Pencarian

Bukan Impian Semusim 3

Bukan Impian Semusim Karya Marga T Bagian 3


Melihat Husen begitu pelit dengan jawaban, Miki jadi tidak sabaran. "Dia sudah empat bulan di sini, bukan"" tegasnya.
"Betul, Pak," sahut Husen melengos, menahan senyum.
"Dan selama itu engkau tak pernah menunjukkannya padaku"!"
Aduh, Gusti! Jangan sampai urusan ini jadi
panjang! Kalau Pak Rodan tua sampai tahu...! "Maksud Bapak"" tanyanya berlagak bodoh.
"Ah, enggak apa-apa. Lupakan saja!" Miki segera teringat kedudukan Nina. Dia tidak ingin gadis itu menjadi buah mulut orang. Maka dialihkannya pembicaraan. Kemudian diraihnya sandwich dan Husen pun tahu diri. Tanpa komentar dia permisi.
Tekad Miki untuk melindungi Nina dari mulut usil ternyata tidak bertahan lama. Jam empat sore dia tak dapat menahan sabar lagi. Persetan segala akibat yang akan terjadi. Dia tak mau memikirkannya. Pokoknya dia harus melihat Nina lagi dan bicara dengannya. Ditekannya interkom dan dipanggilnya Husen. "Minta pembantumu kemari!"
"Yang mana ya, Pak"" terdengar suara Husen, entah memang kurang mengerti atau sengaja mau menggoda anak bosnya. Miki terdiam mendengar jawaban itu lalu, memukul kepalanya. Tentu saja Pak Husen bingung, asistennya kan ada tiga! "Gadis tadi, Pak Husen. Siapa itu... Nina, bukan, namanya""
"Oh, dia sudah pulang, Pak."
"Pulang" Ini kan belum waktunya""
"Ya, Pak. Tapi hari ini dia minta izin, perlu mengantarkan ibunya ke dokter, katanya."
"Oh, begitu," sahutnya seakan linglung.
"Apa Bapak perlu bantuan" Bisa digantikan oleh yang lain""
"Ah, tidak, tak usah." Lalu ditutupnya interkom sementara kepalanya penuh tanda tanya. Ke dokter" Sakit apa" Sudah berapa lama"
* * * Sore itu Nina membawa ibunya ke dokter. Keadaannya sudah baikan tapi belum menunjukkan kemajuan berarti. Tungkai kirinya masih amat lemah. Seharusnya seminggu dua kali dia mendapat latihan di rumah sakit, tapi Nina cuma sanggup membawanya sekali. Uang dan waktunya tidak mengizinkan. Minta izin pulang sekali tiap minggu rasanya tidak enak, walaupun Pak Husen sungguh penuh pengertian. Tapi Nina tetap merasa kurang enak, apalagi sebab dia masih termasuk orang baru di kantor. Jangan sampai dia berbuat salah, lalu dipecat! Dia sangat memerlukan uangnya untuk membelikan Ibu obat. Ayahnya sudah tidak bisa diharapkan.
Seakan itu semua belum cukup, kini dokter menyatakan bahwa ginjal kiri ibunya harus dioperasi! Kalau tidak, kemungkinan besar yang kanan pun akan ikut rusak dan tekanan darah tinggi ibunya takkan turun-turun. Nina bingung sekali dari mana akan diperolehnya biayanya. Ayahnya tak bisa menolong. Dia malah kelihatan makin murung dan lebih sering marah. Nina kehabisan akal. Gajinya tak ada seperempatnya dari seluruh biaya. Belum lagi kalau harus dipotong ongkos hidup sehari-hari. Penghasilan Ayah sudah tak menentu. Terkadang dia membawa uang, lebih sering lagi, berminggu-minggu tak ada apa-apa.
Nina nyaris tak berani lagi memikirkan terkabulnya cita-citanya. Dia merasa takkan pernah bisa masuk biara. Walaupun Kris sudah lulus SMA nanti, dia sendiri masih harus terus bekerja untuk membiayai keluarganya. Dia tidak mau adiknya langsung bekerja. Kalau mungkin, dia ingin Kris meneruskan pelajaran. Mungkin dia mempunyai cita-cita mau menjadi akuntan atau insinyur atau ahli sesuatu... kenapa mereka tak pernah menanyakannya"
Malam itu mereka makan bertiga. Ayahnya belum pulang. Ibunya sudah dibawakan makanan. "Kak Nina, apa kata dokter tadi"" tanya Kris menunda makan, mengawasi kakaknya.
"Biasa," sahut Nina membalas tatapan adiknya.
"Mama tetap perlu dioperasi"" bisik Marisa.
Nina mengangguk. "Ya."
Ketiganya terdiam sejenak. Nafsu makan seakan sirna. Semua mengerti apa yang akan terjadi bila operasi itu tidak dilakukan.
Nina makan sedikit sekali. Kedua adiknya mengira itu karena persoalan Ibu. Sedikit pun tidak mereka duga bahwa Nina sedang memikirkan Miki. Pertemuan tadi pagi membuatnya tujuh keliling. Dia kan cuma teman adiknya, bukan temannya sendiri. Dan seperti kata Ita, Miki tak pernah acuh dengan cewek. Bahkan Magda yang sexy itu pun tak berhasil memikatnya.
Tengah dia memikirkan semua ini, mendadak sebuah rencana berkilat dalam kepalanya, membuatnya setengah pusing. Cepat-cepat diletakkannya sendok dan dipegangnya kedua pelipis yang terasa berdenyut menyakitkan. Jantungnya pun berdebar kencang. Kedua adiknya segera melihat keadaannya. Marisa dengan cepat meraih lengan kakaknya. "Kak Nina, kau kenapa""
Nin a lekas-lekas tersenyum menenangkan kekhawatiran adiknya. Rasa nyerinya sudah lenyap secepat datangnya. Dia menggeleng. "Enggak apa-apa. Cuma pusing sedikit, tapi sekarang sudah baik lagi." Semua kelihatan menarik napas lega. Makan pun dilanjutkan. Dan Nina sudah yakin akan rencananya barusan. Walaupun timbulnya begitu mendadak, dia tahu itu jalan yang terbaik. Bagi Ibu.
"Mama harus dioperasi!" katanya seakan pembicaraan tadi tak pernah terhenti. "Tapi tak usah khawatir. Aku bisa pinjam duit di kantor!"
"Kapan operasinya"" tanya Kris.
"Selekasnya." "Setelah itu Mama akan sembuh"" tanya Marisa penuh harap. "Tentu."
Kedengarannya begitu mudah, ternyata sulit sekali dilaksanakan. Ketika esoknya Miki datang lagi ke kantor- sekarang dia tidak lagi merasa keberatan menggantikan ayahnya; biarlah untuk seterusnya, tak jadi soal!-Nina diminta bantuannya untuk mengetik beberapa surat baginya. Beberapa kali Nina mencoba membuka mulut, namun suaranya tak bisa keluar. Ketika tugasnya hampir selesai, dia menjadi panik serta gelisah. Entah kapan dia akan ketemu Miki lagi. Mungkin baru minggu depan, mungkin juga sebulan lagi. Dan... mungkin... sudah akan terlambat bagi ibunya.
Dikumpulkannya keberaniannya. Dipandangnya Miki. Laki-laki itu duduk dengan santai di atas meja dengan kaki terayun-ayun seperti anak kecil, tersenyum membalas pandangannya. Dia tahu, sejak tadi Miki mengawasinya terus. Itu malah menambah gugupnya. Akhirnya Miki jadi kasihan, mengira Nina tidak menyukai kehadirannya. Segera dipersilakannya gadis itu berlalu. "Cukup deh, Nin, buat hari ini, terima kasih."
Nina melangkah terseok-seok ke pintu. Hatinya panik. Kris dan Marisa pasti akan kecewa bila mendengar bahwa dia tak berani pinjam uang. Pengecut! tuduhnya dalam hati. Somse! Geer! Kan buat Ibu, kenapa mesti malu"! Tak dapatkah dia mengorbankan perasaannya sedikit" Aku malu. Aku malu. Buat Ibu" Aku malu. Pengecut. Aku takut. Kalau dia marah" 'Seharusnya kau mengajukan permohonan pada Pak Husen! Jangan padaku!' Kalau Pak Husen tersinggung, lalu marah" 'Kenapa lancang main minta langsung sama bos" Kau kan anak buah ku! Kepadakulah kau harus bilang!' Lalu dia dipecat" O ya, Pak Husen bisa memecat setiap anak buah yang tidak berkenan padanya. Lalu, ke mana dia akan mencari kerja baru" Pengecut. Pengecut Dibukanya pintu dengan kepala menunduk, berat mendengar tuduhan hati nuraninya.
"Tunggu dulu!" Suara Miki menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke arah meja. "Ada apa""
"Justru aku yang ingin menanyakan hal itu padamu!" kata Miki dengan kalem, meloncat turun dari meja, lalu melangkah mantap menghampirinya.
Nina tertegun mengawasi Miki, makin dekat dan makin dekat. Rasa ingin kabur ditahannya. Bayangan Ibu memakunya di tempat. Akhirnya Miki tiba di depannya. Ditariknya lengan Nina dan ditutupnya kembali pintu yang sudah setengah terbuka. Ditatapnya Nina dengan tajam. Kapankah sketsa itu dilukisnya" Ita sudah pergi enam bulan yang lalu. Jadi itu pasti lebih dari setengah tahun. Dulu wajah Nina lebih cerah. Sekarang kelihatan penat dan lelah.
Dituntunnya gadis itu ke arah sofa dan diajaknya duduk di sampingnya. Tangannya tidak dilepaskannya. "Ada apa, Nina""
Nina gemetar mendengar suara yang lembut itu. Keinginannya untuk kabur kembali ditahannya. Dia menunduk, menghindari tatapannya yang menyelidik. Tapi jari-jari Miki menyentuh dagunya dan mengangkat wajahnya sehingga mereka bertatapan lagi.
"Nah, ada apa" Kau punya kesulitan apa""
"Tid..." Nina menelan kembali kata-kata di ujung lidahnya. Berdosa rasanya kalau dia bilang tidak ada apa-apa. Ibunya tengah berjuang melawan maut, dan dia bilang tidak ada apaapa" Kedua adiknya sedang mengharapkan pertolongannya, dan dia bilang.,."
"Nina, katakanlah, ada apa" Tak usah khawatir, aku pasti akan menolongmu. Katakan apa kesulitanmu."
Nina memandang Miki dengan mata berkacakaca. Bibirnya bergetar ingin bicara, namun tak ada suara yang keluar.
"Ayo, Nin," bujuk Miki mengguncang-guncang tangan yang digenggamnya. "Jangan ragu. Ita sering mengatakan, kalian berdua sahabat baik. Kau pasti takkan ragu menceritakan semua
problemmu padanya, kan" Yah, Ita sudah tiada. Biarlah aku menjadi penggantinya di... hatimu. Itu akan menjadi kehormatan besar bagiku... eh, jangan menangis...!"
"Aku teringat Ita," isaknya. Miki mengulurkan tangan menjangkau kertas tissue di atas meja dan memberikannya padanya. Nina membersit hidung dan mencecap sudutsudut matanya. Ditahannya isaknya.
"Ya, aku tahu. Aku juga seringkah terkenang padanya. Sekarang katakanlah semuanya...."
Mula-mula Nina tidak berniat untuk membeber seluruh kesulitan keluarganya. Dia cuma ingin pinjam biaya operasi tok. Tapi yang lain-lain ikut meluncur dari mulutnya begitu saja. Ayahnya. Penderitaan ibunya. Akibat-akibatnya bila operasi itu ditunda-tunda atau tidak dilakukan. Harapan-harapannya bagi kedua adiknya. Mengenai dirinya sendiri dia tidak bilang apa-apa.
Miki mendengarkan dengan penuh perhatian. "Ah, kalau cuma soal uang, gampang. Kenapa enggak mau bilang dari dulu""
"Kita kan baru ketemu kemarin""
'Tapi kau kan sudah berkali-kali melihat aku, bukan" Cuma karena -aku rasa- sombong, maka kau..." "Kalau aku sombong, aku takkan berada di sini sekarang, mengemis!" serunya, marah pada diri sendiri, sebab dia tahu tuduhan itu tidak jauh dari kebenaran. "Ngemis" Siapa bilang kau ngemis"" "Aku bilang!"
"Enggak, Nin," Miki menggeleng. Suaranya lembut, penuh pengertian. "Kau bukan ngemis. Sudah sewajarnya bila kau datang padaku. Aku malah akan merasa tersinggung kalau kau tidak mau minta tolong padaku!" "Kenapa wajar" Aku tahu, aku ngemis."
"Sebab kau sahabat baik adikku! Ita pasti ingin aku menolongmu!"
"Apa bedanya! Aku tetap ngemis!"
"Oke!" tukasnya, sengaja dengan nada jengkel.
"Silakan keluar kalau begitu. Aku tak biasa menderma pada pengemis, sebab aku menganggap mereka pemalas yang berbadan sehat tapi ogah bekerja. Apa kau seperti mereka juga""
Nina tidak mampu menjawab. Miki menatapnya tajam. "Aku tidak suka pengemis!" serunya lalu berdiri dan pergi ke jendela.
Nina memandang punggung laki-laki itu. Ita sering bercerita bahwa Miki senang sekali menggodanya. Nina tahu dia sedang digoda. Tapi dia tidak berhak berbuat begitu, pikirnya sengit Aku kan bukan adiknya! Kalau dia mau mempermainkan aku, lebih baik aku pergi. Seharusnya aku memang membicarakan hal ini dengan Pak Husen yang akan meneruskannya pada Pak Rodan, ayah Miki. Salahku, kenapa aku sok lancang bilang-bilang pada lakilaki ini!
Tapi Nina tidak segera angkat kaki. Dia ragu. Miki masih membelakanginya. Cuma untuk dipermainkan, pikirnya lalu bangkit Selangkah. Mungkin ini kesempatan satu-satunya. Dia menghela napas dan menghentikan langkahnya. "Apakah kau mau menolongku atau enggak, Mik"" tanyanya setelah seratus detik mengumpulkan seluruh keberanian untuk menekan malunya.
Miki langsung berbalik dan memandangnya lembut "Jadi kau minta tolong" Bukannya ngemis"" Ada sinar jenaka dalam matanya. Nina mengertakkan geraham. "Aku minta tolong!" katanya mantap mengeraskan hati. Miki merasa terharu melihat Nina begitu merendahkan diri. Dia merasa berdosa telah menggodanya. "Maafkan kelancanganku tadi, Nin. Aku cuma bercanda. Mari kita lihat Ibumu perlu dioperasi. Yakinkah kau bahwa itu bukannya sudah harus dilakukan sewaktu ibumu masih di Palembang" Mungkinkah itu alasan sebenarnya kenapa keluargamu pindah""
Nina kaget setengah mati. Dia tak pernah berpikir sampai ke situ. Ya, Tuhan, mungkinkah mereka pindah ke Jakarta karena Ibu perlu dioperasi" Mukanya kelihatan memucat dan bibirnya terkatup rapat.
