Pencarian

Cinta Sepanjang Amazon 4

Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W Bagian 4


belakang, di kursi kecilnya, Arvan juga tertawa terus meskipun dia tidak
mengerti canda ayahnya. Barangkali dia sedang bercanda sendiri dengan
teman imajinernya. Rudi membawa keluarganya menginap
di sebuah hotel resor di pinggir laut.
Pemandangan ke arah laut dari teras yang terletak di lantai tiga sungguh
memesona. Sementara di bawah sana kolam renang yang membiru dan spa
yang airnya berbuih sungguh menggoda minta dicicipi.
Tetapi yang membuat Catalina tertegun bukan hanya itu. Dia lebih terpaku
melihat apartemen yang disewa Rudi: Apartemen itu berkamar dua. Dan
begitu masuk, Rudi langsung menyilakan Catalina mengambil kamar utama.
Sebuah kamar berpintu geser dengan ranjang ukuran dobel. Dan kamar
mandi lengkap dengan spa.
"Aku tidur di sana," katanya sambil menunjuk kamar yang lebih kecil.
Sebuah kamar dengan dua ranjang single. "Ada kamar mandinya juga. Cuma
tidak ada bathtub. Tidak ada spa."
"Kamu tidur di kamar utama saja," cetus Catalina dengan perasaan tidak
enak. "Kan ranjangnya besar. Biar aku dengan Arvan di kamar itu. Kebetulan
ranjangnya kan dua."
"Ranjangnya kecil. Takut Arvan jatuh. Sudah-lah, kamu saja yang tidur di
situ dengan Arvan. Aku tidak apa-apa kok."
Sebenarnya bukan ukuran ranjang yang membuat Catalina tertegun. Bukan
pula mewahnya apartemen atau lengkapnya peralatan atau indahnya
pemandangan. Dia tertegun karena Rudi memesan apartemen berkamar dua!
Duh, sopannya lelaki ini! Dia tidak mau menggunakan kesempatan yang
dengan mudah bisa diraihnya!
Tetapi justru karena itu pulalah malam itu Catalina dengan pasrah
menyerahkan dirinya. Tidak ada makan malam yang romantis dengan lilin
bernyala. Tidak ada adegan menyusuri pantai dengan bergandengan tangan.
Tidak ada kemesraan berbaring berdua berpayung langit bertudung bintang.
Karena Rudi memang tidak romantis. Mungkin pula dia tidak berani.
Mungkin pula karena ada Arvan di tengah-tengah mereka. Dan mereka tidak
mau meninggalkannya sekejap pun.
Diawali dengan makan malam bersama di sebuah kedai burger di tepi pantai,
Rudi meneguhkan sebuah kue cokelat berdiameter lima belas senti dengan
sebatang lilin tertancap di tengahnya. P"p
Sulit sekali menyalakan lilin karena angin laut malam itu berembus cukup
kencang. Dan mereka belum sempat meniupnya ketika angin sudah mendahului
memadamkan lilin itu. Tetapi kejadian itu malah mencetuskan tawa. Karena Arvan yang belum
mengerti apa-apa malah tertawa lebih dulu. Tidak ada yang tahu mengapa
dia tertawa. Tetapi apa pun alasannya, tawanya memancing kegembiraan
orang-tuanya dan orang-orang yang melihat mereka.
Rudi bangga sekali ketika tamu-tamu kedai burger yang sama-sama duduk di
bawah kanopi di tepi pantai itu memuji kelucuan Arvan. Dia tidak henti-hentinya membidik dan menjepretkan kameranya. Seolah-olah Arvan tiba-tiba menjelma menjadi Lady Di. Tentu saja waktu masih hidup.
Entah karena kecapekan tertawa, entah memang karena sudah jam tidurnya,
Arvan sudah tertelap ketika masih di dalam mobil. Padahal untuk mencapai
hotel mereka dari pantai The Entrance hanya memerlukan waktu empat
puluh lima menit Rudi tersenyum lebar ketika menoleh ke belakang dan
melihat Arvan sudah pulas di kursinya.
"Dia lucu sekali, ya," cetusnya tanpa menutupi getar kebahagiaan yang
melumuri suaranya. "Semua orang yang melihatnya menyukainya.'"
Perasaan Catalina tergugah mendengar keba-
hagiaan laki-laki itu. Dia merasa bangga. Sekaligus terharu. Tak sadar
tangannya terulur ke lengan Rudi
yang memegang kemudi. Terima kasih," bisiknya lirih. Rudi menoleh. Dan
meraih tangannya. "Untuk apa""
"Memanjakan Arvan. Memberikan semua yang dibutuhkannya. Semua yang
tidak mungkin diperolehnya tanpa kamu."
Rudi menggenggam tangan Catalina. Dan meremasnya dengan lembut.
"Aku sudah menganggapnya anakku sendiri," katanya hangat. "Jadi jangan
berterima kasih padaku! Aku malah yang seharusnya berterima kasih. Kamu
dan Arvan telah mengembalikan hidupku!"
Setelah memarkir mobilnya di tempat parkir bawah tanah, Rudi
menggendong Arvan ke lift yang menuju ke apartemen mereka. Melihat
betapa hati-hatinya Rudi menggendong anaknya, sekali lagi emosi Catalina
tergugah. Keteguhannya luluh. . I
Rudi memang seperti tidak mengharapkan apa-apa. Dia membaringkan
Arvan di tempat tidur. MenyeKmutinya dengan hati-hati. Mengecup pipinya
dengan penuh kasih sayang.
Lalu meninggalkan mereka di kamar.
"Mau kubuatkan hot chocolate"" bisiknya sambil menutup pintu geser.
Catalina hanya mengangguk. Dia sedang si buk membungkus tubuh anaknya
dengan selimut. Mengganjal sisi tubuhnya dengan bantal supaya jangan
terguling ke lantai. Lalu menaikkan temperatur pendingin ruangan agar
udara dalam kamar tidak terlalu dingin.
Rudi membuat dua cangkir cokelat panas. Dan membawanya ke teras. Ketika
dia sedang menikmati angin malam yang berembus sejuk dari laut yang
terbentang di depan sana, seseorang menghampirinya dari belakang.
Rudi belum sempat memutar kepalanya ketika sepasang lengan yang lembut
merangkul lehernya dari belakang. Hidungnya mengendus aroma parfum
yang manis, campuran aroma melati dan yasmin. Lalu sebuah kecupan
hangat menyentuh pipinya. Membersitkan gairah yang sudah sebelas tahun
sirna. Dan api itu mendadak berkobar kembali. Membakar jiwa dan
menggelegakkan darahnya. Rudi tak pernah dapat melupakan malam itu. Malam pertama di Ettalong.
Ketika Catalina menyerahkan dirinya dengan pasrah.
Dia tidak sempat bertanya, apa yang membuat wanita itu rela melakukannya.
Dorongan cinta. Atau hanya sekadar ucapan terima kasih.
Tetapi apa pun alasannya, bagi Rudi, itulah
malam terindah dalam hidupnya setelah prahara yang menimpa
keluarganya. Di sana pulalah cintanya kepada Catalina mulai bersemi. Dan
setelah cinta bersemi di hatinya, tak ada badai sehebat apa pun yang mampu
merenggutnya. Tidak juga ganasnya kanker. Dan kejamnya kakak iparnya.
* # * "Mas," desah Rudi lirih dengan mata berkaca-kaca. "Aku ingin berterus
terang padamu...." Saat itu mereka sedang makan siang di sebuah restoran bakmi sepulangnya
dari kuburan. Terus terang Rudi sudah tidak punya nafsu makan. Tetapi
Rangga mengajaknya ke sana. Dia tahu dulu adiknya suka sekali makan
bakmi di tempat ini. Rangga kecewa sekali ketika melihat cara makan adiknya. Bukannya cepat-cepat menyuapkan bakmi itu ke mulut. Dia malah cuma mengaduk-aduk
makanan itu di mangkuknya.
Rudi seperti ingin mengatakan sesuatu. Rangga tahu. Tetapi ketika adiknya
mengatakan ingin berterus terang, tak urung Rangga terkejut.
"Tentang istrimu"" sergahnya sambil mengawasi adiknya dengan tatapan
kaget. "Tentang penyakitku."
Rangga tertegun- Ditatapnya adiknya dengan cemas. Seberat apakah
penyakitnya" Mengapa Rudi tampak demikian putus asa" Karena itukah dia
tidak nafsu makan" Karena itu pulakah dia tampak demikian kurus dan
pucat" Ya Tuhan, dia sakit apa"
"Mas mau berjanji akan merahasiakan pe-nyakitku""
"Kenapa harus dirahasiakan"" desak Rangga bingung. "Kamu bukan
ketularan AIDS, kan"" Rudi menggeleng.
"Lalu kenapa harus dirahasiakan""
"Aku tidak mau istriku tahu penyakitku."
"Kalau bukan penyakit kotor, buat apa malu pada istrimu" Dia malah harus
tahu'suaminya sakit! Supaya bisa merawatmu!"
Tapi aku tidak tega kalau Catalina tahu umurku mungkin tinggal beberapa
bulan lagi..." BAB XX VANIA sangat mencintai Aries. Sampai sekarang cintanya tidak berkurang
sedikit pun. Hampir tiap malam dia merindukan suaminya. Bahkan ketika
sedang bercinta dengan Rudi, dia selalu membayangkan Aries. Mengenang
bulan madu mereka yang demikian berkesan di Hutan Amazon.
Tetapi ketika tiba-tiba Aries tegak di hadapannya, dia justru merasa takut.
Refleks dengan panik dia merangkul Arvan. Dan dia terlambat menyadari,
tindakannya itu justru semakin mencetuskan kemarahan Aries.
"Jadi inilah anakku," geram Aries sambil mengatupkan rahang menahan
marah. "Anak yang kamu bawa kabur!"
Bukan, hampir terlompat kata-kata itu dari mulut Vania. Dia bukan anakmu!
Tapi pada saat terakhir ditelannya kembali pengakuan itu. Dia hanya mampu
menjatuhkan dirinya. Dan berlutut di depan Aries sambil memeluk anaknya
erat-erat. Tetapi ketika dia hendak mencium kaki Aries, laki-laki itu menarik
tungkainya dan menyingkir dengan jijik.
Terakhir kali kita bertemu, kamu hendak mencium kakiku untuk
membatalkan perceraian,'' dengusnya berang. "Sekarang apa lagi per-mintaanmu""
"Aries," desah Vania sambil menengadah dan menatap suaminya dengan air
mata berlinang. Sesaat mata mereka bertemu. Dan Vania merasa hatinya
teriri s pedih ketika melihat ke-nyerian yang merayap di mata itu. Aries
menatapnya dengan penuh kebencian. Tetapi dia tidak mampu
menyembunyikan kesakitan di balik tatapan itu. "Masih bolehkah aku
mengajukan satu permintaan lagi""
"Jangan membuang waktu," desis Aries
dingin. "Kaburlah seperti empat tahun yang lalu. Karena sebentar lagi
petugas imigrasi akan. menangkapmu."
Vania jatuh terduduk dengan lemas. Begitu besarkah kebencian Aries pada
perempuan yang dulu sangat dicintainya" Kini dia bahkan
tega melihat istrinya ditangkap! Digiring. Dimasukkan penjara!
Arvan mengawasi ibunya dengan bingung. Diusapnya air mata yang meleleh
di pipi ibunya dengan jarinya.
"Mama..." cetusnya heran. "Kenapa Mama nangis" Oom jahat, ya"" Lalu tanpa
disangka-sangka, Arvan melepaskan dirinya dari pelukan ibunya. Berbalik.
Dan menendang tungkai Aries.
"Arvan!" sergah Vania antara kaget dan panik. "Jangan kasar begitu! Masuk!"
Tapi Aries tidak marah. Dia sedang tertegun mengawasi anaknya. Itulah
anaknya. Anak yang dilihatnya terakhir kali ketika masih bayi. Anak yang
diselamatkannya sebelum dilenyapkan oleh ibunya sendiri!
Kini anaknya sudah besar. Gemuk. Berani. Dan tetap lucu!
Arvan juga sedang mengawasinya. Tapi dengan pandangan penuh kebencian.
Dia tidak tahu kenapa datang-datang pria ini memarahi Mama.
Arvan tidak pernah melihat ibunya menangis. Tapi sekarang lihat! Air mata
Mama bercucuran! Jahat banget Oom ini! Padahal Papa nggak pernah tuh bikin Mama nangis!
Sebenarnya Arvan tidak ingin meninggalkan
ibunya. Nalurinya mengatakan Mama dalam bahaya. Tapi Mama
menyuruhnya masuk. Ketika Arvan seperti hendak membangkang, Mama
memelototinya. Terpaksa Arvan menyingkir dengan ragu-ragu.
"Jadi namanya Arvan," gumam Aries kaku. "Aries dan Vania...."
"Maafkan tingkahnya. Dia tidak tahu siapa kamu...."
"Tidak pernah kamu beritahu siapa ayahnya"" geram Aries sakit hati.
"Anakmu sendiri juga kamu bohongi"''
"Ries, tolong," pinta Vania sedih. "Beri aku waktu untuk menjelaskannya.
Tapi kumohon, jangan di depan Arvan!"
