Pencarian

Badai Rimba Persilatan 1

Pendekar Naga Putih 44 Badai Rimba Persilatan Bagian 1


BADAI RIMBA PERSILATAN oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Badai Rimba Persilatan
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Malam baru saja berganti pagi. Kegelapan yang se-
mula menyelimuti permukaan bumi, telah sirna oleh
kehangatan cahaya sang mentari. Kicauan burung
yang bercanda di dahan-dahan pohon, semakin me-
nambah keindahan dan keceriaan suasana pagi.
Namun, suasana indah itu tiba-tiba saja dirusak
oleh derap kaki kuda yang bergemuruh.
"Heyyyaaa...! Heyyyaaa...!"
Suara derap kaki kuda itu masih diiringi pula oleh
bentakan sesekali. Bahkan tidak jarang terdengar lecutan ke tubuh binatang itu,
Kelihatannya, penunggang kuda itu ingin cepat-cepat sampai.
Debu mengepul mengotori udara pagi yang segar.
Tiga ekor kuda yang masing-masing ditunggangi seo-
rang bertubuh tegap itu terus saja melaju membelah jalan berdebu. Suara gemuruh
yang disertai bentakan serta lecutan, tentu saja membuat binatang-binatang yang
tengah bercengkerama menyambut pagi merasa
terganggu. Terbukti, suara-suara yang semula sema-
rak langsung sirna. Bahkan dari beberapa batang po-
hon rindang, tampak belasan ekor burung beterbangan meninggalkan pohon-pohon
tempat bersenda-gurau.
Tapi, keadaan seperti ini tentu saja tidak diperdulikan ketiga orang penunggang
kuda itu. Mereka terus me-macu binatang tunggangannya melewati jalan berdebu.
Matahari sudah mulai naik tinggi. Sedang ketiga
orang penunggang kuda yang semuanya mengenakan
pakaian berwarna kuning, saat itu mulai melintasi sebuah hutan kecil. Dari
sulaman bergambar seekor ular dari benang emas di bagian belakang pakaian, bisa
ditebak kalau ketiga orang penunggang kuda itu berasal
dari Perguruan Ular Emas.
Dalam kalangan rimba persilatan, nama Perguruan
Ular Emas bukanlah nama baru lagi. Malah, nama itu
bukan saja terkenal sekadipaten, tapi sudah terdengar sampai ke separuh negeri.
Dari sini saja sudah dapat diukur, sampai di mana kehebatan orang-orang
perguruan itu. Ketenaran nama Perguruan Ular Emas sebenarnya
tidaklah aneh, melihat sang pendiri perguruan itu sendiri adalah tokoh yang
berjuluk Pendekar Ular Emas.
Bahkan julukan itu tidak asing lagi bagi kaum persilatan. Dan karena nama
perguruan itu memang diambil
dari julukannya, maka sudah barang tentu cepat di-
kenal orang. Sementara itu, tiga orang penunggang kuda yang
terdiri dari murid-murid Perguruan Ular Emas sudah
keluar dari daerah hutan kecil. Kini, mereka menyusu-ri jalan yang terdiri dari
hamparan padang rumput hijau. Meskipun sejauh mata memandang hanya ben-
tangan rumput, namun ketiga orang itu sama sekali
tidak perduli. Mereka terus membedal kuda melintasi padang rumput itu.
Tidak berapa lama kemudian, setelah melewati
hamparan padang rumput hijau itu, ketiga penung-
gang kuda itu tiba pada jalan yang bersimpang tiga.
Mereka sama-sama menolehkan kepala ketika men-
dengar suara derap lain yang datangnya dari arah kiri.
"Hm..., tampaknya orang-orang dari Perguruan Ca-
kar Besi pun baru muncul...," gumam penunggang ku-
da terdepan ketika dari jalan sebelah kirinya muncul tiga penunggang kuda
berseragam coklat tua.
Melihat adanya senyum kelegaan di wajah penung-
gang kuda ini, jelas kalau tiga orang berseragam coklat tua itu segolongan
dengan mereka. Hal itu pun tampak
jelas dari keceriaan wajah mereka.
"Hoooppp...!"
Ketika tiba di dekat ketiga orang penunggang kuda
berseragam kuning cerah, para penunggang kuda ber-
seragam coklat tua serentak menarik tali kekang kudanya. Diiringi suara
ringkikan panjang, kuda-kuda
itu terpaksa menghentikan larinya.
"Ha ha ha...! Kupikir kau sudah tiba di tempat tu-
juan lebih dulu, Jasminta. Rupanya kau sedikit ter-
lambat, heh" Atau memang sengaja datang terlambat"
Sebab, biasanya Pendekar Ular Emas selalu tepat wak-tu apabila berjanji...,"
terdengar teguran lelaki gagah berjubah coklat, kepada penunggang kuda berjubah
kuning yang berada paling depan.
Dari teguran itu, jelas kalau lelaki penunggang ku-
da terdepan yang berusia sekitar lima puluh lima tahun itu adalah Pendekar Ular
Emas. Pendiri, dan sekaligus ketua perguruan yang tersohor itu.
Lelaki tua berjubah kuning yang bernama Ki Jas-
minta atau Pendekar Ular Emas tertawa pelan ketika
mendengar teguran sahabatnya. Wajah yang masih
nampak segar dengan sepasang mata yang setajam bu-
rung elang, membuat penampilan Ki Jasminta semakin
bertambah angker dan penuh perbawa. Bahkan wa-
jahnya yang masih nampak gagah, masih pula terhias
sebaris kumis tebal melintang. Meskipun telah ber-
warna dua, namun kumis tebal itu membuat wajah Ki
Jasminta semakin berwibawa.
"Ha ha ha...! Kita sudah semakin tua, Raksa Mala.
Jadi, wajar saja kalau semakin lama bertambah lam-
ban dalam menanggapi segala sesuatu. Kulihat kau
pun sudah terlambat dari waktu yang ditentukan, bu-
kan" Nah, apakah kau juga telah malas, atau sengaja terlambat?" Ki Jasminta
balik menegur penunggang
kuda terdepan yang berjubah coklat.
Tapi, orang tua yang usianya sedikit lebih tua dari Ki Jasminta itu hanya
tertawa saja. Wajahnya yang
sudah mulai dipenuhi garis ketuaan, terlihat berlipat ketika lelaki tua yang
bernama Ki Raksa Mala tertawa.
Dari keramahan yang diperlihatkan, dapat diduga ka-
lau orang tua itu merupakan sahabat lama.
Ki Raksa Mala atau lebih dikenal dengan julukan
Cakar Penghancur Tulang, memang bukan orang baru
dalam rimba persilatan. Meskipun tidak setenar dan
seharum Pendekar Ular Emas, namun Cakar Penghan-
cur Tulang telah cukup terkenal dan ditakuti. Dan seperti halnya Pendekar Ular
Emas, Cakar Penghancur
Tulang juga telah mengundurkan diri setelah merasa
terlalu tua untuk bertualang. Beberapa tahun setelah nama tokoh itu lenyap, lalu
muncullah Perguruan Cakar Besi yang didirikannya. Pamor Perguruan itu pun
langsung naik ke permukaan, dan dikenal orang banyak. Semua itu tentu saja tidak
terlepas dari ketenaran nama ketuanya, Ki Raksa Mala.
Meskipun tinggal berjauhan, namun antara Ki Jas-
minta dan Ki Raksa Mala selalu mengadakan perte-
muan. Kadang, mereka sama-sama menguji kepan-
daian murid masing-masing, Kadang pula saling ber-
tandang agar persahabatan tetap terjalin baik. Demikian pula dengan pagi itu.
Mereka kembali mengada-
kan pertemuan dengan beberapa ketua persilatan. Se-
perti biasa, masalah yang dibicarakan adalah tentang kaum golongan sesat yang
sering membuat ulah.
Setelah saling tukar sapa, kedua tokoh persilatan
yang masing-masing memiliki sebuah perguruan itu
menyusuri jalan lebar secara berdampingan. Sedang-
kan empat orang murid dari dua perguruan itu mas-
ing-masing mengiringi dari belakang.
*** Saat itu, matahari sudah berada di atas kepala.
Rombongan Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala sudah
memasuki daerah perbukitan di luar Desa Lintang. Salah satu dari bukit itulah
yang menjadi tujuan mereka.
Di sana, tampak sebuah bangunan besar, mirip se-
buah perguruan.
"Hm..., tampaknya Adi Pasa Alam belum datang...?"
desah Ki Jasminta bernada agak heran.
Kening lelaki gagah itu terlihat agak berkerut, se-
perti mencium sesuatu yang tak wajar.
Ki Raksa Mala yang juga merasa heran melihat ban-
gunan di salah satu bukit itu masih nampak sunyi,
ikut mengerutkan kening. Meskipun demikian, mereka
terus bergerak maju mendekati gerbang bangunan ku-
no itu. Hanya saja, langkah kaki kuda mereka terlihat agak perlahan. Bahkan
terkesan sangat lambat Semua
itu tentu saja didasari oleh rasa curiga dalam pikiran mereka.
Ketika kedua rombongan itu tiba di depan gerbang,
Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala sama-sama bertukar
pandang. Seperti telah memperoleh kata sepakat, tiba-tiba saja kedua orang tokoh
kawakan itu sama melom-
pat turun dari atas panggung kuda masing-masing.
Setelah memberi isyarat kepada dua orang murid mas-
ing-masing, Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala melesat
meninggalkan mereka. Rupanya, dua tokoh persilatan
itu hendak memasuki bangunan ini dari bagian bela-
kang. Sepeninggal Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala, keem-
pat orang lelaki gagah murid utama dari dua pergu-
ruan berbeda itu, sama-sama melompat turun dari
atas panggung kuda. Kemudian melangkah ke dekat
gerbang yang masih tertutup.
Setelah untuk yang kesekian kalinya saling bertu-
kar pandangan, salah seorang yang berpakaian kuning mengulurkan tangannya dan
mendorong pintu gerbang
bangunan itu. Gggrrrggg...! Lelaki gagah berusia empat puluh tahun yang me-
rupakan murid ke dua dari Ki Jasminta itu bergerak
mundur ketika pintu gerbang yang didorongnya ter-
nyata tidak terkunci. Keempatnya bersiap untuk
menghadapi segala kemungkinan.
"Hhh...,"
Terdengar helaan napas lega dari keempat orang
murid Perguruan Cakar Besi dan Perguruan Ular Emas
itu. Ternyata, apa yang dikhawatirkan sama sekali tidak beralasan.
"Hm..., mungkin kita hanya terbawa oleh rasa curi-
ga guru kita...," kata lelaki gagah berpakaian kuning, disertai helaan napas
panjang. Dia merupakan murid pertama Ki Jasminta. Semen-
tara yang lainnya hanya menganggukkan kepala. Se-
pertinya, mereka pun merasa sependapat dengan lelaki gagah itu.
Setelah merasa yakin kalau tidak ada yang patut di-
curigai, maka keempat murid dua perguruan itu pun
melangkah masuk. Tapi baru saja sebelah kaki men-
ginjak halaman gedung, tiba-tiba terdengar suara berdesingan yang menuju ke arah
mereka. "Awaaasss...!"
