Pencarian

Kapas Kapas Di Langit 2

Kapas Kapas Di Langit Karya Pipiet Senja Bagian 2


Ugh, aku tak melihat apa-apa selain wajahmu, Peter, erangnya. Gadis itu meninggalkan nuansa malam di luar asrama, berbalik menuju pintu hendak mengambil tambahan aqua dari koridor. Mereka selalu menyediakan galon aqua di sudut-sudut koridor setiap lantai. Lengang dan senyap saat matanya mengapung ke sekitar koridor.
Bulu romanya mendadak meremang. Membayangkan film-film horor dalam nuansa sama. Seorang gadis sendirian disergap kriminal, diperkosa dan dibunuh. Astagfirullahal adziim!
Begitu berhasil mengisi botolnya, tergopoh-gopoh ia berbalik menuju kamarnya, cepat pula dikuncinya rapat-rapat pintunya. Di sudut kamarnya dekat kantong sampah, seketika matanya bersirobok dengan kantung plastik besar khusus untuk menampung baju-baju kotor.
Oh, ia bahkan baru teringat lagi belum sempat membawanya ke tempat cuci umum. Suatu hal yang hampir tak pernah dilakukannya, meskipun ia sedang sesibuk apapun. Kebersihan kan sebagian dari iman. Ia sudah terdisiplin memelihara kesehatan dan kebersihan sejak kecil.
Kakinya seketika tergerak iseng mengutak-atik kantung itu hingga terbuka. Matanya berhenti di ujung gamis biru muda yang pernah dikenakannya pada hari pertama kerja di museum. Ia teringat sesuatu dan membungkuk untuk merogo-rogo saku gamisnya.
"Naaah, ini mungkin bisa menolong kita, Broer!" pekiknya girang sekali. Dalam hitungan menit ia telah berada di luar asrama, menanti dengan tak sabar taksi yang dipanggilnya via telepon.
"Imperial Palace made itte kudasai,"(Tolong antar ke hotel Imperial Palace.) katanya kepada sopir taksi. Gadis itu menghenyakkan tubuhnya yang baru terasa sangat letih. Kapan terakhir kali ia bisa makan lengkap" Mungkin saat makan roti bersama Mayumi di luar kota siang itu.
Semangat yang menyala-nyala dalam dadanya seolah mengirimkan suatu kekuatan baru ke sekujur tubuhnya. Seluruh kengerian dan ketakutan yang sempat menyergap di sepanjang koridor, seolah raib entah ke mana.
"Betul gakusei-san ingin pergi ke tempat seperti itu"" Suara itu! Garsini mengenalnya dan segera mengamati sopir di depannya melalui kaca spion. Y
a, ternyata sopir tua yang kemarin dicarternya sejak di perbatasan Odaiba menuju Sendai hingga ke asramanya.
"Ah, Pak Mitszui!" sapanya santun. Lelaki paro baya itu menoleh ke jok belakang, merasa senang karena Garsini masih mengenalinya bahkan ingat akan namanya. Ia menghargai kesantunan dan penghormatan generasi muda. Gadis ini jelas bukan gadis sembarangan, pikirnya sejak pertama kali melihatnya dalam busana eklusif.
"Menemui seseorang"" tanyanya menyelidik.
"Ya, Pak, seorang guru besar Perancis yang baik hati." Semoga demikian adanya, jeritnya mendoakan dalam hati. Garsini hanya ingin menghilangkan kesan curiga yang kentara jelas di wajah Mitszui-san.
"Hati-hati, ya gakusei-san. Kalau ada apa-apa cepat panggil saya!" pesannya ketika mereka berpisah di depan Imperial Palace.
Bab 6 Mungkin ada banyak kriminal berkeliaran di sekitarnya, tetapi beruntunglah dirinya. Karena sampai saat itu, ternyata masih ada lebih banyak orang yang baik dan tulus di sekitar dirinya. Demikian yang terekam di kalbu Garsini begitu meninggalkan Imperial Palace. Dalam keadaan selamat tentu saja, tetap segar bugar. Tanpa tergores secuil pun. Gadis itu sungguh keluar dari sana bak porselin cantik yang masih utuh dan indah, cemerlang.
Profesor Charles del Pierro tampaknya amat terkesan dengan perilaku Garsini. Terutama atas semangat dan ketulusannya dalam membantu saudaranya yang terjebak di Hiroshima, entah dalam situasi segawat apa. Semua kejujuran itu terpancar jelas melalui sorot matanya yang bening.
"Sungguh" Orang asing itu mau membantumu begitu saja"" Mitszui-san yang tak mau beranjak di pelataran parkir, setia menanti Garsini muncul selamat dari Imperial Palace, bertanya agak sangsi.
Garsini tersenyum riang. "Bapak bisa lihat sendiri kan, saya masih Garsini, gakusei Indonesia." ucapnya tanpa bermaksud riya.
"Haik, saya percayalah!" sambut Mitszui terbawa emosinya ikut sukacita. Secuil sangsi telah raib bersama kekalahan para iblis dari dasar neraka.
"Seorang Muslimah yang tetap terpelihara kehormatan dirinya." Sedetik Garsini segera menyadari dirinya bisa terjerumus riya. Maka segera terucapkan istigfar dalam hatinya.
"Ya, ya... saya kira Nona memang begitulah adanya, lugu dan murni," puji Mitszui-san terdengar tulus. Garsini merasakan wajahnya memanas. Ia seketika menundukkan kepalanya dalam-dalam, beberapa saat terdiam. Hingga sopir paro baya itu menoleh lagi ke belakang.
"Nona tidak apa-apa kan"" tanyanya agak cemas.
"Sumimasen, saya tidak apa-apa, Pak," keluh gadis berkerudung itu bagai meralat. "Tentu saja, semua ini berkat kemurahan Allah semata yang senantiasa memelihara kesucian, kehormatan dan iman Islam saya."
"Amiiiin!" sambut lelaki paro baya itu mengaminkan penjelasan yang dianggapnya sebagai doa panjang nan indah. Lain kali kalau ada kesempatan lebih baik dari saat ini, ia akan menanyakan apa arti "iman Islam" yang dimaksud.
Garsini merasa bahagia sekali malam itu. Ia langsung mensyukuri nikmatNya dengan membilang tasbih dalam hatinya. Mayumi tentu takkan percaya jika ia menceritakan pengalaman "viveri veri coloso" malam ini. Bagaimana guru besar Perancis itu bersedia membantunya, memberikan kartu pas kereta peluru miliknya kepada Garsini tanpa imbalan apapun.
"Kebetulan, saya malah bingung mau diapakan benda ini. Sekarang saya jadi senang sekali sebab mengetahui ini sangat bermanfaat buatmu. Hei, gadis Muslimah dari Indonesia, ini ambillah dan jangan pernah dikembalikan!" katanya sambil tertawa riang. Ketulusan dan keikhlasan terpancar dari suaranya.
Giliran Garsini yang merasa tahu diri. "Ngng. mungkin ada yang bisa saya kerjakan selama Anda menetap di Tokyo" Yah, umpamanya menambahkan referensi Anda, sejarah bangsa-bangsa Asia kan""
Profesor Charles del Pierro geleng-geleng kepala, diantarnya gadis itu sampai lobi dengan gayanya yang amat kebapakan dan bijak. Tentu ia tak ingin memberi kesan negatif atas keberadaan Garsini di tempatnya saat itu.
"Baiklah, menurutmu apa yang bisa kamu lakukan, hei kandidat pakar teknik informatika"" candanya.
"Sudah saya bilang, saya seorang yang haus ilmu. Nilai sejarah saya juga selal
u bagus lho, Prof..."
"Tapi saya akan keliling Jepang selama musim panas nanti. Jadwal saya sungguh padat, luar biasa. Bahkan mulai besok saya sudah tak ada di Tokyo
lagi." "Oh, lalu kartu pas ini"" Garsini kian tak enak hati, bimbang.
"Sudah kubilang, tak ada gunanya buatku. Mereka sudah menyediakan berbagai fasilitas mewah. Itu termasuk tiket pesawat eksekutif ke mana-mana, berikut hotel bintang lima, suite-room. Sudah, untukmu sajalah, jangan pikir apa-apa lagi. Okey""
Ini sungguh rezeki dari Allah yang dikirimkan melalui tangan sang Profesor, seru Garsini dalam hati. Memang tak perlu jadi tak enak hati lagi, patutnya disyukuri saja.
"Mungkin kamu mau menemani Charlotte. Dia itu putriku semata wayang yang akan datang akhir bulan ini. Kamu bisa mengajaknya jalan-jalan ke Ginza. atau ke mana saja kalian suka"" katanya di akhir pertemuan mereka.
"Oh, ya, tentu saja saya bersedia!" janji Garsini dengan amat lega. Sebab ia tak pernah menginginkan belas kasihan orang. Ada jasa selalu ada imbalan, begitu menurut ayahnya. Meskipun pernah ditentangnya, tapi dalam beberapa hal terkadang menegakkan harga dirinya.
Dan apapun yang pernah terjadi, kepedihan yang disebabkan oleh ketak harmonis antara dirinya dengan ayahnya, Garsini telah melupakannya. Ia selalu menghormati ayahnya sebagaimana seharusnya.
Pemilik hotel kecil di luar kota Hiroshima itu mengeluh tentang kelakuan Peter yang dianggapnya terlalu berisik, terlalu memancing perhatian orang-orang di sekitarnya. Sehingga ia mendapat sejumlah komplain dari para tamunya, dan itu hanya menambah rasa marahnya terhadap pemuda bernama Peter van Moorsel.
Mungkin lagi patah hati dan sebentar lagi dipastikan bakal harakiri, sungutnya pula kian sebal dan uring-uringan. Kadang ia menumpahkannya kepada istrinya yang berusaha menenangkannya. Ia telah sering menemukan hal begini dalam sepuluh tahun terakhir. Itu sungguh membuat hatinya angkara sekaligus kecewa berat.
"Apa dunia ini sudah mau kiamat" Apa mereka. teman-temanmu itu, sudah tak punya rasa hormat lagi sedikit pun untuk perjuangan para leluhur" Mereka yang telah berjuang keras membangun negeri Jepang, dari keterpurukan akibat kekalahan memalukan pada perang dunia silang, hingga seperti sekarang."
Garsini hampir tak mendengar penjelasannya yang tampak sekali masih akan berlarat-larat, mengungkap keburukan sepupunya. Hatinya menjadi kebat-kebit dan jantungnya berdebur keras.
"Tolong, tunjukkan saja kamar saudaraku itu, kumohoon..." Sepasang mata pria Jepang paro baya itu membelalak lebar seolah akan menelannya hidup-hidup. Ugh, makhluk apa gerangan si jelita bertampang pucat ini"
"Aku tidak tahu siapa dirimu," dengusnya. "Kamu kelihatannya sangat... aneh!" diserahkannya juga kunci duplikat kamar Peter kepada gadis itu.
"Terima kasih." Garsini menyambar kunci itu dari tangannya.
"Ya, bukalah sendiri," katanya kemudian masih meneriaki Garsini di belakangnya.
*** Garsini terpaksa menahan rasa kesal atas sambutan sinisnya itu. Hanya satu yang segera ingi diketahuinya saat ini, bagaimana keadaan Peter" Di koridor menuju kamar Peter, ia berpapasan dengan seorang perempuan berwajah manis dan ramah menyapanya. Agaknya ia istri pemilik hotel.
"Boleh kutanya, baju apa yang kamu kenakan itu, Nona" Adakah itu tren mode mutakhir" Rasanya sangat baik, serba tertutup dan amat apik..." ia menatap wajah Garsini lekat-lekat dalam sikap santun, keibuan.
Garsini merandek, berusaha tersenyum manis dan menjawab santun pula."Ini busana Muslimah, Nyonya."
"Muslimah. apa itu""
"Oh!" bibir Garsini tulus menyungging senyum. "Pakaian untuk wanita pemeluk Islam." Nah, bukankah ini juga secuil syiar"
"Oooh, indah sekali, sungguh saya suka melihatnya," kata wanita itu tersenyum hormat.
"Terima kasih, Nyonya, domo arigato gozaimasu..."
"Kudengar Nona hendak ke kamar ujung itu, ya""
"Ya, boleh kan Nyonya""
"Hati-hatilah, semalam dia mengamuk, Nona," katanya mengingatkan.
"Saya adiknya, percayalah, semuanya tak seburuk yang Anda kira. Saya mengenal dia dengan cukup baik kok."
"Mau-maunya gadis itu dipanggil." seorang tamu melongok dari sebuah kamar yang dilewati Ga
rsini. "Iya, bagaimana kalau dia dihabisi di dalam sana," cetus rekannya. Garsini merandek sesaat, betapa ingin ia menepis segala prasangka dan fitnah yang mungkin telah menyebar di seluruh hotel kecil itu. Tapi hanya itu yang masih bisa terucapkan dari bibirnya. Lidahnya mulai kelu.
"Baiklah, kamu memang kulihat sangat enerjik dan eksentrik," komentar istri pemilik hotel pula tentang jawaban Garsini, kala ia menanyakan asal kedatangannya.
*** Tokyo, tentu saja anak-anak metropolitan yang sangat ekspresif dan serba modern. Lelaki paro baya itu masih berpikir-pikir tentang Garsini dan Peter. Namun, ketika dalam bilangan tak lebih dari limabelas menit anak muda itu telah minta rekening kepadanya dengan wajah sumringah, dia merasa sangat surprise.
"Diakah kekasihmu yang sudah membuatmu nyaris harakiri, heemmm""
Peter kontan naik pitam dan hendak meninju wajah lelaki sebaya ayahnya itu. Mujur, Garsini berhasil menyejukkan suasana tepat pada waktunya. Seperti kemunculannya yang tiba-tiba bagai kilat pada pagi buta, ia pun segera lenyap dalam tempo relatif singkat.
"Makanya, Pak, jangan gampang naik pitam dan selalu sinis terhadap generasi putra kita," tegur istrinya. "Lihatlah, gadis itu lain sekali... Kau tahu, rombongan turis yang baru masuk ke hotel kita tadi" Mereka mengatakan satu kereta dengan gadis itu. Mereka sangat mengaguminya dan menghormatinya."
"Kau ingin bilang, anak itu sudah membawa berkah ke sini""
"Bahkan lebih dari itu!" sergah istrinya kesal. "Aku merasa bisa memetik pelajaran yang sangat berharga hari ini."
"Jangan berlarat-larat, to teh point saja apa yang ingin kamu katakan""
"Sudah saatnya kamu mengubah penilaian serba negatif terhadap generasi putramu. Buktinya gadis itu sangat mandiri, berani. Dia kan hanya anak perempuan, sementara putramu itu."
