Pencarian

Dibakar Malu Dan Rindu 1

Dibakar Malu Dan Rindu Karya Marga T Bagian 1


Marga T. DIBAKAR MALU DAN RINDU Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2003
Djvu: K80 Edit & Convert Jar: inzomnia
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat, maupun kejadian adalah kebetulan belaka. Kisah ini berdiri sendiri, tidak terkait dengan novel-novel yang sudah terbit, walaupun beberapa tokoh dari kisah-kisah yang lalu ada yang muncul di sini.
BAGIAN KESATU Rahasia Dokter Sabara * Buku ini diterbitkan tahun 1983, sehingga nilai-nilai moneter di dalamnya mungkin sudah tidak sesuai dengan keadaan sekarang, dua puluh tahun kemudian. Misalnya, warisan tiga ratus juta rupiah, dulu dan sekarang sudah lain artinya. Tapi untuk otentisitas, data-data itu tidak akan diubah.
* Revisi dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan sambungan kisah ini. Keduanya digabung dalam buku ini.
Bab 1 Tania rejana terjaga ketika matahari sudah lama menerobos ke dalam kamarnya lewat jendela yang dibiarkannya terbuka semalaman. Dia senang tidur dalam sejuknya belaian angin malam. Jendela itu besar. Angin yang masuk, walau hanya semilir, cukup melarutkan kegerahan di tengah udara musim kemarau.
Hatinya terasa nyaman bergurau dengan pagi yang cerah ditingkah riuhnya kicau burung dan salak anjing di kejauhan. Namun ketika matanya tertatap pada sebuah potret di dinding, tidak urung selimut kelabu kembali menutupi kegersangan hatinya.
Ayahnya seakan mengirim senyum dari dalam pigura keemasan itu. Senyum yang datang dari jauh, dari negeri yang tak bernama. Rasa kehilangan yang bukan main besarnya melanda pesisir hatinya. Seingatnya, dia selalu merasa dekat dan tidak pernah berpisah dengan ayahnya kecuali se-hari-dua bila tugas perusahaan menuntutnya pergi dari rumah. Itu pun jarang.
Tapi seminggu yang lalu terjadi perdarahan otak
yang telah merenggut nyawa ayahnya. Wajah tercinta itu pergi untuk selamanya dari hidupnya. Dan seakan kesedihan itu masih belum cukup, kini dia diharuskan tinggal bersama bibinya sampai dia nanti berumur dua puluh lima tahun. Jadi selama empat tahun. Jangankan begitu lama, seminggu saja bersama si cerewet itu sudah lebih dari cukup. Dia tidak punya persediaan cinta yang berlimpah untuk bibinya.
Dia sendiri tak mengerti mengapa ayahnya menulis surat wasiat begitu aneh. Katanya, bila dia memisahkan diri dari bibinya sebelum usia tersebut, maka haknya sebagai ahli waris akan lenyap! Betul-betul aneh! Haruskah dia tinggal serumah dengan bibinya untuk sekian lamanya"! Apakah Jonas akan mau mengerti" Sejak setahun lalu, dia kerap mendendangkan lagu perkawinan ke dalam telinganya. Bila saja Ayah tidak apa-apa, rencananya laki-laki itu akan menemui ayahnya sebelum akhir tahun.
Bagaimana kalau Jonas tidak setuju" Dia bukan termasuk orang yang hidupnya hanya menantikan rezeki jatuh dari langit ataupun dari harta warisan orangtua. Dia lebih suka menikmati hasil jerih payah keringatnya sendiri. Dan sebagai salesman yang sukses, dia memang akan sanggup membangun rumah tangga.
Tapiii... warisan tiga ratus juta rupiah-atau lebih"-dalam bentuk bergerak maupun tidak, bukanlah sekedar rezeki dari langit. Itu merupakan sebuah tanggung jawab juga. Dia takkan mungkin
membiarkannya jatuh ke tangan orang lain. Ah, siapa pula sebenarnya anak angkat ayahnya itu"!
Sungguh mengherankan. Sampai seumurnya sekarang dia menganggap dirinya sebagai anak tunggal. Kini tahu-tahu muncul seorang anak angkat yang punya hak sama seperti dia! Dan bila dia tidak lagi menjadi ahli waris karena meninggalkan Bibi atau sebab-sebab lain-misalnya mati, pikirnya-maka bagiannya akan jatuh ke tangan anak angkat itu! Aneh! Bagaimana mungkin dia tidak akan memikirkan siapa orangnya.
Pasti dia bukan seorang anak angkat biasa. Seorang anak dari selir" Atau kenang-kenangan dari seorang wanita yang telah memberinya perasaan bersalah" Apakah ayahnya pernah melakukan sesuatu yang tercela di masa lalunya" Apakah cintanya pada Ibu cuma merupakan pelabi belaka"
Bagaimanapun, semua itu akan terjawab bila orang itu sendiri muncul. Sejauh ini, semua iklan di koran-koran yang entah sudah berapa kali dimuat, berlalu tanpa j
awaban. Ahli waris ayahnya yang satu itu hilang tanpa kabar berita.
Dan Bibi kelihatan amat gelisah. Bibi pasti tahu lebih banyak dari apa yang bersedia dikatakannya padanya. Kalau tidak, takkan seresah itu dia. Wajahnya yang runcing tampak makin tidak enak untuk disantap mata, terutama kalau bawelnya sedang kumat. Berlainan dengan orang-orang bawel yang biasanya ramah dan hangat. Bibi dingin seperti ikan dan tidak memiliki toleransi terhadap kegembiraan hidup.
Empat tahun bersamanya"! Tania menghela napas. Selamat tinggal pesta-pesta meriah di hari ulang tahun maupun di akhir tahun. Wah, barangkali ayahnya ingin supaya dia berkabung selama empat tahun! Bersama Bibi, tanpa pesta, tanpa tawa ria. Boleh saja, pikirnya sambil merambati potret itu dengan kerling matanya. Untukmu, Ayah. Tapi bukan karena cinta saya pada Bibi! Saya enggak mencintainya, maaf saja. Dia terlalu nyinyir buat ukuran hati muda yang periang seperti saya.
Yah, mungkin itu disebabkan karena Bibi tidak pernah menikah. Barangkali hatinya menjadi sinis dipaksa menyaksikan kebahagiaan bertaburan di sekitarnya selama usianya yang sudah lebih setengah abad itu. Mungkin itu pula sebabnya kenapa dia betah bekerja di Rumah Sakit Bisu-Tuli.
Pada hari pertama dia datang di rumah ayahnya, sudah diajaknya Dokter Burhan bertengkar. Dokter ingin supaya ayahnya dikirim ke rumah sakit, tapi Bibi bersikeras mau merawatnya sendiri di rumah. Dengan ketus dikatakannya bahwa ijazah perawatnya masih berlaku. Akhirnya dokter itu terpaksa mengalah setelah Bibi mengancam akan memanggil dokter lain. Bagaimanapun dia takkan membiarkan itu terjadi, katanya. Ayah adalah sahabatnya. Dia ingin mendampinginya terus sampai sembuh. Dan terpaksa dipinjamnya alat-alat infus, tabung oksigen, dan lain-lain dari rumah sakit.
Menakjubkan. Bibi ternyata tidak berdusta. Dia memang sangat terampil dalam tugasnya. Dokter Burhan pun akhirnya memujinya. Orang-orang di Rumah Sakit Bisu-Tuli itu pasti akan merasa sangat kehilangan setelah Bibi meletakkan jabatannya untuk menemani aku di sini.
Tania menghela napas. Aku enggak bakal membiarkan Bibi merusak gairah hidupku. Dia mendesah dengan lidahnya. Mendengar desahan itu, seekor terrier bangkit dari lantai dekat kaki tempat tidur dan menghampirinya. Anjing kecil itu berjingkat untuk mencapai pipi majikannya yang segera dihujamnya dengan selusin cium hangat dan basah. Tania ketawa sayang bercampur rasa geli. Diacak-acaknya bulu yang panjang dan lebat itu, dikecupnya hidungnya yang basah.
"Sudah, Dona," elaknya sambil bangkit, lalu mengangkat anjing coklat itu dari lantai dan mendukungnya ke kamar mandi. Sementara dia mandi, Dona menunggu sambil tiduran di dekat tempat pembasuh muka. Ketika sudah selesai, dia pergi ke ruang makan.
"Lepaskan anjing itu!" sebuah hardik menyambutnya dekat meja makan. "Kau akan sarapan dengan baju dan tangan penuh bulu""
"Tapi tangan saya enggak penuh bulu," protes Tania.
"Lepaskan binatang itu, kataku!"
Tania mengangkat bahu. Diturunkannya Dona ke lantai. "Bersembunyilah," bisiknya. "Kalau enggak, nanti kau direbus sama nenek sihir!"
Dona bergoyang buntut sambil mundur teratur ke samping lemari es. Tania duduk menghadapi semangkuk bubur kacang hijau yang dibencinya.
Akan beginikah terus selama empat tahun" Menu sarapan pagi: semangkuk bubur kacang dan seraut wajah masam yang jelek dipandang.
"Apa saya enggak boleh makan nasi, Bi"" tanyanya mencoba bersikap manis.
"Jangan cerewet! Makan apa yang disediakan!" hardik bibinya.
"Apa Bibi enggak pernah merasa bosan terus-terusan makan makanan yang sama selama seminggu"" gerutunya sambil menyendok bubur dalam mangkuknya.
Perempuan itu menghimpun segenap tahunnya yang berjumlah lima puluh enam itu di sudut-sudut mata dan bibirnya ketika dia menatap keponakannya tanpa senyum. "Aku bukanlah seorang pemboros, Tania! Kacang hijau setengah karung itu harus dimakan."
"Berikan saja pada orang!" tukasnya cepat.
"Kenapa membuang-buang bahan yang masih bisa kita makan sendiri""
Tania mengangkat muka dan menatap bibinya. "Masak ngasi sama orang, Bibi anggap buang-bua
ng bahan"" serunya.
"Jangan rewel! Kacang hijau itu bagus buat kesehatan! Sisanya akan kubawa pulang untuk pasien-pasienku! Kita akan segera berangkat hari ini!"
"Ke mana"" tanyanya kaget.
"Ke tempatku tentu saja!"
"Lho! Apa Bibi bukannya mau tinggal di sini""
"Aku enggak tahan hawa Jakarta. Terlalu panas!"
"Oh, jadi Bibi masih dinas di rumah sakit itu""
"Tentu saja! Apa kaukira aku sudah pensiun""
Hm. Kalau begitu Bibi sudah bohong waktu hilang sama Dokter Burhan, dia mau tinggal menemani aku di sini. Atau... aku sendiri yang salah tangkap" Bibi memang bilang akan menemani, tapi apa dia juga bilang di mana"!
"Saya perlu ngasi tahu Jonas dulu," katanya bergegas mau bangkit meninggalkan bubur yang tidak menimbulkan selera itu.
"Habiskan buburmu!" perintah Bibi dengan kasar "Dan lupakan laki-laki itu!"
"Bi, dia bukan sembarang laki-laki!" protesnya, mulai sebal.
"Kau harus melupakannya!" cetus Bibi seakan mengumumkan sebuah undang-undang. "Kau tidak boleh menikah dengannya!"
Tania membelalak. Ini benar-benar sudah keterlaluan! Bibi mau coba-coba main diktator" Apa artinya warisan ratusan juta dibandingkan dengan cinta Jonas"
Dibantingnya serbet makan ke atas meja, lalu dia bangkit dan mendorong kursi dengan berisik sekali. "Saya perlu nelepon dia," ujarnya bandel.
"Dia cuma ingin hartamu!" sambut Bibi dingin, tapi Tania tidak meladeni.
Dia sengaja menelepon dengan suara keras supaya didengar oleh bibinya. Telepon di kamar makan yang biasa dipakai ayahnya rupanya telah dicabut atas perintah Bibi. Dia tidak heran ketika melihat benda itu diangkut ke "rumah sakit Bibi" seperti yang disebut-sebutnya. Ya, rumah sakitnya!
Belum pernah Tania mendengar ada seorang perawat yang begitu mencintai rumah sakit tempat kerjanya seperti bibinya.
Setengah karung kacang hijau, sekarung terigu, sekarung beras, sisa-sisa gula, garam dan lain-lain, semua itu untuk "rumah sakitnya". Bahkan dua di antara ketiga pembantu rumah akan diboyongnya juga ke sana.
"Jadi mau diapakan rumah ini"" tanyanya bingung.
"Ditutup saja. Bila kau mau menjualnya nanti, terserah. Itu hakmu."
Menjualnya"! Enggak bakal! Dia tak kuasa menghapuskan segala kenangan semasa tinggal di sini. Dia takkan membiarkan tangan-tangan asing mengobrak-abrik tempat istirahat anjing-anjingnya untuk sebuah kolam renang, misalnya. Pemilik baru tidak mustahil akan membuat kolam renang yang sekarang ini tengah menjadi mode di kalangan orang-orang kaya.
Tidak! Rumah ini akan dihuninya kembali setelah masa empat tahun nanti. Dia akan kembali! Bersama Jonas! Ya, bersamanya!
Bab 2 Barulah Tania mengerti ketika mereka sudah tiba di tempat Bibi. Daerah sejuk yang terletak di lereng gunung berapi yang sudah pensiun itu ternyata amat indah. Tentu saja bibinya yang cerewet itu takkan mau menukarnya dengan sebuah tempat tinggal mewah di daerah panas. Walau di sana dia dipertuan, sementara di sini statusnya hanya sebagai perawat biasa.
Tapi pendapat ini pun terpaksa diralatnya pula setelah beberapa hari berada di situ. Tania melihat semua orang takut dan segan pada bibinya. Mungkin pangkatnya termasuk tinggi juga. Dia tidak tahu siapa pemilik rumah sakit itu, tapi diduganya pasti sebuah perhimpunan sosial.
Walau dikenal sebagai Rumah Sakit Bisu-Tuli, sebenarnya rumah sakit itu menerima juga pasien biasa. Menurut buku kecil yang didapatinya di ruang tamu Bibi, di rumah sakit itu tengah dilakukan riset untuk pencangkokan organ-organ telinga dari kadaver(mayat).
Dalam buku itu juga disebutkan bahwa rumah sakit yang berlantai tiga itu diperlengkapi dengan alat-alat modern dan memakai banyak tenaga lulusan luar negeri. Bentuk rumah sakit tersebut melintang dari timur ke barat. Di bagian belakang terdapat dua buah kompleks bangunan lagi. Yang menghadap ke timur, terdiri atas empat tingkat, merupakan asrama perawat dan siswi-siswinya. Yang ke barat, bertingkat tiga dikelilingi pagar kawat berduri, merupakan laboratorium atau tempat riset tersebut.
