Pencarian

De Buron 3

De Buron Karya Maria Jaclyn Bagian 3


Tentu saja Kimly tidak melihat kedua temannya, saat itu kan Kimly sedang sibuk dengan patah hatinya.
"Tapi sampai sekarang gue masih nggak percaya Raditya itu ternyata sembunyi di sini, Kim! Ya ampuuun... jadi oom ninja itu..."" Lylla melongo, membuat Kimly tertawa geli. Kimly mengangguk-angguk menjawab pertanyaan Lylla.
"Tapi tuh cowok emang beneran keren deh, Kim"! Tau nggak, abis lo lari, cowok ganteng yang ternyata de buron lo itu, ngedatengin Nino!" cerita Ardel bersemangat. Ia sudah berdiri di samping ranjang.
Kimly mendongak kaget. "Ngedatengin Nino""
"Iya! Waktu lo pergi, orang-orang mulai sadar kalo ada masalah. Mereka ngerumunin Nino dan Radit, tapi kelihatannya Radit sama sekali nggak peduli sama semua orang. Dengan keras, dia ngomong gini...," Ardel berdeham, kemudian memasang wajah serius, "Selama ini Kimly selalu ngerasa nggak pantes buat kamu! Kamu udah nyakitin hati cewek yang paling istimewa dan kamu bakal menyesal seumur hidup."
Lylla menjerit sambil menutup mukanya dengan bantal. "Ya ampuuun, Kim..., tuh cowok keren bangeeet... lebih keren dari Cakka!!! My Radit!!! Ooooom ninjaaa..."
Jantung Kimly berdebar-debar. Wajahnya memerah. Ia menahan senyum dan semakin merindukan Radit. Lylla dan Ardel berhambur memeluknya hingga mereka terjengkang ke ranjang. Kemudian tertawa.
"Radit bener-bener keajaiban ya, K
im"" Kimly memandangi poster yang sudah dicoreti tulisan buronan keren itu. Ia meraih surat kaleng terdekat, kemudian membukanya.
lO nggAk pAnTEs bUAT nino!
Kimly merobek surat itu, juga foto Nino di mejanya.
"Iya, emang..."
*** Kimly menyalakan TV, mencari-cari siaran berita sore. Wanita penyihir itu sedang menayangkan kasus pencurian di sebuah bank, kemudian berita beralih pada kasus pembunuhan. Kimly membulatkan matanya, mengeraskan volume TV, dan beranjak mendekat.
"Dini hari tadi, pelaku kasus pembunuhan yang sedang dicari polisi akhirnya tertangkap. Tersangka disergap petugas ketika berkeliaran di jalanan sebuah perumahan elite di Jakarta..."-layar TV berganti menjadi gambar Raditya yang sedang dibawa ke tahanan-"...pelakunya terlibat dalam kasus pembunuhan seorang direktur perusahaan..."
Kimly tidak lagi mendengar suara formal wanita itu. Ia memandangi Radit di layar TV. Bahkan hanya dalam balutan seragam penjara pun cowok itu masih terlihat sangat keren. Pantas saja ada cewek yang sampai hobi menonton berita hanya untuk memandangi wajah Radit. Contohnya saja Lylla dan Ardel, yang tadi sudah bertekad mengidolakan Radit lagi. Entah apa komentar Raditya jika mendengar hal ini.
Kimly, Maaf ya, aku pergi tanpa pamit. Bahkan aku belum sempat bilang terima kasih buat semuanya, juga minta maaf karena udah ngerepotin kamu...
Oh ya, gimana keadaanmu"
Waktu aku pergi, badanmu panas. Kemarin kamu pingsan abis hujan-hujanan, terus kepalamu kena bak waktu kamu lagi ganti baju...
Maafin aku karena udah ngelanggar perintahmu. Malem itu aku nggak tidur di kamar mandi, soalnya tidurmu nggak tenang. Aku bingung mau ngapain, jadi yang bisa aku lakuin cuma ngegenggam tanganmu, sampai kamu tenang...
*** SEPULUH *** BI IMA mengoceh panjang-lebar sampai telinga Kimly terasa sakit mendengarnya.
"...masukin cowok ke kamar! Ya ampun, Noon! Buronan pula... ya ampun! Ya ampun! Ya ampuuuun! Bibi tahu dia ganteng, keren, tapi Non jangan sampai lupa harga diri dong!"
"Dia tidur di kamar mandi kok, Bi!" sela Kimly membela diri.
"Itu juga nggak boleh! Masa' ganteng-ganteng suruh tidur di kamar mandi"!"
Kimly menyela, "Emang apa hubungannya, Bi""
Bi Ima tidak menjawab dan malah terus mengoceh dengan wajah bersemu merah. "Lagian siapa bilang dia tidur di kamar mandi"! Waktu itu Bibi mikir, kok tumben jam Sembilan Non belum bangun. Wah, jangan-jangan sakit nih. Terus Bibi datengin kamar Non! Pintu pengap dikunci, Bibi puter haluan ke taman. Maksudnya sih pengen ngintip. Ternyata pintu adem nggak dikunci. Eehhh... untung jantung Bibi nggak copot pas buka kamar Non!"
Bi Ima menghilang ke dapur untuk mengangkut piring-piring kotor bekas makanan, kemudian muncul lagi beberapa saat kemudian. Masih dengan wajah marah yang malah terlihat amat lucu. Tapi Kimly cukup berakal sehat untuk tidak tertawa geli untuk melihatnya. Ia memilih menunduk, menghabiskan roti selainya.
"Ada cowok duduk di lantai! Eh enggak, bukan duduk tapi tidur. Kepalanya tergeletak di pinggir ranjang. Bibi sampe pegel kalo ngebayanginnya. Kok bisa sih orang tidur sambil duduk gitu" Kan sakit! Untuk dia nggak salah urat!"
Bi Ima mengisi air di gelas Kimly yang kosong.
"Bibi kaget, tuh orang kok megangin tangan Non" Bibi menjerit. Cowok itu bangun. Kaget banget deh mukanya. Kebetulan di daerah kita lagi ada pemeriksaan karena kabarnya ada yang ngenalin buronan itu Sabtu kemarin. Bibi langsung manggil polisi, trus pas balik, Bibi lihat cowok itu masih tenang-tenang aja di kamar, lagi berlutut mandangin Non.
"Untung Bibi sudah mohon sama polisi supaya ngerahasiain rumah ini dari wartawan. Makanya di TV Raditya ditangkap di jalanan, bukan di kamar Non. Non Kimly nggak mau jadi terkenal mendadak, kan""
Bi Ima terdiam sebentar sebelum memulai lagi pidatonya, "Untung juga Bibi setia banget nonton berita kriminal tiap siang, makanya Bibi tahu harus bertindak gimana. Sebenarnya sih Bibi pengen bisa muncul di berita, tetapi demi kebaikan Non Kimly, Bibi menolak dan minta identitas kita dirahasiain aja."
Bi Ima berhenti bergerak ke sana kemari. Kimly mendongak. Wanita tua itu memandanginya dengan sorot mata lembut. Senyumnya tampak misterius, membuat Kimly merasa Bi Ima mengetahui perasaannya.
"Tapi kalo dia emang benar, pasti selamat, Non... Non cukup percaya aja sama dia...," kata Bi Ima pelan.
Kimly tertunduk malu. Kenapa sih sekarang perasaannya mudah sekali diketahui orang"
Melihat Kimly tersipu dengan wajah nyaris memerah, Bi Ima tertawa geli.
"Non Kimly udah gede ya!"
*** Kimly sedang duduk di ruang tamu rumahnya ketika ayahnya pulang. Pria itu terlihat kaget. Tidak biasanya Kimly duduk-duduk di sana.
"Lho, Sayang" Lagi ngapain"" Ayah mengelus rambut Kimly.
Kimly memandangi wajah ayah. Ada bekas lipstick di sudut bibir pria itu. Lagi-lagi hatinya terasa sakit seperti diiris tipis-tipis. Ingin rasanya ia menepis tangan ayah kuat-kuat, namun Kimly tak melakukannya. Ia masih berusaha menghormati ayahnya.
"Nunggu ayah," kata Kimly dingin.
Ayah tersenyum kemudian berjalan dengan lelah.
"Yah," panggilnya. Ayah berbalik menatap Kimly.
"Apa, Sayang" Kamu perlu uang" Berapa" Sini Ayah kasih. Apa sih yang kamu mau Ayah nggak kasih"" nada suara ayah terdengar sangat manis.
"Ada bekas lipstik tuh di bibir Ayah," ujar Kimly sambil menatap ayahnya.
Pria itu terkejut. Ia mengusap bibirnya dengan tangan, kemudian memandang jarinya. Ayah berjalan menjauh, berusaha menghindar.
"Ayah mandi dulu ya!" katanya. Terdengar sekali berniat melarikan diri. Kimly masih memandangi Ayahnya.
"Kimly tahu kok, Yah!" tukasnya sambil meloncat berdiri.
Ayah menoleh. Wajahnya seperti topeng, tanpa ekspresi.
"Tahu apa"" suara dingin. Entah pergi ke mana suara manis tadi.
"Minggu lalu Kimly ngeliat Ayah sama penyihir itu ke motel garasi," bisik Kimly dingin dengan segala emosi yang tersisa.
Betapa sulitnya mengucapkan kalimat itu. Kimly menelan ludah kuat-kuat sambil mengepalkan tangan. Betapa sulitnya menahan kesedihan yang sudah mulai merayap naik ke tenggorokannya. Ingin sekali Kimly menjerit keras-keras, melepaskan beban berat di hatinya.
Ayah kelihatan sangat panik.
"Aa-" "Tolong Ayah jangan ngebohongin Kimly lagi. Dikhianati sudah cukup menyakitkan...," bisik Kimly pahit. Kimly teringat kalimat yang ditulis Raditya di posternya. Cewek itu berusaha menguatkan diri. Ia menarik napas kuat sambil gemetar menahan emosi.
Ayah hanya bisa menunduk dalam-dalam.
"Maaf... Ayah khilaf...."
Jika Kimly tahu ternyata berbicara jujur akan sesakit ini, ia pasti tidak akan mau bicara seperti ini.
"Ayah khilaf...," ulang Kimly getir, "tapi mau sampai kapan Ayah khilaf" Hari ini" besok" Bulan depan" Tahun depan" Sebegitu bencinya Ayah pada Mama dan aku""
Wajah ayah tampak memelas, sampai-sampai Kimly berubah iba padanya. Namun ia pun teringat, dirinya juga terluka.
"Tidak, Kimly! Ayah sayang Mama dan kamu! Ayah tidak tahu gimana jadinya Ayah kalau kalian pergi!"
"Ayah egois! Ayah seenaknya aja mempermainkan perasaan Mama! Apa itu yang disebut sayang" Ayah jarang pulang. Sekalinya di rumah, ayah cuma mendekam di kamar, cuma tidur. Ayah sama sekali nggak peduli gimana kabar kami. Apa itu yang disebut sayang"" suara Kimly bergetar, antara marah dan sedih. Sakit tak terhingga.
Kimly berlari melewati ayahnya. Kimly menyentak tangan pria itu yang berusaha menggapai bahunya. Di ruang depan Kimly berpapasan dengan Mama. Wanita itu menangis dan memandangi Kimly dengan tatapan terluka. Kimly melewatinya dan berlari keluar menuju kamarnya.
Kimly menjerit sekuat-kuatnya di sana.
Kimly, Orangtuaku datang. Aku kangen mereka. Ibuku menangis, tapi ayahku cuma tersenyum sedih. Mereka cuma menyuruhku banyak berdoa. Tapi hatiku jadi tenang.
Sidang pertama dimulai besok. Hari ini aku ketemu pengacara yang ditunjuk buat membelaku. Nggak terkenal. Gayanya aja nggak meyakinkan (bayangin, waktu kita bicara, dia berkali-kali menguap lebar dan minta maaf karena semalam kurang tidur gara-gara nonton bola!)
