Lintang Kemukus Dinihari 1
Lintang Kemukus Dinihari Karya Ahmad Tohari Bagian 1
Lintang Kemukus Dinihari (Buku Kedua Dari Trilogi)
Oleh Ahmad Tohari Edit & Convert Jar: Inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Ahmad Tohari KEMARAU di kawasan Banyumas, Jawa Tengah, pada masa kini mungkin tidak lagi sedahsyat akibatnya dibanding masa lalu, ketika hutan-hutan jati di daerah Jatilawang mengering, tanah pecah-pecah, penduduk merana kelaparan. Dulu, seperti ditunjukkan Ahmad Tohari (57), penulis yang pernah menghasilkan novel Ronggeng Dukuh Paruk, hutan menyala menjadi korban kebakaran akibat pertikaian politik yang menyusup sampai ke desa-desa pada masa sebelum 1965.
Ahmad Tohari dilahirkan di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas tanggal 13 Juni 1948. Pendidikan formalnya hanya sampai SMAN II Purwokerto. Namun demikian beberapa fakultas seperti ekonomi, sospol, dan kedokteran pernah dijelajahinya. Semuanya tak ada yang ditekuninya. Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya yang mewarnai seluruh karya sastranya.
Lewat trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (dua yang lainnya Lintang Kemukus Dinihari dan Jentera Bianglala), ia telah mengangkat kehidupan berikut cara pandang orang-orang dari lingkungan dekatnya ke pelataran sastra Indonesia. Sesuai tahun-tahun penerbitannya, karya Ahmad Tohari adalah Kubah (novel, 1980), Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982) Lintang Kemukus Dinihari (novel, 1984), Jentera Bianglala (novel, 1985), Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1989), Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1990), Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1993), Bekisar Merah (novel, 1993), Mas Mantri Gugat (kumpulan kolom, 1994).
Lintang Kemukus Dinihari Episode 1 Dukuh Paruk masih diam meskipun beberapa jens satwanya sudah terjaga oleh pertanda datangnya pagi. Kambing-kambing mulai gelisah dalam kandangnya. Kokok ayam jantan terdengar satu-satu, makin lama makin sering. Burung sikatan mencecet-cecet dari tempat persembunyiannya. Dia siap melesat bila terlihat serangga pertama melintas dalam sudut pandangnya. Dari sarangnya di pohon aren keluar seekor bajing karena tercium bau lawan jenisnya. Mereka berkejaran. Dahan-dahan bergoyangan. Tetes-tetes embun jatuh menimbulkan suara serempak. Seekor codot melintas di atas pohon pisang. Tepat di atas daun yang masih kuncup, binatang mengirap itu mendadak menghentikan kecepatannya. Tubuh yang ringan jatuh begitu saja ke dalam lubang kuncup daun pisang itu.
Jangkrik, gangsir, dan walang kerik sudah lama bungkam. Gangsir menyembunyikan diri dalam liang di tanah yang disumbat dari dalam. Walang kerik membaurkan diri dengan warna hijau dedaunan. Dia hanya bisa diketahui bila ada embusan angin. Pada saat itulah naluri memerintahkannya menggesekkan sayap sehingga terjadi suara yang khas.
Ada sebatang pohon jambu air di salah satu sudut Dukuh Paruk. Dalam kerimbunan daun-daunnya sedang dipagelarkan harmoni alam; beratus-ratus lebah madu dengan ketekunan yang menakjubkan sedang menghimpun serbuk sari. Sayap-sayapnya mendengungkan aneka nada halus dan datar, mengisi kelengangan pagi yang masih temaram. Tanah di bawah pohon jambu itu memutih oleh hamparan beribu-ribu tangkai sari. Bau wangi tanah, suara lembut sayap-sayap lebah madu dan pendar embun yang mulai menangkap cahaya dari timur.
Pucuk-pucuk nyiur dan rumpun bambu menerima kehangatan pertama pagi hari. Pancaran cahaya matahari adalah tenaga yang setiap kali membangunkan Dukuh Paruk dengan menyingkap kabut yang menyelimutinya. Dua puluh tiga rumah di pedukuhan kecil itu mulai hidup. Terdengar rengek anak-anak yang terjaga dan langsung merasa lapar. Seorang perempuan keluar menjemur kain yang basah kena ompol bayinya. Suaminya juga keluar halaman dengan tujuan berbeda. Laki-laki itu menjambret daun pisang kering untuk menggulung tembakau. Ada orang jongkok di balik semak. Tangannya mengibas mengusir agas yang merubung kepalanya. Dukuh Paruk sudah terjaga.
Hanya sebuah rumah yang masih sepi. Rumah itu mempunyai ukuran yang paling kecil di Dukuh Paruk. Penghuninya tunggal, seorang nenek yang sudah linglung. Meskipun sudah bangun, perempuan tua itu belum hendak beranjak dari tempat tidurnya, termangu-mang
u dengan matanya yang kelabu. Dalam genggamannya ada beberapa keping uang logam. Dia tidak tahu siapakah yang telah menaruh uang itu di bawah bantalnya. Nenek Rasus itu memang linglung, sudah lama linglung.
Tidak seperti biasa, beberapa hari lamanya nenek Rasus tidak tinggal seorang diri di rumahnya. Pagi itu pun dia tidak seorang diri. Seorang perempuan muda yang paling berharga di Dukuh Paruk masih tergolek di atas balai-balai dalam bilik sebelah. Srintil masih menyambung mimpi setelah menempuh malam yang paling berkesan bersama Rasus.
Seberkas sinar matahari menembus dinding bambu, lurus seperti kristal maya jatuh di pipi Srintil. Lingkaran terang yang hanya seluas uang logam mampu menyingkap rona hidup di pipi ronggeng Dukuh Paruk itu. Rambutnya yang hitam, meskipun begitu kusut, memantulkan kilau yang lembut. Ketika rona terang itu akhirnya bergerak ke arah mata, Srintil berada dalam batas jaga. Irama napasnya mulai tak teratur, bulu matanya bergerak-gerak. Akhirnya terdengar desah panjang ketika Srintil menggeliat perlahan-lahan.
Peralihan dari alam tidur ke alam jaga berlangsung sementara kelopak mata Srintil belum terbuka. Bola mata bergulir-gulir di dalam pelupuknya. Kemudian tercipta sebuah lekuk yang bagus di kedua sudut bibir Srintil. Kesadaran telah merayapinya, kesadaran bahwa lintasan hidupnya sedang memasuki batas waktu di mana Srintil merasa dirinya larut dan menyatu dengan Rasus.
Karena Srintil tidur dalam posisi miring ke arah tepi balai-balai, maka ia tetap percaya masih ada seseorang di sampingnya. Tangan kanannya digerakkan ke arah belakang dengan keyakinan yang bulat bahwa jemarinya akan jatuh ke atas sebidang dada laki-laki. Tetapi yang kemudian terasa di ujung jarinya adalah dinginnya tikar pandan. Dicobanya meraba lebih jauh. Dan kosong. Srintil cepat bangkit dan menoleh ke belakang Didapatinya dirinya tak berteman dalam bilik yang lengang itu. Mula-mula Srintil menduga, atau berharap, Rasus masih berada di sekitar rumah sedang berhajat di belakang misalnya, Namun perasaan buntu tiba-tiba menguasai dirinya setelah Srintil melihat tak ada satu pun barang milik Rasus yang tertinggal.
Dalam bilik sebelah Srintil mendapati nenek Rasus duduk hampir tanpa gerak kecuali kembang-kempis dadanya yang tak kentara. Atau sepasang mata kelabu yang bergulir ketika melihat Srintil datang.
"Di mana Rasus, Nek"" "Apa""
"Rasus, cucumu! Di manakah dia sekarang""
"Si Rasus di mana""
"Iya." "Rasus" Jadi Si Rasus sudah pulang""
"Oh, Nenek pikun. Nenek linglung. Nenek tidak melihat ke manakah Rasus pergi""
Sesaat lamanya perempuan itu kembali dalam sikap tanpa gerak. Kemudian menjulurkan tangan ke arah Srintil. Telapak tangan dibuka. Beberapa keping uang logam ada di sana. Srintil menatapnya tidak mengerti. Dan putus asa. Berbalik, menarik daun pintu dengan kasar, lalu keluar. Dicarinya tempat dari mana dia bisa memandang dengan sempurna ke arah pancuran. Rasus tidak kelihatan. Dilongoknya pekarangan kosong tempat orang-orang Dukuh Paruk biasa jongkok di balik semak. Hampa. Yang kelihatan oleh Srintil adalah sepasang burung sikatan yang sedang sibuk menyambar-nyambar lalat hijau.
Episode 2 Akhirnya Srintil menatap jauh ke seberang sawah yang sangat luas. Di sana Dawuan mulai memperlihatkan sosoknya. Kabut tipis yang menyelamuti Dawuan mengambang naik karena hangatnya sinar matahari. Dawuan dengan pasarnya. Dawuan dengan markas tentaranya di bamah pimpinan Sersan Slamet, kepada siapa Rasus pergi menggabungkan diri. Bagi Srintil, Dawuan kini berubah menjadi sosok yang angkuh.
"Oh, jadi begitu," pikir Srintil yang ingin menolak kenyataan bahwa Rasus telah meninggalkannya bahkan tanpa pamit. Dalam perkiraan ronggeng Dukuh Paruk itu semua laki-laki adalah dari jenis yang sama, yang bisa demikian gila hanya karena ingin hidup bersamanya barang satu-dua malam, tak peduli apa pun yang menjadi nilai tukarnya. Sulam, Lurah Pecikalan atau bahkan Bapak Siten Wedana adalah sebagian kecil deretan nama laki-laki yang runduk di bawah kibasan sampur Srintil. Dan ronggeng itu merasa heran mengapa ada seorang lelaki dari jenis lainnya.
Dengan keakuan yang tegar laki-laki itu lari menghindar. Boleh jadi Srintil takkan bersedih hati bila laki-laki itu bukan Rasus.
Hingga beberapa saat lamanya Srintil tetap berdiri diam. Dibiarkannya nyamuk-nyamuk belirik yang beterbangan mengelilingi tubuhnya. Beberapa ekor hinggap menghisap darah di kaki Srintil. Seekor lainnya hinggap di belakang telinga dengan perut yang makin lama makin menggantung penuh darah. Rambut di atas dahinya basah oleh kabut pagi yang mengembun. Matanya mengambang.
Dua orang anak dengan tubuh telanjang menatap Srintil dengan heran. Mata kedua anak itu adalah mata sekalian orang Dukuh Paruk yang tidak pernah berharap melihat seorang ronggeng menangis. Ronggeng bagi dunia Dukuh Paruk adalah citra sekaligus lambang gairah dan sukacita. Keakuannya adalah tembang dan joget. Perhiasannya adalah senyum dan lirikan mata yang memancarkan semangat hidup alami, semangat yang sama yang telah menerbangkan burung-burung dan memekarkan bunga-bunga. Jadi, ronggeng adalah dunia sukaria dan gelak-tawa. Kedua anak yang bertelanjang badan itu mengundurkan diri. Mereka membawa pertanyaan yang muskil: mengapa seorang ronggeng bisa menangis"
Tentu saja hanya Srintil sendiri yang bisa merasakan dirinya sedang ditarik ke luar dari keakuannya. Ada yang menelanjanginya, entah siapa dia, sehingga Srintil sedikit demi sedikit mengenal dirinya dari sisi lain. Bukan sebagai perempuan milik bersama sebuah tatapan melainkan seorang perempuan dalam arti yang paling bersahaja. Dia yang merasa tidak utuh tanpa kepastian seorang laki-laki berada dalam hidupnya; dalam hatinya dan dalam kamar tidurnya. Atau bila benar bahwa dunia yang besar ini berisi berjuta-juta dunia kecil dan dalam setiap dunia kecil itu berisi seorang laki-laki dan seorang perempuan. Srintil hanya merindukan yang kecil itu. Sebuah dunia kecil tanpa Rasus sungguh tak bisa dibayangkan oleh ronggeng Dukuh Paruk itu.
Dukuh Paruk tidak memerlukan waktu lama buat menyadari apa yang sedang terjadi atas diri Srintil. Hari berikutnya, pedukuhan kecil itu sudah hangat oleh celoteh orang-orang perempuan. Perhatian mereka tertuju kepada Srintil yang kini lebih suka diam merenung dan menyendiri. Semuanya tahu bahwa keadaan Srintil tidak bisa dipisahkan dengan Rasus yang telah meninggalkan Dukuh Paruk dan bergabung kembali dengan kelompok tentara pimpinan Sersan Slamet.
"Eh, dengar! Pernahkah terjadi seorang ronggeng mabuk kepayang terhadap seorang lelaki"" kata seorang perempuan yang bersama dua temannya sedang mencari kutu di bawah pohon nangka.
"Sepanjang yang kudengar tak ada cerita demikian," jawab perempuan kedua. "Yang baku, seorang laki-laki tergila-gila kepada ronggeng karena ronggeng memang dibuat untuk menarik hati laki-laki. Dia tidak boleh terikat kepada seorang pun. Lha, bagaimana kalau dia sendiri dimabuk cinta demikian""
"Ya, Srintil memang aneh. Nah, kalau sudah terjadi demikian maka Nyai Kartareja yang bersalah." "Nyai Kartareja""
"Iya. Kalau Nyai Kartareja berhati-hati dalam mendampingi Srintil, takkan terjadi begini. Dia mengabaikan kewajiban karena terlalu bernapsu. Srintil disuruhnya melayani sebanyak mungkin laki-laki tanpa menghiraukan adanya hari-hari pantangan, terutama pada hari kelahiran Srintil sendiri. Memang Nyai Kartareja ikut menjadi kaya. Nah, namun begini jadinya." "Sebetulnya aku bisa mengerti mengapa Srintil senang terhadap Rasus. Pokoknya tak ada yang salah. Persoalannya bila Srintil terus murung dan menolak kembali naik pentas, Dukuh Paruk jadi sepi. Itu saja yang kusayangkan."
"Tetapi aku masih percaya kepada suami-istri Kartareja. Kalau mereka bisa memasang guna-guna sehingga banyak laki-laki gandrung terhadap Srintil, mengapa mereka tidak mampu memutus tali asmara antara ronggeng itu dengan Rasus""
Ucapan yang terakhir ini memang tidak berlebihan. Kalau ada orang yang paling khawatir tentang keadaan Srintil, tentulah dia Nyai Kartareja bersama suaminya. Mereka sungguh tidak rela anak asuhannya jatuh hati kepada Rasus atau kepada laki-laki lain mana pun. Lebih-lebih lagi bila Srintil sampai berpikir tentang sebuah rumah tangga yan
g hendak dibangunnya. Martabat mereka sebagai dukun ronggeng berada dalam taruhan, dan, sumber penghasilan mereka yang subur terancam bahaya.
Maka Nyai Kartareja harus berbuat sesuatu. Tali asmara yang mengikat Srintil kepada Rasus harus
diputuskan. Mula-mula Nyai Kartareja mencari sebutir telur wukan. Telur ayam yang tertinggal
dalam petarangan karena tidak bisa menetas itu diam-diam ditanamnya di salah satu sudut kamar
tidur Srintil. Mantera pemutus asmara dibacakan.
Niyatingsun matak aji pamurung
Hadi aing tampean aing cikaruntung nantung
Ditarbuan boeh sana, manci rasa marang
Srintil marang Rasus Kene wurung kana wurung, pes mimpes dening Eyang Secamenggala
Pentil alum cucuk layu, angen sira bungker Si Srintil Si Rasus
Ker bungker, ker bungker kersane Eyang Secamanggala Ker bungker, ker bungker kersane Sing Murbeng Dumadi
Episode 3 Adalah matera; susunan kata-kata yang menyalurkan sugesti dan kekuatan alam melalui jalur nonfisika dan bebas dari hukum-hukum tentang energi maupun mekanika yang biasa. Kekuatan itu tak terelakkan kecuali oleh kekuatan lain yang segaris namun berlawanan arah. Dan, mantera yang dipasang oleh Nyai Kertareja secara tak sengaja telah mendapat tandingannya. Yaitu ketika
suatu malam Srintil ingin kencing. Karena malas keluar kamar Srintil memilih salah satu sudut kamar tidurnya sebagai tempat melepas hajat. Di sana ada bagian lantai yang gembur bekas cungkilan baru. Adalah layak bila Srintil menganggap bagian tanah tersebut bisa dikencingi karena cepat meresap air, tak peduli di tempat itulah Nyai Kartareja menanam telur wukan yang telah dimanterainya. Tanpa disadarinya Srintil melumpuhkan manterayang ditujukan kepadanya. Sudah dua kali Srintil menolak naik pentas. Perbuatan yang sangat mengecewakan suami-istri Kartareja dan terutama orang yang mengundangnya, oleh Srintil hanya diberi dalih enteng: malas!
Tetapi Srintil tidak malas melakukan perbuatan yang lucu di mata orang-orang Dukuh Paruk; bercengkerama dengan anak-anak gembala yang kebanyakan masih bertelanjang badan. Tanpa canggung Srintil ikut berlari-lari menghalau kambing. Atau duduk di bawah pohon dan membantu anak-anak gembala membuat layang-layang dari daun gadung. Srintil bisa menyatu dengan kegembiraan anak-anak yang menjadi lebih ceria karena mendapat teman bermain istimewa. Mula-mula anak-anak gembala itu merasa rikuh namun akhirnya mereka cepat akrab.
"Dulu saya juga seperti kalian, senang bermain-main di tegalan sambil menggembala kambing," kata Srintil. Tangannya sibuk membuat mainan baling-balik dari daun kelapa.
"Kakak juga pintar menangkap capung dengan getah nangka"" tanya seorang anak.
"Ah, itu gampang. Kalau mau dengan getah nangka malah bisa menangkap burung kedasih," jawab Srintil dengan gaya seorang ibu yang bijak.
"Pernah seperti ini"" kata seorang anak lainnya yang membawa tahi sapi kering yang membara sebagian. Di atas bara itu ada seekor jarigkrik yang sedang dibakar. Srintil tersenyum.
"Oh, tentu saja. Aduh, gurih nian jangkrik bakar itu, bukan""
"Kakak mau" Silakan ambil."
"Boleh"" "Ambillah!" Anak-anak memperhatikan dengan minat yang penuh ketika Srintil mengunyah jangkrik yang dibakar dalam bara tahi sapi kering itu. Semacam lambang keakraban, dan anak-anak gembala itu bersorak-sorai. Seorang yang paling besar di antara mereka maju mendekati Srintil. Di tangannya ada bambu seruas.
"Benar juga, Kakak rupanya dulu suka bermain-main seperti kami. Tetapi apakah Kakak bisa menebak isi tabung ini""
"Gangsir," jawab Srintil setelah mencoba berpikir.
"Bukan." "Buah salam." "Bukan." "Kepik hijau." "Bukan."
"Nah, aku menyerah."
"Betul"" "Ya."
Anak gembala itu membalikkan tabung hingga isinya jatuh ke tanah. Srintil menjerit dan melompat, tepat seperti gadis kecil yang ketakutan. Seekor ular angon merayap bebas setelah sekian lama terkurung dalam tabung bambu. Sekali lagi terdengar sorak-sorai anak-anak gembala. Srintil mengejar si Nakal, mencubit pahanya. Anak itu meringis, namun kelihatannya dia tidak menyesal bila Srintil terus mencubitnya.
Suatu ketika Srintil merasa benar-benar ingin menyendiri. Jenuh mendekam da
lam kamarnya ronggeng itu keluar menuju tepian dukuh. Di sana, di bawah pohon nangka Srintil dahulu menghabiskan sebagian besar waktu bermainnya. Dipungutnya selembar daun yang jatuh lalu diremasnya. Aneh, Srintil merasa ada sesuatu yang terlampiaskan ketika daun yang tak bersalah itu remuk dalam genggamannya.
Tidak jauh dari tempat itu dua ekor anak kambing melompat-lompat dalam gerakan yang amat lucu. Kemudian mereka berlomba mencari selangkangan induknya buat menetek. Ulah kedua kambing itu kelihatan kasar. Tetapi induk mereka membiarkan tetek yang menggembung penuh daya hidup itu diperah dan disodok-sodok. Srintil memperhatikan perilaku induk dan anak itu tanpa kedipan mata. Srintil tersenyum. Kali ini senyumnya disertai oleh kontraksi kelenjar teteknya sendiri serta rangsangan aneh pada urat-urat sekitar rahim. Tiba-tiba hasrat hendak memeluk seorang bayi mendesaknya demikian kuat. Hampir pada saat yang sama rasa cemas karena mungkin Nyai Kartareja dengan caranya sendiri telah mematikan indung telur dalam perut Srintil membuat ronggeng itu sesak napas. Perang yang seru terjadi dalam dadanya yang ditandai dengan sepasang garis basah yang turun dari mata ke pipi Srintil. Ada sebuah pertanyaan yang buat kali pertama muncul di hatinya; mengapa diriku seorang ronggeng" Pertanyaan itu datang dari perkiraan Srintil; kalau dia bukan seorang ronggeng Rasus takkan meninggalkannya dengan cara begitu saja.
Khayalan Srintil terkacau oleh deru sepeda motor yang memasuki Dukuh Paruk. Di kecamatan Dawuan dan sekitarnya hanya ada dua kendaraan seperti itu. Yang satu milik siten wedana, lainnya milik Marsusi, seorang kepala perkebunan karet Wanakeling. Siapa pun di antara keduanya yang bersusah payah datang ke Dukuh Paruk, rasanya hanya untuk satu tujuan. Srintil tertegun sejenak lalu bangkit dan berjalan mengendap-endap menjauhi rumahnya. Pelarian kecil itu berakhir di puncak bukit pekuburan Dukuh Paruk yang menerimanya dalam kesunyian. Ada celeret melayang dari satu pohon ke pohon tanpa suara. Ada kucica betina sibuk membawa kapuk bunga gelagah untuk bantalan sarangnya. Di dekat sebuah batu nisan seekor tabuan sedang menarik-narik ulat besar yang sudah dilumpuhkannya. Dan Srintil terkejut ketika terdengar suara tokek dari bubungan cungkup makam Ki Secamenggala.
Episode 4 Kelengangan pekuburan Dukuh Paruk menjadi ibu bagi seorang anak yang ingin memahami apa yang sedang melintas dalam hidupnya. Srintil mengadukan kebuntuan rasanya kepada berjenis-jenis anggrek liar yang menempel pada tubuh batang beringin besar, kepada relung-relung pakis yang berjumbai-jumbai di lereng curam atau kepada terotok kayu mati yang dipatuk burung pelatuk. Santunan mereka yang demikian ramah membuat Srintil merasa betah tinggal di tempat yang tersembunyi itu hingga matahari terbenam nanti atau bisa lebih lama lagi. Dalam kelengangan di pekuburan itu alam mengajaknya bicara banyak-banyak melalui bau tanah dan wanginya bunga kemboja. Melalui denging agas yang mengitari kepalanya atau melalui kelembutan lumut yang menutupi batu-batu lembab. Srintil larut dalam haribaan ibunya, merasa dimengerti dan dimanjakan. Khayalannya bcbas mengawang dan akan terus melayang-layang apabila tidak datang seseorang yang mengusiknya.
"Srin, pulang. Ada tamu."
Srintil terkejut sebelum kesadarannya pulih. Tanpa menoleh ke arah sumber suara dia tahu siapa yang datang.
"Pulang, Srin. Kau ditunggu," ulang Nyai Kartareja dengan suara tanpa tekanan memerintah. "Kau harus tahu siapa tamumu kali ini; Pak Marsusi, kepala perkebunan karet itu." Srintil mengerdip tanda mengerti.
"Nah, ayo pulang."
"Aku belum ingin pulang," jawab Srintil tanpa emosi.
"Eh, jangan begitu, Wong Ayu," kata Nyai Kartareja sambil mengatur dirinya duduk di samping Srintil. "Kamu tak boleh menyepelekan tamu. Apalagi tamu kali ini bukan sembarang orang."
"Ya, tetapi aku tidak ingin pulang."
"Kalau aku menjadi kamu, Srin, aku takkan menyia-nyiakan kesempatan ini. Menggonceng motor ubluk bersama Pak Marsusi ke kota. Pelesir ke mana-mana, nonton bioskop misalnya. Kau belur pernah melihat tontonan itu, bukan" Kepada
Pak Marsusi kau bisa minta dibelikan barang-barang. Nah, bagaimana kalau kau minta kalung seperti yang dipakai istri lurah Pecikalan""
"Sudahlah, Nyai. Pulanglah dulu. Aku akan menyusul kemudian. Aku mau mandi dulu."
"Bagus. Wong Ayu. Tetapi betul, ya. Kamu kami tunggu."
Srintil mengangguk ringan.
Diperhatikan induk semangnya yang sedang berjalan menuruni bukit pekuburan Dukuh Paruk. Tak lama kemudian Srintil pun ikut turun. Bukan mengikuti jalan Nyai Kartareja, melainkan jalan lain yang tidak menuju pancuran atau menuju rumahnya. Srintil melangkah cepat ke arah jalan yang membawanya keluar dari Dukuh Paruk. Langkahnya cepat dan panjang-panjang. Kepada orang-orang yang kebetulan berpapasan Srintil hanya tersenyum atau mengangguk ringan. Sampai di pematang yang menuju Dawuan, Srintil mempercepat jalannya. Matahari yang sudah melewati titik kulminasinya menyiram ronggeng itu dengan pancaran terik yang menyakitkan kepala. Srintil terus berjalan, terkadang sambil mengangkat tangan kirinya untuk mengurangi terik matahari ke arah wajahnya.
Di rumahnya Nyai Kartareja mulai merasa was-was karena ternyata Srintil tidak segera mengikutinya pulang. Marsusi, laki-laki berusia lima puluhan, sudah gelisah di tempat duduknya. Caping wol stetson sudah beberapa kali dipasang di kepala dan dilepas lagi tanpa tujuan tertentu. Akhirnya Marsusi keluar mengambil sesuatu di bagasi motornya. Sebuah botol persegi dibawanya masuk. Penantian yang menggelisahkan harus ditemani jenewer, pikirnya. Minuman keras itu ditenggak langsung dari botolnya.
"Sampean tadi mengatakan Srintil ada di rumah. Lalu manakah dia"" tanya Marsusi sambil meletakkan botolnya dengan agak kasar.
Nyai Kartareja menyembunyikan kebimbangannya di balik senyum ramah. "Betul, Pak. Tadi Srintil berkata hendak mandi dulu. Ah, anak ini. Ke mana dia"" "Coba susul lagi. Bila benar sedang mandi mengapa bisa demikian lama"" ujar Kartareja. "Nanti dulu," kata Marsusi yang kelihatan tidak sabar karena menunggu Srintil sekian lama. "Sampean berdua yang memelihara Srintil di sini, bukan"" "Benar, Pak."
"Lalu" Apa kalian kira aku datang kemari buat duduk-duduk nganggur seperti ini" Katakan saja; Srintil sedang dipakai orang lain atau Srintil sedang pergi entah ke mana! Jangan biarkan aku jadi gusar, orang Dukuh Paruk!"
Kartareja hanya bisa menoleh kiri-kanan. Bibirnya bergerak-gerak namun tak sepatah kata pun terdengar. Bahkan kemudian dukun ronggeng ini duduk membeku dengan mata melukiskan rasa takut ketika Marsusi bangkit dan mendekat. Caping wol dibantingnya ke atas meja.
"Sampean berdua ini orang dukuh yang tidak tahu diuntung! Aku tidak pernah lupa bahwa semacam sampean ini mendapat rejeki dari orang seperti saya ini. Nah! Mengapa sampean berdua jadi banyak tingkah" Sekarang jawab pertanyaanku; bisakah kalian membawa Srintil kemari sekarang juga" Kalau tidak, mampus saja. Jangan coba-coba menjadi dukun ronggeng!"
Apabila Kartareja makin membeku oleh kekasaran Marsusi maka lain halnya dengan istrinya. Nyai Kartareja mempunyai seribu pengalaman menghadapi laki-laki dan dunianya. Dari yang masih bocah sampai yang perjaka, dari yang baru belajar mengenal perempuan sampai yang sudah matang seperti yang sedang gusar di hadapannya itu. Atau karena pekerjaan seorang istri dukun ronggeng yang ternama ialah mengerti secara tepat situasi hati seorang laki-laki yang datang kepadanya, menampung keluh-kesahnya, menyalurkan renjananya dan meredam emosinya. Demi keberhasilan pekerjaannya Nyai Kartareja tak pernah meninggalkan resep; seorang laki-laki yang datang kepadanya, meski yang sudah beruban sekalipun akan dianggapnya sebagai bayi. Bayi yang mudah terlena oleh kelembutan nina-bobo dan mudah diakali dengan senyum yang teduh serta bujukan manis.