Lebih ke belakang lagi terdapat sebuah gedung bertingkat dua, yang kelihatan mewah dibandingkan dengan gedung-gedung lain
, dan berhubungan dengan kompleks riset melalui sebuah gang tertutup. Itu tentunya tempat tinggal para dokter yang masih bujangan.
Nah, lebih ke belakang lagi dari sini, dibatasi hutan pinus kecil, itulah rumah Bibi. Hanya berlantai satu, tapi luas sekali dengan-menurut taksirannya-tidak kurang dari sepuluh kamar. Tania tidak mengerti untuk apa kamar sebanyak itu. Rasa ingin tahunya meronta-ronta tentu saja ingin dipuasi, tapi wajah Bibi yang angker memaksanya untuk bersabar.
Dia akan menyelidikinya sendiri. Diam-diam kedua pembantu yang dibawa dari rumahnya dibi-sikinya agar membuka mata dan telinga. Sebenarnya permintaan itu tidak perlu. Ani dan Lia yang setia ternyata memang mulai waspada menjaga Tania di dalam rumah yang menyeramkan itu.
Rumah Bibi kelihatan sinis, persis seperti pemiliknya. Walau di tengah terik matahari, ruangan-ruangan di dalamnya terasa lembap dan gelap. Mungkin karena berbatasan dengan hutan pinus dan ada dua pohon beringin di pelataran.
Seakan mengerti kengerian majikannya, Dona pun tidak mau beranjak dari sisi Tania. Gadis itu kasihan melihat anjing kecil itu meringkuk di kakinya. Diangkat dan didukungnya biji matanya itu.
Ani dan Lia membantunya mengeluarkan barang-barang dari ketiga koper yang dipaknya dengan tergesa. Sebagian barangnya yang masih ketinggalan di Jakarta akan diambilnya berangsur-angsur.
Hampir enam jam mereka di jalan tadi, sebab Bibi tidak suka sopir yang ngebut. Di samping itu mobil Bibi memang sudah agak tua. Tania berniat membawa mobilnya sendiri kemari. Dia tidak mau memakai sedan Bibi yang berwarna abu-abu itu.
Selesai membereskan kamar, Tania berbaring sebentar. Dia tidak ingin makan. Ani dan Lia diberi Bibi sebuah kamar di sebelah kamarnya. Tentu saja itu sangat menyenangkan ketiga gadis tersebut. Kamar mereka saling berhubungan melalui sebuah pintu yang hanya dapat dikunci dari tempat Tania. Jendela mereka juga kena sinar matahari pagi, jadi agak ceria.
Entah di mana kamar Bibi. Barangkali di belakang. Yang penting dapur, kamar mandi, dan ruang makan dekat dengan kedua kamar mereka.
Pantas Bibi mengajak Ani dan Lia. Rupanya dia tidak mempunyai pembantu. Tania tidak habis berpikir. Selama ini Bibi hanya sendirian dalam rumah seluas itu! Untuk apa kamar-kamar sebanyak itu" Barangkali untuk gudang"
* * * Ketika makan malam, Bibi menyatakan rencananya untuk mengadakan jamuan makan minggu depan. "Ayahmu merupakan pemegang saham terbesar dari yayasan rumah sakit ini. Lima puluh persen. Dokter Sahara, direktur rumah sakit, punya tiga puluh persen. Sisanya dimiliki oleh Pak Hamdani dari PT Jaya Makmur. Jadi," kata Bibi sambil menatapnya dari balik kacamatanya yang bening seperti es, "sudah seharusnya bila kau berkenalan dengan mereka. Kau kini pemegang saham dua puluh lima persen. Yang dua puluh lima persen lagi untuk... Arman. Bila dia muncul."
Arman! Ya, itu namanya. Arman. Sebuah nama yang menggugat masa lalu ayahnya. Siapakah Arman" Cuma seorang anak angkat" Kenapa Ayah enggak pernah menyebutnya barang sekali juga" Kenapa mendadak dia muncul... atau lebih tepat, kenapa namanya muncul" Sebab orangnya mendiri masih enggak kelihatan bayangannya. Siapa tahu dia sebenarnya sudah enggak ada...
"Apa yang terjadi kalau orang itu enggak muncul"" tanyanya ragu.
"Hm. Saham itu akan jatuh ke tangan direktur rumah sakit," sahut Bibi menunduk, air mukanya tiba-tiba keruh.
"Kenapa begitu" Kenapa enggak ke yayasan""
"Tanyalah ayahmu. Mana aku tahu. Dalam surat wasiatnya tertulis, saham itu akan menjadi milik direktur selama masa jabatannya."
"Oh. Jadi, kalau dokter... siapa itu namanya, berhenti sebagai direktur, dia enggak akan memiliki saham itu lagi""
"Saham yang dua puluh lima persen itu, tidak. Tapi yang tiga puluh persen adalah miliknya pribadi."
"Hm." Tania tidak mengerti untuk apa saham dalam sebuah rumah sakit. Pasti takkan membawa keuntungan apa-apa. Rumah sakit umumnya lebih gampang rugi daripada untung. Tapi dia tidak mau memberi kesan terlalu senang uang, jadi tidak ditanyakannya soal itu pada Bibi Karla.
"Boleh enggak saya mengundang Jonas"" tan
yanya penasaran. Lalu disambungnya sebelum ditolak, "Gimana juga dia kan pacar saya!"
"Lebih baik kalau dia tidak kauundang," ujar Bibi pelan seolah memperingatkan.
"Saya harus mengundangnya, Bi. Enggak mungkin saya pesta-pesta, sesederhana apa juga, tanpa dia. Bersamanya barulah dapat saya nikmati kemeriahannya. Jamuan itu tentunya mustahil mau diisi oleh tamu-tamu bisu, bukan" Jadi pasti meriah!"
"Sesukamu." Bibi mengangkat bahu dengan tak acuh. "Tapi sekali lagi aku ingatkan, aku lebih suka bila orang itu tidak hadir."
Tania tak dapat dibujuk maupun digertak. Esoknya dikirimnya sepucuk surat kilat khusus untuk Jonas berisi undangan pesta minggu depan. Karena pada dasarnya Tania adalah seorang gadis periang, dengan segera dia sudah tertarik akan gagasan Bibi untuk mengadakan pesta. Bersama Ani dan Lia, dia duduk di meja makan merencanakan hidangannya.
Pagi-pagi Bibi sudah pergi dinas. Jadi mereka dapat leluasa menyusun rencana mereka. Tentu saja semuanya harus diperlihatkan dulu pada Bibi. Namun Tania yakin Bibi akan setuju, sebab Bibi memang bukan orang yang suka ke dapur.
Kemudian dengan mobil tua itu Tania minta diantar ke pasar dan toko tempat menjual makanan. Ternyata pasar dan toko yang jauhnya kira-kira tiga puluh kilometer itu lengkap. Karena Ani dan Lia bertugas membersihkan rumah, Tania pergi berdua dengan sopir. Dicatatnya keperluan apa saja yang harus dibeli dan berapa harganya. Menjelang tengah hari dia sudah kembali, dan disuguhi surprise. Hebat sekali kepandaian sulap Ani dan Lia. Dari dapur Bibi yang acak-acakan itu mereka telah menyiapkan masakan-masakan yang lezat.
Demikianlah Tania menyibukkan diri dari hari ke hari. Bibi memang setuju dengan menu yang diusulkannya. Dia juga tidak keberatan bila dinding rumah akan dihias dengan kertas-kertas jagung, namun minta supaya biaya ditekan serendah mungkin.
Hm, pikir Tania. Dia hampir lupa. Bibi orangnya pelit. Tapi bila uangnya memang kurang, diputuskannya akan ditambah dari dompetnya sendiri. Dia sungkan menyediakan bahan-bahan kelas dua.
Bab 3 Tania berdebar melihat laki-laki yang digandeng Bibi berjalan ke arahnya itu. Dia cepat menoleh ke belakang untuk melihat siapa kiranya yang tengah disenyuminya. Tapi di belakangnya kosong. Cuma ada sebuah jambangan besar berisi bunga gladiol. Dia cepat menoleh lagi. Laki-laki itu masih tersenyum. Rupanya mereka memang sedang menghampirinya.
Suara Bibi membuatnya terkejut. Bukan karena dia tengah melamun, tapi nadanya belum pernah dikenalnya selama ini. Riang, malah sedikit terpoles rasa cinta. Dan wajah Bibi yang biasanya mendung, kini cerah penuh siraman cahaya bahagia. Senyumnya hampir-hampir memikat.
"Tania, inilah Dokter Sabara," katanya dengan bangga, lalu menoleh ke arah laki-laki tampan itu. "Dokter, kau tentu sudah tahu siapa dia""
"Oh ya," ujar laki-laki itu melebarkan senyumnya sambil meraih tangan gadis itu. "Ini pasti Tania yang cantik, bukan" Kemenakan Bibi Karla. Saya turut berdukacita atas meninggalnya ayahmu. Saya kenal beliau dengan sangat baik."
Kalau begitu, kenapa kau enggak datang, pikir Tania keki, lalu tanpa sadar ditariknya tangannya dengan cepat dari genggaman. Mungkin dokter itu menyadari sikap gadis itu terhadapnya.
"Saya minta maaf tidak sempat mengantar ke kubur. Sibuk sekali kami waktu itu. Ada tiga pasien yang harus segera dioperasi. Kau tentu tahu, organ tubuh yang akan dicangkok harus digunakan dengan segera supaya pembuluh darahnya dapat bekerja sempurna di tempat baru."
Tania tidak tahu harus bilang apa. Dia seakan tersihir oleh senyum simpatik yang penuh bius itu. Wajahnya masih belum kadaluwarsa untuk ukuran umum. yah misalnya kalau mau main tonil, namun mengingat dokter itu sudah lama mengenal bibinya berarti usianya pasti sudah cukup lanjut juga. Heran, wajahnya kok bisa awet muda begitu"
Seseorang mendadak berdiri di sampingnya. Dari air muka Bibi, dia langsung tahu siapa orangnya. Dokter Sabara juga segera mengangguk padanya tanpa menoleh pada orang yang baru muncul itu.
"Maaf, saya terpaksa pergi dulu," ujarnya, lalu melangkah santai ke arah ta
mu-tamu lain diikuti oleh Bibi yang mengintil di belakangnya.
"Mau apa direktur itu!" tukas Jonas dengan jengkel.
Tania menoleh ke arah wajah yang tampak merah menahan emosi. Diguncangnya tangan yang kuat itu. "Dia cuma mau berkenalan, Jon."
"Kelihatannya bibimu sayang sekali padanya, seperti itu anaknya sendiri!"
"Huss! Kalau kedengaran orangnya, bisa naik pitam dia. Kan Bibi enggak pernah kawin!" bisik Tania tersenyum geli. "Selain itu. usia dokter itu pasti hampir setua bibiku meski wajahnya seperti orang tiga puluhan."
"Siapa tahu dia itu tua-tua keladi!" sungut Jonas. "Jangan dekat-dekat dia lagi!"
Tania mengangguk dengan senyum, namun dalam hati masih berbekas juga tatapan pria ganteng tadi. Tidak jangkung, tapi memang banyak laki-laki simpatik yang perawakannya tidak tinggi dan tegap.
Jonas mengajak Tania menyendiri ke sudut teras yang menghadap ke hutan.
"Jangan menyendiri, Jon. Aku harus menemui tamu-tamu."
"Ooh!" kening Jonas naik ke atas. "Maksudmu, banyak dokter ganteng malam ini, ya!"
"Jon!" Tania ketawa manis. "Aku baru tahu, kau begitu cemburuan! Suaramu kayak orang ngambek... hiii!"
"Sudah tiga dokter bujangan yang diperkenalkan Bibi padamu! Hm, kaupikir aku enggak ngerti" Bibimu enggak suka sama aku! Dia ingin kau kawin dengan salah seorang dari mereka!"
Tania mengangkat bahu. "Oke deh, kalau kita harus juga menyendiri ke teras. Aku ogah ribut."
Tapi .baru saja mereka duduk di situ beberapa menit, sudah terdengar suara Bibi- mencarinya.
"Nah, pasti ada calon suami lagi!" gerutu Jonas dengan jengkel.
"Ayo, ikutlah," ajak gadis itu ketawa geli. "Biar hilang cemburumu!"
Tapi Jonas bergeming. Suara Bibi makin santer dan gelisah seperti ayam betina kehilangan telur. Tania bergegas masuk ke dalam setelah meminta Jonas agar menunggunya.
"Nah, ini dia!" seru Bibi terengah ketika dilihatnya Tania masuk dari pintu samping. "Ke mana saja, kau"" semprotnya.
Tania tidak sempat menjawab. Perhatiannya sudah terpukau pada laki-laki setengah tua di samping bibinya. Jadi pengacara ayahnya ikut diundang. Sambil tersenyum dihampirinya laki-laki yang ramah itu.
"Halo, Pak Razak, saya senang sekali melihat Bapak di sini, sungguh enggak menyangka Bapak akan muncul," ujarnya mengulurkan tangan.
"Ah ya, memang semula aku tidak punya rencana mau datang. Tapi mendadak ada urusan penting yang harus kubicarakan denganmu dan Bibi Karla."
Tania tiba-tiba sadar bahwa Pak Razak melirik sekilas ke sampingnya. Gadis itu ikut menoleh. Siapakah laki-laki yang bersamanya" Anaknya" Mau coba dijodohkan juga denganku" Begitu rumitkah kisah cinta seorang ahli waris"
"Tania, ini... ini... Arman!" Suara Bibi gemetar, sehingga Tania menoleh untuk melihat kalau-kalau perempuan itu sakit. Tapi bibinya tegak berdiri, cuma matanya saja agak basah dan kemerahan.
"Ar... man"" bisiknya hampir tanpa sadar, lalu dipandangnya laki-laki yang tengah memperhatikannya tanpa senyum.
Matanya tajam sekali, pikir Tania seketika. Dan kumisnya begitu tipis, nyaris cuma berupa goresan jelaga. Tubuhnya yang tinggi itu terlalu kurus. Uh, sinis betul air mukanya!
