Dibakar Malu Dan Rindu 2
Dibakar Malu Dan Rindu Karya Marga T Bagian 2
Tania mengangguk. Dia mengerti, Pak Saimin mengharapkan komisi dari pabrik tersebut.
"Tapi dua bulan terlalu lama. Terpaksa kita ambil yang hijau saja. Bagaimana pendapat Bapak""
"Saya sih setuju saja, asal jangan putih," angguk Pak Saimin. "Saya sengaja menunggu Mbak untuk merundingkan hal ini." Pak Guru menyebutnya "Mbak" mungkin sebagai penghormatan, sebab jelas usianya jauh di bawah laki-laki itu.
"Ah, enggak usah sebenarnya. Nanti pekerjaan jadi tertunda. Kalau penting sekali, bisa juga Bapak menelepon ke rumah sakit. Apa sudah saya berikan nomor telepon saya""
"Sudah, sudah," ujar Pak Saimin setengah membungkuk, tersipu malu.
Mereka berjalan mengelilingi proyek. Istri Pak Saimin telah menyediakan secerek kopi dan sepiring pisang goreng yang tampaknya lezat sekali. Mereka tahu Tania akan mengontrol ke situ setiap hari Sabtu.
Mereka berdiri agak lama memperhatikan pembuatan WC. Tania menginginkan WC yang betul-betul selalu bersih sepanjang waktu. Jadi harus cukup air yang disalurkan.
"Bagaimana dengan tenaga pengajarnya, Pak" Sudah Bapak peroleh""
"Ya, ini masalahnya. Mereka ingin mendapat kepastian gaji akan berjalan lancar. Mereka ingin tahu dari mana uang gaji itu akan datang. Siapa tahu nanti tertahan-tahan."
"Ah, bukankah sudah saya jelaskan, saya akan membentuk yayasan yang akan mengurus sekolah ini."
"Tapi Pak Razak belum mengatakannya pada saya Kata beliau tempo hari, masih akan diselidiki kemungkinannya. Selama yayasan itu belum berdiri, akan sulit bagi kita menarik guru-guru kemari. Kalau saya sih lain. Mengajar memang sudah merupakan hidup saya. Ibaratnya air untuk ikan. Tidak digaji pun, rasanya saya akan tetap berdiri di depan kelas."
Pak Saimin tersenyum sendu seperti seorang manusia yang sudah tahu jelas jalan hidup yang harus dilaluinya, yang sebenarnya tidak begitu sesuai dengan impiannya.
"Jangan kawatir. Saya akan membicarakan ini dengan Pak Razak. Pokoknya, dia tidak dapat menghalangi maksud saya. Yayasan itu akan didirikan untuk mengenang ayah saya yang berjiwa sosial. Barangkali Bapak pernah bertemu dengan ayah saya""
"Hanya sekali. Ketika Poliklinik Kesejahteraan Ibu dan Anak diresmikan. Beliau yang menggunting pita."
"Ya," ujar gadis itu seakan pada diri sendiri, "seluruh rumah sakit dan gedung-gedung di kompleks itu adalah hasil sumbangannya. Paling enggak, delapan puluh persen!"
"Beliau memang orang besar," angguk Pak Saimin.
"Jadi soal WC sudah beres, ya"" tanyanya mengalihkan pembicaraan. Tania tidak suka berhenti terlalu lama mengenang yang sedih-sedih.
"Ya, beres." "Ada berapa semuanya""
"Tiga untuk anak laki-laki, tiga untuk anak perempuan, tiga untuk guru, dan dua kamar mandi. Selesai berolahraga, apalagi bermain di lapangan, terkadang tubuh anak-anak menjadi kotor. Mereka terjatuh atau sengaja bergulingan di tanah."
Tania tersenyum. Anak-anak memang gemar guling-gulingan, aku juga semasa kecil.
"Ayo, mari kita coba pisang gorengnya," ajak Pak Saimin. "Pisangnya matang di pohon."
"Ya, di pasar kita sulit mendapat buah yang matang di pohon," ujar Bu Saimin yang sejak tadi mengikuti pembicaraan mereka dengan penuh minat tanpa menyela. "Orang memetik muda-muda supaya enggak cepat matang lalu rusak."
Mereka duduk dalam gubuk yang didirikan untuk tempat istirahat para pekerja bangunan. Tapi orang-orang itu kebanyakan lebih suka bergerombol di dekat pohon bambu yang rimbun. Hanya Pak Mandor dan Pak Saimin yang memanfaatkan kursi di situ.
Tania mencicipi pisang goreng ditemani oleh Pak Saimin. Pak Mandor dipanggil juga. Ist
ri Pak Saimin menghilang sebentar lalu muncul lagi dengan setalam ubi rebus.
"Untuk para pekerja," kata Pak Saimin menunjuk talam seraya menyilakan Tania untuk mencoba ubi dari kebunnya sendiri. Ubinya memang manis.
"Alangkah enaknya dibuat kue talam," Tania terceplos ngomong, sebab segera juga Ibu Saimin mengiakan sambil berjanji akan membuatnya pada lain kesempatan. Tania mengingatkan dirinya, jangan suka melontarkan keinginan apa-apa bila ia tidak mau merepotkan suami-istri itu.
Dilihatnya arloji. "Sudah waktunya untuk pamitan," ujarnya tersenyum.
"Makan di sini saja, Neng," undang Ibu Saimin.
"Terima kasih banyak. Bu. Lain kali deh," tolaknya halus.
Langit semakin gelap ketika dia meluncur ke jalan, tapi angin berembus cukup kuat. Semoga enggak hujan!
Di rumah, Bibi Karla tampak tengah bersin-bersin karena selesma. Biasanya Sabtu Bibi masuk kerja, tapi hari itu rupanya dia cuti sakit.
"Hm, harum sekali panggang ikan asin ini," ujar Tania menarik napas dalam-dalam.
"Aku bosan makan daging terus," kata Bibi Karla. "Hari ini biarlah kita makan sayur asam dengan lalap dan panggang ikan."
"Berarti Edo enggak akan diundang"" godanya ketawa.
"Tentu saja makanan direktur lain dengan makanan kita!"
"Kalau makanan istri direktur"" tanyanya iseng.
Bibi menatapnya sejenak, kedua matanya nyaris meloncat keluar karena membelalak. Tiba-tiba dia terbahak-bahak, riang dan segar.
"Kenapa, Bi"" tanyanya dengan wajah kemerahan.
"Ke mana acara kalian nanti malam"" tanya Bibi sambil menghapus air matanya. Aneh sekali. Setiap kali tertawa lebar, Bibi pasti mencucurkan air mata.
"Saya diajak Edo nonton video di tempat Ibu Melita," sahutnya.
Hubungan bibi-keponakan yang selama ini biasa-biasa saja tampak sedikit menghangat. Tentu saja Tania tahu sebabnya. Karena dia sekarang sudah menjalin persahabatan dengan Edo, anak kesayangan Bibi. Dan bila dia berhasil menjerat hati dokter itu, pasti Bibi Karla akan tambah sayang padanya. Atau mulai sayang, seandainya saat ini dia belum.
Tania memutar tubuh di atas kedua tumit sepatunya, lalu berjalan ke dapur untuk mencicipi masakan Ani dan Lia. Di belakangnya terdengar Bibi bersin terus-menerus beberapa kali.
Bab 10 TELEPON berdering ketika Tania tengah berdandan. Bersamaan dengan itu lonceng berdentang sekali. Terdengar pintu diketuk dari luar.
"Jam berapa, Ni"" serunya, sebab itu pasti Ani. Lia sedang di kebun mengurus tanaman sayur-mayur.
"Jam setengah tujuh. Ada telepon, Neng," sahut Ani.
Tania bergegas keluar menghampiri telepon di dekat ruang makan. "Tania," ucapnya sambil meletakkan sikat rambutnya di samping pesawat.
"Tania, ini aku," didengarnya suara Edo yang cemas. "Kau sudah siap""
"Astaga! Belum!"
"Tania, kau berangkat lebih dulu, ya. Aku akan menyusul." "Kenapa""
"Ada pasien gawat. Post operasi. Aku harus menanganinya segera. Kau berangkat saja sendiri. Mobilmu oke""
"Kenapa kau tanya begitu"" Tania tersenyum, tapi perasaannya kurang enak.
Apakah dia tahu mengenai rem yang blong tempo hari" Tania tidak sempat mengatakannya sebab waktu itu mereka sudah terlibat diskusi soal nama Arman yang asli dan telepon ke mana itu yang telah dilakukannya.
Tahukah dia, Arman pantas dicurigai" Tahukah dia kecelakaannya terjatuh dari tangga tempo hari itu mungkin karena ulah seseorang" Tahukah dia kabel pengering rambut Bibi sengaja dikelupas orang" Tahukah dia semua itu" Apakah Bibi telah mengatakan sesuatu padanya"
"Aku tidak bisa membayangkan mobilmu rusak di tengah jalan dan kau terpaksa berhenti untuk memperbaikinya, mana hari sudah gelap dan mendung!" Suaranya penuh kekawatiran.
Tania tersenyum bahagia. "Jangan kawatir, mesinku tokcer. Tadi siang aku masih menggunakannya untuk keliling-keliling."
"Ah ya, gimana gedung sekolahmu" Semoga jangan lekas-lekas jadi!"
"Eh, kenapa begitu" Kau enggak senang melihat anak-anak itu masuk sekolah""
"Tentu saja aku senang. Cuma aku keberatan kalau gadis manisku terlalu cepat pindah kerja!"
Tania tergelak. Alangkah pintarnya Dokter Sabara meniup-niup ego perempuan sampai melambung, kayak balon! Enggak heran ruang pra
kteknya selalu penuh dengan wanita-wanita yang berdatangan dari jauh seperti dari Jakarta atau Jawa Timur.
Dokter Sabara adalah seorang ahli bedah plastik yang ingin melakukan, penyelidikan tentang transplantasi organ pendengaran dari kadaver. Untuk membiayai penyelidikan yang mahal itu, dia terpaksa menerima pasien-pasien yang ingin mempercantik diri.
Rumah sakit di daerah yang sejuk itu agaknya memang cocok sekali untuk proyek tersebut. Bahkan Bibi pernah mengatakan, Dokter Sabara bercita-cita untuk mengubah rumah sakit itu khusus menjadi bagian operasi plastik. Poliklinik dan riset akan dipindahkan ke kompleks lain. Tapi untuk itu diperlukan tanah serta uang untuk membangun gedung baru. Dari mana semua itu" Karena itu dia sangat mengharapkan warisan dari ayah angkatnya, kata Bibi lagi.
Dokter Sabara tidak suka melihat wajah yang tidak cantik. Apalagi melihat seorang wanita menderita karenanya. Menurut dia, setiap wanita- bahkan setiap orang termasuk laki-laki-berhak merasa bahagia. Mengapa membiarkan seulas senyum jadi tampak kurang berseri hanya karena wajah yang tidak cantik"
"Dia ingin mempercantik setiap wanita!" Tania teringat perkataan Bibi itu ketika jamuan makan menyambut kesembuhan pokter Sabara. Tania juga ingat, Arman waktu itu pura-pura tidak mendengar, asyik dengan Dona. Pak Razak terdiam seperti orang kehabisan kata-kata. Cuma Dokter Sabara yang tersipu memegangi gelasnya.
Pujian Bibi memang tidak tanggung-tanggung. Siapa saja yang disukainya pasti takkan luput dari sanjungan serta pujiannya yang manis melebihi madu.
"Oke, gadisku, kamu berani pergi sendiri, bukan" Tidak takut jalanan gelap, toh"" tukas Edo berseloroh.
"Kenapa mesti takut"" balas Tania. "Apa ada hantu di jalan""
"Ha... ha.... ha... begitu baru namanya gadisku!" puji Edo Sabara. Lalu disambungnya lebih pelan dan serius, "Tania, aku sayang padamu. Senang""
Tania terenyak, menahan napas. Enggak salahkah pendengaranku"! Selama ini Edo memang selalu menaruh perhatian padaku. Selalu berkunjung setiap malam Minggu kecuali kalau tugasnya menghalangi. Selalu manis budi. Selalu... ah! Ah! Ah!
Dia sayang padaku!!! Huuuiii! "Halo..."
Tiba-tiba dia sadar sudah membisu sekian detik. Lekas-lekas didekatkannya kembali pesawat ke bibirnya. "Ya."
"Aku sangka kau sudah pergi."
"Aku masih di sini. Kalau enggak ada apa-apa lagi, aku mau meneruskan sisiranku. Hampir terlambat nih!"
"Tapi kau belum menjawab kata-kataku barusan. Senangkah kau mendengarnya""
Tania merasakan kedua pipinya panas. Digigitnya bibir bawahnya menahan senyum. "Ah, tahu deh," elaknya, lalu diletakkannya telepon dengan hati-hati, kemudian berlari masuk ke kamar.
Dijatuhkannya dirinya ke atas pembaringan. Dona menengadah, heran. Tapi Tania cuma tersenyum, membuat anjing kecil itu tidak mengerti kenapa gadis itu mendadak begitu gembira.
Ya, dia memang sangat gembira. Kenapa" Karena beberapa patah kata yang diucapkan Edo barusan"!
Dia bangkit dan kembali menghampiri cermin. Dengan senyum masih mengembang di permukaan wajahnya yang mulus, disikatnya rambutnya yang panjang berulang kali. Pantulan dirinya dalam cermin sangat memesona hatinya. Baju berwarna gelap memang cocok untuknya. Akan diapakannya rambutnya" Disanggul ke atas atau diberi pita" Ah, lebih baik dibiarkan tergerai ke bahu.
Setelah memakai sepatu dan meraih tas, * dia berjalan keluar menuju garasi.
"Jam berapa kau akan pulang"" tanya Bibi dari serambi.
"Belum tahu, Bi," sahutnya tanpa menghentikan langkah. "Jangan kawatir. Edo akan datang juga." "Dia tidak pergi bersamamu"" "Enggak. Ada pasien gawat."
* * * Makan malam itu berjalan lancar, walaupun Dokter Sabara tidak hadir. Ibu Melita Kiripan agaknya telah mengisi kekosongan hidupnya dengan mempelajari segala macam resep masakan. Malam itu dia menghidangkan tidak kurang dari enam macam masakan yang belum pernah disantap oleh Tania, padahal dia sudah biasa keluar-masuk restoran-restoran utama di Jakarta.
Atas permintaan putrinya yang berusia lima tahun, nyonya rumah menantikan kedatangan Dokter Sabara sampai jam delapan lewat. Tania mengusulkan aga
r mereka menelepon ke rumah sakit atau ke tempat tinggalnya. Namun rupanya Ibu Melita agak takut mengganggu sang dokter. Itu suatu sikap yang keliru menurut Tania. Kenapa harus takut" Dokter Sabara telah menerima undangan. Bila dia berhalangan datang, seharusnya dia wajib memberitahu kapan akan muncul ataukah mau batal sama sekali. Tapi Tania tidak memberi komentar. Akhirnya mereka terpaksa makan juga.
Setelah acara makan malam yang lezat itu usai, mereka masih juga menunggu Dokter Sabara, sebab video itu memang akan diputar untuk Dokter Sabara sebenarnya. Bukan untuk Tania.
Mereka bermain kartu sambil meneguk sirup jahe yang hangat dan manis. Bosan bermain kartu, mereka beralih main damdas. Ternyata ini juga lekas membosankan. Si cilik, Katarina, mengeluarkan koleksi LEGO-nya yang belum selesai dibangunnya. Ibunya menyatakan keheranannya, mengapa anak perempuan senang bermain-main membuat rumah, jembatan, kapal, dan lain-lain.
"Ah, saya juga menyukainya," bela Tania. "Untuk mengasah otak."
Mereka segera asyik berdua. Ibu Melita beralih pada jahitannya. Suasana di vila sangat lengang, cuma disentuh oleh alunan musik lembut dari sebuah tape recorder. Sesekali terdengar kelenting perabotan yang sedang dibasuh di dapur oleh dua orang pembantu.
Waktu berjalan terus. Ketika Tania mengangkat kepalanya, terpandang olehnya jarum lonceng di dinding menunjukkan jam hampir setengah sebelas malam. Sudah terlambat untuk melihat video!
"Saya harus pulang, Kat," ujarnya bangkit dari lantai, mencoba tersenyum manis pada Katarina yang tampak kecewa. Digerakkannya tangannya dalam pantomim untuk menegaskan maksudnya, sebab anak itu tidak dapat mendengar suaranya.
Nyonya rumah menoleh juga ke arah jam dinding, menghela napas lalu bangkit. Rupanya dia kecewa karena tamu yang diundangnya tidak muncul. Terkadang timbul dugaan dalam hati Tania bahwa perempuan muda itu telah jatuh cinta pada dokter yang merawat anaknya.
"Ya, engkau harus pulang. Nanti kemalaman di jalan. Apa perlu diantar sopir""
"Ah, enggak usah," tampiknya tertawa. "Saya sudah hafal jalanan dari sini ke rumah sakit." Rumah Bibi Karla memang terletak dalam kompleks rumkit.
"Hati-hatilah," pesan Ibu Melita, masih dengan nada waswas.
"Jangan kawatir. Terima kasih untuk makan malam yang lezat itu, Bu."
Ibu Melita ketawa lebar, menepuk bahu Tania.
"Saya senang bila orang menyukai masakan saya. Kapan-kapan datang lagi."
Tania mengangguk, melambaikan tangan, lalu membuka pintu mobil dan masuk.
Halaman vila tampak terang benderang seperti siang hari. Di sana-sini dipasang lampu-lampu neon sementara beberapa patung kurcaci memegangi lentera-lentera kecil. Kebun di sekitarnya indah sekali. Kalau tidak salah, nyonya rumah adalah lulusan Akademi Pertamanan.
Begitu keluar dari halaman vila, suasana segera berganti rupa. Lampu jalan tak ada. Gelap pekat. Tania harus menyorotkan lampu terus-menerus dan membelalakkan mata memperhatikan jalanan. Tapi dia tidak dapat melihat lebih jauh dari beberapa meter saja.
Jangan-jangan aku sudah harus memakai kacamata! Uh! Begitu sempat, aku akan ke dokter deh.
Untung sekali hujan tidak turun. Jumlah kendaraan di jalan juga tidak banyak. Dan dia sudah hafal benar semua tanjakan serta tikungan. Jadi tak ada alasan sama sekali baginya untuk merasa gelisah.
Sepuluh menit, semua berjalan lancar. Sepuluh menit lagi, masih juga lancar. Tapi sepuluh menit berikutnya...
Tania lupa kemungkinan mesinnya akan mogok. Selama ini mobilnya memang selalu tokcer. Dia selalu menuruti nasihat ayahnya agar mobil diservis setahun sekali paling sedikit. Itu dilakukannya untuk mobilnya yang dulu, sebuah Honda. Tapi BMW ini kan belum setahun usianya!
Ketika suara mobilnya mulai berderum-derum lalu berhenti, hatinya berdebar dan tangannya langsung berkeringat dingin. Ada apa nih"! Enggak mungkin aku stop di tengah jalan! Di kiri-kanan enggak ada rumah orang.
Terpaksa dia keluar dari mobil menenteng senter, sebab tak tahu apa lagi yang dapat dilakukannya. Dibukanya kap mesin dan disorotinya ke sana-sini, tapi tidak dilihatnya ada yang aneh. Tidak ada kabel ya
ng putus, tidak ada minyak yang bocor, sedangkan tekanan hidrolik dari rem juga biasa. Sejauh penglihatannya yang buta-mesin, mobil ini tidak apa-apa.
Tapi kenapa dia mogok" Berarti ada bagian yang rusak. Mungkinkah karburatornya" Tapi yang mana karburator" Atau platinanya" Yang mana lagi platina" Dia memang sering mendengar kata-kata itu diucapkan orang, tapi sama sekali tidak tahu ujud bendanya.
Huh! Tania menghela napas. Dia menyesal. Sangat menyesal. Mengapa tidak pernah dipelajarinya soal mesin! Kalau sekarang dia kena musibah, dirampok atau diculik, itu semua salahnya sendiri. Tapi bila ia berhasil pulang dengan selamat, ia berjanji akan segera menekuni tetek bengek mesin bersama sopir Bibi yang sudah tua.
Persoalan yang mendesak saat ini adalah, dari mana akan diharapkannya bantuan" Dia tidak tahu di mana ada bengkel. Di sekitar situ pasti tak ada, sebab sejauh pandangan yang kelihatan cuma sawah belaka. Andaikan ada pun, pasti sudah tutup, montirnya sudah pulang.
Menghentikan mobil yang lewat, dia ragu. Ya kalau orangnya baik-baik, kalau orang itu mendadak punya niat yang kurang bagus, bagaimana" Selain itu zaman sekarang tidak banyak lagi orang yang sudi berhenti di tengah gelap begini dengan tujuan mau menolong. Mereka juga takut. Ya kalau betul butuh pertolongan, kalau itu cuma perangkap, bagaimana" Kalau ternyata rampoknya sudah menunggu, bagaimana"!
Setelah menimbang-nimbang, dengan putus asa ditutupnya kembali kap mobil. Dia bersandar di mobil dengan kedua siku bertumpu di atas kap. Dicobanya mengira-ngira mana yang lebih jauh: berjalan kaki pulang atau kembali ke vila.
Sudah setengah jam naik mobil-mungkin juga tiga perempat jam-berarti paling sedikit tiga puluh kilometer. Berjalan kaki sejauh itu" Dia bergidik. Tapi bermalam di sini, jelas tak mungkin. Dia bisa mati kedinginan. Berjalan kaki pulang" Berapa jauhnya rumah sakit dari sini" Tania tidak tahu.
Diperhatikannya mobil-mobil yang lewat. Beberapa sedan melaju dengan sangat kencang, sehingga mereka pasti tidak sempat memperhatikan keadaan dirinya. Beberapa truk juga lewat, tapi Tania justru sembunyi di balik mobilnya supaya tidak kelihatan. Dia tidak mau menarik perhatian sopir truk yang mungkin iseng.
Pikirannya bekerja keras. Kalau dia tidak berani menghentikan mobil mana pun, berarti dia takkan mendapat pertolongan. Dia harus berdiam terus dalam mobil, mengunci pintu dan jendela rapat-rapat... ah ya, tak bisa terlalu rapat sebab AC tidak jalan. Kalau kelewat rapat, bisa-bisa dia kekurangan udara menjelang pagi.
Yah, duduk diam di mobil, menunggu dan berharap Bibi Karla atau Edo akan mengirim bantuan. Ah, kenapa Edo mendadak berhalangan! Dia jengkel juga pada profesi yang tidak mengenal waktu itu. Rasanya menjadi istri dokter tidak enak. Rencana mesra bisa berantakan menjadi musibah kayak ini. Coba kalau Edo ikut, mereka tentunya akan naik mobilnya. Atau andaikan rusak dan mogok, berdua dengan laki-laki masih lebih mending.
Tania bergerak hendak masuk ke dalam mobil ketika muncul sebuah sedan dari jurusan berlawanan, dari arah rumah sakit. Mobil itu menyeberang menghampirinya dan Tania mengawasi dengan sangat terkejut. Pikirannya memperingatkan, dia harus secepatnya berlindung ke dalam mobil, tapi kaki-kakinya tak mau digerakkan. Dengan lemas dia mematung memperhatikan kendaraan itu berhenti, meredupkan lampunya, dan pintu kedengaran dibuka.
"Halo!" Seorang laki-laki keluar dengan senyum sinis memenuhi seluruh wajahnya.
"Ah, kau!" serunya tertahan.
Belum pernah dia begitu gembira melihat Arman yang tidak disukainya itu. Dengan seringai yang tidak padam, Arman mendekati mobilnya dan langsung membuka kap depan tanpa banyak bertanya. Dia membungkuk sejenak dengan batere disenterkan ke segala penjuru. Akhirnya dia tegak kembali, dan terdengar suara ketawanya yang geli.
"Kenapa kau terkekeh begitu"" tanya Tania mangkel. "Enak ya, menertawakan orang yang sedang kemalangan!"
"Jangan galak-galak kalau kau butuh bantuanku!" balas Arman, juga agak sengit.
Tania terdiam. Dia merasa memang dirinya tidak berdaya. Bila Arman meninggalkannya... pa
sti mati kutu dia! Dengan terpaksa ditelannya rasa dongkolnya dan dirapatkannya bibirnya.
"Nah, mau ditolong atau tidak"" tanya Arman setengah mengejek.
Kalau saja waktu itu siang hari, dia pasti takkan menyerah. Tapi saat ini gelap-pekat, tak ada bulan atau bintang. Juga sudah hampir tengah malam, dan dia tidak mau lebih lama lagi berada di situ.
Kepalanya mengangguk. Tapi Arman ternyata kurang puas. "Aku ingin mendengar suaramu!" tuntutnya sedikit pongah. "Kau bisa bicara, bukan" Ayo bilang, mau ditolong atau enggak""
Setan alas! kutuknya dalam hati. Sambil menahan air mata kesal, digigitnya bibirnya sejenak sebelum menyahut, "Mau...." Suaranya halus sekali, nyaris tak terdengar, ditelan kejengkelan.
"Nah, mari," seru Arman melambainya ke arah mobilnya sendiri. "Aku tidak bisa semalaman berdiri terus di sini!"
Aduh, sombongnya!!! Tania menggertakkan geraham, namun tak bergerak dari tempat. "Mobilku"" tanyanya seperti orang linglung.
"Kunci saja. Tutup semua pintu dan jendelanya. Aku akan minta bagian keamanan rumah sakit untuk menyeretnya besok atau mengisinya dengan bensin."
"Bensin"!"
"Ya," ejek Arman. "Mobil itu kehabisan bensin! Begitulah tingkah gadis-gadis kaya yang ingin pamer tapi tidak mau tahu urusan mobilnya!"
Ingin sekali Tania mendaratkan tangannya ke atas mulut yang lancang itu. Tapi menginsafi kedudukannya yang tergantung dari belas kasihan Arman, dengan membungkam diturutinya semua petunjuk. Dikuncinya mobil, lalu ia mengekor di belakang Arman menuju mobil bututnya. Laki-laki itu tidak membukakannya pintu. Dia terpaksa membukanya sendiri.
"Kapan terakhir ngisi bensin"" tanya Arman sesaat sebelum menyalakan mesin. "Lupa," sahutnya pendek, kesal.
Dalam hati Tania merasa heran. Bukankah tadi pagi ketika akan ke kantor pos dan mengunjungi bangunan sekolah, dia telah mengecek tangki dan bensinnya masih pol" Tapi dia memang tidak memperhatikan skala dalam mobil. Cuma melihat tok bisa juga keliru. Apa yang dilihat belum tentu sesuai dengan keadaan sebenarnya. Harus dilihat juga skalanya.
Betulkah bensinnya tadi pagi sudah tinggal sedikit" Tidak, bisiknya dalam hati. Dia yakin tadi pagi isinya masih penuh atau setidaknya masih cukup sampai besok!
Tania tidak berani menoleh ke samping. Mobil sudah melaju kembali ke rumah sakit. Dirasakannya dadanya berdebar kencang. Seseorang telah mengosongkannya! Seseorang telah sengaja menimbulkan insiden ini bagiku! Siapa"
Dia melirik dengan sudut matanya. Oh, takut sekali dia. Seandainya Arman mau menculiknya! Kalau dia dibunuh atau tewas karena kecelakaan, uangnya akan jatuh ke tangan Arman! Besar kemungkinan dia yang akan disahkan sebagai ahli waris.
Bukankah beberapa hari yang lalu Arman dengan sinis menyatakan tidak setuju dengan caranya menghambur-hamburkan uang untuk gedung sekolah" Dan yayasan yang akan dibentuknya! Arman pasti akan menentang kalau tahu, sebab itu berarti dia takkan kebagian apa-apa bila Tania meninggal. Seluruh bagiannya akan masuk ke yayasan.
Di malam sepi dan gelap itu Tania menggigil, sehingga Arman akhirnya tahu. "Dingin" Sabarlah, sebentar lagi kita sampai!" Lalu ditambahkannya dengan nada mengejek, "Karena itu lain kali rajinlah membeli bensin. Jangan pelit! Uangmu kan masih cukup banyak untuk gedung sekolah, walau kau membeli bensin dengan teratur"!"
Tania tak dapat menahan diri lagi. "Tadi pagi masih penuh!" cetusnya penasaran.
"Oooh"!" seru Arman kurang percaya. "Tapi tangkinya tidak bocor!"
"Pasti ada yang jail mengosongkannya!" tuduhnya, langsung menyesal. Seandainya Arman yang telah melakukannya, habislah aku!
Tapi dia tidak dapat menahan emosi lagi. Apa boleh buat. Namun Arman ternyata lebih cerdik. Berlagak pilon memang sikap yang bijaksana. Yah, selama enggak ada bukti, kenapa mesti takut, tentu begitu jalan pikirannya, pikir Tania gemas.
