Pencarian

Negara Kelima 4

Negara Kelima Karya Es Ito Bagian 4


"Mungkin karena kamu terpaksa. Sebab kemarin aku sempat menodongkan pistol padamu""
Eva Duani geleng-geleng kepala mendengar jawaban itu. Ia mendekatkan diri. Berbicara dengan setengah berbisik.
"Apa mungkin orang yang dulu kucemburui karena persahabatannya dengan orang yang kucintai, pantas untuk aku takuti karena tuduhan yang ia terima."
Timur Mangkuto membenamkan dirinya dalam-dalam di jok mobil. Hatinya tersentak. Ia kutuki dirinya. Apa yang ia lakukan selama 24 terakhir masih susah ia bedakan apakah untuk Rudi atau sekadar untuk menyelamatkan dirinya. Rudi, memang hanya Rudilah orang yang bisa ia percayai. Ketika banyak perwira muda bersinar dengan materi, Rudi tidak berubah. Gaji pokok dan sedikit tunjangan, benar-benar cuma itu yang ia terima. Se-buah kesepakatan persahabatan yang pernah mereka buat untuk menolak segala tunjangan gelap, simbol korupsi di tubuh polisi yang lazim terjadi.
"Ah, Rudi," Timur Mangkuto memandang Eva Duani.
"Kita mencintai orang yang sama dalam bentuk yang berbeda."
Ia pandangi gadis itu agak lama. Kemudian ia kembali menginjak pedal gas. Mobil kembali menapaki jalan tol menuju arah Bekasi.
"Orang yang akan kita temui ini adalah salah satu bagian terbesar dari hidupku," ujar Timur Mangkuto.
"Ceritakan padaku tentang hidupmu!" Eva Duani mendesak.
Timur Mangkuto merasa tidak enak untuk me-nolak setelah Eva Duani membuka semua cerita hidup-nya. Ceritanya tetap saja berawal dari kepahitan hidup. Ibunya
seorang perempuan desa yang terpaksa bertani mengolah lahan orang lain. Bapaknya sopir bis jurusan Bukit tinggi-Pekanbar
u. Ketika ia menginjak usia SMP, bapaknya kawin lagi. Sejak itu hampir tidak pernah kembali.
Tekanan ekonomi memaksa Timur Mangkuto men-cari duit sendiri. Makwo Katik, orang tua di kampung yang masih satu suku memiliki toko mebel di Bukit-tinggi, tidak terlalu besar memang. Sejak kelas tiga SMP ia sudah bekerja sebagai tukang ampelas dan cat di toko itu. Dua orang adiknya ia tanggung biaya sekolahnya. Ketika lulus SMP, dengan nilai yang cukup baik, ia masuk SMA Negeri di Kota Bukittinggi. Ia masih tetap bekerja untuk Makwo Katik hingga suatu hari orang tua itu memerhatikan pas fotonya.
"Dari sorot matamu, aku tahu kau akan jadi orang besar nantinya!"
Singkat begitu saja, orang tua itu mengomentari pas foto hitam putihnya. Tetapi dari komentar itu pula Timur Mangkuto mendapat perhatian lebih dari Makwo Katik. Laki-laki tua itu mulai membatasi kerja Timur Mangkuto, tetapi tetap memberinya upah se-perti kerja biasa. Ketika pertengahan tahun kelas tiga, Makwo Katik akhirnya membebaskan ia dari kerja, tetapi memberi bantuan biaya sekolah sebesar upah yang biasa ia terima. Makwo Katik merasa anak muda itu perlu diselamatkan masa depannya.
Selepas dari SMA ia daftar AKABRI. Perwira yang mewawancarainya pada saat pantauan akhir melihat Timur Mangkuto sangat cocok menjadi perwira polisi. Ia diterima di Akademi Kepolisian Semarang. Lulus menjadi salah satu yang terbaik bersama Rudi hingga ditempatkan di Jakarta.
Ia tertawa ketika menceritakan kariernya di Polda Metro Jaya.
"Bersama Rudi, dulu aku adalah perwira muda paling bersinar pada bagian Reserse dan Kriminal Umum. Aku dipindah ke Detsus Antiteror. Tidak lama aku bersitegang dengan Komadan Detsus, Kombes Riantono."
"Kenapa"" "Aku menolak perintahnya untuk melakukan penangkapan terhadap beberapa aktifis mahasiswa. Tanpa bukti yang jelas ia menyimpulkan anak-anak muda itu terlibat dalam aktifitas terorisme. Aku tidak bisa menerima perintah seperti itu!" Timur Mangkuto ter-senyum perih. "Sejak itu aku merasa sendiri di kesatuan. Dimusuhi oleh Riantono dan sebagian besar perwira. Puncaknya, Riantono mematikan karirku. Ia menempatkan aku sebagai perwira data. Pekerjaanku kurang lebih sama dengan pegawai negeri biasa. Riantono berhasil mematikanku!"
"Sudahlah, tidak usah disesali. Setidaknya kamu masih mempertahankan harga dirimu sebagai polisi dan juga sebagai manusia!" hibur Eva Duani.
"Sebentar lagi kita akan bertemu dengan laki-laki tua yang telah hidup pada empat jaman"" Timur Mangkuto mengalihkan topik pembicaraan.
"Empat jaman""
"Belanda, Revolusi fisik, PRRI, dan Indonesia sekarang!"
"Berapa umurnya""
"Lebih dari tiga perempat abad."
"Timur, bagaimana dengan ibumu"" Eva Duani bertanya dengan hati-hati.
"Beliau sudah cukup tenang sekarang. Satu orang adikku sudah menikah, sedangkan satu lagi sudah menjadi perawat di rumah sakit Achmad Muchtar Bukittinggi. Aku melarang beliau kerja, tiap bulan sebagian besar gajiku
adalah jatah beliau."
Eva Duani mulai mengerti sekarang. Kenapa Timur Mangkuto tidak tinggal di asrama perwira seperti cerita Rudi. Anak muda itu tidak ingin terbawa arus. Sebab banyak perwira muda polisi yang bergaya hidup eksekutif muda dan bukan lagi pelayan masyarakat. Ia ter-senyum, kagum pada laki-laki muda di dekatnya. Tidak sengaja ia sentuh pundak Timur Mangkuto, pandangan mereka bertemu.
"Untuk Rudi!" Timur Mangkuto mengatasi kekagok-annya.
Pintu tol Bekasi Barat sudah terlihat di depan mata.
36 Menjelang siang Riantono meradang di dalam kantornya. Ia mengutuki Profesor Budi Sasmito di depan Melvin. Kecerobohan analisa Profesor gaek itu telah membuat mereka kecolongan.
"Lempeng emas Tataghata hilang!" ia memberitahu setengah berteriak.
"Benda yang dulu digambarkan dalam salah satu dokumen yang kita dapatkan"" Melvin bertanya untuk meyakinkan.
"Budi Sasmito anjing! Dulu katanya benda itu tidak berarti apa-apa," Riantono semakin meradang.
Tidak sampai setengah jam keduanya sudah sampai di TKP. Seperti biasa Museum Nasional sepi. Setiap hari nyaris tidak ada pengunjung yang berminat untuk melihat masa lalu. Pengelola museum dengan langkah terburu-buru meny
ambut kedatangan dua orang perwira polisi itu.
"Kapan hilangnya"" Melvin membuka pertanyaan
"Tadi malam, Pak."
"Kenapa tidak langsung lapor polisi""
Dahi pengelola museum itu tampak berkerut. Ia sendiri baru mendapatkan laporan pencurian itu tadi pagi ketika hendak berangkat menuju museum.
"Ada saksi"" giliran Riantono yang bertanya.
Pengelola museum itu menganggukkan kepala. Lalu ia membawa Riantono dan Melvin menuju bangunan kecil pada bagian samping museum yang ia jadikan sebagai kantornya. Ruangan yang sangat kecil untuk orang yang paling bertanggung jawab terhadap etalase masa lalu Nusantara. Dua orang petugas ke-amanan museum telah berada di dalam ruangan itu.
"Ini dua dari tiga saksi kejadian, mereka berjaga tadi malam," pengelola museum menunjuk dua petugas keamanan.
Riantono mengangguk-angguk dan memandang penuh selidik pada dua orang petugas keamanan itu. Wajah mereka tampak kuyu. Tetapi tidak tampak raut penyesalan dan rasa bersalah pada roman muka mereka. Tampaknya benda masa lalu itu juga tidak mereka rasakan sebagai sesuatu hal yang istimewa. Tidak ubah-nya seperti uang receh yang hilang dari saku.
"Satu saksi lagi mana""
"Baru saja pulang ke rumah. Bersiap untuk berjaga nanti malam lagi."
"Apa dia bisa dipercaya""
"Tentu," pengelola museum memastikan.
"Kalian mengenali pelaku"" giliran Melvin bertanya pada dua orang petugas itu.
"Tidak! Ia mengenakan topeng dan pakaian serba gelap," petugas keamanan berkumis tebal menjawab.
"Berapa orang mereka""
"Satu," hampir berbarengan mereka menjawab.
Jawaban itu agak membingungkan. Sulit dipercaya satu orang pelaku kejahatan bisa membekuk tiga orang penjaga sekaligus.
"Kalian yakin""
"Yakin sekali, Pak. Tendangan kakinya keras, gerakannya cepat."
"Tendangan melingkar"" Melvin memastikan. "Ya. Bagaimana Bapak bisa tahu"" "Sial!"
Melvin hapal sekali dengan tendangan itu. Tendangan yang sering kali mematikan gerakannya ketika tiap satu kali dalam sebulan. Para perwira di Detsus Antiteror melakukan semacam sparing bela diri. Ten-dangan melingkar itu seperti tinju keras yang meng-hantam sisi bawah dagu hingga rahang, mematikan.
"Timur Mangkuto, dialah pelakunya," Melvin menyimpulkan. "Tidak ada pemilik tendangan itu yang lebih sempurna menggunakannya selain Timur Mangkuto."
Riantono bisa mengerti dari mana bawahannya mendapatkan kesimpulan seperti itu.
"Kalian bisa menggambarkan pelaku"" ia melanjutkan pertanyaan.
"Cukup tinggi untuk ukuran orang kita, sekitar seratus tujuh puluhan sentimeter. Tidak terlalu kurus dan juga tidak terlalu gemuk."
"Lainnya""
Kedua orang petugas keamanan itu menggeleng. Tetapi Riantono sepakat dengan kesimpulan yang didapatkan oleh Melvin.
"Ada lagi benda yang hilang"" ia memandang pengelola museum.
"Cuma lempeng emas Tataghata."
"Seberapa berharga benda itu bagi museum"" Riantono menguji pengelola museum.
"Sama dengan benda-benda peninggalan sejarah lainnya."
Riantono tersenyum sinis. Ia mengerti pengelola museum menghindar dari substansi pertanyaan yang ia ajukan. Laki-laki berkaca mata tebal itu tidak me-ngenal dengan baik tiap benda bersejarah yang ia kelola. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh Riantono dan Melvin. Pengelola museum juga tidak menuntut mereka untuk menemukan pelaku secepatnya. Ia sepertinya pasrah. Kasus-kasus seperti ini sangat tidak populer untuk polisi Indonesia.
Dalam perjalanan kembali ke Mapolda, Riantono masih mengutuki Profesor Budi Sasmito. Ia menilai laki-laki gaek itu sebagai seorang yang sangat sembrono dan asal menyimpulkan saja. Padahal waktu itu ia sudah mengingatkan apa perlu benda tersebut untuk diamankan oleh polisi. Nyatanya sekarang kejadiannya seperti ini. Celakanya lagi, ia tidak mengerti sepenting apa benda itu untuk KePaRad. Ia melirik Melvin.
"Positif sudah sekarang. Timur Mangkuto adalah bagian dari KePaRad. Selama ini kita terperdaya. Arti-nya, kemungkinan besar dia adalah orang juga mem-bunuh puteriku."
"Aku juga berpikiran demikian, Dan."
"Dan kau gagal menemukannya di rumah Profesor Duani Abdullah."
Melvin mengangguk tetapi tidak menanggapi kata-katanya. Ia menunggu apa lanjutan dari kata-k
ata Ko-mandannya. "Berapa orang yang kau sisakan untuk berjaga di sana""
"Tidak ada, Dan!"
"Tolol kau!" emosi Riantono menggelegak. "Kenapa
kau begitu yakin kalau rumah itu bersih""
"Kami sudah menggeledahnya, Dan."
"Tolol kau! Dan itu kau anggap sudah cukup untuk menyimpulkan."
"Maaf..." "Aku heran melihatmu. Kadang kau begitu hebat tetapi lebih sering kau memperlihatkan ketololan."
"Jadi apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Dan"" Melvin berusaha menghindar dari makian Riantono dengan mengalihkan permasalahan.
"Kau panggil lagi Budi Sasmito. Setelah matahari tenggelam geledah lagi kediaman Duani Abdullah. Siapa tahu ada pesan-pesan tertentu yang justru tidak terbaca oleh kita, tetapi bisa ditangkap oleh Budi Sasmito."
"Kenapa kita tidak biarkan Timur Mangkuto terus bergerak. Menuntun kita hingga sarang kelompok itu, Dan" Atau, bisa jadi pula Timur Mangkuto tidak bersalah""
"Tidak bersalah"" kata-kata itu menyulut lagi emosi dan kemarahan Riantono yang tadi sudah sempat meredup. "Setelah semua rentetan kejadian ini kau bilang ia tidak bersalah. Kau benar-benar tolol, Melvin!"#
37 Seorang laki-laki gaek menyambut kedatangan Timur
Mangkuto dengan tenang, hampir tanpa ekspresi. Makwo Katik, laki-laki itu lebih tepat berumur lima puluhan tahun dibanding tiga perempat abad. Badannya tegak, sama sekali belum menunjukkan keringkihan usia tua. Sinar matanya tajam membelenggu tiap pandangan yang menatapnya. Ketika orang-orang seusianya sudah tidak mampu lagi berbuat apa-apa, ia justru gelisah ketika badan tidak digerakkan bahkan untuk satu hari.
"Masuk!" Makwo Katik mempersilahkan. Di dalam rumah seorang wanita berumur tiga puluhan tampak menggendong seorang bayi laki-laki lucu. Eva Duani lebih kaget ketika melihat ekspresi wanita itu terhadap Timur Mangkuto.
"Timur, kau bikin masalah apalagi hingga masuk tivi"" Ia heran mungkin se-Indonesia orang sudah tahu siapa Timur Mangkuto sekarang. Seorang tersangka utama pembunuhan. Tetapi ada apa dengan dua orang ini" Kenapa mereka tampak begitu percaya pada Timur Mangkuto" Ia mengenalkan Eva Duani sebagai teman lama yang baru ditemukan dalam tempo 24 jam terakhir.
"Uni, masak apa pagi ini"" Timur Mangkuto justru tidak menjawab pertanyaan.
"Pangek, kau mau makan sekarang""
Timur Mangkuto menggeleng. Walaupun gulai ikan kering dicampur pakis dengan banyak santan itu begitu ia gemari. Ia lalu meraih bayi yang ada di pangkuan wanita yang ia panggil Uni Reno. Bayi laki-laki itu tampak begitu tenang di pangkuan Timur Mangkuto. Sesekali bahkan ia tertawa. Timur Mangkuto duduk di depan Makwo Katik. Laki-laki tua itu masih terus mengisap kreteknya, asbak di sampingnya sudah penuh dengan puntung rokok. Makwo Katik adalah seseorang yang memandang po-sitif arti rokok. Tampak-nya ia tidak mau diburu rasa bersalah karena merokok.
"Makwo, aku nyaris habis sekarang," ia membuka pembicaraan.
Makwo Katik tersenyum. "Kau berpijak pada da-han yang salah. Itu saja."
"Lalu, apa aku harus cari dahan baru""
"Tidak, sudah terlambat. Menjadi seperti ini sudah jadi pilihan hidupmu. Yang perlu kau lakukan adalah membuat dahan itu kuat."