"Supaya dia tidak tahu betapa jahatnya ibunya""
"Silakan mencerca semaumu, Ries. Aku memang pantas menerimanya. Tapi
tolong, jangan di depan anakku...." "Anakmu" Kamu lupa suatu waktu
dulu..." "Ries!" teriak Vania nyeri. "Tidak bisakah kita bicara baik-baik""
"Masih pantaskah kamu diajak bicara" Lagi pula sudah tidak ada waktu lagi.
Dalam beberapa menit lagi, mereka akan mengangkutmu ke Villawobd."
Vulawood adalah penjara imigrasi. Tempat para imigran gelap dikurung
sebelum dideportasi. "Kamu tega anakmu dibawa ke sana"" desah Vania pilu. "Dikurung sepera
penjahat" Kamu tidak membayangkan seperti apa traumanya""
"Arvan tidak akan dibawa ke sana. Lagi pula dia akan ikut ayahnya. Kita
belum bercerai, kan" Jadi dia masih sah anakku." "Lalu ke mana kamu akan membawanya""
"Pulang." "Tidak mungkin! Identitasnya melekat dalam
pasporku!" "Kedubes Indonesia pasti dapat membantu."
"Kenapa sekejam itu padaku, Ries"" keluh Vania getir. Di mana cintamu yang
sepanjang Sungai Amazon" Kamu tega menjebloskan perempuan yang
pernah kamu cintai ke dalam penjara" Begitu tipiskah batas antara cinta dan
benci" "Di dalam penjara nanti, kamu punya banyak waktu untuk merenungkan
siapa yang lebih kejam," sahut Aries dingin. "Sekarang bawa Arvan kemari.
Aku akan membawanya pergi."
"Ries!" Vania menghambur ke depan untuk memeluk tungkai suaminya. Tapi
sekali lagi Aries mengelak.
"Jangan sentuh kulitku!" geramnya kaku. "Jangan nodai lagi diriku dengan
kebusukanmu!" Ketika mengucapkan kata-kata itu, Aries merasa hatinya tersayat nyeri. Dia
tidak tahu bagaimana dia mampu mengatakannya. Karena dalam empat tahun, hanya
berapa malam dalam hidupnya dia tidak merindukan istrinya" Dia membenci
Vania. Tapi sekaligus merindukannya!
"Kamu sakit, Ries," keluh ibunya ketika
menemukan foto istrinya yang sudah dicabik-cabik tapi direkatkan kembali
di antara pecahan botol wiski di kamarnya. "Selama perempuan itu masih
mengotori benakmu, kamu tidak bakal sembuh."
Karena Aries mengelak, Vania jatuh terjerem-bap ke lantai. Tetapi Aries
tidak datang menolongnya. Tidak membungkuk mengulurkan
tangan. Dia hanya mengawasi dengan dingin binatang yang melata di depannya.
Vania juga tidak mengharapkan pertolongan. Tidak mengharapkan uluran
kasih sayang. Karena dia memang merasa sudah tidak pantas lagi
menerimanya. Tetapi dia belum mau berhenti memohon. Jangan pisahkan
dia dari anaknya! "Ampuni aku, Ries! Beri aku kesempatan sekali lagi! Aku tidak sanggup
berpisah dengan Arvan!"
Suatu waktu dulu, Aries pernah mengampuni kesalahan Vania. Tetapi
sekarang tak ada lagi maaf baginya. Karena harga maafnya kini adalah harga
sebuah nyawa. Nyawa ayahnya!
"Aku tidak bisa lagi mengampunimu," sahut
Aries beku. "Dosamu sudah terlalu besar."
Dengan sedih Vania menatap lelaki yang dicintainya. Satu-satunya lelaki
yang pernah memiliki cintanya. Lelaki yang suatu waktu dulu pernah
memberinya sekuntum cinta yang amat lembut. Amat dalam. Abadi seperti
Sungai Amazon. Kini bahkan bekas-bekas cintanya tak tampak lagi. Ke mana cinta berlalu"
Aries kini tampak membeku bagai gurun es di kutub utara. Tak ada lagi
kehangatan. Tak ada kelembutan. Tak ada senyum yang dulu selalu
melumuri mata dan bibirnya.
Dia telah berubah. Dan dengan pilu Vania harus mengakui, dialah yang telah
mengubah lelaki itu! Dia yang telah membunuh Aries yang dikenalnya!
Lihat betapa cepatnya dia bertambah tua. Wajahnya bukan saja tampak jauh
lebih dewasa. Wajah itu kini menampilkan sosok yang berbeda. Matang. Tapi
tak berperasaan. Betapa kejam penderitaan telah mengubahnya!
"Aku tidak bisa lagi mengampunimu." Suaranya terdengar begitu dingin.
Begitu bengis. Begitu asing di telinga Vania.
Aries memang sudah berubah. Dia tidak tahu lagi apakah masih ada sisa


Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cinta di hatinya. Atau semuanya sudah terkubur bersama jasad ayahnya.
Dia melihat air mata Vania. Dia melihat kesedihan perempuan yang suatu
waktu dulu pernah menempati sudut yang paling utama di hatinya.
Tetapi apa bedanya lagi- sekarang" Apa artinya belas kasihan kalau seluruh
perasaannya sudah membeku"
Tapi benarkah seluruh cintanya telah sirna" Benarkah seluruh perasaannya
telah membeku" Lalu dari mana datangnya kerinduan yang menggigit setiap
malam" Aku membencinya, desis Aries dalam hati. Aku harus membalas dendam
atas kematiati Bapak! Aku tidak boleh memaafkannya lagi!
Aries sudah bertekad untuk merampas Arvan. Bukan merampas. Mengambil.
Karena anak itu memang haknya. Dia yakin, itulah hukuman terberat untuk
Vania! Tetapi Arvan tidak mau dipisahkan dari ibunya. Dia menangis. Menjerit-jerit.
Meronta. Sekarang Vania bukan hanya tidak tega berpisah dengan anaknya. Dia tidak
sampai hati melihat tangis Arvan. Rasanya lebih baik dia yang dicincang
sampai mati daripada melihat anaknya menderita seperti itu.
"Ries," pinta Vania dengan air mata berlinang "Lakukan apa saja untuk
menghukumku. Tapi jangan hukum anak kita!" Sebenarnya bukan hanya
Vania yang tidak tega melihat penderitaan anaknya. Aries juga. Barangkali dia perlu waktu
untuk memisahkan Arvan dari ibunya. "Baik," katanya kering. "Benahi barang kalian. Kita pulang."
Vania memang tidak punya pilihan lain. Dia harus pulang. Lagi pula apa lagi
yang ditakutinya kini" Aries sudah menemukannya!
Dia hanya minta izin untuk menelepon Rudi. Tetapi Aries melarangnya.
"Jangan harap kalian bisa bertemu lagi," katanya bengis.
"Tapi aku tidak bisa menghilang begitu saja, Ries!"
"Apa bedanya dengan apa yang pernah kamu lakukan padaku empat tahun
yang lalu"" "Saat itu aku takut kehilangan Arvan, Ries! Aku tidak mau berpisah dengan
bayiku!" Dan kamu membuatku hampir gila, geram Aries sengit. Aku berkeliaran ke
sana kemari dengan panik mencari kalian. Memberi malu diriku di depan
semua orang! "Mereka sudah pulang," Aries masih dapat membayangkan tatapan mata
perawat di Bagian Kebidanan rumah sakit itu. Mata yang bersorot heran itu
seolah-olah berkata, duh, bodohnya kamu! "Masa Bapak tidak tahu""
"Memang dia tidak bilang mau pergi"" mata
Arifin membeliak melecehkan di balik ka nya. "Wah, suami apaan kamu!"
Can*ata- "Anakku diculik," dengan putus asa Ari mengadu kepada pengacara keluarga
BuS" Dewabrata. g Tetapi pengacara ubanan itu malah menertawakannya.
"Anak yang dibawa oleh
ibu kandungnya sendiri bukan diculik! Tidak ada
hukum yang bisa menjeratnya!"
Tapi aku ayahnya! Ayah yang menyelamatkannya! Memberinya kehidupan!
Kata siapa hanya ibu yang lebih berhak atas anaknya" Mengapa hukum
selalu memihak ibu" Bahkan ibu yang hampir melenyapkan anaknya sendiri!
"Kita mau ke mana, Ma"" tanya Arvan bingung ketika melihat ibunya sedang
tergopoh-gopoh membenahi pakaiannya. Matanya yang masih berlinang air
mata mengawasi ibunya dengan heran.
Vania belum sempat menjawab ketika telepon berdering. Sekilas dia menoleh
ke arah Aries dengan panik. Petugas imigrasikah yang
menelepon" Sebentar lagi mereka akan datang
untuk menangkapnya" Tapi buat apa mereka
menelepon kalau hendak datang menggerebek
mngran gelap" ^^at teleponnya," perintah Aries datar. ra "*Ja dia tidak tahu siapa yang me-
on. Tetapi pasti bukan dari imigrasi. Ka-flna dia memang belum pernah
menghubungi ^ereka. Dia hanya menggertak. Karena dia sedang melihat
Vania ketakutan. Sebagian dendamnya terbayar ketika melihat perempuan
itu mengerut panik. Vania mengulurkan tangannya meraih tele- " pon. Dan wajahnya langsung
memucat ketika mendengar suara yang tidak dikenalnya.
"Catalina" Saya Rangga, kakaknya Rudi. Suamimu masuk rumah sakit.
Keadaannya gawat." BAB XXI KETIKA terjaga dari tidurnya pagi itu, Rudi sudah merasa penyakitnya
semakin parah. Semalam tidurnya tidak lelap. Sebentar-sebentar dia
terbangun karena rasa berat yang menindih dadanya. Hampir subuh,
napasnya malah berbunyi Tetapi karena hari itu dia sudah berjanji akan pergi bersama Rangga ke
makam ayah mereka, Rudi memaksakan diri naik taksi ke rumah kakaknya,
"Dari makam kita ke notaris," kata Rangga lirih. Setelah tahu apa penyakit
adiknya, dia sudah bertekad untuk memberikan warisan Rudi secepatnya.
Tidak peduli apa kata istrinya.
Tetapi di depan pusara ayahnya, ketika sedang menabur bunga, Rudi tiba-tiba terhuyung sambil menebah dadanya.
"Kenapa, Rud"" sergah Rangga kaget sambil memburu untuk merangkul
adiknya. "Dadaku tiba-tiba sakit sekali," sahut Rudi sambil terengah menahan sakit.
Mukanya pucat. Bibirnya membiru. Cuping hidungnya bergerak-gerak seperti
sulit sekali bernapas. "Napasku sesak, Mas.... Rasanya aku harus ke dokter...."
Secepatnya Rangga membawa adiknya ke rumah sakit. Dan dokter langsung
melakukan serangkaian pemeriksaan.
"Anak sebar kankernya sudah mencapai hati dan paru," kata Dokter Biran
kepada Rangga. "Kami akan melakukan punksi pleura untuk menyedot
cairan dalam parunya."
"Lakukan apa saja untuk menolongnya, Dok," pinta Rangga lirih.
"Tindakan ini hanya meringankan, tidak menyembuhkan,'' sahut Dokter
Biran terus terang. "Yang dapat dilakukan sekarang memang hanya
mengurangi gejala, bukan menghilangkan penyebabnya. Karena dalam waktu
singkat, cairan akan berkumpul kembali di antara pleura parunya. Dan gejala
yang timbul hari ini akan kembali Malah mungkin bertambah berat Pak Rudi
akan menderita sesak napas. Dan dia harus dipunksi lagi."
Ya Tuhan, keluh Rangga antara bingung dan sedih. Mengapa nasib Rudi
begitu jelek" Dia sudah kehilangan anak-istrinya dalam kecelakaan yang
amat tragis. Sekarang dia sendiri menderita kanker yang sangat ganas!
Dalam keadaan bingung, Rangga lupa pada janjinya sendiri. Dia menelepon
Catalina. "Rudi sakit apa"" suara Catalina terdengar bergetar antara sedih dan cemas.
"Kanker," sahut Rangga getir. "Kanker ganas. Anak sebarnya sudah mencapai
hati dan paru." Terlepas telepon itu dari genggaman Vania; Dia jatuh terduduk di kursi
dengan lemas. Mukanya pucat pasi.
Akal apa lagi ini, pikir Aries curiga. Dia mau menipu aku lagi" Jangan harap!
Kali ini takkan kulepaskan kamu sekejap pun!
"Izinkan aku menengok Rudi, Ries," pinta Vania sedih. "Dia sakit parah.
Kanker." "Dia bukan apa-apamu," sahut Aries datar. "Tapi dia sangat baik
pada kami. Selama empat tahun dia menjaga dan merawat kami. Bahkan
Arvan sudah menganggapnya ayah...."
"Itu salahmu!" bentak Aries berang. "Belum cukup menipu suamimu, kamu
menipu anakmu sendiri!" -.gggt
"Semua memang salahku," gumam Vania pasrah. "Izinkan aku dan Arvan
menengoknya, Ries. Sekali sebelum dia pergi *
"Kamu mencintainya!" geram Aries sengit. Terlompat begitu saja umpatan itu
dari mulutnya. "Tidak," sahut Vania tegas. Dia menggigit bibir menahan perasaannya
sebelum melanjutkan dengan getir. "Hanya kamu yang aku cintai."