Lelaki gagah murid pertama Ki Jasminta itu lang-
sung saja berseru memperingatkan yang lain. Sedang-
kan ia sendiri sudah melenting ke udara dan berputaran beberapa kali sambil
memutar pedang yang sudah
di cabut saat melompat.
Demikian pula dengan ketiga orang lainnya. Meski
tanpa diperingatkan, mereka sudah tahu. Dan sedikit banyak, seruan itu telah
membuat mereka langsung
bertindak sigap. Dua orang murid Ki Raksa Mala yang berpakaian coklat tua saling
berlompatan jauh ke belakang. Sehingga, tanpa sadar mereka telah kembali ke luar
bangunan kuno itu.
Lain halnya tindakan murid Ki Jasminta. Lelaki ber-
tubuh tegap berusia sekitar tiga puluh tahun itu mengambil keputusan sendiri,
yang justru benar-benar
berbahaya. Bahkan bisa dibilang terlalu berani. Justru sambaran pisau-pisau
terbang itu dihindarinya dengan cara melompat ke depan. Sekilas, kelihatannya
dia ne-kad menyambut datangnya pisau-pisau terbang yang
siap merenggut nyawa. Tapi bagi seorang ahli, perbuatannya bisa mendatangkan
penilaian yang benar-benar mengagumkan!
"Haaaiiittt...!"
Dibarengi sebuah pekikan nyaring, tubuh lelaki te-
gap itu melenting ketika jarak antara pisau-pisau terbang dengan tubuhnya hanya
tinggal dua langkah lagi.
Meski untuk melakukan itu tidak terlalu sulit, namun keberanian dan ketepatan
perhitungannya benar-benar sangat langka.
Begitu pisau terbang yang berjumlah belasan itu
lewat di bawahnya, tubuh lelaki muda itu meluncur
turun di halaman dalam bangunan. Tepat ketika men-
ginjak tanah, tubuhnya kembali melejit ke samping
kanan, sejauh setengah tombak. Ini dilakukannya un-
tuk berjaga-jaga dari kemungkinan serangan gelap susulan yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi itu.
Wajah tegang lelaki muda itu perlahan mulai tenang
ketika serangan gelap tidak muncul lagi. Dengan tetap berdiri tegak mengawasi
sekitarnya, dia menanti ketiga
orang kawannya yang masih di luar bangunan.
Tidak berapa lama kemudian, ketiga orang lainnya
pun berloncatan masuk susul-menyusul. Begitu tiba di halaman dalam, lelaki gagah
murid pertama Ki Jasminta itu langsung menghampiri adik seperguruannya.
"Kau tidak apa-apa, Adi" Tindakanmu tadi terlalu
berani. Tapi, aku benar-benar kagum. Rasanya, apa
yang guru katakan selama Ini baru bisa ku mengerti
sekarang. Dengan keberanian dan perhitungan cermat
yang kau miliki, memang pantas kalau guru meramal-
kan kelak dirimu akan menjadi seorang pendekar yang sulit dicari bandingnya...,"
puji lelaki gagah itu sambil menepuk bahu adik seperguruannya dengan tangan
kanan. Sedangkan sepasang matanya tetap berputar
mengawasi sekelilingnya. Dia sadar serangan susulan masih tetap mengintai.
Makanya, walaupun sambil
berbicara, kewaspadaannya tidak luntur.
"Ah, Kau terlalu berlebihan, Kakang. Apa yang ku-
lakukan tadi sebenarnya hanya untung-untungan. Ka-
rena tidak sempat menghindar ke belakang, terpaksa


Pendekar Naga Putih 44 Badai Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku nekat menyambut senjata-senjata maut itu. Dan
tentu saja aku juga ketakutan setengah mati...," jawab lelaki bertubuh tegap itu
merendah. Sebenarnya, kakak seperguruannya tahu betul ka-
lau ucapan itu hanyalah sebagai tanda kerendahan ha-ti adik seperguruannya saja.
"Hm.... Mudah-mudahan, apa yang guru ramalkan
menjadi kenyataan. Sebagai kakak seperguruan, tentu hatiku akan sangat bangga
apabila ramalan guru terbukti, Adi Waluja...," kata lelaki gagah itu lagi dengan
nada lebih rendah. Sedangkan, lelaki tegap yang di-panggil Waluja hanya
tersenyum tanpa berkesan som-
bong sedikit pun.
Ternyata bukan hanya kakak seperguruannya saja
yang merasa kagum terhadap cara Waluja mematah-
kan pisau-pisau terbang tadi. Bahkan, kedua orang
murid Ki Raksa Mala juga sama-sama memuji apa
yang dilakukan Waluja. Tapi pujian itu justru mem-
buat bangga kakak seperguruan Waluja. Karena den-
gan memuji Waluja, sama artinya dengan memuji di-
rinya dan juga Pendekar Ular Emas.
"Sebaiknya kita terus memeriksa bagian dalam ban-
gunan ini, Kakang. Siapa tahu saja mereka sudah ke-
buru melarikan diri ketika melihat pisau-pisau ter-
bangnya tidak berguna...."
Waluja yang merasa tidak enak karena pujian-
pujian kedua orang itu segera saja mengalihkan perca-kapan. Wajahnya langsung
berseri ketika melihat keti-ga temannya sama-sama menganggukkan kepala tan-
da setuju. "Saudara Wira Yudha, biarlah aku dan Adi Sentaji
memeriksa bagian samping kanan. Sedangkan kau dan
Waluja bergerak dari samping kiri. Bagaimana...?" usul salah seorang dari murid
Ki Raksa Mala terdengar
mengajukan usul.
Kakak seperguruan Waluja yang bernama Wira
Yudha itu terlihat mengangguk-anggukkan kepala.
Rupanya, usul itu tidak ditolaknya.
Kemudian, setelah saling memberikan isyarat den-
gan anggukan kepala, keempat lelaki gagah itu serentak melesat ke arah yang
berbeda. Wira Yudha dan
Waluja ke sebelah kiri. Sedangkan kedua orang murid Ki Raksa Mala yang bernama
Gala Campa dan Sentaji
bergerak dari sebelah kanan bangunan.
Seeerrr! Seeerrr!
Baru saja keempat orang lelaki gagah itu melenting
menuju arah masing-masing, mendadak terdengar su-
ara berdesiran halus menyambut tubuh mereka.
"Keparat licik...!"
Wira Yudha tentu saja menjadi jengkel mengetahui
kalau dirinya diserang puluhan batang jarum halus
berwarna putih keperakan. Senjata-senjata rahasia itu berkilatan tertimpa cahaya
sinar matahari, sehingga membuat Wira Yudha menjadi silau.
"Heeeaaahhh...!
Kesal dan jengkel yang menggumpal di dadanya,
membuat Wira Yudha nekat menghantamkan telapak
tangannya ke depan dengan pukulan jarak jauh.
Whuuut..! Praaasss! Praaasss!
Sambaran angin kuat yang keluar dari telapak tan-
gan Wira Yudha langsung meruntuhkan jarum-jarum
yang meluncur ke arahnya. Sehingga, lelaki gagah itu pun terhindar dari bahaya.
Demikian pula halnya Waluja dan Gala Campa. Ke-
duanya berhasil menyelamatkan diri dengan melenting ke udara, untuk kemudian
mendarat dalam kedudu-kan siap bertarung.
Tapi, murid kedua Ki Raksa Mala yang bernama
Sentaji ternyata kurang sigap. Meski telah berusaha menghindari serangan gelap
itu, namun tak urung beberapa batang jarum sempat mengenai tubuhnya.
"Aaakkkh...!"
Teriakan Sentaji yang disusul suara berdebuk ke-
ras, tentu saja membuat yang lainnya terkejut Serentak mereka sama-sama
menolehkan kepala ke arah
asal jeritan itu.
"Adi Sentaji...!"
Gala Campa yang melihat adik seperguruannya ter-
banting ke tanah, langsung menduga kalau Sentaji telah kecolongan. Tanpa
berpikir panjang lagi, lelaki bertubuh gemuk itu langsung meleset menolong
Sentaji. "Kakang Gala Campa, jangaaan...!" seru Waluja
yang khawatir kalau Gala Campa kehilangan kendali
karena rasa cemasnya.
Merasa seruannya tidak diperdulikan, Waluja sege-
ra saja mencabut pedangnya. Tubuhnya langsung me-
lesat, seperti hendak melindungi Gala Campa. Dia
khawatir kalau-kalau lelaki gemuk itu mendapat se-
rangan gelap selagi hendak menghampiri adik seperguruannya.
Apa yang dikhawatirkan Waluja, ternyata sama se-
kali tidak meleset Tepat pada waktu tubuh Gala Cam-
pa tengah mendekati adik seperguruannya, tiba-tiba
kembali terdengar suara berdesingan yang datang dari dua arah. Karena tidak siap
dalam menghadapi serangan gelap itu, tentu saja Gala Campa agak gugup
menghadapinya. Seeeng! Seeeng!
Belasan kilatan cahaya putih yang bentuknya se-
panjang telapak tangan, berkeredepan susul-menyusul dari dua arah berbeda menuju
Gala Campa yang terlihat tegang!
"Haaaiiittt..!"
Meski keadaannya benar-benar sulit, tapi sebagai
seorang ahli silat yang telah terlatih secara baik, seketika timbul gerakan
tanpa sadar. Lelaki gemuk itu
memang bisa menghindari delapan batang pisau ter-
bang yang mengincar dada dan kedua lambungnya.
Tapi..., "Aaahhh"!"
Gala Campa terbelalak dengan wajah pucat Baru
saja kedua kakinya menginjak tanah, enam batang pi-
sau terbang yang datang dari arah lain telah tiba dekat, siap menembus
tenggorokan dan kepalanya!
*** 2 Waluja yang memang cekatan dan memiliki ketaja-
man naluri, tiba-tiba bertindak cepat, menyelamatkan Gala Campa dari bahaya
maut. Dengan pedang yang
memang telah dipersiapkan sejak semula, dia memekik nyaring!
"Heeeaaattt..!"
Traaang! Traaang!
Hebat dan memang patut mendapat acungan jempol
murid kedua Ki Jasminta itu! Dengan putaran senja-
tanya, keenam pisau terbang yang mengancam murid
tertua Ki Raksa Mala berhasil dipukul runtuh. Sehing-ga, lelaki gemuk itu pun
selamat dari bahaya maut
Dengan sepasang mata liar mengawasi sekitar, Wa-
luja berdiri tegak di depan Gala Campa. Jelas, apabila serangan-serangan gelap
masih juga mengincar Gala
Campa telah siap disambutnya.
"Terima kasih, Waluja.... Aku berhutang nyawa ke-
padamu...," ucap Gala Campa dengan napas masih
memburu. Hampir ia tidak percaya kalau nyawanya
yang di ujung tanduk masih dapat terselamatkan.
"Jangan terlalu dipikirkan, Kakang. Sebaiknya, ce-
pat periksa luka Sentaji. Aku akan melindungimu...,"
kata Waluja tanpa merasa telah melepas jasa.
