Pencarian

Karunia Mutiara Cinta 2

Karunia Mutiara Cinta Karya Bang Bois Bagian 2


usai darah dibersihkan, tiba-tiba sang Ayah sudah
menarik lengan Dewi dan membuat gadis itu
terpelanting. Seketika Dewi terkejut seraya menjerit
histeris, tubuhnya yang limbung langsung jatuh
tersungkur. Belum hilang rasa terkejutnya, mendadak
sebuah tamparan kembali mendarat di pipinya.
"Dasar anak tidak tahu diri! Apa kau mau
mencoreng muka orang tuamu, hah" Cepat katakan!
114 Apa yang sudah kau lakukan di luar sana"" tanya
Sang Ayah geram. "Tidak, Ayah! Dewi tindak melakukan apa-apa,"
bela Dewi sambil terus menangis.
"Jangan bohong! Ayo mengaku! Apa saja yang
sudah kau lakukan bersamanya"" tanya Sang Ayah
lagi seraya menjambak rambut putrinya.
Melihat itu, Bobby berusaha menolong.
"Sabarlah, Pak...! Se-sebenarnya kami memang tidak
melakukan apa-apa," kata
nya memohon. "Diam kau!!! Sekarang juga tinggalkan tempat
ini!" seru Sang Ayah murka.
"Tapi, Pak..." Tiba-tiba sebuah tamparan keras kembali
mendarat di pipi Bobby, dan ketika lelaki separuh baya
itu ingin menghajarnya, Dewi pun langsung menahan,
"Sudahlah, Ayah! Dia tidak bersalah, yang salah itu
aku," ratap Dewi seraya menarik lengan Ayahnya.
"Diam kau!!!" bentak Sang Ayah seraya
menghentakkan tangannya dengan keras. Tak ayal,
115 saat itu Dewi langsung terpelanting dibuatnya,
kemudian jatuh terduduk tak berdaya.
Sementara itu, Sang Ayah langsung menghajar
Bobby dengan pukulan yang cukup keras. Saat itu
Bobby tidak melawan, dia hanya pasrah menerima
perlakuan itu, hingga akhirnya dia pun jatuh terduduk.
Kini pemuda itu tampak merintih sambil berusaha
mengelap bibirnya yang berdarah dan terasa sakit,
saat itu dia sama-sekali tidak berusaha untuk bangkit.
"Awas! Kalau kau masih berani datang ke mari,"
ancam lelaki paruh baya itu seraya menghampiri Dewi
yang saat itu masih terduduk menangis, "Ayo, Wi!
Sekarang juga kau masuk!" seru Sang Ayah seraya
menarik lengan Dewi dengan paksa.
Saat itu, Bobby hanya duduk terpaku melihat
perlakuan kasar Sang Ayah, yang begitu tega-terus
menyeret putrinya masuk ke rumah. Sungguh hati
pemuda itu begitu pilu kala mendengarkan suara Dewi
yang saat itu terus meratap-memohon ampun. Lalu
dengan perasaan sedih, pemuda itu perlahan bangkit
dan bergegas pergi. Dalam hati, pemuda itu benar-
116 benar menyesal lantaran tidak bisa melindungi
kekasihnya. Sepulangnya dari Rumah Dewi, Bobby terus
memikirkan kekasihnya. Sungguh dia benar-benar
sedih saat kembali mengingat orang yang dicintainya
diperlakukan kasar oleh ayahnya sendiri. "Dewi...
maafkan aku, sungguh aku tidak bisa berbuat apa-apa
untuk melindungimu. Sebab, biar bagaimanapun,
beliau adalah Ayahmu, dan beliau berhak untuk
mendidikmu sesuai dengan caranya, walau aku
sendiri tidak setuju cara yang dilakukannya itu. Sebab,
masih banyak cara yang tak memerlukan kekerasan.
Kini aku hanya bisa berdoa dan mempasrahkan
semua ini pada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, semoga Ayahmu bisa segera menyadari
kekeliruannya. Wi... aku sangat mencintaimu, dan aku
berharap semoga kita bisa bertemu lagi. Aku percaya,
jika kita memang berjodoh tentu Tuhan akan
mempersatukan kita."
Lima Seminggu kemudian, di sebuah desa terpencil di
bumi Parahiyangan. Seorang gadis tampak
sedang mengendap-endap mendekati jendela kamar
Bobby. Lalu dengan perasaan was-was, gadis itu
segera mengetuk jendela yang masih tertutup rapat.
"Kak Bobby! Buka, Kak! Ini aku... Dewi," pinta gadis
itu pelan. Bobby yang saat itu sedang terbaring melamun
langsung terkejut dibuatnya, lantas dengan segera dia
membuka jendela kamarnya. "Aduh Dewi! Kenapa
malam-malam kau kemari" Kalau ayahmu tahu,
beliau pasti akan marah besar," katanya khawatir.
Kemudian pemuda itu menatap mata kekasihnya, saat
itu dia melihat sebuah pancaran mata yang seolah
meratap, meminta pertolongannya.
Kini pemuda itu tampak memberhatikan sebuah
ransel yang ada di punggung kekasihnya. "Lho,
118 kenapa kau membawa tas segala, Wi"" tanya
pemuda itu heran. "Kak" Cepat bawa aku pergi dari desa ini! Sebab,
tadi sore aku melihat pria yang ingin memperistriku
sudah datang. Besok pagi dia pasti akan menikahiku
dan langsung memboyongku ke Jakarta."
"A-Apa! Ka-kau akan dinikahkan""
"Benar, Kak. Aku akan dinikahkan dengan Pak
Wangsa, pengusaha kaya dari Jakarta. Karenanyalah
malam ini aku datang ke sini agar kau mau
membawaku pergi." "Kalau begitu, sebaiknya kau masuk, Wi! Kita
harus membicarakan masalah ini di dalam, sebab aku
takut ada orang yang melihat," pinta Bobby seraya
membantu kekasihnya menaiki jendela, dan setelah
menutup jendela itu rapat-rapat, akhirnya pemuda itu
sudah kembali berkata-kata. "Wi apa kau sungguh-sungguh ingin minggat"" tanyanya pada Dewi.
"Benar, Kak. Hal itu sudah kupikirkan masak-masak. Walaupun sebenarnya aku merasa berat
119 meninggalkan kedua orang tuaku, tapi... biar
bagaimanapun aku harus pergi."
"Wi... kalau Pak Wangsa itu memang pilihan
orang tuamu, kenapa kau tidak menurut saja
"" Mendengar itu Dewi langsung terkejut, kemudian
dia memandang Bobby dengan penuh kekecewaan.
Sungguh dia tidak menyangka, kalau orang yang
begitu dicintainya bisa berkata seperti itu. "Kak... Ke-kenapa kau membiarkan aku menikah dengannya" A-apakah kau sudah tak mencintaiku lagi"" tanyanya
lirih. "Bu-bukan begitu, Wi... Se-sebenarnya aku
sangat mencintaimu, dan aku tidak mau berpisah
denganmu. Tapi... karena ini keinginan orang tuamu,
terpaksa aku harus merelakannya. Sebab, biar
bagaimanapun juga mereka adalah orang tuamu, Wi.
Orang yang selama ini dengan penuh kasih sayang
telah merawat dan membesarkanmu. Sekali lagi aku
sarankan, sebaiknya kau mau menuruti kehendak
mereka, walaupun sebenarnya hal itu sangat
menyakitkan hatiku."
120 "Kak... Sebetulnya bukannya aku tak mau
berbakti kepada orang tua, namun ada hal lain yang
begitu membebani hatiku. Apa itu, Wi" tanya Bobby penasaran.
Ketahuilah, Kak. Selain aku tidak mencintainya,
ternyata Pak Wangsa itu sudah mempunyai tiga orang
istri." "Be-benarkah yang kau katakan itu" Lalu, dari
mana kau tahu kalau dia sudah mempunyai tiga orang
istri"" "Dari ayahku sendiri, Kak. Dan beliau sama
sekali tidak mempermasalahkannya."
"Lalu, bagaimana dengan Ibumu" Apakah beliau
juga setuju"" "Mulanya sih beliau tidak setuju, namun setelah
ayahku memberi pengertian, akhirnya ibuku setuju
juga. Karena kata Ayah, dia seorang pengusaha yang
kaya. Kalau aku menikah dengannya, hidupku akan
terjamin, dan aku pun akan hidup senang. Malah
orang tuaku telah dijanjikan sepuluh puluh ekor sapi
sebagai mas kawinnya."
121 "Wi, apa yang dikatakan ayahmu itu ada
benarnya. Ketahuilah...! Walaupun Pak Wangsa
sudah mempunyai tiga orang istri, tentu kau tidak
akan ditelantarkannya. Dia kan orang kaya, tentu dia
bisa bertindak adil dalam memenuhi nafkah lahir-batin
istri-istrinya. Selain itu, kau juga bisa membahagiakan
kedua orang tuamu, dan kau juga akan merasa
senang karena hidup serba berkecukupan."
"Justru itulah yang memberatkanku, Kak. Pada
mulanya sih aku rela menikah dengannya, demi
baktiku kepada kedua orang tua. Tapi, setelah aku
tahu kalau Pak Wangsa itu orang yang tidak
bertanggung jawab, lantas aku pun jadi berpikir dan
memutuskan untuk tidak menikah dengannya."
"Maksudmu dengan tidak bertanggung jawab itu
apa, Wi"" "Kak... biarpun dia itu orang yang kaya raya, tapi
dia tidak mempergunakan uangnya di jalan Allah.
Selama ini dia selalu mempergunakannya untuk hal
yang tidak baik, bahkan dia sering membuat istri-istrinya hidup menderita. Memang... pada mulanya dia
122 begitu sayang dan perhatian kepada istrinya. Tapi...
setelah tiga bulan menikah, istrinya akan
dicampakkan begitu saja-tanpa sedikitpun
memberikan perhatian dan kasih sayang, bahkan dia
tidak segan-segan bertindak kasar pada istri-istrinya.
Selama ini, istri-istrinya hanya dijadikan pemuas nafsu
birahi yang harus siap melayaninya kapan saja,
layaknya seorang budak yang dibeli untuk melakukan
itu." "Kau tahu dari mana, Wi""
"Dari Pak Amir, Kak. Dia itu kenal betul siapa Pak
Wangsa, dan dia memperingatiku untuk tidak menikah
dengannya." "Eng... Memangnya Pak Amir itu siapa""
"Dia itu supir pribadinya, Kak. Dan dia sangat
benci dengan prilaku tuannya yang tega berbuat
begitu." "Aneh... jika dia memang tidak suka, kenapa dia
masih mau bekerja dengannya""
"Karena salah satu istri Pak Wangsa adalah
orang yang paling Pak Amir cintai, dan dia pun
123 dipaksa menikah dengan Pak Wangsa menggunakan
alasan yang sama. Lantas untuk membalas sakit
hatinya, Pak Amir pun rela menjadi supir pribadinya
demi untuk menggagalkan usaha Pak Wangsa dalam
mencari daun muda di desa-desa. Dan terbukti,
selama ini Pak Amir memang selalu berhasil
menggagalkannya." "Eng... Kalau begitu, kenapa dia tidak bicara
dengan ayahmu""
"Dia tidak berani, Kak. Dia takut kalau ayahku
malah akan mengadukan hal itu. Maklumlah, ayahku
pasti akan lebih mempercayai Pak Wangsa yang
sudah begitu baik padanya.
"Kalau prilaku Pak Wangsa itu memang
demikian, tidak sepantasnya dia menikah denganmu,
Wi." "Kau benar, Kak! Karenanyalah aku berharap
agar kau mau membawaku pergi da
ri desa ini!" "Tapi, Wi. Aku sendiri tidak tahu harus
membawamu ke mana. Aku kan tidak mempunyai
uang, dan aku takut kalau kau akan menderita. Jika
124 aku membawamu ke Jakarta rasanya tidak mungkin,
apa kata ibuku nanti."
"Kak" Aku tidak peduli dengan segala
penderitaan yang akan kualami, tentunya selama aku
berada di sisi orang yang aku cintai"
"Hmm... Bagaimana ya, Wi..." Bobby tampak
berpikir keras, saat itu dia benar-benar bingung harus
berbuat apa. Karena rasa cintanya yang teramat besar,
akhirnya pemuda itu terpaksa harus mengambil
keputusan yang baginya begitu berat. "Baiklah... aku
akan membawamu pergi dari desa ini," katanya
seraya membelai lembut rambut kekasihnya dan
memeluknya erat. Kemudian tanpa buang waktu, pemuda itu
segera berkemas-kemas-mempersiapkan segala
keperluan dalam perjalanan nanti. Dan setelah
semuanya siap, mereka pun segera keluar kamar dan
melangkah mengendap-endap menembus gelapnya
malam. Saat itu, angin malam terasa begitu dingin,
namun hal itu tidak menghalangi niat mereka untuk
125 meninggalkan desa. Sambil terus bergandengan
tangan, keduanya tampak menyusuri jalan setapak,
kian menjauhi desa. Untunglah malam itu rembulan
bersinar terang, sehingga cahayanya mampu
menerangi jalan yang mereka lalui. Di kejauhan,
sayup-sayup terdengar suara burung hantu yang
membuat Dewi seketika bergidik, sehingga membuat
gadis itu semakin mempererat pegangannya.


Karunia Mutiara Cinta Karya Bang Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Esok harinya di rumah Dewi terjadi kegemparan,
kedua orang tua Dewi sangat kaget begitu
mengetahui putri mereka sudah tidak ada di
kamarnya. "Kurang ajar, berani benar anak itu!" kata ayah
Dewi seraya mencampakkan surat yang baru
dibacanya, "kalau nanti ditemukan, akan kuhajar dia."
Sementara itu, ibu Dewi hanya bisa menangis,
saat itu dia benar-benar merasa kehilangan putrinya.
Sedangkan Pria yang bernama Pak Wangsa merasa
126 sangat kecewa, saat itu raut wajahnya tampak begitu
geram. Mengetahui itu, ayah Dewi berusaha
meredakannya. "Maafkan prilaku putriku, Nak
Wangsa! Anak itu memang sudah sangat keterlaluan,"
katanya dengan nada menyesal.
"Sudahlah Pak! Biar aku saja yang menangani
masalah ini," kata Pak Wangsa seraya berjalan
menuju ke muka rumah. Saat itu, Ayah Dewi tampak masih mematung, di
dadanya berkobar kemarahan yang meluap-luap
lantaran ulah putrinya. Tak lama kemudian, istrinya
datang menemui dan langsung mengajaknya bicara.
Sementara itu, Pak Wangsa yang sudah berada di
muka rumah langsung memanggil seorang anak
buahnya, "Gahar! Sini kau!" perintahnya lantang.
"I-iya, tuan!" sahut Pak Gahar seraya berlari
tergopoh-gopoh menghampiri tuannya. "A-ada apa
tuan"" tanyanya kemudian.
"Lekas kau cari Dewi! Dan jangan kembali
sebelum dia ditemukan," pinta Pak Wangsa tegas.
127 "Ta-tapi Tuan," kata Pak Gahar lagi sambil
mesam-mesem. "Apa lagi, hah!" kata Pak Wangsa dengan wajah
yang masih terlihat marah.
"A-anu tuan. Eng... I-itu Tuan," kata Pak Gahar
seraya menggesekkan jari telunjuk dan ibu jarinya.