Tapi begitu aku cerita tentang kisahku (seperti yang sudah pernah kuceritain ke kamu), matanya lan
gsung berubah. Waktu itu aku langsung ngerasa dia orang yang bakal ngebebasin aku. Tapi belum apa-apa, dia nguap lagi dengan suara aneh. Pasrah deh...
Gimana kepalamu" Masih sakit"
Nggak ganggu tidurmu, kan"
*** Kesokkan harinya. Kimly memandangi dirinya di cermin. Ia mengusap dahinya pelan. Perbannya sudah dibuka, namun masih terlihat benjolan berwarna kebiruan yang saking sakitnya sampai berdenyut-denyut seperti jantung tambahan jika dipegang.
Kemudian pandangan mata Kimly bergeser.
Cewek berpipi cekung itu...
Waktu itu Kimly masih mempertanyakan siapa dia. Namun kini Kimly sudah yakin, itulah dirinya.
Yah, sejelek-jeleknya Kimly, bukan berarti siapa pun bolej melukainya, kan" Nino pun tidak berhak melukai hatinya.
Kalau mau diibaratkan, Nino hanya secuil ikan teri di sebelah sirip ikan hiu. Tentu saja yang terakhir disebut itu melambangkan Radit. Siapa lagi"
Kimly sampai tidak habis pikir, mengapa dulu ia bisa-bisa tergila-gila pada Nino. Kimly mengelu-elukan cowok itu dan memandangnya sebagai makhluk langkah dengan segala pesona, mengacuhkan saran teman-temannya untuk putus walaupun Nino sudah melukai hati Kimly berkali-kali.
Hmm... oke, Nino memang cakep. Tapi dia sama sekali nggak keren.
Radit jauuuuuuuh... lebih keren daripada Nino.
Kimly mengaku kalah pada tingginya selera Lylla dan Ardel tentang cowok-setidaknya mereka lebih memilih Radit daripada Nino. Tidak seperti Kimly yang selama ini dibutakan oleh cinta sepihak.
Tetapi sekarang Kimly sudah tidak bisa dibodohi lagi oleh cowok manapun. Sudah nggak zaman cewek dibodohi cowok.
"Nino"" Kimly mencibir pada dirinya sendiri di cermin. "Siapa tuh""
*** Cowok itu sama sekali tidak tampak bersalah. Buktinya saja, Kimly menemukan dia duduk di meja sambil mendengarkan musik lewat loudspeaker handphone-nya. Teman-teman bandnya (kecuali cewek lipgloss) berkeliling di sekitar Nino, tertawa-tawa.
Nino tidak menyadari kehadiran Kimly, karena ia memunggungi pintu masuk kelas. Ia terus saja nyerocos.
"...kayak preman pasar! Dateng-dateng langsung ngomel nggak jelas! Nggak pantes buat gue lah! Nggak pantes buat dia lah! Nggak ngerti! Gue tuh orang!" Nino menirukan gaya orang gila dan segera disambut tawa menggelak teman-teman bandnya.
"Tuh cewek nggak lo sambit"" tanya salah satu teman bandnya sambil nyengir dan mengangkat alis. Kelihatan sekali cowok itu sedang tebar pesona pada cewek-cewek yang mengobrol di pojok kelas.
Heh, cengiran Radit jaaaauuuuuh lebih keren, tau!
"Ya nggak lah! Kan ada si ehm! Masa' gue berantem sih" Nggak cool dong!" balas Nino sambil menyibakkan rambut. Kata-katanya segera disambut siulan dan cemooh bercanda teman-temannya.
Kimly yang sedang bersembunyi sambil menguping di antara gerombolan cewek mencibirkan bibir dengan jijik. Namun ia masih menahan diri.
"Gimana" Asyik, nggak"" tanya temen Nino.
"Mmmh... nikmat tuh bibir...." Kimly semakin jijik melihat mata Nino yang merem-melek. "Hmmmm... nyam... nyam... nyam... ketagihan gue!"
Kimly berbalik kasihan kepada cewek surat kaleng itu. Cewek itu sudah tergila-gila pada cowok yang salah, yang seenaknya saja ngomongin ciuman mereka ke semua temannya dengan suara keras, kemudian menertawakannya.
"Mau dong! bajingan lo, santapan enak nggak bagi-bagi!"
Teman-temannya menyerang Nino dengan dorongan. Nino mengangkat tangannya, membela diri.
"Hei! Hei! Siapa bilang gue nggak mau berbagi"! Coba deketin sono, kali aja tuh cewek mau lo cium! Tapi kan dia maunya sama gue doang!" Nino mengangkat alis.
Teman-temannya berteriak keras, mengejek, dan mnegumpat Nino sambil bercanda lagi.
Kimly masih tidak percaya ia bisa pacaran dengan cowok seperti ini....
Betapa bodohnya Kimly sebelum bertemu Raditya. Betapa kangennya Kimly setiap teringat nama Raditya.
"Eh, trus si itu gimana""
Jantung Kimly serasa berhenti berdetak. Kalau Kimly tidak salah menebak (karena mungkin saja Nino punya banyak pacar-hal yang baru terlintas dipikiran Kimly akhir-akhir ini), mereka sedang membicarakan dirinya.
"Cewek itu" Gue udah nggak inget
-inget dia lagi sejak gue marah waktu itu. Gue cuma mau kasih dia pelajaran, biar dia ngerti gimana seharusnya pacar yang bener, biar dia nggak kayak orang idiot lagi!"
Ternyata begitu pendapat Nino tentang dirinya. Kimly merasa terluka. Begitukah arti pacaran mereka enam bulan ini"
Teman-teman Nino tertawa keras sambil menggebrak-gebrak meja dengan liar. Cewek-cewek di sebelah Kimly mengomel, namun mereka tidak bisa menghentikan ulah cowok-cowok preman itu. Salah-salah mereka bisa berbalik diganggu.
"Sadis lo! Dia kan cewek pendiem! Heran jug ague, kenapa lo mau pacaran sama dia!"
"Yee... waktu pertama kali gue liat, dia tuh menarik banget... terpesona jug ague! Tapi setelah pacaran, anaknya nggak asyik! Nggak mau pergi malem, gue nggak boleh ke rumahnya, diundang ke rumah gue juga dia nggak mau! Jangankan ciuman, digandeng tangannya aja gue jadi kayak ngebawa monyet yang jalan sambil handstand!" teman-teman Nino tertawa gila-gilaan, sampai ada yang tersedak tawanya sendiri dan terbatuk-batuk tidak berhenti, membuat yang lain makin gila tertawa.
"Apa hubungannya sama monyet sih""
"Bego lu! Monyet kan pantatnya merah, kayak muka tuh cewek! HUAHAHAHAHAHAH...!!!"
Wajah Kimly memerah. Kimly tak menyangka Nino akan membicarakannya seperti itu. Ingin menangis saja rasanya. Tapi tidak, Kimly tidak boleh terlihat lemah di depan Nino!
Kimly berdiri dari tempat persembunyiannya dan berjalan menuju Nino yang masih tertawa sambil memegangi perut. Satu per satu teman Nino menyadari kehadiran Kimly dan wajah mereka tampak begitu reflek. Kaget. Namun Nino belum juga menyadari kehadiran Kimly, bahkan sampai cewek itu berada tepat di belakangnya. Salah satu teman Nino menyenggol cowok itu.
"Heh... heh..."
"...Hahaha... ap-pa sih""
Melihat wajah serius temannya yang meringis takut, Nino menyadari adanya bahaya.
"HAI!" seru Kimly sambil menepuk punggung Nino keras. Cowok itu terlonjak kaget dan menoleh.
Semua orang di kelas memerhatikan mereka. Sebagian kaget karena sapaan Kimly yang lebih terdengar seperti bentakan.
Kimly merenggut kerah baju Nino dan menampar cowok itu sekuat tenaga.
PLAAAKKK!!! Benar-benar sekuat tenaga, sampai tangannya berdenyut-denyut sakit dan langsung memerah. Nino terpental dan terjatuh dari meja yang didudukinya.
Kimly berbalik dan berjalan pergi dengan perasaan yang amat puas.
Seorang cewek masuk kelas dan mendatangi Nino yang sedang marah-marah. "Nino, dipanggil kepala sekolah tuh."
*** Cewek pengirim surat kaleng itu sedang mengobrol dengan temannya di kantin. Kimly menepuk punggungnya. Cewek itu menoleh. Wajah keduanya mengeras, siap perang jambak-jambakkan bahkan jika saat itu akan sehat tiba-tiba melarikan diri.
"Ada perlu apa ya"" tanya cewek pengirim surat kaleng itu dengan cibiran sinis di bibirnya yang penuh lipgloss.
Kimly jadi teringat pemandangan yang dilihatnya ditengah hujan. Ia harus setengah mati menahan isi perutnya agar tidak keluar menyembur wajah cewek itu.
Tanpa banyak bicara, Kimly mengeluarkan sisa surat kaleng yang tidak dirobeknya. Ia membawa surat itu ke depan pengirimnya. Kemudian merobek-robek surat itu hingga menjadi serpihan-serpihan kecil dengan gerakan dramatis. Kimly membuang robekannya ke mangkuk bakso cewek itu. Sebelum si cewek lipgloss sempat memprotes, Kimly menepuk pelan bahunya.
"Selamat. Nino milik lo!"
Kimly berbalik dan berjalan pergi. Hatinya terasa lebih puas.
Cewek itu terdengar berteriak-teriak di belakang. Pasti dia sudah ditahan temannya, kalau tidak sekarang pasti ia sudah menyusul Kimly dan mereka sudah menggelinding sambil cakar-cakaran dan jambak-jambakkan di tengah kantin sekolah.
"HEH! JELEK LO! NGIRI YA SAMA GUE"! GUE UDAH CIUMAN SAMA NINO, TAU! CEWEK UDIK!"
Kimly teringat sesuatu. Ia berbalik. Melempar kaset yang ditangkap teman cewek lipgloss itu. Isinya" Tentu saja percakapan Nino dengan teman-temannya tadi!
Kimly merasa sangat bangga dengan idenya kali ini. ia tidak hanya menguping pembicaraan mereka, tapi juga merekamnya. Tentu saja cuma bagian yang membicarakan ciu
man hot itu. Kimly cukup pintar untuk tidak merekam merekam pembicaraan Nino sampai selesai, walaupun bagian Kimly menampar Nino seharusnya diarsipkan dalam riwayat hidupnya sebagai hal yang menakjubkan yang pernah dilakukan Kimly.
"Itu hadiah buat lo. Lo bakalan tau siapa cowok yang bikin lo lupa harga diri itu sebenernya. Banyak saksi kok, jadi jangan khawatir soal rekayasa apa bukan!" teriak Kimly. Ia tersenyum, merasa menang. "Oh iya, kabarnya elo sama cowok lo dipanggil Kepsek tuh!"
Kasihan cewek itu.... Raditya 1000x lebih baik daripada cowok yang digilainya. Dia cuma belum tahu saja!
*** "Heeei!" Teman-teman Kimly meloncat dan menubruk Kimly yang sedang duduk di pinggir lapangan, sambil memandangi anak-anak yang bermain basket. Kimly menoleh pada Lylla dan Ardel sambil tersenyum.
"Belom pulang"" tanya Lylla.
"Belom. Lagi nonton telenovela!" Kimly menunjuk ke pinggir lapangan, tempat Nino dan cewek barunya sedang ngeceng. Mereka tampak kesal.
"Ngapain sih lo masih ngeliatin si brengsek it uterus"" protes Ardel.
"Sssttt... liat dulu!"
Kedua temannya dengan heran mengikuti pandangan Kimly.