"Ohhh..."
Bagai baru tersadar dari mimpi, Gala Campa tersen-
tak menghela napas panjang. Tanpa banyak cakap la-
gi, langsung saja kakinya melangkah ke arah Sentaji yang masih tertelungkup di
tanah. "Aaahhh"!"
Gala Campa yang baru saja membalikkan tubuh
adik seperguruannya, tiba-tiba memekik dan ter-
huyung mundur. Ternyata, ketika tubuh Sentaji diba-
likkan, lelaki gagah itu telah tewas dengan wajah berubah hitam!
"Gila...! Racun keji...!"
Wira Yudha yang saat itu juga telah bergerak ke
tempat Waluja dan Gala Campa, mendesis geram. Wa-
jah lelaki gagah itu memerah menyaksikan kematian
Sentaji yang mengenaskan. Bahkan Wira Yudha sam-
pai membanting kakinya dengan wajah terpukul.
"Bedebah...!"
Waluja yang juga menyempatkan dirinya menoleh
ketika mendengar seruan kaget Gala Campa, mengge-
ram sambil mengepalkan tinju kirinya. Sehingga ter-
dengarlah suara berkerotokan. Urat-urat wajahnya
tampak menyembul. Jelas, amarahnya telah terbakar
hebat ke puncak ubun-ubun.
"Ini tidak bisa dibiarkan! Mereka harus dipaksa ke-
luar dari persembunyiannya...!" geram Gala Campa.
Laki-laki gemuk itu segera saja bangkit sambil
menghunuskan senjatanya. Sepasang pedang yang te-
lah tergenggam erat di tangannya, diputar sedemikian rupa sehingga menimbulkan
gulungan sinar yang
membungkus tubuhnya.
"Yeeeaaat...!"
Tanpa memperdulikan Waluja dan Wira Yudha yang
memandang bingung, Gala Campa segera melesat ke
arah gerombolan semak yang terpisah sekitar tiga
tombak lebih dari tempatnya berpijak. Rupanya, nalu-rinya yang tajam telah
melihat sesuatu yang menjadi penyebabnya. Dengan cara bergerak cepat ke kiri-
kanan, lelaki gemuk itu pun berhasil mencapai tempat yang dituju. Tapi,
sebenarnya bukan hal yang mudah
untuk bisa mencapai tempat itu. Setelah sebelumnya
berhasil memukul runtuh belasan pisau terbang yang
menyambut kedatangannya, barulah Gala Campa
sampai di semak-semak itu.
"Heeeaaahhh...!"
Disertai bentakan nyaring, Gala Campa memba-
batkan sepasang pedangnya memapas semak yang di-
duga menjadi tempat persembunyian musuh-musuh
gelapnya. Craaasss! Craaasss!
"Aaa...!"
Seiring terpapasnya semak belukar itu, terdengar
satu jerit kematian yang merobek angkasa! Darah se-
gar kontan memercik, karena salah satu pedang di
tangan Gala Campa telah memakan korban! Sosok tu-
buh yang termakan senjata Gala Campa itu langsung
terlempar bermandikan darahnya sendiri. Sedangkan
sosok-sosok lainnya mulai bermunculan, bahkan lang-
sung mengurung dan menyerbu lelaki gemuk itu den-
gan tongkat di tangan.
Wukkk! Whuuuk! "Haiiittt...!"
Gala Campa tentu saja tidak tinggal diam. Disertai
pekikan nyaring, lelaki gemuk itu menyambut keroyo-
kan lawan dengan putaran pedangnya!
Whuuung! Empat orang lawan yang terancam serangan ujung
pedang mendatar, langsung berlompatan mundur. Se-
dang pengeroyok yang dari sebelah kiri Gala Campa,
menghantamkan tongkatnya berturut-turut. Tiga ba-
tang tongkat yang terlihat berat itu mengaung men-
gancam tubuh dan kepala lelaki gemuk ini.
Waluja dan Wira Yudha sendiri bukan tidak mau
menolong Gala Campa. Tapi, saat itu pun mereka telah dikeroyok delapan orang
lawan. Sehingga, masing-masing tengah sibuk dengan lawan-lawannya.
Tapi, Gala Campa juga bukan murid kemarin sore.
Meskipun tidak terlalu berbakat dalam ilmu silat, namun dia sangat tekun dalam
mempelajari ilmu yang
diturunkan gurunya. Sehingga, meskipun belum bisa
menyamai/kepandaian Ki Raksa Mala, Gala Campa ti-
dak mudah begitu saja dapat ditundukkan sembarang
orang. Kini, datang ancaman tiga batang tongkat yang
hampir bersamaan waktunya dengan serangan Gala
Campa terhadap pengeroyok di sebelah kanan. Meski-
pun waktu untuk mengelak hanya sedikit, tapi dia tidak kehilangan akal. Putaran
pedang cepat-cepat di-
ikutinya. Dengan demikian, tubuhnya ikut berputar
mengikuti ujung pedang. Gerakan itu tentu saja sekaligus merupakan serangan
sangat berbahaya. Ujung
pedangnya tampak menuju ke perut para pengeroyok-
nya. Sedangkan tubuhnya sendiri terus berputar ke
belakang. Dengan demikian, tubuhnya sekaligus ter-
hindar dari ancaman ujung tongkat lawan.
Sayangnya, ketiga orang pengeroyok di sebelah kiri
Gala Campa ternyata memiliki kegesitan yang menga-
gumkan! Sepertinya, mereka benar-benar telah diper-
siapkan untuk menghadapi murid-murid utama pergu-
ruan-perguruan terkenal. Tidak heran bila sambaran
ujung pedang Gala Campa dapat dihindari.
"Hebat...!" desis Gala Campa. Mau tidak mau, di
terpaksa harus mengeluarkan pujian ketika melihat
cara lawan-lawannya menyelamatkan diri.
Tubuh ketiga pengeroyoknya itu melayang ke bela-
kang. Seolah-olah, tubuh mereka tak ubahnya seperti segumpal kapas yang bergerak
karena tertiup angin
pedang Gala Campa. Hal itu tentu saja menunjukkan
kalau para pengeroyok memiliki ilmu meringankan tu-
buh yang cukup hebat.
Pertarungan pun kembali berlanjut sengit. Ketujuh
orang pengeroyok Gala Campa mencoba mendesak le-
laki gemuk itu dengan mengandalkan ilmu meringan-
kan tubuh yang memang sudah cukup tinggi. Tapi
tanpa merasa gugup, Gala Campa melawan dengan
mengandalkan kekuatan serta kehebatan ilmu sepa-
sang pedangnya. Sehingga, pertempuran terlihat se-
makin seru! Di lain tempat, Waluja pun tengah bertarung sengit
melawan delapan orang pengeroyok. Waluja yang me-
miliki perhitungan matang dan kecerdikan, terlihat cukup mampu membuat para
pengeroyok tidak berani
bertempur terlalu dekat. Selain gerakannya bisa berubah secara mendadak, lelaki
tegap itu pun sangat cekatan dalam menilai setiap serangan lawan. Bahkan


Pendekar Naga Putih 44 Badai Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam soal ilmu meringankan tubuh, boleh dibilang
Waluja masih menang dari lawan-lawannya, meskipun
hanya selisih sedikit. Kelebihan yang sedikit itulah cepat dimanfaatkan, untuk
mengecoh para pengeroyok-
nya dengan serangan-serangan tipuan. Cara yang di-
gunakannya tampaknya membawa hasil yang cukup
baik. Buktinya, para pengeroyok tidak mampu terlalu menekan. Jelasnya,
pertempuran terlihat seru dan
seimbang! Lain halnya pertarungan Wira Yudha. Lelaki gagah
yang memiliki tenaga dalam paling tinggi di antara mereka bertiga, telah
mempergunakan kelebihannya itu.
Akibatnya, para pengeroyok menjadi kocar-kacir dalam menghadapi murid utama Ki
Jasminta itu. Serangan-serangan pedang lelaki gagah itu tak ubahnya seperti
tangan maut yang siap merenggut nyawa lawan setiap
saat Tentu saja hal itu membuat lawan-lawannya ha-
rus lebih berhati-hati.
"Mampus kalian manusia curang...!"
Terdengar bentakan geram Wira Yudha sambil me-
nusukkan ujung pedangnya lurus-lurus ke jantung sa-
lah seorang pengeroyok di depannya. Suara sambaran
angin pedang dan bentakan Wira Yudha semakin
memperhebat serangannya yang membawa perbawa
itu. Sehingga, lawan terlihat agak gugup untuk menghindari diri. Dan...,
Cappp! "Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, salah seorang pengeroyok ter-
tembus ujung pedang Wira Yudha. Belum lagi kawan-
nya yang lain menyadari, Wira Yudha kembali berseru sambil menyentakkan
pedangnya ke atas!
"Heeeaaah...!"
Terdengar raungan kematian yang memilukan! Tu-
buh orang itu terbelah sebagian, akibat sentakan pedang Wira Yudha. Darah segera
kontan menyembur
seiring terlontarnya tubuh pengeroyok bernasib sial itu. "Hm.... Tidak lama lagi
kalian pun pasti akan mendapat bagian yang sama...!" desis Wira Yudha menatap
tajam wajah kotor lawan-lawannya.
Namun, ketujuh orang lawannya sama sekali tidak
kelihatan gentar. Bahkan membalas tatapan mata le-
laki gagah itu tidak kalah tajamnya, Kenyataan itu
membuat Wira Yudha sadar kalau lawan-lawannya ini
memang pembunuh yang telah dipersiapkan secara
matang. Hanya sekilas saja, lelaki gagah itu langsung bisa menilai kalau mereka
tak ubahnya binatang buas yang hanya memiliki naluri membunuh!
Selagi kedua belah pihak saling bertatapan dan siap saling gempur, tiba-tiba
terdengar siulan nyaring yang panjang dan melengking tinggi.
"Eh..."!"
Baik Gala Campa, Waluja, maupun Wira Yudha sa-
ma menarik wajah dengan kening berkerut. Ternyata
begitu siulan itu terdengar, lawan-lawannya langsung bergerak mundur teratur.
Jelas, siulan itu merupakan isyarat dari pimpinan orang-orang berwajah kotor
itu. "Kakang, tahan...!"
Waluja cepat berseru memperingatkan Wira Yudha
ketika melihat kakak seperguruannya hendak menge-
jar para pengeroyok yang terus mundur. Tentu saja pe-ringatan adik
seperguruannya membuat kening lelaki
gagah itu berkerut Jelas, ia merasa tak enak. Apalagi hal itu terjadi di depan
Gala Campa yang jelas-jelas merupakan orang luar.
"Mengapa, Adi" Kau takut..?" tukas Wira Yudha
bernada tidak senang atas teguran Waluja.
"Maaf, Kakang. Bukan maksudku menasihati mu,
tapi perbuatanmu berbahaya sekali. Apa kau tak sadar kalau sambil bergerak
mundur, mereka telah menye-barkan bubuk-bubuk beracun agar kita tidak bisa
mengejarnya...," jawab Waluja dengan wajah agak me-
nunduk, seolah-olah ingin agar Wira Yudha melihat
tanah di depan mereka. Dia tadi memang sempat meli-
hat gerakan tangan para pengeroyok yang menyebar-
kan racun ke tanah.
