Cinta Sepanjang Amazon 3
Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W Bagian 3
Benarkah itu pertanda dia sudah membuka halaman baru"
Tetapi dia tidak mau makan dengan Arifin. Tidak selama dia masih menjadi
istri Aries. Jadi ditolaknya ajakan Arifin dengan tegas. "Lain kali." "Kapan""
"Pokoknya lain kafi."
Dan sesudah Arifin pergi, dia cepat-cepat melangkah ke kantin.Apa yang
dilihatnya benar-benar membuat sakit hati.
Aries sedang makan berdua dengan Ram.
192 Dan untuk pertama kalinya setelah prahara itu melintas,dia melihat Aries
tersenyum'. 0,betapa dia merindukan senyum itu! Dan Vania memkmatinya walaupun
Aries bukan tersenyum kepadanya!
"Benar kan dia lagi makan sama si Rani"" goda Arifin dari belakang
tubuhnya. Entah bau apa yang dipancarkan tubuhnya sampai kucing ini
terus membuntutinya."Digebuk si Agung baru tahu rasa dia.Guntur kan
sudah tidak bisa lagi membelanya!" Karena sudah telanjur kepergok,Vania
terpaksa meneruskan langkahnya masuk ke kantin.Dia menuju ke lemari
pendingin dan mengambil sebotol air mineral.
"Itu Vania!"cetus Rani dengan perasaan tidak enak.Bagaimanapun dia tahu
Vania masih istri Aries. Dia seperti ketahuan mencuri barang orang."Hai,
Van!" "Hai,"sahut Vania tawar.Dia hanya menoleh sekilas.Membawa botolnya ke
kasir. Dan membayarnya. "Lagi ribut""tanya Rani heran kepada Aries. "Kok Vania kayak tidak
mengenali suaminya sendiri"" "Biar saja,"sahut Aries acuh tak acuh."Bagaimana"Jadi nonton nanti
sore"Kujemput di rumah"" Sekarang Rani menoleh ke arah Vania de-
ngan bingung.Dia sedang melewati meja mereka.Dan Aries seperti sengaja
mengeraskan suaranya.Tetapi Vania lebih mengherankan lagi.Dia terus saja
melangkah seperti orang budek.Tidak peduli suaminya sedang mengajak
perempuan lain nonton. "Kamu tidak sedang memperaiat aku untuk memancing kecemburuan
istrimu,kan"" desak Rani curiga.
"Kami sudah hampir bercerai." Terus terang,Aries kelepasan. Dia tidak mau
orang lain tahu masalah keluarganya. Termasuk Rani.
Tetapi ketika melihat Vania berhenti melangkah,ketika melihat tatapan
matanya yang getir, entah mengapa Aries jadi tidak menyesal.Malah
tergugah untuk menikam lagi. Padahal kata siapa hanya hati Vania yang
sakit" Hatinya sendiri sudah berdarah-darah.' Rani melongo bingung.
"Bercerai""dia menggagap antara kaget dan gembira.Jadi Aries tidak main-main. Dia serius ingin mengencaninya karena sudah hamir bercerai! "Hanya
menunggu sampai anak kami lahir." "Anak"" Rani terenyak. Tambah
kalut."Vania hamil"Dan kalian mau bercerai" Kenapa"Bayi ini bukan
anakmu"" "Anak siapa lagi""geram Aries gemas. "Ya anakku!"
"Lalu kenapa harus bercerai"" "Sejak kapan kamu jadi penasihat
perkawinan""tukasnya bosan. Dan berita itu menyebar cepat seperti wabah.
Dalam hitungan jam saja sudah menulari telinga Arifin.Dia tergopoh-gopoh
masuk ke warnet Vania. Tidak perlu ngomong!"potong Vania dingin. "Beritamu sudah basi."
"Serius, Van! Kamu hamil""Jadi karena itu Vania pergi ke klinik bersalin! Dia
hamil! Seluruh pelanggan yang sedang menyewa komputernya bersorak riuh.
"Happy hour nih!" cetus Dian gembira. "Gratis satu jam ya,Van""
"Gratis kepalamu!"gerutu Vania jengkel.
"Lho! Kok malah kesal""
"Nggak lihat Aries lagi ngebakso sama si Rani""bisik Tato.
"Istrinya hamil dia malah kembali ke kebiasaan lamanya""dumal Dian gemas.
"Makanya jangan salah milih suami, Dian! Pilihlah aku!"
"Ada pilihan lain""Dian tersenyum menggoda.
"Kamu punya pilihan""desak Tato agresif. Wah,bisa jadi cinta warnet nih.
"Aim ingin bicara,Van,"bisik Arifin serius.
"Empat mata." "Mana bisa"Kamu kan pakai kacamata!"
"Jangan main-main.Kamu pasti tidak mau aku baca siaran berita di sini!"
"Peduli apa" Kamu bacakan di halaman kampus juga masa bodo amat!"
"Benar kalian mau cerai setelah anakmu lahir""
* * * Entah karena shock,entah karena kandungannya memang terganggu, sore itu
Vania mengalami perdarahan.Arifin yang membawanya ke dokter.Lalu
dengan gemas dia menelepon Aries.
Saat itu Aries sedang membawa Rani ke bioskop.Untung mereka masih
duduk makan popcorn di ruang tunggu.Jadi ponsel Aries belum dimatikan.
"Vania perdarahan!"dengus Arifin gemas. "Kamu di mana sih""
Yang terpikir pertama kali oleh Aries, Vania sengaja
melakukannya.Barangkali dia jengkel. Panas.Marah.Dia mencoba membalas
dengan menyakiti a naknya. "Sialan!"geram Aries sengit.
"Kenapa"" sergah Rani kaget.
"Kamu di sini saja.Nanti aku kembali."
"Nonton sendirian maksudmu"" belalak Rani
101~ gemas."Ada apa,Ries" Kamu lupa janjimu" Ada kencan kedua""
Aries tidak menjawab.Dia sudah menghambur keluar.Dan Rani bergegas
mengikutinya. Tentu saja dia tidak mau ditinggal sendiri. Bukan karena takut
digigit kutu busuk sendirian.Tapi karena dia ingin tahu ke mana Aries pergi.
Rani baru tenang ketika melihat Arifin sedang duduk di ruang tunggu dokter
kandungan. "Vania kenapa""tanyanya seolah-olah Arifin yang paling tahu."Keguguran""
"Sudah setengah jam dia di dalam," sahut Arifin tegas.Mendadak dia
bersikap seperti suami Vania."Dokter sedang menolongnya.Perdarahan
banyak juga. Untung aku cepat membawanya kemari.Suaminya sendiri lagi
enak-enakan pacaran lagi!"
"Bukan salahku!Kata Aries mereka sudah hampir bercerai!"
"Ah,kamu terlalu lugu! Itu kan lagu basi lelaki yang sudah bosan sama
istrinya!" "Mungkin anak di perut Vania bukan anak Aries!"
"Kalau begitu, buat apa Aries terbang kemari"Kamu nggak lihat gugupnya
dia!" Aries memang gugup sekali.Ketika dia ma suk ke ruang praktek Dokter Gani,
benda apa saja yang menghalangi ditubruknya. Ketika dia duduk,barang berjatuhan
dari atas meja talis. Dokter Gani sampai tergopoh-gopoh menangkapi
barang-barangnya. "Osteum uferi-nya belum terbuka,'' kata Dokter Gani cepat-cepat.Khawatir
kamar praktek nya keburu runtuh."Kandungannya masih dapat
dipertahankan.Minum obat yang saya berikan.Dan suruh dia istirahat di
tempat tidur." "Anak saya tidak apa-apa,Dok""desak Aries cemas.
Dokter Gani menunjuk gambar USG di monitor.
"Sampai sebegitu jauh,tidak tampak ada kelainan."
Aries menatap foto anaknya dengan terharu.
Papa akan melindungimu,Sayang, bisiknya dalam hati.Jangan takut.Tidak
seorang pun bisa mengusikmu.Tidak juga ibumu.
Sejak pertama kali melihat gambar USG anaknya,naluri kebapakan Aries
timbul. Kini naluri itu tumbuh semakin kuat.Dia bertekad akan menjaga
anaknya baik-baik. Melindunginya dari segenap marabahaya. Yang disengaja
maupun tidak. Dia membantu Vania turun dari tempat tidur. Dia membimbingnya keluar.
Membantunya 198 naik ke dalam taksi.Tapi bukan untuk me nolong Vania.Hanya untuk
melindungi anak-Lya.Jika Vania mengira Aries melakukannya untuk
dirinya,dia keliru'. "Antarkan Rani, Fin," kata Aries seperti memerintah pegawainya.
"Eh,tunggu dulu!"protes Arifin penasaran. Enak saja!Memangnya dia
siapa""Antar ke mana""
"Tanya saja dia,"sahut Aries seenak perutnya."Dia punya mulut kok."
"Aries!"sergah Rani gemas. Memangnya dia barang"Bisa diserahterimakan
begitu saja" "Sampai besok,Ran,"kata Aries sambil ma suk ke taksi,"Bilang Arifin saja
kamu mau ke mana." "Kurang ajar!"geram Rani dan Arifin berbareng.
"Orang lain makan nangkanya,aku yang ke na getahnya!"dumal Arifin gemas.
"Siapa bilang aku sudah dimakan"" belalak Rani sengit."Kami baru sempat
makan bakso!" Vania terharu sekali melihat perhatian Aries. Untuk pertama kalinya setelah
prahara itu, Aries masuk ke kamarnya.Membantunya naik
199 ke tempat tidur.Dan membukakan sepatunya, Seolah-olah Vania pasien
pascabedah, yang tidak boleh banyak bergerak. Terima kasih,"gumam Vania
lirih. Aries tidak menjawab. Ketika dia hampir melewati pintu, Vania memanggilnya. Aries menoleh.
"Mau menolongku sekali lagi""
Aries tidak menjawab. Tapi dia menunggu.
Tolong ambilkan baju ganti."
Aries kembali masuk ke kamar. Membuka lemari pakaian. Dan tertegun
sesaat ketika melihat foto berukuran 8R yang terpampang di daun pintu
lemari. Foto mereka di atas perahu di Rio Negro. Aries yang menjepretnya. Aries
juga yang menempelkannya di sana.
Dia sedang tertawa lebar sambil memeluk Vania dengan mesra. Senyum
Vania begitu manis. Begitu teduh. Tidak sangka di balik senyum itu
tersembunyi sepotong hati yang kejam!
Dan emosi Aries yang sedang melambung ketika teringat pada kemesraan
bulan madu mereka di Hutan Amazon punah seketika.
Dia merenggut daster Vania dengan sengit. Dan menaruhnya separo
melempar ke atas tempat tidur.
"Bantu aku menukar baju, Ries," pinta VaniT
Sengaja suaranya dibuat terdengar amat
te^ mah. Padahal dia sudah tidak
merasakan apa-apa lagi. Tapi Vania insaf, dia harus menggunakan segala
cara untuk mempertahankan suaminya. Sah saja mempertahankan suami
sendiri, kan" Apalagi di luar sana sudah menanti seekor kobra betina! Siap
mematuk dan menyemprotkan racunnya!
Lalu kata siapa cuma perempuan yang dilahirkan untuk dibohongi" Ternyata
lelaki pun gampang dikelabui!
Aries melepaskan pakaian istrinya dengan hati-hati, seolah-olah Vania
boneka kaca yang rapuh dan mudah pecah.
Vania memejamkan matanya ketika tangan suaminya menyentuh kuhtnya.
Darahnya mendesir. Bulu romanya meremang. Kerinduan menggelegak di
hatinya. Tapi belum sempat dia menikmati sensasi itu lebih lama, bayangan
perkosaan itu kembali menyeruak ke benaknya. Dan dia menggigil jijik.
Tentu saja Aries juga merasakan apa^yang mengharubirukan benak istrinya.
Dia sendiri bukannya tidak terangsang. Kulit istrinya terasa halus dan hangat
menyentuh tangannya. Payudaranya juga tampak lebih padat membeludak.
Mungkin efek kehamilannya, pikir Aries, susah payah menahan gairahnya.
20' Dia hampt melupakan kebenciannya. % sudah terdorong untuk memeluk
istrinya dafl melampiaskan hasratnya ketika tiba-tiba dja merasa Vania
menggigil. Dan entah dari mana Aries tahu, dia sadar, Vania menggigil bukan karena
menahan kerinduan. Dia menggigil karena merasa jijik! Dan kemarahan
menyala lagi di hari Aries.
Karena itukah Vania tega membunuh anaknya sendiri" Karena dia jijik pada
suaminya" Tapi... mengapa" Apa salahnya" Karena dia tidak punya
pekerjaan" Karena dia terlalu dekat dengan Guntur" Karena dia selalu
melindungi temannya" Apakah Vania mengira dia dan Guntur... ah, jahat
sekali dugaannya! Ketika Aries menyentakkan tubuhnya untuk berbalik, Vania memanggilnya
lagi. "Tolong pakaian dalamnya juga, Ries," pintanya gemetar. "Rasanya kotor.
Dari ranjang pasien."
Tentu. Vania memang apik. Pasti dia ingin mengganti seluruh bajunya. Dari
luar sampai ke dalam. Tapi untuk sesaat Aries ragu. Mampukah dia
melakukannya" "Ries.,.." desah Vania lemah ketika dilihatnya suaminya tertegun.
Aries tersentak. Masa dia tidak bisa mengekang nafsunya" Bayangkan saja
hari ketika Vania hampir melakukan aborsi!
Dengan marah Aries kembali ke lemari pakaian. Membukanya dengan kasar.
Mengaduk-aduk pakaian dalam istrinya. Merenggutnya. Dan
melemparkannya ke perut Vania. * Vania tidak minta tolong lagi. Tapi dia
bertindak begitu rupa seolah-olah sulit sekali menggantinya seorang diri.
Dan marah kepada dirinya sendiri, Aries menggeram. Dengan kasar dia
mengoyak baju dalam istrinya. Maksudnya tentu saja supaya cepat. Dia tidak
tahu perbuatannya itu malah mengingatkan Vania pada saat yang paling
kelam dalam hidupnya. Dia memekik tertahan. "Jangan!" desahnya terengah.
"Jangaaan...." Sekejap Aries tertegun. Sebelum kemarahan dan sakit hati
berkobar di matanya. "Kenapa"" geramnya sengit. Takut kuper-kosa""
Kalau tidak ingat keselamatan anaknya, saat itu juga Aries ingin memerkosa
istrinya! Biar dia tahu rasa!
Dan aneh. Vania tidak melawan seperti biasa. Tidak membentak dengan
galak. Mencaci dengan judes. Dia malah menangis tersedu-sedu!
Kenapa dia jadi selembek ini, pikir Aries heran. Reaksi wanita hamil" Dia jadi
lebih perasa" Tanpa berkata apa-apa Aries membantu istri, nya berpakaian. Dia sudah
kehilangan gairahnya. Yang tertinggal di benaknya cuma sebuah tanda tanya.
Dan segebung kemarahan. Kemarahan dan kebingungan yang selama ini membelenggu hatinya.
Memenjarakan cintanya. Siapa bilang dia sudah tidak mencintai Vania" Siapa bilang dia sudah tidak
menghendaki istrinya lagi"
Cinta belum punah dari hatinya. Aries hanya coba memusnahkannya karena
dia marah. Kecewa. Sakit. Istrinya mencoba membunuh anak mereka. Dan
Vania tidak pernah menjelaskan alasannya. Dia tetap membisu.
Merahasiakan motif tindakan sadisnya.
Malam ini dia tambah mendera perasaan Aries. Dia bersikap jijik ketika
suaminya menyentuh tubuhnya!
Perempuan apa yang (hnikahinya ini" Dia sakit apa" Punya kelainan apa"
BAB XIV SELAMA Vania diharuskan tirah baring, Aries melayaninya dengan telaten.
Melayani makan. Mengambilkan obat. Memban
tu ke kamar mandi. Tapi semua dilakukannya seperti tanpa perasaan. Tak ada sikap yang manis. Kata-kata yang ramah. Bahkan pandangan iba.
Vania sudah berusaha mendekati suaminya. Mencoba bermanja-manja.
Bahkan berlaku konyol seperti wanita hamil yang minta perhatian suami.
Misalnya saja dia minta mangga muda. Minta rujak bebek. Bahkan minta
dicarikan rambutan padahal sedang musim mangga. Terang saja Aries
kelimpungan. "Kamu nggak mau anak kita ngiler, kan"' 1 rayu Vania manja. Tentu saja
dengan suara di- 1 buat-buat. Seolah-olah sebentar lagi dia jatuh I pingsan
kalau permintaannya tidak dituruti. Padahal dalam hati dia sedang menahan
tawa.
Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bodohnya lelaki! Lihat bagaimana bingungnya parasnya! Tidak bisa
memenuhi keinginan anak. Padahal jangankan minta rambutan, minta susu
saja anak mereka belum bisa!
Tapi begitulah saktinya wanita hamil. Aries kalang kabut mencarinya ke sana
kemari. "Sori, aku sudah cari sampai ke Pasar Minggu. Tidak ada yang jual rambutan.
Semua pohon sedang tidak berbuah." Dan kebun rambutan di sana sudah
banyak yang jadi rumah! Tentu saja Vania pura-pura mengeluh. Padahal dia sedang bahagia sekali.
Ternyata suaminya masih memerhatikannya. Tentu saja dia tidak tahu, Aries
melakukannya demi anaknya!
Tetapi bagaimanapun, semakin, besar kehamilan Vania, hubungan mereka
semakin dekat. Bagaimanapun Aries berusaha menjauhi istrinya, bersikap
dingin, dia tidak bisa bermasa bodoh lagi. Tidak bisa lama-lama
meninggalkan Vania seorang diri.
Padahal sekarang Aries sudah mendapat pekerjaan di sebuah showroom
mobil mewah. Tentu saja itu jasa ayahnya. Siapa lagi. Kalau tidak, mana ada showroom
yang mempekerjakan seorang karyawan hanya dari pukul dua sampai pukul
lima sore". Pagi sampai siang dia berada di kampus. Melanjutkan kuliahnya di fakultas
ekonomi jurusan manajemen. Sambil diam-diam mengawasi Vania yang
sibuk mengelola warnetnya. Sebenarnya Vania bukan hanya sibuk mengelola
warnet. Dia juga sedang sibuk mengejar ketinggalannya menyelesaikan
skripsi. ' Sejak perbuatan menjijikkan dengan Guntur, Vania memang sulit
berkonsentrasi. Tidak heran kalau skripsinya jadi terbengkalai. Padahal dari
dulu dia menargetkan harus lulus dalam empat tahun. Dan dulu semua itu
tampak mudah. Ternyata dia tidak mampu mengejar targetnya.
Cobaan demi cobaan melanda hidupnya. Perkawinannya berantakan.
Sementara kehamilannya semakin besar juga.
Untung semakin besar kehamilan istrinya, Aries semakin repot. Dan semakin
repot dia, semakin berkurang juga kadar kegarangannya.
Aries selalu mengantarkan istrinya ke dokter. Bersama-sama melihat hasil
USG bayi mereka. Bahkan bersama-sama mengikuti senam ha-maLvg
Semua itu menambah dekat hubungan me-
reka. Membuat Vania gembira. Tapi sekaligus semakin sedih membayangkan
semakin dekatnya hari perceraian mereka.
Karena semakin dingin sikap Aries, cintanya kepada suaminya justru
semakin besar. Dan Vania semakin takut kehilangan.
Bukan hanya takut kehilangan Aries. Sekaligus takut kehilangan bayinya.
Karena semakin besar kandungannya, semakin sering dia merasakan
tendangan lembut di perutnya, semakin tumbuh juga naluri keibuannya.
Kini Vania merasa heran bagaimana dulu dia tega mengenyahkan anaknya
sendiri! Sekarang dia sadar. Aries yang benar. Terlalu kejam membunuh darah
dagingnya sendiri, apa pun alasannya.
Tapi bagaimana mengubah tekad Aries" Kelihatannya dia tetap ingin
menceraikan Vania. Walaupun sikapnya tidak segersang dulu. Walaupun
kadang-kadang dia seperti ingin mengulangi kembali paragraf pertama kisah
cinta mereka. Walaupun bukan hanya sekali-dua dia seperti ingin
berhubungan dengan istrinya.
"Ries," gumam Vania suatu malam, ketika mereka baru pulang mengikuti
senam Lamaze. Senam untuk ibu hamil itu semakin lama membuat mereka
semakin lekat. "Kalau aku memohon maaf padamu, maukah kamu
membatalkan perceraian kita""
208 "Bukan aku yang ingin bercerai," sahut Aries
datar. "Aku tahu, Ries. Aku yang salah," sahut Vania penuh penyesalan. "Tapi tidak
bisakah kamu memaafkan aku"" "Kita bicarakan nanti saja. Sesudah anakku
lahir." Anakku. Aries tidak pernah menyebutnya
anak kita. "Aku sudah menyesali perbuatanku, Ries. Sudah terhukum oleh sikapmu.
Sekarang aku ingin menata kembali perkawinan kita. Tidak bolehkah aku
mendapat kesempatan kedua untuk menjadi istrimu, ibu anak kita""
"Sudahlah," Aries mengembuskan napas jengkel. "Kita bicarakan nanti saja."
"Kenapa kamu begitu benci padaku"" sergah Vania getir.
"Masih perlu tanya" Kamu hampir membunuh anakku!" Dan kamu tampak
jijik kalau didekati suamimu! Imej tubuhmu melukiskannya walaupun
mulutmu berkata lain! * * " Tentu saja Vania tidak tahu alasan Aries yang sebenarnya. Karena sekarang
yang ingin menunda bahkan membatalkan perceraian itu bukan hanya Vania.
Aries juga sudah lama memikirkannya.
Wm 209 :A Bagaimanapun lebih baik anaknya puriv seorang ibu. Dan ibu mana yang
lebih baik dari ibu kandung, walaupun suatu saat dulu dia pernah hendak
menyingkirkannya" Aries tahu Vania sudah menyesal. Dia juga merasa, Vania mulai menyayangi
bayinya. Dan dia tidak mau bercerai. Tidak mau berpisah dengan suami dan
anaknya. Tetapi Aries sudah kepalang janji. Janji kepada ayahnya. Dan janji itu
diucapkan waktu dia memerlukan uang.
Ketika umur kehamilan Vania memasuki dua puluh empat minggu, Aries
terlibat perkelahian dengan Agung. Masalahnya apa lagi kalau bukan
perempuan. Rani mengadu karena diputuskan oleh Aries. Dia merasa dipermainkan. Dan
Agung yang masih mencintainya, bertindak sok pahlawan.
Dia mendatangi Aries. Melabrak. Dan memukulnya.
"Jangan kira kamu bisa mempermainkan Rani seperti cewek-cewekmu yang
lain!" Padahal Aries memutuskan hubungan karena dia ingin konsentrasi pada
kehamilan istrinya. Bukan karena masa pacaran mereka sudah masuk
seratus hari. Perkelahian itu membuat Vania sangat terperanjat. Lebih-lebih melihat
suaminya babak belur dihajar Agung dan teman-temannya.
210 Ketika mereka sudah dipisahkan, Vania bergegas menolong suaminya. Tapi
Aries menying-Irirkannya^ dengan kasar. Bukan karena dia merasa terhina
ditolong istrinya. Tapi karena dia teringat Guntur. Dan ingatan itu merobek
luka di hatinya yang belum sembuh. T^edihan membuat Aries lupa diri. Lupa
siapa yang menghambur ingin menolongnya. Lupa Vania sedang hamil. Vania
terjajar mundur dan jatuh terduduk.
Kaget dan cemas Aries memburu dan membantu istrinya berdiri.
"Perutmu nggak apa-apa"" tanya Aries khawatir.
Vania menggeleng pahit. Hanya kandungannya yang ditanyakan Aries! Hanya
itu yang dipikirkan suaminya! Bayinya. Bukan istrinya. Dia tidak peduli
istrinya jatuh. Tidak menanyakan apanya yang sakit. Minta maaf saja tidak.
Vania ingin membawa suaminya pulang. Untuk mengobati luka-lukanya. Tapi
Aries menolak. Dia memilih berobat di klinik universitas. Dan Vania cuma
bisa mengantarkan Aries ke sana. Itu pun sesudah tujuh kali diusir.
"Buat apa sih ikut"" gerutu Aries jengkel. "Aku kan bukan anak kecil! Nggak
perlu diantar!" "Aku istrimu!" bantah Vania, tak dapat lagi
211 menahan emosinya. "Apa salahnya aku ih,+, klinik"" tk
"Tidak perlu! Aku bisa sendiri! Sana, jig saja warungmu!"
Tapi kah ini Vania membandel. Dia tetap saja membuntuti Aries ke klinik.
Dan Aries tidak bisa apa-apa kecuali mengomel. Klinik itu bukan miliknya.
Siapa pun boleh masuk ke sana.
Baru ketika sedang menunggui Aries diobati, Vania merasa perutnya sakit.
Melihat parasnya yang pucat menahan sakit, dokter menyuruhnya
memeriksakan kandungannya. Vania langsung mengunjungi Dokter Gani.
"Sungsang," kata Dokter Gani sambil mengawasi monitor USG. "Letak kaki,
bukan pang- i gul. Rupanya janinmu ikut kaget."
"Berbahaya, Dok"" Aries mendahului ber- j tanya sebelum Vania sempat
membuka mulut. f "Risiko partusnya jelas lebih besar dari letak j kepala
maupun letak panggul. Tapi jangan kha- j watir. Sebelum tiga puluh empat
minggu, bagi- j an bawah belum terjepit di pintu atas panggul. j Jadi
janin masih dapat berputar kembah." J "Kalau tidak"" sergah Aries
cemas. "Caesar."
"Operasi"" I
Dokter Gani mengangguk santai. I
"Operasi Caesar sekarang risikonya kecil. I
212 I Tidak usah khawatir." Tapi biayanya tetap be-I sar. Dan mereka tidak
punya uang! Karena itu diam-diam Aries pergi menemui ayah
nya untuk meminjam uang. "Anak kami laki-laki," kata Aries seperti membujuk ayahnya. Bukankah itu
harapan Bapak" Anak yang dapat menyambung dinastinya. "Begitu dia bisa
memegang mainan, Bapak boleh mulai mengajarinya melinting rokok."
"Sudah Bapak bilang," sahut ayahnya dingin. "Bapak tidak mau punya cucu
dari perempuan yang tidak ketahuan siapa bapaknya."
"Kami akan bercerai," Aries menggertakkan giginya menahan marah. "Bapak
boleh mem-bariskan seribu perempuan yang sudah Bapak saring kualitasnya
di depan saya. Apa lagi yang Bapak inginkah"" "Kalau begitu buat apa anak
itu lahir"" "Yang Bapak bicarakan itu anak saya!" "Dari ibu yang tidak
ketahuan dari mana asalnya! Anak seperti itu yang kamu banggakan""
"Bapak mau meminjamkan uang atau tidak""
"Kata siapa kamu bisa mengancam ayahmu"" *
"Kenapa sih kalau bicara selalu bertengkar"" keluh ibu Aries. Dia yang paling
berharap anak kesayangannya kembali. Bawa bayi atau tidak,
213 itu urusan kedua. "Arie, akan bercerai, Pak. rJ*.*** "udaj, S "W Aries bisa
n^b^ tata -dab lahir. .Hanya kaJau kamu iSi^^jN keduanya." Suara ts+ r^^j" akan ^ ya-tanrib.^ ^
^ ^dengar\^bavva "hi"rfa*"- dan surat cerai" 1 .
BAB XV TENTU saja Vania tidak tahu. Dia tidak tahu perjanjian Aries. Tidak tahu
bukan hanya dia yang semakin cemas dengan semakin dekatnya hari
kelahiran bayinya. Aries juga.
Vania rela menggunakan segala macam cara untuk mempertahankan
bayinya. Melindungi perkawinannya.
Dia bukan tipe perempuan yang pasrah saja diceraikan, apa pun
kesalahannya. Dan menurut pendapatnya, mempertahankan suami sendiri
sah saja. Bagaimanapun caranya. Apa pun taktiknya.
Jadi meskipun dia sadar tubuhnya sekarang tidak menarik lagi, biarpun ada
orang sakit yang bilang perempuan hamil adalah makhluk yang paling seksi, Vania tidak
malu-malu minta tolong Aries untuk menggosok punggungnya waktu mandi.