"Tapi kamu berikan juga tubuhmu padanya"" sergah Aries pedas. "Kamu
berzina dengan lelaki lain!"
"Aku tidak punya pilihan lain. Aku dan
Arvan membutuhkan rumah untuk berteduh. Kami butuh makan. Butuh
perlindungan." "Karena itu kamu jual mrimu!" damprat Aries jijik.
"Umpatlah semaumu," desah Vania getir. "Hanya supaya kamu tahu, Rudi
tidak sekotor itu. Dia tidak pernah menjamahku sampai kuserahkan diriku
padanya." Aries merasa hatinya sangat sakit. Nyeri. Se-I kaligus terhina.
Istrinya menyerahkan dirinya kepada lelaki 1 lain. Dengan sukarela. Untuk
diraba. Dipeluk. I Dicium. Dinikmati!
Aries membalikkan tubuhnya dengan sengit. I Menyembunyikan wajahnya
yang hangus ter-i bakar. Menyimpan kemarahan, sakit hati, dan l
perasaan terhina yang berkecamuk di dada. I Seperti dapat merasakan
sakit hati suaminya, I Vania merangkul pinggangnya dari
belakang."Maafkan aku, Ries," bisiknya dengan perasaan bersalah. "Tidak
pantas aku menyakiti hatimu lagi...."
Aries merasa dadanya berdesir ketika tubuh istrinya melekat di
punggungnya. Darahnya menggelegak. Gairahnya bergolak. Rindunya
meronta. Tetapi hanya sesaat. Karena kemarahannya keburu meledak.
Disulut cemburu dan sakit hati.
Aries melepaskan diri dengan kasar.
"Jangan sentuh aku lagi!" hardiknya jijik "Karena Sungai Amazon pun tidak
mampu lagi membersihkan tubuhmu!"
Aries ingin menenggelamkan dirinya di pub. Bermabuk-mabukan
semalaman. Karena dalam keadaan seperti ini, hanya busa alkohol yang
mampu membius dirinya. Melupakan sakit hatinya. Kekecewaan. Penghinaan.
Anaknya sudah menganggap lelaki lain sebagai ayahnya. Istrinya sudah
menyerahkan tubuhnya kepada lelaki yang mampu membiayai hidupnya.
Penghinaan apa lagi yang belum dirasakannya"
Tetapi dia tidak mau meninggalkan Vania sekejap pun. Dia tidak mau
ditinggal kabur lagi. Dan dia tidak bisa membawa Arvan ke mib.
Jadi dia membawa mereka makan malam di luar. Padahal Vania sudah
mengusulkan makan di rumah saja.
"Tankan aku memasak untukmu,'' pintanya lirih. "Sekali ini saja." Seperti
dulu. Ketika cinta masih menjadi mihk lata. Ketika di rumah kita yang
sempit, di meja makan kita yang kecil dan sederhana, aku menyiapkan
makan malam untukmu. "Tidak!" tolak Aries gersang. "Aku tidak sudi makan duit lelaki itu! Sudah
cukup kamu beri malu aku dengan menjual dirimu!"
"Kalau begitu antarkan aku ke supermarket," Vania menahan perasaannya
dengan pilu. "Bayar semua belanjaanku."
"Aku tidak sudi makan di meja makannya," dengus Aries sengit.
Membayangkan kamu melayaninya makan setiap malam!
Vania menghela napas berat Dia sedih. Putus asa. Tapi dia tahu, Aries lebih
sedih lagi Dia tahu betapa menderitanya Aries. Dan membayangkan sakitnya
hati. lelaki yang didntainya membuat Vania bertambah tersiksa.
Dia mau melakukan apa saja untuk menyihh dosanya. Untuk meringankan
penderitaan Aries. Untuk menyembuhkan sakit hatinya. Tetapi apa yang
dapat dilakukannya kalau didekati saja Aries tidak mau" Kalau disentuh saja
dia sudah merasa jijik"
"Aku harus membawa Arvan," gumam Van^ setelah lama berdiam
diri. "Apa aku menyuruhmu meninggalkannya"" sahut Aries dingin.
"Boleh aku minta izin menukar baju" ^tau kamu harus ikut juga ke kamar"".
"Ada jendela di sana"" sindir Aries pedas. "Aku tidak mau dibohongi lagi."
"Kalau begitu, ikut saja ke kamar." "Aku tidak sudi masuk ke kamar
tidurmu!" sergah Aries panas. Tidak sudi melihat tempat tidurmu! Tempat
kamu melacurkan diri! "Jadi aku harus bagaimana"" desah Vania putus asa. "Menukar baju di sini, di
hadapanmu"" Vania sudah berbaiik ketika Aries membentak
"Kamu mau ke mana""
"Mengambil baju," sahutnya nyeri. "Aku tidak keberatan menukar baju di
depan suamiku sendiri Tapi Arvan harus kubawa ke kamarnya dahi."
"Bawa Arvan kemari. Kamu boleh ke kamarmu. Karena aku yakin, kamu tidak
akan pergi tanpa Arvan."
Kalau kamu tahu mengapa aku meninggalkanmu, keluh Vania sedih.
Mengapa aku melanggar janji! Semuanya karena Arvan/
Seharusnya acara makan malam itu bisa menjadi acara yang indah.
Mengesankan. Mereka pernah saling mencintai. Sampai sekarang masih saling merindukan.
Dan mereka baru bertemu kembali setelah empat tahun berpisah.
Kafe itu terletak di mulut teluk. Perahu layar dan perahu motor lalu-lalang di
depan mereka. Sementara pemandangan ke seberang sana dari teras tempat
mereka makan amat menyedapkan
mata. Lampu-lampu yang berkilauan dari atap gedung pencakar langit seperti
bersaing menebar pesona dengan bulan sabit dan kemilau bintang di
angkasa. Sayang bahkan keindahan panorama dan romantisnya suasana kafe tidak
mampu mendamaikan mereka. Tidak mampu menjembatani. jurang yang
terbentang di antara mereka. Bahkan celoteh si kecil Arvan tidak mampu
mengusir kebencian di benak Aries. Tidak mampu menggebah kesedihan di
hati Vania. Aries begitu benci padanya. Rasanya dosanya sudah tidak terampuni lagi.
Dan sekarang ada satu petaka lagi. Rudi sakit. Kanker. Sudah tahukah Rudi
sebelumnya" Karena itulah akhir-akhir ini dia tampak agak berubah"
Mengapa Rudi tidak pernah mengatakannya" Mengapa dia sengaja
merahasiakannya" Ada hubungannyakah kepergiannya ke Jakarta dengan
penyakitnya" Rudi sudah mengajaknya pulang ke Jakarta. Dia sudah mengajak menikah.
"Aku ingin mewariskan hartaku untukmu,'' katanya saat itu. "Dan
mewariskan namaku untuk Arvan."
Tetapi bagaimana Vania bisa menikah" Dia masih istri Aries!
Aries memang sangat membencinya. Tapi itu tidak berarti dia mau
menceraikan istrinya! Kalaupun Aries mau bercerai, dia pasti menghendaki Arvan. Padahal Rudi
sangat menyayanginya. Dan kalau boleh memilih, Arvan pasti memilih Rudi!
Seharian ini Aries sampai bising mendengar pertanyaan-pertanyaan anaknya.
Arvan tidak henti-hentinya menanyakan Rudi! ,
"Kapan Papa pulang, Ma"" tanyanya tanpa bosan-bosannya. Membuat mata
Aries makin keruh dan wajahnya makin merah terbakar kemarahan.
"Papa belum bisa pulang, Sayang," sahut Vania sambil menyembunyikan
kesedihannya. "Besok kita nyusul Papa, ya""
"Kenapa Papa belum bisa pulang, Ma""
"Karena Papa sakit, Van."
"Sakit apa, Ma" Bisul kayak Apan dulu""
"Iya, Sayang," Vania menahan tangis. "Cuma bisul Papa di dalam...."
Aries ingin membentak mereka. Tapi dia tahu, kemarahannya akan semakin
menjauhkan anaknya. Karena itu dia menahan diri. Menyimpan kemarahan
dan kecemburuannya jauh di dalam hati.
Aries tahu, dia harus berusaha merebut hati anaknya. Bukan malah
membuatnya makin antipati. Oom jahat. Oom judes. Oom galak. Oom yang
bikin Mama nangis. Duh, tahukah dia siapa yang membuatnya masih dapat
bernapas sampai hari ini"
Tetapi memang tidak mudah merebut hati seorang anak kecil. Apalagi kalau
-di hatinya sudah tersimpan profil seorang ayah yang baik. Ayah yang nyaris
sempurna seperti Rudi. Arvan gembira sekali ketika di bandara Aries, membelikannya sebuah
boneka koala sebesar ukurannya yang asli.
Tetapi ketika dia melihat ayahnya, dibuangnya saja koala itu ke lantai. Dan
dia tidak ingat lagi untuk memungutnya.
Arvan langsung memanjat ke atas tempat tidur. Vania tergopoh-gopoh
membantunya.

Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pa," sapanya penuh perhatian. Penuh semangat. Penuh keceriaan. Membuat
Aries yang tegak di ambang pintu kamar tertegun dibakar cemburu. "Papa
sakit, ya" Bisul ya, Pa" Ini Apan bawa obat bisul Apan yang dulu,"
Vania memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan air matanya dari
tatapan Rudi. Tapi tindakannya malah memancing kecemburuan yang lebih
hebat lagi di hati Aries. Kalau tidak cinta, mungkinkah Vania tampak sesedih
itu" Rudi menerima salep yang disodorkan Arvan dengan terharu. Air mata
langsung menggenangi matanya.
"Arvan bawa obat untuk Papa"" gumamnya lirih. "Dasar anak pintar! Terima
kasih, ya. Papa pasti cepat sembuh." .
Lalu dia menoleh pada Vania dan memaksakan sepotong senyum.
"Aku nggak bohong," bisiknya menyembunyikan kesedihannya. "Kedatangan
kalian membuat semua penyakitku hilang!"
"Kenapa tidak bilang, Rud"" gumam Vania getir. "Sudah berapa lama""
"Mas Rangga yang bilang"" desah Rudi kecewa. "Padahal dia sudah janji akan
merahasiakannya." "Kami kan harus tahu, Rud
. Supaya dapat kita tanggung penderitaanmu
bersama." "Tadinya aku tidak mau membuatmu sedih. Tapi rasanya kamu yang benar,
Lin. Kedatangan kalian saja sudah membuat semua rasa salatku lenyap. Jika
aku tidak dapat mengalahkan penyakit terkutuk ini, barangkali kehadiranmu
dan Arvan di dekatku bisa meringankan penderitaanku."
"Kita harus berjuang untuk kesembuhanmu, Rud. Jangan menyerah. Ingat
Arvan." "Sudah terlambat, Lin. Tapi aku tidak
menyesal. Belum terlambat menikmati sisa hidup-Icu bersama kalian. Karena
sepuluh bulan bersamamu dan Arvan lebih berarti daripada sepuluh tahun
hidup dalam kehampaan."
"Kami akan mendampingimu, Rud. Tapi kamu harus janji, mau berobat."
"Tak ada lagi obat yang dapat menyembuh-kanku, Lin."
"Paling tidak memperpanjang hidupmu, Rud. Aku akan bicara dengan
dokter...." "Tidak ada gunanya. Daripada bolak-balik ke rumah sakit, menghabiskan
waktu dan uang untuk berobat, lebih baik kita pakai sisa waktuku untuk
menikmati hidup." Rudi membelai-belai kepala Arvan sementara tangannya
yang lain meraih tangan Vania dan menggenggamnya.
"Masih bolehkah aku melamarmu, Lin"" matanya menatap dengan penuh
permohonan. "Masih sempatkah aku menikmati hidup sebagai suamimu dan
ayah Arvan"" Vania merasa hatinya perih tertikam duri. Dan dia mendengar suara pintu
diempaskan di j belakang tubuhnya. Dia tahu siapa yang sedang
menyingkir dengan marah. Dan hatinya semakin nyeri.
"Kamu memang ayah Arvan," sahutnv* tir. ya ge~
"Aku ingin jadi ayahnya yang sah. Dan suanv mu yang sesungguhnya. Mari
kita meniS Lin. Mumpung aku masih sanggup menggen' dongmu ke kamar
pengantin kita." "Aku sudah memutuskan untuk memberikan bagian Rudi secepatnya," kata
Rangga kepada istrinya. "Mumpung dia masih bisa menikmatinya."
"Dan memberikannya kepada anak-istri orang lain"" ejek Sagitaria sinis.
"Dia sudah bilang akan menikah secepatnya."
"Menikah dengan siapa"" Sagitaria tertawa dingin.
"Dengan siapa lagi" Tadi istri dan anaknya datang ke rumah sakit. Kamu
tidak lihat bagaimana bahagianya Rudi. Penyakitnya seperti mendadak
hilang. Anaknya memang lucu. Aku saja langsung suka."
"Anak siapa yang kamu suka" Keponakanmu""
"Sudahlah," Rangga menghela napas kesal.