"Apa begitu-begitu" Mmm... uang maksudmu""
kata Pak Wangsa mengerti.
"Be-betul Tuan."
"Huh! Kenapa tidak bilang saja" Pakai bahasa
isyarat segala," kata Pak Wangsa seraya mengambil
uang dari dalam dompetnya," Ini..." katanya lagi
seraya meletakkan uang itu di telapak tangan Pak
Gahar yang sudah menadah, namun saat itu Pak
Wangsa tak langsung menyerahkannya. "Tapi ingat,
jangan kau gunakan uang ini untuk foya-foya! Karena
aku tidak akan memberikannya lagi, mengerti""
"Iya Tuan. Aku mengerti," kata Pak Gahar seraya
menarik uang dari tangan tuannya itu. "Kalau begitu,
aku berangkat sekarang Tuan," sambungnya
kemudian. 128 "O ya, ajak si Amir untuk menemanimu! Nah,
sekarang cepat pergi!" perintah Pak Wangsa pada
anak buahnya. Mendengar itu, Pak Gahar segera melangkah
pergi. Sementara itu, Pak Wangsa terus
memperhatikan kepergiannya. "O ya, Gahar! Jangan
kau kembali sebelum menemukan dia!" teriaknya
kepada Pak Gahar yang saat itu tampak sudah kian
menjauh. "Ehem...! Bagaimana, Nak Wangsa"" tanya ayah
Dewi yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelah Pak
Waksa. "Tenanglah, Pak! Aku sudah memerintahkan
anak buahku untuk mencarinya."
"Nak Wangsa. .. Sekali lagi Bapak minta maaf.
Sungguh Bapak tidak menduga, kalau Dewi akan
senekad itu." "Tidak apa-apa, Pak. Nanti juga si Gahar akan
menemukannya." Kini keduanya tampak duduk di kursi teras, dan
tak lama kemudian ibu Dewi tiba di tempat itu dengan
129 membawa dua cangkir teh. Pada saat yang sama, tak
jauh dari rumah Dewi tampak dua orang pria yang
sedang bercakap-cakap, mereka adalah Pak Gahar
dan Pak Amir. "Ayo Mir, kita berangkat sekarang!" ajak Pak
Gahar kepada sopir pribadi Pak Wangsa itu.
"Mari, Har!" balas Pak Amir seraya melangkah
mengikuti Pak Gahar yang kini melangkah ke tempat
beberapa ekor kuda sedang ditambatkan.
Tak lama kemudian, keduanya tampak sudah
menaiki kuda masing-masing dan segera memacunya
menyusuri jalan setapak. Sementara itu di rumah
Dewi, Pak Wangsa masih bercakap-cakap dengan
ayah Dewi. Saat itu dia tampak sedang berpikir keras
sambil memutar-mutar cerutunya. Hmm... kira-kira
ke mana Dewi melarikan diri, Pak" tanya pria itu
pada ayah Dewi. "Hmm... Apa mungkin Dewi bersembunyi di
rumah Bobby yang ada di Jakarta"" duga ayah Dewi
dengan kening yang tampak berkerut.
130 "Siapa Bobby itu, Pak"" tanya Pak Wangsa
seraya mengisap cerutunya dan menghembuskan
asapnya dengan sangat perlahan.
"Dia itu pemuda yang sudah berani memacari
anakku. Selama ini dia tinggal bersama pamannya
yang bernama pak Haris. "Hmm... jika demikian, tidak mustahil jika anak itu
membawa calon istriku ke rumahnya," kata Pak
Wangsa seraya mengusap-usap kumisnya yang tipis,
kemudian dia segera berteriak memanggil seorang
anak buahnya, "Dower sini kau!" panggilnya lantang.
Tak lama kemudian, orang yang bernama Dower
segera menghampiri, "I-iya Tuan. A-ada apa""
tanyanya terbata. Saat itu Pak Wangsa tidak menjawab, dia malah
menoleh pada ayah Dewi, "Pak" Sekarang tolong
Bapak beritahu rumahnya Pak Haris!"
"Baik, Nak Wangsa," kata ayah Dewi seraya
menjelaskan keberadaan rumah Pak Haris.
"Nah... Wer" Sekarang bawa beberapa anak
buahmu ke rumah Pak Haris. Tanyakan kepada dia
131 perihal rumah Bobby yang berada di Jakarta, kalau dia
macam-macam bunuh saja."
"Baik, Pak. Kalau begitu, aku segera berangkat,"
kata Dower seraya melangkah pergi.
Pada saat yang sama, Pak Wangsa dan Ayah
Dewi sudah kembali bercakap-cakap, sesekali
mereka tampak meneguk teh yang sudah mulai
dingin. Enam Di sebuah lembah, hamparan sawah tampak
membentang hingga ke kaki bukit. Saat itu di
atas pematang, Bobby dan Dewi tampak sedang
melangkah sambil bergandengan tangan. Di angkasa,
burung-burung pipit terlihat berterbangan sambil
berputar-putar di atas hamparan sawah, kemudian
bersama-sama turun untuk menikmati butiran padi
yang tampak sudah menguning.
Kini Bobby dan Dewi tampak berlutut di tepian
parit yang berair jernih, dan di parit itulah keduanya
mencuci muka-menghilangkan segala peluh yang
bercucuran di wajah masing-masing. Setelah itu,
keduanya kembali melangkah, menuju ke sebuah
pohon yang begitu rindang. Lantas, di bawah
keteduhan pohon itulah keduanya tampak duduk
beristirahat. 133 Kini Bobby tampak mengeluarkan air minum
yang dibawanya, kemudian bersama-sama melepas
dahaga. "Wi, lihatlah burung-burung itu! Mereka
tampak riang beterbangan ke sana-ke mari," unjuk
pemuda itu pada kekasihnya.
"Benar, Kak. Mereka terlihat begitu gembira
menikmati padi-padi yang menguning itu," timpal Dewi
seraya bersandar di dada kekasihnya, bersamaan
dengan itu Bobby tampak berpangku dagu di
kepalanya. Kedua muda-mudi itu terus bermanja-manja
sambil memandangi kawanan pipit yang masih saja
menari di tengah sawah. Kawanan burung itu terbang
bersama, sejenak berputar-putar di atas hamparan
padi, kemudian hinggap lagi untuk kembali menikmati
butiran padi. "Wi, aku mencintaimu," ucap Bobby seraya
membelai lembut rambut Dewi.
"Aku juga, Kak. Cintaku hanya untukmu," ucap
Dewi seraya mendekap tangan Bobby yang kini sudah
melingkar di pinggangnya.
134 "Wi" Aku sayang sekali padamu," ucap Bobby
lagi seraya menghirup harumnya aroma rambut Dewi.
Saat itu Dewi terpejam, merasakan hembusan
nafas yang terasa hangat, mengalir di sela-sela
rambut ikal mayangnya. Sungguh saat i
tu kedua sudah kembali melupakan Tuhan, yang mana
dampaknya akan mengotori hati sehingga manusia
menjadi lebih cenderung menuruti keinginan.
Setelah puas beristirahat, kedua muda-mudi itu
kembali melanjutkan langkahnya. Kini mereka mulai
menaiki bukit, saat itu di kanan-kiri mereka tampak
pepohonan rindang yang senantiasa melindungi
keduanya dari terik sinar mentari. Kedua muda-mudi
itu terus mendaki dan mendaki, hingga akhirnya
mereka tiba di sebuah pancuran bambu. Saat itulah
keduanya kembali beristirahat, duduk berdampingan
sambil menikmati suara gemercik air yang berpadu
dengan kicauan burung, dan bunyi serangga.
Nyaman sekali di sini ya, Kak, komentar Dewi.
135 Iya, Wi. Di tambah lagi dengan adanya dirimu di
sisiku, suasana di tempat ini sungguh semakin
bertambah nyaman. Ah, Kakak bisa saja, ucap Dewi tersipu.
Sebentar ya, Wi! Aku mau mengisi tempat
minum dulu, pinta Bobby seraya melangkah ke
pancuran untuk mengisi tempat minumnya yang
sudah kembali kosong. Tak lama kemudian, pemuda itu sudah kembali
menemui kekasihnya. Namun belum sempat pemuda
itu duduk, tiba-tiba dia melihat seekor kobra sedang
merayap persis di belakang Dewi. Jangan bergerak,
Wi! pinta pemuda itu memperingati.
Saat itu juga, jantung Dewi langsung berdegup
kencang, dalam hati dia sudah bisa menduga kalau
ada sesuatu yang mengancam jiwanya. Karenanyalah,
saat itu dia tak berani bergerak walau hanya sedikit.
Tak lama kemudian, Cepat kemari, Wi! pinta
Bobby lagi. Mendengar itu, Dewi langsung menurut. Dia
segera bangkit dan bergegas menghampiri Bobby,
136 kemudian memeluknya erat. Se-sebenarnya tadi ada
apa, Kak" tanya Dewi dengan disertai nafas yang
terengah-engah. Tenanglah...! Tadi itu cuma seekor kobra yang
sedang melintas di belakangmu, sekarang dia sudah
menjauh. Rupanya ular itu tidak menyadari akan
keberadaanmu, dan begitu mengetahuinya, dia pun
langsung lari terbirit-birit. O ya, sebaiknya sekarang
saja kita lanjutkan perjalanan!
Kini mereka sudah kembali melanjutkan
perjalanan, keduanya terus melangkah menyusuri
jalan setapak yang masih mendaki, hingga akhirnya
mereka tiba di sebuah tanah terbuka. Saat itu hari
sudah menjelang senja, sinar mentari pun sudah tak
menyengat lagi. Karena lelah, kedua muda-mudi itu memutuskan
untuk duduk beristirahat di sebuah batu besar yang
ada di tepian jurang. Sejenak mereka memandang
lembah yang begitu indah, saat itu di kejauhan terlihat
bukit hijau yang kini mulai berkabut.
137 Usai beristirahat sambil mengisi perut yang
terasa lapar, keduanya tampak berbincang-bincang
dengan penuh keceriaan. Tak lama kemudian,
keduanya tampak beranjak bangun dan berdiri di
tepian jurang, menikmati semilir angin sepoi-sepoi
sambil mengagumi keindahan alam. Saat itu, rambut
Dewi yang tergerai tampak terumbai-umbai tertiup
angin. Melihat itu, tanpa sadar Bobby sudah
menjamahnya, kemudian membelainya mesra dan
merasakan kelembutannya. Pada saat yang sama,
Dewi seketika merinding-merasakan belaian yang
begitu membuai jiwa. Lalu, tanpa sadar dia sudah
menatap Bobby sambil tersenyum manis. Saat itu,
Bobby pun membalasnya dengan tatapan yang
membuat Dewi kian tenggelam dalam candu asmara.
Keduanya terus saling bertatapan dengan penuh
hasrat bergelora, hingga akhirnya mereka pun saling
berpelukan erat.

Karunia Mutiara Cinta Karya Bang Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini Dewi sudah melepaskan pelukannya,
matanya yang bening tampak memandang ke arah
bukit yang begitu indah. Pada saat yang sama, Bobby
138 segera memeluknya dari belakang. Keduanya tampak
bermanja-manja sambil menikmati matahari yang
mulai tenggelam. Kedua muda-mudi itu terus menatap
bukit yang dihiasi bias mentari yang keemasan,
sungguh pemandangan yang sangat indah. Sampai
akhirnya sang mentari tenggelam di balik bukit dengan
dihiasi warna merah, jingga. Saat itu, tanpa mereka
sadari noda hitam di hati masing-masing tampak kian
melebar. "Bob, sebaiknya kita segera melanjutkan
perjalanan!" saran Dewi.
"Benar, Wi. Kita harus-cepat-cepat menemukan
tempat bersinggah," timpal Bobby seraya mengajak
kekasihnya meninggalkan tempat itu.
Kini mereka kembali menyusuri jalan setapak.
Saat itu malam tampak mulai menyelimu
ti senja. Dewi yang sedikit takut terlihat berpegangan erat pada
lengan kekasihnya. "Kak, apakah anak buah Pak Wangsa sudah
mengejar kita"" tanya gadis itu agak khawatir.
139 "Hmm... tentu saja. Tapi aku yakin, mereka
sudah salah jalan. Jika tidak, seharusnya mereka
sudah melewati jalan ini."
Benarkah" tanya Dewi Ragu.
"Benar, Wi. Namun jika mereka sudah menyadari
kekeliruannya, mereka pasti akan melalui jalan ini
juga"" Sambil berbincang-bincang, kedua muda-mudi itu
terus berjalan menembus gelapnya malam, menyusuri
jalan setapak yang kini mulai terlihat samar-samar.
Untunglah cahaya rembulan masih cukup membantu
keduanya hingga tetap berada di tengah jalan. Kini
mereka mulai memasuki gerbang perkampungan, di
kiri mereka tampak tebing terjal yang menjulang
tinggi, dan di kanannya terlihat jurang yang
menganga. Keduanya terus berjalan sambil tetap
memperhatikan jalan yang kini semakin tak terlihat.
Hal itu dikarenakan awan mendung yang kian
menghalangi rembulan. Kedua muda-mudi itu terus melangkah dengan
sangat hati-hati, sebab bila lengah sedikit saja,
140 mereka akan terperosok ke dalam jurang yang sangat
dalam. Kini jalan yang mereka lalui sudah tak terlihat,
keadaan di sekelilingnya pun sudah gelap gulita. Saat
itu, Bobby langsung menyalakan obor yang diambilnya
dari dalam tas. Seketika itu pula, api yang kemerahan
tampak membakar lemak hewan yang mengitari kayu,
sinarnya yang redup mampu menerangi jalan yang
kini mulai tampak basah. Rupanya gerimis mulai turun
membasahi bumi. Lantas dengan penuh waspada, kedua muda-mudi itu kian mempercepat langkah mereka, hingga
akhirnya mereka melihat sebuah rumah tua dengan
pekarangan yang dipenuhi oleh semak belukar.
Rumah itu tampak begitu besar, di salah satu
sudutnya terdapat sebuah menara bekas antena
radio. Namun belum sempat kedua muda-mudi itu
sampai di pekarangan, tiba-tiba gerimis sudah
semakin deras. Dan tak lama kemudian, hujan pun
turun dengan lebatnya, diiringi bunyi halilintar yang
begitu menakutkan. Seketika itu, keduanya langsung
141 berlari memasuki rumah tua yang memang sudah
tidak begitu jauh. Kini mereka sedang berdiri di ruang tamu sambil
mengamati keadaan di sekelilingnya. Keadaan
ruangan itu sungguh tampak menyeramkan, sarang
laba-laba ada dimana-mana, bahkan di sana-sini
banyak berserakan serpihan rumah yang termakan
usia. Ketika mereka tengah mengamati ruangan itu,
tiba-tiba mereka dikejutkan oleh gelegar halilintar yang
menyambar menara di luar rumah. Tak ayal, saat itu
sebuah tiang kayu ambruk dan hampir menimpa
kepala mereka. Dewi yang begitu terkejut, langsung
menjerit histeris dan memeluk Bobby erat. "Kak... aku
takut sekali," ucapnya lirih.
Saat itu Bobby langsung mendekapnya,
"Tenanglah, Sayang...! Kau tidak perlu takut! Aku
akan selalu di sisimu untuk melindungimu," ucap
Bobby seraya mengecup kening kekasihnya.
