tak usah berbunyi. Nina memperlihatkan kedua matanya yang besar dan indah, hitam-pekat. Diberikannya senyumnya vang manis, tapi kepalanya menggeleng. Kamu kan sudah melihat sendiri tingkah laku Ana serta Mimi, pikirnya. Kalau kamu enggak bisa menafsirkan maknanya, salahmu sendiri!


Bukan Impian Semusim Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Huh! Pasti dia tahu!" gerutu Ketua pada teman sebangkunya.
Lonceng berbunyi. Pelajaran selesai. Anak-anak tidak berani bergerak, menunggu dengan berdebar-debar. Bapak juga kelihatan menunggu, tenang berdiri di depan kelas. Setelah lewat beberapa menit masih juga belum kelihatan ada yang mau mengaku, Pak Guru memberi tanda supaya mereka berdoa. Sebelum keluar, sekali lagi beliau berdiri dekat pintu. "Saya tunggu di kamar guru. Kalau tidak...!!" Dibukanya pintu lalu menghilang.
Nina langsung turun ke bawah, mau mengambil buku ke asrama. Dia tidak tahu apakah Ana pergi menghadap Pak Odrus atau tidak. Ketika dia kembali, dilihatnya Ana dan Loli sedang terbahak-bahak bersama yang lain. "Siapa suruh lu ikat-ikat dakochan di baju gue!" teriak Ana. Insiden itu tak pernah sampai ke telinga Mere. Pasti Ana sudah minta maaf.
Bab 7 TIDAK seluruh kelas diundang ke pesta ultah Ita Cuma kliknya saja. Tapi anak-anak asrama diundang semua. Sebab bagi mereka berlaku hukum tak tertulis: satu diundang, semua mesti diundang; satu tidak diundang, semua takkan pergi. Dan semua harus ikut, kata Ita. Tak ada lowongan untuk alasan.
Pesta itu diundur sehari supaya bisa dirayakan Minggu pagi. Loli kelihatan amat menarik dengan gaun birunya. Juga Ani berdandan ekstra rapi. Semua kelihatan istimewa kecuali Nina. Dia tidak bersolek sama sekali. Lili menjerit ketika melihat dia begitu acuh tak acuh.
"Oh, aku sudah pakai bedak!" Nina membela diri.
"Ya, tapi rambutmu! Sanggullah. Seperti waktu kau main sandiwara dulu!" "Betul, Nin. Bikinlah sanggul," bujuk Ana.
"Berabe, ah. Pulang-pulang mesti dibereskan lagi. Mana pe-er gitu banyak, belum aku buat satu pun." "Alaa, persetan sama pe-er! Ayolah, sisir kembali rambutmu!" "Enggak, ah. Aku sedang malas." "Kalau begitu, mari aku sisirkan."
"Enggak usah, ah. Aku ogah disanggul. Pakai pita begini kan sudah cukup""
Mereka mengalah. Nina bisa menjadi keras kepala bila dipaksa. Mereka lalu menilai gaunnya. Astaga! Masa pakai gaun itu! Mana abang Ita pasti ada bersama grupnya! Tapi mereka tidak berani mengritik. Sebab semuanya tahu, Nina tidak memiliki baju bagus. Mungkin ibunya kurang memperhatikannya.
Nina sendiri tidak merasa bahwa gaunnya "lain dari yang lain". Dia kelihatan gembira seperti biasa, sama sekali tidak canggung atau risi. Wajahnya yang bulat telur tidak kurang menariknya dibandingkan dengan wajah-wajah di sekitarnya. Malah lebih menarik, sebab tenang, tidak tegang seperti beberapa noni yang dak-dik-duk menantikan kesempatan berkenalan dengan konco-konco abang si Ita.
Sayang sekali kesempatan itu hilang. Ita dengan sedih terpaksa memberitahukan bahwa Miki dengan sekalian konconiya sedang bergulat memecahkan dua puluh soal Stereo untuk hari Senin. Dan supaya tidak mengganggu pesta mereka, Miki pergi mengungsi ke rumah temannya.
