Dari Langit 1
Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng Bagian 1
Dari Langit Rizal Mallarangeng Kumpulan Esai tentang Manusia, Masyarakat, dan Kekuasaan
Pengantar Goenawan Mohamad Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
bekerjasama dengan Freedom Institute
Membaca Rizal Mallarangeng:
Sebuah Pengantar Oleh Goenawan Mohamad saya tak tahu, mana yang lebih baik: Rizal Mallarangeng sebagai peserta aktif dalam arena politik, atau ia tetap jadi seorang ilmuwan dan sekaligus "public intellectual" seperti selama ini.
Yang pasti, tulisannya tentang pelbagai persoalan politik di Indonesia, yang dihimpun dalam buku ini, menunjukkan kualitas yang langka di antara mereka yang mengisi kolom-kolom koran dan majalah sejak dua dasawarsa terakhir: paparannya terang, tapi tak pernah simplistis, argumennya bergairah, tapi tak pernah meremehkan pandangan yang berlawanan. Ia dapat menggabungkan pengetahuan teori yang luas dan da-lam-yang tak saya lihat pada ilmuwan politik lain-dengan rasa terlibat dalam soal-soal yang aktual di sekitarnya.
Dan yang juga tak dapat diabaikan: Rizal tidak takut untuk mengutarakan pendiriannya yang-dalam kategori kalangan intelektual Indonesia-dianggap "kanan". Kritiknya terhadap tesis-tesis Marxisme (dari "Nabi yang Gagal" sampai dengan bahasannya tentang teori Peter Berger), pembelaannya kepada pemikiran "pluralis" terhadap kritik Gaventa, dukungannya kepada pemikiran Nozick, dan enthusiasmenya kepada Isaiah Berlin yang lebih ketimbang kepada Charles Taylor, meletakkannya di dalam garis "liberal".
Kata "liberal" memang bisa membingungkan; di dalam leksikon politik Amerika ia berarti lawan dari "konservatif" dan tak jarang dikaitkan dengan pengertian "progresif". Dalam The New Republic (Maret, 2007) Paul Starr, sosiolog Princeton University, merumuskan "liberalisme" dengan mengatakan bahwa kaum liberal "mendukung peran negara yang lebih luas dalam urusan sosial dan ekonomi". Di dalam kancah politik Inggris dan Eropa, "liberal" berarti bukan "kiri", bukan misalnya komunis atau sosial-demokrat. Di Indonesia, sejak Bung Karno mengutuk "demokrasi liberal" dalam rangkaian kampanye "demokrasi terpimpin" dan "sosialisme", kata "liberal" punya konotasi yang buruk, dikaitkan dengan sikap pro-"Barat".
Jika Rizal Mallarangeng dikatakan "liberal", itu mungkin karena ia mendukung kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, dan kebebasan memilih kepercayaan. Ia juga mendukung perluasan pasar bebas, kebebasan peradilan dari campur-tangan kekuasaan lain, dan tentu saja jadi penganjur "demokrasi liberal", yang tak lain: demokrasi dengan pemilihan terbuka dan adil, yang tersedia bagi semua warganegara yang dianggap setara di depan hukum.
Dengan kata lain: cita-cita pokok Reformasi menjelang dan sejak 1998, tahun runtuhnya "Orde Baru".
Saya belum diyakinkan apakah dewasa ini di Indonesia telah tumbuh ide-ide alternatif bagi cita-cita pokok itu. Yang umumnya paling terdengar adalah semangat yang menentang pasar bebas, apalagi "globalisasi" dan yang disebut sebagai "neoliberalisme". Sekarang oposisi ini satu-satunya argumen yang paling berpengaruh yang melantunkan semangat "kiri", setelah "kiri" yang terdahulu jadi menciut karena gagalnya eksperimen sosialisme di pelbagai negeri.
Semangat "kiri" ini bagi saya merupakan ekspresi terkuat kembalinya "the ethical" ke dalam "the political". Dengan itu, beberapa hal buruk yang tampak dewasa ini disoroti dan diserang: ketimpangan sosial, rusaknya lingkungan karena modal dibiarkan merajalela, dan bercabulnya komodifikasi kehidupan.
Tapi harus diakui, semangat "kiri" ini punya problem ketika harus menguraikan sejauh mana peran "Negara" dalam mengatasi hal-hal buruk itu. Terutama di Indonesia. Inilah republik yang pernah mengalami ambruknya perekonomian karena percobaan "sosialisme Indonesia" pada 1958-1965. Sejak itu birokrasi sangat berkuasa, tercermin dari banyaknya perizinan dalam hidup ekonomi dan sosial. Sejak itu-sejak "ekonomi terpimpin" meletakkan jenderal dan pejabat untuk memegang bisnis perkebunan, pertambangan, transportasi, dan lain-lain- meruyak korupsi. Hingga hari ini.
Menghadap i kondisi itu, pemikiran yang menentang "pasar bebas" tak banyak berbicara untuk menguraikan posisinya. Persoalan klasik belum terjawab: bagaimana menghadapi "modal besar" tanpa menggunakan tangan birokrasi yang besar" Di tengah kekosongan jawaban itulah Rizal Mallarangeng sangat fasih dalam menghadapi semangat yang disebutnya "populis" itu-sebuah "populisme" yang bersuara keras tapi akhirnya terasa gagap.
Persoalan yang bisa timbul dari situasi polemis-yang tampak merangsang dan menghidupkan pelbagai tulisan dalam buku ini-ialah menajamnya sebuah pendirian. Sebuah argumen bisa jadi seperti pisau bedah: tajam, menyempit, tegar. Pada saat yang terbaik, argumen Rizal sulit ditangkis; pada saat yang terburuk, ia jadi kurang kritis terhadap kesimpulan-kesimpulannya sendiri. Saya, misalnya, melihat bahwa pandangannya tentang pemerintahan George W. Bush keliru. Bush, yang bagi Rizal "wakil yang hampir sempurna arus realisme dalam politik", tak lebih daripada boneka desain "The New American Century" yang berangkat dari ilusi besar tentang kekuatan Amerika di abad ini. Kekuatan militer Amerika memang tak tertandingi, tapi kekuatan itu tak bisa menyelesaikan tujuan-tujuan penting, bahkan bisa kontraproduktif: terorisme yang diperanginya mendapatkan angin dari perasaan anti-Amerika yang meluas sejak Perang Irak yang bermula dari alasan yang salah dan palsu. "Bush tentu tidak mungkin menghindar sepenuhnya dari tuntutan agar kebijakan luar negeri pemerintahannya juga mencerminkan sentiman moral rakyat AS yang sangat memuja demokrasi dan hak-hak asasi," tulis Rizal. Tapi Bush ternyata bisa terus bekerja dengan reputasi yang tercela justru dalam soal hak asasi: Guantanamo, penghalalan penyiksaan tahanan. Demokrasi Amerika mengagumkan-tapi juga bisa jadi saluran paranoia setelah "11/9", atau "patriotisme" yang naif dan berpikiran sempit dan dengan mudah siap mengagungkan peperangan. Tak mengherankan bila sejarawan Tony Judt menulis dalam The New York Review of Books (1 Mei 2008): "Amerika Serikat kini satu-satunya demokrasi yang telah lanjut di mana tokoh-tokoh publik mengagungkan dan menjunjung tinggi militer, sebuah perasaan yang dikenal di Eropa sebelum 1945 tapi tak terasa lagi sekarang."
Tapi harus saya katakan segera: kekeliruan analisis seperti tentang pemerintahan Bush itu-yang ditulis sebagai polemik cepat-bukan cerminan dari tulisan-tulisan Rizal umumnya. Tak boleh dilupakan: sumbangan Rizal terpenting adalah dalam mengubah pemikiran dan penulisan politik yang dominan di Indonesia. Rizal menunjukkan dengan efektif bahwa analisis politik bukanlah serangkaian petuah tentang "apa yang sebaiknya", melainkan tentang apa yang tidak.
Ketika demokrasi liberal dirundung apa yang disebut Simon Critchley dalam Infinitely Demanding (Verso, 2008) sebagai "motivational deficit", kembalinya "the ethical" ke dalam "the political" memang perlu. Dalam tulisan-tulisannya, Rizal tidak mencoba membantu pencarian ke arah itu. Tapi itu memang bukan tugas dan panggilannya sebagai seorang ilmuwan politik-meskipun ia ilmuwan dan sekaligus komentator politik terbaik yang kita punyai selama ini.
Pengantar Penulis Setangkai Anggur, I Can Do No Other akhirnya terbit juga. Sudah cukup lama sebenarnya kumpulan tulisan ini disiapkan dan beberapa sahabat dekat saya di Freedom Institute, terutama Nirwan Dewanto dan Zaim Rofiqi, sudah membaca naskahnya berulangkali. Zaim bahkan telah menerjemahkan dengan baik beberapa paper saya dalam bahasa Inggris yang saya tulis di Columbus, Ohio. Tapi entah kenapa, saya cukup lama terombang-ambing antara ya dan tidak. Barulah setelah mereka meyakinkan beberapa kali, akhirnya saya setuju.
Malahan, setelah melihat kumpulan tulisan ini dirangkai menjadi satu draf buku, dibagi dalam topik yang tersusun rapi, saya jadi agak terkejut bercampur senang. Ternyata, dalam rentang waktu 1993-2008, saya telah menulis cukup banyak tentang beragam isu, mulai dari filsafat politik, demokratisasi, globalisasi, kebudayaan, ekonomi, politik internasional, hingga tokoh-tokoh politik dan sejarah. Keragaman isu dan top
ik yang ada di sini barangkali mencerminkan kelemahan saya yang cenderung tidak terlalu sabar untuk berlama-lama mempelajari hanya satu atau dua topik saja. Saya senang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, membaca buku politik minggu ini, dan minggu depan sudah memegang buku lain lagi mengenai sejarah ekonomi.
Yang juga membesarkan hati saya adalah bahwa, di samping keragaman dan cakupannya yang cukup luas, kumpulan tulisan ini ternyata tidak tercerai-berai, melainkan disatukan oleh beberapa ide dasar, suatu cara pandang tertentu terhadap dunia dan kompleksitas permasalahan di dalamnya. George F. Will pernah berkata bahwa ide-ide datang pada kita seperti buah anggur, berkelompok dan berderetan dalam tangkai yang sama. Kalau harus menggunakan terminologi, maka mungkin bisa dikatakan bahwa tangkai anggur saya adalah gagasan liberal, dalam pengertian klasik, suatu gugusan ide yang didasarkan pada kepercayaan besar terhadap kebebasan manusia. Barangkali, tanpa sepenuhnya sadar, gagasan inilah-yang tumbuh di Eropa pada abad ke-18, terutama di Inggris dan Skotlandia- yang selalu mewarnai cara pandang saya terhadap dunia di sekitar saya.
Saya cukup senang, karena dengan begitu sebagai penulis saya bukan lagi tanpa alamat. "A writer," seingat saya kolomnis Thomas L. Friedman pernah setengah meledek, "is an observer with attitude." Seperti setiap penulis lainnya, saya percaya bahwa ide-ide saya mewakili kebenaran, setidaknya untuk sementara waktu. Tapi kalau toh ternyata saya keliru, atau mungkin terlalu kaku dan sempit dalam memandang beberapa hal, setidaknya saya telah berusaha menawarkan sesuatu.
Karena itu, kalau boleh meminjam Martin Luther, saya ingin berkata, "Ich kann nicht anders. Gott helfe mir. Amen." ["Here I stand. I can do no other. So help me God. Amen."] Kini saya serahkan kepada sidang pembaca untuk menilai apakah setangkai anggur yang saya tawarkan lewat buku ini cukup bermanfaat dalam upaya pencarian pengertian yang lebih baik tentang hal-hal penting dalam kehidupan ini.
*** Saya masih harus membuka-buka catatan pribadi untuk mengerti dengan persis kapan dan bagaimana ide-ide dasar yang ada dalam kumpulan tulisan ini mulai membentuk kerangka berpikir saya. Pada mulanya barangkali adalah sifat dan kepribadian. Beberapa kawan sering memperingatkan saya dengan setengah frustrasi bahwa saya terlalu optimistis dalam melihat manusia dan kehidupan. Saya tidak tahu, tapi harus saya akui bahwa saya memang senang dan gampang tertarik dengan hal-hal yang membangkitkan semangat, pandangan yang terbuka dan melihat sisi yang baik dari kehidupan ini, yang melihat kelemahan manusia sebagai sisi lain dari kekuatannya, yang melihat proses perjalanan waktu sebagai suatu kecenderungan progresif justru karena manusia selalu berusaha, bekerja, berpikir, menghindari kelemahannya sambil mendorong kelebihannya, dan seterusnya dan seterusnya.
Apakah hal itu adalah hasil belajar, akumulasi pengalaman hidup, atau datang begitu saja, suatu kenyataan internal yang berada di luar kontrol saya" Terus-terang, saya tidak tahu. Tapi saya menduga, hal itulah barangkali yang menyebabkan saya gampang tertarik pada gagasan liberal sewaktu mulai mendalami teori-teori sosial semasa mahasiswa di UGM sekian tahun silam. Setelah melewati tahun-tahun pertama dan terpukau pada pemikiran sosialis, teori ketergantungan, hingga ke Jalan Hidup Mahatma Gandhi, saya seolah mendapat pencerahan dan pelan-pelan mulai menyadari kelemahan ide-ide yang saya pelajari. Saya mencari penggantinya, dan tanpa mengalami banyak kesulitan, bertemu dan masuk semakin dalam ke jantung tradisi pemikiran liberal klasik.
Saya merasa bahwa ide-ide ini bukan saja lebih benar, lebih mampu membawa manusia ke cita-cita yang ideal, seperti kesejahteraan, perdamaian, kemajuan, melainkan juga karena ia lebih kena di hati saya. Ada skeptisisme, tetapi ada juga optimisme. Ada romantisme, tetapi tidak kurang juga realisme dan sikap yang realistik dalam memandang manusia dan masyarakat. Singkatnya: suatu pandangan dunia yang ingin mendorong kemajuan, tetapi denga
n tetap berpijak di bumi, dengan menyadari kelemahan dan kelebihan manusia sebagai manusia; suatu pandangan yang menyadari bahwa masyarakat yang lebih baik hanya mungkin dibangun justru dengan menyerap dan memberi saluran pada kelemahan dan kelebihan tersebut, pada kecemasan dan harapan mereka, bukan dengan mematikan atau menafikan salah satunya.
Setelah periode awal di Yogya, sambil melanjutkan studi di AS saya berusaha semakin mendalami ide-ide tersebut, sambil terus berupaya memahami alternatif dan penentang-penen-tangnya. Pastilah usaha seperti ini tidak akan pernah bertemu ujungnya. Kalau bisa memutar kembali jarum jam, saya sebenarnya ingin mempelajari lebih banyak lagi. Kegelisahan tidak pernah berhenti. Pertanyaan tidak pernah selesai. Walau demikian, sejauh ini saya sudah merasa sanggup berdamai dengan diri sendiri. Dengan segala kelemahan yang ada, saya merasakan kepuasan tersendiri telah mencoba mengeksplorasi suatu gagasan, berikut jalinan ide-ide turunannya, dengan keterlibatan emosional yang cukup intens, dengan perasaan bahwa saya berdiri on the right side of history.
*** "On the right side of history"" sebagian orang mungkin bertanya, bukan tanpa alasan yang jelas. Bukankah akhir-akhir ini, dengan bangkrutnya Lehman Brothers dan rontoknya raksasa-raksasa di Wall Street, dengan krisis global saat ini, yang mengingatkan banyak orang pada Depresi Besar di tahun 1930-an, kapitalisme dan liberalisme sudah gagal" Moskwa 1989 dan Wall Street 2008: tidakkah keduanya menjadi bukti gagalnya dua sistem besar, terkuburnya dua 'isme' modern yang saling bersaing"
Karena masih berada di tengah pusarannya, agak terlalu dini untuk saat ini menjelaskan akhir prahara finansial 2008. Dan tentu saja dengan terjadinya peristiwa ekonomi yang dahsyat ini-mungkin ia bisa disebut sebagai krisis globalisasi pertama di abad ke-21-akal sehat menuntut kita untuk bertanya dan menimbang-nimbang, kalau perlu dengan menggali kembali asumsi-asumsi dasar yang ada. Dan kalau kita membaca komentar dan tulisan-tulisan para pemikir di berbagai media populer dalam minggu-minggu belakangan ini, hal itu memang sudah mulai dilakukan. Paul Krugman, George Soros, Alan Greenspan, Francis Fukuyama, Fareed Zakaria adalah beberapa penulis dan pemikir, belum lagi para editor dan wartawan, yang sudah mencoba melakukannya dengan versi mereka masing-masing.
Tapi perdebatan di antara mereka bukanlah tentang kapitalisme vs sosialisme, atau kapitalisme vs sistem lainnya. Perdebatan mereka adalah pengulangan kembali dalam bentuk baru perdebatan Keynes vs Hayek di tahun 1930-an yang mencari jalan keluar dan sebab-musabab terjadinya Depresi Besar. Ia adalah serangkaian perdebatan intramural: bagaimana meningkatkan dan menyesuaikan sistem kapitalisme dengan konteks zamannya.
Kalau kita lihat fakta-faktanya, krisis global 2008 adalah kombinasi dari beberapa faktor pemicu. Pertama, meletusnya bubble pada sektor perumahan di AS; kedua, terlalu lamanya kebijakan easy money The Fed di bawah Alan Greenspan; dan ketiga, terjadinya peningkatan inovasi instrumen finansial terutama dalam satu dekade terakhir, seperti collateralized debt swap dan berbagai derivatives lainnya. Faktor-faktor ini berlangsung dalam konteks globalisasi yang semakin intensif, yang berarti bahwa begitu banyak kalangan dari berbagai belahan dunia yang juga turut terlibat secara serempak, langsung atau tidak, dalam jalinan satu atau dua faktor tersebut.
Selain itu, dari segi mood para pelaku bisnis dan tokoh-tokoh pemerintahan terutama di AS, tumbangnya komunisme pada akhir 1980-an barangkali memberi ruang yang terlalu luas pada euforia dan optimisme, yang terus berlanjut. Let's dance the night and stop the coming of the morning sun. Akibatnya adalah kehatian-hatian dan prudence yang berkurang, yang pada ujungnya adalah malapetaka.
Isu yang diperdebatkan sekarang adalah perlu tidaknya peran pemerintah diperbesar agar di masa-masa mendatang kesalahan yang sama tidak terulang kembali. Perlukah regulasi diperketat, pengendalian dan kontrol usaha swasta diperkuat"
Saya kira pend ulum memang sedang bergerak, walaupun masih tersisa pertanyaan besar: regulasi seperti apa, sejauh mana, peran pemerintah yang bagaimana" Apapun jawaban atas pertanyaan ini, ia pasti akan bersifat temporer, sebagaimana setelah Depresi Besar teori-teori Keynesian menjadi dominan, lalu disusul oleh teori-teori Hayekian dan Friedmanian.
Justru di situlah salah satu kekuatan sistem kapitalisme. Dari satu krisis ke krisis lainnya ia menyerap pembaruan, perubahan, penyesuaian dengan kondisi kontemporer, sambil terus memperbesar kemungkinan bagi banyak orang untuk meraih kecukupan material. Semua ini terjadi tanpa menghilangkan elemen-elemen dasar yang menopangnya sebagai suatu sistem, yaitu kebebasan dalam memilih, kebebasan untuk berusaha, kebebasan untuk mengambil risiko, serta penghargaan terhadap hak-hak dasar pemilikan.
Jadi, walaupun bandul pemikiran tentang hal-hal tertentu dalam pengelolaan kehidupan bersama sedang bergeser, dalam hal ini isu-isu ekonomi yang spesifik, saya masih belum terlalu yakin bahwa tenda besar pemikiran liberal klasik sedang goyah. Malah mungkin sebaliknya. Dengan semakin meningkatnya infrastruktur pendidikan di berbagai belahan dunia, dengan demokratisasi yang terus terjadi, walaupun dengan pasang dan surut, dengan semakin banyaknya informasi dan pilihan yang tersedia bagi semakin banyak individu: semua ini semakin memungkinkan kita untuk memikirkan, merumuskan dengan lebih baik, serta membela ide-ide kebebasan dalam berbagai aspeknya.
*** Dengan menjelaskan semua itu, saya tidak mengatakan bahwa pemikiran liberal tidak memiliki ketegangan di dalam dirinya sendiri. Ia bukanlah suatu kerangka berpikir yang memiliki jawaban yang selesai terhadap semua soal. Dari kerangka berpikir yang pada dasarnya sama, di AS misalnya, bisa tercipta dua kubu atau partai politik yang memiliki program dan basis pendukung berbeda, yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik. Kalau kita menghilangkan ekstremisme di ujung kiri dan kanan dalam kedua partai ini, maka yang terlihat adalah persamaan dalam perbedaan, unity in diversity, baik dalam program ekonomi maupun dalam banyak soal lainnya. Perbedaan yang ada hanyalah soal degree, bukan kind, soal sekian persen tambahan atau pengurangan pajak penghasilan, bukan pada ide bahwa ekonomi pasarlah yang paling mungkin membawa kesejahteraan dan memperluas kemungkinan bagi kemajuan masyarakat.
Di berbagai negeri lain, hal yang sama juga terjadi walaupun dalam konteks dan ekspresi politik yang berbeda-beda. Beberapa tulisan dalam buku ini akan memperlihatkan bahwa beberapa isu, seperti hakikat dan peran negara yang optimal, sikap terhadap separatisme, posisi individu dan masyarakat yang pas dalam kenyataan yang terus berubah, posisi dan cakupan hak-hak asasi manusia, tipe ideal sistem pemerintahan yang demokratis, dan semacamnya, dapat disikapi secara berbeda oleh orang-orang yang pada dasarnya setuju terhadap asumsi dasar tentang hak dan kebebasan manusia.
Sejarah dengan huruf kapital memang mungkin telah berakhir. Namun sejarah dengan huruf kecil terus berlangsung setiap hari di sekeliling kita. Dan kalau sudah begitu, maka menurut saya, kita harus mengingat kembali apa yang selalu disampaikan oleh Sir Isaiah Berlin dengan mengutip Kant: Out of the crooked timber of humanity, no straight thing was ever made.
Jadi menurut saya, selain memang ada koherensi gagasan, tenda besar pemikiran liberal membuka peluang bagi perbedaan, inovasi ide-ide, penyesuaian pemikiran universal dengan konteks lokal, dan semacamnya. Dalam hal ini konsistensi berjumpa dengan kearifan, teori bertemu dengan kekayaan pengalaman.
Karena itulah, tradisi pemikiran ini tidak pernah kering. Dan jika diterapkan sebagai suatu perspektif dalam melihat sejarah politik, pergulatan ide-ide dan aktor-aktor sejarah di dalamnya, serta dalam melihat dilema-dilema yang dihadapi dalam mengaplikasikan kekuasaan politik untuk mencapai tujuan-tujuan bersama, maka tradisi ini akan menjadi semakin kaya dan penuh warna.
*** Untuk konteks pemikiran di Indonesia, harus saya akui bahwa tradisi pemi
kiran demikian memang belum terlalu berkembang. Warisan tradisi intelektual kita lebih banyak bertumpu di aras sosialis, nasionalis, dan religius. Apa yang diungkapkan oleh Bung Karno sebagai suatu penciptaan tenda politik besar dari penggabungan ketiganya-nasionalisme, sosialisme, agama-adalah suatu ekspresi yang tanpa sadar sebenarnya telah menggambarkan dengan baik genealogi pemikiran di negeri kita.
Bukanlah hal yang mudah untuk merintis jalan baru. Ke-rapkali, salah pengertian dan kecurigaan lebih sering terjadi, bahkan di tingkat istilah atau terminologi. Tapi syukurlah, konteks besar Indonesia juga telah berubah, dan sekarang sudah muncul cukup banyak pemikir muda yang mulai membuka diri dan juga merintis suatu tradisi pemikiran baru.
Kepada mereka semua, mudah-mudahan buku ini dapat menjadi teman di perjalanan, sekadar pembanding untuk merumuskan ide-ide yang lebih baik lagi.
Akhirnya, yang tersisa adalah rasa syukur dan ungkapan terimakasih. Saya tidak mungkin menyebut satu persatu mereka yang telah membantu saya, langsung maupun tidak. Tetapi secara khusus saya ingin berterimakasih kepada Nirwan Dewanto, Zaim Rofiqi, Nong Darol Mahmada, Candra Gautama, Luthfi Assyaukanie, Sugianto Tandra, Saiful Mujani, Jeffrie Geovannie, Hamid Basyaib, Kuskridho Dodi Ambardi, Prof. Bill Liddle, Ulil Abshar-Abdalla, Ahmad Sahal, Nirwan Arsuka, Ayu Utami, Rustam F. Mandayun, M. Chatib Basri, M. Ikhsan, Raden Pardede, Lin Che Wei, Mahendra Siregar, Bayu Khrisnamurti, Amir Hakim Ekananda, Hidayaturohman, Agatha Dyah Sedah Asih. Mereka adalah sahabat-sahabat saya.
Saya pernah membaca beberapa laporan penelitian bahwa salah satu kunci kebahagiaan hidup adalah persahabatan yang akrab dan tulus. Saya tidak terlalu mengerti bagaimana mendefinisikan "kebahagiaan". Namun saya merasa bahwa hidup saya memang lebih kaya dan menyenangkan dengan adanya sahabat-sahabat yang membantu saya.
Secara khusus saya juga ingin berterimakasih kepada Andi A. Mallarangeng. Sebagai kakak, dia sangat menyenangkan. Dia mungkin tidak sepenuhnya mengerti betapa besar jasanya dalam perjalanan hidup saya. Sejak kecil hingga mahasiswa, bahkan hingga sekarang, dia bukan saja kakak dan teman sepermainan, melainkan juga seseorang yang menjadi sparring partner dalam begitu banyak perdebatan yang passionate tentang berbagai hal.
Selain itu, dalam beberapa percabangan jalan hidup di masa remaja saya, dia adalah titipan Tuhan, yang mengajak saya untuk menuju pada jalan yang benar.
I am a very lucky person because of him.
Kepada Dewi Tjakrawati, saya juga ingin menyampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya. Banyak tulisan dalam buku ini saya tulis hingga larut malam. Dan salah satu kepuasan terbesar saya adalah jika keesokan paginya, Dewi, setelah membaca naskah saya diam-diam, membangunkan saya sambil memberi komentar yang membesarkan hati.
Semoga terbitnya buku ini juga memberi kepuasan yang sama baginya.
Jakarta, 6 November 2008 BAB I Individualisme dan Utopia:
Tentang Filsafat Sosial, Politik, dan Ekonomi
Freedom: Sebuah Kerangka Umum sangat penting bagi kita membahas freedom dalam konteks Indonesia mutakhir. Arti dasar kata freedom adalah bebas. Dalam kebudayaan kita, bebas ini kadang dikonotasikan kurang tepat; diasosiasikan dengan cara hidup yang terlalu bebas, seks bebas, dan segala hal yang buruk. Ringkasnya: diidentikkan dengan liar. Jadi, kebebasan disamakan dengan keliaran.
Padahal free itu bermakna positif. Kebebasan mengandaikan makhluk yang secara alamiah memiliki kemampuan untuk berpikir, untuk merasa, dan untuk memilih bagi dirinya sendiri. Karena itu, kebebasan jika diterjemahkan sebagai sebuah sistem pengaturan masyarakat, berarti sistem yang percaya bahwa individu-individu yang ada dalam suatu masyarakat sesungguhnya bisa menggunakan kemampuan dan harkat mereka secara alamiah, serta mampu memilih bagi diri mereka sendiri.