"Alaah, aku tahu sekarang!" tukas pemilik hotel. "Ujung-ujungnya kamu mau kita segera memanggil putra kita dari Korea, bukan" Bertele-tele segala." Perempuan itu terdiam. Ia merasa tak keliru kini, menangkap sorot rindu menyembul dari sepasang mata tua di depannya. Putra mereka semata wayang telah bertahun-tahun pergi ke Korea. Membawa serta istri dan anak-anaknya, hanya karena pernikahannya tak direstui mereka.
Di Jepang begitu banyak manusia terjebak dalam dunianya yang senyap, menakutkan, hingga mendorongnya melakukan perbuatan nekad. Penyebabnya konon karena modernisasi yang terlalu melejit nyaris tak seimbang dengan peradaban lama, yang keukeuh ingin dipertahankan oleh generasi sebelumnya.
Di antara tarik ulur itulah generasi muda Jepang terlahir, hidup dan berkembang tanpa arah yang pasti. Agama lama yang masih dipegang pun bahkan tak bisa menjawab kebingungan mereka. Contoh kecilnya adalah perseteruan yang seharusnya tak ada antara pemilik hotel kecil di Hiroshima itu dengan putranya semata wayang. Ada riak-riak rindu yang membinar di mata lelaki paro baya saat memandangi punggung Peter, yang berjalan tegak di samping gadis berbusana eklusif itu.
Hmm, mungkin juga anak-anak muda itu membawa berkah, pikirnya membenarkan penilaian istrinya. Terutama semangat dan keyakinan yang dimiliki gadis berbusana eklusif itu. Ia mendengar rombongan turis Belanda yang baru tiba di penginapannya, terus-menerus mempercakapkannya. Ketulusan, kebaikan dan keanggunan masih dipadu dengan kemandirian dan kesalehan.
Aha, siapapun gadis itu sesungguhnya, ia tak perlu membahasnya lagi. Namun, satu hal yang pasti kemunculannya telah menggetarkan simpul ikatan kasih yang sejak lama terputus. Ternyata generasi putraku tak separah seperti yang kubayangkan selama ini, katanya memutuskan. Ya, itu buktinya, pasangan anak muda itu. Demi menolong sepupunya, anak itu berani melakukan perjalanan seorang diri dari Tokyo. Di matanya yang kolot itu adalah suatu hal yang sangat luar biasa.
"Okusaaan! Berapa nomer telepon putraku itu" Biar aku telepon dia sekarang juga, supaya secepatnya bawa menantu dan cucu-cucu kita pulang ke sini."
*** Apakah itu berkah atau kebetulan-kebetulan yang menguntungkan saja, rasanya tak usah dibahas, elak Garsini setiap Peter ingin mengetahui asal-usul kepemil
ikan kartu pasnya. Begitu pula perihal secara kebetulan Garsini bertemu rombongan turis Belanda, lalu bersama mereka menumpang kereta peluru sepanjang malam itu.
Padahal, sebelumnya Peter sudah lelah melacak jejak mereka. Hingga ia nekad berangkat sendiri, kemudian terdampar di Hiroshima. Di tengah perjalanan seketika ia merasa dirinya mulai sakit. Jadi, ia terpaksa menghentikan perjalanannya, turun entah di mana, naik taksi. Tahu-tahu mendapatkan dirinya di hotel kecil itu!
"Wuiih, petualangan yang mencekam tuh!" katanya mulai bisa tertawa lagi, bisa fokus dan berpikir jernih kembali. Mereka memesan roti segar dan kue-kue basah khas Jepang yang lezat di sebuah kedai yang bersih. Peter menyantap penganan yang terhidang dengan sangat lahap. Seolah-olah ia tak pernah makan dalam dua hari itu.
"Itu benar, hanya air yang bisa masuk ke tenggorokanku, bergalon-galon aqua kupesan," aku Peter.
"Karena itu pemilik hotel mengira kamu orang nyentrik," tebak Garsini.
"Bukan cuma mengira nyentrik. Dia memergokiku lagi menceracau, jadi ditudingnya aku sinting. Malah sempat dipanggilkannya seorang dokter. Dalam demam tinggi itu, rasanya aku melempari mereka dengan galon-galon aqua yang sudah kosong."
Kini Peter mulai bisa mengenang tiga malamnya yang terburuk itu dari sudut pandang orang sehat. Wajahnya berseri-seri sehat dan bugar. Selera makannya sungguh telah kembali. Malah membuat Garsini yang menyaksikan kelakuannya jadi khawatir sekali.
"Apa kamu nggak takut seperti kejadian di Tokyo tempo hari"" tanya Garsini mengingatkan.
"Aha... ini soal lain, Non. Orang Sunda bilang mah mamayu!"
"Mamayu itu kan kalau sakitnya lama, begitu sembuh langsung doyan makan apapun," sahut Garsini sekenanya.
"Iiih, pokoknya mamayu we naha"" Peter keukeuh. Giliran Garsini yang tampak pucat kurang tidur. Perjalanan naik kereta peluru beserta upaya dalam mendapatkan kartu pasnya, sungguh suatu tualang melelahkan.
Jadi Garsini membiarkan Peter bicara dengan mata yang berat oleh kantuk. Kepalanya berayun-ayun, ditingkahi angin musim semi yang menerobos melalui tirai jendela kedai dari arah pegunungan. Otaknya bagai berhenti seketika, bahkan ia tak peduli akan keunikan cuaca di antara musim semi dengan musim panas yang terjadi di kawasan Jepang.
Samar-samar kupingnya masih menangkap dua orang lelaki di sebelahnya bicara perihal cuaca buruk, taifun yang melanda beberapa bagian Negeri Sakura. Sesungguhnya Garsini baru menyadari kebiasaan orang Jepang yang amat menyukai bicara perihal cuaca. Sepanjang perjalanan ia menemukan orang-orang di mana-mana bicara perihal cuaca.
Ini satu pengetahuaan baru lagi. Ia ingin mengabarkannya kepada Mayumi. Tentu Mayumi akan senang bila sahabatnya ini terus bertambah wawasannya mengenai masyarakat Jepang. Namun, apa pedulinya saat ini"
"Kau sudah dengar, transportasi ke arah selatan Hokkaido mengalami macet total."
"Dilanda taifun dahsyat, ya""
"Ya, mengerikan sekali!"
"Untung aku tak punya kenalan atau famili di kawasan sana." Tapi aku punya kenalan yang sedang melakukan perjalanan ke arah Hokkaido, Saporo, Nakajima-san, bisik hati Garsini.
Namun, kepalanya sungguh bagai mengalami kemacetan total. Memori otaknya tak mampu menggerakkan isyarat untuk melakukan ini dan itu. Bahkan sekadar untuk mengatakan keadaannya itu pun kepada Peter, ia sungguh tak sanggup lagi. Akhirnya Garsini merasa tak tahan lagi, terkalahkan oleh jurig tunduh. Bruuukk...!
"Hei, ada apa Garsini" Kamu... yaah, kok malah tidur di sini sih"" Dua lelaki yang duduk di sebelah mereka tersentak dan bangkit menghampiri pasangan muda itu.
"Apa yang terjadi dengan nona ini"" tanya seorang di antara mereka.
"Apa dia sakit"" cecar rekannya mencemaskan.
"Tidak, dia hanya ketiduran saja kurasa..." Peter tertawa. Sedetik Peter masih mengira Garsini hanya ketiduran, malah mungkin hanya ingin menggodanya saja. Tapi manakala orang-orang mengerumuni mereka, bahkan ada yang mengkhawatirkan keadaan Garsini. Ia mulai panik.
"Waah, kenapa gadis ini, ya""
"Wajahnya pucat pasi seperti mayat."
"Jangan-jangan dia terserang penyakit. epilepsi"" Dan kebetulan yang terakhir bicara
itu justru orang bule dalam bahasa internasional, hingga Peter memahaminya. Meskipun ia tak yakin bila sepupunya punya indikasi epilepsi, tapi mana tahu kan" Lagi pula ia masih trauma dengan demam malaria yang baru saja menyerbu dirinya sendiri.
"Taksi, takesu, yaap, takesu kudasaaaai, haaaiik!" seru Peter dengan panik sekali. "Help, please, heeelp...!" serunya pula kepada si bule yang pertama dilihatnya di kedai itu. Beruntunglah, kali ini Peter sukses menerangkan keinginannya melalui bahasa tarzan dan isyarat. Sehingga dalam bilangan menit sebuah taksi tiba di kedai itu.
*** Garsini telah menyerahkan segalanya kepada kebijaksanaan sang De Broer. la tak ingat segalanya sampai beberapa jam lamanya. Hanya ingatan yang timbul tenggelam, bayangan-bayangan asing yang sibuk di sekitar dirinya, wajah sepupunya yang mencemaskannya..
Seorang wanita paro baya baru selesai mengelapkan handuk kecil ke wajahnya, air hangat masih terasa membekas. Oh, siapa orang ini" Garsini berusaha bangkit, tapi sekujur tubuhnya masih letih bahkan kaku untuk digerakkan. Ia hanya memandangi wajah di depannya, manis dan lembut mengingatkannya kepada ibu Mayumi. Wanita Jepang itu menyadari keheranannya, maka ia menghampirinya lebih dekat lagi dan tersenyum ramah.
"Hai. Nona sudah betul-betul bangun ya kan"" sapanya.
"Ngng. di mana ini, siapa Ibu"" tanya Garsini. Ibu itu duduk di sebelahnya dan menyentuh tangan Garsini.
"Kamu berada di hotel terbaik di kota ini," sahut Okusan sambil tersenyum hangat. "Seperti kata dokter Sumitsu-san di depan sana, kamu hanya kelelahan saja, tidak apa-apa." Kuping Garsini sayup-sayup mendengar orang bercakap-cakap, matanya juga menangkap bayangan-bayangan di depan pintu kamarnya. Peter bercakap-cakap dengan seorang pria kulit putih.
"Thank's, ya Smith, kamu baik sekali mau meluangkan waktu mampir..."
"Yeah, setidaknya hanya itu yang bisa kulakukan sebelum ikut rombongan melanjutkan perjalanan. Jadi, bagaimana keadaan adikmu itu sekarang"" tanyanya seperti penasaran sekali.
"Sekarang sudah baik, di dalam lagi ditemani Okusan," sahut Peter.
"Siapa"" orang itu terdengar tertawa.
"Istri pemilik kedai di seberang."
"Kau sudah mirip sekali dengan orang Jepang, Peter," sindir suara wanita.
Beberapa saat terdengar tawa riang. "Sayang sekali, kalian harus istirahat dulu di sini, ya"" entah siapa tapi itu suara seorang wanita yang berbeda.
"Yah, selamat mendaki gununglah," kata Peter terdengar ikhlas.
"Kalau kalian ikut tentu akan lebih semarak. Adikmu itu baik sekali. eeh, kakiku yang terkilir di kereta sudah sembuh berkat dia. Sampaikan rasa terima kasihku kepadanya, ya Peter." suara wanita yang tak asing lagi.
"Ya, ya, tentu saja akan kusampaikan..." "Kalau begitu kami pamit saja, daaag Peter!"
"Daaag." balas Peter mengantar dua pasang anak muda itu dari depan pintu kamar. Garsini ingat lagi, gadis Belanda itu tentu saja Beatrice. Gadis yang tiba-tiba terkilir saat dia pamer kemahirannya bersalsa, hingga rekan-rekannya mendadak heboh. Segala canda ria berhenti total, merubung-rubungi si Beatrice yang mengerang-erang kesakitan.
Garsini yang duduk di gerbong sama dan semula agak terganggu dengan keributan rombongan bule itu, seketika tergerak untuk mengulurkan bantuan. Mula-mula reaksi mereka adalah memandanginya dengan terheran-heran. Sebelumnya pun mereka sempat melecehkan caranya berpakaian, mencurigai gerak-geriknya yang dianggap aneh.
Padahal, Garsini tengah berusaha keras untuk khusuk shalat isya malam itu. Memejamkan matanya dan membilang zikir dengan jari-jemarinya. Sedang para bule itu terus-menerus berisik, tanpa peduli terhadap orang-orang di sekitar mereka. Anehnya, tak seorang pun berani komplain terhadap keributan yang ditimbulkan mereka.
"Biarkan saya membantu Nona ini, please." kata Garsini. Ketika Garsini berhasil memberikan sebagian ilmu yang diperolehnya dari dojo, dalam hal urut-mengurut, betapa terheran-herannya mereka. Dari rasa heran campur malu, akhirnya mereka sama mengakui keunikan dan kehebatan gadis berbusana eklusif itu.
Sejak itu mereka menaruh hormat dan kekaguman tersendiri kepada Garsini. Meskipu
n Garsini menyambutnya biasa saja, bahkan cenderung tak menggubris tingkah laku mereka selama sisa perjalanan malam itu. Sebagaimana sikapnya sebelum peristiwa itu terjadi.
Smith, pasangan Beatrice ternyata seorang dokter. Ia memberikan pertolongan yang amat diperlukan Peter, saat menghadapi sepupunya yang mendadak colaps. Kalau begitu, impaslah sudah!
Bab 7 "Bagaimana malariamu sekarang"" Peter tak segera menyahut, malah menatapnya lekat-lekat dengan rasa kagum dan sayang seorang saudara sedarah. Garsini masih belum paham sepenuhnya. Sekilas diliriknya wajah De Broer-nya, sama sekali tak memperlihatkan pertanda orang baru sembuh dari sakit parah. Sebaliknya penampilannya tentu amat menyedihkan. Menurut Okusan tadi, tampangnya masih pucat pasi, kisruh... Di mana jilbabnya selama ini disampirkan"
Dengan gugup dan jengah, Garsini berusaha menutupi mahkota indahnya dari pandangan sepupunya. Meskipun itu sia-sia, karena toh ia tak tahu apa yang terjadi selama sehari semalam itu. Peter seperti memahami keinginannya, disambarnya kerudung Garsini yang tersampir di kapstok dan diberikannya kepada gadis itu. Garsini menerimanya tanpa bicara, cepat-cepat menutupi rambutnya yang tergerai panjang.
"Biasanya juga hanya dua-tiga hari menyerang. Itu sudah lewat, ugh, mimpi-mimpi buruk. mengerikan sekali! Apa aku seperti sosok psikopat yang siap membunuh, seorang schizoprenia akut di mata pemilik hotel itu, ya""
Peter tertawa sumbang, seketika Garsini bisa menangkap kepedihan yang dalam di mata anak muda itu. Kepedihan di masa silam, saat kanak-kanak di awal kedatangannya berdua ibunya di negeri Kincir Angin belasan tahun lalu. Kepedihan mengental itu telah menyilih kebingungan yang semula menyelimuti hati Garsini. Tidak mengapa, tak terjadi hal buruk, pikirnya. Garsini percaya, Peter telah merawatnya dengan sangat baik sekali, tak kurang suatu apapun.
