Pencarian

Gadis Pantai 2

Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 2


"Jadi apa mesti aku kerjakan""
"Benar-benar mau kerja""
"Tak mungkin mBok, tak mungkin aku terus berkurung begini."
"Sebelum tiga bulan, sebenarnya Mas Nganten tidak boleh berbuat apa-apa. Nanti sahaya menghadap Bendoro. Mas Nganten mau kerja apa""
"Tak tahulah aku," kata Gadis Pantai, tapi dalam pikirannya terbayang emak yang kini terpaksa menumbuk jagung sendirian. Dan kalau bapak tidak pergi ke laut, dan jam tujuh pagi mulai tidur, ia harus gantungkan sendiri jala pada tiang jemuran dari balok berat yang tinggi itu. Ia harus tarik sendiri talinya, ia harus bikin katrol itu berputar. Tak ada yang bantu menaikkan jala dengan cabang kayu. Sekarang emak harus tumbuk sendiri udang kering buat dapatkan uang beberapa benggol dari orang Tionghoa dari kota itu. "Apa sesungguhnya dikerjakan di sini""
"Semua, Mas Nganten, untuk mengabdi pada Bendoro."
Kerja mengabdi! Kerja mengabdi! Gadis Pantai masih juga kurang memahami.
*** Gadis Pantai mulai membatik, seorang guru batik didatangkan. Di pagi hari, tangannya yang telah diperhalus oleh keadaan tanpa-kerja, mulai memainkan pinsil membuat pola. Seminggu sekali datang guru yang mengajarinya memasak kue. Dan setiap tiga hari sekali, datang guru lain yang menyampaikan padanya kisah-kisah agama dari neger
i Padang Pasir nan jauh. Lambat laun ingatannya pada emak, bapak dan saudara-saudaranya jadi memudar. Dan bila ia terkenang pada mereka, pada kampung-halamannya, diajaknya bujang wanita itu bicara tentang cerita-cerita nelayan yang dikenalnya.
Gadis Pantai mulai terbiasa pada kehidupan yang diperlengkap alat-alat begitu banyak dan menggampangkan kerja. Ia mulai terbiasa dengar suara pemuda-pemuda yang bicara dalam bahasa Belanda setelah meninggalkan surau di sebelah kiri rumah utama. Suara-suara mereka yang menerobosi dinding kamarnya memberitakan pada banyak hal yang tak pernah diketahui sebelumnya. Salah seorang kerabat baru saja pulang dari negeri Belanda, tidak membawa ijasah, tapi seorang noni Belanda; sebuah kapal perang sedang berlabuh kira-kira 7 km dari pantai; tebing pantai di utara Lasem gugur; dan banjir besar terjadi: tiga buah perahu bajak telah mendarat di sebuah dusun dekat kampung halamannya, membinasakan lebih sepersepuluh penduduknya dan mengangkuti seluruh emas, perak dan barang berharga; beberapa orang pemuda kampung telah masuk kompeni buat berperang di seberang.
"Kalau Mas Nganten meninjau kampung, Mas Nganten benar-benar sudah jadi putri bangsawan."
Kemudian Gadis Pantai pun belajar menyulam, merenda, menjahit. Kecerdasan dan ketrampilannya menyukakan semua gurunya.
Beberapa kali ia turun ke dapur, tapi kini tidak lagi. Bebe-rapa pasang mata para bujang di situ menatapnya begitu tak menyenangkan.
"Jangan lagi ke dapur, Mas Nganten. Mereka hanya bujang yang tak suka pada keadaannya sendiri. Semestinya mereka tinggal di gubuknya sendiri. Orang-orang tak tahu diuntung."
Bendoro belum juga kunjungi kamarnya.
"Bendoro sibuk sekali, Mas Nganten. Bendoro Bupati bakalnya kawin lagi dengan putri kraton Solo. Kasihan mendiang Den-ajeng Tini. Begitu berani. Siapa lebih berani dari beliau" Menghadapi Belanda mana saja tidak takut. Pembesar-pembe-sar sendiri pada hormat."
Juga Gadis Pantai sekarang tahu siapa Den-ajeng Tini. Kar-tini yang beberapa tahun yang lalu dalam bendi agung memasuki perbatasan kota, dan semua penduduk disuruh lurah menyambutnya sepanjang jalan, dengan bendera tiga warna kertas berkibaran di tangan coklat hitam mereka. Sekarang ia mengerti cerita bapak yang pulang dari kota beberapa tahun yang lalu, mengapa dia dan beberapa orang kawannya mesti pergi ke kota, ke alun-alun, ke kabupaten, buat menyatakan hormat pada pengantin dari Jepara itu. Itulah Den-ajeng Tini" Betapa singkat usia, tapi betapa dihormati. Ia tak suka perkawinan agung itu. Ia tak tahu apa terjadi waktu itu. Dan bila bujang itu bercerita tentang putranya Bendoro, timbul hasrat hendak menggendong dan menyayanginya. Sedang putra-putri wanita utama sebelum dirinya, dengan sengaja seakan disingkirkan darinya. Hampir-hampir ia tak pernah bertemu dengan Agus Rahmat, biar pun saban sore didengarnya ia berbicara dalam bahasa asing dengan gurunya di ruang belakang.
Hari-hari lewat cepat, dan Gadis Pantai mengisi dirinya dengan berbagai kecakapan baru. Kulitnya yang tak lagi terpanggang panas matahari jadi langsat kemerahan, dan wajah bocahnya telah lenyap digantikan oleh pandang orang dewasa.
Bulan demi bulan lewat. Dan Bendoro hampir tak pernah ditemuinya. Tak pernah memasuki kamarnya.
Perkawinan Bendoro Bupati semakin menghampir. Dan Bendoro semakin jarang di rumah. Kota mulai dihias. Putri dari kraton Solo harus disambut lebih hebat dari putri dari kabupaten Jepara.
Gapura-gapura kabupaten dan pinggiran-pinggiran kota mulai dipajang daun kelapa muda serta batang-batang pisang. Jangkar keramat di pinggir pantai mulai diganti pagarnya.
Setengah tahun lewat, beberapa minggu setelah Gadis Pantai memasuki gedung ini, kota itu jadi semarak bermandikan cahaya, berhiaskan penonton dari seluruh penjuru. Bujang wanita itu memimpin Gadis Pantai meninggalkan kamarnya, meninggalkan pelataran tengah, memasuki paviliun di samping kanan, naik ke loteng menyaksikan keramaian di alun-alun. Ia ingin bergabung dengan orang-orang itu yang telah terbiasa dengannya sejak jabang bayi, tapi kini tidak mungkin. Kini ia lebih tinggi daripada mereka.
Mala m itu ia kembali ke ranjang dengan banyak pikiran. Perkawinannya tak dirayakan seperti itu. Bupati yang kawin jauh lebih tua dari Bendoro. Dan putri kraton itu lebih tua dari dirinya. Tapi ia tidak disambut dengan perayaan. Dan jam tiga pagi ia terbangun. Bujang tak ada di bawah ranjangnya lagi. tapi Bendoro telah tergolek di sampingnya.
Pada jam 5 subuh, waktu bujang masuk ke dalam kamar, dilihatnya Mas Nganten-nya masih tergolek. Ia sedang mendekat, dan didengarnya suara memanggilnya:
"mBok, tolonglah aku."
Bujang membuka kelambu dan menyangkutkan pada jangkarnya. "Sakit, Mas Nganten"" "mBok, mBok."
Bujang itu meraba kaki Gadis Pantai. "Tidak apa-apa, Mas Nganten, tidak panas."
"Aku sakit, mBok. Bawa aku ke kamar mandi," diulurkannya kedua belah tangannya minta dibangunkan.
Wanita itu meraihkan lengannya, di bawah tengkuk Gadis Pantai, mendudukannya, merapikan rambutnya yang kacau balau, membenahi baju dan kainnya yang lepas porak poranda, menarik-narik seprai yang berkerut di sana-sini.
"Ooh! Mas Nganten tidak sakit," katanya bujang sekali lagi, dan menurunkannya dari ranjang.
"mBok," sepantun panggilan dengan suara lembut. "Tidak apa-apa Mas Nganten. Yang sudah terjadi ini takkan terulang lagi."
"Apa yang sudah terjadi, mBok""
Dan setelah Gadis Pantai terpapah berdiri, bujang menunjuk pada seprai yang dihiasi beberapa titik merak kecoklatan, berkata, "Sedikit kesakitan Mas Nganten, dan beberapa titik darah setelah setengah tahun ini tidaklah apa-apa."
"mBok!" suara yang tetap lembut.
"Sahaya, Mas Nganten."
"Aku takut." "Sahaya, Mas Nganten."
"Mari ke kamar mandi."
Gadis Pantai terpapah menuruni ranjang. "mBok!" "Sahaya Mas Nganten."
"Kapan emak datang kemari"" Mereka berjalan terus. "mBok!"
"Sahaya, Mas Nganten." "Apakah aku cantik"" "Gilang-gemilang, Mas Nganten." "Tidaklah mereka lebih cantik""
"Di dunia ini, Mas Nganten, yang lain-lain harus menyingkir buat yang tercantik." Mereka berhenti di tengah-tengah pe-karangan-dalam. "mBok, apakah mereka manis""
"Ah, Mas Nganten lebih manis."
"mBok." "Sahaya, Mas Nganten."
"mBok sayang padaku""
"Apa masih meragukan sahaya, Mas Nganten""
"Tidak, aku tidak meragukan. Orang-orang lain""
"Bendorolah yang paling sayang, Mas Nganten."
"mBok!" "Sahaya, Mas Nganten."
"Aku takut." "Apa yang ditakuti, Mas Nganten"" "Apakah aku bisa tetap cantik"" "Mengapa tidak, Mas Nganten"" "mBok dulu cantik"" "Tidak pernah, Mas Nganten."
"Aku takut, Mbok." Keduanya lenyap di balik pintu kamar mandi.....
Bagian Kedua SETAHUN TELAH LEWAT. Kini Gadis Pantai merasa sunyi bila semalam saja Bendoro tak datang berkunjung ke kamarnya. Bujang itu tak perlu membantunya lebih banyak lagi. Di luar dugaan ia telah dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya. Namun wanita tua itu tetap menjadi sahabat dan tempat bertanya yang bijaksana.
Ia telah banyak dan sering meninggalkan kamar, jalan-jalan seorang diri di sore hari di kebun belakang, bicara dengan sanak kerabat suaminya yang mengabdikan diri, dan bersekolah di pagi hari serta mengaji di malam hari, dengan para bujang, kadang dengan tetangga. Dan dalam setahun itu tak pernah sekalipun ia menginjakkan kaki di ruang depan ataupun tengah, apalagi memasuki kamar-kamarnya, terkecuali khalwat. Ada suatu kekuasaan yang tidak memperkenankannya. Tak ada orang menyampaikan ini kepadanya tapi aturan dan ketentuan yang berlaku ia rasai dengan sendirinya saja.
Pada suatu sore Bendoro memerintahkan Mardi menyiapkan bendi. Sesuatu terasa menyambar dalam hati Gadis Pantai. Paling sedikit seminggu Bendoro akan meninggalkan kota.
Perintah pada Mardi itu dengan sendirinya menyebabkan ia berkemas-kemas dan merapikan diri, kemudian menunggu di kursi dalam kamar sampai suaminya datang dan meminta diri. Selama setahun ini lebih sekali peristiwa demikian terjadi - kali ini bukanlah yang terakhir.
Setelah dirasanya bendi itu meluncur menjauh, ia pun keluar dari kamar, menuruni jenjang ruang belakang, membelok ke kanan dan memasuki kebun belakang. Langsung ia menuju bangku tempat ia pertama kali duduk bersanding dengan suaminya. Ia menginginkan sore segar dalam suasana hat
i tak menentu, keruh dan kacau balau. Ia ingin seorang diri di tengah-tengah alam, seperti hampir selamanya bila ia ada di kampung nelayan dulu. Ia ingin kenangkan segala yang indah dan memadamkan kakacauan hati sekarang ini. Betapa ia rindukan suaminya yang baru pergi, baru saja, belum lagi sepuluh menit. Betapa ia sesali nasibnya tak pernah lama tinggal bersama Bendoro, suaminya, terkecuali beberapa malam dalam seminggu. Apapun yang terjadi Bendoro berpesan padanya: jangan kenangkan yang buruk-buruk; itu perbuatan bodoh. Kenang yang indah-indah, yang baik-baik, biar hati tetap bersih, dan pikiran tinggal segar. Cuma keledai yang selalu renungkan nasibnya yang buruk, karena itu sampai mati ia cuma jadi pengangkut beban orang. Ia tak pernah tahu apa itu keledai. Dan bujang wanita itu bilang keledai tak lain dari kuda-kerdil yang saban hari digiring dari dan ke kota, dari dan ke selatan untuk mengangkuti orang dan kapur. Keledaikah aku" Tidak! Tidak layak Bendoroku beristrikan seekor keledai.
Entah berapa kali, ia yakinkan diri bukan keledai. Tapi hatinya begitu keruh. Ia tak mengerti sampai waktu itu, bahwa ia merasa sangat, sangat cemburu.
Belum lagi seperempat jam ia merenungi dirinya, bujang wanita telah datang menghampiri.
"Guru baca sudah datang, Mas Nganten. Sahaya cari di mana-mana."
"Bilang aku tak belajar hari ini. Kepalaku pening."
"Dia takkan pergi sebelum jalankan kewajibannya, Mas Nganten. Untuk itu menerima nafkahnya, katanya."
"Pergi!" Gadis Pantai membentak. Terkejut sendiri, segera ia sambung, "ah, maafkan aku. Pikiranku sedang kacau. Maafkan aku mBok."
Dengan perasaan tersinggung bujang itu pergi. Kini perasaan berdosa karena telah mengasari wanita tua itu, membuat ia ter-jerambab dalam kekacauan baru. Segera ia bangkit dan mengikuti bujangnya. Dengan lemah lembut sebagaimana biasa, ia sampaikan pada guru baca ia tak belajar sekali ini.