"Halo," sapanya dingin seraya mengulurkan tangan ketika dianggapnya Tania takkan mau berjabat tangan dengannya. "Engkau pasti Tania, bukan""
"Ya," sahutnya singkat tanpa nada ketus. Mengapa perasaannya tiba-tiba kurang senang pada orang ini" Bukankah Arman takkan merugikannya"! Walaupun dia tidak muncul, bagiannya toh takkan pernah jatuh ke tangannya. Jadi bagian Arman bagaimanapun memang bukan miliknya. Untuk Arman atau untuk rumah sakit!
"Saya baru tahu mengenai Ayah ketika membaca iklan. Saya sungguh merasa bersalah kenapa tidak muncul lebih awal."
"Ah, dia sakit mendadak sekali," hibur Bibi dengan suara sedikit gemetar. 'Tapi kau boleh juga menengok kuburannya."
Wajah Bibi yang biasanya seasam cuka itu kini tampak manis terhadap anak angkat Ayah. Sebenarnya siapakah orang ini" Mungkin pertanyaan ini yang menyebabkan dia kurang menyukai Arman" Mungkin laki-laki itu merupakan hasil hubungan gelap, sebuah cinta lewat pintu belakang"
Tapi menilik tampangnya, Arman sudah pasti dilahir
kan lebih dulu dari dia. Jadi kenapa Ayah enggak kawin dengan ibunya saja" Kenapa malah dengan wanita yang kemudian melahirkan aku" Padahal faktanya Ayah pasti cinta sekali pada Arman. Buktinya, kalau aku yang meninggal, maka bagianku akan jatuh ke tangannya. Tapi bukan sebaliknya. Kalau Arman yang koit, bagiannya lari ke rumah sakit! Payah! Betulkah seorang ayah lebih mengutamakan anak laki-laki dari perempuan"
Ya, Tania tidak menyukai Arman!
"Dokter Arman tengah mempertimbangkan untuk bekerja di rumah sakit kita," didengarnya suara Pak Razak.
Dokter" Jadi laki-laki sinis ini seorang dokter" Bukan main bedanya dengan Dokter Sabara yang begitu simpatik. Pasti dia kekurangan pasien sampai mau bekerja di daerah yang sepi begini.
"Tentu saja kau harus merundingkannya dengan Dokter Sabara," suara Bibi masih gemetar.
Ada apa sih" Kenapa perempuan ini langsung menyebutnya "kau" padahal baru ketemu dan kenal saat ini" Aha! Bibi pasti tahu riwayat Arman! Bibi pasti sudah mengenalnya ketika dia masih kecil. Mungkin sebelum Ayah kawin dengan ibuku.
Tania yang luwes dan periang segera juga memperoleh keseimbangannya kembali. Senyumnya yang manis merekah segar. "Ah ya," serunya berdusta, "saya mendadak ingat, Ayah pernah menulis, anak angkatnya, kuliah di kedokteran." Dia sengaja memberi tekanan pada kata angkat supaya laki-laki sinis itu tahu diri dan menyadari bahwa dia hanyalah anak jalanan yang diambil ayahnya karena rasa belas kasihan saja. Ya, dia pasti cuma anak jalanan.
"Saya permisi harus meninggalkan Anda sejenak." sambungnya tanpa menghilangkan senyum di wajahnya yang ayu. "Kita masih akan ketemu lagi, bukan""
"Jangan sebut Anda!" tegur Bibi. "Kita kan semua bersaudara!"
Tania ketawa tak acuh, melambaikan tangan, lalu menghilang balik ke tempat Jonas.
"Ganteng"" tanya Jonas panas.
"Huh! Ganteng apanya" Jambulnya" Sinis, sinis, sinis!"
"Siapa sih""
"Siapa lagi" Anak angkat ayahku!" desisnya kesal.
Jonas memeluk dan mengecup pipinya. "Jangan serakah," bisiknya mesra ke telinganya. "Bagianmu sudah lebih dari cukup!"
"Setan! Aku bukan memikirkan uang! Aku... tahu deh! Barangkali aku cemburu mendapati Ayah tahu-tahu mencintai seorang anak lain yang bukan abangku. Malah bukan apa-apaku!"
"Sudahlah. Apa enggak cukup cintaku sebagai gantinya"" ajuk Jonas manja, mengecup leher jenjang yang halus dan harum.
"Jon! Kau gila! Nanti ada yang datang, kita bisa kepergok!"
"Biar amat! Aku nekat mau melamarmu besok pada Bibi. Kalau ditolak, aku culik kau. Biar kita kawin lari!"
Tania tertawa merdu. Bahagia. Bintang-bintang di langit serasa dapat dijangkaunya dengan jari. Begitu dekat mereka tampaknya dalam matanya.
"Ambilkan aku minum, Jon."
"Baik, baik, Tuan Putri!" Dia mengangguk dengan penuh hormat, lalu segera menghilang.
Tania memikirkan kata-kata Jonas tadi. Melamar pada Bibi" Baru seminggu yang lalu dia diperintahkan agar melupakannya. Bibi tidak suka dia kawin dengan Jonas, temannya sejak SMA. Lantas Bibi ingin dia kawin dengan siapa"
Ketika dia diperkenalkan dengan Dokter Sabara, Tania hampir yakin itulah pria pilihan Bibi baginya. Ada tiga dokter lain yang masih bujangan, tapi agaknya mereka dianggap kurang memenuhi syarat oleh Bibi.
Namun kini dengan munculnya Dokter Arman, tampaknya Bibi jadi ragu-ragu. Tania tidak dapat memastikan apakah Bibi ingin menjodohkannya dengan dokter sinis itu. Tapi perasaannya mengatakan, Bibi ingin mereka berdua menjadi erat. Bibi kelihatan gugup, seakan mau memberi kesan bahwa Arman itu baik.
Ah! Kalau Bibi ingin aku kawin sama Arman, berarti orang itu bukan anak kandung Ayah! Enggak bisa lain. dia pasti cuma dipungut dari jalanan!
Pikiran seperti itu lebih menghibur daripada dugaan yang bukan-bukan mengenai kisah cinta ayahnya.
"Aha, kau ternyata ada di sini!"
Tania terkejut dan berdebar mendengar suara yang simpatik itu. Dia menoleh dan berkata gugup, "Oh, Dokter Sabara! Silakan duduk. Dok."
"Jangan terlalu kaku, ah." Laki-laki itu menanggapi dengan senyum aduhai. "Panggil saja namaku. Edo. Dan kita saling ber-aku, ber-engkau saja, oke""
Di bawah bius tatapannya tak
ada jalan lain bagi Tania kecuali mengangguk. Edo duduk di sebelahnya, lalu mulai bicara tentang keindahan malam, melompat ke tugasnya yang melelahkan, lalu Tania menyelipkan pertanyaan sekitar diri Arman.
"Jadi sudah kaulihat orangnya"" Ketika Edo manggut. disambungnya, "Bagaimana pendapatmu" Anu, maksudku, orang itu tampaknya sinis, bukan"" Edo tertawa manis, persis seperti seorang dokter jiwa yang mendengarkan pasiennya mengadu tentang penyelewengan suami.
Pasti banyak pasiennya, habis dokter seganteng ini! Wajahnya terasa hangat ketika terpikir ke situ.
Setiap wanita yang datang pasti dihadiahinya seulas senyum simpatik kayak gini, dan mereka akan pulang ke rumah dengan kepastian bahwa Pak Dokter ada di pihak mereka!
"Ah, intuisi perempuan!" Dia tergelak. "Aku tidak dapat memberikan keterangan yang memuaskan sebelum aku mengenalnya lebih lanjut. Barangkali setelah masa percobaan tiga bulan."
"Jadi... Dokt... kau akan menerimanya dinas di sini""
"Mengapa tidak" Kridensialnya meyakinkan. Dia malah akan tinggal di rumah bibimu!"
"Di sini"" tanyanya kaget.
Edo mengangguk. "Ya. Bibimu yang menawarkan. Kamarnya kan banyak dan kosong semua. Selain itu dia kan anak ayahmu juga, jadi seperti kau, keponakan tersayang baginya."
"Anak angkat!" cetusnya dingin.
"Betul, tapi secara hukum, dia anak sah!"
"Hm!" dengusnya kesal.
Ke mana Jonas" Kenapa lama betul dia mengambil minuman" Si Arman ini... pasti prakteknya enggak laku sampai dia lari kemari! Ah, di mana sih Jonas"
Tania mulai gelisah ketika menyadari bahwa pria ganteng di sebelahnya terus-terusan menatapnya. Mana air mukanya begitu simpatik. Belum pernah dia berdebar seperti saat ini dielus pandang seorang laki-laki. Biasanya dia begitu tenang! Dan dokter ini tampaknya masih bujangan... hiii, pikiran apa yang menyelinap barusan" Apakah dia ingin melupakan Jonas serta janji setia mereka berdua"
"Sudah berapa lama kau dinas di sini"" tanyanya mencoba menyambung percakapan, sekalian menghentikan lirikan maut yang tak sudah-sudah itu.
"Sudah hampir lima tahun, Tania," sahutnya, lalu tiba-tiba menyentuh lengannya dengan lembut. "Aku mengerti, kau tidak menyukai Arman. Bila kau keberatan dia di sini, kau tinggal memvetonya. Kau berhak, mengerti" Aku akan menyokong apa saja yang kauusulkan. Kita berdua mempunyai lima puluh lima persen saham. Kita berhak menolak lamarannya untuk dinas di rumah sakitku!"
Tania rupanya tidak menangkap nada posesif ketika Edo mengucapkan kata terakhir. Dia menatapnya sambil menghela napas. "Apa kau butuh tenaganya""
"Terus terang, ya. Aku sangat repot. Seorang dokter lagi akan sangat membantu bagiku."
"Kalau begitu, biar saja dulu deh. Kita lihat gimana sikapnya selanjutnya. Aku sebenarnya enggak peduli dia bekerja di sini atau enggak. Cuma... cuma... aku enggak ingin terlalu sering ketemu dengannya."
"Maksudmu, kau lebih suka kalau dia tinggal di tempat lain" Itu gampang diatur. Dia akan kutem-patkan di gedung apartemen kami. Sama sekali bukan problem!"
"Betul" Oh, Edo, aku senang sekali! Jadi dia enggak bakal numpang di rumah bibiku""
Tania tertawa dengan mata berbinar-binar. Persis pada saat itu Jonas muncul. Nyaris dilemparnya gelas dari tangannya saking cemburu. Dokter Sabara agaknya arif sekali membaca air muka orang. Dia segera permisi sebelum badai menerjang.
"Hm, lagi-lagi si ganteng itu!" sindir Jonas dengan kejengkelan yang tidak dapat lagi disembunyikannya. "Ini minumanmu! Kalau kau kepingin jadi pacarnya, bilang saja terus terang! Supaya aku bisa angkat kaki sekarang juga. Aku enggak sudi cuma jadi jongos di sini!"
"Eh, apa-apaan sih kau, Jon" Kemasukan roh dari mana""
"Aku enggak bakal menyalahkanmu," sambung Jonas menggertakkan geraham tanpa memedulikan ucapan Tania. "Dokter itu memang cakep seperti setan!"
"Di mana kau pernah kepergok setan sampai tahu tampangnya"" guyonnya mencoba meredakan suasana. Namun Jonas sudah tak dapat menghapus murka dalam matanya. Dengan nada menantang, ujarnya, "Bilang saja: aku pulang sekarang""
Tania meletakkan gelas yang belum diteguknya, lalu disentuhnya lengan Jonas sambil me
natapnya mesra. "Kenapa kita jadi bertengkar" Apa aku enggak boleh ngobrol sama orang lain""
"Dia bukan sembarang orang lain, Tania! Dokter itu calon suami yang disodorkan bibimu!"
"Kenapa pusing" Yang penting, aku akan tetap memilihmu!"
"Mana buktinya"!"
"Jon," bisik Tania sambil meraih lengannya dan menyuruhnya duduk di sampingnya, "aku cinta padamu."
"Kalau betul begitu, buktikan dengan tindakanmu!"
"Akan kubuktikan!" "Tinggalkan rumah ini besok!" "Jon, kau kan sudah tahu syarat yang dituntut ayahku""
"Kalau kau lebih mengutamakan harta, terserah. Itu urusanmu, aku enggak bisa melarang. Tapi kalau kau mau jadi istriku, kau harus pergi dari sini, enggak boleh diam di dekatnya! Orang itu perayu kelas berat, tahu!" Jonas menatapnya dengan sayu.
Ah, matanya begitu bagus! Mirip mata Dona. Tania menunduk menatap sejenak anjing yang tengah berbaring di kakinya, lalu dipandangnya kembali Jonas.
Dan matanya penuh bara cinta. Kehangatan yang sudah kukenal sejak SMA. Jonas, tempat aku bermanja-manja. Catatan dan diktat yang selalu tersedia bagiku. Teman seiring, setujuan. Aku enggak mau kehilangan Jonas! Biar semahal apa juga harga yang mesti kubayar!
Digenggamnya tangan Jonas erat-erat. "Besok," bisiknya mengangguk.
Bab 4 matahari belum tinggi ketika Tania terjaga keesokan harinya. Arman dan Bibi ternyata sudah berada di meja makan. Ah, semoga laki-laki itu cepat pindah ke apartemen di depan, pikirnya ketika melihat Arman menoleh tanpa senyum. Sebelum Tania sempat mengucapkan selamat pagi, Arman sudah mendahului.
"Mana pacarmu itu"" tanyanya dengan sinis. Disambung dengan setengah mengejek, "Aku lihat semalam kalian bertengkar, ya""
Brengsek! Rupanya dia sudah memergoki kami di teras!
"Bukan urusanmu!" sahutnya ketus.
"Tania!" tegur Bibi dengan suara keras. "Sopanlah sedikit pada abangmu!"
"Hm." Tania mendelik pada Arman yang menanggapinya dengan tenang saja seolah dia sedang menghadapi anak SD yang sedang ngambek karena tidak diberi uang saku.
"Laki-laki itu memang tidak pantas bagimu!" didengarnya lagi suara Bibi, menambah kemarahannya.
"Bi, sayalah yang akan menentukan sendiri siapa atau apa yang pantas dan enggak bagi saya!"
"Masih banyak orang lain yang lebih cocok," lanjut Bibi seakan tidak mendengar.
"Maksud Bibi, Dokter Sabara"" gadis itu menegaskan blak-blakan. Dia tertawa dalam hati melihat Arman terperanjat, lalu disambungnya dengan dingin, "Kenapa" Kau kaget" Aku memang biasa ngomong terus terang. Dan aku terpaksa bilang, aku enggak suka sama kamu! Aku enggak suka ayahku menyembunyikan dirimu begitu lama. Aku enggak suka kau diangkatnya sebagai anak dan ahli waris!"
