Negara Kelima 2
Negara Kelima Karya Es Ito Bagian 2
"Masuk Timur," terdengar suara dari dalam kamar. Tampaknya derap langkah laki-laki yang sekarang ber-diri di depan kamar itu cukup bagi penghuni kamar untuk mengenalinya.
"Bagaimana, kau bawakan salinannya""
"Interogasi yang tidak penting dan sama sekali tidak menghasilkan apa-apa."
"Tetapi kau bawa kan"" Dari balik jaketnya Timur Mangkuto menge-luar-kan tiga lembar kertas yang digulung rapi. Catatan hasil interogasi terhadap dua orang anggota KePaRad yang telah disalin dalam bentuk tulisan. Rudi meng-inginkan catatan itu. Sebagai teman dekat bahkan sejak mereka masih menjadi Taruna Akademi Kepolisian di Semarang, Timur Mangkuto tidak bisa menolak permintaan tersebut. Rudi melemparkan satu bungkus kretek ke hadapan Timur Mangkuto. Lalu kertas itu ia buka dan baca.
Negara Pertama. Solon membawa berita. Plato membuat cerita. Sejarah mencari asalnya.
Satu satu kosong kosong kosong terlalu lama.
Negara Kedua Negara Kedua adalah kedatangan kembali. Pada celah puncak-puncak kedua di mana tidak ada bayangan. Menyeruak keluar daratan.
Menyeberang air besar dari hulu ke hilir, mendamba sebuah negara. Taklukan tersembunyi lalu menarik diri hingga masa berganti dan orang orang datang dan pergi. Negeri itu be- sar dengan para penjemput sebagai pengawal, tetapi mereka dilupakan. Lalu datanglah bencana itu, musuh barat dari keturunan musuh-musuh Penjemput Pertama.
Negara Ketiga Para Penjemput masa pertama tidak menyerah. Pada dataran setelah celah puncak-puncak kedua mereka bersimaharaja, tetapi angin telah menjemput mereka untuk Negara Ketiga. Ketika dua orang dara Para
Penjemput menuai janji mereka, dari rahim dua dara lahir dua raja. Satu selalu dituai bencana, satu mencari asalnya. Para Penjemput mengawal negara hingga mereka dilupa. Lalu datanglah bencana itu, dari dalam musuh-musuh itu masuk mencari serat pemberi.
Negara Keemp at Ketika matahari memberi siang kepada selatan, utara ditimpa malam yang panjang, para penjemput menyambung nyawa dari negara yang sekarat. Tempo ketika lama mencari asal kedatangan para Pen-jemput Pertama. Tempat yang dijanjikan tetapi terlupa. Perjalanan panjang me-nyusuri masa silam dari para Penjemput Pertama. Puncak-puncak kedua menjadi pelindung. Hingga orang-orang menyeberangi berhala meng-hantam impian menyebar ke-rusakan dalam janji dan runding. Negara Keempat hilang terpendam orang-orang yang tidak ingin kehilangan muka. Mereka terlupa tetapi sejarah akan mencari
asal-nya...sejarah akan mencari asalnya
Negara Kelima Negara Kelima adalah kebangkitan masa silam. Ketika matahari hadir tanpa ba-yangan, keputusan diambil pada puncak yang terlupakan. Para Penjemput menuai janji kejayaan masa silam. Itu adalah saat penentuan, ketika Para Penjemput tidak lagi ingat akan masa lalu berbilang tahun tetapi mendamba masa lalu berbilang ribuan tahun.
Selesai membaca catatan itu, Rudi bingung sendiri, coba mencari penjelasan dari Timur Mangkuto yang ngah sibuk mengepulkan asap rokok, tenggelam dalam
khayalan. "Apa maksud ini semua""
"Aku kan sudah bilang, itu semua tidak ada arti-nya. Interogasi bodoh!" katanya seolah rasa jijiknya pada Riantono mustahil dihilangkan.
"Kau sudah temukan sesuatu. Atau, setidaknya kata-kata ini berhubungan dengan apa""
"Tidak. Yang jelas kata-kata itu keluar dari mulut dua orang tahanan. Cuma itu kata yang terucap dari mulut mereka. Sepertinya sudah menjadi hapalan stan-dar."
"Kau yakin""
"Sialan, jangan memaksaku."
Rudi mengulum senyum. Untuk sesaat ia terdiam memandangi wajah sahabatnya. Timur Mangkuto, dulunya seorang yang sangat bersemangat, penuh energi dan punya visi. Saat ini yang ia temukan pada tubuh tinggi dengan muka bercambang tipis itu hanyalah frustasi dan hilang kemauan. Sejak dipindah dari bagian reserse kriminal umum ke Detsus Antiteror, Timur Mangkuto memang telah menunjukkan sikap kon-frontatif terhadap penempatan itu. Ia tidak senang bekerja untuk sesuatu hal yang tidak jelas, apalagi masalah teroris yang tidak pernah jelas ujung pang-kalnya.
Ia hanya menginginkan bekerja terus pada bagian Reserse Umum seperti bagian tempat Rudi bekerja saat ini. Beberapa kali ia tunjukkan pembangkangan pada komandan Detsus. Tanpa sungkan-sungkan ia menentang perintah atasan. Dapat diduga, pembangkangannya berakhir dengan cerita kemenangan yang berkuasa. Ia dihukum tetapi tidak dikeluarkan dari Detsus. Hanya saja ia diangkat menjadi perwira data dan informasi yang sepanjang harinya kerjanya di depan komputer. Jenis
pekerjaan yang dikatakan oleh komandannya akan ia jalani seumur hidup.
"Ayolah, lupakan masalahmu dengan Riantono!" hibur
Rudi. "Bagaimana aku bisa melupakannya, sementara ia masih memenjarakanku pada bagian banci ini!"
"Nikmati saja, Bung!"
"Sialan. Kamu enak ngomong begitu."
"Lalu, kau mau apa lagi. Mau terus-menerus frus-tasi. Mau selalu menunjukkan kesan hilang kemauan dan motivasi. Apa kau berharap dengan itu Riantono akan kasihan padamu dan menempatkan kau kembali pada bagian penyidikan dan operasi"" cerca Rudi.
"Riantono anjing!"
"Tunjukkan bahwa kau lebih baik dari anjing itu. Ia dan perwira-perwira lainnya akan semakin senang melihat keadaanmu sekarang. Nikmati bagian ini. Besok atau kapan Riantono akan diganti."
"Dan dia bakal promosi jadi Kapolda" Ha ... ha ... ha ... sama saja."
Timur Mangkuto menyalakan lagi kreteknya. Ia dan Rudi dulu adalah dua dari lima orang lulusan terbaik Akademi Kepolisian sehingga mendapat hadiah penempatan di Polda Metro Jaya. Karena berprestasi pada bagian Samapta, keduanya dipindah pada bagian Reskrim. Timur Mangkuto dulu dikenal sebagai perwira muda yang dingin dalam menyelesaikan kasus. Tetapi pemindahan dirinya ke Detsus Antiteror telah menghancurkan semua itu.
"Kau yakin belum mempelajari sedikit pun dari cata tan-catatan ini"" Rudi kembali memancing.
"Tujuan interogasi adalah mengetahui definisi Negara Kelima versi KePaRad. Tetapi Melvin mengembangkan
pertanyaan secara naratif. Ia ingin tahu sejarah pemikiran kelompok itu..."
"Dan ia mendapatkan teka-teki Negara Pertama hingga Kelima""
"Persisnya begitu. Tetapi aku curiga ini hanyalah peng alihan saja dari masalah sesungguhnya tentang pembentukan Negara Kelima dan tuntutan pembubaran Indonesia."
"Kenapa kau berpikir seperti itu""
"Aku telah mencoba membuka literatur berkaitan dengan jawaban atas teka teki." "Dan..."
Rudi sudah bisa menebak. Naluri penyidik Timur Mang kuto tidak mungkin bisa dibunuh. Walaupun hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu, tanpa motivasi yang lebih besar.
"Timaeus and Critias!" Timur Mangkuto berujar pendek
Kata-kata itu membingungkan Rudi. Baru kali ini ia mendengar kata-kata semacam. Sesuatu yang masih asing terdengar di telinganya. "Apa itu""
"Mungkin jawaban dari teka-teki negara pertama. Tetapi aku tidak terlalu yakin."
"Ah aku tak paham perkataanmu."
"Ini adalah bentuk dialog karangan Plato. Salah satu topik dialognya berasal dari berita yang dibawa oleh Solon tentang sebuah benua yang hilang, Atlan-tis!"
Rudi tergelak. "Kau bicara tentang film kartun""
"Itu satu-satunya hubungan yang aku temukan antara Plato dan Solon yang disebut-sebut pada teka-teki Negara Pertama mereka. Selain itu aku tidak tahu apa-apa lagi."
"Kau temukan di mana hubungan itu""
"Internet. Mana lagi selain itu""
Cerita itu memang terdengar tidak mungkin. Atlantis yang mereka kenal selama ini hanyalah cerita yang pernah difilmkan oleh Disney, tidak lebih dari itu. Kisah Odypus Complex-nya Sangkuriang dan Malin Kundang durhaka jauh lebih populer dan di-kenal dibanding cerita tentang benua yang hilang.
"Mungkin terjemahan itu mengandung makna simbolik."
"Teka-teki dalam teka-teki""
"Bisa jadi. Tetapi cerita tentang kelompok ini selalu berkaitan dengan masa lalu. Termasuk gambar arah mata angin yang ditemukan pada sisa-sisa dokumen mereka pada saat penggerebekan. Profesor Budi Sasmito menjelaskan gambar itu berasal dari sebuah benda sejarah bernama lempeng emas yang sekarang terdapat di museum nasional," Timur Mangkuto meyakinkan. "Kau mau simpan catatan interogasi itu""
Rudi menggeleng, tampaknya ia punya rencana lain. Catatan itu ia kembalikan kepada Timur Mang-kuto. "Ini menjadi tugasmu untuk menyelidiki."
"Aku"" Timur Mangkuto tergelak menunjuk pucuk hidungnya sendiri.
"Ya, kau dan aku. Berdua kita akan pecahkan masalah ini. Seperti dulu kita berdua pernah meme-cahkan kasus peredaran minuman keras di kalangan Taruna, sewaktu di Resimen Korps Taruna."
Percuma saja penjelasan Rudi. Timur Mangkuto tampak tidak berminat dengan tawarannya. Kertas salinan interogasi itu kembali ia taruh di balik jaket. Ia seperti sudah akan beranjak pergi.
"Kau mau terus-menerus dianggap sebagai pecundang" Sebagai perwira yang menjadi pustakawan kesatuan"" Rudi terlihat kesal.
"Apa katamu"" emosi Timur Mangkuto melonjak.
"Ya, kau tidak lebih dari pecundang. Memiliki kemampuan tetapi mau saja dibenamkan oleh bajingan macam Riantono."
"Sebabnya kau tidak pernah alami apa yang aku alami. Aku bangkit dari ketidakberdayaan dan kemiskinan menuju harapan untuk kemudian tercampakkan lagi," Timur Mangkuto tertawa perih. "Sedangkan kau tidak pernah kekurangan. Selalu menjadi pilihan dan mendapatkan apa yang kau mau. Ini permainan Tuhan yang membosankan Rud!"
"Kau bandingkan aku dengan dirimu""
"Tentu, itu yang kau mau."
"Kau menyesal dilahirkan miskin dan tidak ber-daya""
Timur Mangkuto terdiam. Kata-kata itu membawa dirinya pada masa lalu. Terlahir dari keluarga tidak mampu di pelosok Sumatera. Sekolah sambil bekerja sebagai tukang cat pada toko mebel. Hingga akhirnya ia bisa lolos masuk Akademi Kepolisian dan menjadi salah satu yang terbaik di sana. Kata-kata itu menya-darkan dirinya. Ia menghenyakkan lagi tubuhnya, tidak jadi pergi.
"Aku senang dilahirkan seperti itu. Sebab jika tidak, aku tidak akan pernah mengecap nikmatnya perubahan hidup," Timur Mangkuto mencoba untuk tenang. Rudi tersenyum senang melihat sahabatnya itu. Ia merogoh laci meja kerjanya. Sebuah kartu nama ia berikan pada Timur Mangkuto.
"Siapa perempuan ini"" Timur Mangkuto memerhatikan kartu nama lengkap dengan alamat, nomor telepon, dan alamat email.
"Dia yang kau butuhkan untuk kerja besar kita
mengungkap kasus." "Dosen sejarah"" "Ia masih muda seperti kita." "Bagaimana kau kenal""
"Cerita lama yang telah terkikis waktu. Kau tidak perlu cerita itu," Rudi tersenyum pahit. Roman wajah-nya berubah menjadi agak murung.
"Bagaimana dengan penyelidikanmu""
Timur Mangkuto mengalihkan pembicaraan. Rudi menceritakan lagi rentetan kejadian aneh yang ia alami sepanjang pagi hingga siang tadi yang sebenarnya sudah ia ceritakan lewat pesan singkat sms pada Timur Mangkuto. Dua orang gadis dalam tempo 24 jam terbunuh. Keduanya memiliki satu kesa-maan yang penting, satu sekolah, satu kelas bahkan teman dekat. Yang lebih penting dari itu semua adalah kenyataan bahwa kedua orang gadis itu adalah teman dekat dari Lidya. Artinya dalam tempo kurang dari tiga hari, tiga orang gadis yang merupakan teman dekat itu, terbunuh.
"Apa juga terdapat goresan yang sama pada kedua korban""
"Tidak ada." "Kau punya kesimpulan apa"" Timur Mangkuto memancing
"Kau tentu juga sudah bisa memberi kesimpulan sementara"" Rudi membalikkan lagi pancingan itu.
"Dua orang tersebut saksi kunci pembunuhan Lidya. Bagaimana menurutmu""
"Aku memiliki dugaan yang sama. Tiga orang, bukan dua!"
"Lalu, yang satu lagi"" "Hilang."
"Mati"" "Entahlah. Aku telah datangi rumahnya tetapi kosong. Anak diplomat. Orang tua dan saudaranya tengah berada di Eropa."
"Apa ada hal lain yang mencolok""
Rudi coba mengingat-ingat lagi pembicaraannya dengan Nyonya Amanda dan peristiwa pembunuhan di WC sekolah yang menimpa Ovi. Lama berpikir, akhirnya ia menemukan satu simpul penting yang justru baru terpikirkan malam ini.
"Labtop..." "Apa"" "Dua korban terakhir kehilangan labtop mereka." Beragam dugaan lalu muncul di dalam benak Timur Mangkuto.
"Apa itu mungkin berkaitan dengan terorisme online yang dilakukan oleh KePaRad"" Timur Mang-kuto menyela.
"Entahlah." "Ada temuan lain"" Rudi terdiam lagi. Tidak lama ia bangkit, mengambil sesuatu dari jaketnya yang tergantung pada gantungan baju di belakang pintu. Sobekan kain hitam dengan sedikit garis putih mengilat pada bagian ping-girnya, ia berikan pada Timur Mangkuto.
"Apa ini"" Timur Mangkuto menatap heran.
"Sobekan pakaian pelaku. Nyonya Amanda, ibu Maureen, menemukannya tersangkut pada jendela kamar anaknya. Aku menduga itu adalah bagian pakai-an yang menutup tengkuk pelaku."
"Bagaimana kau bisa sampai pada kesimpulan itu""
"Penjaga kantin sekolah sempat melihat seseorang keluar dari WC sekolah, beberapa saat sebelum mayat Ovi
ditemukan." "Lalu""
"Pelaku itu, menurut keterangannya, berpakaian hitam gelap. Pada bagian tengkuknya seperti ada kilatan warna putih seperti titik-titik kecil. Aku pikir, yang ia lihat dari jauh adalah pola-pola garis ini."
Jam klasik kecil yang dipajang di depan meja kerja Rudi berdentang. Titik pergantian hari telah melewati ambang batas 24 jam. Timur Mangkuto melirik jam tangannya.
"Aku harus pergi sekarang."
"Kenapa tidak tidur di sini saja""
"Ahh..." Rudi tersenyum lagi. Timur Mangkuto tinggal sendiri. Tidak bergabung dengan rekan-rekannya di asrama perwira. Tidak begitu jelas alasannya kenapa ia tinggal di rumah kontrakan sendiri. Kecuali ketidak-cocokan dengan beberapa perwira lain yang ia katakan telah menjadi maling formal, tidak ada alasan lain yang lebih kuat.
"Bagaimana dengan tawaranku tadi"" Rudi mengingat
kan "Aku rasa kau bisa tangani sendiri." "Bagaimana kalau ajalku tidak cukup untuk semua i-tu"" Rudi memancing.
"Ngomong apa kau""
"Tadi malam aku mimpi ditusuk orang. Ulu hati-ku mengeluarkan darah banyak sekali ..."
"Bodoh. Kau masih percaya pada primbon-prim-bon""
Buru-buru Rudi menyelipkan kartu nama tadi ke dalam saku kemeja Timur Mangkuto. Ia yakin saha-batnya itu tidak akan menolak tawaran ini. Terlepas apakah komandan mereka masing-masing akan menye-tujui
kegiatan mereka ini. "Kau pecahkan teka-teki KePaRad itu dan aku cari tahu kenapa gadis-gadis dibunuh!" Rudi meng-ingatkan lagi sebelum Timur Mangkuto melangkahkan kaki pergi.#
15 Sepanjang jalan menuju Mapolda, Timur Mangkuto
mengutuki mimpi buruknya. Pembicaraan panjang lebar dengan Rudi tadi ma-l
am telah terbawa ke alam mimpi. Sosok dengan pakaian hitam menerkam dan berusaha mem-bunuhnya. Sialnya, sosok laki-laki yang terasa nyata dalam mimpi itu tidak mampu ia kenali.
Motor yang dikendarai Timur Mangkuto menanjak naik menuju parkiran Mapolda. Ia merasa aneh melihat sikap bintara-bintara polisi yang berjaga sepanjang gerbang. Beberapa orang tersenyum, beberapa lagi seperti menuntunnya untuk terus masuk. Padahal tiap hari ia melewati mereka. Tetapi ia tidak mau memikirkan hal itu. Motornya terus melaju, melewati gedung Ditlantas, kemudian lapangan apel Direktorat Samapta. Beberapa meter menjelang gedung Detsus Antiteror, Timur Mangkuto melambatkan laju motornya. Dari arah belakang, ia mendengar raungan tiga motor trail Unit Reaksi Cepat. Ia memberi jalan. Tetapi tiba-tiba petugas yang membonceng motor Unit Reaksi Cepat, menghantam Timur Mangkuto dengan satu pukulan pentungan. "Bukk!" tepat menghantam rusuknya. Timur Mangkuto terhuyung, beruntung ia masih bisa menguasai motornya.
Tetapi itu hanya sementara. Satu buah tendangan
menyusul. "Paaakkkkkk!" tepat menghantam tangki mi-nyak motornya. Timur Mangkuto tidak lagi bisa me-nguasai kendaraanya. Ia jatuh, tetapi masih sempat me-loncat sehingga tidak masuk dalam selokan kecil di pinggir lapangan apel. Ia benar-benar kaget. Ia berusaha bangkit dan mengejar petugas yang ia pikir telah kehilangan akal sehat itu. Ketika berusaha bangkit, ia kaget. Kerumunan polisi bersenjata lengkap, tengah bergerak ke arahnya.
Sebelum Timur Mangkuto benar-benar menyadari, da ri arah depan, satu buah sedan tua berwarna hijau me-norobos kerumunan polisi. Sedan itu berhenti tepat di depannya.
"Cepat naik, Inspektur," terdengar seruan dari dalam sedan.
Timur Mangkuto tidak punya pilihan lain. Walau-pun masih bingung memikirkan apa yang tengah ter-jadi, ia langsung masuk ke dalam sedan tua itu. Pengemudinya langsung tancap gas berusaha meninggalkan Mapolda. Para polisi itu berusaha mengejar. Sirene mengaung-ngaung di halaman Mapolda. Tetapi tidak ada yang dapat menghentikan sedan tua tersebut.
Tinggal satu penghalang di depan gerbang utama yang menuju Jalan Sudirman. Dua buah motor besar voorijders dibentangkan di depan gerbang. Beberapa orang petugas bersiaga di depannya dengan pistol dan senapan laras panjang. Dari jauh moncong sedan yang terlihat ringsek mulai kelihatan. Beberapa petugas me-ngo-kang senapannya. Sementara dari belakang tidak kurang dari lima unit motor trail mengikuti mobil tua itu. Beberapa meter sebelum barikade motor besar, sedan tua itu mulai melambat seperti terlihat ragu-ragu untuk
menyerah atau mengambil risiko melewati dua motor itu. Beberapa petugas maju mendekati dengan langkah hati-hati.
"Inspektur Satu Timur Mangkuto, menyerahlah!" terdengar suara dari pengeras suara.
Pengemudi sedan tua memain-mainkan gas mobilnya. Tanpa diduga, ia mundur cepat ke belakang. Polisi-polisi yang mengendarai motor trail kaget, tidak menyangka mobil tua itu akan melakukan manuver seperti itu.
"Brukk! Brukkk! Brukkk!"
Motor-motor itu berjatuhan. Beberapa pengendaranya berusaha menyelamatkan diri. Dengan cepatnya sedan tua itu bergerak menuju gerbang yang dihalangi dua motor besar. Petugas yang berada di depan kedua motor besar itu tidak sempat mengeluarkan tembakan ketika sedan tua itu melintas. Mereka lebih memilih menyelamatkan diri.
Dengan cerdik pengemudi sedan tua itu menabrak ban depan salah satu motor besar. Sehingga membuat motor itu terpelanting mengenai motor yang satu lagi. Jalanan tersibak. Kedua motor itu terpelanting ke samping. Sedan tua itu lepas bergerak di jalanan raya. Polisi tidak sempat mengejarnya.
"Lelucon macam apa ini"" Timur Mangkuto ang-kat bicara setelah dari tadi menahan diri dalam ketegangan. "Anda sudah dengar sendiri bukan"" "Genta, jangan main-main kau!"
Pengemudi sedan tua itu, Genta. Ia adalah petugas si pil yang menjadi staf Timur Mangkuto pada bagian data Detsus Antiteror. Raut wajah laki-laki bertubuh tambun itu sama sekali tidak memperlihatkan ketegangan.
"Mereka ingin menangkap Anda."
"Kenapa"" "Inspektur Rudi terbunuh tengah malam tadi."
Ti mur Mangkuto terdiam, mematung. Jantungnya seperti akan runtuh mendengar kata-kata itu. Untuk beberapa saat ia terdiam. Lalu tubuhnya ia sandarkan ke jok mobil. Kedua belah tangannya menutupi wajah.
"Rudi tewas""
Genta menganggukkan kepala lemah. Timur Mangkuto tidak bisa memercayai itu. Satu-satunya teman dekat yang ia miliki sejak menjadi Taruna hingga sekarang, telah tiada. Ia ingat cerita Rudi ketika ia akan meninggalkan kamar tadi malam. Kejadian dalam mimpinya juga membayang. Seolah-olah mimpi itu diperpanjang takdirnya menjadi ke-nyataan.
"Primbon sialan!" Timur Mangkuto mengutuk. "Lalu kenapa mereka mengejarku""
"Anda tersangka utama, Inspektur!"
"Anjing! Permainan apa ini""
"Ya, begitulah."
"Aku memang dari sana semalam."
"Jadi benar, Anda yang membunuh"" Genta ber-tanya dengan tenang seolah kejadian pembunuhan tidak ubahnya dengan kejahatan ringan lainnya.
Timur Mangkuto mencengkeram kerah baju Genta. Laki laki tambun itu gelagapan sambil terus berusaha mengendalikan mobilnya. Ia berusaha meronta mele-paskan diri dari cengkeraman itu. Tatapannya seperti menunjukkan penyesalan telah menyelamatkan Timur Mangkuto dari sergapan polisi di kantornya sendiri. Ketika sedan tua itu mulai bergerak zig zag dan bebe-rapa kali menabrak trotoar jalan, Timur Mangkuto baru melepaskan cengkeramannya.
"Cerita dari mana aku membunuh temanku sendiri""
"Kenyataannya itu yang tengah Anda hadapi sekarang, Inspektur," jawab Genta lega. Kini ia bisa kembali menguasai setir mobil.
"Bagaimana ceritanya hingga aku yang menjadi tersangka""
Mayat Rudi ditemukan menjelang subuh oleh beberapa orang perwira yang baru pulang. Pintu kamarnya sedikit ternganga, suatu hal yang berada di luar kebiasaan Rudi. Setelah ditengok ke dalam, para perwira menemukan tubuh Rudi bersimbah darah. Satu tusukan belati tepat menghunjam ulu hatinya. Penyelidikan langsung dilakukan pagi itu juga. Be-berapa orang perwira yang berada di dalam kamar masing-masing pada rentang waktu kejadian dijadikan saksi.
Beberapa orang memberikan keterangan yang hampir sama. Hingga tengah malam, Rudi menerima seorang tamu. Mereka berani memastikan orang itu adalah Timur Mangkuto. Waktu keberadaan Timur Mangkuto tidak berselang lama dengan waktu pem-bunuhan seperti yang dikembangkan oleh bagian foren-sik. Saksi-saksi itu juga menjelaskan, tidak ada orang lain tengah malam itu yang bertamu selain Timur Mangkuto.
Genta mendapatkan cerita dari obrolan perwira dan bintara polisi di ruangan Detsus. Pagi ini, ia memang sengaja datang lebih cepat dari biasanya. Mendengar rencana penangkapan atasannya, Genta langsung bereaksi dengan menyelamatkan Timur Mang-kuto dari penangkapan itu.
"Apa cuma itu yang mereka jadikan dalil untuk menetapkan aku jadi tersangka"" "Ada lagi."
"Apa"" "Dua batang puntung rokok."
"Sialan. Mereka mendapatkan sidik jariku di sana"
"Iya, jadi Anda""
"Genta, hentikan hipotesa konyolmu. Aku memang bertemu Rudi semalam di kamarnya. Tetapi aku meninggalkan ruangan itu tidak lama setelah pukul dua belas malam. Lagi pula apa motifnya aku membunuh teman dekatku sendiri."
"KePaRad, inspektur! Mereka menuduh Anda ter-libat dengan KePaRad"
"Aku"" Timur Mangkuto tertawa sinis. "Siapa yang membuat tuduhan itu" Riantono""
"Bukan, tetapi pada daerah sekitar ulu hati Iptu Rudi ditemukan gambar dengan pola sama seperti yang terdapat pada tubuh Lidya..."
"Piramid dengan belahan diagonal pada bagian bawahnya""
"Iya." "Sial... keparat, KePaRad! Aku difitnah. Riantono memang tidak pernah senang dengan diriku." Sedan tua itu terus melaju menuju arah tenggara Jakarta.
Timur Mangkuto hanyut dalam lamunannya. Kejadian ini seperti mimpi buruk yang tidak perlu. Rudi mati, piramid dengan belahan diagonal pada mayatnya, apa arti semua itu" Otaknya seperti beku mencari kemungkinan-kemungkinan yang mungkin menjadi latar pembunuhan. Tetapi satu hal yang pasti, seseorang telah merasa terancam dengan penyidikan yang dilakukan oleh Rudi. Ia meratapi nasibnya. Ja-ngan-kan melihat jenazah kawannya itu untuk terakhir kali, sekadar menghadiri pemakamannya saja, sudah pasti tidak mungkin. Ia merasa tidak
diberi waktu untuk berduka. Tuduhan berat itu membuat ia tidak lagi bisa menitikkan air mata. Mau tidak mau, tawaran Rudi untuk menangani kasus ini di luar komando harus ia ambil. Harus ia ambil tanpa Rudi lagi. Harus ia ambil sebab cuma itu satu-satunya cara untuk menghentikan semua kegilaan yang ia alami ini.
Tatapannya beralih pada Genta. Lelaki itu baru satu bulan belakangan bergabung. Seorang petugas sipil honorer yang sebenarnya ia tidak terlalu sukai. Terlalu banyak bertanya, bertingkah seolah-olah ia adalah mahasiswa magang. Genta adalah seorang sar-jana informatika. Polisi membutuhkan bantuannya ke-tika gelom-bang serangan online yang dilancarkan KePaRad mencapai puncak-puncaknya. Sebenarnya bukan hanya Genta yang bergabung dengan pihak kepolisian untuk menghentikan aksi petualang ruang maya itu. Tetapi dibanding rekan-rekannya yang lain ia paling bisa bertahan bekerja dalam institusi kepolisian. Akhirnya ia ditem-patkan berada di bawah Timur Mangkuto yang membawahi bagian data dan informasi. Selain data-data umum mengenai laki-laki muda ber-tubuh tambun ini, Timur Mangkuto tidak tahu apa-apa lagi.
"Kenapa kau menyelamatkanku"" Timur Mangkuto memandang Genta penuh kecurigaan.
"Memang seharusnya itu yang saya lakukan. Bukankah Anda atasan saya"
"Klise!" tubuh tambun itu diguncang-guncangkan oleh Timur Mangkuto.
"Saya tidak yakin Anda pelakunya, Inspektur" "Bagaimana kau bisa percaya kalau aku bukan pembunuh Rudi""
"Entahlah. Tetapi saya takut ini tidak lebih dari konspirasi persaingan pangkat dan jabatan antara per-wira muda. Anda yang dikorbankan."
"Aku tidak mengerti apa yang kau omongkan."
Timur Mangkuto menghembuskan nafas dalam-dalam. Hari yang membingungkan, menyedihkan, mendebarkan tanpa titik terang ke mana ia harus mulai melangkah. Ia tidak lagi peduli pada Genta. Entah apa keinginan tersembunyi dalam pikiran laki-laki itu da-lam rentetan kejadian ini.
"Inspektur, apa yang akan kita lakukan sekarang""
Genta menyadarkan Timur Mangkuto bahwa mereka sekarang tengah berada dalam pelarian dan menjadi buronan polisi.
"Entahlah..." "Tapi kita tidak punya waktu, Inspektur."
"Hentikan mobilnya. Kau turunkan aku. Lalu kau pergi ke mana saja, biar aku saja yang tangani semua ini. Entah menyerah, entah kalah atau..."
"Inspektur," Genta terlihat kesal dengan sikap Timur Mangkuto. "Saya sudah terlanjur terlibat dalam pelarian Anda."
"Lalu"" Genta tidak menanggapi lagi pertanyaan Timur Mangkuto. Ia memberi isyarat pada Timur Mangkuto untuk melihat kaca spion kiri mobil. Pada jarak lebih kurang tiga puluh meter, dua mobil patroli polisi berwarna coklat tampak bergerak ke arah mereka. Mendekati daerah perempatan Pancoran, kedua mobil patroli itu terlihat semakin mendekat. Genta terlihat bingung harus mengambil arah mana. Timur Mang-kuto memberi sinyal belok kanan. Genta mengikuti petunjuk itu dan kedua mobil patroli itu mengikuti. Tepat pada patahan belokan, Timur Mangkuto mem-beri perintah lagi.
"Banting setir berlawanan arah."
Dengan gerak reflek, Genta memutar kemudi mobil berbalik arah dari tujuan semula. Bagian lebar dari persimpangan itu ia manfaatkan untuk memutar mobilnya. Kedua mobil polisi yang mengikuti mereka terlanjur bergerak ke arah kanan menuju Manggarai. Sementara sedan tua itu telah berbalik arah menuju Pasar Minggu. "Injak habis..."