Tentu saja Aries tidak menyangka itu taktik Vania untuk merangsang
gairahnya. Dikiranya istrinya memang kesulitan mandi sendiri karena
perutnya yang sudah menggunung.
Baru ketika Vania mengulurkan kedua lengannya dan merangkul lehernya,
Aries sadar apa yang diinginkan istrinya. Tetapi saat itu sudah terlambat
untuk menutup keran gairahnya. Gairah Aries sudah menggelegak. Menjebol
semua pertahanannya. Mengalir deras menggebu seperti semburan magma
dari kawah gunung berapi.
Aries merangkul istrinya dari belakang. Karena tak mungkin lagi
mendekapnya dari depan. Lagi pula posisinya saat itu memang di belakang
istrinya. Aries mencium lehernya, meremas payudaranya, sampai Vania bukan hanya
berdesah. Dia mengerang. Dan Sungai Amazon yang sudah lama kering meluap lagi.
* * * 216 "Aku menyakitimu"" gumam Aris khawatir ketika dia sedang tertelungkup
bertelekan kedua sikunya di samping istrinya.
Vania yang tertelentang di sisinya dengan mata berkaca-kaca hanya
menggeleng lemah. Akhirnya dia berhasil mengenyahkan traumanya. Trauma perkosaan. Dan
perasaan bersalah. Untuk pertama kalinya setelah prahara yang memorak-porandakan rumah tangganya, dia dapat menikmati kembali kebersamaan
dengan suaminya. "Perutmu tidak apa-apa"" Aries mengusap perut istrinya dengan hati-hati.
Vania mengaduh. Bukan karena geli. Tapi karena sentuhan lembut di
perutnya. "Dia membalas salam ayahnya," Vania tersenyum haru. "Kamu harus lebih
sering menyapanya." Aries mencium perut istrinya dengan hangat. Dan gairah Vania meronta lagi.
Tapi Aries menolak. "Takut prematur," katanya sambil berbaring di samping istrinya.
"Ada water lily dalam makanan yang kamu beli tadi"" gurau Vania tanpa
menyembunyikan kebahagiaan dalam suaranya.
"Kalau mau mater lily, kita harus kembali ke Manaus."
"Jagoan kita mesti divaksinasi juga""
217 "Lebih baik aku beli obat di sini saja." Ari^ menyebut nama sebuah obat
perangsang. Mereka sama-sama tertawa geli. Dan riba-riba Aries terdiam. Tawanya
mengambang. Bayi laki-laki. Dan surat cerai. Suara ayahnya riba-riba
menggempur telinganya. Mengiris hatinya.
"Kenapa"" Vania membelai dada suaminya dengan lembut
Aries menghela napas panjang. Tanpa berkata apa-apa dia bangkit dari
tempat tidur. Dan melangkah ke pintu.
Dia tidak m enoleh biarpun Vania memanggilnya. Tidak masuk ke kamar
kembali biarpun setengah jam sudah berlalu.
Akhirnya Vania beringsut bangun dan melongok ke mar.
Dia melihat Aries sedang merokok. Parasnya segelap mendung di luar.
Vania duduk di sebelahnya. Dan tetap duduk meskipun sudah bersin tiga
kali. Dia tidak marah-marah seperti dulu. Tidak mengomel walaupun rumah
penuh asap dan abu rokok berserakan di lantai
"Ada apa"" tanyanya mania, Tidak mau membagi problemmu dengan
istrimu"" Dia sudah berubah, pikir Aries sambil memadamkan rokoknya. Kalau saja
Guntur masih hidup, berubah jugakah sikap Vania kepada-
Tapi bagaimana mengubah sikap Bapak" Bagaimana meralat janjinya,
membayar utangnya" Sekarang Aries tambah yakin, dia masih mencintai Vania. Bagaimanapun
kemarahan dan sakit hati menindas cintanya, cinta itu masih tersisa. Dan
setelah kemesraan yang dialaminya barusan, dia sadar, cintanya masih
sepanjang Amazon. Kalau boleh memilih, sekarang dia juga tidak ingin bercerai. Dia ingin
membina rumah tangga yang bahagia bersama istri dan anaknya.
"Dipecat lagi"" Vania membelai pipi suaminya dengan lembut. "Nggak apa.
Warnet kita hasilnya bagus. Arifin sudah menyanggupi me-wakiliku selama
aku cuti melahirkan." Dan aku sudah menjual rumah ini. Untuk biaya
operasi. "Dia minta apa"" tanya Aries curiga.
Kalau dulu Vania sebal dicemburui, sekarang dia malah ketagihan. Kalau
bisa, besok dia akan minta Arifin membantunya memancing kecemburuan
suaminya! Asal dia jangan takut digebuk!
Karena itu Vania hanya tersenyum. Tidak . mau mengatakan yang
sebenarnya. Arifin mau disuruh menjaga warnet karena dia sedang pacaran
Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan seorang gadis India di New
"Asal aku boleh pakai komputermu. Gratis" kata Arifin malu-malu.
Tentu saja Vania tidaJc keberatan. BeraPa lama sih Arifin tahan e-mail-e-mail-an" Dia kan paling malas menulis surat! Menulis skripsi saja tidak jadi-jadi! Nah, mana sanggup dia berbalas pantun" Apalagi dalam bahasa Inggris!
Melalui operasi Caesar, Vania melahirkan anaknya. Dan ketika pertama kali
melihat putranya, mau tak mau ingatannya kembali ke peristiwa memalukan
itu. Padahal sudah lama Vania berusaha menenggelamkannya ke alam bawah
sadarnya. Tapi hari mi, ketika melihat bayinya, bayangan prahara itu kembali
mengapung ke permukaan. Bayinya hampir tidak mempunyai rambut. Hidungnya besar. Rahangnya
persegi. Dan yang pafing mencolok, ada belahan di dagunya!
Vania takut sekali Aries menanyakannya. Tapi ketika Aries datang ke
kamarnya saat itu Vania sedang menyusui anaknya untuk pertama kalinya
karena ASI-nya baru keluar yang ditanyakannya justru bukan itu.
"Bukankah lebih baik kalau kamu tidak menyusuinya"" suara Aries terdengar
getir. Segetir tatapan matanya yang berusaha disembunyikannya.
Vania yang sedang memandangi bayinya dengan penuh kasih sayang,
mengangkat wajahnya dengan terperanjat.
Sekilas mata mereka bertemu. Dan mereka sama-sama menemukan
kenyerian di mata itu. Sama-sama merasakan sakitnya. Dan sama-sama
tepekur dalam gundah. "Jadi sudah tidak ada maaf bagiku," desah Vania antara kecewa, sakit hati,
dan tidak percaya. Selama ini dikiranya Aries sudah memaafkannya.
Melupakan kesalahannya. Ternyata dia masih menyimpan dendam. "Aku
tetap tidak boleh memilikinya. Sekali berbuat salah, tidak ada jalan untuk
kembali." "Bawalah dia pulang," sahut Aries sambil menahan perasaannya. Dia sendiri
hampir tidak kuasa membendung air matanya. "Kamu boleh tinggal tiga
bulan bersamanya." Bapak pasti marah sekali. Aries sudah berjanji membawa pulang anaknya
begitu dia lahir. Tapi dia tidak tega memisahkan anaknya dari Vania.
Putranya butuh ibunya. Butuh dekapannya. Butuh air susunya.
Jadi dia nekat. Mengizinkan Vania membawa anaknya. Tinggal bersamanya
selama tiga bulan. Lalu mereka harus berpisah. Karena itu perintah Bapak.
Dan Aries sudah berjanji akan mematuhinya. Memenuhi janjinya. Membayar
utangnya. "Kamu tidak ikut pulang"" Vania membiarkar air mata mengalir ke pipinya.
Bahkan meniti]; ke wajah anaknya. "Rela kehilangan tiga bulan
awal.kehidupan anak lata""
"Aku akan datang kembah untuk mengambilnya." Aries mengatupkan
rahangnya er at-erat sebelum melanjutkan dengan suara lirih. "Dan membawa
surat cerai." "Jika aku bersumpah akan melakukan apa pun kehendakmu, jika aku
mencium kakimu memohon ampun," desah Vania sambil menggigit bibir
menahan tangis, "masih adakah harapan untuk membatalkan perceraian
kita"" "Sudahlah," Aries menahan rasa nyeri yang menikam dadanya. "Kita sudah
mengambil ke-putusan. Bawa saja dia pulang."
"Kami harus pulang ke mana"" desis Vania dengan air mata berlinang. "Ke
rumahmu. Ke mana lagi"" "Rumah sudah kujual untuk membayar biaya
operasi." "Batalkan saja. Semua biaya sudah kulu- . nasi."
I Vania tertegun. Aries sudah melunasi biaya operasinya" Dari mana uangnya"
Dari... ayahnya" Bapak bersedia membayar semua tagihan asal mereka
bercerai" Itukah alasan Aries tidak dapat membatalkan perceraian mereka" Padahal
bulan-bulan ter- akhir ini Vania hampir yakin Aries sudah memaafkannya dan tidak ingin
bercerai! Lama dia termenung sebelum membuka mulurnya kembali.
"Boleh mengajukan permintaan terakhir, Ries"" desahnya
lirih. Aries hanya mengangguk. Karena dia khawatir kalau dia membuka
mulutnya, dia tidak mampu lagi menahan tangisnya.
Betapa nyerinya melihat anaknya dalam pelukan Vania. Betapa sakitnya
harus memisahkan mereka. Betapa tersiksanya membayangkan kehilangan
perempuan yang paling dicintainya, sebesar apa pun dosanya! "Aku boleh
memberi nama anak kita"" Aries tidak menjawab. Dia hanya mengangguk.
Lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar. Karena matanya telah
digenangi air mata. BAB XVI Ketika dipanggil ke ruang dokter, Rudi sudah punya firasat jelek. Hasil
pemeriksaannya pasti tidak menggembirakan.
Dia tidak mengerti sama sekali foto-foto scanning yang terpampang di
hadapannya. Tapi dia mengerti apa yang terlukis di wajah dokternya.
"Sudah metastasis ke hati," Dokter Murray menghela napas berat. "Saat ini
rasanya tidak ada lagi yang dapat kita lakukan."
Rudi merasa kepalanya seperti dihantam sebongkah batu karang. Jadi
operasi usus besarnya tujuh tahun yang lalu tidak berhasil mengalahkan
kanker sialan itu. Penyakit terkutuk
itu hanya bersembunyi. Menunggu saat yang tepat untuk menyerang lagi.
Mengobrak-abrik tubuh korbannya. "Tidak ada pengobatan lain, Dokter"" tanya Rudi gemetar menahan rasa
takut yang ber^ campur rasa nyeri di hatinya.
"Kemoterapi yang dapat diberikan saat ini. hanya terapi paliatif. Mengurangi
gejala. Memperpanjang umur. Tapi tidak menyembuhkan."
Rudi tercenung sesaat. Pengobatan apa itu" Memperpanjang umur tapi tidak
menyembuhkan! Berapa lama umurnya bisa ditambal" Sam minggu" Satu
bulan" Satu tahun" Dan selama' kemoterapi dia harus mengalami
penderitaan yang luar biasa. Ah, dia benar-benar bingung. Panik. Putus asa.
"Apa yang harus saya lakukan, Dokter"" desah Rudi
getir. Dokter Murray menggelengkan kepalanya yang botak.
"Carilah saat yang tepat untuk mengatakannya kepada istrimu. Sampai
sekarang dia belum tahu, kan""
Aku tidak sampai hati mengatakannya, keluh Rudi dalam hati. Dari mana
aku harus mulai" Bukankah karena tidak tega mengatakannya, aku menolak
anjuran Dokter Murray untuk kemoterapi" Saat itu, hampir setahun yang
lalu, CEA-nya mendadak melonjak seratus kali ]jpat dari angka normal
CEA adalah angka penanda tumor yang diperoleh dari hasU pemeriksaan
darah di laboratorium. Ketika melihat hasil lab itu, Dokter Murray sudah
khawatir. Tujuh tahun yang lalu, Rudi didiagnosis mengidap kanker usus besar
stadium 2B. Dia menjalani operasi dan kemoterapi. Dokter Murray curiga, sel
kanker dari usus besarnya belum punah seluruhnya dan kini bermetastasis.
Karena itu dia menganjurkan kemoterapi secepatnya.
Tetapi Rudi menolak. Tujuh tahun yang lalu, dia masih seorang diri. Tetapi
kini dia memiliki seorang istri dan seorang anak.
Istrinya tidak tahu tentang penyakitnya. Rudi tidak pernah menceritakannya.
Sekarang pun dia tidak ingin mengatakannya. Tidak ingin merusak
kebahagiaan rumah tangga mereka.
Lagi pula apa gunanya lagi kemoterapi" Kalau operasi saja tidak mampu
mengenyahkan penyakit terkutuk itu, apa lagi yang dapat dilakukan"
Dan inilah risiko yang harus diterimanya. Tidak sampai setahun kemud
ian, sel-sel kanker telah merusak hatinya. Begitu parahnya kerusakan itu sampai
tak ada lagi pengobatan yang dapat dianjurkan dokter.
Sekarang hanya tinggal satu pertanyaan ia-
gi. "Berapa lama lagi, Dokter"" gumam Rudi lesu. Dia merasa matanya panas.
Tetapi ditahannya butir-butir air matanya agar tidak mengm genangi
matanya. Tangis itu bukan untuk dirinya. Tapi untuk istrinya. Untuk anaknya. Karena
mereka akan segera kehilangan orang yang mereka cintai.
Dokter Murray tidak mau menjawab pertanyaannya.
Nikmati saja sisa hidupmu, katanya bijaksana. Bahagiakan istri dan anakmu
selama mereka masih dapat menikmatinya bersamamu.
Banyak yang harus lmlakukan, pikir Rudi murung dalam perjalanan pulang.
Dia melangkah masuk ke dalam bus yang berhenti di depannya. Antrean
yang mengekor panjang di belakangnya mengikutinya masuk ke dalam bus
berwarna biru itu dengan tertib.
Rudi memasukkan karcis berlangganannya ke dalam mesin di samping sopir.
Dia merasa kakinya lemas, karena itu dia tidak mau berjalan jauh ke
belakang. Dia ingin buru-buru duduk.
Rudi memilih bangku di baris kedua dari depan. Karena bangku di deretan
paling depan diperuntukkan bagi orang tua dan penyandang cacat. Dia
mengenakan kacamata hitam untuk
menyembunyikan matanya yang memerah. lalu dia melemparkan
pandangannya ke luar jendela bus.
Saat itu bus mereka melewati Martin Place. Kenangan Rudi kembali pada saat
pertama kali dia melihat istrinya melintas di sana. Dan matanya langsung
berkaca-kaca. * * # Barang-barang belanjaan berjatuhan dari tangannya. Dengan susah payah dia
berjongkok. Memunguti barang-barang yang berserakan di kaki lima dengan
sebelah tangan. Sementara tangannya yang lain memeluk seorang bayi.
Rudi yang baru melangkah keluar dari kan- I tornya buru-buru
menghampiri. "Boleh saya bantu"" tanyanya sopan. Tentu l saja dalam bahasa Inggris.
Karena meskipun I dia tahu perempuan ini berasal dari ras Asia, I saat itu
dia tidak yakin mereka datang dari ne- l geri yang sama. I
Perempuan itu menatapnya sekilas sebelum I mengangguk. Rudi langsung
berjongkok di j dekatnya dan memunguti barang-barang yang I berserakan.
Ada makanan bayi. Diapers. Tisu. I Kapas. Bahkan obat penurun panas. I
"Terima kasih," suaranya perlahan dan agak | bergetar. Padahal saat itu
musim panas. Cuaca I I sangat bersahabat. Angin tidak bertiup. Me-I ngapa suaranya seperti
meredam kebekuan" f Tetapi bagi Rudi, itulah suara termerdu yang
pernah didengarnya sejak istrinya meninggal sepuluh tahun yang lalu.
"Boleh saya antar ke mobil"" tanya Rudi ramah ketika dilihatnya betapa
repotnya menggendong bayi dan barang belanjaan sekaligus.
Perempuan itu menggeleng. Matanya menatap resah.
"Tidak bawa mobil"" Atau tidak punya" Kamu masih muda sekali. Sudah
punya bayi. Pasti berat sekali beban hidupmu. "Naik bus""
Pasti repot sekali. Rudi punya mobil. Tapi karena kantornya terletak di CBD,
pusat kota dan pusat bisnis yang ramai, dia memilih naik bus. Parkir bukan
hanya sulit, sekaligus mahal. Sementara bus di sini murah dan cukup
menyenangkan. Bersih. Tidak perlu berdesakan. Dan hampir selalu tepat
waktu. Tetapi membawa belanjaan sebanyak itu dan seorang bayi" Nanti dulu. Bus
pasti pilihan yang sulit.
Jadi sekali lagi Rudi menawarkan bantuan. Wajahnya yang simpatik.
Penampilannya yang matang. Sikapnya yang ramah. Apa lagi yang diperlukan
seorang wanita muda untuk menerima bantuan dari seorang pria tak
dikenal" Lebih-lebih ketika mereka tahu mereka ber-
asai dari ibu yang sama. Maksudnya tentu saja bukan ibu kandung. Ibu
pertiwi. "Dari Jakarta"" Rudi tertawa Jepas. "Saya juga dari sana/ Kebon Jeruk/ Kamu
dari mana"" Gang Mangga. Tapi ada berapa ratus Gang Mangga di Jakarta" Kenapa orang
Betawi suka menamai tempatnya dengan nama buah" Padahal kebun dan
taman sudah jarang. Karena lebih banyak hutan betonnya.
Tapi di mana pun wanita ini tinggal, peduli apa" Yang penting bukan di
kuburan. Jadi dia bukan keponakan kuntilanak. Dan yang lebih penting lagi,
belum pernah Rudi segembira hari ini.
Sejak istrinya meninggal sepuluh tahun yang lalu, Rudi tetap menduda.
Banyak teman. Tapi tidak punya
pacar. Dia memilih hidup sendiri. Menikah
dengan pekerjaannya. Baru hari ini dia tiba-tiba ingin punya teman intim lagi. Bukan karena wanita
yang baru dikenalnya ini memiliki wajah lumayan cantik. Tapi juga karena
bayi dalam gendongannya. Bayi yang sudah tidak punya ayah lagi.
Katanya ayahnya meninggal. Lama sebelum dia lahir.
Kasihan sekali. Pasti berat hidup sendiri. Apalagi punya anak.
Istri saya juga meninggal. Sepuluh tahun yang lalu. Kecelakaan mobil."
"Aduh," desah wanita itu antara kaget dan
iba. "Punya anak""
"Di mobil yang sama," suara Rudi berubah getir. "Mobil yang menabrak mobil
istri saya tidak berhenti. Belakangan polisi berhasil menangkap bajingan itu.
Dia mabuk." "Aduh."
"Saat itu saya baru tahu, sebotol vodka bukan cuma mampu memabukkan,
tapi mampu membunuh, sekaligus mampu merampas sisa hidup saya."
Dan sekarang, kankerlah yang merampas sisa hidupku, keluh Rudi menahan
tangis. Justru pada saat aku sudah berhasil menemukan hidupku kembali.
Dua bulan setelah pertemuan mereka, Rudi sadar, dia sudah jatuh cinta pada
Catalina Arman. Sekaligus pada bayi mungilnya yang sangat membutuhkan
kasih sayang dan perlindungan seorang ayah.
Tetapi Rudi tidak bisa menikahi Catalina. Karena dia datang ke Australia
sebagai turis. Dan visanya sudah lama habis masa berlakunya.
Sekarang status Catalina Arman dan putranya adalah pendatang gelap.
Setiap saat mereka dapat ditangkap dan dikembalikan ke negeri asalnya. ,
Jika Rudi tetap ingin menikahinya, Catalina
dan anaknya harus puJang dulu ke Indonesia. Dari sana dia baru
mengajukan permohonan untuk menikah dengan Rudi yang sudah menjadi
penduduk tetap di Australia. Dan permohonan itu bukan hanya memerlukan
waktu. Juga belum tentu dikabulkan.
Tetapi yang lebih sulit lagi adalah memaksa Catalina pulang. Karena
tampaknya dia tidak ingin kembali ke Indonesia.
"Ada apa, Rud" Kok muram amat. Banyak kerjaan""
Begitu tiba di rumah, anak-istrinya sudah menyambutnya di ambang pintu.
Catalina tampak segar walau hanya mengenakan T-shirt dan short santai.
Sementara si kecil Arvan sudah melonjak-lonjak lucu minta digendong.
Arvan memasukkan sebutir permen ke mulut ayahnya. Kebiasaan yang
selalu dilakukannya setiap kali ayahnya pulang kerja. Rudi akan membuka
mulutnya lebar-lebar. Menerima permen dengan hdahnya. Dan pura-pura
menciut-chit kepedasan. Arvan akan tertawa geli. Lucu melihat ayahnya berdesah sedemikian rupa.
Lalu dia akan menyodorkan pipinya yang montok. Dan Rudi mengecupnya
dengan gemas. Al i L 232 Setelah itu dia akan mencium bibir istrinya yang memerah delima. Dan
berbisik lembut, I love you. Hari ini semua ritual itu tetap dilakukannya. Tapi dengan paras mendung
dan mata merah yang membuat Catalina bergumam heran. Sekali lihat saja
dia tahu ada yang tidak beres. Sikap Rudi tidak seperti biasa. Ada yang
mengganggu pikirannya. Sesuatu yang coba disembunyikannya.
"Kenapa, Rud"" desak Catalina sekali lagi. Ditatapnya suaminya yang tengah
menggendong anaknya dengan tajam. "Bilang dong ada apa."
Apa yang harus kukatakan, keluh Rudi dalam hati. Umurku hanya tinggal
hitungan bulan, bahkan mungkin hitungan minggu" Sebentar lagi aku harus
meninggalkanmu, meninggalkan anak kita, meninggalkan semua yang
kucintai" "Tidak ada apa-apa," sahut Rudi dengan suara seringan mungkin. Berusaha
menyembunyikan kesedihannya. "Cuma capek."
Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mau dipijat""
"Wah, tawaran yang susah ditolak!" Rudi tertawa dibuat-buat. "Minta tip
apa"" "Boleh minta tip"" Suara yang manja menggemaskan itu, yang biasanya
membuat hati Rudi berdebar hangat, kini justru menyayat pedih.
233 "Apa saja," sahut Rudi tersendat. Apa yang kamu minta, Sayang. Apa saja.
Akan"a berikan apa pun yang kamu inginkan. pung aku masih punya waktu
untuk mencari, nya. "Apa saja"" Senyum yang manis mengg0Qa menggeliat di bibirnya.
"Apa saja," sahut Rudi menahan tangis. Disembunyikannya wajahnya di balik
tubuh montok Arvan. "Tapi kok sedih amat kelihatannya" Nggak usah takut. Tipnya bukan berlian
dua karat!" gurau Catalina sambil mengambil Arvan dari pelukan suaminya.
Diturunkannya anak itu. Ditepuknya pantatnya dengan lembut. "Main sana!
Pap a capek." Tapi kelakarnya justru membuat Rudi se-makin terpukul.
Berlian dua karat. Kapan aku baru dapat memberikannya"
Berlian adalah sahabat terbaik wanita. Wanita mana yang tidak
menggandrungi berlian"
Selama ini aku belum pernah memberikannya. Jangankan yang dua karat.
Seperempat karat saja belum!
JhHZ m"niadi istrinya, Catalina tidak per-
3ukan itu saja. Ada lagi nilai Rudi yang tak
teTganrikan. Jg "Terima kasih mau menjadi ayah Arvan, Rud. Sejak lahir, dia tidak pernah
merasakan kasih sayang seorang ayah."
"Aku juga berterima kasih kamu mau memberikan kesempatan kedua
padaku untuk menjadi seorang ayah, Lin." Bagi Rudi, Arvan memang sudah
menjadi pengganti anak kandungnya. Dia menyayangi
Arvan seperti menyayangi Dylan. Justru itulah alasan utama Vania menerima
lamaran Rudi Handoko. BAB XVII VANIA tidak ingin berpisah dari suaminya. Tapi dia tidak bisa berpisah dari
anaknya. Dia mencintai Aries. Tapi dia rela menukar jiwanya untuk Arvan.
Karena itu dia tidak menunggu Aries datang untuk mengambil anaknya. Dia
membawa bayinya kabur ke Sydney. Vania khawatir, orang-orang upahan
ayah Aries mampu menemukannya kalau dia masih di Indonesia.
Untungnya Aries memberikan waktu tiga bulan. Vania punya banyak waktu
untuk mempersiapkan pelariannya. ||
Tetapi hidup sebagai pendatang gelap di Australia tidak mudah. Lebih-lebih
kalau dia punya seorang bayi. Dan tidak kenal seorang pun di
sana. Dalam kumparan kemelut tak berujung, Rudi Handoko seperti dikirim
Tuhan dari langit. Tiba-tiba saja dia muncul. Sabar. Simpatik. Ramah. Penuh
perhatian. Suka menolong. Sayang pada Arvan. Dan jatuh cinta padanya.
Terus terang Vania tidak tertarik pada Rudi. " Ketika bertemu, lelaki itu
sudah berumur empat puluh enam tahun. Tidak ada yang dapat
dibanggakan pada penampilannya. Tubuhnya kurus. Wajahnya sederhana.
Tetapi dia pilihan terbaik Vania kalau dia membutuhkan pelindung untuk
(lirinya dan bayinya. Rudi punya rumah sendiri. Sebuah rumah sederhana berkamar tiga. Memang
bukan rumah baru, tapi masih cukup nyaman dan terletak di area Pagewood
yang tenang. Sebagai lulusan IT, pekerjaannya sebagai network administrator
menjanjikan gaji yang cukup untuk membiayai sebuah keluarga.
Tetapi yang paling penting, dia rela menampung Vania dan anaknya di
rumahnya. Vania tidak usah pusing memikirkan mencari uang lagi. Karena
semua kebutuhannya dan kebutuhan anaknya sudah dipenuhi Rudi.
Meskipun tidak dapat resmi menikah, mereka hidup seperti layaknya suami-istri. Dan Rudi sudah menganggap Arvan seperti anaknya sendiri.
Hampir empat tahun Vania tinggal bersap Rudi. Mengubur cita-citanya.
Impian kariernya Rencana masa depannya. Bahkan cintanya pada Aries.
ft" Sydney dia bukan siapa-siapa. Cuma seorang wanita dengan identitas
palsu yang tidak punya status.
Tapi Vania tidak pernah menyesali keputusan-nya. Tidak ada yang dapat
dibandingkan de- ' ngan empat tahun hidup bersama anaknya. Melihatnya
setiap hari merupakan berkah yang tak ternilai harganya.
Satu-satunya penyesalannya hanyalah karena dia belum mampu membalas
cinta Rudi. Kadang-kadang Vania malah merasa berdosa karena telah
memperalat orang yang sebaik dia. Tapi memperalatkah namanya kalau apa
yang dilakukannya ini bisa membahagiakan Rudi"
"Kamu dan Arvan telah mengembalikan hidupku," katanya tulus.
Vania mengira tak ada lagi gejolak dalam hidupnya. Dia sudah memutuskan
untuk tinggal di sini seterusnya bersama Rudi dan Arvan. Tetapi suatu hari,
tiba-tiba Rudi mengajukan usul yang sangat aneh.
"Aku ingin kembali ke Indonesia, Lin," cetusnya lirih.
Beberapa hari ini tingkahnya memang agak aneh. Walaupun dia berusaha
menutupinya, 23" Vania masih dapat merasakannya. Rudi menyembunyikan sesuatu. Entah
apa. "Berlibur"" tanya Vania heran. "Sendirian"" Tentu saja bersamamu dan
Arvan." Rudi merasa hatinya teriris makin pedih. Sejak bertemu kalian,
kapan aku ingin berpisah lagi" Tapi aku harus pergi. Aku harus
meninggalkan kalian.... "Kamu tahu itu tidak mungkin." "Aku tidak ingin berpisah," gumam Rudi
lirih. Hampir tidak dapat menahan butir-butir air mata yang hampir bergulir
dari matanya. Tapi aku harus mempersi
apkan masa depanmu dan Arvan....
