Negara Kelima 5
Negara Kelima Karya Es Ito Bagian 5
Keadaan menjadi berbalik sekarang. Riantono tersudut. Ia terdiam seperti menyesali telah membongkar motif Profesor Budi Sasmito turut bergabung dalam timnya. Tetapi ia berusaha tidak ingin kehilangan muka.
"Terus terang Prof, sebenarnya ini bukan urusan Anda. Tetapi masalah teroris atau bukan, itu hanyalah masalah marketing kasus belaka. Kami bisa menyebut mereka ini kelompok teroris, sementara pada saat bersamaan mereka bisa menyebut diri mereka ke-lompok patriotik, pejuang ultra kanan, martir atau segala macam. Cepat atau lambat, salah satu akan berbicara kepada pers dan masyarakat. Masalahnya adalah siapa yang paling dahulu berbicara, kami atau mereka sehingga masyarakat akan menggunakan ter-minologi siapa."
"Polisi adalah institusi publik. Oleh sebab itu publik berhak tahu duduk perkara sebenarnya apalagi menyangkut isu sensitif seperti teroris..." tangkis Profesor Budi.
"Teroris itu lahir tanpa orang tua. Kamilah para polisi, orang tua angkat mereka. Maka polisilah yang berhak untuk memberi nama mereka, menarik telinga mereka bahkan kalau perlu menggugurkan mereka se-perti ibu-ibu muda yang melakukan aborsi tanpa belas kasihan pada sang janin. Mungkin mereka masih janin, tetapi siapa tahu kelak mereka yang akan menikam kita. Anggap saja label teroris ini untuk janin yang siap untuk diaborsi."
Profesor Budi Sasmito tidak kuasa menahan kegelian-nya mendengar penjelasan itu. Riantono benar-benar jengkel melihat sikap laki-laki berambut tipis di depannya. Tiba-tiba ia menggebrak meja, pandangannya tertuju tajam pada Profesor Budi Sasmito. Melvin terperanjat dan ikut-ikutan berdiri, mendekati Profesor Budi Sasmito.
"Profesor! Jaga omongan Anda. Jangan semakin membuat rumit kasus ini!"
Dering bunyi telepon menghentikan perdebatan mereka. Melvin kembali ke tempat duduknya. Gertak-annya cukup berhasil untuk menyumpal mulut Profesor Budi Sasmito.
Wajah Riantono tiba-tiba berubah menjadi berseri-seri setelah menerima telepon itu. Ia memberi isyarat pada Melvin untuk mendekat.
"Posisi Timur Mangkuto sudah terkunci. Terano yang kita minta terus mengikuti mobil kijang itu menunaikan tugas dengan baik. Posisi Timur Mangkuto sekarang terkunci."
"Apa saya perlu menggerakkan pasukan sekarang, Dan""
"Jangan, kita tunggu gelap. Untuk saat ini hingga menjelang malam, tempat itu kita isolasi dari lingkungan sekitarnya. Dua peleton bantuan telah berada di sekitar
tempat itu. Penangkapan akan kita lakukan malam nanti."
"Tetapi, Dan"" Melvin menunjukkan keraguan. "Apa tidak lebih baik kita membiarkan Timur Mangkuto menuntun kita pada teman-temannya""
"Aku rasa kita tidak punya banyak waktu untuk itu. Aku tidak mau kecolongan lagi."#
48 Eva Duani menjelaskan prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Tatang dekat Palembang. Ditulis dengan huruf pallawa menggunakan bahasa Melayu Kuno. Angka tahun prasasti ini menunjukkan 604 Saka atau 682 Masehi.
svasti uri uakavaa atita 605 (604") ekadaui uu apunta hiyaklapaka vulan vaiceakha d nayik di samvau mangalap siddhayatra di saptamT uuklapak a apunta hiyavulan jye"bha d maalapas dari minanga vala dualak a dangan ko-tamvan mamava yam duaratus cara di samvau dangan jalan sarivu di mata japtluratus sapulu dua vanakna datarn sukhacitta di pancami uuklapak a vula... marvuat vanua...laghu mudita datam urivijaya jaya siddhayatra subhik a...
Terjemahan arkeologis atas Prasasti:
1. Dapunta Hyang manatap Siddhayatra pada tanggal 11 paro terang (suklapaksa), bulan watsaka, tahun 604 S (23 April 682 H)
2. Pada tanggal 7 paro terang bulan Jyestha (19 Mei 682 M) Dapunta Hyang berangkat dari Minanga membawa tentara dua laksa dan 200 peti perbekalan
dengan perahu serta 1312 orang tentara berjalan datang di suatu tempat yang bernama matayap. 3. Pada tanggal 5 Paro Terang bulan Asa Dha 16 Juni 682 H) dengan suka cita mereka datang di suat
u tempat dan membuat kota wanua) dan Kerajaan Sriwijaya memperoleh kemenangan, perjalanannya berhasil dan seluruh negeri beroleh kemakmuran
"Bandingkan dengan teka-teki Negara Kedua," seru Eva Duani.
"Tetapi bagaimana kamu yakin bahwa kedua hal itu berhubungan satu dengan yang lainnya""
Eva Duani tersenyum tenang. Ia sangat menguasai pengetahuan mengenai sejarah lokal Indonesia.
"Para ahli masih berbeda pendapat dalam menginterpretasikan arti dari prasasti itu. Tetapi interpretasi yang paling mengejutkan pernah diajukan oleh Poerba-tjaraka yang mengatakan bahwa seandainya kata Mata-yap berarti Melayu maka hal itu semakin menguatkan pendapat bahwa sebelum sampai di Palembang tentara itu datang ke Melayu, tepatnya di daerah Jambi sekarang," jelas Eva Duani. "Kata Minanga juga diinterpretasikan berbeda-beda, ada yang menyebut Minanga Hamwar ada pula yang menyebut Minanga Tamwan. Poerbatjaraka mengusulkan pembacaan Minanga Kamwar. Kata-kata itu identik dengan Minangkabau. Seandainya semua interpretasi di atas saling berkaitan, maka seperti interpretasi yang diinginkan pada teka-teki Negara Kedua, berarti dahulu kala ada seorang besar dari Minangkabau pergi berperang, berhenti lebih dahulu di Jambi, lalu terus ke Palembang dan mendapatkan kemenangan. Lalu membangun kota di daerah itu dengan nama Sriwijaya.
"Tetapi di mana letak Minanga itu persisnya"" Timur
Mangkuto menyela. "Entahlah, tetapi seharusnya jika berpatokan pada konversi tanggal Masehi, maka jarak antara Minanga dengan Palembang itu tidaklah terlalu ekstrem jauhnya."
"Ya, seharusnya begitu," Timur Mangkuto seperti mengingat-ngingat sesuatu. "Konversi pada kalender Masehi menunjukkan tentara itu berangkat pada 19 Mei 682 M dan sampai di Sriwijaya pada 16 juni 682 M. Artinya, jarak maksimal antara dua tempat adalah 28 hari perjalanan..."
"Perhitungan yang tepat," Eva Duani semakin bersemangat. "Kita tentukan saja pusat Kerajaan Sriwijaya adalah di Kota Palembang sekarang. Dan Dapunta Hyang bersama tentaranya, sebagaimana keterangan prasasti, menempuh perjalanan dengan naik perahu dan berjalan kaki."
"Seandainya rombongan Dapunta Hyang itu memang berasal dari Minangkabau, seharusnya mereka tidak datang dari Luhak Nan Tigo. Sebab pada masa sekarang saja, misalnya, jarak antara Bukittinggi yang terletak di Luhak Agam dengan Palembang sudah memakan satu hari dan satu malam perjalanan dengan menumpang bis umum, apalagi jalan kaki. Satu-satunya kemungkinan jarak terdekat adalah daerah-daerah ping-gir perbatasan yang dilalui oleh jalan lintas Sumatera," Timur Mangkuto sejenak berpikir. Ia memain-mainkan telunjuk, tampaknya ia menemukan sesuatu. "Apa mungkin Minanga kuno itu berpusat di dekat per-batasan geografis Sumatera Barat dengan Jambi. Daerah-daerah Sungailansek, Pulau Punjung, dan sekitarnya""
Kali ini Eva Duani tidak buru-buru menanggapi. Pandangannya malah kembali beralih ke buku pegangan yang
menumpuk di depan tempat duduknya. Hal penting yang ia temukan dari buku adalah kenyataan bahwa Sriwijaya bukanlah kerajaan tertua di Sumatera. Sebab pada 644 M, berdasarkan berita Tiongkok, telah berdiri Kerajaan Melayu yang di-perkirakan berada di daerah Jambi sekarang. Ia tidak menemukan apa-apa terkait dengan kata-kata Minanga.
"Apa daerah-daerah yang kamu sebut tadi terkait dengan daerah hulu sungai"" Eva Duani seperti ingin memastikan bahwa teka-teki Negara Kedua tuntas terjawab oleh kenyataan sejarah.
"Tentu saja! Daerah-daerah itu merupakan pertalian dari hulu awal dengan bagian yang lebih lebar dari Sungai Batang Hari."
Eva Duani mulai bisa tersenyum, seakan-akan ia kembali menemukan sambungan dari jalinan pemikiran yang tadi hampir putus.
"Dugaan dan interpretasi yang kita pilih tidak salah. Sriwijaya memang dibangun oleh seorang pem-besar dari Minangkabau. Daerah-daerah yang kamu sebut tadi bukan sekadar daerah kosong secara historis. Di tempat-tempat itu dulunya pernah berdiri Kerajaan Darmasraya. Satu dari dua kerajaan yang didirikan oleh orang-orang yang datang dengan rombongan Sri Maharajo Dirajo. Hanya saja tidak terdapat catatan historis yang memadai tentang
kerajaan itu. Asumsikan kerajaan itu belum berdiri sama sekali pada per-tengahan 682 Masehi, toh itu juga tidak akan ber-pengaruh. Sebab prasasti Kedukan Bukit tidak me-nyebut Dapunta Hyang sebagai seorang raja. Bisa jadi Dapunta Hyang hanyalah seorang pembesar. Dan isti-lah itu sangat mungkin, sebab raja mereka masih berkedudukan di daerah pedalaman Luhak Nan Tigo.
Dapunta Hyang adalah pembesar Minangkabau yang ingin kembali menegakkan imperium Atlantis. Itu sebabnya ia memilih tinggal di daerah yang me-mungkin-kan untuk juga menembus pantai timur Sumatera."
Kesimpulan Eva Duani itu sepertinya masih sulit untuk diterima oleh pikiran Timur Mangkuto. Apalagi ketika ia coba membuka peta lagi dan mencari ke-terkaitan antara hulu dan hilir Sungai Batang Hari.
"Muara Sungai Batang Hari, yang memiliki be-berapa titik cabang hulu di daerah Minangkabau, bukan daerah Palembang. Tetapi bagian barat Jambi, seperti-nya Kuala Tungkai. Teori bahwa orang-orang itu meng-arungi sungai dari hulu hingga sampai di Palembang terbantahkan. Lagi pula coba lihat peta ini, tidak satu pun sungai-sungai di Palembang yang memiliki hulu di daerah Minangkabau."
Eva Duani sudah mengerti bagaimana menanggapi pertanyaan itu.
"Timur, coba perhatikan lagi bagian kedua dari terjemahan prasasti. Di situ disebutkan pasukan Dapunta Hyang hanya menggunakan perahu hingga Matayap. Anggap Matayap itu sesuai dengan interpretasi banyak arkeolog dan sejarawan sebagai Melayu. Tentu tidak ada yang salah, sebab mereka menggunakan perahu hingga daerah Melayu, tepatnya Jambi sekarang. Arti-nya pasti mereka melayari sepanjang sungai Batang Hari. Lalu dari Jambi ke Palembang mereka tempuh berjalan kaki. Tetapi yang pasti, prasasti dengan jelas menerangkan bahwa Dapunta Hyang berangkat dari hulu, tetapi tidak langsung menggunakan perahu ke arah Palembang."
Penjelasan itu menjawab tanda tanya sekaligus menghilangkan keraguan dalam benak Timur Mang-kuto. Semuanya terasa sudah menjadi semakin jelas sekarang.
Kisah Atlantis mulai terbentuk seperti narasi panjang, dari Plato hingga Dapunta Hyang. Dan Mi-nang-kabau adalah tempat pendaratan orang-orang yang membawa kembali Serat Ilmu.
"Lalu bagaimana dengan kelanjutan teka-teki itu""
Negeri itu besar dengan para penjemput sebagai pengawal, tetapi mereka dilupakan. Lalu datanglah bencana itu, musuh barat dari keturunan musuh-musuh Penjemput Pertama.
Tidak ada lagi keraguan dalam benak Eva Duani. Ketika kenyataan menunjukkan bahwa teka-teki Negara Kedua ini berkaitan dengan Sriwijaya sudah bisa di-terima, maka lanjutan dari teka-teki itu dengan mudah bisa diinterpretasikan. Eva Duani men-jelaskan dengan lugas.
"Orang-orang Dapunta Hyang tidak pernah men-jadi raja di Sriwijaya. Mereka hanya mendirikan lalu memberikan kekuasaan kepada penduduk lokal. Hingga kemudian datang generasi raja-raja keturunan dari Saelendrawamsatilaka Sri Wirawairimathana."
"Lalu siapa musuh barat dari Penjemput Pertama itu""
"Mereka yang ikut menghancurkan Sriwijaya."
"Dari arah barat, apa mungkin India" Dan mereka mungkin pernah bermusuhan dengan keturunan lang-sung Iskandar Yang Agung""
"Iya, musuh dari barat itu berasal dari India. Tetapi pastinya apakah raja itu keturunan dari mereka yang memusuhi keturunan Iskandar Yang Agung sebagai Penjemput Pertama aku tidak terlalu yakin. Satu hal yang pasti adalah kenyataan bahwa Sriwijaya runtuh karena serangan dari Raja Cola yang berkedudukan di India.
Tentu India terletak arah barat dari Sriwijaya. Serangan pertama dilakukan oleh rajanya yang bernama Rajen-dracoladewa pada 1017. Dilanjutkan dengan serangan kedua pada 1025 yang berhasil menawan raja Sriwijaya, Sri Sanggrawawijayottunggawarman, akan tetapi Sriwijaya tidak diduduki. Pada 1068 raja Cola pada masa itu, Wirajayendra, kembali menyerang Sriwijaya, hingga akhirnya raja Sriwijaya takluk. Walau-pun masih berdiri setelah serangan itu, tetapi secara politis Sriwijaya yang pernah menguasai Melayu, Tanah Genting Kra, Sunda, Jawa Tengah, Sumatera Bagian Utara hingga daerah Ceylon di selatan India, sudah hancur."
Bayang-bayang kebesaran Sriwijaya berikut ceri
ta mengenai kemajuan ilmu pengetahuan dan ramainya kapal-kapal yang berkunjung di bandar-bandar penting yang dikuasainya seperti baru saja melintas dalam lintasan waktu. Negara Kedua itu telah hancur, tetapi pertanyaan yang menghunjam di benak Timur Mang-kuto adalah di mana Serat Ilmu itu saat ini.
"Bagaimana dengan Serat Ilmu""
"Mungkin itu yang dibawa oleh Dapunta Hyang ketika membangun kota Sriwijaya."
"Lalu di mana sekarang, apa di reruntuhan Sriwijaya"" Eva Duani melipat kedua tangannya di depan dada, lalu menghembuskan nafasnya agak panjang. "Pekerjaan kita masih jauh dari selesai. Mencari benda itu berarti kita harus menemukan lagi apa itu Negara Ketiga dan Keempat..."
"Serat Ilmu bersama negara-negara itu""
"Ada kemungkinan!"
"Kamu yakin bahwa Negara Kedua itu adalah Sriwijaya""
"Apa kita punya pilihan untuk tidak yakin""#
49 Langit mulai berwarna Jingga. Perlahan matahari menapak turun hampir menyatu dengan batas laut. Pemandangan itu terlihat begitu indah dari dermaga tua yang sudah ditinggalkan nelayan. Sebuah kapal motor kecil tertambat di dermaga. Pengemudinya menghembuskan rokok. Ia tengah menunggu orang.
Setelah sekian lama, terdengar bunyi mesin diesel mobil menderum. Panther gelap bergerak mendekat ke arah dermaga. Lima orang anak dengan satu orang tua yang dipangku, naik ke atas kapal motor kecil itu. Sementara Panther berwarna gelap itu sudah kembali pergi, berbalik arah menuju arah tenggara pelabuhan.
Mesin kapal kecil menderum membelah laut me-nuju arah utara. Orang tua yang tadi dipangku, menyandarkan dirinya. Ia meminta kretek pada pengemudi motor. Petualangan beberapa jam bersama anak-anak muda tidak sabar ini menghadirkan sensasi sekaligus kecemasan sendiri bagi dirinya yang sudah renta.
"Bagaimana menurut Anda Prof"" Lumban mem-bantu menyalakan korek. "Kami sudah temukan apa yang tidak akan pernah Anda temukan."
"Sial!" Profesor Duani Abdullah menghembuskan asap rokoknya. Ia menyalahi pantangannya selama ini.
"Nanto, membantu kalian menemukannya""
"Sebagian kecil iya, sebagian besar sisanya adalah kerja keras kami yang didorong semangat yang di-pompa-kan oleh Para Pembuka. Tetapi sejujurnya teka-teki Atlantis itu dipecahkan oleh Profesor Sunanto dibantu Para Pembuka."
Ia menunjuk jauh ke arah utara, bayangan pulau di depan masih tampak jauh.
"Itulah pusat Negara Pertama Profesor. Tempat yang berusaha dilupakan oleh dunia baru ketika dunia lama tenggelam"
"Lalu apa yang akan kalian lakukan di sana"" "Mengulang apa yang pernah dilakukan oleh se-puluh raja Atlantis"
"Ha...ha...ha..." Profesor Duani Abdullah tertawa. "Kalian akan berbaris mengelilingi Pillar Orichalcum, berharap kekuatan kebijakan akan membimbing kalian dalam revolusi""
"Mungkin semacam itu, Prof
"Bodoh! Kalian tidak lagi dipimpin dan dibimbing oleh rasionalitas."
Tiba-tiba deru kapal tertahan. Ombak-ombak mening gi, hujan turun, badai menghadang. Cuaca di tengah laut seperti berkebalikan dengan di tepi pantai. Beberapa kali laki-laki yang membawa kapal harus mengendalikan kapalnya menelikung demi menghindari gelombang tinggi. Orang-orang yang berada di dalam kapal mulai cemas dan takut. Mereka merapatkan diri, entah untuk saling menghangatkan diri dari terpaan dingin hujan dan badai atau sekadar untuk saling menguatkan keyakinan bahwa hidup mereka tidak akan berakhir karena kekonyolan ini.
Lima belas menit berselang, badai mulai reda, ombak
pun mulai tenang dan laju kapal mendekati keadaan normal. Orang-orang yang berada di dalam kapal menarik nafas. Dua di antaranya sempat muntah-muntah. Perut mereka tidak begitu kuat digoncang-goncangkan seperti itu. Lumban merapatkan diri pada Profesor Duani Abdullah. Ia tampaknya tidak ingin pembicaraan mereka di dengar tiga orang lainnya.
"Aku tidak pernah percaya pada kekuatan magis, Prof. Tetapi aku sangat percaya pada daya magis dari kekuatan sugesti."
"Tetap saja pembodohan namanya."
"Kenapa"" "Tentu kau bermaksud bahwa orang-orang tingkat-an paling bawah dalam kelompokmu akan percaya bahwa Serat Ilmu, Pilar Orichalcum atau apa pun namanya akan memberi kekuatan. Sementara kau sendiri tid
ak percaya. Tetapi berharap orang lain percaya sehingga kau bisa kuasai, gerakkan dan siapkan mereka mati dalam keyakinan mereka yang rapuh"
"Itulah revolusi, Prof," timpal Lumban. "Ia dipikir-kan oleh beberapa orang, digerakkan oleh segelintir orang, dipimpin oleh sedikit orang, tetapi dilakukan oleh jutaan orang."
"Dan sebagian besar mati karena keyakinan yang konyol, bukankah itu yang ingin kalian lakukan""
"Tidak persis seperti yang Anda bayangkan, Prof. Dibanding melanjutkan republik yang sudah mati ini, revolusi adalah pilihan yang berjuta kali jauh lebih baik."
Profesor Duani Abdullah terdiam. Kata-kata Lumban tidak salah. Ia sadar anak-anak muda yang sekarang berpikiran maju sedang dilanda dilema besar meng-hadapi republik ini. Mereka tidak salah ketika menga-takan,
Indonesia sebagai sebuah integrasi ide dan gagas-an telah berakhir sejak Desember 1956, sisa tahun berikutnya tidak lebih dari integrasi wilayah. Tetapi ia juga sadar, revolusi bukanlah restorasi. Ia memang diniatkan untuk membangun kembali tetapi lebih se-ring berakhir dengan derita berkepanjangan.
"Sulit bagiku untuk menyalahkan semangat muda kalian."
Profesor Duani Abdullah mengutuk dalam hati. Kata-kata itu untuk kesekian kalinya harus terucap dari mulutnya. Ia sadar, kata-kata itu akan menjadi pembenaran bagi anak-anak muda untuk melanjutkan apa yang telah mereka rencanakan.
"Tetapi sejarah mengajarkan kepada kita. Revolusi selalu memakan penggagasnya, kalau tidak mati di tangan lawan maka sebagian besar akan mati di tangan kawan sendiri," Profesor Duani Abdullah berusaha untuk mengoreksi spontanitasnya. "Apa kalian sudah pikirkan itu""
Tiga orang lainnya telah tersandar di dok kapal. Mereka sangat lelah tampaknya hingga mata mereka dengan mudah terpicing, tidak sadar hilang bersama alam mimpi. Lumban memerhatikan satu persatu raut wajah kawan-kawannya itu. Lalu ia memalingkan wajah pada Profesor Duani Abdullah, mencoba ter-senyum bijak.
"Revolusi itu seperti mimpi anak muda Prof. Mungkin benar, ia akan menyebabkan kekacauan ketika kami terbangun dalam realita. Oligarki akan terbentuk, rasa curiga akan menjadi landasan kebijakan, kekerasan akan menjadi hukum sementara dan cinta seperti kata-kata yang sirna. Tetapi kami punya Serat Ilmu Prof. Dalam tujuan yang telah tercapai kami bungkus dengan tujuan
baru lagi. Setiap satu tujuan baru tercapai, kami akan buat tujuan baru dengan tantangan lebih besar sehingga orang-orang tidak akan sempat untuk berpikir menentang," kata Lumban. "Ambisi kolektif, Prof. Ha-nya itu yang akan membuat manusia bertahan bersama kelompoknya. Selain itu, hampir tidak ada."
"Setelah revolusi kalian selesai, tentu kalian akan menggagas pembentukan imperium sebagaimana Atlantis dahulunya"" Profesor Duani Abdullah mencibir.
"Ha...ha...ha..." bola mata Lumban tenggelam oleh ke lopak mata ketika ia tertawa, "Anda seperti sudah bisa menebak setiap apa yang kami pikirkan, Prof
"Tetapi aku tetap tidak setuju dengan apa yang kalian lakukan ini"
"Itu hak Anda."
Dari kejauhan tampak kerlap-kerlip lampu. Darat-an tidak jauh lagi. Kerlap-kerlip lampu itu tampaknya semacam isyarat yang menuntun kapal itu menuju tempat untuk merapat. Mereka telah sampai di tempat tanpa petunjuk yang telah terlupakan.
"Untuk apa kalian bawa aku ke sini"" Profesor Duani Abdullah memandang tajam pada Ilham Tegas.
"Untuk menjadi saksi sekaligus untuk membuat kebisuan dalam rentetan peristiwa ini."
"Kenapa kalian tidak bunuh saja aku""
"Kami tidak sebodoh itu, Prof. Kami harus meng-ikuti perintah Para Pembuka untuk memperlakukan Anda dengan baik. Anda adalah tamu kehormatan kami saat ini."
"Tetapi bukankah perkara membunuh adalah suatu yang biasa bagi kalian. Sebagaimana korban-korban yang telah kalian bunuh sebelumnya"" pancing Profesor Duani Abdullah.
Lumban langsung terdiam. Ia tahu Para Pembuka tidak pernah memberikan perintah langsung pada me-reka untuk melakukan pembunuhan.
"Tidak ada kekerasan bersenjata sebelum tanggal yang dijanjikan terlewati."
Itu pesan yang diberikan oleh Para Pembuka ke-pada Para Pengawal dan Para Pemula. Tetapi ia sangsi perintah
itu juga ditaati oleh faksi garis keras Para Pengawal.
"Sejarah akan membuktikan kebenaran yang men-jadi rahasia masa sekarang!"
Jawaban yang keluar dari mulut Lumban itu tidak memberikan penegasan apa-apa. Tetapi setidaknya un-tuk saat ini, ia bisa menghindar dari sorotan tajam Profesor Duani Abdullah.*
50 Kesimpulan bahwa Negara Kedua yang dimaksudkan
dalam teka-teki Negara Kelima adalah Sriwijaya telah mem bantu Eva Duani memahami bagian Tambo yang menceritakan tentang penyerangan legiun Jawa, Sriwijaya yang dikalahkan dengan muslihat adu kerbau. Kalau hanya sekadar mengandalkan diplomasi tidak mungkin Minangkabau pedalaman bisa menghindari peperangan dengan tentara besar. Berhasilnya diplomasi mungkin lebih dikarenakan kenyataan bahwa orang-orang yang mendirikan Sriwijaya adalah bagian dari orang-orang yang mendirikan Minangkabau pedalaman.
"Menurutmu siapa yang menculik ayah"" Perhatian Eva Duani kembali tertuju pada apa yang telah me-nimpa ayahnya.
"Hanya dua kemungkinan, polisi yang sudah putus asa dan KePaRad yang ingin rahasianya terjaga."
"Ayah..." Eva Duani kembali larut dalam kesedihan.
"Tenang dan sabar, Eva. Aku yakin mereka tidak a-kan memperlakukan ayah kamu dengan buruk. Yang mereka butuhkan adalah otaknya bukan nyawanya," Timur Mangkuto menggenggam telapak tangan Eva Duani. "Bagaimana" Kamu sudah bisa menyimpulkan apa yang ingin ayahmu kasih tahu dengan tanda dan angka-angka
ini"" 1221 1061 7256 5500 3863 4527 6636 9451 2187 1732 8108
Eva Duani memerhatikan tulisan itu dengan lebih teliti. Ada semacam serpihan memori yang bisa ia ingat dari pola penulisan angka itu. Tetapi yang teringat hanya serpihan memori dan ia tidak terlibat dalam bagian pada masa lalu itu. Penulisan angka dan tanda seperti ini memang biasa dilakukan ketika laki-laki ayahnya masih memiliki obsesi yang besar untuk me-nemukan sisa-sisa reruntuhan Atlantis dan Benua Lemuria.
"Aku ingat, ayah biasa menggunakan kombinasi angka itu untuk berkomunikasi dengan Profesor Sunanto Arifin. Mereka takut hasil temuan mereka diketahui banyak orang, apalagi peneliti asing. Tiap kali mereka menemukan sesuatu, mereka menggunakan simbol dan angka."
"Jadi, kamu tahu apa yang dimaksudkan dengan angka-angka ini"" Timur Mangkuto memandang penuh harap.
Eva Duani menggelengkan kepalanya. Ia bukan bagian dari serpihan masa lalu itu. Ia hanya tahu angka-angka demikian sering digunakan. Tetapi ayahnya tidak pernah memberi tahu bagaimana memecahkan angka-angka tersebut.
"Bilangan hakikat seperti ragam cahaya matahari yang berubah menjadi satu warna putih," seru Eva Duani berusaha mengingat-ingat. "Ayah menyebut angka-angka ini dengan istilah seperti itu. Tetapi beliau tidak menjelaskan padaku bagaimana memecahkan angka-angkanya."
Jawaban Eva menghempaskan keyakinan Timur Mangkuto. Ia berharap rangkaian angka-angka itu me-rupakan pesan jawaban teka-teki negara kelima yang sudah terpecahkan oleh Profesor Duani Abdullah.
"Jadi, bagaimana dengan Negara Ketiga"" Timur Mangkuto mengalihkan permasalahan.
Para Penjemput masa pertama tidak menyerah. Pada dataran setelah celah puncak-puncak kedua mereka bersimaharaja tetapi angin telah menjemput mereka untuk Negara Ketiga. Ketika dua orang dara Para Penjemput menuai janji mereka. Dari rahim dua dara lahir dua raja. Satu selalu dituai bencana, satu mencari asalnya. Para Penjemput mengawal nega- r a hingga mereka dilupa. Lalu datanglah bencana, dari dalam musuh-musuh itu masuk mencari Serat pemberi.
Eva Duani seperti merasa tidak perlu berpikir panjang untuk menjawab teka-teki itu.
"Aku rasa, aku sudah temukan jawabannya." "Maksudmu""
"Iya, aku sudah temukan apa yang mereka maksud dengan Negara Ketiga."
Timur Mangkuto mulai curiga. Ia takut Eva Duani tidak lagi bersungguh-sungguh untuk memecahkan teka-teki mengingat rentetan peristiwa yang ia alami belakangan ini.
"Jangan katakan Negara Ketiga itu adalah Majapahit!"
Dugaan itu tidak langsung ditanggapi Eva Duani. Ia membagi-bagi lagi teka-teki itu menjadi beberapa bagian kalimat.
Para Penjemput masa pertama tidak me-nyerah. Pada
dataran setelah celah puncak-puncak
kedua mereka bersimaharaja tetapi angin telah menjemput mereka untuk Negara Ketiga.
"Setelah kehancuran atau mungkin sebelum kehancuran Sriwijaya, keturunan Dapunta Hyang dan rombongan pembawa Serat Ilmu kembali ke Minangkabau tengah. Tempat asal mereka seperti ke-simpulan pertama kita. Kamu setuju dengan ke-sim-pulan itu"" Eva Duani ingin meyakinkan Timur Mangkuto langkah demi langkah.
"Baik, aku setuju. Mereka kembali pada tempat awal sebelum mereka berangkat mendirikan Sriwijaya. Terus"" Timur Mangkuto mengernyitkan dahinya.
"Seorang raja besar telah menjemput mereka."
"Hah, tentu ini bukan kisah dongeng""
"Bukan, benar mereka dijemput. Walaupun ter-kesan menegasikan, dugaanmu benar. Negara Ketiga yang mereka maksud adalah Majapahit! Imperium kedua setelah Sriwijaya."
Timur Mangkuto tiba-tiba tergelak. Ia merasa Eva Duani tengah membeberkan sejarah Indonesia dengan bumbu nasionalisme yang dangkal. Selama ini yang ia dapatkan dari teks sejarah memang seperti itu. Kejayaan Sriwijaya, Majapahit, dan kerajaan-kerajaan Jawa se-olah-olah harus diterima oleh seluruh penduduk Nu-santara sebagai satu-satunya narasi sejarah Nusantara. Sriwijaya, Majapahit, dan kerajaan-kerajaan Jawa telah mengerdilkan atau membuat daerah-daerah lupa akan sejarah lokalnya masing-masing. Mereka dipaksa untuk mengakui apa yang terjadi di Jawa adalah sebuah berita sejarah dan apa yang terjadi di daerah mereka tidak lebih dari mitos.
"Aku sulit untuk menerima itu."
"Kenapa"" "Pertama aku takut kamu terpengaruh oleh teks-teks sejarah standar yang menganggap imperium Maja-pahit sebagai Indonesia Kuno. Kedua, letak Majapahit secara geografis sangat jauh dengan titik pendaratan pertama keturunan Iskandar Yang Agung."
"Justru aku yang takut bahwa kamu yang dilanda ketakutan, Timur."