"Mas Nganten," tegur guru itu, "apa akan jawab sahaya bila Bendoro murka pada sahaya""
"Aku tak belajar kali ini, besok tidak, lusa tidak, sampai Bendoro datang."
Guru itu pergi dan bujang wanita itu dipandanginya masuk.
"mBok sekali lagi, mBok, jangan gusar padaku. Bukan maksudku berlaku kasar padamu."
"Wanita siapakah yang tak pernah cemburu, Mas Nganten.Tapi jangan ajak orang lain merasa tak senang."
"Terima kasih, mBok. Terima kasih. Ke manakah biasanya Bendoro pergi - sampai berhari-hari begini""
"Ah, Mas Nganten, itu urusan pria dengan pekerjaannya, jangan ikut campur, karena wanita tak tahu apa-apa tentang itu. Kita hanya tahu daerah kita sendiri: rumah tangga yang harus kita urus."
"Daerah kita itu pun aku tahu pasti, mBok. Ke ruang tengah dan depan saja aku belum pernah."
"Mari sahaya antarkan, Mas Nganten."
"Apa ada gunanya"" namun ajakan itu begitu merangsang hatinya. Ia bangkit. Bujang itu pun mengantarkannya meninggalkan kamar, melintasi ruang belakang dan memasuki ruang tengah. Sebuah pintu raksasa telah mereka lewati: sekian kali besar mejanya di kampung nelayan dulu! Sebuah ruangan luas terpampang di depannya. Dan bila pandangnya ditebarkan ke atas tergelar sederetan langit-langit yang rata, berkotak-kotak berbunga, berwarna-warni terbuat dari lembaran besi seluruhnya. Di tengah-tengah langit-langit terhias lingkaran tebal yang berbentuk ikatan jerami-jerami semacam padi, dengan butir-butirnya kadang tergelar di luar lingkaran. Sedang tepat di tengah-tengah lingkaran tergantung pipa kuningan yang digantungi lampu listrik beberapa buah, terhias manik-manik sebesar kristal, bergantungan seperti berlian-berlian pada kuping wanita.
Di samping pintu, Gadis Pantai melihat di sebuah meja kecil rendah terletak sebuah stoples di atasnya, berisi air dan benda-benda kehitaman pada mendekam di dasar stoples. Ia kenal benda-benda kehitaman itu: lintah.
"Mengapa dia ditaruh di sini"" Gadis Pantai bertanya.
"Dengan pertolongan binatang-binatang itu saban bulan Bendoro membuang darah beliau."
"Buat apa darah dibuang""
"Sinse yang beri nasehat."
"Sakitkah Bendoro""
"Benar. Beberapa dokter Belanda sudah dipanggil. Dari Jepara, Pati, Semarang, tak ada yang bisa sembuhkan."
"Sakit apa"" "Tak ada yang tahu."
Gadis Pantai kehilangan keinginan melihat-lihat ruangan tengah lebih jauh lagi. Ia berdiri diam-diam di tengah-tengah ruang. Di antara lemari-lemari kaca yang berdiri di sepanjang dinding, hiasan kaligrafi di mana-mana, permadani biru, hitam, merah, putih dengan gambar-gambar pemandangan negeri Padang Pasir dengan onta serta kuda. Antara ruang tengah dan pendopo menganga sebuah pintu raksasa yang separuhnya ter tutup penyekat lipat terbuat dari kayu sonokeling dengan ukiran Jepara dan ditutupi dengan anyaman kulit bambu halus bersulamkan benang emas yang menggambarkan laut.
Dengan ucapan yang tak terpusat Gadis Pantai memulai lagi: "Bersih amat di sini. Saudara-saudara Agus Rahmat tak pernah main-main di sini""
"Tak ada anak-anak di sini. Semua tinggal di kamar dapur. Kalau main mereka pergi ke pelataran depan, atau ke alun-alun."
"Mana bayi yang sering mBok gendong dulu"" "Diungsikan biar tak mengganggu Mas Nganten." "Biarlah aku urus dia."
"Oh, Mas Nganten, harap Mas Nganten jangan bicara begitu di hadapan Bendoro. Soal anak selamanya soal pelik di rumah-rumah gedung, jadi sumber pertengkaran, sekalipun yang mengurus cuma para sahaya." Gadis Pantai tak mengerti. Ia diam tak meneruskan.
"Beberapa waktu lagi Mas Nganten akan dikaruniai putra sendiri."
Gadis Pantai berseri riang, dan sekejap terlupa pada cemburunya. Naluri keibuannya mulai bekerja. Dan lebih keras lagi naluri ini menjejaki darah hidup suaminya.
"Jadi dengan siapa Bendoro sehari-hari di sini""
"Seorang diri. Tamu-tamu diterima di ruang tengah. Di sini tidak terima tamu wanita."
"Mengapa tidak" Di kampung kami pria dan wanita sama-sama bertamu."
Nampak bujang itu merasa kasihan kepada Gadis Pantai. Pengalaman selama ini membuat ia banyak tahu tentang perbedaan antara kehidupan orang kebanyakan dan kaum Bendoro di daerah Pantai. Seorang Bendoro dengan istri orang kebanyakan tidaklah dianggap sudah beristri, sekalipun telah beranak selusin. Perkawinan demikian hanyalah satu latihan buat perkawinan sesungguhnya: dengan wanita dari karat kebangsawanan yang setingkat. Perkawinan dengan orang kebanyakan tidak mungkin bisa menerima tamu dengan istri dari karat ke-bangsawanan yang tinggi, karena dengan istri asal orang kebanyakan - itu penghinaan bila menerimanya.
"Mengapa mBok diam saja"" Gadis Pantai bertanya.
"Sahaya sering berfikir, Mas Nganten ...."
"Ya"" "Betapa adilnya kalau setiap orang punya rumah sebesar ini."
"Takkan bisa diurus sendiri semuanya!"
"Ya-ya sehingga setiap rumah bakal jadi beban setiap orang. Lihat itu," dan bujang mengalih menunjuk pada sebuah meja kecil, dengan sebuah kotak kayu cendana di atasnya, terukir dengan berbagai gambar kupu-kupu dan bunga-bungaan. "Itulah kotak obat Bendoro."
"Obat" Kelihatannya Bendoro tidak sakit."
"Mas Nganten ingin lihat kamar"" dan sebelum mendapat jawaban ia telah membuka salah sebuah pintu besar pada dinding.
Gadis Pantai menjenguk ke dalam. Pertama-tama yang dilihatnya adalah jagang kayu, tempat tombak-tombak didirikan. Ia melompat ke samping dan memunggungi pintu.
"Tidak-tidak, terima kasih."
Bujang itu menutup kembali pintu dan Gadis Pantai pulang ke kamarnya.
Di luar hari telah mulai rembang.
Dan beduk mesjid serta surau bertalu bersahut-sahutan.
Sampai di pintu kamarnya tiba-tiba Gadis Pantai tak dapat menahan hatinya yang selama ini diaduk ketakutan dan kekuatiran. Bertanya:
"Adakah wanita utama lain yang akan menggantikan aku""
"Tidak! Tidak! Sahaya tidak tahu!" bujang itu memalingkan mukanya bersicepat pergi menuruni jenjang ruang belakang, hilang ke dalam dapur.
Setahun yang telah lewat merupakan perkisaran dari banyak perasaan dalam jiwa Gadis Pantai. Meninggalkan kampung nelayan di tepi pantai berarti memasuki ketakutan dan hari depan tidak menentu. Memasuki kota dan gedung tempat ia tinggal sekarang adalah memasuki dunia tanpa ketentuan. Dahulu ia tahu harga sesuatu jasa, tak peduli kepada siapa. Di sini jasa tak punya nilai, dia merupakan bagian pengabdian seorang sahaya kepada Bendoro. Dahulu ia dapat bicara bebas kepada siapapun, bisa menyinggung martabat
Bendoro atau siapa saja. Kini tak dapat ia bicara dengan siapa ia suka.
"Tidak, Mas Nganten," pelayan tua itu tak bosan-bosannya memperingatkan, "tidak semestinya wanita utama bicara dengan semua orang. Perintah saja orang-orang itu, jangan ragu-ragu. Tak ada gunanya Mas Nganten dengarkan pendapat atau keberatan mereka. Mereka di sini buat diperintah. Sahaya ini begitu juga Mas Nganten."
Begitulah lama-lama ia mengerti, di sini ia menjadi seorang ratu yang memerintah segala. Hanya ada seorang saja yang berhak memerintahnya: Bendoro, tuannya, suaminya. Otaknya yang masih bocah itu tidak mengerti mengapa cuma perintah dan memerintah. Ia kehilangan sesuatu yang besar: keriaan, yang ditimbulkan oleh kerjasama dengan semua orang. Di sini tidak ada kerjasama. Di sini hanya ada pengabdian dan perintah.
Pada suatu hari, karena merasa kesepian ia bertanya: "mBok mengapa di sini tak ada orang tertawa dan tersenyum denganku""
"Lantas apa guna senyum dan tawa"" Mereka hanya abdi, hanya sahaya. Tak layak jual senyum dan tawa pada Mas Nganten. Juga tak baik layani senyum dan tawa mereka. Tahu, Mas Nganten, seorang wanita utama adalah laksana gunung Dia tidak terungkit dari kedudukannya, terkecuali oleh tangan Bendoro. Bendoro lebih tidak terungkit, terkecuali Gusti Allah sendiri."
"Ah, ah." "Mengapa, Mas Nganten"" "Bodohnya aku ini. Aku tak mengerti." "Kalau semua orang bisa mengerti, Mas Nganten, gampang saja jadi priyayi."
"Jadi" Aku bagaimana""
"Mas Nganten adalah wanita utama, segala apa terbawa karena Bendoro. Begitulah Mas Nganten, jalan kepada kemuliaan dan kebangsawanan tak dapat ditempuh oleh semua orang."
Dahulu Gadis Pantai cuma mengerti: hanya nelayan-nelayan gagah perkasa saja yang patut dihormati dan dimuliakan. Mereka lintasi laut dan menangkap ratusan, bahkan ribuan ikan dengan jalanya sendiri. Nelayan yang paling terhormat, dialah yang bawa pulang ikan terbesar. Dia pahlawan. Ikan demikian tak dijual, tapi dibagi-bagikan, terkecuali tulangnya. Karena tulang-belulang itu akan dihias di atas pintu masuk rumahnya. Dahulu ia bersama-sama kawannya sering berhenti lama-lama di depan pintu yang dihiasi dengan tulang-tulang yang besar dan panjang. Ia sendiri bayangkan gerigi dan mata yang semestinya dahulu terpasang jeli pada kelopak mata tengkoraknya. Betapa kuat ikan semacam itu, dua-tiga kali lebih besar dari dirinya sendiri. Ingin ia melihat mahluk semacam itu masih hidup-hidup dibawa ke darat. Tidak pernah! Selamanya binatang itu sudah mati. Malah ia pernah minta pada bapak. "Bawalah pulang yang besar, yang masih hidup!" Dan bapak membungkamnya dengan kata-kata keras, "Kalau kau kuat sekalipun, jangan kau tentang maut kalau tak perlu." Tentu ia tidak mengerti. Ia hanya rasai ketakutan menjalar di seluruh tubuhnya. Ia meriut dan waktu bapak berangkat, ia tidur di bale kawani emak, tanpa bicara sesuatu pun sampai malam tiba. Dan malam-malam ia rangkul emak, tanpa bicara sesuatu pun sampai emak sengit. "Anak manja," bentak emak. Malam itu Gadis Pantai tak dapat tidur. Yang terbayang olehnya hanya ikan besar yang gagah bersirip merah. Mereka kuasai samudra dan ikan-ikan kecil. Tidurnya gelisah tak menentu. Akhirnya emak terbangun juga. Memandanginya lama-lama dalam temaram pelita.
"Mengapa kau ini""
Bapak waktu itu seperti biasa, tidak di rumah. Dia bergabung dengan kawan-kawannya untuk membantu nelayan-nelayan yang membutuhkan tenaga. Dan Gadis Pantai menceritakan pada emak pengalamannya dengan bapak. "Anak bodoh!" bisik emak sambil menepuk-nepuk pipinya. "Tidur, nak, tidur. Buat apa kau pikirkan ikan-ikan itu" Ikan besar-besar" Jangan bicara dengan bapakmu tentang ikan besar: jangan sekali lagi. Tidak boleh. Jangan kecilkan hati bapakmu, nak. Setiap ikan besar adalah bahaya. Dan di laut, nak, siapa yang bisa tolong" Biar orang menjerit setahun lamanya" Ombak itu lebih besar dari jeritannya. Ikan besar-besar itu lebih banyak dari nelayan. Gigi mereka lebih perkasa dari tombak bapakmu. Kau mengerti, nak" Kau mengerti"" Dan bulu badan Gadis Pantai meremang. Mulai waktu itu, setiap hari ia mendoa buat keselamatan bapak. Mulai
waktu itu ia mengerti sekeping kepahlawanan bapaknya, bapaknya sendiri. Juga mulai waktu itu ia tak lagi bicara tentang ikan besar yang hidup, ikan besar yang menakutkan.
Pikirannya yang masih muda kini mulai membandingkan semua yang baru dengan semua yang lama. Akhirnya ia tak mau berfikir membanding-banding lagi, ia tak mengerti, ia tahu ia tak tahu sesuatu pun. Ia melihat, dan segera bertanya. Begitulah pada lain kali ia bertanya, "mBok, apa sebab semua takut pada Bendoro""
Ia ingin bertanya apakah kepahlawanan Bendoro. Apakah kehebatan dan keberanian orang selangsing, selangsat, dan sepucat, serta sehalus itu. Tapi ia tak berani. Dalam pembisuan itu pelayan tua menepuk-nepuk dadanya sendiri seperti hendak meyakinkan dirinya sendiri bahwa ingatannya masih bisa dipercaya.