"Tania!" bentak Bibi, namun gadis itu mendengus tanpa rasa takut.
Toh aku akan segera angkat kaki dan semua uang itu akan jatuh ke tangan Arman, jadi kenapa enggak sekalian aku tumpahkan unek-unekku" Buat apa berlagak lugu dan manis demi warisan yang sudah enggak bakal kuperoleh" Selain itu, aku memang enggak akan ketemu Bibi lagi, jadi perlu apa takut"
"Aku puji sikapmu yang terus terang," sambut Arman dengan tenang, sedikit pun tidak kelihatan tersinggung. "Apa kau juga keberatan kalau aku menumpang di rumah Bibi Karla""
Hm, rupanya Edo belum menyuruhnya pindah. Tapi sekarang aku sudah berniat pergi sama Jonas, enggak jadi soal lagi di mana orang sinis ini mau tinggal.
Karena itu dia mengangkat bahu. "Semula aku memang enggak senang kau tinggal di sini. Tapi sekarang.., masa bodohlah!"
"Tania! Ini rumahku! Aku yang berhak menentukan siapa-siapa yang boleh tinggal di sini!" ujar Bibi, naik pitam, merah wajahnya.
Gadis itu mengangkat bahu sekali lagi. "Kan sudah saya bilang, saya enggak peduli! Ah, lebih baik saya tengok Jonas dulu."
"Ya, tengoklah. Suruh dia bangun. Aku tidak biasa menghadapi laki-laki pemalas seperti dia!" Diawasinya Tania berlalu diikuti Dona. "Anak itu terlalu dimanja oleh ayahnya. Ibunya meninggal ketika dia baru dua tahun. Apa Pak Razak juga belum bangun""
Bibi Karla biasa masuk kerja jam tujuh pagi, dan dia tidak mau membuat kekecualian walau di rumahnya ada tamu.
"Rasanya belum. Coba saya te
ngok," Arman menawarkan seraya bergerak mau bangkit.
"Ah, itu suaranya bersama Tania," tukas Bibi seolah mau mencegahnya berdiri.
Dari ruang belakang memang terdengar orang bercakap-cakap. Sejenak keadaan sunyi kembali. Tapi kemudian terdengar jerit Tania. Pak Razak kedengaran tergopoh-gopoh balik ke belakang.
"Ada apa lagi!" gerutu Bibi sambil meletakkan serbetnya, lalu bangkit diikuti Arman.
Melihat Pak Razak masuk ke kamar Jonas, hati perempuan itu berdebar. Ketika tiba di sana, Arman mendahului masuk Tania tengah menangis dalam pelukan pengacara tua itu, sementara di atas tempat tidur terbujur Jonas. Arman segera menghampiri dan memeriksa denyut jantungnya.
"Astaga!" seru Bibi ketika melihat Arman menggelengkan kepala. "Masak serangan jantung"!"
"Serangan jantung"" Tania membelalak. "Jonas selalu sehat! Dan umurnya belum juga dua puluh lima!"
"Semalam kalian bertengkar. Itu tentu menimbulkan stres baginya. Siapa tahu dia mengidap darah tinggi tanpa disadarinya. Atau rematik jantung."
"Dia sehat!!!" bantah Tania setengah kalap, dengan wajah penuh air mata.
"Mungkin semasa kecil dia pernah kena demam rematik, lalu jantungnya menjadi cacat... mana kita tahu"" Arman ngotot seperti seorang dokter yang menguasai betul bidangnya.
"Paling baik kalau kita dapat melakukan otopsi," usul Pak Razak menengahi. 'Tapi sebelumnya kita harus hubungi dulu polisi dan keluarganya. Apa dia dari Jakarta, Tania""
Gadis itu mengangguk, menyebutkan alamat serta nomor telepon yang dihafalnya. Segera juga polisi dibel. Arman permisi untuk memberitahu bagian darurat rumah sakit, seandainya diperlukan otopsi oleh polisi. Bibi membawa Tania ke kamarnya, memberinya pil penenang, dan menguncinya di situ bersama Ani dan Lia.
"Karla," bisik Pak Razak ketika mereka hanya berdua di ruang makan, "aku perlu membicarakan sesuatu denganmu. Tapi polisi akan datang setiap saat, jadi terpaksa kita tunda dulu."


Dibakar Malu Dan Rindu Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tahu apa yang mau kaukatakan. Orang itu bukan Arman!"
"Kenapa kau menduga begitu""
Sebelum perempuan itu sempat menjawab, Arman sudah muncul bersama Dokter Sabara. Melihat Edo Sabara, pikirannya melayang ke masa lalu. Ah, wajahnya begitu mirip ayahnya! Seandainya dia Arman...
Terdengar sirene mobil polisi. Semua orang berdiri menanti.
Seorang inspektur polisi yang tegap dan simpatik tampak segera mengatur anak buahnya dengan cekatan. Ketika mengetahui nomor telepon keluarga Jonas, dia minta permisi kalau-kalau boleh bicara singkat ke Jakarta. Sebenarnya ongkosnya mahal, tapi Bibi terpaksa mengizinkan, sebab penting. Inspektur berhasil bicara singkat dengan ibu almarhum, bahkan berhasil pula minta izin otopsi.
"Menurut saya tak ada gunanya," Arman memberikan pendapat mendadak tanpa diminta. "Jelas orang itu kena serangan jantung. Tak ada tanda-tanda penganiayaan."
Inspektur menatap Arman dengan tajam seakan mau menelanjangi isi kepalanya. "Siapakah Anda"" tanyanya tidak sabar.
"Ini Dokter Arman, pembantu saya yang baru," sahut Dokter Sabara memperkenalkan.
"Aha!" Wajah Inspektur menjadi cerah kembali. Rupanya dia sangat menghormati direktur rumah sakit dan segenap bawahannya. "Saya senang sekali Anda sudi bekerja di desa kami."
Mereka berjabat tangan tanpa kehangatan, dan tak lama kemudian Dokter Arman sudah menyingkir ke luar kamar. Kamar tamu ini terletak di ujung lorong dan mempunyai pintu teras yang membuka ke hutan pinus seperti juga kamar Bibi yang jauh dari situ. Tapi Arman bukan keluar ke teras, melainkan ke lorong di dalam rumah.
Dia berjalan hilir-mudik, romannya gelisah. Ketika telepon berdering, dia lekas berlari mengangkatnya. Terdengar dia bicara sejenak, lalu muncul kembali di kamar Jonas. Semua orang menoleh padanya ketika dia membuka dan menutup pintu dengan cukup keras.
"Inspektur," ujarnya dengan air muka yang kini tampak lega, "keluarga korban mencabut kembali izin otopsi tadi."
Pak Razak serta Bibi Karla saling berpandangan. Tania sendiri mengerutkan kening. Kenapa Dokter Arman kelihatan begitu lega setelah otopsi dibatalkan "
* * * Mereka bicara di dalam kamar makan yang tertutup rapat, sebab di
rumah Bibi Karla tidak ada ruangan khusus di mana orang dapat berbincang tanpa dilihat orang lain.
Pak Razak memeriksa pintu dua kali sebelum dia mendekati jendela dan melongok ke luar. Aman. Sepi. Semua orang ada di rumah sakit atau di labor atau masih sibuk mempercakapkan Jonas yang kemarin telah diambil pulang oleh keluarganya.
Dia berbalik dan duduk berhadapan dengan Bibi Karla yang tengah menekur di meja makan. "Jadi bagaimana"" tanya Pak Razak mengulangi pertanyaannya barusan.
"Semalam Edo datang padaku. Dia mengaku selama ini berperan sebagai orang lain, padahal sebenarnya dirinya itu anak angkat abangku. Menurut dia, Edo adalah temannya di FK, tinggal sama-sama satu kos, sebatang kara, kedua orangtua sudah meninggal, keluarga lain enggak ada, kuliahnya diongkosi dari kekayaan keluarga. Akhirnya dia sendiri mati kena kanker. Dia tahu mengenai saham ayah Edo di sini, semua surat jatuh ke tangannya setelah temannya meninggal. Dengan memalsukan tanda tangan dan surat-surat identitas lainnya, dia datang menyamar ke sini. Enggak ada yang tahu, sebab Edo asli belum pernah kemari. Dia pintar bergaul, juga keahliannya meyakinkan di samping memang penuh ambisi, sehingga berhasil diangkat sebagai direktur dua tahun lalu. Aku tetap yakin, Dokter Sabara adalah anak angkat abangku."
"Kenapa dia baru datang sekarang" Iklan ini kan sudah dipasang berkali-kali"" Razak jelas kelihatan skeptis.
"Menurut pengakuannya, dan aku rasa masuk akal, dia takut dan ragu, kawatir nanti disangka cuma kepingin duit. Baru setelah muncul orang yang mengaku Arman, dia merasa harus maju untuk menegakkan kebenaran, membongkar kedok orang yang mengaku-aku sebagai Arman. Tidakkah kaulihat" Tujuannya bukanlah duit!"
"Kita enggak mungkin mengesahkan dirinya sebagai Arman tanpa membeber soal penyamaran dan pemalsuannya selama bertahun-tahun, dan hal itu pasti akan berakibat buruk. Dia menyamar supaya bisa memperoleh saham yang menjadi hak Edo Sabara asli yang-menurut pengakuannya- adalah temannya dan telah meninggal. Paling sedikit dia akan dituntut untuk pemalsuan tersebut. Salah-salah dia malah dicurigai kemungkinan telah menghilangkan nyawa Edo asli, mana buktinya teman kosnya itu meninggal karena kanker""
"Oh, itu gampang dicek," ujar Karla mendengus kesal. "Kenapa kau kelihatannya mau mempersulit""
Razak menggeleng dengan wajah guram. "Sama sekali bukan begitu. Aku sedang memikirkan kemungkinan-yang sangat besar-Dokter Sabara yang mengaku sebagai Arman itu akhirnya akan mendekam di sel, bukannya mendapat warisan! Coba kita kaji: sudah sekali dia berpura-pura sebagai ahli waris dan berhasil! Apa enggak mungkin dia justru tamak dan ingin mencoba sekali lagi""
"Tapi dia sudah memperlihatkan bukti, sepasang kaus kaki bayi! Kalau dia memang bukan Arman, lantas dari mana didapatnya benda itu" Apa dia juga punya teman kos lain bernama Arman"" Nada menyindir itu tidak menyebabkan air muka Razak berubah. Mungkin juga tidak ditangkapnya.
"Tidak dapatkah dibelinya itu di toko""
"Tidak mungkin! Sama sekali tidak mungkin. Kaus kaki itu bukan dirajut, tapi bikinan sendiri terbuat dari kain katun yang berasal dari gaunku! Gaun itu kesayanganku dan masih bagus. Aku ingat betul ketika aku mengguntingnya, seperti apa coraknya. Biru tua berbunga aneka warna. Kalau aku bongkar gudang, pasti masih bisa kutemukan gaun itu dalam salah satu koper."
Razak membelalak keheranan. "Jadi kau... yang membuatnya"" dia menegaskan.
Perempuan itu mengangguk.
"Tapi, Karla, bukankah Dokter Arman sudah memberikan bukti yang lebih otentik perihal dirinya" Nama dan identitasnya!"
"Identitas" Ketika dia dibawa pergi dari rumah kakeknya, umurnya baru setahun. Dia tidak memiliki tanda lahir apa-apa. Identitas macam apa yang kaumaksud""
"Kalung neneknya!"
"Ka... lung ne... neknya"" serunya terbata-bata. "Kau pasti""
"Abangmu sudah menulis surat terpisah untukku, khusus mengenai identitas anak angkatnya. Namanya Arman, usianya dua delapan, dan dia akan membawa kalung yang jelas deskripsinya. Semua tepat. Arman memang namanya. Arman Rejana, sesuai KTP."
Karla semakin kesal. "
KTP! Siapa juga tahu, itu bisa dibeli! Kalau Arman asli bisa membuat KTP atas nama Edo, kenapa orang lain enggak bisa memesan KTP atas nama Arman""
"KTP itu sudah tua, Karla. Bukannya baru dibikin sekarang."
"Hm. Barangkali dia cuma kebetulan punya nama sama" Mungkin saja kalung itu dicurinya, bukan" Siapa tahu dia punya ide itu setelah membaca iklan kita."
"Sama mungkinnya seperti pencurian kaus kaki!" sanggah Razak ngotot.
"Razak, orang takkan tertarik untuk mencuri sepasang kaus kaki yang sudah luntur dan tua! Tapi orang akan selalu berminat mencuri kalung bermata berlian!"
"Bagaimana kau bisa tahu rupa kalung itu"" tanya Razak heran.
Sejenak Karla pucat, namun segera juga dia sudah dapat tersenyum lagi. "Aku pernah melihatnya. Tahukah kau siapa ibu Arman""
Razak menggeleng. "Abangmu tidak mengatakannya, sedangkan Arman tahu, tapi anehnya menolak ngasi tahu dengan alasan harus minta izin dulu dari sang ibu. Tapi dia sudah memenuhi persyaratan untuk menjadi ahli waris."
"Tidak bisa! Edo Sabara harus menjadi ahli waris!"
"Alasannya""
"Karena dia telah membuktikan, dialah anak angkat yang dimaksud!"
"Dengan sepasang kaus kaki" Tidak, Karla!"
Perundingan mereka macet sampai di situ. Seminggu kemudian perundingan berlanjut lagi. Razak masih tetap pada argumennya yang dulu bahwa Arman yang berhak sebagai ahli waris. Saat itu tanpa setahu Razak, Karla sudah mendapat info baru mengenai Edo yang kebetulan didengarnya dari para perawat ketika makan di kantin. Masih terngiang di telinganya gosip itu. "Dokter S. sangat benci pada ayahnya karena bertahun-tahun dinas di sini enggak pulang-pulang... ke Bandung... baru ketemu ayah setelah umur...!"
Bukan main kagetnya dia saat itu. Berbagai perasaan campur aduk di hati. Marah dan kecewa (karena ditipu oleh Edo), tapi juga takut. Seandainya Edo sampai tahu siapa dirinya sebenarnya!
"Sudah bisa dipastikan Arman yang akan menang kalau maju ke pengadilan!"
"Tapi Edo mirip sekali dengan ayahnya!" keluh Karla seakan pada diri sendiri. Aku yakin, anakku mirip Luki, ayahnya. Sedangkan Dokter Arman sedikit juga enggak mewarisi ciri-cirinya, matanya kek, hidungnya kek, atau bibirnya. Kalau Edo yang terpilih, paling sedikit aku bisa berkhayal, dia memang anakku, sebab miripnya itu...