Jangan bergurau lagi. Saatnya tidak tepat. saMt ^ker. Hidupnya tidak lama
lagi. tineeal satu. Meresmikan per-
oikahannyT* menikah dengan istri orang "MakStLne namanya
meresmikan"" iain"^^ S BAB XXII MULA-MULA niat Aries sudah bulat. Dia akan menceraikan Vania. Dan
membawa Arvan. Seperti janjinya pada almarhum ayahnya.
Tetapi ketika mendengar apa keinginan terakhir Rudi, dia mengubah niatnya.
"Aku tidak akan menceraikanmu," katanya tegas di kamar hotel
mereka.malam itu. "Sampai dia mari."
Vania tahu mengapa Aries melakukannya. Dan dia tidak dapat
menyalahkannya. Kadang-kadang cinta memang dapat mengubah manusia
menjadi kejam. "Apa bedanya menceraikanku sekarang atau nanti, Ries"" tanya Vania sedih.
"Buat kita tidak ada bedanya lagi. Tapi bagi Rudi, besar sekali artinya." _ i
"Lalu siapa dia sampai aku harus memikirkannya""
"Anggaplah membalas jasanya atas apa yang telah mlakukannya untuk
Arvan." "Dan untukmu juga" Untuk kehangatan yang telah diberikannya padamu di
ranjangnya"" Dalam keadaan biasa, Vania pasti sudah
melayangkan tangannya. Dia merasa sangat terhina. Tapi masih berhakkah
dia menampar suaminya" Aries tidak salah. Dia memang sudah
berselingkuh. Berzina! "Lihat saja Arvan!" bentak Vania menahan tangis. Dia mengacungkan
terunjuknya ke putra mereka yang sudah tidur lelap di ranjang. "Kamu lihat
bagaimana sayangnya dia pada Rudi""
"Itu semua salahmu!" balas Aries sama marahnya. "Karena kamu
membawanya kepada lelaki itu!"
"Salahmu juga! Kamu ingin merampasnya dariku!" "Dia memang anakku!"
"Aku ibunya!" Dan kamu bukan ayahnya! "Kamu tidak menginginkannya!"
"Tidak sesudah aku merasakan kehadirannya di perutku! Tapi kamu tidak
bisa memaafkanku!" Saat itu aku sudah memaafkanmu! Tapi sekarang aku tidak bisa lagi
mengampuni kesalahanmu! Tapi menceraikanmu untuk memberikan
kebahagiaan kepada lelaki yang telah menodai-mu" Jangan harap!
"Ries, tolonglah aku," pinta Vania sungguh-s
ungguh. "Menolongmu"" sindir Aries sambil tersenyum pahit. "Maksudmu,
menceraikanmu" Sejak kapan kamu anggap diceraikan sebagai pertolongan""
"Jangan lakukan untukku, Ries. Lakukanlah untuk Arvan. Dia sangat
menyayangi Rudi. Sudah terlambat untuk mengubahnya. Aku tidak ingin dia
membenci ayahnya sendiri untuk apa yang kamu lakukan pada Rudi
sekarang." "Dia tidak membenci ibunya untuk apa yang hampir dilakukannya dulu"
Ketika dia masih dalam kandungan""
Sekali lagi Vania merasa hatinya pedih tertikam duri. Tetapi dia sudah tidak
dapat menangis lagi. Bahkan mengeluh pun dia sudah tidak mampu. Semua
penderitaan datang laksana badai. Tak menyisakan sepotong kebahagiaan
pun. Bahkan bersua dengan suami yang sangat dirindukannya tidak
membawa keceriaan. Perjumpaan itu malah mengiris hatinya menjadi
serpihan yang nyeri. Jadi dia hanya menjawab dengan lesu. Tidak
ingin membantah. Tidak berniat membela diri-
'Tidak ada yang memberitahu. Kamu ingin aku yang memberitahu Arvan""
Aries bukan tidak merasakan kesedihan istri- . nya. Tetapi melihat Vania
begitu apatis, dia ingin menusuknya sekali lagi. Sekadar menenangkan
hatinya. Membuat rasa bersalahnya atas kematian ayahnya berkurang. Tapi
benarkah rasa sakitnya berkurang setelah menyakiti Vania" Mengapa rasa
lega itu belum muncul juga" Mengapa tak ada kepuasan yang didambakan
melihat Vania mengerut kesakitan"
"Mungkin pada saat yang tepat nanti, aku yang akan beritahu dia."
"Mungkin saat itu kamu sudah tahu mengapa aku ingin melakukannya."
Sesudah mengucapkan kata-kata itu Vania menyesal. Dia sudah kelepasan
bicara. Tidak mungkin menariknya kembali. Aries menatapnya dengan
dingin. "Kamu belum ingin mengatakannya"" Aku tidak akan pernah
mengatakannya. Biarlah semua itu hanya akan menjadi rahasiaku. Rahasiaku
bersama Guntur! Malam itu menjadi malam yang penuh siksaan. Mereka tidur di dua ranjang
bersebelahan. Dalam sebuah kamar. Di bawah satu atap. Tapi tak ada
seorang pun yang berinisiatif untuk me-
nyeberang. Mereka membeku di bawah selimut masing-masing. Meredam
kerinduan yang bergejolak di dada.
Vania merasa dirinya sangat hina. Kotor. Ternoda. Sehingga tak pantas lagi
menyentuh tubuh suaminya.
"Jangan sentuh aku lagi," kata-kata Aries yang bernada jijik menusuk
telinganya. "Karena Sungai Amazon pun tak mampu lagi membersih-kanmu."
Sementara Aries dibelenggu oleh kesombongan dan dendam. Vania tak
pantas lagi menjadi istrinya. Dia sudah menjual tubuhnya pada lelaki yang
mampu membiayai hidupnya. Dia sudah berselingkuh dengan lelaki lain!
Dan untuk perempuan sehina itu Aries telah mengorbankan ayahnya. Ayah
yang di bank kekerasannya sesungguhnya sangat menyayanginya. Apa yang
belum diberikan Ayah kepadanya" Hidup yang enak. Kemewahan berlimpah.
Masa depan yang cerah. Bahkan pada saat dia berduka karena kehilangan
sahabat karibnya, Ayah menghadiahkan mobil yang sangat diidam-idamkannya.
"Bapak tahu mobil ini tidak dapat menggantikan Guntur," katanya saat
menyerahkan kunci mobil itu. "Tapi pahng tidak dapat mengurangi
kesedihanmu-* Dan ayah yang penuh kasih sayang seperti
itu yang telah dikhianatinya! Aries telah melanggar janjinya sendiri. Dan dia
harus menebus kesalahannya dengan penyesalan seumur
hidup! Jadi bagaimana dia dapat memeluk istrinya menumpahkan kerinduan
meskipun darah dan dagingnya menginginkannya"
"Akan kubawa Arvan mencari mobil" kata Aries selesai Vania memandikan
anaknya. "Nanti siang setelah check-out kita langsung pulang."
Vania tertegun. Tangannya yang sedang mengeringkan tubuh Arvan dengan
handuk langsung mengejang.
"Pulang ke mana""
"Ke mana lagi" Ke rumahku."
"Tapi..." "Kamu masih istriku. Aku berhak membawa istri dan anakku ke mana pun
aku mau." "Kita nengok Papa ya, Ma"" Arvan mengajukan pertanyaan yang sama yang
sudah hma kali diajukannya sejak bangun tidur.
"Kita pergi beli mobil," Aries berjongkok di depan anaknya. Lalu dia
mengajukan pertanyaan yang sering diajukan ayahnya ketika dia masih kecil.
"Arvan mau mobil apa""
Arvan melongo. Ditatapnya Oom Galak dengan matanya yang bulat lucu.
"Mobil-mobilan ""
"MobU betnlan." "Hies..."
"Jangan ajari aku," poton
g Aries judes. "Aku berhak memberikan apa yang
diingini anakku." "Anak siapa"" potong Arvan bingung. "Anak Papa."
"Papa di rumah sakit," gumam Arvan tegas. "Papamu di sini.'" bentak Aries
jengkel. Sesudah membentak dia menyesal. Diraihnya Arvan ke pelukannya.
"Lekas pakaian, Van. Kita pergi cari mobil." "Jangan manjakan dia, Ries...."
"Jangan rusak dia seperti ayahnya"" sindir Aries sinis. "Aku lebih takut lagi
kalau dia rusak seperti ibunya." "Ibu siapa"" sela Arvan makin bingung. "Ibu
bebek," sahut Aries asal saja. "Donal Bebek"" mata Arvan membeliak penuh
semangat "Papa sering dongengin Apan. Kalau Apan mau tidur."
Sesaat Aries tertegun. Jadi Rudi selalu mendongengi anaknya sebelum tidur.
"Dia ayah yang baik," gumam Vania lirih. "Apa pun pendapatmu tentang dia,
sulit mencari kesalahannya sebagai ayah Arvan. Jangan
sampai pertikaian kita membuat orang yang tidak bersalah menderita, Ries."
Jadi aku harus bagaimana, pikir Aries muram ketika dia sedang minum es
krim bersama anaknya. Menyerahkan anakku kepada orang yang tidak
berhak, betapapun baiknya dia"
Mereka baru saja membeli sebuah mobil kecil. Mobil kodok dengan mesin di
belakang tubuhnya. Karena itulah mobil yang disukai Arvan.
"Kayak mobil-mobilan Apan yang dibeliin
Papa." Jadi apa pun yang dilakukan Arvan, selalu dikaitkannya dengan "Papa".
Lelaki itu hadir dalam setiap helaan napasnya. Tak mungkin
mengenyahkannya dari benak anaknya.
Aries ingin marah. Ingin membentaknya menyuruh diam. Ingin menyuruh
Arvan berhenti membicarakan lelaki sialan itu. 1
Tetapi bagaimana memberi pengertian kepada seorang anak berumur empat
tahun betapa dia telah menyakiti hati ayah kandungnya"
Bukan salahnya kalau dia tidak tahu siapa ayahnya. Bukan salahnya kalau
dia hanya mengenal lelaki yang selalu ada di dekatnya sejak bayi. Bukan
salahnya kalau dia mengidolakan
lelaki itu. . Dia ayah yang baik, kata Vania. Dan setelah
melihat betapa dekatnya Arvan pada lelaki yang dianggap ayahnya itu, Aries
sadar, vania benar. Matanya bersinar-sinar setiap kali membicarakan ayahnya. Suaranya
bersemangat kalau sedang menceritakan aktivitasnya bersama Tapa".
Bagaimana mengenyahkan figur yang demikian dikagumi anaknya"
Percuma Aries berusaha menggantikan figur "Papa" di benak Arvan. Tidak
mungkin melakukannya dalam satu hari. Mereka perlu waktu lebih lama.
Sementara itu kejam memisahkan Arvan dari lelaki yang sudah dianggapnya
ayah. Kecuali pada saat maut memisahkan mereka.
"Arvan mau permen lagi"" tanya Aries ketika dilihatnya Arvan mengantongi
permen yang disuguhkan bersama es krimnya.
"Buat Papa," sahut Arvan spontan.
Dan untuk kesekian kalinya Aries terenyak Sebutir permen hadiah. Dan
Arvan menyimpannya untuk "Bapa"!
Apa lagi pernyataan kasih sayang dari seorang anak berumur empat tahun
yang lebih mengharukan daripada itu" Aku bisa membawanya pulang. Tapi
hanya tabuhnya. Karena hatinya telah dimiliki lelaki
lain! Vania tidak terketat ketika melihat Rangga di depan pintu kamarnya. Tetapi
melihat siapa yang datang bersamanya membuat hatinya berdegup kencang.
"Halo, Ipar!" sapa Sagitaria sambil tersenyum mengejek. "Adikku ada""
"Pergi dengan Arvan," sahut Vania tersendat. Menyadari bom seratus
megaton yang dibawa kakak Rudi.
Rangga langsung menerobos masuk tanpa diundang. Dia duduk di kursi
sambil mengatupkan rahang menahan marah.
Gita melenggang di depan Vania yang masih memegangi pintu. Aroma
parfumnya yang tajam menusuk hidung Vania. Sepatunya yang berharga
jutaan rupiah melangkah anggun di atas permadani. Sementara gaunnya
yang mahal dan berkelas menyilaukan mata sepera
tkilauan kalung di lehernya. Dia duduk di kursi dengan tenang.
Menyilangkan kakinya dengan gaya seorang profesional. Mengawasi Vania
yang sedang melangkah lesu j menghampiri mereka dengan tatapan
merendah-J kan. "Saya ingin tahu yang sebenarnya," Rangga I membuka mulutnya dengan
gusar. Vania menjatuhkan dirinya di tempat tidur. Apa lagi yang ingin
didengarnya" Hujatan pasti
sudah mengalir seperti air bah dari mulut istrinya!
"Mbak Gita benar," sahut Vania datar. "Saya belum bercerai. Aries masih
suami saya. Dan Arv an anak kami." Sagitaria menoleh ke arah suaminya. Senyum kemenangan menghiasi
bibirnya. Rangga mengepalkan tinjunya menahan marah. Matanya memerah.


Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tega kamu menipu Rudi," dengusnya sengit
"Saya akan mengakui semua kesalahan saya," gumam Vania lirih.
"Itu sama saja dengan membunuh Rudi!" sergah Rangga separo berteriak.
"Kamu tidak lihat bagaimana bahagianya dia kemarin" Cuma kalian yang
membuat dia masih ingin hidup!"
