Dari Langit 2
Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng Bagian 2
odern dan demokratis, biasanya yang disebut kepentingan paling dasar individu-individu itu dijamin pada bab-bab konstitusi. Selalu begitu. Jadi, apa saja yang tidak boleh dipaksa oleh umum dijelaskan garisnya. Kita sebenarnya sudah menerimanya sejak 1945, dengan Pasal 28 UUD, tapi kita masih ragu-ragu. Belum benar-benar clear-cut, atau secara tegas dan penuh. Dengan amandemen terhadap UUD 45 itu, kita sudah bersikap clear-cut, bahwa ada hak-hak dasar individu: hak bicara, hak untuk hidup, hak untuk mencari kebahagiaan, life, liberty, and happiness. Inilah definisi dasar tentang hak-hak individu itu, tidak boleh dirampas oleh siapapun, termasuk oleh negara.
Tetapi tentu saja selalu ada situasi ketika hak-hak ini untuk sementara bisa ditangguhkan. Contoh yang paling klasik adalah: dalam sebuah bioskop yang gelap, Anda tidak boleh berteriak "Api!", karena orang bisa kaget, panik, keluar bersamaan, ada yang terinjak-injak dan mungkin mati. Jadi, kebebasan itu bisa dibatasi jika kebebasan itu mengancam hidup orang lain. Inilah yang disebut John Stuart Mill sebagai a very simple principle of liberty, karena dalam filosofi kebebasan se -lalu ada pertanyaan: di mana batasnya" Mill, pada pertengahan abad ke-19, memberikan definisi yang amat jelas dan sangat terkenal, yaitu bahwa kebebasan individu berakhir manakala kebebasan itu mengancam hak hidup atau hak orang lain. Inilah prinsip dasarnya, meskipun penjabarannya sangat kompleks dan mengikuti perkembangan zaman.
Misalnya dalam soal merokok. Tahun 1960-an tidak ada larangan merokok di ruangan, apalagi tahun 1950-an. Dalam politik dulu ada istilah smoke-filled room-untuk menunjuk keputusan politik dilakukan dalam ruangan yang penuh asap rokok. Bayangkanlah Amerika atau di Eropa di musim dingin, yang mengharuskan semua jendela ditutup. Dan semua orang di ruang-ruang rapat itu merokok, karena belum ada larangan. Baru pada 1970-an, terutama 1980-an, mulai ada aturan tentang larangan merokok di ruangan tertutup. Lalu pada 1990-an larangan itu diperluas, meliputi restoran. Tahun 2000-an di California, di bar pun orang tidak boleh merokok. Ini jelas pembatasan kebebasan.
Tapi pembatasan itu diterima karena muncul teori kedokteran yang baru: bahwa kalau Anda merokok di ruang seperti itu, Anda membahayakan hidup orang lain, sehingga kebebasan merokok harus dibatasi. Itu contoh yang paling gampang. Tentu saja ada beberapa hal praktis tentang kebebasan yang masih diperselisihkan batas-batasnya, tetapi semua menerima prinsip umumnya, yakni bahwa kalau seseorang tidak membahayakan kehidupan orang lain, dia harus bebas memilih bagi dirinya.
Keberanian dalam hal memberi kebebasan pada individu, yang di banyak negara dijamin oleh konstitusi, sesungguhnya juga didasarkan pada asumsi atau pada kepercayaan bahwa manusia itu sebetulnya bisa atau cenderung berbuat baik. Kita, atau "Masyarakat Timur", dalam hal ini kadang bersikap ambivalen. Kita sering berkata bahwa kita percaya pada sifat baik dalam diri manusia, the goodness of people, of human being. Tetapi kita tidak percaya bahwa mereka mampu memilih buat dirinya. Kita ingin ngatur hidup orang-gaya berpakaiannya, gaya rambutnya. Jadi kita tidak percaya bahwa mereka bisa menentukan pilihannya sendiri.
Bahwa sekali atau dua kali mereka salah, itu lebih baik dianggap sebagai proses belajar ketimbang Anda yang harus menentukan pilihan mereka, misalnya mereka harus pakai jilbab dan sebagainya. Padahal, dengan semangat ngatur-nga-tur itu, implikasinya secara filosofis, kita tidak percaya bahwa mereka mampu memilih buat dirinya sendiri; kita mau bilang, "Tuhan sudah pilihkan A buat kamu, agama sudah pilihkan B buat kamu." Kita mau limpahkan semua paket itu, sehingga yang tersisa pada individu hanyalah kepatuhan terhadap aturan-aturan yang ada. Kita mau patuh, tentu saja. Masyarakat yang individualis itu sebenarnya masyarakat yang patuh pada aturan yang dianggap masuk akal dan diputuskan secara bersama. Di jalan mereka tertib pada aturan umum. Kita di sini mau kepatuhan, tapi pada saat kita harus patuh, kita sangat liar.
*** Dilih at dari sudut lain, antara motif individual dan kepentingan masyarakat itu juga sering terjadi "keanehan". Milton Friedman, pemenang Nobel Ekonomi 1978, pernah bilang bahwa biasanya kegiatan-kegiatan ekonomi itu dimulai dengan motif individual, motif pribadi, yang dalam perjalanannya kemudian menguntungkan orang banyak. Inilah yang sering terjadi ketimbang sebaliknya: orang yang semula berpretensi atau berkata bahwa semua kegiatannya bukan buat dirinya sendiri melainkan buat orang banyak, ternyata justru merugikan masyarakat; jadi, masyarakat yang diatasnamakan itu dirugikan, dan dia secara pribadi diuntungkan, diperkaya. Kasusnya yang ekstrem adalah korupsi. Tapi di luar soal korupsi juga banyak kasus semacam itu.
Dalam hal ini kita bisa melihat fakta yang tak terbantah bahwa di negeri-negeri yang paling kaya cenderung juga menjadi negeri-negeri yang paling bebas. Kebebasan dan kesejahteraan ekonomi itu rupanya berhubungan.
Penjelasannya macam-macam. Selain memakai penjelasan Friedman, kita juga bisa menengok contoh yang paling klasik yang sudah diberikan Adam Smith dua ratus tahun silam. Waktu itu dia bicara soal penjual roti. Dia bertanya, "Dari mana kita dapat roti setiap hari"" Dengan hanya lima sen, sangat gampang kita beli roti di pasar. Kalau kita melanggan di rumah, roti diantar ke rumah kita. Pendeknya kita dapat makan roti. Apakah karena pedagang atau penjual roti ini mau menolong kita atau penjual roti itu sebenarnya mau mencari untung buat dirinya sendiri" Ternyata penjual dan pemilik pabrik yang mengantar roti itu mencari keuntungan buat dirinya sendiri.
Nah, sistem ekonomi tersusun dari begitu banyak penjual, pencari, pedagang roti, dan macam-macam pedagang lainnya, dan semua ini mencari untung bagi dirinya sendiri, tetapi akibatnya ada suplai pada masyarakat. Kita dapat ini, kita jual itu; saling membeli dan saling menjual. Ketersediaan roti atau beras bagi masyarakat dengan demikian jadi tercukupi. Itulah yang disebut masyarakat yang interaksi ekonominya bebas. Setiap orang mencari untung bagi diri masing-masing. Dan dengan cara itu, kebutuhan semua orang ternyata tercukupi; semua orang pun bahagia karena merasa dimudahkan.
Justru harus kita ragukan atau curigai kalau ada orang berteriak-teriak, "Hei, saya mengantarkan roti ini sebenarnya bukan untuk mencari untung! Saya mau kasih saja roti ini pada kalian, hai para konsumenku.. Saya tidak mau untung. Saya mau rugi... " Orang itu pasti gila-atau setidak-tidaknya munafik. Dalam sejarah, ada sistem yang pernah mencoba cara itu dengan berbagai variasi. Ada sistem komunisme di Soviet, Cina, Korea Utara, Vietnam, dan Kuba.
Cara yang kemudian meluas ke sistem sosial dan politik itu kemudian runtuh semua, atau tetap terbelakang dibanding negeri-negeri lain. Di Cina, Mao dulu pernah bilang (adaptasi dari Lenin) bahwa kita harus menciptakan manusia-manusia baru. Sebelumnya, di Soviet, Lenin ingin menciptakan manusia-manusia sosialis yang tidak memikirkan kepentingan dirinya, tetapi memikirkan kepentingan rakyat banyak, kaum buruh. Mereka lupa pada fakta dasar tentang manusia yang, menurut data-data biologis, sosio-bologis, sudah berumur lebih dari sejuta tahun dalam bentuknya yang sudah mulai modern. Jadi, Mao, Lenin, dan orang-orang yang sealiran dengan mereka pasti tidak akan mampu mengubah manusia. Tidak ada namanya manusia baru itu.
Manusia adalah hasil evolusi panjang dengan karakteristiknya sendiri, yang melihat manusia dengan kacamata dirinya, bukan diri orang lain. Maka sistem apapun yang dibangun tidak berdasarkan pandangan manusia yang benar dan realistis akan runtuh. Itulah yang dialami oleh sistem komunisme, karena pretensi mereka bukan cuma menciptakan sebuah sistem baru, tetapi pada fundamentalnya ingin menciptakan manusia baru dengan karakteristik baru. Manusia yang tidak memikirkan dirinya sendiri, tidak memikirkan anaknya, keluarganya, bapaknya, melainkan memikirkan masyarakat sosialis. Karena itu di Cina, waktu Revolusi Kebudayaan, bapak, ibu, anak dipisahkan.
Ide itu sebenarnya mengikuti Plato. Dalam karya masyhurnya, Repub
lic, dia menyebut bahwa pendidikan terbaik yang ideal adalah jika anak dan ibu dipisahkan sejak awal, karena ini akan menumbuhkan pikiran-pikiran anak berdasarkan ba-kat-bakatnya. Ini masyarakat idealis-utopis. Jadi ini yang diulang dalam bentuk baru oleh Lenin di Rusia, Mao di Cina, Pol Pot di Kamboja. Mereka mau mencetak anak-anak sosialis baru. Itu sebabnya sejak kecil, setiap bangun tidur, mereka diharuskan baca Buku Merah, kitabsuci Mao.
Yang terjadi adalah tragedi kemanusiaan yang amat dahsyat. Proses di Cina itu memakan korban puluhan juta jiwa yang kelaparan. Sistem pertanian Cina samasekali ambruk. Kolektivisme runtuh, dan baru mulai diperbaiki kembali oleh Deng Xiao Ping, pada 1978. Hasilnya sekarang cukup menakjubkan, sebagai keberlanjutan dari semakin terbukanya kebebasan ekonomi di Cina, belum politik. Jadi kolektivisme dibalikkan dan elemen-elemen liberalisme diperkenalkan. Sejak beberapa belas tahun lalu, ekonomi Cina tumbuh dua digit, 11, 12, 13 persen setahun.
Di sisi lain, sistem Soviet hanya bertahan 70 tahun, jika kita hitung dari Revolusi Bolshevik 1917. Sangat singkat. Bandingkanlah misalnya dengan Amerika Serikat yang sudah berusia 200-an tahun-tak perlulah kita bandingkan dengan Inggris yang sudah terlalu lama. Jadi kemenangan sistem yang percaya pada kebebasan itu juga karena ia cocok dengan watak manusia, dan juga fleksibel terhadap perubahan. Kuncinya ada -lah karena pada dasarnya keputusan diambil oleh begitu banyak individu. Sementara pada sistem komunisme, yang mengambil keputusan adalah sekretariat jenderal partai (politbiro), yang hanya terdiri atas 50-an orang. Bandingkan dengan sistem pasar, di mana di dalamnya begitu banyak pedagang, penjual, dan pembeli sama-sama memutuskan yang mana paling menguntungkan.
Ada jutaan orang setiap hari mengambil keputusan; jutaan keputusan berdasarkan kepentingan diri masing-masing. Dan paradoksnya lagi, sistem yang sangat bebas ini justru yang sangat teratur. Ia dinamis, fleksibel, cepat. Dan seperti yang dika -takan Friedrich Hayek, seorang filsuf asal Austria yang pernah mendapat hadiah Nobel Ekonomi, sebenarnya kepentingan diri yang dicerminkan oleh harga yang mau kita bayar itulah yang akhirnya membuat sistem yang luarbiasa, yang di dalamnya jutaan orang berinteraksi tanpa saling mengenal.
Sistem yang liberal itu tak perlu dikhawatirkan bakal menimbulkan kekacauan. Sebab yang terjadi adalah "kekacauan yang kreatif" atau situasi dinamis yang sangat kreatif (a very creative and dynamic situation). Lihatlah ekonomi Amerika atau Hongkong yang begitu dinamis, tetapi begitu cepat menjamin kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini ada satu elemen yang membuat perdagangan juga penting dari segi moral dan segi kebudayaan. Ini sudah dikatakan dua abad yang lalu oleh Montesquieu, seorang pemikir Prancis.
Dulu orang menganggap bahwa perdagangan itu membuat orang serakah, materialistis, dan sebagainya. Tetapi, kata Montesquieu, sebelum tumbuhnya sistem perdagangan atau pertukaran modern, yang terjadi justru adalah perang suku, perang etnis, perang agama. Orang jadi terkucil oleh perbedaan-perbedaan yang bersifat nilai dan keyakinan. Tetapi di pasar, di mana ada penjual dan pembeli, yang penting harganya cocok. Entah penjualnya orang Arab, Yahudi, atau Cina, kalau harganya cocok kita beli. Artinya, sebagai sistem, pertukaran yang didasarkan pada kepentingan tersebut sebenarnya membuat manusia menghilangkan prasangka. Jadi kalau model pertukaran ini menjelma menjadi sistem sosial, atau menopang sistem sosial, maka pada dirinya sendiri sistem ini tidak mengandung bias prejudice, yang telah turun-temurun diwarisi oleh masyarakat manusia. Itulah salah satu pengaruh penting sistem pertukaran yang kita sebut sebagai perdagangan modern.
Di dalam kehidupan ini memang ada banyak elemen. Kita juga tidak bisa berkata bahwa sistem pertukaran ini akan merembes ke mana-mana, ke semua aspek kehidupan. Orang masih kembali ke agama, etnik, daerah, bahkan ada yang disebut sebagai nation state. Ini semua bercampur-aduk. Tetapi yang ingin saya tegaskan di sini adalah bah
wa kita ingin melihat individualisme dalam berbagai macam manifestasinya. Kita tidak bisa dengan sederhana berkata bahwa individualisme itu anti-masyarakat, anti-kepentingan umum atau egois. Ini sebuah paham modern yang menurut saya menjadi salah satu dasar dari suksesnya masyarakat modern. Jadi janganlah paham ini dipandang secara sangat simplistis. Ia berhubungan dengan berbagai macam hal dan justru menjadi salah satu kekuatan konstruktif yang progresif dalam kebudayaan dan kehidupan masyarakat modern.
Kita kemudian teringat pada Francis Fukuyama, yang bilang bahwa sejarah sudah berakhir. Tentu yang dia maksud bukan sejarah dalam arti kronologis, tapi sejarah dalam arti pertarungan gagasan, antara sistem demokrasi liberal dengan komunisme. Dengan runtuhnya komunisme, maka demokrasi liberal-yang merupakan abstraksi atau perluasan paham in-dividualisme-menjadi pemenang, dan sejarah berakhir. Ide Fukuyama ini memang masih terlalu abstrak. Tapi pada dasarnya dia ingin berkata bahwa pada akhirnya sistem masyarakat yang ingin kita buat, setelah berputar ke mana-mana dan melakukan macam-macam percobaan, akhirnya membuat kita kembali ke kearifan lama yang benar, yang kebetulan dia namakan kapitalisme-liberal. Dasarnya adalah penghargaan pada kedaulatan individu, pada kebebasan masing-masing orang untuk memilih. Kalau Anda pakai paham itu, Anda bikin sistem itu, tentu namanya kapitalisme-liberal, tidak bisa lain.
Mereka yang hidup dalam sistem itu punya kebebasan, punya kehendak untuk bebas. Itulah yang menjadi motor perubahan. Ke sanalah arah sejarah. Masyarakat yang masih memakai sistem yang di dalamnya ada perbudakan, misalnya, suatu saat akan hilang. Budak-budak itu akan merdeka. Mereka akan merdeka, dalam arti akan menentukan kehendaknya sendiri, menjadi tuan bagi dirinya sendiri.
Itulah yang dikatakan Fukuyama. Dan kita sulit menyebut bahwa dia keliru.
Persamaan di Depan Hukum konsep equal opportunity, persamaan peluang, merupakan salah satu masalah yang rumit dalam pengaturan kehidupan modern, dan ini harus menjadi perhatian kita semua. Dalam masalah persamaan kesempatan, ada dua hal yang harus kita pikirkan. Pertama, masalah ideal, cita-cita, arah besar yang harus kita tuju. Tapi, kedua, ada juga masalah kenyataan. Kita tidak bisa memungkiri kenyataan. Kalau kita mau membangun masyarakat, harus berdasarkan kenyataan yang ada, untuk kemudian kita ubah. Tapi kalau kita ingkari kenyataan, kita akan terjebak pada utopia yang akhirnya juga gagal, menyedihkan, dan akan memakan korban yang sangat banyak.
Itu sudah terjadi pada komunisme, yang mau membuat masyarakat baru, manusia baru. sama-rasa, sama-rata. Mereka tidak mengakui sejarah dan mau menghancurkannya. Kalaupun tidak sampai dihancurkan, agama, sejarah, simbol-simbol masa lalu itu, mereka lupakan. sebab mereka ingin membentuk sesuatu yang samasekali baru, yang sesuai dengan ideal mereka, tetapi pada akhirnya gagal. Dan sungguh menyedihkan, gagalnya itu dengan memakan korban yang luarbiasa besar. saya kira, ini tragedi kemanusiaan terbesar yang pernah kita lihat dalam sejarah. Dalam soal equal opportunity, kenyataan yang saya maksud adalah kenyataan bahwa manusia berbeda-beda.
Orang ingin mencari distingsi. Saya ini berkarya, bekerja, berkarir, ingin agar saya berbeda, bukan supaya saya sama. Kalau orang mau jadi sama, dia akan menjadi medioker- tanggung, kemampuannya setengah-setengah. Setiap manusia pada dasarnya ada yang kuat, ada yang dorongannya lemah, tetapi terkait dengan kepentingan dan persepsi dirinya. Ibaratnya, setiap orang ingin jadi elang, tidak ingin jadi bebek. Setiap orang ingin terbang tinggi dan berkata, "Inilah saya!" Dalam memilih pakaian, Anda ingin lebih baik; dalam memilih istri, Anda ingin lebih baik. Artinya tidak umum. Pokoknya, Anda ingin berprestasi.
Orang bahkan harus didorong untuk mencari ketidaksamaan. Kalau anak kita bilang bahwa di sekolah dia mau sama saja dengan anak-anak lainnya, belajarnya mau biasa-biasa saja, tidak mau lebih bagus daripada teman-temannya, kita akan bilang, "Aduh, anak ini tidak pun
ya motivasi untuk belajar."
Dan dengan ke-biasa-an dan ke-sama-an itu, kemajuan tidak mungkin tercapai. Lihatlah para jenius dan penemu. Mereka biasanya orang yang punya motivasi kuat, punya kemauan keras. Mereka mau kerja keras, karena ingin berbeda. Ini fakta. Dan memang dalam kenyataannya orang berbeda-beda. Sesosialis dan seegalitarian apapun seseorang, kalau dia melihat sesuatu yang lebih indah, lebih baik, lebih cantik, selalu ada impuls-impuls untuk ikut mengagumi atau menghargai, yang merupakan bagian dari kenyataan alamiah di dalam diri manusia.
Jadi, pada dasarnya kita mau berbeda, kita suka berbeda. Tetapi pada saat yang sama ada impuls lain. David Hume, seorang filsuf dari Skotlandia yang menulis buku yang sangat terkenal, Treatise of Human Nature, mengatakan bahwa salah satu dasar manusia membentuk masyarakat dan berinteraksi dengan masyarakat adalah perasaan simpati atau empati. Artinya, kalau kita melihat penderitaan orang, kita ikut sedih. Intinya, kita mau memperlakukan orang sebagaimana kita mau diperlakukan. Ada semangat untuk berbeda, berdistingsi. Mau jadi juara, jadi jagoan, jadi terbaik, jadi lebih cantik, lebih kuat, lebih kaya, tapi kita mau diperlakukan sama. Intinya juga simpati kepada diri. saya tidak mau diperlakukan sewenang-wenang, saya mau diperlakukan sama. Tetapi ini impuls lain. Jadi, di dalam diri manusia ada semangat untuk berbeda, tetapi ada semangat yang sama pada titik-titik tertentu. Kedua impuls inilah yang membentuk kenyataan: manusia dan masyarakat.
Nah, dalam konteks tata kemasyarakatan, apa yang disebut equal opportunity itu sebenarnya agak rancu kalau kita terjemahkan terlalu jauh. Yang lebih tegas adalah equality before the law, persamaan di depan hukum. Anak jenderal, presiden, orang miskin, rakyat kecil, pengusaha besar, pedagang kecil, di depan hukum posisinya sama. Kalau yang satu tidak boleh mencuri, yang lain pun tidak boleh; yang satu tidak boleh melanggar rambu-rambu lalu-lintas, yang lain pun tidak boleh melanggar. Begitulah sederhananya.
Dengan menjamin persaman bagi semua orang di depan hukum, otomatis prinsip ini berlaku dalam menjamin persamaan dalam semua hal. sebab hukum adalah fondasi interaksi manusia dan masyarakat. Hukumlah yang mengatur boleh dan tidaknya suatu tindakan dilakukan. Memang, ada etika dan kebudayaan, tapi itu adalah hal yang berbeda. Kalau kita bicara tata aturan dalam masyarakat secara formal, maka yang kita maksud dengan equality sebenarnya adalah persamaan di depan hukum. Karena kalau kita mulai menafsirkan hukum sebagai kesempatan, maka konsepsi ini agak elusif, sulit dipegang. Apa yang kita maksud dengan kesempatan" Yang saya tahu, itu artinya kesempatan buat anak saya dan kesempatan buat anak orang lain harus sama-dan memang sama di depan hukum. Tetapi kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan: apakah itu berarti anak yang pintar dan anak yang kurang pintar mau dipersamakan" Tesnya harus sama-sama menang" Tentu saja harus ada tes kalau Anda melamar pekerjaan. Misalnya tes matematika. Pelamar yang diterima adalah yang dapat nilai 8,5. Kalau Anda dapat 8,2, tentu tidak bisa masuk. Jadi basisnya adalah ketidaksamaan.
Yang penting, sistemnya harus memungkinkan bahwa semua orang berhak ikut tes itu. Dasar utamanya ada di konstitusi. Anda memperlakukan saya tidak sama, tetapi Anda tidak bisa menghukum atau menuntut seorang pemilik perusahaan yang menerima anak yang lebih pintar berdasarkan tes yang universal. Dalam masyarakat yang kompleks, yang di dalamnya ada potensi -potensi konflik antar-agama, etnik, warna kulit, dan sebagainya, situasinya memang agak problematis. Misalnya, anak kulit hitam dan kulit putih sama-sama dites matematika. si anak kulit putih dapat 8,5, sementara anak kulit hitam 8. Kalau tes matematikanya berdasarkan standar universal, maka yang 8,5 ini yang diterima-kebetulan dia berkulit putih. Tetapi beberapa aktivis kaum kulit hitam mungkin berkata, "Ya, tentu saja anak kulit putih yang menang, sebab tesnya matematika, coba kalau tesnya basket.... "
Padahal tes basket mungkin tidak relevan untuk pekerjaan
yang dimaksud. Dan argumen semacam itu membuat ukuran-ukuran universal menjadi sia-sia. Maka saya kurang suka kalau konsep equal opportunity ditarik terlalu jauh, karena sifat elusifnya itu. Ia menimbulkan interpretasi yang licin, bisa ditarik ke sana, kemari, tergantung kepentingan kelompok atau tujuan tertentu yang kita inginkan. Tetapi kalau disebut sebagai equality before the law, konsep ini jelas, artinya persamaan di depan hukum. Ini harga mati.
Kadang-kadang aktivis perempuan juga lebih memilih untuk menggunakan konsep equal opportunity daripada equality before the law. Tentu saja kita tidak mau ada diskriminasi. Tetapi tidak cukupkah penegasan jaminan konstitusi bahwa semua orang dijamin bebas dan sama"
Aktivis perempuan biasanya meminta kuota untuk dipersamakan. Misalnya dalam rekrutmen politik. Mereka tidak ingin ada persaingan terbuka, dan ingin persaingan pakai kuota. Implementasinya misalnya berupa permintaan pada partai-partai politik untuk memberi sedikitnya 30% peluang kursi bagi calon legislatif. Buat saya dalam konteks kesejarahan tertentu yang ekstrem, metodenya mungkin saja masih bisa diterima sejauh bersifat sementara. Tetapi metode kuota untuk equal opportunity ini pada dasarnya self-defeating, menyalahi prinsip dasarnya. Anda ingin persamaan bagi setiap orang. Tapi kalau Anda minta kuota, itu berarti dasarnya adalah ketidaksamaan bagi setiap orang. Dan yang dapat kuota hanya perempuan. Pria tidak dapat. Ini melanggar prinsip kesetaraan yang ingin diperjuangkan. Entah Anda minta jatah untuk kulit hitam, untuk perempuan, untuk minoritas, dan sebagainya, jika itu didasarkan pada sistem kuota untuk menjamin opportunity, maka ia self-defeating, menggugurkan prinsip dasarnya sendiri.
Formula kuota semacam itu mungkin diajukan dengan bertolak dari kenyataan bahwa kondisi antara perempuan dan laki-laki tidak setara. Tapi harap diingat bahwa dalam masyarakat mana pun, tidak ada kondisi setara untuk mulai. Anda bisa bandingkan, misalnya, kondisi di kalangan kelompok-kelompok minoritas di Amerika Serikat.
Kelompok yang paling tidak pernah minta-minta perlindungan antara lain minoritas etnik dari Korea, Cina, dan Asia pada umumya. Tanpa pernah minta kuota, minoritas-minoritas ini justru lebih cepat tumbuh, paling maju, paling menguasai teknologi dan bisnis yang berkembang di Amerika. Sebab mereka berprinsip bahwa kesempatan itu tidak dijamin dan tidak diberikan oleh siapapun. Kesempatan adalah sesuatu yang harus mereka rebut. Karena itu mereka mau bekerja lebih keras daripada orang lain; mereka mau lebih pandai daripada orang lain. Mereka merebut dan menciptakan kesempatan.
Orang-orang yang melihat kesempatan atau opportunity sebagai sesuatu yang diberikan, disediakan oleh orang lain-ter-masuk oleh pemerintah-justru tidak akan pernah maju. Dalam konteks ini saya tidak sedang membicarakan hukum positif. saya sedang bicara soal cara pandang kita dalam melihat masalah tertentu. Tentu saja benar kalau dikatakan bahwa asal-muasal kita ini tidak sama. Ini serupa halnya kalau kita mengusut kesalahan atau mencari siapa yang salah: kenapa orang hitam jadi budak; kenapa orang putih jadi tuan" Ini akan berkepanjangan tanpa ujung. Dari mana kita memulai sejarahnya" Apalagi kalau kita ingat bahwa yang pernah jadi budak bukan hanya orang hitam, tapi orang putih juga pernah. seandainya orang Turki menang di Eropa melawan orang-orang kulit putih, yang menjadi budaknya orang Turki di Balkan tentu orang kulit putih. Bahkan, di Nusantara ini kita pernah saling mem-perbudak. Fakta sejarah itu harus diakui.
Tapi marilah kita melihat ke depan. Dalam menyusun sistem yang baru sekarang ini, kita bisa menengok masa lalu, tapi orientasinya harus ke masa depan. Kalau kita merasa bahwa di masa lalu sejarah tak berpihak pada kita, opportunity itu bukan di tangan kita, kita harus bertekad bahwa di masa depan peluang itu akan kita rebut dengan tangan kita sendiri, sejauh hukumnya sama. Hukumnyalah yang tidak boleh diskriminatif terhadap diri kita. soal kesempatan, kita akan mencarinya sendiri. Pemerintah tidak perlu ikut
campur. Kuncinya adalah kerja keras dan kreativitas, dengan melihat ke depan. Ini soal cara kita melihat kehidupan.
