Pencarian

Kapas Kapas Di Langit 1

Kapas Kapas Di Langit Karya Pipiet Senja Bagian 1


Kapas-Kapas di Langit Pipiet Senja persembahan untuk anak-anakku tersayang yang senantiasa memperkuat semangat bunda;
MK. Haekal Siregar Seli Siti Sholihat Adzimattinur KN. Siregar
Sinopsis Garsini, remaja muslimah, sejak kecil selalu ingin membuktikan kemampuannya dengan meraih prestasi demi prestasi. Awal tujuannya adalah untuk menarik perhatian serta kasih sayang ayahnya yang seringkali memperlakukannya kasar dan pilih kasih di antara tiga bersaudara. Terutama dengan adik laki-lakinya, Ucok, yang mendapat perlakuan istimewa dari sang ayah.
Berangkat dari ketakharmonisan rumah tangga orang tuanya, Garsini berhasil membuktikan dirinya sebagai anak yang bisa dibanggakan. Lulus SMU, ia kuliah di Universitas Indonesia. Semester tiga, ia berhasil meraih beasiswa Monbusho dari pemerintah Jepang.
Garsini meninggalkan Tanah Air dengan satu tujuan; membuktikan kepada dunia bahwa gadis Muslimah, berjilbab, akhwat seperti dirinya pun mampu "berbicara di dunia internasional". Di kalangan rekan-rekannya di Universitas Tokyo, Garsini dikenal sebagai mahasiswi enerjik, jenius, taat beribadah dengan busana unik, kepribadian tangguh.
Di kalangan para dosen, Garsini pun dihargai dan disayangi. Sehingga ada seorang guru besar tamu di universitasnya, Profesor Charles del Pierro, terkesan sekali dengan sosoknya dan menjadikannya asistennya. Dengan dukungan yayasan sosial yang disponsori Profesor tua dari Perancis itu, mantan tomboy ini menerbitkan kamus perbandingan antarbangsa-bangsa Asia, CD-nya ala Garsini.
Pelbagai pengalaman selama di negeri sakura telah menempanya menjadi sosok yang dewasa, tanpa meninggalkan kekaffahannya sebagai gadis Muslimah. Adakah ia menerima khitbah dokter Haekal yang telah lama dikenalnya sejak di Indonesia" Ataukah ia memilih tawaran bea-siswa dari Universitas Sorbonne, berkat rekomendasi Profesor Charles del Pierro"
Silakan simak dan ambil ibrah dari novel ini.
Isi 1.BabSatu 2.BabDua 3.BabTiga 4.BabEmpat 5.BabLima 6.BabEnam 7.BabTujuh 8.BabDelapan 9.BabSembilan 10.BabSepuluh 11.BabSebelas 12.BabDuabelas 13.BabTigabelas 14.BabEmpatbelas 15.Penutup Bab 1 Tokyo, awal musim semi yang lembut dan hangat. Suara-suara keras dan kehebohan itu muncul dari lantai bawah tempat tinggalnya. Sebuah asrama putri di kawasan kampus Universitas Tokyo yang terkenal karena tradisi dan historisnya. Ugh, apa yang terjadi" Rasanya baru beberapa menit aku tertidur.
Hampir sepanjang malam ia berkutat di depan komputer dengan programnya. Perlahan gadis itu menggeliat malas, berharap dirinya hanya terpengaruh mimpi. Tapi ketika keributan di bawahnya bukan menghilang, sebaliknya bahkan terdengar semakin parah, pertanda sesuatu yang luar biasa tengah terjadi. Berarti bukan ilusi, bukan pengaruh mimpi. Yap!
Ia tersentak bangun dan melemparkan selimutnya dengan sebal. Sepasang matanya reflek melirik jam wekker di atas meja belajarnya. Baru pukul enam, biasanya saat begini para penghuninya masih bergulung dalam selimut tebalnya masing-masing. Dilihatnya ranjang di sebelahnya sudah kosong. Bahkan Haliza, dara Malaysia yang kutu buku itu pun sudah beraktivitas"
Gadis yang melintas di pikirannya tiba-tiba muncul dari kamar mandi. Terdengar senandungnya yang merdu. Ia masih mengenakan jubah mandi dengan rambut terbalut handuk setelah keramas. Wajahnya segar dan berseri-seri, pertanda ia merasakan kebahagiaan dan kenyamanan hatinya. Tanpa tekanan sama sekali!
"Mmh... segaar! Oyaho gozaimasu(Selamat pagi), Garsini-san," ujarnya mengajak bercanda dalam nada riang tak dibuat-buat. Garsini mengucak-ucak matanya yang masih berat lalu memandanginya keheranan. Ya, heran dengan semangat dan gerak-geriknya yang tampak lebih lincah dari biasanya. Ia masih ingat saat pertama kali mereka bertemu beberapa bulan yang lalu di daigaku(universitas).
Haliza, saudara seiman berbusana Muslimah seperti dirinya, tampak agak gelisah berdiri canggung di antara para gakusei(mahasiswa) baru. Mereka sedang diterima oleh panitia daigaku, khusus bagi para gakusei asing penerima beasiswa pemerintah Jepang.
"Subhanallah!" seru dara jelita itu tertahan, kala Garsini men
ghampirinya dan langsung berusaha berkomunikasi dengannya. Sementara rombongan kecil itu mulai bergerak, dibimbing senior berkeliling sekitar fakultas, menunjukkan berbagai fasilitas yang dapat mereka manfaatkan.
"Namaku Siti Haliza binti Haji Tun Abdul Razak dari Selangor," bisik Haliza kini dapat berjalan tegak di sebelah Garsini, menjejeri para gakusei asing lainnya.
"Saya Garsini Siregar dari Depok, eeh. itu dekat Jakarta," sahut Garsini.
Haliza mengaku terus terang, tak mengira bisa secepat itu bertemu sesama Muslimah di Negeri Sakura. Dalam bilangan menit keduanya telah akrab, perbedaan istilah antara bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia taklah menjadi masalah. Acapkali keduanya malah tertawa geli karenanya.
Sejak hari pertama berkenalan keduanya menjadi karib dan senantiasa saling mengingatkan, menguatkan dalam setiap kesempatan. Sering rekan-rekan sealmamater keheranan melihat kedekatan kedua gadis berjilbab itu. Apa itu ukhuwah" Tentu saja para gakusei Jepang, juga mereka dari negara-negara non islam itu tak pernah mengerti maknanya.
"Lekaslah shalat subuh tu!" sepasang alisnya yang indah terangkat.
"Sudah, tadi tidur lagi," Garsini masih memandanginya, semakin terheran-heran. Haliza membuka balutan handuk, kemudian mengeringkan rambutnya yang panjang bergelombang dengan hairdryer. Ini baru mahkota wanita terindah yang pernah dilihat Garsini. Mengalahkan rambut para gadis shampo yang bertaburan di layar kaca Indonesia.
"Mau bepergian rupanya, hemm"" Garsini baru menyadari keberadaan ransel yang telah dikemas apik di sudut kamar mereka.
Haliza masih asyik dengan kesibukan pengeringan rambutnya. Mahasiswi kedokteran yang mengaku takkan menikah dengan siapapun selain Mahathir Rashid itu kemudian menyahut.
"Famili di Yokohama, mengundangku libur di rumah peristirahatannya..."
"Libur panjang!" tukas Garsini menyentak, membuat Haliza menoleh ke arahnya. "Masya Allah, kok aku baru ingat ya"" Sesaat ia tampak bagai linglung. Sementara Haliza menatapnya dengan cemas dan bimbang.
Rasanya belum lama mereka memasuki aktivitas perkuliahan di Universitas Tokyo. Setelah sebelumnya pun ada hari-hari libur selama beberapa pekan. Ia sempat sangat jenuh tanpa kegiatan sebelum memulai perkuliahan itu.
Haekal yang ambil spesialisasi di Universitas Waseda mengunjunginya dan memberinya alternatif, agar ia tinggal di minshuku. Yaitu penginapan milik keluarga. Sehingga ia bisa memanfaatkannya untuk belajar mengenal adat kebiasaan orang Jepang. Sekaligus pula melancarkan bahasa Jepangnya yang memang amat parah.
Garsini tahu, Haekal juga melakukan hal yang serupa, tapi sengaja mengambil lokasi yang berbeda. Sehingga mereka tak bisa setiap saat bertemu, hanya berkomunikasi melalui telepon dan internet. Ternyata medium itulah yang kemudian menjadi alternatif komunikasi mereka di hari-hari selanjutnya. Dalam beberapa bulan ini mereka bertemu bisa dihitung dengan jari.
"Aa Haekal mengambil spesialisasi haematologi. Dia akan mengawasimu selama di Negeri Sakura." Selly, adik Haekal dulu berkata demikian. Tapi itu rasanya tak mungkin terwujudkan, sebab jadwal padat dan tekanan luar biasa yang harus mereka hadapi dalam keseharian. Sesuatu yang jauh dari perkiraan mereka di masa lalu.
Sekarang Aa Haekal juga takkan sempat mampir ke sini, gumam Garsini. Itulah agaknya yang terbaik bagi keduanya.
"Gusti Allah amat mengasihi kalian, Anakku. Sebab kasih-Nya kepada kalian, Dia tak membiarkan kalian bisa selalu dekat berduaan. Kebersamaan kalian kan bisa mendatangkan fitnah, godaan nafsu." Mama kerap berkata begitu di telepon, menyemangatinya senantiasa dan mendoakannya tentu saja.
Tempo hari pemuda itu menelepon Garsini, memberi tahu tentang rencana libur panjangnya. "Aku dan beberapa rekan akan melakukan kerja bakti di pulau Pusan. Kami akan jihad di leprosium," katanya riang seperti biasa.
"Di mana pulau Pusan dan apa itu leprosium"" tanya Garsini ingin tahu.
"Pulau Pusan wilayah Korea."
"Korea. jadi Aa mo ke luar negeri"" Sayup nama Haekal terdengar sudah dipanggil-panggil oleh kelompok baksos-nya. Telepon pun memperdengarkan suara klik. Bagaimana
rasanya menghabiskan liburan di pulau yang dihuni oleh para penderita kusta, ya" Suara dokter muda itu terdengar begitu bersemangat. Berbahagialah dia yang selalu merasa terpanggil untuk bakti kemanusiaan.
*** Haliza mendadak berhenti, meletakkan alat pengering rambut di atas dipannya dan menghampiri Garsini. Dipandanginya wajah Muslimah Indonesia itu dengan cemas.
"Jangan katakan kau tak punya rencana bepergian. Pasti sudah punya rencana khusus, ya kan" Mau ke mana" Kyoto atau Saporo" Ooh, suasana kuil Budha di Nara musim semi begini."
Apa Haliza lupa, kalau aku bukan anak orang berduit" Memang ada uang saku yang kuterima per bulannya, tapi itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kelancaran perkuliahan. Sementara gaya hidup di Jepang sangat mahal!
"Tidak, aku tidak tahu mau ke mana!" pintas Garsini terdengar agak mengeluh dan balik menatapnya, kali ini disertai sedikit harapan. "Aku sama sekali tak punya rencana ke mana-mana."
"Bagaimana kamu bisa." Haliza terheran-heran menatapnya.
"Oh, Haliza bagaimana kalau. ajak aku, ya, please"" pintanya terdengar mengiba. Sungguh amat kontras dengan karakternya yang Srikandi!
Haliza terperangah dalam rasa bersalah. Garsini sesaat mengguncang-guncang lengannya, masih menatapnya dalam harapan. Tapi manakala dilihatnya wajah cantik itu dikabuti rasa bersalah, sadarlah dirinya bahwa harapannya hanya akan menyulitkan Haliza. Perlahan dilepaskannya tangan gadis itu dan otaknya mulai sibuk menemukan gagasan.
Apa masih berlaku tawaran dari Nakajima-san sebagai relawan MeSci, museum sains itu, ya" Lelaki tua itu mengingatkan Garsini kepada mendiang kakeknya. Musim semi ini ia bermaksud mengunjungi keluarganya di Saporo. Ia mencari relawan untuk menggantikannya, sementara dirinya bepergian ke luar kota selama beberapa hari.
Mayumi-san, mahasiswi jurusan sastra yang menyampaikannya kepada Garsini. Sahabat Jepun-nya itu relawan musiman di museum sains terbesar di Jepang.
"Afwan, ya Garsini. Tentu mereka sudah merencanakan ini sejak lama. Tak mungkin kan kalau tiba-tiba." Suara Haliza terdengar terpatah-patah, minta pengertiannya yang dalam.
"Tak apa, sudahlah. Jangan khawatir, Haliza," tukas Garsini gegas merangkul bahunya dan memeluknya erat. Ia kemudian bangkit dan berusaha mengubah kemuraman wajahnya. Berjalan menghampiri ransel berukuran sedang yang sudah siap menunggu pemiliknya membawanya kembara itu, ia bertanya keheranan. "Hanya ini bawaanmu, hm.""
"Mereka beramanat agar aku tak banyak bawaan. Semuanya sudah disediakan, kata Mak Tuo tu. Ngng, masih famili Abang Rashid," jelas dara Malaysia itu dengan wajah memerah.
Garsini tersenyum paham. Ia tentu saja tak ingin mengganggu sebuah keluarga yang hendak mempererat tali silaturakhim. Mereka keluarga calon suami Haliza dan khusus mengundangnya. Tentu bukan sekadar undangan biasa. Ada maksud lebih jauh di luar sekadar menampung seorang mahasiswi yang ingin menikmati libur panjang.
"Sungguh kau tak apa-apa"" Haliza telah siap berangkat. Masih diliputi perasaan bersalah, tapi ia pun tak mungkin membuyarkan rencananya. Garsini telah menyegarkan diri, tampaknya siap pula hendak bepergian. Wajahnya berseri-seri dan sarat percaya diri seperti biasa. Ia menggelengkan kepalanya.
"Aku baru ingat, sepupuku dari Holland akan libur di Tokyo. Sebaiknya aku jalan saja, melihat-lihat hotel yang pantas untuknya." Dalihnya tak dibuat-buat, itu memang benar dan ia baru mengingatnya lagi kini.
Keduanya meninggalkan kamar, jalan bergandengan menyusuri koridor yang telah lengang. Setelah beberapa saat lalu para gakusei yang kebelet menikmati liburan musim semi, bertemperasan hampir secara serempak. Ditunggu oleh taksi-taksi yang telah mereka panggil, dan secara serempak pula mengklakson mereka tanpa ampun, hingga seolah balik menteror.
Mungkin karena sepagi itu mereka telah dipanggil. Padahal saat awal libur musim semi begini nikmatnya berkumpul bersama anak dan istri di rumah, atau
merencanakan wisata ke tempat rekreasi yang sejak lama diidamkan.