"Mas ingin saya melakukan apa"" desah Vania putus asa.
"Kabulkan keinginannya yang terakhir! Nikahi dia!"
"Aries tidak mau menceraikan saya. Dia hendak membawa saya dan Arvan
pulang ke rumahnya."
Rangga sampai terlonjak dari kursinya. Urat-urat wajahnya bersembulan.
Matanya mem-beliak marah.
"Kamu sadar apa akibat tindakanmu""
Vania mengangguk pilu. "Saya sudah melangkah di jalan yang Tak ada jalur untuk kembali."
Tapi kamu tidak kehilangan apa-apa! Kamu bisa melenggang santai pulang
ke rumah bersama anak-suamimu! Tapi Rudi" Tidak membunuh diri saja
sudah bagus!" "Jika Rudi ingin saya pergi bersamanya, saya akan pergi," sahut Vania tawar.
"Biar Arvan ikut ayahnya."
"Aries pasti tidak mengizinkan kamu pergi dengan lelaki lain," sela Sagitaria
mantap. "Dia tidak akan menceraikanmu. Walaupun untuk mempertahankan
istri macam kamu, dia harus kehilangan ayahnya."
Sekarang Vania berpaling dengan kaget ke arah perempuan itu. "Ayah
Aries..."" "Meninggal," dengus Sagitaria dingin. Tengah malam Aries menelepon Bapak.
Mengabarkan dia tidak jadi menceraikanmu. Bapak kena stroke saking
marahnya." "Ya Tuhan!" desah Vania menahan tangis. Betapa besar dosanya! Itu
sebabnya Aries tidak dapat memaafkannya. Karena harga maafnya kali ini
adalah nyawa ayahnya! "Kamu perempuan paling hina yang pernah aku kenal," sambung Sagitaria
jijik. "Kamu bukan saja telah mengobrak-abrik keluargaku. Sekarang kamu
juga merusak keluarga suami-
ku." Sagitaria menoleh dengan perasaan ke arah suaminya. "Sekarang
mengernPUas ngapa aku tidak sudi harta ayahmu diwaris"6' kepada
perempuan sekotor dia"" ^
. "Simpan saja warisan itu," potong Vania Q tar. "Karena saya tidak
membutuhkannya la " Saya akan mengakui kesalahan saya di depan Rudi.
Jika dia membunuh diri, saya rela mati bersamanya."
"Dan anakmu"" sergah Sagitaria penuh harap.
Saat itu kunci pintu berputar. Tapi tidak seorang pun mendengarnya.
"Jangan khawatirkan Arvan. Dia tidak akan menyusahkan kalian. Karena
Aries akan membawanya pulang."
"Arvan bisa menunggu."
Mereka menoleh dengan kaget ke pintu. Aries tegak di sana. Wajahnya
membeku. Arvan lari ke pelukan ibunya. Dia gembira sekali. Tidak mengacuhkan
ketegangan di sekelilingnya.
"Apan beh mobil, Ma!" serunya girang. "Kita nnjukin ke Papa, yukf
"Pengacaraku akan mengurus surat cerai kita secepatnya," sambung Aries
kering. "Jangan "B0^ melakukannya untukmu. Aku me-la^nnya untuk
Arvan." ^ tertegun. Matanya langsung berkaca-
kaca. Ditatapnya suaminya dengan getir. Dan Jja tidak mampu mengucapkan
separah kata pUgagitaria-lah yang meledak.
"Aries!" bentaknya sengit. "Apa-apaan sih kamu" Sok jadi pahlawan" Belum
cukup pengorbanan Bapak buat sampah ini""
"Aku hanya menepati janji yang pernah ku-langgar pada Bapak," sahut Aries
tawar. "Belum terlambat untuk membayar utangku."
"Kamu bukan cuma menjanjikan surat cerai! Kamu juga berjanji akan
membawa anakmu!" "Arvan bisa menunggu," sahut Aries mantap. "Kursi direktur di perusahaan
vokok ayah kita tetap kusediakan untuknya. Itu memang hak-
nya. BAB XXIII SAGITARIA marah sekali. Kesal. Kecewa. Mengkal.
Bayangkan saja. Seumur hidupnya dia telah bekerja keras. Memajukan
perusahaan ayahnya. Membangkitkan perusahaan suaminya yang hampir
bangkrut. Lalu apa hasilnya" Kursi chrektur di perusahaan ayahnya disediakan untuk
adiknya. Dan kini kursi itu akan diwariskan untuk anaknya.
Suaminya sudah mengajaknya ke notaris.
"Ada surat-surat yang harus kamu tanda tangani," katanya sebelum pergi.
"Supaya tidak ada masalah di kemudian hari."
Rangga ingin secepatnya menyelesaikan masalah warisan mereka.
"Kita sedang berkejaran dengan waktu," katanya serius. "Aku ingin Rudi
sudah memperoleh haknya sebelum dia meninggal.
" "Hak apa"" bantah Sagitaria ketus. "Jangan-jangan dia sudah meninggal
sebelum sempat mencicipi warisannya."
"Kalau Rudi sudah menikah, biarlah anak-istrinya yang mewarisinya. Itu
keinginannya yang terakhir."
Tapi perempuan sampah itu tidak berhak mencicipi uang yang diperoleh
dari hasil cucuran keringatku, geram Sagitaria muak. Dan bocah gendut itu!
Bocah yang tampangnya tidak mirip sama sekali dengan Aries... benarkah dia
anaknya" Atau ibunya yang bejat itu bersekng-kuh lagi dengan orang lain"
Sagitaria tidak mau ikut suaminya ke notaris. Dia malah sengaja menyingkir.
Pulang ke rumah orangtuanya.
Ketika dia tiba di depan rumah, Pak Broto membukakan pintu gerbang
untuknya. Dan melihat pengawal almarhum ayahnya yang setia itu, tiba-tiba saja Gita
sadar wajah siapa yang melekat di paras anak Aries....
"Seandainya hidup ini punya cetakan kedua," desah Vania lirih. "Seandainya
waktu bisa diputar mundur..."
Aries membalikkan tubuhnya. Tidak ingin melihat air mata penyesalan
istrinya. Seandainya aku bisa mengeringkan Sungai Amazon, keluhnya dalam hati.
Seandainya aku tidak pernah bertemu denganmu!
"Kenapa tidak pernah kamu katakan kepadaku, Ries""
"Apa yang harus kukatakan" Bapak meninggal karena aku melanggar janji""
"Kenapa tidak bilang terus terang kamu ingin membatalkan perceraian kita"
Supaya aku tidak usah melarikan diri bersama Arvan!"
"Sudahlah," gumam Aries murung. "Semua sudah
terlambat." "Ries," sambil menahan tangis Vania memeluk suaminya dari belakang. Tidak
peduli seandainya Aries mengempaskannya sekalipun. Tetapi kali ini Aries
tidak menolaknya. Dia diam saja. Seperti sedang menahan gejolak
perasaannya sendiri. "Masih adakah hari esok untuk kita"" Aries menggeleng.
"Aku tidak bisa mengatakannya kepada arwah Bapak. Kamu tidak berani
mengatakannya pada lelaki itu. Rasanya Amazon masih mengalir. Tapi
bukan ke hati kita lagi."
"Hidup Rudi takkan lama lagi, Ries," desah Vania getir. "Masih bolehkah aku
dan Arvan kembali padamu" Masih adakah kesempatan ketiga untukku""
Aries belum sempat menjawab ketika terdengar teriakan Arvan.
"Ma, kapan kita nengok Papa""
Sambil menengadah untuk menelan air mata yang menyekat
tenggorokannya, Aries memegang kedua belah tangan Vania. Lalu dia
memutar tubuhnya dan melepaskan genggamannya.
"Pergilah," katanya datar. "Bawa mobil itu untuk Arvan. Tidak usah
dikembalikan. Dia yang memilih warnanya. Hitam. Sehitam air Rio Negro."
Vania tidak dapat menahan tangisnya lagi. Dia memeluk Aries sambil terisak.
Sesaat Aries merasa kehangatan menyergap dadanya. Kerinduan meronta
tatkala tubuh wanita yang dicintainya terbenam dalam pelukannya.
Pada saat yang sama, Vania tenggelam dalam kenikmatan yang sudah lama
dirindukannya. Terdampar kembali di pelabuhan yang sudah lama
ditinggalkan membersitkan kebahagiaan yang amat dalam meskipun hanya
sesaat. "Jangan tinggalkan aku, Ries!" "Aku tidak pernah meninggalkanmu.
Kamu yang selalu meninggalkanku!"
"Mama!" Arvan memburu ibunya dengan cemas. Ditarik-tariknya baju Vania.
"Kenapa na- I ngis, Ma""
"Bilang terima kasih sama Papa Aries, Van,
pinta Vania sambil melepaskan pelukannya. Tapa Aries ngasih Arvan mobil."
Bukan itu saja. Ada pengorbanan yang lebih besar lagi yang diberikan Aries
untuk anaknya. Tapi Vania tidak mampu menjabarkannya. Bagaimana
menjelaskannya kepada anak yang baru berumur empat tahun" Betapa cinta
ayahnya telah mengalahkan segalanya!
Arvan melongo bingung. Tidak mengerti mengapa dia harus memanggil
"Papa" kepada orang lain" Oom Galak memang sudah tidak seram lagi. Tapi
kenapa harus dipanggil Papa"
"Bilang terima kasih, Arvan!" desak Vania tegas. "Bilang terima kasih, Papa
Aries." Meskipun tidak mengerti, Arvan membeo saja. Daripada Mama marah dan
dia dicubit. Sakit Telima kasih, Papa Alis."
Ketika mendengar anaknya memanggil "Papa" untuk pertama kalinya, Aries
tak dapat menyembunyikan air matanya lagi. Dengan mata berkaca-kaca dia
meraih Arvan ke dalam gendongannya.
Vania memalingkan wajahnya sambil menggigit bibirnya menahan tangis.
Sagitaria wanita yang sangat cerdas. Pengetahuannya pun luas. Dia tahu apa
yang disebut maternal impresi. Karena sangat terobsesi pada seseorang,
seorang wanita hamil dapat mewariskan sifat atau ciri fisik orang itu pada
anaknya. Mungkin saja Vania punya hubungan yang sangat dekat dengan Guntur.
Begitu dekatnya sampai profil Guntur melekat pada wajah anaknya.
Tetapi benarkah hanya maternal impresi" Bukan perselmgkuhan"
Mereka tinggal serumah. Guntur memang sangat setia pada Aries. Tapi dia
masih muda. Dan dia laki-laki.
Mungkin saja Vania yang menggodanya. Dia memang perempuan murahan.
Tidak boleh melihat cowok nganggur. Sagitaria memutuskan untuk
bertindak cepat. 1 Jika Arvan bukan anak Aries, dia tidak berhak atas kursi
direktur di perusahaan keluarga mereka! Dan jika benar Arvan anak Guntur,
Aries I pasti marah sekali.
I. "Jangan pikir aku melakukannya untukmu," kata Aries waktu dia
berjanji akan menceraikan istrinya. "Aku melakukannya untuk Arvan." Kalau
Aries tahu Arvan bukan anaknya, buat
I apa dia berkorban" Mungkin dia akan
membatalkan perceraian dan perempuan itu tidak
j dapat mewarisi harta Rudi!
Kedatangan Vania dan Arvan membuat semangat Rudi pulih kembali. Dia
bisa meninggalkan rumah sakit lebih cepat dari dugaan dokter.
"Semangatnya yang menopang fisiknya," kata Dokter Biran kagum. "Memang
ada hal-hal yang di luar prediksi medis. Mudah-mudahan dia bisa
menaklukkan penyakitnya. Paling tidak menahannya lebih lama."
"Maksud Dokter, Rudi bisa sembuh"" tanya Vania harap-harap cemas.
"Prognosisnya sangat buruk," sahut Dokter Biran terus terang. "Kankernya
sudah stadium empat. Sudah metastasis ke hati dan paru. Secara medis,
tidak ada harapan. Tapi seperti saya katakan tadi, kadang-kadang ada hal-hal
yang di luar prediksi medis. Jadi kita berharap saja Pak Rudi mampu
bertahan. Tentu saja dengan dukungan moral anak-istrinya."
Lama Vania tercenung. Ketika berpisah dengan Aries di lobi hotel tadi, dia
sudah ingin berterus terang pada Rudi. Dia masih istri laki-laki lain.
Suaminya belum meninggal. Dia tidak
dapat menikah dengan Rudi. Tetapi ketika bertemu dengan lelaki itu, Vania
tidak sampai hati mengatakannya. Dan kini
Dokter Biran menambah keraguannya. Jika dia
berterus terang, semangat Rudi pasti langsung
hancur. Daya tahannya ambruk. Mungkin dia tidak mampu lagi bertahan.
Vania benar-benar dihadapkan kepada dua pilihan yang sulit. Melihat Aries
pergi dengan lunglai, dia hampir saja menghambur untuk merangkulnya dari
belakang. Jangan tinggalkan aku, Ries! Aku. sangat mencintaimu!
Tetapi ketika di rumah sakit dia melihat Rudi menyambut kedatangannya
dengan gembira, dia tak sampai hati membuka mulutnya.
Aku masih punya suami, Rud. Aku tidak bisa menikah denganmu.