"Lalu bagaimana kami bisa kembali kemari""
"Kita pulang ke Indonesia. Resmi menikaK Lalu kembali kemari bersama-sama."
Kalau aku masih punya waktu. Tetapi kalau tidak sempat lagi, paling tidak
kamu bisa kembali ke sini bersama Arvan. Hidup di sini bukan sebagai orang
gelap. Akan kuwariskan semua milikku padamu. Rumah. Mobil. Simpanan di
bank. Bukan itu saja. Masih ada lagi yang ingin kuwariskan padamu.
Ketika meninggal dua tahun yang lalu, Ayah meninggalkan rumah dan
perusahaan untukku dan abangku Rangga. Aku akan menuntut bagianku.
Dan mewariskannya padamu.
230Aku yakin semua itu cukup untuk membiayai I hidup kalian berdua
sepeninggalku nanti. Tetapi ternyata tidak mudah memaksa Cata- I hna pulang ke Jakarta.
"Kita tidak bisa menikah kalau kamu tidak mau pulang," keluh Rudi putus
asa. "Kenapa harus menikah" Bukankah selama ini kita sudah bahagia walaupun
tidak punya surat nikah""
Tapi aku ingin mewariskan namaku pada Arvan! Ingin mewariskan hartaku
untukmu! Dan semua itu tidak mungkin kalau kita belum menikah!
Tetapi semakin didesak, Vania semakin uring-uringan. Belakangan dia malah
marah. "Lebih baik kita berpisah," gumam Vania dingin. Tinggalkan saja aku dan
Arvan di sini." Mungkin kamu sudah bosan pada kami. Mungkin kamu sudah
bertemu perempuan lain. Perempuan yang lebih cantik. Wanita kulit putih
yang lebih seksi__ "Aku tidak ingin meninggalkanmu!" desis Rudi hampir memekik. Selama aku
masih mampu! Aku ingin selalu bersamamu sampai suatu saat aku tidak
mungkin lagi membawamu! "Aku mengerti," suara Vania melembut. Dia tahu betapa sayangnya Rudi
pada dirinya dan Arvan. Tapi Rudi juga harus tahu, dia tidak mungkin ke
Jakarta! Dia takut! Tapi... bagai-
mana memberitahu Rudi" Bagaimana memberitahu lelaki yang baik itu, dia
masih punya suami" Dan Aries mungkin saja menemukannya
kalau dia pulang! "Tapi aku tidak mau pulang ke Jakarta. Terlalu banyak
kenangan buruk. Aku tidak mau mengingat-ingatnya lagi."
Karena tidak mungkin membawa Catalina, terpaksa Rudi memutuskan untuk
pulang seorang diri. Barangkali tidak mungkin menikahinya, tapi paling
tidak, dia bisa menuntut haknya dan mewariskannya pada Catalina dan
Arvan. Ketika ayahnya meninggal dua tahun yang lalu, Rudi memang tidak pulang.
Dia tidak tega meninggalkan Catalina dan bayinya. Mereka sudah menjadi
penduduk gelap. Setiap saat bisa tertangkap dan dikirim pulang ke
Indonesia. Tetapi sekarang keadaannya berbeda. Waktunya tinggal sedikit sekali. Rudi
tidak ingin me-nyia-nyiakan sisa waktunya. Dia harus menuntut warisannya.
Karena itu dia harus pulang.
"Tunggu sampai aku kembali," pintanya sesaat sebelum pergi. Atau dia harus
berkata, mudah-mudahan aku masih sempat kembali"
Ketika merasakan pelukan erat Rudi, ketika melihat matanya berkaca-kaca
tatkala meng- gendong Arvan, Vania tidak dapat menahan lagi pertanyaan yang sudah
beberapa hari menggantung di lidahnya.
'Mengapa kamu harus pulang" Mengapa
harus meninggalkan kami"" "Aku ingin mengunjungi makam Ayah."
"Mengapa baru sekarang" Ayahmu sudah dua tahun meninggal"
Karena sekarang aku membutuhkan warisannya.
Tetapi Rodi tidak mampu membuka mulutnya. Dia hanya mampu memeluk
Vania erat-erat sambil membendung air matanya. "Aku mencintaimu," bisik
Rudi lirih. Vania hanya mampu membalas dekapannya dengan hangat.
"Lekas kembali," pintanya iembut. "Kami me- j rindukanmu." j
Yang paling suM adalah meninggalkan I Arvan. Karena dia tidak bisa
mengerti mengapa j Papa harus pergi dan dia tidak diajak. I
Selama ini mereka belum pernah berpisah. J Papa selalu membawanya
kecuali kalau dia per- j gi kerja. Nah sekarang, mengapa dia tidak bo- i leh
ikut" j Arvan menangis terus. Kata-kata ayahnya I dan bujukan ibunya tidak mampu
meredakan J tangisnya. Dia tetap mau ikut. Kalau tidak bo- / leh ikut, Papa
tidak boleh pergi! j Rudi benar-benar trenyuh. Tidak sampai hati melihat istrinya membentak
dan memarahi I anaknya setelah sia-sia membujuknya.
Vania memang sudah kewalahan. Arvan menolak digendong. Tidak mau
melepaskan pelukannya. Lengannya menggantung seperti gurita di leher
ayahnya. Dan dia bukan cu
ma menangis. Ketika ibunya memaksa meraihnya,
dia memekik. Menjerit-jerit. Mengamuk.
Belum pernah Arvan protes sekeras ini. Belum pernah dia merajuk segawat
ini. Belum pernah dia membangkang bahkan melawan perintah ibunya.
Biasanya dia anak yang manis. Patuh. Penurut.
Tapi kali ini dia seperti kerasukan setan. Tidak ada kata-kata Mama yang
masuk ke telinganya. Tertutup oleh teriakan dan tangisnya.
Rudi tidak sampai hati melihat Arvan dicubit ibunya. Dipeluknya anaknya.
Dilindunginya dengan tubuhnya.
"Sudah," pintanya pada Vania. "Beri dia
waktu." "Berapa lama"" desah Vania antara letih dan sedih. "Kamu sudah harus
boarding." "Tidak apa-apa terlambat. Tidak akan ditinggal. Biar aku ngomong dulu sama
Arvan." Tapi apa lagi yang mau dikatakan" Arvan tidak peduli ayah-ibunya ngomong
apa. Pokoknya dia tidak mau ditinggal! Dia protes keras karena Papa tidak
mengajaknya.' "Papa pergi nggak lama," bujuk Rudi sambil mengusap air mata anaknya
dengan jarinya. Ketika melihat air mata yang membasahi pipi Arvan yang
montok, hati Rudi makin teriris.
Rasanya aku tidak sanggup meninggalkannya, tangis Rudi dalam hati. Ya
Tuhan, kalau aku boleh memohon, beri aku waktu lebih lama! Jangan
biarkan kami berpisah, Tuhan!
"Apan ikut!" isak Arvan sambil merangkul ayahnya erat-erat. Takut sekali
ditinggal. "Arvan mesti menemani Mama, kan" Nggak kasihan sama Mama" Mama
sendirian, kan" Coba, sama siapa Mama di rumah kalau kita berdua pergi""
"Mama pergi juga!" bantah Arvan cerdik. "Kita pergi sama-sama!"
Ya, seperti itulah biasanya. Bukankah biasanya memang mereka selalu pergi
bersama" Kecuali kalau Papa kerja!
Rudi menghela napas berat. Dia bingung. Sedih. Putus asa. Tidak tahu
bagaimana lagi harus menyingkirkan anaknya.
"Sudahlah," sergah Vania sambil mengeraskan hatinya. Dia juga iba melihat
anaknya. Tapi dia tahu kapan harus bertindak tegas. "Kamu pergi saja."
Lalu dia memaksa mengambil Arvan dari gendongan Rudi. Tidak peduli
anaknya meronta-ronta dan menangis menjerit-jerit.
Tin.." desah Rudi sambil menahan air matanya. Tidak sampai hati melihat
Arvan. "Biar aku tidak jadi pergi saja...."
"Dia harus dididik, Rud," Vania menegarkan batinya. Bukannya dia tidak
trenyuh melihat tangis Arvan. Tapi dia sadar, ada saatnya harus bertindak
tegas. "Aku juga tidak tega. Tapi kadang-kadang kita harus keras. Supaya
Arvan tahu, tidak selamanya dia mendapat apa yang diinginkannya."
Benarkah Tuhan juga tahu apa yang dibutuhkan anak-anak-Nya" Benarkah
Tuhan tahu apa yang terbaik untukku, untuk Catalina, untuk Arvan"
Benarkah yang terbaik justru meninggalkan mereka"
Aku tidak bisa mengerti maksud-Mu, bisik Rudi ketika dia sedang-melangkah
gontai ke ruang boarding. Mengapa selalu Kaupisahkan aku dari orang-orang
yang kucintai" Tetapi menuntut warisannya tidak semudah dugaan Rudi. Rangga memang
kakak yang baik. Tetapi itu dulu. Sebelum dia menikah.
Istrinya yang baru dua tahun lebih dinikahinya, hanya tiga bulan sebelum
ayah mereka meninggal, keberatan menjual rumah mereka. Apalagi membagi
saham perusahaan. Kenapa baru sekarang dia datang"" desisnya judes. "Waktu ayah kalian
meninggal, di mana dia" Kenapa dia tidak pulang""
"Katanya waktu itu dia tidak bisa meninggal-kan anak-istrinya."
"Sekarang bisa" Karena warisan" Cuma itu yang ada di kepalanya""
"Tapi dia hanya menuntut haknya. Rumah ini bukan rumahku. Rumah Ayah.
Artinya separonya milik Rudi. Demikian juga perusahaan kami..."
"Perusahaan itu sudah hampir ambruk.'" sela istrinya ketus. "Kalau aku tidak
datang membenahinya, perusahaan itu sudah bangkrut! Apa lagi yang mau
dituntutnya"" "Rudi mengerti. Dia tidak menuntut banyak kok..."
"Oh, dia tidak menuntut banyak huh" Dia memang tidak berhak menuntut!
Karena sebenarnya perusahaan milik kalian sudah tidak adai"
"Tapi kenyataannya kan tidak begitu," keluh Rangga serbasalah. "Perusahaan
kita masih berdiri. Masih berjalan baik. Malah tambah maju...."
"Kamu tahu siapa yang membuatnya jadi begitu"" 'Ya, kamu.... Tapi..."
"Adikmu tahu""
"Sudah kuberitahu. Dia berterima kasih
padamu...." "Berterima kasih! cetus istrinya sambil tertawa mengejek. "Katakan padanya,
aku tidak butuh terima kasihnya!" "Kita bisa minta Rudi menjual sahamnya
pada kita. Dia tidak minta banyak kok." "Dia memang tidak berhak minta!"
"Tapi, Gita..."
"Tidak ada tapi-tapi!" bentak Sagitaria galak. "Pokoknya kita tidak akan
menjual rumah ini! Dan tidak akan membeli saham adikmu! Tidak
segampang itu dia mendapat uang!"
* * * Sagitaria tidak pernah menularkan pernikahan. Meskipun saat itu umurnya
sudah tiga puluh lima tahun.
Dia wanita karier yang hebat. Dan sebagai CEO sebuah perusahaan minyak
goreng yang terkenal, kariernya sedang melambung. Gajinya besar. Masa
Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depannya cerah. Hidupnya penuh kesibukan. Siapa yang sempat meniikirkan
perkawinan" Tetapi tiba-tiba dia dipaksa meniikirkan yang lain kecuali pekerjaan. Taurina
hendak menikah. Ibunya menginginkan Sagitaria menikah lebih dulu. Jangan
didahului adiknya. "Nanti kamu jadi sial," kata ibunya khawatir. 'Tidak laku."
Sebenarnya Sagitaria tidak peduli. Memangnya dia barang, pakai tidak laku
segala" Dia pasti membantah, kalau saja ayahnya masih sehat seperti dulu.
Tetapi kini Bapak sudah berbeda. Dia bukan lagi Titah Bintang Dewabrata
yang perkasa. Tiba-tiba dia diserang stroke. Tubuhnya lumpuh sebelah. Dan
dia tidak dapat bicara. Tetapi dia masih dapat berpikir. Masih punya keinginan. Dan salah satu
keinginannya adalah melihat putri sulungnya menikah sebelum dia mati.
Tentu saja itu kata ibunya. Karena Bapak sudah tidak dapat mengucapkan
sepatah kata pun. Ibulah yang mendesaknya.
"Ayahmu tidak pernah minta apa-apa," gumam Ibu penuh haru. "Tapi dia
pernah bilang, belum rela mati sebelum melihatmu menikah." I Tapi kenapa,
protes Sagitaria penasaran. Ka- I rena dia anak perempuan" Kenapa Bapak
ma- I lah ingin melihatnya menikah, bukan ingin I melihatnya jadi
direktur" I Jadi percuma membantah. Karena Bapak bu- I
kan lawan debat yang seimbang lagi. Kini dia f hanya seonggok daging
hidup yang harus di- J kasihani. I Lumpuh
memang penderitaan berat. Tapi J
rlebih berat lagi bagi seorang yang selalu aktif seperti ayahnya. Mau tak mau
Sagitaria merasa iba. Jadi dia terpaksa memenuhi keinginan ayahnya.
Mungkin keinginannya yang terakhir.
Lalu Sagitaria bertemu Rangga Handoko. Duda tanpa anak berumur setengah
abad. Direktur pabrik minuman dalam botol yang hampir bangkrut.
Dan semangat Sagitaria tergugah. Ada tantangan baru di depan mata. Dia
menginginkan pabrik itu. Mengubah segalanya. Citranya. Mereknya. Rasanya.
Jadi dia menerima pendekatan Rangga. Bahkan belakangan lamarannya juga.
Sekali tepuk dua nyamuk. Sagitaria bukan saja berhasil memiliki suami. Dia
juga berhasil memiliki perusahaan sendiri.
Menyehatkan perusahaan yang sakit membuatnya bersemangat. Dan setelah
perusahaan itu bukan hanya bangkit kembali tapi sekaligus mampu masuk
bursa, menyelipkan kebanggaan luar biasa bagi Sagitaria.
Dia tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai CEO pabrik minyak goreng.
Tapi dia menyu-pervisi suaminya sebagai direktur perusahaan air minum
mereka. Dan hasil duet mereka memang tidak tanggung-tanggung.
Perusahaannya dengan cepat mampu menyodok ke atas.
Sekarang pada saat perusahaannya mulai berkembang pesat, ada rayap yang
ingin menggerogotinya/ Tentu saja Sagitaria marah. Dia tidak mengerti mengapa suaminya begitu
lembek. Adiknya tidak pernah mengurusi ayahnya. Selama hidup juga pada
saat kematian datang menjemputnya. Rudi bahkan tidak pulang untuk
menghadiri pemakaman ayahnya.
Sekarang dia datang untuk menuntut warisan/ Pantaskah
permintaannya" Rangga juga kesal pada adiknya. Tentu saja enam puluh persen karena
gosokan istrinya. Ayah meninggal dia pulang saja tidak!
Tetapi Rangga lelaki yang jujur. Hati kecilnya tidak dapat menyangkal,
separo rumah dan perusahaan mereka milik Rudi. Barangkali benar
perusahaan mereka sudah hampir jadi bangkai. Tapi rumah ini masih punya
harga, kan" Dan harganya lumayan tinggi.
Ayah mereka memang tidak membuat surat wasiat. Kalau dia berkeras tidak
mau keluar dari rumah ini dan menjualnya, Rudi juga tidak bisa apa-apa.
Masa dia mau menggugat secara huku
m" Tetapi Rangga tidak tega menolak permintaan adiknya. Istri dan anaknya
meninggal dengan tragis. Dan kondisi fisiknya sekarang tidak seperti yang
dibayangkannya. tanya sayu. Tubuhnya jauh lebih kurus. Dan dia tampak
lemah. "Leverku kambuh," kata Rudi lirih. "Sebentar lagi aku mungkin sudah tidak
kuat bekerja. Aku butuh uang untuk anak-istriku."
"Aku tidak tahu kamu punya penyakit lever," sergah Rangga iba. "Sudah
berapa lama"" "Aku tidak mau membuat Ayah sedih." "Karena itu kamu tidak
bilang"" Rangga mengeluh berat. "Ayah juga melarangku memberitahukan
penyakitnya padamu. Katanya supaya kamu tidak sedih. Tapi istriku
menyuruhku memberitahu kamu. Katanya kamu harus pulang. Kamu kan
anaknya juga. Tidak bisa hanya menonton dari jauh."
"Aku menyesal tidak ada di sampingnya waktu Ayah sakit."
"Aku juga menyesal kamu tidak pulang waktu Ayah meninggal," sambung
Rangga agak kesal. "Semua orang
menanyakanmu." "Saat itu aku tidak bisa meninggalkan anak-istriku."
"Kamu bisa membawa mereka kemari."
"Anakku masih bayi. Kasihan kalau dibawa naik pesawat."
"Itu bukan alasan. Kamu membuat istriku kesal. Kami repot setengah mati
waktu Ayah sakit dan meninggal. Kamu muncul saja tidak.
Sekarang tiba-tiba kamu datang minta wark an."
"Aku juga menyesal," desah Rudi sedih. "Biar aku minta maaf pada istrimu."
"Sekarang dia belum pulang kerja. Datang saja nanti malam."
"Boleh aku tinggal di sini" Daripada nginap di hotel."
"Lebih baik di hotel dulu," sahut Rangga resah. "Istriku tidak terlalu ramah."
"Tidak apa. Aku memang harus lebih mengenalnya."
"Gita orangnya susah. Aku tidak mau kalian ribut."
"Tidak, mungkin aku ribut dengan istrimu.
Aku akan selalu mengalah. Memang aku yang
salah. Pantas kalau dia marah." Tetapi ketika Rudi bertemu dengan kakak
iparnya, dia sadar, Sagitaria bukan hanya sulit
didekati. Dia sukar dijinakkan. Perempuan itu bukan hanya tidak ramah.
Dia judes. Keras kepala. Dan kejam.
Dia bukan saja tidak kasihan melihat kondisi Rudi. Dia malah menghasut
suaminya. "Jika dia mati, harta ayahmu jatuh pada perempuan yang belum pernah
dilihatnya. Waktu hidup. Bahkan sesudah dalam kubur. Dan anak itu,
benarkah anak Rudi" Kamu rela kalau harta yang dicari ayahmu dengan
susah payah jatuh ke tangan orang asing""
"Rasanya kamu harus membawa istri dan anakmu kemari, Rud," pinta
Rangga bingung. "Mereka harus memberi respek pada ayah kita* patang ke
kuburannya. Dan berkenalan dengan
keluargamu." "Mereka tidak mungkin datang." "Mereka harus datang. Kalau
kamu ingin bagianmu."
"Kenapa kamu sekejam ini"" desah Rudi getir. "Apa artinya mereka datang
atau tidak" Ayah sudah meninggal. Ayah pasti mengerti
kalau mereka tidak bisa datang ke depan nisannya."
"Tapi istriku tidak bisa mengerti, Rud! Dia
mau istrimu datang!" "Mbak Gita hanya tidak ingin memberikan
bagianku." "Aku tidak bisa apa-apa, Rud. Aku tidak ingin bercerai. Gita orangnya keras.
Kalau kita tidak menuruti keinginannya, dia tidak bisa memaafkanku. Dan
perpisahan hanya tinggal soal
waktu." Artinya tidak mungkin lagi memperoleh warisanku, pikir Rudi sedih. Aku
harus kembali dengan tangan hampa. Karena pasti sia-sia meminta Catalina
pulang ke Jakarta. "Kalau begitu besok aku kembali ke Sydney" cetus Rudi datar. "Kalau aku
mati, sumbangkan I . Saja bagianku ke
rumah yatim." !" tangan salah sangka, Rud," Rangga raeng. bela napas dengan perasaan
bersalah. "Bukan, nya kami menginginkan warisan yang. bukan hak kami...."
"Apa bedanya" Aku tidak bisa mengambil apa yang menjadi milikku karena
istrimu tidak mengiri ginkannya. "
"Dia hanya ingin istrimu datang. Apa sih susahnya""
"Catalina tidak bisa pulang," Rudi menunduk sambil menghela napas berat
"Karena visanya sudah lama habis."
"Maksudmu,'' sergah Rangga kaget, "dia sudah jadi penduduk gelap di sana""
"Makanya dia tidak bisa pulang. Karena kalau dia keluar dari Aussie, dia
tidak bisa kembali lagi ke sana."
"Lalu bagaimana dia bisa menikah dengan adikmu"" desak Sagitaria bengis.
Dia bukan hanya cerdas. Dia juga pernah studi di Sydney. Dia tahu sekali
tidak mungkin istri Rudi masih menjadi penduduk gelap kalau mereka benar
sudah menik ah/ "Aku juga tidak mengerti," keluh Rangga bingung.
"Katanya.." "Hanya ada satu jawaban," potong Gita tegas. "Adikmu bohong/ Mereka
belum menikah/ Dan anak itu mungkin bukan anaknya!" Rangga melongo
bingung. Otaknya benar- benar tidak dapat mencerna semua itu. ngapa Rudi harus berbohong" Dia
sudah lama menduda. Dia berhak menikah lagi. Tidak ada yang keberatan
kalau dia memilih janda beranak satu sekalipun!
Tanya adikmu," desis Sagitaria pedas. Dia benci sekali kalau melihat
suaminya sedang tertegun bengong begitu. "Dan cari tahu anak siapa yang
diakui anaknya itu. Sebelum harta ayahmu jatuh ke tangan orang asing yang
bukan darah dagingnya!"
"Aku bertemu Catalina bersama anaknya setelah mereka menjadi penduduk
gelap di Australia," sahut Rudi muram setelah tidak mungkin lagi
menyembunyikan rahasianya. Agaknya kakaknya mengawini komputer,
bukan manusia. Pintar. Tapi tidak berperasaan. "Aku" jatuh cinta padanya.
Dan pada Arvan. Dia begitu lucu. Begitu pandai. Begitu malang. Tidak punya
ayah. Tidak punya status."
"Mengapa kamu tidak segera mengawini perempuan itu""
"Karena dia harus pulang dulu ke Indonesia sebelum dapat menikah
denganku." "Kalau begitu suruh dia pulang/ Urus pernikahan kalian. Urus warisanmu.
Dan kembali ke Sydney. Tunggu apa lagi""
"Catalina belum mau pulang. Katanya dia belum mau kembali ke Indonesia.
Aku tidak tahu apa yang ditakutinya. Mungkin dia punya pengalaman buruk di sini.
Dan tidak mau mengenangnya lagi. Katanya dia ingin menutup masa lalunya
dan membuka lembaran baru hanya bersamaku dan anak kami." Rudi
mengeluarkan dompetnya dan mengambil selembar foto. "lihat anak kami.
Mas. Dia begitu lucu. Begitu menggemaskan. Siapa yang tidak jatuh hati
padanya"" Sekilas Rudi melirik foto itu. Dan melihat Arvan, hatinya menjerit dicambuk
rindu. Rudi menyodorkan foto itu pada kakaknya. Foto yang diambilnya ketika
mereka pergi bertiga ke Taronga Zoo tahun lalu.
Arvan sedang berpose bersama seekor anak kanguru. Tapi orang yang
melihat foto itu pasti punya pendapat yang sama. Arvan lebih
menggemaskan dari binatang di sebelahnya.
"Dia memang lucu," cetus Rangga polos. "Boleh kubawa foto ini pada Gita"
Mungkin setelah melihat anakmu, hatinya luluh. Perempuan mana yang tidak
tertarik pada anak selucu ini""
Tetapi yang membuat Sagitaria tertarik bukan Arvan. Melainkan wanita yang
berjongkok di sampingnya.
BAB XVIII "JlKA aku bersumpah akan melakukan apa pun kehendakmu, jika aku
mencium kakimu memohon ampun," desah Vania sambil menggigit bibir
menahan tangis, "masih adakah harapan untuk membatalkan perceraian
kita"" Aries hampir tidak dapat menahan air matanya ketika melangkah keluar dari
kamar Vania. Kata-kata istrinya tak mau hilang dari telinganya.
Vania begitu sedih. Begitu putus asa. Begitu
memohon. Dia rela melakukan apa saja. Asal bisa membatalkan perceraian mereka. Asal
diizinkan tetap menjadi istrinya. Tetap menjadi ibu bayi
mereka. Tetapi masalahnya bukan permohonan ampun. Karena sebenarnya sudah
lama Aries memaafkannya. Aries sendiri tidak menginginkan perceraian. Semakin lama dia semakin
yakin, dia masih mencintai Vania. Masih menginginkannya menjadi istrinya.
Apalagi sekarang. Setelah mereka punya anak Ibu mana lagi yang lebih baik
bagi anaknya selain ibunya sendiri"
Ketika melihat untuk pertama kalinya Vania menyusui bayinya, Aries tidak
mampu menahan keharuannya. Rasanya tidak ada pemandangan yang lebih
indah dari pemandangan seorang ibu yang sedang menyusui bayinya. Dan
dia tidak tega memisahkan mereka. Mencegah anaknya mengisap air
kehidupan yang mengalir dari buah dada ibu kandungnya.
Jadi untuk apa bercerai" Untuk apa membuat bayinya merana" Untuk apa
memisahkan Vania dari anak dan suaminya"
Tetapi bagaimana mengatakannya pada Bapak" Dia sudah berjanji akan
membawa bayinya dan surat cerai.
Ayah pasti marah sekali. Tapi peduli apa" Bukankah selama ini dia memang
selalu membuat ayahnya jengkel"
Perkawinannya dengan Vania sudah membuat ayahnya marah. Jadi apa
bedanya kalau sekarang dia membuat Bapak marah sekali lagi"
Perceraian bukan masalah kecil. Masa depannya, masa depan Vania, bahkan
masa depan anaknya, tergantung pada keputusannya saat
ini. Dalam keadaan bingung, malam itu Aries kembali ke rumah sakit. Jam
kunjungan sudah lewat. Tetapi Aries tahu sekali cara untuk masuk ke
bangsal bayi. Lama dia melekatkan wajahnya di kaca. Kaca yang memisahkan dirinya dari
ruang bayi. Lama dia memandang ke dalam. Ke bayi yang tergolek lelap di
boksnya. Itulah anaknya. Darah dagingnya. Buah hatinya. Tiap hari sejak dia lahir
Aries seperti tidak bosan-bosannya memandanginya. Setiap jam kunjungan
dia melekatkan wajahnya di kaca itu. Berbicara dengan anaknya. Dan seperti
masih belum percaya, makhluk mungil itu adalah darah dagingnya. Sebagian
dirinya ada dalam diri bayi itu.
Dia menangis. Dia bernapas. Jantungnya berdenyut. Dia hidup!
Padahal suatu saat dulu dia hampir dibinasakan. Dilenyapkan. Kehadirannya
hampir tidak diinginkan oleh ibunya sendiri.
Papa yang menyelamatkanmu, Sayang, bisik Aries lembut. Karena Papa
sangat menyayangimu. Suatu saat dulu Mama memang tidak meng-
inginkanmu. Tapi sekarang dia sudah menyesal. Bagaimana kalau kita beri
dia kesempatan kedua" Kamu juga tidak keberatan kan, Sayang" Kamu lebih
suka susu ibumu daripada susu sapi, kan"
Aries tersenyum sendiri. Dan perawat yang tegak di dekatnya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dasar bapak muda. Baru punya anak. Jadi agak norak.
Coba dengar apa katanya tadi waktu minta izin melihat anaknya.
"Sebentar saja, Suster. Supaya malam ini saya bisa tidur. Lebih baik saya
diizinkan melihat anak saya lima menit daripada minum lima butir obat
tidur, kan"" Tetapi sekarang sudah lewat lima belas menit Waktunya sudah habis. Dan
dia masih melekatkan wajahnya di sana seperti siput menempel di kaca!
"Besok lagi, Pak," kata perawat itu sabar. "Kalau Bapak masih di situ juga,
nanti bayinya bangun."
