Pencarian

Gadis Pantai 3

Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 3


Dan Gadis Pantai baru 16 umurnya.
Ia bertekad bicara dengan Bendoro, bila Bendoro datang menginap di kamarnya. Ia akan curahkan perasaannya. Ia akan minta penjelasan tentang Mardinah, tentang dirinya sendiri. Beberapa malam ia tidak tidur menunggu kedatangan Bendoro. Tapi banyak kali Bendoro kembali lagi ke ruang tengah, setelah bersantap di ruang belakang, bahkan dua tiga kali tanpa menegurnya. Bila malam Jum'at ia tahu Bendoro takkan mungkin menginap. Ia menunggu pada malam Sabtu, malam Minggu, malam Senin, malam Jum'at lagi.
Akhirnya 15 hari setelah pembicaraannya dengan Mardinah, pada suatu malam Bendoro mengetuk pintunya perlahan-lahan. Ia turun dari ranjang dan membukakannya. Bendoro masuk langsung menuju ke ranjang, dan Gadis Pantai menguncinya kembali. Ia tak menyusul suaminya ke ranjang, tapi duduk tepekur di kursi. Ia kehilangan keberanian untuk mulai bicara.
"Kau sakit, Mas Nganten""
"Tidak, Bendoro."
"Sudah malam sekarang, mari tidur nak."
Gadis Pantai bangkit, tapi kemudian duduk kembali, kepala tertunduk. Bendoro turun lagi dari ranjang menghampiri. "Engkau pucat."
"Sahaya, Bendoro."
"Benar-benar tidak sakit""
Gadis Pantai menggeleng, mengangkat pandang sebentar memandang Bendoro, kemudian menunduk kembali. "Kau rindu pada orang tuamu""
Gadis Pantai menghembuskan nafas keluh. Ia tetap tak berani mencurahkan perasaannya. Bendoro meletakkan tangannya, di atas bahu Gadis Pantai, dan dengan tangan yang lain mengusap-usap rambut wanita muda itu.
"Aku tahu. Kau mau bicara. Bicaralah."
"Sahaya, Bendoro." Dan keberanian Gadis Pantai mulai timbul sedikit. Lidahnya dirasanya kelu, dan segulung rasa yang linu menyerang di bawah kedua belah rahangnya.
"Bicaralah, aku dengarkan."
"Bendoro....." "Ya"" "Mengapa wanita Mardinah dikirim ke mari"" "Buat membantu kau." "Siapa dia, Bendoro"" "Kemenakan jauh, Mas Nganten."
Gadis Pantai tak mampu meneruskan kata-katanya. Dia kerabat jauh Bendoro. Ia tak punya hak menggugat. Ia berdiri dengan langkah lesu menuju ranjang dan naik ke atas.
Waktu Bendoro telah berbaring di sampingnya dan memeluknya, dirasainya air mata hangat telah membasahi wajahnya. Dan waktu Bendoro mengusap-usap wajahnya yang basah itu, Bendoro terhenti sejenak, duduk menatap wajahnya tenang-tenang dalam cahaya listrik yang telah dipatahkan oleh kelambu, bertanya, "Engkau menagis kenapa""
"Bendoro." "Ya"" "Tidak, tidak jadi Bendoro. Ampuni sahaya."
"Aku tak mengerti."
"Bendoro." "Ya"" "Ampuni sahaya. Bolehkah sahaya.....tapi jangan murkai
sahaya." "Tidak tentu saja tidak. Bicaralah."
"Sahaya ingin ... ingin ... ingin melihat orang tua sahaya."
"Tapi mengapa kau menangis""
"Sahaya hanya mohon diperkenankan melihat orang tua saha
ya di kampung, Bendoro. Sahaya takut dimurkai Bendoro."
"Kau boleh pergi - kapan kau mau pergi"" "Jika dizinkan besok Bendoro."
"Baik. Besok kau boleh lihat orang tuamu. Mardinah akan temani kau."
"Ampun Bendoro, jangan."
"Apa telah diperbuat Mardinah terhadapmu""
"Tiada Bendoro. Biar sahaya pergi sendiri."
"Husy, itu tidak benar. Kau harus ditemani."
"Sahaya, Bendoro. Tapi Mardinah .... ampun, Bendoro, jangan."
"Siapa akan temani kau""
"Siapa saja Bendoro asal bukan Mardinah."
"Apakah ia membuat onar di sini. Mardinah itu""
"Tentu saja tidak Bendoro. Seorang kerabat Bendoro tidaklah layak mengantarkan orang seperti sahaya ini."
"Kau tak boleh pergi seorang diri."
"Sahaya, Bendoro."
"Kau milikku. Aku yang menentukan apa yang kau boleh dan tidak boleh, harus dan mesti kerjakan. Diamlah kau sekarang. Malam semakin larut," lalu seperti ada yang terlupa, "tapi kau belum punya persiapan."
"Apalah yang perlu dipersiapkan Bendoro""
"Husy. Kau harus selalu ingat-ingat, tak boleh ada sesuatu terjadi yang menyebabkan penghormatan orang berkurang padaku. Bawalah juga beras sekarung."
"Sahaya, Bendoro."
"Belanja dulu besok pagi di pasar. Beli dua puluh meter kain kasar, sarung, benang jala, damar, sandal, biskuit." Bendoro diam mengingat-ingat - tasbih yang baik, hitam mengkilat tanpa cacat. Hitung benar-benar jumlah bijinya, lengkap tidak. Beli juga sebagai hadiahku: tembakau kretek Bojonegoro. Beli satu keranjang."
"Tak ada yang memikulkan barang yang sebanyak itu, Bendoro."
"Dokar sewaan bisa antarkan kau sampai ke rumahmu."
Gadis Pantai ingin menyampaikan, kampungnya tak dapat dicapai oleh dokar. Orang mesti berjalan kaki dua atau tiga kilo meter dari pos. Tapi ia padamkan keinginan itu. Jalan itu sunyi Dan ia bayangkan dirinya terengah-engah mengangkut barang-barang di atas kepalanya, seperti biasanya wanita-wanita nelayan, karena tak mampu beli kain gendongan. Wanita, wanita melulu yang ada di kampung di pagi hari. Kaum pria masih menyisiri laut, atau tidur di gubuk masing-masing, atau sedang menggigil-gigil, karena malaria. Wanita melulu.
Demikianlah malam itu berjalan sangat lambat bagi Gadis Pantai.
Waktu Bendoro telah tergolek layu di sampingnya, lelah dalam kenikmatan, berkeruh deras dalam tidurnya, mulut menganga dan mata masih sedikit terbuka, lambat-lambat Gadis Pantai turun dari ranjang meninggalkan kamar menuju kamar mandi.
Malam gelap gulita waktu itu. Bintang-bintang bertabur di langit hitam. Ia berdiri lama-lama di tengah-tengah pelataran. Bibirnya menggeletar di malam gelap itu membisikan do'a syukur. Wajah manusia-manusia tercinta ganti-berganti muncul dalam bayangannya. Wajah manusia-manusia yang tak punya sesuatu pun untuk diberikan, kecuali tenaga, kasih sayang dan ikan. Ah bapak, bapak. Kita ini, ia masih ingat kata-kata bapak pada malam sebelum ia diberangkatkan ke kota kita ini biar hidup dua belas kali di dunia, tidak bisa kumpulkan duit buat beli barang-barang yang terdapat dalam hanya satu kamar orang-orang kota. Laut memang luas tak dapat terkuras, kaya tiada terbatas, tapi kerja kita yang memang hina tiada berharga. Besok kau mulai tinggal di kota, 'nduk, jadi bini seorang pembesar. Kau cuma buka mulut, dan semua kau maui akan berbaris datang kepadamu. Kau tinggal pilih. Ah, bapak. Bapak. Itulah dunia yang kau tawarkan padaku, dunia serba gampang, cuma hati juga yang berat buat dibuka, meski tinggal memilih dan tinggal meminta. Ah, bapak. Bapak. Aku tak butuhkan sesuatu dari dunia kita ini. Aku cuma butuhkan orang-orang tercinta, hati-hati yang terbuka, senyum tawa dan dunia tanpa duka, tanpa takut. Ah, bapak. Bapak. Sia-sia kau kirimkan anakmu ke kota, jadi bini percobaan seorang pembesar.
Dari kamar mandi ia berjalan ke arah dapur. Berhenti sejenak di depan pintu. Itulah pintu yang sehari lebih sepuluh kali dilewati mBok tua yang kini entah ada di mana. Orang yang pernah ia kasari karena perasaannya tersinggung, tapi yang kini ia sesali pernah berbuat kasar itu.
Waktu ingatannya tersentuh pada Mardinah. Ia terhenyak buru-buru ia tinggalkan tempat itu. Di situ ada Mardinah, pekiknya dalam hati. Bodoh
nya aku, aku kenangkan orang sebaik itu, nyatanya orang yang kubenci yang ada di dalamnya. Ia bersicepat menaiki jenjang ruang belakang, masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam. Duduk termenung di kursi, sampai kemudian terdengar suara lirih, "Mas Nganten, tidurlah."
"Sahaya, Bendoro," tapi ia tak bergerak.
"Sudah malam tidurlah, kalau tidak, kau tak perlu pergi besok. Aku khawatir kau masuk angin kelelahan."
"Sahaya, Bendoro," dan Gadis Pantai berdiri naik kembali ke dalam ranjang.
"Mengapa kau punggungi aku" Aku tak suka dipunggungi."
Gadis Pantai mengubah letak tidurnya. "Mas Nganten, kalau kau sudah datang ke kampung," kata Bendoro dengan suara mengantuk, "sampaikan salamku pada orang tuamu."
"Beribu terima kasih, Bendoro."
"Jangan berlaku seperti orang kampung, kau istri priyayi." "Sahaya, Bendoro." "Tidurlah, tidur."
Sebentar kemudian seluruh alam pun tertidur. Tinggal bintang, ombak dan angin yang masih melakukan tugasnya ....
Bagian Ketiga Kita catat dari daerah ini, kawan
nelayan dimakan ikan sedang di darat hanya tiga jam istirahat
dari segala yang didapat untuk tengkulak dan pajak
nasi dan pukat dari: "Kampung Nelayan"
-Pinore Gangga IBLIS ITU MAU GIRING AKU SAMPAI KE NERAKA, TERIAKNYA DALAM hati. Dan dokar sewaan berjalan tenang mengangguk-angguk dijalan pos buatan tuan besar Guntur alias Daendels. Kuda kacang yang menarik dokar sarat muatan nampak seperti sedang berjingkrak kepanasan. Sedang semak-semak bakau sepanjang pantai nampak begitu hijau dan sunyi. Bau tembakau yang ke luar dari keranjang bergumul melawan bau laut yang abadi.
Gadis Pantai menarik nafas panjang. Sekejap diliriknya Mardinah yang duduk di sampingnya. Mengapa Bendoro kirimkan dia untuk antarkan aku" Mengapa" Mengapa" Bendoro lebih percaya padanya mungkin, pada kerabatnya sendiri.
"Surat itu mestinya Mas Nganten balas." "Kau pernah ke kampung nelayan, man"" Gadis Pantai bertanya pada kusir tanpa mengacuhkan kata-kata Mardinah. "Sahaya, Bendoro Putri, tentu saja. Sahaya lahir di pantai." "Kau tak suka ke laut rupanya."
"Kalau semua ke laut siapa yang ke darat, Bendoro Putri" Biarlah mereka mendapat makan dari ikan, sahaya lebih senang dari kuda. Cukup satu sajalah binatang sahaya."
Udara bebas itu meniupkan hidup ke dalam dada Gadis Pantai. Buat pertama kali dalam lebih dua tahun ia tertawa puas, tertawa terbuka.
"Apa yang lucu"" Mardinah menegur. "Itu bukan layaknya seorang istri priyayi."
Gadis Pantai tersumbat. Angin darat yang kencang menyebabkan kusir tak dengar teguran itu. "Sahaya lebih suka darat, Bendoro Putri, kalau mati ketahuan di mana bangkainya."
"Bangkai siapa maksudmu, man" Kudamu""
"Bangkai sahaya sendiri tentu, Bendoro Putri. Sahaya ...."
"Sayang benar kau rupanya pada bangkaimu sendiri," Gadis Pantai memotong kemudian tertawa lepas lagi. Dan lagi Mardinah menegur.
"Kau tinggal di mana, man""
"Kauman Pantai," kuatir menjawab tanpa menengok pada lawan bicaranya sejak awal percakapan.
"Di tempatmu apa orang tak boleh tertawa""
"Masya'allaaaah, di mana ada di dunia ini orang tak boleh tertawa""
Gadis Pantai kembali terdiam. Aku masih terlalu muda, tapi aku lebih tahu dunia, pikirnya. "Berapa umurmu, man"" "Empat puluh, Bendoro Putri."
"Lebih baik kau terima surat itu daripada mencoba-coba seorang kusir."
"Banyak cucumu, man""
"Bukan banyak lagi, Bendoro Putri, lebih duapuluh."
"Jangan teruskan bicara dengannya. Aku adukan pada Bendoro."
"Ada yang kau sayangi, man""
"Sahaya, sayangi" Semua, Bendoro Putri."
"Kau tak pernah rodi di kebun coklat, man""
"Inilah sahaya, Bendoro Putri, sisa yang masih tinggal dari hidup sahaya. Kiai sahaya dulu bilang, setiap orang dikaruniai hidup oleh Allah yang Maha Pengasih, tapi cuma segumpil saja hidup karunia Allah yang benar-benar sahaya miliki, Bendoro Putri. Inilah diri sahaya yang segumpil ini. Sebagian besar habis buat rodi di kebun coklat."
"Mengapa tak lari""
"Lari" Ke mana" Di sana kompeni. Di sini kompeni Bapak sahaya seratus dua puluh tahun umurnya baru meninggal. Tapi sahaya ini, baru empat puluh sudah begini reyot, kehabisan tenaga, Bendoro Putri. Bapak sahaya lari-larian
saja kerjanya, tak mau kena rodi. Badannya besar, keberaniannya besar. Asal ada huru-hara pasti ikut. Sahaya tidak berani. Sahaya takut mati. Jadilah begini sahaya. Sama laut takut, ikan besar takut. Berani cuma sama kuda dan cucu-cucu.