"Hm..., dasar iblis-iblis licik! Sayang kita tidak tahu, siapa dan apa keinginan
mereka" Lalu, siapa pula
orang yang mengeluarkan siulan itu" Kalau mereka ingin membunuh kita, mengapa
orang yang mengelua-
rkan siulan tidak langsung ikut bertindak" Mengapa ia malah menarik mundur
pengikut-pengikutnya...?"
tanya Wira Yudha seperti bicara sendiri.
Jelas-jelas, hatinya merasa penasaran terhadap
orang-orang itu.
"Entahlah, Kakang. Tapi, aku mengkhawatirkan
keadaan guru, dan Ki Raksa Mala. Mengapa mereka
sejak tadi tidak muncul-muncul" Mustahil suara per-
tempuran yang begini bising tidak terdengar sejak ta-di...," Waluja yang
berpikiran lain, tentu saja membuat Wira Yudha dan Gala Campa tersentak kaget.
Baru mereka sadar akan keganjilan itu.
"Ah...! Mengapa kita tidak pernah berpikir sejak ta-di" Ayo, kita cari
mereka...!"
Sambil berkata demikian, Wira Yudha segera saja
berlari menuju bagian dalam gedung. Sedangkan Wa-
luja dan Gala Campa bergegas mengikutinya.
*** "Aaahhh...?"
Ketiga orang lelaki gagah itu kontan membelalakkan
mata dengan wajah seputih kertas! Tanpa sadar, me-
reka bergerak mundur. Mereka seperti belum percaya
sepenuhnya akan apa yang disaksikan di dalam salah
satu kamar bangunan itu.
"Guru...!"
Waluja yang lebih dulu menguasai perasaan segera
saja bergerak maju. Dia langsung bersimpuh di dekat dua sosok tubuh bermandikan
darah. Wira Yudha dan Gala Campa bergerak perlahan
menghampiri. Mereka sama-sama menjatuhkan lutut-
nya di lantai kamar. Wajah keduanya tampak masih
menggambarkan ketidakpercayaan akan apa yang ter-
lihat di dalam kamar.
"Mengapa..., dan siapa yang telah melakukan keke-
jian ini...?"
Terdengar suara parau Wira Yudha. Dia akhirnya
dapat juga berbicara setelah beberapa saat lamanya.
Namun, tak seorang pun yang mampu menjawab
pertanyaan Wira Yudha. Mereka memang sama-sama
tidak tahu terhadap kejadian yang telah menimpa ke-
dua guru mereka.
Setelah beberapa saat lamanya, ketiga orang lelaki
gagah itu sama tercekam kebisuan, Waluja tiba-tiba
bangkit Dengan agak gontai, kakinya melangkah me-
nuju jendela yang tampak terbuka. Beberapa bagian
tembok kamar tampak terdapat lubang-lubang baru.
Rupanya, di dalam kamar itu telah terjadi pertarungan sengit sebelumnya.
"Mungkin orang yang mengeluarkan suitan me-
lengking itulah yang telah membunuh kedua orang
Guru kita...,"
Suara lirih itu terdengar keluar dari mulut Waluja.
Kemudian lelaki tegap itu mengayunkan tinjunya
menghajar tembok dekat jendela di depannya.
Brooolll...! Terdengar suara berderak ribut ketika kepalan Wa-
luja menjebol dinding, hingga menimbulkan sebuah
lubang baru sebesar kepalannya. Perbuatannya adalah sebagai ungkapan kedukaan
yang mendalam di hatinya.
"Hm.... Kalau begitu, aku akan cari manusia terku-
tuk itu! Biar sampai ke ujung langit sekalipun, akan kukejar...!"
Wira Yudha bangkit tegak dengan sorot mata me-
nyala tajam. Pancaran rasa dendam, sakit hati, dan
penasaran, membuat lelaki gagah itu demikian menye-
ramkan pada saat ini.
"Tapi, ke mana kita harus mencarinya, Kakang" Se-
dangkan kita sendiri tidak tahu, siapa orang yang
mengeroyok kita" Bahkan, kita sama sekali tidak bisa mengenali mereka. Apalagi
orang yang mengeluarkan
suitan melengking tinggi itu. Kita sama sekali tidak melihat sedikitpun...,"
kata Waluja, mengingatkan Wira
Yudha akan keterbatasan mereka yang memang buta
terhadap orang yang telah mencelakakan Ki Jasminta
dan Ki Raksa Mala. Hingga, kedua orang pendekar ka-
wakan itu tewas dengan kepala pecah.
"Hm.... Mengenai orang-orang aneh itu, bisa kita
kenali dari pakaian atau tanda-tanda di tubuh pengeroyok yang menjadi korban
senjata kita tadi.
Dengan demikian kita bisa mengetahui golongan
apa mereka sebenarnya. Dan, dari daerah mana asal-
nya...?" usul Gala Campa, yang sejak tadi hanya diam saja.
Karena apa yang diusulkan lelaki gemuk itu me-
mang sangat tepat, maka kedua orang murid Ki Jas-
minta pun mengangguk setuju. Tanpa diperintah lagi, mereka bergerak melesat ke
luar bangunan untuk
memeriksa mayat para pengeroyok yang berhasil dibu-
nuh. Namun, begitu ketiganya tiba di luar, untuk kese-
kian kalinya mereka kembali terkejut! Ternyata apa
yang ditemukan di luar, benar-benar di luar dugaan!
"Ki Damang..."!"
Hampir berbarengan, Wira Yudha, Waluja, dan Gala
Campa menyerukan satu nama. Sedangkan lelaki se-
tengah baya yang juga seperti terkejut melihat kemunculan ketiga orang itu,
segera saja melebarkan se-
nyumnya. "Aaahhh.... Bukankah kalian murid-murid Ki Jas-
minta dan Ki Raksa Mala" Mana guru-guru kalian..."
Apakah orang-orang tua itu telah demikian sombong
hingga tidak ingin berjumpa denganku...?" tegur laki-laki setengah baya yang
bernama Ki Damang.
Dia langsung saja menghampiri ketiga orang lelaki
gagah yang dikenali sebagai murid-murid Perguruan
Ular Emas dan Cakar Besi. Semua itu dapat dikenali
dari warna pakaian yang dikenakan Wira Yudha, Walu-
ja, dan Gala Campa. Sedangkan ketiga orang lelaki gagah itu tampak menatap Ki
Damang penuh curiga.
Wira Yudha yang merasa paling bertanggung jawab
terhadap perguruan setelah ketiadaan Ki Jasminta, segera saja melangkah maju
mendekati Ki Damang. Se-
hingga, laki-laki setengah baya tinggi kurus berwajah lonjong itu menelengkan
kepala melihat sikap tidak
menyenangkan yang ditunjukkan murid sahabatnya.
"Ki Damang, apa yang kau lakukan di tempat ini...?"
Pertanyaan itu jelas mengandung ketidaksenangan.
Meskipun demikian, Ki Damang merasa perlu lebih
bersabar. "Hm.... Kau benar-benar lucu sekali. Mmm.... Kalau
tidak salah, kau, kau yang bernama Wira Yudha, bu-
kan...?" tanya Ki Damang setelah mengerutkan ke-
ningnya sesaat.
"Benar," jawab Wira Yudha singkat dan tegas.
"Tahukah kau, siapa yang mengundang gurumu da-
tang ke tempat ini" Lalu, tahukah kalian bertiga, apa maksudku datang ke tempat
ini" Apakah Ki Jasminta
dan Ki Raksa Mala merahasiakannya kepada ka-
lian...?" Ki Damang bukannya menjawab, tapi malah
melemparkan pertanyaan kepada Wira Yudha, Waluja,
serta Gala Campa. Sehingga, ketiganya kembali men-
gerutkan kening.
Untuk beberapa saat lamanya, Wira Yudha, Waluja,
dan Gala Campa saling bertukar pandangan. Kemu-
dian, mereka kembali menolehkan kepalanya ke arah
Ki Damang. "Ki Damang! Kami semua tahu, apa yang akan ber-
langsung di tempat ini. Tapi yang kumaksudkan, apa
yang Ki Damang lakukan terhadap mayat-mayat yang
tadi bergeletakan di tempat ini...?" kejar Wira Yudha
yang semakin mempertegas, ke mana sebenarnya arah
pertanyaannya tadi.
Hua ha ha...!" Ki Damang tertawa berkakakan. Se-
hingga, baik Wira Yudha, Waluja, maupun Gala Campa
sama-sama melangkah mundur seraya meraba gagang
pedang masing-masing.
*** 3 Ki Damang menghentikan tawanya beberapa saat
kemudian, lalu, menatapi wajah ketiga orang murid
sahabatnya dengan bibir masih menyunggingkan se-
nyum tipis. "Jadi, itu yang ingin kau ketahui, Wira Yudha" Aku
memang melihat dua mayat bermuka kotor, dan satu
mayat lagi mengenakan pakaian berwarna coklat tua
seperti yang biasa dikenakan murid-murid Ki Raksa
Mala. Lalu, dua orang muridku kusuruh untuk me-
lemparkannya ke sungai terdekat. Sebab, kupikir"
mayat itu ditinggalkan begitu saja oleh kawan-
kawannya...," jelas Ki Damang, panjang lebar.
Meskipun demikian, Wira Yudha dan yang lain tetap
menaruh kecurigaan, terhadap orang tua itu. Boleh ja-di Ki Damang merupakan
seorang kawakan berkepan-
daian tinggi yang juga mempunyai perguruan. Tapi,
kedatangan Ki Damang yang baru muncul setelah ke-
jadian selesai, benar-benar tidak bisa diterima ketiga orang murid yang baru
saja mengalami pukulan berat
akibat kematian gurunya. Dan mereka tidak bisa me-
nerima begitu saja keterangan Ki Damang.
"Hhh.... Lenyap sudah harapan untuk menemukan
ciri-ciri orang-orang licik itu. Semua ini karena kecero-
bohan mu, Ki Damang! Mayat-mayat yang bermuka
kotor pada mulanya hendak digunakan sebagai petun-
juk untuk mengetahui, dari mana asal mereka, dan
dari golongan apa mereka itu sebenarnya..." Sayang, sekarang semuanya kembali
menjadi gelap...," keluh Wira Yudha. Jelas, laki-laki itu menampakkan penye-
salan yang amat sangat atas tindakan Ki Damang yang dianggapnya salah besar.
"Hm.... Kalian sepertinya ingin menyimpan rahasia
kepadaku. Baiklah. Kalau kalian memang tidak ingin
aku mengetahuinya, ya sudah. Yang terpenting seka-


Pendekar Naga Putih 44 Badai Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rang, bawa aku menemui guru-gurumu. Aku yakin,
mereka telah datang ke tempat ini dan bukan mewa-
kilkannya kepada kalian. Kulihat, ada enam ekor kuda di depan bangunan ini. Itu
artinya masih ada dua
orang lagi yang belum kulihat, aku yakin, kedua orang itu pastilah Ki Jasminta
dan Ki Raksa Mala...," potong Ki Damang.