Garsini baru mengetahuinya kini, seketika ikut merasa gemetar dan menggigil sepanjang menyimak kisah yang dituturkan Peter. Mereka sempat disekap oleh seorang lelaki Belanda, interniran militer, yang dikenal Arnie melalui biro jodoh di dunia cyber.
"Aku masih kecil, lima tahun ketika itu tapi masih kuingat saat-saat mengerikan itu... Orang itu memukuliku, menyekapku di kloset. Sedang di luar kudengar suara Mami mengerang, memohon-mohon agar si Monster itu membebaskanku. Mami rela berbuat apapun demi kebebasanku, oooh, sungguh mengerikan! Entah apa saja yang telah diperbuat si jahanam itu terhadap Mami, hiks, hiks."
Peter menangis tersedu-sedu di hadapan Garsini yang ikut memburaikan air mata. Pengalaman itu sangat membekas dalam ingatan Peter kecil. Bahkan menjadi mimpi-mimpi buruknya untuk beberapa lama. Sehingga ia sempat menjadi pasien psikiater sepanjang tahun, menjadi paranoid dan kleptomania!
Semua itu konon sebagai dampak traumatis jiwanya di masa kecil.
"Musim dingin, salju pertama yang kami lihat di negeri Kincir Angin ketika itu." Peter melanjutkan kepedihan masa silam yang tak pernah terungkap hingga bertemu Garsini.
Akhirnya, suatu siang yang penuh salju kesempatan itu datang. Tante Arnie nekad turun dari lantai tiga apartemen si George, susah payah menurunkan putranya, hingga kakinya terkilir. Mereka kemudian menyusuri salju tak tentu arah dalam baju tipis, nyaris mati kelaparan dan kedinginan.
Sebuah bangunan yang ternyata adalah kapel tampak oleh mata mereka. Ke situlah akhirnya Tante Arnie berlabuh, menggapai kasih sayang mereka dan memperoleh perlindungan serta kehangatan. Pendetanya sangat baik, Van Moorsel, memiliki seorang putra yang masih lajang. Asalnya mungkin hanya sekadar balas budi, Tante Arnie kemudian menerima lamaran Paul van Moorsel.
"Kukira sekarang Mami sudah bisa mencintai ayah tiriku yang baik hati itu. Papi sangat mendukungnya, bahkan menyemangati Mami agar melanjutkan sekolahnya. Bertahun-tahun Mami sekolah di mana-mana malah sampai London segala."
Sekarang Tante Arnie telah menjadi seorang perancang busana yang sukses. Memiliki rumah mode sendiri di Huizen. Peter memutuskan bergabung dengan militer Kerajaan Belanda, sebab tak ingin lebih banyak menyu
sahkan orang tua dalam hal finansial. Meskipun ayah tirinya tak pernah mengeluh perihal biaya pendidikannya. Agaknya Peter amat tahu diri akan hal itu.
Siapa mengira elegi kelam itu pernah mereka alami" Di dalam keluarga ibunya, Garsini lebih sering mendengar pujian dan kekaguman terlontar atas keberhasilan Tante Arnie di negeri orang. Mereka tak pernah tahu arti di balik kabar sukses itu, curahan transfer uang dan bingkisan dari Tante Arnie untuk saudara-saudara di Cimahi... Oma Aliet, pasti akan kumat jantungnya kalau mendengar kisah ini!
Tiba-tiba Peter meraih kedua tangan sepupunya dan menggenggamnya erat. Dipandanginya wajah Garsini lekat-lekat.
"Tolong, demi kasih sayang sebagai saudara sedarah," bisiknya serius sekali."Ini hanya menjadi rahasia kita, ya... Jangan pernah ungkapkan kepada siapapun, please."" Ada untaian kristal gemerlap di sudut-sudut mata itu. Maka Garsini pun mengangguk ikhlas.
"Ya, tentu saja ini hanya kisahmu, masa lalu yang tak perlu kita ungkap. Tak perlu kita kenang lagi," janji Garsini.
Garsini berpikir, sejak saat itu sikapnya terhadap Peter akan berubah total. Lebih erat, semakin mengasihi dan menghormatinya. Meskipun ada sebersit niat yang dibawanya sejak keberangkatannya dulu, yakni untuk mempengaruhi sepupunya dalam hal keyakinan.
Tapi hidayah itu bukankah sesuatu yang hanya timbul dari kedalaman kalbu seseorang" Ia hanya bisa mempengaruhi, sebagai pemicunya, toh
segalanya terpulang kepada takdir-Nya.
*** Peter meminta kesediaan Garsini agar menemaninya melanjutkan perjalanan wisatanya. Garsini agak bimbang. Maka ia meminjam handphone Peter, supaya bisa menghubungi Tokyo. Ia meminta pertimbangan dan kabar baru mengenai Nakajima-san kepada Mayumi. Setelah sabar menanti sinyal selama setengah hari, akhirnya ia berhasil juga mengontak sahabatnya itu.
"Moshi-moshi, apa kabar Tokyo..."" sapa Garsini riang. Dari kejauhan Peter mengawasi gerak-geriknya sambil mesem-mesem. Kadang dia mirip sekali dengan bocah! Pas diberi kesempatan pegang benda itu, dia langsung mengotak-atiknya. Lucuuu deh kaamuu!
"Jangan pernah lewatkan kesempatan emasmu itu, Garsini-san!" seru Mayumi penuh semangat seperti biasa. "Tak perlu pertimbangkan apa-apa lagi, di sini semuanya sehat dan serahkan saja soal MeSci itu kepada yang berhak."
"Ada kabar dari Pak Nakajima"" tukas Garsini penasaran. Kalau tak diingatkan, Mayumi suka celoteh ke mana-mana. "Ini sambungan jauh, Non, cepatlah. lagi pula ada taifun di mana-mana!"
Terdengar tawa renyah dari seberang."Kamu suka dikejar-kejar setan begitu selamanya, ya"" sindirnya. "Pak Nakajima sudah telepon, katanya lagi bersenang-ria bersama keluarganya di Saporo. Terpaksa pulangnya ditunda sampai akhir bulan."
"Waaah, jadi bagaimana tugas para sesepuh di museum itu""
"Tenanglah, aku sudah berhasil merekrut beberapa adik kelas yang mau kerja sambilan di MeSci. Sudah kubilang, tak ada masalah apa-apa di Tokyo yang perlu kamu khawatirkan. Sudahlah, selamat bersenang-ria, Garsini-san. Oya, sampaikan salamku buat abangmu, siapapun namanya dia. okey"!"
Kliiik! Telepon betul-betul diputus oleh Mayumi, bukan sebagai dampak taifun yang melanda seluruh negeri Jepang saat itu. Ini cuaca yang sangat unik, pikir Garsini lesu mengembalikan handphone ke tempatnya semula di atas meja. Sementara di satu sisi sedang musim semi menuju musim panas, terjadi hujan dan taifun khas Jepang di sisi lainnya. Rangkaian angin badai atau taifun itu, diberitakan frekuensinya lebih besar daripada taifun di bagian dunia manapun.
"Ibarat sang Monster, sifatnya mirip dengan angin-angin topan yang kerap memporak-porandakan pantai timur Amerika Serikat. Keduanya merupakan hasil hubungan umum yang sama antara daratan dengan air pada garis-garis lintang yang sama pula." Peter membaca pelan koran lokal di tangannya.
Garsini menyimaknya dengan seksama dan penuh perhatian. Sebagaimana Peter membaca korannya dengan mimik serius, takjub sekaligus keheranan.
"Namun, sang Monster ini menggasak Jepang begitu hebatnya hingga menimbulkan kehancuran, ribuan korban jiwa dan harta yang tak terhingga. Sementara bagian terbesar pen
duduk Jepang terpusat di pantai-pantai laut sebelah barat daya, justru di situlah tempat taifun pertama-tama mendarat."
Garsini hampir tak tahan lagi membayangkan ribuan korban jiwa yang tak berdosa berjatuhan. Digasak sang Monster!
"Tak bisa terbayangkan akan berapa juta lagi korban jiwa yang bakal berjatuhan. Mereka, penduduk yang tak berdosa, mungkin sudah miskin sekali, tak memiliki rumah yang layak huni. Anak-anak, wanita hamil, kakek, nenek lanjut usia." lanjut Peter masih asyik membaca.
"Ya Allah, bagaimana kehancuran dan kepedihan yang maha ini, sanggup Engkau timpakan begitu saja kepada makhluk, yang konon paling mulia di antara seluruh makhluk ciptaan-Mu itu."" suara pilu Garsini tersekat di tenggorokan.
Ia merasakan tubuhnya seketika dingin. Persis seperti saat ia menyadari dirinya berada di Hiroshima. Sebuah kota yang pernah dijatuhi bom atom oleh sekutu di masa perang dunia.
Penderitaan, kehancuran anak manusia. Hiroshima, taifun, sang Monster. Seolah-olah satu kesatuan jahat yang siap menghancurkan seluruh rakyat Jepang. Mengapa harus negeri ini" Mengapa tidak negeri lainnya" Mengapa, Tuhanku, mengapaaa"
"Apa yang kamu katakan barusan, Garsini"" tanya Peter membahana di antara gumpalan awan yang berarak dari arah selatan pegunungan. Itu cukup berhasil, mengejutkan Garsini pada kenyataan kembali.
"Ya, mengapa, Peter"" ujar Garsini menatapnya pilu, tapi berhasil menarik pulang sebagian jiwanya yang sempat mengapung dalam samudera kepedihan anak manusia. "Tadi aku sempat mempertanyakan kepada Sang Khalik. Mengapa, mengapa taifun itu selalu datang dan menghancurkan Jepang.""
"Ditambah bencana gempa secara berkala dan setiap saat," tukas Peter tanpa ampun menohok ulu hati gadis itu.
Wajah pilu itu kini memucat. "Ya, aku pernah mengalaminya. Mengejutkan saat pertama kali, tapi kemudian aku mulai terbiasa. Apakah itu akan selalu terjadi, kapan, di mana dan seberapa parahkah""
"Setiap saat, kapan saja, di mana pun kamu berada di seluruh pelosok negeri ini."
"Ya Allah!" seru Garsini menutup wajahnya ngeri. Terbayang bagaimana dirinya suatu saat bakal menjadi salah satu korban bencana itu. Terasing, seorang diri, jauh dari orang tua, sanak saudara. Entah terkubur begitu saja, atau masih sempat ditemukan oleh regu penyelamat. Sang Maut, kematian itu merenggutnya dengan telak. Apakah kala itu masih dalam iman Islam atau sebaliknya, sebagai penggugat-Nya" Mati dalam kekufuran nikmat-Nya, begitukah"
Peter malah terus saja membacakan sekilas ulasan bencana yang pernah melanda Jepang di masa silam. Tahun 1783, Asama, menghancurkan ratusan mil persegi kawasan Honshu bagian tengah. Tahun 1923, 1 September gempa-gempa dahsyat berulang kali menghantam Tokyo dan kota pelabuhan Yokohama. Semuanya disamaratakan dengan tanah, mengamuk pada tengah hari bolong...
"Wooow, bayangkan saja, Garsini!" serunya masih belum melepaskan korannya. "Korbannya konon lebih dari 130 ribuan tewas seketika. Ini tragedi kemanusiaan yang tak terampunkan. Mengerikan, demi Tuhan, Garsini. Ini sungguh mengerikaaan!" serunya histeris.
Peter melemparkan koran di tangannya begitu saja. Napasnya tersengal-sengal, sesak sekali. Untuk beberapa jenak tak ada yang bicara lagi. Keduanya duduk terpaku di atas tatami. Pintu yang terbuka meniupkan hawa segar angin musim semi dari pegunungan di belakang penginapan itu.
Hening mengapung di sekitar mereka bak mata pisau yang menikam telak jantung masing-masing. Susah payah Garsini menembus samudera ketakutan itu, menyelaminya, merenanginya, menyeberanginya. Ups!
"Astaghfirullahal adziiim," gumamnya lirih. Garsini tersadar dalam sepenggal nostalgi bersama ibunya, suatu hari ketika ibunya baru saja babak belur dipukuli suami. Mengapa Mama diam saja, tidak balik melawan Papa, geramnya menggugat. Jadilah manusia yang istiqomah terhadap Allah, anakku, kata wanita tegar itu.
Peter pun menoleh ke sebelahnya, seolah baru kembali dari kembara yang amat menyedihkan itu. "Apa artinya itu"" Begitu pula tanyanya kala itu. tepatnya, istiqomah itu apa, Ma"
Mama pun berkata lugas, "Orang yang istiqomah terhadap Allah memiliki empat s
ifat gunung," diraihnya tubuh Garsini kecil dan mendekapnya ke dalam dadanya. "Tidak lebur oleh terik mentari. Tidak beku oleh cuaca dingin. Tidak goyah oleh hempasan angin. Tidak bergeser oleh arus air."
Peter menyimak perkataan gadis itu dengan seksama, penuh perhatian dan pengaguman diam-diam. Saat itulah ia baru menyadari akan kemandirian sepupunya. Garsini tak sama dengan para remaja bule yang pernah dikenalnya di Holland. Bayangannya tak ada di antara para pemuja dunia gemerlap, selebriti dan hal-hal bersifat semu, kenikmatan sesaat. Dia begitu unik, langka!
"Ayo, kita jalan-jalan mumpung cuacanya cerah!" ajak Peter ingin menghilangkan rasa ngeri yang sempat membelenggu hati mereka.
"Baiklah, tapi kapan kita akan kembali ke Tokyo""
"Sore juga bisa, naik taksi ke kota dari sana dilanjutkan dengan kereta. Asyik kan bisa naik kereta malam-malam lagi"" Peter tertawa riang.
Kelihatannya rencana yang bagus dan takkan ada hambatan apa-apa, pikir Garsini. Ia sama sekali tak pernah mengira bahwa cuaca cerah di Jepang bisa mendadak berubah. mengerikan!
*** Sepanjang hari itu mereka menghabiskan waktu untuk keluyuran di kota yang pernah dibom atom sekutu. Sesungguhnya Garsini merasa agak tak enak hati juga, mengingat mereka jalan bareng dan selalu tampil berduaan.
