Pencarian

Cinta Tak Semudah Kata 2

Cinta Tak Semudah Kata C.i.n.t.a Karya Azizah Attamimi Bagian 2


"Aku gak perduli..."
"Tapi aku perduli!" Aku membentak, memutus kalimatnya yang tak selesai. "Sudahlah, perpisahan ini bukah akhir dari kehidupan. SMA saja aku belum lulus, aku ini masih muda, masih remaja. Perjalanan hidupku masih panjang, aku gak mau hidup dengan masalah percintaan yang tak jelas dan tak penting seperti ini!"
"Ami"! Mudah kamu bilang gitu sama aku" Kamu gak mikir gimana perasaan aku sekarang ha"! Omongan kamu itu udah nyiksa aku, kamu sadar kan aku ini cinta sama kamu"!"
"Semoga kau bisa menemukan yang jauh lebih baik dari aku..."
44 "Ami!" Bentaknya tak tahan lagi dengan sikapku. "Kamu sungguh keterlaluan. Bisa -bisanya kamu ngomong gitu sama aku! Kamu itu punya perasaan gak sih" Jangan buat aku gila Ami!"
Aku masih menahan emosiku yang terbakar kesedihan dan kekecewaan ini. Aku tak mungkin meledak di hadapannya. Aku tak boleh terlihat lemah, aku bisa walau tanpa dia.
"Jangan terlarut dalam urusan cinta. Hidup mu juga masih panjang. Cinta itu gak cuma satu, cinta itu bisa saja menjerumuskan. Sudahlah, sudah cukup semua sudah selesai sekarang. Aku harap ini adalah akhir dari segalanya. Selamat tinggal..." Aku berbalik dan melangkah meninggalkan dia sendiri.
Tetesan gerimis menderas. Ah! akhirnya jatuh juga air mataku. Siapa yang tahu aku sedang menagis sekarang" Tetesan mataku bercampur dengan tetesan air langit ini.
Dinginnya hujan menusuk di hati, aku harus bertahan walau perpisahan ini menyayat hati. Rasa penyesalan pun turut menghantui hari -hariku. Sekarang hanyalah bagaimana aku harus melupakan dia. Melupakan sebuah perasaan yang aku berikan pada seorang yang salah.
Apa aku telah sungguh jatuh cinta pada Aim" Apa yang aku ketahui tentang
yang namanya Cinta" Satu kata itu hanya akan menyakitkan aku. Kenapa harus dia
yang menjadi seorang berharga dalam hidupku" Bisakah aku melupakan dia dan
menemukan seorang yang lain" ***
Enam,,, "Putus!" Itu adalah kata terakhir yang selalu aku lontarkan pada semua bekas pacarku yang aku pacari selama kurang dari seminggu, bahkan lima hari.
"Apa"!" Matanya mendelik. Namanya Donni, dia adalah pacarku yang ke lima bulan ini.
"Iya aku minta putus..."
"Ami kamu itu sadar kan" Kita belum genap dua puluh empat jam jadian dan sekarang kamu langsung minta putus""
"Sulit aku jelaskan sama kamu, kamu juga gak akan ngerti..." "Iya tapi kenapa" Kenapa kita gak coba dulu Ami""
"Cinta itu bukan untuk dicoba -coba Don, sorry aku tetap inginkan kita putus." Aku bengkit dari dudukku disebelahnya dan pergi meninggalkan dia sendiri di kelas.
Kenapa aku ini" Donni itu tidak buruk, dia baik. Kenapa aku jadi seperti ini. Sudah berapa kali aku pacaran" Apa ini karena Aim" Apa aku melampiaskan kekecewaanku karena Aim" Lelaki itu memang belum sepenuhnya pergi dari hati dan pikiran ku, lalu kapan akan pergi"
45 Aku melayang menatap air mancur yang terus mengucur tinggi di tengah gazibu taman sekolahku. "Ibrahim..." Panggilku pelan.
"Masih Aim Mi"" Sahut Dessy yang menghampiri aku. Aku tersenyum. "Wanna forget him but still..."
"Pacaran, jadi, putus kurang dari lima hari. Itu bukan cara melupakan Aim, yang ada kamu akan terus ingat dia."
"Aku gak tau harus gimana lagi."
"Jujur, walau uda h putus kalian berdua masih kompak aja ya." Aku mengernyitkan dahiku. "Maksudnya"" "Kamu sama Aim itu mengalami kasus yang sama." "Maksudnya"" Aku semakin tidak mengerti saja. "Pacaran kurang dari seminggu udah langsung putus."
"Aim juga""
"Iya." Dessy tersenyum. "Dia kan sering kerumah curhatin luka hatinya dia abis putus sama kamu."
"Ah sudah! Aku gak mau ngomongin dia lagi. Yang ada aku tambah gila nanti." "Ya udah terserah kamu saja. Sebenarnya aku cuma mau kasih tahu kamu satu hal penting koq."
"Apa"" "Jangan buat cowok -cowok itu sakit hatinya karena satu kata 'putus' kamu itu. Kasihan mereka kecewa sama kamu, mereka juga punya perasaan Ami, seperti kamu sendiri yang sedih karena putus dengan Aim."
Aku hanya selalu menghela nafas panjangku. "Iya Des, mungkin aku harus menutup diri dari semua laki -laki sekrang. Ya setidaknya sampai aku menemukan seorang yang benar pas di hatiku."
"Aku bisa mengerti itu..."
Apa yang dikatakan Dessy benar. Mereka hanyalah korban dari pelampiasan sakit hatiku yang tak berujung. Oh GOD! Kenapa hidup harus dengan cinta"! Aku dan hidupku dikacaukan oleh sebuah perasaan yang kita sebut cinta!
Aku melentangkan badanku yang nyaris rubuh kelelahan di atas tempat tidur. Ku coba pejamkan mata, Ah! Selalu saja! Yang terbayang hanya wajah Aim tersenyum padaku. Kalau begini terus aku akan segera gila. Aku terjaga, dan memilih berkumpul bersama Ayah dan Mama di depan tivi.
Aku menggaruk -garuk rambutku yang semakin acak -acakan. "Punya apa
Ma"" "Tanya punya apa." Sahut Ayah yang tak beralih dari channel beritanya. "Ya maksudnya tuh..."
"Mama punya melinjo goreng ada di dapur." Sahut Mama yang selalu dengan senyumannya.
46 Tanpa babibu lagi aku menyeret sandal ku ke dapur. Tengok sana tengok sini, dimana" Hem... mau makan melinjo saja harus pusing cari sana sini. Ah! Disitu kau rupanya, pantas saja tak terlihat toplesnya ketutupan panci besar sih. Ku buka dan aku ambil sekeping. HAiksh! Ini melinjo apa jamu" Pahit! Sepertinya Mama terlalu garing menggorengnya.
"Mana melinjonya Mi"" Teriak Ayah.
"Iya sebentar..." Sahutku membalas teriakan Ayah.
Melinjo, sepertinya ini symbol dari kehidupan. Hidup itu pahit! Ya walau semua pahit, manis, asam, asin bersatu padu, itulah hidup. Well aku kembali ke depan tivi dengan toples melinjo yang ku peluk sepenuh hati. Ku letakkan di atas meja dan aku duduk di lantai depan Mama.
"Memangnya Ibrahim jadi mau di bali"" Tanya Mama pada Ayah yang sedang mengobok -obok toples melinjo.
Aku tercekat. Aim ke bali" Ngapain"
"Ya jadi. Disana sudah ditunggu sama Arman dan Vivi."
"Ngapain Ma"" Tanyaku pelan seolah perduli.
"Kerja..." "Kerja apa Ma""
"Gak tahu, Ibrahim kerja apa Yah""
"Suruh ngurus hotel katanya. Jadi assistan maneger mungkin..."
"Kapan Yah"" Aku menyipitkan mataku.
"Besok mau berangkat..."
Hah"! Besok"! Aim koq gak bilang sama aku sih"!
"Besok naik bus Jakarta -Denpasar. Tiketnya tiga ratus, jam satu berangkat dari sini katanya..." Lanjut ayah tanpa perintah.
Hatiku semakin gusar, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Aim akan berangkat besok dan meninggalkan aku dalam waktu yang sangat lama. Jam satu, bagaimana mungkin besok sepulang sekolah aku akan mengejarnya, sedangkan jam pulang sekolahku pukul satu lewat lima belas. Pasti busnya sudah datang dan aku tidak akan bertemu dengannya lagi.
Ah! Aku gak bisa tidur kalau begini!
Pelajaran apa ini"! Sejak tadi pagi aku tak bisa mencerna semua penerangan yang diberikan oleh guruku hari ini. Rasanya seperti disuntik -suntik, kursi ini sangat mengerti kalau aku tak ingin berlama -lama duduk diatasnya. Jam dinding sudah menunjukkan tepat pukul satu, tapi Pak Ridwan terus mengoceh tanpa lelahnya. Jam, Bis, kalian harus tunggu sampai aku selesai dulu. Aim tunggu aku...
Kriiiingggg!!!! Akhirnya bel bunyi juga.pelajaran hari ini berakhir sudah. Bergegas aku berlari keluar kelas, menyelip barisan murid -murid yang keluar dengan tujuan berbeda. Ah
47 sial! Aku hampiri semua angkot yang nangkring di pinggiran jalan ternyata sudah full semua. Bingung harus naik apa sekarang.
"Donni!" Aku berteriak memanggil Donn
i yang kebetulan lewat di hadapanku.
Seketika Donni menghentikan motornya. "Ami"! Eh aku antar pulang yuk""
"Kebetulan, tolong antar aku ke tempat agen bus pariwisata ya""
"Ngapain""
"Udah jangan banyak tanya, aku ada urusan penting. Aku harus segera kesana..." Aku segera naik di boncengannya.
Swerr!! Kami langsung meluncur. Ya Tuhan izinkan aku bertemu dengan Aim untuk yang terakhir kalinya. Aim tunggu aku...
Motor terhenti, aku sampai dan segera turun. "Makasih ya Don..."
"Sama -sama, perlu aku tunggu""
"Gak usah, aku pulang sendiri aja..."
"Okay, aku pulang..." Pamitnya dengan senyuman.
Donni pergi, dan aku temui para calon penumpang yang sedang menunggu bis dengan tas bawaan mereka yang besar -besar.
"Bis Jakarta -Denpasar sudah berangkat"" Tanyaku pada seorang petugas laki -
laki. "Wah sudah setengah jam yang lalu dek..." Katanya.
Ya TUHAN! Kenapa bisnya sudah berangkat" Aku sungguh ingin sekali bertemu dengan Aim sekrang, setidaknya untuk yang terakhir kalinya. Aku sungguh sayangi dia, aku hanya ingin katakan itu saja.
"Ami"" Seseorang memanggilku dari belakang.
Aku menolehi panggilan itu. "Aim"!" Sahutku yang langsung tersenyum pada seorang lelaki dengan sebotol air mineral di genggamannya. Aku bergerak cepat kearahnya dan kupeluk dia dengan erat.
"Ngapain kamu disini"!" Tanya Aim yang berlagak marah.
Aku melepas pelukannku. Ku pukul dia. "Kenapa gak bilang mau pergi"!" Air mataku mulai mengucur.
Aim tersenyum, tangannya yang hangat mengusap pipiku yang basah. "Aku memang sengaja gak kasih tahu kamu..."
"Kenapa"! Mau bikin aku gila kehilangan kau"!"
Aku kembali dipeluknya. "Aku gak mau bikin kamu sedih, tapi kalau justru bikin
kamu gila, aku minta maaf ya""
"Kalau saja kau bukan abang tiriku, pasti aku gak akan izinkan kau pergi..." "Aku sayang sama kamu Mi. Dan aku akan selalu sayang sama kamu..." "Aku juga sayang sama abang. Maafkan sikap aku selama ini..." "Udah." Aim melepas pelukannya. "Aku mengerti benar kenapa kamu sampai
tega bersikap begitu sama aku. Kamu gak perlu minta maaf ya"" Aku tersenyum.
48 "Bandung -Denpasar, lima menit lagi bisnya datang. Para calon penumpang silakan bersiap..." Kabar seorang petugas.
"Aku mau berangkat, jaga diri kamu baik -baik ya..." Katanya tersenyum.
"Abang..." Panggilku dengan derai air mata yang semakin menjadi.
"Sudah jangan menangis. Aku pergi cuma sebentar koq, lagi pula ini untuk masa depanku, seharusnya kamu support aku dong bukannya malah nangis gini bikin aku tambah berat jadinya..." Ia mengambil sapu tangan dari kantong celananya dan mengusap air mataku.
Bis datang, Aim melepas tanganku dan turut pergi bersama bus itu. Aku hanya bisa mengusap air mataku denegan sapu tangan peninggalannya. Menarik nafas dan membuangnya dengan keras. Menahan air mata yang terus keluar membasahi mukaku.
Ya Tuhan.. Lindungilah lelaki yang sangat ku cintai ini..
Buatlah ia sukses dalam perjalanan kariernya di sana.
Dan, kembalikanlah dia padaku dalam keadaan utuh hingga hatinya..
Sekarang hidupku sudah benar -benar sepi tanpa kemunculan maupun kabar dari Aim sebagai abang tiriku sekalipun. Setiap kali aku kerumahnya yang kulakukan hanya menatapi wajah adikku yang juga adiknya, Adin. wajahnya sungguh mirip dengan Aimku. Membuat aku selalu ingat masalalu bersamanya.
"Adin! Kenapa kamu mirip sekali sama abngmu yang jellek itu ya""" Aku mengusap kepalanya.
"Ha" Abang yang mana kak""
"Ah gak jadi..."
Tujuh,,, Tak terasa, sudah dua tahun ternyata aku telah melewati hidup tanpa seorang Ibrahim Imran. Tapi, tak sedikitpun aku lupa akan dia. Setiap waktu tenggangnya ia masih sempat untuk membaca dan memandangi kenangan yang aku miliki dengannya dulu. Aku tak mampu berbuat apapun, tapi aku hanya bisa berdoa bahwa jodohku maka dekatkanlah kembali padaku.
Lalu, bagaimana Aim sekarang ya" Gemukan atau tambah kurus ya" Ah tak sabar ingin ketemu dia lagi. Sungguh aku merindukan dia, setiap kali merayakan acara keluarga dia tidak pernah hadir. Termasuk pernikahan kakakku Hania, setahun lalu. Hem!! Tapi malam ini aku dan semua keluargaku akan menyambut kedatangannya kembali dirumah Mami.