Beberapa anak yang di dekat mereka menoleh ke arah Nino dengan pandangan lucu. Nino dan cewek barunya terlihat luar biasa sebal. Ekspresi mereka seperti mau makan orang saja!
"HEI! KALIAN MASIH DIHUKUM!" teriak seseorang.
Kimly, Lylla, Ardel menoleh kearah empunya suara. Kepala sekolah mereka yang mirip beruang madu (karena hitam, bulat, dan ngegemesin) sedang memandang ke tengah-tengah lapangan.
Nino dan ceweknya tampak merengut seketika, kemudian kembali melakukan hukuman mereka-lompat kodok keliling lapangan dengan kedua tangan memegang telinga. Kepala sekolah mereka memang terkenal konyol, sadis, dan pasti bakal bikin malu kalau memberikan hukuman, makanya jarang ada anak yang berniat melanggar peraturan.
Kimly tertawa sekeras mungkin, sampai perutnya sakit dan air matanya mengalir berderai-derai. Teman-temannya pun tertawa-tawa geli.
"Emang mereka ngapain sih, Kim"" tanya Lylla di sela-sela tawanya.
"Pak Kepsek ngeliat mereka ciuman! HUAHAHAHAHAHA...!!!"
"Yang bener" Asyik banget!" komentar Ardel.
"Kepsek kita emang brilian, Kim! Brilian!"
"Kasian deh lo!" teriak mereka bertiga ke tengah lapangan.
Nino dan ceweknya menoleh kearah Kimly dengan kesal. Cowok itu kemudian memalingkan muka ke cewek barunya. Nino berusaha meraih tangan cewek lipgloss, namun cewek itu menghindar dan malah menampar Nino di pipi yang ditampar Kimly tadi. Sepertinya dia sudah mendengar isi kaset Kimly.
Kimly, Lylla, Ardel mengernyit.
"Aaaawww..." kata Lylla sambil memegang pipinya, seolah-olah dirinya yang ditampar. "Pasti sakit banget deh."
"Udah ah, pulang yuk!" Kimly beranjak berdiri, diikuti Lylla dan Ardel.
Mereka berjalan santai melewati lapangan tempat insiden itu terjadi anak-anak yang sejak awal sudah sentiment dengan Nino dan cewek barunya, menciprati mereka dengan air. Guru-guru mulai berpandangan, sekarang sedang memarahi anak-anak di lapangan, baik korban maupun yang ngisengin.
Ketika Kimly lewat, Nino dan ceweknya menoleh. Mata mereka bertemu. Kimly tersenyum dan mengerling dengan wajah mengejek, kemudian ia membuang muka.
Hadiah buat yang baru jadian!
Tahu, gak" Ternyata dia pinter banget ngomongnya!
Office boy yang jadi saksi sampai selagapan waktu ditanyain dia.
"Anda sedang apa di kantor" Tidak keluar makan siang" Jelaskan alasan anda! Diet" Sudah berapa lama"
"Jam berapa anda lihat klien saya keluar dari kamar direktur" Anda yakin jam dua" Anda lihat di mana" Apa jamnya tidak rusak" Yakin"
"Apa tangannya berlumuran darah" Gemetar"
"Bagaimana wajahnya saat itu" Puas" Apa ada perasaan puas yang tergambar di wajahnya" Tidak"
"Apa anda mendengar suara-suara aneh sebelum klien saya keluar dari kamar Direktur" Seperti suara barang jatuh atau teriakan" Atau cekikan mungkin" Atau apa saja"
Untung dia nggak nguap di depan hakim.
P.S Kamu lagi ngapain"
** SEBELAS *** KIMLY cemas. Cewek itu tahu Radit sudah melewati sidangnya yang pertama,
namun ia tidak bisa datang karena harus sekolah. Dan sekarang Kimly tidak tahu harus bertanya siapa tentang hasil sidang Radit karena surat kabar tidak memberitahukannya.
Terdengar ketukan pelan di pintu. Kemudian kepala Bi Ima melongok. Kimly yang sedang duduk di depan meja belajarnya mendongak.
"Ada apa, Bi"" tanyanya heran.
Biasanya Bi Ima mendatangi kamar Kimly untuk memberitahukan waktunya makan, membangunkan kalau ia kesiangan, atau memberitahukan berita penting yang mendesak, seperti kalau tiba-tiba kedatangan tamu. Tapi itu pun sangat amat jarang, karena tamu Kimly biasanya Lylla dan Ardel yang akan langsung menerobos masuk ke kamar tanpa perlu diantar Bi Ima.
Sekarang masih jam empat sore, belum waktunya makan. Rasanya nyaris mustahil Bi Ima mulai ketularan adat Inggris yang menjadwalkan tea-time setiap sore, jadi Kimly menepis alasan pertama Bi Ima dating ke kamarnya. Alas an kedua juga mustahil. Kalaupun Kimly ketiduran sepulang sekolah, Bi Ima malah akan kegirangan karena ia sejenis orang yang percaya bahwa tidur siang dapat menjaga kesehatan jantung. Berarti Bi Ima dating karena kemungkinan terakhir. Berita yang penting dan mendesak, mungkin juga gawat, kalau melihat raut wajah pembantu itu.
"Non, dipanggil Tuan dan Nyonya tuh!" bisik Bi Ima, seolah berita yang dibawanya teramat baik. Wajahnya terlihat serius, membuat Kimly berhenti membayangkan hal-hal yang aneh lagi. Ia segera beranjak berdiri dan mengikuti Bi Ima.
"Mereka ada di rumah"" tanya Kimly heran. Pertemuan terakhir mereka adalah saat Kimly menegur ayahnya. "Dua-duanya""
Bi Ima mengangguk. Wajahnya mengisyaratkan Kimly sebaiknya menunggu apa yang dikatakan kedua orantuanya karena dia juga tidak tahu apa-apa.
Kimly mengikuti Bi Ima menuju ruang keluarga di lantai dua. Bi Ima menepuk kecil bahu Kimly dengan sentuhan menenangkan, kemudian kembali ke dapur. Kimly membuka pintu perlahan-lahan. Entah sudah berapa lama ia tidak pernah memasuki ruangan ini. mungkin seminggu. Atau mungkin sebulan. Seingatnya salam ini Kimly hanya berkeliaran di antara dapur, ruang makan, ruang tamu, kamarnya tentu saja.
Ruang keluarga tampak sama dengan ingatan terakhir cewek itu. Di pojok tembok ada rak buku tinggi yang berisi buku-buku setebal kamus. Lantainya berhiaskan permadani kecokelatan dan TV berukuran raksasa menempel pada salah satu sisi tembok. Sinar matahari yang keemasan menerobos masuk dari jendela besar yang hanya tertutup gorden putih tipis, sedangkan gorden besarnya yang berwarna kuning gading terikat rapi masing-masing di kanan kiri jendela. Di sisi lain ruangan berdiri meja kerja beserta kursinya dan di atas permadani tersusun sofa-sofa nyaman berwarna krem. Di sofa itulah orangtua Kimly sedang duduk diam berhadapan dengan wajah tanpa senyum. Keduanya menoleh begitu Kimly masuk.
Perasaan Kimly tidak enak. Sangat tidak enak. Apalagi ayahnya terlihat sungkan dan langsung membuang muka begitu mata mereka berpapasan. Apalagi saat mamanya menyadari ketidaknyamanan suasana si sekitar mereka dan berusaha memperbaikinya (yang malah semakin memperburuk) dengan melontarkan lelucon bahwa tangannya sampai berkeringat ketika menunggu Kimly, padahal AC di ruangan itu membuat Kimly yang baru masuk saja nyaris beku. (Tentu saja tidak ada yang tertawa, jadi mamanya langsung mendatarkan bibir lagi.) Apalagi ketika mamanya menuntun Kimly untuk duduk di sofa lain, bukan di sofa yang sama dengan tempat mamanya duduk., sehingga mereka bertiga menduduki tiga sofa yang berbeda dan berjauhan. Seolah mereka mengibaratkan diri sebagai orang-orang over-weight yang tidak akan cukup duduk bersama dalam sebuah sofa.
Mereka terlihat seperti orang bodoh. Sebuah keluarga utuh duduk berjauhan di ruang keluarga dan tidak melakukan apa pun, kecuali saling melirik dan membuang muka, kemudian menunduk sambil melipat tangan. Jemari Kimly juga berkeringat seperti mamanya. Jantungnya berdebar keras dan perasaan tidak enak mencekiknya begitu mendapati foto keluarga mereka tergeletak di lantai.
Kedua orangtuanya tiba-tiba mendongak berbarengan. "Kimly..."
K ejadian itu sangat lucu, jika tidak terjadi di tengah suasana seperti ini. ayahnya membuka mulut, namun urung berbicara.
"Kami sudah memutuskan untuk bercerai," ujar mamanya pelan.
Jantung Kimly serasa mau copot. Tentu saja ia sudah memikirkan kemungkin apa saja yang akan menjadi bahan pembicaraan ketika tadi Kimly berjalan menuju ruang ini. perceraian kedua orang tuanya pun sempat terpikir. Tapi kata-kata tetap saja terasa jauh lebih menyakitkan, apalagi karena mamanya mengucapkan kata-kata itu dengan datar dan tanpa emosi, seakan-akan keputusan itu hanya berupa pengumuman untuk Kimly dan tidak dapat diubah lagi karena sudah sepantasnya dilakukan.
Kalau begitu caranya, Kimly pun tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia mengusap keringat di dahi, dan berusaha tersenyum.
"Oh... Ya udah."
*** Kimly menjatuhkan diri di ranjang, tidur telentang, dan memandang ke langit-langit kamar dengan mata menerawang. Ia mengembuskan napas keras-keras.
Tidak banyak orang yang diingatnya dari pertemuan dengan kedua orangtuanya tadi. Entah bagaimana caranya, yang pasti mereka tadi memutuskan dengan canggung untuk beranjak ke ruang makan , kemudian makan bersama dalam keheningan. Kimly hanya teringat wajah Bi Ima ketika melihat raut ketiga orang yang sedang duduk di meja makan itu. Wanita itu terisak, kemudian berlari kedapur dengan suara keras. Mama Kimly sampai harus menyusul untuk menenangkan Bi Ima.
Terdengar ketukan kecil di pintu. Kimly menoleh. Biasanya Bi Ima langsung melongok ke dalam kamar, namun kali ini tidak ada yang membuka pintu. Ketukan terdengar lagi.
Kimly turun dari ranjang dengan bingung. Ia membuka pintu dan mendapati mamanya itu sudah membersihkan make-up dan memakai daster. Kimly nyaris tidak mengenalinya. Sudah lama sekali ia tidak melihat mamanya tidak berjas dan ber-make-up lengkap.
"Mama...," gumam Kimly pelan.
Wanita itu tersenyum lembut memandang Kimly. Kimly merasakan kehangatan yang sudah lama sekali tidak dirasakannya.
"Boleh... Mama tidur sama kamu"" tanya mama ragu.
Kimly terbelalak. "Ah-ngg,ngg...," ia tergagap.
"Kalo nggak boleh , nggak pa-pa kok!" mama menyahut cepat, bermaksud berbalik dan pergi. Kimly segera mnecekal tangannya.
Betapa kurus dan lemah tangn itu....
"Boleh kok, Ma! Boleh!" kata Kimly penuh haru. Kimly mempersilahkan mamanya masuk, kemudian menutup pintu.
Mama memandang berkeliling kamar dengan sedih, kemudian duduk di tepi ranjang. Kimly merasa tidak nyaman duduk di kursi, jadi ia duduk di lantai. Di tempat Raditya, yang baru ia sadari akhir-akhir ini mengapa Raditya memilih tempat itu. Ia bisa melihat ke luar jendela dan mengetahui siapa yang datang tanpa harus takut terlihat dari luar.