"Sungguh" Apa maksud orang itu mengosongkan bensinmu"" tanya Arman, betul-betul seperti yang keheranan. Tania nyaris memuji kepandaiannya bersandiwara.
"Mana aku tahu!" sahutnya sebal, seraya menambahkan dalam hati: dasar bajingan!
"Di mana kauletakkan mobilmu""
"Kalau kau m emang betul-betul enggak tahu," ujarnya menahan amarah, "baiklah aku bilangin. Di garasi umum, di antara mobil-mobil ambulans. Belum pernahkah kau melihat mobil merah di sana""
"Belum," sahut Arman menggeleng dengan wajah seorang bayi yang tidak berdosa.
Bajingan, kutuk Tania. Namun dia sadar tak ada gunanya menuduh yang bukan-bukan. Dia sekarang berada dalam genggaman laki-laki ini. Salah sedikit saja dapat berakibat fatal.
Tidak. Dia tidak boleh membongkar isi hatinya di depan Arman. Dia harus bersikap manis kalau bisa. Tapi rasanya sulit sekali mengoyak cemburu yang sudah bersemi dalam hati. Dia masih ingat betapa kaget hatinya ketika Pak Razak membacakan surat wasiat ayahnya di mana disebutkan adanya seorang anak angkat!
Dia tidak mengira sama sekali, ayah yang mencintainya itu ternyata menyimpan rahasia besar selama hidupnya. Dia merasa tertipu, merasa dibodohi. Mungkin kalau sejak dulu ayahnya sudah berterus terang, dia takkan membenci Arman, tapi malah akan senang menerima kehadirannya, sebab menjadi anak tunggal berarti hidup penuh kesepian.
"Siapakah ibumu, Man"" tanyanya terdorong oleh rasa ingin tahu yang tak dapat dibendung.
"Ibuku"! Ibu adalah seorang wanita yang sangat disayangi oleh ayahmu!"
Tania terdiam, hatinya tertusuk. Salahnya sendiri kenapa bertanya-tanya. Sekarang kejengkelannya malah bertambah. Tanpa malu-malu, Arman telah mengakui bahwa ibunya adalah gundik ayahnya!
Ya. gundik! Dia sengit sekali dan sengaja tak mau memakai kata yang lebih halus. Gundik! Ya, wanita itu pasti hanya seorang gundik.
"Jangan salah paham," didengarnya suara Arman seakan mau menggodanya. "Ibuku bukankah kekasih ayahmu! Ayahku adalah orang lain!"
Arman ketawa sinis. Rupanya dia dapat menerka jalan pikiran gadis di sebelahnya. Namun Tania tidak suka diolok-olok seperti itu. Belum pernah ada orang yang berani mengejeknya selama hidup dan dia takkan membiarkan itu terjadi saat ini atau kapan saja.
"Hm. Aku enggak peduli siapa ayahmu!" katanya sama-sama sinis. "Sebab kau memang bukan Arman! Bukan anak angkat ayahku. Namamu Niko, benar enggak"" Suaranya agak mengejek penuh rasa puas.
Tapi dalam hati dia bimbang sendiri, tahu pikirannya keliru. Sudah jelas orang ini mengaku sebagai anak angkat, disokong oleh Pak Razak. Mungkin Niko adalah panggilan intimnya di rumah! Orang yang diteleponnya itu (istrinyakah") merebutnya Niko. Resminya dia terdaftar di KTP sebagai Arman!
Mobil sudah memasuki halaman kompleks rumah sakit. Arman membelok ke kiri untuk mengantar Tania dulu. Karena tidak mendengar tanggapan apa-apa, gadis itu menoleh. Arman tengah memandang lurus ke depan, tapi dia tahu sedang dilirik, sebab bibirnya bergumam pelan.
"Pernah aku nasihatkan dulu, lebih baik tutup mulutmu kalau mau selamat!" desisnya. "Kau tahu apa artinya uang bagi kebanyakan manusia, dan orang yang kalap dapat menjadi mata gelap. Tahu kan apa artinya itu""
"Mau coba-coba mengancamku" Kaukira aku takut" Uh, nanti dulu!" tantang Tania sambil membuka pintu mobil di depan rumah Bibi dan keluar tanpa bilang terima kasih. Malah nyaris mau diba-tingnya pintu itu. Anak angkat! Huh!
Bab 11 Sejak beberapa minggu terakhir ini ikatan batin antara Tania dan Edo semakin erat saja. Bibi Karla melihat perkembangan itu dengan rasa gembira. Tania sendiri tidak dapat menyangkal bahwa daya tarik Edo Sabara terlalu kuat untuk ditangkis olehnya. Pria tampan itu terlalu lemah lembut, terlalu pandai merayu.
Namun yang membuai mereka betul-betul dekat adalah malam ketika mobil Tania kehabisan bensin. Dia pulang dengan wajah lusuh.
"Aku mendengar suara mobil di luar," ujar Bibi Karla. "Kau pulang diantar oleh Dokter Sabara""
"Bukan. Oleh Arman."
"Oh. Di mana mobilmu""
Tania menjatuhkan diri ke atas kursi sambil memeluk Dona. Dia menghela napas. Wajahnya sudah hampir menangis saking kesal. "Di tengah jalan! Ada orang yang telah menyedot bensin dari mobil itu!"
Bibi tertegun sejenak, kemudian tersenyum. "Salahmu! Kenapa kau parkir di garasi umum! Aku juga pernah mengalami hal seperti itu. Sebuah ambulans kehabisan bensin. Mereka seenaknya mengamb
il bensinku supaya bisa jalan sampai ke tempat pompa!"
Tania menatap bibinya seraya berpikir. Dia ingin sekali mempercayai alasan itu, sayang hatinya bicara lain. Tepatnya, firasatnya bilang: bukan! Tidak mungkin beberapa kecelakaan itu terjadi secara kebetulan atau karena ada yang mau membuat lelucon.
Seandainya betul ada orang yang memerlukan bensinnya, lalu bagaimana dengan remnya yang blong" Apa itu juga bukan disengaja"
Dia bangkit tanpa berkata apa-apa. Tidak ada gunanya menakut-nakuti Bibi. Misalnya soal kabel pengering rambut atau kecelakaan Edo tempo hari.
"Dokter Sabara sudah menelepon dua kali. Dia berpesan agar kau ngebel begitu pulang," ujar Bibi di belakangnya.
Tania mengangguk. Sambil menjinjing kedua sepatunya dihampirinya telepon dan diputarnya nomor yang sudah dihafalnya itu. Edo segera menyambut.
"Hai, gadisku yang manis! Aku sangat, sangat menyesal tidak dapat pergi bersamamu. Aku mencoba kontak denganmu di sana, tapi rupanya pesawatnya tidak bekerja. Aku kawatir sekali memikirkan engkau harus pulang sendirian."
Gadis itu tersenyum. Mungkin juga pesawat teleponnya sedang rusak, sebab selama dia di vila, tidak sekali pun didengarnya berdering.
"Mobilku mogok di jalan!"
"Apa"" seru Edo dengan kaget. "Lantas" Kau pulang dengan apa" Kau baru saja pulang, bukan""
"Ya. Aku pulang bersama Arman."
"Untung! Bagaimana... dia bisa sampai di sana""
"Kebetulan saja dia lewat!"
Tania kembali tersenyum. Direktur gagah yang menjadi incaran banyak wanita itu kedengaran sangat mengawatirkan keselamatan dirinya!
"Ah, untunglah. Jadi kau tidak apa-apa" Mobil itu sekarang ada di mana""
"Ditinggal di jalan. Besok akan diangkut kembali oleh bagian keamanan."
"Hm. Sekarang kau istirahat saja. Aku akan menyuruh orang menariknya kemari. Kenapa Arman tidak mau membawanya sekalian""
Tania berpikir heran. Ya, kenapa Arman enggak mengusulkan itu" Ah, barangkali dia enggak membawa tambang. Dia kan enggak menyangka bakal ketemu mobil mogok di jalan!
"Aku rasa dia enggak punya tambang, Ed. Tapi dia berjanji akan minta Bagian Keamanan untuk membawa mobil itu balik ke sini. Mungkin dia sudah menghubungi petugas, jadi kau enggak usah repot lagi."
"Hm!" dengus Edo Sabara dengan nada mendongkol. "Mau ke mana sih dia berkeliaran di jalanan malam-malam begitu" Aku akan cek apa dia tidak dinas malam ini. Tania!"
"Ya..." "Jangan terlalu sering bersama orang itu! Aku kurang mempercayainya!"
Tania terdiam. Tangan yang menggenggam pesawat telepon dirasakannya perlahan-lahan mendingin. Apa Edo juga telah mencium sesuatu" Tahukah dia diriku sedang diincar"
"Ed, apa kau tahu sesuatu yang enggak mau kaukatakan padaku"" tanyanya kawatir.
"Apa maksudmu"" Edo membaliki dengan suara lantang, mungkin campuran kaget dan waswas.
Tania berbisik supaya Bibi tidak mendengar. "Kau bisa datang sebentar kemari" Ada yang perlu aku ceritakan!"
"Sekarang juga"" Edo kedengaran ragu. "Aku capek sekali."
"Aa... ku... taa... kut! Daa... tang... lah... se... ben... tar... saa... jaa..." pintanya tergagap, hampir terisak.
"Oke, tunggulah. Aku tukar pakaian sebentar. Sepuluh menit lagi aku sudah akan ada di sampingmu. Jangan menangis."
Sampai lewat tengah malam mereka berdiskusi. Bibi tidak ikut nimbrung. Setelah menyalami tamunya, dia masuk ke kamar. "Orang setuaku harus banyak istirahat," ujarnya diplomatis.
"Ed, maaf ya bila aku menyusahkanmu. Aku tahu kau pasti sangat lelah. Bagaimana keadaan pasien itu""
"Masih kritis," gumamnya, lalu menggoyang tangan seakan menolak permintaan maaf tersebut.
"Tentu saja aku harus kemari kalau diperlukan olehmu, tak peduli hujan atau angin. Apalagi cuma lelah!" Pria itu tersenyum seolah mau meyakinkan bahwa seluruh waktunya adalah milik Tania.
"Katakan apa yang kaurisaukan," bujuknya sambil menggenggam kedua tangan mungil yang lembut itu.
"Aku... aku... hampir dicelakai orang!" Kata-kata itu tersembur sekaligus tanpa terpikir lagi.
"Apa"" Matanya yang indah membelalak tak percaya. "Siapa dia""
"Aku enggak tahu. Tapi aku yakin, bensinku telah sengaja disedot keluar olehnya."
"Maksudmu, mobilmu mogo
k karena kehabisan bensin""
Tania mengangguk. "Kau yakin, tadinya masih cukup""
"Ya. Tadi pagi sebelum keluar, sudah aku periksa."
"Itulah akibatnya! Kenapa kauparkir di garasi umum! Tempat itu tidak dijaga, sebab tak ada orang yang mau mencuri ambulans. Setiap orang bebas masuk ke situ. Barangkali ada yang kebetulan perlu bensin dan melihat mobilmu nganggur..."
Tania menggeleng dengan keras. Dia tahu, Edo hanya ingin menenteramkan hatinya. Seperti Bibi, Edo juga mengira bahwa itu semua lelucon belaka. Hanya dia yang tahu mereka keliru!
"Aku yakin itu bukan cuma kebetulan!" katanya ngotot, lalu diceritakannya apa yang selama ini telah menimbulkan kecurigaannya.
Edo kelihatan tercenung sejenak. "Jadi Arman akan mendapatkan uangmu bila kau meninggal... maksudmu, sebelum kau menikah""
"Ya. Kenapa kau tanya begitu"" Dia mengerutkan kening kebingungan. Aku sedang ketakutan, kok malah bawa-bawa urusan kawin!
"Bagaimana kalau kau sudah menikah"" Edo tidak meladeni keheranannya, tapi malah terus mencecar.
"Arman enggak berhak lagi. Uangku akan diwariskan pada suami dan anak..." Ditatapnya pria itu semakin bingung, kemudian diulanginya pertanyaannya dengan pipi kemerahan, suaranya lemah nyaris tak kedengaran. "Kenapa kau tanya begitu""
Dokter Sabara yang ganteng itu tersenyum dan meraih bahunya. "Gadisku yang manis! Aku harus melindungimu dari cengkeraman Arman yang ganas. Aku akan mati bila kau sampai cedera. Tidak! Arman harus kita jinakkan. Dia harus disadarkan, uangmu takkan jatuh ke tangannya! Dengan begitu dia akan stop mengganggumu. Dan jalan satu-satunya adalah..."
Dokter Sabara berhenti untuk melihat reaksi Tania. Wajah bulat telur dan lugu itu kelihatan semakin cantik dironai warna cinta. Perempuan muda yang baru saja mulai mekar ini tampak begitu tak berdaya seperti sebuah boneka dalam kotak kaca.
Didekatkannya bibirnya ke telinga gadis itu, lalu berbisik mesra, "Tania, maukah kau menjadi istri dokter" Direktur rumah sakit""
Wajah Tania semakin merah, menunduk tersipu-sipu.
"Ayolah!" goda Edo seraya menyentuh dagunya dengan lembut dan menggerakkannya sehingga mereka saling berpandangan. "Jutawan tidak boleh merasa malu! Dengan uangmu, kau harus sanggup membuat semua orang tersipu di depanmu. Bukan kau yang harus menundukkan kepala! Jawablah aku, Manis."
Diangkatnya dagu yang runcing dan mulus itu, ditatapnya kedua bola matanya yang hitam. "Ah, begitu banyak bintang kulihat dalam matamu! Kau pasti mau, bukan""
Tania tersipu berdehem seolah tenggoroknya mendadak tersumbat lendir. Dipandangnya wajah ganteng itu dengan mesra, wajahnya sendiri sudah merah bagaikan kepiting goreng. "Dapatkah aku menjadi istrimu, tok" Tanpa harus menjadi istri dokter atau istri direktur rumah sakit""
Edo melongo sejenak, akhirnya terbahak geli. Dirangkumnya bahu Tania dan dibaur-baurnya rambutnya. "Pintar bikin aku kaget, ya! Itu cuma lelucon, bukan""
Melihat Tania terdiam saja, disambungnya dengan nada membujuk, "Manisku, aku adalah seorang dokter yang kebetulan menjadi direktur rum-kit. Aku akan terus menjabat kedudukan ini. Tapi tak usah takut. Menjadi istri dokter-direktur merupakan suatu kehormatan tersendiri. Kau takkan dibebani tugas berlebihan kecuali yang lumrah sebagai tugas nyonya rumah.
"Tapi aku perlu mengingatkan sebelum kau mengambil keputusan, kemungkinan besar aku akan gagal mewarisi harta ayahmu. Menurut Pak Razak, Arman lebih kuat bukti-buktinya sebagai anak angkat. Jadi bila kau berharap warisan itu bisa utuh..."
Tania lekas-lekas meletakkan jarinya di bibir Edo. "Ah, lupakan soal warisan!" desahnya dengan jemu. "Biarkan Arman atau setan mana saja yang memperolehnya. Dengan uang bagianku, kita sudah akan bisa hidup lebih dari kecukupan!"
"Husss! Aku tidak mau menjamah uangmu! Kau harus menggunakannya sesuai dengan keinginanmu. Misalnya, untuk proyek gedung sekolah. Itu adalah perbuatan yang mulia sekali. Sulit mencari gadis seumurmu yang sudah searif itu dalam menolong sesamanya. Proyek istimewa itu tidak boleh terlantar hanya karena kita kawin...."
"Uangku masih akan bersisa banyak, Ed. Dan uang
itu akan terus bertambah dari bunga. Aku juga akan mendapat penghasilan dari perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik. Memang proyek sekolah itu akan kuteruskan. Malah akan kudirikan juga sebuah yayasan."
"Yayasan apa"" potong Edo dengan penuh minat.
"Yayasan untuk mengurus kelanjutan sekolah itu. Membayar gaji guru-guru, membeli dan mengganti peralatan yang rusak, serta menyediakan beasiswa bagi murid pandai yang orangtuanya kurang mampu." Tania tersenyum bangga mengharap pujian, tapi kerut halus di dahi Edo membuatnya cepat menambahkan, "Tentu saja masih akan tersisa banyak untuk kita...."
"Pasti!" Edo menanggapi dengan rupa senang. "Aku bangga padamu. Tania. Engkau begini muda. tapi jiwamu sudah tumbuh demikian matang. Aku setuju dengan rencanamu. Untuk kita, tak usah kaupikirkan. Kita akan dapat hidup cukup dari penghasilanku."
"Tapi aku adalah perempuan yang mahal, Ed," selorohnya. "Aku sudah biasa dimanja dan seleraku enggak murah...."
"Aku akan terus memanjakan dirimu!" janji Edo. "Cuma aku masih perlu mengumpulkan uang untuk riset!"
"Pakailah uangku."
Edo menggeleng.
Dibakar Malu Dan Rindu Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu, aku terpaksa menolak Iamaran-mu!" kata Tania berlagak ngambek. "Kalau kau sungkan-sungkan sama istri, aku juga segan menikah denganmu!"
Edo Sabara menatap gadis itu beberapa saat seakan mau meyakinkan dirinya mengenai ketulusan ucapan itu, lalu kepalanya mengangguk pelan. "Oke, oke. Aku takkan malu-malu kucing padamu. Kalau perlu, aku akan pakai uangmu! Tapi soal pernikahan ini serius lho, Tania. Aku mendapat kesan, bagimu seperti main-main saja."
Tania terdiam didesak begitu. Matanya menatap ke kebun yang diterangi sebuah lampu Jingga. Hatinya berdebar sementara pikirannya melayang jauh. Jonas masih belum dilupakannya. Dalam kesibukannya sehari-hari, dia memang dapat menyimpan kenangan itu ke pojok. Menutupinya dengan pikiran-pikiran lincah yang menggerapai sepanjang hari, bagaikan sinar matahari yang menerobos ke segenap penjuru ruangan, mengusir lem-bap serta debu-debu kenangan.
Namun di kala senyap bila dia sendirian saja atau kini, ketika sebuah kalimat mendesaknya, mau tidak mau sudut itu terbuka lagi, mengingatkannya pada insiden fatal yang belum lagi setahun usianya.
"Ed, soal ini... soal kawin ini... apa enggak bisa ditunda dulu""
"Gadisku yang manis, aku bukan ingin menge-jutkanmu. Tapi demi keselamatanmu sendiri, kau harus menjadi istriku. Selama kau masih bebas seperti sekarang, selama itu pula Arman akan tetap berusaha menerormu. Karena dia ingin harta juga! Tidak mengertikah kau" Ah, pikiranmu terlalu suci!"
Tania kemekmek, bingung sebab alasannya untuk menunda tak dapat diungkapkannya terus terang. Dan masalah siapa-yang-akan-dapat-uangnya sudah mulai membuatnya jemu. Kepalanya pening dipaksa memikirkan soal duit yang tak pernah betul-betul menarik minatnya. Dia cuma perlu uang kalau ada sesuatu yang ingin dibelinya. Kenapa semua orang demikian tergoda dan terbangun semangat mereka begitu mendengar ada uang nganggur untuk diwarisi"!
"Ngomong-ngomong, apa betul Arman yang akan mendapat...""
Tania menatap wajah tampan itu bulat-bulat tanpa mengacuhkan pertanyaannya, tapi malah balik bertanya, "Ed, katakanlah yang sesungguhnya: betulkah kau anak angkat ayahku""
Edo Sabara melengos, tapi Tania sempat melihat air mukanya yang tampak sedikit terperanjat. Lewat sekian detik barulah terdengar helaan napasnya sebelum membuka mulut. Tampaknya sulit sekali baginya mengucapkannya, wajahnya sebentar menunduk sebentar tengadah memandangnya.
"Aku tidak mau membohongimu, Tania. Terus terang aku sebenarnya kurang tahu apa aku ini anak angkat atau bukan. Sejujurnya kuakui, aku bahkan tidak tahu siapa ayah dan ibuku. Aku cuma diberitahu seseorang, aku harus kemari dan ayahmu adalah ayah angkatku. Sayang aku tak dapat membuktikannya! Yang kumiliki hanyalah sepasang kaus kaki bayi..."
"Dan Arman bisa!" tukas Tania sengit.
"Rupanya begitu." Edo. mengangguk.
"Bukti apa sih itu" Kau tahu enggak""
Edo menggeleng. "Aku tidak tahu."
"Biar nanti kutanyakan pada Bibi!"
"Tidak perlu! Bagiku warisan itu tidak penting, Tania.
Yang lebih penting adalah cintamu!" Suara Edo berbisik dekat sekali, napasnya hangat menyapu tengkuk Tania.
Gadis itu menggigil. Semua orang merindukan direktur yang tampan ini. Kenapa aku harus menolaknya"! Enggak ada alasan. Cuma herannya, kenapa aku merasa kurang bergairah" Apa lantaran aku masih berkabung untuk Jonas" Untuk Ayah" Atau karena aku merasa masih terlalu muda buat kawin"
"Tidak. Engkau tidak terlalu muda," ujar Edo seolah bisa membaca pikirannya. "Kalau kau masih ragu-ragu, baiklah kita bertunangan saja dulu. Pendeknya asal Arman mengerti, kau sudah menjadi istriku di mata hukum! Berarti semua terornya takkan berguna lagi, sebab bagianmu takkan pernah jatuh ke tangannya!"
Tania merasa dingin dalam hati. Lagi-lagi yang disebut-sebut uang! Uang! Uang melulu! Apa hidup ini enggak bisa berjalan tanpa uang"! Kenapa semua orang tujuannya ke sana akhirnya" Persetan dengan segala uang dan warisan!
Digigitnya bibir. Dia sungguh tidak tahu sikap apa yang sebaiknya diambilnya. Menolak" Orang gila manakah yang dapat menolak Edo" Masih waraskah dia"! Tapi mendadak begini....
"Berilah aku waktu," katanya akhirnya.
"Tania, tak ada waktu lagi," desak laki-laki itu. "Tidak sadarkah kau, orang itu sudah mulai kalap" Dulu kau bilang, dia pernah menelepon seseorang. Siapa tahu itu komplotannya! Aku cuma memikirkan keselamatanmu. Aku takkan tenang sebelum kau betul-betul aman dalam lindunganku.
"Tania, oh. Tania, gadis manisku, belum pernah aku tertarik pada seseorang seperti dirimu. Bagaimana aku akan rela membiarkan engkau dalam bahaya terus-terusan""
Gadis itu menunduk. Di atas pohon belimbing terdengar suara burung hantu, kabarnya untuk mengisahkan cerita sahibul hikayat dengan sendu. Sayang tak dapat dimengerti olehnya.
Dirasakannya dagunya disentuh dan pelan-pelan diangkat. Matanya tertambat pada sepasang mata bening yang mengawasi dengan rupa kawatir. Suaranya lembut sekali.
"Tania, aku takkan memaksa. Begini saja! Kita menikah di Catatan Sipil. Ini semata-mata cuma untuk melindungi dirimu dari bahaya. Kau sama sekali tidak terikat kewajiban sebagai istri. Kelak bila bahaya sudah lewat, kita bisa bercerai lagi atau..." Edo rupanya tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Suaranya menjadi parau.
Betapa terharunya Tania. Jadi dokter yang baik budi ini benar-benar hanya mau menolongnya. Dia benar-benar mencintainya!
Oh, Ayah, laki-laki ini sungguhan mencintaiku. Ah, betapa aku mendambakan kehadiranmu saat ini untuk berbagi kebahagiaan ini....
"Oh, Ed, hatimu sungguh mulia! Kau betul-betul selalu suka menolong!"
"Ssst! Jangan terlalu keras! Nanti Bibi terbangun."
"Bukankah kau akan membicarakannya dengannya" Dia kan waliku, dan mungkin kau belum tahu, sebenarnya aku belum boleh kawin selama empat tahun ini."
"Aaah"""!" Kekecewaan terpampang nyata di wajah tampan itu, membual Tania tersenyum geli dan mengelus wajahnya.
"Kecuali, tentu saja, dengan izin waliku! Jadi sebaiknya kautemui Bibi."
"Oke, besok!" angguknya seakan hal itu lebih penting bagi Tania daripada baginya.
Si cantik tersenyum kemalu-maluan. Seuntai rasa bahagia melilit di hatinya. Malam itu dia tidak dapat tidur karena sangat gembira. Bayangan Arman sudah suram. Apalagi terhadap ancaman-ancamannya, dia tidak takut lagi sekarang. Dia mau kalap" Silakan, kalau berani menghadapi Edo Sabara!
Untuk seterusnya dia akan dilindungi oleh orang yang paling simpatik yang pernah dikenalnya (selain Jonas tentu saja). Besok Bibi akan bertambah sayang padanya!
Bab 12 Arman menjumpainya dua hari kemudian di kantor. Tania melengos supaya tidak perlu menyapanya, tapi orang itu rupanya datang khusus untuk menemuinya. Dia berjalan ke meja dan duduk di dekatnya tanpa diundang. Kebetulan Tania sedang makan siang sendirian. Seakan Arman cuma angin lalu, gadis itu tidak menyapanya, bahkan tidak menoleh ke samping.
"Selamat siang," kata Arman mencoba ramah.
"Hm." "Kenapa kau kelihatan jengkel padaku"" "Mau apa sih, kau"" Tania balik bertanya tanpa menjawab.
"Aku cuma ingin menasihati supaya kau berpikir baik-baik sebelum mengambil keputusan yang drasti
s." "Keputusan apa"" tanyanya mulai kurang senang. "Aku dengar, kau akan menikah"!" "Itu urusanku!" sahutnya agak ketus, menunda suapnya.
"Betul, tapi kajilah dulu siapa calonnya!" "Jangan sok ngajarin, ah! Kajilah dirimu sendiri! Jangan ngurusin Edo yang enggak ada cacatnya! Walau kau akan disahkan sebagai ahli waris ayahku, itu enggak berarti kau berhak mencampuri urusanku. Keperluanmu ke sini cuma buat memperoleh uang itu, kan" Nah, begitu uang itu sudah masuk ke kantongmu, kuharap kau akan pergi dari sini!"
Arman tidak kelihatan tersinggung dicaci seperti itu. Rupanya dia sudah dapat menduganya. Sebagai putri tunggal yang dimanja, Tania pasti sedikit keras wataknya. Dia cuma tidak siap menghadapi serangan total begitu, diusir mentah-mentah.
"Mungkin juga benar pendapatmu, Tania," ujarnya dingin. "Tapi mungkin juga aku ke sini untuk sebab yang lain."
Tania menghentikan makannya dan menatap Arman sebulat matanya. Apakah itu berarti orang ini datang untuk membunuhnya" Apakah semua insiden mobil selama ini hasil ulahnya" Tapi dia tidak boleh memperlihatkan rasa takut. Dia tidak boleh bertanya. Karena itu dengan berlagak tenang, dia kembali menyuap makanannya.
Karena tidak diladeni lagi, Arman berlalu tanpa permisi. Esoknya dia muncul lagi dengan sepucuk surat yang dilemparnya ke hadapan Tania.
"Untukmu!" tukasnya. Lalu seakan sudah tahu isinya, disambungnya, "Jangan mencoba memata-matai aku, ya!" Tanpa menunggu reaksi, dia segera berlalu.
Tania sempat menggigil sekejap mendengar nada ancaman yang serius itu. Diraihnya surat itu. Sampulnya berwarna coklat. Karena letaknya terbalik, dia tidak segera dapat melihat dari jawatan mana datangnya. Tapi itu pasti dari kantor pemerintah. Dia kenal sampul dan ukurannya.
Cepat dibaliknya. Ternyata dari kantor telepon! Apakah Arman tahu apa yang telah dilakukannya" Apakah dia curiga" Oh, bukankah tempo hari dia berada di sana juga" Ah, enggak, bukan di kantor telepon. Mereka bertemu di kantor pos! Apakah Arman telah mengikutinya"
Diambilnya pembuka surat dan ditariknya keluar sehelai kertas putih. Baru saja matanya menyapu baris pertama, surat itu sudah diletakkannya kembali dengan lesu. Dia cukup membaca sampai. "...Menyesal...." Tak ada gunanya diteruskan.
Jadi tak ada hasil. Diangkatnya lagi surat itu. Dipaksanya membaca sampai habis. Hm. Mereka hanya dapat mengatakan bahwa interlokal itu ke Jakarta. Bila dia ingin tahu lebih lanjut, dipersilakan menulis pada Kantor Telepon Pusat di sana.
Tania menghela napas. Dia tidak ingat lagi jam dan tanggal yang tepat dari pembicaraan itu. Dia memang termasuk orang yang kurang teliti dan segan membuat catatan ini-itu. Itu sebabnya semua kenangan indah bersama ayahnya pun hanya disimpan dalam hati. Dia malu menuangkannya ke dalam buku harian, siapa tahu nanti terbaca orang.