Kami semua be rkumpul mendapat undangan dari Mami untuk menyambut kedatangan Aim dari pulau kecil itu. Entah apa yang akan dia tunjukkan padaku sebagai oleh -oleh. Tapi yang penting aku senang bisa menyambutnya malam ini. Aku dan
49 kakakku membantu menyiapkan hidangan lezat yang harus berjejer rapi diatas meja. Sebagai penghormatan dariku, semuaku pastikan sempurna.
"Mi, tas kak Emma ada di mobil, minta tolong ambilkan ya"" Pinta Kak Emma yang sedang menggedong anaknya, padaku.
Aku hanya mengangguk dengan senyuman, dan aku lekas lakukan perintah.
Cuit cuit! Kunci terbuka aku buka pintu belakang. Membungkukkan badan dan lihat apa yang ada di bagian bawah ternyata ada tas hitam milik kakak yang tertinggal. "Ami..." Panggil seseorang dari luar mobilku.
Aku keluarkan kepalaku sedikit. "Aim..." Aku tersenyum. Lalu aku keluar dengan tas kak Emma yang tertinggal.
Sungguh mengejutkan aku bertemu dia langsung sebelum di atas meja makan. "Hey, apa kabar"" Katanya malu -malu. "Aku baik, abang sendiri gimana""
"Aku juga baik. Kata Adin sekarang kamu udah kuliah semester empat ya"" Aku tersenyum. "Iya, bentar lagi aku jadi bidan bang. Abang sendiri gimana" Gemukan sekarang, bettah di Bali"" "Enak gak enak di sana..." "Enaknya apa""
"Enaknya, aku bisa menghasilkan di sana." "Gak enaknya""
"Gak enaknya, disana aku gak bisa ketemu langsung sama kamu. Cuma mandangi selembar fotomu yang selalu aku bawa kemana -mana." Rayunya dengan senyuman maut andalannya.
Aku tersenyum tersipu sungguh malu. Aku sungguh tersanjung dengan gombalannya. Tak berubah sedikitpun, sejak dulu sampai sekarang, dia tetap suka merayu dan memujiku. Ah aku rasa penyakit yang sudah nyaris sembuh dalam dua tahun hari ini harus kambuh lagi. Sungguh aku sangat bahagia saat ini..
"Gimana kamu gak ada aku""
"Gak gimana -gimana. Biasa aja..." Jawabku menggodanya.
"Heh! Memangnya kamu ini gak kangen apa sama abang mu ini ha"!"
"Aku hanya kangen sama seorang yang udah kasih aku ini..." Aku tunjukkan selembar sapu tangan coklat yang dia berikan dua tahun yang lalu sebelum keberangkatannya dulu.
Giliran Aim yang tersenyum malu. "Ami, Ami..." Katanya. Kedua tangan Aim melebar hendak memelukku.
"Eits..." Aku tarik badanku kebelakang.
Seketika gerak tangannya tercekat. "Kenapa""
"Gak enak kalau ada yang lihat." Aku tersenyum geli melihat ekspresi wajahnya. "Aku mau masuk."
50 "Ya udah ayo..."
Kami berdua saling tersenyum sendiri. Baru beberapa langkah dari mobilku, seorang perempuan yang kurasa setahun dua tahun lebih muda dariku datang menghampiri kami. Penampilannya cukup membuatku Wew! Lebih tinggi dari aku, rambutnya bergelombang habis dari salon, dan tubuhnya slim sekali. Sepertinya dia bukan dari golongan anak -anak pendiam. Alias kelewat gaul, seksi gituloh...!
"Ah disini ternyata kalian. Ayo masuk, Aunty udah tunggu kalian..." Katanya dengan nada dan gaya yang rada centil ku dengar.
"Siapa dia"" Tanyaku dengan kedua alis terangkat.
"Ah ternyata kakak belum kenal aku. Kenalin aku Inez..." Dia menjulurkan tangannya padaku.
"Anaknya Om Arman, dan tante Viviana..." Jelas Aim.
Secuil tentang Inez. Anak dari uncle Arman, dan Aunty Viviana yang merupakan adik dari Mami Imnan. Jadi, dia adalah sepupu Aim yang berasal dari Bali. Pulau kecil yang penuh dengan kebebasan. Aku bisa lihat gaya hidup yang bebas dalam diri Inez. Entah kedatangannya untuk apa kemari, karena aku belum pernah bertemu dia dalam event apapun.
Aku hanya menyalaminya dan kembali masuk dalam rumah. Duduk bersama di meja makan, Aim duduk tepat dihadapanku sedang perempuan yang bernama Inez itu justru duduk tepat di sampingnya. Iri" Ya aku memang Iri pada perempuan itu! Lebih tepatnya jelous!
"Sebelum makan malam di mulai, Mama mau minta tolong pada anak -anak semua. Bulan depan Ibrahim akan bertunangan dengan Inez..." Kabar Mami dengan senyum bahagianya.
What"! Aku terbelak. Seperti digampar di muka umum, sangat sakit dan malu sekali. Aku tersambar petir! Apa -apaan ini"! Kenapa ini yang aku dapati" Aku pandangi wajah lelaki yang duduk tepat di seberang sana. Tak sedikitpun ia mengangkat wajahnya menghadapku. Matanya tak menga
takan satupun pembelaan. Kenapa kamu gak bilang sama aku" Kenapa justru kamu menyapaku dengan semua gombal mautmu yang selalu membuat aku tersanjung dan melayang tinggi"!
Aku telan ludahku bulat -bulat. Ku tahan air yang semakin menggenangi mataku. Jantungku berdegug kencang, dadaku rasanya sulit bernafas lagi. Aku tahan rasa sakit ini demi Ayah dan kakak -kakakku. Semua hambar kurasa, aku ingin segera pergi dari sini!
Sesampainya dirumah, aku langsung berlari ke kamar dan mengunci pintu rapat -rapat. Tangispun meledak, tak kuasa aku mengendalikan tubuhku yang semakin terasa lemah. Aku lentangkan tubuhku di tempat tidur. Menangis dan menangis, hanya itu yang bisa aku lakukan untuk membuat hati ini lebih tenang.
51 Ya TUHAN, kenapa ini yang aku dapati malam ini. Sebuah kekecewaan dan sakit hati yang mendalam. Aku cinta dia, tapi dia tak cintai aku hingga tega berbuat begitu di hadapanku.
Jam semakin menunjukkan waktu malamnya. Tapi aku tetap tak bisa memejamkan mata, karena terus memikirkan kekejamannya. Memeluk guling, mengusap air mata, menatap bulan sabit di jendela. Entah apa yang dipikirkannya, hingga ia tega membuat aku seperti ini. Aku tak bisa menerima ini semua begitu saja. Aku tak seperti Mama yang rela berbagi Ayah dengan wanita lain. Hanya orang terpilih yang bisa lakukan itu, dan itu bukan aku!
Mutlak! Semalam penuh aku tak bisa tidur, aku langsung menghubungi Aim meminta untuk bertemu pagi -pagi sekali di tempat biasa, pinggiran sungai yang selalu menjadi saksi kisah cintaku yang tersembunyi.
"Sengaja bikin kejutan seperti ini buat aku"!" Bentakku pada lelaki yang berkacamata di hadapanku ini. Sejak semalam air mataku tak bisa aku hentikan tetesannya, hingga sekarang meledak dahsyat di depannya.
"Ami, jangan berkata seperti itu sama aku..."
"Lalu aku harus berkata apa ha" Selama ini kamu itu selalu melontarkan kata -kata manis, sapaan yang lembut, rayuan, gombalan. Semua hal yang manis yang bikin aku tersanjung. Dan sekarang aku justru menemukan hal yang paling menyakitkan tahu itu!"
"Aku juga gak mau seperti ini Ami..." Masih saja Aim dengan elakannya dan wajah memelas.
"Bohong! Kemarin saja kau masih merayuku, menyanjungku" Kau pikir aku percaya"! Jangan kira semua ini terjadi tanpa kata 'iya' dari mulutmu. Kalau kamu gak mau, ini semua gak akan pernah terjadi! Udah jangan bohong aku tahu koq kau itu..." Tanganku menyingkap kepala.
"Ami..." "Kau PENGHIANAT!" "Ami!" Bentak Aim kembali.
"Ah! sudah aku ingin ini benar -benar yang terakhir!" Aku mengusap wajahku, dan berusaha pergi.
"Ami tunggu!" Aku terhalang dengan genggaman tangannya. "Tolong dengar aku dulu. Semua ini ide Mamaku dengan Om Armand bukan aku Ami."
"Percuma! Sebenarnya dari awal kau itu tak pernah sungguh -sungguh dengan perasaanmu sama aku! Aku ini hanya sekedar cinta sesaatmu yang hanya pelampiasan rasa sepimu iya kan"!"
"Cukup! Jangan berkata yang seperti itu! Aku tahu kamu kecewa, tapi aku mohon agar kamu bisa mendengar dan mengerti semua penjelasan aku!"
52 Aku lemah, aku tak berdaya, aku benar -benar tak sangub lagi kali ini! Ya TUHAN kenapa lagi -lagi kau berikan aku cobaan seperti ini"! Aku benci jika harus membuang air mata untuk seorang yang tak menghargai perasaanku seperti dia.
Akupun jatuh dipelukannya.
"Maafkan aku Ami..."
Aku dorong dia, dan segera aku lari dari situ. Tak perdulikan Aim yang masih terus memanggil -manggil namaku berusaha terus menahan aku. Kali ini aku sungguh tak tahan berlama -lama dengan lelaki itu lagi. Kemarin aku selalu termakan omongan rayuan gombalan manisnya. Aku pastikan sekarang tidak akan ada lagi rayuannya yang mempan dipikiranku. Ini yang terakhir kalinya untuk semua jebakan raut wajah memelasnya. Semua harus berakhir! Aku muak!
Aku lekas kembali dalam mobil Honda jazz dan pergi dari tempat kenangan hitam yang sangat indah itu. Seratus kilo meter per jam, mungkin kecepatan itu sesuai dengan suasana hatiku saat ini. Rasa sakit, dan berat kepala semakin tak kuat untuk ku bebankan di atas. Seperti terlindas truck, hatiku benar -benar hancur tanpa ampun lagi.
Secuil Masa Lalu.. Ibrahim Imran. Seorang l elaki yang mengenalkan padaku CINTA. Yang berawal dari kekonyolan, dan kini berakhir dengan kepedihan. Bertahun -tahun aku menantinya, setia dengan cinta, karena dia akan datang membawa masa depan untukku. Tapi, semua terjadi begitu saja, waktu bertahun -tahun berlalu sekejap mata. Awal yang manis, penuh romantic harus kandas karena kesalahannya..
Oh Tuhan, kenapa hidup seperti ini. Dia adalah seorang pembohong yang telah
membuat aku terperangkap pada sebuah kenyataan perih. Semua seperti mimpi,
mimpi buruk yang tidak akan pernah terlupa. Sebuah goresan luka yang tak akan ada
obatnya. Kini aku sadar kenapa CINTA menjadi menu utama dalam hidup. Karena aku
harus menemukan penawar dari sakit yang aku rasakan sekarang. ***
Delapan,,, Hweeerrr!!!!! Pandangannya beralih, melihat mobil jazz hitam melaju sangat cepat iapun tersenyum takjub.
"Wew...." "Kenapa""
Ia hanya mengeleng. "Tak penting hanya mobil tadi sangat kencang. Seperti pengemudi yang sangat handal..." Kembali ia teguk minuman kaleng yang digenggamnya.
"So" Siapa namanya"" Tanya lelaki dengan sebotol miras di genggamannya.
53 "Ami, Amita Rorai..." Jawab Lelaki berjaket kulit hitam sambil tersenyum memandangi kaleng soda minumannya itu. Kemudian...
Perlahan roda mobil jazz berhenti di tengah kesunyian alam pantai yang sangat indah. Ami keluar memutuskan untuk habiskan kekecewaan dan duka hatinya di tempat ini. Ia sadar bahwa tak baik juga terus berlarut pada ini semua. Apa kata dunia nanti"!
Berjalan menyusuri pinggiran pantai yang indah, memijak di atas pasir pantai yang menyisakan pijakan kakinya. Memandang lurus cakrawala pembelah bumi dan langit. Tuhan itu maha adil membagi langit dan bumi tepat menjadi dua. Buih ombak, hembusan angin laut menerjang tubuhnya, tetap pandangan itu tidak goyah.
"Kau adalah penghianat, atau aku hanya gadis bodoh yang sudah masuk jebakanmu dulu"" Setetes air bening jatuh membasahi pipinya. "Harusnya aku sadar dari dulu, bahwa semua sikapmu selama ini hanya palsu sebatas niatmu tak pernah bersungguh sungguh padaku. Aku hanya cinta sesaatmu yang mengisi kosongnya harimu tanpa kehadiran seorang perempuan lain."
Kakinya terus melangkah menyusuri tepian pasir pantai yang sudah basah di guyur ombak. Menyisakan bekas pikjakan kaki, seperti halnya luka yang ia rasakan saat ini. Membekas, tapi akan terhapus oleh deburan air laut yang pasang, dan badai tepi pantai. Semua pasti bisa kembali seperti semula, perlahan tapi pasti.
Nafasnya di hembus lega, kini Ami lebih tenang. Tak terasa kesedihannya tadi sudah membawanya jauh dari tempat parkir mobilnya semula. Toleh kanan toleh kiri, jantungnya berdegup kencang mencerminkan rasa takut mulai mengintai dirinya yang sendiri di tempat yang sangat sepi.
"Lalu dimana aku sekarang"" Sesaat memandang keadaan sekitar mencari sesuatu. Ami terhenti, disana ia melihat ada sebuah gubuk bambu yang agak reyot dengan tumpukan kelapa hjau yang sangat banyak. Dan ada seorang perempuan yang sedang duduk sendiri di bangku kayu panjang di luar gubuk itu.
"Permisi"" Sapanya pada seorang perempuan paruh baya itu. Sungguh heran, wanita itu tidak melihat dan menyahutinya, bahkan ia tak merespon dengan ekspresi wajah apapun. "Ibu"" Ami menggerakkan tangannya di depan pandangannya, namun masih tetap dia tak perdulikan itu. Ada apa dengan ibu ini" Ami pun mencoba menepuk punggungnya, dan perempuan itu baru mengahadapnya.
"Mas, ini sudah datang..." Katanya masih tanpa rupa apapun.