"Lho, kenapa aku harus takut""
Kamu takut kalau kenyataannya memang Majapahit adalah jawabannya. Dan itu jauh dari ba-yangan kejutan yang kamu inginkan dari teka-teki ini," kata-kata Eva Duani membuat Timur Mangkuto sedikit tersudut.
"Aku tidak takut. Yakinkan aku kalau memang jawabannya Majapahit."
Kalimat itu terdengar seperti sikap pasrah dan menyerah Timur Mangkuto. Tetapi bagi Eva Duani, kalimat itu lebih terdengar seperti sinisme.
"Rangkaian teka-teki Negara Ketiga ini terkait erat dengan ekspedisi yang dilakukan oleh Raja terakhir Singasari, Kertanegara."
Eva Duani melanjutkan argumennya dengan cerita yang lebih terperinci. Kitab Parraraton yang memuat kisah raja-raja Jawa sejak masa Ken Arok dan kitab Nagara-kertagama karangan Mpu Prapanca, menceritakan bahwa pada 1275 Masehi Raja Singasari, Kertanegara, mengirimkan tentaranya ke Melayu. Disebut dengan Ekspedisi Pamalayu. Tentara itu di-pimpin oleh seseorang yang kemudian pada masa awal Majapahit diberi gelar Kebo Anabrang. Pada saat bersamaan, Khubilai Khan tengah meluaskan pengaruhnya ke Asia Tenggara. Ekspedisi ini sesungguhnya bukanlah penaklukan tetapi
perluasan persahabatan antara Melayu dan Singasari untuk membendung ekspansi Khubilai Khan. Bersama dengan pasukannya, Kertanegara mengirimkan arca Buddha Amoghapasalokeswara bersama empat belas orang pengiringnya ke Melayu pada 1286 Masehi. Penempatan arca ini dilakukan di Darmasraya. Tampaknya Melayu lama telah digantikan oleh Darmasraya. Arca itu kelak ditemukan di daerah Sungai Lansek, bagian dari Kabupaten Darmasraya, Sumatera Barat sekarang.
Raja yang memerintah Darmasraya waktu itu ada-lah Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa. Rom-bongan besar pasukan Singasari berdiam di Darmasraya selama lebih kurang dua puluh tahun sejak 1275 Masehi hingga 1294 Masehi. Kemudian rombongan itu kembali tiba di Singasari yang sekarang telah men-jadi kerajaan Majapahit. Rombongan itu membawa dua orang puteri hasil perkawinan Mauliwarmadewa dengan Reno Mandi, yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Banyak interpretasi mengenai kedua orang puteri itu. Sebagian besar kisah pada awalnya menyebutkan kedua puteri itu adalah upeti ketundukan Raja Darmasraya terhadap Singasari. Tetapi interpretasi itu terbantahkan dengan cepat. Dara Petak dinikahi oleh Raden Wijaya atau Kertarajasa, raja p
ertama Majapahit. Bukan di-angkat sebagai selir tetapi permaisuri. Sedangkan kakaknya, Dara Jingga, dinikahi oleh Tuan Janaka salah seorang petinggi istana pada waktu itu.
"Bagaimana mungkin seorang puteri yang dimaksudkan sebagai upeti dijadikan permaisuri," seru Eva Duani.
"Artinya, dari awal Kertanegara telah mengetahui ada semacam magnet kekuatan yang terdapat di Darmasraya dan ia membutuhkan lebih dari persahabatan untuk
menghadapi serbuan tentara Mongol atau Tartar. Kalau dikaitkan dengan misteri Atlantis, maka ini adalah kelanjutan dari cerita Sriwijaya. Bisa jadi kedua puteri itu bukan sekadar membawa badan ke Singasari yang telah digantikan Majapahit, tetapi juga membawa Serat Ilmu. Tradisi dari Dapunta Hyang yang membuka kerajaan penerus Atlantis bukan di daerah pendaratan dilanjutkan oleh Mauliwarmadewa untuk mewujudkan Negara Ketiga Atlantis di tanah seberang. Itu sebabnya ia mengirimkan puterinya de-ngan rombongan pengiring yang sangat besar dari Darmasraya untuk membantu mewujudkan Negara Ketiga di tanah Jawa."
"Kamu seperti dokumen sejarah berjalan, ingat semuanya."
Tampaknya Timur Mangkuto mencoba untuk mencari kompromi pemikiran. Eva Duani me-nyam-butnya dengan senyum.
"Bagaimana aku tidak ingat sesuatu hal yang sekian tahun aku dalami. Tentu kamu juga akan selalu ingat tentang bagaimana cara paling cepat meringkus maling bukan"" ia membasahi kerongkongannya de-ngan teh manis yang sudah dingin.
Ketika dua orang dara Para Penjemput menuai janji mereka.
"Jadi dua orang dara itu adalah Dara Petak dan Dara Jingga anak dari raja keturunan Dapunta Hyang"" lanjut Timur Mangkuto.
"Betul, Kertanegara adalah seorang raja yang cerdas dan visioner. Ia mungkin belajar dari sejarah Sriwijaya tentang siapa dan apa yang membuat negara itu besar,
hingga akhirnya ia mendapatkan kuncinya di daerah Minangkabau tengah, Darmasraya," Eva Duani senang Timur Mangkuto tidak mengambil jalan konfrontasi lagi. "Kamu akan lebih kaget lagi kalau aku katakan bahwa raja kedua Majapahit adalah orang Minangkabau. Apalagi dengan asumsi matrilineal sekarang." "Bagaimana bisa""
"Anak dari perkawinan antara Dara Petak dengan Ker-tarajasa bernama Kalagamet. Ia kelak bergelar, Jaya-negara. Raja kedua Majapahit."*
51 Selepas Maghrib suasana di perumahan Fiena Busana
tampak tidak seperti biasanya. Tidak tampak kerumunan anak-anak muda yang biasa bergerombol di perempatan jalan. Atau ibu-ibu muda yang masih menjebakkan diri pada pembicaraan dan gosip-gosip murahan tidak per-lu. Jalanan sepi, yang tampak hanya satu dua orang berjalan menuju rumah masing-masing.
Perempatan yang salah satu jalannya mengarah ke arah rumah Eva Duani telah diblokir polisi. Pada tempat itu, tampak lima orang petugas polisi berpakaian gelap dengan senapan otomatis berjaga. Pakaian gelap yang mereka kenakan tidak jauh berbeda dengan pakaian gelap kesatuan Gegana, Brigade Mobil. Tetapi sebuah badge merah pada bahu menandakan mereka berasal dari kesatuan paling elit Polda Metro Jaya, Detasemen Khusus Antiteror.
Selokan selebar lima puluh senti dengan kedalaman cukup untuk menyembunyikan kepala orang dewasa yang berjongkok di depan rumah Eva Duani, juga telah diisi oleh pasukan itu. Sebagian lainnya masih bersiaga di dalam mobil-mobil berwarna gelap yang diparkir tidak jauh dari perempatan jalan mengarah ke arah rumah Eva Duani.
Mereka telah mengunci posisi Timur Mangkuto. Tinggal menunggu perintah untuk masuk dan menyerang.
Kurang dari seperempat jam kemudian, iring-iringan tiga buah mobil muncul di perempatan jalan. Riantono bersama dengan Melvin dan Profesor Budi Sasmito, turun dari mobil paling depan. Mereka mem-bawa satu peleton pasukan dari Mapolda. Tambahan pasukan itu telah membuat kekuatan para pengepung itu menjadi Satu Satuan Setingkat Kompi. Riantono langsung memimpin operasi. Ia mulai memeriksa kesiapan tiap peleton. Kemudian mengumpulkan komandan-komandan peleton untuk memberikan instruksi operasi.
"Aku menginginkan Timur Mangkuto hidup-hidup!" Riantono memandangi satu persatu komandan peleton itu.
"Jadi kita harus memberi peringatan dulu, Dan"" salah seoran
g perwira menyela. "Tepat! Aku menginginkan ia menyerah hidup-hidup pada kita. Sebab pengetahuannya tentang KePaRad masih kita butuhkan untuk memburu kelompok itu."
"Bagaimana kalau ia melakukan perlawanan"" komandan peleton lainnya bertanya.
"Lumpuhkan tetapi jangan sampai membuat ia tewas." Riantono memerhatikan keadaan sekitar. Anak buahnya telah berhasil mengisolasi kediaman Duani Abdullah. Tidak tampak lagi ada orang-orang sekitar rumah yang berkeliaran di jalanan. Ia menyunggingkan senyum. Timur Mangkuto gagal untuk mengakali diri- nya. Ia telah menjebak Timur Mangkuto menggunakan jebakannya sendiri. Sebab sejak pengejaran sepanjang jalan tol Bekasi menuju Jakarta, polisi tidak berhenti membuntuti Kijang berwarna biru metalik itu.
Riantono memerhatikan jam tangannya. Jarum jamnya sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima malam.
"Setengah jam lagi kita akan memulai operasi. Ingat tidak ada tembakan senjata, sampai Timur Mangkuto menembakkan senjatanya. Kalau pun pa-sukan kalian terpaksa menembak dan mendobrak pintu ru-mah, arahkan pada bagian tubuh yang tidak me-matikan. Timur Mangkuto adalah satu-satunya ke-mungkinan yang bisa menuntun kita untuk menemukan KePaRad. Ia bagian dari kelompok itu," Riantono memberikan instruksi terakhir. "Kalian mengerti""
"Siap Dan!" terdengar jawaban bersamaan dari komandan-komandan peleton pasukan.
Mereka kembali pada posisi pasukan masing-masing Memanggil tiap komandan regu, memberikan instruksi pada mereka, sebagaimana instruksi yang diberikan oleh Riantono.*
52 Walaupun kesimpulan Eva Duani cukup membuat
dirinya tersentak, Timur Mangkuto masih berusaha untuk menguji teori.
Ia mengambil salah satu buku yang tergeletak di a-tas meja. Tidak lama dahinya berkernyit. Ia tersenyum sendiri ketika membaca satu halaman. Timur Mangkuto sepertinya menemukan satu kenyataan yang bisa mementahkan teori Eva Duani
"Di buku ini tertulis Kertarajasa menikahi empat orang puteri Kertanegara; Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhua-waneswari, Sri Mahadewi Dyah Dewi Narandraduhita, Sri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Sri Rajendradewi Dyah Dewi Gayatri," ia memandang Eva Duani seperti tengah merayakan kemenangan. "Lalu bagaimana kesimpulan bahwa Dara Petak adalah permaisuri Kertarajasa bisa kamu ambil" Lagi pula dalam buku ini juga dijelaskan bahwa Kalagamet dan Jayanegara adalah dua orang yang berbeda. Satu anak Dara Petak dan satu lagi anak dari Parameswari, puteri sulung Kertanegara"
"Bagaimana kalau aku katakan keempat orang puteri itu sebenarnya bukanlah anak biologis dari Kertanegara," Eva Duani sepertinya sudah punya jawaban terhadap pertanyaan itu.
"Maksud kamu""
"Empat orang puteri itu sesungguhnya bukanlah anak dari Kertanegara. Tetapi adalah puteri-puteri yang merepresentasikan wilayah pengaruh dan sahabat Singasari. Salah satu prasasti bertahun 1305 Masehi menyebutkan bahwa keempat puteri itu merepresentasikan Melayu, Bali, Madura, dan Tanjung Pura."
Perwira muda polisi itu terdiam. Ia sadar tengah berhadapan dengan orang yang benar-benar telah men-dalami sejarah Majapahit.
"Artinya, Dara Petak adalah salah satu dari puteri yang dimaksud itu""
"Iya, sebagian ahli menyebutkan Dara Petak itu adalah Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuawaneswari atau ratu utama yang melahirkan Kalagamet atau Jayanegara."
"Bagaimana aku bisa yakin dengan penjelasan itu"" Timur Mangkuto semakin bingung. Tetapi sebelum ia bersuara, Eva Duani telah melanjutkan penjelasannya dengan mendasarkan pada temuan yang ada.
"Kitab Parraraton yang diperkirakan dibuat pada 1330 Masehi, menyebutkan bahwa Kalagamet dan Jayanegara adalah dua nama pada satu orang yang sama. Parraraton hanya menyebutkan dua orang puteri saja yang diperistri, Parameswari dan Gayatri. Sedang-kan Negarakertagama menyebutkan, ibu dari Kalagamet atau Jayanegara bernama Sri Indreswari, nama yang tidak terdapat pada riwayat empat puteri Kertanegara. Satu-satunya keterangan yang menyebutkan bahwa Kalagamet dan Jayanegara adalah dua orang yang ber-beda terdapat pada prasasti Balawi dan Sukamrta. Itu pun sulit untuk diterima sebab kedua prasasti itu memu
at keterangan yang tidak lengkap. Sebagian besar ahli menyimpulkan
bahwa Dara Petak adalah Pararneswari Tribhuana atau permaisuri utama. Juga bergelar Sri Indreswari, sebagaimana keterangan Negarakertagama. Sedangkan Gayatri adalah permaisuri keempat yang sangat disayangi oleh Kertarajasa," penjelasan Eva Duani sulit untuk dibantah.
"Apa ada hal lain yang lebih bisa meyakinkan aku"" pertanyaan Timur Mangkuto lebih terdengar seperti tuntutan.
"Kamu akan lebih paham dan yakin jika me-ngetahui gejolak yang terjadi sepanjang pemerintahan Kalagamet atau Jayanegara. Dan juga gejolak-gejolak yang disebabkan oleh raja kedua Majapahit itu."
Dari rahim dua dara lahir dua raja. Satu selalu dituai bencana, satu mencari asalnya.
Kitab Parraraton menyebutkan setidaknya terjadi sembilan gejolak pemberontakan yang berhubungan dengan Jayanegara, baik pada masa pemerintahan Kertarajasa maupun pada saat pemerintahan Jayanegara sendiri.
"Kamu tahu apa yang menyebabkan pemberontakan-pemberontakan itu""
"Ketidakpuasan kepada raja akibat posisi yang didapatkan yang tidak sebanding dengan jasa yang telah mereka berikan," jawaban Timur Mangkuto seperti mengulang pelajaran sejarah yang ia dapatkan dari SD hingga SMA.
Eva Duani tidak bisa menyalahkan jawaban Timur Mangkuto. Setidaknya memang demikianlah keterangan sejarah selama ini. Sejarah memang bukanlah sebuah kejujuran yang pasti. Itu yang sering dirasakan oleh Eva Duani. Interpretasi sebab-sebab pemberontakan pada
masa Jayanegara sungguh berbeda antara sejarawan nasional dengan sejarawan asing. Ada delik politik kontemporer yang membatasi imajinasi sejarawan lokal untuk bebas berinterpretasi. Ia sendiri lebih percaya pada interpretasi-interpretasi yang tidak biasa.
"Alasan pemberontakan itu hanya berlaku untuk pemberontakan Ranggalawe, itu pun tidak murni. Sisa-nya ditutupi oleh kepentingan politik kontemporer Indonesia. Penguasa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi ingin menyembunyikan bagian sejarah mungkin dengan dalih persatuan nasional," urai Eva Duani dengan lebih serius. "Semua pemberontakan itu dilandasi satu kesamaan, yaitu semangat anti asing. Jayanegara adalah raja yang beribukan orang asing, seorang puteri dari Darmasraya."
Sejak Kertarajasa menikahi empat orang puteri yang berasal dari empat tempat yang berbeda, terjadi perpecahan di kalangan orang dekat raja. Pertama adalah mereka yang menyetujui persekutuan suci Kertanegara lewat perkawinan Kertarajasa bisa disebut golongan Pan-Indonesia dan golongan yang me-nen-tang-nya yang menginginkan kemurnian darah Jawa, anti asing. Pemberontakan Ranggalawe sendiri menurut Eva Duani, tidak bisa dilepaskan dari kemungkinan ini. Selain masalah posisi, pemberontakan yang ber-langsung pada 1295 itu juga dipicu oleh pengangkatan Kalagamet atau Jayanegara sebagai Putera Mahkota yang mendapat daerah lungguh Kediri. Putera mahkota dengan ibu seorang Darmasraya ini jelas telah diberi pengakuan dan kelak akan menggantikan Kertarajasa. Karena anaknya masih kecil dan raja sering sakit-sakitan, maka Dara Petak untuk sementara menjabat sebagai raja sementara.
Pengaruh Dara Petak beserta rombongan penasehat dari Darmasraya atau Minangkabau Tengah jelas menimbulkan sikap antipati golongan anti asing. Alasan yang sama juga mendasari pemberontakan Lembu Sora kemudian pemberontakan Nambi. Hingga dipuncaki dengan pemberontakan paling besar, Kuti Semi.
"Semua itu berakar pada sentimen tribalisme Jawa Kuno," Eva Duani menegaskan penjelasannya.
"Kalau begitu kenapa Gajah Mada menyelamatkan Jayanegara"" Timur Mangkuto menyela.
Gajah Mada bersama dengan lima belas orang Bekel Bhayangkarinya menyelamatkan Jayanegara dari pemberontakan yang hebat itu sehingga raja harus mengungsi ke luar kota. Berkat strategi yang dijalankan dengan tepat oleh Gajah Mada, Majapahit kembali dapat dikuasai.
"Gajah Mada adalah seorang yang visioner. Ia sadar tidak mungkin baginya untuk mencapai segala cita-citanya kalau harus mengkhianati keturunan Kertarajasa. Satu-satunya cara untuk mencapai visinya adalah mem-pertahankan kesetiaan pada keturunan Kertanegara dan Dara Petak itu
," jelas Eva Duani. "Visi apa""
"Visi yang juga dulu pernah dimiliki oleh Kertanegara, tentang sebuah Imperium. Gajah Mada mungkin melihat kuncinya ada pada benda yang di-bawa oleh Dara Petak dan para pengiringya."
"Serat Ilmu""
"Mungkin" Timur Mangkuto terdiam. Angannya melayang layang pada masa ratusan tahun yang silam itu. Membayangkan kesepian yang dialami oleh Dara Petak dan para pengiringnya di ibukota Majapahit. Bagaimana mereka
menghadapi kebencian yang mengepung mereka. Itu semua demi tugas yang harus ia emban untuk membangkitkan negara yang hilang di tempat yang berbeda. Untuk kemudian kandas lagi.
"Bagaimana dengan pembunuhan terhadap Jayanegara"" pertanyaan itu begitu saja muncul dalam benak Timur Mangkuto.
"Kitab Parraraton menyebutkan pembunuhnya adalah Tanca, seorang tabib kerajaan yang sebelumnya disuruh oleh Gajah Mada memotong bengkak raja. Tetapi ia malah menikam raja sehingga ia pun ke-mudian dibunuh oleh Gajah Mada. Sedangkan me-nurut sumber Pamancangah yang berasal dari Bali, Tanca disuruh oleh Gajah Mada untuk membunuh Jayanegara."
"Menurutmu mana yang benar""
"Hmm..." Eva Duani menggigit-gigit bibirnya se-perti tengah memperhitungkan konsekuensi dari ke-mungkinan yang akan ia sampaikan. "Kemungkinan kedua, Tanca disuruh oleh Gajah Mada."
Timur Mangkuto terlonjak. Sulit bagi dirinya un-tuk menerima kenyataan itu. Nama Gajah Mada ter-lanjur harum selama ini dalam bunga rampai sejarah Nusantara.
"Aku sulit untuk memercayai hal itu," Timur Mangkuto menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Memang sulit. Tetapi bukankah pada masa itu pembunuhan adalah hal biasa."
"Lalu kenapa Gajah Mada harus menghilangkan Jayanegara."
"Pertentangan visi."
"Visi apa""
"Visi negara atau kerajaan. Jayanegara mungkin menginginkan imperium yang akan mereka bangun itu
adalah integrasi ide dan gagasan sebagaimana darah yang mengalir dalam tubuhnya. Sementara Gajah Mada menganggap imperium itu tidak lebih dari integrasi wilayah lewat sumpah palapanya kelak. Gajah Mada sadar, Jayanegara satu-satunya orang yang akan meng-halangi cita-citanya itu."
Sejak meninggalnya Jayanegara hingga 1364, praktis Gajah Madalah orang paling berkuasa dan menentukan di Majapahit. Ratu dan raja pada masa itu tidak lebih dari alat legalitas belaka.
"Jadi Negara Ketiga itu berakhir ketika Jayanegara mangkat"" Timur Mangkuto ingin memastikan.
Para Penjemput mengawal negara hingga mereka dilupa.
"Tampaknya keyakinan KePaRad memang seperti itu. Kita tinggal mengikuti interpretasi mereka saja."
"Satu selalu dituai bencana adalah Jayanegara. Dan satu mencari asalnya adalah Adityawarman""
"Tepat, sebagian ahli menyebutkan bahwa ia adalah anak dari hasil perkawinan singkat antara Dara Jingga dengan Kertarajasa. Sebagian lagi menyatakan ia adalah anak dari perkawinan antara Dara Jingga dengan Tuan Janaka, salah seorang pembesar pada masa itu," Eva Duani senang melihat bagaimana Timur Mangkuto cepat menangkap jalinan cerita masa lalu itu.
Setelah kematian Jayanegara, sebenarnya jasa dan kecerdasan Adityawarman masih digunakan oleh Gajah Mada. Ia pernah menjadi utusan kerajaan ke Tiongkok. Pernah juga mendampingi Gajah Mada dalam pe-naklukan Bali. Namanya ikut diabadikan di Candi Jago. Tetapi pada akhirnya Adityawarman kembali ke tanah asal ibunya,
Darmasraya pada 1347. Adityawarman kemudian masuk ke pedalaman Minangkabau, berusaha untuk memerangi dan menundukkan kerajaan yang masih satu kerabat dengan Darmasraya. Tetapi dengan kelicinan Datuak Perpatiah Nan Sabatang, perang dapat dihindari. Minangkabau pedalaman yang merupakan negara kesejahteraan tidak harus takluk pada Adityawarman. Hanya perlu sedikit perubahan adat untuk membuat Adityawarman tidak begitu berarti di mata rakyat.
"Kemungkinan besar Serat Ilmu itu dibawa kem-bali oleh Adityawarman ke Minangkabau. Itu sebabnya Datuak Katumanggungan percaya begitu saja me-nye-rah-kan kekuasaan kepadanya," Eva Duani mempertegas analisanya. "Kerajaan Minangkabau dengan orientasi ke dalam dan otonomi nagarinya bisa bertahan hingga abad ke-19. Sedangkan Majapahit, dengan politik in-tegrasi wilayah Gajah Mada-nya, praktis
setelah ke-matian Gajah Mada mengalami masa kemunduran menuju kehancuran."
Lalu datanglah bencana itu, dari dalam musuh-musuh itu masuk mencari Serat Pemberi.
"Itulah Perang Paregreg, 1401 hingga 1406 Masehi," lanjut Eva Duani. "Perang saudara untuk memperebutkan secuil kekuasaan yang telah menghancurkan Majapahit."
Negara Kelima Karya Es Ito di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Timur Mangkuto menganggukkan kepalanya berulang kali. Ia mulai bisa menerima semua penjelasan dan argumen yang disampaikan oleh perempuan putih bermata agak sipit itu.
"Majapahit runtuh karena perang saudara. Bukan karena masuknya Islam," Timur Mangkuto mencari kesimpulan sendiri. "Pada masa itu Majapahit adalah matahari senja sedangkan Islam adalah matahari pagi. Peradaban harus berganti dan orang harus memilih yang memberi siang dan cerah."
Timur Mangkuto tiba-tiba bangkit dari tempat duduk nya. Ia berlari menuju arah beranda depan rumah. Bunyi derap sepatu lars tertangkap oleh telinganya. Ia menyibakkan kain korden. Lalu kembali duduk di samping Eva Duani. Berusaha untuk bersikap te-nang. Ia berbicara pelan.
"Pasukan Riantono telah mengepung seluruh rumah ini. Kita terjebak di dalam rumah!"#
53 "Timur Mangkuto, menyerahlah! Kami beri waktu lima
belas menit untuk keluar!"
Seruan polisi dari pengeras suara terdengar dari arah luar rumah. Timur Mangkuto tidak menghiraukan. Menyerahkan diri sama saja bunuh diri. Kalau tidak dibunuh pada saat keluar rumah, pastilah nanti ia akan menghadapi hukuman mati atas tuduhan rentetan pembunuhan yang ia tidak lakukan.
Ia coba mencari akal. Kemudian naik ke lantai dua. Ia mendapati sebuah kamar tunggal dengan satu balkon kecil. Tetapi setelah ia perhatikan lagi ternyata kamar tunggal itu tidak hanya memiliki balkon kecil. Sebab pintu kecil pada bagian belakangnya bisa tembus hingga belakang. Ruang terbuka pada bagian belakang lantai dua rumah itu ternyata jauh lebih luas dari kamarnya. Selain pot-pot bunga yang dipajang mengikuti alur dinding, sebagian besar dari ruang terbuka itu digunakan sebagai tempat untuk menjemur pakaian.
Sisi kiri dari rumah itu langsung berhadapan dengan jalan samping. Sedangkan sisi kanannya bertemu dengan tembok yang membatasi rumah itu dengan rumah tetangga di sebelahnya. Sisanya tidak ada tembok pembatas kecuali gundukan adukan semen. Ia bisa melihat beberapa mobil yang terparkir di jalanan belakang rumah.
Ia turun lagi ke lantai dasar. Ia dapati roman wajah pucat Eva Duani. Kejadian ini mungkin hal paling menegangkan seumur hidup yang pernah ia alami. Timur Mangkuto coba menenangkan. Ia merengkuh pundak perempuan muda itu.
"Tenang Eva. Mereka hanya memburu aku!"
"Tapi..." Timur Mangkuto meletakkan telunjuk tangannya pada bibir Eva Duani, memberi isyarat untuk tenang. "Aku akan coba mengulur waktu." Timur Mangkuto bergegas menuju meja telepon. Ia memencet-mencet nomor tertentu.
"Komisaris ada apa dengan semua ini"" Timur Mangkuto tidak perlu mengenalkan diri lagi ketika di seberang telepon orang yang ia hubungi mengangkat telepon.
"Timur menyerahlah, keadaan sudah semakin memburuk sekarang."
"Apa Anda percaya saya pelaku semua itu, Komisaris""
"Entahlah, tetapi menyerahkan diri lebih baik dari semua keputusan yang akan kau ambil."
"Beri aku waktu Komisaris!" Timur Mangkuto berpikir sesaat. "Teka-teki itu hampir aku pecahkan Komisaris. Beri aku waktu untuk membuktikan bahwa aku sama sekali tidak terkait dengan semua ini."
"Bagaimana dengan pencurian di museum""
"Aku dijebak oleh KePaRad itu!"
"Timur Mangkuto, hitungan waktu lima belas menit An da dimulai dari sekarang!" teriakan dari pe-ngeras suara polisi memotong pembicaraan Timur Mangkuto.
"Bagaimana aku bisa percaya padamu"" laki-laki di seberang telepon itu berbicara lagi.
"Anda telah mengenalku, Komisaris. Aku tidak mungkin berbohong. Beri saja aku waktu. Menjelang esok pagi, aku pastikan pemecahan teka-teki ini akan berada di tangan Anda. Bersama-sama kita akan membekuk KePaRad itu!"
"Ahh..." laki-laki di seberang telepon mengeluh. "Tetapi tampaknya susah bagiku untuk mencegah penyergapan rumah ini."
Timur Mangkuto mengusap-usap keningnya. Ia mulai tegang. Sementara waktu lima belas me
nit yang diberikan polisi padanya terus berkurang. Ia mencoba untuk berspekulasi.
"Dalam lima menit ke depan aku akan membuat pengalihan perhatian. Tolong Anda bantu mengalihkan polisi."
"Aku coba. Tetapi aku butuh jaminan, setelah kabur kau tidak akan menghilang""
"Aku akan terus coba menghubungi Anda, Komisaris."
Telepon itu langsung terputus. Timur Mangkuto bergegas mendekati Eva Duani.
"Apa kamu punya botol kaca""
"Botol kaca"" Eva Duani tergagap.
Tidak lama ia berlari ke arah kulkas dekat dapur. Tiga buah botol kaca minuman ringan ukuran sedang ia serahkan.
Tiba-tiba listrik di dalam rumah padam semua. Polisi tampaknya sudah mulai menyiapkan penyergapan. Eva Duani kalang kabut. Ia masih sempat menyambar pon-selnya, kemudian menyalakannya. Lampu biru layar ponsel cukup membantu.
"Aku harus keluar rumah sekarang, mengambil bensin
dari tangki mobil," lanjut Timur Mangkuto.
"Untuk apa"" Eva Duani mencemaskan keselamatan Timur Mangkuto.
"Untuk mengisi botol kaca ini."
Ia meminta Eva Duani untuk menyiapkan sumbu-s umbu dari sobekan kain untuk menyumpal mulut botol kaca itu. Eva Duani teringat sesuatu.
"Apa bensin bisa diganti minyak tanah""
Tentu!" Timur Mangkuto menjawab mantap. "Apa kamu punya""
Eva Duani teringat akan kompor minyak tanah tua yang masih terus ia pelihara. Ia yakin minyak tanah di dalam kompor itu masih banyak. Sebab terakhir kali digunakan ketika ia membuat kue dari oven tradisional, minyak di dalam kompor itu cuma berkurang sedikit. Ia berjalan ke arah dapur kemudian membawa kompor itu ke hadapan Timur Mangkuto.
Derap langkah sepatu lars polisi terasa semakin mendekat. Tampaknya beberapa dari mereka sekarang telah berada di teras rumah.
Timur Mangkuto cepat berlari ke lantai dua. Ia agak kesulitan dalam gelap. Dua buah botol kaca berisi minyak tanah lengkap dengan sumbunya ia bawa ke atas. Ia menyulut sumbu itu. Kemudian me-lempar-kannya.
"Duerrrrrrrrrrrrrr......"
Terdengar ledakan keras di belakang rumah yang tengah dikepung polisi itu. Dari arah jalan depan rumah terdengar perintah.
"Cepat, keluar dari rumah! Timur Mangkuto mencoba lari dari arah belakang rumah. Rumah itu se-bentar lagi akan meledak!" perintah itu kembali di-ulangi. "Cepat menjauh dari rumah itu. Bergerak sekarang juga ke
belakang rumah." "Dueeerrrrrrrrrr..."
Terdengar satu ledakan lagi, masih dari dari arah belakang rumah itu. Prajurit-prajurit yang sudah berada di teras dan samping rumah buru-buru keluar dari pekarangan rumah. Semua perhatian mereka sekarang tertuju pada bagian belakang rumah. Mereka berlarian seperti tanpa komando menuju arah ledakan. Dua buah mobil yang diparkir pada jalanan di belakang rumah itu tampak terbakar. Tampaknya sebuah bahan peledak telah dilemparkan ke arah mobil kosong itu.
Di dalam rumah, Timur Mangkuto cepat bergegas turun. Ia meminta Eva Duani membereskan segala sesuatunya termasuk membawa buku-buku yang dianggap perlu. Setelah memastikan pancingannya berhasil, Timur Mangkuto berencana melarikan diri lewat pagar depan rumah yang telah dikosongkan prajurit polisi.
Tidak lama terdengar suara mesin mobil distarter. Mo bil itu langsung menderum menerobos penghalang polisi. Polisi-polisi itu sadar baru sadar mereka telah dikelabui. Mereka berusaha menahan laju kijang itu, tetapi tidak berhasil.
Timur Mangkuto tersenyum puas melihat para polisi yang kesulitan mengejar mereka. Para penduduk di sekitar rumah itu, berlarian keluar rumah. Bunyi ledakan tadi membuat mereka tidak sabar untuk men-cari tahu. Mereka memenuhi jalan-jalan, menghalangi polisi yang coba melakukan pengejaran. Tetapi tampak-nya satu mobil polisi berhasil lolos dari kerumunan penduduk. Timur Mangkuto melirik spion, memberi kesempatan pada mobil di belakangnya untuk lebih mendekat.