"Jangan gelisah," Miki menghibur. "Penyakit ginjal menahun takkan menjadi gawat dengan mendadak."
"Bagaimana kau tahu"" teriak Nina ketakutan.
"Sebab ibuku juga menderita... nah, kita bukan mau membicarakan orang lain. Nin, berapa yang kauperlukan"" "Sadarkah kau, aku takkan mampu membayarnya kembali"" "Apa aku minta dibayar kembali"" "Aku akan selalu berutang padamu."
"Kapan-kapan aku tagih kalau begitu!" Miki tersenyum, tapi cepat serius kembali melihat air muka Nina. "Nah, katakanlah berapa yang kauperlukan""
Bab 15 MIKI menjadi tamu tetap di rumah Nina. Bahkan ayahnya yang pemarah itu pun menjadi jinak bila
Miki hadir. Setiap hari libur atau Minggu dia berada di rumah, khusus untuk ngobrol dengan Miki. Nina tidak tahu bagaimana harus berterima kasih. Segalanya mendadak jadi berubah, Hidup mereka terasa lebih cerah walau Nina tidak naik gaji. Operasi berhasil dengan baik. Dua bulan kemudian tekanan darah Ibu sudah menurun banyak. Lengan dan tungkainya yang lumpuh sudah makin membaik. Bulan berikutnya dia telah sanggup berjalan sendiri serta bekerja sedikit-sedikit.
Melihat seorang anggota keluarga terbaring terus membuat mereka depresi. Mungkin karena itulah mereka kini merasa lebih gembira, sebab Ibu sudah hilir mudik lagi. Selain itu, Ayah mendapat kerja pada sebuah percetakan kecil dan mereka dapat membayar seorang pembantu untuk mencuci serta menggosok baju.
"Pondok ini berubah jadi istana bila kau datang," kata ayahnya pada Miki, membuat pemuda itu ketawa malu.
Ayah tak pernah menyebut-nyebut masalah utangnya pada Miki, seakan dianggapnya wajar bila Miki membantu pengobatan ibunya. Dengan penuh kekhawatiran Nina melihat bahwa ayahnya makin lama makin menganggap Miki sebagai calon menantu! Nina mula-mula bingung, kemudian jadi malu. Sebab Miki sendiri belum pernah bilang apa-apa. Dia memang terkadang suka membawakan sesuatu, terutama untuk Ibu. Tapi Nina menganggap semuanya sebagai tanda persahabatan belaka. Mereka sama-sama terikat oleh kenangan pada Ita yang mereka cintai.
Pada suatu petang Miki muncul. Dia selalu ingat kapan ibu Nina harus dibawa ke dokter. Nina berusaha mengelak. Sia-sia. Setiap kali mereka mau berangkat, pasti Miki pun tiba dengan mobil kantor ayahnya. Nina mencoba berangkat lebih siang, tapi seolah punya firasat, Miki juga muncul lebih dini.
Sore itu Marisa ikut. Dia duduk menemani Ibu di kamar tunggu, sementara Miki mengajak Nina membeli bensin sebentar di simpang jalan. Nina menggunakan kesempatan itu untuk melarang Miki secara halus supaya jangan da tang terus-menerus. Berbahaya kalau diteruskan, pikirnya. Bisa-bisa salah paham ini dianggap kenyataan!
"Tapi aku kan enggak datang mengunjungi kamu, Nin!" Miki berkeras. "Aku datang menengok ibumu, ngobrol sama ayahmu, atau main halma dengan Marisa. Kau kan hampir tak pernah menemani aku, bukan"" Miki menoleh dan melemparkan senyumnya yang suka menggoda. "Lain kali kalau aku datang, kau boleh tidur kalau mau tidur. Janganlah kedatanganku jadi mengacaukan jadwalmu, sehingga membuatmu kurang senang...."
"Bukannya aku kurang senang...."
"Kau mau melarangku" Apa alasannya""
"Apa kata orang..."
"Nah, ini dia!" potong Miki ketawa. "Jangan suka mencari penyakit sendiri. Apa kata orang, biar saja! Kita kan enggak minta makan sama mereka. Percuma deh kau melarangku! Aku akan terus datang...." "Aku bukan melarang, tapi..."
"Kau sudah bosan denganku! Iya, kan"" ejek Miki menghentikan mobil di depan pompa bensin dan menatap Nina. "Kenapa" Kenapa aku membosankan""
Nina memandang Miki dengan bibir gemetar dan putus asa. Dia khawatir sekali tapi tak tahu pasti apa yang dikhawatirkannya.
"Berapa, Pak"" tanya penjaga pompa. "Sepuluh," sahut Miki menoleh, lalu kembali menatap Nina. "Kenapa"" tuntutnya sekali lagi. Wajah Nina menjadi merah. "Siapa bilang kau membosankan"" "Lantas kenapa mendadak aku dilarang datang""
"Aku enggak melarang!" desis Nina mendongkol. "Oh, baiklah! Kau boleh datang! Kau boleh datang! Kau boleh datang semaumu. Kapan saja. Bukankah ayahku sudah bilang, pondok itu berubah jadi istana bila kau muncul"" "Kau marah!"
"Bukan padamu! Aku marah pada diriku sendiri!"
"Kenapa" Karena kau enggak sampai hati melarangku datang"" Miki ketawa geli. "Enggak. Enggak. Kau boleh kok datang. Sungguh."
Penjaga pompa minta uang. Miki mengeluarkan dompet, membayar, lalu melarikan mobilnya ke jalan. Setelah agak lama baru dia bicara lagi. "Aku tetap merasa enggak kau sukai. Kau enggak mau aku datang-datang lagi! Dan aku takkan bisa tidur sebelum aku tahu sebabnya!" keluhnya.
"Kalau kau tahu, barangkali kau akan makin enggak bisa tidur!" tukas Nina ketawa.
"Aku siap menerima nasib begitu, asal kau memberitahukan kenapa kau enggak menyukai kedatan
ganku ke rumahmu." "Bukankah sudah aku bilang, kau boleh datang" Apa kau enggak percaya lagi ketulusanku"" "Tapi kau enggak menyukai aku, bukan""
"Setelah kau memberi pertolongan begitu besar pada ibuku, lantas aku tidak menyukai kau" Binatang apakah aku ini sampai begitu tak tahu terima kasih""
"Memang kenyataan bukan bahwa kau enggak sudi melihat aku lagi""
"Itu fitnah! Tentu saja aku enggak keberatan melihatmu. Di kantor, misalnya. Aku tahu, kau seorang yang baik hati dan menyenangkan. Tapi... ah, sudahlah. Percuma kukatakan, kau takkan mengerti." Nina tahu, dia tak dapat mengatakan apa-apa, sebab Miki belum pernah bilang bahwa dia mencintainya. Bagaimana dia akan mengatakan bahwa dia takut disangka orang pacaran"! Seandainya cita-citanya kelak terkabul, berarti takkan ada perkawinan. Apa kata tetangga nanti mengenai seorang laki-laki yang hampir setiap petang datang berkunjung" Yang telah begitu banyak membantu hidup mereka" Di kampung, hampir-hampir tak ada urusan rumah tangga yang dapat disembunyikan dari tetangga. Selain itu, bagaimana nanti dengan harapan ayahnya" Lebih-lebih lagi bagaimana dia akan menerangkan semuanya pada Miki sampai dia mengerti" Nina menarik napas dan memejamkan mata.
"Aku sudah bilang, aku takkan bisa tidur kalau aku belum tahu sebabnya. Aku harus tahu!"
Nina tetap membisu dengan mata terpejam. Mendadak dirasakannya mobil berhenti dan tangan Miki mendarat di bahunya. "Oke, Nona manis. Kita akan tinggal terus di sini sampai kau bicara!"
Nina membuka matanya ketika mendengar ancaman itu. Didapatinya mobil berhenti di depan pekarangan rumah orang. Dia kaget sampai tak mampu protes.
"Nah, mau bicara"" tanya Miki yang merasa menang di atas angin.
"Jalankan mobil ini, aku akan bicara. Siapa tahu, ibuku sedang menantikan kita."
"Enggak," Miki menggeleng. "Bicara dulu, baru mobil ini akan berjalan lagi!"
"Oh, baiklah!" Nina jadi sengit, tapi suaranya segera melunak lagi. "Mik, janganlah mengira aku kurang terima kasih. Malah sebaliknya. Aku tahu, utang budiku padamu takkan pernah bisa terbalas. Belum lagi utang uang, tahu deh kapan bisa lunas."
"Enggak bakal lunas, kok!" sahut Miki ketawa gelak. "Aku sudah setengah mati berusaha supaya utang-utangmu itu menjadi sedemikian menggunung sampai-sampai takkan mungkin terbayar lagi! Ha..ha..."
Nina mula-mula merasa terhina, mengira dia sedang diejek. Tapi ketika dia menoleh, dilihatnya Miki sedang menatapnya dengan... oh, Tuhan, jangan biarkan orang ini jatuh cinta padaku! pikirnya kaget Itu kan tidak sesuai dengan kemauanMu, bukan"
"Aku pasti akan sanggup membayarnya!" sahutnya mantap, membalas tatapan Miki dengan tajam. "Biarpun aku harus membanting tulang seumur hidup!"
"Hm... hm... keras kepala!" gumam Miki menggeleng. "Tapi percayalah, kau takkan mungkin membayarnya kembali! Sebelum yang lama lunas, kau sudah harus membuat utang baru! Sebab ibumu perlu berobat terus, bukan" Nah, kau takkan mampu melunasinya kecuali..."
"Kecuali apa"" Nina masuk perangkap seperti yang diharapkan oleh Miki.
"Kecuali katanya membelai pipi gadis itu, "engkau mau jadi istriku!"
Nina tahu sekarang apa yang selama ini dikhawatirkannya. Dia takut Miki akan mengatakan apa yang barusan dikatakannya. Dia sudah lama menduga bahwa Ini akan terjadi, namun tak urung dia merasa kaget juga, sampai tak mampu bersuara.
"Nah, sekarang katakan kenapa aku enggak boleh datang-datang lagi ke rumahmu!" desaknya penasaran. Nina memandangnya dengan ragu. Apakah kau akan mengerti" pikirnya.
"Mik, kau kan tahu gimana lingkungan hidupku. Rumah-rumahnya berdempetan, tetangga-tetangga selalu mau tahu urusan orang lain, Mereka melihat kau sering datang, tentu mereka mengira kau jatuh hati padaku atau bagaimana..."
"Memang benar!" Miki menanggapi dengan gembira. "Apa kau enggak senang mendengarnya""
Nina menggeleng. "Aku malah sedih. Miki, dunia kita berbeda. Jalan hidup yang mau kita tempuh juga berbeda. Cobalah mengerti. Kalau kau bisa mengerti, mungkin kau akan bisa memaafkan aku. Apa pun yang terjadi kelak, aku akan tetap berutang budi padamu. Aku juga berharap semoga kita a
kan bersahabat terus. Cobalah mengerti, Mik."
"Enggak! Aku enggak mau mengerti!" seru Miki memalingkan muka, menatap lurus ke depan. "Aku cuma bisa mengerti bila kau mau menjadi istriku!"
"Itu tak mungkin!" Nina menggeleng lembut dengan wajah sedih.
"Kita lihat saja!"
"Takkan mungkin...."
"Kita lihat! Kita lihat! Taruhan""
"Aku tak pernah taruhan. Mik, apakah di balik kemurahan hatimu sudah kaurencanakan perangkap ini" Apakah kau cuma pura-pura saja mau menggantikan tempat Ita di dalam hatiku""
"Kau cerdas sekali!" puji Miki ketawa ria. "Dengan otak cemerlang begitu, kau sudah tahu, semua utangmu takkan terbayar dengan uang. Kau pasti tahu dengan apa harus kaubayar! Ha... ha..." Miki tersenyum dan mengangguk seakan menggoda. "Seorang gadis yang tidak memiliki apa-apa biasanya melunasi utangnya dengan kecantikannya, kan" Dan bagiku, kau amat cantik!" Sebelum Nina sempat menjawab, mobil sudah berjalan lagi. Sampai tiba di rumah, dia membisu seribu bahasa.
Seperti biasa ayahnya ada di rumah kalau dia tahu Miki akan muncul (misalnya setelah mengantarkan ke dokter begini). Dilihatnya Nina bermuram durja, langsung duduk memasang kancing kemeja Kris tanpa mengacuhkan Miki. Marisa menggantikannya memberikan minuman.
"Kenapa kalian"" tanyanya ketika mereka cuma bertiga di ruang depan. "Berbantahan""
Miki cuma tersenyum, sedangkan Nina tidak mengangkat mukanya dari jahitan. "Jangan khawatir," tukas ayahnya ketawa kecil. "Nina memang keras kepala. Tapi setelah jadi istrimu, dia pasti akan jinak!"
"Papa!" seru Nina meledak marah, lalu berlari ke dalam. Miki sebenarnya ingin ketawa, tapi melihat kemarahan Nina, dia batal. Paling baik, aku permisi saja, pikirnya. "Oom, jangan marahi dia," pintanya ketika mau pulang.
Ayah Nina memang semula enggak marah, tapi murkanya meledak ketika anaknya mengutarakan isi hatinya. Ibunya duduk mendengarkan serta menengahi, Kedua adiknya diam seribu bahasa di ruang depan. Mereka bisik-bisik di dapur, sebab malu kedengaran tetangga.
"Pa, kenapa sih mengharapkan yang enggak-enggak""
"Yang enggak-enggak bagaimana" Aku menghendaki kau bahagia, dan itu kaukatakan yang enggak-enggak"" "Tapi Papa mengharapkan saya menikah!" "Habis apa lagi""
"Bukankah Papa mau saya bahagia"" "Masih perlu kautanyakan lagi""
Nina menelan ludah, menunduk tak berani menatap ayahnya. Dia merasa ngeri menghadapi kemungkinan ayahnya akan marah, tapi dia harus mengatakannya. Dikumpulkannya keberaniannya. Ditelannya ludah yang terasa menyekat di tenggorok. Jantungnya berdebar hebat bagaikan mau meloncat keluar. "Pa, saya cuma akan merasa bahagia dalam... biara! Sebagai suster!"
"Apa"""!" Ayahnya sudah lupa akan kuping tetangga. Dia menggelegar setinggi langit, dan menggebrak meja sampai stoples menari-nari nyaris terbalik.
Nina kaget, lalu menangis. "Pajangan marah. Bukankah Papa ingin saya bahagia"" "Tapi aku enggak mau kau masuk biara! Aku enggak setuju!" "Mama setuju," bisiknya terisak-isak mengharapkan bantuan ibunya. "Kau"""!" Ayah menggelegar lagi sambil menuding Ibu.