"Setelah semua tuduhan yang aku dapatkan ini""
"Lalu kau mau apa"" Makwo Katik balik bertanya. Tam paknya ia hendak mencengkeram Timur Mangkuto dan mengangkat mentalnya untuk naik.
"Entahlah, Makwo. Tetapi masalah ini harus aku selesaikan."
"Harus kau selesaikan"" Makwo Katik mencibir. "Itu belum cukup Buyuang. Masalah menyelesaikan adalah perkara mudah. Yang paling penting justru bagaimana kau menjernihkan masalah ini sehingga jelas alur dan patutnya. Sehingga ketika kau selesaikan tidak hanya pucuk yang kau tebas, tetapi akarnya juga kau cabut."
Uni Reno menghidangkan dua cangkir kopi untuk dua tamunya. Eva Duani memandangnya malu-malu dan
sedikit tidak enak. Perempuan itu lalu mengambil bayinya dari tangan Timur Mangkuto.
"Uda mana Ni"" Timur Mangkuto mengalihkan pandangan. Pertanyaan yang tidak perlu tentunya.
"Kerja. Kau yakin tidak mau makan""
Timur Mangkuto kembali menggeleng. Satu batang kretek ia ambil dari bungkus rokok di depan Makwo Katik. Eva Duani bingung harus
mulai dari mana sebab kedua orang ini masih membicarakan apa yang me-nimpa Timur Mangkuto.
"Apa rencanamu sekarang"" Makwo Katik memandang tajam.
"Menemukan pelaku sebenarnya dari pembunuhan itu."
Kertas catatan interogasi yang ia selipkan di kantong celana dikeluarkan, lalu ia berikan kepada Makwo Katik. Laki-laki tua itu membaca sekilas kemudian mengembalikannya kepada Timur Mangkuto.
"Kau yakin bisa temukan""
"Entahlah Makwo, tetapi aku harus menemukannya."
"Kau adalah ular sekarang, Buyuang. Sementara mereka yang mengejarmu adalah elang. Setiap saat bisa menemukanmu karena mereka punya apa yang kau tidak punya. Kau mengejar mangsa yang sama, tetapi mereka juga menjadikanmu mangsa. Kau harus licin seperti ular, tahu semak, mengerti belukar. Tahu kapan harus mematuk, tahu juga kapan kau harus menghindar," Makwo Katik membakar lagi satu batang kretek. "Kau tahu bagaimana ular mengalahkan elang""
"Bagaimana, Makwo""
"Temukan sarangnya, bersembunyilah di sana. Tunggu hingga gelap turun, hingga ia lengah kemudian kau baru mematikannya."
Eva Duani tersenyum kagum melihat orang tua yang berbicara dengan logat Minang kental itu. Timur Mangkuto
mengangguk-anggukkan kepala. Setiap kata-kata Makwo Katik bagi dirinya seperti suatu keajaiban yang keluar dari mulut orang tua itu.
"Apa yang sebenarnya orang-orang itu inginkan darimu""
"Mereka kalap. Butuh tersangka. Aku adalah orang yang tepat untuk dijadikan korban."
"Kau masih melawan komandanmu itu"" "Tentu."
"Tidak ingin kau berbaikan""
"Sedikit pun tidak Makwo. Bahkan sekadar ber-damai saja aku tidak akan mau," Timur Mangkuto memperlihatkan sikap keras kepalanya.
Makwo Katik tersenyum kecil melihat Timur Mangkuto. Ia kenal betul dengan laki-laki muda di depannya.
"Lalu apa keperluanmu ke sini""
"Ceritakan padaku tentang Tambo, Makwo. Tampak nya itu berkaitan dengan teka-teki kasus yang tengah aku hadapi."
"Aku tidak akan bercerita mengenai suatu hal yang aku tidak kuasai"
Raut wajah Timur Mangkuto dan Eva Duani tidak bisa menyembunyikan kekecewaan mendengar jawaban itu. Tetapi Timur Mangkuto tidak percaya begitu saja pada penjelasan laki-laki tua itu.
"Makwo yakin tidak mengerti tentang Tambo""
"Aku mengerti."
"Lalu"" "Aku tidak kuasai semua hal."
"Tolong ceritakan saja Makwo," Eva Duani angkat bicara. Ia terpengaruh cara Timur Mangkuto me-manggil orang tua itu.
Laki-laki tua itu tetap saja menggeleng. "Semuanya sudah jelas dalam syarak dan agama, serahkan pada yang paham dan ahlinya untuk setiap permasalahan." "Tetapi Makwo kan bisa..."
"Buyuang!" Makwo Katik menghardik. "Apa aku kurang mengajarimu. Orang kaya ditipu daya karena kebodohannya. Orang pandai ditipu daya karena ketidaksabarannya. Tidakkah kau bisa tenang dan sabar menghadapi cobaan ini""
Eva Duani kaget dengan jawaban laki-laki tua itu. Ia baru mengerti orang tua yang disebut Timur Mangkuto paling berpengaruh dalam hidupnya itu ternyata jauh lebih keras kepala daripada Timur Mangkuto.
"Jadi, aku harus bagaimana Makwo""
"Kalau kau ingin dapatkan kejernihan maka kau harus menyucikan permasalahan ini dengan sesuatu yang jernih. Meminta aku bercerita tentang Tambo, sama saja seperti kau bersuci dengan air tergenang yang tidak jelas kesuciannya. Yang akan kau dapatkan hanya keraguan. Hasilnya pun tidak akan jauh berbeda, ragu-ragu dan kau tidak akan pernah bisa mendapatkan kejelasan."
"Jadi, Makwo"' "Kau cari orang yang mengerti dan paham me-ngenai masalah itu."
"Aku tidak tahu Makwo."
"Kau cari Malin Saidi. Ia dulunya Tukang Kaba dari Payakumbuh yang berkeliling dari pasar ke pasar. Tetapi sudah enam tahun merantau ke sini. Tanyakan namanya di pasar Bekasi dekat terminal. Cari dia, kau akan dapat kejelasan."
"Malin Saidi""
"Ya." Selanjutnya Eva Duani mendengar dua orang laki-laki itu berbicara dengan bahasa Minang yang sangat totok. Tampaknya Timur sengaja mengakhiri sesi pembicaraannya dengan bahasa Minang. Ia hanya sesekali berbicara, sisanya Makwo Katik yang berbicara. Kata-katanya terdengar indah, terkadang seperti syair dalam bahasa yang tidak begitu dipahami oleh Eva Duani. Yang bisa ia tangkap Timur Mangkuto te
ngah "dihajar" dengan berbagai nasihat oleh Makwo Katik-nya.
Tidak lama Timur Mangkuto pamit pada Makwo Katik dan Uni Reno. Laki-laki tua itu menepuk-nepuk bahunya. Perasaan bangga pada Timur Mangkuto jelas tergambar dari raut wajahnya. Sementara Uni Reno menjinjing satu bungkusan yang ia berikan pada Eva Duani.
"Ini Uni bungkuskan nasi dan Pangek kesukaan Timur," ia memeluk Eva Duani lalu mendekati Timur Mangkuto. "Kau tidak boleh kalah. Belum ada cerita-nya orang Minang kalah karena ini..." ia mengetukkan telunjuknya pada kening.
Aneh. Itulah perasaan yang menghinggapi Eva Duani dalam perjalanan menuju pasar Bekasi. Makwo Katik dan puterinya, Uni Reno, sangat percaya pada Timur Mangkuto tanpa laki-laki itu perlu menjelaskan duduk perkaranya. Sesekali ia mencuri pandang pada laki-laki itu. Ketika pandangan mereka kembali ber-temu, Eva Duani tergagap berusaha mencari-cari topik yang mungkin untuk dibicarakan.
"Apa rahasianya Makwo Katik bisa kelihatan muda seperti itu""
Timur Mangkuto tersenyum. Entah karena melihat Eva Duani yang tergagap atau ingat pada Makwo Katik.
"Ia selalu hidup pada tiap masalah yang ia hadapi.
Tidak pernah mengangankan masa depan yang muluk-muluk. Tidak juga mau mengenang hal-hal yang indah pada masa lalu. Ia hidup pada hari ini, pada tiap hal yang ia hadapi. Itu sebabnya laki-laki tua itu tidak bisa dilindas begitu saja oleh zaman."
Timur Mangkuto terbuai oleh kata-katanya sendiri. Ia ingat kisah hidup Makwo Katik. Hidup keras se-menjak kecil, kuli angkut, jualan keliling hingga cukup mapan. Tetapi tidak ada kata berhenti untuk Makwo Katik. Selain anak-anaknya, ia juga membantu meng-hidupi dan terutama membimbing kemenakannya.
"Anak dipangku, kemenakan dibimbing..." gu-man-nya pelan.
Tetapi nyaris tidak terdengar oleh Eva Duani. Perempuan itu masih sibuk memerhatikan lembaran kertas teka-teki.
Negara Kedua adalah kedatangan kembali. Pada celah puncak-puncak kedua di mana tidak ada bayangan. menyeruak keluar daratan. menyeberang air besar dari hulu ke hilir, mendamba sebuah negara. Taklukan tersembunyi menarik diri hingga masa berganti dan orang-orang datang dan pergi. Negeri itu besar dengan para penjemput sebagai pengawal, tetapi mereka dilupakan. Lalu datanglah bencana itu, musuh barat dari keturunan musuh-musuh Penjemput Pertama.
"Kamu yakin teka-teki ini terkait dengan kedatangan orang-orang yang membawa Serat Ilmu"" Eva Duani menginginkan kepastian dari Timur Mangkuto.
"Kamu mungkin lebih tahu."
"Apa betul mereka mendarat di pantai barat Sumatera
dan membentuk peradaban Minangkabau"" Eva Duani seperti memberikan pertanyaan retoris.
"Entahlah. Bagi kami orang Minang, kejadian masa lalu tidak pernah diceritakan dengan utuh. Hanya serpihan," Timur menelan ludah, teringat kisah ke-luarganya ketika ditinggalkan ayahnya yang lebih ter-tarik pada perempuan lain.#
38 Setelah perjalanan kurang lebih satu jam dari pantai
utara Jakarta, kapal yang ditum-pangi Genta akhirnya menyentuh pantai sebuah pulau. Begitu menjejakkan kakinya ke tanah, kapal segera berbalik ke titik keberangkatan lagi.
Tidak ada nyiur melambai kecuali kegersangan di pulau itu. Batu-batu besar seperti begitu saja di-muntahkan dari dasar bumi. Deburan ombak mem-perkuat sepi. Bahkan tidak terdengar bunyi burung laut. Sepi. Kosong. Tandus. Hanya beberapa hewan melata yang bisa bertahan hidup.
Sisa dari perjalanannya ia tempuh dengan berjalan kaki. Menyeruak melewati cadas-cadas pudar berwarna abu-abu. Batu-batu kecil tajam seperti cadas yang merekah dan pecah sesekali menguji ketahanan telapak sepatunya.
Setengah jam berjalan kaki, Genta sampai pada bagian lain dari tepi pulau. Tebing-tebing curam de-ngan cadas-cadas runcing menonjol pada beberapa bagiannya. Dengan hati-hati, Genta menuruni salah satu bagian dari tebing. Bagian tebing itu cukup aneh, sebab tepat ditengah-tengahnya, terdapat batu ber-bentuk setengah lingkaran yang menonjol keluar. Se-rupa balkon yang
disediakan alam untuk menikmati keindahan laut. Batu-batu kecil yang tertanam di se-panjang permukaan pulau hingga cerukan balkon batu mirip tangga berusia ribuan tah
un. Genta turun ke ceruk balkon. Dari arah mana pun, baik dari pulau maupun lepas laut, tidak ada orang yang akan menyangka bahwa di tebing curam itu terdapat cerukan yang menjorok ke dalam dengan bagian setengah lingkarannya menonjol ke permukaan.
"Genta!" Terdengar panggilan dari seseorang di dalam cerukan tebing. Genta mengikuti arah sumber suara. Ia masuk ke dalam cerukan. Kedalaman cerukan itu sekitar dua puluh meter, cukup untuk menampung belasan orang di dalamnya. Beberapa bongkahan stalagtit tampak seperti mata pisau runcing yang tergantung di langit-langit cerukan tebing. Cerukan yang lebih menyerupai goa dengan mulut menganga.
Di dalam cerukan Genta mendapati beberapa orang telah menunggunya di sana. Mereka duduk pada bong-kahan-bongkahan batu berukuran sedang yang sengaja ditata rapi sehingga tersusun seperti tempat duduk melingkar.
"Bagaimana, Gen"" satu suara menyambut kedatangan Genta.
Semua mata memandang penuh harap pada Genta. Tatapan itu baru berakhir ketika Genta meletakkan lempeng emas Tataghata pada sebuah batu bundar tepat di tengah-tengah mereka.
"Semua sudah lengkap sekarang," ujar laki-laki putih dengan rambut agak keriting di samping kanan Genta.
Dari dalam bungkusan kain hitam ia mengeluarkan
sesuatu. Benda berwarna hitam mengilat berbentuk piramid dengan belahan diagonal pada bagian alasnya, ia letakkan berdampingan dengan lempeng emas Tataghata.
"Tinggal menunggu waktu. Kita, para Penjemput Keempat untuk Negara Kelima, akan menuai janji ribuan tahun," tambah laki-laki berbadan pendek yang tadi memberi isyarat pada Genta.
"Apa ini sudah mencukupi apa yang kita ingin-kan"" tanya Genta.
"Maksudmu"" tanyanya dengan nada curiga.
"Dua benda ini sebagai sarana apa yang akan kita lakukan dalam hitungan jam ke depan""
"Tentu. Serat Ilmu dengan alas lempeng emas Tataghata akan menjemput kekuatan lama yang telah terpendam selama ribuan tahun. Gelombang kebangkitan kita akan menyapu habis negara tanpa peradaban ini," jawab laki-laki berbadan pendek.
Suasana dalam tenda berubah menjadi sunyi senyap. Genta kenal tiap orang dari lima orang yang menyambutnya. Sama seperti dirinya, mereka semua adalah Para Pengawal dari Para Penjemput negeri yang tenggelam.
Dua dari lima orang itu adalah orang-orang yang mewakili faksi garis keras dalam kelompok, Sardi Amin, laki-laki dengan perawakan cukup pendek, dan Bagus Dito. Tiga orang lainnya, Susetyo Iskandar, Ilham Tegas, dan terakhir Dino Tjakra, laki-laki putih berambut agak keriting. Sama seperti dirinya, ketiga orang itu berpikir cukup moderat. Tidak ada ke-pemimpinan resmi dalam Kelompok Para Pengawal. Mereka hanya menunggu pesan dan perintah dalam bentuk surat kaleng dari Para Pembuka. Tetapi setiap orang dalam kelompok sadar
bahwa secara de facto kepemimpinan selalu dipegang oleh Ilham Tegas.
"Apa ada perintah baru dari Para Pembuka"" Genta mengalihkan pembicaraan.
Ilham Tegas menggelengkan kepalanya. Tugas mengawinkan dua benda purba telah berhasil mereka lakukan. Ia dan Dino Tjakra telah berhasil mem-bawanya dari bumi Darmasraya, sedangkan Genta telah berhasil mencurinya dari Museum Nasional.
"Kita tinggal menunggu. Waktu yang akan dijanji-kan semakin mendekat. Masa silam akan kembali bangkit. Revolusi dapat kita kobarkan. Para Pembuka akan membimbing kita," kata Ilham Tegas penuh intonasi.
"Apa betul Para Pembuka akan bersama-sama kita pada tanggal yang dijanjikan itu"" Susetyo Iskandar mengarahkan pertanyaan kembali pada Ilham Tegas.
"Seharusnya seperti itu," jelas Ilham Tegas. "Mereka akan membimbing kita langsung pada saat di mana bayangan menghilang itu."