Ami melangkah mundur dari hadapannya. "Masya'ALLAH! Sepertinya aku telah salah tempat." Kagetnya dalam hati. Satu demi satu, tiga orang pria suram dengan tubuh yang penuh tatto dan hanya menggunakan celana sangat pendek muncul dari dalam pintu warung yang gelap itu. Ah tak lupa seorang di antara mereka dengan botol miras yang entah apa merknya.
54 Ami tahu benar siapa mereka. Jantungnya mau copot saja, gemetar, berkeringat bercampur takut yang merajai otak Ami sekarang. Apa yang harus aku lakukan" Sementara mereka terus mendekat dengan tawa senyum yang dipenuhi setan di otak mereka. Satu, dua, dan Tiga! Segera Ami melangkahkan jurus kaki seribu. L
ari! Lari! Lari! Dan mereka terus mengejarnya. Astaughfirullah haladim! Ya Tuhan selamatkanlah aku! Teriak Ami dalam hati.
Ami mulai merasa lelah dengan kakinya, gerak semakin melambat, jangan sampai mereka berhasil menangkapku ya Tuhan...
Oh tidak! Seorang lelaki dengan jaket kulit hitam berada di depannya. Entah siapa lagi orang itu.
"Tollooooongg...!!" Ami berteriak padanya.
Lelaki itu mengeluarkan sebuah pistol dari balik jaketnya. Entah apa lagi, Amipun memejamkan matanya. Ia sungguh takut dan lelah. Ami telah jatuh di tangan seseorang, seperti dipeluk dengan erat. "Apa aku telah aman" Semoga bukan preman itu." Perlahan Ami buka sebelah matanya, melihat tiga preman itu terhenti karena pistol yang menuju arah mereka, lekas ia membuka kedua matanya lebar.
"Pergi atau Mati"" Kata lelaki yang mengamankannya dengan santai.
"Ayo kalau berani...!" Sahut seorang yang berambut gondrong.
"Okay..." Sahut lelaki itu membenarkan kuda -kudanya. "Dalam hitungan ketiga, lari..." Katanya berbisik pada Ami. "Satu... dua..., tiga!"
Seketika juga Ami dan lelaki itu berlari sekencang mungkin. Dan preman -preman itu mengejar mereka.
"Kita mau kemana"" Tanya Ami yang lari terbirit -birit.
"Kemana aja asal bisa selamatkan diri dari mereka!!" Jawabnya yang tak melepaskan gandengan tangannnya sedetikpun. "Kamu bukan polisi ya"" "Ya bukanlah, aku orang biasa!!" "Terus pistol tadi"!"
"Itu cuma korek biasa. Udah jangan tanya lagi, kita harus sembunyi sekarang!"
Lelah berlari, mereka bedua memutuskan bersembunyi di bawah truk box yang besar. Menyelip dan memperhatikan seksama langkah tiga pasang kaki yang tak beralas itu. Mereka masih berada tepat di samping truk kuning ini.
"Kenapa bisa ada kamu"" Tanya Ami dengan nafas yang tersengal -sengal.
"Shuttt!!! Jangan bersik, nanti mereka dengar..." Katanya mengecilkan suara.
Amipun diam sesuai perintahnya.
Tak lama bersembunyi, terdengar suara sirine polisi yang semkin mendekat. Entah ada urusan apa, tiga pasang kaki itu lekas lari terbirit -birit menjauh dari tempat. Thanks to God! Mereka selamat. Mereka benar pergi ketakutan dengan sirine polisi yang ternyata hanya patroli lewat jalan raya saja. Ami dan lelaki itu kembali keluar dari bawah truck.
55 Ami mengibaskan pakaiannya yang kotor berpasir. "Alhamdulillah...." Ucapnya bersyukur. "Makasih sudah menolong aku, gak tau gimana jadinya aku kalau tadi..."
"Udah sama -sama. Udah wajib nolong orang koq..." Kata lelaki itu sambil lalu membersihkan jaketnya. "Kamu gak papa kan""
"Alhamdulillah aku gak papa. Cuma lelah aja abis lari." Amu tersenyum. "Ya aku pamit dulu..."
"Iya hati -hati."
Senyum manispun di berikan oleh Ami pada lelaki itu kemudian berbalik dengan selangkah kaki. Spontan kakinya berhenti begitu saja saat ia teringat sesuatu.
"Dimana aku parkir mobilku ya" Ah sial! Aku baru ingat, mobilku tambah jauh lagi dari sini. Tadi tempatku agak sepi, terus di kejar tambah sepi, eh sekarang tempat wisata. Udah capek berlari, aku masih harus jalan balik rute yang tadi"! Oh no.. " Desah Ami.
"Ada yang bisa dibantu"" Lelaki itu kembali menghampiri Ami yang terlihat resah dan kebingungan.
"Aku, ah gak papa..." Elaknya gugup.
"Bawa mobil""
Ami tersenyum nyengir. "Dimana"" "He..." Senyum giginya melebar. "Itu dia, aku baru ingat mobilku ada di jauh
sana..." "Kalau kamu mau, aku antar naik mobilku. Aku antar sampai mobilmu saja. Jamin selamat gak pakai di kejar preman lagi." Katan lelaki itu dengan senyum yang tak kalah lebar dari senyum Ami tadi.
"Terimakasih, terimakasih sekali..."
Sungguh beruntung aku bertemu dengan orang muda, tampan, dan sudah berbaik hati menolongku dari kejaran preman -preman tadi. Jika dibandingkan, memang tak terlalu tampan dari pada Aim. Tapi aku bisa lihat dia jauh lebih baik dari Ibrahim Imranku. Dia gagah, tegap, terlihat jujur dan bertanggung jawab. Lalu, jika dia ada disini apa mungkin dia yang akan menolongku seperti lelaki ini" Ah! Buat apa aku juga aku memikirkan dia, lelaki yang jelas -jelas menghianati aku, mengecewakan aku dan sedikit lagi akan membunuhku. Batin Ami bergumam.
"Kenapa bisa sampai dikerjar orang itu""
"Ha" Aku juga gak tahu. Tadinya aku cuma mau cari pertolongan eh yang keluar malah orang -orang itu." Dia tersenyum.
Sampai juga di parkir mobilnya yang hanya sebatang kara. "Makasih udah mengantarku." "Sama -sama..."
Ami turun dan menenemui kembali mobil tersayangnya.
56 Cuit cuit! "Maaf tunggu.."
Ami menoleh, lelaki itu malah turun dari mobilnya. "Ada apa""
"Ini mobilmu""
"Iya, memangnya kenapa""
"Seratus kilo meter per jam. Tadi kamu ngebut kan"" Waw, hebat. "Koq tahu""
"Tadi aku lihat mobil itu kencang sekali. Seperti professional aja, eh gak nyangka kalau kamu yang bawa..."
"Ah aku baru dua tahun belajar mobil. Tadi aku hanya..." "Sudah, kamu terlihat lelah sekali. Sebaiknya pulang dan istirahat..." "Iya, sekali lagi terimakasih..." "Sama -sama..."
Ami kembali masuk mobil dan pergi dari tempat itu.
Lelaki itu tersenyum, selembar foto ia ambil dari balik jaket hitamnya. Foto seorang gadis beralis tebal, bulu mata lentik, mata indah yang tajam, hidung mancung bertindik, senyum yang manis, siapa lagi yang memiliki itu semua selain, Amita Rorai.
"Amita... Lebih cepat dari yang dijanjikan..." Katanya tersenyum.
Sementara Ami dalam mobil selama perjalanan...
Ami terus saja tersenyum sepanjang perjalanan pulang. Sungguh ia tak menyangka bahwa nyawanya akan diselamatkan oleh pemuda baik seperti tadi. Namun pirkiranya curiga, dari mana datangnya pemuda itu tiba -tiba langsung menolong Ami.
Darimana datangnya pemuda itu sampai dia muncul disaat yang tepat aku membutuhkan dia. Tapi ada yang ganjil, sungguh mustahil dia datang bak super hero dengan pistol tiba -tiba ditempat sepi, sunyi yang harusnya tidak ada seorangpun
disitu. Ah dia, harusnya aku tanyakan namanya tadi.
*** Sembilan,,, Sangat lelah setelah berlari sangat jauh tadi hingga Ami tak kuat menyeret kakinya masuk rumah.


Cinta Tak Semudah Kata C.i.n.t.a Karya Azizah Attamimi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ami" Dari mana" Jalan yang bener dong..." Suruh Kak Emma yang duduk dengan selembar bulletin di sofa depan tivi.
"Gak kuat aku kak mau angkat kaki..." Ami duduk di sebelahnya.
"Dari mana kamu""
"Aku abis di kejar orang jahat..." Ami melentangkan badanku di sofa. "Orang jahat gimana maksud kamu"!" Konsentrasi kak Emma beralih. "Gak penting, ceritanya panjang. Yang penting aku selamat, dan kakiku cuapek abis kak..." Ami menghela nafas sejenak. "Baca apa kak""
57 "Bulletin..." "Iya tahu bulletin, tentang apa gitu"" "Bulettin Ayah dapat dari pengajian..." "Iya. Tentang""
"Hukum anak dengan anak tiri..."
Sontak Ami beranjank duduk. "Maksudnya""
"Ah tanya terus kamu, nih baca aja sendiri." Kak Emma menutup lembaran bulletin itu dan memberikannya pada Ami. Ia pun pergi ke dapur.
'Anak tiri telah menjadi anak sendiri... orang tua menjadi suami/istri maka anak keduanya adalah saudara dan haram hukumnya bila dipasangkan...'
Ami ternganga membaca penggalan uraian dalam bulletin itu. Sungguh tak menyangka hubungan mereka adalah haram. Ya Tuhan, ampunilah kesalahan kami yang belum kami ketahui kemarin. Tapi" Yang mana yang benar" Dalam surah An Nisa duapuluh tiga di situ justru tidak di sebutkan mahram yang seperti itu. Sekarang Ami malah tambah semakin bingung. Kembalilah lagi kebimbangan Ami atas hubungan yang tak jelas antara dirinya dengan Aim. Mana yang benar sekarang" Atau memang hanya penafsiran Ayatnya saja yang kurang jelas sehingga mereka tak mengerti"
Tapi, itu semua sudah tidak penting lagi sekarang. Mau dilarang atau diizinkan semua sudah tidak ada gunanya. Aim telah pergi dari hidup Ami untuk selamanya dan menjadi miliki orang lain, orang yang sudah pasti halal untuk dimilikinya. Sia -sia sekarang semua usahanya dalam mencari kebenaran hukum selama bertahun -tahun. Tidak ada lagi Aim yang memaksa Ami untuk mencari tahu tentang kepastian hukum diantara mereka. Karena Aim telah pergi meninggalkan Ami. Mengetahui itu semua menambah luka yang semakin perih dihati Ami.
Dua mata indah itu kembali berkaca -kaca. Perlahan Ami menyeret kakinya yang semakin terasa berat kembali kekamar dan mengunci pintu rapat rapat. Tubuh itu lemah semakin tak berdaya, air mata terus membasahi seluruh mukanya.
Ibrahim Imran.. ,,,Apa salahku" Hingga tega kau Hianati ketulus
an cintaku, Ketulusan, yang tak akan pernah aku berikan pada selain dirimu.
Kedatanganmu, lebih buruk dari kepergianmu.
Membawah sebilah pisau yang menusuk dalam jantungku.
Aku terkapar dengan derai tangis untukmu.
Dan kau terpejam, tak melihatku.
Tanpa perduli dirimu, tersenyum dalam sedihku
Aku disini dengan cinta dan mimpi,
Kau disana dengan dirimu sendiri.
Kenapa ini terjadi begitu saja
Tak sesuai mimpiku Tak seperti anganku 58 Ingkan dirimu Mencari restu Ibuku Inginkan bahagia selamanya..
Bulir -bulir keringat mengguyur tubuhnya yang tergeletak di lantai. Nafas itu terdengar semakin berat dan perih dirasa. Setetes cairan kental berwarna merah perlahan mengucur dari hidungnya.
Tiba -tiba... Tok tok tok!!! "Ami!!" Teriak Mama memanggil Ami dari luar. Tapi tak ada suara menyahut dari dalam kamar Ami.
"Ami"! Ayo nak makan malam dulu...!!!" Panggil Mama terus berusaha membuka pintu tapi tak bisa. Perasaan curiga mulai menganggu pikiran Mama. Diam tak ada sahutan dengan keadaan pintu kamar terkunci dengan rapat, itu bukan kebiasaan Ami untuk tidur di malam yang sangat awal seperti ini.
Ayah, Kakak dan semua seisi rumah berkumpul di depan kamar Ami dan mendobrak pintu. Walhasil, pintu terbuka dan mereka semua menemukan Ami tengah tergeletak tak sadarkan diri dengan berlumuran darah dari hidungnya. Segera dibawa Ami ke Rumah sakit agar tertangani segera.
Tak lama terntangani petugas kesehatan, dua mata sembab Ami perlahan terbuka.
"Ma..." Panggilnya mendesah lemah nyaris tanpa suara.
Ayah dan Mama lekas mendatangi ranjang Ami. "Iya nak..." Sahut Mama yang dua matanya juga sembab karena menangis sejak tadi. "Aku dimana"" Suara Ami terdengar tak berdaya.
"Sekarang kamu ada di UGD nak, tadi kamu pingsan sambil mimisan..." Jelas
Ayah. "Pulang.. aku mau pulang..." Pinta Ami lemah. Matanya kembali terpejam seperti sedang mengigau.
Tak lama dari hasil pemeriksaan yang menunjukkan kondisi Ami tak terlalu parah, dokter mengizinkan Ami untuk beristirahat di rumah dengan beberapa resep obat.
Pintu kamar terbuka, muncul Kak Hani dari balik pintu.
Ia tersenyum dan mendekat pada Ami yang sedang tidur. "Lagi -lagi kau ada masalah Ami. Itu pasti bukan masalah yang mudah sampai kamu jatuh sakit seperti
ini." Ami perlahan bergerak dan terjaga dari tidurnya. "Kakak"!" Panggilnya terkejut melihat Kak hani yang sudah lama tak dijumpainya lagi. Kak Hani tersenyum. "Iya..."
"Kapan kakak datang"" Ami berusaha bangun dari tempat tidur.
59 "Tadi pagi aku sampai. Sudah jangan banyak bergerak kamu masih sangat
lemah..." Ami memeluk kak Hani yang sangat disayanginya itu. "Sejak kakak Nikah, aku jadi sangat merindukan kakak..."