"Aduh, sayang," keluh Loli. "Sebenarnya kita sih enggak bakal terganggu kalau mereka ada. Malah sebaliknya, mungkin mereka yang bakal terganggu oleh kebisingan kita."
"Ah, ya, begitulah kira-kira,"
ujar Ita menghela napas. 'Tapi kalau mereka sangka kita bakal kesepian tanpa mereka... fuii!"
Mereka memang tidak kesepian. Makanan banyak dan rumah Ita luar biasa besarnya Ada saja yang bisa dicaplok atau dikagumi, sehingga pikiran mereka tidak dapat terus-menerus disetel ke topik cowok-cowok yang tidak hadir.
Rumah Ita memang mirip istana. Selama hampir tiga tahun di Jakarta, Nina belum pernah masuk ke rumah sebesar dan semewah itu. Ada sesuatu mengenai keluarga-keluarga kaya yang selalu membuatnya berhati-hati. Entah apa. Seakan kekayaan merupakan sesuatu yang tak boleh dijamah oleh kehadiran manusia biasa. Seakan itu suci dan keramat, meskipun kenyataannya kebanyakan sebaliknya. Biasanya harta kekayaan justru diperoleh dengan jalan yang tidak lurus. Sogok sana-sini, manipulasi itu-ini. Tapi orang-orang yang dilimpahi kekayaan memang diperlakukan seolah mereka itu suci atau keramat atau malah luar biasa. Seperti ibu Ita.
Dia duduk diam dalam ruang tengahnya yang mewah. Dan segala sesuatu datang kepadanya. Pembantu, makanan, minuman, bahkan para tamunya. Dia tetap duduk tak bergeming. Semula Nina mengira wanita itu lumpuh atau menderita sakit berat. Tapi ketika datang seorang tuan dan nyonya yang gendut, ternyata dia dapat berdiri dan berjalan dengan baik.
Nina tahu dia takkan pernah menjadi kaya tapi dia tak peduli. Sebab dia tidak mau hidup seperti itu. Kalau kekayaan cuma membuat manusia menjadi keramat, dia tak perlu kaya. Dia perlu mencari sesuatu yang lain, yang dapat membuatnya bahagia.
Nina melihat berbotol-botol minuman keras dan berpikir-pikir siapa yang minum alkohol sebanyak itu.
"Aku kira cuma di negara-negara dingin orang perlu alkohol," kata Loli tertawa. "Kan di sini juga dingin!" tukas Mimi. Memang rumah Ita amat sejuk. Tapi begitu keluar ke halaman, pengaruh AC tidak ada lagi dan udara panas menyengat.
"Itu buat teman-teman Papi," Ita menjelaskan. Kita sih enggak minum. Mereka kan sudah biasa, untuk menenangkan saraf."
"Menenangkan saraf" Kenapa saraf mesti ditenangkan"" Ana terbahak-bahak. "Gimana sih rasanya saraf yang enggak tenang""
Gadis-gadis muda belia itu memang tidak tahu artinya penenang saraf kecuali Nina. Kalau saraf tidak tenang... aah, dia tak boleh memikirkannya. Dia harus bergembira selama itu mungkin. Sebab tak lama lagi orangtua serta adik-adiknya akan tiba di Jakarta dan... ketenangan akan...
Ketenangan pecah dengan munculnya Miki beserta dua orang kawannya. Ita berseru gembira melihat abangnya, namun tidak menyembunyikan kecewanya ketika melihat mereka cuma bertiga. "Mana yang lain, Mik""
"Di rumah masing-masing," sahut yang ditanya dengan kalem.
"Kunyuk! Kan sudah aku bilang, semua mesti kemari"" seru Ita mendongkol sampai matanya berlinang. "Nanti malam mereka akan datang kalau tugas sudah beres." "Nanti malam! Kan pestanya sekarang!" Ita merajuk.