Dalam konstitusi di negara demokratis modern sekarang ini, elemen diskriminasi sebenarnya sudah hilang. Lain halnya kalau kita bicara tentang Amerika di masa sebelum 1919 atau di Eropa sebelum 1920. Hukum positif mereka waktu itu tidak memberi wanita hak memilih. Jangankan wanita, kaum pria pun-kalau kita tarik ke masa 50 tahun sebelumnya-tidak semua diberi hak memilih. Di Inggris, negara pertama yang menganut demokrasi, dalam proses perubahan reformasi secara formal, pemberian hak pilih kepada masyarakat dimulai untuk kaum pria bangsawan dan terdidik, bukan pada semua pria. Sampai 1894, tahun terakhir reformasi, wanita masih belum boleh memilih.
Setelah itu barulah wanita diberi hak memilih- dan dengan demikian terjadi revolusi besar dalam hal equality before the law. Sejak itu prosesnya berlangsung sangat cepat. Hukum positifnya mendukung.
Sebagai konsep sosial, equal opportunity itu baik. Saya tidak menentangnya. Saya cuma mau katakan bahwa kita perlu hati-hati dalam memaknainya, sebab konsep ini elusif, gampang merucut. Lain halnya dengan equality before the law, yang sangat jelas, yakni jaminan kesetaraan di depan hukum. Tapi yang namanya opportunity, siapa yang harus memberikannya" Apakah negara wajib memberikan opportunity" Buat saya: No! Negara hanya wajib menjamin hukum yang sama. Tetapi kesempatan bukan diberikan oleh negara. Hidup kita bukan di tangan negara, tetapi di tangan kita sendiri.
Bagaimana dengan program affirmative action di Amerika Serikat, yang kadang dianggap sebagai diskriminasi positif" Program ini memang didasarkan pada semacam rasa bersalah orang kulit putih terhadap kaum kulit hitam, yang kini jumlahnya puluhan juta jiwa. Tapi saya ingat pidato Martin Luther King (1969). Tokoh terpenting perjuangan kulit hitam itu berkata: I have a dream, one day my children will not be judged because of the colour of their skin. Artinya, King ingin anak-cucunya, temannya dan siapapun, diperlakukan bukan karena warna kulitnya-bahkan kalaupun perlakuannya positif. Nah, affirmative action itu memperlakukan seseorang sesuai warna kulitnya. Karena seseorang itu kulitnya hitam, maka dia harus diberi kuota. Kenapa" Karena nenek-moyang orang hitam itu pernah diperbudak oleh nenek-moyang orang kulit putih.
Martin Luther King tidak menginginkan hal itu. Jadi, semangat King itu berbeda dengan semangat pemberi affirmative action. Para pendukung affirmative action berkata bahwa tujuan mereka sama dengan tujuan Martin Luther King. Tetapi metode dan dasar filsafatnya berbeda. Sekali lagi saya katakan bahwa ini masalah yang mungkin tidak bisa dilihat secara hi-tam-putih. Hal ini benar hanya karena konteks kenyataan yang memang kompleks. Tetapi saya berpegang pada prinsip dasar. saya tidak mau melihat masalah ini dari kacamata hitam-putih. saya bersedia memberikan beberapa kemudahan sejauh masuk akal, tetapi kemudahan itu hanya sementara dan betul-betul karena political expediency. Jangan menganggap itu benar pada dirinya sendiri, apalagi menganggap itulah mahkota perjuangan equality of opportunity. Itu keliru besar. Kalau dianggap demikian, tentu boleh saya katakan bahwa itu merupakan pengkhianatan terhadap perjuangan kaum yang ingin membebaskan dirinya dari segala bentuk kekangan, termasuk kekangan diskriminasi warna kulit.
saya mau kasih contoh supaya kita bisa melihat persoalan ini dengan proporsional. Katakanlah Anda keluarga kulit putih, sementara saya keluarga kulit hitam. Tentu bukan salah kita berdua kenapa nenek-moyang kita saling memperbudak. Kepada anak-anak kita masing-masing kita bilang, "Belajarlah yang baik dan belajarlah yang keras". Dua-duanya mengikuti saran itu. Tentu saja baik jika dua-duanya diterima di universitas, tapi ternyata yang diterima cuma satu, anak Anda atau anak saya. Kehidupan ini memang kadang-kadang kejam, meski kita mau kehidupan ini jangan kejam. Kita dihadapkan pada pilihan. Kursi untuk menerima mahasiswa di universitas terbatas. Maka harus ada tes.
Anak Anda yang kulit putih mendapat nilai 8,5 untuk matematika, anak saya dapat 5,5. Dengan adanya affirmative action, mungkin anak saya yang nilainya 8,3 itulah yang masuk. Bayangkan apa yang harus Anda katakan pada anak Anda" "Oh, anakku, nilaimu memang lebih tinggi daripada anak kulit hitam itu, tetapi nenek-moyang kita dulu pernah memperbudak nenek-moyang dia, jadi kau harus menanggung dosa nenek-moyangmu." Ini terjadi dalam situasi di mana kedua anak ini belajar dengan baik. Bayangkan, kalau anak Anda belajar dengan baik untuk dapat 8,5, sementara anak saya yang malas dan cuma dapat 5,5 malah bisa masuk. Anda mau bilang apa pada anak Anda" Mungkin situasi ekstrem seperti ini tidak pernah terjadi. Tapi setelah program itu berlangsung dua puluh tahun dalam masyarakat yang berpenduduk 300 juta orang, pasti satu atau dua kasus semacam itu terjadi. Dan beberapa tahun lalu hal semacam itu terjadi di Universitas Michigan, sehingga sejumlah mahasiswa kulit putih yang merasa dirugikan mengajukan gugatan hukum.
Jadi sekarang program itu mulai ditentang. Dan jangan lupa, sejarah pada akhirnya berpihak pada kebenaran. Setelah beberapa puluh tahun dicoba, ternyata memang in the long run sistem kuota atau sistem diskriminasi ini tidak menghasilkan siswa-siswa yang cemerlang. Sebab tes itu universal. Kalau Anda dites waktu Anda mahasiswa, tesnya kan sebenarnya bukan saat itu saja. Tes itu adalah akumulasi pengalaman hidup.
Affirmative action yang diterapkan di Amerika itu kadang dipuji oleh kalangan tertentu yang menganggap bahwa pemerintah itu sebaiknya bersikap seperti itu. Yang lemah diberi kesempatan lebih, yang kuat tidak perlu dibantu. Pada prinsipnya kita senang membantu yang lemah. Semua agama mengajarkan hal yang sama. Semua orangtua mengajarkan hal-hal yang baik kepada anak-anaknya: agar anak-anak mereka menjadi orang yang baik, suka bekerja keras, punya keberanian, dan suka menolong. Tidak ada hal yang salah dengan semua itu.
Yang jadi soal adalah: apa yang kita maksud dengan menolong" Bagaimana metode menolong" Apa bentuk pertolongannya" Masalah ini tidak sederhana. Affirmative action muncul hanya dalam periode sejarah tertentu, yang memang kita harus mengerti dalam konteks dinamika politik Amerika tahun 60-an. Pada prinsipnya kita harus membiasakan orang untuk berjuang bagi dirinya. Dia maju bukan karena ditolong. Betapapun baiknya tindakan menolong, tidak ada orang yang maju karena sistem pertolongan. Orang maju karena mau berusaha keras untuk mencapai kemajuan itu dan bersedia berkorban-waktu, pikiran, dana-untuk mencapai kemajuan itu. Mungkin secara temporer ada orang-orang lemah yang kita tolong. Tapi yang membuat dia maju, modern, merasa bangga terhadap dirinya, bukanlah karena dia ditolong, tapi karena dia menolong dirinya sendiri.
Arief Budiman BARU-BARU INI Arief Budiman mendapat penghargaan Hellman/ Hammets Award 1996, yang diberikan Human Rights Watch, lembaga internasional yang bergerak di bidang HAM (hak asasi manusia). Sebagai seorang sahabat, saya ikut merasa bangga atas penghargaan ini.
Saya tahu bahwa, bagi Arief, selama kondisi HAM kita masih seperti sekarang, penghargaan seperti itu tak berarti apa-apa. Dengan atau tanpa penghargaan, Arief akan terus berusaha mewujudkan idenya dan mengkritik segala bentuk tindakan publik yang mengusik hati nuraninya. Arief adalah tipe manusia Kantian, seorang yang akan terus memperjuangkan kebenaran walaupun langit runtuh.
Siapa Arief Budiman" Bagi banyak orang, dia adalah pengkritik Orde Baru, penulis yang cerdas, dan penganjur sosialisme humanis. Semua itu betul. Namun, bagi saya, ada sebuah dimensi persoalan yang menarik pada diri Arief yang belum banyak dimengerti. Persoalan ini bersumber pada ketegangan dan tarik-menarik antara dunia keilmuan dan dunia aktivisme, antara dunia pencarian pengetahuan dan dunia perjuangan politik. Arief Budiman, sebagai sebuah fenomenon, memberi gambaran yang cukup jelas tentang hubungan yang dilematis antara apa yang disebut oleh Max Weber sebagai the vocation of science dan the vocation of politics.
Titik tolak dunia keilmuan adalah skeptisisme, bukan kepastian. Seorang ilmuwan adalah seorang yang peragu, skeptis. Berbeda dengan seorang kiai, pendeta, dan penyebar "kebenaran" lainnya, tugas seorang ilmuwan bukanlah menyebarkan kebenaran, melainkan mencarinya, mempertanyakannya, mengujinya.
Tentu para ilmuwan sering menganut atau percaya pada "kebenaran" tertentu, katakanlah sebuah teori tentang pembangunan sosialis. Namun kebenaran semacam ini selalu bersifat sementara, cair, dan siap diuji terus-menerus. Jika ternyata akumulasi fakta-fakta yang ada cenderung menolak kebenaran tersebut, maka sang ilmuwan akan dengan senang hati mengubahnya, bahkan meninggalkannya samasekali, untuk kemudian mencari kebenaran baru.
Berbeda dari kerja seorang ilmuwan, kerja seorang pejuang atau aktivis bermula dari kepastian dan berakhir dengan kepastian. Buat seorang aktivis, skeptisisme adalah cermin dari ketakutan untuk bersikap. Perjuangan politik pada hakikatnya adalah upaya untuk memperluas basis dukungan publik terhadap cita-cita tertentu. Karena itu, yang harus diperlihatkan oleh seorang pejuang sejati bukanlah keraguan, melainkan justru jalan yang pasti, yang "benar", yang lebih "baik". Siapa gerangan yang bersedia menjadi pengikut seorang peragu"
Seorang ilmuwan akan berbahagia jika sesuatu yang semula disangkanya benar ternyata kemudian bisa dibuktikan keliru. Dalam hal ini sang ilmuwan akan memulai proses pencariannya lagi, sebuah proses yang memang menjadi puncak dambaannya. Sebaliknya, buat seorang pejuang, jika ternyata hal yang selama ini dianggapnya sebagai kebenaran ternyata ditolak realitas, keliru, chimera, maka yang terjadi adalah malapetaka besar. Seluruh raison d'etre-nya sebagai pejuang runtuh. Sang pejuang kemudian menjadi a fighter without a cause.
Arief Budiman berada dan bergumul di antara dua dunia yang berbeda itu. Siapapun yang pernah bergaul akrab dengan Arief pasti mengerti bahwa dalam diri tokoh yang satu ini terdapat semangat untuk bertanya terus-menerus, sikap yang terbuka bahkan terhadap kritik setajam apapun serta kecintaan yang besar terhadap pengetahuan. Singkatnya, dalam diri Arief terdapat impuls-impuls dasar seorang ilmuwan. Barangkali karena hal inilah maka sejak awal, dunia yang dipilih Arief sebagai basis segala kegiatannya adalah dunia universitas.
Di pihak lain, Arief juga seorang aktivis sejati-penghargaan yang diterimanya dari Human Rights Watch itu hanyalah salah satu buktinya. Sebagai pembicara dan penulis, yang tampak jelas pada dia adalah karakter seorang pejuang. Dalam banyak tulisannya kita jarang berjumpa dengan keragu-raguan. Yang selalu kita baca dalam tulisan-tulisan tersebut adalah kepastian yang sederhana dan kesederhanaan dalam kepastian. Lebih-lebih jika menulis tentang tema-tema di seputar sosialisme dan kapitalisme, yang terutama Arief lakukan adalah menyebarkan dan mempopulerkan "kebenaran", bukan mencarinya.
Sejauh manakah Arief dapat mempertemukan kedua dunia yang berbeda itu" Bisakah dia mempertahankan integritas seorang ilmuwan, sambil pada saat yang sama terus-menerus menjadi aktivis di jalan sosialisme" Apakah ternyata dia sudah mengabaikan dunia keilmuan dan hanya menjadi penganjur serta pembela ajaran-ajaran sosialis, dan karena itu cenderung menjadi ideolog yang tertutup"
Barangkali hanya Arief seorang yang dapat sepenuhnya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Yang jelas, tokoh yang sangat populer di kalangan mahasiswa itu kini berhadapan dengan sebuah persoalan mendasar yang menggugat hakikatnya sebagai pejuang sosialis: sosialisme telah gagal, dan bahkan ditolak pendukung utamanya sendiri, kaum buruh.
Apakah Arief memilih menjadi a hero with a lost cause" Sebagai sahabat, saya ingin melihat Arief menolak pilihan ini, dan lebih mengedepankan kemampuannya sebagai ilmuwan yang terus-menerus belajar dari perkembangan fakta-fakta baru. Tapi tentu semua berpulang pada diri Arief sendiri. Dan buat saya, di sinilah sesungguhnya terletak perjuangan Arief Budiman yang terbesar.
17 Agustus 1996 Ilmuwan dan Aktivis kolom saya di Gatra, 17 Agustus, tentang Arief Budiman rupanya mendapat tanggapan yang cukup serius dan menarik. Yang pertama datang dari Arief sendiri (Kompas, 27 Agustus), dan kedua dari Bur Rasuanto di majalah ini (Gatra, 23 November).
Apa yang bisa saya katakan terhadap kedua tanggapan tersebut" Karena agak lebih sederhana, saya mulai dengan tulisan Bur. Kalau saya tak keliru, inti tulisan dia terletak pada kalimat penutupnya: "Saya ilmuwan. Saya tidak bisa ikut menuntut UU Antisubversi dihapus, karena saya harus mulai dari ragu-ragu dan berakhir dengan ragu-ragu." Dengan ironi semacam ini, Bur ingin mengkritik saya yang dianggapnya telah berpandangan bahwa ilmuwan haruslah bersikap netral secara moral dan politik.
Terus-terang saya agak kurang mengerti kenapa Bur sampai pada kesimpulan seperti itu. Buat saya, tak ada yang secara prinsipil membatasi seorang ilmuwan untuk memilih sikap moral dan politik tertentu terhadap berbagai hal dalam kehidupan ini. Yang menjadi soal adalah, dalam waktu dan konteks tertentu, sering pilihan moral ini menjadi dilematis jika dihadapkan pada pengetahuan dan fakta-fakta yang dipelajarinya sebagai seorang ilmuwan.
Dilema semacam inilah yang sesungguhnya menjadi topik utama kolom saya terdahulu. Arief Budiman "kebetulan" saat itu saya anggap sebagai contoh sosok yang berada dalam dilema tersebut. Jadi, buat saya, kritik Bur salah alamat. Bur, agaknya, mencampuradukkan dua hal yang berbeda ini: skeptisisme sebagai "metode" dalam memandang serta mempelajari realitas dan pilihan moral sebagai bentuk pertanggungjawaban pribadi.
Menyangkut tanggapan Arief Budiman, harus saya akui bahwa persoalannya agak lebih rumit. Ada beberapa argumen Arief yang serius, ada pula yang agaknya sekadar ekspresi kegenitan yang tak perlu. Dalam hal terakhir ini bisa kita lihat, misalnya, saat dia berkata bahwa pandangan saya bersumber pada aliran positivis-empiris yang 'simplistis dan ketinggalan zaman'. Saat ini, bagi dia, 'teori ilmu sudah berkembang jauh' dan karena itu mereka yang berpendapat seperti saya 'perlu lebih banyak membaca teori-teori baru di bidang filsafat ilmu'.
Menarik juga bahwa Arief ternyata tetap membaca buku-buku baru. Cuma sayangnya, dari sejumlah pemikir yang disebut Arief, tak satu pun yang betul-betul 'baru'. Arief lagi-lagi balik ke Gramsci, Foucault, dan Marx. Saya harap, lain kali Arief bisa menyinggung Bobbio, atau paling tidak Charles Taylor, kalau memang ingin berbicara tentang hal yang sedikit lebih baru dan masih tetap berdiri di samping kawan sealiran.
Di samping itu, saya harap Arief mau menjelaskan tentang relevansi 'baru' dan 'lama' dalam menilai kualitas sebuah argumen dalam filsafat. Apakah argumen dalam filsafat bersifat kumulatif" Kalau ya, seperti yang implisit pada pernyataan Arief tentang filsafat ilmu yang 'berkembang jauh', tidakkah berarti bahwa dia menentang pandangannya sendiri yang menolak positivisme, mengingat bahwa klaim akumulasi ilmu pada dasarnya adalah klaim positivistik"
Argumen Arief yang serius bersumber pada penolakannya untuk menyederhanakan hubungan antara pengetahuan (sub-yektivitas) dan realitas empiris (obyektivitas). Hubungan ini bersifat dialektis. Dalam penjelasannya, yang Arief maksudkan dengan ini adalah realitas empiris tak mudah kita dekati tanpa bantuan nilai dan ideologi. Bahkan kedua hal terakhir inilah yang menjadi dasar dari pengetahuan kita. Realitas (baca: kebenaran) kita simpulkan bergantung pada posisi kita dalam konstelasi kedua hal ini.
Karena begitu menentukannya nilai dan ideologi ini maka, buat Arief, sejak awal seorang ilmuwan harus berpihak. Tanpa pemihakan ini sang ilmuwan hanya menjadi alat kekuatan-kekuatan masyarakat yang ada. Karena hal inilah maka dikotomi ilmuwan dan aktivis, seperti yang saya lakukan, menjadi lebur dan tak relevan. Dengan ini pula Arief menolak anjuran saya untuk lebih menjadi ilmuwan ketimbang sekadar aktivis, seorang fighter with a lost cause.
Apakah semua ini berarti bahwa, bagi Arief, "sekali sosialis, tetap sosialis", tanpa ada satu hal pun yang bisa mengubahnya" Jika ada, da
lam bentuk apa, dan bagaimana cara kita mengetahuinya" Apakah kriteria "salah-benar" semata-mata bergantung pada ideologi dan posisi politik kita masing-masing" Lalu masih adakah yang disebut ilmu"
Dalam konsepsi saya, skeptisisme seorang ilmuwa adalah kesediaannya untuk menerima kemungkinan bahwa sesuatu yang semula disangkanya benar ternyata bisa keliru. Seorang ilmuwan adalah seseorang yang bisa berkata, "Well the facts are too strong for me not to change my mind." Katakanlah saya seorang ilmuwan sosial dan percaya pada sosialisme. Saya berharap bahwa proposisi Marxian, misalnya akumulasi kapital akan memiskinkan kaum buruh, memang benar. Tapi ternyata, dari fakta-fakta yang ada, saya tahu bahwa peningkatan akumulasi itu terjadi bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan buruh. Artinya, ada kemungkinan bahwa proposisi yang saya yakini keliru. Menolak kemungkinan ini berarti meruntuhkan dasar kemungkinan pengembangan ilmu.
Saya tahu, bagi Arief, konsepsi tentang fakta itu sendiri harus dipertanyakan. Dalam hal ini argumen Arief cukup kukuh. Persoalannya adalah ia kemudian berusaha menjelaskan bahwa pada akhirnya segala hal bertumpu pada ideologi, dan dengan demikian, pemihakan politik. Dengan cara ini dia bisa menghindari pertanyaan-pertanyaan serius tentang gagalnya percobaan sosialisme, dari Rusia hingga Cina dan Kuba.
Sekarang di tangan Arief, yang tak memegang kekuasaan politik apapun, argumen 'total politik' semacam itu mungkin cukup menarik. Tapi bagaimana jika dia berkuasa dan menerapkan dalil bahwa 'kebenaran' bergantung pada posisi ideologi dan politik seseorang" Bagaimana jika dalil ini dipegang oleh seorang penguasa yang tak sebaik Arief"
30 November 1996 Manifesto Sang Pemberontak
revolusi selalu melahirkan para pemberontaknya sendiri. Dalam sejarah kita sering melihat bahwa para aktor utama gerakan politik besar menjelma menjadi para pengecam utama gerakan tersebut.
Gerakan komunis, pada awal abad ini, dicirikan oleh janji-janjinya yang mencakup banyak hal. ia merupakan suatu gerakan yang mengumbar janji-janji yang begitu besar: suatu masyarakat tanpa kelas, suatu komunitas yang sejahtera tanpa penghisapan; atau seperti yang dikemukakan Marx, suatu masyarakat di mana orang-orang bekerja hanya 4 jam di pagi hari, pergi memancing di siang hari, dan menghabiskan senja hingga malam hari dengan membaca puisi. Namun, bersama berjalannya waktu, gerakan ini mulai memperlihatkan berbagai cacatnya: ketika kaum revolusioner menjadi para penguasa, janji-janji besar tersebut diubah menjadi suatu ideologi kaku yang digunakan terutama untuk memberi pembenaran bagi terpeliharanya kekuasaan tersebut. Demikianlah, para pemberontak muncul karena janji-janji palsu itu.
Milovan Djilas merupakan satu dari para pemberontak tersebut. Bersama Tito, Kardelj, dan Rankovich, ia memimpin gerakan komunis di Yugoslavia. Kemudian, ia menjadi Ketua Parlemen Yugoslavia. Namun pada awal 1950-an, dengan berani dan tegar, ia mulai menolak gerakan yang pernah ia pimpin. Buku The New Class ini adalah manifestonya; sebuah pernyataan tentang bagaimana sebenarnya komunisme dalam kenyataannya. ia mengutuk komunisme dengan menggunakan bahasa dan metode analitisnya sendiri. ia mengkritik komunisme berdasarkan kosakatanya sendiri.
Dalam buku ini Djilas mengemukakan bahwa revolusi komunis merupakan suatu penipuan sejarah: "Tak ada revolusi lain yang mengumbar begitu banyak janji namun hanya sedikit menepatinya." Baginya, komunisme pada dasarnya merupakan "suatu bentuk perang sipil laten antara pemerintah dan rakyat".
Di Prancis sebelum 1789, menurut Djilas, kapitalisme merupakan suatu bentuk hubungan sosial dan ekonomi yang dominan. Revolusi Prancis, yang dipimpin oleh kaum borjuis, dilancarkan untuk menyempurnakan dominasi ini.
Karena itu, para penguasanya (yakni kaum borjuis) tidak harus membentuk suatu masyarakat yang sepenuhnya baru. Berbeda halnya dengan Revolusi Rusia 1917. Lenin ingin mengakhiri masyarakat feodal yang ada dan membentuk suatu masyarakat baru, yakni masyarakat tanpa kelas. Karena itu, setelah
revolusi, kaum komunis mencoba untuk membentuk suatu sistem yang sepenuhnya baru yang berbeda dari sistem sebelumnya.
Namun dalam proses pembentukan masyarakat baru tersebut suatu kelas sosial baru muncul: "Revolusi itu, yang dilancarkan demi menghapuskan kelas, memunculkan satu kelas baru yang memiliki otoritas penuh. Segala sesuatu yang lain hanya kepura-puraan dan ilusi." Kelas baru ini berakar dalam birokrasi, yang menguasai kekayaan negara dan memonopoli penggunaan kekuasaan. Dengan demikian, anggota utama kelas baru ini adalah kaum birokrat.
Kaum birokrat ini tidak ada yang mengawasi, dan mereka sangat solid. "Tidak ada kelas lain dalam sejarah yang sedemikian solid dan kukuh dalam mempertahakan kepentingannya dan dalam mengontrol apa yang dimilikinya- kepemilikan kolektif dan monopolistik, serta otoritas totaliter." Mereka juga "sama eksklusifnya seperti aristokrasi, namun tanpa martabat dan kebanggaan aristokrasi". Pendek kata, menurut Djilas, mereka menikmati semua kemewahan aristokrasi (rumah mewah, mobil, tamasya, dll.) di atas penderitaan massa yang semakin besar. Kelas baru tersebut menghisap rakyat.
Menurut Djilas, munculnya kelas ini dipersiapkan oleh Lenin. Namun "pemula sebenarnya dari kelas tersebut adalah Stalin". Dengan melakukan birokratisasi masyarakat, Stalin memperluas dan memperkuat basis kelas ini. Dan pada saat Khrushchev mulai berkuasa, kelas ini telah kehilangan semangat revolusionernya, yang diwarisi dari Lenin; satu-satunya hal yang ia inginkan adalah "hidup dengan damai" dan "membenarkan dirinya sendiri".
Dengan kata lain, kita dapat mengatakan bahwa bagi Djilas, sistem Komunis tersebut mengingkari janji-janjinya sendiri dengan menciptakan kelas baru ini, yang tangannya bersimbah dosa.
Meskipun mengutuk komunisme dalam realisasi praktisnya, Djilas tidak mengambil kesimpulan bahwa Marxisme, atau lebih tepatnya sosialisme, harus ditinggalkan sebagai sebuah teori masyarakat dan sebagai sebuah panduan untuk mencapai suatu masyarakat yang ideal. Ia mengatakan bahwa tugas utamanya adalah mengkritik komunisme dalam praktik, dan bukan dalam teori. Ia sepertinya yakin bahwa jika kaum komunis menciptakan suatu sistem demokratis pada masa-masa awal setelah revolusi, janji-janji besar tersebut mungkin tidak sekadar ilusi. Djilas masih meyakini sosialisme sebagai suatu gagasan, dan berpikir bahwa dengan demokrasi hal itu akan memunculkan suatu masyarakat yang sejahtera. Ia menyebut dirinya sebagai seorang Sosial Demokrat.
Penting untuk diingat bahwa Djilas menulis buku ini bukan sebagai seorang akademisi, melainkan sebagai seorang aktivis yang menyaksikan bahwa gerakan yang pernah turut ia pimpin telah salah arah. Karena itu, buku ini harus dilihat terutama sebagai sebuah kesaksian, sebuah pernyataan kekecewaan, dan bukan sebagai sebuah wacana teoretis. Dengan demikian, menilai pentingnya buku ini berarti melihat keberanian, ketulusan, dan kejujuran sang penulis. Dengan kata lain, kita dapat mengatakan bahwa The New Class merupakan suatu pencapaian besar.
Namun, untuk mengulas buku ini secara memadai, dan untuk menghargai sang penulis secara lebih jujur, kita juga harus mengkritiknya. Di sini kita dapat mengatakan bahwa Djilas tidak dapat menjelaskan secara tepat mengapa revolusi komunis di Rusia tersebut melahirkan suatu kelas baru yang birokratis. ia terjebak pada metode analitis Marxis. ia gagal melihat bahwa Marxisme sebagai sebuah teori masyarakat dan perubahan sosial-dengan semua tujuan mulianya-mengandung bibit-bibit despotisme, dan pengejawantahannya niscaya akan menghasilkan suatu sistem yang birokratis.