Kembali Gadis Pantai tertawa senang. Ia temukan dalam logat kusir bahasa yang selama ini ia rindukan, yang ia sendiri ingin ucapkan: kata-kata yang keluar dari hati yang lugu - dari hati yang tertindas.
"Kalau ada nasib, mau kau jadi pembesar""
"Nasib" Aiya-aiya, kudanya kelelahan, Bendoro Putri terlalu banyak bawaannya. Biar lambat-lambat saja, ya Bendoro Putri" Kasihan dia. Kalau dia angkut tembakau, maka diangkut-nyalah tembakau tanpa pernah mendapat bagian. Kalau dia angkut limun, seteguk pun ia tak penah minum. Aiya-aiya, mengapa tuhan takdirkan dia menjadi kuda, dan bukan jadi pembesar""
Gadis Pantai tertawa lepas terbahak. "Mas Nganten benar-benar sudah keterlaluan. Apa kata kusir tentang Bendoro nanti" Jadi tertawaan tidak patut." "Kalau kuda itu jadi pembesar ...."
"Aiya, untung tidak, Bendoro Putri. Kosong terus kuali sahaya nanti. Nasib jelek si kuda, Bendoro Putri, membuat sahaya sekedar makan, kawin dan bercucu sebanyak itu, membuat sahaya tidak menjadi kuda. Tapi dia, dia! Aiya."
"Apa aiya itu""
"Sedap mengucapkannya, Bendoro Putri. Lepaslah segala sesak di dada."
"Dari mana aiya itu""
"Aiya, dulu sahaya pernah tumpangi seorang singkek. Ngomong tak karuan, Bendoro Putri. Ngobrol banyak. Dari Rembang dia menuju Lasem. Dia bercerita, dahulu dialah yang jadi kuda - di Hongkong katanya - menarik kereta sewaan sambil berlari. Begitulah Bendoro Putri, setiap ngomong mesti ke luar aiya-nya yang ah, ah, senang sekali mengucapkannya. Coba ucapkan Bendoro Putri."
"Aiya!" "Enak"" "Sedap," dan Gadis Pantai terbahak lepas. "Tidak bisa, Mas Nganten. Ini tak bisa diteruskan. Sahaya akan adukan pada Bendoro." "Kau punya Bendoro, man""
"Aiya. Semua orang Bendoro sahaya, Bendoro Putri. Cuma itulah susahnya. Tiap hari sahaya mendo'a moga-moga tak ada penyakit menyerang kuda sahaya."
Kembali Gadis Pantai tertawa terbahak, kemudian bertanya, "Berdo'a buat kuda" lantas do'a apa yang buat anak dan cucumu, man""
"Mereka bisa berdo'a sendiri, Bendoro Putri. Itulah jeleknya takdir kuda. Dia do'a saja tak mampu. Aiya, barangkali dia berdo'a dengan bahasanya sendiri.... bahasa kuda. Mungkin di dalam hati saja." "Sayang
"Ya, sayang Bendoro Putri." "Apa yang sayang."
"Apa" Do'anya tidak pernah terkabul, Bendoro Putri. Mungkin ia berdo'a agar tidak ditakdirkan jadi kuda lagi seperti sekarang, tapi jadi kusir seperti sahaya ini. Tapi sahaya terus berdo'a keras agar sahaya tetap sehat seperti kuda. Kalau takdir berubah, aiya, mungkin sahaya kudanya, dia kusirnya. Celakalah badan yang sudah tua ini, Bendoro Putri."
"Menyebalkan," bisik Mardinah.
"Ya menyebalkan, ya man" Nasib dan takdir kuda""
"Begitulah." Dan dokar berjalan kian perlahan, kian perlahan. Pada sebuah tanjakan kuda itu benar-benar kehabisan tenaga dan berhenti. Kusir terpaksa lompat turun, mengambil dua buah batu dan mengganjal rodanya.
"Biar dia mengaso, man."
"Terima kasih, Bendoro Putri."
"Nanti kemalaman kita pulang," Mardinah memperingatkan.
Dan Gadis Pantai pun turun berdiri memunggungi kereta, menebarkan pandang ke laut lepas, menerobosi daerah pesisir yang dirimbuni tunggul-tunggul akar bakau.
"Dua tahun lamanya aku cuma dengar suaranya dari kamar."
"Lhah, mengapa Bendoro Putri di kamar saja selama dua tahun" Sakit""
"Sakit"" "Tentulah sakit parah."
"Kalau malam hembusan anginnya melalui genteng kamarku. Tambah malam deburannya tambah menyata. Dia memanggil-manggil sini, sini, sini, nak. Mengapa kau lari dari pangkuanku" Semua nenek moyangmu telah kupangku, kuusapi, kubesarkan dan ku
"... kuburkan," kusir itu meneruskan. "Cerita-cerita nelayan selalu begitulah, Bendoro Putri, membuat sahaya ngeri turun ke laut."
Gadis Pantai membungkuk, menyendok segenggam pasir dengan tangannya dari pinggir jalan. Kersik kerang nampak gemerlapan kena cahaya matahari. Ia taburkan pasir itu perlahan ke tanah, dan jatuh miring tertiup angin.
"Lihatlah k uda sahaya, Bendoro Putri."
Tiba-tiba Gadis Pantai menjadi murung. Didorongnya pasir di bawah kakinya dengan sandal. Ia angkat muka menghampiri kuda, memperhatikan matanya yang tertutup selembar kulit yang jadi satu dengan abah-abah.
"Kasihan, buat apa punya mata""
"Kalau sedang dinas begini, matanya cuma jadi hiasan, Bendoro Putri. Kalau dibuka penutupnya, dia tahu nanti apa yang ditariknya: tembakau. Mungkin karena tahu tembakau dia tak mau kerja."
"Tapi, kau tak merokok kulihat, man""
"Kuda sahaya juga tidak merokok, Bendoro Putri, tapi sahaya sendiri menyisik."
"Nanti kuberi persen."
Kusir itu menepuk-nepuk punggung kudanya. Seluruh tubuh binatang itu sudah bermandikan keringat.
"Ayoh, Gombak, Gombak, ucapkan beribu terima kasih."
"Dia tidak menyisik, kau yang menyisik, man""
"Benar, Bendoro Putri, tapi kalau sahaya dapat menyisik, Bendoro Putri, dia dapat persen minum air gula-jawa" Kuda itu mengangkat kepalanya ke atas. "Dia minta istirahat lebih lama dikit, Bendoro Putri. Diperkenankan, kan""
Gadis Pantai tak menjawab. Ia berjalan menjauh, meninggalkan jalan pos buatan tuan besar Guntur alias Daendels, melompati semak-semak rendah menuju ke laut.
"Mas Nganten," Mardinah berteriak, kemudian melompat turun dari dokar dan memburu. "Ke mana" Banyak ular di akar-akaran bakau di pantai tanpa penghuni begini."
Tanpa memandang Mardinah Gadis Pantai berkata lemah: "Bukankah itu yang kau inginkan""
"Duduk saja di dalam dokar."
"Mungkin sekali kalau ada takdir, seekor ular gigit aku, dan kau bisa senang gantikan aku sebagai wanita utama." "Tidak mungkin." "Mengapa tidak mungkin."
"Mas Nganten tahu sendiri sahaya cuma seorang janda." "Tapi kau wanita bukan""
"Ah, Mas Nganten begitu lama di gedung tak juga mengerti para pembesar cuma mau terima wanita langsung dari tangan Gusti Allah."
"Kau"" "Sahaya bekas lelaki lain."
"Lantas. Mengapa surat itu kau paksa-paksa padaku"" "Ayolah, naik ke atas Mas Nganten." "Naiklah. Aku lebih suka bicara dengan kusir." "Bendoro akan marah." "Lebih baik buat kau kan""
"Tidak enak buat sahaya naik ke atas, sedang Mas Nganten masih di bawah."
"Kau sering membuat surat buat orang lain""
"Lantas, siapa yang mesti sahaya surati" Tetapi sahaya bisa menulis."
"Apakah semua keturunan pembesar begitu"" "Begitu, bagaimana Mas Nganten"" "Ya, begitu seperti iblis." "Sahaya akan adukan."
"Pergilah. Adukan sekarang juga. Suruh kusir itu balik ke kota dengan seluruh muatan. Aku bisa jalan kaki."
Gadis Pantai berjalan balik menuju ke dokar, dan Mardinah mengikuti.
"Habis lelahnya si Gombak, man""
"Silakan naik, Mas Nganten. Dia memang cerdik cepat benar segarnya kalau tuannya bakal kena tembakau."
"Tentang tembakau itu, man, aku tak lupa. Tapi kudamu sama sekali tak membutuhkannya."
"Memang tidak, tapi kusirnya membutuhkannya, Bendoro Putri," dan dengan suara senang ia berseru, "Silakan naik, Bendoro Putri. Angin sudah tak begitu kencang."
Semua telah duduk di atas dan dokar berjalan lagi.
"Betapa besar dan luas laut itu. Tanpa batas."
"Sahaya Bendoro Putri," kemudian kepada kudanya, "Aiya, yoh, lebih cepat, Gombak! Hati-hati kalau sampai kemalaman di jalan."
"Pasti kemalaman," Mardinah memprotes.
"Bukan sekarang saja ada malam, bukan, man""
"Seumur-umur sahaya, Bendoro Putri, sahaya tahu saban hari ada malam, tidak sekarang saja. Aiya. Ayoh Gombak maju!" dan dengan ujung cambuknya dikilik-kilik kudanya.
"Kau tak pernah cambuk dia."
"Hanya orang dan binatang bodoh saja kena cambuk, Bendoro Putri."
"Kalau orang atau binatang jahil."
"Patutnya disrimpung saja kakinya."
"Binatangnya atau orangnya" Kalau dia priyayi""
"Itulah susahnya, Bendoro Putri. Itulah susahnya ditakdirkan jadi kuda dan jadi orang seperti sahaya. Dan hanya orang-orang seperti sahaya kebagian cambuk seperti si Gombak. Tetapi kalau terus menerus dicambuk tentu siapa saja tidak bisa terima. Macan sakit saja, biar sudah lemas kalau diusik-usik terus, tentu akan melawan, Aiya," cambuknya digeletarkan di udara. Begitu membelah suaranya dalam kesenyapan pantai utara.
Sudah dua jam dokar kretek itu berjalan, belum juga mereka berpapasan dengan doka
r lainnya. Grobak pun tak ada mereka papasi. Besok bukan hari pasaran. "Kalau kemalaman kau berani pulang ke kota, man""
"Ini bukan perjalanan pertama, juga bukan terakhir, Bendoro Putri. Lebih dari lima puluh kali sahaya pulang dari perjalanan jauh. Kadang-kadang sampai di tempat ini laut sudah di pinggiran darat itu, jadi sudah jam tiga pagi."
"Tidak takut""
"Siapa tidak takut""
"Takut, tapi berani juga ya."
"Bagaimana takkan berani, Bendoro Putri. Malu sahaya pada kuda sahaya nanti. Setan dia tak takut. Rampok dia tak takut. Itulah untungnya kalau mata ditutup."
Kembali Gadis Pantai tertawa. Sebelum habis tertawanya selesai, disadarinya tertawanya tidak seperti dulu. Dahulu terdengar seperti loyang kuningan tersentuh batu. Ia perpanjang tawanya. Seperti apa suara tawaku" Ia bergeleng-geleng, tak mendapatkan perbandingan.
Gadis Pantai terdiam. Waktu ia melirik dilihatnya Mardinah tertidur senang bersandaran keranjang tembakau. Ia awasi wajah wanita muda itu. Bodohlah pria bila tak perhatikan dia. Mukanya bulat, dan mulutnya begitu kecil, seakan sebuah bawang merah menempel pada sebuah cobek. Sepasang alisnya hitam tebal, hampir-hampir bersambung, sedang dagunya yang begitu tumpul seakan merupakan bagian dari dasar mukanya yang bulat. Wajah yang seindah itu. Tapi apa saja yang dikerjakan hatinya"
Kini ia merasa mengantuk. Sekalinya diawasinya wajah bulat di sampingnya. Berapa pria yang telah dinikmatinya" Ah, mengapa akau punya pikiran sekotor itu"
Ia dengarkan deburan ombak sepanjang pantai yang semakin mendekati darat. Matahari makin condong ke barat, dan ombak tampak semakin besar. Apakah yang dikerjakan bapak sekarang" Dan emak"
Angin bebas meninabobokannya. Seperti emak meninabobokan si adik. Ia senang nikmat dalam buaiannya, ia tertidur pada keranjang tembakau juga. Dan kedua wanita itu baru terbangun waktu dokar berhenti. Kusir bertanya, "Benar, berhenti di sini, Bendoro Putri""
Gadis Pantai menebar pandang ke luar jendela dokar, ia masih hafal tempat itu. Tiga batang pohon jati raksasa berdiri beberapa meter di pinggir jalan, sedang pantai tidak nampak sama sekali, bahkan deru ombaknya pun tak terdengar, karena laut berada tidak kurang dari 5 kilometer dari tempat itu. Semua orang di kampung nelayan tahu benar tentang tiga pohon jati itu. Seperti orang-orang sekampungnya, Gadis Pantai setelah turun dari dokar, langsung menuju ke tiga pohon jati itu, mengagumi batangnya yang perkasa dan lurus menjulang ke atas, paling tinggi di antara semua pohon. Ia pegang-pegang batang pohon itu, ia goyangkan tapi sedikit pun tak tergoyangkan, pindah pada batang yang lain dan juga pada yang ke tiga.
"Peninggalan nenek moyang yang tersisa," kata kusir.
"Jadi kau tahu riwayat tiga batang jati ini""
Kusir tertawa senang mendapat kehormatan itu. "Sahaya sudah lebih dari sepuluh kali ke mari, Bendoro Putri."
Mardinah mengawasi kedua-duanya, dari atas dokar.