Dikoyaknya surat itu bersama sampulnya dan dilemparnya ke keranjang sampah. Tidak, dia takkan melakukannya. Untuk apa menulis ke Jakarta. Belum tentu orang di sana akan mau meladeni permintaannya yang mungkin dianggap gila-gilaan itu. Mereka pasti sudah cukup banyak tugas tanpa harus melayani surat yang bukan-bukan. Lagi pula, bukankah dia akan pergi ke Catatan Sipil minggu depan dan setelah itu Arman takkan dapat mengganggunya lagi"
Tidak diduga-duga, malamnya Arman menelepon. Rupanya ketika dia masuk lagi ke kamar tata usaha, Arman sempat melihat sobekan-sobekan surat yang dibuang oleh Tania.
"Jadi kau biasa mencuri baca surat orang lain!" ujar Tania dengan marah.
Arman tidak menolak tuduhan itu. Tidak pula mengiakan. Suaranya datar saja ketika dia berkata, "Bila kau ingin tahu siapa yang biasa aku telepon, kenapa tidak kautanyakan langsung padaku""
Sebelum Tania sempat meletakkan kembali pesawat, laki-laki itu sudah melanjutkan, "Orang itu adalah Nyonya Rejana! Atau Nyonya Arman!"
Tania terkejut. Dia tidak menyangka bahwa Arman sudah beristri. Tidak ada seorang pun yang pernah menyinggungnya. Tahukah Bibi"
Diliriknya sekilas punggung Bibi yang tengah duduk melahap berita-berita dalam surat kabar. Ketika Tania memusatkan kembali perhatiannya ke pesawat
, didapatinya Arman sudah meletakkan telepon.
* * * Hari Sabtu itu Tania tidak meninjau proyek sekolahnya, sebab dia akan pergi ke Catatan Sipil bersama Dokter Sabara. Karena dia masih berstatus sebagai penduduk Jakarta, begitu juga dengan Dokter Sabara, maka mereka harus menikah di Ibukota.
Ani dan Lia sudah pergi lebih dahulu untuk membereskan rumah Tania di Jakarta, sebab mereka akan bermalam di sana. Esoknya, Minggu, baru mereka akan kembali dan malam harinya akan diadakan pesta kecil untuk merayakan hari bahagia itu.
Seluruh karyawan rumah sakit diundang. Semuanya memberi selamat, walau tidak setiap hati turut bergembira. Ada yang iri, ada yang menyesali nasib, dan ada pula yang jengkel. Barangkali Arman termasuk golongan yang terakhir, sebab hari Sabtu subuh itu dia masih menelepon Tania untuk memberitahu dengan sinis, semoga Tania tidak menyesal dengan tindakannya.
Tania nyaris membanting telepon bila tidak segera disadarinya bahwa benda itu bukan miliknya. Untung sekali dia segera dibuat sibuk dengan segala macam persiapan yang penting, sehingga telepon tadi tidak sampai mengganggu ketenangan batinnya.
Tania merasa amat bahagia berada di samping Edo Sabara, menatap wajah Bibi yang ceria dan penuh sayang padanya, serta air muka Pak Razak yang senewen. Menurut cerita Bibi, sarjana hukum itu selalu senewen kalau menghadiri upacara pernikahan. Beliau lebih kerasan mengikuti jalan sidang untuk mengadili seorang pembunuh. Alasannya, dia tak dapat konsentrasi pada upacara tersebut, sebab pikirannya pasti melenceng pada sang pengantin putri yang umumnya selalu menarik dan menggairahkan!
Tania ingin tertawa melihat tangannya yang gemuk sebentar-sebentar singgah di muka. melap keringat. Udara memang panas. Dan ruang upacara tidak diberi alat pendingin.
Bibi mengucap syukur ketika upacara telah berakhir dengan sukses. Tania disalami oleh pemimpin upacara serta Pak Razak. Bibi menciumnya. Seingat gadis itu. baru sekali ini bibinya memeluk serta mengecupnya. Bibi juga memeluk Edo.
Tania mengira, sebab tidak menikah, Bibi menjadi kaku dan dingin. Tidak tahunya pelukannya hangat serta mesra. Dia hampir meneteskan air mata saking terharu. Ah, sayang Ayah enggak ada di sini!
Tania berpakaian sederhana saja. Dia menolak pakaian yang terlalu mewah, sebab hatinya masih berkabung untuk ayahnya dan Jonas. Edo dengan penuh pengertian tidak memaksa. Cukup seuntai kalung dan sepasang anting-anting. Jari-jarinya kosong selain adanya sebentuk cincin yang baru saja dilingkarkan di situ tadi siang.
Ketika Tania kembali ke tempat Bibi keesokan harinya, didapatinya rumah itu tengah dihias oleh beberapa orang perawat yang sedang bebas tugas.
Suster Ratih menggamitnya ke samping diawasi oleh beberapa rekannya yang tersenyum-senyum. "Dokter Rejana kelihatan gelisah sekali," bisiknya pelan. "Waktu jaga tadi malam, dia duduk termenung semalaman di kantor. Bila disapa, dia kaget seakan pikirannya sedang menerawang jauh...."
"Lalu apa hubungannya dengan aku"" tanyanya tertawa.
"Ada, deh!" olok Suster Ratih tertawa sambil meliriknya dengan manis.
Tania mengangkat bahu. "Dia kan saudara angkatku!"
Ha... ha...! Rasakan kau sekarang, Arman! Uangku enggak bakal jatuh sesen pun ke dalam tanganmu! Gelisahlah kau sepanjang masa! Tentunya kau sangat penasaran, bukan"
Tapi laki-laki itu masih mempunyai kesopanan untuk datang menghadiri pesta pada malam harinya. Dia muncul bersama seorang perawat muda yang belum lama bekerja di situ. Suster Ratih dan teman-temannya melirik ke arah Arman bersama pasangannya yang tampak cantik
Tania tidak berkata apa-apa. Semula dia berniat memberitahu perawat tersebut bahwa Arman sudah beristri. Tapi kemudian dibatalkannya maksud itu. Untuk apa mencampuri urusan orang, pikirnya. Kalau dia ingin main serong, itu urusannya!
Yang tampak sangat berseri-seri adalah Bibi Karla. Sukar mengatakan siapa yang lebih bahagia: Bibi atau Tania. Yang jelas, perempuan setengah tua itu makin sayang pada keponakannya. Anehnya, terhadap Arman Bibi tidak kurang pula mesranya, walaupun laki-laki itu kemungkinan besar akan mere
but hak pewaris dari tangan Dokter Sabara yang disayanginya.
Minggu depan sudah akan diputuskan siapa yang berhak menjadi ahli waris. Pak Razak sudah memperingatkan Bibi supaya tidak kaget bila Arman yang dipilih. Itu akan menjadi keputusan pengadilan yang harus diterima oleh semua pihak bila mereka tidak ingin persoalan diteruskan ke meja banding dan menjadi bertele-tele.
Edo tidak ingin Tania sendirian terlalu lama, lebih-lebih bila dilihatnya Arman mendekat. Aneh sekali. Laki-laki itu jadi kelihatan menaruh lebih banyak perhatian padanya. Seharusnya kan sekarang Tania sudah tidak lagi berarti apa-apa baginya. Uangnya akan jatuh ke yayasan atau ke tangan suaminya bila dia meninggal.
"Tania!" Didengarnya suara tunangannya dan dilihatnya Edo melambai dari seberang ruangan.
Tania permisi pada tamu yang tengah ditemani-nya dan bergegas menghampiri Edo yang berdiri bersama Dokter Sigit, istrinya, serta seorang anak perempuan manis yang berumur kira-kira tiga tahun. Mereka bersalaman. Laila kecil langsung memikat hati Tania. Dia tidak tahu keluarga tersebut memiliki anak semanis itu, sebab Dokter Sigit tidak tinggal dalam kompleks rumah sakit.
Setelah berbincang-bincang sebentar, Tania minta diri karena Bibi memanggilnya. Ternyata Pak Guru Saimin dan istrinya datang. Betapa senangnya hati Tania. Dia mengira mereka tidak dapat hadir, sebab rumah mereka jauh.
Tania tidak lama berada di samping Pak Saimin. Pak Razak segera menggamitnya ke tempat yang sepi untuk membicarakan pendirian yayasan sekolah yang belum diberi nama itu. "Saya ingin memakai nama ayah saya. Pak. Boleh, kan""
Pengacara itu kelihatan puas dan senang. "Tentu saja boleh. Dan bagus!"
"Maaf, dapatkah kita bicara sebentar""
Tania menoleh, masih dengan senyum terkem-bang dan gelas di tangan. Pak Razak buru-buru permisi dan berlalu. Arman kelihatan sangat gelisah.. Sekarang semuanya sudah terlambat bagimu, pikir Tania sinis tapi juga gembira.
Dia menggeleng. "Apa enggak kaulihat aku sedang sibuk"" ujarnya tanpa keramahan sedikit pun.
Dia mengira Arman akan tersinggung dan marah-marah. Namun aneh sekali dia tidak bergerak di tempat, air mukanya pun tak berubah seakan tak punya perasaan lagi. Apa dia termasuk golongan manusia berkulit badak" Huh, kok aku mendadak jadi sinis begini!
"Aku perlu bicara denganmu sebelum terlambat!" desaknya.
Tania tersenyum geli dan mendecak, "Cch... cch... sekarang semuanya sudah terlambat bagimu, Man! Uangku enggak bakal jatuh ke kantongmu! Sudahlah, urus saja istrimu dan pacarmu itu!"
Tania melambai dan melangkah pergi. Masih sempat dilihatnya wajah laki-laki itu berubah geram dan penasaran.
Ketika pesta telah usai dan Arman hendak pamitan, tiba-tiba dia menunduk ke muka, mengecup pipi Tania sekilas seraya berbisik, "Temui aku besok!"
Karena diawasi Edo dan Bibi, Tania tidak dapat menolak tanpa mengeluarkan kata-kata. Jadi dia mengangguk saja dengan pelan. Sudah tentu dia tidak bermaksud memenuhi permintaan itu dan segera melupakannya saat itu juga.
Ketika semua orang sudah pulang, dilihatnya Pak Guru masih ada di tempat bersama Pak Razak.
"Bagaimana, Pak"" tanyanya antusias.
"Syukurlah semua bisa berjalan lancar," sahut Pak Razak tersenyum.
"Urusan apa ini"" Edo ikut nimbrung dari belakang.
"Pembentukan yayasan, Ed," sahut Tania.
"Yayasan"" Kening Edo berkerut sejenak, tapi segera juga dia tersenyum lagi. "Ah. saya ingat! Anda sekalian ingin membentuk yayasan untuk pengelolaan sekolah, bukan""
"Betul. Kami memerlukan tanda tangan Tania dan yang lain-lain."
"Ah, Pak Razak," ujar Dokter Sabara tertawa manis. "Kalau bisa, jangan merepotkan istri saya, anu... sekarang masih berstatus tunangan tapi dalam hukum sudah jadi istri! Tugasnya sebagai nyonya direktur pasti akan cukup berat. Bagaimana kalau saya ambil alih saja tugasnya" Selanjutnya Anda sekalian berhubungan langsung dengan saya. Kau setuju kan, manisku"" Dia menoleh dan memandang Tania dengan mesra. Yang dipandang membalas tatapan perjaka tampan itu dengan perasaan bangga. Betapa lain kualitasnya dengan Arman. pikirnya. Edo bukan cuma setuju, tapi juga
dengan penuh gairah mau melaksanakan tugasku! Sedangkan Arman! Huh! Yang diingatnya cuma bagiannya yang mungkin hilang kalau aku mati!
"Tentu saja, Ed. Terserah kebijaksanaanmu!"
"Nah, Pak Razak dengar sendiri! Tania tidak keberatan. Lagi pula," dia terkekeh, "saya tentunya takkan mencuri uang istri sendiri!"
Ha... ha... ha... semuanya terbahak-bahak.
Bab 13 DUA bulan kemudian Arman diresmikan sebagai ahli waris. Ketika Tania mengucapkan selamat di sebuah gang Poliklinik, dia sudah lupa janjinya untuk menemuinya dulu.
"Tania. aku ingin mengatakan sesuatu mengenai tunanganmu."
"Aku enggak mau mendengarnya," tolaknya sedikit jengkel.
"Tapi ini penting! Kau harus tahu!" desak Arman, lalu mendadak dicekalnya pergelangan tangan gadis itu kuat-kuat sampai dia meringis kesakitan.
"Lepaskan! Sakit!"
Arman tidak mau melepas atau mengendurkan cengkeramannya. Tahu-tahu tanpa disadari oleh Tania, tangannya sudah terayun dan mendarat tepat di atas pipi kiri Arman. Pada saat itulah muncul Dokter Sigit dari sebuah kamar di samping lorong. Dilihatnya kedua orang itu masih berkutatan.
"Arman!" tegurnya dengan marah. "Aku sangat heran melihat tingkahmu! Lepaskan saudaramu itu!"
Tanpa berkata sepatah pun, Arman melepaskannya. Sambil menggosok-gosok pergelangannya yang pedih, Tania berjalan cepat ke kamar kerjanya. Para karyawan yang mendengar teriakannya sempat menjulurkan kepala di lubang pintu masing-masing.
"Ada apa"" tanya mereka ingin tahu.
"Ah, cuma Arman bikin lelucon!" sahut Tania meringis tanpa penjelasan lebih jauh.
"Hm," komentar seseorang. "Masak mau dia ganggu tunangan direkturnya sendiri"! Cis! Sudah pacaran sama Suster Wita, apa masih belum cukup" Aku dengar, setiap akhir pekan kalau kebetulan enggak dinas malam, dia pasti apel ke sana!"
Tania meloloskan diri tanpa komentar apa-apa. Tapi Dokter Sigit rupanya telah melaporkan insiden itu kepada Dokter Sabara. Ketika Tania tiba di rumah, belum lima menit dia duduk membuka sepatu, telepon sudah berdering.
"Halo...." Ternyata dari Edo yang menanyakan mengenai insiden pagi itu. Rupanya dia segan bicara langsung selama jam dinas, kawatir ada yang nguping.
"Tahu deh, apa maunya," ujar Tania berdusta tanpa mengatakan terus terang apa yang diucapkan Arman. "Tapi aku sungguh enggak kenapa-kenapa, cuma pedih sedikit lenganku."
"Untunglah. Selanjurnya aku minta supaya kau menjauhi orang itu. Kalau perlu, berhenti saja dari tugasmu. Bukankah proyek sekolahmu sudah hampir rampung" Nah, mereka pasti perlu juga tenagamu di sana."
"Wow, Ed! Bukan main senangnya aku kalau bisa segera keluar dari lingkungan rumkit ini. Bosan aku duduk terus di belakang meja. Apalagi punya musuh seperti Arman!"
"Ambillah cuti besok," usul Edo dengan nada ramah kebapakan. "Pergilah tinjau proyekmu."
Esoknya Tania sengaja pergi pagi-pagi supaya dapat tinggal lebih lamaan di tempat pembangunan. Selain itu bila ada peralatan yang harus dibeli, dia ingin bisa mengajak Pak Saimin pergi belanja. Barangkali mereka malah harus ke luar kota. Karena itu perlu banyak waktu.
Ketika Tania tiba, Pak Saimin sudah ada di tempat, lengah berunding dengan Pak Mandor sambil menunjuk ke sana kemari.
"Ah, Ibu Dokter!" sambutnya. Itu adalah panggilannya sejak dia bertunangan.
Tania menyalami kedua orang itu. Tak lama kemudian Pak Mandor meninggalkan mereka uniuk mengatur anak buahnya sekalian menyampaikan saran-saran Pak Saimin.
"Ada kabar apa. Pak"" tanya Tania ketika melihat air muka Pak Saimin sedikit muram.
"Begini, Bu Dokter," katanya sambil melipat-lipat tangannya seperti orang yang salah tingkah. "Tapi lebih dulu saya mohon maaf sekiranya tidak berkenan pada Bu Dokter."
"Ada apa sih. Pak" Tentu saja saya enggak akan marah!" janji Tania menenangkan.
"Begini, anu... pendirian yayasan kita... anu... rupanya sedikit macet...!"
"Di mana" Kenapa""
"Tahu, ya. Saya sudah dua kali nelepon Pak Razak. Kata beliau, belum bisa diurus. Padahal tahun pelajaran baru yang tinggal tiga bulan lagi ini, mau saya gunakan untuk membuka sekolah. Biar belum rampung semua, tak apa. Pak Bahari, mandor kita, menyan
ggupkan diri untuk menyelesaikan paling sedikit tiga kelas. Tapi untuk itu diperlukan perlengkapan dan gaji untuk guru-guru. Kalau saya sih masih bisa menunggu, tapi rekan-rekan yang datang dari tempat lain tentunya perlu ongkos, bukan""
"Hm! Apakah Pak Razak begitu repot"" gumam Tania mengerutkan kening.
"Mungkin. Karena itu saya memberanikan diri menghubungi langsung Pak Dokter. Tapi..." Pak Saimin tidak melanjutkan kata-katanya.
"Ya..."" "Beliau juga rupanya sangat sibuk. Malah kedengarannya di telepon agak... agak... anu... jengkel, begitu. Barangkali beliau sedang sibuk-sibuknya ketika saya ganggu! Jadi saya minta tolong Ibu Dokter untuk..." Pak Guru ketawa pelan, malu, seakan kehilangan akal.
Tania mengangguk penuh pengertian. "Saya akan coba menghubungi Pak Razak," janjinya. "Gimana kalau kita sekarang pergi belanja perlengkapan kelas" Tentu saja semua buku harus kita pesan dulu. Sebaiknya langsung dari penerbit. Tapi kapur, mistar, dan lain-lain dapat kita beli sekarang, bukan" Apa semuanya ada di Sukadamai""
"Ah, lebih baik kita ke Sukabumi saja, Bu. Disana ada grosir yang memberi korting cukup besar. Dua puluh lima persen. Lagi pula barang-barangnya lebih lengkap."
"Begitu juga boleh. Bisa kita berangkat sekarang""
"Saya mesti bikin daftar dulu. Lima menit saja."
Tania mengangguk dan berjalan ke luar, memperhatikan pemandangan di sekitar situ. Dia tersenyum gembira melihat alam permai mengelilingi sekolah yang tengah dibangun. Anak-anak pasti tumbuh lebih sehat jasmani dan rohani, pikirnya, di tengah alam damai dan indah seperti ini.
Pak Saimin muncul lima menit kemudian membawa sehelai kertas yang diserahkannya pada Tania. Dibacanya sekilas, lalu mengangguk.
Mereka tidak mendapat kesulitan dengan pemilik toko yang sudah dikenal oleh Pak Saimin. Mereka belanja dengan kredit, sebab Tania tidak membawa uang sebanyak yang diperlukan. Akan tetapi karena barang belanjaan yang jumlahnya banyak itu akan diantar, jadi disetujui bahwa sisa pembayaran akan dilunasi di rumah.
Selesai berbelanja, Tania mengajak Pak Saimin makan siang di sebuah restoran yang menyediakan ikan panggang, lalap, serta sayur asam yang lezat.
Ketika mereka tiba kembali di sekolah, hari sudah menjelang petang. Tania langsung pulang. Bibi ternyata masih dinas. Karena tidak sabar lagi, tanpa menunggu beliau, Tania ngebel Pak Razak di Jakarta.
"Pak, ada keluhan mengenai pembentukan yayasan. Kenapa macet. Pak"" tanyanya setelah memberi salam pembukaan. Didengarnya laki-laki itu menghela napas.
"Ini berhubung dengan anggaran yang tersedia, Tania. Kau- telah menetapkan modal yayasan itu berjumlah dua ratus juta rupiah, bukan" Nah, Dokter Sabara ingin menguranginya menjadi tujuh puluh lima saja. Dia mengajukan perhitungan, dengan bunga setiap bulan, dengan dividen dari saham-saham, jumlah itu memang cukup. Tapi Pak Saimin yang telah kauangkat menjadi salah seorang anggota yayasan, ternyata tidak dapat menyetujuinya. Dia tetap bertahan pada jumlah pertama. Alasannya, itu bukan untuk kepentingan pribadi. Hasil modal itu, kalau berlebih, ingin dimanfaatkannya untuk memperluas sekolah kelak. Rupanya dia berambisi untuk nanti mendirikan SMP dan SMA. Malah juga beberapa sekolah pertukangan yang akan memerlukan mesin-mesin dan peralatan lain yang tidak sedikit biayanya. Nah, Pak Saimin berharap akan memperolehnya dari yayasan."
"Apa Edo tetap menolak setelah mendengar alasan Pak Saimin""
"Ya." "Kenapa"" "Kurang jelas. Dia menyebutkan, di sekitar sini masih banyak petani yang memerlukan tenaga anak-anak mereka di sawah serta ladang. Katanya, pasti banyak orangtua yang tidak setuju bila anak mereka terlalu lama bersekolah. Di samping itu, di kota-kota berdekatan sudah terdapat cukup banyak SMP dan SMA, juga STM. Dokter Sabara rupanya sudah mengadakan pengamalan dan menyebutkan jumlahnya. Dia bilang, yang wajib kan hanya Sekolah Dasar. Kalau sudah tamat SD tidak mutlak wajib meneruskan ke SMP."
"Oh, begitu." Tania menghela napas. "Kenapa Edo enggak bilang-bilang sama saya""
"Entahlah. Barangkali dia tidak mau membuatmu pusing. Bukankah dia sud
ah mengambil alih tugasmu supaya kau lebih santai""
"Betul. Tapi... hm... seandainya hanya tujuh puluh lima juta yang dimasukkannya ke dalam yayasan, lalu akan dikemanakan sisanya""
"Dia tidak bilang padaku. Mungkin akan dikembalikannya ke dalam rekeningmu."
"Tapi untuk itu, dia kan harus membicarakannya juga dengan saya""
Hampir saja ditambahkannya: bagaimanapun, itu uang saya, bukan"! Untung dia masih sempat menahan lidahnya. Ini adalah rasa tidak senangnya yang pertama terhadap Edo. Dan dia tidak ingin ada orang luar yang tahu.
"Jadi bagaimana penyelesaiannya. Pak""
"Sebaiknya kaubicarakan saja hal ini dengan tunanganmu. Bila dia berkeras mau mengurangi modal yayasan itu. carilah jumlah yang juga dapat disetujui oleh Pak Guru. Misalnya, seratus tujuh puluh lima atau seratus lima puluh."
"Bagaimana dengan Bibi Karla dan kedua anggota yayasan yang lain""
"Pak Bupati jelas berpihak pada Pak Saimin.
Begitu juga Kepala Kanwil P&K setempat. Bibimu belum menentukan sikap."
"Baiklah, Pak. Saya akan membicarakan ini dengan Bibi dan Edo. Bapak akan saya kabari lagi atau salah seorang dari kami akan menelepon kembali."
"Oke. Titip salam buat Bibi. ya."
"Ya." Tania ketawa manis.
Hei, betulkah pengakuan Bibi bahwa Pak Razak dulu pernah naksir dirinya" Sekarang pak tua ini sudah menduda. Bila dia masih mencintai Bibi, kenapa tidak diusahakan agar keduanya dapat bersatu" Hidup sendirian, betapa sunyinya kalau sudah tua!
Baiklah, aku akan coba mengetuk hati Bibi. Sejak dia menjadi tunangan direktur rumah sakit sesuai dengan cita-cita Bibi. perempuan setengah tua itu jelas menjadi sayang padanya.
Ketika Bibi pulang sore itu, Tania sudah menunggu di tempat minum teh, di beranda belakang. Bibi biasanya minum teh sebelum berganti pakaian.
"Kue apa ini, Tania"" tanyanya melihat kue di atas piring.
"Dadar pisang, Bi," sahut Tania bangga.
Tania sekarang sering ke dapur. Sewaktu ayahnya masih hidup, dia tidak diperkenankan mengotori tangannya. Lagi pula memang tidak perlu. Ayahnya sudah menyediakan juru masak serta pembantu-pembantu yang lebih dari cukup jumlahnya. Tapi akibat kasih sayang yang salah ini, Tania tidak dapat memasak. Karena itu Bibi menyuruhnya belajar.
Tania sebenarnya bukan pemalas. Dia ternyata gemar kerja di dapur, belajar dari Ani dan Lia yang pintar masak. Tiap Sabtu, kalau ada di rumah, dia pasti memasak atau mencoba resep-resep baru. Saat ini keahliannya masih sedikit, karena itu setiap kali dia berhasil menghidangkan sesuatu, wajahnya berseri bangga.
Dengan cemas dinantikannya reaksi Bibi. Dia tahu kalau rasanya enak, pasti Bibi akan memuji. Sebaliknya kalau kurang apa-apa, Bibi takkan segan bilang terus terang. Bibi tidak pernah menghadiahkan pujian kosong pada seseorang.
Tania memperhatikan Bibi mengunyah dan menikmati hidangannya Matanya langsung berbinar ketika Bibi berdecak, "Hm. Enak sekali. Gurih. Kau tidak membubuhkan bumbu penyedap, bukan"" Nadanya seperti orang curiga, tapi Tania tahu itu cuma guyon. Bibi pernah sekali memergokinya menaburkan bumbu masak ke dalam adonan buah advokat.
"Ha... ha... tentu saja enggak, Bi. Saya pakai santan kelapa yang tua sekali sebagai ganti susu "
"Kenapa" Apa susu di lemari sudah habis""
"Bukan, tapi saya lebih suka pakai santan. Lebih gurih rasanya."
"Hm. Memang enak!" Dicomotnya sepotong lagi.
Alamat baik, pikir Tania bersukacita. Dia juga ikut melahap sepotong. Menurut dia sendiri, terlalu manis. Namun barangkali kebetulan cocok dengan selera Bibi.
"Bi, apa kabar terakhir mengenai yayasan kita"" tanyanya ketika bibinya selesai menghirup teh.
Cangkir diletakkan dengan hati-hati sebelum Bibi Karla menjawab, "Edo tidak ingin aku membicarakan hal ini dengan siapa juga."
"Jadi saya enggak boleh tahu"" tanyanya penasaran. "Kenapa" Bukankah itu..."
Hampir saja dia terpeleset mengatakan uang saya. Bibi rupanya paham, sebab dia mengangguk. "Bibi juga sudah bilang, kau pantas dikasi tahu. Itu kan uangmu. Memang maksudnya baik. Dia tidak mau kau pusing-pusing. Tapi sedikitnya, kau juga boleh tahu perkembangannya. Taruhlah, sebagai anggota kehormatan,
bukan"" "Apa sih yang terjadi"" desaknya seakan belum tahu apa-apa.
Bibi menghela napas. "Dia tidak dapat terlalu disalahkan. Itu bukan untuk kepentingan pribadinya. Dia butuh biaya untuk risetnya."
"Jadi"" tanyanya menahan napas.
"Dia ingin mengurangi dana modal untuk yayasan. Cuma tujuh puluh lima juta yang bersedia diserahkannya bagi yayasan. Sisa yang seratus dua puluh lima lagi mau disumbangkannya pada yayasan rumah sakit bagian riset!"
"Begitu"!"
Tania termenung menatap kebun sayur Bibi yang subur dan indah dipandang mata. Jadi Edo perlu uang untuk riset. Kenapa enggak dikatakannya terus terang padaku" Bukankah aku dapat membantunya" Atau mencari jalan keluar yang baik"
"Aku akan membicarakannya dengan Edo!" katanya memutuskan.
"Sebaiknya memang begitu. Tapi harus kaukatakan, kau sendiri yang bertanya. Bukan aku yang lancang memberitahu."
"Wah, Bibi kok takut padanya""
"Dia direktur, Tania. Seorang direktur tidak akan segan-segan memarahi bawahannya. Kalau perlu, bahkan memecatnya!"
"Begitu"!"
Dia tidak dapat membayangkan bagaimana wajah Edo kalau marah.
Bab 14 EDO SABARA ternyata sama sekali tidak marah ketika Tania menanyakan soal itu padanya.
"Sebenarnya memang ingin kubicarakan hal ini denganmu, tapi lupa terus. Bagus juga kau menanyakannya sekarang. Tania, barangkali aku kurang mengerti seluk-beluk urusan sekolah. Tapi sudah kuperhitungkan semua ongkos yang diperlukan. Ingatlah, uang tujuh puluh lima juta itu baru berupa modal dasar. Setiap tahun pasti akan bertambah dari bunga, saham, sumbangan dermawan, dan lain-lain."
"Ed," potong Tania dengan sabar, "katakan saja terus terang kau perlu biaya untuk risetmu! Kenapa enggak mau kaukatakan padaku" Aku pasti bersedia menolongmu."
Merah wajah direktur itu ditegur langsung begitu. Sejenak dia tampak canggung, sehingga kehilangan kata-kata.
"Ed, jangan tersinggung. Aku bicara dengan tulus. Bila kau perlu dana, aku akan menyumbang seratus juta. Atau seratus lima puluh" Bagiku uang enggak begitu penting. Bukankah kau sudah berjanji akan mencukupi hidupku dengan penghasilanmu" Jadi kita biarkan saja modal yayasan yang dua ratus itu, untukmu..."