Marx tidak pernah secara serius mempertimbangkan politik, hukum, dan moralitas. Baginya, semua itu hanya alat bagi para elite kekuasaan untuk memelihara kekuasaan mereka. Semua itu hanya merupakan suatu ekspresi hubungan sosio-eko-nomi. Kebenaran tidak pernah hadir pada dirinya sendiri; ia harus dilihat dalam kaitannya dengan kekuasaan. implikasi logis dari hal ini sederhana: begitu berkuasa, mereka yang dikuasai (yakni kaum proletar) juga tidak akan merasa bersalah untu
k menggunakan hukum semata-mata demi memelihara kekuasaan. Kaum proletar hendaknya tidak terintangi oleh moralitas dan permainan politik yang jujur (yakni demokrasi) untuk menyempurnakan tujuan perkembangan sejarah (Lenin, dan terutama Stalin, memahami hal ini dengan baik: mereka membenarkan teror untuk mencapai tujuan-tujuan mereka). Dalam pengertian ini, kita dapat mengatakan bahwa Marxisme mungkin merupakan salah satu fondasi terbaik bagi suatu kekuasaan yang despotik.
Lebih jauh, bagi Marx, satu-satunya cara untuk mencapai suatu masyarakat yang lebih manusiawi adalah menghapus hak milik pribadi. Dengan demikian, ia gagal melihat dua faktor penting. Pertama, kepemilikan pribadi atas sarana produksi merupakan dasar masyarakat sipil. Menghapuskan hak milik pribadi berarti menghancurkan masyarakat sipil. Kedua, menghapuskan hak milik pribadi hanya berarti membirokratisasikan kepemilikan. Hal ini memberikan dasar bagi birokrasi untuk hadir di mana-mana, sebagai pemilik yang sebenarnya dan penguasa segala sesuatu.
Karena itu, tidak mengejutkan jika sebuah revolusi yang didasarkan pada pemikiran-pemikiran Marxis pada akhirnya menghasilkan suatu kelas (baru) yang digambarkan Djilas dalam buku ini: suatu kelas despotik yang kekuasaannya didasarkan pada birokrasi.
3 Februari 1993 Nozick anarchy, state, and utopia karya Nozick terbagi menjadi 3 bagian yang saling terkait. Bagian pertama berusaha menjelaskan bahwa negara minimal adalah adil; ia muncul tanpa melanggar hak-hak siapapun. Bagian kedua berusaha memperlihatkan bahwa negara apapun yang lebih luas ketimbang negara minimal tersebut tidak sah. Bagian ketiga berupaya menjelaskan bahwa negara minimal, berlawanan dengan apa yang diyakini sebagian besar orang, sebenarnya merupakan suatu utopia yang menarik.
Argumen-argumen Nozick yang paling menarik dan kontroversial ada di bagian dua. Argumen-argumen tersebut tajam, bernas, mencerahkan, dan mendalam. ia sangat kuat ketika mengkritik Rawls dan memperlihatkan bahwa keadilan distributif bukan keadilan samasekali.
Esai ini akan mengulas serangan Nozick terhadap gagasan tentang keadilan distributif tersebut, dan pembelaannya atas apa yang ia sebut teori hak atas keadilan (entitlement theory of justice). Saya akan mulai dengan menjabarkan penjelasan Nozick tentang bagaimana negara minimal muncul.
Gagasan-gagasan Nozick di sini disajikan sesederhana mungkin tanpa terlalu banyak mereduksi kompleksitas gagasan-gagasan tersebut. Hal ini saya harap akan membuat kekuatan gagasan-gagasan tersebut lebih mudah terlihat.
Hak-hak Individu dan Negara Minimal
Kaum anarkis percaya bahwa negara, negara apapun, adalah tidak sah. Individu-individulah yang terpenting-bahkan negara yang hanya berfungsi untuk memberikan perlindungan dasar terhadap agresi dapat dipastikan akan melanggar hak-hak individu.
Nozick, seperti kaum anarkis dan kaum liberal klasik, juga percaya pada supremasi individu dan sakralnya hak-hak individu. Namun ia, tidak seperti kaum anarkis tersebut, menganggap bahwa terdapat satu jenis negara (yakni negara minimal) yang tidak melanggar hak-hak siapapun.
Nozick bertolak dari suatu keadaan hipotetis manusia, yakni keadaan alamiah. Menurut Nozick, dalam keadaan alamiah badan-badan perlindungan pribadi tumbuh subur karena individu-individu perlu melindungi diri mereka dari agresi orang lain. Individu-individu tersebut membayar badan-badan ini untuk melindungi mereka karena bagi mereka melakukan hal itu lebih rasional-mereka dapat menjalani kehidupan mereka tanpa terus-menerus cemas akan keamanan pribadi mereka.
Persaingan bebas di antara berbagai badan tersebut untuk memberikan pelayanan terbaik membuat hanya sedikit badan perlindungan yang tetap bertahan. Badan-badan yang tetap bertahan ini, yakni para pemenang seleksi alamiah, dengan demikian akan memegang monopoli de facto atas usaha perlindungan tersebut. Pada tahap ini, karena monopoli kekuasaan untuk memaksa tersebut, badan-badan ini berlaku seperti negara. Dan karena penggabungan dan kompetisi yang semakin besar, pada akhirnya han
ya ada satu badan yang tetap bertahan. Badan yang tetap bertahan ini pada dasarnya adalah sebuah negara (sebuah badan yang memiliki monopoli sepenuhnya atas kekuasaan untuk memaksa). Nozick menyebut badan ini sebagai negara ultraminimal.
Di bawah kekuasaan negara ini, terdapat suatu persoalan. Sebagian besar orang akan mampu membayar bagi perlindungan yang disediakannya. Namun beberapa orang terlalu miskin untuk bisa membayar jasa perlindungan tersebut. Dan, karena tidak termasuk anggota, mereka tidak harus mengikuti aturan-aturan yang diberlakukan badan tersebut (yakni negara ultra-minimal itu). Karena itu, mereka secara moral boleh menerapkan prinsip apapun yang mereka anggap tepat, termasuk misalnya prinsip hukuman mata dibalas mata. Keadaan ini tidak dikehendaki karena hal ini membahayakan kehidupan damai anggota negara ultraminimal itu. Karena negara ultrami-nimal tidak memiliki dasar moral untuk memaksa para non-anggota untuk mematuhi aturan "bersama", persoalan tersebut terus berlanjut.
Satu-satunya cara untuk memecahkan persoalan ini adalah menerapkan prinsip kompensasi. Dengan prinsip ini, para klien membayari keanggotaan mereka yang tidak bisa membayar keanggotaan sendiri (yang pada gilirannya akan senang menerima keanggotaan bebas ini karena lebih rasional bagi mereka memusatkan energi mereka untuk melakukan sesuatu yang lain ketimbang terus-menerus menjaga keselamatan mereka sendiri). Menurut Nozick, hal ini sedikit mirip dengan mekanisme distributif. Namun, baginya proses ini secara moral sah karena para pemberi tersebut memberikan sebagian milik mereka demi kepentingan diri mereka sendiri (dengan melakukan hal itu, mereka meningkatkan keselamatan mereka sendiri).
Dalam tahap inilah negara ultraminimal itu diubah menjadi negara minimal. Negara minimal adalah adalah negara ultra-minimal ditambah sebuah elemen mekanisme distributif. Dan, karena prinsip kompensasi itu secara moral adil, hal itu terjadi tanpa melanggar hak-hak siapapun.
Jadi, dari keadaan alamiah tersebut muncul negara minimal, tanpa desain sebelumnya. Penting diingat bahwa bagi Nozick ini bukanlah proses perkembangan negara yang sebenarnya. Seperti posisi awal (original position) Rawls, ia hanyalah suatu sarana teoretis, suatu konstruksi intelektual, yang membantu tujuan Nozick dalam menegaskan bahwa terdapat satu jenis negara yang mungkin muncul secara moral. Dengan menjelaskan hal ini, Nozick memperlihatkan bahwa kaum anarkis salah.
Teori Hak, Keadilan Distributif, dan Tuan Chamberlain
Negara minimal, seperti yang dijelaskan Nozick, berfungsi tidak lebih daripada sekadar melindungi anggotanya dari kekerasan, penipuan dan pencurian, dan memberlakukan perjanjian-perjanjian. Ia adalah negara "penjaga malam" kaum liberal klasik. Pembelaannya atas persoalan mengapa negara ini sah bergerak lebih jauh ketimbang sekadar menggambarkan bagaimana ia terjadi atau bagaimana ia muncul dari keadaan alamiah. ia mengembangkan konsepsi keadilannya sendiri (yakni teori hak dari keadilan), dan menjadikan konsepsi ini sebagai dasar untuk menilai apakah sebuah negara dapat dibenarkan atau tidak. ia membedakan gagasannya tentang keadilan tersebut dengan gagasan tentang keadilan distributif. Teori haknya itulah yang memberi inspirasi Nozick untuk berkata, "Tidak ada negara yang lebih kuat atau luas ketimbang negara minimal tersebut, yang dianggap sah atau dapat dibenarkan."
Teori hak Nozick tersebut sebenarnya cukup sederhana. Teori itu terdiri atas tiga prinsip. Prinsip pertama dan kedua menyatakan bahwa kepemilikan apapun yang didapatkan dari perolehan yang adil (prinsip perolehan awal) atau pengalihan yang adil (prinsip pengalihan) pada dirinya sendiri adalah adil. Tidak seorang pun berhak atas suatu kepemilikan kecuali dengan penerapan kedua prinsip ini. Dengan kata lain, kedua prinsip ini merupakan prosedur yang menjadikan kita sah memiliki suatu barang atau tanah.
Kepemilikan kadang diperoleh melalui paksaan atau penipuan. Dengan demikian, kita masuk pada prinsip ketiga, prinsip perbaikan (rectification). Prinsip ini menyatakan bahwa
adanya ketidakadilan masa lalu (yakni pelanggaran-pelanggaran sebelumnya terhadap kedua prinsip pertama tersebut) membenarkan suatu jenis kompensasi yang diberikan kepada orang-orang yang dirugikan. Dengan prinsip ini, Nozick memberikan suatu kualifikasi pada seluruh usahanya dalam mempertahankan legitimasi negara minimal tersebut: perbaikan memungkinkan suatu peralihan ke negara yang lebih luas.
Meskipun menghadirkan sosialisme sebagai hukuman terhadap dosa-dosa kita mungkin terlalu berlebihan, ketidak-adilan-ketidakadilan masa lalu mungkin sedemikian besar sehingga dalam jangka pendek perlu suatu negara yang lebih luas untuk memperbaiki itu semua.
Teori hak, menurut Nozick, mengandaikan bahwa distribusi kepemilikan bersifat historis. "...[Sebuah] distribusi adalah adil tergantung pada bagaimana hal ini terjadi". Jika sebuah distribusi terjadi tanpa melanggar prinsip perolehan dan pengalihan tersebut, maka distribusi itu adil. Hal ini berarti bahwa satu-satunya distribusi kepemilikan yang adil adalah distrubusi yang tak-terpola (tak satu hal pun, atas nama keadilan, yang dapat dilakukan untuk mengubah pola suatu distribusi jika ia telah memenuhi prinsip-prinsip [teori] hak tersebut).
Pada titik inilah Nozick memulai serangannya terhadap gagasan tentang keadilan distributif (yang, bagi Nozick, merupakan gagasan inti negara kesejahteraan-suatu jenis negara yang jauh lebih luas dibanding negara minimal).
Menurut Nozick, bertentangan dengan teori hak, teori keadilan distributif mengabaikan aspek historis dari distribusi. Keadilan distributif hanya menerapkan prinsip waktu kini atau prinsip hasil akhir. "...[A]pa yang perlu diperhatikan, dalam menilai keadilan dari sebuah distribusi, siapa yang akhirnya memiliki apa...".
"...[K]eadilan sebuah distribusi ditentukan oleh bagaimana sesuatu didistribusikan (siapa memiliki apa), dan dinilai berdasarkan prinsip (-prinsip) struktural dari distribusi yang adil". Ungkapan Marx "dari tiap-tiap orang menurut kemampuannya dan bagi masing-masing orang menurut kebutuhannya" adalah sebuah contoh prinsip struktural dari distribusi yang adil ini. Contoh-contoh lain: "bagi tiap-tiap orang menurut kebaikan moralnya", atau "bagi masing-masing orang menurut IQ dan produktivitasnya", dan sebagainya.
Di sinilah kesalahan keadilan distributif: Ia "memperlakukan obyek-obyek seolah-olah mereka muncul begitu saja, dari ketiadaan". Ia memisahkan dua persoalan yang terkait, yakni produksi dan distribusi. Ia tidak pernah bertanya bagaimana sesuatu dibuat. Bagi Nozick, sebagaimana diandaikan oleh teori haknya, "benda-benda ada di dunia telah terkait dengan orang-orang yang mempunyai hak atas mereka". Mereka yang memperoleh suatu kepemilikan (mobil, gaji, rumah, dll.) melalui suatu perolehan yang adil atau pengalihan yang adil berhak atas kepemilikan tersebut. Dengan demikian, mengambil kepemilikan ini, meski hanya sebagian, tanpa memperhatikan sejarahnya (bagaimana kepemilikan ini terjadi) untuk mendistribusikannya berdasarkan prinsip distribusi apapun adalah tidak sah. Dengan kata lain, pendistribusian kembali (di luar perbaikan) melanggar hak-hak orang-orang yang membuat atau memproduksi sesuatu.
Kesalahan keadilan distributif dan prinsip-prinsipnya tersebut ditarik ke kesimpulan terjauh mereka saat Nozick menjelaskan tentang perpajakan. Untuk sebuah pekerjaan yang jujur, X menerima penghasilan bulanan sebesar D. D ini sama dengan jumlah jam yang dihabiskan X untuk melakukan pekerjaannya. Menarik pajak sejumlah n dari D tersebut dengan demikian seperti mengambil n jam dari X atau, dalam praktik, memaksa X bekerja n jam untuk menyelesaikan tujuan-tujuan (distributif) yang tidak berkenaan dengannya. Karena itu, menurut Nozick, "Pajak penghasilan dari pekerjaan sama dengan kerja paksa."
Dengan kata lain, perpajakan (dan mekanisme lain dari keadilan distributif) "melibatkan pengambil-alihan tindakan-tindakan orang lain". ia membuat beberapa orang lain memiliki sebagian dari (milik) Anda:
Jika orang-orang memaksa Anda melakukan pekerjaan, atau pekerjaan yang tak berupah tertentu, sel
ama suatu periode waktu tertentu, mereka memutuskan apa yang akan Anda lakukan dan tujuan-tujuan dari kerja Anda terlepas dari keputusan-keputusan Anda. Proses ini, di mana mereka mengambil keputusan tersebut dari Anda, menjadikan mereka pemilik-sebagian dari Anda; proses ini memberi mereka hak kepemilikan dalam (diri) Anda. [huruf miring dari Nozick]
Bagi Nozick, yang ironis adalah bahwa mereka yang mendukung prinsip-prinsip keadilan distributif tersebut sebagian besar adalah orang-orang yang sama yang berbicara paling keras tentang gagasan kepemilikan-pribadi. Mereka tidak menyadari bahwa, dalam praktik, prinsip-prinsip yang mereka serukan tersebut adalah prinsip-prinsip yang membuat orang menjadi pemilik sebagian dari orang lain.
Selain persoalan perpajakan, Nozick juga menemukan dasar lain untuk menyerang gagasan tentang keadilan distributif itu: untuk mewujudkannya, menurut Nozick, keadilan distributif mengharuskan campur-tangan terus-menerus terhadap kehidupan dan kebebasan orang. Mengapa" Untuk menjelaskan hal ini, Nozick mengisahkan cerita tentang Tuan Wilt Chamberlain.
Andaikan bahwa terdapat sebuah distribusi Di (yang, menurut standar keadilan distributif, setara, atau adil). Dan andaikan juga bahwa, setelah mengikuti serangkaian latihan Spartan, Chamberlain menjadi seorang pemain bola basket yang sangat hebat. Seperti Mike Jordan, Chamberlain adalah seorang olahragawan yang efisien sekaligus seorang pemain yang menarik. Permainannya dengan demikian sangat ditunggu-tunggu. Hal ini memungkinkan Chamberlain untuk menandatangani sebuah kontrak satu tahun dengan sebuah tim: dalam setiap pertandingan kandang, 25 sen dari harga tiap-tiap tiket masuk menjadi miliknya.
Ketika musim pertandingan mulai, orang-orang dengan senang hati menghadiri pertandingan-pertandingan Chamberlain. Mereka membeli tiket dan dengan demikikan menaruh 25 sen ke dalam kotak khusus yang langsung diberikan kepada Chamberlain. Bagi orang-orang ini, permainan menawan Chamberlain layak dihargai seperti itu. Kini, andaikan bahwa satu juta orang melihat pertandingan Chamberlain. Ini berarti bahwa $250.000 menjadi milik Chamberlain, suatu jumlah yang jauh lebih besar dibanding yang dimiliki sebagian besar orang.
Hasilnya: Distribusi Di berubah. Ia menjadi D2, yang jelas lebih tidak setara. Apakah D2 adalah suatu distribusi yang tidak adil" Orang-orang, dalam Di yang lebih setara, dengan sukarela memberikan 25 sen kepada Chamberlain sebagai imbalan bisa menyaksikan suatu permainan yang hebat dan menyenangkan (mereka dapat menggunakan uang itu untuk membeli permen, koran, rokok). Bukankah orang-orang tersebut berhak menggunakan uang mereka sesuka mereka"
Perubahan dari Di ke D2 tersebut adalah hasil dari tindakan-tindakan sukarela dan secara moral sah. Dengan demikian, D2 adalah sebuah distribusi yang adil. Kesimpulan yang menonjol yang disajikan Nozick di sini adalah bahwa kebebasan mengubah pola. D1 mungkin dilihat sebagai suatu distribusi terpola yang tercapai melalui mekanisme-mekanisme keadilan distributif. Memberi 25 sen kepada Chamberlain (sebagai ganti melihat permainannya yang hebat) adalah kebebasan yang dijalankan. Konsekuensinya: pola tersebut dibongkar. Kini, bayangkan jika terdapat ratusan Chamberlain (yang menawarkan ratusan jasa berbeda yang bisa dibeli orang-orang). Hasil dari kebebasan yang dijalankan adalah distribusi yang lebih tak-terpola.
Misalkan, pola-pola mungkin didedahkan untuk membuat D2 lebih setara. Hal ini dapat dilakukan hanya dalam dua cara. Pertama, 10 sen dari 25 sen yang diberikan kepada Chamberlain mungkin dipajaki (pajak 40%), dan diberikan kembali kepada orang-orang tersebut (sehingga mereka sebenarnya hanya mengeluarkan 15 sen). Kedua, melarang orang-orang pergi dan menonton pertandingan tersebut (memaksa Chamberlain bermain tanpa membayarnya bukan merupakan suatu pilihan).
Namun, cara pertama akan berakhir pada suatu situasi yang menggelikan: baik Chamberlain maupun para penggemarnya telah secara sukarela sepakat mengenai syarat-syarat pertukaran mereka; namun pihak ketiga datang, dengan
gagasannya tentang kesetaraan, dan memberlakukan suatu syarat-syarat pertukaran baru. Di sini, kesalahan perpajakan berlaku- Chamberlain dipaksa untuk bermain n jam tanpa bayaran. Namun pada dasarnya hal ini tidak memecahkan persoalan: Chamberlain toh masih mendapatkan $150.000 dari 1 juta penggemar. Di tahun ke-3 ia akan mendapatkan $450.000 (atau $150.000 dollar lebih banyak dibanding jumlah yang akan ia peroleh tanpa redistribusi). Dengan demikian, apa yang terjadi hanyalah menunda waktu pola tersebut berubah. Distribusi yang tak setara (atau tak-terpola) akhirnya akan muncul. Sekali lagi, hal ini mungkin diperbaiki, namun untuk melakukan hal itu perlu campur-tangan terus-menerus dan bahkan lebih besar terhadap syarat-syarat pertukaran antara Chamberlain dan para penggemarnya tersebut. Karena hal inilah Nozick mengatakan bahwa keadilan distributif mengharuskan suatu campur-tangan terus-menerus terhadap kehidupan dan kebebasan orang-orang.
Cara kedua: melarang orang-orang menyaksikan pertandingan yang mereka sukai merupakan contoh yang sangat jelas tentang bagaimana suatu maksud mulia menghasilkan sesuatu yang bodoh dan tak liberal. Ada ribuan cara orang-orang dapat menggunakan uang mereka untuk sesuatu yang mereka sukai (menyaksikan Chamberlain hanya salah satunya). Dengan demikian, demi membuat orang-orang lebih setara, ribuan larangan harus terus-menerus dikeluarkan. Apakah ini merupakan cara praktis dan sah untuk menegakkan keadilan"
Tentang Rawls Nozick jelas harus mengulas Theory of Justice karya Rawls. Hampir tidak mungkin untuk mengkritik gagasan tentang keadilan distributif dan prinsip-prinsip negara kesejahteraan tanpa membahas Rawls. Nozick tidak ingin disalahpahami-baginya, Theory of Jusctice karya Rawls tersebut merupakan suatu pencapaian yang luarbiasa.
Theory of Justice tersebut merupakan:
Suatu karya yang sangat kuat, mendalam, subtil, menyeluruh, dan sistematis dalam filsafat politik dan moral yang tak ada bandingannya sejak tulisan-tulisan John Stuart Mill. Karya itu adalah sumber gagasan-gagasan yang mencerahkan, yang dipadukan dalam suatu keseluruhan yang menarik. Para filsuf politik sekarang ini harus berkarya di dalam teori Rawls tersebut atau menjelaskan mengapa tidak. ...Bahkan mereka yang tetap ragu setelah bergulat dengan visi Rawls yang sistematis akan belajar banyak dengan mempelajari karya itu secara teliti.
...Dan mustahil menyelesaikan buku itu tanpa suatu visi baru dan bernas tentang apa yang mungkin dilakukan dan disatukan teori moral; tentang betapa indahnya suatu teori yang menyeluruh. (huruf miring oleh Nozick)
Namun meskipun merupakan suatu karya besar, bagi Nozick Theory of Justice mengandung banyak kesalahan, kontradiksi, dan argumen-argumen yang salah. Pandangan Nozick tentang Rawls: mungkin tidak pernah terjadi sebelumnya seseorang memuji sebuah buku sedemikian tinggi dan pada saat yang sama menyangkal gagasan-gagasan dasarnya secara menyeluruh dan, kadang, secara keras.
Nozick mulai dari posisi awal Rawls. Menurut Rawls, pada posisi awal ini, orang-orang bertemu bersama dan memutuskan, dalam selubung ketidaktahuan bagaimana mereka akan hidup bersama-dan salah satu dari dua prinsip yang muncul dari keputusan ini adalah prinsip perbedaan. Menurut Nozick, karena selubung ketidaktahuan itu, orang-orang dalam posisi ini hanya dapat melihat keadaan akhir distribusi kepemilikan. Tanpa mengetahui apapun tentang sejarah kepemilikan itu (bagaimana kepemilikan ini diproduksi dan/atau dialihkan, atau bagaimana mereka dihakkan pada seseorang), orang-orang tersebut "akan memperlakukan apapun untuk didistribusikan sebagai suatu barang dari surga".
Apakah orang-orang dalam posisi awal tersebut pernah berpikir apakah mereka memiliki hak untuk memutuskan bagaimana segala sesuatu akan dibagi-bagi" Mungkin mereka menganggap bahwa karena mereka memutuskan pertanyaan ini, mereka pasti berpikir bahwa mereka berhak melakukan hal itu...
Dengan kata lain, Rawls gagal berlaku adil pada mereka yang memproduksi sesuatu. ia-tepat dari permulaan titik-tolak konseptualnya (yakni p
osisi awal)-secara salah yakin bahwa segala sesuatu sudah ada untuk didistribusikan.
Salah satu alasan utama mengapa Rawls gagal melihat sisi produktif keadilan dapat ditemukan dalam pemahamannya tentang bagaimana orang-orang tertentu membuat atau memproduksi lebih banyak dibanding orang lain. Bagi Rawls, orang-orang tertentu bisa lebih banyak menghasilkan hanya karena mereka lebih diberkahi dengan aset-aset alamiah (bakat dan kemampuan). Dan distribusi aset-aset alamiah ini sangat dipengaruhi oleh kontingensi-kontingensi sosial, yang menurut Rawls "sangat arbitrer dari sudut pandang moral". Dan karena itu semua sangat arbitrer, hal ini berarti bahwa kontingensi-kontingensi sosial tersebut tidak relevan secara moral. Karena itu, kemampuan sebagian orang untuk memproduksi lebih banyak juga harus dilihat sebagai tidak relevan secara moral. Dari garis pemikiran ini, tidak mengejutkan jika posisi awal Rawls secara sadar mengabaikan asal-usul distribusi dan sejarah produksi.
Bagi Nozick, pandangan bahwa "apa yang arbitrer secara moral tidak signifikan" merupakan suatu pandangan yang salah. "Setiap orang yang ada," ujar Nozick, dalam suatu cara yang khas, "merupakan hasil dari suatu proses di mana satu sel sperma yang berhasil tidak lebih berharga dibanding jutaan yang gagal." Dengan demikian:
Jika tak ada signifikansi moral yang bisa muncul dari apa yang arbitrer, maka tidak ada eksistensi orang tertentu yang memiliki signifikansi moral, karena dari begitu banyak sel sperma tersebut, sel sperma mana yang berhasil membuahi indung telur (yang sejauh ini kita ketahui) adalah arbitrer dari sudut pandang moral.
Selain itu, Nozick melihat bahwa Rawls terlalu jauh dalam menghubungkan distribusi pencapaian-pencapaian manusia dengan kearbitreran dan kontingensi sosial. Hal ini, menurut Nozick, bertentangan dengan gagasan tentang martabat manusia yang begitu kuat dibela Rawls. Mengapa" Dengan mengaitkan segala sesuatu dengan kontingensi-kontingensi sosial (misalnya, "kebetulan" dan "nasib baik"), dan dengan sepenuhnya abai tentang bagaimana individu-individu berusaha mengembangkan bakat dan kemampuan mereka, Rawls menyajikan suatu gambaran manusia yang sangat reduksionis-segala sesuatu yang berharga pada diri seorang manusia pasti disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, bukan oleh bagaimana ia belajar, bagaimana ia berusaha untuk unggul, serta bagaimana ia membuat pilihan-pilihan yang otonom dan tepat. Di sinilah ironi Rawls:
[Teori Rawls] bisa berhasil dalam menghalangi peneguhan pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan otonom seseorang (dan hasil-hasilnya) hanya dengan sepenuhnya mengaitkan segala sesuatu yang berharga dari orang tersebut pada berbagai jenis faktor "eksternal". Dengan demikian, melecehkan otonomi dan tanggungjawab seseorang terhadap tindakan-tindakannya merupakan suatu hal yang berbahaya bagi sebuah teori yang sebenarnya ingin menjunjung martabat dan harga-diri makhluk yang otonom; khususnya bagi sebuah teori yang sangat mendasarkan diri (termasuk sebuah teori tentang yang-baik) pada pilihan-pilihan manusia. Patut diragukan bahwa gambaran manusia terlecehkan yang diandaikan dan menjadi dasar teori Rawls tersebut bisa dipadukan dengan pandangan tentang martabat manusia yang ingin diwujudkan dan diejawantahkannya.
Pendek kata, posisi awal Rawls, dengan semua latar belakang konseptual dan premisnya, merupakan suatu konstruksi intelektual yang kontradiktif dan salah. Karena itu, tidak mengherankan jika prinsip-prinsip keadilan yang muncul dari posisi ini juga salah atau kontradiktif. Untuk memperlihatkan hal ini, Nozick menunjuk pada prinsip perbedaan tersebut.
Menurut prinsip perbedaan, struktur-struktur kelembagaan adalah adil, seperti yang dikemukakan Rawls, "Jika dan hanya jika struktur-struktur itu bekerja sebagai bagian dari suatu skema yang meningkatkan harapan-harapan anggota masyarakat yang paling kurang beruntung." Dikemukakan secara berbeda: syarat-syarat interaksi sosial antara yang mampu dan yang tidak mampu harus dirancang sedemikian rupa sehingga menjadikan yang kurang mampu tersebut setidak
nya tidak menjadi lebih buruk.