Kadang memang ada kekhawatiran bahwa kalau orang dibiarkan bebas memilih, misalnya dalam konteks sebagai war-ganegara, maka orang akan memilih ke arah yang buruk. Tindakan m
emilih terkadang memang bisa keliru. Tetapi itu bagian dari proses pembelajaran untuk menjadi dewasa, untuk menjadi otonom. Seorang pemikir Jerman, Immanuel Kant, pernah menulis risalah tentang kebebasan dan emansipasi manusia. Kita, kata filsuf abad ke- 19 itu, harus percaya bahwa manusia mampu memilih, mampu tumbuh. Dalam proses itulah berlangsung pembelajaran.
Kalau sang manusia, sang individu, ingin dibuatkan pilihan terus-menerus oleh otoritas di luar dirinya, maka individu ter-sebut-dan ini bisa kita perluas menjadi masyarakat-tidak akan kunjung matang. Jadi situasinya adalah: kita buat sebuah sistem yang menjamin kebebasan agar individu-individu bebas memilih, dan dalam proses memilih terus-menerus dalam hidupnya itulah ia menjadi lebih matang, lebih otonom lebih dewasa.
Itu tidak perlu disalahpahami sebagai hal yang yang akan menjurus ke individualisme, sebagai sesuatu yang dilawankan dengan "budaya Timur", termasuk kita di Indonesia, yang biasanya mengecamnya karena individualisme dianggap akan akan menciptakan manusia dan masyarakat yang individualistis, yang tidak solider terhadap penderitaan sesama, dan sebagainya. Kita harus akui fakta keras bahwa setiap manusia punya kecenderungan untuk melihat dunia dengan kacamata yang dia miliki; untuk melihat kepentingan yang ada di sekitarnya lewat kepentingannya sendiri. Dan itu kenyataan alamiah. Manusia di mana pun selalu begitu. Tidak ada masyarakat yang mengerti di luar kacamata yang digunakannya. Karena itu individualisme bukanlah sebuah paham. Ia adalah sebuah kenyataan.
Saya sendiri tidak pernah mengkhawatirkannya. Yang saya cemaskan justru hal sebaliknya. Orang mengatasnamakan masyarakat, mengatasnamakan agama, untuk memaksakan kehendaknya pada orang lain. Saya baru baca koran bahwa di Padang, misalnya, siswi-siswi-yang beragama Islam maupun non-Islam-dipaksa untuk memakai jilbab. Ini bentuk pemaksaan kehendak yang paling kasar. Kalau hal itu diwajibkan di kalangan internal kaum muslimat, kita masih bisa berdebat.
Tapi kalau ketentuan itu juga dipaksakan terhadap warga non-Islam, ini betul-betul bentuk kolektivisme yang paling kasar. Itu merupakan otoritarianisme yang tidak menghargai individu, tidak menghargai kebebasan pilihan.
Mari kita lihat bagaimana kenyataan tentang individualisme itu berlangsung di Amerika Serikat, yang selama ini dianggap memunculkan sikap individualistik, yang tidak memerhatikan kepentingan dan derita manusia lainnya. Saya hidup di Amerika selama delapan tahun, dan saya segera melihat betapa tidak benarnya anggapan itu. Kehidupan berkeluarga, kehidupan berkelompok, selalu ada dalam masyarakat Amerika. Jadi, antara individu dan lingkungannya tidak mungkin dipisahkan. Yang menghubungkan mereka adalah paham atau pandangan tentang bagaimana sang individu dan lingkungannya berhubungan.
Di satu pihak, ada kecenderungan pada masyarakat yang lebih tradisional, yaitu ingin memaksakan apa yang disebut sebagai kepentingan kelompok atau kepentingan kolektif kepada individu. Kalau kita lihat dalam masyarakat yang non-de-mokratis, kepentingan kelompok hampir selalu berarti kepentingan segelintir orang yang bisa memaksakan kekuasaannya, baik dalam bidang kebudayaan, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Inilah yang sebenarnya menjadi masalah. Kalau kita mengatakan ada sebuah kepentingan bersama yang harus diutamakan atau diperjuangkan, bagaimana kita sampai pada perumusan kepentingan bersama itu, dan bagaimana kita mengharuskan individu untuk takluk"
Di Amerika atau masyarakat Barat umumnya, ada konstitusi yang memberikan garis batas yang jelas, di mana negara sebagai perwakilan kelompok bersama tidak boleh melampuai batas-batas tertentu. Hak-hak kebebasan berpendapat adalah hak individual yang tidak boleh diambil oleh negara dalam kondisi apapun, kecuali kondisi ekstrem.
Di negeri-negeri itu, apa yang disebut kemaslahatan umum dirumuskan melalui serangkaian prosedur tertentu. Jadi, tidak ada seorang pun yang bisa menyatakan bahwa "sayalah yang mewakili kepentingan umum". Itu harus diolah dalam suatu prosedur yang disebut pro
sedur demokratis, di mana ada parlemen, eksekutif, ada mahkamah agung yang memeriksa apakah prosedurnya sudah dilewati. Jadi, ada hukum, ada konstitusi yang memberi batasan apa yang disebut kepentingan bersama. Makanya dalam Konstitusi Amerika Serikat, misalnya, yang pertama kali dijelaskan adalah bahwa ada hak-hak individu yang tidak bisa diambil oleh siapapun, termasuk oleh pemerintah dan negara. Inilah yang disebut inalienable rights. Hak-hak yang tak dapat dilucuti itu mencakup hak untuk hidup, hak untuk mencari penghidupan, hak untuk bahagia; kemudian ada tambahan melalui amandemen: hak individu untuk berpendapat, untuk beragama, memilih agama masing-masing. Itulah hak yang paling dasar.
Secara implisit, konstitusi kita yang paling baru, setelah amandemen, pun sudah menjamin semua hak itu, meski ada beberapa masalah. Tetapi masalah kita yang lebih besar sekarang adalah konteks sosial dan kulturalnya, sedangkan aturan-aturan legalnya kita sudah punya.
*** Kritik yang lazim kita dengar bahwa semua konsep itu- individualisme, liberalisme, freedom-adalah berasal dari Barat, berakar dan berkembang di lahan Barat, dan dengan sendirinya tidak cocok bagi lahan Timur (Indonesia) yang penuh solidaritas, kekeluargaan, dan sebagainya, perlu diberi perspektif yang tepat. Kenyataannya, di Barat pun, sebelum lahirnya modernitas, situasinya sama dengan yang kita alami; kultur masayarakat mereka cenderung kolektivistik, bersifat gotong-royong, dan sebagainya. Tapi di Amerika dan di Eropa terjadi perkembangan, dan evolusi. Berkembangnya modernitas membawa pula perkembangan paham yang menganggap individu sebagai otonom, yang mampu memilih bagi dirinya.
Ini pun bahkan terjadi dalam rumahtangga kita. Semakin anak-anak saya tumbuh, semakin tampak karakter bahwa anak-anak ini membutuhkan ruang bagi dirinya sendiri-yang paling gampang adalah: mereka mulai minta kamar sendiri. Dengan kata lain, jika kemampuan ekonomi keluarga mendukung, secara alamiah anak-anak yang berangkat remaja mulai menuntut privasi. Ini berlangsung secara alamiah, tanpa diatur oleh siapapun. Begitu seorang anak melihat kemampuan-kemampuan alamiahnya mulai berkembang, dia sedikit-banyak meminta ruang bagi dirinya sendiri. Unit analisis dengan berbasis pada keluarga seperti yang saya ilustrasikan itu juga penting, sebab individualisme tidak berarti mempersetankan keluarga dan kelompok-kelompok yang lebih besar dari keluarga.
Individualisme adalah pengakuan bahwa individu adalah subyek yang mampu merasa dan mampu memilih bagi dirinya sendiri. Dia harus dibiarkan dalam proses belajar. Kalau kita tidak mengakui ini, kita terjebak adalam suatu situasi seperti yang lazim terjadi dalam masyarakat tradisional-sekadar menyebut contoh yang paling gampang dan jelas. Dalam masyarakat semacam itu individu selalu diberitahu bahwa suatu kepentingan tertentu adalah kepentingan adat atau kepentingan suku. Tapi siapa yang mendefinisikan kepentingan adat atau kepentingan suku itu"
Kalau ada seorang anggota masyarakat Bugis klasik sudah mau meninggalkan sarung, apa alasan kita untuk berkata bahwa dia tidak boleh lagi memakai jins karena hal itu bertentangan dengan tradisi masyarakat Bugis; bahwa adat harus dijaga" Kalau anak tidak lagi ingin kawin secara adat, tapi mau kawin secara modern supaya hak-haknya terjaga, baik dengan surat, dengan kontrak dan sebagainya, apa alasan terbaik untuk mengatakan kepadanya bahwa dia tidak bisa bertindak begitu, sebab adat kita tidak demikian" Ini sebenarnya dilema antar-pilihan. Kita bisa melihatnya secara gamblang pada kisah Siti Nurbaya dalam sastra kita. Siapa yang memilih buat sang individu: dirinya sendiri (Siti Nurbaya) atau otoritas di luar di-rinya-ayah, ibu, paman"
Di belakang skema itu ada sistem adat besar, ada prasangka, kecurigaan terhadap orang lain; barangkali juga ada paham yang keliru; ada paham yang pada suatu waktu bisa benar tapi dalam perubahan zaman tidak lagi benar. Pertanyaan pokoknya: boleh atau tidak Siti Nurbaya memilih buat dirinya sendiri, dalam hal ini memilih suami. Akhirnya soal pilihan ini meluas,
bukan hanya untuk memilih suami, tapi juga untuk memilih sekolah, untuk memilih cara hidup-untuk memilih macam-macam hal. Harus ada batas-batas bagi kita untuk berkata pada diri sendiri bahwa sesuatu itu merupakan hak individu untuk memilih; bahwa dia harus melakukan itu buat dirinya sendiri, agar dia tumbuh menjadi manusia yang semakin dewasa.
Maka kritik yang menampik semua itu dengan alasan bahwa ia berasal dari Barat, tidaklah sah. Zaman sekarang ini tidak lagi mengizinkan kita untuk memilah-milah Barat dan Timur. Kalau kita masih memakai argumen ini, berarti kita mundur ke perdebatan sebelum 1960-an dan 1970-an sampai jauh ke belakang. Bahwa kita masih bisa mempersoalkan konsep kebebasan secara filosofis, ya tentu saja. Setiap konsepsi pasti punya kelemahan. Tapi saya tidak melihat alternatif yang bisa kita terapkan sebagai dasar sistem sosial atau sistem politik, selain paham kebebasan. Jika kita gunakan sebagai sistem gagasan, kebebasan ini akan menjadi dasar bagi sebuah paham dan sebuah sistem yang kita sebut sistem liberal atau liberalisme.
Sebagai orang Indonesia, orang "Timur", saya sendiri tidak merasakan kompleks tertentu terhadap Barat. Mungkin saya mendapat keberuntungan-keberuntungan tertentu. Sejak pertama kali tinggal di Amerika, saya tidak merasakan sesuatu yang disebut cultural shock. Saya juga mengamati perkembangan anak saya. Sejak awal, dia kelihatannya sangat Amerika, karena lahir di sana. Dia bersekolah di sana sejak kelas nol kecil. Ketika dia di kelas 3 SD, kami pulang, dan dia harus pindah ke sekolah Indonesia. Saya khawatir dia mengalami cultural shock yang sebaliknya-sebagai "anak Amerika" yang tiba-tiba harus hidup di Indonesia. Ternyata secara umum situasinya normal belaka.
Pada satu-dua bulan pertama memang ada sedikit masalah, terutama dalam soal yang remeh-temeh seperti makanan dan gigitan nyamuk. Tapi dari sudut paham kehidupan, saya tidak melihat adanya shock tertentu dalam batin anak saya. Saya justru melihat transisi yang smooth-tampak dari cara dia bersekolah, bercengkerama, berbincang-bincang, bermain dengan kawan-kawannya. Dia bisa dengan gampang menjadi orang Indonesia. Dan kalau bertemu dengan kawan-kawannya yang pernah tinggal di Amerika, dia bisa berbincang dengan enteng dengan bahasa Inggris.
Jadi saya melihat manusia punya kemampuan untuk beradaptasi. Nilai atau kebudayaan bukanlah sesuatu yang absolut, bukan sesuatu yang kalau "sudah dari sononya begitu" tidak bisa lagi berubah. Itulah Bugis, itulah Indonesia. Saya melihat kultur, kebudayaan, nilai, paham itu fleksibel dan yang menen -tukan adalah manusia. Anak saya bisa. Maka kita yang dewasa, yang sudah banyak baca buku dan punya pengalaman lebih banyak, mestinya lebih mampu dan arif. Mungkin kita bisa berkata bahwa anak-anak memang bisa dengan gampang seperti itu karena mereka, meminjam Geertz, belum dijalin oleh tali-temali nilai-nilai yang koheren. Tapi argumennya bisa juga kita balik: bahwa anak-anak bisa seperti itu karena mereka memang tidak bisa berhenti mencari dan mau belajar. Pertanyaannya: apakah kita yang tua-tua mau terus belajar atau mau berhenti belajar" Apakah kita mau mandek pada suatu sistem nilai tertentu, sementara dunia berubah; kita mau mengikuti perubahan dunia atau kita mau dunia yang mengikuti kita"
Fakta bahwa terjadi perubahan nilai tidak mungkin bisa ditolak. Tidak ada satu pun masyarakat, kecuali mau disebut masyarakat terasing, yang terisolasi, yang tidak mengalami perubahan nilai, perubahan orientasi, perubahan cara hidup. Tinggal bagaimana kita melihat perubahan itu. Kita mau melihatnya sebagai sesuatu yang membuat kita sedih dan merasa terdesak. Atau kita mau menyambutnya dengan tangan terbuka dan mengakui bahwa itulah hidup dan kita ingin melihat yang terbaik dari sana" Itu adalah hukum alam: perubahan dalam setiap hal. Hidup pun secara fisik berubah. Ini adalah hal yang elementer. Kalau tidak ada perubahan tidak ada kemajuan.
Mari kita lihat secara gampang. Saya kadang-kadang sentimental. Mengingat masa kecil di sebuah desa, di sebuah kota kecil yang indah, hidup denga
n saudara-saudara dan keluarga yang sekarang harus tinggal di Jakarta. Apakah saya ingin melihat masa kecil saya yang indah, lalu sedih terus-menerus, meratapi masa yang sudah berlalu, ataukah saya akan melihat ke depan" Dalam soal kebebasan pun saya terkadang melihatnya sebagai masalah melihat kehidupan. Apakah by nature, secara alamiah, kita mau pesimistis melihat ke belakang, melihat apa yang berbahaya dan yang jelek dari kehidupan, ataukah kita mau melihat yang bagus dan bermanfaat" Ini soal cara pandang kita melihat manusia.
Kalau kita melihat manusia tumbuh bebas dan memilih, mampukah kita bersikap optimistis bahwa mereka pada akhirnya akan memilih dengan benar dan baik" Atau kita akan selalu takut, berdebar-debar, khawatir jangan-jangan akan begini dan begitu" Jadi saya melihat ada dua cara melihat kehidupan yang berhubungan dengan pandangan kita tentang manusia, tentang kebebasan, tentang perubahan. Kalau kita by nature optimistis, tangan terbuka, melihat ke depan, rasanya kita akan lebih gampang menerima paham yang disebut kebebasan-menerima freedom sebagai kehendak untuk bebas itu.
Memang ada sesuatu yang hilang. Saya, misalnya, semula hidup dalam suatu keluarga dan masayarakat tertentu, yang memegang nilai-nilai tertentu, katakanlah nilai Bugis atau nilai Indonesia. Setelah menengok ke Barat, bukan hanya sekolah, tapi juga karena bacaan dan sebagainya, tentu ada porsi-porsi nilai dalam diri saya yang tergantikan oleh sistem nilai baru, dan nilai-nilai yang lama itu mungkin hilang entah ke mana. Tapi saya anggap itu sebagai bagian dari proses saya untuk menjadi lebih dewasa, lebih arif, lebih luas melihat dunia.
Saya tidak melihat itu sebagai masuknya unsur Amerika atau Barat; saya melihat tumbuhnya diri saya sendiri dalam melihat dunia. Jadi, saya senang bahwa saya berkembang. Bukan karena saya menjadi Amerika atau menjadi Barat, tapi karena saya berkembang sabagai manusia; menjadi mampu melihat begitu banyak hal, belajar begitu banyak, belajar mengadopsi paham yang baru.
Saya tidak perlu membenci paham yang lama atau cara lama. Saya memahaminya. Ibu saya masih sangat Bugis, saya memahaminya. Tetapi saya senang dan dia pun pasti senang melihat saya tumbuh berkembang melampaui generasi orangtua saya. Dan saya berharap anak saya pun seperti itu. Saya, bagaimanapun, hidup dalam konteks tertentu, dan tidak ingin anak kita selalu lebih baik dari diri kita, dan mereka akan semakin tumbuh, semakin lengkap menjadi manusia. Dan pada akhirnya, ini lucunya, dalam perjalanan menjadi manusia, ada yang berkata bahwa itu masalah paham yang paling dasar; ada yang berkata bahwa seseorang itu progresif, linear, atau terkadang berputar kembali menjadi sirkular menuju titik tertentu-saya tidak tahu. Tapi yang pasti: ada perubahan, ada perkembangan, ada sebuah proses di mana manusia mampu belajar untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Kalaupun disebut ada porsi-porsi nilai yang hilang, ada juga penggantinya. Dan mungkin penggantinya lebih baik.
Harus begitu. Kalau tidak begitu, kita melangkah ke belakang. Sebagai bangsa, Indonesia pun dihadapkan pada pilihan-pilihan. Sebuah masyarakat senantiasa dihadapkan pada pilihan-pilihan tentang mau melangkah ke manakah mereka. Saya kira dengan proses demokratisasi yang terjadi tujuh tahun terakhir, kita harus bangga bahwa pilihan kita secara umum benar. Tetapi selalu ada orang, kelompok, atau tahap yang bisa menghambat proses kemajuan ini. Dan itulah yang harus kita sadari.
Indonesia memang dinamis dan berkembang, terdiri atas begitu banyak suku, banyak kepentingan, banyak keragaman, banyak kebudayaan. Tetapi kita harus tahu bahwa dalam garis besarnya kita sudah melangkah dengan baik sebagai sebuah masyarakat. Membangun sistem yang baru di mana sebagai landasannya paham kebebasan semakin mendapat tempat. Itu yang harus kita sadari bersama. Dan kita harus melawan potensi-potensi yang bisa menghambatnya.
Saya tadi kasih contoh betapa di daerah-daerah, misalnya Sumatra Barat, masih ada dimensi itu. Kita tidak boleh membiarkan hal semacam itu dalam berbagai manifestas
inya menjadi dominan di kemudian hari. Itu adalah tugas bersama.
*** Dalam soal kebebasan (freedom) ini, kadang-kadang orang berpikir bahwa eksperimen yang dilakukan oleh negara Amerika Serikat, misalnya, terasa terlalu berani. Mereka memberi kebebasan begitu besar kepada pers, kepada macam-macam institusi, sehingga ada kesan bahwa kebebasan itu akhirnya batasnya tipis sekali dengan keliaran atau anarki. Lagi-lagi, kita perlu lebih cermat melihat hal ini. Kita lihat Amerika memang amat sangat bebas untuk ukuran kita, tapi justru masyarakatnya amat sangat teratur. Lihat saja lalu-lintasnya. Kita mau bilang kita terlalu senang dengan kebebasan, tapi lihatlah jalan raya kita. Begitu liarnya orang, para pengendara.
Jadi, kita kadang-kadang juga agak munafik dengan diri kita sendiri, atau kita menerapkan kebebasan pada tempat yang salah.
Artinya, pada saat kita harus bebas, kita justru bersikap sebaliknya. Tapi pada saat kita harus mengikuti aturan dengan ketat, kita justru mau liar. Perilaku di jalan raya dapat dilihat sebagai salah satu contohnya.
Tapi dalam masalah hukum pun begitu. Kalau Anda ke Amerika, atau kota-kota yang Anda sebut Barat itu, Anda lihat betapa tertibnya berlalu-lintas di sana; itu merupakan cermin betapa tertibnya perilaku mereka dalam hukum. Mereka terima itu, dan bersikap sebagaimana yang dituntut oleh hukum bersama. Kita tahu bahwa hukum adalah kehendak bersama yang diwujudkan dalam ketentuan tertulis. Nah, kita di sini barangkali mau mengatakan bahwa secara budaya kita tidak terlalu senang dengan kebebasan, kita mau kehendak bersama. Tetapi dipandang dari sudut kemodernan dalam tata hukum masyarakat, kadang-kadang kita jauh lebih liar ketimbang masyarakat yang bebas.
Lalu, apakah semua masalah dengan sendirinya akan beres jika kita mengusung kebebasan" Tentu tidak. Hal ini sangat bergantung pada dinamikanya dari hari ke hari, ketika paham kebebasan itu diterapkan. Menurut John Stuart Mill, salah satu pemikir tentang paham kebebasan di Inggris pada abad ke-19, kebebasan adalah prakondisi bagi lahirnya kreativitas dan genius-genius dalam masyarakat. Yang dia maksud bukanlah bahwa semua orang dalam masyarakat itu akan pintar berkat adanya kebebasan. Maksudnya: dengan adanya kebebasan, adanya sikap menghargai orang untuk bersikap dan berpikir, kemungkinan masyarakat itu untuk berkembang, berdialog, untuk mencari hal yang lebih baik, terbuka lebih lebar. Ruangnya dibuka lebih besar. Itulah yang menjadi kunci mengapa masyarakat tersebut tumbuh. Dan ini memang secara empiris terbukti.
Dalam masyarakat-masyarakat di mana kebebasan menjadi institusi, artinya telah terlembagakan menjadi perilaku, menjadi kitab hukum, sistem politik, dan sebagainya, memang kelihatan mereka maju dengan cepat, atau menjadi negara-negara yang maju. Pasti ada hubungan mengapa "Barat" adalah juga negara-negara yang paling kaya, paling kuat, sekaligus paling bebas. Pasti ada hubungan antara kebebasan, kesejahteraan, dan kemajuan sebuah bangsa. Itulah yang dikatakan oleh John Stuart Mill.
Dan, sebagaimana Mill, saya juga meyakininya.
Individualisme dan Utopia:
Tanggapan Atas Polemik Liddle, Mubyarto, dan Budiawan
individualisme adalah salah satu paham yang paling sering dibahas sebagai karikatur dalam banyak perdebatan di kalangan intelektual kita. Setiap kali berbicara tentang paham ini, biasanya kita langsung berpikir tentang egoisme, keserakahan, kompetisi yang amburadul dan semacamnya. Polemik menarik yang diawali oleh Liddle (Kompas, 8/1) saya harap dapat menjernihkan pandangan kita terhadap salah satu ide terpenting dalam sejarah politik modern itu.
Dalam tulisan singkat ini saya ingin menguraikan salah satu aspek penolakan beberapa filsuf terhadap paham individualisme. Kemudian, saya mencoba menjelaskan dasar-dasar paham individualisme yang sebenarnya. Tujuan saya bukanlah untuk menyalahkan salah satu pihak, tapi menjelaskan perbedaan fundamental antara keduanya.
Sebelumnya, saya ingin memberi catatan kecil bahwa dalam menolak atau menerima individualisme, penggunaan kategori "Timur"
atau "Barat" sudah amat membingungkan. Bu-diawan (Kompas, 2/2) misalnya, harus menekankan kecurigaannya terhadap anjuran Liddle dengan alasan bahwa klaim individualisme yang universalistik mungkin saja mengandung "nafsu-nafsu imperialistik". Budiawan khawatir bahwa di balik penyebaran individualisme, tersembunyi kepentingan kekuasaan Barat untuk menaklukkan Timur. Yang cukup ironis adalah, dalam memperlihatkan kelemahan individualisme, Budiawan tidak menggunakan Serat Centini.
Utopia: Dari Plato ke Marx
Dasar argumen Mubyarto (Kompas, 2/2) dalam menolak paham individualisme, bersumber pada sebuah cita-cita tentang masyarakat yang harmonis. Jika harmoni ini tercapai, individu dan masyarakat tidak lagi perlu dipertentangkan. Siapa yang tidak senang bila korupsi menghilang, pemimpin tidak lagi menyalahgunakan kekuasaan, dan setiap konflik bisa diselesaikan dengan damai" Sejumlah pemikir, dengan cara masing-masing, telah mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti yang sekarang kita ajukan.
Plato, misalnya, menyimpulkan bahwa cita-cita itu bisa dicapai jika masyarakat dipimpin oleh tipe manusia philosopher-king (kira-kira jenis pemimpin semacam Lee Kuan Yeuw dalam konteks sekarang; pemimpin yang bersih dan berpikiran jernih 2.000 tahun setelah Plato). Dalam salah satu dari sekian banyak bukunya, The Philosophy of Right, Hegel membagi kehidupan sosial ke dalam tiga tingkat. Tingkat pertama adalah kehidupan dalam keluarga. Di sini manusia sejak kecil belajar tentang otoritas, tanggungjawab dan cinta. Pada tingkat kedua adalah kehidupan dalam masyarakat sipil. Jika pada tingkat pertama cirinya didasarkan pada semangat kebersamaan dan tanggungjawab (dalam hubungan ayah terhadap anak misalnya), maka pada tingkat kedua ini cirinya yang utama adalah kompetisi dan pengejaran kepentingan diri yang tak terkendali.
Masyarakat sipil, buat Hegel, adalah satuan-satuan tanpa bentuk yang terlalu didasarkan pada pengejaran kepentingan ekonomi. Dari tingkat kehidupan pertama yang luhur dan penuh cinta, setelah dewasa manusia terpaksa harus terjun ke dunia persaingan yang keras.
Untuk mengimbangi dan mengatur masyarakat sipil diperlukan hadirnya negara atau pemerintahan yang kuat dan korporatis. Jika ini bisa tercapai maka tahap kehidupan sosial yang ketiga tercapai. Di tahap ini pendulum bergerak kembali, dari kompetisi kembali lagi ke harmoni. Dan bagi Hegel, yang menjadi motor penggerak dalam tahap ketiga ini adalah kaum birokrat. Kaum ini oleh Hegel disebut sebagai "kelas universal".
Dalam perkembangan selanjutnya, Hegel memberi inspirasi kepada dua kelompok pemikir, yaitu kaum Hegelian kanan dan kiri. Kaum kanan menggunakan ide negara korporatis Hegel untuk membela sebuah argumen bahwa individu dan negara pada dasarnya satu dan sebangun: kita tidak perlu melihat keduanya dalam hubungan yang konfliktual. Yang diperlukan oleh individu, karena itu, bukanlah jaminan hak-hak perorangan, tapi pelaksana kewajiban kepada negara, pengabdian dan disiplin (karena pengaruh Hegel, kira-kira hal seperti inilah yang dikatakan oleh Prof. Supomo dalam perdebatan penyusunan UUD 45 kita dulu).
Di kiri, contoh yang terbaik adalah Karl Marx. Walaupun teori dia ditujukan untuk "memutarbalikkan Hegel", tema-tema Hegelian sangat kental terasa pada Marx. Berpijak pada pengertian Hegel tentang masyarakat sipil, Marx mengembangkan teori tentang kelas sosial. Dari Hegel pula Marx mengambil tema tentang "sejarah yang berakhir", di mana tidak ada lagi konflik-konflik yang mendasar dalam masyarakat. Buat Hegel, seperti kita lihat di atas, hal ini terjadi jika "kelas universal" telah mampu mengatasi kelemahan dalam masyarakat sipil.
Buat Marx, konflik-konflik mendasar itu akan hilang jika kelas proletariat yang juga dianggap kelas universal telah melakukan revolusi sosial dan mendirikan negara komunis.