Episode 5 "Aduh. Nak, eh, Pak. Benar jugalah bila sampean menjadi gusar semacam ini. Kami pun bisa mengerti mengapa sampean kehilangan kesabaran. Ini semua karena kesalahan kami. Sampean dari rumah membawa kejenuhan atau kegemasan yang seharusnya segera cair di rumah ini. Ya,
ya. Pokoknya kehendak seorang priyayi seperti sampean pasti akan kami utamakan.
Masalahnya, Srintil yang sampean kehendaki masih kekanak-kanakan. Ah, sampean jangan lupa; Srintil masih demikian hijau. Maka siapa pun yang menghendaki kesegarannya harus sedikit bersabar."
"Dengar, Pak. Srintil masih segar seperti kecambah," sambung Nyai Kartareja sambil menyentuh dada Marsusi dengan lembut.
"Saya tidak mencari perempuan lumutan," kata Marsusi. Nada bicaranya jatuh pada tempo yang rendah.
"Nah! Kecambah itu kami sediakan buat sampean. Soalnya kini terletak kepada kesabaran sampean itulah karena Srintil sudah beberapa hari merajuk."
"Nanti dulu. Me-ra-juk""
Hening. Nyai Kartareja membiarkan pertanyaan Marsusi buat sementara mengawang. Andaikan Marsusi tahu bahwa senyuman Nyai Kartareja yang kelihatan begitu wajar adalah sebuah taktik profesional. Atau setidaknya, senyum itu menandakan Nyai Kartareja telah merasa membuat langkah awal yang tepat untuk menguasai keadaan.
"Inilah susahnya momong seorang ronggeng cantik tetapi masih kekanak-kanakan. Bayangkan, Pak. Srintil sedang menuntut kalung seperti yang dipakai oleh istri lurah Pecikalan; sebuah rantai emas seberat seratus gram dengan bandul berlian. Seorang priyayi seperti sampean, kalau mau, tentu bisa memenuhi keinginan Srintil itu. Nah, bagaimanakah dengan kami yang melarat ini. Oh, Srintil. Mentang-mentang cantik mudah saja dia memberi beban berat kepada kami." "Hm," lenguh Marsusi. Hanya itu.
Yang terjadi kemudian adalah tawar-menawar yang berlangsung dalam keheningan. Nyai Kartareja merasa dirinya berada di atas angin. Langkahnya telah berhasil melumpuhkan murka Marsusi sekaligus menempatkan laki-laki itu dalam selmah taruhan harga diri. Perhitungan istri dukun ronggeng itu terbukti cermat. Marsusi memang bukan laki-laki kemarin sore yang tidak tahu akan adanya maksud tertentu dalam kata-kata Nyai Kartareja. Masalahnya Marsusi kini merasa secara tidak langsung diperbandingkan hanya dengan seorang lurah. Martabatnya sebagai priyayi kepala perkebunan terusik. "Seorang priyayi seperti sampean, kalau mau, tentu bisa memenuhi keinginan Srintil," itulah kata-kata Nyai Kartareja yang melecut hati Marsusi. "Hm," lenguhnya lagi.
Marsusi kembali ke tempat duduknya. Ditenggaknya minuman keras yang masih tersisa. Wajahnya beringas oleh pengaruh alkohol atau oleh kerusuhan dalam hatinya. Dalam hati dia mengutuk Nyai Kartareja yang telah memasang pemerasan terselubung. Aneh, Marsusi tak kuasa mendobrak jebakan halus itu, bahkan menerima apa adanya sebagai tantangan. Dipasangnya caping dengan tergesa-gesa kemudian Marsusi bangkit.
"Aku mau pulang, Nyai!"
"E, lho"" ujar Nyai Kartareja pura-pura kaget.
"Yah, bagaimana lagi bila Srintil ngambek seperti itu," sela suaminya.
"Nanti dulu, Pak. Tak ada pesan buat Srintil" Besok lusa sampean mau datang lagi, bukan""
Marsusi yang sudah duduk di atas sepeda motornya menoleh. Cuping hidungnya bergerak-gerak. Sorot matanya menyala. Gejolak emosinya disalurkan ke kaki yang menggenjot mesin kuat-kuat. Harley Davidson sisa masa perang itu menderu dan laju diiringi tatapan mata anak-anak Dukuh Paruk yang penuh kekaguman.
Nyai Kartareja menjatuhkan pundaknya. Lega. Sekarang dia bukan hanya merasa telah mengatasi kemarahan Marsusi yang gagal berjumpa dengan Srintil, melainkan sekaligus menjebak laki-laki itu dalam sebuah tantangan.
"Kita main tebak-tebakan, Ki," kata Nyai Kartareja kepada suaminya.
"Aku berani bertaruh; besok atau lusa Pak Marsusi akan kembali kemari. He-he. Seratus gram kalung emas dengan bandul berlian; tantangan yang pantas buat Pak Marsusi. Apa katamu, Ki""
"Kamu ini bagaimana" Pikir dulu di mana sekarang Srintil," jawab Kartareja dingin tetapi tandas. Ada perubahan yang nyata pada wajah Nyai Kartareja. Dia tersadar akan masalah yang justru di hadapan matanya. Karena bimbang Nyai Kartareja tak mampu meneruskan kata-katanya. Tidak lama, karena kemudian wajah perempuan itu kembali cerah.
"Ah, kukira Srintil berada di rumah kakeknya sekarang. Aku akan pergi ke rumah Sakarya." "Aku ikut," kata Kartareja sambil meraup tembakaunya. "Nah, ayolah!"
Di rumah Sakarya, suami-istri dukun ronggeng itu mendapatkan kenyat
aan yang mengecewakan. Srintil tidak berada di sana. Bahkan keduanya mendapat teguran Sakarya yang bernada meminta pertanggungjawaban. Kemudian datang seorang tetangga yang mengatakan melihat Srintil berjalan tergesa-gesa ke luar dari Dukuh Paruk.
"Apa sampean berdua tidak mengerti semua ini terjadi karena ada sesuatu antara cucuku dan Rasus"" kata Sakarya, nadanya menuduh. "Dua kali sudah Srintil menampik panggilan naik pentas. Kini dia malah minggat. Bagaimana ini""
Nyai Kartareja mendan ludah. Dia teringat akan telur wukan yang ditanamnya diam-diam dalam bilik Srintil. Heran, mengapa kali ini ikhtiarnya tidak mempan.
"Nanti dulu," sela Nyai Sakarya. "Apabila Srintil suka kepada Rasus, apa salahnya kita membantu agar mereka bisa kawin""
Sakarya diam. Kakek Srintil itu menangkap kebenaran dalam kata-kata istrinya. Pada dasarnya Sakarya merasa mempunyai seorang cucu yang menjadi istri tentara tak perlu ditolak oleh siapa pun di Dukuh Paruk. Namun bagi Sakarya masalahnya memang tidak begitu mudahnya.
"E, lha!" ujar Kartareja tertuju kepada Nyai Sakarya. "Tentu saja tak ada yang salah bila Srintil kawin dengan Rasus. Itu bila cucumu tidak menjadi ronggeng pengemban nama Dukuh Paruk."
Episode 6 "Lalu sampean, Sakarya," kata Kartareja ganti kepada kakek Srintil. "Jaga jangan sampai sampean mempunyai pikiran seperti istri sampean. Ingat kewajiban sampean sebagai pemangku dan
kamitua anak-cucu Ki Secamenggala di dukuh ini. Tanggung jawab sampean tidak membenarkan sampean mementingkan kepentingan sendiri." Sakarya terbatuk dan mengangguk.
"Ya. Tetapi sampean berdua harus berusaha membawa kembali Srintil. Kalian harus menemukan Srintil di mana pun sekarang dia berada."
"Baik. Aku sanggup mencari dan menemukan Srintil," kata Nyai Kartareja penuh kepastian.
"Nah, begitulah. Namun hati-hati. Sampean tak boleh berlaku kasar terhadap cucuku meskipun dia telah merepotkan kita," ujar Nyai Sakarya.
"He, kapankah aku menyakiti cucu sampean" Bahkan, siapakah yang telah membuat Srintil kini mampu memiliki harta dan perhiasan sekian banyak" Sampean menyuruhku berhati-hati. Tetapi sampean sendiri tidak berhati-hati dalam berkata!"
"Sudah, sudah!" suara Kartareja dan Sakarya terdengar hampir bersamaan.
Matahari masih terik ketika Srintil turun dari andong di depan pasar Dawuan. Titik-titik keringat di pucuk hidungnya. Tengkuk dan pipinya segar dan hidup, memberi kesan kulit seorang anak usia sepuluh tahun. Bahwa Srintil sebenarnya tidak siap mengunjungi pasar terlihat dari roman mukanya yang beku serta pakaian dan rambutnya yang demikian acak-acakan.
Namun dalam keadaan demikian keremajaan Srintil kelihatan wajar. Kalaulah ada sesuatu yang menodainya, maka hanya orang-orang yang sangat berpengalaman yang bisa mengetahuinya. Lihatlah kedua pangkal alis ronggeng itu yang mulai turun masuk ke cekungan rongga mata. Bagi orang-orang yang sangat berpengalaman hal itu adalah tanda bahwa seorang perempuan betapapun muda usianya, sudah memasuki keaktifan kehidupan berahi.
Setelah membayar ongkos andong, Srintil tidak segera memasuki pasar melainkan hanya membuat beberapa langkah ke tepi jalan. Belum sekaii pun Srintil kelihatan begitu canggung dan asing di pasar Dawuan. Dia tetap berdiri di tepi jalan hingga beberapa waktu lamanya. Tatapan matanya kosong, tanpa makna.
Biasanya kedatangan Srintil di pasar Dawuan menimbulkan gairah yang spontan. Orang-orang lelaki bersiul-siul atau membuat seloroh erotik. Orang-orang perempuan mengintip tangan, telinga, atau leher Srintil untuk mengetahui adakah perhiasan-perhiasan baru di sana. Kemudian menyusul celoteh spekulasi; gendak Srintil kali ini adalah si Anu atau Bapak Anu, pangkatnya ini atau kerbaunya sekian belas.
Tetapi hari itu orang-orang pasar Dawuan banyak menahan diri. Srintil memasuki pasar dengan mendung membayangi wajahnya. Mulutnya terkatup dengan garis bibir datar lurus. Pangkal alisnya bertemu pada lipatan di tengah dahi. Dalam kesan keseluruhan Srintil siap menampik segala bentuk seloroh dan senda-gurau.
Orang-orang melihat Srintil dengan pandangan mata mengandung tanda tanya. Perempuan-pere
mpuan saling berbisik. Celoteh ringan mulai terdengar dari sudut-sudut pasar.
"Ada apa, dunianya kelihatan gulita"" kata perempuan pedagang ubi kepada rekan di sebelah. Sudut matanya terarah kepada Srintil.
"Nah, saya bisa mengira-ngira," jawab temannya. "Kalau ada seorang ronggeng merengut seperti itu tentu telah terjadi sesuatu dengan pamongnya."
"Maksudmu, Nyai Kartareja""
"Ya. Seorang dukun ronggeng suka mengatur segala urusan, bahkan sering kali ingin menguasai harta anak asuhannya."
"Itu cerita lama. Aku tahu seorang ronggeng sering kali dianggap sebagai ternak piaraan oleh induk semangnya. Lihatlah dalam musim orang berhajat atau masa lepas panen; ronggeng naik pentas setiap malam. Siang hari dia mesti melayani laki-laki yang menggendaknya. Sementara itu yang mengatur semua urusan, lebih-lebih urusan keuangan, adalah si dukun ronggeng. Kasihan, kan" Sebaliknya, kini suami-istri Kartareja menjadi kaya, kan""
"E! Kalian sedang bicara apa" Srintil yang kelihatan kusut itu"" kata perempuan ketiga yang datang bergabung. "Kalian jangan berpikir yang bukan-bukan. Dengar. Srintil berada di sini dalam usaha melarikan diri dari tangan seorang laki-laki yang tidak tahu diri. Laki-laki itu kukira, tidak mau tahu bahwa Srintil sedang datang bulan. He-he-he."
"Ah, mana bisa begitu. Perhatikan sekali lagi, kain Srintil tak bernoda, tumpalnya tidak dilipat. Jadi dia dalam keadaan bersih."
"Kita memang telah berbicara berlebihan. Kukira Srintil seperti kita juga yang kadang merasa demikian sebal terhadap laki-laki. Jadi yang menyebabkan Srintil murung adalah perkara sederhana. Dia sedang diamuk rasa jenuh dan muak terhadap laki-laki. Itu saja." Celoteh di sudut pasar itu berhenti karena kehabisan bahan. Perempuan-perempuan itu memperhatikan Srintil memasuki warung penjual lontong. Di sana Srintil duduk satu lincak bersama perempuan pemilik warung. Karena penampilan Srintil yang kaku, perempuan penjual lontong itu menjadi salah tingkah.
"Man makan, Jenganten""
"Tidak, Yu. Aku hanya mau minum dan beristirahat sebentar di sini. Boleh kan"" jawab Srintil tanpa melihat pemilik warung.
Sejumlah besar air dingin yang bening dihabiskan Srintil. Apabila air mampu menghidupkan kembali tanah yang mati atau menggugah biji-bijian agar tumbuh menjadi kecambah, maka air pulalah yang bisa menjinakkan kegelisahan Srintil dengan pertama-tama memperlambat denyut jantungnya.
Episode 7 Termangu-mangu di atas lincak, Srintil merasakan kesejukan air sedang mendinginkan badannya yang semula panas oleh terik matahari dan panas oleh galau pikirannya. Sementara itu di dalam hatinya sedang berlangsung penataan kembali keimbangan antara emosi dan rasa.
Prosespenguasaan diri yang berlangsung dalam diam itu ternyata menghabiskan banyak tenaga, terbukti dari terbitnya titik-titik keringat di seluruh permukaan kulit ronggeng Dukuh Paruk itu. Suatu kegiatan metabolik dalam intensitas tinggi yang kemudian menuntut mekanisme tubuh Srintil beristirahat. Denyut kantuk pertama kelihatan pada kerdipan mata Srintil yang lamban. Ketika itu Srintil melihat bayangan Rasus muncul di hadapannya. Namun angin yang berembus pelan membuat matanya semakin redup. Rasa kantuk tak tertahankan lagi olehnya.
"Yu, aku sangat ngantuk. Aku mau tidur di sini barang sebentar. Boleh kan"" kata Srintil sambil merebahkan diri. Pelupuh lincak berderit.
"E, Jenganten ini bagaimana" Orang mengatakan, tidak boleh orang tidur di warung. Ora ilok, nanti warungku tidak laku. Nanti... "
Perempuan pedagang lontong itu tidak ingin berkata lebih jauh karena melihat kenyataan di hadapannya. Rasa keibuannya tergugah oleh sebentuk tubuh yang tergolek demikian damai. Sosok Srintil yang muda dan lentur, wajah yang teduh dalam tidur mengingatkan perempuan itu akan anaknya yang masih bayi dan kini ditinggal bersama neneknya di rumah.
Dalam keadaan lelap keakuan Srintil hampir punah. Menjadi tidak penting lagi apakah dia bernama Srintil atau apakah dia ronggeng Dukuh Paruk. Tak ada lagi atribut apa pun yang tepat bagi sebuah subyek yang kini terdampar di atas lincak itu. Dia hanya pantas disebut sebagai bagian
alam yang bernama anak manusia yang jelas sekali ingin mengundurkan diri barang sejenak dari keakuannya. Yang serempak muncul ke permukaan adalah kesan memelas, kesan yang menjadi daya tarik utama seorang bayi.
Ternyata bukan hanya pedagang lontong yang bersimpati kepada Srintil, melainkan juga sebagian besar orang yang berada di pasar Dawuan. Alam menagih janji kepada mereka; alam yang setiap hari mengasah naluri mereka sehingga mereka dapat merasakan bahwa Srintil sedang berada dalam kesempitan sehingga pantas mendapat pembelaan. Tidaklah penting bagi orang-orang pasar Dawuan itu untuk mengetahui apa sebenarnya yang membuat Srintil tampak merana. Manifestasi sikap mereka menjadi jelas ketika satu jam kemudian muncul Nyai Kartareja di gerbang pasar Dawuan. Perempuan-perempuan penjual ubi melihat wajah kaku istri dukun ronggeng itu. Sorot mata yang keruh dan rambut yang disanggul tinggi-tinggi memperkuat kesimpulan bahwa sedang ada ketegangan antara Nyai Kartareja dan Srintil. Atas dasar tuntunan naluri yang paling bersahaja orang-orang pasar Dawuan bertindak melindungi ronggeng Dukuh Paruk itu.
"Ah, Nyai Kartareja. Sampean sedang mencari Srintil, bukan"" tanya seorang perempuan pedagang ubi. Yang ditanya mengangguk kaku.
"Nah, dia tidak ada di sini. Kulihat Srintil tadi terus ke selatan." "Seorang diri""
"Ya. Dan Srintil kelihatan sangat murung. Ada apa ya, Nyai Kartareja""
Pertanyaan yang bernada campur tangan itu menyinggung perasaan Nyai Kartareja. Dia tidak menjawab, bahkan berbalik keluar pasar Dawuan dalam langkah yang panjang-panjang.
Kegiatan pasar Dawuan sebenarnya hanya berlangsung pagi hari. Setelah matahari tergelincir sebagian pedagang sudah pulang ke rumah masing-masing. Yang tinggal adalah mereka yang tidak mungkin setiap kali membawa dagangannya pulang-balik. Mereka adalah penjual barang-barang tembikar, penjual tikar, pedagang ubi, serta pemilik warung makanan yang melayani pembeli hingga sore hari. Para pedagang keliling juga menggunakan pasar Dawuan sebagai terminal peristirahatan.
Pada sore hari banyak los berisi orang yang menggelar tikar; tidur berleha-leha atau duduk berkeliling, bermain kartu. Udara yang panas membuat orang-orang kehilangan gairah bekerja. Mereka mengharapkan suasana yang santai.
Seperti burung perkutut di pohon kenari di belakang pasar. Tubuhnya lenyap dalam kerimbunan dedaunan agar bebas dari sengatan sinar matahari. Namun merdu suaranya mencapai si betina jauh di seberang sana. Bila yang dipanggil sudah datang maka perkutut jantan mengubah nada suaranya menjadi lebih rendah dan lembut. Demikian lembut sehingga terdengar baur dengan suara angin yang menyapu pepohonan. Sepasang burung perkutut merasa perlu menciptakan suasana pribadi untuk mencari keselarasan dengan alam. Udara yang panas, angin yang berembus pelan, dan suara perkutut adalah sebuah harmoni yang bersumber dari naluri alam sendiri. Arif seperti sepasang perkutut itu adalah Wirsiter bersama Ciplak, istrinya. Pasangan penjaja musik kecapi itu tahu betul saat yang tepat di mana musiknya menjadi kebutuhan para pelanggan. Mereka muncul di pasar Dawuan ketika orang-orang di sana berada dalam puncak kebosanan pekerjaan rutin. Sehabis bekerja sepanjang pagi hari orang-orang pasar itu mengharapkan kedatangan suasana selingan yang lebih renyah dan ringan.
Wirsiter dan istrinya tak pernah rela disebut tukang ngamen, apalagi disebut sebagai pengemis yang berpura-pura menjual musik. Mereka tidak akan menggelar musik di hadapan siapa pun, termasuk pelanggan yang tidak memintanya. Untuk mendukung sikap ini mereka selalu tampil bersih. Pakaian mereka selalu rapi; Wirsiter dengan blangkon, baju lurik serta kain batik yang diwiru. Istrinya selalu muncul dengan kain kebaya lengkap dengan selendang dan konde berhiaskan bunga melati. Bibir mereka merah karena keduanya makan sirih.
Ada berbagai perkakas musik untuk menerjemahkan irama, keselarasan, bahkan renjana alam. Orang Dukuh Paruk misalnya percaya penuh bahwa calung adalah perkakas yang tiada taranya untuk menampilkan irama denyut jantung yang meriah dan hangat dalam rangsangan
berahi. Kalau orang ingin bertanya di manakah letak kekuatan musik calung, jawabnya sangat bersahaja; yakni kesederhanaannya. Bukan berarti orang dengan mudahnya memotong-motong bambu, merangkainya kemudian jadilah perangkat calung. Sederhana artinya, orang harus membatasi diri dalam campur tangannya ketika mereka-reka bambu. Persyaratan-persyaratan yang bersifat alami lebih menentukan mutu perangkat calung daripada keahlian tangan pembuatnya.
Episode 8 Calung yang sempurna hanya dihasilkan dari bambu hitam yang betul-betul kering. Tetapi orang tidak boleh menjemurnya, apalagi memanggangnya di atas api. Bambu itu tidak boleh terluka sebelum ditebang, baik luka oleh manusia atau luka oleh binatang mengerat atau patah ujungnya selagi masih muda. Dia juga harus lurus dan langsing. Bambu yang tebal karena terlalu gemuk tidak baik untuk membuat calung. Para pembuat calung tidak akan mengatakan bahwa tertib yang mereka patuhi itu adalah cara mereka menempatkan diri dalam keselarasan Sang Empu Agung. Mereka hanya tahu, dengan tertib itulah mereka akan memperoleh perangkat calung yang sebenar-benarnya. Bunyinya akan mampu menerjemahkan suara puluhan blentung, iramanya bisa
padu dengan suara curah hujan di atas atap ilalang dan semangatnya adalah detak jantung yang bergairah.
Sama halnya calung, kecapi pun mengandalkan kekuatan pada kebersahajaannya. Bentuk umum sebuah kecapi adalah kotak kayu bersegi lima dan memanjang. Pada salah satu bidangnya direntangkan kawat-kawat dawai. Setiap helai kawat mewakili sebuah nada. Tangga nada ditentukan oleh tebal tipisnya kawat serta sebuah bantalan logam tipis yang dipasang miring dan serong. Bantalan serong ini mengatur jenjang panjang kawat-kawat dawai.
Tentang sebuah kecapi hendaknya orang tidak menanyakan soal presisi nada, patokan umum, apalagi menerapkan pengetahuan akustik terhadapnya, setidaknya terhadap kecapi milik Wirsiter. Seniman keliling itu tidak belajar teori tetek-bengek. Dengan alatnya yang demikian sederhana Wirsiter dan istrinya melagukan keserasian alam. Guru mereka adalah kelap-kelip ribuan kunang ketika jatuh gerimis senja hari. Atau lintasan buih yang hilang-tampak di antara bebatuan atau curah hujan yang menerpa permukaan telaga yang tenang. Rasa dalam kesadaran sempurna; itulah guru utama Wirsiter dan istrinya.
Jadi Wirsiter bersama istrinya pergi ke sana kemari menjajakan musik yang memanjakan rasa, yang sendu, dan yang melankolik. Musiknya tidak membuat orang bangkit berjoget, melainkan membuat pendengarnya mengangguk-angguk menatap ke dalam diri atau terbang mengapung bersama khayalan sentimental. Seperti pada sore hari yang panas itu orang-orang pasar Dawuan tepekur mendengarkan petikan kecapi Wirsiter. Ciplak membawakan asmara dahana.
Li lali tan bisa lali Sun lelipur tan sengsaya Katon bae sapolahe Kancil desa 'njang talingan Aku melu karo ndika Lebu seta sari pohung Becik mati yen kapiran
Seberkas lagu dan liriknya dibawakan oleh dua orang yang sejak kelahiran mereka menjadi murid alam. Orang-orang yang sedang berjudi berhenti menjatuhkan kartu. Yang sedang tiduran berleha-leha mengawang ke alam khayal antara tidur dan jaga. Perempuan yang sedang mengunyah sirih tetap menggerak-gerakkan mulut, tetapi pikirannya terbang ke belakang, ke suatu masa yang paling berkesan dalam hidupnya.
Barangkali Wirsiter maupun Ciplak tidak bisa mengatakan mengapa mereka lebih banyak menyanyikan lagu-lagu asmara. Dalam kenyataannya mereka hanya menuruti selera sebagian besar pelanggan. Atau karena musik kecapi memang paling cocok untuk melukiskan perasaan asmara. Atau lagi; bila benar bahkan kumbang tahi yang beterbangan di Dukuh Paruk pun diciptakan atas dasar motiyas, cinta agung, maka Wirsiter bersama istrinya hanya patuh kepada naluri alam yang paling dasar.
Orang-orang di pasar Dawuan asyik terlena. Segala sesuatu lepas dari perhatian mereka, tak terkecuali sebuah subyek yang sedang terdampar di atas lincak pedagang lontong. Musik Wirsiter mengantarkan Srintil ke alam jaga dengan caranya yang paling santun. Perlahan-lahan Srintil membuka matanya. Namun dia tidak melihat
sesuatu karena pusat indrianya sedang bertumpu pada syaraf pendengaran. Memang, Wirsiter dan istrinya dengan lagu asmara yang mereka
kumandangkan tidak bermaksud menyentuh hati Srintil. Namun ketidak-sengajaan mcreka tak urung mengusik kelenjar air mata ronggeng Dukuh Paruk itu.
Srintil bangkit, dan mengusap mata.
Perempuan pedagang lontong menoleh karena mendengar derit pelupuh bambu. "Oh, sudah bangun, Jenganten" E, lha sampean menangis"" "Tidak, Yu. Tidak."
"Jenganten ini bagaimana" jelas sekali sampean menangis. Sakit" Atau sebenarnya apa..." "Tidak, Yu. Beri aku minum lagi," potong Srintil.
Penjual lontong tertegun. Ditatapnya Srintil yang sibuk mengusap air mata di pipi dan di kedua lubang hidungnya. Lalu sadar bahwa Srintil bukan kanak-kanak lagi, karenanya dia layak mempunyai wilayah pribadi yang tak usah diketahui orang lain.
"Anu, Jenganten, makan ya""
"Aku tidak lapar, Yu."
"Ah jangan berdusta di hadapanku. Aku ini seorang ibu yang sudah cukup usia, jadi aku bisa membaca tanda-tanda orang yang lapar. Bibir sampean kehilangan cahayanya. Lekuk di pangkal leher sampean sangat kentara. Dan ketika tidur tadi perut sampean masuk ke rongga dada. Maka sekarang makanlah. Bila tidak nanti tubuh sampean bisa rusak. Sayang, bukan""
Srintil bukan tidak lapar. Sejak kemarin perutnya sudah terasa perih. Masalahnya dia hanya malas menyuapkan makanan ke dalam mulut. Namun ketika sepiring nasi lontong dengan kuah panas siap di hadapannya Srintil mengalah. Hidangan itu dihabiskannya dalam waktu singkat. Bibirnya, pipinya, merah oleh panasnya kuah serta pedasnya sambal cabai. Keringat serta air matanya kembali menitik. Citra hidupnya seakan menggeliat bangkit.
"Nah, benar kataku, bukan" Nasi lontong ini bisa membuat sampean lejar. Tambah, ya"" "Terima kasih, Yu. Aku sudah kenyang."
Episode 9 Srintil meninggalkan pasar Dawuan ketika orang-orang di sana masih asyik menikmati kecapi Wirsiter. Banyak orang menoleh kepadanya tetapi tanpa komentar. Namun dalam hati mereka mencatat; baru sekali inilah mereka melihat Srintil begitu lesu dan murung.
Baru beberapa langkah di luar pasar Srintil berhenti. Rasa bimbang menghentikan langkah-langkahnya. Perilakunya yang serba canggung menarik perhatian orang-orang yang melihatnya. Seorang di antara mereka mendekati Srintil dari arah belakang. Laki-laki berkaus putih dan bercelana hijau tentara itu tak merasa salah ketika tangannya menggamit pantat Srintil. Tak diduganya Srintil membalas dengan tatapan mata amarah. "Aku memang ronggeng, maka tangan
laki-laki boleh hinggap di mana saja pada tubuhku. Tetapi kini hatiku bukan lagi ronggeng. Bukan!"
Sayang. Teriakan keras Srintil hanya bergema dalam hati sendiri. Kopral Pujo yang berdiri satu jengkal di hadapannya tidak mendengar teriakan itu. Namun setidaknya dia sadar kemarahan Srintil akibat kelancangan tangannya bukan berpura-pura.