"Ya," ibunya mengangguk pelan. "Bagiku yang penting adalah kebahagiaan anak-anak. Barangkali Nina memang dipanggil Tuhan untuk masuk biara. Zaman sekarang, menjadi suster tidak lagi berarti dikubur hidup-hidup. Ini merupakan karunia, Pa."
"Ya, Pa, saya ingin bekerja di ladang Tuhan!" Nina memperkuat bantuan ibunya.
"Bah!" hardik ayahnya melupakan dinding yang tipis. "Karunia! Ladang! Persetan! Tidakkk! Takkan ada seorang pun anakku yang boleh masuk biara! Mengerti" Nina, lebih baik kaulupakan semua pikiran gilamu itu! Aku tak mau dikatakan memaksa anak, tapi ingat! Jangan sekali-kali minta izin buat...! Mengerti" Dan kau, bujuk anakmu!" Kalimat terakhir ditujukannya pada Ibu. Lalu ayahnya melangkah ke depan, menendang pintu dan keluar ke dalam gelap.
Bab 16 ESOKNYA Nina dipanggil direksi. Ternyata yang menunggunya adalah Miki, bukan ayahnya. Pak Rodan biasa datang jam delapan lewat. Jam dinding saat itu baru menunjukkan delapan kurang sepuluh.
Miki bangkit dari kursi direksi lalu mengajaknya duduk di sofa untuk tamu. "Kau kelihatan puca
t. Kurang tidur"" Dia mencoba tersenyum, tapi Nina cuma menanggapi dengan gelengan ringan.
"Maafkan kelancanganku kemarin, Nin. Aku sudah memikirkan semua yang kaukatakan. Kau tahu" Rasanya lebih baik aku mati daripada disangka pura-pura, dituduh punya rencana jahat sejak semula. Enggak kok, Nin. Aku enggak pernah merencanakan apa-apa. Semuanya muncul dari ketulusan hatiku."
"Nin, rasanya aku tahu kenapa kau menolak aku. Ita pernah bilang, kau ingin masuk biara. Betulkah itu" Dulu kusangka, itu cuma lelucon saja. Tapi mungkin aku salah duga. Aku sangat menghargai dan mengagumi cita-citamu itu."
"Kau kelihatan memang cocok. Sejak kecil kau dididik suster-suster, enggak heran sekarang kau ingin menjadi suci seperti mereka! Tunggu dulu, jangan marah. Aku bukan mengejek. Aku serius. Dengar dulu. Waktu kita cuma sedikit, sebentar lagi ayahku akan tiba. Aku enggak mau kau mendapat susah kalau dilihatnya kita berduaan di sini."
"Nin, dengarlah. Aku sangat mencintaimu, tapi aku akan merelakan kau masuk biara kalau itu memang yang kauinginkan. Cuma jangan lupa, ada banyak jalan untuk mengabdi Tuhan. Biara bukanlah satu-satunya. Dalam rumah tangga pun kau bisa mengabdiNya. Tunggu, jangan potong dulu, aku lihat kau sudah mau marah saja. Aku bukan mau membujukmu, Nin. Aku cuma ingin memberikan sedikit pandangan."
"Nin, kau ingin masuk biara, tentunya dengan maksud menyenangkan Tuhan, bukan" Berarti menyenangkan sesamamu juga, kan" Nah, seandainya tindakanmu itu menyebabkan banyak orang menderita, apakah menurutmu itu akan berkenan di hati Tuhan""
"Aku enggak melihat kemungkinan adanya orang-orang yang akan menderita, kecuali... kau sendiri... mungkin"!" Nina tersenyum mengejek sedikit, tapi tanpa maksud menyakiti hati.
Miki langsung ketawa, mengibaskan tangan. "Aw, terima kasih atas perhatianmu. Tapi tak usah pedulikan diriku. Aku kan bukan apa-apamu, kau tak punya kewajiban sedikit pun terhadapku."
"Kalau begitu, siapa...""
"Rupanya kau enggak ingat ibumu, ayahmu serta kedua adikmu!" "Apa""
"Kau masuk biara! Tercapailah citacitamu. Tapi bagaimana dengan mereka" Pernah kaupikirkan akibatnya bagi mereka" Kau takkan bekerja lagi. Tidak membawa pulang gaji. Ibumu tak dapat berobat, adik-adikmu tak bisa meneruskan sekolah, dan ayahmu! Mungkin ayahmu akan lebih jatuh lagi. Tapi kau sendiri sudah bahagia, dalam biara! Atau... bisakah kau merasa bahagia kalau keluargamu begitu merana""
"Tak usah mancing-mancing, Mik. Pokoknya mengenai uangmu, jangan khawatir. Aku akan melunasinya sebelum aku masuk biara."
"Uh, enggak usah bicarakan utang! Pikirkan saja masa depanmu. Kau boleh masuk biara sekarang juga bila kau yakin itu adalah kehendakNya. Tak usah menunggu sampai utangmu lunas! Aku tak pernah mengharapkannya. Aku menolong ibumu tanpa keinginan dibalas macam apa pun."
"O ya, aku akan masuk! Tapi aku mau menunggu Kris lulus SMA dulu, tahun depan, supaya bisa menggantikan aku."
"Menggantikanmu" Untuk mencari uang" Jadi begitu yang kausebut mengabdi Tuhan" Dengan mengorbankan masa depan adikmu sendiri""
"Apa maksudmu"" tanyanya setenang mungkin, padahal dalam hati dia sudah marah. "Kau masih coba-coba membujuk aku dengan membawa-bawa adikku""
"Enggak sama sekali. Sudah kubilang, tak usah pikirkan aku. Aku bukan apa-apamu, kau tak punya kewajiban memikirkan diriku. Aku rela kau menjadi suster kalau memang begitu keinginanmu. Tapi rupanya kau kurang mengerti kemauan Tuhan...."
"Dan kau mengerti""
"Mungkin. Aku percaya, semua yang terjadi di dunia adalah kehendakNya. Kita ketemu lagi setelah pisah lama, juga kemauan Tuhan. Dan aku percaya, adalah kemauanNya bahwa aku mencintaimu!" "Astaga!" Nina tersenyum geli. "Aku tak pernah tahu, kau begitu religius!"
"Ah, aku sebenarnya enggak masuk hitungan. Aku cuma ingin kau memikirkan keluargamu. Pikirkan kerugian apa yang akan menimpa mereka seandainya kau masuk biara, dan keuntungan apa yang mungkin mereka peroleh bila kau tetap di samping mereka.
"Nin, aku sungguh ingin menolong kalian. Oh, jangan bilang, aku mencoba membujukmu dengan membawa-bawa mereka! Itu enggak benar. Pepatah
bilang, waktu akan menyembuhkan semua luka. Jadi walau aku setengah mati mencintaimu sekarang, bila kautolak, aku juga takkan kenapa-kenapa. Duniaku takkan kiamat. Paling-paling aku akan patah hati untuk... yah, mungkin sebulan, setahun, atau seumur hidup. Mungkin aku takkan pernah menikah, tapi mungkin juga aku akan jatuh cinta seratus kali lagi. Tapi ini tak berarti cintaku padamu cuma iseng saja."
"Tidak, Nin. Kau akan tetap menjadi sesuatu yang istimewa bagiku buat selamanya. Apakah menjadi istriku kauanggap terlalu memuakkan""
"Kau tahu, bukan itu soalnya, Mik," sahut Nina lembut. "Bukan karena pribadimu atau apa. Kau kan tahu, kau dan Ita bagiku juga istimewa. Aku menganggap kalian seperti saudara-saudaraku sendiri. Mengertikah kau""
"Bagaimana aku akan mengerti kalau kau sendiri enggak mau mengerti aku! Dengarlah, Nin. Seandainya utangmu kuhapuskan, seandainya kau tak pernah berutang padaku," apakah keadaan keluargamu akan bertambah baik bila kau
pergi" Ataukah kehidupan mereka akan lebih mending kalau kau bisa terus bekerja" Mengertikah kau jalan pikiranku""
Nina memandang Miki dengan bibir terkatup.
"Lihatlah," sambungnya seraya memutar-mutar sigaret yang tidak disulutnya, "keluargamu akan terus memerlukan bantuan, terutama ibumu. Dari mana itu akan datang" Aku sih sama sekali enggak keberatan menolong kalian terus. Aku senang dan bangga kalau bisa begitu. Tapi bagaimana nanti sikap orangtuamu" Tentunya mereka akan malu menerima sesen pun dari aku, apalagi setelah anak mereka menolak aku. Oh, jangan salah paham. Walaupun kedengarannya begitu, ini bukan caraku untuk membujuk atau menakut-nakutimu. Aku cuma minta supaya kau berusaha mengerti jalan pikiranku."
Nina tetap membisu. Dia mengigit bibir dengan rupa resah, menunjukkan bahwa dia mulai mengerti. Miki meremas-remas sigaret di tangannya, lalu membuangnya ke dalam asbak. Dipandangnya Nina dengan serius. "Nin, kalau kau menikah denganku, semua itu otomatis menjadi tanggung jawabku. Kris dan Marisa bisa sekolah terus. Pengobatan ibumu terjamin. Dan ayahmu... mungkin aku bisa mengusulkan supaya dia diangkat jadi pengawas perkebunan ayahku di Bandung. Mengertikah kau jalan pikiranku""
"Aku mengerti dengan baik!" Nina mengangguk angkuh. "Bolehkah aku pergi sekarang" Nanti ayahmu keburu datang."
"Kalau kau mengerti, kenapa kau begitu susah diajak kerja sama" Sekali lagi ingat, aku bukannya mau membujukmu dengan menyeret-nyeret keluargamu. Seandainya kau betul rela melihat ibu dan adik-adikmu semua berkorban bagimu, yah, aku cuma akan mendoakan semoga kau bahagia dalam pilihan hidupmu. Tapi apa juga yang kauputuskan, jangan pikirkan utangmu. Tak ada utang, Nin. Semua itu hanya sekadar bantuan yang kuberikan demi cinta kita bersama pada Ita. Dia pasti ingin aku membantumu."
Nina mengejap-ngejapkan, mata, lalu cepat-cepat bangkit sebelum air matanya sempat mengalir turun. Miki membukakannya pintu. "Nin, aku minta, pikirkanlah baik-baik...." Tapi pintu sudah lebih dahulu dibuka dari luar. Pak Rodan masuk bergegas, nyaris menabrak Nina.
"Ada apa ini"" tukasnya keheranan melihat kedua orang itu, terutama wajah mereka yang lusuh.
"Selamat pagi, Pak," kata Nina begitu semangatnya pulih.
"Selamat pagi. Ada apa, Mik""
"Selamat pagi, Pa. Anu... saya minta tolong Nina untuk ngetik," jawabnya sekenanya. Lega hatinya melihat ayahnya mengangguk. Begitu Nina keluar, Miki juga segera permisi.
Setelah itu sebulan lamanya Nina tidak melihat Miki. Tapi itu tidak berarti hidupnya sudah menjadi tenang. Dia tahu, setiap saat Miki bisa muncul menuntut jawaban. Dan apa jawabnya" Keinginan pribadi" Atau kepentingan keluarga" Setiap pagi dia berdoa, "Katakanlah apa yang harus saya lakukan, Tuhan, dan akan saya turuti."
Dia teringat Ogu. Mula-mula dia bermaksud menyuratinya, tapi akhirnya batal. Dia harus memutuskan sendiri persoalan itu, Tak ada yang bisa melakukannya baginya. Mereka cuma dapat memberinya saran. Dia kini sendirian di depan Tuhan. Apa yang harus diputuskannya"
Akhirnya saat itu tiba. Pada suatu petang. Tanpa kekerasan, tanpa paksaan. "Nin, bagaimana"" bisikny
a cemas. Nina duduk di hadapannya, tersenyum. Dia berusaha keras menyembunyikan kekecewaannya, sebab impiannya sudah bubar. Tapi dia tak mampu membuka mulut segera dan Miki makin cemas.
"Ayo, Nin! Sebulan kan sudah cukup, bukan""
"Tapi, Mik, bolehkah aku terus terang" Aku enggak yakin, aku mencintaimu," bisiknya seakan itu merupakan syarat kalau Miki bersedia menerimanya dalam keadaan begitu...
Mereka tidak berani bicara biasa, sebab di balik dinding papan itu ibu Nina sedang menisik kemeja Kris. Tapi Miki ketawa cukup keras karena gembira. Nina tidak menolaknya! Senyum lembutnya serta matanya yang memancarkan cinta ternyata berhasil menaklukkan gadis impiannya.
"Enggak jadi soal! Lama-lama kau pasti akan mencintaiku!" bisiknya dengan bahagia. "Tak usah terburu-buru. Pelan-pelan aku akan membuatmu jatuh cinta!"
"Tugas yang cukup berat!" bisik Nina tersenyum.
"Oh, Nin, bukan main bahagianya aku!" bisiknya sambil menggenggam kedua tangan Nina.
Dan betapa sedihnya aku, pikir Nina. Tapi dia terus mengulum senyum. Miki begitu baik dan amat mencintainya. Mungkin ini juga kehendak Tuhan. Yang jelas, dia tak mungkin membiarkan Miki atau ibu dan adik-adiknya merana akibat tindakannya.
"Aku akan belajar mencintaimu," janjinya serius seraya menatap Miki. "Tapi kau harus sabar." "Aku akan selalu sabar, jangan takut! Seratus tahun tidaklah lama, Sayang!"
Bab 17 KARENA cintanya pada Miki, ayahnya tidak keberatan dia menikah dengan pegawai dari kantornya. Tapi ketika mendengar bahwa Nina sebenarnya bekas teman sekelas putrinya, maka simpatinya segera muncul. "Pernah main ke rumah... dulu"" Maksudnya ketika Ita masih ada. "Ya, Pak. Dua kali," sahut Nina.
"Aaah. Anu, Nina, panggil saja Oom, begitu, jangan pakai 'Pak'."
Wajah Nina menambah rasa sukanya. Seperti Ita, air muka Nina cerah bercahaya dan cantik. Wajahnya bujur telur, alisnya hitam, matanya bersinar lembut, bibirnya mungil segar memberi kesan bersahaja, hidungnya mancung, dan rambutnya yang dibuntut kuda berkilat hitam.
Ketika Nina sudah hampir setahun tinggal bersama mertuanya, dia telah berhasil merebut seluruh hati laki-laki tua itu. Nina selalu memperhatikan keperluan ayah mertuanya, dan pandai menyenangkan hatinya dengan berbagai cara. Misalnya dengan menyediakan makanan kegemarannya atau mengajaknya piknik dengan Miki ke tempat yang disukainya. Ibu mertuanya biasanya tidak ikut, sebab wanita itu segan sekali beranjak dari kursinya di ruang tengah (seperti yang diingat oleh Nina ketika dia dulu diajak Ita main ke rumahnya).