Wajah lima orang lainnya berseri-seri mendengar jawaban Ilham Tegas. Peristiwa itu adalah kesempatan pertama mereka untuk bertemu dengan Para Pembuka. Orang-orang yang telah mendapatkan ilmu langsung dari mendiang Profesor Sunanto Arifin. Orang-orang yang telah membimbing mereka menuju kebangkitan dari sebuah peradaban yang tenggelam selama ribuan tahun. Selama ini mereka hanya mengenal Para Pem-buka dari hubungan tidak langsung. Bahkan pada saat awal mereka direkrut pun, mereka hanya mendapatkan konta
k tidak langsung dengan cara yang berbeda-beda dari Para Pembuka.
"Bagaimana dengan polisi yang mengejar kita"" tanya
Dino Tjakra membuyarkan impian anak-anak muda itu.
Semua pandangan kembali tertuju pada Genta. Ia memang sengaja disusupkan ke dalam tubuh kepolisian untuk mengukur sejauh mana kemampuan polisi untuk menemukan mereka.
"Aku rasa mereka akan dikalahkan oleh waktu!" singkat begitu saja jawaban dari Genta.
"Kau yakin"" Bagus Dito menyela.
"Tentu." "Apa kau juga sudah memperhitungkan perwira polisi yang pernah terlibat dengan kelompok kita""
"Ya. Tidak lebih dari dua bulan ia bergabung dengan kelompok kita. Ia tidak pernah berhasil me-mecahkan teka-teki lima negara untuk meningkatkan derajat keanggotannya menjadi Para Pemula. Ketika ia keluar, status keanggotaannya masih sebagai Para Pen-cari. Belum mengerti apa-apa tentang rahasia kelompok dan orang-orang yang ada di dalamnya," Genta me-yakinkan. "Apa yang ia ketahui tentang kelompok kita, tidak lebih baik dari pengetahuan orang awam."
"Bagaimana dengan dua orang Para Pencari dari Para Penjemput yang ditahan oleh polisi"" Ilham Tegas bertanya dengan nada lirih.
Genta tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia merenggangkan kakinya. Rupanya ia tengah berusaha menahan perasaannya.
"Mereka diperlakukan dengan sangat buruk oleh polisi. Dimasukkan ke dalam sel bawah tanah, Blok Minus. Diinterogasi dengan cara yang amat buruk. Tetapi mereka tegar, walaupun akhirnya mereka harus bercerita tentang teka-teki lima negara."
"Dua orang Para Pencari itu bisa dimaafkan. Polisi tidak akan punya banyak waktu untuk memecahkan teka-teki itu," kata Ilham Tegas menutup pembicaraan.*
39 Eva Duani melindungi kedua belah matanya dari terik
panas matahari yang menyakitkan. Cahaya matahari seperti ter-jebak dalam kabut polusi yang melingkupi Bekasi. Seperti di Jakarta, batas pemandangan biru cerah telah hilang dari kota ini. Yang tersisa hanya langit kelam. Matahari pun tidak pernah terlihat. Hanya pancaran cahayanya yang menyakitkan. Ling-kungan kota satelit ini telah bang-krut, tetapi tidak ada yang peduli. Sebab masing-masing orang sibuk mencari penghidupannya sendiri.
Pasar Bekasi yang berada dekat terminal hanya berjarak setengah jam perjalanan dari rumah Uni Reno. Kesepakatannya Eva Duani yang akan mencari laki-laki bernama Malin Saidi itu. Sedangkan Timur Mangkuto menunggu di dalam mobil agar kemunculannya tidak menghindari penampilan mencolok dari Timur Mangkuto.
Walaupun lahir dan besar di Jakarta, baru kali ini Eva Duani menjejakkan kaki di pasar terminal Bekasi. Semua tumpang tindih, tidak ada pengaturan. Orang kecil berebut untuk rezeki yang sedikit. Anak-anak kecil menjerit pada tiap gosokannya pada sepatu-sepatu hitam murah yang menjadi derma dari kaum menengah. EvaDuani bingung harus mulai mencari di mana. Tetapi
kata-kata Makwo Katik cukup meyakinkan. Malin Saidi cukup dikenal orang di sini. Dalam bayangannya seorang Tukang Kaba itu tidak kalah populernya dengan tukang dalang di Jawa. Tentu Malin Saidi cukup dihormati di kalangan orang-orang Minang yang berdagang di pasar terminal ini. Setidaknya itu yang terlintas dalam benak Eva Duani.
Ia sampai pada lorong-lorong kumuh lantai dasar pasar. Lalu keluar lagi, ke daerah terbuka tempat pedagang kaki lima menggelar dagangannya. Ia mulai bertanya pada orang-orang yang ia rasa berasal dari Minang. Ia bisa membedakan mereka dari logat bicara, sebagaimana logat dari saudara-saudara ibunya. Dari enam orang yang ia temui, jawabannya selalu seragam. Dan itu menyesakkan dada Eva Duani. Sambil tertawa orang-orang menjawab, "Ohh, Malin Saidi si pembual besar. Cari saja di pinggir pagar pasar terminal, ia menjajakan pakaian dalam wanita bekas Singapura di sana!"
Dengan langkah agak tergesa-gesa, Eva Duani berjalan menuju arah yang dimaksud. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa kata-kata itu hanya lelucon konyol dari para pedagang kecil. Menertawakan ke-miskin-annya adalah cara orang kecil untuk menghibur diri. Ia sampai di pinggir pagar. Sejauh mata me-mandang deretan pedagang kaki lima menjejali pinggir pagar. Pedagang tas berse
belahan dengan pedagang pakaian anak-anak, bersebelahan dengan pedagang mainan bersebelahan lagi dengan pedagang minuman. Hing-ga beberapa deret menjelang jalan keluar terminal, Eva Duani melihat tumpukan pakaian dalam wanita yang kumal.
"Bapak, bernama Malin Saidi"" Eva Duani ber-tanya dengan ragu-ragu.
Laki-laki itu tidak menghiraukannya. Ia sibuk mem-bolak balik dagangannya, be-ha dan celana dalam wanita. Beberapa orang wanita tampak memilah celana dalam dan beha bekas Singapura itu. Malin Saidi masih terus berteriak.
"Celana dalam dan be-ha Singapura. Tiga sepuluh ribu!"
"Murah. Tiga sepuluh ribu. Dari Singapura!"
"Bapak bernama Malin Saidi"" Eva Duani meng-ulangi lagi pertanyaannya.
Raut kurang senang terlihat dari wajah Malin Saidi. Jauh dari bayangan Eva Duani tentang kegagahan seorang tukang kaba yang menguasai masa lalu. Malin Saidi yang ia temui tidak lebih sosok laki-laki yang kalah. Wajahnya kumal. Pancaran matanya menyerah kalah. Jauh berbeda dengan pancaran mata Makwo Katik. Eva Duani berharap menyapa orang yang salah.
"Iya, aku Malin Saidi. Ibu mau celana dalam atau be-ha seperti apa" Baru sekali dua kali dipakai oleh orang Singapura."
Eva Duani kecewa. Laki-laki itu benar Malin Saidi, tapi jauh dari apa yang ia bayangkan. Laki-laki itu seperti seorang yang kalah dan ditelan oleh zaman.
"Bisa kita bicara sebentar, Pak Malin""
"Maaf, saya cuma melayani orang yang beli. Tidak orang yang ajak bicara."
"Saya ingin mendengarkan lengkap cerita Tambo dari Bapak," Eva Duani setengah teriak.
Untuk beberapa saat Malin Saidi diam, tidak lagi meneriakkan dagangannya. Roman wajahnya berubah menjadi keruh. Pertanyaan itu seperti siksaan yang pernah menderanya.
"Aku tidak mengerti apa yang ibu bicarakan."
Eva Duani sadar, laki-laki itu mencoba untuk berkelit.
"Apa orang seperti Makwo Katik tidak bisa dipercaya kata-katanya""
"Ibu bilang apa tentang Mak Katik"" Malin Saidi terpancing. Ia tampaknya sangat menghormati Makwo Katik.
"Beliau yang bilang kalau Pak Malin tukang kaba dan menguasai Tambo. Kalau ternyata Pak Malin tidak seperti itu, berarti kata-kata Makwo Katik tidak bisa dipercaya."
"Aku tidak punya waktu untuk itu. Dagangan tidak bisa aku tinggalkan," Malin Saidi menyerah tetapi tidak mau terlihat kalah.
Eva Duani memutar otaknya. Mencari cara agar laki-laki berumur empat puluh tahunan ini bisa ia ajak sejam dua jam.
"Berapa Bapak dapat dari dagangan ini sehari""
Malin Saidi mengangkat jari tengah dan telunjuk-nya. "Dua ratus ribu!"
Eva Duani langsung mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu rupiah. Lalu uang itu ia sodorkan langsung ke telapak tangan Malin Saidi. Laki-laki kurus ringkih itu tidak bisa menolak. Jumlah yang sangat besar tentunya.
"Saya cuma butuh bicara sejam dua jam dengan Bapak."
"Baik," muka Malin Saidi berseri-seri.
Tetapi ia juga tidak mau sekadar mendapatkan uang sebanyak itu. Ia tidak menutup lapak dagangan-nya. Ia memanggil seorang anak muda berusia men-jelang dua puluhan.
"Konok, tolong kau jaga daganganku ini. Nanti terjual berapa, kau dapat bagian."
Wajah Malin Saidi memang terlihat payah. Meran-tau
pun ia terlambat. Baru berangkat dari kampung dua tahun menjelang umurnya setengah abad. Istrinya-lah yang menuntut ia untuk berangkat. Menjadi tukang cerita tentang masa lalu tidak bisa menghidupi masa sekarang. Demikian alasan yang disampaikan oleh istri-nya. Masa lalu yang diceritakan oleh Malin Saidi menurut istrinya tidak bisa menghasilkan uang.
Anaknya empat orang yang harus dihidupi. Baru satu yang kawin. Sisanya masih sekolah. Sementara orang-orang di kampung halamannya semakin tidak butuh cerita tentang masa lalu. Sebab seperti istri Malin Saidi katakan, masa lalu tidak akan membuat orang menjadi kaya. Di kampungnya segala sesuatu diukur dengan uang. Bahkan pengetahuan yang luas pun tidak cukup untuk dibandingkan dengan uang. Kampungnya terletak 33 kilometer dari kampung Timur Mangkuto. Tempat lahir orang besar bernama Tan Malaka.
Payah, demikian Malin Saidi mengeluhkan hidup di rantau sepanjang perjalanan di dalam mobil. Ia tampaknya tidak mengenal sosok Timur Mangkutoyang selama
beberapa jam belakangan sering muncul di televisi sebagai buronan paling dicari. Timur Mangkuto hanya menjelaskan ia juga berasal dari Minangkabau dan membutuhkan cerita itu untuk peng-hidupannya. Hamparan taman kecil di tepi kali Bekasi yang kotor dan jorok menjadi tempat perhentian mobil itu.


Negara Kelima Karya Es Ito di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Untuk apa kalian tahu tentang Tambo"" Malin Saidi bertanya seperlunya.
"Untuk mengungkap masa lalu," jawaban sekena-nya keluar dari mulut Timur Mangkuto.
Malin Saidi tergelak. Dengan duit dua ratus ribu di kantong dan dagangannya masih jalan dengan ban-tuan
Konok, ia tidak peduli dengan jawaban dua orang muda itu. Timur Mangkuto mematikan mesin mobil, lalu kaca mobil ia turunkan.
"Apa yang ingin kalian tahu tentang Tambo Adat A-lam Minangkabau""
"Semuanya," jawab Eva Duani.
"Siang dan malam tidak akan selesai untuk itu."
Tanggapan singkat Malin Saidi membuat Eva Duani terhenyak. Ia tampak bingung harus mulai dari mana. Sementara itu Malin Saidi masih menunggu, seperti orang tengah memberi teka-teki.#
40 Kepulan asap hitam hasil pembakaran tidak sempurna
keluar dari belakang Panther berwarna gelap. Mobil itu dengan cepat melaju meninggalkan Perumahan Fiena Busana Depok. Beberapa kali kendaraan itu berguncang-guncang ketika melewati undakan kecil.
Lumban dibantu oleh empat orang Para Penjemput dari tingkatan Para Pemula telah berhasil "menjemput" Profesor Duani Abdullah. Tanpa kesulitan mereka meminta Profesor gaek berkursi roda itu untuk mengikuti kemauan mereka. Gertakan satu pucuk pistol dan ancaman terhadap puteri bungsunya, cukup untuk membuat laki-laki kurus dan lemah itu menyerah. Profesor Duani Abdullah hanya diberi kesempatan beberapa menit untuk mengganti pakaian di dalam kamar. Setelah itu mereka menggendongnya dan me-masukkan ke dalam mobil. Duduk pada jok tengah mobil bersama dengan Lumban. Kepada beberapa orang tetangga yang bertanya, Lumban menjawab mereka adalah para mahasiswa yang menjemput Profesor Duani Abdullah untuk menjadi pembicara pada seminar yang mereka adakan siang ini.
Lumban menarik nafas lega. Perintah dari Para Pembuka untuk mengamankan Profesor itu telah ter-laksana. Hanya saja, Para Pembuka dalam surat kaleng yang
terselip di bawah jok mobil memberikan tam-bahan instruksi untuk memperlakukan Profesor itu dengan baik. Alasannya sudah pasti, Profesor Duani Abdullah adalah teman mendiang Sunanto Arifin, guru mereka. Para Pengawal menyadari, penculikan itu perlu dilakukan untuk menghindari kemungkinan Profesor Duani Abdullah bisa memecahkan teka-teki keberadaan mereka sebelum tanggal yang dijanjikan itu datang. Di antara Para Pengawal, Lumban adalah orang yang cocok untuk memimpin pengambilan paksa.
"Bodoh! Kalian termakan oleh khayalan Nanto. Kalian pasti gagal!"
Profesor Duani Abdullah menumpahkan kekesalannya ketika mobil sudah memasuki jalan raya. Ia menatap Lumban dengan tajam. Mencoba mencari celah kelemahan anak muda itu. Tetapi tidak ada tanggapan yang keluar dari mulut Lumban. Tatapannya beralih kepada sopir yang mengemudikan Panther. Dari belakang, ia bisa memerhatikan telinga sopir berubah nyarun mendengar makiannya.
Tiba-tiba saja perhatian Profesor Duani Abdullah tertuju pada si sopir. Ia seperti mengenalnya. Tetapi ia tidak mengerti kapan dan di mana ia pernah melihat sosok dengan potongan yang tidak jauh berbeda de-ngan si sopir. Usianya mungkin hanya terpaut beberapa tahun di bawahnya. Tangan Profesor Duani Abdullah menjangkau pundaknya.
"Tolong jawab, apa saya mengenal Anda"" Pak Udin, sopir mobil itu melirik ke belakang. Ia menggelengkan kepala. Lalu mengalihkan lagi pandangannya jauh ke depan.
"Tetapi, rasanya wajah Anda tidak asing bagi saya,"
Profesor Duani Abdullah masih penasaran dengan sopir itu. "Lalu kenapa tadi telinga Anda berubah menjadi merah ketika saya memaki Sunanto Arifin""
"Beliau dulu adalah sopir pribadi Profesor Sunanto A-rifin!" Lumban akhirnya mementahkan semua spekulasi yang berkembang di dalam benak Profesor Duani Abdullah.
"Mungkin kita pernah bertemu ketika Pak Nanto masih hidup, tetapi hanya sekilas. Sebab tugas saya dulu hanya antar jemput beliau!" jawaba
n dari Pak Udin lebih meyakinkan walaupun tidak mematikan kecurigaan Profesor Duani Abdullah.
"Iya...mungkin saja." lanjut Profesor Duani Abdullah masih ragu.
Pandangan Profesor Duani Abdullah kembali ter-tuju pada Lumban. Ia tampaknya ingin sekali anak muda itu menanggapi kata-katanya.
"Aku tidak menyangka Nanto bisa membentuk kalian seperti ini," Profesor Duani Abdullah berusaha memancing lagi.