"Waktu tuan Guntur perintahkan seluruh penduduk kampung sini, laki dan perempuan, membuat jalanan ini, mereka tiga harmal tak boleh pulang. Bayi-bayi pada mati kelaparan di rumah."
"Aku kira cuma di kampung nelayan sana saja orang tahu riwayatnya."
"Banyak orang yang tahu, Bendoro Putri, sampai-sampai ada tembangnya."
"Mas Nganten, hari sudah hampir magrib," Mardinah memotong.
"Man, dokar bisa membelok ke kanan"" "Jalannya tidak keras, Bendoro Putri, roda agak tenggelam dalam pasir, kasihan kudanya, tapi kita coba pelan-pelan saja." "Tiga pal lagi."
"Benar, sesudah itu dokar tak bisa terus. Ada yang menjemput di sana nanti"" "Tidak." 'Tidak""
Gadis Pantai naik ke atas dokar kembali diikuti oleh kusir. Dokar membelok ke kanan. Roda dokar tenggelam beberapa sentimeter di dalam pasir dan dengan susah payah kuda menarik bebannya. Kusir pun mulai menembang:
duh-duh aduh bayi bocah jadi korban emak pikul tanah bapak babat hutan orang-orang kampung dilarang pulang kejamnya rodi tiada alang kepalang
waktu jalan besar sampai ke rembang orang-orang kampung barulah pulang oh nasib bayi bocah sungguhlah malang berserak sudah jadi tulang belulang
seluruh kampung dirundung duka di tengah malam
pakai obor pelita tiga jati kenangan ditanam bersama rodi celaka jangan sampai terlupa
"Orang kampung pun tak semua pulang."
"Memang tidak semua, Bendoro Putri, lebih separohnya terkubur sepanjang jalan. Beruntung bapak sahaya kerjanya lari-larian dan berhuru-hara."
Gadis Pantai ingat pada pelayan tua. Bukanlah kakeknya juga selalu ikut setiap terbit huru-hara" Tapi tak ada keinginannya untuk bertanya. Ia terus membayangkan siapa saja yang bisa dipinta pertolongannya buat angkut barang-barang bawaannya. Dan emak, bapak, saudara-saudara bagaimana mereka akan sambut dia"
"Ayoh, Gombak dua pal lagi. Kau boleh tidur nanti di bawah petecina!"
Dan waktu dokar berhenti di depan sebuah dangau, di tempat jalanan pasir berubah jalan setapak, hari sudah tambah magrib.
"Kalau bukan perintah Bendoro enggan sahaya pergi ke sini."
"Aku tak perlukan kau, balik saja sekarang." Mardinah terdiam.
Mendengar pertengkaran kusir terkejut, mengawasi kedua wanita itu berganti-ganti. Keceriaannya tiba-tiba hilang. Matilah pelanduk bila dua ekor gajah sedang bertarung. Ia menyingkirkan diri dan menutup kuping, duduk di bangku kayu dangau dan memasukkan sejumput tembakau ke dalam mulutnya, dan memainkannya di antara gusi depan dengan dinding bibir dalam.
"Man!" Gadis Pantai memanggil.
Kusir melompat dan segera menghadap. Sebelum sampai dekat Gadis Pantai, ia dengar suara wanita lain mendesis, "Dasar perempuan kampungan!"
"Inilah kampung. Kampungku. Jangan injakkan kakimu yang indah di atas pasir ini, nyonya janda, kalau tidak mau kena kutukanku."
Melihat kusir mendekat Mardinah terdiam.
"Bawa dia balik ke kota, man!"
"Perintah Bendoro antarkan Mas Nganten. Sahaya tak mungkin pulang seorang diri."
"Kampung nelayan bukan tempatmu. Pulang kau sendiri."
"Memang tidak mungkin, Bendoro Putri. Mari kita bereskan dulu bawaan ini."
"Ayolah, kau bisa angkut yang mana, man"" "Beras jelas sahaya tidak bakal kuat, Bendoro Putri." "Apa kau kira aku kuat."
"Gombak tentu kuat, tapi ia bukan kuda beban, cuma kuda tarik."
"Tepat, Bendoro Putri."
"Cancang kudamu. Pergi kau ke kampung panggil empat orang."
"Gombak bisa bawa sahaya lebih cepat, Bendoro Putri."
Dan sebentar kusir melepas aba-aba kuda, melompat ke atasnya. Kuda dan kusir kemudian berjalan memasuki jalan setapak dan lenyap di balik rumpun pepohonan petecina, kingkit dan semak-semak.
Gadis Pantai menjauhkan diri dari dokar dan menuju ke dangau, ia duduk di atas bangku kayu. Mardinah melihat sekelilingnya. Kemudian Mardinah pun menyusul.
"Buat apa kau dekat aku""
"Takut." "Kau! Cuma aku tak kau takuti."
"Sahaya benci pada kampung. Kampung mana saja."
"Pergi, cepat!"
"Bagaimana sahaya mesti pergi""
"Kau bukan orang kampung, tentu kau punya kelebihan."
"Tentu. Sahaya punya kelebihan, sahaya bukan orang kampung. Bapak sahaya jurutulis dan masih kerabat Bendoro."
"Pergi pada Bendoromu. Roh-roh nenek moyang kami bakal cekik kau kalau berani memasukinya. Kau telah hinakan kampungku, kampung kami kampung nelayan dengan nelayan-nelayan yang gagah berani, yang saban hari pergi ke laut hadapi maut." Ia menunjuk ke langit.
"Gelap. Petir kampung kami selalu menyambar orang-orang kota yang tak tahu diuntung." Ditunjuknya Mardinah pada dadanya. "Kau bakal celaka di kampungku. Pulang. Ayoh, balik ke kota sebelum langit menjadi hitam." Dan mendadak sepasang kilat mengintip dari balik awan gelap. "Ampuni sahaya, Mas Nganten."
"Pasangan matanya putih, kalau ia melompat api menyembur. Kemudian dikeluarkannya dua belas tangannya dari balik awan hitam, dan dibelahnya orang yang membenci kampung nelayan dengan pisau kecilnya, kecil dan tumpul. Seminggu dia butuhkan buat membelah musuhnya."
Nampak Mardinah begitu kecil seperti kucing kehabisan mangsa. "Ampuni sahaya, ampuni. Sahaya cuma dapat titah antarkan Mas Nganten."
"Benar kau dari Demak""
"Sahaya, Mas Nganten."
"Tidak apa dari Demak sana""
Suara Mardinah menggigil dan ragu-ragu tapi paksakan diri bicara terus, "Panjang ceritanya Mas Nganten. Tapi sahaya cuma dapat perintah."
"Perintah, buat usir aku""
"Persaudaraan sekandung dan sepupu di Demak sangat malu, Mas Nganten, ka
rena sampai sekarang Bendoro masih perjaka."


Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Perjaka"" Jadi aku ini apanya""
"Apa mesti sahaya katakan" Bendoro masih perjaka sebelum beristrikan wanita berbangsa."
"Kau berbangsa, apa kau ingin diperistri Bendoro."
"Sahaya, Mas Nganten."
"Biarpun Bendoro pamanmu sendiri""
"Sahaya, Mas Nganten, tapi saya cuma seorang janda."
Kembali Gadis Pantai bertanya, "Jadi aku bukan istri Bendoro""
"Istri, ya, istri, Mas Nganten, cuma namanya istri percobaan."
"Lantas kau dapat perintah mengusir aku: Biar Bendoro dapat kawin dengan wanita berbangsa, bukan" Ah, ah. Aku bisa menetap di kampung ini, kampungku sendiri. Kau boleh pulang. Jangan ikut masuk ke kampung." "Sahaya takut, Mas Nganten."
"Takut" Di mana kelebihan orang kota, orang berbangsa" Orang kampungan seperti aku ini tidak takut."
"Jangan biarkan sahaya seorang diri, Mas Nganten."
"Lebih dua tahun aku tinggal di kota, sampai akhirnya kau datang. Dan baru sekarang ini aku tahu, orang-orang kota, orang-orang berbangsa itu, begitu takutnya kalau orang tidak lagi menghormatinya. Dan mereka begitu takutnya kalau terpaksa menghormati orang-orang kampung."
Hari telah mulai gelap. Dalam kegelapan Gadis Pantai melihat Mardinah hanya menunduk di atas bangku di sampingnya, kepalanya ditumpangkannya di atas kedua belah tangannya.
Kedua wanita itu masih muda belia, namun berpengalaman sudah dalam banyak hal, seperti umumnya wanita-wanita di rumah-rumah gedung. Keduanya jadi dewasa dalam gemblengan kesulitan-kesulitan.
"Dan Mas Nganten sendiri" Mau kembali ke kampung apa tak takut kehilangan sesuatu""
"Segalanya telah lenyap dari tangan orang seperti aku, semua orang kampungan. Kami cuma dapat mengimpi. Apa lagi yang dapat hilang dari kami" Impian itu""
"Apa yang Mas Nganten impikan""
"Segala-galanya yang tak pernah ada dalam kehidupan kami."
"Lantas, apa saja yang ada dalam kehidupan Mas Nganten""
"Setelah lebih dari dua tahun tinggal di gedung, tahulah aku, kami cuma punya kemiskinan, kehinaan dan ketakutan terutama pada orang kota. Di kampung kami tahu benar tepung udang dibayar sebenggol, padahal mestinya empat sen. Itu tidak layak, tidak adil. Tapi lihatlah diriku ini. Bukan lagi tepung udang.
Manusia! Aku tak bisa dipungut begitu saja dari kampung, disimpan di dalam gedung. Kau, kau orang kota, apa yang kau tahu tentang orang kampung"" Mardinah tak menjawab.
"Aku kenal seorang wanita tua. Dulu dia layani aku di gedung sejak aku tinggal di sana. Tapi dia diusir karena tuduh agus-agus colong duitku."
"Dia harus diusir."
"Mengapa""
"Dia harus berbakti, bukan menuduh."
"Tapi ada yang colong duit di antara agus-agus itu."
"Dia seorang abdi tak tahu lagi cara-cara mengabdi."
"Pengabdian yang membosankan! Tanpa mengabdi nenek moyangku juga hidup. Laut lebih kaya dari segala-galanya." Kemudian, "Baliklah kau ke kota aku mau tinggal di kampungku sendiri."
"Apa sahaya harus katakan pada Bendoro""
"Mintalah ampun, dan serahkan dirimu, biar Bendoro masih pamanmu sendiri, orang tuamu sendiri, kau sendiri saja jadi bini percobaannya. Mau bukan""
Dan kusir itu tak juga muncul.
"Mengapa kau diam saja""
"Sahaya kacau, Mas Nganten."
"Karena kampung ini yang mau kau hinakan" Coba pikir, lebih dua tahun aku mesti tinggalkan kampungku, hidup di gedung, di lingkungan orang-orang yang tak kukenal, kau baru beberapa saat di sini, sudah kelabakan seperti nenek kehilangan susur."
"Sahaya bisa jadi gila di sini."
"Aku ingin tinggal agak lama di kampungku sendiri." "Tidak mungkin, Mas Nganten, sahaya tak sanggup tinggal begitu lama."
"Kau boleh pulang sekarang pun, aku tak ada keberatan."
"Berapa lama Mas Nganten akan tinggal di sini""
"Seminggu, barangkali sebulan."
"Bendoro tak pernah bilang begitu."
"Kalau kau orang yang mengerti, sekarang ini kau mesti tahu akulah Bendoro."
"Tidak mungkin! Tidak mungkin! Sahaya masih punya gelar Mas Nganten, biar pun cuma, Mas."
Mereka terdiam sejenak. Angin kencang tiba-tiba menero-bosi tajuk-tajuk pepohonan dan semak-semak.
"Dingin, Mas Nganten."
"Kau tak pernah ingat pada nelayan. Telanjang dada mereka pergi ke laut."
"Mengapa harus telanjang dada"" "Pakaiannya tak
cukup." "Oh."
"Apa yang oh" kau ini aku tertawa tak boleh, begini salah, begitu salah, apa yang oh" Kami memang orang miskin, dan di mata orang kota kemiskinan pun kesalahan. Aku masih ingat pada hari-hari pertama. Bendoro bilang kami orang-orang jorok, tak tahu iman, itu miskin, kau mengerti agama""
"Sahaya tak pernah belajar ngaji, Mas Nganten."
"Aku pun, tidak."
Tanpa mereka sadari kusir telah datang, dan turun dari kudanya. "Empat orang, Bendoro Putri, semua bawa pikulan."
"Uruslah semua pengangkutannya. Kau mau balik ke kota""
"Belum, Bendoro Putri. Si Gombak masih lelah, belum lagi mengasoh. Kota begitu jauh dan ...."
"Tembakau itu" Ambil satu bungkus dari keranjang itu."
"Beribu terima kasih Bendoro Putri. Cukuplah buat lima belas hari si Gombak minum air gula-jawa."
Kusir itu memerintahkan mengangkuti barang-barang, kemudian kembali datang pada Gadis Pantai.
"Cukup orangnya, man""
"Tentu tidak, Bendoro Putri. Cuma mereka, rupanya yang nanti malam tak turun ke laut. Apa boleh buat. Biarlah sahaya ikut saja membantu."
"Wah-wah, banyak benar barangnya," salah seorang penolong berkata. "Ini barang-barang siapa, Bendoro Putri"" seorang lain bertanya.
"Ya, aku yang punya."
"Mau dibawa ke mana""
"Ke kampung nelayan."
Tiba-tiba mereka tak bicara lagi, mulai mengangkuti barang-barang dari dokar dan menyusunnya untuk dipikul.
"Tembakaumu sudah kau ambil, man" Jangan lupa."
Mereka mulai berjalan beriringan memasuki kegelapan malam.
"Sahaya takut," Mardinah berbisik.
"Lebih baik kau bawa botol-botol itu. Aku sendiri keberatan dengan bawaanku." "Ah, Mas Nganten...."
"Ya, ya, aku tahu, kerja memang hina, tapi apa salahnya menolong aku"" Dan dengan ragu-ragu Mardinah menjinjing empat botol yang telah diikat dua-dua.