Ketika jarak mobil itu ia rasa sudah cukup dekat. Ia
melirik pada Eva Duani. Wajah perempuan muda itu tampak masih sangat tegang,
"Mau coba petasan molotov ini"" ia tersenyum sambil menyerahkan sisa satu botol kaca berisi minyak dengan sumbu kain itu lengkap dengan korek api kepada Eva Duani. "Sulut bagian sumbunya kemudian lemparkan secepatnya ke belakang."
Eva Duani mengambil benda itu dengan ragu-ragu. Ia bergidik ngeri. Tetapi ia memaksakan diri untuk mengikuti perintah Timur Mangkuto. Ia me-nyulut benda itu, kemudian melongokkan kepalanya ke belakang mobil. Bom molotov itu ia lemparkan.
"Deuerrrrr" Terdengar bunyi ledakan kecil. Disusul kemudian dengan bunyi rem mobil berdecit. Pengemudi mobil di belakang mereka hilang kendali, kaget dengan benda yang dilemparkan ke arah mereka itu. Mobil itu me-nabrak pagar rumah tinggi di sampingnya.
Kijang itu terus menderu menuju jalanan besar.#
54 "Siapa tadi yang memberikan perintah pada prajurit
untuk meninggalkan penjagaan bagian depan""
Riantono menunjukkan kemurkaannya. Ia memandangi satu persatu perwira yang mengelilinginya di teras rumah Eva Duani. Ia benar-benar merasa dipecundangi oleh Timur Mangkuto. Sulit bagi dirinya untuk menerima kenyataan, pasukan sejumlah satu satuan setingkat kompi bisa diakali dengan trik murahan bom molotov.
"Siapa"!" ia mengulang pertanyaan.
"Saya Komandan!"
Riantono terlonjak kaget mendengar pengakuan jujur itu. Sebab pengakuan itu berasal dari Melvin, bawahan kepercayaannya.
"Apa"" ia coba meyakinkan.
"Saya tadi yang memberikan perintah, Komandan," Melvin mengulangi. "Plaaaakkkk!"
Sebuah tamparan bersarang di pipi kanan Melvin. Riantono tidak bisa menahan kemarahannya. Ia me-narik kerah baju Melvin.
"Kenapa kau gagalkan semua ini""
"Saya memikirkan keselamatan pasukan yang mengepung, Dan"
"Anjing! Sejak kapan kau penakut seperti ini""
Melvin menundukkan kepalanya. Ia benar-benar malu diperlakukan seperti itu di depan perwira lain yang pangkat mereka jauh dibawahnya. Tetapi ia tidak punya pilihan lain, selain menerima begitu saja perlakuan Riantono.
Riantono masuk ke dalam rumah. Buku-buku yang bergelatakan di atas meja, ia sapu dengan tangan-nya. Profesor Budi Sasmito yang berdiri di belakangnya menahan nafas.
"Apa yang mereka lakukan dengan buku-buku ini, Prof"" Riantono bertanya tanpa harus membalikkan badan.
"Saya juga tidak mengerti."
"Tolol, masak Anda tidak bisa menyimpulkan," Emosi Riantono meledak lagi. "Apa kesimpulan yang mungkin""
"Mereka juga belum menemukan Serat Ilmu. Buku-buku ini mereka gunakan untuk menerjemahkan teka-teki yang sama dengan kita."
"Artinya KePaRad juga belum temukan benda itu""
'Sangat mungkin belum. Kalau kita asumsikan orang-orang di dalam rumah ini juga bagian dari kelompok itu."
"Tidak ada asumsi, Profesor. Timur Mangkuto, Profesor Duani Abdullah, puterinya, dan Genta adalah bagian dari kelompok itu. Kalau bukan, kenapa mereka lari dan menghindar""
Profesor Budi Sasmito merasa tidak perlu untuk menjawab pertanyaan itu. Ia sendiri bingung seperti apa posisi sesungguhnya dari Timur Mangkuto dalam kasus ini. Ia masuk mengikuti prajurit memeriksa kamar Profesor Duani Abdullah. Tidak lama dari dalam kamar terdengar teriakan, "Profesor!"
Profesor Budi Sasmito cepat berlari menuju sum-ber suara. Melvin mengarahkan telunjuknya pada ba-gian
kepala ranjang. "Apa arti angka-angka itu, Prof"" Roman wajah Profesor Budi Sasmito berubah menjadi cerah. Ia memelototi deretan angka sebanyak tiga baris dengan dua baris berisi tanda baca tunggal.
! 1221 1061 7256 5500 3863 4527 6636 9451 2187 1732 8108 " "Aku rasa tidak lama lagi misteri ini akan bisa aku pecahkan," ia berseru.
"Bagaimana bisa""
"Aku pernah melihat rahasia angka dan tanda itu. Tetapi aku perlu mempelajari dan membandingkannya dengan pesan yang dulu pernah aku pecahkan. Pesan antara dua kolega yang mengkhianati aku."
Senyum puas tersungging di bibir Profesor Budi Sasmito. Ia tahu angka-angka dan tanda itu adalah cara berkomunikasi yang dulu digunakan dua bekas rekannya. Ia dendam karena dua orang itu tidak pernah percaya pada dirinya. Dulu ia pernah berhasil memecahkan arti angka-angka itu. Ia hanya perlu membandingkannya dengan apa yang pernah ia pecahkan dulu.
"Lima deret tanda dan angka ini jelas menunjukkan lima teka-teki negara," ia bergumam.
"Tetapi kenapa Profesor itu menuliskannya di sini""
"Mungkin ada yang membawa ia pergi. Dan ia ingin anaknya tahu ke mana ia pergi," Profesor Budi Sasmito tidak s
abar untuk segera memecahkan teka-teki angka
itu. "Kombes, aku rasa penggerebekan ini sudah membawa hasil. Malam ini juga aku akan beri-tahu hasilnya!"
Baru kali ini Riantono merasa yakin dengan kata-kata Profesor Budi Sasmito. Melvin menarik nafas lega. Sementara Profesor Budi Sasmito seakan me-nemukan celah untuk menunaikan dendam lamanya pada dua orang yang telah mempecundanginya itu. Walaupun tinggal Profesor Duani Abdullah yang masih hidup.
Sebelum meninggalkan rumah itu, Riantono masih menumpahkan kekesalannya pada Melvin, "Melvin! Setelah operasi ini selesai semua, aku janjikan karirmu akan habis di dunia kepolisian. Nasibmu tidak akan berbeda jauh dengan apa yang pernah dialami Timur Mangkuto ketika menolak perintahku!"*
55 Mobil yang dikendarai Timur Mangkuto terus bergerak meninggalkan daerah Depok. Sepanjang jalan Margon-da Raya menuju arah Jakarta tidak tampak keramaian kendaraan. Timur Mangkuto bisa mempertahankan kecepatan mobilnya sepanjang perjalanan itu. "Sekarang ke mana""
Pertanyaan Eva Duani itu seperti menyadarkan Timur Mangkuto bahwa pelarian mereka sebenarnya belum berakhir. Setidaknya saat ini ia seharusnya mencari tempat yang cukup aman untuk bisa memecahkan sisa teka-teki lima negara milik KePaRad. Tetapi ia sendiri bingung. Jakarta terasa menjadi sempit bagi dirinya saat ini. Semua tempat seperti sudah dipenuhi oleh polisi yang ingin menangkap dirinya.
"Aku sendiri masih bingung," jawab Timur Mangkuto.
"Bagaimana dengan perwira polisi yang tadi menolong kita mengalihkan perhatian polisi lainnya""
"Komisaris Melvin, maksudmu""
"Iya." "Aku ragu ia bisa membantu lagi," Timur Mangkuto tampak bimbang.
"Lho, tadi kenapa dia mau membantu dan begitu cepat percaya padamu. Lagi pula kenapa kamu tadi memilih
menghubungi dia"" Eva Duani bingung.
"Dia sebenarnya tidak jauh lebih baik dibanding Riantono. Hanya saja ia tidak memiliki masalah pribadi denganku.
"Kenapa dia mau bantu""
"Karena ia mau menggeser Riantono dari kasus ini. Ia ingin jadi orang pertama yang tahu pemecahan teka-teki ini. Itu yang tadi aku janjikan kepada dia. Secara tidak langsung, nantinya kontrol kasus ini akan berada di tangannya."
"Persaingan antara perwira menengah""
"Ya, semacam itulah. Melvin tampaknya ingin menguasai kasus ini. Ingin menjadikan kasus ini se-bagai jembatan untuk promosi pangkat."
Kijang itu melewati perbatasan Jakarta Selatan dengan Depok, lewat di hadapan gerbang putih kampus UI. Turun dan naik tanjakan pendek jalan satu arah. Setelah melewati kampus Pancasila, Timur Mangkuto melambatkan laju mobilnya. Ia mulai heran melihat lalu lintas yang agak padat mendekati pertigaan Pasar Lenteng Agung. Dengan jumlah kendaraan dari arah Depok menuju Jakarta yang tidak begitu banyak, seharusnya kepadatan ini tidak terjadi.
"Tampaknya di pertigaan Lenteng Agung kita akan dapat masalah," Timur Mangkuto bergumam.
Tetapi ia sudah terlanjur melewati perlintasan jalan yang memotong rel kereta listrik yang menuju jalan satu arah lainnya yang mengarah kembali ke Depok. Benar saja, seratus meter menjelang pertigaan pasar Lenteng Agung, terlihat lampu sirene polisi. Tiga unit mobil polisi tampak berjaga. Memeriksa setiap kendaraan jenis kijang yang lewat.
Timur Mangkuto menghentikan laju mobilnya. Tiba-tiba ia memundurkan mobil dengan kencang. Terdengar bunyi klakson dari mobil-mobil di belakangnya. Tetapi Timur Mangkuto terus saja memundurkan mobil. Bunyi klakson bersahutan dari beberapa bus dan mikrolet T-19 menarik perhatian polisi. Dari jarak lebih dari seratus meter mereka melihat sebuah kijang berwarna hitam berusaha untuk mundur.
Sirene polisi mengaung. Mereka mengejar mobil yang tengah mundur itu. Tentu saja lalu lintas menjadi kacau balau sebab seharusnya jalan itu hanya boleh dilewati satu arah menuju Jakarta.
Satu gang kecil akhirnya didapatkan oleh Timur Mangkuto. Ekor mobil ia sorongkan ke sana, memutar arah mobil, mengarah kembali ke arah Depok. Ber-lawanan dengan arah jalan satu arah.
"Tiiit...tiiiittt...tiiiiitttt..."
Bunyi klakson panjang bersahutan. Beberapa kali kijang itu hampir bertabrakan dengan bis-bis ukuran
tiga perempat Miniarta jurusan Pasar Minggu dan Kopaja 63 jurusan Blok M.
Raungan sirene polisi semakin mendekat. Timur Mangkuto terus berusaha menghindari kendaraan-kendaraan berlawanan arah yang hampir bertabrakan dengan mobilnya. Mobil polisi yang mengikutinya tinggal beberapa meter di belakang. Ia melihat jalan yang melintasi rel kereta api di daerah Gardu, persis di depan Markas Perbekalan dan Angkutan Angkatan Darat.
"Tengg...tengg...tengggg..."
Terdengar jeritan alarm di perlintasan kereta. Portal kayu berwarna merah putih mulai diturunkan untuk menghalangi kendaraan yang akan melintas. Dari arah Depok
tampak lampu sorot kereta listrik mulai men-dekat.
Timur Mangkuto dilanda bimbang. Berhenti dan menunggu kereta itu lewat sama saja dengan me-nyerahkan dirinya pada polisi yang mengejarnya. Ia tidak punya banyak pilihan.
"Eva kencangkan sabuknya!"
"Praaaaakkkkkkk..."
Kijang hitam itu menembus portal. Moncong ke-reta listrik itu hanya berjarak beberapa meter dari bemper belakang mobil. Kalau Timur Mangkuto ter-lambat satu detik saja melajukan mobil, mereka sudah habis.
Polisi yang mengejar di belakang mengutuk. Kereta listrik itu telah menghalangi pengejaran mereka. Setelah hampir satu menit kereta melintas, portal tidak juga dinaikkan. Malah terdengar alarm baru pertanda akan ada kereta melintas dari arah Jakarta. Mereka tidak tahu ke mana buruan itu sekarang tengah mengarah.
"Kita kembali ke arah Depok," ujar Timur Mangkuto.
"Polisi pasti sudah terlanjur mengira kita akan mengambil arah kiri, menuju Kelapa Dua."
Eva Duani tidak membantah tetapi juga tidak me-ngiyakan kata-kata Timur Mangkuto. Hampir tiga hari bersama perwira muda polisi itu, baru hari ini ia merasakan kegilaannya. Dengan kecepatan cukup tinggi mereka kembali menyisiri Jalan Margonda Raya. Se-belum terminal Depok, kendaraan itu mengambil belok-an ke kanan. Kemudian masuk ke jalan-jalan kecil. Timur Mangkuto yakin, mereka sudah lepas dari ke-jaran polisi. Laju kendaraaan ia kurangi.
"Tampaknya strategi yang kita ambil dalam memecahkan teka-teki lima negara itu salah"" Timur Mangkuto membuka pembicaraan.
"Maksud kamu""
"Kenapa kita tidak mulai memecahkan teka-teki dari Negara Kelima bukan dari Negara Per-tama""
"Bukankah lebih bagus mendapatkan suatu cerita dari sebuah proses naratif yang berurutan," Eva Duani tampak bingung. "Memangnya kenapa""
"Pada saat tadi kamu memecahkan teka-teki tentang Negara Kedua, aku sempat memikirkan teka-teki Negara Kelima."
"Jadi kamu tadi tidak memerhatikan pen-jelasan-ku"" Eva Duani merenggut terkesan agak manja.
"Aku perhatikan," Timur Mangkuto menatap Eva Duani. "Tetapi ketika aku sudah yakin bahwa jawab-annya sudah kamu dapatkan. Aku baru memikirkan teka-teki Negara Kelima."
"Kamu dapatkan jawabannya""
"Tidak semua, tetapi justru aku memecahkan ba-gian pentingnya. Dan aku takut bagian penting itu akan membuat kita kehilangan akal dan menghentikan usaha kita ini!"
Eva Duani kaget mendengar jawaban itu. Dalam benaknya berkembang puluhan kemungkinan dalam menafsirkan kata-kata Timur Mangkuto.
"Jadi apa yang kamu temukan""
Timur Mangkuto memberi isyarat pada Eva Duani untuk mengeluarkan lembaran teka-teki lima negara. Mobil mereka terus melaju tetapi masuk lagi ke dalam jalan-jalan yang lebih sempit bahkan terkadang mereka melalui parit dan lubang. Jalanan kecil yang menghubungkan Depok dengan Cinere. Tanpa diduga, mereka muncul begitu saja di tengah keramaian pasar malam pinggiran Jakarta. Timur Mangkuto meng-hentikan mobil,
menepi. Ia mengambil buku atlas lengkap dari jok tengah mobil.
Negara Kelima adalah kebangkitan masa silam. Ketika matahari hadir tanpa ba-yangan, keputusan diambil pada puncak yang terlupakan. Para Penjemput menuai janji kejayaan masa silam. Itu adalah saat penentuan, ketika Para Penjemput tidak lagi ingat akan masa lalu berbilang tahun tetapi mendamba masa lalu berbilang ribuan tahun.
"Bagian mana yang telah kamu pecahkan"" Eva Duani memperlihatkan lembaran kertas itu.
Timur Mangkuto menunjukkan bagian awal teka-teki
itu. Negara Kelima adalah kebangkitan masa silam. Ketika matahari hadir tanp
a bayangan, keputusan diambil pada puncak yang terlupakan.
"Lalu kesimpulan apa yang kamu dapatkan dari teka-teki itu"" Eva Duani mendesak.
"Besok adalah hari yang dimaksud oleh KePaRad untuk deklarasi Negara Kelima mereka. Kita bahkan tidak tahu di mana mereka akan lakukan itu esok tengah hari."
Eva Duani sangat kaget mendengar jawaban Timur Mangkuto itu. Tetapi ia masih bingung dari mana jawaban tersebut didapatkan Timur Mangkuto.
"Mereka kembali menggunakan simbolisme geografi seperti teka-teki Negara Kedua. Aku membandingkannya dengan bagian pengetahuan tambahan yang terdapat pada buku atlas," jelas Timur Mangkuto. Eva Duani masih bingung, "Dan""
"Mereka kembali berbicara tentang daerah yang dilalui garis ekuator. Tetapi untuk Negara Kelima mereka berbicara tentang waktu bukan tempat."
"Kapan"" Eva Duani ingin lebih meyakinkan dirinya.
"Besok! Tepat tengah hari tanggal 23 September."
Jawaban itu terdengar aneh. Tetapi Timur Mangkuto buru-buru memberikan penjelasan dari mana ia men-dapatkan kesimpulan itu. Teka-teki itu sebagaimana teka-teki Negara Kedua memang mengandung teka-teki geografi yang nyaris sama jawabannya, yaitu ten-tang garis ekuator. Tetapi kata "ketika" yang sering berfungsi sebagai kata hubung waktu, membawa Timur Mangkuto pada kesimpulan bahwa hal ini berkaitan dengan waktu dan bukan tempat.
Ia tahu dua kali dalam setahun, daerah-daerah yang tepat dilalui oleh garis ekuator pada tengah harinya akan mengalami kondisi di mana matahari berada tegak lurus terhadap daerah itu. Sehingga tepat tengah hari, benda-benda yang ada di daerah itu akan kehilangan bayangannya.
Ia lalu mengadakan pengecekan pada atlas kapan persisnya kejadian itu. Jawaban pertama dari buku atlas melegakan, 21 Maret. Tetapi ketika ia mendapati jawaban kedua, 23 September, wajah Timur Mangkuto langsung tegang dan pucat. Matahari berada pada titik terdekat dengan bumi dan tepat memotong garis ekuator pada tanggal 21 Maret dan 23 September tiap tahunnya. Dan celakanya, malam ini adalah tanggal 22 September dan esok adalah tanggal yang dijanjikan itu.
"Apa itu cukup untuk menjelaskan bahwa kesimpulan tanggal itu tepat"" Eva Duani masih me-ragukan.
Timur Mangkuto mengeluarkan dompet dari balik saku
belakang celananya. Dari dalam dompet itu ia keluarkan satu sobekan kertas kecil berisi angka-angka.
"Aku memiliki kebiasaan mencatat tiap tanggal yang aku rasa penting," Timur Mangkuto memperlihatkan catatannya itu. "Konyolnya, aku juga suka mempermainkan angka di dalam tanggal itu. Hingga aku bisa mendapatkan kesimpulan yang terkadang aneh dan memberi tanda tertentu. Lebih konyol lagi aku sering percaya pada kesimpulan itu, termasuk sekarang ini."
"Dan apa maksud angka-angka ini""
"Itu adalah tanggal-tanggal yang terkait dengan aksi mengacaukan kepentingan publik yang dilakukan oleh KePaRad."
"18, 20, dan 23 Agustus kemudian 1 dan 6 September!" Eva Duani membaca catatannya tetapi ia masih belum mengerti apa yang hendak dijelaskan oleh Timur Mangkuto.
"Sebenarnya KePaRad melakukan dua jenis aksi yang berbeda pada tanggal 1 September, sehingga susunan tanggal seharusnya, 18, 20, 23, 1, 1, dan 6"
"Lalu"" "Cari selisih tiap bilangan mulai dari yang bawah."
Eva Duani tidak memerlukan waktu lama untuk menghitung selisih tiap bilangan itu. Dua puluh kurang delapan belas, 23 kurang dua puluh, satu dikurang 23, satu dikurang satu, dan terakhir enam dikurang satu.
"Dua, tiga, sembilan, nol, lima."
"Tuliskan dalam bentuk angka," Timur Mangkuto mem berikan instruksi.
Eva Duani mengikuti kemauan Timur Mangkuto, ia menuliskan angka itu pada kertas. Timur Mangkuto mengambil lagi kertas itu. Kemudian ia membatasi tiap
angka itu. 23/9/05 "Bagaimana, kamu membaca angka itu"" Timur Mangkuto seolah bangga dengan kemampuan analisanya.
"Brilian, 23 September 2005", Eva Duani berdecak kagum. "Jadi apa rencana selanjutnya, Inspektur""
Timur Mangkuto tidak langsung menjawab. Ia malah mematikan mesin mobil. Membenamkan diri pada jok mobil. Waktu kurang dari 24 jam, dengan tiga teka-teki yang baru mereka pecahkan, tampaknya telah mengalahkan mereka dalam pe-ngejaran in
i. Kau harus mendatangi sarang elang. Menunggunya lengah kemudian mematikannya.
Kata-kata yang pernah terucap dari mulut Makwo Katik itu tiba-tiba saja kembali terngiang-ngiang di telinga Timur Mangkuto. Ia merasa telah melupakan satu hal penting dalam penyelidikan ini. TKP, bukti primer yang seharusnya menjadi acuan polisi dalam penyidikan pembunuhan selama ini, tidak pernah hing-gap dalam pikirannya. Tampaknya itu pesan simbolis yang keluar dari mulut Makwo Katik.
"Nyonya Amanda, ibu Maureen," Timur Mangkuto bergumam sendiri.
Ia teringat pada cerita Rudi tentang penyidikan dan beberapa temuannya di rumah Nyonya itu. Timur Mangkuto menyumpahi dirinya sendiri, terlalu di-sibukkan oleh teka-teki kelompok itu. Tetapi ia sendiri bingung, bagaimana menemukan rumah ibu korban pembunuhan kedua itu.
"Nyonya Amanda"" Eva Duani tampaknya me-nyimak
gerak bibir Timur Mangkuto, "Siapa dia"" "Ibu dari korban pembunuhan kedua." "Maureen""
"Ya" jawab Timur Mangkuto pendek. Ia menarik nafas. "Ia mungkin bisa membantu kita dalam me-mecahkan kebuntuan waktu yang telah memasung kita."
"Maksud kamu""
"Aku berharap kita menemukan sesuatu dari Nyonya Amanda. Tetapi aku sama sekali tidak punya ide, bagaimana menemukan Nyonya Amanda itu."
Eva Duani terdiam. Ia menggigit-gigit bibirnya. Ia pandangi wajah Timur Mangkuto penuh kerisauan. Mungkin juga bercampur dengan kelelahan setelah semua hal mengejutkan yang mereka alami sepanjang hari ini.
"Kombes Atmakusumah," tiba-tiba Eva Duani berseru.
"Komandan Bagian Reserse dan Kriminal Polda Metro Jaya," lanjut Timur Mangkuto. "Kamu kenal dengannya""
"Iya, dulu aku pernah menghadiri pesta pernikahan anaknya dengan Rudi," Eva Duani tersenyum meng-ingat-ingat masa indah itu. "Kamu juga kenal bukan""
Timur Mangkuto menggelengkan kepala. Sekadar kenal mungkin, tetapi tidak lebih dari itu. Kombes Atmakusumah masuk menjabat sebagai Komandan Reskrim setelah dimutasi dari Mabes Polri, satu bulan setelah Timur Mangkuto dipindahkan ke Detsus Antiteror.
"Lalu"" "Mungkin ia bisa bantu mempertemukan kita dengan perempuan itu."
"Bagaimana kamu yakin ia masih mengenalmu"" Timur Mangkuto memandang ragu.
"Ia adalah orang yang memberitahukan kematian Rudi
kepadaku!" "Apa ia bisa dipercaya""
"Mungkin. Semoga ia juga memiliki masalah de-ngan Riantono!"
Eva Duani mengeluarkan ponselnya. Memencet-mencet nomor kemudian menunggu hingga telepon itu tersambung. Timur Mangkuto menunggu dengan penuh keraguan.*
56 Garis-garis kasar di permukaan pasir yang tandus.
Tergambar melingkar membentuk lima ruang tanpa sudut. Empat titik pada tiap lingkaran terpancang tiang-tiang kecil setinggi setengah meter dengan dominasi warna merah dan putih. Pada lingkaran terdalam dari lima lingkaran yang terbentuk dari garis-garis kasar terdapat lima tiang pancang setinggi satu meter hampir menutupi bagian tengah dengan ketinggian tiga perempat meter. Tiang pada bagian tengah lebih luas dan lebar, bagian puncaknya seperti alas permanen tempat meletakkan sesuatu.
Pola lingkaran itu dibuat pada sisi selatan pulau. Tepat di lereng dataran yang meninggi, mengerucut setinggi lebih dari dua ratus meter. Di mana-mana terdapat bongkahan batu besar berwarna hitam ke-coklatan seperti bekas muntahan dasar bumi. Dari arah utara, pola lingkaran dengan tiang-tiang pancangnya sama sekali tidak akan terlihat. Dua garis seperti mata panah terbalik membelah lima lingkaran yang menuju titik pusat tempat lima pancang dipatrikan mengelilingi satu tiang utama.
Negeri-negeri yang melingkupi kota adalah dataran
yang dikelilingi oleh gunung-gunung yang membujur ke arah laut. Deretan gunung itu terlihat seperti bujur tajam yang halus menuju satu arah sejauh 3000 stadia. Tetapi bujur yang melintasi bagian tengah negeri hanya berjarak 2000 stadia. Deretan gunung dan dataran ini mengarah ke arah selatan dan tidak bisa dilihat dari utara. Gunung-gunung yang mengitari pulau dipuja karena jumlahnya yang banyak, ukurannya yang besar, dan juga karena keindahannya.
"Nyaris mirip dengan cerita sebelas ribu tahun silam!" terdengar satu suara berat bergumam.
Pada gelap malam, Prof esor Duani Abdullah bersama lima orang anak muda yang bersamanya tiba di pulau. Teka-teki mengenai di mana pusat imperium Atlantis memang sudah berhasil dijawab oleh Profesor Sunanto Arifin. Pulau tersebut adalah kesimpulan dari pencarian mereka bertahun-tahun. Belum tenggelam seluruhnya tetapi yang tinggal tidak lebih dari seperseratus dari besar pulau yang sesungguhnya pada masa purba dulunya. Puncak yang telah terkikis menjadi tiga pulau-pulau kecil dengan puncak tidak berdaya.
Sekarang yang ia dapati di pulau tandus tanpa vegetasi dengan kabut menyesakkan paru-paru ini adalah anak-anak muda yang ingin kembali membangkitkan kejayaan Atlantis. Merancang sedemikian rupa sehingga aroma kejayaannya bisa kembali tercium dalam mata rantai sejarah yang hilang.
Lumban membawanya pada satu tebing dengan lereng yang terjal. Anak-anak muda menggotongnya hingga bisa masuk ke dalam cerukan gua yang terletak seperti menggantung di tengah-tengah dinding. Mereka memperlakukannya dengan baik. Mereka selalu mengatakan bahwa Para Pembuka memberi pesan untuk memperlakukan Profesor Duani Abdullah seperti seorang tamu terhormat.
Menjelang tengah malam, Ilham Tjakra meng-ajaknya naik ke atas pulau. Mendaki lereng yang cukup tinggi hingga sampai pada tempat yang tengah disiapkan oleh Para Pemula untuk prosesi yang dijanjikan. Tentu dua orang anak muda lainnya diperlukan untuk menggotong tubuhnya yang lemah.
"Bagaimana kesimpulan ini bisa didapatkan Nanto"" ia menatap Ilham Tegas yang terlihat puas melihat kerja Para Pemula di pulau itu.
"Kuncinya ada pada garis lurus ke utara mem-bentuk arah panah terbalik. Satu garis akan membujur sepanjang pantai barat Sumatera. Itulah Bukit Barisan yang membujur dari utara ke selatan hingga pulau ini. Pegunungan tersebut menutupi dari utara hingga bagian selatan. Satu garis lagi akan membujur menuju pantai timur Sumatera, mengarah ke laut Cina Selatan. Disitulah posisi daratan terluas yang pernah tenggelam. Bagian terbesar Benua Lemuria yang sekarang menjadi Laut Cina Selatan. Bukan begitu, Prof""
"Busur Taprophane, demikian orang-orang Dravida kuno menyebutnya. Dan lingkaran-lingkaran itu""
"Profesor tentu sudah bisa menebak sendiri."
Profesor Duani Abdullah memperbaiki posisi duduknya. Kakinya yang sudah lumpuh dan mati rasa, sulit untuk digeser dan digerakkan.
"Aku tahu lingkaran itu semakin mengarah ke dalam tempat kalian akan meletakkan Pillar Orichalcum atau Serat Ilmu. Bukankah apa yang kalian buat ini tidak lebih
dari replika Kuil Poseidon pada masa Atlantis silam""
"Aku tahu pengetahuan Anda tidak jauh berbeda dengan Profesor Sunanto Arifin, sebagaimana diceritakan oleh Para Pembuka."
"Ha...ha...ha..." Profesor Duani Abdullah yang tiba-tiba tertawa membuat Ilham Tegas memandanginya dengan heran. "Tetapi Kuil Poseidon kalian ini tanpa perak pada bagian luarnya. Tidak ada emas karena tidak ada puncaknya. Tidak ada gading gajah karena tidak ada lotengnya dan tidak ada Orichalcum karena tidak ada dindingnya sebagaimana gambaran kuil Poseidon pada masa Atlantis."
"Para Pembuka meminta kami menyesuaikan se-gala sesuatunya dengan kondisi, Prof."
Ilham Tegas menatap jauh ke depan. Me-mer-hatikan kawan-kawannya yang terlihat masih sibuk dan bersemangat mempersiapkan lima lingkaran upacara.
"Anda tetap tidak percaya kami bisa ubah peradaban ini, Prof""
"Sulit." "Sulit bagi generasi tua, tetapi selalu mungkin untuk kami yang muda."
Profesor Duani Abdullah menatap anak muda yang angkuh itu. Lalu tertawa geli melihat tiang-tiang pancang yang membatasi tiap lingkaran.
"Kalian masih menggunakan merah-putih sebagai bagi an dari ornamen""
"Merah-putih bukan milik Indonesia tetapi milik Nusantara. Warna itu sudah ada sejak ribuan tahun silam."
"Dari dongeng Muhammad Yamin bukan" Merah-putih sudah berkibar sejak 6000 tahun silam. He...he...he..."
"Mungkin," Ilham Tegas menyembunyikan wajah.
"Kediri pun menggunakan simbol merah-putih ketika menyerang Singasari yang sekarat."
"Kau percaya pada keterangan tidak lengkap Prasasti Kudadu tentang merah putih itu""
Laki-laki tua itu hanya tersenyum melihat kebingungan Ilha
m Tegas. Ilham Tegas mati langkah. Ia nyaris kehilangan argumen. Untung saja Profesor Duani Abdullah tidak terus mendesak dan mencecar dirinya.
"Sudah kalian pikirkan lagi revolusi itu""
"Tekad kami sudah bulat."
"Aku takut ada yang memanfaatkan semangat muda kalian""
"Apa maksud Anda"" Ilham Tegas menantang Profesor Duani Abdullah.
"Dugaanku mungkin tidak salah. Sunanto Arifin tidak sendirian memecahkan teka-teki ini. Ada satu orang lagi. Dan aku takut, ia..."
Negara Kelima Karya Es Ito di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ia, siapa"" Ilham Tegas mendesak.
"Dia telah kembali. Dia itu...ups!" tenggorokan Profesor Duani Abdullah tiba-tiba tercekik. Batuknya menjadi-jadi. Udara laut memancing penyakit lamanya. Ia mulai muntah-muntah lagi. Setelah isi perut habis, sekarang darah yang ia keluarkan. Beberapa orang anak muda berlari mendekati Ilham Tegas dan Profesor Duani Abdullah. Lalu membopong laki-laki tua itu menuju tenda kecil yang terletak tidak jauh dari lingkaran ke lima mereka. Profesor Duani Abdullah tidak sadarkan diri. Ilham Tegas terpaku pada tempat mereka tadi berdiri.#
57 Setelah mengalami kesialan beruntun, menghadapi wak
tu demi waktu dengan penuh kesulitan, pada akhirnya nasib baik mulai mendekati Timur Mangkuto dan Eva Duani.