"Hm...."
Wira Yudha bergumam tak jelas menanggapi uca-
pan Ki Damang. Bukan hanya Wira Yudha saja yang
bersikap tidak menyenangkan. Bahkan Waluja dan Ga-
la Campa terlihat menampakkan wajah yang tidak se-
dap dipandang mata.
"Ki Damang.... benarkah kau tidak tahu, apa yang
baru saja terjadi di tempat ini" Benarkah kau baru tiba setelah kami...?"
Gala Campa yang sejak tadi hanya diam menden-
garkan pembicaraan antara Ki Damang dan Wira Yud-
ha ikut angkat bicara. Nadanya benar-benar tidak
enak. Bahkan lebih menjurus ke arah kecurigaan ter-
hadap Ki Damang. Sehingga, wajah orang tua itu terlihat agak gelap. Jelas, kalau
tokoh kawakan itu mulai tersinggung diperlakukan secara demikian oleh ketiga
orang murid sahabatnya.
"Hm..., kau murid Ki Raksa Mala! Ketahuilah! Ki
Damang tidak suka diperlakukan seperti orang pesakitan! Sikapku yang mengalah
ternyata telah membuat
kalian semakin kurang ajar dan semakin berani men-
ginjak-injak kepalaku! Rasanya, sudah cukup kesaba-
ran yang kuperlihatkan semenjak tadi. Jadi, sekarang terserah kalian! Apa yang
kalian inginkan, aku tidak menolak...!" terdengar jawaban Ki Damang. Jelas laki-
laki setengah baya itu terlihat menekan amarahnya
sekuat tenaga. Suaranya yang mungkin akan mengge-
legar kalau tidak ditahan, terdengar bergetar. Tentu saja jawaban itu merupakan
tantangan secara terang-terangan!
"Ki Damang! Meskipun kau termasuk angkatan tua
yang sepatutnya dihormati, tapi terpaksa hari ini rasa hormat kami lenyap karena
kelicikanmu!"
"Heeeaaattt...!"
Begitu ucapannya selesai, Wira Yudha langsung
mencabut senjatanya. Dan dia langsung melesat me-
nerjang Ki Damang dengan serangan mematikan! Pa-
dahal permasalahan yang terjadi belum dijelaskan oleh Wira Yudha yang dilanda
amarah menggelegak. Ki
Damang yang merasa bingung juga, mau tak mau me-
layani serangan ini.
Beeet! Beeet! Beeet!
Kilatan cahaya pedang yang berkilauan tertimpa
cahaya matahari, mengancam tubuh Ki Damang.
Orang tua itu mendengus tajam sambil menggeser ka-
kinya satu persatu ke belakang. Sabetan-sabetan pe-
dang itu lewat di samping tubuhnya, Hal itu menandakan betapa matang dan
terlatihnya ilmu-ilmunya.
"Yeeeaaat..!"
Tapi, Gala Campa kelihatannya juga tidak tinggal
diam. Terbukti, lelaki gemuk itu langsung saja menyusuli, tepat setelah serangan
Wira Yudha berhasil di-kandaskan Ki Damang.
Whuuukkk! "Hm...!"
Untuk kedua kalinya, Ki Damang mendengus tajam.
Kedua kakinya kembali bergerak lincah dan kelihatan sembarangan. Hebatnya,
setiap serangan ujung pedang Gala Campa dengan mudah dapat dielakkannya.
Sehingga, baik Wira Yudha maupun Gala Campa se-
makin bertambah nafsu untuk melukai lawannya.
"Yeeeaaattt...!"
"Haaattt..!"
Dengan amarah yang semakin menggelegak, Wira
Yudha dan Gala Campa kembali melesat disertai teriakan-teriakan saling susul.
Pedang di tangan mereka
berputaran, menimbulkan deru angin keras! Dari sini bisa ditebak, serangan kedua
orang murid tokoh kawakan itu bukan serangan main-main!
"Kurang ajar! Mereka memang perlu dikasih adat!"
dengus Ki Damang, gusar melihat kedua orang murid
sahabatnya sudah mengeluarkan jurus-jurus andalan
yang diketahuinya sangat berbahaya dan jarang digu-
nakan Ki Jasminta maupun Ki Raksa Mala. Dan tentu
saja kenyataan itu membuatnya gusar bukan main!
Sementara itu, Waluja masih tetap berdiri bimbang
di tepi arena pertempuran. Ada sedikit keraguan dalam hatinya terhadap tuduhan
yang ditimpakan kepada Ki
Damang. Tapi ketika memikirkan kemunculan orang
tua itu dan juga sikap-sikapnya yang agak mencurigakan, akhirnya Waluja
mengambil keputusan untuk
membantu kedua orang temannya.
"Yeeeaaattt...!"
Diiringi seruan nyaring, tubuh Waluja segera me-
luncur ke arena pertempuran. Saat itu, Ki Damang
yang sudah kehilangan kesabaran tengah menggempur
Wira Yudha dan Gala Campa dengan serangan-
serangan hebat Dari sini kelihatan kalau laki-laki setengah baya itu telah pula
menggunakan ilmu-ilmu
andalannya untuk menundukkan kedua orang murid
sahabatnya. Saat serangan Waluja datang, Gala Campa tengah
didesak sambaran-sambaran kepalan tangan Ki Da-
mang yang menimbulkan angin berkesiutan. Tentu sa-
ja tibanya pedang Waluja membuat lelaki gemuk itu
bisa bernapas lega. Kini dia terbebas dari desakan Ki Damang yang bagai tidak
memberi peluang sedikit
pun. "Hmmm!"
Ki Damang kembali mendengus ketika melihat Wa-
luja ikut menggempurnya pula. Sebagai seorang ahli
silat kawakan, sekali lihat saja Ki Demang langsung dapat melihat bakat besar
yang terpendam dalam diri Waluja. Menyadari hal itu, langsung saja perhatiannya
lebih dipusatkan kepada serangan lelaki bertubuh tegap itu.
"Jiaaahhh...!"
Bweeet! Bweeet!
"Bagus...!" puji Ki Damang ketika melihat serangan
pedang Waluja. Serangan pedang itu tampak melingkar-lingkar
dengan indahnya. Bahkan terkadang sambaran bisa
bergetar hingga sulit dibedakan, mana pedang yang as-li dan mana bayangannya. Ki
Damang tahu betul kalau Ki Jasminta tidak memiliki gerakan itu. Makanya, hatinya
kini menjadi semakin kagum. Dugaannya, semua
itu pasti hanya berdasarkan naluri yang diciptakan ke-tekunan dan kecintaan
pemuda tegap itu dalam ber-
main pedang. Sehingga tanpa sadar, terciptalah gerakan-gerakan yang merupakan
pengisi kekosongan ilmu
pedang aslinya.
Sambaran pedang Waluja yang melingkar-lingkar,
dihindari Ki Damang dengan menarik tubuhnya ke be-
lakang dan terus bergerak memutar mengikuti ayunan
pedang. Sehingga kalau dilihat secara sepintas, tubuh Ki Damang tak ubahnya
segumpal kapas. Sedangkan
pedang di tangan Waluja seperti hembusan angin yang terus mendorong terbang
kapas itu. Ini berarti, pedang Waluja tidak akan bisa mencapai sasaran. Maka
Waluja pun segera sadar akan hal itu.
"Awaaasss...!"
Ketika telah lewat dari lima jurus, tahu-tahu laki-
laki gagah setengah baya itu membentak mengejutkan!
Dan berbarengan dengan bentakan itu, tubuh Ki Da-
mang meluncur tegak lurus ke depan. Sepasang tan-
gannya yang membentuk kepalan meluncur cepat sal-
ing susul. Bahkan kecepatannya tidak tertangkap ma-
ta biasa! Tapi Ki Damang tidak bisa melanjutkan serangan-
nya untuk mendesak Waluja, karena pada saat itu ju-
ga datang dua sambaran pedang dari kiri dan kanan-
nya. Rupanya, Wira Yudha dan Gala Campa sudah
kembali memasuki arena pertarungan. Bahkan begitu
tiba, mereka langsung mengancam tubuh Ki Damang
dengan tusukan pedang!
Whuuuttt! Whuuuttt! "Haaaiiittt..!"
Untuk menghindari serangan kedua batang pedang
yang mengancam tubuhnya, terpaksa Ki Damang me-
lenting ke udara disertai teriakan nyaring! Dari atas, kakinya bergerak berputar
sambil melontarkan ten-
dangan ke arah Gala Campa yang ada di bawahnya.
Dan..., Deeesss...! "Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, telapak kaki orang tua itu langsung hinggap pada
sasarannya! Gala Campa yang
terkena tendangan pada punggungnya, langsung terje-
runuk mencium tanah! Darah segar tampak mengalir
dari sela-sela bibirnya setelah mendapat tendangan Ki Damang yang cukup kuat
untuk menghasilkan luka
dalam. Dan hal itu dialami Gala Campa, yang seketika merasakan dadanya sesak.
Sedangkan tubuh Ki Damang sendiri telah melent-
ing dan berputaran beberapa kali menjauhi lawan-
lawannya, begitu pada saat yang sama Waluja telah
menusukkan ujung pedangnya ke arah perutnya.
Tapi baik Waluja maupun Wira Yudha rupanya su-
dah terlanjur penasaran terhadap Ki Damang. Buk-
tinya, mereka kembali meluruk ke arah lawan tanpa
memperdulikan Gala Campa yang tampak tengah ter-
batuk sambil mengurut dadanya.
"Hm...."
Diiringi gumaman gusar, Ki Damang kembali mela-
deni lawan-lawannya. Meskipun sebenarnya sudah ti-
dak berminat bertempur, namun karena kedua orang
murid Ki Jasminta memaksanya, Ki Damang juga ha-
rus membela diri. Sehingga, pertarungan pun kembali berlangsung sengit!
Wira Yudha dan Waluja benar-benar penasaran ter-
hadap kehebatan lawannya. Sehebat apapun meng-
gempur, laki-laki setengah baya itu selalu saja dapat mematahkan. Meskipun hal
itu tidak mudah dilakukan, namun selalu saja terbukti kalau pada akhirnya
merekalah yang kembali terdesak oleh Ki Damang!
"Setan alas...!" saking geramnya karena sukar me-
nundukkan lawan, Wira Yudha berkali-kali mengelua-
rkan makian tanda kejengkelan hatinya.
"Hm.... Bisanya hanya memaki saja, manusia be-
rangasan! Tunjukkan kemampuanmu kalau memang
ingin mengalahkanku!" dengus Ki Damang. Laki-laki
setengah baya itu sangat gusar terhadap keuletan lawannya.