"Bukan beliau yang membentuk kami," Lumban akhirnya terjebak menanggapi. "Keruntuhan moral dan semangat negara ini yang telah membentuk kami. Ketidakadilan negara ini telah membimbing kami me-nuju kebencian. Kemelaratan rakyatnya telah mem-bimbing kami untuk menuai janji ribuan tahun."
"Semangat kalian bagus, tetapi kalian kurang rasional."
"Maksud Anda"" salah satu dari tiga orang Para Pemula yang duduk pada jok paling belakang ikut menyela.
"Kalian ingin mengobarkan revolusi di tengah rakyat yang dungu. Mereka tidak akan mengerti apa yang kalian lakukan. Bagi mereka pertunjukan televisi jauh lebih
menghibur dibanding bayangan akan ke-besaran masa depan
"Tetapi kami punya orang-orang yang cerdas dan kuat. Teguh pada keyakinan, siap berjuang dengan tenaga dan pikiran. Lagi pula Para Pembuka, murid-murid langsung Profesor Sunanto Arifin, senantiasa membimbing kami," jawab Lumban dengan mantap.
"Para Pembuka"" Profesor Duani Abdullah ter-kekeh mendengar istilah itu. "Tetapi kalian hanya segelintir. Kalau pun kalian tidak binasa dan berhasil, kalian hanya akan membentuk oligarki baru dalam pemerintahan yang tiranik."
'Tidak! Pikiran Anda keliru, Prof," Para Pemula yang duduk pada jok depan memotong.
"Kenapa tidak" Bukankah kalian perlu memaksakan ide kalian kepada mereka yang dungu ini nantinya," Profesor Duani Abdullah menatap mereka satu persatu. "Kalau bukan karena kebodohan ratusan juta peng-huninya, apa ada kemungkinan lain yang menjelaskan kenapa peradaban negeri ini begitu terpuruk""
Kelima orang anak muda itu terdiam. Di balik pelupuk mata mereka terbayang, revolusi yang akan mereka lakukan.
"Tiap revolusi membutuhkan darah, Prof," Lumban menunjukkan ketegasannya.
"Tetapi bukan darah rakyat yang dungu."
"Kami hanya akan membunuh para pembesar, menggantung mereka untuk jadi tumbal negara kelima."
"Apa kalian semudah itu mengatakannya"" Profesor Duani Abdullah kembali terkekeh. "Lalu siapa yang akan berada di barisan depan pembela pejabat-pejabat itu" Orang-orang kecil bukan" Tentara yang dungu, rakyat
yang tak punya pegangan. Bukankah mereka yang akan kalian perangi""
Kembali mereka dibuat bergeming oleh Profesor Duani Abdullah. Mereka tidak mau terpengaruh oleh kata-kata Profesor itu. Dalam benak mereka telah terpatri cita-cita Pofesor Sunanto Arifin melalui Para Pembuka, membangkitkan kejayaan yang lampau. Dunia lama telah terlalu lama tenggelam.
"Tetapi aku tidak salahkan kegelisahan kalian me-lihat negara kotor ini," lanjut Profesor Duani Abdullah membawa kesegaran. "Tetapi kalau kalian berpikir bahwa dengan membangun sebuah kejayaan masa lalu maka masalah bangsa ini bisa teratasi, aku tidak setuju."
"Lalu apa solusi paling bagus menurut Anda"" Lumban menantang Profesor Duani Abdullah.
"Entahlah. Aku mungkin bagian dari dosa masa lalu bangsa ini. Semua orang tua di negeri ini berdosa kepada kalian yang muda. Mewariskan peradaban yang bobrok dan mengkhianati cita-cita republik."
Kalimat itu lebih terdengar seperti gelombang penyesalan generasi tua terhadap anak-anak muda.
"Apakah kami salah punya cita-cita seperti ini, Prof"" Lumban bertanya dengan sungguh-sungguh.
"Tidak! Tidak ada kata salah untuk sebuah cita-cita. Yang salah nantinya adalah mungkin apa yang akan kalian lakukan untuk mewujudkannya. Kelak sejarah akan menjadi hakim yang adil untuk tiap noda sejarah yang telah kalian tumpahkan."
"Apa orang tua di negeri ini tidak pernah menyesal telah menghasilkan generasi bobrok ini, Prof"" per-tanyaan sederhana tetapi sangat dalam.
Profesor Duani Abdullah menelan ludah. Ia tam-pak
seperti menahan kesedihan. Tiba-tiba saja ada semacam perasaan yang mendekatkan dirinya dengan anak-anak muda yang telah menculiknya itu.
"Or ang-orang tua di negeri ini selalu menyesal dan malu. Itu sebabnya mereka menutup diri mereka dengan uang korupsi. Itu sebabnya mereka ber-sem-bunyi di gedung-gedung tinggi. Dan itu pula sebabnya banyak dari mereka yang lari ke luar negeri. Mereka sangat menyesal dan malu. Itu sebabnya mereka sering bersembunyi dari kalian. Mereka menyesal dan malu sebab anak-anak yang mereka lahirkan tidak lebih dari seonggok daging dengan nyawa hewan. Itulah sebagian besar generasi kalian, bukan lagi manusia tapi hewan. Tidak lebih dari itu."
Bagi Lumban, kata-kata Profesor Duani Abdullah itu terasa seperti pesan-pesan masa silam Profesor Sunanto Arifin. Pesan-pesan itu disampaikan kembali oleh Para Pembuka melalui lembar demi lembar surat kaleng yang terselip di jok depan mobil.
"Bagaimana kalau ada yang menghentikan kalian""
"Kami tidak yakin ada yang bisa melakukan itu. Hanya keajaiban yang bisa menghentikan kami."
"Aku percaya ada."
Profesor Duani Abdullah menghentikan pembicaraan. Ia menyandarkan diri pada jok mobil.#
41 Setelah lama terjebak dalam kebingungan, akhir-nya
beberapa potong kalimat melintas di pikiran Eva Duani. Tiba-tiba saja ia ingat kata-kata ayahnya sebelum mereka berangkat tadi.
Tambo seharusnya tidak berkisah tentang kemegahan raja, tetapi berkisah tentang aturan kemasyarakatan. Kalau nanti kalian temukan kisah Tambo tidak ubahnya kisah kitab raja-raja, artinya semua ana-lisa tentang kembalinya Serat Ilmu lewat Minang-kabau salah.
"Ceritakan inti sarinya saja. Aku pikir Pak Malin bisa memilah mana yang penting dan mana yang tidak," kata Eva Duani.
"Aku cuma tukang kaba dulunya."
"Itu sebabnya kami datang ke Mak Malin," Timur Mangkuto ikut menambahkan.
"Aku tidak mengerti bagian mana yang kalian inginkan""
"Semua bagian penting yang bisa menjelaskan bagaimana orang Minang membentuk masyarakatnya," Eva Duani akhirnya menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan keinginannya.
"Menurut waris yang diterima dan cerita turun temu-run, Sultan Iskandar Dzulkarnaen yang kekuasaannya membentang luas dari Barat hingga Timur, suatu masa sampai ke Hindustan. Di sana ia menikah dengan seorang puteri terpandang. Dari pernikahannya ia di-karunia tiga orang anak yang masing-masing bergelar Sri Maharajo Alif, Sri Maharajo Dipang, dan Sri Maharajo Dirajo. Setelah beranjak dewasa mereka dititahkan untuk meninggalkan tanah kelahiran. Sri Maharajo Alif berangkat menuju Negeri Rum. Sri Maharajo Dipang berangkat menuju Negeri Cina. Sedangkan paling bungsu, Sri Maharajo Dirajo, ber-layar menuju negeri di bagian tenggara yang tidak bernama. Selama pelayaran, mahkota yang ia bawa sempat jatuh di Laut Langkapuri, namun dapat diambil kembali. Dari tengah lautan rombongan itu melihat adanya daratan menonjol sebesar telur itik. Maka ia putuskan untuk berlabuh," papar Malin Saidi memulai ceritanya.
"Iskandar Dzulkarnaen, Iskandar Yang Agung, dan Alexander the Great, tidakkah itu satu nama yang sama"" Timur Mangkuto menyela.
"Harusnya begitu. Dzulkarnaen artinya yang punya dua tanduk. Penguasa batas timur dan barat," jawab Eva Duani dengan penuh keyakinan.
Malin Saidi tidak menanggapi selaan Timur Mangkuto, ia terus bercerita.
"Orang-orang membuka perkampungan dan memberinya nama Pariangan. Lambat laun laut surut, darat-an bertambah, dan orang-orang pun bertambah banyak. Maka dibukalah kampung kedua, Padang Panjang. Daerah sekitarnya disebut dengan Luhak Tanah Data. Datuak Tantejo Gerhano membuat balairung nan tujuh belas ruang. Di balai itulah hukum pertama ber-masyarakat
dibuat," tegas Malin Saidi dalam peng-ucapannya seakan mengerti apa yang dicari oleh dua orang muda itu.
"Hukum apa"" mata Eva Duani berbinar-binar.
"Pertama disebut Simumbang Jatuah. Kedua di-sebut Sigamak-gamak dan yang ketiga disebut Silamo-lamo."
"Bagaimana isi hukum itu""
Partamo banamo simumbang jatuah, hukum jatuah wajib dituruik-i, takadia pantang disanggah, walau zalim wajib disambah, hukum putuih parentah jatuah, hukum pan-cuang paralu putuih, hukum bunuah matilah badan, hukum buang jauahlah diri, hukum gantuang tinggilah bangkai, tak buliah dibandiang lai.
Hukum putuih badan bapan-cuang, bapanggang kadalam api, dengan sakiro kalahiran, lah banyak mati basa-bab. Hukum bak rupo mumbang jatuah, bak hujan jatuah kakasiak
"Maksudnya""
"Tidak ada pembelaan untuk dakwaan yang sudah dijatuhkan. Hukum dijatuhkan sesuai dengan tuduhan yang telah dijatuhkan. Walaupun hukuman itu seharus-nya tidak jatuh," Malin Saidi menerjemahkannya de-ngan bahasa Indonesia yang singkat.
Kaduo sigamak-gamak Kok ado karajo nan dikakok ataupun barang nan dibuek, basi-capek nak dahulu, basikuek nak mangabiah, mano nan tampak lah diambiak, mano nan ado dikarajoan, indak dikana awa jo akhia, raso pariso tak ditaruah, asa dapek lah manjadi, sabaiakbaiak pakarajoan, saelok-elok aka budi, hinggo mukaruah maso kini, baitu tasuo ditarambo.
Kali ini Malin Saidi tampak berpikir keras untuk menjelaskan hukum itu dalam bahasa Indonesia. Namun Timur Mangkuto merasa tidak mampu.
"Inisiatif dalam setiap kewajiban. Melebihi kemampuan yang ada," jelas Malin Saidi.
Eva Duani menerima begitu saja. Ia sudah ter-lanjur takjub. Tambo adalah kitab oral yang luar biasa.
"Dan ketiga""
Katigo silamo-lamo Babana kapangka langan, batareh kaampu kaki, basasi kaujuang tapak. Nan kareh makanan takiak, kok lunak makanan sudu, nan pantai batitih, nan lamah makanan rajiah. Kok ado batang nan malintang, dikarek dikabuang-kabuang, diputuih dikuduang tigo, Kok lai dahan nan mahambek dikupak dipatah duo, kok tampak rantiang nan kamangaik disakah dipalituakan, atau runciang nan kaman-cucuak ditukua dipumpum ujuang. Nan ting-ggi timpo manimpo, kok nan gadang endan maendan, kok panjang kabek mangabek, nan laweh saok manyaok.
"Artinya"" Eva Duani melirik Timur Mangkuto. Seolah menyindir ketidakmampuan Timur Mangkuto menangkap pesan masa lalu itu.
"Tolong menolong. Mengatasi kekurangan dan rintangan dengan tolong menolong. Semua orang mendapatkan bagian yang merata dan sama. Bukan begitu, Mak Malin"" Timur Mangkuto akhirnya berani menginterpretasikan.
Malin Saidi menganggukkan kepala, tersenyum puas. Ia merasa dua orang anak muda di sampingnya benar-benar menghargai tiap ucapan yang keluar dari
mulutnya. Sesuatu hal yang telah lama tidak ia terima. Malin Saidi melanjutkan ceritanya.
Ketika Sri Maharajo Dirajo digantikan oleh anak-nya yang bernama Suri Dirajo, timbul pemikiran bah-wa ketiga hukum itu tidak lagi cocok untuk dijalankan sebab banyak orang tidak bersalah terhukum. Banyak masyarakat yang tidak bisa memenuhi kewajiban sosial-nya sebagaimana dipaksakan oleh hukum. Dan orang tidak bisa mendapat bagian yang sama dengan kerja berbeda. Lalu, muncullah hukum baru bernama Tarik Baleh.
"Tarik Balas"" Eva Duani memastikan arti Indonesia dari kata-kata itu. Malin Saidi menganggukkan kepala-nya. "Apa isi hukum itu""
Undang-undang tarimo tariak baleh, kok palu babaleh palu, nan tikam babaleh jo tikam, hutang ameh baia jo ameh, hutang padi baia jo padi, hutang kato baia jo kato
"Undang-undang tarik balas. Palu dibalas dengan palu. Tikam dibalas dengan tikam. Hutang emas di-bayar emas, hutang padi dibayar padi, hutang kata dibayar kata," Timur Mangkuto menerjemahkan tiap kata dalam bahasa Indonesia.
"Hukum yang sangat proporsional," Eva Duani menanggapi.
Dari zaman Suri Dirajo hingga Datuak Sri Maharajo hukum itu terus dipakai. Dari perkawinan Datuak Sri Maharajo dengan Puteri Indahjaliah lahirlah dua anak, Sutan Maharajo Basa dan Puteri Jamilan. Tetapi umur Datuak Sri Maharajo menurut Tambo yang dituturkan Malin Saidi, tidak panjang. Ia meninggal ketika dua anaknya masih kecil. Puteri Indahjaliah kemudian menikah
lagi dengan seorang cerdik pandai, Cati Bilang Pandai. Dari perkawinan ini lahirlah seorang anak bernama Sutan Balun.
Penduduk terus berkembang, daerah pun diperluas hingga, singkat Malin Saidi, dibukalah daerah baru di lubuak Ranah Agam yang kemudian dikenal dengan Luhak Agam. Dan diperluas lagi hingga kaki Gunung Sago, karena lima puluh kaum yang pindah ke sana disebut Luhak Limo Puluah Koto.
"Hanya saja pada masa itu mengenai masalah waris keturunan tidak didapat dari mamak. Suku belum turun dari ibu. Pada masa itu warisan dan s
uku diturunkan dari bapak," Malin Saidi menekankan.
"Pada masa itu, masyarakat Minangkabau masih menganut garis keturunan patrilineal, belum matrilineal seperti sekarang," Timur Mangkuto memperjelas.
Eva Duani mengangguk-anggukkan kepala. Cerita ini sangat menarik bagi dirinya. Ia memerhatikan Malin Saidi meneruskan cerita.
Ketika menginjak usia dewasa Sutan Maharajo Basa menggantikan ayahnya yang sudah meninggal. Masa antara ayahnya meninggal sampai ia layak men-duduki warisan ayahnya, segala urusan diwalikan kepada Cati Bilang Pandai. Sementara itu, Sutan Balun pun sudah dewasa dan ia mewarisi kecerdasan ayahnya, Cati Bilang Pandai.
Kejahatan semakin banyak seiring meningkatnya jumlah penduduk. Akibat pelaksanaan hukum Tarik Baleh, orang yang mati pun berlipat ganda. Sebab setiap kali ada yang terbunuh sudah pasti yang mem-bunuh harus dibunuh pula. Sutan Balun resah merasa hukum Tarik Baleh tidak lagi sesuai dengan per-kembangan yang ada.