Bagaimana dengan prasangka dan fitnah" Adakah mereka percaya kalau keduanya bukan pasangan roman, pasangan bebas" Seperti pasangan lain, para turis asing yang berseliweran di sekitar mereka itu.
"Kita kembali saja ke hotel, Peter," ajak Garsini tak tahan lagi dengan tatapan selidik, tak mengenakkan hati itu.
"Tapi kita belum ke mana-mana," protes Peter. Saat bersitegang itulah mereka bertemu kembali dengan rombongan Smith yang urung naik gunung Fujiyama. Beatrice berseru memanggil Garsini dengan suaranya yang lantang. Garsini tersenyum menyambut empat muda warganegara Belanda itu.
Mereka mampir di kafe yang agak sepi di sudut kota untuk makan siang.
"Cuacanya sangat buruk. Kami disarankan untuk membatalkan perjalanan tamasya ke arah sana," keluh dokter muda itu dengan raut kecewa sekali.
"Mana yang lainnya"" tanya Peter.
"Para manusia nekad itu memaksa pergi juga dengan pemandu yang tak kalah nekadnya. Menyewa mereka dengan harga lipat-lipat," jelas Hendrick yang selalu digelendoti manja oleh gadis bernama Marlene van de Kaplan. Dialah satu-satunya yang memperkenalkan diri kepada Garsini dengan nama lengkap. Konon, karena dia seorang turunan aristokrat Kerajaan Oranye.
"Aku malah bersyukur, sebab tak begitu suka hiking. Lagi pula, kalau kalian pergi aku terpaksa harus tinggal di sini sendirian atau balik ke Tokyo juga sendirian." celetuk Beatrice tertawa riang.
"Karena kakimu belum begitu sehat, Sayang," bujuk Smith menatap mesra dan mengecup sekilas pipinya. Garsini melengos dan berpikir, gadis yang satu ini mudah sekali merespon segala sesuatu dengan tawanya yang riang.
"Tidak juga, ah," elak gadis Belanda itu menanggapi komentar Garsini selang kemudian. "Waktu terkilir tempo hari di kereta peluru itu."
"Dia sama sekali tak tertawa malah menjerit histeris kesakitan," ejek Smith."Bikin semuanya panik dan ketakutan."
"Kamu tidak berguna sebagai seorang kandidat Doktor!" ejek Marlene van de Kaplan yang wajahnya mengingatkan Garsini kepada Sophia Latjuba.
"Jangan kejam begitu, Marlene van de Kaplan," tukas Beatrice masih juga tertawa riang. "Tentu saja, itu bukan salahnya. Sepenuhnya kesalahanku, terlalu genit memamerkan salsaku dan. Begitulah akibatnya!"
"Beruntunglah ada Angel, sang Penyelamat, Miss Indonesia ini. Sekali lagi, kami haturkan beribu terima kasih atas pertolonganmu waktu itu," Smith bersopan-sopan secara demonstratif,
Garsini merasa tak enak hati dan sesaat hanya menunduk dengan wajah merona.Tiba-tiba Hendrick berkata seraya memandangi Peter dengan agak mengiri, "Berbahagialah kamu, Broer, menggaet gadis secantik dan sepandai dia..." Marlene menambahkan dengan nada sok tahu.
"Kapan kalian meresmikannya"" Garsini tersentak bagai tersengat listrik. Ia melirik ke arah Peter dengan mata memelas. Peter maklum akan ketaknyamanan hatinya.
"Kami ini bersaudar a, dia sepupuku dari Indonesia yang sedang belajar di Jepang sini," jelas Peter tegas.
"Waah, kalau begitu kamu anak orang kaya, hemm"" Marlene menatap Garsini dalam sorot mengiri.
"Tidak juga," sahut Garsini semakin tak nyaman berada di tengah orang yang bukan golongannya. "Saya bisa kuliah di Universitas Tokyo itu dengan beasiswa dari pemerintah Jepang."
Suasana yang sempat kaku itu segera dicairkan oleh ajakan riang Beatrice. "Sudahlah, kalian ini. Mari kita bersulang untuk persahabatan antar warga dunia, okeeey""
Ketika tangan-tangan para muda itu terulur dengan mengacungkan gelas-gelas kristal, Garsini semakin mengkerut hatinya. Mereka sungguh bukan golonganku, aku sama sekali tak pantas berada di sini!
Namun, ternyata kemudian betapa sulit Garsini melepaskan diri dari rombongan itu, teman-teman barunya yang beraneka ragam karakter dan kelakuannya itu. Kalaupun ada yang agak melegakan Garsini adalah mereka tidak tinggal satu hotel. Rombongan Smith masih menginap di hotel kecil tempat mereka sebelumnya. Garsini tak dapat membayangkan seandainya mereka satu hotel. Apakah ia dan Peter bisa menolak ajakan mereka untuk bergabung" Dan akan beberapa kali lagi mereka harus bersulang" Toast, toast.!
Dan bunyi gelas beradu pun berdentingan, membarengi tawa genit, suara lantang dan perilaku yang mbarat sekaaalee... Budaya Barat telah merebak di sekitarmu, Garsini!
Bab 8 "Hari ini juga kita kembali ke Tokyo!" cetus Garsini keesokan harinya menegaskan tanpa bisa ditawar-tawar lagi. Sepanjang malam ia merasa sangat tersiksa dengan situasi yang mereka hadapi, dan sama sekali tak pernah dibayangkannya. Peter tidur di atas tatami, bergelung kedinginan dan bisa dipastikan sulit tidur juga.
Beberapa kali Garsini memergoki Peter terbangun, kemudian bangkit untuk minum teh, gelisah jalan mondar-mandir. Mujur, dia bukan seorang perokok. Tapi melihatnya gelisah begitu, Garsini jadi lebih gelisah lagi.
"Tapi angin badai begitu dahsyat di luar. Kita tak bisa ke mana-mana."
"Baik," kata Garsini sesaat wajahnya tampak serius sekali.
"Ada apa denganmu"" Peter bertanya cemas. Garsini menggeleng, tapi ia sudah memutuskan sikap.
"Kalau begitu, pesankan kamar satu untukku. Jangan khawatir, kamar itu nanti akan kubayar sendiri."
Peter terperangah. "Kamu ini mulai aneh-aneh saja," sungutnya. Garsini mengangkat bahu dengan tampang disetel serius sekali. Terpaksa Peter keluar untuk menuruti permintaannya, mendatangi pemilik hotel. Beberapa saat kemudian Peter kembali dengan tangan hampa, sebab hotel telah dipadati tamu yang terjebak angin badai di kawasan itu. Garsini ternyata telah siap mengantisipasi kemungkinan macam ini.
"Siapa dia"" Peter terheran-heran menatap seorang gadis asing di kamar mereka. Usianya sekitar dua-tiga tahun lebih muda dari Garsini.
"Ini Kagume, putri pemilik kedai seberang itu," jelas Garsini. Kagume membungkuk takzim ke arah Peter, ekor matanya mengerling kagum. Garsini harus mengakui, penampilan sepupunya itu memang selalu memikat. Charming, gentle dan berwibawa. Dia sama sekali tak mirip selebriti yang arogan, siapa namanya itu yang suka dikejar-kejar para fansnya"
"Maksudku, apa urusannya dia di sini"" Peter menggiring Garsini agak menjauhi Kagume yang berlagak sibuk menyiapkan teh untuk mereka.
"Sejak saat ini sampai kita bisa melanjutkan perjalanan, Kagume akan menemaniku," jelas Garsini. "Ibunya tadi mampir, menanyakan keadaanku. Kami ngobrol sebentar dan ia mengeluh perihal putrinya semata wayang. Agaknya dia lagi pusing dengan tingkah Kagume... Yaah, dinilainya suka mengundang perhatian turis asing di kedainya."
"Jadi, kau meminta ibunya untuk membawa putrinya ke sini""
"Bukan begitu, Ibu Kagume hanya meminta kesediaanku agar menemani putrinya beberapa hari. Tak ada gadis sebayanya lagi di sekitar sini, katanya."
"Apa urusan kita dengan semuanya itu""
"Ini hanya kebetuan yang amat baik buat banyak pihak. Buat kita juga buat ibu dan anak yang sudah tak punya ayah itu."
"Aduuh, kenapa kamu jadi sok pahlawan begitu sih, Garsini""
"Bukankah itu lebih baik buat kita berdua" Supaya tak ada prasangka orang lagi"" Garsini
bersikeras. "Aku tak mau berdebat lagi. bagus menurutmu, ya Garsini"" suara Peter melunak.
"Yaah, setidaknya kita sudah berusaha untuk menunjukkan kepada mereka. Bahwa kita bukan pasangan roman, bisa ditanyakan kepada seorang saksi mata." cerocos Garsini antusias. Peter manggut-manggut dan memahami tujuannya.
"Baiklah kalau itu bagus menurutmu. Aku setuju-setuju saja. Jangan pikirkan lagi untuk bayar macam-macam perihal tamasya ini. Oke"" suara Peter kini terdengar tulus dan sarat pengertian. Tak ada tanda-tanda lagi kesal, gelisah apalagi kecewa di wajah gantengnya.
"Oceee, Bosss...!" Keduanya sesaat tertawa riang. Kagume tersipu malu-malu sambil mencuri pandang ke arah mereka.
"Baiklah, kembali ke pekerjaan masing-masing," ajak Garsini yang segera diiyakan oleh Peter. Ini kegiatan kecilnya bersama Kagume. Beruntunglah, Kagume bisa bahasa Inggris. Jadi komunikasi mereka bisa berjalan lancar.
Sementara Peter diam-diam kembali ke sudutnya, mengotak-atik laptop-nya yang mendadak macet. Garsini menjelaskan tentang beberapa hal yang dipertanyakan remaja putri itu.
Dalam beberapa menit saja, Garsini sudah bisa menebak kegelisahan Kagume. Agaknya Kagume sedang mengalami masa-masa transisi, sebuah peralihan dari seorang kanak-kanak ke masa remaja. Ia ingin mempertanyakan beberapa hal yang tak dipahaminya, seperti menstruasi, perubahan bentuk tubuh dan kegelisahan yang melanda hatinya secara tiba-tiba.
Garsini jadi terkenang lagi saat-saat dirinya pada posisi serupa. Mama, meskipun dilanda begitu banyak kemelut rumah tangga, selalu berusaha memuaskan kepenasaran putri sulungnya. Hingga Garsini tak pernah sungkan untuk menumpahkan kegelisahannya, curah hatinya kepada wanita itu.
"Terima kasih, Kakak, saya lega sekarang. Artinya, saya normal kan" Tidak gila, ya Kak"" seru Kagume sampai juga ke telinga Peter yang belum berhasil memperbaiki laptop-nya.
"Apa yang kalian bicarakan"" teriak Peter dari sudut favoritnya.
"Tidak, ini urusan perempuan. Ya kan begitu, Kagume-san""
"Ya, ya, memang ini soal perempuan!" sambut Kagume dan tertawa kecil.
Peter baru saja memutuskan, laptop-nya akan diberikan kepada sepupunya. Eee, malah mendadak macet. Padahal, ia belum lama membelinya di Amsterdam. Tahu begini, buat apa jauh-jauh dibawa dari rumah keluarganya di Blaricum, Holland. Mending beli saja di Jepang, tak perlu pusing-pusing.


Kapas Kapas Di Langit Karya Pipiet Senja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, sudah, tinggalkan saja benda rongsok itu," saran Garsini tersenyum.
"Buat Kagume saja, ya Broer Peter"" pinta Kagume mulai terbiasa dengan keduanya. Bahkan bisa bersikap terbuka dan manja.
"Uugh, enak saja!" gerutu Peter. "Ini jauh-jauh kubawa buat Garsini. Ah, apa sebaiknya kubelikan saja untukmu nanti di Tokyo, ya""
"Jangan repot-repot begitu, Broer."
"Ya, sebaiknya ini buat Kagume sajalah," Peter malah seperti tertantang. Garsini angkat bahu, percuma bersitegang dengan sepupunya perihal kebendaan. Peter dinilai begitu boros. Tapi itu haknya karena memang ia telah menyiapkan liburan ini sedemikian rupa sejak lama.
Peter bercerita tentang perjuangannya sebagai loper koran. Menyusuri salju dengan kereta luncur, melempar-lemparkan koran ke rumah para langganannya, di tengah udara dingin yang menggigit tulang sumsum. Perjuangan keras yang hanya saggup dilakukan oleh seorang anak berpribadi mandiri. Bukan anak korban traumatis jiwa. Peter tentu saja telah berhasil melewati kritis kejiwaannya itu dengan baik sekali. Dan itu tanpa agama, hanya karena aku berhasil menutup memori itu, luka itu dalam-dalam, katanya dalam nada bangga. Apa itu agama, bulshit, nonsens!
Kalau sudah sampai ke arah pembicaraan spiritual, Peter selalu berhasil menepis segala upaya Garsini dalam mempengaruhi pikirannya. Mereka akan terlibat dalam perdebatan seru, berlarat-larat dan sangat melelahkan.
Ini hampir dua minggu kebersamaan mereka, tapi rasanya tak ada pengaruh apapun, pikir Garsini. Ia bahkan nyaris membiarkan takdir-Nya bicara langsung atas diri sepupunya. Tak perlu ada ikut campur siapapun termasuk dirinya. Bila Allah menghendaki... kun fa ya kun! Jihad itu, syiar dakwah itu ternyata sangat-sangat-sangat sulit!
"He, cuaca di luar mulai cerah," kata Kagume. "Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan" Kalian belum sempat tamasya ke Miyajima, bukan""
Peter menoleh kepada remaja itu dengan penuh minat "Apa itu"" Garsini jengah dan membuang pandangnya ke luar jendela. Sesaat ia berpikir keras, bagaimana caranya yang bijak agar ia bisa berdiri pada posisi penengah. Gerak-gerik Kagume, keluguan dan kemurnian remajanya kadang terasa berlebihan.
"Kita pergi saja ke sana, nanti baru bisa terasa indah tamasyanya. Setuju"" ajak Kagume sudah terdengar seperti memaksa.
Sia-sia Garsini berusaha menghindar, apalagi karena sepupunya telah bersemangat sekali menyambutnya.
"Baik, ayo, kita pergi berdua saja kalau Garsini enggan."
"Tentu saja aku akan iku!" tukas Garsini cepat.
Awan berarak-arak menghiasi langit Sakura. Tampak putih dan seolah menantang untuk dilukis oleh tangan-tangan terampil yang memiliki citarasa tinggi dan luhur.