*** Garsini tahu, pria dan wanita Jepang lebih suka menenggelamkan diri dengan pekerjaannya. Fenomena work-ch
olic dari saat ke saat kian merata, menyerbu seluruh lapisan masyarakat dan usia bangsa ini. Ada beberapa pengalaman mulai dari yang lucu, aneh dan geli mengenai hal ini, dialami Garsini selama mukim di Jepang.
Suatu hari Garsini melihat seorang nenek renta tengah sibuk mengumpulkan sampah di pelataran eki, stasion kereta. Ia tengah jalan bareng rekan-rekan kuliahnya dari berbagai bangsa, sebagian besar telah lama mukim di sini. Jadi, ia paling yunior di antara lima gadis dan tiga pemuda yang baru jalan-jalan di Shinjuku. Bermaksud balik ke Chofu dengan keiosen, kereta.
"What the matter with you, Miss Garusiniii..."" ledek Clarissa, gadis Austria ikut merandek demi melihat Garsini menghentikan langkahnya. Miss Garusini, demikian rekan-rekan Jepun kadang menyebutnya.
Garsini tertegun-tegun memperhatikan Abaasan, nenek renta yang tengah mengumpulkan sampah. Ada karung besar teronggok tak jauh dari sang nenek. Sementara ia begitu seksama dan cermat memperhatikan suasana sekitarnya.
Sang Pembersih, pikir Garsini sambil mengagumi gerak-geriknya yang amat cekatan dan terampil. Dalam bilangan menit, ia telah memunguti lusinan bekas softdrink di sekitarnya.
Mana ada pemandangan macam ini bisa ditemuinya di Jakarta atau Depok. Coba bayangkan, orang Jepang yang terkenal sebagai turis pelit di kawasan wisata Indonesia. Para pengusaha elektronik, para eksekutif arogan di Jakarta. Menghuni apartemen canggih yang harga sewa per bulannya ribuan dolar, berseliweran dengan mobil-mobil mutakhir keluaran pabrik negerinya. Menuju gedung-gedung pencakar langit, tempatnya bekerja!
"Garsini, jangan norak dong, malu-maluin bangsa Indonesia aja!" Tasya si Manado dari kejauhan memperingatkan Garsini."Baru lihat orang Jepang kerja, ya" Ups, tukang sampah nich yeee.!" cemoohnya dan bibirnya yang sensual manyun.
Gadis ini hanya selang satu semester tingkatannya dari Garsini. Tapi, ia sering merasa dirinya paling tahu, bahkan melebihi para seniornya. Sementara kala itu, Garsini untuk ke sekian kalinya jalan bareng rekan-rekannya. Baru satu-dua kali jalan seorang diri.
"Ssst, hati-hati kalau ngomong. Ini di negeri mereka," bisik Garsini ketika akhirnya Tasya jadi tertarik, balik menghampirinya dan menjejerinya.
Clarissa sudah bisa menebak apa yang ada dalam pikiran kedua gadis Indonesia itu. Diam-diam ia kembali gabung dengan rekan-rekannya, melanjutkan perjalanan. Sementara Abaasan semakin sibuk memunguti sampah, bekas minuman dan kotak makanan. Karung di atas troli yang dijadikannya tong sampah itu isinya sudah padat, tapi terus juga dipenuhinya dengan sampah yang berhasil dipungutinya.
"Kasihan juga, ya."" bisik Tasya menatap iba ke arah Abaasan yang kini kelihatan susah payah mendorong trolinya. Tapi ia sama sekali tak berniat turun tangan kecuali ada hal darurat yang bisa merubah keputusannya.
"Kita bantu, biar kerjaannya cepat selesai"" cetus Garsini merasa tak tahan lagi.
"Ngng..." Tasya menyadari mereka sudah tertinggal jauh dari rombongannya. Bagaimana kalau kesasar, berdua Garsini si pendatang di tempat asing begini" Memang sih ia lebih dulu mukim di Negeri Sakura. Namun, ia tak punya nyali untuk jalan seorang diri, selalu jalan bareng rombongan. Tasya sungguh kaget saat diketahuinya kemudian Garsini sudah berani jalan seorang diri. Bagaimana mungkin dirinya yang lebih senior bisa dilangkahi si anak bawang, pikirnya terheran-heran.
Ketika Tasya mempertanyakannya, apakah Garsini tidak merasa takut jalan sendirian di negeri asing" Garsini hanya tersenyum manis, bila terus didesaknya barulah ia memberi jawaban yang ajaib di telinga Tasya.
"Kenapa mesti takut" Karena ada Allah Sang Maha Penunjuk, Dialah yang senantiasa mengarahkan kaki-kakiku ini hingga tak nyasar."
Ugh, dia kira aku tak punya Allah, pikir Tasya. Tapi Bapa dan anak Allahku itu sudah lama tak pernah kutengok di gereja. Mungkin sejak keluarganya pindah dari Manado ke Jakarta. Sejak Mami cerai dengan Papi, anak-anak kemudian bertemperasan dititipkan ke sanak famili di pelosok Tanah Air. Lindungi kami, anak-anak korban perceraian ortu, Bapa!
Garsini telah melesat ikut turun tangan,
menjejeri nenek tua itu mendorong trolinya. Tasya tak berhasil menemukan rombongannya lagi, jadi terpaksa mengikuti jejak Garsini. Mereka pun asyik membantu sang Abaasan. Sesekali berhenti, memunguti sampah yang sesungguhnya hanya satu-dua saja tampak di sekitar mereka.
"Ahaaa... asyik juga bisa bantu orang Jepun itu, ya" Tanpa pamrih begini, ada pahalanya, iya kan"" Tasya terengah-engah saat menghambur ke dalam keiosen, kereta dari Shinjuku ke Chofu.
Garsini hanya tersenyum lega, bisa bergabung lagi dengan rombongannya dalam satu gerbong, setelah hampir setengah jam membantu Abaasan di pelataran eki. Rekan-rekannya hanya senyum-senyum kecil melihat kelakuan kedua gadis belia itu, usia mereka masih tergolong teeneger, di bawah duapuluh.
"Lihat, mereka mengucapkan terima kasih kepada kalian," Clarissa nyeletuk sambil menuding-nuding keluar jendela. Garsini melongokkan kepalanya melalui jendela kaca di sampingnya. Tampaklah Abaasan dan beberapa kakek yang tahu-tahu sudah bergabung dengan mereka, memunguti sampah itu. Kini barisan lansia itu tersenyum senang dan melambai-lambaikan tangan ke arah dirinya dan Tasya.
"Sayonara, ja mata...!"seru mereka bak dikomando saja.
"Apa katanya"" tanya Garsini bingung. Mulai mencium keanehan.
"Selamat tinggal, sampai jumpa lagi." jawab Maria Linares, gadis Manila.
"Lain kali kalian harus lebih rajin mengumpulkan sampah bersama mereka, ya"" sahut Clarisa sambil ngakak.
Geeerrr. rekan-rekan lainnya seketika tertawa terbahak-bahak. Sepanjang sisa perjalanan itu, Tasya lebih banyak bersungut-sungut menyesali kelakuan mereka. Sementara Garsini hanya mesem-mesem tulus. Ia baru tahu, ada kebiasaan para lansia Jepang melakukan bakti sosial, antara lain memunguti sampah pada hari libur atau saat-saat tertentu.
Jadi, Abaasan itu bukan tukang sampahlah, bo!
*** Kehebohan luar biasa itulah yang telah membangunkan Garsini dari tidurnya di pagi buta. Sekarang asrama putri ini terasa lengang, senyap. Mungkin tinggal mereka berdua yang belum angkat kaki dari tempat ini. Setidaknya dari lantai dua, tempat tinggal sekitar seratus mahasiswa asing dari berbagai warganegara.
"Sepupumu, ya"" Haliza melirik gadis itu, ingin tahu. Ada kebekuan mengapung di tengah mereka. Garsini tak menyukainya. Ia cepat ingin mengubah suasana hati mereka kembali. Dalam keriangan, semangat dan keikhlasan seperti biasanya mereka rasakan selama ini.
"Iya, Peter, putra Tante Arnie yang mukim di Holland. Rasanya aku pernah mengungkitnya kepadamu. Dia pernah berencana melanjutkan studi di Jepang. Tapi entah mengapa urung. Ee, tahu-tahu kabarnya dia kini telah menjadi seorang tentara Kerajaan Belanda," katanya riang dan tulus.
Haliza tersenyum lega mendengar keriangan suara sohibnya.
"Baiklah, hati-hatilah dengan sepupumu itu," bisik gadis Malaysia itu saat akan berpisah di teras asrama. Semangat dan keriangan telah kembali mewarnai wajahnya.
Sebuah taksi telah menantikan Haliza. Hanya pada kesempatan istimewa saja para gakusei memanggil taksi, mengingat tarifnya tinggi. Takkan terjangkau oleh uang saku yang mereka peroleh dari pemerintah Jepang melalui beasiswa. Hari ini memang pengecualian. Mereka berhak bersenang-senang setelah menjalani jadwal aktivitas yang begitu padat, sarat tekanan luar biasa. Hanya kawula muda pilihan saja yang sanggup menjalani hari-hari "neraka" macam itu.
"Kaulah yang mesti hati-hati dengan keluarga Raja di Raja Malaysia tu, Haliza," balas Garsini dan ia sungguh mulai mencemaskan hasil kunjungan sahabatnya kelak. Ia tak ingin melihat sohib tercinta terluka. "Dan kuharap kau takkan. mmh, seandainya nanti."
"Yeah... tolong restui aku, ya, Garsini"" tukas Haliza terdengar menghiba. Keduanya berangkulan dan berpelukan erat. Seolah mereka takkan pernah bersua kembali.
"Lekaslah masuk!" Garsini mendorongnya masuk taksi dan melemparkan ranselnya ke jok belakang.
"Assalamualaikum," ujar gadis Malaysia itu tertawa.
"Waalaikumussalam," balas Garsini. Sebuah salam yang kerap keduanya perdengarkan kala bertemu atau berpisah, dan membuat rekan mereka sering keheranan atau hanya tersenyum maklum.
Bab 2 Bandara Nari ta, suatu petang yang sejuk. Pesawat KLM beberapa saat lalu telah mendarat mulus di landas pacu bandara yang terkenal dengan teknologi canggih se-Asia itu. Para penumpang mengalir keluar dari pintu kedatangan. Petugas memeriksa bawaan mereka dengan ketat. Belakangan suasana bandara di seluruh dunia dicekam ketakutan dan kengerian luar biasa. Ini diakibatkan oleh sejumlah peristiwa pemboman hebat di berbagai belahan dunia.
Peter, seorang pemuda berseragam militer antri dengan sabar di antara para penumpang yang baru tiba dari Holland. Sekilas ia melayangkan pandangannya ke kejauhan. Adakah anak bawel itu di antara para penjemput" Aku bukan anak bawel lagi, Peter. Aku sudah dewasa, sudah jadi akhwat...
Ketika itu Garsini mahasiswi di Universitas Indonesia. Begitu bangga dia menceritakan tentang rekan-rekan apa itu, kawatnya" Seperti apa rupanya sekarang anak bawel itu" Masih tomboykah dia, rambut cepak dan celana jeans belel bolong-bolong"
"Yokoso Nihon e irasshaimasen..." ("Selamat datang di Jepang....") seorang pramugari yang melintas di sebelahnya, iseng menyapa pemuda itu. Tentara Kerajaan Belanda. Ganteng sekali dia. Harum jantan meruap dari tubuhnya, hmm!
"What"" Peter celingukan. Ia telah selesai melalui pemeriksaan, keluar berdampingan dengan pramugari yang memiliki wajah mirip boneka Jepang koleksi ibunya itu. "Exuse me... Anda bicara apa"" susulnya dalam bahasa Inggris.
"Anata no o-namae wa nan desu ka" Ryoko wa tanoshikatta desu ka"" ("Siapakah nama Anda" Perjalanan Anda menyenangkan"") Gadis Jepang itu semakin tergairah menggodanya. Ia tahu gerak-geriknya tengah diperhatikan oleh rekan-rekannya dari kejauhan.
Namun, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat ringkas di hadapannya.
"Hai, Broer Peter!" Garsini tersenyum ramah kepada sang pramugari. "Domo arigato(Terima kasih)... Dia sepupu saya dari Holland," katanya dalam bahasa Jepang yang lumayan, membungkuk hormat.
"Dia tak bisa bicara Nippon, shitsurei desu ga..."(maaf permisi)
"Sayonara, sayonara... Sampai jumpa!" balas sang pramugari tersipu malu dan menatap wajah keduanya sekilas.
Mirip apanya, ya" Sepupu dari Holland, dia sendiri dari mana" Tampang kalian mirip orang Jepang. Apalagi si tentara itu, mirip sekali Takeshi Kaneshiro... Long Vacation!
Gadis Jepang itu gegas-gegas berlalu, menuju beberapa rekannya yang masih memperhatikan pagelarannya sambil cekikikan. Peter masih berdiri rikuh memandangi makhluk jelita, enerjik dan terus-menerus tersenyum bandel ke arahnya. Ooo, pasti ini dia si bawel Garsini Siregar, pekiknya dalam hati.
Sekejap Peter sudah memeluk gadis itu. "Huss, jangan begini!" Garsini merenggangkan pelukan sepupunya.
"Kamu adikku!" Peter mejawil hidungnya seperti kebiasaan saat mereka kecil dahulu.
"Tidak juga, kamu yang adikku. Sebab Mamaku kakak Mamimu," balas Garsini mulai memperlihatkan keras kepalanya.
Peter tertawa lebar, kemudian tiba-tiba teringat sesuatu. "Hei, tadi itu apa sih" Kamu bicara apa dengan pramugari itu"" Seketika ia memprotes dalam bahasa Indonesia yang lumayan bagus. Tentu saja mengingat dia telah meninggalkan Indonesia sejak umur lima tahun. Tante Arnie pasti telah berusaha keras mewariskan kepadanya, bahasa pemersatu bangsanya itu.
"Dia mengucapkan selamat datang di negerinya, menanyakan nama juga tentang perjalananmu," Garsini sambil melirik arlojinya.
"Kamu sama sekali tak beri kesempatan, ya" Coba bilang dari tadi, aku akan berikan kartunama yang bagus untuknya." Garsini tak bisa lama-lama di sini, harus mencari tempat untuk shalat maghrib. Karena ia tahu, jika mengantar Peter ke hotel yang telah dipesannya akan memerlukan waktu yang cukup panjang.
"Ada apa"" tanya Peter cemas dan menangkap kegelisahannya.