"Kira-kira dua jam yang lain Nyai Kartareja datang ke markasku mencari kamu. Wah! Seorang ronggeng dicari di sebuah markas tentara. Lucu, ya"" kata Kopral Pujo sambil cengar-cengir untuk menutupi penyesalannya.
"Kamu sudah bertemu Nyai Kartareja"" sambungnya.
"Belum," jawab Srintil tak acuh.
"Kamu disangkanya pergi bersama Rasus."
"Oh"" "Begitulah. Padahal sudah tiga hari ini Rasus tidak ada di markas. Bersama Sersan Slamet, Rasus pergi ke markas batalyon."
"Oh" Jadi Rasus tidak ada lagi di sini""
Kopral Pujo tidak mcnangkap perubahan mendadak pada wajah Srintil.
"Dia anak yang beruntung. Bila pulang nanti Rasus benar-benar sudah jadi tentara. Punya pangkat, punya gaji. Wah, pokoknya seperti aku ini."
Srintil diam menunduk. Dan mengapa Kopral Pujo tidak mengerti bahwa sedang terjadi galau yang seru dalam hati perempuan muda di hadapannya" Ketumpulan perasaannya menyebabkan Kopral Pujo juga tidak berprasangka apa pun ketika Srintil bertanya,
"Kapankah kira-kira Rasus pulang""
"Mana aku tahu. Tetapi kira-kira lama. Yang aku tahu, seorang seperti Rasus harus menempuh pendidikan sebelum resmi diberi pangkat. Di mana dia akan dididik, entahlah. Aku baru tahu kalau Sersan Slamet kembali ke markas."
"Ya." ujar Srintil liri
h. Kini Kopral Pujo mengerti perubahan pada diri Srintil; matanya yang berkaca-kaca, sinar wajahnya yang memudar dan napasnya yang terengah-engah. Kopral itu mengerutkan kening.
"Nanti dulu, Wong Dukuh Paruk! Aku jadi tidak mengerti. Adakah sesuatu antara dirimu dengan... "
"Tidak, Pak. Tidak!"
Srintil memutar badan lalu berjalan cepat meninggalkan Kopral Pujo yang kemudian berdiri termangu, kemudian tersenyum sendiri sambil mengangguk-angguk. Dan, "Hm"" Tentang Rasus dan Srintil, Kopral Pujo hanya tahu keduanya berasal dari Dukuh Paruk. Selama dalam pergaulan
di markas, Rasus tak pernah bercerita tentang ronggeng itu, apalagi tentang hubungan khusus di antara keduanya.
Entah dorongan apa yang menyebabkan Srintil kembali memasuki pasar Dawuan. Duduk di sebuah lincak kosong Srintil memanggil Wirsiter dan istrinya dan meminta mereka menggelar musik. Selesai satu babak Srintil meminta penjaja musik kccapi itu menyambungnya. Dan seterusnya, tanpa menghiraukan berapa banyak uang yang harus dikeluarkannya.
Hingga matahari hampir terbenam pasar Dawuan masih berhiaskan suara kecapi Wirsiter dan tembang yang dinyanyikan oleh Ciplak. Srintil menampilkan kegembiraan yang aneh. Terkadang Srintil tersenyum sambil pacak gulu, tetapi senyumnya aneh. Terkadang ia ikut berduet dengan Ciplak, tetapi suaranya parau, tidak polos. Semuanya memberi kesan perilaku Srintil bertentangan dengan apa yang sedang dirasakan dalam hatinya.
Lalu apa pula yang menyebabkan Srintil demikian marah ketika Ciplak minta berhenti bertembang.
"Kami sudah lelah, Jenganten," kata Ciplak. "Sudah dua puluh babak."
"Ya, istriku benar. Lagi pula hari sudah hampir gelap," tambah Wirsiter.
Srintil mengerutkan kening hingga kedua pangkal alisnya hampir bertemu. Matanya bersinar-sinar.
"Sudah dua puluh babak; jadi sampean berdua takut aku takkan membayar semuanya. Begitu"" ujar Srintil tajam.
"Ah, jangan salah mengerti, Jenganten," kata Wirsiter merendah. "Hari sudah sandikala!"
Dengan tekanan kata pada "sandikala" Wirsiter bermaksud mengingatkan Srintit akan hari yang sedang memasuki saat-saat paling peka. Senjakala: saat keimbangan ekosistem alam bergoyang karena siang sedang beralih ke malam, karena sedang berlangsung perubahan intensitas sinar kosmik yang jatuh ke bumi. Wirsiter takkan pernah berkata demikian. Dalam hidupnya hanya ada salah satu ketentuan bahwa orang harus beristirahat di kala hari senja ketika Bathara Kala turun mencari mangsa. Bathara Kala harus dihormat dan dipuja; satu hal yang tak bisa ditawar-tawar bagi Wirsiter dan istrinya. Menyimpang dari tertib itu hanya berarti menyediakan diri menjadi umpan Sang Waktu.
Srintil dapat memahami kata-kata Wirsiter; senjakala adalah saat semua orang mengundurkan diri dari keseharian untuk memenuhi selera alam. Namun tak urung kemarahan masih tergambar jelas di wajahnya. Barangkali kemarahan Srintil akan berkepanjangan kalau tidak dilihatnya seorang nenek berjalan terbungkuk-bungkuk mendekatinya. Suaranya terputus-putus karena napas yang terengah-engah sehabis jauh berjalan.
"Cucuku, Wong Ayu, kau di sini"" suara Nyai Sakarya langsung menyiram hati Srintil yang sedang panas.
Episode 10 Suara itu adalah suara paling akrab yang dikenal Srintil sejak masa kanak-kanak. Suara ibu tak pernah didengarnya karena Srintil jadi yatim-piatu sejak bayi. Mata Nyai Sakarya yang sudah begitu redup karena usia masih mampu memberi daya kepada Srintil yang kemudian bangkit perlahan-lahan. Sentuhan telapak tangan renta yang jatuh di pundaknya terasa sejuk di hati Srintil. Dia berjalan menunduk ke luar pasar Dawuan dalam rangkulan neneknya, menggigit bibir, dan matanya kembali berkaca-kaca.
Seorang nenek yang terbungkuk-bungkuk berjalan merangkul cucunya. Nyai Sakarya maupun Srintil membisu. Namun dalam hati masing-masing sudah tumbuh kesepakatan; mereka berdua hendak pulang ke Dukuh Paruk. Pedukuhan kecil yang terasing di tengah sawah itu adalah ibu mereka. Haribaan dan pelukannya teduh dan mesra.
Mereka berhenti di sebuah angkruk di luar Dawuan sambil menanti saat senjakala lewat. Dalam kegelapan yang mulai membayang keduanya t
etap bungkam. Nyai Sakarya sudah tahu mengapa cucunya melarikan diri dan Srintil sudah tahu pula mengapa Nenek mencarinya. Kemudian keduanya melayangkan ingatan masing-masing kepada dua hal yang berbeda. Nyai Sakarya teringat akan orang tua Srintil " anaknya sendiri " yang kedua-duanya meninggal dalam malapetaka racun bongkrek ketika Srintil baru berusia lima bulan. Duka cita masa lalu yang tak mungkin terlupakan kini menjelma menjadi rasa sayang yang amat sangat terhadap cucunya. Sementara Srintil yang tidak tahu-menahu soal malapetaka tempe bongkrek itu hanya teringat akan Rasus. Dan Rasus kini menjadi sebuah teka-teki yang menyakitkan setiap kali bayangannya muncul di hati Srintil. Anak Dukuh Paruk itu entah di mana sekarang. Srintil merasa ditinggalkannya dengan cara yang paling tidak berperasaan.
Perjalanan ke Dukuh Paruk diteruskan ketika bintang-bintang mulai terang. Lepas dari jalan besar Srintil dan neneknya menapak pematang yang lurus menuju Dukuh Paruk. Gerumbul kecil itu meremang di kejauhan. Kiri-kanan pematang adalah hamparan sawah yang sangat luas dan kini ditanami berbagai palawija. Burung bence yang selalu berteriak-teriak bila ada manusia berjalan dalam gelap terbang hanya beberapa depa di atas kepala cucu dan nenek itu. Suaranya berisik, seakan-akan seluruh malam adalah miliknya yang sedang diusik.
Agak jauh di depan sepasang sinar kebiruan bergerak menyeberang pematang diikuti oleh dua pasang lainnya. Srintil merapat ke tubuh neneknya.
"Belacan yang mengiringkan anak-anaknya." kata Nyai Sakarya yang mengerti akan ulah Srintil. Namun Srintil kembali merapat ke tubuh neneknya ketika terdengar kegaduhan tak jauh di sampingnya. Sesaat kemudian samar-samar terlihat seekor unggas besar mengapung ke udara dengan tikus sawah di cakarnya. Burung hantu telah mendapat mangsa pertama di awal malam. Dia terbang megah sementara jerit tikus mangsanya terdengar makin jauh makin sayup. Malam telah sempurna gelap sebelum Nyai Sakarya dan Srintil mencapai Dukuh Paruk. Bulan tua baru akan muncul tengah malam sehingga cahaya bintang leluasa mendaulat langit. Kilatan cahaya bintang-beralih memberi kesan hidup pada rentang langit. Tetapi bila kilatan cahaya itu berlangsung beberapa detik lamanya dia menimbulkan rasa inferior; betapa kecil manusia di tengah keperkasaan alam. Di bawah lengkung langit yang megah Nyai Sakarya beserta cucunya merasa menjadi semut kceil yang merayap-rayap di permukaan bumi, tanpa kuasa dan tanpa arti sedikit pun.
Tampi berjalan terburu-buru menuju rumah Sakarya. Goder, anaknya yang baru sepuluh bulan melekat di balik kain embanannya. Tangan kanan Tampi memegang sesuatu yang terbungkus tumpal kain. Sesisir pisang raja; yang ini buat Srintil yang sudah beberapa hari tergeletak sakit.
Badannya mulai kurus, wajahnya pucat. Kesan kesegarannya, ciri utamanya yang paling menonjol selama ini, hampir lenyap. Srintil enggan bercakap-cakap dengan siapa pun, enggan makan, bahkan senyumnya yang sangat khas hilang sama sekali.
Nah, kecuali pada saat Goder kecil datang bersama emaknya. Pesona bayi adalah pesona bunga-bunga, pesona mayang pinang yang terurai dari kelopaknya di pagi hari atau pesona biru bunga bungur di awal musim kemarau. Ulahnya selalu menawan, bahkan bau badan dan mulutnya adalah kesegaran ajaib yang hanya alam sendiri mampu menciptakannya. Sinar matanya yang polos bening mampu memadamkan murka seorang ayah. Bayi adalah kesejukan alam seperti demikian adanya sehingga seorang ibu misalnya, takkan marah bila pangkuannya terkena kencing, bahkan tahi bayinya. Seorang bayi pastilah lebih dari anak kandung ibunya karena dia sesungguhnya adalah anak kandung alam yang paling sah. Maka siapa pun yang mau jujur dengan nuraninya akan mengakui bahwa semua bayi hidup dalam alam yang penuh rahmat. Siapa yang merasa sedang diamuk rasa tidak menentu bisa mendapatkan keteduhan bila dia mau menyelinap ke dalam dunia bayi.
Srintil yang sedang merana secara ragawi maupun rohani bisa merasakan keajaiban suasana yang dibawa oleh si kecil Goder. Meski badannya lemah dia berusaha duduk dan meminta Tampi menyerahkan b
ayinya. Demikian setiap hari bila Tampi menjenguk Srintil di rumah Sakarya.
"Kula nuwun..."
"Oh, ya. Tampi, bukan" Mari masuk," ujar Nyai Sakarya menyilakan tamunya. "Bagaimana keadaan Srintil, Nyai""
"Lihatlah sendiri di kamar. Wah, harus bagaimana aku ini. Srintil masih enggan makan. Ketupat dia tak mau, lontong yang kuberikan tadi pagi masih utuh sekarang. Bubur, apalagi." Kamar tidur Srintil yang sesungguhnya berada di rumah Kartareja. Di sanalah dia sebagai ronggeng menerima tamunya. Kamar di rumah Kartareja itu mewah menurut ukuran Dukuh Paruk. Tempat tidurnya terbuat dari besi pejal, kasurnya tebal dan berkelambu. Orang seperti Tampi tak berani masuk ke dalam kamar seperti itu karena rikuh.
Lintang Kemukus Dinihari Karya Ahmad Tohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara di rumah neneknya, Srintil tidur dalam kamar seperti milik kebanyakan orang Dukuh Paruk. Tempat tidurnya terbuat dari bambu seluruhnya kecuali empat tiang penyangganya. Alasnya adalah tikar pandan dengan dua bantal yang sudah lusuh. Masuk ke dalam bilik seperti itu tak ada keraguan sedikit pun di hati Tampi.
"Bagaimana, Srin"" tanya Tampi setelah melangkahi pintu bilik.
Tubuh yang tergolek itu hampir tak memberi tanggapan apa pun. Matanya kosong dan cekung.
Episode 12 Sementara itu suami-istri Kartareja adalah dukun ronggeng. Merekalah yang paling tahu segala tetek-bengek dunia peronggengan dan mereka menggunakan pengetahuan serta statusnya sebagai dasar mata pencarian. Dari ongkos pentas mereka mengambil bagian yang kadang-kadang lebih besar daripada bagian yang diterima Srintil. Dan keuntungan yang lebih besar lagi diterima oleh suami-istri Kartareja manakala mereka bertindak sebagai mucikari. Seorang laki-laki yang mabuk kepayang terhadap Srintil dan ingin tidur bersamanya barang satu-dua malam harus melalui
perantaraan Nyai Kartareja. Maka baginya untuk sementara tak mengapalah kalau Srintil masih enggan menari asalkan dia mau melayani laki-laki yang menginginkannya.
Ketika suatu malam Marsusi muncul kembali di Dukuh Paruk, tibalah saat bagi Nyai Kartareja meminta Srintil kembali kepada kebiasaan semula. Dalam mempengaruhi Srintil, Nyai Kartareja menggunakan segala kemampuannya karena dia tahu Marsusi pastilah membawa kalung emas seratus gram dengan bandul berlian. Perhiasan seperti milik istri lurah Peeikalan itu telah lama menjadi buah mimpinya. Tetapi kepada Marsusi dia mengatakan Srintil-lah yang menginginkannya.
Malam itu Srintil sedang berada di rumah kakeknya, Sakarya, mengayun-ayun Goder dalam embanannya. Bahwa Nyai Kartareja akan datang menyusulnya sudah diperhitungkan oleh Srintil ketika dia mendengar deru sepeda motor memasuki Dukuh Paruk. Kebimbangan mulai membayang pada wajahnya. Srintil belum siap mengambil sikap apa pun. Yang pasti Srintil merasa tidak seperti dulu lagi. Semangat hidupnya sebagian besar tersita oleh bayi gemuk yang kini lekat dalam embanannya. Kehidupan angan-angannya terlanjur terpaut kepada anak Dukuh Paruk yang jadi tentara dan kini entah di mana, Rasus. Maka mengapa tidak ada orang tahu sebenarnya Srintil terkejut ketika menyadari bahwa Dukuh Paruk masih mengharuskan dirinya melayani laki-laki yang datang. "Jadi Dukuh Paruk tidak mengerti bagaimana aku sekarang," keluhnya.
Dukuh Paruk dengan orang-orangnya memang tidak tahu banyak. Mereka hanya tahu Srintil jatuh hati kepada Rasus dan bertepuk sebelah tangan. Apa dan sejauh mana akibat penampikan Rasus terhadap Srintil tak pernah diperkirakan orang.
Ketika berbaring sakit beberapa hari lamanya Srintil merenungkan pengalamannya dengan dunia laki-laki. Selama ini Srintil hanya menurut kepada Nyai Kartareja, lalu menerima uang atau perhiasan. Betapapun dirinya seorang ronggeng Srintil merasa tidak mempunyai perbedaan dengan perempuan lain. Dia memiliki perasaan khusus terhadap laki-laki tertentu dan dia merasa harus memiliki kesempatan memilih. Adalah peruntungan Srintil mengapa laki-laki yang dipilih untuk dijadikan muara segenap hati dan perasaarmya adalah Rasus; dia yang secara halus telah menampik dan meninggalkannya dengan cara yang menyakitkan.
Srintil masih terlalu muda untuk memahami keretakan-keretakan yang terjadi dalam
dirinya sendiri. Pada mulanya Srintil merasa sedih dan putus asa. Kemudian seperti yang diajarkan oleh Dukuh Paruk, Srintil menganggap semua kegetiran yang dialaminya merupakan bagian garis hidup yang harus dilaluinya. Maka pada dasarnya Srintil pasrah dan nrimo saja. Dalam hidup ini orang harus nrimo pandum; ikhlas menerima jatah, jatah yang manis atau jatah yang getir. Tetapi bahkan Srintil sendiri tidak merasa bahwa sesuatu telah menyusup ke alam bawah sadarnya. Sesuatu itu adalah benih melembaga yang kelak akan mengubah sikap Srintil terhadap semua laki-laki. Pada taraf pertama citra laki-laki yang berkembang di hati Srintil adalah dua wajah yang kesemuanya jauh dari menyenangkan. Pertama adalah laki-laki jenis lembu jantan atau bajul buntung seperti kebanyakan mereka yang datang kepadanya. Mereka mendengus dan menggeram seperti macan berhasil menerkam menjangan. Hampir semua dari mereka tidak mempunyai latar perkenalan sebelumnya dengan Srintil. Melayani laki-laki yang baru dikenalnya mula-mula tidak mendatangkan masalah batiniah pada diri ronggeng itu. Tetapi pengalaman yang sama bersama Rasus, laki-laki belia yang dikenalnya sejak masa kanak-kanak dengan ikatan batin yang kuat, memberi Srintil sebuah perbandingan yang timpang. Sangat jauh berbeda; lebih berkesan, lebih banyak mengandung makna karena bukan hanya raga melainkan juga jiwa yang menyatu.
Lainnya adalah laki-laki jenis munyuk yang lemah Mereka cengar-cengir, dan begitu mudah takluk tak berdaya di hadapan seorang ronggeng cantik seperti Srintil. Mereka rela kehilangan apa saja kemudian merengek hampir mengemis. Kalau mau Srintil bisa memberi segala perintah kepada mereka seperti kacung. Para lelaki seperti itu gampang sekali bermulut bocor, menceritakan keburukan istri sendiri kepada Srintil. Dengan cara seperti ini mereka mengharap simpati ronggeng itu untuk menciptakan suasana yang lebih manis bersamanya. Nah, Srintil justru luar biasa benci kepada laki-laki seperti itu.
Wajah yang kedua adalah laki-laki jenis Rasus dan Rasus sendirilah modelnya. Dia tangkas seperti anak kijang, harga dirinya hampir mencapai taraf congkak dan tidak merengek apalagi mengemis. Rasus memberi karena Srintil meminta atau Srintil meminta dan Rasus memberi. Sebagai laki-laki kepribadiannya menggaris jelas. Rasus memang masih muda tetapi di hati Srintil dia memberi gambaran sebuah pohon kukuh dengan bayangan yang teduh tempat orang bernaung. Sayang sekali betapapun Srintil mengagumi Rasus, laki-laki itu telah membuat luka di hatinya. Seperti semua laki-laki lain Rasus pun ikut menyelipkan benih kekecewaan di alam bawah sadar Srintil. Dalam wawasan ini Srintil tidak bisa melihat beda antara dua wajah laki-laki itu. Semuanya mengecewakan, semua merangsang Srintil membuat suatu perhitungan. Srintil tersadar karena Goder menggeliat dalam embanannya. Kepada neneknya, Srintil minta diri hendak pulang ke rumah Kartareja. Suami-istri Sakarya cepat tanggap dan menilai tindakan cucunya sebagai perubahan yang baik. Bukan hanya karena Srintil sudah sekian lama tidak mau menjenguk rumah pamongnya, melainkan juga karena kakek dan nenek itu telah mendengar suara sepeda motor yang berhenti di depan rumah Kartareja. Menurut perkiraan Sakarya dan istrinya, Srintil hendak menjumpai tamunya, ini berarti cucunya itu telah kembali seperti semula dan telah melupakan Rasus. Nenek dan kakek Srintil saling berpandangan dan tersenyum.
"Kalau kau hendak pergi menemui tamumu, sebaiknya kembalikan dulu Goder kepada emaknya. Atau tinggalkanlah dia bersamaku di sini," kata Nyai Sakarya.
"Tidak, Nek. Biarlah anak ini tetap bersamaku," jawab Srintil di luar pintu.
Episode 13 Srintil melangkah dengan pasti dalam kegelapan. Sebenarnya taburan bintang di langit memberikan cahaya temaram ke bumi. Namun kerimbunan pepohonan di Dukuh Paruk menyerap cahaya itu sehingga tercipta kegelapan sempurna di bawahnya. Srintil berjalan cepat sambil memeluk Goder erat-erat dalam embanannya. Hatinya mantap oleh semangat baru yang pasti akan mengejutkan semua orang, namun dia telah bertekad akan mempertahankannya. Di depan rum
ah semangnya itu Srintil berjumpa dengan Nyai Kartareja yang memang hendak menjemputnya di rumah Sakarya.
"Srintil""
"Ya, Nyai." "Wah, bagus! Wong ayu, ada tamu datang. Kau tahu siapakah dia""
"Tidak." "Pak Marsusi, kepala perkebunan karet Wanakeling. Berbaik-baiklah melayaninya. Eh, kau masih membawa-bawa anak si Tampi" Mari, serahkan anak itu kepadaku. Tidak pantas menemui seorang tamu penting sambil membopong bayi."
Srintil tidak menjawab tetapi membuat gerakan sedemikian rupa sehingga Nyai Kartareja harus tahu bahwa Srintil enggan berpisah dengan bayinya. Nyai Kartareja mengerutkan kening karena tidak tahu menerjemahkan sikap Srintil. Akhirnya istri dukun ronggeng itu mengalah, masuk kembali ke dalam rumah. Srintil mengikutinya dari belakang.
"Nah, Pak Marsusi, inilah Srintil. Ternyata aku tak perlu bersusah payah menjemputnya karena dia sendiri yang datang. Kukira Srintil tak akan berbuat demikian apabila tamu yang datang bukan sampean. Iya kan, Srin""
Perkenalan basa-basi itu tidak ditanggapi oleh Srintil. Apalagi pandangan mata Marsusi segera menyergapnya. Memang hanya sesaat tetapi Srintil dapat membaca secara mendalam makna pandangan seperti itu. Entahlah, kali ini Srintil mulai merasa muak.
Dalam hati Marsusi memercik api yang membakar gairah yang dibawanya dari rumah. Pengetahuannya tentang Srintil sebagian besar diperolehnya dari penibicaraan umum, ditambah dengan dua kali melihat ronggeng itu secara langsung. Satu kali ketika Srintil naik pentas di Pecikalan beberapa bulan yang lalu. Kemudian satu kali lagi di pasar Dawuan. Kini semuanya menjadi lebih jelas. Apalagi Marsusi merasa Srintil yang muncul di rumah Kartareja saat itu khusus untuk dirinya. "Ah, pantas. Pantas!" kata Marsusi dalam hati. Tanpa disadarinya tangannya meraba kantung baju. Di dalamnya ada seuntai kalung seratus gram dengan bandul berlian. Srintil tetap berdiri. Goder menggeliat dalam buaiannya. Oh, seorang bayi. Alam jualah yang memberinya kepekaan luar biasa kepadanya. Dalam tidurnya bayi itu menangkap keresahan hati ibu yang sedang membuainya. Mata hati bayi yang masih putih mampu merekam segalanya. Bukan hanya denyut jantung Srintil yang makin cepat, melainkan juga segala sudut batinnya yang sedang gelisah.
Mengapa tidak muncul pertanda nyata bahwa seorang bayi seperti Goder sudah merasa bahwa ada pihak lain yang ingin merebut tempatnya di haribaan Srintil" Mengapa sasmita alam im terlalu lembut sehingga hanya seorang bayi yang mampu menangkapnya" Dan mengapa seorang bayi tidak mampu membela kepentingannya yang paling vital sekalipun kecuali hanya dengan cara menangis" Maka apa yang seharusnya terjadi, terjadilah. Goder menggeliat makin kuat. Kemudian meronta dan menangis. Makin lama tangisnya makin kuat. Tangis yang sarat makna karena sesungguhnya alam sendiri telah berbisik kepada Goder, di sana ada sepasang mata berbinar yang ingin menelan Srintil bulat-bulat.
Tak tersisa naluri yang utuh untuk membaca apa yang membuat Goder meronta dan menangis. Kartareja dan istrinya yang semula sudah menghilang muncul kembali di ruang tengah. Mereka merasa pasti Goder ingin kembali kepada Tampi, ibu kandungnya. Maka suami-istri dukun ronggeng itu menyuruh Srintil membawa Goder kepada Tampi.
"Siapa menyuruhmu repot seperti itu. Kamu kan masih lan, mengapa bersusah payah mengambil anak orang" Dan itu tamumu! Kamu tahu siapa Pak Marsusi, bukan""
Srintil tidak ingin menanggapi kata-kata Nyai Kartareja. Dia melangkah ke luar sambil mengayun-ayun Goder. Gerak-geriknya demikian pantas. Dari mulutnya terdengar suara desis lembut demi mengajuk bayi dalam embanan, membuat gambaran seorang ibu tampil dengan utuh. Demikian,
maka tak kurang dari Pak Marsusi sendiri hanya bisa menelan ludah dan menggeleng-gelengkan kepala. Bersama suami-istri Kartareja, Marsusi duduk membeku ketika mendengar Srintil bersenandung nina bobo di halaman rumah.
Yun ayun, ayun turn Turn lah neng ayunan Anakku si bocah landhung Mesuk gede dadi rebutan Yun ayun, ayun turu Turua si bocah lanung Cilike tak ayun-ayun Gedhene ngeman biyung
Angkasa yang kelam sepi membisu. Bahasanya tanpa
suara. Tetapi kedip-kedip bintang adalah kesaksian yang berbicara banyak akan apa yang terjadi di bawah lengkung langit. Suara dendang Srintil adalah nyanyian ibu. Berlatarkan bunyi gangsir yang datar dari berat terciptalah dendang alam yang membawa Goder kembali ke alam damai. Dia bergerak-gerak lembut kemudian lelap dalam udara malam yang kian sejuk.
"Anak siapakah itu"" tanya Marsusi setelah Srintil berlalu ke dalam.
"Bayi itu anak si Tampi. Entahlah, Pak, Srintil begitu lekat dengan bayi itu," jawab Nyai Kartareja. "Ya, aku melihatnya sendiri; seperti ibu dan anak kandungnya."
"Sebenarnya aku tidak suka. Beginilah jadinya. Srintil jadi tidak sempat menghormati tamu secara semestinya."
"Malam ini aku memang bermaksud mengajak Srintil ke luar. Mungkin dua atau tiga hari," ujar Marsusi sambil menyalakan rokok.
Episode 14 "Nah, itu baik sekali. Hampir sebulan ini Srintil membeku di Dukuh Paruk, tak mau memenuhi undangan pentas. Mula-mula memang karena sakit. Tetapi setelah sembuh Srintil masih ngambek saja. Ah, saya tahu sebabnya. Srintil masih tetap iri terhadap istri lurah Pecikalan. Iri terhadap kalungnya!"
"Hm. Nanti Srintil tidak akan iri lagi," jawab Marsusi. Senyumnya penuh gaya dan pasti. Nyai Kartareja tak perlu bertanya apa pun untuk mengartikan makna senyum tamunya. Maka dalam hati istri dukun ronggeng itu bergema sorak kemenangan.
"Ya, Pak, ya. Maka bawalah Srintil dan gembirakan dia. Srintil telah kehilangan kelincahannya, kekenesannya. Yang demikian itu tak boleh terjadi atas diri seorang ronggeng. Dan kalau itu, Pak: tidak boleh jadi pastilah akan melumerkan kebekuan hati Srintil!"
Di atas tempat tidurnya yang mewah menurut ukuran Dukuh Paruk Srintil membaringkan bayinya dengan hati-hati. Ketika Goder meronta sejenak Srintil menawarkan teteknya. Mulut Srintil kembali berdesis dengan suara lembut. Goder kembali lelap dengan kedamaian sempurna pada
wajahnya. Bukan hanya karena lembutnya belaian, tetapi karena rasa aman bagi jiwanya. Bayi itu bisa menerjemahkan tanpa salah segala gerak-gerik ibunya, segala getar suaranya. Rangsangan spiritual itu memberinya sasmita bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan atas diri ibunya, Srintil. Dia tak akan kehilangan setitik pun tempat dalam haribaan ibunya.