Pak Rodantua betul-betul menyayangi menantunya. Dia merasa mendapat kembali putrinya yang hilang. Sekarang dia lebih sering diam di rumah, ngobrol atau main kartu bertiga dengan Nina serta Miki. Tidak pernah lagi dia membawa pulang wanita. Ketika Miki menceritakan hal itu pada Nina, dia dilarang bertanya-tanya pada ayahnya. "Mungkin ayahmu mau memberi contoh yang baik supaya anaknya enggak niru!" sindirnya ketawa.
"Oh, kalau masalah contoh sih sudah lebih dari cukup!" serunya tidak mau kalah.
"Dan setiap saat aku harus siap melihatmu pulang menggandeng seorang bida..." Miki menutup mulut istrinya dengan kecupan. "Aku segan bantah-bantahan denganmu, ngerti"" tegurnya berlagak memarahi walaupun dalam hati dia tersenyum senang. Miki mempunyai dugaan yang tak mau diucapkannya pada istrinya. Bahwa ayahnya menyetop kebiasaan buruknya karena ada Nina! Ayah tidak mau membuat Nina malu. Sebaliknya, dia juga tak mau dinilai buruk oleh menantunya. Alasan lain adalah, rupanya Ayah sudah cukup puas dengan perhatian yang diperolehnya dari Nina. Dia betah di rumah. Ketika Ita masih ada, ayahnya juga tak pernah membawa pulang wanita, meskipun dia terkadang suka pulang larut malam. Sekarang, bahkan hal terakhir pun tak pernah lagi dilakukannya. Sebab dia tahu, menantunya yang penuh perhatian tapi kurang pengalaman itu takkan tidur sebelum sang mertua selamat sentosa tiba di rumah. Pernah kejadian, ayahnya belum pulang padahal sudah jam sembilan malam! Jam sembilan, ya Allah! Kalau Nina tahu bahwa ayahnya takkan kenapa-kenapa walaupun dia pulang jam
tiga pagi! Tapi Nina jadi repot. Miki sendiri tak acuh saja membaca koran. Papa kan bukannya anak kecil, Nin, kenapa khawatir. Tapi Nina tetap gelisah. Sebentar-sebentar dia mengganggu dengan, "Mik, Papa ke mana sih" Jangan-jangan..." atau, "Mik, coba dong kaucari! Aku sudah bel ke kantor. Satpam bilang, sudah tak ada orang. Ke mana ya, dia" Jangan-jangan..."
Setelah digerutui belasan kali, akhirnya Miki berangkat juga. Mula-mula ke kantor, sebab Nina khawatir jangan-jangan... "Papa kena serangan jantung di kamarnya, Satpam mana tahu, Mik."
Ternyata ayahnya memang ada di kantor, tapi bukan di kamar. Miki menemukannya di samping kantor, dalam bengkel mobil. Dia sedang duduk santai menunggui montir memperbaiki rem yang bocor minyaknya. Ketika mendengar Miki menceritakan kekhawatiran Nina, Pak Rodan segera menyalahkan dirinya kenapa lalai memberitahu, padahal di situ ada telepon. "Aku sudah kebiasaan diacuhkan oleh ibumu," keluhnya. "Aku lupa sekarang ada Nina!"
Miki tak pernah berharap bahwa ayahnya akan berubah begitu drastis. Rasa terima kasih pada Nina membuat cintanya makin bernyala. Selain itu dia kagum bukan main pada ketajaman otak istrinya. Siapa sangka gadis yang begitu gigih mencoba mempertahankan cita-citanya berbalik menjadi antusias menghadapi perkawinannya! Miki menatap Nina sambil menggeleng. Yang ditatap memang tidak tahu, asyik mengaduk adonan kue kesukaannya. Ah, hati wanita bagaikan sumur yang gelap serta dalam, pikirnya. Orang yang mencoba menyelaminya akan tenggelam.
Pada malam perkawinan mereka, Nina menunjukkan sebuah buku harian pada suaminya. Wajahnya merah karena malu. Sikapnya persis seperti Ita waktu kecil bila dia ingin mendapat pujian dari abangnya.
"Aku enggak pernah punya buku harian," katanya. "Tapi aku membaca dari pengalaman beberapa orang, perkawinan adalah bagian hidup yang paling indah dari seseorang. Aku rasa, begitu indahnya sehingga perlu kita catat dalam sebuah buku." Nina memandangi buku itu dan membelainya. Miki tidak tahu harus ketawa atau menentang. Dia sungguh tidak mengerti wanita.
"Keberatan mengisi buku ini sama-sama"" tanya Nina menatapnya.
"Oh, tentu saja enggak," sahutnya sambil mengulurkan tangan. "Aku rasa sebaiknya kita mulai sekarang!" Dirampasnya buku itu lalu diambilnya bolpen dari saku bajunya yang tergantung di balik pintu kamar. Dia pergi ke jendela, lalu sibuk menulis dengan serius. Nina diminta jangan mendekat. Setelah selesai, dihampirinya Nina dan diserahkannya buku itu. "Bacalah," pintanya.
'"Malam ini untuk pertama kalinya aku akan bermain cinta dengan istriku,"" Suaranya tenang dan lembut, mengalun seperti air terjun di taman. Diperhatikannya reaksi Nina. Seorang gadis yang bercita-cita untuk hidup sendiri dalam mati-raga serta doa, kini harus membaca bahwa dia tidak lagi sendiri. Bahwa dia milik seorang laki-laki.
Nina membacanya, lalu terdiam. Mungkin kaget. Mungkin tidak segera memahami artinya. Tapi pelan-pelan wajahnya bersemu merah. Diangkatnya kepalanya. Ditatapnya Miki. "Enggak seharusnya kau nulis begitu," tegurnya tanpa marah. "Kalau dibaca orang lain..."
"Tak ada seorang pun yang akan membacanya!" seru Miki. "Itu curahan jiwa kita bersama, milik kita. Tak seorang pun yang berhak melihatnya. Anak-anak kita juga tidak! Aku melarang!"
"Dan bagaimana akan kaucegah" Kalau kita sudah meninggal, tentunya benda ini akan jatuh ke tangan anak cucu kita. Ah, seharusnya kau menulis yang biasa-biasa saja."
"Yang biasa-biasa saja tak pernah indah, Nin. Apa sih yang memalukan dari tulisanku" Cinta tak pernah memalukan, Nin. Dan aku amat mencintaimu, ingat itu!"
"Tapi bagaimanapun, aku malu kalau sampai terbaca orang lain walaupun anak cucu sendiri," keluhnya, rupanya mulai menyesali idenya mengenai buku itu.
"Ah, dengarlah," bujuk Miki sambil memeluknya. "Ini khusus untuk kita berdua, kan" Kita isi bersama, oke" Nah, kalau seorang di antara kita meninggal, tentunya buku ini takkan ada gunanya lagi. Tak ada pengalaman-pengalaman indah yang perlu dicatat. Tak ada unek-unek yang perlu ditumpahkan. Jadi, kalau salah satu dari kita mati, yang lain ha
rus mengubur buku ini bersamanya. Dengan begitu rahasia kita akan tetap abadi. Setuju""
Nina ketawa gembira menatapnya. "Kau sungguh pintar mencari jalan keluar! Marilah kita saling berjanji akan melaksanakan usulmu itu."
"Nah, sekarang giliranmu menulis sesuatu," kata Miki setelah mereka mengucapkan janji. Dia tidak sabar ingin mengetahui apa yang akan ditulis Nina untuk pertama kali. Nina tidak kelihatan malu lagi. Mungkin karena dia yakin rahasia mereka takkan jatuh ke tangan orang lain. Miki berjanji akan membeli sebuah kotak berkunci. "Dan kuncinya boleh kaupegang terus, Nin."
Tanpa segan-segan Nina langsung mengisi bukunya di bawah tulisan Miki, lalu menyerahkannya untuk dibaca. "Karena aku sudah memutuskan untuk menikah, maka aku akan berusaha membuat pernikahanku seindah mungkin, serta membuat suamiku sebahagia mungkin. Hari ini aku mulai menjalani hidup baruku. Berkatilah kami berdua, Tuhan."
"Oh, kau enggak menulis bahwa kau mencintaiku"" tanya Miki kecewa.
Nina tersenyum tapi tidak berkata apa-apa. Miki tidak memaksa. Cuma terkadang, sampai bertahun-tahun lamanya, bila dia memandangi Nina tanpa setahu yang dipandang, misalnya dalam tidur, dia akan selalu teringat hari perkawinan mereka waktu Nina tak mau mengatakan "aku cinta padamu". Saat itu Miki merasa, dia takkan pernah dapat memiliki hati istrinya, Tiada cinta di situ baginya. Cuma sebuah janji bahwa dia akan menjadi bahagia. Dan mengherankan, Miki memang merasa bahagia di sampingnya. Mungkinkah merasa bahagia di sisi orang yang tidak mencintai kita, pikirnya. Kalau tak mungkin, itu berarti bahwa Nina mencintainya! Sayangnya, Nina tak pernah mau mengatakannya. Mengakuinya dalam buku mereka pun tak mau. Buku harian itu merupakan penolong yang hebat bagi mereka. Bila yang seorang sedang jengkel terhadap yang lain, mereka berlatih untuk tidak mengutarakannya dengan omongan tapi dengan tulisan. Bila yang lain kemudian membacanya, maka dia akan segera berusaha memperbaiki salah paham itu atau minta maaf kalau salah atau bersedia dihukum, misalnya denda tiga kali kecup atau hukuman
unik lainnya. Dengan cara itu mereka berhasil mencegah perang mulut.
* * * Berlainan dengan sang ayah, ibu Miki tidak menyukai Nina sejak mula pertama ketika dia mendengar bahwa keluarga gadis itu amat miskin dan ayahnya tak punya pekerjaan. Dalam hati diakuinya, Nina manis dan menarik, tapi itu tidak menyebabkannya jadi menyukai gadis tesebut. Juga kenyataan bahwa dia adalah teman sekelas putri kesayangannya tidak membuatnya jadi dekat. Apalagi setelah melihat betapa suaminya menyayangi gadis kampung itu, antipatinya makin menjadi-jadi. Dia selalu menyebut menantunya itu sebagai gadis kampung tidak hanya di depan suaminya, tapi juga di kalangan para pembantu. Cuma Miki dan Nina yang tidak pernah mendengarnya.
Ketika mereka masih pengantin baru, muncul seorang India di depan rumah. Dia berkeras tak mau pergi sebelum diizinkan meramalkan nasib sang pengantin baru. Penjaga pintu melaporkannya pada nyonya tua.
"Dia memaksa, Bu. Katanya di dalam ada pengantin baru, dia mau meramalkan nasibnya."
"Bagaimana dia bisa tahu...," ibu Miki menahan napas, tak bisa meneruskan kata-katanya.
Nina kebetulan sedang duduk di situ, ikut membaca majalah yang tengah dilihat oleh Miki. Mendengar laporan pembantu, diangkatnya wajahnya. "Ah, Ma, apa salahnya diramal, asal jangan terpengaruh," katanya tertawa, menoleh pada mertua. "Untuk iseng begitu. Boleh, kan, Mik""
Miki sedang keasyikan membaca kisah hidup rahasia seorang pengusaha terkenal. Tanpa acuh dia cuma mengangguk.
"Eh, boleh, nih"!" Nina mengguncang lengan suaminya. Miki terpaksa mengangkat matanya dari majalah. "Boleh apa""
"Boleh aku diramal" Boleh" Ah, cuma untuk iseng," bujuk Nina setengah merengek. Miki tersenyum melihat lagak Nina macam anak kecil. Dicubitnya pipinya, lalu dia mengangguk dan malah mengajaknya keluar membuat sang mertua menarik napas panjang-pendek melihat tingkah mereka.
Di teras depan duduk seorang lelaki tiga puluhan, berkulit coklat memakai sorban di kepalanya. Matanya hitam, ramah; kumis dan janggutnya
rapi. Tapi kemeja dan celananya
"Dalam hidup Ibu nanti akan muncul dua orang laki-laki lagi!"
"Apa"!" Nina berseru kaget. Bahkan Miki yang membisu sejak tadi kedengaran berdehem dan mengubah letak tubuhnya, menggeser lebih dekat pada Nina seolah ingin melindunginya. Ketika Nina menoleh pada Miki, dilihatnya ibu mertuanya berdiri di belakang kursi mereka, sedang mengawasinya dengan tajam.
Bab 18 KELUARGA Nina pindah serumah ke Bandung. Ayahnya mendapat pekerjaan sebagai pengawas perkebunan Pak Rodan. Ibunya sudah dapat berjalan, tapi tungkai kirinya tetap menggeser ke luar, sehingga kelihatan timpang. Tapi Ibu sudah sangat gembira bahwa dia dapat bergerak lagi.
Dari Bandung Kris mengirim surat pada Ogu -Pastor Albertus- menceritakan tentang keluarganya. Pastor Albertus membalas surat Kris dan juga mengirim selamat ke alamat Nina. Dia tidak menyebut-nyebut masalah cita-cita Nina. Mungkin dia sudah lupa.
Ketika Miki membuka buku harian mereka, dilihatnya ada surat terselip. Nina cuma menulis singkat, 'Hari ini aku menerima surat dari Ogu. Sangat menyenangkan,"
Miki memandang istrinya dan mengharapkan penjelasan. Tapi Nina cuma tersenyum, menunggunya bicara lebih dulu.
"Ada apa sih"" tanya Nina akhirnya ketika melihat Miki membisu terus dengan lagak yang mendebarkan hatinya, seakan dia mau mengibarkan bendera perang.
"Kau mendapat surat dari lakilaki, dan kan masih tanya ada apa""
"Oh, itu! Aku enggak tahu kau ini sebenarnya tukang cemburu!" cetusnya, berusaha keras menahan ketawa mendengar suara Miki yang keras itu. Lagaknya seolah dunia mau kiamat saja.
"Seorang suami pasti akan cemburu kalau istrinya mendapat surat dari seorang laki-laki!" "Jangan langsung marah, Mik. Baca dulu suratnya!"
Nina duduk ditempat tidur siap menyaksikan Miki terbahak-bahak dan minta maaf. Tapi yang terdengar malah gerutuan.
"Ini sih surat dari pastor! Pastor Albertus! Mana surat dari siapa itu... Ogu"" tuntutnya.
"Mik, Ogu itu kan sekarang namanya Pastor Albertus! Temanku waktu di SD!" Kali ini Nina tak bisa menahan ketawa yang berderai. Miki. ikut-ikutan terbahak. "Maaf, ya. Soalnya, Manis, sejak kedatangan India itu aku jadi waswas. Dua laki-laki, katanya. Dapat kaubayangkan penderitaanku" Istriku akan berkenalan dengan dua laki-laki dalam hidupnya! Oh, bagaimana mungkin aku akan bisa tidur nyenyak" Melihat kau ketawa pada Paul saja sudah membuat semangatku hampir terbang! Apalagi tahu ada surat dari... uh! Seharusnya jangan kita biarkan orang itu meramalkan nasibmu!" Miki menggeleng dengan lesu membuat Nina makin geli.