Garsini berusaha tetap tersenyum riang. "Tak ada apa-apa, tapi aku harus shalat maghrib dulu. Mmh, begini saja kita ke kafetaria itu dulu, ya" Sementara aku shalat kau bisa menikmati."
"Sake! Ya, aku mau sake Jepang!" kata Peter menukas cepat.
"Huss!" Garsini tertawa geli melihat semangat sepupunya yang super tinggi itu. Tapi diantarnya juga sepupunya ke sebuah coffee house. Matanya telah menangkap suatu sudut y
ang lumayan sepi di sekitar situ.
Ketika Garsini menunaikan shalat maghribnya di sudut sepi itu, mata Peter tak lepas-lepas mengawasi kelakuannya. Apa yang terjadi dengan anak itu" Begitu taatnya dia menjalankan syariat agamanya. Di tengah kesibukan tiba-tiba harus shalat. Apa dia tak menemukan kesulitan hidup seperti itu, di tengah bangsa asing begini"
Peter teringat ibunya yang masih mengaku orang Islam, tapi belang-bentong menunaikan shalat lima waktunya. Seketika pemuda itu merasa penasaran sekali. Begitu Garsini kembali menghampirinya, ia langsung menohoknya dengan pertanyaan, "Apa menjadi Muslimah itu sulit, Garsini""
"Insya Allah tidak!" sahut Garsini mantap membuat Peter terperangah.
*** Setelah satu malam tinggal di hotel bergaya Barat, Peter memutuskan menerima saran sepupunya, pindah ke ryokan(penginapan) ala Jepang. Ia sangat mengandalkan sepupunya, terutama berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Ketika Garsini menunjukkan sebuah penginapan tradisional, wajah Peter langsung ditekuk lucu.
"Bagaimana kalau kamu nggak ada nanti" Bisa bicara apa aku di sini"" tanyanya seperti bocah ketakutan, hingga Garsini tertawa geli.
"Nanti kuberikan kamus praktis bahasa Jepang. Dulu pertama datang aku juga memanfaatkannya. Itu akan sangat membantumu," Garsini menenangkan, seketika dipandanginya penampilan sepupunya lekat-lekat.
"Kamu seorang serdadu, Broer.(sebutan untuk kakak lelaki, Belanda) Hmm... Kalau Opa masih hidup apa komentarnya soal profesi yang kamu pilih ini, ya"" Garsini menjawil pet hijau yang bertengger di kepala sepupunya.
"Opa akan menangis darah," gumam Peter terdengar menyesal. Mereka telah hafal betul kisah heroik Opa tercinta. Di zaman revolusi 1945, kakek mereka berjuang dengan jiwa raga, darah dan air mata melawan penjajah. Di negerinya kolonialis itu identik dengan Belanda, Jepang dan Portugis. Tapi sekarang, cucunya justru menjadi abdi Kerajaan Belanda. Ironisnya hidup ini!
Peter kelihatan masih merasa menyesal, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Garsini menepuk tangannya dan berkata riang,"Jangan khawatir, Opa nggak bilang apa-apa tuh waktu terakhir aku menziarahinya di Cikutra. Jangan merasa bersalah, ini jalan kita."
"Bercanda kamu... It's funy!" Peter seketika tergelak geli. Siapa pernah mengira sepupunya yang sejak kecil bercita-cita studi teknik informatika di Jepang, malah menjadi seorang militer" Siapa mengira pula kalau ia yang sejak lama ingin menjadi dokter, bahkan kemudian berusaha keras mendapatkan beasiswa teknik kedokteran. Tapi sekali lagi, inilah jalan-Nya!
"Kenapa kamu nyasar ke teknik informatika, Garsini"" tanya Peter.
Siang itu mereka berjalan kaki menuju sebuah penginapan. Untuk pertama kalinya Garsini melihat sepupunya melepas seragam militer, dan menggantinya dengan pakaian santai. Celana jeans hitam dengan t-shirt berlengan sportif. Sekilas Peter tampak mirip dengan para pemuda Jepang lainnya yang berlalu-lalang di sekitar mereka. Ayah Peter adalah etnis Manado, mereka bercerai dan ibunya menikah lagi dengan pria Belanda.
"Sejak SMP kutahu kamu sudah bercita-cita menjadi dokter, kan""
Garsini tak ingin mengenang saat-saat tak mengenakkan pada minggu pertama keberadaannya di Tokyo. Ada kesalahpahaman, kesalahan teknis dan entah apalagi. Nama lain masih berasal dari Indonesia, ujug-ujug menyerobot posisinya di teknik kedokteran. Sementara namanya terdaftar sebagai mahasiswa teknik informatika.
Hari-hari itulah ia bertemu Mayumi, mahasiswi sastra yang banyak membantunya. Dara Jepun itu memberi banyak informasi yang memang sangat dibutuhkannya kala itu. Ia sampai rela mengorbankan waktu liburnya sendiri, menemani Garsini ke beberapa tempat. Melepas rasa frustasi yang sekejap membelenggu diri gadis itu, kala menemukan kenyataan yang tak sesuai dengan harapannya.
Pihak daigaku merasa tak bersalah cenderung langsung angkat tangan, menyilakannya untuk mengurus kesalahkaprahan ini ke Kedubes RI. Mungkin juga ke pihak panitia pemberi beasiswa di Jakarta. Sungguh sangat melelahkan, hanya menimbulkan rasa frustasi dan putus asa saja.
Kadang Haekal ikut serta bersamanya dalam melacak
kekeliruan itu, tapi kemudian mereka menyadari hanya menemukan jalan buntu. Sementara masa perkuliahan sudah akan dimulai. Lagi pula Haekal tak bisa terus-menerus mendampinginya, karena ia pun harus menyelesaikan urusannya sendiri.
Kembali hanya berdua Mayumi, ia menuntaskan permasalahannya. Sehingga akhirnya mereka mendapatkan jalan keluarnya. Aku harus menerima kenyataan ini. Ya, lebih baik kuterima saja daripada harus kembali ke tanah air!
Tak bisa terbayangkan oleh Garsini, bagaimana hancurnya seluruh bangga ayahnya jika ia kembali sebagai seorang pecundang!
"Pasti dia anak orang penting dari Indonesia, heh"" komentar Peter.
"Dia. siapa"" Garsini tersentak. Mereka sudah sampai di depan meja resepsionis ryokan. Tak ada siapapun di situ. Keduanya menunggu beberapa saat dengan sabar.
"Orang yang sudah menyerobot posisimu itu!" sergah Peter. Wajah Garsini sekilas tampak memerah. Pikirannya sesaat melayang ke pulau Pusan.
"Naah, kamu melamunkan siapa"" ejek Peter. "Ayo katakan kepadaku, kamu sudah punya pacar kan""
"Ah, kamu! Tak ada pacaran di kamus hidupku." elak Garsini cepat. "Oya, aku pernah bertemu cewek itu." Garsini tersipu malu seolah telah dipergoki. Peter tersenyum menang.
"Jadi seorang cewek, heh, cantikkah""
"Tentu saja, dia sangat cantik dan glamour." Garsini tertawa kecut.
"Pasti nggak pantas jadi anak teknik kedokteran, ya""
"Ngng. lihat saja nanti!" Peter menggeram. "Apa dia tahu kamulah orangnya"" Garsini menggeleng ragu. Dia takkan lupa bagaimana gerak-gerik memikat, bak burung merak sedang pamer keindahahan. Cewek itu angkuh dan sangat mengetahui persis apa yang diinginkannya.
Dalam tempo relatif singkat dia telah menjadi bintang kecil di fakultasnya, terutama sebagai biang pesta dan mengencani banyak mahasiswa asing. Begitulah gosip yang beredar di kalangan rekannya di asrama. Dia sendiri tidak tinggal di asrama, kabarnya di sebuah apartemen indah di kawasan elit.
Saat secara kebetulan di syokudo, aula besar di kampus, berhadapan langsung dengannya, ia sempat berpikir sambil menahan kegeraman hatinya. Bagaimana nurani dan moral gadis ini, ya" Hanya karena dia anak orang penting, maka dengan mudah merampok keberuntungan anak lain" Tapi bisakah dia disalahkan atas semua ini" Bagaimana kalau dia hanya korban dari ambisi orang tuanya" Kasihan sekali kalau begitu!
*** Seorang wanita paro baya mengenakan kimono bagus menyambut kedatangan mereka. Ia tersenyum ramah dan membungkukkan tubuhnya dengan santun. "Konnichiwa gakusei-san... irasshaimasen,"(Selamat siang... Selamat datang di Jepang.) katanya ramah.
"Konnichiwa Okusan, domo arigato gozaimasu (Selamat siang Nyonya, terima kasih.)," balas Garsini tak kalah santun, membungkukkan badannya dengan baik sekali.
Woo, cara membungkuk ala Jepang ini telah ia pelajari secara khusus dari Mayumi. Pemilik ryokan tampak terpesona, menatap wajah Garsini sambil tetap tersenyum ramah. Sepasang matanya menyiratkan penghormatan dan kekaguman seorang ibu terhadap anaknya.
"Kamu gakusei-san, dari Universitas Tokyo, ya"" ujarnya langsung menebak. Ia mengerutkan keningnya, mengira busana yang dikenakan gadis itu adalah mode mutakhir anak-anak muda.
"Iya. Bagaimana Nyonya tahu"" Garsini menatapnya terheran-heran.
Sesungguhnya mudah saja bagi Okusan untuk menebak asal mahasiswa yang datang ke penginapannya. Kebanyakan mahasiswa Universitas Tokyo sangat khas, memiliki sorot mata cerdas, percaya diri dan tahu tatakrama tradisional Jepang.
Tapi mata Garsini sama sekali tidak sipit. Ia memiliki sepasang mata lebar yang bagus sekali. Dan busana yang dikenakannya, sunguh menarik, pikir wanita itu."Gakusei-san mahasiswa asing, ya kan"" tanyanya ramah sekali.
Garsini mengangguk. "Begitulah, Okusan."
"Tapi bahasa Jepangmu sudah lumayan," pujinya tulus.
"Domo arigato gozaimasu..." Garsini sudah terbiasa dengan tatapan aneh begitu. Mereka memandang heran ke arah busana yang dikenakannya. Itu tak membuatnya tersinggung apalagi rendah diri.
Di kampusnya Garsini dikenal sebagai mahasiswi teeneger, enerjik, sangat cerdas dan taqwa menjalankan syariat agamanya. Kebanyakan mereka mengagumi ta
ta cara pelaksanaan ibadahnya yang amat disiplin. Mereka kerap mendapatinya shalat, tepekur membilang tasbih atau shaum pada hari-hari tertentu. Sejauh ini, Garsini tak mengalami banyak hambatan.
Rekan-rekannya menghargai keberadaannya sebagaimana mestinya. Ya, selain tatapan aneh, selebihnya Garsini merasa hepi-hepi saja menikmati masa perkuliahannya. Empat tahun kesempatan emas yang diberikan mereka kepadanya, ia selalu berharap mampu menjalaninya lebih singkat.
Tiba-tiba Okusan balik menoleh ke arah Peter dengan tatapan sinis, kecewa dan marah. "Kamu sangat beruntung bisa menggaet gadis cantik dan kelihatannya tahu adat ini. Tapi ingat, kami tak suka kalau kamu hanya memanfaatkannya!" cerocosnya tajam dan ketus sekali.
"Mentang-mentang tampangmu mirip Takeshi Kaneshiro, hah! Sungguh menjijikkan, memalukan nama bangsa saja." gerutunya pula saat melihat Peter masih tersenyum-senyum.
Peter mendadak terdiam dan celingukan, bingung, kenapa tiba-tiba ia diperlakukan galak dan ketus oleh wanita itu. Bahkan sepertinya dimarahi" Untuk sesaat Garsini pun terkesima, perlahan wajahnya merah padam. Namun kemudian ia segera menyadari kesalahpahaman. Ia cepat memutuskan untuk meluruskannya, sebelum situasinya semakin parah bahkan bisa berakibat fatal.
Berabe, apa kata rekan-rekannya di daigaku nanti!
"Kami bersaudara, Okusan. Percayalah, dia sepupu saya," Garsini bicara serius dengan wanita itu. Menjelaskan bahwa ia telah salah paham menganggap Peter pemuda Jepang yang telah menggaet gakusei asing.
Sementara Peter semakin bingung. Begitu Garsini selesai bicara, Okusan balik menghadapi Peter kali ini dengan sikap santun yang sangat berlebihan.
"Sumimasen... Koko ga machigatte iru to omoimasu... I'm verry sorry," (Maafkan... Saya kira ada kekeliruan di sini... maafkan saya) katanya dalam sikap amat malu dan merasa sangat bersalah.
Okusan dengan serius sekali masih akan melanjutkan acara bungkuk-membungkuknya, jika Garsini tak segera mencairkan suasananya. Membisikkan sesuatu ke telinga Peter, hingga pemuda itu tertawa ditahan.
"Tidak apa-apa, Madame," ujar Peter ramah dalam bahasa Inggris. "Tampang saya memang mirip orang Jepang. Sudah sering saya alami hal seperti ini di Holland. Bahkan di negeri leluhurku sendiri, Indonesia. Aha, ternyata Okusan paham bahasa Inggris!" pujinya pula tulus.
"Ooh, Indonesu. saya tahu itu di Bali"" komentarnya sok tahu.
Beres urusan pesan tempat, keduanya melihat kamar yang telah dipesan. Ditemani oleh seorang putri Okusan yang mendekati mereka dengan sikap amat pendiam, serba canggung, rikuh dan gerak-gerik lamban. Sehingga sepintas lalu pun Peter sudah bisa menarik kesimpulan, gadis itu seorang terbelakang mental. Itu langsung disampaikannya kepada Garsini.
"Psst, sok tahu kamu!" tegur Garsini menatap iba ke arah gadis bertubuh gemuk pendek itu. Dalam hati ia terpaksa mesti membenarkan kesimpulan kilat sepupunya. Hebat, pikirnya, seorang militer muda dan punya pengetahuan atau bakat psikolog juga.
Sementara Okusan harus melayani para tamu yang mulai berdatangan. Kebanyakan tamunya adalah turis asing yang berminat merasakan nuansa tradisional Jepang. Biasanya mereka menginap satu-dua malam sebagai transit, kemudian akan melanjutkan perjalanan ke lokasi-lokasi wisata lainnya.
Tampaknya Peter merasa puas dan menyetujui untuk tinggal di situ selama beberapa hari. Ketika keduanya kembali ke depan, Okusan telah menanti mereka dengan wajah harap-harap cemas.
"Jangan khawatir, Okusan," Garsini tersenyum lembut kepadanya. "Dia setuju untuk menginap di sini beberapa hari."
"Haik, kami sangat beruntung, domo arigato," Okusan tampak lega sekali.