"Mama nggak kerja"" tanya Kimly heran.
Mama menggeleng. "Cuti beberapa hari. Buat menyelesaikan berbagai urusan pengadilan," jawab mamanya.
Kimly terdiam. "Mama denger kata-katamu ke Ayah dari ruang tahu. Kemudian, setelah kamu melabrak Ayah. Gentian Mama yang melabrak Ayah." Mamanya tersenyum, menepuk-nepuk ranjang di sebelahnya.
Kimly menurut. Ia berdiri dan tiduran di sebelah mamanya. Sudah lama ia tidur sendirian di ranjang besar itu, mungkin sejak enam tahun yang lalu, sejak mama berubah, sejak ayah pun berubah. Bahkan sampai sekarang Kimly masih tidak habis pikir bagaimana keluarganya bisa jadi seperti ini. Merasa aneh dengan sebutan yang selama ini menjadi panggilan orangtua; Ayah dan Mama.
Kimly menerawang langit-langit kamar. Mama berbaring dan melakukan hal yang sama. Lampu kamar sudah dimatikan dan diganti lampu meja kuning redup.
"Lega sekali waktu membentak Ayahmu...," bisik mama sambil mengembuskan napas. Ia menoleh kea rah Kimly sebentar, kemudian memandang langit-langit kamar lagi. "Sebenarnya mama sudah tahu Ayahmu berselingkuh sejak enam tahun yang lalu..."
Kimly menoleh. Ini berita baru. "Jadi karena itu mama berubah""
Mama mengangguk. Suaranya terdengar sedih. "Mama sakit hati. Waktu ngeliat Ayah makan berdua penyihir itu di restoran, kebahagiaan Mama menguap. Mama tertekan, stress..."
Kimly memiringkan ba danke mamanya. Ia tersenyum sedikit.
Mama juga menjuluki wanita itu penyihir!
"...dan kurus mendadak," lanjut Kimly.mamanya dulu sangatlah cantik, tapi sekarang ia amat kurus.
Wanita itu mengangguk. Air matanya mengalir di pipi yang mulai keriput.
"Sepuluh kilo... padahal enam tahun lalu nenekmu masih memarahi Mama karena terlalu kurus. Tapi waktu kemarin Mama bertemu dengannya, nenekmu cuma bisa menangis...," bisik mama. Ia memutar badan, menghadap Kimly.
"Berarti Mama harus naik sepuluh kilo lagi dari sekarang!" tukas Kimly pelan.
"Enam bulan lalu kamu ngikutin jejak Mama berbadan gede! Sekarang kamu malah nggak kalah kurus dari Mama! Kenapa"" mama memandangi wajah Kimly.
Kimly senang karena mamanya menyadari sejak kapan ia menjadi kurus.
Jawabannya karena dulu Nino bilang dia suka banget cewek model yang kutilang, alias tinggi kurus langsing....
Karena Nino pernah memanggil dirinya cewek sehat dan nada suaranya sama sekali tidak memuji....
Karena Nino membuat Kimly mendapatkan semua surat kaleng yang benar-benar meresahkan itu....
Sekarang Kimly baru sadar mengapa teman-temannya santa tidak menyukai Nino. Lylla dan Ardel memang tidak pernah bilang alasannya, tapi mereka melihat perubahan Kimly selama enam bulan ini, dan yang bisa mereka lakukan hanya menyatakan ketidaksukaan mereka pada Nino secara tersirat.
"Kebodohan yang benar-benar bodoh," jawab Kimly sambil tersenyum lega. Sekarang ia merasa sudah terlepas dari kebodohan itu.
"Tapi kamu nggak apa-apa kan"" Mama menjulurkan tangannya yang kurus dan mengusap kepala Kimly.
Hati Kimly berdesir. Ia sudah lupa, ternyata usapan mamanya begitu menenangkan. Kimly bergeser merapat dan memeluk tangan mamanya. Akhirnya setelah bertahun-tahun perasaannya tidak tenang, sekarang Kimly merasa mendapatkan pijakan yang kokoh.
"Ternyata kamu sudah besar, ya..." Tujuh belas tahun... dan Mama sudah melewatkan enam tahun dengan sia-sia...," sesal mamanya, mengusap-usap rambut Kimly.
Apa usapan mama sebegitu ajaib" Mengapa kegalauan Kimly tiba-tiba hilang begitu mama menyentuhnya"
"Mama nggak akan ninggalin kamu lagi...," bisik mama penuh tekad.
"Kembali menjadi Mama yang enam tahun lalu"" tanya Kimly penuh harap.
Sesaat kesunyian menyelimuti mereka berdua, sebelum mama akhirnya menjawab, "Sepertinya itu nggak mungkin, Kim... Kayu yang sudah dipaku tidak akan berbalik kembali seperti sedia kala... Tapi Mama akan berubah. Mama janji!"
"Berarti Mama harus naikin berat badan dan bikin surprise buat Nenek!" seru Kimly tiba-tiba sambil tersenyum lebar.


De Buron Karya Maria Jaclyn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu juga!" balas mama bersemangat.
Kimly mengangguk. "Pasti dong!" ujarnya tidak kalah bersemangat. "Kan udah ada obatnya."
Kimly kembali memandangi poster John Rzeznik. Walaupun nyaris gelap dan wajah cowok itu tidak kelihatan, tetap saja ia senang memerhatikannya.
"Hmmm... siapa tuh"" tanya mama dengan suara menggoda.
Kimly menoleh. "Janji Mama nggak marah""
"Janji." "Suer"" "Iya. Iya. Suer. Siapa sih""
"Buronan!" "Siapa" Raditya""
Hening sebentar. "Kok Mama tahu""
Terdengar suara tawa. "Mama kan juga nge-fans sama dia!"
Hening lagi. "MAMAAAAA...""""
Maaf, Kimly, Sebenernya aku mencuri sesuatu dari kamarmu. Sekarang, benda itu aku simpan di tempat yang aman dan kupandangi setiap hari.
Kamu nggak marah, kan"
Benda itu jadi penyemangatku.
Apa kamu bisa menerima alasan itu"
Aku ngebayangin kamu marah, tapi aku malah ketawa sendiri.
Maaf ya... Di sini nggak ada pisang.
Aku jadi ngerasa gimana nggak enaknya ngidam konyol! Aku ketawa lagi.
Kok ada ya orang ngidam pisang"!
Temen selku bilang aku udah gila, ketawa terus. Dia kan nggak tahu apa-apa!
Dia nggak pernah tahu kalo aku rindu setengah mati sama pisang, juga pemilik benda yang kucari itu...
** DUA BELAS *** KIMLY memandangi meja belajarnya. Ada yang aneh di sana. Ia memandangi meja itu dengan teliti, pelan-pelan, saksama...
Susunan buku pelajaran... beres.
Keranjang berisi pen, pensil, cutter (yang mengingatkan Kimly pada pertemuan pertama dengan co
wok buronan itu), penggaris... lengkap.
Bingkai foto... kemudian baru disadarinya apa yang aneh.
Bingkai fotonya kosong! Kimly mengambil bingkai itu. Seharusnya ada foto dirinya bersama teman-temannya di sana, sedang tersenyum. Foto yang diambil tahun lalu saat kedua temannya itu menginap di rumah Kimly. Di foto itu Kimly tersenyum amat lebar-sebelum menjadi korban Nino.
Tidak, bukan korban Nino. Namun korban dirinya sendiri. Kimly baru menyadari, Nino tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas perubahan dirinya. Kenapa pula Kimly mau berubah hanya demi cowok" Kalau Kimly punya prinsip kuat, tentu saja Kimly tidak akan mudah diatur orang lain!
Tapi itu masalah lain yang sudah Kimly atasi. Sekarang masalahnya, di mana fotonya" Kimly mengira-ngira kemungkinan.
Mungkin foto itu jatuh sendiri" Tidak mungkin! Bingkainya saja tidak terbuka. Bagaimana bisa foto itu keluar sendiri"
Mungkin Lylla atau Ardel mengambilnya" Tidak mungkin juga! Mereka kan masing-masing punya foto yang sama! Waktu itu mereka mencetak fotonya bersama-sama. Lagipula untuk apa mereka mengambil foto Kimly diam-diam" Mereka kan tidak mungkin nge-fans ke Kimly sampai segitunya!
Mungkin fotonya diambil mamanya kemarin. Untuk ditaruh didompet barangkali! Kimly tersenyum. Masalah selesai. Pasti begitu, mama mengambil foto itu saat Kimly mandi lalu lupa memberitahu.
Kimly merasa puas dengan jawaban yang ia temukan. Raditya sama sekali tidak terpikir jadi pelakunya. Kimly kan tidak mau terlalu kege-eran. Bukan berarti Kimly tidak ingat cowok itu (malah Raditya orang pertama yang muncul di benak saat Kimly berusaha keras mengusir bayangannya).
Sudah cukup beberapa hari belakangan ini Kimly teringat pada Raditya kapan pun di mana pun. Sudah cukup Kimly merasa dirinya aneh karena terus berdebar-debar setiap kali mengingat cengiran cowok itu. Sudah cukup setengah mati Kimly merindukannya.
Kimly berjalan menuju lemari es, melihat-lihat apa yang bisa ia makan.
Pir.... Apel.... Jeruk.... Cokelat.... Yoghurt.... Biscuit.... Jantung Kimly berdebar keras.
Pisang! Padahal sejak Raditya pergi, Bi Ima tidak pernah memasukkan pisang ke lemari es Kimly lagi. Tapi buah kuning itu sekarang berada di sana, seakan-akan tertempel tulisan "MAKANLAH AKU".
Kimly terduduk di lantai. Lagi-lagi ia terigat Raditya. Kimly tak bisa mengontrol pikirannya akhir-akhir ini. serasa otaknya sudah diisi folder berisi cengiran Raditya, senyuman Raditya, nyanyian Raditya, tatapan Raditya... Raditya, Raditya, Raditya....
Tanpa sadar tangan Kimly naik, bergerak mengambil sebuah pisang. Ia menelan ludah. Saat kecil ia tidak pernah suka pisang. Sekarang pun pisang bukan buah yang menarik minatnya untuk dimakan. Tapi kenapa ssat ini tangannya dengan sendirinya mengupas kulit pisang itu"
Sesuatu dalam diri Kimly mendorongnya untuk menggigit daging berwarna kuning muda itu. Kimly mengerjab, kemudian mengunyah pelan-pelan, seakan-akan tersimpan berlian di dalam daging pisang yang dilahapnya.
Manis.... Lembut.... Sedikit sepat.... Kimly mengerjap lagi. Mengedikkan bahu.
"Lumayan." *** Bi Ima memandangi Kimly sambil tersenyum penuh rahasia. Tangannya asyik mengaduk adonan kue yang mengental. Kimly serasa malu dipandangi dengan ekspresi seperti itu, seakan-akan Kimly salah masuk ke toilet cowok di sekolah tadi.
"Apa sih, Bi"" renggut Kimly.
"Mmmm...," gumam Bi Ima panjang. Tangannya tidak berhenti mengaduk.
Kimly mengernyitkan kening. "Iiihhh... Bibi nggak jelas deh!"
Bi Ima tersenyum sambil menaikkan kedua alisnya. Ia meletakkan mangkuk berisi adonan di meja dan duduk di seberang Kimly.
"Cinta itu ajaib ya, Non!" katanya. Suaranya terdengar seperti menggoda.
Kimly mendongak cepat. Wajahnya langsung memerah. Kalau menggunakan istilah Nino, warna wajah Kimly sekarang persis pantat monyet. Cewek itu salah tingkah., sehingga daging di sendoknya terjatuh lagi ke piring, mencipratkan beberapa butir nasi ke meja makan. Bi Ima sedikit mengernyit melihat kejadian ini.