Ia menyampaikan keresahannya itu kepada Sutan Maharajo Basa. Hal itu membuat Sutan Maharajo Basa sulit untuk bersikap. Dalam hati ia membenarkan pendapat Sutan Balun, tetapi di sisi lain pikiran buruk pun melintas dalam benaknya. Ia takut orang akan takjub pada pemikiran Sutan Balun dan itu bisa mengancam posisinya sebagai daulat tertinggi. Ia menolak dengan keras usul itu. Sutan Balun menyingkir untuk sekian waktu dengan merantau hingga ke Negeri Cina. Sutan Maharajo Basa menyesali perlakuannya pada adik tirinya itu. Tetapi nasi telah menjadi bubur.
Hingga masa berganti, Sutan Balun kembali dari perantauan. Hukum Tarik Baleh masih berlaku. Sutan Maharajo Basa begitu senangnya mendengar berita kembalinya adik satu ibunya itu. Ia mengutus dubalang untuk menjemput Sutan Balun. Malang tidak bisa ditolak, Si Kumbang, anjing milik Sutan Balun meng-gigit dubalang hingga terluka parah. Rakyat menunggu keadilan dan keberanian Sutan Maharajo Basa untuk menegakkan hukum Tarik Baleh walaupun kepada adik sendiri.
"Tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempis-kan," demikian Malin Saidi menekankan keadilan hu-kum yang berlaku untuk semua orang tanpa me-mandang siapa orang itu.
Sutan Maharajo Dirajo gamang, takut untuk kedua ka linya ia akan membuat adiknya sakit hati. Tetapi hukum harus ditegakkan, wibawa raja harus dipertahankan di mata rakyat. Siapa pun yang bersalah harus dihukum. Sutan Balun diajukan ke pengadilan. Hukum Tarik Baleh siap dipakai. Sutan Balun tertawa geli, ia punya dalil agar hukum Tarik Baleh wajib diganti. Kalau hukum Tarik Baleh hendak ditegakkan. Sutan Balun tidak pantas untuk
didakwa. Yang pantas di-dakwa adalah Si Kumbang. Kalau Tarik Baleh benar mau ditegakkan maka hukum yang harus dijatuhkan adalah Dubalang berhak untuk menggigit Si Kumbang karena Si Kumbang telah menggigit dubalang. Tegaklah hukum tarik baleh.
"Masalahnya, apakah mungkin Dubalang mau menggigit Si Kumbang"" Malin Saidi mengucapkan itu dengan penuh kegelian. Timur Mangkuto dan Eva Duani juga tidak bisa menahan tawa mereka dengan membayangkan kejadian itu.
Akhirnya Sutan Maharajo Basa sepakat dengan Sutan Balun untuk mengganti Undang-Undang Tarik Baleh. Mulai sejak itu muncullah tuah sakato, musya-warah untuk mufakat. Balairung sari nan tujuh belas ruang, bagian tengahnya dibawa ke Pagarruyuang di-sebut sebagai Balai Nan Saruang. Dijadikan sebagai tempat merancang undang-undang baru. Delapan ruang sisa ke kanan dijadikan sebagai tempat berunding. Delapan ruang sisa ke kiri dijadikan sebagai tempat mendengarkan suara rakyat.
Musyawarah untuk menentukan undang-undang baru dimulai. Untuk kali pertama cerdik pandai dan tokoh rakyat dilibatkan.
"Karena orang ramai yang akan memakai hukum, maka hukum haruslah sesuai dengan keinginan orang banyak." Demikian salah satu pemikiran Sutan Balun yang disampaikan lagi oleh Malin Saidi. Timbul mufakat, Sutan Balun diangkat menjadi pucuk pimpinan untuk perubahan hukum Tarik Baleh. Pada pertemuan be-rikut-nya yang dihadiri oleh pucuk pimpinan rakyat dari luhak nan tigo. Diambil mufakat lagi untuk menetapkan Sutan Balun sebagai pucuk pembuat un-dang-undang sekaligus
men egaskan kembali Sutan Maharajo Dirajo sebagai pucuk pimpinan pemerintahan. Dari dua orang ini kemudian muncul lareh nan duo. Sutan Balun menurunkan Lareh Bodi Caniago dari kata "budi nan curiga" terhadap hukum lama. Sedangkan Sutan Maharajo Dirajo menurunkan Lareh Koto Piliang berasal dari kata "kato pilihan." Ketentuan hukum adat itu terus berlaku.
"Lareh nan duo, luhak nan tigo," Malin Saidi kembali memberikan penekanan.
Tugas selanjutnya adalah membuat adat dan lembaganya. Sutan Balun membagi adat menjadi dua bagian.
"Pertama, adat nan dibuhua mati dan kedua adat nan babuhua sintak."
"Maksudnya"" Eva Duani menyela.
"Adat nan dibuhua mati adalah adat yang tidak lekang karena panas dan tidak lapuk karena hujan. Ketentuan adat itu adalah hukum wajib yang harus dijalankan setiap nagari. Sedangkan adat babuhua sintak adalah ragam adat yang dibuat oleh masing-masing nagari sesuai dengan kondisinya masing-masing."
"Welfare state, idaman Plato," Eva Duani terkagum-kagum. "Persis seperti otonomi tiap negeri yang diperintah oleh sepuluh raja Atlantis."
Bagi Eva Duani cerita Malin Saidi ini sebenarnya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan ayahnya. Tambo memang tidak bercerita tentang raja-raja, tetapi bercerita tentang pembentukan masyarakat dan tata hukumnya. Syarat mutlak dari sebuah negara ideal, negara kesejahteraan. Tetapi ia belum puas dan masih ingin mendengar penuturan lebih jauh dari Malin Saidi.
Malin Saidi mengambil nafas. Ia meneguk mi-numan yang terdapat pada jok belakang mobil. Tiba-tiba Timur
Mangkuto menyalakan mesin mobil. Jendela mobil ditutup. Eva Duani kaget.
"Mereka mencium jejak kita," desis Timur Mangkuto.
Mobil bergerak meninggalkan tepian Kali Bekasi. Eva Duani masih sempat melihat melalui spion, dua mobil polisi terus membuntuti mereka.*
42 Pada saat matahari mulai tergelincir ke arah barat,
Melvin tiba di daerah Pondok Indah. Riantono menugaskannya kembali untuk mendatangi rumah Nyonya Amanda.
Janda kaya dan ibu dari Maureen yang terbunuh beberapa hari sebelumnya. Tampaknya Riantono masih ingin berjaga-jaga agar kasus pembunuhan yang sekarang ditangani oleh Polisi Resort Metro Jakarta Selatan tidak dikaitkan-kaitkan dengan kematian puterinya. Janda kaya itu menyambut kedatangan Melvin dengan setengah hati. Ini adalah kedua kalinya perwira polisi itu mendatangi rumahnya. Selain dua orang pembantu dan satu orang sopir pribadi yang tengah mencuci mobil, tidak ada orang lain di rumahnya.
"Maaf, mengganggu waktu Anda," Melvin mencoba berbasa-basi untuk menarik simpati.
Nyonya Amanda melengos begitu saja. Ia mengapitkan kedua tangan di dada. Tampaknya ia benar-benar kesal pada polisi yang belum menemukan titik terang dari kasus pembunuhan puterinya.
"Apa yang Anda inginkan"" tanya Nyonya Amanda.
"Ehm..." Melvin kebingungan memilih kalimat yang e-nak. "Maksud kedatangan saya ke sini hanya untuk memastikan keadaan Anda baik-baik saja. Sekaligus menanyakan bagaimana perkembangan penyelidikan terhadap kasus kematian puteri Anda."
"Kalau itu yang Anda tanyakan, maka Anda tidak a-kan mendapatkan apa-apa."
"Kenapa"" "Karena memang tidak ada perkembangan signifikan dalam penyelidikan polisi!" suara Nyonya Amanda meninggi.
Melvin memutar-mutarkan pulpen yang ada dalam genggamannya. Pandangannya menerawang, menyigi tiap sudut rumah.
"Apa ada yang saya bisa bantu"" tawar Melvin.
"Bantu"" Nyonya Amanda memandang heran ke Melvin.
"Iya, barangkali ada sesuatu hal yang tidak bisa Anda ungkapkan kepada polisi lain tetapi saya bisa bantu"" Nyonya Amanda memandang curiga pada Melvin. Ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba perwira polisi itu menawarkan sesuatu yang seharusnya sudah menjadi tugas dan kewajiban polisi.
"Bagaimana"" Melvin mendesak.
"Semuanya sudah berakhir. Saya tidak lagi ber-harap pada polisi. Apalagi setelah kematian perwira polisi bernama Rudi itu."
Wajah Melvin berubah menjadi keruh mendengar nama Rudi. Ia mulai khawatir Nyonya Amanda akan mengait-ngaitkan kematian puterinya dengan kematian Rudi. Muaranya tentu semua akan terkait dengan kematian Lidya. Sesuatu hal yang ia dan Riantono ingin hindari.
"Sayang m emang, tetapi motif kematian Rudi tampaknya berbeda dengan motif kematian puteri Anda," Melvin coba menyakinkan lagi. "Kematian puteri Anda
murni perampokan yang disertai pembunuhan. Bukan-kah itu motif yang sudah disimpulkan Polres Metro Jaksel""
"Orang baik memang cepat dipanggil," kata Nyo-nya Amanda jelas dengan nada menyesali.
Melvin menggeser duduknya lebih mendekat pada Nyonya Amanda. Ia berbicara lebih pelan.
"Anda yakin tidak ada sesuatu hal yang luput Anda ceritakan kepada polisi""
Sekali lagi, Nyonya Amanda ragu-ragu memandang Melvin. Wajahnya seperti menyembunyikan sesuatu. Ia menggelengkan kepala. Tetapi itu tidak cukup untuk membuat Melvin percaya begitu saja.
"Anda yakin" Kadang-kadang kesempatan kita untuk menemukan benang merah dari kasus ini tidak datang dua kali."
Nyonya Amanda terdiam. Mulutnya seperti ter-kunci. Ia seperti akan mengutarakan sesuatu namun berusaha untuk menahannya. Ada kekhawatiran ter-sendiri yang tergambar dari raut wajahnya.
"Ehm..." dehem Nyonya Amanda. "Mungkin..."
Kata-kata itu terpotong oleh bunyi dua mobil yang berhenti di depan pagar. Melvin melongo ke depan. Tiba-tiba ia mengumpat. Ia tidak mungkin lagi berada di rumah itu.
"Maaf, saya harus pergi. Kalau keterangan Anda cukup berharga, tolong kabari saya." Melvin menyerahkan kartu namanya. Ia melihat beberapa orang berpakaian preman masuk ke halaman rumah.
"Kenapa begitu cepat"" Nyonya Amanda terkesan menahan.
"Saya tidak ingin dianggap mencampuri kasus ini oleh petugas dari Polres Metro Jaksel."
Ia menunjuk pada beberapa polisi berpakaian preman yang masuk ke halaman rumah itu.#
43 Kijang berwarna biru metalik melakukan kesalahan
fatal. Kotak bermesin itu menghindari kejaran mobil polisi de-ngan masuk ke jalan tol. Di jalan bebas hambatan menuju arah Jakarta itu, polisi tidak membutuhkan waktu lama untuk menyusulnya. Tetapi pengemudi kijang terus berusaha memacu mobilnya. Sayangnya, mesin mobilnya memang tidak disiapkan untuk pelarian dari kejaran sedan patroli polisi.
Sekitar satu kilometer menjelang pintu tol Jati Asih, iring-iringan dua mobil patroli Polisi berhasil memaksa kijang menepi. Pengemudi mobil itu tampaknya tidak punya pilihan selain mengikuti perintah polisi.
Tiga orang petugas dengan penuh kehati-hatian mendekat. Tiga orang lainnya melindungi dari belakang dengan dua pistol dan satu senapan laras panjang terkokang.
"Buka pintu mobil dan keluar!" seorang petugas berteriak.
Pintu mobil terbuka. Seorang wanita agak sipit berkulit putih bersih dengan rambut lurus keluar dari arah kanan mobil. Dari pintu depan sebelah kiri, seorang laki-laki kumal turun.
"Angkat tangan! Merapat pada mobil!"
Polisi langsung beraksi. Mereka langsung me-lakukan penggeledahan pada mobil itu. Kurang lebih sepuluh menit menggeledah, mereka tidak menemukan apa-apa. Kedua orang itu ikut digeledah tetapi polisi tetap saja tidak menemukan apa-apa.
"Maaf ada apa ini"" perempuan itu akhirnya angkat suara.
"Kami yang bertanya, kenapa Anda tadi melarikan diri"" salah seorang petugas menghardik.
"Maaf saya panik," perempuan muda itu menatap laki-laki di sebelahnya. Tatapannya seperti tatapan se-orang kekasih menyesali dosa yang telah mereka lakukan.
"Apa yang kalian berdua lakukan di tepi kali tadi""
Wajah si perempuan terlihat sangat malu men-dapati pertanyaan semacam itu. Sementara si laki-laki yang berusia empat puluhan tahun tertunduk.
"Kalian pasangan selingkuh"" salah seorang anggota polisi mengeluarkan pertanyaan iseng.
Tidak terdengar jawaban dari mulut dua orang yang tengah digeledah. Mereka hanya saling pandang satu sama lain.
"Kalian pasangan selingkuh" Kalian tadi melakukan hubungan suami istri di dalam mobil di tepi kali"" polisi lainnya menyimpulkan dengan penuh keheranan.
"Apa itu dilarang"" si perempuan balik bertanya.
Enam orang polisi yang pada awalnya tampak tegang, sekarang justru mulai tertawa. Mereka sulit menerima kenyataan seorang perempuan muda cantik selingkuh dengan seorang laki-laki tua dan kumal. Lebih mengejutkan lagi menerima kenyataan bahwa keduanya
tadi sedang berbuat mesum ketika patroli polisi lewat.
"Rasany a tidak cocok kalian berdua," polisi itu langsung tertawa.
"Sejak kapan polisi berhak mengatur urusan pri-badi orang"" si perempuan mulai menemukan ke-beraniannya.
Para polisi itu terdiam. Mereka sadar telah salah kejar mobil. Satu orang polisi membandingkan catatan-nya dengan nomor polisi mobil. Ia berbisik pada rekan di sebelahnya.
"Kita telah salah kejar. Nomor polisinya tidak cocok."
Tetapi para polisi itu tidak ingin kehilangan muka. Salah seorang dari mereka mendekati perempuan dan laki-laki tua itu. Dari balik sakunya ia mengeluarkan satu lembar foto kopian kertas berisi foto wajah se-orang buronan.
"Kalau Anda berdua melihat laki-laki ini, tolong laporkan pada polisi!"
Kedua orang itu menganggukkan kepala. Mereka masuk kembali ke dalam mobil. Para polisi itu juga masuk dalam mobil mereka masing-masing. Sebelum berlalu, salah seorang dari mereka masih sempat ber-seru.
"Nona, pertimbangkan lagi laki-laki tua itu. Rasa-nya ia terlalu beruntung dan Anda sangat sial!"
Lalu terdengar riuh tawa dari polisi-polisi itu. Mereka berlalu. Eva Duani menarik nafas lega. Ia menyalakan mesin mobil.
"Akting yang cukup bagus, Pak Malin," ia pandangi laki-laki di sebelahnya.
"Tidak percuma dulu waktu muda aku ikut randai." "Randai" Apa itu""
"Semacam sendratari khas Minangkabau."
Beberapa meter melewati pintu tol Jati Asih pada bagian bahu jalan yang sangat lebar, seorang laki-laki muda melambaikan tangan. Mobil berhenti sejenak menunggunya masuk sebelum kemudian melesat lagi.
"Skenario jitu!" Timur Mangkuto memandang puas pada Eva Duani.
