Pencarian

Cinta Sang Naga 5

Cinta Sang Naga Karya V. Lestari Bagian 5


"Sepakat untuk apa""
Peter mengumpat dalam hati. Dasar IQ kurang. Toh ia bicara ramah dan lembut, "Ah, lupa lagi, ya" Yang kukatakan tadi itu, lho. Kalau diadakan rekonstruksi nanti, dalam adegan jalan beriringan menuju pintu itu aku di sebelah kirimu. Dan kau di kanan. Ingat itu, Lin."
"Ya. Akan kuingat."
"Nah. Sekianlah. Sampai ketemu nanti."
Peter meletakkan telepon dengan senyum kemenangan di bibirnya. Tapi di sebelah sana ternyata Linda juga melakukan hal yang sama!
*** Rekonstruksi dimulai dari beberapa saat menjelang kedatangan para tamu. Dermawan sepakat, bahwa saat-saat itu justru penting karena dinilai sebagai pencetus ide Tuan Liong yang kemudian berlanjut dengan kematiannya.
Urut-urutan peristiwa disusun berdasarkan cerita Henson, Irma, dan Yeni. Dan karena nyonya Linda tidak menyangka bahwa awal rekonstruksi dilakukan pada saat itu, ia jadi gugup dan gelisah. Ketenangannya lenyap. Segala yang sudah terpikir dan direncanakan sebelumnya seolah buyar begitu saja. Itu pun disebabkan karena ia sama sekali tidak menceritakan perihal pengalamannya pada saat-saat itu. Semula ia berpikir, tidak ada yang sempat berpikir ke sana. Diam-diam ia mengumpat Yeni, yang sembarang-an bercerita tanpa bilang-bilang dulu kepadanya. Sekarang ia harus menghadapi kejutan, tiba-tiba harus mengaktingkan sendiri pengalamannya itu. Padahal ia tak bisa menolak, dan juga tak sempat mencari kebohongan yang sekiranya bisa dicocokkan.
Seorang pembantu Dermawan, Sertu Hanafi, berperan sebagai Tuan Liong. Ia melakukan tugasnya dengan lancar dan serius. Tentu saja ia sudah mempelajari lebih dulu reka-rekaan yang disusun sebelumnya. Sikapnya yang serius dan tegas itu mampu memojokkan Nyonya Linda hingga ia terpaksa mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Itu terjadi ketika mereka berhadapan sebelum Yeni mendapatkan ibunya dalam keadaan terpaku seperti patung.
Pada mulanya Nyonya Linda masih berusaha menyembunyikan.
"Jangan menyembunyikan kebenaran, Nyonya. Kalau tak ada konflik, mustahil Tuan Liong berwajah murung ketika berpapasan dengan Yeni," desak Dermawan.
"Itu masalah pribadi."
"Dalam hal seperti ini tak lagi ada masalah pribadi. Nyonya bisa dituntut kalau menghalangi kelancaran pemeriksaan. Lihat, bukan masalah pribadi Nyonya saja yang akan terungkap nanti. Padahal semua itu bukan untuk gosip, melainkan untuk memperoleh kebenaran."
Jadi terpaksalah Nyonya Linda 'bekerja sama' dengan wajah merah karena malu. Ia menguraikan apa yang terjadi, mengenai pikirannya saat itu dan reaksinya terhadap sentuhan suaminya. Dan bagaimana kemudian suaminya berlalu tanpa berbicara dengan wajah beku.
"Dia... dia seperti tahu perihal apa yang terasa dan terpikir oleh saya. Saya khawatir dan memanggilnya, tapi ia jalan terus tanpa menengok lagi."
"Kenapa Nyonya merasa khawatir""
"Saya takut akan kemarahannya. Dia... dia suka bersikap aneh belakangan itu."
"Apakah Anda pikir, dia mengalami gangguan kejiwaan, begitu""
"Entahlah. Saya kurang tahu."
"Tapi masa ada orang marah tanpa alasan. Dan kenapa Nyonya merasa jijik akan sentuhannya"
Bukankah dia suami Anda sendiri" Ah, tak mengherankan kalau dia marah." nyonya Linda terdiam.
"Apakah Tuan Liong tahu perihal hubungan Anda dengan Peter Lim""
Nyonya Linda terkejut. Mukanya membara. Tapi wajah Dermawan yang keras memaksanya untuk menjawab. "Saya tidak tahu, Pak. Eh, dia tidak pernah menanyakan."
"Apakah sikapnya yang Anda katakan aneh itu tidak menjelaskan sesuatu kepada Anda" Segala sesuatu ada penyebabnya, kan" Itu termasuk perasaan jijik Anda kepadanya."
"Ya, ya. Saya pikir dia tahu," Nyonya Linda menjawab dengan pelan.
Pertanyaan-pertanyaan itu menyiksanya. Ia tak mengerti. Apakah ini yang namanya rekonstruksi atau interogasi" Tapi yang jelas, apa yang disangkanya tel
ah tersimpan dengan baik ternyata terungkap semua.
"Dan karena perkiraan itulah, Anda merasa takut kepadanya, bukan""
Nyonya Linda tidak tahan lagi. "Ya, saya takut! Saya takut padanya! Mestinya dia membunuh saya, bukan membunuh dirinya sendiri!" teriaknya histeris. Lalu ia tersedu-sedu, menutup muka dengan kedua tangannya.
Dermawan berpandangan dengan Hanafi. Mereka membiarkan Nyonya Linda melepas emosi sebentar.
"Ya. Terima kasih, Nyonya. Spontanitas semacam itulah yang saya nantikan," ucap Dermawan tenang.
Nyonya Linda menghentikan tangisnya. Ia sudah tenang kembali. Dan bersyukur bahwa saat itu mereka hanya bertiga. Henson dan Irma berada di gudang, menunggu tibanya giliran mereka. Cek A Piang tetap di dapur. Sedang Yeni berada di ruang lain. Para tamu menunggu di halaman. Dengan demikian ia tidak perlu merasa malu yang terlampau besar.
Jadi sesudah tiba giliran Yeni menegurnya, Nyonya Linda sudah mampu memainkan peranannya dengan baik.
Selanjutnya Henson dan Irma dibuat malu tersipu ketika mereka harus mengulang adegan mesra. Sampai kemudian kepala Hanafi nongol di ambang pintu dan mengejutkan mereka.
Adegan demi adegan selanjutnya berlangsung cepat. Tidak ada sesuatu yang baru. Baru kemudian menuju klimaks setelah tiba pada saat di mana terjadi keributan di luar pintu. Mereka beriringan keluar sedang Hanafi tetap duduk mengawasi dengan wajah kaku. Sangat serius seolah benar-benar menjiwai perannya.
Tapi ketika mereka akan beriringan itu timbul sedikit konflik. Peter yang berjalan bersisian dengan Nyonya Linda berada di urutan paling belakang. Tapi mereka berselisih tentang siapa yang di kiri dan siapa yang di kanan.
"Bukankah aku di sebelah kirimu"" Peter menegaskan.
"Sama sekali tidak. Aku ingat persis. Apalagi sekarang, setelah memperagakan kembali. Aku di sebelah kirimu!"
Peter melotot, tapi ia segera sadar bahwa mereka tidak cuma berdua. Sementara tatapan tajam Dermawan menggelisahkannya. Dalam hati ia tak kepalang jengkel kepada Linda.
"Nah, sebelah mana yang benarnya"" tanya Dermawan. "Apakah di antara Anda tidak ada yang ingat""
"Saya masih ingat, Pak," kata Nyonya Linda spontan. "Saya ada di sebelah kiri Peter, karena ketika itu dia memegang lengan kanan saya yang jadi terasa perih karena di situ ada bekas cakaran kucing. Nih, masih ada bekasnya." Ia memperlihatkan lengan "kanannya di bawah siku. Di situ ada baret memanjang yang sudah hitam.
Peter tak menyanggah. "Kalau begitu, ya, memang demikian," Dermawan memutuskan.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju pintu. Meskipun sudah dijelaskan oleh Nyonya Linda bahwa ketika itu Peter memegang lengannya, tapi kali itu Peter tidak mau. Ia marah dan juga sebal kepada Linda.
Henson sudah mendahului membuka pintu. Kemudian ia bersama Irma dan Yeni melangkah melewati ambang pintu. Lainnya tetap di belakang. Nyonya Linda berdiri di muka daun pintu sebelah kiri agak ke tengah hingga Peter di sisinya terpaksa merapat ke daun pintu sebelah kanan. Untuk beberapa saat mereka berdiri seperti itu.
Tanpa sadar Peter melirik ke kaca pintu di sebelah kanannya. Di situ ia bisa melihat Hanafi dengan jelas. Tapi Peter terkejut. Ternyata Hanafi sedang memandang ke arah yang sama juga. Pandang mereka bertumbukan di kaca itu. Kemudian ia lebih terkejut lagi ketika melihat bayang-bayang orang ketiga yang juga sedang memandangnya di kaca yang sama. Dia adalah Dermawan. Buru-buru Peter mengalihkan pandangnya lurus ke depan. Dalam hati ia menyesali keterlanjurannya. Tapi berharap tidak ada yang memahami makna pandangnya ke arah kaca itu.
Harapan Peter sia-sia. "Benar, Pak Peter. Di kaca itu Anda bisa melihat Tuan Liong dengan jelas. Tapi ketika itu ia tentu tidak melihat pandang Anda itu. Ia tidak tahu bahwa Anda bisa melihatnya. Nah, apa yang Anda lihat"" tanya Dermawan dengan suara cukup keras.
Semua mata melirik kepada Peter. Termasuk mata Linda. Sekilas Peter melihatnya juga. Ia merasa di mata itu tidak ada belas kasihan untuknya. Ia geram. Dan juga malu.
"Nah, silakan jawab, Pak!"
"Ya. Saya melihatnya,"
jawab Peter pelan-pelan, ingin mengulur waktu.
"Apa yang sedang dia kerjakan" Ingat, jangan bohong, Pak. Kami bisa memperkirakan."
"Dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Tidak jelas apa itu. Sepertinya sebuah peles pipih dengan merah-merah pada etiketnya. Tapi sungguh mati.
"Tunggu dulu," Dermawan menghentikan ucapan Peter. Ia memberi tanda pada Hanafi di ujung sana dengan menunjuk sakunya sendiri.
Hanafi mengeluarkan benda dimaksud dari sakunya. Gerakannya pelan-pelan supaya Dermawan dapat menelitinya lewat kaca juga. "Ya. Saya melihatnya juga. Dan kesannya sama seperti Anda," katanya kemudian.
"Tapi sungguh mati saya tidak tahu bahwa itu racun," Peter melanjutkan ucapannya yang tertunda tadi.
"Apa yang kemudian dilakukannya dengan benda itu"" tanya Dermawan, tanpa mempeduh-kan ucapan Peter.
Peter ragu-ragu sebentar. Kemudian mengatakan, "Dia membubuhkan isi peles itu ke dalam gelas teh, lalu mengaduknya dengan gagang sendok makan yang ada di piringnya."
"Gelas teh yang mana"" tanya Dermawan tak sabar.
"Gelas... gelasnya tentu." "Saya tidak minta kesimpulan. Saya butuh fakta!"
Peter tertegun. Ia merasa dirinya sangat malang. "Gelas yang mana" Yang di sebelah kiri atau kanan Tuan Liong"" tanya Dermawan keras.
Suara keras itu mengejutkan Peter, hingga ia menjawab dengan spontan, "Yang di sebelah kiri."
Nyonya Linda memekik. "Itu kan gelasku!" Lalu ia menutup mulutnya dengan tangan, untuk mencegah keluarnya suara. Tatap tajam Dermawan mengandung teguran.
Selanjutnya Dermawan menyuruh seorang pembantunya untuk menyampaikan pesannya. Si pembantu berlari untuk menyampaikan, lalu Hanafi memperagakan apa yang dikatakan Peter tadi. Ia memasukkan isi peles ke dalam gelas yang berada di sebelah kirinya. Sementara itu Dermawan memperhatikan dari kaca. "Tepat!" katanya. Lalu ia berpaling lagi kepada Peter. "Sesudah itu, bukankah Anda masuk kembali untuk mengajak Tuan Liong berbincang-bincang""
Sebelum Peter menjawab, Nyonya Linda mendahului, "Sebelum itu, saya melangkah keluar untuk mendekati mereka yang sedang ribut. Jadi saya tidak tahu bahwa Peter kembali ke dalam."
Dermawan mengangguk. "Baik. Silakan Anda keluar dulu."
Ternyata hampir berbarengan dengan bergeraknya Nyonya Linda keluar, tamu-tamu lain juga mengikutinya. Boleh dikata pada saat Peter melangkah ke dalam, tak ada lagi orang yang bergerombol di sebelah dalam ambang pintu. Karena itu mereka tak seberapa memperhatikan tingkah Peter. Dan juga tak ada yang memandang ke arah kaca pintu sebelah kanan.