"Karla, hukum tidak mengenal emosi. Abangmu tidak menyebut-nyebut soal kaus kaki atau kemiripan dengan sang ayah. Dia cuma menulis tentang seuntai kalung, hitam di atas putih. Itulah yang akan dilihat oleh hakim bila kita maju ke pengadilan."
"Jadi"" "Dokter Arman yang akan menerima warisan!" "Aku belum menyerah kalah!" tukasnya sengit.
"Aku tetap ingin Edo yang mendapat semuanya. Uang dan istri!"
"Kau mau menjodohkannya dengan Tania"" Razak tampak kurang setuju, tapi jelas bukan karena persoalan silsilah. Dia kan belum tahu siapa ibu Arman (seandainya Edo bisa menang disahkan sebagai Arman), sedangkan Karla sudah tahu Edo bukan Arman, jadi bukan anaknya, dengan Tania bukan sepupu.
"Kenapa tidak" Anak itu sudah cukup umur dan tidak lagi bersekolah. Otaknya cerdas, pantas mendampingi seorang dokter. Selain itu aku adalah walinya selama empat tahun. Jadi aku berhak menyuruhnya kawin dengan pilihanku!"
Razak menggeleng-geleng. "Aku merasa sedih sekali bila gadis semanis itu sampai dipaksa kawin. Sifatnya yang periang dan suka berdikari pasti takkan dapat dikungkung. Dia pasti akan berontak ingin memilih jalan hidup sendiri. Akan timbul kericuhan."
"Edo begitu ganteng dan simpatik!" ujar Karla dengan kepastian bahwa Tania pasti takkan menolak.
Razak mengeluh dan membaur-baurkan rambutnya dengan jari-jari yang mulai keriput. "Huh! Kadang-kadang aku merasa kedua orang itu bukan ahli waris yang kita cari!"
"Apa maksudmu"" Karla melompat sedikit dari duduknya seakan disengat kalajengking. Masih adakah kemungkinan menemukan Arman yang sesungguhnya" Anak yang kurindukan siang-malam selama puluhan tahun" Di manakah dia"
Wajahnya bersemu merah ketika memikirkan harapan tersebut.
"Entahlah. Aku tak dapat menerangkannya. Aku merasa, seperti yang aku bilang, keduanya bukan Arman. Bukan Arman yang kita t
unggu!" "Arman tahu siapa ibunya!" desah perempuan itu setengah terpaksa, menggigit bibir.
"Maksudmu, Dokter Sabara sudah memberitahu siapa ibunya""
Karla mengangguk dengan wajah sedikit pucat. Dia mengakui aku sebagai ibunya! Dan kusangka benar... sampai aku mendengar gosip di kantin...!
"Dia sudah hampir lima tahun di sini, tapi info itu baru diberikannya padaku setelah dia membaca iklan kita yang mencarinya."
"Kalau begitu, kau tentu sudah tahu siapa ibu dan ayahnya!"
"Aku belum dapat mengumumkannya sekarang."
"Tidak perlu, sejauh itu menyangkut hukum. Abangmu tidak menuntut pembuktian masalah itu. Barangkali juga ibunya sudah tiada. Yang penting, menegakkan identitas pribadinya! Ah, mengapa dia tidak mempunyai ciri khas atau noda bawaan sejak lahir, misalnya bercak hitam, meski sekecil apa pun."
"Razak, percayalah padaku. Edo adalah anak angkat saudaraku!" Karena keduanya memang bukan anakku, lebih baik kita pilih Edo. Paling sedikit dia mirip dengan Luki, jadi harta abangku bukan jatuh ke tangan orang yang sama sekali asing.
"Aku ingin percaya, tapi hukum adalah hukum. Buta. Tanpa rasa. Hukum hanya mempertimbangkan bukti. Arman-lah orangnya!"
Bab 5 Tania tentu saja tidak jadi pergi. Walau sekarang uang warisannya takkan jatuh ke tangan Arman, dia tidak merasa bahagia. Kehilangan dua orang yang dicintainya dalam waktu sesingkat itu sangat memukul hatinya. Namun Dokter Sabara rupanya sudah punya banyak pengalaman menghadapi kasus serupa itu. Dengan mudah dia telah berhasil mendekati dan mengembalikan kepercayaan diri gadis itu. Lalu berangsur-angsur dihiburnya hati yang sedang berduka itu dengan perhatian yang hangat dan penuh simpati.
Atas anjurannya pula, Tania menerima pekerjaan di kantor tata usaha, Bagian Penerimaan Opname serta Kecelakaan. Kepala bagian di sini adalah Dokter Sigit dan dua orang pembantu, Dokter Nasution serta Dokter Rejana. Arman Rejana!
Sebenarnya dia lebih senang bila dapat bekerja di bawah Dokter Sabara langsung. Tapi dia tahu, Bagian Riset memerlukan tenaga yang lebih terampil dari dirinya. Mengetik pun dia tidak lancar. Paling-paling cuma dua puluh lima kata per menit, sedangkan pendidikan sekretaris tidak dimilikinya.
Seperti dikatakan oleh Dokter Sabara, Tania sebenarnya tidak perlu bekerja dengan warisannya yang demikian banyak. "Namun kau perlu melenyapkan pikiran-pikiran murung dari otakmu."
Dan itu betul. Setelah dia sibuk bekerja, Jonas dan ayahnya tidak begitu mengganggunya lagi. Terkadang memang bayang-bayang mereka masih muncul, tapi hanya samar bagai sebentuk wajah dalam kabut.
Tania agak tenang sekarang. Dokter-dokter serta para pegawai lainnya sangat ramah padanya. Mungkin juga mereka kenal ayahnya. Yang pasti, semua kenal Bibi Karla! Bagaimanapun, hanya Dokter Arman yang tidak disukainya, dan agaknya ada pula seorang-dua perawat yang senang mengejek Dokter Arman. Misalnya, Suster Ratih.
"Huh!" katanya suatu kali pada Tania dan perawat lain. "Entah lulusan mana dokter itu! Menjahit luka saja enggak becus! Aku rasa, dia malah belum pernah melakukannya. Mengikat catgut(benang operasi) salah-salah terus. Untung waktu itu bukan Dokter Sabara. Dia paling kesal dengan dokter yang bloon begitu. Dokter Sigit sih terlalu baik. Malah diberinya contoh!"
"Dan sinisnya enggak kepalang tanggung," kata perawat lain menambahkan.
"Waktu ada yang meninggal tempo hari, dia kan disuruh melakukan otopsi oleh Dokter Sabara. Kau tahu, Tania, betapa pucatnya dia! Katanya,
ah, tak ada gunanya. Pasti orang itu kena serangan jantung. Untung kemudian otopsi itu dibatalkan. Aku rasa, dia juga enggak bakal becus melakukannya!"
Tania senang mendengar orang-orang tidak menyukai Arman, tapi dia sendiri tidak mau mengatakan bahwa dia juga membencinya. Untung dokter itu tak lama kemudian pindah ke gedung apartemen, sehingga mereka tidak perlu berjumpa lagi di meja makan. Yang membesarkan hatinya adalah bibinya yang kelihatan tidak begitu menyukai Arman juga.
Arman sendiri berusaha keras merebut hati semua orang di sekitarnya. Dengan gayanya yang bloon, dia mencoba masuk ke dalam s
etiap hati. Ada juga manusia bodoh yang berhasil dipengaruhinya.
Tania punya pendapat lain. Dia yakin laki-laki itu sedang berusaha merebut kursi direktur dari tangan Dokter Sabara! Dengan begitu seluruh rumah sakit akan berada dalam genggamannya. Tapi aku enggak bakal membiarkan itu terjadi. Aku punya hak veto! Aku dan Edo Sabara!
Pada suatu hari ketika para karyawan sedang pergi makan, Dokter Arman masuk ke kamar tata usaha. Dia menyangka tidak ada orang di dalam. Tania kebetulan sedang berjongkok mencari status pasien kronis yang masuk lagi. Lemari itu terletak di sudut dan terhalang oleh daun pintu yang terbuka, sehingga dia aman tak kelihatan dari luar.
Didengarnya pesawat telepon diangkat lalu beberapa nomor diputar. Hening sejenak.
"Halo, ini Niko," didengarnya suara Arman. "Kau harus bersabar. Kita pasti berhasil. Mereka meragukan identitasku. Tapi aku sedang mengumpulkan bukti-bukti. Apa" Ah ya, tentu. Aku akan bertindak hati-hati. Aku pernah bertugas di Bagian Poli Kecelakaan, enggak ada kesulitan! Aku juga sudah lulus P3K sebelum mendapat SIM, bukan" Ha... ha... sampai nanti."
Telepon diletakkan kembali, dan Arman bergegas pergi. Karena gugupnya, kakinya menumbuk kursi. Dia mengaduh sakit dan kaget. Tania sama sekali tidak dilihatnya. Gadis itu menahan napas saking tegang. Semua didengarnya dengan jelas namun isinya tidak bisa dimengerti. Arman menelepon siapa" Dan kenapa disebutnya dirinya Niko" Itukah nama aslinya" Jadi dia bukan anak angkat Ayah"!
Persoalan ini memang rumit, dan Tania sebenarnya baru tahu seminggu yang lalu bahwa Dokter Sabara dicalonkan sebagai ahli waris oleh Bibi. Sedangkan Pak Razak mengajukan Arman. Sejauh ini belum ada kepastian siapa sebenarnya anak angkat ayahnya. Edo atau Arman. Yang harus menentukannya adalah Bibi serta Pak Razak. Tapi mereka masih belum menemukan kata sepakat...
Bila Tania boleh memberikan suara, dia tentu saja akan menyokong Dokter Sabara. Seorang pria yang simpatik dan pandai. Rasanya tidak terlalu menyakitkan hatinya bila dokter itu dicintai oleh ayahnya. Bukan laki-laki yang sinis dan tolol seperti Arman! Bah! Dia selalu berusaha menarik perhatian dengan nada sinis seolah mau diejeknya seluruh dunia. Paling-paling dipertontonkannya senyumnya yang murahan!
Beberapa hari selelah "telepon rahasia" itu, orang melihat Dokter Arman masuk ke kamar Dokter Sabara. Pintu dibanting tertutup, lalu terdengar suara marah-marah seakan mereka sedang bertengkar. Sayang ruang itu tertutup rapat, sehingga perawat yang ingin menguping tidak dapat mengerti apa-apa
Sore harinya ketika Tania sedang berjalan-jalan di hutan pinus dekat rumah Bibi, tahu-tahu Arman muncul di belakangnya. Dia kaget, karena seingatnya tak ada orang lain tadi.
"Halo!" sapa laki-laki itu. Seperti biasa, suaranya mendung, tidak ceria, seolah beban yang ditanggung jiwanya sudah lewat takaran
"Apa ini kebiasaanmu"" tegurnya kurang senang. "Muncul mendadak seperti setan""
"Ha... ha...!" Ketawamu juga kayak setan! "Apa kau enggak bisa melangkah ke tempat lain""
"Lho! Ini kan bukan tanahmu"! Enggak disebut dalam warisan!" Suaranya sinis sekali.
"Hm. Dan kaupikir, kau yang akan mendapat bagian lainnya dari harta itu"!" ejek Tania.
"Tentu saja!" angguknya pasti.
"Hm!" Tania menatapnya dari samping dengan mata nyalang. "Kaukira aku enggak tahu rahasiamu" Kaukira aku enggak tahu, namamu sebenarnya Niko, bukan Arman" Sepatah kata saja dari mulutku... hm!"
Suara yang berat dengan ancaman itu bergema halus di antara ranting-ranting pinus, menyebabkan suasana jadi senyap. Angin tidak terasa semilir.
Tania merasa puas melihat betapa Arman tampak terperanjat. Kumisnya bergerak-gerak seperti antena di moncong seekor tikus yang sedang terancam bahaya. Suaranya pelan sekali, hampir mendesis seperti ular. "Rupanya kau tahu terlalu banyak, Tania! Tapi aku yakin kau pasti ingat, kalau kau mati, bagianmu akan jatuh ke tanganku! Jangan menghalangi aku, awas! Ingat, seseorang yang mata gelap akan sanggup melakukan apa saja!"
Dengan senyum sinis tersungging di bibir, laki-laki itu memutar tumitnya dan pergi me
ninggalkan Tania melongo dengan seribu satu perasaan berkecamuk dalam hati.
Bab 6 Bibi karla tetap berdinas walaupun hari Sabtu, sedangkan Tania tidak. Poliklinik memang dibuka, akan tetapi bagian opname pasien ditutup kecuali untuk keadaan darurat. Dan itu ditangani oleh petugas Poli.
Jadi setiap Sabtu dia bebas. Terkadang dia tidur sampai siang, menemani Ani atau Lia ke pasar, dan terkadang dia memandikan Dona sekalian mencari kutunya, menyulam atau membuat kue. Hobinya sekarang memasak dan mencoba resep-resep baru. Sayang dapur Bibi kurang menunjang, peralatan yang diperlukan banyak yang tidak ada. Rupanya Bibi alergi kerja di dapur. Niatnya untuk mengangkut perabotan dari Jakarta tertunda terus gara-gara persoalan warisan yang belum juga tuntas.
Sabtu ini Tania ingin menyelesaikan bajunya. Untuk itu dia perlu membeli benang dan ritsleting kuning. Juga kancing serta obras baju. Dia bermaksud mengendarai mobilnya sendiri. Kendaraan itu sudah lama diambilnya dari Jakarta, tapi dibiarkan saja menganggur di garasi umum rumah sakit.
Di situ ada dua garasi tertutup serta sebuah yang terbuka di halaman. Yang terbuka ini untuk para pengunjung dan ambulans. Yang tertutup, satu untuk para dokter, lainnya untuk para karyawan. Tania sebenarnya mendapat lokasi dalam garasi dokter-dokter yang terletak tidak jauh dari rumah Bibi. Namun dia tidak mau markir di situ, sebab jatahnya bersebelahan dengan tempat parkir Arman. Bibi juga meletakkan mobilnya di sana.
Sabtu pagi itu Tania mengenakan celana jeans dengan blus karo berlengan panjang. Sambil menjinjing tas belanja dia berjalan menuju garasi umum. Penjaga ambulans tengah membaca sebuah koran Minggu yang terbit Sabtu, dan dia tersentak kaget mendengar sapaan di dekatnya. Diangkatnya muka, lalu nyengir membalas ucapan selamat pagi.