"Wah, sori deh! Abis, kalau pe-er belum dibikin, siapa yang berani pesta" Tahu kan galaknya Pak Stereo"! Kalau kita sampai dijemur keliling lapangan, apa kalian mau menggantikan"" "Uuuweee!" Ani melelerkan lidah. "Maunye!"
Miki menyapu mereka dengan pandang meremehkan lalu berhenti sejenak pada Nina. Dia nyengir, "Ei, halo, Mere. Apa kabar""
Nina melengos, berlagak tidak melihat tangan yang diulurkan ke hadapannya. Mukanya terasa panas. Beberapa temannya sampai hati menertawakan adegan itu seakan ada lucunya. Tapi Ita masih sengit dan sama sekali tidak menyukai tingkah polah abangnya. Ditariknya tangan Miki dengan keras. "Jangan sentuh-sentuh temanku!" serunya galak. "Pergi sana peluk buku Stereomu! Kan nanti rapormu bisa penuh sepuluh-sepuluh buat Stereo sama Kerajinan!" Ita menyindir, marah.
"Sori betul, deh. Abis gimana, nanti kita kena kelilingin lapangan lagi. Tahuin galaknya si Taryo!"
"Iya, It," seorang teman Miki ikut menjelaskan. "Minta ampun deh kalau sudah berurusan sama Pak Taryo. Mottonya kan 'tiada maaf bagimu'! Paling sentimen deh sama cowok-cowok ganteng... ehem... sori, bukannya muji diri sendiri, nih. Abis kenyataannya memang begitu...."
"Iih, somsenya enggak ketulungan!" Ani mendumal.
"Enggak pern ah ngaca, 'kali"!" sindir Sandra.
"Pak Taryo memang sadis, kok," Ainah tiba-tiba buka suara. "Orang kelupaan ingat rumus aja disuruh nulis tiga ratus kali! Kan malam sebelumnya ada film di aula, kita semua pada kelupaan bikin pe-er!" "Ha... ha..." Miki dan temannya terbahak geli.
"Nah, terbukti, kan, dia memang sadis"!" tukas teman Miki yang tadi bicara.
"Sadis sih sadis," seru Ita penasaran. "Kalian kok bisa kemari, kenapa yang lain enggak""
"Oooh, itu lantaran kita bertiga rada pintaran, sedangkan yang lain..." Tapi ucapan Miki segera dipotong oleh protes-protes dari semua teman Ita.
"Benar-benar enggak ketulungan deh somsenya!" Ani ngomel.
"It, kenapa begini ya mentalnya cowok-cowok masa kini"" Sandra mencibir.
"Sori, sori," teman Miki cepat-cepat menggoyang tangan seakan mau mengibarkan bendera perdamaian. "Si Miki memang agak sableng, enggak usah didengarin. Kalau otaknya lagi di pinggir, dia memang suka setrip. Maapin, deh. Maklum, keturunan Darwin (keturunan monyet (teori Darwin)), enggak bisa liat pisang montok, langsung ngebul (omong besar)!"
"Eh, apa katanya"" lengking Ketua Kelas. "Kita dianggap pisang"" "Tapi kan yang montok!" tukas teman Miki yang satu lagi.
"Itu kan perumpamaan, Zus! Kalau kurang senang, maap deh. Maunya dianggap apa" Momon"' Lalu cowok itu menambah dengan berbisik, "Monyet montok" Hiii!" Tapi kedengaran oleh Loli yang langsung sewot. Mulutnya sudah celangap, siap membalas. Namun teman Miki yang lain keburu mencegah. "Udah, udah deh ngedebatnya. Mendingan kita saling kenalan, boleh dong""
Itu memang tidak terlarang. Walau masih jengkel, Ita terpaksa memperkenalkan ketiga cowok itu. Sebagian temannya sudah kenal de ngan abangnya waktu pemutaran film dulu. Ketika Ita mau mengenalkan Nina, ternyata Miki sudah mendahului. "Paul, ini Nina, calon Mere" ujarnya. Lalu berbisik, "Enggak ada harapan deh. Tak usah diganggu!"
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 11 Tarian Cinta Karya Sayed Kashua Bangau Sakti 48
^