'Terlalu kau, Mik!" serunya. "Masa sih segala takhayul begitu kaupercayai" Aku tak pernah memikirkannya sedetik pun!"
"Ini menyangkut prestiseku sebagai suami dan laki-laki, Nin. Apa kau enggak bisa mengerti" Aku sudah membayangkannya: aku mati dan istriku akan berkenalan dengan laki-laki pertama! Kemudian ada yang enggak beres, batal. Muncul yang kedua! Aduh!"
"Itu enggak bakal terjadi!" seru Nina, lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan seakan terperanjat mendengar suaranya yang begitu keras.
"Kenapa enggak"" Miki mengeluh sedih.
"Sebab kalau kau mati, aku akan..." Nina mendadak terdiam, kaget dengan jalan pikirannya sendiri. "Kau akan apa"" tuntutnya membelalak.
Nina menggeleng. Dia meluncur dari duduknya dan berbaring. "Enggak apa-apa," sahutnya seraya memadamkan lampu besar.
"Kau akan apa"" seru Miki penasaran. "Enggak apa-apa, kataku. Lupakan itu, Mik!" "Tapi kau akan apa"" teriak Miki.
Nina memejamkan mata dan tidak menjawab. Miki mengguncangguncangnya. Nina tetap tak bergeming. Miki jadi hilang sabar. Semua lampu dinyalakannya, sehingga Nina merasa silau walaupun matanya terpejam. "Mik, matikan dong lampu-lampu itu. Silau nih, aku mana bisa tidur." "Bicara dulu!" terdengar perintah tegas.
Nina membuka mata dan menutupinya kembali dengan tangan. "Kenapa kau mendadak jadi senewen" Engkau kan enggak bakal mati sekarang, bukan"" Nina mencoba bergurau. "Tapi andaikan aku mati, apa yang akan kaulakukan"" "Oh, aku enggak tahu, Tolong matikan lampu, Mik." "Tadi kauhilang kau akan apa"" Miki ngoto
t.

Bukan Impian Semusim Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku enggak akan melakukan apa-apa, sungguh! Sekarang matikan dong lampunya,"
Semua lampu dipadamkan dan Miki berbaring di sebelahnya. Tiba-tiba Nina tahu, Miki ketakutan. Tangannya dingin dan tubuhnya gemetar.
"Oh, Mik, aku benar-benar takkan berbuat sesuatu yang akan menyakitimu," bisiknya sambil memeluknya.
"Bohong. Aku tahu kau akan berbuat sesuatu. Kalau aku sudah dikubur, apa yang akan kaulakukan"" Suara Miki makin pelan seakan hampir menangis. Nina memeluknya dengan erat sampai gemetarnya hilang. "Mik," bisiknya ke telinga Miki, "aku akan masuk biara!"
Miki menegang. Jantungnya berdegup begitu kencang, sehingga Nina dapat merasakannya. Dibelai-belainya Miki seperti balita. "Tapi itu kan cuma umpama, Mik. Takkan terjadi. Kau akan hidup sampai seratus tahun kurang sedikit! Aku yang seharusnya ingin tahu, apa yang akan kaulakukan seandainya aku mati! Perempuan kan selalu cemburu membayangkan suaminya dengan wanita lain! Ayo, apa yang akan kaulakukan""
Nina mencoba ketawa, tapi Miki melepaskan diri tanpa berkata apa-apa. Dia tidak menjawab pertanyaan itu. Kau takkan pernah mencintaiku, pikirnya.
"Betulkah kau masih memikirkan biara"" tanyanya setelah agak lama membungkam.
"Enggak," Nina berdusta sambil menepuk-nepuk pipi suaminya.
"Bagus!" seru Miki jengkel. "Memang sebaiknya kau tak usah mimpi akan masuk ke sana selama aku masih hidup! Pasti kau tahu, seorang istri tak boleh masuk biara tanpa izin suaminya. Dan aku pasti keberatan ditinggalkan begitu saja! Mengerti""
Nina ingin tersenyum dan bertanya, bagaimana bila sang suami sudah meninggal, boleh"! Tapi Miki kedengaran betul-betul jengkel. Nina tidak ingin membuatnya marah. "Aku mengerti," bisiknya, "Tapi berjanjilah, kau takkan memikirkan ramalan itu lagi. Takkan ada laki-laki lain dalam hidupku!"
Miki berjanji, tapi dalam hati dia tetap menyimpan semua ramalan yang telah didengarnya. Dia jadi gelisah setiap
kali teringat itu, bertahun-tahun lamanya. Sampai kedua laki-laki itu betul-betul muncul dalam hidup Nina.
* * * Mereka sudah menikah dua tahun lebih dan ibu Miki mulai mengecam menantunya di hadapan Miki. Miki selalu membiarkan semua kritik itu berlalu seperti angin. Sedikit pun tidak diperhatikan atau disampaikannya pada istrinya. Ayahnya juga menasihatkan agar jangan terlalu mempedulikan ocehan ibunya. Nina sendiri tak tahu apa-apa sampai pada suatu pagi ketika dia menyiram bunga di halaman belakang. Selesai di sana, dia masuk melalui beranda belakang. Sarapan biasa disediakan di ruang tengah yang bersebelahan dengan beranda.
Ketika Nina tiba di pintu yang menuju ke sana, didengarnya Miki membantah ibunya. Entah kenapa, perasaannya mendadak jadi tidak enak, seolah dia tahu ada yang tidak beres. Di luar kebiasaannya, dia nguping.
"Tapi kau mesti pikir, Mik," didengarnya suara ibu mertuanya. "Ini sudah hampir tahun ketiga! Dan kau sehat. Jadi pasti istrimu yang salah. Mungkin kesehatannya memang buruk. Ingat, dia miskin sekali, bukan" Pasti dia kekurangan vitamin atau zat gizi iainnya. Dia tidak berhak merusak hidupmu! Ceraikanlah dia selagi kau masih muda, Selagi kau masih bisa memilih pasangan lain sesukamu! Ini demi kepentinganmu, Mik."
Nina nyaris semaput mendengarnya. Dia terperanjat bukan main. Mulutnya terbuka tanpa sepatah kata pun yang mampu digumamkannya. Kesadarannya pulih ketika didengarnya bantahan Miki yang keras.
"Kenapa Mama bilang begitu" Apa Mama enggak tahu, saya mencintainya" Pokoknya Mama enggak usah khawatir, enggak ada yang salah. Kami belum punya anak karena Tuhan belum mengizinkan. Lagi pula, ini urusan kami berdua. Kalau kami merasa perlu, kami akan minta nasihat dokter, Ma. Dan saya yakin, dia takkan memberi nasihat seperti tadi!"
"Mik, Mama sangat mencintaimu. Percayalah Mama, Nina enggak cocok bagimu. Dia enggak bisa dandan, enggak tahu gimana mengatur resepsi, pasti kikuk bila kauajak ke istana Presiden dan akan canggung menghadapi relasi-relasi ayahmu. Bila kelak kau harus menggantikan Papa, dia pasti takkan tahu apa yang harus dipercakapkannya dengan istri rekan-rekanmu dalam pertemuan-pertemuan. Miki, di
a cuma gadis kampung. Ceraikan saja, nanti kau akan kuperkenalkan dengan wanita-wanita yang begini!"
Nina tidak menunggu sampai suaminya menjawab. Dia langsung membalik, lari ke belakang. Air mata membuat pandangannya kabur. Tanpa ampun ditubruknya koki yang sedang membawa sarapan. Bunyi piring pecah berhamburan tidak dipedulikannya. Dia lari terus ke halaman belakang, mengitari samping lalu masuk ke dalam dari depan. Dia mengunci diri dalam kamar.
Setelah beberapa menit menenangkan pikiran, dia bangkit dari duduknya di atas ranjang dan dihapusnya air matanya. Dia merasa amat lemas sehingga harus berpegangan sejenak ke pinggir ranjang. Batinnya amat terpukul. Ibu mertuanya memang tak pernah ramah padanya. Tapi tidak disangkanya perempuan itu begitu membencinya, sehingga mau dipaksanya anaknya bercerai. Ah, bukan anaknya! pikirnya. Nina sudah tahu dari Miki, bahwa itu adalah ibu tirinya. Tapi aku mencintainya, Nin, walau aku tahu apa yang telah diperbuatnya terhadap ibu kandungku. Sebab dia adalah satu-satunya ibu yang kukenal.
Dalam cermin dilihatnya muka yang lusuh. Diperbaikinya bedak dan rambutnya yang sedikit acak-acakan. Lalu dia keluar dari kamar. Seakan lak terjadi apa-apa, dia masuk ke ruang tengah, menyapa setiap orang. Pak Rodan baru saja duduk dan menyuruhnya mengambil tempat di sebelahnya. Miki memperhatikan tanpa berkata apa-apa. Ibu mertuanya yang membuka suara, "Anis bilang, kau tadi menubruknya, kenapa""
"Sa... saya minta maaf, Ma," sahutnya terbata-bata.
"Minta maaf sih gampang! Tapi barang yang pecah enggak bisa utuh lagi! Tiga piring buatan Ceko! Kau tahu berapa mahalnya" Di sini kau harus membiasakan diri jalan dengan anggun, bukannya berlarian macem di kampung!"
Nina menunduk menekuri piringnya. Itulah pertama kalinya dia dimarahi oleh ibu mertuanya. Ayah Miki segera membelanya. "Sudahlah," serunya kesal. "Segala urusan sepele begitu tak usah ditarik panjang. Aku masih sanggup membelikanmu tiga lusin piring seperti itu! Nina kan enggak sengaja!"
Ibu mertuanya diam, tapi sikapnya tetap memusuhinya. Nina menunggu Miki membuka mulut membelanya, tapi dia diam seribu bahasa. Nina sengaja tak mau memandang suaminya. Hatinya mendongkol melihat Miki membiarkan ibunya memperlakukannya seperti itu, terlebih setelah apa yang dikatakan perempuan itu padanya. Menyuruh menceraikannya!
Selesai sarapan Miki berangkat seperti yang dilakukannya tiap pagi. Menurut jadwal yang diingat Nina di luar kepala, pagi itu dia kuliah di Kedokteran, disusul praktikum siangnya. Biasanya Miki tinggal di kampus, tapi terkadang dia pulang makan sebentar.
Nina dengan kecewa melihat Miki pergi begitu saja. Tidak sedetik pun kelihatan bahwa dia memperhatikan kejengkelan istrinya. Malah dibiarkannya ibunya mengantar dia serta ayahnya keluar. Mula-mula Nina ingin ikut mengantar, tapi ibu mertuanya memberinya tugas mengatur masakan hari itu dan menyuruh koki segera ke pasar.
Tanpa membantah Nina pergi ke dapur. Dengan sabar disebutkannya apa-apa yang mesti dibeli. Koki yang memiliki ijazah PBH zaman Orla itu menulis pelan-pelan, mengeja setiap kata. "Botel," tulisnya sambil kemak-kemik. Miki senang sekali perkedel wortel. Tapi tanpa seledri dan udang. Seledri itu bau, kata Miki, sedangkan udang membuatnya gatal-gatal. Jadi Nina bermaksud membuat dua macam adonan.
Ketika hendak memasukkan udang ke dalam parutan wortel, ibu mertuanya membentak dari belakangnya, "Eh, Miki enggak boleh makan udang! Masa suami sendiri enggak bisa kauperhatikan kesehatannya!"
"Ini buat Mama dan Papa," sahutnya sabar.
"Ah, jangan susah-susah! Enggak ada yang suka masakanmu! Bikin saja buat Miki semua!" "Kebanyakan, Ma. Biarlah sebagian dikasih udang, buat si Bibi,"
"Apa" Kaupikir wortel dan udang enggak mahal" Buat pembantu"" seru perempuan itu keras-keras, sehingga Nina merasa tidak enak sebab pasti terdengar oleh semua pembantu. Nina tidak mau menyakiti hati mereka. Selain takut mereka berhenti, dia juga memang tak bisa menusuk perasaan orang lain. Herannya, semua pembantu itu merasa betah, walau mereka kerap kena marah!
"Oh, maksud saya..." Dia
salah tingkah, tak bisa membela diri. Memang dia berniat memberikan perkedel itu pada Anis serta teman-temannya. Tapi karena dilarang, yaaa... dia terpaksa cuma bisa ketawa sumir. Dalam hati dia berdoa semoga mertuanya segera menyingkir dari dapur.
Doanya didengarkan. Mendadak ibu mertuanya teringat bahwa dia harus menghadiri pertemuan guna membahas masalah yatim piatu yang makin mencolok jumlahnya. Sebagai anggota kehormatan sebuah organisasi wanita, Ibu Rodan bertugas mengunjungi serta memeriksa keadaan rumah-rumah yatim piatu, lalu menyusun laporan mengenai apa yang perlu dilakukan atau disumbangkan.
Nina merasa amat lega melihat mertuanya pergi. Selesai masak, dia masuk ke kamar berbaring-baring. Beberapa hari terakhir ini dia merasa tidak enak badan, tapi segan minum obat, apalagi ke dokter.
Nina memejamkan mata dan berharap Miki akan pulang. Dia juga berpikirpikir apakah akan dituliskannya dalam buku mereka apa yang telah didengarnya tadi pagi, ataukah berlagak tidak tahu saja. Keduanya mengandung risiko. Mungkin Miki menganggap itu sebagai ocehan belaka, tapi bisa saja dia termakan olehnya. Siapa tahu usul itu bukan untuk pertama kalinya diberikan, Sebaliknya, kalau dia pura-pura tidak tahu, mungkin Miki juga akan diam saja dan ini akan membuat dirinya cemas. Dia akan berpikir-pikir, apa yang akan dilakukan oleh suaminya" Apakah dia akan menuruti nasihat ibunya" Merencanakan perceraian" Mencurigai istrinya penyakitan" Tapi, kalau dia menuliskan semua unek-uneknya sekarang, lalu Miki marah dan menantangnya untuk memilih tutup mulut atau bercerai..."!
Seribu satu pertanyaan muncul saling susul. Tapi Miki tidak pulang siang itu dan Nina terlena. Ketika dia terjaga, dilihatnya lonceng sudah menunjukkan jam satu. Dia terkejut, lalu tergopoh-gopoh bangun, khawatir mertuanya sudah pulang. Untung belum. Dia balik ke kamar ingin mengisi buku hariannya. Tapi ketika pena mulai bergerak, mendadak tangannya kaku. Dia tak mampu menuliskan semua isi hatinya. Kepedihan, kejengkelan, kegelisahan, kedongkolan, kemarahan, perlakuan ibu mertua, percakapan yang didengar... tak mungkin! keluhnya. Tak mungkin menuliskan semua itu tanpa menyakiti perasaan Miki, dan itu takkan pernah mau dilakukannya. Biarlah Miki mengambil keputusan sendiri atau menunggu sampai dia membicarakannya dengannya.