Di sinilah harmoni itu terjadi: sebuah situasi di mana bahkan kehadiran negara pun, sebagai pengatur masyarakat, tidak lagi diperlukan. Bagi Marx, seperti ditulisnya dalam The German Ideology, apa yang dilakukan oleh manusia dalam harmoni
total itu adalah "berburu di pagi hari, memancing ikan di siang hari, beternak di sore hari, dan berdiskusi setelah makan malam", tanpa harus menjadi pemburu, pemancing, peternak, dan kritikus.
Individualisme Apa yang membedakan Mubyarto beserta para pemikir besar di atas dengan para filsuf dari tradisi individualisme dalam banyak hal bertumpu pada perbedaan terhadap cita-cita kemasyarakatan. Para filsuf dari tradisi individualisme, sejak John Locke, David Hume, Adam Smith, hingga Frederick Hayek, menolak cita-cita masyarakat penuh keselarasan dan keseimbangan itu. Hal ini mereka lakukan bukan karena mereka mencintai pertikaian dan membenci persaudaraan. Jauh daripada itu. Buat mereka impian-impian harmoni itu adalah mimpi yang terlalu indah, yang jika dipaksakan untuk diwujudkan akan sangat berbahaya bagi manusia umumnya. Secara sederhana argumen mereka saya bagi ke dalam dua segi.
Segi pertama bertumpu pada penerimaan terhadap ketidaksempurnaan masyarakat. Buat paham individualisme masyarakat adalah kumpulan banyak kepentingan yang berbeda dan sering bertentangan. Hal ini adalah kenyataan alamiah. Karena itu, yang harus dilakukan bukanlah menentang alam.
Segi kedua, yang menjadi dasar segi pertama di atas, adalah penerimaan paham ini akan keterbatasan manusia. Bagi paham ini sangat sedikit manusia yang mampu menjadi superhero, yang dalam bertindak tidak pernah memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Paham ini menolak kemungkinan hadirnya tipe manusia jenis philosopher-king-nya Plato, atau kelas universalnya Hegel, atau kelas pendobraknya Lenin. Dengan kata lain, paham ini tidak percaya bahwa kaum birokrat, misalnya, adalah kelompok individu yang tidak lagi mempunyai kepentingan apa-apa selain mengabdi kepada masyarakatnya. Penguasa di mana pun adalah juga manusia biasa, yang sebagai manusia dibatasi oleh kepentingan-kepentingannya sendiri. Dengan demikian paham ini menerima keterbatasan manusia bukan untuk mendorong meluasnya egoisme dan kompetisi yang keras-yang mereka lakukan adalah mencoba menerima kenyataan apa adanya tentang sifat-sifat manusia.
Lenin dan Mao seringkali berkata bahwa untuk mewujudkan cita-cita masyarakat sosialis, diperlukan lahirnya tipe-tipe manusia baru, yang senantiasa membela kepentingan umum dan melupakan kepentingan dirinya sendiri. Buat paham individualisme, hal ini adalah utopia besar yang berbahaya. Manusia selalu sama dari dulu hingga sekarang: makhluk rasional yang selalu bereaksi terutama terhadap hal-hal yang berakibat langsung terhadap dia dan terhadap lingkungan terdekatnya. Menciptakan manusia baru hanya bisa terjadi dengan menghancurkan manusia itu sendiri. Buat paham ini, sejarah kelam Rusia di bahwa Lenin dan Cina di bawah Mao adalah monumen sejarah yang mengingatkan kita semua terhadap "biaya sosial"-untuk menggunakan bahasa Budiawan-atas upaya penciptaan manusia baru tersebut.
Berangkat dari dua segi argumen inilah para filsuf dari tradisi individualisme membangun argumen dan konsep-konsep tentang perlunya demokrasi, penegakan kekuasaan hukum, dan pemerintahan yang terbatas. Demokrasi, misalnya, mereka anggap alternatif sistem pemerintahan yang terbaik yang dapat meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan oleh pengejaran kepentingan oleh individu-individu yang duduk di kursi kekuasaan.
Selain itu, demokrasi juga mereka percaya sebagai sistem yang memungkinkan perbedaan dalam masyarakat untuk tidak menjadi konflik yang terbuka dan berdarah. Konsep -konsep penting inilah yang menjadi sumbangan paling besar para filsuf dalam tradisi individualisme, dari John Locke hingga Frederick Hayek, bagi sejarah politik modern.
12 Februari 1996 Isaiah Berlin pada 6 November lalu, dalam usia 88 tahun, Isaiah Berlin telah pergi, meninggalkan sekian banyak tulisan yang dapat disejajarkan dengan karya-karya pemikiran terbaik di abad ke-20 ini.
Dalam banyak esai panjangnya, Isaiah Berlin yang semasa kecilnya sempat menjadi saksi pergolakan Revolusi Rusia pada 1917, sering mengingatkan kita betapa berbahayanya bagi sejarah kemanusiaan ide-ide besar yang mengk
laim kebenaran bagi dirinya sendiri. Dari ruang studinya di Oxford, dia mengabdikan hidupnya untuk menjelaskan dan mendalami sejarah ide-ide semacam ini.
Isaiah Berlin adalah seorang intelektual sejati yang hidup dan menghirup nikmatnya udara kehidupan melalui eksplorasi dan pertarungan ide-ide. Di tangannya, ide-ide tidak lagi menjadi sekadar konsepsi-konsepsi abstrak yang dingin. Bagai seorang penyihir, dia sanggup menghidupkan kembali berbagai pemikir klasik yang telah beku dan dilupakan, misalnya Hamann, Vico, Herzen, de Maistre, dan mencari kaitan ide-ide mereka dengan gagasan-gagasan besar yang di zaman modern ini meng-haru-birukan nasib manusia.
Dia banyak menelusuri asal-usul, substansi, dan kaitan antara gagasan-gagasan besar karena dia percaya pada kekuatan pemikiran. Dia pernah berkata, "Konsep-konsep filosofis yang dilahirkan di ruang studi yang sepi seorang profesor dapat menghancurkan sebuah peradaban." Baginya, kekuatan-kekuatan sosial dan material memang penting, tapi semua ini hanya akan menjadi kekuatan buta tanpa arah jika tidak dibingkai oleh ide-ide. Dia sangat yakin bahwa dunia pemikiranlah yang memberi petunjuk ke arah mana sejarah harus bergerak.
Satu dari ide-ide besar yang menarik perhatiannya adalah ide atau konsepsi kebebasan positif. Konsepsi ini berasal dari spektrum pemikiran yang luas, mulai dari Plato, Rousseau, Hegel, de Maistre, hingga Marx. Menurut konsepsi ini, manusia bebas adalah manusia yang menjadi tuan bagi dirinya sendiri, yang menjadi manusia sejati, yang mencapai hidup sepenuh-penuhnya. Manusia semacam ini bukanlah manusia yang senantiasa diperbudak oleh berbagai nafsu dan kesadaran palsunya. Kebebasan hanya mungkin terjadi jika manusia memang bisa merealisasikan potensinya yang sejati, yang "benar", yang "lebih tinggi".
Konsepsi ini, menurut Isaiah Berlin, berbau romantik. Kebebasan tidak lagi dikaitkan dengan pembatasan tindakan sewenang-wenang terhadap individu, tetapi dengan proses pemenuhan kesempurnaan hidup manusia. Jadi, dalam konsepsi ini, walaupun seseorang secara legal dan faktual tidak dikekang oleh siapapun, dia tetap bukan manusia yang bebas sejauh dia masih diperbudak oleh kesadaran palsunya, oleh pikiran dan perasaannya yang "keliru".
Yang menarik adalah, bagi Isaiah Berlin, konsepsi kebebasan semacam ini bisa berbahaya, bahkan sangat berbahaya. Kenapa" Karena, dengan sedikit manipulasi makna, pengertian "tuan" dalam konsepsi ini dapat menjadi "bangsa", "negara", "partai", atau "kelas". Sementara "hidup yang sepenuh-penuhnya" dapat diartikan sebagai hidup dalam "masyarakat sosialis", "masyarakat baru", "sejarah baru". Berkaitan dengan hal ini, diri manusia pun diartikan sebagai makhluk yang terdiri atas dua kenyataan yang berlawanan, yaitu dirinya yang sejati, yang lebih tinggi, yang benar, dan dirinya yang lebih rendah, sumber nafsu dan kesadaran palsu.
Jika pembalikan makna ini sudah terjadi maka, menurut Isaiah Berlin, terbentanglah jalan yang sangat lebar bagi seorang despot untuk memerintah dengan sewenang-wenang dan memberangus kebebasan individu. Bukankah tetek-bengek nasib individu adalah hal yang terlalu kecil untuk dianggap serius bagi sebuah bangsa, atau partai, atau negara, yang sedang mengejar tuntutan sejarahnya untuk membangun masyarakat baru" Bukankah dalam proses pemenuhan tuntutan sejarah ini Diri yang Lebih Tinggi (yaitu Sang Bangsa, Sang Partai, Sang Negara) memang layak untuk memberangus Diri yang Rendah (manusia yang hanya terbawa oleh kesadaran palsu, yang tidak mengerti tuntutan sejarah)"
Konsepsi kebebasan positif, dengan kata lain, sangat cocok untuk menjadi alasan pembenar bagi tirani dan kekuasaan despotik. Dalam konsepsi ini tidak ada argumentasi yang secara prinsipil dapat mengatakan kepada Sang Penguasa untuk membatasi kekuasaannya dan menghargai kedaulatan masing-masing individu. Sekali Sang Penguasa berhasil memanipulasi beberapa pengertian kunci yang ada di dalam konsepsi ini, maka ia seolah-olah mendapat cek kosong, carte blanche, untuk melakukan apa saja yang dianggapnya perlu dalam mengejar "tuntutan sejar
ah", "masyarakat baru", atau apapun yang sanggup menjamin tercapainya "hidup yang sepenuh-penuhnya".
Karena itulah tidak mengherankan jika Isaiah Berlin, yang dikenal sebagai penentang gigih para pemimpin garis keras Israel, berkata bahwa konsepsi kebebasan semacam inilah yang berada di balik banyak malapetaka kemanusiaan pada abad ke-20.
Di abad ini, kita tahu, muncul banyak pemimpin besar yang, atas nama bangsa, partai, kelas, atau negara, melindas nasib orang per orang untuk mengejar tujuan-tujuan yang dianggapnya bersifat historis, luhur, atau progresif. Hitler, Stalin, Mao, Pol Pot: tangan mereka berlumuran darah justru untuk menggiring bangsa mereka ke arah "kebebasan" yang lebih sejati.
24 November 1997 Wajah Lain Machiavelli sebagaimana layaknya seorang penulis besar, karya-karya Niccolo Machiavelli telah menghasilkan banyak penafsiran, yang tidak jarang saling bertentangan.
Buat sebagian kalangan, pemikir dan penulis drama dari Florence ini adalah seorang amoralis, penganjur motode berpolitik tanpa pertimbangan etika. Buat kalangan yang lain lagi, ia adalah seorang nasionalis yang meletakkan dasar konsepsi negara beserta alasan kehadirannya, raison d'etat. Tulisan menarik dari Frans Magnis-Suseno di Kompas beberapa saat lalu (15/9/1997), dalam beberapa hal, mengikuti penafsiran dari kalangan seperti ini.
Buat sebagian kalangan yang lainnya lagi, Machiavelli bukanlah seorang pemikir yang dapat dipandang secara sederhana. Dalam satu hal, menurut kalangan ini, Machiavelli memang dapat dianggap sebagai pemikir besar serta seorang genius yang mendahului zamannya. Tapi dalam hal lain lagi, ia bisa pula dikritik sebagai intelektual tukangnya fasisme dan korporatisme, gurunya para tiran, atau setidaknya pemikir tanggung yang membingungkan.
Sekularisasi Politik Walau beragam, penafsiran tentang Machiavelli memang sah-sah saja, namun buat saya satu hal tidak boleh kita lupakan: ia adalah peletak dasar ilmu politik dan pemikir awal yang mendorong terjadinya proses sekularisasi (desakralisasi) politik.
Dalam II Principe, buku tipisnya yang termasyhur itu, Machiavelli berkata bahwa tujuan dia menulis bukanlah untuk mengatakan apa yang seharusnya. Ia ingin melihat dunia politik sebagaimana adanya, yang is, dan bukan yang ought (la verita effentuale della cosa). Proses kekuasaan, buatnya, adalah bagian dari kenyataan alamiah yang harus kita mengerti sebagaimana jika kita ingin mengerti dan menyingkap berbagai hal lainnya di alam nyata. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa Machiavelli, secara sangat sederhana, telah mendahului Francis Bacon, filsuf dan negarawan Inggris peletak dasar empirisisme itu, hampir seabad lamanya.
Motivasi keilmuan seperti inilah yang dapat digunakan sebagai dasar penafsiran Il Principe. Memang betul bahwa buku ini secara eksplisit dimaksudkan sebagai sebuah kumpulan nasihat kepada Lorenzo, penguasa Florence (1448-1492) dari keluarga Medici. Tetapi melalui dasar penafsiran Machiavelli sebagai ilmuwan, maka Il Principe sesungguhnya bisa dimengerti lebih jauh daripada hal itu, yaitu sebagai sebuah analisis yang dingin terhadap berkerjanya mesin politik dan proses kekuasaan yang riil.
Dengan kata lain, ajaran Machiavelli, misalnya Sang Penguasa dalam mempertahankan kekuasaannya, harus berbohong, menipu, menindas, haruslah dimengerti bukan sebagai "nasihat politik" dalam pengertian yang umum. Ia adalah sebuah pernyataan faktual bahwa dunia kekuasaan memang tidak semurni dunia mitologi surgawi zaman pra-Renaisans. Dunia kekuasaan, sebagaimana adanya, adalah sebuah dunia yang penuh intrik, kekejian, ambisi, dan ketololan.
Pemikiran Machiavelli seperti ini, dalam konteks zamannya, sangatlah bersifat subversif. Secara implisit ia menolak simbiosis antara pemikiran politik dan ide-ide teologis yang pada zamannya itu menjadi dasar pembenaran bagi kekuasaan tradisional. Para raja dan pangeran bukanlah wakil Tuhan di bumi, bukan pula philosopher-king, seperti kata Plato. Mereka, bagi Machiavelli, adalah pelaku-pelaku politik biasa yang karena tuntutan logika kekuasaan
seringkali bertindak jauh dari prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran.
Dengan melihat raja dan pangeran pada dasarnya adalah pelaku politik, maka Machiavelli, mungkin tanpa sepenuhnya sadar, sebenarnya telah memulai sebuah proses besar yang terus berlanjut hingga akhir abad ke-20 ini, yaitu proses sekularisasi politik. Tentu saja, sebagaimana layaknya setiap pelopor, apa yang ia rintis ini dilakukannya dengan cukup canggung dan samar-samar (karena itu pula ia dapat ditafsirkan dalam berbagai versi).
Tapi jelas bahwa dalam konteks sejarah pemikiran, analisis politik Machiavelli yang dingin itu merupakan sebuah pertanda dari terjadinya pergeseran paradigmatik dalam memandang politik dan organisasi kekuasaan.
Demokrasi Lebih jauh lagi, desakralisasi politik Machiavelli seperti itu turut membuka jalan bagi munculnya berbagai pemikiran tentang demokrasi modern pada abad ke-17 dan abad ke-18. Tokoh-tokoh peletak dasar konsepsi demokrasi modern, seperti Locke di Inggris, Montesquieu di Prancis, dan Jefferson di Amerika, berangkat dari sebuah asumsi yang pada dasarnya Machiavellian, yaitu bahwa para penguasa adalah juga manusia yang memiliki berbagai kelemahan manusiawi, yang memiliki sejumlah ambisi serta nafsu untuk berkuasa terus-menerus. Karena itu, kepentingan Sang Penguasa, menurut mereka, sering bertolak-bela-kang dengan kepentingan rakyat banyak.
Buat para pemikir ini, dengan kata lain, panggung politik adalah arena pertarungan kekuatan. Mengikuti Machiavelli, mereka tidak ingin memandang dunia politik secara teologis-romantik. Mereka ingin menyingkap realitas kekuasaan sejelas-jelasnya, sebagaimana adanya, seperti yang dilakukan oleh para ahli fisika di zaman pasca- Renaisans yang ingin mengungkapkan rahasia gravitasi bumi.
Tapi berbeda dengan Machiavelli, para pemikir abad ke-17 dan abad ke-18 itu tidak hanya berhenti pada deskripsi tentang kenyataan politik. Mereka melangkah dan bertanya lebih jauh: Bagaimana agar dampak buruk dari kenyataan alamiah politik seperti itu dapat diminimalisir" Bisakah pembatasan kekuasaan dilakukan demi keuntungan masyarakat luas" Adakah cara untuk melakukannya" Justifikasi konsepsional seperti apa yang harus disusun bagi pembatasan kekuasaan Sang Penguasa"
Berbagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang menjadi fondasi intelektual bagi pembentukan sistem demokrasi modern, yang dimulai di Inggris, Prancis, dan Amerika pada akhir abad ke-18. Kelanjutan proses ini, kita tahu, masih terus berlangsung hingga sekarang.
Jadi, walau tidak selengkap dan sejauh sumbangan Locke, Montesquieu dan Jefferson, sumbangan intelektual Machiavelli tidak dapat disangkal. Hanya melalui cara pandang Machiavellian terhadap dunia politik, sakralisasi dan mitologisasi politik yang mengungkung umat manusia selama berabad-abad dapat diruntuhkan. Dan dari keruntuhan inilah titik tolak pembatasan kekuasaan dapat dapat dirumuskan secara lebih sistematis. Karena pentingnya sumbangan Machiavelli, bisa dimengerti jika Rousseau memuji Il Principe sebagai le livre des republicans, bukunya kaum republikan.
6 Oktober 1997 Liberal Kiri, Sosialis Kanan
akhir-akhir ini terjadi semacam revitalisasi isu "kiri dan "kanan". Dalam berbagai diskusi di forum publik dan media massa, polarisasi yang dibuat umumnya masih mengikuti pembagian klasik. Kaum sosialis dan ide-ide Marxis ditempatkan di kiri, sementara kaum liberal dan ide-ide liberalisme diletakkan di kanan.
Betulkah polarisasi seperti ini" Dalam beberapa hal, ya. Sebagaimana yang umum diketahui, dalam doktrin Marxisme asal-usul penindasan adalah pemilikan pribadi terhadap sarana-sarana produksi. Pemilikan inilah yang menjadi fondasi struktur masyarakat kapitalis. Agar masyarakat bisa lebih "baik", struktur ini harus dibongkar, dihancurkan. Untuk itu, yang harus dilakukan adalah to start from the basic, yaitu menghilangkan hak milik pribadi. Karena itu, dalam Manifesto Marx (dan Engels) yang terkenal itu, pelenyapan pemilikan pribadi dianggap sebagai aksi sentral yang revolusioner.
Dalam perdebatan kaum kiri pada
akhir abad ke-19 hingga beberapa saat sebelum runtuhnya Uni Soviet, pemihakan dan dukungan terhadap aksi seperti ini menjadi ukuran kekirian sebuah kelompok. Mereka yang ingin menghilangkan pemilikan pribadi secara total dan radikal biasanya disebut kaum komunis.
Mereka yang lebih moderat tetap ingin menghilangkan pemilikan pribadi, namun hanya terbatas pada sarana produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Metode perubahan kelompok kiri radikal adalah revolusi sosial, sedangkan metode kaum kiri moderat biasanya nasionalisasi. Kelompok moderat ini, jika mereka memperjuangkan nasionalisasi melalui parlemen, umumnya disebut sebagai kelompok sosdem (sosialis demokrat).
Jadi polarisasi di atas benar sejauh definisi kiri kita kaitkan dengan isu pemilikan pribadi dan metode perubahan struktur masyarakat kapitalis. Tapi kita harus ingat, definisi semacam ini bukan satu-satunya definisi yang ada. Sejak di Parlemen Prancis abad ke-19, istilah kiri juga sering dikaitkan dengan pengertian "progresif dan "alternatif terhadap kekuatan dan struktur dominan". Dalam pengertian seperti ini, polarisasi tadi bisa terbolak-balik: justru kaum sosialis dan ide-ide Marxis-lah yang menjadi kanan dan reaksioner.
Di negeri-negeri pasca-komunis pada dekade 1990 ini, misalnya, justru kaum sosialis dan komunis yang menganjurkan langkah-langkah "regresif". Mereka menjadi pembela status quo dan pelindung dominasi kaum birokrat yang tersebar di berbagai industri milik negara. Kelompok ini, dengan kata lain, menjadi kaum reaksioner dalam arti kata sesungguhnya.
Sebaliknya, kaum liberal justru menjadi pendobrak struktur ekonomi "lama". Mereka memperjuangkan terjadinya deregulasi dan privatisasi secara cepat dan serentak. Mereka berupaya menghilangkan basis kekuasaan kaum birokrat-kelompok yang oleh Milovan Djilas pada 1950-an disebut the new class itu-dan mendukung munculnya kekuatan pengusaha swasta yang mandiri dan efisien. Jadi, dalam konteks sistem pasca-komunis, kaum liberal betul-betul menjadi kaum progresif dan oposisi alternatif. Liberalisme, dengan kata lain, menjadi kekuatan kiri radikal.
Di negeri lain, di Amerika misalnya, hal yang hampir sama terjadi walau dalam bentuk yang berbeda. Politikus paling radikal di Amerika saat ini adalah Newt Gingrich, juru bicara Kongres yang bekas profesor sejarah.
Program ekonomi Gingrich ingin membalikkan arus besar "welfarisasi" yang menjadi arus dominan dalam kapitalisme Amerika sejak era Roosevelt pada 1930-an. Buat tokoh ini, problem Amerika hanya dapat diatasi jika mekanisme liberal, yaitu pasar bebas, berjalan seluas-luasnya. Liberalisme, karena itu, ditempatkan sebagai kekuatan alternatif untuk mengubah sistem welfare state secara mendasar.
Bagaimana dengan kita" Apakah, misalnya, aktivis PRD yang kini banyak dibicarakan dan para teknokrat pro-pasar seperti Prof. Widjojo dapat diletakkan dalam polarisasi kiri-kanan seperti ini"
Dalam satu hal, jika kita menggunakan pembagian klasik, yaitu definisi kekirian yang dikaitkan dengan pemilikan pribadi, dengan cukup jelas kita bisa berkata bahwa PRD kiri dan para teknokrat kanan. Tapi jika kita menggunakan definisi kiri yang berhubungan dengan progresivitas dan potensi sebagai alternatif terhadap tradisi dominan, maka soalnya agak lebih rumit.
Dalam hal ini kita harus ingat bahwa dalam tradisi pemikiran ekonomi-politik kita, ide-ide sosialis berakar sangat dalam. Umumnya tokoh utama pendiri bangsa kita berkiblat pada gagasan ekonomi sosialis, dengan berbagai variasinya. Hatta dan Sjahrir, misalnya, sangat dipengaruhi kaum sosdem di Eropa Barat (ide tentang koperasi bukanlah "milik" bangsa kita, melainkan digali dari tradisi sosialisme yang universal). Pengaruh pemikiran seperti ini dengan gampang terlihat jika kita membaca UUD 1945.
Karena dalamnya tradisi pemikiran sosialis, yang berkombinasi dengan semangat nasionalisme, tak heran jika dalam sejarah ekonomi kita justru negara dan birokrasilah yang berperan dominan. Mekanisme pasar dan peran swasta selalu bersifat pinggiran dan sangat dipandang secara negatif. Baru 10
tahun belakangan ini pendulum agak berbalik, dengan dilakukannya langkah-langkah deregulasi yang dimotori kaum teknokrat.
Karena itu, dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa justru Prof. Widjojo, dan bukan Budiman Sudjatmiko, yang sebenarnya sangat progresif dan kiri. Langkah-langkah yang telah dimotori Pak Widjojo, kalau dilaksanakan sungguh-sungguh, akan mengikis basis dominasi kaum birokrat dan merombak status quo kekuasaan ekonomi-politik.
Sebaliknya, ide-ide ekonomi yang tersirat di balik manifesto PRD, kalau dilaksanakan secara tuntas, akan mendesak meknis-me pasar untuk makin berada di posisi pinggiran. Yang akan kita saksikan adalah revitalisasi birokrasi dalam kehidupan ekonomi kita. Artinya, dominasi kaum birokrat akan makin diperkukuh. Maka PRD, dalam pengertian ini, dapat dipandang sebagai kekuatan kanan yang "konservatif".
28 September 1996 Barat dan Demokrasi Amerika dan negeri barat lain mengaku sebagai pendekar demokrasi, tapi politik luar negeri mereka terhadap revolusi Islam di Iran, FIS di Aljazair, dan rezim Erbakan di Turki tak demokratis. Karena itu Riza Sihbudi, dalam Gatra edisi 31 Mei, menulis bahwa apa yang disebut sebagai demokrasi Barat pun ternyata tak selamanya sungguh-sungguh demokratis.
Kesimpulan ini digunakan untuk memperkuat pendapatnya bahwa demokrasi seringkali menimbulkan kontradiksi dalam pelaksanaannya. Walau tak terlalu jelas apa yang ingin dikembangkannya dengan pendapat semacam ini, saya pikir Riza pada akhirnya ingin mengatakan bahwa dalam kebijakan luar negerinya, negeri-negeri Barat yang demokratis sering bersikap hipokrit dan inkonsisten dalam slogan demokrasi yang sering mereka banggakan.
Saya tak banyak berbeda pendapat dengan Riza dalam soal politik luar negeri Barat dalam contoh-contoh yang diberikannya. Tapi dalam soal inkonsistensi dan hipokrisi kebijakan luar negeri, semua negeri melakukan hal yang sama, di Barat atau di Timur. Di negeri Islam atau negeri sekular. Di Timur Tengah, misalnya, Pan-Islamisme dianggap sebagai cita-cita dan tujuan moral yang luhur.
Semua negeri di kawasan ini menginginkannya. Tapi dalam praktik yang terjadi adalah real politics: semuanya berlomba mendahulukan kepentingan negerinya dan menjadikan Pan-Islamisme sebagai slogan belaka. Dalam hubungan ini doktrin moral dan mekanisme demokratis memang belum banyak diterapkan. Logika yang digunakan dalam politik luar negeri adalah logika kepentingan dan kekuatan.
Inkonsistensi Barat dalam politik luar negerinya terhadap Dunia Islam sebenarnya tak terlalu tepat jika disebut sebagai tindakan hipokrit dan anti-demokratik. Mereka bertindak sebagaimana negeri-negeri lainnya akan bertindak dalam situasi yang sama: mengimplementasikan apa yang mereka definisikan sebagai kepentingan nasional mereka. Implementasi doktrin nasional Amerika dalam beberepa kasus memang dapat dihujat, seperti yang dilakukan Riza, tapi dalam beberapa kasus lain dapat pula dipuji. Misalnya upaya negeri ini, dengan segala kekurangannya, mendesak Serbia untuk mencari jalan damai di Bosnia.
Saya berbeda pendapat dengan Riza dalam satu hal: saya tak ingin mencampuradukkan antara dinamika politik internasional yang kompleks dan penilaian terhadap sistem demokrasi di Barat. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat di sebuah negeri. Dengan demikian penilaian saya terhadap luasnya kebebasan pribadi dan terbukanya peluang untuk melakukan kritik terhadap penguasa di Amerika tak saya kaitkan secara langsung dengan sikap saya terhadap keputusan Presiden Clinton untuk membantu salah satu faksi yang sedang bertikai di Aljazair.
Pandangan saya terhadap demokrasi Barat jauh lebih positif ketimbang pandangan Riza. Ini bukan berarti saya tak lagi kritis terhadap praktik demokrasi yang senyatanya berlangsung di Amerika, Inggris, atau di mana saja. Demokrasi adalah sebuah cita-cita, sebuah aspirasi. Hingga sekarang sistem pemerintahan di Baratlah yang paling mendekati perwujudan cita-cita ini.