Di mata Garsini, gerombolan awan itu selalu mirip arakan kapas nan lembut menjanjikan selaksa keindahan dan kenyamanan. Simbul sejuta harapan selaksa impian, masa depan cemerlang yang menanti dan melambai-lambai kepadanya untuk segera dijumput. Sebab di balik arakan kapas itu ada ribuan bintang gemintang, menantinya pula untuk dipetik oleh jari-jemarinya.
Tentu saja dia akan terbang melayang, menggapai awan hingga lapisan langit ke tujuh sana. Kemudian ia akan menjumputnya, meraihnya dan mendekapnya erat-erat ke dadanya. Sebab ia tak ingin menjadi orang yang kalah, pecundang atau pengecut yang tak sanggup mengambil keputusan.
Ia akan menggambari lapis demi lapis langit nun di sana, dengan macam ragam lukisan nan indah dan bermakna. Sehingga ia berhasil menembus selaksa tantangan itu, dan dihadiahi bintang-gemintang yang akan disematkan ke dadanya.
Manakala kembali ke Indonesia, dia akan menghaturkan bintang paling cemerlang dan indah berikut selaksa lukisan nan bermakna itu; kepada Mama, Papa, adik-adik dan keluarga besar mereka. Baik yang ada di Cimahi maupun di Tapanuli dan Jakarta.. Tanah air dan agamanya!
Garsini menikmati khayalnya terindah itu hingga matanya terasa membasah. Apakah ia akan sanggup mewujudkan selaksa mimpi dan angannya kelak" Hanya waktu yang mampu menjawabnya dan kemurahan Allah, yang kepada Dia selalu dirinya menghadap setiap kali merasa disergap rindu dendam, resah pasah.
Ya, jeritnya merambah langit. Monster mengerikan itu sesungguhnya bernama rindu. Garsini terbetot kembali dari alam khayalnya, angannya dan bayang-bayang masa depannya. Bila boleh memilih, sesungguhnya ia lebih suka kembali ke pangkuan orang-orang yang dikasihinya. bahkan walau tanpa sebutir bintang sekalipun!
"Hai, apa kabar, saudariku yang enerjik" Kenapa mendadak pendiam"" tegur Peter di antara keriangannya menikmati nuansa indah di sekitar mereka.
Garsini tak berkata-kata. Ia tepekur menikmati pemandangan yang. subhanallaaah!
Inilah Nihon sankei, Miyajima pulau kuil di Inland Sea tamasya terindah dan terdekat dari Hisroshima. Kagume penuh semangat dan suaranya renyah memikat, berusaha memuaskan kedua turis yang dipandunya dengan uraian penjelasan yang lugas.
"Di Jepang selain Fujiyama yang tiada bandingannya," ujar Kagume berulang kali mengagungkan keindahan alam gunung yang memang sangat terkenal itu. "Sesungguhnya ada tiga tamasya Jepang yang masyhur antara lain Miyajima, inilah yang sedang kita kunjungi dan nikmati pemandangannya."
"Dua lagi apa"" tanya Peter dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Garsini merasa harus membentangkan tirai itu di antara sepupunya dengan Kagume. Apalagi mengingat ibu Kagume telah amat mempercayainya. Sehingga meminta Garsini agar mengajari putrinya semata wayang, beberapa hal yang dirasakannya tak sanggup dia berikan sendiri.
Padahal, apalah dirinya" Sehingga ia mendapat kehormatan dan kepercayaan yang begitu tinggi dari seorang ibu lugu, janda malang yang sudah lama ditinggal kawin lagi oleh suami. Namun, demikianlah adanya, penghargaan tak ternilai itu begitu saja disandangkan ibu Kagume ke bahu-bahu Garsini.
Hanya karena perempuan sebaya Mama itu telanjur jatuh hati, terpikat oleh kemurniannya dalam bertutu
r kata, bersikap dan berperilaku. Itulah karunia Ilahi untuk Garsini, mengingat kebersamaanya dengan ibu Kagume baru tiga hari.
"Boleh aku yang menjawabkannya, Kagume-san"" ujarnya lembut.
Garsini berusaha dengan bijak tanpa menyinggung hati Kagume, menawarkan jasanya. Ia cemas akan kedekatan mereka. Terutama perilaku manja Kagume terhadap sepupunya, sungguh membuat hatinya kebat-kebit. Ia bisa memahami ketunaan gadis belia itu, toh Kagume bukan seorang Muslimah. Apa artinya muhrim dan non muhrim buat gadis belia itu, bukan"
"Memangnya Kakak tahu"" tantang Kagume tertawa kecil. Garsini menyelipkan tubuhnya di antara kedua makhluk itu. "Biar pun baru kubaca referensinya dari buku, aku merasa bisa menjelaskannya," sahutnya.
"Wah, wah, nggak mau kalah jadi pemandu wisata nih"" sindir Peter.
Garsini tak mempedulikan sindirannya. "Ama-no-hashidate..."
Kagume berseru takjub tanpa merasa tersisihkan. "Waah, Kakak sungguh fasih menyebutnya!"
Garsini tersenyum hangat. "Artinya Jembatan Nirwana, ya kan Kagume""
"Ya, tepat sekali!" Kagume kian mengagumi pengetahuannya.
"Itu adalah tanjung pasir yang ditumbuhi cemara di pantai Laut Jepang sebelah utara Kyoto," kata Garsini lagi. "Dan Matsushima, yaitu sekelompok pulau indah yang diliputi pohon cemara di sebuah teluk dekat kota Sendai di bagian utara Jepang... Ugh, tolong bantu aku melanjutkannya, Kagume-san!"
Dengan senang hati remaja itu menyambutnya."Baiklah," katanya kini hampir tak mempedulikan keberadaan Peter, tapi lebih memusatkan pikiran untuk mengutarakan betapa indah dan agungnya negerinya tercinta.
"Kebanyakan tempat di Jepang memiliki tiga atau delapan tamasyanya sendiri, terdapat ribuan tempat indah yang lain juga tempat peristirahatan dengan sumber air panas. Demikian pula tak terbilang tempat-tempat indah yang kurang terkenal, itu tetap memikat para turis mancanegara."
"Berbeda dengan kehebatan Barat gaya Amerika," sambung Garsini manakala Kagume terdiam, seperti mulai kehabisan kata-kata. "Ukuran keindahan alam Jepang sebagian besar mungil dan mesra. Orang Jepang berusaha keras untuk mengabadikan dan melindungi alamnya."
"Hanya sayang sekali," tukas Kagume prihatin."Sudah sejak generasi kakekku, dari hari ke hari semakin banyak pencemaran dilakukan orang-orang tak bertanggung jawab. Bukit-bukit hijau nan indah dibabat habis untuk membangun pabrik-pabrik, pemukiman penduduk. Menimbuni daratan yang diambil dari laut, demi jalan-jalan lintas udara dan subway, demi menampung turis-turis kota."
"Dan gunung-gunung nan indah telah lenyap di belakang kabut asap industri. Penyakit kota pun kian gencar menggerayangi banyak kawasan pedalaman, pertanian."
"Ironis sekali, bukan"" keluh Kagume terdengar mengerang sakit.
"Ya, ironis sekali," keluh Peter bareng Garsini, ikut mengerang pilu. Untuk beberapa jenak ketiga anak muda itu terdiam dalam alam cemasnya masing-masing. Bayu dari arah kumpulan kuil semilir hampa menerpa wajah ketiganya. Sampai Garsini kembali memberi harapan dan pencerahan.
"Tapi yakinlah, Allah takkan pernah diam!" cetusnya. "Seperti Allah telah membuktikan hal itu atas kehancuran-kehancuran yang terjadi di masa lampau. Dan untuk Jepang khususnya, seberapa parah pun orang berusaha merusak alamnya, kalian akan tetap memiliki keunikan tersendiri. Pesona indah nan agung."
"Begitukah"" Kagume terdengar agak meragukannya.
"Ya, seperti berkat guncangan gempa dan bencana alam maha dahsyat yang acapkali melanda negerimu. Semuanya itu ada hikmahnya. Buktinya, kalian terkenal sebagai bangsa kuat, paling ulet, tahan bantingan di mana pun kalian berada." Garsini berhenti dan merasa lelah bicara seorang diri. Padahal, ia baru saja menemukan jawaban atas sejuta tanya ikhwal bencana taifun, yang pernah didiskusikannya bersama Peter tadi malam.
"Banzaaaai!" Peter tiba-tiba usil menjatuhkan bom simpanannya. Suaranya yang lantang seolah menggema ke pelosok Inland Sea. Kagume dan Garsini tersentak kaget sekali. Keduanya sesaat berpandangan lalu perlahan sama tersenyum maklum. Garsini sekonyong menggaet tangan sepupunya di sebelah kanan dan meraih tangan Kagume di sebelah lainnya.
Kemudian seketika itu pula, ia mengangkat tangannya ke udara sambil berseru lantang; "Banzaaaai!"
"Banzaaaai!" sahut Kagume dan Peter kompak.
Diam-diam jauh di lubuk hatinya, Garsini membarengi pula dengan selarik
takbir."Allahu Akbaaar.!"
Ia tak pernah mengira bahwa kebersamaan itu telah mengikatkan tali ukhuwah. Suatu persahabatan yang terikat oleh simpul kasih Islamiyah nan indah dan agung. Bahwa sebagian dampak dari persahabatan itu kemudian membuahkan banyak hikmah dan berkah.
Sesuatu yang tak pernah terlintas di benak Garsini. Terutama terhadap Kagume, remaja imut-imut yang kala pertama ditemuinya sedang dalam pencarian jatidiri. Segala gerak-gerik, perilaku dan perkataan Garsini kala itu ternyata telah amat membekas terhadap perkembangan jiwa Kagume selanjutnya.
Di luar rasa kagum dan hormat, sebab ada satu hal lain yang lebih utama, lebih mulia pula maknanya. Hidayah itu agaknya mulai bersemayam di hati Kagume. Memang baru persemaian, hanya sekadar pemicu, tapi kelak itu akan menjadi tonggak pertamanya yang tangguh bagi kelahiran jiwa islam seorang insan, Kagume Itsuwa.
*** Petang itu mereka kembali ke hotel dengan penuh keriangan.
"Apa yang Kakak lakukan barusan"" tanya Kagume tatkala melihat Garsini usai mendirikan shalat isya. Sebelumnya Kagume meluangkan waktu pulang dulu ke rumahnya, membawa peralatan kerajinan tangan yang ingin diajarkannya kepada Garsini.
"Shalat, itu sembahyangnya pemeluk Islam, Kagume." Kemudian Garsini menjelaskan beberapa hal perihal Islam, seperti yang dituntut oleh gadis belia itu. Rukun Islam, rukun Iman, perihal tata cara ibadahnya bahkan pandangan keyakinan yang dipeluknya itu tentang pacaran.
Kagume tampak sekali terkesan dengan berbagai uraiannya. "Agama yang sungguh baru bagiku," katanya. "Sebab di lingkungan kami hampir tak ada pemeluk Islam. Kota ini begitu terpencil, jauh ke mana-mana, maklumlah."
"Aku mengerti," kata Garsini. "Tapi di Tokyo pemeluk Islamnya cukup banyak. Bahkan menurut data statistik dari saat ke saat perkembangannya semakin meningkat pesat."
"Pasti bukan untuk anak muda sepertimu, ya kan"" Garsini menggeleng. "Islam di Jepang justru kebanyakan memikat hati generasi kita."
"Oooh."" Kagume terkesan takjub. Sekilas Garsini cerita juga tentang persahabatannya dengan Ayesha, gadis Palestina yang telah berulang kali mengajaknya bergabung dengan komunitas kajian Islamnya itu.
"Aku memang pernah mendengarnya dari koran dan televisi, tentang Islam. Tapi kenapa mereka suka menyangkutkannya dengan teroris""
Garsini dengan sabar dan bijak terus berusaha menjelaskan perihal kesalahkaprahan itu. Ketakutan Barat terhadap kebangkitan Islam di berbagai belahan dunia. Tentang perjuangan, jihad para mujahid di berbagai belahan dunia. Mereka yang terpojokkan, terjajah dan didzalimi.
"Tentang perjuangan bangsa Palestina yang selalu diteror zionis Israel itu," akhirnya Garsini melihat Kagume cukup puas.
Mata remaja itu tampak sayu dan kepalanya terkantuk-kantuk, bersandar ke dinding di belakangnya. Ia sendiri merasa letih setelah sepanjang siang hingga sore tamasya ke Nihon sankei, Miyajima. Disodorkannya bantal khas Jepang kepada Kagume,"Ini untukmu saja, ayo, sekarang tidurlah," bisiknya.
Garsini berpikir, remaja ini mengingatkannya kepada adik laki-lakinya. Meskipun adakalanya sikap dan pembawaan Kagume lebih dewasa daripada usia sebenarnya. Mereka paling bertaut dua-tiga tahun saja, seperti usia dirinya dengan Kagume. Dan Ucok akan banyak bertanyakah, perihal jatidirinya saat ini" Kepada siapa adik lelaki itu melabuhkan curah hatinya" Seketika terbit rasa rindunya yang mendalam kepada si Ucok, si Butet juga Mama dan Papa.
Kalian, keluargaku nun di sana, rindukah juga kepadaku" Garsini cepat mengenyahkan rasa pilu yang hendak menyergap kalbunya, dipandanginya wajah Kagume. Ah, tentu saja dia takkan mendengar apapun lagi. Sebab remaja itu memang telah tertidur tanpa disadarinya. Garsini menghela napas dalam-dalam. Diperbaikinya dengan lembut dan apik selimut yang menutupi tubuh sohib kecilnya itu.
Bab 9 Peter di sudutnya, masih belibet dengan laptop-nya. Garsini geleng-ge
leng kepala menyadari akan sikap keras kepala sepupunya itu. Entah ada apa dengan laptop itu, gumamnya membatin dalam ketakmengertian. Beberapa kali mereka sempat mendiskusikan khusus perihal keberadaannya.
Kadang Peter pasrah, ingin meninggalkannya begitu saja di Hiroshima, bahkan membuangnya ke tong sampah. Namun, kali berikutnya ia bersikeras memperbaikinya, memperjuangkannya sedemikian rupa agar benda itu bisa dimanfaatkan kembali. Kalau bisa akan dibawanya kembali ke Holland... Iiih, aneh-aneh saja anak kitu!
"Belum menyerah juga, ya Broer"" Garsini bangkit dan menghampirinya.
"Ini benda elektronik pertama yang sanggup kubeli dengan jerih payahku sendiri," sahut Peter terdengar penuh nostalgi. "Kamu tahu, sejak duduk di kelas dua aku sudah berjuang cari nafkah sendiri. Uangnya sebagian kuserahkan kepada Mami, sebagian lagi kutabung untuk memenuhi kebutuhanku sendiri..."