Menurut Nozick, hal ini mengandaikan bahwa kita harus mencegah satu kelompok masyarakat (orang-orang yang mampu) untuk mencari keuntungan-keuntungan tambahan, jika dengan melakukan hal itu mereka pada saat yang sama tidak serentak memperbaiki kesejahteraan orang-orang lain (mereka yang kurang mampu). Prinsip tersebut dengan demikian melanggar keterpisahan orang-orang. Dan bagi Nozick, yang paling mencolok adalah bahwa prinsip tersebut jelas mengandaikan suatu hubungan di mana sekelompok orang (mereka yang kurang mampu) memanfaatkan orang-orang lain (mereka yang mampu) sebagai suatu sumberdaya untuk memperbaiki kesejahteraan mereka. Mereka yang mampu tersebut dianggap sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, yang mungkin atau mungkin tidak sesuai dengan tujuannya sendiri.
Demikianlah ironi lain dari Rawls. Rawls jelas menyatakan bahwa salah satu tugas utama Theory of Justice adalah menyangkal utilitarianisme, yang salah karena mengabaikan keterpisahan orang-orang. ia mengatakan bahwa ia menyusun Theory of Justice dengan mengikuti suatu tradisi filsafat yang dipelopori oleh Kant, yang doktrin moral utamanya mengakui bahwa tiap-tiap orang adalah makhluk yang otonom, dan karena itu tidak seorang pun boleh dianggap sebagai sarana. Prinsip perbedaan Rawls tersebut, dengan mengandaikan bahwa sebagian orang adalah sarana bagi tujuan orang lain, merupakan suatu penyangkalan yang jelas terhadap doktrin moral Kantian.
Tentang Kesetaraan Gagasan utama yang mendorong perkembangan negara kesejahteraan adalah gagasan tentang kesetaraan ekonomi. Gagasan ini, pada masa ketika Nozick menulis Anarchy, State, and Utopia, merupakan gagasan yang sangat menonjol. Mulai dari awal tahun-tahun pasca-Perang hingga sekitar akhir 1970-an, pertanyaan politik dan sosial terbesar di negara-negara industri adalah seberapa jauh dan seberapa cepat mereka memberi ruang bagi negara untuk menjadi sarana untuk mencapai kesetaraan ekonomi. Konteks dunia seperti itu harus diingat ketika kita mendengar kritik Nozick terhadap kesetaraan.
Nozick mulai dengan memperlihatkan suatu fakta penting: meskipun dominan, gagasan tentang kesetaraan seringkali hanya diandaikan; ia "jarang dipertahankan" (garis miring dari Nozick). Para penulis tentang kesetaraan terbiasa mengatakan bahwa n persen populasi terkaya memiliki N persen dari total kekayaan, sementara m persen mereka yang termiskin hanya memiliki M persen. Karena perbedaan antara N dan M terlalu besar, sesuatu dengan demikian harus dilakukan-dan para penulis tersebut akan segera menjabarkan bagaimana ketimpangan ini harus diubah. Bukannya menyoroti filosofi atau gagasan-gagasan dasar, para penulis tersebut malah lebih memperhatikan hal-hal teknis dari kesetaraan.
Satu dari sedikit gagasan yang mendapatkan banyak perhatian dari kalangan filsuf adalah gagasan Bernard Williams. Dalam mempertahankan kesetaraan, Williams mengatakan bahwa barang-barang vital harus didistribusikan berdasarkan kebutuhan. Perawatan kesehatan adalah salah satunya. Bagi Williams, dasar yang tepat untuk mendistribusikan perawatan kesehatan adalah keadaan sakit. Namun, karena perawatan medis memerlukan uang, "maka kepemilikan uang yang cukup dalam kenyataan menjadi syarat tambahan yang diperlukan untuk mendapatkan perawatan kesehatan". Karena itu, sangat mungkin bahwa penyakit si miskin tidak akan mendapatkan perawatan, meskipun berdasarkan kebutuhan ia amat sangat membutuhkannya. Hal ini, bagi Williams, irasional, karena rasionalitas mengharuskan distribusi perawatan medis berdasarkan keadaan sakit ("Ini adalah kebenaran penting").
Menurut Nozick, Williams tampak berpendapat bahwa jika sebuah aktivitas memiliki "tujuan internal" (mengobati penyakit dalam kasus perawatan kesehatan), maka "dasar yang paling tepat untuk menjalankan aktivitas tersebut terkait dengan pencapaian yang efektif atas tujuan internal itu". Menurut Nozick, jika kita mengikuti logika argumen ini, kita juga harus menyimpulkan bahwa dasar paling tepat untuk distribusi jasa pangkas rambut adalah kebutuhan pangk
as rambut. Setiap pemangkas rambut harus memangkas rambut siapapun yang datang ke tempatnya tanpa melihat penghasilannya.
"Namun," tanya Nozick, "mengapa tujuan internal aktivitas tersebut harus diutamakan dibanding, misalnya, tujuan khusus orang itu dalam melakukan aktivitas tersebut""
Jika seseorang menjadi pemangkas rambut karena ia suka bercakap-cakap dengan beragam orang, dan sebagainya, apakah tidak adil baginya untuk menjalankan layanannya bagi mereka yang paling ingin ia ajak bercakap-cakap" Atau jika ia bekerja sebagai seorang tukang cukur demi mendapatkan uang untuk membayar biaya sekolah, bolehkah ia hanya memotong rambut orang-orang yang membayar atau memberi tip bagus" Mengapa seorang tukang pangkas rambut tidak boleh menggunakan kriteria yang sama dalam menjalankan layanannya sebagaimana orang lain yang aktivitas-aktivitasnya tidak memiliki tujuan internal yang melibatkan orang lain" Haruskah seorang tukang kebun menjalankan layanannya pada halaman-halaman rumput yang paling membutuhkannya"
Sebagian orang mungkin mengatakan bahwa pangkas rambut dan dokter merupakan aktivitas-aktivitas yang berbeda, dalam arti bahwa yang kedua berkaitan dengan layanan yang jauh lebih penting; kesehatan yang baik lebih penting dibanding rambut pendek dan rapi. Namun bagaimana dengan makanan- haruskah para petani memberikan beras mereka kepada orang-orang yang membutuhkannya"
Menurut Nozick, kesalahan dasar Williams adalah bahwa ia-seperti para pendukung distribusi-"hanya melihat pada persoalan alokasi". Williams tidak peduli pada persoalan tentang darimana layanan-layanan yang akan dialokasikan tersebut berasal. Karena orang-orang berhak atas tindakan mereka sendiri (dalam hal layanan), karena itu mereka bisa memutuskan kepada siapa dan atas dasar apa mereka memberikan sesuatu. Memaksa mereka untuk melakukan hal yang sebaliknya akan melanggar hak mereka (yakni kerja paksa).
Dokter, tukang kebun, pemangkas rambut, dan profesor melakukan pekerjaan mereka dengan tujuan-tujuan mereka sendiri. Sebagian dari mereka hanya ingin mencari uang, dan sebagian yang lain tidak. Menganggap bahwa tujuan-tujuan internal aktivitas-aktivitas mereka lebih penting dibanding tujuan-tujuan yang mereka pikirkan berarti mengabaikan mereka sebagai manusia yang mandiri.
Karena Nozick percaya bahwa hal yang paling penting dalam diri manusia adalah otonomi dan hak-hak mereka, argumen tentang kesetaraan tersebut dengan demikian bagi dia gagal.
Tentang Kebebasan: Berlin vs Charles Taylor kapan saya bisa berkata bahwa saya orang bebas" Jawaban atas pertanyaan sederhana ini bisa mengubah arah sejarah.
Kebebasan pada dasarnya dipahami dalam dua bentuk: negatif dan positif. Konsepsi kebebasan negatif mengacu pada suatu keadaan di mana kita bebas dari paksaan orang lain. Paksaan, misalnya dalam bentuk hukum, di sini hanya diperlukan untuk mencegah tindakan seseorang yang merugikan orang lain.
Konsepsi kebebasan positif merujuk pada suatu keadaan di mana kita bebas untuk menata kehidupan kita, bebas untuk berpartisipasi dalam suatu proses yang akan mengontrol hidup kita. Di sini seorang manusia bebas dianggap sebagai seorang manusia yang dapat melakukan hal-hal yang dianggap bernilai untuk dilakukan.
Sekilas, dua konsepsi kebebasan ini tampaknya tidak jauh berbeda dalam hal konsekuensi-konsekuensi praktisnya.
Menurut saya, sampai tingkat tertentu keduanya memang tidak bisa dipisahkan. Namun pada dasarnya keduanya berbeda. Dan perbedaan ini bisa menghasilkan dua manusia berbeda yang melakukan dua jenis tindakan yang sepenuhnya bertentangan, keduanya atas nama kebebasan.
Dari sejarah pemikiran politik kita tahu bahwa dua konsepsi kebebasan ini bukan merupakan hal baru. Locke, Hobbes, Constant, Mill, Bentham, Tocqueville adalah nama- nama besar yang seringkali dikaitkan dengan konsepsi kebebasan negatif; sementara Hegel, Marx, dan Rousseau dengan kebebasan positif.
Dalam esai pendek ini saya tidak akan mengulas argumen-argumen para pemikir besar dan klasik ini. Di sini saya akan mengkaji dua filsuf kontemporer yang pop
uler (Isaiah Berlin dan Charles Taylor), yang mewakili masing-masing konsepsi tersebut. Saya akan menjelaskan posisi keduanya. Pertama-tama harus saya katakan bahwa konsepsi kebebasan negatif lebih unggul, baik secara moral maupun intelektual. Saya lebih setuju dengan Sir Berlin. Karena itu, esai ini juga bertujuan mempertahankan konsepsi kebebasan negatif dari serangan-serangan yang dilancarkan oleh para pemikir seperti Taylor.
Saya lazimnya dianggap bebas sampai tingkat di mana tidak ada manusia atau kumpulan manusia yang ikut campur dengan aktivitas saya. Kebebasan politik dalam pengertian ini adalah suatu wilayah yang di dalamnya seseorang bisa bertindak tanpa dirintangi orang lain. Jika saya dihalangi orang lain untuk melakukan apa yang ingin saya lakukan, maka sampai tingkat tertentu saya tidak bebas; dan jika wilayah ini dipersempit oleh orang lain melebihi suatu batas minimum, maka saya dapat dianggap telah dikekang, atau mungkin diperbudak....
Kata-kata Isaiah Berlin ini adalah inti dari konsepsi kebebasannya. Kekangan, dalam konteks paragraf ini, bukan merupakan suatu istilah yang melingkupi setiap bentuk ketidakmampuan. Kekangan dan ketidakmampuan untuk melakukan hal-hal tertentu hendaknya tidak dicampuradukkan: "Jika saya mengatakan bahwa saya tidak mampu melompat di udara lebih dari 10 kaki, ...atau tidak mampu memahami halaman-halaman sulit buku Hegel, akan aneh untuk mengatakan bahwa saya sampai tingkat tersebut dikekang atau diperbudak."
Saya mungkin tidak mampu membeli roti, atau tamasya keliling dunia mengunjungi kota-kota yang indah, karena saya miskin, namun hal ini tidak niscaya berarti bahwa saya bukan manusia bebas. Hanya ketika saya yakin kemiskinan saya disebabkan oleh kenyataan bahwa "orang lain telah merancang suatu keadaan di mana saya, dan bukan orang lain, terhalangi untuk memiliki uang yang cukup...", maka saya dapat mengatakan bahwa saya adalah korban pengekangan, dan dengan demikian bukan manusia bebas. Di sini, menurut Berlin, teori-teori ekonomi memainkan suatu peran penting dalam menjelaskan tentang sebab-sebab kemiskinan tersebut.
Bebas berarti memiliki suatu wilayah kehidupan pribadi yang tidak dapat dicampurtangani oleh orang lain. "Semakin luas wilayah di mana saya tidak dicampurtangani, semakin luas kebebasan saya". Dengan kata lain, kebebasan mensyaratkan suatu wilayah minimum kebebasan pribadi yang samasekali tidak bisa dilanggar, "...karena jika hal itu dilanggar, seorang individu akan merasa ruang geraknya terlalu sempit bahkan untuk perkembangan minimum kemampuan-kemampuan alamiahnya yang memungkinkannya untuk mengejar, dan mencapai, berbagai macam tujuan yang dianggap manusia baik, benar atau sakral."
Hal ini berarti bahwa suatu pemisahan yang jelas harus diteguhkan antara wilayah kehidupan pribadi dan wilayah otoritas publik. Jika otoritas publik tersebut melanggar wilayah kehidupan pribadi, meski sedikit, maka hal itu akan dianggap sebagai suatu despotisme, suatu tirani. Agar kebebasan terjaga, pemisahan tersebut harus menjamin paling tidak suatu wilayah minimum kebebasan pribadi. Wilayah pribadi yang dilindungi ini merupakan suatu ruang di mana hakikat manusia dibiarkan berkembang.
Dalam memberikan pembenaran bagi konsepsi kebebasan negatif, Berlin sampai tingkat tertentu tampak mengulangi argumen-argumen Mill, meskipun bukan tanpa perbaikan-perbaikan. Seperti kita tahu, bagi Mill kebebasan merupakan suatu keharusan jika kita tidak ingin menjerumuskan seluruh masyarakat ke dalam lembah mediokritas kolektif. Kebebasan adalah syarat bagi kreativitas. Jika kita tidak membiarkan manusia hidup seperti yang mereka inginkan, kebenaran tidak akan terkuak karena tidak ada pasar bebas gagasan. Tanpa kebebasan pribadi, hal-hal baik dari kehidupan seperti kreativitas, spontanitas, energi moral, dan orisinalitas mandek: tanpa semua ini peradaban tidak bisa maju.
Bagi Berlin, alasan utilitarian ini hanya tak terbantahkan dalam pengertian bahwa jika "dogma menghancurkan semua pemikiran", tak seorang pun "akan mengatakan bahwa kebenaran atau kebebasan berekspresi bis
a berkembang". Namun, persoalannya, sejarah memperlihatkan bahwa kualitas-kualitas manusia yang sangat dihargai oleh Mill-yakni kreativitas, cinta kebenaran, integritas-tumbuh dengan sama suburnya dalam komunitas-komunitas yang sangat terdisiplinkan (misalnya kaum Puritan Kalvinis di Skotlandia atau New England, atau dalam disiplin militer), sebagaimana dalam masyarakat-masyarakat yang lebih toleran atau lebih bebas. Dengan kata lain, meskipun argumen utilitarian Mill secara prinsip terdengar mulia, argumen tersebut secara empiris kurang meyakinkan.
Karena itu, diperlukan suatu pembenaran lain yang lebih kuat. Dan di sini Berlin kembali pada argumen Mill yang lain (dan, sampai tingkat tertentu, juga Tocqueville). Bagi Berlin, alasan terkuat untuk menerima gagasan tentang kebebasan negatif adalah bahwa gagasan ini, jika dipraktikkan, dapat menghindari kejahatan politik terbesar: tirani. Sekalipun rezim politik tersebut tidak demokratis (misalnya monarki), asalkan batas-batas wilayah pribadi tidak dilanggar-sehingga wargane-gara masih bisa berbicara dan bertindak tanpa campur-tangan dari otoritas-masyarakat tak terancam oleh tirani.
Sebaliknya, bagi Berlin, konsepsi kebebasan positif sangat rentan terhadap godaan-godaan tiranik atau totalitarian. Kebebasan ini mendasarkan konsepsinya pada suatu bentuk kehidupan atau nilai-nilai hidup yang lebih tinggi sebagaimana yang didefinisikan oleh aktor-aktor politik atau intelektual. Be -gitu bentuk-bentuk kehidupan yang lebih tinggi ini didefinisikan, siapapun dapat dihancurkan, dan rezim totalitarian diteguhkan, atas nama kebebasan.
Nanti, setelah saya menjelaskan kritik Charles Taylor terhadap konsepsi kebebasan negatif tersebut, saya akan menjabarkan lebih jauh pembelaan kebebasan Berlinian ini.
*** Manusia bisa dipaksa untuk menjadi bebas. Diktum Rousseauian ini adalah inti pembelaan Charles Taylor terhadap kebebasan positif. Terdapat tujuan-tujuan manusia yang lebih tinggi: jika kita tidak mewujudkan tujuan-tujuan (atau nilai-nilai) ini, kita tidak bebas, betapapun besar wilayah kebebasan pribadi yang kita punyai. Kebebasan untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan akhir kita samasekali bukan kebebasan. Kebebasan tanpa konsepsi tertentu tentang tujuan-tujuan (yang lebih tinggi) adalah mustahil.
Rintangan terhadap kebebasan bisa bersifat eksternal dan internal. "Kita bisa gagal untuk mencapai realisasi diri kita karena berbagai ketakutan, atau kesadaran palsu, serta karena kekangan eksternal." Bagi Taylor, apa yang salah dengan kebebasan negatif adalah penolakannya untuk mengakui peran rintangan-rintangan internal. Para filsuf kebebasan negatif, seperti Hobbes dan Bentham, samasekali keliru ketika mereka mengatakan bahwa kita bebas sejauh kita tidak mempunyai rintangan-rintangan eksternal yang menghalangi kehidupan pribadi kita.
Bagi Taylor, keuntungan serta kegagalan terbesar kebebasan negatif dapat ditemukan dalam kesederhanannya. "Kebebasan negatif memungkinkan kita untuk mengatakan bahwa kebebasan adalah mampu mengatakan apa yang Anda inginkan, di mana apa yang Anda inginkan dengan mudah dipahami sebagai apa yang bisa diidentifikasi orang tersebut sebagai hasrat-hasratnya." Keuntungannya: ia bisa memperkuat perjuangan kita menentang ancaman Totalitarian. Bahayanya: ia tidak bisa dipertahankan sebagai suatu pandangan tentang kebebasan, yang bisa menjadikan kita semata-mata mempertahankan Maginot Line. Terhadap dimensi terakhir kebebasan negatif inilah Taylor memusatkan serangannya.
Bagi Taylor, kebebasan negatif bersandar pada konsep kesempatan; sementara kebebasan positif bersandar pada konsep pelaksanaan. Yang pertama adalah suatu pandangan tentang tindakan manusia tanpa inti (apapun yang Anda lakukan, sejauh Anda tidak merugikan orang lain, dianggap sebagai cerminan dari kebebasan anda. Di sini nilai-nilai atau tujuan-tujuan tidak dibedakan). Yang kedua sangat terkait dengan pandangan realisasi-diri, yang membedakan nilai-nilai menurut kepentingan si agen. Mari kita lihat bagaimana Taylor menjelaskan pandangannya tent
ang poin ini: Kita tidak bisa mengatakan bahwa seseorang bebas, berdasarkan pandangan realisasi diri, jika ia sepenuhnya tak terejawantahkan, jika, misalnya, ia sepenuhnya tidak sadar akan potensinya, jika mewujudkan hal ini tidak pernah muncul sebagai suatu pertanyaan baginya, atau jika ia dilumpuhkan oleh ketakutan akan melanggar norma-norma yang telah ia internalisasi namun tidak benar-benar mencerminkan dirinya.
Jika kita menerima gagasan kebebasan Taylorian ini, maka kita secara logis akan menerima pandangan bahwa mampu melakukan apa yang kita inginkan bukan merupakan suatu syarat yang memadai untuk menjadi bebas. Untuk menjadi bebas kita harus tahu tujuan yang kita kejar, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan palsu.
Bagaimana jika kita gagal mengetahui keinginan kita yang "sejati"" Apakah dibenarkan jika seseorang (misalnya saja seorang pemimpin partai), dengan menggunakan otoritas publik, memaksa kita untuk menerima suatu bentuk keinginan tertentu sebagai keinginan sejati kita" Dalam hal ini Taylor kurang jelas. Ia setuju bahwa pada akhirnya si individu sendiri yang akan memutuskan. Namun ia semakin kurang jelas saat mengatakan, "Sang subyek itu sendiri tidak bisa menjadi otoritas terakhir menyangkut pertanyaan apakah ia bebas; karena ia tidak bisa menjadi otoritas terakhir menyangkut persoalan apakah keinginan-keinginannya adalah otentik, apakah keinginan-keinginannya tersebut merintangi atau tidak merintangi tujuannya."
Jadi, jika sang subyek itu sendiri bukan merupakan seseorang yang memutuskan apa keinginannya yang sejati, lalu siapa" Kaum intelektual" Kaum birokrat" Para pemimpin partai" Dan bagaimana mereka akan tahu" Melalui pengetahuan abstrak dan teoretis" Melalui formulasi empiris" Bukankah di sini kita sudah hampir melanggar garis batas totalitarian atau despotik, karena begitu kita menerima gagasan bahwa seorang individu pada dasarnya tidak mampu mengetahui apa yang mereka inginkan, maka kesempatan bagi seseorang yang kuat dan memiliki kekuasaan besar-serta pengetahuan tentang "tujuan-tujuan sejati"-akan terbuka lebar"
Sekali lagi, di sini Taylor kurang jelas dalam menjelaskan poin-poinnya. Ia tampak menghindari persoalan-persoalan sulit ini. Para filsuf yang mendukung kebebasan negatif tidak harus menjelaskan konsepsi tentang nilai-nilai yang lebih tinggi, atau bagaimana nilai-nilai ini harus diputuskan atau diwujudkan.
Nilai-nilai yang lebih tinggi kurang menjadi sorotan dalam skema mereka tentang hal-ihwal. Persoalan tentang nilai harus diserahkan sepenuhnya pada si individu itu sendiri. Sebaliknya, para filsuf yang membela kebebasan positif, karena mereka mendasarkan gagasan mereka pada tujuan-tujuan yang lebih tinggi, atau pada realisasi-diri "sejati", harus menjelaskan apa nilai-nilai yang lebih tinggi tersebut, secara teoretis maupun dalam perwujudan praktisnya. Jika mereka gagal melakukan hal itu, mereka sangat mungkin dituduh hanya memberi pernyataan, bukan argumen.
*** Sebelum kita mengkaji argumen-argumen Berlin terhadap serangan-serangan Taylorian seperti di atas, penting untuk melihat bahwa para filsuf yang mendukung kebebasan negatif tidak menyangkal bahwa terdapat hal-hal baik yang mungkin diwujudkan dalam masyarakat modern dengan berdasarkan pada gagasan positif tentang kebebasan. Gagasan ini merupakan inti dari berbagai tuntutan akan kedaulatan nasional dan pembentukan negara kesejahteraan. "[Tidak] mengakui hal ini," demikian Berlin mengingatkan kita, "berarti tidak memahami kenyataan-kenyataan dan gagasan-gagasan yang paling vital di zaman kita."
Namun, apa yang ditentang oleh para filsuf kebebasan tersebut adalah ekstremisme, reduksionisme berlebihan dalam memahami tindakan dan kebebasan manusia, atas nama realisasi-diri, nilai-nilai yang lebih tinggi, atau apapun. Bagi mereka, ekstremisme ini bisa menjadi dasar filosofis kekuasaan yang despotik.
Nah, untuk memahami bagaimana para pemikir kebebasan negatif mengkritik gagasan positif tentang kebebasan, poin yang akan ditekankan dengan kuat adalah tentang kompleksitas tindakan manusia dalam kaita
nnya dengan kebebasan. Dalam kehidupan kita, kita melakukan begitu banyak tindakan, baik yang besar maupun kecil-mulai dari memberikan suara dalam pemilu dan memilih sekolahan, hingga membaca puisi dan majalah playboy. Tak banyak orang yang dapat membuat tindakan mereka "utuh-padu". Sebagian besar dari kita, manusia biasa, adalah orang-orang yang tidak konsisten: kita suka membaca otobiografi Mahatma Gandhi dan War and Peace Tolstoy, dan pada saat yang bersamaan kita juga suka membeli mobil yang lebih bagus dan membeli sikat gigi elektronik. Dalam kehidupan kita, terdapat begitu banyak kombinasi "tindakan yang tidak koheren".
Lebih jauh, seperti yang dikemukakan Berlin, selain kompleksitas tindakan ini, manusia juga memiliki kompleksitas tujuan dan keinginan. "Tujuan-tujuan kita banyak," ungkap Berlin, "dan tidak semua tujuan tersebut pada dasarnya sesuai satu sama lain". Sebagian dari tujuan tersebut bahkan berbenturan satu sama lain. Dalam hal ini Kant benar ketika ia mengatakan bahwa "dari pohon kemanusiaan yang bengkok, tidak ada hal lurus yang muncul". Hal ini berarti bahwa dalam pengalaman sehari-hari, kita seringkali menghadapi berbagai pilihan di antara berbagai tujuan yang sama-sama penting, atau pandangan-pandangan yang sama-sama benar, dan pewujudan tujuan-tujuan tersebut, meminjam ungkapan Berlin, "niscaya harus mengorbankan tujuan-tujuan yang lain".
Karena berbagai kompleksitas inilah para filsuf kebebasan negatif menekankan makna terpenting kebebasan untuk memilih atau kebebasan pribadi dalam membuat keputusan menyangkut hasrat dan tindakan kita. Menurut Berlin, jika kita tidak menegaskan pentingnya kebebasan untuk memilih, kita akan cenderung percaya bahwa "sebuah formula tunggal tertentu pada dasarnya dapat ditemukan, dan dengannya berbagai macam tujuan manusia dapat diwujudkan secara harmonis". Keyakinan ini jelas salah-dan karena itu gagasan tentang kebebasan negatif sulit ditolak sebagai filsafat kebebasan.
"Bukankah kebebasan untuk melakukan kejahatan suatu kebebasan" Jika tidak, lalu apa"" Kata-kata Bentham ini memperlihatkan kepada kita kenyataan bahwa para filsuf kebebasan negatif tidak menyangkal bahwa seseorang mungkin membuat suatu pilihan yang salah: bukannya memasukkan anak-anaknya ke universitas-universitas terbaik, ia malah menghabiskan uangnya untuk membeli barang-barang "remeh" (mobil yang lebih bagus, jas-jas yang mahal).
Bagi para filsuf ini, persoalan tersebut bukan persoalan kebebasan. Kebebasan hanya mungkin jika kita juga bebas untuk berbuat salah. Kita hendaknya tidak memberikan orang-orang biasa tersebut kebebasan jika kita tidak ingin mereka membuat beberapa keputusan yang salah. Mereka memang membuat keputusan-keputusan yang salah, atau mencampuradukkan keinginan-keinginan; meskipun demikian, mereka adalah orang bebas sejauh mereka tidak dipaksa orang lain untuk melakukan hal itu.
Bagaimana Taylor dan "para filsuf positif" yang lain mendamaikan fakta kompleksitas tujuan dan tindakan tersebut dengan gagasan tentang nilai-nilai yang lebih tinggi dan realisasi diri" Pertanyaan sederhana ini sangat susah mereka jawab dan dengan demikian memperlihatkan kelemahan mereka. Seperti telah kita lihat, bagi Berlin dan para filsuf kebebasan negatif yang lain, kenyataan tentang berbagai kompleksitas dan kebebasan tersebut pada dasarnya terdamaikan dalam gagasan tentang kebebasan untuk memilih: apapun kombinasi tujuan dan tindakan yang kita lakukan, kita dianggap sebagai orang bebas sejauh kita melakukan hal itu tanpa paksaan orang lain. Bagi Taylor, persoalan tersebut jauh lebih problematis, sampai tingkat di mana hampir tidak ada posisi yang cerdas yang bisa diambil.