Dermawan memberi tanda kepada Peter yang segera bergerak menuju kursi yang didudukinya waktu itu. Di dekat Tuan Liong. Kini Hanafi. Lalu ia mengajak Hanafi berbicara dan Hanafi menyahut sesuai dengan apa yang pernah diceritakannya dalam pemeriksaan pertama. Kemudian Hanafi bangkit dari duduknya dan pergi ke luar untuk bergabung dengan mereka yang sudah ada di sana. Peter tertinggal sendiri.
Peter menjadi kikuk. Begitu banyak mata memandanginya, ia merasa direndahkan, tapi tidak bisa apa-apa untuk memulihkan wibawanya. Ia tidak berdaya. Mereka yang tadi ramai-ramai melangkah keluar itu kini semua bergerombol di ambang pintu, makin lama makin maju ke dalam. Semua memandanginya, tegang dan ingin tahu. Dan juga Linda, oh, persetan sungguh perempuan itu. Padahal... Sungguh penyesalannya selangit. Tapi mau apa ia sekarang" Ia memang tidak berdaya.
"Apa yang Anda lakukan"" Suara Dermawan mulai menterornya. "Jangan katakan, bahwa Anda tidak melakukan apa-apa. Itu tidak mungkin. Ingatlah. Perkiraan yang logis sudah bisa diperoleh berdasarkan apa yang terungkap tadi. Kalau tidak cocok berarti Anda berbohong."
Peter pun menyadari hal itu sepenuhnya. Ia sudah tahu apa konsekuensi pengakuannya tadi. Jadi sekarang ia harus melakukannya. Tanpa memandang kepada wajah siapa pun ia mengangkat gelas yang berisi racun dan memindahkan letaknya. Kalau tadinya terletak di sebelah kiri Hanafi kini menjadi di sebelah kanannya. Dengan kata lain, gelas racun yang semula diperuntukkan bagi Nyonya Linda jadi gelas Tuan Liong!
Hampir semua yan g menonton ternganga mulutnya dan terbelalak matanya. Tak terkecuali Nyonya Linda, meskipun sesudah melihat peragaan tadi ia sudah punya perkiraan sendiri. Kalau memang gelasnyalah yang dibubuhi racun tapi nyata-nyata ia masih hidup sedang Hok Kie yang mati, maka sudah jelas gelas mana yang terminum oleh Hok Kie. Namun sewaktu menatap itu ia menerima tatapan tajam dan dingin dari Peter. Tatapan marah tapi mengandung makna. Bila bukan karena aku, sekarang kau sudah jadi mayat!
"Tapi sungguh mati, saya tidak tahu bahwa itu racun!" seru Peter untuk kesekian kali.
"Lantas Anda pikir, apakah itu" Gula"" tanya Dermawan sinis.
"Oh, bukan. Saya pikir, itu guna-guna atau semacamnya. Ya, ramuan orang pinter begitu. Saya tahu Tuan Liong selalu berkonsultasi pada orang pinter. Jadi saya pikir, biarlah ramuan itu dia yang makan sendiri. Tapi, betapa kagetnya saya ketika ternyata dia mati kemudian. Baru saya sadari bahwa itu racun."
"Ya. Simpanlah pembelaan itu untuk nanti. Anda terpaksa kami tahan!"
Rekonstruksi berakhir. Tujuan sudah tercapai.
Peter pergi lebih dulu diiringi polisi. Dan diiringi tangis istrinya.
Dermawan masih tinggal. Ia sibuk mencatat ini itu. Sementara yang lain masih membisu, terlalu kaget untuk segera meledakkan komentar. Cuma suara tangis nyonya Peter yang tersendat-sendat mengisi ruang. Dan Nyonya Tanujaya sibuk menghiburnya.
Nyonya Linda bereaksi lebih dulu. Ia menghampiri Dermawan tanpa mempedulikan tatapan ingin tahu orang-orang lain.
"Pantas kemarin dulu Peter menelepon saya, Pak. Dia mendesak saya supaya dalam rekonstruksi ini saya berjalan di sebelah kanannya. Maksudnya tentu supaya sayalah yang berada dekat pintu. Waktu itu saya pura-pura lupa, jadi saya bilang setuju saja. Padahal saya ingat betul."
Dermawan menghentikan kegiatannya. Ia memandang tertarik. "Kenapa Anda pura-pura lupa"" ia bertanya.
Nyonya Linda tersipu. "Saya..., oh, saya cuma kepingin tahu."
"Keingintahuan itu tentu ada alasannya."
"Saya punya persangkaan yang sama, Pak."
"Persangkaan bagaimana" Saya harap Anda bicara dengan jelas."
Nyonya Linda segera menyadari, bahwa ia tak mungkin bercerita sedikit-sedikit kepada Dermawan. Orang ini menuntut semuanya.
"Saya juga melihat kaca itu secara kebetulan. Itu terjadi ketika Irma membuka pintu dan membiarkannya terpentang. Saya sadar bahwa di situ saya bisa melihat dia, eh, melihat suami saya. Siang hari memang tidak jelas, berbeda dengan malam. Jadi ketika Peter menyampaikan hal itu saya langsung teringat, karena Peter-lah yang berdiri di situ. Ya, justru karena dia mengemukakan hal itu saya jadi diingatkan. Karena itu tadi kami sempat berselisih faham. Rupanya dia pikir saya mau saja menurut."
"Sayang sekali hal itu baru Anda katakan sekarang."
"Saya perlu berpikir dulu. Tapi, bagaimana Bapak bisa langsung menebak dengan tepat" Apakah dia memandang ke arah kaca dan Bapak melihatnya" Ah, pasti begitu. Heran. Padahal dia bisa berpura-pura dengan tidak memandang ke situ. Anda bisa kesulitan. Tapi rupanya rekonstruksi ini telah mendorong orang melakukan hal-hal yang sebenarnya," ujar Nyonya Linda bersemangat. Ia merasa telah banyak membantu dan bekerja sama dengan baik pula.
"Anda selamat justru karena dia memandang ke arah kaca."
Wajah Nyonya Linda menjadi merah. Tapi kemudian ia berkata agak gusar, "Lantas apakah yang harus saya lakukan" Berterima kasih padanya, padahal ia sudah membuat suami saya mati" Ia sama sekali tidak perlu menukar gelas itu, melainkan membuang saja isinya dan menggantinya dengan yang lain!"
Ruangan menjadi kian hening. Itu disebabkan karena nyonya Peter menghentikan tangisnya. Kini dia menatap Nyonya Linda dengan wajah marah dan tangan mengepal. Menyadari gelagat itu, nyonya Tanujaya memeganginya erat-erat. Tapi Nyonya Peter terlalu lembut untuk bisa menyuarakan kata-kata kasar. Ia hanya menatap dengan mata bernyala-nyala.
Nyonya Linda juga melihatnya, lalu buru-buru memalingkan matanya. Tatapan wanita kecil mungil itu ternyata membuat ia gentar. Lebih-lebih setelah pandangnya berkeliling dan tidak men
emukan simpati untuknya. -XIV- Restoran Sang Naga sudah buka kembali. Sementara itu, berita tentang penyebab kematian Tuan Liong pun sudah tersebar. Dan sempat menggegerkan penduduk Jakarta, terutama para relasi, langganan, famili mereka, serta penggemar makan. Suatu peristiwa kematian yang cukup unik. Maksud hati mau membunuh orang lain, ternyata yang mati malah diri sendiri.
Ternyata kekhawatiran Nyonya Linda tidak beralasan. Di hari-hari pertama-para tamu yang datang makan memang tidak sebanyak seperti dulu di masa jaya, tapi toh lumayan. Malah justru lebih banyak dibandingkan dengan saat sesudah terjadinya peristiwa kecoa itu. Memang para tamu yang datang tampaknya juga didorong oleh keingintahuan untuk melihat lagi tempat terjadinya 'kematian unik' itu. Mungkin mereka berpikir, bisa merasakan dan meresapi suasana unik juga. Atau mereka ingin melihat dan merenungi lagi wajah nyonya Linda, si perempuan 'luar biasa' yang jadi biang keladi. Tapi buat nyonya Linda, apa pun motivasi para tamu itu, sama sekali tidak jadi soal. yang penting, mereka datang dan makan. Serta menambah omset tentu saja.
"Ternyata masalah pribadi pemilik restoran tidak sampai mengurangi selera makan para langganan. Bahkan makan sambil bergosip bisa terasa lebih sedap!" demikian Nyonya Linda berbangga hati. Kepercayaan dirinya pun meningkat dari hari ke hari. Akibatnya, ketergantungannya akan Henson jadi semakin berkurang. Sebaliknya, ia mulai mengeksploitir tenaga Henson dengan menyuruhnya melaksanakan segala ide yang bermunculan di benaknya. Jelas-jelas diperlihatkannya, bahwa dialah sang bos sebagai pencetus ide dan gagasan sementara Henson tak lebih dari pesuruh yang tinggal melaksanakan. Dia berbeda dari Tuan Liong yang kerap kali minta saran Henson atau memberinya keleluasaan untuk bersikap tanpa bertanya lebih dulu. Bukan itu saja, A Kiong pun sudah diterjunkan ke dalam kegiatan rutin dan pelan tapi pasti dia sudah mulai memperlihatkan sikap sebagai bos kecil.
Irma jadi marah. "Peringatan Ci Lili tempo hari itu benar, Son!" katanya sengit. "Mama akan menggesermu, dan mungkin mendepakmu juga. Tapi kau malah tenang-tenang saja."
"Aku sedang mengumpulkan kekuatan, Ir. Untuk itu aku harus bersabar. Dan rendah hati juga."
"Kelihatannya kau memang menyimpan sesuatu. Selama ini aku heran melihat kesabaranmu yang luar biasa. Kelihatannya jadi tidak manusiawi. Ayo, ceritakan. Awas kalau nggak."
"Baiklah, Sayang. Aku ingin mengusahakan restoran sendiri. Ah, lebih tepat kalau disebut kedai makan sajalah."
"Bukan lapo tuak""
"Oh, bukan," sahut Henson sambil tertawa. "Anggap sajalah sebagai miniaturnya SANG NAGA."
Irma keheranan. "Lantas, tukang masaknya" Cari yang baik itu susah lho, Son."
"Tukang masaknya aku."
Henson tidak membiarkan Irma keheranan lama-lama. Ia segera menceritakan perihal kursus kilat yang diberikan Cek A Piang. "Kau tahu" Sebagian masakan yang terhidang waktu kita pesta itu adalah hasil karyaku."
Irma membelalakkan mata. "Oh, pantas rasanya agak lain. Aku sudah kenal betul olahan Cek A Piang hingga tidak susah membedakan. Tapi sungguh enak, Son! Betul lho. Barangkali kau memberikan sedikit sentuhan Batak di situ""
Henson tertawa. Irma juga. Tapi Irma mencubitnya. "Itu untuk kepintaranmu merahasiakan. Aku nggak boleh tahu rupanya. Ya, nggak apa-apa. Sekarang kan tahu. Cuma jadinya gemas juga. Tapi katakan dulu. Modalnya bagaimana""
"Aku punya sedikit simpanan."
"Boleh aku tahu berapa""
Henson tidak keberatan memberi tahu. Dahi Irma berkerut. "Wah, kayaknya sih nggak cukup.
Belum untuk ngontrak tempat. Padahal kau mesti cari yang strategis. Kalau bisa sih di daerah ramai, misalnya pertokoan atau perkantoran. Tapi justru itu yang paling mahal dan susah."
"Ya. Aku tahu. Tapi Cek A Piang mau menolong. Ada temannya yang punya kedai makan di daerah Hayam Wuruk bermaksud pulang ke Medan. Lalu kedai itu mau dioperkan-nya. Prioritas pertama ditawarkannya pada Cek A Piang. Dan Cek A Piang menawarkannya padaku, karena ia sendiri tidak berminat."
"Ambillah, Son!" seru Irma a
ntusias. "Daerah itu strategis. Banyak orang cari makan di situ. Biarpun banyak saingan, tapi toh ladangnya masih luas. Apalagi tempat itu tadinya juga sebuah kedai makan. Tapi sudah kaulihat tempatnya""
"Sudah. Bentuknya kecil, dan seperti terjepit di antara dua bangunan besar. Tapi lumayan. Justru yang kecil itu cocok untukku. Apalagi tidak banyak yang perlu diubah. Paling-paling diperbaiki. Meja kursi sudah ada. Demikian pula peralatan memasak yang letaknya di depan pintu."
Irma tertawa. "Jadi sebagai tukang masak kau akan selalu dilihat dan dikenal tamu," guraunya. Tapi kemudian tawanya lenyap. "Cuma... berapa ongkosnya yang dia minta, Son"" Henson menyebutkan suatu jumlah. "Wow! Tabunganmu nggak cukup, Son. Padahal sebenarnya jumlah itu tidak terlalu tinggi. Tapi kau jangan khawatir. Aku punya simpanan juga. Kita gabung jadi satu. Tapi..." Irma berpikir sebentar. Mulutnya komat-kamit menghitung. "Wah, cukup sih cukup, cuma lebihnya tinggal sedikit. Padahal ongkos masih banyak. Tapi orang yang mau berusaha harus berani, Son. Berani ambil risiko. Masalahnya adalah memanfaatkan kesempatan. Soal uang barangkali bisa belakangan. Yang penting, untuk tahap awal sudah cukup."