Kombes Atmakusumah sangat kaget mendapat telepon dari Eva Duani. Lebih kaget lagi ketika ia mendengar cerita Eva Duani tentang bagaimana Riantono dan pasukannya mengejar mereka. Ia tidak menyangka kekuatan sedemikian besarnya dikerahkan untuk menangkap Timur Mangkuto.
Eva Duani berusaha meyakinkan Kombes Atmakusumah bahwa Timur Mangkuto sama sekali tidak bersalah. Ia menceritakan semua hal yang mereka alami. Termasuk bagaimana mereka memecahkan teka-teki lima negara itu satu persatu.
"Kalau begitu apa yang bisa saya bantu"" kata-kata dari seberang telepon itu membuat Eva Duani terlonjak. Ia menjelaskan apa yang mereka butuhkan. Kombes Atmakusumah minta waktu satu setengah jam untuk bisa membawa Nyonya Amanda itu pada mereka. Tempat pertemuan ditetapkan di keramaian pasar malam ini.
"Bagaimana saya percaya kalau ini bukan sekadar trik murahan untuk menangkap kami"" Eva Duani mengungkapkan kecurigaannya pada Kombes Atmakusumah.
Laki-laki di seberang telepon tertawa. Ia menjelas kan alasannya blak-blakan pada Eva Duani.
"Aku masih sakit hati pada Riantono. Harusnya kasus pembunuhan itu milik bagian Reskrim. Riantono telah merebut kasus ini dariku, tepatnya dari Rudi yang telah aku tunjuk menangani kasus ini," suaranya terdengar menjadi serak. "Sekarang kamu mengerti kan, aku menolong kalian bukan sekadar karena kebaikan hati" Ini tidak lebih dari balas dendamku pada apa yang telah dilakukan Riantono!"
Satu setengah jam menunggu kedatangan Kombes Atmakusumah digunakan Eva Duani dan Timur Mangkuto menghabiskan waktu mengitari pasar malam itu. Timur Mangkuto yakin dalam keremangan malam ini sulit bagi orang-orang untuk mengenali wajahnya. Lagi pula, tidak ada yang akan menduga kalau ia justru berkeliaran di keramaian orang di pinggiran Jakarta.
Mereka mencari tempat duduk. Lapangan rumput cukup luas yang terhampar pada sisi selatan arena pasar malam itu dipenuhi oleh orang-orang yang ingin menikmati malam dengan pasangannya masing-masing.
Timur Mangkuto memesan dua cangkir sekoteng. Mereka duduk di lapangan rumput itu. Beberapa meter di depannya tampak keramaian anak-anak bermain komedi putar. Timur Mangkuto mengeluarkan kertas berisi catatan angka yang tadi sore sempat ia catat. Lama ia memandangi catatan tersebut.
"Bilangan hakikat seperti ragam cahaya matahari yang berubah menjadi satu warna putih," Timur Mangkuto memecah kesunyian dengan mengucapkan apa yang pernah dikatakan oleh Profesor Duani Abdullah pada Eva Duani. "Apa yang sebenarnya ingin dijelaskan dengan
perumpamaan itu""
"Mungkin keragaman yang dianggap satu"" Eva Duani bingung.
"Bhinneka Tunggal Ika," Timur Mangkuto ter-kekeh. "Apa ada penjelasan yang lebih meyakinkan dari itu"" "Aku sama sekali belum punya ide..." "Apa itu hakikat""
"Esensi, intisari, pokok, mungkin semacam itu."
"Setiap bentuk jamak atau banyak pada intinya hanyalah satu hal. Setuju""
"Entahlah..." Eva Duani tampakny
a benar-benar menyerah. Keduanya kembali saling terdiam. Telunjuk Timur Mangkuto bermain-main pada tiap kelompok angka itu.
"Apa kamu pernah mendengar sebuah cerita mengenai cahaya putih yang dilewatkan pada satu prisma kaca""
"Teori fisika"" Eva Duani coba mengoreksi kata-kata Timur Mangkuto.
"Ya, mungkin semacam itu."
"Kesimpulan apa yang kamu dapat dari cerita demikian""
"Ketika dilewatkan pada sebuah prisma kaca maka cahaya putih akan terurai dalam beragam bentuk ca-haya. Merah, hijau, Jingga, kuning, ungu..."
"Lantas apa hubungannya dengan teka-teki angka""
"Bagaimana sebuah cahaya putih bisa terbentuk"" Timur Mangkuto balik bertanya.
"Dari gabungan cahaya beragam warna."
"Mungkin itu yang disebut spektrum cahaya," Timur Mangkuto mengulum senyum. "Aku pikir celah teka-teki sudah aku dapatkan. Berikan aku waktu beberapa saat untuk menjawab teka-teki."
Telunjuk Timur Mangkuto lincah menari pada kertas berisi catatan teka-teki angka tersebut. Ia me-musatkan perhatian pada baris kedua dari lima baris teka-teki tanda dan angka itu. Tidak lama telunjuknya berhenti menari. Ia menatap Eva Duani penuh rasa puas.
"Apa angka 682 memiliki arti tertentu untukmu""
"Mungkin," kata Eva Duani tak tentu. "Apa artinya""
"Itu tahun didirikannya Sriwijaya oleh Dapunta Hyang!" jawabnya dengan penuh rasa penasaran.
"Nah, apa aku bilang!" Timur Mangkuto berseru gembira. "Hanya dibutuhkan logika dari perumpamaan ini. Teka-teki angka sudah pecah!"
"Dari angka-angka itu"" Eva Duani tidak percaya. "Bagaimana bisa""
"Itulah bilangan hakikat dari baris kedua," Timur Mangkuto merapatkan duduknya.
"Bilangan hakikat seperti ragam cahaya matahari yang berubah menjadi satu warna putih!"
Timur Mangkuto tidak ingin membuat Eva Duani terjebak lama dalam kebingungan. Ia menjelaskan bagaimana angka 682 pada baris kedua ia dapatkan.
Ia berpegang pada satu hal, hakikat dari semua hal adalah satu. Organ-organ tubuh manusia begitu banyak tetapi pada akhirnya bekerja untuk satu tubuh seperti ragam aliran sungai yang bermuara pada satu lautan dunia yang bertaut tidak terpisahkan. Teka-teki ayahmu sebenarnya cukup mudah jika berpegangan pada kesimpulan itu.
"Pada hakikatnya berapa pun besarnya bilangan hanya akan memiliki bilangan inti satu sampai sem-bilan. Itulah inti bilangan. Berapa pun besar dan banyaknya digit
bilangan tetapi jika ditambahkan de-ngan bagian-bagian yang terdapat dalam bilangan itu sendiri, maka jumlahnya tidak akan lebih dari satu sampai dengan sembilan. Dengan syarat, penjumlahan dilakukan hingga mendapatkan sifat tunggal dari bilangan itu!
Tiap kelompok bilangan pada tiap barisnya terdiri dari empat angka. Untuk mendapatkan bilangan hakitat maka empat angka harus dijumlahkan satu sama lain. Seandainya hasil penjumlahan itu belum dalam bentuk bilangan tunggal atau lebih dari satu digit. Maka, bilangan-bilangan harus dijumlahkan lagi sehingga mendapatkan sifat tunggal dari bilangan. Tiap satu bilangan yang terbentuk pada kelompok empat angka akan menunjukkan tahun tertentu.
Timur Mangkuto berseri-beri. Teka-teki berhasil ia pecahkan. Tiap penjumlahan ia perlihatkan pada Eva Duani.
1221 1061 7256 682 Tahun berdirinya Sriwijaya. Angka berikutnya mengikuti pola yang sama.
5500 3863 4527 6636 1293 Tahun berdirinya Majapahit.
9451 2187 1732 8108 1948 "Tanda seru pada baris paling atas menggambarkan teka-teki itu sudah terjawab dan itu artinya Negara Pertama. Sedangkan tanda tanya pada baris paling bawah artinya ayah juga belum bisa memecahkan teka-teki Negara Kelima," Eva Duani menyimpulkan.
Ia tidak menyangka jawaban dari teka-teki bilangan hakikat begitu mudah dipecahkan oleh Timur Mangkuto.
"Artinya, semua hasil yang kita temukan terkait teka-teki Negara Kedua dan Ketiga cocok dengan apa yang sudah berhasil dipecahkan ayah," lanjut Eva Duani.#
58 "Tetapi apa arti 1948""
Pertanyaan itu seperti menghempaskan kembali mereka pada titik nol. Timur Mangkuto sebenarnya berharap kemerdekaan. Lalu apa arti 1948" Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas kurang seperempat dan mereka masih terjebak dalam pemecahan teka-teki. Beberapa penduduk mulai
beringsut dari pasar malam.
"Apa ada bagian lain dari teka-teki yang bisa dipecahkan untuk membantu interpretasi 1948 ini"" masalah tanda dan waktu dalam teka-teki Eva Duani tampaknya sangat mengandalkan Timur Mangkuto.
Ketika matahari memberi siang kepada selatan, utara ditimpa malam yang panjang, para penjemput menyambung nyawa dari negara yang sekarat. Tempo ketika waktu lama mencari asal kedatangan Para Pen-jemput pertama. Tempat yang dijanjikan tetapi terlupa. Perjalanan panjang menyusuri masa silam dari Para Penjemput pertama. Puncak-puncak kedua menjadi pelindung hingga orang-orang menyeberangi berhala menghantam impian menyebar kerusakan dalam janji dan runding. negara Keempat hilang terpendam orang-orang yang tidak ingin kehilangan muka. Mereka terlupa tetapi sejarah akan mencari
asalnya...sejarah akan mencari asalnya.
"Apa ada bagian dari kata-kata itu yang memberi makna kepada kita"" ia memandang Timur Mangkuto dengan dagu bertumpu pada tangan kiri.
"Bagaimana kalau kata-kata hanya makna simbolik"" Timur Mangkuto balik bertanya.
"Bagian mana""
Ketika matahari memberi siang kepada selatan, utara ditimpa malam yang panjang. Para Penjemput menyambung nyawa dari negara yang sekarat
"Maksudmu, itu semua makna simbolik dari Eropa yang hancur akibat Perang Dunia Kedua dan negara-negara selatan yang bisa mendapatkan kemerdekaan karena kehancuran bangsa-bangsa penjajah itu," Eva Duani tampak ragu dengan kesimpulan itu. "Tetapi kenapa tidak ditulis 1945" Sebab lebih berhubungan dengan sejarah Nusantara."
"Oh..." Timur Mangkuto seperti baru menyadari sesuatu yang hilang.
"Tetapi 1948 adalah bagian penting dari sejarah Nusantara..." ujar Eva Duani.
"Apa itu mungkin pemerintahan Yogja" Tetapi apa maksudnya dengan kata-kata Para Penjemput menyambung nyawa dari negara yang sekarat""
"Pemberontakan PKI Madiun"" Timur Mangkuto menjawab tanpa dasar yang jelas.
Mereka berdua seperti meraba-raba dalam gelap dengan ujung kekonyolan. Tiap kesimpulan meng-hempaskan mereka pada ketidakmungkinan. 1948 di Indonesia adalah pergantian kabinet, beragam per-janjian, posisi gerilya
yang terdesak, tetapi tidak ada hal yang memberi mereka keyakinan dan kepastian.
"Atau, jangan-jangan kalimat awal teka-teki ini juga tidak bisa diterjemahkan dengan sebuah ketidakpastian metafora"" Eva Duani menduga-duga
"Maksudmu""
"Bagaimana kalau teka-teki ini terkait dengan simbol-simbol geografis lagi"" "Ah..."
Eva Duani memandang Timur Mangkuto penuh harap. "Kenapa kita tidak coba""
Ketika matahari memberi siang kepada selatan, utara ditimpa malam yang panjang.
Eva Duani sama sekali tidak memiliki gagasan tentang teka-teki ini. Ia heran kenapa ayahnya tidak menulis saja langsung tiap kejadian tetapi me-ninggal-kannya dalam bentuk pesan. Timur Mangkuto teng-gelam dalam buku atlas lengkap yang ia bawa dari mobil. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa ujung pencariannya akan tetap berakhir dalam buku besar dan tebal ini.
Eva Duani akhirnya tidak salah dan Timur Mangkuto juga melakukan hal yang tepat.
"Titik balik matahari..." Timur Mangkuto berseru tertahan. "Konstelasi Capricornus..."
"Bagaimana penjelasannya"" tanya Eva Duani tidak sabar.
"Ini pasti berhubungan dengan tanggal tertentu." "Lalu""
"Konstelasi Capricornus terbentuk ketika matahari ber ada pada posisi paling jauh dari bumi dan terlihat berada pada titik paling selatan dari bumi. Sehingga belahan bumi selatan mengalami siang yang sangat panjang sementara
belahan bumi utara mengalami malam yang sangat panjang," Timur Mangkuto kembali bersemangat.
"Sudah aku duga ini tidak akan jauh berbeda. Apa kejadian itu menunjukkan tanggal tertentu""
"22 Desember tiap tahunnya, belahan bumi se-latan diberi cahaya matahari yang panjang, sedangkan belahan bumi utara akan mengalami malam yang pan-jang."
"Apa ada makna tertentu bagi Nusantara ini de-ngan tanggal 22 Desember""
"Hari Ibu," Timur Mangkuto menjawab se-kenanya.
"22 Desember 1948..." Eva Duani berusaha meng-ingat-ngingat. "19 Desember 1948 Agresi Militer Belanda Kedua ke jantung republik muda di Yogja. Tetapi apa ada hubungannya""
Para Penjemput menyambu ng nyawa dari negara yang sekarat.
Agresi Militer Belanda yang diawali dengan serangan mendadak pada Yogyakarta dengan penerjunan pasukan terjun payung di atas udara Maguwo memang menjadi titik terpenting dalam revolusi fisik. Masa ketika keyakinan diuji dengan kekalahan, keimanan dicoba dengan penderitaan, dan perjuangan dihantam dengan kekurangan. Tetapi sulit bagi Eva Duani me-ngaitkan peristiwa itu dengan apa yang telah ia pecah-kan dan dapatkan selama 24 jam ter-akhir. Yogyakarta jelas tidak memiliki arti apa-apa dalam rentetan per-jalanan panjang Serat Ilmu.
"Apa semua ini terkait dengan migrasi besar-besar-an intelektual Minang pada awal hingga pertengahan abad dua puluh ke Jawa. Hingga kelak pemerintahan Jogja
identik dengan pemerintahan Minang"" Eva Duani menggigit-gigit jari manisnya. "Apa mungkin para intelektual itu membawa Serat Ilmu yang mereka anggap telah membantu pembebasan Nusantara""
"Tidak, teka-teki in i tidak menjelaskan pergulatan yang terjadi di Jawa. Tetapi yang terjadi di Minangkabau..." jawab Timur Mangkuto.
Tempo ketika lama mencari asal ke-datangan Para Penjemput pertama. Tempat yang dijan-jikan tetapi terlupa. Perjalanan panjang menyusuri masa silam dari para penjemput pertama. Puncak-puncak kedua menjadi pelin-dung.
"Kedatangan Para Penjemput pertama jelas menunjukkan bahwa mereka berbicara tentang apa yang terjadi di Minangkabau!" lanjut Timur Mangkuto.
"Apa yang terjadi di Minangkabau pada akhir 1948 tetapi berhubungan dengan pemerintahan Jogja yang sekarat"" Eva Duani coba menghubungkan premis-premis itu menjadi sebuah pertanyaan yang bisa meng-giring pada satu kemungkinan jawaban.
"PDRI!" Timur Mangkuto menjawab yakin.
"Pemerintahan Darurat Republik Indonesia." Satu lagi dosa penutur sejarah yang muncul dalam benak Eva Duani. Jika jawaban dari teka-teki ini memang PDRI, maka ia akan angkat tangan mengaku kalah dan salah. Sebagai seorang sejarawan, sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk mendalami sejarah dari pemerintahan darurat penyambung nyawa republik itu. Ia memiliki segudang buku tentang kejadian penting di Jawa selama revolusi fisik, tetapi tidak satu pun ia punya buku mengenai PDRI. Yang ia tahu dan juga sebagian
besar orang Indonesia tahu, PDRI berdiri karena "kebetulan", menteri ke-mak-muran, Mr Sjafrudin Prawira-negara tengah berada di Bukittinggi ketika Sukarno-Hatta dan beberapa anggota kabinet ditangkap oleh Belanda.
"PDRI memang lahir karena serangan 19 Desember 1948, tetapi apa mungkin yang mereka maksud itu"" Eva Duani berharap kesimpulan Timur Mangkuto salah. Ia malu tidak mengerti apa-apa tentang PDRI. Sesuatu hal yang selama ini dianggap tidak memiliki arti apa-apa dibanding perang gerilya.
"Tetapi teka-teki itu tampaknya tidak memberi kita banyak pilihan selain kemungkinan jawaban PDRI. Aku tidak tahu banyak tentang PDRI, bagaimana kamu menjelaskannya""
Wajah Eva Duani tegang, perasaan cemas bercampur malu tergambar dari roman wajahnya.
"Yang aku tahu tidak lebih banyak dari yang kamu tahu."
Timur Mangkuto meraih ponsel Eva Duani yang tergeletak di dashboard mobil. Ia menekan nomor ter-tentu, kemudian berbicara dalam bahasa Minang totok yang sulit untuk dimengerti. Wajahnya tegang ketika menutup telepon.
"Makwo Katik. Ia adalah pelaku sejarah PDRI, kurir bagi tentara Dahlan Djambek yang berbasis di Kamang waktu itu. Aku ingat, orang tua itu hapal tiap tanggal bahkan detik dari tiap ketegangan itu. Tetapi..."
"Kenapa"" "Ia baru saja berangkat pulang menuju Bukittinggi, naik bis."
Eva Duani lemas mendengar kata-kata itu. Negara Keempat adalah simpul utama dari teka-teki itu. Serat
Ilmu bisa jadi berada di tempat negara itu pernah didirikan. Negara Keempat bisa jadi bukan RI tetapi PDRI. Ia mengeluh tertahan, menyesali kenapa waktu jarang berpihak pada mereka yang membutuhkan.
"Kita akan mengejar Makwo Katik malam ini juga. Semoga kita bisa mendapatkan beliau sebelum penyeberangan Merak."
"Bagaimana dengan Nyonya Amanda""
"Kamu hubungi lagi Kombes Atmakusumah, minta tung gu kita di pintu tol Kebun Jeruk. Batalkan pertemuan di sini. Kita harus mengejar
Makwo Katik."# 59 Kamar yang ditempati Profesor Budi Sasmito di Apartemen Carpe Diem daerah Semanggi tampak berantakan. kertas-kertas, cangkir berisi kopi, snack, bekas bungkusan nasi. Profesor Budi Sasmito tam-paknya sudah berhasil memecahkan teka-teki tanda dan angka yang mereka temukan dalam penggerebekan rumah Profesor Duani Abdullah.
"Duani menyelamatkanku," ia bergumam sendiri dalam
sepi. Ia melonggarkan dasi kemudian melepaskan beberapa kancing atas bajunya. Waktu singkat selama tiga jam setelah penggerebekan bisa ia manfaatkan untuk memecahkan teka-teki itu sekaligus menguatkan keterangannya dengan data dan fakta masa lampau. Pesan dalam bentuk tanda dan angka itu memang sering ia lihat ketika masih bersama-sama dengan Profesor Sunanto Arifin dan Duani Abdullah. Hanya saja pada waktu itu, ia tidak memedulikan. Menganggap itu hanya permainan waktu senggang dua orang kawannya. Hingga suatu ketika, ia melihat tanda dan angka itu adalah pesan rahasia antara dua orang kawannya itu. Ia berhasil menerjemahkannya tetapi itu tidak ada gunanya. Sebab setelah itu, mereka tidak lagi bersama dalam penelitian.
Ketika ia mendapati pola pesan yang sama di kamar tidur Profesor Duani Abdullah, ia yakin teka-teki ini akan segera tuntas terjawab. Perkiraannya selama ini keliru. Serat Ilmu sama sekali tidak berkaitan dengan pembentukan kerajaan di tanah Jawa, kecuali Majapahit. Tetapi ia sudah cukup puas dengan barisan angka yang sudah terpecahkan itu. Walaupun tiap serpihan teka-teki belum mampu ia hubungkan menjadi satu simpul yang naratif dan kausatif.
"Benda itu masih berada di Bidar Alam!" ia melanjutkan gumamannya.
Ia kemudian bersiap-siap untuk kembali men-datangi Mapolda. Ingin secepatnya menunjukkan pada Riantono, bahwa kemampuannya tidak serendah dugaan Komandan Detsus Antiteror.
Tetapi bunyi langkah di depan kamar, kemudian disertai ketukan pintu dan sahutan dari arah luar menghentikannya.
"Profesor, Anda ada di dalam""
Profesor Budi Sasmito mengenali suara itu. Suara yang sepanjang waktu terdengar lewat telepon seluler-nya. Suara dari makelar yang selalu menekan dirinya untuk segera menemukan Serat Ilmu.
"Masuk Steve!" Dari arah pintu, lelaki berkulit putih bersih dengan raut Indo yang kentara, tubuhnya cukup tinggi untuk ukuran orang Indonesia, muncul. Ia tersenyum ramah ketika bersalaman dengan Profesor Budi Sasmito.
"Bagaimana dengan Hotel Xabhira-mu, Steve""
Profesor Budi Sasmito mencoba untuk berbasa-basi. Perkenalannya dengan Steve sudah cukup lama. Ketika masa tidak menentu menghinggapi hidupnya, Profesor
Budi Sasmito sering memanfaatkan layanan ekstra hotel mesum. Steve pulalah orang yang menghubungkannya dengan Mr Wolfgang, laki-laki kaya nyentrik dari pegunungan Phyrenia yang amat menginginkan Serat Ilmu atau Pillar Orichalcum. Satu-satunya benda peninggalan peradaban sebelas ribu tahun yang lalu yang masih tersisa.
Steve tertawa kecil mendengar pertanyaan Profesor Budi Sasmito. Ia menyalakan rokok putihnya.
"Anda sudah lama sekali tidak main ke tempat saya, Prof. Padahal stok perempuan cantik dan molek semakin meningkat untuk ditiduri," kata Steve sambil memainkan bola matanya. "Saya kewalahan Prof sebab semakin banyak perempuan di Indonesia yang me-nawarkan dirinya menjadi pecun di hotel saya!"
"Ha...ha...ha..." mereka tertawa hampir berbarengan.
"Nantilah kalau semua urusan ini sudah selesai, aku akan datang ke sana."
Steve mematikan rokoknya yang baru diisap setengah. Ia merubah posisi duduknya. Tampaknya ia ingin membicarakan satu hal penting dan serius dengan Profesor Budi Sasmito.
"Jadi, bagaimana dengan benda itu, Prof" Mr Wolfgang semakin tidak sabar."
Profesor Budi Sasmito bisa tersenyum lepas mendapat pertanyaan itu.
"Aku tinggal berhitung dengan waktu. Tidak lama lagi benda itu akan aku dapatkan, secepatnya!"
"Anda sudah memecahkan teka-teki itu""
Profesor Budi Sasmito tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke arah meja kerjanya, memungut satu lembar kertas. Lembaran kertas ia berikan pada Steve.
"Bidar Alam"" Steve kebingungan mendengar asing di telinganya.
"Sebuah tempat di pedalaman Minangkabau,
Sumate-ra Barat. Daerah yang dikalahkan oleh sejarah!" "Benda itu ada di sana""
"Kalau teka-teki angka ini benar, maka jawabannya sudah pasti di sana"
Steve menyunggingkan senyum. Lembaran kertas ia kibas-kibaskan.
"Aku dapat berapa persen, Prof""
"Sepuluh persen, seperti perjanjian awal kita. Lagi pula, kau juga sudah dapat komisi dari Mr Wolfgang."
"Bagaimana dengan perwira polisi yang membantu Anda itu, Prof. Ia dapat berapa""
"Sama denganmu."
"Kenapa sama, bukankah jasanya hanya memastikan Anda bisa masuk dalam tim yang dibentuk Detsus Antiteror untuk memburu KePaRad itu""
"Jangan salah. Ia juga membantuku sedikit banyak memperhitungkan anak-anak muda KePaRad itu. Dulu, sebelum mengenal kenikmatan yang bisa dihasilkan uang, ia pernah bergabung dengan kelompok itu. Tetapi tidak pernah masuk pada lingkaran inti ke-lompok. Ia tidak pernah bisa memecahkan teka-teki lima negara."
"Aku ingin bagianku dinaikkan, Prof," Steve menawar.
"Sial, sepuluh persen itu sudah banyak."
"Tidak cukup banyak untuk melayani keinginanku
Prof." Profesor Budi Sasmito tampak menahan kesal. Ia tidak pernah memperkirakan kalau tawar menawar ini akan kembali terjadi.
"Sulit, kita sudah terikat pada perjanjian."
"Apa perwira polisi itu tahu jumlah pasti yang Anda akan dapatkan dari Mr Wolfgang""
Steve coba mencari celah. Profesor Budi Sasmito menggelengkan kepalanya.
"Kenapa Anda tidak manipulasi saja bagian yang akan ia dapatkan. Sisanya berikan kepadaku. Kita ber-dua beruntung, tanpa harus mengurangi bagian Anda."
Profesor Budi Sasmito tersenyum mendengar usulan Steve itu. Ia tampaknya tidak ingin mem-perpanjang masalah.
"Usulan bagus. Lagi pula setelah aku pikir-pikir jatah sepuluh persen itu terlalu banyak untuk seorang polisi." "Ha...ha...ha..." mereka kembali tertawa berbarengan. "Suttttttttttt..."
Tiba-tiba tegangan listrik di kamar turun. Lampu padam semua. Suasana gelap. Yang terlihat hanya kilau-an cahaya jauh di gedung-gedung seberang apartemen.*
60 Pintu tol Kebon Jeruk tampak sepi pada titik pergantian hari. Dari empat portal masuk, hanya dua yang dibuka. Sekitar tiga puluh meter menjelang pintu masuk tol itu, sebuah Land Cruiser keluaran 2002 tampak berhenti di bahu jalan yang lebar. Mesinnya masih menyala, tidak tampak tanda-tanda mobil itu akan bergerak lagi. Di belakangnya, sebuah Taft berwarna gelap seperti menjaga.
Sorot cahaya tajam dari arah belakang membuat sopir Taft itu tersentak. Sebuah Kijang merapat di belakang mobilnya. Dua orang keluar dari mobil men-dekati Taft di belakang Land Cruiser. Sopir Taft itu membuka pintu mobil.
"Kombes Atmakusumah," Eva Duani berseru gem-bira. Laki-laki yang sudah agak berumur itu, menyambutnya dengan senyum. Pandangannya beralih pada Timur Mangkuto.
"Aku sudah yakinkan janda kaya itu bahwa kau sama sekali tidak bersalah. Aku juga yakinkan dia bahwa menjelang subuh nanti, kau akan temukan pembunuh puteri tunggalnya!"
"Makasih, Dan," Timur Mangkuto berujar.
"Sekarang, permainan ini milik kalian berdua. Aku tidak bisa temani lebih jauh," Ia menepuk pundak Timur
Mangkuto. "Buktikan, bahwa kau termasuk dari sedikit polisi baik yang masih tersisa. Jaga gadis ini!" "Siap Dan!"
Taft itu mundur terus ke belakang mencari celah untuk keluar dari pintu tol itu. Timur Mangkuto dan Eva Duani berjalan mendekati Land Cruiser. Beberapa buku yang mereka anggap perlu, diletakkan kembali pada jok tengah.
Eva Duani duduk di bangku depan samping sopir, Timur Mangkuto duduk di bangku tengah bersama dengan Nyonya Amanda.
"Timur Mangkuto."
Nyonya Amanda tersenyum menerima uluran tangan itu. "Se-Indonesia sudah kenal dengan Anda, Inspektur." Timur Mangkuto membalas senyumannya. Kemudian ia menepuk-nepuk bahu Eva Duani. Ia meminta gadis itu, untuk beristirahat, melepaskan lelah sementara ia akan berbicara dengan Nyonya Amanda.
"Jadi, kita ke mana, Pak"" sopir di depan angkat bicara.
"Masuk ke dalam tol. Kita menuju Merak. Ke-cepatan tinggi, Pak!"
Mobil melaju, masuk jalan tol, sopir langsung tancap gas di jalan yang mulai sepi. Timur Mangkuto ganti menatap Nyonya Amanda. Perempuan itu ia lihat agak ragu dan canggu
ng untuk bercerita. Ia yakin perempuan inilah yang dulu pernah diceritakan oleh Rudi. Tampilannya khas nyonya-nyonya kaya yang hidup senang di rumah-rumah besar Pondok Indah. Terawat, putih, kulit masih kencang, dan telepon geng-gam merek Virtue.
"Jadi apa yang saya bisa bantu, dan apa pula yang ibu bisa bantu saya"" Timur Mangkuto membuka pembicaraan.
Perempuan itu tidak langsung bereaksi terhadap pertanyaan itu. Ia tampaknya masih menimbang-nim-bang apa yang harus keluar dari mulutnya.
"Tiga orang korban pembunuhan itu, Lidya, Ovi, dan Maureen anak saya adalah teman dekat. Istilah anak-anak sekarang mereka ngegank."
"Baik, saya juga sudah dapatkan cerita itu dari Rudi."
"Saya curiga kematian mereka sangat terkait satu sama lain."
"Rudi juga menyimpulkan seperti itu, Bu. Hanya saja, ia keburu..." Timur Mangkuto menghentikan kalimatnya, takut hal itu akan kembali mengguncang Eva Duani.
"Iya, sayangnya kasus itu ditangani terpisah. Saya sudah berusaha menjelaskan kepada penyidik bahwa kasus ini mungkin berkaitan, tetapi..."
"Kenapa"" "Anda kenal Komisaris Melvin"" "Tentu."
"Beberapa kali ia mendatangi rumah saya."
Telinga Timur Mangkuto langsung berdiri men-dengar keterangan itu. Ia mulai mencium aroma ke-tidakberesan kasus ini.
"Setelah kematian Maureen"" ia berusaha memastikan.
"Iya, sebelum dan sesudah kedatangan Inspektur Rudi."
"Apa yang ia katakan""
Nyonya Amanda mengapitkan tangan menyilang pada dua bahunya seperti orang yang menggigil. Tam-pak-nya itu cara dia mengatasi ketegangan.
"Ia katakan hanya menyampaikan pesan dari Kombes
Riantono. Agar saya jangan menghubung-hubungkan kematian Maureen dengan Lidya. Itu adalah dua kasus yang berbeda!"
Perempuan itu mulai terisak. Eva Duani me-mandang heran. Otak Timur Mangkuto bergumul dengan kemungkinan-kemungkinan yang tercipta begitu saja. Tiba-tiba saja ia mencurigai Riantono terlibat dalam kematian puterinya sendiri.
"Sial!" umpat Timur Mangkuto. "Riantono pasti menyembunyikan sesuatu dari kasus ini."
Deru mobil seperti berpacu dengan dirinya sendiri. Lampu-lampu hanya tampak seperti kilatan kunang-kunang yang terbang dengan kecepatan tinggi. Entah bagaimana mulainya, Nyonya Amanda bercerita banyak tentang anaknya. Tentang keluarganya, keluhan hingga keputusasaanya. Timur Mangkuto mendengarkan de-ngan tekun walaupun tidak mengerti ke mana arah pem-bicaraan perempuan itu. Yang ia sadari, tidak lebih dari tiga puluh menit lagi mereka akan keluar dari pintu tol Cilegon menuju pelabuhan penyeberangan Merak, pintu jembatan Laut Jawa dan Sumatera.