Ambil contoh tentang seseorang yang memiliki dua keinginan. Kita anggap saja bahwa satu dari keinginan-keinginan ini baik bagi realisasi dirinya, sementara yang lain tidak. Taylor, secara logis, jelas akan mengatakan bahwa orang ini hanya setengah bebas. Sekali lagi, mari kita anggap bahwa gagasan tentang setengah bebas ini masih masuk akal. Namun bagaimana jika seseorang memiliki enam keinginan (harus kita inga
Memanah Burung Rajawali 17 Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung Bentrok Rimba Persilatan 21
odern dan demokratis, biasanya yang disebut kepentingan paling dasar individu-individu itu dijamin pada bab-bab konstitusi. Selalu begitu. Jadi, apa saja yang tidak boleh dipaksa oleh umum dijelaskan garisnya. Kita sebenarnya sudah menerimanya sejak 1945, dengan Pasal 28 UUD, tapi kita masih ragu-ragu. Belum benar-benar clear-cut, atau secara tegas dan penuh. Dengan amandemen terhadap UUD 45 itu, kita sudah bersikap clear-cut, bahwa ada hak-hak dasar individu: hak bicara, hak untuk hidup, hak untuk mencari kebahagiaan, life, liberty, and happiness. Inilah definisi dasar tentang hak-hak individu itu, tidak boleh dirampas oleh siapapun, termasuk oleh negara.
Tetapi tentu saja selalu ada situasi ketika hak-hak ini untuk sementara bisa ditangguhkan. Contoh yang paling klasik adalah: dalam sebuah bioskop yang gelap, Anda tidak boleh berteriak "Api!", karena orang bisa kaget, panik, keluar bersamaan, ada yang terinjak-injak dan mungkin mati. Jadi, kebebasan itu bisa dibatasi jika kebebasan itu mengancam hidup orang lain. Inilah yang disebut John Stuart Mill sebagai a very simple principle of liberty, karena dalam filosofi kebebasan se -lalu ada pertanyaan: di mana batasnya" Mill, pada pertengahan abad ke-19, memberikan definisi yang amat jelas dan sangat terkenal, yaitu bahwa kebebasan individu berakhir manakala kebebasan itu mengancam hak hidup atau hak orang lain. Inilah prinsip dasarnya, meskipun penjabarannya sangat kompleks dan mengikuti perkembangan zaman.
Misalnya dalam soal merokok. Tahun 1960-an tidak ada larangan merokok di ruangan, apalagi tahun 1950-an. Dalam politik dulu ada istilah smoke-filled room-untuk menunjuk keputusan politik dilakukan dalam ruangan yang penuh asap rokok. Bayangkanlah Amerika atau di Eropa di musim dingin, yang mengharuskan semua jendela ditutup. Dan semua orang di ruang-ruang rapat itu merokok, karena belum ada larangan. Baru pada 1970-an, terutama 1980-an, mulai ada aturan tentang larangan merokok di ruangan tertutup. Lalu pada 1990-an larangan itu diperluas, meliputi restoran. Tahun 2000-an di California, di bar pun orang tidak boleh merokok. Ini jelas pembatasan kebebasan.
Tapi pembatasan itu diterima karena muncul teori kedokteran yang baru: bahwa kalau Anda merokok di ruang seperti itu, Anda membahayakan hidup orang lain, sehingga kebebasan merokok harus dibatasi. Itu contoh yang paling gampang. Tentu saja ada beberapa hal praktis tentang kebebasan yang masih diperselisihkan batas-batasnya, tetapi semua menerima prinsip umumnya, yakni bahwa kalau seseorang tidak membahayakan kehidupan orang lain, dia harus bebas memilih bagi dirinya.
Keberanian dalam hal memberi kebebasan pada individu, yang di banyak negara dijamin oleh konstitusi, sesungguhnya juga didasarkan pada asumsi atau pada kepercayaan bahwa manusia itu sebetulnya bisa atau cenderung berbuat baik. Kita, atau "Masyarakat Timur", dalam hal ini kadang bersikap ambivalen. Kita sering berkata bahwa kita percaya pada sifat baik dalam diri manusia, the goodness of people, of human being. Tetapi kita tidak percaya bahwa mereka mampu memilih buat dirinya. Kita ingin ngatur hidup orang-gaya berpakaiannya, gaya rambutnya. Jadi kita tidak percaya bahwa mereka bisa menentukan pilihannya sendiri.
Bahwa sekali atau dua kali mereka salah, itu lebih baik dianggap sebagai proses belajar ketimbang Anda yang harus menentukan pilihan mereka, misalnya mereka harus pakai jilbab dan sebagainya. Padahal, dengan semangat ngatur-nga-tur itu, implikasinya secara filosofis, kita tidak percaya bahwa mereka mampu memilih buat dirinya sendiri; kita mau bilang, "Tuhan sudah pilihkan A buat kamu, agama sudah pilihkan B buat kamu." Kita mau limpahkan semua paket itu, sehingga yang tersisa pada individu hanyalah kepatuhan terhadap aturan-aturan yang ada. Kita mau patuh, tentu saja. Masyarakat yang individualis itu sebenarnya masyarakat yang patuh pada aturan yang dianggap masuk akal dan diputuskan secara bersama. Di jalan mereka tertib pada aturan umum. Kita di sini mau kepatuhan, tapi pada saat kita harus patuh, kita sangat liar.
*** Dilih at dari sudut lain, antara motif individual dan kepentingan masyarakat itu juga sering terjadi "keanehan". Milton Friedman, pemenang Nobel Ekonomi 1978, pernah bilang bahwa biasanya kegiatan-kegiatan ekonomi itu dimulai dengan motif individual, motif pribadi, yang dalam perjalanannya kemudian menguntungkan orang banyak. Inilah yang sering terjadi ketimbang sebaliknya: orang yang semula berpretensi atau berkata bahwa semua kegiatannya bukan buat dirinya sendiri melainkan buat orang banyak, ternyata justru merugikan masyarakat; jadi, masyarakat yang diatasnamakan itu dirugikan, dan dia secara pribadi diuntungkan, diperkaya. Kasusnya yang ekstrem adalah korupsi. Tapi di luar soal korupsi juga banyak kasus semacam itu.
Dalam hal ini kita bisa melihat fakta yang tak terbantah bahwa di negeri-negeri yang paling kaya cenderung juga menjadi negeri-negeri yang paling bebas. Kebebasan dan kesejahteraan ekonomi itu rupanya berhubungan.
Penjelasannya macam-macam. Selain memakai penjelasan Friedman, kita juga bisa menengok contoh yang paling klasik yang sudah diberikan Adam Smith dua ratus tahun silam. Waktu itu dia bicara soal penjual roti. Dia bertanya, "Dari mana kita dapat roti setiap hari"" Dengan hanya lima sen, sangat gampang kita beli roti di pasar. Kalau kita melanggan di rumah, roti diantar ke rumah kita. Pendeknya kita dapat makan roti. Apakah karena pedagang atau penjual roti ini mau menolong kita atau penjual roti itu sebenarnya mau mencari untung buat dirinya sendiri" Ternyata penjual dan pemilik pabrik yang mengantar roti itu mencari keuntungan buat dirinya sendiri.
Nah, sistem ekonomi tersusun dari begitu banyak penjual, pencari, pedagang roti, dan macam-macam pedagang lainnya, dan semua ini mencari untung bagi dirinya sendiri, tetapi akibatnya ada suplai pada masyarakat. Kita dapat ini, kita jual itu; saling membeli dan saling menjual. Ketersediaan roti atau beras bagi masyarakat dengan demikian jadi tercukupi. Itulah yang disebut masyarakat yang interaksi ekonominya bebas. Setiap orang mencari untung bagi diri masing-masing. Dan dengan cara itu, kebutuhan semua orang ternyata tercukupi; semua orang pun bahagia karena merasa dimudahkan.
Justru harus kita ragukan atau curigai kalau ada orang berteriak-teriak, "Hei, saya mengantarkan roti ini sebenarnya bukan untuk mencari untung! Saya mau kasih saja roti ini pada kalian, hai para konsumenku.. Saya tidak mau untung. Saya mau rugi... " Orang itu pasti gila-atau setidak-tidaknya munafik. Dalam sejarah, ada sistem yang pernah mencoba cara itu dengan berbagai variasi. Ada sistem komunisme di Soviet, Cina, Korea Utara, Vietnam, dan Kuba.
Cara yang kemudian meluas ke sistem sosial dan politik itu kemudian runtuh semua, atau tetap terbelakang dibanding negeri-negeri lain. Di Cina, Mao dulu pernah bilang (adaptasi dari Lenin) bahwa kita harus menciptakan manusia-manusia baru. Sebelumnya, di Soviet, Lenin ingin menciptakan manusia-manusia sosialis yang tidak memikirkan kepentingan dirinya, tetapi memikirkan kepentingan rakyat banyak, kaum buruh. Mereka lupa pada fakta dasar tentang manusia yang, menurut data-data biologis, sosio-bologis, sudah berumur lebih dari sejuta tahun dalam bentuknya yang sudah mulai modern. Jadi, Mao, Lenin, dan orang-orang yang sealiran dengan mereka pasti tidak akan mampu mengubah manusia. Tidak ada namanya manusia baru itu.
Manusia adalah hasil evolusi panjang dengan karakteristiknya sendiri, yang melihat manusia dengan kacamata dirinya, bukan diri orang lain. Maka sistem apapun yang dibangun tidak berdasarkan pandangan manusia yang benar dan realistis akan runtuh. Itulah yang dialami oleh sistem komunisme, karena pretensi mereka bukan cuma menciptakan sebuah sistem baru, tetapi pada fundamentalnya ingin menciptakan manusia baru dengan karakteristik baru. Manusia yang tidak memikirkan dirinya sendiri, tidak memikirkan anaknya, keluarganya, bapaknya, melainkan memikirkan masyarakat sosialis. Karena itu di Cina, waktu Revolusi Kebudayaan, bapak, ibu, anak dipisahkan.
Ide itu sebenarnya mengikuti Plato. Dalam karya masyhurnya, Repub
lic, dia menyebut bahwa pendidikan terbaik yang ideal adalah jika anak dan ibu dipisahkan sejak awal, karena ini akan menumbuhkan pikiran-pikiran anak berdasarkan ba-kat-bakatnya. Ini masyarakat idealis-utopis. Jadi ini yang diulang dalam bentuk baru oleh Lenin di Rusia, Mao di Cina, Pol Pot di Kamboja. Mereka mau mencetak anak-anak sosialis baru. Itu sebabnya sejak kecil, setiap bangun tidur, mereka diharuskan baca Buku Merah, kitabsuci Mao.
Yang terjadi adalah tragedi kemanusiaan yang amat dahsyat. Proses di Cina itu memakan korban puluhan juta jiwa yang kelaparan. Sistem pertanian Cina samasekali ambruk. Kolektivisme runtuh, dan baru mulai diperbaiki kembali oleh Deng Xiao Ping, pada 1978. Hasilnya sekarang cukup menakjubkan, sebagai keberlanjutan dari semakin terbukanya kebebasan ekonomi di Cina, belum politik. Jadi kolektivisme dibalikkan dan elemen-elemen liberalisme diperkenalkan. Sejak beberapa belas tahun lalu, ekonomi Cina tumbuh dua digit, 11, 12, 13 persen setahun.
Di sisi lain, sistem Soviet hanya bertahan 70 tahun, jika kita hitung dari Revolusi Bolshevik 1917. Sangat singkat. Bandingkanlah misalnya dengan Amerika Serikat yang sudah berusia 200-an tahun-tak perlulah kita bandingkan dengan Inggris yang sudah terlalu lama. Jadi kemenangan sistem yang percaya pada kebebasan itu juga karena ia cocok dengan watak manusia, dan juga fleksibel terhadap perubahan. Kuncinya ada -lah karena pada dasarnya keputusan diambil oleh begitu banyak individu. Sementara pada sistem komunisme, yang mengambil keputusan adalah sekretariat jenderal partai (politbiro), yang hanya terdiri atas 50-an orang. Bandingkan dengan sistem pasar, di mana di dalamnya begitu banyak pedagang, penjual, dan pembeli sama-sama memutuskan yang mana paling menguntungkan.
Ada jutaan orang setiap hari mengambil keputusan; jutaan keputusan berdasarkan kepentingan diri masing-masing. Dan paradoksnya lagi, sistem yang sangat bebas ini justru yang sangat teratur. Ia dinamis, fleksibel, cepat. Dan seperti yang dika -takan Friedrich Hayek, seorang filsuf asal Austria yang pernah mendapat hadiah Nobel Ekonomi, sebenarnya kepentingan diri yang dicerminkan oleh harga yang mau kita bayar itulah yang akhirnya membuat sistem yang luarbiasa, yang di dalamnya jutaan orang berinteraksi tanpa saling mengenal.
Sistem yang liberal itu tak perlu dikhawatirkan bakal menimbulkan kekacauan. Sebab yang terjadi adalah "kekacauan yang kreatif" atau situasi dinamis yang sangat kreatif (a very creative and dynamic situation). Lihatlah ekonomi Amerika atau Hongkong yang begitu dinamis, tetapi begitu cepat menjamin kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini ada satu elemen yang membuat perdagangan juga penting dari segi moral dan segi kebudayaan. Ini sudah dikatakan dua abad yang lalu oleh Montesquieu, seorang pemikir Prancis.
Dulu orang menganggap bahwa perdagangan itu membuat orang serakah, materialistis, dan sebagainya. Tetapi, kata Montesquieu, sebelum tumbuhnya sistem perdagangan atau pertukaran modern, yang terjadi justru adalah perang suku, perang etnis, perang agama. Orang jadi terkucil oleh perbedaan-perbedaan yang bersifat nilai dan keyakinan. Tetapi di pasar, di mana ada penjual dan pembeli, yang penting harganya cocok. Entah penjualnya orang Arab, Yahudi, atau Cina, kalau harganya cocok kita beli. Artinya, sebagai sistem, pertukaran yang didasarkan pada kepentingan tersebut sebenarnya membuat manusia menghilangkan prasangka. Jadi kalau model pertukaran ini menjelma menjadi sistem sosial, atau menopang sistem sosial, maka pada dirinya sendiri sistem ini tidak mengandung bias prejudice, yang telah turun-temurun diwarisi oleh masyarakat manusia. Itulah salah satu pengaruh penting sistem pertukaran yang kita sebut sebagai perdagangan modern.
Di dalam kehidupan ini memang ada banyak elemen. Kita juga tidak bisa berkata bahwa sistem pertukaran ini akan merembes ke mana-mana, ke semua aspek kehidupan. Orang masih kembali ke agama, etnik, daerah, bahkan ada yang disebut sebagai nation state. Ini semua bercampur-aduk. Tetapi yang ingin saya tegaskan di sini adalah bah
wa kita ingin melihat individualisme dalam berbagai macam manifestasinya. Kita tidak bisa dengan sederhana berkata bahwa individualisme itu anti-masyarakat, anti-kepentingan umum atau egois. Ini sebuah paham modern yang menurut saya menjadi salah satu dasar dari suksesnya masyarakat modern. Jadi janganlah paham ini dipandang secara sangat simplistis. Ia berhubungan dengan berbagai macam hal dan justru menjadi salah satu kekuatan konstruktif yang progresif dalam kebudayaan dan kehidupan masyarakat modern.
Kita kemudian teringat pada Francis Fukuyama, yang bilang bahwa sejarah sudah berakhir. Tentu yang dia maksud bukan sejarah dalam arti kronologis, tapi sejarah dalam arti pertarungan gagasan, antara sistem demokrasi liberal dengan komunisme. Dengan runtuhnya komunisme, maka demokrasi liberal-yang merupakan abstraksi atau perluasan paham in-dividualisme-menjadi pemenang, dan sejarah berakhir. Ide Fukuyama ini memang masih terlalu abstrak. Tapi pada dasarnya dia ingin berkata bahwa pada akhirnya sistem masyarakat yang ingin kita buat, setelah berputar ke mana-mana dan melakukan macam-macam percobaan, akhirnya membuat kita kembali ke kearifan lama yang benar, yang kebetulan dia namakan kapitalisme-liberal. Dasarnya adalah penghargaan pada kedaulatan individu, pada kebebasan masing-masing orang untuk memilih. Kalau Anda pakai paham itu, Anda bikin sistem itu, tentu namanya kapitalisme-liberal, tidak bisa lain.
Mereka yang hidup dalam sistem itu punya kebebasan, punya kehendak untuk bebas. Itulah yang menjadi motor perubahan. Ke sanalah arah sejarah. Masyarakat yang masih memakai sistem yang di dalamnya ada perbudakan, misalnya, suatu saat akan hilang. Budak-budak itu akan merdeka. Mereka akan merdeka, dalam arti akan menentukan kehendaknya sendiri, menjadi tuan bagi dirinya sendiri.
Itulah yang dikatakan Fukuyama. Dan kita sulit menyebut bahwa dia keliru.
Persamaan di Depan Hukum konsep equal opportunity, persamaan peluang, merupakan salah satu masalah yang rumit dalam pengaturan kehidupan modern, dan ini harus menjadi perhatian kita semua. Dalam masalah persamaan kesempatan, ada dua hal yang harus kita pikirkan. Pertama, masalah ideal, cita-cita, arah besar yang harus kita tuju. Tapi, kedua, ada juga masalah kenyataan. Kita tidak bisa memungkiri kenyataan. Kalau kita mau membangun masyarakat, harus berdasarkan kenyataan yang ada, untuk kemudian kita ubah. Tapi kalau kita ingkari kenyataan, kita akan terjebak pada utopia yang akhirnya juga gagal, menyedihkan, dan akan memakan korban yang sangat banyak.
Itu sudah terjadi pada komunisme, yang mau membuat masyarakat baru, manusia baru. sama-rasa, sama-rata. Mereka tidak mengakui sejarah dan mau menghancurkannya. Kalaupun tidak sampai dihancurkan, agama, sejarah, simbol-simbol masa lalu itu, mereka lupakan. sebab mereka ingin membentuk sesuatu yang samasekali baru, yang sesuai dengan ideal mereka, tetapi pada akhirnya gagal. Dan sungguh menyedihkan, gagalnya itu dengan memakan korban yang luarbiasa besar. saya kira, ini tragedi kemanusiaan terbesar yang pernah kita lihat dalam sejarah. Dalam soal equal opportunity, kenyataan yang saya maksud adalah kenyataan bahwa manusia berbeda-beda.
Orang ingin mencari distingsi. Saya ini berkarya, bekerja, berkarir, ingin agar saya berbeda, bukan supaya saya sama. Kalau orang mau jadi sama, dia akan menjadi medioker- tanggung, kemampuannya setengah-setengah. Setiap manusia pada dasarnya ada yang kuat, ada yang dorongannya lemah, tetapi terkait dengan kepentingan dan persepsi dirinya. Ibaratnya, setiap orang ingin jadi elang, tidak ingin jadi bebek. Setiap orang ingin terbang tinggi dan berkata, "Inilah saya!" Dalam memilih pakaian, Anda ingin lebih baik; dalam memilih istri, Anda ingin lebih baik. Artinya tidak umum. Pokoknya, Anda ingin berprestasi.
Orang bahkan harus didorong untuk mencari ketidaksamaan. Kalau anak kita bilang bahwa di sekolah dia mau sama saja dengan anak-anak lainnya, belajarnya mau biasa-biasa saja, tidak mau lebih bagus daripada teman-temannya, kita akan bilang, "Aduh, anak ini tidak pun
ya motivasi untuk belajar."
Dan dengan ke-biasa-an dan ke-sama-an itu, kemajuan tidak mungkin tercapai. Lihatlah para jenius dan penemu. Mereka biasanya orang yang punya motivasi kuat, punya kemauan keras. Mereka mau kerja keras, karena ingin berbeda. Ini fakta. Dan memang dalam kenyataannya orang berbeda-beda. Sesosialis dan seegalitarian apapun seseorang, kalau dia melihat sesuatu yang lebih indah, lebih baik, lebih cantik, selalu ada impuls-impuls untuk ikut mengagumi atau menghargai, yang merupakan bagian dari kenyataan alamiah di dalam diri manusia.
Jadi, pada dasarnya kita mau berbeda, kita suka berbeda. Tetapi pada saat yang sama ada impuls lain. David Hume, seorang filsuf dari Skotlandia yang menulis buku yang sangat terkenal, Treatise of Human Nature, mengatakan bahwa salah satu dasar manusia membentuk masyarakat dan berinteraksi dengan masyarakat adalah perasaan simpati atau empati. Artinya, kalau kita melihat penderitaan orang, kita ikut sedih. Intinya, kita mau memperlakukan orang sebagaimana kita mau diperlakukan. Ada semangat untuk berbeda, berdistingsi. Mau jadi juara, jadi jagoan, jadi terbaik, jadi lebih cantik, lebih kuat, lebih kaya, tapi kita mau diperlakukan sama. Intinya juga simpati kepada diri. saya tidak mau diperlakukan sewenang-wenang, saya mau diperlakukan sama. Tetapi ini impuls lain. Jadi, di dalam diri manusia ada semangat untuk berbeda, tetapi ada semangat yang sama pada titik-titik tertentu. Kedua impuls inilah yang membentuk kenyataan: manusia dan masyarakat.
Nah, dalam konteks tata kemasyarakatan, apa yang disebut equal opportunity itu sebenarnya agak rancu kalau kita terjemahkan terlalu jauh. Yang lebih tegas adalah equality before the law, persamaan di depan hukum. Anak jenderal, presiden, orang miskin, rakyat kecil, pengusaha besar, pedagang kecil, di depan hukum posisinya sama. Kalau yang satu tidak boleh mencuri, yang lain pun tidak boleh; yang satu tidak boleh melanggar rambu-rambu lalu-lintas, yang lain pun tidak boleh melanggar. Begitulah sederhananya.
Dengan menjamin persaman bagi semua orang di depan hukum, otomatis prinsip ini berlaku dalam menjamin persamaan dalam semua hal. sebab hukum adalah fondasi interaksi manusia dan masyarakat. Hukumlah yang mengatur boleh dan tidaknya suatu tindakan dilakukan. Memang, ada etika dan kebudayaan, tapi itu adalah hal yang berbeda. Kalau kita bicara tata aturan dalam masyarakat secara formal, maka yang kita maksud dengan equality sebenarnya adalah persamaan di depan hukum. Karena kalau kita mulai menafsirkan hukum sebagai kesempatan, maka konsepsi ini agak elusif, sulit dipegang. Apa yang kita maksud dengan kesempatan" Yang saya tahu, itu artinya kesempatan buat anak saya dan kesempatan buat anak orang lain harus sama-dan memang sama di depan hukum. Tetapi kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan: apakah itu berarti anak yang pintar dan anak yang kurang pintar mau dipersamakan" Tesnya harus sama-sama menang" Tentu saja harus ada tes kalau Anda melamar pekerjaan. Misalnya tes matematika. Pelamar yang diterima adalah yang dapat nilai 8,5. Kalau Anda dapat 8,2, tentu tidak bisa masuk. Jadi basisnya adalah ketidaksamaan.
Yang penting, sistemnya harus memungkinkan bahwa semua orang berhak ikut tes itu. Dasar utamanya ada di konstitusi. Anda memperlakukan saya tidak sama, tetapi Anda tidak bisa menghukum atau menuntut seorang pemilik perusahaan yang menerima anak yang lebih pintar berdasarkan tes yang universal. Dalam masyarakat yang kompleks, yang di dalamnya ada potensi -potensi konflik antar-agama, etnik, warna kulit, dan sebagainya, situasinya memang agak problematis. Misalnya, anak kulit hitam dan kulit putih sama-sama dites matematika. si anak kulit putih dapat 8,5, sementara anak kulit hitam 8. Kalau tes matematikanya berdasarkan standar universal, maka yang 8,5 ini yang diterima-kebetulan dia berkulit putih. Tetapi beberapa aktivis kaum kulit hitam mungkin berkata, "Ya, tentu saja anak kulit putih yang menang, sebab tesnya matematika, coba kalau tesnya basket.... "
Padahal tes basket mungkin tidak relevan untuk pekerjaan
yang dimaksud. Dan argumen semacam itu membuat ukuran-ukuran universal menjadi sia-sia. Maka saya kurang suka kalau konsep equal opportunity ditarik terlalu jauh, karena sifat elusifnya itu. Ia menimbulkan interpretasi yang licin, bisa ditarik ke sana, kemari, tergantung kepentingan kelompok atau tujuan tertentu yang kita inginkan. Tetapi kalau disebut sebagai equality before the law, konsep ini jelas, artinya persamaan di depan hukum. Ini harga mati.
Kadang-kadang aktivis perempuan juga lebih memilih untuk menggunakan konsep equal opportunity daripada equality before the law. Tentu saja kita tidak mau ada diskriminasi. Tetapi tidak cukupkah penegasan jaminan konstitusi bahwa semua orang dijamin bebas dan sama"
Aktivis perempuan biasanya meminta kuota untuk dipersamakan. Misalnya dalam rekrutmen politik. Mereka tidak ingin ada persaingan terbuka, dan ingin persaingan pakai kuota. Implementasinya misalnya berupa permintaan pada partai-partai politik untuk memberi sedikitnya 30% peluang kursi bagi calon legislatif. Buat saya dalam konteks kesejarahan tertentu yang ekstrem, metodenya mungkin saja masih bisa diterima sejauh bersifat sementara. Tetapi metode kuota untuk equal opportunity ini pada dasarnya self-defeating, menyalahi prinsip dasarnya. Anda ingin persamaan bagi setiap orang. Tapi kalau Anda minta kuota, itu berarti dasarnya adalah ketidaksamaan bagi setiap orang. Dan yang dapat kuota hanya perempuan. Pria tidak dapat. Ini melanggar prinsip kesetaraan yang ingin diperjuangkan. Entah Anda minta jatah untuk kulit hitam, untuk perempuan, untuk minoritas, dan sebagainya, jika itu didasarkan pada sistem kuota untuk menjamin opportunity, maka ia self-defeating, menggugurkan prinsip dasarnya sendiri.
Formula kuota semacam itu mungkin diajukan dengan bertolak dari kenyataan bahwa kondisi antara perempuan dan laki-laki tidak setara. Tapi harap diingat bahwa dalam masyarakat mana pun, tidak ada kondisi setara untuk mulai. Anda bisa bandingkan, misalnya, kondisi di kalangan kelompok-kelompok minoritas di Amerika Serikat.
Kelompok yang paling tidak pernah minta-minta perlindungan antara lain minoritas etnik dari Korea, Cina, dan Asia pada umumya. Tanpa pernah minta kuota, minoritas-minoritas ini justru lebih cepat tumbuh, paling maju, paling menguasai teknologi dan bisnis yang berkembang di Amerika. Sebab mereka berprinsip bahwa kesempatan itu tidak dijamin dan tidak diberikan oleh siapapun. Kesempatan adalah sesuatu yang harus mereka rebut. Karena itu mereka mau bekerja lebih keras daripada orang lain; mereka mau lebih pandai daripada orang lain. Mereka merebut dan menciptakan kesempatan.
Orang-orang yang melihat kesempatan atau opportunity sebagai sesuatu yang diberikan, disediakan oleh orang lain-ter-masuk oleh pemerintah-justru tidak akan pernah maju. Dalam konteks ini saya tidak sedang membicarakan hukum positif. saya sedang bicara soal cara pandang kita dalam melihat masalah tertentu. Tentu saja benar kalau dikatakan bahwa asal-muasal kita ini tidak sama. Ini serupa halnya kalau kita mengusut kesalahan atau mencari siapa yang salah: kenapa orang hitam jadi budak; kenapa orang putih jadi tuan" Ini akan berkepanjangan tanpa ujung. Dari mana kita memulai sejarahnya" Apalagi kalau kita ingat bahwa yang pernah jadi budak bukan hanya orang hitam, tapi orang putih juga pernah. seandainya orang Turki menang di Eropa melawan orang-orang kulit putih, yang menjadi budaknya orang Turki di Balkan tentu orang kulit putih. Bahkan, di Nusantara ini kita pernah saling mem-perbudak. Fakta sejarah itu harus diakui.
Tapi marilah kita melihat ke depan. Dalam menyusun sistem yang baru sekarang ini, kita bisa menengok masa lalu, tapi orientasinya harus ke masa depan. Kalau kita merasa bahwa di masa lalu sejarah tak berpihak pada kita, opportunity itu bukan di tangan kita, kita harus bertekad bahwa di masa depan peluang itu akan kita rebut dengan tangan kita sendiri, sejauh hukumnya sama. Hukumnyalah yang tidak boleh diskriminatif terhadap diri kita. soal kesempatan, kita akan mencarinya sendiri. Pemerintah tidak perlu ikut
campur. Kuncinya adalah kerja keras dan kreativitas, dengan melihat ke depan. Ini soal cara kita melihat kehidupan.