Sambil berkata begitu, pandang Irma tertuju jauh. Dia seperti menyusun rencana sambil berkhayal. Tapi dia toh serius. Malah sangat serius. Sementara itu Henson memandanginya dengan kagum. Ia tak mau berbasa-basi dengan pura-pura menolak tawaran bantuan Irma padahal sesungguhnya ia memerlukan.
"Dengan malu aku harus mengakui betapa senangnya aku ditawari bantuan, Irma. Tapi sebenarnya yang kubutuhkan lebih dari sekadar uang, melainkan juga pembantu yang bisa dipercaya. Dia pun harus mau bekerja tanpa digaji. Maklum harus menghemat," katanya sambil tersenyum.
"Wah, mana ada orang seperti itu!"
Tapi kemudian Irma paham sendiri. "Oh, kau membutuhkan aku" Ya, tentu saja aku mau membantumu. Yang begitu kan tak perlu diminta lagi!" "Tapi untuk itu kau harus tinggal bersamaku."
"Tinggal bersamamu"" ulang Irma keheranan.
Hampir saja ia menambahkan dengan gurauan, "Sudah pikunkah kau"" Tapi ia melihat keseriusan Henson.
"Oh, sori saja, Son. Aku nggak mau diajak kumpul kebo."
"Wah, pikiranmu nyeleweng. Masa iya, Ir. Yang kuminta adalah sesuatu yang resmi. Maukah kau kawin denganku"" Irma tertegun.
"Tapi sayang sekali, Ir. Ya, aku menyesal. Karena aku tidak bisa menjanjikanmu kesenangan dan kenyamanan hidup. Justru sebaliknya," Henson mendahului bicara lagi sebelum Irma sempat menyahut.
Irma tersenyum. "Ah, aku mau kok, Son. Aku mau. Hidup kita bersama kan bukan cuma buatmu seorang saja, tapi juga buatku."
Mendadak Henson ragu-ragu. Ia teringat akan kebiasaan dan kehidupan Irma sehari-hari. Irma tak pernah bekerja keras. Sehari-hari hanya duduk di belakang meja menghitung uang yang masuk. Sebagai anak orang kaya sudah jelas bagaimana kehidupannya. Lantas tiba-tiba dia harus berubah. Terlalu drastis. Terlalu mengejutkan. Henson jadi menyesali sikap spontannya. Ah, jangan. Kasihan Irma.
"Kenapa kau diam"" tanya Irma heran.
"Aku punya ide lain. Biarlah aku berusaha sendiri dulu. Kau tetap dengan ibumu. Bila aku sudah mapan baru kita kawin. Dan jangan lupa. Umurmu belum dua puluh satu. Aku khawatir ibumu tidak memberi izin."
"Tapi kau perlu pembantu, kan" Hanya ada satu orang yang bisa dan mau membantumu. Aku! Ya,
aku ingin bekerja, Son. Aku sudah bosan duduk terus di belakang meja."
"Karena itu, sekalinya kau bekerja pinggangmu akan pegal-pegal."
"Ah, itu masalah biasa dan tidak biasa. Hei, kenapa sih kau ini" Tadi dan sekarang ngomong-nya lain."
"Aku tidak tega mengajakmu kawin."
Irma tertawa. "Semakin kau merasa tidak tega, semakin bulat tekadku," katanya tegas. "Itu tandanya kau tidak mempercayai kemampuanku dan karenanya aku jadi ingin membuktikan."
"Oh, senang sekali, Ir. Aku sungguh senang kau mau. Tapi ibumu..."
"Jangan pesimis dulu. Belum kutanyakan. Tapi orang tuamu sendiri bagaimana""
"Aku sudah cukup lama menyurati, memberi kabar tentang kau dan aku. Tapi belum ada balasan. Pergi sendi
ri ke kampung sudah jelas membutuhkan biaya, padahal aku perlu berhemat. Ya, itu pun sudah kujelaskan. Aku sudah lama tidak pulang kampung bukan karena melupakan orang tua dan asal usul. Mudah-mudahan mereka mengerti."
"Kalau mereka tak setuju""
"Kita jalan terus. Aku yakin, lama-lama mereka akan setuju juga. Pada permulaan biasanya memang begitu. Kawin campur di zaman sekarang ini toh bukan lagi sesuatu yang baru."
"Tekadku pun sudah bulat." "Terima kasih, Sayangku."
*** Irma menghadapi ibunya. "Mama, saya mau bicara."
"Bicaralah," sahut Nyonya Linda tanpa mengalihkan pandang dari buku catatannya.
"Ini tentang Henson, Ma," tegas Irma dengan maksud supaya ibunya mengalihkan perhatian kepadanya.
"Oh, ya"" Nyonya Linda berpaling dan menatap tajam sebentar, lalu mengalihkan lagi matanya ke arah buku di depannya. "Kalau ngomong yang jelas. Jangan sepotong-sepotong. Langsung saja to the point," katanya menirukan cara bicara Dermawan kepadanya dulu. Tapi ia tidak bermaksud bergurau. Sikapnya serius.
Untuk sesaat Irma merasa geli. Kini ibunya mulai menampilkan gaya yang baru sebagai seorang wanita bisnis. Cukup mengesankan keseriusannya. Tapi bagi Irma sikap semacam itu juga merupakan tanda bahaya.
"Mama keterlaluan memperlakukan Henson. Masa si A Kiong mau dibiarkan menggesernya. Apakah Mama melupakan jasa-jasa Henson selama ini""
"Lho, bukankah jasanya itu sudah dibayar" Aku tak punya hutang padanya. Ingat. Pada saat permulaan dia datang kemari, dia dalam keadaan lapar. Untung dia diterima bekerja di sini. Kalau tidak" Nah, siapa yang sepatutnya dibilang berjasa""
Irma merasa bersyukur bahwa ketika itu Henson tidak ikut mendengar.
"Bukan begitu caranya menghargai jasa orang, Ma. Selama ini dia sudah bekerja dengan baik. Sangat baik malah. Papa kerap memujinya, bukan" Bahkan dalam peristiwa kecoa itu, Henson sudah membuktikan kemampuannya. Tanpa dia, kita akan kerepotan. Mama sendiri waktu itu kebingungan, bukan""
Nyonya Linda melotot. Kini ia melupakan bukunya. "Tentu saja kau membela dia, karena dia pacarmu!" serunya marah. "Huh, omong kosong! Apa kaupikir itu berkat jasanya" Kita bisa bertahan terhadap segala cobaan itu bukan karena dia. Bukti berikutnya adalah keadaan sekarang ini. Kita mampu tetap bertahan, bukan" Padahal itu sama sekali bukan karena jasanya. Itu karena rezeki ada di tangan kita. Nah, dalam keadaan seperti itu kita tidak perlu takut terhadap apa pun!" Setelah diam sebentar, ia melanjutkan dengan suara lebih perlahan, "Ya, kita memiliki Sang Naga."
Kalimat terakhir itu diucapkannya dengan nada khidmat. Dan sepertinya tidak ditujukan kepada Irma, karena matanya memandang jauh.
Irma tidak mempedulikan. "Tahukah, Mama, bahwa sebelum meninggal Papa telah mengangkat Henson sebagai manajer restoran kita" Masih ingatkah Mama akan peristiwa kecoa itu" Nah, sebelum Henson pergi menemui Bang Asrul untuk menjelaskan peristiwa itu. Papa menjanjikannya kedudukan itu. Tapi Papa menyuruhnya merahasiakan dulu."
Nyonya Linda tertawa geli. Sangat geli. "Henson jadi manajer" Lelucon dari mana itu" Kalau Papa memang serius kenapa dia tidak memberi tahu aku""
"Papa menunggu saat yang tepat. Lalu ia merencanakan akan mengumumkannya pada acara pesta kita tempo hari. Tapi ternyata peristiwanya jadi lain."
nyonya Linda menggelengkan kepala. "Tidak mungkin. Papa pasti tidak serius. Itu pasti taktiknya saja agar Henson mendapat semangat. Ya, dia berbohong saja."
"Tidak mungkin, Ma! Kalau memang cuma taktik tentu ia takkan menceritakannya pada saya. Dia mengatakannya sewaktu kita baru membuat rencana pesta itu. Ya, kalau mau bohong tentu dia cuma bilang kepada Henson seorang!"
"Masa bodoh! Bukankah sekarang ini aku yang berkuasa" Tentu aku yang ngatur dong. Bayangkan kalau si Henson jadi manajer. Lantas aku mau dikemanakan" Apa cuma goyang kaki" Wah, nggak lucu dong."
Irma sadar, tak mungkin berdebat dengan ibunya. Tentu saja bukan tujuannya memperjuangkan kedudukan Henson di situ, melainkan ingin mengingatkan saja. Supaya ibunya mau menghargai.
"Kau tidak pun ya hak memaksaku, Irma," Nyonya Linda mengingatkan dengan, suara berwibawa. "Sebagai pengganti papamu, restoran ini sekarang aku yang urus. Aku yang atur. Mau kuapakan dan tenaga siapa yang mau kupakai itu adalah urusanku. Bukan urusanmu. Kau tidak berhak ikut campur. Ya, dulu kau dan papamu suka kasak-kusuk berdua, mengatur ini itu, membicarakan ini itu, tanpa pernah mengikutsertakan aku. Hem. Papamu lebih suka mendengarkan dan menuruti ocehanmu daripada meminta saranku. Barangkali dikiranya aku berotak udang. Sekarang papamu sudah tiada, dan aku tidak akan memperlakukanmu dengan cara dia."
Nyonya Linda melepaskan unek-uneknya dengan penuh kepuasan. Inilah kesempatan untuknya. Sudah cukup lama dia dianggap bodoh. Bukan saja oleh Hok Kie dan Irma, tapi juga oleh Peter. Dia bisa merasakan hal itu, walaupun tak pernah mengungkapkannya. Bagi Peter, kelebihan satu-satunya yang ia miliki hanyalah di segi seks. Dan ia membiarkan, karena ia pun menilai Peter melulu di segi yang sama! Ah, barangkali ada juga rasa sayang di situ. Atau cinta. Tapi kalau ditimbang-timbang, ternyata dia jauh lebih mencintai dirinya sendiri daripada Peter. Hal itu sudah terbukti tempo hari. Dan juga sekarang. Tak ada perasaan tidak tega. Atau berat hati. Ataupun sekadar belas kasihan.
Irma tertegun. Apa yang didengarnya merupakan sesuatu yang tak pernah terpikir. Bahwa ibunya merasa tersinggung dan kemudian dendam oleh keakrabannya dengan ayahnya sama sekali tak terpikirkan kemungkinannya. Rupanya akibatnya jadi seperti ini. Di mata ibunya dia tak ubah seorang saingan. Sementara ia sendiri tidak sempat merasakan kekurangan kasih ibu. Kesadaran akan hal itu jadi terasa menyakitkan sekarang.
"saya tidak bermaksud memaksa Mama," katanya pelan. "Ya, sudahlah kalau itu memang merupakan kebijaksanaan Mama. Tidak apa-apa. Tapi, izinkanlah kami menikah, Ma."
Nyonya Linda kembali melotot. Ia seolah kurang percaya, akan kata-kata Irma. "Menikah dengan si Henson" Apa kau sudah gila""
"Bukankah Mama sudah tahu perihal hubungan kami""
"Aku pikir, kau cuma pacaran saja. Kau cuma main-main." "Kami serius kok, Ma."
"Pacaran boleh saja, tapi kawin tidak!" kata Nyonya Linda tegas.
Irma terdiam. Sikap ibunya itu tidak terlalu mengejutkan. Kini ia sibuk mencari daya.
"Hei, apakah kamu sudah..."" tanya Nyonya Linda dengan tatap curiga. Bagaimanapun, ia tentu tak menghendaki Irma mengikuti caranya berpacaran dengan Peter.
Irma memahami maksud pertanyaan ibunya, dan itu membuat darahnya serasa naik ke muka. "Tentu saja tidak, Ma. Kami tidak pernah berbuat melewati batas seperti... seperti orang lain."
Nyonya Linda merasa tersindir. Amarahnya bertambah. "Bagaimanapun aku tidak mengizinkan! Bukan saja karena kau memilih si Henson sebagai pasanganmu, tapi juga mau melangkahi kedua kakakmu. Enaknya!"
Irma menunduk. Mengira Irma akan menangis, perasaan Nyonya Linda melembut. "Kau masih terlalu muda, Ir. Hati-hati terhadap rayuan lelaki. Tahu-tahunya gombal. Si Henson itu tentunya mengincar kekayaan. Dia tahu kau anak orang kaya, kau mewarisi harta cukup banyak dari ayahmu. Nah, lihat betapa liciknya dia. Mestinya dia bisa ngaca. Tahu diri," katanya, mencoba membujuk.