Walaupun sudah cukup berumur, sedan itu masih bisa diajak ngebut. Lalu lintas pagi menjelang siang menuju daerah Pasar Minggu memang masih sepi. Bertolak belakang dengan jalanan dari arah Pasar Minggu yang macet. Kedua mobil polisi itu berusaha untuk berputar balik, sayang mereka terhadang traffic light yang memberi jalan pada mobil-mobil dari dan menuju Cawang. Lewat dari pertigaan Kalibata, mobil itu masuk ke gang-gang sempit. Lalu berhenti. Sedan tua itu mereka tinggalkan begitu saja.
"Apa yang akan Anda lakukan sekarang, Inspektur""
"Aku akan menjadi nyamuk bagi siapa pun yang telah membunuh Rudi. Pelan menggigit, tetapi akan menghancurkan mereka perlahan-lahan."
Dari balik saku bajunya, Timur Mangkuto mengeluarkan satu kartu nama yang tadi malam diserahkan Rudi padanya
. Ia menyerahkan kartu nama itu kepada Genta.
"Eva Rahmasari Duani. Dosen/Sejarawan..." Genta mengamati kartu nama itu.
"Kau kenal dengan perempuan itu""
"Iya, kami pernah terlibat dalam satu diskusi."
Tiba-tiba kecurigaan Timur Mangkuto kepada Gen-ta muncul kembali. Tidak mungkin suatu kebetulan saja laki-laki tambun itu mengenal perempuan yang kartu namanya diberikan oleh Rudi tadi malam. Tetapi ia urung
untuk menyelidiki lebih jauh hubungan-hubungan itu. Waktunya tidak tepat. Pada kondisi seperti ini ia cuma punya satu pilihan, percaya pada apa yang tidak mungkin dipercaya.
"Hubungi perempuan itu. Buat janji untuk ber-temu sekarang juga," perintah Timur Mangkuto.*
16 Sedan Jaguar yang ditumpangi Profesor Budi Sasmito
melaju kencang di sepanjang Jalan Gatot Subroto. Baru saja ia mendapat kabar mengenai pelarian salah seorang anggota polisi yang disinyalir sebagai anggota KePaRad. Tanpa kabar baru itu pun, sebenarnya hari ini ia memang ada janji bertemu dengan Riantono. Komandan Detsus Antiteror itu ingin membahas hasil interogasi terhadap dua orang tahanan tersangka anggota KePaRad dengan dirinya.
Profesor Budi Sasmito menyandarkan tubuhnya di jok belakang. Ia memberi tanda pada sopirnya untuk mengurangi kecepatan kendaraan. Dari dalam tas kulitnya, ia mengeluarkan beberapa berkas yang akan ia serahkan kepada Riantono. Ia membaca lagi berkas-berkas itu. Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Profesor Budi Sasmito merasa asing dengan nomor yang terdapat pada layar telepon genggamnya.
"Halo, ini siapa""
"Profesor, posisi Anda di mana""
Suara di seberang telepon itu terdengar tidak asing ditelinga Profesor Budi Sasmito. Ia tidak perlu bertanya lagi mengenai identitas penelepon. "Ganti nomor""
"Ya, mulai sekarang aku pakai nomor ini. Bagai-mana perkembangannya Prof" Mr. Wolfgang ingin kepastian dari Anda tentang benda itu""
"Aku pastikan benda itu benar berada di Indonesia. Tinggal menunggu waktu."
"Mr. Wolfang mulai tidak sabar, Prof. Seperlima uang pembayaran di muka yang Anda dapatkan bukan untuk main-main."
"Iya, saya mengerti," suara Profesor Budi Sasmito meninggi.
"Atau, jangan-jangan keadaan sudah berada di luar kendali Anda""
"Apa maksudmu dengan kata-kata itu""
"He...he...he..." suara di seberang telepon itu tertawa mengejek. "Kemungkinan siapa aktor di bela-kang KePaRad semakin meluas bukan" Anda tidak memperhitungkan perwira muda yang sekarang tengah menjadi buron itu."
Profesor Budi Sasmito cukup kaget mendengar analisa tersebut. Ia tidak menyangka laki-laki di seberang telepon begitu cepat mendapatkan informasi mengenai Timur Mangkuto. Tetapi ia mencoba untuk tetap berdalih.
"Oh tidak, aku selalu bisa mengendalikan ke-adaan."
"Bagaimana kami bisa yakin""
"Aku tidak butuh keyakinanmu."
"Ha...ha...ha..." laki-laki di seberang telepon kembali tertawa. "Keyakinanku adalah mata dan telinga untuk Mr. Wolfgang. Tanpa itu, aku pastikan Prof, Anda tidak akan mendapatkan sepeser pun dari Mr Wolfgang."
"Aku punya kuasa untuk menemukan benda itu!"
"Aku sangsi, jangan-jangan anak-anak muda KePaRad itu benar-benar sudah menemukan benda itu."
"Aku tidak peduli. Sudah ditemukan atau belum yang jelas aku akan menggunakan tangan polisi untuk mendapatkan benda itu."
"Kenapa Anda tidak mendorong polisi untuk men ciduk Profesor Sunanto Arifn""
"Percuma." "Kenapa" Bukankah anak-anak radikal itu sangat mungkin belajar banyak dari Profesor Sunanto Arifn. Dan bbagaimana kalau serat ilmu itu justru telah me-reka temukan""
"Dia sudah meninggal satu setengah bulan yang lalu. Stroke!" "Jadi""
"Aku kalah satu kosong dari Sunanto. Ia berhasil membentuk anak-anak itu menjadi radikal. Kegelisahan anak-anak muda yang melihat negeri korup ini telah ia ubah menjadi semangat untuk membangkitkan kejayaan masa silam!"
"Anda mulai pesimis"" suara di seberang telepon terdengar mengejek.
"Tidak. Aku hanya butuh tambahan dana untuk bisa menguasai polisi."
"Uang lagi""
"Iya, beberapa polisi perlu disumpal mulutnya dengan uang. Demi melancarkan rencanaku mene-mukan benda itu aku mesti menggunakan tangan polisi."
"Berapa"' "Seratus ribu dollar" "Hah!"
"Kenapa" Bukankah uang sebanyak itu tidak ada artinya bagi Mr. Wolfgang dibanding benda yang akan ia dapatkan."
"Kapan benda itu akan Anda dapatkan""
"Secepatnya! Anak-anak muda KePaRad itu akan menuntunku untuk menemukan benda itu. Lalu aku akan menggunakan tangan polisi untuk menangkap mereka dan aku akan mendapatkan benda itu dari tangan mereka langsung!"
"Jangan sampai kesabaran Mr Wolfgang habis, Prof!"
Laki-laki di seberang telepon menutup pembicaraan. Profesor Budi Sasmito menarik nafas dalam-dalam. Markas Polda Metro Jaya telah terlihat. Per-buruannya terhadap benda itu, Serat Ilmu, mulai masuk pada fase yang mendebarkan. 25 juta dollar, jumlah yang akan ia dapatkan dari pen-jualan benda itu, bukan jumlah yang sedikit. Wolfgang Gonzales, pria nyentrik asal Prancis keturunan Spa-nyol, bersedia membayar mahal untuk benda yang sudah ada sebelum orang berhitung dengan waktu.
"Atlantis pembawa berkah, datanglah," ia berguman sendiri.
Bayangan mengenai cerita benua yang hilang kembali menggoda pikirannya, membawa dirinya pada masa-masa yang telah lewat ketika cerita mengenai benda tersebut baru ia dapatkan.*
17 Sebelas tahun yang lalu Budi Sasmito menjejakkan kakinya di Paris. Penantian belasan tahun sebagai dosen di Universitas Indonesia akhirnya membuahkan hasil. Ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S-3 di Paris. Tempat yang paling cocok untuk melanjutkan studi sejarah.
Universite de Paris, salah satu universitas tertua di dunia setelah Oxford dan Bologna. Kampus yang telah berdiri sejak 1252 ketika seorang pendeta raja Prancis, Robert de Sorbon, membentuk College de Sorbon. Kampus yang selama ini menjadi impiannya. Setelah reorganisasi pada tahun awal tahun 70-an, Universitas Paris dipecah menjadi tiga belas universitas mandiri. Mulai dari Universitas Paris I Phanteon-Sorbonne hingga Universitas Paris XIII Paris Nord.
Profesor Budi Sasmito memilih Universitas Paris IV Paris-Sorbonne. Kampus itu cocok dengan keinginannya untuk mempelajari sejarah klasik. Literaturnya lengkap dan didukung sejarah panjang dengan banyaknya menghasilkan sejarawan klasik.
Tetapi tidak selamanya literatur yang lengkap bisa memuaskan hasrat keingintahuan, begitu yang dirasakan Budi Sasmito. Ia menemukan ilmu sejarah seolah dibatasi
oleh waktu. Sisanya adalah milik arkeologi tanpa batas. Angka 4000 atau 3000 sebelum Masehi selalu dipatok sebagai era dimulainya sejarah peradaban manusia. Mesir, Mesopotamia, India, Cina bahkan kemudian Romawi dan Yunani dipatok sebagai tempat-tempat berkembangnya sejarah klasik. Budi Sasmito belum puas. Ia terlalu yakin di balik umur bumi yang sudah sangat tua ini terdapat peradaban yang jauh lebih tua dari apa yang pernah disebutkan oleh literatur sejarah.
Ia terus mencari dengan keluar masuk Museum Louvre. Terlibat dalam pertemuan intelektual yang dilakukan di dalam kampus tetapi ia tetap tidak mene-mukan ada jawaban yang memuaskan. Suatu ketika di universitas yang sama, ia bertemu dengan Duani Abdullah, seniornya di Universitas Indonesia yang hampir merampungkan S-3 sejarah klasik. Mereka terlibat dalam diskusi panjang. Mencari titik awal sejarah peradaban manusia.
Jawaban dari pertanyaan mereka ternyata bukan di kampus, juga bukan di Museum Louvre, melainkan di Latin Quarter. Tempat yang menjadi saksi gerakan mahasiswa Prancis tahun 1968. Bagian dari kecen-derungan global menentang perang dan munculnya generasi hippies. Dulu gerakan mahasiswa telah mem-buat Universitas Paris tutup untuk pertama kali setelah penutupan tiga belas tahun selama Revolusi Prancis hingga Napoleon membuka kembali pada 1808.
Negara Kelima Karya Es Ito di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di Latin Quarter tidak ada formalitas. Orang-orang berkumpul menurut kegemaran mereka. Terhampar begitu saja seperti orang-orang yang mencari nafkah dari catur tiga langkah. Salah satu kumpulan aneh di hamparan taman itu adalah intelektual-intelektual yang memperdebatkan awal peradaban manusia.
Peradaban Atlantis Timaeus and Criteas
Awal kedatangan mereka di tempat itu sudah disambut dengan sensasi Atlantis. Sebagian dari orang-orang yang biasa berkumpul di tempat itu meyakini bahwa peradaba
n manusia dimulai lebih tua dari yang dikenal sejarah. Atlantis adalah titik asal manusia, demikian salah satu kesimpulan dari diskusi liar. Tetapi selain kitab dialog Timaues and Critias karangan Plato, tidak ada lagi sumber pasti yang bisa menjelaskan tentang Atlantis. Bahkan tidak ada temuan arkeologis yang menembus angka sembilan ribu tahun. Apalagi sebelas ribu.
Di mana Atlantis tenggelam"
Apa yang menyebabkannya tenggelam"
Mereka mengikuti saja pembahasan dari para sejawa-ran dan arkeolog yang mengadakan diskusi liar dan terbuka itu. Berbagai analisa dan pemikiran historis tentang Atlantis dikemukakan dalam forum bebas ter-sebut. Mulai dari pemikiran Plato dalam Timaues and Critias yang memberikan ciri-ciri umum dari negeri Atlantis sebagaimana cerita dari Solon, Francesco Lopez de Gomara yang berani menyatakan Atlantis terletak di Amerika, kemudian tiga orang sejarawan Maya, Abbe Brasseur de Bourbourg, Augustus Le Plongeon, dan Edward Herbert Thompson yang percaya bahwa orang-orang Indian Maya adalah keturunan langsung dari orang-orang Atlantis. Sebagian lagi mengangkat teori arkeolog Yunani, Spyridon Marinatos, yang me-nya-takan
mitos Atlantis diambil dari kisah tenggelamnya Pulau Thera dekat Pulau Kreta, Yunani.
"Aku yakin, Atlantis tidak akan pernah ditemukan. Sebab selama ini sejarawan dan arkeolog telah mencari Atlantis pada tempat yang salah," ujar seorang peserta diskusi dengan logat Inggrisnya kental pada suatu sore di akhir musim semi. Ia mengajukan pendapat yang sangat mengejutkan, "Atlantis tidak terletak di lautan Atlantik sebagaimana asumsi selama ini. Atlantik tenggelam dan menyisakan deretan kepulauan yang luas, Indonesia."
Ia mengangkat beberapa teori, termasuk teori William Lauritzen, seorang Amerika yang coba menyelidiki keberadaan Atlantis secara komparatif dengan menautkan semua disiplin ilmu. Ilmuwan ini berani memberikan hipotesa bahwa benua Atlantis yang tenggelam itu berada di lautan Nusantara. Atlantis adalah koloni terluas dan terpadat dari Benua Lemuria. Luas-nya sama dengan gabungan antara Libya dan Asia Minor, terbentang mulai dari daratan tenggelam yang sekarang telah menjadi Laut Cina Selatan hingga Lautan Indonesia, dan dari India hingga Oceania.
Ketika beberapa peserta diskusi lainnya menanyakan di mana persisnya negeri Atlantis terletak, laki-laki itu menggelengkan kepala dan hanya bisa memberikan gambarannya saja. Ia belum bisa memastikan di mana tepatnya keberadaan metropolitan Atlantik. Hanya saja yang jelas, metropolitan itu terletak pada benua Lemuria yang melingkupi seluruh kepulauan Nusantara. Ditambah dengan bagian-bagian yang sekarang telah tenggelam dan menjadi lautan luas termasuk Laut Cina Selatan dan bagian dari lautan Hindia yang membujur hingga bagian Selatan anak benua Asia, India.
Teori tentang keberadaan Atlantis yang tenggelam di kepulauan Indonesia itu menyentak banyak orang, terutama Budi Sasmito dan Duani Abdullah. Suatu hal yang mendorong mereka untuk memperdalam pengetahuan tentang sejarah Atlantis. Apalagi kemudian di tempat itu mereka bertemu dengan seorang Indonesia lainnya, Sunanto Arifin. Ia juga tengah menuntut ilmu di Sorbonne, konsentrasi sejarah modern.
Kemudian teori ini dikait-kaitkan para ahli dengan kata kata seorang peramal terkemuka Amerika pada tahun 1930-an, Edgar Cayce. Peramal yang sering dipanggil dengan sebutan Nabi Tidur itu berhasil meramalkan akan terjadinya Perang Dunia I dan II, berdirinya negara Israel, kemerdekaan India, dan bebe-rapa peristiwa penting di dunia. Tetapi fokus para ahli yang tertarik dengan masalah Atlantis, ada pada ramalan Cayce tentang kebangkitan benua Atlantis setelah ke-kacauan global pada awal abad 21 dengan munculnya bencana-bencana besar yang melanda dunia. Kemudian muncullah orang-orang Atlantis yang telah ber-ein-karnasi. Semua kebangkitan itu terletak pada kekuatan sebuah kristal yang hingga saat ini terpendam entah di mana. Itulah menurut Cayce yang menjadi sumber kekuatan Atlantis kuno belasan ribu tahun yang lalu. Kristal besar dengan diameter seribu mil persegi itu telah disalahgunakan pada masa a
khir peradaban Atlantis kuno sehingga menyebabkan kehancuran.
Namun sebagian besar orang-orang yang terlibat dalam diskusi mengenai Atlantis sepakat bahwa gam-baran Cayce tidak selamanya benar. Salah seorang di antaranya bahkan menggambarkan kristal itu dengan penjelasan yang lebih masuk akal.
"Kristal Atlantis tidak sebesar itu. Benda itu justru sangat kecil. Berbentuk batu hitam mengilat seperti batu bara dengan bentuk menyerupai piramid. Benda ini disebut-sebut dalam dialog Timaeus and Criteas sebagai Pillar Orichlacum yang diletakkan di tengah kota Atlantis. Ketika Atlantis tenggelam beberapa orang berhasil menyelamatkan kristal itu. Bentuk piramidanya mungkin bagian dari gambar gunung-gunung tinggi dan indah yang mengelilingi negeri Atlantis."
Budi Sasmito dan dua orang rekannya tidak terlalu suka dengan istilah kristal sebagai sebutan untuk benda itu. Mereka lebih senang menyebut benda itu sebagai Serat Ilmu. Sebab dalam keyakinan mereka benda itu adalah simbol kebajikan orang-orang Atlantis. Itu sebabnya benda itu memiliki kekuatan yang sangat besar dalam memelihara kebesaran benua Atlantis.
Menjelang akhir masa tinggal di Paris, satu orang lagi dari Indonesia bergabung dalam kelompok diskusi liar tersebut, Amirudin Syah. Sama seperti Budi Sas-mito, laki-laki keturunan Sumatera itu mengambil program doktoral untuk sejarah klasik. Selama beberapa waktu mereka berempat melakukan kajian intensif mengenai benua yang telah hilang itu. Namun di kemudian hari, Amirudin Syah tidak pernah kembali ke Indonesia, ia tampaknya lebih memilih untuk me-ne-tap di Paris.
Kembali ke Indonesia, tiga orang doktor sejarah itu sepakat untuk mengadakan penelitian besar-besaran untuk menyingkap keberadaan benua Atlantis di Indo-nesia. Mereka memfokuskan penelitian di kepulauan sekitar Laut Cina Selatan yang dipercaya sebagai bekas daratan yang tenggelam ketika jaman es berakhir sebe-las ribu tahun yang lalu. Sayangnya, ketika mereka
mengajukan proposal penelitian ini kepada pemerintah, proposalnya ditolak mentah-mentah. Sebab sama sekali tidak menggambarkan realitas perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Mereka kesulitan dana, sementara penelitian telah terlanjur dimulai. Lebih kurang lima tahun lama-nya mereka meneliti dengan dana yang sangat minim. Yang mereka dapatkan hanyalah kesia-siaan.
Pada akhirnya perpecahan itu tidak dapat dihindari. Sebuah lembaga donasi dengan sponsor korporasi besar internasional menawarkan dana untuk penelitian de-ngan syarat setiap benda kuno berkaitan dengan Atlantis yang ditemukan akan menjadi hak korporasi itu. Korporasi menawarkan kontrak kerja yang meng-giurkan kepada Profesor Budi Sasmito dan dua orang teman-nya. Nilai kontraknya mungkin beratus kali lipat dari gaji dosen seumur hidup yang akan mereka dapat-kan.
"Kita ini ilmuwan, mengabdi untuk kemanusiaan. Bukan untuk uang!"
Demikian jawaban Profesor Duani Abdullah ketika menolak tawaran tersebut. Ia langsung mundur dari semua hal berkaitan dengan benua Atlantis dan kembali mengajar di kampus.
Profesor Sunanto Arifin juga menolak tawaran itu.
"Penelitian ini bukanlah kontrak kerja yang harus diperdagangkan dengan korporasi besar. Sudah cukup selama ini temuan sejarah Nusantara menumpuk di museum-museum luar negeri. Aku tetap ingin melan-jutkan penelitian tentang Atlantis, tetapi demi sejarah dan kebesaran Nusantara yang sekarang bernama Indo-nesia. Penelitian ini akan membuat kita mampu untuk mengubah Indonesia!" demikian penegasan Profesor Sunanto Arifn.
Sedangkan Profesor Budi Sasmito merasa tidak ada yang salah dengan tawaran itu. Ia beranggapan, sah-sah saja mereka mendapatkan kontrak besar seperti itu mengingat tugas mengungkap sejarah dunia yang mereka emban. Ia juga tidak pernah memper-masalah-kan di mana benda sejarah yang akan mereka temukan akan dipajang dan ditempatkan. Bahkan seandainya benda itu akan menjadi koleksi pribadi, ia tidak peduli sepanjang ia mendapatkan bayaran yang pantas.
Mereka akhirnya bergerak sendiri-sendiri. Profesor Su-nanto Arifin yang minim secara dana tetapi mampu merekrut banyak anak muda. Setidaknya berdiskusi ten
tang kebesaran Nusantara kuno ribuan tahun silam. Tetapi akhirnya namanya tidak terdengar lagi. Penelitian yang ia lakukan tampaknya dikalahkan oleh realitas minimnya dana yang ia miliki untuk meneruskan. Sedangkan Profesor Budi Sasmito diberi tenggat waktu tiga tahun oleh korporasi besar yang mengontraknya untuk menemukan benua yang tenggelam itu beserta benda-bendanya, terutama Serat Ilmu.
Sekian tahun berlalu begitu saja, Profesor Budi Sasmito terbuai oleh popularitas yang ia miliki ketika berani mengangkat isu ini ke permukaan. Ia tidak pernah menemukan benda itu walaupun dana yang diberikan sudah tipis. Kontrak kerjanya akhirnya di-putus oleh korporasi. Munculnya KePaRad yang ia yakini sebagai kelompok ideologi ciptaan Profesor Sunanto Arifin telah menimbulkan harapan baru bagi Profesor Budi Sasmito. Ia yakin anak-anak muda ini mampu menuntun dirinya untuk menemukan Serat ilmu.
Sebuah kebetulan yang tidak disangka-sangka. Pada saat yang hampir bersamaan, seorang kaya nyentrik
bernama Wolfgang Gonzales yang tinggal di daerah peristirahatan sekitar pegunungan Phyrenia, melalui seseorang di Indonesia, menghubunginya. Tawar me-nawar terjadi. 25 juta dollar disepakati sebagai nilai Serat Ilmu. Benda artifisial tertua di dunia yang bisa memberikan semua yang diinginkan oleh Profesor Budi Sasmito dalam menghabiskan sisa hidup-nya.#
18 Terik matahari siang seakan membakar Pasar Senen.
Timur Mangkuto dan Genta buru-buru turun dari bis Metromini 17 yang mereka tumpangi dari arah Stasiun Cikini, persis di depan Mal Atrium. Dengan lincah keduanya menyusup masuk dalam kerumunan orang yang mena-warkan dan membeli berbagai barang. Di dekat orang-orang yang menjual baju bekas, langkah keduanya terhenti. Satu botol air mineral membasahi kerongkongan mereka. Sedari pagi tidak satu pun benda padat maupun cair yang masuk ke dalam tubuh kedua-nya.
"Kau yakin dia akan datang kemari"" Timur Mangkuto menepuk pundak Genta.
"Tenang saja. Saya sama sekali tidak menyinggung na ma Anda di telepon. Semuanya saya kaitkan dengan misteri kematian Rudi. Anda benar, perempuan itu tampaknya pernah memiliki hubungan yang sangat dalam dengan Rudi."
Tidak lama telepon genggam Genta berdering. Tampaknya orang yang mereka tunggu telah sampai di tempat yang dijanjikan. Genta berjalan sendiri, sementara Timur Mangkuto menunggu di tempat ter-sembunyi. Ketika Genta sampai pada kerumunan orang yang tengah berdesakan untuk membeli pakaian bekas, ia melihat satu
tangan melambai-lambai. Ia bergerak ke arah lambaian tangan itu. Seorang perem-puan ber-kulit terang dengan pakaian santai, jeans dan kaos, ia temui. "Eva Duani, masih ingat saya kan""
"Tentu, Genta bukan" Kamu paling ceriwis pada waktu seminar itu."
"Maaf kita tidak punya banyak waktu. Anda bawa mobil""
Eva Duani menganggukkan kepalanya. Lalu ber-jalan menuju lantai atas Pasar Senen. Tepat di atas orang-orang yang berjualan buku bekas. Di depan mobil kijang keluaran terbaru langkah keduanya ter-henti. Mobil itu kemudian bergerak menuruni lantai atas bangunan. Genta masih sempat melihat beberapa stel pakaian hitam yang terdapat di jok belakang mobil. Ia menduga Eva Duani baru saja dari tempat Rudi atau ia baru saja mau berangkat. Selepas dari pos pembayaran uang parkir, mobil memasuki jalan raya bergerak ke arah Kramat. Dugaan Genta tepat, lalu lintas sangat macet. Untuk beberapa saat mobil tidak bergerak. Sesekali Genta melihat keluar. Ketika satu tubuh tinggi bercambang tipis berlari-lari kecil dari arah belakang mobil, menyeruak dari kerumunan mobil macet, ia menarik nafas lega.
Sebelum Eva Duani menyadari, tangan Genta sudah bergerak menekan tombol pelepas kunci pintu mobil. Eva Duani kaget. Satu sosok tubuh telah masuk ke dalam mobilnya tepat di belakang dirinya yang tengah mengemudikan mobil. Ia melirik tajam pada Genta.
"Ada apa ini""
"Maaf, kami terpaksa melakukan ini." Tiba-tiba Eva Duani berteriak histeris. Ia baru menyadari bahwa sosok laki-laki yang berada persis di belakangnya itu adalah orang yang sama dengan yang ia lihat di berita televisi. Tersangka utama dalam kasus pembunuhan terhadap
Rudi. Eva memegang gagang pintu, memanfaatkan kemacetan ini untuk melarikan diri. Tetapi semua itu terlambat. Dari belakang Timur Mangkuto menodongkan pistol tepat pada rusuknya. Perempuan muda itu mengurungkan niatnya melarikan diri. Ia mencoba untuk bersikap tenang.
"Ada apa ini, Genta" Kamu juga terlibat dalam pembunuhan Rudi""
"Maaf, kami terpaksa melakukan ini," Genta mengulang lagi kata-katanya.
"Apa yang kalian inginkan dariku. Aku sama sekali tidak terkait dengan Rudi. Aku sama sekali tidak tahu bagaimana Rudi dibunuh. Aku sama sekali tidak ada harganya jika kalian berharap dengan membunuhku bisa menghilangkan jejak kalian..." kata-kata itu ter-dengar emosional.
Jalanan sudah mulai lancar. Timur Mangkuto memberi isyarat kepada perempuan muda itu untuk menjalankan mobilnya.
"Aku bukan pembunuh Rudi!" Timur Mangkuto akhirnya angkat bicara. "Seperti cerita lama, setiap kasus membutuhkan tersangka sementara untuk mene-nangkan masyarakat. Sialnya kali ini justru aku yang jadi korban. Aku membutuhkan bantuanmu."
"Maaf, aku tidak bisa membantu apa-apa. Kalau-pun aku diminta bersaksi, tidak akan bisa meringankan apa yang telah dituduhkan padamu."
"Ha...ha...ha..." Timur Mangkuto tergelak. "Bukan itu yang aku maksudkan. Aku juga sudah bisa menebak kamu dan Rudi adalah cerita masa lalu. Itu sebabnya Rudi
enggan bercerita padaku tentang kamu."
Wajah Eva Duani langsung menjadi merah men-dengar kata-kata itu. Timur Mangkuto merasa sudah menguasai separuh permainan. Ia meminta Genta untuk menggantikan posisi Eva Duani menyetir mobil, se-mentara gadis itu duduk di jok belakang bersama dengan dirinya.
"Aku membutuhkan bantuanmu untuk mencari pembunuh Rudi."
"Maaf, aku tidak bisa dan tidak mengerti apa yang kamu maksudkan," perempuan muda itu tampak sudah tenang.
"Sekadar membantu memecahkan tiap bagian dari kasus ini, kamu juga tidak bersedia""
"Apapun yang akan ditemukan nantinya itu tidak akan bisa menghidupkan kembali Rudi."
Timur Mangkuto menghela nafas, ia mulai kesal dengan perempuan yang penuh dengan praduga ini. Ia menyelipkan lagi pistolnya di balik pinggang.
"Polisi memang bukan ahli sihir yang bisa men-janjikan merubah segala sesuatu menjadi keajaiban yang membahagiakan. Kami adalah guru sejarah jalanan. Tiap kasus yang kami ungkapkan tidak ada penga-ruhnya dengan korban yang telah mati. Kasus-kasus itu diungkapkan sebagai pelajaran kepada yang masih hidup bahwa untuk setiap tindakan selalu ada bayar-annya, entah nyawa, entah penjara atau mungkin sekadar denda."
"Tetapi maaf sekali lagi!" suara Eva Duani mening-gi, mata sipitnya yang indah seperti tenggelam ketika alisnya naik. "Aku tidak bersedia membantumu! Apa-pun yang kamu katakan."
"Baik. Aku tidak memaksa ... Genta pinggirkan mobilnya. Kita keluar dari mobil ini sekarang juga. Perempuan ini tidak seperti yang kita duga."
Beberapa meter melewati rumah sakit St Carolus, mobil melambat. Di dekat warung rokok kecil mobil itu akhirnya berhenti. Genta sudah menjejakkan kaki-nya di luar mobil.
"Sayang sekali, kamu punya ilmu tetapi itu semua cuma endapan sampah yang menggunung di dalam tengkorak kepala. Sebenarnya aku membutuhkan apa yang kamu kuasai tetapi tidak aku mengerti. Untuk menemukan pembunuh Rudi, aku ingin tahu teka-teki Atlantis!" Timur Mangkuto menatap tajam ke mata perempun muda itu.#
19 Profesor Budi Sasmito sampai di depan pintu ruang
kerja Riantono tepat pada saat jammakan siang selesai. Riantono menyambut kedatangan Profesor Budi Sasmito dengan wajah kusut. Tampaknya pelarian Timur Mangkuto benar-benar membuat ia frustasi. Pada sofa panjang, ia lihat Melvin sibuk menyusun beberapa dokumen.
"Apa yang sebenarnya terjadi"" Nada suara Pro-fesor Budi Sasmito terkesan simpatik.
Riantono tidak langsung menjawab. Ia meletakkan ta ngan di belakang kepala, kemudian menyandarkan diri pada kursi kerjanya.
"Aku tidak mengira sama sekali kalau kita akan keco-longan seperti ini."
"Inspektur Satu Timur Mangkuto"" Profesor Budi Sasmito menduga.
"Iya, siapa lagi" Kebutaan ideologis telah membuat orang lupa segala sesuatunya, bahkan tega membunuh temannya sendiri."
" Anda yakin, ia pelakunya""
"Hampir tidak ada kemungkinan lainnya," Rian-tono menghela nafas. "Kalau bukan dia pelakunya, kenapa harus melarikan diri""
"Bagaimana ia bisa kabur""
Dengan memberikan pertanyaan itu berarti memancing lagi kekesalan Riantono. Pagi tadi sebenarnya rencana penangkapan Timur Mangkuto telah disusun dengan rapi dan meyakinkan. Penemuan mayat Rudi sengaja dirahasiakan. Memberi kesan kepada Timur Mangkuto bahwa polisi tidak mencurigainya sama sekali. Rencana berjalan dengan baik, Timur Mangkuto datang ke Mapolda seperti biasanya.
Skenarionya, Timur Mangkuto akan dibiarkan ma-suk gedung Detsus Antiteror. Baru kemudian di dalam gedung, ia ditangkap. Tetapi Kapolda tidak sabar, me-nga-caukan skenario Riantono. Orang nomor satu di Mapolda itu tampaknya tidak mau mengambil resiko tambahan. Ia memerintahkan puluhan petugas bersiaga membekuk Timur Mangkuto. Ketika perwira muda itu baru sampai di depan Lapangan Apel Direktorat Samapta, mereka beraksi. Akhirnya, kegagalan yang harus mereka terima.
"Kira-kira apa motif dibalik pembunuhan ini"" Profesor Budi Sasmito bertanya penuh selidik.