Dalam konstitusi di negara demokratis modern sekarang ini, elemen diskriminasi sebenarnya sudah hilang. Lain halnya kalau kita bicara tentang Amerika di masa sebelum 1919 atau di Eropa sebelum 1920. Hukum positif mereka waktu itu tidak memberi wanita hak memilih. Jangankan wanita, kaum pria pun-kalau kita tarik ke masa 50 tahun sebelumnya-tidak semua diberi hak memilih. Di Inggris, negara pertama yang menganut demokrasi, dalam proses perubahan reformasi secara formal, pemberian hak pilih kepada masyarakat dimulai untuk kaum pria bangsawan dan terdidik, bukan pada semua pria. Sampai 1894, tahun terakhir reformasi, wanita masih belum boleh memilih.
Setelah itu barulah wanita diberi hak memilih- dan dengan demikian terjadi revolusi besar dalam hal equality before the law. Sejak itu prosesnya berlangsung sangat cepat. Hukum positifnya mendukung.
Sebagai konsep sosial, equal opportunity itu baik. Saya tidak menentangnya. Saya cuma mau katakan bahwa kita perlu hati-hati dalam memaknainya, sebab konsep ini elusif, gampang merucut. Lain halnya dengan equality before the law, yang sangat jelas, yakni jaminan kesetaraan di depan hukum. Tapi yang namanya opportunity, siapa yang harus memberikannya" Apakah negara wajib memberikan opportunity" Buat saya: No! Negara hanya wajib menjamin hukum yang sama. Tetapi kesempatan bukan diberikan oleh negara. Hidup kita bukan di tangan negara, tetapi di tangan kita sendiri.
Bagaimana dengan program affirmative action di Amerika Serikat, yang kadang dianggap sebagai diskriminasi positif" Program ini memang didasarkan pada semacam rasa bersalah orang kulit putih terhadap kaum kulit hitam, yang kini jumlahnya puluhan juta jiwa. Tapi saya ingat pidato Martin Luther King (1969). Tokoh terpenting perjuangan kulit hitam itu berkata: I have a dream, one day my children will not be judged because of the colour of their skin. Artinya, King ingin anak-cucunya, temannya dan siapapun, diperlakukan bukan karena warna kulitnya-bahkan kalaupun perlakuannya positif. Nah, affirmative action itu memperlakukan seseorang sesuai warna kulitnya. Karena seseorang itu kulitnya hitam, maka dia harus diberi kuota. Kenapa" Karena nenek-moyang orang hitam itu pernah diperbudak oleh nenek-moyang orang kulit putih.
Martin Luther King tidak menginginkan hal itu. Jadi, semangat King itu berbeda dengan semangat pemberi affirmative action. Para pendukung affirmative action berkata bahwa tujuan mereka sama dengan tujuan Martin Luther King. Tetapi metode dan dasar filsafatnya berbeda. Sekali lagi saya katakan bahwa ini masalah yang mungkin tidak bisa dilihat secara hi-tam-putih. Hal ini benar hanya karena konteks kenyataan yang memang kompleks. Tetapi saya berpegang pada prinsip dasar. saya tidak mau melihat masalah ini dari kacamata hitam-putih. saya bersedia memberikan beberapa kemudahan sejauh masuk akal, tetapi kemudahan itu hanya sementara dan betul-betul karena political expediency. Jangan menganggap itu benar pada dirinya sendiri, apalagi menganggap itulah mahkota perjuangan equality of opportunity. Itu keliru besar. Kalau dianggap demikian, tentu boleh saya katakan bahwa itu merupakan pengkhianatan terhadap perjuangan kaum yang ingin membebaskan dirinya dari segala bentuk kekangan, termasuk kekangan diskriminasi warna kulit.
saya mau kasih contoh supaya kita bisa melihat persoalan ini dengan proporsional. Katakanlah Anda keluarga kulit putih, sementara saya keluarga kulit hitam. Tentu bukan salah kita berdua kenapa nenek-moyang kita saling memperbudak. Kepada anak-anak kita masing-masing kita bilang, "Belajarlah yang baik dan belajarlah yang keras". Dua-duanya mengikuti saran itu. Tentu saja baik jika dua-duanya diterima di universitas, tapi ternyata yang diterima cuma satu, anak Anda atau anak saya. Kehidupan ini memang kadang-kadang kejam, meski kita mau kehidupan ini jangan kejam. Kita dihadapkan pada pilihan. Kursi untuk menerima mahasiswa di universitas terbatas. Maka harus ada tes.
Anak Anda yang kulit putih mendapat nilai 8,5 untuk matematika, anak saya dapat 5,5. Dengan adanya affirmative action, mungkin anak saya yang nilainya 8,3 itulah yang masuk. Bayangkan apa yang harus Anda katakan pada anak Anda" "Oh, anakku, nilaimu memang lebih tinggi daripada anak kulit hitam itu, tetapi nenek-moyang kita dulu pernah memperbudak nenek-moyang dia, jadi kau harus menanggung dosa nenek-moyangmu." Ini terjadi dalam situasi di mana kedua anak ini belajar dengan baik. Bayangkan, kalau anak Anda belajar dengan baik untuk dapat 8,5, sementara anak saya yang malas dan cuma dapat 5,5 malah bisa masuk. Anda mau bilang apa pada anak Anda" Mungkin situasi ekstrem seperti ini tidak pernah terjadi. Tapi setelah program itu berlangsung dua puluh tahun dalam masyarakat yang berpenduduk 300 juta orang, pasti satu atau dua kasus semacam itu terjadi. Dan beberapa tahun lalu hal semacam itu terjadi di Universitas Michigan, sehingga sejumlah mahasiswa kulit putih yang merasa dirugikan mengajukan gugatan hukum.
Jadi sekarang program itu mulai ditentang. Dan jangan lupa, sejarah pada akhirnya berpihak pada kebenaran. Setelah beberapa puluh tahun dicoba, ternyata memang in the long run sistem kuota atau sistem diskriminasi ini tidak menghasilkan siswa-siswa yang cemerlang. Sebab tes itu universal. Kalau Anda dites waktu Anda mahasiswa, tesnya kan sebenarnya bukan saat itu saja. Tes itu adalah akumulasi pengalaman hidup.
Affirmative action yang diterapkan di Amerika itu kadang dipuji oleh kalangan tertentu yang menganggap bahwa pemerintah itu sebaiknya bersikap seperti itu. Yang lemah diberi kesempatan lebih, yang kuat tidak perlu dibantu. Pada prinsipnya kita senang membantu yang lemah. Semua agama mengajarkan hal yang sama. Semua orangtua mengajarkan hal-hal yang baik kepada anak-anaknya: agar anak-anak mereka menjadi orang yang baik, suka bekerja keras, punya keberanian, dan suka menolong. Tidak ada hal yang salah dengan semua itu.
Yang jadi soal adalah: apa yang kita maksud dengan menolong" Bagaimana metode menolong" Apa bentuk pertolongannya" Masalah ini tidak sederhana. Affirmative action muncul hanya dalam periode sejarah tertentu, yang memang kita harus mengerti dalam konteks dinamika politik Amerika tahun 60-an. Pada prinsipnya kita harus membiasakan orang untuk berjuang bagi dirinya. Dia maju bukan karena ditolong. Betapapun baiknya tindakan menolong, tidak ada orang yang maju karena sistem pertolongan. Orang maju karena mau berusaha keras untuk mencapai kemajuan itu dan bersedia berkorban-waktu, pikiran, dana-untuk mencapai kemajuan itu. Mungkin secara temporer ada orang-orang lemah yang kita tolong. Tapi yang membuat dia maju, modern, merasa bangga terhadap dirinya, bukanlah karena dia ditolong, tapi karena dia menolong dirinya sendiri.
Arief Budiman BARU-BARU INI Arief Budiman mendapat penghargaan Hellman/ Hammets Award 1996, yang diberikan Human Rights Watch, lembaga internasional yang bergerak di bidang HAM (hak asasi manusia). Sebagai seorang sahabat, saya ikut merasa bangga atas penghargaan ini.
Saya tahu bahwa, bagi Arief, selama kondisi HAM kita masih seperti sekarang, penghargaan seperti itu tak berarti apa-apa. Dengan atau tanpa penghargaan, Arief akan terus berusaha mewujudkan idenya dan mengkritik segala bentuk tindakan publik yang mengusik hati nuraninya. Arief adalah tipe manusia Kantian, seorang yang akan terus memperjuangkan kebenaran walaupun langit runtuh.
Siapa Arief Budiman" Bagi banyak orang, dia adalah pengkritik Orde Baru, penulis yang cerdas, dan penganjur sosialisme humanis. Semua itu betul. Namun, bagi saya, ada sebuah dimensi persoalan yang menarik pada diri Arief yang belum banyak dimengerti. Persoalan ini bersumber pada ketegangan dan tarik-menarik antara dunia keilmuan dan dunia aktivisme, antara dunia pencarian pengetahuan dan dunia perjuangan politik. Arief Budiman, sebagai sebuah fenomenon, memberi gambaran yang cukup jelas tentang hubungan yang dilematis antara apa yang disebut oleh Max Weber sebagai the vocation of science dan the vocation of politics.
Titik tolak dunia keilmuan adalah skeptisisme, bukan kepastian. Seorang ilmuwan adalah seorang yang peragu, skeptis. Berbeda dengan seorang kiai, pendeta, dan penyebar "kebenaran" lainnya, tugas seorang ilmuwan bukanlah menyebarkan kebenaran, melainkan mencarinya, mempertanyakannya, mengujinya.
Tentu para ilmuwan sering menganut atau percaya pada "kebenaran" tertentu, katakanlah sebuah teori tentang pembangunan sosialis. Namun kebenaran semacam ini selalu bersifat sementara, cair, dan siap diuji terus-menerus. Jika ternyata akumulasi fakta-fakta yang ada cenderung menolak kebenaran tersebut, maka sang ilmuwan akan dengan senang hati mengubahnya, bahkan meninggalkannya samasekali, untuk kemudian mencari kebenaran baru.
Berbeda dari kerja seorang ilmuwan, kerja seorang pejuang atau aktivis bermula dari kepastian dan berakhir dengan kepastian. Buat seorang aktivis, skeptisisme adalah cermin dari ketakutan untuk bersikap. Perjuangan politik pada hakikatnya adalah upaya untuk memperluas basis dukungan publik terhadap cita-cita tertentu. Karena itu, yang harus diperlihatkan oleh seorang pejuang sejati bukanlah keraguan, melainkan justru jalan yang pasti, yang "benar", yang lebih "baik". Siapa gerangan yang bersedia menjadi pengikut seorang peragu"
Seorang ilmuwan akan berbahagia jika sesuatu yang semula disangkanya benar ternyata kemudian bisa dibuktikan keliru. Dalam hal ini sang ilmuwan akan memulai proses pencariannya lagi, sebuah proses yang memang menjadi puncak dambaannya. Sebaliknya, buat seorang pejuang, jika ternyata hal yang selama ini dianggapnya sebagai kebenaran ternyata ditolak realitas, keliru, chimera, maka yang terjadi adalah malapetaka besar. Seluruh raison d'etre-nya sebagai pejuang runtuh. Sang pejuang kemudian menjadi a fighter without a cause.
Arief Budiman berada dan bergumul di antara dua dunia yang berbeda itu. Siapapun yang pernah bergaul akrab dengan Arief pasti mengerti bahwa dalam diri tokoh yang satu ini terdapat semangat untuk bertanya terus-menerus, sikap yang terbuka bahkan terhadap kritik setajam apapun serta kecintaan yang besar terhadap pengetahuan. Singkatnya, dalam diri Arief terdapat impuls-impuls dasar seorang ilmuwan. Barangkali karena hal inilah maka sejak awal, dunia yang dipilih Arief sebagai basis segala kegiatannya adalah dunia universitas.
Di pihak lain, Arief juga seorang aktivis sejati-penghargaan yang diterimanya dari Human Rights Watch itu hanyalah salah satu buktinya. Sebagai pembicara dan penulis, yang tampak jelas pada dia adalah karakter seorang pejuang. Dalam banyak tulisannya kita jarang berjumpa dengan keragu-raguan. Yang selalu kita baca dalam tulisan-tulisan tersebut adalah kepastian yang sederhana dan kesederhanaan dalam kepastian. Lebih-lebih jika menulis tentang tema-tema di seputar sosialisme dan kapitalisme, yang terutama Arief lakukan adalah menyebarkan dan mempopulerkan "kebenaran", bukan mencarinya.
Sejauh manakah Arief dapat mempertemukan kedua dunia yang berbeda itu" Bisakah dia mempertahankan integritas seorang ilmuwan, sambil pada saat yang sama terus-menerus menjadi aktivis di jalan sosialisme" Apakah ternyata dia sudah mengabaikan dunia keilmuan dan hanya menjadi penganjur serta pembela ajaran-ajaran sosialis, dan karena itu cenderung menjadi ideolog yang tertutup"
Barangkali hanya Arief seorang yang dapat sepenuhnya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Yang jelas, tokoh yang sangat populer di kalangan mahasiswa itu kini berhadapan dengan sebuah persoalan mendasar yang menggugat hakikatnya sebagai pejuang sosialis: sosialisme telah gagal, dan bahkan ditolak pendukung utamanya sendiri, kaum buruh.
Apakah Arief memilih menjadi a hero with a lost cause" Sebagai sahabat, saya ingin melihat Arief menolak pilihan ini, dan lebih mengedepankan kemampuannya sebagai ilmuwan yang terus-menerus belajar dari perkembangan fakta-fakta baru. Tapi tentu semua berpulang pada diri Arief sendiri. Dan buat saya, di sinilah sesungguhnya terletak perjuangan Arief Budiman yang terbesar.
17 Agustus 1996 Ilmuwan dan Aktivis kolom saya di Gatra, 17 Agustus, tentang Arief Budiman rupanya mendapat tanggapan yang cukup serius dan menarik. Yang pertama datang dari Arief sendiri (Kompas, 27 Agustus), dan kedua dari Bur Rasuanto di majalah ini (Gatra, 23 November).
Apa yang bisa saya katakan terhadap kedua tanggapan tersebut" Karena agak lebih sederhana, saya mulai dengan tulisan Bur. Kalau saya tak keliru, inti tulisan dia terletak pada kalimat penutupnya: "Saya ilmuwan. Saya tidak bisa ikut menuntut UU Antisubversi dihapus, karena saya harus mulai dari ragu-ragu dan berakhir dengan ragu-ragu." Dengan ironi semacam ini, Bur ingin mengkritik saya yang dianggapnya telah berpandangan bahwa ilmuwan haruslah bersikap netral secara moral dan politik.
Terus-terang saya agak kurang mengerti kenapa Bur sampai pada kesimpulan seperti itu. Buat saya, tak ada yang secara prinsipil membatasi seorang ilmuwan untuk memilih sikap moral dan politik tertentu terhadap berbagai hal dalam kehidupan ini. Yang menjadi soal adalah, dalam waktu dan konteks tertentu, sering pilihan moral ini menjadi dilematis jika dihadapkan pada pengetahuan dan fakta-fakta yang dipelajarinya sebagai seorang ilmuwan.
Dilema semacam inilah yang sesungguhnya menjadi topik utama kolom saya terdahulu. Arief Budiman "kebetulan" saat itu saya anggap sebagai contoh sosok yang berada dalam dilema tersebut. Jadi, buat saya, kritik Bur salah alamat. Bur, agaknya, mencampuradukkan dua hal yang berbeda ini: skeptisisme sebagai "metode" dalam memandang serta mempelajari realitas dan pilihan moral sebagai bentuk pertanggungjawaban pribadi.
Menyangkut tanggapan Arief Budiman, harus saya akui bahwa persoalannya agak lebih rumit. Ada beberapa argumen Arief yang serius, ada pula yang agaknya sekadar ekspresi kegenitan yang tak perlu. Dalam hal terakhir ini bisa kita lihat, misalnya, saat dia berkata bahwa pandangan saya bersumber pada aliran positivis-empiris yang 'simplistis dan ketinggalan zaman'. Saat ini, bagi dia, 'teori ilmu sudah berkembang jauh' dan karena itu mereka yang berpendapat seperti saya 'perlu lebih banyak membaca teori-teori baru di bidang filsafat ilmu'.
Menarik juga bahwa Arief ternyata tetap membaca buku-buku baru. Cuma sayangnya, dari sejumlah pemikir yang disebut Arief, tak satu pun yang betul-betul 'baru'. Arief lagi-lagi balik ke Gramsci, Foucault, dan Marx. Saya harap, lain kali Arief bisa menyinggung Bobbio, atau paling tidak Charles Taylor, kalau memang ingin berbicara tentang hal yang sedikit lebih baru dan masih tetap berdiri di samping kawan sealiran.
Di samping itu, saya harap Arief mau menjelaskan tentang relevansi 'baru' dan 'lama' dalam menilai kualitas sebuah argumen dalam filsafat. Apakah argumen dalam filsafat bersifat kumulatif" Kalau ya, seperti yang implisit pada pernyataan Arief tentang filsafat ilmu yang 'berkembang jauh', tidakkah berarti bahwa dia menentang pandangannya sendiri yang menolak positivisme, mengingat bahwa klaim akumulasi ilmu pada dasarnya adalah klaim positivistik"
Argumen Arief yang serius bersumber pada penolakannya untuk menyederhanakan hubungan antara pengetahuan (sub-yektivitas) dan realitas empiris (obyektivitas). Hubungan ini bersifat dialektis. Dalam penjelasannya, yang Arief maksudkan dengan ini adalah realitas empiris tak mudah kita dekati tanpa bantuan nilai dan ideologi. Bahkan kedua hal terakhir inilah yang menjadi dasar dari pengetahuan kita. Realitas (baca: kebenaran) kita simpulkan bergantung pada posisi kita dalam konstelasi kedua hal ini.
Karena begitu menentukannya nilai dan ideologi ini maka, buat Arief, sejak awal seorang ilmuwan harus berpihak. Tanpa pemihakan ini sang ilmuwan hanya menjadi alat kekuatan-kekuatan masyarakat yang ada. Karena hal inilah maka dikotomi ilmuwan dan aktivis, seperti yang saya lakukan, menjadi lebur dan tak relevan. Dengan ini pula Arief menolak anjuran saya untuk lebih menjadi ilmuwan ketimbang sekadar aktivis, seorang fighter with a lost cause.
Apakah semua ini berarti bahwa, bagi Arief, "sekali sosialis, tetap sosialis", tanpa ada satu hal pun yang bisa mengubahnya" Jika ada, da
lam bentuk apa, dan bagaimana cara kita mengetahuinya" Apakah kriteria "salah-benar" semata-mata bergantung pada ideologi dan posisi politik kita masing-masing" Lalu masih adakah yang disebut ilmu"
Dalam konsepsi saya, skeptisisme seorang ilmuwa adalah kesediaannya untuk menerima kemungkinan bahwa sesuatu yang semula disangkanya benar ternyata bisa keliru. Seorang ilmuwan adalah seseorang yang bisa berkata, "Well the facts are too strong for me not to change my mind." Katakanlah saya seorang ilmuwan sosial dan percaya pada sosialisme. Saya berharap bahwa proposisi Marxian, misalnya akumulasi kapital akan memiskinkan kaum buruh, memang benar. Tapi ternyata, dari fakta-fakta yang ada, saya tahu bahwa peningkatan akumulasi itu terjadi bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan buruh. Artinya, ada kemungkinan bahwa proposisi yang saya yakini keliru. Menolak kemungkinan ini berarti meruntuhkan dasar kemungkinan pengembangan ilmu.
Saya tahu, bagi Arief, konsepsi tentang fakta itu sendiri harus dipertanyakan. Dalam hal ini argumen Arief cukup kukuh. Persoalannya adalah ia kemudian berusaha menjelaskan bahwa pada akhirnya segala hal bertumpu pada ideologi, dan dengan demikian, pemihakan politik. Dengan cara ini dia bisa menghindari pertanyaan-pertanyaan serius tentang gagalnya percobaan sosialisme, dari Rusia hingga Cina dan Kuba.
Sekarang di tangan Arief, yang tak memegang kekuasaan politik apapun, argumen 'total politik' semacam itu mungkin cukup menarik. Tapi bagaimana jika dia berkuasa dan menerapkan dalil bahwa 'kebenaran' bergantung pada posisi ideologi dan politik seseorang" Bagaimana jika dalil ini dipegang oleh seorang penguasa yang tak sebaik Arief"
30 November 1996 Manifesto Sang Pemberontak
revolusi selalu melahirkan para pemberontaknya sendiri. Dalam sejarah kita sering melihat bahwa para aktor utama gerakan politik besar menjelma menjadi para pengecam utama gerakan tersebut.
Gerakan komunis, pada awal abad ini, dicirikan oleh janji-janjinya yang mencakup banyak hal. ia merupakan suatu gerakan yang mengumbar janji-janji yang begitu besar: suatu masyarakat tanpa kelas, suatu komunitas yang sejahtera tanpa penghisapan; atau seperti yang dikemukakan Marx, suatu masyarakat di mana orang-orang bekerja hanya 4 jam di pagi hari, pergi memancing di siang hari, dan menghabiskan senja hingga malam hari dengan membaca puisi. Namun, bersama berjalannya waktu, gerakan ini mulai memperlihatkan berbagai cacatnya: ketika kaum revolusioner menjadi para penguasa, janji-janji besar tersebut diubah menjadi suatu ideologi kaku yang digunakan terutama untuk memberi pembenaran bagi terpeliharanya kekuasaan tersebut. Demikianlah, para pemberontak muncul karena janji-janji palsu itu.
Milovan Djilas merupakan satu dari para pemberontak tersebut. Bersama Tito, Kardelj, dan Rankovich, ia memimpin gerakan komunis di Yugoslavia. Kemudian, ia menjadi Ketua Parlemen Yugoslavia. Namun pada awal 1950-an, dengan berani dan tegar, ia mulai menolak gerakan yang pernah ia pimpin. Buku The New Class ini adalah manifestonya; sebuah pernyataan tentang bagaimana sebenarnya komunisme dalam kenyataannya. ia mengutuk komunisme dengan menggunakan bahasa dan metode analitisnya sendiri. ia mengkritik komunisme berdasarkan kosakatanya sendiri.
Dalam buku ini Djilas mengemukakan bahwa revolusi komunis merupakan suatu penipuan sejarah: "Tak ada revolusi lain yang mengumbar begitu banyak janji namun hanya sedikit menepatinya." Baginya, komunisme pada dasarnya merupakan "suatu bentuk perang sipil laten antara pemerintah dan rakyat".
Di Prancis sebelum 1789, menurut Djilas, kapitalisme merupakan suatu bentuk hubungan sosial dan ekonomi yang dominan. Revolusi Prancis, yang dipimpin oleh kaum borjuis, dilancarkan untuk menyempurnakan dominasi ini.
Karena itu, para penguasanya (yakni kaum borjuis) tidak harus membentuk suatu masyarakat yang sepenuhnya baru. Berbeda halnya dengan Revolusi Rusia 1917. Lenin ingin mengakhiri masyarakat feodal yang ada dan membentuk suatu masyarakat baru, yakni masyarakat tanpa kelas. Karena itu, setelah
revolusi, kaum komunis mencoba untuk membentuk suatu sistem yang sepenuhnya baru yang berbeda dari sistem sebelumnya.
Namun dalam proses pembentukan masyarakat baru tersebut suatu kelas sosial baru muncul: "Revolusi itu, yang dilancarkan demi menghapuskan kelas, memunculkan satu kelas baru yang memiliki otoritas penuh. Segala sesuatu yang lain hanya kepura-puraan dan ilusi." Kelas baru ini berakar dalam birokrasi, yang menguasai kekayaan negara dan memonopoli penggunaan kekuasaan. Dengan demikian, anggota utama kelas baru ini adalah kaum birokrat.
Kaum birokrat ini tidak ada yang mengawasi, dan mereka sangat solid. "Tidak ada kelas lain dalam sejarah yang sedemikian solid dan kukuh dalam mempertahakan kepentingannya dan dalam mengontrol apa yang dimilikinya- kepemilikan kolektif dan monopolistik, serta otoritas totaliter." Mereka juga "sama eksklusifnya seperti aristokrasi, namun tanpa martabat dan kebanggaan aristokrasi". Pendek kata, menurut Djilas, mereka menikmati semua kemewahan aristokrasi (rumah mewah, mobil, tamasya, dll.) di atas penderitaan massa yang semakin besar. Kelas baru tersebut menghisap rakyat.
Menurut Djilas, munculnya kelas ini dipersiapkan oleh Lenin. Namun "pemula sebenarnya dari kelas tersebut adalah Stalin". Dengan melakukan birokratisasi masyarakat, Stalin memperluas dan memperkuat basis kelas ini. Dan pada saat Khrushchev mulai berkuasa, kelas ini telah kehilangan semangat revolusionernya, yang diwarisi dari Lenin; satu-satunya hal yang ia inginkan adalah "hidup dengan damai" dan "membenarkan dirinya sendiri".
Dengan kata lain, kita dapat mengatakan bahwa bagi Djilas, sistem Komunis tersebut mengingkari janji-janjinya sendiri dengan menciptakan kelas baru ini, yang tangannya bersimbah dosa.
Meskipun mengutuk komunisme dalam realisasi praktisnya, Djilas tidak mengambil kesimpulan bahwa Marxisme, atau lebih tepatnya sosialisme, harus ditinggalkan sebagai sebuah teori masyarakat dan sebagai sebuah panduan untuk mencapai suatu masyarakat yang ideal. Ia mengatakan bahwa tugas utamanya adalah mengkritik komunisme dalam praktik, dan bukan dalam teori. Ia sepertinya yakin bahwa jika kaum komunis menciptakan suatu sistem demokratis pada masa-masa awal setelah revolusi, janji-janji besar tersebut mungkin tidak sekadar ilusi. Djilas masih meyakini sosialisme sebagai suatu gagasan, dan berpikir bahwa dengan demokrasi hal itu akan memunculkan suatu masyarakat yang sejahtera. Ia menyebut dirinya sebagai seorang Sosial Demokrat.
Penting untuk diingat bahwa Djilas menulis buku ini bukan sebagai seorang akademisi, melainkan sebagai seorang aktivis yang menyaksikan bahwa gerakan yang pernah turut ia pimpin telah salah arah. Karena itu, buku ini harus dilihat terutama sebagai sebuah kesaksian, sebuah pernyataan kekecewaan, dan bukan sebagai sebuah wacana teoretis. Dengan demikian, menilai pentingnya buku ini berarti melihat keberanian, ketulusan, dan kejujuran sang penulis. Dengan kata lain, kita dapat mengatakan bahwa The New Class merupakan suatu pencapaian besar.
Namun, untuk mengulas buku ini secara memadai, dan untuk menghargai sang penulis secara lebih jujur, kita juga harus mengkritiknya. Di sini kita dapat mengatakan bahwa Djilas tidak dapat menjelaskan secara tepat mengapa revolusi komunis di Rusia tersebut melahirkan suatu kelas baru yang birokratis. ia terjebak pada metode analitis Marxis. ia gagal melihat bahwa Marxisme sebagai sebuah teori masyarakat dan perubahan sosial-dengan semua tujuan mulianya-mengandung bibit-bibit despotisme, dan pengejawantahannya niscaya akan menghasilkan suatu sistem yang birokratis.