Ia bercerita: "Mas Nganten dalam setiap peperangan raksasa selamanya dikalahkan oleh satria yang kurus-kurus gepeng dan layu. Gergaji cakil yang gesit penuh api sekali tersenggol jari kelingking satria, dia rubuh takkan bangun lagi. Dan satria itu hampir-hampir tidak pernah beranjak dari tempatnya, sedang si cakil berputar melompat, berjungkir balik meledek."
"Wayangkah itu""
"Di tempat Mas Nganten tak ada wayang"" "Kami hanya pernah dengar. Tak ada gambar wayang di rumah-rumah kami di kampung nelayan." "Lha, mengapa""
"Sekali seorang kota membawa wayang kulit ke kampung nelayan. Kakek tua marah. Dipukulnya orang itu dengan tongkatnya. Orang itu juga jadi marah kena pukul. Digelan-dangnya kakek. Waktu hendak diguguhkan tinjunya pada mulut kakek, nampak ia tak sampai hati, dan didorongnya kakek sampai terjatuh di atas pasir. Kakek keparat, kata orang itu. Apa dosaku" Apa dosa wayang ini" Kakek mengerang-ngerang. Waktu itu aku ada di situ. Mereka berhadap-hadapan di sebuah jalan kecil yang terapit barisan semak-semak. Tak ada orang lain lagi yang melihat. Aku hampiri kakek, mencoba mendirikannya. Orang kota itu melihat padaku, kemudian membantu aku mendirikan kakek. Dosamu, orang kota berangasan, kau mau tipu kami dengan wayangmu. Tipu" pekik orang kota. Benar, tipu! kakek menjerit. Kau mau menjual omong kosong. Kau mau buali orang kampung dengan kehebatan selembar kulit kerbau yang kau pahati dan kau lukisi berwarna-warni, kau akan katakan pada mereka, wayangmu, sangat berkuasa, tak ada bandingan. Bohong! Di sini cuma laut yang berkuasa. Bukan wayang-wayang itu."
"Sombong benar kakek kampung itu. Kalau dia di sini, dia akan tergetak tak dapat berkutik seperti batu yang habis di-belah."
"Nelayan dari kampung-kampung lebih-lebih lagi malah tidak mau menyebut kata wayang mBok. Mereka tak suka."
"Mereka tidak mengerti, Mas Nganten. Wayang itu nenek moyang kita sendiri."
"Nenek moyang mBok sudah tidak ada, tapi laut tetap ada."
"Uh-uh. Mas Nganten, kita tidak bakal ada kalau nenek moyang tidak ada."
"Kakek itu pernah bilang mBok, segalanya bersumber di laut. Tak ada yang lebih berkuasa dari laut. Nenek moyang kami juga bakal tidak ada kalau laut tidak ada."
"Entahlah, Mas Nganten, entahlah," jawab pelayan itu sopan dengan kejengkelannya
Dan tanpa disadari, semua pertanyaan Gadis Pantai tak lain dari ucapan cemburu hatinya. Ia ingin ketahui segala tentang suaminya yang sekaligus juga tuan dan majikannya, tapi itu takan mungkin ia berani tanyakan pada Bendoro sendiri.
"Jangan gusar padaku, mBok. Aku hanya bertanya."
"Bingunglah sahaya ini, Mas Nganten, pertanyaan-pertanyaan begitu tak pernah sahaya dengar seumur hidup."
Sebenarnya Gadis Pantai ingin mengetahui pasti, ke mana saja Bendoro pergi bila meninggalkan rumah berhari-hari lamanya. Siapa-siapa yang ditemuinya. Apa yang dibicarakannya. Bagaimana pendapat Bendoro tentang dirinya. Akhirnya ia berpendapat: betapa mahalnya pengetahuan di sini. Aku harus belajar segala, dari membatik, menyulam, sampai membaca dan mengaji. Terkecuali belajar tentang suami sendiri, bahkan juga pendapat suami tentang istrinya. Di kampung ia sering dengar istri-istri pada mengkritik suami masing-masing. Kadang-kadang kritik itu membuat mereka pada bertengkar, tapi di sini" Di sini"
"mBok pernah tinggal di kampung nelayan""
"Pern ah. Mas Nganten." "Suami-istri hidupnya tidak seperti di sini."
"Sahaya tahu. Mereka bersama-sama makan, bersama-sama duduk, minum. Kalau sedang tak berlayar, mereka bicara tentang segala."
"Yah, tentang musim, tentang bulan, tentang angin, tentang binatang."
"Sahaya, Mas Nganten."
"Tentang layar dan dayung, tentang jaring tersangkut pada batu karang dan kaki yang tertusuk duri babi." "Sahaya, Mas Nganten."
"Apakah di kota suami-istri tidak pernah bicara""
"Ah, Mas Nganten, di kota, barangkali di semua kota - dunia kepunyaan lelaki. Barangkali di kampung nelayan tidak. Di kota perempuan berada dalam dunia yang dipunyai lelaki, Mas Nganten."
"Lantas apa yang dipunyai perempuan kota"" "Tak punya apa-apa, Mas Nganten kecuali "Ya""
"Kewajiban menjaga setiap milik lelaki."
"Lantas milik perempuan itu sendiri apa""
"Tidak ada, Mas Nganten. Dia sendiri hak-milik lelaki."
Gadis Pantai tahu benar: Bendoro telah tiga hari pergi. Dan ia tahu tepat pula: ia hanyalah hak milik Bendoro. Yang ia tak habis mengerti mengapa ia harus berlaku sedemikian rupa sehingga sama nilainya dengan meja, dengan kursi dan lemari, dengan kasur tempat ia dan Bendoro pada malam-malam tertentu bercengkerama.
Tiga hari telah lewat. Setiap hari semakin panjang saja cemburu yang mengerumuti dalam hatinya.
Hari ke empat Bendoro datang.
Sore waktu itu, beberapa waktu setelah beduk asar bertalu. Ia dengar bendi berhenti, di depan pendopo. Ia dengar roda bendi dan telapak kuda itu berjalan perlahan di samping kamarnya. Ia dengar selop melangkah-langkah berat di ruang tengah. Ia dengar bunyi buutt terkenal itu. Jantungnya berdebar. Ia tutup pintunya rapat-rapat, tetapi ia tiada menguncinya. Tidak! Bendoro tidak membawa wanita utama baru, ia menjerit dalam hati. Tidak! Tidak mungkin.
Ia duduk di kursi dan meletakkan kepalanya di atas meja dengan mata melotot mengawasi pintu. Pintu itu harus terbuka perlahan, dan setelah itu wajah pucat berhidung bangir harus tersembul. Sosok tubuhnya yang langsing tinggi kurus menyelinap masuk ke dalam menghampirinya, meletakkan tangan di atas pundaknya seperti biasa, dan harus berbisik lunak seperti biasanya pula kepadanya, "Mas Nganten, kau sehat bukan""
Ia menunggu dan menunggu, menunggu dengan hati meriut dan jantung berdebaran. Tapi wajah pucat berhidung bangir itu tak juga menyembul di kirai pintu.
Suatu kekuatan gaib telah bangkitkan ia dari kursi, ia menghampiri pintu - menguraikan sedikit dan dipusatkan seluruh kupingnya pada setiap kata yang bisa terdengar dari kamar. Tidak! ia tak dengar suara wanita. Hanya bunyi selop berat saja berjalan mondar-mandir diselang-seling terbuka dan tertutupnya pintu serta berpindah-pindahnya kaki kursi. Tiba-tiba terdengar olehnya perintah yang keras mengandung ancaman gaib.
"Mardi!" Ia segera tahu apa artinya: Bendi harus segera disiapkan. Hatinya jadi kecut. Bendoro hendak berangkat lagi. Berapa hari lagi ia harus menunggu kedatangannya" Tanpa disadarinya matanya jadi sembab. Ditutupnya kembali pintu. Satu-satunya pelindungnya yang setia selama ini adalah kasur dan bantal ranjang. Kalau saja pelayan wanita itu begitu menyenangkan seperti itu! Tapi bertambah meningkat pengetahuan dan kecerdasannya, pelayan itu makin kurang kemampuannya menghibur hatinya.
Juga sekali ini ia lari pada pelindungnya. Dipeluknya bantal dingin itu. Ia teringat pada emak, pada bapak, dan saudara-saudaranya. Dan ia merasa begitu malu selama ini tak banyak mengingat mereka. Betapa ia rindukan suaminya. Betapa perasaan cemburu telah menyiksa ia begini macam. Siapakah dia" Siapakah dia yang begitu berkuasa atas Bendoro yang maha kuasa ini" Siapakah dia yang dapat perintahkan Bendoro terungkit dari gedung ini menempuh jarak begitu panjang dan menahannya berhari-hari buat dirinya sendiri" Ah, ah. Dan ia tinggal demikian sampai magrib.
Waktu beduk bertalu, ia masih dengar selop Bendoro berjalan mondar-madir, beliau belum lagi pergi. Terburu-buru ia keluar dari kamar, turun ke kamar mandi, mandi dan ambil air wudu. Ia masuk ke khalwat. Ia duduk, duduk, duduk dan menunggu, menunggu. Pintu pada dinding samping di depan
sana masih juga belum terbuka. Pintu itu, ah pintu itu. Dalam khalwat ini tak sepantun pun suara dapat menembusinya, sekalipun dinding samping itu saja yang memisahkan khalwat dari ruang tengah.
Waktu pintu dinding samping itu akhirnya terbuka juga, buru-buru ia menunduk namun masih dilihatnya juga sosok tubuh yang dirindukannya berhari-hari belakangan ini. Ia lihat sarung baru berwarna merah bergenggang biru dikenakannya. Dan sosok tubuh itu mulai sembahyang. Tanpa sedikitpun berpaling padanya. Sudah berubah sikapnya!
Ia pun mengikuti bersembahyang. Dalam rukuh putih itu ia merasa lebih aman daripada di luarnya. Rukuh ini mampu menyembunyikan, tubuhnya, pikirannya dan perasaannya tanpa bisa diketahui orang.
Selesai sembahyang ia segera menuju ke kamarnya kembali, merias diri dan menunggu Bendoro pada meja makan. Di luar dugaannya Bendoro muncul lebih cepat, langsung menuju padanya berbisik, "Ada tamu akan bersantap," dan Bendoro berdiri tegak mengawasinya.
Ia bangkit dari kursi, menunduk membungkuk dan pergi kembali masuk ke dalam sangkarnya.
Dari kamar didengarnya percakapan antara Bendoro dengan tamunya. Baru hatinya lega sedikit mengetahui tamu itu bukan wanita. Apa mereka bicarakan sambil santap" Tentang wanita utama baru" Betapa tegang urat sarafnya mengerahkan seluruh kemampuan buat setiap pantun suara.
"Ya, huru-hara," kata tamu itu.
"Mereka tak kenal terima kasih pada Gubermen, pada Gusti Allah. Apa saja yang tak dilakukan Gubermen buat menjaga keselamatan mereka" Tumpas saja tuan."
Ia hafal sekali, yang akhir itu adalah suara orang yang dirindukannya selama ini.
"Terima kasih. Tuan tahu, saya dikirim kemari oleh kanjeng Gubermen
"Ah, tuan""
"Benar, menurut keputusan Raad Hindia......"
Bendoro terdiam dalam terkejutnya.
".... buat cari ketetapan, tetapi sebelumnya Gubermen mau dengar dulu bagaimana pendapat pembesar-pembesar negeri tentang huru-hara di Lombok ini."
"Ya, ya, saya paham."
"Tuanlah yang pertama-tama memberi pendapat yang tegas. Yang lain-lain para bupati yang telah saya kunjungi, sampai-sampai tidak tahu di mana Lombok ini."
"Terima kasih."
Mereka bicara tentang perang. Gadis Pantai berbisik pada dirinya sendiri. Dan selama setahun ini ia sudah terlalu sering dengar tentang perang di gedung ini. Tapi perang itu sendiri tak pernah nampak olehnya, hanya jauh, jauh sekali. Tempatnya terjadi jauh sekali. Ia tak pernah tahu dan tak ingin tahu di mana. Ia hanya tahu: di seberang menempuh laut, lebih jauh yang pernah di tempuh bapak sehari-hari. Jantungnya berhenti meronta dan hatinya jadi damai kembali.
"Bagaimana kalau tuan menginap, di sini" Kita masih bisa bicarakan banyak hal."
"Tuan sudah perintahkan siapkan bendi, bukan" Malam ini juga saya harus berangkat, dan besok pagi saya harus sudah susun laporan tentang pendapat Bendoro Bupati Blora."
"Jadi tuan akan keliling seluruh Jawa""
"Tidak. Ada enam orang bertugas seperti saya. Saya mendapat bagian daerah pesisir utara. Itu pun bukan seluruh pesisir Jawa, sebagian Jawa Tengah saja."
"Jadi kita tidak bisa bicarakan lain soal""
"Maafkan saya."
Suara itu menarik hati Gadis Pantai. Suara tegas, perkasa, berkuasa, dan selalu bernada memerintah. Ah, rasa-ranya ia rela diperintah olehnya, apa saja. Dengan hati-hati ia kiraikan sedikit pintu kamarnya dan mengintip ke luar. Melalui punggung Bendoro ia lihat seorang priyayi muda, berperawakan kecil. Ikat kepalanya tinggi, tidak lazim terdapat pada priyayi pantai, sedang ujung-ujungnya tertarik pongah agak sedikit ke atas, kepalanya selalu terangkat lurus, jarang menunduk. Matanya berkilau gemerlapan, lebih indah dan menarik daripada berlian-berlian dan intan-intan dan jamrut yang pernah menghias tubuhnya. Kulitnya agak kehitaman, sedang gerak-geriknya begitu lincah menangani sendok-garpu-pisau. Jantungnya kini berdenyut lain, manis dan mengusap-usap.
Tiba-tiba ia sadar akan dirinya. Ditutupnya kembali pintu, Ia merasa sangat malu pada dirinya sendiri. Diambilnya bakul benang wol, mulai merenda.