Tapi ketika Irma mengangkat muka dan pandang mereka beradu, Nyonya Linda segera menyadari bahwa perkiraannya keliru. Irma tidak menangis, dan matanya memperlihatkan kekerasan hati.
"Saya sudah memikirkannya baik-baik. Tekad saya sudah bulat, Ma," kata Irma tegas.
"Dia akan kupecat sekarang juga! Kurang ajar benar!" seru Nyonya Linda marah. "Dan apa kaupikir bisa gampang kawin dengan dia tanpa izin orang tua" Mana mungkin. Umurmu belum dua puluh satu!"
Irma diam lagi. Ia tahu, itulah kelemahannya yang utama.
*** Setelah dipecat, Henson masih sering bertemu dengan Cek A Piang.
"Aku jadi kepingin berhenti juga," kata Cek A Piang.
"Ah, jangan. Cek. Jangan."
"Aku bisa kerja sama denganmu."
"Wah." Hanya itu komentar Henson. Ia membayangkan gaji Cek A Piang yang lumayan besar di SANG NAGA. Dia sendiri mana mungkin bisa memberi gaji sebesar itu.
Tapi C ek A Piang tertawa sambil membantah ucapannya sendiri, "Mana mungkin dua orang koki bekerja sama di tempat sekecil itu""
Henson juga tertawa. "Cek jangan berhenti. Di sana Cek dibutuhkan."
"Ya. Lihat sajalah nanti. Tapi ngomong-ngomong, nggak sangka ya kau bisa dengan Irma. Rupanya diam-diam pintar merayu," Cek A Piang menggoda.
Henson hanya tersenyum. Memang hanya itu reaksinya bila ada yang menggoda.
"Eh, sudah kaudengar cerita tentang si Udin" Barangkali dari Irma"" Cek A Piang teringat dengan tiba-tiba.
"Oh, belum, Cek. Dia belum cerita."
"Sehari setelah kau dipecat, si Udin datang menemui Nyonya Linda. Beraninya orang itu. Rupanya dia tahu bahwa kau sudah tidak ada. Barangkali takutnya cuma sama kau. Kau tahu apa permintaannya" Dia minta kerja lagi di situ. Nggak punya muka bener. Aku pikir, Nyonya Linda pasti akan melabraknya habis-habisan. Eh, nggak tahunya dia bersikap ramah. Dia tanya soal kecoa itu. Dan apa jawab si Udin" Katanya dia disuruh oleh Peter. Kenapa mau" Habis dia diancam, jawabnya. Rupanya dia pikir orang percaya saja. Yang pasti dia dikasih imbalan uang. Dan tentunya dia berani datang lalu mengakui perbuatan itu karena sudah tahu apa yang terjadi. Dia tahu bahwa Peter tidak bisa berbuat apa-apa padanya. Nah, apa jawab Nyonya Linda" Sungguh di luar persangkaanku. Katanya, dia sih mau saja menerima karena memang sedang membutuhkan tenaga. Tapi dia merasa kasihan kepada Udin. Soalnya, polisi sedang mengincarnya untuk ditangkap. Jadi kalau Udin bekerja di situ, besok lusa pasti akan diciduk polisi. Wah, ampuh benar ucapan itu! Serta merta si Udin angkat kaki ketakutan. Yang kuherankan adalah sikap Nyonya Linda itu. Kalau dilihat kebiasaannya dari dulu, pasti dia akan memaki-maki si Udin dengan kata-kata kasar. Kok dia bisa ngomong manis, tapi mengena dengan jitu. Tidak herankah kau, Son""
"Heran sih tidak, Cek. Nyonya Linda memang sudah berubah. Kini dia seorang wanita bisnis!"
"Kelihatannya memang begitu. Waktu kutanyakan, kenapa si Udin kurang ajar itu tidak diusirnya saja, dia menjawab dengan senyum. Katanya, orang seperti si Udin itu berbahaya. Bagaimana kalau si Udin dendam lalu berniat membunuh" Wah, pintar dia mencari akal," puji Cek A Piang.
Tiba-tiba Henson jadi membandingkan si Udin dengan dirinya sendiri. Kepadanya Nyonya Linda tidak segan-segan berlaku kasar. Pasti hal itu disebabkan karena ia dinilai tidak berbahaya. Pahit juga rasanya.
"Ngomong-ngomong, mau kauberi nama apa kedaimu itu""
"Oh ya. Bagaimana kalau SOTO MEDAN, Cek""
"Bagus! Jadi itu spesialisasimu"" "Ya, Cek."
"Dan Irma sudah setuju""
"Ya. Kami sudah sepakat, Cek."
"Dia gadis yang baik, Son. Aku harap kau akan tetap menyayanginya sampai tua."
"Ya, Cek," sahut Henson terharu.
Tentu saja, ia menegaskan dalam hati. Kalau tak ada Irma di dunia, eh, di Jakarta, betapa akan hampa hidup ini!
*** Kembali Irma berhadapan dengan Nyonya Linda. Kali ini Irma-lah yang dipanggil.
"Bagaimana" Masih adakah angan-angan kawin itu di kepalamu"" tanya Nyonya Linda.
"Itu serius, Ma. Bukan angan-angan," sahut Irma jengkel.
"Baik. Kau memang serius. Dan aku tetap berat memberi izin. Tapi ada alternatif. Kalau kau ingin menerima sesuatu yang sebenarnya tidak pantas untukmu, maka kau harus juga mau memberi."
Irma memandang dengan perhatian penuh. "Katakan saja, Ma. Tak usah bertele-tele."
Nyonya Linda tersenyum. "Ya. Aku akan langsung ke tujuan. Aku akan memberimu izin kawin dengan Henson, tapi dengan syarat. Kau harus melepaskan hakmu atas warisan ayahmu!"
Irma terkejut. Lalu timbul perasaan muak. "Lantas untuk siapakah hak saya itu nanti""
"Jelas itu nanti dibagi rata antara aku, Lili, dan Yeni. Jangan lupa mereka berdua itu tidak akan merasa senang dilangkahi olehmu. Masa kau yang paling kecil kawin duluan. Apalagi Yeni yang patah hati dan belum memperoleh pacar lagi. Dan aku" Sudah tentu kejengkelanku karena tiba-tiba punya menantu si Henson itu harus diberi pelipur." Nyonya Linda tertawa tanpa merasa risi.
Untuk sesaat Irma tak bisa berkata-kata. Perasaan muak itu m
endesak-desak lambungnya.
"Kalau tidak mau, ya sudah. Soal itu tak usah dipikirkan lagi. Tapi kau harus sadar, bahwa aku memang tak mungkin memberimu izin kawin dengan Henson begitu saja. Kau harus mau berkorban. Kau harus merasakan juga pahitnya. Dan satu hal lagi. Kau pun bisa melihat reaksi si Henson. Apakah sesungguhnya dia mencintai dirimu ataukah hartamu"" kata Nyonya Linda tajam.
Sesudah rasa muaknya berangsur lenyap, Irma kembali harus bergulat mengatasi kesedihannya. Tapi ketika ia melihat tatapan ibunya yang keras, tanpa kelembutan dan rasa keibuan, perasaannya pun jadi ikut mengeras. Lenyap sudah segala kesedihan. Tidakkah baginya masih tersedia alternatif"
"Baik, Ma. Saya setuju," jawab Irma kemudian.
Nyonya Linda memandang heran sebentar. Jawaban yang tegas itu di luar persangkaannya. Setidaknya ia yakin Irma akan ragu-ragu atau minta waktu untuk berpikir. Ah, cinta membuat orang jadi dungu.
"Kalau begitu, nanti kusiapkan suratnya. Notaris akan kuhubungi. Sementara kau bisa minta Henson mengurus di Catatan Sipil. Kalian bisa segera kawin sesudah surat pengalihan hak itu kautandatangani."
"Baik, Ma." Sesaat Nyonya Linda memandangi putrinya. Serasa anak ini bukan anaknya. Serasa orang lain. Bahkan Irma juga tidak merengek-rengek, memohon dan membujuk seperti layaknya sikap anak yang manja kepada ibunya. Barangkali Irma juga punya perasaan yang sama. Mungkin hal itu jadi mempermudah. Tidak perlu ada rasa iba.
"Tapi aku tidak pelit, Irma. Akan kuberikan sejumlah uang sebagai hadiah perkawinan dan kubiayai pula pesta perkawinanmu. Kau boleh menggunakan ruangan di sini untuk pestamu." "Saya tidak mau pesta, Ma." "Oh, itu terserah kau."
"Biarlah biaya untuk pesta itu Mama berikan saja pada saya," kata Irma tanpa malu-malu.
"Baik. Jadi yang akan kuberikan padamu adalah sejumlah..." Nyonya Linda menyebutkan jumlahnya.
Irma mengangguk. Ia -tahu jumlah itu sangat kecil, terlalu kecil bila dibandingkan dengan harta yang akan ia lepaskan. Harta ayahnya terbilang ratusan juta rupiah. Dan bila itu dibagi empat sesuai hak masing-masing, maka yang sepatutnya ia peroleh masih di atas seratus juta. Sedang hadiah yang mau diberikan untuknya tak ada seper-sepuluhnya. Tapi betapapun sedikitnya, uang itu berguna untuk dia dan Henson. Itu penting sebagai modal mereka sekarang. Bagi orang yang mau berusaha waktu menjadi sangat penting. Malah yang utama. Kalau kesempatannya adalah sekarang, maka selayaknya sekarang pulalah kerja itu harus dilaksanakan. Dan berbareng dengan itu tentu saja modalnya harus pula tersedia. Jadi, apalah artinya uang seratus juta kalau itu masih berupa angan-angan yang tak bisa segera dijadikan kenyataan.
"Tapi aku masih memberikan kesempatan berpikir -untukmu, Irma. Kalau ternyata salah, seumur hidup kau akan menyesal," Nyonya Linda mencoba menasihati. Sebagai seorang ibu ia toh berhak memberi nasihat dan peringatan.
"Saya sudah berpikir, Ma." Jawaban singkat itu cukup membuat nyonya Linda mengunci mulutnya.
*** Henson sedang sibuk mengecat di rumahnya yang baru ia tempati. Calon kedai makan miliknya yang nantinya akan merangkap sebagai rumah tinggal. Memang tidak besar. Dari luar pun kelihatan seolah terjepit. Tapi bentuknya memanjang hingga di belakang masih tersedia ruang untuk dijadikan kamar tidur, dan sedikit ruang untuk duduk-duduk.
Pada saat itulah Irma datang membawa berita perkembangan hubungan mereka yang paling akhir.
Henson bersorak kegirangan. Ia kembali jadi seperti anak kecil yang melompat tinggi-tinggi, lalu memeluk Irma erat-erat dan menghujaninya dengan ciuman kemudian mengajaknya menari berputar-putar. Irma yang semula tertegun-tegun jadi terbawa gembira. Sampai kemudian mereka terduduk kecapekan.
"Waduh, kau seperti orang menang undian saja, Son," kata Irma sambil menyeka peluhnya.
"Kegembiraanku lebih dari itu. Hei, kesinilah, Ir. Di sini kita bebas. Tak ada orang menonton," seru Henson sambil menepuk pahanya.
Irma duduk di pangkuan Henson. Lalu Henson memeluknya dengan lembut seolah dia anak kecil yang sedang ditimang. Bebera
pa saat lamanya mereka terdiam dalam keadaan seperti itu. Rasanya menyenangkan sekalian menenangkan debar jantung masing-masing.
"Tadinya kupikir kau agak kecewa, karena imbalan yang harus kuberikan untuk izin itu," kata Irma.
"Sama sekali tidak. Malah aku sangat bahagia karena kau... Ah, apakah kau menyesal, Ir""
"Tentu saja tidak. Uang selalu bisa dicari kalau kita berusaha dan rezeki ada pada kita. Cuma aku ingat kata-kata Mama. Katanya, hal itu dapat sekalian membuktikan cintamu. Apakah kau memang mencintai diriku ataukah warisan yang bakal kuterima""
"Oh, jadi itu yang terpikir oleh ibumu" Tak mengherankan. Mungkin bukan cuma dia yang berpikir seperti itu."
"Jangan kau menyindirku. Aku tidak berpikir begitu. Tapi setelah mendengar ucapan Mama itu, terus terang aku merasa khawatir juga. Toh sekarang tidak. Aku merasa lega."


Cinta Sang Naga Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Henson mengeratkan pelukan. "Maaf. Aku sama sekali tidak bermaksud menyindirmu. Tapi aku juga tidak menyalahkan kau, andaikata kau sempat meragukan aku. Karena aku sendiri pun pernah berpikir sama tentang dirimu."
Irma mencubitnya. "Sudahlah. Tak ada gunanya meributkan soal itu lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
"Kau betul. Tapi coba ceritakan. Bagaimana reaksi kedua kakakmu""
"Oh, Ci Lili simpatik. Dia bilang, tidak apa-apa aku mendahuluinya kawin. Toh tidak lama lagi dia
pun akan menyusul. Sebenarnya dia dan Jimmy sudah lama punya rencana untuk kawin. Tapi Mama memintanya untuk menangguhkan dulu. Dia masih diperlukan. Ah, kau tahu, kan" Untuk pajangan di meja kasir. Apalagi kalau aku sudah tidak ada, nanti tinggal Yeni sendirian. Entah sampai kapan Ci Lili harus menunggu."