Timur Mangkuto berhasil mengelabui para polisi yang menguntitnya sejak di pinggir Kali Bekasi. Ia membawa mobil menuju arah pintu tol barat Bekasi. Sadar polisi hanya tahu identitas dirinya, Timur Mangkuto memberikan setir mobil pada Eva Duani setelah memastikan jarak mereka dengan polisi cukup jauh. Tepat di dekat pintu tol Bekasi Barat, ia turun dari mobil dan langsung meloncat ke dalam bus Mayasari Bhakti jurusan Rambutan. Di pintu tol Jati Asih mereka janji bertemu lagi.
"Ada apa ini""
Setelah sekian lama mencoba untuk tidak perlu mengetahui permasalahan kedua orang ini, Malin Saidi akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
"Tidak ada apa-apa!" Timur Mangkuto menanggapi singkat. "Kalau Mak Malin percaya pada Makwo Katik dan Makwo Katik percaya padaku, apa sikap yang harus Mak Malin ambil""
"Aku harus percaya padamu"" logika sederhana itu dijawab Malin Saidi dengan penuh keraguan. Tetapi akhirnya ia merasa tidak mau pusing sendiri me-mikirkan hal itu. "Sudah, aku tidak peduli. Lagi pula dari dulu aku tidak pernah percaya pada polisi. Pen-coleng pakai lencana!"
Timur Mangkuto tertawa sendiri mendengar jawabannya. Kalau Malin Saidi tahu dirinya juga seorang polisi, tentu kata-kata itu tidak akan begitu lancar keluarnya. Mobil terus melaju menuju arah Cawang. Kemudian keluar
di pintu tol Cawang. Berbalik arah menuju Bekasi melewati jalan biasa yang selalu macet. Timur Mangkuto sengaja memilih kemacetan untuk memberikan kesempatan pada Malin Saidi untuk me-lanjutkan ceritanya. Memarkirkan mobil atau mencari suatu tempat di luar mobil dan jauh dari jalan, tam-pak-nya sangat berbahaya untuk saat ini.
Perlahan Eva Duani mulai bisa menemukan sim-pul kenapa ayahnya begitu yakin bahwa Minangkabau adalah tempat mendaratnya rombongan keturunan Iskandar Yang Agung. Transformasi hukum dan masya-rakat Minangkabau dari hukum Tarik Balas menjadi hukum alur dan patut sangat pararel dengan perubahan masyarakat Atlantis dari pemerintahan absolut menjadi pemerintahan dengan payung hukum Poseidon. Model masyarakatnya pun tidak jauh berbeda dengan apa yang ia dapatkan dari Tirnaues and Critias.
"Simbol tanduk kerbau yang dipakai hingga saat ini oleh masyarakat Minangkabau dalam bentuk pakaian adat, rumah, hingga jadi perkara adat tentu bentuk simbolik dari dua tanduk milik Iskandar Yang Agung. Oleh karena itu, ia disebut Dzulkarnain pemilik dua tanduk. Juga, bentuk simbolik dari tanduk banteng-banteng yang berkeliaran di sekitar kuil Poseidon dan kemudian dikorbankan oleh sepuluh raja Atlantis ketika mer
eka menetapkan hukum," Eva Duani coba meng-hubungkan.#
44 Di tengah kemacetan daerah Cawang dan di sela-sela
bunyi klakson tak sabar para pengemudi mobil, Malin Saidi meneruskan ceritanya.
"Sampai di mana aku bercerita tadi""
"Tentang adat dan lembaganya," Eva Duani mengingatkan.
"Setelah adat dibagi menjadi dua bagian, langgam adat kemudian disusun. Ketentuan serba empat dalam adat. Pertama ilmu adat terdiri dari rasa, periksa, cinta, dan kira-kira. Kedua, perjalanan adat terdiri dari perjalanan lahir, perjalanan batin, perjalanan ilmu, dan perjalanan mengenal Pencipta. Ketiga paham adat, rukun-damai, jauh-dekat, tinggi-rendah, niat sampai ke selamat. Keempat maksud adat, merdeka hati, mer-deka tubuh, merdeka tempat, dan merdeka alam," tutur Malin Saidi dengan lancar. "Selanjutnya dibuatlah undang-undang luhak yang mengatur sistem pe-merin-tahan."
Lunak dibari bapanghulu, rantau dibari barajo, suku dibari balantak, lareh dibari bajunjuang, alam dibari batampuak
"Apa yang hendak digambarkan oleh undang-undang
luhak itu"" tanya Eva Duani.
"Pembagian daerah luhak dan rantau. Daerah luhak adalah tiga daerah asal, Tanah Data, Agam, dan 50 Koto. Sedangkan daerah rantau adalah daerah-daerah yang dapat pengaruh dari luhak. Luhak dipimpin peng-hulu adat sedangkan untuk daerah rantau dikirim raja-raja dari luhak," untuk masalah ini Timur Mangkuto cukup mengerti.
"Seperti daerah yang diperintah Atlas dan daerah-daerah sembilan raja lainnya pada masa Atlantis," gumam Eva Duani.
Sebenarnya Malin Saidi juga ingin menjelaskan tentang undang-undang perjalanan adat. Tetapi Timur Mangkuto paham sebab pernah mendengar sebelum-nya. Ia merasa penjelasan tadi cukup mewakili dan meminta Malin Saidi langsung melewatinya.
Kemudian diambil keputusan untuk tiap penghulu pada lareh nan duo dan luhak nan tigo diberi pangkal nama Datuak. Cati Bilang Pandai diminta oleh orang banyak untuk mencarikan gelar yang tepat untuk Sutan Maharajo Basa dan Sutan Balun. Sejak itu orang Minang mengenal istilah kecil bernama, besar bergelar. Dengan berbagai pertimbangan, Sutan Maharajo Basa kemudian diberi gelar Datuak Katumanggungan me-nurunkan lareh Koto Piliang. Sedangkan Sutan Balun diberi gelar Datuak Parpatiah Nan Sabatang menurunkan Lareh Bodi Caniago.
Setelah adat terbentuk dan hukum juga telah dibuat dan lebih dikenal dengan istilah alur dan patut sebagai pengganti tarik baleh, lalu ditetapkan syarat bagi sebuah nagari untuk bisa dihuni. Pada tempat itu harus terdapat adat dan lembaga, agama, harta benda, pemerintahan serta akal dan ilmu dengan tutur kata yang halus. Malin Saidi mulai berani meng-interpretasi-kan pengetahuan
Tambonya dengan per-kembangan sekarang.
"Otonomi terhadap nagari yang diberikan oleh Datuak Katumanggungan menyebabkan terjadinya per-geseran nilai pemerintahan. Nagari berubah dari beraja kepada daulat menjadi beraja kepada mufakat. Tuah Sakato, musyawarah dan mufakat, menjadi tempat bagi orang nagari mendapatkan keputusan dan bukan lagi kepada raja semata."
Eva Duani tidak bisa menyembunyikan perasaan takjubnya. Keyakinannya semakin jelas bahwa apa yang terjadi pada Minangkabau itu tidak lebih dari kelan-jutan dari replika negeri-negeri yang dibagi sepuluh pada masa Atlantis purba.
Sekarang dibuat hukum dan ketentuan yang lebih tinggi di atas mereka. Dan hubungan timbal balik antara mereka diatur oleh Poseidon yang menguasai setiap hukum dan ketentuan. Semua ini dituliskan oleh raja pertama pada Pillar Orichalcum.
"Apa itu benar terjadi""
"Demikian cerita Tambo yang diwariskan turun temurun."
"Tahun berapa yang kita bicarakan ini." "Dalam Tambo waktu itu acak," sela Timur Mangkuto. "Apa aku perlu menceritakan tentang asal mula munculnya nama Minangkabau"" Malin Saidi me-mastikan.
"Tidak usah Mak Malin," jawab Eva Duani. Se-dikit banyak ia sudah tahu dari mana asal nama Minangkabau.
"Tetapi aku harus menceritakan bagaimana Datuak Katumanggungan dan Parpatiah Nan Sabatang mempersiapkan nagari untuk perang."
Kemakmuran dan keadilan yang didapatkan orang-orang yang hidup di luhak nan tigo telah menyebabkan banyak orang rantau yang p
indah dan menetap di luhak nan tigo. Berita kemakmuran nagari ini juga didengar oleh Sriwijaya. Mendengar berita bahwa Sriwijaya dan tentaranya yang didatangkan dari Jawa hendak menyerang, dua petinggi luhak nan tigo me-nyiapkan tiap luhak untuk kondisi perang.
Pucuk pimpinan berkedudukan di luhak tanah data, dubalang berkedudukan di Luhak Agam, dan penghulu adat berkedudukan di luhak 50 koto. Ke-pemimpinan pun dibagi sehingga tuah sakato bisa terlaksana dengan cara yang lebih teratur. Dibentuklah lembaga bernama Basa Ampek Balai. Terdiri dari Datuak Bandaharo yang berkedudukan di Sungai Tarab bertanggung jawab untuk masalah adat. Tuan Indomo berkedudukan di Saruaso bertanggung jawab terhadap kekayaan dan perbendaharaan. Tuan Makhudum di Sumaniak bertanggung jawab menghimpun mufakat dari nagari-nagari yang otonom. Dan Tuan Gadang berkedudukan di Batipuah bertanggung jawab pada masalah keamanan.
Tetapi, sebagaimana cerita yang sudah diketahui o-leh Eva Duani, akal dan pikiran juga pulalah yang menentukan. Tentara yang besar itu bisa dikalahkan dengan muslihat adu kerbau. Perang dapat dihindari, alam Minangkabau kembali aman dan damai.
"Apa lagi yang ingin kalian ketahui"" ia meng-arahkan pandangan pada Eva Duani. Ia merasa cerita-cerita yang ia sampaikan tadi telah memenuhi ke-inginan dua orang itu.
Pertanyaan itu mengingatkan Eva Duani pada satu hal yang telah lama menjadi perhatiannya.
"Mak Malin, bagaimana dengan perubahan sistem
patrilineal menjadi matrilineal""
"Bagaimana perubahan waris dan suku dari bapak menjadi waris dari mamak dan suku dari ibu"" Timur Mangkuto memperjelas pertanyaan.
Malin Saidi tersenyum senang dan bangga. Se-umur hidup ia menjadi tukang kaba hingga sekarang terlempar mencari hidup di tanah Jawa, baru sekarang ia merasa dihargai karena pengetahuan yang ia miliki. Biasanya ketika ia bercerita tidak ada seorang pun yang akan bertanya. Mengalir begitu saja, sama persis seperti rejeki yang mengalir lewat uang recehan yang di-lemparkan para penonton yang mengerumuninya di pasar-pasar tradisional. Recehan itu tidak lebih dari belas kasihan orang pada dirinya, bukan penghargaan atas pengetahuan masa lalu yang ia kuasai. Sekarang pengetahuannya sangat dihargai oleh orang-orang yang mendadak membawanya itu. Uang dua ratus ribu yang tadi diberikan Eva Duani seakan tidak ada artinya dibandingkan penghargaan yang ia terima.
"Bagaimana Mak Malin"" Timur Mangkuto menyadarkan Malin Saidi dari lamunannya.
Masa abad kemudian berganti. Pemimpin silih bergan ti tetapi tetap dengan gelar Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Hingga datang masanya kejayaan Majapahit, kerajaan besar di daerah Jawa. Dengan panglimanya Adityawarman, kerajaan itu bersiap menyerang dan menguasai Minangkabau. Minangkabau adalah kerajaan yang dikenal sebagai nagari tanpa polisi. Kerajaan yang tidak pernah menyiapkan angkatan perang karena mengutamakan kedamaian bahkan untuk daerah rantau dan pengaruh. Dicarilah runding dan mufakat bagaimana menghadapi tentara Majapahit pimpinan
Adityawarman. Demi ke-selamatan rakyat, perang harus dihindari tetapi muslihat perlu untuk dicari.
Datuak Parpatiah Nan Sabatang menyadari semua kelemahan itu. Dalam musyawarah, ia memaparkan rencananya untuk tidak menyambut tentara Adityawarman dengan senjata tetapi dengan kebesaran. Adityawarman akan dipinangkan untuk Puteri Jamilan saudara dari Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Tentara Jawa itu akan disambut dengan adat dan lembaga. Tidak akan ada perang yang hanya akan menimbulkan kesengsaraan rakyat.
Akhirnya Adityawarman sampai di ranah Minangkabau. Tentara Jawa itu terkejut karena mereka disambut dengan kebesaran bukan perlawanan perang. Utusan dari Pagaruyuang datang menemuinya. Me-nyam-paikan keinginan Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, pucuk pimpinan alam Minangkabau untuk meminang Adityawarman untuk Puteri Jamilan.
Adityawarman bingung. Ia tidak mungkin mengorbankan perang untuk menghadapi rakyat Minang-kabau. Tawaran itu juga akan membuat ia langsung bisa menjadi raja Minangkabau. Datuak K
atumanggungan bersedia untuk memberikan jabatan pucuk alam pada Adityawarman sepanjang ia tidak memerangi rakyat Minangkabau dan harus mau menikah dengan Puteri Jamilan.
Menyadari gelagat Adityawarman akan menerima tawaran itu, Datuak Parpatiah Nan Sabatang mencari siasat agar raja-raja berikutnya tetap dianggap menerima warisan kerajaan dari Datuak Katumanggungan bukan dari Adityawarman. Ditetapkanlah adat Batali Bacambua yang langsung mengubah struktur masyarakat Minangkabau.
Nan dikatokan adat nan batali cambua, iyolah hubungan mamak dengan bapak, dalam susunan rumah tanggo, sarato dalam korong kampuang. Dek Datuak Parpatiah nan sabatang, didirikan duo kakuasaan, balaku diateh rumah tanggo, iyolah tungganai jo rajonyo, nan korong kampuang barai o mamak, rumah tanggo barajo kali, dirumah gadang batung-ganai Dicambua tali malakek.
Malin Saidi lama berpikir. Tampaknya ia kesulitan menjelaskannya dalam bahasa Indonesia. "Adat batali bacambua mengatur hubungan antara bapak dan mamak. Intinya di dalam rumah tangga terdapat dua kekuasaan sekarang, pertama kekuasaan Bapak, kedua kekuasaan Mamak, yaitu saudara laki-laki dari pihak ibu."
"Lalu"" kening Eva Duani berkerut.
Pemikiran itu dibawa oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang pada musyawarah dengan cerdik pandai di balairung sari. Menyadari penting perubahan mufakat didapatkan. Sejak saat itu susunan aturan masyarakat berubah. Dahulu Bapak mewariskan kepada anak se-karang Bapak harus mewariskan kepada kemenakan. Dahulu suku didapat dari bapak sekarang turun dari ibu.
"Apa maksudnya semua perubahan ini"" Eva Duani masih belum bisa menangkap.


Negara Kelima Karya Es Ito di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Timur Mangkuto tertawa senang, ia sudah bisa menangkap arti perubahan ini.
"Ini tidak lebih dari kecerdikan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Dengan datangnya Adityawarman, ia tetap menginginkan akar kekuasaan berasal dari Datuak Katumanggungan. Dengan waris turun dari mamak dan bukan bapak ini, nantinya akan memosisikan Adityawarman tidak lebih dari raja transisi bukan raja
sebenarnya dari alam Minangkabau. Sebab Datuak Katumanggungan yang menyerahkan kekuasaan padanya, dengan sistem adat yang baru, terkesan hanya menitipkan kekuasaan. Hingga datang masanya nanti kemenakannya akan lahir dari perkawinan Puteri Jamilan, adiknya, dengan Adityawarman. Dengan adat batali bacambua yang dipakai hingga sekarang, waris diterima oleh anak Adityawarman bukan dari bapaknya, tetapi dari mamaknya yaitu Datuak Katumanggungan. Bukan begitu Mak Malin""
Malin Saidi mengangguk-angguk senang.
"Adityawarman itu tidak lebih dari abu di atas tunggul, setiap saat bisa ditiup dan pergi."
"Ya, Adityawarman tidak pernah dianggap sebagai raja Minangkabau dalam Tambo. Ia hanya raja transisi, menunggu anaknya lahir dan menerima waris ke-kuasaan dari mamaknya, Datuak Katumanggungan," Timur Mangkuto menerangkan.