"Baik, jadi kapan sesungguhnya kamu beli laptop kesayanganmu itu""
"Hmm, sekitar lima-enam tahun yang lalu," sesaat Peter menghentikan kesibukannya, menerawang ke langit-langit kamar."Kukira saat aku kelas tujuh, Itu setara dengan kelas tiga SMP kalian, Non. Ha, kenapa kamu mesem-mesem begitu" Jangan mengejekku, ya...""
Garsini tak menyahut, cepat-cepat berlagak sibuk dengan Al-Quran mungilnya. Dalam hati ia sempat bertanya-tanya, adakah Peter menyadari bahwa benda itu sesungguhnya telah usang, rongsokan" Dan itu justru ingin dihadiahkannya kepada sepupu kesayangan, katanya" Bahkan untuk Kagume saja, Garsini akan menyesalinya. Baginya, memberikan sesuatu kepada orang haruslah yang terbaik yang kita miliki. Ah, tapi mana paham Peter, seorang yang tak mempercayai agama perihal ini"
Melihat Garsini tak bereaksi, bahkan asyik membaca kitab sucinya, Peter jadi ge-er. Tiba-tiba ia sungguh menghentikan kegiatannya.
"Baiklah, aku akan membuang benda rongsokan ini, Garsini!" sentaknya mengagetkan gadis yang begitu teguh mengenakan kerudungnya itu. Garsini meliriknya sekilas dengan gerakan acuh tak acuh dan seulas senyum bijak di sudut bibirnya. Kepalanya mengangguk perlahan, kemudian ia kembali dengan mushaf pemberian Oom Ady itu.
Peter memandanginya dengan gemas. "Mungkin kamu berpikir, alangkah pelitnya aku, mirip Yahudi saja, ya begitu kan"" cetusnya.
"Hmm." "Dengar, aku tak sepelit yang kamu duga! Ini hanya soal benda kesayanganku yang pernah susah payah kubeli dari jerih payahku sendiri."
"Sudah kudengar ratusan kali tuh!" usil bibir Garsini meningkahi."Jadi, ini soal benda yang menyimpan banyak kenangan untukmu, ya kan""
"Dengar, Garsini," suara Peter seketika mengeras dan dingin. "Kamu takkan pernah memahami bagaimana perjuanganku di masa kanak-kanak. Bahkan hingga saat ini, statusku, penampilanku yang ngeslank di mata orang-orang Belanda. diskriminasi, dipinggirkan. Bahkan oleh ayah kandungku sendiri, dengar itu Garsini, kamu dengaaaar."!"
Garsini meletakkan mushafnya dengan sangat menyesal dan kecewa. Ia tak ingin mendengar keluh kesahnya lagi. Karena otaknya sudah pepat oleh segala keluh-kesah sepanjang kebersamaan mereka. Seberapapun dia menghiburnya, rasanya Peter tetap takkan pernah puas untuk selalu mengeluh.
Masa kanak-kanak yang pedih! Mengapa itu saja yang selalu dijadikan tamengnya" Seakan-akan hanya dirinya yang paling menderita di jagat raya ini.
Betapa ingin Garsini meneriaki kuping sepupunya itu. Tentang penderitaan orang lain, derita anak-anak para pengsungsi di Aceh, Ambon, Sampit. Anak-anak para TKW yang tak pernah mengetahui siapa ayahnya. Bahkan tentang derita dirinya, sempat tak diakui ayah dan diragukan eksistensinya.
"Kamu egois, Broer, kamu selalu merasa hanya dirimu yang pernah punya masa kelam saat kanak-kanak. Sadarlah, Broer, eliiing!" Garsini merasa sesak dadanya. "Cobalah meningkatkan empatimu terhadap orang-orang di sekitarmu, jangan hanya menengadah ke langit-langit. Tengoklah juga ke bawah, aduuuh, bagaimana kujelaskan semuanya ini kepadamu"" Beberapa detik keduanya berhadapan secara frontal, saling menatap. Ada amarah dan geram di mata Peter. Ada kecewa mendalam di mata Garsini.
"Intinya, bukan hanya kamu yang pernah m
enderita, memiliki traumatis jiwa, Peter. Ada banyak derita anak-anak di dunia ini, ribuan, jutaan, tak terhingga."
Garsini bangkit karena merasa tak tahan lagi Dadanya kian sesak dan kepalanya mulai berdenyar-denyar. Ia tak mempedulikan sorot amarah yang masih tersisa di mata sepupunya. Ia pun mengabaikan akan kemungkinan percakapan mereka bisa saja membangunkan Kagume.
"Astaghfirullah adziim, ampunilah hamba-Mu yang daif ini, Allah," gumamnya sambil terhuyung-huyung menggapai kamar mandi.
Lama ia hanya diam seribu basa di dalam kamar mandi itu. Mengherani kelakuan sepupunya yang ternyata amat kompleks dan sulit ditebak. Kadang tampak riang, mandiri dan mudah ketawa-ketiwi. Namun, adakalanya muram, banyak ketakpuasan, keluh-kesah dan menyimpan kepedihan masa silam.
Ia tersentak kembali manakala mengingat tujuan keberadaan Kagume di kamar mereka. Ketika dengan tergopoh-gopoh Garsini keluar, didapatinya Kagume tetap tertidur lelap. Sementara sepupunya entah pergi ke mana. Mungkin mencari hawa segar di luar. Baru disadari Garsini, hal itu mulai menjadi kebiasaan Peter, terutama bila dirinya gelisah dan sulit tidur.
Itulah malam terakhir kebersamaan mereka di sebuah kamar hotel terbaik di Hiroshima. Esok paginya ketika cuaca mendadak cerah, Peter berhasil mendapatkan transportasi eklusif bersama rombongan turis Belanda. Mereka
pun terbang dengan pesawat carteran kembali ke Tokyo.
*** Begitu sampai di asrama, Garsini mendapat kabar tentang Nakajima dari seorang rekannya. Anjeli, gadis India yang menggantikan posisinya sebagai relawan di museum, menyodorkan sebuah koran hari itu.
"Pesawat yang membawa penumpang menuju Korea meledak." berkata Anjeli dengan mengeja. Tapi Aa Haekal bukan terbang ke Korea melainkan sebaliknya, seharusnya sudah kembali ke Tokyo.
"Ada orang yang kau kenal"" Garsini menatap wajah gadis Hindustan itu.
"Bahkan kamu pun mengenalnya!" seru Anjeli separuh mengisak. "Anak-menantu, cucu Pak Nakajima."
Ya Allah. innalilahi wa inna ilaihi rojiuun, jerit Garsini dalam hati. Seketika ia merasakan kesedihan tak terkira. Apalagi ketika selang kemudian Mayumi sengaja menjemputnya untuk urusan ini.
"Sekarang Pak Nakajima mungkin sudah mengetahui berita ini di apartemennya," kata Mayumi.
"Kasihan sekali dia," Garsini kini berderaian air mata. Ketiganya memutuskan untuk pergi ke rumah lelaki tua yang malang itu. Namun, apartemennya tertutup rapat. Bahkan beberapa tetangga dan kenalan Nakajima yang sudah berdatangan sebelum mereka, tak dapat masuk, berseliweran di depan pintu apartemennya.
"Nakajima-san! Nakajima-san, bukalah pintunyaaa!"
"Iya, Pak Nakajima, kami ada bersamamuuu!"
"Tolong, bukalah pintunya, Paaak, Paaak.!"
Tak ada sahutan, tak ada reaksi. Hingga beberapa jam lamanya demikian, orang-orang mulai bosan dan putus asa. Mereka terpaksa bubar, meninggalkan tempat itu tanpa bisa mengetahui keadaan Pak Nakajima. Anjeli dan Mayumi pun harus bekerja. Mereka tak bisa mencegah Garsini yang masih ingin bertahan.
Menjelang sore Mayumi dan Anjeli kembali ke tempat itu, menemukan Garsini seorang diri masih tinggal di depan pintu apartemen Nakajima. Wajahnya sama sekali tak memperlihatkan gurat-gurat kelelahan. Kelihatannya sedikit pucat, mungkin basah oleh bekas air mata campur keringat, tebak Anjeli iba.
"Ya ampuun, kamu masih di sini, Garsini-san"" seru Mayumi terheranheran.
"Kenapa dengan wajahmu. basah sekali"" Anjeli penasaran agaknya.
"Aku baru ambil wudhu mau shalat maghrib sebentar lagi. Tenanglah, kalian tak usah mengkhawatirkan Pak Nakajima lagi," tergagap Garsini berusaha menyembunyikan perasaan pilu dan harunya sepanjang siang itu.
"Ada siapa di dalam sana"" tanya Anjeli pula ingin tahu.
"Beberapa kenalan Pak Nakajima. kenapa dengan kakimu itu, Anjeli""
Anjeli menjinjit-jinjitkan kakinya, padahal perawakannya yang tinggi langsing dengan mudah bisa melihat segalanya di depannya. Mayumi terkikik melihat kelakuan Anjeli, sekaligus geli akan keluguan Garsini. Teras itu agak tinggi menghalangi apartemen seberang yang dibatasi jalan raya.
"Pssst. jangan tertawa genit begitu. Maluu!" sergah Anjeli menegurnya.
"H abiiis. Matamu jelalatan! Pasti lagi cari tahu kabar si Sarukh Khan yang tinggal di apartemen seberang sana, ya kan"" sindir Mayumi.
Anjeli tersipu dan meninju perut Mayumi perlahan.
"Kamu juga kaaan, si Sarukh Khan itu memang macho nian...!"
*** Sementara kedua gadis itu ngerumpi-ria soal cowok-cowok penghuni apartemen seberang, Garsini diam-diam menyingkir dengan hati kecewa. Ia sempat berpikir, mereka ke sini bukan semata ingin mengetahui keadaan Nakajima-san. Melainkan untuk mengintip aktivitas para pemuda India, tetangga yang sejak tadi secara atraktif menyiulinya, menggodanya. Ugh!
Astagfirullah. kenapa mesti berprasangka, pikirnya kemudian. Dan ia segera meleburkan diri dalam rakaat-rakaatnya yang khusuk di sudut balkon itu. Kematian, kesakitan, penderitaan masihkah belum cukup untuk mengingatkan manusia akan kepapaannya"
Garsini semakin tak mengerti sekaligus kecewa, manakala sejurus kemudian Mayumi dan Anjeli sudah tak ada lagi. Sayup-sayup terdengar tawa genit keduanya dari arah seberang. Mereka sudah bergabung dengan para penghuni apartemen itu, entah bagaimana kronologis ceritanya.
Pesona si Sarukh Khan dan kawan-kawan agaknya sudah mencuri empati kedua gadis itu terhadap sesamanya. Belakangan Garsini semakin kecewa lagi dengan perilaku kedua sahabatnya itu. Ia baru menyadari bahwa keduanya termasuk penganut aliran gaul bebas. Untuk beberapa waktu lamanya, ia sering menghindari Mayumi sebagai ungapan rasa ketaksetujuannya.
Sampai Mayumi suatu hari mendatanginya dengan wajah kusut masai.
"Anjeli itu keterlaluan sekali!" adu Mayumi."Masak aku dimintanya menjalin hubungan lebih serius lagi dengan si Jay Bachan, Garsini."
"Bukankah itu lebih baik bagimu daripada keluyuran ke sana ke mari tanpa ikatan apapun, Mayumi"" jengek Garsini mulai sebal mendengar keluh-kesahnya perihal cowok.
"Menikah maksudmu" Aha, itu sama sekali tak masuk agendaku, Nona." Mayumi tertawa sumbang.
"Begitu, ya" Menikah tak mau, tapi jalan bareng dan macam-macam sudah sering"" sindir Garsini kian sebal dan kecewa.
Mayumi terdiam sambil sibuk menyalakan rokoknya. Sejak kapan dia pandai merokok, desah Garsini membatin. Rasanya baru beberapa bulan lalu mereka jalan bareng, mencari-cari kartu pas kereta peluru itu. Kala itu Mayumi masih tampak sebagai gadis polos, ketakutan dan malu persis seperti Garsini, kala mereka berlari keluar rumah geisha di sudut kota itu.
Namun, kini Mayumi sudah melesat meninggalkan Garsini. Kemodernan, kebebasan beserta segala janji kenikmatan yang melambai-lambai kepadanya telah digapainya. Tapi semakin berhasil digapai, segala nikmat semu itu semakin tak terpuaskan pemenuhannya.
Dunia semu, nikmat semu, Garsini baru menyadarinya kini. Hal itu betapa takkan pernah memuaskan bagi orang yang mengejarnya, Sebab semakin dikejar, maka semakin bertambah pula kesenangan duniawi, nikmat semu itu yang melambai-lambai. Menuntut untuk dikejar, diraih, kemudian dimiliki dan saat berhasil meraih, memilikinya. Ketakpuasan justru kian menikam lebih dari saat-saat sebelumnya!
"Jadi, sekarang kamu tidak tinggal bersama Okusan lagi""
Mayumi menggeleng."Biarlah ibuku tenang dengan dunia khayalnya," desisnya sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
Garsini cepat-cepat membuka jendela apartemen agar asap rokok tidak menyesaki kamarnya. Haliza dengan penciumannya yang luar biasa itu, pasti akan mengetahui kalau kamar mereka sempat terkontaminasi polusi rokok. Sudah pernah terjadi sebelumnya kala Garsini kedatangan Anjeli. Garsini tak bisa mengelak lagi. Haliza menemukan puntung rokok dan sisa-sisa bau asap yang masih menempel di sudut kamar mereka.
"Kalau begitu, jangan bersahabat lagi dengan Miss India itu!" kata Haliza tegas."Gadis yang suka merokok sungguh tak baik. Mereka membawa pengaruh buruk kepada kita," sungutnya yang akan dilanjutkan dengan wejangan berlarat-larat.
Garsini tersenyum kecil mengingat kebiasaan dara dari negeri jiran itu. Kebiasaan yang baik, memberi wejangan gratis kepada orang-orang sekitarnya. Sayang, tak semua orang bisa menerima apalagi menyukai hal itu.
Beberapa di antara mereka menjadi balik tak suka. Mengeje
k Haliza sebagai gadis kolot, membosankan. Meskipun demikian, buat orang-orang tertentu menganggap Haliza sebagai orang yang bisa diajak bertukar pikiran perihal spiritual. Bahkan lebih dari sekadar penasehat melainkan pengaguman berlebihan. Biasanya yang datang adalah gadis-gadis dari belahan dunia Afrika.