"Timur Mangkuto kemungkinan terlibat sebagai anggota KePaRad. Pembunuhan terhadap puteriku adalah pancingannya pada polisi atau sekadar ingin mencoba-coba kemampuan penyidikan kita. Mungkin, Rudi mengetahui rahasia Timur Mangkuto. Menyadari hal itu, Timur Mangkuto tidak punya pilihan lain. Menghilangkan nyawa Rudi rupanya satu-satunya cara."
"Aku lebih tertarik pada Genta, laki-laki yang telah membantu pelarian itu. Aku curiga pada laki-laki tambun tersebut," potong Melvin. Ia ingin menye-lamatkan penjelasan Riantono yang terkesan dangkal.
"Kenapa"" Profesor Budi Sasmito terpancing.
"Ia masuk bertepatan dengan serangan para hacker
di jaringan internet."
"Lalu di mana letak kecurigaanmu"" Riantono ikut bertanya.
"Serangan di internet itu sebenarnya tidak lebih dari rekayasa belaka dari KePaRad. Mereka ingin memasukkan anggota mereka ke dalam kepolisian. Menjadi tenaga ahli untuk masalah internet. Itu satu-satunya jalan untuk masuk ke dalam kepolisian dan mereka mungkin telah berhasil. Lihat saja sejak peng-gerebekan itu tidak lagi terdengar aktivitas pembobolan situs-situs penting."
Argumen dan penjelasan dari Melvin cukup meyakinkan. Ia berani berspekulasi bahwa Genta tidak lebih dari seorang penyusup. Riantono manggut-manggut, seolah mendukung teori anak buahnya.
"Lalu kenapa ia menyelamatkan Timur Mangkuto""
"Karena Timur Mangkuto mungkin juga anggota KePaRad," nada suara Melvin menggambarkan ia tidak terlalu yakin dengan jawabannya.
Percakapan mereka berdua kembali membentur tembok penghalang. Sementara Profesor Budi Sasmito dilanda kecemasan, takut kalau anak-anak muda yang ia cap radikal itu, telah menemukan Serat Ilmu.
"Bagaimana dengan rangkuman teka-teki yang keluar dari mulut dua orang tahanan" Ada sesuatu yang Anda temukan dari teka-teki tersebut, Prof""
"Tampaknya itu hanyalah permainan untuk batas level keanggotaan."
"Maksud Anda, Prof"" Riantono tampak bingung.
"KePaRad jelas sebuah organisasi yang disusun dengan rapi. Mereka tidak ingin anggota baru langsung masuk ke dalam lingkaran inti kelompok. Tiap anggota baru perlu memahami teka-teki itu dan menemukan sendiri
jawabannya. Jawaban itulah yang akan me-nuntun mereka akan kesadaran cita-cita kelompok mereka dan mengubah tiap pribadi menjadi seorang yang radikal."
"Anda berhasil pecahkan semua teka-teki""
"Aku cuma bisa pastikan satu, sisanya dugaan."
"Bagian mana""
"Negara pertama mereka. Solon membawa berita. Plato membuat cerita. Sejarah mencari asalnya. Satu satu kosong kosong kosong terlalu lama."
"Apa arti semua itu""
Dua nama yang terdapat dalam teka-teki, Solon dan Plato, mungkin berkaitan dengan kitab dialog karangan Plato, Timaeus and Critias. Satu-satunya doku-men sejarah yang dijadikan sumber tentang keberadaan benua Atlantis."
"Atlantis"" ekspresi wajah Riantono terlihat tambah bingung.
"Iya, Atlantis. Peradaban yang pernah ada sebelas ribu tahun yang lalu. Tenggelam, hilang begitu saja tanpa bekas."
"Yang lainnya""
"Negara kelima! Jelas apa yang me
reka cita-citakan saat ini. Selain itu aku belum bisa menangkap hal lainnya. Sementara tiga negara lainnya, aku cuma menduga-duga. Semoga pemikiran mereka sama sempitnya dengan pemikiran kita."
"Apa itu, Prof""
"Negara kedua mereka mungkin Kerajaan Kutai, tonggak awal masa sejarah peradaban Indonesia pada 400 masehi. Negara ketiga mereka mungkin Sriwijaya atau Majapahit, lambang imperium Nusantara pada masa-masa awal. Dan negara keempat mungkin Majapahit atau
Indonesia modern. Tetapi dugaanku itu tanpa landasan teori..."
"Juga tanpa asumsi, Prof"" potong Melvin. Pro-fesor Budi Sasmito mengangguk setuju dengan dugaan Melvin.
Asap rokok mulai memenuhi ruang ber-AC itu. Tiga orang mulai membicarakan langkah-langkah yang akan mereka lakukan untuk menangkap Timur Mangkuto.
"Sore ini kita harus kembali ke rumah di daerah Pantai Indah Kapuk. Siapa tahu kita menemukan sesuatu di sana!" kesimpulan sekaligus perintah keluar dari mulut Riantono.*
20 Mendengar kata-kata Atlantis, Eva Duani langsung
bereaksi. Ia menahan tangan Timur Mangkuto yang akan membuka gagang pintu.
"Tunggu, jelaskan apa maksud kata-katamu itu""
"Eva, pembunuhan Rudi erat kaitannya dengan teori-teori tentang benua Atlantis yang diusung sebuah kelompok radikal."
Eva Duani kaget mendengar penjelasan itu. Pendiriannya mulai goyah. Ia menggigit-gigit bibir tipisnya. Ia sadar dari tadi laki-laki di sampingnya itu memang tengah memainkan satu situasi untuk membuat ia terjebak ke dalam lingkaran masalah ini. Tetapi pada akhirnya ia memang tidak bisa menolaknya.
"Baik, kita lanjutkan perjalanan ini. Tetapi jangan berharap terlalu banyak padaku untuk bisa menemukan simpul kasus ini."
Genta kembali masuk ke dalam mobil. Ia sekarang berada di belakang setir dan mengarahkan mobil sesuai permintaan Eva Duani menuju selatan Jakarta.
Sepanjang perjalanan, Timur Mangkuto menceritakan kasus sebelum hingga sampai terbunuhnya Rudi. Sesekali Genta menambahkan dan mengoreksi pen-jelasan Timur
Mangkuto. Ia menceritakan tentang pembajakan situs yang dilakukan oleh KePaRad. Te-muan polisi dari hasil penggerebekan terhadap rumah yang disinyalir sebagai tempat pertemuan anggota KePaRad hingga lembaran kertas interogasi.
"Aku sama sekali tidak mengerti kasus ini," Timur Mangkuto menutup penjelasannya.
"Jadi mereka benar-benar ada""
"Maksudmu""
"Kelompok radikal itu""
"Kenyataannya seperti itu."
Eva Duani terdiam. Pikirannya menerawang. Pengetahuannya tentang semua hal berkaitan dengan kelompok itu tampaknya lebih luas dari dugaan Timur Mangkuto. Perempuan itu sepertinya sudah pernah mendengar keberadaan kelompok radikal itu. Hanya saja jika perkembangan sejauh ini termasuk beberapa kasus pembunuhan, ia sangat terkejut.
"Apa yang mereka cari dengan semua ini""
"Belum tentu mereka pelakunya," Genta menang-gapi pertanyaan Eva Duani.
"Lalu"" "Konspirasi mungkin. Pembunuhan itu mungkin sama sekali tidak terkait dengan apa yang dilakukan oleh kelompok radikal itu. Kejadian saling berlepasan dan bebas muncul secara bersamaan, kemudian ada yang memanfaatkan satu atas lainnya."
Teori Genta itu bisa jadi juga benar tetapi sulit untuk membuktikan kebenaran dari teori yang rumit itu.
"Bagaimana kamu tahu aku" Dari Genta"" Eva Duani berspekulasi
"Dari Rudi," jawab Timur Mangkuto singkat.
"Hah!" "Dia seperti sudah punya firasat ada suatu hal yang tidak beres akan menimpa dirinya. Aku sebenarnya perwira muda yang sudah mati dalam karier di kepolisian. Satu-satunya alasan yang membuat aku berusaha untuk memecahkan kasus ini adalah Rudi. Setiap orang memiliki kelemahan dalam hidup. Kelemahanku adalah keberanianku dalam menentang atasan. Itu sebabnya aku tersingkir dan sekarang dengan gam-pang dituduh sebagai tersangka utama pembunuhan terhadap Rudi. Hubunganku dengan Rudi lebih dari sekadar teman, bahkan mungkin juga lebih dari saudara."
Mobil mulai menanjak naik di pintu tol Rawa-mangun. Iring-iringan kendaraan berat yang membawa kontainer dari arah Tanjung Priok sedikit membuat lalu lintas di jalan tol dalam kota itu terganggu. Mobil-mobil berjalan pelan. Timur Mangkuto balik bertanya seraya memanda
ng bergantian antara Genta dan Eva, "Bagaimana kalian berdua juga bisa kenal satu sama lain."
Ternyata jawabannya tidak serumit yang ia duga. Keduanya kenal dalam sebuah seminar tentang topik yang tengah mereka bicarakan saat ini, benua Atlantis. Selepas dari seminar, pada beberapa diskusi kecil yang diadakan oleh kelompok-kelompok yang tertarik de-ngan keberadaan benua yang hilang, keduanya kembali bertemu. Tetapi hubungan mereka hanya sebatas itu. Teman diskusi dalam pertemuan-pertemuan tidak te-ren-cana untuk satu topik bahasan yang sama.
"Aku tetap tidak mengerti bagaimana cerita orang-orang Eropa mengenai benua yang hilang bisa beralih ke Indonesia," Timur Mangkuto mengalihkan topik pembicaraan.
"Sejak hegemoni mereka dari abad pertengahan hing ga saat ini, Barat memang tidak pernah rela jika bangsa Timur memiliki serpihan sejarah besar yang mereka tidak mungkin punya. Selama ini mereka membuat persepsi seolah-olah benua yang hilang itu harus identik dengan lautan Atlantik. Kita terbius tetapi pada akhirnya kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. Beberapa fakta terkuak, Atlantis sangat mung-kin tidak berada pada tempat-tempat yang diduga selama ini," Genta menanggapi berapi-api kebingungan Timur Mangkuto.
"Tetapi bagaimana mungkin itu terjadi" Bahkan dari buku sejarah kita belajar Indonesia baru memasuki masa sejarahnya pada abad kelima, dengan terung-kapnya keberadaan kerajaan Kutai," Timur Mangkuto belum mau menyerah.
Pembicaraan antara mereka bertiga mulai cair. Eva Duani berhasil mengusir segala praduganya terhadap dua orang laki-laki itu. Ia memiringkan posisi du-duknya sehingga ia bisa bertatapan langsung dengan Timur Mangkuto.
"Jika masa sejarah hanya ditentukan dengan teks tertulis yang ditemukan di Nusantara, bisa jadi ke-simpulan itu benar. Akan tetapi jika kita berpedoman dari teks-teks lainnya, cerita tentang Nusantara akan jauh lebih luar biasa," jelas Eva Duani.
"Maksudmu""
"Sejak masa permulaan zaman, Nusantara sudah lama dikenal. Dalam sebuah buku Yunani berjudul Periplous tes Erythras Thalasses dengan angka tahun 70 Masehi terdapat nama Chryse, istilah Yunani untuk Pulau Emas. Sebuah pulau tempat bandar di mana negeri India bagian selatan berdagang. Kemungkinan besar yang dimaksud
dengan Chryse adalah Pulau Sumatera yang kita kenal saat ini. Dalam buku lainnya karangan Ptolemaues, seorang ahli navigasi dari Iskandariyah Mesir, disebutkan nama negeri itu. Chrysae Chersonesos, mengacu pada semenanjung Barus, sebuah daerah yang terletak pada bagian barat Sumatera Utara."
Penjelasan Eva Duani semakin panjang ketika ia juga menceritakan percakapan antara raja Yunani-India, Menandros yang di India dikenal dengan nama Milin-da bersama seorang cendikiawan Budha bernama Nagasena, pada abad 1 Sebelum Masehi. Cendekiawan Budha itu sudah menyebut-nyebut nama Suvannabhumi yang hampir pasti mengacu pada Sumatera. Peninggalan Budha lainnya, Mahaniddesa yang ditulis sekitar akhir abad III Masehi, menyebutkan nama-nama Suvannabhumi, Wang-ka, dan Jawa sebagai bagian dari daerah-daerah di Asia. Suvannabhumi mengacu pada Sumatera, Wangka mengacu pada pulau Bangka serta Jawa.
"Baik, aku menerima fakta itu. Tetapi bukankah cerita tentang benua yang tenggelam jauh lebih lama dari semua cerita-cerita tadi""
"Ya, tentu!" jawab Eva Duani mantap. "Angka satu satu kosong kosong kosong yang terdapat pada teka-teki Negara Pertama versi KePaRad adalah jarak antara masa Atlantis dengan masa sekarang, sekitar sebelas ribu tahun. Ribuan tahun lamanya semenjak teng-gelamnya Atlantis, lautan Nusantara dikenal dengan istilah Ultima Thule."
"Apa artinya itu""
"Batas yang tidak boleh dilewati. Sebagian ahli menyebutn ya sebagai batas antara dunia lama dengan dunia baru."
"Kenapa tidak boleh dilewati""
"Sebab lautan itu penuh dengan onggokan karang yang akan membuat kapal-kapal menjadi karam. Karang-karang itu mungkin sisa dari gunung-gunung dan dataran tinggi Lemuria dan Atlantis yang teng-gelam."
"Apa ini juga berkaitan dengan keberadaan Phite-cantropus Erectus yang ditemukan di Jawa""
"Entahlah. Tetapi satu hal yang pasti, berakhirn
ya jaman es juga menandai berakhirnya era manusia Phitecantropus dan Cro Magnon. Apapun manusia yang menjadi asal usul nenek moyang manusia modern saat ini, sebagian ahli percaya peradaban pertama ma-nu-sia dibentuk di Nusantara," Eva Duani menjelaskan dengan gamblang.
"Apa alasannya""
"Iklim." "Bagaimana itu bisa menjelaskan semuanya."
Sifat ingin tahu Timur Mangkuto yang besar sedikit memberikan hiburan kepada Eva Duani. Sebab selama sekian tahun menggeluti ilmu sejarah termasuk menjadi dosen, yang ia temukan dari mahasiswa adalah formalitas belaka. Jarang sekali mahasiswa yang benar-benar tertarik dengan sejarah dan mendalaminya se-bagai sebuah kegemaran. Di negara terbelakang dan miskin seperti Indonesia, semua pengetahuan memiliki satu orientasi yang pasti. Uang, tidak lebih.
"Berbeda dengan hewan, organ tubuh manusia tidak disiapkan untuk menghadapi kondisi iklim yang ekstrem. Sang Khalik hanya membekali manusia dengan otak untuk menghadapi iklim yang ganas. Kelompok manusia pertama mungkin berada di Afrika," lanjut Eva Duani.
"Australopithecus," Genta menyela.
"Ya bisa jadi mereka, bisa juga tidak. Nenek moyang kita tidak langsung dibekali dengan kemampuan otak yang luar biasa. Perkembangan otak manusia terus berkembang pada tiap tingkatan peradaban. Untuk menghadapi kondisi iklim yang ekstrem pada saat itu, satu-satunya cara yang bisa mereka lakukan adalah migrasi. Pindah mencari tempat yang cocok dengan kondisi tubuh mereka."
"Dan tempat paling cocok dengan kemampuan bertahan hidup manusia waktu itu adalah daerah Nusantara kuno"" Timur Mangkuto menebak
"Iya, Nusantara kuno adalah titik tengah dunia. Sepanjang tahun mendapat cahaya matahari, sehingga tidak pernah mengalami kondisi yang ekstrem. Di sinilah terdapat sisa hamparan pulau-pulau bekas benua Lemuria, nenek moyang manusia untuk pertama kali memiliki peradaban. Hingga kemudian bencana itu menenggelamkan mereka."
Timur Mangkuto terpana mendengar penjelasan lugas dari Eva Duani. Bagaimana pun juga, semua ini adalah hal baru bagi dirinya. Ia teringat akan pencarian tanpa ujung tentang kata-kata Solon dan Plato yang terdapat pada teka-teki negara pertama.
"Apa hubungan ini semua dengan buku karangan Plato Timaeus and Critias""
"Tepatnya bukan sebuah buku tetapi sebuah dialog yang tidak pernah terselesaikan. Kamu tahu dialog itu""
"Aku tidak tahu persis. Hanya tahu bahwa satu-satunya hal yang bisa menerangkan hubungan antara Plato dan Solon adalah dialog itu."
"Ya, nanti kita bahas masalah itu secara lebih lengkap. Mungkin keterangan tersebut bisa sedikit meyakinkanmu bahwa Atlantis tenggelam di lautan Nusantara!"
Eva Duani tersenyum. Ketika mobil mendekati daerah Kampung Rambutan, Eva Duani memberi isyarat pada Genta untuk mengambil jalan ke arah Depok atau Pasar Minggu.
Sebuah kekuatan aneh menjebak dirinya hingga merasa harus ikut memecahkan teka-teki. Sementara, ia sendiri berada dalam situasi yang sangat tidak aman. Sebab seorang buronan bersama rekannya tengah ber-ada bersama dengan dirinya. Eva Duani memberi semangat pada dirinya. Memecahkan kasus ini jauh lebih berharga daripada sekadar menghadiri pema-kaman Rudi.#
21 Tidak banyak perubahan berarti yang terjadi pada
rumah di daerah Pantai Indah Kapuk. Sejak tiga hari sebelumnya sekeliling pagarnya telah diberi pita garis polisi. Mendekati sore hari Riantono bersama dengan Profesor Budi Sasmito dan Melvin tiba di rumah itu.
Beberapa orang polisi kembali menyisir ulang. Dengan harapan tambahan bukti bisa ditemukan. Sebab hasil interogasi lanjutan terhadap dua orang tahanan yang mereka tangkap dari rumah tersebut tidak menuai hasil sama sekali. Keduanya hanya mengulang-ulang apa yang telah mereka sampaikan sebelumnya. Bahkan kondisi fisik mereka yang memburuk pun tidak lantas membuat keduanya mengigau macam-macam.
Tetapi penyisiran ulang tampaknya sia-sia. Sesaat se belum penggerebekan, rumah tersebut benar-benar sudah dikosongkan. Kabel-kabel tercecer di lantai seperti benang kusut. Melvin yang ikut melakukan penyisiran ulang mulai pesimis. Ia memutuskan untuk menghentikan penyisiran.
Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu dari dinding marmer ruang tengah. Ia melihat pola-pola tertentu berpendar pada marmer dinding ruang tengah. Ia dekati
marmer itu tetapi ia tidak lagi menemukan apa-apa. Lalu ia coba surutkan lagi langkah ke titik awal pada saat keluar dari dalam kamar, ia kembali melihat bayangan seperti garis terpola yang memancarkan cahaya.
Ia cepat mengambil kesimpulan bahwa pola-pola garis tersebut adalah pendaran cahaya yang hanya bisa terlihat dari titik di mana marmer tidak penuh terkena cahaya. Ia balik lagi ke arah dinding marmer. Tatkala bagian atas dinding ia telungkupi dengan dua belah tangan, titik-titik kembali terlihat dengan jelas. Bahkan bagian paling atasnya yang agak gelap terlihat seperti membentuk gambar. Mengerti pola yang ia hadapi, Melvin mematikan lampu ruang tengah yang mungkin sudah terus-menerus menyala sejak penggerebekan. Kemudian korden-korden ia tutup semua.
Pada dinding marmer memang muncul gambar-gambar yang memendarkan cahaya. Untuk lebih mem-perjelas, ia menutup tiap sumber cahaya yang bisa masuk ke dalam ruang tengah. Kemudian ia me-manggil Profesor Budi Sasmito dan Riantono.
"Gambar-gambar ini adalah sebuah diaroma yang mem bentuk sebuah kisah dan cerita!" Profesor Budi Sasmito memandang gambar-gambar yang memen-darkan cahaya penuh ketakjuban.
Ia lalu berjalan mendekati dinding ruang tengah. Ia meraba-raba gambar-gambar tanpa wujud fisik ke-cuali dalam bentuk pendaran cahaya.
Laki-laki tinggi besar, badannya kekar. Pakaiannya dilukiskan hanya menutupi separuh badannya. Melintang secara diagonal. Ia memegang sebuah tombak dengan ujung berbentuk trisula. Di samping kanannya duduk bersimpuh perempuan dengan pakaian
sebagaimana gambaran pakaian orang-orang Yunani kuno. Pada bagian lain dari gambar itu terdapat lukisan puncak-puncak gunung tinggi, salah satunya berujung pada hamparan laut yang tergambar seperti garis yang meliuk-liuk sepanjang daratan. Semakin ke arah kanan, gambar semakin rumit. Gambar banteng-banteng yang berkeliaran. Bangunan-bangunan aneh dengan gerbang berbentuk gading gajah. Gambar paling besar adalah Piramid yang di-kelilingi oleh gambar tembok-tembok tidak tinggi. Pada bagian akhir dari ujung gambar, tampak seorang laki-laki sudah cukup tua, me-nyerahkan satu buku pada laki-laki yang berjenggot lebat.
"Persis seperti teka-teki Negara Pertama mereka," Profesor Budi Sasmito dengan cepat menyimpulkan.
"Apa arti semua ini"" Riantono sama sekali tidak memiliki gambaran mengenai tujuan dari gambar-gambar yang terbentuk dari pendaran cahaya itu.
Dari balik saku depan celananya Profesor Budi Sasmito mengeluarkan sebuah pulpen. Ia kembali ber-jalan ke arah dinding tengah rumah. Ia menunjuk tiap gambar kemudian menjelaskan arti dan mak-sudnya.
"Laki-laki kekar yang memegang tombak ini adalah Poseidon. Dalam mitologi Yunani, ia disebut Dewa Laut. Putera dari Titan Cronus dan Rhea. Ia juga adalah saudara dari Zeus dan Hades. Dalam kitab Timaeus and Criteas, nama Poseidon paling sering di-sebut bahkan dibanding Zeus..."
"Dan perempuan itu"" Riantono memotong tidak sabar.
"Ia adalah Cleito. Dalam Timaeus and Criteas disebut kan ayahnya bernama Evenor dan ibunya bernama Luiceppe. Dari hubungan terlarangnya dengan Poseidon,
terbentuk daratan Atlantis yang penuh dengan lekukan tinggi. Bentuk daratannya tergambarkan oleh gambar-gambar puncak gunung ini. Kelak mereka dikaruniai lima pasang anak, paling tua bernama Atlas. Dari nama Atlas-lah itu kemudian negeri itu dinamai Atlantis." "Lalu""
"Banteng-banteng itu adalah perlambang kemakmuran Atlantis. Mereka biasa berkeliaran di sekitar Kuil Poseidon yang tergambarkan oleh bangunan aneh. Para raja Atlantis biasa menangkap sendiri banteng-banteng untuk dikorbankan, tanpa senjata."
"Bagaimana dengan gambar piramid, apakah sama dengan apa yang terlukis pada tubuh puteriku"" Rian-tono masih penasaran. Sementara Melvin menyimak tiap penjelasan Profesor Budi Sasmito, tanpa merasa perlu untuk bertanya.
"Piramid itu adalah Pillar Orichalcum. Lambang kebajikan dan kebijakan Atlantis. Satu-satunya benda yang dianggap terselamatkan pada saat t
enggelamnya Atlantis. Tetapi kemungkinan besar benda itu hanya mitologi saja," Profesor Budi Sasmito berusaha untuk mengendalikan penjelasannya. "Terakhir, dua orang laki-laki itu. Tentu Anda sudah bisa menebak siapa kedua laki-laki itu""
Riantono angkat bahu. Ia tidak mengerti kenapa Profesor Budi Sasmito begitu yakin ia mampu men-jawab pertanyaannya.
"Laki-laki yang menyerahkan buku itu adalah Solon, sedangkan yang menerimanya Plato," Melvin angkat bicara. Ia menyelamatkan muka Riantono.
"Tepat!" Profesor Budi Sasmito tersenyum puas.
"Gambar itu adalah jawaban dari teka-teki Negara Pertama mereka," simpul Melvin.
"Itu yang aku maksudkan tadi," lanjut Profesor Budi Sasmito. "KePaRad adalah kelompok yang mencita-citakan kebangkitan kembali Atlantis di wilayah Nusantara. Ide dan gagasan mereka pasti terkait dengan Atlantis kuno."
Riantono dan Melvin terdiam. Gambaran kelompok itu sudah mereka dapatkan. Tetapi mereka sama sekali belum memiliki gambaran harus mulai dari mana pengejaran anggota kelompok ini.
Nada pesan masuk terdengar dari telepon genggam Melvin. Ia membacanya sekilas, lalu menyerahkan telepon genggamnya pada Riantono.
"Tampaknya pengejaran kita sudah jelas harus di mulai dari mana, Prof."
"Kenapa"" "Timur Mangkuto terlacak. Ia tengah berada di Depok saat ini."
Otak Profesor Budi Sasmito cepat berputar menguraikan kemungkinan dari tempat itu. Raut wajahnya langsung berubah
"Duani Abdullah!" ia membatin.*
22 Kijang berwarna hitam yang dikendarai Genta
melambat memasuki perumahan Fiena Busana, Depok. Setelah beberapa belokan, akhirnya Eva Duani meminta mobil ber-henti. Ia meminta Timur Mangkuto dan Genta untuk tetap berada di dalam mobil.
Rumah itu tidak terlalu besar, lebih tepatnya mu-ngil, bertingkat dua dengan penataan halaman sangat rapi dan mengesankan cita rasa tertentu penghuninya. Sebagian halaman depannya digunakan sebagai garasi terbuka untuk mobil. Timur Mangkuto keluar dari dalam mobil dengan penuh kewaspadaan. Genta masuk terlebih dahulu mengikuti Eva Duani. Kosong, tidak ada seorang pun yang berada di dalam rumah itu. Hingga satu suara terdengar dari dalam kamar pada lantai bawah rumah.
"Eva, kamu dengan siapa"" suara itu terdengar berat dan serak.
"Ada teman, Yah."
Dari dalam kamar terdengar suara berderit-derit seperti roda yang seret. Tidak lama dari balik pintu kamar meluncur laki-laki tua di atas kursi roda. Tatapannya tajam. Ia mendorong kursi rodanya mendekati Timur
Mangkuto dan Genta. Kaca mata yang tergantung pada leher, ia pasang.
"Kamu pembunuh yang ada di berita televisi"" pertanyaan tanpa intonasi. Seolah-olah kata pembunuh tidak memiliki arti apa-apa untuk laki-laki di kursi roda itu.
"Ayah..." Eva Duani coba untuk menjelaskan
"Biar dia yang bicara," ujung jari telunjuk lelaki berkursi roda menunjuk Timur Mangkuto.
"Saya bukan pembunuh, saya dituduh, Pak," Timur Mangkuto coba menanggapi sesopan mungkin.
"Ah, kalian polisi sama saja semuanya. Penuh dengan trik kotor, konspirasi rendahan yang bahkan terlalu najis untuk dijadikan logika."
Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. Kebenciannya pada polisi tampaknya ter-salurkan dengan kedatangan Timur Mangkuto. Eva Duani memandang ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Tampaknya kata-kata itu adalah perulangan yang sama dengan apa yang pernah ia dengar, pedih dan menyakitkan.
"Profesor Duani Abdullah"" dari tadi Genta tampaknya coba mengidentifikasi sosok laki-laki gaek ber-kursi roda itu. Ia tampak takjub setelah sadar laki-laki yang ada di hadapannya itu memang orang yang ia duga.
"Apa yang kalian inginkan dari puteriku""
"Kebenaran, Pak. Cerita masa lalu yang bisa mengungkap rencana masa depan," Timur Mangkuto menjawab mantap.
"Cuihhh!" laki-laki tua itu mencibir. "Aku akan telepon polisi sekarang, kalian salah mencari tempat sembunyi di sini."
Kursi rodanya bergerak menuju meja telepon. Timur Mangkuto reflek bergerak menghalangi. Dengan sigap
laki-laki tua itu meraih payung besar yang ter-sandar pada meja telepon. "Plaaakk..."
Pukulan itu tepat menghantam rusuk Timur Mangkuto. Tetapi karena ayunannya lemah, pukulan itu tidak ber
akibat apa-apa. Lelaki itu kembali mengayunkan payung, tetapi kali ini Timur Mangkuto dengan sigap menangkapnya.
"Ayah!" Eva Duani berlari mendekati keduanya.
"Kenapa Ayah tidak pernah mau berusaha untuk mendengarkan orang lain""
Laki-laki gaek itu terdiam, mulutnya menceracau tertahan. Wajahnya memang terkesan angkuh dan arogan. Tulang dahinya yang tipis membuat matanya terkesan menggantung tinggi. Berbeda dengan anak gadisnya yang memiliki dahi indah dengan mata agak sipit.
"Aku sudah ingatkan! Kamu masih saja mau berhubungan dengan polisi-polisi sialan..."
"Ayah! Rudi sudah tiada. Jangan ungkit-ungkit lagi. Ayah sudah puas sekarang" Puas Yah" Dia sudah meninggal!"
Timur Mangkuto dan Genta menjadi bingung mendengar perdebatan antara sang ayah dan sang anak.
"Apa yang kalian cari dari puteriku"" laki-laki tua sedikit mengendurkan sikap permusuhannya.
"Secuil pengetahuan untuk mengungkap kebenaran."
"Apa"' "Atlantis, Yah," Eva Duani bantu menjelaskan.
Laki-laki tua itu memang Profesor Duani Abdul-lah. Satu dari tiga orang ahli Indonesia yang benar-benar percaya bahwa Atlantis tenggelam di perairan Nusantara. Genta mengenalinya dari piagam penghargaan yang
dipajang pada dinding ruang tamu rumahnya. Profesor Duani Abdullah menggerakkan kursi rodanya ke arah meja ruang tamu. Kemudian memberi isyarat pada dua orang tamu tidak diundang untuk duduk bersama dengan dirinya.
"Baik, apa yang kalian inginkan dari cerita tersebut. Tetapi ingat, ini tidak akan merubah sikap saya ter-hadap kalian," ia memberi syarat sendiri.
"Ceritakan kepada kami tentang Atlantis, Pak."
"Untuk apa""
Timur Mangkuto menyerahkan kertas berisi catat-an hasil interogasi terhadap dua orang tahanan Detsus Antiteror. Lalu ia menceritakan dari awal bagaimana kasus ini berkembang hingga kematian Rudi. Dahi Profesor Duani Abdullah berkernyit mendengar cerita itu. Lalu ia memandangi kertas yang baru saja ia terima dari Timur Mangkuto.
Negara Kelima Karya Es Ito di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kelompok radikal, bakal calon fasis," ujar Profesor Duani Abdullah. "Nanto berhasil meniupkan ruh revo-lusi pada anak-anak muda itu. Sejarah Atlantis telah ia jadikan bahan bakar untuk menggerakkan anak-anak muda untuk berontak."
Timur Mangkuto tidak mengerti dengan penjelasan Profesor Duani Abdullah. Ia melirik Eva Duani untuk mencari kejelasan.
"Tetapi Yah, Profesor Sunanto Arifin telah mening-gal dua bulan yang lalu. Tidak mungkin..."
"Ya, jasadnya telah meninggal. Tetapi tidak dengan ide dan pemikirannya. Anak-anak muda telah lahir dari rahim kegelisahan Nanto."
"Kelompok Patriotik Radikal, KePaRad"" Timur Menyela
"Iya, apapunlah namanya."