Agar sebuah negeri bisa dikatakan demokratis, setidaknya harus ada ti
ga prasyarat kelembagaan. Pertama, undang-undang yang menjamin hak-hak politik yang paling dasar bagi tiap warganegara, seperti hak untuk berpendapat, beragama dan berserikat. Kedua, pers yang bebas. Dan ketiga, pemilu yang jujur dan lembaga perwakilan yang otonom. Dengan memakai ketiga prasyarat ini sebagai ukuran demokrasi, Amerika, Inggris, dan negeri lainnya di Barat telah mencapai titik terdekat dalam ujung skala yang positif. Sementara itu Korea Utara, Cina, dan Arab Saudi berada dalam titik terdekat dalam ujung skala yang negatif. Barangkali Indonesia berada di tengah-tengah.
Semua ini akan menjadi problem jika kita ingin mencari pengertian tentang demokrasi, yang samasekali berbeda dengan pengertian yang saya gunakan di sini. Lenin, misalnya, pernah memperkenalkan konsep demokrasi sosialis dengan lebih memberi penekanan pada kepemimpinan yang progresif serta pemerataan ekonomi ketimbang kebebasan individual dan perwakilan yang otonom. Contoh yang lebih kontemporer adalah Lee Kuan Yeuw, yang lebih mengaitkan konsepsi demokrasi dengan nilai-nilai kedisiplinan dan tujuan-tujuan pembangunan okonomi.
Pembalikan pengertian seperti ini hanya akan melahirkan kebingungan konseptual terhadap apa yang sesungguhnya dimaksud dengan demokrasi. Di bawah Hitler, misalnya, Jerman memang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat dan tingkat pertumbuhan yang hampir nol. Lalu apakah bisa dikatakan bahwa Jerman dalam era naziisme adalah negeri yang demokratis"
Pembalikan pengertian seperti itu bukan cuma menghasilkan kebingungan konseptual, melainkan juga melahirkan pembenaran bagi sistem pemerintahan yang otoriter. Bung Karno pernah melakukannya dengan mengatakan bahwa demokrasi kita bukanlah demokrasi Barat, yang menurutnya bukanlah sungguh-sungguh demokrasi, sebab bersandar pada mekanisme mayoritas yang "50+1". Setelah zaman Bung Karno pembenaran semacam ini justru meningkat.
Apakah kita akan terus memperpanjang kecenderungan seperti itu" Kalau kita mau mencegahnya sejak sekarang (merupakan cara terbaik), para intelektual tak akan terlalu sering "berdansa" dengan bermacam-macam pengertian tentang demokrasi. Kita bisa belajar dari pemikir besar yang menjadi peletak dasar konsepsi demokrasi Barat, misalnya Montesquieu, Voltaire, dan John Locke.
7 Juni 1997 Demokrasi dan Liberalisme
liberalisme adalah paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Jadi, liberalisme dan demokrasi sekarang ini umum dianggap sebagai dua hal yang tak terpisahkan dan tak terelakkan, terutama dalam tata pemerintahan dan masyarakat. Nah, masalahnya banyak sekali tantangan yang dihadapi liberalisme dan demokrasi. Misalnya, baru-baru ini Majelis Ulama indonesisa (MUi) mengeluarkan fatwa yang mengharamkan paham ini, selain pluralisme, dan juga sekularisme. Dalam bidang ekonomi juga demikian.
Tradisi kita rupanya banyak yang anti-liberal, yang mungkin dikaitkan dengan kolonialisme dan sebagainya.
Demokrasi berarti kekuasaan rakyat, dan liberalisme merupakan paham kebebasan, artinya manusia memiliki kebebasan atau, kalau kita lihat dengan perspektif filosofis, merupakan tata pemikiran yang landasan pemikirannya adalah manusia bebas. Bebas karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan. Dia tahu apa yang diinginkan; dia merasa dia memiliki hak untuk bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan. Jadi, cita-cita dasarnya adalah mulia, dalam arti liberalisme sebagai paham pemikiran yang optimistis tentang manusia.
Liberalisme percaya akan kemampuan manusia untuk berpikir sendiri, tidak perlu diatur oleh orang lain, tidak perlu dipaksa oleh orang lain. Manusia mampu memahami apa yang baik bagi dirinya dan mampu bertindak. Jadi, ini yang mengherankan saya kenapa paham ini ditentang dan dianggap hanya sebagai seks bebas dan perilaku seks tanpa norma. Dan kalau bicara tentang kebebasan atau menyangkut hal yang bebas, orang biasanya mengasosiasikannya dengan hal yang jorok atau berkonotasi negatif, padahal artinya sama dengan merdeka. Bangsa bebas, manusia bebas,
dan bukan bangsa yang jorok.
Bangsa merdeka dan manusia merdeka itu berada dalam tataran yang sama, walaupun unitnya berbeda. Kenapa bangsa harus merdeka dan perlu merdeka jika individu yang merdeka dianggap jorok, berbahaya, dan kemudian harus dibatasi" Ini kadang-kadang bersumber dari ketidakpahaman yang agak sistematis terhadap paham-paham modern.
Kalau kita kaitkan dengan demokrasi, keduanya (demokrasi dan liberalisme) tidak langsung berhubungan. Demokrasi bisa tidak liberal, bisa juga liberal. Makanya pendidikan liberal perlu bagi demokrasi, karena demokrasi bisa mengandung unsur yang tak-liberal, bisa juga yang liberal. Kalau kita lihat hubungan keduanya, demokrasi modern bisa tumbuh dengan sehat dan langgeng kalau ia mengadopsi unsur-unsur yang liberal, dalam pengertian bahwa jika manusia yang diatur sistem demokrasi itu adalah manusia-manusia yang mandiri, yang mampu memilih bagi dirinya sendiri, yang tahu tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik. Singkatnya, inilah apa yang disebut sebagai demokrasi liberal.
Kalau kita berbicara lebih lanjut mengenai paham liberal, ada pertanyaan: jika semua manusia bebas bertindak, bebas melakukan apa yang dia inginkan, bagaimana jika terjadi benturan" Makanya, pemikir-pemikir liberal datang dengan formula bahwa Anda bebas sebebas-bebasnya selama Anda tidak mengancam, mengganggu, membahayakan orang lain. Artinya batas kebebasan Anda adalah kebebasan orang lain. Kebebasan Anda berhenti manakala Anda sudah mengancam kebebasan orang lain. itu saja formulanya. Sangat simpel dalam segi teoretis, tapi tentu saja dalam praktik tidak demikian.
Contohnya: apakah rokok membahayakan orang lain" Jika membahayakan, perlu dilarang atau tidak" itu formulasi praktis. Tapi ide dasarnya adalah: Sejauh Anda tidak membahayakan orang lain, Anda bebas. Anda tidak bebas menipu saya, Anda tidak bebas menghukum saya, Anda tidak bebas membunuh saya. Karena orang lain mempunyai kebebasan pula. Tetapi untuk memilih istri, sekolah, pacar, baju, rumahtangga, Anda bebas. itulah dasar pemikiran liberal, walaupun tidak dikatakan. Anda bebas untuk bekerja di mana pun Anda suka, Anda bebas juga untuk memilih agama Anda. Untuk anak saya, saya dapat berkata "kamu harus ikut saya". Tetapi, jika Anda sahabat saya, tetangga saya, atas dasar apa Anda harus ikut agama saya" Anak saya pun, jika dia sudah berumur 13 tahunan, saya tidak lagi berhak mengharuskan dia ikut agama saya. Jadi, kita perlu memperlakukan orang lain tidak sebagai anak kecil.
Kebebasan, sebagaimana segala sesuatu dalam hidup, selalu mengandung risiko. Orang tidak langsung tahu apa yang dia inginkan, berlaku sesuai dengan apa yang dia dianggap baik. Orang memerlukan proses atau waktu untuk belajar. Orang kadang-kadang baik dan kadang-kadang jahat. Kalau kita melihat potret kehidupan manusia, ada yang di masa mudanya nakal, kemudian dia tumbuh menjadi dewasa dan baik, atau sebaliknya. Orang pasti berubah-ubah, tetapi selalu ada ruang untuk belajar, untuk bereksprimen. Ada orang yang dipaksa-paksa dengan sistem otoriter tetap menjadi liar. Jadi, tidak ada sistem yang dapat menjamin tidak ada orang yang nakal dan liar di dalamnya.
Namun dalam sistem yang menganut asas-asas liberal, ada sarana dan metode yang dapat menjamin manusia secara umum untuk menentukan apa yang mereka inginkan. Kalaupun ada penyimpangan (anomali), ada sistem untuk memperbaiki mereka, seperti sistem hukum, penjara, dan sebagainya. Kalau itu tidak dicakup oleh sistem hukum, ada pula yang dinamakan sanksi sosial, dan ini selalu melekat dalam masyarakat. Tetapi sebagai gagasan, liberalisme modern adalah salah satu penopang sistem demokrasi liberal.
Sistem-sistem lain, misalnya otoritarianisme, pada akhirnya mengekang kebebasan manusia. Ada negara-negara yang berhasil memajukan warganya, tapi tidak menganut sistem demokrasi dan tidak liberal, seperti Singapura.
Singapura memang negara yang sejahtera, sistem hukum dan ketaatan warganya terhadap hukum lebih baik dibanding Indonesia, yang secara formal demokrasi. Singapura tidak kalah dibanding Amerika dalam
hal pelaksanaan dan ketaatan pada hukum. Tapi di Singapura tidak ada sistem yang dapat menjamin kebebasan seseorang pada tingkat politik. Tidak berarti bahwa Singapura tidak liberal. Ada masyarakat yang lebih ekstrem di mana negara masuk terlalu jauh dalam pengaturan kehidupan sosial. Singapura memang mengatur kehidupan sosial dalam masyarakatnya, tapi tidak masuk terlalu jauh.
Sistem lainnya, misalnya di Arab Saudi, masih mengatur bagaimana seharusnya seorang wanita berpakaian. Itu lebih ekstrem dibanding negara-negara lainnya. Wanita dibatasi kebebasannya dalam hal menentukan pilihannya, misalnya dalam memilih sekolah. Saya kira hal itu tidak akan berjalan terlalu lama, karena sudah menjadi kodrat manusia modern untuk terus-menerus menjadi mandiri, baik itu di Indonesia, Singapura, maupun Arab Saudi. Suatu saat sistem seperti itu akan menjadi terbuka dan akan menjadi bagian dari sejarah.
Mungkin penduduk negeri-negeri semacam itu sekarang bahagia. Tapi seiring dengan proses kemajuan, modernisasi, proses perluasan ruang bagi manusia untuk bergerak sesuai dengan gerak sejarah, saya rasa hal itu tidak dapat dipertahankan. Artinya mereka hanya bersifat temporer. Anda juga harus melihat bahwa sekitar 300 tahun yang lalu semua bangsa, dalam pengertian modern, juga bersifat tak-liberal, tapi kemudian mereka berubah.
Kebanyakan orang di Indonesia, termasuk kalangan cendekiawannya, masih mengartikan liberalisme secara negatif. Ini merupakan pengaruh sejarah. Sebagian karena masyarakat Indonesia masih berada dalam kompleks agraris yang bersifat komunal-dan tidak ada masyarakat agraris yang liberal. Lihatlah kehidupan di pedesaan. Kecenderungan untuk ikut campur masalah orang lain, sibuk untuk mengatur masalah orang lain-atau bahasa kerennya: paternalistik-luarbiasa kuatnya. Di negara-negara maju pun ada kecenderungan bahwa semakin terpencil tempat tinggal Anda, semakin parokial cara berpikir Anda, semakin kurang liberal cara berpikir Anda.
Kita mengerti juga, selain ada masalah sosio-ekonomi, ada masalah historis. Indonesia lahir dari proses penentangan kolonialisme yang sering dikaitkan dengan kapitalisme, liberalisme, dan sebagainya. Kebanyakan pendiri negara kita adalah orang-orang sosialis-nasionalis; itu merupakan produk sejarah yang unik pada awal dan pertengahan abad ke-20. Kalau Indonesia lahir pada abad ke-21 tentunya akan berbeda; tapi kebanyakan negara Dunia Ketiga lahir pada pertengahan abad ke-20, ketika hak asasi manusia, liberalisme, sedang didiskreditkan di beberapa belahan dunia. Jadi, memang agak sedih juga kita melihat hal itu. Tapi itu masalah masa lalu.
Sekarang justru arah dan kecenderungannya sudah berbalik. Mau tidak mau, sekarang ini kita dipaksa untuk menjadi semakin liberal. Lihat saja media elektronik seperti televisi. Atau bagaimana Anda bisa melarang Internet, koran, hand phone, atau media komunikasi lainnya" Hal itu secara langsung memperluas ruang kebebasan, ruang pilihan-pilihan, bagi individu. Jadi, saya melihatnya lebih ke depan, selain ke belakang. Orang bicara bahwa kehidupan kita sarat dengan sejarah, tetapi sejarah juga hidup dalam batin kita. Dan perlu diingat, sejarah itu bergerak. Dan sekarang, kalau kita lihat, arusnya tidak tertahankan. Yang mengkhawatirkan sebetulya adalah dimensi ekonomi.
Sekali lagi, ekonomi-politik liberal percaya pada kebebasan, bahwa manusia mampu menemukan apa yang baik, mampu berpikir bagi dirinya sendiri, dan dalam proses mengejar kepentingan dirinya sendiri yang membawa manfaat bagi orang lain. Dalam ekonomi juga dipercaya bahwa para penjual dan pembeli memikirkan kepentingan mereka sendiri. Ini tidak perlu dinafi -kan. Dalam proses tersebut kemudian mereka membawa kepentingan bagi semua orang. Pedagang koran, misalnya, mengantarkan koran ke rumah Anda bukan karena mereka baik, melainkan karena mereka ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka demi kelangsungan hidup mereka. Jadi, itulah dasar-dasar ekonomi liberal, walaupun rumit dalam kembangan-kembangannya.
Dan terbukti bahwa sistem ekonomi yang menganut asas seperti ini adalah s
istem ekonomi yang mampu menjamin kemajuan. Dan justru ide yang ingin melawan ide liberalismelah yang terpuruk, baik negara komunis maupun negara etatis. itu merupakan bukti bahwa mereka tidak mampu memberikan alternatif atas sistem ekonomi liberal.
indonesia pada awalnya lebih banyak diatur oleh gelora sosialisme dan nasionalisme. Tapi pada era 80-an kita berubah. Kita semakin terintegrasi dengan perdagangan dunia yang asas-asasnya liberal, dengan adanya deregulasi dan sebagainya. Sejak itu pertumbuhan kesejahteraan semakin meningkat, walaupun masih banyak kekurangan rezim Orde Baru. Harus kita akui bahwa Pak Harto, dibanding Bung Karno, telah membuka ekonomi indonesia, walaupun tidak sepenuhnya; ia memulai langkah pertama mengintegrasikan ekonomi indonesia, dan kemajuannya luarbiasa.
Negara-negara yang tertutup atau setengah tertutup, pro-teksionis, juga membuka diri, dan tidak dapat dimungkiri bahwa dengan mengintegrasikan diri ke dalam ekonomi dunia mereka mengalami kemajuan besar. Mulai dari Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Malaysia, Thailand, Singapura, semua adalah contoh konkret bahwa hanya dengan perdagangan, hanya dengan membuka diri, mereka menjadi negara yang maju, dan sekarang sama majunya dengan negara-negara maju di Eropa. Sebaliknya, negara-negara yang menutup diri atau memproteksi ekonominya, atau yang sangat membenci ekonomi pasar, seperti Myanmar, juga negara-negara Afrika, Amerika Latin, Asia, tetap terbelakang. Cina dan India, setelah membuka diri, bisa kita lihat sendiri bagaimana perkembangannya.
Jadi, tanpa teori canggih-canggih, akal sehat saja bisa menunjukkan bahwa Anda menggunakan kebebasan manusia justru demi kesejahteraan manusia. Yang saya khawatirkan indonesia. Karena selalu setengah-setengah, tidak pernah benar-benar jelas terhadap semua ini, kita tidak dapat memanfaatkan kesempatan yang ada untuk semakin memicu tingkat kesejahteraan ke arah yang lebih baik. Jika dibanding negara-negara lain, kita hanya mengalami pertumbuhan ekonomi 5,7% per tahun; ini memang sudah cukup bagus, dan mungkin ketiga atau keempat tertinggi di Asia, setelah Cina dan india. Tapi sebenanya kita juga mampu tumbuh sampai 8-9%, seperti Cina, atau 7% seperti india. Kenapa tidak"
Kita bisa menggerakkan pertumbuhan ekonom kita, bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi rakyat kita, bisa membawa masyarakat miskin di pedesaan menjadi bagian dari masyarakat industri yang baik dan sejahtera. Proses ini terhambat karena kita mendua dalam melihat kebebasan ekonomi dan kebebasan manusia.
Kesenjangan antara si kaya dan si miskin itu selalu ada di semua sistem, bahkan lebih parah lagi dalam sistem non-liberal. Artinya, perbedaan antara kaya dan miskin adalah fakta sosial. Kita tinggal melihat kecenderungannya. Apakah si miskin berpendapatan Rp500 ribu sementara yang kaya Rp500 juta" Ini merupakan kesenjangan. Tetapi ada juga: yang kaya berpendapatan Rp500 juta dan yang miskin Rp5 juta. Ini juga senjang. Jadi, yang kita bicarakan kesenjangan yang mana" Liberalisme tidak berkata bahwa kesenjangan itu akan hilang. Liberalisme, dalam pengertian sistem ekonomi pasar yang dikelola oleh kepentingan masing-masing, dan yang terbuka terhadap dunia luar, bisa menjamin bahwa yang miskin memiliki pendapatan minimal yang mampu untuk hidup dalam kesejahteraan.
Kondisi miskin itu berbeda-beda di tiap negara. Di negara-negara yang katakanlah tertinggal, kalau Anda miskin Anda praktis tidak punya apa-apa. Kalau Anda miskin di New York, Anda punya apartemen, mobil, televisi, bisa menyekolahkan anak. Miskin dalam pengertian Amerika tetap memiliki kelengkapan-kelangkapan hidup di mana Anda bisa menjadi manusia yang punya martabat. Mereka yang miskinnya dianggap ekstrem, mendapat tunjangan sosial. Dan sistem tunjangan sosial ini samasekali tidak berlawanan dengan prinsip liberalisme modern; ia merupakan bagian dari liberalisme modern, yang mengakui bahwa negara juga memiliki peran. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tidak punya fungsi atau peran sosial seperti itu.
Anda tidak mungkin menanggung orang miskin jika
Anda tidak punya uang. Artinya, ada yang harus tumbuh dan berkembang, yaitu ekonomi. Dengan adanya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, kita bisa menanggung orang miskin; mereka bisa mendapatkan kehidupan yang layak. Kalau Anda tutup dan hambat ekonomi dengan segala macam ilusi seperti sosialisme, utopia, populisme, justru Anda tidak bisa menanggung orang miskin dengan baik.
Anda lihat di India, misalnya, orang-orang miskin tidur di pinggir jalan. Jumlahnya ribuan. Negara tidak bisa menanggung mereka, karena negara tidak punya sumberdayanya. Tetapi, hal semacam itu tidak terjadi di negara-negara yang sudah maju dengan ekonomi yang terbuka. Saya tidak bilang semua ekonomi maju adalah liberal dalam pengertian yang saya maksud, tapi elemen-elemen pasarnya itu kuat dan bekerja dengan baik. Negara memetik keuntungan dengan kuatnya ekonomi. Inilah yang harus kita lakukan. Jangan punya ilusi bahwa kemiskinan bisa tertanggulangi jika ekonomi tidak tumbuh. Pertanyaannya: bagaimana kita menumbuhkan ekonomi" Tidak ada cara selain mengadopsi pikiran-pikiran liberal, dalam arti bahwa kita harus membuka pasar, membuka ekonomi Indonesia, mengundang investasi; kita perkuat hukum supaya kepastian antara kaum pengusaha dan kaum buruh bisa terjadi.
Ada sejumlah kemungkinan sebab mengapa pemerintah kita tidak secara tegas memilih ekonomi pasar. Pertama, mungkin ada persoalan intelektual, yaitu kebelumyakinan kita terhadap baiknya pemikiran pro-pasar. Ini adalah tradisi, dan merupakan tantangan kita dan salah kita kenapa kita tidak membujuk mereka dengan cara-cara yang efektif. Kedua, persoalan politik. Mengubah ekonomi ke arah yang lebih sehat itu menciptakan kalah dan menang.
Ada yang semua diproteksi, kemudian dibuka. Yang paling gampang adalah kasus BBM. Proteksi BBM dengan subsidi adalah untuk kalangan kelas menengah, bukan untuk kalangan miskin. Kalau kita mengubahnya-dari semula terbiasa membayar murah kemudian harus membayar mahal- itu menjadi alasan untuk menuding pemerintah. Padahal sebenarnya kita naik mobil dengan membayar harga yang sewajarnya. Malahan, 95% negara di dunia lebih mahal harga bensinnya dibanding di Indonesia. Tapi karena kita terbiasa beli murah, maka ketika kemudian dimahalkan kita marah-marah. Ada banyak contoh lain yang persoalannya mungkin tidak hitam-putih.
Demikian juga masalah-masalah seperti kepemilikan BUMN, misalanya Garuda dan lainnya. Mereka disebut milik pemerintah, milik rakyat, kalau kita jual kepada swasta kita kehilangan aset negara. Padahal, apa sebenarnya arti kepemilikan tersebut" Lion Air adalah milik swasta, Garuda milik kita. Tapi kalau kita ingin naik pesawat mereka, kita sama-sama beli tiket. Jadi apa sebenarnya yang dimaksud milik kita" Apakah Lion Air tidak memelihara pesawatnya dan tidak menggaji karyawannya" Mungkin mereka menggaji karyawannya lebih tinggi. Saya tidak tahu apa beda antara Lion Air milik swasta dan Garuda milik kita.
Bagi saya yang penting adalah mereka membayar pajak, yang nantinya kita gunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit dan sebagainya. Lion Air harus bayar pajak, dan Garuda pun harus bayar pajak; tidak mentang-mentang milik kita kemudian Garuda tidak bayar pajak. Para pejabat negara pun kalau naik Garuda harus bayar. Tidak wajar kalau mereka tidak bayar hanya karena Garuda "milik kita". Jadi, apa makna "memiliki" dalam konteks itu" Hambatan mental seperti ini yang harus kita tembus.
Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perusahaan yang dimiliki swasta mungkin lebih baik, lebih efisien, tapi saya tidak tahu. Saya tidak bilang Lion Air lebih baik. ini sekadar contoh, dan bukan untuk mempromosikan Lion Air. Pertanyaan pokoknya adalah: apa bedanya bagi kita, warganegara, dalam hal perusahaan yang satu dimiliki swasta dan yang lain dimiliki negara" Tidak ada.
Saya kira masalahnya selain muncul dari para ekonom, juga dari para cendekiawan umumnya. Mereka mengemukakan macam-macam argumentasi yang, kurang-lebih, dianggap ilmiah. Mereka terus berusaha membuktikan bahwa sistem pasar bebas itu tidak adil, dan yang adil adalah sistem yang sebaliknya. Tapi, apakah yang disebut adil itu" i
ni tampaknya konsep yang sederhana. Tapi, apa yang adil" Apakah jika saya memiliki penghasilan yang sama dengan orang lain dapat dikatakan adil" Kalau orang lain pintar dan saya bodoh, mengapa saya ingin penghasilan saya sama dengan dia" Ada yang ganteng, cantik, yang kurang cantik, dan yang diterima yang cantik. Apakah ini adil"
Pertanyaan tentang yang adil ini sangat elusif. Tetapi intinya adalah: apakah ia menjamin kesejahteraan dalam pengertian umum, buat semua orang"
Individu vs Masyarakat individualisme sering dianggap sesuatu yang negatif, yang disejajarkan dengan egoisme (sikap egois) atau egosentrisme. Orang yang dianggap individualistik biasanya orang itu dianggap hanya memikirkan dirinya sendiri, bahkan seraya otomatis dianggap melanggar hak-hak masyarakat.
Konsepsi terhadap paham penting ini memang sering disalahpahami. Padahal, sebenarnya paham ini sangat sederhana. Ia mengakui fakta yang alamiah bahwa setiap manusia dalam memandang dunia di sekitarnya selalu memakai kacamata atau persepsi dirinya sendiri. Tidak ada orang yang mencoba melihat dunia ini lewat pikiran dan mata orang lain-selain karena memang tidak mungkin demikian berdasarkan bangunan fisik manusia.
Ada sebuah contoh gampang yang pernah diberikan oleh Adam Smith, pemikir ekonomi yang dianggap sebagai "Bapak Kapitalisme". Coba lihat, kata Smith, kalau misalnya ada seribu orang mati di Cina, Anda yang di Inggris mungkin malam itu bisa tidur lelap. Tapi coba jika pada saat yang sama jari kelingking Anda tergores sedikit dan kemudian memar atau bernanah. Maka rasa sakit itu mungkin akan membuat Anda semalaman tidak bisa tidur karena memikirkan jari kelingking Anda itu.
Atau misalnya Anda diberi pilihan yang ekstrem: kalau Anda disuruh memilih antara kehilangan jari kelingking Anda besok pagi karena dipotong atau dua puluh orang meninggal di Cina. Mana yang akan Anda selamatkan: kelingking Anda atau nyawa dua puluh orang itu" Mungkin Anda relakan kelingking Anda. Tapi dilemanya: Anda berpikir tentang sakitnya kelingking Anda itu. Nah, itu berarti Anda tidak salah memikirkan kelingking Anda. Karena bagaimanapun manusia harus berpikir, dia harus melalui bangunan dirinya.
Individualisme sebagai sebuah paham sebenarnya mulai dari fakta sederhana itu. Dia tidak ingin mengingkarinya dengan berkata bahwa, "Lupakan dirimu atau jangan pikirkan dirimu, tapi pikirkan masyarakat yang lebih besar." Memikirkan diri sendiri itu jangan disamakan dengan egoisme. Jadi yang bisa dilakukan bahwa dalam melihat masalah dan dilema-dilema masyarakat, jangan ingkari kepentingan individu; jangan ingkari cara berpikir masing-masing individu dalam melihat persoalan dan kepentingannya.
Saya pernah memberi contoh sederhana tentang Siti Nurbaya, yang dipaksa oleh ayahnya untuk kawin dengan lelaki yang bukan pilihannya, Datuk Maringgih. Sang ayah bisa bilang bahwa perjodohan paksa tersebut untuk kepentingan keluarga, padahal kita tahu itu demi penyelesaian utang-piutang. Tetapi apapun alasan di luar Siti Nurbaya, pemaksaan itu sebenarnya tidak mengakui individu sang anak yang boleh memilih bagi dirinya sendiri. Jadi individualisme itu bukan berarti seseorang harus egosentris. Itu sekadar pengakuan bahwa manusia dalam melihat persoalan tidak melalui kacamata orang lain.
Dan hal itu tidak berarti harus bertentangan dengan masyarakat. Justru masyarakat akan sangat beruntung jika individu-individu yang ada di dalamnya, yang membentuk masyarakat itu adalah individu-individu yang matang, dewasa, yang mampu memilih bagi dirinya sendiri. Masyarakat semacam itulah sebenarnya yang terbaik. Bukan masyarakat yang diko-mando oleh seseorang-bisa ayah, paman, pemimpin politik, pemimpin agama atau apapun-yang memaksakan kehendak bagi individu-individu dalam proses beragam pilihan dalam kehidupan.