Pertarungan yang terkadang kelihatan berimbang
itu memang benar-benar menjemukan untuk disaksi-
kan. Hal itu sebenarnya wajar saja. Sebagai murid-
murid utama, tentu saja kepandaian mereka tidak ber-selisih jauh dari Ki
Jasminta, gurunya. Dan meskipun untuk mengalahkan Ki Damang jelas tidak mampu,
tapi bagi Ki Damang sendiri tidak begitu mudah mero-bohkan murid-murid Ki
Jasminta. Keadaan seperti in-
ilah yang membuat orang bosan untuk menyaksikan-
nya. Untunglah, tak seorang pun yang menyaksikan
pertarungan mati-matian itu.
Sudah lebih dari tujuh puluh lima jurus berlang-
sung, namun keadaan tetap masih berimbang. Tidak
terlihat, siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Lamanya pertarungan berlangsung, membuat tenaga
kedua belah pihak sudah mulai mengendur. Sehingga,
baik pukulan maupun sambaran pedang tidak lagi se-
hebat semula. Pertempuran kian berjalan lambat.
Saat kedua belah pihak sudah semakin mengendur,
tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda mendatangi tempat itu. Tentu saja, hal
itu membuat Waluja dan
Wira Yudha tersentak kaget. Mereka menyangka yang
datang itu pastilah pihak lawan. Sehingga, kecemasan pun mulai membayang di
wajah mereka. Bukan hanya Waluja dan Wira Yudha saja yang me-
rasa terkejut Gala Campa pun yang sejak tadi sibuk
bersemedi untuk mengobati lukanya, ikut terjengat
dan bangkit dari duduknya. Sama seperti halnya Wa-
luja dan Wira Yudha, wajah lelaki gemuk itu pun tampak dilanda kecemasan. Dan
kalau benar yang datang
pihak lawan, sudah dapat dipastikan mereka akan te-
was. Atau, paling tidak akan tertangkap.
*** "Guru...!"
Seruan itu benar-benar semakin melemaskan se-
mangat tempur Waluja dan Wira Yudha. Jelas, panggi-
lan itu ditujukan kepada Ki Damang. Dan itu, artinya yang datang adalah pihak
musuh! Hadirnya dua orang lelaki gagah yang langsung
menghambur ke arah pertempuran, membuat kedua
belah pihak sama-sama melompat mundur dan meng-
hentikan pertarungan untuk sementara.
Gala Campa sudah bergerak dengan pedang terhu-
nus menghampiri Waluja dan Wira Yudha. Tampak-
nya, lelaki gagah bertubuh gemuk itupun siap berkorban nyawa.
"Guru..., apa yang terjadi..." Mengapa bisa terjadi pertempuran" Bukankah mereka
murid-murid Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala?"
Salah seorang murid Ki Damang langsung saja
mengungkapkan perasaan herannya melihat kejadian
itu. Jelas, lelaki gagah berwajah bersih dengan bulu-bulu halus menghias
wajahnya itu telah mengenal mu-
rid-murid Perguruan Ular Emas, dan Cakar Besi. Hal
ini bisa dilihat dari pakaian yang melekat di tubuh ketiga orang lelaki gagah
itu. "Hhh.... Aku pun tidak mengerti, Laung. Mereka da-
tang-datang langsung memojokkan dan mencurigaiku.
Karena mereka terlalu menekan, akhirnya terpaksa
kulayani keinginan mereka...," jelas Ki Damang dengan napas masih memburu.
Meskipun sebagai tokoh kawakan, tapi karena ja-
rang bertempur hingga seratus jurus lebih, tentu saja Ki Damang merasa lelah.
Dan hal itu bukan sesuatu
yang aneh. Setelah mendengar jawaban gurunya, lelaki gagah
bernama Laung itu membalikkan tubuhnya. Langsung
menatap wajah ketiga lelaki gagah itu satu persatu.
"Hm..., Tuduhan apa yang telah kalian lemparkan


Pendekar Naga Putih 44 Badai Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada guruku" Sebagai murid-murid orang sakti, ten-tunya kalian bukan hanya
diajar ilmu silat. Kalian tentu juga diajari tata kesopanan, bukan?" tegur
Laung, bagaikan seorang penguasa yang tengah mengadili
seorang pesakitan.
Suara laki-laki itu terdengar sangat berwibawa.
Ucapan-ucapannya terdengar tegas dan tandas. Se-
hingga mau tidak mau, Waluja, Wira Yudha, dan Gala
Campa memandang dengan penilaian lebih kepada le-
laki gagah bernama Laung itu.
"Kedatangan gurumu bukan pada waktu yang tepat
Sekarang coba kau bayangkan, kau baru saja menga-
lami kejadian-kejadian dan musibah yang memukul
batinmu. Lalu, tiba-tiba muncul seorang dengan lagak mencurigakan. Tidakkah
kesalahan itu akan kau timpakan kepada sosok yang baru muncul itu" Apalagi
orang-orang yang membuat musibah itu sama sekali
tidak kau kenali. Hm..., sekarang aku ingin mendengar pendapatmu...." Wira Yudha
yang paling merasa penasaran, langsung saja angkat bicara.
"Ya.... Mungkin akupun akan bertindak sama den-
ganmu. Tapi, tentu saja setelah terlebih dahulu mendengar penjelasannya. Karena,
orang itu pun memiliki hak membela diri. Meskipun yang kau lakukan tidak
salah, tapi juga tidak benar," jawab Laung, mengungkapkan pendapatnya.
Tentu saja jawaban yang tidak memuaskan bagi Wi-
ra Yudha itu membuat lelaki gagah itu merasa tersinggung. Wajahnya kembali
terlihat gelap menandakan
kalau murid pertama Ki Jasminta itu kembali terbangkit kemarahannya.
"Hm.... Bagaimana kalau gurumu tahu-tahu terbu-
nuh secara aneh, kemudian aku dan kedua kawanku
ini muncul. Apa kau tidak akan menyalahkan kami
bertiga?" desah Wira Yudha kembali.
"Apa..."! Maksudmu..., Ki Jasminta dan Ki Raksa
Mala telah terbunuh..." Bagaimana hal itu bisa terjadi"
Siapa yang melakukan...?"
Pertanyaan-pertanyaan itu langsung saja terlontar
dari mulut Ki Damang. Sebagai seorang yang telah
memiliki banyak pengalaman, tentu saja kejadian yang telah menimpa Ki Jasminta
dan Ki Raksa Mala segera
dapat disimpulkannya. Tanpa banyak cakap lagi, langsung saja Ki Damang
menghambur ke dalam bangu-
nan. Perbuatan orang tua sakti itu tentu saja membuat
yang lain menjadi bingung. Setelah saling melepaskan pandangan satu sama lain,
kelima orang lelaki gagah itu segera saja menyusul Ki Damang menuju ke dalam
bangunan. *** 4 "Bedebah...!"
Ki Damang membanting kaki kanannya dengan wa-
jah duka. Hati laki-laki setengah baya itu jelas sangat
terpukul oleh kematian kedua sahabatnya. Wajahnya
yang biasa tenang, berubah merah dengan sepasang
mata menyala tajam.
Laung dan yang lain tidak berani mengeluarkan su-
ara melihat keadaan Ki Damang. Kelihatannya lelaki
setengah baya itu merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Ki Jasminta dan Ki
Raksa Mala. "Akulah yang salah dalam kejadian ini. Menurut
janji kami, akulah orang pertama yang harus tiba di tempat ini. Tapi, karena ada
suatu hal yang sangat
penting, tanpa ku sengaja aku terlambat Itulah sebabnya, mengapa aku baru tiba
ketika kalian bertiga keluar dari dalam bangunan. Tapi..., biarpun tidak melihat
orang yang telah membunuh Jasminta dan Raksa
Mala, aku tahu kalau pembunuh itu memiliki kekeba-
lan ilmu tongkat" jelas Ki Damang, sambil menatap
wajah ketiga orang murid sahabatnya berganti-ganti.
"Kalau begitu, katakanlah kepada kami, Ki Kami
akan mencari pembunuh itu walau apapun yang terja-
di!" tegas Wira Yudha langsung, penuh hawa marah.
Sehingga, laki-laki separoh baya itu jadi tersenyum pahit melihat semangat yang
terpancar pada wajah
dan sikap Wira Yudha.
"Hhh.... Meski kuberitahu sekalipun, kalian tidak
akan sanggup melawannya. Jangankan hanya kalian.
Kita berenam sekalipun belum tentu sanggup mengha-
dapinya. Buktinya dapat kalian lihat sendiri, bukan"
Kehebatan guru-guru kalian tidak pernah ku ragukan.
Tapi, mereka telah tewas di tangan pembunuh itu. Dan itu sama artinya kalau dia
seorang tokoh yang sulit diukur kepandaiannya," desah laki-laki setengah baya
itu. Ki Damang menarik napas berat tanda kegundahan hatinya. Keningnya terlihat
berkerut-kerut Jelas otak-
nya tengah berpikir keras untuk mencari penyelesaian masalah itu.
"Katakan saja, siapa pembunuh itu, Ki...," desak
Waluja, ikut angkat bicara.
Desakan itu membuat Ki Damang semakin tidak ta-
hu harus berbuat apa. Karena dengan mengatakan
siapa pembunuhnya kepada ketiga orang lelaki gagah
itu, sama saja mendorong mereka ke dalam jurang
kematian. Itulah yang membuatnya kebingungan.
"Tapi, semua ini baru hanya dugaan saja. Belum
tentu orang itu yang melakukannya. Sebagai orang-
orang yang selama belasan tahun dididik oleh orang-
orang pandai, kuharap kalian bisa menahan diri. Jangan bertindak gegabah...,"
kembali Ki Damang membe-
ri nasihat kepada Wira Yudha, Waluja, dan Gala Cam-
pa. Menurut dugaanmu, siapa orang itu, Ki...?" Gala Campa ikut mendesak.
Suaranya terdengar lebih tenang dan tidak lang-
sung bernada tuduhan, tapi hanya dugaan. Hal itu
membuat Ki Damang mengangguk-anggukkan kepala.
"Berjanjilah untuk bertindak dengan pikiran. Bukan
dengan kemarahan...,"
Dengan tarikan napas berat, akhirnya Ki Damang
bersedia juga mengutarakan dugaannya.
"Baik, kami akan mencobanya...,"
Secara serempak, ketiga orang lelaki gagah itu langsung saja menyetujui.
Sementara Ki Damang kembali
tersenyum mendengar sahutan ketiga orang murid sa-
habatnya. "Setahuku, kematian Ki Jasminta dan Ki Raksa Ma-
la disebabkan pukulan benda tumpul yang mengan-
dung kekuatan luar biasa. Dan senjata itu mungkin
berbentuk tongkat...."
"Benar... ya..., aku baru ingat sekarang...!" tiba-tiba saja Wira Yudha memekik
memutuskan keterangan Ki
Damang. Sehingga, laki-laki setengah baya itu meng-
hentikan ucapannya.
"Benar, Ki. Bukan hanya mungkin, tapi memang
tongkat Buktinya, orang-orang yang mengeroyok kami
bertiga juga bersenjatakan tongkat Lalu, siapa pembunuh itu, Ki...?" timpal Gala
Campa yang juga teringat akan hal itu.