Mulut Profesor Duani Abdullah kemudian men-jadi lancar berbicara tentang bagaimana isu mengenai Atlantis ini ia dapatkan. Termasuk kegagalan penelitian yang ia gagas bersama dua orang rekannya, Profesor Sunanto Arifin dan Profesor Budi Sasmito. Hingga akhirnya ia keluar dan bertekad untuk menghentikan penelitiannya tentang Atlantis, kembali ke kampus menjadi dosen. "Profesor Budi Sasmito menjadi tenaga ahli polisi saat ini," Timur Mangkuto menyela lagi.
Profesor Duani Abdullah tertawa penuh ejekan. "Budi Sasmito! Masih saja dia membohongi dirinya. Selalu merasa diri matahari padahal ia adalah bulan. Budi Sasmito bukanlah sumber ilmu dan pengetahuan, ia hanya memantulkan, menyampaikan kembali apa yang sudah ditemukan oleh orang lain. Untuk uang...untuk uang...semua hal harus ditukarkan dengan uang bagi Budi Sasmito. Tidak ada yang lebih berharga bagi dia selain uang."
"Bagaimana dengan Profesor Sunanto Arifin"" Genta tertarik mendengar cerita itu.
"Nanto orang yang baik. Sayang, ia telanjur merasa dirinya adalah dekonstruktor sejati peradaban," tatapannya menerawang ke langit-langit rumah seperti membayangkan masa lalu yang pernah dilewati. "Nanto terlalu naif, terlalu yakin, dan percaya bahwa sejarah bisa dijadikan bahan bakar untuk menggerakkan per-ubahan di negeri korup dan terbelakang ini. Aku sudah ingatkan dia, bahwa sejarah tidak lebih dari cermin masa lalu. Agar orang bisa berkaca, bisa introspeksi. Tetapi ia bersikeras, sejarah adalah bahan bakar, anak muda adalah apinya. Sejarah keb
eradaan Atlantis ingin ia gunakan untuk menggerakkan revolusi dan per-ubahan di negeri ini."
"Apa yang sebenarnya diinginkan oleh orang seperti
Profesor Sunanto Arifin""
"Nusantara bukan sekadar serpihan bekas kolonial yang disatukan. Sejarah Nusantara lebih besar dari itu. Sebab Nusantara memiliki sejarah yang besar. Bukan sekadar ampasnya Hindia Belanda. Ia ingin semua orang memahaminya. Ia yakin ketidaktahuan itulah yang menyebabkan bangsa ini tidak pernah maju, terbelakang, rendah diri, korup, saling menindas, mengagung-agungkan Barat..."
"Bukankah pemikiran itu bagus"" Genta menyela lagi.
"Bagus. Tetapi pemikiran seperti itu selalu akan kehilangan kontrol. Semuanya akan berakhir dengan kekonyolan seperti kekonyolan Hitler. Muaranya fasis-me. Atau, malah pembantaian massal terhadap se-kumpulan orang-orang Indo campuran yang selama ini selalu mendapat tempat utama dalam masyarakat kita atau golongan tertentu lainnya. Semua gerakan yang menjadikan sejarah sebagai bahan bakarnya akan berakhir dengan kekonyolan..."
"Maksud Profesor""
"Perang dunia kedua dimulai dari kekonyolan Hitler. Semua itu berawal dari mimpi Hitler tentang keunggulan ras Arya ratusan tahun silam. Konyol. Tetapi begitulah, jutaan orang harus mati demi keko-nyolannya. Pemikiran radikal Nanto bukan tidak mung-kin akan berakhir seperti itu. Atlantis butuh ke-murni-an, maka pelan tapi pasti harus ada banyak orang yang harus disingkirkan untuk kebangkitan Atlantis."
"Pak, tolong jelaskan bagaimana awal munculnya cerita tentang benua yang hilang itu," Timur Mangkuto memotong pembicaraan antara Profesor Duani Abdullah dengan Genta.
Eva Duani tiba-tiba beranjak dari sofa. Ia masuk ke bagian dalam rumah yang telah dijadikan perpus-takaan pribadi. Kemudian keluar membawa satu buah buku tipis. Dari sampulnya yang berwarna hijau kusam, terlihat buku itu sudah agak tua. Profesor Duani Abdullah menyerahkan buku itu kepada Timur Mangkuto.
"Tirnaues and Critias. Ini kan yang kamu cari""
Timur Mangkuto mengangguk. Buku tua ber-bahasa Inggris yang ada di tangannya sungguh berbeda dengan dugaannya. Ia menyangka buku karangan Plato itu tebal atau setidaknya sangat tebal. Tetapi yang ada di tangannya sekarang hanyalah buku tipis dengan sampul kusam. Mungkin tidak sampai seratus halaman.
"Plato mengarang dialog yang tidak selesai ini sekitar 360 tahun Sebelum Masehi," Profesor Duani Abdullah menjelaskan. "Tokoh-tokoh dalam dialog itu adalah orang-orang nyata yang dikenal oleh Plato. Critias, salah satu tokoh dialog, adalah kakek buyut Plato. Socrates, tokoh lainnya, adalah guru Plato. Hermocrates adalah seorang negarawan dan tentara dari Syracuse. Cuma satu orang yang tidak mampu dijelaskan oleh sejarah, siapa sesungguhnya dirinya, yaitu Timaeus. Sedangkan tokoh-tokoh yang dibicarakan dalam dialog juga beragam. Pertama Critias, anak dari Dropides dan kakek dari Critias, yang terlibat dalam dialog. Keduanya memiliki nama yang sama. Solon, ahli hukum, sastrawan, dan juga seorang petualang yang hidup tiga abad sebelum Plato. Solonlah yang mendapatkan cerita tentang Atlantis dari para pendeta kota Sais, Mesir kuno."
Timur Mangkuto mengangguk-angguk. Profesor gaek itu tampaknya benar-benar hapal luar kepala ten-tang isi buku yang tengah ia pegang. Ia membuka buku tuanya
dengan penuh hati-hati. "Hanya secuil bagian dari dialog itu yang membahas masalah Atlantis. Jangan terlalu berharap. Sebab sebagian besar dialog justru berbicara tentang banyak hal dalam kehidupan. Tuhan, manusia, jiwa, kesehatan, dan tubuh," lanjut Profesor Duani Abdullah. "Pada bagian Timaeus kita hanya akan menemukan satu dialog tentang Atlantis. Sedangkan pada bagian Critias, cerita tentang Atlantis cukup banyak."
"Bagaimana kisah itu bisa sampai dibukukan oleh Plato""
"Cerita tentang Atlantis ia dapatkan dari kisah perjalanan Solon ke kota Sais yang terletak pada distrik Sais, Mesir Kuno. Para pendeta di kota itu bercerita tentang sejarah yang telah dilupakan oleh orang-orang Yunani tentang sebuah bangsa besar yang pernah menyerang nenek moyang mereka ribuan tahun lalu. Selama tiga abad setelah kematian S
olon, cerita itu terpendam begitu saja hingga Plato mengungkapkannya lagi dalam bentuk dialog."
"Bagaimana ceritanya, Pak"" Timur Mangkuto semakin penasaran.
Profesor Duani Abdullah berpikir sesaat. Beberapa kali ia usap-usap bagian depan rambutnya.
"Tetapi aku tidak akan menceritakan terlebih da-hulu tentang isi kitab dialog itu."
"Lalu"" "Aku ingin bercerita tentang dunia lama. Dunia yang telah dilupa dan mungkin sengaja dilupa untuk menegakkan dominasi Barat atas Timur. "#
23 "Surga tempat asal manusia. Apa yang kalian pikirkan
tentang itu"" Profesor Duani Abdullah membuka penjelasannya dengan pertanyaan aneh.
"Tempat di mana Adam diciptakan, tentunya," Timur Mangkuto menanggapi sekenanya.
"Apa itu sama dengan surga yang dijanjikan pada berbagai kitab suci setelah kita mati nanti""
Pertanyaan bertambah lebih aneh lagi. Membandingkan surga tempat Adam pernah hidup dengan surga yang dijanjikan untuk setiap kebaikan yang dilakukan manusia selama hidup di dunia. Baik Genta maupun Timur Mangkuto menggelengkan kepala.
"Surga yang dijanjikan kepada kita setelah mati sangat bersifat personal. Gambaran yang diberikan kitab suci misalnya menjelaskan bahwa surga yang diberikan pada tiap orang itu bisa melebihi luas langit dan bumi. Bukankah itu sangat personal" Di mana setiap orang bisa mendapatkan apa yang ia inginkan," kata Profesor Duani Abdullah. "Bandingkan dengan gambaran surga tempat Adam pertama kali diciptakan dan hidup. Sebagaimana gambaran kitab-kitab suci terutama kitab suci agama Samawi. Apa yang kalian temukan""
"Surga Adam lebih tampak seperti bumi yang masih
perawan." Eva Duani mencoba untuk membantu Timur Mangkuto dalam memahami kerangka dialektika yang tengah dibangun oleh Profesor Duani Abdullah. Timur Mangkuto mengingat-ingat apa yang pernah ia dengar tentang penciptaan Adam. Mulai dari rencana Sang Khalik yang dipertanyakan malaikat. Adam tercipta dari segumpal tanah. Adam diajari beragam nama dan pengetahuan sampai dengan Malaikat dan jin disuruh sujud pada Adam. Tetapi ia belum menemukan simpul apa yang hendak dijelaskan oleh Profesor Duani Abdullah.
"Aku percaya ada teori bahwa surga Adam itu bukan seperti surga yang kita bayangkan. Tidak berada di langit atau tempat mana saja di luar bumi. Tetapi berada pada suatu tempat di muka bumi ini yang sangat kaya dengan segala yang dibutuhkan oleh ma-nusia."
"Bagaimana Prof sampai pada kesimpulan itu"" tanya Genta
"Sebab yang dijanjikan pada Adam pertama kali bukan surga tetapi menjadi pemimpin di muka bumi."
"Dan ia diturunkan pada tempat terbaik di muka bumi""
"Tentu, dan seharusnya begitu. Baiklah, aku tidak ingin memperpanjang masalah surga Adam atau surga asal manusia. Tetapi aku ingin berbicara tentang suatu tempat di muka bumi yang pernah dihuni oleh per-adaban pertama manusia. Mungkin gambaran dari surga Adam atau bisa juga tempat Adam pertama kali diturunkan ke muka bumi. Sebuah peradaban yang telah dilupa, dunia lama."
"Dunia lama"" timpal Timur Mangkuto. "Iya, dunia lama. Tidak ada temuan arkeologis, tidak ada peninggalan tertulis yang ada hanya cerita yang
didapatkan oleh Solon dari pendeta di distrik Sais. Sebagaimana terungkap dalam dialog Timaeus and Criteas karangan Plato."
Di kota Sais, Solon mencari pendeta-pendeta yang memiliki pengetahuan yang luas tentang masa lalu. Sebab banyak hal tentang masa lalu yang ia dan orang-orang Yunani tidak ketahui sama sekali. Salah satu pendeta itu mulai bercerita tentang ber-bagai hal pada masa lalu. Ia bercerita tentang Phoroneus yang disebut-sebut se-bagai manusia pertama. Juga bercerita tentang banjir besar yang memusnahkan manusia kecuali Deucalion dan Pyrrha yang bisa bertahan dan selamat. Kemudian ia mengurutkan kejadian demi kejadian itu sehingga bisa dihitung telah berapa lama peristiwa itu terjadi.
Salah satu pendeta yang sudah cukup tua berkata, "Solon, kalian orang Yunani tidak lebih dari anak-anak semua, tidak ada orang tua di antara kalian." Solon ber-tanya apa yang dimaksud oleh pendeta dengan kata-kata itu. Ia menjelaskan bahwa dalam pikiran orang-orang Yunani yang ada hanyalah masa sekarang.
Tidak ada yang berusaha untuk mencari jejak pe-ngetahuan masa lalu. Pen-deta itu men-ceritakan kepada Solon kenapa hal itu sampai terjadi.
Ada suatu masa ketika bangsamu dan bangsa-bangsa lainnya dilengkapi dengan kemampuan menulis serta kelengkapan hidup lainnya. Tiap masa dipisahkan oleh interval waktu. Hingga datang waktunya, muncul wabah dari langit. Seperti penyakit campak yang ditebar begitu saja. Sehingga yang ter-tinggal di antara kalian hanyalah orang-orang yang tidak bisa membaca dan tidak memiliki pengetahuan. Maka kalian
memulai lagi segala sesuatunya seperti anak-anak yang tidak mengerti apa-apa. Perihal sil-silah yang kamu jelaskan kepada kami tidak lebih baik daripada cerita anak-anak.
Malapetaka dan bencana yang menimpa manusia disebabkan oleh banyak hal. Tetapi di antara sekian banyak hal itu, air dan api memegang peran yang paling penting. Kamu hanya mengetahui satu banjir besar yang pernah terjadi. Tetapi sebenarnya ada banjir besar sebelumnya yang juga pernah terjadi. Menenggelamkan tempat-tempat yang dulu didiami oleh manusia terbaik dan paling adil. Ketika bencana datang hanya sebagian kecil dari mereka yang selamat. Orang yang selamat itu pada akhirnya juga meninggal tanpa meninggalkan satu pun cerita tertulis.
Sebelum banjir terbesar yang pernah terjadi, kota besar Athena dikenal selalu terdepan dalam berperang. Kota itu diatur dengan pemerintahan paling baik dibanding-kan kota-kota lainnya. Kota itu juga dikenal karena konstitusinya yang paling adil dibanding tradisi yang pernah ada pada tempat di kaki langit.
Menyangkut bangsamu sembilan ribu tahun yang lalu. Aku akan menjelaskan kepadamu tentang hukum dan tindakan mereka yang terus dikenang. Sebuah keberanian meng-hadapi kekuatan bangsa yang muncul di tengah-tengah Lautan Atlantik.
Begitu banyak tindakan agung tercatat dalam sejarah kita. Tetapi ada satu tin-dakan dan perbuatan yang melebihi semua tindakan yang pernah ada. Sejarah mencatat sebuah kekuatan besar yang sulit untuk ditandingi melakukan ekspedisi penaklukan sepanjang Asia dan Eropa. Dan kota kalian adalah sasaran akhir mereka. Kekuatan besar
ini muncul di Lautan Atlantik. Pada saat itu Atlantik dapat dan bisa dilayari. Terdapat sebuah pulau yang terletak di depan selat yang kalian sebut Pillar Hercules. Pulau itu lebih luas dari pada gabungan antara Asia Minor dan Libya. Melalui pulau ini, kamu bisa mengitari semua bagian benua yang dikelilingi oleh lautan. Bagian laut yang terdapat pada Pillar Hercules adalah sebuah pelabuhan. Memiliki pintu masuk yang sempit. Sisanya adalah lautan luas yang mengelilingi daratan sehingga bisa disebut sebagai benua tanpa batas.
Di Pulau Atlantis terdapat kerajaan yang maha besar menguasai pulau-pulau dan benua. Orang-orang Atlantis telah menguasai bagian bumi sejauh Libya hingga Mesir dan sejauh Eropa hingga Tyrenia. Kekuasaan seluas itu terpusat pada satu orang. Mereka juga berusaha menundukkan negerimu. Tetapi, Solon, nenek moyangmu memancarkan keteguhan hati dalam kebenaran dan keberanian. Dibawah pimpinan raja Hellenis, nenek moyang-mu berhasil mengusir para pendatang itu dan membebaskan negeri-negeri sekitar selat dari perbudakan oleh para pendatang.
Tidak lama kemudian terjadilah gempa dan banjir besar. Dalam satu hari satu malam malapetaka menghancurkan Atlantis. Semua prajurit tenggelam ke dasar bumi. Dan Pulau Atlantis hilang di dasar laut. Karena alasan itu, laut di sekitarnya tidak dapat dilalui dan dilayari. Banyak onggokan lumpur. Ini disebabkan oleh pulau-pulau yang tenggelam.
"Atlantis itu dunia lama"" Timur Mangkuto bertanya
lagi. "Iya, Atlantis adalah dunia lama yang telah tenggelam sembilan ribu tahun sebelum masa Solon. Jika dihitung
dengan masa kita, jaraknya adalah sebelas ribu tahun. Tepatnya 11600, sebab Solon hidup enam abad sebelum masehi."
"Satu satu kosong kosong kosong itu sebelas ribu!" seru Timur Mangkuto mengulangi kata-kata yang per-nah diucapkan Eva Duani.
Kalimat akhir pada teka-teki Negara Pertama ternyata mengacu pada jarak peradaban Atlantis dengan masa sekarang, sebelas ribu tahun. Tetapi Timur Mangkuto belum m
enemukan simpul yang bisa menghubungkan cerita itu dengan kasus yang tengah ia hadapi.
"Tetapi bagaimana dengan asal-usul Atlantis"" tanya Genta.
"Cerita asal usul dunia lama dalam beberapa hal memiliki kemiripan dengan proses diturunkannya Adam ke muka bumi dalam kepercayaan monotheisme. Termasuk dalam hal anak yang dilahirkan berpasang-pasangan. Hanya saja karena masa itu adalah masa kejayaan Politheisme, pada beberapa hal cerita itu berbeda."
Konon setiap dewa memiliki wilayahnya sendiri-sendiri di muka bumi ini. Tempat di mana manusia membuat kuil dan melakukan pengorbanan untuk mereka. Poseidon mendapatkan Pulau Atlantis, tempat ia menghasilkan keturunan dengan seorang wanita biasa.
Pulau itu menghadap ke lautan. Di tengah-tengah pulau terdapat dataran yang subur tempat segala jenis tumbuhan bisa hidup. Di dekat dataran, sekitar 50 stadia dari pusat pulau, terdapat satu gunung yang tidak terlalu tinggi dilihat dari sisi mana pun. Pada gunung itu berdiam seorang laki-laki
bernama Evenor bersama dengan istrinya yang bernama Luiceppe. Mereka memiliki seorang puteri bernama Cleito.
Ketika gadis itu beranjak dewasa, kedua orang tuanya meninggal dunia. Poseidon jatuh cinta pada si gadis. Hubungan intim yang mereka lakukan telah menyebabkan lobang yang besar di permukaan tanah dan menutupi bukit tempat si gadis tinggal. Mengubah laut dan daratan membesar atau mengecil, saling melingkari satu sama lain. Ada dua daratan dan tiga lautan yang ia ubah dengan kekuatannya. Tiap lingkaran laut dan daratan memiliki jarak yang sama dengan pusat pulau. Sejak itu tidak ada orang yang bisa mencapai pulau tersebut dengan menggunakan kapal.
Poseidon kemudian menjadi dewa tempat itu. Ia tidak memiliki kesulitan untuk menetapkan aturan bagi pulau tersebut. Dari dasar bumi muncul dua jenis mata air. Satu mata air hangat, satu lagi dingin. Segala jenis tumbuhan untuk berbagai bahan makanan tumbuh subur di atas pulau. Ia mendapatkan lima pasang orang anak laki-laki dari Cleito. Kemudian ia membagi Pulau Atlantis menjadi sepuluh bagian. Untuk putera sulungnya, ia mem-berikan tanah kelahiran Cleito dan daerah seki-tarnya yang merupakan wilayah terluas dan terbaik. Putera sulung ia tetapkan sebagai raja di antara saudara-saudaranya yang diangkat sebagai pangeran. Masing-masing mereka mendapat daerah yang luas dan memerintah banyak orang.
Ia memberikan nama untuk tiap puteranya. Putera tertua yang menjadi raja pertama ia beri nama Atlas. Sejak itu seluruh pulau dan lautan yang mengitarinya disebut dengan Atlantik. Saudara kembar Atlas ia beri nama Eumelus. Pasangan kembar
kedua, satu ia beri nama Ampheres, dan lainnya Evaemon. Anak tertua dari pasangan kembar ketiga ia beri nama Mneseus dan Asli untuk adiknya. Pasangan kembar keempat, ia beri nama Elasippus untuk yang lebih tua dan He s to r yang lebih muda. Pasangan yang kelima ia beri nama Azaes untuk yang lebih tua, sedang kepada yang lebih muda, Diaprepes.
Kelak keturunan mereka selama sekian generasi adalah penguasa dari penduduk yang berdiam di pulau-pulau dengan laut terbuka. Dan seperti yang sudah aku ceritakan, kekuasaan mereka telah meng-getarkan dunia sampai dengan pillar hingga sejauh Mesir dan Tyrhenia.
Timur Mangkuto tersentak. Ia merasa tengah melakukan hal sia-sia. Mitologi ini sangat jauh dengan apa yang tengah ia pikirkan. Cerita ini bahkan terlalu jauh bagi pikiran awam. Teka-teki Negara Pertama dan Kelima ia rasa tidak lebih dari pengalihan per-hatian saja dari suatu tujuan utama yang ingin dicapai KePaRad.
"Maaf Pak, aku sulit untuk menerima mitologi itu, apalagi dikaitkan dengan kasus pembunuhan Rudi." Profesor Duani Abdullah memandang tajam pada Timur Mangkuto. Tetapi kemudian ia kembali meng-alihkan pandangan pada buku tua yang tengah ia pegang.
"Sebelum kau dengarkan semuanya, jangan mengambil kesimpulan sendiri!"
Atlas kemudian memiliki keluarga besar terhormat yang menjadi pe-nguasa kerajaan. Tiap anak sulung melanjutkan kekuasaan pada tiap generasinya. Mereka memiliki kekayaan yang belum pernah dimiliki oleh raja mana pun dan tidak akan pernah ada yang bisa menyamai.
Segala keperluan ter-sedia untuk setiap
apa yang mereka butuh-kan, baik bagi kota maupun daerah-daerah sekitarnya. Karena kebesaran kerajaan mereka, banyak benda-benda yang diberikan untuk mereka berasal dari negeri lain. Pulau itu sendiri menyediakan apa saja yang mereka butuhkan dalam hidup.
Dari dalam perut bumi mereka menggali apa saja yang mungkin bisa ditemukan. Dalam penggalian ditemukan sebuah benda padat yang sekarang tinggal nama. Tetapi dulunya lebih dari sekadar nama, Ori-chalcum. Benda itu digali dari dasar bumi pada banyak tempat di pulau tersebut. Nilai benda itu melebihi nilai apa saja pada waktu itu, kecuali emas.
Di pulau tersebut kayu sangat melimpah ruah untuk diolah oleh tukang kayu. Juga cukup untuk dijadikan perlengkapan guna memelihara hewan ternak dan berburu hewan liar.
Lebih dari itu, terdapat banyak gajah di sana. mereka berbagi tempat dan makanan dengan hewan-hewan lainnya, baik hewan yang hidup di sungai dan danau maupun hewan yang hidup di gunung dan dataran tinggi. Termasuk juga dengan hewan-hewan paling besar dan paling buas di antara mereka.
Akar, kayu, dan buah-buahan yang intisarinya menghasilkan bau yang wangi ter-dapat melimpah di pulau itu. Buah-buahan yang sengaja ditanam bisa dibedakan dua jenis. Pertama adalah buah kering yang dijadikan sebagai makanan. Kedua adalah buah-buahan dengan kulit keras. Digunakan sebagai minuman dan obat pe-nyakit kulit. Sementara, buah sarangan dan sejenisnya memberikan kesenangan dan hiburan. Buah-buahan yang telah disimpan bisa digunakan sebagai hidangan penutup setelah makan malam, setelah puas me-nikmati segala jenis makanan
di pulau ini. Usai semua itu, tibalah saatnya untuk menikmati cahaya matahari yang melimpah ruah secara menakjubkan.
Dengan semua kelimpahan yang mereka dapatkan, mereka kemudian membangun kuil, istana, pelabuhan, dan galangan kapal. Dan mereka mengatur keseluruhan negeri dengan aturan sebagai berikut:
Pertama-tama, mereka menghubungkan tiap tempat yang dipisahkan oleh laut yang mengelilingi metropolis kuno. Membangun jalan dari dan menuju istana raja. Pertama sekali mereka membangun istana yang dimak-sudkan sebagai tempat berdiam dewa dan nenek moyang mereka. Tempat yang kemudian terus dipelihara dari generasi ke generasi mereka. Setiap raja selalu mengungguli raja sebelumnya yang telah pergi dalam hal kekuasaan. Hingga akhirnya tempat itu menjadi suatu keajaiban karena ukuran dan keindahannya.
Kemudian mereka menggali kanal yang dimulai dari arah laut. Kanal itu memiliki lebar tiga ratus kaki, kedalaman seratus kaki, dan panjangnya lima puluh stadia. Menggalinya hingga tempat terjauh dari laut. Sehingga terbentuk rute yang dapat dilalui dari laut yang kemudian menjadi pelabuhan. Sisanya bisa dijadikan tempat untuk kapal-kapal besar bersandar.
Bagian dalam istana yang dilingkari oleh tembok yang kokoh dibangun dengan ketentuan berikut. Pada bagian dalamnya terdapat kuil yang dipersembahkan untuk Poseidon dan Cleito. Di sekelilingnya dihiasi lempengan emas. Tidak semua orang bisa masuk ke tempat itu. Inilah tempat di mana keluarga dari sepuluh pangeran pertama kali melihat cahaya. Dan di tempat ini setiap tahunnya rakyat mempersembahkan buah-buahan yang dibagi menjadi sepuluh macam.
Di sinilah letak kuil Poseidon dengan lebar satu stadium, jarak setengah stadium, dan tinggi yang proporsional. Kuil itu memiliki tampilan yang asing. Semua bagian luar kuil, kecuali bagian puncaknya, ditutupi dengan perak. Sedangkan bagian puncaknya mereka tutupi dengan emas. Atap pada bagian dalam kuil terbuat dari gading gajah. Dengan menakjubkan bagian itu masih ditutupi dengan emas, perak, dan orichal-cum. Sedangkan bagian dinding, lantai, dan tiangnya ditutupi dengan orichalcum.
Tiba-tiba Timur Mangkuto berdiri dari tempat duduknya. Ia mengemasi kertas teka-teki Negara Pertama hingga Negara Kelima. Ia tidak lagi bisa menahan diri. Cerita Atlantis itu tidak ubahnya dongeng anak-anak yang dilantunkan menjelang tidur.
"Persetan dengan Atlantis, Solon, dan Plato! Aku akan mencari sendiri pembunuh Rudi dengan caraku."
Ia beranjak pergi. Berjalan
menuju pintu depan dengan kecewa.*
24 "Aku rasa aku sudah mendapatkan gambaran mengenai jawaban dari lima teka-teki itu."
Profesor Budi Sasmito memecah keheningan di dalam mobil Riantono. Mereka telah meninggalkan daerah Pantai Indah Kapuk. Dari arah barat mereka bergerak ke arah selatan.
"Bagaimana jawabannya, Prof"" Melvin menanggapi dengan serius.
"Besar kemungkinan jawabannya sangat terkait dengan benda berbentuk piramid itu. Benda yang paling dicari di seluruh dunia tersebut, sekarang ini diberi nama Serat Ilmu."
"Lalu"" sela Riantono penasaran.
Pada awalnya Profesor Budi Sasmito agak ragu untuk menguraikan teorinya. Tetapi ketika ia sudah merasa yakin kedua orang di sampingnya memerhatikan dengan serius, maka omongannya pun menjadi lancar.
"Negara Pertama yang mereka gambarkan itu adalah Atlantis. Satu-satunya sumber utama tentang keberadaan benua itu berasal dari dialog karangan Plato, Tirnaues and Critias. Dalam dialog itu ia menjelaskan
bahwa ceritanya didapatkan dari Solon yang hidup tiga ratus tahun sebelum Plato. Satu satu nol nol nol pada teka-teki Negara Pertama jelas sekali bisa dibaca sebelas ribu. Jarak antara masa Atlantis dengan waktu sekarang."
Solon membawa berita. Plato membuat cerita. Sejarah mencari asalnya.
Satu satu kosong kosong kosong terlalu lama.
"Plato menceritakan bahwa masa kehidupan Atlantis berjarak sembilan ribu tahun dengan masa hidup Solon yang hidup enam abad Sebelum Masehi. Artinya jarak antara masa Atlantis dengan masa sekarang ada pada kisaran sebelas ribu enam ratus tahunan. Dan itu persis bersamaan dengan berakhirnya zaman es," lanjut Profesor Budi Sasmito.
"Peradaban itu tenggelam"" timpal Riantono.
"Seharusnya seperti itu."
"Di lautan Indonesia""
"Ya, Atlantis adalah Nusantara kuno yang terletak di luar Pilar Herculles. Lautan yang selama ribuan tahun tidak boleh dilayari. Batas antara dunia lama dan dunia baru."
"Apa artinya penjelasan itu untuk kasus ini"" Riantono masih kurang puas dengan jawaban Profesor Budi Sasmito.
"Beberapa penghuni Atlantis yang selamat berhasil membawa Serat Ilmu. Benda berbentuk piramid dengan belahan diagonal tersebut berhasil keluar dari bencana yang maha dahsyat. Benda yang konon kabar-nya berada di wilayah Nusantara."
Riantono pusing sendiri mendengar penjelasan tentang Atlantis. Pikirannya masih sulit untuk me-nerima
logika bahwa Atlantis yang sering dibicarakan orang justru terkait erat dengan Nusantara kuno. Ia hanya bisa menjadikan cerita ini sebagai bagian dari alur penyelidikan.
"Bagaimana dengan teka-teki berikutnya, Negara Kedua, Ketiga, Keempat, dan Kelima""
Tampaknya Riantono tidak bisa sabar menunggu penguraian satu persatu cerita. Ia menyerahkan kertas catatan teka-taki kepada Profesor Budi Sasmito.
Negara Kedua adalah kedatangan kembali. Pada celah puncak-puncak kedua di mana tidak ada bayangan. Menyeruak keluar darat-an. Menyeberang air besar dari hulu ke hilir, mendamba sebuah negara. Takluk-kan tersembunyi lalu menarik diri hingga masa berganti dan orang-orang datang dan pergi. Negeri itu besar dengan para penjemput sebagai pengawal, tetapi mereka dilupakan. Lalu datanglah bencana itu, musuh barat dari keturunan musuh-musuh Penjemput Pertama.
"Sisa dari teka-teki ini tidak lebih dari kiasan dan metafora," Profesor Budi Sasmito menjawab dengan ringan.
"Maksud Anda, Prof"" Melvin tampak semakin tertarik. "Kita tidak bisa mengartikan tiap kata dari teka-teki tetapi mengambil keseluruhan untuk mencari kesimpulan."
"Jadi bagaimana dengan teka-teki Negara Kedua""
"Semua itu terkait dengan Ken Arok. Pendiri Singasari yang tidak jelas asal usulnya. Mitos Jawa menganggap Arok keturunan Dewa, sedangkan dalam kitab Pararaton Arok disebut sebagai anak Brahma yang beristrikan perempuan tani dari Pangkur. Teka-teki negara kedua itu menjelaskan ketidakjelasan asal usul Ken Arok."
Sebelum Riantono mengajukan pertanyaan lanjut-an, Profesor Budi Sasmito telah membawa dirinya ke masa delapan ratus tahun silam. Ketika Ken Arok perlahan-lahan menapaki jejak kekuasaan. Diawali dari pembunuhan yang ia lakukan terhadap Akuwu Tumapel, Tungul Ametung.
Hingga akhirnya ia bisa mengalahkan Raja terakhir Kediri dalam pertempuran di Glanter pada 1222 Masehi.
"Negara Kedua yang dimaksud oleh kelompok ini tidak lain tidak bukan adalah Singasari. Teka-teki ne-gara kedua hanya ingin menjelaskan ketidakjelasan Ken Arok hingga raja terakhir Singasari, Kertanegara."