Sambil menghadiahkan seulas senyum, Tania melangkah menuju mobilnya di sudut kiri. Sebenarnya tidak pantas mobilnya berada di situ, pikirnya geli. Seperti makhluk asing saja mobil itu dengan warnanya yang merah menyala, sedangkan mobil-mobil yang lain serbakusam, biru kelabu atau putih dekil.
Dielusnya benda itu dengan penuh kenangan. BMW 516 itu merupakan hadiah ulang tahunnya sebelum ayahnya meninggal. Dia menghela napas sejenak. Pada saat seperti itu, bayangan ayahnya tidak bisa tidak pasti datang menerpa lamunannya. Dan hatinya detik itu perih kembali.
Namun dengan cepat dia menggeleng seolah mau membuyarkan kenangannya, lalu cepat-cepat dibukanya pintu. Tak berapa lama kemudian dia sudah meluncur ke bawah, ke arah kota kecil yang terletak di tepi sungai tempat dia biasa berbelanja bila memerlukan sesuatu.
Sebenarnya Tania tidak tergesa, tapi dia tidak biasa naik mobil merayap seperti delman. Di samping itu walau jalanan agak licin sebab hujan semalam, dia tidak merasa kawatir. Semua tikungan dan jalan sudah dihafalnya. Dekat Vila Delta Venus dia harus membelok ke kiri. Lima menit kemudian terdapat jalan yang terjal menurun dan seterusnya.
Nah, itu dia Delta Venus. Dari jauh sudah terlihat gentingnya yang berwarna biru. Di vila itu berdiam seorang gadis cilik yang menjadi pasien Dokter Sabara. Sejak kecil anak itu cuma sanggup mendengar samar-samar. Lambat laun indra pendengarannya semakin menurun fungsinya. Kini dia tengah menantikan operasi pencangkokan.
Tania pernah mampir ke sana diajak oleh Dokter Sabara, ketika dokter itu diundang minum teh oleh ibu pasien tersebut. Ah, gadis yang manis, pikirnya ketika vila itu muncul di hadapannya. Gadis cilik yang cantik berlesung pipi.
Dia menoleh sekilas. Hm. Selalu tampak sepi saja dari luar. Vila seluas itu hanya dihuni oleh dua orang manusia dengan beberapa pembantu. Tidak kenalkah mereka apa artinya hidup"!
Lalu... rrrt... muncul jalanan turun yang tajam itu. Tania menginjak rem secara otomatis. Namun alangkah kagetnya dia ketika kakinya menembus kekosongan belaka. Diangkatnya kaki itu dan diinjaknya sekali lagi. Huh! Kenapa rem ini"!
Diangkatnya kakinya dari pedal gas. Dicobanya mengganti persneling ke gigi satu, tapi dia sudah gugup. Hatinya berdebar kencang. Tangannya berkeri
ngat. Persneling melejit dari genggamannya.
Di depan sana tiba-tiba muncul truk. BMW itu melaju terus seakan buta. Tanpa rem, mobil itu takkan dapat berhenti. Untuk pertama kali sejak dia mondar-mandir di daerah pegunungan itu timbul takutnya. Seingatnya, terakhir kali mobilnya tidak apa-apa. Lalu, bagaimana rem itu bisa blong"
Ooh! Truk terus berkaok-kaok dengan klaksonnya. Lampunya juga disorotkan untuk memancing perhatiannya. Tania melihat di belakangnya ada sebuah mobil sedan yang ingin mendahului. Hatinya berdebar sekencang lari mobilnya. Dalam keadaan gugup dia sudah tak dapat berpikir lagi.
Dibantingnya setir ke kiri. Tapi karena lajunya, kendaraan itu tidak mau berhenti. Dia hampir saja menabrak pohon bungur di pinggir jalan, lalu secepat kilat dibantingnya kembali setirnya ke tengah, membuat truk tadi memekik-mekik. Hampir saja mereka saling bertubrukan.
Huh! Keringat membasahi tengkuknya. Hanya tinggal selubang jarum nasibnya tadi. Untunglah dia lolos. Tania menghapus keringat dan menggenggam setir dengan kedua tangan seakan dengan begitu mau mencegah mobilnya lari semakin kencang.
Jalanan sudah datar lagi. Dikembalikannya persneling ke gigi dua, kemudian diinjaknya pedal gas sedikit. Sedikit saja. Dia mulai berhati-hati walau tidak ada tikungan. Siapa tahu ada yang muncul mendadak dari depan, misalnya keluar dari jalan-jalan kecil atau rumah-rumah penduduk.
Tanpa rem, dia sungguh tak berdaya. Mati kutu. Masih untung hujan tidak turun. Kenapa rem ini blong"!
Di dekat tempat obras baju ada sebuah bengkel. Mobilnya dihentikannya di sana.
"Pak, barangkali ada waktu sedikit untuk memeriksa rem saya"" pintanya pada seorang montir yang mukanya penuh oli.
"Tentu!" angguknya menyeringai, memperlihatkan dua baris gigi yang putih mulus bagaikan rangkaian mutiara yang indah.
Sambil melap tangannya yang kotor, dia menghampiri sementara Tania sudah keluar dari mobil dan membuka tutup depan. Montir itu membungkuk, kemudian mengutak-atik mesin seakan itu sebuah boneka cantik yang rusak pernya.
Tania memperhatikan semua gerakannya. Montir itu bergumam tak jelas. Diambilnya obeng dan dicongkelnya sesuatu. Kemudian dicium-ciumnya.
"Ah, mobil ini sudah lama enggak dipakai, ya" Rupanya seperti kemasukan minyak tanah. Karetnya rusak, jadi remnya enggak mau makan!"
"Hm." Tania berpikir keras. Gilakah aku, memasukkan minyak tanah ke situ" Enggak. Aku enggak bakal melakukannya. Dari mana mau kuperoleh minyak tanah" Dapur Bibi menggunakan gas. Lalu, kenapa bukan minyak rem yang ada di situ"!
"Tolong direparasi, Pak. Ganti karetnya. Nanti saya ambil, ya."
"Baik, Neng." Tania melangkah ke tempat obras. Sepanjang sore itu sepulangnya dari kota, wajahnya mendung terus, sehingga Edo Sabara yang datang mengunjunginya segera melihat bahwa pikiran Tania sedang kusut. Dengan keahliannya secara halus dipaksanya gadis itu menyebutkan apa problemnya. Tania memang sedang menunggu kesempatan untuk menumpahkan unek-uneknya.
"Ada orang yang mau membunuhku!" cetusnya dengan dramatis.
"Ah, jangan panik!" Edo ketawa geli. "Siapa sih yang tega mencelakai seorang gadis cantik""
"Tentu saja orang yang kepingin uangku!"
"Tania, kau terlalu banyak melamun!"
"Kalau aku mati, bagianku bakal jatuh ke tangan Arman!"
"Tania!" seru Edo Sabara menggeleng dalam teguran. "Jangan menuduh sembarangan kalau kau tak punya bukti!"
"Ah, kau kelewat baik! Arman sendiri yang bilang begitu padaku."
"Dia bilang, bagianmu akan jatuh ke tangannya bila kau..."!"
"Ya. Dia juga bilang, orang yang kalap sanggup melakukan apa saja!"
"Tapi kenapa dia harus kalap" Bukankah tak lama lagi dia akan diresmikan sebagai ahli waris""
"Jadi kau akan menyerah"" tanyanya kurang percaya.
"Ah, aku tidak mau menyusahkan Bibi. Kebetulan saja perempuan yang merawatku telah menceritakan tentang warisan itu dan memberikan sepasang kaus kaki bayi, tapi aku tak mau kalap seperti Arman. Memang, aku belum menyerah. Aku memerlukan uang itu bukan untuk diriku, melainkan untuk riset yang sedang kulakukan. Permintaan subsidi pada Departemen Kesehatan telah ditolak dengan alasan tak
ada anggaran. Jadi aku harus berupaya mencarinya sendiri."
"Seandainya Arman yang betul-betul ketiban rezeki, bagaimana""
"Yah, aku terpaksa menyerah. Tapi aku percaya, keadilan masih akan bicara! Lambat atau cepat, kedoknya pasti akan terungkap, tipu muslihatnya akan ketahuan."
"Ed, aku tahu dia bukanlah Arman!"
Dokter Sabara menoleh dengan roman kaget. "Dari mana kau tahu"" bisiknya.
Tania mengisahkan percakapan telepon yang didengarnya dan ancaman Arman ketika mereka ke-samprok di hutan pinus.
Edo Sabara tampak termenung beberapa saat. "Hm. Ini merupakan hal yang penting, tapi kita perlu bukti, hitam di atas putih."
"Selidiki saja ke mana dia menelepon!"
"Hm. Bisa juga. Tapi jangan dulu. Aku tidak mau Bibi menjadi susah. Kita lihat dulu perkembangannya. Bagaimana Keputusan Pak Razak. Kalau perlu, aku akan maju ke pengadilan. Tapi rasanya sebelum sampai ke meja hijau, kedok bangsat itu sudah akan terungkap!"
Dokter Sabara tersenyum setengah mengejek, seolah menertawakan Arman yang sebentar lagi akan terkapar kalah. Kedua matanya yang biasa hangat itu tampak gemerlapan penuh sinar kepuasan serta percaya diri, sehingga memberi kesan diabolik yang menakutkan.
"Edo, jangan senyum begitu, ah!" bisik Tania ngeri.
Bab 7 Pak guru SAIMIN berusia sekitar empat puluh lima tahun. Orangnya kurus tinggi, dengan kumis melintang rapi. Air mukanya yang jernih mencerminkan semangat idealisme yang tidak kenal kelicikan. Senyumnya tulus tanpa mengandung maksud tersembunyi di baliknya.
"Desa Kebonjahe ini bukanlah desa yang makmur," ceritanya suatu hari ketika Tania mengunjungi sekolah beratap rumbia itu bersama Ani dan Lia. "Dulu kami mengerjakan sawah dan ladang. Tapi hasilnya tidak memuaskan, karena irigasi yang buruk. Kami kemudian pergi ke kota, bekerja di pabrik-pabrik. Yang tinggal di sini paling-paling cuma menganyam bakul dan tanggok. Kemudian muncul real estate Delta Venus Housing Project yang membeli tanah-tanah kami. Semua rumah bagus yang Mbak lihat di sepanjang jalan, tanahnya semula milik kami. Setelah dijual, kami mundur kemari. Real estate itu besar. Malah kabarnya direktur rumah sakit di atas juga punya saham di situ."
"Dokter Sabara""
"Ya" "Barangkali Pak Saimin salah dengar. Dokter Sabara itu orangnya enggak tertarik pada keuntungan pribadi. Dia sangat sosial. Memang dia sering pergi ke vila itu, tapi cuma sebagai dokter yang merawat anak-anak cacat. Saya rasa, dia enggak punya kepentingan apa juga dengan real estate tersebut. Tapi marilah kita bicarakan hal yang positif saja. Bapak bilang, di sini ada tiga puluh anak. Cuma dua belas yang dapat ke sekolah. Apa yang lain tinggal di rumah atau bekerja""
"Mereka kebanyakan nganggur."
"Bagaimana Bapak sendiri, apa cuma mengajar setengah hari""
"Betul. Sorenya saya harus menarik Colt Untuk hidup."
"Berapa orang anak Bapak""
"Dua. Yang pertama sudah tiga belas tahun. Sekolah di Bogor, ikut pamannya."
"Begini, Pak. Saya bermaksud meluaskan sekolah ini menjadi dua kelas atau lebih, supaya semua anak di sini bisa masuk sekolah. Untuk itu saya minta kesediaan Bapak supaya mau mengajar pagi dan sore. Bapak akan diberi honor. Sayang sekali kalau Bapak harus mengotori tangan dengan oli selama Bapak dapat memegang kapur tulis."
"Tapi siapa yang akan memegang kelas lain""
"Saya masih belum tahu. Barangkali untuk sementara akan saya tangani sendiri. Kalau ada guru-guru dari Jakarta yang bersedia kemari, mereka akan kita tempatkan di asrama perawat."
"Apa Dokter Sabara akan setuju"" "Dia pasti setuju!" Tania mengangguk penuh keyakinan.
Pak Guru menatap gadis muda belia itu dengan perasaan waswas. Wajahnya bulat telur dan manis, berhiaskan sepasang mata yang gemerlapan seperti bintang. Tak pelak lagi, gadis ini sangat idealis. Tapi nona yang idealis belum tentu akan mampu mendirikan sebuah kelas, pikirnya ragu. Untuk itu diperlukan uang. Banyak. Idealisme cuma bikin mulut capek, tanpa duit tak bisa jalan.
"Saya akan datang kembali," janjinya sebelum berlalu.
Dan gambaran kelas yang rawan itu menghantuinya terus sampai dia mendapat kesempatan untuk men
elepon Pak Razak ketika Bibi tidak di rumah. Pak tua itu tidak terkejut mendengar gagasannya. Dia sudah terbiasa diberi instruksi yang aneh-aneh oleh ayah Tania. Persoalannya sekarang, apakah Bibi Karla akan setuju"
"Beliau masih menjadi walimu, Tania."
"Ah, kenapa enggak setuju, Pak" Itu kan uang saya!" bantahnya sengit.
"Betul. Tapi bagaimana seandainya bibimu beranggapan, uang itu sebaiknya disumbangkan saja ke rumah sakit" Dengan begitu kita juga menolong mereka, sebab penduduk setempat selalu berobat ke sana bila sakit. Bibimu ingin memperbesar Poliklinik "
"Ah, seperti itu rumah sakitnya sendiri! Dia kan cuma kepala perawat."
"Dia sudah mengabdikan diri puluhan tahun di situ. Kurasa dia takkan pindah lagi dari sana."
"Tapi saya ingin membangun sekolah. Rumah sakit tidak menarik minat saya!"
Hatinya bertanya: apa lantaran ada Annan" Mungkin saja.
Pengacara itu tidak panik, rupanya biasa menghadapi anak-anak. Keinginan mereka harus selalu terlaksana. "Baiklah," dia menyerah. "Akan aku bicarakan secepatnya dengan Bibi Karla."
"Tidak, Pak. Saya yang akan membicarakannya dengan Bibi. Hari ini juga. Bapak cuma perlu menghubungi Pak Guru Saimin untuk mengatur pelaksanaannya. Kita tentunya memerlukan kontraktor, sebab saya ingin membangun sekolah yang terbuat dari batu dan ubin. Kita juga harus mencari beberapa orang guru. Semua itu dapat Bapak rundingkan dengan Pak Saimin. Oh ya, guru-guru wanita akan kita tempatkan di asrama perawat."