"Ingat! Ini baru dugaan! Belum pasti kalau orang itu yang telah membunuh guru
kalian. Pukulan dahsyat
yang menghantam kepala Ki Jasminta dan Ki Raksa
Mala adalah sejenis ilmu tongkat yang dimiliki Per-
kumpulan Pengemis Baju Hitam. Dan kalau benar pe-
lakunya dari pihak mereka, hanya yang berilmu tinggi-lah yang mampu membunuh
guru kalian...,"
Setelah berkata demikian, Ki Damang memandang
wajah ketiga orang murid sahabatnya berganti-ganti.
Sepertinya, ia ingin melihat apa yang tergambar dalam wajah mereka setelah
mendengar keterangannya.
"Perkumpulan Pengemis Baju Hitam..."!" gumam
Wira Yudha, dengan kening berkerut Sepertinya, ia
tengah berpikir keras untuk mengingat nama itu. "Setahuku, perkumpulan pengemis
itu tidak berpihak ke mana-mana, Ki. Mereka bisa disebut golongan sesat,
bisa juga disebut golongan putih. Selain itu, menurut pengetahuanku, mereka
jarang sekali mau mencampuri urusan orang lain. Biar kejahatan berlangsung di
depan mata mereka, belum tentu mereka akan menin-daknya. Kecuali hal itu bisa
mendatangkan untung
bagi mereka...,"
"Kau benar, Wira Yudha. Itulah yang membuatku
tidak habis pikir, mengapa Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala harus tewas oleh
pukulan kalangan pengemis
itu" Kalaupun ada orang yang hendak mengadu dom-
ba kita dengan Perkumpulan Pengemis Baju Hitam,
mana mungkin ilmu pukulan yang demikian sempurna
dimilikinya" Padahal, 'Ilmu Tongkat Penakluk Naga'
hanya diturunkan kepada beberapa orang, sebelum ke-
tuanya yang lama meninggal karena usia tua. Tapi ke-sempurnaan pukulan yang
menewaskan guru kalian,
tidak ku ragukan lagi Untuk itu kalian kuminta pergi menyelidiki keanehan ini
Tapi, ingat! Apabila menemukan sesuatu, laporkan kepadaku. Dan, jangan bertin-
dak ceroboh. Sebab, kalau kalian sampai bertindak ceroboh, lalu tertangkap, aku
tidak bisa menjamin keu-tuhan perguruan kalian...," urai Ki Damang yang men-
gakhirinya dengan sebuah pesan yang ditekankan da-
lam-dalam. "Baiklah, Ki. Pesan itu akan kami ingat baik-
baik...," jawab Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa
berbarengan. Sepertinya ketiga lelaki gagah itu merasa khawatir
juga. Sebab jika bertindak salah, jaminannya adalah perguruan mereka. Tentu saja
mereka tidak ingin perguruan mereka hancur hanya karena kesalahan yang
telah diperbuat.
"Nah, Kalau begitu, kita berpisah sekarang. Ingat,
kalau ada sesuatu yang mencurigakan, laporkan pa-
daku...," ujar Ki Damang kembali mengingatkan ketiga orang lelaki gagah itu.
Kemudian, merekapun berpisah untuk mencari
pembunuh Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala.
*** Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa melangkah
tegap menyusuri jalan lebar yang berbatu-batu. Dalam melaksanakan tugas mencari
pembunuh Ki Jasminta
dan Ki Raksa Mala, mereka tidak lagi menggunakan
kuda. Binatang tunggangan mereka telah dijual di sebuah desa yang disinggahi.
Hal ini dilakukan dengan alasan, kalau melakukan penyelidikan dengan menggunakan
kuda, tentu akan menyulitkan gerak mereka.
Sehingga, ketiganya memutuskan untuk melanjutkan
penyelidikan dengan berjalan kaki, disertai penggu-
naan ilmu meringankan tubuh.
Saat ini hari sudah siang. Sinar matahari yang me-
mancar terik, membuat udara terasa panas menyen-
gat. Sehingga, ketiga orang lelaki gagah itu memu-
tuskan untuk mempercepat perjalanan dengan meng-
gunakan ilmu lari cepat.
Sebentar kemudian, terlihatlah tiga sosok bayangan
bergerak melintasi jalan yang ditumbuhi rumput tebal.
Padang rumput yang cukup luas itu tentu saja dapat
ditempuh lebih cepat, daripada orang-orang biasa. Sehingga, sebentar saja
ketiganya telah menemukan se-
buah jalanan lebar. Sampai di situ, mereka menghen-
tikan lari. Dan perjalanan kini dilanjutkan dengan
langkah biasa, karena sesekali berpapasan dengan
orang-orang yang menggunakan jalan umum itu.
Tidak beberapa lama kemudian, Wira Yudha, Walu-
ja dan Gala Campa tiba di mulut sebuah desa yang
cukup ramai dan agak besar. Kedai makan yang bi-
asanya hanya terdapat satu dalam sebuah desa, bisa
ditemukan lebih dari dua di sini. Hal ini menunjukkan kalau desa itu sangat
ramai. "Kita singgah sebentar sambil mencari keterangan
di desa ini. Tapi, ingat jangan terlalu menyolok..," Wira Yudha mengingatkan
kedua orang temannya, kemudian melangkah memasuki sebuah kedai makan yang
dipilihnya. Sementara Waluja dan Gala Campa, ikut masuk ke
dalam kedai makan yang cukup besar itu.
Tiga orang pengemis berwajah kotor dan berpakaian
berwarna hitam yang sengaja ditambal-tambal, tampak berdiri di dekat pintu
kedai. Sikap mereka sama sekali tidak pantas disebut pengemis. Malah, lebih
tepat kalau dikatakan perampok.
"Berilah kami makan, Tuan. Cepatlah, kami sudah
lapar...," seorang pengemis yang bertubuh kurus dengan sepasang mata liar
menadahkan sebuah mangkuk
kaleng kepada seorang lelaki gemuk yang berdiri dengan wajah agak pucat Tampak
sekali kalau lelaki ge-
muk itu ketakutan.
"Kisanak! Mengertilah sedikit. Baru beberapa saat
yang lalu, empat orang temanmu datang meminta-
minta. Kini setelah mereka pergi, kau dan tiga orang kawanmu datang meminta-
minta lagi. Kalau terus-terusan begini, bisa-bisa jatuh pailit..," jawab lelaki
gemuk itu dengan agak memelas.
Tapi ucapan maupun wajah lelaki gemuk yang ter-
nyata adalah pemilik kedai, sama sekali tidak mendatangkan rasa pengertian bagi
pengemis muda itu.
"Hm..., dasar gendut pelit! Rupanya kau lebih suka
kehilangan kedaimu ketimbang empat mangkuk nasi
dan beberapa keping uang! Kalau memang itu maumu,
baiklah...,"
Setelah berkata dengan nada mengancam, pengemis
berwajah kurus itu membalikkan tubuhnya hendak
meninggalkan kedai. Sementara ketiga orang kawan-
nya bergerak mengikuti. Tinggallah si pemilik kedai terbengong-bengong dengan
wajah semakin bertambah
pucat. "Hei...! Hei..., tunggulah...! Biar ku ambilkan...,"
Akhirnya karena takut oleh ancaman itu, si pemilik
kedai segera saja berteriak memanggil keempat pen-
gemis berbaju hitam. Seketika pengemis itu segera
menahan langkahnya.
Pengemis bertubuh kurus yang usianya kira-kira ti-
ga puluh tahun itu memutar tubuhnya dengan tatapan
sinis. Kemudian, dengan lagak sombong, dia maju be-
berapa tindak. "Maaf! Karena kau sudah menolak permintaan kami
barusan, maka aku tidak bisa menerima sedekahmu.
Lebih baik simpan saja semua hartamu agar tidak ikut musnah nanti...," ujar
pengemis muda itu dengan wajah dingin.
Setelah berkata demikian, ia kembali memutar tu-
buhnya meninggalkan kedai.
Semua kejadian itu tentu saja tidak lepas dari pan-
dangan dan pendengaran Wira Yudha, Waluja dan Ga-
la Campa. Ketiga lelaki gagah itu tentu saja menjadi geram melihat tingkah laku
pengemis bermuka kurus


Pendekar Naga Putih 44 Badai Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadi. Apalagi, ucapannya terdengar demikian angkuh
dan penuh ancaman. Sampai-sampai si pemilik kedai
berlari mengejar dan berlutut sambil menangis minta maaf kepada keempat pengemis
berbaju hitam itu.
Inilah yang membuat Wira Yudha dan kawan-
kawannya merasa heran. Meskipun kejadian itu disak-
sikan puluhan pasang mata, namun tak satu pun yang
ambil perduli. Rata-rata, mereka langsung memaling-
kan wajah begitu melihat kejadian itu. Bahkan ketika si pemilik kedai bersimpuh
sambil meratap mohon
maaf, tak seorang pun yang mau peduli.
Wira Yudha pun sebelumnya agak ragu juga untuk
ambil tindakan. Pikiran tentang kehancuran pergu-
ruannya, membuat lelaki gagah itu berpikir dua kali untuk mencampuri urusan
pengemis berbaju hitam
yang diduga dari Perkumpulan Pengemis Baju Hitam.
Namun, jiwa kependekarannya seketika bergolak. Dan
dia tak bisa menerima ketidakadilan yang berlangsung di depan matanya. Jiwa
pendekar itulah yang memaksa Wira Yudha dan kawan-kawannya untuk mengam-
bil tindakan. Kalaupun mereka nanti harus kehilangan perguruan atau nyawa, itu
akan lebih baik daripada
hidup sebagai pengecut! Maka...,
"Kisanak! Rasanya tindakan kalian sudah keterla-
luan. Sikap yang kalian tunjukkan tidak lagi mencerminkan seorang pengemis, tapi
sudah menjurus ke
arah perampok. Dan, pekerjaan itu rasanya lebih tepat bagi kalian...," tegur
Wira Yudha, lantang. Kemudian, dia melangkah menghampiri keempat pengemis itu
berada. Mendengar teguran itu, si pemilik kedai bukannya
menjadi lega, karena ada orang yang sudi membelanya.
Tapi, dia malah kembali menyembah-menyembah
keempat pengemis itu. Bahkan meminta agar lelaki gagah yang melontarkan
penghinaan itu agar diampuni.
"Maafkanlah dia, Kisanak. Dia seorang pendatang
yang tidak tahu, siapa Kisanak berempat Aku akan
memberikan apa saja yang kalian inginkan, sebagai ra-sa terima kasihku...,"
bujuk si lelaki gemuk pemilik kedai sambil membentur-benturkan keningnya ke
tanah berkali-kali.
Tapi, ternyata semua itu malah membuat pengemis
bermuka kurus itu semakin bertingkah. Dengan lagak
seorang jagoan, ia bertolak pinggang.
"Hei, kau orang tua! Dengarlah! kau tadi sudah
menghina kami. Dan itu tidak bisa dimaafkan! Kemu-
dian, ada lagi orang yang menghina kami secara lebih kasar. Dan kau pun
memintakan ampun untuk mereka dengan janji akan memberi apa yang kami minta.
Sekarang, aku minta ketegasan darimu. Sungguh-
sungguhkah ucapanmu barusan?" tanya pengemis
muda berwajah kurus itu dengan suara lantang.