Kalau dipikir-pikir, kenapa dia harus keberatan bila mereka berpisah" Bukankah dengan begitu dia akan bisa... ah, mungkin cita-citanya itu cuma impian remaja yang kosong tanpa makna! Mungkin dia cuma ingin mengidentifikasikan dirinya dengan orang-orang sekitar yang dikaguminya yang semuanya adalah suster-suster. Mungkin dia tidak sungguh-sungguh ingin tinggal di balik tembok biara. Kalau tidak, kenapa dia merasa kurang enak ketika memikirkan kemungkinan akan bebas dari Miki" Kenapa dia keberatan berpisah dengan suaminya" Apakah itu berarti bahwa dia sudah jatuh cinta" Nina tak bisa menjawab. Lembaran hariannya dibiarkannya kosong hari itu. Kening Miki berkerut melihatnya. "Kau lupa mengisinya, Nin," tegurnya setengah membujuk.
"Aku enggak enak badan tadi," kilahnya.
"Isilah sekarang."
Buku dan bolpen diberikan padanya. Nina duduk di atas ranjang, kebingungan mau menulis apa. Terlebih diawasi oleh Miki, tangannya malah jadi gemetar. "Ayo!"
"Aku... aku enggak tahu mau nulis apa," katanya menengadah memandang Miki.
"Ah, masa!" tukas Miki tersenyum menggoda, lalu duduk di sampingnya memegangi tangannya. "Mari aku ajari menulis. Yang harus kautulis adalah begini, 'Hari ini aku dimarahi ibu mertuaku hanya karena piringnya pecah tiga! Dan Miki sama sekali tidak membelaku! Barangkali dia sudah enggak mencintai aku lagi!' Nah"" Bolpen bergerak-gerak mengikuti arahan tangan Miki yang menggenggam jari-jari Nina erat-erat seakan dia murid kelas satu yang baru belajar menulis. Setetes air jatuh ke atas kertas. Miki mengangkat muka dan menatap Nina.
"Hei, kenapa nangis" Bukankah dugaanku betul" Kau kelihatan kesal sekali. Pasti kau marah sama aku!"
"Enggak, Mik," sahutnya tersenyum di balik air mata. "Sekarang aku enggak marah lagi."
"Itu bagus, Manis . Kau harus percaya, aku akan selalu mencintaimu! Sampai kapan pun!"
Nina mengangguk dan menulis, 'Miki bilang, dia akan selalu mencintaiku. Karena itu aku tidak marah lagi padanya atau ibunya'"
"Oke!" bisik Miki dengan senang, memeluk serta mengecupnya. "Jadi persoalannya sudah beres, kan""
Tidak, pikir Nina. Persoalan belum beres. Hal yang terpenting belum kaubicarakan! Tapi Miki tidak bisa membaca pikiran orang. Dia sudah bangkit, mengambil mesin tik dari meja dan membawanya keluar kamar bersama setumpuk kertas. "Aku mau ngetik kuliah dulu, Nin. Lebih baik di ruang tengah saja supaya kau enggak terganggu. Kalau masih kurang enak badan, minumlah obat sesuatu, lalu segera tidur!"
Bab 19 PADA suatu petang Paul datang. Miki belum pulang, sehingga Nina yang menemaninya bicara. Paul memang suka datang bertamu dan Nina sudah mengenalnya dengan baik. Sampai saat itu dia masih bujangan. Setiap kali Nina menyuruhnya mengadakan seleksi di antara koleksinya yang pasti hebat-hebat, Paul cuma ketawa, "Aku menunggumu, Nin, sampai kau sudah bosan sama Miki!" Kelakar itu selalu muncul tiap kali dia datang, membuat ibu Miki membenci pemuda itu.
Malamnya, untuk kesekian kali Miki dipaksa mendengarkan kekurangan istrinya yang makin bertumpuk dari hari ke hari. Nina waktu itu sudah tidur. Ayahnya di kamar, membaca. Ibu menyuruhnya duduk di sofa di depannya. "Ada apa, Ma""
"Tadi sore kawanmu yang ceriwis itu datang lagi!" tukas ibunya sebagai pembukaan. "Paul enggak ceriwis, Ma," katanya membela.
"Apa"" seru perempuan itu kaget dan karenanya jarinya tertusuk jarum. Marahnya timbul pada Paul dan Nina yang secara tidak langsung menyebabkannya kesakitan. Dipijit-pijitnya jarinya. Miki langsung mengambilkannya kertas tissue.
"Jadi istrimu sudah laporan"" sindirnya setelah mengisap-isap jarinya supaya darahnya tidak keluar lagi. "Pasti kau menyangka temanmu selalu sopan, ya"! Tak pernah kaubayangkan dia akan bercanda begitu bebas dengan istrimu, bukan" Dan pantaskah seorang istri meladeni laki-laki yang mengaku cinta padanya""
"Ah, Mama sentimen! Mana mungkin sih Paul mencintai Nina! Dia memang selalu ceplas-ceplos. Dianggapnya Nina bukan orang lain, karena itu dia berani bercanda. Tapi hatinya enggak berbahaya. Dia bisa dipercaya."
"Dalam urusan begini, enggak ada masalah kepercayaan, Mik. Orang takkan segan menggunakan tipu daya demi mendapat apa yang diinginkannya. Cinta itu pelik, percayalah aku!"
"Jangan bilang begitu, Ma! Paul enggak bakal curang. Selain itu, Nina adalah perempuan yang setia. Saya yakin seratus persen!"
"Ah, yakin apanya! Rupanya kau sudah lupa ramalan tiga tahun yang lalu" Istrimu akan menikah lagi, Mik! Dia akan berkenalan dengan dua laki-laki lagi dalam hidupnya. Jangan lupa!"
Ketika Miki berdiri di samping ranjang, memandangi istrinya yang tidur nyenyak, dia tahu dia takkan melupakan ramalan itu. Setiap kali teringat, dia pasti tak bisa tidur. Sebuah pikiran kini mulai merayapi otaknya: siapakah kedua laki-laki itu" Paul" Dan..."
* * * Miki juga teringat hal itu ketika pada suatu malam, setelah menunggu lebih dari enam jam, dokter menghampirinya dan memberinya selamat.
"Pak, istri Anda dikunjungi oleh dua laki-laki!"
Miki terkejut bagaikan disengat lebah. Jadi ramalan itu betul! Tapi kenapa keduanya sekaligus" Kenapa perkenalan terjadi di rumah sakit" Dan ada urusan apa dokter ini campur tangan" Semuanya muncul hanya sekejap dalam otaknya. Senyum lebar Pak Dokter menyadarkannya. Tak mungkin! Namun sebelum suaranya keluar, dokter sudah menyambar tangannya dan mengguncangnya pergi-datang. "Selamat! Selamat! Tiga ribu lima puluh gram dan dua ribu tujuh ratus. Mau lihat""
Miki sedikit gelagapan mendengar semua itu. Dia tak tahu harus bereaksi bagaimana. Dibiarkannya dirinya diseret entah ke mana. Lima menit kemudian didapatinya dirinya melotot di depan sebuah jendela kaca, memandangi dua buah kepala kecil yang hampir tak tentu bentuknya. Merah serta lembek. Sebuah tangan muda mendadak molos keluar dari bedungan selimut, bergerak-gerak seakan melambai padanya. Miki menyeringai tanpa sadar. Mereka kel
ihatan seperti anak monyet belaka, tapi mengherankan, dirinya merasa amat bahagia. Dia masih ingin berdiri di situ sejam lagi, tapi seorang suster yang sok tahu memberi isyarat bahwa tontonan sudah berakhir. Tirai mulai diturunkan. Miki mengomel penasaran, "Tunggulah beberapa hari lagi! Kita akan lihat siapa yang lebih berhak atas mereka, Anda atau saya! Akan saya bawa mereka pergi dan Anda takkan bisa melarang!"
"Wah, jangan marah, Pak," tukas suster tersenyum geli. "Saya cuma mengikuti peraturan. Mari, Anda tentu ingin menengok Ibu""
Ah, mendadak dia jadi rindu pada Nina, untuk pertama kali, selama beberapa merit tadi, dia sudah melupakan istrinya! Dia begitu terpesona melihat bayi-bayinya sampai sang ibu tidak diingatnya!
Dokter kebetulan keluar dari kamar Nina. Melihat Miki, disilakannya masuk lalu ditutupnya pintu. Miki berdiri sejenak dekat pintu memandang ke tempat tidur di mana istrinya kelihatan sedang lelap. Dihampirinya kursi, bermaksud menunggu sampai Nina bangun. Tapi mendengar suara kerisik di atas lantai wnil yang masih baru, Nina membuka mata, melihatnya dan tersenyum bahagia. 'Sudah kaulihat"" Pertanyaan itu keluar berbareng dari mulut mereka, sehingga keduanya tergelak-gelak. Miki menyerbu ke samping ranjang lalu membungkukkan tubuhnya yang jangkung untuk mengecup si ibu.
"Sekarang kau betul-betul sudah jadi Mere!" bisiknya membelaibelai rambutnya.
"Jangan menggoda aku!"
"Eh, siapa menggoda" Mere kan artinya ibu, bukan" Hadiahmu bagiku itu amat istimewa, Nin. Kau mendadak jadi makin manis dalam mataku!"
"Jahat! Istri sendiri kauanggap jelek! Kalau aku tarik lagi hadiah-hadiah itu, baru tahu rasa kau!"
Miki ketawa dan tidak meladeni ocehan Nina. Sesaat kemudian dia teringat akan sesuatu. Dengan serius digenggamnya kedua tangan Nina eraterat. "Nin, ingatkah kau ramalan tiga tahun yang lalu" Dua laki-laki lain dalam hidupmu! Mungkinkah mereka itu...""
"Tidak!" serunya tertahan. "Mustahil! Dua laki-laki..."
"Tapi itu betul, Nin! Kau sudah tahu itu. Kini ada dua laki-laki lain dalam hidupmu! Dan bila aku ingat berapa jam tidurku yang terbuang setiap malam, hanya kerena memikirkan mereka!" Miki terbahakbahak. "Tidak, ah. Aku tidak menyesal. Untuk mukjizat seperti ini, aku bersedia melek seratus hari!"
Nina ikut tertawa, menatap wajah bahagia yang menunduk di dekatnya.
* * * Sesuatu yang aneh terjadi pada ibu Miki. Sejak Miki mengumumkan di meja makan bahwa istrinya mengandung, ibunya mendadak jadi penuh perhatian pada Nina. Dia tak pernah memarahinya lagi. Tak pernah memberinya tugas-tugas berat. Bahkan memaksanya untuk beristirahat bila dilihatnya Nina terlalu rajin di dapur.
Nina menuliskan semuanya dalam buku mereka. Miki ketawa membaca bahwa ibunya sudah terpikat pada Nina karena adanya kabar tentang kedatangan seorang cucu.
"Kalau kau bohong," ancam Miki mengacungkan telunjuk, "akulah pertama-tama yang akan menggorok lehermu! Istri yang suka bohong tidak pantas dicintai suami! Zaman dulu, seorang istri yang suka berdusta dan main pintu belakang bisa dipancung oleh suaminya, tahu enggak"!"
"Ah, sekarang kan bukan zaman dulu! Aku juga enggak main pintu belakang, dan kau cinta padaku! Jadi aku takkan pernah dipancung!"
"Kau benar-benar menggemaskan!" teriak Miki menubruknya, tapi Nina dengan gesit meloncat dari ranjang di sebelah yang lain. Miki mau mengejar -dan pasti akan berhasil menangkapnya- tapi Nina punya senjata ampuh sekarang.
"Awas, nanti aku keguguran!"
Miki langsung jadi jinak, duduk tenang-tenang di ujung ranjang seperti anak kecil menunggu coklat.
Nina mengalami sedikit kesulitan selama mengandung. Dia muntah-muntah terus. Berat badannya terlalu cepat naik. Sebaliknya berat ibu mertuanya sangat cepat turun, karena khawatir memikirkan Nina yang mendadak dianggapnya sebagai anaknya. Nina kepayahan. Perutnya membuatnya gampang sesak napas. Dia tidak tahan berdiri atau berjalan lama-lama. Makanannya harus rendah garam sehingga rasanya kurang sedap. Setiap kali melihat Miki makan dengan lahap -sebab garam nya cukup, rasanya enak- Nina mengeluh. Miki sengaja makan lebih lahap unt
uk menggodanya. Tapi dalam hati dia kasihan juga melihat Nina harus diet.
Yang mengkhawatirkan semua orang adalah kemungkinan adanya kelainan. Dokter menduga adanya kelebihan air ketuban.
"Aku berjanji pada diriku sendiri, ini adalah yang pertama dan... terakhir!" tukas Nina dengan serius. Miki menatapnya dengan rasa geli, tapi tidak memberi komentar. Dasar cewek! Seakan urusan begituan tergantung seratus persen pada kepulusannya sendiri! Hiii.
"Mik, jangan berlagak tuli! Kaudengar apa kukatakan""
"Ya." Jangan membuatnya marah! Lebih baik mengalah.
"Lantas kenapa diam saja""
"Habis, aku harus bilang apa"" sahutnya serius, tapi hatinya ketawa geli.
"Enak saja bilang begitu! Kau enggak merasakan sih sengsaranya hidupku, perut begini gendut! Sampai rasanya malu ke mana-mana! Tidur salah, berdiri salah! Duduk, sesak napas. Makan juga sesak!"
"Aaah, nyonya di sebelah lebih gendut lagi perutnya, tapi dia kelihatan senang-senang saja!" tangkis Miki membuat Nina makin sengit.
"Tapi dia kan enggak hamil!"
"Memang betul! Lantas kau mau apa""
Nina terdiam ditanya begitu. Dia tak dapat menjawab, membuatnya kesal. Kalau dia marah, napasnya jadi bertambah cepat dan itu menimbulkan sesak napas. Miki melihatnya terengah-engah. Dia menghampiri dan memeluknya. Nina tengah memeriksa sekotak pakaian bayi yang baru dibelikan oleh ibu mertuanya. Selusin baju dan tiga lusin popok. Semuanya berwarna biru, sebab mereka mengharapkan seorang bayi laki-laki.
"Aku mengerti perasaanmu, Nin. Seandainya aku tahu dari dulu bahwa kau tak mau punya anak, tentunya hal ini takkan terjadi."
"Lantas, aku akan dituduh mandul, diceraikan, dan kau kawin lagi!" serunya mencoba melepaskan diri dari pelukan, tapi Miki tidak membiarkannya lepas.