Dalam ungkapan lain, dalam konteks masyarakat, paham individualisme itu menekankan bahwa hendaknya individu atau hak-hak individu itu dipertimbangkan atau dijamin, bukan digerus atau dikalahkan oleh apa yang disebut kepentingan umum. Dalam bangunan tata masyarakat m
Ilmu Ulat Sutera 5 Never Too Far Too Far 2 Karya Abbi Glines Jurus Tanpa Bentuk 2
Dari Langit Rizal Mallarangeng Kumpulan Esai tentang Manusia, Masyarakat, dan Kekuasaan
Pengantar Goenawan Mohamad Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
bekerjasama dengan Freedom Institute
Membaca Rizal Mallarangeng:
Sebuah Pengantar Oleh Goenawan Mohamad saya tak tahu, mana yang lebih baik: Rizal Mallarangeng sebagai peserta aktif dalam arena politik, atau ia tetap jadi seorang ilmuwan dan sekaligus "public intellectual" seperti selama ini.
Yang pasti, tulisannya tentang pelbagai persoalan politik di Indonesia, yang dihimpun dalam buku ini, menunjukkan kualitas yang langka di antara mereka yang mengisi kolom-kolom koran dan majalah sejak dua dasawarsa terakhir: paparannya terang, tapi tak pernah simplistis, argumennya bergairah, tapi tak pernah meremehkan pandangan yang berlawanan. Ia dapat menggabungkan pengetahuan teori yang luas dan da-lam-yang tak saya lihat pada ilmuwan politik lain-dengan rasa terlibat dalam soal-soal yang aktual di sekitarnya.
Dan yang juga tak dapat diabaikan: Rizal tidak takut untuk mengutarakan pendiriannya yang-dalam kategori kalangan intelektual Indonesia-dianggap "kanan". Kritiknya terhadap tesis-tesis Marxisme (dari "Nabi yang Gagal" sampai dengan bahasannya tentang teori Peter Berger), pembelaannya kepada pemikiran "pluralis" terhadap kritik Gaventa, dukungannya kepada pemikiran Nozick, dan enthusiasmenya kepada Isaiah Berlin yang lebih ketimbang kepada Charles Taylor, meletakkannya di dalam garis "liberal".
Kata "liberal" memang bisa membingungkan; di dalam leksikon politik Amerika ia berarti lawan dari "konservatif" dan tak jarang dikaitkan dengan pengertian "progresif". Dalam The New Republic (Maret, 2007) Paul Starr, sosiolog Princeton University, merumuskan "liberalisme" dengan mengatakan bahwa kaum liberal "mendukung peran negara yang lebih luas dalam urusan sosial dan ekonomi". Di dalam kancah politik Inggris dan Eropa, "liberal" berarti bukan "kiri", bukan misalnya komunis atau sosial-demokrat. Di Indonesia, sejak Bung Karno mengutuk "demokrasi liberal" dalam rangkaian kampanye "demokrasi terpimpin" dan "sosialisme", kata "liberal" punya konotasi yang buruk, dikaitkan dengan sikap pro-"Barat".
Jika Rizal Mallarangeng dikatakan "liberal", itu mungkin karena ia mendukung kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, dan kebebasan memilih kepercayaan. Ia juga mendukung perluasan pasar bebas, kebebasan peradilan dari campur-tangan kekuasaan lain, dan tentu saja jadi penganjur "demokrasi liberal", yang tak lain: demokrasi dengan pemilihan terbuka dan adil, yang tersedia bagi semua warganegara yang dianggap setara di depan hukum.
Dengan kata lain: cita-cita pokok Reformasi menjelang dan sejak 1998, tahun runtuhnya "Orde Baru".
Saya belum diyakinkan apakah dewasa ini di Indonesia telah tumbuh ide-ide alternatif bagi cita-cita pokok itu. Yang umumnya paling terdengar adalah semangat yang menentang pasar bebas, apalagi "globalisasi" dan yang disebut sebagai "neoliberalisme". Sekarang oposisi ini satu-satunya argumen yang paling berpengaruh yang melantunkan semangat "kiri", setelah "kiri" yang terdahulu jadi menciut karena gagalnya eksperimen sosialisme di pelbagai negeri.
Semangat "kiri" ini bagi saya merupakan ekspresi terkuat kembalinya "the ethical" ke dalam "the political". Dengan itu, beberapa hal buruk yang tampak dewasa ini disoroti dan diserang: ketimpangan sosial, rusaknya lingkungan karena modal dibiarkan merajalela, dan bercabulnya komodifikasi kehidupan.
Tapi harus diakui, semangat "kiri" ini punya problem ketika harus menguraikan sejauh mana peran "Negara" dalam mengatasi hal-hal buruk itu. Terutama di Indonesia. Inilah republik yang pernah mengalami ambruknya perekonomian karena percobaan "sosialisme Indonesia" pada 1958-1965. Sejak itu birokrasi sangat berkuasa, tercermin dari banyaknya perizinan dalam hidup ekonomi dan sosial. Sejak itu-sejak "ekonomi terpimpin" meletakkan jenderal dan pejabat untuk memegang bisnis perkebunan, pertambangan, transportasi, dan lain-lain- meruyak korupsi. Hingga hari ini.
Menghadap i kondisi itu, pemikiran yang menentang "pasar bebas" tak banyak berbicara untuk menguraikan posisinya. Persoalan klasik belum terjawab: bagaimana menghadapi "modal besar" tanpa menggunakan tangan birokrasi yang besar" Di tengah kekosongan jawaban itulah Rizal Mallarangeng sangat fasih dalam menghadapi semangat yang disebutnya "populis" itu-sebuah "populisme" yang bersuara keras tapi akhirnya terasa gagap.
Persoalan yang bisa timbul dari situasi polemis-yang tampak merangsang dan menghidupkan pelbagai tulisan dalam buku ini-ialah menajamnya sebuah pendirian. Sebuah argumen bisa jadi seperti pisau bedah: tajam, menyempit, tegar. Pada saat yang terbaik, argumen Rizal sulit ditangkis; pada saat yang terburuk, ia jadi kurang kritis terhadap kesimpulan-kesimpulannya sendiri. Saya, misalnya, melihat bahwa pandangannya tentang pemerintahan George W. Bush keliru. Bush, yang bagi Rizal "wakil yang hampir sempurna arus realisme dalam politik", tak lebih daripada boneka desain "The New American Century" yang berangkat dari ilusi besar tentang kekuatan Amerika di abad ini. Kekuatan militer Amerika memang tak tertandingi, tapi kekuatan itu tak bisa menyelesaikan tujuan-tujuan penting, bahkan bisa kontraproduktif: terorisme yang diperanginya mendapatkan angin dari perasaan anti-Amerika yang meluas sejak Perang Irak yang bermula dari alasan yang salah dan palsu. "Bush tentu tidak mungkin menghindar sepenuhnya dari tuntutan agar kebijakan luar negeri pemerintahannya juga mencerminkan sentiman moral rakyat AS yang sangat memuja demokrasi dan hak-hak asasi," tulis Rizal. Tapi Bush ternyata bisa terus bekerja dengan reputasi yang tercela justru dalam soal hak asasi: Guantanamo, penghalalan penyiksaan tahanan. Demokrasi Amerika mengagumkan-tapi juga bisa jadi saluran paranoia setelah "11/9", atau "patriotisme" yang naif dan berpikiran sempit dan dengan mudah siap mengagungkan peperangan. Tak mengherankan bila sejarawan Tony Judt menulis dalam The New York Review of Books (1 Mei 2008): "Amerika Serikat kini satu-satunya demokrasi yang telah lanjut di mana tokoh-tokoh publik mengagungkan dan menjunjung tinggi militer, sebuah perasaan yang dikenal di Eropa sebelum 1945 tapi tak terasa lagi sekarang."
Tapi harus saya katakan segera: kekeliruan analisis seperti tentang pemerintahan Bush itu-yang ditulis sebagai polemik cepat-bukan cerminan dari tulisan-tulisan Rizal umumnya. Tak boleh dilupakan: sumbangan Rizal terpenting adalah dalam mengubah pemikiran dan penulisan politik yang dominan di Indonesia. Rizal menunjukkan dengan efektif bahwa analisis politik bukanlah serangkaian petuah tentang "apa yang sebaiknya", melainkan tentang apa yang tidak.
Ketika demokrasi liberal dirundung apa yang disebut Simon Critchley dalam Infinitely Demanding (Verso, 2008) sebagai "motivational deficit", kembalinya "the ethical" ke dalam "the political" memang perlu. Dalam tulisan-tulisannya, Rizal tidak mencoba membantu pencarian ke arah itu. Tapi itu memang bukan tugas dan panggilannya sebagai seorang ilmuwan politik-meskipun ia ilmuwan dan sekaligus komentator politik terbaik yang kita punyai selama ini.
Pengantar Penulis Setangkai Anggur, I Can Do No Other akhirnya terbit juga. Sudah cukup lama sebenarnya kumpulan tulisan ini disiapkan dan beberapa sahabat dekat saya di Freedom Institute, terutama Nirwan Dewanto dan Zaim Rofiqi, sudah membaca naskahnya berulangkali. Zaim bahkan telah menerjemahkan dengan baik beberapa paper saya dalam bahasa Inggris yang saya tulis di Columbus, Ohio. Tapi entah kenapa, saya cukup lama terombang-ambing antara ya dan tidak. Barulah setelah mereka meyakinkan beberapa kali, akhirnya saya setuju.
Malahan, setelah melihat kumpulan tulisan ini dirangkai menjadi satu draf buku, dibagi dalam topik yang tersusun rapi, saya jadi agak terkejut bercampur senang. Ternyata, dalam rentang waktu 1993-2008, saya telah menulis cukup banyak tentang beragam isu, mulai dari filsafat politik, demokratisasi, globalisasi, kebudayaan, ekonomi, politik internasional, hingga tokoh-tokoh politik dan sejarah. Keragaman isu dan top
ik yang ada di sini barangkali mencerminkan kelemahan saya yang cenderung tidak terlalu sabar untuk berlama-lama mempelajari hanya satu atau dua topik saja. Saya senang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, membaca buku politik minggu ini, dan minggu depan sudah memegang buku lain lagi mengenai sejarah ekonomi.
Yang juga membesarkan hati saya adalah bahwa, di samping keragaman dan cakupannya yang cukup luas, kumpulan tulisan ini ternyata tidak tercerai-berai, melainkan disatukan oleh beberapa ide dasar, suatu cara pandang tertentu terhadap dunia dan kompleksitas permasalahan di dalamnya. George F. Will pernah berkata bahwa ide-ide datang pada kita seperti buah anggur, berkelompok dan berderetan dalam tangkai yang sama. Kalau harus menggunakan terminologi, maka mungkin bisa dikatakan bahwa tangkai anggur saya adalah gagasan liberal, dalam pengertian klasik, suatu gugusan ide yang didasarkan pada kepercayaan besar terhadap kebebasan manusia. Barangkali, tanpa sepenuhnya sadar, gagasan inilah-yang tumbuh di Eropa pada abad ke-18, terutama di Inggris dan Skotlandia- yang selalu mewarnai cara pandang saya terhadap dunia di sekitar saya.
Saya cukup senang, karena dengan begitu sebagai penulis saya bukan lagi tanpa alamat. "A writer," seingat saya kolomnis Thomas L. Friedman pernah setengah meledek, "is an observer with attitude." Seperti setiap penulis lainnya, saya percaya bahwa ide-ide saya mewakili kebenaran, setidaknya untuk sementara waktu. Tapi kalau toh ternyata saya keliru, atau mungkin terlalu kaku dan sempit dalam memandang beberapa hal, setidaknya saya telah berusaha menawarkan sesuatu.
Karena itu, kalau boleh meminjam Martin Luther, saya ingin berkata, "Ich kann nicht anders. Gott helfe mir. Amen." ["Here I stand. I can do no other. So help me God. Amen."] Kini saya serahkan kepada sidang pembaca untuk menilai apakah setangkai anggur yang saya tawarkan lewat buku ini cukup bermanfaat dalam upaya pencarian pengertian yang lebih baik tentang hal-hal penting dalam kehidupan ini.
*** Saya masih harus membuka-buka catatan pribadi untuk mengerti dengan persis kapan dan bagaimana ide-ide dasar yang ada dalam kumpulan tulisan ini mulai membentuk kerangka berpikir saya. Pada mulanya barangkali adalah sifat dan kepribadian. Beberapa kawan sering memperingatkan saya dengan setengah frustrasi bahwa saya terlalu optimistis dalam melihat manusia dan kehidupan. Saya tidak tahu, tapi harus saya akui bahwa saya memang senang dan gampang tertarik dengan hal-hal yang membangkitkan semangat, pandangan yang terbuka dan melihat sisi yang baik dari kehidupan ini, yang melihat kelemahan manusia sebagai sisi lain dari kekuatannya, yang melihat proses perjalanan waktu sebagai suatu kecenderungan progresif justru karena manusia selalu berusaha, bekerja, berpikir, menghindari kelemahannya sambil mendorong kelebihannya, dan seterusnya dan seterusnya.
Apakah hal itu adalah hasil belajar, akumulasi pengalaman hidup, atau datang begitu saja, suatu kenyataan internal yang berada di luar kontrol saya" Terus-terang, saya tidak tahu. Tapi saya menduga, hal itulah barangkali yang menyebabkan saya gampang tertarik pada gagasan liberal sewaktu mulai mendalami teori-teori sosial semasa mahasiswa di UGM sekian tahun silam. Setelah melewati tahun-tahun pertama dan terpukau pada pemikiran sosialis, teori ketergantungan, hingga ke Jalan Hidup Mahatma Gandhi, saya seolah mendapat pencerahan dan pelan-pelan mulai menyadari kelemahan ide-ide yang saya pelajari. Saya mencari penggantinya, dan tanpa mengalami banyak kesulitan, bertemu dan masuk semakin dalam ke jantung tradisi pemikiran liberal klasik.
Saya merasa bahwa ide-ide ini bukan saja lebih benar, lebih mampu membawa manusia ke cita-cita yang ideal, seperti kesejahteraan, perdamaian, kemajuan, melainkan juga karena ia lebih kena di hati saya. Ada skeptisisme, tetapi ada juga optimisme. Ada romantisme, tetapi tidak kurang juga realisme dan sikap yang realistik dalam memandang manusia dan masyarakat. Singkatnya: suatu pandangan dunia yang ingin mendorong kemajuan, tetapi denga
n tetap berpijak di bumi, dengan menyadari kelemahan dan kelebihan manusia sebagai manusia; suatu pandangan yang menyadari bahwa masyarakat yang lebih baik hanya mungkin dibangun justru dengan menyerap dan memberi saluran pada kelemahan dan kelebihan tersebut, pada kecemasan dan harapan mereka, bukan dengan mematikan atau menafikan salah satunya.
Setelah periode awal di Yogya, sambil melanjutkan studi di AS saya berusaha semakin mendalami ide-ide tersebut, sambil terus berupaya memahami alternatif dan penentang-penen-tangnya. Pastilah usaha seperti ini tidak akan pernah bertemu ujungnya. Kalau bisa memutar kembali jarum jam, saya sebenarnya ingin mempelajari lebih banyak lagi. Kegelisahan tidak pernah berhenti. Pertanyaan tidak pernah selesai. Walau demikian, sejauh ini saya sudah merasa sanggup berdamai dengan diri sendiri. Dengan segala kelemahan yang ada, saya merasakan kepuasan tersendiri telah mencoba mengeksplorasi suatu gagasan, berikut jalinan ide-ide turunannya, dengan keterlibatan emosional yang cukup intens, dengan perasaan bahwa saya berdiri on the right side of history.
*** "On the right side of history"" sebagian orang mungkin bertanya, bukan tanpa alasan yang jelas. Bukankah akhir-akhir ini, dengan bangkrutnya Lehman Brothers dan rontoknya raksasa-raksasa di Wall Street, dengan krisis global saat ini, yang mengingatkan banyak orang pada Depresi Besar di tahun 1930-an, kapitalisme dan liberalisme sudah gagal" Moskwa 1989 dan Wall Street 2008: tidakkah keduanya menjadi bukti gagalnya dua sistem besar, terkuburnya dua 'isme' modern yang saling bersaing"
Karena masih berada di tengah pusarannya, agak terlalu dini untuk saat ini menjelaskan akhir prahara finansial 2008. Dan tentu saja dengan terjadinya peristiwa ekonomi yang dahsyat ini-mungkin ia bisa disebut sebagai krisis globalisasi pertama di abad ke-21-akal sehat menuntut kita untuk bertanya dan menimbang-nimbang, kalau perlu dengan menggali kembali asumsi-asumsi dasar yang ada. Dan kalau kita membaca komentar dan tulisan-tulisan para pemikir di berbagai media populer dalam minggu-minggu belakangan ini, hal itu memang sudah mulai dilakukan. Paul Krugman, George Soros, Alan Greenspan, Francis Fukuyama, Fareed Zakaria adalah beberapa penulis dan pemikir, belum lagi para editor dan wartawan, yang sudah mencoba melakukannya dengan versi mereka masing-masing.
Tapi perdebatan di antara mereka bukanlah tentang kapitalisme vs sosialisme, atau kapitalisme vs sistem lainnya. Perdebatan mereka adalah pengulangan kembali dalam bentuk baru perdebatan Keynes vs Hayek di tahun 1930-an yang mencari jalan keluar dan sebab-musabab terjadinya Depresi Besar. Ia adalah serangkaian perdebatan intramural: bagaimana meningkatkan dan menyesuaikan sistem kapitalisme dengan konteks zamannya.
Kalau kita lihat fakta-faktanya, krisis global 2008 adalah kombinasi dari beberapa faktor pemicu. Pertama, meletusnya bubble pada sektor perumahan di AS; kedua, terlalu lamanya kebijakan easy money The Fed di bawah Alan Greenspan; dan ketiga, terjadinya peningkatan inovasi instrumen finansial terutama dalam satu dekade terakhir, seperti collateralized debt swap dan berbagai derivatives lainnya. Faktor-faktor ini berlangsung dalam konteks globalisasi yang semakin intensif, yang berarti bahwa begitu banyak kalangan dari berbagai belahan dunia yang juga turut terlibat secara serempak, langsung atau tidak, dalam jalinan satu atau dua faktor tersebut.
Selain itu, dari segi mood para pelaku bisnis dan tokoh-tokoh pemerintahan terutama di AS, tumbangnya komunisme pada akhir 1980-an barangkali memberi ruang yang terlalu luas pada euforia dan optimisme, yang terus berlanjut. Let's dance the night and stop the coming of the morning sun. Akibatnya adalah kehatian-hatian dan prudence yang berkurang, yang pada ujungnya adalah malapetaka.
Isu yang diperdebatkan sekarang adalah perlu tidaknya peran pemerintah diperbesar agar di masa-masa mendatang kesalahan yang sama tidak terulang kembali. Perlukah regulasi diperketat, pengendalian dan kontrol usaha swasta diperkuat"
Saya kira pend ulum memang sedang bergerak, walaupun masih tersisa pertanyaan besar: regulasi seperti apa, sejauh mana, peran pemerintah yang bagaimana" Apapun jawaban atas pertanyaan ini, ia pasti akan bersifat temporer, sebagaimana setelah Depresi Besar teori-teori Keynesian menjadi dominan, lalu disusul oleh teori-teori Hayekian dan Friedmanian.
Justru di situlah salah satu kekuatan sistem kapitalisme. Dari satu krisis ke krisis lainnya ia menyerap pembaruan, perubahan, penyesuaian dengan kondisi kontemporer, sambil terus memperbesar kemungkinan bagi banyak orang untuk meraih kecukupan material. Semua ini terjadi tanpa menghilangkan elemen-elemen dasar yang menopangnya sebagai suatu sistem, yaitu kebebasan dalam memilih, kebebasan untuk berusaha, kebebasan untuk mengambil risiko, serta penghargaan terhadap hak-hak dasar pemilikan.
Jadi, walaupun bandul pemikiran tentang hal-hal tertentu dalam pengelolaan kehidupan bersama sedang bergeser, dalam hal ini isu-isu ekonomi yang spesifik, saya masih belum terlalu yakin bahwa tenda besar pemikiran liberal klasik sedang goyah. Malah mungkin sebaliknya. Dengan semakin meningkatnya infrastruktur pendidikan di berbagai belahan dunia, dengan demokratisasi yang terus terjadi, walaupun dengan pasang dan surut, dengan semakin banyaknya informasi dan pilihan yang tersedia bagi semakin banyak individu: semua ini semakin memungkinkan kita untuk memikirkan, merumuskan dengan lebih baik, serta membela ide-ide kebebasan dalam berbagai aspeknya.
*** Dengan menjelaskan semua itu, saya tidak mengatakan bahwa pemikiran liberal tidak memiliki ketegangan di dalam dirinya sendiri. Ia bukanlah suatu kerangka berpikir yang memiliki jawaban yang selesai terhadap semua soal. Dari kerangka berpikir yang pada dasarnya sama, di AS misalnya, bisa tercipta dua kubu atau partai politik yang memiliki program dan basis pendukung berbeda, yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik. Kalau kita menghilangkan ekstremisme di ujung kiri dan kanan dalam kedua partai ini, maka yang terlihat adalah persamaan dalam perbedaan, unity in diversity, baik dalam program ekonomi maupun dalam banyak soal lainnya. Perbedaan yang ada hanyalah soal degree, bukan kind, soal sekian persen tambahan atau pengurangan pajak penghasilan, bukan pada ide bahwa ekonomi pasarlah yang paling mungkin membawa kesejahteraan dan memperluas kemungkinan bagi kemajuan masyarakat.
Di berbagai negeri lain, hal yang sama juga terjadi walaupun dalam konteks dan ekspresi politik yang berbeda-beda. Beberapa tulisan dalam buku ini akan memperlihatkan bahwa beberapa isu, seperti hakikat dan peran negara yang optimal, sikap terhadap separatisme, posisi individu dan masyarakat yang pas dalam kenyataan yang terus berubah, posisi dan cakupan hak-hak asasi manusia, tipe ideal sistem pemerintahan yang demokratis, dan semacamnya, dapat disikapi secara berbeda oleh orang-orang yang pada dasarnya setuju terhadap asumsi dasar tentang hak dan kebebasan manusia.
Sejarah dengan huruf kapital memang mungkin telah berakhir. Namun sejarah dengan huruf kecil terus berlangsung setiap hari di sekeliling kita. Dan kalau sudah begitu, maka menurut saya, kita harus mengingat kembali apa yang selalu disampaikan oleh Sir Isaiah Berlin dengan mengutip Kant: Out of the crooked timber of humanity, no straight thing was ever made.
Jadi menurut saya, selain memang ada koherensi gagasan, tenda besar pemikiran liberal membuka peluang bagi perbedaan, inovasi ide-ide, penyesuaian pemikiran universal dengan konteks lokal, dan semacamnya. Dalam hal ini konsistensi berjumpa dengan kearifan, teori bertemu dengan kekayaan pengalaman.
Karena itulah, tradisi pemikiran ini tidak pernah kering. Dan jika diterapkan sebagai suatu perspektif dalam melihat sejarah politik, pergulatan ide-ide dan aktor-aktor sejarah di dalamnya, serta dalam melihat dilema-dilema yang dihadapi dalam mengaplikasikan kekuasaan politik untuk mencapai tujuan-tujuan bersama, maka tradisi ini akan menjadi semakin kaya dan penuh warna.
*** Untuk konteks pemikiran di Indonesia, harus saya akui bahwa tradisi pemi
kiran demikian memang belum terlalu berkembang. Warisan tradisi intelektual kita lebih banyak bertumpu di aras sosialis, nasionalis, dan religius. Apa yang diungkapkan oleh Bung Karno sebagai suatu penciptaan tenda politik besar dari penggabungan ketiganya-nasionalisme, sosialisme, agama-adalah suatu ekspresi yang tanpa sadar sebenarnya telah menggambarkan dengan baik genealogi pemikiran di negeri kita.
Bukanlah hal yang mudah untuk merintis jalan baru. Ke-rapkali, salah pengertian dan kecurigaan lebih sering terjadi, bahkan di tingkat istilah atau terminologi. Tapi syukurlah, konteks besar Indonesia juga telah berubah, dan sekarang sudah muncul cukup banyak pemikir muda yang mulai membuka diri dan juga merintis suatu tradisi pemikiran baru.
Kepada mereka semua, mudah-mudahan buku ini dapat menjadi teman di perjalanan, sekadar pembanding untuk merumuskan ide-ide yang lebih baik lagi.
Akhirnya, yang tersisa adalah rasa syukur dan ungkapan terimakasih. Saya tidak mungkin menyebut satu persatu mereka yang telah membantu saya, langsung maupun tidak. Tetapi secara khusus saya ingin berterimakasih kepada Nirwan Dewanto, Zaim Rofiqi, Nong Darol Mahmada, Candra Gautama, Luthfi Assyaukanie, Sugianto Tandra, Saiful Mujani, Jeffrie Geovannie, Hamid Basyaib, Kuskridho Dodi Ambardi, Prof. Bill Liddle, Ulil Abshar-Abdalla, Ahmad Sahal, Nirwan Arsuka, Ayu Utami, Rustam F. Mandayun, M. Chatib Basri, M. Ikhsan, Raden Pardede, Lin Che Wei, Mahendra Siregar, Bayu Khrisnamurti, Amir Hakim Ekananda, Hidayaturohman, Agatha Dyah Sedah Asih. Mereka adalah sahabat-sahabat saya.
Saya pernah membaca beberapa laporan penelitian bahwa salah satu kunci kebahagiaan hidup adalah persahabatan yang akrab dan tulus. Saya tidak terlalu mengerti bagaimana mendefinisikan "kebahagiaan". Namun saya merasa bahwa hidup saya memang lebih kaya dan menyenangkan dengan adanya sahabat-sahabat yang membantu saya.
Secara khusus saya juga ingin berterimakasih kepada Andi A. Mallarangeng. Sebagai kakak, dia sangat menyenangkan. Dia mungkin tidak sepenuhnya mengerti betapa besar jasanya dalam perjalanan hidup saya. Sejak kecil hingga mahasiswa, bahkan hingga sekarang, dia bukan saja kakak dan teman sepermainan, melainkan juga seseorang yang menjadi sparring partner dalam begitu banyak perdebatan yang passionate tentang berbagai hal.
Selain itu, dalam beberapa percabangan jalan hidup di masa remaja saya, dia adalah titipan Tuhan, yang mengajak saya untuk menuju pada jalan yang benar.
I am a very lucky person because of him.
Kepada Dewi Tjakrawati, saya juga ingin menyampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya. Banyak tulisan dalam buku ini saya tulis hingga larut malam. Dan salah satu kepuasan terbesar saya adalah jika keesokan paginya, Dewi, setelah membaca naskah saya diam-diam, membangunkan saya sambil memberi komentar yang membesarkan hati.
Semoga terbitnya buku ini juga memberi kepuasan yang sama baginya.
Jakarta, 6 November 2008 BAB I Individualisme dan Utopia:
Tentang Filsafat Sosial, Politik, dan Ekonomi
Freedom: Sebuah Kerangka Umum sangat penting bagi kita membahas freedom dalam konteks Indonesia mutakhir. Arti dasar kata freedom adalah bebas. Dalam kebudayaan kita, bebas ini kadang dikonotasikan kurang tepat; diasosiasikan dengan cara hidup yang terlalu bebas, seks bebas, dan segala hal yang buruk. Ringkasnya: diidentikkan dengan liar. Jadi, kebebasan disamakan dengan keliaran.
Padahal free itu bermakna positif. Kebebasan mengandaikan makhluk yang secara alamiah memiliki kemampuan untuk berpikir, untuk merasa, dan untuk memilih bagi dirinya sendiri. Karena itu, kebebasan jika diterjemahkan sebagai sebuah sistem pengaturan masyarakat, berarti sistem yang percaya bahwa individu-individu yang ada dalam suatu masyarakat sesungguhnya bisa menggunakan kemampuan dan harkat mereka secara alamiah, serta mampu memilih bagi diri mereka sendiri.