"Tania, kau tidak menyadari apa yang kaukatakan saat ini! Kau tidak berhak menghambur-hamburkan uangmu seperti itu! Bila kelak kau punya anak, dia harus memperoleh semua warisanmu! Dia tidak boleh menjadi miskin. Dua ratus ke sana, seratus ke sini, lalu berapa yang tersisa untukmu""
"Oh, Edo!" serunya terharu. "Kau rupanya terlalu memikirkan diriku. Aku enggak bakal jatuh miskin. Dengan menjual rumah di Kemang atau di Pulo Mas atau Kelapa Gading, aku dapat mengumpulkan dua-tiga ratus juta!"
"Kau juga... mempunyai... rumah-rumah lain"" Edo Sabara tampak sulit menelan info yang menakjubkan itu.
"Ya." Tania mengangguk. "Aku memang belum pernah membicarakan soal warisanku denganmu. Sebab aku pikir juga enggak perlu. Toh semuanya milik kita bersama. Selain itu mungkin enggak menarik bagimu, ngurusin tetek bengek duit. Kau sudah begitu sibuk sehari-harinya.
"Nah, ayahku membagi uangnya sama rata antara Arman dan aku. Tapi beberapa rumah, kalau enggak salah ada enam plus sebuah vila di Puncak, semuanya diserahkan padaku dengan catatan supaya aku dapat menggunakannya sebaik-baiknya. Itu semua warisan dari ibuku. Ibuku anak tunggal, kakekku rupanya mahajutawan...." Tania tersenyum geli melihat Edo semakin kebingungan, cuma melongo saja.
"Ayah juga berpesan supaya aku enggak tamak, suka menolong sesama, memperhatikan penderitaan orang lain. Jadi aku rasa, membantu risetmu termasuk dalam pesan itu, bukan""
Tania menatapnya dengan mata bercahaya. Edo tampaknya tidak tahu harus tertawa atau meringis. Dia tidak pernah menyadari bahwa dirinya telah memetik sebuah tambang emas yang tak terkira nilainya.
"Uh, mendadak aku jadi ngeri. Betulkah nasib sebaik itu bisa menjadi milikku" Mungkinkah ini bukan hanya mimpi"" gumamnya seakan pada diri sendiri.
Sekonyong-konyong sebuah kecupan mendarat di pipinya disertai bisikan halus yang menyadarkan dokter itu, dia bukan sedang bermimpi.
"Kalau kau setuju, aku akan se
gera bicara dengan Bibi dan Pak Razak mengenai yayasan sekolah tersebut. Selain itu, aku akan beri instruksi supaya salah sebuah rumah dijual untuk dana risetmu. Oke""
Jawaban Edo hanyalah sebuah kecup hangat yang mesra.
Dengan hati lapang, Tania menemui bibinya. Di luar dugaan, ternyata dia kurang setuju dengan rencananya. "Kau terlalu ceroboh dengan milikmu!" kecamnya. "Apa yang ingin kaulakukan bukanlah kedermawanan yang agung, melainkan kegilaan yang membabi buta! Orang boleh saja menyumbang ratusan juta, asal penghasilannya tidak berkurang. Misalnya, bila dia memiliki pabrik yang berjalan lancar. Tapi penghasilanmu tidak ada, Tania. Kau semata-mata cuma mengandalkan apa yang ditinggalkan ayahmu. Bila uang itu kauhabiskan dalam waktu singkat, kau akan jadi pengemis!"
"Ah, Bibi terlalu kawatir enggak keruan. Saya kan punya suami, yah, sekarang masih tunangan. Penghasilan Edo kan cukup"!"
"Bah, pikiranmu terlalu naif! Kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok lusa. Kalau suamimu kenapa-kenapa-bukan Bibi menyumpahi-dan kau sudah tak punya uang, mau ngemis ke mana""
"Saya sangka Bibi menyukai Edo dan menuruti segala permintaannya," tukasnya, heran.
"Tentu saja aku menyukainya. Kalau tidak, masakan aku izinkan kau bertunangan dengannya. Tapi kita harus selalu berpegang pada kenyataan. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Siapa tahu dia kelak tergoda oleh seorang pasien dan... kau jangan menggigil. Dokter Sabara sangat menarik hati pasien-pasiennya. Selama ini entah sudah berapa orang wanita yang dikecewakannya karena ditolaknya cinta mereka!"
"Oh, ya"!" bisiknya sedikit terkejut. "Lalu kenapa Bibi membiarkan dia berhubungan dengan saya" Siapa tahu dia sebenarnya enggak mencintai saya, lapi cuma terlarik pada uang warisan""
Bibi tersenyum, meraihnya ke dalam pelukan. "Lupakah kau, kalian bertunangan ini semata-mata untuk melindungi dirimu dari ancaman Arman" Begitu kan kata Edo" Dia bukan memaksa kau harus jadi istrinya. Dia cuma ingin menghindarkan bahaya dari sampingmu. Itu merupakan tanda cintanya yang tulus. Dia mengatakan padaku, kelak kau boleh bebas memilih begitu bahaya sudah lewat. Bila kau tidak mau menjadi istrinya, kau boleh bercerai. Tapi Bibi rasa, kau mau, bukan""
Tania tersenyum. Tentu saja dia mau. Kalau tidak, masakan dia sudi bertunangan. Dia bukanlah orang yang gampang ditakut-takuti!
"Betulkah Arman ingin mencelakakan saya, Bi" Walaupun sinis, terkadang saya merasa hatinya sebenarnya baik."
"Ah." Bibi menghela napas. "Sebenarnya Bibi yakin dia tidak bermuksud jahat terhadapmu. Tapi saran Dokter Sabara agar kau bertunangan dengannya, tidaklah jelek."
Tania terdiam. Begitu banyak pertanyaan yang tidak dapat dijawab. Bibi kelihatan sayang pada Arman, tapi terhadap Edo, tidak kurang pula rasa kagum serta hormatnya. Benarkah Bibi sudah tahu, dia sebenarnya tidak dalam bahaya" Kalau begitu, berarti pertunangannya semata-mata hanya untuk memuaskan keinginan Bibi bermenantukan Edo Sabara yang aduhai!
"Kau tidak perlu kawatir, Tania. Bila kauteruskan hubungan ini, Dokter Sabara pasti akan menjadi suami yang baik. Selama ini belum pernah aku dengar dia terlibat skandal apa juga."
"Tapi kalau dia terus-menerus diincar oleh banyak wanita cantik, payah juga dia bertahan."
"Tergantung sikapmu! Bila kau pandai-pandai membawa diri, selalu tampak menarik dan tidak suka merengek, tentunya dia akan betah di sisimu. Ingatlah, Dokter Sabara tidak mempunyai waktu banyak untuk wanita. Itu suatu keuntungan bagimu. Dia lebih mencintai risetnya dan... kau!"
"Tapi bagaimana dengan dana risetnya"" tanyanya bingung. Bibi mengajari supaya dia pandai-pandai mengambil hati Edo. Bukankah itu berarti dia harus menyokong risetnya itu"!
"Sabarlah. Nanti Bibi tanyakan pendapat Pak Razak. Atau... kenapa tidak kautelepon dia" Sekarang sudah jam...," Bibi melihat arlojinya, "...tujuh. Dia pasti sudah ada di rumah. Mungkin baru mau makan. Lekaslah telepon. Kalau tidak, kau harus tunggu sampai dia selesai makan sejam lagi."
Tania bergegas bangkit dan lari ke dalam. Hampir tabrakan dia dengan Lia yang tengah membawa piring-
sendok untuk santap malam.
"Halo, Pak Razak. Di sini Tania. Ada waktu. Pak" Kalau mengganggu, saya dapat telepon sebentar lagi," ujarnya terengah saking tegang.
"Oh, tidak usah. Aku ada waktu untukmu," sahut Pak Razak ramah.
Ah. seandainya aku dapat menjodohkannya dengan Bibi! Bukankah dulu dia pernah menaksirnya"
"Pak, ada perkembangan baru mengenai yayasan. Saya sudah membicarakannya dengan Edo dan Bibi. Saya usulkan agar dana yayasan tidak dikurangi, tapi untuk riset rumah sakit saya bersedia menyumbang... anu... bukankah rumah di Kemang pernah ditawar orang, Pak" Apakah orang itu masih berminat" Dan yang di Pulo Mas" Atau di Kuningan" Atau di..."
Pak Razak memotong kata-katanya dengan batuk-batuk kecil. Tania berhenti, menunggu reaksinya. Bila Pak Razak juga tidak setuju... Benar saja. Dia ingin tahu dulu bagaimana pendapat Bibi.
"Anu... Bibi enggak menentang, tapi... juga... enggak menganjurkan. Terserah saya," katanya setengah berdusta. Tidak betul terserah dia. Bibi jelas-jelas menentang!
Dibakar Malu Dan Rindu Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berapa yang ingin kausumbangkan untuk riset""
"Mmm, berapa ya. Seratus, Pak" Seratus lima puluh" Bukankah rumah di Kemang itu bisa laku seratus enam puluh"(harga ini sebelum tahun 1980) Biarlah kita turunkan saja, sebab perlu tunai."
Batuk-batuk di seberang sana makin keras. Tania tidak tahu bahwa nafsu makan Pak Razak sudah hilang separuh. Anak ini tidak tahu apa artinya bangkrut, pikir pengacara itu.
"Aku akan mencoba mempelajari usulmu itu, Tania. Aku akan beritahu lagi, tapi ini makan waktu, lho. Tidak mudah mendapatkan pembeli rumah mewah. Uang tunai sedang sulit sekarang."
"Berapa lama. Pak"" tanyanya gembira, mengira Pak Razak sudah setuju dengannya, namun kurang sabaran.
"Anu, ehem... ehem... aku akan merundingkannya dulu dengan Bibi. Dia masih menjadi walimu selama engkau belum menikah. Kan sekarang baru bertunangan saja, toh" Nah. bila semua beres, aku perlu waktu kira-kira tiga bulan. Kurasa, Dokter Sabara akan dapat menunggu....."
Huh! Bibi! Jelas akan timbul rintangan di situ! Dan Pak Razak sendiri tidak kedengaran antusias! Dengan lesu diucapkannya terima kasih dan diletakkannya pesawat.
"Apa katanya"" tanya Bibi di meja makan.
"Dia akan membicarakannya dengan Bibi."
Berseri wajah perempuan itu. Dia senang dimintai pendapat oleh Pak Razak, pikir Tania Ah, kenapa mereka enggak menikah saja" Sekarang juga belum terlambat, bukan" Cinta enggak pernah datang terlambat atau terlalu pagi.
"Bi, Pak Razak kelihatannya sangat menyukai Bibi. Kenapa Bibi enggak mau lebih ramah padanya" Anu, maksud saya, sama-sama kesepian, kenapa enggak mau saling mendekati""
"Husss!" tegur Bibi dengan pipi merah.
Bab 15 pak razak dan Bibi Karla rupanya sepakat untuk meluluskan permintaan Tania. Sebuah rumah akan dijual untuk membiayai riset calon suaminya. "Tapi tidak lebih dari seratus lima puluh juta," kata Pak Razak. "Minimum seratus."
Sudah hampir dua bulan lewat, tapi rumah itu belum juga kelihatan ada peminatnya. Mungkinkah terlalu mewah"
Tapi untunglah uang untuk yayasan dapat dicairkan. Dan bila semua berjalan lancar, dalam tiga bulan akan beres. Sekarang masih masa liburan. Pak Saimin berharap sekolah itu dapat diresmikan pada tahun pelajaran yang baru. Dan Tania akan mengajar di kelas satu. Betapa senang hatinya. Dia takkan bertemu lagi dengan Arman.
Heran! Setelah diangkat menjadi ahli waris sah, orang itu belum juga mau berlalu. Masa bodohlah, bukan urusanku, pikir Tania sambil menyisir rambutnya pagi itu.
Udara agak mendung, tapi dia tidak ingin membatalkan janji untuk berenang di Vila Delta Venus bersama Edo. Justru karena bersama Edo itulah!
Selama seminggu ini mereka jarang sekali berduaan, sebab Edo terlalu sibuk. Pada hari Sabtu pun dia harus dinas. Untung Tania dapat menghabiskan waktunya setiap Sabtu di proyeknya.
"Kerja dokter tidak mengenal waktu," kata Edo suatu kali.
Itu juga yang dikatakannya ketika Ibu Melita menegur, kenapa dia jarang datang. Katarina tampak sangat manja pada Dokter Sabara yang dipanggilnya Papi. Sudah tentu itu cuma sekedar main-main.
"Kebiasaan sejak kecil," I
bu Melita menjelaskan. Tania tersenyum walaupun dia kurang mengerti kenapa seorang pasien cilik dibiarkan memanggil dokternya: Papi.
"Apa ayahnya enggak pernah datang"" tanya Tania, tapi nyonya rumah agaknya terlalu sibuk dengan pikiran lain dan tidak menjawab.
Seperti biasa kunjungan ke vila selalu mengasyikkan. Walaupun Edo menyibukkan diri dengan si cilik Katarina, Tania tidak berkecil hati. Dia berenang sendirian. Ibu Melita masih asyik di dapur menyiapkan makan siang yang pasti nikmat seperti biasanya.
Untunglah langit hanya mendung-mendung saja, tidak sampai turun hujan. Airnya agak dingin sebenarnya, namun dengan bergerak hilir-mudik sepanjang kolam akhirnya badan Tania terasa hangat juga.
"Belum lapar"" tanya nyonya rumah dari pinggir kolam.
"Ah, sudah boleh makan"" tanya Tania ketawa cerah.
"Tentu saja!" "Rina, ajak Papi makan." seru wanita itu menjawil anaknya yang telah muncul di sampingnya, sambil berlalu meninggalkan kolam, kembali lagi ke dalam. Katarina bisa mengerti perintah ibunya, mungkin karena suaranya diperkeras atau karena dia membaca gerak bibirnya. Tania berdebar juga mendengar nada seruan itu, seolah Edo memang ayah Katarina.
Mereka makan di teras, dekat kolam. Udara yang sejuk mengusir lalat, sehingga mereka dapat makan udang dan kepiting dengan tenang.
"Dari mana kepiting ini"" tanya Tania sedikit heran.
"Ah, jangan menanyakan rahasia dapur seorang wanita!" tegur Edo tertawa.
"Bukan rahasia, kok," Ibu Melita menanggapi dengan senyum manis. "Ada orang yang membawakannya kemarin malam dari Jakarta."
Sebenarnya Tania masih ingin menanyakan resep saus putih yang dihidangkan. Tapi teguran Edo membuatnya segan.
Mereka makan dengan lahap. Walaupun Katarina praktis tidak mendengar percakapan mereka, anak itu sering ikut tersenyum. Terutama pada Edo. Dokter itu juga cukup memanjakannya dengan mengupaskan udang dan mengambilkan daging kepiting.
Selesai makan, mereka melihat video sebentar.
Film anak-anak yang bagus juga menurut Tania, tapi Ibu Melita tidak ikut nonton. Ternyata dia sibuk di dapur, menyiapkan kue untuk minum teh. Terpaksa Tania bangkit untuk membantu, namun ditolak dengan halus. Dia kembali menonton.
Sebenarnya dia ingin pulang untuk beristirahat, sayang Edo tidak kelihatan berniat pamitan. Apalagi udara sudah kembali cerah lagi.
"Kelihatannya kau ngantuk," ujar Edo penuh perhatian. "Tidurlah di kamar tamu."
"Ya, betul," angguk nyonya rumah. "Beristirahatlah. Nanti saya bangunkan kalau teh sudah siap."
Tania mengangguk dan tidak membantah. Dia hanya ingin berbaring sebentar saja, tidak tahunya keterusan lelap dalam tidur yang nyenyak. Ketika dia keluar dari kamar, hari sudah gelap. Lampu-lampu sudah dinyalakan. Di ruang tengah hanya ada Edo berdua dengan nyonya rumah. Katarina tidak kelihatan. Rupanya anak itu masih tidur.
"Wah, maaf, saya ketiduran," kata Tania tersipu.
"Tidak apa-apa," sambut Edo tersenyum. "Aku sengaja tidak membangunkan, tapi jangan takut, kue bagianmu masih ada!" Dia tergelak diikuti oleh Ibu Melita yang menepuk bahunya dengan gulungan koran. Tania semakin tersipu melihat lagak lagu mereka yang cukup intim itu. Maklumlah, Edo sudah menangani Katarina sejak lahir, pikirnya.
Pembantu muncul dengan secangkir teh hangat dan kue sepiring. Tania mencoba seiris. Enak.
Sayang dia tidak tahu namanya dan segan menanyakannya. Siapa tahu itu adalah rahasia dapur nyonya rumah juga yang menurut Edo terlarang dibeberkan.
"Kalau sudah kenyang, mari kita pulang," ajak Edo. "Sebelum Rina bangun."
Ya. mereka selalu berusaha pulang sebelum anak itu terjaga. Mungkin Edo merasa kawatir anak itu akan menangis. Seingat Tania, setiap kali ke sana mereka selalu pulang bila Katarina sudah tidur, atau dia harus diajak pergi dulu ke tempat lain. Anak itu tidak boleh melihat Edo pulang.
Sehabis minum teh, mereka pun permisi. Hari sudah gelap karena mendung. Angin berembus semilir, cukup dingin. Untung Tania membawa sebuah mantel tipis.
"Barangkali Bibi sudah menunggu kita untuk makan malam."
"Kebetulan. Aku segan masak nasi malam ini," Edo menggeleng.
Betul dugaa nnya. Bibi tengah duduk di serambi depan seakan menunggu atau lebih tepat, termenung. Melihat mereka datang, tidak ada senyum tersungging di wajahnya. Tania menghampiri dan mencium pipinya.
"Kenapa, Bi" Sakit""
Bibi menggeleng lesu. Mereka kemudian masuk ke dalam rumah. Meja makan belum disiapkan.
"Boleh saya mandi dulu sebelum makan"" tanya Tania.
"Tentu saja." Di lorong ke belakang dilihatnya Ani tengah mengangkat sebuah baki ke dapur, berisi gelas-gelas kosong.
"Apa tadi ada tamu"" tanyanya.
"Ya. Dua orang sama anak kecil."
Selesai mandi, Tania agak heran juga melihat Edo sudah tidak ada.
"Ke mana dia"" tanyanya pada Bibi. "Barusan bilangnya mau ikut makan!"
"Dia tidak mau," gumam Bibi tanpa semangat.
"Bibi kelihatan lesu," ujarnya sambil menjatuhkan diri ke atas kursi. "Siapa yang datang tadi""
"Arman. Dan... istrinya."
"Oooh!" Karena itu Bibi menjadi lesu" Sebenarnya Tania ingin sekali bertanya, tapi dia tahu Bibi tidak suka diganggu dengan pertanyaan yang tidak enak di meja makan. Ia terpaksa menunggu sampai selesai.
Namun betapa kecewanya dia ketika makan malam sudah berakhir. Ternyata Bibi mau langsung mengundurkan diri ke dalam kamar.
"Aku merasa kurang enak badan. Besok kita bicara lagi. Ada yang perlu kukatakan padamu."
"Mengenai kunjungan tadi sore""
Bibi mengangguk dengan bibir terkatup rapat. Tania sudah tahu sifat bibinya. Kalau dia tidak mau membuka mulut, tak seorang pun dapat memaksanya. Terpaksa dihampirinya Dona untuk melupakan kegundahan hatinya, terutama menekan rasa ingin tahu yang tak terpuaskan.
Pagi-pagi Tania bangun dengan perasaan yang agak aneh. Suasana hening. Biasanya bunyi kelom Bibi sudah kedengaran mondar-mandir sepanjang lorong ke belakang.
Dia bangkit dari ranjang dan melangkah ke luar kamar. Dona mengikuti di belakangnya. Ani dan Lia tengah menyiapkan sarapan.
"Mana Bibi""
"Belum bangun," sahut Ani.
"Sudah hampir setengah tujuh! Apa dia libur"" gumamnya mengerutkan kening.
Dihampirinya kamar Bibi yang menembus ke beranda samping yang menghadap ke hutan. Di sana tak ada pagar pekarangan. Pohon-pohon yang lebat sudah cukup sebagai pelindung penghuni kamar.
Tania mengetuk dua kali. Hening. Ditempelkannya telinganya ke daun pintu. Tidak terdengar apa-apa dari dalam. Keningnya berkerut. Bangun siang bukanlah merupakan kebiasaan Bibi.
Diketuknya sekali lagi. Tetap hening. Diputarnya gerendel. Terkunci. Dia membungkuk untuk mengintai ke dalam. Tapi tempat tidur tidak kelihatan dari situ. Tania tidak sempat lagi berpikir.
Setengah berlari dia pergi ke belakang, mengitari samping rumah menuju ke beranda kamar Bibi. Dona ikut-ikutan berlari di belakangnya, mengira itu suatu permainan jenis baru. Sandal dan gaun tidur Tania yang panjang basah kena embun, namun tidak disadarinya.
Sedikit terengah dia tiba di beranda. Pintunya tidak terkunci, tapi melengkung sedikit seakan Bibi tidak berhasil menguncinya karena macet engselnya. Didorongnya pintu dan... kamar itu agak gelap. Tirainya tertutup semua.
Beberapa detik kemudian matanya mulai terbiasa dalam keremangan. Dilihatnya Bibi masih tidur lelap. Dihampirinya dengan berjinjit agar tidak mengejutkannya.
"Kenapa, Bi" Sakit"" tanyanya berbisik ketika sudah tiba di depan ranjang.
Tangannya terjulur hendak menggoyang lengan Bibi. tapi begitu tersentuh otomatis jarinya mundur kaget. Kenapa" Dia tidak tahu. Terasa aneh. Dingin. Dingin"! Diiingiiin!
Entah dari mana datangnya, firasat buruk menyelinap masuk. Cepat-cepat dibukanya pintu yang menuju ke lorong, lalu dinyatakannya lampu. Ketika dipandangnya Bibi, Tania nyaris menjerit. Bibi terlentang dengan bibir sedikit menganga, separuh lengannya terjulur ke luar pembaringan dan wajahnya pucat pasi. Bibirnya yang keriput itu tampak putih keabu-abuan.
"Aniii! Liaaa!" pekik Tania, kemudian menutupi mulut dengan kedua telapak tangan saking ketakutan. Dona juga tampak terperanjat ketika menciumi lengan yang terjulur itu. Dia langsung mundur dan sembunyi di balik sofa.
Kedua gadis yang diteriaki itu segera muncul tergesa-gesa. "Ada apa, Neng"" seru mereka berbareng.
"Bibi ...." Dia tak sanggup bicara lebih, cuma menunjuk dengan jarinya yang lemas.
"Ya Allah! Ya Gusti!" mereka serentak menjerit kecil.
Ani yang agak pemberani maju menyentuh lengan Bibi. "Dingin," bisiknya menggigil.
Tania memberanikan diri dan maju lagi. Dira-banya dada Bibi. Tenang. Tak ada denyut sekali pun. Lia sementara itu sudah membuka semua tirai, sehingga sinar pagi menembus masuk. Apa yang mereka lihat saat itu tak terbantah lagi. Bibi sudah tiada. Enggak! Enggak mungkin! Enggak mungkin! Tania menolak untuk mempercayai penglihatannya.
"Telepon dokter!" bisik Tania seakan memerintah, tapi seperti robot dia sendiri yang melangkah keluar dan menghampiri pesawat dekat kamar makan.
Untung sekali Edo sudah bangun sepagi itu. "Tenang, tenang, Tania," bujuknya. "Aku akan segera datang! Pasti dia masih bisa ditolong!"
Namun ketika Dokter Sabara datang dan selesai memeriksa Bibi Karla, kepalanya menggeleng sambil menatap Tania dengan sendu. Gadis itu tiba-tiba menjadi histeris. Dia menangis setengah meraung dipeluk oleh Ani dan Lia di kiri kanan.
Dia tidak bisa dibujuk. Kesedihannya luar biasa, seakan itu ibunya sendiri yang terbujur kaku di ranjang, bukan bibi yang semula kurang ramah padanya. Mungkin karena di bawah sadar dia insaf dirinya kini sebatang kara di dunia.
Memang Bibi dulu galak, tapi akhir-akhir ini dia benar-benar sudah memperlihatkan kasih sayangnya padanya. Baru sejenak Tania merasakan kehangatan cinta seorang wanita yang selama ini tidak dikenalnya (sebab ibunya meninggal ketika dia baru dua tahun), kini dia sudah ditinggalkannya lagi.
Edo menelepon ambulans. "Kau ikut aku dengan mobilku," perintahnya pada Tania.
"Aku mau tinggal di rumah saja," tolaknya mengisak.
"Di sana lebih baik, dekat kantorku. Kau akan diawasi dan ditemani oleh seorang perawat. Kau perlu istirahat."
Karena Tania masih juga meraung histeris, Dokter Sabara memberinya sebuah suntikan penenang. Kemudian digendongnya tubuh yang lemah lunglai itu ke dalam mobilnya.
Bab 16 Tania tidak tahu berapa lama dia tertidur. Ketika membuka mata, didapatinya dirinya berada dalam sebuah kamar rumah sakit yang putih, rapi, dan bersih. Di samping tempat tidur terdapat sebuah jambangan berisi bunga-bunga segar beraneka warna. Dia tahu, itu adalah kamar kelas satu untuk pasien-pasien Dokter Sabara yang tergolong kaya.
Dirabanya sekeliling bantal untuk mencari bel, tapi tidak ditemukannya. Bahkan kabel radio pun tak ada. Kamar itu hening sekali.
Dia berusaha bangkit, tapi kepalanya terasa berat sekali, tak mampu digerakkannya badannya. Kemauannya terasa lenyap, tubuhnya lemas, dan dia mengantuk sekali. Apakah yang sudah terjadi"
Dia mencoba berpikir, namun tak berhasil. Otaknya kosong melompong. Samar-samar dia ingat sedikit, telah terjadi sesuatu dengan bibinya. Apa" Bibi kenapa" Di mana Dona" Di mana Ani dan Lia" Di mana Edo" Di mana mereka semua" Di mana aku" Apa yang telah terjadi dengan Bibi"
Karena gorden diturunkan, kamar menjadi gelap dan Tania tidak tahu sudah jam berapa saat itu. Aku harus keluar mencari keterangan, pikirnya. Tapi pikiran itu melayang jauh sekali, berputar-putar tanpa arah.
Dia tetap tidak bergerak. Sebentar-sebentar dirasakannya kelopak matanya hendak menutup kembali sehingga dipaksakannya dirinya untuk melotot terus memandang gelap. Dia tidak boleh tertidur lagi.
Tapi untuk berpikir juga sulit sekali. Matanya tetap ingin mengatup. Dalam keadaan setengah sadar begitu, dirasakannya seseorang menyelinap masuk ke dalam kamar. Siapa" dia ingin bertanya, tapi suaranya tidak keluar.
Dicobanya bertahan melotot. Yang tampak hanyalah seseorang berpakaian putih. Dia tidak dapat mengenali wajahnya. Siapa" tanyanya sekali lagi, tapi suaranya masih belum kedengaran.
"Kau sudah bangun."
Dikenalinya suara itu. Edo! jeritnya tanpa suara. Betapa leganya dia. Edo menyalakan lampu di langit-langit.
Apa yang telah terjadi" Kenapa aku di sini" Sakit apa aku" Di mana Bibi" Kenapa enggak muncul" Kenapa suara Edo enggak hangat seperti biasa"
Ah! Dia ingat samar-samar... Bibi...!
Matanya terbuka lebar. Dilihatnya Edo me
letakkan sebuah kantong kecil di atas meja di samping tempat tidur. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong. Tania mengenalinya. Matanya terbuka lebih lebar lagi.
Suntikan itu! Dia lemas karena suntikan itu! Tidak! Dia tidak mau lagi disuntik. Dia tidak mau lagi dibuat tak berdaya. Dia sebenarnya tidak apa-apa.
Tania berusaha keras menggerakkan lengannya untuk menolak atau mengucapkan beberapa patah kata, menyatakan dia tidak memerlukannya. Tapi usahanya tak berhasil. Tubuhnya lemas sekali, Kemauannya tidak cukup untuk menggerakkan otot mana pun.
Dokter Sabara dengan tenang mengisi alat suntiknya dengan cairan yang dibawanya. Dia menoleh dan tersenyum menatap tunangannya. Senyum itu mirip seringai kemenangan yang sinis dan mendebarkan hati.
"Jangan takut," ujarnya sementara menyiapkan semua itu. "Kau takkan merasa sakit sama sekali. Aku jamin! Dalam sekejap semuanya akan berakhir. Kau tidak perlu gelisah. Seperti Jonas dan Bibi...."
Tania mendengar dan mengerti. Bibi! Ya, Bibi telah... apa katanya barusan" JONAS" JONAS"" JONAS"""! Kenapa dia" Bukankah Jonas kena serangan jantung"!