Sungguh kecupan itu mampu membuat Dewi
menjadi lebih tentram. Seiring dengan itu, sebuah
senyum tampak tersungging di bibirnya. Melihat itu,
142 Bobby pun segera meraih tangan kekasihnya dan
mengajaknya memasuki ruang tengah. Setibanya di
ruangan itu, Bobby tampak mengamati keadaan di
sekelilingnya dengan bantuan cahaya obor yang kian
meredup. Dan ketika sampai di dekat pendiangan,
keduanya lantas berhenti.
Kini Bobby menurunkan tas yang dibawanya,
kemudian bergegas mengumpulkan serpihan kayu
dan meletakkannya di dalam pendiangan. Lantas
dengan segera dia menyalakannya, menggunakan
obor yang ada di tangan. Saat itu, cahaya temaram
dari pendiangan langsung membias menerangi
penjuru ruangan. Bersamaan dengan itu, Bobby
tampak memadamkan obornya, kemudian segera
menggelar tikar lipat yang dibawanya.
Kini kedua muda-mudi itu sudah duduk di atas
tikar seraya menghangatkan diri di depan perapian.
Namun sayangnya, hangatnya api pendiangan itu tak
mampu menembus pakaian mereka yang basah.
Akibatnya, mereka pun tetap menggigil kedinginan.
Karena tak kuat menahan dingin, mereka pun
143 terpaksa duduk merapat untuk mengurangi rasa
dingin yang kian menusuk.
Di luar, hujan tak kunjung reda. Malam pun
sudah semakin larut. Di sudut ruangan terdenga
r suara burung hantu yang berkukuk. Mendengar itu,
seketika Dewi bergidik dan semakin merapatkan
dirinya pada sang kekasih. Menyadari itu, Bobby pun
langsung mendekapnya erat. Lantas, seiring dengan
nafsu binatang yang kini mulai merasukinya, pemuda
itu segera merebahkan kekasihnya di atas tikar. Lalu
dengan sangat bernafsu, dia mulai menciumi leher
gadis itu dengan tanpa ada keraguan sedikit pun.
Kesediaan Dewi saat itu sungguh telah membuatnya
menjadi gelap mata. Di tambah lagi dengan rasa
dingin yang begitu menusuk, sungguh membuatnya
tak mampu lagi menahan hasrat birahi. Kini tangan
pemuda itu mulai menjalar ke bagian yang paling
terlarang. Namun tiba-tiba, "Kak Bobby! Apa yang kau
lakukan"" Bentak Dewi seraya meronta dan berdiri
menjauh. 144 "Wi, Kenapa" Ayolah! Kau jangan
mengecewakan aku, mari kita saling memberi
kehangatan!" pinta Bobby berharap.
"Tidak, Kak. Kita tidak boleh melakukan itu."
"Ayolah, Wi...! Aku sudah sangat kedinginan.
Apakah kau tidak merasakannya ."
"Iya, Kak. Aku pun merasakannya. Tapi, kita tidak
sepantasnya melakukan semua ini," jelas Dewi.
"Ayolah, Wi...! Apakah kau sudah tidak
mencintaiku"" tanya Bobby.
"Aku sangat mencintaimu, Kak. Tapi..."
"Kalau kau memang mencintaiku, ayolah kemari!
Kita saling menghangatkan diri," pinta Bobby
memotong perkataan Dewi. "Sadarlah, Kak! Kalau kau memang mencintaiku,
aku harap kau bisa menahan diri! Bukankah kau
termasuk orang yang taat beribadah, mintalah kepada
Tuhan agar selalu melindungimu dari godaan setan
yang terkutuk. Terus terang, aku menyesal telah
membiarkanmu menyentuhku sampai sejauh itu. Kini
aku sadar, rupanya hal itulah yang menyebabkan tidak
145 diperbolehkannya lelaki dan perempuan yang bukan
muhrimnya untuk berdua-duaan. Sebab, kini aku
merasakannya sendiri, betapa hal itu memang sulit
untuk dihindari. Naluri kita sebagai sebagai manusia,
tak mungin lepas dari keinginan itu. Kak, aku takut
sekali. Bagaimana jika Tuhan sudah tak mau
memperingati kita lagi."
Dengan serta-merta Bobby terdiam, dia tampak
memandang kekasihnya dengan penuh penyesalan.
Lantas saat itu juga kobaran api birahi telah sirna
seketika, seiring dengan kesadarannya akan
kekeliruan yang baru saja diperbuatnya. Setan
memang lihai, sehingga makhluk laknat itu hampir
saja membuatnya melakukan perbuatan terlarang.
Begitulah manusia yang masih lemah iman,
jangankan mengalami kejadian yang dialami Bobby,
baru pembaca cerita ini saja bisa membuatnya
terangsang. Dan itu menandakan manusia yang
demikian masih mempunyai potensi untuk berzinah.
Jadi, berhati-hatilah! 146 Kini Bobby tampak bangkit dari duduknya,
kemudian melangkah menghampiri Dewi. "Maafkan
aku, Wi! Aku benar-benar telah gelap mata," ucap
Bobby menyesal. "Sungguh! Kau benar-benar sudah menyadari
kekeliruanmu"" tanya Dewi ragu.
"Iya, Wi. Kini aku benar-benar sadar kalau
perbuatan itu memang tidak sepantasnya kita
lakukan," jawab Bobby.
Setelah mendengar jawaban itu, akhirnya Dewi
mengajak Bobby untuk duduk kembali, kemudian
memintanya merapatkan tubuh, sekedar memberi
kehangatan, tidak lebih. Karena lelah, akhirnya
mereka tertidur dengan tubuh saling berdekapan erat.
Lagi-lagi mereka telah berbuat tidak semestinya,
walaupun dengan alasan cuma saling memberi
kehangatan. Sungguh setan memang sangat lihai
memperdaya manusia dengan segala alasan yang
tampaknya baik namun pada kenyataannya tidak.
Untunglah kondisi iman mereka kini sudah lebih baik,
sehingga mereka masih bisa menahan diri. Andai saja
147 iman mereka kembali melemah, tentu mereka tidak
akan mampu menahan diri. Sementara itu, di luar
hujan masih turun dengan lebatnya. Sesekali halilintar
masih terdengar di kejauhan, dan sepertinya badai
akan segera berlalu. Esok paginya matahari bersinar cerah, sinarnya
yang hangat memasuki ruangan melalui celah-celah
genting yang pecah serta tembok yang retak. Di luar
rumah, burung-burung tampak berkicau merdu,
melompat riang di atas ranting pepohonan. Saat itu
Bobby dan Dewi masih tertidur pulas, dengan tubuh
yang masih berpelukan. Tiba-tiba Bobby terbangun,
dia tampak mengucek kedua mata seraya
memperhatikan sekelil ingnya. "Wi" Bangun, Wi!" Kata Bobby seraya merapikan
pakaiannya yang sudah kering di badan, saat itu
tubuhnya dirasakan sudah segar kembali.
148 "Hmm... ada apa, Kak"" tanya Dewi seraya
mengucek kedua matanya. "Sudah siang, Wi. Ayo sebaiknya kita segera
berkemas!" Mengetahui itu, Dewi pun segera bangun dan
merenggangkan persendiannya, kemudian dia duduk
di sebelah Bobby yang kini sedang membuka tasnya
guna mengambil bekal yang tinggal sedikit. Setelah itu
keduanya tampak menikmati sarapan bersama-sama.
Usai sarapan, Dewi tampak sibuk menyisir
rambutnya yang kusut. "Kak, kita harus segera
meninggalkan tempat ini! Aku khawatir anak buah Pak
Wangsa sudah menyadari kekeliruannya dan sedang
menuju ke sini," katanya sambil terus menyisir.
Kemudian Dewi menceritakan tentang anak buah
Pak Wangsa yang diketahuinya sangat kejam, dan dia
mengetahui semua itu dari Pak Amir yang selalu
memberikan informasi kepadanya.
"Apa benar Pak Gahar sekejam itu, Wi"" tanya
Bobby sambil terus sibuk membenahi barang-barangnya.
149 "Benar Kak! Dia itu seorang pembunuh berdarah
dingin. Dan dia tidak segan-segan membunuh siapa
saja agar keinginannya tercapai."
"Kalau begitu, sebaiknya kita harus segera
berangkat, Wi. Aku khawatir kalau dia benar-benar
berhasil menemukan kita," kata Bobby seraya
bergegas mengenakan tas miliknya. "Ayo, Wi!"
ajaknya kemudian seraya meraih tangan Dewi yang
saat itu juga baru selesai mengenakan tas yang
dibawanya. Tak lama kemudian, mereka sudah melanjutkan


Karunia Mutiara Cinta Karya Bang Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perjalanan. Hingga akhirnya mereka tiba di
perumahan penduduk dan berniat mencari perbekalan
di sana. Kini Bobby tampak sedang menanyakan
perihal rumah Pak Kepala Desa kepada seorang lelaki
yang ditemuinya. "O, kalau rumah Pak Kepala Desa ada di sebelah
sana," jelas lelaki itu seraya menunjuk ke arah rumah
yang terlihat cukup besar.
"Kalau begitu, terima kasih, Pak!" ucap Bobby
seraya tersenyum ramah. 150 "Sama-sama, Den," balas lelaki itu seraya ikut
tersenyum. Saat itu, Bobby langsung menggandeng lengan
Dewi dan mengajaknya menuju ke rumah yang
dimaksud. Setibanya di sana, Bobby dan Dewi
langsung dipersilakan masuk, kemudian disuguhi
dengan makanan dan minuman ala kadarnya. Kini
Bobby mulai menceritakan maksud kedatangannya.
Pada saat itu Pak Kepala Desa tampak
mendengarkannya dengan rasa prihatin, hingga
akhirnya dia pun mulai berbicara, "Sungguh
keterlaluan si Wangsa itu, tidak selayaknya dia
dibiarkan hidup di muka bumi ini. Dengan seenaknya
dia ingin menikahi seorang gadis hanya untuk
bersenang-senang." "Benar Pak! Orang seperti itu memang tidak
pantas dibiarkan hidup. Selama ini dia telah
membodohi kedua orang tua Dewi dengan cara
mengiming-imingi harta benda, hingga akhirnya
mereka pun lebih membela orang itu ketimbang
anaknya sendiri." 151 Lantas Bobby kembali melanjutkan ceritanya,
hingga akhirnya dia meminta bantuan perbekalan
guna melanjutkan perjalanan.
"O... jadi begitu," kata Pak Kepala Desa mengerti.
"Betul Pak! Kami memang harus lari sejauh
mungkin. Sebab jika tidak, anak buah Pak Wangsa
pasti akan menemukan kami. Karena itulah kami
butuh bekal agar bisa melanjutkan perjalanan," jelas
Bobby penuh harap. "Aku benar-benar prihatin dengan kehidupan
yang harus kalian jalani. Kalau Wangsa mengadukan
hal ini kepada pihak yang berwajib, tentu akan
semakin rumit. Karena hukum pasti akan memihak
kepadanya." "Benar Pak! Aku pasti akan mendekam di
penjara karena dituduh melarikan anak gadis orang.
Walaupun itu kulakukan demi untuk
menyelamatkannya." "Kalau begitu, untuk sementara kalian boleh
tinggal di sini, dan aku akan melindungi kalian sebisa
mungkin. Anak buahku yang bernama Pak Dirman
152 akan kutugaskan untuk mengawasi setiap orang yang
masuk ke desa ini. "
"Kalau begitu, terima kasih banyak, Pak!" ucap
Bobby lagi. Kemudian Pak Kepala Desa mempersilakan
Dewi untuk beristirahat di kamar anak perempuannya,
sedangkan Bobby terlihat berbincang-bincang dengan
Pak Kepala Desa. Malam harinya, mereka mendengar kabar dari
Pak Dirman, bahwa seorang pria berwajah seram
dengan kumis melintang dan seorang yang berwajah
tampan datang mencari keduanya. Tak diraguk
an lagi, mereka memang Pak Gahar dan Pak Amir, yang
ditugaskan untuk mencari Dewi. Untuk sementara,
Pak Kepala Desa menyuruh Bobby tetap berada di
rumahnya, sedangkan dia akan melindungi mereka
sebisa mungkin. Sementara itu di tempat lain, Pak
Gahar terlihat sedang menanyakan buruannya hampir
153 ke semua penduduk desa. Dengan sepucuk pistol dia
mengancam orang-orang desa untuk tidak berbohong.
Untunglah mereka tidak ada yang tahu, hingga
akhirnya Pak Gahar tiba di rumah Pak Kepala Desa.
Kini lelaki itu tampak berdiri di muka pintu sambil
menggenggam pistol di tangan kanannya. Kemudian
dengan tangan kirinya, lelaki kasar itu menggedor
pintu rumah itu berkali-kali. Mengetahui itu, Pak
Kepala Desa tidak tinggal diam, dia segera
memerintahkan Bobby dan Dewi untuk pergi ke rumah
Pak Kosim yang berada di atas bukit.
"Lekas, Nak Bobby! Pergilah ke sana! Mengenai
perbekalanmu akan kusuruh Pak Dirman untuk
mengantarnya." "Baiklah, Pak. Terima kasih atas segala
bantuannya!" Kemudian Bobby dan Dewi segera pergi lewat
pintu belakang, sedangkan Pak Kepala Desa segera
menemui Pak Gahar yang masih berdiri di muka pintu.
Begitu daun pintu terbuka, dilihatnya Pak Gahar
tampak berdiri dengan wajah yang begitu marah.
154 "Kenapa lama betul"" tanya Pak Gahar dengan
suara berat. "Ma-maaf, Pak! Aku sedang sibuk di belakang.
Eng... Kalau boleh kutahu, sebenarnya ada keperluan
apa"" tanya Pak Kepala Desa pura-pura tidak tahu.
"Hmm.... begini, Pak. Kami sedang mencari dua
orang pelarian, dan kami ingin mendapat informasi
dari Bapak." "O... Ka-kalau begitu, ayo silakan masuk!"
Pak Gahar dan Pak Amir segera masuk,
kemudian mereka duduk di ruang tamu guna
memperbincangkan masalah itu. Pada saat yang
sama, Bobby dan Dewi sedang dalam perjalanan,
mereka tampak melangkah dengan hati-hati sekali.
Maklumlah, jalan menuju rumah Pak Kosim memang
sangat terjal, apalagi gelapnya malam semakin
membuat jalan itu sulit dilalui. Namun begitu, mereka
tetap harus ke sana. Jika tidak, mereka tentu akan
tertangkap. Bobby dan Dewi terus melangkah,
menyusuri jalan setapak yang tampak samar lantaran
155 obor yang di pegang Bobby terus berkibar-kibar tertiup
angin malam yang dingin. "Kak" Malam ini dingin sekali, sepertinya mau
turun hujan," kata Dewi seraya mempererat pegangan
tangannya. Saat itu, tiba-tiba kilat membias di
sekeliling mereka, kemudian disusul dengan suara
guntur yang cukup keras. Mendengar itu, seketika
Dewi terkejut dan langsung memeluk erat kekasihnya.
"Kak, aku takut sekali. Tampaknya hujan benar-benar
sudah mau turun," ungkap gadis itu khawatir.
"Kalau begitu, ayo lekas, Wi! Sepertinya hujan
memang sudah mau turun."
Lantas kedua muda-mudi itu segera
mempercepat langkah mereka. Benar saja, tak lama
kemudian hujan rintik-rintik mulai turun membasahi
bumi. Suara guntur pun semakin sering terdengar,
diiringi dengan angin yang terus bertiup kencang.