Jadi, di asrama putri ini Haliza dikenal sebagai penasehat spiritual. Garsini menduduki urutan kedua ikhwal ini. Di mata rekan-rekan seasramanya, Garsini dipandang lebih enerjik, moderat dan dinamis daripada Miss Malaysia itu. Meskipun dalam hal keanggunan dan kecerdasan keduanya dianggap seimbang, menonjol dibanding gadis-gadis moderat lainnya.
"Ah, itu kan reka-reka kalian saja," kilah Garsini kini kala Mayumi menyinggung perihal ini. "Kami merasa biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa."
"Tidak, kalian memang istimewa, unik, pendeknya tak sama dengan
kami." "Sudahlah, jangan terlalu menyanjung."
Garsini bermaksud melanjutkan pekerjaan rumahnya yang tertunda. Tiba-tiba pintu didorong tanpa pemberitahuan, sosok berkerudung muncul diikuti tiga gadis Afrika.
Barbina, Zeena dan Gweeny, tiga gadis berkulit hitam yang amat kompak karena ke mana-mana sering tampak jalan bareng. Seolah-olah jalan bareng merupakan tradisi ketat untuk ketiganya. Orang sampai menyebutnya itu sebagai ritual gaya persahabatan mereka.
Untuk sesaat para pendatang itu terkejut melihat keberadaan Garsini dan Mayumi. Mata Haliza langsung membelalak lebar melihat Mayumi tengah asyik menyedot sigaretnya. Garsini terlonjak menghampirinya dalam rasa bersalah.
"Maaf. kukira kamu takkan pulang sore ini"" gagap Garsini.
"Tidak apa, lanjutkan saja, maaf juga kami sudah ganggu!" suara Haliza terdengar sumbang dan matanya mengerling dingin ke arah Mayumi.
"Tadi kamu bilang takkan ada siapa-siapa," sesal Gweeny.
"Pssst... ayo, kita cari tempat lain saja!" Barbina menghela tangan kedua rekannya. Haliza tertegun tak enak dan sedikit bingung, wajahnya merona.
"Kalau kalian mau diskusi, bisa pakai kamarku saja, silakaaan!" tiba-tiba Cristal, gadis Swedia menyelamatkan suasana.
Haliza mengenal Cristal dengan baik. Beberapa kali menumpang di mobil orang yang diperkenalkan Cristal sebagai pamannya. Pria paro baya yang selalu berpenampilan keren itu suka menjemput Cristal tiap akhir pekan. Mereka akan jalan bareng menuju Kyoto. Haliza menuju rumah peristirahatan salah seorang famili Rashid. Sementara Cristal ke rumah kediaman pria macho itu.
"Baiklah, semuanya sudah aman kembali, okey"" Cristal terkikik manakala Haliza dan ketiga African-look itu sudah masuk ke kamarnya di ujung koridor lantai dua. Giliran Garsini yang masih merasa tak enak.
"Sebentar. kira-kira apa yang akan mereka lakukan di kamarmu sana, Cris"" tanyanya ingin tahu, menatap gadis Swedia yang dikenal hobi nonton film horor, dan percaya akan hal-hal berbau mistik itu.
Mayumi sambil menyambar tas tangannya menimpali."Kalian ini memang aneh. Bersahabat sangat erat, tapi."
"Sungguh kamu tak tahu apa yang mereka lakukan"" selidik Cristal bimbang menatapnya. Garsini mendengus dan menggeleng.
"Yaah...!" Cristal angkat bahu. Mayumi mesem-mesem penuh arti.
Garsini jadi kian penasaran."Kalian ini bicara apa sebenarnya, hemm" Mayumi, hei, mau ke mana, tunggu.!"
"Aku sudah telat nih, teman-teman. sayonaraa!" Mayumi melenggang meninggalkan kamarnya, tanpa menoleh lagi kepada kedua gadis itu. Mayumi semakin liar saja dalam dunia gaul bebasnya. Garsini tak pernah berhasil melembutkan hatinya. Apalagi membujuknya agar pulang ke rumah keluarganya. Kasihan Mayuko-san, ada beberapa kali khusus mendatangi Garsini. Memintanya agar membujuk putrinya untuk pulang.
Sebegitu parahkah luka pilih kasih yang dibekaskan ibunya kepada Mayumi"
"Cristal, kamu bisa jelaskan"" tuntut Garsini.
Cristal menatap iba kepadanya."Ternyata kalian bukan sahabat yang solid seperti yang kami duga," ujar Cristal tajam. "Cristal, please." Garsini memohon.
"Kalau mau tahu, lihat saja sendiri ke sana. Tapi jangan bilang dariku, ya... bye!" Cristal pun melenggok bak supermodel kelas dunia.
Selang kemudian, Garsini sudah mengintip aktivitas yang ter
jadi di kamar Cristal. Ia tertegun di balik pintu yang terbuka sedikit, tubuhnya seketika terasa lemas sekali. Betapa tidak, sayup-sayup terdengar suara Haliza.
". nah, jadi kalian sudah paham sekarang kan"" sergah Haliza seperti menyimpan amarah."Obat itu memang sangat kuat hingga bisa menghancurkan janin di dalam rahim Gweeny!"
Terbawa emosi, Garsini ceroboh dan mengakibatkan bunyi berisik di depan pintu kamar itu. Seketika trio African-girls tersentak, mereka serempak bubar meninggalkan Haliza yang terbengong-bengong. Sedetik Garsini masih menangkap gurat sesal dan kecewa di wajah pucat Haliza. Namun, detik berikutnya sesal dan amarah campur kecewa itu telah menyergap kalbunya.
Prasangka buruk, suuzon pun seketika menikam ulu hati Garsini. Parahnya lagi, masalahnya tak diselesaikan seketika itu juga. Sehingga prasangka buruk terus menggayuti keduanya sampai beberapa waktu.
Merenggangkan hubungan mereka, persahabatan yang kental menjadi renggang.
Mengenang saat-saat liburan musim semi yang pertama kali dialami Garsini sepanjang mukim di Negeri Sakura, acapkali menimbulkan semangat baru manakala dirinya terperangkap dalam kejenuhan rutinitas. Ya, ada semangat di sana.
Semangat libur musim semi, menurut istilah Mayumi. Apapun namanya, kenangan itu kerap mengukuhkan kembali cita-cita dan seluruh harapan dari orang-orang yang dikasihi dan mengasihi dirinya. Terutama manakala dirinya terjebak dalam rasa jenuh, kesepian yang menyengat dan mengharu biru kalbunya. Musim demi musim pun berganti. Musim semi disilih musim panas, kemudian tiba musim gugur, musim dingin. Seperti masa-masa perkuliahan yang semakin padat, sarat tantangan dan tekanan. Semuanya harus dilewati tanpa ampun!
"Selamat, ya Garsini," kata Haliza begitu Garsini muncul di kamar mereka petang itu. "Kudengar dari Andreas, temanku yang orang Papua itu, kamu berhasil menyabet predikat the best gakusei.""
Garsini hanya tersenyum tipis. "Terima kasih, Haliza, alhamdulillah."
Hatinya sungguh sedang digayuti rindu dendam tak berkesudahan. Beberapa kejadian belakangan ini, dukacita yang melanda Nakajima-san, berakhir dengan ketragisan lelaki malang itu; ditemukan dalam keadaan sudah tak bernyawa di apartemennya di pagi musim dingin yang dahsyat.
Sungguh membuat hati Garsini tertusuk hingga ke tulang sumsum. Melebihi rasa dingin, gigilan hebat yang menyergapnya dari menit ke menit pada musim dingin yang pertama kali dialaminya di Negeri Sakura.
Belum lagi usai persoalan antara dirinya dengan Mayumi, Haliza dan terakhir kecemburuan Haekal yang membuta. Semuanya saling belit-membelit, seolah takkan sanggup teruraikan. Sungguh menyakitkan!
Bab 10 "Apa betul dia meninggal karena serangan jantung"" tanya Garsini kepada Mayumi yang juga sempat shock dengan kepergian sobat sepuhnya secara tragis.
Mayumi mengisak perlahan di sampingnya. "Entahlah, Garsini," sahutnya pendek. Sementara beberapa petugas sibuk mengangkut jenazah tua itu ke atas sebuah ambulans.
Seorang polisi menghampiri mereka dan menanyakan beberapa hal yang ingin diketahuinya. Termasuk seberapa dekat hubungan mereka dengan lelaki tua yang malang itu. Setelah merasa cukup puas dengan penjelasan keduanya secara bergantian, ia memberikan kartunama.
"Kalau kalian punya keterangan lain..." kata seorang petugas yang segera dihampiri rekannya yang lebih tua, baik dalam pangkat maupun usia.
"Mungkin kami yang lebih membutuhkan kalian. Sudahlah, kami berterima kasih atas kesediaan kalian datang ke TKP pagi buta begini. Sekarang sebaiknya kalian cepat pulang saja. Tak baik lama-lama di udara sedingin ini," nasihatnya sungguh bijak.
Garsini merasa belum puas, kenapa berakhir sampai di sini saja" Apakah takkan ada tindak lanjut yang lebuh melegakan hati" Apa mereka akan melakukan visum et repertum"
"Tidak, tak ada yang memintanya demikian juga tak ada indikasi kriminal di balik kematiannya," jelas petugas yang telah memberi nasihat bijak kepada mereka itu. Sungguh, tak menjanjikan apa-apa lagi.
Mayumi menghela tangannya menjauhi kawasan apartemen Nakajima. Saat melintasi apartemen di seberang, Mayumi mendengus sebal. Eko
r matanya sempat mengerling tajam ke arah sekelompok mahasiswa India. Mereka sedang sibuk berkemas, tentu akan liburan musim dingin.
"Para pengkhianat sialan itu, brengsek sekali!"
"Kamu bilang apa, Mayumi-san"" Garsini lesu, masih melangkah berat di sisinya sambil menahan tangis duka.
"Bahkan Anjeli sekarang masih bersama mereka! Juga Miss Swedia Cristal si pahit lidah itu!" umpat Mayumi kini terdengar sarat angkara, dendam dan benci. "Katanya dia menyesalkan, ugh, dustaaa! Pendusta besaar si Anjeli itu! Orang-orang itu, semuanya saja brengseeekk!""
Garsini tak urung meliriknya, keheranan. Umpatan, caci maki terhebat yang pernah diperdengarkan oleh mulut manis Mayumi.
"Eh, ada apa denganmu""
"Lihat si Sarukh Khan itu, dialah pengkhianat brengsek! Demi Tuhanku Yang Pengasih, biar dia mampus disambar kereta peluruuu.!" desis Mayumi.
Sekilas ekor mata Garsini pun terarah ke apartemen seberang. Ada pasangan-pasangan roman yang tengah siap berangkat. Sebuah mobil carry sudah menanti, dan suasananya sarat canda dan tawa.
"Mereka pasti akan bersenang-senang di. sungguh tak punya hati!" umpat Mayumi semakin sarat benci dan dendam.
"Kamu. aaah"!" Mulut Garsini ternganga, kedukaan dan perkabungan untuk Nakajima, sesaat mengapung di udara dingin yang menghajar tulang sumsum. Tersilih oleh rasa terkejut atas reaksi Mayumi terhadap keberadaan para pria Hindustan itu. Setahunya dalam beberapa bulan itu, Mayumi telah tersihir oleh perangkap salah seorang pria ganteng di sana.
Saat itulah Garsini baru mengetahui love-affair Mayumi-Sarukh Khan. Namanya tentu saja bukan Sarukh Khan, itu hanya julukannya di kalangan fansclub-nya. Jay Bachan memang playboy Hindustan yang sukses kembara di Jepang. Mahasiswa hukum yang terancam di-DO itu sangat banyak pengagumnya. Salah satu pengagum dan telah menjadi korbannya adalah Mayumi.
Sepanjang perjalanan menuju asrama, di atas kereta, percakapan itu kembali mengental. Persahabatan mereka yang sempat renggang, kembali terikat oleh tali simpati, kebutuhan curah hati dan entah apalagi. Sesungguhnya Garsini lebih banyak menjadi pendengar yang baik. Sedang Mayumi tak henti curtah hati dengan segenap emosi, kecewa, marah dan benci dendamnya.
"Jadi, ceritanya sudah sebulan ini kamu tak pernah lagi gaul dengan mereka."
"Ya, itu gara-gara si bajingan Jay Bachan!" "Sebelumnya kamu begitu mengaguminya."
"Itu sudah berakhir, demi Tuhan, aku sungguh menyesalinya!" desis Mayumi menahan sakit. "Jay Bachan itu cuma ingin menghisap madu setiap bunga Sakura, bunga segala bangsa yang datang kepadanya."
"Sejauh itukah" Dan kamu, sampai di mana kamu menyerah"" Garsini menggigit ujung bibirnya. Sunguh pertanyaan yang sangat kejam, desisnya ikut merasakan rasa sakit yang diderita sahabatnya.
Mayumi terdiam. Wajahnya pucat, tubuhnya seketika terasa bergetar dan bersandar pada Garsini. Tak usah dilanjutkan, pekik Garsini membatin. Ia sudah banyak melihat contohnya, kisah cinta remaja yang terjebak nafsu, nikmat sesaat, gaul bebas. Tapi ia tak pernah berpikir, jika sahabat kesayangannya sampai terjerumus ke jurang serupa itu.
"Apakah Tuhan akan memaafkan diriku yang telah terjerumus ini, Garsini-san"" suara Mayumi terdengar parau dan bergetar hebat.
"Insya Allah, jika kamu melakukan taubatan nasuha, Dia akan memaafkanmu. Allah itu Maha Pengampun..."
Mayumi beberapa saat tersedu di haribaannya. Tak mengindahkan para penumpang lain yang menatap dengan penuh rasa ingin tahu. Mereka turun di Tokyo Eki. Mayumi langsung ke tempat kerjanya di kawasan Ginza. Tapi ia berencana nanti malam akan mampir ke rumah, menengok Okusan yang telah lama tak diketahui kabar beritanya.
*** Garsini sendiri memutuskan untuk cepat kembali ke asrama. Ingin melabuhkan rasa pilu di kalbu di atas peraduannya yang hangat. Tak dinyana, ia menemukan Haliza yang sudah beberapa hari tak pulang. Karena tugas hariannya di rumah sakit yang konon semakin padat dan keras. Saat itulah Haliza mengucapkan selamat atas keberhasilannya sebagai teh best gakusei.
Suatu hal yang nyaris terlupakan oleh Garsini, karena ia keburu hanyut dalam berita dukacita yang datang kepa
danya di kampus, dukacita Nakajima-san.