"Nihon-go wa wakarimasen... sumimasen!"(Bahasa Jepang saya payah... permisi!) tiba-tiba Peter menyela, pamer hasil studi kilatnya dari kamus praktis pemberian Garsini.
Okusan dan Garsini menoleh ke arahnya, menatap Peter dengan surprise. Peter acuh tak acuh melanjutkan hasil pembelajaran praktisnya selama di dalam kamar, ketika Garsini tengah memperhatikan segala sesuatu di sekitarnya sambil berusaha keras mengajak berkomunikasi putri Okusan. Usaha yang sia-sia, gadis itu
hanya menyahut dengan mengiyakan atau mengangguk.
"Ei-go de hanashite kudasai... yeah, yukkuri... Wakarimasu ka""(Tolong bicara dalam bahasa Ingris, yeah pelan-pelan... Anda mengerti")
"Haik, wakarimasu!"(Ya, saya mengerti!) sahut Okusan sambil lagi-lagi membungkukkan tubuhnya, masih dalam perasaan bersalah.
"Okusan, eh, apa itu ya, Garsini" Yeah, beautiful to!" Peter mengerling nakal. Wajah Okusan merona tapi ia kembali membungkuk. "Haik!" katanya.
Garsini menahan tawa, merasa iba juga kepada Okusan. Disambarnya lengan sepupunya dan berkata, "Sudah, jangan bercanda lagi. Kita cari makan di luar, hayoo!"
"Haik! Haik! Sayonara, Okusan!" Peter sambil tertawa bandel ke arah pemilik ryokan.
"Kami pergi dulu, Okusan. " kata Garsini pamitan. Ups, hampir saja ia mengucap salam lekum-nya.
"Sayonara, gakusei-san, ja mata. Sampai jumpa!" balas Etsuko-san, lagi-lagi mengantar kepergian mereka dengan membungkuk takzim.
"Lebih hormat daripada orang Jawa, ya"" Peter tertawa lepas dan geleng kepala sesampai mereka di luar. Ia pernah tiga kali mengunjungi Indonesia, pergi ke Yogyakarta dan Bali. Mereka berjalan kaki menuju restoran yang tak jauh dari penginapan.
"Kamu mau mencicipi sushi atau kujira"" tanya Garsini ketika sudah sampai di sebuah restoran kecil.
"Aku mau makan semuanya, semuanya saja!" Garsini menatapnya keheranan. Apakah dia selalu begitu antusias"
"Semuanya, sungguh semuanya"" tanya Garsini minta ketegasan.
"Tentu saja, jangan sia-siakan kesempatan selama di Negeri Ninja ini. Semuanya, yap!" Peter amat bernafsu, kemudian cepat sekali memesan kepada seorang pelayan. "Aku mau yang ini, ini dan ini juga ya."
Ia menunjuk contoh makanan yang dipajang di rak, replika makanan itu selalu tampak menggiurkan dan mengundang selera siapapun yang melihatnya. Garsini menatap daftar menunya dengan cemas, tapi membiarkannya saja.
Beberapa menit kemudian, Garsini melihatnya kepayahan terhuyung-huyung menuju kloset. Ketika ia kembali wajahnya tampak pucat pasi, masih terengah-engah tentara Kerajaan Belanda itu menunjukkan protesnya.
"Kamu kelewatan, Garsini," keluhnya. "Jangan pernah lagi ajak aku ke restoran Jepang itu, terutama sushi(potongan kecil makanan mentah hasil laut di atas nasi) dan kujira(bistik yang terbuat dari ikan paus)-nya. Mereka betul-betul mau meracuni perutku, hehhh, aduuuhhh."
Garsini menatapnya terkejut dan iba sekali, tak menyangka keadaan sepupunya ternyata jauh lebih parah daripada dirinya, ketika pertama kali datang dan "dijebak" begitu oleh Tasya. Kedua jenis makanan khas Jepang itu memang
sungguh-sungguh... nggak cocok dengan perut mereka!
*** Nakajima-san sudah tampak di depan gedung MeSci, Nasional Museum of Emerging Science and Innovation. Ia memang tinggal di kawasan itu. Lelaki berumur tujuhpuluhan itu menyambut kemunculan Garsini dengan wajah berseri-seri. Tampaknya ia sudah siap bepergian, mengenakan pantalon warna coklat tua dan kaos berleher di balik jas wol santainya.
Ekor mata Garsini melihat tas berukuran sedang, dan sebuah bingkisan dikemas dengan kertas bagus teronggok di sebelah lelaki tua itu. Mungkin bingkisan spesial untuk cucunya, pikirnya.
"Ohayo gozaimasu, Nakajima-san,"(Selamat pagi, Pak Nakajima.) sapa Garsini memberi salam.
"Gozaimasu domo arigato," katanya balas membungkukkan tubuhnya. Waah. anatawa kirei desu ne!"
"Terima kasih, terima kasih," paras Garsini merona dadu. Meskipun ia mulai menyadari, betapa mudahnya orang Jepang memuji. Kalimat seperti itu, wah kamu cantik sekali. Atau, wah, sutekina fuku desu ne. bajunya bagus ya" Ia sangat sering mendengarnya. Dari rekan-rekan Nippon di kampusnya, bahkan dari nenek-nenek, orang tak dikenal yang ditemuinya di gerbong kereta. Tapi pujian dari Nakajima-san terdengar tulus di kuping Garsini.
"Akhirnya kamu mau datang juga, Garsini-san. Aku sempat mengira kamu menolak tawaranku melalui Mayumi-san tempo hari."
"Tentu saja saya datang," suara Garsini agak tercekat. Setiap kali bertemu Nakajima-san, ia selalu terkenang akan mendiang kakeknya. Usia mereka sebaya kalau Opa masih ada. Opa pergi terlalu cepat, bahkan sebelum berhasil menerbitk
an memoar yang sedang disusunnya.
Bab 3 "Jangan khawatir, aku takkan pergi lama. Hanya beberapa hari, mungkin tiga-empat hari saja," janji Nakajima-san sungguh-sungguh. Rasa tanggung jawabnya yang tinggi, sungguh membuat hati Garsini terharu sekali.
"Saya ada banyak waktu musim libur ini," tukas Garsini menenangkannya.
Tapi sesaat kemudian, ia baru teringat lagi kepada sepupunya. Peter memintanya ikut dengan rombongan tur keliling Jepang. Mereka turis remaja Belanda yang dikenal Peter di hotel, tempat menginap sebelumnya.
"Yah, setidaknya sampai Anda kembali akhir pekan..." tambah Garsini.
"Ini sungguh tidak akan lama," janji Nakajima-san. "Yang penting bisa bertemu Aiko, cucuku semata wayang. Kau tahu, putraku Kurasawa seorang eksekutif penting yang sangat sibuk. Selama ini mereka tinggal di Korea, begitu bisa liburan ke Jepang langsung menuju Saporo, tempat keluarga menantuku."
Garsini mengangguk simpati. Ia bisa merasakan kesepian dan kesunyian hari-hari sang kakek. Mayumi banyak cerita tentang Nakajima-san, yang kerap diakuinya sudah seperti kakeknya sendiri. Di Tokyo lelaki tua itu tak memiliki keluarga lain sejak istrinya meninggal sepuluh tahun yang silam.
Di masa mudanya Nakajima telah membaktikan hidup dan ilmunya sebagai staf pengajar di Universitas Tokyo. Ketika pensiun ia memutuskan untuk menjadi staf museum sains terbesar di Tokyo ini.
Garsini pernah berhutang budi, berkat rekomendasi Nakajima-san beberapa urusannya di daigaku mendapat kemudahan; memanfaatkan fasilitas terknologi terkini di fakultasnya sebelum perkuliahan dimulai. Rekan-rekannya belakangan baru bisa mengikuti jejaknya. Seperti halnya dengan Mayumi, sahabat Jepun-nya itu. Sehingga rekan mereka kerap menyindir keduanya sebagai cucu Nakajima. Tiba-tiba kakek itu menyerahkan sebuah amplop kepada Garsini.
"Di sini kutuliskan daftar yang harus kamu pelajari, juga ada uang saku untukmu," jelasnya tersenyum hangat. "Oh, tapi Pak Nakajima..."
"Jangan ditolak, aku berterima kasih kepadamu. Kamu mau gantikan aku, itu sungguh membantu mengingat ini musim libur. Teman-teman sebayamu ribut melancong."
"Saya memang tidak punya rencana pergi, Pak." Garsini seketika merindukan mendiang kakeknya, tanah airnya dan rumahnya di Depok.
Ini baru beberapa bulan, bagaimana kususuri hari-hariku mendatang selama empat tahun" Mungkin ditambah dua tahun lagi untuk program S2 kalau mereka masih memberiku beasiswa. Ya Allah, kuatkanlah hatiku untuk bertahan di negeri orang ini.
"Kakek, Uji, panggil begitu, ya"" tukas Nakajima-san meminta dengan nada tulus, seolah bisa menangkap kerinduan gadis itu. Mata Garsini terasa menghangat. "Uji-san..."
"Bagiku ini kesempatan sangat baik bertemu anak-menantu dan cucu. Mereka keluargaku. Mungkin aku takkan punya kesempatan lain."
Ada yang mengapung dari sepasang mata Uji-san, seperti kapas-kapas berarak di langit musim semi. Ia bergulung-gulung dan sebentar lagi bisa jadi akan berubah menggumpal menjadi awan. Aaah, ada apa ini" Garsini seketika merasakan dingin. Ada sesuatu yang tak beres, menanti, pikirnya was-was.


Kapas Kapas Di Langit Karya Pipiet Senja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mayumi datang berlari-lari menghampiri mereka. "Taksinya sudah menanti di seberang," katanya terengah-engah.
Ia sudah janji untuk mengantar Nakajima ke bandara. Wajahnya yang putih tampak memerah segar. Begitu sudah ada di hadapan mereka, ia membungkuk cepat. Roknya yang pendek berkibar diterpa angin nakal musim semi.
Mayumi prototipe gadis Jepang modern, selalu tergila-gila akan segala sesuatu berbau Barat dan serba modern. Perbedaan pembawaan yang sangat kontras di antara Garsini dengan Mayumi, tak membuat goyah tali persahabatan mereka. Garsini mengagumi bakti gadis itu terhadap ibunya dan seorang kakak lelakinya.
Sebaliknya Mayumi juga amat mengagumi kemandirian dan rasa percaya diri Garsini. Dan keteguhan gadis Indonesia itu dalam menjalankan syariat agamanya. Islam, sesuatu yang kadang menggugah rasa ingin tahunya. Tapi baru sebatas ingin tahu lain tidak.
"Oyaho gozaimasu, Mayumi-san..." nadanya terdengar menegur, hingga Mayumi tersipu-sipu, jengah. Seharusnya ia yang lebih dahulu menyapanya bukan sebaliknya.
"Su mimasen. maafkan terlambat, tadi saya harus meyakinkan Okusan agar pergi ke dokter," Mayumi berusaha tersenyum riang.
"Bagaimana keadaan Okusan"" tanya Pak Nakajima kali ini terdengar khawatir. "Belum baik jugakah""
"Okusan keras kepala, tapi tadi sudah janji akan menemui dokter Ikeda di klinik perusahaannya." Ada kemuraman membersit di wajah porselinnya.
"Masih batuk-batuk juga, ya Mayumi"" Garsini pernah mampir beberapa kali ke rumah sahabatnya. Menemukan Mayuko-san sering batuk hingga tampak kewalahan.
"Yah," sahutnya agak muram, tapi ditatapnya Garsini dengan hangat. "Terima kasih, ya, mau merangkap tugasku dan tugas Pak Nakajima. Baikbaikkah""
"Semuanya baik-baik saja, silakan kalian berangkat," ujar Garsini.
"Nanti aku mampir tengah hari. Kita akan punya waktu leluasa mereguk ilmu pengetahuan sepuasnya di sini, oke"!" janji Mayumi.
Gadis itu bersikeras ingin mengantar Pak Nakajima sampai bandara Narita. Janjinya telah dibuktikan dengan bangun di pagi buta, gegas meninggalkan rumahnya di Tokyo, lalu seperti Garsini harus menempuh perjalanan dengan taksi dan boat.
Nakajima sekali lagi memberi petunjuk singkat kepada Garsini, mengenai teknik pelaksanaan sebagai relawan di museum kesayangannya. Jarang sekali museumnya menerima relawan berusia muda, kebanyakan para pensiunan dari berbagai instansi. Kali ini memang pengecualian. Musim libur dan mereka sangat kekurangan relawan.
Garsini agak merasa bersalah, kenapa bukan kemarin ia mendatanginya, agar lebih leluasa berkeliling museum didampingi Nakajima-san. Tentu akan berbeda rasanya bila dilakukan lain orang. Nakajima-san pakar di bidangnya, pengetahuannya sangat luas sebagai insinyur teknik mesin.
Mayumi sudah mewantinya sejak dua minggu lalu. Tapi sepanjang hari kemarin ia menjadi guide Peter. Mereka berkeliling museum kepolisian, gedung kekaisaran, taman Ueno dan berakhir di restoran Indonesia, milik seorang artis Indonesia yang menikah dengan pebisnis Amerika.
"Haik, sudah siap berangkat sekarang, anak-anak"" tanya Nakajima.
"Sayonara, ja mata. Selamat jalan, sampai jumpa lagi," Garsini membalas penghormatan keduanya.
Garsini menangkap mata indah Mayumi mengerling ke arahnya sambil tersenyum lucu. Mungkin Pak Nakajima tak bisa melihatnya, karena daya penglihatannya telah berkurang.
Mayumi kerap mengeluh soal tradisi yang dikatakannya hanya basa-basi tak berguna belaka. Kontras sekali, pikir Garsini, mengingat di rumahnya Mayumi begitu santun dan kasih kepada ibu serta kakak lelakinya. Begitu ada kesempatan mengekpresikannya di luar rumah, ia bagai terbang melayang-layang, merengkuh semua yang mampu diraihnya. Mayumi mengenakan topeng untuk satu alasan, hanya dirinya yang mengetahuinya.
Garsini jadi teringat akan dirinya semasa di Indonesia. Ia pun sempat mengenakan topeng kepura-puraan, tapi masih dalam bingkai positif. Akhirnya Garsini melepas kepergian dua sosok dari lain generasi itu, sambil tetap merasa ada sesuatu yang tak beres. Entahlah, untuk mengenyahkan dari kalbunya pun serasa tak mungkin. Sebab ia sendiri tak bisa merinci apa ketakberesan itu. Maka, diam-diam dengan ikhlas ia mengucap doa selamat untuk Pak Nakajima.