"Kenapa dia bangun, Suster" Saya kan tidak ribut"
"Bayi tahu kalau orang yang menyayanginya ada di dekatnya. Dia kan punya
insting. Nanti dia bangun. Nangis. Kasihan, kan" Besok saja Bapak datang
lagi. Besok anak Bapak dan ibunya sudah boleh pulang, kan" Nah, di rumah
gapak bisa ngajak ngomong dia sepuas-puas-
oya." Sampai pagi juga aku tidak peduli!
Besok Papa datang lagi, Sayang, bisik Aries sambil menatap bayinya dengan
Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penuh kasih sayang. Kita akan bilang sama Mama, kita sudah
memaafkannya. Lalu kita akan pulang bersama. Dan tidak seorang pun bisa
memisahkan kita. Tidak seorang pun bisa memisahkan kita. Tidak juga Bapak.
Itu tekad Aries ketika dia keluar dari rumah sakit. Dia hampir tidak sabar
menunggu matahari terbit. Esok dia akan menemui Vania.
"Kita tidak akan berpisah. Kami sudah memaafkanmu."
Entah bagaimana reaksi Vania ketika mendengar kata-kata Aries. Barangkali
dia akan menangis. Perempuan selalu menangis, kan" Dalam senang dan
susah. Seperti film India.
Tapi yang pasti, dia sangat bahagia. Sangat berterima kasih. Bersyukur
karena diampuni dan diberi kesempatan kedua.
Cinta memang seperti itu. Selalu memaafkan. Tidak memendam dendam.
Barangkali Bapak juga begitu. Marah. Tapi tidak mendendam. Dan suatu hari,
Bapak pasti memaafkannya. Suatu hari Bapak mengerti mengapa Aries
melakukannya. " Jadi malam itu juga, hampir tengah malam Aries menelepon ayahnya.
"Saya berubah pikiran, Pak. Kami tidak jadi bercerai. Bapak juga tidak tega
anak saya jadi anak piatu, kan""
Aries tidak mendengar jawaban ayahnya. Hanya mendengar suara telepon
ditutup. Bukan ditutup. Dibanting. Diempaskan dengan kasar.
Ayahnya pasti marah sekali. Tetapi Aries tidak menyesal. Keputusannya
sudah bulat. Esok pagi dia akan pergi ke rumah sakit. Membawa anak-istrinya pulang. Lalu dia akan mengajak mereka mengunjungi ayah-ibunya.
Mustahil mereka tidak jatuh hati pada anaknya. Dia lucu sekali. Mungkin
perlu waktu lama untuk menyukai Vania. Tapi menyukai anaknya" Paling-paling butuh beberapa hari! Soalnya anaknya memang tidak cakap. Tapi dia
lucu! Sangat menggemaskan!
Jadi pagi itu keputusan Aries sudah bulat. Dia akan membawa istri dan
anaknya pulang. Mereka tidak akan berpisah.
"Kami sudah memaafkanmu, Vania," itu kata-kata pertama yang akan
diucapkannya begitu bertemu dengan istrinya. Lalu dia akan menyod
orkan sebungkus tisu. Atau Vania lebih memilih dada suaminya" Di sana dia akan
menumpahkan tangisnya" Tetapi ketika Aries tiba di Bagian Kebidanai
pagi itu, Vania sudah tidak ada. Bayinya juga
ikut lenyap. "Mereka sudah pulang," kata perawat yang tadi malam menemaninya. Dia
mengawasi Aries dengan heran. "Masa Bapak tidak tahu""
Aku memberi mereka waktu tiga bulan, pikir Aries bingung. Karena itukah
Vania pergi tanpa menungguku lagi" Bukankah dia tidak tahu aku sudah
memaafkannya" Bergegas Aries menyusul Vania ke rumahnya. Tetapi rumah itu kosong.
Sudah dijual, kata tetangganya. "Rumah sudah kujual untuk membayar biaya
operasi." Itu kata-kata Vania kemarin.
Vania memang sudah melunasi semua tagihan rumah sakit. Barangkali dia
enggan memakai uang ayah Aries. Itu memang sifat Vania. Tetapi... ke mana
dia pergi" Dia tidak punya keluarga. Di mana dia harus menumpang" Apalagi
sekarang dia membawa seorang bayi!
Namun Aries belum sempat mencari anak-istrinya. Karena saat itu juga dia
mendapat te^-lepon dari kakaknya.
"Lekas pulang, Ries," suara Taurina terdengar sangat serius. "Tadi malam
Ayah masuk rumah sakit. Stroke."
* * * Tiga bulan Aries menunggu kabar. Tetapi Vania tidak mengirim kabar sama
sekali. Dia menghilang begitu saja. Lenyap bersama bayinya.
'Tidak tahu," kata Arifin sama bingungnya. "Dia tidak pernah kembali.
Warnetnya ditinggal begitu saja."
Aries merasa Arifin tidak bohong. Dia sama tidak tahunya dengan dirinya.
Vania memang sengaja tidak memberitahu siapa pun. Supaya Aries tidak
dapat melacaknya. Dia kabur bersama bayinya. Menghilang entah ke mana.
Aries merasa dibohongi. Hatinya sakit sekali. Lebih-lebih akibat teleponnya
tengah malam buta itu, ayahnya mendapat serangan stroke. Mungkin Bapak
marah sekali. Dan pembuluh darah otaknya pecah.
Bapak memang sudah lama mengidap tekanan darah tinggi. Tetapi Aries
tidak dapat menyingkirkan perasaan bersalah yang membebani hatinya.
Ayahnya lumpuh gara-gara perbuatannya. Menyalahi janji yang sudah
dibuatnya sendiri. Hanya demi Vania. Demi perempuan yang tidak dapat
memegang janjinya. Perempuan yang telah mengkhianati kebaikannya.
"Semua gara-gara kamu, Ries." Seperti belum cukup perasaan bersalah yang
menggayuti hatinya, Taurina masih menambahinya dengan beban yang lebih
berat lagi. "Ketika kamu menelepon, Bapak marah sekali."
264 Semua memang salahku, desah Aries getir.
Tak terasa air mata menggenangi matanya ketika dia melihat ayahnya
terbaring lemah di atas tempat tidur.
Ayah yang selalu tampil kokoh. Kuat. Garang. Berwibawa.
Kini dia terbaring tak berdaya bagaikan mayat. Mukanya pucat. Tak kuasa
menggerakkan separo tubuhnya. Tak mampu mengucapkan sepatah kata
pun. Di mana Titah Bintang Dewabrata yang gagah perkasa" Yang menguasai
hidup-mati ratusan karyawan di pabrik rokoknya"
"Ampuni Aries, Pak," bisik Aries di tepi pembaringan ayahnya. Dia berlutut
sambil mencium tangan ayahnya dengan air mata berlinang. "Suatu hari
Bapak pasti mengerti mengapa saya melakukannya." Bibirnya bergetar ketika
mengucapkan kata-kata itu. "Aries menyayangi anak kami seperti Bapak
menyayangi Aries. Saya tidak mau dia kehilangan ibunya. Aries janji akan
membawa mereka menemui Bapak. Kami akan berlutut memohon ampun.
Tapi tolong, Pak, tolong jangan biarkan kami berpisah. Kami ingin membina
keluarga yang bahagia. Seperti keluarga kita."
Ayahnya tidak mengucapkan sepatah kata pun. Matanya pun tetap terpejam.
Tapi dalam diamnya, Aries percaya, Bapak dapat mende-
ngar kata-katanya. Dapat memahami permohonannya. Mungkinkah Jdm
Bapak mau mengabulkan permintaannya"
Aries sudah berjanji akan membawa anak-istrinya untuk memohon ampun.
Tetapi kali ini pun Aries tidak dapat memenuhi janjinya. Dia tidak dapat
membawa mereka memohon ampun di depan orangtua-nya. Karena Vania
telah menghilang. Sia-sia Aries menunggu di depan bekas rumah mereka. Karena rumah itu
telah dijual. Dan pembelinya tidak tahu ke mana Vania pergi-
"Seharusnya dari dulu kamu sadar, perempuan itu cuma sampah.'" geram
Sagitaria sengit Dia kesal sekali ketika untuk kesekian kalinya Aries tidak dapat memenuhi
janjinya di depan ayah mere
ka. Gara-gara perempuan mu-rahan itu Bapak
lumpuhi Sagitaria tidak pernah menyukai ayahnya. Seumur hidupnya dia selalu
merasa diperlakukan tidak adfl. Bapak lebih menyayangi adik bungsunya.
Lebih memanjakan Aries. Semuanya seolah-olah hanya untuk putra
kesayangannya. Satu-satunya anak laki-Iakinya. Putra Mahkota Kerajaan
Rokok-nya. Tetapi tidak menyukai bukan berarti tidak menyayangi. Jauh di dalam
hatinya, Sagitaria tetap mencintai ayahnya. Dan dia baru menyadarinya pada saat Bapak
kehilangan kegarangannya. Kekuatannya. Kekuasaannya.
Justru pada saat ayahnya sudah menjadi manusia invalid, Sagitaria sadar, dia
menyayanginya. Karena itu dia marah sekali pada adiknya. Karena itu pula
dia mengabulkan permintaan ibunya untuk menikah. Padahal selama ini,
mana pernah dia memikirkan laki-laki"
Gilang Samudra, satu-satunya pria yang dikaguminya, sudah
meninggalkannya. "Aku tidak tahan lagi, Gita," katanya sebagai salam perpisahan. "Di
sampingmu, aku selalu merasa bodoh. Merasa tak berharga. Tak berguna.
Menghadapimu aku seperti berhadapan dengan komputer. Bukan calon istri."
Omong kosong, geram Sagitaria gemas. Itu cuma alasan basi! Alasan yang
dicari-cari. Bilang saja terus terang, kamu sudah bosan! Kamu sudah
menemukan gadis yang lebih muda. Lebih cantik. Lebih dungu! Lebih
gampang dibohongi! Puah! Dasar laki- laki!
"Kabulkanlah permintaan ayahmu, Gita," pinta ibunya untuk kesekian
kalinya ketika ayahnya divonis lumpuh sebelah. "Permintaan yang tak
pernah diucapkannya di depanmu. Dia ingin melihatmu menikah.
Kabulkanlah keinginannya yang terakhir. Mumpung masih sempat." "Tapi di
mana saya harus mencari suami,
Bur keluh Sagitaria jengkel. "Saya kan tidak bisa membelinya di toko
komputer atau di showroom mobil!"
"Kamu tidak keberatan kalau Ibu yang cari""
Dicarikan suami" Aduh! Sagitaria tersinggung berat! Dicarikan suami seperti
PTIL" Perawan tidak laku"
.Bagaimana cara Ibu mencarikan suami untuk anaknya" Pasang iklan"
Promosi dari mulut ke mulut" Menggunakan jasa makcomblang"
"Tidak usah," sergah Sagitaria gemas. "Saya bisa cari sendiri!"
Tapi mencari suami untuk wanita karier yang sukses berumur tiga puluh
lima tahun tidak semudah mencari pekerjaan yang menantang. Atau mencari
mitra kerja yang cocok. Atau karyawan yang bonafide.
Sagitaria sudah hampir putus asa ketika suatu hari dia bertemu dengan
seorang pria yang pada pandangan pertama sama sekali tidak masuk
nominasi. Rangga Budi Handoko sudah berumur lima puluh satu tahun ketika
berjumpa dengan Sagitaria dalam sebuah seminar. Tidak ada yang membuat
Sagitaria tertarik secara fisik. Tetapi pria itu teman diskusi yang sepadan.
Mereka sama-sama sarjana ekonomi Punya minat yang sama di bidang
industri makanan dan minum-
an. Punya hobi yang sama pula di lapangan
golf. Ada satu hal lagi yang membuat Sagitaria uba-riba merasa tertarik kepada
pria yang satu ini. Dia meiruhki perusahaan air mineral dalam botol yang
hampir bangkrut. Dan semangat Gita tergugah untuk membangkitkannya
kembali. Lalu dia ingat permintaan ibunya. Dan semuanya berlangsung singkat.
Mereka tidak perlu waktu lama untuk mengekalkan hubungan mereka dalam
sebuah pernikahan. Karena Rangga sangat mengagumi Sagitaria. Bukan
fisiknya. Tapi kecerdasannya.
Lagi pula saat itu ayahnya sudah sakit-sakitan. Jantungnya lemah. Ginjalnya
bermasalah. Rangga ingin secepatnya menikah. Supaya ayahnya masih
sempat melihat istrinya. Jadi Rangga memberanikan diri melamar Sagitaria. Dan mereka menikah
hanya tiga bulan sebelum ayah Rangga meninggal.
Taurina menikah enam bulan setelah kakaknya. Tetapi dia menolak rencana
suaminya untuk pindah ke Surabaya. Dia ingin mendampingi adiknya
memimpin perusahaan yang ditinggalkan ayahnya.
Memang sejak ayah mereka sakit, Aries yang menggantikannya memimpin
perusahaan. Dan dia sangat membutuhkan bantuan Taurina.
Setelah ayah mereka meninggal, Aries juga mengajak kakak sulungnya untuk
bersama-sama memimpin perusahaan mereka. Tetapi Sagitaria lebih tertarik
mengelola perusahaan suaminya. Perusahaan yang sudah berjalan lancar
tidak menarik minatnya lagi. Tetapi perusahaan yang hampir bangkrut
just ru membangkitkan semangatnya. Seperti ada tantangan baru
menghadang di depan mata.
Karena itu Sagitaria memilih mendampingi suaminya memimpin perusahaan
mereka sambil tetap menjabat CEO di perusahaan minyak goreng. Dia
menetap di Jakarta. Jarang pulang karena kesibukannya.
Tetapi suatu hari tiba-tiba dia pulang ke rumah. Dia membawa selembar
foto. Foto yang membangunkan Aries dari mimpi buruknya.
* * * Empat tahun Aries memendam sakit hati Dendam. Sekaligus rasa malu.
Dia merasa ditipu. Dibohongi. Dikelabui. Oleh wanita yang dicintainya. Orang
yang sangat dipercayainya.
Memang hanya Sagitaria yang berani terang-terangan mengejek
kebodohannya. Tetapi Aries tidak dapat menyingkirkan perasaan itu dari
hatinya. Semua orang mencemooh kebodohannya.
Ditipu perempuan. Dikelabui istri. Dasar lelaki goblok! Lelaki lemah!
Lihat bagaimana cara pembeli rumah Vania menatapnya. Dia bukan hanya
bingung karena Aries datang mencari anak-istrinya. Dia tidak mengerti
mengapa ada suami sedungu itu!
Ingat pula bagaimana sikap Arifin ketika Aries mencari Vania ke kampus.
Mula-mula dia memang ikut bingung. Tapi belakangan dia mencemooh.
"Memang dia tidak bilang mau pergi" Wah, suami apaan kamu!"
"Jadi lelaki mesti tegas!" gerutu ibunya jengkel. "Supaya tidak dilecehkan
istri!" Kalau ayahnya masih bisa bicara, entah cacian apa lagi yang diterimanya.
Hanya Taurina yang tidak ikut memaki. Tetapi Aries yakin, dalam hatinya
kakaknya menyesalinya juga. Kamu terlalu lemah sebagai lelaki! Makanya
dikurang-ajari cewek! Siang hari Aries menenggelamkan rasa malunya di balik kekerasannya
sebagai pemimpin perusahaan. Dia tampil tegar. Garang. Sulit diajak
kompromi. Karyawan yang malas dipindahtugaskan. Yang tidak berprestasi di-PHK Yang
terlalu santai diberi peringatan keras.
Aries semakin berubah tatkala tiga tahun kemudian ayahnya kena serangan
stroke yang kedua. Kali ini dokter tidak berhasil menyelamatkan jiwanya. Titah Bintang
Dewabrata meninggal dalam pelukan istrinya. Di tengah-tengah anak-menanrunya.
Ketika menyadari ayahnya sudah pergi, Aries semakin didera perasaan
bersalah. Bapak tak akan pernah sempat lagi melihat anaknya. Tak sempat
lagi melihat Aries menepati janjinya. Bapak sudah keburu pergi.'
Sekarang apa pun yang dilakukan Aries tak ada artinya lagi bagi ayahnya.
Karena Bapak sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi. Perceraian Aries
sekalipun tak dapat lagi membuatnya bahagia.
Jadi tak ada lagi yang dapat kulakukan untuk ayahku, sesal Aries setiap saat.
Kecuali melanjutkan kariernya sebagai pemimpin perusahaan. Memajukan
pabrik rokok yang sudah menjadi separo hidupnya/
Karena itu Aries menempa dirinya menjadi pengganti ayahnya. Dan untuk
menggantikan ayahnya, dia harus mengubah sikapnya. Mengubah
penampilannya. Mengubah sifatnya.
Tetapi jika orang-orang mengira perubahan sifatnya adalah titisan sukma
ayahnya yang sudah meninggal, mereka keliru. Aries berubah drastis sebagai
reaksi pembelaan diri. Karena tanpa membungkus dirinya dengan tameng
itu, dia sudah lama hancur.
"Dia sudah berubah," desis Taurina antara kagum dan heran kalau dia
sedang menyaksi-Jcan adiknya memimpin rapat. "Dia berubah sangat cepat!"
Hanya Aries yang tahu, kalau malam dia menjelma kembali menjadi Aries
yang emosional. Aries yang memimpikan anaknya. Mendendam kepada
istrinya. Sekaligus merindukannya.
Empat tahun dia memendam perasaan itu sampai suatu hari Sagitaria
melemparkan sehelai foto ke atas meja tulisnya.
"Masih kenali bidadarimu"" sindirnya sarkastis sekali. "Atau aku yang sudah
harus ganti kacamata""
Memang Sagitaria belum pernah melihat Vania. Tetapi dia sering melihat
fotonya di kamar Aries. Dan Sagitaria wanita yang sangat cerdas. Daya
ingatnya kuat. Apalagi perempuan itu belum banyak berubah.
Rupanya hidupnya bahagia, gerutu Sagitaria sengit. Menipu sana menipu
sini. Mengelabui setiap pria bodoh yang lewat di depannya! Ma-kanya dia
awet muda! Tampangnya hemat!
BAB XIX ARVAN suka sekali membantu ibunya menyiapkan sarapan. Dia sudah bisa
meletakkan air jeruk yang diperas lininya di atas meja. Menuang susu ke
dalam mangkuk berisi cornflakes. Mengambil roti bak
ar yang melompat keluar dari toaster dan menaruhnya di piring ayahnya. Meskipun untuk
melakukan semua, itu dia harus memanjat ke atas kursi.
Dia juga suka sekali duduk di atas benchtop granit dekat kompor. Menonton
Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ibunya membuat omlet Vania membiarkan anaknya sekali-sekali membantunya. Mengocok telur.
Sebenarnya bukan mengocok. Cuma mengaduk-aduk. Me-
T masukkan irisan bawang, keju, jamur, dan ham ke dalam adukan telur itu.
Lalu dengan susah payah karena agak berat untuk anak seumur dia,
menuangkannya ke tempat mendadar telur.
Beberapa kali telurnya tumpah. Berceceran ke lantai. Sekali malah
cambungnya ikut jatuh. Pecah berderai. Tetapi Vania tidak pernah
memarahinya. Dia malah tersenyum melihat kelucuan anaknya.
"Ma! Mangkoknya pecah!" teriak Arvan dengan mata membulat sebesar
kelereng. Arvan memang bukan hanya lucu. Dia pintar. Rajin. Suka membantu ibunya.
Meskipun sering kali lebih banyak merepotkan daripada membantu.
Setiap pagi Arvan menolong ibunya. Dia mau melakukan apa saja yang
dikerjakan Mama. Dia bahkan sudah bisa mengambil koran dan
meletakkannya di atas meja tempat ayahnya duduk.
Sejak ayahnya pergi, dia tetap melakukannya. Tetapi setiap kali menaruh
koran itu, dia menoleh ke arah ibunya dan mengajukan pertanyaan yang
sama. "Nanti Papa pulang ya, Ma""
"Belum tahu, Sayang. Mungkin Papa masih repot."
"Papa naik mobil, Ma""
"Enggak dong. Papa naik kapal terbang. Kan mesti nyeberang laut. Mobil
nggak bisa berenang, kan""
"Tapi yang balusan blenti di depan mobil, Ma. Pasti Papa."
Tanpa dapat dicegah lagi Arvan berlari dari dapur ke ruang tamu. Vania
tergopoh-gopoh mengangkat telurnya dan mematikan kompor.
Saat itu terdengar pintu diketuk. Tanpa ragu-ragu Arvan menyeret kursi.
Memanjat dengan gesit Dan membuka kunci pintu.
"Arvan!" seru Vania sambil berlari keluar dari dapur. "Tunggu! Jangan dibuka
dulu!" Terlambat. Arvan sudah melompat turun dan membuka pintu.
Vania tiba tepat di belakangnya ketika daun pintu terbuka lebar. Dan
matanya terbelalak kaget mengawasi pria yang tegak di hadapannya.
"Halo, Vania," sapa Aries dingin. "Atau aku harus memanggilmu Catalina""
Rudi tidak menyangka foto yang diperlihatkannya kepada kakaknya akan
membawa petaka. Dia malah gembira ketika keesokan harinya Rangga
memberi harapan. "Gita suka sekali sama anakmu," katanya
lega. "Dia malah meminjam fotonya. Katanya untuk ditunjukkan pada
keluarganya." Rudi juga ikut lega. Dan tidak sempat berpikir untuk apa istri Rangga yang
judes itu meminjam foto anaknya. Malah membawanya untuk diperlihatkan
kepada keluarganya segala" Kan tidak mungkin mereka tertarik untuk
menjadikan Arvan bintang iklan rokok mereka"
"Hari ini aku akan membawamu ke pabrik," sambung Rangga bersemangat.
"Akan kuper-lihatkan padamu hasil karya istriku. Gita memang hebat sekali.
Pabrik kita maju pesat, Rud."
"Aku lebih suka ke kuburan Ayah saja," sahut Rudi lesu. Untuk apa melihat
pabrik" Dia hanya ingin melepas haknya atas pabrik dan ramah warisan
Ayah. Lalu membawa uangnya untuk Catalina....
Ah, rasanya rindunya kepada Catalina dan Arvan hampir tak tertahankan
lagi. Kalau urusan warisan ini cepat selesai, dia bisa pulang secepat-cepatnya....
"Kan kemarin sudah," bantah Rangga kecewa. "Sejak datang kamu sudah tiga
kali ke kuburan Ayah. Mendingan hari ini kita ke pabrik." Mumpung Gita
tidak ada. Dia sedang mengunjungi adiknya.
"Aku tidak tertarik pada pabrikmu."
"Cuma pada sahammu"" sindir Rangga kecewa.
"Mas tidak usah membeli sahamku," K\x6i menghela napas berat. "Tidak
usah menjual rumah ini. Beri saja aku uang, Mas. Berapa saja. Dan semuanya
akan menjadi milik Mas Rangga. Jika Mbak Gita ingin kita ke notaris..."
"Kenapa harus buru-buru begini, Rud"" desah Rangga bingung. "Kesannya
kamu seperti cuma mau meraup uang warisan Ayah...."
Tapi aku tidak punya waktu lagi, ratap Rudi dalam hati. Aku sedang
berlomba dengan maut! Haruskah aku berterus terang pada Mas Rangga" Atau... dia justru takut
uang warisan Ayah jatuh pada tangan yang tidak berhak" Uang itu hanya
numpang lewat. Rudi tidak sempat mencicipinya karena dia keburu mati!
Tapi... apa dia punya pilihan lain" Ca
talina menolak pulang ke Indonesia.
Artinya mereka tidak bisa menikah. Rudi tidak dapat mewariskan miliknya
kepada mereka. Satu-satunya jalan hanyalah menjual seluruh miliknya. Di Indonesia dan di
Australia. Lalu memberikan uangnya kepada Catalina.
Dengan uang sebanyak itu, Rudi yakin Catalina dapat melanjutkan hidupnya
bersama Arvan. Dia tidak usah takut lagi kekurangan uang.
Tak terasa air mata Rudi meleleh ketika membayangkan mereka. Dua orang
yang paling dicintainya. Mula-mula Catalina memang masih menjaga jarak. Ketika pindah ke
rumahnya, dia meirdhh tidur bersama anaknya di kamar lain.
Rudi tidak pernah memaksa. Dia membiarkan semuanya berlangsung seperti
apa adanya. Seperti air mengalir. Tenang. Pasti. Namun menghanyutkan.
Delapan bulan mereka hidup serumah tapi tidak sekamar. Catalina sibuk
mengurus rumah dan merawat bayinya. Dia melayani Rudi makan. Mencuci
pakaiannya. Menyiapkan semua keperluannya. Tapi tidak ikut masuk ke
kamar tidurnya. Sampai suatu hari, pada ulang tahun Arvan yang pertama, terjadi perubahan.
Perubahan yang sangat diharapkan Rudi. Yang sudah lama dirindukannya.
Tetapi tidak pernah berani diungkapkannya.
Hari Jumat petang sepulangnya dari kantor, Rudi membawa Catahna dan
Arvan ke Central Coast. Mereka menuju ke Pantai Ettalong, kira-kira
sembilan puluh menit perjalanan dengan mobil dari Sydney.
Hari itu cuaca buruk. Hujan deras mengguyur Sydney. Jarak pandang hanya
setengah meter. Meskipun cuaca masih cukup terang karena baru pukul lima
sore. Sejak berangkat dari rumah, lalu lintas sufa macet Maklum akhir minggu.
Hujan lebat pula. Semua mobil harus merangkak. Pasti sangat menyebalkan
untuk pengemudi lain. Te-tapi buat Rudi, inilah kebahagiaan terbesar yang
pernah menyinggahinya hampir sebelas tahun terakhir ini.
Sejak istri dan anaknya tewas dalam kecelakaan mobU, Rudi tidak pernah
lagi berwisata ke luar kota. Akhir minggunya dihabiskan bersama teman-temannya di pub. Atau di kafe.
Rudi bukan pemabuk. Bukan pecandu kopi. Tapi mengobrol selama tiga-empat jam bersama teman-temannya menghilangkan kenangan atas sebuah
tempat yang pernah disebutnya rumah. Semenjak istri dan anaknya tewas,
tempat itu tidak ada lagi. Dan rumah hanya menjadi kandang untuk
membaringkan kepala. Lalu tiba-tiba, muncul seorang bidadari yang laksana terbuang dari
swargaloka. Bidadari yang terdampar di mayapada bersama seorang bayi
lemah yang membutuhkan perlindungan sepasang lengan yang kokoh.
Semangat Rudi seperti terbangun kembali. Dia seperti disentakkan dari tidur
yang lama. Rumah yang sudah lama hilang kini menjelma kembali. Hangat
Tenteram. Membelai. Pulang kerja, Rudi tidak usah lagi melarikan diri ke kafe. Atau
menenggelamkan diri di an-
tara busa alkohol. Dia malah selalu ingin buru-buru pulang. Karena di
rumahnya kini menanti seorang wanita cantik dengan senyum lembut dan
sapaan hangat. Ada lagi hiburan yang membuat Rudi semakin keranjingan di
rumah. Arvan. Kalau dilihat satu per satu, tidak ada bagian yang menarik dari wajah bayi
itu. Kepalanya besar. Rambutnya jarang. Rahangnya empat persegi. Dagunya
bercelah. Pipinya tembam. Mulutnya lebar. Hidungnya besar. Matanya bulat
dan agak menonjol seperti mata ikan mas-koki. Tapi kalau dijadikan satu,
mengapa dia justru tampak sangat lucu"
Belum lagi tingkahnya yang menggemaskan. Senyumnya yang menggoda
menantang kecupan. Tawanya yang terkekeh manja. Pipinya yang montok
minta dicubit. Pokoknya semua membuat orang yang menggendongnya tidak
mudah untuk melepaskannya lagi.
Sekarang bukan hanya Catalina dan bayinya yang membutuhkan tempat
untuk menumpang. Rudi juga membutuhkan mereka untuk menyemarakkan
hidupnya. Dengan mereka di sampingnya, tak ada kesepian yang terlalu menyiksa. Tak
ada kesibukan yang terlalu melelahkan. Bahkan tak ada kemacetan yang
terlalu menjemukan. Rudi bergurau terus sepanjang jalan. Sekali-
sekali Catalina tertawa menyambut kelakarnya. Sementara di bangku
Kuil Atap Langit 1 Jaka Sembung 5 Air Mata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur Back To Libur 2
Benarkah itu pertanda dia sudah membuka halaman baru"
Tetapi dia tidak mau makan dengan Arifin. Tidak selama dia masih menjadi
istri Aries. Jadi ditolaknya ajakan Arifin dengan tegas. "Lain kali." "Kapan""
"Pokoknya lain kafi."