Marx tidak pernah secara serius mempertimbangkan politik, hukum, dan moralitas. Baginya, semua itu hanya alat bagi para elite kekuasaan untuk memelihara kekuasaan mereka. Semua itu hanya merupakan suatu ekspresi hubungan sosio-eko-nomi. Kebenaran tidak pernah hadir pada dirinya sendiri; ia harus dilihat dalam kaitannya dengan kekuasaan. implikasi logis dari hal ini sederhana: begitu berkuasa, mereka yang dikuasai (yakni kaum proletar) juga tidak akan merasa bersalah untu
k menggunakan hukum semata-mata demi memelihara kekuasaan. Kaum proletar hendaknya tidak terintangi oleh moralitas dan permainan politik yang jujur (yakni demokrasi) untuk menyempurnakan tujuan perkembangan sejarah (Lenin, dan terutama Stalin, memahami hal ini dengan baik: mereka membenarkan teror untuk mencapai tujuan-tujuan mereka). Dalam pengertian ini, kita dapat mengatakan bahwa Marxisme mungkin merupakan salah satu fondasi terbaik bagi suatu kekuasaan yang despotik.
Lebih jauh, bagi Marx, satu-satunya cara untuk mencapai suatu masyarakat yang lebih manusiawi adalah menghapus hak milik pribadi. Dengan demikian, ia gagal melihat dua faktor penting. Pertama, kepemilikan pribadi atas sarana produksi merupakan dasar masyarakat sipil. Menghapuskan hak milik pribadi berarti menghancurkan masyarakat sipil. Kedua, menghapuskan hak milik pribadi hanya berarti membirokratisasikan kepemilikan. Hal ini memberikan dasar bagi birokrasi untuk hadir di mana-mana, sebagai pemilik yang sebenarnya dan penguasa segala sesuatu.
Karena itu, tidak mengejutkan jika sebuah revolusi yang didasarkan pada pemikiran-pemikiran Marxis pada akhirnya menghasilkan suatu kelas (baru) yang digambarkan Djilas dalam buku ini: suatu kelas despotik yang kekuasaannya didasarkan pada birokrasi.
3 Februari 1993 Nozick anarchy, state, and utopia karya Nozick terbagi menjadi 3 bagian yang saling terkait. Bagian pertama berusaha menjelaskan bahwa negara minimal adalah adil; ia muncul tanpa melanggar hak-hak siapapun. Bagian kedua berusaha memperlihatkan bahwa negara apapun yang lebih luas ketimbang negara minimal tersebut tidak sah. Bagian ketiga berupaya menjelaskan bahwa negara minimal, berlawanan dengan apa yang diyakini sebagian besar orang, sebenarnya merupakan suatu utopia yang menarik.
Argumen-argumen Nozick yang paling menarik dan kontroversial ada di bagian dua. Argumen-argumen tersebut tajam, bernas, mencerahkan, dan mendalam. ia sangat kuat ketika mengkritik Rawls dan memperlihatkan bahwa keadilan distributif bukan keadilan samasekali.
Esai ini akan mengulas serangan Nozick terhadap gagasan tentang keadilan distributif tersebut, dan pembelaannya atas apa yang ia sebut teori hak atas keadilan (entitlement theory of justice). Saya akan mulai dengan menjabarkan penjelasan Nozick tentang bagaimana negara minimal muncul.
Gagasan-gagasan Nozick di sini disajikan sesederhana mungkin tanpa terlalu banyak mereduksi kompleksitas gagasan-gagasan tersebut. Hal ini saya harap akan membuat kekuatan gagasan-gagasan tersebut lebih mudah terlihat.
Hak-hak Individu dan Negara Minimal
Kaum anarkis percaya bahwa negara, negara apapun, adalah tidak sah. Individu-individulah yang terpenting-bahkan negara yang hanya berfungsi untuk memberikan perlindungan dasar terhadap agresi dapat dipastikan akan melanggar hak-hak individu.
Nozick, seperti kaum anarkis dan kaum liberal klasik, juga percaya pada supremasi individu dan sakralnya hak-hak individu. Namun ia, tidak seperti kaum anarkis tersebut, menganggap bahwa terdapat satu jenis negara (yakni negara minimal) yang tidak melanggar hak-hak siapapun.
Nozick bertolak dari suatu keadaan hipotetis manusia, yakni keadaan alamiah. Menurut Nozick, dalam keadaan alamiah badan-badan perlindungan pribadi tumbuh subur karena individu-individu perlu melindungi diri mereka dari agresi orang lain. Individu-individu tersebut membayar badan-badan ini untuk melindungi mereka karena bagi mereka melakukan hal itu lebih rasional-mereka dapat menjalani kehidupan mereka tanpa terus-menerus cemas akan keamanan pribadi mereka.
Persaingan bebas di antara berbagai badan tersebut untuk memberikan pelayanan terbaik membuat hanya sedikit badan perlindungan yang tetap bertahan. Badan-badan yang tetap bertahan ini, yakni para pemenang seleksi alamiah, dengan demikian akan memegang monopoli de facto atas usaha perlindungan tersebut. Pada tahap ini, karena monopoli kekuasaan untuk memaksa tersebut, badan-badan ini berlaku seperti negara. Dan karena penggabungan dan kompetisi yang semakin besar, pada akhirnya han
ya ada satu badan yang tetap bertahan. Badan yang tetap bertahan ini pada dasarnya adalah sebuah negara (sebuah badan yang memiliki monopoli sepenuhnya atas kekuasaan untuk memaksa). Nozick menyebut badan ini sebagai negara ultraminimal.
Di bawah kekuasaan negara ini, terdapat suatu persoalan. Sebagian besar orang akan mampu membayar bagi perlindungan yang disediakannya. Namun beberapa orang terlalu miskin untuk bisa membayar jasa perlindungan tersebut. Dan, karena tidak termasuk anggota, mereka tidak harus mengikuti aturan-aturan yang diberlakukan badan tersebut (yakni negara ultra-minimal itu). Karena itu, mereka secara moral boleh menerapkan prinsip apapun yang mereka anggap tepat, termasuk misalnya prinsip hukuman mata dibalas mata. Keadaan ini tidak dikehendaki karena hal ini membahayakan kehidupan damai anggota negara ultraminimal itu. Karena negara ultrami-nimal tidak memiliki dasar moral untuk memaksa para non-anggota untuk mematuhi aturan "bersama", persoalan tersebut terus berlanjut.
Satu-satunya cara untuk memecahkan persoalan ini adalah menerapkan prinsip kompensasi. Dengan prinsip ini, para klien membayari keanggotaan mereka yang tidak bisa membayar keanggotaan sendiri (yang pada gilirannya akan senang menerima keanggotaan bebas ini karena lebih rasional bagi mereka memusatkan energi mereka untuk melakukan sesuatu yang lain ketimbang terus-menerus menjaga keselamatan mereka sendiri). Menurut Nozick, hal ini sedikit mirip dengan mekanisme distributif. Namun, baginya proses ini secara moral sah karena para pemberi tersebut memberikan sebagian milik mereka demi kepentingan diri mereka sendiri (dengan melakukan hal itu, mereka meningkatkan keselamatan mereka sendiri).
Dalam tahap inilah negara ultraminimal itu diubah menjadi negara minimal. Negara minimal adalah adalah negara ultra-minimal ditambah sebuah elemen mekanisme distributif. Dan, karena prinsip kompensasi itu secara moral adil, hal itu terjadi tanpa melanggar hak-hak siapapun.
Jadi, dari keadaan alamiah tersebut muncul negara minimal, tanpa desain sebelumnya. Penting diingat bahwa bagi Nozick ini bukanlah proses perkembangan negara yang sebenarnya. Seperti posisi awal (original position) Rawls, ia hanyalah suatu sarana teoretis, suatu konstruksi intelektual, yang membantu tujuan Nozick dalam menegaskan bahwa terdapat satu jenis negara yang mungkin muncul secara moral. Dengan menjelaskan hal ini, Nozick memperlihatkan bahwa kaum anarkis salah.
Teori Hak, Keadilan Distributif, dan Tuan Chamberlain
Negara minimal, seperti yang dijelaskan Nozick, berfungsi tidak lebih daripada sekadar melindungi anggotanya dari kekerasan, penipuan dan pencurian, dan memberlakukan perjanjian-perjanjian. Ia adalah negara "penjaga malam" kaum liberal klasik. Pembelaannya atas persoalan mengapa negara ini sah bergerak lebih jauh ketimbang sekadar menggambarkan bagaimana ia terjadi atau bagaimana ia muncul dari keadaan alamiah. ia mengembangkan konsepsi keadilannya sendiri (yakni teori hak dari keadilan), dan menjadikan konsepsi ini sebagai dasar untuk menilai apakah sebuah negara dapat dibenarkan atau tidak. ia membedakan gagasannya tentang keadilan tersebut dengan gagasan tentang keadilan distributif. Teori haknya itulah yang memberi inspirasi Nozick untuk berkata, "Tidak ada negara yang lebih kuat atau luas ketimbang negara minimal tersebut, yang dianggap sah atau dapat dibenarkan."
Teori hak Nozick tersebut sebenarnya cukup sederhana. Teori itu terdiri atas tiga prinsip. Prinsip pertama dan kedua menyatakan bahwa kepemilikan apapun yang didapatkan dari perolehan yang adil (prinsip perolehan awal) atau pengalihan yang adil (prinsip pengalihan) pada dirinya sendiri adalah adil. Tidak seorang pun berhak atas suatu kepemilikan kecuali dengan penerapan kedua prinsip ini. Dengan kata lain, kedua prinsip ini merupakan prosedur yang menjadikan kita sah memiliki suatu barang atau tanah.
Kepemilikan kadang diperoleh melalui paksaan atau penipuan. Dengan demikian, kita masuk pada prinsip ketiga, prinsip perbaikan (rectification). Prinsip ini menyatakan bahwa
adanya ketidakadilan masa lalu (yakni pelanggaran-pelanggaran sebelumnya terhadap kedua prinsip pertama tersebut) membenarkan suatu jenis kompensasi yang diberikan kepada orang-orang yang dirugikan. Dengan prinsip ini, Nozick memberikan suatu kualifikasi pada seluruh usahanya dalam mempertahankan legitimasi negara minimal tersebut: perbaikan memungkinkan suatu peralihan ke negara yang lebih luas.
Meskipun menghadirkan sosialisme sebagai hukuman terhadap dosa-dosa kita mungkin terlalu berlebihan, ketidak-adilan-ketidakadilan masa lalu mungkin sedemikian besar sehingga dalam jangka pendek perlu suatu negara yang lebih luas untuk memperbaiki itu semua.
Teori hak, menurut Nozick, mengandaikan bahwa distribusi kepemilikan bersifat historis. "...[Sebuah] distribusi adalah adil tergantung pada bagaimana hal ini terjadi". Jika sebuah distribusi terjadi tanpa melanggar prinsip perolehan dan pengalihan tersebut, maka distribusi itu adil. Hal ini berarti bahwa satu-satunya distribusi kepemilikan yang adil adalah distrubusi yang tak-terpola (tak satu hal pun, atas nama keadilan, yang dapat dilakukan untuk mengubah pola suatu distribusi jika ia telah memenuhi prinsip-prinsip [teori] hak tersebut).
Pada titik inilah Nozick memulai serangannya terhadap gagasan tentang keadilan distributif (yang, bagi Nozick, merupakan gagasan inti negara kesejahteraan-suatu jenis negara yang jauh lebih luas dibanding negara minimal).
Menurut Nozick, bertentangan dengan teori hak, teori keadilan distributif mengabaikan aspek historis dari distribusi. Keadilan distributif hanya menerapkan prinsip waktu kini atau prinsip hasil akhir. "...[A]pa yang perlu diperhatikan, dalam menilai keadilan dari sebuah distribusi, siapa yang akhirnya memiliki apa...".
"...[K]eadilan sebuah distribusi ditentukan oleh bagaimana sesuatu didistribusikan (siapa memiliki apa), dan dinilai berdasarkan prinsip (-prinsip) struktural dari distribusi yang adil". Ungkapan Marx "dari tiap-tiap orang menurut kemampuannya dan bagi masing-masing orang menurut kebutuhannya" adalah sebuah contoh prinsip struktural dari distribusi yang adil ini. Contoh-contoh lain: "bagi tiap-tiap orang menurut kebaikan moralnya", atau "bagi masing-masing orang menurut IQ dan produktivitasnya", dan sebagainya.
Di sinilah kesalahan keadilan distributif: Ia "memperlakukan obyek-obyek seolah-olah mereka muncul begitu saja, dari ketiadaan". Ia memisahkan dua persoalan yang terkait, yakni produksi dan distribusi. Ia tidak pernah bertanya bagaimana sesuatu dibuat. Bagi Nozick, sebagaimana diandaikan oleh teori haknya, "benda-benda ada di dunia telah terkait dengan orang-orang yang mempunyai hak atas mereka". Mereka yang memperoleh suatu kepemilikan (mobil, gaji, rumah, dll.) melalui suatu perolehan yang adil atau pengalihan yang adil berhak atas kepemilikan tersebut. Dengan demikian, mengambil kepemilikan ini, meski hanya sebagian, tanpa memperhatikan sejarahnya (bagaimana kepemilikan ini terjadi) untuk mendistribusikannya berdasarkan prinsip distribusi apapun adalah tidak sah. Dengan kata lain, pendistribusian kembali (di luar perbaikan) melanggar hak-hak orang-orang yang membuat atau memproduksi sesuatu.
Kesalahan keadilan distributif dan prinsip-prinsipnya tersebut ditarik ke kesimpulan terjauh mereka saat Nozick menjelaskan tentang perpajakan. Untuk sebuah pekerjaan yang jujur, X menerima penghasilan bulanan sebesar D. D ini sama dengan jumlah jam yang dihabiskan X untuk melakukan pekerjaannya. Menarik pajak sejumlah n dari D tersebut dengan demikian seperti mengambil n jam dari X atau, dalam praktik, memaksa X bekerja n jam untuk menyelesaikan tujuan-tujuan (distributif) yang tidak berkenaan dengannya. Karena itu, menurut Nozick, "Pajak penghasilan dari pekerjaan sama dengan kerja paksa."
Dengan kata lain, perpajakan (dan mekanisme lain dari keadilan distributif) "melibatkan pengambil-alihan tindakan-tindakan orang lain". ia membuat beberapa orang lain memiliki sebagian dari (milik) Anda:
Jika orang-orang memaksa Anda melakukan pekerjaan, atau pekerjaan yang tak berupah tertentu, sel
ama suatu periode waktu tertentu, mereka memutuskan apa yang akan Anda lakukan dan tujuan-tujuan dari kerja Anda terlepas dari keputusan-keputusan Anda. Proses ini, di mana mereka mengambil keputusan tersebut dari Anda, menjadikan mereka pemilik-sebagian dari Anda; proses ini memberi mereka hak kepemilikan dalam (diri) Anda. [huruf miring dari Nozick]
Bagi Nozick, yang ironis adalah bahwa mereka yang mendukung prinsip-prinsip keadilan distributif tersebut sebagian besar adalah orang-orang yang sama yang berbicara paling keras tentang gagasan kepemilikan-pribadi. Mereka tidak menyadari bahwa, dalam praktik, prinsip-prinsip yang mereka serukan tersebut adalah prinsip-prinsip yang membuat orang menjadi pemilik sebagian dari orang lain.
Selain persoalan perpajakan, Nozick juga menemukan dasar lain untuk menyerang gagasan tentang keadilan distributif itu: untuk mewujudkannya, menurut Nozick, keadilan distributif mengharuskan campur-tangan terus-menerus terhadap kehidupan dan kebebasan orang. Mengapa" Untuk menjelaskan hal ini, Nozick mengisahkan cerita tentang Tuan Wilt Chamberlain.
Andaikan bahwa terdapat sebuah distribusi Di (yang, menurut standar keadilan distributif, setara, atau adil). Dan andaikan juga bahwa, setelah mengikuti serangkaian latihan Spartan, Chamberlain menjadi seorang pemain bola basket yang sangat hebat. Seperti Mike Jordan, Chamberlain adalah seorang olahragawan yang efisien sekaligus seorang pemain yang menarik. Permainannya dengan demikian sangat ditunggu-tunggu. Hal ini memungkinkan Chamberlain untuk menandatangani sebuah kontrak satu tahun dengan sebuah tim: dalam setiap pertandingan kandang, 25 sen dari harga tiap-tiap tiket masuk menjadi miliknya.
Ketika musim pertandingan mulai, orang-orang dengan senang hati menghadiri pertandingan-pertandingan Chamberlain. Mereka membeli tiket dan dengan demikikan menaruh 25 sen ke dalam kotak khusus yang langsung diberikan kepada Chamberlain. Bagi orang-orang ini, permainan menawan Chamberlain layak dihargai seperti itu. Kini, andaikan bahwa satu juta orang melihat pertandingan Chamberlain. Ini berarti bahwa $250.000 menjadi milik Chamberlain, suatu jumlah yang jauh lebih besar dibanding yang dimiliki sebagian besar orang.
Hasilnya: Distribusi Di berubah. Ia menjadi D2, yang jelas lebih tidak setara. Apakah D2 adalah suatu distribusi yang tidak adil" Orang-orang, dalam Di yang lebih setara, dengan sukarela memberikan 25 sen kepada Chamberlain sebagai imbalan bisa menyaksikan suatu permainan yang hebat dan menyenangkan (mereka dapat menggunakan uang itu untuk membeli permen, koran, rokok). Bukankah orang-orang tersebut berhak menggunakan uang mereka sesuka mereka"
Perubahan dari Di ke D2 tersebut adalah hasil dari tindakan-tindakan sukarela dan secara moral sah. Dengan demikian, D2 adalah sebuah distribusi yang adil. Kesimpulan yang menonjol yang disajikan Nozick di sini adalah bahwa kebebasan mengubah pola. D1 mungkin dilihat sebagai suatu distribusi terpola yang tercapai melalui mekanisme-mekanisme keadilan distributif. Memberi 25 sen kepada Chamberlain (sebagai ganti melihat permainannya yang hebat) adalah kebebasan yang dijalankan. Konsekuensinya: pola tersebut dibongkar. Kini, bayangkan jika terdapat ratusan Chamberlain (yang menawarkan ratusan jasa berbeda yang bisa dibeli orang-orang). Hasil dari kebebasan yang dijalankan adalah distribusi yang lebih tak-terpola.
Misalkan, pola-pola mungkin didedahkan untuk membuat D2 lebih setara. Hal ini dapat dilakukan hanya dalam dua cara. Pertama, 10 sen dari 25 sen yang diberikan kepada Chamberlain mungkin dipajaki (pajak 40%), dan diberikan kembali kepada orang-orang tersebut (sehingga mereka sebenarnya hanya mengeluarkan 15 sen). Kedua, melarang orang-orang pergi dan menonton pertandingan tersebut (memaksa Chamberlain bermain tanpa membayarnya bukan merupakan suatu pilihan).
Namun, cara pertama akan berakhir pada suatu situasi yang menggelikan: baik Chamberlain maupun para penggemarnya telah secara sukarela sepakat mengenai syarat-syarat pertukaran mereka; namun pihak ketiga datang, dengan
gagasannya tentang kesetaraan, dan memberlakukan suatu syarat-syarat pertukaran baru. Di sini, kesalahan perpajakan berlaku- Chamberlain dipaksa untuk bermain n jam tanpa bayaran. Namun pada dasarnya hal ini tidak memecahkan persoalan: Chamberlain toh masih mendapatkan $150.000 dari 1 juta penggemar. Di tahun ke-3 ia akan mendapatkan $450.000 (atau $150.000 dollar lebih banyak dibanding jumlah yang akan ia peroleh tanpa redistribusi). Dengan demikian, apa yang terjadi hanyalah menunda waktu pola tersebut berubah. Distribusi yang tak setara (atau tak-terpola) akhirnya akan muncul. Sekali lagi, hal ini mungkin diperbaiki, namun untuk melakukan hal itu perlu campur-tangan terus-menerus dan bahkan lebih besar terhadap syarat-syarat pertukaran antara Chamberlain dan para penggemarnya tersebut. Karena hal inilah Nozick mengatakan bahwa keadilan distributif mengharuskan suatu campur-tangan terus-menerus terhadap kehidupan dan kebebasan orang-orang.
Cara kedua: melarang orang-orang menyaksikan pertandingan yang mereka sukai merupakan contoh yang sangat jelas tentang bagaimana suatu maksud mulia menghasilkan sesuatu yang bodoh dan tak liberal. Ada ribuan cara orang-orang dapat menggunakan uang mereka untuk sesuatu yang mereka sukai (menyaksikan Chamberlain hanya salah satunya). Dengan demikian, demi membuat orang-orang lebih setara, ribuan larangan harus terus-menerus dikeluarkan. Apakah ini merupakan cara praktis dan sah untuk menegakkan keadilan"
Tentang Rawls Nozick jelas harus mengulas Theory of Justice karya Rawls. Hampir tidak mungkin untuk mengkritik gagasan tentang keadilan distributif dan prinsip-prinsip negara kesejahteraan tanpa membahas Rawls. Nozick tidak ingin disalahpahami-baginya, Theory of Jusctice karya Rawls tersebut merupakan suatu pencapaian yang luarbiasa.
Theory of Justice tersebut merupakan:
Suatu karya yang sangat kuat, mendalam, subtil, menyeluruh, dan sistematis dalam filsafat politik dan moral yang tak ada bandingannya sejak tulisan-tulisan John Stuart Mill. Karya itu adalah sumber gagasan-gagasan yang mencerahkan, yang dipadukan dalam suatu keseluruhan yang menarik. Para filsuf politik sekarang ini harus berkarya di dalam teori Rawls tersebut atau menjelaskan mengapa tidak. ...Bahkan mereka yang tetap ragu setelah bergulat dengan visi Rawls yang sistematis akan belajar banyak dengan mempelajari karya itu secara teliti.
...Dan mustahil menyelesaikan buku itu tanpa suatu visi baru dan bernas tentang apa yang mungkin dilakukan dan disatukan teori moral; tentang betapa indahnya suatu teori yang menyeluruh. (huruf miring oleh Nozick)
Namun meskipun merupakan suatu karya besar, bagi Nozick Theory of Justice mengandung banyak kesalahan, kontradiksi, dan argumen-argumen yang salah. Pandangan Nozick tentang Rawls: mungkin tidak pernah terjadi sebelumnya seseorang memuji sebuah buku sedemikian tinggi dan pada saat yang sama menyangkal gagasan-gagasan dasarnya secara menyeluruh dan, kadang, secara keras.
Nozick mulai dari posisi awal Rawls. Menurut Rawls, pada posisi awal ini, orang-orang bertemu bersama dan memutuskan, dalam selubung ketidaktahuan bagaimana mereka akan hidup bersama-dan salah satu dari dua prinsip yang muncul dari keputusan ini adalah prinsip perbedaan. Menurut Nozick, karena selubung ketidaktahuan itu, orang-orang dalam posisi ini hanya dapat melihat keadaan akhir distribusi kepemilikan. Tanpa mengetahui apapun tentang sejarah kepemilikan itu (bagaimana kepemilikan ini diproduksi dan/atau dialihkan, atau bagaimana mereka dihakkan pada seseorang), orang-orang tersebut "akan memperlakukan apapun untuk didistribusikan sebagai suatu barang dari surga".
Apakah orang-orang dalam posisi awal tersebut pernah berpikir apakah mereka memiliki hak untuk memutuskan bagaimana segala sesuatu akan dibagi-bagi" Mungkin mereka menganggap bahwa karena mereka memutuskan pertanyaan ini, mereka pasti berpikir bahwa mereka berhak melakukan hal itu...
Dengan kata lain, Rawls gagal berlaku adil pada mereka yang memproduksi sesuatu. ia-tepat dari permulaan titik-tolak konseptualnya (yakni p
osisi awal)-secara salah yakin bahwa segala sesuatu sudah ada untuk didistribusikan.
Salah satu alasan utama mengapa Rawls gagal melihat sisi produktif keadilan dapat ditemukan dalam pemahamannya tentang bagaimana orang-orang tertentu membuat atau memproduksi lebih banyak dibanding orang lain. Bagi Rawls, orang-orang tertentu bisa lebih banyak menghasilkan hanya karena mereka lebih diberkahi dengan aset-aset alamiah (bakat dan kemampuan). Dan distribusi aset-aset alamiah ini sangat dipengaruhi oleh kontingensi-kontingensi sosial, yang menurut Rawls "sangat arbitrer dari sudut pandang moral". Dan karena itu semua sangat arbitrer, hal ini berarti bahwa kontingensi-kontingensi sosial tersebut tidak relevan secara moral. Karena itu, kemampuan sebagian orang untuk memproduksi lebih banyak juga harus dilihat sebagai tidak relevan secara moral. Dari garis pemikiran ini, tidak mengejutkan jika posisi awal Rawls secara sadar mengabaikan asal-usul distribusi dan sejarah produksi.
Bagi Nozick, pandangan bahwa "apa yang arbitrer secara moral tidak signifikan" merupakan suatu pandangan yang salah. "Setiap orang yang ada," ujar Nozick, dalam suatu cara yang khas, "merupakan hasil dari suatu proses di mana satu sel sperma yang berhasil tidak lebih berharga dibanding jutaan yang gagal." Dengan demikian:
Jika tak ada signifikansi moral yang bisa muncul dari apa yang arbitrer, maka tidak ada eksistensi orang tertentu yang memiliki signifikansi moral, karena dari begitu banyak sel sperma tersebut, sel sperma mana yang berhasil membuahi indung telur (yang sejauh ini kita ketahui) adalah arbitrer dari sudut pandang moral.
Selain itu, Nozick melihat bahwa Rawls terlalu jauh dalam menghubungkan distribusi pencapaian-pencapaian manusia dengan kearbitreran dan kontingensi sosial. Hal ini, menurut Nozick, bertentangan dengan gagasan tentang martabat manusia yang begitu kuat dibela Rawls. Mengapa" Dengan mengaitkan segala sesuatu dengan kontingensi-kontingensi sosial (misalnya, "kebetulan" dan "nasib baik"), dan dengan sepenuhnya abai tentang bagaimana individu-individu berusaha mengembangkan bakat dan kemampuan mereka, Rawls menyajikan suatu gambaran manusia yang sangat reduksionis-segala sesuatu yang berharga pada diri seorang manusia pasti disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, bukan oleh bagaimana ia belajar, bagaimana ia berusaha untuk unggul, serta bagaimana ia membuat pilihan-pilihan yang otonom dan tepat. Di sinilah ironi Rawls:
[Teori Rawls] bisa berhasil dalam menghalangi peneguhan pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan otonom seseorang (dan hasil-hasilnya) hanya dengan sepenuhnya mengaitkan segala sesuatu yang berharga dari orang tersebut pada berbagai jenis faktor "eksternal". Dengan demikian, melecehkan otonomi dan tanggungjawab seseorang terhadap tindakan-tindakannya merupakan suatu hal yang berbahaya bagi sebuah teori yang sebenarnya ingin menjunjung martabat dan harga-diri makhluk yang otonom; khususnya bagi sebuah teori yang sangat mendasarkan diri (termasuk sebuah teori tentang yang-baik) pada pilihan-pilihan manusia. Patut diragukan bahwa gambaran manusia terlecehkan yang diandaikan dan menjadi dasar teori Rawls tersebut bisa dipadukan dengan pandangan tentang martabat manusia yang ingin diwujudkan dan diejawantahkannya.
Pendek kata, posisi awal Rawls, dengan semua latar belakang konseptual dan premisnya, merupakan suatu konstruksi intelektual yang kontradiktif dan salah. Karena itu, tidak mengherankan jika prinsip-prinsip keadilan yang muncul dari posisi ini juga salah atau kontradiktif. Untuk memperlihatkan hal ini, Nozick menunjuk pada prinsip perbedaan tersebut.
Menurut prinsip perbedaan, struktur-struktur kelembagaan adalah adil, seperti yang dikemukakan Rawls, "Jika dan hanya jika struktur-struktur itu bekerja sebagai bagian dari suatu skema yang meningkatkan harapan-harapan anggota masyarakat yang paling kurang beruntung." Dikemukakan secara berbeda: syarat-syarat interaksi sosial antara yang mampu dan yang tidak mampu harus dirancang sedemikian rupa sehingga menjadikan yang kurang mampu tersebut setidak
nya tidak menjadi lebih buruk.