Waktu didengarnya kaki-kaki kursi meja makan pada terdorong, ia berhenti sebentar. Suatu tenaga gaib menariknya untu
k sekali lagi mengiraikan pintu dan mengintip. Ia lihat tamu, priyayi muda itu, berjalan tegap meninggalkan ruang belakang menuju ke ruang tengah. Diletakkan bakulnya. Ia keluar kamar langsung ke meja makan, duduk di tempat bekas priyayi muda tesebut. Betapa gagahnya priyayi muda itu. Dan dengan berahi ia rasai bekas tempat tamu itu. Ia resapkan sisa hangat pada kursi ke sekujur badannya. Ia menoleh ke arah dapur.
Dilihatnya pelayan tua sudah keluar dari pintu dapur dan sedang menuju ke tempatnya. Segera disendoknya nasi dan dituangnya di atas piring bekas tamu. Sebelum ia sempat menyendok sayur, pelayan tua telah datang. Mata wanita tua yang merabai wajahnya membuat hatinya kecut, dan dengan sendirinya saja ia berbisik, "Tidak, mBok, tidak salah ini piring bekas Bendoro."
"Mas Nganten memerlukan sayur lagi" Atau yang lain-lain."
"Tidak, benar tidak."
Pelayan tua itu menarik diri kembali ke dapur.
Gadis Pantai menyendok sayur. Ia mulai menyuap perlahan-lahan. Dan dalam bayangannya muncul priyayi muda gagah. Tanpa disadarinya ia rasai betapa kemudaan pria itu begitu penuh, melimpah gesit, dan hanya dengan matanya yang bersinar, tanpa melihatnya, telah dapat taklukkan seluruh hatinya. Satria seperti dia takkan tinggal-tinggal istrinya, pikirnya. Betapa nikmat sisa sayur dan butir-butir nasi yang telah tersentuh oleh bibirnya. Siapakah dia" Siapa namanya" Di mana tempatnya"
"Siapa tamu tadi, mBok"" tanyanya sehabis makan. "Mana sahaya tahu, Mas Nganten, orang bilang dari Betawi." "Betawi kota besar. Aku ingin lihat Betawi." "Semua orang pernah mimpi pergi ke Betawi, Mas Nganten." "Kalau sudah selesai semua, temani aku di kamar, mBok." "Sahaya, Mas Nganten."
Ia bangkit dan masuk kembali ke dalam kamarnya. Dan jantung yang beberapa jam yang lalu masih berdebaran karena cemburu pada Bendoro kini berdebaran kental dan manis berisikan sesuatu yang hampir dapat dinamai harapan, penyerahan, kerelaan dan pengabdian pada seseorang yang namanya pun ia tidak tahu ....
Ternyata tamu itu masih beberapa jam lagi duduk di ruang tengah bersama Bendoro. Dari kamarnya tak ada sesuatu pun yang dapat tertangkap kecuali derai tertawa yang kadang-kadang menerobosi deru angin malam dari laut.
"Sudah tidur Mas Nganten"" tanya pelayan tua dari tikar tidurnya.
"Ha"" "Sudah ngantuk"" "Ha""
"Sebentar lagi tamu akan pergi. Jangan tidur malam ini. Bendoro begitu lama pergi. Empat hari. Empat hari kalau sahaya tidak salah""
"Ya, empat." "Kalau tamu sudah pergi," suara wanita tua jadi perlahan-lahan dan merongga. Tiba-tiba suaranya berubah jadi tegas, "ah ya buat apa sahaya mesti bicarakan""
"Dongengi aku."
"Dongeng apa" Nabi Sulaiman""
"Tidak, tidak, jangan. Dongengi aku tentang dirimu sendiri."
"Apa yang mesti sahaya dongengkan" Orang kecil memang cuma punya dongeng tentang dirinya. Tapi apa mesti sahaya dongengkan""
"mBok, mBok sayang pada suami mBok""
"Ah, Mas Nganten ini ada-ada saja. Di mana lagi seorang sahaya bisa menerima sayang kalau bukan dari suaminya sendiri. Cuma dialah yang dapat kita sayangi."
"Suami yang mana" Yang pertama" Yang kedua""
"Suami yang mana saja, Mas Nganten. Pertama atau kedua itu tidak penting."
"Tidak pernah mereka pukul mBok""
"Perempuan ini diciptakan ke bumi, Mas Nganten, barangkali memang buat dipukul lelaki. Karena itu jangan bicarakan itu, Mas Nganten. Pukulan itu apakah artinya kalau dibandingkan dengan segala usahanya buat bininya, buat anak-anaknya. Kalau saja Tuhan dulu mengurniakan sahaya anak, barangkali seorang, barangkali juga selusin" Apakah artinya pukulan pada emak" Mas Nganten sendiri lihat, bapak saban hari menentang maut."
"Ya, mBok, ya-ya. Saban hari menentang maut, dapatnya cuma nasi-jagung."
"Ah-ah, tentang kemiskinan - janganlah dibicarakan, itu kekuasaan Tuhan, Mas Nganten."
"Ya-ya, mBok. Cuma sedikit saja yang tidak miskin."
"Apa mesti sahaya dongengkan, Mas Nganten""
"mBok, mBok, bagaimana semua orang jadi kaya, atau semua miskin""
"Tidak mungkin. Jangan pikir-pikir seperti itu, Mas Nganten. Itu syirik! Mas Nganten tahu artinya syirik""
"Tidak. Setidak-tidaknya terdengar menjijikkan."
"Tuhan ci ptakan bumi dan langit, alam dan dunia dalam kesempurnaannya. Ada siang ada malam. Ada malaikat ada setan dan iblis. Ada tinggi dan rendah. Kalau semua miskin, semua kaya, lantas bagaimana zakat, bagaimana fitrah, mana hamba dan mana Bendoro" Kiamat. Ya-ya mungkin itu tanda-tanda kiamat, Mas Nganten."
"Jelek benar dongeng mBok malam ini. Pijitlah aku."
Wanita tua itu bangkit dari lapik-ketidurannya, menyingkap kelambu dan sambil berdiri memijiti kaki Gadis Pantai.
"Aku ingin mBok sayangi aku."
"Apakah kurang sayang, sahaya""
"Aku ingin senangkan hati mBok."
"Apa dikira sahaya kurang senang layani Mas Nganten""
Demikianlah mereka terus-menerus bicara dan bicara. Gadis Pantai tanpa pernah peroleh kata-kata tepat untuk mencoba mendapatkan kasih sayang yang tulus, yang terucapkan, tanpa tertutup-tutup kesopanan berlebihan. Wanita tua itu tanpa pernah peroleh kata-kata tepat, mencoba dapatkan kasih sayang pula dalam penghambaan dan pelayanannya. Mereka rasai sesuatu kekurangan dalam kehidupan mereka, tapi mereka tak menyadari, tak mengetahui apa yang mereka rasai.
"Bagaimana kalau aku ini anak mBok""
Wanita tua itu berhenti memijiti.
"Mengapa mBok""
"Ah, Mas Nganten ini ada-ada saja. Mana bisa, mana mungkin""
"Biarlah kita andaikan mungkin, bagaimana"" "Janganlah siksa sahaya ini, Mas Nganten." "Mengapa mBok" Mengapa""
Waktu diketahuinya mBok sama sekali berhenti memijit, Gadis Pantai bangkit. Ia duduk di kasur. Dan kala dilihatnya wanita tua itu mencoba menghindarkan wajahnya dari pandangnya, ia segera turun ke bawah dan meletakkan kedua belah tangannya, di atas pundak wanita tua itu. Dirasainya kedua pasang pundak itu menggigil sedikit.
"Kok menangis, mBok, mengapa""
"Sudahlah bolehlah sahaya balik ke dapur, Mas Nganten""
"Mengapa mBok menangis" Apa salahku mBok""


Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biarlah sahaya kembali, Mas Nganten."
"Tapi mengapa menangis""
"Pertanyaan itu, Mas Nganten! Pertanyaan itu. Apa masih kurang kutukan ditimpakan pada sahaya"" "Siapa telah kutuki orang sebaik mBok"" "Siapa" Yah yang menguasai hidup sahaya." "Bendoro"" "Bukan, nasib!" "Ah."
"Dirampasnya anak sahaya. Dirampasnya suami sahaya. Dan suami sahaya yang kemudian. Ke mana lagi perginya sahaya ini, kalau sudah tak sanggup lagi layani Bendoro" Mengapa Mas Nganten ingatkan sahaya pada masa tua sahaya" Tak lama lagi sahaya sudah jompo."
"Ampuni aku mBok. Bukan maksudku menyiksa mBok. Kan masih ada aku" mBok boleh ikut aku sampai jompo. Akan kupelihara sendiri mBok di hari jompo nanti."
Ingin sekali wanita tua itu peringatkan Gadis Pantai, tapi ia tak berani. Ia takut. Ia tahu benar, dalam sehari wanita utama bisa berganti 25 kali tanpa sedikit pun mengurangi perbawa Bendoro. Ia tahu besok atau lusa paling lama setelah Gadis Pantai melahirkan anaknya yang pertama, wanita muda tak berdosa ini pun mungkin akan langkahi dan lalui jalan hidupnya sendiri tanpa ragu-ragu lagi: jalan hidup sebagai sahaya. Dan ibu muda ini lebih menderita daripadanya karena ia punya anak tapi harus pergi dari anaknya. Ia tak boleh bertemu. Dan bila bertemu anak, maka itu bukan anaknya, tapi Bendoronya, orang yang harus disembah dan dilayaninya. Ditindasnya perasaannya sendiri, dan dengan lemah-lembut dicobanya juga memperingatkan Gadis Pantai akan nasibnya yang akan datang.
"Mas Nganten jangan pikirkan sahaya. Sahaya ini orang kecil, orang kebanyakan, orang lata, orang rendah, kalaupun jatuh - ya sakit memang, tapi tak seberapa. Bagi orang atasan ingat-ingatlah itu, Mas Nganten, tambah tinggi tempatnya tambah sakit jatuhnya. Tambah tinggi, tambah mematikan jatuhnya. Orang rendahan ini, setiap hari boleh jatuh seribu kali, tapi ia selalu berdiri lagi. Dia ditakdirkan untuk sekian kali berdiri setiap hari."
Tapi Gadis Pantai tak mengerti. "Mengapa orang mesti jatuh" Dia kurang hati-hati," katanya kemudian seperti anak yang tak berdosa.
"Mas Nganten benar sekali. Kurang hati-hati, tapi sayang sekali, orang tak dapat berhati-hati setiap saat buat seumur hidupnya, Mas Nganten. Ada kalanya kita mengenangkan bapak atau emak, kita lupa pada diri sendiri, lupa pada Bendoro.
Tentulah kekurangan mahluk Allah yan
g daif ini Mas Nganten, lantas dia tak hati-hati lagi melayani Bendoro."
"Lantas aku ini, bagaimanakan aku ini""
"Mas Nganten ampunilah sahaya. Sahaya bukan bermaksud jelek. Boleh sahaya bicara"" .
"Ah, mBok apa yang salah pada diriku""
"Tidak Mas Nganten. Cuma saja ...."
Gadis Pantai duduk di atas kasur ranjang mengawasi wanita tua yang menunduk itu, gelisah, mendesak, "Apa salahku""
"Salah Mas Nganten seperti salah sahaya, salah kita, berasal dari orang kebanyakan."
"Lantas mBok, lantas""
"Kita sudah ditakdirkan oleh yang kita puji dan yang kita sembah buat jadi pasangan orang atasan. Kalau tidak ada orang-orang rendahan, tentu tidak ada orang atasan."
"Aku ini, mBok, aku ini orang apa" Rendahan" Atasan""
"Rendahan Mas Nganten, maafkanlan sahaya, tapi menumpang di tempat atasan."
"Jadi apa mesti aku perbuat, mBok""
"Ah, beberapa kali sudah sahaya katakan. Mengabdi, Mas Nganten. Sujud, takluk sampai ke tanah pada Bendoro. Mari sahaya dongengi. Tahu bawang merah bawang putih""
"Sudah tahu itu. Jadi mBok, bagaimana mengabdi sebaik-baiknya" Sujud-takluk sebaik-baiknya""
"Mas Nganten sudah tahu cerita Trunojoyo menyeberangi Bengawan Solo""
"Sudah, tapi agak lupa. Apa pengabdianku masih ada cacatnya""
"Saban hari harus disempurnakan, Mas Nganten. Karena seorang abdi, Mas Nganten, setiap hari semakin nampak cacatnya. Mas Nganten sudah tahu tentang Surapati""
"Ah Surapati itu, seorang budak-belian saja."
"Betul, Mas Nganten, tapi akhirnya dia jadi raja. Dia kalahkan raja-raja Jawa. Dia kalahkan kompeni, Mas Nganten. Bukan main."
"Apa cacatku""
"Cacat itu tidak ada pada kita, Mas Nganten. Tapi di dalam hati orang atasan." Tiba-tiba ia terdiam. "Dengar."
Gadis Pantai memusatkan pendengarannya. Terdengar hiruk-pikuk dari depan rumah, kemudian bunyi cambuk melecut. Tamu meninggalkan rumah.
"Jadi"" Gadis Pantai mendesak.
"Tidak ada jadi, Mas Nganten, kita kan terlalu lancang bila bicarakan Bendoro kita. Maafkan sahaya, tamu sudah pergi, ijinkan sahaya kembali ke dapur." Dan tanpa menunggu ijin, ia menggulung tikarnya dan membawa keluar dari kamar. Tak lama kemudian Gadis Pantai merapikan rambutnya. Belum lagi selesai, sesosok tubuh tinggi langsing telah muncul dalam bayangan cermin.
"Mas Nganten," ia dengar suara bisikan.
Gadis Pantai menjatuhkan diri, mencium kaki Bendoro, kemudian memeluknya. Waktu Bendoro duduk di atas kasur ranjang, ia angkat kedua-duanya, ia cium telapaknya.
"Inilah sahaya, Bendoro."