"Sama aku juga Mi." Pelukan itu dilepas. "Sebenarnya kamu kenapa lagi""
Mengingat masalah yang sama, setetes air mata jatuh dan meledak seketika dengan pelukan Ami lagi.
"Apa pertunangan itu"" Tanya Kak Hani menerka mencoba mengerti keadaan adiknya.
Tangis yang semakin menderas, menjadi jawabannya. "Kenapa sampai sejauh
ini kak"""
"Ami, kamu harus sabar. Sudah pernah kakak bilang dari awal, harusnya kamu tak sembarangan memilih."
"Ya aku tahu, tapi kenapa harus berakhir seperti ini""
"Kamu sudah lihat sendiri sekarang. Seseorang yang dimatamu baik peada kenyataannya tak lebih dari seorang penjahat. Kamu lihat sendiri, siapa Ibrahim yang sebenarnya. Dia seorang lelaki, sedang lelaki itu berbeda dengan wanita yang setia pada satu cinta. Kebanyakan dari mereka itu hanya manis diawal saja."
"Ya Kak, aku sangat menyesal karena telah pernah mengenal dia dan menjadi bagian masa lalunya."
"Percuma kalau kamu hanya menyesali. Yang harus kamu lakukan adalah lupakan dia, hanya melupakan dia untuk selamanya..."
"Kakak..." "Kamu pasti bisa, yakin kamu inginkan untuk melupakan dia pasti bisa..." "Setelah semua yang terjadi..."
"Dia tidak pantas buat kamu, lihat siapa dirinya. Tidak Ami, lupakan dia..." Kata kak Hani lembut.
Ami melepas pelukannya. "Bukankah kamu pernah bilang pada kakak kalau seorang yang baik akan mendapatkan seorang yang baik juga"" Ia hanya mengangguk.
"Yakinlah kalau kamu itu terlalu baik untuk orang sepertinya. Jadi kamu
akan dapat yang jauh lebih baik dari Ibrahim." "Iya Kak. Terimakasih..."
Ami menyeka kedua matanya, berhenti menangis dan lebih tenang sekarang. Hanya kak Hani yang bisa menyemangatinya karena hanya dia yang mengetahui
masalah ini. *** Sepuluh,,, 60 Sudah dua hari aku terbaring sendirian lemah dan membosankan di tempat tidur. Berbeda dengan dulu saat semua orang ada dirumah ini menemani aku sakit. Tapi kini hanya ada Mama di rumah dan sekarang sedang pergi ke pasar.
Aku bangun dari tempat tidurku, memaksakan diri walau rasanya aku masih gemetaran tak kuat berjalan menuju balkon. Memandangi keadaan sekitar, ada kolam yang bersih dan ada pembantu rumahku sedang bersih -bersih halaman.
Tarik nafas, hembuskan perlahan. Aku mencium aroma kebebasan, angin, udara dengan embun yang sejuk. Sepertinya aku jauh lebih baik hari ini.
"Mat, Nyonya minta beliin kelapa ijo..." Terdengar mbak Yanti berteriak pada pak Rohmat yang sedang mencukur pohon kerdil kesayangan Ayah dibawah sana.
"Piro"" Tanya Pak Rohmat.
"Loro wae..." Kelapa muda, aku jadi ingat saat tiga preman mengejarku waktu itu. Dan, lelaki berjaket hitam dia selamatkan aku.
Hey! Kenapa aku jadi teringat dia"" Siapa namanya aku tidak tahu. Yang aku tahu hanya dia adalah orang yang baik, dan kebaikannya cukup membuat aku tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Apa mungkin aku bisa bertemu dengannya lagi" Atau, mungkin jika aku mencarinya di tempat waktu itu aku akan kembali bertemu dengannya" Semoga saja, biar aku coba cari orang itu.
Aku melongo kebawah. "Biar aku aja yang beli..." Teriakku.
Mereka berdua mendangah. "Lho" Non kan sakit""
"Udah sembuh koq..." Sahutku dengan senyum penuh semangat.
Aku bergegas menggunakan jaket dan berlari keluar. Harus cepat -cepat menghilang sebelum Mama datang dan melarangku untuk pergi. Untung tak ada yang menggunkanan moobil jazz hitam milikku satu -satunya ini, kalau tidak aku pasti bingung cari transportasi umum.
Semangat, senang dan penuh harap cemas aku melaju dengan mobil pemberian Ayah dua tahun yang lalu itu, menuju pantai pasir putih yang indah. Aku parkirkan tepat mobilku di tengah keramaian parkir wisata. Aku tak mau harus bertemu dengan penjahat koloran itu lagi.
Seingatku kemarin dia naik mobil Nissan terano berwarna hitam. Tapi disini hanya ada beberapa mobil tapi tak ada satupun Nissan terano.
"Ada yang bisa saya bantu mbak..." Sapa seorang petugas satpam padaku. Barang kali dia curiga dengan gelagatku.
"Ah tidak pak, saya hanya mencari mobil teman saya. Nissan terano warnanya hitam. Apa bapak tahu""
"Namanya siapa ya Mbak""
"Kurang tahu pak..."
"Nomor polisinya berapa""
61 "Ah, saya juga gak tahu pak..."
"Lho" Piye toh mbak" Cari orang gak tahu namanya, cari mobil juga gak tau nomor polisinya." Satpam itu malah cekikikan. "Yaa, ditunggu saja, disini yang punya mobil Nissan terano banyak sekali..."
Iya juga sih. "Makasih pak..."
Petugas itu kembali, akupun hanya tersenyum sendiri.
Aneh -aneh saja pikiranku ini, coba kalau aku tahu namanya mungkin aku bisa cari dia dengan menanyakan namanya. Sekarang resiko deh nyariin orang yang tak tentu akan datang. Sementara aku masih bingung sendiri, mungkin atau tidak dia ada disini ya" Ya Tuhan, izinkan aku bertemu dia dan mengenal dia sedikit saja hari ini. Amin!
Kakiku terus berjalan kesana kemari, mondar -mandir kebingungan sendiri seperti setrika baju di depan mobilku yang sedang parkir. Tak perduli walau sejuta pasang mata melihat tingkah anehku ini. Apakah hari ini aku akan bertemu dirinya disini" Kakikupun berhenti, untuk apa aku sangat ingin bertemu lelaki itu ya"
"Permisi ada yang bisa saya bantu"" Tanya seorang lelaki dari arah belakangku.
"Sudah saya bilang saya cari pemilik Nissan terr..." Jawabku sambil berbalik. Aku terkejut saat melihat siapa dihadapanku ternyata ada si jaket hitam kemarin. Ya! Lelaki ini yang ku cari!!
"Terrano""" Lanjutnya tersenyum padaku.
Aku diam, sungguh malu. "A, a-aku..." Aku tergagap.
"Cari aku atau pemilik terano yang lainnya""
Aku hanya tersenyum semakin malu padanya. Oh My God! Sial atau beruntung aku bertemu dia sekarang, tapi kenapa aku har
us memalukan seperti ini" Benar do'aku terkabul tapi aku ingin yang baik tak memalukan seperti ini. Pasti dikiranya aku sangat berharap seribu persen padanya.
"Gak usah malu begitu. Kenalkan aku Farish..." Katanya menjulurkan tangannya padaku.
"Aku." Aku menyalaminya.
"Amita, kan..."!" Tebakannya sungguh jitu.
"Koq tahu""
"Aku tahu kamu, tapi kamu gak tahu aku." "Tahu dari mana"" "Gak penting lah..."
Aku tersenyum. "Wah, kamu bukan intel kan""
Dia berbalik senyum. "Sejauh ini aku bukan intel yang suka ngebuntutin penjahat. By the way, tangan kamu serasa panas. Kamu sakit""
Lekas aku melepas tanganku. "Ah enggak, aku baik -baik aja..." Elakku. "Yakin" Wajahmu agak pucat." Usutnya memastikan. Aku tersenyum. "Aku yakin. Kamu tenang aja."
62 Hemm... "Emmm, gimana kalau kita ngobrol sambil duduk di pantai. Seru tuh." "Boleh." Aku menerima tawarannya.
Kami berdua beralih, pindah menuju tempat yang jauh lebih santai dan asyik. Duduk berdua di bawah naungan pohon kelapa yang berayun ditiup angin laut sambil menikmati air kelapa, yang dibeli olehnya. Akh, jadi ingat saat bertemu dengan dia pertama kali.
"Kenapa koq dipandangi terus kelapanya""
Aku terjaga dari lamunanku. "Cuma ingat saja sama kejadian waktu itu." "Kejadian apa""
"Kejadian waktu kamu tolongin aku, waktu itu... awalnya aku lihat tumpukan kelapa hijau gini di warung setan itu."
"Koq gitu sih..."
"Maaf aja kalau kamu gak suka dengernya. Tapi sumpah aku trauma banget sama kejadian waktu itu. Kalau bukan setan temen mereka apa dong" Sampai ngejar -ngejar aku gitu, hah sumpah deh..."
Farish tersenyum melihat ekspresiku yang sangat kesal.
"Kenapa"" Ia menggeleng. "Enggak. Lucu aja..."
"Koq kamu bisa muncul tiba -tiba sih" Pas banget aku sangat butuh bantuan." "Kebetulan aja aku ada disana. Deket situ ada warung, aku suka nongkrong disana."
"Uww.. " "Tadinya temenku yang lihat, trus dia panggil aku, eh aku lihat itu kamu aku.. " Kalimatnya dihentikan perlahan.
"Kamu"" "Ah."
"Kenapa"" "Enggak, yaa aku tolongin kamu."
"Kenapa koq gak temen kamu yang melihatku yang menolongku saja""
"Cemen. Mereka penakut."
"Terus kamu gak takut gitu""
"Yaa, takut sih cuma gimana lagi kasihan kamu."
"Emangnya kalau yang lain kenapa""
"Gak papa sih, ya aku tolongin juga, pasti"
Aku tersenyum. Ada yang tak beres dengan orang ini, raut mukanya terlihat lebih tegang, dia seperti menyembunyikan sesuatu dibalikku. Tapi terserahlah, sejauh ini yang penting dia baik tak merugikan aku.
"Eh tau gak, aku kira tuh pistol beneran. Eh gak taunya cuma korek." Lanjutku mengalihkan bicara.
63 "Itu" Ah iya, itu cuma korek punya temenku juga. Sebenernya aku juga takut. Temenku kasih ke aku, dia bilang kalau preman itu bakalan takut, tapi apa" Bukannya takut, malah nantangin." Mimik wajahnya sungguh ekspresif menceritakan kejadian itu.
Ekspresi rupanya lucu, membuatku tak tahan meledakkan tawa -tawa kecil. Tak sangka kebersamaan kami yang baru sejenak itu sudah memunculkan tawa canda yang seru. Belum pernah aku tertawa lepas semudah ini. Tak seperti bersama Aim yang hanya beberapa memunculkan senyum, bukan tawa.
"Kenapa"" Heran Faris yang melihat rupaku berubah sedih seketika.
"Ah aku gak papa."
"Boleh aku tanya""
"Silahkan""
"Kamu memang hobi ngebut ya"" "Enggak juga."
"Terus waktu itu" Seratus kilometer per jam di daerah seperti ini rawan lho.. "
Aku hanya bisa tersenyum dan menunduk. Saat itu aku ngebut karena aku kesal dengan Aim. Aku tak pernah fikir bahaya maut tengah mengancamku. Saat putus asa seperti itu mungkin memang aku lebih rela mati. Tapi melihat sekarang, aku tak mau mati hanya karena hal yang tak penting.
"Apa saat itu kamu dapat masalah"" Pertanyaan itu terdengar hati -hati.
Kembali aku tersenyum. "Mungkin..."
"Maaf, bukannya aku mau tahu urusan kamu. Tapi kalau kamu perlu berbagi silahkan aja..."
"Makasih, tapi bukan masalah yang penting koq." "Well, moga aja memang hal gak penting."
"Hmmm, seberapa sering kamu datang kesini"" Tanyaku. Mengalihkan pembicaraan.
"Seberapa sering kamu butuh bantuan aku, pasti kamu akan temukan aku disini." Jawabnya tersenyum memandangku. Itu memang terdengar ser
ius, tapi untuk sebuah awal pertemanan, Gombal!
"Waw, so sweet! Ayolah Farish..."
"Sungguh, hampir setiap hari aku ada disini Ami. Setidaknya aku harus selesaikan kerjaanku dulu baru pergi jalan -jalan." "Memang kerjamu apa""" "Aku adalah..." Ucapannya tak diteruskan.
"Apa"" "Aku adalah..." Farish tak langusng menjawab pertanyaanku, rupanya sengaja menggodaku seakan ia tak ingin mengatakan seadanya.
64 "Ya sudah kalau gak mau bilang. Mungin aku bisa menerka, kalau kau itu anak orang kaya, yang kerjanya melanjutkan usaha orang tua. Atau jangan -jangan kamu yang punya kebun mangga yang terkenal itu ya"""" Mataku menyipit menerawang dia.
"Ha"!" Mukanya terbelak sampai -sampai ternganga dengan terkaanku.
Rupanya ia sangat terkejut dengan tebakanku barusan. Atau memang tebakanku jitu" Aku tak kuasa menahan tawaku melihat raut wajahnya yang sangat kaget tak beraturan. Tak sangka ia sampai begitu kagetnya hingga harus ternganga lebar.
"Haha, aku cuma bercanda!!!"
Mulutnya yang mangap di tutup. "Kamu itu..."
Well, saking keasikan aku jadi lupa waktu. Aku lihat jam ditangan sudah menunjukkan jam satu dua lapan, aku harus pulang sekarang.
"Lain waktu kita bisa bertemu lagi kan"" Tanya Farish saat mengantarku ke parkiran mobil.
"Mungkin" Insya'ALLAH..."
Farish tersenyum. "Okay aku pulang dulu." Cuit -cuit!
Pegangan pintu aku tarik dan terbuka. Tak langsung masuk aku merasa ada yang tak enak dengan diriku. Serasa cairan kental mengalir dari hidungku. Aku seka dan aku lihat ternyata darah mimisan lagi. Aku benci darah, itu membuat kepalaku pusing dan berputar melihat dunia ini.
"Ami kamu kenapa"" Tanya Farish dengan rupa yang sangat kaget.
Lekas aku seka hidungku. "Aku gak papa." Elakku.
"Kamu sakit Ami."
"Aku tidak apa -apa Farish..." Terus saja aku mengelak.