"Bibi ngomong apa sih"" tanya Kimly, pura-pu
ra jengkel. Dadanya berdebar-debar keras. Entah mengapa ia merasa Bi Imam au membicarakan dirinya. Dan kalau itu benar, yang pasti bukan soal dirinya dan Nino.
Saat itu, Bi Ima memilih tidak mengomentari cara makan Kimly yang sembrono. Ia lebih memilih tersenyum-senyum genit penuh makna. "Bibi bilang, cinta itu ajaib... bisa bikin orang yang nggak suka pisang jadi suka ..."
Kali ini giliran sendok Kimly yang terlepas dari tangannya dan terjatuh berkelontang ke piring.
"Cinta"!" Kimly, Hari ini pengadilanku yang kedua...
Kemarin aku sempet ketemu lagi sama dia. Lagi-lagi dia nguap terus. katanya sih kemarin malem abis nungguin bintang jatuh. Tapi aku yakin dia bohong. Pasti abis nonton bola lagi.
Dia bilang aku pasti bakalan keluar dari sini karena aku emang nggak salah. Katanya dia lihat kejujuran di mataku. Syukurlah masih ada orang yang percaya aku selain ortuku dan kamu.
Aku bilang aku bukan orang berada, nggak sanggup bayar dia mahal-mahal. Tapi dia langsung ngebentak aku. Katanya dia jadi pengacara buat menegakkan keadilan kayak powor rangers, bukan buat jadi milarder.
"Kalo mau kaya, mendingan saya ikut kuis aja!" gitu katanya.
Kok ada ya orang ngasal yang sekeren itu"!
P.S. gimana keluargamu" Aku kepikiran...
*** PERASAAN Kimly bercampur aduk hari itu. Kimly tidak pernah pergi ke pengadilan dan tidak tahu apa yang harus dipakainya. Setelah sepersekian menit berkutat dengan pikirannya yang tidak bisa jernih, Kimly memilih memakai celana bahan hitam dan kemeja jingga terang. Ada yang bilang warna jingga bisa menenangkan hati dan Kimly sangat mengharapkannya sekarang.
Tapi sebenarnya pakaian hanyalah hal kecil jika dibandingkan kesedihan, kegalauan, kegelisahan, dan perasaan senada lain yang harus Kimly rasakan. Hari ini orangtuanya akan bercerai dan Kimly tidak tahu harus melakukan apa. Sepertinya tidak aneh jika seorang yang berada di posisi Kimly merasakan hal ini. siapa sih yang mau orangtuanya bercerai" Dalam keadaan normal siapa pun (dan benar-benar siapa pun) pasti berharap hubungan keluarganya terjalin harmonis.
Tapi di sisi lain, Kimly merasa ini pilihan terbaik bagi keluaganya. Tidak ada yang bisa memaksakan cinta jika cinta itu sendiri sudah pergi entah kemana. Sedih membayangkan dulu orangtuanya pernah dengan wajah penuh kebahagiaan menandatangani surat yang mengikat mereka berdua, tapi sekarang malah memutuskan menandatangani surat lain yang akan memisahkan.
Jika tahu itu yang akan terjadi, Kimly benar-benar bertekad menjadi pihak penentang pernikahan orangtanya. Tapi kemudian ia menyadari ia bahkan belum lahir saat itu. Lagipula kalau orangtuanya benar-benar batal menikah, Kimly tidak akan pernah ada.
Dan Raditya akan menjadikan kamar orang lain sebagai tempat persembunyiannya.
Kimly berlama-lama di kamar, berharap jika mereka terlambat dating, pengadilan akan marah dan mencoret nama mereka dari daftar pengguna jasa pengadilan selama-lamanya. Itu artinya orangtuanya kedua orangtuanya tidak akan bisa bercerai. Kalaupun bisa, pasti tidak akan sah secara hokum. Tapi apa lagi sih yang diharapkan Kimly" Jelas-jelas ayah sudah tidak menyayanginya dan mamanya lagi. Jelas-jelas ayah terlihat enggan tinggal bersama mereka. Jelas-jelas Kimly menghindari ayah-pandangan mata dan orangnya sendiri. Jelas-jelas kedua orangtuanya sudah memutuskan bercerai.
Kimly menghela napas. Setelah mengerling singkat ke poster kesayangannya, akhirnya cewek itu keluar juga dari kamar. Setidaknya Kimly ingin menghargai mama yang sudah meminta izin sekolah karena Kimly tidak masuk hari ini.
Lagipula ia juga tidak bisa berbuat apa-apa.
*** Kimly memandang ke luar jendela tanpa benar-benar memerhatikan suasana di luar mobil. Ayah dan mamanya duduk di depan. Membisu. Tidak satu pun dari mereka berniat membuka suara.
Mungkin tadi orangtua Kimly juga tidak tahu harus memakai baju apa, jadi mereka memakai pakaian formal untuk ke kantor.
Pikiran Kimly menerawang. Terbersit bayangan wanita berbibir tebal dan berbadan molek. Pikiran itu begitu nyata, sehingga Kimly bisa mencium paru
m wanita itu, pasti seperti parfum mobil yang dipasang ayah (mungkin saja, kan" wanita itu sering bolak-balik naik mobil ayah, pasti bau parfum mobil menempel di tubuhnya). Wajah wanita itu sumringah begitu mendengar ayah akan bercerai, bibirnya (yang bahkan lebih besar daripada bibir Kimly saat bengkak) bergerak-gerak penuh haru (yang akan dianggap seksi oleh para pria), kemudian wanita itu memeluk ayah Kimly.
Yuck! Tanpa sadar hidung Kimly basah dan matanya berlinang. Kimly membersit hidungnya dan mengerjabkan mata beberapa kali, berusaha menghilangkan mimpi buruk itu dari pikirannya.
Satu-satunya yang bersuara di mobil itu hanyalah radio. Si penyiar bercuap-cuap ceria, mempermasalahkan suhu kota yang meningkat setiap waktu. Ia melontarkan lelucon tentang kemungkinan kita akan menjadi lebih nyaman jika mengikuti cara penduduk padang pasir berpakaian, kemudian tertawa sendiri. Wajah tiga makhluk di dalam mobil tampak seakan penyiar itu baru saja mengumumkan berita dukacita.
Intro lagu terdengar, menggantikan suara penyiar yang berjanji akan kembali bercuap-cuap setelah lagu habis.
Kimly tidak terlalu memerhatikan lagu yang memenuhi kesunyian mobil itu. Pikirannya kembali menerawang dalam suasana hati yang semakin buruk. Merasa capek dengan pikiran ruwet, Kimly memutuskan memfokuskan telinganya pada lagu.
Irish. John Rzeznik. And I don't want the world to see me
'Cause I don't think that they'd understdand
When everything's made to be broken
I just want you to know who I am
And you can't fight the tears that ain't coming
Or the moment of truth in your lies
When everything feels like the movies
Yeah you bleed just to know you're alive
Yah, mungkin semua ini memang benar-benar terjadi. Mungkin, saat ini Kimly harus mengutip kata-kata guru Bahasa Indonesia-nya, "Apa pun yang terjadi, terjadilah."
Kehadiran Raditya.... Penyelewengan ayah.... Pengkhianatan Nino.... Perceraian orangtuanya. Kimly ingin kabur. Namun ia tidak bisa. Satu-satunya jalan hanyalah menghadapi semua itu. Kimly menarik napas panjang, membulatkan tekad.
Tenang saja... masih banyak yang menyayangiku.
Mama.... Bi Ima.... Teman-teman.... Raditya. Lagi-lagi cowok itu muncul. Kimly tidak bisa berhenti memikirkannya. Bukan karena Bi Ima menggodanya setengah mati kemarin, bukan juga karena kedua temannya nge-fans berat sama cowok buronan itu, apalagi karena cowok itu mirip pria yang sekarang lagunya sedang diputar di radio. Entah karena apa.
Kimly menghela napas. I just want you to know who I am
I just want you to know who I am
I just want you to know who I am
Tampaknya Kimly memang telah jatuh cinta pada John Rzeznik gadungan itu.
*** Ayah memarkir mobil di pelataran gedung pengadilan yang ramai. Kimly mngikuti kedua orangtuanya memasuki gedung. Ayah menegur satpam di sisi pintu yang sedang duduk membaca Koran. Satpam itu terlonjak berdiri.
"Selamat pagi, Pak! Bisa dibantu"" tanyanya sopan.
"Pagi. Ramai banget , Pak"" komentar ayah sambil menyunggingkan senyum kecil di sela-sela kumisnya yang tertata rapi.
Petugas berseragam itu menyentuh topinya dengan sikap hormat yang terlatih, kemudian mengganguk. Ia segera memindai tubuh ayah, mama, Kimly dengan mesin pendeteksi di tangannya. "Iya nih, ada pengadilan besar hari ini. itu lho, buronan yang dituduh ngebunuh direktur perusahaan..."
Bahkan sebelum satpan itu menyelesaikan kalimatnya, Kimly sudah menyadari siapa yang sedang diadili. Jantungnya berdebar cepat sekali. Perutnya terasa seperti diaduk-aduk. Kimly meremas jarinya dengan cemas.
Raditya. Kimly berada di gedung yang sama dengan buronan itu. Aneh rasanya, sudah dua minggu ini kamarnya tanpa Raditya. Sekarang jarang mereka begitu dekat. Kimly jadi membayangkan ruang pengadilan Raditya penuh sesak wartawan dan pengunjung, serta hakim gendut bermuka sangar.
Apa Raditya baik-baik saja"
Kimly bergidik. Menurut film-film, penjara bukanlah tempat yang menyenangkan. Bahkan mungkin lebih menyeramkan daripada rumah hantu, karena penghuni-penghuni penjara m
asih hidup dan dapat menyerangnya kapan pun mereka mau.
Kimly mengikuti kedua orantuanya berjalan di lorong yang lengang. Hatinya bercabang, antara memikirkan perceraian orangtuanya dan pengadilan Raditya.
"Lorong kita sama rupanya!" sahut ayah, cukup keras sehingga Kimly dapat mendengarnya.
Kimly mendongak. Tidak jauh di depannya, di sebelah kanan lorong ada pintu menuju sebuah ruang pengadilan. Terdengar suara-suara gaduh dari dalam. Jantung Kimly berdesir nyaring, hingga ia mampu merasakan getarannya di telinga.
Mereka bertiga yang berjalan di lorong itu kontan menoleh ke dalam ruangan yang terbuka.
"Menakjubkan," gumam ayah sambil bersiul pelan. Dia seperti siswa yang sedang melakukan karyawisata ke pengadilan, sama sekali tidak terlihat seperti orang yang akan bercerai. Kimly merasa lega sekaligus sedih melihat ini. ayah memang tidak bergerak ke sana kemari karena gugup, tapi sayangnya tidak terlihat sedikitpun sedih.
Mama melongo dengan mulut terbuka dan mata ingin tahu namun memilih tidak berkomentar apa pun.
Kimly merasa janyungnya seperti berhenti berdetak ketika matanya terhenti pada sosok di depan meja tinggi hakim yang membelakangi dirinya. Memang benar pengadilan itu penuh sesak. Para pengunjung menyaksikan hakim dengan penuh minat sepeti menonton sirkus. Para wartawan menjepret-jepretkan kameranya dari sisi-sisi tembok, membuat ruangan seakan-akan terkena halilintar berpuluh-puluh kali. Seorang pria berdiri di sisi meja hakim, bergaya menantang dan tampak kecil jika dibandingkan meja hakim yang tinggi. Walaupun tubuhnya berbalut jubah hitam yang sama seperti yang dipakai hakim dan penuntut, Kimly rasa-rasanya dapat menduga selera berpakaian pria itu. Pasti eksentrik seperti gayanya.