Bobby dan Dewi terus berlari kecil menyusuri jalan
setapak yang menaiki bukit. Saat itu, obor di tangan
Bobby tampak sudah semakin meredup.
156 Lihat, Wi!" seru Bobby ketika melihat sebuah
rumah di kejauhan. "Apakah itu rumah Pak Kosim"" tanya Dewi
memastikan. "Tidak salah lagi, Wi. Lihatlah pohon kelapa
bercabang itu!" "Kau benar, Kak. Itu memang rumah Pak Kosim."
Lantas, kedua muda-mudi itu semakin
mempercepat lari mereka, hingga akhirnya mereka
tiba di pekarangan rumah Pak Kosim. Saat itu, hujan
lebat sudah menyiram keduanya. Bahkan ketika
mereka sudah berdiri di muka pintu, butiran hujan
masih saja menyiramnya--terhempas angin yang
begitu kencang. Sesekali, kilat tampak membias
dengan diiringi guntur yang menggelegar keras.
"Assalamu alaikum...!" ucap Bobby dengan suara
keras. Tak lama kemudian, Pak Kosim sudah
membukakan pintu dan mempersilakan keduanya
masuk. Kini ketiganya tampak duduk dengan
157 beralaskan tikar pandan, sat itu Bobby pun langsung
menceritakan maksud kedatangannya.
"O... jadi begitu. Baiklah, malam ini kalian boleh
menginap di sini," kata Pak Kosim mengerti.
"Terima kasih, Pak!" ucap Bobby senang.
Bobby dan Pak Kosim terus berbincang-bincang,
sedangkan Dewi tampak merebahkan di
ri di atas hamparan tikar pandan yang harum mewangi.
Sementara itu, di rumah Pak kepala Desa, Pak Gahar
dan Pak Amir tampak masih berbincang-bincang.
"Hmm... jadi Bapak benar-benar melihat mereka,"
kata Pak Gahar seraya memilin kumisnya yang
melintang. "Benar, Pak! Mungkin mereka langsung pergi ke
Desa Mahoni," jelas Pak Kepala Desa.
"Hmm... Desa Mahoni, kalau begitu mereka akan
tiba di sana dalam waktu yang cukup lama," kata Pak
Gahar yang sudah sekian lama malang-melintang di
bumi Parahiyangan. "Benar, Pak! Desa itu memang cukup jauh.
Untuk sementara sebaiknya kalian tinggal di desa ini
158 saja, kuda-kuda kalian kan butuh makan dan
istirahat," saran Pak Kepala Desa.
"Benar juga apa yang di katakan Pak Kepala
Desa ini, Har. Sebaiknya kita tinggal saja di desa ini
untuk sementara waktu. Toh mereka juga tidak akan
sampai lebih dulu," timpal Pak Amir.
"Baiklah... Untuk sementara kita tinggal di desa
ini," kata Pak Gahar menyetujui.
Di rumah Pak Kosim, Bobby dan orang tua itu
masih saja berbincang-bincang, dan tak lama
kemudian Pak Kosim bangkit dari duduknya, "Nak
Bobby, sepertinya hari sudah larut. Sebaiknya
sekarang kau beristirahat! Saat ini, Bapak pun mau
istirahat." "Iya, Pak. Selamat malam!"
"Selamat malam!" balas Pak Kosim seraya
melangkah menuju ke kamarnya.
Kini Bobby merebahkan diri di sisi kekasihnya,
sejenak dia memperhatikan Dewi yang saat itu
sedang tertidur pulas. Seketika, pikiran kotor mulai
merasuki otaknya. Berkali-kali dia memandangi wajah
159 Dewi yang tampak begitu cantik. Bahkan saat itu dia
ingin sekali mencumbuinya, namun karena
pengalamannya di rumah tua, akhirnya dia
membatalkan niatnya. Kini dia berusaha untuk tidur,
dalam hati dia terus beristigfar dan memohon kepada
Tuhan untuk menjauhinya dari segala bisikan setan
yang menyesatkan. Karena kantuk dan rasa lelah,
akhirnya Bobby tertidur juga. Suara jangkrik di luar
rumah terdengar mengisi kesunyian malam yang baru
saja diguyur hujan. Angin malam yang dingin
berhembus masuk melalui sela-sela lubang angin,
saat itu hawa dingin menyelimuti kedua muda-mudi
yang mungkin sedang bermimpi indah.
Tujuh Pagi harinya, di rumah Pak Kosim. Seorang pria
baru saja membawakan perbekalan untuk
Bobby dan kekasihnya. Kini pria itu sedang bercakap-cakap dengan mereka. "Nah, sebaiknya kalian cepat
berangkat. Mumpung hari masih pagi," anjur pria itu.
"Hmm... Jadi mereka akan ke Desa Mahoni""
tanya Bobby memastikan. "Ya begitulah yang Pak Kepala Desa katakan,"
jelas pria yang bernama Pak Dirman.
"Baiklah, Pak. Kalau begitu, kami akan segera
berangkat," pamit Bobby seraya mengajak Dewi untuk
segera berkemas-kemas. Dan tak lama kemudian, keduanya sudah
bergegas meninggalkan rumah Pak Kosim. Kini
mereka sedang menuju ke gerbang desa yang ada di
Selatan. Dengan berlari kecil, keduanya berusaha
mencapai tempat itu. Dan setelah melewatinya,
161 mereka pun mulai berjalan santai, menyusuri jalan
setapak yang menuju ke Desa Cendana, sebuah desa
yang atas petunjuk Pak Dirman merupakan desa yang
aman. Kedua muda-mudi itu terus melangkah dan
melangkah, hingga akhirnya mereka memasuki
sebuah hutan yang cukup lebat. Hutan itu agak gelap
dan cukup menyeramkan, hanya sedikit sinar mentari
yang menerobos masuk-membias melalui celah-celah rimbunnya pepohonan besar. Di tengah
kerimbunan hutan itu, terdengar beragam suara
serangga, nyanyian burung, dan hewan kecil lain yang
berbaur dengan suara gesekan daun yang tertiup
angin. Terdengar begitu harmonis sehingga
menciptakan sebuah simfoni alam yang begitu indah.


Karunia Mutiara Cinta Karya Bang Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesekali juga terlihat kera yang melompat dari pohon
satu ke pohon yang lain. Namun semakin lama, kera-kera yang terlihat di hutan itu semakin banyak. Saat
itu Bobby dan Dewi tampak khawatir dibuatnya.
Maklumlah, karena kawanan kera itu terus mengawasi
mereka sambil terus melompat-lompat dengan
162 teriakan yang menggetarkan jiwa. Karena tingkah
kera-kera itu semakin mengkhawatirkan, akhirnya
Bobby dan Dewi mempercepat langkah mereka.
Kedua muda-mudi itu terus melangkah dengan
begitu tergesa-gesa, bahkah sesekali mereka tampak
berlari kecil hingga akhirnya mereka berhasil
keluar dari hutan. Kini mereka sudah kembali berjalan santai
menyusuri jalan setapak. Setelah menyeberangi
sebuah jembatan kecil yang terbuat dari batang
kelapa, kedua muda-mudi itu berjumpa dengan
seorang ibu tua yang berusia kira-kira 54 tahun. Ibu
tua itu tampak kurus, pakaiannya pun tampak lusuh
dan begitu memprihatinkan. Kini ibu Tua itu tengah
berdiri sambil memperhatikan mereka, dari kedua
matanya terpancar sebuah harapan yang begitu
besar. "Kasihani aku, Nak... tolong beri aku makan!
Sudah sejak kemarin aku belum makan," ucapnya lirih
seraya menghampiri kedua muda-mudi itu.
Bobby dan Dewi merasa iba melihat ibu tua itu,
sepertinya dia memang benar-benar kelaparan. Lalu
dengan serta-merta Bobby mengambil sebagian bekal
163 yang dibawanya dan memberikannya kepada ibu tua
itu. Ibu tua itu pun segera menyambutnya dengan
penuh suka cita. "Terima kasih, Nak... Semoga Tuhan
senantiasa membalas kebaikan kalian," ucapnya
seraya duduk dan mulai menikmati makanan yang
baru didapatnya. "O ya, ngomong-ngomong... Ibu mau ke mana""
tanya Bobby yang kini sudah duduk di sisinya.
"Sebenarnya aku mau ke Desa Cendana, Nak.
Namun ketika aku melewati hutan kera, bekalku dicuri
oleh kera-kera nakal yang ada di hutan itu.
Karenanyalah aku tidak mampu melanjutkan
perjalanan, hingga akhirnya aku terpaksa berdiam di
tempat ini." "Kalau begitu, Ibu bisa pergi bersama kami.
Karena kami pun sedang menuju ke desa itu."
Setelah si Ibu tua menghabiskan makanannya,
mereka bertiga lantas berangkat menuju ke Desa
Cendana. Saat itu, Bobby dan Dewi terpaksa berjalan
pelan mengikuti langkah si Ibu tua yang tertatih-tatih.
Ketiganya terus melangkah menyusuri jalan setapak
164 yang mulai menurun. Rimbunnya pepohonan yang
tumbuh di kiri-kanan jalan cukup melindungi mereka
dari sinar mentari yang menyengat, bahkan
keteduhannya mampu membuat mereka merasa
nyaman dan tidak membuat mereka cepat lelah.
Sementara itu di tempat lain, Pak Gahar dan Pak
Amir sedang bercakap-cakap sambil menikmati kopi
pahit di sebuah warung kecil. "Mir, besok pagi kuda-kuda kita pasti sudah segar kembali. Karenanyalah,
besok pagi kita harus segera berangkat. Jika terlalu
lama di desa ini, aku khawatir mereka keburu jauh,"
jelas Pak Gahar seraya menyeruput kopi pahitnya.
"Kenapa terburu-buru, Har. Lusa saja kita
berangkat! Aku yakin, lusa pun mereka belum tiba di
Desa Mahoni." "Kita tidak boleh menunda-nundanya, Mir. Sebab
Pak Wangsa bisa naik-pitam lantaran kita terlalu lama
membawa gadisnya pulang""
"Kalau begitu, terserah kaulah."
Tak lama kemudian, kedua lelaki itu tampak
meninggalkan warung-mereka melangkah untuk
165 mengurus kuda-kuda yang belum diberi makan.
Sementara itu di tempat lain, Bobby, Dewi, dan si Ibu
tua masih dalam perjalanan. Saat ini mereka sedang
melangkah menuruni lereng bukit, melewati jalan
setapak yang berada di antara tebing dan jurang.
Indahnya pemandangan yang terlihat dari tempat itu
sungguh membuat Bobby begitu takjub. Hijaunya
hutan yang terbentang di kejauhan terlihat begitu
menyejukkan mata, perbukitan kecil yang menjulang
di belakangnya pun tampak begitu indah, diselimuti
kabut tipis yang membayang, bagaikan untaian sutera.
"Wi, bagaimana kalau kita istirahat sejenak di
tempat ini!" ajak Bobby tiba-tiba.
Saat itu juga, Dewi langsung menghentikan
langkahnya. "Aku setuju, Kak. Tampaknya si Ibu juga
perlu istirahat. Lihatlah! Beliau tampak sudah
kepayahan," kata Dewi seraya menghampiri si Ibu tua
dan mengajaknya beristirahat.
Tak lama kemudian, ketiganya tampak sudah
duduk di bawah sebuah pohon yang begitu rindang-
beristirahat sambil menikmati pemandangan yang
166 begitu mempesona. Namun belum lama mereka
beristirahat, tiba-tiba Bobby merasakan setetes air
yang mengenai wajahnya. Kemudian dengan serta-merta, pemuda itu menyeka tetesan air itu seraya
mendongak ke atas-memperhatikan langit yang kini
sudah diselimuti awan mendung. "Wi, sepertinya mau
turun hujan. Ayo, kita segera mencari tempat
berlindung!" ajak Bobby seraya bangkit dari
duduknya. Dewi dan si Ibu tua yang duduk di sebelahnya
juga segera bangkit, kemudian mereka bergegas
mengikuti Bobby yang sedang mencari tempat
berlindung. Tak lama kemudian, hujan pun turun
dengan lebatnya. Saat itu, Bobby dan kedua wanita
yang bersamanya semakin berusaha keras
menemukan coakan yang bisa dijadikan tempat
berlindung. Namun sayangnya usaha mereka gagal,
hingga akhirnya mereka terpaksa terus berjalan di
bawah siraman hujan yang begitu lebat. Setelah
sekian lama berjalan, akhirnya mereka sampai di
167 sebuah jalan yang mendatar, namun jalan itu masih
berada di antara tebing dan jurang.
"Lihat itu, Wi!" Seru Bobby gembira. Di kejauhan,
dia melihat sebuah pondok yang berdiri tak jauh dari
persimpangan jalan. "Itukah pondok yang dimaksud oleh Pak Dirman,
sebuah pondok yang ada di persimpangan jalan
antara Desa Cendana dan Desa Mahoni," sambut
Dewi Gembira. "Betul, Wi. Tidak salah lagi. Ayo lekas kita
berteduh di tempat itu!"
Saat itu, kedua muda-mudi itu tampak begitu
senang. Selain akan mendapat tempat berteduh,
keduanya sudah sampai di persimpangan yang akan
mengecoh kedua anak buah Wangsa. Lalu dengan
bersemangat, Bobby dan Dewi tampak berlari menuju
pondok. Pada saat yang sama, tiba-tiba mereka
mendengar suara teriakan si Ibu tua yang ternyata
sudah cukup jauh tertinggal di belakang.
168 "Tunggu, Nak...! Kenapa kalian meninggalkan
Ibu"""" teriak si Ibu tua itu lagi sambil terus berusaha
mempercepat langkah kakinya.
Bobby dan Dewi segera menghentikan lari
mereka, kemudian berdiri menunggu si Ibu tua yang
masih melangkah dengan tertatih-tatih. Tak lama
kemudian, "Aduh! Kenapa dengan kalian ini. Ibu kan
tidak bisa berlari secepat itu."
"Maaf, Bu. Kami terlalu gembira dan ingin segera
berteduh. Jadi...." "Iya, Ibu maklum. Waktu masih muda pun, Ibu
juga seperti kalian. Maunya serba cepat dan agak
tidak sabaran." Mendengar itu, Bobby hanya bisa tersenyum.
"Eng... Kalau begitu, mari kita segera ke pondok itu!"
ajaknya kemudian. Belum sempat mereka melangkah, tiba-tiba dari
atas tebing terdengar suara gemuruh yang begitu
keras, kemudian di susul dengan siraman lumpur
jatuh di atas kepala mereka. Menyadari itu, seketika
169 Bobby berteriak, "Longsor! Cepat tinggalkan tempat
ini!" Lantas tanpa buang waktu, ketiganya langsung
berlari menyelamatkan diri. Namun sungguh sangat
sayangkan, saat itu si Ibu tua terjatuh akibat licinnya
jalan. Mengetahui itu, Bobby dan Dewi mencoba
menolong. Pada saat yang sama, dari atas tebing,
longsor tampak semakin menjadi-jadi.
"Wi! Cepat selamatkan dirimu!" pinta Bobby tiba-tiba.
"Tapi Kak..." "Sudahlah...! Cepat tinggalkan tempat ini!" pinta
Bobby lagi seraya berusaha memapah si Ibu tua yang
masih meringis kesakitan.
Sejenak Dewi memandang kekasihnya, lalu
dengan bimbang gadis itu segera berlari menjauh.