"Biar aku antar kamu pulang. Kamu itu sedang sakit tak mungkin jalan sendiri." Paksa Farish yang tahu benar aku sedang tidak sehat.
Aku tak perdulikan Farish lagi, yang aku rasa sekarang hanya bumi yang berputar semakin cepat, tubuhku seperti di gigit semut dari ujung kaki hingga kepala
dan gelap! *** Sebelas,,, Ami pingsan! Tubuh Ami yang lemas itu terjatuh dan segera ditangkap sigap oleh Farish yang berdiri disampingnya agar tak jatuh ke tanah.
"Akh! Sial, kenapa si Bram itu kasih gue cewek penyakitan gini sih"!" Kesal Farish sambil menyandarkan Ami di kursi mobilnya. Iapun lekas membawa Ami ke kelinik terdekat.
65 "Ibrahim..." Panggil Ami dalam pingsannya.
Farish menoleh terkejut, perempuan disampingnya telah menyebutkan sebuah nama yang tak asing baginya.
"Ibrahim" Apa Bram"" Pikirnya tiba -tiba curiga. "Apa hubungannya""
Hingga sampai pada klinik dan Ami mendapat pertolongan pertamanya.
"Dia tidak apa -apa. Hanya stress saja, barangkali dia ingin cepat -cepat kamu nikahi." Jelas Dokter bergurau sambil menuliskan resep obat di selembar kertas.
Farish terhenyak. "Dia bukan pacar saya, dok!"
"Dia panggil -panggil nama kamu.. "
"Siapa nama saya dok"!" Tanya Farish kesal.
"Ibrahim""
"Bukan! Nama saya Farish, dokter."
"Ah tak apa, tak usah merasa malu seperti itu. Jadi lelaki itu harus bertanggung jawab. Tak usah mengelak seperti itu lah..."
"Aduh dokter. Apa perlu saya tunjukkan ktp saya"! Saya ini baru kenal dengan dia. Pacarnya saja saya tidak tahu siapa." Jelas Farish kesal pada dokter yang terus menggodanya.
"Ooo..." Mulut dokter membundar sambil tertawa ringan. "Kalau gitu, nanti kalau sudah tahu, bilang saja sama pacarnya itu. Barangkali dia ingin segera dinikahi pacarnya. Kasihan dia sangat settres sampai jatuh sakit seperti itu."
"Benar dia sakit gara -gara setres, dok""
Dokter menyobek selembar kertas resepnya. "Iya, gadis itu tidak berpenyakit. Biasanya kalau seperti begitu berarti pasien kelelahan dan beban fikiran yang sangat
berat." Farish diam tak menjawab apapun lagi.
Selembar resep di berikan pada Farish. "Ini di tebus saja."
"Baik dokter." Resep obat itu ditebus Farish di apotek terdekat.
Apa iya, seperti yang dia bilang tadi kalau dia mungkin sedang bermasalah" Tanya Farish dalam benaknya sendiri. Tapi masalah apa sampai terbawa sakit seperti itu"
Wajah canti k Ami sungguh pucat, kedua matanya sembab berair. Hidung mancung bertindik itu memerah, bibir mungil memerah dan kering terkelupas kulit arinya. Ditatapnya gadis itu dengan rasa penasaran penuh Iba.
Seorang gadis yang di dapat dari seorang kawan bernama Ibrahim Imran.
Saat itu menjelang tengah malam, beberapa lelaki berkumpul di bawah naungan warung kecil dengan lampu yang tak terlalu terang.
Plasst!! Ditepis tangan seorang kawan yang hendak menuangkan minuman ke dalam gelasnya. "Sudah gue bilang jangan coba -coba nuangin cairan itu kedalam gelas gue!"
66 "Sorry boss.. "
"Gue bukan loe loe!!"
Sunyi seketika perhatian beralih pada sebuah mobil mewah memasuki halaman luas warung. Sinaran lampu mobil itu membuat mereka bersembunyi di balik tangan masing -masing.
"Ibrahim..." Kata Farish tahu siapa yang datang.
Mesin mati, lampu mobilpun mati. Lalu keluarlah sesosok lelaki gagah berjas hitam dari mobil itu. Ibrahim Imran, seorang kawan baik dari Farish. Ia menghampiri Farish dan kawan -kawan yang tengah bersantai menghabiskan malam.
"Hallo bro!" Sapa Aim dan menyalami semuanya. "Apa kabar ne""
"Baik, loe"" Tanya Farish balik.
"Alhamdulillah lah..."
"So" Tumbenan langsung kemari, ada apa"" Tanya Farish heran. "Langsung aja. Gue ada tawaran..." Alisnya menaik. "Tawaran apa ne""
Aim trerlihat mengambil sesuatu dari balik jasnya. Di comot selembar foto dan di letakkan di atas meja. "Namanya Ami.. "
Farish mengambil foto itu dan dipandangnya seksama.
Foto itu kembali di lempar ke atas meja. "Sorry gue gak tertarik bro..."
"Buat gue aja!" Serempak kawan -kawan lain berebut menyambar foto diatas meja bersama -sama.
Foto itu kembali disambar oleh Ibrahim. "Sembarangan! Loe punya muka pe de amat mau sama ni cewek.. "
"Stop! Loe ada apa sampai nawarin cewek itu ke gue""
"Cuma loe Farish yang tepat buat ni cewek. Lihat, dia ini cantik. Masa iya gue mau kasih sama bang Joe atau yang lainnya"" "So loe kira gue kerren gitu""
"Yaa setidaknya loe kan lebih lukin good dibanding mereka semua. Kita sama -sama lah.. "
"Udah bos, samber aja. Cantik loh.."
Farish tak perdulikan seruan kawan di kanan kirinya.
"Sepuluh juta, setidaknya loe bisa jadi temen baiknya. Setelah itu terserah loe. Mau diapain okay, terserah loe. Lu urus nih cewek sepuluh juta." "Tampangnya cewek baik -baik. Apa maksudnya neh""
"Loe lihat sendiri aja lah Rish.. " Aim kembali merogoh kantong jasnya dan mengambil sebuah amplop coklat agak tebal. "Ini setengahnya dulu, kalau loe sukses jadi temen dia, gue kasih semuanya lunas."
"Penting banget lu kasih ni cewek sama gue""
"Loe sohhib gue bro. loe pasti bersedia nolongin gue kan""
"Emang dia siapa lo""
67 "Akh, yaa ada orang minta tolong sama gue. Itu aja lah.. "
"Pentingkah""
"Banget. Please, gue butuh banget bantuan loe utuk satu cewek ini." "Akh, yang benner loe ini. emang ada apa""
"Sorry bro, gue gak bisa jelasin sama loe. One day loe bakal tau sendiri lah.. " "Okay..." Berat Farish menyetujui penawaran Ibrahim yang tak jelas itu. Hwerr...!!!
"Farish..." Panggil Ami yang ternyata sudah sadar, membuayarkan lamunan
Farish. Farish tersenyum. "Iya aku disini."
'Intro panah asmara by afgan...' Memotong pembicaraan mereka. Handphone di kantong Ami berdering.


Cinta Tak Semudah Kata C.i.n.t.a Karya Azizah Attamimi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pasti telpon dari rumah mu..."
Tercekat, jantungnya berdebar kencang. Layar tanpa tombol itu menampilkan panggilan dari Aim. Panggilan itu tak lekas dijawabnya.
"Kenapa"" Ami diam, hanya menggeleng. "Dijawab saja sapa tahu penting."
"Tidak, ini gak penting." Ami tetap membiarkan handphoenya berdendang. Tak sengaja Farish melihat layar panggilan dengan nama 'Ibrahim Imran' "Pasti dia..." Katanya terdengar pelan.
"Kenapa"" Farish menggeleng. "Tidak. Angkat saja sapa tahu penting." 'Intro panah asmara by afgan...' Handphone itu terus berdering.
"Ami, gak baik membiarkan orang yang butuh sama kamu seperti itu." "Aku gak mau jawab." "Kenapa gak dimatikan saja." "Jangan."
"Jawab Ami. Jangan bikin penelpon itu tambah khawatir sama keadaan kamu." Paksa Farish.
Kembali Ami memandangi layar handphonenya dan menjawab panggilan itu.
"Hallo." Katanya pelan.
"Assalamualaikum..."
"Waalaik um salam." "Kenapa baru diangkat""
"Maaf, barusan aku lagi..."
"Apa"" "Ada dokter yang meriksa aku." "Kamu dirumah sakit lagi""
68 "Aku ada di klinik. Tadi aku pingsan, aku habis kabur dari rumah." "Kamu kabur"! Ami, sudah berapa kali aku bilang kamu..."
"Cukup!" Bentakan Ami cukup mengagetkan Farish yang duduk disebelahnya. "Hentikan, aku gak mau kau sok baik seolah memperdulikan aku!" "Aku minta maaf."
"Sudahlah, tolong kasih tahu kak Hani. Jangan sampai yang lain tahu aku sedang kambuh di klinik. Suruh dia menjemputku sekarang."
"Okay..." Tit! Berakhir panggilan itu tanpa persetjuan dari Aim disana.
"Kenapa harus membuang emosi"" Tanya Farish.
"Kau tahu kenapa aku tidak mau menjawab telpon itu""
"Kenapa"" "Karena aku tidak mau membuang emosiku. Tapi kamu yang memaksaku tadi." "Maaf Ami. Aku hanya..." "Sudahlah jangan bahas ini lagi."
Farish menghela nafasnya santai. "Dokter bilang kamu gak punya penyakit serius. Hanya terlalu banyak fikiran dan capek." Kabarnya mengalihkan pembicaraan. "Iya, waktu itu dokter yang lain juga bilang begitu." "Boleh aku tanya"" "Silahkan."
"Tadi di telpon kamu bilang kamu kabur dari rumah, lalu aku bertemu kamu di pantai. Memangnya kenapa kamu kabur"" Pertanyaan Farish terdengar hati -hati.
"Aku bosan sudah dua hari aku tidur di kasur, dikamar, dengan suasana yang tetap seperti itu. Aku kesepian Farish, mereka hanya memastikan aku baik -baik saja lalu pergi kembali dengan pekerjaan masing masing. Selesai."
"Lalu sekarang kamu membuat semua orang dirumahmu khawatir""
"Yaa." "Mereka sayang sama kamu tapi kenapa kamu justru seperti itu""
"Sudahlah Farish, ada kalanya seorang manusia butuh tempat untuk menenangkan dirinya. Seperti aku yang sampai seperti ini sekarang."
"Okay aku hargai. Tapi aku harap ini yang terakhir kalinya kamu begini. Kamu harus cari cara lain, cara yang gak bikin orang lain cemas."
"Gimana caranya""
"Menyanyi, berteriak, menulis, tidur atau yaa apalah terserah kamu, tapi yang pasti gak bikin orang khawatir mikirin keadaan kamu yang tiba -tiba menghilang seperti ini."
Ami tersenyum memandang Farish. "Kenapa kamu yang sewot kalau aku bikin khawatir orang rumahku""
69 "Hey Ami. Kamu sadar kamu pergi dengan keadaan sakit"" Ami mengangguk.
"Untung kamu bertemu dengan aku. Kalau yang lain" Atau mungkin kamu tidak bertemu dengan siapapun" Bayangkan apa yang akan terjadi sama kamu. Kamu menyetir sementara hidungmu terus mimisan kamu hilang kendali dan akhirnya menabrak, kecelakaan, masuk rumah sakit" Yang ada malah nambahin penyakit bukan tambah sembuh Ami!!" Jelasnya kembali dengan rupa sangat ekspresif.
Ami tersenyum, semakin lebar melihat kekhawatiran seorang teman yang baru ia temukan beberapa waktu lalu.
"Boleh aku tanya""
"Ya"" "Sebagai apa kamu mengkhawatirkan keadaanku sampai segitunya"" "Aku"" Farish tercekat. Mulutnya kembali ternganga. "A.. " "Farish, Farish..." Ami melpas tawa kecilnya. "Maaf, tapi aku pikir..."
"Sudahlah, terimakasih sekali Farish. Aku gak pernah berfikir sampai sejauh itu. Makasih juga kamu udah mengingatkan aku, mewantiku agar lebih berhati -hati."
Farish tersenyum. "Sama -sama. Itulah gunanya teman yang harus selalu ada kapanpun dibutuhkan..."
"Aku janji, aku akan berusaha berhenti bikin keluargaku cemas."
"Wajib! Janjilah pada dirimu sendiri, bukan sama aku atau yang lainnya."
"Iya.. " Dua belas,,, Mesin mobil di matikan, Ibrahim dan Kak Hani keluar dari situ. "Nanti biar kakak saja bawa mobilnya Ami. Kamu mau balik langsung gak papa.. " Kata kak Hani sambil mencantolkan kembali tas ke bahunya.
"Baik kak..." Tanpa kata lagi Kak Hani segera masuk pintu klinik dengan diekori Aim di belakang.
"Ami..." Sapa kak Hani khawatir menemui Ami segera. "Kakak, sama siapa""
"Aku berdua sama Bram..." Jawab Kak Hani.
Mendengar nama itu Farish terjaga dari tempat duduknya, ia lekas menoleh kearah pintu.
"Kenapa sama dia, kak""
"Kan kakak dikasih tahu dia. Sekalian kakak minta antar, kamu kan bawa
mobil." 70 Farish terus menatapi arah pintu, terlihat seorang lelaki tengah seibuk dengan ponselnya berjalan hingga depan pintu. Ia pun terkejut ternyata yang dimak
sud benar adalah Ibrahim Imran sohibnya ada hubungan dengan Ami.
Disana, Aim berhenti dengan urusan di ponselnya hingga kembali dimasukkan dalam kantong celana. Selangkah maju, kakinya kembali berhenti terkejut saat melihat Farish berada di dalam yang menemani Ami. Mereka hanya beradu pandang tanpa gerak mendekat sedikitpun.
"Gimana kamu bisa sampai kabur""
"Aku pengen jalan -jalan kak. Pas keluar untung aku ketemu sama teman aku... Farish.." Panggil Ami membuyarkan pandangan Farish. "Ah Iya.." Farish kembali pada Ami dan kak Hani.
"Kenalkan kak, ini Farish, Farish kenalkan dia kak Hani. Kakak yang paling dekat denganku."
"Farish." Farish menjulurkan tangannya.
Kak Hani menyalami Farish. "Hani." Jabatan tangan dilepas. "Sudah berapa lama kalian berteman""
Diam, Ami dan Farish saling melihat. "Tadi"" Jawab Farish tak yakin.