"Aku pikir, faktor kelarisan bukanlah terletak pada tiga dara yang cantik-cantik di belakang meja kasir."
Irma mencubitnya lagi. Tapi kemudian ia berkata serius, "Ya, aku pikir juga begitu. Apalagi Mama kan percaya pada Sang Naga keberuntungan. Jadi kenapa dia harus menahan-nahan Ci Lili""
"Mungkin kepercayaannya kurang tebal atau dia terlalu serakah."
"Aku dengar dari Ci Lili, bahwa Mama memintanya untuk menunggu sampai situasi pulih."
"Pulih bagaimana" Bukankah jumlah pengunjung sudah menaik" Itu kata Cek A Piang. Dia mulai repot lagi, katanya."
"Mama menginginkan situasi kembali seperti dulu."
Henson menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dan Yeni bagaimana""
"Oh, dia marah-marah padaku. Kau tahu sendiri bagaimana dia kalau mengomel. Omongannya sinis. Jadi tak perlu kuulang lagi."
Henson mengangguk setuju. Ia tak ingin mendengar tentang apa saja yang dikatakan Yeni perihal dirinya. Membayangkannya saja sudah membuat ia ngeri.
"Tapi pada pokoknya dia toh setuju," Irma melanjutkan ceritanya. "Lumayan mendapat tambahan warisan, katanya. Ah, sudahlah. Pokoknya semua setuju. Kita sudah mendapat izin dan restu, meskipun untuk itu harus membayar. Rasanya kok jadi aneh, ya Son."
"Aneh bagaimana""
"Oh, bukan pahit, kesal, atau sedih. Bukan itu. Tapi sepertinya aku melihat ke sekitarku dengan mata yang lebih lebar, hingga lebih luas lagi jangkauan pandanganku. Ya, mungkin juga bukan cuma karena permintaan Mama itu, tapi terutama karena peristiwa yang kita alami belakangan ini. Ya, beginilah hidup!"
Mereka berdua termangu-mangu sebentar. Henson jadi terbawa dalam renungan Irma. Ia pun mengenang kehidupannya sendiri sampai dengan saat itu.
Akhirnya Irma tertawa. Ia melompat dari pangkuan Henson, hingga Henson segera menyadari bahwa kakinya sudah kesemutan.
"Yuk, kubantu kau bekerja!" seru Irma bersemangat. "Dan jangan katakan bahwa kau berkeberatan."
Henson tersenyum. Semangatnya ikut meningkat. "Tapi mana yang membutuhkan tenaga lelaki tetap jadi bagianku!" balasnya.
Dan kalau sudah begitu, maka kerja yang paling melelahkan pun akan memberi kebahagiaan selangit.
-XV- Peter cuma menerima hukuman percobaan saja. Dengan sangat meyakinkan, pembelanya menekankan unsur ketidaktahuan Peter perihal benda yang ada di saku Tuan Liong pada saat peristiwa itu terjadi. Seperti pembelaan yang diajukan Peter pada saat rekonstruksi, ia mengira bahwa yang dim
asukkan Tuan Liong ke dalam gelas Nyonya Linda adalah ramuan guna-guna. Tidak ada bukti dan tak pula ada saksi yang bisa membenarkan tuduhan tentang adanya unsur kesengajaan. Apalagi perencanaan. Semuanya terjadi secara spontan. Suatu kebetulan belaka. Andaikata tidak ada ribut-ribut di muka pintu, maka bisa dipastikan tak akan ada yang meninggalkan meja makan sampai jamuan selesai. Bila demikian halnya, para tamu akan pulang ke rumah masing-masing dengan damai. Tak ada geger. Dan Peter pun tak akan terlibat. Sementara Tuan Liong sebagai si pembawa racun yang memiliki niat membunuh kemungkinan akan mencari kesempatan lain selama niat itu masih bercokol di kepalanya. Hukuman diberikan dengan pertimbangan kelalaian dan keisengan belaka. Perbuatan Peter itu dilakukan tanpa pikiran yang panjang. Semestinya dia mempunyai perkiraan tentang niat buruk Tuan Liong terhadap istrinya mengingat dia adalah yang paling tahu tentang penyelewengan sang istri. Ya, bukankah dia sendiri yang jadi sang pacar" Jadi sepatutnyalah bila ia membuang saja gelas berisi racun itu ketimbang menukarkannya. Atau kalau mau jadi pahlawan dia bisa menangkap basah Tuan Liong dengan racun di dalam gelas dan sisa racun di dalam sakunya sebagai barang bukti. Bila demikian sang pacar akan berperan sebagai penyelamat yang terhormat.
Peter memang menyesal. Tapi apa mau dikata, semua sudah terjadi. Kini ia memiliki nama yang tercoreng. Dan untuk menghindarkan malu terpaksa ia mengambil cuti panjang untuk bersembunyi sementara waktu. Kelak bila masalahnya tak lagi jadi topik pembicaraan, barulah ia keluar. Pada saat itu orang akan melupakan. Toh saat itu pun akan tampil topik lain lagi. Manusia yang punya ulah tentu bukan cuma dia seorang.
Tapi ia memperoleh pelajaran berharga. Mungkin paling berharga selama hidupnya. Pengenalannya tentang manusia belumlah sempurna. Khususnya tentang Linda. Dan itu sangat menyakitkan hatinya. Dia lebih bodoh. Karena itu ia dikalahkan.
Pada mulanya ia justru berpendapat sebaliknya. Ia mengira bisa memanfaatkan Linda. Baik di segi seks, maupun di segi bisnis. Linda cantik dan menggairahkan, serta mampu memberinya kepuasan yang tak bisa ia peroleh dari istrinya sendiri. Sedang di segi bisnis, ia berharap bisa memperolah banyak informasi perihal SANG NAGA. Terutama apa saja rahasia pengelolaannya. Di kalangan dagang selalu ada saja isyu yang beredar perihal kesuksesan seseorang. Taktik apa yang dipakai, inti kekuatannya di mana, jimat apa yang dipakai, dan siapa pula dukunnya. Semakin susah orang berdagang, semakin santer pula isyu yang beredar.
Ia sudah cukup lama berangan-angan untuk menanamkan modalnya dalam usaha restoran. Dan sudah cukup lama pula ia mempelajari dan mengincar SANG NAGA. Lalu ia menemukan Linda yang ternyata dengan mudah masuk dalam pelukannya. Begitu mudahnya sampai terpikir dengan bangga, betapa hebat daya tarik dan rayuannya.
Tapi belakangan ternyata semua perkiraan itu meleset. Berbagai pukulan beruntun menimpanya. Sudah nama baiknya rusak, segala kebanggaan yang pernah dimilikinya itu pun runtuh. Ternyata tidak jelas siapa yang sudah berhasil memanfaatkan siapa. Diakah" Atau Linda-kah" Jangan-jangan justru dialah yang telah dimanfaatkan oleh Linda. Satu hal menjadi fakta. Yang pernah dirayunya dan kemudian jatuh ke dalam pelukannya itu ternyata seorang wanita yang tengah 'kehausan'. Ia sama sekali tidak tahu apa yang diderita Hok Kie. Jadi kemungkinan Linda menganggap rayuannya itu bagaikan pucuk dicinta, ulam tiba. Sedang lapar, datang orang menyorongkan makanan lezat.
Sementara di segi bisnis, ia pun tidak memperoleh sesuatu informasi yang bermanfaat. Hampir semua yang ia ketahui berasal dari penyelidikannya sendiri. Dan paling akhir juga perihal Mama Gembrot. Tidak ada yang bisa dikoreknya dari Linda. Semua yang mengalir dari mulutnya hanyalah berbagai tetek-bengek dan omong kosong yang merupakan kelebihan seorang perempuan bawel.
Paling akhir adalah kebebalannya menukarkan gelas itu. Sejak saat ia melihat Hok Kie membubuhkan sesuatu ke dalam gelas Linda, ia bukan tak punya perkiraan
tentang apa kiranya sesuatu itu. Kemungkinan besar sesuatu itu berbahaya. Ya, mungkin saja racun dan Bukan sekadar ramuan guna-guna. Tapi ia toh menukarkannya karena dalam waktu singkat itu tiba-tiba ia memperoleh gagasan. Lebih baik si Hok Kie yang mati daripada istrinya. Jalan akan menjadi mulus untuknya bila tiba saatnya ia mengusahakan restoran miliknya sendiri. Tersingkirnya seorang saingan akan melicinkan jalan. Ia pun sekalian bereksperimen. Apakah kematian pemilik SANG NAGA akan mempengaruhi kelarisannya" Fakta semacam ini termasuk penting.
Pada suatu ketika ia pernah melakukan eksperimen yang lain. Eksperimen kecoa. Ia ingin tahu bagaimana akibatnya terhadap SANG NAGA. Ternyata SANG NAGA berhasil mengatasi cobaan itu. Karena itu ia jadi semakin penasaran. Dorongan itu pulalah yang membangkitkan kenekatannya. Kiranya tidak ada orang yang tahu. Kalaupun kematian Hok Kie diragukan penyebabnya, satu hal sudah jelas. Racun itu berada di dalam sakunya.
Tapi kini ia menyesali semua itu. Melihat tingkah Linda belakangan ini, ia jadi semakin yakin bahwa dirinyalah yang telah dimanfaatkan secara licik. Kelihatannya Linda menikmati posisinya sebagai janda, karena memperoleh warisan yang besar nilainya. Padahal Linda juga tidak nampak kehilangan dirinya sebagai seorang kekasih. Ya, jangankan kehilangan, mau peduli pun tidak! Karena itu, bisalah diartikan bahwa Linda telah meminjam tangannya untuk membunuh sang suami! Dan dia begitu bebalnya untuk membiarkan hal itu terjadi. Ya, jangankan Linda berterima kasih padanya karena telah menyelamatkan nyawanya, malah berbuat sebaliknya.
Berbagaideraan itu telah membuat ia tambah tua sepuluh tahun. Ia dendam tapi juga merasa kapok. Mungkin karena istrinya memaafkan. Dan mungkin juga karena kesadaran, bahwa seorang istri yang baik dan setia, betapapun jeleknya, tetap merupakan tempat berlabuh yang memberikan rasa aman dan tenteram.
Ia pun sudah kehilangan semangat untuk segera mewujudkan usaha restorannya. Padahal ia sudah mempersiapkan dengan cermat. Memang persiapannya belum selesai sama sekali. Tapi toh untuk persiapan itu ia sudah mengeluarkan biaya tak sedikit, di antaranya ongkos sewa ruangan dan pembayaran di muka bagi jasa Mama Gembrot. Tapi kini semua itu terpaksa berantakan. Padahal nama bagus sudah disediakan bagi restorannya itu. Sudah tentu atas saran Mama Gembrot. Namanya adalah Sepasang Naga! Ya, Sang Naga keberuntungan yang akan diundangnya untuk menetap itu bukan cuma satu, tapi sekaligus dua!
Sesungguhnya, perasaan Nyonya Linda tidaklah semantap penampilannya. Sesudah masalahnya dengan Irma selesai diurus, masih ada masalah mengganjal lainnya. Dan itu merupakan masalah paling utama untuknya.
Omset SANG NAGA tak kunjung menaik. Memang sepi sih tidak. Tamu yang datang selalu ada saja. Tapi dibanding dengan hari-hari pertama mereka buka kembali sesudah kematian Hok Kie nampak ada penurunan. Tak seberapa banyak, tapi toh berarti. Karena yang diharapkannya adalah kenaikan, dan bukannya penurunan. Apalagi sesudah menurun itu lantas seolah mandek dan menetap. Naik tidak, turun pun tidak.
Tentu saja Nyonya Linda sangat penasaran. Jangan-jangan Cek A Piang mau memboikot dengan membuat masakannya kurang enak" Kemungkinan seperti itu ada saja. Menghadapi kemungkinan itu ia menganjurkan para tamunya
agar tidak segan-segan menyampaikan kritik perihal masakan yang mereka makan. Tapi sampai saat itu, kritik yang masuk belum ada.
Kemudian ia teringat akan Mama Gembrot. Ah ya, kenapa pula ia baru mengingatnya sekarang" Mestinya sesegera mungkin, bahkan sebelum mereka buka setelah tutup selama dua minggu.