Reuni Berandal Cilik 2 Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung Bidadari Penakluk 2
Keadaan menjadi berbalik sekarang. Riantono tersudut. Ia terdiam seperti menyesali telah membongkar motif Profesor Budi Sasmito turut bergabung dalam timnya. Tetapi ia berusaha tidak ingin kehilangan muka.
"Terus terang Prof, sebenarnya ini bukan urusan Anda. Tetapi masalah teroris atau bukan, itu hanyalah masalah marketing kasus belaka. Kami bisa menyebut mereka ini kelompok teroris, sementara pada saat bersamaan mereka bisa menyebut diri mereka ke-lompok patriotik, pejuang ultra kanan, martir atau segala macam. Cepat atau lambat, salah satu akan berbicara kepada pers dan masyarakat. Masalahnya adalah siapa yang paling dahulu berbicara, kami atau mereka sehingga masyarakat akan menggunakan ter-minologi siapa."
"Polisi adalah institusi publik. Oleh sebab itu publik berhak tahu duduk perkara sebenarnya apalagi menyangkut isu sensitif seperti teroris..." tangkis Profesor Budi.
"Teroris itu lahir tanpa orang tua. Kamilah para polisi, orang tua angkat mereka. Maka polisilah yang berhak untuk memberi nama mereka, menarik telinga mereka bahkan kalau perlu menggugurkan mereka se-perti ibu-ibu muda yang melakukan aborsi tanpa belas kasihan pada sang janin. Mungkin mereka masih janin, tetapi siapa tahu kelak mereka yang akan menikam kita. Anggap saja label teroris ini untuk janin yang siap untuk diaborsi."
Profesor Budi Sasmito tidak kuasa menahan kegelian-nya mendengar penjelasan itu. Riantono benar-benar jengkel melihat sikap laki-laki berambut tipis di depannya. Tiba-tiba ia menggebrak meja, pandangannya tertuju tajam pada Profesor Budi Sasmito. Melvin terperanjat dan ikut-ikutan berdiri, mendekati Profesor Budi Sasmito.
"Profesor! Jaga omongan Anda. Jangan semakin membuat rumit kasus ini!"
Dering bunyi telepon menghentikan perdebatan mereka. Melvin kembali ke tempat duduknya. Gertak-annya cukup berhasil untuk menyumpal mulut Profesor Budi Sasmito.
Wajah Riantono tiba-tiba berubah menjadi berseri-seri setelah menerima telepon itu. Ia memberi isyarat pada Melvin untuk mendekat.
"Posisi Timur Mangkuto sudah terkunci. Terano yang kita minta terus mengikuti mobil kijang itu menunaikan tugas dengan baik. Posisi Timur Mangkuto sekarang terkunci."
"Apa saya perlu menggerakkan pasukan sekarang, Dan""
"Jangan, kita tunggu gelap. Untuk saat ini hingga menjelang malam, tempat itu kita isolasi dari lingkungan sekitarnya. Dua peleton bantuan telah berada di sekitar
tempat itu. Penangkapan akan kita lakukan malam nanti."
"Tetapi, Dan"" Melvin menunjukkan keraguan. "Apa tidak lebih baik kita membiarkan Timur Mangkuto menuntun kita pada teman-temannya""
"Aku rasa kita tidak punya banyak waktu untuk itu. Aku tidak mau kecolongan lagi."#
48 Eva Duani menjelaskan prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Tatang dekat Palembang. Ditulis dengan huruf pallawa menggunakan bahasa Melayu Kuno. Angka tahun prasasti ini menunjukkan 604 Saka atau 682 Masehi.
svasti uri uakavaa atita 605 (604") ekadaui uu apunta hiyaklapaka vulan vaiceakha d
Terjemahan arkeologis atas Prasasti:
1. Dapunta Hyang manatap Siddhayatra pada tanggal 11 paro terang (suklapaksa), bulan watsaka, tahun 604 S (23 April 682 H)
2. Pada tanggal 7 paro terang bulan Jyestha (19 Mei 682 M) Dapunta Hyang berangkat dari Minanga membawa tentara dua laksa dan 200 peti perbekalan
dengan perahu serta 1312 orang tentara berjalan datang di suatu tempat yang bernama matayap. 3. Pada tanggal 5 Paro Terang bulan Asa Dha 16 Juni 682 H) dengan suka cita mereka datang di suat
u tempat dan membuat kota wanua) dan Kerajaan Sriwijaya memperoleh kemenangan, perjalanannya berhasil dan seluruh negeri beroleh kemakmuran
"Bandingkan dengan teka-teki Negara Kedua," seru Eva Duani.
"Tetapi bagaimana kamu yakin bahwa kedua hal itu berhubungan satu dengan yang lainnya""
Eva Duani tersenyum tenang. Ia sangat menguasai pengetahuan mengenai sejarah lokal Indonesia.
"Para ahli masih berbeda pendapat dalam menginterpretasikan arti dari prasasti itu. Tetapi interpretasi yang paling mengejutkan pernah diajukan oleh Poerba-tjaraka yang mengatakan bahwa seandainya kata Mata-yap berarti Melayu maka hal itu semakin menguatkan pendapat bahwa sebelum sampai di Palembang tentara itu datang ke Melayu, tepatnya di daerah Jambi sekarang," jelas Eva Duani. "Kata Minanga juga diinterpretasikan berbeda-beda, ada yang menyebut Minanga Hamwar ada pula yang menyebut Minanga Tamwan. Poerbatjaraka mengusulkan pembacaan Minanga Kamwar. Kata-kata itu identik dengan Minangkabau. Seandainya semua interpretasi di atas saling berkaitan, maka seperti interpretasi yang diinginkan pada teka-teki Negara Kedua, berarti dahulu kala ada seorang besar dari Minangkabau pergi berperang, berhenti lebih dahulu di Jambi, lalu terus ke Palembang dan mendapatkan kemenangan. Lalu membangun kota di daerah itu dengan nama Sriwijaya.
"Tetapi di mana letak Minanga itu persisnya"" Timur
Mangkuto menyela. "Entahlah, tetapi seharusnya jika berpatokan pada konversi tanggal Masehi, maka jarak antara Minanga dengan Palembang itu tidaklah terlalu ekstrem jauhnya."
"Ya, seharusnya begitu," Timur Mangkuto seperti mengingat-ngingat sesuatu. "Konversi pada kalender Masehi menunjukkan tentara itu berangkat pada 19 Mei 682 M dan sampai di Sriwijaya pada 16 juni 682 M. Artinya, jarak maksimal antara dua tempat adalah 28 hari perjalanan..."
"Perhitungan yang tepat," Eva Duani semakin bersemangat. "Kita tentukan saja pusat Kerajaan Sriwijaya adalah di Kota Palembang sekarang. Dan Dapunta Hyang bersama tentaranya, sebagaimana keterangan prasasti, menempuh perjalanan dengan naik perahu dan berjalan kaki."
"Seandainya rombongan Dapunta Hyang itu memang berasal dari Minangkabau, seharusnya mereka tidak datang dari Luhak Nan Tigo. Sebab pada masa sekarang saja, misalnya, jarak antara Bukittinggi yang terletak di Luhak Agam dengan Palembang sudah memakan satu hari dan satu malam perjalanan dengan menumpang bis umum, apalagi jalan kaki. Satu-satunya kemungkinan jarak terdekat adalah daerah-daerah ping-gir perbatasan yang dilalui oleh jalan lintas Sumatera," Timur Mangkuto sejenak berpikir. Ia memain-mainkan telunjuk, tampaknya ia menemukan sesuatu. "Apa mungkin Minanga kuno itu berpusat di dekat per-batasan geografis Sumatera Barat dengan Jambi. Daerah-daerah Sungailansek, Pulau Punjung, dan sekitarnya""
Kali ini Eva Duani tidak buru-buru menanggapi. Pandangannya malah kembali beralih ke buku pegangan yang
menumpuk di depan tempat duduknya. Hal penting yang ia temukan dari buku adalah kenyataan bahwa Sriwijaya bukanlah kerajaan tertua di Sumatera. Sebab pada 644 M, berdasarkan berita Tiongkok, telah berdiri Kerajaan Melayu yang di-perkirakan berada di daerah Jambi sekarang. Ia tidak menemukan apa-apa terkait dengan kata-kata Minanga.
"Apa daerah-daerah yang kamu sebut tadi terkait dengan daerah hulu sungai"" Eva Duani seperti ingin memastikan bahwa teka-teki Negara Kedua tuntas terjawab oleh kenyataan sejarah.
"Tentu saja! Daerah-daerah itu merupakan pertalian dari hulu awal dengan bagian yang lebih lebar dari Sungai Batang Hari."
Eva Duani mulai bisa tersenyum, seakan-akan ia kembali menemukan sambungan dari jalinan pemikiran yang tadi hampir putus.
"Dugaan dan interpretasi yang kita pilih tidak salah. Sriwijaya memang dibangun oleh seorang pem-besar dari Minangkabau. Daerah-daerah yang kamu sebut tadi bukan sekadar daerah kosong secara historis. Di tempat-tempat itu dulunya pernah berdiri Kerajaan Darmasraya. Satu dari dua kerajaan yang didirikan oleh orang-orang yang datang dengan rombongan Sri Maharajo Dirajo. Hanya saja tidak terdapat catatan historis yang memadai tentang
kerajaan itu. Asumsikan kerajaan itu belum berdiri sama sekali pada per-tengahan 682 Masehi, toh itu juga tidak akan ber-pengaruh. Sebab prasasti Kedukan Bukit tidak me-nyebut Dapunta Hyang sebagai seorang raja. Bisa jadi Dapunta Hyang hanyalah seorang pembesar. Dan isti-lah itu sangat mungkin, sebab raja mereka masih berkedudukan di daerah pedalaman Luhak Nan Tigo.
Dapunta Hyang adalah pembesar Minangkabau yang ingin kembali menegakkan imperium Atlantis. Itu sebabnya ia memilih tinggal di daerah yang me-mungkin-kan untuk juga menembus pantai timur Sumatera."
Kesimpulan Eva Duani itu sepertinya masih sulit untuk diterima oleh pikiran Timur Mangkuto. Apalagi ketika ia coba membuka peta lagi dan mencari ke-terkaitan antara hulu dan hilir Sungai Batang Hari.
"Muara Sungai Batang Hari, yang memiliki be-berapa titik cabang hulu di daerah Minangkabau, bukan daerah Palembang. Tetapi bagian barat Jambi, seperti-nya Kuala Tungkai. Teori bahwa orang-orang itu meng-arungi sungai dari hulu hingga sampai di Palembang terbantahkan. Lagi pula coba lihat peta ini, tidak satu pun sungai-sungai di Palembang yang memiliki hulu di daerah Minangkabau."
Eva Duani sudah mengerti bagaimana menanggapi pertanyaan itu.
"Timur, coba perhatikan lagi bagian kedua dari terjemahan prasasti. Di situ disebutkan pasukan Dapunta Hyang hanya menggunakan perahu hingga Matayap. Anggap Matayap itu sesuai dengan interpretasi banyak arkeolog dan sejarawan sebagai Melayu. Tentu tidak ada yang salah, sebab mereka menggunakan perahu hingga daerah Melayu, tepatnya Jambi sekarang. Arti-nya pasti mereka melayari sepanjang sungai Batang Hari. Lalu dari Jambi ke Palembang mereka tempuh berjalan kaki. Tetapi yang pasti, prasasti dengan jelas menerangkan bahwa Dapunta Hyang berangkat dari hulu, tetapi tidak langsung menggunakan perahu ke arah Palembang."
Penjelasan itu menjawab tanda tanya sekaligus menghilangkan keraguan dalam benak Timur Mang-kuto. Semuanya terasa sudah menjadi semakin jelas sekarang.
Kisah Atlantis mulai terbentuk seperti narasi panjang, dari Plato hingga Dapunta Hyang. Dan Mi-nang-kabau adalah tempat pendaratan orang-orang yang membawa kembali Serat Ilmu.
"Lalu bagaimana dengan kelanjutan teka-teki itu""
Negeri itu besar dengan para penjemput sebagai pengawal, tetapi mereka dilupakan. Lalu datanglah bencana itu, musuh barat dari keturunan musuh-musuh Penjemput Pertama.
Tidak ada lagi keraguan dalam benak Eva Duani. Ketika kenyataan menunjukkan bahwa teka-teki Negara Kedua ini berkaitan dengan Sriwijaya sudah bisa di-terima, maka lanjutan dari teka-teki itu dengan mudah bisa diinterpretasikan. Eva Duani men-jelaskan dengan lugas.
"Orang-orang Dapunta Hyang tidak pernah men-jadi raja di Sriwijaya. Mereka hanya mendirikan lalu memberikan kekuasaan kepada penduduk lokal. Hingga kemudian datang generasi raja-raja keturunan dari Saelendrawamsatilaka Sri Wirawairimathana."
"Lalu siapa musuh barat dari Penjemput Pertama itu""
"Mereka yang ikut menghancurkan Sriwijaya."
"Dari arah barat, apa mungkin India" Dan mereka mungkin pernah bermusuhan dengan keturunan lang-sung Iskandar Yang Agung""
"Iya, musuh dari barat itu berasal dari India. Tetapi pastinya apakah raja itu keturunan dari mereka yang memusuhi keturunan Iskandar Yang Agung sebagai Penjemput Pertama aku tidak terlalu yakin. Satu hal yang pasti adalah kenyataan bahwa Sriwijaya runtuh karena serangan dari Raja Cola yang berkedudukan di India.
Tentu India terletak arah barat dari Sriwijaya. Serangan pertama dilakukan oleh rajanya yang bernama Rajen-dracoladewa pada 1017. Dilanjutkan dengan serangan kedua pada 1025 yang berhasil menawan raja Sriwijaya, Sri Sanggrawawijayottunggawarman, akan tetapi Sriwijaya tidak diduduki. Pada 1068 raja Cola pada masa itu, Wirajayendra, kembali menyerang Sriwijaya, hingga akhirnya raja Sriwijaya takluk. Walau-pun masih berdiri setelah serangan itu, tetapi secara politis Sriwijaya yang pernah menguasai Melayu, Tanah Genting Kra, Sunda, Jawa Tengah, Sumatera Bagian Utara hingga daerah Ceylon di selatan India, sudah hancur."
Bayang-bayang kebesaran Sriwijaya berikut ceri
ta mengenai kemajuan ilmu pengetahuan dan ramainya kapal-kapal yang berkunjung di bandar-bandar penting yang dikuasainya seperti baru saja melintas dalam lintasan waktu. Negara Kedua itu telah hancur, tetapi pertanyaan yang menghunjam di benak Timur Mang-kuto adalah di mana Serat Ilmu itu saat ini.
"Bagaimana dengan Serat Ilmu""
"Mungkin itu yang dibawa oleh Dapunta Hyang ketika membangun kota Sriwijaya."
"Lalu di mana sekarang, apa di reruntuhan Sriwijaya"" Eva Duani melipat kedua tangannya di depan dada, lalu menghembuskan nafasnya agak panjang. "Pekerjaan kita masih jauh dari selesai. Mencari benda itu berarti kita harus menemukan lagi apa itu Negara Ketiga dan Keempat..."
"Serat Ilmu bersama negara-negara itu""
"Ada kemungkinan!"
"Kamu yakin bahwa Negara Kedua itu adalah Sriwijaya""
"Apa kita punya pilihan untuk tidak yakin""#
49 Langit mulai berwarna Jingga. Perlahan matahari menapak turun hampir menyatu dengan batas laut. Pemandangan itu terlihat begitu indah dari dermaga tua yang sudah ditinggalkan nelayan. Sebuah kapal motor kecil tertambat di dermaga. Pengemudinya menghembuskan rokok. Ia tengah menunggu orang.
Setelah sekian lama, terdengar bunyi mesin diesel mobil menderum. Panther gelap bergerak mendekat ke arah dermaga. Lima orang anak dengan satu orang tua yang dipangku, naik ke atas kapal motor kecil itu. Sementara Panther berwarna gelap itu sudah kembali pergi, berbalik arah menuju arah tenggara pelabuhan.
Mesin kapal kecil menderum membelah laut me-nuju arah utara. Orang tua yang tadi dipangku, menyandarkan dirinya. Ia meminta kretek pada pengemudi motor. Petualangan beberapa jam bersama anak-anak muda tidak sabar ini menghadirkan sensasi sekaligus kecemasan sendiri bagi dirinya yang sudah renta.
"Bagaimana menurut Anda Prof"" Lumban mem-bantu menyalakan korek. "Kami sudah temukan apa yang tidak akan pernah Anda temukan."
"Sial!" Profesor Duani Abdullah menghembuskan asap rokoknya. Ia menyalahi pantangannya selama ini.
"Nanto, membantu kalian menemukannya""
"Sebagian kecil iya, sebagian besar sisanya adalah kerja keras kami yang didorong semangat yang di-pompa-kan oleh Para Pembuka. Tetapi sejujurnya teka-teki Atlantis itu dipecahkan oleh Profesor Sunanto dibantu Para Pembuka."
Ia menunjuk jauh ke arah utara, bayangan pulau di depan masih tampak jauh.
"Itulah pusat Negara Pertama Profesor. Tempat yang berusaha dilupakan oleh dunia baru ketika dunia lama tenggelam"
"Lalu apa yang akan kalian lakukan di sana"" "Mengulang apa yang pernah dilakukan oleh se-puluh raja Atlantis"
"Ha...ha...ha..." Profesor Duani Abdullah tertawa. "Kalian akan berbaris mengelilingi Pillar Orichalcum, berharap kekuatan kebijakan akan membimbing kalian dalam revolusi""
"Mungkin semacam itu, Prof
"Bodoh! Kalian tidak lagi dipimpin dan dibimbing oleh rasionalitas."
Tiba-tiba deru kapal tertahan. Ombak-ombak mening gi, hujan turun, badai menghadang. Cuaca di tengah laut seperti berkebalikan dengan di tepi pantai. Beberapa kali laki-laki yang membawa kapal harus mengendalikan kapalnya menelikung demi menghindari gelombang tinggi. Orang-orang yang berada di dalam kapal mulai cemas dan takut. Mereka merapatkan diri, entah untuk saling menghangatkan diri dari terpaan dingin hujan dan badai atau sekadar untuk saling menguatkan keyakinan bahwa hidup mereka tidak akan berakhir karena kekonyolan ini.
Lima belas menit berselang, badai mulai reda, ombak
pun mulai tenang dan laju kapal mendekati keadaan normal. Orang-orang yang berada di dalam kapal menarik nafas. Dua di antaranya sempat muntah-muntah. Perut mereka tidak begitu kuat digoncang-goncangkan seperti itu. Lumban merapatkan diri pada Profesor Duani Abdullah. Ia tampaknya tidak ingin pembicaraan mereka di dengar tiga orang lainnya.
"Aku tidak pernah percaya pada kekuatan magis, Prof. Tetapi aku sangat percaya pada daya magis dari kekuatan sugesti."
"Tetap saja pembodohan namanya."
"Kenapa"" "Tentu kau bermaksud bahwa orang-orang tingkat-an paling bawah dalam kelompokmu akan percaya bahwa Serat Ilmu, Pilar Orichalcum atau apa pun namanya akan memberi kekuatan. Sementara kau sendiri tid
ak percaya. Tetapi berharap orang lain percaya sehingga kau bisa kuasai, gerakkan dan siapkan mereka mati dalam keyakinan mereka yang rapuh"
"Itulah revolusi, Prof," timpal Lumban. "Ia dipikir-kan oleh beberapa orang, digerakkan oleh segelintir orang, dipimpin oleh sedikit orang, tetapi dilakukan oleh jutaan orang."
"Dan sebagian besar mati karena keyakinan yang konyol, bukankah itu yang ingin kalian lakukan""
"Tidak persis seperti yang Anda bayangkan, Prof. Dibanding melanjutkan republik yang sudah mati ini, revolusi adalah pilihan yang berjuta kali jauh lebih baik."
Profesor Duani Abdullah terdiam. Kata-kata Lumban tidak salah. Ia sadar anak-anak muda yang sekarang berpikiran maju sedang dilanda dilema besar meng-hadapi republik ini. Mereka tidak salah ketika menga-takan,
Indonesia sebagai sebuah integrasi ide dan gagas-an telah berakhir sejak Desember 1956, sisa tahun berikutnya tidak lebih dari integrasi wilayah. Tetapi ia juga sadar, revolusi bukanlah restorasi. Ia memang diniatkan untuk membangun kembali tetapi lebih se-ring berakhir dengan derita berkepanjangan.
"Sulit bagiku untuk menyalahkan semangat muda kalian."
Profesor Duani Abdullah mengutuk dalam hati. Kata-kata itu untuk kesekian kalinya harus terucap dari mulutnya. Ia sadar, kata-kata itu akan menjadi pembenaran bagi anak-anak muda untuk melanjutkan apa yang telah mereka rencanakan.
"Tetapi sejarah mengajarkan kepada kita. Revolusi selalu memakan penggagasnya, kalau tidak mati di tangan lawan maka sebagian besar akan mati di tangan kawan sendiri," Profesor Duani Abdullah berusaha untuk mengoreksi spontanitasnya. "Apa kalian sudah pikirkan itu""
Tiga orang lainnya telah tersandar di dok kapal. Mereka sangat lelah tampaknya hingga mata mereka dengan mudah terpicing, tidak sadar hilang bersama alam mimpi. Lumban memerhatikan satu persatu raut wajah kawan-kawannya itu. Lalu ia memalingkan wajah pada Profesor Duani Abdullah, mencoba ter-senyum bijak.
"Revolusi itu seperti mimpi anak muda Prof. Mungkin benar, ia akan menyebabkan kekacauan ketika kami terbangun dalam realita. Oligarki akan terbentuk, rasa curiga akan menjadi landasan kebijakan, kekerasan akan menjadi hukum sementara dan cinta seperti kata-kata yang sirna. Tetapi kami punya Serat Ilmu Prof. Dalam tujuan yang telah tercapai kami bungkus dengan tujuan
baru lagi. Setiap satu tujuan baru tercapai, kami akan buat tujuan baru dengan tantangan lebih besar sehingga orang-orang tidak akan sempat untuk berpikir menentang," kata Lumban. "Ambisi kolektif, Prof. Ha-nya itu yang akan membuat manusia bertahan bersama kelompoknya. Selain itu, hampir tidak ada."
"Setelah revolusi kalian selesai, tentu kalian akan menggagas pembentukan imperium sebagaimana Atlantis dahulunya"" Profesor Duani Abdullah mencibir.
"Ha...ha...ha..." bola mata Lumban tenggelam oleh ke lopak mata ketika ia tertawa, "Anda seperti sudah bisa menebak setiap apa yang kami pikirkan, Prof
"Tetapi aku tetap tidak setuju dengan apa yang kalian lakukan ini"
"Itu hak Anda."
Dari kejauhan tampak kerlap-kerlip lampu. Darat-an tidak jauh lagi. Kerlap-kerlip lampu itu tampaknya semacam isyarat yang menuntun kapal itu menuju tempat untuk merapat. Mereka telah sampai di tempat tanpa petunjuk yang telah terlupakan.
"Untuk apa kalian bawa aku ke sini"" Profesor Duani Abdullah memandang tajam pada Ilham Tegas.
"Untuk menjadi saksi sekaligus untuk membuat kebisuan dalam rentetan peristiwa ini."
"Kenapa kalian tidak bunuh saja aku""
"Kami tidak sebodoh itu, Prof. Kami harus meng-ikuti perintah Para Pembuka untuk memperlakukan Anda dengan baik. Anda adalah tamu kehormatan kami saat ini."
"Tetapi bukankah perkara membunuh adalah suatu yang biasa bagi kalian. Sebagaimana korban-korban yang telah kalian bunuh sebelumnya"" pancing Profesor Duani Abdullah.
Lumban langsung terdiam. Ia tahu Para Pembuka tidak pernah memberikan perintah langsung pada me-reka untuk melakukan pembunuhan.
"Tidak ada kekerasan bersenjata sebelum tanggal yang dijanjikan terlewati."
Itu pesan yang diberikan oleh Para Pembuka ke-pada Para Pengawal dan Para Pemula. Tetapi ia sangsi perintah
itu juga ditaati oleh faksi garis keras Para Pengawal.
"Sejarah akan membuktikan kebenaran yang men-jadi rahasia masa sekarang!"
Jawaban yang keluar dari mulut Lumban itu tidak memberikan penegasan apa-apa. Tetapi setidaknya un-tuk saat ini, ia bisa menghindar dari sorotan tajam Profesor Duani Abdullah.*
50 Kesimpulan bahwa Negara Kedua yang dimaksudkan
dalam teka-teki Negara Kelima adalah Sriwijaya telah mem bantu Eva Duani memahami bagian Tambo yang menceritakan tentang penyerangan legiun Jawa, Sriwijaya yang dikalahkan dengan muslihat adu kerbau. Kalau hanya sekadar mengandalkan diplomasi tidak mungkin Minangkabau pedalaman bisa menghindari peperangan dengan tentara besar. Berhasilnya diplomasi mungkin lebih dikarenakan kenyataan bahwa orang-orang yang mendirikan Sriwijaya adalah bagian dari orang-orang yang mendirikan Minangkabau pedalaman.
"Menurutmu siapa yang menculik ayah"" Perhatian Eva Duani kembali tertuju pada apa yang telah me-nimpa ayahnya.
"Hanya dua kemungkinan, polisi yang sudah putus asa dan KePaRad yang ingin rahasianya terjaga."
"Ayah..." Eva Duani kembali larut dalam kesedihan.
"Tenang dan sabar, Eva. Aku yakin mereka tidak a-kan memperlakukan ayah kamu dengan buruk. Yang mereka butuhkan adalah otaknya bukan nyawanya," Timur Mangkuto menggenggam telapak tangan Eva Duani. "Bagaimana" Kamu sudah bisa menyimpulkan apa yang ingin ayahmu kasih tahu dengan tanda dan angka-angka
ini"" 1221 1061 7256 5500 3863 4527 6636 9451 2187 1732 8108
Eva Duani memerhatikan tulisan itu dengan lebih teliti. Ada semacam serpihan memori yang bisa ia ingat dari pola penulisan angka itu. Tetapi yang teringat hanya serpihan memori dan ia tidak terlibat dalam bagian pada masa lalu itu. Penulisan angka dan tanda seperti ini memang biasa dilakukan ketika laki-laki ayahnya masih memiliki obsesi yang besar untuk me-nemukan sisa-sisa reruntuhan Atlantis dan Benua Lemuria.
"Aku ingat, ayah biasa menggunakan kombinasi angka itu untuk berkomunikasi dengan Profesor Sunanto Arifin. Mereka takut hasil temuan mereka diketahui banyak orang, apalagi peneliti asing. Tiap kali mereka menemukan sesuatu, mereka menggunakan simbol dan angka."
"Jadi, kamu tahu apa yang dimaksudkan dengan angka-angka ini"" Timur Mangkuto memandang penuh harap.
Eva Duani menggelengkan kepalanya. Ia bukan bagian dari serpihan masa lalu itu. Ia hanya tahu angka-angka demikian sering digunakan. Tetapi ayahnya tidak pernah memberi tahu bagaimana memecahkan angka-angka tersebut.
"Bilangan hakikat seperti ragam cahaya matahari yang berubah menjadi satu warna putih," seru Eva Duani berusaha mengingat-ingat. "Ayah menyebut angka-angka ini dengan istilah seperti itu. Tetapi beliau tidak menjelaskan padaku bagaimana memecahkan angka-angkanya."
Jawaban Eva menghempaskan keyakinan Timur Mangkuto. Ia berharap rangkaian angka-angka itu me-rupakan pesan jawaban teka-teki negara kelima yang sudah terpecahkan oleh Profesor Duani Abdullah.
"Jadi, bagaimana dengan Negara Ketiga"" Timur Mangkuto mengalihkan permasalahan.
Para Penjemput masa pertama tidak menyerah. Pada dataran setelah celah puncak-puncak kedua mereka bersimaharaja tetapi angin telah menjemput mereka untuk Negara Ketiga. Ketika dua orang dara Para Penjemput menuai janji mereka. Dari rahim dua dara lahir dua raja. Satu selalu dituai bencana, satu mencari asalnya. Para Penjemput mengawal nega- r a hingga mereka dilupa. Lalu datanglah bencana, dari dalam musuh-musuh itu masuk mencari Serat pemberi.
Eva Duani seperti merasa tidak perlu berpikir panjang untuk menjawab teka-teki itu.
"Aku rasa, aku sudah temukan jawabannya." "Maksudmu""
"Iya, aku sudah temukan apa yang mereka maksud dengan Negara Ketiga."
Timur Mangkuto mulai curiga. Ia takut Eva Duani tidak lagi bersungguh-sungguh untuk memecahkan teka-teki mengingat rentetan peristiwa yang ia alami belakangan ini.
"Jangan katakan Negara Ketiga itu adalah Majapahit!"
Dugaan itu tidak langsung ditanggapi Eva Duani. Ia membagi-bagi lagi teka-teki itu menjadi beberapa bagian kalimat.
Para Penjemput masa pertama tidak me-nyerah. Pada
dataran setelah celah puncak-puncak
kedua mereka bersimaharaja tetapi angin telah menjemput mereka untuk Negara Ketiga.
"Setelah kehancuran atau mungkin sebelum kehancuran Sriwijaya, keturunan Dapunta Hyang dan rombongan pembawa Serat Ilmu kembali ke Minangkabau tengah. Tempat asal mereka seperti ke-simpulan pertama kita. Kamu setuju dengan ke-sim-pulan itu"" Eva Duani ingin meyakinkan Timur Mangkuto langkah demi langkah.
"Baik, aku setuju. Mereka kembali pada tempat awal sebelum mereka berangkat mendirikan Sriwijaya. Terus"" Timur Mangkuto mengernyitkan dahinya.
"Seorang raja besar telah menjemput mereka."
"Hah, tentu ini bukan kisah dongeng""
"Bukan, benar mereka dijemput. Walaupun ter-kesan menegasikan, dugaanmu benar. Negara Ketiga yang mereka maksud adalah Majapahit! Imperium kedua setelah Sriwijaya."
Timur Mangkuto tiba-tiba tergelak. Ia merasa Eva Duani tengah membeberkan sejarah Indonesia dengan bumbu nasionalisme yang dangkal. Selama ini yang ia dapatkan dari teks sejarah memang seperti itu. Kejayaan Sriwijaya, Majapahit, dan kerajaan-kerajaan Jawa se-olah-olah harus diterima oleh seluruh penduduk Nu-santara sebagai satu-satunya narasi sejarah Nusantara. Sriwijaya, Majapahit, dan kerajaan-kerajaan Jawa telah mengerdilkan atau membuat daerah-daerah lupa akan sejarah lokalnya masing-masing. Mereka dipaksa untuk mengakui apa yang terjadi di Jawa adalah sebuah berita sejarah dan apa yang terjadi di daerah mereka tidak lebih dari mitos.
"Aku sulit untuk menerima itu."
"Kenapa"" "Pertama aku takut kamu terpengaruh oleh teks-teks sejarah standar yang menganggap imperium Maja-pahit sebagai Indonesia Kuno. Kedua, letak Majapahit secara geografis sangat jauh dengan titik pendaratan pertama keturunan Iskandar Yang Agung."
"Justru aku yang takut bahwa kamu yang dilanda ketakutan, Timur."
"Lho, kenapa aku harus takut""
Kamu takut kalau kenyataannya memang Majapahit adalah jawabannya. Dan itu jauh dari ba-yangan kejutan yang kamu inginkan dari teka-teki ini," kata-kata Eva Duani membuat Timur Mangkuto sedikit tersudut.