Rahasia Dewi Purbosari 1 Sang Penebus Karya Wally Lamb Kemelut Di Majapahit 17
"Masuk Timur," terdengar suara dari dalam kamar. Tampaknya derap langkah laki-laki yang sekarang ber-diri di depan kamar itu cukup bagi penghuni kamar untuk mengenalinya.
"Bagaimana, kau bawakan salinannya""
"Interogasi yang tidak penting dan sama sekali tidak menghasilkan apa-apa."
"Tetapi kau bawa kan"" Dari balik jaketnya Timur Mangkuto menge-luar-kan tiga lembar kertas yang digulung rapi. Catatan hasil interogasi terhadap dua orang anggota KePaRad yang telah disalin dalam bentuk tulisan. Rudi meng-inginkan catatan itu. Sebagai teman dekat bahkan sejak mereka masih menjadi Taruna Akademi Kepolisian di Semarang, Timur Mangkuto tidak bisa menolak permintaan tersebut. Rudi melemparkan satu bungkus kretek ke hadapan Timur Mangkuto. Lalu kertas itu ia buka dan baca.
Negara Pertama. Solon membawa berita. Plato membuat cerita. Sejarah mencari asalnya.
Satu satu kosong kosong kosong terlalu lama.
Negara Kedua Negara Kedua adalah kedatangan kembali. Pada celah puncak-puncak kedua di mana tidak ada bayangan. Menyeruak keluar daratan.
Menyeberang air besar dari hulu ke hilir, mendamba sebuah negara. Taklukan tersembunyi lalu menarik diri hingga masa berganti dan orang orang datang dan pergi. Negeri itu be- sar dengan para penjemput sebagai pengawal, tetapi mereka dilupakan. Lalu datanglah bencana itu, musuh barat dari keturunan musuh-musuh Penjemput Pertama.
Negara Ketiga Para Penjemput masa pertama tidak menyerah. Pada dataran setelah celah puncak-puncak kedua mereka bersimaharaja, tetapi angin telah menjemput mereka untuk Negara Ketiga. Ketika dua orang dara Para
Penjemput menuai janji mereka, dari rahim dua dara lahir dua raja. Satu selalu dituai bencana, satu mencari asalnya. Para Penjemput mengawal negara hingga mereka dilupa. Lalu datanglah bencana itu, dari dalam musuh-musuh itu masuk mencari serat pemberi.
Negara Keemp at Ketika matahari memberi siang kepada selatan, utara ditimpa malam yang panjang, para penjemput menyambung nyawa dari negara yang sekarat. Tempo ketika lama mencari asal kedatangan para Pen-jemput Pertama. Tempat yang dijanjikan tetapi terlupa. Perjalanan panjang me-nyusuri masa silam dari para Penjemput Pertama. Puncak-puncak kedua menjadi pelindung. Hingga orang-orang menyeberangi berhala meng-hantam impian menyebar ke-rusakan dalam janji dan runding. Negara Keempat hilang terpendam orang-orang yang tidak ingin kehilangan muka. Mereka terlupa tetapi sejarah akan mencari
asal-nya...sejarah akan mencari asalnya
Negara Kelima Negara Kelima adalah kebangkitan masa silam. Ketika matahari hadir tanpa ba-yangan, keputusan diambil pada puncak yang terlupakan. Para Penjemput menuai janji kejayaan masa silam. Itu adalah saat penentuan, ketika Para Penjemput tidak lagi ingat akan masa lalu berbilang tahun tetapi mendamba masa lalu berbilang ribuan tahun.
Selesai membaca catatan itu, Rudi bingung sendiri, coba mencari penjelasan dari Timur Mangkuto yang ngah sibuk mengepulkan asap rokok, tenggelam dalam
khayalan. "Apa maksud ini semua""
"Aku kan sudah bilang, itu semua tidak ada arti-nya. Interogasi bodoh!" katanya seolah rasa jijiknya pada Riantono mustahil dihilangkan.
"Kau sudah temukan sesuatu. Atau, setidaknya kata-kata ini berhubungan dengan apa""
"Tidak. Yang jelas kata-kata itu keluar dari mulut dua orang tahanan. Cuma itu kata yang terucap dari mulut mereka. Sepertinya sudah menjadi hapalan stan-dar."
"Kau yakin""
"Sialan, jangan memaksaku."
Rudi mengulum senyum. Untuk sesaat ia terdiam memandangi wajah sahabatnya. Timur Mangkuto, dulunya seorang yang sangat bersemangat, penuh energi dan punya visi. Saat ini yang ia temukan pada tubuh tinggi dengan muka bercambang tipis itu hanyalah frustasi dan hilang kemauan. Sejak dipindah dari bagian reserse kriminal umum ke Detsus Antiteror, Timur Mangkuto memang telah menunjukkan sikap kon-frontatif terhadap penempatan itu. Ia tidak senang bekerja untuk sesuatu hal yang tidak jelas, apalagi masalah teroris yang tidak pernah jelas ujung pang-kalnya.
Ia hanya menginginkan bekerja terus pada bagian Reserse Umum seperti bagian tempat Rudi bekerja saat ini. Beberapa kali ia tunjukkan pembangkangan pada komandan Detsus. Tanpa sungkan-sungkan ia menentang perintah atasan. Dapat diduga, pembangkangannya berakhir dengan cerita kemenangan yang berkuasa. Ia dihukum tetapi tidak dikeluarkan dari Detsus. Hanya saja ia diangkat menjadi perwira data dan informasi yang sepanjang harinya kerjanya di depan komputer. Jenis
pekerjaan yang dikatakan oleh komandannya akan ia jalani seumur hidup.
"Ayolah, lupakan masalahmu dengan Riantono!" hibur
Rudi. "Bagaimana aku bisa melupakannya, sementara ia masih memenjarakanku pada bagian banci ini!"
"Nikmati saja, Bung!"
"Sialan. Kamu enak ngomong begitu."
"Lalu, kau mau apa lagi. Mau terus-menerus frus-tasi. Mau selalu menunjukkan kesan hilang kemauan dan motivasi. Apa kau berharap dengan itu Riantono akan kasihan padamu dan menempatkan kau kembali pada bagian penyidikan dan operasi"" cerca Rudi.
"Riantono anjing!"
"Tunjukkan bahwa kau lebih baik dari anjing itu. Ia dan perwira-perwira lainnya akan semakin senang melihat keadaanmu sekarang. Nikmati bagian ini. Besok atau kapan Riantono akan diganti."
"Dan dia bakal promosi jadi Kapolda" Ha ... ha ... ha ... sama saja."
Timur Mangkuto menyalakan lagi kreteknya. Ia dan Rudi dulu adalah dua dari lima orang lulusan terbaik Akademi Kepolisian sehingga mendapat hadiah penempatan di Polda Metro Jaya. Karena berprestasi pada bagian Samapta, keduanya dipindah pada bagian Reskrim. Timur Mangkuto dulu dikenal sebagai perwira muda yang dingin dalam menyelesaikan kasus. Tetapi pemindahan dirinya ke Detsus Antiteror telah menghancurkan semua itu.
"Kau yakin belum mempelajari sedikit pun dari cata tan-catatan ini"" Rudi kembali memancing.
"Tujuan interogasi adalah mengetahui definisi Negara Kelima versi KePaRad. Tetapi Melvin mengembangkan
pertanyaan secara naratif. Ia ingin tahu sejarah pemikiran kelompok itu..."
"Dan ia mendapatkan teka-teki Negara Pertama hingga Kelima""
"Persisnya begitu. Tetapi aku curiga ini hanyalah peng alihan saja dari masalah sesungguhnya tentang pembentukan Negara Kelima dan tuntutan pembubaran Indonesia."
"Kenapa kau berpikir seperti itu""
"Aku telah mencoba membuka literatur berkaitan dengan jawaban atas teka teki." "Dan..."
Rudi sudah bisa menebak. Naluri penyidik Timur Mang kuto tidak mungkin bisa dibunuh. Walaupun hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu, tanpa motivasi yang lebih besar.
"Timaeus and Critias!" Timur Mangkuto berujar pendek
Kata-kata itu membingungkan Rudi. Baru kali ini ia mendengar kata-kata semacam. Sesuatu yang masih asing terdengar di telinganya. "Apa itu""
"Mungkin jawaban dari teka-teki negara pertama. Tetapi aku tidak terlalu yakin."
"Ah aku tak paham perkataanmu."
"Ini adalah bentuk dialog karangan Plato. Salah satu topik dialognya berasal dari berita yang dibawa oleh Solon tentang sebuah benua yang hilang, Atlan-tis!"
Rudi tergelak. "Kau bicara tentang film kartun""
"Itu satu-satunya hubungan yang aku temukan antara Plato dan Solon yang disebut-sebut pada teka-teki Negara Pertama mereka. Selain itu aku tidak tahu apa-apa lagi."
"Kau temukan di mana hubungan itu""
"Internet. Mana lagi selain itu""
Cerita itu memang terdengar tidak mungkin. Atlantis yang mereka kenal selama ini hanyalah cerita yang pernah difilmkan oleh Disney, tidak lebih dari itu. Kisah Odypus Complex-nya Sangkuriang dan Malin Kundang durhaka jauh lebih populer dan di-kenal dibanding cerita tentang benua yang hilang.
"Mungkin terjemahan itu mengandung makna simbolik."
"Teka-teki dalam teka-teki""
"Bisa jadi. Tetapi cerita tentang kelompok ini selalu berkaitan dengan masa lalu. Termasuk gambar arah mata angin yang ditemukan pada sisa-sisa dokumen mereka pada saat penggerebekan. Profesor Budi Sasmito menjelaskan gambar itu berasal dari sebuah benda sejarah bernama lempeng emas yang sekarang terdapat di museum nasional," Timur Mangkuto meyakinkan. "Kau mau simpan catatan interogasi itu""
Rudi menggeleng, tampaknya ia punya rencana lain. Catatan itu ia kembalikan kepada Timur Mang-kuto. "Ini menjadi tugasmu untuk menyelidiki."
"Aku"" Timur Mangkuto tergelak menunjuk pucuk hidungnya sendiri.
"Ya, kau dan aku. Berdua kita akan pecahkan masalah ini. Seperti dulu kita berdua pernah meme-cahkan kasus peredaran minuman keras di kalangan Taruna, sewaktu di Resimen Korps Taruna."
Percuma saja penjelasan Rudi. Timur Mangkuto tampak tidak berminat dengan tawarannya. Kertas salinan interogasi itu kembali ia taruh di balik jaket. Ia seperti sudah akan beranjak pergi.
"Kau mau terus-menerus dianggap sebagai pecundang" Sebagai perwira yang menjadi pustakawan kesatuan"" Rudi terlihat kesal.
"Apa katamu"" emosi Timur Mangkuto melonjak.
"Ya, kau tidak lebih dari pecundang. Memiliki kemampuan tetapi mau saja dibenamkan oleh bajingan macam Riantono."
"Sebabnya kau tidak pernah alami apa yang aku alami. Aku bangkit dari ketidakberdayaan dan kemiskinan menuju harapan untuk kemudian tercampakkan lagi," Timur Mangkuto tertawa perih. "Sedangkan kau tidak pernah kekurangan. Selalu menjadi pilihan dan mendapatkan apa yang kau mau. Ini permainan Tuhan yang membosankan Rud!"
"Kau bandingkan aku dengan dirimu""
"Tentu, itu yang kau mau."
"Kau menyesal dilahirkan miskin dan tidak ber-daya""
Timur Mangkuto terdiam. Kata-kata itu membawa dirinya pada masa lalu. Terlahir dari keluarga tidak mampu di pelosok Sumatera. Sekolah sambil bekerja sebagai tukang cat pada toko mebel. Hingga akhirnya ia bisa lolos masuk Akademi Kepolisian dan menjadi salah satu yang terbaik di sana. Kata-kata itu menya-darkan dirinya. Ia menghenyakkan lagi tubuhnya, tidak jadi pergi.
"Aku senang dilahirkan seperti itu. Sebab jika tidak, aku tidak akan pernah mengecap nikmatnya perubahan hidup," Timur Mangkuto mencoba untuk tenang. Rudi tersenyum senang melihat sahabatnya itu. Ia merogoh laci meja kerjanya. Sebuah kartu nama ia berikan pada Timur Mangkuto.
"Siapa perempuan ini"" Timur Mangkuto memerhatikan kartu nama lengkap dengan alamat, nomor telepon, dan alamat email.
"Dia yang kau butuhkan untuk kerja besar kita
mengungkap kasus." "Dosen sejarah"" "Ia masih muda seperti kita." "Bagaimana kau kenal""
"Cerita lama yang telah terkikis waktu. Kau tidak perlu cerita itu," Rudi tersenyum pahit. Roman wajah-nya berubah menjadi agak murung.
"Bagaimana dengan penyelidikanmu""
Timur Mangkuto mengalihkan pembicaraan. Rudi menceritakan lagi rentetan kejadian aneh yang ia alami sepanjang pagi hingga siang tadi yang sebenarnya sudah ia ceritakan lewat pesan singkat sms pada Timur Mangkuto. Dua orang gadis dalam tempo 24 jam terbunuh. Keduanya memiliki satu kesa-maan yang penting, satu sekolah, satu kelas bahkan teman dekat. Yang lebih penting dari itu semua adalah kenyataan bahwa kedua orang gadis itu adalah teman dekat dari Lidya. Artinya dalam tempo kurang dari tiga hari, tiga orang gadis yang merupakan teman dekat itu, terbunuh.
"Apa juga terdapat goresan yang sama pada kedua korban""
"Tidak ada." "Kau punya kesimpulan apa"" Timur Mangkuto memancing
"Kau tentu juga sudah bisa memberi kesimpulan sementara"" Rudi membalikkan lagi pancingan itu.
"Dua orang tersebut saksi kunci pembunuhan Lidya. Bagaimana menurutmu""
"Aku memiliki dugaan yang sama. Tiga orang, bukan dua!"
"Lalu, yang satu lagi"" "Hilang."
"Mati"" "Entahlah. Aku telah datangi rumahnya tetapi kosong. Anak diplomat. Orang tua dan saudaranya tengah berada di Eropa."
"Apa ada hal lain yang mencolok""
Rudi coba mengingat-ingat lagi pembicaraannya dengan Nyonya Amanda dan peristiwa pembunuhan di WC sekolah yang menimpa Ovi. Lama berpikir, akhirnya ia menemukan satu simpul penting yang justru baru terpikirkan malam ini.
"Labtop..." "Apa"" "Dua korban terakhir kehilangan labtop mereka." Beragam dugaan lalu muncul di dalam benak Timur Mangkuto.
"Apa itu mungkin berkaitan dengan terorisme online yang dilakukan oleh KePaRad"" Timur Mang-kuto menyela.
"Entahlah." "Ada temuan lain"" Rudi terdiam lagi. Tidak lama ia bangkit, mengambil sesuatu dari jaketnya yang tergantung pada gantungan baju di belakang pintu. Sobekan kain hitam dengan sedikit garis putih mengilat pada bagian ping-girnya, ia berikan pada Timur Mangkuto.
"Apa ini"" Timur Mangkuto menatap heran.
"Sobekan pakaian pelaku. Nyonya Amanda, ibu Maureen, menemukannya tersangkut pada jendela kamar anaknya. Aku menduga itu adalah bagian pakai-an yang menutup tengkuk pelaku."
"Bagaimana kau bisa sampai pada kesimpulan itu""
"Penjaga kantin sekolah sempat melihat seseorang keluar dari WC sekolah, beberapa saat sebelum mayat Ovi
ditemukan." "Lalu""
"Pelaku itu, menurut keterangannya, berpakaian hitam gelap. Pada bagian tengkuknya seperti ada kilatan warna putih seperti titik-titik kecil. Aku pikir, yang ia lihat dari jauh adalah pola-pola garis ini."
Jam klasik kecil yang dipajang di depan meja kerja Rudi berdentang. Titik pergantian hari telah melewati ambang batas 24 jam. Timur Mangkuto melirik jam tangannya.
"Aku harus pergi sekarang."
"Kenapa tidak tidur di sini saja""
"Ahh..." Rudi tersenyum lagi. Timur Mangkuto tinggal sendiri. Tidak bergabung dengan rekan-rekannya di asrama perwira. Tidak begitu jelas alasannya kenapa ia tinggal di rumah kontrakan sendiri. Kecuali ketidak-cocokan dengan beberapa perwira lain yang ia katakan telah menjadi maling formal, tidak ada alasan lain yang lebih kuat.
"Bagaimana dengan tawaranku tadi"" Rudi mengingat
kan "Aku rasa kau bisa tangani sendiri." "Bagaimana kalau ajalku tidak cukup untuk semua i-tu"" Rudi memancing.
"Ngomong apa kau""
"Tadi malam aku mimpi ditusuk orang. Ulu hati-ku mengeluarkan darah banyak sekali ..."
"Bodoh. Kau masih percaya pada primbon-prim-bon""
Buru-buru Rudi menyelipkan kartu nama tadi ke dalam saku kemeja Timur Mangkuto. Ia yakin saha-batnya itu tidak akan menolak tawaran ini. Terlepas apakah komandan mereka masing-masing akan menye-tujui
kegiatan mereka ini. "Kau pecahkan teka-teki KePaRad itu dan aku cari tahu kenapa gadis-gadis dibunuh!" Rudi meng-ingatkan lagi sebelum Timur Mangkuto melangkahkan kaki pergi.#
15 Sepanjang jalan menuju Mapolda, Timur Mangkuto
mengutuki mimpi buruknya. Pembicaraan panjang lebar dengan Rudi tadi ma-l
am telah terbawa ke alam mimpi. Sosok dengan pakaian hitam menerkam dan berusaha mem-bunuhnya. Sialnya, sosok laki-laki yang terasa nyata dalam mimpi itu tidak mampu ia kenali.
Motor yang dikendarai Timur Mangkuto menanjak naik menuju parkiran Mapolda. Ia merasa aneh melihat sikap bintara-bintara polisi yang berjaga sepanjang gerbang. Beberapa orang tersenyum, beberapa lagi seperti menuntunnya untuk terus masuk. Padahal tiap hari ia melewati mereka. Tetapi ia tidak mau memikirkan hal itu. Motornya terus melaju, melewati gedung Ditlantas, kemudian lapangan apel Direktorat Samapta. Beberapa meter menjelang gedung Detsus Antiteror, Timur Mangkuto melambatkan laju motornya. Dari arah belakang, ia mendengar raungan tiga motor trail Unit Reaksi Cepat. Ia memberi jalan. Tetapi tiba-tiba petugas yang membonceng motor Unit Reaksi Cepat, menghantam Timur Mangkuto dengan satu pukulan pentungan. "Bukk!" tepat menghantam rusuknya. Timur Mangkuto terhuyung, beruntung ia masih bisa menguasai motornya.
Tetapi itu hanya sementara. Satu buah tendangan
menyusul. "Paaakkkkkk!" tepat menghantam tangki mi-nyak motornya. Timur Mangkuto tidak lagi bisa me-nguasai kendaraanya. Ia jatuh, tetapi masih sempat me-loncat sehingga tidak masuk dalam selokan kecil di pinggir lapangan apel. Ia benar-benar kaget. Ia berusaha bangkit dan mengejar petugas yang ia pikir telah kehilangan akal sehat itu. Ketika berusaha bangkit, ia kaget. Kerumunan polisi bersenjata lengkap, tengah bergerak ke arahnya.
Sebelum Timur Mangkuto benar-benar menyadari, da ri arah depan, satu buah sedan tua berwarna hijau me-norobos kerumunan polisi. Sedan itu berhenti tepat di depannya.
"Cepat naik, Inspektur," terdengar seruan dari dalam sedan.
Timur Mangkuto tidak punya pilihan lain. Walau-pun masih bingung memikirkan apa yang tengah ter-jadi, ia langsung masuk ke dalam sedan tua itu. Pengemudinya langsung tancap gas berusaha meninggalkan Mapolda. Para polisi itu berusaha mengejar. Sirene mengaung-ngaung di halaman Mapolda. Tetapi tidak ada yang dapat menghentikan sedan tua tersebut.
Tinggal satu penghalang di depan gerbang utama yang menuju Jalan Sudirman. Dua buah motor besar voorijders dibentangkan di depan gerbang. Beberapa orang petugas bersiaga di depannya dengan pistol dan senapan laras panjang. Dari jauh moncong sedan yang terlihat ringsek mulai kelihatan. Beberapa petugas me-ngo-kang senapannya. Sementara dari belakang tidak kurang dari lima unit motor trail mengikuti mobil tua itu. Beberapa meter sebelum barikade motor besar, sedan tua itu mulai melambat seperti terlihat ragu-ragu untuk
menyerah atau mengambil risiko melewati dua motor itu. Beberapa petugas maju mendekati dengan langkah hati-hati.
"Inspektur Satu Timur Mangkuto, menyerahlah!" terdengar suara dari pengeras suara.
Pengemudi sedan tua memain-mainkan gas mobilnya. Tanpa diduga, ia mundur cepat ke belakang. Polisi-polisi yang mengendarai motor trail kaget, tidak menyangka mobil tua itu akan melakukan manuver seperti itu.
"Brukk! Brukkk! Brukkk!"
Motor-motor itu berjatuhan. Beberapa pengendaranya berusaha menyelamatkan diri. Dengan cepatnya sedan tua itu bergerak menuju gerbang yang dihalangi dua motor besar. Petugas yang berada di depan kedua motor besar itu tidak sempat mengeluarkan tembakan ketika sedan tua itu melintas. Mereka lebih memilih menyelamatkan diri.
Dengan cerdik pengemudi sedan tua itu menabrak ban depan salah satu motor besar. Sehingga membuat motor itu terpelanting mengenai motor yang satu lagi. Jalanan tersibak. Kedua motor itu terpelanting ke samping. Sedan tua itu lepas bergerak di jalanan raya. Polisi tidak sempat mengejarnya.
"Lelucon macam apa ini"" Timur Mangkuto ang-kat bicara setelah dari tadi menahan diri dalam ketegangan. "Anda sudah dengar sendiri bukan"" "Genta, jangan main-main kau!"
Pengemudi sedan tua itu, Genta. Ia adalah petugas si pil yang menjadi staf Timur Mangkuto pada bagian data Detsus Antiteror. Raut wajah laki-laki bertubuh tambun itu sama sekali tidak memperlihatkan ketegangan.
"Mereka ingin menangkap Anda."
"Kenapa"" "Inspektur Rudi terbunuh tengah malam tadi."
Ti mur Mangkuto terdiam, mematung. Jantungnya seperti akan runtuh mendengar kata-kata itu. Untuk beberapa saat ia terdiam. Lalu tubuhnya ia sandarkan ke jok mobil. Kedua belah tangannya menutupi wajah.
"Rudi tewas""
Genta menganggukkan kepala lemah. Timur Mangkuto tidak bisa memercayai itu. Satu-satunya teman dekat yang ia miliki sejak menjadi Taruna hingga sekarang, telah tiada. Ia ingat cerita Rudi ketika ia akan meninggalkan kamar tadi malam. Kejadian dalam mimpinya juga membayang. Seolah-olah mimpi itu diperpanjang takdirnya menjadi ke-nyataan.
"Primbon sialan!" Timur Mangkuto mengutuk. "Lalu kenapa mereka mengejarku""
"Anda tersangka utama, Inspektur!"
"Anjing! Permainan apa ini""
"Ya, begitulah."
"Aku memang dari sana semalam."
"Jadi benar, Anda yang membunuh"" Genta ber-tanya dengan tenang seolah kejadian pembunuhan tidak ubahnya dengan kejahatan ringan lainnya.
Timur Mangkuto mencengkeram kerah baju Genta. Laki laki tambun itu gelagapan sambil terus berusaha mengendalikan mobilnya. Ia berusaha meronta mele-paskan diri dari cengkeraman itu. Tatapannya seperti menunjukkan penyesalan telah menyelamatkan Timur Mangkuto dari sergapan polisi di kantornya sendiri. Ketika sedan tua itu mulai bergerak zig zag dan bebe-rapa kali menabrak trotoar jalan, Timur Mangkuto baru melepaskan cengkeramannya.
"Cerita dari mana aku membunuh temanku sendiri""
"Kenyataannya itu yang tengah Anda hadapi sekarang, Inspektur," jawab Genta lega. Kini ia bisa kembali menguasai setir mobil.
"Bagaimana ceritanya hingga aku yang menjadi tersangka""
Mayat Rudi ditemukan menjelang subuh oleh beberapa orang perwira yang baru pulang. Pintu kamarnya sedikit ternganga, suatu hal yang berada di luar kebiasaan Rudi. Setelah ditengok ke dalam, para perwira menemukan tubuh Rudi bersimbah darah. Satu tusukan belati tepat menghunjam ulu hatinya. Penyelidikan langsung dilakukan pagi itu juga. Be-berapa orang perwira yang berada di dalam kamar masing-masing pada rentang waktu kejadian dijadikan saksi.
Beberapa orang memberikan keterangan yang hampir sama. Hingga tengah malam, Rudi menerima seorang tamu. Mereka berani memastikan orang itu adalah Timur Mangkuto. Waktu keberadaan Timur Mangkuto tidak berselang lama dengan waktu pem-bunuhan seperti yang dikembangkan oleh bagian foren-sik. Saksi-saksi itu juga menjelaskan, tidak ada orang lain tengah malam itu yang bertamu selain Timur Mangkuto.
Genta mendapatkan cerita dari obrolan perwira dan bintara polisi di ruangan Detsus. Pagi ini, ia memang sengaja datang lebih cepat dari biasanya. Mendengar rencana penangkapan atasannya, Genta langsung bereaksi dengan menyelamatkan Timur Mang-kuto dari penangkapan itu.
"Apa cuma itu yang mereka jadikan dalil untuk menetapkan aku jadi tersangka"" "Ada lagi."
"Apa"" "Dua batang puntung rokok."
"Sialan. Mereka mendapatkan sidik jariku di sana"
"Iya, jadi Anda""
"Genta, hentikan hipotesa konyolmu. Aku memang bertemu Rudi semalam di kamarnya. Tetapi aku meninggalkan ruangan itu tidak lama setelah pukul dua belas malam. Lagi pula apa motifnya aku membunuh teman dekatku sendiri."
"KePaRad, inspektur! Mereka menuduh Anda ter-libat dengan KePaRad"
"Aku"" Timur Mangkuto tertawa sinis. "Siapa yang membuat tuduhan itu" Riantono""
"Bukan, tetapi pada daerah sekitar ulu hati Iptu Rudi ditemukan gambar dengan pola sama seperti yang terdapat pada tubuh Lidya..."
"Piramid dengan belahan diagonal pada bagian bawahnya""
"Iya." "Sial... keparat, KePaRad! Aku difitnah. Riantono memang tidak pernah senang dengan diriku." Sedan tua itu terus melaju menuju arah tenggara Jakarta.
Timur Mangkuto hanyut dalam lamunannya. Kejadian ini seperti mimpi buruk yang tidak perlu. Rudi mati, piramid dengan belahan diagonal pada mayatnya, apa arti semua itu" Otaknya seperti beku mencari kemungkinan-kemungkinan yang mungkin menjadi latar pembunuhan. Tetapi satu hal yang pasti, seseorang telah merasa terancam dengan penyidikan yang dilakukan oleh Rudi. Ia meratapi nasibnya. Ja-ngan-kan melihat jenazah kawannya itu untuk terakhir kali, sekadar menghadiri pemakamannya saja, sudah pasti tidak mungkin. Ia merasa tidak
diberi waktu untuk berduka. Tuduhan berat itu membuat ia tidak lagi bisa menitikkan air mata. Mau tidak mau, tawaran Rudi untuk menangani kasus ini di luar komando harus ia ambil. Harus ia ambil tanpa Rudi lagi. Harus ia ambil sebab cuma itu satu-satunya cara untuk menghentikan semua kegilaan yang ia alami ini.
Tatapannya beralih pada Genta. Lelaki itu baru satu bulan belakangan bergabung. Seorang petugas sipil honorer yang sebenarnya ia tidak terlalu sukai. Terlalu banyak bertanya, bertingkah seolah-olah ia adalah mahasiswa magang. Genta adalah seorang sar-jana informatika. Polisi membutuhkan bantuannya ke-tika gelom-bang serangan online yang dilancarkan KePaRad mencapai puncak-puncaknya. Sebenarnya bukan hanya Genta yang bergabung dengan pihak kepolisian untuk menghentikan aksi petualang ruang maya itu. Tetapi dibanding rekan-rekannya yang lain ia paling bisa bertahan bekerja dalam institusi kepolisian. Akhirnya ia ditem-patkan berada di bawah Timur Mangkuto yang membawahi bagian data dan informasi. Selain data-data umum mengenai laki-laki muda ber-tubuh tambun ini, Timur Mangkuto tidak tahu apa-apa lagi.
"Kenapa kau menyelamatkanku"" Timur Mangkuto memandang Genta penuh kecurigaan.
"Memang seharusnya itu yang saya lakukan. Bukankah Anda atasan saya"
"Klise!" tubuh tambun itu diguncang-guncangkan oleh Timur Mangkuto.
"Saya tidak yakin Anda pelakunya, Inspektur" "Bagaimana kau bisa percaya kalau aku bukan pembunuh Rudi""
"Entahlah. Tetapi saya takut ini tidak lebih dari konspirasi persaingan pangkat dan jabatan antara per-wira muda. Anda yang dikorbankan."
"Aku tidak mengerti apa yang kau omongkan."
Timur Mangkuto menghembuskan nafas dalam-dalam. Hari yang membingungkan, menyedihkan, mendebarkan tanpa titik terang ke mana ia harus mulai melangkah. Ia tidak lagi peduli pada Genta. Entah apa keinginan tersembunyi dalam pikiran laki-laki itu da-lam rentetan kejadian ini.
"Inspektur, apa yang akan kita lakukan sekarang""
Genta menyadarkan Timur Mangkuto bahwa mereka sekarang tengah berada dalam pelarian dan menjadi buronan polisi.
"Entahlah..." "Tapi kita tidak punya waktu, Inspektur."
"Hentikan mobilnya. Kau turunkan aku. Lalu kau pergi ke mana saja, biar aku saja yang tangani semua ini. Entah menyerah, entah kalah atau..."
"Inspektur," Genta terlihat kesal dengan sikap Timur Mangkuto. "Saya sudah terlanjur terlibat dalam pelarian Anda."
"Lalu"" Genta tidak menanggapi lagi pertanyaan Timur Mangkuto. Ia memberi isyarat pada Timur Mangkuto untuk melihat kaca spion kiri mobil. Pada jarak lebih kurang tiga puluh meter, dua mobil patroli polisi berwarna coklat tampak bergerak ke arah mereka. Mendekati daerah perempatan Pancoran, kedua mobil patroli itu terlihat semakin mendekat. Genta terlihat bingung harus mengambil arah mana. Timur Mang-kuto memberi sinyal belok kanan. Genta mengikuti petunjuk itu dan kedua mobil patroli itu mengikuti. Tepat pada patahan belokan, Timur Mangkuto mem-beri perintah lagi.
"Banting setir berlawanan arah."
Dengan gerak reflek, Genta memutar kemudi mobil berbalik arah dari tujuan semula. Bagian lebar dari persimpangan itu ia manfaatkan untuk memutar mobilnya. Kedua mobil polisi yang mengikuti mereka terlanjur bergerak ke arah kanan menuju Manggarai. Sementara sedan tua itu telah berbalik arah menuju Pasar Minggu. "Injak habis..."