Dan sesudah Arifin pergi, dia cepat-cepat melangkah ke kantin.Apa yang
dilihatnya benar-benar membuat sakit hati.
Aries sedang makan berdua dengan Ram.
192 Dan untuk pertama kalinya setelah prahara itu melintas,dia melihat Aries
tersenyum'. 0,betapa dia merindukan senyum itu! Dan Vania memkmatinya walaupun
Aries bukan tersenyum kepadanya!
"Benar kan dia lagi makan sama si Rani"" goda Arifin dari belakang
tubuhnya. Entah bau apa yang dipancarkan tubuhnya sampai kucing ini
terus membuntutinya."Digebuk si Agung baru tahu rasa dia.Guntur kan
sudah tidak bisa lagi membelanya!" Karena sudah telanjur kepergok,Vania
terpaksa meneruskan langkahnya masuk ke kantin.Dia menuju ke lemari
pendingin dan mengambil sebotol air mineral.
"Itu Vania!"cetus Rani dengan perasaan tidak enak.Bagaimanapun dia tahu
Vania masih istri Aries. Dia seperti ketahuan mencuri barang orang."Hai,
Van!" "Hai,"sahut Vania tawar.Dia hanya menoleh sekilas.Membawa botolnya ke
kasir. Dan membayarnya. "Lagi ribut""tanya Rani heran kepada Aries. "Kok Vania kayak tidak
mengenali suaminya sendiri"" "Biar saja,"sahut Aries acuh tak acuh."Bagaimana"Jadi nonton nanti
sore"Kujemput di rumah"" Sekarang Rani menoleh ke arah Vania de-
ngan bingung.Dia sedang melewati meja mereka.Dan Aries seperti sengaja
mengeraskan suaranya.Tetapi Vania lebih mengherankan lagi.Dia terus saja
melangkah seperti orang budek.Tidak peduli suaminya sedang mengajak
perempuan lain nonton. "Kamu tidak sedang memperaiat aku untuk memancing kecemburuan
istrimu,kan"" desak Rani curiga.
"Kami sudah hampir bercerai." Terus terang,Aries kelepasan. Dia tidak mau
orang lain tahu masalah keluarganya. Termasuk Rani.
Tetapi ketika melihat Vania berhenti melangkah,ketika melihat tatapan
matanya yang getir, entah mengapa Aries jadi tidak menyesal.Malah
tergugah untuk menikam lagi. Padahal kata siapa hanya hati Vania yang
sakit" Hatinya sendiri sudah berdarah-darah.' Rani melongo bingung.
"Bercerai""dia menggagap antara kaget dan gembira.Jadi Aries tidak main-main. Dia serius ingin mengencaninya karena sudah hamir bercerai! "Hanya
menunggu sampai anak kami lahir." "Anak"" Rani terenyak. Tambah
kalut."Vania hamil"Dan kalian mau bercerai" Kenapa"Bayi ini bukan
anakmu"" "Anak siapa lagi""geram Aries gemas. "Ya anakku!"
"Lalu kenapa harus bercerai"" "Sejak kapan kamu jadi penasihat
perkawinan""tukasnya bosan. Dan berita itu menyebar cepat seperti wabah.
Dalam hitungan jam saja sudah menulari telinga Arifin.Dia tergopoh-gopoh
masuk ke warnet Vania. Tidak perlu ngomong!"potong Vania dingin. "Beritamu sudah basi."
"Serius, Van! Kamu hamil""Jadi karena itu Vania pergi ke klinik bersalin! Dia
hamil! Seluruh pelanggan yang sedang menyewa komputernya bersorak riuh.
"Happy hour nih!" cetus Dian gembira. "Gratis satu jam ya,Van""
"Gratis kepalamu!"gerutu Vania jengkel.
"Lho! Kok malah kesal""
"Nggak lihat Aries lagi ngebakso sama si Rani""bisik Tato.
"Istrinya hamil dia malah kembali ke kebiasaan lamanya""dumal Dian gemas.
"Makanya jangan salah milih suami, Dian! Pilihlah aku!"
"Ada pilihan lain""Dian tersenyum menggoda.
"Kamu punya pilihan""desak Tato agresif. Wah,bisa jadi cinta warnet nih.
"Aim ingin bicara,Van,"bisik Arifin serius.
"Empat mata." "Mana bisa"Kamu kan pakai kacamata!"
"Jangan main-main.Kamu pasti tidak mau aku baca siaran berita di sini!"
"Peduli apa" Kamu bacakan di halaman kampus juga masa bodo amat!"
"Benar kalian mau cerai setelah anakmu lahir""
* * * Entah karena shock,entah karena kandungannya memang terganggu, sore itu
Vania mengalami perdarahan.Arifin yang membawanya ke dokter.Lalu
dengan gemas dia menelepon Aries.
Saat itu Aries sedang membawa Rani ke bioskop.Untung mereka masih
duduk makan popcorn di ruang tunggu.Jadi ponsel Aries belum dimatikan.
"Vania perdarahan!"dengus Arifin gemas. "Kamu di mana sih""
Yang terpikir pertama kali oleh Aries, Vania sengaja
melakukannya.Barangkali dia jengkel. Panas.Marah.Dia mencoba membalas
dengan menyakiti a naknya. "Sialan!"geram Aries sengit.
"Kenapa"" sergah Rani kaget.
"Kamu di sini saja.Nanti aku kembali."
"Nonton sendirian maksudmu"" belalak Rani
101~ gemas."Ada apa,Ries" Kamu lupa janjimu" Ada kencan kedua""
Aries tidak menjawab.Dia sudah menghambur keluar.Dan Rani bergegas
mengikutinya. Tentu saja dia tidak mau ditinggal sendiri. Bukan karena takut
digigit kutu busuk sendirian.Tapi karena dia ingin tahu ke mana Aries pergi.
Rani baru tenang ketika melihat Arifin sedang duduk di ruang tunggu dokter
kandungan. "Vania kenapa""tanyanya seolah-olah Arifin yang paling tahu."Keguguran""
"Sudah setengah jam dia di dalam," sahut Arifin tegas.Mendadak dia
bersikap seperti suami Vania."Dokter sedang menolongnya.Perdarahan
banyak juga. Untung aku cepat membawanya kemari.Suaminya sendiri lagi
enak-enakan pacaran lagi!"
"Bukan salahku!Kata Aries mereka sudah hampir bercerai!"
"Ah,kamu terlalu lugu! Itu kan lagu basi lelaki yang sudah bosan sama
istrinya!" "Mungkin anak di perut Vania bukan anak Aries!"
"Kalau begitu, buat apa Aries terbang kemari"Kamu nggak lihat gugupnya
dia!" Aries memang gugup sekali.Ketika dia ma suk ke ruang praktek Dokter Gani,
benda apa saja yang menghalangi ditubruknya. Ketika dia duduk,barang berjatuhan
dari atas meja talis. Dokter Gani sampai tergopoh-gopoh menangkapi
barang-barangnya. "Osteum uferi-nya belum terbuka,'' kata Dokter Gani cepat-cepat.Khawatir
kamar praktek nya keburu runtuh."Kandungannya masih dapat
dipertahankan.Minum obat yang saya berikan.Dan suruh dia istirahat di
tempat tidur." "Anak saya tidak apa-apa,Dok""desak Aries cemas.
Dokter Gani menunjuk gambar USG di monitor.
"Sampai sebegitu jauh,tidak tampak ada kelainan."
Aries menatap foto anaknya dengan terharu.
Papa akan melindungimu,Sayang, bisiknya dalam hati.Jangan takut.Tidak
seorang pun bisa mengusikmu.Tidak juga ibumu.
Sejak pertama kali melihat gambar USG anaknya,naluri kebapakan Aries
timbul. Kini naluri itu tumbuh semakin kuat.Dia bertekad akan menjaga
anaknya baik-baik. Melindunginya dari segenap marabahaya. Yang disengaja
maupun tidak. Dia membantu Vania turun dari tempat tidur. Dia membimbingnya keluar.
Membantunya 198 naik ke dalam taksi.Tapi bukan untuk me nolong Vania.Hanya untuk
melindungi anak-Lya.Jika Vania mengira Aries melakukannya untuk
dirinya,dia keliru'. "Antarkan Rani, Fin," kata Aries seperti memerintah pegawainya.
"Eh,tunggu dulu!"protes Arifin penasaran. Enak saja!Memangnya dia
siapa""Antar ke mana""
"Tanya saja dia,"sahut Aries seenak perutnya."Dia punya mulut kok."
"Aries!"sergah Rani gemas. Memangnya dia barang"Bisa diserahterimakan
begitu saja" "Sampai besok,Ran,"kata Aries sambil ma suk ke taksi,"Bilang Arifin saja
kamu mau ke mana." "Kurang ajar!"geram Rani dan Arifin berbareng.
"Orang lain makan nangkanya,aku yang ke na getahnya!"dumal Arifin gemas.
"Siapa bilang aku sudah dimakan"" belalak Rani sengit."Kami baru sempat
makan bakso!" Vania terharu sekali melihat perhatian Aries. Untuk pertama kalinya setelah
prahara itu, Aries masuk ke kamarnya.Membantunya naik
199 ke tempat tidur.Dan membukakan sepatunya, Seolah-olah Vania pasien
pascabedah, yang tidak boleh banyak bergerak. Terima kasih,"gumam Vania
lirih. Aries tidak menjawab. Ketika dia hampir melewati pintu, Vania memanggilnya. Aries menoleh.
"Mau menolongku sekali lagi""
Aries tidak menjawab. Tapi dia menunggu.
Tolong ambilkan baju ganti."
Aries kembali masuk ke kamar. Membuka lemari pakaian. Dan tertegun
sesaat ketika melihat foto berukuran 8R yang terpampang di daun pintu
lemari. Foto mereka di atas perahu di Rio Negro. Aries yang menjepretnya. Aries
juga yang menempelkannya di sana.
Dia sedang tertawa lebar sambil memeluk Vania dengan mesra. Senyum
Vania begitu manis. Begitu teduh. Tidak sangka di balik senyum itu
tersembunyi sepotong hati yang kejam!
Dan emosi Aries yang sedang melambung ketika teringat pada kemesraan
bulan madu mereka di Hutan Amazon punah seketika.
Dia merenggut daster Vania dengan sengit. Dan menaruhnya separo
melempar ke atas tempat tidur.
"Bantu aku menukar baju, Ries," pinta VaniT
Sengaja suaranya dibuat terdengar amat
te^ mah. Padahal dia sudah tidak
merasakan apa-apa lagi. Tapi Vania insaf, dia harus menggunakan segala
cara untuk mempertahankan suaminya. Sah saja mempertahankan suami
sendiri, kan" Apalagi di luar sana sudah menanti seekor kobra betina! Siap
mematuk dan menyemprotkan racunnya!
Lalu kata siapa cuma perempuan yang dilahirkan untuk dibohongi" Ternyata
lelaki pun gampang dikelabui!
Aries melepaskan pakaian istrinya dengan hati-hati, seolah-olah Vania
boneka kaca yang rapuh dan mudah pecah.
Vania memejamkan matanya ketika tangan suaminya menyentuh kuhtnya.
Darahnya mendesir. Bulu romanya meremang. Kerinduan menggelegak di
hatinya. Tapi belum sempat dia menikmati sensasi itu lebih lama, bayangan
perkosaan itu kembali menyeruak ke benaknya. Dan dia menggigil jijik.
Tentu saja Aries juga merasakan apa^yang mengharubirukan benak istrinya.
Dia sendiri bukannya tidak terangsang. Kulit istrinya terasa halus dan hangat
menyentuh tangannya. Payudaranya juga tampak lebih padat membeludak.
Mungkin efek kehamilannya, pikir Aries, susah payah menahan gairahnya.
20' Dia hampt melupakan kebenciannya. % sudah terdorong untuk memeluk
istrinya dafl melampiaskan hasratnya ketika tiba-tiba dja merasa Vania
menggigil. Dan entah dari mana Aries tahu, dia sadar, Vania menggigil bukan karena
menahan kerinduan. Dia menggigil karena merasa jijik! Dan kemarahan
menyala lagi di hari Aries.
Karena itukah Vania tega membunuh anaknya sendiri" Karena dia jijik pada
suaminya" Tapi... mengapa" Apa salahnya" Karena dia tidak punya
pekerjaan" Karena dia terlalu dekat dengan Guntur" Karena dia selalu
melindungi temannya" Apakah Vania mengira dia dan Guntur... ah, jahat
sekali dugaannya! Ketika Aries menyentakkan tubuhnya untuk berbalik, Vania memanggilnya
lagi. "Tolong pakaian dalamnya juga, Ries," pintanya gemetar. "Rasanya kotor.
Dari ranjang pasien."
Tentu. Vania memang apik. Pasti dia ingin mengganti seluruh bajunya. Dari
luar sampai ke dalam. Tapi untuk sesaat Aries ragu. Mampukah dia
melakukannya" "Ries.,.." desah Vania lemah ketika dilihatnya suaminya tertegun.
Aries tersentak. Masa dia tidak bisa mengekang nafsunya" Bayangkan saja
hari ketika Vania hampir melakukan aborsi!
Dengan marah Aries kembali ke lemari pakaian. Membukanya dengan kasar.
Mengaduk-aduk pakaian dalam istrinya. Merenggutnya. Dan
melemparkannya ke perut Vania. * Vania tidak minta tolong lagi. Tapi dia
bertindak begitu rupa seolah-olah sulit sekali menggantinya seorang diri.
Dan marah kepada dirinya sendiri, Aries menggeram. Dengan kasar dia
mengoyak baju dalam istrinya. Maksudnya tentu saja supaya cepat. Dia tidak
tahu perbuatannya itu malah mengingatkan Vania pada saat yang paling
kelam dalam hidupnya. Dia memekik tertahan. "Jangan!" desahnya terengah.
"Jangaaan...." Sekejap Aries tertegun. Sebelum kemarahan dan sakit hati
berkobar di matanya. "Kenapa"" geramnya sengit. Takut kuper-kosa""
Kalau tidak ingat keselamatan anaknya, saat itu juga Aries ingin memerkosa
istrinya! Biar dia tahu rasa!
Dan aneh. Vania tidak melawan seperti biasa. Tidak membentak dengan
galak. Mencaci dengan judes. Dia malah menangis tersedu-sedu!
Kenapa dia jadi selembek ini, pikir Aries heran. Reaksi wanita hamil" Dia jadi
lebih perasa" Tanpa berkata apa-apa Aries membantu istri, nya berpakaian. Dia sudah
kehilangan gairahnya. Yang tertinggal di benaknya cuma sebuah tanda tanya.
Dan segebung kemarahan. Kemarahan dan kebingungan yang selama ini membelenggu hatinya.
Memenjarakan cintanya. Siapa bilang dia sudah tidak mencintai Vania" Siapa bilang dia sudah tidak
menghendaki istrinya lagi"
Cinta belum punah dari hatinya. Aries hanya coba memusnahkannya karena
dia marah. Kecewa. Sakit. Istrinya mencoba membunuh anak mereka. Dan
Vania tidak pernah menjelaskan alasannya. Dia tetap membisu.
Merahasiakan motif tindakan sadisnya.
Malam ini dia tambah mendera perasaan Aries. Dia bersikap jijik ketika
suaminya menyentuh tubuhnya!
Perempuan apa yang (hnikahinya ini" Dia sakit apa" Punya kelainan apa"
BAB XIV SELAMA Vania diharuskan tirah baring, Aries melayaninya dengan telaten.
Melayani makan. Mengambilkan obat. Memban
tu ke kamar mandi. Tapi semua dilakukannya seperti tanpa perasaan. Tak ada sikap yang manis. Kata-kata yang ramah. Bahkan pandangan iba.
Vania sudah berusaha mendekati suaminya. Mencoba bermanja-manja.
Bahkan berlaku konyol seperti wanita hamil yang minta perhatian suami.
Misalnya saja dia minta mangga muda. Minta rujak bebek. Bahkan minta
dicarikan rambutan padahal sedang musim mangga. Terang saja Aries
kelimpungan. "Kamu nggak mau anak kita ngiler, kan"' 1 rayu Vania manja. Tentu saja
dengan suara di- 1 buat-buat. Seolah-olah sebentar lagi dia jatuh I pingsan
kalau permintaannya tidak dituruti. Padahal dalam hati dia sedang menahan
tawa.
Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bodohnya lelaki! Lihat bagaimana bingungnya parasnya! Tidak bisa
memenuhi keinginan anak. Padahal jangankan minta rambutan, minta susu
saja anak mereka belum bisa!
Tapi begitulah saktinya wanita hamil. Aries kalang kabut mencarinya ke sana
kemari. "Sori, aku sudah cari sampai ke Pasar Minggu. Tidak ada yang jual rambutan.
Semua pohon sedang tidak berbuah." Dan kebun rambutan di sana sudah
banyak yang jadi rumah! Tentu saja Vania pura-pura mengeluh. Padahal dia sedang bahagia sekali.
Ternyata suaminya masih memerhatikannya. Tentu saja dia tidak tahu, Aries
melakukannya demi anaknya!
Tetapi bagaimanapun, semakin, besar kehamilan Vania, hubungan mereka
semakin dekat. Bagaimanapun Aries berusaha menjauhi istrinya, bersikap
dingin, dia tidak bisa bermasa bodoh lagi. Tidak bisa lama-lama
meninggalkan Vania seorang diri.
Padahal sekarang Aries sudah mendapat pekerjaan di sebuah showroom
mobil mewah. Tentu saja itu jasa ayahnya. Siapa lagi. Kalau tidak, mana ada showroom
yang mempekerjakan seorang karyawan hanya dari pukul dua sampai pukul
lima sore". Pagi sampai siang dia berada di kampus. Melanjutkan kuliahnya di fakultas
ekonomi jurusan manajemen. Sambil diam-diam mengawasi Vania yang
sibuk mengelola warnetnya. Sebenarnya Vania bukan hanya sibuk mengelola
warnet. Dia juga sedang sibuk mengejar ketinggalannya menyelesaikan
skripsi. ' Sejak perbuatan menjijikkan dengan Guntur, Vania memang sulit
berkonsentrasi. Tidak heran kalau skripsinya jadi terbengkalai. Padahal dari
dulu dia menargetkan harus lulus dalam empat tahun. Dan dulu semua itu
tampak mudah. Ternyata dia tidak mampu mengejar targetnya.
Cobaan demi cobaan melanda hidupnya. Perkawinannya berantakan.
Sementara kehamilannya semakin besar juga.
Untung semakin besar kehamilan istrinya, Aries semakin repot. Dan semakin
repot dia, semakin berkurang juga kadar kegarangannya.
Aries selalu mengantarkan istrinya ke dokter. Bersama-sama melihat hasil
USG bayi mereka. Bahkan bersama-sama mengikuti senam ha-maLvg
Semua itu menambah dekat hubungan me-
reka. Membuat Vania gembira. Tapi sekaligus semakin sedih membayangkan
semakin dekatnya hari perceraian mereka.
Karena semakin dingin sikap Aries, cintanya kepada suaminya justru
semakin besar. Dan Vania semakin takut kehilangan.
Bukan hanya takut kehilangan Aries. Sekaligus takut kehilangan bayinya.
Karena semakin besar kandungannya, semakin sering dia merasakan
tendangan lembut di perutnya, semakin tumbuh juga naluri keibuannya.
Kini Vania merasa heran bagaimana dulu dia tega mengenyahkan anaknya
sendiri! Sekarang dia sadar. Aries yang benar. Terlalu kejam membunuh darah
dagingnya sendiri, apa pun alasannya.
Tapi bagaimana mengubah tekad Aries" Kelihatannya dia tetap ingin
menceraikan Vania. Walaupun sikapnya tidak segersang dulu. Walaupun
kadang-kadang dia seperti ingin mengulangi kembali paragraf pertama kisah
cinta mereka. Walaupun bukan hanya sekali-dua dia seperti ingin
berhubungan dengan istrinya.
"Ries," gumam Vania suatu malam, ketika mereka baru pulang mengikuti
senam Lamaze. Senam untuk ibu hamil itu semakin lama membuat mereka
semakin lekat. "Kalau aku memohon maaf padamu, maukah kamu
membatalkan perceraian kita""
208 "Bukan aku yang ingin bercerai," sahut Aries
datar. "Aku tahu, Ries. Aku yang salah," sahut Vania penuh penyesalan. "Tapi tidak
bisakah kamu memaafkan aku"" "Kita bicarakan nanti saja. Sesudah anakku
lahir." Anakku. Aries tidak pernah menyebutnya
anak kita. "Aku sudah menyesali perbuatanku, Ries. Sudah terhukum oleh sikapmu.
Sekarang aku ingin menata kembali perkawinan kita. Tidak bolehkah aku
mendapat kesempatan kedua untuk menjadi istrimu, ibu anak kita""
"Sudahlah," Aries mengembuskan napas jengkel. "Kita bicarakan nanti saja."
"Kenapa kamu begitu benci padaku"" sergah Vania getir.
"Masih perlu tanya" Kamu hampir membunuh anakku!" Dan kamu tampak
jijik kalau didekati suamimu! Imej tubuhmu melukiskannya walaupun
mulutmu berkata lain! * * " Tentu saja Vania tidak tahu alasan Aries yang sebenarnya. Karena sekarang
yang ingin menunda bahkan membatalkan perceraian itu bukan hanya Vania.
Aries juga sudah lama memikirkannya.
Wm 209 :A Bagaimanapun lebih baik anaknya puriv seorang ibu. Dan ibu mana yang
lebih baik dari ibu kandung, walaupun suatu saat dulu dia pernah hendak
menyingkirkannya" Aries tahu Vania sudah menyesal. Dia juga merasa, Vania mulai menyayangi
bayinya. Dan dia tidak mau bercerai. Tidak mau berpisah dengan suami dan
anaknya. Tetapi Aries sudah kepalang janji. Janji kepada ayahnya. Dan janji itu
diucapkan waktu dia memerlukan uang.
Ketika umur kehamilan Vania memasuki dua puluh empat minggu, Aries
terlibat perkelahian dengan Agung. Masalahnya apa lagi kalau bukan
perempuan. Rani mengadu karena diputuskan oleh Aries. Dia merasa dipermainkan. Dan
Agung yang masih mencintainya, bertindak sok pahlawan.
Dia mendatangi Aries. Melabrak. Dan memukulnya.
"Jangan kira kamu bisa mempermainkan Rani seperti cewek-cewekmu yang
lain!" Padahal Aries memutuskan hubungan karena dia ingin konsentrasi pada
kehamilan istrinya. Bukan karena masa pacaran mereka sudah masuk
seratus hari. Perkelahian itu membuat Vania sangat terperanjat. Lebih-lebih melihat
suaminya babak belur dihajar Agung dan teman-temannya.
210 Ketika mereka sudah dipisahkan, Vania bergegas menolong suaminya. Tapi
Aries menying-Irirkannya^ dengan kasar. Bukan karena dia merasa terhina
ditolong istrinya. Tapi karena dia teringat Guntur. Dan ingatan itu merobek
luka di hatinya yang belum sembuh. T^edihan membuat Aries lupa diri. Lupa
siapa yang menghambur ingin menolongnya. Lupa Vania sedang hamil. Vania
terjajar mundur dan jatuh terduduk.
Kaget dan cemas Aries memburu dan membantu istrinya berdiri.
"Perutmu nggak apa-apa"" tanya Aries khawatir.
Vania menggeleng pahit. Hanya kandungannya yang ditanyakan Aries! Hanya
itu yang dipikirkan suaminya! Bayinya. Bukan istrinya. Dia tidak peduli
istrinya jatuh. Tidak menanyakan apanya yang sakit. Minta maaf saja tidak.
Vania ingin membawa suaminya pulang. Untuk mengobati luka-lukanya. Tapi
Aries menolak. Dia memilih berobat di klinik universitas. Dan Vania cuma
bisa mengantarkan Aries ke sana. Itu pun sesudah tujuh kali diusir.
"Buat apa sih ikut"" gerutu Aries jengkel. "Aku kan bukan anak kecil! Nggak
perlu diantar!" "Aku istrimu!" bantah Vania, tak dapat lagi
211 menahan emosinya. "Apa salahnya aku ih,+, klinik"" tk
"Tidak perlu! Aku bisa sendiri! Sana, jig saja warungmu!"
Tapi kah ini Vania membandel. Dia tetap saja membuntuti Aries ke klinik.
Dan Aries tidak bisa apa-apa kecuali mengomel. Klinik itu bukan miliknya.
Siapa pun boleh masuk ke sana.
Baru ketika sedang menunggui Aries diobati, Vania merasa perutnya sakit.
Melihat parasnya yang pucat menahan sakit, dokter menyuruhnya
memeriksakan kandungannya. Vania langsung mengunjungi Dokter Gani.
"Sungsang," kata Dokter Gani sambil mengawasi monitor USG. "Letak kaki,
bukan pang- i gul. Rupanya janinmu ikut kaget."
"Berbahaya, Dok"" Aries mendahului ber- j tanya sebelum Vania sempat
membuka mulut. f "Risiko partusnya jelas lebih besar dari letak j kepala
maupun letak panggul. Tapi jangan kha- j watir. Sebelum tiga puluh empat
minggu, bagi- j an bawah belum terjepit di pintu atas panggul. j Jadi
janin masih dapat berputar kembah." J "Kalau tidak"" sergah Aries
cemas. "Caesar."
"Operasi"" I
Dokter Gani mengangguk santai. I
"Operasi Caesar sekarang risikonya kecil. I
212 I Tidak usah khawatir." Tapi biayanya tetap be-I sar. Dan mereka tidak
punya uang! Karena itu diam-diam Aries pergi menemui ayah
nya untuk meminjam uang. "Anak kami laki-laki," kata Aries seperti membujuk ayahnya. Bukankah itu
harapan Bapak" Anak yang dapat menyambung dinastinya. "Begitu dia bisa
memegang mainan, Bapak boleh mulai mengajarinya melinting rokok."
"Sudah Bapak bilang," sahut ayahnya dingin. "Bapak tidak mau punya cucu
dari perempuan yang tidak ketahuan siapa bapaknya."
"Kami akan bercerai," Aries menggertakkan giginya menahan marah. "Bapak
boleh mem-bariskan seribu perempuan yang sudah Bapak saring kualitasnya
di depan saya. Apa lagi yang Bapak inginkah"" "Kalau begitu buat apa anak
itu lahir"" "Yang Bapak bicarakan itu anak saya!" "Dari ibu yang tidak
ketahuan dari mana asalnya! Anak seperti itu yang kamu banggakan""
"Bapak mau meminjamkan uang atau tidak""
"Kata siapa kamu bisa mengancam ayahmu"" *
"Kenapa sih kalau bicara selalu bertengkar"" keluh ibu Aries. Dia yang paling
berharap anak kesayangannya kembali. Bawa bayi atau tidak,
213 itu urusan kedua. "Arie, akan bercerai, Pak. rJ*.*** "udaj, S "W Aries bisa
n^b^ tata -dab lahir. .Hanya kaJau kamu iSi^^jN keduanya." Suara ts+ r^^j" akan ^ ya-tanrib.^ ^
^ ^dengar\^bavva "hi"rfa*"- dan surat cerai" 1 .
BAB XV TENTU saja Vania tidak tahu. Dia tidak tahu perjanjian Aries. Tidak tahu
bukan hanya dia yang semakin cemas dengan semakin dekatnya hari
kelahiran bayinya. Aries juga.
Vania rela menggunakan segala macam cara untuk mempertahankan
bayinya. Melindungi perkawinannya.
Dia bukan tipe perempuan yang pasrah saja diceraikan, apa pun
kesalahannya. Dan menurut pendapatnya, mempertahankan suami sendiri
sah saja. Bagaimanapun caranya. Apa pun taktiknya.
Jadi meskipun dia sadar tubuhnya sekarang tidak menarik lagi, biarpun ada
orang sakit yang bilang perempuan hamil adalah makhluk yang paling seksi, Vania tidak
malu-malu minta tolong Aries untuk menggosok punggungnya waktu mandi.