"Aku tidak takut. Yakinkan aku kalau memang jawabannya Majapahit."
Kalimat itu terdengar seperti sikap pasrah dan menyerah Timur Mangkuto. Tetapi bagi Eva Duani, kalimat itu lebih terdengar seperti sinisme.
"Rangkaian teka-teki Negara Ketiga ini terkait erat dengan ekspedisi yang dilakukan oleh Raja terakhir Singasari, Kertanegara."
Eva Duani melanjutkan argumennya dengan cerita yang lebih terperinci. Kitab Parraraton yang memuat kisah raja-raja Jawa sejak masa Ken Arok dan kitab Nagara-kertagama karangan Mpu Prapanca, menceritakan bahwa pada 1275 Masehi Raja Singasari, Kertanegara, mengirimkan tentaranya ke Melayu. Disebut dengan Ekspedisi Pamalayu. Tentara itu di-pimpin oleh seseorang yang kemudian pada masa awal Majapahit diberi gelar Kebo Anabrang. Pada saat bersamaan, Khubilai Khan tengah meluaskan pengaruhnya ke Asia Tenggara. Ekspedisi ini sesungguhnya bukanlah penaklukan tetapi
perluasan persahabatan antara Melayu dan Singasari untuk membendung ekspansi Khubilai Khan. Bersama dengan pasukannya, Kertanegara mengirimkan arca Buddha Amoghapasalokeswara bersama empat belas orang pengiringnya ke Melayu pada 1286 Masehi. Penempatan arca ini dilakukan di Darmasraya. Tampaknya Melayu lama telah digantikan oleh Darmasraya. Arca itu kelak ditemukan di daerah Sungai Lansek, bagian dari Kabupaten Darmasraya, Sumatera Barat sekarang.
Raja yang memerintah Darmasraya waktu itu ada-lah Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa. Rom-bongan besar pasukan Singasari berdiam di Darmasraya selama lebih kurang dua puluh tahun sejak 1275 Masehi hingga 1294 Masehi. Kemudian rombongan itu kembali tiba di Singasari yang sekarang telah men-jadi kerajaan Majapahit. Rombongan itu membawa dua orang puteri hasil perkawinan Mauliwarmadewa dengan Reno Mandi, yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Banyak interpretasi mengenai kedua orang puteri itu. Sebagian besar kisah pada awalnya menyebutkan kedua puteri itu adalah upeti ketundukan Raja Darmasraya terhadap Singasari. Tetapi interpretasi itu terbantahkan dengan cepat. Dara Petak dinikahi oleh Raden Wijaya atau Kertarajasa, raja p
ertama Majapahit. Bukan di-angkat sebagai selir tetapi permaisuri. Sedangkan kakaknya, Dara Jingga, dinikahi oleh Tuan Janaka salah seorang petinggi istana pada waktu itu.
"Bagaimana mungkin seorang puteri yang dimaksudkan sebagai upeti dijadikan permaisuri," seru Eva Duani.
"Artinya, dari awal Kertanegara telah mengetahui ada semacam magnet kekuatan yang terdapat di Darmasraya dan ia membutuhkan lebih dari persahabatan untuk
menghadapi serbuan tentara Mongol atau Tartar. Kalau dikaitkan dengan misteri Atlantis, maka ini adalah kelanjutan dari cerita Sriwijaya. Bisa jadi kedua puteri itu bukan sekadar membawa badan ke Singasari yang telah digantikan Majapahit, tetapi juga membawa Serat Ilmu. Tradisi dari Dapunta Hyang yang membuka kerajaan penerus Atlantis bukan di daerah pendaratan dilanjutkan oleh Mauliwarmadewa untuk mewujudkan Negara Ketiga Atlantis di tanah seberang. Itu sebabnya ia mengirimkan puterinya de-ngan rombongan pengiring yang sangat besar dari Darmasraya untuk membantu mewujudkan Negara Ketiga di tanah Jawa."
"Kamu seperti dokumen sejarah berjalan, ingat semuanya."
Tampaknya Timur Mangkuto mencoba untuk mencari kompromi pemikiran. Eva Duani me-nyam-butnya dengan senyum.
"Bagaimana aku tidak ingat sesuatu hal yang sekian tahun aku dalami. Tentu kamu juga akan selalu ingat tentang bagaimana cara paling cepat meringkus maling bukan"" ia membasahi kerongkongannya de-ngan teh manis yang sudah dingin.
Ketika dua orang dara Para Penjemput menuai janji mereka.
"Jadi dua orang dara itu adalah Dara Petak dan Dara Jingga anak dari raja keturunan Dapunta Hyang"" lanjut Timur Mangkuto.
"Betul, Kertanegara adalah seorang raja yang cerdas dan visioner. Ia mungkin belajar dari sejarah Sriwijaya tentang siapa dan apa yang membuat negara itu besar,
hingga akhirnya ia mendapatkan kuncinya di daerah Minangkabau tengah, Darmasraya," Eva Duani senang Timur Mangkuto tidak mengambil jalan konfrontasi lagi. "Kamu akan lebih kaget lagi kalau aku katakan bahwa raja kedua Majapahit adalah orang Minangkabau. Apalagi dengan asumsi matrilineal sekarang." "Bagaimana bisa""
"Anak dari perkawinan antara Dara Petak dengan Ker-tarajasa bernama Kalagamet. Ia kelak bergelar, Jaya-negara. Raja kedua Majapahit."*
51 Selepas Maghrib suasana di perumahan Fiena Busana
tampak tidak seperti biasanya. Tidak tampak kerumunan anak-anak muda yang biasa bergerombol di perempatan jalan. Atau ibu-ibu muda yang masih menjebakkan diri pada pembicaraan dan gosip-gosip murahan tidak per-lu. Jalanan sepi, yang tampak hanya satu dua orang berjalan menuju rumah masing-masing.
Perempatan yang salah satu jalannya mengarah ke arah rumah Eva Duani telah diblokir polisi. Pada tempat itu, tampak lima orang petugas polisi berpakaian gelap dengan senapan otomatis berjaga. Pakaian gelap yang mereka kenakan tidak jauh berbeda dengan pakaian gelap kesatuan Gegana, Brigade Mobil. Tetapi sebuah badge merah pada bahu menandakan mereka berasal dari kesatuan paling elit Polda Metro Jaya, Detasemen Khusus Antiteror.
Selokan selebar lima puluh senti dengan kedalaman cukup untuk menyembunyikan kepala orang dewasa yang berjongkok di depan rumah Eva Duani, juga telah diisi oleh pasukan itu. Sebagian lainnya masih bersiaga di dalam mobil-mobil berwarna gelap yang diparkir tidak jauh dari perempatan jalan mengarah ke arah rumah Eva Duani.
Mereka telah mengunci posisi Timur Mangkuto. Tinggal menunggu perintah untuk masuk dan menyerang.
Kurang dari seperempat jam kemudian, iring-iringan tiga buah mobil muncul di perempatan jalan. Riantono bersama dengan Melvin dan Profesor Budi Sasmito, turun dari mobil paling depan. Mereka mem-bawa satu peleton pasukan dari Mapolda. Tambahan pasukan itu telah membuat kekuatan para pengepung itu menjadi Satu Satuan Setingkat Kompi. Riantono langsung memimpin operasi. Ia mulai memeriksa kesiapan tiap peleton. Kemudian mengumpulkan komandan-komandan peleton untuk memberikan instruksi operasi.
"Aku menginginkan Timur Mangkuto hidup-hidup!" Riantono memandangi satu persatu komandan peleton itu.
"Jadi kita harus memberi peringatan dulu, Dan"" salah seoran
g perwira menyela. "Tepat! Aku menginginkan ia menyerah hidup-hidup pada kita. Sebab pengetahuannya tentang KePaRad masih kita butuhkan untuk memburu kelompok itu."
"Bagaimana kalau ia melakukan perlawanan"" komandan peleton lainnya bertanya.
"Lumpuhkan tetapi jangan sampai membuat ia tewas." Riantono memerhatikan keadaan sekitar. Anak buahnya telah berhasil mengisolasi kediaman Duani Abdullah. Tidak tampak lagi ada orang-orang sekitar rumah yang berkeliaran di jalanan. Ia menyunggingkan senyum. Timur Mangkuto gagal untuk mengakali diri- nya. Ia telah menjebak Timur Mangkuto menggunakan jebakannya sendiri. Sebab sejak pengejaran sepanjang jalan tol Bekasi menuju Jakarta, polisi tidak berhenti membuntuti Kijang berwarna biru metalik itu.
Riantono memerhatikan jam tangannya. Jarum jamnya sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima malam.
"Setengah jam lagi kita akan memulai operasi. Ingat tidak ada tembakan senjata, sampai Timur Mangkuto menembakkan senjatanya. Kalau pun pa-sukan kalian terpaksa menembak dan mendobrak pintu ru-mah, arahkan pada bagian tubuh yang tidak me-matikan. Timur Mangkuto adalah satu-satunya ke-mungkinan yang bisa menuntun kita untuk menemukan KePaRad. Ia bagian dari kelompok itu," Riantono memberikan instruksi terakhir. "Kalian mengerti""
"Siap Dan!" terdengar jawaban bersamaan dari komandan-komandan peleton pasukan.
Mereka kembali pada posisi pasukan masing-masing Memanggil tiap komandan regu, memberikan instruksi pada mereka, sebagaimana instruksi yang diberikan oleh Riantono.*
52 Walaupun kesimpulan Eva Duani cukup membuat
dirinya tersentak, Timur Mangkuto masih berusaha untuk menguji teori.
Ia mengambil salah satu buku yang tergeletak di a-tas meja. Tidak lama dahinya berkernyit. Ia tersenyum sendiri ketika membaca satu halaman. Timur Mangkuto sepertinya menemukan satu kenyataan yang bisa mementahkan teori Eva Duani
"Di buku ini tertulis Kertarajasa menikahi empat orang puteri Kertanegara; Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhua-waneswari, Sri Mahadewi Dyah Dewi Narandraduhita, Sri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Sri Rajendradewi Dyah Dewi Gayatri," ia memandang Eva Duani seperti tengah merayakan kemenangan. "Lalu bagaimana kesimpulan bahwa Dara Petak adalah permaisuri Kertarajasa bisa kamu ambil" Lagi pula dalam buku ini juga dijelaskan bahwa Kalagamet dan Jayanegara adalah dua orang yang berbeda. Satu anak Dara Petak dan satu lagi anak dari Parameswari, puteri sulung Kertanegara"
"Bagaimana kalau aku katakan keempat orang puteri itu sebenarnya bukanlah anak biologis dari Kertanegara," Eva Duani sepertinya sudah punya jawaban terhadap pertanyaan itu.
"Maksud kamu""
"Empat orang puteri itu sesungguhnya bukanlah anak dari Kertanegara. Tetapi adalah puteri-puteri yang merepresentasikan wilayah pengaruh dan sahabat Singasari. Salah satu prasasti bertahun 1305 Masehi menyebutkan bahwa keempat puteri itu merepresentasikan Melayu, Bali, Madura, dan Tanjung Pura."
Perwira muda polisi itu terdiam. Ia sadar tengah berhadapan dengan orang yang benar-benar telah men-dalami sejarah Majapahit.
"Artinya, Dara Petak adalah salah satu dari puteri yang dimaksud itu""
"Iya, sebagian ahli menyebutkan Dara Petak itu adalah Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuawaneswari atau ratu utama yang melahirkan Kalagamet atau Jayanegara."
"Bagaimana aku bisa yakin dengan penjelasan itu"" Timur Mangkuto semakin bingung. Tetapi sebelum ia bersuara, Eva Duani telah melanjutkan penjelasannya dengan mendasarkan pada temuan yang ada.
"Kitab Parraraton yang diperkirakan dibuat pada 1330 Masehi, menyebutkan bahwa Kalagamet dan Jayanegara adalah dua nama pada satu orang yang sama. Parraraton hanya menyebutkan dua orang puteri saja yang diperistri, Parameswari dan Gayatri. Sedang-kan Negarakertagama menyebutkan, ibu dari Kalagamet atau Jayanegara bernama Sri Indreswari, nama yang tidak terdapat pada riwayat empat puteri Kertanegara. Satu-satunya keterangan yang menyebutkan bahwa Kalagamet dan Jayanegara adalah dua orang yang ber-beda terdapat pada prasasti Balawi dan Sukamrta. Itu pun sulit untuk diterima sebab kedua prasasti itu memu
at keterangan yang tidak lengkap. Sebagian besar ahli menyimpulkan
bahwa Dara Petak adalah Pararneswari Tribhuana atau permaisuri utama. Juga bergelar Sri Indreswari, sebagaimana keterangan Negarakertagama. Sedangkan Gayatri adalah permaisuri keempat yang sangat disayangi oleh Kertarajasa," penjelasan Eva Duani sulit untuk dibantah.
"Apa ada hal lain yang lebih bisa meyakinkan aku"" pertanyaan Timur Mangkuto lebih terdengar seperti tuntutan.
"Kamu akan lebih paham dan yakin jika me-ngetahui gejolak yang terjadi sepanjang pemerintahan Kalagamet atau Jayanegara. Dan juga gejolak-gejolak yang disebabkan oleh raja kedua Majapahit itu."
Dari rahim dua dara lahir dua raja. Satu selalu dituai bencana, satu mencari asalnya.
Kitab Parraraton menyebutkan setidaknya terjadi sembilan gejolak pemberontakan yang berhubungan dengan Jayanegara, baik pada masa pemerintahan Kertarajasa maupun pada saat pemerintahan Jayanegara sendiri.
"Kamu tahu apa yang menyebabkan pemberontakan-pemberontakan itu""
"Ketidakpuasan kepada raja akibat posisi yang didapatkan yang tidak sebanding dengan jasa yang telah mereka berikan," jawaban Timur Mangkuto seperti mengulang pelajaran sejarah yang ia dapatkan dari SD hingga SMA.
Eva Duani tidak bisa menyalahkan jawaban Timur Mangkuto. Setidaknya memang demikianlah keterangan sejarah selama ini. Sejarah memang bukanlah sebuah kejujuran yang pasti. Itu yang sering dirasakan oleh Eva Duani. Interpretasi sebab-sebab pemberontakan pada
masa Jayanegara sungguh berbeda antara sejarawan nasional dengan sejarawan asing. Ada delik politik kontemporer yang membatasi imajinasi sejarawan lokal untuk bebas berinterpretasi. Ia sendiri lebih percaya pada interpretasi-interpretasi yang tidak biasa.
"Alasan pemberontakan itu hanya berlaku untuk pemberontakan Ranggalawe, itu pun tidak murni. Sisa-nya ditutupi oleh kepentingan politik kontemporer Indonesia. Penguasa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi ingin menyembunyikan bagian sejarah mungkin dengan dalih persatuan nasional," urai Eva Duani dengan lebih serius. "Semua pemberontakan itu dilandasi satu kesamaan, yaitu semangat anti asing. Jayanegara adalah raja yang beribukan orang asing, seorang puteri dari Darmasraya."
Sejak Kertarajasa menikahi empat orang puteri yang berasal dari empat tempat yang berbeda, terjadi perpecahan di kalangan orang dekat raja. Pertama adalah mereka yang menyetujui persekutuan suci Kertanegara lewat perkawinan Kertarajasa bisa disebut golongan Pan-Indonesia dan golongan yang me-nen-tang-nya yang menginginkan kemurnian darah Jawa, anti asing. Pemberontakan Ranggalawe sendiri menurut Eva Duani, tidak bisa dilepaskan dari kemungkinan ini. Selain masalah posisi, pemberontakan yang ber-langsung pada 1295 itu juga dipicu oleh pengangkatan Kalagamet atau Jayanegara sebagai Putera Mahkota yang mendapat daerah lungguh Kediri. Putera mahkota dengan ibu seorang Darmasraya ini jelas telah diberi pengakuan dan kelak akan menggantikan Kertarajasa. Karena anaknya masih kecil dan raja sering sakit-sakitan, maka Dara Petak untuk sementara menjabat sebagai raja sementara.
Pengaruh Dara Petak beserta rombongan penasehat dari Darmasraya atau Minangkabau Tengah jelas menimbulkan sikap antipati golongan anti asing. Alasan yang sama juga mendasari pemberontakan Lembu Sora kemudian pemberontakan Nambi. Hingga dipuncaki dengan pemberontakan paling besar, Kuti Semi.
"Semua itu berakar pada sentimen tribalisme Jawa Kuno," Eva Duani menegaskan penjelasannya.
"Kalau begitu kenapa Gajah Mada menyelamatkan Jayanegara"" Timur Mangkuto menyela.
Gajah Mada bersama dengan lima belas orang Bekel Bhayangkarinya menyelamatkan Jayanegara dari pemberontakan yang hebat itu sehingga raja harus mengungsi ke luar kota. Berkat strategi yang dijalankan dengan tepat oleh Gajah Mada, Majapahit kembali dapat dikuasai.
"Gajah Mada adalah seorang yang visioner. Ia sadar tidak mungkin baginya untuk mencapai segala cita-citanya kalau harus mengkhianati keturunan Kertarajasa. Satu-satunya cara untuk mencapai visinya adalah mem-pertahankan kesetiaan pada keturunan Kertanegara dan Dara Petak itu
," jelas Eva Duani. "Visi apa""
"Visi yang juga dulu pernah dimiliki oleh Kertanegara, tentang sebuah Imperium. Gajah Mada mungkin melihat kuncinya ada pada benda yang di-bawa oleh Dara Petak dan para pengiringya."
"Serat Ilmu""
"Mungkin" Timur Mangkuto terdiam. Angannya melayang layang pada masa ratusan tahun yang silam itu. Membayangkan kesepian yang dialami oleh Dara Petak dan para pengiringnya di ibukota Majapahit. Bagaimana mereka
menghadapi kebencian yang mengepung mereka. Itu semua demi tugas yang harus ia emban untuk membangkitkan negara yang hilang di tempat yang berbeda. Untuk kemudian kandas lagi.
"Bagaimana dengan pembunuhan terhadap Jayanegara"" pertanyaan itu begitu saja muncul dalam benak Timur Mangkuto.
"Kitab Parraraton menyebutkan pembunuhnya adalah Tanca, seorang tabib kerajaan yang sebelumnya disuruh oleh Gajah Mada memotong bengkak raja. Tetapi ia malah menikam raja sehingga ia pun ke-mudian dibunuh oleh Gajah Mada. Sedangkan me-nurut sumber Pamancangah yang berasal dari Bali, Tanca disuruh oleh Gajah Mada untuk membunuh Jayanegara."
"Menurutmu mana yang benar""
"Hmm..." Eva Duani menggigit-gigit bibirnya se-perti tengah memperhitungkan konsekuensi dari ke-mungkinan yang akan ia sampaikan. "Kemungkinan kedua, Tanca disuruh oleh Gajah Mada."
Timur Mangkuto terlonjak. Sulit bagi dirinya un-tuk menerima kenyataan itu. Nama Gajah Mada ter-lanjur harum selama ini dalam bunga rampai sejarah Nusantara.
"Aku sulit untuk memercayai hal itu," Timur Mangkuto menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Memang sulit. Tetapi bukankah pada masa itu pembunuhan adalah hal biasa."
"Lalu kenapa Gajah Mada harus menghilangkan Jayanegara."
"Pertentangan visi."
"Visi apa""
"Visi negara atau kerajaan. Jayanegara mungkin menginginkan imperium yang akan mereka bangun itu
adalah integrasi ide dan gagasan sebagaimana darah yang mengalir dalam tubuhnya. Sementara Gajah Mada menganggap imperium itu tidak lebih dari integrasi wilayah lewat sumpah palapanya kelak. Gajah Mada sadar, Jayanegara satu-satunya orang yang akan meng-halangi cita-citanya itu."
Sejak meninggalnya Jayanegara hingga 1364, praktis Gajah Madalah orang paling berkuasa dan menentukan di Majapahit. Ratu dan raja pada masa itu tidak lebih dari alat legalitas belaka.
"Jadi Negara Ketiga itu berakhir ketika Jayanegara mangkat"" Timur Mangkuto ingin memastikan.
Para Penjemput mengawal negara hingga mereka dilupa.
"Tampaknya keyakinan KePaRad memang seperti itu. Kita tinggal mengikuti interpretasi mereka saja."
"Satu selalu dituai bencana adalah Jayanegara. Dan satu mencari asalnya adalah Adityawarman""
"Tepat, sebagian ahli menyebutkan bahwa ia adalah anak dari hasil perkawinan singkat antara Dara Jingga dengan Kertarajasa. Sebagian lagi menyatakan ia adalah anak dari perkawinan antara Dara Jingga dengan Tuan Janaka, salah seorang pembesar pada masa itu," Eva Duani senang melihat bagaimana Timur Mangkuto cepat menangkap jalinan cerita masa lalu itu.
Setelah kematian Jayanegara, sebenarnya jasa dan kecerdasan Adityawarman masih digunakan oleh Gajah Mada. Ia pernah menjadi utusan kerajaan ke Tiongkok. Pernah juga mendampingi Gajah Mada dalam pe-naklukan Bali. Namanya ikut diabadikan di Candi Jago. Tetapi pada akhirnya Adityawarman kembali ke tanah asal ibunya,
Darmasraya pada 1347. Adityawarman kemudian masuk ke pedalaman Minangkabau, berusaha untuk memerangi dan menundukkan kerajaan yang masih satu kerabat dengan Darmasraya. Tetapi dengan kelicinan Datuak Perpatiah Nan Sabatang, perang dapat dihindari. Minangkabau pedalaman yang merupakan negara kesejahteraan tidak harus takluk pada Adityawarman. Hanya perlu sedikit perubahan adat untuk membuat Adityawarman tidak begitu berarti di mata rakyat.
"Kemungkinan besar Serat Ilmu itu dibawa kem-bali oleh Adityawarman ke Minangkabau. Itu sebabnya Datuak Katumanggungan percaya begitu saja me-nye-rah-kan kekuasaan kepadanya," Eva Duani mempertegas analisanya. "Kerajaan Minangkabau dengan orientasi ke dalam dan otonomi nagarinya bisa bertahan hingga abad ke-19. Sedangkan Majapahit, dengan politik in-tegrasi wilayah Gajah Mada-nya, praktis
setelah ke-matian Gajah Mada mengalami masa kemunduran menuju kehancuran."
Lalu datanglah bencana itu, dari dalam musuh-musuh itu masuk mencari Serat Pemberi.
"Itulah Perang Paregreg, 1401 hingga 1406 Masehi," lanjut Eva Duani. "Perang saudara untuk memperebutkan secuil kekuasaan yang telah menghancurkan Majapahit."
Negara Kelima Karya Es Ito di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Timur Mangkuto menganggukkan kepalanya berulang kali. Ia mulai bisa menerima semua penjelasan dan argumen yang disampaikan oleh perempuan putih bermata agak sipit itu.
"Majapahit runtuh karena perang saudara. Bukan karena masuknya Islam," Timur Mangkuto mencari kesimpulan sendiri. "Pada masa itu Majapahit adalah matahari senja sedangkan Islam adalah matahari pagi. Peradaban harus berganti dan orang harus memilih yang memberi siang dan cerah."
Timur Mangkuto tiba-tiba bangkit dari tempat duduk nya. Ia berlari menuju arah beranda depan rumah. Bunyi derap sepatu lars tertangkap oleh telinganya. Ia menyibakkan kain korden. Lalu kembali duduk di samping Eva Duani. Berusaha untuk bersikap te-nang. Ia berbicara pelan.
"Pasukan Riantono telah mengepung seluruh rumah ini. Kita terjebak di dalam rumah!"#
53 "Timur Mangkuto, menyerahlah! Kami beri waktu lima
belas menit untuk keluar!"
Seruan polisi dari pengeras suara terdengar dari arah luar rumah. Timur Mangkuto tidak menghiraukan. Menyerahkan diri sama saja bunuh diri. Kalau tidak dibunuh pada saat keluar rumah, pastilah nanti ia akan menghadapi hukuman mati atas tuduhan rentetan pembunuhan yang ia tidak lakukan.
Ia coba mencari akal. Kemudian naik ke lantai dua. Ia mendapati sebuah kamar tunggal dengan satu balkon kecil. Tetapi setelah ia perhatikan lagi ternyata kamar tunggal itu tidak hanya memiliki balkon kecil. Sebab pintu kecil pada bagian belakangnya bisa tembus hingga belakang. Ruang terbuka pada bagian belakang lantai dua rumah itu ternyata jauh lebih luas dari kamarnya. Selain pot-pot bunga yang dipajang mengikuti alur dinding, sebagian besar dari ruang terbuka itu digunakan sebagai tempat untuk menjemur pakaian.
Sisi kiri dari rumah itu langsung berhadapan dengan jalan samping. Sedangkan sisi kanannya bertemu dengan tembok yang membatasi rumah itu dengan rumah tetangga di sebelahnya. Sisanya tidak ada tembok pembatas kecuali gundukan adukan semen. Ia bisa melihat beberapa mobil yang terparkir di jalanan belakang rumah.
Ia turun lagi ke lantai dasar. Ia dapati roman wajah pucat Eva Duani. Kejadian ini mungkin hal paling menegangkan seumur hidup yang pernah ia alami. Timur Mangkuto coba menenangkan. Ia merengkuh pundak perempuan muda itu.
"Tenang Eva. Mereka hanya memburu aku!"
"Tapi..." Timur Mangkuto meletakkan telunjuk tangannya pada bibir Eva Duani, memberi isyarat untuk tenang. "Aku akan coba mengulur waktu." Timur Mangkuto bergegas menuju meja telepon. Ia memencet-mencet nomor tertentu.
"Komisaris ada apa dengan semua ini"" Timur Mangkuto tidak perlu mengenalkan diri lagi ketika di seberang telepon orang yang ia hubungi mengangkat telepon.
"Timur menyerahlah, keadaan sudah semakin memburuk sekarang."
"Apa Anda percaya saya pelaku semua itu, Komisaris""
"Entahlah, tetapi menyerahkan diri lebih baik dari semua keputusan yang akan kau ambil."
"Beri aku waktu Komisaris!" Timur Mangkuto berpikir sesaat. "Teka-teki itu hampir aku pecahkan Komisaris. Beri aku waktu untuk membuktikan bahwa aku sama sekali tidak terkait dengan semua ini."
"Bagaimana dengan pencurian di museum""
"Aku dijebak oleh KePaRad itu!"
"Timur Mangkuto, hitungan waktu lima belas menit An da dimulai dari sekarang!" teriakan dari pe-ngeras suara polisi memotong pembicaraan Timur Mangkuto.
"Bagaimana aku bisa percaya padamu"" laki-laki di seberang telepon itu berbicara lagi.
"Anda telah mengenalku, Komisaris. Aku tidak mungkin berbohong. Beri saja aku waktu. Menjelang esok pagi, aku pastikan pemecahan teka-teki ini akan berada di tangan Anda. Bersama-sama kita akan membekuk KePaRad itu!"
"Ahh..." laki-laki di seberang telepon mengeluh. "Tetapi tampaknya susah bagiku untuk mencegah penyergapan rumah ini."
Timur Mangkuto mengusap-usap keningnya. Ia mulai tegang. Sementara waktu lima belas me
nit yang diberikan polisi padanya terus berkurang. Ia mencoba untuk berspekulasi.
"Dalam lima menit ke depan aku akan membuat pengalihan perhatian. Tolong Anda bantu mengalihkan polisi."
"Aku coba. Tetapi aku butuh jaminan, setelah kabur kau tidak akan menghilang""
"Aku akan terus coba menghubungi Anda, Komisaris."
Telepon itu langsung terputus. Timur Mangkuto bergegas mendekati Eva Duani.
"Apa kamu punya botol kaca""
"Botol kaca"" Eva Duani tergagap.
Tidak lama ia berlari ke arah kulkas dekat dapur. Tiga buah botol kaca minuman ringan ukuran sedang ia serahkan.
Tiba-tiba listrik di dalam rumah padam semua. Polisi tampaknya sudah mulai menyiapkan penyergapan. Eva Duani kalang kabut. Ia masih sempat menyambar pon-selnya, kemudian menyalakannya. Lampu biru layar ponsel cukup membantu.
"Aku harus keluar rumah sekarang, mengambil bensin
dari tangki mobil," lanjut Timur Mangkuto.
"Untuk apa"" Eva Duani mencemaskan keselamatan Timur Mangkuto.
"Untuk mengisi botol kaca ini."
Ia meminta Eva Duani untuk menyiapkan sumbu-s umbu dari sobekan kain untuk menyumpal mulut botol kaca itu. Eva Duani teringat sesuatu.
"Apa bensin bisa diganti minyak tanah""
Tentu!" Timur Mangkuto menjawab mantap. "Apa kamu punya""
Eva Duani teringat akan kompor minyak tanah tua yang masih terus ia pelihara. Ia yakin minyak tanah di dalam kompor itu masih banyak. Sebab terakhir kali digunakan ketika ia membuat kue dari oven tradisional, minyak di dalam kompor itu cuma berkurang sedikit. Ia berjalan ke arah dapur kemudian membawa kompor itu ke hadapan Timur Mangkuto.
Derap langkah sepatu lars polisi terasa semakin mendekat. Tampaknya beberapa dari mereka sekarang telah berada di teras rumah.
Timur Mangkuto cepat berlari ke lantai dua. Ia agak kesulitan dalam gelap. Dua buah botol kaca berisi minyak tanah lengkap dengan sumbunya ia bawa ke atas. Ia menyulut sumbu itu. Kemudian me-lempar-kannya.
"Duerrrrrrrrrrrrrr......"
Terdengar ledakan keras di belakang rumah yang tengah dikepung polisi itu. Dari arah jalan depan rumah terdengar perintah.
"Cepat, keluar dari rumah! Timur Mangkuto mencoba lari dari arah belakang rumah. Rumah itu se-bentar lagi akan meledak!" perintah itu kembali di-ulangi. "Cepat menjauh dari rumah itu. Bergerak sekarang juga ke
belakang rumah." "Dueeerrrrrrrrrr..."
Terdengar satu ledakan lagi, masih dari dari arah belakang rumah itu. Prajurit-prajurit yang sudah berada di teras dan samping rumah buru-buru keluar dari pekarangan rumah. Semua perhatian mereka sekarang tertuju pada bagian belakang rumah. Mereka berlarian seperti tanpa komando menuju arah ledakan. Dua buah mobil yang diparkir pada jalanan di belakang rumah itu tampak terbakar. Tampaknya sebuah bahan peledak telah dilemparkan ke arah mobil kosong itu.
Di dalam rumah, Timur Mangkuto cepat bergegas turun. Ia meminta Eva Duani membereskan segala sesuatunya termasuk membawa buku-buku yang dianggap perlu. Setelah memastikan pancingannya berhasil, Timur Mangkuto berencana melarikan diri lewat pagar depan rumah yang telah dikosongkan prajurit polisi.
Tidak lama terdengar suara mesin mobil distarter. Mo bil itu langsung menderum menerobos penghalang polisi. Polisi-polisi itu sadar baru sadar mereka telah dikelabui. Mereka berusaha menahan laju kijang itu, tetapi tidak berhasil.
Timur Mangkuto tersenyum puas melihat para polisi yang kesulitan mengejar mereka. Para penduduk di sekitar rumah itu, berlarian keluar rumah. Bunyi ledakan tadi membuat mereka tidak sabar untuk men-cari tahu. Mereka memenuhi jalan-jalan, menghalangi polisi yang coba melakukan pengejaran. Tetapi tampak-nya satu mobil polisi berhasil lolos dari kerumunan penduduk. Timur Mangkuto melirik spion, memberi kesempatan pada mobil di belakangnya untuk lebih mendekat.