Sebuah prestasi gemilang kembali telah dipetiknya. Sesungguhnya ingin segera dihaturkan Garsini ke haribaan Mama, Papa, adik-adik, sanak saudara dan para sahabat tersayang di tanah air. Namun, di balik itu ada pilu yang masih menggayut di ujung kalbu Garsini. Dan pilu nestapa itu menyeret Garsini ke rasa sakit yang berkepanjangan.
Demam aneh yang sebelumnya pernah menyergapnya beberapa bulan silam. Ketika dirinya dalam puncak kelelahan setelah berburu tiket pas kereta peluru, ambruk di penginapan luar kota Hiroshima. Kini penyakit yang sama kembali dan menghajarnya tanpa ampun!
Haliza mengganti kompres di atas kening Garsini. Sepanjang malam itu ia hampir tak memejamkan matanya. Mendampingi Garsini yang mendadak terserang demam tinggi.
"Sembuhlah, ukhti sayang," bisik Haliza sambil berlinangan air mata, sebagian butiran kristalnya itu berjatuhan dan membasahi pipi Garsini. "Besok kita mulai memasuki bulan suci Ramadhan. Bukankah kita akan memetik berkah dan nikmat shaum untuk pertama kalinya di Negeri Sakura ini, Garsini."
Garsini tak bereaksi sama sekali. Ini sudah lewat sepuluh jam. Kalau ia tetap dalam keadaan begini, terpaksa aku harus memanggil ambulans dan mengangkutnya ke rumah sakit!
"Garsini, ukhti sayang... Ayo, sadarlah, sembuhlaaah, please..." Haliza kini sungguh merintih pilu bahna cemasnya atas keadaan sahabatnya. Tengah malam pun lewat, saatnya memasuki dua per tiga malam. Haliza meninggalkannya untuk mendirikan shalat tahajud. Ia berdoa khusus demi kesembuhan sahabatnya.
Usai shalat dihampirinya lagi Garsini. Masih belum sadar jugakah"
"Jangan membuatku ketakutan, Garsini. Duh, ke mana aku harus menghubungi saudaramu itu, siapa dia" Oh, iya... De Broer Petermu itu"" Seketika Haliza menepuk jidatnya sendiri, teringat lagi bahwa itu hal yang sangat musykil. De Broer tinggal di Holland, tak mungkin memintanya datang ke situ, hanya untuk mengurus saudarinya yang sakit. Berapa biaya transportasi yang harus dikeluarkan, perjananan antarbenua itu" Bagaimana kalau sakitnya hanya demam biasa, besok pun sembuh. Bila itu dilakukan hanya akan bikin persoalan baru!
Tapi De Broer tampaknya sangat mengasihi saudarinya ini, pikir Haliza. Ia memanjakan Garsini, buktinya membelikannya handphone dan laptop baru. Meskipun Garsini hampir tak pernah menggunakan telepon selularnya, tapi laptop itu sangat bermanfaat baginya. Ia tak perlu lagi meminjamnya dari orang.
"Jangan, jangan panggil siapapun." erang Garsini. "Aku akan sembuh, sebentar lagi, sabarlah, tenang saja. Haliza sayang, be calm please..."
Haliza tersentak dari lamunannya. Cepat-cepat dihampirinya Garsini dan memperhatikan keadaannya dengan seksama. Apakah Garsini mengingau" Tampaknya dara itu gelisah sekali, bergerak tak menentu, matanya kadang membuka beberapa saat. Tidak, pupil matanya mengecil.
Ah, aku pasti sudah pikuuun! Kenapa aku jadi selinglung ini, ya" Haekal, ya, tentu saja dialah yang harus secepatnya dihubungi. Meskipun selama ini Garsini tak pernah secara terbuka mengakui pemuda itu sebagai something special, tapi sebagai sahabatnya seharusnya ia tahu hal ini. Di antara mereka ada hubungan khusus. Buktinya, bila mereka sedang chatting."
"Mengapa kamu tak pernah mengajaknya kencan"" Haliza pernah menguping Mayumi bertanyakan hal itu kepada Garsini.
"Tidak, tak ada istilah kencan, pacaran dalam kamus Muslimah," elak Garsini. Ketika itu Haliza merasa Garsini tengah menyindirnya. Sebab ia baru pulang bepergian berdua Abang Rashid.
"Kami tak lakukan apa-apa. Masih di batas kewajaran," bantah Haliza kala itu sebagai pembenaran sikapnya.
"Kamu pernah memintaku agar kita selalu saling mengingatkan," ujar Garsini diplomatis. Tanpa memberi nasihat berlarat-larat, tapi ketaksetujuannya akan hal itu sudah sangat jelas.
Haliza tergopoh-gopoh menuju meja belajar Garsini. Beberapa saat lamanya ia memeriksa buku telepon. Tidak, tak ada nama Haekal di sini, pikirnya keheranan. Mungkin di telepon selulernya. Ugh, kenapa Garsini tak mengaktifkan benda canggih itu" Bahkan laptop-nya juga di-password, hingga ia tak bisa membuka emai
l Garsini untuk menghubungi Haekal.
Haliza kembali menghampiri Garsini dengan kecewa dan putus asa.
"Apa yang sudah kamu lakukan itu, Haliza"" suara parau Garsini terasa menikam ujung hati Haliza.
Dengan wajahnya merah padam menahan malu dan marah pada diri sendiri, Haliza hanya tercengang dan gugup. Ia merasa dipergoki telah mengacak-acak benda pribadi Garsini. Itu telah melanggar kenentuan dan tatakrama. Namun, Garsini tersenyum samar seperti telah memaafkan kelakuannya itu. Kedua tangannya terulur, mengisyaratkan Haliza untuk mendekat kepadanya.
"Kamu sudah sadar" Alhamdulillaaah.!" Haliza pun menghambur dan memeluknya, mendekapnya erat-erat. Garsini berusaha bangkit dengan susah payah, tanpa mengindahkan uluran bantuannya. Haliza geleng-geleng kepala.
"Ugh, sudah parah pun masih sombong kau ni!" sungut Haliza tertawa haru. Garsini berhasil duduk dengan tegak ditunjang oleh tumpukan bantal. Kepalanya masih pening, tapi demamnya telah jauh berkurang. Keringat membasahi sekujur tubuhnya yang lemas dan kaku-kaku.
"Obat apa saja yang sudah kamu jejalkan ke mulutku tadi, Haliza"" protes Garsini. Haliza tertawa kecil, matanya masih membasah bahna harunya. Memori Garsini telah kembali secara utuh!
"Jangan suuzon, aku hanya memberimu beberapa butir pil anti demam." Haliza mengelus-elus jari-jemari sahabatnya. Giliran Garsini yang sangat terharu. Matanya kini membasah, tapi ia menahan tangisnya agar tak tumpah.
"Punya apa untuk makan sahur kita, Haliza"" tanyanya pula tiba-tiba. "Aku tahu, kamu tadi bilang bahwa besok kita akan mengawali bulan suci bulan Ramadhan.." Haliza tercengang takjub melihat perubahan yang sangat pesat itu.
"Tapi kamu belum bisa shaum."
"Kata dokter Siti Haliza Tun Razak tu!" Garsini mencibir dengan meleletkan lidahnya.
"Kamu betul-betul sudah sembuh, Garsini." Haliza tertawa senang melihat Garsini telah kembali riang dan humornya telah muncul.
"Tapi aku sampai lupa, tak sempat sediakan makanan apa-apa untuk makan sahur kita. maaf," keluh Haliza.
"Bagaimana"" giliran Garsini membelalakkan matanya, tak percaya atas keteledorannya.
"Yaaa. kita tak sempat menitipkan daftar belanjaan ke orang dapur. Sepanjang siang tadi aku tak bisa ke mana-mana, menjagamu."
"Ah, sudahlah, maafkan aku. Mari, kita sahur apa saja!"
"Hanya sepotong roti kismis dan teh manis, mau"" bujuk Haliza, masih berharap agar sahabatnya mengurungkan niat berpuasa esok.
Gartsini telah bulat, menyambut tawarannya dengan penuh semangat. "Ya, tentu saja mau. mannnaaa""
"Sungguh, kamu tampak sudah pulih!"


Kapas Kapas Di Langit Karya Pipiet Senja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yeee... lha wong dari tadi juga aku merasa sudah pulih kok!" Haliza pun menyerah. Lagi pula, siapa yang kuasa menimpakan sakit dan memberi
kesembuhan selain Sang Maha Penyembuh"
*** Garsini mendorong troli belanjaannya menyusuri rak demi rak di sebuah supermal kawasan Ginza. Tanpa terasa ini sudah memasuki minggu ketiga bulan Ramadhan.
Gerak-gerik Garsini tampak serba ringkas dan cekatan. Tangannya menjumput ini-itu sesuai daftar belanjaan di secarik kertas genggamannya. Siapa mengira, bahkan dirinya sendiri bahwa kesehatannya berangsur membaik sedemikian pesat. Beberapa hari yang lalu, Haliza sangat mengkhawatirkan demam tinggi yang menyerangnya sepanjang malam. Sehingga gadis itu nyaris putus asa untuk memberi tahukan keluarganya.
"Ini sungguh berkah dan hikmah Ramadhan," decak Haliza saat mereka buka bersama, tepatnya hanya berdua di kamar. "Kamu tampak segar bugar, Garsini sayang. Tak ada sisa sedikit pun kalau kemarin malam kamu sakit.
Subhanallah!" Garsini kini tersenyum-senyum kecil. Ya, kekuatan maha dahsyat itu muncul di dua per tiga malam. Ketika ia melihat sosok Haliza mendirikan shalat tahajud, menengadahkan kedua tangannya, mendoakan dirinya kepada Sang Khalik. Beberapa saat sebelumnya kupingnya pun sudah mendengar suara Haliza. Memberi tahukan bahwa besok mereka akan mengawali bulan suci bulan Ramadhan yang pertama kali di Jepang.
"Sungguh kamu tidak apa-apa, Garsini"" Haliza menanyainya dengan cemas saat tengah hari. Ia kebetulan tidak kuliah hari itu. Demikian pula Garsini yang terpaksa izin sakit dalam tiga hari itu.
"Insya Allah, aku merasa tak kurang suatu apa. Lihat saja ni!" Garsini baru mandi air hangat, hendak shalat zuhur. Sebelumnya Haliza sempat melarangnya bangkit dari tempat tidur. Apalagi untuk mandi dan bershaum.
"Allah Maha Penyembuh yang tiada tara," decak Haliza akhirnya harus mengakui mukjizat itu telah menghampiri Garsini, dan mereka merasakan berkahnya bershaum.
"Hari pertama berhasil kita lewati dengan nikmat," kata Haliza saat mereka berbuka puasa. Meskipun tanpa kolak dan pembuka aneka ragam seperti bila mereka berpuasa di negeri sendiri, di tengah-tengah keluarga. Lama mereka hanya berdiam diri sambil mereguk teh manis hangat, ditambah beberapa potong kue basah khas Jepang. Istri Ojira-san yang membuatnya khusus untuk kedua gadis Muslim itu.
"Aku tahu kalian sedang menjalankan puasa," kata istri penjaga asrama itu dengan hangat, menawarkan simpul kekeluargaan. "Karena kutahu kalian Muslim, seperti gadis Turki dan Pakistan yang pernah menghuni kamar kalian tahun sebelumnya."
Wanita baik hati itu lalu bercerita sekilas mengenai kedua Muslimah yang dimaksudkannya. Gadis Turki dan Pakistan itu menghuni kamar yang sama selama beberapa semester. Kini mereka telah lulus dan kembali ke negerinya masing-masing. Melalui kedua gadis itulah, Bu Ojira mengenal apa itu Islam.
"Maaf, kalau selama ini kami kurang silaturahim," kata Garsini tersipu.
"Kami tampak tertutup, ya kan Bu Ojira"" Haliza turut menyampaikan penyesalannya.
"Tidak juga," elak Bu Ojira. "Kalian sangat ramah dan tahu tatakrama. Hanya mungkin kalian terlalu sibuk hingga kalian jarang mampir ke rumah kami. Padahal, rumah kami selalu terbuka untuk para gadis asrama. Terutama gadis baik-baik dan taat beragama seperti kalian ini. Ah, sayang sekali kami tak punya anak sebaya kalian. Rumah terasa sepi sekali."
"Kalau mau, anggap saja kami ini anak Ibu!" seru Garsini renyah.
Bu Ojira tertawa kesenangan. Tak berapa lama kemudian ia pamitan dengan air muka berseri-seri. Sambutan kedua gadis itu agaknya sungguh telah menyenangkan hatinya yang tua dan menderita kesepian. Seberkas pencerahan telah menghangatkan sepotong kalbu yang renta dimakan usia.
"Baiklah, sekarang kita sungguh telah punya keluarga di Jepang," komentar Haliza saat Bu Ojira berlalu, meninggalkan mereka dengan sepiring penganan lezat khas Jepang.
"Tampaknya Bu Ojira itu kesepian sekali, ya""
"Anak-anaknya lelaki semua, lima-limanya katanya tadi" Tapi tak ada satu pun yang tinggal bersamanya. Dia hanya berdua Pak Ojira di rumah tua di belakang sana."
Sejak itu mereka jadi sering mampir ke rumah keluarga Ojira. Suami-istri tua itu selalu menyambut mereka dengan hangat. Acapkali Garsini mengingatkan Haliza, agar mereka jangan lupa membalas budi baik pasangan lansia itu. Namun, ternyata Bu Ojira malah menggerutu tak senang, bila mereka membawakan sesuatu.
"Kami tidak sedang jual-beli, anak-anakku," kata wanita itu serius.
"Baiklah, maafkan kami, Okusan..." kata Garsini dan Haliza terharu sekali.
Persaudaraan yang terjalin secara mendadak itu pun agaknya salah satu berkah untuk mereka di bulan Ramadhan. Mereka harus bersyukur kepada kedua gadis Muslimah penghuni lama kamar itu. Entah syiar dakwah apa, ukhuwah Islamiah yang bagaimana telah ditawarkan kedua Muslimah itu. Sehingga Bu Ojira amat terkesan perihal bulan Ramadhan. Lalu ia tergerak untuk menyapa secara lebih dekat Garsini dan Haliza.
Bab 11 "Ini menjadikan ibrah buat kita, ya kan Haliza"" komentar Garsini.
"Tentu saja. Sejak saat ini kita harus lebih empati, lebih peduli terhadap orang-orang di sekitar kita," Haliza berkata dengan nada serius.
Pendekar Mata Keranjang 4 Pendekar Naga Geni 8 Keruntuhan Netra Dahana Maling Romantis 3
^