Kadang memang ada kekhawatiran bahwa kalau orang dibiarkan bebas memilih, misalnya dalam konteks sebagai war-ganegara, maka orang akan memilih ke arah yang buruk. Tindakan m
emilih terkadang memang bisa keliru. Tetapi itu bagian dari proses pembelajaran untuk menjadi dewasa, untuk menjadi otonom. Seorang pemikir Jerman, Immanuel Kant, pernah menulis risalah tentang kebebasan dan emansipasi manusia. Kita, kata filsuf abad ke- 19 itu, harus percaya bahwa manusia mampu memilih, mampu tumbuh. Dalam proses itulah berlangsung pembelajaran.
Kalau sang manusia, sang individu, ingin dibuatkan pilihan terus-menerus oleh otoritas di luar dirinya, maka individu ter-sebut-dan ini bisa kita perluas menjadi masyarakat-tidak akan kunjung matang. Jadi situasinya adalah: kita buat sebuah sistem yang menjamin kebebasan agar individu-individu bebas memilih, dan dalam proses memilih terus-menerus dalam hidupnya itulah ia menjadi lebih matang, lebih otonom lebih dewasa.
Itu tidak perlu disalahpahami sebagai hal yang yang akan menjurus ke individualisme, sebagai sesuatu yang dilawankan dengan "budaya Timur", termasuk kita di Indonesia, yang biasanya mengecamnya karena individualisme dianggap akan akan menciptakan manusia dan masyarakat yang individualistis, yang tidak solider terhadap penderitaan sesama, dan sebagainya. Kita harus akui fakta keras bahwa setiap manusia punya kecenderungan untuk melihat dunia dengan kacamata yang dia miliki; untuk melihat kepentingan yang ada di sekitarnya lewat kepentingannya sendiri. Dan itu kenyataan alamiah. Manusia di mana pun selalu begitu. Tidak ada masyarakat yang mengerti di luar kacamata yang digunakannya. Karena itu individualisme bukanlah sebuah paham. Ia adalah sebuah kenyataan.
Saya sendiri tidak pernah mengkhawatirkannya. Yang saya cemaskan justru hal sebaliknya. Orang mengatasnamakan masyarakat, mengatasnamakan agama, untuk memaksakan kehendaknya pada orang lain. Saya baru baca koran bahwa di Padang, misalnya, siswi-siswi-yang beragama Islam maupun non-Islam-dipaksa untuk memakai jilbab. Ini bentuk pemaksaan kehendak yang paling kasar. Kalau hal itu diwajibkan di kalangan internal kaum muslimat, kita masih bisa berdebat.
Tapi kalau ketentuan itu juga dipaksakan terhadap warga non-Islam, ini betul-betul bentuk kolektivisme yang paling kasar. Itu merupakan otoritarianisme yang tidak menghargai individu, tidak menghargai kebebasan pilihan.
Mari kita lihat bagaimana kenyataan tentang individualisme itu berlangsung di Amerika Serikat, yang selama ini dianggap memunculkan sikap individualistik, yang tidak memerhatikan kepentingan dan derita manusia lainnya. Saya hidup di Amerika selama delapan tahun, dan saya segera melihat betapa tidak benarnya anggapan itu. Kehidupan berkeluarga, kehidupan berkelompok, selalu ada dalam masyarakat Amerika. Jadi, antara individu dan lingkungannya tidak mungkin dipisahkan. Yang menghubungkan mereka adalah paham atau pandangan tentang bagaimana sang individu dan lingkungannya berhubungan.
Di satu pihak, ada kecenderungan pada masyarakat yang lebih tradisional, yaitu ingin memaksakan apa yang disebut sebagai kepentingan kelompok atau kepentingan kolektif kepada individu. Kalau kita lihat dalam masyarakat yang non-de-mokratis, kepentingan kelompok hampir selalu berarti kepentingan segelintir orang yang bisa memaksakan kekuasaannya, baik dalam bidang kebudayaan, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Inilah yang sebenarnya menjadi masalah. Kalau kita mengatakan ada sebuah kepentingan bersama yang harus diutamakan atau diperjuangkan, bagaimana kita sampai pada perumusan kepentingan bersama itu, dan bagaimana kita mengharuskan individu untuk takluk"
Di Amerika atau masyarakat Barat umumnya, ada konstitusi yang memberikan garis batas yang jelas, di mana negara sebagai perwakilan kelompok bersama tidak boleh melampuai batas-batas tertentu. Hak-hak kebebasan berpendapat adalah hak individual yang tidak boleh diambil oleh negara dalam kondisi apapun, kecuali kondisi ekstrem.
Di negeri-negeri itu, apa yang disebut kemaslahatan umum dirumuskan melalui serangkaian prosedur tertentu. Jadi, tidak ada seorang pun yang bisa menyatakan bahwa "sayalah yang mewakili kepentingan umum". Itu harus diolah dalam suatu prosedur yang disebut pro
sedur demokratis, di mana ada parlemen, eksekutif, ada mahkamah agung yang memeriksa apakah prosedurnya sudah dilewati. Jadi, ada hukum, ada konstitusi yang memberi batasan apa yang disebut kepentingan bersama. Makanya dalam Konstitusi Amerika Serikat, misalnya, yang pertama kali dijelaskan adalah bahwa ada hak-hak individu yang tidak bisa diambil oleh siapapun, termasuk oleh pemerintah dan negara. Inilah yang disebut inalienable rights. Hak-hak yang tak dapat dilucuti itu mencakup hak untuk hidup, hak untuk mencari penghidupan, hak untuk bahagia; kemudian ada tambahan melalui amandemen: hak individu untuk berpendapat, untuk beragama, memilih agama masing-masing. Itulah hak yang paling dasar.
Secara implisit, konstitusi kita yang paling baru, setelah amandemen, pun sudah menjamin semua hak itu, meski ada beberapa masalah. Tetapi masalah kita yang lebih besar sekarang adalah konteks sosial dan kulturalnya, sedangkan aturan-aturan legalnya kita sudah punya.
*** Kritik yang lazim kita dengar bahwa semua konsep itu- individualisme, liberalisme, freedom-adalah berasal dari Barat, berakar dan berkembang di lahan Barat, dan dengan sendirinya tidak cocok bagi lahan Timur (Indonesia) yang penuh solidaritas, kekeluargaan, dan sebagainya, perlu diberi perspektif yang tepat. Kenyataannya, di Barat pun, sebelum lahirnya modernitas, situasinya sama dengan yang kita alami; kultur masayarakat mereka cenderung kolektivistik, bersifat gotong-royong, dan sebagainya. Tapi di Amerika dan di Eropa terjadi perkembangan, dan evolusi. Berkembangnya modernitas membawa pula perkembangan paham yang menganggap individu sebagai otonom, yang mampu memilih bagi dirinya.
Ini pun bahkan terjadi dalam rumahtangga kita. Semakin anak-anak saya tumbuh, semakin tampak karakter bahwa anak-anak ini membutuhkan ruang bagi dirinya sendiri-yang paling gampang adalah: mereka mulai minta kamar sendiri. Dengan kata lain, jika kemampuan ekonomi keluarga mendukung, secara alamiah anak-anak yang berangkat remaja mulai menuntut privasi. Ini berlangsung secara alamiah, tanpa diatur oleh siapapun. Begitu seorang anak melihat kemampuan-kemampuan alamiahnya mulai berkembang, dia sedikit-banyak meminta ruang bagi dirinya sendiri. Unit analisis dengan berbasis pada keluarga seperti yang saya ilustrasikan itu juga penting, sebab individualisme tidak berarti mempersetankan keluarga dan kelompok-kelompok yang lebih besar dari keluarga.
Individualisme adalah pengakuan bahwa individu adalah subyek yang mampu merasa dan mampu memilih bagi dirinya sendiri. Dia harus dibiarkan dalam proses belajar. Kalau kita tidak mengakui ini, kita terjebak adalam suatu situasi seperti yang lazim terjadi dalam masyarakat tradisional-sekadar menyebut contoh yang paling gampang dan jelas. Dalam masyarakat semacam itu individu selalu diberitahu bahwa suatu kepentingan tertentu adalah kepentingan adat atau kepentingan suku. Tapi siapa yang mendefinisikan kepentingan adat atau kepentingan suku itu"
Kalau ada seorang anggota masyarakat Bugis klasik sudah mau meninggalkan sarung, apa alasan kita untuk berkata bahwa dia tidak boleh lagi memakai jins karena hal itu bertentangan dengan tradisi masyarakat Bugis; bahwa adat harus dijaga" Kalau anak tidak lagi ingin kawin secara adat, tapi mau kawin secara modern supaya hak-haknya terjaga, baik dengan surat, dengan kontrak dan sebagainya, apa alasan terbaik untuk mengatakan kepadanya bahwa dia tidak bisa bertindak begitu, sebab adat kita tidak demikian" Ini sebenarnya dilema antar-pilihan. Kita bisa melihatnya secara gamblang pada kisah Siti Nurbaya dalam sastra kita. Siapa yang memilih buat sang individu: dirinya sendiri (Siti Nurbaya) atau otoritas di luar di-rinya-ayah, ibu, paman"
Di belakang skema itu ada sistem adat besar, ada prasangka, kecurigaan terhadap orang lain; barangkali juga ada paham yang keliru; ada paham yang pada suatu waktu bisa benar tapi dalam perubahan zaman tidak lagi benar. Pertanyaan pokoknya: boleh atau tidak Siti Nurbaya memilih buat dirinya sendiri, dalam hal ini memilih suami. Akhirnya soal pilihan ini meluas,
bukan hanya untuk memilih suami, tapi juga untuk memilih sekolah, untuk memilih cara hidup-untuk memilih macam-macam hal. Harus ada batas-batas bagi kita untuk berkata pada diri sendiri bahwa sesuatu itu merupakan hak individu untuk memilih; bahwa dia harus melakukan itu buat dirinya sendiri, agar dia tumbuh menjadi manusia yang semakin dewasa.
Maka kritik yang menampik semua itu dengan alasan bahwa ia berasal dari Barat, tidaklah sah. Zaman sekarang ini tidak lagi mengizinkan kita untuk memilah-milah Barat dan Timur. Kalau kita masih memakai argumen ini, berarti kita mundur ke perdebatan sebelum 1960-an dan 1970-an sampai jauh ke belakang. Bahwa kita masih bisa mempersoalkan konsep kebebasan secara filosofis, ya tentu saja. Setiap konsepsi pasti punya kelemahan. Tapi saya tidak melihat alternatif yang bisa kita terapkan sebagai dasar sistem sosial atau sistem politik, selain paham kebebasan. Jika kita gunakan sebagai sistem gagasan, kebebasan ini akan menjadi dasar bagi sebuah paham dan sebuah sistem yang kita sebut sistem liberal atau liberalisme.
Sebagai orang Indonesia, orang "Timur", saya sendiri tidak merasakan kompleks tertentu terhadap Barat. Mungkin saya mendapat keberuntungan-keberuntungan tertentu. Sejak pertama kali tinggal di Amerika, saya tidak merasakan sesuatu yang disebut cultural shock. Saya juga mengamati perkembangan anak saya. Sejak awal, dia kelihatannya sangat Amerika, karena lahir di sana. Dia bersekolah di sana sejak kelas nol kecil. Ketika dia di kelas 3 SD, kami pulang, dan dia harus pindah ke sekolah Indonesia. Saya khawatir dia mengalami cultural shock yang sebaliknya-sebagai "anak Amerika" yang tiba-tiba harus hidup di Indonesia. Ternyata secara umum situasinya normal belaka.
Pada satu-dua bulan pertama memang ada sedikit masalah, terutama dalam soal yang remeh-temeh seperti makanan dan gigitan nyamuk. Tapi dari sudut paham kehidupan, saya tidak melihat adanya shock tertentu dalam batin anak saya. Saya justru melihat transisi yang smooth-tampak dari cara dia bersekolah, bercengkerama, berbincang-bincang, bermain dengan kawan-kawannya. Dia bisa dengan gampang menjadi orang Indonesia. Dan kalau bertemu dengan kawan-kawannya yang pernah tinggal di Amerika, dia bisa berbincang dengan enteng dengan bahasa Inggris.
Jadi saya melihat manusia punya kemampuan untuk beradaptasi. Nilai atau kebudayaan bukanlah sesuatu yang absolut, bukan sesuatu yang kalau "sudah dari sononya begitu" tidak bisa lagi berubah. Itulah Bugis, itulah Indonesia. Saya melihat kultur, kebudayaan, nilai, paham itu fleksibel dan yang menen -tukan adalah manusia. Anak saya bisa. Maka kita yang dewasa, yang sudah banyak baca buku dan punya pengalaman lebih banyak, mestinya lebih mampu dan arif. Mungkin kita bisa berkata bahwa anak-anak memang bisa dengan gampang seperti itu karena mereka, meminjam Geertz, belum dijalin oleh tali-temali nilai-nilai yang koheren. Tapi argumennya bisa juga kita balik: bahwa anak-anak bisa seperti itu karena mereka memang tidak bisa berhenti mencari dan mau belajar. Pertanyaannya: apakah kita yang tua-tua mau terus belajar atau mau berhenti belajar" Apakah kita mau mandek pada suatu sistem nilai tertentu, sementara dunia berubah; kita mau mengikuti perubahan dunia atau kita mau dunia yang mengikuti kita"
Fakta bahwa terjadi perubahan nilai tidak mungkin bisa ditolak. Tidak ada satu pun masyarakat, kecuali mau disebut masyarakat terasing, yang terisolasi, yang tidak mengalami perubahan nilai, perubahan orientasi, perubahan cara hidup. Tinggal bagaimana kita melihat perubahan itu. Kita mau melihatnya sebagai sesuatu yang membuat kita sedih dan merasa terdesak. Atau kita mau menyambutnya dengan tangan terbuka dan mengakui bahwa itulah hidup dan kita ingin melihat yang terbaik dari sana" Itu adalah hukum alam: perubahan dalam setiap hal. Hidup pun secara fisik berubah. Ini adalah hal yang elementer. Kalau tidak ada perubahan tidak ada kemajuan.
Mari kita lihat secara gampang. Saya kadang-kadang sentimental. Mengingat masa kecil di sebuah desa, di sebuah kota kecil yang indah, hidup denga
n saudara-saudara dan keluarga yang sekarang harus tinggal di Jakarta. Apakah saya ingin melihat masa kecil saya yang indah, lalu sedih terus-menerus, meratapi masa yang sudah berlalu, ataukah saya akan melihat ke depan" Dalam soal kebebasan pun saya terkadang melihatnya sebagai masalah melihat kehidupan. Apakah by nature, secara alamiah, kita mau pesimistis melihat ke belakang, melihat apa yang berbahaya dan yang jelek dari kehidupan, ataukah kita mau melihat yang bagus dan bermanfaat" Ini soal cara pandang kita melihat manusia.
Kalau kita melihat manusia tumbuh bebas dan memilih, mampukah kita bersikap optimistis bahwa mereka pada akhirnya akan memilih dengan benar dan baik" Atau kita akan selalu takut, berdebar-debar, khawatir jangan-jangan akan begini dan begitu" Jadi saya melihat ada dua cara melihat kehidupan yang berhubungan dengan pandangan kita tentang manusia, tentang kebebasan, tentang perubahan. Kalau kita by nature optimistis, tangan terbuka, melihat ke depan, rasanya kita akan lebih gampang menerima paham yang disebut kebebasan-menerima freedom sebagai kehendak untuk bebas itu.
Memang ada sesuatu yang hilang. Saya, misalnya, semula hidup dalam suatu keluarga dan masayarakat tertentu, yang memegang nilai-nilai tertentu, katakanlah nilai Bugis atau nilai Indonesia. Setelah menengok ke Barat, bukan hanya sekolah, tapi juga karena bacaan dan sebagainya, tentu ada porsi-porsi nilai dalam diri saya yang tergantikan oleh sistem nilai baru, dan nilai-nilai yang lama itu mungkin hilang entah ke mana. Tapi saya anggap itu sebagai bagian dari proses saya untuk menjadi lebih dewasa, lebih arif, lebih luas melihat dunia.
Saya tidak melihat itu sebagai masuknya unsur Amerika atau Barat; saya melihat tumbuhnya diri saya sendiri dalam melihat dunia. Jadi, saya senang bahwa saya berkembang. Bukan karena saya menjadi Amerika atau menjadi Barat, tapi karena saya berkembang sabagai manusia; menjadi mampu melihat begitu banyak hal, belajar begitu banyak, belajar mengadopsi paham yang baru.
Saya tidak perlu membenci paham yang lama atau cara lama. Saya memahaminya. Ibu saya masih sangat Bugis, saya memahaminya. Tetapi saya senang dan dia pun pasti senang melihat saya tumbuh berkembang melampaui generasi orangtua saya. Dan saya berharap anak saya pun seperti itu. Saya, bagaimanapun, hidup dalam konteks tertentu, dan tidak ingin anak kita selalu lebih baik dari diri kita, dan mereka akan semakin tumbuh, semakin lengkap menjadi manusia. Dan pada akhirnya, ini lucunya, dalam perjalanan menjadi manusia, ada yang berkata bahwa itu masalah paham yang paling dasar; ada yang berkata bahwa seseorang itu progresif, linear, atau terkadang berputar kembali menjadi sirkular menuju titik tertentu-saya tidak tahu. Tapi yang pasti: ada perubahan, ada perkembangan, ada sebuah proses di mana manusia mampu belajar untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Kalaupun disebut ada porsi-porsi nilai yang hilang, ada juga penggantinya. Dan mungkin penggantinya lebih baik.
Harus begitu. Kalau tidak begitu, kita melangkah ke belakang. Sebagai bangsa, Indonesia pun dihadapkan pada pilihan-pilihan. Sebuah masyarakat senantiasa dihadapkan pada pilihan-pilihan tentang mau melangkah ke manakah mereka. Saya kira dengan proses demokratisasi yang terjadi tujuh tahun terakhir, kita harus bangga bahwa pilihan kita secara umum benar. Tetapi selalu ada orang, kelompok, atau tahap yang bisa menghambat proses kemajuan ini. Dan itulah yang harus kita sadari.
Indonesia memang dinamis dan berkembang, terdiri atas begitu banyak suku, banyak kepentingan, banyak keragaman, banyak kebudayaan. Tetapi kita harus tahu bahwa dalam garis besarnya kita sudah melangkah dengan baik sebagai sebuah masyarakat. Membangun sistem yang baru di mana sebagai landasannya paham kebebasan semakin mendapat tempat. Itu yang harus kita sadari bersama. Dan kita harus melawan potensi-potensi yang bisa menghambatnya.
Saya tadi kasih contoh betapa di daerah-daerah, misalnya Sumatra Barat, masih ada dimensi itu. Kita tidak boleh membiarkan hal semacam itu dalam berbagai manifestas
inya menjadi dominan di kemudian hari. Itu adalah tugas bersama.
*** Dalam soal kebebasan (freedom) ini, kadang-kadang orang berpikir bahwa eksperimen yang dilakukan oleh negara Amerika Serikat, misalnya, terasa terlalu berani. Mereka memberi kebebasan begitu besar kepada pers, kepada macam-macam institusi, sehingga ada kesan bahwa kebebasan itu akhirnya batasnya tipis sekali dengan keliaran atau anarki. Lagi-lagi, kita perlu lebih cermat melihat hal ini. Kita lihat Amerika memang amat sangat bebas untuk ukuran kita, tapi justru masyarakatnya amat sangat teratur. Lihat saja lalu-lintasnya. Kita mau bilang kita terlalu senang dengan kebebasan, tapi lihatlah jalan raya kita. Begitu liarnya orang, para pengendara.
Jadi, kita kadang-kadang juga agak munafik dengan diri kita sendiri, atau kita menerapkan kebebasan pada tempat yang salah.
Artinya, pada saat kita harus bebas, kita justru bersikap sebaliknya. Tapi pada saat kita harus mengikuti aturan dengan ketat, kita justru mau liar. Perilaku di jalan raya dapat dilihat sebagai salah satu contohnya.
Tapi dalam masalah hukum pun begitu. Kalau Anda ke Amerika, atau kota-kota yang Anda sebut Barat itu, Anda lihat betapa tertibnya berlalu-lintas di sana; itu merupakan cermin betapa tertibnya perilaku mereka dalam hukum. Mereka terima itu, dan bersikap sebagaimana yang dituntut oleh hukum bersama. Kita tahu bahwa hukum adalah kehendak bersama yang diwujudkan dalam ketentuan tertulis. Nah, kita di sini barangkali mau mengatakan bahwa secara budaya kita tidak terlalu senang dengan kebebasan, kita mau kehendak bersama. Tetapi dipandang dari sudut kemodernan dalam tata hukum masyarakat, kadang-kadang kita jauh lebih liar ketimbang masyarakat yang bebas.
Lalu, apakah semua masalah dengan sendirinya akan beres jika kita mengusung kebebasan" Tentu tidak. Hal ini sangat bergantung pada dinamikanya dari hari ke hari, ketika paham kebebasan itu diterapkan. Menurut John Stuart Mill, salah satu pemikir tentang paham kebebasan di Inggris pada abad ke-19, kebebasan adalah prakondisi bagi lahirnya kreativitas dan genius-genius dalam masyarakat. Yang dia maksud bukanlah bahwa semua orang dalam masyarakat itu akan pintar berkat adanya kebebasan. Maksudnya: dengan adanya kebebasan, adanya sikap menghargai orang untuk bersikap dan berpikir, kemungkinan masyarakat itu untuk berkembang, berdialog, untuk mencari hal yang lebih baik, terbuka lebih lebar. Ruangnya dibuka lebih besar. Itulah yang menjadi kunci mengapa masyarakat tersebut tumbuh. Dan ini memang secara empiris terbukti.
Dalam masyarakat-masyarakat di mana kebebasan menjadi institusi, artinya telah terlembagakan menjadi perilaku, menjadi kitab hukum, sistem politik, dan sebagainya, memang kelihatan mereka maju dengan cepat, atau menjadi negara-negara yang maju. Pasti ada hubungan mengapa "Barat" adalah juga negara-negara yang paling kaya, paling kuat, sekaligus paling bebas. Pasti ada hubungan antara kebebasan, kesejahteraan, dan kemajuan sebuah bangsa. Itulah yang dikatakan oleh John Stuart Mill.
Dan, sebagaimana Mill, saya juga meyakininya.
Individualisme dan Utopia:
Tanggapan Atas Polemik Liddle, Mubyarto, dan Budiawan
individualisme adalah salah satu paham yang paling sering dibahas sebagai karikatur dalam banyak perdebatan di kalangan intelektual kita. Setiap kali berbicara tentang paham ini, biasanya kita langsung berpikir tentang egoisme, keserakahan, kompetisi yang amburadul dan semacamnya. Polemik menarik yang diawali oleh Liddle (Kompas, 8/1) saya harap dapat menjernihkan pandangan kita terhadap salah satu ide terpenting dalam sejarah politik modern itu.
Dalam tulisan singkat ini saya ingin menguraikan salah satu aspek penolakan beberapa filsuf terhadap paham individualisme. Kemudian, saya mencoba menjelaskan dasar-dasar paham individualisme yang sebenarnya. Tujuan saya bukanlah untuk menyalahkan salah satu pihak, tapi menjelaskan perbedaan fundamental antara keduanya.
Sebelumnya, saya ingin memberi catatan kecil bahwa dalam menolak atau menerima individualisme, penggunaan kategori "Timur"
atau "Barat" sudah amat membingungkan. Bu-diawan (Kompas, 2/2) misalnya, harus menekankan kecurigaannya terhadap anjuran Liddle dengan alasan bahwa klaim individualisme yang universalistik mungkin saja mengandung "nafsu-nafsu imperialistik". Budiawan khawatir bahwa di balik penyebaran individualisme, tersembunyi kepentingan kekuasaan Barat untuk menaklukkan Timur. Yang cukup ironis adalah, dalam memperlihatkan kelemahan individualisme, Budiawan tidak menggunakan Serat Centini.
Utopia: Dari Plato ke Marx
Dasar argumen Mubyarto (Kompas, 2/2) dalam menolak paham individualisme, bersumber pada sebuah cita-cita tentang masyarakat yang harmonis. Jika harmoni ini tercapai, individu dan masyarakat tidak lagi perlu dipertentangkan. Siapa yang tidak senang bila korupsi menghilang, pemimpin tidak lagi menyalahgunakan kekuasaan, dan setiap konflik bisa diselesaikan dengan damai" Sejumlah pemikir, dengan cara masing-masing, telah mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti yang sekarang kita ajukan.
Plato, misalnya, menyimpulkan bahwa cita-cita itu bisa dicapai jika masyarakat dipimpin oleh tipe manusia philosopher-king (kira-kira jenis pemimpin semacam Lee Kuan Yeuw dalam konteks sekarang; pemimpin yang bersih dan berpikiran jernih 2.000 tahun setelah Plato). Dalam salah satu dari sekian banyak bukunya, The Philosophy of Right, Hegel membagi kehidupan sosial ke dalam tiga tingkat. Tingkat pertama adalah kehidupan dalam keluarga. Di sini manusia sejak kecil belajar tentang otoritas, tanggungjawab dan cinta. Pada tingkat kedua adalah kehidupan dalam masyarakat sipil. Jika pada tingkat pertama cirinya didasarkan pada semangat kebersamaan dan tanggungjawab (dalam hubungan ayah terhadap anak misalnya), maka pada tingkat kedua ini cirinya yang utama adalah kompetisi dan pengejaran kepentingan diri yang tak terkendali.
Masyarakat sipil, buat Hegel, adalah satuan-satuan tanpa bentuk yang terlalu didasarkan pada pengejaran kepentingan ekonomi. Dari tingkat kehidupan pertama yang luhur dan penuh cinta, setelah dewasa manusia terpaksa harus terjun ke dunia persaingan yang keras.
Untuk mengimbangi dan mengatur masyarakat sipil diperlukan hadirnya negara atau pemerintahan yang kuat dan korporatis. Jika ini bisa tercapai maka tahap kehidupan sosial yang ketiga tercapai. Di tahap ini pendulum bergerak kembali, dari kompetisi kembali lagi ke harmoni. Dan bagi Hegel, yang menjadi motor penggerak dalam tahap ketiga ini adalah kaum birokrat. Kaum ini oleh Hegel disebut sebagai "kelas universal".
Dalam perkembangan selanjutnya, Hegel memberi inspirasi kepada dua kelompok pemikir, yaitu kaum Hegelian kanan dan kiri. Kaum kanan menggunakan ide negara korporatis Hegel untuk membela sebuah argumen bahwa individu dan negara pada dasarnya satu dan sebangun: kita tidak perlu melihat keduanya dalam hubungan yang konfliktual. Yang diperlukan oleh individu, karena itu, bukanlah jaminan hak-hak perorangan, tapi pelaksana kewajiban kepada negara, pengabdian dan disiplin (karena pengaruh Hegel, kira-kira hal seperti inilah yang dikatakan oleh Prof. Supomo dalam perdebatan penyusunan UUD 45 kita dulu).
Di kiri, contoh yang terbaik adalah Karl Marx. Walaupun teori dia ditujukan untuk "memutarbalikkan Hegel", tema-tema Hegelian sangat kental terasa pada Marx. Berpijak pada pengertian Hegel tentang masyarakat sipil, Marx mengembangkan teori tentang kelas sosial. Dari Hegel pula Marx mengambil tema tentang "sejarah yang berakhir", di mana tidak ada lagi konflik-konflik yang mendasar dalam masyarakat. Buat Hegel, seperti kita lihat di atas, hal ini terjadi jika "kelas universal" telah mampu mengatasi kelemahan dalam masyarakat sipil.
Buat Marx, konflik-konflik mendasar itu akan hilang jika kelas proletariat yang juga dianggap kelas universal telah melakukan revolusi sosial dan mendirikan negara komunis.