Mereka berjalan. Cabang dan ranting semak antara sebentar menyangkut pada baju, dan pasir di bawah kaki begitu empuknya seperti lumpur hangat. Para pemikul telah jauh mendahului. Tertinggal dua wanita dan kusir di belakang.
"Cepat benar, Mas Nganten, tak bisa lebih perlahan""
"Lebih baik kau berdo'a semoga tak turun hujan." Mereka berjalan terus dan malam kian menghampiri.
"Masih jauh, Mas Nganten""
"Kau mau tinggal sendirian di sini"" Dan mereka berjalan terus.
"Mas Nganten sendiri mestinya juga capek." "Siapa yang tidak capek, tapi ada yang kita tuju, dan kita belum lagi sampai."
"Bagaimana sahaya pulang, nanti"" kusir bertanya. "Man, malam ini juga kau pulang." "Sahaya Bendoro Putri." "Bawa pulang Bendoro ini, ya""
"Tidak Mas Nganten, sahaya diperintahkan mengantarkan, dan sahaya akan terus antarkan."
"Kau dengar, Mardinah" Di sini, di tempat Bendoro suamiku tak ada, akulah Bendoromu. Aku yang perintahkan kau balik ke kota, kalau kau tak suka, ya apa boleh buat, kau mesti menginap. Suka atau tidak tanggunglah sendiri."
"Kalau menginap, maafkan sahaya, Mas Nganten, ah......
ah...." "Tentu kami akan perhatikan segala keperluanmu."
Dan mereka berjalan terus. Beberapa buah lampu nampak berkelap-kelip dari kejauhan. Tiba-tiba angin kencang datang meniup. Mardinah menghampiri Gadis Pantai dan mencoba berpegangan padanya.
"Mas Nganten, sahaya ...." Gadis Pantai berjalan terus.
"Itulah rumah orang-orang yang menolong angkut barang Bendoro Putri."
Gadis Pantai masih dapat mengingat-ingat rumah itu - rumah-rumah penghabisan kampung nelayan. Kedua-duanya tak pernah punya perahu sendiri seumur hidupnya, dan terpaksa membantu nelayan-nelayan lain dengan tenaganya. Ia pun ingat namanya. Suli dan Kardi, tapi ia tak pernah bicara dengan mereka. Anak mereka banyak dan kecil-kecil dan kerja anak-anak itu sehari-harian mencari kayu bakar untuk emaknya masing-masing dan bermain-main di pantai.
Waktu sampai di depan rumah mereka, Suli dan Kardi berhenti menunggu. "Sekarang ke mana Bendoro Putri"" kusir bertanya.
Suli dan Kardi sengaja hendak menatap wajah kedua wanita itu. Dan kala Gadis Pantai muncul kena cahaya lampu pelita, mereka berpandang-pandangan kemudian mengawasi Gadis Pantai lama-lama tapi tak bicara sesuatu pun kecuali dengan mata mereka.
"Kalian kenal aku pak" Pak Suli" Pak Kardi""
"Rasa-rasanya Bendoro."
"Bendoro" Menga
pa aku dipanggil Bendoro, aku orang sini."
"Sahaya, Bendoro." "Bendoro""
"Ayoh. Suli cepat." Kardi menganjurkan.
Sementara itu istri-istri dan anak-anak mereka keluar dan merubung. Salah seorang di antara mereka menuding Gadis Pantai dan hendak menegur, tapi emaknya menarik jauh-jauh dan menyuruhnya masuk ke dalam rumah kembali. Tinggal suaranya terdengar oleh semua, "Itu kan Gadis Pantai""
"Husy, diam kau. Jangan sekali lagi."
"Mengapa tak boleh""
"Biarlah, mak, biar dia ke luar," Gadis Pantai memberanikan.
"Anak-anak ini memang susah diajar, Bendoro." "Tidak, aku bukan Bendoro. Mak sendiri kenal aku waktu kecil, kan""
Wanita itu keluar lagi dengan anak kecilnya yang ditekap mulutnya. "Yang dahulu tinggal dahulu, Bendoro yang sekarang kan lain lagi""
"Ah, bisa saja omongnya ini mak."
"Yang itu jangan diangkat sendiri, Bendoro. Biar anak-anak yang bawa."
"Ayolah, kalau mereka mau." Dan anak-anak itu berebut keras mau ikut menolong.
"Ayoh, mari ikut semua. Ayoh, mak sama-sama ikut."
"Biarlah sahaya tunggu di rumah. Anak-anak saja yang iringkan Bendoro."
Sampai yang masih menetek pun mau ikut. Suli dan Kardi telah mendahului. Dan rombongan belakang itu, berjalan sendiri seperti mengiringkan pengantin.
"Dulu tak dipanggil Bendoro," seorang anak berbisik nyata.
"Cantik, ya sekarang""
"Ah-ah, anak-anak ini," kusir memperingatkan. "Ayoh, nyanyi!" Gadis Pantai memberanikan. "Apa" Menyanyi, Mas Nganten"" "Nyanyi apa" Angin meniup"" "Angin meniup, ya, ayoh!"
Suara bening kanak-kanak itu pun menembusi kegelapan dan kesunyian pantai:
menukik-nukik menukik-nukik menukik kau angin beliung masuklah masuk masuklah masuk masuklah kau ke kawah gunung
pergilah pergi pergilah pergi pergilah kau ke dalam hutan di sanalah sana di sanalah sana berganda mangsa berkeliaran
Gadis Pantai menitikkan air mata. Terbayang olehnya bapak sedang menebarkan jala di dalam gelap. Angin beliung telah menderu-deru dari kejauhan. Langit gelap-gempita, dan jala tersangkut pada cabang karang. Ah, berapa kali saja bapak pulang bawa cerita semacam itu" Dan bapak bersama saudara-saudaranya melompat ke dalam air dingin, menyelam, melepaskan jala.
"Nyanyi yang lain," kusir mengacarai.
Gadis Pantai tak dengar, ia bayangkan bapak. Karena dialah aku sekarang selamat ada di sini. Ah, bapak, dan ia bayangkan emak. Apa yang sedang dikerjakan sekarang"
Suli dan Kardi telah jauh di depan. Tiba-tiba dari kejauhan nampak berbagai obor bergerak menyambut, sedang lelatu daun kelapa kering bertebaran tertiup angin.
"Siapa mereka itu Mas Nganten""
"Orang tuaku, tetanggaku, kenalanku."
Anak-anak kecil itu tiba-tiba mendahului menyerbu lari sambil berteriak-teriak, "Gadis Pantai datang, Gadis Pantai datang."
Obor dan lampu pun kian banyak dalam kegelapan, kemudian muncul juga wajah-wajah mengkilat keringatan. "Gadis Pantai! Gadis Pantai."
"Husy, diam! Jangan kurang ajar anak-anak!" seorang dari rombongan penjemput menggertak.
Gadis Pantai terbangun dari sendunya. Ia rasai sesuatu menggerumuti bulu tengkuknya. Dahulu tak pernah orang menyambutnya seperti sekarang. Ia merasa begitu asing. Dari kejauhan ia lihat bapak berjalan paling depan membawa obor daun kelapa kering. Ia bertelanjang dada. Dan otot-ototnya yang perkasa berkilat-kilat setiap bergerak kena cahaya obor. Gadis Pantai lari, lari, lari. Pasir di bawah kakinya berhamburan. Gadis Pantai hanya melihat satu sosok tubuh saja di antara sekian banyak.
"Bapak! Bapak!" dan ia pun menubruk kaki bapak, memeluknya dengan kedua belah tangannya.
Bapak mengusap-usap rambutnya. "Selamat kau, nak""
Seluruh obor turun ke bawah dan mengepung kedua bapak dan anak. "Pangestu, bapak."
Tiada seorang pun bicara, berdiri pesona laksana segerombolan patung.
"Berdiri, nak."
Gadis Pantai berdiri mengawasi sekelilingnya, menatap setiap wajah yang melingkunginya. Dan setiap orang yang dipandangnya segera nunduk gelisah. Gadis Pantai jadi kecut. Mereka tak begitu dulu. Benar, tidak begitu dulu, ia yakinkan dirinya sendiri. Ia merasa asing dan terpencil laksana seekor kera dalam kerangkeng. Ia berdiri dengan bantuan tangan perkasa bapak.
"Mari pulang , emak menunggu di rumah."
Ia pandangi bapak dan dengan mata ragu-ragu bapak menghindarkan pandangnya.
Bapak" Mengapa bapak pun segan menatap aku" Anaknya sendiri. Dan bumi di bawah kakinya terasa goyah. Kampung nelayan ini telah kehilangan perlindungan yang meyakinkan baginya. Sedang dari belakang terus juga mengikuti mata-mata Bendoro yang tak dapat dikebaskan dari bayang-bayangnya. Ia masih kenal benar siapa-siapa yang menjemputnya - tetangga-tetangganya. Ada yang dahulu pernah menjewernya. Ada yang pernah mendongenginya. Ada yang pernah mengangkat dan menggendongnya sewaktu ia habis jatuh dari pohon jambu. Ada yang sering dibantunya menunggu dapur. Dan ada bocah-bocah kecil yang digendongnya dulu. Tapi semua tidaklah wajar lagi terhadapnya, tidak seperti dulu. Antara sebentar ia dengar kata Bendoro Putri! Bendoro! Bendoro! Bendoro Putri! Kata itu mendengung memburu. Mengiris dan meremas di dalam otaknya Bendoro! Bendoro Putri! Bendoro! Bendoro Putri! Dan pasang-pasang mata yang menunduk hormat bila tertatap olehnya seakan menyindirnya: semu, semu, semua semu!
Dalam iringan bapak ia berjalan lambat ragu-ragu. Benar, kampung nelayan ini bukan kampungnya yang dulu lagi. Bahkan kegelapan malam yang ditembusi cahaya obor-obor daun kelapa kering rasa-rasanya juga bukan kegelapan malam kampung nelayan yang dulu. Sedang riak yang menjilati pantai, dan gemerlapan lemah kena cahaya obor, rasa-rasanya bukan lagi riak sejak sejuta tahun yang lalu. Suara-suara yang terdengar sekalipun, dalam bisikan lemah pun, terdengar olehnya begitu suram, begitu tak rela dan menyindir.
Mardinah tiada buka mulut sama sekali. Kusir pun segan membuka bibir. Bocah-bocah kecil berloncatan mengelilingi sambil memandangnya, seakan dia ikan duyung yang baru saja tertangkap.
Di depan dan di belakangnya bocah-bocah kecil tak habis-habisnya mengawasi setiap gerak-gerik, dan setiap benda yang lekat pada tubuhnya. Seorang bocah bahkan menahan tangan kirinya dan mengawasi cincinnya, beberapa orang bocah berlari mendahului masuk ke dalam rumah. Ia mengerahkan seluruh perhatiannya, untuk mendapatkan emak menyambutnya di depan pintu. Tapi wanita itu tidak nampak. Hatinya jadi kecut.
Semua orang dewasa mengiringkannya di belakangnya. Cuma bapak berjalan di sampingnya pun agak di belakangnya.
"Mengapa di belakang, bapak""
Bapak terbatuk-batuk. "Mana emak, bapak""
"Di mana tempat perempuan kampung kalau tak di dapur""
"Ah, Emak," dan Gadis Pantai lari. Sandalnya yang sebelah melompat entah di mana ia menyerbu ke dalam rumah. "Emak, mak! Emak, mak."
Tapi tak terdengar suara menjawab. Cuma api di dapur menjilat-jilat belanga besar yang selama ini tak dipergunakan, terkecuali bila kampung mengadakan pesta. Ia berdiri di depan api. Ia mencoba mendengarkan. Ya, ada sesuatu terdengar olehnya: angin dari laut. Ya, ada sesuatu lagi: suara lirih tertahan-tahan.
"Mak!" ia menjerit waktu dilihatnya emak berlutut di pojok-an rumah. "Ah, emak, emak."
Tapi emak Cuma menjawab dengan sedu-sedannya. Gadis Pantai menyambut dengan sedu-sedannya juga. Keduanya berlutut tanpa bicara.
Dan orang-orang pun kini telah masuk semua ke dalam rumah.
Melihat tamasya itu semua orang berhenti tak menghampiri. Bapak membalikkan badan, dengan tergesa-gesa ke luar dari rumah, menyerahkan dirinya pada kegelapan pantai.
"Kau baik, nak"" emak bertanya terputus-putus.
"Pangestu, mak."
"Begitu lama kau tak nampak," dan emak terus tersedan-sedan.
"Emak dan bapak tak pernah panggil aku pulang." "Ah, terlalu, terlalu. Apakah hak kami memanggil istri seorang Bendoro""
"Ampuni aku, mak, ampuni."
Orang tua-tua dan orang dewasa seorang demi seorang ke luar rumah, mengikuti contoh bapak. Tinggal bocah-bocah yang jadi saksi bagi anak dan emak di pojok rumah di kampung nelayan.
"Mengapa mak sambut aku dengan tangis, mak"" "Apakah jahatnya air mata buat anaknya sendiri, biarpun dia istri seorang Bendoro""
"Mak tak suka aku pulang, mak"" Emak sekarang melolong. "Emak!"
Kemudian wanita-wanita kampung nelayan pun pada masuk ke dalam. Mereka berhenti tidak jauh dari anak-anak itu.
"Pengabdianmu diterima Bendoro, nak
"" "Apa yang dikehendaki emak dan bapak kucoba lakukan sebaiknya, mak."
"Bukan bapakmu, bukan emakmu tapi Gusti Allah yang menghendaki, nak."
"Emak baik, mak""
"Cuma kau yang selalu terbayang, mengapa kau pulang"" "Aku masih anakmu, mak" "Kau tak kena murka"" "Tidak."
"Kau tidak dikembalikan pada kami""
"Tidak." "Kau datang atas kehendak sendiri"" "Benar."
"Kau datang dengan seizin Bendoro suamimu"" "Tidak bisa lain, mak."
Emak menghapus air matanya, berdiri. "Betapa cantiknya kau sekarang."