"Ha"" Ami tersenyum. "Aku pernah cerita aku dikejar preman lalu, ada orang yang tolong aku""
Kak Hani menggeleng. "Ah, nanti aku ceritakan. Orang yang tolong aku dia, dan hari ini aku bertemu dia lagi di tempat yang sama. Hari ini dia lagi yang tolong aku membawa kemari." "Owh. Terimakasih Farish." "Sama -sama." "Oh ya, apa kata dokter""
"Tidak ada yang serius, kata dokter Ami hanya kecapean dan banyak fikiran." Jelas Farish.
Kak Hani memandang adik bungsunya itu. Ia tahu benar apa yang menyebabkan kondisinya jatuh lemah seperti ini. "Hentikan pikiranmu, dia tak tahu apa yang kamu rasakan. Lupakan dia."
Ami menarik senyum berat. "Iya kak."
Farish kembali menolehi arah pintu. "Sial!" Kesalnya.
"Apanya yang sial"" Tanya kak Hani.
"Ah enggak. Aku hanya ingat sesuatu terlupa. Maaf, ada yang harus aku urus sekarang." Katanya tergesa -gesa.
Farish meninggalkan Ami dan kak Hani berdua di dalam. Tergesa -gesa ia pergi keluar mencari sesosok Ibrahim yang seperti kabur dari hadapannya. Menoleh kekanan
71 dan kekiri, seluruh parkiran sudah sepi hanya tinggal mobil jazz Ami, Ambulance dan beberapa motor milik pasien lain.
"Dia benar -benar berhubungan dengan Ami. Sebenarnya siapa dia" Kenapa seperti takut sekali aku tahu"!"
"Farish!" Panggil Ami.
Farish menoleh mencari sumber panggilan itu. "Aku mau pulang. Kamu mau kita antar""
Farish tersenyum dan menggeleng. "Gak usah, aku bisa pulang sendiri. Kamu pulang bareng kakakmu aja."
"Setidaknya sebagai ucapan terimakasih kami Farish." Tambah Kak Hani yang memapah Ami.
"Makasih Kak, gak usah. Bentar lagi temanku jemput koq."
"Okay, makasih ya."
Ami dan kak Hani masuk mobil, hanya lambayan tangan dari dalam mobil kemudian mobil hitam itu melenyap dari halaman klinik. Begitu juga dengan Farish tak lama menunggu mobil Nissan terano datang menjemputnya. Seroang kawan bernama bang Joe menjemputnya.
Perjalanan terasa sunyi dan tegang tak seperti biasanya. Seorang Farish yang disebut boss hanya diam tak mengucapkan sepatah kata sapaan sekalipun pada Bang Joe.
Pikirannya teringat pada perkataan dokter tentang Ami tadi siang.
"Ooo..." Mulut dokter membundar. "Kalau gitu, nanti kalau sudah tahu, bilang saja sama pacarnya itu. Barangkali dia ingin segera dinikahi pacarnya. Kasihan dia sangat settres sampai jatuh sakit seperti itu..."
"Benar dia sakit gara -gara setres dok""
Dokter menyobek selembar kertas resepnya. "Iya, gadis itu tidak berpenyakit. Biasanya kalau seperti begitu berarti pasien kelelahan dan fikiran yang sangat berat."
"Bos"" Farish tak beralih, benar matanya tertuju pada jalanan yang ramai lalu lalang motor -motor dan mobil, tapi pikirannya melayang jauh entah kemana.
Sebuah motor berkecepatan rendah memotong jalan di depan mobil tiba -tiba.
"Bosss!!!" Teriak Bang Joe.
Teriakan itu mengejutkan Farish yang melayang,
Kiikkk!!! Seketika rem diinjak hingga merekapun terpental ke depan. Jantungpun berdebar kencang sangat kencang.
"Astaughfirullahaladim!!" Melebar mata Farish dan mengusap dadanya. "Akh! Boss, kenapa sih bos ne"!" "Sorry bang, gue gak konsen."
"Ah bos, ini jalanan rame banget jangan pake gak konsen gitu dong!"
72 "Sorry sorry." Sejenak Farish mengalihkan pikirannya dan kembali konsentrasi pada jalanan hingga kembali kerumah.
Sebenarnya ada apa dengan Ib
rahim dan Ami" Kenapa rasanya aneh dan mencurigakan begini" Pertanyaan itu terus menghantui pikiran Farish setiap saat. Iapun memutuskan untuk menghubungi Aim, tapi panggilan lewat seluler itu tak ada jawaban.
Kalau memang tidak ada yang disembunyikan pasti Ibrahim merespon panggilan itu. Benaknya terus gelisah ingin tahu sebenarnya yang terjadi. Terus mencoba menghubungi Ibrahim tapi tetap saja tak ada respon darinya. Akhirnya ia putuskan untuk mendatangi rumah Ibrahim.
Tok tok tok! Pintu terbuka, muncullah seorang gadis cantik langsing dengan rambut panjang bergelombang tergerai.
"Cari siapa ya"" Tanya gadis itu sambil membuka pintu, ia tak tahu kalau Farish yang datang.
"Inez" Kamu disini"" Sapa Farish terkejut.
Perempuan cantik itu juga terkejut dan tersenyum. "Farish, apa kabar"" "Iya, aku baik kamu sendiri gimana"" "As you see now.. " "Alhamdulillah, oh ya Bram ada""
"Ada, di dalam. Ayo masuk." Inez mempersilahkan Farish masuk rumah. Mereka duduk di sofa ruang tamu bersama. "Ada apa"" Tanya Aim.
"Kemana aja loe" Dua hari ni gue coba hubungin tapi gak bisa." "Sorry bro gue sibuk banget. Terus gimana""
"Gue udah deket sama cewek itu. Sesuai janji, gue mau minta setengahnya." "Owh, iya sebentar..." Aim beranjak dari situ meninggalkan Inez dan Farish berdua. Ia kembali masuk hendak mengambil sesuatu dikamarnya. "Emangnya Bram janji apa soal cewek""
"Dia suruh aku buat deketin cewek. Namanya Amita, Amita Rorai tapi dia gak kasih penjelasan apapun soal cewek itu." "Amita"" Inez terbelak. "Ami"" Farish mengangguk cepat.
"Ngapain Bram suruh kau deketin kak Ami seperti itu""" Alisnya mengernyit. "Kak Ami" Maksudnya""
"Amita Rorai, itu kan adik tirinya Bram. Anaknya Om Bilal.." Jelas Inez yang tak tahu urusan.
"Ami sama Ibrahim saudara tiri""
73 Inez menghentikan gerak mulutnya yang hendak menjawab saat terdengar langkah kaki Ibrahim menuruni tangga.
"Lima juta. Lunas kan"" Aim meletakkan amplop coklat di depan Farish. Farish dan Inez saling melihat.
"Saat pingsan dia ngigau panggil -panggil nama Ibrahim dan Aim, penasaran lo tahu siapa yang dimaksud dia"" Tanya Farish memancing.
"Gue gak tahu." Jawab Aim cepat. "Yang namanya Ibrahim gak cuma gue, banyak koq. So bukan gue..."
Farish tersenyum. Jawaban Aim terjerat dalam pancingannya. "Pastinya gue gak bilang kalau itu loe..."
"Ya, ya..." "Okay, gue pamit dulu..."
Sederhana saja, orang bodohpun tahu, Aim punya urusan dengan Ami. Farish
kembali melangkah keluar dari rumah Aim.
*** Tiga belas,,, Akibat sakit selama seminggu, semua tugas -tugasnya terbengkalai dan kini harus segera diselesaikan. Sejak pagi gadis itu nampak sangat sibuk di kampusnya, ia harus mengurus perpindahan semester dari empat ke lima istilah lain dikata dafar ulang. Sibuk masuk kantor sana keluar kantor sini. Arsip, foto copy, keuangan dan lain -lainnya.
"Foto kopinya sudah selesai"" Tanya Ami pada seorang teman. "Udah,"
"Eh ini punyaku titip sekalian ya..." Ami sangat kesulitan dengan lembaran -lembaran kertas dan Map yang dipegangnya. Hingga akhirnya lembaran -lembaran itu jatuh dan berterbangan kemana -mana. "Ah..."
"Duh Ami..." "Aku benci ini! Mereka semua menitipkan sama aku, sementara aku sendiri belum menyelesaikan punyaku." Ocehnya sambil memungut kembali kertas -kertas yang berhamburan.
"Ami sorry ya, aku ada janji sama dosen sekarang." Pamit seorang teman yang tadinya malas untuk membantu memungut kertas itu.
"Ya, ya, ya sudah sana silahkan pergi..." Usir Ami santai. Kawanpun pergi meninggalkan Ami sendirian.
"Hah! Kalian itu kalau ada maunya saja baik -baikin aku, giliran aku yang butuh sejuta deh alessannya buat ngindar! Akhr sial banget sih aku punya temen kaya kalian ha"!" Mulutnya tak berhenti mengutarakan kekesalan.
"Marah sih marah, tapi jangan terlalu nyaring suaranya, nanti disangka orang gila bicara sendiri kamu."
74 Suara itu menghentikan tangan Ami dan iapun lekas menoleh. Ternyata itu Farish yang tiba -tiba muncul membantu memunguti kertas yang berantakan.
"Farish"!"
Lagi -lagi Farish hanya tersenyum. "Ngapain kamu disini"" "Aku" Ke cafe""
Ami menatapnya curiga. "Ini memang cafe, ta
pi masih banyak cafe lain bukan"" "Owh, aku mau ketemu temanku. Dia kuliah disini juga, janjian..." "Owh..." Mulutnya membundar. Tapi ia mulai ge -er, dikiranya Farish datang untuk bertemu dirinya.
Farish memberikan lagi lembaran kertasnya.
"Makasih." "Sepertinya kamu sibuk sekali ya""
"Enggak juga sih, sebagian dah selesai tadi. Cuma aku kesssseeeeel banget. Yang benner aja masa temen -temen pada nitipin ini semua sama aku. Gak bayar lagi." Adunya kesal.
"Sudah, sudah, yang sabar. Itung itung cari pahala aja lah..."
"Pahala sih pahala Rish, tapi enggak juga kalau sampai seberat ini. Nih aja sampek jatuh kemana -mana. Mending lah aku kasih beras sekarung ke panti asuhan."
Farish tersenyum. "Bisa aja kamu."
"Hey! Kamu udah melupakan sesuatu Farish."
"Apa"" Tanya Farish heran.
"Sejak aku pulang dari klinik kamu gak pernah tanya kabar aku sama sekali.. "
Farish menepak dahinya. Ia tersenyum dan tertawa kecil. "Argh! Ami aku sungguh minta maaf, aku lupa. Habisnya aku lihat kamu sudah sangat sehat jadi aku lupa kalau kamu pernah sakit."
"Sudahlah.. " "Jadi" Gimana kabar kamu sekarang""
"Yaa seperti yang kamu lihat dan kamu kira. Aku baik -baik saja dan sangat sehat sekarang."
"Syukurlah kalau gitu. Hmm. jadi kamu kuliah disini""
Ami mengangguk cepat. "Iya. Dua tahun lagi aku akan lulus jadi bidan. Minggu depan aku praktek di klinik. Lebih tepatnya puskesmas desa." Sementara.
Sedan civic hitam menyerongkan stirnya berhenti tepat di halaman cafe yang sama. Turunlah lelaki berjas rapih dan kacamata hitam yang menampakkan dia lebih gagah. Saat kacamata itu dilepas, Aimlah orangnya.
75 Rupanya sejak pertanyaan Farish waktu itu Aim terus terbayang -bayang dan ingin bertemu Ami. Tapi, sesaat Aim cukup terkejut melihat dari kejauhan Ami sedang bersama seorang lelaki penuh canda tawa sangat lepas. Seperti terbakar, ia tak senang melihat kedekatan Farish dengan Ami. Ini pertamakalinya ia melihat Ami sedang berduaan langsung dengan lelaki selain dirinya.
"Ami." Sapanya kaku.
Mereka berdua yang sedang seru langsung berhenti. "Ibrahim." Ucapnya sangat terkejut dengan kedatangan Aim.
"Iya. Apa kabar"" "Aku baik."
Farish diam saja, ia seperti yang tak tenang. "Ami, aku pergi dulu..." Pamit Farish tenang. "Mau kemana""
Sesekali Farish memalingkan pandangannya. "Sudah aku bilang, aku harus bertemu temanku dulu." "Owh okay, tapi."
"Sampai jumpa Ami." Farish meninggalkan Aim dan Ami berdua.
Sunyi, tak ada tema yang bisa memulai pembicaran mereka.
"Ada apa kau kesini"" Tanya Ami gugup. Jantungnya terasa berdebar -debar.
"Aku ingin mengajakmu pergi."
"Kau mau ajak aku pergi kemana"" Tanya Ami menyinyir. Rasa sakit kembali dirasa dalam hatinya.
"Ikut aku, kita pergi dari sini."
"Aku gak mau. Urusanku belum selesai."
"Sebentar saja. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu."
"Kalau mau bicara silahkan saja, aku tak punya banyak waktu. Masih banyak yang harus aku urus."
"Sebentar saja Ami. Aku janji akan antar kamu kembali kesini."
"Aku bilang tidak! Aku gak mau pergi denganmu!" Tegas Ami.
"Tolong sekali ini saja. Anggab ini yang terakhir Ami."
"Yang terakhir sudah dari dulu! Aku gak mau ikut kau pergi kemanapun walau itu hanya sedetik!"
"Ami aku tahu kamu kecewa sama aku. Aku minta maaf. Tolong dengar aku." "Kau minta aku dengar kau tapi kau gak pernah perdulikan aku"! Buat apalagi aku perdulilkan kau ha"!"
"Ami tolong!" "Kau yang tolong! Pergi dari sini. Pergi dari hadapan aku, pergi dari hidup aku selamanya!"
"Kamu begitu angkuh berbeda dari Ami yang dulu aku kenal." "Begitu juga kau, berbeda dari Aim yang aku kenal."
76 "Ami." "Sadar kau" Buka matamu! Lihat siapa yang ada di hadapan kau sekarang! Siapa aku" Seorang gadis yang terluka karena disakiti hatinya, dikecewakan perasaanya oleh seorang lelaki tak bertanggung jawab sepertimu." Setetes air mata kembali menggenang oleh emosi perasaannya. "Sadar apa yang sudah kau lakukan" Setelah semua yang aku sudah lakukan demi hubungan kita. Demi mencari kejelasan, mencari jalan yang halal, selama bertahun -tahun aku diperhatikan olehmu, disayang -sayang, dimanja -manja, sekarang setelah dua tahun menghila
ng kau muncul tiba -tiba dengan kabar duka buatku!"