Ketika jarak mobil itu ia rasa sudah cukup dekat. Ia
melirik pada Eva Duani. Wajah perempuan muda itu tampak masih sangat tegang,
"Mau coba petasan molotov ini"" ia tersenyum sambil menyerahkan sisa satu botol kaca berisi minyak dengan sumbu kain itu lengkap dengan korek api kepada Eva Duani. "Sulut bagian sumbunya kemudian lemparkan secepatnya ke belakang."
Eva Duani mengambil benda itu dengan ragu-ragu. Ia bergidik ngeri. Tetapi ia memaksakan diri untuk mengikuti perintah Timur Mangkuto. Ia me-nyulut benda itu, kemudian melongokkan kepalanya ke belakang mobil. Bom molotov itu ia lemparkan.
"Deuerrrrr" Terdengar bunyi ledakan kecil. Disusul kemudian dengan bunyi rem mobil berdecit. Pengemudi mobil di belakang mereka hilang kendali, kaget dengan benda yang dilemparkan ke arah mereka itu. Mobil itu me-nabrak pagar rumah tinggi di sampingnya.
Kijang itu terus menderu menuju jalanan besar.#
54 "Siapa tadi yang memberikan perintah pada prajurit
untuk meninggalkan penjagaan bagian depan""
Riantono menunjukkan kemurkaannya. Ia memandangi satu persatu perwira yang mengelilinginya di teras rumah Eva Duani. Ia benar-benar merasa dipecundangi oleh Timur Mangkuto. Sulit bagi dirinya untuk menerima kenyataan, pasukan sejumlah satu satuan setingkat kompi bisa diakali dengan trik murahan bom molotov.
"Siapa"!" ia mengulang pertanyaan.
"Saya Komandan!"
Riantono terlonjak kaget mendengar pengakuan jujur itu. Sebab pengakuan itu berasal dari Melvin, bawahan kepercayaannya.
"Apa"" ia coba meyakinkan.
"Saya tadi yang memberikan perintah, Komandan," Melvin mengulangi. "Plaaaakkkk!"
Sebuah tamparan bersarang di pipi kanan Melvin. Riantono tidak bisa menahan kemarahannya. Ia me-narik kerah baju Melvin.
"Kenapa kau gagalkan semua ini""
"Saya memikirkan keselamatan pasukan yang mengepung, Dan"
"Anjing! Sejak kapan kau penakut seperti ini""
Melvin menundukkan kepalanya. Ia benar-benar malu diperlakukan seperti itu di depan perwira lain yang pangkat mereka jauh dibawahnya. Tetapi ia tidak punya pilihan lain, selain menerima begitu saja perlakuan Riantono.
Riantono masuk ke dalam rumah. Buku-buku yang bergelatakan di atas meja, ia sapu dengan tangan-nya. Profesor Budi Sasmito yang berdiri di belakangnya menahan nafas.
"Apa yang mereka lakukan dengan buku-buku ini, Prof"" Riantono bertanya tanpa harus membalikkan badan.
"Saya juga tidak mengerti."
"Tolol, masak Anda tidak bisa menyimpulkan," Emosi Riantono meledak lagi. "Apa kesimpulan yang mungkin""
"Mereka juga belum menemukan Serat Ilmu. Buku-buku ini mereka gunakan untuk menerjemahkan teka-teki yang sama dengan kita."
"Artinya KePaRad juga belum temukan benda itu""
'Sangat mungkin belum. Kalau kita asumsikan orang-orang di dalam rumah ini juga bagian dari kelompok itu."
"Tidak ada asumsi, Profesor. Timur Mangkuto, Profesor Duani Abdullah, puterinya, dan Genta adalah bagian dari kelompok itu. Kalau bukan, kenapa mereka lari dan menghindar""
Profesor Budi Sasmito merasa tidak perlu untuk menjawab pertanyaan itu. Ia sendiri bingung seperti apa posisi sesungguhnya dari Timur Mangkuto dalam kasus ini. Ia masuk mengikuti prajurit memeriksa kamar Profesor Duani Abdullah. Tidak lama dari dalam kamar terdengar teriakan, "Profesor!"
Profesor Budi Sasmito cepat berlari menuju sum-ber suara. Melvin mengarahkan telunjuknya pada ba-gian
kepala ranjang. "Apa arti angka-angka itu, Prof"" Roman wajah Profesor Budi Sasmito berubah menjadi cerah. Ia memelototi deretan angka sebanyak tiga baris dengan dua baris berisi tanda baca tunggal.
! 1221 1061 7256 5500 3863 4527 6636 9451 2187 1732 8108 " "Aku rasa tidak lama lagi misteri ini akan bisa aku pecahkan," ia berseru.
"Bagaimana bisa""
"Aku pernah melihat rahasia angka dan tanda itu. Tetapi aku perlu mempelajari dan membandingkannya dengan pesan yang dulu pernah aku pecahkan. Pesan antara dua kolega yang mengkhianati aku."
Senyum puas tersungging di bibir Profesor Budi Sasmito. Ia tahu angka-angka dan tanda itu adalah cara berkomunikasi yang dulu digunakan dua bekas rekannya. Ia dendam karena dua orang itu tidak pernah percaya pada dirinya. Dulu ia pernah berhasil memecahkan arti angka-angka itu. Ia hanya perlu membandingkannya dengan apa yang pernah ia pecahkan dulu.
"Lima deret tanda dan angka ini jelas menunjukkan lima teka-teki negara," ia bergumam.
"Tetapi kenapa Profesor itu menuliskannya di sini""
"Mungkin ada yang membawa ia pergi. Dan ia ingin anaknya tahu ke mana ia pergi," Profesor Budi Sasmito tidak s
abar untuk segera memecahkan teka-teki angka
itu. "Kombes, aku rasa penggerebekan ini sudah membawa hasil. Malam ini juga aku akan beri-tahu hasilnya!"
Baru kali ini Riantono merasa yakin dengan kata-kata Profesor Budi Sasmito. Melvin menarik nafas lega. Sementara Profesor Budi Sasmito seakan me-nemukan celah untuk menunaikan dendam lamanya pada dua orang yang telah mempecundanginya itu. Walaupun tinggal Profesor Duani Abdullah yang masih hidup.
Sebelum meninggalkan rumah itu, Riantono masih menumpahkan kekesalannya pada Melvin, "Melvin! Setelah operasi ini selesai semua, aku janjikan karirmu akan habis di dunia kepolisian. Nasibmu tidak akan berbeda jauh dengan apa yang pernah dialami Timur Mangkuto ketika menolak perintahku!"*
55 Mobil yang dikendarai Timur Mangkuto terus bergerak meninggalkan daerah Depok. Sepanjang jalan Margon-da Raya menuju arah Jakarta tidak tampak keramaian kendaraan. Timur Mangkuto bisa mempertahankan kecepatan mobilnya sepanjang perjalanan itu. "Sekarang ke mana""
Pertanyaan Eva Duani itu seperti menyadarkan Timur Mangkuto bahwa pelarian mereka sebenarnya belum berakhir. Setidaknya saat ini ia seharusnya mencari tempat yang cukup aman untuk bisa memecahkan sisa teka-teki lima negara milik KePaRad. Tetapi ia sendiri bingung. Jakarta terasa menjadi sempit bagi dirinya saat ini. Semua tempat seperti sudah dipenuhi oleh polisi yang ingin menangkap dirinya.
"Aku sendiri masih bingung," jawab Timur Mangkuto.
"Bagaimana dengan perwira polisi yang tadi menolong kita mengalihkan perhatian polisi lainnya""
"Komisaris Melvin, maksudmu""
"Iya." "Aku ragu ia bisa membantu lagi," Timur Mangkuto tampak bimbang.
"Lho, tadi kenapa dia mau membantu dan begitu cepat percaya padamu. Lagi pula kenapa kamu tadi memilih
menghubungi dia"" Eva Duani bingung.
"Dia sebenarnya tidak jauh lebih baik dibanding Riantono. Hanya saja ia tidak memiliki masalah pribadi denganku.
"Kenapa dia mau bantu""
"Karena ia mau menggeser Riantono dari kasus ini. Ia ingin jadi orang pertama yang tahu pemecahan teka-teki ini. Itu yang tadi aku janjikan kepada dia. Secara tidak langsung, nantinya kontrol kasus ini akan berada di tangannya."
"Persaingan antara perwira menengah""
"Ya, semacam itulah. Melvin tampaknya ingin menguasai kasus ini. Ingin menjadikan kasus ini se-bagai jembatan untuk promosi pangkat."
Kijang itu melewati perbatasan Jakarta Selatan dengan Depok, lewat di hadapan gerbang putih kampus UI. Turun dan naik tanjakan pendek jalan satu arah. Setelah melewati kampus Pancasila, Timur Mangkuto melambatkan laju mobilnya. Ia mulai heran melihat lalu lintas yang agak padat mendekati pertigaan Pasar Lenteng Agung. Dengan jumlah kendaraan dari arah Depok menuju Jakarta yang tidak begitu banyak, seharusnya kepadatan ini tidak terjadi.
"Tampaknya di pertigaan Lenteng Agung kita akan dapat masalah," Timur Mangkuto bergumam.
Tetapi ia sudah terlanjur melewati perlintasan jalan yang memotong rel kereta listrik yang menuju jalan satu arah lainnya yang mengarah kembali ke Depok. Benar saja, seratus meter menjelang pertigaan pasar Lenteng Agung, terlihat lampu sirene polisi. Tiga unit mobil polisi tampak berjaga. Memeriksa setiap kendaraan jenis kijang yang lewat.
Timur Mangkuto menghentikan laju mobilnya. Tiba-tiba ia memundurkan mobil dengan kencang. Terdengar bunyi klakson dari mobil-mobil di belakangnya. Tetapi Timur Mangkuto terus saja memundurkan mobil. Bunyi klakson bersahutan dari beberapa bus dan mikrolet T-19 menarik perhatian polisi. Dari jarak lebih dari seratus meter mereka melihat sebuah kijang berwarna hitam berusaha untuk mundur.
Sirene polisi mengaung. Mereka mengejar mobil yang tengah mundur itu. Tentu saja lalu lintas menjadi kacau balau sebab seharusnya jalan itu hanya boleh dilewati satu arah menuju Jakarta.
Satu gang kecil akhirnya didapatkan oleh Timur Mangkuto. Ekor mobil ia sorongkan ke sana, memutar arah mobil, mengarah kembali ke arah Depok. Ber-lawanan dengan arah jalan satu arah.
"Tiiit...tiiiittt...tiiiiitttt..."
Bunyi klakson panjang bersahutan. Beberapa kali kijang itu hampir bertabrakan dengan bis-bis ukuran
tiga perempat Miniarta jurusan Pasar Minggu dan Kopaja 63 jurusan Blok M.
Raungan sirene polisi semakin mendekat. Timur Mangkuto terus berusaha menghindari kendaraan-kendaraan berlawanan arah yang hampir bertabrakan dengan mobilnya. Mobil polisi yang mengikutinya tinggal beberapa meter di belakang. Ia melihat jalan yang melintasi rel kereta api di daerah Gardu, persis di depan Markas Perbekalan dan Angkutan Angkatan Darat.
"Tengg...tengg...tengggg..."
Terdengar jeritan alarm di perlintasan kereta. Portal kayu berwarna merah putih mulai diturunkan untuk menghalangi kendaraan yang akan melintas. Dari arah Depok
tampak lampu sorot kereta listrik mulai men-dekat.
Timur Mangkuto dilanda bimbang. Berhenti dan menunggu kereta itu lewat sama saja dengan me-nyerahkan dirinya pada polisi yang mengejarnya. Ia tidak punya banyak pilihan.
"Eva kencangkan sabuknya!"
"Praaaaakkkkkkk..."
Kijang hitam itu menembus portal. Moncong ke-reta listrik itu hanya berjarak beberapa meter dari bemper belakang mobil. Kalau Timur Mangkuto ter-lambat satu detik saja melajukan mobil, mereka sudah habis.
Polisi yang mengejar di belakang mengutuk. Kereta listrik itu telah menghalangi pengejaran mereka. Setelah hampir satu menit kereta melintas, portal tidak juga dinaikkan. Malah terdengar alarm baru pertanda akan ada kereta melintas dari arah Jakarta. Mereka tidak tahu ke mana buruan itu sekarang tengah mengarah.
"Kita kembali ke arah Depok," ujar Timur Mangkuto.
"Polisi pasti sudah terlanjur mengira kita akan mengambil arah kiri, menuju Kelapa Dua."
Eva Duani tidak membantah tetapi juga tidak me-ngiyakan kata-kata Timur Mangkuto. Hampir tiga hari bersama perwira muda polisi itu, baru hari ini ia merasakan kegilaannya. Dengan kecepatan cukup tinggi mereka kembali menyisiri Jalan Margonda Raya. Se-belum terminal Depok, kendaraan itu mengambil belok-an ke kanan. Kemudian masuk ke jalan-jalan kecil. Timur Mangkuto yakin, mereka sudah lepas dari ke-jaran polisi. Laju kendaraaan ia kurangi.
"Tampaknya strategi yang kita ambil dalam memecahkan teka-teki lima negara itu salah"" Timur Mangkuto membuka pembicaraan.
"Maksud kamu""
"Kenapa kita tidak mulai memecahkan teka-teki dari Negara Kelima bukan dari Negara Per-tama""
"Bukankah lebih bagus mendapatkan suatu cerita dari sebuah proses naratif yang berurutan," Eva Duani tampak bingung. "Memangnya kenapa""
"Pada saat tadi kamu memecahkan teka-teki tentang Negara Kedua, aku sempat memikirkan teka-teki Negara Kelima."
"Jadi kamu tadi tidak memerhatikan pen-jelasan-ku"" Eva Duani merenggut terkesan agak manja.
"Aku perhatikan," Timur Mangkuto menatap Eva Duani. "Tetapi ketika aku sudah yakin bahwa jawab-annya sudah kamu dapatkan. Aku baru memikirkan teka-teki Negara Kelima."
"Kamu dapatkan jawabannya""
"Tidak semua, tetapi justru aku memecahkan ba-gian pentingnya. Dan aku takut bagian penting itu akan membuat kita kehilangan akal dan menghentikan usaha kita ini!"
Eva Duani kaget mendengar jawaban itu. Dalam benaknya berkembang puluhan kemungkinan dalam menafsirkan kata-kata Timur Mangkuto.
"Jadi apa yang kamu temukan""
Timur Mangkuto memberi isyarat pada Eva Duani untuk mengeluarkan lembaran teka-teki lima negara. Mobil mereka terus melaju tetapi masuk lagi ke dalam jalan-jalan yang lebih sempit bahkan terkadang mereka melalui parit dan lubang. Jalanan kecil yang menghubungkan Depok dengan Cinere. Tanpa diduga, mereka muncul begitu saja di tengah keramaian pasar malam pinggiran Jakarta. Timur Mangkuto meng-hentikan mobil,
menepi. Ia mengambil buku atlas lengkap dari jok tengah mobil.
Negara Kelima adalah kebangkitan masa silam. Ketika matahari hadir tanpa ba-yangan, keputusan diambil pada puncak yang terlupakan. Para Penjemput menuai janji kejayaan masa silam. Itu adalah saat penentuan, ketika Para Penjemput tidak lagi ingat akan masa lalu berbilang tahun tetapi mendamba masa lalu berbilang ribuan tahun.
"Bagian mana yang telah kamu pecahkan"" Eva Duani memperlihatkan lembaran kertas itu.
Timur Mangkuto menunjukkan bagian awal teka-teki
itu. Negara Kelima adalah kebangkitan masa silam. Ketika matahari hadir tanp
a bayangan, keputusan diambil pada puncak yang terlupakan.
"Lalu kesimpulan apa yang kamu dapatkan dari teka-teki itu"" Eva Duani mendesak.
"Besok adalah hari yang dimaksud oleh KePaRad untuk deklarasi Negara Kelima mereka. Kita bahkan tidak tahu di mana mereka akan lakukan itu esok tengah hari."
Eva Duani sangat kaget mendengar jawaban Timur Mangkuto itu. Tetapi ia masih bingung dari mana jawaban tersebut didapatkan Timur Mangkuto.
"Mereka kembali menggunakan simbolisme geografi seperti teka-teki Negara Kedua. Aku membandingkannya dengan bagian pengetahuan tambahan yang terdapat pada buku atlas," jelas Timur Mangkuto. Eva Duani masih bingung, "Dan""
"Mereka kembali berbicara tentang daerah yang dilalui garis ekuator. Tetapi untuk Negara Kelima mereka berbicara tentang waktu bukan tempat."
"Kapan"" Eva Duani ingin lebih meyakinkan dirinya.
"Besok! Tepat tengah hari tanggal 23 September."
Jawaban itu terdengar aneh. Tetapi Timur Mangkuto buru-buru memberikan penjelasan dari mana ia men-dapatkan kesimpulan itu. Teka-teki itu sebagaimana teka-teki Negara Kedua memang mengandung teka-teki geografi yang nyaris sama jawabannya, yaitu ten-tang garis ekuator. Tetapi kata "ketika" yang sering berfungsi sebagai kata hubung waktu, membawa Timur Mangkuto pada kesimpulan bahwa hal ini berkaitan dengan waktu dan bukan tempat.
Ia tahu dua kali dalam setahun, daerah-daerah yang tepat dilalui oleh garis ekuator pada tengah harinya akan mengalami kondisi di mana matahari berada tegak lurus terhadap daerah itu. Sehingga tepat tengah hari, benda-benda yang ada di daerah itu akan kehilangan bayangannya.
Ia lalu mengadakan pengecekan pada atlas kapan persisnya kejadian itu. Jawaban pertama dari buku atlas melegakan, 21 Maret. Tetapi ketika ia mendapati jawaban kedua, 23 September, wajah Timur Mangkuto langsung tegang dan pucat. Matahari berada pada titik terdekat dengan bumi dan tepat memotong garis ekuator pada tanggal 21 Maret dan 23 September tiap tahunnya. Dan celakanya, malam ini adalah tanggal 22 September dan esok adalah tanggal yang dijanjikan itu.
"Apa itu cukup untuk menjelaskan bahwa kesimpulan tanggal itu tepat"" Eva Duani masih me-ragukan.
Timur Mangkuto mengeluarkan dompet dari balik saku
belakang celananya. Dari dalam dompet itu ia keluarkan satu sobekan kertas kecil berisi angka-angka.
"Aku memiliki kebiasaan mencatat tiap tanggal yang aku rasa penting," Timur Mangkuto memperlihatkan catatannya itu. "Konyolnya, aku juga suka mempermainkan angka di dalam tanggal itu. Hingga aku bisa mendapatkan kesimpulan yang terkadang aneh dan memberi tanda tertentu. Lebih konyol lagi aku sering percaya pada kesimpulan itu, termasuk sekarang ini."
"Dan apa maksud angka-angka ini""
"Itu adalah tanggal-tanggal yang terkait dengan aksi mengacaukan kepentingan publik yang dilakukan oleh KePaRad."
"18, 20, dan 23 Agustus kemudian 1 dan 6 September!" Eva Duani membaca catatannya tetapi ia masih belum mengerti apa yang hendak dijelaskan oleh Timur Mangkuto.
"Sebenarnya KePaRad melakukan dua jenis aksi yang berbeda pada tanggal 1 September, sehingga susunan tanggal seharusnya, 18, 20, 23, 1, 1, dan 6"
"Lalu"" "Cari selisih tiap bilangan mulai dari yang bawah."
Eva Duani tidak memerlukan waktu lama untuk menghitung selisih tiap bilangan itu. Dua puluh kurang delapan belas, 23 kurang dua puluh, satu dikurang 23, satu dikurang satu, dan terakhir enam dikurang satu.
"Dua, tiga, sembilan, nol, lima."
"Tuliskan dalam bentuk angka," Timur Mangkuto mem berikan instruksi.
Eva Duani mengikuti kemauan Timur Mangkuto, ia menuliskan angka itu pada kertas. Timur Mangkuto mengambil lagi kertas itu. Kemudian ia membatasi tiap
angka itu. 23/9/05 "Bagaimana, kamu membaca angka itu"" Timur Mangkuto seolah bangga dengan kemampuan analisanya.
"Brilian, 23 September 2005", Eva Duani berdecak kagum. "Jadi apa rencana selanjutnya, Inspektur""
Timur Mangkuto tidak langsung menjawab. Ia malah mematikan mesin mobil. Membenamkan diri pada jok mobil. Waktu kurang dari 24 jam, dengan tiga teka-teki yang baru mereka pecahkan, tampaknya telah mengalahkan mereka dalam pe-ngejaran in
i. Kau harus mendatangi sarang elang. Menunggunya lengah kemudian mematikannya.
Kata-kata yang pernah terucap dari mulut Makwo Katik itu tiba-tiba saja kembali terngiang-ngiang di telinga Timur Mangkuto. Ia merasa telah melupakan satu hal penting dalam penyelidikan ini. TKP, bukti primer yang seharusnya menjadi acuan polisi dalam penyidikan pembunuhan selama ini, tidak pernah hing-gap dalam pikirannya. Tampaknya itu pesan simbolis yang keluar dari mulut Makwo Katik.
"Nyonya Amanda, ibu Maureen," Timur Mangkuto bergumam sendiri.
Ia teringat pada cerita Rudi tentang penyidikan dan beberapa temuannya di rumah Nyonya itu. Timur Mangkuto menyumpahi dirinya sendiri, terlalu di-sibukkan oleh teka-teki kelompok itu. Tetapi ia sendiri bingung, bagaimana menemukan rumah ibu korban pembunuhan kedua itu.
"Nyonya Amanda"" Eva Duani tampaknya me-nyimak
gerak bibir Timur Mangkuto, "Siapa dia"" "Ibu dari korban pembunuhan kedua." "Maureen""
"Ya" jawab Timur Mangkuto pendek. Ia menarik nafas. "Ia mungkin bisa membantu kita dalam me-mecahkan kebuntuan waktu yang telah memasung kita."
"Maksud kamu""
"Aku berharap kita menemukan sesuatu dari Nyonya Amanda. Tetapi aku sama sekali tidak punya ide, bagaimana menemukan Nyonya Amanda itu."
Eva Duani terdiam. Ia menggigit-gigit bibirnya. Ia pandangi wajah Timur Mangkuto penuh kerisauan. Mungkin juga bercampur dengan kelelahan setelah semua hal mengejutkan yang mereka alami sepanjang hari ini.
"Kombes Atmakusumah," tiba-tiba Eva Duani berseru.
"Komandan Bagian Reserse dan Kriminal Polda Metro Jaya," lanjut Timur Mangkuto. "Kamu kenal dengannya""
"Iya, dulu aku pernah menghadiri pesta pernikahan anaknya dengan Rudi," Eva Duani tersenyum meng-ingat-ingat masa indah itu. "Kamu juga kenal bukan""
Timur Mangkuto menggelengkan kepala. Sekadar kenal mungkin, tetapi tidak lebih dari itu. Kombes Atmakusumah masuk menjabat sebagai Komandan Reskrim setelah dimutasi dari Mabes Polri, satu bulan setelah Timur Mangkuto dipindahkan ke Detsus Antiteror.
"Lalu"" "Mungkin ia bisa bantu mempertemukan kita dengan perempuan itu."
"Bagaimana kamu yakin ia masih mengenalmu"" Timur Mangkuto memandang ragu.
"Ia adalah orang yang memberitahukan kematian Rudi
kepadaku!" "Apa ia bisa dipercaya""
"Mungkin. Semoga ia juga memiliki masalah de-ngan Riantono!"
Eva Duani mengeluarkan ponselnya. Memencet-mencet nomor kemudian menunggu hingga telepon itu tersambung. Timur Mangkuto menunggu dengan penuh keraguan.*
56 Garis-garis kasar di permukaan pasir yang tandus.
Tergambar melingkar membentuk lima ruang tanpa sudut. Empat titik pada tiap lingkaran terpancang tiang-tiang kecil setinggi setengah meter dengan dominasi warna merah dan putih. Pada lingkaran terdalam dari lima lingkaran yang terbentuk dari garis-garis kasar terdapat lima tiang pancang setinggi satu meter hampir menutupi bagian tengah dengan ketinggian tiga perempat meter. Tiang pada bagian tengah lebih luas dan lebar, bagian puncaknya seperti alas permanen tempat meletakkan sesuatu.
Pola lingkaran itu dibuat pada sisi selatan pulau. Tepat di lereng dataran yang meninggi, mengerucut setinggi lebih dari dua ratus meter. Di mana-mana terdapat bongkahan batu besar berwarna hitam ke-coklatan seperti bekas muntahan dasar bumi. Dari arah utara, pola lingkaran dengan tiang-tiang pancangnya sama sekali tidak akan terlihat. Dua garis seperti mata panah terbalik membelah lima lingkaran yang menuju titik pusat tempat lima pancang dipatrikan mengelilingi satu tiang utama.
Negeri-negeri yang melingkupi kota adalah dataran
yang dikelilingi oleh gunung-gunung yang membujur ke arah laut. Deretan gunung itu terlihat seperti bujur tajam yang halus menuju satu arah sejauh 3000 stadia. Tetapi bujur yang melintasi bagian tengah negeri hanya berjarak 2000 stadia. Deretan gunung dan dataran ini mengarah ke arah selatan dan tidak bisa dilihat dari utara. Gunung-gunung yang mengitari pulau dipuja karena jumlahnya yang banyak, ukurannya yang besar, dan juga karena keindahannya.
"Nyaris mirip dengan cerita sebelas ribu tahun silam!" terdengar satu suara berat bergumam.
Pada gelap malam, Prof esor Duani Abdullah bersama lima orang anak muda yang bersamanya tiba di pulau. Teka-teki mengenai di mana pusat imperium Atlantis memang sudah berhasil dijawab oleh Profesor Sunanto Arifin. Pulau tersebut adalah kesimpulan dari pencarian mereka bertahun-tahun. Belum tenggelam seluruhnya tetapi yang tinggal tidak lebih dari seperseratus dari besar pulau yang sesungguhnya pada masa purba dulunya. Puncak yang telah terkikis menjadi tiga pulau-pulau kecil dengan puncak tidak berdaya.
Sekarang yang ia dapati di pulau tandus tanpa vegetasi dengan kabut menyesakkan paru-paru ini adalah anak-anak muda yang ingin kembali membangkitkan kejayaan Atlantis. Merancang sedemikian rupa sehingga aroma kejayaannya bisa kembali tercium dalam mata rantai sejarah yang hilang.
Lumban membawanya pada satu tebing dengan lereng yang terjal. Anak-anak muda menggotongnya hingga bisa masuk ke dalam cerukan gua yang terletak seperti menggantung di tengah-tengah dinding. Mereka memperlakukannya dengan baik. Mereka selalu mengatakan bahwa Para Pembuka memberi pesan untuk memperlakukan Profesor Duani Abdullah seperti seorang tamu terhormat.
Menjelang tengah malam, Ilham Tjakra meng-ajaknya naik ke atas pulau. Mendaki lereng yang cukup tinggi hingga sampai pada tempat yang tengah disiapkan oleh Para Pemula untuk prosesi yang dijanjikan. Tentu dua orang anak muda lainnya diperlukan untuk menggotong tubuhnya yang lemah.
"Bagaimana kesimpulan ini bisa didapatkan Nanto"" ia menatap Ilham Tegas yang terlihat puas melihat kerja Para Pemula di pulau itu.
"Kuncinya ada pada garis lurus ke utara mem-bentuk arah panah terbalik. Satu garis akan membujur sepanjang pantai barat Sumatera. Itulah Bukit Barisan yang membujur dari utara ke selatan hingga pulau ini. Pegunungan tersebut menutupi dari utara hingga bagian selatan. Satu garis lagi akan membujur menuju pantai timur Sumatera, mengarah ke laut Cina Selatan. Disitulah posisi daratan terluas yang pernah tenggelam. Bagian terbesar Benua Lemuria yang sekarang menjadi Laut Cina Selatan. Bukan begitu, Prof""
"Busur Taprophane, demikian orang-orang Dravida kuno menyebutnya. Dan lingkaran-lingkaran itu""
"Profesor tentu sudah bisa menebak sendiri."
Profesor Duani Abdullah memperbaiki posisi duduknya. Kakinya yang sudah lumpuh dan mati rasa, sulit untuk digeser dan digerakkan.
"Aku tahu lingkaran itu semakin mengarah ke dalam tempat kalian akan meletakkan Pillar Orichalcum atau Serat Ilmu. Bukankah apa yang kalian buat ini tidak lebih
dari replika Kuil Poseidon pada masa Atlantis silam""
"Aku tahu pengetahuan Anda tidak jauh berbeda dengan Profesor Sunanto Arifin, sebagaimana diceritakan oleh Para Pembuka."
"Ha...ha...ha..." Profesor Duani Abdullah yang tiba-tiba tertawa membuat Ilham Tegas memandanginya dengan heran. "Tetapi Kuil Poseidon kalian ini tanpa perak pada bagian luarnya. Tidak ada emas karena tidak ada puncaknya. Tidak ada gading gajah karena tidak ada lotengnya dan tidak ada Orichalcum karena tidak ada dindingnya sebagaimana gambaran kuil Poseidon pada masa Atlantis."
"Para Pembuka meminta kami menyesuaikan se-gala sesuatunya dengan kondisi, Prof."
Ilham Tegas menatap jauh ke depan. Me-mer-hatikan kawan-kawannya yang terlihat masih sibuk dan bersemangat mempersiapkan lima lingkaran upacara.
"Anda tetap tidak percaya kami bisa ubah peradaban ini, Prof""
"Sulit." "Sulit bagi generasi tua, tetapi selalu mungkin untuk kami yang muda."
Profesor Duani Abdullah menatap anak muda yang angkuh itu. Lalu tertawa geli melihat tiang-tiang pancang yang membatasi tiap lingkaran.
"Kalian masih menggunakan merah-putih sebagai bagi an dari ornamen""
"Merah-putih bukan milik Indonesia tetapi milik Nusantara. Warna itu sudah ada sejak ribuan tahun silam."
"Dari dongeng Muhammad Yamin bukan" Merah-putih sudah berkibar sejak 6000 tahun silam. He...he...he..."
"Mungkin," Ilham Tegas menyembunyikan wajah.
"Kediri pun menggunakan simbol merah-putih ketika menyerang Singasari yang sekarat."
"Kau percaya pada keterangan tidak lengkap Prasasti Kudadu tentang merah putih itu""
Laki-laki tua itu hanya tersenyum melihat kebingungan Ilha
m Tegas. Ilham Tegas mati langkah. Ia nyaris kehilangan argumen. Untung saja Profesor Duani Abdullah tidak terus mendesak dan mencecar dirinya.
"Sudah kalian pikirkan lagi revolusi itu""
"Tekad kami sudah bulat."
"Aku takut ada yang memanfaatkan semangat muda kalian""
"Apa maksud Anda"" Ilham Tegas menantang Profesor Duani Abdullah.
"Dugaanku mungkin tidak salah. Sunanto Arifin tidak sendirian memecahkan teka-teki ini. Ada satu orang lagi. Dan aku takut, ia..."
Negara Kelima Karya Es Ito di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ia, siapa"" Ilham Tegas mendesak.
"Dia telah kembali. Dia itu...ups!" tenggorokan Profesor Duani Abdullah tiba-tiba tercekik. Batuknya menjadi-jadi. Udara laut memancing penyakit lamanya. Ia mulai muntah-muntah lagi. Setelah isi perut habis, sekarang darah yang ia keluarkan. Beberapa orang anak muda berlari mendekati Ilham Tegas dan Profesor Duani Abdullah. Lalu membopong laki-laki tua itu menuju tenda kecil yang terletak tidak jauh dari lingkaran ke lima mereka. Profesor Duani Abdullah tidak sadarkan diri. Ilham Tegas terpaku pada tempat mereka tadi berdiri.#
57 Setelah mengalami kesialan beruntun, menghadapi wak
tu demi waktu dengan penuh kesulitan, pada akhirnya nasib baik mulai mendekati Timur Mangkuto dan Eva Duani.