Melihat Goder sudah tertidur Srintil bangkit. Sangguinya yang kendor dibuka dan disanggulkannya kembali lebih kuat. Ditatapnya wajah Goder dalam sikap diam sempurna. Tetapi wajah bayi itu menjadi cermin yang menampilkan seribu bayangan. Rasus yang paling pertama muncul, kemudian wajah ibu-bapak yang tak pernah dilihatnya. Terakhir muncul dirinya sendiri. Srintil menggigit bibir karena bayangan itu bertanya tentang siapa dirinya. Pertanyaan itu sejenak mengambang karena Srintil tak kuasa menjawabnya. Menyusul pertanyaan lain; siapakah yang mengatur diri itu, Nyai Kartareja, para lelaki yang membayarnya. ataukah diri itu sendiri" Srintil memejamkan mata agar leluasa berbicara dengan hatinya. Lama sekali Srintil tetap berdiri tak bergerak. Kerut-kerut pada kulit dahinya menandakan ada pergolakan sedang berlangsung di dalam dirinya.
Tetapi ketika akhirnya Srintil keluar dari kamar, wajahnya telah cerah. Keyakinan diri seakan telah berada dalam genggamannya. Dia memperlihatkan ketenangan yang hanya mungkin dimiliki oleh perempuan-perempuan yang benar-benar matang. Gerakannya mantap ketika Srintil duduk di bangku di sisi ruangan. Nyai Kartareja agak terkejut terutama karena melihat anak asuhannya keluar dengan kain dan baju yang melekat sejak siang hari. Lebih dari itu, Srintil kelihatan tidak bergairah menyambut tamunya.
"Ah, jangan marah, Pak. Srintil terlalu lama membiarkan sampean menunggu. Sekarang, silakan berbincang-bincang. Oh, ya, Srin. Pak Marsusi hendak mengajakmu pelesir malam ini. Apakah kau tidak berdandan dulu""
"Tidak, Nyai," jawab Srintil singkat.
"E, lha"" Srintil tersenyum; senyum seorang yang merasa mampu mengendalikan suasana. "Pak Marsusi, aku takkan pergi ke mana-mana malam ini. Dan... "
"Eh, nanti dulu!" potong Nyai Kartareja. Ada kegemparan dalam nada suaranya. "Apa katamu
tadi"" "Aku tak ingin pe rgi ke mana pun, Nyai," jawab Srintil.
Nyai Kartareja masih tak percaya akan kedua daun telinganya. Dadanya turun-naik. Namun hanya sesaat. Kematangannya sebagai seorang mucikari berhasil menata kembali perasaannya. "Wong Ayu," kata Nyai Kartareja lembut. Tangannya membelai pundak Srintil. "Tak baik terlalu cepat menampik uluran tangan seseorang. Apalagi dia adalah Pak Marsusi. Kau belum bertanya hendak ke mana kau akan dibawanya. Nah, bahkan kau belum mengerti apa hadiah Pak Marsusi buatmu kali ini."
Dua detik kemudian terdengar bunyi rantai logam dijatuhkan orang ke atas meja. Sementara mata Marsusi mengarah ke awang-awang, mata Srintil dan kedua induk semangnya menatap benda berkilau di atas meja itu. Dalam keheningan yang tercipta, sesaat wajah Nyai Kartareja
berubah meriah. Sinar matanya memperlihatkan hasrat yang meluap. Bibirnya bergerak-gerak namun suaranya tak kunjung terdengar.
Srintil pun lama menatap kalung emas yang kelihatan sangat menantang itu. Dua-tiga kali dia menelan ludah. Sebutir berlian memancarkan cahaya kebiru-biruan: godaan yang sulit diabaikan oleh seorang perempuan muda seperti ronggeng Dukuh Paruk itu. Ketika Srintil berada dalam puncak kebimbangannya, Nyai Kartareja mendorongnya dengan kata-kata yang amat sugestif.
"Apa kataku, Wong Ayu. Rugi benar bila kau tidak menurutkan kehendak Pak Marsusi. Ayolah, ganti pakaianmu. Ganti pula kalung di lehermu itu dengan yang di sana." "Nah, ini. Ambillah," kata Marsusi dengan suara datar.
"Yang itu memang lebih baik. Jauh lebih baik dan lebih mahal tentunya," sela Kartareja. "Tak pernah kulihat seorang perempuan memakai kalung sebagus itu kecuali istri lurah Pecikalan. Nah, Srin, kini giliranmu."
Sejenak Srintil diam membeku. Di dalam rongga hatinya muncul kembali bayangan Rasus. Gendang telinganya menangkap suara Ciplak yang menembangkan asmara dahana. Li lali tan bisa lali, sun lelipur tan sangsaya...
"Tidak, Nyai. Aku tidak ingin pergi ke mana pun," ujar Srintil pelan namun terasa benar kepastiannya. Ketiga orang di dekatnya terkejut. Kartareja menegakkan kepala. Marsusi meluruskan punggung sambil melepas rokok dari mulutnya. Yang paling gempar adalah Nyai Kartareja.
"Kau" Kau ini bagaimana" Kau cucu Sakarya tidak ingin memiliki kalung sebagus itu"" "Nyai tak usah berbicara seperti itu kepadaku," ujar Srintil dengan ketenangan yang mengagumkan.
"Oh, maafkan saya yang tua ini, Wong Ayu. Bila kau tak ingin pelesir kukira tak mengapa. Siapa tahu Pak Marsusi tidak berkeberatan mengubah rencana. Dari niat semula hendak pelesir bersamamu barang dua-tiga hari menjadi acara menginap di rumah ini barang dua-tiga malam. Bagaimana, Pak""
Episode 15 Marsusi terbatuk. Pukulan pertama membekas berupa tanda tanya yang melintang pada wajahnya. Baru kali inilah ajakannya pergi berkencan ditolak orang. Dan justru ketika dia bersedia memberi imbalan yang paling mahal. Dalam keraguannya Marsusi ingin meraup kembali kalung emas itu, dan pulang. Tetapi sesuatu di depan mata menahan Marsusi tetap duduk di tempat.
Srintil duduk agak menyamping. Ketenangannya yang demikian utuh adalah pesona baru dalam penampilannya. Dengan tata sanggul seadanya profil Srintil justru memperlihatkan kesegaran remaja yang amat impresif. Bentuk rahangnya bagus. Pipinya jernih dengan hiasan jambang halus. Kulit leher berkata apa adanya, bahwa usia Srintil memang baru tujuh belas. Marsusi kembali terbatuk.
"Apabila Srintil enggan keluar, maka terserah kepadanyalah. Aku tak keberatan menginap di sini," kata Marsusi akhirnya.
"Dengar itu, Srin" Pokoknya, Pak Marsusi datang kemari hanya membawa satu tujuan. Yakni membuat hatimu senang. Iya kan, Pak""
Marsusi hanya tersenyum. Nyai Kartareja bangkit dan memberi isyarat kepada suaminya. Keduanya kemudian menghilang ke dalam rumah. Mereka yakin bahwa suasana yang sulit telah berlalu. Tinggal satu yang pantas mereka lakukan, yakni memberi kesempatan kepada tamunya menikmati kebebasannya bersama Srintil.
Kelengangan malam merembes masuk ke dalam rumah Kartareja. Ada kampret masuk melalui pintu depan yang terbuka, berputar-putar sejenak dalam ruangan dan
menghilang lagi lewat jalan yang sama. Dua ekor cicak berlomba menangkap mangsa: seekor serangga yang terbang hinggap pada dinding bambu. Ketika serangga itu terbang kembali dan berpusing-pusing di sekitar lampu kedua pengejarnya berganti acara. Kedua cicak itu saling berkejaran. Yang besar mengejar yang kecil. Pengejaran berhenti dalam upacara kawin yang brutal. Atap seng rumah Kartareja tiba-tiba berdentam. Sesuatu yang pekat jatuh dari langit. Tak ada sesuatu yang bisa dituduh kecuali kalong berak sambil terbang. Atau binatang itu memuntahkan biji salam yang sudah dimamah dan diisap airnya.
Selain itu terdengar suara yang membuat Dukuh Paruk mempunyai warna khas. Irama calung. Tetapi malam itu yang terdengar adalah suara calung tunggal. Dalam hal demikian calung menggantikan gambang. Di tangan orang yang tepat seperti Sakum, calung adalah gambang. Bedanya, calung terbuat dari bambu sementara gambang dari kayu. Sebagai penabuh calung yang masyhur, meski kedua matanya buta, Sakum tak pernah mengeluh. Bahkan gaya dan suaranya selalu berupa banyolan.
Tetapi malam itu Srintil menangkap kelainan pada suara dan irama calung Sakum. Di balik irama yang padu dengan ketenangan malam tersirat pesan ironik. Ironinya seorang penabuh calung yang sudah sekian lama tidak mendapat penghasilan karena Srintil belum juga hendak naik pentas. Srintil tersenyum getir karena teringat akan nasib Sakum; si Buta yang menjadi maskot kelompok ronggengnya. Dan bukan hanya Sakum seorang yang terputus rejeki lantaran Srintil mogok menari. Tiga orang penabuh lainnya bernasib sama.
Sementara suara calung terus mengisi kelengangan Dukuh Paruk, di rumah Kartareja terjadi suasana yang lucu. Marsusi duduk gelisah. Sebaliknya, Srintil duduk di atas singgasana kemandirian yang nyata. Berkali-kali Marsusi menelan ludah, tetapi Srintil tetap duduk menyamping, berpura-pura tidak tahu ada seekor buaya lapar di dekatnya.
"Jenganten," suara Marsusi serak. Senyumnya kaku seperti anak kecil sedang minta jajan kepada emaknya. "Ini kalungmu, ambillah."
Srintil menoleh sambil tersenyum. Tetapi siapa pun bisa memastikan senyum Srintil kali ini sama sekali tidak erotik.
"Sebentar, Pak. Untuk apa kalung itu sampean berikan kepada saya"" Marsusi menarik napas panjang. Tingkahnya canggung.
"Begini, Pak," sela Srintil setelah tahu Marsusi gagal membuka mulut. "Kalung itu akan kuterima bila dia sampean maksudkan sebagai upahku menari. Nah, sampean tinggal mengatakan kapan dan di mana pentas hendak diadakan. Di sana sampean boleh mengajakku bertayub sepuas hati."
"Lho, bukan. Kalung ini bukan buat upahmu menari atau bertayub," ujar Marsusi. "Mau sampean berikan kepadaku dengan begitu saja" Nah, marilah!" "Bukan!"
"Ya!" potong Srintil dengan kecepatan yang tidak terduga. "Sampean ingin memberikan kalung ini kepadaku bukan sebagai upahku menari atau bertayub, melainkan untuk satunya lagi. Oh, Pak Marsusi, sampean tidak salah. Karena saya memang telah melakukan hal semacam itu dengan sekian banyak lelaki. Tetapi, Pak... "
Marsusi menyondongkan kepalanya lebih ke depan. Pikirannya yang mulai baur membuat dia ingin segera tahu apa kata Srintil selanjutnya.
"Sekarang aku tak ingin melakukannya lagi."
"Lho, kenapa""
"Hanya merasa tak ingin, begitu." "Katakan terus terang!" nada suara Marsusi mulai berat.
"Memang hanya tak ingin. Kalau sekedar menari atau bertayub, nah, ayohlah. Aku memang seorang ronggeng."
"Nanti dulu! Mengapa hal ini baru kaukatakan kepadaku; bukan kepada laki-laki lain sebelum aku" Mengapa""
"Persoalannya sederhana, Pak," kata Srintil masih dalam ketenangan yang utuh. "Sampean kebetulan menjadi laki-laki pertama yang datang setelah saya memutuskan mengubah haluan."
"Jelasnya! Kamu menampik kedatanganku""
"Tidak sepenuhnya demikian, Pak. Kalau sampean ingin sekedar bertayub denganku, maka selenggarakan pentas. Terserah, kapan dan di mana."
Urat pada kedua rahang Marsusi menggumpal. Matanya menyorot lurus ke arah wajah ronggeng Dukuh Paruk itu. Renjana yang dibawanya dari rumah mulai berubah menjadi dorongan amarah. Marsusi bangkit berdiri, berjalan berkeliling rua
ngan. Wajahnya berubah beringas. Srintil siap menanti sesuatu akan hancur oleh tangan tamunya. Ternyata tidak. Marsusi hanya berjalan berputar-putar, mendengus-dengus, kedua tangannya bergerak limbung.
Nyai Kartareja muncul dari dalam diikuti oleh suaminya. Tentulah mereka mendengar percakapan yang kaku antara Srintil dan Marsusi. Kemunculan pasangan dukun ronggeng itu disambut dengan tudingan tangan Marsusi.
"Nah! Sampean berdua duduk!" teriak Marsusi.
Episode 16 "Duduk!" ulang Marsusi karena melihat suami istri Kartareja kelihatan bimbang. Kini Marsusi bertindak menurut gayanya yang asli; gaya seorang mandor perkebunan terhadap para kuli penyadap karet.
"Takkan sekali-kali seorang kepala perkebunan sampai kemari kalau pedukuhan ini tidak bernama Dukuh Paruk," Marsusi mengawali pidatonya sambil tetap berjalan berputar-putar. "Dan takkan sekali-kali aku masuk ke rumah ini bila di sini bukan sarang seorang ronggeng. Dan dia si ronggeng Dukuh Paruk yang bernama Srintil, bukan""
Karena dituding tepat di depan mata maka Srintil mengangkat muka. Sementara wajah suami-istri Kartareja kelihatan kecut. Srintil hampir tidak memperlihatkan emosi apa pun. Tatapan matanya yang demikian tenang membuat Marsusi menurunkan tangan. Kemudian Marsusi melangkah mendekati Nyai Kartareja. Ucapannya terdengar habis-habisan.
"Sampean cecunguk, ya! Siapakah yang secara tidak langsung menyuruhku membawa kalung seperti milik istri lurah Pecikalan" Barang itu sudah berada di depan matamu. Tetapi apa hasilnya sekarang""
"Pak Marsusi," suara Srintil datar, "saya mohon sampean tidak marah terhadap Nyai Kartareja. Ini urusanku. Persoalan yang sederhana tidak perlu sampean persulit."
"Ini bukan persoalan sederhana! Aku tidak sekali-kali menganggapnya sederhana!"
"Bagaimana juga, Pak, masalahnya tetap sederhana. Yakni sampean mau membeli sesuatu di sini, tetapi warung sudah tutup. Itu saja, Pak."
"Jadi kamu, dan sampean semua di sini, telah menghinaku. Dan kalian orang Dukuh Paruk, apakah kalian mengira aku tidak tahu bahwa semua yang kelihatan di sini adalah hasil persundalan" Hah"" "Sabar, Pak. Aku ingin berbicara... "
"Cukup! Kamu nenek cecurut! Biang sundal dan setan Dukuh Paruk. Aku tak ingin mendengar lagi suaramu. Omongmu itu kentut kuda!"
Marsusi yang beringas mengambil topi lalu dipasangnya di kepala. Dengan gerak tangan yang cepat kalung yang semula hendak dipakainya sebagai pembeli Srintil segera masuk ke saku baju. Masih ada satu lagi yang diambilnya dari atas meja; botol jenewer. Isinya yang tinggal setengah ditenggaknya. Botol itu dibanting mengenai umpak tiang. Suara beling remuk memecah keheningan. Semenit kemudian terdengar suara motor Marsusi menderu.
Keberangkatan Marsusi meninggalkan ketegangan di rumah Kartareja. Wajah Nyai Kartareja gelap dan kusut. Kekesalan hatinya dilampiaskan dengan cara berkali-kali memukul pantat sendiri. "Toblas, toblas! Kamu ini bagaimana, Srintil" Kamu menampik Pak Marsusi" Toblas, toblas. Itu pongah namanya. Kamu memang punya harta sekarang. Tetapi jangan lupa anak siapa kamu sebenarnya. Kamu anak Santayib! Orang tuamu tidak lebih dari pedagang tempe bongkrek. Bapak dan emakmu mati termakan racun!"
Srintil membeku, menundukkan kepala dan menggigit bibir. Kesaksian tentang kedua orang tuanya yang baru disampaikan oleh Nyai Kartareja telah menggores hatinya. Tentang kedua orang tuanya Srintil telah tahu segalanya. Tetapi setiap kali berita itu berulang, setiap kali pula hatinya terluka. Srintil menangis. Dan Nyai Kartareja tidak peduli.
"Oalah toblas, beginilah caramu membalas budi kami, ya! Kami berdua telah memberimu jalan sehingga kamu mendapatkan kamukten. Tetapi inilah imbalan yang kami terima; dipermalukan habis-habisan oleh Pak Marsusi. Anak Santayib, dasar cecurut kamu! Dan kamu bertingkah menolak sebuah kalung seratus gram" Merasa sudah kaya" Bila kamu tidak suka kalung itu mestinya bisa kauambil untukku. Dan kaulayani Pak Marsusi karena semua orang toh tahu kau seorang ronggeng dan sundal."
"Sudah, Nyai, sudah," kata Kartareja berusaha menghentikan amarah istrinya.
"Biar! Sekali ini dia harus men
dapat pelajaran. Lama-kelamaan anak Santayib ini jadi kurang ajar!" Dada Nyai Kartareja masih kembang-kempis tetapi dia sudah kehabisan kata-kata. Sisa kemarahannya tumpah ketika dia meludah sengit ke arah Srintil.
Sampai sedemikian jauh Srintil tetap diam. Bahkan dia tetap tak bergeming meski Nyai Kartareja sudah masuk ke kamarnya dengan membanting pintu keras-keras. Air matanya berjatuhan. Ketabahan yang diperlihatkannya ketika menghadapi Marsusi telah runtuh. Hal ini terjadi karena Nyai Kartareja telah mengusik kedua orang tuanya yang sudah menjadi tanah di pekuburan Dukuh Paruk.
Yang membawa kembali ketenangan ke dalam hati Srintil adalah suara calung tunggal yang ditabuh Sakum. Mula-mula suara itu masih berbaur dengan lengking kemarahan Nyai Kartareja yang terus terngiang dalam telinga Srintil. Disusui kemudian oleh derik seribu jangkrik yang menggetarkan gendang telinga. Lama-kelamaan suara kacau itu surut. Tinggal bunyi calung yang menjalin malam Dukuh Paruk, menyatukannya dalam satu citra yang bulat dan utuh. Klenting-klentung itu tumpah dengan runtut, kadang ada nada yang melompat seperti belatung nangka yang ranum, namun tetap terikat dalam keselarasan.
Dengarlah suara mata calung yang menyusup ke bawah rumpun-rumpun bambu di Dukuh Paruk. Dari bambu pulang ke bambu. Mesra dan penuh makna seperti seorang anak yang menyurukkan wajah dalam-dalam ke selangkangan emaknya. Ketika angin malam membuat desah daun-daun bambu, suaranya menjadi latar yang paling alami bagi irama calung yang terus mengalir melalui ayunan kedua tangan Sakum. Tit-tuit tit-tuit suara burung prit putih yang mulai terdengar sejak matahari terbenam memaripurnakan kidung Dukuh Paruk. Pedukuhan terpencil itu sedang menembangkan kidung malam. Entahlah, kini yang terdengar bukan nada cepat bergairah, melainkan suara pilu yang menggayut.
Srintil masuk langsung menuju kamar. Kartareja yang sedang duduk membatu hanya menatapnya sepintas. Tetapi dukun ronggeng itu sedikit terperangah ketika sesaat kemudian Srintil sudah berdiri di hadapannya sambil mendekap Goder dalam embanan. Ayah dan anak asuhan bertatapan. Melalui bahasa rasa Kartareja sudah tahu apa arti kehadiran Srintil di hadapannya. Tak terdengar kata barang sepatah meskipun bibir Srintil kelihatan bergerak-gerak. Demikian juga halnya Kartareja. Sampai akhirnya Srintil berbalik dan keluar halaman suasana masih bisu. Hanya derit engsel pintu. Selebihnya adalah kelengangan. Dan cericit tikus busuk yang terkejut ketika Srintil lewat di dekatnya
Episode 17 Keluar dari rumah orang tua akuannya Srintil merasakan suatu hal yang baru; begitu dekat dengan dirinya sendiri. Akunya sepenuhnya dalam genggaman. Akunya yang terdiri atas dirinya sendiri
dan seorang bayi dalam pelukan. Hangat tubuh Goder yang melekat di dadanya menjadi kehangatan pertama bagi sebuah semangat baru yang mulai melembaga dalam jiwa Srintil. Sampai di rumah kakeknya, Sakarya, Srintil mendapati seorang perempuan lain. Tampi. Wajah perempuan itu langsung meriah melihat kedatangan Srintil. Dia tergopoh bangkit menyongsong Srintil di ambang pintu.
"Oalah, Jenganten. Kemarikan anakku. Aku sudah kangen," ujar Tampi sambil mengulurkan kedua tangannya. Namun Srintil menepis tangan itu.
"Mau melihat Goder, Lihatlah dari situ. Mau menggamit pipinya yang tambun dan padat, silakan. Tetapi jangan ambil dia dari embananku."
"Aku bersungguh-sungguh, Jenganten. Karena aku sudah sangat kangen. Sehari ini aku belum menyentuhnya. Dan, ah! Siapa bilang Goder tidak akan mengganggumu, Jenganten" Baru saja terbukti, bukan""
"Terbukti""
"Aku mengerti semua yang baru terjadi di rumah Kartareja. Kalau bukan karena anakku, sampean sudah pergi naik sepeda motor bersama... "
"Cukup. Kamu salah, Tampi. Kamu tak mengerti. Aku tidak pergi bersama laki-laki itu karena aku tak mau. Itu saja. Tak ada sangkut-pautnya denga Goder. Tahu""
"Tetapi aku mendengar Nyai Kartareja jelas menyebut-nyebut nama anakku. Oh, sampean tidak mengerti bagaimana perasaanku saat itu. Ingin rasanya aku menerobos masuk untuk mengambil Goder dan membawanya pulang selekas mungkin. Anakku ma
sih terlalu bersih buat dilibatkan ke dalam urusan orang-orang dewasa."
"Nah, kamu betul. Goder masih terlalu bersih. Maka aku tidak akan mengotorinya. St, jangan ganggu dia. Dan jangan lagi sebut dia anakmu, melainkan anakku! Nah, iya kan"" Tampi bersungut-sungut, tetapi senyumnya mekar kemudian. Dia merasa tidak mungkin berbohong bahwa sesungguhnya dia berbangga hati karena anaknya menjadi boneka bagi perempuan yang paling ternama, Srintil.
"Ah, Tampi. Sesungguhnya kamu tidak usah lagi merisaukan Goder. Cukuplah aku yang menjadi emaknya. Aku bisa menetekinya. Aku bisa membelikan baju yang terbaik di pasar Dawuan baginya. Pokoknya, apa yang bisa kauberikan kepada Goder, aku pun bisa melakukannya secara lebih baik. Dan jangan khamatir, bila sudah besar nanti dia tahu perempuan mana yang melahirkannya. Sekarang biarlah dia menjadi anakku yang sebenar-benarnya. Yang perlu kaulakukan sekarang adalah melayani suami sebaik mungkin. Supaya bayimu yang kelima cepat
lahir!" Seloroh Stintil mencairkan kekakuan. Tampi mencubit lengan temannya. Terasa benar oleh Srintil bahwa selorohnya tepat mengena pada perasaan Tampi yang sebenarnya. Bagi perempuan Dukuh Paruk melayani suami bukan hanya sekedar keharusan hidup. Dia adalah satu-satunya kegiatan lain di luar urusan dapur serta memelihara anak-anak. Dalam kenyataan aspek humaniora bagi perempuan Dukuh Paruk hampir terpusat sepenuhnya di atas pelupuh bambu mereka. Dan ketika Goder sudah menginjak usia sembilan bulan, seloroh Srintil itu sungguh tidak bisa dielakkan oleh
Tampi. Artinya, ketidakhadiran Goder di sampingnya memberikan kedaulatan yang lebih bagi suaminya, dan dirinya juga.
Hingga tengah malam Srintil tidak mampu memejamkan mata. Kadang dia duduk termangu di bibir balai-balai. Kadang tidur gelisah di samping Goderyang lelap. Dan sekali waktu Srintil merasa demikian gemas karena mengetahui betis Goder bentol sebesar biji jagung. Seekor kutu busuk yang menggembung penuh darah digilas dengan telunjuknya. Noda darah tercoreng pada tikar pandan, sengak baunya.
Sakum masih terus mengembara dengan irama calung tunggalnya. Sebenarnyalah Sakum tak bisa menjelajah ke mana-mana karena kedua matanya buta sejak lahir. Dia tidak bisa mengembara di alam nyata. Tetapi karena buta, Sakum memiliki kepekaan luar biasa. Pengembaraannya di alam rasa demikian teliti dan memikat sehingga mampu mengajak orang lain mengikutinya. Malam itu pastilah banyak warga Dukuh Paruk setia memicingkan mata agar bisa mengawang bersama-sama Sakum.
Entah berapa tembang telah dibawakan oleh seniman calung itu. Dan Srintil amat terkesan oleh sebuah pupuh sinom yang mengalun berulang-ulang;
Bonggan kang tan mrelokena
Mungguh ugering ngaurip Uripe lan tri prakara Wirya karta, tri winasis Kalamun kongsi sepi Saka wilayan telelu Tetas tilasing sujalma Aji godhong jati aking Temah papa, papariman ngulandara
Merugilah orang yang mengabaikan tiga perkara teras kehidupan. Yakni trampil, keutamaan, dan kepandaian. Bila triperkara ini ditinggalkan. Punahlah citra keutamaan manusia. Dia tidak lebih utama daripada daun jati kering; melarat, mengemis, dan menggelandang.
Terasa benar tembang sinom itu keluar dari dasar hati Sakum yang sedang papa karena telah lama tidak bekerja mengiringi Srintil dalam pentas. Sakum, yang meski buta tetapi harus memberi makan seorang istri dan empat orang anak. Makin lama Srintil makin merasa digugat oleh Sakum dengan caranya yang sangat halus; mengapa dia masih menolak naik pentas dengan akibat perut Sakum anak-beranak menjadi lapar.
Gugatan itu menambah beban pikiran Srintil yang telah ditindih oleh pengalamannya dengan Marsusi di awal malam. Dan wajah Sakum bersama anak dan istrinya terus terbayang meski akhirnya penabuh calung itu jatuh tertidur di belakang alat musiknya.
Episode 18 Boleh jadi hanya Srintil seorang yang tetap jaga ketika embun pertama jatuh sesaat malam melampaui batas dini hari. Perihal melek sepanjang malam bukan perkara asing bagi seorang ronggeng. Biasanya Srintil bergadang dalam suasana gairah dengan ciu, dengan uang, dan dengan berahi. Kali ini lain, sangat lain. S
rintil sedang berada dalam haribaan Dukuh Paruk yang tengah tidur lelap selelap-lelapnya, merenung dan merenung. Dan Srintil tidak bisa ingkar bahwa awal
segala permenungannya adalah kenangannya bersama Rasus. Rasus yang semasa kanak-kanak bermain bersama di bawah pohon nangka, Rasus yang diserahi keperawanannya, dan Rasus yang kemudian menjadi tentara tetapi kini berada entah di mana. Tetapi Srintil merasa setiap kali permenungannya berakhir pada titik antah berantah. Terutama setelah dia sampai kepada pertanyaan: apa yang bakal terjadi atas dirinya setelah Rasus pergi. Apa pula yang bakal dialaminya setelah " entah mengapa " dia memutuskan menolak laki-laki bernama Marsusi yang bersedia memberinya kalung emas bermata berlian. Dukuh Paruk sepanjang zaman mengajarkan, kehidupan adalah pakem; manusia tinggal menjadi pelaku-pelaku yang bermain atas kehendak dalang.