"Ami." "Sadar apa yang udah kau perbuat sama aku ha"!" Aim terdiam.
"Sebenarnya apa arti seorang diriku ini dalam hidupmu ha"! Kemana cinta yang aku rasa selama bertahun -tahun ternyata hanya cinta sesaat yang palsu tanpa tanggung jawab!"
"Maafkan aku Ami."
"Hanya maaf" Kau tidak bisa mengembalikan luka yang sudah terlanjur menjadi sebuah infeksi akut dalam hati aku. Percuma!"
Tangan Aim hendak menyentuh Ami, tapi Ami langsung menarik mundur tubuhnya menghindari sentuhan itu.
"Jangan sentuh aku! Jangan pernah sentuh aku lagi. Aku gak perduli, ini yang terakhir." Tandas Ami.
Aim, kenapa kamu begitu" Harusnya aku bukan gadis itu yang kau pilih, setelah
bertahun tahun aku lakukan segalanya demi kejelasan hubungan kita kenapa harus
berakhir seperti ini"! ***
Empat belas,,, Setelah bertemu Aim tadi siang membuat kepalaku kembali terasa sangat berat. Harusnya dia tidak menghampiri aku lagi, karena dia hanya akan menguras air mataku percuma. Dan herannya, aku sendiri tak bisa menahan air mata. Selalu saja membuatku ingin berteriak kencang di hadapannya.
Well, kembali pada kebiasaanku, saat masalah datang yang aku lakukan hanya makan makanan semi berat, cake, Blackforest ciptaan Mama tadi pagi. Dan membanting tubuh ke sofa lalu menekan tombol 'on' pada remote tiviku.
"Ma, Emma sama Sita jalan dulu yaa"" Pamit kak Emma pada Mama yang baru keluar dari kamar.
Mendengar mereka pandangankupun beralih. "Mau kemana" Tumben kakak gak kabar -kabar mau keluar rumah."
"Diajak Mama mau beli kain buat tunangan Ibrahim."
77 Aku terhennyak. Mereka akan pergi membeli kain untuk seserahan pada perempuan centil itu" Ya Tuhan, hatiku seperti piring yang di banting membentur tembok saja rasanya. Hancur, hatiku benar -benar hancur sekali.
"Mau ikut"" Ajak kakak.
Aku hanya menggeleng. Mengemut kembali sendok yang sudah ada potongan
cake. Aim. apa maumu" Kau tahu" Kemudian aku akan membantu Mami untuk menyiapkan semuanya. Sementara aku menangis karena sakit dalam hatiku. Tak ada yang bisa mendengar jeritan hatiku saat itu. Yaa, Aim, pernahkah kau berfikir bahwa aku lebih memilih untuk gantung diri dari pada melihat kau menyematkan cincin di jari manis Inez"
"Maa." Panggilku lemah.
Mama duduk mendekat disampingku. "Kamu kenapa" Ada masalah lagi"" Aku menggeleng. "Ma, kenapa bisa Ibrahim duluan yang harus bertunangan sebelum Fajrin""
"Entahlah. Kalau gak salah dulu Ayah pernah cerita kalau Ibrahim dan Inez itu memang niat untuk dijodohkan sejak kecil."
"Fajrin"" "Kalau Inez sama Fajrin selisih umurnya terlalu jauh. Jadi ya gak mungkin Inez dipasangkan sama Fajrin."
"Tapi mana pantas Ma kalau Ibrahim mendahului Fajrin abangnya sendiri yang sekarang emang umurnya kan tambah tua. Harusnya gimanapun Fajrin yang lebih di dahulukan kan Ma."" Tak sadar nada bicaraku seperti orang bertengkar tak terima saja.
"Yah mana Mama tahu Ami. Sapa tahu saja, memang Arman dan Viviana dulu punya perjanjian khusus dengan Ibunya Fajrin. Apa urusan Mama" Terserah mereka mau seperti apa. Yang penting anak Mama Hani dan kamu tak jadi bagian dari mereka."
Terhenyak dengan kalimat terakhir Mama. Akupun kemudian diam dan kembali memfokuskan diri pada layar televise. Walau kata -kata itu tak menghentikan jalan pikiranku. Mama tak suka jika anak -anaknya menjadi bagian dari keluarga itu.
"Itu cuma tunangan, belum menikah. Sebenarnya Mama tidak suka saat Ayahmu berniat untuk memasangkan Hani dengan Fajrin. Sukur -sukur kakakmu sudah menikah. Hanya saja, Mama ini masih menghargai Ayahmu. Kalau tidak, pasti dikiranya Mama menghina mereka."
"Iya, Ma. Menurut Mama, mereka itu baik tidak sih Ma""
"Baik, ya sekarang baik. Dulu Mama gak tahu. Ya Mama tak mau terlau memusingkan mereka. Selama mereka tak menyerang Mama dan anak -anak ya sudah terserah mereka. Mama tak mau punya urusan sama mereka."
Aku diam menjadi pendengar setia curahan hati Mama.
78 "Kalau bukan karena pertunanan Ibrahim, ah.. Mama tak akan mengizinkan Emma dan Sita pergi ikut orang itu."
Dan aku hanya ingin bisa berteriak. "Aim Mamaku benci kamu!!!!!!!!"
Dan maafkan aku Ma, karena aku sangat menginginkan menjadi bagian dari mereka. Hanya saja aku tak kuasa untuk mengatakan pada Mama dan Ayah saat ini. Aku ingin sekali menghentikan pertunangan itu dan memaksa Aim untuk meninggalkan gadis itu demi aku. Tapi aku tak tahu bagaimana kerasnya cinta Aim untukku.
'Intro panah asmara by afgan...'
Terdengar suara lantunan music dari arah kamarku, ternyata itu handphoneku berdendang. Aku lekas berlari menuju kamar dan meraih handphoneku yang bergoyang di nacase tempat tidur.
Aku tersenyum saat melihat sepenggalan nama pemanggil yang berbeda dari biasanya. 'Farish'
"Hallo"" Aku jawab panggilan itu.
"Hallo, Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
"Hai Ami." "Hai Farish.. " "Apa kabar""
"Seperti yang kau lihat tadi siang, aku baik."
"Ah iya, haha..." Katanya tertawa sendiri. "Okay, aah..."
"Ada apa" Kenapa suaramu terdengar gugup""
"Ah tidak, aku hanya iseng saja jadi aku gak punya tujuan untuk nelpon kamu sebenarnya."
Aku tersenyum. "Hmm terus kenapa kamu telpon aku"" "Tadinya aku fikir ingin mengajakmu keluar. Jalan -jalan."
"Kemana""

Cinta Tak Semudah Kata C.i.n.t.a Karya Azizah Attamimi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terserah kamu, mau aku ajak kemana saja."
"Owh." Aku merebahkan badanku di tempat tidur.
"Tapi itu juga kalau kamu gak sibuk dan bersedia keluar sama aku."
"Ehmmm gimana ya" Sebenarnya aku ingin sekali keluar tapi aku gak. Mamaku sendiri dirumah, gimana""
"Auh, iya. Harusnya sebagai anak yang baik kamu gak mau aku ajak keluar."
Pintu kamar terbuka, muncul Kak Hani mengejutkanku. "Ami"!" Panggilnya.
"Harusnya begitu. Mamaku sendirian, kakaku pergi semua. Jadi aku gak mungkin keluar menerima ajakanmu." Jawaku masih terfokus pada telpon hanya menolehi kak Hani mengangguk member isyarat.
"Siapa telpon"" Tanya Kak Hani.
Aku menutup mic handphone. "Farish, waktu itu. Dia ajak aku keluar." "Ya, kalau gitu gak jadi deh. Tapi."
79 "Pergi aja! Mama sama kakak di sini koq." Suruh Kak Hani mengecilkan suaranya.
"Maaf Farish. Tunggu sebentar ada yang panggil aku."
"Okay." "Ada apa kak"" Tanyaku langsung pada kak Hani yang berdiri di sampingku.
"Kalau Farish yang waktu itu ngajak pergi silahkan pergi aja."
"Tapi Mama sendirian""
"Ada aku. Jangan khawatir, besok aku pulang."
"Sungguh gak papa""
"Iya." Aku tersenyum, kembali aku pada telpon bersama Farish. "Farish"" "Iya. Sudah selesai panggilannya"" "Iya. Apa ajakanmu masih berlaku"" "Tentu aja."
"Aku tunggu kamu di taman kota setengah jam lagi ya"" "Lalu Mamamu"" "Udah ada temennya."
"Siapa"" "Hmm kakakku.. " "Wah..Okay."
"See you there Farish." "See you too Ami.. "
Tit. Berakhir panggilan itu, segera aku mengganti baju dan tak lupa menggunakan
jaket hitam favoriteku. *** Dua puluh nol nol tepat. Ia masukkan kembali handphonenya kedalam kantong. Lima menit Ami dihembus angin malam, membuat bulu roma berdiri, sungguh dingin malam ini.
"Ami.." Terdengar suara panggilan tepat dekat telinga kanannya. Ami menoleh tapi tak ada seorangpun yang ia lihat, langsung ia menolehi kirinya ternyata Farish sudah duduk di sebelahnya. Ami tersenyum menyapanya. "Ah Farish." Farish melepaskan tawa kecilnya. "Sorry lama ya"" "Enggak koq, cuma telat lima menit." "Ehmm.. kamu suka melati atau mawar"" "Dua -duanya, kenapa"" Jawabnya mengerutkan alis heran. "Tidak kamu harus pilih salah satu." "Mawar aja."
80 "Hmm..." Rupanya Faris menyembunyikan sesuatu dibalik badannya. "Tutup matamu dulu ya"" "Buat apa""
"Tutup aja, jangan ngintip."
Ami memejamkan kedua matanya.
"Ok dibuka." Perlahan ia buka dua matanya ternyata sudah ada tiga tangkai bunga mawar putih yang cantik dihadapannya. "Mawar"" Ami tersenyum.
"Mawar putih ini sebagai tanda pertemanan yang aku ajukan sama kamu. Bunga pertama, aku ingin menjadi seorang teman yang baik buatmu." Satu bunga di berikan pada Ami. "Bunga kedua, sebagai seorang teman yang baik aku ingin selalu ada saat kamu butuh. Bunga ketiga, sekaligus yang terakhir, sebagai teman aku ingin melindungi kamu setiap saat." Dua bunga itu kemudian diberikan pada Ami semuanya.
Ami tersenyum geli. "Dasar cowok aneh. Tapi terimakasih."
Farish tersenyum, senyumnya dalam seperti tatapannya lekat pada Ami yang tak beralih sekejap matapun. "Senyum
mu, manis." "Farish" Aku manusia bukan gula..." Gurau Ami. "Terimakasih..." Ami berbalik menatap Farish dengan senyum indahnya.
Sunyi hanya saling pandang tanpa berkata apapun. Jantung itu tak berdetak normal, sungguh seperti genderang perang yang kencang dan nyaring. Farish mengalihkan pandangannya yang semakin merasa gugub.
"Kamu napa"" Tanya Ami.
"Aku, gak papa..." Elak Farish membenarkan posisi duduknya. "Aku gak nyangka kamu itu baik banget."
"Aku" Baik" Hahaha.. " Farish tertawa. "Kamu belum tahu aja siapa aku." "Emangnya kamu siapa""
"Aku" Farish"" "Ah tak penting."
Asyik -asyiknya bergurau tak bertema, dari jauh sana ada sebuah mobil civic yang tengah mengintai mereka dari kejauhan. Itu Aim, tak sengaja lewat dan melihat sepasang lelaki dan perempuan tengah bersenda gurau, tertawa lucu tanpa beban masalah sedikitpun. Lagi -lagi lelaki yang bersama Ami adalah Farish, lelaki suruhannya untuk berteman dengan Ami.
"Lampunya ijo sayang!" Gertak Inez yang duduk di samping Aim.
Aim mengalihkan pandangannya dan kembali pada jalanan di mobil.
*** Lima belas,,, 81 Langit mengkelabu, petir menyambar memecah awan membuat gemuruh guntur yang tak sedikit. Angin berhembus, meniup bulir -bulir abu kering dan daun -daun yang menggantung di dahan. Ku lihat jam menggantung masih menunjukkan pukul lima belas lewat lima belas.
"Tutup jendela, cuacanya terlalu buruk tak seperti biasanya." Seru Kak Emma yang muncul dari balik pintu kamar.
Tanpa perintahnyapun aku sudah menutupnya lebih dulu. "Sudah kak."
Kemudian kak Emma kembali melenyap dari balik pintu.
Aku rebahkan badanku yang sudah mulai terasa dingin. Cuaca memburuk drastic, aku tak pernah kira hal seperti ini mungkin terjadi. Bip Bip Bup Bap!
Aku gapai handphoneku yang sedang bersantai dekat bantal tidurku. Siapa yang berani sms di tengah cuaca yang bergemuruh petir seperti ini" "Ada di rumah kan""
Aku tersenyum, itu sms dari Farish. "Iya, kenapa" Kamu dimana""Aku membalas pesannya. Bib bib bub bab! Sesaat smsku berbunyi lagi.
"Aku kejebak ujan di rumah temen. Syukur kamu dah di rumah." "Hati -Hati ya..."
"Iya, makasih. ". Nanti malam ada acara"" "Gak ada. Napa""
"Ada Expo nanti malam terakhir. Datang yuk" Tapi kalau gak hujan. Gimana""
"Hmm. boleh deh."
Tak terasa melewati gemuruh guntur dan hujan lebat, aku malah asyik -asyikan mengabaikan ancaman tersambar petir dengan berbalas sms sama Farish.
Kuasa Tuhan. tiga puluh menit berlalu, awan kelabu, gemuruh guntur dan derasnya air hujan turut berlalu. Aku buka kembali jendela kamar, secerca mata hari sore perlahan berani bersinar lagi. Wah berarti aku jadi dong buat keluar sama Farish nanti malam. Hem. iya deh.
"Ami!" Teriak Mama memanggilku.
Karena aku anak yang baik segera aku menemui Mama di dapur. "Ada apa
Ma"" "Mamamu itu mau minta tolong katanya tidak enak badan. Minta tensi sama kamu, dan mau konsultasi katanya."