Dan wanita-wanita tetangga pun mulai mendekat. "Seperti bidadari," beberapa orang menyambung suara.
Dan Gadis Pantai merasai setiap orang mencoba kuat-kuat untuk meniru kesopanan orang kota, menempatkannya di tempat yang lain, membedakannya dari yang lain-lain seperti pada penderita kusta. Setiap pandangannya bertatap pada wajah, segera wajah itu pun tunduk sambil tersenyum, dengan kedua belah tangan tergantung tanpa tenaga! Tangan-tangan yang biasa lumatkan biji-biji jagung keras, yang biasa mengeping-ngeping kayu bakar yang keras ulet seperti berasal di jaman purba.
"Kita, masak!" Gadis Pantai mencoba mengubah suasana.
Tanpa membuka mulut orang-orang itu pun menuju ke dapur. Sejurus sunyi. Tiba-tiba seorang nenek melengking, "Mana orang-orang lelaki" Ayoh, kerja!" Hore, bocah-bocah bersorak.
Karung beras dibongkar. Botol-botol kecap lari ke dapur. Oleh-oleh digelar di atas ambin. Kaum lelaki mulai masuk kembali ke dalam rumah. Gadis Pantai mengeluarkan dua lembar sarung pelekat dan diserahkan pada kakek tertua kampung nelayan, selembar lainnya pada lurah.
"Yang lain-lain," kakek tua angkat bicara, "cukup makan kenyang-kenyang saja, ya."
"Beras sekarung takkan habis buat orang sebanyak ini." Gadis Pantai menyusul suaranya.
"Terima kasih, Bendoro Putri."
"Mengapa Bendoro Putri" Inilah Bendoro yang tulen!" Gadis Pantai menunjuk dengan jempolnya pada Mardinah.
Barulah kini perhatian teralih pada Mardinah, wanita kota bermuka bulat, bermulut kecil laksana sebuah bawang merah menempel pada bawah cobek.
Malam itu kampung nelayan bermandikan cahaya obor. Di sana-sini terdengar orang menyanyi, dan menjelang subuh tiada satu pun yang turun ke laut.
"Jangan ikut masak, Bendoro Putri," orang-orang mencegah Gadis Pantai. Ternyata kusir pun ikut berpesta, lupa pada si Gombak kudanya yang tercancang sebatang kara di penghujung jalan setapak.
Cuma setahun sekali kegirangan dan kedamaian semacam ini terjadi: di waktu lebaran haji, dan seluruh keluarga nelayan turun ke laut, menyerahkan ketupat pada dewa laut, meminta berkah dan memohon jangan hendaknya diganggu dalam pekerjaan sehari-hari.
Setiap orang merasa bangga, seorang gadis dari kampung mereka telah jadi orang kota, jadi bangsawan, jadi Bendoro. Dan setiap orang merasa bangga kampung mereka dikunjungi seorang bangsawan turunan: Mardinah.
Si Dul pendongeng dengan rebana di tangan sedang asyik mendongeng ketika orang-orang pada sibuk melayani Gadis Pantai. Ia menyanyikan cerita waktu tuan besar Guntur alias Daendels membangun jalan raya menerjang selatan daerah mereka.
oh, oh dewa sejagad kalah bengisnya matilah dia berani tolak perintahnya bupati mantri semua priyayi apalagi orang kecil yang ditakdirkan jadi kuli
dia sandang pedang tipis di pinggang kiri tapi titahnya wah wah wah lebih dahsat lagi laksana geledek sambar perahu dan tali-temali sehela nafas sedepa jalan harus jadi menggigil semua dengar namanya guntur semua pada takluk gunung kali dan rawa pantai dan jalan berjajar panjang membujur kepala kawula jadi titian orang yang kuasa ....
"Bukan main, tuan besar Guntur," seorang menyela. "Kalau ada empat orang seperti dia, habislah orang Jawa."
waktu jalan panjang sempurna jadi kereta-kereta indah jalan tiap hari bawa tuan-tuan nyonya-nyonya dan putri-putri tuan besar gubernur jenderal dan para abdi
"Ganti saja ceritanya!" seseorang lain menyela.
"Ya, ya, ganti! Ceritakan saja" kisah Gadis Pantai," seseorang mengusulkan. Pendongeng itu berhenti sebentar. Manarik nafas dan mereguk kopinya, kemudian memulai dengan cerita baru.
Laut tenang angin pun damai
"Panggil Bendoro Putri biar ikut de
ngarkan." "Suruh dia mendongeng lebih keras - tak usah dipanggil."
"Ya, nyanyinya keras sedikit."
Pendongeng memukul rebananya keras-keras dan mengencangkan suaranya:
laut tenang angin pun damai nelayan pulang melepas dahaga
tiada tandingan cantiknya gadis pantai laksana nawangwulan turun ke telaga
"Bendoro Putri mari keluar - ke sinilah!" seorang berseru. "Mari ikut dengarkan." Pendongeng memukul rebana lebih kencang dan bersemangat.
gadis tercantik kampung nelayan
idaman pemuda pujaan perawan
kekasih tua-muda laki-perempuan
gadis pantai 'duhai cantik rupawan
orang-orang kota penasaran
bunga mekar di kampung nelayan
bendoro pun cepat kirim utusan
bawa lamaran orang kasmaran
bunga dipetik menghias gedongan
dimandikan mawar disunting berlian
tiada lupa orangtua dan kenalan
manis budi gadis pantai jadi teladan ....
Rebana makin keras dipukul, giring-giringnya makin menggerincing. Dongeng semakin asyik menggelitik, suara laut semakin mendekat, dan malam semakin larut. Keriuhan mencapai puncaknya waktu hidangan tersedia, lengkap dengan segala lauk-pauk dan bumbu-bumbu dari kota. Beberapa orang mulai menjelepoh di pasir, di bawah-bawah pohon karena mabuk tuak, sedang ruas-ruas bambu tempat bekas tuak bertebaran di mana-mana. Perut yang kenyang membuat keriuhan semakin lama semakin surut. Obor-obor makin pudar dan padam. Bocah-bocah pada kehabisan tenaga bergolek di teritis rumah, bahkan di bawah ambin. Akhirnya padam sama sekali kampung nelayan. Yang ronda pun lupa pada kewajibannya.
"Mas Nganten," Mardinah berbisik, "di mana sahaya tidur""
"Tidurlah bersama aku."
"Tidak ada kamar"""
"Menggeletak bersama dan seperti yang lain." "Mas Nganten ...."
Matahari merangkak cepat tanpa disadari. Baru setelah ada bocah menjerit bangun karena boroknya dipatuk ayam, orang-orang mulai membuka mata, mengucek-ngucek, terbatuk-batuk, kemudian mencari tempat-tempat kelindungan untuk melepas air. Laut telah lama menjauh dari pantai dan perahu-perahu yang kemarin telah disediakan kini pada kandas di pasir.
Bocah-bocah berebutan pada menyerbu dapur mencari sisa-sisa semalam. Dan mendadak saja kampung nelayan sibuk kembali.
"Di mana sahaya mesti mandi Mas Nganten"" "Di kulan, tentu."
"Air asin tentu. Sabun tak bakal mudah lenyap terbasuh." "Jangan dengan sabun."
"Sehabis perjalanan kemarin" Tanpa mandi semalam""
"Kami hanya orang kampung miskin. Kadang-kadang sama sekali tak mandi air, lebih banyak mandi keringat dan laut."
"Seminggu saja di sini, jadi ikan asinlah sahaya."
"Man, Man!" Gadis Pantai berseru-seru.
Sambil mengerudungi badan bawahnya kusir segera menghadap. "Ah, Bendoro Putri, lupa sahaya pada kuda sahaya."
"Jangan kuatir tak ada bajak semalam."
"Tak ada memang. Bagaimana kalau kakinya digigit ular""
"Terpaksa kau turun juga ke laut."
"Tak ada binatang yang lebih menyenangkan daripada kuda, Bendoro Putri. Makannya cuma dedak dan rumput, tapi dia beri anak bini sahaya segala yang kami butuhkan. Sahaya tak perlu cari dia, tidak seperti ikan, Bendoro Putri."
"Tak lupa tembakaumu""
"Semalam sahaya pergunakan jadi bantal, Bendoro Putri, sayang benar kalau jadi asap tanpa lewat hidung sahaya sendiri."
"Bawa Bendoro Putri ini pulang ke kota."
"Sahaya Bendoro."
"Mas Nganten juga mesti balik."
"Kapan kau punya hak memerintah aku" Man, bersiap-siap kau, cepat."
"Lhah, di mana sahaya mandi Bendoro Putri"" "Tanyalah pada kudamu."
Dengan demikian di pagi hari itu juga Mardinah kembali ke kota. Ternyata cuma segumpil kecil saja kelegaan yang diperoleh Gadis Pantai. Pasang-pasang mata yang menyinarkan pandang tak wajar padanya, kesopanan yang dibuat-buat, kekakuan yang menjengkelkan. Terutama orang tuanya yang begitu jauh terhadapnya, menyebabkan ia merasa seperti batu karang tunggal, tak punya sesuatu hubungan dengan dirinya, terkecuali laut yang mengandung kesepian.
Bila ia masuk ke dalam rumah bukan lagi emak yang ramah dan selalu melindunginya yang didapatkan, tapi tetangganya yang dengan sukarela bekerja buat menyenangkannya. Sekarang bapaknya hampir-hampir tak berani masuk ke dalam bila ia tidak di luar rumah. Berapa kali sudah
dalam sepagi itu, ia panggil bapak. Tapi ia muncul hanya sampai di pintu mendengarkan suaranya, mengangguk dalam, dan kemudian pergi lagi.
Semua orang menahannya dari bekerja. Semua orang memusatkan perhatian padanya. Setiap langkah dan gerak-geriknya diperhatikan. Maling kesiangan pun tak sejanggal nasibku dewasa ini. Rumah kelahirannya kini tak lagi kuasa melindunginya lagi.
"Bapak," akhirnya ia memanggil. Dan seperti selama sepagi itu, kini Bapak kembali muncul di pintu. "Mengapa bapak tak terus masuk pak""
"Di sini lebih senang, panas di dalam."
"Ah, bapak, aku tahu karena aku di sini. Bapak tak mau masuk."
"Tidak benar, itu tidak benar. Apakah yang bisa kuperbuat untukmu""
"Dekatlah sini." "Panas di dalam."
"Panggil namaku pun bapak tak sudi lagi." "Bukan galibnya lagi anak terhormat dipanggil pada namanya."
"Ah, bapak dekatlah, sini." "Biarlah, aku di sini saja."
Gadis Pantai melangkah ke pintu menghampiri bapak. Dan bapak meninggalkan bendul pintu menyingkir keluar.
"Aku ingin seperti dulu lagi, bapak, seperti dulu. Orang tak perhatikan aku."
"Tak ada yang perhatikan."
"Mari jalan-jalan bapak. Lihat-lihat sepanjang pantai." "Apa yang mau dilihat di pantai""
"Dua tahun lebih aku tak jnjak pasirnya yang basah dan hangat."
"Tinggal saja di rumah, masih lelah dari perjalanan kemarin."
Gadis Pantai melangkah keluar, berjalan lambat-lambat menuju ke pantai. Bocah-bocah segera menyerbu dan mengikuti riuh rendah suara mereka, dan semua orang ke luar rumah menghantarkannya dengan pandang. Bapak mengiringkan dari belakang.
"Mengapa bapak selalu di belakangku" Bukankah bapak masih bapakku""


Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bocah-bocah pada berkicau mengenalkan keanehan pantai. Waktu Gadis Pantai lebih jauh lagi berjalan, yang nampak dan tercium masih yang dulu juga: ampas manusia yang berbaris sepanjang pantai, berbaris tanpa komando. "Ingin aku mandi di laut."
"Tak jelas, apakah patut." "Memang tak patut, tapi aku ingin." "Tidak mungkin." "Memang tidak mungkin."
"Ai, bocah-bocah mengapa meriung-riung seperti udang di nampan" Ayoh bubar!" dan dengan tampang mengancam bapak melototi bocah terbesar.
Rombongan bocah itu pun mundur dan menggerombol, berhenti di suatu jarak dan mengawasi anak dan bapak berjalan terus menelusuri pantai.
"Mengapa tidak seperti waktu aku belum kawin" Kampungnya tak berubah, tapi orang-orangnya semua berubah."
"Kita semua semakin jadi tua."
"Lihatlah," ia menuding pada laut, "dia tak berubah," kemudian membalik badan menuding ke kampung. "Dia pun tak berubah. Atap-atap rumbainya tak ada yang baru. Pohon-pohon kelapa itu kulihat tak bertambah. Ada yang mati sepeninggalku""
"Tidak." "Cuma bocah-bocah semakin besar, dan banyak."
Bapak mendaham. "Sedikit sekali perubahannya."
"Sedikit sekali memang."
"Tapi orang-orangnya jelas berubah. Terhadap aku. Bahkan bapak sendiri. Seakan mereka pada menuding padaku: pergilah lekas, pulang kau ke kota."
"Tidak benar. Tidak benar." Bapak mengulang-ulang dengan jerit tertahan.
"Aku datang dan tak seorang pun turun ke laut."
"Tak patutkah mereka ikut gembira bersama bapak yang ditinggalkan dua tahun tanpa kabar tanpa berita""
"Dua tahun lebih sedikit. Tapi tak ada kulihat bapak bergembira."
"Tak patutlah orang setua ini berjingkrak seperti bocah."
"Betapa bodohnya aku mengharapkan bapak berjingkrak " Ia menuding ke arah laut. "Nampaknya itu bukan perahu kam pung kita."
Bapak mengikuti arah tudingan, menggeleng.
"Aku bawakan benang jala."
"Ya, setiap orang bawa benang jala dari kota."
"Dan tasbih." "Tasbih"" "Dari Bendoro, buat bapak saja. Hitam. Dari kayu keras, buatan Mekah." "Buat apa tasbih""
"Bendoro menyampaikan salam. Kalau kampung belum punya surau, Bendoro bersedia membiayai pendiriannya." "Betapa mulianya."