Maka bagi Srintil kepergian Rasus tidak bisa dipahami secara lain kecuali atas kehendak Sang Dalang juga. Meskipun sebagai akibatnya Srintil harus merasakan kegetiran dalam hatinya. Lain lagi perihal penolakannya atas Marsusi. Srintil khawatir jangan-jangan penolakannya itu berarti penentangan terhadap pakem hidup. Dan sepanjang yang dipercayainya sikap semacam ini akan membawa akibat buruk. Barangkali Srintil akan tetap dalam kekhawatirannya bila dia tidak sempat teringat hal-hal keseharian yang sering dilihatnya. Misalnya toh tidak semua ayam betina tunduk kepada jago yang mengejar hendak mengawininya. Demikian juga kambing, kucing, dan juga burung-burung. Tentulah hewan-hewan betina itu tidak bisa dikatakan telah melanggar perintah alam. Atau, memang alam jugalah yang mengatur segala perilaku seluruh warganya. Tak terkecuali Srintil, ketika dia menampik kehadiran Marsusi.
Ketika pada ujung permenungannya Srintil memperoleh sedikit ketenangan, matanya mulai terasa mengantuk. Sementara itu cecet pertama burung sikatan sudah terdengar. Disusul kemudian oleh kokok ayam jantan. Bunyi keresek daun pisang kering yang menerima kedatangan codot yang hendak menyembunyikan diri. Samar-samar, karena matanya mulai terpejam, Srintil masih sempat melihat seekor bangkong melompat-lompat. kemudian menerobos celah dinding di dekat umpak tiang. Kodok longan itu akan bersembunyi sepanjang hari di kolong balai-balai, tepat di bawah kepala Srintil. Gangsir dan orong-orong menghentikan suaranya, membuat Dukuh Paruk menyambut kedatangan hari baru dalam suasana yang begitu lengang. Demikian lengang sehingga suara tetes embun jelas terdengar ketika jatuh ke atas daun iles-iles yang tumbuh semarak di belakang rumah.
Pedang Kunang Kunang 11 Harry Potter Dan Piala Api Harry Potter And The Goblet Of Fire Karya J.k. Rowling Tukar Tubuh 2
Lintang Kemukus Dinihari (Buku Kedua Dari Trilogi)
Oleh Ahmad Tohari Edit & Convert Jar: Inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Ahmad Tohari KEMARAU di kawasan Banyumas, Jawa Tengah, pada masa kini mungkin tidak lagi sedahsyat akibatnya dibanding masa lalu, ketika hutan-hutan jati di daerah Jatilawang mengering, tanah pecah-pecah, penduduk merana kelaparan. Dulu, seperti ditunjukkan Ahmad Tohari (57), penulis yang pernah menghasilkan novel Ronggeng Dukuh Paruk, hutan menyala menjadi korban kebakaran akibat pertikaian politik yang menyusup sampai ke desa-desa pada masa sebelum 1965.
Ahmad Tohari dilahirkan di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas tanggal 13 Juni 1948. Pendidikan formalnya hanya sampai SMAN II Purwokerto. Namun demikian beberapa fakultas seperti ekonomi, sospol, dan kedokteran pernah dijelajahinya. Semuanya tak ada yang ditekuninya. Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya yang mewarnai seluruh karya sastranya.
Lewat trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (dua yang lainnya Lintang Kemukus Dinihari dan Jentera Bianglala), ia telah mengangkat kehidupan berikut cara pandang orang-orang dari lingkungan dekatnya ke pelataran sastra Indonesia. Sesuai tahun-tahun penerbitannya, karya Ahmad Tohari adalah Kubah (novel, 1980), Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982) Lintang Kemukus Dinihari (novel, 1984), Jentera Bianglala (novel, 1985), Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1989), Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1990), Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1993), Bekisar Merah (novel, 1993), Mas Mantri Gugat (kumpulan kolom, 1994).
Lintang Kemukus Dinihari Episode 1 Dukuh Paruk masih diam meskipun beberapa jens satwanya sudah terjaga oleh pertanda datangnya pagi. Kambing-kambing mulai gelisah dalam kandangnya. Kokok ayam jantan terdengar satu-satu, makin lama makin sering. Burung sikatan mencecet-cecet dari tempat persembunyiannya. Dia siap melesat bila terlihat serangga pertama melintas dalam sudut pandangnya. Dari sarangnya di pohon aren keluar seekor bajing karena tercium bau lawan jenisnya. Mereka berkejaran. Dahan-dahan bergoyangan. Tetes-tetes embun jatuh menimbulkan suara serempak. Seekor codot melintas di atas pohon pisang. Tepat di atas daun yang masih kuncup, binatang mengirap itu mendadak menghentikan kecepatannya. Tubuh yang ringan jatuh begitu saja ke dalam lubang kuncup daun pisang itu.
Jangkrik, gangsir, dan walang kerik sudah lama bungkam. Gangsir menyembunyikan diri dalam liang di tanah yang disumbat dari dalam. Walang kerik membaurkan diri dengan warna hijau dedaunan. Dia hanya bisa diketahui bila ada embusan angin. Pada saat itulah naluri memerintahkannya menggesekkan sayap sehingga terjadi suara yang khas.
Ada sebatang pohon jambu air di salah satu sudut Dukuh Paruk. Dalam kerimbunan daun-daunnya sedang dipagelarkan harmoni alam; beratus-ratus lebah madu dengan ketekunan yang menakjubkan sedang menghimpun serbuk sari. Sayap-sayapnya mendengungkan aneka nada halus dan datar, mengisi kelengangan pagi yang masih temaram. Tanah di bawah pohon jambu itu memutih oleh hamparan beribu-ribu tangkai sari. Bau wangi tanah, suara lembut sayap-sayap lebah madu dan pendar embun yang mulai menangkap cahaya dari timur.
Pucuk-pucuk nyiur dan rumpun bambu menerima kehangatan pertama pagi hari. Pancaran cahaya matahari adalah tenaga yang setiap kali membangunkan Dukuh Paruk dengan menyingkap kabut yang menyelimutinya. Dua puluh tiga rumah di pedukuhan kecil itu mulai hidup. Terdengar rengek anak-anak yang terjaga dan langsung merasa lapar. Seorang perempuan keluar menjemur kain yang basah kena ompol bayinya. Suaminya juga keluar halaman dengan tujuan berbeda. Laki-laki itu menjambret daun pisang kering untuk menggulung tembakau. Ada orang jongkok di balik semak. Tangannya mengibas mengusir agas yang merubung kepalanya. Dukuh Paruk sudah terjaga.
Hanya sebuah rumah yang masih sepi. Rumah itu mempunyai ukuran yang paling kecil di Dukuh Paruk. Penghuninya tunggal, seorang nenek yang sudah linglung. Meskipun sudah bangun, perempuan tua itu belum hendak beranjak dari tempat tidurnya, termangu-mang
u dengan matanya yang kelabu. Dalam genggamannya ada beberapa keping uang logam. Dia tidak tahu siapakah yang telah menaruh uang itu di bawah bantalnya. Nenek Rasus itu memang linglung, sudah lama linglung.
Tidak seperti biasa, beberapa hari lamanya nenek Rasus tidak tinggal seorang diri di rumahnya. Pagi itu pun dia tidak seorang diri. Seorang perempuan muda yang paling berharga di Dukuh Paruk masih tergolek di atas balai-balai dalam bilik sebelah. Srintil masih menyambung mimpi setelah menempuh malam yang paling berkesan bersama Rasus.
Seberkas sinar matahari menembus dinding bambu, lurus seperti kristal maya jatuh di pipi Srintil. Lingkaran terang yang hanya seluas uang logam mampu menyingkap rona hidup di pipi ronggeng Dukuh Paruk itu. Rambutnya yang hitam, meskipun begitu kusut, memantulkan kilau yang lembut. Ketika rona terang itu akhirnya bergerak ke arah mata, Srintil berada dalam batas jaga. Irama napasnya mulai tak teratur, bulu matanya bergerak-gerak. Akhirnya terdengar desah panjang ketika Srintil menggeliat perlahan-lahan.
Peralihan dari alam tidur ke alam jaga berlangsung sementara kelopak mata Srintil belum terbuka. Bola mata bergulir-gulir di dalam pelupuknya. Kemudian tercipta sebuah lekuk yang bagus di kedua sudut bibir Srintil. Kesadaran telah merayapinya, kesadaran bahwa lintasan hidupnya sedang memasuki batas waktu di mana Srintil merasa dirinya larut dan menyatu dengan Rasus.
Karena Srintil tidur dalam posisi miring ke arah tepi balai-balai, maka ia tetap percaya masih ada seseorang di sampingnya. Tangan kanannya digerakkan ke arah belakang dengan keyakinan yang bulat bahwa jemarinya akan jatuh ke atas sebidang dada laki-laki. Tetapi yang kemudian terasa di ujung jarinya adalah dinginnya tikar pandan. Dicobanya meraba lebih jauh. Dan kosong. Srintil cepat bangkit dan menoleh ke belakang Didapatinya dirinya tak berteman dalam bilik yang lengang itu. Mula-mula Srintil menduga, atau berharap, Rasus masih berada di sekitar rumah sedang berhajat di belakang misalnya, Namun perasaan buntu tiba-tiba menguasai dirinya setelah Srintil melihat tak ada satu pun barang milik Rasus yang tertinggal.
Dalam bilik sebelah Srintil mendapati nenek Rasus duduk hampir tanpa gerak kecuali kembang-kempis dadanya yang tak kentara. Atau sepasang mata kelabu yang bergulir ketika melihat Srintil datang.
"Di mana Rasus, Nek"" "Apa""
"Rasus, cucumu! Di manakah dia sekarang""
"Si Rasus di mana""
"Iya." "Rasus" Jadi Si Rasus sudah pulang""
"Oh, Nenek pikun. Nenek linglung. Nenek tidak melihat ke manakah Rasus pergi""
Sesaat lamanya perempuan itu kembali dalam sikap tanpa gerak. Kemudian menjulurkan tangan ke arah Srintil. Telapak tangan dibuka. Beberapa keping uang logam ada di sana. Srintil menatapnya tidak mengerti. Dan putus asa. Berbalik, menarik daun pintu dengan kasar, lalu keluar. Dicarinya tempat dari mana dia bisa memandang dengan sempurna ke arah pancuran. Rasus tidak kelihatan. Dilongoknya pekarangan kosong tempat orang-orang Dukuh Paruk biasa jongkok di balik semak. Hampa. Yang kelihatan oleh Srintil adalah sepasang burung sikatan yang sedang sibuk menyambar-nyambar lalat hijau.
Episode 2 Akhirnya Srintil menatap jauh ke seberang sawah yang sangat luas. Di sana Dawuan mulai memperlihatkan sosoknya. Kabut tipis yang menyelamuti Dawuan mengambang naik karena hangatnya sinar matahari. Dawuan dengan pasarnya. Dawuan dengan markas tentaranya di bamah pimpinan Sersan Slamet, kepada siapa Rasus pergi menggabungkan diri. Bagi Srintil, Dawuan kini berubah menjadi sosok yang angkuh.
"Oh, jadi begitu," pikir Srintil yang ingin menolak kenyataan bahwa Rasus telah meninggalkannya bahkan tanpa pamit. Dalam perkiraan ronggeng Dukuh Paruk itu semua laki-laki adalah dari jenis yang sama, yang bisa demikian gila hanya karena ingin hidup bersamanya barang satu-dua malam, tak peduli apa pun yang menjadi nilai tukarnya. Sulam, Lurah Pecikalan atau bahkan Bapak Siten Wedana adalah sebagian kecil deretan nama laki-laki yang runduk di bawah kibasan sampur Srintil. Dan ronggeng itu merasa heran mengapa ada seorang lelaki dari jenis lainnya.
Dengan keakuan yang tegar laki-laki itu lari menghindar. Boleh jadi Srintil takkan bersedih hati bila laki-laki itu bukan Rasus.
Hingga beberapa saat lamanya Srintil tetap berdiri diam. Dibiarkannya nyamuk-nyamuk belirik yang beterbangan mengelilingi tubuhnya. Beberapa ekor hinggap menghisap darah di kaki Srintil. Seekor lainnya hinggap di belakang telinga dengan perut yang makin lama makin menggantung penuh darah. Rambut di atas dahinya basah oleh kabut pagi yang mengembun. Matanya mengambang.
Dua orang anak dengan tubuh telanjang menatap Srintil dengan heran. Mata kedua anak itu adalah mata sekalian orang Dukuh Paruk yang tidak pernah berharap melihat seorang ronggeng menangis. Ronggeng bagi dunia Dukuh Paruk adalah citra sekaligus lambang gairah dan sukacita. Keakuannya adalah tembang dan joget. Perhiasannya adalah senyum dan lirikan mata yang memancarkan semangat hidup alami, semangat yang sama yang telah menerbangkan burung-burung dan memekarkan bunga-bunga. Jadi, ronggeng adalah dunia sukaria dan gelak-tawa. Kedua anak yang bertelanjang badan itu mengundurkan diri. Mereka membawa pertanyaan yang muskil: mengapa seorang ronggeng bisa menangis"
Tentu saja hanya Srintil sendiri yang bisa merasakan dirinya sedang ditarik ke luar dari keakuannya. Ada yang menelanjanginya, entah siapa dia, sehingga Srintil sedikit demi sedikit mengenal dirinya dari sisi lain. Bukan sebagai perempuan milik bersama sebuah tatapan melainkan seorang perempuan dalam arti yang paling bersahaja. Dia yang merasa tidak utuh tanpa kepastian seorang laki-laki berada dalam hidupnya; dalam hatinya dan dalam kamar tidurnya. Atau bila benar bahwa dunia yang besar ini berisi berjuta-juta dunia kecil dan dalam setiap dunia kecil itu berisi seorang laki-laki dan seorang perempuan. Srintil hanya merindukan yang kecil itu. Sebuah dunia kecil tanpa Rasus sungguh tak bisa dibayangkan oleh ronggeng Dukuh Paruk itu.
Dukuh Paruk tidak memerlukan waktu lama buat menyadari apa yang sedang terjadi atas diri Srintil. Hari berikutnya, pedukuhan kecil itu sudah hangat oleh celoteh orang-orang perempuan. Perhatian mereka tertuju kepada Srintil yang kini lebih suka diam merenung dan menyendiri. Semuanya tahu bahwa keadaan Srintil tidak bisa dipisahkan dengan Rasus yang telah meninggalkan Dukuh Paruk dan bergabung kembali dengan kelompok tentara pimpinan Sersan Slamet.
"Eh, dengar! Pernahkah terjadi seorang ronggeng mabuk kepayang terhadap seorang lelaki"" kata seorang perempuan yang bersama dua temannya sedang mencari kutu di bawah pohon nangka.
"Sepanjang yang kudengar tak ada cerita demikian," jawab perempuan kedua. "Yang baku, seorang laki-laki tergila-gila kepada ronggeng karena ronggeng memang dibuat untuk menarik hati laki-laki. Dia tidak boleh terikat kepada seorang pun. Lha, bagaimana kalau dia sendiri dimabuk cinta demikian""
"Ya, Srintil memang aneh. Nah, kalau sudah terjadi demikian maka Nyai Kartareja yang bersalah." "Nyai Kartareja""
"Iya. Kalau Nyai Kartareja berhati-hati dalam mendampingi Srintil, takkan terjadi begini. Dia mengabaikan kewajiban karena terlalu bernapsu. Srintil disuruhnya melayani sebanyak mungkin laki-laki tanpa menghiraukan adanya hari-hari pantangan, terutama pada hari kelahiran Srintil sendiri. Memang Nyai Kartareja ikut menjadi kaya. Nah, namun begini jadinya." "Sebetulnya aku bisa mengerti mengapa Srintil senang terhadap Rasus. Pokoknya tak ada yang salah. Persoalannya bila Srintil terus murung dan menolak kembali naik pentas, Dukuh Paruk jadi sepi. Itu saja yang kusayangkan."
"Tetapi aku masih percaya kepada suami-istri Kartareja. Kalau mereka bisa memasang guna-guna sehingga banyak laki-laki gandrung terhadap Srintil, mengapa mereka tidak mampu memutus tali asmara antara ronggeng itu dengan Rasus""
Ucapan yang terakhir ini memang tidak berlebihan. Kalau ada orang yang paling khawatir tentang keadaan Srintil, tentulah dia Nyai Kartareja bersama suaminya. Mereka sungguh tidak rela anak asuhannya jatuh hati kepada Rasus atau kepada laki-laki lain mana pun. Lebih-lebih lagi bila Srintil sampai berpikir tentang sebuah rumah tangga yan
g hendak dibangunnya. Martabat mereka sebagai dukun ronggeng berada dalam taruhan, dan, sumber penghasilan mereka yang subur terancam bahaya.
Maka Nyai Kartareja harus berbuat sesuatu. Tali asmara yang mengikat Srintil kepada Rasus harus
diputuskan. Mula-mula Nyai Kartareja mencari sebutir telur wukan. Telur ayam yang tertinggal
dalam petarangan karena tidak bisa menetas itu diam-diam ditanamnya di salah satu sudut kamar
tidur Srintil. Mantera pemutus asmara dibacakan.
Niyatingsun matak aji pamurung
Hadi aing tampean aing cikaruntung nantung
Ditarbuan boeh sana, manci rasa marang
Srintil marang Rasus Kene wurung kana wurung, pes mimpes dening Eyang Secamenggala
Pentil alum cucuk layu, angen sira bungker Si Srintil Si Rasus
Ker bungker, ker bungker kersane Eyang Secamanggala Ker bungker, ker bungker kersane Sing Murbeng Dumadi
Episode 3 Adalah matera; susunan kata-kata yang menyalurkan sugesti dan kekuatan alam melalui jalur nonfisika dan bebas dari hukum-hukum tentang energi maupun mekanika yang biasa. Kekuatan itu tak terelakkan kecuali oleh kekuatan lain yang segaris namun berlawanan arah. Dan, mantera yang dipasang oleh Nyai Kertareja secara tak sengaja telah mendapat tandingannya. Yaitu ketika
suatu malam Srintil ingin kencing. Karena malas keluar kamar Srintil memilih salah satu sudut kamar tidurnya sebagai tempat melepas hajat. Di sana ada bagian lantai yang gembur bekas cungkilan baru. Adalah layak bila Srintil menganggap bagian tanah tersebut bisa dikencingi karena cepat meresap air, tak peduli di tempat itulah Nyai Kartareja menanam telur wukan yang telah dimanterainya. Tanpa disadarinya Srintil melumpuhkan manterayang ditujukan kepadanya. Sudah dua kali Srintil menolak naik pentas. Perbuatan yang sangat mengecewakan suami-istri Kartareja dan terutama orang yang mengundangnya, oleh Srintil hanya diberi dalih enteng: malas!
Tetapi Srintil tidak malas melakukan perbuatan yang lucu di mata orang-orang Dukuh Paruk; bercengkerama dengan anak-anak gembala yang kebanyakan masih bertelanjang badan. Tanpa canggung Srintil ikut berlari-lari menghalau kambing. Atau duduk di bawah pohon dan membantu anak-anak gembala membuat layang-layang dari daun gadung. Srintil bisa menyatu dengan kegembiraan anak-anak yang menjadi lebih ceria karena mendapat teman bermain istimewa. Mula-mula anak-anak gembala itu merasa rikuh namun akhirnya mereka cepat akrab.
"Dulu saya juga seperti kalian, senang bermain-main di tegalan sambil menggembala kambing," kata Srintil. Tangannya sibuk membuat mainan baling-balik dari daun kelapa.
"Kakak juga pintar menangkap capung dengan getah nangka"" tanya seorang anak.
"Ah, itu gampang. Kalau mau dengan getah nangka malah bisa menangkap burung kedasih," jawab Srintil dengan gaya seorang ibu yang bijak.
"Pernah seperti ini"" kata seorang anak lainnya yang membawa tahi sapi kering yang membara sebagian. Di atas bara itu ada seekor jarigkrik yang sedang dibakar. Srintil tersenyum.
"Oh, tentu saja. Aduh, gurih nian jangkrik bakar itu, bukan""
"Kakak mau" Silakan ambil."
"Boleh"" "Ambillah!" Anak-anak memperhatikan dengan minat yang penuh ketika Srintil mengunyah jangkrik yang dibakar dalam bara tahi sapi kering itu. Semacam lambang keakraban, dan anak-anak gembala itu bersorak-sorai. Seorang yang paling besar di antara mereka maju mendekati Srintil. Di tangannya ada bambu seruas.
"Benar juga, Kakak rupanya dulu suka bermain-main seperti kami. Tetapi apakah Kakak bisa menebak isi tabung ini""
"Gangsir," jawab Srintil setelah mencoba berpikir.
"Bukan." "Buah salam." "Bukan." "Kepik hijau." "Bukan."
"Nah, aku menyerah."
"Betul"" "Ya."
Anak gembala itu membalikkan tabung hingga isinya jatuh ke tanah. Srintil menjerit dan melompat, tepat seperti gadis kecil yang ketakutan. Seekor ular angon merayap bebas setelah sekian lama terkurung dalam tabung bambu. Sekali lagi terdengar sorak-sorai anak-anak gembala. Srintil mengejar si Nakal, mencubit pahanya. Anak itu meringis, namun kelihatannya dia tidak menyesal bila Srintil terus mencubitnya.
Suatu ketika Srintil merasa benar-benar ingin menyendiri. Jenuh mendekam da
lam kamarnya ronggeng itu keluar menuju tepian dukuh. Di sana, di bawah pohon nangka Srintil dahulu menghabiskan sebagian besar waktu bermainnya. Dipungutnya selembar daun yang jatuh lalu diremasnya. Aneh, Srintil merasa ada sesuatu yang terlampiaskan ketika daun yang tak bersalah itu remuk dalam genggamannya.
Tidak jauh dari tempat itu dua ekor anak kambing melompat-lompat dalam gerakan yang amat lucu. Kemudian mereka berlomba mencari selangkangan induknya buat menetek. Ulah kedua kambing itu kelihatan kasar. Tetapi induk mereka membiarkan tetek yang menggembung penuh daya hidup itu diperah dan disodok-sodok. Srintil memperhatikan perilaku induk dan anak itu tanpa kedipan mata. Srintil tersenyum. Kali ini senyumnya disertai oleh kontraksi kelenjar teteknya sendiri serta rangsangan aneh pada urat-urat sekitar rahim. Tiba-tiba hasrat hendak memeluk seorang bayi mendesaknya demikian kuat. Hampir pada saat yang sama rasa cemas karena mungkin Nyai Kartareja dengan caranya sendiri telah mematikan indung telur dalam perut Srintil membuat ronggeng itu sesak napas. Perang yang seru terjadi dalam dadanya yang ditandai dengan sepasang garis basah yang turun dari mata ke pipi Srintil. Ada sebuah pertanyaan yang buat kali pertama muncul di hatinya; mengapa diriku seorang ronggeng" Pertanyaan itu datang dari perkiraan Srintil; kalau dia bukan seorang ronggeng Rasus takkan meninggalkannya dengan cara begitu saja.
Khayalan Srintil terkacau oleh deru sepeda motor yang memasuki Dukuh Paruk. Di kecamatan Dawuan dan sekitarnya hanya ada dua kendaraan seperti itu. Yang satu milik siten wedana, lainnya milik Marsusi, seorang kepala perkebunan karet Wanakeling. Siapa pun di antara keduanya yang bersusah payah datang ke Dukuh Paruk, rasanya hanya untuk satu tujuan. Srintil tertegun sejenak lalu bangkit dan berjalan mengendap-endap menjauhi rumahnya. Pelarian kecil itu berakhir di puncak bukit pekuburan Dukuh Paruk yang menerimanya dalam kesunyian. Ada celeret melayang dari satu pohon ke pohon tanpa suara. Ada kucica betina sibuk membawa kapuk bunga gelagah untuk bantalan sarangnya. Di dekat sebuah batu nisan seekor tabuan sedang menarik-narik ulat besar yang sudah dilumpuhkannya. Dan Srintil terkejut ketika terdengar suara tokek dari bubungan cungkup makam Ki Secamenggala.
Episode 4 Kelengangan pekuburan Dukuh Paruk menjadi ibu bagi seorang anak yang ingin memahami apa yang sedang melintas dalam hidupnya. Srintil mengadukan kebuntuan rasanya kepada berjenis-jenis anggrek liar yang menempel pada tubuh batang beringin besar, kepada relung-relung pakis yang berjumbai-jumbai di lereng curam atau kepada terotok kayu mati yang dipatuk burung pelatuk. Santunan mereka yang demikian ramah membuat Srintil merasa betah tinggal di tempat yang tersembunyi itu hingga matahari terbenam nanti atau bisa lebih lama lagi. Dalam kelengangan di pekuburan itu alam mengajaknya bicara banyak-banyak melalui bau tanah dan wanginya bunga kemboja. Melalui denging agas yang mengitari kepalanya atau melalui kelembutan lumut yang menutupi batu-batu lembab. Srintil larut dalam haribaan ibunya, merasa dimengerti dan dimanjakan. Khayalannya bcbas mengawang dan akan terus melayang-layang apabila tidak datang seseorang yang mengusiknya.
"Srin, pulang. Ada tamu."
Srintil terkejut sebelum kesadarannya pulih. Tanpa menoleh ke arah sumber suara dia tahu siapa yang datang.
"Pulang, Srin. Kau ditunggu," ulang Nyai Kartareja dengan suara tanpa tekanan memerintah. "Kau harus tahu siapa tamumu kali ini; Pak Marsusi, kepala perkebunan karet itu." Srintil mengerdip tanda mengerti.
"Nah, ayo pulang."
"Aku belum ingin pulang," jawab Srintil tanpa emosi.
"Eh, jangan begitu, Wong Ayu," kata Nyai Kartareja sambil mengatur dirinya duduk di samping Srintil. "Kamu tak boleh menyepelekan tamu. Apalagi tamu kali ini bukan sembarang orang."
"Ya, tetapi aku tidak ingin pulang."
"Kalau aku menjadi kamu, Srin, aku takkan menyia-nyiakan kesempatan ini. Menggonceng motor ubluk bersama Pak Marsusi ke kota. Pelesir ke mana-mana, nonton bioskop misalnya. Kau belur pernah melihat tontonan itu, bukan" Kepada
Pak Marsusi kau bisa minta dibelikan barang-barang. Nah, bagaimana kalau kau minta kalung seperti yang dipakai istri lurah Pecikalan""
"Sudahlah, Nyai. Pulanglah dulu. Aku akan menyusul kemudian. Aku mau mandi dulu."
"Bagus. Wong Ayu. Tetapi betul, ya. Kamu kami tunggu."
Srintil mengangguk ringan.
Diperhatikan induk semangnya yang sedang berjalan menuruni bukit pekuburan Dukuh Paruk. Tak lama kemudian Srintil pun ikut turun. Bukan mengikuti jalan Nyai Kartareja, melainkan jalan lain yang tidak menuju pancuran atau menuju rumahnya. Srintil melangkah cepat ke arah jalan yang membawanya keluar dari Dukuh Paruk. Langkahnya cepat dan panjang-panjang. Kepada orang-orang yang kebetulan berpapasan Srintil hanya tersenyum atau mengangguk ringan. Sampai di pematang yang menuju Dawuan, Srintil mempercepat jalannya. Matahari yang sudah melewati titik kulminasinya menyiram ronggeng itu dengan pancaran terik yang menyakitkan kepala. Srintil terus berjalan, terkadang sambil mengangkat tangan kirinya untuk mengurangi terik matahari ke arah wajahnya.
Di rumahnya Nyai Kartareja mulai merasa was-was karena ternyata Srintil tidak segera mengikutinya pulang. Marsusi, laki-laki berusia lima puluhan, sudah gelisah di tempat duduknya. Caping wol stetson sudah beberapa kali dipasang di kepala dan dilepas lagi tanpa tujuan tertentu. Akhirnya Marsusi keluar mengambil sesuatu di bagasi motornya. Sebuah botol persegi dibawanya masuk. Penantian yang menggelisahkan harus ditemani jenewer, pikirnya. Minuman keras itu ditenggak langsung dari botolnya.
"Sampean tadi mengatakan Srintil ada di rumah. Lalu manakah dia"" tanya Marsusi sambil meletakkan botolnya dengan agak kasar.
Nyai Kartareja menyembunyikan kebimbangannya di balik senyum ramah. "Betul, Pak. Tadi Srintil berkata hendak mandi dulu. Ah, anak ini. Ke mana dia"" "Coba susul lagi. Bila benar sedang mandi mengapa bisa demikian lama"" ujar Kartareja. "Nanti dulu," kata Marsusi yang kelihatan tidak sabar karena menunggu Srintil sekian lama. "Sampean berdua yang memelihara Srintil di sini, bukan"" "Benar, Pak."