Setelah kematian Hok Kie, dengan sendirinya Sang Naga jadi kehilangan majikan. Tepatnya, sekarang ia berpindah majikan. Jadi tentunya mesti disesuaikan walaupun ia tidak tahu apa saja yang kiranya mesti disesuaikan itu. Tentunya Mama Gembrot yang paling tahu. Tapi kemungkinan besar yang harus diubah adalah tata ruang atau bentuk bangunan. Ya, tak apalah dibongkar sedikit ataupun banyak. Biaya itu tak ada artinya bila dibandingkan dengan rezeki yang akan
mengalir masuk kelak. Ia mengajak Yeni berkunjung ke rumah Mama Gembrot. Tapi ternyata Mama Gembrot tidak di rumah. Kata penjaga rumahnya, Mama Gembrot sedang melakukan perjalanan ke Gunung Kawi. Untuk apa" Oh, itu merupakan kebiasaan rutinnya untuk membersihkan diri sekaligus memperdalam ilmu. Dan konon, sekembalinya dari sana penglihatannya akan menjadi lebih jernih dan ilmunya lebih sarat. Demikianlah tutur sang penjaga membesarkan hati Nyonya Linda yang kecewa.
Dari hari ke hari ia cuma bisa menghitung omset yang masuk dengan perasaan cemas. Tapi ia berusaha menumbuhkan harapannya dengan menunggu kedatangan Mama Gembrot.
Atas permintaan Nyonya Linda, Henson memasang iklan pernikahannya di koran dengan judul MENIKAH TAMASYA. Padahal semula Irma keberatan. Tapi ibunya memaksa. Iklan berjudul demikian perlu sebagai pemberitahuan bahwa mereka memang tidak mengadakan pesta, walaupun sesungguhnya mereka pun tidak berniat tamasya ke mana-mana.
Bagi mereka berdua, hari-hari pertama sesudah pernikahan berarti langsung terjun ke dalam pekerjaan. Ikatan perkawinan membuat kerja sama menjadi lebih mudah dan tentu saja juga lebih mesra. Kesibukan dengan diisi suasana yang manis dapat menambah semangat kerja. Kelelahan pun cepat sirna.
Kebahagiaan mereka bertambah dengan tibanya sepucuk surat kilat dari Pematang Siantar. Isinya adalah izin dan restu dari orang tua Henson. Memang terlambat, tapi itu bukan persoalan. Apalagi syarat yang diminta pun kedengaran menyenangkan, yaitu, kalau mereka sudah beroleh rezeki harus segera datang untuk diupacarai. Terutama bagi Irma, yang juga ingin dikenal semua orang. Tentu saja berita ini tambah memacu semangat.
Sehari sebelum buka secara resmi, mereka mengundang Asrul bersama rekan-rekan sekerjanya dan tentu saja juga bersama pasangan masing-masing. Tapi ternyata hanya Asrul seorang yang tak membawa pasangan.
"Yeni menolak waktu kuajak," alasannya.
Tentu bukan tanpa maksud Henson melakukan hal itu. Ia ingin berpromosi. Sekalian mencoba kemampuan. Ternyata ia tidak gugup ketika melaksanakan tugasnya sebagai tukang masak. Sebagai hasil latihannya selama berhari-hari kedua tangannya sudah menjadi trampil dan cekatan. Tidak ada lagi keraguan mana yang mesti dicomot dan mana yang mesti diaduk. Tangan kanan dan kirinya berhasil menjalin kerja sama yang baik. Bahkan diawasi Asrul pun tidak membuatnya jadi gugup. Itu tentu penting. Memasak di depan selalu mengundang perhatian. Ia harus membiasakan diri.
Dengan hanya menyediakan empat jenis masakan, di antaranya Soto Medan sebagai spesialisasinya, maka ia tidak terlalu repot. Apalagi masakan-masakan itu tergolong praktis, dalam arti tidak rumit membuatnya. Semua bahan sudah tersedia lebih dulu dalam keadaan siap pakai. Bila ada pesanan tinggal mengolah jadi satu. Kemudahan seperti itu penting buat seorang pemula.
Sementara Henson mempersiapkan makanan, Irma bertindak sebagai nyonya rumah. Dengan lincah dan ramah ia melayani mereka. Sekali ia duduk di meja yang satu, lain kali ia pindah ke meja yang lain. Atau cukup berdiri saja. Dan selama itu ia cuma dibantu oleh tiga orang pelayan.
Irma pun tidak memperlihatkan kegugupan, walaupun sebenarnya lututnya terasa gemetar. Pengalaman pertamanya itu sesungguhnya mencemaskan. Biasanya ia cuma duduk saja. Tapi kali itu ia harus bergerak. Dan ia pun harus bersikap, bicara, tertawa, atau tersenyum. Pendeknya ia tidak boleh diam seperti dulu. Dulu, ia bisa bersikap tak peduli kepada para tamu, bahkan memandang pun tidak. Paling-paling cuma tersenyum dan mengucapkan, "Terima kasih," di saat menerima uang pembayaran. Tapi saat sekarang tentu tidak mungkin. Toh ia melakukannya dengan senang. Sangat senang. Justru bergerak seperti itulah yang disukainya. Dan karenanya dapat menolongnya mengatasi kegugupan.
Sesekali ia sempat melirik ke arah Henson. Di tengah kesibukannya sendiri ia masih ingat untuk memperhatikan. Apakah Henson merasa gugup dan perlu dibantu" Tapi beberapa kali ia bertemu pandang dengan Henson yang ternyata ikut-ikutan melirik ke arahnya. Henson pun nampaknya ing
in tahu juga perihal dia. Sama-sama menyadari hal itu, keduanya jadi tersenyum.
"Pasangan muda yang serasi," puji seseorang. "Dilayani oleh pengantin baru adalah pengalaman langka," goda yang lain.
Para tamu tertawa. Dan Irma tersenyum dengan wajah memerah. Henson yang mendengarnya juga ikut tersenyum. Sementara Asrul yang kembali ke dekatnya untuk mengawasi kerjanya, melirik ke arah Irma, lalu nyeletuk, "Kau beruntung, Son!"
"Ya. Aku memang beruntung. Tapi jalan untuk mencapainya tidak mudah, Rul."
"Aku tahu." "Nanti giliranmu pun tiba."
"Maksudmu Yeni" Entahlah. Cuma aku heran kenapa ia tidak serupa Irma. Yeni lebih mirip ibunya. Aku jadi takut."
Henson tertawa. "Takut" Lho, kenapa""
"Wah, pura-pura. Kau seperti nggak kenal ibunya saja. Padahal kau pasti lebih kenal daripada aku. Sangat kenal, bukan""
"Tapi Nyonya Linda menerimamu dengan baik."
"Oh, itu dulu. Sekarang tidak lagi. Mungkin karena sekarang ia tidak lagi membutuhkan jasaku. Sikapnya jadi dingin. Bahkan ia pernah mengatakan Yeni tidak ada, padahal aku tahu dia ada."
"Dan sikap Yeni sendiri bagaimana""
"Dia sih baik-baik saja."
"Nah, katamu dulu yang penting itu gadisnya, bukan orang tuanya."
"Tapi Yeni bukan Irma yang berani menentang."
"Jadi"" "Entahlah. Aku jadi ragu-ragu. Kalau Yeni sendiri tidak berani menentang ibunya, bagaimana aku mampu berjuang sendirian" Lagi pula seperti yang kukatakan tadi itu, aku takut kalau-kalau
Yeni menuruni sitat ibunya. Gejalanya ada, lho. Hii, ngeri ah."
Henson tertawa. "Kalau begitu, mundur saja."
"Ya. Mungkin itu akan kulakukan. Tapi aku kok senang memandanginya. Jadinya berat juga."
Mereka tertawa berdua. Suasana perjamuan berlangsung akrab. Henson dan Irma ikut menemani dengan makan bersama. Dan sebentar-sebentar ada saja yang tawanya berderai. Ya, sepertinya mereka sedang menghadiri undangan pesta perkawinan Henson dan Irma, demikian kata Asrul. Semuanya setuju. Sementara yang bersangkutan hanya tersenyum tersipu-sipu.
Mereka berdua menganggap acara itu telah berlangsung sukses. Para tamu memuji masakan mereka, sekalian mendoakan kesuksesan di masa mendatang.
Esoknya, yang merupakan hari pertama dari hari kerja mereka, tidak tercapai hasil yang menggembirakan. Sepanjang hari sampai malam tamu yang datang tak melebihi jumlah jari tangan. Demikian esok dan esoknya lagi. Beda antara hari pertama dengan hari-hari berikutnya adalah tambahan satu dua orang. Jelas mereka yang baru datang itu kelihatan mau coba-coba dulu, entah karena iseng atau karena sudah bosan dengan makanan yang biasa mereka makan. Tapi Henson tidak berkecil hati. Sementara Irma juga tidak merasa heran. Mereka sudah siap menghadapi risiko di hari-hari pertama semacam itu. Justru mereka akan heran bila di hari-hari pertama itu tamu datang berjubel. Tidak apa-apa. Walaupun masih sedikit, tapi tidak ada penurunan jumlah tamu dibanding hari kemarin. Apalagi sampai minus. Sebaliknya ada peningkatan, meskipun cuma satu dua orang. Dan yang terasa menggembirakan adalah bila melihat tamu yang sama muncul kembali. Datang pertama kali dengan datang kedua kali, apalagi sampai ketiga kali atau lebih, tentu berbeda maknanya. Yang datang pertama kali cuma berniat mencicipi, tapi kalau dia sampai datang lagi lain kali maka itu pasti karena dia menyukai rasa yang dicicipinya itu. Apalagi kalau sampai berulang kali. Itu berarti seorang langganan tetap berhasil diperoleh. Bila hal. itu sampai terjadi, malam hari saat tinggal berdua mereka akan membicarakannya dengan penuh kebahagiaan. Padahal keuntungan belum bisa mereka nikmati. Bahkan membayangkannya saja pun belum berani mereka lakukan.
Untung saja Henson sudah memiliki pengalaman. Dengan demikian perkiraannya tentang jumlah bahan yang harus ia sediakan tidak terlalu meleset. Penyediaan bahan terutama yang segar termasuk penting. Kalau terlalu sedikit, bisa jadi tidak cukup. Dan itu akan memalukan sekaligus mengurangi reputasi. Bahan harus komplet supaya mutu terjamin. Tapi sebaliknya kalau terlalu banyak, maka pasti akan terbuang sayang. Padahal j
umlah tamu yang akan datang tidak pernah bisa diperkirakan. Bisa sedikit, tapi bisa juga banyak sekali.
Pada hari Minggu pertama dari masa kerja mereka ada kejutan. Koran pagi yang diasuh Asrul beserta rekan-rekannya memuat cerita tentang kedai SOTO MEDAN. Bagaimana sepasang suami istri, pengantin baru pasangan pembauran, bekerja keras dengan penuh semangat dan optimisme. Dan bagaimana keduanya berusaha memberi pilihan baru bagi para penggemar makan. Rasa masakannya memang tidak terlalu baru, tapi akrab di lidah! Dan harganya pun bersaing! Pendeknya, secara keseluruhan isi cerita itu mengandung setengah informasi, setengah promosi.
"Rupanya mengundang orang koran jadi masuk koran," seloroh Henson.
"Kau tidak senang"" tanya Irma.
"Sudah tentu senang. Kedai kita jadi terkenal ke seluruh Nusantara."
"Aku pikir, sebaiknya untuk hari ini persediaan bahan ditambah, Son."
"Tamu akan meningkat" Ya, kemungkinan begitu."
"Berarti kerja keras buat kita." "Kau capek, Say""
"Ah, kau pasti lebih capek. Sehari-hari di depan api terus-terusan. Keringatmu bisa habis. Dan kakimu pegal-pegal."
"Kalau takut capek, kita tak bisa maju." "Lho, kau duluan yang tanya aku." Sambil tertawa Henson meraih Irma ke dalam pelukannya. "Soalnya, orang yang kecapekan itu gampang marah-marah. Jangan, ya" Aku selalu ingat, kau belum biasa..."
"Nah, mulai lagi. Itu artinya kau belum percaya padaku."
"Oh, percaya kok. Aku sering memperhatikanmu diam-diam. Sejak dulu kau biasa gesit. Sekarang kebiasaanmu itu terbukti manfaatnya. Tapi kalau tamu kita bertambah banyak hal itu akan lebih nampak."
"Apakah itu suatu pujian""
"Tentu saja." "Hem." Sesaat hening. Baru kemudian keduanya terlompat dengan kaget. Ah, kerja sudah menunggu!
Ternyata benar juga perkiraan mereka. Hari itu jumlah pengunjung naik berlipat kali dibanding hari kemarin. Yang pasti jumlahnya melebihi jumlah jari kaki plus tangan. Tapi toh tidak sampai membuat mereka pontang-panting. Memang belum apa-apa. Itu merupakan akibat positif dari berita koran. Namun mereka sangat gembira. Hari itu mereka bekerja dengan semangat yang tinggi. Henson dengan wajah yang kepanasan hingga nampak merah padam, tapi penuh senyum dan kata-kata ramah saat ia menyilakan setiap tamu masuk sambil kedua tangannya tak henti bergerak. Sedang Irma juga memiliki rona merah di pipinya. Bukan karena make-up, tapi karena semangatnya itulah. Dia kerja rangkap, dari kasir, pembantu Henson kalau sesekali tenaganya dibutuhkan, sampai membantu melayani. Wajahnya berseri, senyumnya manis. Dan karenanya, dia merupakan daya tarik tersendiri.