Pada saat yang sama, Bobby masih berusaha
memapah si Ibu tua agar bisa segera meninggalkan
tempat itu. Namun ketika mereka sedang berusaha
keras, longsoran tampak sudah semakin dasyat.
Menyadari itu, Bobby dan si ibu tua segera berlindung
170 di tepi tebing yang menjorok ke dalam, keduanya
tampak berusaha berpegangan pada sebilah akar
yang ada di situ. Bersamaan dengan itu, longsoran
dasyat tampak menimpa keduanya-mengalir
bersama air dan batu bagaikan aliran sungai yang
begitu deras. Kini keduanya sudah tak terlihat lagi.
Sementara itu di kejauhan, Dewi tampak terpaku
menyaksikan kejadian yang baginya tampak begitu
mengerikan. "Kak Bobbyyy...!!!" teriak gadis itu
histeris. Gadis itu terus berteriak-teriak memanggil Sang
Kekasih, sampai akhirnya dia terduduk lemas dengan
air mata yang terus mengalir. Pada saat yang sama,
dari arah persimpangan, terlihat tiga orang lelaki
tampak berlari ke arahnya. Tak lama kemudian, "Ada
apa, Nak" Apa yang telah terjadi"" tanya salah
seorang dari mereka. Orang itu tampak sudah tua dan
berjenggot putih. "Tolong, Kek... Me-mereka... " belum sempat
gadis itu meneruskan kata-katanya, tiba-tiba dia
melihat sesuatu yang bergerak-gerak di gundukan
171 longsor. Lantas tanpa buang waktu, gadis itu segera
bangkit dan berlari mendekat. Pada saat yang sama,
ketiga orang tadi segera berlari mengikutinya.
Kini dari gundukan longsor, sebuah tangan
tampak menyembul kelua r. "Kak Bobby!" teriak Dewi
senang ketika mengetahui kalau itu adalah tangan
kekasihnya, kemudian dengan sekuat tenaga gadis itu
mencoba menggalinya. Melihat itu, ketiga orang tadi segera
membantunya-mereka tampak berusaha keras
menggali tanah yang mengubur Bobby.
"Kak Bobbyyy...!!!" teriak Dewi tiba-tiba ketika
menyadari tangan kekasihnya sudah terkulai tak
bergerak. Bersamaan dengan itu, kecemasannya pun
tampak semakin menjadi-jadi, hingga akhirnya air
matanya kembali jatuh berderai.
Sambil berlinang air mata, gadis itu tampak
semakin berusaha keras untuk terus menggali dan
menggali. Begitu juga dengan ketiga orang yang
membantunya, mereka dengan tanpa kenal lelah terus
berusaha menggali dan menggali. Dalam hati, Dewi
172 terus berdoa kepada Tuhan agar menyelamatkan
kekasihnya. Tak lama kemudian, wajah Bobby sudah
terlihat. Saat itu, wajahnya yang tampan tampak
begitu pucat, tak ada tanda kehidupan.
Melihat itu, Dewi tampak terpaku, bibirnya
bergetar, dan air matanya kian bertambah deras. Kak
Bobbyyy... ucap Gadis itu pelan, kemudian dia
terdiam. Sepertinya gadis itu sudah tak mampu lagi
berkata-kata karena menahan kesedihan yang
teramat sangat. "Syukurlah, dia masih hidup," ucap si Kakek
berjenggot putih tiba-tiba.
Mendengar itu, Dewi bagaikan terlena oleh
nyanyian bidadari yang begitu merdu, yang mana telah
membuai sukmanya hingga merasa senang bukan
kepalang. Dalam hati dia sangat bersyukur
mengetahui kekasihnya masih hidup, lalu dengan
bersusah payah gadis itu terus membantu ketiga
orang tadi untuk terus menggali dan menggali.
Sampai akhirnya mereka berhasil mengeluarkan
tubuh Bobby dari longsoran yang menguburnya.
173 Kini Dewi dan kedua orang pemuda yang
ternyata murid si Kakek berjenggot putih sedang
berusaha membersihkan sisa-sisa lumpur yang
menempel di tubuh Bobby, sedangkan si Kakek
berjenggot putih tampak duduk bersila di hadapan
tubuh yang tak berdaya itu sambil menggerakkan


Karunia Mutiara Cinta Karya Bang Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telapak tangannya-naik-turun dan dibulak-balik
dengan perlahan, kemudian dengan serta-merta
kakek itu menempelkan telapak tangannya di dada
Bobby seraya menyalurkan tenaga dalamnya.
Selagi si kakek mengobati Bobby dengan
menyalurkan tenaga dalamnya, Dewi tampak
menceritakan perihal Ibu tua yang juga tertimpa
longsoran kepada kedua murid si Kakek. Kedua orang
itu tampak mengangguk-angguk mendengar cerita itu,
lalu salah satu dari mereka langsung membuka suara.
"Sungguh kasihan ibu tua itu. Kita tidak mungkin
bisa menyelamatkannya. Beliau tentu sudah hanyut
dan terkubur lumpur di dasar jurang. Bukan begitu,
Kang Darma"" 174 "Yang kau katakan itu benar, Dimas. Tidak
seperti pemuda itu, yang mampu perpegangan pada
sebilah akar sehingga tidak hanyut terbawa arus,"
sahut orang yang bernama Darma.
Saat itu Dewi tampak sedih ketika mengetahui si
Ibu tua tidak mungkin bisa diselamatkan, dan harus
meninggal dengan cara mengenaskan seperti itu.
"Kang Darma, sepertinya kakek Brata sudah
selesai," ucap Dimas memberitahu.
Pemuda bernama Darma itu segera menoleh,
begitu pun dengan Dewi. Kini ketiganya tampak
memperhatikan sang Kakek yang baru saja
mengobati Bobby. Kakek itu terlihat begitu lemas
karena telah menyalurkan tenaga dalamnya. Lantas
untuk memulihkan kembali tenaganya, kakek itu pun
segera bersila dengan kedua tangan yang bertumpu di
lutut. Namun belum cukup kakek Brata menghimpun
tenaga, lagi-lagi dari atas tebing terdengar suara
bergemuruh. Kemudian tanpa buang waktu, Darma
dan Dimas segera berlari sambil menggotong Bobby
ke tempat yang aman. Saat itu, Dewi juga ikut berlari
175 bersama mereka. Sementara itu, Kakek Brata yang
masih lemah berusaha bangkit untuk menyelamatkan
diri. Sungguh sangat disayangkan, belum sempat ia
berlari, sebuah batu besar yang tertinggal dari bekas
longsoran pertama menghantam punggungnya. Tak
ayal, batu sebesar kepala manusia itu telah membuat
si kakek tersungkur ke tanah. Mengetahui itu, kedua
muridnya lekas-lekas berlari untuk
menyelamatkannya, hingga akhirnya mereka berhasil
menghindari longsoran yang lebih dasyat dari semula.
Kini sang kakek sudah dibaringkan di tempat yang
aman, sepertinya dia menga
lami luka dalam yang cukup parah. Malam harinya, mereka terpaksa
menginap di pondok yang ada di dekat persimpangan.
Esok paginya, Bobby sudah sadarkan diri, memar
di tubuhnya sudah tak terasa sakit. Itu semua berkat
tenaga dalam yang telah disalurkan oleh sang kakek,
dan tentu saja atas seizin Sang Pencipta. Ketika
176 sadar, orang yang dilihatnya pertama kali adalah si
kakek yang kini tengah terbaring sakit, kemudian
Darma dan Dimas yang dilihatnya tengah duduk di
sebelah kakek itu. "Siapa kalian..."" tanya Bobby
heran ketika melihat mereka bertiga.
Dewi yang saat itu sedang duduk menyendiri
begitu senang mendengar suara itu, kemudian
dengan segera gadis itu berlari mendekat. "Kak
Bobby!" panggilnya seraya duduk bersimpuh di
sisinya, "Syukurlah.... kau sudah sadar, Kak."
Bobby menatap mata kekasihnya. "Siapa
mereka, Wi..."" tanyanya kemudian.
"Mereka orang-orang yang telah menolongmu,
Kak." Kini Bobby kembali memandang ketiga orang itu.
Dia benar-benar bersyukur kepada Tuhan karena
telah diselamatkan dari maut, dan dia pun segera
berterima kasih kepada orang-orang yang telah
menolongnya itu. Kini pemuda itu tampak duduk
bersimpuh di sisi sang Kakek sambil memandangnya
dengan penuh prihatin, saat itu dia benar-benar sedih
177 melihat kakek itu tampak tak berdaya. Pada saat yang
sama, sang Kakek tampak memandangnya sambil
mencoba tersenyum. Kemudian dengan terbata-bata,
sang Kakek mulai berkata-kata, "Bo-bobby... itukah
namamu, Nak"" tanyanya pelan.
"Benar, Kek" Itulah namaku," jawab Bobby.
Kemudian sang Kakek tampak memandang ke
arah Dewi, "Dewi... kemarilah, Nak...!"
Dewi pun segera menghampiri, "Iya Kek. Ada
apa"" tanyanya kemudian.
Sang Kakek lagi-lagi berusaha tersenyum. "Nak
Bobby, Dewi..." Sekarang dengarkan kakek baik-baik!" pintanya kemudian.
Saat itu juga, sang Kakek mulai menceritakan
perihal dirinya. Sementara itu Bobby dan Dewi tampak
mendengarkannya dengan penuh seksama. Tak lama
kemudian, sang Kakek tampak berbicara dengan
salah satu muridnya yang bernama Darma, dia
meminta kepada muridnya itu untuk mengambilkan
sebuah bungkusan kecil yang mereka bawa. Setelah
Darma menyerahkan bungkusan itu, sang Kakek
178 kembali berkata-kata, "Nak... di dalam bungkusan ini
terdapat sebuah pusaka dan surat yang akan Kakek
amanatkan kepada kalian. Kakek mohon, sudi kiranya
kalian mau pergi ke rumah Adik Kakek yang tinggal di
Desa Mahoni! Desa itu terletak di balik bukit sebelah
utara. Dan Jika kalian sudah tiba di sana, berikanlah
surat dan benda pusaka ini padanya."
Kemudian kakek itu segera menyerahkan
bungkusan yang berisi selembar kulit hewan yang
tergulung dan sebilah keris berlekuk tujuh itu kepada
Bobby. Saat itu juga Bobby langsung menanggapinya
dengan kedua belah tangannya. "Baik, Kek. Kami
akan..." belum sempat Bobby melanjutkan katanya-katanya, tiba-tiba si kakek sudah menghembuskan
nafas terakhirnya. "Inalillahi...," ucap Bobby sambil menitikkan air
matanya. Kata-kata yang sama juga diucapkan oleh
Dewi, dan kedua murid si Kakek. Setelah meletakkan
bungkusan yang dipegangnya, Bobby tampak
mengusap kedua mata kakek itu hingga terpejam.
Kemudian dia tampak mematung di sisi jenazah sang
179 kakek sambil berlinang air mata, dia benar-benar
merasa sedih akan kepergian kakek Brata yang sudah
begitu baik padanya. "Sudahlah, Bob...! Bukahkah sebaiknya kau dan
kekasihmu itu berangkat sekarang! Biarlah jenazah
kakek Brata ini kami yang urus. Kami akan
membawanya ke Desa Cendana untuk segera
dimakamkan," pinta Darma seraya menutupi wajah si
kakek dengan selembar kain. Pada saat yang sama,
Bobby dan Dewi tampak berkemas-kemas untuk
mempersiapkan segala-sesuatunya.
Setelah berpamitan dengan kedua murid Kakek
Brata, Bobby dan Dewi segera bergerak menuju ke
Desa Mahoni untuk menyampaikan amanat terakhir si
Kakek. Mereka terpaksa membatalkan tujuan mereka
ke Desa Cendana demi untuk menyampaikan amanat
itu. Sebenarnya bisa saja Bobby menolak dengan
menceritakan perihal dirinya. Tapi karena dia merasa
berhutang nyawa, pemuda itu pun tidak mau
melakukannya. Sementara itu, tak jauh dari tempat
longsoran. Pak Gahar dan Pak Amir
tampak 180 memperhatikan jalan yang tertutup longsor. Pada saat
itu, Pak Gahar terlihat kesal sekali karena tidak bisa
melalui jalan tersebut. "Kurang ajar! Terpaksa kita
harus lewat jalan lain, Mir."
"Kita Lewat mana, Har"" tanya Pak Amir.
"Dari hutan kera tadi, kita terpaksa harus lewat
jalur Selatan. Walaupun jauh, kita terpaksa harus
melewatinya, karena hanya itulah satu-satu jalan yang
bisa kita lewati." Lalu dengan perasaan dongkol, Pak Gahar
segera mengajak temannya untuk berbalik arah dan
memacu kudanya melewati jalan memutar.
Sementara itu Bobby dan Dewi masih dalam
perjalanan. Mereka terlihat melangkah dengan
waspada-khawatir jika sewaktu-waktu orang yang
mengejar mereka akan melewati jalan itu.
Delapan Menjelang siang, Bobby dan Dewi sampai di
sebuah lembah yang begitu indah. Langit di
atas kepala mereka terlihat agak mendung, awan
hitam yang berarak tampak mulai menyelimuti
angkasa. Di kejauhan terlihat bukit dimana Desa
Mahoni berada, di bawahnya tampak terhampar
pohon padi yang menghijau. Kini kedua muda-mudi itu
terlihat sedang berdiri di persimpangan jalan.
"Wi, kalau ini jalan ke mana ya"" tanya Bobby
tiba-tiba. "Kalau tidak salah, jalan ini menuju ke Desa Jati,
Kak," jelas Dewi. Bobby kembali memandang ke langit, kini dia
melihat awan hitam tampak semakin menebal.
Kemudian matanya memandang ke sebuah saung
yang berada di tengah-tengah sawah, jaraknya kira-kira lima ratus meter dari tempatnya berdiri.
182 "Wi" Sepertinya hujan akan segera turun, ayo
kita berteduh di saung itu!" ajak Bobby seraya
menggandeng lengan kekasihnya.
Kini kedua muda-mudi itu tengah melangkah
menyusuri pematang sawah, pada saat itu hujan
rintik-rintik mulai turun menyiram keduanya.
Menyadari itu, keduanya lantas segera berlari menuju
saung yang sudah tak begitu jauh. Namun belum
sempat mereka tiba di sana, tiba-tiba hujan turun
dengan lebatnya. Siraman air hujan itu sempat
membuat sebagian pakaian mereka menjadi basah
kuyup. Dan setibanya di saung, mereka langsung
duduk bersila di tengah balai yang terbuat dari bambu.
Kini mata keduanya tampak memandang ke arah
bukit, sejauh mata memandang hanya terlihat
pemandangan yang tertutup kabut. Sementara itu,
angin dingin tampak bertiup kencang, membuat
butiran hujan sesekali tampyas-menyiram kedua
tubuh yang kini sedang kedinginan. Dewi menggigil,
hawa dingin yang dirasakannya terasa menyeruak
hingga ke dalam tulang. Giginya yang putih bersih
183 bergemeretak menahan dinginnya hembusan angin,
sedang bibirnya yang mungil terlihat agak pucat-
bergetar bersamaan dengan gemeretak suara giginya.
Bobby pun mengalami hal serupa, kemudian dia
mendekap kekasihnya dengan erat. Pipinya tampak
menempel di wajah kekasihnya, dengan maksud
saling memberi kehangatan.