"Ini akan menelan biaya banyak, Tania," Pak Razak mengingatkan seolah mau mencoba memulihkan kesadarannya.
"Saya tahu," sahutnya tenang.
"Bila kau ingin menghambur-hamburkan uang, sebaiknya kaupikirkan sekali lagi."
"Ini bukan penghamburan. Pak! Ayah juga pasti akan setuju."
"Oke, oke!" Pak Razak betul-betul menyerah. "Kau ini sama saja dengan ayahmu!" decaknya, bukan tanpa kagum. "Kalau sudah memutuskan sesuatu, pantang mundur!"
"Iya, betul sekali, Pak!" serunya ketawa senang.
Dalam hati Pak Razak mengeluh. Siapa yang sanggup membantah kehendak seorang jutawan, walau kehendaknya itu aneh"
Berita itu cepat tersebar. Ketika Tania ketemu Arman beberapa hari kemudian, dokter itu langsung menanyakan apakah niatnya itu sungguh-sungguh.
"Tentu saja! Daripada uangku nanti jatuh ke tanganmu!"
"Ha... ha.... ha...!" Seringainya sangat sinis, membuat Tania naik darah.
"Jangan ketawa senang dulu! Aku sudah menulis dengan jelas siapa yang harus mereka ciduk bila terjadi sesuatu atas diriku!" ancamnya.
"Hei, kenapa mendadak jadi marah""
"Huh! Tentu saja kau akan bilang, kau enggak tahu-menahu soal remku yang blong tempo hari, bukan""
"Hei! Rem apa sih""
Tapi gadis itu sudah berdiri dengan geram, mengentakkan kaki dan keluar ruangan, nyans membanting pintu. Makin bulat tekadnya untuk meninggalkan rumah sakit dan bekerja sebagai guru.
Seperti ramalan Pak Razak, Bibi Karla tentu saja mula-mula menentang. Tapi keinginan Tania sekuat tali baja yang tak putus dihantam badai. Setelah diskusi dan perdebatan yang seru, akhirnya bibinya menyerah juga.
Tentu saja kelas-kelas itu takkan mungkin disulap dalam semalam. Jadi Tania harus bersabar. Sementara itu dia terpaksa meneruskan kegiatannya di bagian tata usaha, dan Arman dilihatnya hampir setiap hari di tempat kerjanya. Tapi tidak pada hari itu...
Hari itu Dokter Sabara jatuh tergelincir dari tangga di tingkat tiga. Belakang kepalanya yang sebelah kiri robek seperti terpukul benda yang agak runcing. Pinggir luka itu tidak rata. Selain itu, dia masih terbentur pula pada pinggiran tangga yang cukup tajam.
Orang mendapatinya tergeletak setengah sadar. Dia segera dibawa ke kamar operasi dan Dokter Nasution yang menjahit lukanya. Untung pemeriksaan sinar rontgen memberi hasil negatif, tapi Dokter Sabara terpaksa diopname juga walau dia mengajukan protes keras.
Ketika Tania mengunjunginya sore itu, Bibi Karla sedang menungguinya di sana. Perempuan itu tidak sedang berbuat apa-apa selain duduk memandangi sang pasien yang terbaring dengan mata terpejam. Mungkin dia sedang tidur. Tania tidak ingin membangunkannya. Dia berdiri tanpa bersuara
di samping bibinya. Wajah Dokter Sabara agak pucat, tapi keadaannya tidak gawat. Air mukanya yang simpatik itu kelihatan tenang dan damai. Tania merasa ingin sekali mengelus pipinya seperti yang biasa dilakukannya bila ayahnya tengah berbaring seperti itu.
Ayahnya akan pura-pura mengeluh seakan tengah bermimpi, kemudian cepat membuka mata bila dirasanya Tania akan beranjak pergi. Permainan itu sangat digemari oleh mereka.
Apakah Edo Sahara juga akan senang dielus-elus"! Seandainya Bibi enggak di sini, bisa aku coba....
"Di mana Arman""
Pertanyaan itu membuatnya menoleh dan wajahnya mendadak panas, seolah Bibi mengetahui isi pikirannya. "Entah," sahutnya berbisik.
"Apa dia tidak tahu, rekannya mendapat kecelakaan" Semua dokter sudah datang menengok, cuma dia sendiri yang belum!" gerutu Bibi pelan.
Ya, di mana orang itu" Kenapa seharian ini dia belum kelihatan"
Tania teringat gosip yang didengarnya beberapa waktu yang lalu dari perawat di Poli. Dokter sinis itu ternyata menyimpan keinginan untuk mengepalai rumah sakit! Bayangkan! Sedangkan di tempat yang dulu, dia pasti tidak punya pasien. Kalau tidak, mana mau dia dinas di tempat terpencil begini!
Dipandangnya Edo yang terlentang tak berdaya. Betulkah dia cuma terpeleset seperti dugaan orang" Betulkah dia enggak dihantam dari belakang" Kalau ya, oleh siapa"
Ah, dia terlalu paranoid(curiga). Urusan duit memang paling gampang membuat orang jadi waswas. Padahal seluruh rumah sakit sudah tahu, Edo hanya
terpeleset. Juga Bibi Karla berpendapat begitu. Seandainya dia menduga ada yang tidak beres, perempuan itu pasti takkan mau menutup mulut terus kayak kerang. Semua orang tahu betapa sayangnya kepala perawat itu pada sang direktur. Orang bilang sejak kedatangan Dokter Sabara lima tahun yang lalu. Bibi Karla mendadak jadi berkurang bengisnya. Tidak begitu sering mengomel atau mencari-cari kesalahan para perawat.
Ya, Dokter Sabara memang sangat simpatik. Dan Bibi Karla pernah terus terang bilang, dia akan merasa bahagia-begitu juga ayahku-kalau aku mau menjadi istrinya.
Menjadi istri Dokter Sabara" Brrr! Impian semuluk itu"! Siapa yang enggak mau" Hampir setiap perawat punya impian itu. Dan kalau aku sudah menjadi Nyonya Sabara, aku pasti akan aman dari jangkauan Arman! Sebab dengan begitu uangku akan jatuh ke tangan suami kalau aku mati. Arman enggak bisa berbuat apa-apa untuk merampasnya.
Ha! Pantas Bibi setenang itu. Rupanya dia tidak tahu soal remnya yang blong tempo hari. Tak ada seorang pun yang tahu. Tania tidak mengatakannya pada siapa pun. Kecuali pada Arman sekali itu.
Dia masih dapat merasakan debur jantungnya waktu itu setelah kembali dengan selamat di garasi. Dengan kaki gemetar dia berjalan pelan ke rumah Bibi sambil memutar kembali ingatannya mengenai insiden itu. Rasa takut yang semula belum mencekamnya saking tegang urat sarafnya, kini menjalari perasaannya. Tanpa sadar dia menggigil ketika melangkahkan kaki. Dia mendadak yakin ada orang yang telah mencoba membunuhnya. Orang yang akan mendapat keuntungan dari kematiannya... siapakah dia"!
"Ambillah kursi! Jangan berdiri terus kayak patung!" ujar Bibi.
Bab 8 acara makan malam itu diadakan Bibi Karla untuk merayakan kesembuhan Edo. Yang diundang hanya Pak Razak, Arman, dan Edo tentu saja. Tania tidak menemukan alasan untuk absen. Di samping itu dia ingin sekali berdekatan dengan Dokter Sabara setelah sekian lama tidak mendengar suaranya berbisik sayup di telinganya. Jadi terpaksa ditahannya kehadiran Arman yang sering-sering menatapnya dengan tajam. Matanya yang hitam itu terkadang berbinar aneh.
"Untung sekali lukamu tidak dalam," cetus Bibi sambil menyendokkan nasi ke piring Edo. Tentu saja tamu kehormatan harus didahulukan. Setelah itu Pak Razak, baru Arman. Dan terakhir dia.
"Ya, aku dilindungi Dewi Fortuna," ucap Dokter Sabara, menyapu Tania dengan lirikan bermadu.
Tapi gadis itu tidak menangkap kiriman itu. Dia tengah memperhatikan Arman yang menunduk bermain-main dengan sendoknya, seakan tengah melamun. Berlagak bloon memang merupakan akal yang ampuh, pikirnya sinis.
Tiba-tiba A rman mengangkat wajahnya dan memandang Tania sesaat. Dengan hati berdebar Tania mengalihkan matanya ke samping dan tertatap olehnya Edo yang tengah memperhatikannya. Dia tersenyum.
"Gedung sekolahmu sudah hampir rampung, Tania"" tanya Edo penuh perhatian.
Tania memperlebar senyumnya seraya mengangguk.
"Kau akan menjadi guru"" tanya Arman setengah mengejek.
"Ya!" sahutnya dengan membelalak. Menghina betul kau! Kausangka aku enggak becus berdiri di depan papan tulis"!
"Kaupikir enak jadi guru" Gampang" Apalagi tanpa pendidikan khusus" Kalau begitu aku juga ingin jadi guru. Bosan aku kerja sebagai dokter!"
"Wah, ini sih betul-betul penghinaan! Mentang-mentang enggak gampang jadi dokter," sindirnya dengan hati panas. "Tapi setiap orang bisa jadi guru, begitu" Kambing congek juga bisa, kan" Tentu saja setiap profesi perlu pendidikan, Dok! Tapi pendidikan saja enggak bisa menjamin seseorang akan terampil dalam bidangnya!"
Merah wajah Arman, rupanya sindiran Tania kena sasarannya. Gadis itu ketawa dalam hati. Melihat suasana yang menjurus ke arah kebakaran, Pak Razak lekas menengahi dengan menyebutkan harga beberapa bahan bangunan yang sudah naik lagi. Edo mendengarkan dengan penuh perhatian, sementara Arman kembali sibuk dengan sendok-garpunya.
"Sebenarnya kau lulusan mana sih"" tanya Tania ketika suasana hening.
Yang ditanya balas menatap dengan pameran senyum hambar. Sambil mencocok-cocok makanan dengan garpu, lirikannya yang misterius menyapu seputar meja untuk sekejap.
"Nanti kuperlihatkan padamu salinan ijazahku!" sahutnya kalem.
"Aku mempunyai rencana untuk mengangkatmu sebagai kepala Poli Penyakit Dalam. Bagaimana"" ujar Edo Sabara tiba-tiba.
Tania langsung melihat betapa mata hitam itu menggelepar terkejut. Dia pasti enggak merasa kompeten, karena itu dia kaget! Hm. Tapi senyum sinisnya tetap terpampang. Aku puji kebesaran nyalinya!
"Kau kan tahu, aku bukan spesialis..."
"Ah, tidak jadi soal. Setiap dokter sedikit-banyak tahu mengenai penyakit dalam. Ini kan cuma poliklinik. Kasus-kasus yang sulit tentu saja boleh kauteruskan pada Dokter Sigit."
"Entahlah!" keluh Arman memutar-mutar garpunya. "Aku sebenarnya kurang tertarik pada bagian itu."


Dibakar Malu Dan Rindu Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Edo mendecah, ketawa geli. "Hm. Kenapa aku kok mendapat kesan, kau sebenarnya tidak tertarik pada bidang kedokteran" Itukah sebabnya kau melarikan diri dari praktekmu di Ujungpandang" Atau ada hal lain yang memaksamu datang ke sini""
Semua orang menahan napas, tercengang. Tidak ada yang menyangka bahwa Dokter Sabara akan memojokkan Arman seperti itu. Setiap mata menatap wajah kurus yang memucat itu, menantikan jawabannya. Tapi yang ditatap cepat pulih ketenangannya seolah tak mengacuhkan orang-orang di sekitarnya.
"Memang ada yang memaksaku datang kemari. Tapi itu bukan skandal-skandal seperti yang mungkin kaupikir!"
"Yang kaumaksudkan itu warisan ayahku, bukan"" ejek Tania.
"Ya, warisanku!" sahutnya mantap.
"Hm. Belum pasti kau yang akan disahkan sebagai ahli waris!" tukas Tania mencibir.
"Tania!" tegur Bibi Karla yang agaknya merasa tidak enak dengan terjadinya perdebatan di tengah makan. "Kita berkumpul untuk merayakan kesembuhan Dokter Sabara, bukan untuk cekcok. Semua salah paham atau debat dapat kautunda sampai acara makan ini selesai!"
Persoalan ahli waris itu membuat Bibi Karla kurang enak, sebab dialah yang akan menentukan apakah Arman yang akan muncul sebagai pemenang. Pak Razak sudah jelas memilih Arman, tapi Bibi mempunyai hak veto. Dia lebih condong pada Sabara. Bila tidak ada Pak Razak, bisa dipastikan Edo Sabara yang akan menerima warisan itu. Sebaliknya, bila Bibi tak ada, Arman-lah yang akan beruntung. Hal itu terlintas dalam pikiran Tania saat itu.
Selesai makan mereka pindah ke beranda depan, ngobrol sambil makan kacang rebus yang gurih.
Kacang itu hasil kebun sendiri. Di belakang rumah terdapat sebidang tanah tempat Bibi menanam sawi, kol, wortel, tomat, kacang, buncis, labu, dan mentimun.
Tania merasa agak jengkel, sebab Arman terus-menerus mendampingi Edo, tidak bergeser sesenti pun dari sampingnya. Dengan kesal dihampirinya piano t
ua milik Bibi yang sudah sumbang suaranya. Dimainkannya lagu Halo-Halo Bandung sambil mengentakkan tuts, sehingga suaranya menyakitkan telinga. Tapi rupanya tak seorang pun memedulikannya. Bibi asyik bercakap-cakap dengan Pak Razak di sudut ruang tamu. Edo dan Arman sibuk juga bicara dengan debat yang sebentar-sebentar meletus. Mungkin mereka tengah membicarakan soal Poliklinik.
Tania akhirnya bangkit ke dalam mencari Lia dan Ani yang sedang memberi makan Dona. Sampai semua tamu pulang, dia tidak keluar lagi. Karena lelah dan jengkel, Tania segera berbaring di tempat tidur ketika orang-orang sudah pulang. Dalam beberapa menit saja dia sudah lelap.
Entah sudah berapa lama dia tidur ketika mendadak suara jeritan yang menyeramkan merenggutnya kembali dari dekapan mimpi. Tania terjaga dengan hati berdebar. Dari kamar Lia dan Ani didengarnya suara orang menyalakan lampu, lalu pintu penghubung mereka diketuk. Tania menjangkau tombol lampu di samping ranjang. Ketika lampu menyala, dilihatnya Dona sudah berdiri di belakang pintu, siap mau keluar.