Semangatku berubah seketika. "Sekarang""
"Ya mumpung sore hujan dah reda. Lagian biar cepet selesai..."
"Oh Iya Ami. Kamu ikut Ayah aja sebentar lagi." Tambah Ayah yang baru saja
lewat. "Iya Yah." 82 Belum jadi dokter saja aku sudah punya pasien. Untung cuma jadi bidan, setidaknya aku tak terlalu pusing dengan complain or pertanyaan konsul. Tapi yang paling penting semoga gak mengganggu jam keluarku sama Farish.
Aku langsung bersiap ikut Ayah menuju kediaman Mami tercinta. Kediaman kekasih hatiku juga, Aim. seorang lelaki yang sudah menyayat hatiku. Hatiku sudah berdebar, aku harap aku tidak bertemu kamu nanti.
Sekedar hanya membawa stetoskop dan tensimeter manual akupun berangkat bersama Ayah.
"Oh iya, ya, nanti sebentar lagi." Telpon Ayah berakhir. "Ami, nanti kamu tungguh Ayah dulu disana ya. Ayah masih ada janji tadi Ayah lupa."
"Iya Ayah." Sampai juga akhirnya, Ayah mengantar aku ke kamar Mami selebihnya Ayah meninggalkan kami berdua. Akupun langsung mengeluarkan tensimeter dan stetoskop memeriksa keadaan Mami.
"Mama cuma kurang istirahat aja Ma. Insya'ALLAH tidak ada tanda -tanda penyakit ganas koq. Cukup minum penambah darah aja lah." Aku melepas stetoskopku.
"Ya habisnya Mama memang kecapean."
"Mama stre ss ya"" "Sebenarnya iya. Ibrahim sebentar lagi mau tunangan gimana gak dipikirkan sama Mama. Ya begini dah."
Tak hanya Mama yang setres, tapi aku lebih setres karena harus kehilangan orang yang aku cintai Ma. Pikirku tersenyum. Aku kemasi lagi tensimeter dan stetoskop. "Mama Istirahat saja lah dulu..."
"Iya. Makasih banyak ya Ami."
"Sama -sama Ma. Ami keluar dulu ya."
"Iya." Aku pun keluar dari kamar Mami.
Rumah ini sangat besar tapi tak ada isinya. Begitu sepi, aku tak jalankan pandanganku untuk melihat keadaan sekitar. Aku takut kalau harus melihat Aim yang tiba -tiba muncul nantinya.
"Hallo sayang."
Terdengar suara centil seorang perempuan memasuki rumah. Aku menghentikan langkah kakiku di ujung tangga. Aku melongo kebawah, ternyata ada si centil Inez yang datang dan disambut Aim.
"Hello..." Aim merangkul gadis itu, memeluknya dan menciumnya.
Jantungku berdegug kencang, seperti dipanah sejuta pisau sakit, perih dan berlumuran darah. Rasanya aku ingin melempar dua manusia itu dengan batu besar. Tuhan! Hatiku sangat sakit melihat pasangan itu bermesra -mesra di hadapanku.
83 Aku tahan air mata yang sudah mengucur membasahi pipiku. Menyumpal mulut dengan kedua tanganku, aku berlari menuruni tangga dan keluar dari rumah besar Mami. Tak perdulikan mereka yang memandangku heran. Tidak mereka tidak heran, hanya tak perduli dengan keberadaanku.
Aku berlari, berlari dan terus berlari. Aku tidak tahu kemana kakiku akan berhenti melangkah. Hatiku sungguh sangat sakit sekali. Kenapa aku harus melihat dua manusia tak berperasaan itu seperti tadi" Ya Tuhan kuatkan aku, aku sungguh lemah semakin tak berdaya. Kenapa semuanya harus seperti ini"! Aku mencintai seorang lelaki yang tak sedikitpun perduli akan rasa sakit yang aku rasakan saat ini. Dia orang yang kejam, meninggalkan aku tanpa pamit dan tiba -tiba datang akan bertunangan dengan gadis lain. Lalu apa aku" Untuk apa cintaku selama ini padanya"!
Aku berhenti melangkah, aku lelah nafasku tersengal -sengal. Sebuah tempat yang sangat indah dengan sejuta kenangan yang indah pula. Tempat kebersamaan cinta tersembunyiku dengan Aim dulu, dan sekarang hanya pelabuhan tangisku. Aku menangis, berderai air mata tanpa henti. Duduk sendiri di bawah pohon besar menghadap sungai yang airnya mengalir sangat deras.
Aim!!! Kenapa aku masih saja mau kau beginikan"! Masih bisa saja aku terlalut dalam perasaanku, perasaan cinta yang seharusnya sudah tidak boleh ada lagi dalam hatiku. Aku cintai kau, aku tak ingin kehilangan kau, aku ingin bahagia dengan cintaku
tapi tak begini. Aku sangat merindukan kau, tapi aku ingin semuanya berakhir segera.
*** "Ami." Seseorang tengah menyentuh pundaknya.
Ami terkejut, seketika menoleh arah belakangnya. "Farish"" Ami terjaga dari duduknya. "Maaf, aku gak bisa..."
"Sudah, jangan pikirkan itu."
"Dari mana kamu tahu aku disini"" Isak tangis itu masih sangat jelas mengalahkan bicaranya.
"Sudahlah. Aku hanya berusaha untuk selalu ada saat kamu butuh." Tatapanya penuh iba.
Ami tak berkata apalagi. Ia berusaha tahan air yang terus membanjiri mukanya. "Jangan ditahan, menangislah selagi kamu air mata itu bisa membuat kamu
lebih baik." Rasanya juga ingin menangis, tak tega melihat perempuan dihadapannya menagis hingga terisak -isak menahan sebuah beban perasaan. Ingin dipeluknya agar lebih tenang, tapi siapalah dia hanya seorang teman yang baru berjalan beberapa hari saja.
Tapi, sangat mengejutkan saat Ami yang sudah merasa sangat lemah dan tak berdaya dengan sendirinya jatuh dalam pelukan Farish. Seakan berteriak meminta perlindungan padanya. Walau ragu, belaian lembut ia berikan untuk menenangkan gadis itu.
84 "Menangislah Ami, jangan berhenti. Buanglah air matamu hingga benar -benar hilang dan pergi semua masalah yang menggandrungi hati dan fikiranmu."
Hati ini, tak seperti biasa memandang seorang kawan perempuan dengan penuh rasa iba dan simpati. Tak ingin melihatnya menangis, hanya ingin selalu mendampinginya dalam suka dan duka. Hatinya sungguh lembut untuk tersakiti. Aku tak ingin menyakiti hatinya seperti halnya Ibrahim yang tak bisa menegaskan apapun pada dirin
ya sendiri. Bermain -main akan sebuah perasaan cinta yang diberikan sepenuhnya padanya.
Ami, maafkan aku. Ingin aku melakukan segalanya agar kamu bisa bahagia untuk cinta yang sudah
mendalam yang kamu miliki untuknya. Tapi, aku berubah Ami, aku tak ingin kamu
bersedih atas Ibrahim. Aku tak ingin pula kamu bahagia bersama Ibrahim. Aku rasa aku
lebih menginginkan senyum dan tangismu hanya untukku Ami. ***
Enam betas.. Suara gesekan kaki dengan tanah berhenti, Farish nampak kaget saat Ibrahim berdiri dihadapannya.
"Ibrahim"" Katanya dalam hati.
"Gue kira loe gak bakalan balik malam ini." Aim memulai bicaraannya. "Gue masih punya rumah yang bisa disinggahi." "Owh." Aim melipat kedua tangannya.
"Pas banget gue ketemu sama loe disini. Tadinya gue mau calling loe." "Wew. kebetulan banget gue juga ada perlu sama loe." "Ada apa loe cari gue""
"Sepertinya loe udah kepincut sama cewek sepuluh juta itu yaa""
"Kenapa loe gak bilang dari awal kalau Ami itu bekas pacar loe"! Sodara tiri loe sendiri." Todong Farish langsung tanpa basa -basi.
Terhenyak dengan pertanyaan Farish, Ibrahim tak menyangka kalau Farish tahu sampai sejauh itu. "Ngomong apa loe""
"Gue ngomong, antara loe dan Ami. Jangan kira gue gak tahu soal masa lalu kalian berdua. Ami sangat cintai loe, tapi loe justru mempermainkan perasaan dia. Kira -kira loe itu punya hati atau enggak sih""
"Sepuluh juta masih kurang buat loe ngurusin cewek itu ha"!"
"Ibrahim, Sorry aja, gue bukan cowok jobless yang butuh sama sepuluh juta loe itu. Tapi gua cuma mau nyadarin loe. Harusnya loe buka mata loe lebar -lebar, lihat dunia nyata yang ada di hadapan loe sekarang. Cewek yang setengah mati cintai loe nyaris mati karena sakit hatinya dipermainkan sama loe! Dan loe gak pernah sadar soal
itu!" 85 "Jangan pernah ikut campur urusan gue soal Ami. Sepuluh juta masih kurang buat loe, ya gue lupa, sepuluh juta bukan jumlah yang berarti buat loe."
"Loe buta! Loe adalah orang yang paling merugi di dunia ini karena udah menyia -nyiakan cinta Ami!"
"Okay, loe harus tau, gue gak cinta sama Ami. Gue sayang sama dia, karena dia adik tiri gue dan gak lebih dari itu. Dulu, sampai sekarang dia udah salah tanggab sama rasa sayang gue selama ini. Puas loe"!"
"Gampang loe bilang gitu"!"
"Sudahlah, loe itu hanya sebatas uang buat gue. Tutup saja mulut loe itu, jangan paksa gue buat menghajar loe."
"Silahkan kalu loe emang mau menghajar gue. Gue cuma mau bilang, hentikan semua sikap loe yang bikin Ami menderita. Dia punya hati yang lembut, dia punya kasih sayang tulus buat loe. Dan kasih sayang itu gak gampang semua orang dapatkan. Termasuk loe yang belum tentu mendapat kasih sayang yang sama dari Inez."
"Jangan bawa -bawa Inez!"
"Loe itu brengsek! Loe pernah bilang cinta sama Ami. Loe buat dia mencari tahu selama bertahun -tahun buat kejelasan hubungan kalian. Tapi setelah semua usahanya, loe tinggalin dia gitu aja tanpa perasaan. Cowok macam apa loe itu, ha"!"
"Dari mana loe tahu semuanya"" Aim kembali kaget mendengar itu.
"Dessy"" Rupa Aim semakin terkejut mendengar itu.
"Mak comblang loe sendiri. Gue kenal Dessy sohib baik Ami dari Bang Joe, jangan lupa loe."
Aim diam menatap Farish sangat sengit. Tapi ia terus tahan dan berusaha tenang. Ia resapi semua perkataan yang terlontar dari mulut Farish.
"Gue kenal Dessy pas Bang Joe ngajakin gue." Lanjut Farish menceritakan semuanya pada Aim.
Saat itu Farish mengantarkan Bang joe untuk mengantar barang kiriman pamannya dari luar kota.
"Emang isinya apaan sih Bang"" Tanya Farish yang membantu menurunkan kardus -kardus besar dan berat dari mobil pick upnya.
"Ini baju bos, buat jualan Om gue."
"Owh.. " Sesaat setelah barang -barang besar itu turun dari mobil, Farish permisi untuk pinjam kamar mandi. Jaketnya digatung di balik pintu kamar mandi, hingga saat ia keluar jaket tertinggal. Dessy yang ternyata pemilik rumah sekaligus sepupu bang Joe tak sengaja menemukan jaket hitam menggantung. Dikiranya itu milik sepupunya, iseng Dessy berniat untuk menyembunyikan ponsel yang ada dalam kantong jaket itu. Di rongrong semua lubang kantong, ternyata yang ia temukan justru
sebuah foto seorang perempuan yang sangat dikenalnya, Ami.
86 "Mas! Ngapain mas nyimpen foto temen aku"!" Tegur Dessy pada bang Joe. Alisnya mengernyit tak merasa atas tuduhan Dessy. "Kamu itu ngomong opo
toh"!" "Ini jaketmu kan"!" Dessy menunjukkan jaket hitam itu.
Bang joe menggeleng cepat. "Bukan, ini bukan punya Mas. Ini punya temen Mas yang di depan itu."
"Lho" Koq dia punya fotonya Ami""
Mulutnya mangap hendak menjawab pertanyaan Dessy, tapi keburu Dessy pergi langsung menemui Farish yang sedang berteh di ruang tamu. "Mas, boleh tahu namanya"" Tanya Dessy langsung. Farish meletakkan cangkir tehnya kembali. "Aku" Farish. Ada apa ya"" Dessy memberikan jaketnya. "Ketinggalan di kamar mandi." "Owh iya, makasih." Farish tersenyum kemudian memasang kembali jaketnya. Dessy ragu -ragu menunjukkan foto kawannya. "Mas, apanya Ami ya"" Muka Farish terangkat kaget. "Kamu kenal Ami""
"Aku temen baiknya sejak SD dulu. Sampai terakhir aku ketemu sekitar setahun yang lalu. Mas ini siapanya ya"" "Kamu juga kenal Aim""
"Aim"" Farish mengangguk. "Ibrahim Imran"" "Iya. Sekarang dia masih di Bali"" "Sudah datang."
Dessy tersenyum senang. "Wah mereka gimana sekarang""
"Tunggu tunggu. sebenarnya ada apa diantara mereka""
"Lho" Emangnya Mas gak tahu" Mereka itu.. " Dessy tak lanjutkan keterangannya. Ia mulai curiga siapalah seorang Farish yang dihadapinya sekarang. "Mas ini siapanya ya""
"Aku, aku ini temannya. Tolong ceritakan ada apa antara Ami dan Ibrahim""
Dan, kisah sejak delapan tahun yang lalu di ceritakan ulang semuanya rinci pada Farish.
".dan gue tahu semuanya dari Dessy."
Seksama Aim mendengarkan semua omongan Farish. Ia tak berkutik lagi,
meresapi semua dan terus memikirkannya.
*** Tujuh belas,,, "Owh No!" Ami menciut saat lari mobilnya terasa tak terlalu enak seperti biasa. Pelan ia menyingkir dari keramaian di tengah jalan. Segera ia turun dan memastikan ban mobil bagian belakangnya ternyata kehabisan udara.
Adik Tiri Stepsister 1 Pendekar Rajawali Sakti 11 Jago Jago Bayaran Delapan Kitab Pusaka Iblis 4
^