Medali Wasiat 5 Pendekar Rajawali Sakti 33 Manusia Beracun Suling Emas Dan Naga Siluman 23
Tania mengangguk. Dia mengerti, Pak Saimin mengharapkan komisi dari pabrik tersebut.
"Tapi dua bulan terlalu lama. Terpaksa kita ambil yang hijau saja. Bagaimana pendapat Bapak""
"Saya sih setuju saja, asal jangan putih," angguk Pak Saimin. "Saya sengaja menunggu Mbak untuk merundingkan hal ini." Pak Guru menyebutnya "Mbak" mungkin sebagai penghormatan, sebab jelas usianya jauh di bawah laki-laki itu.
"Ah, enggak usah sebenarnya. Nanti pekerjaan jadi tertunda. Kalau penting sekali, bisa juga Bapak menelepon ke rumah sakit. Apa sudah saya berikan nomor telepon saya""
"Sudah, sudah," ujar Pak Saimin setengah membungkuk, tersipu malu.
Mereka berjalan mengelilingi proyek. Istri Pak Saimin telah menyediakan secerek kopi dan sepiring pisang goreng yang tampaknya lezat sekali. Mereka tahu Tania akan mengontrol ke situ setiap hari Sabtu.
Mereka berdiri agak lama memperhatikan pembuatan WC. Tania menginginkan WC yang betul-betul selalu bersih sepanjang waktu. Jadi harus cukup air yang disalurkan.
"Bagaimana dengan tenaga pengajarnya, Pak" Sudah Bapak peroleh""
"Ya, ini masalahnya. Mereka ingin mendapat kepastian gaji akan berjalan lancar. Mereka ingin tahu dari mana uang gaji itu akan datang. Siapa tahu nanti tertahan-tahan."
"Ah, bukankah sudah saya jelaskan, saya akan membentuk yayasan yang akan mengurus sekolah ini."
"Tapi Pak Razak belum mengatakannya pada saya Kata beliau tempo hari, masih akan diselidiki kemungkinannya. Selama yayasan itu belum berdiri, akan sulit bagi kita menarik guru-guru kemari. Kalau saya sih lain. Mengajar memang sudah merupakan hidup saya. Ibaratnya air untuk ikan. Tidak digaji pun, rasanya saya akan tetap berdiri di depan kelas."
Pak Saimin tersenyum sendu seperti seorang manusia yang sudah tahu jelas jalan hidup yang harus dilaluinya, yang sebenarnya tidak begitu sesuai dengan impiannya.
"Jangan kawatir. Saya akan membicarakan ini dengan Pak Razak. Pokoknya, dia tidak dapat menghalangi maksud saya. Yayasan itu akan didirikan untuk mengenang ayah saya yang berjiwa sosial. Barangkali Bapak pernah bertemu dengan ayah saya""
"Hanya sekali. Ketika Poliklinik Kesejahteraan Ibu dan Anak diresmikan. Beliau yang menggunting pita."
"Ya," ujar gadis itu seakan pada diri sendiri, "seluruh rumah sakit dan gedung-gedung di kompleks itu adalah hasil sumbangannya. Paling enggak, delapan puluh persen!"
"Beliau memang orang besar," angguk Pak Saimin.
"Jadi soal WC sudah beres, ya"" tanyanya mengalihkan pembicaraan. Tania tidak suka berhenti terlalu lama mengenang yang sedih-sedih.
"Ya, beres." "Ada berapa semuanya""
"Tiga untuk anak laki-laki, tiga untuk anak perempuan, tiga untuk guru, dan dua kamar mandi. Selesai berolahraga, apalagi bermain di lapangan, terkadang tubuh anak-anak menjadi kotor. Mereka terjatuh atau sengaja bergulingan di tanah."
Tania tersenyum. Anak-anak memang gemar guling-gulingan, aku juga semasa kecil.
"Ayo, mari kita coba pisang gorengnya," ajak Pak Saimin. "Pisangnya matang di pohon."
"Ya, di pasar kita sulit mendapat buah yang matang di pohon," ujar Bu Saimin yang sejak tadi mengikuti pembicaraan mereka dengan penuh minat tanpa menyela. "Orang memetik muda-muda supaya enggak cepat matang lalu rusak."
Mereka duduk dalam gubuk yang didirikan untuk tempat istirahat para pekerja bangunan. Tapi orang-orang itu kebanyakan lebih suka bergerombol di dekat pohon bambu yang rimbun. Hanya Pak Mandor dan Pak Saimin yang memanfaatkan kursi di situ.
Tania mencicipi pisang goreng ditemani oleh Pak Saimin. Pak Mandor dipanggil juga. Ist
ri Pak Saimin menghilang sebentar lalu muncul lagi dengan setalam ubi rebus.
"Untuk para pekerja," kata Pak Saimin menunjuk talam seraya menyilakan Tania untuk mencoba ubi dari kebunnya sendiri. Ubinya memang manis.
"Alangkah enaknya dibuat kue talam," Tania terceplos ngomong, sebab segera juga Ibu Saimin mengiakan sambil berjanji akan membuatnya pada lain kesempatan. Tania mengingatkan dirinya, jangan suka melontarkan keinginan apa-apa bila ia tidak mau merepotkan suami-istri itu.
Dilihatnya arloji. "Sudah waktunya untuk pamitan," ujarnya tersenyum.
"Makan di sini saja, Neng," undang Ibu Saimin.
"Terima kasih banyak. Bu. Lain kali deh," tolaknya halus.
Langit semakin gelap ketika dia meluncur ke jalan, tapi angin berembus cukup kuat. Semoga enggak hujan!
Di rumah, Bibi Karla tampak tengah bersin-bersin karena selesma. Biasanya Sabtu Bibi masuk kerja, tapi hari itu rupanya dia cuti sakit.
"Hm, harum sekali panggang ikan asin ini," ujar Tania menarik napas dalam-dalam.
"Aku bosan makan daging terus," kata Bibi Karla. "Hari ini biarlah kita makan sayur asam dengan lalap dan panggang ikan."
"Berarti Edo enggak akan diundang"" godanya ketawa.
"Tentu saja makanan direktur lain dengan makanan kita!"
"Kalau makanan istri direktur"" tanyanya iseng.
Bibi menatapnya sejenak, kedua matanya nyaris meloncat keluar karena membelalak. Tiba-tiba dia terbahak-bahak, riang dan segar.
"Kenapa, Bi"" tanyanya dengan wajah kemerahan.
"Ke mana acara kalian nanti malam"" tanya Bibi sambil menghapus air matanya. Aneh sekali. Setiap kali tertawa lebar, Bibi pasti mencucurkan air mata.
"Saya diajak Edo nonton video di tempat Ibu Melita," sahutnya.
Hubungan bibi-keponakan yang selama ini biasa-biasa saja tampak sedikit menghangat. Tentu saja Tania tahu sebabnya. Karena dia sekarang sudah menjalin persahabatan dengan Edo, anak kesayangan Bibi. Dan bila dia berhasil menjerat hati dokter itu, pasti Bibi Karla akan tambah sayang padanya. Atau mulai sayang, seandainya saat ini dia belum.
Tania memutar tubuh di atas kedua tumit sepatunya, lalu berjalan ke dapur untuk mencicipi masakan Ani dan Lia. Di belakangnya terdengar Bibi bersin terus-menerus beberapa kali.
Bab 10 TELEPON berdering ketika Tania tengah berdandan. Bersamaan dengan itu lonceng berdentang sekali. Terdengar pintu diketuk dari luar.
"Jam berapa, Ni"" serunya, sebab itu pasti Ani. Lia sedang di kebun mengurus tanaman sayur-mayur.
"Jam setengah tujuh. Ada telepon, Neng," sahut Ani.
Tania bergegas keluar menghampiri telepon di dekat ruang makan. "Tania," ucapnya sambil meletakkan sikat rambutnya di samping pesawat.
"Tania, ini aku," didengarnya suara Edo yang cemas. "Kau sudah siap""
"Astaga! Belum!"
"Tania, kau berangkat lebih dulu, ya. Aku akan menyusul." "Kenapa""
"Ada pasien gawat. Post operasi. Aku harus menanganinya segera. Kau berangkat saja sendiri. Mobilmu oke""
"Kenapa kau tanya begitu"" Tania tersenyum, tapi perasaannya kurang enak.
Apakah dia tahu mengenai rem yang blong tempo hari" Tania tidak sempat mengatakannya sebab waktu itu mereka sudah terlibat diskusi soal nama Arman yang asli dan telepon ke mana itu yang telah dilakukannya.
Tahukah dia, Arman pantas dicurigai" Tahukah dia kecelakaannya terjatuh dari tangga tempo hari itu mungkin karena ulah seseorang" Tahukah dia kabel pengering rambut Bibi sengaja dikelupas orang" Tahukah dia semua itu" Apakah Bibi telah mengatakan sesuatu padanya"
"Aku tidak bisa membayangkan mobilmu rusak di tengah jalan dan kau terpaksa berhenti untuk memperbaikinya, mana hari sudah gelap dan mendung!" Suaranya penuh kekawatiran.
Tania tersenyum bahagia. "Jangan kawatir, mesinku tokcer. Tadi siang aku masih menggunakannya untuk keliling-keliling."
"Ah ya, gimana gedung sekolahmu" Semoga jangan lekas-lekas jadi!"
"Eh, kenapa begitu" Kau enggak senang melihat anak-anak itu masuk sekolah""
"Tentu saja aku senang. Cuma aku keberatan kalau gadis manisku terlalu cepat pindah kerja!"
Tania tergelak. Alangkah pintarnya Dokter Sabara meniup-niup ego perempuan sampai melambung, kayak balon! Enggak heran ruang pra
kteknya selalu penuh dengan wanita-wanita yang berdatangan dari jauh seperti dari Jakarta atau Jawa Timur.
Dokter Sabara adalah seorang ahli bedah plastik yang ingin melakukan, penyelidikan tentang transplantasi organ pendengaran dari kadaver. Untuk membiayai penyelidikan yang mahal itu, dia terpaksa menerima pasien-pasien yang ingin mempercantik diri.
Rumah sakit di daerah yang sejuk itu agaknya memang cocok sekali untuk proyek tersebut. Bahkan Bibi pernah mengatakan, Dokter Sabara bercita-cita untuk mengubah rumah sakit itu khusus menjadi bagian operasi plastik. Poliklinik dan riset akan dipindahkan ke kompleks lain. Tapi untuk itu diperlukan tanah serta uang untuk membangun gedung baru. Dari mana semua itu" Karena itu dia sangat mengharapkan warisan dari ayah angkatnya, kata Bibi lagi.
Dokter Sabara tidak suka melihat wajah yang tidak cantik. Apalagi melihat seorang wanita menderita karenanya. Menurut dia, setiap wanita- bahkan setiap orang termasuk laki-laki-berhak merasa bahagia. Mengapa membiarkan seulas senyum jadi tampak kurang berseri hanya karena wajah yang tidak cantik"
"Dia ingin mempercantik setiap wanita!" Tania teringat perkataan Bibi itu ketika jamuan makan menyambut kesembuhan pokter Sabara. Tania juga ingat, Arman waktu itu pura-pura tidak mendengar, asyik dengan Dona. Pak Razak terdiam seperti orang kehabisan kata-kata. Cuma Dokter Sabara yang tersipu memegangi gelasnya.
Pujian Bibi memang tidak tanggung-tanggung. Siapa saja yang disukainya pasti takkan luput dari sanjungan serta pujiannya yang manis melebihi madu.
"Oke, gadisku, kamu berani pergi sendiri, bukan" Tidak takut jalanan gelap, toh"" tukas Edo berseloroh.
"Kenapa mesti takut"" balas Tania. "Apa ada hantu di jalan""
"Ha... ha.... ha... begitu baru namanya gadisku!" puji Edo Sabara. Lalu disambungnya lebih pelan dan serius, "Tania, aku sayang padamu. Senang""
Tania terenyak, menahan napas. Enggak salahkah pendengaranku"! Selama ini Edo memang selalu menaruh perhatian padaku. Selalu berkunjung setiap malam Minggu kecuali kalau tugasnya menghalangi. Selalu manis budi. Selalu... ah! Ah! Ah!
Dia sayang padaku!!! Huuuiii! "Halo..."
Tiba-tiba dia sadar sudah membisu sekian detik. Lekas-lekas didekatkannya kembali pesawat ke bibirnya. "Ya."
"Aku sangka kau sudah pergi."
"Aku masih di sini. Kalau enggak ada apa-apa lagi, aku mau meneruskan sisiranku. Hampir terlambat nih!"
"Tapi kau belum menjawab kata-kataku barusan. Senangkah kau mendengarnya""
Tania merasakan kedua pipinya panas. Digigitnya bibir bawahnya menahan senyum. "Ah, tahu deh," elaknya, lalu diletakkannya telepon dengan hati-hati, kemudian berlari masuk ke kamar.
Dijatuhkannya dirinya ke atas pembaringan. Dona menengadah, heran. Tapi Tania cuma tersenyum, membuat anjing kecil itu tidak mengerti kenapa gadis itu mendadak begitu gembira.
Ya, dia memang sangat gembira. Kenapa" Karena beberapa patah kata yang diucapkan Edo barusan"!
Dia bangkit dan kembali menghampiri cermin. Dengan senyum masih mengembang di permukaan wajahnya yang mulus, disikatnya rambutnya yang panjang berulang kali. Pantulan dirinya dalam cermin sangat memesona hatinya. Baju berwarna gelap memang cocok untuknya. Akan diapakannya rambutnya" Disanggul ke atas atau diberi pita" Ah, lebih baik dibiarkan tergerai ke bahu.
Setelah memakai sepatu dan meraih tas, * dia berjalan keluar menuju garasi.
"Jam berapa kau akan pulang"" tanya Bibi dari serambi.
"Belum tahu, Bi," sahutnya tanpa menghentikan langkah. "Jangan kawatir. Edo akan datang juga." "Dia tidak pergi bersamamu"" "Enggak. Ada pasien gawat."
* * * Makan malam itu berjalan lancar, walaupun Dokter Sabara tidak hadir. Ibu Melita Kiripan agaknya telah mengisi kekosongan hidupnya dengan mempelajari segala macam resep masakan. Malam itu dia menghidangkan tidak kurang dari enam macam masakan yang belum pernah disantap oleh Tania, padahal dia sudah biasa keluar-masuk restoran-restoran utama di Jakarta.
Atas permintaan putrinya yang berusia lima tahun, nyonya rumah menantikan kedatangan Dokter Sabara sampai jam delapan lewat. Tania mengusulkan aga
r mereka menelepon ke rumah sakit atau ke tempat tinggalnya. Namun rupanya Ibu Melita agak takut mengganggu sang dokter. Itu suatu sikap yang keliru menurut Tania. Kenapa harus takut" Dokter Sabara telah menerima undangan. Bila dia berhalangan datang, seharusnya dia wajib memberitahu kapan akan muncul ataukah mau batal sama sekali. Tapi Tania tidak memberi komentar. Akhirnya mereka terpaksa makan juga.
Setelah acara makan malam yang lezat itu usai, mereka masih juga menunggu Dokter Sabara, sebab video itu memang akan diputar untuk Dokter Sabara sebenarnya. Bukan untuk Tania.
Mereka bermain kartu sambil meneguk sirup jahe yang hangat dan manis. Bosan bermain kartu, mereka beralih main damdas. Ternyata ini juga lekas membosankan. Si cilik, Katarina, mengeluarkan koleksi LEGO-nya yang belum selesai dibangunnya. Ibunya menyatakan keheranannya, mengapa anak perempuan senang bermain-main membuat rumah, jembatan, kapal, dan lain-lain.
"Ah, saya juga menyukainya," bela Tania. "Untuk mengasah otak."
Mereka segera asyik berdua. Ibu Melita beralih pada jahitannya. Suasana di vila sangat lengang, cuma disentuh oleh alunan musik lembut dari sebuah tape recorder. Sesekali terdengar kelenting perabotan yang sedang dibasuh di dapur oleh dua orang pembantu.
Waktu berjalan terus. Ketika Tania mengangkat kepalanya, terpandang olehnya jarum lonceng di dinding menunjukkan jam hampir setengah sebelas malam. Sudah terlambat untuk melihat video!
"Saya harus pulang, Kat," ujarnya bangkit dari lantai, mencoba tersenyum manis pada Katarina yang tampak kecewa. Digerakkannya tangannya dalam pantomim untuk menegaskan maksudnya, sebab anak itu tidak dapat mendengar suaranya.
Nyonya rumah menoleh juga ke arah jam dinding, menghela napas lalu bangkit. Rupanya dia kecewa karena tamu yang diundangnya tidak muncul. Terkadang timbul dugaan dalam hati Tania bahwa perempuan muda itu telah jatuh cinta pada dokter yang merawat anaknya.
"Ya, engkau harus pulang. Nanti kemalaman di jalan. Apa perlu diantar sopir""
"Ah, enggak usah," tampiknya tertawa. "Saya sudah hafal jalanan dari sini ke rumah sakit." Rumah Bibi Karla memang terletak dalam kompleks rumkit.
"Hati-hatilah," pesan Ibu Melita, masih dengan nada waswas.
"Jangan kawatir. Terima kasih untuk makan malam yang lezat itu, Bu."
Ibu Melita ketawa lebar, menepuk bahu Tania.
"Saya senang bila orang menyukai masakan saya. Kapan-kapan datang lagi."
Tania mengangguk, melambaikan tangan, lalu membuka pintu mobil dan masuk.
Halaman vila tampak terang benderang seperti siang hari. Di sana-sini dipasang lampu-lampu neon sementara beberapa patung kurcaci memegangi lentera-lentera kecil. Kebun di sekitarnya indah sekali. Kalau tidak salah, nyonya rumah adalah lulusan Akademi Pertamanan.
Begitu keluar dari halaman vila, suasana segera berganti rupa. Lampu jalan tak ada. Gelap pekat. Tania harus menyorotkan lampu terus-menerus dan membelalakkan mata memperhatikan jalanan. Tapi dia tidak dapat melihat lebih jauh dari beberapa meter saja.
Jangan-jangan aku sudah harus memakai kacamata! Uh! Begitu sempat, aku akan ke dokter deh.
Untung sekali hujan tidak turun. Jumlah kendaraan di jalan juga tidak banyak. Dan dia sudah hafal benar semua tanjakan serta tikungan. Jadi tak ada alasan sama sekali baginya untuk merasa gelisah.
Sepuluh menit, semua berjalan lancar. Sepuluh menit lagi, masih juga lancar. Tapi sepuluh menit berikutnya...
Tania lupa kemungkinan mesinnya akan mogok. Selama ini mobilnya memang selalu tokcer. Dia selalu menuruti nasihat ayahnya agar mobil diservis setahun sekali paling sedikit. Itu dilakukannya untuk mobilnya yang dulu, sebuah Honda. Tapi BMW ini kan belum setahun usianya!
Ketika suara mobilnya mulai berderum-derum lalu berhenti, hatinya berdebar dan tangannya langsung berkeringat dingin. Ada apa nih"! Enggak mungkin aku stop di tengah jalan! Di kiri-kanan enggak ada rumah orang.
Terpaksa dia keluar dari mobil menenteng senter, sebab tak tahu apa lagi yang dapat dilakukannya. Dibukanya kap mesin dan disorotinya ke sana-sini, tapi tidak dilihatnya ada yang aneh. Tidak ada kabel ya
ng putus, tidak ada minyak yang bocor, sedangkan tekanan hidrolik dari rem juga biasa. Sejauh penglihatannya yang buta-mesin, mobil ini tidak apa-apa.
Tapi kenapa dia mogok" Berarti ada bagian yang rusak. Mungkinkah karburatornya" Tapi yang mana karburator" Atau platinanya" Yang mana lagi platina" Dia memang sering mendengar kata-kata itu diucapkan orang, tapi sama sekali tidak tahu ujud bendanya.
Huh! Tania menghela napas. Dia menyesal. Sangat menyesal. Mengapa tidak pernah dipelajarinya soal mesin! Kalau sekarang dia kena musibah, dirampok atau diculik, itu semua salahnya sendiri. Tapi bila ia berhasil pulang dengan selamat, ia berjanji akan segera menekuni tetek bengek mesin bersama sopir Bibi yang sudah tua.
Persoalan yang mendesak saat ini adalah, dari mana akan diharapkannya bantuan" Dia tidak tahu di mana ada bengkel. Di sekitar situ pasti tak ada, sebab sejauh pandangan yang kelihatan cuma sawah belaka. Andaikan ada pun, pasti sudah tutup, montirnya sudah pulang.
Menghentikan mobil yang lewat, dia ragu. Ya kalau orangnya baik-baik, kalau orang itu mendadak punya niat yang kurang bagus, bagaimana" Selain itu zaman sekarang tidak banyak lagi orang yang sudi berhenti di tengah gelap begini dengan tujuan mau menolong. Mereka juga takut. Ya kalau betul butuh pertolongan, kalau itu cuma perangkap, bagaimana" Kalau ternyata rampoknya sudah menunggu, bagaimana"!
Setelah menimbang-nimbang, dengan putus asa ditutupnya kembali kap mobil. Dia bersandar di mobil dengan kedua siku bertumpu di atas kap. Dicobanya mengira-ngira mana yang lebih jauh: berjalan kaki pulang atau kembali ke vila.
Sudah setengah jam naik mobil-mungkin juga tiga perempat jam-berarti paling sedikit tiga puluh kilometer. Berjalan kaki sejauh itu" Dia bergidik. Tapi bermalam di sini, jelas tak mungkin. Dia bisa mati kedinginan. Berjalan kaki pulang" Berapa jauhnya rumah sakit dari sini" Tania tidak tahu.
Diperhatikannya mobil-mobil yang lewat. Beberapa sedan melaju dengan sangat kencang, sehingga mereka pasti tidak sempat memperhatikan keadaan dirinya. Beberapa truk juga lewat, tapi Tania justru sembunyi di balik mobilnya supaya tidak kelihatan. Dia tidak mau menarik perhatian sopir truk yang mungkin iseng.
Pikirannya bekerja keras. Kalau dia tidak berani menghentikan mobil mana pun, berarti dia takkan mendapat pertolongan. Dia harus berdiam terus dalam mobil, mengunci pintu dan jendela rapat-rapat... ah ya, tak bisa terlalu rapat sebab AC tidak jalan. Kalau kelewat rapat, bisa-bisa dia kekurangan udara menjelang pagi.
Yah, duduk diam di mobil, menunggu dan berharap Bibi Karla atau Edo akan mengirim bantuan. Ah, kenapa Edo mendadak berhalangan! Dia jengkel juga pada profesi yang tidak mengenal waktu itu. Rasanya menjadi istri dokter tidak enak. Rencana mesra bisa berantakan menjadi musibah kayak ini. Coba kalau Edo ikut, mereka tentunya akan naik mobilnya. Atau andaikan rusak dan mogok, berdua dengan laki-laki masih lebih mending.
Tania bergerak hendak masuk ke dalam mobil ketika muncul sebuah sedan dari jurusan berlawanan, dari arah rumah sakit. Mobil itu menyeberang menghampirinya dan Tania mengawasi dengan sangat terkejut. Pikirannya memperingatkan, dia harus secepatnya berlindung ke dalam mobil, tapi kaki-kakinya tak mau digerakkan. Dengan lemas dia mematung memperhatikan kendaraan itu berhenti, meredupkan lampunya, dan pintu kedengaran dibuka.
"Halo!" Seorang laki-laki keluar dengan senyum sinis memenuhi seluruh wajahnya.
"Ah, kau!" serunya tertahan.
Belum pernah dia begitu gembira melihat Arman yang tidak disukainya itu. Dengan seringai yang tidak padam, Arman mendekati mobilnya dan langsung membuka kap depan tanpa banyak bertanya. Dia membungkuk sejenak dengan batere disenterkan ke segala penjuru. Akhirnya dia tegak kembali, dan terdengar suara ketawanya yang geli.
"Kenapa kau terkekeh begitu"" tanya Tania mangkel. "Enak ya, menertawakan orang yang sedang kemalangan!"
"Jangan galak-galak kalau kau butuh bantuanku!" balas Arman, juga agak sengit.
Tania terdiam. Dia merasa memang dirinya tidak berdaya. Bila Arman meninggalkannya... pa
sti mati kutu dia! Dengan terpaksa ditelannya rasa dongkolnya dan dirapatkannya bibirnya.
"Nah, mau ditolong atau tidak"" tanya Arman setengah mengejek.
Kalau saja waktu itu siang hari, dia pasti takkan menyerah. Tapi saat ini gelap-pekat, tak ada bulan atau bintang. Juga sudah hampir tengah malam, dan dia tidak mau lebih lama lagi berada di situ.
Kepalanya mengangguk. Tapi Arman ternyata kurang puas. "Aku ingin mendengar suaramu!" tuntutnya sedikit pongah. "Kau bisa bicara, bukan" Ayo bilang, mau ditolong atau enggak""
Setan alas! kutuknya dalam hati. Sambil menahan air mata kesal, digigitnya bibirnya sejenak sebelum menyahut, "Mau...." Suaranya halus sekali, nyaris tak terdengar, ditelan kejengkelan.
"Nah, mari," seru Arman melambainya ke arah mobilnya sendiri. "Aku tidak bisa semalaman berdiri terus di sini!"
Aduh, sombongnya!!! Tania menggertakkan geraham, namun tak bergerak dari tempat. "Mobilku"" tanyanya seperti orang linglung.
"Kunci saja. Tutup semua pintu dan jendelanya. Aku akan minta bagian keamanan rumah sakit untuk menyeretnya besok atau mengisinya dengan bensin."
"Bensin"!"
"Ya," ejek Arman. "Mobil itu kehabisan bensin! Begitulah tingkah gadis-gadis kaya yang ingin pamer tapi tidak mau tahu urusan mobilnya!"
Ingin sekali Tania mendaratkan tangannya ke atas mulut yang lancang itu. Tapi menginsafi kedudukannya yang tergantung dari belas kasihan Arman, dengan membungkam diturutinya semua petunjuk. Dikuncinya mobil, lalu ia mengekor di belakang Arman menuju mobil bututnya. Laki-laki itu tidak membukakannya pintu. Dia terpaksa membukanya sendiri.
"Kapan terakhir ngisi bensin"" tanya Arman sesaat sebelum menyalakan mesin. "Lupa," sahutnya pendek, kesal.
Dalam hati Tania merasa heran. Bukankah tadi pagi ketika akan ke kantor pos dan mengunjungi bangunan sekolah, dia telah mengecek tangki dan bensinnya masih pol" Tapi dia memang tidak memperhatikan skala dalam mobil. Cuma melihat tok bisa juga keliru. Apa yang dilihat belum tentu sesuai dengan keadaan sebenarnya. Harus dilihat juga skalanya.
Betulkah bensinnya tadi pagi sudah tinggal sedikit" Tidak, bisiknya dalam hati. Dia yakin tadi pagi isinya masih penuh atau setidaknya masih cukup sampai besok!
Tania tidak berani menoleh ke samping. Mobil sudah melaju kembali ke rumah sakit. Dirasakannya dadanya berdebar kencang. Seseorang telah mengosongkannya! Seseorang telah sengaja menimbulkan insiden ini bagiku! Siapa"
Dia melirik dengan sudut matanya. Oh, takut sekali dia. Seandainya Arman mau menculiknya! Kalau dia dibunuh atau tewas karena kecelakaan, uangnya akan jatuh ke tangan Arman! Besar kemungkinan dia yang akan disahkan sebagai ahli waris.
Bukankah beberapa hari yang lalu Arman dengan sinis menyatakan tidak setuju dengan caranya menghambur-hamburkan uang untuk gedung sekolah" Dan yayasan yang akan dibentuknya! Arman pasti akan menentang kalau tahu, sebab itu berarti dia takkan kebagian apa-apa bila Tania meninggal. Seluruh bagiannya akan masuk ke yayasan.
Di malam sepi dan gelap itu Tania menggigil, sehingga Arman akhirnya tahu. "Dingin" Sabarlah, sebentar lagi kita sampai!" Lalu ditambahkannya dengan nada mengejek, "Karena itu lain kali rajinlah membeli bensin. Jangan pelit! Uangmu kan masih cukup banyak untuk gedung sekolah, walau kau membeli bensin dengan teratur"!"
Tania tak dapat menahan diri lagi. "Tadi pagi masih penuh!" cetusnya penasaran.
"Oooh"!" seru Arman kurang percaya. "Tapi tangkinya tidak bocor!"
"Pasti ada yang jail mengosongkannya!" tuduhnya, langsung menyesal. Seandainya Arman yang telah melakukannya, habislah aku!
Tapi dia tidak dapat menahan emosi lagi. Apa boleh buat. Namun Arman ternyata lebih cerdik. Berlagak pilon memang sikap yang bijaksana. Yah, selama enggak ada bukti, kenapa mesti takut, tentu begitu jalan pikirannya, pikir Tania gemas.
"Sungguh" Apa maksud orang itu mengosongkan bensinmu"" tanya Arman, betul-betul seperti yang keheranan. Tania nyaris memuji kepandaiannya bersandiwara.