Walaupun sudah cukup berumur, sedan itu masih bisa diajak ngebut. Lalu lintas pagi menjelang siang menuju daerah Pasar Minggu memang masih sepi. Bertolak belakang dengan jalanan dari arah Pasar Minggu yang macet. Kedua mobil polisi itu berusaha untuk berputar balik, sayang mereka terhadang traffic light yang memberi jalan pada mobil-mobil dari dan menuju Cawang. Lewat dari pertigaan Kalibata, mobil itu masuk ke gang-gang sempit. Lalu berhenti. Sedan tua itu mereka tinggalkan begitu saja.
"Apa yang akan Anda lakukan sekarang, Inspektur""
"Aku akan menjadi nyamuk bagi siapa pun yang telah membunuh Rudi. Pelan menggigit, tetapi akan menghancurkan mereka perlahan-lahan."
Dari balik saku bajunya, Timur Mangkuto mengeluarkan satu kartu nama yang tadi malam diserahkan Rudi padanya
. Ia menyerahkan kartu nama itu kepada Genta.
"Eva Rahmasari Duani. Dosen/Sejarawan..." Genta mengamati kartu nama itu.
"Kau kenal dengan perempuan itu""
"Iya, kami pernah terlibat dalam satu diskusi."
Tiba-tiba kecurigaan Timur Mangkuto kepada Gen-ta muncul kembali. Tidak mungkin suatu kebetulan saja laki-laki tambun itu mengenal perempuan yang kartu namanya diberikan oleh Rudi tadi malam. Tetapi ia urung
untuk menyelidiki lebih jauh hubungan-hubungan itu. Waktunya tidak tepat. Pada kondisi seperti ini ia cuma punya satu pilihan, percaya pada apa yang tidak mungkin dipercaya.
"Hubungi perempuan itu. Buat janji untuk ber-temu sekarang juga," perintah Timur Mangkuto.*
16 Sedan Jaguar yang ditumpangi Profesor Budi Sasmito
melaju kencang di sepanjang Jalan Gatot Subroto. Baru saja ia mendapat kabar mengenai pelarian salah seorang anggota polisi yang disinyalir sebagai anggota KePaRad. Tanpa kabar baru itu pun, sebenarnya hari ini ia memang ada janji bertemu dengan Riantono. Komandan Detsus Antiteror itu ingin membahas hasil interogasi terhadap dua orang tahanan tersangka anggota KePaRad dengan dirinya.
Profesor Budi Sasmito menyandarkan tubuhnya di jok belakang. Ia memberi tanda pada sopirnya untuk mengurangi kecepatan kendaraan. Dari dalam tas kulitnya, ia mengeluarkan beberapa berkas yang akan ia serahkan kepada Riantono. Ia membaca lagi berkas-berkas itu. Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Profesor Budi Sasmito merasa asing dengan nomor yang terdapat pada layar telepon genggamnya.
"Halo, ini siapa""
"Profesor, posisi Anda di mana""
Suara di seberang telepon itu terdengar tidak asing ditelinga Profesor Budi Sasmito. Ia tidak perlu bertanya lagi mengenai identitas penelepon. "Ganti nomor""
"Ya, mulai sekarang aku pakai nomor ini. Bagai-mana perkembangannya Prof" Mr. Wolfgang ingin kepastian dari Anda tentang benda itu""
"Aku pastikan benda itu benar berada di Indonesia. Tinggal menunggu waktu."
"Mr. Wolfang mulai tidak sabar, Prof. Seperlima uang pembayaran di muka yang Anda dapatkan bukan untuk main-main."
"Iya, saya mengerti," suara Profesor Budi Sasmito meninggi.
"Atau, jangan-jangan keadaan sudah berada di luar kendali Anda""
"Apa maksudmu dengan kata-kata itu""
"He...he...he..." suara di seberang telepon itu tertawa mengejek. "Kemungkinan siapa aktor di bela-kang KePaRad semakin meluas bukan" Anda tidak memperhitungkan perwira muda yang sekarang tengah menjadi buron itu."
Profesor Budi Sasmito cukup kaget mendengar analisa tersebut. Ia tidak menyangka laki-laki di seberang telepon begitu cepat mendapatkan informasi mengenai Timur Mangkuto. Tetapi ia mencoba untuk tetap berdalih.
"Oh tidak, aku selalu bisa mengendalikan ke-adaan."
"Bagaimana kami bisa yakin""
"Aku tidak butuh keyakinanmu."
"Ha...ha...ha..." laki-laki di seberang telepon kembali tertawa. "Keyakinanku adalah mata dan telinga untuk Mr. Wolfgang. Tanpa itu, aku pastikan Prof, Anda tidak akan mendapatkan sepeser pun dari Mr Wolfgang."
"Aku punya kuasa untuk menemukan benda itu!"
"Aku sangsi, jangan-jangan anak-anak muda KePaRad itu benar-benar sudah menemukan benda itu."
"Aku tidak peduli. Sudah ditemukan atau belum yang jelas aku akan menggunakan tangan polisi untuk mendapatkan benda itu."
"Kenapa Anda tidak mendorong polisi untuk men ciduk Profesor Sunanto Arifn""
"Percuma." "Kenapa" Bukankah anak-anak radikal itu sangat mungkin belajar banyak dari Profesor Sunanto Arifn. Dan bbagaimana kalau serat ilmu itu justru telah me-reka temukan""
"Dia sudah meninggal satu setengah bulan yang lalu. Stroke!" "Jadi""
"Aku kalah satu kosong dari Sunanto. Ia berhasil membentuk anak-anak itu menjadi radikal. Kegelisahan anak-anak muda yang melihat negeri korup ini telah ia ubah menjadi semangat untuk membangkitkan kejayaan masa silam!"
"Anda mulai pesimis"" suara di seberang telepon terdengar mengejek.
"Tidak. Aku hanya butuh tambahan dana untuk bisa menguasai polisi."
"Uang lagi""
"Iya, beberapa polisi perlu disumpal mulutnya dengan uang. Demi melancarkan rencanaku mene-mukan benda itu aku mesti menggunakan tangan polisi."
"Berapa"' "Seratus ribu dollar" "Hah!"
"Kenapa" Bukankah uang sebanyak itu tidak ada artinya bagi Mr. Wolfgang dibanding benda yang akan ia dapatkan."
"Kapan benda itu akan Anda dapatkan""
"Secepatnya! Anak-anak muda KePaRad itu akan menuntunku untuk menemukan benda itu. Lalu aku akan menggunakan tangan polisi untuk menangkap mereka dan aku akan mendapatkan benda itu dari tangan mereka langsung!"
"Jangan sampai kesabaran Mr Wolfgang habis, Prof!"
Laki-laki di seberang telepon menutup pembicaraan. Profesor Budi Sasmito menarik nafas dalam-dalam. Markas Polda Metro Jaya telah terlihat. Per-buruannya terhadap benda itu, Serat Ilmu, mulai masuk pada fase yang mendebarkan. 25 juta dollar, jumlah yang akan ia dapatkan dari pen-jualan benda itu, bukan jumlah yang sedikit. Wolfgang Gonzales, pria nyentrik asal Prancis keturunan Spa-nyol, bersedia membayar mahal untuk benda yang sudah ada sebelum orang berhitung dengan waktu.
"Atlantis pembawa berkah, datanglah," ia berguman sendiri.
Bayangan mengenai cerita benua yang hilang kembali menggoda pikirannya, membawa dirinya pada masa-masa yang telah lewat ketika cerita mengenai benda tersebut baru ia dapatkan.*
17 Sebelas tahun yang lalu Budi Sasmito menjejakkan kakinya di Paris. Penantian belasan tahun sebagai dosen di Universitas Indonesia akhirnya membuahkan hasil. Ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S-3 di Paris. Tempat yang paling cocok untuk melanjutkan studi sejarah.
Universite de Paris, salah satu universitas tertua di dunia setelah Oxford dan Bologna. Kampus yang telah berdiri sejak 1252 ketika seorang pendeta raja Prancis, Robert de Sorbon, membentuk College de Sorbon. Kampus yang selama ini menjadi impiannya. Setelah reorganisasi pada tahun awal tahun 70-an, Universitas Paris dipecah menjadi tiga belas universitas mandiri. Mulai dari Universitas Paris I Phanteon-Sorbonne hingga Universitas Paris XIII Paris Nord.
Profesor Budi Sasmito memilih Universitas Paris IV Paris-Sorbonne. Kampus itu cocok dengan keinginannya untuk mempelajari sejarah klasik. Literaturnya lengkap dan didukung sejarah panjang dengan banyaknya menghasilkan sejarawan klasik.
Tetapi tidak selamanya literatur yang lengkap bisa memuaskan hasrat keingintahuan, begitu yang dirasakan Budi Sasmito. Ia menemukan ilmu sejarah seolah dibatasi
oleh waktu. Sisanya adalah milik arkeologi tanpa batas. Angka 4000 atau 3000 sebelum Masehi selalu dipatok sebagai era dimulainya sejarah peradaban manusia. Mesir, Mesopotamia, India, Cina bahkan kemudian Romawi dan Yunani dipatok sebagai tempat-tempat berkembangnya sejarah klasik. Budi Sasmito belum puas. Ia terlalu yakin di balik umur bumi yang sudah sangat tua ini terdapat peradaban yang jauh lebih tua dari apa yang pernah disebutkan oleh literatur sejarah.
Ia terus mencari dengan keluar masuk Museum Louvre. Terlibat dalam pertemuan intelektual yang dilakukan di dalam kampus tetapi ia tetap tidak mene-mukan ada jawaban yang memuaskan. Suatu ketika di universitas yang sama, ia bertemu dengan Duani Abdullah, seniornya di Universitas Indonesia yang hampir merampungkan S-3 sejarah klasik. Mereka terlibat dalam diskusi panjang. Mencari titik awal sejarah peradaban manusia.
Jawaban dari pertanyaan mereka ternyata bukan di kampus, juga bukan di Museum Louvre, melainkan di Latin Quarter. Tempat yang menjadi saksi gerakan mahasiswa Prancis tahun 1968. Bagian dari kecen-derungan global menentang perang dan munculnya generasi hippies. Dulu gerakan mahasiswa telah mem-buat Universitas Paris tutup untuk pertama kali setelah penutupan tiga belas tahun selama Revolusi Prancis hingga Napoleon membuka kembali pada 1808.
Negara Kelima Karya Es Ito di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di Latin Quarter tidak ada formalitas. Orang-orang berkumpul menurut kegemaran mereka. Terhampar begitu saja seperti orang-orang yang mencari nafkah dari catur tiga langkah. Salah satu kumpulan aneh di hamparan taman itu adalah intelektual-intelektual yang memperdebatkan awal peradaban manusia.
Peradaban Atlantis Timaeus and Criteas
Awal kedatangan mereka di tempat itu sudah disambut dengan sensasi Atlantis. Sebagian dari orang-orang yang biasa berkumpul di tempat itu meyakini bahwa peradaba
n manusia dimulai lebih tua dari yang dikenal sejarah. Atlantis adalah titik asal manusia, demikian salah satu kesimpulan dari diskusi liar. Tetapi selain kitab dialog Timaues and Critias karangan Plato, tidak ada lagi sumber pasti yang bisa menjelaskan tentang Atlantis. Bahkan tidak ada temuan arkeologis yang menembus angka sembilan ribu tahun. Apalagi sebelas ribu.
Di mana Atlantis tenggelam"
Apa yang menyebabkannya tenggelam"
Mereka mengikuti saja pembahasan dari para sejawa-ran dan arkeolog yang mengadakan diskusi liar dan terbuka itu. Berbagai analisa dan pemikiran historis tentang Atlantis dikemukakan dalam forum bebas ter-sebut. Mulai dari pemikiran Plato dalam Timaues and Critias yang memberikan ciri-ciri umum dari negeri Atlantis sebagaimana cerita dari Solon, Francesco Lopez de Gomara yang berani menyatakan Atlantis terletak di Amerika, kemudian tiga orang sejarawan Maya, Abbe Brasseur de Bourbourg, Augustus Le Plongeon, dan Edward Herbert Thompson yang percaya bahwa orang-orang Indian Maya adalah keturunan langsung dari orang-orang Atlantis. Sebagian lagi mengangkat teori arkeolog Yunani, Spyridon Marinatos, yang me-nya-takan
mitos Atlantis diambil dari kisah tenggelamnya Pulau Thera dekat Pulau Kreta, Yunani.
"Aku yakin, Atlantis tidak akan pernah ditemukan. Sebab selama ini sejarawan dan arkeolog telah mencari Atlantis pada tempat yang salah," ujar seorang peserta diskusi dengan logat Inggrisnya kental pada suatu sore di akhir musim semi. Ia mengajukan pendapat yang sangat mengejutkan, "Atlantis tidak terletak di lautan Atlantik sebagaimana asumsi selama ini. Atlantik tenggelam dan menyisakan deretan kepulauan yang luas, Indonesia."
Ia mengangkat beberapa teori, termasuk teori William Lauritzen, seorang Amerika yang coba menyelidiki keberadaan Atlantis secara komparatif dengan menautkan semua disiplin ilmu. Ilmuwan ini berani memberikan hipotesa bahwa benua Atlantis yang tenggelam itu berada di lautan Nusantara. Atlantis adalah koloni terluas dan terpadat dari Benua Lemuria. Luas-nya sama dengan gabungan antara Libya dan Asia Minor, terbentang mulai dari daratan tenggelam yang sekarang telah menjadi Laut Cina Selatan hingga Lautan Indonesia, dan dari India hingga Oceania.
Ketika beberapa peserta diskusi lainnya menanyakan di mana persisnya negeri Atlantis terletak, laki-laki itu menggelengkan kepala dan hanya bisa memberikan gambarannya saja. Ia belum bisa memastikan di mana tepatnya keberadaan metropolitan Atlantik. Hanya saja yang jelas, metropolitan itu terletak pada benua Lemuria yang melingkupi seluruh kepulauan Nusantara. Ditambah dengan bagian-bagian yang sekarang telah tenggelam dan menjadi lautan luas termasuk Laut Cina Selatan dan bagian dari lautan Hindia yang membujur hingga bagian Selatan anak benua Asia, India.
Teori tentang keberadaan Atlantis yang tenggelam di kepulauan Indonesia itu menyentak banyak orang, terutama Budi Sasmito dan Duani Abdullah. Suatu hal yang mendorong mereka untuk memperdalam pengetahuan tentang sejarah Atlantis. Apalagi kemudian di tempat itu mereka bertemu dengan seorang Indonesia lainnya, Sunanto Arifin. Ia juga tengah menuntut ilmu di Sorbonne, konsentrasi sejarah modern.
Kemudian teori ini dikait-kaitkan para ahli dengan kata kata seorang peramal terkemuka Amerika pada tahun 1930-an, Edgar Cayce. Peramal yang sering dipanggil dengan sebutan Nabi Tidur itu berhasil meramalkan akan terjadinya Perang Dunia I dan II, berdirinya negara Israel, kemerdekaan India, dan bebe-rapa peristiwa penting di dunia. Tetapi fokus para ahli yang tertarik dengan masalah Atlantis, ada pada ramalan Cayce tentang kebangkitan benua Atlantis setelah ke-kacauan global pada awal abad 21 dengan munculnya bencana-bencana besar yang melanda dunia. Kemudian muncullah orang-orang Atlantis yang telah ber-ein-karnasi. Semua kebangkitan itu terletak pada kekuatan sebuah kristal yang hingga saat ini terpendam entah di mana. Itulah menurut Cayce yang menjadi sumber kekuatan Atlantis kuno belasan ribu tahun yang lalu. Kristal besar dengan diameter seribu mil persegi itu telah disalahgunakan pada masa a
khir peradaban Atlantis kuno sehingga menyebabkan kehancuran.
Namun sebagian besar orang-orang yang terlibat dalam diskusi mengenai Atlantis sepakat bahwa gam-baran Cayce tidak selamanya benar. Salah seorang di antaranya bahkan menggambarkan kristal itu dengan penjelasan yang lebih masuk akal.
"Kristal Atlantis tidak sebesar itu. Benda itu justru sangat kecil. Berbentuk batu hitam mengilat seperti batu bara dengan bentuk menyerupai piramid. Benda ini disebut-sebut dalam dialog Timaeus and Criteas sebagai Pillar Orichlacum yang diletakkan di tengah kota Atlantis. Ketika Atlantis tenggelam beberapa orang berhasil menyelamatkan kristal itu. Bentuk piramidanya mungkin bagian dari gambar gunung-gunung tinggi dan indah yang mengelilingi negeri Atlantis."
Budi Sasmito dan dua orang rekannya tidak terlalu suka dengan istilah kristal sebagai sebutan untuk benda itu. Mereka lebih senang menyebut benda itu sebagai Serat Ilmu. Sebab dalam keyakinan mereka benda itu adalah simbol kebajikan orang-orang Atlantis. Itu sebabnya benda itu memiliki kekuatan yang sangat besar dalam memelihara kebesaran benua Atlantis.
Menjelang akhir masa tinggal di Paris, satu orang lagi dari Indonesia bergabung dalam kelompok diskusi liar tersebut, Amirudin Syah. Sama seperti Budi Sas-mito, laki-laki keturunan Sumatera itu mengambil program doktoral untuk sejarah klasik. Selama beberapa waktu mereka berempat melakukan kajian intensif mengenai benua yang telah hilang itu. Namun di kemudian hari, Amirudin Syah tidak pernah kembali ke Indonesia, ia tampaknya lebih memilih untuk me-ne-tap di Paris.
Kembali ke Indonesia, tiga orang doktor sejarah itu sepakat untuk mengadakan penelitian besar-besaran untuk menyingkap keberadaan benua Atlantis di Indo-nesia. Mereka memfokuskan penelitian di kepulauan sekitar Laut Cina Selatan yang dipercaya sebagai bekas daratan yang tenggelam ketika jaman es berakhir sebe-las ribu tahun yang lalu. Sayangnya, ketika mereka
mengajukan proposal penelitian ini kepada pemerintah, proposalnya ditolak mentah-mentah. Sebab sama sekali tidak menggambarkan realitas perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Mereka kesulitan dana, sementara penelitian telah terlanjur dimulai. Lebih kurang lima tahun lama-nya mereka meneliti dengan dana yang sangat minim. Yang mereka dapatkan hanyalah kesia-siaan.
Pada akhirnya perpecahan itu tidak dapat dihindari. Sebuah lembaga donasi dengan sponsor korporasi besar internasional menawarkan dana untuk penelitian de-ngan syarat setiap benda kuno berkaitan dengan Atlantis yang ditemukan akan menjadi hak korporasi itu. Korporasi menawarkan kontrak kerja yang meng-giurkan kepada Profesor Budi Sasmito dan dua orang teman-nya. Nilai kontraknya mungkin beratus kali lipat dari gaji dosen seumur hidup yang akan mereka dapat-kan.
"Kita ini ilmuwan, mengabdi untuk kemanusiaan. Bukan untuk uang!"
Demikian jawaban Profesor Duani Abdullah ketika menolak tawaran tersebut. Ia langsung mundur dari semua hal berkaitan dengan benua Atlantis dan kembali mengajar di kampus.
Profesor Sunanto Arifin juga menolak tawaran itu.
"Penelitian ini bukanlah kontrak kerja yang harus diperdagangkan dengan korporasi besar. Sudah cukup selama ini temuan sejarah Nusantara menumpuk di museum-museum luar negeri. Aku tetap ingin melan-jutkan penelitian tentang Atlantis, tetapi demi sejarah dan kebesaran Nusantara yang sekarang bernama Indo-nesia. Penelitian ini akan membuat kita mampu untuk mengubah Indonesia!" demikian penegasan Profesor Sunanto Arifn.
Sedangkan Profesor Budi Sasmito merasa tidak ada yang salah dengan tawaran itu. Ia beranggapan, sah-sah saja mereka mendapatkan kontrak besar seperti itu mengingat tugas mengungkap sejarah dunia yang mereka emban. Ia juga tidak pernah memper-masalah-kan di mana benda sejarah yang akan mereka temukan akan dipajang dan ditempatkan. Bahkan seandainya benda itu akan menjadi koleksi pribadi, ia tidak peduli sepanjang ia mendapatkan bayaran yang pantas.
Mereka akhirnya bergerak sendiri-sendiri. Profesor Su-nanto Arifin yang minim secara dana tetapi mampu merekrut banyak anak muda. Setidaknya berdiskusi ten
tang kebesaran Nusantara kuno ribuan tahun silam. Tetapi akhirnya namanya tidak terdengar lagi. Penelitian yang ia lakukan tampaknya dikalahkan oleh realitas minimnya dana yang ia miliki untuk meneruskan. Sedangkan Profesor Budi Sasmito diberi tenggat waktu tiga tahun oleh korporasi besar yang mengontraknya untuk menemukan benua yang tenggelam itu beserta benda-bendanya, terutama Serat Ilmu.
Sekian tahun berlalu begitu saja, Profesor Budi Sasmito terbuai oleh popularitas yang ia miliki ketika berani mengangkat isu ini ke permukaan. Ia tidak pernah menemukan benda itu walaupun dana yang diberikan sudah tipis. Kontrak kerjanya akhirnya di-putus oleh korporasi. Munculnya KePaRad yang ia yakini sebagai kelompok ideologi ciptaan Profesor Sunanto Arifin telah menimbulkan harapan baru bagi Profesor Budi Sasmito. Ia yakin anak-anak muda ini mampu menuntun dirinya untuk menemukan Serat ilmu.
Sebuah kebetulan yang tidak disangka-sangka. Pada saat yang hampir bersamaan, seorang kaya nyentrik
bernama Wolfgang Gonzales yang tinggal di daerah peristirahatan sekitar pegunungan Phyrenia, melalui seseorang di Indonesia, menghubunginya. Tawar me-nawar terjadi. 25 juta dollar disepakati sebagai nilai Serat Ilmu. Benda artifisial tertua di dunia yang bisa memberikan semua yang diinginkan oleh Profesor Budi Sasmito dalam menghabiskan sisa hidup-nya.#
18 Terik matahari siang seakan membakar Pasar Senen.
Timur Mangkuto dan Genta buru-buru turun dari bis Metromini 17 yang mereka tumpangi dari arah Stasiun Cikini, persis di depan Mal Atrium. Dengan lincah keduanya menyusup masuk dalam kerumunan orang yang mena-warkan dan membeli berbagai barang. Di dekat orang-orang yang menjual baju bekas, langkah keduanya terhenti. Satu botol air mineral membasahi kerongkongan mereka. Sedari pagi tidak satu pun benda padat maupun cair yang masuk ke dalam tubuh kedua-nya.
"Kau yakin dia akan datang kemari"" Timur Mangkuto menepuk pundak Genta.
"Tenang saja. Saya sama sekali tidak menyinggung na ma Anda di telepon. Semuanya saya kaitkan dengan misteri kematian Rudi. Anda benar, perempuan itu tampaknya pernah memiliki hubungan yang sangat dalam dengan Rudi."
Tidak lama telepon genggam Genta berdering. Tampaknya orang yang mereka tunggu telah sampai di tempat yang dijanjikan. Genta berjalan sendiri, sementara Timur Mangkuto menunggu di tempat ter-sembunyi. Ketika Genta sampai pada kerumunan orang yang tengah berdesakan untuk membeli pakaian bekas, ia melihat satu
tangan melambai-lambai. Ia bergerak ke arah lambaian tangan itu. Seorang perem-puan ber-kulit terang dengan pakaian santai, jeans dan kaos, ia temui. "Eva Duani, masih ingat saya kan""
"Tentu, Genta bukan" Kamu paling ceriwis pada waktu seminar itu."
"Maaf kita tidak punya banyak waktu. Anda bawa mobil""
Eva Duani menganggukkan kepalanya. Lalu ber-jalan menuju lantai atas Pasar Senen. Tepat di atas orang-orang yang berjualan buku bekas. Di depan mobil kijang keluaran terbaru langkah keduanya ter-henti. Mobil itu kemudian bergerak menuruni lantai atas bangunan. Genta masih sempat melihat beberapa stel pakaian hitam yang terdapat di jok belakang mobil. Ia menduga Eva Duani baru saja dari tempat Rudi atau ia baru saja mau berangkat. Selepas dari pos pembayaran uang parkir, mobil memasuki jalan raya bergerak ke arah Kramat. Dugaan Genta tepat, lalu lintas sangat macet. Untuk beberapa saat mobil tidak bergerak. Sesekali Genta melihat keluar. Ketika satu tubuh tinggi bercambang tipis berlari-lari kecil dari arah belakang mobil, menyeruak dari kerumunan mobil macet, ia menarik nafas lega.
Sebelum Eva Duani menyadari, tangan Genta sudah bergerak menekan tombol pelepas kunci pintu mobil. Eva Duani kaget. Satu sosok tubuh telah masuk ke dalam mobilnya tepat di belakang dirinya yang tengah mengemudikan mobil. Ia melirik tajam pada Genta.
"Ada apa ini""
"Maaf, kami terpaksa melakukan ini." Tiba-tiba Eva Duani berteriak histeris. Ia baru menyadari bahwa sosok laki-laki yang berada persis di belakangnya itu adalah orang yang sama dengan yang ia lihat di berita televisi. Tersangka utama dalam kasus pembunuhan terhadap
Rudi. Eva memegang gagang pintu, memanfaatkan kemacetan ini untuk melarikan diri. Tetapi semua itu terlambat. Dari belakang Timur Mangkuto menodongkan pistol tepat pada rusuknya. Perempuan muda itu mengurungkan niatnya melarikan diri. Ia mencoba untuk bersikap tenang.
"Ada apa ini, Genta" Kamu juga terlibat dalam pembunuhan Rudi""
"Maaf, kami terpaksa melakukan ini," Genta mengulang lagi kata-katanya.
"Apa yang kalian inginkan dariku. Aku sama sekali tidak terkait dengan Rudi. Aku sama sekali tidak tahu bagaimana Rudi dibunuh. Aku sama sekali tidak ada harganya jika kalian berharap dengan membunuhku bisa menghilangkan jejak kalian..." kata-kata itu ter-dengar emosional.
Jalanan sudah mulai lancar. Timur Mangkuto memberi isyarat kepada perempuan muda itu untuk menjalankan mobilnya.
"Aku bukan pembunuh Rudi!" Timur Mangkuto akhirnya angkat bicara. "Seperti cerita lama, setiap kasus membutuhkan tersangka sementara untuk mene-nangkan masyarakat. Sialnya kali ini justru aku yang jadi korban. Aku membutuhkan bantuanmu."
"Maaf, aku tidak bisa membantu apa-apa. Kalau-pun aku diminta bersaksi, tidak akan bisa meringankan apa yang telah dituduhkan padamu."
"Ha...ha...ha..." Timur Mangkuto tergelak. "Bukan itu yang aku maksudkan. Aku juga sudah bisa menebak kamu dan Rudi adalah cerita masa lalu. Itu sebabnya Rudi
enggan bercerita padaku tentang kamu."
Wajah Eva Duani langsung menjadi merah men-dengar kata-kata itu. Timur Mangkuto merasa sudah menguasai separuh permainan. Ia meminta Genta untuk menggantikan posisi Eva Duani menyetir mobil, se-mentara gadis itu duduk di jok belakang bersama dengan dirinya.
"Aku membutuhkan bantuanmu untuk mencari pembunuh Rudi."
"Maaf, aku tidak bisa dan tidak mengerti apa yang kamu maksudkan," perempuan muda itu tampak sudah tenang.
"Sekadar membantu memecahkan tiap bagian dari kasus ini, kamu juga tidak bersedia""
"Apapun yang akan ditemukan nantinya itu tidak akan bisa menghidupkan kembali Rudi."
Timur Mangkuto menghela nafas, ia mulai kesal dengan perempuan yang penuh dengan praduga ini. Ia menyelipkan lagi pistolnya di balik pinggang.
"Polisi memang bukan ahli sihir yang bisa men-janjikan merubah segala sesuatu menjadi keajaiban yang membahagiakan. Kami adalah guru sejarah jalanan. Tiap kasus yang kami ungkapkan tidak ada penga-ruhnya dengan korban yang telah mati. Kasus-kasus itu diungkapkan sebagai pelajaran kepada yang masih hidup bahwa untuk setiap tindakan selalu ada bayar-annya, entah nyawa, entah penjara atau mungkin sekadar denda."
"Tetapi maaf sekali lagi!" suara Eva Duani mening-gi, mata sipitnya yang indah seperti tenggelam ketika alisnya naik. "Aku tidak bersedia membantumu! Apa-pun yang kamu katakan."
"Baik. Aku tidak memaksa ... Genta pinggirkan mobilnya. Kita keluar dari mobil ini sekarang juga. Perempuan ini tidak seperti yang kita duga."
Beberapa meter melewati rumah sakit St Carolus, mobil melambat. Di dekat warung rokok kecil mobil itu akhirnya berhenti. Genta sudah menjejakkan kaki-nya di luar mobil.
"Sayang sekali, kamu punya ilmu tetapi itu semua cuma endapan sampah yang menggunung di dalam tengkorak kepala. Sebenarnya aku membutuhkan apa yang kamu kuasai tetapi tidak aku mengerti. Untuk menemukan pembunuh Rudi, aku ingin tahu teka-teki Atlantis!" Timur Mangkuto menatap tajam ke mata perempun muda itu.#
19 Profesor Budi Sasmito sampai di depan pintu ruang
kerja Riantono tepat pada saat jammakan siang selesai. Riantono menyambut kedatangan Profesor Budi Sasmito dengan wajah kusut. Tampaknya pelarian Timur Mangkuto benar-benar membuat ia frustasi. Pada sofa panjang, ia lihat Melvin sibuk menyusun beberapa dokumen.
"Apa yang sebenarnya terjadi"" Nada suara Pro-fesor Budi Sasmito terkesan simpatik.
Riantono tidak langsung menjawab. Ia meletakkan ta ngan di belakang kepala, kemudian menyandarkan diri pada kursi kerjanya.
"Aku tidak mengira sama sekali kalau kita akan keco-longan seperti ini."
"Inspektur Satu Timur Mangkuto"" Profesor Budi Sasmito menduga.
"Iya, siapa lagi" Kebutaan ideologis telah membuat orang lupa segala sesuatunya, bahkan tega membunuh temannya sendiri."
" Anda yakin, ia pelakunya""
"Hampir tidak ada kemungkinan lainnya," Rian-tono menghela nafas. "Kalau bukan dia pelakunya, kenapa harus melarikan diri""
"Bagaimana ia bisa kabur""
Dengan memberikan pertanyaan itu berarti memancing lagi kekesalan Riantono. Pagi tadi sebenarnya rencana penangkapan Timur Mangkuto telah disusun dengan rapi dan meyakinkan. Penemuan mayat Rudi sengaja dirahasiakan. Memberi kesan kepada Timur Mangkuto bahwa polisi tidak mencurigainya sama sekali. Rencana berjalan dengan baik, Timur Mangkuto datang ke Mapolda seperti biasanya.
Skenarionya, Timur Mangkuto akan dibiarkan ma-suk gedung Detsus Antiteror. Baru kemudian di dalam gedung, ia ditangkap. Tetapi Kapolda tidak sabar, me-nga-caukan skenario Riantono. Orang nomor satu di Mapolda itu tampaknya tidak mau mengambil resiko tambahan. Ia memerintahkan puluhan petugas bersiaga membekuk Timur Mangkuto. Ketika perwira muda itu baru sampai di depan Lapangan Apel Direktorat Samapta, mereka beraksi. Akhirnya, kegagalan yang harus mereka terima.
"Kira-kira apa motif dibalik pembunuhan ini"" Profesor Budi Sasmito bertanya penuh selidik.