"Kau baik-baik saja selama ini""
"Sahaya menanggung, Bendoro, rindu tiada tertahankan." Gadis Pantai mengulangi hafalan dari pelajarannya.
"Apa kau harapkan dari kedatanganku" Emas" Berlian" Batik paling indah""
"Tidak Bendoro, cuma keselamatan Bendoro." Gadis Pantai meneruskan hafalannya. Dan jelas-jelas didengarnya derai ombak menjamah pantai mentertawakan dirinya. Dan lebih jelas lagi adalah gambar wajah tamu sebentar tadi, yang kini berangkat entah ke mana. Kaki Bendoro menjadi sosok tubuh tamu tadi. Dan bulu kaki Bendoro menjadi usapan tangan tamu tadi.
"Kau sendiri" Kau tak kekurangan sesuatu apa"" "Sekarang sahaya, Bendoro, sudah kecukupan segala-galanya, selama kasih Bendoro tiada putus." "Ah, kau, siapa ajari kau""
"Siapa" Keinsafan sahaya sendiri, Bendoro, keinsafan sebagai sahaya."
"Ah, kau bukan sahayaku. Kau temanku. Mari, nak, mari nak berdiri." Tapi Gadis Pantai tetap berjongkok di atas lantai. Bendoro mengusap-usap rambutnya, turun dari ranjang, mengangkatnya dari bawah kedua belah ketiaknya. Dan bangunlah Gadis Pantai.
"Mari, nak, mari."
"Sahaya, Bendoro."
"Aku terlalu lelah, Mas Nganten. Buatlah aku bermimpi tanpa tidur."
"Inilah sahaya Bendoro."
"Naiklah ke ranjang, Mas Nganten."
"Sahaya, Bendoro." Dan naiklah Gadis Pantai ke atas kasur.
Ia duduk termangu sambil duduk.
"Tidaklah kau lelah seperti aku, Mas Nganten""
"Tidak Bendoro."
"Biarpun begitu, bertidurlah."
Sunyi-senyap sejenak di dalam kamar. Tapi angin dari laut dengan ganasnya menggaruki genteng, sedang laut yang makin lama makin mendesak ke kota, dalam malam tanpa suara manusia, terdengar merangsang masuk ke dalam hati.
"Dengar!" "Sahaya, Bendoro."
"Apa yang terdengar""
"Angin Bendoro."
"Cuma angin""
"Ombak Bendoro."
"Kau suka pada laut""
"Laut, itulah, kampung sahaya Bendoro."
"Dengar"" "Sahaya, Bendoro."
"Tak ada lagi kau dengar""
"Suara Bendoro, Bendoro."
"Tak ada lain yang terdengar""
"Tidak, Bendoro."
"Dekatlah, sini."
"Sahaya, Bendoro."
"Tak ada lain yang terdengar""
"Nafas Bendoro, Bendoro."
"Dekatlah lagi."
"Sahaya." "Apa yang terdengar""
"Apa Bendoro" Detakan jantung""
"Aku dengar juga nafasmu."
"Sahaya, Bendoro."
"Aku dengar juga detakan jantungmu."
"Sahaya, Bendoro."
"Apa kau dengar lagi""
Angin semakin menggaruk genteng. Dan ombak semakin mendesak kota.
"Pohon-pohon cemara sepanjang pantai itu takkan patah diterjang angin sebesar itu. Kau tahu dari mana datangnya cemara itu""
"Tidak, Bendoro."
"Itu keturunan cemara yang dibawa tuan besar Guntur waktu membuat jalan pos. Waktu itu aku belum lahir, tapi ayahku bisa bercerita."
"Sahaya, Bendoro."
"Apa sekarang kau dengar""
"Detak jantung Bendoro."
Bendoro terdengar tertawa. "Benar, detak jantung."
"Keras berdetakan." "Benar."
"Nah sekarang apa terdengar"" Tiada jawaban. "Dengarkan lagi baik-baik." "Sahaya mendengarkan, Bendoro." "Ada""
Diam sejurus. Angin berhenti menggaruk. Seekor burung hantu melenguh-lenguh sunyi pada pohon beringin di tengah alun-alun. Sedang ombak kian mengancam.
"Ada Bendoro." "Apa yang terdengar""
"Suara Bendoro. Suara kasih yang dibawakan oleh denyut jantung."
"Kau mulai pintar. Mulai pintar - siapa ajari"" Gadis Pantai tertawa lemah. "Siapa yang ajari"" "Kasih Bendoro sendiri." "Bagaimana kau perlakukan kasih itu"" "Sahaya sambut setiap saat dia bersuara, Bendoro." "Ah, Mas Nganten, kau belum lagi tanyakan apa oleh-olehku."
"Sahaya, Bendoro." Terdiam sebentar kemudian,".... tapi..., apakah oleh-oleh seorang suami, Bendoro, terkecuali rindu""
"Tidak seluruhnya benar. Ada yang lain: kain Lasem, Mas Nganten, kain Pekalongan. Bosan aku melihat kau mengenakan pakaian Solo itu jua. Gantilah sekali-sekali. Dan juga: intan laut, Mas Nganten. Mutiara, kau pernah lihat mutiara""
"Belum, Bendoro."
Bendoro tertawa terbahak sekali ini, senang, terbuka. "Anak laut yang tak pernah lihat intan laut." Sekali lagi ia tertawa. "Bapakmu bagaimana, pernah lihat mutiara"" "Cerita pun tidak pernah Bendoro." Kembali Bendoro tertawa terbahak. "Cuma orang-orang berani bisa dapatkan mutiara, Mas Nganten. Dia selami laut sampai ke dasarnya. Dibaliknya setiap karang di dasar sana, diangkatnya setiap tiram
Gadis Pantai merasa jantungnya terhenti berdetak, dan sebilah sembilu mengiris ujung hatinya. "Bapak sahaya, Bendoro, mungkin kurang berani, mungkin juga tidak menyelam," katanya hati-hati. "Kasihan bapak sahaya, Bendoro. Kasihan memang. Tapi dia memang bukan cari mutiara, tapi cari nasi, jagung buat anak-bininya."
"Salah," Bendoro menggunting. "Mencari jagung tidaklah di laut."
"Sahaya Bendoro. Mungkin itulah yang disebut takdir bagi orang-orang rendahan yang bodoh."
"Ahai, guru ngaji yang ajari kau seperti itu"" "Tidak, Bendoro." "Katakanlah, dari siapa""
"Sahaya pernah dengar orang bilang, Bendoro, orang bawahan selalu lapar, karena itu matanya melihat segala-galanya, kupingnya dengar segala-galanya dan hatinya rasakan segala-galanya, sedang jantungnya deburkan darah buat segala-galanya."
"Guru ngajimu besok tak perlu datang lagi. Dan kau, Mas Nganten, jangan bicara lagi tentang orang rendahan dan orang atasan. Kita ini manusia yang menjalani perintah dan ketentuan Yang Maha Kuasa. Jangan pernah lagi membicarakannya."
Baru sekali ini Gadis Pantai tak menyambut.
"Engkau anak yang cerdik."
Sementara itu dalam kepala Gadis Pantai mengaum-ngaum cerita-cerita pelayan tua itu, cerita tentang segala-galanya, tentang nasib orang bawahan dan kebesaran orang atasan, tentang kejatuhan orang bawahan dan kemuliaan orang atasan, tentang orang bawahan yang menumpang diri kepada orang atasan, tentang kekuasaan dan tentang takdir, tentang Gusti Allah dan tentang kompeni. Jiwanya yang muda itu menangkap dan menggenggam semua, tak peduli mengerti seluruhnya atau sebagian darinya.
"Bendoro." "Ya, nak." "Bolehkah, sahaya...."
"Kat akan, katakan, jangan sampai ayam terburu berkokok."
"Mengapa Bendoro begitu sering pergi" Berhari-hari" Tinggalkan sahaya menanggung siksa""
Bendoro tiba-tiba berubah pikirannya. Hatinya yang beku mendadak cair. Yang keras dingin mendadak kembali cair hangat. Berbisik ramah:
"Kau, cemburu!"
"Sahaya, Bendoro. Sahaya cemburu." "Kau juga tak pernah tanya pada bapakmu ke mana saja perginya kalau dia berlayar, bukan"" "Ampun Bendoro, tidak pernah." "Mengapa tak pernah"" "Karena sahaya tahu dia bekerja." "Mestinya kau tahu juga aku bekerja." "Sahaya, Bendoro."
"Sunyi-senyap benar. Sebentar lagi ayam berkokok....."
"Ah, Bendoro, Bendoro, ben .... do ...." dengan suara terengah-engah. Tinggal angin kini berjingkrak merajai alam ...
Dan waktu pun merangkak terus, kadang-kadang saja melompat tanpa irama.
*** Gadis Pantai memasuki tahun perkawinannya yang kedua. Kini setiap sebulan sekali ia terpanggil ke ruang tengah. Bendoro, suaminya, duduk pada kursi yang terbalik arahnya, sedang ia sendiri dengan sebuah jepitan bambu menjepit lintah-lintah seekor demi seekor dari stoples, dan diletakkan pada tengkuk, pelipis, kening, juga lengan Bendoro.
"Ya, ya letakkan di sini....."
"Sini, Bendoro""
"Ke bawah sedikit, beberapa jari ke bawah, ya situ selalu terasa pegal."
Demikianlah setiap bulan. Dan binatang-binatang yang kurus kering itu menempel dengan letaknya, punggungnya menggelinjang, berombak-ombak, menghisap darah Bendoro dengan rakusnya, semenit, lima, sepuluh, lima belas, dan berubahlah binatang-binatang langsing itu jadi bola-bola bening dengan jeroannya yang nampak coklat gelap. Bila sudah demikian, Gadis Pantai menjaga jatuhnya binatang-binatang yang kekenyangan dengan selembar karet sarang tawon. Binatang-binatang itu tak bolehjatuh ke lantai. Dia tidak boleh jadi pecah dan binasa. Dia harus dikembalikan ke dalam stoples. Dan bila pekerjaan yang membutuhkan keuletan kesabaran itu selesai, pasti terdengar Bendoro mengucap syukur memuji kegunaan binatang-binatang purba itu. Binatang pun tahu berdagang. Rupa-rupanya dagang bukan pekerjaan luar biasa. Lihat! Dan ditunjuknya binatang-binatang itu.
"Itu si Kempul, ini si Karti, itu si Kutil, Ah, mengapa pula namanya si Kutil. Ini si Gempal. Itu si Kunyuk. Itu pedagang-pedagang tulen. Dia terima darahku, dia berikan padaku kesehatan, Mas Nganten, apa mereka tak bijaksana dan berbudi""
"Terlalu berbudi Bendoro."
"Aku tak jadi kaya karena pemberiannya. Mereka pun tak jadi kaya karena pemberianku. Itulah kebijaksanaan." "Sahaya, Bendoro."
"Selesai sudah kerja lintah - sekarang pergilah."
Dan ia pergi balik ke kanan jalan menuju ruang belakang, kadang langsung menuju sasaran, kamarnya sendiri, kadang ke tempat ia biasa membatik. Tapi, baik ia pergi ke kamar maupun terus kerja atau belajar, hatinya selalu kecewa. Sudah memasuki tahun perkawinan kedua, tak pernah hasratnya terkabul.
Suatu kali Bendoro mempersilakannya menemani duduk-duduk di ruang tengah. Dalam hatinya, demi mengabdi pada Bendoro, sengaja ia tindas kenangan dan kangennya pada kedua orang tuanya, pada saudara-saudaranya. Pengabdian ini tak boleh cacat, tak boleh merosot dalam penglihatan dan perasaan Bendoro. Bicara tentang saudara-saudara dan orang tua ia tak mau, biar tidak merusak kewajiban pengabdian yang kokoh. Wanita tua itu telah mengajari bagaimana menjadi bangsawan sejati, jadi ningrat, jadi orang atasan.
Dua tiga kali Bendoro bertanya, "Kau tak ingin lihat orang tuamu""
"Tidak Bendoro, sahaya lebih suka melayani Bendoro."
Dan Bendoro selalu tertawa senang.
"Tapi kau anaknya, kau bukan hanya istriku."
"Sekarang ini kewajiban sahaya adalah mengabdikan diri pada Bendoro. Orang tua sahaya dapat menolong diri sendiri tanpa sahaya, Bendoro."
"Tak pernah kau kirim utusan ke sana""
"Tidak Bendoro."
"Tentu aku percaya. Tak pernah kirim uang atau pakaian ke sana""
"Tidak Bendoro."
"Aku percaya, tapi mengapa""
"Saya tak berani Bendoro. Sahaya hanyalah sahaya."
Dan sudah tiga kali ini, percakapan semacam itu mati tanpa sambungan. Tentu. Baik di kamar maupun di tempat kerja, dengan sendiri Gadis Pantai kontan teringat dan ka
ngen kepada orangtua dan saudara dan mulailah pekerjaan berat menindas perasaan. Cuma doa saja yang dapat menghibur hatinya, moga-moga keadaan semua berubah, dan ia dapat membalas budi dan segala jerih payah orang tua, terutama bapak yang selalu menentang maut buat menghidupinya.
Ia telah memasuki tahun perkawinan kedua, mendekati umur keenam belas dan keadaan tidak pernah berubah.
Kini ia harus lebih banyak berpikir sendiri, mengambil putusan sendiri, bertindak sendiri. Wanita tua itu makin lama makin tak dapat memberi apa yang ia butuhkan. Ia tak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya, ia harus makin memikirkan dirinya sendiri. Malah pada suatu kali ia merasa jengkel, karena jawaban yang pendek tanpa sesuatu keterangan.
"Bagi wanita yang masih muda, Mas Nganten, sebenarnya tak ada kesulitan hidup di dunia, apalagi kalau ia cantik, dan rodi sudah tak ada lagi."