"Jangan bilang begitu, Nin. Kau kan tahu, aku mencintaimu dengan keseluruhanmu. Seandainya kau tak bisa punya anak, takkan jadi soal. Kita bisa mengangkat anak orang lain. Tapi," bisik Miki membelai-belai rambutnya, "kukira setiap wanita merindukan anak. Rupanya kau sebuah kekecualian. Nah, yang sudah telanjur tak bisa dibatalkan, bukan" Aku harap kau bersabar sampai dia dilahirkan. Setelah itu kita lihat lagi. Oke" Jangan merengut, Manis. Usiamu naik sepuluh tahun kalau begitu! Nah, senyum lebih baik!" Miki menggodanya sampai dia terpaksa ketawa.
Setelah Miki berlalu, Nina memikirkan kembali semua kejengkelannya. Ah, sebenarnya dia takkan keberatan punya anak selusin pun asal tidak membuat dirinya begini sengsara. Tidur telentang sesak, miring apalagi. Tengkurap jelas tak masuk akal, bisa meletus perutnya. Tidur salah. Berdiri salah. Makan tak ingin. Badan kepanasan terus, siang malam. Makan es dilarang mertua, katanya nanti bayinya jadi terlalu besar dan sulit lahir. Melihat perutnya sekarang saja orang sudah menaksir beratnya paling sedikit tiga setengah kilo!
Nina jadi risi ke mana-mana. Rasanya setiap orang memperhatikan perutnya yang buncit Ketika baru enam bulan, orangorang sudah mengira itu sembilan. Di ruang tunggu dokter pun tak ada wanita yang sama tua kehamilannya, yang segendut dirinya.
Sudah gendut, tak ada hiburan lagi. Keluar rumah dilarang mertua, kecuali ke dokter. Tkut terjadi apaapa, katanya. Rupanya perut gendut ini memberi kesan bahwa dia setiap saat sudah akan melahirkan. Barangkali dia disangka salah memperhitungkan hari kelahiran. Nina cuma dapat menghela napas bila sudah mendengar larangan-larangan berkumandang di udara. Untung Miki penuh pengertian dan bersedia menemaninya terus-menerus bila dia tidak ada kuliah.
Suatu ketika Nina duduk di depan mesin jahit hendak membuat kelambu bayi. Mendengar dengung mesin, mertuanya terbirit-birit muncul dari dapur dan memerintahkannya agar segera meninggalkan tempat itu.
"Biar nanti Mama yang akan menjahitkan. Kau istirahat saja!" Mesin jahit dikunci dan kuncinya disimpan oleh ibu suri. Ketika piyama Miki koyak, terpaksa dijahitnya dengan tangan. Malu kalau terpaksa dijahitkan oleh ibu mertua.
Nina menuliskan semua ini dalam bukunya. Di bawahnya diberi tambahan, 'Sebenarnya aku senang sekali mendapat seorang bayi, tapi tak pernah kubayangka
n kedatangannya akan begini merepotkan! Kenapa orang lain enggak seperti aku" Mereka hamil tiap tahun dan keadaannya biasabiasa saja. Aku jadi ingat istri Ogu. Apakah aku akan mati seperti dia" Keadaanku ini tidak biasa, bukan" Apa ada sesuatu yang tidak beres" Apa ini hukuman Tuhan karena aku menolak panggilanNya"'
Miki selalu berusaha menghilangkan rasa bersalah seperti itu, tapi Nina tak bisa mengusir ketakutan dari hatinya. Dia selalu bertanyatanya apakah Tuhan marah" Tuhan memanggilnya untuk menjadi pengantinNya, tapi dia lari menjadi pengantin laki-laki lain. Apa karena itu bayinya jadi tidak beres"
Pertanyaan itu diulang-ulangnya di depan dokter sampai saat melahirkan. Untung dokter itu sudah terbiasa menghadapi wanita-wanita yang akan melahirkan pertama kali. Tingkah mereka bermacam ragam. Ada yang melolong memanggil ibu, ada yang memaki-maki suami/ ada yang manja bagaikan putri kerajaan, tapi ada juga yang tenang dan tabah.
Dengan penuh kesabaran dokter meyakinkannya bahwa keadaannya baik-baik saja. Tugasnya jadi dobel ketika sang suami ikut-ikutan senewen. Melihat penderitaan istrinya, Miki kasihan. Tapi setelah mendengar seorang suster berbisik pada rekannya, "Aduh, Gusti, ada apa di dalamnya, besar amat!" Miki berubah jadi tegang dan senewen.
Ketika bayi sudah lahir, dokter bersama pembantunya berseru kaget. Nina hampir terbang semangatnya saking khawatir. "Ada apa, Dokter" Bayi saya... normal""
'Tenang, Bu, tenang. Bayi ibu laki-laki, sehat, dan normal. Dengar tuh tangisnya begitu keras!"
Nina menjadi lega. Namun sesaat kemudian rerutnya sakit kembali. Melihat pasien meringis, dokter langsung menenangkannya. "Jangan khawatir. Ibu masih akan melahirkan sekali lagi! Bernapas saja dengan teratur dalamdalam. Anak ini akan saya perbaiki sedikit letaknya."
"Apa dokter memang sudah tahu, saya akan melahirkan bayi kembar""
"Sudah saya duga, tapi karena air ketuban yang banyak ini, posisi bayi sulit ditentukan. Saya tidak membuat foto, sebab selama obseryasi keadaan Ibu memuaskan. Saya tidak mau memberi sinar X pada janin kalau tidak perlu. Pernah saya katakan ini pada suami Ibu dan dia minta agar saya tak usah bilang-bilang pada Ibu."
Oh begitu! pikirnya sengit. Setelah semuanya beres, dan Miki menjenguknya, Nina masih terlalu lelah untuk mengutarakan pikirannya. Tapi ketika Miki datang esoknya, Nina menegurnya. Melihat segalanya sudah beres dan selamat, Miki juga tidak lagi gampang-gampang mengalah.
"Dan selama itu aku hampir mati karena khawatir," serunya nyaris menangis saking jengkel. "Padahal kau sudah tahu perutku amat gendut karena isinya dua!"
"Tapi kau kan enggak jadi mati, Nin. Buat apa marah padaku""
"Kau tahu tapi tak mau memberitahu aku! Kaubiarkan aku gelisah setengah mati!"
"Habis kau kelihatan enggak menyukai bayi! Apalagi dua bayi! Aw, tak terbayangkan penderitaanku. Mungkin tiap hari aku akan disesali terus!" "Kau mengejek aku""
"Sebenarnya bukan begitu, Nin," Miki baru mengalah setelah istrinya betul-betul marah. "Sebenarnya aku lupa! Kau tahu sendiri, aku juga ikut-ikutan senewen, bukan""
"Lupa"" Nina mencibir. "Kusangka kau mimpi terus tiap malam mengenai anakmu!"
Miki menghela napas. "Waktu itu dokter bilang, itu baru dugaan. Setelah itu dia tak pernah bilang apa-apa lagi. Aku juga tak pernah menanyakan, sebab aku kira dugaannya salah dan aku tak mau memojokkannya. Lalu aku lupa."
"Nin, kalau setiap kali jadi ayah, aku harus kena maki begini, lain kali aku pikir-pikir dulu, ah! Kau biasanya manis dan lembut, sehingga aku sayang padamu. Tapi sekarang aku jadi ragu!"
Nina menatap Miki dan sekonyong-konyong keduanya terbahak-bahak. Nina mengulurkan lengan. Keduanya berpelukan dan perdamaian pulih kembali.
Tapi Miki belum habis-habisnya menggoda istrinya. Ketika menjemputnya pulang, dia sengaja mengajak ibu dan bibinya. Masing-masing membopong seorang bayi. Ketika Nina mengulurkan tangan pada saudara mertuanya, Miki dengan cepat mencegah. "Jangan dikasih, Tante. Nina belum biasa dengan tugasnya yang baru dan mengejutkan ini. Mungkin dia takkan pernah bisa membiasakan diri, sebab
dia ternyata alergi sama bayi!"
Nina menahan dongkol. Dia ingin sekali membantah, tapi tidak berani melakukannya di depan orang tua-tua. Jadi dia membisu saja.
Kedua bayi itu diletakkan dalam kamar Ita, di sebelah kamar mereka. Ketika Nina ingin membuka pintu penghubung kedua kamar, didapatinya pintu tergembok. "Apa-apaan ini"" serunya heran dan jengkel.
"Itu supaya kau enggak terganggu, Nin," sahut Miki tenang tanpa rasa bersalah. "Kalau pintu itu dibiarkan terbuka, pasti kau akan marah-marah terus kalau mereka rewel dan cengeng. Kau takkan bisa tidur nyenyak malam hari." "Tapi bagaimana kalau aku perlu ke situ""
"Oh, kau tak perlu ke sana!" sahutnya gagah. "Karena aku tahu kau enggak suka mereka, maka..."
"Siapa bilang aku enggak suka"" hardik Nina menggeledek.
"Siapa bilang" Kau marah-marah terus waktu hamil, lupa" Karena itu..."
"Kau mau buka pintu ini atau enggak"!"
"Aku sudah menyediakan perawat bagi mereka! Kau tak perlu repot!" "Buka apa enggak"!"
Miki mengangkat bahu, berlagak tak acuh. "Sebenarnya kau enggak perlu mengurus mereka. Tapi kalau kau memaksa, baiklah. Nanti jangan mengeluh kecapekan, ya!"
Nina melotot kepadanya, menunggu gembok dibuka. Setelah pintu menganga, Nina langsung menerobos masuk. Ibu mertuanya tertegun melihatnya, sehingga untuk sejenak dia lupa pada si kecil yang sedang diganti popoknya. "Kau enggak boleh bangun!" serunya. "Belum empat puluh hari. Mikiii!"
Mendengar guntur itu Miki langsung muncul. Sebelum sempat ditegur, dia sudah lebih dulu membela diri. "Sudah saya larang, Ma. Tapi dia sok tahu!"
Bila Nina mendengarnya, dia pasti membantah. Tapi dia tidak mendengar apa-apa. Untuk pertama kali dia menyadari bahwa kehamilannya adalah anugerah, bukannya kesengsaraan. Kebahagiaannya meluap.
Bab 20 JOHANES dan Andreas dinamakan menurut kedua kakek mereka, Johanes Rodan serta Andreas Karimin. Tapi Pak Andreas biasa disebut Pak Neo.
Kedua anak itu tumbuh dengan baik sekali. Joni kelihatan lebih aktif dan lebih rakus, sedangkan Andi sabar serta lembut. Nina pernah mencoba menyusui keduanya sekaligus, tapi tak berhasil. Andi hampir terjatuh, sedangkan Joni meraung-raung sebab merasa tidak nyaman. Jadi mereka menyusu bergantian. Joni harus didahulukan sebab dia tidak sesabar Andi menunggu giliran.
Ibu Miki yang biasanya sibuk mengurus anak-anak yatim piatu kini jadi sibuk mengurus cucu-cucunya. Setiap kali dia harus rapat ini itu, dia selalu berusaha mengelak dengan berbagai alasan yang diteriakkannya dalam telepon. Pendeknya, dia ingin selalu di rumah bersama Joni dan Andi. Teman-temannya tak henti-hentinya diundangnya supaya datang mengagumi cucu-cucunya, sehingga Nina tak tahu lagi harus merasa bangga atau jengkel. Dia sama sekali tak bisa istirahat sesukanya, sebab tiap hari ada saja yang datang. Ibu mertuanya menyediakan beberapa buku khusus di mana dicatatnya namanama pengunjung serta bingkisan yang dibawa mereka. "Ini perlu, Nin," katanya. "Supaya nanti, kalau mereka punya cucu, aku bisa membalas."
Nina mengangguk dengan sopan tapi jemu. Sejak ibu mertuanya menaruh perhatian padanya, Nina mendapati bahwa wanita itu sebenarnya menyenangkan dan hangat. Dia segera menyukainya dan melupakan masa lampau yang tidak menyenangkan.
Segala pesta yang berhubungan dengan kelahiran seorang anak tidak dilupakan oleh ibu mertua. Tanpa banyak ribut dia mengadakan coup untuk mengambil alih kekuasaan. Ibu mertua yang menentukan jam makan. Ibu mertua yang menentukan apakah rambut anak-anak akan dicukur atau tidak. Ibu mertua yang menentukan akan diapakan tali pusat yang lepas itu, apakah akan diadakan selamatan sehubungan dengannya. Ibu mertua juga yang menentukan apakah anak-anak harus diam di tempat tidur atau boleh bermain-main sebentar dengan ibu mereka. Seribu satu aturan bermunculan tiba-tiba. Bahkan Miki tidak menjadi kebal terhadap otoritas ibunya.
Pada suatu sore Miki masuk ke kamar dengan wajah muram. Nina tengah duduk dekat jendela, menyulam bantal anaknya.
"Eh, ada apa nih"" tanyanya dengan manis seraya meletakkan jahitannya dan bangkit memeluk suaminya.
Miki mengertakka n gigi, menolak pelukan itu. Dia membanting diri ke atas ranjang dan menatap Nina dengan curiga. "Kalau kau juga melarang aku berbaring begini, itu namanya keterlaluan! Lebih baik aku minggat!"
Sebenarnya Nina memang ingin melarang, sebab Miki belum ganti pakaian dan dia tidak suka seprei menjadi kotor. Tapi mendengar Miki menggerutu dibatalkannya niatnya. Dia malah ketawa. "Kenapa enggak hujan enggak angin marah-marah, Mik" Siapa yang melarangmu"" Nina berlagak pilon walaupun dia sudah punya dugaan.
"Aku dilarang ke situ melihat anak-anak!" serunya mendumal sambil menunjuk ke kamar sebelah. "Apa enggak keterlaluan tuh" Mereka kan anak-anakku! Aku berhak dong setiap saat melihat mereka"!"
Entah sudah berapa kali Nina juga kena larangan begitu. Tapi setiap kali dia mengadu, Miki cuma bilang, "Ah, pasti Mama punya alasan kenapa dia melarang!" Sekarang Nina mengulangi kalimat itu, ingin tahu bagaimana reaksi suaminya.
Miki langsung bangkit dari ranjang dan berdiri di depannya dengan tangan di pinggang. "Alasan"" teriaknya. "Alasan apa" Karena aku belum mandi" Hei, aku kan enggak mau menggendong mereka! Aku cuma kepingin melihat saja! Tapi Mama bilang, 'Mandi dulu, sana tukar baju.' Enggak mau sekalian gosok gigi dulu! Tobat! Orang pacaran pun enggak perlu sebersih itu! Dan nona manis yang berijazah perawat bayi itu makin galak saja lagaknya. Dia bilang, 'Bapak enggak boleh masuk!' Aduh, ketusnya. Dia lupa siapa yang menggajinya! Kan bukan ibuku. Biar tahun depan aku berhentikan dia!"
Nina ingin terbahak-bahak, tapi ditahannya. Saking sengitnya Miki sampai lupa bahwa perawat itu memang cuma ahli merawat bayi dari nol sampai satu tahun. Tanpa diberhentikan pun, dia pasti akan pergi tahun depan.