Di Jepang ada sekitar hampir lima ribu museum, menurut data statistik terakhir yang diketahui Garsini. Bangsa ini agaknya sangat apik dan telaten dalam menata dan merekam alur peradabannya. Semangat masyarakat Jepang untuk merawat secuil rekaman peradaban sangat tinggi. Makanya, tak heran bila setiap aspek kehidupan di negeri Ninja, istilah sepupunya, ada museumnya.
Garsini jadi teringat akan penatalaksanaan rekaman peradaban di tanah airnya. Sangat payah, hingga banyak mata rantai sejarah yang terputus. Contoh terakhir yang paling diingat dan amat disesalkannya, terutama ketika sering diskusi sejarah dengan kakeknya dulu; naskah asli Supersemar.
Entah di mana naskah aslinya itu, tak ketahuan rimbanya. Jangankan untuk generasi mendatang, baru sampai generasi para pelaku sejarahnya pun sudah raib.
Kemarin siang ia bersama Peter menyelusuri gedung Tokyo Metropolitan Police Departemen, di 5-1, Koyabashi 2-chome, Chuoku, berseberangan dengan ger
bang selatan kekaisaran. Kini untuk beberapa waktu ia khusus memusatkan perhatiannya berkeliling MeSci. Beberapa lama Pak Tom Noda, bawahan Pak Nakajima dengan senang hati mendampinginya. Ia bicara terus-menerus dalam bahasa Jepang, menerangkan ini-itu, tak peduli pendengarnya bisa memahaminya atau tidak.
"Sekarang lebih baik kubiarkan kamu mengamatinya sendirian. Kamu terlalu cerdas untukku," katanya sebelum meninggalkan Garsini leluasa berkeliling, mengamati segala sesuatunya dengan seksama. Mereguk tak habis-habisnya segala pengetahuan di sekitarnya dan menyerapnya sepuasnya.
"Haah!" ejek seorang rekan Tom Noda yang menyongsongnya di ujung koridor. "Kewalahan juga kau dengan rasa penasaran gadis aneh itu, ya" Apa dia menggigitmu, Noda-san"" sambungnya sambil mengekeh.
"Jangan melecehkan, ya! Dia sama sekali tak aneh. Menurut Nakajima-san tadi saat diperkenalkannya kepadaku, begitulah pakaian wanita Islam. Sudah, jangan ganggu anak jenius kita itu!" tegurnya dalam nada keras.
"Anak jenius apa jenius." kakek itu masih juga terkekeh-kekeh.
Garsini tersenyum kecil menguping percakapan kakek-kakek itu. Ia merasa sangat beruntung mendapat kesempatan menjadi relawan di museum ini. Merangkap, seharusnya banyak tugas, nyatanya masih santai-santai saja. Bahkan ia bisa menambah wawasannya di tengah peradaban teknologi Jepang dari masa ke masa ini. Ditambah uang saku pula, alhamdulillah.
Ia menyentuh saku gamisnya, amplop pemberian Nakajima-san cukup tebal. Selain berisi daftar tugas ada juga sejumlah uang. Begitu murah hati Pak Nakajima, pikirnya. Bila ditambahkan dengan sisa uang saku bulan ini, ia bisa bepergian ke beberapa lokasi wisata di luar Tokyo.
Tapi tidak akan, gumamnya, setidaknya sampai Pak Nakajima kembali. Lagi pula Garsini tak termasuk orang yang suka bepergian. Ia orang rumah, tukang cuci, masak, bersih-bersih, jaga adik-adik dan hanya pergi ke sekolah. Selama di Negeri Sakura pun ia lebih banyak hilir-mudik "asrama, daigaku dan perpustakaan".
Ada saat-saat menjadi "liar" di luar, tinggal di rumah singgah, gaul dengan Asep, Bang Tompel, Pok Rinah. Al-Munawaroh, hasil baksos binaan Selly dan kawan-kawan, mengamen di KRL, itulah saat-saat tak terlupakan yang mewarnai masa remajanya.
Semuanya masih nyata tercetak di memori otaknya. Adakalanya muncul sebagai mimpi indah, ketika dirinya sangat lelah dari serbuan aktivitas perkuliahan. Ia menikmatinya beberapa jenak sebagai penghiburan agar tidak terjebak hilang asa.
Namun, kemudian ia tahu itu lebih baik tersimpan apik di sudut kalbunya, sebagai bagian sejarah kehidupannya. Akhirnya ia pun menyadarinya, itu takkan pernah kembali seperti hari-harinya yang tertinggal jauh di belakang.
"Cepat, sekarang sudah banyak pengunjungnya!" seru Pak Tom Noda membuyarkan seluruh angan Garsini.
"Nah, buktikan kemampuanmu, gakusei-san!" kakek yang satu itu, entah siapa namanya, menyindirnya tajam. Tapi gadis berjilbab biru laut itu sama sekali tak memperlihatkan dirinya tersinggung. Garsini cepat mengingatkan dirinya agar meluangkan waktu khusus, untuk melakukan pendekatan dengan Tuan Nyinyir.
Ia merasa kakek itu hanya caper, karena belum sempat ditegur sapa secara pribadi oleh dirinya.
"Baik," sahut Garsini membungkuk sopan dan bergegas ke depan, menyambut rombongan demi rombongan yang mengalir bak air bah. Agaknya mereka lebih suka datang setelah makan siang. Mungkin juga setelah berkeliling museum lain di sekitar Tokyo, menjadikan MeSci sebagai persinggahan terakhir wisata museum mereka. Karena letaknya lumayan terpencil di pulau kecil Teluk Tokyo, Odaiba.
Dari asramanya ia harus menempuh perjalanan selama beberapa jam dengan kereta api. Tapi pagi sekali, Peter sudah menyambanginya ke asrama yang lengang ditinggal hampir semua penghuni. Akhirnya ia ditraktir taksi oleh Peter yang urung melancong bersamanya. Disambung dengan boat yang
memang sudah tersedia untuk para pengunjung MeSci.
*** Awalnya Garsini hanya ingin membuktikan bahwa gadis muslimah pun mampu meraih banyak prestasi. Di lingkungannya di Indonesia, hal itu serasa merupakan sesuatu yang musykil. Sebab ada banyak cont
oh nyata, hanya para gadis nonmuslim yang menduduki jabatan terhormat dan prestasi menakjubkan itu. Terpampang indah pula di novel-novel karya penulis perempuan nonmuslim, Marga T dan Marianne Katopo.
Kini ia dengan lincah dan cekatan memandu para pengunjung MeSci. Ia bicara dalam bahasa Inggris yang baik, diseling bahasa Jepang yang cukup lancar dan mudah dipahami. Suaranya yang jernih dan lantang seolah menggema ke seluruh penjuru ruang demi ruang museum itu.
Para pengunjung tampak senang dan puas, tapi ada juga yang usil menggodanya. Atau terang-terangan mengaguminya, secara to the point menyatakan keheranan dengan busana Muslimah yang dikenakannya.Tapi Garsini cepat merespon dengan cerdas serta percaya diri tinggi, untuk mengalihkan perhatian para pengagumnya. Sehingga mereka menjadi jengah sendiri, kemudian menghargai kerja keras, semakin mengagumi dan menghormatinya.
"Kakak sudah lama kerja di sini, ya" Bahasa Inggris dan Jepang Kakak bagus sekali," cetus seorang ABG putra, mengenakan kaos merek yang tak asing lagi bagi Garsini. Bahasa Inggrisnya lumayan juga. Mungkin anak orang kaya yang lagi libur, khusus untuk practising English. Garsini meliriknya sekilas, dagadu nih. Apa di Indonesia sekarang musim liburan juga, ya" Ucok bilang via email-nya, sekarang sekolahnya memakai sistem semesteran. Kalau begitu saat ini mereka sedang midtest.
"Apa pedulinya libur tak libur untuk anak orang kaya" Bahkan lulus atau tak lulus pun sekolahnya, toh perusahaan dan bisnis warisan sudah menanti," demikian Haliza pernah melampiaskan uneg-uneg hatinya. Haliza, belum mengabarinya sejak kepergiannya tiga hari yang lalu.
"Kakak..." tegur anak ABG itu lagi, seperti memprotesnya.
"Oh, ya!" Garsini tertawa. "Hanya relawan, menggantikan seorang teman," sahutnya riang sambil menunjukkan sudut teknologi mutakhir Jepang.
"Baiklah, Saudara-saudara. Produk-produk digital memang sangat mendominasi koleksi museum ini. Anda sekalian bisa lihat di sekitar kita ini, tampilan mesin deteksi kode genetik, robot penghibur, penginderaan jarak jauh, kendaraan imajiner. Menjadi wakil peradaban di masa depan melalui miniaturnya yang ditampilkan di museum ini." Garsini berhenti karena ditempel terus oleh si ABG yang pakai kaos dagadu itu.
"Kakak pasti orang Indonesia, ya kan" Aslinya dari mana siiih"" tanyanya berbisik penasaran, dibarengi dua rekannya.
"Iya, kami lagi taruhan nih, Kak," sambar rekannya.
"Pasti dari Jakarta! Soalnya kelihatan sangat modern, tapi." cetus teman satunya pula, malu-malu dalam bahasa Inggris parah yang pernah Garsini dengar. Matanya seolah-olah ingin melanjutkan, "Kenapa sih mesti pake baju dan jilbab kayak gitu" Noraaak!"
"Gamping Kidul," Garsini menahan geli kala melihat mata ketiganya membelalak tak percaya. Pasti itu desa orang tuamu, ya Dik" Ia jadi ingat seorang teman sastrawan ibunya, Joni Ariadinata.
Belum lama Mama menceritakan melalui email, katanya tampil bareng Joni Ariadinata, Putu Wijaya dan Sutarji Calzoum Bachri di sebuah SMU berasrama. Agaknya kini Mama sudah diizinkan beraktivitas penuh sebagai penulis oleh Papa. Alhamdulillah.
*** "Apa katamu tadi, hemm"" Peter, entah dari mana kok sudah muncul di belakangnya."Rasanya berbau Yogyakarta tuh..." Ketiga anak baru gede itu seketika menyingkir, jeri juga rupanya melihat Peter yang tegap dan kekar bak bodyguard. Kini menjejeri Garsini dengan gagahnya bak Gatotkaca tanding laga.
"Bukan apa-apa," Garsini kembali memusatkan pikiran untuk kepuasan para pengunjung. Bagaimana dia bisa sampai di sini, ya, pikirnya keheranan.
"Museum ini dirintis oleh astronout kebangsaan Jepang, Mamoru Mohri. Kami senantiasa terbuka untuk memamerkan inovasi-inovasi mutakhir dari masyarakat Jepang."
"Kalau dari negara kami, boleh juga kan"" ada yang nyeletuk lantang. Seorang gadis muda kulit putih berambut pirang, bermata hijau bak mata si Empus. Itu tuh kucing Butet, adik bungsu Garsini di Depok.
"Tentu saja boleh, hanya masalahnya." Garsini mengambangkan suaranya yang lembut, tapi jelas sekali terdengar oleh semua anggota rombongan itu. Mereka mendadak berhenti memperhatikannya.
"What's wrong, what's problem"!" cecar Nona Mata Hijau penasaran, sikapnya sinis bahkan cenderung melecehkan.
Kebanyakan orang Barat cenderung mudah curiga terhadap warga Muslim, di mana pun berada. Syukurlah, di Jepang ia tak merasakan kesulitan kaitan dengan status dan busananya. Karena kami juga tak begitu suka Amerika, mereka yang mempelopori membom kami dulu, kata Mayumi.
"Urang Amerika sigana mah, sombong kitu, euy!" (Orang Amerika kayaknya sih, sombong banget, oi!) gerutu Peter perlahan.
"What do you say"" sergah gadis bule itu memelototi Peter. "Dasar kampungan! Kamu tak bisa bicara bahasa orang-orang beradab, heh."!"
Peter naik pitam dengan wajah merah padam, langsung membalasnya memaki dalam bahasa Belanda, Jerman, Perancis, Spanyol bahkan Sunda, tapi sama sekali tak mencomot istilah bahasa Inggris sepatah kata pun. Beberapa detik suasananya terasa mendadak tegang dan gerah. Kedua anak muda itu tahu-tahu sudah berhadapan secara frontal. Garsini cepat menyelinap di antara sepupunya dengan bule yang semakin sarat amarah.
Kelihatannya orang-orang sudah bisa merasakan, si pirang telah dipermalukan secara telak oleh pemuda berwajah Japanesse tapi mahir berbahasa dunia itu. Buktinya gadis bule terlongong kaget dengan mulut menganga lebar. Tak sanggup membalas makian Peter, apalagi dalam bahasa dunia yang ditawarkannya.
"Makanya jadi orang jangan arogan begitu. Kalau begini jadi terbalik, siapa yang kampungan dan tak beradab itu, bukan"" ejek seorang lelaki paro baya dalam bahasa Inggris yang betul-betul bagus, menyemprot si pirang.
"Iya, mentang-mentang dari negeri adidaya."
"Hmm, sok menjadi hakim dunia saja!"
"Dikiranya cuma dia sendiri yang pintar!"
"Peace, peace, please, yeah"" seru Garsini menghimbau semua orang.
"Yeaaah! Peace! Peace...!" sambut orang-orang sambil tertawa dan kembali menikmati suasana sekitarnya. Kemudian mereka kembali bergerak mengamati ruangan demi ruangan, sudut demi sudut yang memang banyak barang teknologi inovasinya.
Diam-diam si pirang masih geram sendiri. Tak jelas lagi kepada siapa amuknya ingin diarahkan, pemuda yang merepet bicara dalam mega bahasa dunia" Atau gadis belia nan jelita berbusana Muslimah yang selalu tampak sabar, sarat percaya diri dan sangat cerdas menjawab setiap pertanyaan itu"
Mungkin dia marah kepada dirinya sendiri. Sebagai gadis Amerika yang bersikeras melancong ke Asia, meskipun sudah diwanti-wanti keluarga dan teman-temannya, agar dia mengurungkan niatnya melancong tahun ini. Asia, ada banyak teroris!
"Apa masalahnya"" cecar si pirang masih merasa penasaran, mengejar Garsini.
"Masalahnya sepele saja," sahut Garsini kalem. "Apa Anda sekarang membawa contoh teknologi inovatif untuk dipajang di sini""
Gerrr, seketika rombongan kembali tertawa riang. Mungkin amat simpati melihat usaha keras Garsini dalam mencairkan ketegangan, yang memang semakin terasa memanas.
Si pirang akhirnya bungkam seribu basa dan diam-diam menyisihkan diri dari rombongan. Sampai selesai memandu, Garsini tak pernah melihat sosok pirang itu kembali.