Ditengah jebakan kemacetan, pikiran Eva Duani menerawang jauh pada masa silam. Ia mengutuk diri-nya kenapa baru sekarang mendapatkan cerita seperti ini. Sebab selama ini sejarah masa lalu Indonesia yang ia terima, tidak lebih dari dongeng purba tentang kejayaan raja-raja. Tidak ada cerita hebat seperti Tambo. Kisah yang tidak menceritakan kehidupan pemimpin tetapi bagaimana pemimpin memberi hidup bagi rakyat-nya.
Demi keselamatan alam Minangkabau, Datuak Katumanggungan rela Adityawarman mendapatkan kekuasaannya dengan syarat keamanan rakyat dan Adityawarman mengawini Puteri Jamilan adiknya. Sementara di sisi lain, Datuak Parpatiah Nan Sabatang tidak kehabisan akal untuk mempertahankan waris kekuasaan tetapi tidak
mau mengorbankan rakyat. Maka ditetapkan adat batali bacambua. Waris turun dari Mamak kepada kemenakan bukan dari bapak kepada anak. Minangkabau tidak sanggup menghadapi tentara Jawa, tetapi Minangkabau tidak mau tunduk dan juga tidak mau rugi karena perang. Akhirnya akal dan budi juga yang memenangkan pertempuran. Minangkabau memang tidak besar, tetapi tidak pernah takluk. Suatu hal berkebalikan justru yang ia dapatkan dari cerita tentang perang Bubat antara Majapahit dengan Padjajaran Sunda.
Tiba-tiba Malin Saidi meminta berhenti.
"Aku turun di sini," u
jarnya. "Tetapi, Mak Malin ini masih di Cawang..."
"Sudahlah, aku tahu kalian berdua dalam kesulitan. Selesaikan masalah kalian. Ingat akan akal budi Sutan Balun bergelar Datuak Parpatiah Nan Sabatang."
Laki-laki kurus kumal itu dengan sekejap telah hilang ditelan oleh keramaian. Timur Mangkuto me-narik nafas. Dahinya berkerut.
"Tetapi bukankah Adityawarman juga berasal dari Tanah Melayu""
Eva Duani tersenyum. Ia sudah mendapatkan simpul masalahnya. Kedatangan rombongan Sri Maharajo Dirajo dari Hindustan pasti tidak lepas dari konflik. Seperti cerita Atlantis, satu kelompok mengangankan negara kesejahteraan dan berhasil mewujudkan dengan tata aturan yang hebat di pedalaman Minangkabau. Satu kelompok lagi menginginkan pembentukan imperium. Mereka pasti yang membawa Serat Ilmu itu dan juga mungkin termasuk Adityawarman salah satu keturunannya.
"Darmasraya!" seru Eva Duani berbinar-binar. "Ada du-a kerajaan yang mereka buat pada kedatangan pertama
itu. Semua cerita ini nantinya juga akan berkaitan dengan kerajaan Darmasraya, itulah asal muasal Adityawarman. Suatu daerah di pertengahan Sumatera, Minangkabau Tengah."
Eva Duani memastikan dan tanpa ragu menyimpulkan Timaeus and Criteas karya Plato telah dilanjutkan oleh Tambo Adat Alam Minangkabau. Negara ke-sejahteraan Plato pernah berhasil diwujudkan di alam Minangkabau oleh keturunan Iskandar Dzulkarnaen atau Iskandar Yang Agung atau Alexander The Great, murid dari Aristoteles. Dan Aristoteles adalah murid Plato.
"Tetapi bagaimana dengan kelompok garis keras yang menginginkan imperium dan bukan sekadar negara kesejahteraan" Merekakah yang membentuk Negara Kedua, Ketiga, Keempat, dan sekarang Negara Kelima yang tengah digagas oleh KePaRad"" Eva Duani membatin.
Mereka memutuskan untuk kembali ke Depok. Melaporkan semua yang mereka dapatkan kepada Profesor Duani Abdullah.
Namun, tanpa mereka sadari sebuah Terano berwarna perak terus membuntuti mereka sejak pintu tol Jati Asih.#
45 Dalam masa menunggu tanggal yang dijanjikan, suasana pulau tandus mulai menunjukkan kesibukan. Belasan anak muda di bagian landai sebuah puncak yang perlu didaki sibuk menyiapkan segala sesuatunya.
Sementara di dalam ceruk goa yang menggantung pada dinding terjal pulau, perdebatan masih terus berlangsung. Para Pengawal masih merumuskan apa yang akan mereka lakukan secepatnya setelah revolusi berkobar. Sebab petunjuk itu belum mereka dapatkan dari Para Pembuka.
"Bagaimana dengan usulan kami tentang pe-mur-nian etnis""
Sardi Amin mengingatkan Para Pengawal lainnya tentang ide yang pernah digagas oleh faksi garis keras Para Pengawal. Tetapi selama ini usulan tersebut tidak pernah ditanggapi dengan serius.
"Etnis mana yang harus dimurnikan"" Dino Tjakra bertanya sambil mencibir.
"Kita harus dimurnikan dari darah lain," Sardi Amin menjawab lugas.
"Kita itu siapa"" Susetyo Iskandar yang berasal dari faksi moderat ikut mencibir.
"Yah, kita ini pewaris Nusantara..."
"Tidak ada penduduk asli nusantara ini," Dino Tjakra memotong. "Bahkan pada era dunia lama, orang-orang Lemuria dan Atlantis juga datang dari Afrika. Ketika dunia lama hilang, Nusantara kosong. Baru kemudian datanglah orang-orang Austronesia dari dataran tinggi Yunan, dua ribu tahun yang lalu. Tak lama datang lagi beragam bangsa sampai kita sekarang ini."
"Yang kita maksud adalah mereka yang berdarah Indo. Sejak masa dulu selalu diberi kemudahan. Seolah mereka tuan yang congkak dan kita Melayu adalah hamba yang tidak berdaya," Bagus Dito menimpali mendukung pernyataan Sardi Amin.
"Aku takut itu tidak lebih dari kecemburuan sosial saja. Ide kita seharusnya murni untuk menuai janji ribuan tahun," Ilham Tegas mencoba untuk menengahi.
Tetapi itu tidak cukup untuk meredakan per-debatan antara dua faksi itu. Faksi garis keras terkadang banyak terpengaruh oleh cerita kolosal tentang ke-bangkitan sebuah bangsa yang bangkrut. Faksi moderat lebih suka untuk bersikap realistis.
"Apa artinya revolusi yang kita buat tanpa ada pemurnian etnis" Cerita sama akan terulang. Kita yang berjuang kelak tetapi kelompok lain yang akan menuai hasilnya," Bagus Dito kemb
ali angkat bicara. "Tetapi tidak ada yang berhak mengklaim diri sebagai etnis paling murni"" Genta ikut berbicara.
"Revolusi macam apa ini" Kalau sekadar menggerakan tranformasi sosial dengan lebih cepat, tidak usah itu kita hubungkan dengan kebangkitan masa silam," Sardi Amin mengungkapkan kekesalannya.
Ilham Tegas memberi isyarat agar diskusi mereka dilakukan lebih tertib. Ia sendiri tidak setuju dengan ide
yang digelontorkan oleh orang-orang faksi garis keras.
"Revolusi adalah perubahan sosial yang cepat. Kita a-kan lakukan itu tetapi tidak seharusnya dalam bentuk pembersihan terhadap etnis lain," jelas Ilham Tegas.
"Lalu"" "Pembubaran negara ini saja sudah cukup untuk meng adili mereka yang pantas. Negara bubar, hukum rimba sekian bulan. Batalyon digerakkan, pengadilan akan dimulai dari depan Monumen Nasional. Apakah rencana itu masih kurang"" Ilham Tegas berusaha meyakinkan faksi garis keras. "Lagi pula selama ini kita sudah saling meyakinkan bahwa sebuah negara adalah integrasi ide dan gagasan bukan sekadar integrasi wilayah, apalagi sekadar integrasi etnis mayoritas."
Suasana mulai kembali tenang. Kata-kata Ilham Tegas ternyata mampu untuk sedikit meredakan ke-tidakpuasan faksi garis keras.
"Cita-cita kita tidak hanya sebatas menghancurkan Indonesia yang bangkrut dan mengembalikannya se-bagai Nusantara tidak bernama hingga kelak Negara Kelima menentukan nama. Cita-cita kita lebih dari itu. Matahari telah menyalahi kodratnya dengan terbit dari barat. Angin telah memunculkan ketidakadilan dengan terus bertiup dari utara ke selatan. Imperium utara dan barat telah terlalu lama menguasai selatan. Matahari harus kembali terbit di timur. Angin harus kembali bertiup dari selatan ke utara. Negara Kelima akan menjadi pemimpin dunia. Indonesia tinggal nama!"
Semua terpukau dengan orasi Ilham Tegas itu. Perjalanan mereka masih jauh untuk mewujudkan mimpi itu. Tetapi semangat muda mereka telah mem-buat jarak terasa sangat dekat.
"Sungguh sayang, Indonesia ini hanya bertahan tidak lebih dari enam puluh tahun!" Susetyo Iskandar bergumam.
"Jangan sebut lagi nama negara kotor itu. Kita tidak kenal nama kotor itu. Kita cuma kenal Nusantara," Bagus Dito cepat memotong.
"Republik tidak pernah mencapai usia enam puluh tahun. Hanya bertahan selama sebelas tahun hingga 1 Desember 1956. Jika Republik ini hilang kita tidak perlu mengenangnya. Hanya ampas, najis yang menyengsarakan rakyat," tambah Dino Tjakra menambahkan.
"Sudah..." Ilham Tegas menenangkan. "Kita tidak perlu memperdebatkan negeri pagan ini. Tidak punya kehormatan."
"Apa yang akan kita lakukan terhadap Jakarta"" Susetyo Iskandar kembali bertanya.
"Bumi hangus. Jangan sisakan puing sedikit pun sebab itu akan menjadi sarang tempat kembalinya penyakit negara najis ini," Sardi Amin menanggapi dengan bersemangat.
"Sejauh mana gerakan ini akan berhasil. Apakah Serat Ilmu dan lempeng emas Tataghata bisa men-jaminnya"" lagi-lagi pertanyaan itu keluar dari mulut Susetyo Iskandar.
Pertanyaan yang muncul begitu saja seperti menyadarkan tiap orang yang hadir dalam pertemuan itu bahwa gerakan mereka tidak akan semudah yang mereka bayangkan. Menentukan target, sasaran, dan perencanaan lanjutan memang sangat mudah. Akan tetapi memastikan bahwa apa yang akan dilakukan itu akan mencapai apa yang akan diinginkan tampaknya menjadi masalah bagi anak-anak muda ini.
"Serat Ilmu adalah masalah keyakinan. Mungkin ia tidak berarti apa-apa nantinya. Tetapi jika setiap kita merasa memiliki sandaran keyakinan pada tiap tindakan, maka itu sudah cukup untuk menguatkan," kata Ilham Tegas berusaha meyakinkan. "Lagi pula Para Pembuka akan terus membimbing kita dalam setiap arah, gerak, dan tindakan kita."
"Yang paling penting saat ini adalah memastikan bahwa kita memiliki alasan yang kuat untuk mati demi perubahan di nusantara ini," Bagus Dito menimpali.
Kata-katanya menguatkan tekad mereka. Perubahan harus mereka gulirkan di negeri ini. Para Pembuka akan membimbing mereka dalam perubahan. Kekuatan dari masa lampau akan mampu dibangkitkan. Siap untuk merubuhkan negeri ini dan kemudian membangun negeri baru
dibalik puing-puing reruntuhan negeri ini.#
46 Tepat pada waktu ashar, Eva Duani bersama Timur
Mangkuto tiba kembali di rumahnya. Komplek perumahannya mulai terlihat ramai oleh ibu-ibu muda dan pembantu rumah tangga yang mengajak anak majikannya jalan-jalan. Beberapa kali mereka mengetuk pintu, tidak terdengar jawaban dari dalam.
"Ayah!" Eva Duani berteriak pelan memanggil.
Biasanya pada waktu mendekati sore seperti sekarang ayahnya akan berada di dalam perpustakaan pribadi. Terpekur sendiri membolak-balik buku-buku yang pernah ia tulis dan terbitkan. Atau, lebih sering mengoreksi buku-buku baru yang dimintakan kata pengantar kepadanya. Eva Duani mencoba memanggil lagi beberapa kali. Tetapi tetap tidak terdengar jawaban. Ayahnya tidak mungkin pergi ke mana-mana. Sejak divonis harus menggunakan kursi roda, ayahnya sangat jarang keluar rumah walaupun hanya berjalan-jalan di sekitar komplek.
Timur Mangkuto membuka pintu rumah. Sama sekali ti dak terkunci. Eva Duani menduga ayahnya tengah tidur. Mereka masuk ke dalam rumah.
Tiba-tiba Eva Duani terpekik histeris ketika masuk ke dalam ruang perpustakaan pribadi.
"Timur..." Dari ruang perpustakaan pribadi, ia langsung mendobrak pintu kamar ayahnya. Tidak ada siapa-siapa. Juga tidak terdapat tanda-tanda ada yang masuk ke dalam kamar itu. Tetapi satu hal yang pasti, ada orang yang telah membawa pergi Profesor Duani Abdullah. Eva Duani limbung, jatuh ke ranjang ayahnya. Ia menangis, tidak menyangka permasalahan ini akan menjadi begitu berat.
Timur Mangkuto menyusul masuk ke dalam kamar. Ia tidak menemukan siapa-siapa selain Eva Duani yang terisak-isak. Ia memerhatikan segala penjuru kamar. Keluar kamar lalu masuk ke ruang perpustakaan. Ia ingin tahu apa yang menyebabkan Eva Duani berteriak histeris. Matanya mencari-cari benda atau apa saja yang mungkin menyebabkan Eva Duani bersikap demikian. Hingga matanya tertumbuk pada satu benda yang tergelatak di belakang kursi baca. Benda itu hanyalah sebuah batu.
Tetapi setelah ia membolak-baliknya, ternyata pada bagian bawahnya penuh dengan ornamen seperti pahatan. Pahatan itu sendiri bukanlah berisi ornamen biasa. Bagian tengahnya tergambar tujuh kepala kobra ber-bentuk pipih dengan mahkota berbentuk permata bulat. Lehernya mengembang dengan hiasan kalung. Timur Mangkuto bergegas masuk menemui Eva Duani. Gadis itu menyandarkan tubuhnya pada bagian kepala ran-jang. Ia masih sulit menerima kenyataan. Seseorang, entah siapa, telah membawa pergi ayahnya.
"Apa maksud dari batu ini"" Timur Mangkuto mencoba bersikap seolah-olah tidak ada kejadian luar biasa. Ia ingin membuat gadis itu tegar.
"Kutukan Sriwijaya" terdengar suara Eva Duani bergetar.
"Maksudnya""
"Ornamen ular kobra itu persis dengan salah satu prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Telaga Batu dekat Palembang. Berisi kutukan-kutukan ter-hadap siapa saja yang melakukan kejahatan dan tidak tunduk kepada perintah raja."
"Ada yang berusaha mengancam kita""
"Iya, dan mereka tentu orang yang sama dengan yang menculik ayah."
Perempuan itu kembali terisak. Timur Mangkuto berusaha menenangkan seraya menyeka air mata Eva Duani. Ia lalu menarik tangan perempuan itu, me-nuntunnya ke ruang tengah rumah. Tetapi kemudian langkahnya terhenti. Pada bagian kepala ranjang tempat Eva Duani menyandarkan tubuh tadi, ia melihat tulisan dengan kombinasi angka tertentu. Ia mengambilnya. Dari bau tinta spidol yang digunakan untuk meng-goreskan tulisan itu, ia bisa menarik kesimpulan bahwa tulisan tersebut baru saja dibuat. Paling lama tiga atau empat jam yang lalu dituliskan. Ia memandang Eva Duani.