Gemuruh hujan terus terdengar hingga tengah
hari. Dan lambat-laun mulai mereda, bersamaan
dengan suara guntur yang terdengar semakin jauh,
hingga akhirnya hujan berhenti dengan diiringi suara
katak yang saling bersahutan. Namun begitu. kedua
muda-mudi itu masih saja saling berdekapan.
"Kak... ayo kita pergi dari sini!" Ajak Dewi dengan
bibir bergetar. "Sabar, Sayang... kita tunggu hingga matahari
kembali bersinar," kata Bobby seraya memandang
mata kekasihnya dan menyiap rambut kekasihnya
hingga ke belakang telinga.
"Tidak Kak... kita harus segera meninggalkan
tempat ini," kata Dewi dengan tatapan penuh harap.
184 "Baiklah, Sayang... kalau begitu ayo kita pergi
dari sini!" ajak Bobby seraya berkemas-kemas.
Tak lama kemudian, keduanya sudah
melanjutkan perjalanan, melangkah bersama sambil
bergandengan tangan. Kini mereka sedang berjalan
menyusuri pematang, di kanan-kiri mereka terhampar
padi yang baru berusia satu minggu. Sementara itu di
atas kepala mereka, matahari sudah kembali bersinar,
cahayanya yang hangat menembus melalui pakaian
mereka yang basah. Bobby dan Dewi terus
melangkah, sesekali mereka tampak berlari kecil.
Hingga akhirnya mereka tiba di kaki bukit.
Kini mereka mulai menyusuri jalan setapak yang
mendaki. Sementara itu di saung tempat mereka
berteduh, terlihat sebuah sapu tangan putih yang di
sudutnya bertuliskan nama
Dewi. Dan tak jauh dari saung itu, terlihat dua orang penunggang kuda yang
sedang mendekati tempat itu. Kini kedua penunggang
kuda itu sudah berhenti persis di depan saung. Salah
satunya terlihat turun dan mengambil sapu tangan
yang tergeletak itu. 185 "Tidak salah lagi, mereka memang melintasi
tempat ini," kata Pak Gahar dengan sinar mata yang
berbinar-binar. "Ayo Mir kita lanjutkan perjalanan!"
ajak Pak Gahar seraya kembali naik ke atas kudanya.
Kemudian kedua lelaki itu segera memacu


Karunia Mutiara Cinta Karya Bang Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kudanya masing-masing menyusuri pematang sawah
yang sempit. Sementara itu, Bobby dan Dewi masih
terus melangkah. Kini mereka telah tiba di lereng
bukit. Di kanan mereka tampak tebing terjal yang
berdiri kokoh, dan di kiri mereka terlihat pemandangan
lembah yang begitu indah.
"Lihat, Kak! Di depan ada jalan bercabang," seru
Dewi tiba-tiba. "Benar, Wi. Ayo, kita segera ke sana!" ajak
Bobby seraya mempercepat langkah kakinya. Kini
mereka sudah berdiri di persimpangan itu, keduanya
tampak sedang bingung memilih jalan. Jalan yang
satu tampak landai mengitari lereng bukit, sedang
yang satunya lagi berupa undakan yang mendaki
tebing terjal. 186 "Kita lewat jalan yang landai saja, Wi.
Tampaknya jalan yang mendaki ini cukup sulit dilalui."
"Jangan, Kak! Sebaiknya kita lewati jalan yang
mendaki ini, hanya ini jalan yang aman untuk kita
tempuh. Aku yakin mereka tidak akan melalui jalan
ini." "Tapi, Wi. Jalan ini tampaknya cukup berbahaya.
Aku mengkuatirkanmu, Wi""
"Tidak apa-apa, Kak. Selain itu, tampaknya jalan
ini lebih dekat ke desa yang berada di atas bukit."
"Baiklah kalau begitu, kita akan melewati jalan
mendaki ini." Belum sempat mereka melangkah, tiba-tiba
mereka mendengar suara derap kaki kuda mendekat.
"Kak! Jangan-jangan... itu Pak Gahar," ucap
Dewi resah. Bobby memandang kekasihnya yang tampak
ketakutan, "Kalau begitu... ayo, Wi! Lekas kita
sembunyi!" ajaknya kemudian.
Lalu dengan segera, kedua muda-mudi itu
bersembunyi di balik semak yang berada di bawah
187 jalan setapak. Dan tak lama kemudian, kedua ekor
kuda yang ditunggangi Pak Gahar dan Pak Amir
tampak mulai melintas. Bobby dan Dewi tampak
menahan nafas. Lalu dengan perasaan berdebar,
keduanya terus mengamati kedua penunggang kuda
itu, hingga akhirnya mereka bisa bernafas lega karena
kedua penunggang kuda itu telah pergi jauh melintasi
jalan yang landai. "Ayo, Wi! Mereka sudah pergi jauh!" ajak Bobby
seraya menggandeng lengan kekasihnya melewati
jalan yang mendaki, kemudian dengan sangat berhati-hati keduanya berusaha menyusuri undakan yang
menanjak. "Pengang erat-erat tanganku, Wi!"
"Iya, Kak," ucap Dewi menurut.
Keduanya terus mendaki, menyusuri tebing terjal
yang licin dan tampak tidak bersahabat. Ketika hampir
melewati undakan terakhir, tiba-tiba Dewi tergelincir.
Gadis itu terpekik sambil terus berpegangan pada
tangan kekasihnya. Pada saat itu, Bobby tampak
berusaha keras menahan kekasihnya agar tidak
188 meluncur ke bawah. "Ayo Wi, pegang tanganku yang
satu lagi!" pinta pemuda itu seraya meraih tangan
Dewi yang satunya. Sambil terus memegang kedua tangan Bobby,
Dewi tampak berusaha bangkit, hingga akhirnya gadis
itu bisa berdiri kembali di salah satu undakan. Saat itu,
wajah Dewi tampak sedikit pucat lantaran
keterkejutannya yang tak terkira. Tak lama kemudian,
kedua muda-mudi itu sudah kembali mendaki, mereka
terus mendaki dengan susah payah, hingga akhirnya
mereka sampai di tanah yang agak landai.
"Wi, sebaiknya kita beristirahat di tempat ini.
Lihatlah... sebentar lagi malam akan tiba. O ya,
bisakah kau membantuku mencarikan ranting dan
rumput kering. Aku sendiri akan mencari pohon yang
sesuai untuk tempat kita beristirahat."
Setelah berkata begitu, Bobby segera mencari
pohon yang dimaksud. Dan tak lama kemudian dia
sudah menemukannya. Kini dia sedang membuat alas
tidur dengan ranting beserta rumput-rumput kering
yang dicarinya bersama Dewi. Dia membuatnya di
189 atas pohon yang memang tidak terlalu tinggi. Hingga
akhirnya keduanya tampak menaiki pohon itu dan
beristirahat hingga pagi hari.
Pagi harinya, Dewi sudah terbangun. Betapa
terkejutnya dia ketika melihat see
kor ular tengah bergelantungan tak jauh dari tempatnya duduk. " Kak!
Ba-bangun, Kak. A-ada ular!" serunya panik.
Bobby pun segera bangun dan melihat apa yang
terjadi. Saat itu, seekor ular besar tengah merayap di
dahan tempat mereka beristirahat. "O... ular sanca.
Biarkan saja, Wi! Paling dia hanya mau lewat,"
katanya ringan. Kini ular itu merayap begitu dekat dengan Dewi. "
Kak, tolong jauhkan ular itu, aku takut sekali," katanya
seraya memeluk pemuda itu.
"Tenang saja, Wi! Ular itu tidak akan
memangsamu, sepertinya dia sedang kenyang. Kalau
190 kau banyak bergerak seperti ini justru akan menarik
perhatiannya." Dewi pun menurut, dia mencoba untuk tenang
dan tidak bergerak sama sekali. Sedangkan Bobby
tampak tenang-tenang saja, dia melihat ular itu
memang sedang kenyang dan tidak berbahaya.
Setelah ular itu menjauh, Dewi kembali melepaskan
pelukannya sambil terus memperhatikan ular yang
kian jauh merayap. "Ayo, Wi! Kita sarapan! Setelah itu kita lanjutkan
perjalanan." Iya, Kak. Aku pun sudah lapar sekali, kata Dewi
seraya mengeluarkan perbekalan yang mereka bawa.
Tak lama kemudian, keduanya tampak menikmati
sarapan dengan lahapnya. Setelah kenyang, mereka
terlihat duduk sambil berbincang-bincang.
"Kak, ngomong-ngomong... apa mereka sudah
sampai di Desa Mahoni"" tanya Dewi.
"Tentu saja, Wi. Mungkin saat ini mereka sudah
memasuki gerbang desa."
191 "Sayang sekali ya, Kak. Seharusnya kan mereka
pergi ke Desa Jati."
"Benar, Wi. Kita memang telah salah duga.
Tapi..." "Tapi apa, Kak""
"Kita masih mempunyai satu peluang, Wi. Jika
mereka tidak menemukan kita di Desa Mahoni,
mungkin mereka akan menyadari kekeliruannya,
hingga akhirnya mereka akan termakan tipuan kita."
Mereka terus berbincang-bincang, sampai
akhirnya mereka turun dari atas pohon dan
melanjutkan perjalanan. Sementara itu di Desa
Mahoni, Pak Gahar dan Pak Amir baru saja selesai
sarapan. Kini mereka sedang berbincang-bincang di
sebuah warung kecil tempat mereka sarapan. Pak
Gahar tampak begitu kesal karena orang yang
mereka cari tidak ada di desa itu. "Masa tidak ada
seorang pun yang melihat, seharusnya kan mereka
sudah tiba di desa ini," keluh Pak Gahar.
"Mungkin mereka memang belum sampai," duga
Pak Amir. 192 "Tidak mungkin, Mir. Menurut perhitunganku, jika
mereka berjalan kaki dari Desa Sengon ke desa ini,
seharusnya mereka itu memang sudah sampai.
Jangan-jangan..." Pak Gahar tampak berpikir.
"Jangan-jangan apa, Har"" tanya Pak Amir
penasaran. "Jangan-jangan mereka menipu kita, Mir."
"Mereka siapa, Har""
"Ya... kedua orang yang sedang kita cari itu."
"Bobby dan Dewi menipu kita, maksudmu"" Pak
Amir tampak bingung. "Ya mereka pasti mencoba menipu kita. Kau
masih ingat kan, dengan sapu tangan yang kita
temukan di saung." "Ya, aku ingat."
"Nah... sepertinya tidak mungkin sapu tangan itu
terjatuh begitu saja. Mereka pasti sengaja
meletakkannya. Bukan begitu, Mir""
"Iya ya... terus..."
"Mereka ingin mengakali kita agar seakan-akan
memang pergi ke desa ini, yaitu dengan
193 meninggalkan jejak sedemikian rupa. Ya... seperti
tertinggal saja..." "Terus... terus."
"Aku rasa mereka tidak menuju ke desa ini
maupun ke Desa Cendana, tapi menuju ke Desa Jati.
Bukankah saung tempat kita menemukan sapu
tangan itu hanya lima ratus meter dari persimpangan
ke Desa Jati. Mungkin saja mereka sengaja
meletakkan sapu tangan itu dan kembali lagi ke
persimpangan, kemudian langsung menuju ke Desa
Jati." "Tapi kata Pak Kepala Desa Sengon mereka
pergi ke sini." "Amir... Amir. Kau percaya" Mana mungkin orang
yang menjadi buronan memberitahu arah larinya
kepada orang lain." "Iya juga ya, Har."
"Ha ha ha...! Mereka memang cerdik, tapi
mereka tidak bisa mengakali aku yang sudah malang-melintang di dunia tipu-menipu," kata Pak Gahar
sombong. 194 "Kau memang pinta, Har," kata Pak Amir memuji.
Pak Gahar semakin tinggi hati dipuji seperti itu,
dia terus saja membangga-banggakan dirinya.
"Ayo, Mir! Kita berangkat sekarang!"
"Mari, Har!" Keduanya lantas bergegas menuju ke kuda
masing-masing, dan tak lama kemudian mereka
sudah memacunya menuju ke Desa Jati. Sementara
itu, Bobby dan Dewi masih da
lam perjalanan ke Desa Mahoni. Mereka berjalan sambil berbincang-bincang.
"Kak, tipuan kita kemarin dengan sapu tangan itu
kan tidak berhasil. Ternyata Pak Gahar memang
menyangka kita pergi ke Desa Mahoni. Bagaimana
jika peluang yang kau katakan tidak terbukti""
"Kita berdoa saja, Wi. Semoga Pak Gahar
termakan tipuan kita. Semula aku memang telah salah
duga. Kupikir dia itu pintar, tapi ternyata sangat bodoh,
dia percaya saja dengan sapu tangan itu. Seharusnya
jika dia pintar, dia pasti akan langsung menuju ke
Desa Jati setelah menemukan sapu tangan yang
sengaja kita letakkan di Saung. Semoga kali ini dia
195 pintar. Jika dia tidak menemukan kita di desa itu, dia
akan menyadarinya dan langsung menuju ke Desa
Jati." Mereka terus melangkah sambil berbincang-bincang. Menjelang tengah hari, akhirnya mereka tiba
di gerbang desa. Kini mereka sedang melangkah
menuju warung tempat Pak Gahar dan Pak Amir
sarapan. "Permisi, Pak! Apa Bapak melihat dua orang
penunggang kuda datang ke desa ini"" tanya Bobby
kepada si pemilik warung,
"O... iya, Den. Tadi pagi, mereka sarapan di
warung ini. Mereka sedang mencari sepasang muda-mudi. Apakah yang mereka cari itu kalian""
"Benar, Pak. Mereka memang mencari kami. O
ya, kalau boleh kutahu, ke mana arah mereka, Pak""
"Kalau tidak salah dengar, tadi mereka
menyebut-nyebut Desa Jati, dan kalau dilihat dari arah
perginya sepertinya mereka memang pergi ke sana,
Den." 196 Bobby memandang Dewi dengan mata yang
berbinar, kemudian dia tersenyum kepada
kekasihnya. Dewi pun tampak tersenyum, dia begitu
senang mengetahui kalau tipuan mereka telah
termakan. Kini Bobby kembali bertanya kepada
Penjual tadi, "O ya, Pak. Aku mau ke rumah Kakek
Yuda, bisakah Bapak menunjukkan di mana rumah
beliau." "O, tentu saja, Den. Ngomong-ngomong Aden ini
siapanya Kakek Yuda""
"Bukan siapa-siapanya, Pak. Aku hanya diminta
mengantarkan amanat dari Kakek Brata."
"Kakek Brata!" kata pemilik warung agak terkejut.
"Benar, Pak." "Tapi... kenapa tidak beliau sendiri yang kemari,
bukankah beliau yang akan memimpin upacara ritual
di desa ini"" Bobby pun segera menceritakan perihal Kakek
Brata. Pada saat itu pemilik warung tampak sedih
begitu mendengar cerita itu. "Kasihan Kekek Brata,"
katanya dengan wajah yang terlihat berduka. "Kalau
197

Karunia Mutiara Cinta Karya Bang Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu, aku akan mengantarkan Aden sampai ke
rumah kakek Yuda," katanya kemudian. "Mbok! Aku
pergi dulu ke rumah kakek Yuda!" teriaknya
berpamitan kepada istrinya yang sedang menggoreng
singkong. "Iya Pak!" teriak si Istri.