Tentu saja Aries tidak menyangka itu taktik Vania untuk merangsang
gairahnya. Dikiranya istrinya memang kesulitan mandi sendiri karena
perutnya yang sudah menggunung.
Baru ketika Vania mengulurkan kedua lengannya dan merangkul lehernya,
Aries sadar apa yang diinginkan istrinya. Tetapi saat itu sudah terlambat
untuk menutup keran gairahnya. Gairah Aries sudah menggelegak. Menjebol
semua pertahanannya. Mengalir deras menggebu seperti semburan magma
dari kawah gunung berapi.
Aries merangkul istrinya dari belakang. Karena tak mungkin lagi
mendekapnya dari depan. Lagi pula posisinya saat itu memang di belakang
istrinya. Aries mencium lehernya, meremas payudaranya, sampai Vania bukan hanya
berdesah. Dia mengerang. Dan Sungai Amazon yang sudah lama kering meluap lagi.
* * * 216 "Aku menyakitimu"" gumam Aris khawatir ketika dia sedang tertelungkup
bertelekan kedua sikunya di samping istrinya.
Vania yang tertelentang di sisinya dengan mata berkaca-kaca hanya
menggeleng lemah. Akhirnya dia berhasil mengenyahkan traumanya. Trauma perkosaan. Dan
perasaan bersalah. Untuk pertama kalinya setelah prahara yang memorak-porandakan rumah tangganya, dia dapat menikmati kembali kebersamaan
dengan suaminya. "Perutmu tidak apa-apa"" Aries mengusap perut istrinya dengan hati-hati.
Vania mengaduh. Bukan karena geli. Tapi karena sentuhan lembut di
perutnya. "Dia membalas salam ayahnya," Vania tersenyum haru. "Kamu harus lebih
sering menyapanya." Aries mencium perut istrinya dengan hangat. Dan gairah Vania meronta lagi.
Tapi Aries menolak. "Takut prematur," katanya sambil berbaring di samping istrinya.
"Ada water lily dalam makanan yang kamu beli tadi"" gurau Vania tanpa
menyembunyikan kebahagiaan dalam suaranya.
"Kalau mau mater lily, kita harus kembali ke Manaus."
"Jagoan kita mesti divaksinasi juga""
217 "Lebih baik aku beli obat di sini saja." Ari^ menyebut nama sebuah obat
perangsang. Mereka sama-sama tertawa geli. Dan riba-riba Aries terdiam. Tawanya
mengambang. Bayi laki-laki. Dan surat cerai. Suara ayahnya riba-riba
menggempur telinganya. Mengiris hatinya.
"Kenapa"" Vania membelai dada suaminya dengan lembut
Aries menghela napas panjang. Tanpa berkata apa-apa dia bangkit dari
tempat tidur. Dan melangkah ke pintu.
Dia tidak m enoleh biarpun Vania memanggilnya. Tidak masuk ke kamar
kembali biarpun setengah jam sudah berlalu.
Akhirnya Vania beringsut bangun dan melongok ke mar.
Dia melihat Aries sedang merokok. Parasnya segelap mendung di luar.
Vania duduk di sebelahnya. Dan tetap duduk meskipun sudah bersin tiga
kali. Dia tidak marah-marah seperti dulu. Tidak mengomel walaupun rumah
penuh asap dan abu rokok berserakan di lantai
"Ada apa"" tanyanya mania, Tidak mau membagi problemmu dengan
istrimu"" Dia sudah berubah, pikir Aries sambil memadamkan rokoknya. Kalau saja
Guntur masih hidup, berubah jugakah sikap Vania kepada-
Tapi bagaimana mengubah sikap Bapak" Bagaimana meralat janjinya,
membayar utangnya" Sekarang Aries tambah yakin, dia masih mencintai Vania. Bagaimanapun
kemarahan dan sakit hati menindas cintanya, cinta itu masih tersisa. Dan
setelah kemesraan yang dialaminya barusan, dia sadar, cintanya masih
sepanjang Amazon. Kalau boleh memilih, sekarang dia juga tidak ingin bercerai. Dia ingin
membina rumah tangga yang bahagia bersama istri dan anaknya.
"Dipecat lagi"" Vania membelai pipi suaminya dengan lembut. "Nggak apa.
Warnet kita hasilnya bagus. Arifin sudah menyanggupi me-wakiliku selama
aku cuti melahirkan." Dan aku sudah menjual rumah ini. Untuk biaya
operasi. "Dia minta apa"" tanya Aries curiga.
Kalau dulu Vania sebal dicemburui, sekarang dia malah ketagihan. Kalau
bisa, besok dia akan minta Arifin membantunya memancing kecemburuan
suaminya! Asal dia jangan takut digebuk!
Karena itu Vania hanya tersenyum. Tidak . mau mengatakan yang
sebenarnya. Arifin mau disuruh menjaga warnet karena dia sedang pacaran
Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan seorang gadis India di New
"Asal aku boleh pakai komputermu. Gratis" kata Arifin malu-malu.
Tentu saja Vania tidaJc keberatan. BeraPa lama sih Arifin tahan e-mail-e-mail-an" Dia kan paling malas menulis surat! Menulis skripsi saja tidak jadi-jadi! Nah, mana sanggup dia berbalas pantun" Apalagi dalam bahasa Inggris!
Melalui operasi Caesar, Vania melahirkan anaknya. Dan ketika pertama kali
melihat putranya, mau tak mau ingatannya kembali ke peristiwa memalukan
itu. Padahal sudah lama Vania berusaha menenggelamkannya ke alam bawah
sadarnya. Tapi hari mi, ketika melihat bayinya, bayangan prahara itu kembali
mengapung ke permukaan. Bayinya hampir tidak mempunyai rambut. Hidungnya besar. Rahangnya
persegi. Dan yang pafing mencolok, ada belahan di dagunya!
Vania takut sekali Aries menanyakannya. Tapi ketika Aries datang ke
kamarnya saat itu Vania sedang menyusui anaknya untuk pertama kalinya
karena ASI-nya baru keluar yang ditanyakannya justru bukan itu.
"Bukankah lebih baik kalau kamu tidak menyusuinya"" suara Aries terdengar
getir. Segetir tatapan matanya yang berusaha disembunyikannya.
Vania yang sedang memandangi bayinya dengan penuh kasih sayang,
mengangkat wajahnya dengan terperanjat.
Sekilas mata mereka bertemu. Dan mereka sama-sama menemukan
kenyerian di mata itu. Sama-sama merasakan sakitnya. Dan sama-sama
tepekur dalam gundah. "Jadi sudah tidak ada maaf bagiku," desah Vania antara kecewa, sakit hati,
dan tidak percaya. Selama ini dikiranya Aries sudah memaafkannya.
Melupakan kesalahannya. Ternyata dia masih menyimpan dendam. "Aku
tetap tidak boleh memilikinya. Sekali berbuat salah, tidak ada jalan untuk
kembali." "Bawalah dia pulang," sahut Aries sambil menahan perasaannya. Dia sendiri
hampir tidak kuasa membendung air matanya. "Kamu boleh tinggal tiga
bulan bersamanya." Bapak pasti marah sekali. Aries sudah berjanji membawa pulang anaknya
begitu dia lahir. Tapi dia tidak tega memisahkan anaknya dari Vania.
Putranya butuh ibunya. Butuh dekapannya. Butuh air susunya.
Jadi dia nekat. Mengizinkan Vania membawa anaknya. Tinggal bersamanya
selama tiga bulan. Lalu mereka harus berpisah. Karena itu perintah Bapak.
Dan Aries sudah berjanji akan mematuhinya. Memenuhi janjinya. Membayar
utangnya. "Kamu tidak ikut pulang"" Vania membiarkar air mata mengalir ke pipinya.
Bahkan meniti]; ke wajah anaknya. "Rela kehilangan tiga bulan
awal.kehidupan anak lata""
"Aku akan datang kembah untuk mengambilnya." Aries mengatupkan
rahangnya er at-erat sebelum melanjutkan dengan suara lirih. "Dan membawa
surat cerai." "Jika aku bersumpah akan melakukan apa pun kehendakmu, jika aku
mencium kakimu memohon ampun," desah Vania sambil menggigit bibir
menahan tangis, "masih adakah harapan untuk membatalkan perceraian
kita"" "Sudahlah," Aries menahan rasa nyeri yang menikam dadanya. "Kita sudah
mengambil ke-putusan. Bawa saja dia pulang."
"Kami harus pulang ke mana"" desis Vania dengan air mata berlinang. "Ke
rumahmu. Ke mana lagi"" "Rumah sudah kujual untuk membayar biaya
operasi." "Batalkan saja. Semua biaya sudah kulu- . nasi."
I Vania tertegun. Aries sudah melunasi biaya operasinya" Dari mana uangnya"
Dari... ayahnya" Bapak bersedia membayar semua tagihan asal mereka
bercerai" Itukah alasan Aries tidak dapat membatalkan perceraian mereka" Padahal
bulan-bulan ter- akhir ini Vania hampir yakin Aries sudah memaafkannya dan tidak ingin
bercerai! Lama dia termenung sebelum membuka mulurnya kembali.
"Boleh mengajukan permintaan terakhir, Ries"" desahnya
lirih. Aries hanya mengangguk. Karena dia khawatir kalau dia membuka
mulutnya, dia tidak mampu lagi menahan tangisnya.
Betapa nyerinya melihat anaknya dalam pelukan Vania. Betapa sakitnya
harus memisahkan mereka. Betapa tersiksanya membayangkan kehilangan
perempuan yang paling dicintainya, sebesar apa pun dosanya! "Aku boleh
memberi nama anak kita"" Aries tidak menjawab. Dia hanya mengangguk.
Lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar. Karena matanya telah
digenangi air mata. BAB XVI Ketika dipanggil ke ruang dokter, Rudi sudah punya firasat jelek. Hasil
pemeriksaannya pasti tidak menggembirakan.
Dia tidak mengerti sama sekali foto-foto scanning yang terpampang di
hadapannya. Tapi dia mengerti apa yang terlukis di wajah dokternya.
"Sudah metastasis ke hati," Dokter Murray menghela napas berat. "Saat ini
rasanya tidak ada lagi yang dapat kita lakukan."
Rudi merasa kepalanya seperti dihantam sebongkah batu karang. Jadi
operasi usus besarnya tujuh tahun yang lalu tidak berhasil mengalahkan
kanker sialan itu. Penyakit terkutuk
itu hanya bersembunyi. Menunggu saat yang tepat untuk menyerang lagi.
Mengobrak-abrik tubuh korbannya. "Tidak ada pengobatan lain, Dokter"" tanya Rudi gemetar menahan rasa
takut yang ber^ campur rasa nyeri di hatinya.
"Kemoterapi yang dapat diberikan saat ini. hanya terapi paliatif. Mengurangi
gejala. Memperpanjang umur. Tapi tidak menyembuhkan."
Rudi tercenung sesaat. Pengobatan apa itu" Memperpanjang umur tapi tidak
menyembuhkan! Berapa lama umurnya bisa ditambal" Sam minggu" Satu
bulan" Satu tahun" Dan selama' kemoterapi dia harus mengalami
penderitaan yang luar biasa. Ah, dia benar-benar bingung. Panik. Putus asa.
"Apa yang harus saya lakukan, Dokter"" desah Rudi
getir. Dokter Murray menggelengkan kepalanya yang botak.
"Carilah saat yang tepat untuk mengatakannya kepada istrimu. Sampai
sekarang dia belum tahu, kan""
Aku tidak sampai hati mengatakannya, keluh Rudi dalam hati. Dari mana
aku harus mulai" Bukankah karena tidak tega mengatakannya, aku menolak
anjuran Dokter Murray untuk kemoterapi" Saat itu, hampir setahun yang
lalu, CEA-nya mendadak melonjak seratus kali ]jpat dari angka normal
CEA adalah angka penanda tumor yang diperoleh dari hasU pemeriksaan
darah di laboratorium. Ketika melihat hasil lab itu, Dokter Murray sudah
khawatir. Tujuh tahun yang lalu, Rudi didiagnosis mengidap kanker usus besar
stadium 2B. Dia menjalani operasi dan kemoterapi. Dokter Murray curiga, sel
kanker dari usus besarnya belum punah seluruhnya dan kini bermetastasis.
Karena itu dia menganjurkan kemoterapi secepatnya.
Tetapi Rudi menolak. Tujuh tahun yang lalu, dia masih seorang diri. Tetapi
kini dia memiliki seorang istri dan seorang anak.
Istrinya tidak tahu tentang penyakitnya. Rudi tidak pernah menceritakannya.
Sekarang pun dia tidak ingin mengatakannya. Tidak ingin merusak
kebahagiaan rumah tangga mereka.
Lagi pula apa gunanya lagi kemoterapi" Kalau operasi saja tidak mampu
mengenyahkan penyakit terkutuk itu, apa lagi yang dapat dilakukan"
Dan inilah risiko yang harus diterimanya. Tidak sampai setahun kemud
ian, sel-sel kanker telah merusak hatinya. Begitu parahnya kerusakan itu sampai
tak ada lagi pengobatan yang dapat dianjurkan dokter.
Sekarang hanya tinggal satu pertanyaan ia-
gi. "Berapa lama lagi, Dokter"" gumam Rudi lesu. Dia merasa matanya panas.
Tetapi ditahannya butir-butir air matanya agar tidak mengm genangi
matanya. Tangis itu bukan untuk dirinya. Tapi untuk istrinya. Untuk anaknya. Karena
mereka akan segera kehilangan orang yang mereka cintai.
Dokter Murray tidak mau menjawab pertanyaannya.
Nikmati saja sisa hidupmu, katanya bijaksana. Bahagiakan istri dan anakmu
selama mereka masih dapat menikmatinya bersamamu.
Banyak yang harus lmlakukan, pikir Rudi murung dalam perjalanan pulang.
Dia melangkah masuk ke dalam bus yang berhenti di depannya. Antrean
yang mengekor panjang di belakangnya mengikutinya masuk ke dalam bus
berwarna biru itu dengan tertib.
Rudi memasukkan karcis berlangganannya ke dalam mesin di samping sopir.
Dia merasa kakinya lemas, karena itu dia tidak mau berjalan jauh ke
belakang. Dia ingin buru-buru duduk.
Rudi memilih bangku di baris kedua dari depan. Karena bangku di deretan
paling depan diperuntukkan bagi orang tua dan penyandang cacat. Dia
mengenakan kacamata hitam untuk
menyembunyikan matanya yang memerah. lalu dia melemparkan
pandangannya ke luar jendela bus.
Saat itu bus mereka melewati Martin Place. Kenangan Rudi kembali pada saat
pertama kali dia melihat istrinya melintas di sana. Dan matanya langsung
berkaca-kaca. * * # Barang-barang belanjaan berjatuhan dari tangannya. Dengan susah payah dia
berjongkok. Memunguti barang-barang yang berserakan di kaki lima dengan
sebelah tangan. Sementara tangannya yang lain memeluk seorang bayi.
Rudi yang baru melangkah keluar dari kan- I tornya buru-buru
menghampiri. "Boleh saya bantu"" tanyanya sopan. Tentu l saja dalam bahasa Inggris.
Karena meskipun I dia tahu perempuan ini berasal dari ras Asia, I saat itu
dia tidak yakin mereka datang dari ne- l geri yang sama. I
Perempuan itu menatapnya sekilas sebelum I mengangguk. Rudi langsung
berjongkok di j dekatnya dan memunguti barang-barang yang I berserakan.
Ada makanan bayi. Diapers. Tisu. I Kapas. Bahkan obat penurun panas. I
"Terima kasih," suaranya perlahan dan agak | bergetar. Padahal saat itu
musim panas. Cuaca I I sangat bersahabat. Angin tidak bertiup. Me-I ngapa suaranya seperti
meredam kebekuan" f Tetapi bagi Rudi, itulah suara termerdu yang
pernah didengarnya sejak istrinya meninggal sepuluh tahun yang lalu.
"Boleh saya antar ke mobil"" tanya Rudi ramah ketika dilihatnya betapa
repotnya menggendong bayi dan barang belanjaan sekaligus.
Perempuan itu menggeleng. Matanya menatap resah.
"Tidak bawa mobil"" Atau tidak punya" Kamu masih muda sekali. Sudah
punya bayi. Pasti berat sekali beban hidupmu. "Naik bus""
Pasti repot sekali. Rudi punya mobil. Tapi karena kantornya terletak di CBD,
pusat kota dan pusat bisnis yang ramai, dia memilih naik bus. Parkir bukan
hanya sulit, sekaligus mahal. Sementara bus di sini murah dan cukup
menyenangkan. Bersih. Tidak perlu berdesakan. Dan hampir selalu tepat
waktu. Tetapi membawa belanjaan sebanyak itu dan seorang bayi" Nanti dulu. Bus
pasti pilihan yang sulit.
Jadi sekali lagi Rudi menawarkan bantuan. Wajahnya yang simpatik.
Penampilannya yang matang. Sikapnya yang ramah. Apa lagi yang diperlukan
seorang wanita muda untuk menerima bantuan dari seorang pria tak
dikenal" Lebih-lebih ketika mereka tahu mereka ber-
asai dari ibu yang sama. Maksudnya tentu saja bukan ibu kandung. Ibu
pertiwi. "Dari Jakarta"" Rudi tertawa Jepas. "Saya juga dari sana/ Kebon Jeruk/ Kamu
dari mana"" Gang Mangga. Tapi ada berapa ratus Gang Mangga di Jakarta" Kenapa orang
Betawi suka menamai tempatnya dengan nama buah" Padahal kebun dan
taman sudah jarang. Karena lebih banyak hutan betonnya.
Tapi di mana pun wanita ini tinggal, peduli apa" Yang penting bukan di
kuburan. Jadi dia bukan keponakan kuntilanak. Dan yang lebih penting lagi,
belum pernah Rudi segembira hari ini.
Sejak istrinya meninggal sepuluh tahun yang lalu, Rudi tetap menduda.
Banyak teman. Tapi tidak punya
pacar. Dia memilih hidup sendiri. Menikah
dengan pekerjaannya. Baru hari ini dia tiba-tiba ingin punya teman intim lagi. Bukan karena wanita
yang baru dikenalnya ini memiliki wajah lumayan cantik. Tapi juga karena
bayi dalam gendongannya. Bayi yang sudah tidak punya ayah lagi.
Katanya ayahnya meninggal. Lama sebelum dia lahir.
Kasihan sekali. Pasti berat hidup sendiri. Apalagi punya anak.
Istri saya juga meninggal. Sepuluh tahun yang lalu. Kecelakaan mobil."
"Aduh," desah wanita itu antara kaget dan
iba. "Punya anak""
"Di mobil yang sama," suara Rudi berubah getir. "Mobil yang menabrak mobil
istri saya tidak berhenti. Belakangan polisi berhasil menangkap bajingan itu.
Dia mabuk." "Aduh."
"Saat itu saya baru tahu, sebotol vodka bukan cuma mampu memabukkan,
tapi mampu membunuh, sekaligus mampu merampas sisa hidup saya."
Dan sekarang, kankerlah yang merampas sisa hidupku, keluh Rudi menahan
tangis. Justru pada saat aku sudah berhasil menemukan hidupku kembali.
Dua bulan setelah pertemuan mereka, Rudi sadar, dia sudah jatuh cinta pada
Catalina Arman. Sekaligus pada bayi mungilnya yang sangat membutuhkan
kasih sayang dan perlindungan seorang ayah.
Tetapi Rudi tidak bisa menikahi Catalina. Karena dia datang ke Australia
sebagai turis. Dan visanya sudah lama habis masa berlakunya.
Sekarang status Catalina Arman dan putranya adalah pendatang gelap.
Setiap saat mereka dapat ditangkap dan dikembalikan ke negeri asalnya. ,
Jika Rudi tetap ingin menikahinya, Catalina
dan anaknya harus puJang dulu ke Indonesia. Dari sana dia baru
mengajukan permohonan untuk menikah dengan Rudi yang sudah menjadi
penduduk tetap di Australia. Dan permohonan itu bukan hanya memerlukan
waktu. Juga belum tentu dikabulkan.
Tetapi yang lebih sulit lagi adalah memaksa Catalina pulang. Karena
tampaknya dia tidak ingin kembali ke Indonesia.
"Ada apa, Rud" Kok muram amat. Banyak kerjaan""
Begitu tiba di rumah, anak-istrinya sudah menyambutnya di ambang pintu.
Catalina tampak segar walau hanya mengenakan T-shirt dan short santai.
Sementara si kecil Arvan sudah melonjak-lonjak lucu minta digendong.
Arvan memasukkan sebutir permen ke mulut ayahnya. Kebiasaan yang
selalu dilakukannya setiap kali ayahnya pulang kerja. Rudi akan membuka
mulutnya lebar-lebar. Menerima permen dengan hdahnya. Dan pura-pura
menciut-chit kepedasan. Arvan akan tertawa geli. Lucu melihat ayahnya berdesah sedemikian rupa.
Lalu dia akan menyodorkan pipinya yang montok. Dan Rudi mengecupnya
dengan gemas. Al i L 232 Setelah itu dia akan mencium bibir istrinya yang memerah delima. Dan
berbisik lembut, I love you. Hari ini semua ritual itu tetap dilakukannya. Tapi dengan paras mendung
dan mata merah yang membuat Catalina bergumam heran. Sekali lihat saja
dia tahu ada yang tidak beres. Sikap Rudi tidak seperti biasa. Ada yang
mengganggu pikirannya. Sesuatu yang coba disembunyikannya.
"Kenapa, Rud"" desak Catalina sekali lagi. Ditatapnya suaminya yang tengah
menggendong anaknya dengan tajam. "Bilang dong ada apa."
Apa yang harus kukatakan, keluh Rudi dalam hati. Umurku hanya tinggal
hitungan bulan, bahkan mungkin hitungan minggu" Sebentar lagi aku harus
meninggalkanmu, meninggalkan anak kita, meninggalkan semua yang
kucintai" "Tidak ada apa-apa," sahut Rudi dengan suara seringan mungkin. Berusaha
menyembunyikan kesedihannya. "Cuma capek."
Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mau dipijat""
"Wah, tawaran yang susah ditolak!" Rudi tertawa dibuat-buat. "Minta tip
apa"" "Boleh minta tip"" Suara yang manja menggemaskan itu, yang biasanya
membuat hati Rudi berdebar hangat, kini justru menyayat pedih.
233 "Apa saja," sahut Rudi tersendat. Apa yang kamu minta, Sayang. Apa saja.
Akan"a berikan apa pun yang kamu inginkan. pung aku masih punya waktu
untuk mencari, nya. "Apa saja"" Senyum yang manis mengg0Qa menggeliat di bibirnya.
"Apa saja," sahut Rudi menahan tangis. Disembunyikannya wajahnya di balik
tubuh montok Arvan. "Tapi kok sedih amat kelihatannya" Nggak usah takut. Tipnya bukan berlian
dua karat!" gurau Catalina sambil mengambil Arvan dari pelukan suaminya.
Diturunkannya anak itu. Ditepuknya pantatnya dengan lembut. "Main sana!
Pap a capek." Tapi kelakarnya justru membuat Rudi se-makin terpukul.
Berlian dua karat. Kapan aku baru dapat memberikannya"
Berlian adalah sahabat terbaik wanita. Wanita mana yang tidak
menggandrungi berlian"
Selama ini aku belum pernah memberikannya. Jangankan yang dua karat.
Seperempat karat saja belum!
JhHZ m"niadi istrinya, Catalina tidak per-
3ukan itu saja. Ada lagi nilai Rudi yang tak
teTganrikan. Jg "Terima kasih mau menjadi ayah Arvan, Rud. Sejak lahir, dia tidak pernah
merasakan kasih sayang seorang ayah."
"Aku juga berterima kasih kamu mau memberikan kesempatan kedua
padaku untuk menjadi seorang ayah, Lin." Bagi Rudi, Arvan memang sudah
menjadi pengganti anak kandungnya. Dia menyayangi
Arvan seperti menyayangi Dylan. Justru itulah alasan utama Vania menerima
lamaran Rudi Handoko. BAB XVII VANIA tidak ingin berpisah dari suaminya. Tapi dia tidak bisa berpisah dari
anaknya. Dia mencintai Aries. Tapi dia rela menukar jiwanya untuk Arvan.
Karena itu dia tidak menunggu Aries datang untuk mengambil anaknya. Dia
membawa bayinya kabur ke Sydney. Vania khawatir, orang-orang upahan
ayah Aries mampu menemukannya kalau dia masih di Indonesia.
Untungnya Aries memberikan waktu tiga bulan. Vania punya banyak waktu
untuk mempersiapkan pelariannya. ||
Tetapi hidup sebagai pendatang gelap di Australia tidak mudah. Lebih-lebih
kalau dia punya seorang bayi. Dan tidak kenal seorang pun di
sana. Dalam kumparan kemelut tak berujung, Rudi Handoko seperti dikirim
Tuhan dari langit. Tiba-tiba saja dia muncul. Sabar. Simpatik. Ramah. Penuh
perhatian. Suka menolong. Sayang pada Arvan. Dan jatuh cinta padanya.
Terus terang Vania tidak tertarik pada Rudi. " Ketika bertemu, lelaki itu
sudah berumur empat puluh enam tahun. Tidak ada yang dapat
dibanggakan pada penampilannya. Tubuhnya kurus. Wajahnya sederhana.
Tetapi dia pilihan terbaik Vania kalau dia membutuhkan pelindung untuk
(lirinya dan bayinya. Rudi punya rumah sendiri. Sebuah rumah sederhana berkamar tiga. Memang
bukan rumah baru, tapi masih cukup nyaman dan terletak di area Pagewood
yang tenang. Sebagai lulusan IT, pekerjaannya sebagai network administrator
menjanjikan gaji yang cukup untuk membiayai sebuah keluarga.
Tetapi yang paling penting, dia rela menampung Vania dan anaknya di
rumahnya. Vania tidak usah pusing memikirkan mencari uang lagi. Karena
semua kebutuhannya dan kebutuhan anaknya sudah dipenuhi Rudi.
Meskipun tidak dapat resmi menikah, mereka hidup seperti layaknya suami-istri. Dan Rudi sudah menganggap Arvan seperti anaknya sendiri.
Hampir empat tahun Vania tinggal bersap Rudi. Mengubur cita-citanya.
Impian kariernya Rencana masa depannya. Bahkan cintanya pada Aries.
ft" Sydney dia bukan siapa-siapa. Cuma seorang wanita dengan identitas
palsu yang tidak punya status.
Tapi Vania tidak pernah menyesali keputusan-nya. Tidak ada yang dapat
dibandingkan de- ' ngan empat tahun hidup bersama anaknya. Melihatnya
setiap hari merupakan berkah yang tak ternilai harganya.
Satu-satunya penyesalannya hanyalah karena dia belum mampu membalas
cinta Rudi. Kadang-kadang Vania malah merasa berdosa karena telah
memperalat orang yang sebaik dia. Tapi memperalatkah namanya kalau apa
yang dilakukannya ini bisa membahagiakan Rudi"
"Kamu dan Arvan telah mengembalikan hidupku," katanya tulus.
Vania mengira tak ada lagi gejolak dalam hidupnya. Dia sudah memutuskan
untuk tinggal di sini seterusnya bersama Rudi dan Arvan. Tetapi suatu hari,
tiba-tiba Rudi mengajukan usul yang sangat aneh.
"Aku ingin kembali ke Indonesia, Lin," cetusnya lirih.
Beberapa hari ini tingkahnya memang agak aneh. Walaupun dia berusaha
menutupinya, 23" Vania masih dapat merasakannya. Rudi menyembunyikan sesuatu. Entah
apa. "Berlibur"" tanya Vania heran. "Sendirian"" Tentu saja bersamamu dan
Arvan." Rudi merasa hatinya teriris makin pedih. Sejak bertemu kalian,
kapan aku ingin berpisah lagi" Tapi aku harus pergi. Aku harus
meninggalkan kalian.... "Kamu tahu itu tidak mungkin." "Aku tidak ingin berpisah," gumam Rudi
lirih. Hampir tidak dapat menahan butir-butir air mata yang hampir bergulir
dari matanya. Tapi aku harus mempersi
apkan masa depanmu dan Arvan....