Suasana di dalam ruangan sangat rebut, sehingga hakim-yang ternyata perawakannya sama seperti bayangan Kimly-mulai mengetuk-ngetuk palunya dengan jengkel. Namun sosok yang menjadi perhatian utama siding itu sepertinya tetap tenang.
Kimly berani bertaruh, bahkan dalam jarak puluhan meter, sosok itu Raditya. Kimly bisa mengenali cowok itu, entah karena rambutnya yang selalu berantakan dan panjangnya melewati kerah, atau karena posisi kakinya yang khas dan terlihat nyaman ketika sedang duduk.
"Kimly...," mama menmanggilnya pelan.
Kimly tersadar dari lamunannya. Bukan Raditya yang menjadi masalah sekarang. cewek itu segera mengikuti orangtuanya yang sudah berjalan jauh di depan. Bahkan ayah sudah nyaris masuk ke ruangan lain. Kimly menarik napas dalam-dalam dan pasrah. Ia mengikuti orangtuanya masuk ke sana.
Inilah akhir keluarganya.
*** Hakim yang menangani orangtua Kimly tampak sangat berbeda dengan hakim yang tadi dilihatnya di siding Raditya. Perawakannya jauh berbeda. Pria di meja tinggi itu kurus, tua, dan bertampang tidak sabaran. Ia berkali-kali melirik arlojinya, seperti ibu-ibu yang takut ketinggalan arisan.
"Ayo! Ayo! Kita mulai!" serunya tidak sabar.
Kimly duduk di kursi pengunjung paling depan. Tadi mama meminta izin untuk ke toilet dan sekarang baru kembali. Semua orang di ruangan menoleh memerhatikan dirinya. Kimly melirik ke ayah yang duduk di seberang. Sekilas Kimly merasakan tatapan lembut ayah ketika menatap mama.
Apa Kimly salah lihat"
Mama tampak tidak sehat. Kimly melihatnya berjalan agak terhuyung. Tanda-tanda sakit di wajah mama tersamar karena wanita itu memulas make-up lengkap. Namun raut wajahnya sudah cukup memperlihatkan keadaan yang tidak sehat.
Sebelum Kimly sempat berpikir apa-apa lagi, mama tiba0tiba ambruk di tengah jalan. Kimly berdiri panik, namun seseorang sudah lebih dulu melesat menuju mama.
Ayah.... Ayahnya segera menarik tubuh wanita itu ke pangkuannya, kemudian menggendongnya hati-hati.
"Ada apa" Ada apa"" lengking hakim itu.
Kimly melihat raut wajah ayah yang khawatir luar biasa sebelum pria itu berlari keluar ruangan dan menghilang di balik pintu dengan mama di gendongan.
Hakim sekarang berdiri dan mengangkat tangannya, terlihat gusar.
"Jadi bagaimana sekarang"" tuntutnya. Asistennya tidak bisa menjawab pertanyaan i
tu. Perlahan Kimly menoleh ke arahnya, tersenyum. Untuk pertama kalinya sejak beberapa minggu belakangan ini, ia benar-benar merasa lega. Wajah ayah itu, tidak usah lagi dijelaskan dengan kata-kata. Jelas-jelas ayah masih menyayangi mama. Kimly yakin itu.
"Nggak lihat" Jelas-jelas pengadilannya batal!" serunya girang.
Kemudian Kimly berjalan menyusul ayah tanpa menoleh-noleh lagi pada hakim yang sudah mencak-mencak. Kimly setengah mati berharap dengan kejadian ini nama keluarganya benar-benar dicoret selamanya dari daftar pengguna jasa pengadilan.
*** Ayah sudah berada jauh di depan ketika Kimly berlari menyusulnya menyusuri lorong. Dari belakang Kimly melihat punggung ayah bergerak-gerak dan kaki mama yang terkatung-katung di samping tubuh pembopongnya. Tadi ayah begitu panik dan tanpa ba-bi-bu langsung mengangkat mama dengan penuh kasih. Setidaknya begitulah yang dilihat Kimly dan ini membuat perasaannya tak terlukiskan lagi, seakan-akan segala masalah diangkat begitu saja dari hatinya. Kimly tak bisa berhenti tersenyum seiring kakinya berayun.
Ketika melewati ruangan tempat Raditya berada, reflek Kimly menoleh. Sepersekian detik matanya kebetulan bertemu mata cowok buronan itu, sebelum punggung-punggung pengunjung memisahkan mereka. Jantung Kimly kontan berdebar keras. Matanya membelalak. Ia berhenti berlari. Tapi kini dilihatnya kursi Raditya sudah kosong, cowok itu sudah dibawa pergi petugas. Walau begitu Kimly masih dapat merasakan tatapan itu. Tatapan yang sama kagetnya dengan dirinya.
Kimly merasa dadanya dipenuhi kerinduan yang menyesakkan. Mengapa hal-hal menakjubkan dating bertubi-tubi" Apakah ini artinya tidak akan ada hal buruk yang menimpanya lagi"
Sebenarnya Kimly enggan beranjak dari sana. Ingin rasanya ia menerobos kerumunan orang dan wartawan, langsung mencekal tangan petugas yang membawa Raditya, kemudian memeluk cowok itu. Tapi itu hal yang sama mustahilnya dengan tiba-tiba bertemu presiden di sini sekarang.
Akhirnya Kimly menggerakkan kakinya yang terasa seperti batu. Ia mengenyahkan pikiran tentang Raditya. Kalau tidak cepat-cepat, Kimly bisa ditinggal ayah yang tadi sudah seperti diburu setan. Kimly membayangkan dirinya duduk dipinggir tangga sendirian-menunggu ayah kembali menjemputnya, kemudian dibentak dan ditawarkan tumpangan oleh hakim tidak sabaran tadi.
Kimly bergidik. Lebih baik ia tidak mengganggu acara arisan si hakim.
*** "Istri Anda sudah sadar," ujar seorang dokter sambil menurunkan stetoskop dari telinganya ke leher. "Tampaknya beberapa hari ini Ibu kurang makan dan kurang istirahat ..."
Ayah melonjak berdiri dengan tiba-tiba sehingga membuat Kimly nyaris sakit jantung. Wajahnya kini luar biasa bingung. Kimly benar-benar menyukai penampilan ayah saat itu. Jasnya tertinggal di mobil, dasinya sudah melayang entah kemana, beberapa kancing kemejanya dibuka, dan lenganya digulung. Rambutnya pun berantakan. Pokoknya benar-benar awut-awutan. Namun bagi Kimly ayah jadi tampak tidak sedingin dan sekaku biasanya.
Kimly menarik napas dalam-dalam. Hawa khas rumah sakit memenuhi udara. Kimly mengikuti ayah menuju ruang ICU. Di salah satu ranjang, berbaring lemah mamanya. Make-up-nya sudah dihapus oleh salah satu perawat berdasarkan persetujuan ayah Kimly, sehingga sekarang wajahnya yang pucat amat jelas terlihat. Ayah langsung duduk di kursi sebelah ranjang dan menggenggam tangan istrinya erat-erat. Sama sekali tidak terlihat seperti orang yang akan bercerai hari ini. Kimly mendekati ranjang mama di sisi seberangnya.
Dokter yang sepertinya baru berusia 35-an namun sudah terlihat berwibawa itu memandangi mama di kaki ranjang. Kemudian menoleh ke belakangnya, ke arah seorang pemuda berjubah putih bimbingannya. Dokter membisikkan sesuatu ke pemuda itu, kemudian meminta izin untuk meninggalkan mereka sebentar. Dokter muda itu menggantikan posisi seniornya dan menyentuh lembut kaki mama yang terbalut selimut.
"Bu...," panggilnya lembut.
Mata mama terbuka perlahan. Bibirnya tersenyum lemah. ia menoleh ke arah Kimly, kemudian ke arah pria yang masih m
enjadi suaminya. Kedua alisnya naik perlahan.
"Maaf ya, acaranya batal...," bisiknya lirih.
Ayah menampakkan wajah yang setelah sekian lama baru dilihat Kimly lagi. Begitu melihatnya, Kimly merasa sudah memaafkan ayah sepenuhnya.
"Lupakan. Itu Cuma hal yang tidak beguna ketimbang kesehatanmu," sahut pria itu sambil tersenyum.
Lupakan.... Hal yang tidak berguna....
Wajah gembira Kimly tidak bisa disembunyikan lagi. Namun kedua orangtuanya tidak memerhatikan karena sibuk berpandangan. Kimly menoleh kea rah dokter muda berwajah cerdas dan bertubuh tinggi itu. Dokter itu menampakkan wajah maklum yang lucu, kemudian mengajak Kimly keluar. Cewek itu menurut dengan senang hati.
Kimly mengempaskan diri di kursi tunggu di luar ruangan ICU. Beberapa perawat mondar-mandir membawa troli obat. Dokter itu duduk di sebelah Kimly. "Kamu nggak pa-pa"" tanyanya karena sebenarnya sejak tadi menyadari wajah Kimly yang pucat.
Kimly menggeleng sambil tersenyum.
"Apa yang terjadi"" tanya dokter itu lagi.
"Mama tiba-tiba pingsan. Ayah langsung membawanya ke sini," jawab Kimly setelah lama terdiam. Kimly sempat bingung apakah dokter itu bertanya tentang mama atau masalah orangtuanya, tapi kemudian sadar dokter itu kan tidak tahu apa-apa soal masalah keluarga mereka.
Dokter itu mengangguk-angguk. Name tag plastic putih bertulisan hitamnya berkilauan. Kimly membacanya. David Jonathan. Tidak salah lagi, mungkin profesinya sebagai model majalah remaja adalah kerjaan sampingan.
Cowok itu mengikuti arah pandang Kimly, kemudian tertawa. Ia menyodorkan tangannya.
"Nggak adil kalo kamu tahu nama saya tapi saya nggak tahu nama kamu! Ayo kenalan! Panggil saya David, toh saya juga belum jadi dokter. Masih semester Sembilan," katanya ramah.
Kimly tersenyum dan menyambut tangannya. "Kimly," balasnya.
"Mmm... berhubung sekarang sudah jam istirahat saya, gimana kalo kita beli minum, Kimly"" David berdiri. "Sekalian saya punya beberapa pertanyaan buat kamu."
Kimly tercenung. Dengan ragu ia mengikuti David ke kantin dan membeli minuman kaleng. Mereka berjalan kembali ke ICU dengan santai.
"Jadi," David menoleh, "boleh saya minta tolong""
"Minta tolong"" Kimly mengernyitkan dahi, menurunkan kaleng jusnya.
David mengangguk. "Iya. Tolong jaga mamamu ya" jangan sampai telat makan dan kurang istirahat lagi. Makan pun tidak boleh kurang dari porsi normal. Dokter Ray tadi sudah mendiagnosis mamamu. Ternyata mamamu sudah lama kena anoreksia. Dan hari ini penyakitnya tiba-tiba memburuk. Mungkin penyebabnya..."
"Stres"" tebak Kimly.
David menjentikkan jarinya. Cowok itu tidak menjawab, namun dari ekspresi cowok itu, Kimly tahu jawabannya benar.
"Dan kurang makan. Jadi kalian harus ke dokter ahli gizi untuk menyembuhkan dia! Mungkin dokter Ray sudah memberitahu ayahmu sekarang. tapi kurasa kamu juga perlu tahu."
"Oke, Mama juga sudah janji bakal jaga badan kok," sahut Kimly.
Apalagi sekarang, tampaknya masalah yang membuatnya depresi nyaris terselesaikan. Mama harus pulih, seperti enam tahun lalu. Kalau bisa bahkan lebih sehat lagi.
David terlihat lega. "Dan kamu..."