"Tapi orang di sini tentu tak ada waktu buat itu. Semua sibuk ke laut dan ikan tak semudah itu ditangkap." "Jangan menyindir."
"Ah, bapak. Mana bisa aku sindir bapak" Kita semua tahu, buat dapatkan jagung pun tenaga tak cukup, jangankan dirikan surau, jangankan membuka-buka kitab!"
"Masih ingat kata kakek semalam""
"Aku tak dengar apa-apa."
"Dia bilang, kita ini tak sempat apa-apa. Kaya t
idak, cukup tidak, surga tidak, mati pun cuma dapat neraka. Habis segala-galanya tak sampai."
"Nasib nelayan."
"Ah, ingat aku," kata bapak. "Waktu si Dul pendongeng buka cerita, dia bilang: Kalau kakek tua masuk neraka, kita semua masuk neraka. Cuma dia paling tahu di antara kita."
"Bendoro bilang bisa dikirim guru ngaji."
"Bagaimana kita mesti upahi dia""
"Bendoro yang upahi."
"Barangkali ikan akan lebih jinak kalau kita ngaji, ya"" "Barangkali. Belum dicoba."
"Kita tanyakan pada kakek. Cuma kakek tahu menjawab." "Bapak, bendoro berpesan, ganti rumah itu dengan kayu. Aku bawakan uang buat biaya."
"Buat apa uang" Barang tak bisa dibeli di sini. Lagi semua orang seperti itu rumahnya. Dan kita sama dengan yang lain-lain."
"Barangkali buat beli perahu."
"Kita tetap bikin perahu-perahu sendiri seperti dulu."
"Apa mesti kujawab pada Bendoro""
"Laut tetap kaya. Dia berikan kepada kita segala-galanya sampai yang terindah di dunia: mutiara."
"Bapak tak pernah bicara tentang mutiara."
"Buat apa" Dia takkan buat tenaga kita lebih berharga."
"Aku dibelikan seperangkat mutiara oleh Bendoro."
"Mutiara sangat berharga, memang. Tapi tenaga kita tidak. Cuma orang pilihan dihiasi mutiara. Yang menyelam mengaduk lautpun tak bermutiara."
"Panggilan aku pada namaku seperti dulu, bapak."
"Memanggil kadang-kadang cukup dalam hati."
"Ah, bapak seakan-akan aku bukan anak kampung nelayan ini lagi."
Bakau di pantai kampung nelayan ini sangat tipis, karena terlalu sering ditebang, dijemur buat kayu bakar. Tapi di suatu tempat semak bakau sangat subur nampak tak pernah terjamah. Jangan ganggu bakau di sini, pernah kata seorang asing dulu. Biar kelak kalau aku ada keberuntungan, aku akan dapat kemari lagi. Aku akan tahu, tanah ini tempat aku injak setelah ditolong perahu nelayan kampung sini, dibawa ke sini, dipelihara di sini dan diantarkan ke kota. Orang asing itu tak pernah datang lagi, tapi semak bakau itu tetap tak terjamah.
"Barang siapa pernah minum air setengah asin kampung ini, dia takkan bakal lupa. Dan barang siapa dilahirkan di kampung sini, dia tetap anak kampung sini."
"Abang-abang sama sekali tak bicara padaku lagi."
"Mereka sedang membikin pola ukiran."
"Nampaknya adik-adikku dilarang mendekati aku."
"Mereka diajar menghormati kakaknya dari kota." "Ah, bapak, bapak. Sekarang aku seperti pertama kali bapak antarkan masuk ke rumah Bendoro." Bapak menunduk terharu.
"Barangkali aku harus segera balik ke kota kembali."
"Kampung ini memang mengecewakan, terlalu hina."
"Ah, bapak aku cuma ingin diperlakukan seperti dulu. Pukullah aku kalau aku bersalah. Tapi jangan cabarkan hatiku semacam ini. Apa tak cukup penanggunganku di kota" Apa kurang banyak yang kuberikan buat penuhi keinginan orang tua jadi bini priyayi" Mengapa sesudah seumur ini bapak sendiri bersikap begitu" Dan emak hampir-hampir tak mau bicara padaku" Apa dosaku""
"Siapa sangka anaknya sendiri yang diserahkannya ke tangan priyayi tinggi menanggung"" Tiba-tiba bapak tak dapat teruskan bicaranya. Dan dengan suara sayup-sayup dan sebagian lenyap tertiup angin ia berbisik, "Berapa kali aku telah pukuli anakku, kadang di subuh hari....."
Gadis Pantai berhenti, meneleng ke belakang. Mengawasi bapak yang berjalan menunduk dengan pandang menggaruk pasir. Pemberani itu yang menentang laut melawan badai, mengaduk laut, menangkap ikan setiap hari.... betapa jadi kecil hatinya kini cuma karena di dekat anaknya sendiri, dan anak yang jadi bini kecil priyayi.
"Ah, buat apa menyesali diri. Kapan aku dikaruniai seorang cucu""
"Kehendak Allah belum tiba, bapak." "Belum pernah rumah kita dihiasi dengan cucu." "Apa bapak harapkan dari cucu bapak"" "Kesejahteraan, keselamatan, jangan seperti kita." "Seperti priyayi""
"Kalau lelaki dia - akan jadi priyayi tulen." "Kalau ada nasib, bapak suka jadi priyayi""
"Itulah yang dicitakan setiap orang." "Kalau bapak tahu bagaimana mereka hidup di sana "Setidak-tidaknya mereka tak mengadu untung setiap hari. Setidak-tidaknya mereka tidak berlumuran kotor setiap hari." "Ah, aneh benar pikiran bapak."
"Aneh dan tak guna. Kita hidup dan bekerja berat dan akan b
egini terus sampai tak bisa kerja sesuatu lagi. Terkecuali kasih nasehat seperti kakek tua."
"Mari kita lihat orang-orang memperbaiki jala."
"Hari ini semua pada mengasoh. Tak ada yang kerja."
"Kita lihat empang."
"Nanti terlalu lelah, sakit. Bibit sudah ditanam delapan pekan yang baru lalu."
Gadis Pantai tertawa. "Tahun ini banyak yang beli bibit dari sini""
"Berkah, berkah. Anak-anak kampung sudah pada besar. Penghasilan bibit lebih banyak. Adik-adikmu saja dapat kumpulkan lebih 1.000 ekor dalam seminggu!"
Dan Gadis Pantai teringat pada masa beberapa tahun dulu, dengan telanjang diri bersenjatakan rumah karang ia sendoki bibit bandeng dari tepian laut, dimasukkan ke dalam belanga kecil yang diisi air dan dedaunan bakau.
"Aku tak lihat orang membuat trasi lagi."
"Trasi kita tak laku. Sedikit sekali pedagang datang ke mari cari trasi kita."
"Di kota orang lebih suka trasi buatan Lasem."
"Bukan salah kita. Kata orang-orang trasi kita dibawa ke kota sudah dicampur dengan lempung."
"Ya, banyak trasi penuh lempung di kota."
"Bukan kita yang mencampuri."
"Tentu saja bukan kita. Kita bukan keturunan penipu, bapak. Di kota kudengar itu buatan seorang pedagang. Dia punya istri kedua dan ketiga di kampung nelayan dekat kota. Pedagang itu mengaku diri haji. Dia rusak trasi kita biar kampung istri-istrinya saja dapat laku."
"Dari bibit bandeng saja tak banyak yang kita peroleh."
"Sedikit sekali""
"Tapi kita masih tetap hidup segar, sehat."
Mereka berjalan menuju ke rumah. Bapak tetap saja diam-diam bila tak ditanyai. "Bapak masih juga tak mau panggil namaku""
Gadis Pantai merasai bapak tersiksa karena kata-katanya. Tapi ia sendiri pun tersiksa. Dan laut semakin jauh dari kampung. Dataran pasir nampak begitu jauh, begitu lenggang, coklat muda, datar dan kosong. Laut nampak seperti garis biru tipis dengan garis lamat-lamat putih di atasnya. Sama sekali tak menandakan ada perahu di atas garis biru putih itu. Angin tiada teras meniup. Sedang tunggul-tunggul bakau nampak begitu kaku, coklat, hitam tak mengandung hidup, bahkan cuma ke-matian melulu. Burung-burung camar yang biasa nampak tergantung-gantung di udara, kini tiada mengisi kelenggangan cakrawala. Dan langit di atas sana putih, cuma putih, seperti kapas tanpa setitik pun warna lain.
"Emak sediakan sate ayam siang ini."
Kata-kata itu membuat Gadis Pantai seakan terasa lengang. Tak pernah seumur hidup emak buatkan dia sate. Ayam yang hanya beberapa ekor, hanya diambil telurnya buat obat kuat bapak. Entah berapa ekor dari yang sedikit itu kini harus membuktikan, bahwa ia memang lain daripada seluruh penduduk kampung selebihnya.
Dengan langkah gontai dan hati bimbang ia masuk ke rumah kembali. Waktu ia menengok ke belakang diketahuinya bapak tak ikut masuk. Bapak! Bapak! serunya dalam hati. Ia dapati beberapa orang wanita tetangganya masih sibuk bekerja membantu emak. Waktu melihatnya, mereka berhenti bekerja menekur ke tanah dan mundur-mundur memberi jalan. Barangkali karena perhiasanku, ia mencoba menarik kesimpulan. Aku harus lepas perhiasan ini nanti sore. Ia menghampiri emak yang sedang membuat sambal. Juga emak berhenti kerja, "Jangan ke mari nanti kotor."
Kotor! Tiba-tiba ia ingat pada hukuman Bendoro pada orang-orang kampung nelayan ini. Mereka kotor kurang beriman, karena itu miskin kata Bendoro. Kalau semua mau serba bersih terus siapa yang lenyapkan kotoran" ia bertanya lugu pada Bendoro.
Kotor! Miskin! Kurang beriman! Neraka! Ia tak pernah dengar kata-kata itu sebelum ke kota. Dan kata-kata baru itu banyak mengacaukan otaknya. Bagaimana ikan asin bisa dibuat kalau orang tak berani tarik ludes isi perut setiap ikan yang menggeletak di atas nampan" Binatang-binatang itu akan busuk dan sia-sia saja kerja kepahlawanan bapak dan abang-abang. Dan bau amis jala. Dan seluruh laut! Minyak wangi" Memang menyenangkan, tapi dia tak kuasa panggil ikan datang ke rumah manusia dengan suka rela.
"Mengapa kalau aku kotor"" Gadis Pantai menukas.
"Tidak baik orang kota kotor. Biarlah kami yang sudah biasa saja melakukannya istirahatlah di ambin. Lelah dari perjalanan kemarin. Mak Pin bisa
pijit kalau mau dan kalau suka."
"Mau! mau aku dipijiti"
"Ran panggil Mak Pin."
Baru sekali ini dalam seumur hidup seorang ahli pijat meletakkan tangannya yang berbakat itu di atas punggungnya, pinggangnya, mengendurkan urat-urat yang tegang.
"Sudah lama memijit, Mak Pin""
"Sahaya." "Mak Pin pernah tinggal di kota"" "Sahaya."
"Mengapa tinggal di sini"" "Sahaya."
"Ha"" "Sahaya""
Gadis Pantai tersenyum, lenyap hasratnya hendak bicara.
Mak Pin tak pernah dikenalnya sebelum ini. Pendatang, pikirnya. Ia telengkan kepala dan melihat ke arah dapur.
"Dari mana Mak Pin ini"" ia bertanya pada siapa saja yang mau menjawab.
"Siapa tahu" Tahu-tahu sudah ada saja di sini," seseorang menjawab.
"Di mana tinggalnya""
"Di mana saja."
Gadis Pantai tersenyum. Dalam waktu dua tahun lebih tinggal di gedung menyebabkan ia terbiasa memandang setiap orang punya tempat tetap buat tinggalnya. Dan ia sudah terbiasa memandang setiap orang tinggal aman bila pintu rumah telah terkunci, tiada orang asing datang mengganggu, mendengus. Di kampung nelayan, kampung kelahirannya ini pelan-pelan tapi pasti ia mulai belajar kembali tentang masa silamnya dulu. Ia tersenyum. Ia menyesal telah menjadi begitu pelupa. Di sini tak ada rumah terkunci pintunya, siang ataupun malam. Di sini pintu bukanlah dibuat untuk menolak manusia, tapi menahan angin. Di sini semua orang tidur di ambin di malam atau di siang hari, termasuk para tamu yang tak pernah dipedulikan dari mana datangnya. Ia mendengus sekali lagi. Di kota setiap orang baru selalu ditetak dengan tanya: Siapa nama" Dari mana" Di sini, orang tak peduli Mak Pin datang dari mana. Tak peduli Mak Pin gagu. Tak peduli sekalipun dia kelahiran neraka.
"Jadi bagaimana orang tahu dia bernama Mak Pin"" "Lihat saja kakinya." "Mengapa kakinya""
"Pincang." Ah, anak-anak bengal itu sudah namai dia pada cacatnya.
Gadis Pantai tertawa. Bukan karena kebengalan bocah-bocah, tapi pada nada yang bicara itu! Ia rasai nada suara itu tak mengandung pembedaan diri lagi, itu suara manusia kampungnya. Bukan suara budak terhadap Bendoro.
Tiba-tiba Mak Pin mengeluarkan suara aneh.
"Apa dia bilang""
Orang-orang tertawa bergegar-gegaran. Gadis Pantai menghela nafas, itu tertawa manusia kampungnya: lepas, bebas, bukan tertawa budak di depan Bendoro.
"Mak Pin ini ada-ada saja," seseorang menjerit suka.
"Apa dia bilang""
"Bendoro belum berputra, katanya." "Haa""
"Belum segala-galanya. Dia bertanya, Bendoro tak ingin segera berputra"" "Haa""
Kembali Mak Pin mengeluarkan bunyi aneh dan riuh rendah, seperti suara keluar dari kerongkongan binatang buas sedang menanggung lapar. Kembali orang tertawa bergegar-gegaran.
"Apa dia bilang""
"Katanya pinggang ini kecil benar-juga pinggulnya," seseorang memperbaiki, kemudian tertawa melengking.