"Benar.... Benar...," sahut pemilik kedai makan itu cepat, sambil mengangguk-
anggukkan kepala dengan
wajah agak berseri. Pemilik kedai itu sengaja mengu-capkannya jelas-jelas,
dengan harapan permintaannya tadi dikabulkan.
"Kau akan memberikan semua milikmu yang kami
minta...?" Kembali pengemis muda berwajah kurus itu menegasi.
"Betul! Aku akan menyerahkan semuanya yang ka-
lian minta, asalkan kesalahanku dan kesalahan orang itu dimaafkan...," jawab
pemilik kedai itu tanpa ragu-ragu lagi, seraya menunjuk Wira Yudha.
Tentu saja pembelaan pemilik kedai itu membuat
Wira Yudha dan kawan-kawannya merasa terharu. Se-
bab dalam kesulitannya, lelaki gemuk itu masih sudi juga memikirkan keselamatan
orang lain. Sikap itu
semakin membulatkan tekad Wira Yudha dan yang
lain untuk menolong si pemilik kedai.
"Hm..., bagus. Kalau begitu, sekarang juga kami
akan memenggal kepalamu. Karena, kepalamulah yang
akan kami minta,"
Permintaan itu meluncur demikian enteng. Seolah-
olah, harga kepala manusia tidak ubahnya seperti kepala ayam!
"Haaa..."!"
Karuan saja permintaan pengemis itu membuat si
pemilik kedai terkejut setengah mati. Sama sekali tidak disangka kalau pengemis
itu akan meminta kepalanya
sebagai tanda kalau semua kesalahannya dimaafkan.
Karuan saja, lelaki gemuk itu bungkam. Dan dia me-
mang telah berjanji untuk memberi apa saja, yang di-minta para pengemis itu.
Tapi, tidak demikian halnya Wira Yudha, Waluja
dan Gala Campa. Ketiga orang lelaki gagah itu bergerak maju dengan langkah
tenang. Terdengar suara Wa-
luja mengejutkan empat orang pengemis itu.
"Hm.... Kalau ku tahu Perkumpulan Pengemis Baju
Hitam adalah perkumpulan anjing geladak yang rakus, sudah sejak dulu batang
leher mereka kutebas putus
dengan pedangku ini!" kata Waluja sambil meraba ga-
gang pedang yang tersembul di balik pakaiannya.
Karuan saja, ucapan itu membuat wajah keempat
anggota Pengemis Baju Hitam menjadi pucat bagai kertas.
"Bangsat! Kalian rupanya memang sengaja mencari
gara-gara!"
Sambil berkata demikian, pengemis muda berwajah
kurus itu mengangkat tongkat hitamnya melintang di
atas kepala. Dengan menggunakan isyarat kepala, ka-
wan-kawannya diperintahkan untuk mengepung.
"Hm...."
Wira Yudha, Waluja dan Gala Campa hanya bergu-
mam pelan melihat lawannya mengepung. Dengan si-
kap tenang, ketiga orang murid perguruan-perguruan
terkenal itu menanti apa yang akan dilakukan kawa-
kan pengemis yang sudah mengepung.
"Haaattt...!"
Tiba-tiba, dibarengi teriakan keras, pengemis muda
berwajah kurus itu menghantamkan tongkatnya se-
kuat tenaga ke kepala Waluja yang paling dekat den-
gannya! Buuuttt..! Waluja sama sekali tidak gugup melihat serangan
itu. Sekali pandang saja, segera diketahui kalau keempat orang pengemis itu
hanyalah kelompok tingkat
rendahan. Sehingga, untuk menghadapi serangan itu
tampaknya tidak terlalu sulit.
Plaaakkk! Dengan mengulurkan tangan kanan Waluja telah
berhasil menangkap tongkat lawannya. Kemudian den-
gan sebuah bentakan keras, ujung tongkat yang di-
tangkapnya cepat dihentakkan.
"Heaaahhh!"
"Aaa...!"
Karuan saja pengemis muda berwajah kurus itu
melolong panjang. Karena, tahu-tahu saja tubuhnya
telah terlempar ke udara, dan terus menghantam sebatang pohon besar yang tumbuh
di tepi jalan! Bruuukkk! "Ngggekkk!"
Setelah membentur batang pohon hingga menim-
bulkan suara berderak keras, tubuh pengemis muda
itu terbanting jatuh ke tanah. Terdengar rintihnya
yang memilukan, karena beberapa tulang tubuhnya
berpatahan! Bahkan sambungan bahu kanannya ter-
lepas akibat berbenturan keras dengan pohon besar
tadi. Kesialan itu rupanya bukan hanya dirasakan pen-
gemis bertubuh kurus yang telah rubuh di tanah tadi.
Ketiga orang temannya yang lain pun mendapat bagian yang tidak kalah berbahaya.
Bahkan dua di antaranya terpaksa menerima kematian di tangan Wira Yudha
yang seperti sangat mendendam dan sangat membenci
pengemis berbaju hitam ini. Sedangkan Gala Campa
hanya mematahkan tulang kaki dan lengan seorang
pengemis lainya.
Anehnya, semua kejadian itu bukannya membuat
lelaki pemilik kedai dan para penduduk desa ini mera-sa senang. Malah, beberapa
di antara mereka langsung meninggalkan tempat itu. Sementara yang lain segera
berlari pulang dan mengunci pintu rumah rapat-rapat
Jelas, perbuatan Wira Yudha dan kawan-kawannya te-
lah menimbulkan rasa takut yang semakin dalam di
hati para penduduk desa.
Wira Yudha, Waluja dan Gala Campa menarik na-
pas panjang sebagai tanda kegundahan hati. Ketiganya menatap kedai yang tidak
terlihat seorang pun, kecuali seorang pemuda tampan berpakaian putih dan seorang
dara jelita berpakaian hijau yang masih duduk tenang di dalamnya.
Untuk beberapa saat lamanya, ketiga lelaki gagah
itu seperti terpaku menatap wajah jelita dara berpakaian serba hijau yang tampak
sangat menyolok itu.
Namun, mereka cepat menguasai diri, dan melangkah
ke arah kedai. Sedangkan si pemilik kedai sudah sejak tadi lenyap, karena
ketakutan. *** 5 "Hm..., mengapa kalian berdua tidak ikut bersem-
bunyi" Apakah kalian bukan orang desa ini, dan be-
lum mengenal pengemis-pengemis yang lebih pantas
disebut perampok tadi?" tanya Wira Yudha begitu me-
masuki kedai. Sedangkan Waluja dan Gala Campa, menatap den-
gan sorot mata curiga. Hati mereka sedikit tegang ketika melihat gagang pedang
di pinggang kanan dara jeli-ta berpakaian hijau itu.
"Hm.... Rupanya kalian orang-orang persilatan juga.
Kalau boleh tahu, siapakah kalian" Dan, dari perguruan mana...?" Gala Campa ikut
bertanya, karena di-
dorong rasa penasaran pada gagang pedang di ping-
gang gadis berbaju hijau itu.
"Atau..., jangan-jangan kalian adalah mata-mata
dari perkumpulan pengemis jahat itu...?" dugaan terakhir keluar dari mulut
Waluja, namun nadanya ku-
rang enak didengar. Dan tentu saja, pertanyaan-
pertanyaan yang dilontarkan beruntun itu membuat
pemuda berjubah putih ini tertawa lembut.
"Kisanak sekalian...," panggil pemuda tampan ber-
jubah putih itu dengan suara dan wajah tenang, tidak mencerminkan rasa takut,
"Maaf kalau aku jadi bingung oleh pertanyaan-pertanyaan kalian bertiga. To-
long sebutkan, pertanyaan mana yang harus kujawab
lebih dulu...."
Wira Yudha dan kawan-kawannya saling bertukar
pandang sejenak. Mereka segera menyadari kesulitan
pemuda itu dalam menjawab pertanyaan yang membe-
rondong tadi. Hanya saja kecurigaan mereka menjadi
lebih besar ketika melihat sikap tenang pemuda berjubah putih itu. Bahkan dara
jelita yang bersamanya
tampak seperti tidak perduli terhadap keadaan seki-
tarnya. Dan dia masih saja menikmati hidangannya
tanpa merasa terganggu sedikit pun.
"Kau boleh memulainya dari pertanyaanku...," ujar
Wira Yudha setelah terdiam beberapa saat lamanya.
"Baiklah, desah pemuda tampan berjubah putih itu
tersenyum, dan tetap tenang, "Kami tidak ikut bersembunyi, karena merasa tidak
bersalah. Meskipun bukan orang desa ini, tapi sedikit banyak kami cukup tahu
tentang pengemis-pengemis itu...."
"Hmmmm...."
Wira Yudha bergumam sambil mengangguk-angguk,
merasa cukup puas dengan jawaban pemuda itu.
"Apakah kau orang persilatan?" tanya Wira Yudha,
mengulang pertanyaan Gala Campa. Nadanya kini le-
bih lunak dari semula. Memang entah mengapa, ia se-
perti merasa percaya sepenuhnya terhadap jawaban
pemuda berjubah putih itu.
"Bisa dibilang, kami orang-orang persilatan. Tapi,
bisa juga tidak. Namaku Panji. Sedangkan kawanku
bernama Kenanga. Kami berdua tidak mempunyai per-
guruan, dan hanyalah perantau-perantau yang ingin
memperluas pengalaman," sahut pemuda tampan ber-
jubah putih itu.
Kini tampak ketiga tokoh itu mengangguk-angguk
puas atas jawaban pemuda yang mengaku bernama
Panji, Lalu, apa hubunganmu dengan pengemis-
pengemis tadi" Apakah kalian mata-mata mereka?" se-
lak Waluja dengan nada agak keras.
Sepertinya lelaki tegap itu selain ingin mengukur
kesabaran Panji juga ingin mendengar bantahannya.
Karena, pertanyaan Waluja memang lebih tepat sebuah tuduhan.
"Huh! benar-benar menjemukan! Kalian ini tidak
ubahnya nenek-nenek nyinyir!"
Tiba-tiba, dara jelita berpakaian serba hijau yang
bernama Kenanga menukas ketus dan tandas. Sehing-
ga, Wira Yudha dan kawan-kawan jadi saling berpan-
dangan dengan wajah agak memerah. Jelas telinga me-
reka merasa cukup tersentil mendengar ucapan gadis
jelita itu. "Maaf..., maaf. Kawanku ini memang terkadang
mudah sekali tersinggung. Mungkin merasa jengkel
karena pertanyaan Kisanak yang gagah ini lebih bersi-fat menuduh, daripada
bertanya."
Untungnya, pemuda berjubah putih itu buru-buru
meredakan suasana yang sedikit mulai hangat Dan
rupanya, Kenanga nampaknya tidak berani memban-
tah ketika melihat isyarat Panji agar tidak mencampu-ri.
"Hm...," Waluja hanya bergumam tak jelas, kemu-
dian kembali menatap wajah pemuda tampan itu lekat-
Pecut Sakti Bajrakirana 10 Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo Pedang Naga Kemala 1
^