"Timur Mangkuto kemungkinan terlibat sebagai anggota KePaRad. Pembunuhan terhadap puteriku adalah pancingannya pada polisi atau sekadar ingin mencoba-coba kemampuan penyidikan kita. Mungkin, Rudi mengetahui rahasia Timur Mangkuto. Menyadari hal itu, Timur Mangkuto tidak punya pilihan lain. Menghilangkan nyawa Rudi rupanya satu-satunya cara."
"Aku lebih tertarik pada Genta, laki-laki yang telah membantu pelarian itu. Aku curiga pada laki-laki tambun tersebut," potong Melvin. Ia ingin menye-lamatkan penjelasan Riantono yang terkesan dangkal.
"Kenapa"" Profesor Budi Sasmito terpancing.
"Ia masuk bertepatan dengan serangan para hacker
di jaringan internet."
"Lalu di mana letak kecurigaanmu"" Riantono ikut bertanya.
"Serangan di internet itu sebenarnya tidak lebih dari rekayasa belaka dari KePaRad. Mereka ingin memasukkan anggota mereka ke dalam kepolisian. Menjadi tenaga ahli untuk masalah internet. Itu satu-satunya jalan untuk masuk ke dalam kepolisian dan mereka mungkin telah berhasil. Lihat saja sejak peng-gerebekan itu tidak lagi terdengar aktivitas pembobolan situs-situs penting."
Argumen dan penjelasan dari Melvin cukup meyakinkan. Ia berani berspekulasi bahwa Genta tidak lebih dari seorang penyusup. Riantono manggut-manggut, seolah mendukung teori anak buahnya.
"Lalu kenapa ia menyelamatkan Timur Mangkuto""
"Karena Timur Mangkuto mungkin juga anggota KePaRad," nada suara Melvin menggambarkan ia tidak terlalu yakin dengan jawabannya.
Percakapan mereka berdua kembali membentur tembok penghalang. Sementara Profesor Budi Sasmito dilanda kecemasan, takut kalau anak-anak muda yang ia cap radikal itu, telah menemukan Serat Ilmu.
"Bagaimana dengan rangkuman teka-teki yang keluar dari mulut dua orang tahanan" Ada sesuatu yang Anda temukan dari teka-teki tersebut, Prof""
"Tampaknya itu hanyalah permainan untuk batas level keanggotaan."
"Maksud Anda, Prof"" Riantono tampak bingung.
"KePaRad jelas sebuah organisasi yang disusun dengan rapi. Mereka tidak ingin anggota baru langsung masuk ke dalam lingkaran inti kelompok. Tiap anggota baru perlu memahami teka-teki itu dan menemukan sendiri
jawabannya. Jawaban itulah yang akan me-nuntun mereka akan kesadaran cita-cita kelompok mereka dan mengubah tiap pribadi menjadi seorang yang radikal."
"Anda berhasil pecahkan semua teka-teki""
"Aku cuma bisa pastikan satu, sisanya dugaan."
"Bagian mana""
"Negara pertama mereka. Solon membawa berita. Plato membuat cerita. Sejarah mencari asalnya. Satu satu kosong kosong kosong terlalu lama."
"Apa arti semua itu""
Dua nama yang terdapat dalam teka-teki, Solon dan Plato, mungkin berkaitan dengan kitab dialog karangan Plato, Timaeus and Critias. Satu-satunya doku-men sejarah yang dijadikan sumber tentang keberadaan benua Atlantis."
"Atlantis"" ekspresi wajah Riantono terlihat tambah bingung.
"Iya, Atlantis. Peradaban yang pernah ada sebelas ribu tahun yang lalu. Tenggelam, hilang begitu saja tanpa bekas."
"Yang lainnya""
"Negara kelima! Jelas apa yang me
reka cita-citakan saat ini. Selain itu aku belum bisa menangkap hal lainnya. Sementara tiga negara lainnya, aku cuma menduga-duga. Semoga pemikiran mereka sama sempitnya dengan pemikiran kita."
"Apa itu, Prof""
"Negara kedua mereka mungkin Kerajaan Kutai, tonggak awal masa sejarah peradaban Indonesia pada 400 masehi. Negara ketiga mereka mungkin Sriwijaya atau Majapahit, lambang imperium Nusantara pada masa-masa awal. Dan negara keempat mungkin Majapahit atau
Indonesia modern. Tetapi dugaanku itu tanpa landasan teori..."
"Juga tanpa asumsi, Prof"" potong Melvin. Pro-fesor Budi Sasmito mengangguk setuju dengan dugaan Melvin.
Asap rokok mulai memenuhi ruang ber-AC itu. Tiga orang mulai membicarakan langkah-langkah yang akan mereka lakukan untuk menangkap Timur Mangkuto.
"Sore ini kita harus kembali ke rumah di daerah Pantai Indah Kapuk. Siapa tahu kita menemukan sesuatu di sana!" kesimpulan sekaligus perintah keluar dari mulut Riantono.*
20 Mendengar kata-kata Atlantis, Eva Duani langsung
bereaksi. Ia menahan tangan Timur Mangkuto yang akan membuka gagang pintu.
"Tunggu, jelaskan apa maksud kata-katamu itu""
"Eva, pembunuhan Rudi erat kaitannya dengan teori-teori tentang benua Atlantis yang diusung sebuah kelompok radikal."
Eva Duani kaget mendengar penjelasan itu. Pendiriannya mulai goyah. Ia menggigit-gigit bibir tipisnya. Ia sadar dari tadi laki-laki di sampingnya itu memang tengah memainkan satu situasi untuk membuat ia terjebak ke dalam lingkaran masalah ini. Tetapi pada akhirnya ia memang tidak bisa menolaknya.
"Baik, kita lanjutkan perjalanan ini. Tetapi jangan berharap terlalu banyak padaku untuk bisa menemukan simpul kasus ini."
Genta kembali masuk ke dalam mobil. Ia sekarang berada di belakang setir dan mengarahkan mobil sesuai permintaan Eva Duani menuju selatan Jakarta.
Sepanjang perjalanan, Timur Mangkuto menceritakan kasus sebelum hingga sampai terbunuhnya Rudi. Sesekali Genta menambahkan dan mengoreksi pen-jelasan Timur
Mangkuto. Ia menceritakan tentang pembajakan situs yang dilakukan oleh KePaRad. Te-muan polisi dari hasil penggerebekan terhadap rumah yang disinyalir sebagai tempat pertemuan anggota KePaRad hingga lembaran kertas interogasi.
"Aku sama sekali tidak mengerti kasus ini," Timur Mangkuto menutup penjelasannya.
"Jadi mereka benar-benar ada""
"Maksudmu""
"Kelompok radikal itu""
"Kenyataannya seperti itu."
Eva Duani terdiam. Pikirannya menerawang. Pengetahuannya tentang semua hal berkaitan dengan kelompok itu tampaknya lebih luas dari dugaan Timur Mangkuto. Perempuan itu sepertinya sudah pernah mendengar keberadaan kelompok radikal itu. Hanya saja jika perkembangan sejauh ini termasuk beberapa kasus pembunuhan, ia sangat terkejut.
"Apa yang mereka cari dengan semua ini""
"Belum tentu mereka pelakunya," Genta menang-gapi pertanyaan Eva Duani.
"Lalu"" "Konspirasi mungkin. Pembunuhan itu mungkin sama sekali tidak terkait dengan apa yang dilakukan oleh kelompok radikal itu. Kejadian saling berlepasan dan bebas muncul secara bersamaan, kemudian ada yang memanfaatkan satu atas lainnya."
Teori Genta itu bisa jadi juga benar tetapi sulit untuk membuktikan kebenaran dari teori yang rumit itu.
"Bagaimana kamu tahu aku" Dari Genta"" Eva Duani berspekulasi
"Dari Rudi," jawab Timur Mangkuto singkat.
"Hah!" "Dia seperti sudah punya firasat ada suatu hal yang tidak beres akan menimpa dirinya. Aku sebenarnya perwira muda yang sudah mati dalam karier di kepolisian. Satu-satunya alasan yang membuat aku berusaha untuk memecahkan kasus ini adalah Rudi. Setiap orang memiliki kelemahan dalam hidup. Kelemahanku adalah keberanianku dalam menentang atasan. Itu sebabnya aku tersingkir dan sekarang dengan gam-pang dituduh sebagai tersangka utama pembunuhan terhadap Rudi. Hubunganku dengan Rudi lebih dari sekadar teman, bahkan mungkin juga lebih dari saudara."
Mobil mulai menanjak naik di pintu tol Rawa-mangun. Iring-iringan kendaraan berat yang membawa kontainer dari arah Tanjung Priok sedikit membuat lalu lintas di jalan tol dalam kota itu terganggu. Mobil-mobil berjalan pelan. Timur Mangkuto balik bertanya seraya memanda
ng bergantian antara Genta dan Eva, "Bagaimana kalian berdua juga bisa kenal satu sama lain."
Ternyata jawabannya tidak serumit yang ia duga. Keduanya kenal dalam sebuah seminar tentang topik yang tengah mereka bicarakan saat ini, benua Atlantis. Selepas dari seminar, pada beberapa diskusi kecil yang diadakan oleh kelompok-kelompok yang tertarik de-ngan keberadaan benua yang hilang, keduanya kembali bertemu. Tetapi hubungan mereka hanya sebatas itu. Teman diskusi dalam pertemuan-pertemuan tidak te-ren-cana untuk satu topik bahasan yang sama.
"Aku tetap tidak mengerti bagaimana cerita orang-orang Eropa mengenai benua yang hilang bisa beralih ke Indonesia," Timur Mangkuto mengalihkan topik pembicaraan.
"Sejak hegemoni mereka dari abad pertengahan hing ga saat ini, Barat memang tidak pernah rela jika bangsa Timur memiliki serpihan sejarah besar yang mereka tidak mungkin punya. Selama ini mereka membuat persepsi seolah-olah benua yang hilang itu harus identik dengan lautan Atlantik. Kita terbius tetapi pada akhirnya kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. Beberapa fakta terkuak, Atlantis sangat mung-kin tidak berada pada tempat-tempat yang diduga selama ini," Genta menanggapi berapi-api kebingungan Timur Mangkuto.
"Tetapi bagaimana mungkin itu terjadi" Bahkan dari buku sejarah kita belajar Indonesia baru memasuki masa sejarahnya pada abad kelima, dengan terung-kapnya keberadaan kerajaan Kutai," Timur Mangkuto belum mau menyerah.
Pembicaraan antara mereka bertiga mulai cair. Eva Duani berhasil mengusir segala praduganya terhadap dua orang laki-laki itu. Ia memiringkan posisi du-duknya sehingga ia bisa bertatapan langsung dengan Timur Mangkuto.
"Jika masa sejarah hanya ditentukan dengan teks tertulis yang ditemukan di Nusantara, bisa jadi ke-simpulan itu benar. Akan tetapi jika kita berpedoman dari teks-teks lainnya, cerita tentang Nusantara akan jauh lebih luar biasa," jelas Eva Duani.
"Maksudmu""
"Sejak masa permulaan zaman, Nusantara sudah lama dikenal. Dalam sebuah buku Yunani berjudul Periplous tes Erythras Thalasses dengan angka tahun 70 Masehi terdapat nama Chryse, istilah Yunani untuk Pulau Emas. Sebuah pulau tempat bandar di mana negeri India bagian selatan berdagang. Kemungkinan besar yang dimaksud
dengan Chryse adalah Pulau Sumatera yang kita kenal saat ini. Dalam buku lainnya karangan Ptolemaues, seorang ahli navigasi dari Iskandariyah Mesir, disebutkan nama negeri itu. Chrysae Chersonesos, mengacu pada semenanjung Barus, sebuah daerah yang terletak pada bagian barat Sumatera Utara."
Penjelasan Eva Duani semakin panjang ketika ia juga menceritakan percakapan antara raja Yunani-India, Menandros yang di India dikenal dengan nama Milin-da bersama seorang cendikiawan Budha bernama Nagasena, pada abad 1 Sebelum Masehi. Cendekiawan Budha itu sudah menyebut-nyebut nama Suvannabhumi yang hampir pasti mengacu pada Sumatera. Peninggalan Budha lainnya, Mahaniddesa yang ditulis sekitar akhir abad III Masehi, menyebutkan nama-nama Suvannabhumi, Wang-ka, dan Jawa sebagai bagian dari daerah-daerah di Asia. Suvannabhumi mengacu pada Sumatera, Wangka mengacu pada pulau Bangka serta Jawa.
"Baik, aku menerima fakta itu. Tetapi bukankah cerita tentang benua yang tenggelam jauh lebih lama dari semua cerita-cerita tadi""
"Ya, tentu!" jawab Eva Duani mantap. "Angka satu satu kosong kosong kosong yang terdapat pada teka-teki Negara Pertama versi KePaRad adalah jarak antara masa Atlantis dengan masa sekarang, sekitar sebelas ribu tahun. Ribuan tahun lamanya semenjak teng-gelamnya Atlantis, lautan Nusantara dikenal dengan istilah Ultima Thule."
"Apa artinya itu""
"Batas yang tidak boleh dilewati. Sebagian ahli menyebutn ya sebagai batas antara dunia lama dengan dunia baru."
"Kenapa tidak boleh dilewati""
"Sebab lautan itu penuh dengan onggokan karang yang akan membuat kapal-kapal menjadi karam. Karang-karang itu mungkin sisa dari gunung-gunung dan dataran tinggi Lemuria dan Atlantis yang teng-gelam."
"Apa ini juga berkaitan dengan keberadaan Phite-cantropus Erectus yang ditemukan di Jawa""
"Entahlah. Tetapi satu hal yang pasti, berakhirn
ya jaman es juga menandai berakhirnya era manusia Phitecantropus dan Cro Magnon. Apapun manusia yang menjadi asal usul nenek moyang manusia modern saat ini, sebagian ahli percaya peradaban pertama ma-nu-sia dibentuk di Nusantara," Eva Duani menjelaskan dengan gamblang.
"Apa alasannya""
"Iklim." "Bagaimana itu bisa menjelaskan semuanya."
Sifat ingin tahu Timur Mangkuto yang besar sedikit memberikan hiburan kepada Eva Duani. Sebab selama sekian tahun menggeluti ilmu sejarah termasuk menjadi dosen, yang ia temukan dari mahasiswa adalah formalitas belaka. Jarang sekali mahasiswa yang benar-benar tertarik dengan sejarah dan mendalaminya se-bagai sebuah kegemaran. Di negara terbelakang dan miskin seperti Indonesia, semua pengetahuan memiliki satu orientasi yang pasti. Uang, tidak lebih.
"Berbeda dengan hewan, organ tubuh manusia tidak disiapkan untuk menghadapi kondisi iklim yang ekstrem. Sang Khalik hanya membekali manusia dengan otak untuk menghadapi iklim yang ganas. Kelompok manusia pertama mungkin berada di Afrika," lanjut Eva Duani.
"Australopithecus," Genta menyela.
"Ya bisa jadi mereka, bisa juga tidak. Nenek moyang kita tidak langsung dibekali dengan kemampuan otak yang luar biasa. Perkembangan otak manusia terus berkembang pada tiap tingkatan peradaban. Untuk menghadapi kondisi iklim yang ekstrem pada saat itu, satu-satunya cara yang bisa mereka lakukan adalah migrasi. Pindah mencari tempat yang cocok dengan kondisi tubuh mereka."
"Dan tempat paling cocok dengan kemampuan bertahan hidup manusia waktu itu adalah daerah Nusantara kuno"" Timur Mangkuto menebak
"Iya, Nusantara kuno adalah titik tengah dunia. Sepanjang tahun mendapat cahaya matahari, sehingga tidak pernah mengalami kondisi yang ekstrem. Di sinilah terdapat sisa hamparan pulau-pulau bekas benua Lemuria, nenek moyang manusia untuk pertama kali memiliki peradaban. Hingga kemudian bencana itu menenggelamkan mereka."
Timur Mangkuto terpana mendengar penjelasan lugas dari Eva Duani. Bagaimana pun juga, semua ini adalah hal baru bagi dirinya. Ia teringat akan pencarian tanpa ujung tentang kata-kata Solon dan Plato yang terdapat pada teka-teki negara pertama.
"Apa hubungan ini semua dengan buku karangan Plato Timaeus and Critias""
"Tepatnya bukan sebuah buku tetapi sebuah dialog yang tidak pernah terselesaikan. Kamu tahu dialog itu""
"Aku tidak tahu persis. Hanya tahu bahwa satu-satunya hal yang bisa menerangkan hubungan antara Plato dan Solon adalah dialog itu."
"Ya, nanti kita bahas masalah itu secara lebih lengkap. Mungkin keterangan tersebut bisa sedikit meyakinkanmu bahwa Atlantis tenggelam di lautan Nusantara!"
Eva Duani tersenyum. Ketika mobil mendekati daerah Kampung Rambutan, Eva Duani memberi isyarat pada Genta untuk mengambil jalan ke arah Depok atau Pasar Minggu.
Sebuah kekuatan aneh menjebak dirinya hingga merasa harus ikut memecahkan teka-teki. Sementara, ia sendiri berada dalam situasi yang sangat tidak aman. Sebab seorang buronan bersama rekannya tengah ber-ada bersama dengan dirinya. Eva Duani memberi semangat pada dirinya. Memecahkan kasus ini jauh lebih berharga daripada sekadar menghadiri pema-kaman Rudi.#
21 Tidak banyak perubahan berarti yang terjadi pada
rumah di daerah Pantai Indah Kapuk. Sejak tiga hari sebelumnya sekeliling pagarnya telah diberi pita garis polisi. Mendekati sore hari Riantono bersama dengan Profesor Budi Sasmito dan Melvin tiba di rumah itu.
Beberapa orang polisi kembali menyisir ulang. Dengan harapan tambahan bukti bisa ditemukan. Sebab hasil interogasi lanjutan terhadap dua orang tahanan yang mereka tangkap dari rumah tersebut tidak menuai hasil sama sekali. Keduanya hanya mengulang-ulang apa yang telah mereka sampaikan sebelumnya. Bahkan kondisi fisik mereka yang memburuk pun tidak lantas membuat keduanya mengigau macam-macam.
Tetapi penyisiran ulang tampaknya sia-sia. Sesaat se belum penggerebekan, rumah tersebut benar-benar sudah dikosongkan. Kabel-kabel tercecer di lantai seperti benang kusut. Melvin yang ikut melakukan penyisiran ulang mulai pesimis. Ia memutuskan untuk menghentikan penyisiran.
Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu dari dinding marmer ruang tengah. Ia melihat pola-pola tertentu berpendar pada marmer dinding ruang tengah. Ia dekati
marmer itu tetapi ia tidak lagi menemukan apa-apa. Lalu ia coba surutkan lagi langkah ke titik awal pada saat keluar dari dalam kamar, ia kembali melihat bayangan seperti garis terpola yang memancarkan cahaya.
Ia cepat mengambil kesimpulan bahwa pola-pola garis tersebut adalah pendaran cahaya yang hanya bisa terlihat dari titik di mana marmer tidak penuh terkena cahaya. Ia balik lagi ke arah dinding marmer. Tatkala bagian atas dinding ia telungkupi dengan dua belah tangan, titik-titik kembali terlihat dengan jelas. Bahkan bagian paling atasnya yang agak gelap terlihat seperti membentuk gambar. Mengerti pola yang ia hadapi, Melvin mematikan lampu ruang tengah yang mungkin sudah terus-menerus menyala sejak penggerebekan. Kemudian korden-korden ia tutup semua.
Pada dinding marmer memang muncul gambar-gambar yang memendarkan cahaya. Untuk lebih mem-perjelas, ia menutup tiap sumber cahaya yang bisa masuk ke dalam ruang tengah. Kemudian ia me-manggil Profesor Budi Sasmito dan Riantono.
"Gambar-gambar ini adalah sebuah diaroma yang mem bentuk sebuah kisah dan cerita!" Profesor Budi Sasmito memandang gambar-gambar yang memen-darkan cahaya penuh ketakjuban.
Ia lalu berjalan mendekati dinding ruang tengah. Ia meraba-raba gambar-gambar tanpa wujud fisik ke-cuali dalam bentuk pendaran cahaya.
Laki-laki tinggi besar, badannya kekar. Pakaiannya dilukiskan hanya menutupi separuh badannya. Melintang secara diagonal. Ia memegang sebuah tombak dengan ujung berbentuk trisula. Di samping kanannya duduk bersimpuh perempuan dengan pakaian
sebagaimana gambaran pakaian orang-orang Yunani kuno. Pada bagian lain dari gambar itu terdapat lukisan puncak-puncak gunung tinggi, salah satunya berujung pada hamparan laut yang tergambar seperti garis yang meliuk-liuk sepanjang daratan. Semakin ke arah kanan, gambar semakin rumit. Gambar banteng-banteng yang berkeliaran. Bangunan-bangunan aneh dengan gerbang berbentuk gading gajah. Gambar paling besar adalah Piramid yang di-kelilingi oleh gambar tembok-tembok tidak tinggi. Pada bagian akhir dari ujung gambar, tampak seorang laki-laki sudah cukup tua, me-nyerahkan satu buku pada laki-laki yang berjenggot lebat.
"Persis seperti teka-teki Negara Pertama mereka," Profesor Budi Sasmito dengan cepat menyimpulkan.
"Apa arti semua ini"" Riantono sama sekali tidak memiliki gambaran mengenai tujuan dari gambar-gambar yang terbentuk dari pendaran cahaya itu.
Dari balik saku depan celananya Profesor Budi Sasmito mengeluarkan sebuah pulpen. Ia kembali ber-jalan ke arah dinding tengah rumah. Ia menunjuk tiap gambar kemudian menjelaskan arti dan mak-sudnya.
"Laki-laki kekar yang memegang tombak ini adalah Poseidon. Dalam mitologi Yunani, ia disebut Dewa Laut. Putera dari Titan Cronus dan Rhea. Ia juga adalah saudara dari Zeus dan Hades. Dalam kitab Timaeus and Criteas, nama Poseidon paling sering di-sebut bahkan dibanding Zeus..."
"Dan perempuan itu"" Riantono memotong tidak sabar.
"Ia adalah Cleito. Dalam Timaeus and Criteas disebut kan ayahnya bernama Evenor dan ibunya bernama Luiceppe. Dari hubungan terlarangnya dengan Poseidon,
terbentuk daratan Atlantis yang penuh dengan lekukan tinggi. Bentuk daratannya tergambarkan oleh gambar-gambar puncak gunung ini. Kelak mereka dikaruniai lima pasang anak, paling tua bernama Atlas. Dari nama Atlas-lah itu kemudian negeri itu dinamai Atlantis." "Lalu""
"Banteng-banteng itu adalah perlambang kemakmuran Atlantis. Mereka biasa berkeliaran di sekitar Kuil Poseidon yang tergambarkan oleh bangunan aneh. Para raja Atlantis biasa menangkap sendiri banteng-banteng untuk dikorbankan, tanpa senjata."
"Bagaimana dengan gambar piramid, apakah sama dengan apa yang terlukis pada tubuh puteriku"" Rian-tono masih penasaran. Sementara Melvin menyimak tiap penjelasan Profesor Budi Sasmito, tanpa merasa perlu untuk bertanya.
"Piramid itu adalah Pillar Orichalcum. Lambang kebajikan dan kebijakan Atlantis. Satu-satunya benda yang dianggap terselamatkan pada saat t
enggelamnya Atlantis. Tetapi kemungkinan besar benda itu hanya mitologi saja," Profesor Budi Sasmito berusaha untuk mengendalikan penjelasannya. "Terakhir, dua orang laki-laki itu. Tentu Anda sudah bisa menebak siapa kedua laki-laki itu""
Riantono angkat bahu. Ia tidak mengerti kenapa Profesor Budi Sasmito begitu yakin ia mampu men-jawab pertanyaannya.
"Laki-laki yang menyerahkan buku itu adalah Solon, sedangkan yang menerimanya Plato," Melvin angkat bicara. Ia menyelamatkan muka Riantono.
"Tepat!" Profesor Budi Sasmito tersenyum puas.
"Gambar itu adalah jawaban dari teka-teki Negara Pertama mereka," simpul Melvin.
"Itu yang aku maksudkan tadi," lanjut Profesor Budi Sasmito. "KePaRad adalah kelompok yang mencita-citakan kebangkitan kembali Atlantis di wilayah Nusantara. Ide dan gagasan mereka pasti terkait dengan Atlantis kuno."
Riantono dan Melvin terdiam. Gambaran kelompok itu sudah mereka dapatkan. Tetapi mereka sama sekali belum memiliki gambaran harus mulai dari mana pengejaran anggota kelompok ini.
Nada pesan masuk terdengar dari telepon genggam Melvin. Ia membacanya sekilas, lalu menyerahkan telepon genggamnya pada Riantono.
"Tampaknya pengejaran kita sudah jelas harus di mulai dari mana, Prof."
"Kenapa"" "Timur Mangkuto terlacak. Ia tengah berada di Depok saat ini."
Otak Profesor Budi Sasmito cepat berputar menguraikan kemungkinan dari tempat itu. Raut wajahnya langsung berubah
"Duani Abdullah!" ia membatin.*
22 Kijang berwarna hitam yang dikendarai Genta
melambat memasuki perumahan Fiena Busana, Depok. Setelah beberapa belokan, akhirnya Eva Duani meminta mobil ber-henti. Ia meminta Timur Mangkuto dan Genta untuk tetap berada di dalam mobil.
Rumah itu tidak terlalu besar, lebih tepatnya mu-ngil, bertingkat dua dengan penataan halaman sangat rapi dan mengesankan cita rasa tertentu penghuninya. Sebagian halaman depannya digunakan sebagai garasi terbuka untuk mobil. Timur Mangkuto keluar dari dalam mobil dengan penuh kewaspadaan. Genta masuk terlebih dahulu mengikuti Eva Duani. Kosong, tidak ada seorang pun yang berada di dalam rumah itu. Hingga satu suara terdengar dari dalam kamar pada lantai bawah rumah.
"Eva, kamu dengan siapa"" suara itu terdengar berat dan serak.
"Ada teman, Yah."
Dari dalam kamar terdengar suara berderit-derit seperti roda yang seret. Tidak lama dari balik pintu kamar meluncur laki-laki tua di atas kursi roda. Tatapannya tajam. Ia mendorong kursi rodanya mendekati Timur
Mangkuto dan Genta. Kaca mata yang tergantung pada leher, ia pasang.
"Kamu pembunuh yang ada di berita televisi"" pertanyaan tanpa intonasi. Seolah-olah kata pembunuh tidak memiliki arti apa-apa untuk laki-laki di kursi roda itu.
"Ayah..." Eva Duani coba untuk menjelaskan
"Biar dia yang bicara," ujung jari telunjuk lelaki berkursi roda menunjuk Timur Mangkuto.
"Saya bukan pembunuh, saya dituduh, Pak," Timur Mangkuto coba menanggapi sesopan mungkin.
"Ah, kalian polisi sama saja semuanya. Penuh dengan trik kotor, konspirasi rendahan yang bahkan terlalu najis untuk dijadikan logika."
Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. Kebenciannya pada polisi tampaknya ter-salurkan dengan kedatangan Timur Mangkuto. Eva Duani memandang ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Tampaknya kata-kata itu adalah perulangan yang sama dengan apa yang pernah ia dengar, pedih dan menyakitkan.
"Profesor Duani Abdullah"" dari tadi Genta tampaknya coba mengidentifikasi sosok laki-laki gaek ber-kursi roda itu. Ia tampak takjub setelah sadar laki-laki yang ada di hadapannya itu memang orang yang ia duga.
"Apa yang kalian inginkan dari puteriku""
"Kebenaran, Pak. Cerita masa lalu yang bisa mengungkap rencana masa depan," Timur Mangkuto menjawab mantap.
"Cuihhh!" laki-laki tua itu mencibir. "Aku akan telepon polisi sekarang, kalian salah mencari tempat sembunyi di sini."
Kursi rodanya bergerak menuju meja telepon. Timur Mangkuto reflek bergerak menghalangi. Dengan sigap
laki-laki tua itu meraih payung besar yang ter-sandar pada meja telepon. "Plaaakk..."
Pukulan itu tepat menghantam rusuk Timur Mangkuto. Tetapi karena ayunannya lemah, pukulan itu tidak ber
akibat apa-apa. Lelaki itu kembali mengayunkan payung, tetapi kali ini Timur Mangkuto dengan sigap menangkapnya.
"Ayah!" Eva Duani berlari mendekati keduanya.
"Kenapa Ayah tidak pernah mau berusaha untuk mendengarkan orang lain""
Laki-laki gaek itu terdiam, mulutnya menceracau tertahan. Wajahnya memang terkesan angkuh dan arogan. Tulang dahinya yang tipis membuat matanya terkesan menggantung tinggi. Berbeda dengan anak gadisnya yang memiliki dahi indah dengan mata agak sipit.
"Aku sudah ingatkan! Kamu masih saja mau berhubungan dengan polisi-polisi sialan..."
"Ayah! Rudi sudah tiada. Jangan ungkit-ungkit lagi. Ayah sudah puas sekarang" Puas Yah" Dia sudah meninggal!"
Timur Mangkuto dan Genta menjadi bingung mendengar perdebatan antara sang ayah dan sang anak.
"Apa yang kalian cari dari puteriku"" laki-laki tua sedikit mengendurkan sikap permusuhannya.
"Secuil pengetahuan untuk mengungkap kebenaran."
"Apa"' "Atlantis, Yah," Eva Duani bantu menjelaskan.
Laki-laki tua itu memang Profesor Duani Abdul-lah. Satu dari tiga orang ahli Indonesia yang benar-benar percaya bahwa Atlantis tenggelam di perairan Nusantara. Genta mengenalinya dari piagam penghargaan yang
dipajang pada dinding ruang tamu rumahnya. Profesor Duani Abdullah menggerakkan kursi rodanya ke arah meja ruang tamu. Kemudian memberi isyarat pada dua orang tamu tidak diundang untuk duduk bersama dengan dirinya.
"Baik, apa yang kalian inginkan dari cerita tersebut. Tetapi ingat, ini tidak akan merubah sikap saya ter-hadap kalian," ia memberi syarat sendiri.
"Ceritakan kepada kami tentang Atlantis, Pak."
"Untuk apa""
Timur Mangkuto menyerahkan kertas berisi catat-an hasil interogasi terhadap dua orang tahanan Detsus Antiteror. Lalu ia menceritakan dari awal bagaimana kasus ini berkembang hingga kematian Rudi. Dahi Profesor Duani Abdullah berkernyit mendengar cerita itu. Lalu ia memandangi kertas yang baru saja ia terima dari Timur Mangkuto.
Negara Kelima Karya Es Ito di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kelompok radikal, bakal calon fasis," ujar Profesor Duani Abdullah. "Nanto berhasil meniupkan ruh revo-lusi pada anak-anak muda itu. Sejarah Atlantis telah ia jadikan bahan bakar untuk menggerakkan anak-anak muda untuk berontak."
Timur Mangkuto tidak mengerti dengan penjelasan Profesor Duani Abdullah. Ia melirik Eva Duani untuk mencari kejelasan.
"Tetapi Yah, Profesor Sunanto Arifin telah mening-gal dua bulan yang lalu. Tidak mungkin..."
"Ya, jasadnya telah meninggal. Tetapi tidak dengan ide dan pemikirannya. Anak-anak muda telah lahir dari rahim kegelisahan Nanto."
"Kelompok Patriotik Radikal, KePaRad"" Timur Menyela
"Iya, apapunlah namanya."