"Lalu" Apa kalian kira aku datang kemari buat duduk-duduk nganggur seperti ini" Katakan saja; Srintil sedang dipakai orang lain atau Srintil sedang pergi entah ke mana! Jangan biarkan aku jadi gusar, orang Dukuh Paruk!"
Kartareja hanya bisa menoleh kiri-kanan. Bibirnya bergerak-gerak namun tak sepatah kata pun terdengar. Bahkan kemudian dukun ronggeng ini duduk membeku dengan mata melukiskan rasa takut ketika Marsusi bangkit dan mendekat. Caping wol dibantingnya ke atas meja.
"Sampean berdua ini orang dukuh yang tidak tahu diuntung! Aku tidak pernah lupa bahwa semacam sampean ini mendapat rejeki dari orang seperti saya ini. Nah! Mengapa sampean berdua jadi banyak tingkah" Sekarang jawab pertanyaanku; bisakah kalian membawa Srintil kemari sekarang juga" Kalau tidak, mampus saja. Jangan coba-coba menjadi dukun ronggeng!"
Apabila Kartareja makin membeku oleh kekasaran Marsusi maka lain halnya dengan istrinya. Nyai Kartareja mempunyai seribu pengalaman menghadapi laki-laki dan dunianya. Dari yang masih bocah sampai yang perjaka, dari yang baru belajar mengenal perempuan sampai yang sudah matang seperti yang sedang gusar di hadapannya itu. Atau karena pekerjaan seorang istri dukun ronggeng yang ternama ialah mengerti secara tepat situasi hati seorang laki-laki yang datang kepadanya, menampung keluh-kesahnya, menyalurkan renjananya dan meredam emosinya. Demi keberhasilan pekerjaannya Nyai Kartareja tak pernah meninggalkan resep; seorang laki-laki yang datang kepadanya, meski yang sudah beruban sekalipun akan dianggapnya sebagai bayi. Bayi yang mudah terlena oleh kelembutan nina-bobo dan mudah diakali dengan senyum yang teduh serta bujukan manis.
Episode 5 "Aduh. Nak, eh, Pak. Benar jugalah bila sampean menjadi gusar semacam ini. Kami pun bisa mengerti mengapa sampean kehilangan kesabaran. Ini semua karena kesalahan kami. Sampean dari rumah membawa kejenuhan atau kegemasan yang seharusnya segera cair di rumah ini. Ya,
ya. Pokoknya kehendak seorang priyayi seperti sampean pasti akan kami utamakan.
Masalahnya, Srintil yang sampean kehendaki masih kekanak-kanakan. Ah, sampean jangan lupa; Srintil masih demikian hijau. Maka siapa pun yang menghendaki kesegarannya harus sedikit bersabar."
"Dengar, Pak. Srintil masih segar seperti kecambah," sambung Nyai Kartareja sambil menyentuh dada Marsusi dengan lembut.
"Saya tidak mencari perempuan lumutan," kata Marsusi. Nada bicaranya jatuh pada tempo yang rendah.
"Nah! Kecambah itu kami sediakan buat sampean. Soalnya kini terletak kepada kesabaran sampean itulah karena Srintil sudah beberapa hari merajuk."
"Nanti dulu. Me-ra-juk""
Hening. Nyai Kartareja membiarkan pertanyaan Marsusi buat sementara mengawang. Andaikan Marsusi tahu bahwa senyuman Nyai Kartareja yang kelihatan begitu wajar adalah sebuah taktik profesional. Atau setidaknya, senyum itu menandakan Nyai Kartareja telah merasa membuat langkah awal yang tepat untuk menguasai keadaan.
"Inilah susahnya momong seorang ronggeng cantik tetapi masih kekanak-kanakan. Bayangkan, Pak. Srintil sedang menuntut kalung seperti yang dipakai oleh istri lurah Pecikalan; sebuah rantai emas seberat seratus gram dengan bandul berlian. Seorang priyayi seperti sampean, kalau mau, tentu bisa memenuhi keinginan Srintil itu. Nah, bagaimanakah dengan kami yang melarat ini. Oh, Srintil. Mentang-mentang cantik mudah saja dia memberi beban berat kepada kami." "Hm," lenguh Marsusi. Hanya itu.
Yang terjadi kemudian adalah tawar-menawar yang berlangsung dalam keheningan. Nyai Kartareja merasa dirinya berada di atas angin. Langkahnya telah berhasil melumpuhkan murka Marsusi sekaligus menempatkan laki-laki itu dalam selmah taruhan harga diri. Perhitungan istri dukun ronggeng itu terbukti cermat. Marsusi memang bukan laki-laki kemarin sore yang tidak tahu akan adanya maksud tertentu dalam kata-kata Nyai Kartareja. Masalahnya Marsusi kini merasa secara tidak langsung diperbandingkan hanya dengan seorang lurah. Martabatnya sebagai priyayi kepala perkebunan terusik. "Seorang priyayi seperti sampean, kalau mau, tentu bisa memenuhi keinginan Srintil," itulah kata-kata Nyai Kartareja yang melecut hati Marsusi. "Hm," lenguhnya lagi.
Marsusi kembali ke tempat duduknya. Ditenggaknya minuman keras yang masih tersisa. Wajahnya beringas oleh pengaruh alkohol atau oleh kerusuhan dalam hatinya. Dalam hati dia mengutuk Nyai Kartareja yang telah memasang pemerasan terselubung. Aneh, Marsusi tak kuasa mendobrak jebakan halus itu, bahkan menerima apa adanya sebagai tantangan. Dipasangnya caping dengan tergesa-gesa kemudian Marsusi bangkit.
"Aku mau pulang, Nyai!"
"E, lho"" ujar Nyai Kartareja pura-pura kaget.
"Yah, bagaimana lagi bila Srintil ngambek seperti itu," sela suaminya.
"Nanti dulu, Pak. Tak ada pesan buat Srintil" Besok lusa sampean mau datang lagi, bukan""
Marsusi yang sudah duduk di atas sepeda motornya menoleh. Cuping hidungnya bergerak-gerak. Sorot matanya menyala. Gejolak emosinya disalurkan ke kaki yang menggenjot mesin kuat-kuat. Harley Davidson sisa masa perang itu menderu dan laju diiringi tatapan mata anak-anak Dukuh Paruk yang penuh kekaguman.
Nyai Kartareja menjatuhkan pundaknya. Lega. Sekarang dia bukan hanya merasa telah mengatasi kemarahan Marsusi yang gagal berjumpa dengan Srintil, melainkan sekaligus menjebak laki-laki itu dalam sebuah tantangan.
"Kita main tebak-tebakan, Ki," kata Nyai Kartareja kepada suaminya.
"Aku berani bertaruh; besok atau lusa Pak Marsusi akan kembali kemari. He-he. Seratus gram kalung emas dengan bandul berlian; tantangan yang pantas buat Pak Marsusi. Apa katamu, Ki""
"Kamu ini bagaimana" Pikir dulu di mana sekarang Srintil," jawab Kartareja dingin tetapi tandas. Ada perubahan yang nyata pada wajah Nyai Kartareja. Dia tersadar akan masalah yang justru di hadapan matanya. Karena bimbang Nyai Kartareja tak mampu meneruskan kata-katanya. Tidak lama, karena kemudian wajah perempuan itu kembali cerah.
"Ah, kukira Srintil berada di rumah kakeknya sekarang. Aku akan pergi ke rumah Sakarya." "Aku ikut," kata Kartareja sambil meraup tembakaunya. "Nah, ayolah!"
Di rumah Sakarya, suami-istri dukun ronggeng itu mendapatkan kenyat
aan yang mengecewakan. Srintil tidak berada di sana. Bahkan keduanya mendapat teguran Sakarya yang bernada meminta pertanggungjawaban. Kemudian datang seorang tetangga yang mengatakan melihat Srintil berjalan tergesa-gesa ke luar dari Dukuh Paruk.
"Apa sampean berdua tidak mengerti semua ini terjadi karena ada sesuatu antara cucuku dan Rasus"" kata Sakarya, nadanya menuduh. "Dua kali sudah Srintil menampik panggilan naik pentas. Kini dia malah minggat. Bagaimana ini""
Nyai Kartareja mendan ludah. Dia teringat akan telur wukan yang ditanamnya diam-diam dalam bilik Srintil. Heran, mengapa kali ini ikhtiarnya tidak mempan.
"Nanti dulu," sela Nyai Sakarya. "Apabila Srintil suka kepada Rasus, apa salahnya kita membantu agar mereka bisa kawin""
Sakarya diam. Kakek Srintil itu menangkap kebenaran dalam kata-kata istrinya. Pada dasarnya Sakarya merasa mempunyai seorang cucu yang menjadi istri tentara tak perlu ditolak oleh siapa pun di Dukuh Paruk. Namun bagi Sakarya masalahnya memang tidak begitu mudahnya.
"E, lha!" ujar Kartareja tertuju kepada Nyai Sakarya. "Tentu saja tak ada yang salah bila Srintil kawin dengan Rasus. Itu bila cucumu tidak menjadi ronggeng pengemban nama Dukuh Paruk."
Episode 6 "Lalu sampean, Sakarya," kata Kartareja ganti kepada kakek Srintil. "Jaga jangan sampai sampean mempunyai pikiran seperti istri sampean. Ingat kewajiban sampean sebagai pemangku dan
kamitua anak-cucu Ki Secamenggala di dukuh ini. Tanggung jawab sampean tidak membenarkan sampean mementingkan kepentingan sendiri." Sakarya terbatuk dan mengangguk.
"Ya. Tetapi sampean berdua harus berusaha membawa kembali Srintil. Kalian harus menemukan Srintil di mana pun sekarang dia berada."
"Baik. Aku sanggup mencari dan menemukan Srintil," kata Nyai Kartareja penuh kepastian.
"Nah, begitulah. Namun hati-hati. Sampean tak boleh berlaku kasar terhadap cucuku meskipun dia telah merepotkan kita," ujar Nyai Sakarya.
"He, kapankah aku menyakiti cucu sampean" Bahkan, siapakah yang telah membuat Srintil kini mampu memiliki harta dan perhiasan sekian banyak" Sampean menyuruhku berhati-hati. Tetapi sampean sendiri tidak berhati-hati dalam berkata!"
"Sudah, sudah!" suara Kartareja dan Sakarya terdengar hampir bersamaan.
Matahari masih terik ketika Srintil turun dari andong di depan pasar Dawuan. Titik-titik keringat di pucuk hidungnya. Tengkuk dan pipinya segar dan hidup, memberi kesan kulit seorang anak usia sepuluh tahun. Bahwa Srintil sebenarnya tidak siap mengunjungi pasar terlihat dari roman mukanya yang beku serta pakaian dan rambutnya yang demikian acak-acakan.
Namun dalam keadaan demikian keremajaan Srintil kelihatan wajar. Kalaulah ada sesuatu yang menodainya, maka hanya orang-orang yang sangat berpengalaman yang bisa mengetahuinya. Lihatlah kedua pangkal alis ronggeng itu yang mulai turun masuk ke cekungan rongga mata. Bagi orang-orang yang sangat berpengalaman hal itu adalah tanda bahwa seorang perempuan betapapun muda usianya, sudah memasuki keaktifan kehidupan berahi.
Setelah membayar ongkos andong, Srintil tidak segera memasuki pasar melainkan hanya membuat beberapa langkah ke tepi jalan. Belum sekaii pun Srintil kelihatan begitu canggung dan asing di pasar Dawuan. Dia tetap berdiri di tepi jalan hingga beberapa waktu lamanya. Tatapan matanya kosong, tanpa makna.
Biasanya kedatangan Srintil di pasar Dawuan menimbulkan gairah yang spontan. Orang-orang lelaki bersiul-siul atau membuat seloroh erotik. Orang-orang perempuan mengintip tangan, telinga, atau leher Srintil untuk mengetahui adakah perhiasan-perhiasan baru di sana. Kemudian menyusul celoteh spekulasi; gendak Srintil kali ini adalah si Anu atau Bapak Anu, pangkatnya ini atau kerbaunya sekian belas.
Tetapi hari itu orang-orang pasar Dawuan banyak menahan diri. Srintil memasuki pasar dengan mendung membayangi wajahnya. Mulutnya terkatup dengan garis bibir datar lurus. Pangkal alisnya bertemu pada lipatan di tengah dahi. Dalam kesan keseluruhan Srintil siap menampik segala bentuk seloroh dan senda-gurau.
Orang-orang melihat Srintil dengan pandangan mata mengandung tanda tanya. Perempuan-pere
mpuan saling berbisik. Celoteh ringan mulai terdengar dari sudut-sudut pasar.
"Ada apa, dunianya kelihatan gulita"" kata perempuan pedagang ubi kepada rekan di sebelah. Sudut matanya terarah kepada Srintil.
"Nah, saya bisa mengira-ngira," jawab temannya. "Kalau ada seorang ronggeng merengut seperti itu tentu telah terjadi sesuatu dengan pamongnya."
"Maksudmu, Nyai Kartareja""
"Ya. Seorang dukun ronggeng suka mengatur segala urusan, bahkan sering kali ingin menguasai harta anak asuhannya."
"Itu cerita lama. Aku tahu seorang ronggeng sering kali dianggap sebagai ternak piaraan oleh induk semangnya. Lihatlah dalam musim orang berhajat atau masa lepas panen; ronggeng naik pentas setiap malam. Siang hari dia mesti melayani laki-laki yang menggendaknya. Sementara itu yang mengatur semua urusan, lebih-lebih urusan keuangan, adalah si dukun ronggeng. Kasihan, kan" Sebaliknya, kini suami-istri Kartareja menjadi kaya, kan""
"E! Kalian sedang bicara apa" Srintil yang kelihatan kusut itu"" kata perempuan ketiga yang datang bergabung. "Kalian jangan berpikir yang bukan-bukan. Dengar. Srintil berada di sini dalam usaha melarikan diri dari tangan seorang laki-laki yang tidak tahu diri. Laki-laki itu kukira, tidak mau tahu bahwa Srintil sedang datang bulan. He-he-he."
"Ah, mana bisa begitu. Perhatikan sekali lagi, kain Srintil tak bernoda, tumpalnya tidak dilipat. Jadi dia dalam keadaan bersih."
"Kita memang telah berbicara berlebihan. Kukira Srintil seperti kita juga yang kadang merasa demikian sebal terhadap laki-laki. Jadi yang menyebabkan Srintil murung adalah perkara sederhana. Dia sedang diamuk rasa jenuh dan muak terhadap laki-laki. Itu saja." Celoteh di sudut pasar itu berhenti karena kehabisan bahan. Perempuan-perempuan itu memperhatikan Srintil memasuki warung penjual lontong. Di sana Srintil duduk satu lincak bersama perempuan pemilik warung. Karena penampilan Srintil yang kaku, perempuan penjual lontong itu menjadi salah tingkah.
"Man makan, Jenganten""
"Tidak, Yu. Aku hanya mau minum dan beristirahat sebentar di sini. Boleh kan"" jawab Srintil tanpa melihat pemilik warung.
Sejumlah besar air dingin yang bening dihabiskan Srintil. Apabila air mampu menghidupkan kembali tanah yang mati atau menggugah biji-bijian agar tumbuh menjadi kecambah, maka air pulalah yang bisa menjinakkan kegelisahan Srintil dengan pertama-tama memperlambat denyut jantungnya.
Episode 7 Termangu-mangu di atas lincak, Srintil merasakan kesejukan air sedang mendinginkan badannya yang semula panas oleh terik matahari dan panas oleh galau pikirannya. Sementara itu di dalam hatinya sedang berlangsung penataan kembali keimbangan antara emosi dan rasa.
Prosespenguasaan diri yang berlangsung dalam diam itu ternyata menghabiskan banyak tenaga, terbukti dari terbitnya titik-titik keringat di seluruh permukaan kulit ronggeng Dukuh Paruk itu. Suatu kegiatan metabolik dalam intensitas tinggi yang kemudian menuntut mekanisme tubuh Srintil beristirahat. Denyut kantuk pertama kelihatan pada kerdipan mata Srintil yang lamban. Ketika itu Srintil melihat bayangan Rasus muncul di hadapannya. Namun angin yang berembus pelan membuat matanya semakin redup. Rasa kantuk tak tertahankan lagi olehnya.
"Yu, aku sangat ngantuk. Aku mau tidur di sini barang sebentar. Boleh kan"" kata Srintil sambil merebahkan diri. Pelupuh lincak berderit.
"E, Jenganten ini bagaimana" Orang mengatakan, tidak boleh orang tidur di warung. Ora ilok, nanti warungku tidak laku. Nanti... "
Perempuan pedagang lontong itu tidak ingin berkata lebih jauh karena melihat kenyataan di hadapannya. Rasa keibuannya tergugah oleh sebentuk tubuh yang tergolek demikian damai. Sosok Srintil yang muda dan lentur, wajah yang teduh dalam tidur mengingatkan perempuan itu akan anaknya yang masih bayi dan kini ditinggal bersama neneknya di rumah.
Dalam keadaan lelap keakuan Srintil hampir punah. Menjadi tidak penting lagi apakah dia bernama Srintil atau apakah dia ronggeng Dukuh Paruk. Tak ada lagi atribut apa pun yang tepat bagi sebuah subyek yang kini terdampar di atas lincak itu. Dia hanya pantas disebut sebagai bagian
alam yang bernama anak manusia yang jelas sekali ingin mengundurkan diri barang sejenak dari keakuannya. Yang serempak muncul ke permukaan adalah kesan memelas, kesan yang menjadi daya tarik utama seorang bayi.
Ternyata bukan hanya pedagang lontong yang bersimpati kepada Srintil, melainkan juga sebagian besar orang yang berada di pasar Dawuan. Alam menagih janji kepada mereka; alam yang setiap hari mengasah naluri mereka sehingga mereka dapat merasakan bahwa Srintil sedang berada dalam kesempitan sehingga pantas mendapat pembelaan. Tidaklah penting bagi orang-orang pasar Dawuan itu untuk mengetahui apa sebenarnya yang membuat Srintil tampak merana. Manifestasi sikap mereka menjadi jelas ketika satu jam kemudian muncul Nyai Kartareja di gerbang pasar Dawuan. Perempuan-perempuan penjual ubi melihat wajah kaku istri dukun ronggeng itu. Sorot mata yang keruh dan rambut yang disanggul tinggi-tinggi memperkuat kesimpulan bahwa sedang ada ketegangan antara Nyai Kartareja dan Srintil. Atas dasar tuntunan naluri yang paling bersahaja orang-orang pasar Dawuan bertindak melindungi ronggeng Dukuh Paruk itu.
"Ah, Nyai Kartareja. Sampean sedang mencari Srintil, bukan"" tanya seorang perempuan pedagang ubi. Yang ditanya mengangguk kaku.
"Nah, dia tidak ada di sini. Kulihat Srintil tadi terus ke selatan." "Seorang diri""
"Ya. Dan Srintil kelihatan sangat murung. Ada apa ya, Nyai Kartareja""
Pertanyaan yang bernada campur tangan itu menyinggung perasaan Nyai Kartareja. Dia tidak menjawab, bahkan berbalik keluar pasar Dawuan dalam langkah yang panjang-panjang.
Kegiatan pasar Dawuan sebenarnya hanya berlangsung pagi hari. Setelah matahari tergelincir sebagian pedagang sudah pulang ke rumah masing-masing. Yang tinggal adalah mereka yang tidak mungkin setiap kali membawa dagangannya pulang-balik. Mereka adalah penjual barang-barang tembikar, penjual tikar, pedagang ubi, serta pemilik warung makanan yang melayani pembeli hingga sore hari. Para pedagang keliling juga menggunakan pasar Dawuan sebagai terminal peristirahatan.
Pada sore hari banyak los berisi orang yang menggelar tikar; tidur berleha-leha atau duduk berkeliling, bermain kartu. Udara yang panas membuat orang-orang kehilangan gairah bekerja. Mereka mengharapkan suasana yang santai.
Seperti burung perkutut di pohon kenari di belakang pasar. Tubuhnya lenyap dalam kerimbunan dedaunan agar bebas dari sengatan sinar matahari. Namun merdu suaranya mencapai si betina jauh di seberang sana. Bila yang dipanggil sudah datang maka perkutut jantan mengubah nada suaranya menjadi lebih rendah dan lembut. Demikian lembut sehingga terdengar baur dengan suara angin yang menyapu pepohonan. Sepasang burung perkutut merasa perlu menciptakan suasana pribadi untuk mencari keselarasan dengan alam. Udara yang panas, angin yang berembus pelan, dan suara perkutut adalah sebuah harmoni yang bersumber dari naluri alam sendiri. Arif seperti sepasang perkutut itu adalah Wirsiter bersama Ciplak, istrinya. Pasangan penjaja musik kecapi itu tahu betul saat yang tepat di mana musiknya menjadi kebutuhan para pelanggan. Mereka muncul di pasar Dawuan ketika orang-orang di sana berada dalam puncak kebosanan pekerjaan rutin. Sehabis bekerja sepanjang pagi hari orang-orang pasar itu mengharapkan kedatangan suasana selingan yang lebih renyah dan ringan.
Wirsiter dan istrinya tak pernah rela disebut tukang ngamen, apalagi disebut sebagai pengemis yang berpura-pura menjual musik. Mereka tidak akan menggelar musik di hadapan siapa pun, termasuk pelanggan yang tidak memintanya. Untuk mendukung sikap ini mereka selalu tampil bersih. Pakaian mereka selalu rapi; Wirsiter dengan blangkon, baju lurik serta kain batik yang diwiru. Istrinya selalu muncul dengan kain kebaya lengkap dengan selendang dan konde berhiaskan bunga melati. Bibir mereka merah karena keduanya makan sirih.
Ada berbagai perkakas musik untuk menerjemahkan irama, keselarasan, bahkan renjana alam. Orang Dukuh Paruk misalnya percaya penuh bahwa calung adalah perkakas yang tiada taranya untuk menampilkan irama denyut jantung yang meriah dan hangat dalam rangsangan
berahi. Kalau orang ingin bertanya di manakah letak kekuatan musik calung, jawabnya sangat bersahaja; yakni kesederhanaannya. Bukan berarti orang dengan mudahnya memotong-motong bambu, merangkainya kemudian jadilah perangkat calung. Sederhana artinya, orang harus membatasi diri dalam campur tangannya ketika mereka-reka bambu. Persyaratan-persyaratan yang bersifat alami lebih menentukan mutu perangkat calung daripada keahlian tangan pembuatnya.
Episode 8 Calung yang sempurna hanya dihasilkan dari bambu hitam yang betul-betul kering. Tetapi orang tidak boleh menjemurnya, apalagi memanggangnya di atas api. Bambu itu tidak boleh terluka sebelum ditebang, baik luka oleh manusia atau luka oleh binatang mengerat atau patah ujungnya selagi masih muda. Dia juga harus lurus dan langsing. Bambu yang tebal karena terlalu gemuk tidak baik untuk membuat calung. Para pembuat calung tidak akan mengatakan bahwa tertib yang mereka patuhi itu adalah cara mereka menempatkan diri dalam keselarasan Sang Empu Agung. Mereka hanya tahu, dengan tertib itulah mereka akan memperoleh perangkat calung yang sebenar-benarnya. Bunyinya akan mampu menerjemahkan suara puluhan blentung, iramanya bisa
padu dengan suara curah hujan di atas atap ilalang dan semangatnya adalah detak jantung yang bergairah.
Sama halnya calung, kecapi pun mengandalkan kekuatan pada kebersahajaannya. Bentuk umum sebuah kecapi adalah kotak kayu bersegi lima dan memanjang. Pada salah satu bidangnya direntangkan kawat-kawat dawai. Setiap helai kawat mewakili sebuah nada. Tangga nada ditentukan oleh tebal tipisnya kawat serta sebuah bantalan logam tipis yang dipasang miring dan serong. Bantalan serong ini mengatur jenjang panjang kawat-kawat dawai.
Tentang sebuah kecapi hendaknya orang tidak menanyakan soal presisi nada, patokan umum, apalagi menerapkan pengetahuan akustik terhadapnya, setidaknya terhadap kecapi milik Wirsiter. Seniman keliling itu tidak belajar teori tetek-bengek. Dengan alatnya yang demikian sederhana Wirsiter dan istrinya melagukan keserasian alam. Guru mereka adalah kelap-kelip ribuan kunang ketika jatuh gerimis senja hari. Atau lintasan buih yang hilang-tampak di antara bebatuan atau curah hujan yang menerpa permukaan telaga yang tenang. Rasa dalam kesadaran sempurna; itulah guru utama Wirsiter dan istrinya.
Jadi Wirsiter bersama istrinya pergi ke sana kemari menjajakan musik yang memanjakan rasa, yang sendu, dan yang melankolik. Musiknya tidak membuat orang bangkit berjoget, melainkan membuat pendengarnya mengangguk-angguk menatap ke dalam diri atau terbang mengapung bersama khayalan sentimental. Seperti pada sore hari yang panas itu orang-orang pasar Dawuan tepekur mendengarkan petikan kecapi Wirsiter. Ciplak membawakan asmara dahana.
Li lali tan bisa lali Sun lelipur tan sengsaya Katon bae sapolahe Kancil desa 'njang talingan Aku melu karo ndika Lebu seta sari pohung Becik mati yen kapiran
Seberkas lagu dan liriknya dibawakan oleh dua orang yang sejak kelahiran mereka menjadi murid alam. Orang-orang yang sedang berjudi berhenti menjatuhkan kartu. Yang sedang tiduran berleha-leha mengawang ke alam khayal antara tidur dan jaga. Perempuan yang sedang mengunyah sirih tetap menggerak-gerakkan mulut, tetapi pikirannya terbang ke belakang, ke suatu masa yang paling berkesan dalam hidupnya.
Barangkali Wirsiter maupun Ciplak tidak bisa mengatakan mengapa mereka lebih banyak menyanyikan lagu-lagu asmara. Dalam kenyataannya mereka hanya menuruti selera sebagian besar pelanggan. Atau karena musik kecapi memang paling cocok untuk melukiskan perasaan asmara. Atau lagi; bila benar bahkan kumbang tahi yang beterbangan di Dukuh Paruk pun diciptakan atas dasar motiyas, cinta agung, maka Wirsiter bersama istrinya hanya patuh kepada naluri alam yang paling dasar.
Orang-orang di pasar Dawuan asyik terlena. Segala sesuatu lepas dari perhatian mereka, tak terkecuali sebuah subyek yang sedang terdampar di atas lincak pedagang lontong. Musik Wirsiter mengantarkan Srintil ke alam jaga dengan caranya yang paling santun. Perlahan-lahan Srintil membuka matanya. Namun dia tidak melihat
sesuatu karena pusat indrianya sedang bertumpu pada syaraf pendengaran. Memang, Wirsiter dan istrinya dengan lagu asmara yang mereka
kumandangkan tidak bermaksud menyentuh hati Srintil. Namun ketidak-sengajaan mcreka tak urung mengusik kelenjar air mata ronggeng Dukuh Paruk itu.
Srintil bangkit, dan mengusap mata.
Perempuan pedagang lontong menoleh karena mendengar derit pelupuh bambu. "Oh, sudah bangun, Jenganten" E, lha sampean menangis"" "Tidak, Yu. Tidak."
"Jenganten ini bagaimana" jelas sekali sampean menangis. Sakit" Atau sebenarnya apa..." "Tidak, Yu. Beri aku minum lagi," potong Srintil.
Penjual lontong tertegun. Ditatapnya Srintil yang sibuk mengusap air mata di pipi dan di kedua lubang hidungnya. Lalu sadar bahwa Srintil bukan kanak-kanak lagi, karenanya dia layak mempunyai wilayah pribadi yang tak usah diketahui orang lain.
"Anu, Jenganten, makan ya""
"Aku tidak lapar, Yu."
"Ah jangan berdusta di hadapanku. Aku ini seorang ibu yang sudah cukup usia, jadi aku bisa membaca tanda-tanda orang yang lapar. Bibir sampean kehilangan cahayanya. Lekuk di pangkal leher sampean sangat kentara. Dan ketika tidur tadi perut sampean masuk ke rongga dada. Maka sekarang makanlah. Bila tidak nanti tubuh sampean bisa rusak. Sayang, bukan""
Srintil bukan tidak lapar. Sejak kemarin perutnya sudah terasa perih. Masalahnya dia hanya malas menyuapkan makanan ke dalam mulut. Namun ketika sepiring nasi lontong dengan kuah panas siap di hadapannya Srintil mengalah. Hidangan itu dihabiskannya dalam waktu singkat. Bibirnya, pipinya, merah oleh panasnya kuah serta pedasnya sambal cabai. Keringat serta air matanya kembali menitik. Citra hidupnya seakan menggeliat bangkit.