Gadis Pantai mengangkat kepala untuk melihat benar-benar bagaimana Mak Pin bicara. Ternyata suara-suara aneh itu dibantu oleh gerak-gerik tangannya yang lincah.
"Mengapa kalau kecil pinggang dan pinggul""
Seseorang menghampiri Mak Pin, menyentilnya pada pinggangnya. Mak Pin terlompat terkejut sambil berteriak melengking, kemudian tertawa terkekeh-kekeh. Wanita yang menyentil bicara dengan bahasa isyarat, tapi Mak Pin terus tawa cekikikan. Gadis Pantai pantai memperhatikan, tapi tak mengerti. Ia lihat Mak Pin menggeleng-geleng dan kembali tangannya bergerak memberi isyarat.
"Apa dia bilang""
"Ah, ada-ada saja, Mak Pin ini," kata orang yang sedang mengaduk gulai di tungku sambil tertawa malu cekikikan.
"Keterlaluan memang Mak Pin ini," orang lain lagi berderai dengan suara keras.
"Memangnya ada apa""
"Itu lho, Bendoro, katanya, ah, itu...itu...kalau begitu, itu....jadi, ininya...."
"Ah, apa sih ngomong seperti itu""
"Mak Pin ini memang ada-ada saja bicaranya."
"Ya, tapi apa yang dibicarakan aku tak mengerti."
"Itu lho, Bendoro Putri, begitu, katanya, kata dia, sudah bisa punya anak."
Tiba-tiba Gadis Pantai terlonjak dari bantalnya, melihat pada Mak Pin, wajahnya bersungguh-sungguh, dan seperti orang baru engah ia bertanya, "Mak Pin benar gagu" Tadi bisa sebutkan sahaya."
"Cuma itu yang dia bisa katakan. Entah berap
a tahun lamanya dia pelajari sahayanya. Mungkin dia bisa ucapkan sesudah seratus kali dikepruk kepalanya."
"Sahaya." Gadis Pantai mengawasi Mak Pin, yang dengan tangannya memberi isyarat agar ia rebah lagi. Tapi Gadis Pantai tetap mengawasinya. Tiba-tiba Gadis Pantai merasa takut, wajahnya mendadak kecut. Gelak tawa di dapur terhenti. Semua mata melihat Gadis Pantai, kemudian pada Mak Pin.
Gadis Pantai turun dari bale, berdiri, mengawasi Mak Pin sambil melangkah mundur-mundur. Suasana tiba-tiba berubah. Ketegangan merayapi setiap pojok rumah.
"Bapaaak!" Gadis Pantai memekik sekuat-kuatnya.
Pandang liar ketakutan berkilauan pada mata Gadis Pantai. Beberapa orang lelaki lari masuk ke dalam. Bapak menghampiri anaknya, dan tanpa menengok ke belakang pada bapak, Gadis Pantai mengulurkan tangan ke belakang dan bapak menangkapnya.
"Siapa dia"" Gadis Pantai menuding Mak Pin. "Mak Pin. Kita kenal dia."
"Bukan! Dia lelaki!" suara Gadis Pantai melengking sekuat-kuatnya.
"Lelaki"" semua orang berseru, heran.
Mak Pin yang tiba-tiba saja dalam kepungan semua orang mencoba bicara dengan matanya. Tapi semua mata tertuju padanya justru minta jawaban darinya.
"Mak Pin, kau lelaki atau perempuan"" tiba-tiba bapak melompat maju mencekam lengan Mak Pin. Mak Pin menggigil"Lima belas hari kau sudah di sini, ya"" "Mana bisa dia jawab" Dia gagu."
"Tidak," Gadis Pantai meraung. "Dia bisa bilang sahaya."
"Ayoh, katakan sahaya," bapak meraung.
"Sa-ha-ya," Mak Pin berkata gugup.
"Dia tak gagu. Ayoh, katakan lelaki atau perempuan""
Mak Pin mencoba menggerak-gerakkan tangannya. Tapi dengan tangannya yang bebas bapak menampar pipinya.
"Kau mengerti omonganku" Kau tak gagu. Laki atau perempuan"" bapak menggertak. "Buka pakaiannya."
Pengepung-pengepung mengulurkan tangan mau menelanjangi. Mak Pin meronta lepas, menerobos kepungan dan melarikan diri. Beberapa orang lompat berlari.
"Tangkap," bapak berteriak.
Mak Pin telah berada di luar rumah, hilang. Semua orang lelaki lari meninggalkan rumah.
"Bawa tali," seseorang berseru dari rumah. Yang tertinggal semua wanita, melihat ke arah lubang pintu.
"Tidak disangka," seorang nenek mendesis.
"Siapa sangka""
"Kemarin dia tidur di rumahku. Ah, tidak kemarin dulu." "Kemarin dulunya lagi"" "Di rumahku, tapi aku benar-benar tidak tahu." "Semalam, semalam di mana dia tidur"" tak ada yang menjawab.
"Dia tak ikut pesta semalam"" Tak berjawab.
"Kemarin siang, di mana dia kemarin siang."
"Sahaya tak lihat, Bendoro Putri."
"Siapa yang lihat"" Tak berjawab.
"Heran sekali, Bendoro Putri. Kita semua tidak tahu."
"Mau apa dia sebenarnya kalau dia benar lelaki""
"Yah, namanya saja lelaki." Diam sejurus.
"Jadi dia tak gagu""
"Pura-pura barangkali."
"Mengapa pura-pura"" Tak berjawab.
Gadis Pantai melangkah ke pintu, melihat ke luar, tapi tiada sesuatu pun dilihatnya. Wanita-wanita lain segera mengikuti dan merubungnya.
"Mata-mata bajak laut," orang memutuskan.
"Ya ampun, ya ampun."
Mendengar kata bajak laut, dengan sendirinya orang menutup pintu dan mengunci dengan palang. "Apa yang mau diba-jak di sini" Di sini tak ada apa-apa."
Tiba-tiba orang mengawasi Gadis Pantai, dan semua mata itu membelainya dari ujung rambut ke seluruh tubuh, antara sebentar berhenti, pada perhiasan-perhiasan di leher, di kuping jari, pinggang, dada. Tak lama kemudian semua pada menunduk. Seseorang menggandeng tangan Gadis Pantai, dan dirasainya tangan itu menggentar.
"Ambillah minum, buru! Silakan duduk saja, Bendoro Putri. Lelaki-lelaki kita akan bereskan, jangan kuatir orang itu mesti tertangkap."
"Mak, di mana mak."
"Inilah aku," sahut emak dari sampingnya. "Sudah lima belas hari dia di sini"" "Lima belas hari" Belum, belum sampai." "Dia ditemukan waktu orang-orang mau turun ke laut." "Ya, sedang menggigil kedinginan." "Dibawa ke rumah Lurah. Dimasakan kopi." "Ya, lantas tidur. Nggak mau ngomong." "Besoknya orang baru tahu dia gagu." "Ah, ah, ingat aku waktu tidur di rumahku dia ngigau. Ngi-gau benar-benar, tidak gagu." "Ngigau apa dia""
"Kurang terang Bendoro Putri. Terlalu pelan, tapi tidak gagu memang."
"Di mana barang bawaannya""
"Tidak punya. Tidak bawa apa-apa."
"Makanlah," emak mencoba memutuskan perhatian dan Mak Pin. Tak seorang pun ingin makan.
"Ada yang pernah kehilangan di sini""
"Apa yang bisa hilang di sini" Paling-paling tulang ikan."
"Sudah lama, lama sekali, tak pernah ada bajak."
"Apa yang mau dibajak dari kita""
"Mereka takkan bajak kita. Orang kota lebih kaya, di sana menumpuk harta." "Ya, di sini ada apa""
"Pasti di kota sana semua orang punya emas berlian. Bagaimana Bendoro Putri""
"Diamlah, diam. Buat apa ngomong yang bukan-bukan"" Sate ayam menumpuk dingin tak terbakar di atas tungku.
Waktu matahari mulai condong ke barat, barulah para pria kampung nelayan datang ke kampung. Beberapa orang lelaki langsung menuju rumah bapak. Seorang di antaranya bapak sendiri. Dengan wajah muram ia mendekati Gadis Pantai. Wanita-wanita lain datang merubung.
"Laki apa perempuan dia bapak"" "Memang bukan perempuan." "Mana dia sekarang"" "Dia takkan kemari lagi." "Di mana""
"Dia tak mau mengaku, itu salahnya." "Ya, tapi di mana dia sekarang"" "Dia bilang, dia dari Demak." "Demak""
"Ya, Demak. Siapa percaya dari Demak" Bajak laut takkan pernah berasal dari pedalaman apalagi dari pegunungan. Dia berkukuh tak ngaku mata-mata bajak laut. Dia tak mau ngaku kapan bajak-bajak itu mau menyerbu ke mari. Jadi dia diadili-di tempat dari mana induk bajak bakal datang."
"Disuruh berenang""
"Ya, ditelanjangi, digiring dengan enam biduk."
Gadis Pantai teringat pada cerita yang dikenal semua orang di kampung: setiap bajak yang tertangkap digiring ke tengah laut dengan biduk, sampai tak kuat lagi berenang dan tenggelam, kalau tak terburu disambar hiu.
"Berapa ribu depa dia bisa berenang""
"Tidak sampai ribuan."
"Berapa ratus""
"Tak sampai ratusan."
"Ha"" "Segera tenggelam setelah dilempar dari perahu."
"Tidak berenang" Kalau begitu bukan bajak."
"Entahlah. Salah sendiri mengapa menyaru jadi perempuan."
"Bapak salah, salah, bapak, mungkin dia tak bersalah." Bapak menunduk menekuri lantai.
"Mengapa dia pura-pura gagu"" emak membela bapak. "Mengapa dia pura-pura jadi perempuan"" seorang menguatkan.
"Di mana dia semalam"" seorang lain menyerbu bertanya. "Tak ada orang lihat dia ikut makan-makan. Barangkali memang mata-mata bajak, cuma tinggal di darat saja."
Mata bapak jadi beringas. Ditatapnya pembicara itu, kemudian menunduk lagi, kepalanya menggeleng.
"Lantas siapa dia""
"Siap namanya""
"Mardikun." Gadis Pantai terperanjat. Sekaligus ia teringat pada Mardinah. Abang Mardinah" Mengapa namanya Mardikun" Mengapa dua-duanya pakai Mardi" Ia mencoba bayangkan kembali, tapi tak dapat. Dalam bayangannya selalu saja orang itu menunduk bila ditatapnya.
"Mardikun"" desisnya kemudian. "Apa ada yang masih bisa ingat wajah Bendoro Mardinah""
"Bendoro Mardinah"" orang berseru.
Bapak menatap emak, kemudian pada wanita-wanita lain. "Ya, memang ada. Ada persamaan sedikit."
"Mukanya bulat, Mardikun itu""
"Ya, ya hampir bulat, seperti Bendoro Mardinah."
"Juga Mardinah berasal dari Demak," Gadis Pantai mengingat-ingat. Barangkali memang abang Mardinah. Barangkali bapaknya. Lantas mau apa dia datang ke mari""
"Kakek pengetua sudah tahu peristiwa ini""
"Masih tidur dia."
"Benar, cuma dia yang mengerti."
Dan waktu kakek datang, matanya segar, tiada tanda-tanda mengantuk atau habis tidur. Seluruh mata ditujukan padanya. Tongkat kayu bakaunya yang setengah membatu itu seperti memerintah menuding pada emak, sedang suaranya yang garang terdengar terengah-engah kecewa, "Berapa kali aku mesti bilang" Emas! Emas itulah sumber bencana."
"Apa hubungannya semua ini dengan emas"" bapak membantah.
"Apa hubungannya" Kan aku sudah berulangkah bilang, emas itu bikin perahu-perahu pada kandas, tenggelam dalam lumpur. Sudah berapa kali aku bilang emas, emas, emas!" matanya meluncur dan membelai perhiasan - perhiasan pada tubuh Gadis Pantai. "Itu semua membuat perempuan ini membedakan diri dari yang lain-lain. Padahal apa beda kita di sini" Apa beda aku dari kau" Semua hidup berkat kemurahan laut."
"Kau tak suka aku tinggal di sini, kek"" Gadis Pantai bertanya lemah.
"Bukan aku yang bilang begitu, kau sendiri," kakek m
eraung gerang. Hati Gadis Pantai terguncang. Kini ia mulai mengerti, mengapa sikap semua orang jadi berubah terhadapnya. Ia sadari diri bukan lagi penduduk kampung nelayan, hanya karena perhiasan.
"Lantas, apa hubungannya emas dan anakku, dan Mardikun yang menyaru jadi Mak Pin""
"Jadi kau tak mengerti"" raung kakek dengan marahnya pada bapak. "Baik, ayoh jawah, ke mana perginya luak kalau bukan kepada mangsanya""
"Siapa mangsanya" Aku" Siapa luaknya" Aku"" juga Gadis Pantai meraung.
Rumah itu tambah lama tambah gelap, karena lubang pintu seluruhnya tertutup oleh penduduk kampung yang menonton. Anak-anak kecil tak seorang hadir, lari ketakutan pada bersembunyi di rumah masing-masing di dekat emak mereka.
"Diam," pekik kakek.
"Kau kami panggil ke mari bukan buat berteriak-teriak seperti monyet gila, kek," bapak meraung marah. "Kami ingin dapat penjelasan dari kau, apa artinya semua ini."
"Mana aku tahu""
"Kau tak tahu, tetapi mengapa marah-marah kayak kesetanan""
Dengan suara menyurut-nyurut reda kakek memukul-mukul tongkatnya pada tanah dan, "Ingat-ingatlah, berapa kali aku ajari kalian" Emas itu biang keladi di daratan - mutiara biang keladi di lautan. Tambah banyak barang emas masuk kemari, tambah banyak kemungkinan bajak datang ke mari."
"Mardikun bukan bajak."
"Kalau begitu dia bajak darat."
"Tapi belum terbukti."