"Mari, Den, Non!" ajak si Pemilik Warung kepada
Bobby dan Dewi. Kini ketiganya mulai melangkah menuju ke
rumah kakek Yuda. Di tengah perjalanan, Bobby
tampak berbincang-bincang dengan si Pemilik
warung. "Pak" Tadi Bapak mengatakan akan ada
upacara di desa ini. Memangnya upacara ritual apa""
tanyanya penuh keingintahuan.
"O, itu upacara pengusiran bala, Den. Di desa ini
setiap musim hujan selalu saja tertimpa bencana
longsor, untuk itulah diadakan upacara untuk menolak
bala." "Kenapa orang-orang di desa ini masih percaya
dengan upacara seperti itu, Pak" Bukankah hal
seperti itu seharusnya sudah ditinggalkan""
198 "Memang, Den. Sebenarnya banyak desa-desa
tetangga yang sudah meninggalkan upacara itu. Tapi
karena di desa ini sering terjadi longsor, mau tidak
mau upacara itu harus dilaksanakan."
"Memangnya hal seperti itu dibenarkan menurut
ajaran agama"" "Wah, kalau soal itu. Aku juga tidak tahu, Den.
Aku sendiri juga bingung, soalnya ada banyak
pendapat mengenai hal itu."
Setelah menempuh perjalanan yang tidak begitu
jauh, akhirnya mereka tiba di rumah kakek Yuda. Kini
mereka tengah duduk bersama si kakek di sebuah
teras yang begitu teduh. Saat itu Bobby langsung
menceritakan perihal kakek Brata yang telah
meninggal dunia, kemudian langsung memberikan
amanat yang dibawanya. Malam harinya, upacara pengusiran bala pun
dimulai. Bobby dan Dewi menyaksikan ritual itu
199 dengan antusias. Di atas sebuah altar kayu, kakek
Yuda terlihat menggenggam keris berlekuk tujuh.
Sementara itu di atas altar tergeletak seekor domba
yang siap dikorbankan. Setelah membaca mantra-mantra, kake
k Yuda segera menghujamkan kerisnya
pada domba yang terikat erat. Kemudian darah yang
mengalir dari domba itu segera ditampung ke dalam
sebuah bejana perunggu yang memang sudah
dipersiapkan. Setelah mengucapkan mantra-mantra,
sang Kakek terlihat membawa bejana itu keliling desa
dengan diiringi beberapa orang pembawa obor,
kemudian beliau tampak menumpahkan darah itu ke
setiap sudut desa. Kini sang Kakek sudah kembali ke depan altar
dan kembali membaca mantra-mantra, dan tak lama
kemudian beliau memerintahkan kepada beberapa
orang untuk mengangkat domba yang baru
dikorbankan itu untuk dikubur di sebuah lubang yang
sudah digali di tengah desa. Setelah upacara selesai,
mereka segera kembali ke rumah masing-masing.
200 Saat itu, Bobby dan Dewi menginap di rumah
Kakek Yuda. Dewi yang sudah begitu mengantuk
langsung pergi tidur bersama cucu perempuan sang
Kekek di sebuah kamar yang cukup nyaman.
Sedangkan Bobby yang belum mengantuk tampak
masih bercakap-cakap dengan sang Kakek di ruang
tamu. "Kek, kenapa ritual seperti itu masih
dilaksanakan" tanya Bobby penasaran.
"Ini adalah sebuah usaha, Nak."
"Maksud Kakek""
"Ya selain berdoa kepada Tuhan, kita juga harus
berusaha. Untuk itulah upacara tadi dilaksanakan""
"Memangnya hal itu dibenarkan menurut ajaran
agama Islam." "Itu tergantung kepada penafsiran masing-masing, Nak."
"Aku masih belum mengerti maksud, Kakek""
"Begini, Nak. Untuk mempermudah
pemahamanmu, kakek akan mengumpamakannya
dengan sebuah jimat yang sering dipergunakan
201 sebagai penangkal bahaya. Biasanya jimat itu
digunakan dengan mengandalkan bantuan roh para
leluhur, seperti juga ritual tadi. Dengan bantuan roh
para leluhur hal-hal yang bisa membahayakan
manusia bisa dihindari."
Bobby tampak mengangguk-angguk
mendengarkan penjelasan Kekek Yuda. Kini dia bisa
memahami kenapa hal itu boleh dilakukan. Hingga
akhirnya, dia pun merasa tidak perlu bertanya lagi.
Dan setelah Kekek Yuda pamit tidur, pemuda itu
segera berbaring di atas tikar pandan yang sengaja
digelar untuknya. Kini pemuda itu tengah termenung-
memikirkan semua perkataan Kakek Yuda, "Apa
benar manusia boleh meminta bantuan kepada roh"
Lagi pula, apa iya roh itu benar-benar bisa berinteraksi
dengan manusia, padahal mereka sudah berada di
alam kubur" Setahuku yang bisa begitu hanyalah Jin
fasik, sebab orang yang sudah meninggal jelas sudah
terputus amalnya, jadi tidak mungkin diizinkan untuk
tolong menolong." 202 Bobby terus merenungi masalah itu, hingga
akhirnya dia terlelap karena kantuk yang tak
tertahankan. Malam itu terasa begitu dingin, karena
hujan baru saja turun dengan lebatnya. Suara guntur
terdengar berkali-kali memecah keheningan.
Keesokan paginya, Bobby dan Dewi sangat
terkejut begitu mengetahui kalau semalam telah
terjadi longsor, dan anehnya longsor itu sama sekali
tidak mengarah ke desa, longsoran itu berubah arah
menjauhi desa. Bobby dan Dewi cuma terpana
melihat keanehan itu, ternyata upacara yang telah
dilakukan kemarin telah membuahkan hasil. Memang
begitulah tipu daya setan dalam membodohi manusia,
membuat seolah Tuhan telah menolong mereka
dengan perantara arwah para leluhur. Dengan
demikian maka akan semakin yakinlah mereka, kalau
arwah leluhur itu memang benar-benar ada. Padahal
203 Islam sudah menegaskan kalau arwah orang yang
sudah meninggal tempatnya adalah di alam Barzah.
Sesungguhnya bencana itu sendiri adalah
perbuatan para Jin fasik, sebab jika manusia semakin
sesat maka energi mereka akan terserap oleh para
Jin fasik itu, hingga akhirnya membuat power mereka
kian bertambah kuat. Apalagi jika mereka dihormati,
dipuja-puji, dan diberi berbagai persembahan maka
kekuatan mereka pun akan semakin menjadi-jadi.
Di mata manusia yang tersesat, mereka itu di
anggap roh leluhur yang baik hati, tidak pernah
berdusta dan suka menolong. Padahal pada
kenyataannya, mereka yang membuat bencana,
mereka pula yang menanggulanginya, dengan
maksud semakin menyesatkan manusia. Jika power
mereka sudah semakin kuat dan iman manusia kian
melemah, maka manusia akan semakin bergantung
kepada mereka. Padahal, jika manusia mau
menggantungkan diri h anya kepada Allah, maka para
Jin fasik tak akan pernah mempunyai kekuatan apa-apa. Jangankan meruntuhkan gunung, menampakkan
204 diri saja mereka tidak akan sanggup. karena itulah,
orang yang tersesat akan lebih mudah melihat mereka
(saat menjelma sebagai roh leluhur) dari pada orang
yang tidak mempercayainya sama sekali.
Menjelang tengah hari, Bobby dan Dewi sudah
siap berangkat menuju ke Desa Cendana. Kini
keduanya sedang berpamitan dengan kakek Yuda.
"O ya, Nak Bobby... Ini ada kenang-kenangan
dari kakek, jagalah benda ini baik-baik!" kata kakek
Yuda seraya menyerahkan sebilah keris kecil berlekuk
tujuh yang panjangnya hanya 6 cm.
"Tapi Kek..." "Sudahlah terima saja!"
"Baiklah, Kek. Terima kasih!"
Setelah menerima keris itu, Bobby dan Dewi
segera pamit meninggalkan desa. Kini kedua muda-mudi itu sedang dalam perjalanan, sinar mentari yang
cerah telah membuat jalan setapak yang mereka lalui
tampak mulai mengering. Sementara itu di Desa Jati,
Pak Gahar dan Pak Amir sedang berbincang-bincang.
Mereka sedang membicarakan buruan mereka yang
205 ternyata tidak ada di desa itu. "Brengsek! Mereka
memang licik," keluh Pak Gahar yang ternyata
menyadari dirinya telah diakali oleh buruannya. "Mir,
kau ada ide tidak"" tanyanya kemudian.
"Maaf, Har. Aku sama sekali tidak mempunyai
ide." "Eng... Kalau begitu, bagaimana kalau kita
kembali ke Desa Mahoni""
"Percuma saja, Har. Aku pikir mereka sudah
pergi dari desa itu."
"Kau benar, Mir. Bagaimana kalau kita menuju ke
Desa Cendana. Aku yakin mereka pasti pergi ke
sana." "Jangan, Har! Sebaiknya kita ke Bandung saja.
Aku yakin, mereka pasti berniat pergi jauh, dan
mereka pasti akan membeli perbekalan di Bandung,"
anjur Pak Amir berusaha meyakinkan Pak Gahar.
Maklumlah, saat itu Pak Amir memang yakin sekali
kalau Bobby dan Dewi pasti menuju ke Desa
Cendana. Sebab di Desa Mahoni maupun di Desa Jati
memang tidak dijumpai tanda-tanda keberadaan
206 mereka. Dan karena hal itulah, Pak Amir yakin kalau
mereka memang benar-benar pergi ke Desa
Cendana. "Kau benar, Har. Kalau begitu, ayo kita berangkat
sekarang!" ajak pak Gahar seraya memacu kudanya.
Saat itu, Pak Amir langsung mengikutinya di belakang.
Kedua penunggang kuda itu tampak
bersemangat, terus memacu kuda tunggangan
mereka menuju ke Bandung. Sementara itu, Bobby
dan Dewi masih dalam perjalanan.
"Kak, bagaimana kalau kita istirahat dulu! Saat
ini, aku sudah merasa lelah dan lapar."
"Iya ,Wi. Aku juga lapar sekali."
Kedua muda-mudi itu lantas mengeluarkan
perbekalan yang mereka bawa, kemudian
menikmatinya di bawah kerindangan sebuah pohon
besar. Setelah makan dan melepas lelah sejenak,
akhirnya kedua muda-mudi itu kembali melanjutkan
perjalanan. "Kak! Bagaimana jika kita tidak usah pergi
ke Desa Cendana. Terus kita pergi ke mana, Wi"
207 Eng... Bagaimana kalau kita pergi ke Bandung
saja. Bukankah dari kota itu kita bisa pergi jauh."
"Kau benar, Wi. Aku khawatir, setelah mereka
mengetahui kita tidak berada di Desa Jati, mereka
pasti akan menuju ke Desa Cendana."
Akhirnya, mereka pun mengubah arah tujuan.
Kini mereka sedang melangkah menuju ke Bandung
dengan penuh bersemangat.
Sembilan Esok malamnya, di sebuah penginapan yang
berada di Bandung. Dua orang lelaki tampak
sedang berbincang-bincang, mereka adalah Pak
Gahar dan Pak Amir yang baru saja selesai menikmati
santap malam. "Mir, sekarang aku mau istirahat sebentar.
Sebaiknya sekarang kau pergi untuk mengetahui
laporan anak buahku yang ada di kota ini! Bukankah
tadi siang kita sudah menyebarkan foto Dewi pada
mereka." perintah Pak Gahar.
"Baik, Har. Sekarang juga aku berangkat," pamit
Pak Amir seraya bergegas pergi.
Kini lelaki itu sedang melangkah menuju ke
tempat anak buah Pak Gahar biasa berkumpul.
Betapa terkejutnya dia ketika melihat Bobby dan Dewi
tampak sedang makan di sebuah warung pinggir
jalan. Saat itu juga, Pak Amir langsung bergegas
209 menghampiri mereka dan menceritakan perihal Pak
Gahar yang juga berada di kota itu. "A-apa""" Ja-jadi
Pak Gahar berada di kota ini." Bobby tampak terkejut.
"Benar, anak muda. Sebaiknya sekarang juga
kalian pergi dari kota ini!"
"Tap i, Pak... sekarang kan sudah malam. Lagi
pula, kami terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan."
"Ya sudah kalau begitu, untuk sementara kalian
boleh istirahat malam ini. Tapi ingat, besok pagi kalian
harus cepat-cepat pergi."
"Baik, Pak. Kami akan secepatnya meninggalkan
kota ini." "Nah, kalau begitu aku pergi dulu. O ya, aku


Karunia Mutiara Cinta Karya Bang Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sarankan kalian berhati-hati, sebab anak buah Pak
Gahar banyak berkeliaran di kota ini."
"Baik, Pak. Terima kasih!"
Pak Amir segera melanjutkan niatnya, sedangkan
Bobby dan Dewi segera bersiap-siap mencari
menginapan. Ketika mereka sedang memesan
sebuah kamar, sepasang mata tampak mengawasi.
Rupanya seorang anak buah Pak Gahar yang
210 mengenal Dewi sedang menginap di tempat itu. Bobby
dan Dewi yang tidak menyadari akan hal itu tampak
tenang-tenang saja, mereka beristirahat di sebuah
kamar yang tidak terlalu besar sambil berbincang-bincang dengan santainya.
"Kak! Besok kita pergi ke mana""
"Bagaimana kalau besok kita pergi ke Jakarta,
kau bisa tinggal di rumahku."
"Tapi, bagaimana jika mereka mencari kita ke
sana"" "Kita tinggal di sana untuk sementara saja.
Setelah aku menambah perbekalan uang dan
keperluan lainnya, kita bisa pergi ke rumah temanku di
Palembang." Kedua muda-mudi itu terus berbincang-bincang
mengenai rencana pelarian mereka. Dan ketika hari
sudah semakin larut, mereka lantas bergegas tidur.
Malam itu, Dewi tidur di atas tempat tidur, sedang kan
Bobby di lantai dengan beralaskan tikar lipat miliknya.
211 Esok paginya, Bobby dan Dewi sudah bersiap-siap meninggalkan penginapan. Namun belum
sempat mereka keluar penginapan, tiba-tiba mereka
sudah dihadang oleh beberapa orang yang
berperawakan kekar. "Ha ha ha...! Sekarang kalian sudah tidak bisa ke
mana-mana lagi. Lebih baik menyerah saja!" kata Pak
gahar yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang mereka.
Mengetahui itu, Bobby dan Dewi tak punya pilihan
lain, mereka terpaksa menyerahkan diri. Kini mereka
tengah digelandang ke rumah orang tua Dewi yang
berada di Desa Sengon. Setibanya di sana, Bobby
langsung diperlakukan dengan tidak manusiawi.
Tubuhnya yang sudah tak berdaya karena perlakuan
kasar selama perjalanan, tampak terikat erat pada
tiang bambu yang berdiri kokoh. Sekujur tubuhnya
terus dihajar habis-habisan, bahkan telapak
tangannya sempat disiksa dengan disundut cerutu
sampai beberapa kali. 212 "Tolong hentikan, Ayah! Biarkan dia hidup...
biarkan dia hidup...!" ratap Dewi meminta kepada
Ayahnya. "Terus... hajar dia! Biar dia tahu rasa!" seru sang
Ayah. "Jangan ayah! Dewi mohon, hentikanlah!" Dewi
kembali meratap sambil berlutut dan memegang
tangan Ayahnya. "Ayah... Dewi mohon, lepaskanlah dia! Dia tidak
bersalah Ayah, Dewilah yang telah memintanya untuk
membawa pergi dari desa ini. Ayah... lepaskanlah dia!