"Nah, benar kataku, bukan" Nasi lontong ini bisa membuat sampean lejar. Tambah, ya"" "Terima kasih, Yu. Aku sudah kenyang."
Episode 9 Srintil meninggalkan pasar Dawuan ketika orang-orang di sana masih asyik menikmati kecapi Wirsiter. Banyak orang menoleh kepadanya tetapi tanpa komentar. Namun dalam hati mereka mencatat; baru sekali inilah mereka melihat Srintil begitu lesu dan murung.
Baru beberapa langkah di luar pasar Srintil berhenti. Rasa bimbang menghentikan langkah-langkahnya. Perilakunya yang serba canggung menarik perhatian orang-orang yang melihatnya. Seorang di antara mereka mendekati Srintil dari arah belakang. Laki-laki berkaus putih dan bercelana hijau tentara itu tak merasa salah ketika tangannya menggamit pantat Srintil. Tak diduganya Srintil membalas dengan tatapan mata amarah. "Aku memang ronggeng, maka tangan
laki-laki boleh hinggap di mana saja pada tubuhku. Tetapi kini hatiku bukan lagi ronggeng. Bukan!"
Sayang. Teriakan keras Srintil hanya bergema dalam hati sendiri. Kopral Pujo yang berdiri satu jengkal di hadapannya tidak mendengar teriakan itu. Namun setidaknya dia sadar kemarahan Srintil akibat kelancangan tangannya bukan berpura-pura.
"Kira-kira dua jam yang lain Nyai Kartareja datang ke markasku mencari kamu. Wah! Seorang ronggeng dicari di sebuah markas tentara. Lucu, ya"" kata Kopral Pujo sambil cengar-cengir untuk menutupi penyesalannya.
"Kamu sudah bertemu Nyai Kartareja"" sambungnya.
"Belum," jawab Srintil tak acuh.
"Kamu disangkanya pergi bersama Rasus."
"Oh"" "Begitulah. Padahal sudah tiga hari ini Rasus tidak ada di markas. Bersama Sersan Slamet, Rasus pergi ke markas batalyon."
"Oh" Jadi Rasus tidak ada lagi di sini""
Kopral Pujo tidak mcnangkap perubahan mendadak pada wajah Srintil.
"Dia anak yang beruntung. Bila pulang nanti Rasus benar-benar sudah jadi tentara. Punya pangkat, punya gaji. Wah, pokoknya seperti aku ini."
Srintil diam menunduk. Dan mengapa Kopral Pujo tidak mengerti bahwa sedang terjadi galau yang seru dalam hati perempuan muda di hadapannya" Ketumpulan perasaannya menyebabkan Kopral Pujo juga tidak berprasangka apa pun ketika Srintil bertanya,
"Kapankah kira-kira Rasus pulang""
"Mana aku tahu. Tetapi kira-kira lama. Yang aku tahu, seorang seperti Rasus harus menempuh pendidikan sebelum resmi diberi pangkat. Di mana dia akan dididik, entahlah. Aku baru tahu kalau Sersan Slamet kembali ke markas."
"Ya." ujar Srintil liri
h. Kini Kopral Pujo mengerti perubahan pada diri Srintil; matanya yang berkaca-kaca, sinar wajahnya yang memudar dan napasnya yang terengah-engah. Kopral itu mengerutkan kening.
"Nanti dulu, Wong Dukuh Paruk! Aku jadi tidak mengerti. Adakah sesuatu antara dirimu dengan... "
"Tidak, Pak. Tidak!"
Srintil memutar badan lalu berjalan cepat meninggalkan Kopral Pujo yang kemudian berdiri termangu, kemudian tersenyum sendiri sambil mengangguk-angguk. Dan, "Hm"" Tentang Rasus dan Srintil, Kopral Pujo hanya tahu keduanya berasal dari Dukuh Paruk. Selama dalam pergaulan
di markas, Rasus tak pernah bercerita tentang ronggeng itu, apalagi tentang hubungan khusus di antara keduanya.
Entah dorongan apa yang menyebabkan Srintil kembali memasuki pasar Dawuan. Duduk di sebuah lincak kosong Srintil memanggil Wirsiter dan istrinya dan meminta mereka menggelar musik. Selesai satu babak Srintil meminta penjaja musik kccapi itu menyambungnya. Dan seterusnya, tanpa menghiraukan berapa banyak uang yang harus dikeluarkannya.
Hingga matahari hampir terbenam pasar Dawuan masih berhiaskan suara kecapi Wirsiter dan tembang yang dinyanyikan oleh Ciplak. Srintil menampilkan kegembiraan yang aneh. Terkadang Srintil tersenyum sambil pacak gulu, tetapi senyumnya aneh. Terkadang ia ikut berduet dengan Ciplak, tetapi suaranya parau, tidak polos. Semuanya memberi kesan perilaku Srintil bertentangan dengan apa yang sedang dirasakan dalam hatinya.
Lalu apa pula yang menyebabkan Srintil demikian marah ketika Ciplak minta berhenti bertembang.
"Kami sudah lelah, Jenganten," kata Ciplak. "Sudah dua puluh babak."
"Ya, istriku benar. Lagi pula hari sudah hampir gelap," tambah Wirsiter.
Srintil mengerutkan kening hingga kedua pangkal alisnya hampir bertemu. Matanya bersinar-sinar.
"Sudah dua puluh babak; jadi sampean berdua takut aku takkan membayar semuanya. Begitu"" ujar Srintil tajam.
"Ah, jangan salah mengerti, Jenganten," kata Wirsiter merendah. "Hari sudah sandikala!"
Dengan tekanan kata pada "sandikala" Wirsiter bermaksud mengingatkan Srintit akan hari yang sedang memasuki saat-saat paling peka. Senjakala: saat keimbangan ekosistem alam bergoyang karena siang sedang beralih ke malam, karena sedang berlangsung perubahan intensitas sinar kosmik yang jatuh ke bumi. Wirsiter takkan pernah berkata demikian. Dalam hidupnya hanya ada salah satu ketentuan bahwa orang harus beristirahat di kala hari senja ketika Bathara Kala turun mencari mangsa. Bathara Kala harus dihormat dan dipuja; satu hal yang tak bisa ditawar-tawar bagi Wirsiter dan istrinya. Menyimpang dari tertib itu hanya berarti menyediakan diri menjadi umpan Sang Waktu.
Srintil dapat memahami kata-kata Wirsiter; senjakala adalah saat semua orang mengundurkan diri dari keseharian untuk memenuhi selera alam. Namun tak urung kemarahan masih tergambar jelas di wajahnya. Barangkali kemarahan Srintil akan berkepanjangan kalau tidak dilihatnya seorang nenek berjalan terbungkuk-bungkuk mendekatinya. Suaranya terputus-putus karena napas yang terengah-engah sehabis jauh berjalan.
"Cucuku, Wong Ayu, kau di sini"" suara Nyai Sakarya langsung menyiram hati Srintil yang sedang panas.
Episode 10 Suara itu adalah suara paling akrab yang dikenal Srintil sejak masa kanak-kanak. Suara ibu tak pernah didengarnya karena Srintil jadi yatim-piatu sejak bayi. Mata Nyai Sakarya yang sudah begitu redup karena usia masih mampu memberi daya kepada Srintil yang kemudian bangkit perlahan-lahan. Sentuhan telapak tangan renta yang jatuh di pundaknya terasa sejuk di hati Srintil. Dia berjalan menunduk ke luar pasar Dawuan dalam rangkulan neneknya, menggigit bibir, dan matanya kembali berkaca-kaca.
Seorang nenek yang terbungkuk-bungkuk berjalan merangkul cucunya. Nyai Sakarya maupun Srintil membisu. Namun dalam hati masing-masing sudah tumbuh kesepakatan; mereka berdua hendak pulang ke Dukuh Paruk. Pedukuhan kecil yang terasing di tengah sawah itu adalah ibu mereka. Haribaan dan pelukannya teduh dan mesra.
Mereka berhenti di sebuah angkruk di luar Dawuan sambil menanti saat senjakala lewat. Dalam kegelapan yang mulai membayang keduanya t
etap bungkam. Nyai Sakarya sudah tahu mengapa cucunya melarikan diri dan Srintil sudah tahu pula mengapa Nenek mencarinya. Kemudian keduanya melayangkan ingatan masing-masing kepada dua hal yang berbeda. Nyai Sakarya teringat akan orang tua Srintil " anaknya sendiri " yang kedua-duanya meninggal dalam malapetaka racun bongkrek ketika Srintil baru berusia lima bulan. Duka cita masa lalu yang tak mungkin terlupakan kini menjelma menjadi rasa sayang yang amat sangat terhadap cucunya. Sementara Srintil yang tidak tahu-menahu soal malapetaka tempe bongkrek itu hanya teringat akan Rasus. Dan Rasus kini menjadi sebuah teka-teki yang menyakitkan setiap kali bayangannya muncul di hati Srintil. Anak Dukuh Paruk itu entah di mana sekarang. Srintil merasa ditinggalkannya dengan cara yang paling tidak berperasaan.
Perjalanan ke Dukuh Paruk diteruskan ketika bintang-bintang mulai terang. Lepas dari jalan besar Srintil dan neneknya menapak pematang yang lurus menuju Dukuh Paruk. Gerumbul kecil itu meremang di kejauhan. Kiri-kanan pematang adalah hamparan sawah yang sangat luas dan kini ditanami berbagai palawija. Burung bence yang selalu berteriak-teriak bila ada manusia berjalan dalam gelap terbang hanya beberapa depa di atas kepala cucu dan nenek itu. Suaranya berisik, seakan-akan seluruh malam adalah miliknya yang sedang diusik.
Agak jauh di depan sepasang sinar kebiruan bergerak menyeberang pematang diikuti oleh dua pasang lainnya. Srintil merapat ke tubuh neneknya.
"Belacan yang mengiringkan anak-anaknya." kata Nyai Sakarya yang mengerti akan ulah Srintil. Namun Srintil kembali merapat ke tubuh neneknya ketika terdengar kegaduhan tak jauh di sampingnya. Sesaat kemudian samar-samar terlihat seekor unggas besar mengapung ke udara dengan tikus sawah di cakarnya. Burung hantu telah mendapat mangsa pertama di awal malam. Dia terbang megah sementara jerit tikus mangsanya terdengar makin jauh makin sayup. Malam telah sempurna gelap sebelum Nyai Sakarya dan Srintil mencapai Dukuh Paruk. Bulan tua baru akan muncul tengah malam sehingga cahaya bintang leluasa mendaulat langit. Kilatan cahaya bintang-beralih memberi kesan hidup pada rentang langit. Tetapi bila kilatan cahaya itu berlangsung beberapa detik lamanya dia menimbulkan rasa inferior; betapa kecil manusia di tengah keperkasaan alam. Di bawah lengkung langit yang megah Nyai Sakarya beserta cucunya merasa menjadi semut kceil yang merayap-rayap di permukaan bumi, tanpa kuasa dan tanpa arti sedikit pun.
Tampi berjalan terburu-buru menuju rumah Sakarya. Goder, anaknya yang baru sepuluh bulan melekat di balik kain embanannya. Tangan kanan Tampi memegang sesuatu yang terbungkus tumpal kain. Sesisir pisang raja; yang ini buat Srintil yang sudah beberapa hari tergeletak sakit.
Badannya mulai kurus, wajahnya pucat. Kesan kesegarannya, ciri utamanya yang paling menonjol selama ini, hampir lenyap. Srintil enggan bercakap-cakap dengan siapa pun, enggan makan, bahkan senyumnya yang sangat khas hilang sama sekali.
Nah, kecuali pada saat Goder kecil datang bersama emaknya. Pesona bayi adalah pesona bunga-bunga, pesona mayang pinang yang terurai dari kelopaknya di pagi hari atau pesona biru bunga bungur di awal musim kemarau. Ulahnya selalu menawan, bahkan bau badan dan mulutnya adalah kesegaran ajaib yang hanya alam sendiri mampu menciptakannya. Sinar matanya yang polos bening mampu memadamkan murka seorang ayah. Bayi adalah kesejukan alam seperti demikian adanya sehingga seorang ibu misalnya, takkan marah bila pangkuannya terkena kencing, bahkan tahi bayinya. Seorang bayi pastilah lebih dari anak kandung ibunya karena dia sesungguhnya adalah anak kandung alam yang paling sah. Maka siapa pun yang mau jujur dengan nuraninya akan mengakui bahwa semua bayi hidup dalam alam yang penuh rahmat. Siapa yang merasa sedang diamuk rasa tidak menentu bisa mendapatkan keteduhan bila dia mau menyelinap ke dalam dunia bayi.
Srintil yang sedang merana secara ragawi maupun rohani bisa merasakan keajaiban suasana yang dibawa oleh si kecil Goder. Meski badannya lemah dia berusaha duduk dan meminta Tampi menyerahkan b
ayinya. Demikian setiap hari bila Tampi menjenguk Srintil di rumah Sakarya.
"Kula nuwun..."
"Oh, ya. Tampi, bukan" Mari masuk," ujar Nyai Sakarya menyilakan tamunya. "Bagaimana keadaan Srintil, Nyai""
"Lihatlah sendiri di kamar. Wah, harus bagaimana aku ini. Srintil masih enggan makan. Ketupat dia tak mau, lontong yang kuberikan tadi pagi masih utuh sekarang. Bubur, apalagi." Kamar tidur Srintil yang sesungguhnya berada di rumah Kartareja. Di sanalah dia sebagai ronggeng menerima tamunya. Kamar di rumah Kartareja itu mewah menurut ukuran Dukuh Paruk. Tempat tidurnya terbuat dari besi pejal, kasurnya tebal dan berkelambu. Orang seperti Tampi tak berani masuk ke dalam kamar seperti itu karena rikuh.
Lintang Kemukus Dinihari Karya Ahmad Tohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara di rumah neneknya, Srintil tidur dalam kamar seperti milik kebanyakan orang Dukuh Paruk. Tempat tidurnya terbuat dari bambu seluruhnya kecuali empat tiang penyangganya. Alasnya adalah tikar pandan dengan dua bantal yang sudah lusuh. Masuk ke dalam bilik seperti itu tak ada keraguan sedikit pun di hati Tampi.
"Bagaimana, Srin"" tanya Tampi setelah melangkahi pintu bilik.
Tubuh yang tergolek itu hampir tak memberi tanggapan apa pun. Matanya kosong dan cekung.
Episode 12 Sementara itu suami-istri Kartareja adalah dukun ronggeng. Merekalah yang paling tahu segala tetek-bengek dunia peronggengan dan mereka menggunakan pengetahuan serta statusnya sebagai dasar mata pencarian. Dari ongkos pentas mereka mengambil bagian yang kadang-kadang lebih besar daripada bagian yang diterima Srintil. Dan keuntungan yang lebih besar lagi diterima oleh suami-istri Kartareja manakala mereka bertindak sebagai mucikari. Seorang laki-laki yang mabuk kepayang terhadap Srintil dan ingin tidur bersamanya barang satu-dua malam harus melalui
perantaraan Nyai Kartareja. Maka baginya untuk sementara tak mengapalah kalau Srintil masih enggan menari asalkan dia mau melayani laki-laki yang menginginkannya.
Ketika suatu malam Marsusi muncul kembali di Dukuh Paruk, tibalah saat bagi Nyai Kartareja meminta Srintil kembali kepada kebiasaan semula. Dalam mempengaruhi Srintil, Nyai Kartareja menggunakan segala kemampuannya karena dia tahu Marsusi pastilah membawa kalung emas seratus gram dengan bandul berlian. Perhiasan seperti milik istri lurah Peeikalan itu telah lama menjadi buah mimpinya. Tetapi kepada Marsusi dia mengatakan Srintil-lah yang menginginkannya.
Malam itu Srintil sedang berada di rumah kakeknya, Sakarya, mengayun-ayun Goder dalam embanannya. Bahwa Nyai Kartareja akan datang menyusulnya sudah diperhitungkan oleh Srintil ketika dia mendengar deru sepeda motor memasuki Dukuh Paruk. Kebimbangan mulai membayang pada wajahnya. Srintil belum siap mengambil sikap apa pun. Yang pasti Srintil merasa tidak seperti dulu lagi. Semangat hidupnya sebagian besar tersita oleh bayi gemuk yang kini lekat dalam embanannya. Kehidupan angan-angannya terlanjur terpaut kepada anak Dukuh Paruk yang jadi tentara dan kini entah di mana, Rasus. Maka mengapa tidak ada orang tahu sebenarnya Srintil terkejut ketika menyadari bahwa Dukuh Paruk masih mengharuskan dirinya melayani laki-laki yang datang. "Jadi Dukuh Paruk tidak mengerti bagaimana aku sekarang," keluhnya.
Dukuh Paruk dengan orang-orangnya memang tidak tahu banyak. Mereka hanya tahu Srintil jatuh hati kepada Rasus dan bertepuk sebelah tangan. Apa dan sejauh mana akibat penampikan Rasus terhadap Srintil tak pernah diperkirakan orang.
Ketika berbaring sakit beberapa hari lamanya Srintil merenungkan pengalamannya dengan dunia laki-laki. Selama ini Srintil hanya menurut kepada Nyai Kartareja, lalu menerima uang atau perhiasan. Betapapun dirinya seorang ronggeng Srintil merasa tidak mempunyai perbedaan dengan perempuan lain. Dia memiliki perasaan khusus terhadap laki-laki tertentu dan dia merasa harus memiliki kesempatan memilih. Adalah peruntungan Srintil mengapa laki-laki yang dipilih untuk dijadikan muara segenap hati dan perasaarmya adalah Rasus; dia yang secara halus telah menampik dan meninggalkannya dengan cara yang menyakitkan.
Srintil masih terlalu muda untuk memahami keretakan-keretakan yang terjadi dalam
dirinya sendiri. Pada mulanya Srintil merasa sedih dan putus asa. Kemudian seperti yang diajarkan oleh Dukuh Paruk, Srintil menganggap semua kegetiran yang dialaminya merupakan bagian garis hidup yang harus dilaluinya. Maka pada dasarnya Srintil pasrah dan nrimo saja. Dalam hidup ini orang harus nrimo pandum; ikhlas menerima jatah, jatah yang manis atau jatah yang getir. Tetapi bahkan Srintil sendiri tidak merasa bahwa sesuatu telah menyusup ke alam bawah sadarnya. Sesuatu itu adalah benih melembaga yang kelak akan mengubah sikap Srintil terhadap semua laki-laki. Pada taraf pertama citra laki-laki yang berkembang di hati Srintil adalah dua wajah yang kesemuanya jauh dari menyenangkan. Pertama adalah laki-laki jenis lembu jantan atau bajul buntung seperti kebanyakan mereka yang datang kepadanya. Mereka mendengus dan menggeram seperti macan berhasil menerkam menjangan. Hampir semua dari mereka tidak mempunyai latar perkenalan sebelumnya dengan Srintil. Melayani laki-laki yang baru dikenalnya mula-mula tidak mendatangkan masalah batiniah pada diri ronggeng itu. Tetapi pengalaman yang sama bersama Rasus, laki-laki belia yang dikenalnya sejak masa kanak-kanak dengan ikatan batin yang kuat, memberi Srintil sebuah perbandingan yang timpang. Sangat jauh berbeda; lebih berkesan, lebih banyak mengandung makna karena bukan hanya raga melainkan juga jiwa yang menyatu.
Lainnya adalah laki-laki jenis munyuk yang lemah Mereka cengar-cengir, dan begitu mudah takluk tak berdaya di hadapan seorang ronggeng cantik seperti Srintil. Mereka rela kehilangan apa saja kemudian merengek hampir mengemis. Kalau mau Srintil bisa memberi segala perintah kepada mereka seperti kacung. Para lelaki seperti itu gampang sekali bermulut bocor, menceritakan keburukan istri sendiri kepada Srintil. Dengan cara seperti ini mereka mengharap simpati ronggeng itu untuk menciptakan suasana yang lebih manis bersamanya. Nah, Srintil justru luar biasa benci kepada laki-laki seperti itu.
Wajah yang kedua adalah laki-laki jenis Rasus dan Rasus sendirilah modelnya. Dia tangkas seperti anak kijang, harga dirinya hampir mencapai taraf congkak dan tidak merengek apalagi mengemis. Rasus memberi karena Srintil meminta atau Srintil meminta dan Rasus memberi. Sebagai laki-laki kepribadiannya menggaris jelas. Rasus memang masih muda tetapi di hati Srintil dia memberi gambaran sebuah pohon kukuh dengan bayangan yang teduh tempat orang bernaung. Sayang sekali betapapun Srintil mengagumi Rasus, laki-laki itu telah membuat luka di hatinya. Seperti semua laki-laki lain Rasus pun ikut menyelipkan benih kekecewaan di alam bawah sadar Srintil. Dalam wawasan ini Srintil tidak bisa melihat beda antara dua wajah laki-laki itu. Semuanya mengecewakan, semua merangsang Srintil membuat suatu perhitungan. Srintil tersadar karena Goder menggeliat dalam embanannya. Kepada neneknya, Srintil minta diri hendak pulang ke rumah Kartareja. Suami-istri Sakarya cepat tanggap dan menilai tindakan cucunya sebagai perubahan yang baik. Bukan hanya karena Srintil sudah sekian lama tidak mau menjenguk rumah pamongnya, melainkan juga karena kakek dan nenek itu telah mendengar suara sepeda motor yang berhenti di depan rumah Kartareja. Menurut perkiraan Sakarya dan istrinya, Srintil hendak menjumpai tamunya, ini berarti cucunya itu telah kembali seperti semula dan telah melupakan Rasus. Nenek dan kakek Srintil saling berpandangan dan tersenyum.
"Kalau kau hendak pergi menemui tamumu, sebaiknya kembalikan dulu Goder kepada emaknya. Atau tinggalkanlah dia bersamaku di sini," kata Nyai Sakarya.
"Tidak, Nek. Biarlah anak ini tetap bersamaku," jawab Srintil di luar pintu.
Episode 13 Srintil melangkah dengan pasti dalam kegelapan. Sebenarnya taburan bintang di langit memberikan cahaya temaram ke bumi. Namun kerimbunan pepohonan di Dukuh Paruk menyerap cahaya itu sehingga tercipta kegelapan sempurna di bawahnya. Srintil berjalan cepat sambil memeluk Goder erat-erat dalam embanannya. Hatinya mantap oleh semangat baru yang pasti akan mengejutkan semua orang, namun dia telah bertekad akan mempertahankannya. Di depan rum
ah semangnya itu Srintil berjumpa dengan Nyai Kartareja yang memang hendak menjemputnya di rumah Sakarya.
"Srintil""
"Ya, Nyai." "Wah, bagus! Wong ayu, ada tamu datang. Kau tahu siapakah dia""
"Tidak." "Pak Marsusi, kepala perkebunan karet Wanakeling. Berbaik-baiklah melayaninya. Eh, kau masih membawa-bawa anak si Tampi" Mari, serahkan anak itu kepadaku. Tidak pantas menemui seorang tamu penting sambil membopong bayi."
Srintil tidak menjawab tetapi membuat gerakan sedemikian rupa sehingga Nyai Kartareja harus tahu bahwa Srintil enggan berpisah dengan bayinya. Nyai Kartareja mengerutkan kening karena tidak tahu menerjemahkan sikap Srintil. Akhirnya istri dukun ronggeng itu mengalah, masuk kembali ke dalam rumah. Srintil mengikutinya dari belakang.
"Nah, Pak Marsusi, inilah Srintil. Ternyata aku tak perlu bersusah payah menjemputnya karena dia sendiri yang datang. Kukira Srintil tak akan berbuat demikian apabila tamu yang datang bukan sampean. Iya kan, Srin""
Perkenalan basa-basi itu tidak ditanggapi oleh Srintil. Apalagi pandangan mata Marsusi segera menyergapnya. Memang hanya sesaat tetapi Srintil dapat membaca secara mendalam makna pandangan seperti itu. Entahlah, kali ini Srintil mulai merasa muak.
Dalam hati Marsusi memercik api yang membakar gairah yang dibawanya dari rumah. Pengetahuannya tentang Srintil sebagian besar diperolehnya dari penibicaraan umum, ditambah dengan dua kali melihat ronggeng itu secara langsung. Satu kali ketika Srintil naik pentas di Pecikalan beberapa bulan yang lalu. Kemudian satu kali lagi di pasar Dawuan. Kini semuanya menjadi lebih jelas. Apalagi Marsusi merasa Srintil yang muncul di rumah Kartareja saat itu khusus untuk dirinya. "Ah, pantas. Pantas!" kata Marsusi dalam hati. Tanpa disadarinya tangannya meraba kantung baju. Di dalamnya ada seuntai kalung seratus gram dengan bandul berlian. Srintil tetap berdiri. Goder menggeliat dalam buaiannya. Oh, seorang bayi. Alam jualah yang memberinya kepekaan luar biasa kepadanya. Dalam tidurnya bayi itu menangkap keresahan hati ibu yang sedang membuainya. Mata hati bayi yang masih putih mampu merekam segalanya. Bukan hanya denyut jantung Srintil yang makin cepat, melainkan juga segala sudut batinnya yang sedang gelisah.
Mengapa tidak muncul pertanda nyata bahwa seorang bayi seperti Goder sudah merasa bahwa ada pihak lain yang ingin merebut tempatnya di haribaan Srintil" Mengapa sasmita alam im terlalu lembut sehingga hanya seorang bayi yang mampu menangkapnya" Dan mengapa seorang bayi tidak mampu membela kepentingannya yang paling vital sekalipun kecuali hanya dengan cara menangis" Maka apa yang seharusnya terjadi, terjadilah. Goder menggeliat makin kuat. Kemudian meronta dan menangis. Makin lama tangisnya makin kuat. Tangis yang sarat makna karena sesungguhnya alam sendiri telah berbisik kepada Goder, di sana ada sepasang mata berbinar yang ingin menelan Srintil bulat-bulat.
Tak tersisa naluri yang utuh untuk membaca apa yang membuat Goder meronta dan menangis. Kartareja dan istrinya yang semula sudah menghilang muncul kembali di ruang tengah. Mereka merasa pasti Goder ingin kembali kepada Tampi, ibu kandungnya. Maka suami-istri dukun ronggeng itu menyuruh Srintil membawa Goder kepada Tampi.
"Siapa menyuruhmu repot seperti itu. Kamu kan masih lan, mengapa bersusah payah mengambil anak orang" Dan itu tamumu! Kamu tahu siapa Pak Marsusi, bukan""
Srintil tidak ingin menanggapi kata-kata Nyai Kartareja. Dia melangkah ke luar sambil mengayun-ayun Goder. Gerak-geriknya demikian pantas. Dari mulutnya terdengar suara desis lembut demi mengajuk bayi dalam embanan, membuat gambaran seorang ibu tampil dengan utuh. Demikian,
maka tak kurang dari Pak Marsusi sendiri hanya bisa menelan ludah dan menggeleng-gelengkan kepala. Bersama suami-istri Kartareja, Marsusi duduk membeku ketika mendengar Srintil bersenandung nina bobo di halaman rumah.
Yun ayun, ayun turn Turn lah neng ayunan Anakku si bocah landhung Mesuk gede dadi rebutan Yun ayun, ayun turu Turua si bocah lanung Cilike tak ayun-ayun Gedhene ngeman biyung
Angkasa yang kelam sepi membisu. Bahasanya tanpa
suara. Tetapi kedip-kedip bintang adalah kesaksian yang berbicara banyak akan apa yang terjadi di bawah lengkung langit. Suara dendang Srintil adalah nyanyian ibu. Berlatarkan bunyi gangsir yang datar dari berat terciptalah dendang alam yang membawa Goder kembali ke alam damai. Dia bergerak-gerak lembut kemudian lelap dalam udara malam yang kian sejuk.
"Anak siapakah itu"" tanya Marsusi setelah Srintil berlalu ke dalam.
"Bayi itu anak si Tampi. Entahlah, Pak, Srintil begitu lekat dengan bayi itu," jawab Nyai Kartareja. "Ya, aku melihatnya sendiri; seperti ibu dan anak kandungnya."
"Sebenarnya aku tidak suka. Beginilah jadinya. Srintil jadi tidak sempat menghormati tamu secara semestinya."