"You look so. great!" lelaki paro baya kulit putih itu mengangguk hormat kepada Garsini saat akan berpisah. "Kalau di negeriku kamu sudah pasti akan mendapatkan banyak fasilitas pendidikan, Miss." Garsini hanya tersenyum samar, tak terjebak untuk meladeni tawaran kencan siapapun. Bahkan tawaran untuk mengetahui namanya.
"Dia Miss Indonesia!" seru Peter terdengar nyungkun dari kejauhan. Lelaki itu tak mempedulikannya, tetap tersenyum hangat kepada Garsini.
"Terima kasih banyak, ya, sampai jumpa di negeri kami," pria sebaya ayahnya itu segera bersikap bijak, kebapakan. Ia memaksa agar Garsini menerima tips dan kartunamanya.
"Insya Allah, terima kasih. tapi maaf, ini bukan hak saya," balas Garsini cepat dikembalikannya tipsnya dengan santun. Sehingga orang itu tak tersinggung, malah tertawa simpati.
"Kamu memang mengagumkan," pujinya tulus memberi penghormatan terakhir sebelum berlalu. Ia berhasil menyelipkan kartunamanya ke tangan Garsini dengan sangat santun.
"Kalau-kalau suatu hari kamu membutuhkan bantuan negaraku, Miss Indonesse." ujarnya dengan tatapa
n semakin mengagumi. Sekilas mata Garsini membaca kartunama bagus di tangannya. Profesor Charles del Pierro, guru besar sejarah dan filsafat dari Universitas Sorbone, Perancis. Saya sedang menjadi dosen luar biasa selama satu semester di Universitas Keio, tulisnya di belakang kartunama itu.
Apa peduliku, pikir Garsini dan apa maksudnya ini" Tapi entah mengapa ia kemudian menyimpan benda itu di saku gamisnya.
Bab 4 "Kamu... ugh, terlalu baik hati!" gerutu Peter dengan mimik tidak senang. "Kamu tahu, mereka orang Barat dan Amerika!"
"Apa salahnya dengan orang Barat dan Amerika"" Garsini agak tak enak mendengar sikap Peter yang terasa sinis. Ha, apa dia pikir dirinya bukan orang Eropa, ya" Padahal belasan tahun mukim di Holland bahkan kini sudah menjadi warganegara Belanda.
"Mereka sungguh arogan, memuakkan!" sungutnya geram dan ia balik menatap Garsini. "He, kenapa kamu memiliki hati bak pualam begitu, adikku""
"Mau tahu jawabannya"" Garsini melangkah kembali ke dalam, menuju lantai dua. Jadwal tugasnya hampir usai, seharusnya Mayumi segera kembali sesuai janjinya. Tapi gadis Jepang itu seperti sudah terbiasa suka terlambat setiap kali mereka janjian.
"Apa itu"" Peter mengejarnya.
"Iman dalam Islamku menghalangi diri ini agar tidak membenci siapapun."
"Ah!" sungutnya geleng kepala. "Nonsens, apa itu iman, apa itu agama""
Astaghfirulahal adziiim, gumam Garsini sambil menatap wajah sepupunya dengan amat iba dan prihatin. Apa yang telah kau dapatkan selama hidup di Eropa, Broer" Apa kabar Tante Arnie"
Seketika Garsini merasa Peter bukan sekadar berlibur datang ke Negeri Sakura ini. Ada sesuatu yang ingin dicari oleh anak muda itu. Entah apa!
Bayangan Mayumi berkelebat dari lantai bawah, langsung menghampiri Garsini dan meminta maaf. "Sumimasen, ada sedikit masalah. Nakajima-san urung naik pesawat, tak kebagian tiket." lapornya tersengal-sengal.
"Jadi"" Garsini menatapnya khawatir. Terbayang wajah Nakajima-san yang begitu merindukan keluarganya.
"Terpaksa pakai kereta di Tokyo Eki. Nah, baiklah kau bisa istirahat sekarang," sahut Mayumi dengan wajah merah bak buah tomat. Garsini belum sempat memperkenalkan sepupunya kepada gadis itu. Sebab Mayumi keburu tertegun dengan mata terbelalak, surprise.
"Kamu. Kenapa sendirian di sini"" desisnya memandangi wajah Peter lekat-lekat. "Pantas mereka histeris begitu." Garsini mengerutkan kening tak paham maksud sahabatnya. Tiba-tiba sayup kupingnya mendengar keributan dari bawah. Mereka tengah berada di lantai dua terhalangi oleh kaca pembatas balkon. Rombongan turis sudah bubar di luar, diantarkan oleh beberapa staf museum mengucapkan rasa terima kasih dan salam perpisahan.
Garsini penasaran dan melongok ke balkon melalui kaca jendela. Dibarengi oleh Peter yang mendadak seperti gelisah, tak paham dan bingung.
"Ada apa sih di bawah sana"" gumamnya bingung. Ia merandek urung mengamati suasana di bawah, tertarik untuk memperhatikan sepupunya. "Kamu ini kenapa mendadak aneh begitu""
"Ugh, anak-anak Nippon itu sudah sinting!" Peter tiba-tiba bagai baru teringat kembali, setengah berseru dan mengeluh menepuk jidatnya.
"Psst... kalo ngomong hati-hati dong! Ini kita lagi di Jepang, Broer!" tegur Garsini mengingatkan. Peter tampak masih menahan kesal, bersembunyi di belakang punggung sepupunya. Ia tak mempedulikan tatapan takjub dari Mayumi. Garsini balik heran dengan gerak-gerik Mayumi yang juga aneh, terus-menerus memandang kagum ke arah sepupunya.
"Hei, ada apa denganmu, Mayumi-san"" sergahnya.
"Sejak kapan kamu kenal selebritis"" balik Mayumi bertanya.
Garsini geleng kepala kian penasaran, matanya kini dilayangkan keluar jendela balkon. Ups, apa yang terjadi di bawah sana" Dari mana datangnya rombongan kawula muda itu" Para remaja dan pelajar telah berkerumun dan menjerit-jerit histeris. Mereka mengacung-acungkan pamflet, spanduk sambil terus meneriakkan yel-yel.
"Kami mau Takeshiii! Mau Takeshiii!"
"Takeshiiii, come oooon, joint us!"
"Jangan biarkan mereka menggantungku, Garsini, please." Suara Peter setengah memohon. Kepala Garsini mulai pening. Dipandanginya Mayumi yang masih mengamati se
pupunya dengan begitu cermat. Hingga tiba-tiba bibirnya menyunggingkan senyum simpul.
"Siapa kamu"" tudingnya tiba-tiba kepada Peter mendadak berubah ketus dan galak. "Kamu penyusup, ya" Kamu peniru bintang idola kami, Takeshi Kaneshiro.!" cerocosnya pula dalam bahasa leluhurnya yang kental.
"Nei, nei! He, ngomong apa cewek ini, Garsini" Kenapa dia begitu aneh kelakuannya" Bantu aku, Garsini!" seru Peter dengan wajah merah padam.
"Sebentar, sebentar. kamu sudah salah paham, Mayumi-san!"
"Bagaimana sudah salah paham" Aku tahu persis lelaki macam begini. Bergaya bintang film untuk menipu gadis-gadis lugu, para mahasiswi asing seperti kamu!" cerocos Mayumi semakin sengit.
Peter membelalak, ia mulai memahami duduk persoalannya berkat tudingan Mayumi dalam bahasa Inggris. Cepat-cepat dijelaskannya kepada Garsini, mulai dari pengalamannya sebelum sampai di tempat itu. Ia terpisah dari rombongan turis Belanda yang diikutinya.
Ketika celingukan itulah, mendadak ada serombongan remaja yang mengejar-ngejarnya sambil meneriakkan yel-yel. Rombongan itu kian bertambah dari saat ke saat hingga ia nyasar ke museum MeSci. Beberapa saat Garsini terpingkal geli, membayangkan Peter dikejar-kejar dan merasa dirinya seperti maling di negeri asing. Tentara Kerajaan Belanda berpangkat Sersan, aha!
"Bukannya menolongku malah menertawakan. Ugh, nggak ada yang lucu, tahu!" gerutu Peter sambil menggaruk-garuk kepalanya yang cepak. Peter baru saja melepas topinya, hingga Mayumi kini semakin jelas bahwa dia bukan orang yang dimaksud.
*** "Sorry, I'm verry verry sorry..." ucap Mayumi sambil membungkukkan badan berkali-kali.
"Euleuh-euleuh, boro-boro hayang seuri siah!"(Aduh-aduh, boro-boro kepingin ketawa lo!) sungut Peter lucu membuat Garsini kembali terpingkal geli. Sekaligus senang, ternyata Tante Arnie tak lupa mengajari putranya bahasa karuhun(leluhur) mereka. Ah, tapi kenapa Tante Arnie lupa mengajarinya agama"
Keributan di luar akhirnya bisa diselesaikan dengan baik. Para staf menjelaskan kepada kawula muda itu, bahwa yang mereka lihat bukan orang yang dimaksud. Dalam hitungan menit kerumunan di bawah pun bubar bertemperasan.
Apalagi ketika terdengar suara sirine mobil kepolisian yang sempat dipanggil pihak keamanan museum. Dalam sekejap sudah tak tampak lagi orang berkerumun di areal yang sama. Di Jepang orang masih sangat menghargai arti keamanan, ketertiban dan disiplin untuk mematuhi peraturan, undang-undang. Satu pelajaran berharga yang bisa segera dipetik Garsini begitu sampai di Negeri Sakura ini.
"Huuu. memangnya siapa sih si Takeshi itu"" berungut Peter.
"Bintang film Jepang yang lagi diidolakan para remaja," jelas Mayumi.
"Kok kamu nggak tahu itu, Garsini"" tanya Peter menatap sepupunya keheranan.
"Karena aku bukan anak gaul," sahut gadis itu singkat. Hari itu mereka kembali ke Tokyo bertiga. Mayumi memaksa untuk mentraktir makan malam sebagai ucapan rasa terima kasih dan penyesalannya.
"Kamu bisa menginap di rumah kami selama liburan, Garsini," kata Mayumi. "Aku sudah bicarakan ini dengan ibuku dan dia setuju."
"Bagus!" sambut Peter senang. "Di asrama kamu cuma sendirian, nanti ada orang jahat menyerobot, lho!"
*** "Kalau begini, aku betul-betul akan pensiun dua kali," keluh Matsua-san, kakek ceriwis itu, sementara rekan-rekannya tak henti melontarkan pengaguman dan pujian kepada Garsini.
Mereka sedang istirahat setelah menyelesaikan tugas hari itu. berkemas-kemas untuk pulang. Ini hari kelima Garsini bekerja sebagai relawan menggantikan Nakajima-san. Ternyata Mayumi hanya pada hari pertama saja bisa menemaninya. Selebihnya Garsini berjalan sendiri menunaikan tugas-tugasnya di museum ini.
"Saya akan kembali hari Senin. Setidaknya sampai Nakajima-san pulang dari Saporo," ujar Garsini kepada mereka sebelum berpisah. Tinggal dua orang stafnya, Tom Noda-san dan Matsua-san. Lainnya sudah bubar sejak beberapa menit berselang. Kedua kakek ini tinggal di kawasan museum sedang lainnya harus menyeberang dengan boat ke kota.
"Dia tidak akan pulang besok. Kudengar ada taifun di Selatan," kata Tom Noda sambil berjalan ke luar. "Apa kamu tidak ba
ca koran hari ini, Garsini-san""
"Hah! Mana sempat dia baca koran" Kerjanya cuma mengotak-atik teknologi inovasi di ruang milik Nakajima-san itu. Jangan-jangan sebentar lagi si Robocop bakal lenyap dari MeSci," celetuk Matsua-san, seperti biasanya nyinyir dan sinis.
Tubuh kecil Matsua berusaha mengimbangi kesigapan jalan rekannya. Garsini membiarkan kedua sepuh itu berjalan di depannya. Si Lidah tak bertulang yang tak punya kerja lain kecuali menikam anak-anak muda, kata Mayumi bila sudah jengkel sekali dengan perkataan tajamnya.
Tom Noda-san memelototinya."Jangan begitu!" tegurnya dan tersenyum minta maaf kepada Garsini."Sudah, biarkan saja, jangan dengarkan dia ya, Nak."
Garsini tersenyum lembut dan ikhlas."Tidak apa-apa," katanya kalem."Pak Matsua sungguh benar. Saya sangat tertarik dengan penemuan-penemuan baru di ruangan itu. Terutama Robocop-nya, kalau tak ingat itu kesayangan Pak Matsua, tentu sudah lama saya gondol ke negeri saya."
"Di mana negerimu yang aneh itu"" Matsua-san kali ini tertarik.
"Indonesia, termasuk wilayah Asia Tenggara. Kalian pernah menjajah kami selama tiga setengah tahun, ingat""
"Oooh...!" Ada yang terbanting dari atas kepala bulat yang sering terangkat angkuh itu. Garsini sudah tahu sedikit ikhwal Matsua dari Tom Noda. Matsua mantan veteran perang yang telah banyak kehilangan. Keluarganya tak tersisa lagi satu pun, akibat keganasan bom yang dijatuhkan Sekutu di kampungnya Hiroshima. Padahal ketika itu Matsua sedang berjuang keras mempertahankan jajahannya di negeri seberang. Ironis memang!
"Sumimasen... aku tidak tahu kau gadis Indonesia," suaranya sesaat terdengar rapuh dan sarat permintaan maaf, kenangan dan kepedihan.
Detik itulah ada ikatan yang menghubungkan mereka, Garsini dengan Matsua-san. Awal persahabatan yang terjalin dengan cara unik. Sebab mengaitkan sejarah kelam kedua bangsa; bekas penjajah dan bekas jajahannya.
Di atas semua kepedihan dan sejarah kelam itu, di kemudian hari ternyata
masih ada yang tersisa dan tumbuh dengan baiknya, persahabatan nan indah.
*** "Aku harus cari tambahan uang saku untuk bantu keluarga," kata Mayumi. "Aku kan tak bisa mendapatkan beasiswa seperti dirimu." "Jadi kamu sekarang bekerja, ya"" "Begitulah." "Di mana"" "Blue Diamond."
"Di mana, dan tempat apa itu"" cecarnya ingin tahu. "Klab malam para eksekutif di kawasan Ginza." "Apaa"!" Garsini kaget.
"Jangan bilang ini kepada ibuku, please." pintanya memohon.
"Tapi kenapa mesti kerja di tempat seperti itu, Mayumi"" gugat Garsini.
"Kamu takkan mengerti kesulitanku, sudahlah, kumohon jangan bicarakan ini lagi, please, please." Kerap ada nada getir di sana. Garsini bahkan sempat menangkap rasa iri gadis itu akan keberuntungannya sebagai mahasiswa asing, yang datang atas beasiswa pemerintah Jepang. Bukan salahmu, hiburnya sendiri, kalau mampu tentu Mayumi juga bisa mendapatkan beasiswa itu.