Ia mengerti wanita itu menyindir dirinya. Ia diam saja. Mau juga ia pada suatu kali membalas menyindir, tapi masih banyak bantuannya yang dibutuhkan. Pada suatu kali ia memberikan perintah pada sanak kerabat yang tinggal di situ untuk membongkar kamar, menjemur segala yang ada. Dan di sore hari waktu semua sudah diletakkan ditempatnya kembali, dan kamar itu menyebarkan bau kapur yang setengah kering, diketahuinya dompetnya sudah tidak tersimpan aman lagi di dalam laci meja hias. Yang demikian baru sekali terjadi. Sekaligus ia berpendapat pasti bukan pelayan tua yang melakukannya, ia hanya seorang sahaya. Dia tak akan merusak kehidupannya yang telah tua. Tak pernah ia begitu ketakutan seperti waktu itu. Apa harus dimakan besok, lusa, kalau uang tak ada" Apa harus dibelanjakan"
Buru-buru dipegangnya wanita tua itu. Ia lupakan sindirannya yang tajam, ia membutuhkan bantuannya, wanita tua itu mendengarkan, menatapnya dengan mata kuyu seperti kehilangan semangat, dan:
"Tidak, bukan mBok, yang kutuduh. mBok tak akan lakukan itu. mBok cukup minta padaku, dan aku akan beri, biarpun sampai sekarang mBok tak pernah minta dan tak mau diberi. Tapi apa mesti kulakukan kalau, kalau .... kalau .... kita semua toh musti makan" Bagaimana aku harus ganti uang itu""
"Siapa yang Mas Nganten duga""
"Mana aku berani menduga" Aku sendirilah yang bersalah. Mungkin aku sendiri yang kurang hati-hati. Seperti kata mBok, kurang hati-hati sama juga tidak jujur."
"Tak ada orang lain masuk ke kamar selain Agus."
"Ya cuma Agus."
"Duduk tenang-tenang, Mas Nganten biar sahaya coba usut."
Ia pergi, dan Gadis Pantai mulai sibuk kembali memeriksa sana sini tapi tanpa hasil. Apakah mungkin bangsawan-bang-sawan muda mencuri" pikirnya. Dan pikiran itu sungguh-sungguh menyiksa. Bangsawan! Ningrat! Orang atasan yang ditakdirkan buat memerintah orang bawahannya. Mungkinkah mereka bisa mencuri" Mereka" Ia bebaskan pikiran itu dari otaknya. Syirik! Ia berteriak dalam hatinya, itu pikiran syirik menyangkal takdir! Tentulah aku sendiri yang salah, aku telah lupa tempat menyimpannya! Aku sendiri orang bawahan, orang rendahan, orang kebanyakan. Hanya orang-orang yang seperti aku yang mencuri. Tak ada bujang dapur yang berani masuk ke mari! Jangankan ke mari ke belakang pun tidak. Pencuri! Pencuri!
Gadis Pantai mendapat serangan saraf - ia mau menjerit, tapi mulutnya dibungkamnya. Bapak emak ampunilah anakmu ini. Ampuni ia. Tak ada orang atasan bisa dan boleh disalahkan. Mereka ditakdirkan buat memerintah. Ya bapak, emak! Ia teguk habis air teh segelas yang terletak di atas meja. Ketegangan sarafnya mereda sejenak, dan jantungnya berdebaran kencang waktu wanita tua itu masuk kembali ke dalam kamar.
"Saya telah panggil agus-agus, periksalah mereka, Mas Nganten."
"Apa"" Pekiknya tak terkendali. Dan waktu ia menyadari dirinya, suaranya diturunkan jadi bisikan ketakutan.
"Mana mungkin" Mana mungkin" Mereka kerabat Bendoro."
"Periksalah mereka. Tanyailah mereka," desak wanita tua itu sambil memimpinnya ke luar kamar.
Wanita tua itu merasai tangan Gadis Pantai menggigil wak-tu menghadapi para kerabat Bendoro yang pada berdiri di depan pintunya. Tanpa diduga sebelumnya dengan gagah berani ia mulai angkat bicara. Ia t
elah bertindak sebagai jaksa:
"Gus, jangan susahkan Mas Nganten, siapa merasa ambil uang Mas Nganten" Itu uang belanja. Kalau tak dikembalikan besok semua terpaksa tak makan. Bendoro sendiri juga tak makan. Kembalikan uang itu."
Dengan mata berapi-api pemuda kerabat-kerabat Bendoro itu menentang mata Gadis Pantai. Dan wanita tua itu merasai tangannya menggigil, wajahnya lesu. Dikencangkan pegangannya untuk memberanikan wanita utama itu. Dengan mata berapi-api karena merasa dihina, seorang pemuda angkat bicara:
"Kau pikir apa kami ini" Orang kampung" Orang dusun" Orang pantai yang tidak pernah lihat duit""
"Apa ini semua maksudnya menghina kami"" yang lain lagi menyerang.
"Kami bukan bermaksud menghina agus-agus. Bukan. Ada kesulitan bersama, agus-agus. Siapa yang tahu uang itu dipindahkan" Siapa tidak bakal kena murka besok kalau Bendoro mengetahui" Semua kena!"
"Persetan!" seorang lain lagi mendesis. "Dikiranya kami ini maling kelaparan dari kampung nelayan""
Gadis Pantai tersedan-sedan.
"Kami ini anak sekolahan, tahu pengajaran."
"Dituduh bandit""
"Kalau air mata bisa tebus hinaan ini, betapa murahnya itu!"
Gadis Pantai terserang demam saraf dan memekik, "Akulah anak kampung nelayan. Akulah pencurinya. Aku!" dan kemudian meraung, "Aku! cuma aku yang yang mungkin mencuri: Aku! Aku!" dan dipeluknya pelayan tua itu.
Mendengar pekik dan raung pemuda-pemuda itu berpan-dang-pandangan ketakutan. Bujang-bujang dapur pada berdiri di depan pintu dapur mengawasi adegan itu. Dan wanita itu menepuk-nepuk Gadis Pantai, "Baik, tidak ada yang mengaku. Sahaya cuma orang kampung. Cuma Sahaya. Tapi sahaya tahu apa mesti sahaya perbuat, agus-agus."
Nampak pemuda-pemuda itu menjadi pucat dan berpan-dang-padangan satu sama lain.
"Ayoh, kembalikan itu uang!" Tak ada yang menjawab.
"Baik, tunggu agus-agus di sini. Sahaya akan urus. Sahaya akan tunjukan orang kampung juga mengerti bagaimana berbuat. Tunggu di sini bendoro-bendoro kecil, dan ia bimbing Gadis Pantai menuju pintu ke ruang dalam.
"Tunggu!" seorang di antara para pemuda itu menengahi.
"Bagaimana kalau kita rundingkan baik-baik dahulu""
Gadis Pantai dan pelayan tua itu kini terhenti memunggungi pintu, menghadapi pemuda-pemuda itu. Gadis Pantai tetap menunduk ketakutan, sedang pelayan tua itu meradang menantang. Dengan suara perlahan, sopan dan hati-hati pelayan tua mengacarai, "Apakah yang masih bisa dirundingkan""
"Kau mau mengadu""
"Bukankah kewajiban kita mendudukkan kembali apa yang tidak benar"" tangkis pelayan tua itu.
"Kita" Apa maksudnya dengan kita""
"Kau harus ingat, ingat mBok," pemuda yang tergarang di antara semuanya menghantam, "kami adalah kerabat terdekat. Orang-orang kampung yang tinggal di sini, kapan saja bisa pergi dari sini buat mati kelaparan di luar sana. Kami tinggal di sini. Tinggal tetap di sini, biar seribu orang kampung ke luar dari sini setiap hari, mengerti""
Gadis Pantai tersedan-sedan. Ia rangkul kembali pelayan tua itu berbisik di antara sedan-sedannya:
"Aku ke mari bukan karena melarikan diri dari kelaparan."
"Tentu Mas Nganten." Pelayan itu meneruskannya kepada pemuda-pemuda, "Mas Nganten pergi ke mari bukan karena lari dari kelaparan, laut tetap kaya takkan kurang, cuma hati dan budi manusia semakin dangkal dan miskin. Lihat saja ini, uang di rumah dikelilingi tembok begini bisa hilang."
"Terang-terang saja mBok menuduh kami mencuri""
"Aku cuma bilang," pelayan tua itu jadi kasar, "kembalikan uang itu! Di sini ada hukum. Kalau hukum tidak ditaati lagi, mari, mari kita panggil hakim."
"Kau jangan kurang ajar mau panggil hakim, mBok. Kau sendiri bakal celaka."
"Orang kampung semacam sahaya ini, bendoro muda, kelahirannya sendiri sudah suatu kecelakaan. Tak ada sesuatu yang lebih celaka, dari nasib orang kampung. Ayoh, mau berunding apa lagi" Kembalikan tidak uang itu""
"Baik-baik, carilah hakim itu, biar dia adili kau sendiri!"
"Baik, mari mas Nganten," pelayan itu memapah Gadis Pantai masuk ke dalam ruangan tengah.
Bendoro sedang duduk senang di atas kursi malas. Sebuah meja kecil berdiri di sampingnya. Di atasnya terletak sebuah stoples kristal b
erisi biskuit buatan negeri Belanda, sedang sebilah capit perak tergeletak di sampingnya. Sinar matahari sore jatuh melimpah-limpah pada deretan tafsir yang sedang dibacanya.
"Ampun Bendoro," pelayan tua itu memelas setelah menggelesot di lantai. Juga Gadis Pantai duduk menggelesot di lantai.
Bendoro menutup tafsir. Melepas kacamatanya, meletakkannya di pangkuan dan bangkit duduk dari rebahnya, memandang ke samping bawah pada kedua wanita itu, lemah lembut ia bertanya, "Hemmmm""
"Ampun sahaya, Bendoro, sebentar lagi bendoro masuk khalwat bersembahyang magrib, semoga tidak mengganggu sembahyang Bendoro. Tapi soal ini.....soal ini, uang.....ah."
"Uang Mas Nganten hilang"" Bendoro meneruskan dengan tanya.
"Ampun," Gadis Pantai menjawab sambil semakin menundukkan kepala, dengan kedua tangan menjagangkan pada lantai.
"Kau kurang hati-hati. Uang itu biar rejeki dari Tuhan sekalipun, tidak jatuh begitu saja dari langit."
"Ampun Bendoro," sekali lagi Gadis Pantai bersuara semakin perlahan.
"Dan kau, mBok apa yang kau ributkan""
"Ampun bendoro uang itu hilang."
"Aku tahu uang itu hilang. Apa yang kau ributkan""
Pelayan tua tak menjawab. Kedua belah tangannya menggigil, sehingga tubuhnya yang bertunjangan pada tangannya meliuk-liuk sedikit.
"Mardi!" Bendoro memekik.
Dari kejauhan terdengar suara sahutan. Dan beberapa detik kemudian muncul seorang anak muda menyembah sebelum memasuki pintu dan duduk menggelesot di lantai, di belakang kedua wanita itu.
"Panggil semua agus ke mari."
Mardi menyembah lagi - hilang dari pandangan dan segera kemudian muncul pemuda-pemuda itu seorang demi seorang dari pintu ruang belakang. Mereka masuk tanpa menyembah, hanya langsung duduk di lantai di samping kedua wanita itu. Semua bersila dan merenungi lantai.
"Siapa ambil uang itu"" Bendoro bertanya perlahan tanpa melihat pada mereka, tapi justru pada lembaran-lembaran tafsir yang mulai dibuka kembali.
Tiada jawaban. "Benar" Tidak ada yang mau menjawab"" Tiada berjawab.
Bendoro tertawa perlahan. Gadis Pantai mengangkat muka untuk melihatnya. Dilihatnya Bendoro sedang mulai membaca tafsirnya. Tapi terdengar suara perlahannya.
"Sejak jaman Nabi memang sudah ada hamba-hamba iblis." Ia mendengarkan tawa ejekan. "Maling. Siapa heran ada maling selama iblis ada" Tapi maling pun butuh kehormatan, semakin dia tidak punya kehormatan diri." Tiba-tiba ia tutup tafsir itu dengan kasarnya sehingga berdetak. Semua mereka yang duduk di lantai mengangkat pandang. Tapi segera dilihat mereka Bendoro dengan kasar sedang lemparkan pandang ke arah mereka, mereka menunduk kembali.
"Siapa tidak mengerti"" Bendoro bertanya dengan suara mengancam. Setiap orang yang duduk di lantai semakin dalam tunduknya.
"Ya, semua mengerti, itu penting buat dipahami. Tapi apa kehormatan itu""
Diam sejenak tak seorang berani bergerak. "Abdullah, apa kehormatan itu"" Tak berjawab.
"Pertanyaan dibuat untuk dijawab, Abdullah," suaranya menurun jadi lembut kembali. "Berapa tahun kau sudah tinggal di sini" Tujuh" Kau tak mau menjawab pertanyaanku" Jawabanmu mau kudengar. Hanya jawaban. Kau takkan rugi apa-apa."
"Sahaya, pamanda."
"Apa itu kehormatan"" Tak berjawab.
"Tapi kau tahu artinya maling""
"Sahaya, pamanda."
"Kau tak tahu apa arti kehormatan"" Tak berjawab. "Jadi sampai di mana kau belajar mengaji" Benar-benar kau tak tahu maknanya"" Tak berjawab. "Jadi kau tidak punya kehormatan"" "Sahaya, pamanda." "Kau malingnya!"
"Tidak, tidak, pamanda sahaya bukan maling. Sahaya tahu makna maling. Dan sahaya tahu sahaya bukan maling."
"Apa penjelasannya, maka kau bukan maling""
"Tidak ada bukti dapat dikemukakan sahaya seorang maling, pamanda."
"Siapa guru ngajimu""
"Haji Masduhak, pamanda."
"Apa sabda Rasullulah kalau bukti itu ada""
"Disumpah, pamanda."
"Berani kau disumpah""
"Pamanda yang memutuskan."
"Karim! Haji Masduhak juga gurumu" Kau, Karim, apa kata gurumu tentang kemunafikan""
"Ampun, pamanda, sahaya tiada hafal."
"Berapa umurmu""
"Sembilan belas, pamanda."