"Besok akan kutelepon Asrul untuk menceritakan pengalaman kita hari ini," kata Henson, saat mereka menikmati istirahat di malam hari.
"Ya, sebaiknya begitu. Dan alangkah senangnya kalau tamu-tamu baru kita tadi akan datang dan datang lagi nanti. Ya, Son""
"Tentu saja, Sayang."
"Kau bahagia""
"Sudah tentu. Dan kau""
"Ya, aku juga. Tapi lucu ya, betapa kemajuan yang kecil itu telah mampu memberikan kebahagiaan. Padahal bila dibandingkan dengan SANG NAGA..."
"Oh, jangan dibanding-bandingkan. Yang ini adalah milik kita, hasil jerih payah kita, untuk kita berdua."
Suasana menjadi hening. Ada saatnya kebahagiaan tidak hanya perlu dibicarakan, tapi yang penting juga dirasakan. Lalu keheningan terisi oleh desah napas. Rupanya, kebahagiaan juga bisa menyesakkan napas!
*** Hari Senin esoknya, Cek A Piang datang berkunjung. Ia disambut oleh Henson dan Irma dengan hangat. Sebelumnya mereka memang sudah berpesan kepada Cek A Piang agar selalu menyempatkan datang setiap hari Senin, yang merupakan hari libur Cek A Piang.
Begitu datang, Cek A Piang segera ditanyai masakan apa yang diinginkannya. Tanpa malu-malu ia memilih dan Henson langsung membuatkan. Lalu Irma yang membawakan ke mejanya.
"Wah, wah, kayak tamu agung!" seru Cek A Piang.
Irma tersenyum saja. Sedang Henson tak lama kemudian datang menemani. "Mumpung belum ada tamu," katanya.
"Apakah masih sepi, Son"" tanya Cek A Piang prihatin. Saat itu ruang makan memang sedang
kosong. "Ah, ini kan masih agak pagi, Cek."
"Oh iya, aku lupa. Padahal aku memang sengaja datang saat begini supaya tidak mengganggu. Ada yang mau kuceritakan."
"Cepat cerita dong, Cek," kata Irma antusias. Pasti cerita itu mengenai keadaan di rumahnya. Ia sangat ingin dengar, karena sampai saat itu belum ada seorang pun anggota keluarganya yang mau datang menjenguknya. Sedang ia sendiri belum sempat ke sana, karena kesibukannya menyita perhatian dan waktu.
"Jangan, Ir. Biarlah Cek makan dulu," cegah Henson.
"Nggak apa-apa. Aku sudah biasa makan sambil bicara," kata Cek A Piang sambil mengunyah. "Begini. Mamamu belakangan ini murung saja, Irma. Tamu SANG NAGA makin merosot
jumlahnya dari hari ke hari. Aku banyak menganggur sekarang."
"Seberapa banyak merosotnya. Cek"" tanya Henson.
"Kayaknya sih banyak juga. Lebih banyak daripada dulu sesudah masakanku kemasukan kecoa itu. Heran, kenapa bisa begitu, ya."
"Mama suka marah-marah"" tanya Irma.
"Kelihatannya begitu. Tapi tidak padaku. Cuma dia pernah tanya baik-baik, apakah aku mengurangi bumbu kalau masak. Tentu saja kujawab tidak. Aku masak biasa saja. Sama seperti dulu. Lalu kukatakan padanya, bahwa tukang masak pun akan prihatin kalau masakannya tidak lagi disukai orang. Ya, jelas bukan cuma pemilik restoran saja. Sejak itu dia tidak lagi mengusikku. Cuma jelas kelihatan dia jadi cepat naik darah. Apalagi kudengar Lili mau kawin, karena pacarnya sudah mendesak terus. Ya, mau tunggu apa lagi sih."
"Lantas apa yang mau dilakukan Mama, barangkali Cek tahu""
"Aku dengar dia mau berkunjung ke rumah Mama Gembrot."
"Mama Gembrot""
"Ya. Aku pikir, itu tidak mengherankan. Cepat atau lambat, dia pasti akan ke sana. Tapi menurutku, dia sudah melakukan kesalahan. Mestinya sejak dulu-dulu dia melakukan hal itu. Yaitu sejak papamu meninggal. Tentunya pada saat itu keadaan sudah berubah. Banyak yang tidak cocok lagi. sayang baru sekarang hal itu dilakukan.
Siapa tahu sudah terlambat," ucap Cek A Piang serius.
"Terlambat"" tanya Henson dan Irma hampir berbarengan.
"Ya. Habis Mamamu terlalu yakin sih pada mulanya. Melihat tamu yang datang tetap banyak, dikiranya nggak ada masalah. Padahal itu cuma permulaannya saja. Yang justru penting adalah belakangannya."
"Tapi, kenapa terlambat, Cek"" tanya Irma penasaran.
"Ah, kau nggak ngerti" Tentu saja terlambat, kalau Sang Naga keberuntungan sudah keburu pergi!"
Henson dan Irma menatap bengong. Soal semacam itu tak pernah terpikir. Tapi, mungkinkah"
-XVI- Di ruang tamu rumah Mama Gembrot sudah menunggu sekitar sepuluh orang. Di antaranya terdapat Nyonya Linda dan Yeni. Dan mereka sudah berada di situ selama kurang lebih setengah jam.
Sebentar-sebentar Nyonya Linda memandang ke arah tirai tebal yang membatasi ruang itu dengan ruang di dalam. Kalau tamu yang tadi masuk melangkah ke luar, berarti tiba giliran mereka masuk ke dalam. Tapi tirai itu tak kunjung tersibak. Alangkah lamanya.
Suasananya mirip ruang praktek dokter yang laris. Pada saat-saat tertentu orang yang menunggu bisa memenuhi ruangan. Dan kalau demikian, menunggu selama berjam-jam harus dilakoni.
Nyonya Linda berusaha menyimpan kegelisahannya. Dalam kesunyian padahal tak sendirian itu suasananya jadi menegangkan. Orang-orang yang hadir menutup mulutnya rapat-rapat. Rupanya masing-masing memiliki kecenderungan yang sama. Yaitu, tak ingin masalahnya sampai diketahui orang lain. Entah rasa malu, atau takut macam-macam yang jadi penyebabnya. Itu kira-kira sama dengan misteri yang menyelubungi rumah itu, dan terutama pemiliknya, Mama Gembrot. Jawaban-jawaban yang ia berikan, entah itu berupa nasihat, petunjuk, ataupun saran, sering kali tak pernah bisa ditebak sebelumnya. Bahkan bisa jadi mencengangkan. Tapi orang yang percaya akan mematuhinya seolah dia dewa maha tahu.
Kadang-kadang orang yang kurang mengenalnya, pada perjumpaan pertama terdorong menyebutnya "Encim". Mungkin karena menganggap panggilan itu lebih cocok. Tapi orang yang tahu akan menghindari panggilan itu. Mama Gembrot lebih suka dipang
gil "Mama". Tak peduli yang memanggilnya itu lebih tua daripadanya. Karena itu semua orang ikut-ikutan menyesuaikan diri. Membuat hati Mama Gembrot senang tentu mendatangkan keuntungan tersendiri. Siapa tahu dengan hati yang senang itu ia mampu lebih berkonsentrasi hingga menghasilkan petuah dan saran yang ampuh pula. Persoalan rezeki sudah tentu bukan persoalan main-main. Bahkan bagi orang-orang tertentu hal itu bisa dianggap sebagai persoalan hidup atau mati.
Tapi bagi nyonya Linda, semestinya tidak perlu separah itu. Toh ia menganggap kesulitannya sekarang ini sebagai sesuatu yang sangat mengganjal. Melenyapkan kebahagiaan. Mengganggu perasaan. Bahwa dia sudah mempunyai banyak juga tidak bisa melipur dan menghibur.
Ia terus menatap ke arah tirai. Sementara Yeni di sebelahnya duduk terkantuk-kantuk. Beberapa kali ia ingin mengajak ibunya bercakap-cakap, tapi setiap kali disuruh diam. Orang lain kan tak ada yang bicara. Salah-salah, siapa yang bicara bisa membuka rahasia sendiri.
Akhirnya, tirai tersibak. Seorang laki-laki setengah tua keluar dengan wajah cerah. Lalu Nyonya Linda melompat dari duduknya, setengah menyeret Yeni yang tidak segera menyadari bahwa giliran mereka sudah tiba.
Di dalam, seorang pembantu wanita menyilakan mereka duduk karena Mama Gembrot masih berada di kamar. Kembali mereka menunggu. Tapi kali ini lebih santai, karena di ruang duduk yang ber-AC itu mereka cuma berdua. Si pembantu sudah pergi entah ke mana.
Nyonya Linda menoleh ke belakangnya. Pintu kamar yang nampak sebagian jelas tertutup rapat. Kamar itulah kamar Mama Gembrot. Tapi ia tak bisa lama-lama memandang ke belakangnya. Lehernya pegal. Sedang letak kursi diatur begitu rupa hingga mereka yang duduk memang tak bisa memandang lurus ke arah kamar itu.
Yeni menyenggol pelan. "Kok lama bener sih, Ma. Jangan-jangan dia tidur dulu," bisiknya.
"Hus. Ngomong sembarangan," bisik Nyonya Linda juga. Ia memandang ke sekitarnya dengan khawatir. Siapa tahu dinding-dinding bisa menyampaikan pembicaraan orang kepada Mama Gembrot. Kalau sampai Mama Gembrot marah dan tidak mau peduli lagi walau dibayar berapa pun...
Tiba-tiba lantai serasa bergoyang. Apakah ada gempa bumi" Ah, tidak. Nyonya Linda yang sudah berpengalaman tidak kaget lagi. ia tahu apa penyebab getaran itu. Sesuatu yang sangat berat sedang menapaki lantai. Dialah Mama Gembrot.
Seorang wanita dengan ukuran tubuh super muncul bagaikan bayang-bayang raksasa. Nyonya Linda segera berdiri sambil menarik Yeni untuk berdiri juga. Lalu ia mengangguk hormat. "Selamat siang, Mama."
"Selamat siang, Nyonya-nyonya."
Spontan bibir Yeni mencuat ke depan mendengar dirinya dipanggil Nyonya. Tapi melihat lirikan ibunya ia terpaksa tersenyum.
Mama Gembrot memiliki wajah sebundar tubuhnya. Kedua matanya nampak seperti celah sempit terdorong oleh pipinya yang tembem. Dan kalau ia tersenyum pasti kedua matanya tertutup, hingga sepintas lalu ia kelihatan seolah tak punya mata.
Nyonya Linda segera menyampaikan masalahnya. Dan Mama Gembrot mendengarkan dengan penuh perhatian. "Bawa fotonya"" ia bertanya kemudian.
Nyonya Linda mengangguk seraya membuka tasnya. Ia sudah paham. Dikeluarkannya beberapa foto. Di antaranya terdapat foto keluarga, lengkap bersama suaminya sewaktu masih hidup. Kemudian foto-foto berbagai ruang di rumahnya. Tentu saja tak ketinggalan termasuk foto ruang makan restoran.
"Jadi yang dulu tak pernah ada perubahan"" tanya Mama Gembrot.
"Tidak ada, Mama."
Kemudian Mama Gembrot menatap kedua tamunya silih berganti. Lama ia memperhatikan, membuat kedua tamunya itu resah. Dari celah sempit di wajah bundar itu seperti memancar sesuatu yang tajam menusuk. Baru setelah Mama Gembrot bersuara lagi mereka merasa lega.
"Baiklah. Tunggu sebentar, ya," kata Mama Gembrot sambil bangkit berdiri. Ia membawa serta semua foto tadi, lalu pergi menuju kamarnya. Pintu kamar tertutup. Dan keadaan menjadi sunyi kembali.
nyonya Linda tidak merasa heran. Tapi Yeni mengeluh dalam hati. Menunggu lagi.
Tapi mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Kembali lantai
bergoyang disusul dengan munculnya Mama Gembrot. Di tangannya terdapat foto-foto tadi berikut sehelai amplop putih panjang yang tutupnya dilem.
"Ini jawaban saya," kata Mama Gembrot sambil menyerahkan amplop itu.
Nyonya Linda menerimanya dengan khidmat. "Cuma ini saja, Mama""
"Ya," jawab Mama Gembrot agak dingin. Kelihatannya ia segan bicara atau memang tak ingin berpanjang-panjang.
"Berapa, Mama"" tanya Nyonya Linda. "Tak usah bayar."
"Oh, tak usah"" Nyonya Linda terkejut. Padahal ia sudah membawa uang banyak. Diam-diam ia merasa cemas. Bukankah yang murah, apalagi yang gratis, biasanya kurang bermutu"
"Ya. Tak usah."
"Tapi..." "Sudahlah. Masih banyak yang menunggu," Terpaksa Nyonya Linda berdiri dengan perasaan kurang enak.
"Terima kasih, Mama," katanya sambil membungkuk.
"Dan itu dibacanya di rumah saja." "Baik, Mama."