"Lalu bagaimana kami bisa kembali kemari""
"Kita pulang ke Indonesia. Resmi menikaK Lalu kembali kemari bersama-sama."
Kalau aku masih punya waktu. Tetapi kalau tidak sempat lagi, paling tidak
kamu bisa kembali ke sini bersama Arvan. Hidup di sini bukan sebagai orang
gelap. Akan kuwariskan semua milikku padamu. Rumah. Mobil. Simpanan di
bank. Bukan itu saja. Masih ada lagi yang ingin kuwariskan padamu.
Ketika meninggal dua tahun yang lalu, Ayah meninggalkan rumah dan
perusahaan untukku dan abangku Rangga. Aku akan menuntut bagianku.
Dan mewariskannya padamu.
230Aku yakin semua itu cukup untuk membiayai I hidup kalian berdua
sepeninggalku nanti. Tetapi ternyata tidak mudah memaksa Cata- I hna pulang ke Jakarta.
"Kita tidak bisa menikah kalau kamu tidak mau pulang," keluh Rudi putus
asa. "Kenapa harus menikah" Bukankah selama ini kita sudah bahagia walaupun
tidak punya surat nikah""
Tapi aku ingin mewariskan namaku pada Arvan! Ingin mewariskan hartaku
untukmu! Dan semua itu tidak mungkin kalau kita belum menikah!
Tetapi semakin didesak, Vania semakin uring-uringan. Belakangan dia malah
marah. "Lebih baik kita berpisah," gumam Vania dingin. Tinggalkan saja aku dan
Arvan di sini." Mungkin kamu sudah bosan pada kami. Mungkin kamu sudah
bertemu perempuan lain. Perempuan yang lebih cantik. Wanita kulit putih
yang lebih seksi__ "Aku tidak ingin meninggalkanmu!" desis Rudi hampir memekik. Selama aku
masih mampu! Aku ingin selalu bersamamu sampai suatu saat aku tidak
mungkin lagi membawamu! "Aku mengerti," suara Vania melembut. Dia tahu betapa sayangnya Rudi
pada dirinya dan Arvan. Tapi Rudi juga harus tahu, dia tidak mungkin ke
Jakarta! Dia takut! Tapi... bagai-
mana memberitahu Rudi" Bagaimana memberitahu lelaki yang baik itu, dia
masih punya suami" Dan Aries mungkin saja menemukannya
kalau dia pulang! "Tapi aku tidak mau pulang ke Jakarta. Terlalu banyak
kenangan buruk. Aku tidak mau mengingat-ingatnya lagi."
Karena tidak mungkin membawa Catalina, terpaksa Rudi memutuskan untuk
pulang seorang diri. Barangkali tidak mungkin menikahinya, tapi paling
tidak, dia bisa menuntut haknya dan mewariskannya pada Catalina dan
Arvan. Ketika ayahnya meninggal dua tahun yang lalu, Rudi memang tidak pulang.
Dia tidak tega meninggalkan Catalina dan bayinya. Mereka sudah menjadi
penduduk gelap. Setiap saat bisa tertangkap dan dikirim pulang ke
Indonesia. Tetapi sekarang keadaannya berbeda. Waktunya tinggal sedikit sekali. Rudi
tidak ingin me-nyia-nyiakan sisa waktunya. Dia harus menuntut warisannya.
Karena itu dia harus pulang.
"Tunggu sampai aku kembali," pintanya sesaat sebelum pergi. Atau dia harus
berkata, mudah-mudahan aku masih sempat kembali"
Ketika merasakan pelukan erat Rudi, ketika melihat matanya berkaca-kaca
tatkala meng- gendong Arvan, Vania tidak dapat menahan lagi pertanyaan yang sudah
beberapa hari menggantung di lidahnya.
'Mengapa kamu harus pulang" Mengapa
harus meninggalkan kami"" "Aku ingin mengunjungi makam Ayah."
"Mengapa baru sekarang" Ayahmu sudah dua tahun meninggal"
Karena sekarang aku membutuhkan warisannya.
Tetapi Rodi tidak mampu membuka mulutnya. Dia hanya mampu memeluk
Vania erat-erat sambil membendung air matanya. "Aku mencintaimu," bisik
Rudi lirih. Vania hanya mampu membalas dekapannya dengan hangat.
"Lekas kembali," pintanya iembut. "Kami me- j rindukanmu." j
Yang paling suM adalah meninggalkan I Arvan. Karena dia tidak bisa
mengerti mengapa j Papa harus pergi dan dia tidak diajak. I
Selama ini mereka belum pernah berpisah. J Papa selalu membawanya
kecuali kalau dia per- j gi kerja. Nah sekarang, mengapa dia tidak bo- i leh
ikut" j Arvan menangis terus. Kata-kata ayahnya I dan bujukan ibunya tidak mampu
meredakan J tangisnya. Dia tetap mau ikut. Kalau tidak bo- / leh ikut, Papa
tidak boleh pergi! j Rudi benar-benar trenyuh. Tidak sampai hati melihat istrinya membentak
dan memarahi I anaknya setelah sia-sia membujuknya.
Vania memang sudah kewalahan. Arvan menolak digendong. Tidak mau
melepaskan pelukannya. Lengannya menggantung seperti gurita di leher
ayahnya. Dan dia bukan cu
ma menangis. Ketika ibunya memaksa meraihnya,
dia memekik. Menjerit-jerit. Mengamuk.
Belum pernah Arvan protes sekeras ini. Belum pernah dia merajuk segawat
ini. Belum pernah dia membangkang bahkan melawan perintah ibunya.
Biasanya dia anak yang manis. Patuh. Penurut.
Tapi kali ini dia seperti kerasukan setan. Tidak ada kata-kata Mama yang
masuk ke telinganya. Tertutup oleh teriakan dan tangisnya.
Rudi tidak sampai hati melihat Arvan dicubit ibunya. Dipeluknya anaknya.
Dilindunginya dengan tubuhnya.
"Sudah," pintanya pada Vania. "Beri dia
waktu." "Berapa lama"" desah Vania antara letih dan sedih. "Kamu sudah harus
boarding." "Tidak apa-apa terlambat. Tidak akan ditinggal. Biar aku ngomong dulu sama
Arvan." Tapi apa lagi yang mau dikatakan" Arvan tidak peduli ayah-ibunya ngomong
apa. Pokoknya dia tidak mau ditinggal! Dia protes keras karena Papa tidak
mengajaknya.' "Papa pergi nggak lama," bujuk Rudi sambil mengusap air mata anaknya
dengan jarinya. Ketika melihat air mata yang membasahi pipi Arvan yang
montok, hati Rudi makin teriris.
Rasanya aku tidak sanggup meninggalkannya, tangis Rudi dalam hati. Ya
Tuhan, kalau aku boleh memohon, beri aku waktu lebih lama! Jangan
biarkan kami berpisah, Tuhan!
"Apan ikut!" isak Arvan sambil merangkul ayahnya erat-erat. Takut sekali
ditinggal. "Arvan mesti menemani Mama, kan" Nggak kasihan sama Mama" Mama
sendirian, kan" Coba, sama siapa Mama di rumah kalau kita berdua pergi""
"Mama pergi juga!" bantah Arvan cerdik. "Kita pergi sama-sama!"
Ya, seperti itulah biasanya. Bukankah biasanya memang mereka selalu pergi
bersama" Kecuali kalau Papa kerja!
Rudi menghela napas berat. Dia bingung. Sedih. Putus asa. Tidak tahu
bagaimana lagi harus menyingkirkan anaknya.
"Sudahlah," sergah Vania sambil mengeraskan hatinya. Dia juga iba melihat
anaknya. Tapi dia tahu kapan harus bertindak tegas. "Kamu pergi saja."
Lalu dia memaksa mengambil Arvan dari gendongan Rudi. Tidak peduli
anaknya meronta-ronta dan menangis menjerit-jerit.
Tin.." desah Rudi sambil menahan air matanya. Tidak sampai hati melihat
Arvan. "Biar aku tidak jadi pergi saja...."
"Dia harus dididik, Rud," Vania menegarkan batinya. Bukannya dia tidak
trenyuh melihat tangis Arvan. Tapi dia sadar, ada saatnya harus bertindak
tegas. "Aku juga tidak tega. Tapi kadang-kadang kita harus keras. Supaya
Arvan tahu, tidak selamanya dia mendapat apa yang diinginkannya."
Benarkah Tuhan juga tahu apa yang dibutuhkan anak-anak-Nya" Benarkah
Tuhan tahu apa yang terbaik untukku, untuk Catalina, untuk Arvan"
Benarkah yang terbaik justru meninggalkan mereka"
Aku tidak bisa mengerti maksud-Mu, bisik Rudi ketika dia sedang-melangkah
gontai ke ruang boarding. Mengapa selalu Kaupisahkan aku dari orang-orang
yang kucintai" Tetapi menuntut warisannya tidak semudah dugaan Rudi. Rangga memang
kakak yang baik. Tetapi itu dulu. Sebelum dia menikah.
Istrinya yang baru dua tahun lebih dinikahinya, hanya tiga bulan sebelum
ayah mereka meninggal, keberatan menjual rumah mereka. Apalagi membagi
saham perusahaan. Kenapa baru sekarang dia datang"" desisnya judes. "Waktu ayah kalian
meninggal, di mana dia" Kenapa dia tidak pulang""
"Katanya waktu itu dia tidak bisa meninggal-kan anak-istrinya."
"Sekarang bisa" Karena warisan" Cuma itu yang ada di kepalanya""
"Tapi dia hanya menuntut haknya. Rumah ini bukan rumahku. Rumah Ayah.
Artinya separonya milik Rudi. Demikian juga perusahaan kami..."
"Perusahaan itu sudah hampir ambruk.'" sela istrinya ketus. "Kalau aku tidak
datang membenahinya, perusahaan itu sudah bangkrut! Apa lagi yang mau
dituntutnya"" "Rudi mengerti. Dia tidak menuntut banyak kok..."
"Oh, dia tidak menuntut banyak huh" Dia memang tidak berhak menuntut!
Karena sebenarnya perusahaan milik kalian sudah tidak adai"
"Tapi kenyataannya kan tidak begitu," keluh Rangga serbasalah. "Perusahaan
kita masih berdiri. Masih berjalan baik. Malah tambah maju...."
"Kamu tahu siapa yang membuatnya jadi begitu"" 'Ya, kamu.... Tapi..."
"Adikmu tahu""
"Sudah kuberitahu. Dia berterima kasih
padamu...." "Berterima kasih! cetus istrinya sambil tertawa mengejek. "Katakan padanya,
aku tidak butuh terima kasihnya!" "Kita bisa minta Rudi menjual sahamnya
pada kita. Dia tidak minta banyak kok." "Dia memang tidak berhak minta!"
"Tapi, Gita..."
"Tidak ada tapi-tapi!" bentak Sagitaria galak. "Pokoknya kita tidak akan
menjual rumah ini! Dan tidak akan membeli saham adikmu! Tidak
segampang itu dia mendapat uang!"
* * * Sagitaria tidak pernah menularkan pernikahan. Meskipun saat itu umurnya
sudah tiga puluh lima tahun.
Dia wanita karier yang hebat. Dan sebagai CEO sebuah perusahaan minyak
goreng yang terkenal, kariernya sedang melambung. Gajinya besar. Masa
Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depannya cerah. Hidupnya penuh kesibukan. Siapa yang sempat meniikirkan
perkawinan" Tetapi tiba-tiba dia dipaksa meniikirkan yang lain kecuali pekerjaan. Taurina
hendak menikah. Ibunya menginginkan Sagitaria menikah lebih dulu. Jangan
didahului adiknya. "Nanti kamu jadi sial," kata ibunya khawatir. 'Tidak laku."
Sebenarnya Sagitaria tidak peduli. Memangnya dia barang, pakai tidak laku
segala" Dia pasti membantah, kalau saja ayahnya masih sehat seperti dulu.
Tetapi kini Bapak sudah berbeda. Dia bukan lagi Titah Bintang Dewabrata
yang perkasa. Tiba-tiba dia diserang stroke. Tubuhnya lumpuh sebelah. Dan
dia tidak dapat bicara. Tetapi dia masih dapat berpikir. Masih punya keinginan. Dan salah satu
keinginannya adalah melihat putri sulungnya menikah sebelum dia mati.
Tentu saja itu kata ibunya. Karena Bapak sudah tidak dapat mengucapkan
sepatah kata pun. Ibulah yang mendesaknya.
"Ayahmu tidak pernah minta apa-apa," gumam Ibu penuh haru. "Tapi dia
pernah bilang, belum rela mati sebelum melihatmu menikah." I Tapi kenapa,
protes Sagitaria penasaran. Ka- I rena dia anak perempuan" Kenapa Bapak
ma- I lah ingin melihatnya menikah, bukan ingin I melihatnya jadi
direktur" I Jadi percuma membantah. Karena Bapak bu- I
kan lawan debat yang seimbang lagi. Kini dia f hanya seonggok daging
hidup yang harus di- J kasihani. I Lumpuh
memang penderitaan berat. Tapi J
rlebih berat lagi bagi seorang yang selalu aktif seperti ayahnya. Mau tak mau
Sagitaria merasa iba. Jadi dia terpaksa memenuhi keinginan ayahnya.
Mungkin keinginannya yang terakhir.
Lalu Sagitaria bertemu Rangga Handoko. Duda tanpa anak berumur setengah
abad. Direktur pabrik minuman dalam botol yang hampir bangkrut.
Dan semangat Sagitaria tergugah. Ada tantangan baru di depan mata. Dia
menginginkan pabrik itu. Mengubah segalanya. Citranya. Mereknya. Rasanya.
Jadi dia menerima pendekatan Rangga. Bahkan belakangan lamarannya juga.
Sekali tepuk dua nyamuk. Sagitaria bukan saja berhasil memiliki suami. Dia
juga berhasil memiliki perusahaan sendiri.
Menyehatkan perusahaan yang sakit membuatnya bersemangat. Dan setelah
perusahaan itu bukan hanya bangkit kembali tapi sekaligus mampu masuk
bursa, menyelipkan kebanggaan luar biasa bagi Sagitaria.
Dia tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai CEO pabrik minyak goreng.
Tapi dia menyu-pervisi suaminya sebagai direktur perusahaan air minum
mereka. Dan hasil duet mereka memang tidak tanggung-tanggung.
Perusahaannya dengan cepat mampu menyodok ke atas.
Sekarang pada saat perusahaannya mulai berkembang pesat, ada rayap yang
ingin menggerogotinya/ Tentu saja Sagitaria marah. Dia tidak mengerti mengapa suaminya begitu
lembek. Adiknya tidak pernah mengurusi ayahnya. Selama hidup juga pada
saat kematian datang menjemputnya. Rudi bahkan tidak pulang untuk
menghadiri pemakaman ayahnya.
Sekarang dia datang untuk menuntut warisan/ Pantaskah
permintaannya" Rangga juga kesal pada adiknya. Tentu saja enam puluh persen karena
gosokan istrinya. Ayah meninggal dia pulang saja tidak!
Tetapi Rangga lelaki yang jujur. Hati kecilnya tidak dapat menyangkal,
separo rumah dan perusahaan mereka milik Rudi. Barangkali benar
perusahaan mereka sudah hampir jadi bangkai. Tapi rumah ini masih punya
harga, kan" Dan harganya lumayan tinggi.
Ayah mereka memang tidak membuat surat wasiat. Kalau dia berkeras tidak
mau keluar dari rumah ini dan menjualnya, Rudi juga tidak bisa apa-apa.
Masa dia mau menggugat secara huku
m" Tetapi Rangga tidak tega menolak permintaan adiknya. Istri dan anaknya
meninggal dengan tragis. Dan kondisi fisiknya sekarang tidak seperti yang
dibayangkannya. tanya sayu. Tubuhnya jauh lebih kurus. Dan dia tampak
lemah. "Leverku kambuh," kata Rudi lirih. "Sebentar lagi aku mungkin sudah tidak
kuat bekerja. Aku butuh uang untuk anak-istriku."
"Aku tidak tahu kamu punya penyakit lever," sergah Rangga iba. "Sudah
berapa lama"" "Aku tidak mau membuat Ayah sedih." "Karena itu kamu tidak
bilang"" Rangga mengeluh berat. "Ayah juga melarangku memberitahukan
penyakitnya padamu. Katanya supaya kamu tidak sedih. Tapi istriku
menyuruhku memberitahu kamu. Katanya kamu harus pulang. Kamu kan
anaknya juga. Tidak bisa hanya menonton dari jauh."
"Aku menyesal tidak ada di sampingnya waktu Ayah sakit."
"Aku juga menyesal kamu tidak pulang waktu Ayah meninggal," sambung
Rangga agak kesal. "Semua orang
menanyakanmu." "Saat itu aku tidak bisa meninggalkan anak-istriku."
"Kamu bisa membawa mereka kemari."
"Anakku masih bayi. Kasihan kalau dibawa naik pesawat."
"Itu bukan alasan. Kamu membuat istriku kesal. Kami repot setengah mati
waktu Ayah sakit dan meninggal. Kamu muncul saja tidak.
Sekarang tiba-tiba kamu datang minta wark an."
"Aku juga menyesal," desah Rudi sedih. "Biar aku minta maaf pada istrimu."
"Sekarang dia belum pulang kerja. Datang saja nanti malam."
"Boleh aku tinggal di sini" Daripada nginap di hotel."
"Lebih baik di hotel dulu," sahut Rangga resah. "Istriku tidak terlalu ramah."
"Tidak apa. Aku memang harus lebih mengenalnya."
"Gita orangnya susah. Aku tidak mau kalian ribut."
"Tidak, mungkin aku ribut dengan istrimu.
Aku akan selalu mengalah. Memang aku yang
salah. Pantas kalau dia marah." Tetapi ketika Rudi bertemu dengan kakak
iparnya, dia sadar, Sagitaria bukan hanya sulit
didekati. Dia sukar dijinakkan. Perempuan itu bukan hanya tidak ramah.
Dia judes. Keras kepala. Dan kejam.
Dia bukan saja tidak kasihan melihat kondisi Rudi. Dia malah menghasut
suaminya. "Jika dia mati, harta ayahmu jatuh pada perempuan yang belum pernah
dilihatnya. Waktu hidup. Bahkan sesudah dalam kubur. Dan anak itu,
benarkah anak Rudi" Kamu rela kalau harta yang dicari ayahmu dengan
susah payah jatuh ke tangan orang asing""
"Rasanya kamu harus membawa istri dan anakmu kemari, Rud," pinta
Rangga bingung. "Mereka harus memberi respek pada ayah kita* patang ke
kuburannya. Dan berkenalan dengan
keluargamu." "Mereka tidak mungkin datang." "Mereka harus datang. Kalau
kamu ingin bagianmu."
"Kenapa kamu sekejam ini"" desah Rudi getir. "Apa artinya mereka datang
atau tidak" Ayah sudah meninggal. Ayah pasti mengerti
kalau mereka tidak bisa datang ke depan nisannya."
"Tapi istriku tidak bisa mengerti, Rud! Dia
mau istrimu datang!" "Mbak Gita hanya tidak ingin memberikan
bagianku." "Aku tidak bisa apa-apa, Rud. Aku tidak ingin bercerai. Gita orangnya keras.
Kalau kita tidak menuruti keinginannya, dia tidak bisa memaafkanku. Dan
perpisahan hanya tinggal soal
waktu." Artinya tidak mungkin lagi memperoleh warisanku, pikir Rudi sedih. Aku
harus kembali dengan tangan hampa. Karena pasti sia-sia meminta Catalina
pulang ke Jakarta. "Kalau begitu besok aku kembali ke Sydney" cetus Rudi datar. "Kalau aku
mati, sumbangkan I . Saja bagianku ke
rumah yatim." !" tangan salah sangka, Rud," Rangga raeng. bela napas dengan perasaan
bersalah. "Bukan, nya kami menginginkan warisan yang. bukan hak kami...."
"Apa bedanya" Aku tidak bisa mengambil apa yang menjadi milikku karena
istrimu tidak mengiri ginkannya. "
"Dia hanya ingin istrimu datang. Apa sih susahnya""
"Catalina tidak bisa pulang," Rudi menunduk sambil menghela napas berat
"Karena visanya sudah lama habis."
"Maksudmu,'' sergah Rangga kaget, "dia sudah jadi penduduk gelap di sana""
"Makanya dia tidak bisa pulang. Karena kalau dia keluar dari Aussie, dia
tidak bisa kembali lagi ke sana."
"Lalu bagaimana dia bisa menikah dengan adikmu"" desak Sagitaria bengis.
Dia bukan hanya cerdas. Dia juga pernah studi di Sydney. Dia tahu sekali
tidak mungkin istri Rudi masih menjadi penduduk gelap kalau mereka benar
sudah menik ah/ "Aku juga tidak mengerti," keluh Rangga bingung.
"Katanya.." "Hanya ada satu jawaban," potong Gita tegas. "Adikmu bohong/ Mereka
belum menikah/ Dan anak itu mungkin bukan anaknya!" Rangga melongo
bingung. Otaknya benar- benar tidak dapat mencerna semua itu. ngapa Rudi harus berbohong" Dia
sudah lama menduda. Dia berhak menikah lagi. Tidak ada yang keberatan
kalau dia memilih janda beranak satu sekalipun!
Tanya adikmu," desis Sagitaria pedas. Dia benci sekali kalau melihat
suaminya sedang tertegun bengong begitu. "Dan cari tahu anak siapa yang
diakui anaknya itu. Sebelum harta ayahmu jatuh ke tangan orang asing yang
bukan darah dagingnya!"
"Aku bertemu Catalina bersama anaknya setelah mereka menjadi penduduk
gelap di Australia," sahut Rudi muram setelah tidak mungkin lagi
menyembunyikan rahasianya. Agaknya kakaknya mengawini komputer,
bukan manusia. Pintar. Tapi tidak berperasaan. "Aku" jatuh cinta padanya.
Dan pada Arvan. Dia begitu lucu. Begitu pandai. Begitu malang. Tidak punya
ayah. Tidak punya status."
"Mengapa kamu tidak segera mengawini perempuan itu""
"Karena dia harus pulang dulu ke Indonesia sebelum dapat menikah
denganku." "Kalau begitu suruh dia pulang/ Urus pernikahan kalian. Urus warisanmu.
Dan kembali ke Sydney. Tunggu apa lagi""
"Catalina belum mau pulang. Katanya dia belum mau kembali ke Indonesia.
Aku tidak tahu apa yang ditakutinya. Mungkin dia punya pengalaman buruk di sini.
Dan tidak mau mengenangnya lagi. Katanya dia ingin menutup masa lalunya
dan membuka lembaran baru hanya bersamaku dan anak kami." Rudi
mengeluarkan dompetnya dan mengambil selembar foto. "lihat anak kami.
Mas. Dia begitu lucu. Begitu menggemaskan. Siapa yang tidak jatuh hati
padanya"" Sekilas Rudi melirik foto itu. Dan melihat Arvan, hatinya menjerit dicambuk
rindu. Rudi menyodorkan foto itu pada kakaknya. Foto yang diambilnya ketika
mereka pergi bertiga ke Taronga Zoo tahun lalu.
Arvan sedang berpose bersama seekor anak kanguru. Tapi orang yang
melihat foto itu pasti punya pendapat yang sama. Arvan lebih
menggemaskan dari binatang di sebelahnya.
"Dia memang lucu," cetus Rangga polos. "Boleh kubawa foto ini pada Gita"
Mungkin setelah melihat anakmu, hatinya luluh. Perempuan mana yang tidak
tertarik pada anak selucu ini""
Tetapi yang membuat Sagitaria tertarik bukan Arvan. Melainkan wanita yang
berjongkok di sampingnya.
BAB XVIII "JlKA aku bersumpah akan melakukan apa pun kehendakmu, jika aku
mencium kakimu memohon ampun," desah Vania sambil menggigit bibir
menahan tangis, "masih adakah harapan untuk membatalkan perceraian
kita"" Aries hampir tidak dapat menahan air matanya ketika melangkah keluar dari
kamar Vania. Kata-kata istrinya tak mau hilang dari telinganya.
Vania begitu sedih. Begitu putus asa. Begitu
memohon. Dia rela melakukan apa saja. Asal bisa membatalkan perceraian mereka. Asal
diizinkan tetap menjadi istrinya. Tetap menjadi ibu bayi
mereka. Tetapi masalahnya bukan permohonan ampun. Karena sebenarnya sudah
lama Aries memaafkannya. Aries sendiri tidak menginginkan perceraian. Semakin lama dia semakin
yakin, dia masih mencintai Vania. Masih menginginkannya menjadi istrinya.
Apalagi sekarang. Setelah mereka punya anak Ibu mana lagi yang lebih baik
bagi anaknya selain ibunya sendiri"
Ketika melihat untuk pertama kalinya Vania menyusui bayinya, Aries tidak
mampu menahan keharuannya. Rasanya tidak ada pemandangan yang lebih
indah dari pemandangan seorang ibu yang sedang menyusui bayinya. Dan
dia tidak tega memisahkan mereka. Mencegah anaknya mengisap air
kehidupan yang mengalir dari buah dada ibu kandungnya.
Jadi untuk apa bercerai" Untuk apa membuat bayinya merana" Untuk apa
memisahkan Vania dari anak dan suaminya"
Tetapi bagaimana mengatakannya pada Bapak" Dia sudah berjanji akan
membawa bayinya dan surat cerai.
Ayah pasti marah sekali. Tapi peduli apa" Bukankah selama ini dia memang
selalu membuat ayahnya jengkel"
Perkawinannya dengan Vania sudah membuat ayahnya marah. Jadi apa
bedanya kalau sekarang dia membuat Bapak marah sekali lagi"
Perceraian bukan masalah kecil. Masa depannya, masa depan Vania, bahkan
masa depan anaknya, tergantung pada keputusannya saat
ini. Dalam keadaan bingung, malam itu Aries kembali ke rumah sakit. Jam
kunjungan sudah lewat. Tetapi Aries tahu sekali cara untuk masuk ke
bangsal bayi. Lama dia melekatkan wajahnya di kaca. Kaca yang memisahkan dirinya dari
ruang bayi. Lama dia memandang ke dalam. Ke bayi yang tergolek lelap di
boksnya. Itulah anaknya. Darah dagingnya. Buah hatinya. Tiap hari sejak dia lahir
Aries seperti tidak bosan-bosannya memandanginya. Setiap jam kunjungan
dia melekatkan wajahnya di kaca itu. Berbicara dengan anaknya. Dan seperti
masih belum percaya, makhluk mungil itu adalah darah dagingnya. Sebagian
dirinya ada dalam diri bayi itu.
Dia menangis. Dia bernapas. Jantungnya berdenyut. Dia hidup!
Padahal suatu saat dulu dia hampir dibinasakan. Dilenyapkan. Kehadirannya
hampir tidak diinginkan oleh ibunya sendiri.
Papa yang menyelamatkanmu, Sayang, bisik Aries lembut. Karena Papa
sangat menyayangimu. Suatu saat dulu Mama memang tidak meng-
inginkanmu. Tapi sekarang dia sudah menyesal. Bagaimana kalau kita beri
dia kesempatan kedua" Kamu juga tidak keberatan kan, Sayang" Kamu lebih
suka susu ibumu daripada susu sapi, kan"
Aries tersenyum sendiri. Dan perawat yang tegak di dekatnya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dasar bapak muda. Baru punya anak. Jadi agak norak.
Coba dengar apa katanya tadi waktu minta izin melihat anaknya.
"Sebentar saja, Suster. Supaya malam ini saya bisa tidur. Lebih baik saya
diizinkan melihat anak saya lima menit daripada minum lima butir obat
tidur, kan"" Tetapi sekarang sudah lewat lima belas menit Waktunya sudah habis. Dan
dia masih melekatkan wajahnya di sana seperti siput menempel di kaca!
"Besok lagi, Pak," kata perawat itu sabar. "Kalau Bapak masih di situ juga,
nanti bayinya bangun."