"Tunggu saja. Tak ada bajak laut maupun darat, bisa bekerja seorang diri. Tunggu saja nanti bakal muncul kanca-kanca-nya. Tunggu saja! Tunggu saja." Dan sekali lagi kakek membentak gemas, "Lihat saja nanti."
"Bajak tak peduli siapa yang punya, pinjam atau tidak, dia cuma tahu emasnya, yang mengenakan boleh ditebang lehernya kalau perlu." Gadis Pantai mengeriut.
"Ya, jadi kau ngeri, kan" Tak ada gunanya seluruh kampung gendadapan cuma karena mau lindungi emas-emas itu. Tahu-tahu luput semua itu darimu. Bodoh semua! Begitulah polisi-polisi kota. Mereka digaji buat jaga emas priyayi, saudagar-sau-dagar Tionghoa, Belanda dan haji-haji. Goblok! Bodoh! Cuma kerbau tidak mengerti."
"Kau tak pernah pergi ke kota," seseorang menuduh.
"Berapa umurmu plonco" Waktu makmu belum lagi bisa buang ingusnya, aku sudah malang-melintang ke Kedah, Treng-ganu, Mengkasar."
"Jadi bukan nelayan"" seseorang bertanya.
"Bukan nelayan tadinya. Bajak aku!" kakek berkata bangga.
Tiba-tiba orang-orang mengambil sikap lain terhadap kakek.
"Mengapa terkejut"" Kakek menetak dengan suaranya. "Apa yang aneh" Kalau orang sudah habis kesabaran kumpulkan ikan, kalau orang sudah habis kesabaran karena jerih payahnya 'nggak laku di darat, apa diperbuat seorang nelayan kalau tak 'mbajak" Kau mau nantang"" teriaknya sambil menudingkan tongkat bakaunya yang setengah membatu. "Tahu apa kau tentang jaman dulu" Jaman sekarang lain - jauh lebih baik."


Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Barangkali kakek pernah membajak kampung kita," seseorang mengujar.
"Kampung ini" Hei, plonco! Kau tak tahu akulah yang selamatkan kampung ini dari bajak. Empat puluh tahun yang lalu. Waktu itu jadi ingus pun kau belum lagi, plonco, kau tak tahu apa"'
"Apa maunya si kakek ini sih""
"Mau ku" Selamatkan kampung ini. Jangan terjadi apa-apa. Kalian yang sudah agak tua-tua tahu apa itu marsose. Kalian pernah lihat satu kampung disembelih marsose" Semua bayi-bayi yang baru lahir kemarin" Marsose bakal tahu ada orang digiring ke laut, dikira bajak nyatanya tak bisa berenang, Apa kalian mau bilang kalau marsose datang" Uh, uh-uh," kakek terbungkuk-bungkuk dalam batuknya.
"Mardikun sudah mati. Mau apa kita sekarang ini""
"Baik, uh-uh, balik uh-uh-uh. Balik kau kota!" Kakek menunjuk Gadis Pantai dengan tongkatnya.
"Dia cuma mau bertemu orang tuanya. Sudah dua tahun tidak bertemu."
"Buang itu perhiasan ke laut!"
"Bukan aku punya,"Gadis Pantai meyakinkan kakek.
"Kau tak punya apa-apa memang. Semua kepunyaan Bendoro. Kembalikan saja semua pada Bendoro."
"Jangan kasari dia," seseorang menyela. "Dia orang kita sendiri datang kemari buat tengok orang tua dan kampungnya. Dan kau sendiri girang dapat sarung bugis dan dia."
Kakek terdiam. "Mengapa kau terima sarung itu""
"Bagaimana takkan kuterima," kakek mendayu-dayu. "Apa ka
h layak aku kedinginan terus sampai matiku" Apa itu terlalu banyak""
"Setiap orang mau dapatkan sarung bigis, bukan kau saja, kek."
Demikianlah, tak pernah selama ini kampung nelayan jadi guncang. Setiap orang terlibat dalam kecurigaan dan dugasang-ka. Lenyap kedamaian, lenyaplah ketentraman. Di malam hari tiada seorang pun bermaksud menyiapkan perahu dan turun ke laut. Bulan waktu itu tak ada - cuma bintang-bintang gemerlapan tanpa makna, angin pun tiada meniup.
Dan di malam gelap gulita sayup-sayup, antara gonggongan anjing liar, terdengar nyanyian perlahan si Dul pendongeng dengan iringan sayup pada rebananya.
tiada perahu turun ke laut tiada ikan bermukim ke darat nelayan sekampung pada kalut semua terlibat urusan berat
Rebana dan giring-giringnya berbunyi perlahan sayup-sayup.
cring-cring duk-duk-duk - cring-cring duk-duk-duk
ombak segan membanting diri menyulam pantai riak pun ragu nelayan sekampung pada jeri dikutuk dewa karamlah perahu
cring-cring duk-duk duk - cring-cring duk-duk duk cring-cring duk-duk duk - cring-cring duk-duk duk
Keesokan harinya, kembali orang lelaki pada berkumpul-kumpul meneruskan persoalan. Umumnya pada menyoal dalam nada peringatan.
"Siapapun tak boleh bicara tentang Mardikun."
"Marsose tak boleh tahu."
"Juga polisi kota tak boleh tahu."
"Bendoro juga tidak."
"Apalagi Mardinah, sudah jelas ada apa-apanya. Mardinah juga berasal dari Demak. Mardikun berasal Demak. Namanya pun sama-sama mulai pakai Mardi."
Suasana pembicaraan tak lagi sepanas kemarin. Juga kakek tak dipanggil datang, ia pergi berjalan-jalan dengan hati penasaran sepanjang pantai, di balik-balik semak bakau.
"Ya, ya panggil dia! Urun rembuk, semua kasih pendapat!"
Si Dul dipanggil, muncul membawa rebananya. "Bagaimana pendapatmu"" seseorang bertanya.
Si Dul pendongeng memukul rebananya dan mulai dengan dongengnya:
riuh rendah hati pada cemburu!
"Husy, lempar rebana itu kita tak mau dengar dongeng sekarang. Apa pendapat dan saranmu tentang semua ini""
Seseorang merenggut rebana dari tangannya, dan dengan hati-hati diletakkan di atas ambin, tepat di tempat Gadis Pantai semalam tidur. Si Dul pendongeng menganga mulutnya melirik ke rebananya. Sungguh aneh sikapnya.
"Bicaralah, apa pendapatmu"" Tetap diam, mulut masih menganga, matanya terus melirik ke arah rebana.
"Mengapa dia""
"Mengapa kau ini"" seorang bertanya langsung.
"Ah, dia cuma bikin-bikin diri aneh." Kembali si Dul hanya melirik ke arah rebana. Membisu seribu bahasa. Orang pada heran melihat si Dul menjadi aneh kalau bercerai dari rebananya. Tetapi orang tak sempat memberikan perhatian lebih lama. "Berikan kembali rebananya," seorang memerintah.
Waktu si Dul pendongeng menerima kembali rebananya, sekaligus nampak wajahnya berseri-seri. Gadis Pantai adalah satu-satunya yang terus memperhatikan si Dul pendongeng. Ia mengenal si Dul pendongeng sejak kecil. Semua orang bilang dia edan. Orang sering mengatainya si Dul gendeng, di samping panggilannya sehari-hari si Dul pendongeng, karena ia tak pernah bekerja selain mendongeng. Orangnya malas, padahal badannya sehat dan kekar. Di kampung nelayan tak ada kamusnya orang malas. Kemalasan adalah barang paling aneh di kampung. Katanya, si Dul pendongeng paling takut turun ke laut, sampai-sampai bapaknya membiarkan ia pergi mengembara meninggalkan kampung. Ia pulang bila matahari pun telah lenyap dari langit. Tahu-tahu orang mendapatkannya tidur di depan pintu. Bila bapaknya akan turun ke laut, selamanya hati-hati ia membuka pintu agar tidak mengagetkan anaknya dari tidurnya.
Kini si Dul pendongeng berumur tiga puluh tahun sudah, namun tak ada wanita mau jadi istrinya. Sebenarnya si Dul pendongeng cukup ganteng, tetapi malasnya tidak ketolongan.
Nenek pun, maulah aku, cring-cring-cring, sering ia pukul rebananya di malam hari, perlahan-lahan, lebih buat dongeng dirinya sendiri. Tapi nenek-nenek pun tiada sudi jadi bini lelaki malas.
Dalam riuhnya orang mencari pikiran, tiba-tiba si Dul pendongeng membunyikan rebananya:
cring-cring duk-duk-duk - balik-baliklah bendoro putri
"Husy," orang membungkamnya. Tapi si Dul pendongeng
tak peduli: balik-baliklah bendoro putri
ke kota tempat harta ditampung
bawa-bawa emas berlian ke mari
oh oh celakalah seluruh kampung
"Suruh diam pemalas gila itu!" seseorang berteriak gemas.
"Bungkam mulutnya."
"Tapi ia dipanggil buat ikut berunding."
"Ya, tapi bukan untuk mendongeng."
"Mau apa lagi, bisanya cuma mendongeng."
"Rebana" Gendang apa tak bisa""
"Ah, gendang cuma ditetak di rumah-rumah priyayi."
"Apa dia pernah ke kota""
"Orang tak pernah pulang begitu, ke mana lagi kalau bukan ke kota""
"Hai, Dul gendeng, benar kau sering ke kota"" "Orang tak pernah tanya dari mana dia dapat rebana." "Sudah, sudah, kita bukan berunding urusan dia." "Jadi apa sebenarnya mau dirundingkan"" semua tercenung diam
Tiba-tiba si Dul pendongeng memukul rebananya lagi dan menarik suara:
kembali kembalilah ke kota
emas berlian bawalah serta
di sana kesenangan menanti
di sini bukan tempat bendoro putri
"Mengapa aku harus kembali ke kota" Aku lahir di sini, orang tuaku di sini."
kampung nelayan gelap gulita pakai obor minyak kelapa kalau hidup cuma pikirkan harta sudah pasti datang malapetaka
"Hei, Dul gendeng, tak usahlah kasih-kasih nasehat. Urus saja dirimu sendiri. Cari kerja sana!"
"Mana bisa dia" Nangkap selar saja tak mampu." Rebana segera gemerincing - kata berjawab gayung bersambut:
nangkap selar menyombong-nyombong
omongnya besar kepalanya kosong
seumur-umur makannya cuma ikan
pantas otak buntu perut cacingan
"Kurang ajar! Aku tendang kau!" seseorang mengancam. Cring-cring duk-duk-duk, si Dul pendongeng memukul rebana.
"Otakmu itu, otakmu, cuma penuh duri sembilang, pemalas! Pura-pura edan begitu." "Sembilang pun bukan!" "Belanak!" seorang memperbaiki. "Otak udang." "Udang" Teri busuk!"
Suasana tiba-tiba menjadi riang gembira. Orang tertawa riuh rendah. Pendongeng jadi sasaran.
"Otak begitu apa isinya" Tahu enggak" Ubur-ubur!" Ejekan kontan membal kembali pada yang mengejek.
kalau marsose datang dar-der-dor
seisi kampung digedar-gedor
pembual-pembual pada meriut
berani sesumbar cuma ditengah laut
Tiba-tiba gebrakan keras membungkam setiap orang, terkecuali si Dul pendongeng, mengarahkan pandangan pada pintu. Di sana kakek muncul dengan megahnya, "Begitu ya, tingkah orang yang sudah kenal kota"" tongkatnya sehabis memukul daun-pintu menuding si Dul pendongeng. "Nggak bisa hargai kerja nelayan di laut! Pendongeng edan! Pemalas! Bukan rebana yang kasih kita makan, tahu! Ikan, ikan di laut yang bikin seluruh kampung tetap bisa bernafas. Tapi kau mengejek seperti orang kota!"
"Dia tak pernah ke kota."
"Siapa bilang" Lihat saja rebananya. Dulu dia pakai kaleng rombeng. Hei, mana kalengmu sekarang"" kakek tertawa menghinakan, kemudian menyambung, "itu tanda dia suka mengemis di kota. Kaleng rombeng tak boleh dekati masjid dan surau, ngerti. Tapi rebana di kota boleh masuk mesjid - masuk sampai ke dekat khotib di samping mimbar. Ngemisnya lebih gampang pakai rebana! Jejaka malas tak tahu diuntung!"
memang gede-gedenya beduk obral amanat muluk-muluk di depan khalayak beralim-alim di belakang-belakang paling lalim
"Jadi pintar nyindir begitu dia."
"Jual saja ceritamu ke kota sana. Tanpa dongengmu orang-pun bisa bernafas di sini." Tapi berbisik-bisik orang saling bertanya, siapa gerangan beduk gede" "Hei, Dul gendeng, siapa yang lalim pura-pura alim""
Cring-cring duk-duk duk, kemudian tiba-tiba irama rebananya berubah, merangsang, melawan, membangkang, memprotes, cring-cring dung-dung cring dung-dung cring.
"Ceritanya dia sedang marah." "Kau marah, ya""
dung-cring dung-cring dung-cring...
"Ah, layani orang edan, ikut edan." "Usir saja, dia!"
Seseorang mengusir si Dul pendongeng dengan satu tendangan mantap. Si Dul pendongeng tertelungkup, rebananya mengguling menggelinding menuju pintu. Seperti orang setengah lumpuh si pendongeng melirik dan merangkak laju menuju rebananya.
"Kok gendengnya menjadi-jadi dia sekarang""
"Dasar pemalas! Lebih suka dikatai gendeng, asal tak bekerja."
"Bandeng kena tuba pun tidak begitu menjijikkan."
"Tahu kalian mengapa dia jadi begitu""
"Siapa tidak tahu" Waktu emaknya membuntingkan dia
, emaknya mencabut hidup-hidup kaki-kaki kepiting. Jadinya dia kayak orang tak berkaki tak bertangan, tak berdaya. Enggak bisa kerja apa-apa."
"Bagaimana dia kalau mati" Masuk neraka atau surga""
"Siapa tahu" Berdo'a dia tak pernah, bisanya cuma mendongeng."
Samurai Pengembara 8 1 Pendekar Mabuk 122 Kencan Di Lorong Maut Expected One 9
^