"Sebelumnya tidak ada tulisan di situ," Eva Duani ikut kaget melihat angka-angka yang dituliskan itu. "Tetapi aku yakin itu pesan dari ayah untuk kita."
1221 1061 7256 5500 3863 4527 6636 9451 2187 1732 8108 Timur Mangkuto kemudian mencatat tanda dan angka-angka yang terlihat pada bagian kepala ranjang.
Sementara Eva Duani menenangkan diri di ruang tengah, ia seperti kehilangan energi. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan angka-angka yang ia yakini merupakan pesan ayahnya, tidak bisa ia pik
irkan apa maksudnya. "Kamu mengerti apa maksud angka-angka ini"" tiba-tiba Timur Mangkuto sudah duduk di sampingnya.
"Entahlah, saat ini aku sama sekali tidak bisa berpikir."
Timur Mangkuto merengkuh kepala Eva Duani dan menyandarkan pada pundaknya. Ia mengerti gadis itu benar-benar shock. Setelah kehilangan Rudi tiba-tiba ayahnya turut menghilang. Batu ancaman itu menjadi bukti bahwa seseorang atau beberapa orang telah masuk ke rumah dan membawa pergi Profesor Duani Abdullah.
"Maaf, aku tidak menyangka permasalahan ini..." Timur Mangkuto menyesal. Tetapi kata-kata itu sudah terpotong oleh isyarat telunjuk Eva Duani di bibir Timur Mangkuto. "Tetapi kita akan temukan beliau."
"Iya, kita memang tidak punya pilihan lain," Eva Duani berusaha kelihatan tegar.
Bungkusan nasi dengan lauk sekaligus sayur pangek yang tadi diberikan oleh Uni Reno dibuka oleh Timur Mangkuto. Ia berjalan menuju dapur dan muncul lagi dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh manis hangat. Eva Duani mulai bisa tersenyum. Ma-kanan terkadang untuk sesaat bisa melupakan diri dari masalah berat yang tengah dihadapinya. Apalagi Timur Mangkuto dan Eva Duani makan nasi dan pangek itu berdua dalam satu wadah yang sama.
"Kita harus pecahkan semua teka-teki itu sekarang juga."
Eva Duani membereskan tempat makanan. Ke-mudian masuk ke dalam ruang perpustakaan pribadi. Lebih dari
sepuluh menit, baru ia keluar dari ruangan dengan membawa beberapa tumpuk buku.
"Apalagi yang kita butuhkan untuk memecahkan semua teka-teki itu"" ia memperlihatkan tiap buku pada Timur Mangkuto.
"Mungkin Atlas, peta atau semacamnya."
Negara Kedua adalah kedatangan kembali. Pada celah puncak-puncak kedua di mana tidak ada bayangan. menyeruak keluar daratan. menyeberang air besar dari hulu ke hilir, mendamba sebuah negara. Taklukan tersembunyi lalu menarik diri hingga masa berganti dan orang-orang datang dan pergi. Negeri itu besar dengan para penjemput sebagai pengawal, tetapi mereka dilupakan. Lalu datanglah bencana itu, musuh barat dari keturunan musuh-musuh penjemput per-tama.
Mereka memandangi kembali lembaran kertas berisi teka-teki Negara Pertama hingga Negara Kelima itu. Saling menunggu hingga salah satu menemukan simpul untuk memecahkan teka-teki ini. Lama saling menunggu tidak satu pun dari mereka berdua yang angkat bicara.
"Kamu punya ide tentang ini"" Eva Duani memandang Timur Mangkuto penuh harap.
"Asumsi kita bahwa kedatangan pertama itu berkaitan dengan Tambo Adat Alam Minangkabau""
"Asumsikan saja seperti itu. Kamu punya ide""
Timur Mangkuto tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia malah membolak-balik halaman atlas lengkap. Sebenarnya ia sudah menemukan simpul dari teka-teki ini, tetapi ia masih ingin memastikan.
"Menurutmu, apakah ciri-ciri fisik pada teka-teki ini
hanya perumpamaan atau hal yang sebenarnya""
"Bisa dua-duanya," Eva Duani menjawab dengan ragu. "Anggap itu campuran dan kombinasi." "Baik, apa yang kamu temukan""
Lagi-lagi Timur Mangkuto tidak langsung men-jawab pertanyaannya. Ia menuntun mata Eva Duani untuk melihat atlas. Telunjuknya mengarah pada garis yang membagi bumi menjadi dua bagian, garis ekuator.
"Apa maksudnya"" Eva Duani semakin bingung.
Pada celah puncak-puncak kedua di mana tidak ada bayangan.
"Hanya tempat-tempat tertentu di muka bumi yang mengalami kejadian pada tanggal-tanggal tertentu di mana posisi matahari tegak lurus terhadap tempat itu, sehingga tidak terbentuk bayangan. Itulah daerah-daerah yang persis dilalui oleh Garis Ekuator. Minang-kabau dilalui oleh daerah Ekuator. Tampaknya melalui pesan-pesan geografi ini pembuat teka-teki ingin me-nuntun kita. Kalimat pertama menunjukkan sebuah tempat yang dilewati oleh garis Ekuator. Tidak ada pilihan lain, dari arah India, daerah paling barat Nusan-tara yang dilalui oleh garis ekuator adalah Minang-kabau."
"Bagaimana kamu yakin akan hal itu"" Eva Duani masih belum terlalu yakin.
"Bagian awal teka-teki ini tentu menggambarkan kedatangan keturunan Iskandar Yang Agung ke alam Minangkabau. Itu sebabnya kita perlu memahami Timaeus and Critias sekaligus Tambo Adat Alam Minangkabau."
"Bagaim ana dengan kata "puncak-puncak kedua" itu""
"Bukankah itu gambaran dari kondisi fisik alam pada
masa Atlantis sebagaimana yang digambarkan oleh Plato. Penuh dan dikelilingi oleh gunung-gunung. Itu pulalah kondisi alam di luhak nan tigo Minangkabau. Jarang sekali daerah landai karena dikitari oleh gunung dan pegunungan."
Eva Duani tidak punya pilihan lain selain me-nerima teori Timur Mangkuto. Ia berdecak kagum. Inisiatif perwira muda polisi ini untuk melihat peta ternyata membuahkan hasil. Sangat mungkin orang-orang itu mendarat di daerah paling barat Nusantara yang dilalui garis ekuator atau khatulistiwa. Mereka mencari kemurnian lingkungan tropis yang telah men-jadi cerita ribuan tahun tiap generasi Atlantis. Tetapi penemuan itu tidak lantas membuat dirinya senang. Sebab esensi dari teka-teki itu belum mereka pecahkan.
"Apakah dengan kemungkinan ini kita sudah bisa menyimpulkan bahwa Minangkabau adalah negara ke-dua yang dimaksudkan dalam teka-teki ini"" Timur Mangkuto bertanya.
Eva Duani menggelengkan kepala. Ia menganggap kesimpulan itu terlalu cepat diambil oleh Timur Mangkuto.
"Aku belum menyampaikan teoriku tentang kemungkinan terbagi duanya rombongan orang-orang yang datang kembali itu. Pertama adalah kelompok yang ingin mendirikan negara kesejahteraan dan kelompok kedua adalah mereka yang akan mewujudkan imperium," jelas Eva Duani.
"Lantas, kenapa kerajaan Minangkabau tidak dapat kita anggap sebagai Negara Kedua""
"Sebab Negara Kedua sangat mungkin tidak didirikan di daerah Minangkabau."
"Kenapa"" Menyeruak keluar daratan. Menyeberang air besar dari hulu ke hilir, mendamba sebuah negara. Taklukan tersembunyi lalu menarik diri hingga masa berganti dan orang-orang datang dan pergi.
Eva Duani yakin teka-teki itu memberi tanda bahwa orang-orang yang mendarat di Minangkabau itu kembali bergerak menuju sebuah tempat dan mendirikan kerajaan besar di sana. Ia juga berani memastikan bahwa orang-orang yang bergerak itu adalah mereka yang tidak hanya mendambakan sebuah negara tetapi juga imperium. Kemungkinan besar Serat Ilmu dibawa oleh orang-orang ini dan bukan ditinggal ber-sama orang-orang yang hanya ingin mendirikan negara kesejahteraan.
"Kamu ingat tentang lempeng emas Tataghata"" Eva Duani memandang Timur Mangkuto berbinar-binar, tampaknya ia menemukan satu celah.
"Tentang apanya""
"Corak tulisan pada lempeng emas itu"" Eva Duani menemukan celah.
"Seingatku pada keterangan yang terdapat di museum, tulisan yang terdapat pada lempeng emas Tataghata ditulis dengan huruf pallawa kuno."
"Dan ditemukan di..."
"Tanjung Medan, dekat Lubuak Sikapiang, Sumatera Barat."
"Baik!" Eva Duani membolak-balik salah satu bukunya. Ia tersenyum, tampaknya ia telah menemukan sesuatu dari teka-teki tersebut.
"Sebagai alat bantu Serat Ilmu, sebagaimana keterangan ayah, tentu lempeng emas Tataghata pertama kali digunakan pada saat berdirinya negara kedua versi
KePaRad. Satu-satunya huruf pallawa kuno bercorak Sumatera adalah yang dipakai pada kisaran 600-an Masehi." "Lalu""
"Aku coba menemukan kesimpulan. Kamu sudah menemukan teka-teki geografis mereka, giliran aku menemukan teka-teki historis mereka," Eva Duani mengulum senyum.
Cukup lama Eva Duani membolak-balik beberapa buku yang ditaruh di atas meja. Setiap kali ia me-nemukan sesuatu hal pada satu buku maka ia akan konfirmasikan hal itu pada buku lainnya. Terus-me-nerus sehingga Timur Mangkuto harus menunggu cukup lama. Akhirnya, telunjuk perempuan muda itu mengarah pada satu tempat dalam lembaran kertas.
"Aku menduga teka-teki ini berkaitan dengan prasasti Kedukan Bukit."
"Kedukan Bukit""
Timur Mangkuto memandang bingung dan ragu. Ia sama sekali belum mengerti apa yang tengah di-bicarakan oleh Eva Duani.#
47 "Wolfgang tidak sabar untuk men-dapatkan benda
itu, Prof. Sementara pengejaran Anda tidak juga me-nunjukkan arah yang jelas! Lima juta dollar uang muka yang telah Anda dapatkan tam-pak-nya justru membuat Anda lemah."
Sepanjang jalan memotong yang menghubungkan parkiran mobil dengan gedung Detsus Antiteror, Profesor Budi Sasmito mengutuki makelar yang baru saja menelponnya. Ia her
an kenapa tekanan dari ma-kelar itu semakin menjadi-jadi pada hari-hari yang berat ini. Seolah-olah ia dan Mr Wolfgang tahu dan mengerti kekalutan apa yang sekarang tengah terjadi.
Di teras depan gedung, ia bertemu dengan Melvin. Rupanya perwira menengah itu juga baru sampai di kantor. Menjelang sore hari, kesibukan masih tampak terlihat di dalam gedung. Mereka tersenyum dan saling sapa satu sama lain. Kemudian berjalan bersama me-nuju ruang kerja Riantono. Beberapa bintara polisi yang berpapasan memberi isyarat hormat kepada Melvin. Profesor Budi Sasmito tersenyum melihatnya. Mereka mendapati Riantono tengah menerima telepon di da-lam ruang kerjanya.
"Asu! Anda memang besar mulut, Prof," Riantono
menumpahkan kekesalannya. "Apa yang Anda katakan itu tahi semua! Sama sekali tidak membantu kami!"
"Tunggu Kombes. Anda tidak bisa menjustifikasi itu seenaknya."
"Lalu apa pembelaan Anda""
"Kita cuma belum dapat keberuntungan saja."
"Iya kami buntung dan Anda beruntung. Kasus ini menaikkan popularitas nama Anda ke permukaan, sementara kami pontang-panting memecahkan kasus ini."
Profesor Budi Sasmito diam, berusaha menahan diri. Ia tidak ingin tekanan ini mengacaukan fokusnya terhadap benda itu. Ia berpikir mencari cara dan celah untuk keluar dari permasalahan.
"Aku minta maaf untuk masalah lempeng emas Tataghata. Aku tidak menyangka..."
"Alah! Semuanya sudah terlambat Prof. Tidak ada gunanya lagi," Riantono memandang dengan jijik. "Anda memang seorang yang sangat menyebalkan dan menjijikkan!""
"Tolong jaga omongan Anda," Profesor Budi Sasmito terpancing mendengar kata-kata itu.
Riantono tersenyum mengejek. Dari balik laci ia mengeluarkan beberapa lembar kertas. Kemudian ia lemparkan begitu saja ke hadapan Profesor Budi Sasmito.
"Analisa Anda sampah semuanya, Prof. Tentang Negara Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, dan Kelima, semua sampah!" emosinya kembali meledak-ledak. "Sekarang terbukti kan analisa Anda sama sekali tidak membantu dalam pencarian kami."
Profesor Budi Sasmito memilih untuk diam. Memperpanjang pembelaan sama halnya dengan bunuh diri dan semakin membuat dirinya terperosok.
"Aku sebenarnya curiga, jangan-jangan Anda ingin me miliki benda itu"" lanjut Riantono. "Kemudian menjadikan polisi sebagai Kuda Troya untuk men-dapatkan keinginan Anda itu."
Profesor Budi Sasmito gelagapan mendengarkan tuduhan tak disangka-sangka tersebut. Pandangan matanya beralih pada Melvin, seperti berusaha untuk mendapatkan pembelaan. Tetapi Melvin memilih untuk diam. Tidak ingin terjebak pada pembicaraan.
"Tidak, sama sekali tidak seperti yang Anda tuduhkan," Profesor Budi Sasmito berusaha mengatasi kegugupannya. "Justru seandainya benda itu memang ada, saya ingin menyelamatkannya dan menjadikan benda itu sebagai aset sejarah dan arkeologi yang paling berharga."
"Tetapi bukankah setiap benda berharga juga akan memberikan harga tersendiri bagi orang yang menemukannya. Bukan begitu, Prof"" kata-kata Riantono itu terdengar seperti sinisme untuk orang-orang yang mengaku kaum intelektual
Telinga Profesor Budi Sasmito menjadi merah nyarun mendengar kata-kata Riantono. Seolah-olah laki-laki itu tengah menelanjangi dirinya apalagi setelah ia melihat senyuman sinis menghiasi bibir Riantono.
"Justru Anda yang saya lihat menetapkan harga untuk kasus ini."
"Maksud Anda Prof"" giliran Riantono yang kaget.
"Anda sengaja memberi harga tinggi pada KePaRad. Pamor Anda tentu naik dengan tingginya harga mereka..."
"Profesor, jelaskan maksud Anda!"
"Baik, Anda tadi berani menilai saya dengan sinis. Saya juga bisa melakukan hal serupa," Suara Profesor Budi bergetar. "Aku heran, kenapa Anda begitu cepat mencap
KePaRad sebagai teroris. Padahal tidak cukup bukti yang menunjukkan bahwa mereka melakukan tindakan teroris. Apa mereka meledakkan bom, apa mereka menimbulkan ketakutan massal, apa mereka merusak lingkaran kenyamanan umum" Tidak! Tidak ada sama sekali mereka menimbulkan hal-hal seperti itu. Detasemen Khusus yang Anda pimpin sedang miskin kasus, bukan begitu Kombes" Itu sebabnya Anda de-ngan gampang menetapkan dan menimbulkan per-sepsi kelompok itu sebaga
i teroris." "Profesor! Apa kematian anak saya dan seorang anggota kepolisian lainnya tidak menunjukkan hal itu""
"Maaf, selain tanda yang terdapat pada bagian atas perut mereka, Anda sebenarnya tidak punya bukti lain yang menguatkan bahwa pelakunya adalah mereka."
Pedang Berkarat Pena Beraksara 7 Wiro Sableng 026 Iblis-iblis Kota Hantu Simbol Yang Hilang 9
^