Di sinilah harmoni itu terjadi: sebuah situasi di mana bahkan kehadiran negara pun, sebagai pengatur masyarakat, tidak lagi diperlukan. Bagi Marx, seperti ditulisnya dalam The German Ideology, apa yang dilakukan oleh manusia dalam harmoni
total itu adalah "berburu di pagi hari, memancing ikan di siang hari, beternak di sore hari, dan berdiskusi setelah makan malam", tanpa harus menjadi pemburu, pemancing, peternak, dan kritikus.
Individualisme Apa yang membedakan Mubyarto beserta para pemikir besar di atas dengan para filsuf dari tradisi individualisme dalam banyak hal bertumpu pada perbedaan terhadap cita-cita kemasyarakatan. Para filsuf dari tradisi individualisme, sejak John Locke, David Hume, Adam Smith, hingga Frederick Hayek, menolak cita-cita masyarakat penuh keselarasan dan keseimbangan itu. Hal ini mereka lakukan bukan karena mereka mencintai pertikaian dan membenci persaudaraan. Jauh daripada itu. Buat mereka impian-impian harmoni itu adalah mimpi yang terlalu indah, yang jika dipaksakan untuk diwujudkan akan sangat berbahaya bagi manusia umumnya. Secara sederhana argumen mereka saya bagi ke dalam dua segi.
Segi pertama bertumpu pada penerimaan terhadap ketidaksempurnaan masyarakat. Buat paham individualisme masyarakat adalah kumpulan banyak kepentingan yang berbeda dan sering bertentangan. Hal ini adalah kenyataan alamiah. Karena itu, yang harus dilakukan bukanlah menentang alam.
Segi kedua, yang menjadi dasar segi pertama di atas, adalah penerimaan paham ini akan keterbatasan manusia. Bagi paham ini sangat sedikit manusia yang mampu menjadi superhero, yang dalam bertindak tidak pernah memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Paham ini menolak kemungkinan hadirnya tipe manusia jenis philosopher-king-nya Plato, atau kelas universalnya Hegel, atau kelas pendobraknya Lenin. Dengan kata lain, paham ini tidak percaya bahwa kaum birokrat, misalnya, adalah kelompok individu yang tidak lagi mempunyai kepentingan apa-apa selain mengabdi kepada masyarakatnya. Penguasa di mana pun adalah juga manusia biasa, yang sebagai manusia dibatasi oleh kepentingan-kepentingannya sendiri. Dengan demikian paham ini menerima keterbatasan manusia bukan untuk mendorong meluasnya egoisme dan kompetisi yang keras-yang mereka lakukan adalah mencoba menerima kenyataan apa adanya tentang sifat-sifat manusia.
Lenin dan Mao seringkali berkata bahwa untuk mewujudkan cita-cita masyarakat sosialis, diperlukan lahirnya tipe-tipe manusia baru, yang senantiasa membela kepentingan umum dan melupakan kepentingan dirinya sendiri. Buat paham individualisme, hal ini adalah utopia besar yang berbahaya. Manusia selalu sama dari dulu hingga sekarang: makhluk rasional yang selalu bereaksi terutama terhadap hal-hal yang berakibat langsung terhadap dia dan terhadap lingkungan terdekatnya. Menciptakan manusia baru hanya bisa terjadi dengan menghancurkan manusia itu sendiri. Buat paham ini, sejarah kelam Rusia di bahwa Lenin dan Cina di bawah Mao adalah monumen sejarah yang mengingatkan kita semua terhadap "biaya sosial"-untuk menggunakan bahasa Budiawan-atas upaya penciptaan manusia baru tersebut.
Berangkat dari dua segi argumen inilah para filsuf dari tradisi individualisme membangun argumen dan konsep-konsep tentang perlunya demokrasi, penegakan kekuasaan hukum, dan pemerintahan yang terbatas. Demokrasi, misalnya, mereka anggap alternatif sistem pemerintahan yang terbaik yang dapat meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan oleh pengejaran kepentingan oleh individu-individu yang duduk di kursi kekuasaan.
Selain itu, demokrasi juga mereka percaya sebagai sistem yang memungkinkan perbedaan dalam masyarakat untuk tidak menjadi konflik yang terbuka dan berdarah. Konsep -konsep penting inilah yang menjadi sumbangan paling besar para filsuf dalam tradisi individualisme, dari John Locke hingga Frederick Hayek, bagi sejarah politik modern.
12 Februari 1996 Isaiah Berlin pada 6 November lalu, dalam usia 88 tahun, Isaiah Berlin telah pergi, meninggalkan sekian banyak tulisan yang dapat disejajarkan dengan karya-karya pemikiran terbaik di abad ke-20 ini.
Dalam banyak esai panjangnya, Isaiah Berlin yang semasa kecilnya sempat menjadi saksi pergolakan Revolusi Rusia pada 1917, sering mengingatkan kita betapa berbahayanya bagi sejarah kemanusiaan ide-ide besar yang mengk
laim kebenaran bagi dirinya sendiri. Dari ruang studinya di Oxford, dia mengabdikan hidupnya untuk menjelaskan dan mendalami sejarah ide-ide semacam ini.
Isaiah Berlin adalah seorang intelektual sejati yang hidup dan menghirup nikmatnya udara kehidupan melalui eksplorasi dan pertarungan ide-ide. Di tangannya, ide-ide tidak lagi menjadi sekadar konsepsi-konsepsi abstrak yang dingin. Bagai seorang penyihir, dia sanggup menghidupkan kembali berbagai pemikir klasik yang telah beku dan dilupakan, misalnya Hamann, Vico, Herzen, de Maistre, dan mencari kaitan ide-ide mereka dengan gagasan-gagasan besar yang di zaman modern ini meng-haru-birukan nasib manusia.
Dia banyak menelusuri asal-usul, substansi, dan kaitan antara gagasan-gagasan besar karena dia percaya pada kekuatan pemikiran. Dia pernah berkata, "Konsep-konsep filosofis yang dilahirkan di ruang studi yang sepi seorang profesor dapat menghancurkan sebuah peradaban." Baginya, kekuatan-kekuatan sosial dan material memang penting, tapi semua ini hanya akan menjadi kekuatan buta tanpa arah jika tidak dibingkai oleh ide-ide. Dia sangat yakin bahwa dunia pemikiranlah yang memberi petunjuk ke arah mana sejarah harus bergerak.
Satu dari ide-ide besar yang menarik perhatiannya adalah ide atau konsepsi kebebasan positif. Konsepsi ini berasal dari spektrum pemikiran yang luas, mulai dari Plato, Rousseau, Hegel, de Maistre, hingga Marx. Menurut konsepsi ini, manusia bebas adalah manusia yang menjadi tuan bagi dirinya sendiri, yang menjadi manusia sejati, yang mencapai hidup sepenuh-penuhnya. Manusia semacam ini bukanlah manusia yang senantiasa diperbudak oleh berbagai nafsu dan kesadaran palsunya. Kebebasan hanya mungkin terjadi jika manusia memang bisa merealisasikan potensinya yang sejati, yang "benar", yang "lebih tinggi".
Konsepsi ini, menurut Isaiah Berlin, berbau romantik. Kebebasan tidak lagi dikaitkan dengan pembatasan tindakan sewenang-wenang terhadap individu, tetapi dengan proses pemenuhan kesempurnaan hidup manusia. Jadi, dalam konsepsi ini, walaupun seseorang secara legal dan faktual tidak dikekang oleh siapapun, dia tetap bukan manusia yang bebas sejauh dia masih diperbudak oleh kesadaran palsunya, oleh pikiran dan perasaannya yang "keliru".
Yang menarik adalah, bagi Isaiah Berlin, konsepsi kebebasan semacam ini bisa berbahaya, bahkan sangat berbahaya. Kenapa" Karena, dengan sedikit manipulasi makna, pengertian "tuan" dalam konsepsi ini dapat menjadi "bangsa", "negara", "partai", atau "kelas". Sementara "hidup yang sepenuh-penuhnya" dapat diartikan sebagai hidup dalam "masyarakat sosialis", "masyarakat baru", "sejarah baru". Berkaitan dengan hal ini, diri manusia pun diartikan sebagai makhluk yang terdiri atas dua kenyataan yang berlawanan, yaitu dirinya yang sejati, yang lebih tinggi, yang benar, dan dirinya yang lebih rendah, sumber nafsu dan kesadaran palsu.
Jika pembalikan makna ini sudah terjadi maka, menurut Isaiah Berlin, terbentanglah jalan yang sangat lebar bagi seorang despot untuk memerintah dengan sewenang-wenang dan memberangus kebebasan individu. Bukankah tetek-bengek nasib individu adalah hal yang terlalu kecil untuk dianggap serius bagi sebuah bangsa, atau partai, atau negara, yang sedang mengejar tuntutan sejarahnya untuk membangun masyarakat baru" Bukankah dalam proses pemenuhan tuntutan sejarah ini Diri yang Lebih Tinggi (yaitu Sang Bangsa, Sang Partai, Sang Negara) memang layak untuk memberangus Diri yang Rendah (manusia yang hanya terbawa oleh kesadaran palsu, yang tidak mengerti tuntutan sejarah)"
Konsepsi kebebasan positif, dengan kata lain, sangat cocok untuk menjadi alasan pembenar bagi tirani dan kekuasaan despotik. Dalam konsepsi ini tidak ada argumentasi yang secara prinsipil dapat mengatakan kepada Sang Penguasa untuk membatasi kekuasaannya dan menghargai kedaulatan masing-masing individu. Sekali Sang Penguasa berhasil memanipulasi beberapa pengertian kunci yang ada di dalam konsepsi ini, maka ia seolah-olah mendapat cek kosong, carte blanche, untuk melakukan apa saja yang dianggapnya perlu dalam mengejar "tuntutan sejar
ah", "masyarakat baru", atau apapun yang sanggup menjamin tercapainya "hidup yang sepenuh-penuhnya".
Karena itulah tidak mengherankan jika Isaiah Berlin, yang dikenal sebagai penentang gigih para pemimpin garis keras Israel, berkata bahwa konsepsi kebebasan semacam inilah yang berada di balik banyak malapetaka kemanusiaan pada abad ke-20.
Di abad ini, kita tahu, muncul banyak pemimpin besar yang, atas nama bangsa, partai, kelas, atau negara, melindas nasib orang per orang untuk mengejar tujuan-tujuan yang dianggapnya bersifat historis, luhur, atau progresif. Hitler, Stalin, Mao, Pol Pot: tangan mereka berlumuran darah justru untuk menggiring bangsa mereka ke arah "kebebasan" yang lebih sejati.
24 November 1997 Wajah Lain Machiavelli sebagaimana layaknya seorang penulis besar, karya-karya Niccolo Machiavelli telah menghasilkan banyak penafsiran, yang tidak jarang saling bertentangan.
Buat sebagian kalangan, pemikir dan penulis drama dari Florence ini adalah seorang amoralis, penganjur motode berpolitik tanpa pertimbangan etika. Buat kalangan yang lain lagi, ia adalah seorang nasionalis yang meletakkan dasar konsepsi negara beserta alasan kehadirannya, raison d'etat. Tulisan menarik dari Frans Magnis-Suseno di Kompas beberapa saat lalu (15/9/1997), dalam beberapa hal, mengikuti penafsiran dari kalangan seperti ini.
Buat sebagian kalangan yang lainnya lagi, Machiavelli bukanlah seorang pemikir yang dapat dipandang secara sederhana. Dalam satu hal, menurut kalangan ini, Machiavelli memang dapat dianggap sebagai pemikir besar serta seorang genius yang mendahului zamannya. Tapi dalam hal lain lagi, ia bisa pula dikritik sebagai intelektual tukangnya fasisme dan korporatisme, gurunya para tiran, atau setidaknya pemikir tanggung yang membingungkan.
Sekularisasi Politik Walau beragam, penafsiran tentang Machiavelli memang sah-sah saja, namun buat saya satu hal tidak boleh kita lupakan: ia adalah peletak dasar ilmu politik dan pemikir awal yang mendorong terjadinya proses sekularisasi (desakralisasi) politik.
Dalam II Principe, buku tipisnya yang termasyhur itu, Machiavelli berkata bahwa tujuan dia menulis bukanlah untuk mengatakan apa yang seharusnya. Ia ingin melihat dunia politik sebagaimana adanya, yang is, dan bukan yang ought (la verita effentuale della cosa). Proses kekuasaan, buatnya, adalah bagian dari kenyataan alamiah yang harus kita mengerti sebagaimana jika kita ingin mengerti dan menyingkap berbagai hal lainnya di alam nyata. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa Machiavelli, secara sangat sederhana, telah mendahului Francis Bacon, filsuf dan negarawan Inggris peletak dasar empirisisme itu, hampir seabad lamanya.
Motivasi keilmuan seperti inilah yang dapat digunakan sebagai dasar penafsiran Il Principe. Memang betul bahwa buku ini secara eksplisit dimaksudkan sebagai sebuah kumpulan nasihat kepada Lorenzo, penguasa Florence (1448-1492) dari keluarga Medici. Tetapi melalui dasar penafsiran Machiavelli sebagai ilmuwan, maka Il Principe sesungguhnya bisa dimengerti lebih jauh daripada hal itu, yaitu sebagai sebuah analisis yang dingin terhadap berkerjanya mesin politik dan proses kekuasaan yang riil.
Dengan kata lain, ajaran Machiavelli, misalnya Sang Penguasa dalam mempertahankan kekuasaannya, harus berbohong, menipu, menindas, haruslah dimengerti bukan sebagai "nasihat politik" dalam pengertian yang umum. Ia adalah sebuah pernyataan faktual bahwa dunia kekuasaan memang tidak semurni dunia mitologi surgawi zaman pra-Renaisans. Dunia kekuasaan, sebagaimana adanya, adalah sebuah dunia yang penuh intrik, kekejian, ambisi, dan ketololan.
Pemikiran Machiavelli seperti ini, dalam konteks zamannya, sangatlah bersifat subversif. Secara implisit ia menolak simbiosis antara pemikiran politik dan ide-ide teologis yang pada zamannya itu menjadi dasar pembenaran bagi kekuasaan tradisional. Para raja dan pangeran bukanlah wakil Tuhan di bumi, bukan pula philosopher-king, seperti kata Plato. Mereka, bagi Machiavelli, adalah pelaku-pelaku politik biasa yang karena tuntutan logika kekuasaan
seringkali bertindak jauh dari prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran.
Dengan melihat raja dan pangeran pada dasarnya adalah pelaku politik, maka Machiavelli, mungkin tanpa sepenuhnya sadar, sebenarnya telah memulai sebuah proses besar yang terus berlanjut hingga akhir abad ke-20 ini, yaitu proses sekularisasi politik. Tentu saja, sebagaimana layaknya setiap pelopor, apa yang ia rintis ini dilakukannya dengan cukup canggung dan samar-samar (karena itu pula ia dapat ditafsirkan dalam berbagai versi).
Tapi jelas bahwa dalam konteks sejarah pemikiran, analisis politik Machiavelli yang dingin itu merupakan sebuah pertanda dari terjadinya pergeseran paradigmatik dalam memandang politik dan organisasi kekuasaan.
Demokrasi Lebih jauh lagi, desakralisasi politik Machiavelli seperti itu turut membuka jalan bagi munculnya berbagai pemikiran tentang demokrasi modern pada abad ke-17 dan abad ke-18. Tokoh-tokoh peletak dasar konsepsi demokrasi modern, seperti Locke di Inggris, Montesquieu di Prancis, dan Jefferson di Amerika, berangkat dari sebuah asumsi yang pada dasarnya Machiavellian, yaitu bahwa para penguasa adalah juga manusia yang memiliki berbagai kelemahan manusiawi, yang memiliki sejumlah ambisi serta nafsu untuk berkuasa terus-menerus. Karena itu, kepentingan Sang Penguasa, menurut mereka, sering bertolak-bela-kang dengan kepentingan rakyat banyak.
Buat para pemikir ini, dengan kata lain, panggung politik adalah arena pertarungan kekuatan. Mengikuti Machiavelli, mereka tidak ingin memandang dunia politik secara teologis-romantik. Mereka ingin menyingkap realitas kekuasaan sejelas-jelasnya, sebagaimana adanya, seperti yang dilakukan oleh para ahli fisika di zaman pasca- Renaisans yang ingin mengungkapkan rahasia gravitasi bumi.
Tapi berbeda dengan Machiavelli, para pemikir abad ke-17 dan abad ke-18 itu tidak hanya berhenti pada deskripsi tentang kenyataan politik. Mereka melangkah dan bertanya lebih jauh: Bagaimana agar dampak buruk dari kenyataan alamiah politik seperti itu dapat diminimalisir" Bisakah pembatasan kekuasaan dilakukan demi keuntungan masyarakat luas" Adakah cara untuk melakukannya" Justifikasi konsepsional seperti apa yang harus disusun bagi pembatasan kekuasaan Sang Penguasa"
Berbagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang menjadi fondasi intelektual bagi pembentukan sistem demokrasi modern, yang dimulai di Inggris, Prancis, dan Amerika pada akhir abad ke-18. Kelanjutan proses ini, kita tahu, masih terus berlangsung hingga sekarang.
Jadi, walau tidak selengkap dan sejauh sumbangan Locke, Montesquieu dan Jefferson, sumbangan intelektual Machiavelli tidak dapat disangkal. Hanya melalui cara pandang Machiavellian terhadap dunia politik, sakralisasi dan mitologisasi politik yang mengungkung umat manusia selama berabad-abad dapat diruntuhkan. Dan dari keruntuhan inilah titik tolak pembatasan kekuasaan dapat dapat dirumuskan secara lebih sistematis. Karena pentingnya sumbangan Machiavelli, bisa dimengerti jika Rousseau memuji Il Principe sebagai le livre des republicans, bukunya kaum republikan.
6 Oktober 1997 Liberal Kiri, Sosialis Kanan
akhir-akhir ini terjadi semacam revitalisasi isu "kiri dan "kanan". Dalam berbagai diskusi di forum publik dan media massa, polarisasi yang dibuat umumnya masih mengikuti pembagian klasik. Kaum sosialis dan ide-ide Marxis ditempatkan di kiri, sementara kaum liberal dan ide-ide liberalisme diletakkan di kanan.
Betulkah polarisasi seperti ini" Dalam beberapa hal, ya. Sebagaimana yang umum diketahui, dalam doktrin Marxisme asal-usul penindasan adalah pemilikan pribadi terhadap sarana-sarana produksi. Pemilikan inilah yang menjadi fondasi struktur masyarakat kapitalis. Agar masyarakat bisa lebih "baik", struktur ini harus dibongkar, dihancurkan. Untuk itu, yang harus dilakukan adalah to start from the basic, yaitu menghilangkan hak milik pribadi. Karena itu, dalam Manifesto Marx (dan Engels) yang terkenal itu, pelenyapan pemilikan pribadi dianggap sebagai aksi sentral yang revolusioner.
Dalam perdebatan kaum kiri pada
akhir abad ke-19 hingga beberapa saat sebelum runtuhnya Uni Soviet, pemihakan dan dukungan terhadap aksi seperti ini menjadi ukuran kekirian sebuah kelompok. Mereka yang ingin menghilangkan pemilikan pribadi secara total dan radikal biasanya disebut kaum komunis.
Mereka yang lebih moderat tetap ingin menghilangkan pemilikan pribadi, namun hanya terbatas pada sarana produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Metode perubahan kelompok kiri radikal adalah revolusi sosial, sedangkan metode kaum kiri moderat biasanya nasionalisasi. Kelompok moderat ini, jika mereka memperjuangkan nasionalisasi melalui parlemen, umumnya disebut sebagai kelompok sosdem (sosialis demokrat).
Jadi polarisasi di atas benar sejauh definisi kiri kita kaitkan dengan isu pemilikan pribadi dan metode perubahan struktur masyarakat kapitalis. Tapi kita harus ingat, definisi semacam ini bukan satu-satunya definisi yang ada. Sejak di Parlemen Prancis abad ke-19, istilah kiri juga sering dikaitkan dengan pengertian "progresif dan "alternatif terhadap kekuatan dan struktur dominan". Dalam pengertian seperti ini, polarisasi tadi bisa terbolak-balik: justru kaum sosialis dan ide-ide Marxis-lah yang menjadi kanan dan reaksioner.
Di negeri-negeri pasca-komunis pada dekade 1990 ini, misalnya, justru kaum sosialis dan komunis yang menganjurkan langkah-langkah "regresif". Mereka menjadi pembela status quo dan pelindung dominasi kaum birokrat yang tersebar di berbagai industri milik negara. Kelompok ini, dengan kata lain, menjadi kaum reaksioner dalam arti kata sesungguhnya.
Sebaliknya, kaum liberal justru menjadi pendobrak struktur ekonomi "lama". Mereka memperjuangkan terjadinya deregulasi dan privatisasi secara cepat dan serentak. Mereka berupaya menghilangkan basis kekuasaan kaum birokrat-kelompok yang oleh Milovan Djilas pada 1950-an disebut the new class itu-dan mendukung munculnya kekuatan pengusaha swasta yang mandiri dan efisien. Jadi, dalam konteks sistem pasca-komunis, kaum liberal betul-betul menjadi kaum progresif dan oposisi alternatif. Liberalisme, dengan kata lain, menjadi kekuatan kiri radikal.
Di negeri lain, di Amerika misalnya, hal yang hampir sama terjadi walau dalam bentuk yang berbeda. Politikus paling radikal di Amerika saat ini adalah Newt Gingrich, juru bicara Kongres yang bekas profesor sejarah.
Program ekonomi Gingrich ingin membalikkan arus besar "welfarisasi" yang menjadi arus dominan dalam kapitalisme Amerika sejak era Roosevelt pada 1930-an. Buat tokoh ini, problem Amerika hanya dapat diatasi jika mekanisme liberal, yaitu pasar bebas, berjalan seluas-luasnya. Liberalisme, karena itu, ditempatkan sebagai kekuatan alternatif untuk mengubah sistem welfare state secara mendasar.
Bagaimana dengan kita" Apakah, misalnya, aktivis PRD yang kini banyak dibicarakan dan para teknokrat pro-pasar seperti Prof. Widjojo dapat diletakkan dalam polarisasi kiri-kanan seperti ini"
Dalam satu hal, jika kita menggunakan pembagian klasik, yaitu definisi kekirian yang dikaitkan dengan pemilikan pribadi, dengan cukup jelas kita bisa berkata bahwa PRD kiri dan para teknokrat kanan. Tapi jika kita menggunakan definisi kiri yang berhubungan dengan progresivitas dan potensi sebagai alternatif terhadap tradisi dominan, maka soalnya agak lebih rumit.
Dalam hal ini kita harus ingat bahwa dalam tradisi pemikiran ekonomi-politik kita, ide-ide sosialis berakar sangat dalam. Umumnya tokoh utama pendiri bangsa kita berkiblat pada gagasan ekonomi sosialis, dengan berbagai variasinya. Hatta dan Sjahrir, misalnya, sangat dipengaruhi kaum sosdem di Eropa Barat (ide tentang koperasi bukanlah "milik" bangsa kita, melainkan digali dari tradisi sosialisme yang universal). Pengaruh pemikiran seperti ini dengan gampang terlihat jika kita membaca UUD 1945.
Karena dalamnya tradisi pemikiran sosialis, yang berkombinasi dengan semangat nasionalisme, tak heran jika dalam sejarah ekonomi kita justru negara dan birokrasilah yang berperan dominan. Mekanisme pasar dan peran swasta selalu bersifat pinggiran dan sangat dipandang secara negatif. Baru 10
tahun belakangan ini pendulum agak berbalik, dengan dilakukannya langkah-langkah deregulasi yang dimotori kaum teknokrat.
Karena itu, dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa justru Prof. Widjojo, dan bukan Budiman Sudjatmiko, yang sebenarnya sangat progresif dan kiri. Langkah-langkah yang telah dimotori Pak Widjojo, kalau dilaksanakan sungguh-sungguh, akan mengikis basis dominasi kaum birokrat dan merombak status quo kekuasaan ekonomi-politik.
Sebaliknya, ide-ide ekonomi yang tersirat di balik manifesto PRD, kalau dilaksanakan secara tuntas, akan mendesak meknis-me pasar untuk makin berada di posisi pinggiran. Yang akan kita saksikan adalah revitalisasi birokrasi dalam kehidupan ekonomi kita. Artinya, dominasi kaum birokrat akan makin diperkukuh. Maka PRD, dalam pengertian ini, dapat dipandang sebagai kekuatan kanan yang "konservatif".
28 September 1996 Barat dan Demokrasi Amerika dan negeri barat lain mengaku sebagai pendekar demokrasi, tapi politik luar negeri mereka terhadap revolusi Islam di Iran, FIS di Aljazair, dan rezim Erbakan di Turki tak demokratis. Karena itu Riza Sihbudi, dalam Gatra edisi 31 Mei, menulis bahwa apa yang disebut sebagai demokrasi Barat pun ternyata tak selamanya sungguh-sungguh demokratis.
Kesimpulan ini digunakan untuk memperkuat pendapatnya bahwa demokrasi seringkali menimbulkan kontradiksi dalam pelaksanaannya. Walau tak terlalu jelas apa yang ingin dikembangkannya dengan pendapat semacam ini, saya pikir Riza pada akhirnya ingin mengatakan bahwa dalam kebijakan luar negerinya, negeri-negeri Barat yang demokratis sering bersikap hipokrit dan inkonsisten dalam slogan demokrasi yang sering mereka banggakan.
Saya tak banyak berbeda pendapat dengan Riza dalam soal politik luar negeri Barat dalam contoh-contoh yang diberikannya. Tapi dalam soal inkonsistensi dan hipokrisi kebijakan luar negeri, semua negeri melakukan hal yang sama, di Barat atau di Timur. Di negeri Islam atau negeri sekular. Di Timur Tengah, misalnya, Pan-Islamisme dianggap sebagai cita-cita dan tujuan moral yang luhur.
Semua negeri di kawasan ini menginginkannya. Tapi dalam praktik yang terjadi adalah real politics: semuanya berlomba mendahulukan kepentingan negerinya dan menjadikan Pan-Islamisme sebagai slogan belaka. Dalam hubungan ini doktrin moral dan mekanisme demokratis memang belum banyak diterapkan. Logika yang digunakan dalam politik luar negeri adalah logika kepentingan dan kekuatan.
Inkonsistensi Barat dalam politik luar negerinya terhadap Dunia Islam sebenarnya tak terlalu tepat jika disebut sebagai tindakan hipokrit dan anti-demokratik. Mereka bertindak sebagaimana negeri-negeri lainnya akan bertindak dalam situasi yang sama: mengimplementasikan apa yang mereka definisikan sebagai kepentingan nasional mereka. Implementasi doktrin nasional Amerika dalam beberepa kasus memang dapat dihujat, seperti yang dilakukan Riza, tapi dalam beberapa kasus lain dapat pula dipuji. Misalnya upaya negeri ini, dengan segala kekurangannya, mendesak Serbia untuk mencari jalan damai di Bosnia.
Saya berbeda pendapat dengan Riza dalam satu hal: saya tak ingin mencampuradukkan antara dinamika politik internasional yang kompleks dan penilaian terhadap sistem demokrasi di Barat. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat di sebuah negeri. Dengan demikian penilaian saya terhadap luasnya kebebasan pribadi dan terbukanya peluang untuk melakukan kritik terhadap penguasa di Amerika tak saya kaitkan secara langsung dengan sikap saya terhadap keputusan Presiden Clinton untuk membantu salah satu faksi yang sedang bertikai di Aljazair.
Pandangan saya terhadap demokrasi Barat jauh lebih positif ketimbang pandangan Riza. Ini bukan berarti saya tak lagi kritis terhadap praktik demokrasi yang senyatanya berlangsung di Amerika, Inggris, atau di mana saja. Demokrasi adalah sebuah cita-cita, sebuah aspirasi. Hingga sekarang sistem pemerintahan di Baratlah yang paling mendekati perwujudan cita-cita ini.