Mereka berdua pulang ke rumah dengan membisu. Yeni tak ingin mengajak bicara. Melihat roman ibunya ia sudah ngeri. Alamat kurang baik. Jadi lebih aman diam. Ia toh sudah senang berada di rumah kembali. Tapi ia juga ingin tahu. Lalu menunggu dengan sabar sampai ibunya merobek amplop dan membaca isinya.
Nyonya Linda mengeluarkan sehelai kertas bertulisan. Dan segera saja keningnya berkerut dalam. Tulisan tangan di kertas itu rapi dan indah. Isinya tak banyak. Ah, sebuah sajak. Tapi, buat apa segala sajak untuknya" Namun ia terpaksa membaca. Sekali. Dua kali. Beberapa kali.
Kemudian wajahnya menjadi pucat. Ada ekspresi kaget di situ. 1 alu ia terduduk lemas. Dan kertas itu pun melayang jatuh ke lantai. Tapi tak lagi dipedulikannya. nyonya Linda menangis lirih sambil menutup muka dengan kedua tangannya.
Yeni memandang terheran-heran. Tanpa membuang waktu untuk bertanya-tanya kepada ibunya ia segera menubruk kertas itu. Dibacanya dengan bernafsu.
Waktu berlalu Sang Naga terlelap dalam damai Dia tidak tahu
Dengki dan dendam membuat cerai-berai
Dia memang tidak tahu Damai yang ada cuma semu Sang Naga berseru geram Akan aku tinggalkan Sarang nyaman yang tak lagi tentram
Ternoda bangkai mengerikan
Tapi bukan cuma itu Cintaku hanya pada si Bungsu!
Seperti ibunya, Yeni perlu membaca ulang beberapa kali sebelum dapat menangkap makna tulisan itu. Lalu ia memandang heran pada ibunya yang masih saja menangis sesenggukan.
"Oh, si Bungsu, ya" Jadi si Irma"" gumam Yeni.
Kata-kata itu membuat isak Nyonya Linda lebih keras.
"Tapi, mana mungkin sih, Ma" Masa naga bisa jatuh cinta pada manusia" Omong kosong itu!"
"Itu kan cuma perumpamaan, tolol! Tahu nggak artinya" Itu artinya rezeki kita ada pada si Irma!
Dialah pembawa rezeki. Tapi kubiarkan dia pergi! Oh..." Nyonya Linda meledakkan lagi tangisnya. Yeni cuma bisa ternganga.
*** Pagi itu Irma sendirian di rumah karena Henson sedang berbelanja bahan-bahan. Para pembantunya yang tidak tinggal di dalam belum datang karena memang belum waktunya. Ketika itulah ia menerima tamu yang tak disangka dan tak terduga. Nyonya Linda.
Hal yang tidak biasa itu membuat Irma seolah terjaga dengan kewaspadaan. Nalurinya mengatakan, ibunya datang bukan untuk memberinya kehangatan. Jadi wajah ibunya yang manis dan sikapnya yang ramah itu justru membangkitkan rasa herannya. Ia merasa kaku dan tidak spontan.
"Oh, Mama. Apa kabar, Ma"" ia bertanya canggung.
"Baik. Dan kau sendiri""
"Baik juga, Ma." Irma menunggu pertanyaan ibunya tentang Henson, tapi ternyata tidak ada. Mestinya ibunya juga menanyakan kabar tentang Henson, bukan tentang dirinya sendiri saja.
"Syukurlah kalau baik-baik saja. Dan bagaimana usahamu"" tanya Nyonya Linda sambil memandang berkeliling. Baru pertama kalinya itulah ia datang ke situ. Diam-diam ia merasa senang melihat kesederhanaan tempat itu. Ini memang sebuah kedai, bukan restoran!
"Lumayan, Ma." "Oh, lumayan" Sudah banyak tamunya" Apa tempat ini selalu penuh""
"Penuh sih tidak. Ma. Tapi dibilang sepi juga nggak. Sedang-sedang begitulah."
"Ada untungnya""
"Ada, Ma. Tapi cuma sedikit. Habis untuk makan."
"Yah, cuma sedikit"" tanya Nyo
nya Linda dengan penyesalan dalam nada suaranya.
"Maklum baru permulaan, Ma. Tadinya lebih sepi. Tapi setelah Bang Asrul membantu dengan mempromosikan kami di koran, jumlah tamu meningkat terus."
Nyonya Linda mengangguk. "Si Asrul itu kurang ajar," ia menggerutu.
"Kenapa, Ma"" tanya Irma kaget.
"Aku memintanya melakukan hal yang sama untuk SANG NAGA. Janjinya sih iya, iya terus. Tapi mana" Bohong saja dia. Lagaknya mau mendekati Yeni. Huu!"
Irma tak memberi komentar, ia sudah mendengar tentang hal itu dari Asrul. Tapi ia tahu, pasti bukan untuk hal itulah tujuan kedatangan ibunya.
"Oh, kapan Mama mau mencoba masakan kami" Orang bilang, masakan Henson cukup enak."
"Nanti sajalah. Melihatmu seperti ini, aku kasihan."
"Kenapa, Ma""
Nyonya Linda memandang berkeliling sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ya, kau tentunya capek. Padahal kau biasa senang."
"Biar capek tapi senang, Ma."
"Mustahil. Mana ada orang yang capek tapi senang" Apalagi kalau hasilnya cuma sedikit."
Irma diam. Ia menunggu. "Aku kasihan padamu, Irma. Aku selalu memikirkanmu. Bagaimanapun, kau tetap anakku yang perlu kuperhatikan. Jadi aku ingin membantumu. Yah, daripada kau capek-capek tidak keruan berusaha seperti ini tanpa ada hasilnya, lebih baik seperti dulu saja."
Irma terkejut. "Maksud Mama"" ia bertanya tegang.
"Tenang, tenang. Bukan maksudku mau memisahkan kau dari Henson. Kalian sudah suami istri atas izin dan restuku, kan" Tapi aku semata-mata bermaksud baik. Lebih baik kalian tinggal bersama kami lagi seperti dulu. Kau dan Henson bisa menempati kamar di loteng. Dan Henson akan kuangkat sebagai manajer seperti keinginanmu dulu. Lalu untuk mengisi waktumu kau bisa kembali lagi sebagai kasir. Itu pasti akan jauh lebih meringankan daripada capek-capek seperti ini. Nah, bagaimana""
Walaupun lebih lega, Irma tetap merasa heran. Usul seperti itu masih tetap dirasanya aneh. Andaikata ibunya seseorang yang berbeda pasti tak perlu ada yang diherankan. Permintaan atau usul itu berselubungkan atensi, padahal atensi semacam ini amat sulit ia peroleh dulu. Kenapa haru sekarang" Tiba-tiba ia teringat akan cerita Cek A Piang.
"Apakah Mama percaya Henson mampu memulihkan keadaan SANG NAGA""
"Apa" SANG NAGA tidak apa-apa! Itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan SANG NAGA. Aku cuma memikirkan kau," kata Nyonya Linda kesal.
Dia angkuh, pikir Irma. Tapi ia jadi tambah yakin. Memang ada udang di balik batu.
"saya mengucapkan terima kasih atas perhatian Mama. Tapi saya senang di sini. Saya senang bekerja keras, biarpun hasilnya masih sedikit."
"Tapi..." Tak mungkin kami pindah ke sana lagi, Ma. Kami akan tetap bertahan di sini. Biarkanlah kami belajar berdiri sendiri."
Nyonya Linda tertegun. Ia sudah kenal sifat putrinya ini. Mungkin ia sudah salah taktik. Lalu sibuk berpikir, apa lagi yang harus diperbuatnya untuk melunakkan hati Irma.
Irma tidak memahami pikiran ibunya, ia berkata dengan penuh perasaan, "Saya harap SANG NAGA bisa ramai lagi seperti dulu, Ma."
Tapi kata-kata itu menyentuh kepekaan Nyonya Linda. Ia tersinggung. "Memangnya sekarang sepi" Siapa bilang" Ayo, siapa yang bilang"" tanyanya dengan suara tinggi.
Irma terkejut. Kini ia kembali melihat ibunya yang biasa. Tapi ia tidak mau pura-pura. "Ah, nggak ada yang bilang, Ma. Tapi saya tahu kok. Sudahlah, Ma. Kami bersedia membantu sebisa kami. Tapi tidak dengan tinggal di sana. Apalagi harus meninggalkan tempat ini."
Wajah Nyonya Linda memerah. Ia mencoba berjuang mengatasi perasaan sesungguhnya. Demi tujuan yang harus dicapai.
"Oh, kau tidak tahu, Irma. Sesungguhnya aku pun merasa kehilangan kau. Tanpa kau sepi sekarang," kata Nyonya Linda dengan suara sendu.
Irma tercengang lagi. Aneh, ia tidak merasa tersentuh. Mungkin karena ia tidak percaya. Tiba-tiba saja ia merasa kasihan untuk sandiwara itu.
"Mama. masih mempunyai dua orang anak."
"Lili tak lama lagi kawin."
"Masih ada Ci Yeni. Dan Mama juga bisa minta Ci Lili saja yang tinggal bersama."
"Jangan ngajari aku!"
Irma terdiam. Dalam hati ia meras
a geli. Sesekali ibunya kembali ke asal.
"Bicarakanlah nanti bersama Henson. Barangkali dia mau. Katakan, dia akan kujadikan manajer," kata nyonya Linda dengan nada membujuk.
Irma memutuskan untuk tidak ikut bersandiwara. Ia menggelengkan kepala dengan tegas. "Saya yakin, dia tidak akan mau, Ma."
"Mana mungkin kau bisa yakin" Kan belum kautanyakan."
"Saya tahu, karena saya kenal dia."
nyonya Linda terdiam sebentar. Ia sudah hampir putus asa. "Dan kau" Apa kau tidak kasihan padaku"" ia bertanya dengan ekspresi sedih.
"Oh, Ma, berterusteranglah. Apakah keadaan SANG NAGA sudah separah itu""
Tekanan darah nyonya Linda kembali melon-jak. Itu karena kesadaran, usahanya akan sia-sia. Berterus-terang seperti permintaan Irma sudah tentu tak mungkin ia lakukan. Tapi ampun, anak yang satu ini terlalu cerdik untuk dihadapi!
Irma teringat lagi akan kelanjutan cerita Cek A Piang. Spontan ia bertanya, "Apakah usul Mama itu berdasarkan saran Mama Gembrot""
Pertanyaan itu membuat Nyonya Linda melompat dari duduknya. Ia tak bisa menahan lagi. Marahnya sudah mencapai klimaks. Hampir saja tangannya melayang. Tapi ketika ia melihat wajah Irma yang demikian polos tanpa rasa salah itu ia tertegun dengan tiba-tiba. Oh, anak inikah kesayangan Sang Naga" Dan... dan mungkinkah Sang Naga malah sudah bersemayam di tempat butut ini" Pikiran itu membuat tengkuknya meremang seketika.


Cinta Sang Naga Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Irma jadi cemas melihat wajah ibunya berubah dari merah menjadi pucat. "Ma, maafkan saya. Saya cuma bertanya. Saya tidak tahu..."
Nyonya Linda mengebaskan tangan Irma yang terulur, lalu ia melangkah pergi dengan tergesa-gesa.
"Mama!" panggil Irma. Ia pun mengejar ke pintu.
Tapi Nyonya Linda tak menoleh lagi.
Irma kembali ke dalam dengan langkah gontai, lalu terduduk di kursi. Lama ia diam merenungi peristiwa tadi. Ia sedih, karena tahu bahwa ibunya datang kepadanya bukan karena menyayanginya. Ibunya datang dengan menekan segala keangkuhannya semata-mata karena membutuhkan dirinya. Dan apa kiranya penyebab kebutuhan yang begitu tiba-tiba itu" Oh, tidak. Sebaiknya ia tidak perlu tahu. Kalau tidak tahu, maka tidak pula ada beban.
Setelah kesedihannya mereda, ia bisa bernapas lega kembali. Ia tidak goyah oleh bujukan. Padahal siapa bisa membayangkan bahwa sesungguhnya ia merasa sangat capek" Tawaran untuk hidup santai dan senang kedengaran sangat menggiurkan. Tapi ia ingat. Yang capek bukan dia sendiri. Henson juga sangat capek. Dan dia pun tak pernah bilang.
Kesedihan sudah lenyap sama sekali. Ia memandang ke sekitarnya dengan wajah berseri. Tadi ibunya melakukan hal yang sama walau dengan tatap mengandung cemooh. Tapi ibunya tidak tahu, bahwa dia mencintai tempat ini. Lalu terdengar olehnya suara motor menderu-deru di depan. Itulah Henson.
Irma melompat dan berlari ke pintu. "Oh, aku juga cinta padamu, Son!" serunya keras-keras. Tapi ia juga sadar, derum motor menelan suaranya.
Henson tidak mendengar. Ah, tidak apa-apa. Dia bisa selalu mengulangnya lagi nanti. Dan ia akan bercerita banyak.
-Tamat- Petualang Asmara 11 Pendekar Pulau Neraka 45 Sengketa Sepasang Pendekar Pendekar Guntur 2
^