"Tidak bisa. Sebenarnya aku enggan melanjutkan kuliah. Tapi demi ibuku yang mengharapkanku jadi sarjana, yah, kujalani juga dengan susah payah."
"Kurasa kamu terlalu rendah hati."
Mayumi dengan murung menggeleng. "Aku tidak sepandai kamu, Garsini-san. Makanya jurusan yang kuambil pun hanya sastra, itu tak dihargai mereka. Ya, seandainya saja aku memiliki otak sejenius kamu..."
Kalau sudah sampai di situ percakapan mereka, terasa ada jurang yang dalam di tengah keduanya. Untuk beberapa saat kebekuan menyelip dan itu sungguh tak mengenakkan. Akira, kakak semata wayangnya pulang kemarin. Mahasiswa ekonomi sebuah universitas swasta itu menyambut keberadaan Garsini dengan mulut tajam.
"Buat apa kau bawa gadis asing, perampok hak kita ke rumah ini, Mayumi"" sergahnya begitu mengetahui status Garsini di daigaku Tokyo.
Garsini sampai gemetar mendengar keketusannya, terutama sorot matanya yang bak mata elang itu. Seolah-olah sarat nafsu dan hasrat, mengancamnya, siap menerkamnya kapan saja.
"Tidak, kakakku bukan orang seperti itu. Dia hanya lagi kumat iri-dengkinya saja, tenanglah. Kau tetap tidur bersamaku, Garsini," hibur Mayumi.
Namun, sejak kedatangan Akira ke rumah keluarga kecil itu, Garsini merasa tidak nyaman. Ia mula
i mencari akal agar bisa keluar dari rumah sahabatnya dengan baik-baik, tanpa menyinggung nyonya rumah.
Sebaliknya Mayuko-san, perempuan sebaya ibu Garsini, menerima kehadirannya dengan senang hati. Ia bahkan lebih menganggap Garsini sebagai teman curah hati daripada sekadar tamu putrinya. Mengingat perilaku Garsini yang bijak dan tegar, serta mau bersabar menjadi pendengar yang baik. Mayumi memang selalu santun dan menghormatinya. Namun, belakangan ia semakin sulit diajak berbicara.
"Mayumi, entah apa yang dikerjakannya di luar sana. Selalu repot saja rasanya," keluh Mayuko pagi itu ketika sarapan. Mayumi telah berlalu dan tak mempedulikan gerutuan ibunya lagi.
"Mungkin ada tugas penting, Okusan," penghiburan yang disampaikan dengan lembut dan tulus itu membuatnya tersenyum kembali. Aduh, betapa tak enak mendustai seorang ibu yang amat mempercayai kedua anaknya secara meyakinkan ini.
"Sarapan apa kali ini, Okusan"" Akira baru muncul dari kamar, belum cuci muka dan gosok gigi langsung bergabung untuk sarapan. Hingga Garsini bisa membaui hawa tak sedap meruap dari tubuhnya yang tinggi kurus.
Sebelum dijawab Akira mengamati hidangan di depannya. "Huuu, selalu ini ke ini saja. Apa tidak ada makanan lainnya"" tanyanya ketus tanpa sopan santun sama sekali.
"Tenang, ada sesuatu yang spesial kusiapkan untukmu, Nak." Okusan tergopoh-gopoh mengambil makanan lain untuk putranya tercinta. Putra yang selalu dibangga-banggakannya kepada siapapun, termasuk kepada Garsini bila mereka berbincang. Hingga kerap Garsini merasa tak enak hati, di mana nama putrinya tersimpan di hati Mayuko"
Pilih kasih yang selalu mengingatkan Garsini akan traumatisnya sendiri di masa kecil hidupnya. Bahkan hingga saat-saat terakhir keberangkatannya ke Jepang. Masih ada gamang di hatinya, sungguh telah tuluskah Papa mengasihi diriku"
"Kapan kamu pergi dari rumah kami, hemm"" tanya pemuda itu tiba-tiba.
Garsini tersedak dengan wajah pucat pasi. "Sumimasen. Apa Kakak mengusirku"" tanyanya sesaat secara kilat mereguk minumannya, reflek pula menyingkirkan mangkok makanannya.
"Oh, jangan bicara begitu, Anakku," Okusan kembali bergabung dan meletakkan sepinggan makanan kesukaan putranya. "Kami senang Garsini-san tinggal di rumah ini." Naaah kan, di mana penganan itu disembunyikan saat Mayumi hendak makan tadi" Pantaslah Mayumi kian suka bepergian, secepatnya meninggalkan rumah sejak kedatangan kakaknya.
"Apa Okusan sudah bosan dengan kami berdua"" tukas Akira ketus sekali dan terasa sangat menusuk hati. "Mentang-mentang dari universitas terkenal tuh, maunya jadi anak Okusan juga," ejeknya diarahkan kepada Garsini.
"Akira," tegur Mayuko lembut sambil tersenyum minta pengertian Garsini."Jangan bicara begitu di depan tamu kita, Anakku."
"Sudah, jangan ganggu, aku mau makan sendirian di sini!" usir Akira tanpa perasaan.
Okusan sesaat merasa bingung, malu dan iba kepada Garsini. Tapi ia sungguh tak berdaya, bahkan sekadar membela gadis itu. Garsini yang paham suasananya, cepat menyingkir tanpa bicara sepatah kata pun.
"Maafkan dia, ya Nak, sejak datang uring-uringan terus. Mungkin karena kami belum bisa membekalinya sejumlah uang yang diminta," kata Okusan ketika mengantar Garsini berangkat. Garsini mengangguk maklum, kemudian disentuhnya pergelangan tangan Okusan.
"Nanti malam saya ada acara dengan sepupu. Jadi kemungkinan tak pulang ke sini, Okusan, boleh ya"" katanya santun. Ia menyelipkan sejumlah uang ke tangan wanita itu. Okusan kali ini tidak menolaknya, tak seperti saat pertama kali Garsini melakukan serupa.
"Baiklah, ini untuk belanja besok," ujarnya malu-malu dan cepat menyembunyikan uang itu ke saku gaun rumahnya. Diantarnya Garsini sampai teras.
"Nah, ini Tokyo, Nak, selalu waspada, ya"" kata perempuan yang pernah bekerja menjadi geisha di masa mudanya itu. Kini ia buruh sebuah pabrik elektronik di luar kota.
Detik ini betapa ingin Garsini memeluknya erat. Wajah Okusan yang bingung, tak berdaya dan tampak ringkih itu, aduuuh, sungguh! Mengingatkan Garsini kepada Mamanya sendiri. Di mana sesungguhnya pria yang seharusnya bertanggung jawab akan segala kesuli
tan keluarga itu" "Dia seorang pejabat tinggi, tapi Okusan tak pernah mau bilang di mana keberadaannya kini. Aku hanya mengenalnya dari potretnya. Dia lelaki tak bertanggung jawab, hanya menginginkan Okusan ketika masih cantik dan segar," gerutu Mayumi suatu kali.
"Kalian tak pernah bertemu""
"Aku masih bayi ketika dia pergi. Kak Akira lumayan sudah tujuh tahun, jadi masih ingat wajahnya. Bahkan suatu saat dia bertekad untuk menyambanginya ke istananya!" Lelaki itu sudah memiliki istri dan anak ketika bertemu dengan Mayuko. Kisah selingkuhan begini selalu mendatangkan banyak kerugian di berbagai pihak. Terutama anak-anak dan. argh!
Tiba-tiba Garsini teringat kembali affair ayahnya dengan Sintia. Tubuhnya seketika terasa dingin. Bagaimana seandainya hubungan itu berbuah dan Sintia mesti menanggung aib itu, seorang diri" Pikiran itu membuatnya gelisah dan ia cepat menghentikan sebuah taksi yang melintas di depannya.
"Sendai made itte kudasai..."(Tolong antar saya ke Sendai...) katanya sambil menghenyakkan tubuhnya yang letih di jok belakang.
Bab 5 Malam mengapung di musim semi Negeri Sakura, terasa senyap. Taksi berhenti di depan asrama putri daigaku Tokyo. Sopirnya seorang lelaki tua dan mengerling khawatir ke arah Garsini. Gadis ini telah memintanya diantar ke Sendai, berhenti sebentar di suatu tempat, kembali mencarternya dan minta diantarkan ke lain arah. Suatu pemborosan sia-sia hanya dilakukan orang yang sedang bingung.
"Sungguh mau turun di sini, Nona"" tanyanya seperti meragukan permintaannya.
"Iya, di sinilah saya tinggal, Pak. Tolong, berapa harus saya bayar"" Terdorong rasa iba agaknya, sopir itu menyebutkan separuh harga dari tarif resmi. Garsini menyodorkan ongkosnya dan mengucapkan terima kasih.
"Tapi gakusei-san...!" serunya masih menanti kalau-kalau gadis berbusana aneh itu mengubah keputusan. "Apa tidak takut sendirian di situ" Bagaimana kalau ada orang jahat menyerobot ke dalam kamarmu""
Garsini melambai mengisyaratkan agar tidak perlu mengkhawatirkannya. Ini bukan kali pertama dirinya tinggal di asrama sendirian. Meskipun rekan-rekannya sudah sering kali mengingatkannya tentang kemungkinan itu. Kenekatan para kriminal yang menyasar ke kawasan asramanya.
Bukankah ada satpam, Ojira-san yang baik hati di sini"
"Tidak, sampai hari Senin Ojira-san takkan bertugas jaga malam di sini," kata seorang rekannya, menyambut Garsini dan membukakan pintu untuknya. Beberapa detik jantung Garsini seakan berdegup kencang. Ia melihat ke sekitarnya, uuuh, begitu senyap dan lengang. Hanya dirinya dan lelaki muda itu yang tinggal di sini.
"Jangan khawatir, saya ada bersama seorang teman gantikan tugas Ojira-san" katanya seperti bisa membaca pikirannya.
"Dan kami tahu, Nona mahir sekali taekwondo." tiba-tiba seorang rekannya muncul, entah dari mana. Degh!
Garsini ingat kepada lelaki bertubuh kerempeng ini. Dia kan lelaki yang suatu hari pernah mencoba melecehkan Haliza dengan mencolek pipinya. Garsini yang berada di samping gadis Malaysia itu, langsung menggebraknya dengan satu jurus taekwondo andalannya. Sejak saat itu seluruh penghuni asrama mengetahui, dirinya seorang taekwondoin handal dari Indonesia.
"Sungguh, percayalah kepada kami," kata pemuda yang pertama muncul. "Kami selalu hormat kepada gadis yang mahir ilmu beladiri. Begitu kan, Yoshiro-san""
"Yentu saja begitu, Sagura-san. Baiklah, konbanwa Miss Indonesu..." Garsini hanya tersenyum samar, membalas salam selamat malam keduanya dengan santun, meskipun dalam hati mendadak ada bimbang. Bagaimana kalau kedua lelaki ini mengcincarnya, karena merasa dipermalukan dan ingin balas dendam" Seharusnya ia lebih berbaik hati, ah, tapi. sudahlah!
Telanjur, sosok tegap bertato di lengan yang tampak kekar itu telah lenyap di kegelapan. Berdua berpelukan sambil terkekeh-kekeh, terdengar misterius di telinga Garsini. Begitu pula taksi yang mengantarnya tadi, entah sudah sampai di mana saat ini.
Garsini seketika merasa telah terjebak di dunia asing. Seorang diri, oh, tidak, pekiknya dalam hati. Allah, Allah, senantiasa ada cahaya Ilahi di mana pun dirinya berada. Demikian selalu k
ata Mama dan ia sangat meyakininya.
Benar saja. Satu malam pun telah berlalu dengan sempurna. Tak ada kejadian apa-apa selain sekitar dua jam ia tak bisa memejamkan mata, tapi
akhirnya tertidur juga setelah melakoni shalat lail.
*** Garsini terbangun oleh dering weker yang distel tepat waktunya untuk shalat subuh. Alhamdulillah, sungguh Maha Pengasih Engkau, bisiknya kala bersujud mencium sejadahnya. Begitu banyak nikmat-Mu yang telah Engkau curahkan kepada hamba.
Air matanya berlinangan menyambut awal pagi yang baru, masih di musim semi yang memberi banyak semangat dan harapan kepada dirinya.
Nikmat-Nya mana lagi yang tak tercurahkan kepada dirinya" Bahkan baru saja Sagura-san mampir, menanyakan keadaannya dan mengantar titipan penganan dari istri Ojira-san untuknya.
Ini sungguh membuat Garsini tertegun dan semakin mensyukuri nikmat Allah. Inikah buah iman sebab shalat duha yang telah kulakoni beberapa menit lalu, Ya Robb"
Kriiing.! Garsini tergopoh-gopoh menghampiri telepon di ruang depan. Ia tidak memiliki HP sampai saat itu. Meskipun seluruh temannya hampir tak ada yang tidak memegang HP. Ia bisa saja membeli benda itu kalau mau, tapi begitu hemat dirinya. Hanya karena ingin mengirim sedikit dari sisa uang saku per bulannya untuk kedua adiknya di tanah air.
"Lagi apa kamu dan ada di mana"!" seru suara cemas di telepon.
"Baru sarapan di kamarku di asrama." Garsini menelan sisa bubur ayam lezat bikinan istri Ojira-san di mulutnya. Ia harus mampir ke rumah keluarga yang baik hati itu nanti.
"Aduuh! Sendirian ya" Kamu ini sungguh menantang bahaya!" umpat Mayumi.
"Be calm please, aku masih segar bugar, alhamdulillah."
"Apa itu, hei" Kamu tahu, sepanjang malam sepupumu menelepon ke sini, menanyakan dirimu. Aku tak sempat berpikir kalau kamu berani tidur di asrama malam tadi. Kupikir kamu jadi menginap di rumah, siapa itu temanmu gadis Arab""
Ayyesha yang dimaksud Mayumi, bukan gadis Arab melainkan Muslimah Palestina. Garsini baru mengenalnya beberapa hari yang lalu. Mereka langsung menjadi akrab berkat simpul kasih Islam. Ayyesha mengajaknya bergabung dengan kelompok kajiannya, untuk lebih menguatkan lagi ukhuwah mereka.
Garsini merasa surprise dan senang sekali bisa memiliki kelompok kajian, seperti komunitas Rohisnya di F-Mipa UI dulu. Sayang sekali ia terpaksa harus menangguhkan kunjungannya, sebab belum punya waktu untuk mampir ke apartemennya.
Kemarin petang Garsini datang terlambat satu jam. Ayyesha sudah berangkat lebih dulu bersama kelompok kajiannya ke Okinawa. Mereka hendak melakukan baksos di suatu tempat di Okinawa, menyambut kedatangan rombongan para pengungsi Palestina.