"Mana aku tahu!" sahutnya sebal, seraya menambahkan dalam hati: dasar bajingan!
"Di mana kauletakkan mobilmu""
"Kalau kau m emang betul-betul enggak tahu," ujarnya menahan amarah, "baiklah aku bilangin. Di garasi umum, di antara mobil-mobil ambulans. Belum pernahkah kau melihat mobil merah di sana""
"Belum," sahut Arman menggeleng dengan wajah seorang bayi yang tidak berdosa.
Bajingan, kutuk Tania. Namun dia sadar tak ada gunanya menuduh yang bukan-bukan. Dia sekarang berada dalam genggaman laki-laki ini. Salah sedikit saja dapat berakibat fatal.
Tidak. Dia tidak boleh membongkar isi hatinya di depan Arman. Dia harus bersikap manis kalau bisa. Tapi rasanya sulit sekali mengoyak cemburu yang sudah bersemi dalam hati. Dia masih ingat betapa kaget hatinya ketika Pak Razak membacakan surat wasiat ayahnya di mana disebutkan adanya seorang anak angkat!
Dia tidak mengira sama sekali, ayah yang mencintainya itu ternyata menyimpan rahasia besar selama hidupnya. Dia merasa tertipu, merasa dibodohi. Mungkin kalau sejak dulu ayahnya sudah berterus terang, dia takkan membenci Arman, tapi malah akan senang menerima kehadirannya, sebab menjadi anak tunggal berarti hidup penuh kesepian.
"Siapakah ibumu, Man"" tanyanya terdorong oleh rasa ingin tahu yang tak dapat dibendung.
"Ibuku"! Ibu adalah seorang wanita yang sangat disayangi oleh ayahmu!"
Tania terdiam, hatinya tertusuk. Salahnya sendiri kenapa bertanya-tanya. Sekarang kejengkelannya malah bertambah. Tanpa malu-malu, Arman telah mengakui bahwa ibunya adalah gundik ayahnya!
Ya. gundik! Dia sengit sekali dan sengaja tak mau memakai kata yang lebih halus. Gundik! Ya, wanita itu pasti hanya seorang gundik.
"Jangan salah paham," didengarnya suara Arman seakan mau menggodanya. "Ibuku bukankah kekasih ayahmu! Ayahku adalah orang lain!"
Arman ketawa sinis. Rupanya dia dapat menerka jalan pikiran gadis di sebelahnya. Namun Tania tidak suka diolok-olok seperti itu. Belum pernah ada orang yang berani mengejeknya selama hidup dan dia takkan membiarkan itu terjadi saat ini atau kapan saja.
"Hm. Aku enggak peduli siapa ayahmu!" katanya sama-sama sinis. "Sebab kau memang bukan Arman! Bukan anak angkat ayahku. Namamu Niko, benar enggak"" Suaranya agak mengejek penuh rasa puas.
Tapi dalam hati dia bimbang sendiri, tahu pikirannya keliru. Sudah jelas orang ini mengaku sebagai anak angkat, disokong oleh Pak Razak. Mungkin Niko adalah panggilan intimnya di rumah! Orang yang diteleponnya itu (istrinyakah") merebutnya Niko. Resminya dia terdaftar di KTP sebagai Arman!
Mobil sudah memasuki halaman kompleks rumah sakit. Arman membelok ke kiri untuk mengantar Tania dulu. Karena tidak mendengar tanggapan apa-apa, gadis itu menoleh. Arman tengah memandang lurus ke depan, tapi dia tahu sedang dilirik, sebab bibirnya bergumam pelan.
"Pernah aku nasihatkan dulu, lebih baik tutup mulutmu kalau mau selamat!" desisnya. "Kau tahu apa artinya uang bagi kebanyakan manusia, dan orang yang kalap dapat menjadi mata gelap. Tahu kan apa artinya itu""
"Mau coba-coba mengancamku" Kaukira aku takut" Uh, nanti dulu!" tantang Tania sambil membuka pintu mobil di depan rumah Bibi dan keluar tanpa bilang terima kasih. Malah nyaris mau diba-tingnya pintu itu. Anak angkat! Huh!
Bab 11 Sejak beberapa minggu terakhir ini ikatan batin antara Tania dan Edo semakin erat saja. Bibi Karla melihat perkembangan itu dengan rasa gembira. Tania sendiri tidak dapat menyangkal bahwa daya tarik Edo Sabara terlalu kuat untuk ditangkis olehnya. Pria tampan itu terlalu lemah lembut, terlalu pandai merayu.
Namun yang membuai mereka betul-betul dekat adalah malam ketika mobil Tania kehabisan bensin. Dia pulang dengan wajah lusuh.
"Aku mendengar suara mobil di luar," ujar Bibi Karla. "Kau pulang diantar oleh Dokter Sabara""
"Bukan. Oleh Arman."
"Oh. Di mana mobilmu""
Tania menjatuhkan diri ke atas kursi sambil memeluk Dona. Dia menghela napas. Wajahnya sudah hampir menangis saking kesal. "Di tengah jalan! Ada orang yang telah menyedot bensin dari mobil itu!"
Bibi tertegun sejenak, kemudian tersenyum. "Salahmu! Kenapa kau parkir di garasi umum! Aku juga pernah mengalami hal seperti itu. Sebuah ambulans kehabisan bensin. Mereka seenaknya mengamb
il bensinku supaya bisa jalan sampai ke tempat pompa!"
Tania menatap bibinya seraya berpikir. Dia ingin sekali mempercayai alasan itu, sayang hatinya bicara lain. Tepatnya, firasatnya bilang: bukan! Tidak mungkin beberapa kecelakaan itu terjadi secara kebetulan atau karena ada yang mau membuat lelucon.
Seandainya betul ada orang yang memerlukan bensinnya, lalu bagaimana dengan remnya yang blong" Apa itu juga bukan disengaja"
Dia bangkit tanpa berkata apa-apa. Tidak ada gunanya menakut-nakuti Bibi. Misalnya soal kabel pengering rambut atau kecelakaan Edo tempo hari.
"Dokter Sabara sudah menelepon dua kali. Dia berpesan agar kau ngebel begitu pulang," ujar Bibi di belakangnya.
Tania mengangguk. Sambil menjinjing kedua sepatunya dihampirinya telepon dan diputarnya nomor yang sudah dihafalnya itu. Edo segera menyambut.
"Hai, gadisku yang manis! Aku sangat, sangat menyesal tidak dapat pergi bersamamu. Aku mencoba kontak denganmu di sana, tapi rupanya pesawatnya tidak bekerja. Aku kawatir sekali memikirkan engkau harus pulang sendirian."
Gadis itu tersenyum. Mungkin juga pesawat teleponnya sedang rusak, sebab selama dia di vila, tidak sekali pun didengarnya berdering.
"Mobilku mogok di jalan!"
"Apa"" seru Edo dengan kaget. "Lantas" Kau pulang dengan apa" Kau baru saja pulang, bukan""
"Ya. Aku pulang bersama Arman."
"Untung! Bagaimana... dia bisa sampai di sana""
"Kebetulan saja dia lewat!"
Tania kembali tersenyum. Direktur gagah yang menjadi incaran banyak wanita itu kedengaran sangat mengawatirkan keselamatan dirinya!
"Ah, untunglah. Jadi kau tidak apa-apa" Mobil itu sekarang ada di mana""
"Ditinggal di jalan. Besok akan diangkut kembali oleh bagian keamanan."
"Hm. Sekarang kau istirahat saja. Aku akan menyuruh orang menariknya kemari. Kenapa Arman tidak mau membawanya sekalian""
Tania berpikir heran. Ya, kenapa Arman enggak mengusulkan itu" Ah, barangkali dia enggak membawa tambang. Dia kan enggak menyangka bakal ketemu mobil mogok di jalan!
"Aku rasa dia enggak punya tambang, Ed. Tapi dia berjanji akan minta Bagian Keamanan untuk membawa mobil itu balik ke sini. Mungkin dia sudah menghubungi petugas, jadi kau enggak usah repot lagi."
"Hm!" dengus Edo Sabara dengan nada mendongkol. "Mau ke mana sih dia berkeliaran di jalanan malam-malam begitu" Aku akan cek apa dia tidak dinas malam ini. Tania!"
"Ya..." "Jangan terlalu sering bersama orang itu! Aku kurang mempercayainya!"
Tania terdiam. Tangan yang menggenggam pesawat telepon dirasakannya perlahan-lahan mendingin. Apa Edo juga telah mencium sesuatu" Tahukah dia diriku sedang diincar"
"Ed, apa kau tahu sesuatu yang enggak mau kaukatakan padaku"" tanyanya kawatir.
"Apa maksudmu"" Edo membaliki dengan suara lantang, mungkin campuran kaget dan waswas.
Tania berbisik supaya Bibi tidak mendengar. "Kau bisa datang sebentar kemari" Ada yang perlu aku ceritakan!"
"Sekarang juga"" Edo kedengaran ragu. "Aku capek sekali."
"Aa... ku... taa... kut! Daa... tang... lah... se... ben... tar... saa... jaa..." pintanya tergagap, hampir terisak.
"Oke, tunggulah. Aku tukar pakaian sebentar. Sepuluh menit lagi aku sudah akan ada di sampingmu. Jangan menangis."
Sampai lewat tengah malam mereka berdiskusi. Bibi tidak ikut nimbrung. Setelah menyalami tamunya, dia masuk ke kamar. "Orang setuaku harus banyak istirahat," ujarnya diplomatis.
"Ed, maaf ya bila aku menyusahkanmu. Aku tahu kau pasti sangat lelah. Bagaimana keadaan pasien itu""
"Masih kritis," gumamnya, lalu menggoyang tangan seakan menolak permintaan maaf tersebut.
"Tentu saja aku harus kemari kalau diperlukan olehmu, tak peduli hujan atau angin. Apalagi cuma lelah!" Pria itu tersenyum seolah mau meyakinkan bahwa seluruh waktunya adalah milik Tania.
"Katakan apa yang kaurisaukan," bujuknya sambil menggenggam kedua tangan mungil yang lembut itu.
"Aku... aku... hampir dicelakai orang!" Kata-kata itu tersembur sekaligus tanpa terpikir lagi.
"Apa"" Matanya yang indah membelalak tak percaya. "Siapa dia""
"Aku enggak tahu. Tapi aku yakin, bensinku telah sengaja disedot keluar olehnya."
"Maksudmu, mobilmu mogo
k karena kehabisan bensin""
Tania mengangguk. "Kau yakin, tadinya masih cukup""
"Ya. Tadi pagi sebelum keluar, sudah aku periksa."
"Itulah akibatnya! Kenapa kauparkir di garasi umum! Tempat itu tidak dijaga, sebab tak ada orang yang mau mencuri ambulans. Setiap orang bebas masuk ke situ. Barangkali ada yang kebetulan perlu bensin dan melihat mobilmu nganggur..."
Tania menggeleng dengan keras. Dia tahu, Edo hanya ingin menenteramkan hatinya. Seperti Bibi, Edo juga mengira bahwa itu semua lelucon belaka. Hanya dia yang tahu mereka keliru!
"Aku yakin itu bukan cuma kebetulan!" katanya ngotot, lalu diceritakannya apa yang selama ini telah menimbulkan kecurigaannya.
Edo kelihatan tercenung sejenak. "Jadi Arman akan mendapatkan uangmu bila kau meninggal... maksudmu, sebelum kau menikah""
"Ya. Kenapa kau tanya begitu"" Dia mengerutkan kening kebingungan. Aku sedang ketakutan, kok malah bawa-bawa urusan kawin!
"Bagaimana kalau kau sudah menikah"" Edo tidak meladeni keheranannya, tapi malah terus mencecar.
"Arman enggak berhak lagi. Uangku akan diwariskan pada suami dan anak..." Ditatapnya pria itu semakin bingung, kemudian diulanginya pertanyaannya dengan pipi kemerahan, suaranya lemah nyaris tak kedengaran. "Kenapa kau tanya begitu""
Dokter Sabara yang ganteng itu tersenyum dan meraih bahunya. "Gadisku yang manis! Aku harus melindungimu dari cengkeraman Arman yang ganas. Aku akan mati bila kau sampai cedera. Tidak! Arman harus kita jinakkan. Dia harus disadarkan, uangmu takkan jatuh ke tangannya! Dengan begitu dia akan stop mengganggumu. Dan jalan satu-satunya adalah..."
Dokter Sabara berhenti untuk melihat reaksi Tania. Wajah bulat telur dan lugu itu kelihatan semakin cantik dironai warna cinta. Perempuan muda yang baru saja mulai mekar ini tampak begitu tak berdaya seperti sebuah boneka dalam kotak kaca.
Didekatkannya bibirnya ke telinga gadis itu, lalu berbisik mesra, "Tania, maukah kau menjadi istri dokter" Direktur rumah sakit""
Wajah Tania semakin merah, menunduk tersipu-sipu.
"Ayolah!" goda Edo seraya menyentuh dagunya dengan lembut dan menggerakkannya sehingga mereka saling berpandangan. "Jutawan tidak boleh merasa malu! Dengan uangmu, kau harus sanggup membuat semua orang tersipu di depanmu. Bukan kau yang harus menundukkan kepala! Jawablah aku, Manis."
Diangkatnya dagu yang runcing dan mulus itu, ditatapnya kedua bola matanya yang hitam. "Ah, begitu banyak bintang kulihat dalam matamu! Kau pasti mau, bukan""
Tania tersipu berdehem seolah tenggoroknya mendadak tersumbat lendir. Dipandangnya wajah ganteng itu dengan mesra, wajahnya sendiri sudah merah bagaikan kepiting goreng. "Dapatkah aku menjadi istrimu, tok" Tanpa harus menjadi istri dokter atau istri direktur rumah sakit""
Edo melongo sejenak, akhirnya terbahak geli. Dirangkumnya bahu Tania dan dibaur-baurnya rambutnya. "Pintar bikin aku kaget, ya! Itu cuma lelucon, bukan""
Melihat Tania terdiam saja, disambungnya dengan nada membujuk, "Manisku, aku adalah seorang dokter yang kebetulan menjadi direktur rum-kit. Aku akan terus menjabat kedudukan ini. Tapi tak usah takut. Menjadi istri dokter-direktur merupakan suatu kehormatan tersendiri. Kau takkan dibebani tugas berlebihan kecuali yang lumrah sebagai tugas nyonya rumah.
"Tapi aku perlu mengingatkan sebelum kau mengambil keputusan, kemungkinan besar aku akan gagal mewarisi harta ayahmu. Menurut Pak Razak, Arman lebih kuat bukti-buktinya sebagai anak angkat. Jadi bila kau berharap warisan itu bisa utuh..."
Tania lekas-lekas meletakkan jarinya di bibir Edo. "Ah, lupakan soal warisan!" desahnya dengan jemu. "Biarkan Arman atau setan mana saja yang memperolehnya. Dengan uang bagianku, kita sudah akan bisa hidup lebih dari kecukupan!"
"Husss! Aku tidak mau menjamah uangmu! Kau harus menggunakannya sesuai dengan keinginanmu. Misalnya, untuk proyek gedung sekolah. Itu adalah perbuatan yang mulia sekali. Sulit mencari gadis seumurmu yang sudah searif itu dalam menolong sesamanya. Proyek istimewa itu tidak boleh terlantar hanya karena kita kawin...."
"Uangku masih akan bersisa banyak, Ed. Dan uang
itu akan terus bertambah dari bunga. Aku juga akan mendapat penghasilan dari perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik. Memang proyek sekolah itu akan kuteruskan. Malah akan kudirikan juga sebuah yayasan."
"Yayasan apa"" potong Edo dengan penuh minat.
"Yayasan untuk mengurus kelanjutan sekolah itu. Membayar gaji guru-guru, membeli dan mengganti peralatan yang rusak, serta menyediakan beasiswa bagi murid pandai yang orangtuanya kurang mampu." Tania tersenyum bangga mengharap pujian, tapi kerut halus di dahi Edo membuatnya cepat menambahkan, "Tentu saja masih akan tersisa banyak untuk kita...."
"Pasti!" Edo menanggapi dengan rupa senang. "Aku bangga padamu. Tania. Engkau begini muda. tapi jiwamu sudah tumbuh demikian matang. Aku setuju dengan rencanamu. Untuk kita, tak usah kaupikirkan. Kita akan dapat hidup cukup dari penghasilanku."
"Tapi aku adalah perempuan yang mahal, Ed," selorohnya. "Aku sudah biasa dimanja dan seleraku enggak murah...."
"Aku akan terus memanjakan dirimu!" janji Edo. "Cuma aku masih perlu mengumpulkan uang untuk riset!"
"Pakailah uangku."
Edo menggeleng.
Dibakar Malu Dan Rindu Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu, aku terpaksa menolak Iamaran-mu!" kata Tania berlagak ngambek. "Kalau kau sungkan-sungkan sama istri, aku juga segan menikah denganmu!"
Edo Sabara menatap gadis itu beberapa saat seakan mau meyakinkan dirinya mengenai ketulusan ucapan itu, lalu kepalanya mengangguk pelan. "Oke, oke. Aku takkan malu-malu kucing padamu. Kalau perlu, aku akan pakai uangmu! Tapi soal pernikahan ini serius lho, Tania. Aku mendapat kesan, bagimu seperti main-main saja."
Tania terdiam didesak begitu. Matanya menatap ke kebun yang diterangi sebuah lampu Jingga. Hatinya berdebar sementara pikirannya melayang jauh. Jonas masih belum dilupakannya. Dalam kesibukannya sehari-hari, dia memang dapat menyimpan kenangan itu ke pojok. Menutupinya dengan pikiran-pikiran lincah yang menggerapai sepanjang hari, bagaikan sinar matahari yang menerobos ke segenap penjuru ruangan, mengusir lem-bap serta debu-debu kenangan.
Namun di kala senyap bila dia sendirian saja atau kini, ketika sebuah kalimat mendesaknya, mau tidak mau sudut itu terbuka lagi, mengingatkannya pada insiden fatal yang belum lagi setahun usianya.
"Ed, soal ini... soal kawin ini... apa enggak bisa ditunda dulu""
"Gadisku yang manis, aku bukan ingin menge-jutkanmu. Tapi demi keselamatanmu sendiri, kau harus menjadi istriku. Selama kau masih bebas seperti sekarang, selama itu pula Arman akan tetap berusaha menerormu. Karena dia ingin harta juga! Tidak mengertikah kau" Ah, pikiranmu terlalu suci!"
Tania kemekmek, bingung sebab alasannya untuk menunda tak dapat diungkapkannya terus terang. Dan masalah siapa-yang-akan-dapat-uangnya sudah mulai membuatnya jemu. Kepalanya pening dipaksa memikirkan soal duit yang tak pernah betul-betul menarik minatnya. Dia cuma perlu uang kalau ada sesuatu yang ingin dibelinya. Kenapa semua orang demikian tergoda dan terbangun semangat mereka begitu mendengar ada uang nganggur untuk diwarisi"!
"Ngomong-ngomong, apa betul Arman yang akan mendapat...""
Tania menatap wajah tampan itu bulat-bulat tanpa mengacuhkan pertanyaannya, tapi malah balik bertanya, "Ed, katakanlah yang sesungguhnya: betulkah kau anak angkat ayahku""
Edo Sabara melengos, tapi Tania sempat melihat air mukanya yang tampak sedikit terperanjat. Lewat sekian detik barulah terdengar helaan napasnya sebelum membuka mulut. Tampaknya sulit sekali baginya mengucapkannya, wajahnya sebentar menunduk sebentar tengadah memandangnya.
"Aku tidak mau membohongimu, Tania. Terus terang aku sebenarnya kurang tahu apa aku ini anak angkat atau bukan. Sejujurnya kuakui, aku bahkan tidak tahu siapa ayah dan ibuku. Aku cuma diberitahu seseorang, aku harus kemari dan ayahmu adalah ayah angkatku. Sayang aku tak dapat membuktikannya! Yang kumiliki hanyalah sepasang kaus kaki bayi..."
"Dan Arman bisa!" tukas Tania sengit.
"Rupanya begitu." Edo. mengangguk.
"Bukti apa sih itu" Kau tahu enggak""
Edo menggeleng. "Aku tidak tahu."
"Biar nanti kutanyakan pada Bibi!"
"Tidak perlu! Bagiku warisan itu tidak penting, Tania.
Yang lebih penting adalah cintamu!" Suara Edo berbisik dekat sekali, napasnya hangat menyapu tengkuk Tania.
Gadis itu menggigil. Semua orang merindukan direktur yang tampan ini. Kenapa aku harus menolaknya"! Enggak ada alasan. Cuma herannya, kenapa aku merasa kurang bergairah" Apa lantaran aku masih berkabung untuk Jonas" Untuk Ayah" Atau karena aku merasa masih terlalu muda buat kawin"
"Tidak. Engkau tidak terlalu muda," ujar Edo seolah bisa membaca pikirannya. "Kalau kau masih ragu-ragu, baiklah kita bertunangan saja dulu. Pendeknya asal Arman mengerti, kau sudah menjadi istriku di mata hukum! Berarti semua terornya takkan berguna lagi, sebab bagianmu takkan pernah jatuh ke tangannya!"
Tania merasa dingin dalam hati. Lagi-lagi yang disebut-sebut uang! Uang! Uang melulu! Apa hidup ini enggak bisa berjalan tanpa uang"! Kenapa semua orang tujuannya ke sana akhirnya" Persetan dengan segala uang dan warisan!
Digigitnya bibir. Dia sungguh tidak tahu sikap apa yang sebaiknya diambilnya. Menolak" Orang gila manakah yang dapat menolak Edo" Masih waraskah dia"! Tapi mendadak begini....
"Berilah aku waktu," katanya akhirnya.
"Tania, tak ada waktu lagi," desak laki-laki itu. "Tidak sadarkah kau, orang itu sudah mulai kalap" Dulu kau bilang, dia pernah menelepon seseorang. Siapa tahu itu komplotannya! Aku cuma memikirkan keselamatanmu. Aku takkan tenang sebelum kau betul-betul aman dalam lindunganku.
"Tania, oh. Tania, gadis manisku, belum pernah aku tertarik pada seseorang seperti dirimu. Bagaimana aku akan rela membiarkan engkau dalam bahaya terus-terusan""
Gadis itu menunduk. Di atas pohon belimbing terdengar suara burung hantu, kabarnya untuk mengisahkan cerita sahibul hikayat dengan sendu. Sayang tak dapat dimengerti olehnya.
Dirasakannya dagunya disentuh dan pelan-pelan diangkat. Matanya tertambat pada sepasang mata bening yang mengawasi dengan rupa kawatir. Suaranya lembut sekali.
"Tania, aku takkan memaksa. Begini saja! Kita menikah di Catatan Sipil. Ini semata-mata cuma untuk melindungi dirimu dari bahaya. Kau sama sekali tidak terikat kewajiban sebagai istri. Kelak bila bahaya sudah lewat, kita bisa bercerai lagi atau..." Edo rupanya tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Suaranya menjadi parau.
Betapa terharunya Tania. Jadi dokter yang baik budi ini benar-benar hanya mau menolongnya. Dia benar-benar mencintainya!
Oh, Ayah, laki-laki ini sungguhan mencintaiku. Ah, betapa aku mendambakan kehadiranmu saat ini untuk berbagi kebahagiaan ini....
"Oh, Ed, hatimu sungguh mulia! Kau betul-betul selalu suka menolong!"
"Ssst! Jangan terlalu keras! Nanti Bibi terbangun."
"Bukankah kau akan membicarakannya dengannya" Dia kan waliku, dan mungkin kau belum tahu, sebenarnya aku belum boleh kawin selama empat tahun ini."
"Aaah"""!" Kekecewaan terpampang nyata di wajah tampan itu, membual Tania tersenyum geli dan mengelus wajahnya.
"Kecuali, tentu saja, dengan izin waliku! Jadi sebaiknya kautemui Bibi."
"Oke, besok!" angguknya seakan hal itu lebih penting bagi Tania daripada baginya.
Si cantik tersenyum kemalu-maluan. Seuntai rasa bahagia melilit di hatinya. Malam itu dia tidak dapat tidur karena sangat gembira. Bayangan Arman sudah suram. Apalagi terhadap ancaman-ancamannya, dia tidak takut lagi sekarang. Dia mau kalap" Silakan, kalau berani menghadapi Edo Sabara!
Untuk seterusnya dia akan dilindungi oleh orang yang paling simpatik yang pernah dikenalnya (selain Jonas tentu saja). Besok Bibi akan bertambah sayang padanya!
Bab 12 Arman menjumpainya dua hari kemudian di kantor. Tania melengos supaya tidak perlu menyapanya, tapi orang itu rupanya datang khusus untuk menemuinya. Dia berjalan ke meja dan duduk di dekatnya tanpa diundang. Kebetulan Tania sedang makan siang sendirian. Seakan Arman cuma angin lalu, gadis itu tidak menyapanya, bahkan tidak menoleh ke samping.
"Selamat siang," kata Arman mencoba ramah.
"Hm." "Kenapa kau kelihatan jengkel padaku"" "Mau apa sih, kau"" Tania balik bertanya tanpa menjawab.
"Aku cuma ingin menasihati supaya kau berpikir baik-baik sebelum mengambil keputusan yang drasti
s." "Keputusan apa"" tanyanya mulai kurang senang. "Aku dengar, kau akan menikah"!" "Itu urusanku!" sahutnya agak ketus, menunda suapnya.
"Betul, tapi kajilah dulu siapa calonnya!" "Jangan sok ngajarin, ah! Kajilah dirimu sendiri! Jangan ngurusin Edo yang enggak ada cacatnya! Walau kau akan disahkan sebagai ahli waris ayahku, itu enggak berarti kau berhak mencampuri urusanku. Keperluanmu ke sini cuma buat memperoleh uang itu, kan" Nah, begitu uang itu sudah masuk ke kantongmu, kuharap kau akan pergi dari sini!"
Arman tidak kelihatan tersinggung dicaci seperti itu. Rupanya dia sudah dapat menduganya. Sebagai putri tunggal yang dimanja, Tania pasti sedikit keras wataknya. Dia cuma tidak siap menghadapi serangan total begitu, diusir mentah-mentah.
"Mungkin juga benar pendapatmu, Tania," ujarnya dingin. "Tapi mungkin juga aku ke sini untuk sebab yang lain."
Tania menghentikan makannya dan menatap Arman sebulat matanya. Apakah itu berarti orang ini datang untuk membunuhnya" Apakah semua insiden mobil selama ini hasil ulahnya" Tapi dia tidak boleh memperlihatkan rasa takut. Dia tidak boleh bertanya. Karena itu dengan berlagak tenang, dia kembali menyuap makanannya.
Karena tidak diladeni lagi, Arman berlalu tanpa permisi. Esoknya dia muncul lagi dengan sepucuk surat yang dilemparnya ke hadapan Tania.
"Untukmu!" tukasnya. Lalu seakan sudah tahu isinya, disambungnya, "Jangan mencoba memata-matai aku, ya!" Tanpa menunggu reaksi, dia segera berlalu.
Tania sempat menggigil sekejap mendengar nada ancaman yang serius itu. Diraihnya surat itu. Sampulnya berwarna coklat. Karena letaknya terbalik, dia tidak segera dapat melihat dari jawatan mana datangnya. Tapi itu pasti dari kantor pemerintah. Dia kenal sampul dan ukurannya.
Cepat dibaliknya. Ternyata dari kantor telepon! Apakah Arman tahu apa yang telah dilakukannya" Apakah dia curiga" Oh, bukankah tempo hari dia berada di sana juga" Ah, enggak, bukan di kantor telepon. Mereka bertemu di kantor pos! Apakah Arman telah mengikutinya"
Diambilnya pembuka surat dan ditariknya keluar sehelai kertas putih. Baru saja matanya menyapu baris pertama, surat itu sudah diletakkannya kembali dengan lesu. Dia cukup membaca sampai. "...Menyesal...." Tak ada gunanya diteruskan.
Jadi tak ada hasil. Diangkatnya lagi surat itu. Dipaksanya membaca sampai habis. Hm. Mereka hanya dapat mengatakan bahwa interlokal itu ke Jakarta. Bila dia ingin tahu lebih lanjut, dipersilakan menulis pada Kantor Telepon Pusat di sana.
Tania menghela napas. Dia tidak ingat lagi jam dan tanggal yang tepat dari pembicaraan itu. Dia memang termasuk orang yang kurang teliti dan segan membuat catatan ini-itu. Itu sebabnya semua kenangan indah bersama ayahnya pun hanya disimpan dalam hati. Dia malu menuangkannya ke dalam buku harian, siapa tahu nanti terbaca orang.