Dan Arvan menambali kebimbangannya. Arvan begitu menyayangi Rudi.
Seperti Rudi juga sangat mencintainya. Pertemuan mereka membangkitkan
keharuan di hati Vania. Dan kebisuan membungkamnya.
"Kenapa, Lin"" Seperti baru sadar betapa diamnya Vania, Rudi memegang
tangannya. Sejak tadi Arvan berceloteh terus. Percakapan mereka menyita
seluruh perhatian Rudi Mendominasi suasana. "Dokter Biran meramalkan
hal-hal yang paling jelek"" Rudi tersenyum lebar. "Jangan khawatir. Aku akan
membuat kejutan. Dengan bantuanmu dan Arvan, aku akan mengalahkan
penyakit terkutuk ini."
Dan Rudi tidak membuang waktu. Pada hari ketiga sepulangnya dari rumah
sakit, dia me- pitipkan Arvan di rumah kakaknya. Lalu sore itu juga dia membawa Vania ke
sebuah hotel bintang lima.
Ketika mereka masuk ke kamar yang telah dipesan Rudi, ada sebotol
sampanye dan dua cawan kosong di atas meja.
"Kamu boleh minum alkohol"" tanya Vania agak cemas. "Tidak memperburuk
kondisi hatimu""
" "Tidak selama ada kamu di hatiku," sahut
Rudi mantap. Senyumnya begitu lebar. Begitu cerah. Begitu bahagia.
Tanpa ragu-ragu dia membuka sumbat botol sampanye dan menuangkannya
ke cawan. Tetapi dia tidak langsung menyerahkannya kepada Vania. Dia
meletakkannya di atas meja.
"Kita baru minum setelah kamu jawab pertanyaanku," katanya sambil
berlutut di depan Vania. "Catahna Arman, maukah kamu menikah
denganku"" Rudi membuka sebuah kotak kecil dari beludru biru. Dan sebentuk cincin
platinum bermata berl ian berkilau menyilaukan mata.
Sesaat kenangan Vania kembali ke sebuah malam yang gelap di Rio Negro.
Dalam sebuah sampan kayu berwarna hijau. Ketika Aries melamarnya. Dan
memasukkan sebentuk cincin belah rotan dari emas delapan belas karat
Tidak ada harganya dibandingkan cincin yang
kini diberikan Rudi. Tetapi kalau cinta memerlukan stempel, itulah meterai
yang tak tergantikan. Sesaat Vania hendak menolaknya. Dia merasa tak pantas menerima cincin
semahal itu. Dan merasa tak patut menerima cincin kawin dari seorang laki-laki pada saat dia masih menjadi istri lelaki lain.
Tetapi bagaimana menolak permohonan seorang pria di ambang maut" Jika
dusta dapat menyelamatkan seorang laki-laki sebaik Rudi, risiko apa lagi
yang tidak berani diambilnya"
Dan melihat kebahagiaan Rudi ketika dia menganggukkan kepalanya, Vania
tidak menyesal telah menipunya.
Hatinya menangis ketika Rudi menyelipkan cincin itu di jari manisnya.
Wajah Aries langsung terbayang di depan matanya. Tatapan Aries begitu
terluka. Istrinya memakai cincin dari lelaki laini Maafkan aku, Ries, desahnya
getir. Rudi menghapus air mata yang meleleh ke pipi Vania.
"Jangan ada air mata lagi, Lin," bisiknya lembut. "Lebih-lebih di hari bahagia
ini. Dan hari-hari penuh madu yang akan kita lalui bersama. I Percayalah,
di sampingmu dan Arvan, aku akan I hidup lebih lama dari dugaan dokter."
Sagitaria bertindak cepat. Dia menggunakan kesempatan yang amat baik
ketika sore itu Arvan ditinggal di rumah bersama Rangga. Dia membawa
anak itu ke laboratorium. Mengambil sampel darahnya. Dan menunggu
hasilnya. Lalu tanpa membuang waktu lagi, malam itu juga dia menemui adiknya.


Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kebetulan malam itu Aries tidak pulang ke rumah orangtua mereka. Dia
sedang bermalam di rumah peristirahatannya di daerah Rajamandala.
Mengasingkan diri karena pikirannya sedang kacau.
Aries suka sekali berada di tempat ini. Bukan saja karena suasananya yang
tenang dan damai. Terapi juga karena dari teras vilanya dia bisa melihat ke
bawah. Ke Sungai Citarum yang mengingatkannya pada Rio Negro.
"Ada rahasia yang ingin kuceritakan padamu," kata Sagitaria begitu menemui
adiknya. Aries memang belum tidur walaupun sudah jauh malam. Dia masih
melamun di kamar kerjanya. Menghadapi laptop terbuka yang sudah dua
jam lebih ditatapnya. Di layar komputer jinjing itu terpapar strategi pemasaran yang
dipresentasikan stafnya dalam pertemuan siang tadi. Aries memang tidak
ikut meeting. Taurina yang mengirimkannya melalui e-mail.
Tetapi sejak tadi Aries tidak mampu berkonsentrasi. Yang tampil di depan
matanya hanya wajah wanita yang selalu duindukannya. Dan paras lucu
seorang bocah bermata bulat,
berhidung besar, dan bermulut lebar.
"Jangan tinggalkan aku, Ries...." Desahan itu menggema di sela-sela
dentingan piano yang mengalunkan Pkrisir D'amour. Salah satu
persembahan Richard Clayderman yang paling manis.
Nada suara itu begitu penuh permohonan. Begitu trenyuh. Begitu
menyakitkan. Rasanya Aries rela berenang menyeberangi Amazon untuk
meraih mutiaranya yang hilang.
Tetapi... masih miliknyakah mutiara itu"
Atau dia telah diterbangkan seekor rajawali ke puncak Himalaya" Tinggi tak
terengkuh. Jauh tak tergapai. Lalu embusan angin sepoi-sepoi basa mem-I
belai hatinya yang luka. Menitikkan kesegaran walau hanya sekejap.
"Papa Alis...." Berkaca-kaca mata Aries setiap kali suara itu menyentuh
telinganya. IKenangannya kembali ke sebuah boks bayi di rumah sakit. Di balik kaca
tebal yang memisahkan mereka. Ketika untuk pertama kalinya Aries melihat
anaknya. Anak yang diberinya napas keMdup-
an.. . ^"Aku tidak tertarik," sahut Aries tanpa menoleh. Mengapa ada perempuan
yang tidak punya hati seperti kakaknya" Di mana hatinya dititipkan ketika
dia dilahirkan" Mengapa hidupnya hanya dipakai untuk menyusahkan orang
lain" Tanpa bertanya Aries sudah tahu apa yang ingin disampaikan kakaknya.
Pasti sesuatu yang merugikan Vania.
"Kamu pasti kaget."
Tidak lagi. Semua yang paling buruk sudah menghampiriku. Apa lagi yang
lebih jelek yang belum kualami"
"Aku sudah mengunjungi rumah sakit tempat istrimu melahirkan. Sudah
datang ke rumah sakit temp
at Guntur meninggal. Dan sore tadi, aku sudah
mengambil contoh darah anakmu...."
"Apa hakmu mengambil darah Arvan"" bentak Aries gusar. "Heran Vania
tidak menamparmu!" "Dia sedang ke hotel bersama calon suaminya," Gita menyeringai
menyakitkan sekali. "Barangkali mereka masih perlu rest drive meskipun
sudah empat tahun tidur di garasi yang sama."
"Sudahlah, jangan membuang-buang waktumu mengintip urusan orang,"
balas Aries sambil menyembunyikan kecemburuannya. "Lebih
baik hitung saja berapa uangmu yang bakal diberikan suamimu kepada
adiknya ." "Kamu rela istrimu menikah dengan orang
lain"" "Sudah kubilang, aku akan menceraikannya demi anakku." "Juga kalau dia
bukan anakmu"" Sekarang Aries mengangkat mukanya. Dan menatap
kakaknya dengan berang. "Mbak Gita tidak bisa bernapas kalau tidak menyusahkan orang lain""
Sebanknya Sagitaria menatap adiknya dengan puas. Senyumnya
mengembang lebar. "Anakmu bergolongan darah A/ Golongan darah istrimu O."
Aries tertegun. Dia mengawasi kakaknya de- ' ngan nanar.
"Darahmu golongan B, kan" Jadi kamu tidak mungkin ayah Arvan!"
Aries tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Tiba-tiba saja kejadian
tragis malam i itu kembali ke benaknya.
"Bukan salahnya..." gumam Guntur di am-I bang maut. "Dia sangat
mencmtaimu...." "Golongan darah Guntur A," sambung Sagitaria dramatis sekali. "Memang
bukan jaminan I dia ayah Arvan. Tapi dia lebih punya kemungkinan
daripadamu. Karena kamu pasti bukan 1 ayah Arvan. Sekali lagi istrimu
yang tercinta membohongimu. Dia berselingkuh dengan lelaki lain. Dan aku yakin orang
itu Guntur. Anakmu seperti sampelnya, kan""
Karena itukah Guntur sengaja membunuh diri" Melemparkan dirinya ke
depan pisau yang terhunus" Bukan hanya untuk menyelamatkan Aries. Tapi
sekaligus untuk membayar utangnya!
"Kita bisa minta tes DNA," sambung Gita, puas sekali melihat adiknya
tertegun beku. "Kamu berhak melakukannya. Bukankah anak itu calon
direktur pabrik rokok keluarga kita""
Jadi itu sebabnya Vania ingin menyingkirkan bayinya! Karena anak itu bukan
anak Aries. Anak itu anak haram! Anak... Guntur"
Bukan salah Vania. Itu kata-kata Guntur yang terakhir. Itukah pengakuannya
karena telah... memerkosa Vania"
Karena itu Vania menolak kugauli, pikir Aries penuh penyesalan. Karena dia
masih merasa jijik Tapi dia tidak mau menceritakan apa sebabnya.
Vania tidak mau merusak nama Guntur. Tidak mau menodai persahabatan
mereka! Dan dia harus menanggung akibatnya. Dibenci suaminya sendiri.
Dijauhi orang yang dicintainya. Bahkan diancam perceraian! Dipaksa
berpisah dengan anaknya! Ya Tuhan! Mengapa penyesalan selalu datang
terlambat" Sagitaria menyodorkan telepon tanpa kabel kepada adiknya.
'Telepon istrimu," katanya tegas. "Supaya dia tahu, rahasianya telah
kubongkar!" Huh! Dia bisa mengelabui adikku! Tapi jangan harap bisa menipu Sagitaria
Bintang Dewabrata! "Bukan rahasia," sahut Aries dmgin. "Guntur sudah mengatakannya padaku.
Sesaat sebelum dia tewas. Vania tidak bersalah."
"Hah"" Sagitaria terlonjak antara terperanjat dan marah. "Kamu sudah tahu
anak itu bukan anakmu tapi masih tetap ingin menjadikannya direktur""
"Aku boleh menunjuk siapa pun sebagai penggantiku." Sagitaria menggeram
gusar. "Kamu boleh mewariskan hakmu kepada siapa pun. Tapi aku tidak
rela memberikan harta keluarga kita kepada anak Guntur! Lebih-le-1 bih
lagi, aku tidak sudi membagi hartaku kepada orang yang tidak berhak!"
Sekarang Aries mengawasi kakaknya dengan dingin.
"Pernahkah ada tempat lain di otakmu yang tidak berisi uang""
Sagitaria membalas tatapan adiknya dengan
"Kamu tidak pernah merasakannya. Karena sejak lahir, semua yang kamu
inginkan selalu datang sendiri menghampirimu. Tapi aku harus mencarinya
kalau tidak mau menerima sisa-sisamu!"
"Itukah yang membuat Mbak jadi monster" Karena sejak kecil iri kepada adik
kandung sendiri""
"Kamu akan menyesal, Ries!" geram Sagitaria sengit.
"Aku memang sudah menyesal, Mbak," sahut Aries datar. "Jika hidup ini
punya cetakan kedua, alangkah banyak yang harus diperbaiki."
"Kamu tidak bisa menceraikan istrimu dan mengambilnya kembali kalau
Rudi sudah mati! Kamu j uga tidak bisa mengakui anak Guntur sebagai
anakmu! Tidak bisa mewariskan pabrik rokok kita padanya! Jasad Bapak
akan berbalik di kuburan!"
"Aku tidak akan mengubah keputusan. Kami akan bercerai Vania akan
menerima warisan iparmu. Dan Arvan akan menerima warisanku kelak."
"Kamu sengaja menyalati hatiku!" teriak Sagitaria kalap. "Kamu manusia
yang paling busuk atau yang paling bodoh!"
BAB XXIV MALAM itu menjadi malam yang sangat romantis untuk mereka berdua.
Suasana kamar hotel yang nyaman. Musik yang lembut. Sampanye yang
manis dan hangat. Sayangnya kenikmatan yang didambakan Rudi tak mampu diwujudkannya.
Dia sudah terlampau lemah untuk memuaskan Vania.
"Maaf, Lin," bisiknya kecewa setelah sia-sia berjuang. "Rasanya aku sudah
tidak sanggup lagi. Penyakit sialan ini sudah menggerogoti seluruh tubuhku.
Aku tidak punya tenaga lagi. Batereku sudah habis."