Kombes Atmakusumah sangat kaget mendapat telepon dari Eva Duani. Lebih kaget lagi ketika ia mendengar cerita Eva Duani tentang bagaimana Riantono dan pasukannya mengejar mereka. Ia tidak menyangka kekuatan sedemikian besarnya dikerahkan untuk menangkap Timur Mangkuto.
Eva Duani berusaha meyakinkan Kombes Atmakusumah bahwa Timur Mangkuto sama sekali tidak bersalah. Ia menceritakan semua hal yang mereka alami. Termasuk bagaimana mereka memecahkan teka-teki lima negara itu satu persatu.
"Kalau begitu apa yang bisa saya bantu"" kata-kata dari seberang telepon itu membuat Eva Duani terlonjak. Ia menjelaskan apa yang mereka butuhkan. Kombes Atmakusumah minta waktu satu setengah jam untuk bisa membawa Nyonya Amanda itu pada mereka. Tempat pertemuan ditetapkan di keramaian pasar malam ini.
"Bagaimana saya percaya kalau ini bukan sekadar trik murahan untuk menangkap kami"" Eva Duani mengungkapkan kecurigaannya pada Kombes Atmakusumah.
Laki-laki di seberang telepon tertawa. Ia menjelas kan alasannya blak-blakan pada Eva Duani.
"Aku masih sakit hati pada Riantono. Harusnya kasus pembunuhan itu milik bagian Reskrim. Riantono telah merebut kasus ini dariku, tepatnya dari Rudi yang telah aku tunjuk menangani kasus ini," suaranya terdengar menjadi serak. "Sekarang kamu mengerti kan, aku menolong kalian bukan sekadar karena kebaikan hati" Ini tidak lebih dari balas dendamku pada apa yang telah dilakukan Riantono!"
Satu setengah jam menunggu kedatangan Kombes Atmakusumah digunakan Eva Duani dan Timur Mangkuto menghabiskan waktu mengitari pasar malam itu. Timur Mangkuto yakin dalam keremangan malam ini sulit bagi orang-orang untuk mengenali wajahnya. Lagi pula, tidak ada yang akan menduga kalau ia justru berkeliaran di keramaian orang di pinggiran Jakarta.
Mereka mencari tempat duduk. Lapangan rumput cukup luas yang terhampar pada sisi selatan arena pasar malam itu dipenuhi oleh orang-orang yang ingin menikmati malam dengan pasangannya masing-masing.
Timur Mangkuto memesan dua cangkir sekoteng. Mereka duduk di lapangan rumput itu. Beberapa meter di depannya tampak keramaian anak-anak bermain komedi putar. Timur Mangkuto mengeluarkan kertas berisi catatan angka yang tadi sore sempat ia catat. Lama ia memandangi catatan tersebut.
"Bilangan hakikat seperti ragam cahaya matahari yang berubah menjadi satu warna putih," Timur Mangkuto memecah kesunyian dengan mengucapkan apa yang pernah dikatakan oleh Profesor Duani Abdullah pada Eva Duani. "Apa yang sebenarnya ingin dijelaskan dengan
perumpamaan itu""
"Mungkin keragaman yang dianggap satu"" Eva Duani bingung.
"Bhinneka Tunggal Ika," Timur Mangkuto ter-kekeh. "Apa ada penjelasan yang lebih meyakinkan dari itu"" "Aku sama sekali belum punya ide..." "Apa itu hakikat""
"Esensi, intisari, pokok, mungkin semacam itu."
"Setiap bentuk jamak atau banyak pada intinya hanyalah satu hal. Setuju""
"Entahlah..." Eva Duani tampakny
a benar-benar menyerah. Keduanya kembali saling terdiam. Telunjuk Timur Mangkuto bermain-main pada tiap kelompok angka itu.
"Apa kamu pernah mendengar sebuah cerita mengenai cahaya putih yang dilewatkan pada satu prisma kaca""
"Teori fisika"" Eva Duani coba mengoreksi kata-kata Timur Mangkuto.
"Ya, mungkin semacam itu."
"Kesimpulan apa yang kamu dapat dari cerita demikian""
"Ketika dilewatkan pada sebuah prisma kaca maka cahaya putih akan terurai dalam beragam bentuk ca-haya. Merah, hijau, Jingga, kuning, ungu..."
"Lantas apa hubungannya dengan teka-teki angka""
"Bagaimana sebuah cahaya putih bisa terbentuk"" Timur Mangkuto balik bertanya.
"Dari gabungan cahaya beragam warna."
"Mungkin itu yang disebut spektrum cahaya," Timur Mangkuto mengulum senyum. "Aku pikir celah teka-teki sudah aku dapatkan. Berikan aku waktu beberapa saat untuk menjawab teka-teki."
Telunjuk Timur Mangkuto lincah menari pada kertas berisi catatan teka-teki angka tersebut. Ia me-musatkan perhatian pada baris kedua dari lima baris teka-teki tanda dan angka itu. Tidak lama telunjuknya berhenti menari. Ia menatap Eva Duani penuh rasa puas.
"Apa angka 682 memiliki arti tertentu untukmu""
"Mungkin," kata Eva Duani tak tentu. "Apa artinya""
"Itu tahun didirikannya Sriwijaya oleh Dapunta Hyang!" jawabnya dengan penuh rasa penasaran.
"Nah, apa aku bilang!" Timur Mangkuto berseru gembira. "Hanya dibutuhkan logika dari perumpamaan ini. Teka-teki angka sudah pecah!"
"Dari angka-angka itu"" Eva Duani tidak percaya. "Bagaimana bisa""
"Itulah bilangan hakikat dari baris kedua," Timur Mangkuto merapatkan duduknya.
"Bilangan hakikat seperti ragam cahaya matahari yang berubah menjadi satu warna putih!"
Timur Mangkuto tidak ingin membuat Eva Duani terjebak lama dalam kebingungan. Ia menjelaskan bagaimana angka 682 pada baris kedua ia dapatkan.
Ia berpegang pada satu hal, hakikat dari semua hal adalah satu. Organ-organ tubuh manusia begitu banyak tetapi pada akhirnya bekerja untuk satu tubuh seperti ragam aliran sungai yang bermuara pada satu lautan dunia yang bertaut tidak terpisahkan. Teka-teki ayahmu sebenarnya cukup mudah jika berpegangan pada kesimpulan itu.
"Pada hakikatnya berapa pun besarnya bilangan hanya akan memiliki bilangan inti satu sampai sem-bilan. Itulah inti bilangan. Berapa pun besar dan banyaknya digit
bilangan tetapi jika ditambahkan de-ngan bagian-bagian yang terdapat dalam bilangan itu sendiri, maka jumlahnya tidak akan lebih dari satu sampai dengan sembilan. Dengan syarat, penjumlahan dilakukan hingga mendapatkan sifat tunggal dari bilangan itu!
Tiap kelompok bilangan pada tiap barisnya terdiri dari empat angka. Untuk mendapatkan bilangan hakitat maka empat angka harus dijumlahkan satu sama lain. Seandainya hasil penjumlahan itu belum dalam bentuk bilangan tunggal atau lebih dari satu digit. Maka, bilangan-bilangan harus dijumlahkan lagi sehingga mendapatkan sifat tunggal dari bilangan. Tiap satu bilangan yang terbentuk pada kelompok empat angka akan menunjukkan tahun tertentu.
Timur Mangkuto berseri-beri. Teka-teki berhasil ia pecahkan. Tiap penjumlahan ia perlihatkan pada Eva Duani.
1221 1061 7256 682 Tahun berdirinya Sriwijaya. Angka berikutnya mengikuti pola yang sama.
5500 3863 4527 6636 1293 Tahun berdirinya Majapahit.
9451 2187 1732 8108 1948 "Tanda seru pada baris paling atas menggambarkan teka-teki itu sudah terjawab dan itu artinya Negara Pertama. Sedangkan tanda tanya pada baris paling bawah artinya ayah juga belum bisa memecahkan teka-teki Negara Kelima," Eva Duani menyimpulkan.
Ia tidak menyangka jawaban dari teka-teki bilangan hakikat begitu mudah dipecahkan oleh Timur Mangkuto.
"Artinya, semua hasil yang kita temukan terkait teka-teki Negara Kedua dan Ketiga cocok dengan apa yang sudah berhasil dipecahkan ayah," lanjut Eva Duani.#
58 "Tetapi apa arti 1948""
Pertanyaan itu seperti menghempaskan kembali mereka pada titik nol. Timur Mangkuto sebenarnya berharap kemerdekaan. Lalu apa arti 1948" Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas kurang seperempat dan mereka masih terjebak dalam pemecahan teka-teki. Beberapa penduduk mulai
beringsut dari pasar malam.
"Apa ada bagian lain dari teka-teki yang bisa dipecahkan untuk membantu interpretasi 1948 ini"" masalah tanda dan waktu dalam teka-teki Eva Duani tampaknya sangat mengandalkan Timur Mangkuto.
Ketika matahari memberi siang kepada selatan, utara ditimpa malam yang panjang, para penjemput menyambung nyawa dari negara yang sekarat. Tempo ketika waktu lama mencari asal kedatangan Para Pen-jemput pertama. Tempat yang dijanjikan tetapi terlupa. Perjalanan panjang menyusuri masa silam dari Para Penjemput pertama. Puncak-puncak kedua menjadi pelindung hingga orang-orang menyeberangi berhala menghantam impian menyebar kerusakan dalam janji dan runding. negara Keempat hilang terpendam orang-orang yang tidak ingin kehilangan muka. Mereka terlupa tetapi sejarah akan mencari
asalnya...sejarah akan mencari asalnya.
"Apa ada bagian dari kata-kata itu yang memberi makna kepada kita"" ia memandang Timur Mangkuto dengan dagu bertumpu pada tangan kiri.
"Bagaimana kalau kata-kata hanya makna simbolik"" Timur Mangkuto balik bertanya.
"Bagian mana""
Ketika matahari memberi siang kepada selatan, utara ditimpa malam yang panjang. Para Penjemput menyambung nyawa dari negara yang sekarat
"Maksudmu, itu semua makna simbolik dari Eropa yang hancur akibat Perang Dunia Kedua dan negara-negara selatan yang bisa mendapatkan kemerdekaan karena kehancuran bangsa-bangsa penjajah itu," Eva Duani tampak ragu dengan kesimpulan itu. "Tetapi kenapa tidak ditulis 1945" Sebab lebih berhubungan dengan sejarah Nusantara."
"Oh..." Timur Mangkuto seperti baru menyadari sesuatu yang hilang.
"Tetapi 1948 adalah bagian penting dari sejarah Nusantara..." ujar Eva Duani.
"Apa itu mungkin pemerintahan Yogja" Tetapi apa maksudnya dengan kata-kata Para Penjemput menyambung nyawa dari negara yang sekarat""
"Pemberontakan PKI Madiun"" Timur Mangkuto menjawab tanpa dasar yang jelas.
Mereka berdua seperti meraba-raba dalam gelap dengan ujung kekonyolan. Tiap kesimpulan meng-hempaskan mereka pada ketidakmungkinan. 1948 di Indonesia adalah pergantian kabinet, beragam per-janjian, posisi gerilya
yang terdesak, tetapi tidak ada hal yang memberi mereka keyakinan dan kepastian.
"Atau, jangan-jangan kalimat awal teka-teki ini juga tidak bisa diterjemahkan dengan sebuah ketidakpastian metafora"" Eva Duani menduga-duga
"Maksudmu""
"Bagaimana kalau teka-teki ini terkait dengan simbol-simbol geografis lagi"" "Ah..."
Eva Duani memandang Timur Mangkuto penuh harap. "Kenapa kita tidak coba""
Ketika matahari memberi siang kepada selatan, utara ditimpa malam yang panjang.
Eva Duani sama sekali tidak memiliki gagasan tentang teka-teki ini. Ia heran kenapa ayahnya tidak menulis saja langsung tiap kejadian tetapi me-ninggal-kannya dalam bentuk pesan. Timur Mangkuto teng-gelam dalam buku atlas lengkap yang ia bawa dari mobil. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa ujung pencariannya akan tetap berakhir dalam buku besar dan tebal ini.
Eva Duani akhirnya tidak salah dan Timur Mangkuto juga melakukan hal yang tepat.
"Titik balik matahari..." Timur Mangkuto berseru tertahan. "Konstelasi Capricornus..."
"Bagaimana penjelasannya"" tanya Eva Duani tidak sabar.
"Ini pasti berhubungan dengan tanggal tertentu." "Lalu""
"Konstelasi Capricornus terbentuk ketika matahari ber ada pada posisi paling jauh dari bumi dan terlihat berada pada titik paling selatan dari bumi. Sehingga belahan bumi selatan mengalami siang yang sangat panjang sementara
belahan bumi utara mengalami malam yang sangat panjang," Timur Mangkuto kembali bersemangat.
"Sudah aku duga ini tidak akan jauh berbeda. Apa kejadian itu menunjukkan tanggal tertentu""
"22 Desember tiap tahunnya, belahan bumi se-latan diberi cahaya matahari yang panjang, sedangkan belahan bumi utara akan mengalami malam yang pan-jang."
"Apa ada makna tertentu bagi Nusantara ini de-ngan tanggal 22 Desember""
"Hari Ibu," Timur Mangkuto menjawab se-kenanya.
"22 Desember 1948..." Eva Duani berusaha meng-ingat-ngingat. "19 Desember 1948 Agresi Militer Belanda Kedua ke jantung republik muda di Yogja. Tetapi apa ada hubungannya""
Para Penjemput menyambu ng nyawa dari negara yang sekarat.
Agresi Militer Belanda yang diawali dengan serangan mendadak pada Yogyakarta dengan penerjunan pasukan terjun payung di atas udara Maguwo memang menjadi titik terpenting dalam revolusi fisik. Masa ketika keyakinan diuji dengan kekalahan, keimanan dicoba dengan penderitaan, dan perjuangan dihantam dengan kekurangan. Tetapi sulit bagi Eva Duani me-ngaitkan peristiwa itu dengan apa yang telah ia pecah-kan dan dapatkan selama 24 jam ter-akhir. Yogyakarta jelas tidak memiliki arti apa-apa dalam rentetan per-jalanan panjang Serat Ilmu.
"Apa semua ini terkait dengan migrasi besar-besar-an intelektual Minang pada awal hingga pertengahan abad dua puluh ke Jawa. Hingga kelak pemerintahan Jogja
identik dengan pemerintahan Minang"" Eva Duani menggigit-gigit jari manisnya. "Apa mungkin para intelektual itu membawa Serat Ilmu yang mereka anggap telah membantu pembebasan Nusantara""
"Tidak, teka-teki in i tidak menjelaskan pergulatan yang terjadi di Jawa. Tetapi yang terjadi di Minangkabau..." jawab Timur Mangkuto.
Tempo ketika lama mencari asal ke-datangan Para Penjemput pertama. Tempat yang dijan-jikan tetapi terlupa. Perjalanan panjang menyusuri masa silam dari para penjemput pertama. Puncak-puncak kedua menjadi pelin-dung.
"Kedatangan Para Penjemput pertama jelas menunjukkan bahwa mereka berbicara tentang apa yang terjadi di Minangkabau!" lanjut Timur Mangkuto.
"Apa yang terjadi di Minangkabau pada akhir 1948 tetapi berhubungan dengan pemerintahan Jogja yang sekarat"" Eva Duani coba menghubungkan premis-premis itu menjadi sebuah pertanyaan yang bisa meng-giring pada satu kemungkinan jawaban.
"PDRI!" Timur Mangkuto menjawab yakin.
"Pemerintahan Darurat Republik Indonesia." Satu lagi dosa penutur sejarah yang muncul dalam benak Eva Duani. Jika jawaban dari teka-teki ini memang PDRI, maka ia akan angkat tangan mengaku kalah dan salah. Sebagai seorang sejarawan, sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk mendalami sejarah dari pemerintahan darurat penyambung nyawa republik itu. Ia memiliki segudang buku tentang kejadian penting di Jawa selama revolusi fisik, tetapi tidak satu pun ia punya buku mengenai PDRI. Yang ia tahu dan juga sebagian
besar orang Indonesia tahu, PDRI berdiri karena "kebetulan", menteri ke-mak-muran, Mr Sjafrudin Prawira-negara tengah berada di Bukittinggi ketika Sukarno-Hatta dan beberapa anggota kabinet ditangkap oleh Belanda.
"PDRI memang lahir karena serangan 19 Desember 1948, tetapi apa mungkin yang mereka maksud itu"" Eva Duani berharap kesimpulan Timur Mangkuto salah. Ia malu tidak mengerti apa-apa tentang PDRI. Sesuatu hal yang selama ini dianggap tidak memiliki arti apa-apa dibanding perang gerilya.
"Tetapi teka-teki itu tampaknya tidak memberi kita banyak pilihan selain kemungkinan jawaban PDRI. Aku tidak tahu banyak tentang PDRI, bagaimana kamu menjelaskannya""
Wajah Eva Duani tegang, perasaan cemas bercampur malu tergambar dari roman wajahnya.
"Yang aku tahu tidak lebih banyak dari yang kamu tahu."
Timur Mangkuto meraih ponsel Eva Duani yang tergeletak di dashboard mobil. Ia menekan nomor ter-tentu, kemudian berbicara dalam bahasa Minang totok yang sulit untuk dimengerti. Wajahnya tegang ketika menutup telepon.
"Makwo Katik. Ia adalah pelaku sejarah PDRI, kurir bagi tentara Dahlan Djambek yang berbasis di Kamang waktu itu. Aku ingat, orang tua itu hapal tiap tanggal bahkan detik dari tiap ketegangan itu. Tetapi..."
"Kenapa"" "Ia baru saja berangkat pulang menuju Bukittinggi, naik bis."
Eva Duani lemas mendengar kata-kata itu. Negara Keempat adalah simpul utama dari teka-teki itu. Serat
Ilmu bisa jadi berada di tempat negara itu pernah didirikan. Negara Keempat bisa jadi bukan RI tetapi PDRI. Ia mengeluh tertahan, menyesali kenapa waktu jarang berpihak pada mereka yang membutuhkan.
"Kita akan mengejar Makwo Katik malam ini juga. Semoga kita bisa mendapatkan beliau sebelum penyeberangan Merak."
"Bagaimana dengan Nyonya Amanda""
"Kamu hubungi lagi Kombes Atmakusumah, minta tung gu kita di pintu tol Kebun Jeruk. Batalkan pertemuan di sini. Kita harus mengejar
Makwo Katik."# 59 Kamar yang ditempati Profesor Budi Sasmito di Apartemen Carpe Diem daerah Semanggi tampak berantakan. kertas-kertas, cangkir berisi kopi, snack, bekas bungkusan nasi. Profesor Budi Sasmito tam-paknya sudah berhasil memecahkan teka-teki tanda dan angka yang mereka temukan dalam penggerebekan rumah Profesor Duani Abdullah.
"Duani menyelamatkanku," ia bergumam sendiri dalam
sepi. Ia melonggarkan dasi kemudian melepaskan beberapa kancing atas bajunya. Waktu singkat selama tiga jam setelah penggerebekan bisa ia manfaatkan untuk memecahkan teka-teki itu sekaligus menguatkan keterangannya dengan data dan fakta masa lampau. Pesan dalam bentuk tanda dan angka itu memang sering ia lihat ketika masih bersama-sama dengan Profesor Sunanto Arifin dan Duani Abdullah. Hanya saja pada waktu itu, ia tidak memedulikan. Menganggap itu hanya permainan waktu senggang dua orang kawannya. Hingga suatu ketika, ia melihat tanda dan angka itu adalah pesan rahasia antara dua orang kawannya itu. Ia berhasil menerjemahkannya tetapi itu tidak ada gunanya. Sebab setelah itu, mereka tidak lagi bersama dalam penelitian.
Ketika ia mendapati pola pesan yang sama di kamar tidur Profesor Duani Abdullah, ia yakin teka-teki ini akan segera tuntas terjawab. Perkiraannya selama ini keliru. Serat Ilmu sama sekali tidak berkaitan dengan pembentukan kerajaan di tanah Jawa, kecuali Majapahit. Tetapi ia sudah cukup puas dengan barisan angka yang sudah terpecahkan itu. Walaupun tiap serpihan teka-teki belum mampu ia hubungkan menjadi satu simpul yang naratif dan kausatif.
"Benda itu masih berada di Bidar Alam!" ia melanjutkan gumamannya.
Ia kemudian bersiap-siap untuk kembali men-datangi Mapolda. Ingin secepatnya menunjukkan pada Riantono, bahwa kemampuannya tidak serendah dugaan Komandan Detsus Antiteror.
Tetapi bunyi langkah di depan kamar, kemudian disertai ketukan pintu dan sahutan dari arah luar menghentikannya.
"Profesor, Anda ada di dalam""
Profesor Budi Sasmito mengenali suara itu. Suara yang sepanjang waktu terdengar lewat telepon seluler-nya. Suara dari makelar yang selalu menekan dirinya untuk segera menemukan Serat Ilmu.
"Masuk Steve!" Dari arah pintu, lelaki berkulit putih bersih dengan raut Indo yang kentara, tubuhnya cukup tinggi untuk ukuran orang Indonesia, muncul. Ia tersenyum ramah ketika bersalaman dengan Profesor Budi Sasmito.
"Bagaimana dengan Hotel Xabhira-mu, Steve""
Profesor Budi Sasmito mencoba untuk berbasa-basi. Perkenalannya dengan Steve sudah cukup lama. Ketika masa tidak menentu menghinggapi hidupnya, Profesor
Budi Sasmito sering memanfaatkan layanan ekstra hotel mesum. Steve pulalah orang yang menghubungkannya dengan Mr Wolfgang, laki-laki kaya nyentrik dari pegunungan Phyrenia yang amat menginginkan Serat Ilmu atau Pillar Orichalcum. Satu-satunya benda peninggalan peradaban sebelas ribu tahun yang lalu yang masih tersisa.
Steve tertawa kecil mendengar pertanyaan Profesor Budi Sasmito. Ia menyalakan rokok putihnya.
"Anda sudah lama sekali tidak main ke tempat saya, Prof. Padahal stok perempuan cantik dan molek semakin meningkat untuk ditiduri," kata Steve sambil memainkan bola matanya. "Saya kewalahan Prof sebab semakin banyak perempuan di Indonesia yang me-nawarkan dirinya menjadi pecun di hotel saya!"
"Ha...ha...ha..." mereka tertawa hampir berbarengan.
"Nantilah kalau semua urusan ini sudah selesai, aku akan datang ke sana."
Steve mematikan rokoknya yang baru diisap setengah. Ia merubah posisi duduknya. Tampaknya ia ingin membicarakan satu hal penting dan serius dengan Profesor Budi Sasmito.
"Jadi, bagaimana dengan benda itu, Prof" Mr Wolfgang semakin tidak sabar."
Profesor Budi Sasmito bisa tersenyum lepas mendapat pertanyaan itu.
"Aku tinggal berhitung dengan waktu. Tidak lama lagi benda itu akan aku dapatkan, secepatnya!"
"Anda sudah memecahkan teka-teki itu""
Profesor Budi Sasmito tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke arah meja kerjanya, memungut satu lembar kertas. Lembaran kertas ia berikan pada Steve.
"Bidar Alam"" Steve kebingungan mendengar asing di telinganya.
"Sebuah tempat di pedalaman Minangkabau,
Sumate-ra Barat. Daerah yang dikalahkan oleh sejarah!" "Benda itu ada di sana""
"Kalau teka-teki angka ini benar, maka jawabannya sudah pasti di sana"
Steve menyunggingkan senyum. Lembaran kertas ia kibas-kibaskan.
"Aku dapat berapa persen, Prof""
"Sepuluh persen, seperti perjanjian awal kita. Lagi pula, kau juga sudah dapat komisi dari Mr Wolfgang."
"Bagaimana dengan perwira polisi yang membantu Anda itu, Prof. Ia dapat berapa""
"Sama denganmu."
"Kenapa sama, bukankah jasanya hanya memastikan Anda bisa masuk dalam tim yang dibentuk Detsus Antiteror untuk memburu KePaRad itu""
"Jangan salah. Ia juga membantuku sedikit banyak memperhitungkan anak-anak muda KePaRad itu. Dulu, sebelum mengenal kenikmatan yang bisa dihasilkan uang, ia pernah bergabung dengan kelompok itu. Tetapi tidak pernah masuk pada lingkaran inti ke-lompok. Ia tidak pernah bisa memecahkan teka-teki lima negara."
"Aku ingin bagianku dinaikkan, Prof," Steve menawar.
"Sial, sepuluh persen itu sudah banyak."
"Tidak cukup banyak untuk melayani keinginanku
Prof." Profesor Budi Sasmito tampak menahan kesal. Ia tidak pernah memperkirakan kalau tawar menawar ini akan kembali terjadi.
"Sulit, kita sudah terikat pada perjanjian."
"Apa perwira polisi itu tahu jumlah pasti yang Anda akan dapatkan dari Mr Wolfgang""
Steve coba mencari celah. Profesor Budi Sasmito menggelengkan kepalanya.
"Kenapa Anda tidak manipulasi saja bagian yang akan ia dapatkan. Sisanya berikan kepadaku. Kita ber-dua beruntung, tanpa harus mengurangi bagian Anda."
Profesor Budi Sasmito tersenyum mendengar usulan Steve itu. Ia tampaknya tidak ingin mem-perpanjang masalah.
"Usulan bagus. Lagi pula setelah aku pikir-pikir jatah sepuluh persen itu terlalu banyak untuk seorang polisi." "Ha...ha...ha..." mereka kembali tertawa berbarengan. "Suttttttttttt..."
Tiba-tiba tegangan listrik di kamar turun. Lampu padam semua. Suasana gelap. Yang terlihat hanya kilau-an cahaya jauh di gedung-gedung seberang apartemen.*
60 Pintu tol Kebon Jeruk tampak sepi pada titik pergantian hari. Dari empat portal masuk, hanya dua yang dibuka. Sekitar tiga puluh meter menjelang pintu masuk tol itu, sebuah Land Cruiser keluaran 2002 tampak berhenti di bahu jalan yang lebar. Mesinnya masih menyala, tidak tampak tanda-tanda mobil itu akan bergerak lagi. Di belakangnya, sebuah Taft berwarna gelap seperti menjaga.
Sorot cahaya tajam dari arah belakang membuat sopir Taft itu tersentak. Sebuah Kijang merapat di belakang mobilnya. Dua orang keluar dari mobil men-dekati Taft di belakang Land Cruiser. Sopir Taft itu membuka pintu mobil.
"Kombes Atmakusumah," Eva Duani berseru gem-bira. Laki-laki yang sudah agak berumur itu, menyambutnya dengan senyum. Pandangannya beralih pada Timur Mangkuto.
"Aku sudah yakinkan janda kaya itu bahwa kau sama sekali tidak bersalah. Aku juga yakinkan dia bahwa menjelang subuh nanti, kau akan temukan pembunuh puteri tunggalnya!"
"Makasih, Dan," Timur Mangkuto berujar.
"Sekarang, permainan ini milik kalian berdua. Aku tidak bisa temani lebih jauh," Ia menepuk pundak Timur
Mangkuto. "Buktikan, bahwa kau termasuk dari sedikit polisi baik yang masih tersisa. Jaga gadis ini!" "Siap Dan!"
Taft itu mundur terus ke belakang mencari celah untuk keluar dari pintu tol itu. Timur Mangkuto dan Eva Duani berjalan mendekati Land Cruiser. Beberapa buku yang mereka anggap perlu, diletakkan kembali pada jok tengah.
Eva Duani duduk di bangku depan samping sopir, Timur Mangkuto duduk di bangku tengah bersama dengan Nyonya Amanda.
"Timur Mangkuto."
Nyonya Amanda tersenyum menerima uluran tangan itu. "Se-Indonesia sudah kenal dengan Anda, Inspektur." Timur Mangkuto membalas senyumannya. Kemudian ia menepuk-nepuk bahu Eva Duani. Ia meminta gadis itu, untuk beristirahat, melepaskan lelah sementara ia akan berbicara dengan Nyonya Amanda.
"Jadi, kita ke mana, Pak"" sopir di depan angkat bicara.
"Masuk ke dalam tol. Kita menuju Merak. Ke-cepatan tinggi, Pak!"
Mobil melaju, masuk jalan tol, sopir langsung tancap gas di jalan yang mulai sepi. Timur Mangkuto ganti menatap Nyonya Amanda. Perempuan itu ia lihat agak ragu dan canggu
ng untuk bercerita. Ia yakin perempuan inilah yang dulu pernah diceritakan oleh Rudi. Tampilannya khas nyonya-nyonya kaya yang hidup senang di rumah-rumah besar Pondok Indah. Terawat, putih, kulit masih kencang, dan telepon geng-gam merek Virtue.
"Jadi apa yang saya bisa bantu, dan apa pula yang ibu bisa bantu saya"" Timur Mangkuto membuka pembicaraan.
Perempuan itu tidak langsung bereaksi terhadap pertanyaan itu. Ia tampaknya masih menimbang-nim-bang apa yang harus keluar dari mulutnya.
"Tiga orang korban pembunuhan itu, Lidya, Ovi, dan Maureen anak saya adalah teman dekat. Istilah anak-anak sekarang mereka ngegank."
"Baik, saya juga sudah dapatkan cerita itu dari Rudi."
"Saya curiga kematian mereka sangat terkait satu sama lain."
"Rudi juga menyimpulkan seperti itu, Bu. Hanya saja, ia keburu..." Timur Mangkuto menghentikan kalimatnya, takut hal itu akan kembali mengguncang Eva Duani.
"Iya, sayangnya kasus itu ditangani terpisah. Saya sudah berusaha menjelaskan kepada penyidik bahwa kasus ini mungkin berkaitan, tetapi..."
"Kenapa"" "Anda kenal Komisaris Melvin"" "Tentu."
"Beberapa kali ia mendatangi rumah saya."
Telinga Timur Mangkuto langsung berdiri men-dengar keterangan itu. Ia mulai mencium aroma ke-tidakberesan kasus ini.
"Setelah kematian Maureen"" ia berusaha memastikan.
"Iya, sebelum dan sesudah kedatangan Inspektur Rudi."
"Apa yang ia katakan""
Nyonya Amanda mengapitkan tangan menyilang pada dua bahunya seperti orang yang menggigil. Tam-pak-nya itu cara dia mengatasi ketegangan.
"Ia katakan hanya menyampaikan pesan dari Kombes
Riantono. Agar saya jangan menghubung-hubungkan kematian Maureen dengan Lidya. Itu adalah dua kasus yang berbeda!"
Perempuan itu mulai terisak. Eva Duani me-mandang heran. Otak Timur Mangkuto bergumul dengan kemungkinan-kemungkinan yang tercipta begitu saja. Tiba-tiba saja ia mencurigai Riantono terlibat dalam kematian puterinya sendiri.
"Sial!" umpat Timur Mangkuto. "Riantono pasti menyembunyikan sesuatu dari kasus ini."
Deru mobil seperti berpacu dengan dirinya sendiri. Lampu-lampu hanya tampak seperti kilatan kunang-kunang yang terbang dengan kecepatan tinggi. Entah bagaimana mulainya, Nyonya Amanda bercerita banyak tentang anaknya. Tentang keluarganya, keluhan hingga keputusasaanya. Timur Mangkuto mendengarkan de-ngan tekun walaupun tidak mengerti ke mana arah pem-bicaraan perempuan itu. Yang ia sadari, tidak lebih dari tiga puluh menit lagi mereka akan keluar dari pintu tol Cilegon menuju pelabuhan penyeberangan Merak, pintu jembatan Laut Jawa dan Sumatera.
Reuni Berandal Cilik 2 Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung Bidadari Penakluk 2