"Neng Tania." Itu suara Lia. Dia turun dan membuka pintu penghubung. "Ada apa" Siapa yang menjerit"" tanyanya. "Saya juga mendengarnya," ujar Lia. "Siapa""
"Saya kira Neng," kata Ani.
Tania berbalik dan menghambur ke luar kamar lewat pintu yang sudah ditunggui oleh Dona. Dia berlari ke kamar Bibi Karla dan mengetuk pintunya Tiada jawaban. Diketuknya lagi. Tetap sunyi.
Tania mencoba memutar gerendel pintu. Bergeming. Ia mengintip dari lubang. Hm. Anak kunci masih tergantung di situ, tidak peduli orang tengah berusaha membukanya. Dia menoleh ke bawah. Celah pintu dengan lantai diperkirakannya cukup besar untuk anak kunci itu.
Lia berlari ke belakang dan kembali dengan sebatang kawat yang rupanya bekas kawat jemuran. Diterimanya kawat itu dan disodoknya anak kunci tersebut sampai jatuh ke lantai. Suaranya berdentang nyaring di malam sepi itu. Entah jam berapa ini, pikirnya.
Dibengkokkannya ujung kawat itu sampai ber-bentuk kaitan, lalu dicobanya menarik anak kunci itu pelan-pelan keluar dari celah. Ini ternyata tidak gampang, sebab dia tidak dapat melihat ke dalam kamar melalui celah di bawah pintu. Beberapa kali anak kunci itu terlepas dari kaitan sehingga Tania mesti menggeser-geser kawat kian kemari sampai terantuk lagi dengan benda tersebut. Namun belum juga berhasil ditariknya ke luar.
Karena jengkel, dia hampir menangis. Kenapa sih Pak Razak pulang juga malam-malam begini! Kalau enggak kan dia pasti bisa membantu saat ini!
Di tengah keheningan udara, ketukan di pintu depan terdengar mengejutkan ketiga gadis itu. Ani, yang paling berani, sudah berjalan ke depan setelah menyalakan lampu. Tidak teringat oleh Tania untuk melarangnya membuka pintu, siapa tahu itu orang yang tidak dikehendaki.
Terdengar gerendel diputar, lalu pintu berderit halus dan suara orang bertanya, kalau-kalau dia boleh masuk. Tania meluruskan tubuh, berdiri tegak di depan pintu kamar Bibi sambil menahan napas. Arman! Mau apa dia kemari"!
Tapi sebelum dia sempat membuka mulut, tamu tak diundang itu sudah berada di hadapannya. "Mau apa kau"" tegurnya tanpa sungkan.
"Ketika aku sedang jalan-jalan di kebun, tahu-tahu kulihat lampu-lampu di sini dinyalakan lagi. Karena kawatir terjadi sesuatu, aku bergegas kemari!"
Kawatir atau memang sudah tahu telah terjadi sesuatu, pikirnya sinis. Tapi untuk sementara, melihat keadaan Bibi (dan menolongnya kalau perlu) adalah hal yang utama. Tania terpaksa menelan kedongkolannya terhadap pemuda itu.
"Kami mendengar Bibi menjerit, tapi pintunya enggak bisa dibuka. Aku sedang mencoba menarik kuncinya ke luar."
Arman berbaring telungkup di lantai dan memeriksa situasi di sebelah dalam dari bawah pintu. Diambilnya kawat dari genggaman Tania dan dicobanya mengait ke dalam. Setelah berkutetan beberapa kali, kunci hanya bergerak sedikit.
"Terlalu lama," gumamnya.
Dia bangkit dan mengeluarkan sebuah pisau lipat kecil dari saku bajunya. Diotak-atiknya lubang kunci beberapa kali dan... pintu pun terbuka! Tania ingin langsung menyerbu masuk, tapi ditahan olehnya.
"Tunggu! " perintahnya, mendadak berwibawa, lalu dia sendiri yang melangkah ke dalam. Tania menunggu di depan pintu. Sedetik kemudian Arman kembali. Wajahnya pucat.
"Aku mau nelepon Edo. Kau jangan masuk!"
Ketika Dokter Sabara tiba, Tania ikut menerobos masuk. Bibi Karla lerlentang di lantai dalam kimono terbuat dari bahan handuk berwarna biru tua. Tidak jauh dari sisi kanannya tergeletak sebuah alat pengering rambut.
"Apa yang terjadi"" tanyanya berbisik seakan takut membangunkan Bibi.
"Mungkin dia terkena listrik," sahut Arman pendek, sementara Dokter Sabara tanpa banyak bicara segera berlutut dan merabai jantung Bibi. Kemudian ditekannya dada perempuan itu beberapa kali. Dokter Arman dimintanya membantu dengan pernapasan buatan.
Untung sekali dari sejak Bibi berteriak hingga kini belum berlangsung lebih dari lima menit walau sudah dirasakan lama sekali oleh Tania. Dokter Sabara memeriksa lagi dengan stetoskopnya, lalu menoleh padanya.
"Bibimu tidak apa-apa."
Rasa lega otomatis merayapi dadanya, matanya mendadak basah ketika dia menyadari bahwa sebenarnya dia cukup sayang pada perempuan bawel itu.
"Untung rupanya dia berhasil melemparkan pengering rambut itu!" tukas Dokter Sabara sambil melirik ke arah Arman yang sedang tercenung memegangi dagu. Tania melihat adegan itu dengan perasaan aneh yang tidak bisa dikajinya apa artinya.
Kedua laki-laki itu kemudian mengangkat Bibi dan membaringkannya di tempat tidur. Tania melihat kelopak mata yang penuh kerut itu berkejap-kejap lalu terbuka menatapnya.
"Kenapa aku""
"Bibi enggak ingat"" tanyanya seraya berlutut di samping ranjang ditemani oleh Dona. Walau Bibi cerewet, sebenarnya hatinya baik, dan dia belum pernah memakinya. Di samping itu, Bibi adalah satu-satunya keluarganya yang masih hidup.
"Ah, aku ingat. Aku baru saja mencuci rambut, kemudian aku keringkan..." Matanya menoleh ke lantai dan melihat alat pengering rambut itu.
Edo tengah memperhatikan benda itu sambil bergumam sendiri, tak tertangkap oleh Tania apa kata-katanya. Arman menatap sekejap, lalu dengan kaku melangkah ke pintu.
"Kurasa Bibi sudah lepas dari bahaya. Aku permisi dulu," ujarnya mengangguk pada Tania, lalu menghilang.
Tania menyuruh Ani membuatkan teh hangat. Diselimutinya Bibi dan tanpa sadar, air matanya menetes turun. "Huss," bisik perempuan setengah tua itu setengah menghibur. "Aku tidak apa-apa. Pasti aku sudah lupa menyuruh betulkan alat itu."
Ani muncul dengan secangkir teh hangat yang manis. Edo menyerahkan alat pengering rambut itu pada Lia, menyuruhnya meletakkan benda itu dalam tas hitamnya.
"Apa yang rusak, Ed"" Tania memandangnya menunggu penjelasan.
"Kabelnya terkelupas di bagian pegangannya," sahutnya singkat, lalu menghampiri Bibi dan memeriksanya sekali lagi.
Malam itu Tania tidak bisa tidur. Pikiran buruk bermain-main dalam kepalanya, tak mau diusir pergi. Dia hampir yakin, kabel itu memang sengaja telah dikelupas oleh seseorang.
Tapi siapa orangnya" Siapa yang membenci Bibi" Atau mau menarik keuntungan dari kema-tiannya"
Sebuah nama menyelinap masuk ke dalam ingatannya, mengantar debur-debur ketakutan ke dalam hatinya. Aku dan Bibi! Orang itu sudah dua kali gagal melenyapkan kami!
Menjelang pagi barulah dia terlelap sebentar.
Bab 9 Pembangunan gedung sekolah berjalan lancar. Tania menghendaki gedung yang mewah dengan lantai berkilat serta langit-langit yang putih bermotifkan bebungaan. Tapi Pak Razak berhasil meyakinkannya bahwa yang lebih penting adalah bangunan yang kuat serta jumlah kelas daripada kemewahan yang akan menelan biaya banyak sehingga mengurangi jumlah kelas serta fasilitas.
Pak Arja dari Kantor Bupati sudah tiga kali ditemuinya di tempat pembangunan. Rupanya semua orang kelihatan gembira sekali menyambut kehadiran gedung sekolah itu.
Tania selalu menghabiskan waktu senggangnya di sana. Dia bosan sekali duduk menghadapi mesin tik, mengisi formulir orang-orang sakit. Tapi apa boleh buat. Selama belum dapat mengajar, dia harus menyibukkan diri di rumah sakit.
Bila tidak ada Dokter Sabara, pasti sudah jauh-jauh hari dia pergi menyingkirkan di
ri dari kantor tata usaha yang sumpek itu. Tapi Edo Sabara selalu berhasil membuat udara mendung menjadi cerah kembali. Mereka semakin sering berduaan.
Terkadang turun ke bawah untuk makan sate atau pergi ke vila mengunjungi pasien.
Sejak kecelakaan itu Bibi Karla lebih banyak mengunci diri di kamar sepulang dari tugas. Jadi Tania mempunyai lebih banyak waktu yang harus dihabiskannya sendiri, nah ya, bersama Edo Sabara!
Sabtu pagi itu Tania bermaksud mengunjungi gedung sekolahnya tanpa berpesan pada siapa pun. Tapi sebelum pergi ke sana dia mampir dulu ke kantor pos. Dia ingin menyelidiki siapa yang dulu ditelepon oleh Arman dan siapa yang diteleponnya dua hari yang lalu.
Kantor pos tersebut terletak di daerah pertokoan, di sebuah rumah batu kecil yang dikapur putih dengan jendela-jendela besar model kuno. Di halaman yang berumput hijau berdiri tegak sebatang tiang bendera dengan Sang Saka yang selalu berkibar dibelai angin.
Saat itu tidak banyak orang. Tania menghampiri seorang laki-laki setengah tua yang tengah menikmati rokok kreteknya.
"Pak, bolehkah saya menanyakan sesuatu""
"Silakan." "Bagaimana caranya melacak sebuah pembicaraan telepon"" "Hm."
Laki-laki itu menengadah seolah ingin mencari jawabnya di langit-langit. Diisapnya rokoknya sekali lagi, lalu dia berdehem. Matanya nyalang menatap ke atas tanpa berkedip. Akhirnya dia menunduk kembali tanpa memandang tamunya.
"Hm," gumamnya, "sudah berapa lama"" "Kemarin dulu," sahut Tania cepat, penuh harap. "Hm. Sulit!" gerutunya.
"Tapi bukannya enggak mungkin," bisik Tania tegang.
"Mungkin sih mungkin," gerutunya lagi.
Tania membuka tas dan mengeluarkan dompet. Laki-laki itu memperhatikan gerakannya tanpa memberi reaksi bahwa dia melihat sesuatu. Mungkin dia tengah melamun. Gadis itu menarik selembar uang ribuan dari gaji yang baru diterimanya. Disodorkannya uang itu ke depan sang petugas.
"Hm," dia berdehem tanpa menyambutnya.
Tania menambah selembar lagi.
"Hm." "Nanti saya tambah kalau Bapak berhasil."
"Tidak. Kita tidak boleh menyadap pembicaraan telepon orang lain!" protesnya tegas.
"Saya bukannya mau menyadap. Pak. Tapi cuma ingin tahu ke mana pembicaraan telepon itu!"
"Apa ini untuk rekening""
Tania berpikir sejenak, lalu mengangguk.
"Ada yang kos di rumah" Dia interlokal dan tidak mau bayar"!" tebaknya terkekeh.
"Ya." "Kalau begitu, Nona harus pergi ke Kantor Telepon Kabupaten." "Di mana itu""
"Dari sini jalannya lurus, kemudian belok ke kanan, ada gedung besar dan baru." "Terima kasih, Pak."
Laki-laki itu mengangguk sambil meraih kedua lembaran uang di depannya dan memasukkannya ke dalam laci.
Tania berjalan keluar menuju mobilnya yang diparkir dekat pagar. Tiba-tiba dia berhenti. Seseorang tengah membungkuk ke dalam mesin mobilnya. Tutup kap yang terangkat kelihatan menganga.
Tania mempercepat langkahnya. Mendengar suara sepatunya di atas kerikil, orang itu meluruskan badannya, lalu menoleh.
"Hm! Mau kaurusak lagi remnya"" sindir Tania berang.
Arman berdiri kikuk sambil menggosok-gosok telapak tangannya tanpa mampu menjawab. Bibirnya digigitnya erat-erat dan ditatapnya wajah marah itu dengan rupa malu. Kemudian ditutupnya kap mobil tanpa berkata sepatah pun.
Tanpa memedulikannya lagi Tania membuka pintu mobil dan masuk. Beberapa saat kemudian dia sudah meluncur pergi meninggalkan Arman yang berdiri seperti orang bingung.
Di kantor telepon Tania menyatakan ingin mengecek rekening bulan lalu dan pembicaraan interlokal kemarin dulu. Dia tidak mendapat kesulitan. Mereka memintanya untuk mengisi formulir dan hasil penyelidikan akan dikirimkan secepatnya. Dengan perasaan gembira dia keluar dari gedung itu dan memutuskan untuk melihat pembangunan gedung sekolah.
Udara agak mendung, tapi dia tidak kawatir. Dalam mobilnya tersedia payung serta jas hujan.
Cuma kalau hujan berkepanjangan sampai malam, wah, gawat juga. Dia sudah punya rencana bersama Edo untuk melihat video di vila atas undangan ibu pasien.
Pak Guru Saimin menyambutnya dengan wajah cerah. Dibukakannya pintu mobil dan ditutupnya kembali setelah Tania keluar. "Bagaima
na, Pak" Ubinnya sudah dipasang"" tanya Tania setelah mengucap terima kasih.
"Belum. Mereka mengirimkan warna pulih. Saya tidak setuju. Cepat kotor."
"Ya, betul. Apalagi kalau musim hujan. Bukankah sudah kita setujui warna coklat""
"Itulah. Mereka bilang yang coklat habis. Kalau mau pesan, mesti tunggu kira-kira dua bulan lagi."
"Wah, lama betul. Apa ada warna lain""
"Ada hijau, kuning, dan krem."
"Bagus yang coklat itu. Apa kita enggak bisa memesan di tempat lain""
"Di tempat lain belum tentu kita akan mendapat korting tiga puluh persen!"
Bangau Sakti 47 Pedang Siluman Darah 10 Kutukan Brahmana Loka Arya Panji Tengkorak Darah 1
^