"Kau duduk di kelas berapa""
"Enam, pamanda."
"Sini, kau berdiri di hadapanku."
Pemuda Karim beringsut-ingsut dari duduknya sampai di h
adapan Bendoro, ia tetap duduk menggelesot di lantai. "Kau dengar aku Karim" Berdiri"" "Ampun, pamanda," dan Karim tetap tidak berdiri. "Said," panggil Bendoro pada pemuda yang lain. "Sahaya, pamanda."
"Apakah guru ngajimu sama dengan Abdullah""
"Sama, pamanda."
"Sama dengan Karim""


Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sama, pamanda. Haji Masduhak."
"Gurumu Haji Duhak itu pernah dia ajari kalian tentang ciri-ciri kemunafikan"" "Pernah, pamanda." "Kau, masih ingat""
"Sahaya pamanda."
"Kau lihat Karim menolak perintahku. Apakah itu munafik""
"Tidak menurut Ustad, pamanda." "Jadi apa itu munafik""
"Kelihatannya suci dan setia, tapi sebenarnya tidak, pamanda."
"Karim!" panggil Bendoro tegas-tegas. "Apa sebabnya uang itu kau ambil"" Tiada jawaban.
"Terkecuali wanita-wanita ini dan Karim, semua harus pergi."
Pemuda-pemuda yang diperintahkan beringsut-ingsut mengundurkan diri dan sesampainya di pintu baru mereka berdiri dan lenyap dari pemandangan.
"Karim!" "Ampun, pamanda. Ampunilah sahaya yang telah khilaf ini.
"Kau tidak lakukan kekhilafan, Karim."
"Ampuni kekhilafan sahaya, pamanda."
"Kau tak dengar aku" Kau tidak khilaf. Dengar! Orang tuamu telah kirimkan kau ke mari. Aku telah berikan rumah, sekolah segalanya terbaik bagimu. Aku berikan guru ngaji terbaik di kota ini. Aku berikan pengajaran terbaik di dunia ini. Sabda Allah dan nabi apakah yang masih kurang" Kalau semua ini tidak juga mencukupi bagi pendidikanmu, pergilah pada si guru yang lebih baik. Pergilah kau. Pergi! Aku tak sudi lihat tampangmu lagi seumur hidup. Pergi!"
Tanpa menjawab Karim bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan. Semua mata mengikutinya. Dan waktu ia telah hilang di balik pintu, kembali suara Bendoro terdengar:
"mBok, kau mau lawan kejahatan ini dengan tanganmu, tapi kau tak mampu. Maka itu kau lawan dengan lidahmu. Kau pun tak mampu. Kemudian kau cuma melawan dengan hatimu. Setidak-tidaknya kau melawan."
"Sahaya Bendoro."
"Itu baik sekali."
"Siapa ajari kau berbuat begitu""
"Pengalaman dan perasaan seumur hidup inilah, Bendoro." "Kalau begitu pengalaman dan perasaan itu belum lagi cukup."
"Sahaya, Bendoro." "Tahu kau di mana kekurangannnya"" "Kalau tidak khilaf, tahulah sahaya Bendoro." "Aku ingin tahu kekurangan itu."
"Kekurangan sahaya ialah ....ialah....ialah karena sahaya terus berusaha bersetia pada Bendoro dan melakukan segala yang dijadikan kewajiban sahaya, karena itu sampai-sampai berani menggugat agus-agus bendoro-bendoro muda."
"Tepat." "Sahaya Bendoro."
"Jadi kau tahu hukumannya."
"Bagi orang semacam sahaya, Bendoro, sebenarnya tidak ada hukuman lagi. Hidup pun sudah hukuman." "Syirik! tak tahu bersyukur pada Tuhan." "Sahaya, Bendoro."
"Pergi kau. Sekarang juga tak perlu injakkan kaki di rumah ini, jangan pula di pekarangannya." "Sahaya, Bendoro."
"mBok, mBok!" Gadis Pantai meraih tangan pelayan tua itu. "Ampuni dia, Bendoro, Ampuni dia."
"Jangan buat bising! Kembali kau ke kamarmu sendiri."
Pelayan wanita itu beringsut-ingsut mundur menyembah kemudian mencapai pintu. Dan Gadis Pantai mengikuti contohnya. Di ruang belakang kedua wanita itu berdiri. Dan di hadapannya telah menunggu bangsawan-bangsawan muda dengan sikap yang masih juga menantang.
"Apa aku bilang"" seorang menegur. "Kaulah yang terusir."
Pelayan tua tak menjawab sedang Gadis Pantai menariknya masuk ke dalam kamarnya.
"mBok, mBok sudah tahu, bakal beginilah kejadiannya. Mengapa mBok lakukan juga" Apa aku mesti perbuat tanpa mBok""
"Biar sahaya ceritai, Mas Nganten, mungkin ini buat penghabisan kali. Mas Nganten masih ingat cerita sahaya tentang kakek sahaya yang ikut berontak bersama Pangeran Diponegoro" Ya Mas Nganten masih ingat, bukan" Seorang penewu (penewu (Jawa), wakil wedana.) pernah mengurniainya wejangan: Kau tidak mengabdi kepadaku, man, tidak, man! Kalau kau cuma mengabdi kepadaku, kalau aku tewas dan kau tinggal hidup, kau mengabdi kepada siapa lagi" Kau cari Bendoro baru kalau dia juga tewas" Tidak man, tidak. Kau mengabdi pada tanah ini, tanah yang memberimu nasi dan air. Tapi para raja dan para pangeran dan para bupati sudah jual tanah keramat ini pada Belanda. Kau hanya baru sampai melawan
para raja, para pangeran dan para bupati. Satu turunan tidak bakal selesai, man. Kalau para raja, pangeran dan bupati sudah dikalahkan, baru kau bisa berhadapan pada Belanda. Entah berapa turunan lagi. Tapi kerja itu mesti dimulai."
"Aku tidak mengerti, mBok." Ia pegangi tangan pelayan tua itu. "Jangan buru-buru pergi. Bisa aku ikut denganmu, mBok""
"Tidak, Mas Nganten, tidak bakal lama lagi Mas Nganten bakal mengerti wejangan itu. Ayah sahaya teruskan wejangan itu pada sahaya, dan sahaya teruskan pada Mas Nganten. Sekarang Mas Nganten belum mengerti, tapi pengalaman bakal membuat Mas Nganten memahaminya baik-baik. Tuhan senantiasa melindungi Mas Nganten hendaknya." Dan ia pun bergegas pergi.
Gadis Pantai tertinggal seorang diri di kamarnya, tercabut dari seluruh kekuatan dan tenaganya. Nafasnya megap-megap, tubuhnya meliuk di atas kursi, kedua belah tangannya terkulai di atas meja, dadanya turun naik, sedang matanya merah Jingga sebak, dengan pandangan tidak menentu. Ingatannya menangkap dan menggenggam kata-kata pelayan tua itu, tapi ia tak mengerti, terdengar seperti sebuah mantra. Bapak selalu mengucapkan mantra bila hendak tinggalkan darat. Dan tak pernah ia mengerti makna kata-katanya.
Hari-hari meluncur sendat, tertegun, setelah pelayan tua itu lenyap dari kehidupan gedung besar berkurung pagar tembok tinggi itu. Bila tadinya Gadis Pantai hidup sebagai pendiam karena terpaksa, kini ia jadi pendiam karena kehilangan hasrat untuk bicara. Orang sebaik itu keluhnya dalam hati selalu. Orang sebaik itu! Orang sebaik itu! Dan untuk mengisi hari-harinya yang lamban menyebalkan ia menenggelamkan diri dalam kerja batik.
Ingin ia menghadiahkan salah sebuah batik tulisnya pada wanita tua itu. Tapi di gedung ini tak ada orang menyebut-nye-butnya, tak ada yang tahu dimana ia tinggal. Tak pula punya perhatian ke mana perginya. Mereka yang telah keluar dari gedung ini, bila bukan kerabat Bendoro, adalah laksana roh-roh yang tidak punya suatu bekas. Mungkin hanya Gadis Pantai yang mau dan selalu mengenangnya.
Musim hujan datang lebih cepat dari seharusnya. Angin kencang antara sebentar mendesak dengan kekuatan besar dari timur-laut, mengangkat sampah dan pasir pantai, pasir alun-alun yang mulai gundul karena kemarau, menerobosi pintu dan jendela, masuk ke dalam kamar bahkan juga ke dalam lemari pakaian dan makan. Masa demikian adalah masa banyak mendo'a di kampung nelayan. Dahulu Gadis Pantai tak pernah bersungguh-sungguh mendo'a. Tapi kini dirasanya hasrat untuk mengucapkan permohonan pada Tuhan agar seluruh nelayan dilindungi dari marabahaya, agar angin tidak terlalu kencang, agar ombak tak terlalu jahat, dan agar ikan menjadi jinak.
Pada suatu pagi dalam hujan lebat, empat orang wanita dalam keadaan basah kuyup masuk ke dalam dapur. Seorang di antara mereka diantarkan oleh Mardi datang kepadanya.
"Mas Nganten," Mardi memulai, "pelayan baru buat Mas Nganten."
Gadis Pantai meletakkan cantingnya, dan mori yang baru setengah terbatik ia gulung dan gantungkan pada jagangnya. "Apa harus kupanggil kau"" Gadis Pantai bertanya. "Mas Nganten, nama sahaya Mardinah." "Itu bukan nama orang desa." "Sahaya lahir di kota. Mas Nganten. Di Semarang." "Berapa umurmu"" "Empat belas, Mas Nganten." "Belum ada laki"" "Janda Mas Nganten."
Gadis Pantai tertegun. Ditatapnya wanita muda itu. Lebih tinggi dari dirinya. Air mukanya begitu jernih dan ceria, gerak-geriknya cepat tanpa ragu-ragu.
"Di mana pernah kerja""
"Di kabupaten Demak, Mas Nganten."
"Mengapa keluar dan kerja di sini""
"Sahaya diperintahkan Bendoro Puteri Demak bekerja di sini, Mas Nganten."
"Apa hubungannya Bendoro Puteri Demak dengan aku""
"Mana sahaya tahu, Mas Nganten" Sahaya cuma jalankan perintah."
"Engkau terlalu cantik buat pelayanku, juga terlalu muda."
Tiba-tiba Gadis Pantai terkejut dengan ucapannya sendiri. Tiba-tiba ia pun menduga pelayan muda ini berseri bebas dan ceria itu sadar akan kelebihan-kelebihannya. Ah, mengapa dia dikirim ke mari" Ia teringat pada mBok yang telah pergi. Ah, tidak! Kini aku harus berfikir sendiri, berbuat sendiri tanpa sia-papun. Dan untuk pertama k
ali dalam hidupnya ia mulai belajar curiga.
Apa sebabnya wanita muda berumur empat belas dikirimkan kepadaku" Dan dengan sendirinya mengiang-ngiang kembali suara pelayan tua itu: Sekarang Mas Nganten belum mengerti, tapi pengalaman akan membuat Mas Nganten memahaminya baik-baik!
Sekarang ia belajar memahami, mencurigai.
Tak lebih dari dua hari kedatangan Mardinah, terjadi suatu peristiwa. Sore hari ketika Gadis Pantai merasa tak nyaman, dan bertiduran di ranjangnya. Mardinah masuk ke kamarnya dan duduk di kursi.
"Sinilah sebentar," Gadis Pantai memanggil. Mardinah langsung duduk di kasur.
"Apa Bendoromu yang dulu tidak marah padamu kau duduk di kursi""
"Bendoro tidak pernah lihat sahaya duduk di kursi. "Apa Bendoromu yang dulu tidak pernah marah melihat kau duduk di kasurnya seperti ini""
"Bendoro tidak pernah lihat sahaya duduk di kasur." "Aku tidak marah padamu." "Tentu saja." "Mengapa tentu saja""
"Karena Mas Nganten bukan Bendoro sahaya." "Lantas siapa Bendoromu"" "Bendoro sahaya, ya, Bendoro sendiri." "Dan aku""
"Ah, Mas Nganten. Mas Nganten kan orang kampung""
Jantung Gadis Pantai terguncang. Dengan sendirinya ia bangkit dan duduk, menantang wajah Mardinah. Tapi ternyata Mardinah membalas tatapan matanya tanpa sedikit pun ragu-ragu. Melihat mata yang berapi-api, Gadis Pantai menjadi takut, menyesali diri.
"Benar, aku orang dari kampung, dan aku tidak menyesal berasal dari kampung. Siapa kau sebenarnya""
"Yang jelas, sahaya bukan berasal dari kampung."
"Apa hinanya orang kampung""
"Setidak-tidaknya dia sebangsa kuli."
Untuk kedua kali Gadis Pantai terguncang. Ketakutan menjamah seluruh batinnya. Ia mencoba memberanikan diri. "Jadi buat apa kau datang ke mari""
"Yang jelas bukan buat mengabdi pada Mas Nganten."
"Lantas buat apa kau mendekam di kamar ini""
Mardinah tak menjawab. Ia hanya tersenyum. Kemudian membuka mata, sedang giginya yang tampak tak terhitami oleh sirih kapur dan pinang atau pun sugi itu gemerlapan menantang.
"Mas Nganten," katanya perlahan. "Sahaya bisa baca bisa tulis, Mas Nganten bisa""
Untuk ketiga kali dalam sehari Gadis Pantai terguncang.
"Apa bapak Mas Nganten" Nelayan, bukan" Benar, sahaya tidak salah. Mas Nganten tahu siapa orang tua sahaya" Pensiun-an juru tulis."
Untuk keempat kali jantung Gadis Pantai terguncang. Mardinah tertawa menang dan senang, tapi tak melanjutkan. Gadis Pantai turun dari ranjang. Diperiksanya seluruh lemari dan laci, dikuncinya yang belum terkunci, meninggalkan kamar menuju ke kebun belakang.