Kimly memutar bola matanya. Merasa mengetahui apa yang akan dikatakan David, Kimly memotong, "...juga harus makan teratur""
Lagi-lagi cowok itu menjentikkan jarinya sambil memamerkan gigi ala iklan pasta gigi. Kimly sudah menduga-duga, sudah berapa puluh cewek yang luluh dengan senyuman itu" Kalau hatinya tidak dipenuhi Raditya, cewek itu juga pasti akan terpesona pada David. Tapi nanti dulu, yang ini buat mereka saja. Kimly teringat Lylla dan Ardel.
"Janji, ya"" ujar David dengan nada menuntut.
Kimly tersenyum lebar. Orangtuanya sudah berbaikkan. Apa lagi yang harus Kimly cemaskan" "Oke, Bos!!!"
KIMLY! Aku berhalusinasi!!! Aku melihatmu di lorong gedung pengadilan waktu petugas mau membawaku pergi.
Katanya kalo kita sedang setengah mati pengin ketemu seseorang di saat yang mustahil, bayangan orang itu bisa benar-benar muncul.
Pasti itu yang terjadi! Pasti aku ngalamin fatamorgana kayak orang di gurun yang setengah m
ati berharap ketemu oasis.
Oh ya, tadi dia nyentrik banget, pake baju kayak warna Negara kita. Untungnya waktu sidang dia pakai jubah hitam. Kalo enggak, aku pasti malu banget punya pengacara kayak gitu. Tapi kalo inget dia mendukungku, aku jadi 100% optimis.
Apa kamu bertemu orang lain" Siapa dia" Aku kepikiran dan mendadak kecewa. Siapa pun itu, dia telat nyadarin betapa menairiknya Kimly-ku.
Aku yang duluan! ** TIGA BELAS *** MAMA menginap di rumah sakit selama beberapa hari. Perlahan-lahan kesehatannya pulih dan warna di wajahnya membuat Kimly semakin yakin mama baik-baik saja.
Ayah sering sekali berada di rumah sakit. Tiba-tiba saja tidak ada dinas yang selama ini membuatnya menghilang dari rumah beberapa hari. Setiap kali Kimly menemukan ayah di rumah sakit saat menjenguk mama. Kimly menduga pria itu bolos kerja dan pulang di tengah jam kantor.
Suatu ketika, handphone ayah berbunyi ketika mereka berada di kamar mama. Ayah memandangi nama yang tertera di handphone dan air mukanya berubah. Semua orang dalam ruangan-yang berarti mama, Bi Ima, dan Kimly-kontan terdiam. Ayah member isyarat pada Kimly untuk mengikutinya keluar.
Ayah menyerahkan handphone-nya ke Kimly yang terheran-heran.
"Dia," kata ayah datar.
Kimly tertegun. Wanita penyihir itu.... Kimly mendongak, mengamati wajah ayah yang penuh harap. Tidak ada lagi rasa enggan yang dulu Kimly rasakan setiap kali menatap ayah. Kimly tersenyum dan mengembalikan handphone ayah. Sudah ada satu missed call dan kini handphone itu mulai berbunyi lagi.
"Ayah aja yang terima. Cuma Ayah yang bisa nyelesaiin semuanya," kata Kimly penuh toleransi. "Kimly masuk ya!"
Ayah mencekal tangan Kimly. "Ya sudah, Ayah yang termia. Tapi kamu di sini aja, temenin Ayah!"
Kimly menurut. Ia duduk di kursi tunggu. Ayah menelan ludah dan mengangkat telepon.
"Y-ya"" Kimly meremas tangan ayah dan berdoa dalam hati. Terdengar suara nyaring di seberang. Tampaknya wanita itu berteriak karena Kimly juga tidak mendengar jeritannya.
"KEMANA AJA SIH DITELEPONIN NGGAK DIANGKAT. DIDATENGIN KE KANTOR NGGAK ADA, AKU KAN KANGEN, APA KAMU NGGAK KANGEN SAMA AKU" KAMU KENALAN SAMA CEWEK LAIN YA" KURANG AJAAAR!!!" cerocos wanita itu cepat.
Kimly mengernyit ngeri. Ayah menjauhkan telepon itu dari telinganya dan memandang Kimly dengan wajah memelas. Butuh waktu sepuluh menit untuk membiarkan penyihir itu nyerocos sampai capek sendiri.
"Bicara dong!" akhirnya wanita itu menjerit putus asa.
Ayah berdeham. "Lily, dengar. Kita nggak bisa ketemu lagi. Saya nggak bisa kehilangan keluarga saya, saya sangat menyayangi mereka."
Tidak ada suara di seberang.
KLIK. TUUT... TUUT... TUUT.... Kimly dan ayah berpandangan.
*** Seseorang menyodorkan segelas kopi ke wajah Kimly. Cewek itu mendongak.
David.

De Buron Karya Maria Jaclyn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahasiswa kedokteran yang masih magang itu tersenyum. Kimly menerima kopi yang diberikan untunknya. Ayah sedang berduaan dengan mama di dalam kamar, jadi Kimly duduk di luar. Kebetulan hari ini Bi Ima tidak ikut ke rumah sakit.
"Apa kabar"" tanya cowok itu, mengamati raut wajah Kimly yang cemas.
Kimly teringat artikel di Koran yang sedang dipegangnya. Raditya akan mengikuti pengadilan lagi lusa. Mungkin itu pengadilan terakhirnya. Hati Kimly mendadak cemas.
Gimana kalau hakim memutuskan cowok itu bersalah"
Gimana kalau Eio dihukum penjara seumur hidup"
Gimana kalau Kimly tidak bisa bertemu Raditya lagi selamanya"
"Kabar buruk. Kalo gagal bakal dipenjara seumur hidup," gumam Kimly dengan pikiran yang masih dihantui siding Raditya.
Kimly pasti menunggu Raditya. Tapi berapa lama" Apa Kimly sanggup kalau harus menunggunya bertahun-tahun"
"Hah"" David terlihat bingung.
Kimly tersadar seketika dan mendongak refleks. "Apa" Oh kabar saya" Yah..."
Kimly menga=gantungkan kalimatnya, tidak tahu harus menjawab apa.
Kimly rindu Raditya.... Kimly rindu Raditya.... Kimly rindu Raditya.... Kapan mereka bisa bertemu"
"Kayaknya kamu perlu refreshing deh. Lusa hari sabtu. Kuliah libur. Mau pergi nonton"" tawar David sambi
l tersenyum geli. Kimly mengejabkan mata berkali-kali.
Kencan.... Kimly memadangi wajah David. Cowok seganteng ini mengajaknya kencan. Diam-diam Kimly merasa beruntung. Hidupnya selalu dipenuhi cowok-cowok keren. Namun tidak semuanya sebaik Raditya, kan" contohnya Nino.
"Gimana"" tanya David lagi.
Cowok itu memang lumayan, tapi tidak ada guratan pipinya saat dia nyengir. Wajahnya pun tidak mengingatkan Kimly pada John Rzeznik. Mungkin dia juga bukan penggila pisang.
Kimly menggeleng. "Maaf ya."
"Kenapa"" David tampak terperanjat. Berani bertaruh, David belum pernah ditolak cewek seumur hidup.
Kimly membuka Koran yang memampangkan wajah Raditya. Kimly menunjuknya sambil menoleh kea rah David. Dia tersenyum.
"Ada orang yang lagi kutunggu."
*** Kimly memandangi kamar mandinya yang masih bersinar bersih setelah dibersihkan Radit waktu itu. Di wastafel masih tergeletak rapi pakaian ayah yang dulu dipinjam Radit. Kimly mengambilnya dan memeluk kaus lusuh itu. Kimly jadi nyaris bisa merasakan kehadiran buronan itu.
Kimly mengenakan kaus itu, kemudian kembali ke kamar dan menghempaskan diri ke ranjang, mulai mencoret-coret secarik kertas dengan malas. John Rzeznik masih memandanginya dengan senyum yang sama, tapi tetap saja tidak ada tiga pasang guratan di masing-masing pipinya.
Love is when my smile looks beautiful
Whenever I remember his face
Love is when my eyes amazing
Since he is the only one I see
Look is when I am a fairy tale of us
Because I think about him every second I have
Love is when I am angry with him
And forgive him in the same time
Love is when bananas taste great
After he said so Love is when I don't want to lock the door
As I believe in him with all my heart
Love is when I love him Even if never never realizes it
Wow! Aku masih nggak percaya!
Kimly, aku bebas! Bebas! Ya, B-E-B-A-S!
Aku bukan buronan lagi. Aku bisa pulang! Oh Tuhan... aku masih mimpi, ya"
Tadi aku mencecar si Black terus, sampai si Black akhirnya kesal dan salah ngomong. Lalu-BAM-semuanya terungkap!
Pembunuh sebenarnya, ya si Black. Dia dating setengah jam sebelum aku datang dan kebetulan nggak ada yang ngeliat dia di kantor itu. Lalu terjadilah perkelahian yang membuat si Black gelap mata dan akhirnya menjadi sadis.
Pokoknya tadi keren banget. Sayang kamu nggak ada. Kalo nggak, aku bakal ajdi orang pertama yang kupeluk, bukan malah si pengacara nyentrik itu.
Ah, tapi kalo aku peluk, kamu pasti marah! Ngebayangin itu, aku ketawa lagi.
Kamu sadar nggak sih, kalo muka merahmu itu lucu" Atau jangan-jangan kamu emang nggak pernah marah beneran"
Radit, Aku lihat beritanya di Koran. KAMU BEBAS! Aku masih belum percaya. Rasanya kayak habis dikabarin kalo aku menang lotre keliling dunia.
Aku seneng banget! Aku nunggu kabarmu, tapi kamu nggak dating ke rumah. Nggak telepon. (Aku jadi ragu kamu tahu nomor telepon rumahku apa nggak) Nggak kasih kabar.
Aku sedih. Pengin cerita macam-macam ke kamu, tapi nggak tahu kamu di mana. Aku nyesel dulu nggak tanya banyak tentang kamu.
Kalo tahu begini, aku bakal ngejaga kamu di dalam kotak kaca, biar kamu jadi tahanan di hatiku selamanya. Kalo gitu kan, nggak bakal ada yang bisa ngerebut kamu dariku.
Apa kabar" Nggak berasa ya. udah berapa lama kita nggak ketemu" Dua minggu" Tiga minggu" Sebulan" Dua bulan" Aku sendiri nggak inget. Abis rasanya kayak bertahun-tahun.
Semua udah kembali normal. Aku kuliah lagi. Kerja part-time lagi. Untung bosku baik, nggak pecat aku gara-gara bikin skandal.
Katanya, "Kamu kan bukan artis. Siapa juga yang peduli kamu bikin skandal atau nggak. Malah kamu jadi penglaris took, kamu kan banyak fans-nya."
Aku malu. Apa sih yang dilihat cewek-cewek itu dariku" Aku bingung kenapa mereka histeris banget. Aku kan bukan John Rzeznik!
Kimly, maaf. Aku nggak berani dating. Aku bingung kalo nanti kamu tanya mau ngapain aku dating. Aku udah cukup jadi orang yang dulu nyusahin kamu.
Sekarang penggangumu udah nggak ada. Semoga kamu bahagia, ya.
Buronanku, Kamu di mana sih" Kamu sudah lupa sama aku"!
Lylla dan Ardel ngebaca puisiku. Kata mereka kaloliat dari gayamu dulu pas ngomong sama Nino di sekolah (masih inget kan"), kalimat terakhir puisiku salah. Menurut mereka kamu suka aku.
Aku tahu mereka ngegodain aku. Aku sudah kasih mereka masing-masing tiga cubitan. Kenapa tiga" Mungkin aku kepikiran sama cengiran itu....
Tapi bolehkah aku berharap banyak dari kata-kata mereka"
Di manapun kamu sekarang, aku masih berharap kamu tiba-tiba inget sama aku.
Aku seneng banget kalo tahu ada dikiiiit aja tempat di ingatanmu buat aku.
Kalo ingatanku sih, selalu selalu selalu penuh sama buronan bernama Raditya!