"Kenapa dia bangun, Suster" Saya kan tidak ribut"
"Bayi tahu kalau orang yang menyayanginya ada di dekatnya. Dia kan punya
insting. Nanti dia bangun. Nangis. Kasihan, kan" Besok saja Bapak datang
lagi. Besok anak Bapak dan ibunya sudah boleh pulang, kan" Nah, di rumah
gapak bisa ngajak ngomong dia sepuas-puas-
oya." Sampai pagi juga aku tidak peduli!
Besok Papa datang lagi, Sayang, bisik Aries sambil menatap bayinya dengan
Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penuh kasih sayang. Kita akan bilang sama Mama, kita sudah
memaafkannya. Lalu kita akan pulang bersama. Dan tidak seorang pun bisa
memisahkan kita. Tidak seorang pun bisa memisahkan kita. Tidak juga Bapak.
Itu tekad Aries ketika dia keluar dari rumah sakit. Dia hampir tidak sabar
menunggu matahari terbit. Esok dia akan menemui Vania.
"Kita tidak akan berpisah. Kami sudah memaafkanmu."
Entah bagaimana reaksi Vania ketika mendengar kata-kata Aries. Barangkali
dia akan menangis. Perempuan selalu menangis, kan" Dalam senang dan
susah. Seperti film India.
Tapi yang pasti, dia sangat bahagia. Sangat berterima kasih. Bersyukur
karena diampuni dan diberi kesempatan kedua.
Cinta memang seperti itu. Selalu memaafkan. Tidak memendam dendam.
Barangkali Bapak juga begitu. Marah. Tapi tidak mendendam. Dan suatu hari,
Bapak pasti memaafkannya. Suatu hari Bapak mengerti mengapa Aries
melakukannya. " Jadi malam itu juga, hampir tengah malam Aries menelepon ayahnya.
"Saya berubah pikiran, Pak. Kami tidak jadi bercerai. Bapak juga tidak tega
anak saya jadi anak piatu, kan""
Aries tidak mendengar jawaban ayahnya. Hanya mendengar suara telepon
ditutup. Bukan ditutup. Dibanting. Diempaskan dengan kasar.
Ayahnya pasti marah sekali. Tetapi Aries tidak menyesal. Keputusannya
sudah bulat. Esok pagi dia akan pergi ke rumah sakit. Membawa anak-istrinya pulang. Lalu dia akan mengajak mereka mengunjungi ayah-ibunya.
Mustahil mereka tidak jatuh hati pada anaknya. Dia lucu sekali. Mungkin
perlu waktu lama untuk menyukai Vania. Tapi menyukai anaknya" Paling-paling butuh beberapa hari! Soalnya anaknya memang tidak cakap. Tapi dia
lucu! Sangat menggemaskan!
Jadi pagi itu keputusan Aries sudah bulat. Dia akan membawa istri dan
anaknya pulang. Mereka tidak akan berpisah.
"Kami sudah memaafkanmu, Vania," itu kata-kata pertama yang akan
diucapkannya begitu bertemu dengan istrinya. Lalu dia akan menyod
orkan sebungkus tisu. Atau Vania lebih memilih dada suaminya" Di sana dia akan
menumpahkan tangisnya" Tetapi ketika Aries tiba di Bagian Kebidanai
pagi itu, Vania sudah tidak ada. Bayinya juga
ikut lenyap. "Mereka sudah pulang," kata perawat yang tadi malam menemaninya. Dia
mengawasi Aries dengan heran. "Masa Bapak tidak tahu""
Aku memberi mereka waktu tiga bulan, pikir Aries bingung. Karena itukah
Vania pergi tanpa menungguku lagi" Bukankah dia tidak tahu aku sudah
memaafkannya" Bergegas Aries menyusul Vania ke rumahnya. Tetapi rumah itu kosong.
Sudah dijual, kata tetangganya. "Rumah sudah kujual untuk membayar biaya
operasi." Itu kata-kata Vania kemarin.
Vania memang sudah melunasi semua tagihan rumah sakit. Barangkali dia
enggan memakai uang ayah Aries. Itu memang sifat Vania. Tetapi... ke mana
dia pergi" Dia tidak punya keluarga. Di mana dia harus menumpang" Apalagi
sekarang dia membawa seorang bayi!
Namun Aries belum sempat mencari anak-istrinya. Karena saat itu juga dia
mendapat te^-lepon dari kakaknya.
"Lekas pulang, Ries," suara Taurina terdengar sangat serius. "Tadi malam
Ayah masuk rumah sakit. Stroke."
* * * Tiga bulan Aries menunggu kabar. Tetapi Vania tidak mengirim kabar sama
sekali. Dia menghilang begitu saja. Lenyap bersama bayinya.
'Tidak tahu," kata Arifin sama bingungnya. "Dia tidak pernah kembali.
Warnetnya ditinggal begitu saja."
Aries merasa Arifin tidak bohong. Dia sama tidak tahunya dengan dirinya.
Vania memang sengaja tidak memberitahu siapa pun. Supaya Aries tidak
dapat melacaknya. Dia kabur bersama bayinya. Menghilang entah ke mana.
Aries merasa dibohongi. Hatinya sakit sekali. Lebih-lebih akibat teleponnya
tengah malam buta itu, ayahnya mendapat serangan stroke. Mungkin Bapak
marah sekali. Dan pembuluh darah otaknya pecah.
Bapak memang sudah lama mengidap tekanan darah tinggi. Tetapi Aries
tidak dapat menyingkirkan perasaan bersalah yang membebani hatinya.
Ayahnya lumpuh gara-gara perbuatannya. Menyalahi janji yang sudah
dibuatnya sendiri. Hanya demi Vania. Demi perempuan yang tidak dapat
memegang janjinya. Perempuan yang telah mengkhianati kebaikannya.
"Semua gara-gara kamu, Ries." Seperti belum cukup perasaan bersalah yang
menggayuti hatinya, Taurina masih menambahinya dengan beban yang lebih
berat lagi. "Ketika kamu menelepon, Bapak marah sekali."
264 Semua memang salahku, desah Aries getir.
Tak terasa air mata menggenangi matanya ketika dia melihat ayahnya
terbaring lemah di atas tempat tidur.
Ayah yang selalu tampil kokoh. Kuat. Garang. Berwibawa.
Kini dia terbaring tak berdaya bagaikan mayat. Mukanya pucat. Tak kuasa
menggerakkan separo tubuhnya. Tak mampu mengucapkan sepatah kata
pun. Di mana Titah Bintang Dewabrata yang gagah perkasa" Yang menguasai
hidup-mati ratusan karyawan di pabrik rokoknya"
"Ampuni Aries, Pak," bisik Aries di tepi pembaringan ayahnya. Dia berlutut
sambil mencium tangan ayahnya dengan air mata berlinang. "Suatu hari
Bapak pasti mengerti mengapa saya melakukannya." Bibirnya bergetar ketika
mengucapkan kata-kata itu. "Aries menyayangi anak kami seperti Bapak
menyayangi Aries. Saya tidak mau dia kehilangan ibunya. Aries janji akan
membawa mereka menemui Bapak. Kami akan berlutut memohon ampun.
Tapi tolong, Pak, tolong jangan biarkan kami berpisah. Kami ingin membina
keluarga yang bahagia. Seperti keluarga kita."
Ayahnya tidak mengucapkan sepatah kata pun. Matanya pun tetap terpejam.
Tapi dalam diamnya, Aries percaya, Bapak dapat mende-
ngar kata-katanya. Dapat memahami permohonannya. Mungkinkah Jdm
Bapak mau mengabulkan permintaannya"
Aries sudah berjanji akan membawa anak-istrinya untuk memohon ampun.
Tetapi kali ini pun Aries tidak dapat memenuhi janjinya. Dia tidak dapat
membawa mereka memohon ampun di depan orangtua-nya. Karena Vania
telah menghilang. Sia-sia Aries menunggu di depan bekas rumah mereka. Karena rumah itu
telah dijual. Dan pembelinya tidak tahu ke mana Vania pergi-
"Seharusnya dari dulu kamu sadar, perempuan itu cuma sampah.'" geram
Sagitaria sengit Dia kesal sekali ketika untuk kesekian kalinya Aries tidak dapat memenuhi
janjinya di depan ayah mere
ka. Gara-gara perempuan mu-rahan itu Bapak
lumpuhi Sagitaria tidak pernah menyukai ayahnya. Seumur hidupnya dia selalu
merasa diperlakukan tidak adfl. Bapak lebih menyayangi adik bungsunya.
Lebih memanjakan Aries. Semuanya seolah-olah hanya untuk putra
kesayangannya. Satu-satunya anak laki-Iakinya. Putra Mahkota Kerajaan
Rokok-nya. Tetapi tidak menyukai bukan berarti tidak menyayangi. Jauh di dalam
hatinya, Sagitaria tetap mencintai ayahnya. Dan dia baru menyadarinya pada saat Bapak
kehilangan kegarangannya. Kekuatannya. Kekuasaannya.
Justru pada saat ayahnya sudah menjadi manusia invalid, Sagitaria sadar, dia
menyayanginya. Karena itu dia marah sekali pada adiknya. Karena itu pula
dia mengabulkan permintaan ibunya untuk menikah. Padahal selama ini,
mana pernah dia memikirkan laki-laki"
Gilang Samudra, satu-satunya pria yang dikaguminya, sudah
meninggalkannya. "Aku tidak tahan lagi, Gita," katanya sebagai salam perpisahan. "Di
sampingmu, aku selalu merasa bodoh. Merasa tak berharga. Tak berguna.
Menghadapimu aku seperti berhadapan dengan komputer. Bukan calon istri."
Omong kosong, geram Sagitaria gemas. Itu cuma alasan basi! Alasan yang
dicari-cari. Bilang saja terus terang, kamu sudah bosan! Kamu sudah
menemukan gadis yang lebih muda. Lebih cantik. Lebih dungu! Lebih
gampang dibohongi! Puah! Dasar laki- laki!
"Kabulkanlah permintaan ayahmu, Gita," pinta ibunya untuk kesekian
kalinya ketika ayahnya divonis lumpuh sebelah. "Permintaan yang tak
pernah diucapkannya di depanmu. Dia ingin melihatmu menikah.
Kabulkanlah keinginannya yang terakhir. Mumpung masih sempat." "Tapi di
mana saya harus mencari suami,
Bur keluh Sagitaria jengkel. "Saya kan tidak bisa membelinya di toko
komputer atau di showroom mobil!"
"Kamu tidak keberatan kalau Ibu yang cari""
Dicarikan suami" Aduh! Sagitaria tersinggung berat! Dicarikan suami seperti
PTIL" Perawan tidak laku"
.Bagaimana cara Ibu mencarikan suami untuk anaknya" Pasang iklan"
Promosi dari mulut ke mulut" Menggunakan jasa makcomblang"
"Tidak usah," sergah Sagitaria gemas. "Saya bisa cari sendiri!"
Tapi mencari suami untuk wanita karier yang sukses berumur tiga puluh
lima tahun tidak semudah mencari pekerjaan yang menantang. Atau mencari
mitra kerja yang cocok. Atau karyawan yang bonafide.
Sagitaria sudah hampir putus asa ketika suatu hari dia bertemu dengan
seorang pria yang pada pandangan pertama sama sekali tidak masuk
nominasi. Rangga Budi Handoko sudah berumur lima puluh satu tahun ketika
berjumpa dengan Sagitaria dalam sebuah seminar. Tidak ada yang membuat
Sagitaria tertarik secara fisik. Tetapi pria itu teman diskusi yang sepadan.
Mereka sama-sama sarjana ekonomi Punya minat yang sama di bidang
industri makanan dan minum-
an. Punya hobi yang sama pula di lapangan
golf. Ada satu hal lagi yang membuat Sagitaria uba-riba merasa tertarik kepada
pria yang satu ini. Dia meiruhki perusahaan air mineral dalam botol yang
hampir bangkrut. Dan semangat Gita tergugah untuk membangkitkannya
kembali. Lalu dia ingat permintaan ibunya. Dan semuanya berlangsung singkat.
Mereka tidak perlu waktu lama untuk mengekalkan hubungan mereka dalam
sebuah pernikahan. Karena Rangga sangat mengagumi Sagitaria. Bukan
fisiknya. Tapi kecerdasannya.
Lagi pula saat itu ayahnya sudah sakit-sakitan. Jantungnya lemah. Ginjalnya
bermasalah. Rangga ingin secepatnya menikah. Supaya ayahnya masih
sempat melihat istrinya. Jadi Rangga memberanikan diri melamar Sagitaria. Dan mereka menikah
hanya tiga bulan sebelum ayah Rangga meninggal.
Taurina menikah enam bulan setelah kakaknya. Tetapi dia menolak rencana
suaminya untuk pindah ke Surabaya. Dia ingin mendampingi adiknya
memimpin perusahaan yang ditinggalkan ayahnya.
Memang sejak ayah mereka sakit, Aries yang menggantikannya memimpin
perusahaan. Dan dia sangat membutuhkan bantuan Taurina.
Setelah ayah mereka meninggal, Aries juga mengajak kakak sulungnya untuk
bersama-sama memimpin perusahaan mereka. Tetapi Sagitaria lebih tertarik
mengelola perusahaan suaminya. Perusahaan yang sudah berjalan lancar
tidak menarik minatnya lagi. Tetapi perusahaan yang hampir bangkrut
just ru membangkitkan semangatnya. Seperti ada tantangan baru
menghadang di depan mata.
Karena itu Sagitaria memilih mendampingi suaminya memimpin perusahaan
mereka sambil tetap menjabat CEO di perusahaan minyak goreng. Dia
menetap di Jakarta. Jarang pulang karena kesibukannya.
Tetapi suatu hari tiba-tiba dia pulang ke rumah. Dia membawa selembar
foto. Foto yang membangunkan Aries dari mimpi buruknya.
* * * Empat tahun Aries memendam sakit hati Dendam. Sekaligus rasa malu.
Dia merasa ditipu. Dibohongi. Dikelabui. Oleh wanita yang dicintainya. Orang
yang sangat dipercayainya.
Memang hanya Sagitaria yang berani terang-terangan mengejek
kebodohannya. Tetapi Aries tidak dapat menyingkirkan perasaan itu dari
hatinya. Semua orang mencemooh kebodohannya.
Ditipu perempuan. Dikelabui istri. Dasar lelaki goblok! Lelaki lemah!
Lihat bagaimana cara pembeli rumah Vania menatapnya. Dia bukan hanya
bingung karena Aries datang mencari anak-istrinya. Dia tidak mengerti
mengapa ada suami sedungu itu!
Ingat pula bagaimana sikap Arifin ketika Aries mencari Vania ke kampus.
Mula-mula dia memang ikut bingung. Tapi belakangan dia mencemooh.
"Memang dia tidak bilang mau pergi" Wah, suami apaan kamu!"
"Jadi lelaki mesti tegas!" gerutu ibunya jengkel. "Supaya tidak dilecehkan
istri!" Kalau ayahnya masih bisa bicara, entah cacian apa lagi yang diterimanya.
Hanya Taurina yang tidak ikut memaki. Tetapi Aries yakin, dalam hatinya
kakaknya menyesalinya juga. Kamu terlalu lemah sebagai lelaki! Makanya
dikurang-ajari cewek! Siang hari Aries menenggelamkan rasa malunya di balik kekerasannya
sebagai pemimpin perusahaan. Dia tampil tegar. Garang. Sulit diajak
kompromi. Karyawan yang malas dipindahtugaskan. Yang tidak berprestasi di-PHK Yang
terlalu santai diberi peringatan keras.
Aries semakin berubah tatkala tiga tahun kemudian ayahnya kena serangan
stroke yang kedua. Kali ini dokter tidak berhasil menyelamatkan jiwanya. Titah Bintang
Dewabrata meninggal dalam pelukan istrinya. Di tengah-tengah anak-menanrunya.
Ketika menyadari ayahnya sudah pergi, Aries semakin didera perasaan
bersalah. Bapak tak akan pernah sempat lagi melihat anaknya. Tak sempat
lagi melihat Aries menepati janjinya. Bapak sudah keburu pergi.'
Sekarang apa pun yang dilakukan Aries tak ada artinya lagi bagi ayahnya.
Karena Bapak sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi. Perceraian Aries
sekalipun tak dapat lagi membuatnya bahagia.
Jadi tak ada lagi yang dapat kulakukan untuk ayahku, sesal Aries setiap saat.
Kecuali melanjutkan kariernya sebagai pemimpin perusahaan. Memajukan
pabrik rokok yang sudah menjadi separo hidupnya/
Karena itu Aries menempa dirinya menjadi pengganti ayahnya. Dan untuk
menggantikan ayahnya, dia harus mengubah sikapnya. Mengubah
penampilannya. Mengubah sifatnya.
Tetapi jika orang-orang mengira perubahan sifatnya adalah titisan sukma
ayahnya yang sudah meninggal, mereka keliru. Aries berubah drastis sebagai
reaksi pembelaan diri. Karena tanpa membungkus dirinya dengan tameng
itu, dia sudah lama hancur.
"Dia sudah berubah," desis Taurina antara kagum dan heran kalau dia
sedang menyaksi-Jcan adiknya memimpin rapat. "Dia berubah sangat cepat!"
Hanya Aries yang tahu, kalau malam dia menjelma kembali menjadi Aries
yang emosional. Aries yang memimpikan anaknya. Mendendam kepada
istrinya. Sekaligus merindukannya.
Empat tahun dia memendam perasaan itu sampai suatu hari Sagitaria
melemparkan sehelai foto ke atas meja tulisnya.
"Masih kenali bidadarimu"" sindirnya sarkastis sekali. "Atau aku yang sudah
harus ganti kacamata""
Memang Sagitaria belum pernah melihat Vania. Tetapi dia sering melihat
fotonya di kamar Aries. Dan Sagitaria wanita yang sangat cerdas. Daya
ingatnya kuat. Apalagi perempuan itu belum banyak berubah.
Rupanya hidupnya bahagia, gerutu Sagitaria sengit. Menipu sana menipu
sini. Mengelabui setiap pria bodoh yang lewat di depannya! Ma-kanya dia
awet muda! Tampangnya hemat!
BAB XIX ARVAN suka sekali membantu ibunya menyiapkan sarapan. Dia sudah bisa
meletakkan air jeruk yang diperas lininya di atas meja. Menuang susu ke
dalam mangkuk berisi cornflakes. Mengambil roti bak
ar yang melompat keluar dari toaster dan menaruhnya di piring ayahnya. Meskipun untuk
melakukan semua, itu dia harus memanjat ke atas kursi.
Dia juga suka sekali duduk di atas benchtop granit dekat kompor. Menonton
Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ibunya membuat omlet Vania membiarkan anaknya sekali-sekali membantunya. Mengocok telur.
Sebenarnya bukan mengocok. Cuma mengaduk-aduk. Me-
T masukkan irisan bawang, keju, jamur, dan ham ke dalam adukan telur itu.
Lalu dengan susah payah karena agak berat untuk anak seumur dia,
menuangkannya ke tempat mendadar telur.
Beberapa kali telurnya tumpah. Berceceran ke lantai. Sekali malah
cambungnya ikut jatuh. Pecah berderai. Tetapi Vania tidak pernah
memarahinya. Dia malah tersenyum melihat kelucuan anaknya.
"Ma! Mangkoknya pecah!" teriak Arvan dengan mata membulat sebesar
kelereng. Arvan memang bukan hanya lucu. Dia pintar. Rajin. Suka membantu ibunya.
Meskipun sering kali lebih banyak merepotkan daripada membantu.
Setiap pagi Arvan menolong ibunya. Dia mau melakukan apa saja yang
dikerjakan Mama. Dia bahkan sudah bisa mengambil koran dan
meletakkannya di atas meja tempat ayahnya duduk.
Sejak ayahnya pergi, dia tetap melakukannya. Tetapi setiap kali menaruh
koran itu, dia menoleh ke arah ibunya dan mengajukan pertanyaan yang
sama. "Nanti Papa pulang ya, Ma""
"Belum tahu, Sayang. Mungkin Papa masih repot."
"Papa naik mobil, Ma""
"Enggak dong. Papa naik kapal terbang. Kan mesti nyeberang laut. Mobil
nggak bisa berenang, kan""
"Tapi yang balusan blenti di depan mobil, Ma. Pasti Papa."
Tanpa dapat dicegah lagi Arvan berlari dari dapur ke ruang tamu. Vania
tergopoh-gopoh mengangkat telurnya dan mematikan kompor.
Saat itu terdengar pintu diketuk. Tanpa ragu-ragu Arvan menyeret kursi.
Memanjat dengan gesit Dan membuka kunci pintu.
"Arvan!" seru Vania sambil berlari keluar dari dapur. "Tunggu! Jangan dibuka
dulu!" Terlambat. Arvan sudah melompat turun dan membuka pintu.
Vania tiba tepat di belakangnya ketika daun pintu terbuka lebar. Dan
matanya terbelalak kaget mengawasi pria yang tegak di hadapannya.
"Halo, Vania," sapa Aries dingin. "Atau aku harus memanggilmu Catalina""
Rudi tidak menyangka foto yang diperlihatkannya kepada kakaknya akan
membawa petaka. Dia malah gembira ketika keesokan harinya Rangga
memberi harapan. "Gita suka sekali sama anakmu," katanya
lega. "Dia malah meminjam fotonya. Katanya untuk ditunjukkan pada
keluarganya." Rudi juga ikut lega. Dan tidak sempat berpikir untuk apa istri Rangga yang
judes itu meminjam foto anaknya. Malah membawanya untuk diperlihatkan
kepada keluarganya segala" Kan tidak mungkin mereka tertarik untuk
menjadikan Arvan bintang iklan rokok mereka"
"Hari ini aku akan membawamu ke pabrik," sambung Rangga bersemangat.
"Akan kuper-lihatkan padamu hasil karya istriku. Gita memang hebat sekali.
Pabrik kita maju pesat, Rud."
"Aku lebih suka ke kuburan Ayah saja," sahut Rudi lesu. Untuk apa melihat
pabrik" Dia hanya ingin melepas haknya atas pabrik dan ramah warisan
Ayah. Lalu membawa uangnya untuk Catalina....
Ah, rasanya rindunya kepada Catalina dan Arvan hampir tak tertahankan
lagi. Kalau urusan warisan ini cepat selesai, dia bisa pulang secepat-cepatnya....
"Kan kemarin sudah," bantah Rangga kecewa. "Sejak datang kamu sudah tiga
kali ke kuburan Ayah. Mendingan hari ini kita ke pabrik." Mumpung Gita
tidak ada. Dia sedang mengunjungi adiknya.
"Aku tidak tertarik pada pabrikmu."
"Cuma pada sahammu"" sindir Rangga kecewa.
"Mas tidak usah membeli sahamku," K\x6i menghela napas berat. "Tidak
usah menjual rumah ini. Beri saja aku uang, Mas. Berapa saja. Dan semuanya
akan menjadi milik Mas Rangga. Jika Mbak Gita ingin kita ke notaris..."
"Kenapa harus buru-buru begini, Rud"" desah Rangga bingung. "Kesannya
kamu seperti cuma mau meraup uang warisan Ayah...."
Tapi aku tidak punya waktu lagi, ratap Rudi dalam hati. Aku sedang
berlomba dengan maut! Haruskah aku berterus terang pada Mas Rangga" Atau... dia justru takut
uang warisan Ayah jatuh pada tangan yang tidak berhak" Uang itu hanya
numpang lewat. Rudi tidak sempat mencicipinya karena dia keburu mati!
Tapi... apa dia punya pilihan lain" Ca
talina menolak pulang ke Indonesia.
Artinya mereka tidak bisa menikah. Rudi tidak dapat mewariskan miliknya
kepada mereka. Satu-satunya jalan hanyalah menjual seluruh miliknya. Di Indonesia dan di
Australia. Lalu memberikan uangnya kepada Catalina.
Dengan uang sebanyak itu, Rudi yakin Catalina dapat melanjutkan hidupnya
bersama Arvan. Dia tidak usah takut lagi kekurangan uang.
Tak terasa air mata Rudi meleleh ketika membayangkan mereka. Dua orang
yang paling dicintainya. Mula-mula Catalina memang masih menjaga jarak. Ketika pindah ke
rumahnya, dia meirdhh tidur bersama anaknya di kamar lain.
Rudi tidak pernah memaksa. Dia membiarkan semuanya berlangsung seperti
apa adanya. Seperti air mengalir. Tenang. Pasti. Namun menghanyutkan.
Delapan bulan mereka hidup serumah tapi tidak sekamar. Catalina sibuk
mengurus rumah dan merawat bayinya. Dia melayani Rudi makan. Mencuci
pakaiannya. Menyiapkan semua keperluannya. Tapi tidak ikut masuk ke
kamar tidurnya. Sampai suatu hari, pada ulang tahun Arvan yang pertama, terjadi perubahan.
Perubahan yang sangat diharapkan Rudi. Yang sudah lama dirindukannya.
Tetapi tidak pernah berani diungkapkannya.
Hari Jumat petang sepulangnya dari kantor, Rudi membawa Catahna dan
Arvan ke Central Coast. Mereka menuju ke Pantai Ettalong, kira-kira
sembilan puluh menit perjalanan dengan mobil dari Sydney.
Hari itu cuaca buruk. Hujan deras mengguyur Sydney. Jarak pandang hanya
setengah meter. Meskipun cuaca masih cukup terang karena baru pukul lima
sore. Sejak berangkat dari rumah, lalu lintas sufa macet Maklum akhir minggu.
Hujan lebat pula. Semua mobil harus merangkak. Pasti sangat menyebalkan
untuk pengemudi lain. Te-tapi buat Rudi, inilah kebahagiaan terbesar yang
pernah menyinggahinya hampir sebelas tahun terakhir ini.
Sejak istri dan anaknya tewas dalam kecelakaan mobU, Rudi tidak pernah
lagi berwisata ke luar kota. Akhir minggunya dihabiskan bersama teman-temannya di pub. Atau di kafe.
Rudi bukan pemabuk. Bukan pecandu kopi. Tapi mengobrol selama tiga-empat jam bersama teman-temannya menghilangkan kenangan atas sebuah
tempat yang pernah disebutnya rumah. Semenjak istri dan anaknya tewas,
tempat itu tidak ada lagi. Dan rumah hanya menjadi kandang untuk
membaringkan kepala. Lalu tiba-tiba, muncul seorang bidadari yang laksana terbuang dari
swargaloka. Bidadari yang terdampar di mayapada bersama seorang bayi
lemah yang membutuhkan perlindungan sepasang lengan yang kokoh.
Semangat Rudi seperti terbangun kembali. Dia seperti disentakkan dari tidur
yang lama. Rumah yang sudah lama hilang kini menjelma kembali. Hangat
Tenteram. Membelai. Pulang kerja, Rudi tidak usah lagi melarikan diri ke kafe. Atau
menenggelamkan diri di an-
tara busa alkohol. Dia malah selalu ingin buru-buru pulang. Karena di
rumahnya kini menanti seorang wanita cantik dengan senyum lembut dan
sapaan hangat. Ada lagi hiburan yang membuat Rudi semakin keranjingan di
rumah. Arvan. Kalau dilihat satu per satu, tidak ada bagian yang menarik dari wajah bayi
itu. Kepalanya besar. Rambutnya jarang. Rahangnya empat persegi. Dagunya
bercelah. Pipinya tembam. Mulutnya lebar. Hidungnya besar. Matanya bulat
dan agak menonjol seperti mata ikan mas-koki. Tapi kalau dijadikan satu,
mengapa dia justru tampak sangat lucu"
Belum lagi tingkahnya yang menggemaskan. Senyumnya yang menggoda
menantang kecupan. Tawanya yang terkekeh manja. Pipinya yang montok
minta dicubit. Pokoknya semua membuat orang yang menggendongnya tidak
mudah untuk melepaskannya lagi.
Sekarang bukan hanya Catalina dan bayinya yang membutuhkan tempat
untuk menumpang. Rudi juga membutuhkan mereka untuk menyemarakkan
hidupnya. Dengan mereka di sampingnya, tak ada kesepian yang terlalu menyiksa. Tak
ada kesibukan yang terlalu melelahkan. Bahkan tak ada kemacetan yang
terlalu menjemukan. Rudi bergurau terus sepanjang jalan. Sekali-
sekali Catalina tertawa menyambut kelakarnya. Sementara di bangku
Kuil Atap Langit 1 Jaka Sembung 5 Air Mata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur Back To Libur 2