Tanah sehabis hujan kemarin sore berwarna coklat tua, sedang butiran-butiran putih kulit kerang yang terhampar membuat tanah berwarna coklat itu silau gemerlapan kena cahaya matahari. Uap yang membumbung dari tanah membuat nafas jadi berat dan sesak. Gadis Pantai duduk di atas bangku kebun di bawah pohon mangga tanaman Bendoro beberapa tahun lalu.
Sekarang Mas Nganten belum mengerti, tapi pengalaman membuat Mas Nganten memahami baik-baik, terngiang kembali wejangan pelayan tua itu. Jadi ini adalah permulaan. Ia tak dapat memikir, ia tak tahu pada siapa ia harus adukan hal dan kesulitannya. Setidak-tidaknya kejadian begini tidak bakal terjadi di kampungnya - kampung nelayan pinggir pantai. Seorang demi seorang di antara keluarganya terbayang: ayahnya yang sedang mengangkat jala, melompat dari perahu turun ke darat; emak sedang menumbuk udang kering; abang-abangnya sedang menambal lunas pada buritan perahu, dengan samar adik-kecilnya sedang memperbarui cat pada pahatan hiasan pada lambung dan haluan perahu ... dan terbayang juga dirinya sendiri sedang bertanak nasi-jagung. Bertanak nasi-jagung! Ah, itu dua tahun yang lalu. Sekarang ia tak pernah bertanak Tak pernah menyambal. Tak pernah mencuci piring dan cobek. Dengan lenyapnya kampung nelayan dalam hidupnya lenyap pula laut yang tiada bertepi. Dunianya kini hanyalah kamarnya, dengan beberapa meter radius sebagai lapangan bergerak.
Tiba-tiba pikirannya menangkap Mardi. Mungkin orang itu mau menyampaikan halnya pada Bendoro. Tapi segera kemudian dicegahnya sendiri pikirannya itu. Tidak! Aku harus selesaikan sendiri. Rumah ini ha
rus selamat. Bendoro harus bebas dari segala kesulitan, bebas dari pikiran tentang istrinya. Tidak! Tidak! Aku harus selesaikan sendiri semua. Semua! Semua!
Ia meronta bangun, dengan langkah tegap menaiki jenjang ruang belakang, langsung menuju kamar. Didapatinya Mardinah telah bertiduran di ranjangnya.
Dengan langkah tegap itu pula ia langsung menghampiri Mardinah.
"Orang kota, bangun! Menurut ukuran orang kampung tidaklah sopan tidur di tempat orang lain tanpa ijin." Mardinah tertawa dan bangkit sendiri.
"Rupa-rupanya kau bisa menggeletak dan terlentang di mana-mana, di mana saja."
Ternyata Mardinah kebal tusukan kata. Ia masih juga tertawa. Dan tanpa terduga oleh Gadis Pantai keluar kata-katanya: "Ini, Mas Nganten," sambil menunjuk-nunjuk dadanya sendiri, "tak lain dan tak bukan adalah tubuh sahaya sendiri. Terserah pada sahaya di mana sahaya taruh dan sahaya geletakkan."
"Tidak. Tidak terserah padamu semata-mata. Keluar kau dari kamar ini! Jangan masuk lagi. Keluar!"
Lenyaplah tawa dari wajah Mardinah. Dengan mata berapi-api ditantangnya Gadis Pantai dan dengan suara mengancam ia menyatakan, "Tidak mungkin orang kampung memerintah anak priyayi. Tidak bisa. Tidak mungkin."
Tapi Gadis Pantai telah menudingnya tepat pada matanya. "Keluar!"
Mardinah dengan kasar melemparkan lengan yang menu-dung matanya. Tapi Gadis Pantai menuding dengan tangannya yang lain. Kemudian, "juh!" dan sepercik ludah bertengger pada hidung Mardinah.
Tidak kurang dari seminggu lamanya Mardinah tak pernah muncul di kamar Gadis Pantai. Ia tinggal di dapur. Dan karena bukan seorang pekerja dapur, ia hanya duduk-duduk di sana sambil mengobrol dengan para pekerja dapur.
Saban pagi Gadis Pantai turun dari kamarnya, memasuki dapur dan mengawasi santapan yang akan dihidangkan pada suaminya. Ia cicipi semua untuk menentukan baik tidaknya dihidangkan, kemudian ia tutup meja, setelah itu membatik. Dalam seminggu ini bila ia masuk ke dapur, matanya tajam mengikuti segala gerak-gerik pelayannya. Tapi tiada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Pagi itu waktu ia kembali masuk ke dapur, dilihatnya Mardinah telah menunggunya di belakang pintu. Dilihatnya wanita itu siap hendak menegurnya. Tapi Gadis Pantai jalan terus menuju tungku. Demikian pula waktu ia hendak balik naik ke ruang belakang, dilihatnya Mardinah masih berdiri di belakang pintu, tapi kali ini berhasil membuka suara, "Mas Nganten sana..."
Gadis Pantai berjalan terus tanpa menengok.
Mardinah memburunya dan menghadang jalannya.
"Mas Nganten," tegurnya, dan hadangan itu membuat kedua orang itu berhadap-hadapan.
"Sahaya membutuhkan Mas Nganten."
"Bukankah aku bukan pelayanmu""
"Tidak, tentu saja tidak. Tapi sahaya pun bukan pelayan Mas Nganten."
"Jadi pergilah dari sini. Yang aku butuhkan hanya pelayan."
"Biarlah sahaya melayani Mas Nganten."
"Maaf, aku tak butuhkan kau. Aku tahu mengapa kau di sini. Aku akan sampaikan sendiri pada Bendoro."
Mardinah terdiam. Ia tak tahu apa mesti diperbuat. Nampak pikirannya kacau. Dan kesempatan itu dipergunakan Gadis Pantai untuk menyisihkannya dan meneruskan jalannya ke tempat pembatikan.
Tapi baru saja ia duduk di bangku rendah membatik, Mardinah telah datang menghampirinya membawa batikan pula, juga ikut membatik.
"Mas Nganten," Mardinah berbisik sehabis meniup cucuk cantingnya.
"Apa kerjamu di sini""
"Sekarang ini membatik, Mas Nganten."
"Siapa menggaji kau""
Mardinah tak menyahut. Ia celupkan cantingnya ke dalam belanga kecil lilin cair dan melukis cucuk burung garuda di atas kain.
"Mas Nganten," Mardinah memanggil lagi. Dan tanpa menunggu reaksi ia meneruskan. "Mas Nganten bisa membaca, bukan""
Mengerti kelemahannya sendiri Gadis Pantai terdiam.
"Ada surat buat Mas Nganten."
"Aku tak membutuhkan surat dari siapapun."
"Tapi surat ini sangat penting."
"Tak ada yang penting bagiku kecuali satu."
"Tidak ada yang penting" Juga percintaan tidak""
"Tidak, aku hanya tahu mengabdi pada Bendoro, lain tidak."
"Bodohnya Mas Nganten ini. Setiap istri pembesar mempunyai kesenangannya, yang satu main ceki, yang lain main cinta, tapi Mas Nganten cuma sibuk di rumah seperti
pesakitan." Gadis Pantai terhenti membatik. Sekaligus tergambar dalam ingatannya seorang pria bertubuh tegap, tidak begitu tinggi, kulitnya kehitaman, dan suaranya begitu tegas dan yakin, dan bijaksana: tamu Bendoro yang ia tak ketahui namanya. Ia tersenyum sedikit.
"Sahaya juga bekas istri pembesar, Mas Nganten."
Canting Gadis Pantai yang sedang terangkat dari belanga lilin ke arah batikan terhenti di tengah-tengah pengangkutan, jatuh ke lantai, dan lilin cair dalam canting itu pun tertumpah di atas lantai, mengental kemudian membeku. "Berhentilah membatik bila canting jatuh," pelayan tua dulu sering memperingatkan. "Ingatlah pada Bendoro, karena otakmu sedang diganggu iblis."
Sambil mengawasi Mardinah yang sedang tersenyum menyindir, ia meletakkan canting di dalam kotak cerutu. Dan sebelum bangkit berdiri kembali ia awasi Mardinah yang masih juga tersenyum mengawasinya.
"Siapa sedang Mas Nganten pikirkan"" Mardinah bertanya.
Gadis Pantai kaget, bingung. Tahukah dia siapa aku pikirkan" Ia selamatkan wajahnya dari pandang Mardinah. Melangkah masuk ke dalam kamar, duduk termenung di atas kursi di dalam kamarnya. Dua tiga kali ia mengusap wajahnya. Ia ingin bicara. Ia ingin mengadukan halnya. Tak ada orang lain selama ini yang dapat diajak bicara selain Mardinah. Beberapa malam ini Bendoro tidak mengunjunginya. Dan ia pun terlalu lelah sehingga tertidur tanpa sempat mengimpi.
Ia ingin bertemu dengan pelayan tua itu. Ia ingin mengadu kan halnya. Ia pun ingin tahu bagaimana halnya. Tapi yang ada cuma Mardinah, hanya Mardinah. Dia ingin bicara.
"Mardinah," panggilnya.
"Sahaya, Mas Nganten."
Dan sebentar kemudian Mardinah masuk ke kamar berdiri di sampingnya agak beberapa meter menjauh.
"Katakan apa yang hendak kau katakan," Gadis Pantai memulai.
"Seorang pemuda gagah ingin berkenalan, Mas Nganten." "Apa lagi""
"Inilah suratnya Mas Nganten." "Apa lagi""
"Haruskah saya bacakan""
"Tidak. Aku tak membutuhkan surat. Apa lagi hendak kau lakukan""
"Apa Mas Nganten tak ingin tahu isi surat ini dan membalasnya""
"Tidak. Apa lagi""
Mardinah terdiam. "Kapan pergi dari rumah ini""
"Kapan" Tapi ini bukan rumah Mas Nganten."
Sekarang Gadis Pantai terkejut. "Jadi menurut pendapatmu, siapa aku ini""
"Selir." "Baiklah selir. Apa kau sebenarnya"" "Sahaya."
"Kapan kau pergi""
"Sahaya akan bicara sendiri dengan Bendoro." "Kapan""
"Belum tahulah sahaya."
"Baik, biar aku bawa kau pada Bendoro."
"Tidak. Tidak perlu."
"Bendoro pun tak tahu siapa kau."
"Tidak mungkin."
"Mari menghadap."
"Mari. Tapi tidak sekarang."
"Baik, tidak sekarang nanti jam dua siang."
"Baik. Tapi jangan jam dua."
"Baik," dan Gadis Pantai terdiam. Mardinah masih berdiri beberapa meter di sampingnya.
"Siapa yang menggaji kau di sini"" Gadis Pantai bertanya. "Mas Nganten."
"Tidak. Aku tak suka menggajimu. Minta gaji pada Bendoromu dari Demak. Aku sekarang mulai tahu siapa kau, kau datang ke mari buat membuat onar."
"Tidak, sahaya datang buat kepentingan Bendoro."
"Ha"" "Karena tidak layak beberapa kali beristrikan orang kampung melulu."
Gadis Pantai menjadi pucat. Nafasnya megap-megap. Ia tahu tak punya kekuatan sedikit pun untuk menegakkan diri di tengah-tengah kumpulan bangsawan. Tangannya menggapai-gapai mencari pegangan daun marmer meja. Tapi marmer yang dingin itu tetap dingin. Tak ada sesuatu kekuatan menyembur darinya dan mengisi dirinya.
Melihat keadaan itu segera Mardinah menyerang. "Jadi Mas Nganten tahu siapa sahaya. Seorang yang kebangsawanannya lebih tinggi dari Bendoro telah perintahkan sahaya ke mari. Sudah waktunya Bendoro kawin benar-benar dengan seorang gadis yang benar-benar bangsawan juga. Di Demak sudah banyak gadis bangsawan menunggu. Siapa saja boleh Bendoro ambil, sekalipun sampai empat."
Nafas Gadis Pantai tidak lagi megap-megap, tapi menyekat di tenggorokan. Dengan suara lemas ia berbisik lesu, "Sudah, sudah. Pergi kau. Jangan dekat-dekat aku."
"Terima kasih Mas Nganten. Sahaya boleh undurkan diri ke dapur."
Tanpa melihat pada Mardinah, Gadis Pantai mendengar langkah kaki yang lirih hampir-hampir tak tertangkap oleh pendengaran. Ia rasai Mardinah berhent
i di depan pintu mengintip padanya. Ia tak bergerak.
Hanya Bendoro yang tak terungkit di sini kata pelayan tua dahulu. Hanya dewa-dewa yang tak terungkit dalam kehidupan ini, yang lain-lain adalah goyah tanpa pegangan. Kelahiran sahaya sudah satu hukuman! terngiang suara pelayan tua itu. Ia meradang - apakah dosa suatu kelahiran di tengah-tengah orang kebanyakan" Mengapa" Apa dosa" Dan tanpa disadari air matanya telah mengembangkan cairan dukacita buat seluruh orang yang berasal dari kampung, terutama kampung nelayan.
Sekarang aku harus pikirkan sendiri semua ini.
Sekarang Mas Nganten belum mengerti kata pelayan tua dulu, tapi pengalaman bakal membuat Mas Nganten memahami baik-baik! Pelayan itu telah pergi. Kini ia harus berfikir sendiri. Dan dalam usia tidak lebih dari 16 tahun. Ia mengerti semua itu dengan perasaannya, dengan tubuh dan jantungnya. Dan ia pun kenangkan kembali kampung nelayan nun jauh di tepi pantai, hari-hari yang penuh tawa, keringat yang mengucur rela, tangan-tangan yang coklat kuat, dan lemah-lembut, dan kasar yang pada saling membantu. Ia tersedan-sedan di sini. Semua pada banting-membanting. Buat apa" Buat apa" ia merintih buat kehormatan dan nasi. Di sana di kampung nela yan tetesan deras keringat membuat orang tak sempat membual kehormatan, bahkan tak sempat mendapatkan nasi dalam hidupnya terkecuali jagung tumbuk yang kuning. Betapa mahalnya kehormatan dan nasi!
Misteri Kucing Bengkok 2 Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo Dewi Penyebar Maut V I I I 2
^