"Buat apa memaksakan diri, Rud"" Vania membelai-belai wajah Rudi yang
basah oleh keringat Dia tersenyum lembut. Senyum yang
sangat menghibur. "Kita kan tidak tergesa-gesa. Masih banyak waktu untuk
men-charge batere-mu."
Sebenarnya jauh di dalam hatinya Vania merasa lega. Setelah pertemuan
kembali dengan Aries, dia sudah tidak sanggup lagi bermesraan dengan
lelaki lain. Dia hanya tidak sampai hari mengecewakan Rudi. Ingin
memberikan apa yang didambakannya. Mungkin cuma tinggal beberapa kali
lagi.... Vania tidak berani memikirkannya.
Tetapi kali ini pun Rudi sudah tidak mampu melakukannya. Padahal Vania
sudah berusaha menyembunyikan keengganannya. Dia pura-pura bergairah.
Pura-pura terangsang. Walaupun sebenarnya dia tidak merasakan apa-apa.
Dia malah merasa tersiksa setiap kali membayangkan wajah Aries.
Betapa sakit tatapan matanya. Betapa murung wajahnya. Betapa
menderitanya dia dibakar cemburu dari kemarahan.
"Seharusnya malam ini menjadi malam yang sangat indah," bisik Rudi penuh
penyesalan. "Kenapa kamu pikir malam ini kurang indah"" rajuk Vania pura-pura kesal.
"Kita berduaan di sini. Tidak ada orang lain. Apa lagi yang kurang"''
"Arvan," Rudi tersenyum pahit. "Aku merindukannya."
"Ada saatnya dia harus memberikan kesempatan kepada ayah-ibunya untuk
berdua saja. Urusan orang besar," Vania tersenyum ketika membayangkan
kata-kata yang sering diucapkannya kepada Arvan itu. "Dia ngerti kok."
"Arvan memang pintar," selalu ada senyum di bibir Rudi setiap kali dia
membayangkan si kecil Arvan. "Dia harus jadi sarjana, Lin."
"Sarjana"" Vania tidak mampu menahan tawanya meskipun hatinya tengah
gundah. "Sekolah saja belum!"
Tapi kamu harus janji akan menyekolahkannya sampai jadi sarjana."
"Bagaimana kalau dia lebih senang main band"" Vania berusaha bergurau.
Berusaha mencairkan keharuan yang sudah menggumpal di dada. Pada saat
maut hampir menjemput, Rudi masih memikirkan masa depan anaknya!
"Boleh kalau cuma hobi. Tapi dia harus jadi sarjana. Bilang itu amanat Papa
sebelum meninggal." "Kata siapa kamu tidak sempat melihat dia jadi sarjana" Katamu di samping
aku dan Arvan, kamu akan memerangi penyakitmu, kan""
"Aku akan berjuang sekuat tenaga," sahut j&udi sambil tersenyum pahit.
"Makanya kita harus cepat menikah. Supaya batereku cepat lerisi lagi."
"Oke, sebut saja waktunya." "Kamu mau pesta yang meriah atau menikah
tamasya ke Eropa"" "Terserah kamu saja."
Asal jangan ke Amazon, keluh Vania pedih. "Aku lebih suka menikah
tamasya." "Aku abstain."
"Enak saja," Rudi memeluk Vania dengan mesra. "Kamu dan Arvan harus ikut
urun rembuk." "Arvan"" Vania tersenyum. "Rasanya dia cuma ingin ke kebun binatang."
"Aku kangen, Lin."
"Sama siapa" Gajah" Monyet" Macan""
"Sama Arvan dong. Siapa lagi""
"Biar Mas Rangga kurang tidur malam ini." Vania tersenyum pahit.
"Jangan-jangan kita juga tidak bisa tidur. Kita jemput yuk."
"Besok saja. Malam ini milik kita berdua."
Tetapi ketika keesokan paginya Vania dan Rudi menjemput Arvan, mereka
menyesal tidak menjemputnya tadi-malam.
Arvan menyambut kedatangan mereka sambil menangis. Dia menunjukkan
lengannya yang diplester.
"Kenapa"" cetus Vania antara kaget dan bingung. Dia mengangkat wajahnya
menatap Rangga. "Dia digigit apa, Mas""
"Diambil darah," sahut
Rangga tersendat. "Diambil darah"" belalak Rudi panik. "Arvan sakit apa, Mas""
Refleks Vania memegang dahi putranya. Tidak. Tidak panas. Tidak ada
demam. Jadi mengapa harus periksa darah"
"Itu yang aku tidak tahu," sahut Rangga murung. "Ketika aku pulang, Gita
sudah pergi." "Mbak Gita"" geram Vania sengit. "Mbak Gita yang membawa Arvan""
"Periksa darah"" sela Rudi cemas. "Untuk apa""
"Gita tidak bisa dihubungi. HP-nya dunati-kan."
Dan mereka belum sempat memecahkan teka-teki ulah Sagitaria ketika dia
muncul di ambang pintu. Vania tidak dapat lagi menahan kemarahannya.
"Kenapa anak saya diambil darah, Mbak"" geramnya kesal.
"Untuk membuktikan dia bukan anak Aries," sahut Sagitaria datar.
Dibalasnya tatapan Vania yang berapi-api dengan dingin. "Dia anak Guntur,
kan" Kamu berzina juga dengan dia""
Mendidih darah Vania. Hampir ditamparnya
wanita itu kalau dia tidak ingat di sana ada
Arvan. "Bawa Arvan ke dalam, Rud," pintanya menahan marah. "Aku ingin bicara
dengan Mbak Gita." "Mereka tidak perlu pergi," cetus Gita puas. "Supaya mereka juga tahu dari
tempat sampah mana kamu berasal!"
"Jangan menghina Catalina, Mbak!" geram Rudi dalam nada mengancam. Dia
memang sakit parah. Tenaganya sudah jauh berkurang. Tapi rasanya dia
masih mampu menghajar perempuan tidak tahu diri ini.
"Apa hakmu melarangku menghina adik iparku sendiri"" Sagitaria menoleh
ke arah Rudi dengan sinis. "Aku lebih berhak dari kamu!"
"Gita!" sela Rangga cemas. Khawatir istrinya akan membuka rahasia yang
bakal membuat Rudi shock.
"Apa"" Gita berpaling kepada suaminya dengan jengkel. "Kamu juga mau
melindungi perempuan bejat ini""
"Mbak!" bentak Rudi sengit. Napasnya tersengal didesak kemarahan. "Jaga
mulutmu!" "Masuk, Rudi!" perintah Rangga tegas. "Biar aku yang mengurus istriku!"
Tidak perlu!" sanggah Sagitaria pedas. "Aku bisa mengurus diriku sendiri!
Biar saja adikmu di sini. Biar dia tahu perempuan macam apa yang ingin
diwarisinya hartamu!"
"Ambil saja hartamu!" potong Vania berang. Tapi berhentilah merusak hidup
orang laini* "O, begitu"" seringai sinis bermain di bibir Sagitaria. "Kamu
sendiri sudah merusak hidup adikku! Bahkan membunuh ayah kami!"
"Apa maksud Mbak"" bentak Rudi gusar. "Jangan menghina istriku!"
"Istrimu"" ejek Gita dingin. "Gita!" hardik Rangga cemas. "Dia istri adikku!
Dan Aries masih hidup! Perempuan celaka ini sudah dua kali berzina!
Dengan teman adikku. Sahabat karib suaminya sendiri. Dan kamu, adik
suamiku!" "Gita!" teriak Rangga kalap. Dia sudah hendak menampar istrinya.
Tetapi Sagitaria dengan gesit mundur ke belakang.
"Ralat kalau ucapanku salah," tantangnya garang. "Ini bukan fitnah. Aku bisa
membuktikan anak ini bukan anak Aries! Bisa membuktikan suaminya masih
hidup! Dan mereka masih terikat pernikahan yang sah!"
Wajah Rudi langsung memucat. Rangga dan Vania ngeri sekali melihatnya.
Mereka khawatir Rudi jatuh pingsan. Apalagi Arvan yang berada dalam
pelukan Vania langsung lari merangkul kaki ayahnya. Seolah-olah dia punya
firasat, ayahnya dalam bahaya.
"Rudi," sergah Rangga sambil menghambur menghampiri adiknya. "Jangan
dengarkan omongan istriku. Kami bisa menjelaskan


Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padamu...." "Apa lagi yang harus dijelaskan"" ejek Sagitaria puas. "Semuanya sudah
jelas!" "Gita!" suara Rangga berubah ganas. "Menyingkir dari sini!"
Mula-mula Sagitaria hendak membangkang. Tetapi melihat tatapan mata
suaminya, mendengar nada suaranya, dia tahu, sudah waktunya mematuhi
perintah Rangga. Untuk pertama kalinya Gita melihat ketegasan suaminya.
Dan entah mengapa dia merasa senang.
Jadi dia segera menyingkir. Lagi pula bukankah semua sudah beres" Dia
sudah membereskan misinya.
Rangga tidak menghiraukannya lagi. Dia sedang memeluk adiknya yang
terhuyung lemas. "Rud," bisik Vania dengan perasaan bersalah. "Beri aku waktu untuk
menjelaskan semuanya...."
Tetapi Rudi hanya menatapnya dengan
nanar. "Jawab saja pertanyaanku," desisnya lemah. "Benarkah semua yang
dikatakannya"" "Dengar, Rud," potong Rangga cemas. "Cata-lina sudah lama ingin
menjelaskannya padamu...."
"Jawab..." napas Rudi mulai tersengal. Bibirnya membiru. Cuping hidungnya
bergerak. Vania han ya mampu mengangguk sambil menahan air matanya. Dadanya
sesak meredam ^tangis. Rudi memejamkan matanya. Tidak ingin melihat Vania mengangguk. Tapi
bahkan dengan mata terpejam dia masih dapat melihat anggukan itu.
Bahkan berulang-ulang. Wanita yang dicintainya masih istri orang. Mereka masih resmi menikah. Dan
laki-laki itu adik ipar Mas Rangga.
Arvan anak haram. Anak gelap Catalina dengan teman suaminya.
"Aries sudah bilang akan menceraikan istrinya, Rud," tukas Rangga tergesa-gesa. Takut Rudi keburu semaput. "Kalian bisa segera menikah. Jangan
khawatir...." Terlambat. Rudi sudah tidak dapat mendengarnya lagi.
* * * Dokter Biran menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Seharusnya dia belum boleh meninggalkan rumah sakit," keluhnya agak
menyesal. "Kondisinya memburuk sangat cepat." " "Rencananya kami akan
segera menikah, Dok," gumam Vania sedih. "Katakan terus te-
rang, Dokter, apakah rencana kami terlalu muluk""
"Waktu itu tidak," sahut Dokter Biran muram. Tapi sekarang jangankan
menikah. Bernapas saja sudah sangat sulit. Dia harus masuk ICU. Kalau
sampai nanti siang napasnya bertambah sesak, kami harus memasang
ventilator." "Ventilator"" desis Vania gugup.
"Mesin pernapasan. Karena Pak Rudi sudah tidak dapat bernapas dengan
paru-parunya sendiri."
Ya Tuhan, keluh Vania getir. Betapa cepat Kaiuanm Malaikat Maut-Mu!
"Boleh saya menemuinya, Dokter"" tanya Vania gemetar menahan
kesedihannya. Saya harus minta maaf. Saya harus menjelaskan segalanya.
Sekarang. Sebelum dia keburu pergi...
"Sekarang masih di UGD. Sebentar lagi kami kirim ke ICU."
Tetapi tak ada lagi yang dapat disampaikan Vania. Napas Rudi sudah
demikian sesaknya sehingga slang oksigen yang dimasukkan ke hidungnya
pun tak dapat lagi membantu pernapasannya.
Vania hanya mampu menggenggam tangannya ketika Dokter Biran
mengganti slang oksigennya dengan masker oksigen. Tapi tindakan
ini pun tak mampu menolong banyak. Rudi begitu sulitnya bernapas seperti
sedang tenggelam di air. Vania tidak sampai hati menyaksikannya. Dia ingin menghambur keluar.
Menangis tersedu-sedu di ruang tunggu. Tetapi dia sadar, inilah saat-saat
terakhir Rudi. Dan selama dia masih diizinkan berada di dekatnya, dia tidak
akan menyingkir. Vania ingin menjadi orang terakhir yang berada di
samping Rudi pada saat dia berlalu.
Memang tak sempat lagi minta maaf. Tak sempat menjelaskan semuanya.
Keadaan Rudi sudah terlampau parah.
Dia masih sadar. Dan tampaknya masih mengenali. Vania. Tetapi dia sudah
tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Hanya matanya yang menatap Vania sekilas. Mata yang menyimpan
kesakitan dan penderitaan.
Tak ada rasa marah dalam mata Rudi. Tak ada kilasan dendam pada saat
Vania melantunkan permintaan maafnya.
Tampaknya penderitaan dan dusta tak mampu melunturkan kebesaran
jiwanya. Kebaikan jarinya. Dia tetap Rudi Handoko yang berhati mulia.