Dikoyaknya surat itu bersama sampulnya dan dilemparnya ke keranjang sampah. Tidak, dia takkan melakukannya. Untuk apa menulis ke Jakarta. Belum tentu orang di sana akan mau meladeni permintaannya yang mungkin dianggap gila-gilaan itu. Mereka pasti sudah cukup banyak tugas tanpa harus melayani surat yang bukan-bukan. Lagi pula, bukankah dia akan pergi ke Catatan Sipil minggu depan dan setelah itu Arman takkan dapat mengganggunya lagi"
Tidak diduga-duga, malamnya Arman menelepon. Rupanya ketika dia masuk lagi ke kamar tata usaha, Arman sempat melihat sobekan-sobekan surat yang dibuang oleh Tania.
"Jadi kau biasa mencuri baca surat orang lain!" ujar Tania dengan marah.
Arman tidak menolak tuduhan itu. Tidak pula mengiakan. Suaranya datar saja ketika dia berkata, "Bila kau ingin tahu siapa yang biasa aku telepon, kenapa tidak kautanyakan langsung padaku""
Sebelum Tania sempat meletakkan kembali pesawat, laki-laki itu sudah melanjutkan, "Orang itu adalah Nyonya Rejana! Atau Nyonya Arman!"
Tania terkejut. Dia tidak menyangka bahwa Arman sudah beristri. Tidak ada seorang pun yang pernah menyinggungnya. Tahukah Bibi"
Diliriknya sekilas punggung Bibi yang tengah duduk melahap berita-berita dalam surat kabar. Ketika Tania memusatkan kembali perhatiannya ke pesawat
, didapatinya Arman sudah meletakkan telepon.
* * * Hari Sabtu itu Tania tidak meninjau proyek sekolahnya, sebab dia akan pergi ke Catatan Sipil bersama Dokter Sabara. Karena dia masih berstatus sebagai penduduk Jakarta, begitu juga dengan Dokter Sabara, maka mereka harus menikah di Ibukota.
Ani dan Lia sudah pergi lebih dahulu untuk membereskan rumah Tania di Jakarta, sebab mereka akan bermalam di sana. Esoknya, Minggu, baru mereka akan kembali dan malam harinya akan diadakan pesta kecil untuk merayakan hari bahagia itu.
Seluruh karyawan rumah sakit diundang. Semuanya memberi selamat, walau tidak setiap hati turut bergembira. Ada yang iri, ada yang menyesali nasib, dan ada pula yang jengkel. Barangkali Arman termasuk golongan yang terakhir, sebab hari Sabtu subuh itu dia masih menelepon Tania untuk memberitahu dengan sinis, semoga Tania tidak menyesal dengan tindakannya.
Tania nyaris membanting telepon bila tidak segera disadarinya bahwa benda itu bukan miliknya. Untung sekali dia segera dibuat sibuk dengan segala macam persiapan yang penting, sehingga telepon tadi tidak sampai mengganggu ketenangan batinnya.
Tania merasa amat bahagia berada di samping Edo Sabara, menatap wajah Bibi yang ceria dan penuh sayang padanya, serta air muka Pak Razak yang senewen. Menurut cerita Bibi, sarjana hukum itu selalu senewen kalau menghadiri upacara pernikahan. Beliau lebih kerasan mengikuti jalan sidang untuk mengadili seorang pembunuh. Alasannya, dia tak dapat konsentrasi pada upacara tersebut, sebab pikirannya pasti melenceng pada sang pengantin putri yang umumnya selalu menarik dan menggairahkan!
Tania ingin tertawa melihat tangannya yang gemuk sebentar-sebentar singgah di muka. melap keringat. Udara memang panas. Dan ruang upacara tidak diberi alat pendingin.
Bibi mengucap syukur ketika upacara telah berakhir dengan sukses. Tania disalami oleh pemimpin upacara serta Pak Razak. Bibi menciumnya. Seingat gadis itu. baru sekali ini bibinya memeluk serta mengecupnya. Bibi juga memeluk Edo.
Tania mengira, sebab tidak menikah, Bibi menjadi kaku dan dingin. Tidak tahunya pelukannya hangat serta mesra. Dia hampir meneteskan air mata saking terharu. Ah, sayang Ayah enggak ada di sini!
Tania berpakaian sederhana saja. Dia menolak pakaian yang terlalu mewah, sebab hatinya masih berkabung untuk ayahnya dan Jonas. Edo dengan penuh pengertian tidak memaksa. Cukup seuntai kalung dan sepasang anting-anting. Jari-jarinya kosong selain adanya sebentuk cincin yang baru saja dilingkarkan di situ tadi siang.
Ketika Tania kembali ke tempat Bibi keesokan harinya, didapatinya rumah itu tengah dihias oleh beberapa orang perawat yang sedang bebas tugas.
Suster Ratih menggamitnya ke samping diawasi oleh beberapa rekannya yang tersenyum-senyum. "Dokter Rejana kelihatan gelisah sekali," bisiknya pelan. "Waktu jaga tadi malam, dia duduk termenung semalaman di kantor. Bila disapa, dia kaget seakan pikirannya sedang menerawang jauh...."
"Lalu apa hubungannya dengan aku"" tanyanya tertawa.
"Ada, deh!" olok Suster Ratih tertawa sambil meliriknya dengan manis.
Tania mengangkat bahu. "Dia kan saudara angkatku!"
Ha... ha...! Rasakan kau sekarang, Arman! Uangku enggak bakal jatuh sesen pun ke dalam tanganmu! Gelisahlah kau sepanjang masa! Tentunya kau sangat penasaran, bukan"
Tapi laki-laki itu masih mempunyai kesopanan untuk datang menghadiri pesta pada malam harinya. Dia muncul bersama seorang perawat muda yang belum lama bekerja di situ. Suster Ratih dan teman-temannya melirik ke arah Arman bersama pasangannya yang tampak cantik
Tania tidak berkata apa-apa. Semula dia berniat memberitahu perawat tersebut bahwa Arman sudah beristri. Tapi kemudian dibatalkannya maksud itu. Untuk apa mencampuri urusan orang, pikirnya. Kalau dia ingin main serong, itu urusannya!
Yang tampak sangat berseri-seri adalah Bibi Karla. Sukar mengatakan siapa yang lebih bahagia: Bibi atau Tania. Yang jelas, perempuan setengah tua itu makin sayang pada keponakannya. Anehnya, terhadap Arman Bibi tidak kurang pula mesranya, walaupun laki-laki itu kemungkinan besar akan mere
but hak pewaris dari tangan Dokter Sabara yang disayanginya.
Minggu depan sudah akan diputuskan siapa yang berhak menjadi ahli waris. Pak Razak sudah memperingatkan Bibi supaya tidak kaget bila Arman yang dipilih. Itu akan menjadi keputusan pengadilan yang harus diterima oleh semua pihak bila mereka tidak ingin persoalan diteruskan ke meja banding dan menjadi bertele-tele.
Edo tidak ingin Tania sendirian terlalu lama, lebih-lebih bila dilihatnya Arman mendekat. Aneh sekali. Laki-laki itu jadi kelihatan menaruh lebih banyak perhatian padanya. Seharusnya kan sekarang Tania sudah tidak lagi berarti apa-apa baginya. Uangnya akan jatuh ke yayasan atau ke tangan suaminya bila dia meninggal.
"Tania!" Didengarnya suara tunangannya dan dilihatnya Edo melambai dari seberang ruangan.
Tania permisi pada tamu yang tengah ditemani-nya dan bergegas menghampiri Edo yang berdiri bersama Dokter Sigit, istrinya, serta seorang anak perempuan manis yang berumur kira-kira tiga tahun. Mereka bersalaman. Laila kecil langsung memikat hati Tania. Dia tidak tahu keluarga tersebut memiliki anak semanis itu, sebab Dokter Sigit tidak tinggal dalam kompleks rumah sakit.
Setelah berbincang-bincang sebentar, Tania minta diri karena Bibi memanggilnya. Ternyata Pak Guru Saimin dan istrinya datang. Betapa senangnya hati Tania. Dia mengira mereka tidak dapat hadir, sebab rumah mereka jauh.
Tania tidak lama berada di samping Pak Saimin. Pak Razak segera menggamitnya ke tempat yang sepi untuk membicarakan pendirian yayasan sekolah yang belum diberi nama itu. "Saya ingin memakai nama ayah saya. Pak. Boleh, kan""
Pengacara itu kelihatan puas dan senang. "Tentu saja boleh. Dan bagus!"
"Maaf, dapatkah kita bicara sebentar""
Tania menoleh, masih dengan senyum terkem-bang dan gelas di tangan. Pak Razak buru-buru permisi dan berlalu. Arman kelihatan sangat gelisah.. Sekarang semuanya sudah terlambat bagimu, pikir Tania sinis tapi juga gembira.
Dia menggeleng. "Apa enggak kaulihat aku sedang sibuk"" ujarnya tanpa keramahan sedikit pun.
Dia mengira Arman akan tersinggung dan marah-marah. Namun aneh sekali dia tidak bergerak di tempat, air mukanya pun tak berubah seakan tak punya perasaan lagi. Apa dia termasuk golongan manusia berkulit badak" Huh, kok aku mendadak jadi sinis begini!
"Aku perlu bicara denganmu sebelum terlambat!" desaknya.
Tania tersenyum geli dan mendecak, "Cch... cch... sekarang semuanya sudah terlambat bagimu, Man! Uangku enggak bakal jatuh ke kantongmu! Sudahlah, urus saja istrimu dan pacarmu itu!"
Tania melambai dan melangkah pergi. Masih sempat dilihatnya wajah laki-laki itu berubah geram dan penasaran.
Ketika pesta telah usai dan Arman hendak pamitan, tiba-tiba dia menunduk ke muka, mengecup pipi Tania sekilas seraya berbisik, "Temui aku besok!"
Karena diawasi Edo dan Bibi, Tania tidak dapat menolak tanpa mengeluarkan kata-kata. Jadi dia mengangguk saja dengan pelan. Sudah tentu dia tidak bermaksud memenuhi permintaan itu dan segera melupakannya saat itu juga.
Ketika semua orang sudah pulang, dilihatnya Pak Guru masih ada di tempat bersama Pak Razak.
"Bagaimana, Pak"" tanyanya antusias.
"Syukurlah semua bisa berjalan lancar," sahut Pak Razak tersenyum.
"Urusan apa ini"" Edo ikut nimbrung dari belakang.
"Pembentukan yayasan, Ed," sahut Tania.
"Yayasan"" Kening Edo berkerut sejenak, tapi segera juga dia tersenyum lagi. "Ah. saya ingat! Anda sekalian ingin membentuk yayasan untuk pengelolaan sekolah, bukan""
"Betul. Kami memerlukan tanda tangan Tania dan yang lain-lain."
"Ah, Pak Razak," ujar Dokter Sabara tertawa manis. "Kalau bisa, jangan merepotkan istri saya, anu... sekarang masih berstatus tunangan tapi dalam hukum sudah jadi istri! Tugasnya sebagai nyonya direktur pasti akan cukup berat. Bagaimana kalau saya ambil alih saja tugasnya" Selanjutnya Anda sekalian berhubungan langsung dengan saya. Kau setuju kan, manisku"" Dia menoleh dan memandang Tania dengan mesra. Yang dipandang membalas tatapan perjaka tampan itu dengan perasaan bangga. Betapa lain kualitasnya dengan Arman. pikirnya. Edo bukan cuma setuju, tapi juga
dengan penuh gairah mau melaksanakan tugasku! Sedangkan Arman! Huh! Yang diingatnya cuma bagiannya yang mungkin hilang kalau aku mati!
"Tentu saja, Ed. Terserah kebijaksanaanmu!"
"Nah, Pak Razak dengar sendiri! Tania tidak keberatan. Lagi pula," dia terkekeh, "saya tentunya takkan mencuri uang istri sendiri!"
Ha... ha... ha... semuanya terbahak-bahak.
Bab 13 DUA bulan kemudian Arman diresmikan sebagai ahli waris. Ketika Tania mengucapkan selamat di sebuah gang Poliklinik, dia sudah lupa janjinya untuk menemuinya dulu.
"Tania. aku ingin mengatakan sesuatu mengenai tunanganmu."
"Aku enggak mau mendengarnya," tolaknya sedikit jengkel.
"Tapi ini penting! Kau harus tahu!" desak Arman, lalu mendadak dicekalnya pergelangan tangan gadis itu kuat-kuat sampai dia meringis kesakitan.
"Lepaskan! Sakit!"
Arman tidak mau melepas atau mengendurkan cengkeramannya. Tahu-tahu tanpa disadari oleh Tania, tangannya sudah terayun dan mendarat tepat di atas pipi kiri Arman. Pada saat itulah muncul Dokter Sigit dari sebuah kamar di samping lorong. Dilihatnya kedua orang itu masih berkutatan.
"Arman!" tegurnya dengan marah. "Aku sangat heran melihat tingkahmu! Lepaskan saudaramu itu!"
Tanpa berkata sepatah pun, Arman melepaskannya. Sambil menggosok-gosok pergelangannya yang pedih, Tania berjalan cepat ke kamar kerjanya. Para karyawan yang mendengar teriakannya sempat menjulurkan kepala di lubang pintu masing-masing.
"Ada apa"" tanya mereka ingin tahu.
"Ah, cuma Arman bikin lelucon!" sahut Tania meringis tanpa penjelasan lebih jauh.
"Hm," komentar seseorang. "Masak mau dia ganggu tunangan direkturnya sendiri"! Cis! Sudah pacaran sama Suster Wita, apa masih belum cukup" Aku dengar, setiap akhir pekan kalau kebetulan enggak dinas malam, dia pasti apel ke sana!"
Tania meloloskan diri tanpa komentar apa-apa. Tapi Dokter Sigit rupanya telah melaporkan insiden itu kepada Dokter Sabara. Ketika Tania tiba di rumah, belum lima menit dia duduk membuka sepatu, telepon sudah berdering.
"Halo...." Ternyata dari Edo yang menanyakan mengenai insiden pagi itu. Rupanya dia segan bicara langsung selama jam dinas, kawatir ada yang nguping.
"Tahu deh, apa maunya," ujar Tania berdusta tanpa mengatakan terus terang apa yang diucapkan Arman. "Tapi aku sungguh enggak kenapa-kenapa, cuma pedih sedikit lenganku."
"Untunglah. Selanjurnya aku minta supaya kau menjauhi orang itu. Kalau perlu, berhenti saja dari tugasmu. Bukankah proyek sekolahmu sudah hampir rampung" Nah, mereka pasti perlu juga tenagamu di sana."
"Wow, Ed! Bukan main senangnya aku kalau bisa segera keluar dari lingkungan rumkit ini. Bosan aku duduk terus di belakang meja. Apalagi punya musuh seperti Arman!"
"Ambillah cuti besok," usul Edo dengan nada ramah kebapakan. "Pergilah tinjau proyekmu."
Esoknya Tania sengaja pergi pagi-pagi supaya dapat tinggal lebih lamaan di tempat pembangunan. Selain itu bila ada peralatan yang harus dibeli, dia ingin bisa mengajak Pak Saimin pergi belanja. Barangkali mereka malah harus ke luar kota. Karena itu perlu banyak waktu.
Ketika Tania tiba, Pak Saimin sudah ada di tempat, lengah berunding dengan Pak Mandor sambil menunjuk ke sana kemari.
"Ah, Ibu Dokter!" sambutnya. Itu adalah panggilannya sejak dia bertunangan.
Tania menyalami kedua orang itu. Tak lama kemudian Pak Mandor meninggalkan mereka uniuk mengatur anak buahnya sekalian menyampaikan saran-saran Pak Saimin.
"Ada kabar apa. Pak"" tanya Tania ketika melihat air muka Pak Saimin sedikit muram.
"Begini, Bu Dokter," katanya sambil melipat-lipat tangannya seperti orang yang salah tingkah. "Tapi lebih dulu saya mohon maaf sekiranya tidak berkenan pada Bu Dokter."
"Ada apa sih. Pak" Tentu saja saya enggak akan marah!" janji Tania menenangkan.
"Begini, anu... pendirian yayasan kita... anu... rupanya sedikit macet...!"
"Di mana" Kenapa""
"Tahu, ya. Saya sudah dua kali nelepon Pak Razak. Kata beliau, belum bisa diurus. Padahal tahun pelajaran baru yang tinggal tiga bulan lagi ini, mau saya gunakan untuk membuka sekolah. Biar belum rampung semua, tak apa. Pak Bahari, mandor kita, menyan
ggupkan diri untuk menyelesaikan paling sedikit tiga kelas. Tapi untuk itu diperlukan perlengkapan dan gaji untuk guru-guru. Kalau saya sih masih bisa menunggu, tapi rekan-rekan yang datang dari tempat lain tentunya perlu ongkos, bukan""
"Hm! Apakah Pak Razak begitu repot"" gumam Tania mengerutkan kening.
"Mungkin. Karena itu saya memberanikan diri menghubungi langsung Pak Dokter. Tapi..." Pak Saimin tidak melanjutkan kata-katanya.
"Ya..."" "Beliau juga rupanya sangat sibuk. Malah kedengarannya di telepon agak... agak... anu... jengkel, begitu. Barangkali beliau sedang sibuk-sibuknya ketika saya ganggu! Jadi saya minta tolong Ibu Dokter untuk..." Pak Guru ketawa pelan, malu, seakan kehilangan akal.
Tania mengangguk penuh pengertian. "Saya akan coba menghubungi Pak Razak," janjinya. "Gimana kalau kita sekarang pergi belanja perlengkapan kelas" Tentu saja semua buku harus kita pesan dulu. Sebaiknya langsung dari penerbit. Tapi kapur, mistar, dan lain-lain dapat kita beli sekarang, bukan" Apa semuanya ada di Sukadamai""
"Ah, lebih baik kita ke Sukabumi saja, Bu. Disana ada grosir yang memberi korting cukup besar. Dua puluh lima persen. Lagi pula barang-barangnya lebih lengkap."
"Begitu juga boleh. Bisa kita berangkat sekarang""
"Saya mesti bikin daftar dulu. Lima menit saja."
Tania mengangguk dan berjalan ke luar, memperhatikan pemandangan di sekitar situ. Dia tersenyum gembira melihat alam permai mengelilingi sekolah yang tengah dibangun. Anak-anak pasti tumbuh lebih sehat jasmani dan rohani, pikirnya, di tengah alam damai dan indah seperti ini.
Pak Saimin muncul lima menit kemudian membawa sehelai kertas yang diserahkannya pada Tania. Dibacanya sekilas, lalu mengangguk.
Mereka tidak mendapat kesulitan dengan pemilik toko yang sudah dikenal oleh Pak Saimin. Mereka belanja dengan kredit, sebab Tania tidak membawa uang sebanyak yang diperlukan. Akan tetapi karena barang belanjaan yang jumlahnya banyak itu akan diantar, jadi disetujui bahwa sisa pembayaran akan dilunasi di rumah.
Selesai berbelanja, Tania mengajak Pak Saimin makan siang di sebuah restoran yang menyediakan ikan panggang, lalap, serta sayur asam yang lezat.
Ketika mereka tiba kembali di sekolah, hari sudah menjelang petang. Tania langsung pulang. Bibi ternyata masih dinas. Karena tidak sabar lagi, tanpa menunggu beliau, Tania ngebel Pak Razak di Jakarta.
"Pak, ada keluhan mengenai pembentukan yayasan. Kenapa macet. Pak"" tanyanya setelah memberi salam pembukaan. Didengarnya laki-laki itu menghela napas.
"Ini berhubung dengan anggaran yang tersedia, Tania. Kau- telah menetapkan modal yayasan itu berjumlah dua ratus juta rupiah, bukan" Nah, Dokter Sabara ingin menguranginya menjadi tujuh puluh lima saja. Dia mengajukan perhitungan, dengan bunga setiap bulan, dengan dividen dari saham-saham, jumlah itu memang cukup. Tapi Pak Saimin yang telah kauangkat menjadi salah seorang anggota yayasan, ternyata tidak dapat menyetujuinya. Dia tetap bertahan pada jumlah pertama. Alasannya, itu bukan untuk kepentingan pribadi. Hasil modal itu, kalau berlebih, ingin dimanfaatkannya untuk memperluas sekolah kelak. Rupanya dia berambisi untuk nanti mendirikan SMP dan SMA. Malah juga beberapa sekolah pertukangan yang akan memerlukan mesin-mesin dan peralatan lain yang tidak sedikit biayanya. Nah, Pak Saimin berharap akan memperolehnya dari yayasan."
"Apa Edo tetap menolak setelah mendengar alasan Pak Saimin""
"Ya." "Kenapa"" "Kurang jelas. Dia menyebutkan, di sekitar sini masih banyak petani yang memerlukan tenaga anak-anak mereka di sawah serta ladang. Katanya, pasti banyak orangtua yang tidak setuju bila anak mereka terlalu lama bersekolah. Di samping itu, di kota-kota berdekatan sudah terdapat cukup banyak SMP dan SMA, juga STM. Dokter Sabara rupanya sudah mengadakan pengamalan dan menyebutkan jumlahnya. Dia bilang, yang wajib kan hanya Sekolah Dasar. Kalau sudah tamat SD tidak mutlak wajib meneruskan ke SMP."
"Oh, begitu." Tania menghela napas. "Kenapa Edo enggak bilang-bilang sama saya""
"Entahlah. Barangkali dia tidak mau membuatmu pusing. Bukankah dia sud
ah mengambil alih tugasmu supaya kau lebih santai""
"Betul. Tapi... hm... seandainya hanya tujuh puluh lima juta yang dimasukkannya ke dalam yayasan, lalu akan dikemanakan sisanya""
"Dia tidak bilang padaku. Mungkin akan dikembalikannya ke dalam rekeningmu."
"Tapi untuk itu, dia kan harus membicarakannya juga dengan saya""
Hampir saja ditambahkannya: bagaimanapun, itu uang saya, bukan"! Untung dia masih sempat menahan lidahnya. Ini adalah rasa tidak senangnya yang pertama terhadap Edo. Dan dia tidak ingin ada orang luar yang tahu.
"Jadi bagaimana penyelesaiannya. Pak""
"Sebaiknya kaubicarakan saja hal ini dengan tunanganmu. Bila dia berkeras mau mengurangi modal yayasan itu. carilah jumlah yang juga dapat disetujui oleh Pak Guru. Misalnya, seratus tujuh puluh lima atau seratus lima puluh."
"Bagaimana dengan Bibi Karla dan kedua anggota yayasan yang lain""
"Pak Bupati jelas berpihak pada Pak Saimin.
Begitu juga Kepala Kanwil P&K setempat. Bibimu belum menentukan sikap."
"Baiklah, Pak. Saya akan membicarakan ini dengan Bibi dan Edo. Bapak akan saya kabari lagi atau salah seorang dari kami akan menelepon kembali."
"Oke. Titip salam buat Bibi. ya."
"Ya." Tania ketawa manis.
Hei, betulkah pengakuan Bibi bahwa Pak Razak dulu pernah naksir dirinya" Sekarang pak tua ini sudah menduda. Bila dia masih mencintai Bibi, kenapa tidak diusahakan agar keduanya dapat bersatu" Hidup sendirian, betapa sunyinya kalau sudah tua!
Baiklah, aku akan coba mengetuk hati Bibi. Sejak dia menjadi tunangan direktur rumah sakit sesuai dengan cita-cita Bibi. perempuan setengah tua itu jelas menjadi sayang padanya.
Ketika Bibi pulang sore itu, Tania sudah menunggu di tempat minum teh, di beranda belakang. Bibi biasanya minum teh sebelum berganti pakaian.
"Kue apa ini, Tania"" tanyanya melihat kue di atas piring.
"Dadar pisang, Bi," sahut Tania bangga.
Tania sekarang sering ke dapur. Sewaktu ayahnya masih hidup, dia tidak diperkenankan mengotori tangannya. Lagi pula memang tidak perlu. Ayahnya sudah menyediakan juru masak serta pembantu-pembantu yang lebih dari cukup jumlahnya. Tapi akibat kasih sayang yang salah ini, Tania tidak dapat memasak. Karena itu Bibi menyuruhnya belajar.
Tania sebenarnya bukan pemalas. Dia ternyata gemar kerja di dapur, belajar dari Ani dan Lia yang pintar masak. Tiap Sabtu, kalau ada di rumah, dia pasti memasak atau mencoba resep-resep baru. Saat ini keahliannya masih sedikit, karena itu setiap kali dia berhasil menghidangkan sesuatu, wajahnya berseri bangga.
Dengan cemas dinantikannya reaksi Bibi. Dia tahu kalau rasanya enak, pasti Bibi akan memuji. Sebaliknya kalau kurang apa-apa, Bibi takkan segan bilang terus terang. Bibi tidak pernah menghadiahkan pujian kosong pada seseorang.
Tania memperhatikan Bibi mengunyah dan menikmati hidangannya Matanya langsung berbinar ketika Bibi berdecak, "Hm. Enak sekali. Gurih. Kau tidak membubuhkan bumbu penyedap, bukan"" Nadanya seperti orang curiga, tapi Tania tahu itu cuma guyon. Bibi pernah sekali memergokinya menaburkan bumbu masak ke dalam adonan buah advokat.
"Ha... ha... tentu saja enggak, Bi. Saya pakai santan kelapa yang tua sekali sebagai ganti susu "
"Kenapa" Apa susu di lemari sudah habis""
"Bukan, tapi saya lebih suka pakai santan. Lebih gurih rasanya."
"Hm. Memang enak!" Dicomotnya sepotong lagi.
Alamat baik, pikir Tania bersukacita. Dia juga ikut melahap sepotong. Menurut dia sendiri, terlalu manis. Namun barangkali kebetulan cocok dengan selera Bibi.
"Bi, apa kabar terakhir mengenai yayasan kita"" tanyanya ketika bibinya selesai menghirup teh.
Cangkir diletakkan dengan hati-hati sebelum Bibi Karla menjawab, "Edo tidak ingin aku membicarakan hal ini dengan siapa juga."
"Jadi saya enggak boleh tahu"" tanyanya penasaran. "Kenapa" Bukankah itu..."
Hampir saja dia terpeleset mengatakan uang saya. Bibi rupanya paham, sebab dia mengangguk. "Bibi juga sudah bilang, kau pantas dikasi tahu. Itu kan uangmu. Memang maksudnya baik. Dia tidak mau kau pusing-pusing. Tapi sedikitnya, kau juga boleh tahu perkembangannya. Taruhlah, sebagai anggota kehormatan,
bukan"" "Apa sih yang terjadi"" desaknya seakan belum tahu apa-apa.
Bibi menghela napas. "Dia tidak dapat terlalu disalahkan. Itu bukan untuk kepentingan pribadinya. Dia butuh biaya untuk risetnya."
"Jadi"" tanyanya menahan napas.
"Dia ingin mengurangi dana modal untuk yayasan. Cuma tujuh puluh lima juta yang bersedia diserahkannya bagi yayasan. Sisa yang seratus dua puluh lima lagi mau disumbangkannya pada yayasan rumah sakit bagian riset!"
"Begitu"!"
Tania termenung menatap kebun sayur Bibi yang subur dan indah dipandang mata. Jadi Edo perlu uang untuk riset. Kenapa enggak dikatakannya terus terang padaku" Bukankah aku dapat membantunya" Atau mencari jalan keluar yang baik"
"Aku akan membicarakannya dengan Edo!" katanya memutuskan.
"Sebaiknya memang begitu. Tapi harus kaukatakan, kau sendiri yang bertanya. Bukan aku yang lancang memberitahu."
"Wah, Bibi kok takut padanya""
"Dia direktur, Tania. Seorang direktur tidak akan segan-segan memarahi bawahannya. Kalau perlu, bahkan memecatnya!"
"Begitu"!"
Dia tidak dapat membayangkan bagaimana wajah Edo kalau marah.
Bab 14 EDO SABARA ternyata sama sekali tidak marah ketika Tania menanyakan soal itu padanya.
"Sebenarnya memang ingin kubicarakan hal ini denganmu, tapi lupa terus. Bagus juga kau menanyakannya sekarang. Tania, barangkali aku kurang mengerti seluk-beluk urusan sekolah. Tapi sudah kuperhitungkan semua ongkos yang diperlukan. Ingatlah, uang tujuh puluh lima juta itu baru berupa modal dasar. Setiap tahun pasti akan bertambah dari bunga, saham, sumbangan dermawan, dan lain-lain."
"Ed," potong Tania dengan sabar, "katakan saja terus terang kau perlu biaya untuk risetmu! Kenapa enggak mau kaukatakan padaku" Aku pasti bersedia menolongmu."
Merah wajah direktur itu ditegur langsung begitu. Sejenak dia tampak canggung, sehingga kehilangan kata-kata.
"Ed, jangan tersinggung. Aku bicara dengan tulus. Bila kau perlu dana, aku akan menyumbang seratus juta. Atau seratus lima puluh" Bagiku uang enggak begitu penting. Bukankah kau sudah berjanji akan mencukupi hidupku dengan penghasilanmu" Jadi kita biarkan saja modal yayasan yang dua ratus itu, untukmu..."