"Kenapa kau diam saja"" teriak Miki penasaran. "Apa enggak keterlaluan namanya, enggak boleh melihat anak-anak sendiri"!"
"Ya," kata Nina menepuk pipi suaminya, "itu memang keterlaluan. Tapi apa daya! Kalau tinggal bersama orangtua, kita harus tunduk pada peraturan mereka. Mandilah dulu. Di bawah siraman air dingin, biasanya amarah melarut! Nanti aku ambilkan bajumu."
Ucapan yang dimaksud untuk menghibur malah menyebabkan malapetaka. Sambil mandi Miki terus menerus memikirkannya. Tinggal di rumah orangtua, pikirnya. Ya, itu sebabnya. Selama ini dia terlena sehingga tidak menyadarinya. Mereka tinggal bersama orangtua! Karena itu mereka jadi tidak bebas. Mereka harus pindah, tinggal di rumah sendiri. Biar kecil, asal bebas. Dia bisa bermain-main dengan anakanak setiap saat. Ya, ya, ya.
Nina heran melihat Miki bersiul-siul keluar dari kamar mandi, tapi dia tidak bertanya. Disangkanya memang betul amarah bisa larut disiram air dingin. Ketika di meja makan Miki mengutarakan pikirannya, barulah dia tahu apa sebabnya suaminya begitu riang. Ibu mertua menatapnya dengan curiga, pasti mengira bahwa Miki telah dihasut olehnya. Wajahnya kelihatan kecewa. Ayah Miki juga tampak terkejut, walaupun dia tidak mencurigai Nina.
"Kenapa kau mendadak bisa punya ide begini, Mik"" tanya ayahnya.
"Oh, enggak apa-apa. Kami... ingin punya rumah sendiri, itu saja."
"Rumah ini kan cukup besar buat kita semua"" tukas ibunya.
"Betul. Tapi... kami ingin punya sendiri." Miki ngotot walaupun dengan argumen nol. "Ini kan rumahmu sendiri, Mik"" "Betul, Ma...."
Nina masih tetap membisu, sebab dia kebingungan kenapa Miki mendadak jadi demam pindah rumah tanpa konsultasi dulu dengannya. Biasanya Miki selalu membicarakan lebih dulu semua rencananya bila menyangkut kepentingan bersama. Nina sekali lagi melihat ibu mertua memandangnya dengan aneh. Hatinya merasa tidak enak.
"Mik," kata ayahnya, "pikirkan dulu baik-baik. Kalau kau tetap yakin, kau ingin pindah, Papa takkan menghalangi. Papa akan membantu. Cuma Papa harap, alasanmu bukanlah alasan impulsif."
"Jangan bikin retak hubungan, Mik!" tegur ibunya tapi matanya melirik Nina, membuatnya panas dingin.
"Oh, enggak, Ma!" sahut Miki buru-buru. "Kami sebenarnya senang tinggal di sini. Kami betah. Tapi... kami merasa enggak enak menumpang terus, apalagi sekarang sudah ada dua anak! Merepotkan!"
"Hm." Ayahnya kelihatan berpikir. "Jadi kalian berdua sudah membicarakannya" Dan Nina setuju""
"Pa, saya..." Tapi kata-katanya dipotong oleh Miki.
"Ya, Nina sudah setuju, Pa!" ujar Miki tanpa berani menoleh pada istrinya. Nina heran kenapa suaminya mendadak jadi mengarang dusta" Seingatnya, Miki tak pernah bohong. Walau akibatnya harus kena semprot istri atau ibunya, dia tetap mengatakan apa adanya.
Nafsu makan jadi lenyap. Untung nasi dan sayur sudah disantap, tapi buah dan puding tak ada yang mau. Mereka bubaran dan masing-masing berusaha menghindari yang lain. Ayah Miki langsung masuk ke kamar dengan alasan mau membaca surat-surat penting. Ibunya duduk di sudut ruang tengah, pura-pura asyik dengan majalah. Miki memang sejak tadi sudah gatal ingin melihat anak-anak dan segera berlari ke sana. Biasanya ibunya pasti akan melarang, sebab jam tujuh adalah waktu tidur mereka. Jam delapan mereka akan dibangunkan untuk minum susu, baru tidur lagi. Kali ini, ibunya tidak bilang apa-apa.
Nina menghampiri ibu mertua dan duduk di dekatnya. Wanita itu seakan tidak tahu ada orang datang. Dia tetap asyik membaca. Nina duduk dengan gelisah tapi tak berani bergerak-gerak, sebab ibu mertuanya tidak suka orang yang tidak bisa duduk tenang. Nina mulai berhitung dari satu sambil mengumpulkan semangatnya. "Ma," katanya dengan suara kecil pada hitungan kelima puluh, "boleh saya bicara sebentar""
"Oh." Majalah cepat-cepat diletakkan. Terlalu cepat malah menurut perasaan Nina, menunjukkan bahwa dia sebenarnya sudah ditunggu. Ibu mertua memandangnya dari sebelah atas kaca matanya. "Ada apa, Nin"" Suaranya kedengaran ramah dan lelah.
"Mengenai persoalan barusan, Ma."
"Oh, itu." Mertuanya melambaikan tangan. Ketawanya terasa dipaksakan. "Kalian ingin punya rumah sendiri" Mama bisa mengerti, enggak apa-apa."
"Tapi saya enggak tahu menahu mengenai rencana itu, Ma. Miki belum pernah bilang apaapa, kok."
Kacamatanya dilepas. Ditatapnya Nina sejenak dengan serius. Tiba-tiba dia tertawa, betul-betul tertawa. Gembira. Nina ikut tertawa. Dipeluk dengan hangat. "Betulkah"" bisiknya. "Betulkah itu bukan rencanamu" Jadi bukan kau yang enggak menyukai Mama" Itu cuma ide si Miki" Dia yang merencanakannya" Jadi kau enggak keberatan bila aku turut campur mengurus anak-anak""
Nina amat terharu melihat mata perempuan itu berlinang-linang. Pada saat itu dia sadar bahwa wanita itu sangat kehilangan Ita. Dia membutuhkan sesuatu untuk mengisi kekosongan hidupnya. Anak-anak itulah jawaban baginya. Tumpuan kasihnya.
"Ma, tentu saja saya enggak keberatan. Saya malah amat bersyukur, Mama mau memperhatikan anak-anak," sahutnya berdusta. Tapi dalam hal kepentingan mereka, dia memang tak bisa mencela mertuanya. Sebab wanita itu mengurus mereka sama baik dengan ibu manapun. Selain itu, dia dapat memerintah perawat muda itu dengan lebih tegas. Nina sendiri merasa kikuk melakukannya. Pertama, sebab dia belum pernah memerintah orang seumur hidupnya. Kedua, sebab perawat itu lebih tua dan lebih pengalaman dari dirinya.
"Tapi kenapa Miki mendadak mau pindah"" gumam mertuanya termenung.
"Saya sendiri juga heran, Ma. Tahu deh kenapa."
"Nin, kalau kau memang enggak ingin pindah, maukah kau berbual sesuatu"" "Tentu, Ma."
"Bujuklah Miki agar membatalkan niatnya. Kau tahu rumah ini bukan main besarnya. Dan kaulihat betapa bahagianya Papa dengan kehadiran cucu-cucunya. Katanya, enggak lama lagi rumah ini akan ramai kembali seperti dulu. Tapi kalau kalian pindah, Papa akan kesepian. Dia akan pergi-pergi lagi...." Perempuan itu menghela napas dan menyusut mata dengan punggung tangannya.
Nina makin sedih dan terharu. Mertuanya tidak menyebut-nyebut hal diri sendiri. Tapi dengan mengatakan bahwa ayah Miki akan pergi lagi secara tak langsung dia juga bilang bahwa dia pun akan kesepian. Nina mengerti perasaannya dan bertekad untuk melindunginya.
"Kau tahu, Nin, Mama amat senang kalian di sini. Memang dulu Mama kurang ramah padamu. Kau harus memaafkannya. Mama waktu itu cuma ingat kepentingan Miki, Setelah Ita tiada, Mama jadi khawatir berlebihan, takut Miki kurang bahagia. Mama ingin dia
bahagia setinggi langit. Untunglah keinginan Mama sudah terkabul sekarang." Mertuanya tersenyum sambil meraih dan menggenggam tangan Nina.
"Jangan khawatir, Ma. Akan saya jewer dia sampai dibatalkannya niatnya!" Nina berjanji.
"Oh, aku sih enggak keberatan tinggal terus di sini," ujar Miki ketika Nina menegurnya.
"Tapi dengan syarat, larangan-larangan yang tidak pantas itu, yang menyiksa batinku, yang melanggar hakku, harus dicabut!"
Ayahnya yang sudah kesenangan mendengar anaknya batal pindah, dengan suara mengancam menyuruh istrinya mencabut semua larangan.
"Apa-apaan sih, kau ini! Ingat tuh anak Bidan Anisa yang dilarang main becek dengan anak-anak kampung, malah justru kena polio!"
Tapi nenek yang merasa akan menang tak mau menyerah mentah-mentah. "Pokoknya aku harus melindungi anak-anak dari kelalaian siapa pun termasuk ayah mereka sendiri!"
"Ya, Mama memang benar!" Di luar dugaan, Nina memihak ibu mertuanya, sehingga Miki kelabakan. Dikeroyok begitu, dia terpaksa menyerah tanpa syarat. Dia tetap dilarang menemui anak-anak dalam keadaan kotor.
Bab 21 IBU Miki kambuh lagi penyakit ginjalnya. Dalam keluarganya memang ada riwayat penyakit kencing batu. Miki bercerita, ketika dia masih kecil ibunya terkadang pulang dari rumah sakit membawa aneka ragam batu. Yang putih, kuning, dan hijau. Nina biasa mendengarkan dengan heran, sebab dia belum pernah mendengar ada orang kencing batu. Batu hijau lagi.
Kini penyakitnya kambuh. Berhari-hari dia terbaring karena sakit pinggang, dengan botol air panas untuk mengurangi nyeri. Nina dengan sabar melayani segala keperluan si sakit. Dia ahli dalam hal begini, sebab sudah biasa merawat ibunya sendiri.
"Andaikan Ita masih ada, dia takkan bisa merawat Mama lebih baik dari kau, Nin," ucap mertuanya penuh syukur. "Mama bahagia mendapat pengganti Ita." Nina cuma tersenyum dengan mata berlinang. Dia masih selalu sedih bila teringat sahabatnya itu. Bila sedang sendirian di rumah, terkadang dia masuk ke studio suaminya lalu memandangi sketsa mereka berdua. Miki masih juga belum mau melukis lagi. Untuk membangkitkan semangatnya, Nina sengaja merengek minta dilukis. Miki berjanji akan melukisnya suatu saat, tapi bukan sekarang. Nina tahu, Miki masih menyesali kepergian adiknya. Pada hari kematian Ita, mereka berdua biasa pergi ziarah ke kubur tanpa setahu orangtua. Tak lama lagi ulang tahun kematian keempat akan tiba, pikir Nina. Cepatnya waktu berlalu.
"Nin, bawa anak-anak kemari." Suara mertuanya mengejutkan lamunannya. Dia menengok ke arah jam di dinding kamar. "Mereka sedang makan, Ma."
"Habis makan, bawa mereka kemari, ya."
Nina mengangguk dan keluar. Anak-anak memang baru saja mau diberi makan. Melihat Nina, Joni mulai meraung. Andi yang biasa tenang cuma mengawasi saja, menunggu sampai Ibu datang padanya. Baru kemudian diperlihatkannya senyumnya yang menawan hati.
Perawat meletakkan mereka ke dalam kursi masingmasing lalu membuka tutup piring-piring mungil yang berisi bubur bayi. Nina mengambil sepiring dan segera mendekati Joni yang sedang jerit-jerit kelaparan. Andi disuapi oleh perawat. Setengah piring kemudian, mereka tukaran. Nina kini menyuapi Andi, membuat anak itu mengikik kesenangan. Nina menjaga betul jangan sampai salah satu anaknya merasa dianaktirikan.
Selesai makan dan berganti pakaian, Nina memasukkan keduanya ke dalam kereta, lalu mendorongnya ke kamar Nenek. Begitulah kerja Nina tiap hari. Mertuanya sakit tiga bulan lamanya. Dia menolak operasi, karena itu dokter memperkirakan penyakitnya akan kambuh lagi. Kapan" Tidak dapat diramalkan. Mungkin bertahun-tahun kemudian. Bisa juga enam bulan lagi!
Ibu Nina sendiri makin banyak kemajuan. Tentu saja dia harus minum obat terus untuk mengontrol tekanan darahnya. Ketika keluarganya datang menengok Joni dan Andi, Nina senang sekali melihat keadaan mereka. Kris sudah lulus SMA dan mulai memasuki tahun ketiganya di ITB. Marisa makin besar dan jangkung melebihi Nina. Ibu tampak sehat dan banyak ketawa. Tapi yang mengharukan hatinya adalah ayahnya. Beliau tampak kembali seperti semula, ketika masih bahagia di P
alembang. Dia kembali penuh humor, sehat, dan tidak lagi minum ataupun berjudi (menurut laporan adik-adiknya). Penghasilan yang cukup telah mengembalikan rasa percaya dirinya dan membuat hidup mereka sekeluarga aman tenteram. Kris selalu melaporkan setiap kejadian di rumah dalam suratsuratnya. Marisa juga suka menulis surat tapi seringkah dia cuma menumpang beberapa baris pada surat kakaknya.
Miki senang memuji-muji kecantikan Marisa yang dikatakannya terus terang, Lebih menarik dari kakaknya.
"Kenapa kau bukan menikah dengan dia kalau begitu"" tukas Nina meradang.
"Itu memang semula niatku, seandainya kau menolak. Tapi ternyata kau enggak menolak!" Miki terbahak. "Kunyuk! Kenapa kau enggak bilang begitu dulu itu" Pasti aku senang sekali kalau kau kawin dengannya! Aku jadi bebas!"
"Soalnya waktu itu Marisa masih di bawah umur, siapa yang mau menunggu bertahun-tahun"!"
"Setan kau!" seru Nina sengit, tidak mampu melawan humor suaminya yang menjengkelkan.
Demikianlah waktu berlalu dengan aman sentosa. Tidak terasa, Joni dan Andi sudah harus masuk sekolah. Setiap malam kedua anak itu menghampiri ayah mereka dan masing-masing bertanya, sudah bolehkah mereka masuk TK, sambil menaikkan lengan mereka ke atas kepala untuk menjangkau telinga pada sisi yang lain. Ayah mereka bilang, "Kalau lengan kanan kalian sudah bisa memegang kuping kiri dan sebaliknya, itu berarti kalian sudah boleh sekolah." Karena itu setiap malam keduanya mengukur panjang lengan mereka.
Badai Rimba Persilatan 1 Pendekar Rajawali Sakti 49 Gelang Naga Soka Bangau Sakti 25
^