Ketika setengah jam kemudian napasnya semakin sesak, dia segera dibawa
ke ICU. Dan Vania terpaksa menunggu di luar sementara dokter dan perawat
menolongnya. Rangga duduk di sampingnya. Tetapi sejak tadi dia tidak mengucapkan
sepatah kata pun. Hanya suara Arvan yang mengisi ruang tunggu yang sunyi itu. Dia tidak
henti-hentinya menanyakan ayahnya.
"Lihat Papa yuk, Ma!" rengeknya berulang-ulang.
Sudah dua kali perawat mengusirnya. Anak kecil sebaiknya tidak dibawa ke
rumah sakit. Apalagi ke ICU. Biarpun cuma di ruang tunggu-
Tetapi dia harus dibawa ke mana lagi" Vania tidak tahu kepada siapa dia
harus menitipkan anaknya.
Rangga sudah tidak dapat diajak bicara. Dia diam saja seperti tunggul.
Wajahnya kosong. Sekosong tatapan matanya.
Dia baru membuka mulutnya ketika satu jam kemudian seorang perawat
keluar dari ruang ICU dan menghampiri Vania.
"Keluarga Pak Rudi Handoko""
"Saya kakaknya," suara Rangga terdengar kering tapi sangat tegas. "Dia
bukan siapa-siapa." fm "
Tanpa menoleh lagi pada Vania, dia mengikuti perawat ke dalam.
Dokter Biran yang sedang duduk bersama
Dokter Partono dari ICU menatap Rangga dengan heran. "Di mana istrinya""
"Dia bukan istrinya," sahut Rangga mantapi "Mereka belum menikah. Saya
kakak kandung Rudi."
"Kalau begitu tolong Bap
ak tanda tangani surat izin operasi ini. Karena kami
akan segera memasang endotrakheal tube dan menghubungkannya ke mesin
ventilator. Karena tindakan : ini membutuhkan pembiusan, kami perlu izin
keluarga Pak Rudi." "Apa tindakan ini berbahaya, Dok""
"Pasti ada risikonya. Apalagi untuk pasien dalam keadaan separah Pak Rudi."
"Mungkinkah pernapasannya pulih kem-- bali""
"Kami tidak bisa menjanjikan apa-apa, Pak. Tapi kami berusaha melakukan
yang terbaik." "Izinkan saya bertemu dengan adik saya,
Dok." "Jangan lama-lama, Pak. Kita sedang berkejaran dengan waktu."
Ketika melihat Rangga keluar dengan kepala tertunduk, Vania tahu waktunya
tidak lama lagi. Rudi akan segera meninggalkan mereka.
Lelaki yang baik itu akan segera pergi. Membawa kekecewaan dan sakit hati.
Mengapa aku selalu menyakiti hati pria yang mencintaiku, keluh Vania
sendu. Mengapa aku selalu meracuni hidup mereka"
Rangga duduk di kursi sambil menutup wajahnya. Dia menangis.
Perlahan-lahan Vania menghampirinya. Duduk di sampingnya. Dan
memegang lengannya. "Jika masih ada kesempatan, bolehkah saya menemui Rudi sekali lagi, Mas""
pintanya lirih. "Saya akan minta maaf dan menjelaskan semuanya...."
"Tidak perlu," Rangga menarik lengannya dan menjauhkan duduknya.
Matanya yang berkaca-kaca menatap pilu ke arah pintu ruang ICU. "Rudi
sudah tidak membutuhkannya lagi."
Tetapi ketika menjelang tengah malam perawat memanggil mereka, Rangga
mengambil Arvan yang sudah terlelap dalam gendongan Vania dan
mengisyaratkannya untuk masuk.
"Barangkali Rudi ingin kamu yang mengantarnya ke gerbang kematian,"
katanya menahan tangis. Vania tidak mampu mengucapkan terima kasih karena tenggorokannya telah
tersumbat air mata. Dia hanya mampu bangkit mengikuti perawat
menghampiri tempat tidur Rudi.
Begitu masuk, aroma kematian sudah terasa pekat menyergap. Dengung
monitor laksana desah napas Malaikat Maut yang sudah menunggu di tepi
tempat tidur. Rudi terbujur kaku di ranjang. Tidak bergerak sedikit pun. Pipa pernapasan
mencuat dari mulutnya. Menciptakan kengerian yang tak mungkin lagi dapat
dilupakan Vania. "Pak Rudi sudah koma," kata Dokter Partono
dengan suara perlahan. Sementara seorang perawat masih sibuk mengecek
monitor alat-alat vitalnya. Tekanan darahnya sudah menurun terus. Sekarang
tinggal 60/30. Saya rasa waktunya tidak lama lagi."
Sambil menahan tangis Vania melangkah ke sisi pembaringan. Dia
membungkuk dan mencium tangan Rudi.
"Maafkan aku, Rud," bisiknya dengan air mata berlinang. "Seharusnya sejak
dulu kuceritakan...."
Rudi Handoko tidak pernah memperoleh kesadarannya kembali. Malam itu
juga dia mengakhiri penderitaannya. Dia pergi ke suatu tempat untuk
bertemu kembali dengan anak-istrinya.
Tidak seorang pun tahu apakah dia masih sempat meminta sesuatu kepada
kakaknya sebelum kehilangan kesadarannya. Ataukah mungkin dia
mengamanatkan keinginan terakhirnya beberapa hari sebelumnya.
Yang jelas, harta Rudi di Sydney seluruhnya diberikan kepada Arvan sesuai
surat wasiatnya. Karena begitu dia tahu hidupnya tidak akan lama lagi, Rudi
langsung membuat surat wasiat baru. Arvan akan menerima warisannya
pada saat umurnya dua puluh satu tahun.
Bukan itu saja. Rangga juga menjual rumahnya. Membagi dua hasil
penjualannya. Dan memberikan uangnya kepada Vania.
"Bukan untukmu," katanya kepada Vania. "Untuk Arvan. Warisan ayahnya."
Karena memang hanya hubungan kasih sayang Rudi dan Arvan yang tak
pernah berubah. Sayang Arvan tidak sempat melihat ayahnya pergi. Karena dia sedang tidur
nyenyak. Tetapi Vania percaya, dalam tidurnya Arvan pasti melihat Papa
datang. Papa permisi pergi seperti biasa kalau dia pergi kerja. Bedanya kali ini dia
tidak pernah kembali Mungkin suatu saat nanti, kalau benar di balik tapal
batas kehidupan ada akhirat, mereka dapat berjumpa kembali. Karena Vania
yakin, surga disediakan untuk orang sebaik Rudi.
Arvan masih sempat minta permen kepada ibunya. Dan memasukkannya ke
peti mati Rudi. Kalau Papa bangun nanti, pasti akan di-
makannya permen itu. Dia akan
menjulurkan lidahnya seperti biasa. Dan menciut-ciut kepedasan.
Vania berusaha menahan air matanya di depan Arv
an. Dia sedih kehilangan Rudi. Tetapi Vania tahu, Arvan-lah yang paling kehilangan. Kalau suatu hari
dia sadar ayahnya tidak akan pernah kembali. Kalau Arvan merindukan
Papa, dia hanya dapat melihat fotonya. Dan semua benda yang
ditinggalkannya. Tetapi Vania percaya, dari semua yang ditinggalkan Rudi untuk Arvan,
cintanyalah yang terbesar.
Cinta itu yang membuat Rudi memaksa kakaknya untuk menyerahkan
warisannya kepada anaknya. Tidak peduli sekeras apa istri Rangga
memprotes. Sagitaria memang sangat marah dan mereka terlibat pertengkaran terus-menerus sampai akhirnya setahun kemudian mereka bercerai.
LEMBAR PENUTUP PERAHU kayu bermotor tempel itu menderu sepanjang Rio Negro. Anak
Sungai Amazon yang airnya berwarna hitam itu semakin kelam pada pukul
sebelas malam. Aries termenung seorang diri di bangku kayu yang keras di bagian buritan
perahu. Tatapannya tajam dan lurus ke depan. Seperti hendak menembusi
kegelapan yang pekat menghalangi pandangan.
Suara binatang malam yang seram tidak di-acuhkannya. Semak belukar yang
menyeramkan tidak menakutkannya sama sekali. "Gemerecik air sungai yang
dibelah perahu lewat begitu saja di samping telinganya.
Kenangannya kembali pada malam seperti ini sepuluh tahun yang lalu.
Tempat yang sama. Tapi dengan suasana yang amat berbeda.
Saat itu wanita yang dicintainya dengan cinta sepanjang Amazon berada
dalam pelukannya. Di jari manisnya melingkar cincin yang menjadi meterai
cinta mereka. Tapi malam ini, tidak ada siapa pun di sampingnya. Perahu ini sepi seperti
hatinya. Amazon belum kering. Sungai itu masih mengalir jauh. Masih menyandang
keagungan sebagai sungai terbesar, mungkin juga terpanjang. Sama seperti
cinta Aries untuk Vania. Meskipun objek cintanya kini hanya tinggal bayang-bayang.
Vania tidak pernah ditemukannya lagi. Sejak kematian Rudi, dia menghilang
bersama anaknya. Aries tidak tahu ke mana dia pergi. Dia seperti hendak
menghukum dirinya sendiri.
"Biarkan aku pergi," tulisnya dalam e-mail untuk Aries. "Karena aku sudah
menjadi racun bagi orang-orang yang mencintaiku. Jangan khawatirkan
Arvan. Dia tidak akan telantar. Rudi mewariskan semua hartanya untuk
Arvan: Kalau dia sudah besar nanti, akan kutulis sebuah buku untuknya.
Judulnya, Cinta Sepanjang Amazon. Dan dia akan memahami semuanya.
Karena walaupun dia tidak lahir dari
benihmu, cintamulah yang menjadi helaan napasnya."
Aries membalas e-mail itu. Walaupun dia tahu, Vania mungkin tidak sempat
membacanya lagi. Atau dia sempat tapi tidak mau" Karena sampai sekarang
e-mdiZ-nya tak pernah berbalas.
"Aku tahu apa yang dilakukan Guntur padamu. Bukan hanya kamu yang
bersalah. Bukan cuma kamu yang patut dihukum. Jika kita sudah selesai
menjalani hukuman lata masing-masing, maukah kamu menemuiku di
Amazon pada ulang tahun perkawinan kita yang kesepuluh""
Tetapi tampaknya harapan Aries sia-sia belaka. Permintaannya tidak
ditanggapi. Mungkin juga e-mafl-nya tidak dibaca.
Barangkali Vania belum dapat memaafkan dirinya sendiri. Walaupun Aries
yakin, ayahnya dan Rudi sudah memaafkan mereka.
Vania tidak muncul. Mungkin baginya perkawinan mereka sudah tidak ada.
Cinta mereka sudah tinggal kenangan. Jadi sia-sia saja penantiannya. Sama
sia-sianya dengan dua jam menelusuri Rio Negro yang penuh misteri.
Aries melompat turun ke darat ketika perahunya
menepi. Air sungai yang pasang menggenangi tanah yang diinjaknya. Ujung bawah
celana jinsnya basah. Tapi siapa peduli" Bahkan siang tadi dia sengaja berbasah-basah
ketika hujan mengguyur Manaus. Sekujur tubuhnya basah kuyup. Tapi
heran. Penyakit justru tidak datang ketika diundang.
Aries melangkah menuju jembatan kecil yang menghubungkan sungai
dengan pelataran hotel. Jembatan kayu itu pun sudah terendam. Air
bergemerecik di bawah kakinya ketika dia melangkah. Rasa dingin mulai
merambah kulit. Tapi Aries melangkah terus.
Beranda hotel masih ramai. Beberapa orang tamu masih betah duduk-duduk
di bangku kayu, mengundang nyamuk mencicipi darah mereka.
Aries menghampiri meja tempat kunci. Menyambar kunci kabinnya. Lalu
melewati restoran yang sudah sepi, melangkahi jalan setapak yang dikehlingi
semak belukar. Semakin jauh berjalan ke belakang, suasana semakin sepi dan gelap. Karena
lampu kebun semakin jarang. Dan cahaya dari lampu suram di depan
cottage semakin langka pula.


Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aries tidak menemukan seekor ular pun atau seorang manusia pun di sana.
Bahkan semut pun tampaknya sedang tidur. Tapi sesampainya di depan
kabinnya dia terkesiap. Ada bayangan manusia di sana. Duduk di anak tangga kayu di depan cottage.
Entah su- dah berapa lama dia duduk membeku di sana. Sudah berapa ratus nyamuk
ditraktirnya. Wajahnya gelap. Karena lampu teras yang suram berada di belakang
kepalanya. Tetapi dengan mata terpejam pun Aries masih dapat
mengenalinya. Cuma dia tidak yakin melihat manusia. Bukan hantu.
Atau tidak ada hantu. Hanya halusinasi. Itu sudah sering dialaminya. Baru
ketika Aries menghampiri lebih dekat dan menghirup aroma parfum yang
dikenalnya, dia sadar yang dilihatnya kini bukan halusinasi.
Dia sungguh-sungguh berada di sini. Di hadapannya.
Dia tidak banyak berubah. Atau dia berubah. Hanya Aries yang tidak melihat
perubahan itu" Karena bagi Aries, dia tak pernah berubah. Sampai kapan
pun. Sama abadinya dengan cintanya. Sama abadinya dengan Sungai Amazon.
tamat Pedang Asmara 5 Beauty Honey Karya Phoebe Seruling Gading 12
^