"Peter, di mana dia sekarang"" Garsini baru teringat lagi akan sepupunya yang melancong bersama rombongan turis Belanda. Mereka keliling Jepang dengan kereta peluru
"Katanya terpisah dari rombongan turisnya, baik sebentar kusambungkan kalian. Sorry, ya Garsini-san, kurasa sepupumu itu aneh. Eeh, kedengarannya dia ada kesulitan dan butuh bantuanmu, hmm, sebentar."
Garsini menanti dengan berdebar. "Moshi-moshi..."(Hallo, hallo...)
Peter, rasanya kamu jadi kebiasaan terpisah dari rombongan, ya" Sejurus kemudian terdengar suara Peter yang gugup, bingung dan takut. Sehingga hati Garsini tercekat dan jantungnya berdebur keras. Bagaimana kalau terjadi sesuatu atas diri sepupunya itu" Putra semata wayang Tante Arnie, menurut Mama adalah pelita hati wanita super enerjik di suatu hal, tapi rapuh di beberapa hal lainnya itu.
"Datanglah ke sini, Garsini, please." pintanya memohon.
"Iya, tapi tenang, tolong ceritakan apa yang terjadi denganmu""
"Aduuh, Garsini, aku merasa demam tinggi. Parah sekali, rasanya aku mau mati saja. cepatlah ke mari, Garsini, please, please. Demi Tuhanmu Yang Maha Pengasih, dan katamu selalu mencurahimu berkah dan hidayah-Nya itu!" erang Peter bergetar bak tengah terserang gigilan hebat.
"Baik, insya Allah aku akan berusaha membantumu. Kumohon kamu harus tenang, tabah, ya Broer," bujuk Garsini jadi ikut gentar. Peter menyebutkan sebuah alamat hotel kecil di Hiroshima.
*** Setelah sepanjang siang itu bersama Mayumi berusaha keras
mendapatkan kartu pas kereta peluru, Garsini hampir menyerah. Rencananya ia akan menuju Hiroshima dengan kereta peluru itu agar cepat sampai. Kalau pakai pesawat uangnya tak mencukupi.
Jadi, ia menemani Mayumi untuk menemui beberapa orang penting. Mereka kenalan Okusan dulu, kata Mayumi, tapi ternyata tak ada seorang pun yang mau mempercayai ucapannya. Beberapa malah sempat melecehkan kedua gadis itu, melalui ucapan yang miris di kalbu.
"Sudah, jangan teruskan!" kesah Garsini begitu keluar dari pintu terakhir yang mereka singgahi. "Lelaki-lelaki di dalam itu. aduuuh! Beraninya kamu mengajakku ke situ, Mayumi!"
"Sumimasen. Aku juga tak mengira begitu kejadiannya. Brengsek sekali tua bangka itu, ya!" Mayumi menyatakan rasa penyesalannya yang dalam.
Mentari musim semi terasa tak hangat lagi. Gerah, menggigit ubun-ubun. Arakan kapas di langit masih berwarna putih, tapi sudah bersemu kelabu. Garsini masih melihat ekor mata sahabatnya menatap geram ke belakang.
Itukah rumah geisha, tempat dulu Mayuko-san bergelimang nista"
"Ayo, pulang saja!" Garsini menarik lengan Mayumi menuju stasiun terdekat. Ia tak ingin Mayumi larut dalam rasa malu mengingat aib masa lalu ibunya.
Mayumi seperti bisa menebak pikirannya, tertawa sarkastis kemudian berkata tajam, "Ibuku pasti senang kalau lihat kemunculan kita yang tiba-tiba macam tadi. Kenapa tidak sekalian ditawarkan saja kepada para lelaki hidung belang itu.""
"Mayumiii! Itu sama sekali tak lucu!" sergah Garsini dengan wajah mengeras. Teringat ibu Mayumi, saat-saat begini tentu saja sedang bekerja keras di pabrik. Polusi apakah yang ada di pabrik itu, hingga Mayuko-san semakin parah batuknya"
Kedua gadis itu sudah menaiki kereta kembali ke Tokyo Eki, karena tanpa mereka sadari telah berjalan amat jauh. Sehingga baru mereka sadari lagi kala sudah berada di luar kota. Untuk beberapa lama tak ada yang bicara. Secuil pengalaman tak nyaman itu, betapapun telah membekaskan luka di hati keduanya. Luka hati mereka mengenang para wanita, kaumnya yang pernah terjebak di rumah geisha itu.
Keduanya masih terbilang remaja belia, Garsini belum delapan belas sedang Mayumi sembilanbelas. Mereka masih amatlah lugu dalam hal perikehidupan. Sekalipun Mayumi selalu gembar-gembor tentang kebebasan yang ingin diraihnya, tapi baru sebatas di mulut.
Otak Garsini mendadak dipenuhi macam-macam pikiran. Namun, seribu pikiran segera raib tersilih oleh satu titik persoalan. Kartu pas itu, keluhnya, rasanya hanya benda itu yang bisa membawanya ke sisi sepupunya. Secepatnya.
Ia baru mengetahui sekarang, betapa sulit mendapatkan kartu pas agar bisa naik kereta peluru. Ternyata kartu pas itu hanya diberikan kepada para tamu penting, turis asing dan diperoleh dari negara asal mereka.
"Kenapa kamu baru tahu sekarang"" Mayumi buka suara kembali. Garsini menangkap rasa jengkel dalam nada suara sahabatnya. Namun, ia tak melihat apa-apa selain gurat kecewa di wajah bak porselin itu.
"Yah, entahlah." Garsini angkat bahu mulai jenuh dan lelah.
***

Kapas Kapas Di Langit Karya Pipiet Senja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suasana di kereta sedang jam-jam sibuk. Padat sekali oleh penumpang. Apa bedanya dengan saat menaiki KRL Depok-Kota, pikirnya. Rasanya sama saja kalau urusan padat pepatnya. Kalaupun ada perbedaan mencolok adalah perihal perilaku kebanyakan para penumpangnya. Di mana-mana orang Jepang memegang koran, buku, majalah, pendeknya bacaan. Itulah yang jarang dilihat Garsini di KRL Depok-Kota.
"Apa tak ada yang beri informasi kepadamu dulu"" cecar Mayumi.
Garsini menggeleng. Ia bahkan hampir tak ingat lagi hal-hal tetek bengek saat keberangkatannya. Terlalu banyak masalah melibat hari-hari terakhirnya di Indonesia. Keluarga, Sintia, Papa, Mama, Selly. Gilang. semuanya di luar kepentingan pribadinya. Dan begitulah agaknya dirinya tercipta!
"Bagaimana dengan orang Jepang sendiri untuk mendapatkannya"" tanya Garsini jadi penasaran juga dengan kartu pas itu.
"Hanya orang-orang tertentu yang memilikinya, para pejabat tinggi, eksekutif, pebisnis. Orang awam macam kami ini, yaaah!"
"Ooh." Bibir Garsini membentuk bulatan. Mayumi mengangkat bahu. Garsini tetap tak paham dengan sistem begini. Adakah h
al begini di negerinya" Selain KKN, megakorup yang telah dicapkan kepada Indonesia oleh pers dunia"
Suasana di dalam kereta baru terasakan nikmatnya ketika sudah agak lowong. Ini kereta full AC yang amat bersih dan terawat. Mirip kereta eksekutif jurusan Kota-Bogor. Garsini menghirup kenikmatan itu sepuas-puasnya, seolah ingin mengisi seluruh ruang pepat dan jenuh di paru-parunya.
Seketika ada keharuan yang menyungkupi hatinya. Ia sangat terharu bisa menikmati anugerah-Nya ini, menikmati segala macam kecanggihan dan fasilitas teknologi tinggi yang dimiliki Negeri Sakura. Hampir semuanya serba gratis. Subhanallah!
"Ada apa"" Mayumi menanyainya heran.
"Kereta kalian, maksudku yang kalian hibahkan kepada Indonesia, hampir tak pernah kunikmati," ucap Garsini asal bicara.
"Kereta apa" Hibah apa" Aha, otakmu mulai tak beres agaknya ya"" Mayumi cekikikan.
"Psst... siapa bilang"" Garsini berlagak marah dengan membelalakkan matanya yang bagus. "Malah kamu yang tak peduli, berapa banyak jumlah kereta yang dihibahkan pemerintah Jepang kepada Indonesia. Ayoooo, kalau tahu bilang ya!"
Mayumi semakin tergelak geli. Beberapa penumpang pria menoleh ke arah keduanya. Paras Garsini memerah dadu, ia menundukkan wajahnya tersipu malu. Keberadaan mereka, perilaku mereka telah memikat perhatian beberapa orang. Dalam hati, cepat-cepat ia mengucap istigfar, mohon ampunan-Nya.
"Segala kereta kamu pedulikan. hihihi!"
"Sudahlah, aku telah menduganya. Kamu memang tak pernah peduli hal-hal seperti itu," Garsini menukas sambil memperbaiki posisi duduknya, menyandar santai lalu menutup wajahnya dengan ujung jilbabnya. Sungguh lelah. Mayumi terdiam, mengira kelakuannya telah menyinggung hati sahabatnya. Maka, diam-diam ia memejamkan matanya. Kereta pun tiba di Tokyo Eki. Mereka keluar stasiun berjalan tanpa arah dan tujuan, semakin lelah dan bosan.
"Sumimasen, aku harus berangkat kerja sekarang," Mayumi terpaksa mengucapkan salam perpisahan. "Tapi aku janji nanti akan kuusahakan lagi. Mungkin di tempat kerjaku tahu-tahu ada yang memiliki benda menggemaskan itu, ya Garsini"" Gadis Sakura itu tertawa, janjinya terdengar tulus sekali.
Garsini amat terharu mendengarnya. "Kamu sahabatku yang terbaik, Mayumi-san," bisiknya tersekat di tenggorokan. Ia menyesali tudingannya di atas kereta kepada gadis itu.
Tentu saja Mayumi seorang gadis yang memiliki empati tinggi, kepedulian yang mengagumkan. Setidaknya terhadap keluarga dan para sahabatnya. Buktinya ia bahkan menanyakan alasan, mengapa Garsini tak bisa menaiki kereta hibahan Jepang itu.
"Kereta-kereta itu sangat bagus, jadi dinyatakan sebagai kelas eksekutif dengan harga yang tak terjangkau oleh saku kempesku," jelas Garsini tertawa sumbang.
"Kasihan kamu," Mayumi prihatin."Tentu bukan itulah tujuan pemerintah kami."
"Tentu saja," sahut Garsini cepat-cepat. "Sudahlah, lupakan itu! Tak seharusnya hal seperti itu kupikirkan lagi. Karena selama di sini aku bisa sepuasnya naik kereta macam itu. Bahkan kalau mungkin kereta peluru!"
Kali ini Garsini sambil tertawa riang seolah ingin menghapus segala ironi perikehidupan di masyarakatnya, rakyat miskin kota yang pernah digaulinya di Jabotabek dulu. Juga rasa kangen yang seketika menerjang kisi kalbunya. Kangennya terhadap Oneng, Ucik, Asep dan para penghuni rumah singgah pinggir kereta itu melebihi rasa kangennya terhadap keluarganya.
Menurut pikirannya kala itu, mereka lebih tak mungkin untuk meraih kesempatan yang dimilikinya saat ini. Bukannya bermaksud menduakan kehendak Ilahi, tapi ia hanya melihat kenyatan di depan mata. Orang-orang yang terpinggirkan itu, Allah. lindungi mereka!
Mata Garsini seketika memanas. Detik inilah ia diingatkan kembali untuk mensyukuri nikmat-Nya. Hingga dirinya kini bisa menikmati segala fasilitas super modern, melalui anugerah Ilahi dalam bentuk beasiswa itu. Oh, Allah, ampuni khilafku, jeritnya dalam hati.
Mayumi malah mengira Garsini menangis karena kecewa atas kegagalan mereka mendapatkan kartu pas. Sehingga ia tak bisa secepatnya mendampingi sepupunya, membantunya.
"Allahmu akan selalu memberi kejutan untukmu, kan begitu Garsin
i-san"" hibur Mayumi sambil menyentuh ujung jilbab Garsini.
"Bagaimana"" Garsini terheran-heran menatapnya dan cepat menghapus air matanya.
"Aku hampir meyakini bahwa kamu adalah gadis suci, gadis pilihan
Tuhan." "Pssst... Terlalu berlebihan, ah!" Wajah Garsini seketika bersemu merah.
"Jadi, kamu tidak apa!" Mayumi tertawa kembali dan tampak lega.
"Sudahlah, kukira sebaiknya Peter harus bertahan menunggu sampai hari Senin. Karena baru besok aku bisa naik bus jurusan Hiroshima. kereta api bawah tanah dan bus umum kan"" sahutnya pula pasrah.
Sementara Mayumi menuju tempat kerjanya di kawasan Ginza. Garsini pulang ke asrama sambil terus mencari akal, jalan keluar untuk memenuhi janjinya kepada Peter.
*** Garsini tak bisa melenyapkan kekhawatiran perihal Peter dari bilik kalbunya. Ke mana pun dirinya melangkah, apapun yang dikerjakannya, otaknya terus-menerus mengait kepada sepupunya itu. Ada yang sungguh membuatnya prihatin dan cemas. Getar suara sarat kesepian dan ketakutan di telepon itu, addduuuh!
Nuansa ketakutan, kesepian serupa itulah yang sering melanda rekan-rekan generasinya di Jepang. Seorang rekannya pernah bercerita tentang adiknya yang melakukan harakiri, penyebabnya hanya karena merasa ketakutan dan kesepian hidup di Tokyo. Tragedi macam itu bukan hanya sekali-dua didengarnya, tetapi sering dan itu sungguh amat menakutkannya.
Tidak, saudaraku tak boleh dibiarkan sendirian bahkan untuk beberapa jam sekalipun, pekiknya dalam hati. Kamu sumber harapan hidup ibumu. Tante Arnie, apa yang sanggup dilakukannya tanpa dirimu" Bingung dara itu menghentikan semua pekerjaannya, program inovatifnya yang teranyar. Ia meninggalkan laptop pinjaman dari Haliza. Beberapa saat mondar-mandir di sekitar kamarnya yang senyap.
Ia membuka tirai jendela kamarnya di lantai dua. Matanya menyergap nuansa malam musim semi menjelang musim panas. Arakan mega putih bak hamparan kapas lembut, pucat, lugas dan sungguh polos. Ia seolah menantang untuk dilukis. Ya, dilukis, kreasi, harapan dan impian... masa depan!
Pukulan Naga Sakti 23 Damar Wulan Karya Zuber Usman Tiga Pengemis Sakti 2
^