Agar sebuah negeri bisa dikatakan demokratis, setidaknya harus ada ti
ga prasyarat kelembagaan. Pertama, undang-undang yang menjamin hak-hak politik yang paling dasar bagi tiap warganegara, seperti hak untuk berpendapat, beragama dan berserikat. Kedua, pers yang bebas. Dan ketiga, pemilu yang jujur dan lembaga perwakilan yang otonom. Dengan memakai ketiga prasyarat ini sebagai ukuran demokrasi, Amerika, Inggris, dan negeri lainnya di Barat telah mencapai titik terdekat dalam ujung skala yang positif. Sementara itu Korea Utara, Cina, dan Arab Saudi berada dalam titik terdekat dalam ujung skala yang negatif. Barangkali Indonesia berada di tengah-tengah.
Semua ini akan menjadi problem jika kita ingin mencari pengertian tentang demokrasi, yang samasekali berbeda dengan pengertian yang saya gunakan di sini. Lenin, misalnya, pernah memperkenalkan konsep demokrasi sosialis dengan lebih memberi penekanan pada kepemimpinan yang progresif serta pemerataan ekonomi ketimbang kebebasan individual dan perwakilan yang otonom. Contoh yang lebih kontemporer adalah Lee Kuan Yeuw, yang lebih mengaitkan konsepsi demokrasi dengan nilai-nilai kedisiplinan dan tujuan-tujuan pembangunan okonomi.
Pembalikan pengertian seperti ini hanya akan melahirkan kebingungan konseptual terhadap apa yang sesungguhnya dimaksud dengan demokrasi. Di bawah Hitler, misalnya, Jerman memang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat dan tingkat pertumbuhan yang hampir nol. Lalu apakah bisa dikatakan bahwa Jerman dalam era naziisme adalah negeri yang demokratis"
Pembalikan pengertian seperti itu bukan cuma menghasilkan kebingungan konseptual, melainkan juga melahirkan pembenaran bagi sistem pemerintahan yang otoriter. Bung Karno pernah melakukannya dengan mengatakan bahwa demokrasi kita bukanlah demokrasi Barat, yang menurutnya bukanlah sungguh-sungguh demokrasi, sebab bersandar pada mekanisme mayoritas yang "50+1". Setelah zaman Bung Karno pembenaran semacam ini justru meningkat.
Apakah kita akan terus memperpanjang kecenderungan seperti itu" Kalau kita mau mencegahnya sejak sekarang (merupakan cara terbaik), para intelektual tak akan terlalu sering "berdansa" dengan bermacam-macam pengertian tentang demokrasi. Kita bisa belajar dari pemikir besar yang menjadi peletak dasar konsepsi demokrasi Barat, misalnya Montesquieu, Voltaire, dan John Locke.
7 Juni 1997 Demokrasi dan Liberalisme
liberalisme adalah paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Jadi, liberalisme dan demokrasi sekarang ini umum dianggap sebagai dua hal yang tak terpisahkan dan tak terelakkan, terutama dalam tata pemerintahan dan masyarakat. Nah, masalahnya banyak sekali tantangan yang dihadapi liberalisme dan demokrasi. Misalnya, baru-baru ini Majelis Ulama indonesisa (MUi) mengeluarkan fatwa yang mengharamkan paham ini, selain pluralisme, dan juga sekularisme. Dalam bidang ekonomi juga demikian.
Tradisi kita rupanya banyak yang anti-liberal, yang mungkin dikaitkan dengan kolonialisme dan sebagainya.
Demokrasi berarti kekuasaan rakyat, dan liberalisme merupakan paham kebebasan, artinya manusia memiliki kebebasan atau, kalau kita lihat dengan perspektif filosofis, merupakan tata pemikiran yang landasan pemikirannya adalah manusia bebas. Bebas karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan. Dia tahu apa yang diinginkan; dia merasa dia memiliki hak untuk bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan. Jadi, cita-cita dasarnya adalah mulia, dalam arti liberalisme sebagai paham pemikiran yang optimistis tentang manusia.
Liberalisme percaya akan kemampuan manusia untuk berpikir sendiri, tidak perlu diatur oleh orang lain, tidak perlu dipaksa oleh orang lain. Manusia mampu memahami apa yang baik bagi dirinya dan mampu bertindak. Jadi, ini yang mengherankan saya kenapa paham ini ditentang dan dianggap hanya sebagai seks bebas dan perilaku seks tanpa norma. Dan kalau bicara tentang kebebasan atau menyangkut hal yang bebas, orang biasanya mengasosiasikannya dengan hal yang jorok atau berkonotasi negatif, padahal artinya sama dengan merdeka. Bangsa bebas, manusia bebas,
dan bukan bangsa yang jorok.
Bangsa merdeka dan manusia merdeka itu berada dalam tataran yang sama, walaupun unitnya berbeda. Kenapa bangsa harus merdeka dan perlu merdeka jika individu yang merdeka dianggap jorok, berbahaya, dan kemudian harus dibatasi" Ini kadang-kadang bersumber dari ketidakpahaman yang agak sistematis terhadap paham-paham modern.
Kalau kita kaitkan dengan demokrasi, keduanya (demokrasi dan liberalisme) tidak langsung berhubungan. Demokrasi bisa tidak liberal, bisa juga liberal. Makanya pendidikan liberal perlu bagi demokrasi, karena demokrasi bisa mengandung unsur yang tak-liberal, bisa juga yang liberal. Kalau kita lihat hubungan keduanya, demokrasi modern bisa tumbuh dengan sehat dan langgeng kalau ia mengadopsi unsur-unsur yang liberal, dalam pengertian bahwa jika manusia yang diatur sistem demokrasi itu adalah manusia-manusia yang mandiri, yang mampu memilih bagi dirinya sendiri, yang tahu tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik. Singkatnya, inilah apa yang disebut sebagai demokrasi liberal.
Kalau kita berbicara lebih lanjut mengenai paham liberal, ada pertanyaan: jika semua manusia bebas bertindak, bebas melakukan apa yang dia inginkan, bagaimana jika terjadi benturan" Makanya, pemikir-pemikir liberal datang dengan formula bahwa Anda bebas sebebas-bebasnya selama Anda tidak mengancam, mengganggu, membahayakan orang lain. Artinya batas kebebasan Anda adalah kebebasan orang lain. Kebebasan Anda berhenti manakala Anda sudah mengancam kebebasan orang lain. itu saja formulanya. Sangat simpel dalam segi teoretis, tapi tentu saja dalam praktik tidak demikian.
Contohnya: apakah rokok membahayakan orang lain" Jika membahayakan, perlu dilarang atau tidak" itu formulasi praktis. Tapi ide dasarnya adalah: Sejauh Anda tidak membahayakan orang lain, Anda bebas. Anda tidak bebas menipu saya, Anda tidak bebas menghukum saya, Anda tidak bebas membunuh saya. Karena orang lain mempunyai kebebasan pula. Tetapi untuk memilih istri, sekolah, pacar, baju, rumahtangga, Anda bebas. itulah dasar pemikiran liberal, walaupun tidak dikatakan. Anda bebas untuk bekerja di mana pun Anda suka, Anda bebas juga untuk memilih agama Anda. Untuk anak saya, saya dapat berkata "kamu harus ikut saya". Tetapi, jika Anda sahabat saya, tetangga saya, atas dasar apa Anda harus ikut agama saya" Anak saya pun, jika dia sudah berumur 13 tahunan, saya tidak lagi berhak mengharuskan dia ikut agama saya. Jadi, kita perlu memperlakukan orang lain tidak sebagai anak kecil.
Kebebasan, sebagaimana segala sesuatu dalam hidup, selalu mengandung risiko. Orang tidak langsung tahu apa yang dia inginkan, berlaku sesuai dengan apa yang dia dianggap baik. Orang memerlukan proses atau waktu untuk belajar. Orang kadang-kadang baik dan kadang-kadang jahat. Kalau kita melihat potret kehidupan manusia, ada yang di masa mudanya nakal, kemudian dia tumbuh menjadi dewasa dan baik, atau sebaliknya. Orang pasti berubah-ubah, tetapi selalu ada ruang untuk belajar, untuk bereksprimen. Ada orang yang dipaksa-paksa dengan sistem otoriter tetap menjadi liar. Jadi, tidak ada sistem yang dapat menjamin tidak ada orang yang nakal dan liar di dalamnya.
Namun dalam sistem yang menganut asas-asas liberal, ada sarana dan metode yang dapat menjamin manusia secara umum untuk menentukan apa yang mereka inginkan. Kalaupun ada penyimpangan (anomali), ada sistem untuk memperbaiki mereka, seperti sistem hukum, penjara, dan sebagainya. Kalau itu tidak dicakup oleh sistem hukum, ada pula yang dinamakan sanksi sosial, dan ini selalu melekat dalam masyarakat. Tetapi sebagai gagasan, liberalisme modern adalah salah satu penopang sistem demokrasi liberal.
Sistem-sistem lain, misalnya otoritarianisme, pada akhirnya mengekang kebebasan manusia. Ada negara-negara yang berhasil memajukan warganya, tapi tidak menganut sistem demokrasi dan tidak liberal, seperti Singapura.
Singapura memang negara yang sejahtera, sistem hukum dan ketaatan warganya terhadap hukum lebih baik dibanding Indonesia, yang secara formal demokrasi. Singapura tidak kalah dibanding Amerika dalam
hal pelaksanaan dan ketaatan pada hukum. Tapi di Singapura tidak ada sistem yang dapat menjamin kebebasan seseorang pada tingkat politik. Tidak berarti bahwa Singapura tidak liberal. Ada masyarakat yang lebih ekstrem di mana negara masuk terlalu jauh dalam pengaturan kehidupan sosial. Singapura memang mengatur kehidupan sosial dalam masyarakatnya, tapi tidak masuk terlalu jauh.
Sistem lainnya, misalnya di Arab Saudi, masih mengatur bagaimana seharusnya seorang wanita berpakaian. Itu lebih ekstrem dibanding negara-negara lainnya. Wanita dibatasi kebebasannya dalam hal menentukan pilihannya, misalnya dalam memilih sekolah. Saya kira hal itu tidak akan berjalan terlalu lama, karena sudah menjadi kodrat manusia modern untuk terus-menerus menjadi mandiri, baik itu di Indonesia, Singapura, maupun Arab Saudi. Suatu saat sistem seperti itu akan menjadi terbuka dan akan menjadi bagian dari sejarah.
Mungkin penduduk negeri-negeri semacam itu sekarang bahagia. Tapi seiring dengan proses kemajuan, modernisasi, proses perluasan ruang bagi manusia untuk bergerak sesuai dengan gerak sejarah, saya rasa hal itu tidak dapat dipertahankan. Artinya mereka hanya bersifat temporer. Anda juga harus melihat bahwa sekitar 300 tahun yang lalu semua bangsa, dalam pengertian modern, juga bersifat tak-liberal, tapi kemudian mereka berubah.
Kebanyakan orang di Indonesia, termasuk kalangan cendekiawannya, masih mengartikan liberalisme secara negatif. Ini merupakan pengaruh sejarah. Sebagian karena masyarakat Indonesia masih berada dalam kompleks agraris yang bersifat komunal-dan tidak ada masyarakat agraris yang liberal. Lihatlah kehidupan di pedesaan. Kecenderungan untuk ikut campur masalah orang lain, sibuk untuk mengatur masalah orang lain-atau bahasa kerennya: paternalistik-luarbiasa kuatnya. Di negara-negara maju pun ada kecenderungan bahwa semakin terpencil tempat tinggal Anda, semakin parokial cara berpikir Anda, semakin kurang liberal cara berpikir Anda.
Kita mengerti juga, selain ada masalah sosio-ekonomi, ada masalah historis. Indonesia lahir dari proses penentangan kolonialisme yang sering dikaitkan dengan kapitalisme, liberalisme, dan sebagainya. Kebanyakan pendiri negara kita adalah orang-orang sosialis-nasionalis; itu merupakan produk sejarah yang unik pada awal dan pertengahan abad ke-20. Kalau Indonesia lahir pada abad ke-21 tentunya akan berbeda; tapi kebanyakan negara Dunia Ketiga lahir pada pertengahan abad ke-20, ketika hak asasi manusia, liberalisme, sedang didiskreditkan di beberapa belahan dunia. Jadi, memang agak sedih juga kita melihat hal itu. Tapi itu masalah masa lalu.
Sekarang justru arah dan kecenderungannya sudah berbalik. Mau tidak mau, sekarang ini kita dipaksa untuk menjadi semakin liberal. Lihat saja media elektronik seperti televisi. Atau bagaimana Anda bisa melarang Internet, koran, hand phone, atau media komunikasi lainnya" Hal itu secara langsung memperluas ruang kebebasan, ruang pilihan-pilihan, bagi individu. Jadi, saya melihatnya lebih ke depan, selain ke belakang. Orang bicara bahwa kehidupan kita sarat dengan sejarah, tetapi sejarah juga hidup dalam batin kita. Dan perlu diingat, sejarah itu bergerak. Dan sekarang, kalau kita lihat, arusnya tidak tertahankan. Yang mengkhawatirkan sebetulya adalah dimensi ekonomi.
Sekali lagi, ekonomi-politik liberal percaya pada kebebasan, bahwa manusia mampu menemukan apa yang baik, mampu berpikir bagi dirinya sendiri, dan dalam proses mengejar kepentingan dirinya sendiri yang membawa manfaat bagi orang lain. Dalam ekonomi juga dipercaya bahwa para penjual dan pembeli memikirkan kepentingan mereka sendiri. Ini tidak perlu dinafi -kan. Dalam proses tersebut kemudian mereka membawa kepentingan bagi semua orang. Pedagang koran, misalnya, mengantarkan koran ke rumah Anda bukan karena mereka baik, melainkan karena mereka ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka demi kelangsungan hidup mereka. Jadi, itulah dasar-dasar ekonomi liberal, walaupun rumit dalam kembangan-kembangannya.
Dan terbukti bahwa sistem ekonomi yang menganut asas seperti ini adalah s
istem ekonomi yang mampu menjamin kemajuan. Dan justru ide yang ingin melawan ide liberalismelah yang terpuruk, baik negara komunis maupun negara etatis. itu merupakan bukti bahwa mereka tidak mampu memberikan alternatif atas sistem ekonomi liberal.
indonesia pada awalnya lebih banyak diatur oleh gelora sosialisme dan nasionalisme. Tapi pada era 80-an kita berubah. Kita semakin terintegrasi dengan perdagangan dunia yang asas-asasnya liberal, dengan adanya deregulasi dan sebagainya. Sejak itu pertumbuhan kesejahteraan semakin meningkat, walaupun masih banyak kekurangan rezim Orde Baru. Harus kita akui bahwa Pak Harto, dibanding Bung Karno, telah membuka ekonomi indonesia, walaupun tidak sepenuhnya; ia memulai langkah pertama mengintegrasikan ekonomi indonesia, dan kemajuannya luarbiasa.
Negara-negara yang tertutup atau setengah tertutup, pro-teksionis, juga membuka diri, dan tidak dapat dimungkiri bahwa dengan mengintegrasikan diri ke dalam ekonomi dunia mereka mengalami kemajuan besar. Mulai dari Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Malaysia, Thailand, Singapura, semua adalah contoh konkret bahwa hanya dengan perdagangan, hanya dengan membuka diri, mereka menjadi negara yang maju, dan sekarang sama majunya dengan negara-negara maju di Eropa. Sebaliknya, negara-negara yang menutup diri atau memproteksi ekonominya, atau yang sangat membenci ekonomi pasar, seperti Myanmar, juga negara-negara Afrika, Amerika Latin, Asia, tetap terbelakang. Cina dan India, setelah membuka diri, bisa kita lihat sendiri bagaimana perkembangannya.
Jadi, tanpa teori canggih-canggih, akal sehat saja bisa menunjukkan bahwa Anda menggunakan kebebasan manusia justru demi kesejahteraan manusia. Yang saya khawatirkan indonesia. Karena selalu setengah-setengah, tidak pernah benar-benar jelas terhadap semua ini, kita tidak dapat memanfaatkan kesempatan yang ada untuk semakin memicu tingkat kesejahteraan ke arah yang lebih baik. Jika dibanding negara-negara lain, kita hanya mengalami pertumbuhan ekonomi 5,7% per tahun; ini memang sudah cukup bagus, dan mungkin ketiga atau keempat tertinggi di Asia, setelah Cina dan india. Tapi sebenanya kita juga mampu tumbuh sampai 8-9%, seperti Cina, atau 7% seperti india. Kenapa tidak"
Kita bisa menggerakkan pertumbuhan ekonom kita, bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi rakyat kita, bisa membawa masyarakat miskin di pedesaan menjadi bagian dari masyarakat industri yang baik dan sejahtera. Proses ini terhambat karena kita mendua dalam melihat kebebasan ekonomi dan kebebasan manusia.
Kesenjangan antara si kaya dan si miskin itu selalu ada di semua sistem, bahkan lebih parah lagi dalam sistem non-liberal. Artinya, perbedaan antara kaya dan miskin adalah fakta sosial. Kita tinggal melihat kecenderungannya. Apakah si miskin berpendapatan Rp500 ribu sementara yang kaya Rp500 juta" Ini merupakan kesenjangan. Tetapi ada juga: yang kaya berpendapatan Rp500 juta dan yang miskin Rp5 juta. Ini juga senjang. Jadi, yang kita bicarakan kesenjangan yang mana" Liberalisme tidak berkata bahwa kesenjangan itu akan hilang. Liberalisme, dalam pengertian sistem ekonomi pasar yang dikelola oleh kepentingan masing-masing, dan yang terbuka terhadap dunia luar, bisa menjamin bahwa yang miskin memiliki pendapatan minimal yang mampu untuk hidup dalam kesejahteraan.
Kondisi miskin itu berbeda-beda di tiap negara. Di negara-negara yang katakanlah tertinggal, kalau Anda miskin Anda praktis tidak punya apa-apa. Kalau Anda miskin di New York, Anda punya apartemen, mobil, televisi, bisa menyekolahkan anak. Miskin dalam pengertian Amerika tetap memiliki kelengkapan-kelangkapan hidup di mana Anda bisa menjadi manusia yang punya martabat. Mereka yang miskinnya dianggap ekstrem, mendapat tunjangan sosial. Dan sistem tunjangan sosial ini samasekali tidak berlawanan dengan prinsip liberalisme modern; ia merupakan bagian dari liberalisme modern, yang mengakui bahwa negara juga memiliki peran. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tidak punya fungsi atau peran sosial seperti itu.
Anda tidak mungkin menanggung orang miskin jika
Anda tidak punya uang. Artinya, ada yang harus tumbuh dan berkembang, yaitu ekonomi. Dengan adanya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, kita bisa menanggung orang miskin; mereka bisa mendapatkan kehidupan yang layak. Kalau Anda tutup dan hambat ekonomi dengan segala macam ilusi seperti sosialisme, utopia, populisme, justru Anda tidak bisa menanggung orang miskin dengan baik.
Anda lihat di India, misalnya, orang-orang miskin tidur di pinggir jalan. Jumlahnya ribuan. Negara tidak bisa menanggung mereka, karena negara tidak punya sumberdayanya. Tetapi, hal semacam itu tidak terjadi di negara-negara yang sudah maju dengan ekonomi yang terbuka. Saya tidak bilang semua ekonomi maju adalah liberal dalam pengertian yang saya maksud, tapi elemen-elemen pasarnya itu kuat dan bekerja dengan baik. Negara memetik keuntungan dengan kuatnya ekonomi. Inilah yang harus kita lakukan. Jangan punya ilusi bahwa kemiskinan bisa tertanggulangi jika ekonomi tidak tumbuh. Pertanyaannya: bagaimana kita menumbuhkan ekonomi" Tidak ada cara selain mengadopsi pikiran-pikiran liberal, dalam arti bahwa kita harus membuka pasar, membuka ekonomi Indonesia, mengundang investasi; kita perkuat hukum supaya kepastian antara kaum pengusaha dan kaum buruh bisa terjadi.
Ada sejumlah kemungkinan sebab mengapa pemerintah kita tidak secara tegas memilih ekonomi pasar. Pertama, mungkin ada persoalan intelektual, yaitu kebelumyakinan kita terhadap baiknya pemikiran pro-pasar. Ini adalah tradisi, dan merupakan tantangan kita dan salah kita kenapa kita tidak membujuk mereka dengan cara-cara yang efektif. Kedua, persoalan politik. Mengubah ekonomi ke arah yang lebih sehat itu menciptakan kalah dan menang.
Ada yang semua diproteksi, kemudian dibuka. Yang paling gampang adalah kasus BBM. Proteksi BBM dengan subsidi adalah untuk kalangan kelas menengah, bukan untuk kalangan miskin. Kalau kita mengubahnya-dari semula terbiasa membayar murah kemudian harus membayar mahal- itu menjadi alasan untuk menuding pemerintah. Padahal sebenarnya kita naik mobil dengan membayar harga yang sewajarnya. Malahan, 95% negara di dunia lebih mahal harga bensinnya dibanding di Indonesia. Tapi karena kita terbiasa beli murah, maka ketika kemudian dimahalkan kita marah-marah. Ada banyak contoh lain yang persoalannya mungkin tidak hitam-putih.
Demikian juga masalah-masalah seperti kepemilikan BUMN, misalanya Garuda dan lainnya. Mereka disebut milik pemerintah, milik rakyat, kalau kita jual kepada swasta kita kehilangan aset negara. Padahal, apa sebenarnya arti kepemilikan tersebut" Lion Air adalah milik swasta, Garuda milik kita. Tapi kalau kita ingin naik pesawat mereka, kita sama-sama beli tiket. Jadi apa sebenarnya yang dimaksud milik kita" Apakah Lion Air tidak memelihara pesawatnya dan tidak menggaji karyawannya" Mungkin mereka menggaji karyawannya lebih tinggi. Saya tidak tahu apa beda antara Lion Air milik swasta dan Garuda milik kita.
Bagi saya yang penting adalah mereka membayar pajak, yang nantinya kita gunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit dan sebagainya. Lion Air harus bayar pajak, dan Garuda pun harus bayar pajak; tidak mentang-mentang milik kita kemudian Garuda tidak bayar pajak. Para pejabat negara pun kalau naik Garuda harus bayar. Tidak wajar kalau mereka tidak bayar hanya karena Garuda "milik kita". Jadi, apa makna "memiliki" dalam konteks itu" Hambatan mental seperti ini yang harus kita tembus.
Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perusahaan yang dimiliki swasta mungkin lebih baik, lebih efisien, tapi saya tidak tahu. Saya tidak bilang Lion Air lebih baik. ini sekadar contoh, dan bukan untuk mempromosikan Lion Air. Pertanyaan pokoknya adalah: apa bedanya bagi kita, warganegara, dalam hal perusahaan yang satu dimiliki swasta dan yang lain dimiliki negara" Tidak ada.
Saya kira masalahnya selain muncul dari para ekonom, juga dari para cendekiawan umumnya. Mereka mengemukakan macam-macam argumentasi yang, kurang-lebih, dianggap ilmiah. Mereka terus berusaha membuktikan bahwa sistem pasar bebas itu tidak adil, dan yang adil adalah sistem yang sebaliknya. Tapi, apakah yang disebut adil itu" i
ni tampaknya konsep yang sederhana. Tapi, apa yang adil" Apakah jika saya memiliki penghasilan yang sama dengan orang lain dapat dikatakan adil" Kalau orang lain pintar dan saya bodoh, mengapa saya ingin penghasilan saya sama dengan dia" Ada yang ganteng, cantik, yang kurang cantik, dan yang diterima yang cantik. Apakah ini adil"
Pertanyaan tentang yang adil ini sangat elusif. Tetapi intinya adalah: apakah ia menjamin kesejahteraan dalam pengertian umum, buat semua orang"
Individu vs Masyarakat individualisme sering dianggap sesuatu yang negatif, yang disejajarkan dengan egoisme (sikap egois) atau egosentrisme. Orang yang dianggap individualistik biasanya orang itu dianggap hanya memikirkan dirinya sendiri, bahkan seraya otomatis dianggap melanggar hak-hak masyarakat.
Konsepsi terhadap paham penting ini memang sering disalahpahami. Padahal, sebenarnya paham ini sangat sederhana. Ia mengakui fakta yang alamiah bahwa setiap manusia dalam memandang dunia di sekitarnya selalu memakai kacamata atau persepsi dirinya sendiri. Tidak ada orang yang mencoba melihat dunia ini lewat pikiran dan mata orang lain-selain karena memang tidak mungkin demikian berdasarkan bangunan fisik manusia.
Ada sebuah contoh gampang yang pernah diberikan oleh Adam Smith, pemikir ekonomi yang dianggap sebagai "Bapak Kapitalisme". Coba lihat, kata Smith, kalau misalnya ada seribu orang mati di Cina, Anda yang di Inggris mungkin malam itu bisa tidur lelap. Tapi coba jika pada saat yang sama jari kelingking Anda tergores sedikit dan kemudian memar atau bernanah. Maka rasa sakit itu mungkin akan membuat Anda semalaman tidak bisa tidur karena memikirkan jari kelingking Anda itu.
Atau misalnya Anda diberi pilihan yang ekstrem: kalau Anda disuruh memilih antara kehilangan jari kelingking Anda besok pagi karena dipotong atau dua puluh orang meninggal di Cina. Mana yang akan Anda selamatkan: kelingking Anda atau nyawa dua puluh orang itu" Mungkin Anda relakan kelingking Anda. Tapi dilemanya: Anda berpikir tentang sakitnya kelingking Anda itu. Nah, itu berarti Anda tidak salah memikirkan kelingking Anda. Karena bagaimanapun manusia harus berpikir, dia harus melalui bangunan dirinya.
Individualisme sebagai sebuah paham sebenarnya mulai dari fakta sederhana itu. Dia tidak ingin mengingkarinya dengan berkata bahwa, "Lupakan dirimu atau jangan pikirkan dirimu, tapi pikirkan masyarakat yang lebih besar." Memikirkan diri sendiri itu jangan disamakan dengan egoisme. Jadi yang bisa dilakukan bahwa dalam melihat masalah dan dilema-dilema masyarakat, jangan ingkari kepentingan individu; jangan ingkari cara berpikir masing-masing individu dalam melihat persoalan dan kepentingannya.
Saya pernah memberi contoh sederhana tentang Siti Nurbaya, yang dipaksa oleh ayahnya untuk kawin dengan lelaki yang bukan pilihannya, Datuk Maringgih. Sang ayah bisa bilang bahwa perjodohan paksa tersebut untuk kepentingan keluarga, padahal kita tahu itu demi penyelesaian utang-piutang. Tetapi apapun alasan di luar Siti Nurbaya, pemaksaan itu sebenarnya tidak mengakui individu sang anak yang boleh memilih bagi dirinya sendiri. Jadi individualisme itu bukan berarti seseorang harus egosentris. Itu sekadar pengakuan bahwa manusia dalam melihat persoalan tidak melalui kacamata orang lain.
Dan hal itu tidak berarti harus bertentangan dengan masyarakat. Justru masyarakat akan sangat beruntung jika individu-individu yang ada di dalamnya, yang membentuk masyarakat itu adalah individu-individu yang matang, dewasa, yang mampu memilih bagi dirinya sendiri. Masyarakat semacam itulah sebenarnya yang terbaik. Bukan masyarakat yang diko-mando oleh seseorang-bisa ayah, paman, pemimpin politik, pemimpin agama atau apapun-yang memaksakan kehendak bagi individu-individu dalam proses beragam pilihan dalam kehidupan.
Dalam ungkapan lain, dalam konteks masyarakat, paham individualisme itu menekankan bahwa hendaknya individu atau hak-hak individu itu dipertimbangkan atau dijamin, bukan digerus atau dikalahkan oleh apa yang disebut kepentingan umum. Dalam bangunan tata masyarakat m
Ilmu Ulat Sutera 5 Never Too Far Too Far 2 Karya Abbi Glines Jurus Tanpa Bentuk 2