Hari ini aku kembali mandangin fotomu.
Udah lama aku mau ngomong ini, bahkan sejak petama kali kita bertemu: kamu cantik.
Seleraku kan tinggi, makanya kamu jadi pilihanku! Ha ha.
Kamu tahu kenapa aku selalu duduk di depan TV" Itu tempat yang strategis, karena aku bisa langsung ngumpet di kolong ranjang kalo ada yang dating. Dari tempat itu, aku juga leluasa merhatiin sekeliling ruangan, terutama mencuri-curi pandang ke arahmu.
Kamu nggak tahu, kan"
Hhh... coba semua suratku ini bisa sampai ke kamu. Aku ingin tahu gimana tanggapanmu kalo membacanya.
Aku udah siap kok apa pun reaksimu.
Cinta itu kan... kadang-kadang kayak pisang, kadang-kadang kayak singkong, kadang-kadang kayak pare! Manis, tawar, pagit...
Yang mana rasamu" *** Kini bukan hal aneh lagi kalau ngadepin semua cowok menoleh ketika Kimly berjalan melewati mereka. Mana ada sih yang bisa mengalihkan pandangan dari cewek bermata besar, bersenyum manis, dan bertampang ramah itu" Bahkan ikatan kucir kudanya yang rapi terlihat lebih menarik daripada rambut teman-teman sekelas Kimly yang digerai bak kuntilanak (ini menurut Bu Tiara, guru Sosiologi mereka yang superbawel tapi kadang-kadang benar).
"Kalian kan murid SMA, bukan SPG! Rambut kuntilanak, perhiasan nyentrik yang nyamain lampu neon, kemeja kurang bahan, rok digigit tikus, kaus kaki nggak niat pakai... aduh, mana tahaaan!" omel Bu Tiara tiga kali seminggu tanpa pamrih.
Kimly sendiri memang paling malas menggerai rambut. Panas! Lagi pula tidak ada cowok yang niat dia kecengin. Di hatinya sudah tersimpan seseorang dan nggak muat lagi kalau harus diisi orang lain.
Hawa sejuk AC bertiup membelai tengkuk Kimly begitu ia memasuki took kaset langganannya. Lagu yang Kimly tidak tahu judulnya sayup-sayup terdengar. Ardel langsung pamitan, berniat mencari kaset soundtrack film korea favoritnya. Lylla pun segera memisahkan diri dari Kimly, langsung hanyut meneliti kaset new release yang diincarnya.
Kimly sendiri (masih lengkap dengan seragam sekolah, dan mapnya yang tidak bisa dititipkan di mobil karena hari itu mereka nyoba-nyoba pulang naik angkot) langsung ngeloyor pergi ke tempat deretan kaset pop dijajarkan. Terdengar suara-suara berisik dari sebelahnya. Kimly melirik dan mengernyitkan dahi. Kimly melihat dua cewek SMA yang sedang ngomel-ngomel. Penampilan mereka persis seperti yang digambarkan Bu Tiara.
"...senga' banget!" omel cewek pertama.
"Gue akuin sih, dia keren! Aaah, tapi Cuma pelayan took kaset, lagaknya nyebelin banget!" imbuh temannya sambil melipat tangan di depan dada.
Cewek pertama meledak. "Tahu nggak, seumur idup gue nggak pernah ditolak! Ini penghinaan berat!"
Temannya mengangguk-angguk dengan bibir manyun. "Iya. Buta kali dia! Diajakin nonton, eh... malah langsung nolak mentah-mentah! Katanya udah ada cewek yang dia suka. Ya ampuuun... hari gene gitu lho! Masih jaman ya cowok cuma punya satu cewek" Apalagi cewek itu bukan apa-apanya dia!"
Kimly merasa risih. Percakapan itu membuatnya kesal, soalnya Kimly percaya cowok kayak gitu tuh banyak. Mereka aja yang kebanyakan kenalan sama cowok-cowok nggak bener.
Kimly bergeser menjauh dan pandangannya berhenti pada kaset-kaset R&B. Kimly segera teringat pada ayah yang penggemar R&B dan tersenyum sendiri. Masih melekat diingatannya-ketika ayah dan mama mendatanginya sambil bergandengan tangan.
"Mengenai perceraian..."
Kimly tertawa. "Batal kan, Ya" Ma""
Ayah-mama saling berpandangan dan tersipu.
Bagi Kimly, tidak ada yang lebih indah daripada pemandangan itu.
Lagu tak dikenal yang tadi diputar habis, berganti lagu lain. Music yang menenangkan mengalun. Kimly segera menikmatinya. Ia memejamkan mata, tidak peduli pada cewek-cewek di sebelahnya yang sekarang sudah bertambah rebut.
Kalau menuruti bisikan iblis di dalam kepalanya sih, Kimly lebih ingin menyumpal mulut cewek-cewek itu dengan rambut panjang mereka. Tapi karena Kimly pecinta damai, cewek itu lebih memilih tidak mengacuhkan mereka dan mendengarkan music yang sedang dipasang. Masalahnya grafik lengkigan cewek-cewek itu malah semakin naik dan mulai menyaingi suara ultrasonik kelelawar.
"Maaf," seseorang berkata pelan, "saya lagi kerja. Nggak bisa pergi nonton bareng kalian. Kalo saya dipecat gimana""
Kimly malas menoleh. Ia malah membalik CD di tangannya dan membaca daftar judul lagu yang tertera di sana. Namun Kimly sudah bisa menduga orang yang sedang meminta maaf adalah cowok incara cewek-cewek tadi.
"Dasar nggak asyik!"
Kedua cewek itu mendorong cowok inceran mereka hingga menabrak Kimly dan menjatuhkan map cewek itu. Isi mapnya berhamburan ke lantai, beberapa terbang ke sela-sela sepatu pengunjung yang menoleh untuk melihat apa yang terjadi.
"HEH-" Kimly langsung mendongak, bermaksud langsung mendamprat kedua cewek itu. Namun mereka sudah tidak kelihatan lagi.
Kimly mengomel dalam hati dan ikut berjongkok dengan cowok inceran para cewek yang sedang membereskan barang-barang Kimly. Dengan kesal, Kimly membereskan surat-surat yang ditulisnya dengan amat mesra (tapi tidak pernah dikirimnya) untuk Radit, yang sekarang sudah berterbangan ke sana-sini.
Begini nih repotnya pulang tanpa mobil pribadi! Mesti bawa-bawa map ke dalam took segala. Payahnya, akhir-akhir ini Kimly tidak bisa berjauhan sedikit pun dengan mapnya. Mungkin karena Kimly sudah kehabisan akal mencari-cari cara agar bisa berdekatan dengan Radit. Alhasil, belakangan ini surat-surat tak terkirim yang menjadi barang kesayangannya itu pun selalu dibawa ke mana-mana.
Dan sekarang, orang-orang pembuat onar itu sudah menjatuhkan barang kesayangan Kimly. Hal itu tidak bisa dimaafkan dengan mudah.
Dengan sudut matanya yang terbakar emosi, Kimly melihat cowok pembuat onar di depannya memakai seragam pelayan. Tidak ada name tag, hanya sebuah pen yang tersemat manis di kantong kemejanya. Kandas sudah rencara menggertak cowok itu dengan mengadukan namanya ke manager took.
"Jadi berantakan semua, kan" hati-hati dong!" gerutu Kimly. Omelan biasa yang apa adanya, tidak semarah yang tadi Kimly harapkan.
Mungkin Kimly memang tidak bisa marah beneran, karena Kimly tahu sebenarnya cowok itu tidak sepenuhnya bersalah. Dua cewek centil itu yang bertanggung jawab. Tapi karena mereka sudah melarikan diri, tidak ada orang lain yang bisa Kimly marahi kecuali cowok itu. Biar bagaimana pun Kimly kan perlu pelampiasan.
"Maaf ya... Kimly."
Kimly tertegun. Seperti mengenali suara itu....
Tadi saat berbicara dengan cewek-cewek centil itu, suara pelayan took ini tidak begitu jelas terdengar. Namun sekarang Kimly mendengarnya dengan jelas dan langsung disergap perasaan rindu. Hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nada lembut seperti itu. Nada yang sudah lamaaa sekali tidak didengarnya, rasanya sudah berpuluh-puluh tahun.
Merasa penasaran, Kimly mendongak. Dan matanya terbelalak seketika.
Radit. Benar-benar Radit. Radit sungguhan. Radit yang itu. Tanpa mendongak dan terus membereskan kertas-kertas Kimly, cowok itu tersenyum. "Apa kabar""
Namun Kimly tidak mampu berkata apa-apa. Yang bisa Kimly lakukan hanya bengong, menatap cowok di depannya yang sekarang sepertinya sudah mulai sadar bahwa isi-sis kertas yang sedang ia bereskan ditujukan untuknya.
Melihat cowok di depannya, ia jadi teringat kejadian-kejadian yang lalu. Radit datang, menggangu hidupnya, mengusik hatinya, kemudian pergi, menyisakan kekosongan di hatinya yang masih berlubang sampai sekarang. kimly setengah mati rindu padanya, namun ketika bertemu sekarang, yang ditanya cowok itu
Cuma apa kabar. Mau marah nggak sih"
Harusnya kan Raditya minta maaf karena sudah tanpa pamit.
Atau minta maaf karena tidak menghubungi Kimly sesegera mungkin setelah ia bebas.
Atau minta maaf karena ia bersikap seakan-akan di antara mereka tidak pernah terjadi apa-apa.
Atau minta maaf karena ia masih bisa tersenyum padahal Kimly setengah mati mengkhawatirkannya.
Atau minta maaf karena...
"... Kimly"" suara Radit terdengar geli.
Lamunan Kimly terputus. Ia menoleh kea rah Radit dan melihat cowok itu sedang memandanginya sambil tersenyum lebaaaar sekali, sampai tiga guratan di masing-masing pipinya muncul dengan sangar jelas. Radit tampak memasukkan kembali bolpoinnya ke kantong baju, lalu menyodorkan tumpukan surat Kimly, kemudian berdiri dan berlalu. Meninggalkan Kimly sendiri lagi.
Jadi begitu... Ternyata Radit memang tidak pernah punya perasaan apa pun terhadapnya. Radit hanya menggunakannya, lebih tepatnya kamar Kimly, sebagai tempat persembunyian dan sekarang mereka tidak punya hubungan apa-apa lagi karena cowok itu sudah bebas.
Kimly tertunduk, memandangi surat-suratnya, sedih. Padahal surat-surat itu ditujukan untuk cowok itu. Radit tidak menanggapinya sama sekali. Harusnya kan dia bilang sesuatu.
Sok romantic kek... tidak berseni kek... norak kek...
Dia nggak boleh diem gitu aja!!!
Mata Kimly tertumbuk pada puisinya di tumpukan kertas paling atas. Aneh. Ada coretan dan tulisan baru yang bukan miliknya. Jantung Kimly berdebar-debar keras sekali, padahal musik yang sedang diputar bukan house music.
Kimly membaca tulisan itu...
Kimly tidak percaya. Semua ini terlalu indah. Jika yang ditulis itu memang benar, Kimly tidak perlu komentar apa-apa lagi.
"Radit...." Serta-merta, sebutir air mata mengalir sepanjang pipi Kimly dan jatuh ke kertasnya.
Love is when my smile looks beautiful
Whenever I remember his face
Love is when my eyes amazing
Since he is the only one I see
Look is when I am a fairy tale of us
Because I think about him every second I have
Love is when I am angry with him
And forgive him in the same time
Love is when bananas taste great
After he said so Love is when I don't want to lock the door
As I believe in him with all my heart
Love is when I love him Even if never never realizes it
and he loved you too! Bende Mataram 6 Pendekar Mabuk 095 Dalam Pelukan Musuh Gadis Serigala 2
^