"Tania, kau tidak menyadari apa yang kaukatakan saat ini! Kau tidak berhak menghambur-hamburkan uangmu seperti itu! Bila kelak kau punya anak, dia harus memperoleh semua warisanmu! Dia tidak boleh menjadi miskin. Dua ratus ke sana, seratus ke sini, lalu berapa yang tersisa untukmu""
"Oh, Edo!" serunya terharu. "Kau rupanya terlalu memikirkan diriku. Aku enggak bakal jatuh miskin. Dengan menjual rumah di Kemang atau di Pulo Mas atau Kelapa Gading, aku dapat mengumpulkan dua-tiga ratus juta!"
"Kau juga... mempunyai... rumah-rumah lain"" Edo Sabara tampak sulit menelan info yang menakjubkan itu.
"Ya." Tania mengangguk. "Aku memang belum pernah membicarakan soal warisanku denganmu. Sebab aku pikir juga enggak perlu. Toh semuanya milik kita bersama. Selain itu mungkin enggak menarik bagimu, ngurusin tetek bengek duit. Kau sudah begitu sibuk sehari-harinya.
"Nah, ayahku membagi uangnya sama rata antara Arman dan aku. Tapi beberapa rumah, kalau enggak salah ada enam plus sebuah vila di Puncak, semuanya diserahkan padaku dengan catatan supaya aku dapat menggunakannya sebaik-baiknya. Itu semua warisan dari ibuku. Ibuku anak tunggal, kakekku rupanya mahajutawan...." Tania tersenyum geli melihat Edo semakin kebingungan, cuma melongo saja.
"Ayah juga berpesan supaya aku enggak tamak, suka menolong sesama, memperhatikan penderitaan orang lain. Jadi aku rasa, membantu risetmu termasuk dalam pesan itu, bukan""
Tania menatapnya dengan mata bercahaya. Edo tampaknya tidak tahu harus tertawa atau meringis. Dia tidak pernah menyadari bahwa dirinya telah memetik sebuah tambang emas yang tak terkira nilainya.
"Uh, mendadak aku jadi ngeri. Betulkah nasib sebaik itu bisa menjadi milikku" Mungkinkah ini bukan hanya mimpi"" gumamnya seakan pada diri sendiri.
Sekonyong-konyong sebuah kecupan mendarat di pipinya disertai bisikan halus yang menyadarkan dokter itu, dia bukan sedang bermimpi.
"Kalau kau setuju, aku akan se
gera bicara dengan Bibi dan Pak Razak mengenai yayasan sekolah tersebut. Selain itu, aku akan beri instruksi supaya salah sebuah rumah dijual untuk dana risetmu. Oke""
Jawaban Edo hanyalah sebuah kecup hangat yang mesra.
Dengan hati lapang, Tania menemui bibinya. Di luar dugaan, ternyata dia kurang setuju dengan rencananya. "Kau terlalu ceroboh dengan milikmu!" kecamnya. "Apa yang ingin kaulakukan bukanlah kedermawanan yang agung, melainkan kegilaan yang membabi buta! Orang boleh saja menyumbang ratusan juta, asal penghasilannya tidak berkurang. Misalnya, bila dia memiliki pabrik yang berjalan lancar. Tapi penghasilanmu tidak ada, Tania. Kau semata-mata cuma mengandalkan apa yang ditinggalkan ayahmu. Bila uang itu kauhabiskan dalam waktu singkat, kau akan jadi pengemis!"
"Ah, Bibi terlalu kawatir enggak keruan. Saya kan punya suami, yah, sekarang masih tunangan. Penghasilan Edo kan cukup"!"
"Bah, pikiranmu terlalu naif! Kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok lusa. Kalau suamimu kenapa-kenapa-bukan Bibi menyumpahi-dan kau sudah tak punya uang, mau ngemis ke mana""
"Saya sangka Bibi menyukai Edo dan menuruti segala permintaannya," tukasnya, heran.
"Tentu saja aku menyukainya. Kalau tidak, masakan aku izinkan kau bertunangan dengannya. Tapi kita harus selalu berpegang pada kenyataan. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Siapa tahu dia kelak tergoda oleh seorang pasien dan... kau jangan menggigil. Dokter Sabara sangat menarik hati pasien-pasiennya. Selama ini entah sudah berapa orang wanita yang dikecewakannya karena ditolaknya cinta mereka!"
"Oh, ya"!" bisiknya sedikit terkejut. "Lalu kenapa Bibi membiarkan dia berhubungan dengan saya" Siapa tahu dia sebenarnya enggak mencintai saya, lapi cuma terlarik pada uang warisan""
Bibi tersenyum, meraihnya ke dalam pelukan. "Lupakah kau, kalian bertunangan ini semata-mata untuk melindungi dirimu dari ancaman Arman" Begitu kan kata Edo" Dia bukan memaksa kau harus jadi istrinya. Dia cuma ingin menghindarkan bahaya dari sampingmu. Itu merupakan tanda cintanya yang tulus. Dia mengatakan padaku, kelak kau boleh bebas memilih begitu bahaya sudah lewat. Bila kau tidak mau menjadi istrinya, kau boleh bercerai. Tapi Bibi rasa, kau mau, bukan""
Tania tersenyum. Tentu saja dia mau. Kalau tidak, masakan dia sudi bertunangan. Dia bukanlah orang yang gampang ditakut-takuti!
"Betulkah Arman ingin mencelakakan saya, Bi" Walaupun sinis, terkadang saya merasa hatinya sebenarnya baik."
"Ah." Bibi menghela napas. "Sebenarnya Bibi yakin dia tidak bermuksud jahat terhadapmu. Tapi saran Dokter Sabara agar kau bertunangan dengannya, tidaklah jelek."
Tania terdiam. Begitu banyak pertanyaan yang tidak dapat dijawab. Bibi kelihatan sayang pada Arman, tapi terhadap Edo, tidak kurang pula rasa kagum serta hormatnya. Benarkah Bibi sudah tahu, dia sebenarnya tidak dalam bahaya" Kalau begitu, berarti pertunangannya semata-mata hanya untuk memuaskan keinginan Bibi bermenantukan Edo Sabara yang aduhai!
"Kau tidak perlu kawatir, Tania. Bila kauteruskan hubungan ini, Dokter Sabara pasti akan menjadi suami yang baik. Selama ini belum pernah aku dengar dia terlibat skandal apa juga."
"Tapi kalau dia terus-menerus diincar oleh banyak wanita cantik, payah juga dia bertahan."
"Tergantung sikapmu! Bila kau pandai-pandai membawa diri, selalu tampak menarik dan tidak suka merengek, tentunya dia akan betah di sisimu. Ingatlah, Dokter Sabara tidak mempunyai waktu banyak untuk wanita. Itu suatu keuntungan bagimu. Dia lebih mencintai risetnya dan... kau!"
"Tapi bagaimana dengan dana risetnya"" tanyanya bingung. Bibi mengajari supaya dia pandai-pandai mengambil hati Edo. Bukankah itu berarti dia harus menyokong risetnya itu"!
"Sabarlah. Nanti Bibi tanyakan pendapat Pak Razak. Atau... kenapa tidak kautelepon dia" Sekarang sudah jam...," Bibi melihat arlojinya, "...tujuh. Dia pasti sudah ada di rumah. Mungkin baru mau makan. Lekaslah telepon. Kalau tidak, kau harus tunggu sampai dia selesai makan sejam lagi."
Tania bergegas bangkit dan lari ke dalam. Hampir tabrakan dia dengan Lia yang tengah membawa piring-
sendok untuk santap malam.
"Halo, Pak Razak. Di sini Tania. Ada waktu. Pak" Kalau mengganggu, saya dapat telepon sebentar lagi," ujarnya terengah saking tegang.
"Oh, tidak usah. Aku ada waktu untukmu," sahut Pak Razak ramah.
Ah. seandainya aku dapat menjodohkannya dengan Bibi! Bukankah dulu dia pernah menaksirnya"
"Pak, ada perkembangan baru mengenai yayasan. Saya sudah membicarakannya dengan Edo dan Bibi. Saya usulkan agar dana yayasan tidak dikurangi, tapi untuk riset rumah sakit saya bersedia menyumbang... anu... bukankah rumah di Kemang pernah ditawar orang, Pak" Apakah orang itu masih berminat" Dan yang di Pulo Mas" Atau di Kuningan" Atau di..."
Pak Razak memotong kata-katanya dengan batuk-batuk kecil. Tania berhenti, menunggu reaksinya. Bila Pak Razak juga tidak setuju... Benar saja. Dia ingin tahu dulu bagaimana pendapat Bibi.
"Anu... Bibi enggak menentang, tapi... juga... enggak menganjurkan. Terserah saya," katanya setengah berdusta. Tidak betul terserah dia. Bibi jelas-jelas menentang!
Dibakar Malu Dan Rindu Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berapa yang ingin kausumbangkan untuk riset""
"Mmm, berapa ya. Seratus, Pak" Seratus lima puluh" Bukankah rumah di Kemang itu bisa laku seratus enam puluh"(harga ini sebelum tahun 1980) Biarlah kita turunkan saja, sebab perlu tunai."
Batuk-batuk di seberang sana makin keras. Tania tidak tahu bahwa nafsu makan Pak Razak sudah hilang separuh. Anak ini tidak tahu apa artinya bangkrut, pikir pengacara itu.
"Aku akan mencoba mempelajari usulmu itu, Tania. Aku akan beritahu lagi, tapi ini makan waktu, lho. Tidak mudah mendapatkan pembeli rumah mewah. Uang tunai sedang sulit sekarang."
"Berapa lama. Pak"" tanyanya gembira, mengira Pak Razak sudah setuju dengannya, namun kurang sabaran.
"Anu, ehem... ehem... aku akan merundingkannya dulu dengan Bibi. Dia masih menjadi walimu selama engkau belum menikah. Kan sekarang baru bertunangan saja, toh" Nah. bila semua beres, aku perlu waktu kira-kira tiga bulan. Kurasa, Dokter Sabara akan dapat menunggu....."
Huh! Bibi! Jelas akan timbul rintangan di situ! Dan Pak Razak sendiri tidak kedengaran antusias! Dengan lesu diucapkannya terima kasih dan diletakkannya pesawat.
"Apa katanya"" tanya Bibi di meja makan.
"Dia akan membicarakannya dengan Bibi."
Berseri wajah perempuan itu. Dia senang dimintai pendapat oleh Pak Razak, pikir Tania Ah, kenapa mereka enggak menikah saja" Sekarang juga belum terlambat, bukan" Cinta enggak pernah datang terlambat atau terlalu pagi.
"Bi, Pak Razak kelihatannya sangat menyukai Bibi. Kenapa Bibi enggak mau lebih ramah padanya" Anu, maksud saya, sama-sama kesepian, kenapa enggak mau saling mendekati""
"Husss!" tegur Bibi dengan pipi merah.
Bab 15 pak razak dan Bibi Karla rupanya sepakat untuk meluluskan permintaan Tania. Sebuah rumah akan dijual untuk membiayai riset calon suaminya. "Tapi tidak lebih dari seratus lima puluh juta," kata Pak Razak. "Minimum seratus."
Sudah hampir dua bulan lewat, tapi rumah itu belum juga kelihatan ada peminatnya. Mungkinkah terlalu mewah"
Tapi untunglah uang untuk yayasan dapat dicairkan. Dan bila semua berjalan lancar, dalam tiga bulan akan beres. Sekarang masih masa liburan. Pak Saimin berharap sekolah itu dapat diresmikan pada tahun pelajaran yang baru. Dan Tania akan mengajar di kelas satu. Betapa senang hatinya. Dia takkan bertemu lagi dengan Arman.
Heran! Setelah diangkat menjadi ahli waris sah, orang itu belum juga mau berlalu. Masa bodohlah, bukan urusanku, pikir Tania sambil menyisir rambutnya pagi itu.
Udara agak mendung, tapi dia tidak ingin membatalkan janji untuk berenang di Vila Delta Venus bersama Edo. Justru karena bersama Edo itulah!
Selama seminggu ini mereka jarang sekali berduaan, sebab Edo terlalu sibuk. Pada hari Sabtu pun dia harus dinas. Untung Tania dapat menghabiskan waktunya setiap Sabtu di proyeknya.
"Kerja dokter tidak mengenal waktu," kata Edo suatu kali.
Itu juga yang dikatakannya ketika Ibu Melita menegur, kenapa dia jarang datang. Katarina tampak sangat manja pada Dokter Sabara yang dipanggilnya Papi. Sudah tentu itu cuma sekedar main-main.
"Kebiasaan sejak kecil," I
bu Melita menjelaskan. Tania tersenyum walaupun dia kurang mengerti kenapa seorang pasien cilik dibiarkan memanggil dokternya: Papi.
"Apa ayahnya enggak pernah datang"" tanya Tania, tapi nyonya rumah agaknya terlalu sibuk dengan pikiran lain dan tidak menjawab.
Seperti biasa kunjungan ke vila selalu mengasyikkan. Walaupun Edo menyibukkan diri dengan si cilik Katarina, Tania tidak berkecil hati. Dia berenang sendirian. Ibu Melita masih asyik di dapur menyiapkan makan siang yang pasti nikmat seperti biasanya.
Untunglah langit hanya mendung-mendung saja, tidak sampai turun hujan. Airnya agak dingin sebenarnya, namun dengan bergerak hilir-mudik sepanjang kolam akhirnya badan Tania terasa hangat juga.
"Belum lapar"" tanya nyonya rumah dari pinggir kolam.
"Ah, sudah boleh makan"" tanya Tania ketawa cerah.
"Tentu saja!" "Rina, ajak Papi makan." seru wanita itu menjawil anaknya yang telah muncul di sampingnya, sambil berlalu meninggalkan kolam, kembali lagi ke dalam. Katarina bisa mengerti perintah ibunya, mungkin karena suaranya diperkeras atau karena dia membaca gerak bibirnya. Tania berdebar juga mendengar nada seruan itu, seolah Edo memang ayah Katarina.
Mereka makan di teras, dekat kolam. Udara yang sejuk mengusir lalat, sehingga mereka dapat makan udang dan kepiting dengan tenang.
"Dari mana kepiting ini"" tanya Tania sedikit heran.
"Ah, jangan menanyakan rahasia dapur seorang wanita!" tegur Edo tertawa.
"Bukan rahasia, kok," Ibu Melita menanggapi dengan senyum manis. "Ada orang yang membawakannya kemarin malam dari Jakarta."
Sebenarnya Tania masih ingin menanyakan resep saus putih yang dihidangkan. Tapi teguran Edo membuatnya segan.
Mereka makan dengan lahap. Walaupun Katarina praktis tidak mendengar percakapan mereka, anak itu sering ikut tersenyum. Terutama pada Edo. Dokter itu juga cukup memanjakannya dengan mengupaskan udang dan mengambilkan daging kepiting.
Selesai makan, mereka melihat video sebentar.
Film anak-anak yang bagus juga menurut Tania, tapi Ibu Melita tidak ikut nonton. Ternyata dia sibuk di dapur, menyiapkan kue untuk minum teh. Terpaksa Tania bangkit untuk membantu, namun ditolak dengan halus. Dia kembali menonton.
Sebenarnya dia ingin pulang untuk beristirahat, sayang Edo tidak kelihatan berniat pamitan. Apalagi udara sudah kembali cerah lagi.
"Kelihatannya kau ngantuk," ujar Edo penuh perhatian. "Tidurlah di kamar tamu."
"Ya, betul," angguk nyonya rumah. "Beristirahatlah. Nanti saya bangunkan kalau teh sudah siap."
Tania mengangguk dan tidak membantah. Dia hanya ingin berbaring sebentar saja, tidak tahunya keterusan lelap dalam tidur yang nyenyak. Ketika dia keluar dari kamar, hari sudah gelap. Lampu-lampu sudah dinyalakan. Di ruang tengah hanya ada Edo berdua dengan nyonya rumah. Katarina tidak kelihatan. Rupanya anak itu masih tidur.
"Wah, maaf, saya ketiduran," kata Tania tersipu.
"Tidak apa-apa," sambut Edo tersenyum. "Aku sengaja tidak membangunkan, tapi jangan takut, kue bagianmu masih ada!" Dia tergelak diikuti oleh Ibu Melita yang menepuk bahunya dengan gulungan koran. Tania semakin tersipu melihat lagak lagu mereka yang cukup intim itu. Maklumlah, Edo sudah menangani Katarina sejak lahir, pikirnya.
Pembantu muncul dengan secangkir teh hangat dan kue sepiring. Tania mencoba seiris. Enak.
Sayang dia tidak tahu namanya dan segan menanyakannya. Siapa tahu itu adalah rahasia dapur nyonya rumah juga yang menurut Edo terlarang dibeberkan.
"Kalau sudah kenyang, mari kita pulang," ajak Edo. "Sebelum Rina bangun."
Ya. mereka selalu berusaha pulang sebelum anak itu terjaga. Mungkin Edo merasa kawatir anak itu akan menangis. Seingat Tania, setiap kali ke sana mereka selalu pulang bila Katarina sudah tidur, atau dia harus diajak pergi dulu ke tempat lain. Anak itu tidak boleh melihat Edo pulang.
Sehabis minum teh, mereka pun permisi. Hari sudah gelap karena mendung. Angin berembus semilir, cukup dingin. Untung Tania membawa sebuah mantel tipis.
"Barangkali Bibi sudah menunggu kita untuk makan malam."
"Kebetulan. Aku segan masak nasi malam ini," Edo menggeleng.
Betul dugaa nnya. Bibi tengah duduk di serambi depan seakan menunggu atau lebih tepat, termenung. Melihat mereka datang, tidak ada senyum tersungging di wajahnya. Tania menghampiri dan mencium pipinya.
"Kenapa, Bi" Sakit""
Bibi menggeleng lesu. Mereka kemudian masuk ke dalam rumah. Meja makan belum disiapkan.
"Boleh saya mandi dulu sebelum makan"" tanya Tania.
"Tentu saja." Di lorong ke belakang dilihatnya Ani tengah mengangkat sebuah baki ke dapur, berisi gelas-gelas kosong.
"Apa tadi ada tamu"" tanyanya.
"Ya. Dua orang sama anak kecil."
Selesai mandi, Tania agak heran juga melihat Edo sudah tidak ada.
"Ke mana dia"" tanyanya pada Bibi. "Barusan bilangnya mau ikut makan!"
"Dia tidak mau," gumam Bibi tanpa semangat.
"Bibi kelihatan lesu," ujarnya sambil menjatuhkan diri ke atas kursi. "Siapa yang datang tadi""
"Arman. Dan... istrinya."
"Oooh!" Karena itu Bibi menjadi lesu" Sebenarnya Tania ingin sekali bertanya, tapi dia tahu Bibi tidak suka diganggu dengan pertanyaan yang tidak enak di meja makan. Ia terpaksa menunggu sampai selesai.
Namun betapa kecewanya dia ketika makan malam sudah berakhir. Ternyata Bibi mau langsung mengundurkan diri ke dalam kamar.
"Aku merasa kurang enak badan. Besok kita bicara lagi. Ada yang perlu kukatakan padamu."
"Mengenai kunjungan tadi sore""
Bibi mengangguk dengan bibir terkatup rapat. Tania sudah tahu sifat bibinya. Kalau dia tidak mau membuka mulut, tak seorang pun dapat memaksanya. Terpaksa dihampirinya Dona untuk melupakan kegundahan hatinya, terutama menekan rasa ingin tahu yang tak terpuaskan.
Pagi-pagi Tania bangun dengan perasaan yang agak aneh. Suasana hening. Biasanya bunyi kelom Bibi sudah kedengaran mondar-mandir sepanjang lorong ke belakang.
Dia bangkit dari ranjang dan melangkah ke luar kamar. Dona mengikuti di belakangnya. Ani dan Lia tengah menyiapkan sarapan.
"Mana Bibi""
"Belum bangun," sahut Ani.
"Sudah hampir setengah tujuh! Apa dia libur"" gumamnya mengerutkan kening.
Dihampirinya kamar Bibi yang menembus ke beranda samping yang menghadap ke hutan. Di sana tak ada pagar pekarangan. Pohon-pohon yang lebat sudah cukup sebagai pelindung penghuni kamar.
Tania mengetuk dua kali. Hening. Ditempelkannya telinganya ke daun pintu. Tidak terdengar apa-apa dari dalam. Keningnya berkerut. Bangun siang bukanlah merupakan kebiasaan Bibi.
Diketuknya sekali lagi. Tetap hening. Diputarnya gerendel. Terkunci. Dia membungkuk untuk mengintai ke dalam. Tapi tempat tidur tidak kelihatan dari situ. Tania tidak sempat lagi berpikir.
Setengah berlari dia pergi ke belakang, mengitari samping rumah menuju ke beranda kamar Bibi. Dona ikut-ikutan berlari di belakangnya, mengira itu suatu permainan jenis baru. Sandal dan gaun tidur Tania yang panjang basah kena embun, namun tidak disadarinya.
Sedikit terengah dia tiba di beranda. Pintunya tidak terkunci, tapi melengkung sedikit seakan Bibi tidak berhasil menguncinya karena macet engselnya. Didorongnya pintu dan... kamar itu agak gelap. Tirainya tertutup semua.
Beberapa detik kemudian matanya mulai terbiasa dalam keremangan. Dilihatnya Bibi masih tidur lelap. Dihampirinya dengan berjinjit agar tidak mengejutkannya.
"Kenapa, Bi" Sakit"" tanyanya berbisik ketika sudah tiba di depan ranjang.
Tangannya terjulur hendak menggoyang lengan Bibi. tapi begitu tersentuh otomatis jarinya mundur kaget. Kenapa" Dia tidak tahu. Terasa aneh. Dingin. Dingin"! Diiingiiin!
Entah dari mana datangnya, firasat buruk menyelinap masuk. Cepat-cepat dibukanya pintu yang menuju ke lorong, lalu dinyatakannya lampu. Ketika dipandangnya Bibi, Tania nyaris menjerit. Bibi terlentang dengan bibir sedikit menganga, separuh lengannya terjulur ke luar pembaringan dan wajahnya pucat pasi. Bibirnya yang keriput itu tampak putih keabu-abuan.
"Aniii! Liaaa!" pekik Tania, kemudian menutupi mulut dengan kedua telapak tangan saking ketakutan. Dona juga tampak terperanjat ketika menciumi lengan yang terjulur itu. Dia langsung mundur dan sembunyi di balik sofa.
Kedua gadis yang diteriaki itu segera muncul tergesa-gesa. "Ada apa, Neng"" seru mereka berbareng.
"Bibi ...." Dia tak sanggup bicara lebih, cuma menunjuk dengan jarinya yang lemas.
"Ya Allah! Ya Gusti!" mereka serentak menjerit kecil.
Ani yang agak pemberani maju menyentuh lengan Bibi. "Dingin," bisiknya menggigil.
Tania memberanikan diri dan maju lagi. Dira-banya dada Bibi. Tenang. Tak ada denyut sekali pun. Lia sementara itu sudah membuka semua tirai, sehingga sinar pagi menembus masuk. Apa yang mereka lihat saat itu tak terbantah lagi. Bibi sudah tiada. Enggak! Enggak mungkin! Enggak mungkin! Tania menolak untuk mempercayai penglihatannya.
"Telepon dokter!" bisik Tania seakan memerintah, tapi seperti robot dia sendiri yang melangkah keluar dan menghampiri pesawat dekat kamar makan.
Untung sekali Edo sudah bangun sepagi itu. "Tenang, tenang, Tania," bujuknya. "Aku akan segera datang! Pasti dia masih bisa ditolong!"
Namun ketika Dokter Sabara datang dan selesai memeriksa Bibi Karla, kepalanya menggeleng sambil menatap Tania dengan sendu. Gadis itu tiba-tiba menjadi histeris. Dia menangis setengah meraung dipeluk oleh Ani dan Lia di kiri kanan.
Dia tidak bisa dibujuk. Kesedihannya luar biasa, seakan itu ibunya sendiri yang terbujur kaku di ranjang, bukan bibi yang semula kurang ramah padanya. Mungkin karena di bawah sadar dia insaf dirinya kini sebatang kara di dunia.
Memang Bibi dulu galak, tapi akhir-akhir ini dia benar-benar sudah memperlihatkan kasih sayangnya padanya. Baru sejenak Tania merasakan kehangatan cinta seorang wanita yang selama ini tidak dikenalnya (sebab ibunya meninggal ketika dia baru dua tahun), kini dia sudah ditinggalkannya lagi.
Edo menelepon ambulans. "Kau ikut aku dengan mobilku," perintahnya pada Tania.
"Aku mau tinggal di rumah saja," tolaknya mengisak.
"Di sana lebih baik, dekat kantorku. Kau akan diawasi dan ditemani oleh seorang perawat. Kau perlu istirahat."
Karena Tania masih juga meraung histeris, Dokter Sabara memberinya sebuah suntikan penenang. Kemudian digendongnya tubuh yang lemah lunglai itu ke dalam mobilnya.
Bab 16 Tania tidak tahu berapa lama dia tertidur. Ketika membuka mata, didapatinya dirinya berada dalam sebuah kamar rumah sakit yang putih, rapi, dan bersih. Di samping tempat tidur terdapat sebuah jambangan berisi bunga-bunga segar beraneka warna. Dia tahu, itu adalah kamar kelas satu untuk pasien-pasien Dokter Sabara yang tergolong kaya.
Dirabanya sekeliling bantal untuk mencari bel, tapi tidak ditemukannya. Bahkan kabel radio pun tak ada. Kamar itu hening sekali.
Dia berusaha bangkit, tapi kepalanya terasa berat sekali, tak mampu digerakkannya badannya. Kemauannya terasa lenyap, tubuhnya lemas, dan dia mengantuk sekali. Apakah yang sudah terjadi"
Dia mencoba berpikir, namun tak berhasil. Otaknya kosong melompong. Samar-samar dia ingat sedikit, telah terjadi sesuatu dengan bibinya. Apa" Bibi kenapa" Di mana Dona" Di mana Ani dan Lia" Di mana Edo" Di mana mereka semua" Di mana aku" Apa yang telah terjadi dengan Bibi"
Karena gorden diturunkan, kamar menjadi gelap dan Tania tidak tahu sudah jam berapa saat itu. Aku harus keluar mencari keterangan, pikirnya. Tapi pikiran itu melayang jauh sekali, berputar-putar tanpa arah.
Dia tetap tidak bergerak. Sebentar-sebentar dirasakannya kelopak matanya hendak menutup kembali sehingga dipaksakannya dirinya untuk melotot terus memandang gelap. Dia tidak boleh tertidur lagi.
Tapi untuk berpikir juga sulit sekali. Matanya tetap ingin mengatup. Dalam keadaan setengah sadar begitu, dirasakannya seseorang menyelinap masuk ke dalam kamar. Siapa" dia ingin bertanya, tapi suaranya tidak keluar.
Dicobanya bertahan melotot. Yang tampak hanyalah seseorang berpakaian putih. Dia tidak dapat mengenali wajahnya. Siapa" tanyanya sekali lagi, tapi suaranya masih belum kedengaran.
"Kau sudah bangun."
Dikenalinya suara itu. Edo! jeritnya tanpa suara. Betapa leganya dia. Edo menyalakan lampu di langit-langit.
Apa yang telah terjadi" Kenapa aku di sini" Sakit apa aku" Di mana Bibi" Kenapa enggak muncul" Kenapa suara Edo enggak hangat seperti biasa"
Ah! Dia ingat samar-samar... Bibi...!
Matanya terbuka lebar. Dilihatnya Edo me
letakkan sebuah kantong kecil di atas meja di samping tempat tidur. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong. Tania mengenalinya. Matanya terbuka lebih lebar lagi.
Suntikan itu! Dia lemas karena suntikan itu! Tidak! Dia tidak mau lagi disuntik. Dia tidak mau lagi dibuat tak berdaya. Dia sebenarnya tidak apa-apa.
Tania berusaha keras menggerakkan lengannya untuk menolak atau mengucapkan beberapa patah kata, menyatakan dia tidak memerlukannya. Tapi usahanya tak berhasil. Tubuhnya lemas sekali, Kemauannya tidak cukup untuk menggerakkan otot mana pun.
Dokter Sabara dengan tenang mengisi alat suntiknya dengan cairan yang dibawanya. Dia menoleh dan tersenyum menatap tunangannya. Senyum itu mirip seringai kemenangan yang sinis dan mendebarkan hati.
"Jangan takut," ujarnya sementara menyiapkan semua itu. "Kau takkan merasa sakit sama sekali. Aku jamin! Dalam sekejap semuanya akan berakhir. Kau tidak perlu gelisah. Seperti Jonas dan Bibi...."
Tania mendengar dan mengerti. Bibi! Ya, Bibi telah... apa katanya barusan" JONAS" JONAS"" JONAS"""! Kenapa dia" Bukankah Jonas kena serangan jantung"!
Medali Wasiat 5 Pendekar Rajawali Sakti 33 Manusia Beracun Suling Emas Dan Naga Siluman 23