Dewi berjanji untuk menuruti semua keinginan Ayah.
Sekali lagi Dewi memohon, tolong hentikan...! Bobby
memang tidak bersalah..." Dewi terus memohon
dengan air mata yang terus berderai.
Mendengar ratapan Dewi yang begitu lirih,
akhirnya hati Sang Ayah tersentuh juga, "Baiklah...
ayah akan lepaskan dia. Tapi ingat, kau harus
menuruti kata-kata Ayah."
"Terima kasih, Ayah!" ucap Dewi dengan air
matanya yang masih saja berderai.
213 "Hei, hentikan! Biarkan dia pergi dari sini!" seru
ayah Dewi lantang. "Tapi, Pak..." "Sudahlah...! Biarkan saja dia hidup!"
Tak lama kemudian, Bobby sudah dibiarkan pergi
dengan tubuh penuh luka. Saat itu, kedua matanya
tak bisa melihat jelas, semua itu akibat darah yang
menghalangi pandangan. Sambil menahan rasa sakit,
Bobby terus melangkah, berusaha keras mencapai
rumah Pamannya. Setibanya di rumah sang Paman, Bobby tampak
terkejut. Dilihatnya semua perabotan yang ada di
rumah itu tampak hancur berantakan, suasana pun
tampak hening tak ada aktifitas. Belum hilang rasa
bingungnya, tiba-tiba seseorang datang menghampiri.
"Bobby... apa yang terjadi padamu, Nak"" tanya
orang itu prihatin melihat keadaan Bobby yang babak
belur. Bobby tidak menjawab, dia menatap orang itu
dengan pandangan sedih. "Apa yang telah terjadi
dengan Paman dan Bibiku, Pak"" tanyanya kemudian.
214 "Tabahkan hatimu, Nak...!" kat
a orang itu seraya membantunya duduk di sebuah gelondong kayu.
Kemudian dia melanjutkan kata-katanya, "Mereka
telah tiada, Nak. Beberapa hari yang lalu mereka telah
ditemukan dengan kondisi yang begitu
memprihatinkan." "Siapa yang telah melakukan semua itu, Pak""
"Aku sendiri tidak begitu tahu, tapi... menurut
kabar angin mereka dibunuh oleh anak buah
Wangsa." Mengetahui itu, Bobby sudah tidak bertanya-tanya lagi. Kini airmatanya tampak berderai bersama
darah yang keluar dari kelopak matanya. Sungguh dia
tidak menduga, akibat melarikan anak gadis orang,
semuanya harus dibayar dengan kehilangan orang-orang yang selama ini dicintainya.
Esok malamnya, di langit tampak awan hitam
yang bergulung-gulung. Sekilas kilat membias dengan
215 diiringi bunyi halilintar yang menggelegar keras. Tak
lama setelah itu, hujan pun turun dengan disertai
angin kencang yang berhembus menerpa dedaunan
basah. Beberapa kali kilat kembali membias dengan
iringan guntur yang menggelegar keras. Saat itu,
udara terasa semakin dingin, terus menyebar
menyelimuti malam yang kelam.
Di dalam kamar, seorang gadis sedang
memandang ke luar jendela, kedua matanya yang
basah oleh air mata tampak menatap kosong ke
lebatnya hujan. Kini dia menggigit bibirnya, bersamaan
dengan itu, air matanya kembali mengalir. "Oh, Kak
Bobby... inikah takdir yang harus aku jalani. Besok
aku akan menjadi istri Wangsa dan..." Dewi
meneteskan airmatanya lagi, dia begitu sedih
membayangkan apa yang akan terjadi setelah
menjadi istri Wangsa. Sesekali kilat membias
menerangi wajahnya yang murung. " Kak Bobby... aku
akan selalu mencintaimu, cintaku hanya untukmu.
Wangsa hanya bisa memiliki tubuhku, tapi tidak
hatiku. Oh, Kak Bobby... Aku menyayangimu."
216 Dewi terus meratapi nasibnya, hingga akhirnya
dia bisa pasrah menerima semua itu. Sementara itu di
jalan tol, sebuah bis tampak melintas. Di dalam bis,
terlihat seorang pemuda yang sedang duduk sambil
memandang ke luar jendela, kedua matanya tampak
berkaca-kaca. Rupanya pemuda itu sedang dalam
perjalanan ke Jakarta. Pemuda bernama Bobby itu terus menatap ke
lebatnya hujan yang senantiasa mengiringi
perjalanannya. Luka memar yang dideritanya masih
terlihat jelas, namun luka itu tidak sepedih apa yang
dirasakan di hatinya. Ingin rasanya dia membalas
semua itu, namun apa daya jika dia tak punya kuasa
apa-apa. Tidak seperti Wangsa yang memang sangat
berkuasa. Bahkan, hukum pun bisa dibeli dengan
uangnya. "Oh Dewi... aku sangat mencintaimu. Selama
pelarian, banyak sudah kenangan indah yang kita
alami bersama, dan aku tidak akan bisa melupakan
semua itu. Wi... aku sangat sayang padamu, hatiku
begitu pilu jika membayangkanmu menjadi istri
217 Wangsa." Bobby meneteskan air matanya, dia benar-benar sedih membayangkan orang yang begitu
dicintainya akan diperlakukan tidak manusiawi oleh
Wangsa. "Oh Tuhan... apakah ini hukuman untukku
yang telah banyak berbuat dosa" Sehingga aku harus
merasakan penderitaan ini sebagai hukuman atas
dosa-dosa yang telah kuperbuat."
Tiba-tiba renungan Bobby buyar seketika, di
dalam bis berkumandang alunan tembang indah dari
Raihan-sebuah grup nasyid yang cukup terkenal dari
negeri Jiran Malaysia. Wahai Tuhan... ku tak layak ke surga-Mu...
namun tak pula aku sanggup ke neraka-Mu...
ampunkan dosaku terimalah taubatku...
sesungguhnya Engkaulah pengampun dosa-dosa
besar. ...Dosa-dosaku bagaikan pepasir di pantai...
dengan rahmat-Mu ampunkan daku... oh Tuhan-ku...
Wahai Tuhan... selamatkan kami ini dari segala
kejahatan dan kecelakaan... kami takut kami harap
218 kepada-Mu... suburkanlah cinta kami kepada-Mu...
kamilah hamba yang mengharap belas dari-Mu...
Setelah mendengar tembang itu, Bobby
langsung termenung. Lagi-lagi airmatanya tampak
berderai, rupanya pemuda itu telah menyadari kalau
selama ini dia telah berdosa besar. Dia masih
mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil,
larangan agama masih banyak yang dilanggar. Saat
itu juga Bobby segera bertaubat, memohon ampun
kepada Tuhannya, kemudian dia berharap untuk bisa
menyuburkan rasa cintanya, juga berharap bisa
mendapat belas kasih-Nya. Kini pemuda itu tam
pak menadahkan tangan, meminta petunjuk kepada
Tuhan guna meraih cita-citanya.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan
lama, akhirnya Bobby tiba di Jakarta. Saat itu di
terminal Kampung Rambutan terlihat ramai. Orang-orang terlihat naik-turun dari bis kota, dan para
pedagang asongan tampak ramai menawarkan
barang dagangannya. Kini Bobby menaiki sebuah
angkot dan duduk di bagian belakang. Lama dia
219 menunggu, hingga akhirnya angkot itu berangkat
meninggalkan terminal Kampung Rambutan.
Setibanya di muka rumah, Bobby tampak
terkejut. Saat itu dia melihat rumahnya sudah hangus
terbakar, yang tertinggal hanyalah puing-puing yang
menghitam. Kini pemuda itu menatap kosong ke puing
bangunan yang menghitam itu, kesedihan yang
mendalam seketika terpancar di wajahnya yang kusut.
"Nak Bobby. Kaukah itu"" sapa seseorang tiba-tiba.
Bobby pun segera menoleh, dilihatnya seorang
lelaki tua tampak memandangnya dengan heran.
Ternyata orang itu ketua RT di kampungnya. "Apa
yang telah terjadi denganmu, Nak" Kenapa dengan
wajahmu"" tanya Pak RT prihatin.
"Ceritanya panjang, Pak," jawab Bobby, "O ya,
Pak. Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan
rumahku" Apakah Ibuku baik-baik saja"" tanyanya
kemudian. "Nak... Tabahkan hatimu! Terimalah semua ini
dengan penuh kesabaran. Karena Ibumu..." Pak RT
220 tidak melanjutkan kata-katanya. Matanya memandang
Bobby dengan penuh prihatin, kemudian kedua
tangannya memegang pundak pemuda itu. "Ibumu
sudah tiada, Nak"" katanya kemudian.
Mendengar itu, Bobby pun langsung
mengeluarkan air matanya. Dia benar-benar tidak
menyangka, ibu yang begitu dicintainya telah pergi
untuk selama-lamanya. Kini dia tampak melangkah
mendekati reruntuhan rumahnya, saat itu air matanya
tampak mengalir deras. Wajahnya yang murung
dengan duka mendalam, terus memandang ke arah
rumah yang sudah habis terbakar.
Kini Bobby telah hidup sebatang-kara-dia sudah
tidak punya siap-siapa lagi. "Ya Tuhan, kenapa hal
buruk selalu menimpa diriku. Setelah kekasihku
diambil orang, lalu paman dan bibiku terbunuh, dan
kini Kau mengambil ibuku-orang yang paling aku
cintai. Ya Tuhan, hukuman apa lagi yang akan Kau
timpakan padaku kemudian" Berilah aku petunjuk-Mu,
agar aku bisa tabah menghadapi segala cobaan ini,"
Bobby membatin. 221 "Sudahlah, Nak! Relakan saja kepergian ibumu!
Kalau kau ingin ke makam Ibumu, Bapak bisa
mengantarmu sekarang," kata Pak RT. Merasa iba
seraya menepuk-nepuk bahu pemuda itu.
Bobby tidak berkata-kata, dia terlihat cuma
menganggukkan kepalanya. Tak lama kemudian,
keduanya tampak sudah melangkah menuju ke tanah
pemakaman yang letaknya lumayan jauh. Setelah
lama berjalan, akhirnya mereka mulai memasuki area
pemakaman. Pohon-pohon kamboja tampak tumbuh
dengan suburnya. Terpaan angin yang lumayan besar
sempat membuat bunga-bunga di pohon itu jatuh


Karunia Mutiara Cinta Karya Bang Bois di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berguguran. Bobby dan Pak RT terus melangkah melewati
deretan makam yang tampak tak terawat, hingga
akhirnya mereka tiba di sebuah makam yang
tanahnya masih terlihat kemerahan. Kemudian kedua
orang itu segera berjongkok dengan kedua tangan
menadah ke atas, mendoakan Ibu Bobby yang belum
lama meninggal dunia. Setelah itu, Pak RT
222 membiarkan Bobby seorang diri, dia sendiri segera
melangkah ke sebuah makam yang tidak terlalu jauh.
Di depan makan Ibunya, Bobby kembali
menangis. Dia benar-benar merasa kehilangan
seorang Ibu yang begitu dicintainya, "Bu... Maafkan
Bobby, Bu...! Bobby benar-benar menyesal karena
telah meninggalkan Ibu hingga jadi begini. Bobby akan
selalu berdoa agar Ibu tentram di alam sana, dan
Bobby akan selalu berdoa untuk Ibu...."
Derai air mata pemuda itu terus bercucuran, lalu
dengan lembut pemuda itu membelai pusara makam
Ibunya, "Bu... Bobby akan selalu melaksanakan apa
yang telah Ibu ajarkan selama ini, dan Bobby akan
selalu ingat pesan-pesan Ibu itu."
Bobby terus berada di makam ibunya, hingga
akhirnya Pak RT. Mengajaknya pulang untuk singgah
dan beristirahat di rumahnya.
Sepuluh Semenjak kematian Ibunya, Bobby memutuskan
untuk berkelana ke luar negeri. Pemuda itu ingin
memperdalam pengetahuan agamanya di sebuah
negara yang konon menjadi salah satu temp
at rujukan yang baik untuk menuntut ilmu. Sebelum berangkat ke
sana, pemuda itu berniat pergi ke Malaysia untuk
transit dan menemui temannya yang ada di negara itu.
Karena tak mempunyai cukup uang, akhirnya Bobby
memutuskan untuk pergi ke Malaysia melalui jalur
laut, yaitu melalui Pulau Sumatera.
Lalu dengan berbekal seadanya, pemuda itu
segera berangkat ke Palembang. Di sana dia
langsung menemui temannya yang memang
berpengalaman dalam mengurus surat-surat yang
diperlukan. Dan temannya yang warga palembang itu
dengan senang hati mau membantunya. Setelah
224 semua surat-suratnya siap, akhirnya Bobby berangkat
ke Riau dan langsung berlayar ke Malaysia.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup
melelahkah, akhirnya Bobby tiba di dermaga Malaka.
Kemudian pemuda itu segera turun dari atas kapal
dan bergegas menuju ke terminal bis. Saat itu, orang-orang terlihat hilir-mudik dengan segala keperluannya
masing-masing, para pedagang tampak sibuk
menawarkan dagangannya kepada calon pembeli.
Bobby terus melangkah mencari bis kota yang
akan mengantarnya ke tempat tujuan. Dan setelah
dapat, pemuda itu segera masuk dan duduk
menunggu. Hingga akhirnya, bis yang ditumpanginya
mulai berangkat meninggalkan terminal. Dari dalam
bis, pemuda itu tampak terkagum-kagum melihat
keindahan bumi Melayu yang tampak elok. Hingga
akhirnya bis yang ditumpanginya mulai memasuki
kota tujuan, saat itu matanya tak henti-hentinya
memandang keindahan kota yang cukup bersih. Dan
bersamaan dengan itu, di dalam bis berkumandang
225 alunan tembang indah dari Raihan-sebuah grup
nasyid yang cukup terkenal di negeri itu.
Sebenarnya... hati ini cinta kepada-Mu...
Sebenarnya... diri ini rindu kepada-Mu... tapi aku tidak
mengerti... mengapa cinta masih tak hadir... tapi aku
tidak mengerti... mengapa rindu belum berbunga...
Sesungguhnya... walau kukutip semua permata
di dasar lautan... sesungguhnya... walau kusiram
dengan air hujan dari tujuh langit-Mu... namun cinta
tak kan hadir... namun rindu tak akan berbunga....
Kucoba mengguyurkan... semua hadiah kepada-Mu... tapi mungkin karena isinya tidak sempurna tiada
sering... kucoba menyiramnya... agar tumbuh dan
berbunga... tapi mungkin kerena airnya tidak sesegar
telaga Kautsar... Sesungguhnya... walau kukutip semua permata
di dasar lautan... sesungguhnya... walau kusiram
dengan air hujan dari tujuh langit-Mu... namun cinta
tak kan hadir... namun rindu tak akan berbunga... jika
tidak mengharap rahmat-Mu... jika tidak menagih
simpatik... padamu ya Allah.
226 Tuhan... hadiahkanlah kasih-Mu kepadaku...
Pedang Sinar Emas 4 Pendekar Mabuk 113 Tabib Sesat Cewek 2
^