Menurut Nozick, hal ini mengandaikan bahwa kita harus mencegah satu kelompok masyarakat (orang-orang yang mampu) untuk mencari keuntungan-keuntungan tambahan, jika dengan melakukan hal itu mereka pada saat yang sama tidak serentak memperbaiki kesejahteraan orang-orang lain (mereka yang kurang mampu). Prinsip tersebut dengan demikian melanggar keterpisahan orang-orang. Dan bagi Nozick, yang paling mencolok adalah bahwa prinsip tersebut jelas mengandaikan suatu hubungan di mana sekelompok orang (mereka yang kurang mampu) memanfaatkan orang-orang lain (mereka yang mampu) sebagai suatu sumberdaya untuk memperbaiki kesejahteraan mereka. Mereka yang mampu tersebut dianggap sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, yang mungkin atau mungkin tidak sesuai dengan tujuannya sendiri.
Demikianlah ironi lain dari Rawls. Rawls jelas menyatakan bahwa salah satu tugas utama Theory of Justice adalah menyangkal utilitarianisme, yang salah karena mengabaikan keterpisahan orang-orang. ia mengatakan bahwa ia menyusun Theory of Justice dengan mengikuti suatu tradisi filsafat yang dipelopori oleh Kant, yang doktrin moral utamanya mengakui bahwa tiap-tiap orang adalah makhluk yang otonom, dan karena itu tidak seorang pun boleh dianggap sebagai sarana. Prinsip perbedaan Rawls tersebut, dengan mengandaikan bahwa sebagian orang adalah sarana bagi tujuan orang lain, merupakan suatu penyangkalan yang jelas terhadap doktrin moral Kantian.
Tentang Kesetaraan Gagasan utama yang mendorong perkembangan negara kesejahteraan adalah gagasan tentang kesetaraan ekonomi. Gagasan ini, pada masa ketika Nozick menulis Anarchy, State, and Utopia, merupakan gagasan yang sangat menonjol. Mulai dari awal tahun-tahun pasca-Perang hingga sekitar akhir 1970-an, pertanyaan politik dan sosial terbesar di negara-negara industri adalah seberapa jauh dan seberapa cepat mereka memberi ruang bagi negara untuk menjadi sarana untuk mencapai kesetaraan ekonomi. Konteks dunia seperti itu harus diingat ketika kita mendengar kritik Nozick terhadap kesetaraan.
Nozick mulai dengan memperlihatkan suatu fakta penting: meskipun dominan, gagasan tentang kesetaraan seringkali hanya diandaikan; ia "jarang dipertahankan" (garis miring dari Nozick). Para penulis tentang kesetaraan terbiasa mengatakan bahwa n persen populasi terkaya memiliki N persen dari total kekayaan, sementara m persen mereka yang termiskin hanya memiliki M persen. Karena perbedaan antara N dan M terlalu besar, sesuatu dengan demikian harus dilakukan-dan para penulis tersebut akan segera menjabarkan bagaimana ketimpangan ini harus diubah. Bukannya menyoroti filosofi atau gagasan-gagasan dasar, para penulis tersebut malah lebih memperhatikan hal-hal teknis dari kesetaraan.
Satu dari sedikit gagasan yang mendapatkan banyak perhatian dari kalangan filsuf adalah gagasan Bernard Williams. Dalam mempertahankan kesetaraan, Williams mengatakan bahwa barang-barang vital harus didistribusikan berdasarkan kebutuhan. Perawatan kesehatan adalah salah satunya. Bagi Williams, dasar yang tepat untuk mendistribusikan perawatan kesehatan adalah keadaan sakit. Namun, karena perawatan medis memerlukan uang, "maka kepemilikan uang yang cukup dalam kenyataan menjadi syarat tambahan yang diperlukan untuk mendapatkan perawatan kesehatan". Karena itu, sangat mungkin bahwa penyakit si miskin tidak akan mendapatkan perawatan, meskipun berdasarkan kebutuhan ia amat sangat membutuhkannya. Hal ini, bagi Williams, irasional, karena rasionalitas mengharuskan distribusi perawatan medis berdasarkan keadaan sakit ("Ini adalah kebenaran penting").
Menurut Nozick, Williams tampak berpendapat bahwa jika sebuah aktivitas memiliki "tujuan internal" (mengobati penyakit dalam kasus perawatan kesehatan), maka "dasar yang paling tepat untuk menjalankan aktivitas tersebut terkait dengan pencapaian yang efektif atas tujuan internal itu". Menurut Nozick, jika kita mengikuti logika argumen ini, kita juga harus menyimpulkan bahwa dasar paling tepat untuk distribusi jasa pangkas rambut adalah kebutuhan pangk
as rambut. Setiap pemangkas rambut harus memangkas rambut siapapun yang datang ke tempatnya tanpa melihat penghasilannya.
"Namun," tanya Nozick, "mengapa tujuan internal aktivitas tersebut harus diutamakan dibanding, misalnya, tujuan khusus orang itu dalam melakukan aktivitas tersebut""
Jika seseorang menjadi pemangkas rambut karena ia suka bercakap-cakap dengan beragam orang, dan sebagainya, apakah tidak adil baginya untuk menjalankan layanannya bagi mereka yang paling ingin ia ajak bercakap-cakap" Atau jika ia bekerja sebagai seorang tukang cukur demi mendapatkan uang untuk membayar biaya sekolah, bolehkah ia hanya memotong rambut orang-orang yang membayar atau memberi tip bagus" Mengapa seorang tukang pangkas rambut tidak boleh menggunakan kriteria yang sama dalam menjalankan layanannya sebagaimana orang lain yang aktivitas-aktivitasnya tidak memiliki tujuan internal yang melibatkan orang lain" Haruskah seorang tukang kebun menjalankan layanannya pada halaman-halaman rumput yang paling membutuhkannya"
Sebagian orang mungkin mengatakan bahwa pangkas rambut dan dokter merupakan aktivitas-aktivitas yang berbeda, dalam arti bahwa yang kedua berkaitan dengan layanan yang jauh lebih penting; kesehatan yang baik lebih penting dibanding rambut pendek dan rapi. Namun bagaimana dengan makanan- haruskah para petani memberikan beras mereka kepada orang-orang yang membutuhkannya"
Menurut Nozick, kesalahan dasar Williams adalah bahwa ia-seperti para pendukung distribusi-"hanya melihat pada persoalan alokasi". Williams tidak peduli pada persoalan tentang darimana layanan-layanan yang akan dialokasikan tersebut berasal. Karena orang-orang berhak atas tindakan mereka sendiri (dalam hal layanan), karena itu mereka bisa memutuskan kepada siapa dan atas dasar apa mereka memberikan sesuatu. Memaksa mereka untuk melakukan hal yang sebaliknya akan melanggar hak mereka (yakni kerja paksa).
Dokter, tukang kebun, pemangkas rambut, dan profesor melakukan pekerjaan mereka dengan tujuan-tujuan mereka sendiri. Sebagian dari mereka hanya ingin mencari uang, dan sebagian yang lain tidak. Menganggap bahwa tujuan-tujuan internal aktivitas-aktivitas mereka lebih penting dibanding tujuan-tujuan yang mereka pikirkan berarti mengabaikan mereka sebagai manusia yang mandiri.
Karena Nozick percaya bahwa hal yang paling penting dalam diri manusia adalah otonomi dan hak-hak mereka, argumen tentang kesetaraan tersebut dengan demikian bagi dia gagal.
Tentang Kebebasan: Berlin vs Charles Taylor kapan saya bisa berkata bahwa saya orang bebas" Jawaban atas pertanyaan sederhana ini bisa mengubah arah sejarah.
Kebebasan pada dasarnya dipahami dalam dua bentuk: negatif dan positif. Konsepsi kebebasan negatif mengacu pada suatu keadaan di mana kita bebas dari paksaan orang lain. Paksaan, misalnya dalam bentuk hukum, di sini hanya diperlukan untuk mencegah tindakan seseorang yang merugikan orang lain.
Konsepsi kebebasan positif merujuk pada suatu keadaan di mana kita bebas untuk menata kehidupan kita, bebas untuk berpartisipasi dalam suatu proses yang akan mengontrol hidup kita. Di sini seorang manusia bebas dianggap sebagai seorang manusia yang dapat melakukan hal-hal yang dianggap bernilai untuk dilakukan.
Sekilas, dua konsepsi kebebasan ini tampaknya tidak jauh berbeda dalam hal konsekuensi-konsekuensi praktisnya.
Menurut saya, sampai tingkat tertentu keduanya memang tidak bisa dipisahkan. Namun pada dasarnya keduanya berbeda. Dan perbedaan ini bisa menghasilkan dua manusia berbeda yang melakukan dua jenis tindakan yang sepenuhnya bertentangan, keduanya atas nama kebebasan.
Dari sejarah pemikiran politik kita tahu bahwa dua konsepsi kebebasan ini bukan merupakan hal baru. Locke, Hobbes, Constant, Mill, Bentham, Tocqueville adalah nama- nama besar yang seringkali dikaitkan dengan konsepsi kebebasan negatif; sementara Hegel, Marx, dan Rousseau dengan kebebasan positif.
Dalam esai pendek ini saya tidak akan mengulas argumen-argumen para pemikir besar dan klasik ini. Di sini saya akan mengkaji dua filsuf kontemporer yang pop
uler (Isaiah Berlin dan Charles Taylor), yang mewakili masing-masing konsepsi tersebut. Saya akan menjelaskan posisi keduanya. Pertama-tama harus saya katakan bahwa konsepsi kebebasan negatif lebih unggul, baik secara moral maupun intelektual. Saya lebih setuju dengan Sir Berlin. Karena itu, esai ini juga bertujuan mempertahankan konsepsi kebebasan negatif dari serangan-serangan yang dilancarkan oleh para pemikir seperti Taylor.
Saya lazimnya dianggap bebas sampai tingkat di mana tidak ada manusia atau kumpulan manusia yang ikut campur dengan aktivitas saya. Kebebasan politik dalam pengertian ini adalah suatu wilayah yang di dalamnya seseorang bisa bertindak tanpa dirintangi orang lain. Jika saya dihalangi orang lain untuk melakukan apa yang ingin saya lakukan, maka sampai tingkat tertentu saya tidak bebas; dan jika wilayah ini dipersempit oleh orang lain melebihi suatu batas minimum, maka saya dapat dianggap telah dikekang, atau mungkin diperbudak....
Kata-kata Isaiah Berlin ini adalah inti dari konsepsi kebebasannya. Kekangan, dalam konteks paragraf ini, bukan merupakan suatu istilah yang melingkupi setiap bentuk ketidakmampuan. Kekangan dan ketidakmampuan untuk melakukan hal-hal tertentu hendaknya tidak dicampuradukkan: "Jika saya mengatakan bahwa saya tidak mampu melompat di udara lebih dari 10 kaki, ...atau tidak mampu memahami halaman-halaman sulit buku Hegel, akan aneh untuk mengatakan bahwa saya sampai tingkat tersebut dikekang atau diperbudak."
Saya mungkin tidak mampu membeli roti, atau tamasya keliling dunia mengunjungi kota-kota yang indah, karena saya miskin, namun hal ini tidak niscaya berarti bahwa saya bukan manusia bebas. Hanya ketika saya yakin kemiskinan saya disebabkan oleh kenyataan bahwa "orang lain telah merancang suatu keadaan di mana saya, dan bukan orang lain, terhalangi untuk memiliki uang yang cukup...", maka saya dapat mengatakan bahwa saya adalah korban pengekangan, dan dengan demikian bukan manusia bebas. Di sini, menurut Berlin, teori-teori ekonomi memainkan suatu peran penting dalam menjelaskan tentang sebab-sebab kemiskinan tersebut.
Bebas berarti memiliki suatu wilayah kehidupan pribadi yang tidak dapat dicampurtangani oleh orang lain. "Semakin luas wilayah di mana saya tidak dicampurtangani, semakin luas kebebasan saya". Dengan kata lain, kebebasan mensyaratkan suatu wilayah minimum kebebasan pribadi yang samasekali tidak bisa dilanggar, "...karena jika hal itu dilanggar, seorang individu akan merasa ruang geraknya terlalu sempit bahkan untuk perkembangan minimum kemampuan-kemampuan alamiahnya yang memungkinkannya untuk mengejar, dan mencapai, berbagai macam tujuan yang dianggap manusia baik, benar atau sakral."
Hal ini berarti bahwa suatu pemisahan yang jelas harus diteguhkan antara wilayah kehidupan pribadi dan wilayah otoritas publik. Jika otoritas publik tersebut melanggar wilayah kehidupan pribadi, meski sedikit, maka hal itu akan dianggap sebagai suatu despotisme, suatu tirani. Agar kebebasan terjaga, pemisahan tersebut harus menjamin paling tidak suatu wilayah minimum kebebasan pribadi. Wilayah pribadi yang dilindungi ini merupakan suatu ruang di mana hakikat manusia dibiarkan berkembang.
Dalam memberikan pembenaran bagi konsepsi kebebasan negatif, Berlin sampai tingkat tertentu tampak mengulangi argumen-argumen Mill, meskipun bukan tanpa perbaikan-perbaikan. Seperti kita tahu, bagi Mill kebebasan merupakan suatu keharusan jika kita tidak ingin menjerumuskan seluruh masyarakat ke dalam lembah mediokritas kolektif. Kebebasan adalah syarat bagi kreativitas. Jika kita tidak membiarkan manusia hidup seperti yang mereka inginkan, kebenaran tidak akan terkuak karena tidak ada pasar bebas gagasan. Tanpa kebebasan pribadi, hal-hal baik dari kehidupan seperti kreativitas, spontanitas, energi moral, dan orisinalitas mandek: tanpa semua ini peradaban tidak bisa maju.
Bagi Berlin, alasan utilitarian ini hanya tak terbantahkan dalam pengertian bahwa jika "dogma menghancurkan semua pemikiran", tak seorang pun "akan mengatakan bahwa kebenaran atau kebebasan berekspresi bis
a berkembang". Namun, persoalannya, sejarah memperlihatkan bahwa kualitas-kualitas manusia yang sangat dihargai oleh Mill-yakni kreativitas, cinta kebenaran, integritas-tumbuh dengan sama suburnya dalam komunitas-komunitas yang sangat terdisiplinkan (misalnya kaum Puritan Kalvinis di Skotlandia atau New England, atau dalam disiplin militer), sebagaimana dalam masyarakat-masyarakat yang lebih toleran atau lebih bebas. Dengan kata lain, meskipun argumen utilitarian Mill secara prinsip terdengar mulia, argumen tersebut secara empiris kurang meyakinkan.
Karena itu, diperlukan suatu pembenaran lain yang lebih kuat. Dan di sini Berlin kembali pada argumen Mill yang lain (dan, sampai tingkat tertentu, juga Tocqueville). Bagi Berlin, alasan terkuat untuk menerima gagasan tentang kebebasan negatif adalah bahwa gagasan ini, jika dipraktikkan, dapat menghindari kejahatan politik terbesar: tirani. Sekalipun rezim politik tersebut tidak demokratis (misalnya monarki), asalkan batas-batas wilayah pribadi tidak dilanggar-sehingga wargane-gara masih bisa berbicara dan bertindak tanpa campur-tangan dari otoritas-masyarakat tak terancam oleh tirani.
Sebaliknya, bagi Berlin, konsepsi kebebasan positif sangat rentan terhadap godaan-godaan tiranik atau totalitarian. Kebebasan ini mendasarkan konsepsinya pada suatu bentuk kehidupan atau nilai-nilai hidup yang lebih tinggi sebagaimana yang didefinisikan oleh aktor-aktor politik atau intelektual. Be -gitu bentuk-bentuk kehidupan yang lebih tinggi ini didefinisikan, siapapun dapat dihancurkan, dan rezim totalitarian diteguhkan, atas nama kebebasan.
Nanti, setelah saya menjelaskan kritik Charles Taylor terhadap konsepsi kebebasan negatif tersebut, saya akan menjabarkan lebih jauh pembelaan kebebasan Berlinian ini.
*** Manusia bisa dipaksa untuk menjadi bebas. Diktum Rousseauian ini adalah inti pembelaan Charles Taylor terhadap kebebasan positif. Terdapat tujuan-tujuan manusia yang lebih tinggi: jika kita tidak mewujudkan tujuan-tujuan (atau nilai-nilai) ini, kita tidak bebas, betapapun besar wilayah kebebasan pribadi yang kita punyai. Kebebasan untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan akhir kita samasekali bukan kebebasan. Kebebasan tanpa konsepsi tertentu tentang tujuan-tujuan (yang lebih tinggi) adalah mustahil.
Rintangan terhadap kebebasan bisa bersifat eksternal dan internal. "Kita bisa gagal untuk mencapai realisasi diri kita karena berbagai ketakutan, atau kesadaran palsu, serta karena kekangan eksternal." Bagi Taylor, apa yang salah dengan kebebasan negatif adalah penolakannya untuk mengakui peran rintangan-rintangan internal. Para filsuf kebebasan negatif, seperti Hobbes dan Bentham, samasekali keliru ketika mereka mengatakan bahwa kita bebas sejauh kita tidak mempunyai rintangan-rintangan eksternal yang menghalangi kehidupan pribadi kita.
Bagi Taylor, keuntungan serta kegagalan terbesar kebebasan negatif dapat ditemukan dalam kesederhanannya. "Kebebasan negatif memungkinkan kita untuk mengatakan bahwa kebebasan adalah mampu mengatakan apa yang Anda inginkan, di mana apa yang Anda inginkan dengan mudah dipahami sebagai apa yang bisa diidentifikasi orang tersebut sebagai hasrat-hasratnya." Keuntungannya: ia bisa memperkuat perjuangan kita menentang ancaman Totalitarian. Bahayanya: ia tidak bisa dipertahankan sebagai suatu pandangan tentang kebebasan, yang bisa menjadikan kita semata-mata mempertahankan Maginot Line. Terhadap dimensi terakhir kebebasan negatif inilah Taylor memusatkan serangannya.
Bagi Taylor, kebebasan negatif bersandar pada konsep kesempatan; sementara kebebasan positif bersandar pada konsep pelaksanaan. Yang pertama adalah suatu pandangan tentang tindakan manusia tanpa inti (apapun yang Anda lakukan, sejauh Anda tidak merugikan orang lain, dianggap sebagai cerminan dari kebebasan anda. Di sini nilai-nilai atau tujuan-tujuan tidak dibedakan). Yang kedua sangat terkait dengan pandangan realisasi-diri, yang membedakan nilai-nilai menurut kepentingan si agen. Mari kita lihat bagaimana Taylor menjelaskan pandangannya tent
ang poin ini: Kita tidak bisa mengatakan bahwa seseorang bebas, berdasarkan pandangan realisasi diri, jika ia sepenuhnya tak terejawantahkan, jika, misalnya, ia sepenuhnya tidak sadar akan potensinya, jika mewujudkan hal ini tidak pernah muncul sebagai suatu pertanyaan baginya, atau jika ia dilumpuhkan oleh ketakutan akan melanggar norma-norma yang telah ia internalisasi namun tidak benar-benar mencerminkan dirinya.
Jika kita menerima gagasan kebebasan Taylorian ini, maka kita secara logis akan menerima pandangan bahwa mampu melakukan apa yang kita inginkan bukan merupakan suatu syarat yang memadai untuk menjadi bebas. Untuk menjadi bebas kita harus tahu tujuan yang kita kejar, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan palsu.
Bagaimana jika kita gagal mengetahui keinginan kita yang "sejati"" Apakah dibenarkan jika seseorang (misalnya saja seorang pemimpin partai), dengan menggunakan otoritas publik, memaksa kita untuk menerima suatu bentuk keinginan tertentu sebagai keinginan sejati kita" Dalam hal ini Taylor kurang jelas. Ia setuju bahwa pada akhirnya si individu sendiri yang akan memutuskan. Namun ia semakin kurang jelas saat mengatakan, "Sang subyek itu sendiri tidak bisa menjadi otoritas terakhir menyangkut pertanyaan apakah ia bebas; karena ia tidak bisa menjadi otoritas terakhir menyangkut persoalan apakah keinginan-keinginannya adalah otentik, apakah keinginan-keinginannya tersebut merintangi atau tidak merintangi tujuannya."
Jadi, jika sang subyek itu sendiri bukan merupakan seseorang yang memutuskan apa keinginannya yang sejati, lalu siapa" Kaum intelektual" Kaum birokrat" Para pemimpin partai" Dan bagaimana mereka akan tahu" Melalui pengetahuan abstrak dan teoretis" Melalui formulasi empiris" Bukankah di sini kita sudah hampir melanggar garis batas totalitarian atau despotik, karena begitu kita menerima gagasan bahwa seorang individu pada dasarnya tidak mampu mengetahui apa yang mereka inginkan, maka kesempatan bagi seseorang yang kuat dan memiliki kekuasaan besar-serta pengetahuan tentang "tujuan-tujuan sejati"-akan terbuka lebar"
Sekali lagi, di sini Taylor kurang jelas dalam menjelaskan poin-poinnya. Ia tampak menghindari persoalan-persoalan sulit ini. Para filsuf yang mendukung kebebasan negatif tidak harus menjelaskan konsepsi tentang nilai-nilai yang lebih tinggi, atau bagaimana nilai-nilai ini harus diputuskan atau diwujudkan.
Nilai-nilai yang lebih tinggi kurang menjadi sorotan dalam skema mereka tentang hal-ihwal. Persoalan tentang nilai harus diserahkan sepenuhnya pada si individu itu sendiri. Sebaliknya, para filsuf yang membela kebebasan positif, karena mereka mendasarkan gagasan mereka pada tujuan-tujuan yang lebih tinggi, atau pada realisasi-diri "sejati", harus menjelaskan apa nilai-nilai yang lebih tinggi tersebut, secara teoretis maupun dalam perwujudan praktisnya. Jika mereka gagal melakukan hal itu, mereka sangat mungkin dituduh hanya memberi pernyataan, bukan argumen.
*** Sebelum kita mengkaji argumen-argumen Berlin terhadap serangan-serangan Taylorian seperti di atas, penting untuk melihat bahwa para filsuf yang mendukung kebebasan negatif tidak menyangkal bahwa terdapat hal-hal baik yang mungkin diwujudkan dalam masyarakat modern dengan berdasarkan pada gagasan positif tentang kebebasan. Gagasan ini merupakan inti dari berbagai tuntutan akan kedaulatan nasional dan pembentukan negara kesejahteraan. "[Tidak] mengakui hal ini," demikian Berlin mengingatkan kita, "berarti tidak memahami kenyataan-kenyataan dan gagasan-gagasan yang paling vital di zaman kita."
Namun, apa yang ditentang oleh para filsuf kebebasan tersebut adalah ekstremisme, reduksionisme berlebihan dalam memahami tindakan dan kebebasan manusia, atas nama realisasi-diri, nilai-nilai yang lebih tinggi, atau apapun. Bagi mereka, ekstremisme ini bisa menjadi dasar filosofis kekuasaan yang despotik.
Nah, untuk memahami bagaimana para pemikir kebebasan negatif mengkritik gagasan positif tentang kebebasan, poin yang akan ditekankan dengan kuat adalah tentang kompleksitas tindakan manusia dalam kaita
nnya dengan kebebasan. Dalam kehidupan kita, kita melakukan begitu banyak tindakan, baik yang besar maupun kecil-mulai dari memberikan suara dalam pemilu dan memilih sekolahan, hingga membaca puisi dan majalah playboy. Tak banyak orang yang dapat membuat tindakan mereka "utuh-padu". Sebagian besar dari kita, manusia biasa, adalah orang-orang yang tidak konsisten: kita suka membaca otobiografi Mahatma Gandhi dan War and Peace Tolstoy, dan pada saat yang bersamaan kita juga suka membeli mobil yang lebih bagus dan membeli sikat gigi elektronik. Dalam kehidupan kita, terdapat begitu banyak kombinasi "tindakan yang tidak koheren".
Lebih jauh, seperti yang dikemukakan Berlin, selain kompleksitas tindakan ini, manusia juga memiliki kompleksitas tujuan dan keinginan. "Tujuan-tujuan kita banyak," ungkap Berlin, "dan tidak semua tujuan tersebut pada dasarnya sesuai satu sama lain". Sebagian dari tujuan tersebut bahkan berbenturan satu sama lain. Dalam hal ini Kant benar ketika ia mengatakan bahwa "dari pohon kemanusiaan yang bengkok, tidak ada hal lurus yang muncul". Hal ini berarti bahwa dalam pengalaman sehari-hari, kita seringkali menghadapi berbagai pilihan di antara berbagai tujuan yang sama-sama penting, atau pandangan-pandangan yang sama-sama benar, dan pewujudan tujuan-tujuan tersebut, meminjam ungkapan Berlin, "niscaya harus mengorbankan tujuan-tujuan yang lain".
Karena berbagai kompleksitas inilah para filsuf kebebasan negatif menekankan makna terpenting kebebasan untuk memilih atau kebebasan pribadi dalam membuat keputusan menyangkut hasrat dan tindakan kita. Menurut Berlin, jika kita tidak menegaskan pentingnya kebebasan untuk memilih, kita akan cenderung percaya bahwa "sebuah formula tunggal tertentu pada dasarnya dapat ditemukan, dan dengannya berbagai macam tujuan manusia dapat diwujudkan secara harmonis". Keyakinan ini jelas salah-dan karena itu gagasan tentang kebebasan negatif sulit ditolak sebagai filsafat kebebasan.
"Bukankah kebebasan untuk melakukan kejahatan suatu kebebasan" Jika tidak, lalu apa"" Kata-kata Bentham ini memperlihatkan kepada kita kenyataan bahwa para filsuf kebebasan negatif tidak menyangkal bahwa seseorang mungkin membuat suatu pilihan yang salah: bukannya memasukkan anak-anaknya ke universitas-universitas terbaik, ia malah menghabiskan uangnya untuk membeli barang-barang "remeh" (mobil yang lebih bagus, jas-jas yang mahal).
Bagi para filsuf ini, persoalan tersebut bukan persoalan kebebasan. Kebebasan hanya mungkin jika kita juga bebas untuk berbuat salah. Kita hendaknya tidak memberikan orang-orang biasa tersebut kebebasan jika kita tidak ingin mereka membuat beberapa keputusan yang salah. Mereka memang membuat keputusan-keputusan yang salah, atau mencampuradukkan keinginan-keinginan; meskipun demikian, mereka adalah orang bebas sejauh mereka tidak dipaksa orang lain untuk melakukan hal itu.
Bagaimana Taylor dan "para filsuf positif" yang lain mendamaikan fakta kompleksitas tujuan dan tindakan tersebut dengan gagasan tentang nilai-nilai yang lebih tinggi dan realisasi diri" Pertanyaan sederhana ini sangat susah mereka jawab dan dengan demikian memperlihatkan kelemahan mereka. Seperti telah kita lihat, bagi Berlin dan para filsuf kebebasan negatif yang lain, kenyataan tentang berbagai kompleksitas dan kebebasan tersebut pada dasarnya terdamaikan dalam gagasan tentang kebebasan untuk memilih: apapun kombinasi tujuan dan tindakan yang kita lakukan, kita dianggap sebagai orang bebas sejauh kita melakukan hal itu tanpa paksaan orang lain. Bagi Taylor, persoalan tersebut jauh lebih problematis, sampai tingkat di mana hampir tidak ada posisi yang cerdas yang bisa diambil.
Ambil contoh tentang seseorang yang memiliki dua keinginan. Kita anggap saja bahwa satu dari keinginan-keinginan ini baik bagi realisasi dirinya, sementara yang lain tidak. Taylor, secara logis, jelas akan mengatakan bahwa orang ini hanya setengah bebas. Sekali lagi, mari kita anggap bahwa gagasan tentang setengah bebas ini masih masuk akal. Namun bagaimana jika seseorang memiliki enam keinginan (harus kita inga
Memanah Burung Rajawali 17 Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung Bentrok Rimba Persilatan 21