Mulut Profesor Duani Abdullah kemudian men-jadi lancar berbicara tentang bagaimana isu mengenai Atlantis ini ia dapatkan. Termasuk kegagalan penelitian yang ia gagas bersama dua orang rekannya, Profesor Sunanto Arifin dan Profesor Budi Sasmito. Hingga akhirnya ia keluar dan bertekad untuk menghentikan penelitiannya tentang Atlantis, kembali ke kampus menjadi dosen. "Profesor Budi Sasmito menjadi tenaga ahli polisi saat ini," Timur Mangkuto menyela lagi.
Profesor Duani Abdullah tertawa penuh ejekan. "Budi Sasmito! Masih saja dia membohongi dirinya. Selalu merasa diri matahari padahal ia adalah bulan. Budi Sasmito bukanlah sumber ilmu dan pengetahuan, ia hanya memantulkan, menyampaikan kembali apa yang sudah ditemukan oleh orang lain. Untuk uang...untuk uang...semua hal harus ditukarkan dengan uang bagi Budi Sasmito. Tidak ada yang lebih berharga bagi dia selain uang."
"Bagaimana dengan Profesor Sunanto Arifin"" Genta tertarik mendengar cerita itu.
"Nanto orang yang baik. Sayang, ia telanjur merasa dirinya adalah dekonstruktor sejati peradaban," tatapannya menerawang ke langit-langit rumah seperti membayangkan masa lalu yang pernah dilewati. "Nanto terlalu naif, terlalu yakin, dan percaya bahwa sejarah bisa dijadikan bahan bakar untuk menggerakkan per-ubahan di negeri korup dan terbelakang ini. Aku sudah ingatkan dia, bahwa sejarah tidak lebih dari cermin masa lalu. Agar orang bisa berkaca, bisa introspeksi. Tetapi ia bersikeras, sejarah adalah bahan bakar, anak muda adalah apinya. Sejarah keb
eradaan Atlantis ingin ia gunakan untuk menggerakkan revolusi dan per-ubahan di negeri ini."
"Apa yang sebenarnya diinginkan oleh orang seperti
Profesor Sunanto Arifin""
"Nusantara bukan sekadar serpihan bekas kolonial yang disatukan. Sejarah Nusantara lebih besar dari itu. Sebab Nusantara memiliki sejarah yang besar. Bukan sekadar ampasnya Hindia Belanda. Ia ingin semua orang memahaminya. Ia yakin ketidaktahuan itulah yang menyebabkan bangsa ini tidak pernah maju, terbelakang, rendah diri, korup, saling menindas, mengagung-agungkan Barat..."
"Bukankah pemikiran itu bagus"" Genta menyela lagi.
"Bagus. Tetapi pemikiran seperti itu selalu akan kehilangan kontrol. Semuanya akan berakhir dengan kekonyolan seperti kekonyolan Hitler. Muaranya fasis-me. Atau, malah pembantaian massal terhadap se-kumpulan orang-orang Indo campuran yang selama ini selalu mendapat tempat utama dalam masyarakat kita atau golongan tertentu lainnya. Semua gerakan yang menjadikan sejarah sebagai bahan bakarnya akan berakhir dengan kekonyolan..."
"Maksud Profesor""
"Perang dunia kedua dimulai dari kekonyolan Hitler. Semua itu berawal dari mimpi Hitler tentang keunggulan ras Arya ratusan tahun silam. Konyol. Tetapi begitulah, jutaan orang harus mati demi keko-nyolannya. Pemikiran radikal Nanto bukan tidak mung-kin akan berakhir seperti itu. Atlantis butuh ke-murni-an, maka pelan tapi pasti harus ada banyak orang yang harus disingkirkan untuk kebangkitan Atlantis."
"Pak, tolong jelaskan bagaimana awal munculnya cerita tentang benua yang hilang itu," Timur Mangkuto memotong pembicaraan antara Profesor Duani Abdullah dengan Genta.
Eva Duani tiba-tiba beranjak dari sofa. Ia masuk ke bagian dalam rumah yang telah dijadikan perpus-takaan pribadi. Kemudian keluar membawa satu buah buku tipis. Dari sampulnya yang berwarna hijau kusam, terlihat buku itu sudah agak tua. Profesor Duani Abdullah menyerahkan buku itu kepada Timur Mangkuto.
"Tirnaues and Critias. Ini kan yang kamu cari""
Timur Mangkuto mengangguk. Buku tua ber-bahasa Inggris yang ada di tangannya sungguh berbeda dengan dugaannya. Ia menyangka buku karangan Plato itu tebal atau setidaknya sangat tebal. Tetapi yang ada di tangannya sekarang hanyalah buku tipis dengan sampul kusam. Mungkin tidak sampai seratus halaman.
"Plato mengarang dialog yang tidak selesai ini sekitar 360 tahun Sebelum Masehi," Profesor Duani Abdullah menjelaskan. "Tokoh-tokoh dalam dialog itu adalah orang-orang nyata yang dikenal oleh Plato. Critias, salah satu tokoh dialog, adalah kakek buyut Plato. Socrates, tokoh lainnya, adalah guru Plato. Hermocrates adalah seorang negarawan dan tentara dari Syracuse. Cuma satu orang yang tidak mampu dijelaskan oleh sejarah, siapa sesungguhnya dirinya, yaitu Timaeus. Sedangkan tokoh-tokoh yang dibicarakan dalam dialog juga beragam. Pertama Critias, anak dari Dropides dan kakek dari Critias, yang terlibat dalam dialog. Keduanya memiliki nama yang sama. Solon, ahli hukum, sastrawan, dan juga seorang petualang yang hidup tiga abad sebelum Plato. Solonlah yang mendapatkan cerita tentang Atlantis dari para pendeta kota Sais, Mesir kuno."
Timur Mangkuto mengangguk-angguk. Profesor gaek itu tampaknya benar-benar hapal luar kepala ten-tang isi buku yang tengah ia pegang. Ia membuka buku tuanya
dengan penuh hati-hati. "Hanya secuil bagian dari dialog itu yang membahas masalah Atlantis. Jangan terlalu berharap. Sebab sebagian besar dialog justru berbicara tentang banyak hal dalam kehidupan. Tuhan, manusia, jiwa, kesehatan, dan tubuh," lanjut Profesor Duani Abdullah. "Pada bagian Timaeus kita hanya akan menemukan satu dialog tentang Atlantis. Sedangkan pada bagian Critias, cerita tentang Atlantis cukup banyak."
"Bagaimana kisah itu bisa sampai dibukukan oleh Plato""
"Cerita tentang Atlantis ia dapatkan dari kisah perjalanan Solon ke kota Sais yang terletak pada distrik Sais, Mesir Kuno. Para pendeta di kota itu bercerita tentang sejarah yang telah dilupakan oleh orang-orang Yunani tentang sebuah bangsa besar yang pernah menyerang nenek moyang mereka ribuan tahun lalu. Selama tiga abad setelah kematian S
olon, cerita itu terpendam begitu saja hingga Plato mengungkapkannya lagi dalam bentuk dialog."
"Bagaimana ceritanya, Pak"" Timur Mangkuto semakin penasaran.
Profesor Duani Abdullah berpikir sesaat. Beberapa kali ia usap-usap bagian depan rambutnya.
"Tetapi aku tidak akan menceritakan terlebih da-hulu tentang isi kitab dialog itu."
"Lalu"" "Aku ingin bercerita tentang dunia lama. Dunia yang telah dilupa dan mungkin sengaja dilupa untuk menegakkan dominasi Barat atas Timur. "#
23 "Surga tempat asal manusia. Apa yang kalian pikirkan
tentang itu"" Profesor Duani Abdullah membuka penjelasannya dengan pertanyaan aneh.
"Tempat di mana Adam diciptakan, tentunya," Timur Mangkuto menanggapi sekenanya.
"Apa itu sama dengan surga yang dijanjikan pada berbagai kitab suci setelah kita mati nanti""
Pertanyaan bertambah lebih aneh lagi. Membandingkan surga tempat Adam pernah hidup dengan surga yang dijanjikan untuk setiap kebaikan yang dilakukan manusia selama hidup di dunia. Baik Genta maupun Timur Mangkuto menggelengkan kepala.
"Surga yang dijanjikan kepada kita setelah mati sangat bersifat personal. Gambaran yang diberikan kitab suci misalnya menjelaskan bahwa surga yang diberikan pada tiap orang itu bisa melebihi luas langit dan bumi. Bukankah itu sangat personal" Di mana setiap orang bisa mendapatkan apa yang ia inginkan," kata Profesor Duani Abdullah. "Bandingkan dengan gambaran surga tempat Adam pertama kali diciptakan dan hidup. Sebagaimana gambaran kitab-kitab suci terutama kitab suci agama Samawi. Apa yang kalian temukan""
"Surga Adam lebih tampak seperti bumi yang masih
perawan." Eva Duani mencoba untuk membantu Timur Mangkuto dalam memahami kerangka dialektika yang tengah dibangun oleh Profesor Duani Abdullah. Timur Mangkuto mengingat-ingat apa yang pernah ia dengar tentang penciptaan Adam. Mulai dari rencana Sang Khalik yang dipertanyakan malaikat. Adam tercipta dari segumpal tanah. Adam diajari beragam nama dan pengetahuan sampai dengan Malaikat dan jin disuruh sujud pada Adam. Tetapi ia belum menemukan simpul apa yang hendak dijelaskan oleh Profesor Duani Abdullah.
"Aku percaya ada teori bahwa surga Adam itu bukan seperti surga yang kita bayangkan. Tidak berada di langit atau tempat mana saja di luar bumi. Tetapi berada pada suatu tempat di muka bumi ini yang sangat kaya dengan segala yang dibutuhkan oleh ma-nusia."
"Bagaimana Prof sampai pada kesimpulan itu"" tanya Genta
"Sebab yang dijanjikan pada Adam pertama kali bukan surga tetapi menjadi pemimpin di muka bumi."
"Dan ia diturunkan pada tempat terbaik di muka bumi""
"Tentu, dan seharusnya begitu. Baiklah, aku tidak ingin memperpanjang masalah surga Adam atau surga asal manusia. Tetapi aku ingin berbicara tentang suatu tempat di muka bumi yang pernah dihuni oleh per-adaban pertama manusia. Mungkin gambaran dari surga Adam atau bisa juga tempat Adam pertama kali diturunkan ke muka bumi. Sebuah peradaban yang telah dilupa, dunia lama."
"Dunia lama"" timpal Timur Mangkuto. "Iya, dunia lama. Tidak ada temuan arkeologis, tidak ada peninggalan tertulis yang ada hanya cerita yang
didapatkan oleh Solon dari pendeta di distrik Sais. Sebagaimana terungkap dalam dialog Timaeus and Criteas karangan Plato."
Di kota Sais, Solon mencari pendeta-pendeta yang memiliki pengetahuan yang luas tentang masa lalu. Sebab banyak hal tentang masa lalu yang ia dan orang-orang Yunani tidak ketahui sama sekali. Salah satu pendeta itu mulai bercerita tentang ber-bagai hal pada masa lalu. Ia bercerita tentang Phoroneus yang disebut-sebut se-bagai manusia pertama. Juga bercerita tentang banjir besar yang memusnahkan manusia kecuali Deucalion dan Pyrrha yang bisa bertahan dan selamat. Kemudian ia mengurutkan kejadian demi kejadian itu sehingga bisa dihitung telah berapa lama peristiwa itu terjadi.
Salah satu pendeta yang sudah cukup tua berkata, "Solon, kalian orang Yunani tidak lebih dari anak-anak semua, tidak ada orang tua di antara kalian." Solon ber-tanya apa yang dimaksud oleh pendeta dengan kata-kata itu. Ia menjelaskan bahwa dalam pikiran orang-orang Yunani yang ada hanyalah masa sekarang.
Tidak ada yang berusaha untuk mencari jejak pe-ngetahuan masa lalu. Pen-deta itu men-ceritakan kepada Solon kenapa hal itu sampai terjadi.
Ada suatu masa ketika bangsamu dan bangsa-bangsa lainnya dilengkapi dengan kemampuan menulis serta kelengkapan hidup lainnya. Tiap masa dipisahkan oleh interval waktu. Hingga datang waktunya, muncul wabah dari langit. Seperti penyakit campak yang ditebar begitu saja. Sehingga yang ter-tinggal di antara kalian hanyalah orang-orang yang tidak bisa membaca dan tidak memiliki pengetahuan. Maka kalian
memulai lagi segala sesuatunya seperti anak-anak yang tidak mengerti apa-apa. Perihal sil-silah yang kamu jelaskan kepada kami tidak lebih baik daripada cerita anak-anak.
Malapetaka dan bencana yang menimpa manusia disebabkan oleh banyak hal. Tetapi di antara sekian banyak hal itu, air dan api memegang peran yang paling penting. Kamu hanya mengetahui satu banjir besar yang pernah terjadi. Tetapi sebenarnya ada banjir besar sebelumnya yang juga pernah terjadi. Menenggelamkan tempat-tempat yang dulu didiami oleh manusia terbaik dan paling adil. Ketika bencana datang hanya sebagian kecil dari mereka yang selamat. Orang yang selamat itu pada akhirnya juga meninggal tanpa meninggalkan satu pun cerita tertulis.
Sebelum banjir terbesar yang pernah terjadi, kota besar Athena dikenal selalu terdepan dalam berperang. Kota itu diatur dengan pemerintahan paling baik dibanding-kan kota-kota lainnya. Kota itu juga dikenal karena konstitusinya yang paling adil dibanding tradisi yang pernah ada pada tempat di kaki langit.
Menyangkut bangsamu sembilan ribu tahun yang lalu. Aku akan menjelaskan kepadamu tentang hukum dan tindakan mereka yang terus dikenang. Sebuah keberanian meng-hadapi kekuatan bangsa yang muncul di tengah-tengah Lautan Atlantik.
Begitu banyak tindakan agung tercatat dalam sejarah kita. Tetapi ada satu tin-dakan dan perbuatan yang melebihi semua tindakan yang pernah ada. Sejarah mencatat sebuah kekuatan besar yang sulit untuk ditandingi melakukan ekspedisi penaklukan sepanjang Asia dan Eropa. Dan kota kalian adalah sasaran akhir mereka. Kekuatan besar
ini muncul di Lautan Atlantik. Pada saat itu Atlantik dapat dan bisa dilayari. Terdapat sebuah pulau yang terletak di depan selat yang kalian sebut Pillar Hercules. Pulau itu lebih luas dari pada gabungan antara Asia Minor dan Libya. Melalui pulau ini, kamu bisa mengitari semua bagian benua yang dikelilingi oleh lautan. Bagian laut yang terdapat pada Pillar Hercules adalah sebuah pelabuhan. Memiliki pintu masuk yang sempit. Sisanya adalah lautan luas yang mengelilingi daratan sehingga bisa disebut sebagai benua tanpa batas.
Di Pulau Atlantis terdapat kerajaan yang maha besar menguasai pulau-pulau dan benua. Orang-orang Atlantis telah menguasai bagian bumi sejauh Libya hingga Mesir dan sejauh Eropa hingga Tyrenia. Kekuasaan seluas itu terpusat pada satu orang. Mereka juga berusaha menundukkan negerimu. Tetapi, Solon, nenek moyangmu memancarkan keteguhan hati dalam kebenaran dan keberanian. Dibawah pimpinan raja Hellenis, nenek moyang-mu berhasil mengusir para pendatang itu dan membebaskan negeri-negeri sekitar selat dari perbudakan oleh para pendatang.
Tidak lama kemudian terjadilah gempa dan banjir besar. Dalam satu hari satu malam malapetaka menghancurkan Atlantis. Semua prajurit tenggelam ke dasar bumi. Dan Pulau Atlantis hilang di dasar laut. Karena alasan itu, laut di sekitarnya tidak dapat dilalui dan dilayari. Banyak onggokan lumpur. Ini disebabkan oleh pulau-pulau yang tenggelam.
"Atlantis itu dunia lama"" Timur Mangkuto bertanya
lagi. "Iya, Atlantis adalah dunia lama yang telah tenggelam sembilan ribu tahun sebelum masa Solon. Jika dihitung
dengan masa kita, jaraknya adalah sebelas ribu tahun. Tepatnya 11600, sebab Solon hidup enam abad sebelum masehi."
"Satu satu kosong kosong kosong itu sebelas ribu!" seru Timur Mangkuto mengulangi kata-kata yang per-nah diucapkan Eva Duani.
Kalimat akhir pada teka-teki Negara Pertama ternyata mengacu pada jarak peradaban Atlantis dengan masa sekarang, sebelas ribu tahun. Tetapi Timur Mangkuto belum m
enemukan simpul yang bisa menghubungkan cerita itu dengan kasus yang tengah ia hadapi.
"Tetapi bagaimana dengan asal-usul Atlantis"" tanya Genta.
"Cerita asal usul dunia lama dalam beberapa hal memiliki kemiripan dengan proses diturunkannya Adam ke muka bumi dalam kepercayaan monotheisme. Termasuk dalam hal anak yang dilahirkan berpasang-pasangan. Hanya saja karena masa itu adalah masa kejayaan Politheisme, pada beberapa hal cerita itu berbeda."
Konon setiap dewa memiliki wilayahnya sendiri-sendiri di muka bumi ini. Tempat di mana manusia membuat kuil dan melakukan pengorbanan untuk mereka. Poseidon mendapatkan Pulau Atlantis, tempat ia menghasilkan keturunan dengan seorang wanita biasa.
Pulau itu menghadap ke lautan. Di tengah-tengah pulau terdapat dataran yang subur tempat segala jenis tumbuhan bisa hidup. Di dekat dataran, sekitar 50 stadia dari pusat pulau, terdapat satu gunung yang tidak terlalu tinggi dilihat dari sisi mana pun. Pada gunung itu berdiam seorang laki-laki
bernama Evenor bersama dengan istrinya yang bernama Luiceppe. Mereka memiliki seorang puteri bernama Cleito.
Ketika gadis itu beranjak dewasa, kedua orang tuanya meninggal dunia. Poseidon jatuh cinta pada si gadis. Hubungan intim yang mereka lakukan telah menyebabkan lobang yang besar di permukaan tanah dan menutupi bukit tempat si gadis tinggal. Mengubah laut dan daratan membesar atau mengecil, saling melingkari satu sama lain. Ada dua daratan dan tiga lautan yang ia ubah dengan kekuatannya. Tiap lingkaran laut dan daratan memiliki jarak yang sama dengan pusat pulau. Sejak itu tidak ada orang yang bisa mencapai pulau tersebut dengan menggunakan kapal.
Poseidon kemudian menjadi dewa tempat itu. Ia tidak memiliki kesulitan untuk menetapkan aturan bagi pulau tersebut. Dari dasar bumi muncul dua jenis mata air. Satu mata air hangat, satu lagi dingin. Segala jenis tumbuhan untuk berbagai bahan makanan tumbuh subur di atas pulau. Ia mendapatkan lima pasang orang anak laki-laki dari Cleito. Kemudian ia membagi Pulau Atlantis menjadi sepuluh bagian. Untuk putera sulungnya, ia mem-berikan tanah kelahiran Cleito dan daerah seki-tarnya yang merupakan wilayah terluas dan terbaik. Putera sulung ia tetapkan sebagai raja di antara saudara-saudaranya yang diangkat sebagai pangeran. Masing-masing mereka mendapat daerah yang luas dan memerintah banyak orang.
Ia memberikan nama untuk tiap puteranya. Putera tertua yang menjadi raja pertama ia beri nama Atlas. Sejak itu seluruh pulau dan lautan yang mengitarinya disebut dengan Atlantik. Saudara kembar Atlas ia beri nama Eumelus. Pasangan kembar
kedua, satu ia beri nama Ampheres, dan lainnya Evaemon. Anak tertua dari pasangan kembar ketiga ia beri nama Mneseus dan Asli untuk adiknya. Pasangan kembar keempat, ia beri nama Elasippus untuk yang lebih tua dan He s to r yang lebih muda. Pasangan yang kelima ia beri nama Azaes untuk yang lebih tua, sedang kepada yang lebih muda, Diaprepes.
Kelak keturunan mereka selama sekian generasi adalah penguasa dari penduduk yang berdiam di pulau-pulau dengan laut terbuka. Dan seperti yang sudah aku ceritakan, kekuasaan mereka telah meng-getarkan dunia sampai dengan pillar hingga sejauh Mesir dan Tyrhenia.
Timur Mangkuto tersentak. Ia merasa tengah melakukan hal sia-sia. Mitologi ini sangat jauh dengan apa yang tengah ia pikirkan. Cerita ini bahkan terlalu jauh bagi pikiran awam. Teka-teki Negara Pertama dan Kelima ia rasa tidak lebih dari pengalihan per-hatian saja dari suatu tujuan utama yang ingin dicapai KePaRad.
"Maaf Pak, aku sulit untuk menerima mitologi itu, apalagi dikaitkan dengan kasus pembunuhan Rudi." Profesor Duani Abdullah memandang tajam pada Timur Mangkuto. Tetapi kemudian ia kembali meng-alihkan pandangan pada buku tua yang tengah ia pegang.
"Sebelum kau dengarkan semuanya, jangan mengambil kesimpulan sendiri!"
Atlas kemudian memiliki keluarga besar terhormat yang menjadi pe-nguasa kerajaan. Tiap anak sulung melanjutkan kekuasaan pada tiap generasinya. Mereka memiliki kekayaan yang belum pernah dimiliki oleh raja mana pun dan tidak akan pernah ada yang bisa menyamai.
Segala keperluan ter-sedia untuk setiap
apa yang mereka butuh-kan, baik bagi kota maupun daerah-daerah sekitarnya. Karena kebesaran kerajaan mereka, banyak benda-benda yang diberikan untuk mereka berasal dari negeri lain. Pulau itu sendiri menyediakan apa saja yang mereka butuhkan dalam hidup.
Dari dalam perut bumi mereka menggali apa saja yang mungkin bisa ditemukan. Dalam penggalian ditemukan sebuah benda padat yang sekarang tinggal nama. Tetapi dulunya lebih dari sekadar nama, Ori-chalcum. Benda itu digali dari dasar bumi pada banyak tempat di pulau tersebut. Nilai benda itu melebihi nilai apa saja pada waktu itu, kecuali emas.
Di pulau tersebut kayu sangat melimpah ruah untuk diolah oleh tukang kayu. Juga cukup untuk dijadikan perlengkapan guna memelihara hewan ternak dan berburu hewan liar.
Lebih dari itu, terdapat banyak gajah di sana. mereka berbagi tempat dan makanan dengan hewan-hewan lainnya, baik hewan yang hidup di sungai dan danau maupun hewan yang hidup di gunung dan dataran tinggi. Termasuk juga dengan hewan-hewan paling besar dan paling buas di antara mereka.
Akar, kayu, dan buah-buahan yang intisarinya menghasilkan bau yang wangi ter-dapat melimpah di pulau itu. Buah-buahan yang sengaja ditanam bisa dibedakan dua jenis. Pertama adalah buah kering yang dijadikan sebagai makanan. Kedua adalah buah-buahan dengan kulit keras. Digunakan sebagai minuman dan obat pe-nyakit kulit. Sementara, buah sarangan dan sejenisnya memberikan kesenangan dan hiburan. Buah-buahan yang telah disimpan bisa digunakan sebagai hidangan penutup setelah makan malam, setelah puas me-nikmati segala jenis makanan
di pulau ini. Usai semua itu, tibalah saatnya untuk menikmati cahaya matahari yang melimpah ruah secara menakjubkan.
Dengan semua kelimpahan yang mereka dapatkan, mereka kemudian membangun kuil, istana, pelabuhan, dan galangan kapal. Dan mereka mengatur keseluruhan negeri dengan aturan sebagai berikut:
Pertama-tama, mereka menghubungkan tiap tempat yang dipisahkan oleh laut yang mengelilingi metropolis kuno. Membangun jalan dari dan menuju istana raja. Pertama sekali mereka membangun istana yang dimak-sudkan sebagai tempat berdiam dewa dan nenek moyang mereka. Tempat yang kemudian terus dipelihara dari generasi ke generasi mereka. Setiap raja selalu mengungguli raja sebelumnya yang telah pergi dalam hal kekuasaan. Hingga akhirnya tempat itu menjadi suatu keajaiban karena ukuran dan keindahannya.
Kemudian mereka menggali kanal yang dimulai dari arah laut. Kanal itu memiliki lebar tiga ratus kaki, kedalaman seratus kaki, dan panjangnya lima puluh stadia. Menggalinya hingga tempat terjauh dari laut. Sehingga terbentuk rute yang dapat dilalui dari laut yang kemudian menjadi pelabuhan. Sisanya bisa dijadikan tempat untuk kapal-kapal besar bersandar.
Bagian dalam istana yang dilingkari oleh tembok yang kokoh dibangun dengan ketentuan berikut. Pada bagian dalamnya terdapat kuil yang dipersembahkan untuk Poseidon dan Cleito. Di sekelilingnya dihiasi lempengan emas. Tidak semua orang bisa masuk ke tempat itu. Inilah tempat di mana keluarga dari sepuluh pangeran pertama kali melihat cahaya. Dan di tempat ini setiap tahunnya rakyat mempersembahkan buah-buahan yang dibagi menjadi sepuluh macam.
Di sinilah letak kuil Poseidon dengan lebar satu stadium, jarak setengah stadium, dan tinggi yang proporsional. Kuil itu memiliki tampilan yang asing. Semua bagian luar kuil, kecuali bagian puncaknya, ditutupi dengan perak. Sedangkan bagian puncaknya mereka tutupi dengan emas. Atap pada bagian dalam kuil terbuat dari gading gajah. Dengan menakjubkan bagian itu masih ditutupi dengan emas, perak, dan orichal-cum. Sedangkan bagian dinding, lantai, dan tiangnya ditutupi dengan orichalcum.
Tiba-tiba Timur Mangkuto berdiri dari tempat duduknya. Ia mengemasi kertas teka-teki Negara Pertama hingga Negara Kelima. Ia tidak lagi bisa menahan diri. Cerita Atlantis itu tidak ubahnya dongeng anak-anak yang dilantunkan menjelang tidur.
"Persetan dengan Atlantis, Solon, dan Plato! Aku akan mencari sendiri pembunuh Rudi dengan caraku."
Ia beranjak pergi. Berjalan
menuju pintu depan dengan kecewa.*
24 "Aku rasa aku sudah mendapatkan gambaran mengenai jawaban dari lima teka-teki itu."
Profesor Budi Sasmito memecah keheningan di dalam mobil Riantono. Mereka telah meninggalkan daerah Pantai Indah Kapuk. Dari arah barat mereka bergerak ke arah selatan.
"Bagaimana jawabannya, Prof"" Melvin menanggapi dengan serius.
"Besar kemungkinan jawabannya sangat terkait dengan benda berbentuk piramid itu. Benda yang paling dicari di seluruh dunia tersebut, sekarang ini diberi nama Serat Ilmu."
"Lalu"" sela Riantono penasaran.
Pada awalnya Profesor Budi Sasmito agak ragu untuk menguraikan teorinya. Tetapi ketika ia sudah merasa yakin kedua orang di sampingnya memerhatikan dengan serius, maka omongannya pun menjadi lancar.
"Negara Pertama yang mereka gambarkan itu adalah Atlantis. Satu-satunya sumber utama tentang keberadaan benua itu berasal dari dialog karangan Plato, Tirnaues and Critias. Dalam dialog itu ia menjelaskan
bahwa ceritanya didapatkan dari Solon yang hidup tiga ratus tahun sebelum Plato. Satu satu nol nol nol pada teka-teki Negara Pertama jelas sekali bisa dibaca sebelas ribu. Jarak antara masa Atlantis dengan waktu sekarang."
Solon membawa berita. Plato membuat cerita. Sejarah mencari asalnya.
Satu satu kosong kosong kosong terlalu lama.
"Plato menceritakan bahwa masa kehidupan Atlantis berjarak sembilan ribu tahun dengan masa hidup Solon yang hidup enam abad Sebelum Masehi. Artinya jarak antara masa Atlantis dengan masa sekarang ada pada kisaran sebelas ribu enam ratus tahunan. Dan itu persis bersamaan dengan berakhirnya zaman es," lanjut Profesor Budi Sasmito.
"Peradaban itu tenggelam"" timpal Riantono.
"Seharusnya seperti itu."
"Di lautan Indonesia""
"Ya, Atlantis adalah Nusantara kuno yang terletak di luar Pilar Herculles. Lautan yang selama ribuan tahun tidak boleh dilayari. Batas antara dunia lama dan dunia baru."
"Apa artinya penjelasan itu untuk kasus ini"" Riantono masih kurang puas dengan jawaban Profesor Budi Sasmito.
"Beberapa penghuni Atlantis yang selamat berhasil membawa Serat Ilmu. Benda berbentuk piramid dengan belahan diagonal tersebut berhasil keluar dari bencana yang maha dahsyat. Benda yang konon kabar-nya berada di wilayah Nusantara."
Riantono pusing sendiri mendengar penjelasan tentang Atlantis. Pikirannya masih sulit untuk me-nerima
logika bahwa Atlantis yang sering dibicarakan orang justru terkait erat dengan Nusantara kuno. Ia hanya bisa menjadikan cerita ini sebagai bagian dari alur penyelidikan.
"Bagaimana dengan teka-teki berikutnya, Negara Kedua, Ketiga, Keempat, dan Kelima""
Tampaknya Riantono tidak bisa sabar menunggu penguraian satu persatu cerita. Ia menyerahkan kertas catatan teka-taki kepada Profesor Budi Sasmito.
Negara Kedua adalah kedatangan kembali. Pada celah puncak-puncak kedua di mana tidak ada bayangan. Menyeruak keluar darat-an. Menyeberang air besar dari hulu ke hilir, mendamba sebuah negara. Takluk-kan tersembunyi lalu menarik diri hingga masa berganti dan orang-orang datang dan pergi. Negeri itu besar dengan para penjemput sebagai pengawal, tetapi mereka dilupakan. Lalu datanglah bencana itu, musuh barat dari keturunan musuh-musuh Penjemput Pertama.
"Sisa dari teka-teki ini tidak lebih dari kiasan dan metafora," Profesor Budi Sasmito menjawab dengan ringan.
"Maksud Anda, Prof"" Melvin tampak semakin tertarik. "Kita tidak bisa mengartikan tiap kata dari teka-teki tetapi mengambil keseluruhan untuk mencari kesimpulan."
"Jadi bagaimana dengan teka-teki Negara Kedua""
"Semua itu terkait dengan Ken Arok. Pendiri Singasari yang tidak jelas asal usulnya. Mitos Jawa menganggap Arok keturunan Dewa, sedangkan dalam kitab Pararaton Arok disebut sebagai anak Brahma yang beristrikan perempuan tani dari Pangkur. Teka-teki negara kedua itu menjelaskan ketidakjelasan asal usul Ken Arok."
Sebelum Riantono mengajukan pertanyaan lanjut-an, Profesor Budi Sasmito telah membawa dirinya ke masa delapan ratus tahun silam. Ketika Ken Arok perlahan-lahan menapaki jejak kekuasaan. Diawali dari pembunuhan yang ia lakukan terhadap Akuwu Tumapel, Tungul Ametung.
Hingga akhirnya ia bisa mengalahkan Raja terakhir Kediri dalam pertempuran di Glanter pada 1222 Masehi.
"Negara Kedua yang dimaksud oleh kelompok ini tidak lain tidak bukan adalah Singasari. Teka-teki ne-gara kedua hanya ingin menjelaskan ketidakjelasan Ken Arok hingga raja terakhir Singasari, Kertanegara."
Rahasia Dewi Purbosari 1 Sang Penebus Karya Wally Lamb Kemelut Di Majapahit 17