"Malam ini aku memang bermaksud mengajak Srintil ke luar. Mungkin dua atau tiga hari," ujar Marsusi sambil menyalakan rokok.
Episode 14 "Nah, itu baik sekali. Hampir sebulan ini Srintil membeku di Dukuh Paruk, tak mau memenuhi undangan pentas. Mula-mula memang karena sakit. Tetapi setelah sembuh Srintil masih ngambek saja. Ah, saya tahu sebabnya. Srintil masih tetap iri terhadap istri lurah Pecikalan. Iri terhadap kalungnya!"
"Hm. Nanti Srintil tidak akan iri lagi," jawab Marsusi. Senyumnya penuh gaya dan pasti. Nyai Kartareja tak perlu bertanya apa pun untuk mengartikan makna senyum tamunya. Maka dalam hati istri dukun ronggeng itu bergema sorak kemenangan.
"Ya, Pak, ya. Maka bawalah Srintil dan gembirakan dia. Srintil telah kehilangan kelincahannya, kekenesannya. Yang demikian itu tak boleh terjadi atas diri seorang ronggeng. Dan kalau itu, Pak: tidak boleh jadi pastilah akan melumerkan kebekuan hati Srintil!"
Di atas tempat tidurnya yang mewah menurut ukuran Dukuh Paruk Srintil membaringkan bayinya dengan hati-hati. Ketika Goder meronta sejenak Srintil menawarkan teteknya. Mulut Srintil kembali berdesis dengan suara lembut. Goder kembali lelap dengan kedamaian sempurna pada
wajahnya. Bukan hanya karena lembutnya belaian, tetapi karena rasa aman bagi jiwanya. Bayi itu bisa menerjemahkan tanpa salah segala gerak-gerik ibunya, segala getar suaranya. Rangsangan spiritual itu memberinya sasmita bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan atas diri ibunya, Srintil. Dia tak akan kehilangan setitik pun tempat dalam haribaan ibunya.
Melihat Goder sudah tertidur Srintil bangkit. Sangguinya yang kendor dibuka dan disanggulkannya kembali lebih kuat. Ditatapnya wajah Goder dalam sikap diam sempurna. Tetapi wajah bayi itu menjadi cermin yang menampilkan seribu bayangan. Rasus yang paling pertama muncul, kemudian wajah ibu-bapak yang tak pernah dilihatnya. Terakhir muncul dirinya sendiri. Srintil menggigit bibir karena bayangan itu bertanya tentang siapa dirinya. Pertanyaan itu sejenak mengambang karena Srintil tak kuasa menjawabnya. Menyusul pertanyaan lain; siapakah yang mengatur diri itu, Nyai Kartareja, para lelaki yang membayarnya. ataukah diri itu sendiri" Srintil memejamkan mata agar leluasa berbicara dengan hatinya. Lama sekali Srintil tetap berdiri tak bergerak. Kerut-kerut pada kulit dahinya menandakan ada pergolakan sedang berlangsung di dalam dirinya.
Tetapi ketika akhirnya Srintil keluar dari kamar, wajahnya telah cerah. Keyakinan diri seakan telah berada dalam genggamannya. Dia memperlihatkan ketenangan yang hanya mungkin dimiliki oleh perempuan-perempuan yang benar-benar matang. Gerakannya mantap ketika Srintil duduk di bangku di sisi ruangan. Nyai Kartareja agak terkejut terutama karena melihat anak asuhannya keluar dengan kain dan baju yang melekat sejak siang hari. Lebih dari itu, Srintil kelihatan tidak bergairah menyambut tamunya.
"Ah, jangan marah, Pak. Srintil terlalu lama membiarkan sampean menunggu. Sekarang, silakan berbincang-bincang. Oh, ya, Srin. Pak Marsusi hendak mengajakmu pelesir malam ini. Apakah kau tidak berdandan dulu""
"Tidak, Nyai," jawab Srintil singkat.
"E, lha"" Srintil tersenyum; senyum seorang yang merasa mampu mengendalikan suasana. "Pak Marsusi, aku takkan pergi ke mana-mana malam ini. Dan... "
"Eh, nanti dulu!" potong Nyai Kartareja. Ada kegemparan dalam nada suaranya. "Apa katamu
tadi"" "Aku tak ingin pe rgi ke mana pun, Nyai," jawab Srintil.
Nyai Kartareja masih tak percaya akan kedua daun telinganya. Dadanya turun-naik. Namun hanya sesaat. Kematangannya sebagai seorang mucikari berhasil menata kembali perasaannya. "Wong Ayu," kata Nyai Kartareja lembut. Tangannya membelai pundak Srintil. "Tak baik terlalu cepat menampik uluran tangan seseorang. Apalagi dia adalah Pak Marsusi. Kau belum bertanya hendak ke mana kau akan dibawanya. Nah, bahkan kau belum mengerti apa hadiah Pak Marsusi buatmu kali ini."
Dua detik kemudian terdengar bunyi rantai logam dijatuhkan orang ke atas meja. Sementara mata Marsusi mengarah ke awang-awang, mata Srintil dan kedua induk semangnya menatap benda berkilau di atas meja itu. Dalam keheningan yang tercipta, sesaat wajah Nyai Kartareja
berubah meriah. Sinar matanya memperlihatkan hasrat yang meluap. Bibirnya bergerak-gerak namun suaranya tak kunjung terdengar.
Srintil pun lama menatap kalung emas yang kelihatan sangat menantang itu. Dua-tiga kali dia menelan ludah. Sebutir berlian memancarkan cahaya kebiru-biruan: godaan yang sulit diabaikan oleh seorang perempuan muda seperti ronggeng Dukuh Paruk itu. Ketika Srintil berada dalam puncak kebimbangannya, Nyai Kartareja mendorongnya dengan kata-kata yang amat sugestif.
"Apa kataku, Wong Ayu. Rugi benar bila kau tidak menurutkan kehendak Pak Marsusi. Ayolah, ganti pakaianmu. Ganti pula kalung di lehermu itu dengan yang di sana." "Nah, ini. Ambillah," kata Marsusi dengan suara datar.
"Yang itu memang lebih baik. Jauh lebih baik dan lebih mahal tentunya," sela Kartareja. "Tak pernah kulihat seorang perempuan memakai kalung sebagus itu kecuali istri lurah Pecikalan. Nah, Srin, kini giliranmu."
Sejenak Srintil diam membeku. Di dalam rongga hatinya muncul kembali bayangan Rasus. Gendang telinganya menangkap suara Ciplak yang menembangkan asmara dahana. Li lali tan bisa lali, sun lelipur tan sangsaya...
"Tidak, Nyai. Aku tidak ingin pergi ke mana pun," ujar Srintil pelan namun terasa benar kepastiannya. Ketiga orang di dekatnya terkejut. Kartareja menegakkan kepala. Marsusi meluruskan punggung sambil melepas rokok dari mulutnya. Yang paling gempar adalah Nyai Kartareja.
"Kau" Kau ini bagaimana" Kau cucu Sakarya tidak ingin memiliki kalung sebagus itu"" "Nyai tak usah berbicara seperti itu kepadaku," ujar Srintil dengan ketenangan yang mengagumkan.
"Oh, maafkan saya yang tua ini, Wong Ayu. Bila kau tak ingin pelesir kukira tak mengapa. Siapa tahu Pak Marsusi tidak berkeberatan mengubah rencana. Dari niat semula hendak pelesir bersamamu barang dua-tiga hari menjadi acara menginap di rumah ini barang dua-tiga malam. Bagaimana, Pak""
Episode 15 Marsusi terbatuk. Pukulan pertama membekas berupa tanda tanya yang melintang pada wajahnya. Baru kali inilah ajakannya pergi berkencan ditolak orang. Dan justru ketika dia bersedia memberi imbalan yang paling mahal. Dalam keraguannya Marsusi ingin meraup kembali kalung emas itu, dan pulang. Tetapi sesuatu di depan mata menahan Marsusi tetap duduk di tempat.
Srintil duduk agak menyamping. Ketenangannya yang demikian utuh adalah pesona baru dalam penampilannya. Dengan tata sanggul seadanya profil Srintil justru memperlihatkan kesegaran remaja yang amat impresif. Bentuk rahangnya bagus. Pipinya jernih dengan hiasan jambang halus. Kulit leher berkata apa adanya, bahwa usia Srintil memang baru tujuh belas. Marsusi kembali terbatuk.
"Apabila Srintil enggan keluar, maka terserah kepadanyalah. Aku tak keberatan menginap di sini," kata Marsusi akhirnya.
"Dengar itu, Srin" Pokoknya, Pak Marsusi datang kemari hanya membawa satu tujuan. Yakni membuat hatimu senang. Iya kan, Pak""
Marsusi hanya tersenyum. Nyai Kartareja bangkit dan memberi isyarat kepada suaminya. Keduanya kemudian menghilang ke dalam rumah. Mereka yakin bahwa suasana yang sulit telah berlalu. Tinggal satu yang pantas mereka lakukan, yakni memberi kesempatan kepada tamunya menikmati kebebasannya bersama Srintil.
Kelengangan malam merembes masuk ke dalam rumah Kartareja. Ada kampret masuk melalui pintu depan yang terbuka, berputar-putar sejenak dalam ruangan dan
menghilang lagi lewat jalan yang sama. Dua ekor cicak berlomba menangkap mangsa: seekor serangga yang terbang hinggap pada dinding bambu. Ketika serangga itu terbang kembali dan berpusing-pusing di sekitar lampu kedua pengejarnya berganti acara. Kedua cicak itu saling berkejaran. Yang besar mengejar yang kecil. Pengejaran berhenti dalam upacara kawin yang brutal. Atap seng rumah Kartareja tiba-tiba berdentam. Sesuatu yang pekat jatuh dari langit. Tak ada sesuatu yang bisa dituduh kecuali kalong berak sambil terbang. Atau binatang itu memuntahkan biji salam yang sudah dimamah dan diisap airnya.
Selain itu terdengar suara yang membuat Dukuh Paruk mempunyai warna khas. Irama calung. Tetapi malam itu yang terdengar adalah suara calung tunggal. Dalam hal demikian calung menggantikan gambang. Di tangan orang yang tepat seperti Sakum, calung adalah gambang. Bedanya, calung terbuat dari bambu sementara gambang dari kayu. Sebagai penabuh calung yang masyhur, meski kedua matanya buta, Sakum tak pernah mengeluh. Bahkan gaya dan suaranya selalu berupa banyolan.
Tetapi malam itu Srintil menangkap kelainan pada suara dan irama calung Sakum. Di balik irama yang padu dengan ketenangan malam tersirat pesan ironik. Ironinya seorang penabuh calung yang sudah sekian lama tidak mendapat penghasilan karena Srintil belum juga hendak naik pentas. Srintil tersenyum getir karena teringat akan nasib Sakum; si Buta yang menjadi maskot kelompok ronggengnya. Dan bukan hanya Sakum seorang yang terputus rejeki lantaran Srintil mogok menari. Tiga orang penabuh lainnya bernasib sama.
Sementara suara calung terus mengisi kelengangan Dukuh Paruk, di rumah Kartareja terjadi suasana yang lucu. Marsusi duduk gelisah. Sebaliknya, Srintil duduk di atas singgasana kemandirian yang nyata. Berkali-kali Marsusi menelan ludah, tetapi Srintil tetap duduk menyamping, berpura-pura tidak tahu ada seekor buaya lapar di dekatnya.
"Jenganten," suara Marsusi serak. Senyumnya kaku seperti anak kecil sedang minta jajan kepada emaknya. "Ini kalungmu, ambillah."
Srintil menoleh sambil tersenyum. Tetapi siapa pun bisa memastikan senyum Srintil kali ini sama sekali tidak erotik.
"Sebentar, Pak. Untuk apa kalung itu sampean berikan kepada saya"" Marsusi menarik napas panjang. Tingkahnya canggung.
"Begini, Pak," sela Srintil setelah tahu Marsusi gagal membuka mulut. "Kalung itu akan kuterima bila dia sampean maksudkan sebagai upahku menari. Nah, sampean tinggal mengatakan kapan dan di mana pentas hendak diadakan. Di sana sampean boleh mengajakku bertayub sepuas hati."
"Lho, bukan. Kalung ini bukan buat upahmu menari atau bertayub," ujar Marsusi. "Mau sampean berikan kepadaku dengan begitu saja" Nah, marilah!" "Bukan!"
"Ya!" potong Srintil dengan kecepatan yang tidak terduga. "Sampean ingin memberikan kalung ini kepadaku bukan sebagai upahku menari atau bertayub, melainkan untuk satunya lagi. Oh, Pak Marsusi, sampean tidak salah. Karena saya memang telah melakukan hal semacam itu dengan sekian banyak lelaki. Tetapi, Pak... "
Marsusi menyondongkan kepalanya lebih ke depan. Pikirannya yang mulai baur membuat dia ingin segera tahu apa kata Srintil selanjutnya.
"Sekarang aku tak ingin melakukannya lagi."
"Lho, kenapa""
"Hanya merasa tak ingin, begitu." "Katakan terus terang!" nada suara Marsusi mulai berat.
"Memang hanya tak ingin. Kalau sekedar menari atau bertayub, nah, ayohlah. Aku memang seorang ronggeng."
"Nanti dulu! Mengapa hal ini baru kaukatakan kepadaku; bukan kepada laki-laki lain sebelum aku" Mengapa""
"Persoalannya sederhana, Pak," kata Srintil masih dalam ketenangan yang utuh. "Sampean kebetulan menjadi laki-laki pertama yang datang setelah saya memutuskan mengubah haluan."
"Jelasnya! Kamu menampik kedatanganku""
"Tidak sepenuhnya demikian, Pak. Kalau sampean ingin sekedar bertayub denganku, maka selenggarakan pentas. Terserah, kapan dan di mana."
Urat pada kedua rahang Marsusi menggumpal. Matanya menyorot lurus ke arah wajah ronggeng Dukuh Paruk itu. Renjana yang dibawanya dari rumah mulai berubah menjadi dorongan amarah. Marsusi bangkit berdiri, berjalan berkeliling rua
ngan. Wajahnya berubah beringas. Srintil siap menanti sesuatu akan hancur oleh tangan tamunya. Ternyata tidak. Marsusi hanya berjalan berputar-putar, mendengus-dengus, kedua tangannya bergerak limbung.
Nyai Kartareja muncul dari dalam diikuti oleh suaminya. Tentulah mereka mendengar percakapan yang kaku antara Srintil dan Marsusi. Kemunculan pasangan dukun ronggeng itu disambut dengan tudingan tangan Marsusi.
"Nah! Sampean berdua duduk!" teriak Marsusi.
Episode 16 "Duduk!" ulang Marsusi karena melihat suami istri Kartareja kelihatan bimbang. Kini Marsusi bertindak menurut gayanya yang asli; gaya seorang mandor perkebunan terhadap para kuli penyadap karet.
"Takkan sekali-kali seorang kepala perkebunan sampai kemari kalau pedukuhan ini tidak bernama Dukuh Paruk," Marsusi mengawali pidatonya sambil tetap berjalan berputar-putar. "Dan takkan sekali-kali aku masuk ke rumah ini bila di sini bukan sarang seorang ronggeng. Dan dia si ronggeng Dukuh Paruk yang bernama Srintil, bukan""
Karena dituding tepat di depan mata maka Srintil mengangkat muka. Sementara wajah suami-istri Kartareja kelihatan kecut. Srintil hampir tidak memperlihatkan emosi apa pun. Tatapan matanya yang demikian tenang membuat Marsusi menurunkan tangan. Kemudian Marsusi melangkah mendekati Nyai Kartareja. Ucapannya terdengar habis-habisan.
"Sampean cecunguk, ya! Siapakah yang secara tidak langsung menyuruhku membawa kalung seperti milik istri lurah Pecikalan" Barang itu sudah berada di depan matamu. Tetapi apa hasilnya sekarang""
"Pak Marsusi," suara Srintil datar, "saya mohon sampean tidak marah terhadap Nyai Kartareja. Ini urusanku. Persoalan yang sederhana tidak perlu sampean persulit."
"Ini bukan persoalan sederhana! Aku tidak sekali-kali menganggapnya sederhana!"
"Bagaimana juga, Pak, masalahnya tetap sederhana. Yakni sampean mau membeli sesuatu di sini, tetapi warung sudah tutup. Itu saja, Pak."
"Jadi kamu, dan sampean semua di sini, telah menghinaku. Dan kalian orang Dukuh Paruk, apakah kalian mengira aku tidak tahu bahwa semua yang kelihatan di sini adalah hasil persundalan" Hah"" "Sabar, Pak. Aku ingin berbicara... "
"Cukup! Kamu nenek cecurut! Biang sundal dan setan Dukuh Paruk. Aku tak ingin mendengar lagi suaramu. Omongmu itu kentut kuda!"
Marsusi yang beringas mengambil topi lalu dipasangnya di kepala. Dengan gerak tangan yang cepat kalung yang semula hendak dipakainya sebagai pembeli Srintil segera masuk ke saku baju. Masih ada satu lagi yang diambilnya dari atas meja; botol jenewer. Isinya yang tinggal setengah ditenggaknya. Botol itu dibanting mengenai umpak tiang. Suara beling remuk memecah keheningan. Semenit kemudian terdengar suara motor Marsusi menderu.
Keberangkatan Marsusi meninggalkan ketegangan di rumah Kartareja. Wajah Nyai Kartareja gelap dan kusut. Kekesalan hatinya dilampiaskan dengan cara berkali-kali memukul pantat sendiri. "Toblas, toblas! Kamu ini bagaimana, Srintil" Kamu menampik Pak Marsusi" Toblas, toblas. Itu pongah namanya. Kamu memang punya harta sekarang. Tetapi jangan lupa anak siapa kamu sebenarnya. Kamu anak Santayib! Orang tuamu tidak lebih dari pedagang tempe bongkrek. Bapak dan emakmu mati termakan racun!"
Srintil membeku, menundukkan kepala dan menggigit bibir. Kesaksian tentang kedua orang tuanya yang baru disampaikan oleh Nyai Kartareja telah menggores hatinya. Tentang kedua orang tuanya Srintil telah tahu segalanya. Tetapi setiap kali berita itu berulang, setiap kali pula hatinya terluka. Srintil menangis. Dan Nyai Kartareja tidak peduli.
"Oalah toblas, beginilah caramu membalas budi kami, ya! Kami berdua telah memberimu jalan sehingga kamu mendapatkan kamukten. Tetapi inilah imbalan yang kami terima; dipermalukan habis-habisan oleh Pak Marsusi. Anak Santayib, dasar cecurut kamu! Dan kamu bertingkah menolak sebuah kalung seratus gram" Merasa sudah kaya" Bila kamu tidak suka kalung itu mestinya bisa kauambil untukku. Dan kaulayani Pak Marsusi karena semua orang toh tahu kau seorang ronggeng dan sundal."
"Sudah, Nyai, sudah," kata Kartareja berusaha menghentikan amarah istrinya.
"Biar! Sekali ini dia harus men
dapat pelajaran. Lama-kelamaan anak Santayib ini jadi kurang ajar!" Dada Nyai Kartareja masih kembang-kempis tetapi dia sudah kehabisan kata-kata. Sisa kemarahannya tumpah ketika dia meludah sengit ke arah Srintil.
Sampai sedemikian jauh Srintil tetap diam. Bahkan dia tetap tak bergeming meski Nyai Kartareja sudah masuk ke kamarnya dengan membanting pintu keras-keras. Air matanya berjatuhan. Ketabahan yang diperlihatkannya ketika menghadapi Marsusi telah runtuh. Hal ini terjadi karena Nyai Kartareja telah mengusik kedua orang tuanya yang sudah menjadi tanah di pekuburan Dukuh Paruk.
Yang membawa kembali ketenangan ke dalam hati Srintil adalah suara calung tunggal yang ditabuh Sakum. Mula-mula suara itu masih berbaur dengan lengking kemarahan Nyai Kartareja yang terus terngiang dalam telinga Srintil. Disusui kemudian oleh derik seribu jangkrik yang menggetarkan gendang telinga. Lama-kelamaan suara kacau itu surut. Tinggal bunyi calung yang menjalin malam Dukuh Paruk, menyatukannya dalam satu citra yang bulat dan utuh. Klenting-klentung itu tumpah dengan runtut, kadang ada nada yang melompat seperti belatung nangka yang ranum, namun tetap terikat dalam keselarasan.
Dengarlah suara mata calung yang menyusup ke bawah rumpun-rumpun bambu di Dukuh Paruk. Dari bambu pulang ke bambu. Mesra dan penuh makna seperti seorang anak yang menyurukkan wajah dalam-dalam ke selangkangan emaknya. Ketika angin malam membuat desah daun-daun bambu, suaranya menjadi latar yang paling alami bagi irama calung yang terus mengalir melalui ayunan kedua tangan Sakum. Tit-tuit tit-tuit suara burung prit putih yang mulai terdengar sejak matahari terbenam memaripurnakan kidung Dukuh Paruk. Pedukuhan terpencil itu sedang menembangkan kidung malam. Entahlah, kini yang terdengar bukan nada cepat bergairah, melainkan suara pilu yang menggayut.
Srintil masuk langsung menuju kamar. Kartareja yang sedang duduk membatu hanya menatapnya sepintas. Tetapi dukun ronggeng itu sedikit terperangah ketika sesaat kemudian Srintil sudah berdiri di hadapannya sambil mendekap Goder dalam embanan. Ayah dan anak asuhan bertatapan. Melalui bahasa rasa Kartareja sudah tahu apa arti kehadiran Srintil di hadapannya. Tak terdengar kata barang sepatah meskipun bibir Srintil kelihatan bergerak-gerak. Demikian juga halnya Kartareja. Sampai akhirnya Srintil berbalik dan keluar halaman suasana masih bisu. Hanya derit engsel pintu. Selebihnya adalah kelengangan. Dan cericit tikus busuk yang terkejut ketika Srintil lewat di dekatnya
Episode 17 Keluar dari rumah orang tua akuannya Srintil merasakan suatu hal yang baru; begitu dekat dengan dirinya sendiri. Akunya sepenuhnya dalam genggaman. Akunya yang terdiri atas dirinya sendiri
dan seorang bayi dalam pelukan. Hangat tubuh Goder yang melekat di dadanya menjadi kehangatan pertama bagi sebuah semangat baru yang mulai melembaga dalam jiwa Srintil. Sampai di rumah kakeknya, Sakarya, Srintil mendapati seorang perempuan lain. Tampi. Wajah perempuan itu langsung meriah melihat kedatangan Srintil. Dia tergopoh bangkit menyongsong Srintil di ambang pintu.
"Oalah, Jenganten. Kemarikan anakku. Aku sudah kangen," ujar Tampi sambil mengulurkan kedua tangannya. Namun Srintil menepis tangan itu.
"Mau melihat Goder, Lihatlah dari situ. Mau menggamit pipinya yang tambun dan padat, silakan. Tetapi jangan ambil dia dari embananku."
"Aku bersungguh-sungguh, Jenganten. Karena aku sudah sangat kangen. Sehari ini aku belum menyentuhnya. Dan, ah! Siapa bilang Goder tidak akan mengganggumu, Jenganten" Baru saja terbukti, bukan""
"Terbukti""
"Aku mengerti semua yang baru terjadi di rumah Kartareja. Kalau bukan karena anakku, sampean sudah pergi naik sepeda motor bersama... "
"Cukup. Kamu salah, Tampi. Kamu tak mengerti. Aku tidak pergi bersama laki-laki itu karena aku tak mau. Itu saja. Tak ada sangkut-pautnya denga Goder. Tahu""
"Tetapi aku mendengar Nyai Kartareja jelas menyebut-nyebut nama anakku. Oh, sampean tidak mengerti bagaimana perasaanku saat itu. Ingin rasanya aku menerobos masuk untuk mengambil Goder dan membawanya pulang selekas mungkin. Anakku ma
sih terlalu bersih buat dilibatkan ke dalam urusan orang-orang dewasa."
"Nah, kamu betul. Goder masih terlalu bersih. Maka aku tidak akan mengotorinya. St, jangan ganggu dia. Dan jangan lagi sebut dia anakmu, melainkan anakku! Nah, iya kan"" Tampi bersungut-sungut, tetapi senyumnya mekar kemudian. Dia merasa tidak mungkin berbohong bahwa sesungguhnya dia berbangga hati karena anaknya menjadi boneka bagi perempuan yang paling ternama, Srintil.
"Ah, Tampi. Sesungguhnya kamu tidak usah lagi merisaukan Goder. Cukuplah aku yang menjadi emaknya. Aku bisa menetekinya. Aku bisa membelikan baju yang terbaik di pasar Dawuan baginya. Pokoknya, apa yang bisa kauberikan kepada Goder, aku pun bisa melakukannya secara lebih baik. Dan jangan khamatir, bila sudah besar nanti dia tahu perempuan mana yang melahirkannya. Sekarang biarlah dia menjadi anakku yang sebenar-benarnya. Yang perlu kaulakukan sekarang adalah melayani suami sebaik mungkin. Supaya bayimu yang kelima cepat
lahir!" Seloroh Stintil mencairkan kekakuan. Tampi mencubit lengan temannya. Terasa benar oleh Srintil bahwa selorohnya tepat mengena pada perasaan Tampi yang sebenarnya. Bagi perempuan Dukuh Paruk melayani suami bukan hanya sekedar keharusan hidup. Dia adalah satu-satunya kegiatan lain di luar urusan dapur serta memelihara anak-anak. Dalam kenyataan aspek humaniora bagi perempuan Dukuh Paruk hampir terpusat sepenuhnya di atas pelupuh bambu mereka. Dan ketika Goder sudah menginjak usia sembilan bulan, seloroh Srintil itu sungguh tidak bisa dielakkan oleh
Tampi. Artinya, ketidakhadiran Goder di sampingnya memberikan kedaulatan yang lebih bagi suaminya, dan dirinya juga.
Hingga tengah malam Srintil tidak mampu memejamkan mata. Kadang dia duduk termangu di bibir balai-balai. Kadang tidur gelisah di samping Goderyang lelap. Dan sekali waktu Srintil merasa demikian gemas karena mengetahui betis Goder bentol sebesar biji jagung. Seekor kutu busuk yang menggembung penuh darah digilas dengan telunjuknya. Noda darah tercoreng pada tikar pandan, sengak baunya.
Sakum masih terus mengembara dengan irama calung tunggalnya. Sebenarnyalah Sakum tak bisa menjelajah ke mana-mana karena kedua matanya buta sejak lahir. Dia tidak bisa mengembara di alam nyata. Tetapi karena buta, Sakum memiliki kepekaan luar biasa. Pengembaraannya di alam rasa demikian teliti dan memikat sehingga mampu mengajak orang lain mengikutinya. Malam itu pastilah banyak warga Dukuh Paruk setia memicingkan mata agar bisa mengawang bersama-sama Sakum.
Entah berapa tembang telah dibawakan oleh seniman calung itu. Dan Srintil amat terkesan oleh sebuah pupuh sinom yang mengalun berulang-ulang;
Bonggan kang tan mrelokena
Mungguh ugering ngaurip Uripe lan tri prakara Wirya karta, tri winasis Kalamun kongsi sepi Saka wilayan telelu Tetas tilasing sujalma Aji godhong jati aking Temah papa, papariman ngulandara
Merugilah orang yang mengabaikan tiga perkara teras kehidupan. Yakni trampil, keutamaan, dan kepandaian. Bila triperkara ini ditinggalkan. Punahlah citra keutamaan manusia. Dia tidak lebih utama daripada daun jati kering; melarat, mengemis, dan menggelandang.
Terasa benar tembang sinom itu keluar dari dasar hati Sakum yang sedang papa karena telah lama tidak bekerja mengiringi Srintil dalam pentas. Sakum, yang meski buta tetapi harus memberi makan seorang istri dan empat orang anak. Makin lama Srintil makin merasa digugat oleh Sakum dengan caranya yang sangat halus; mengapa dia masih menolak naik pentas dengan akibat perut Sakum anak-beranak menjadi lapar.
Gugatan itu menambah beban pikiran Srintil yang telah ditindih oleh pengalamannya dengan Marsusi di awal malam. Dan wajah Sakum bersama anak dan istrinya terus terbayang meski akhirnya penabuh calung itu jatuh tertidur di belakang alat musiknya.
Episode 18 Boleh jadi hanya Srintil seorang yang tetap jaga ketika embun pertama jatuh sesaat malam melampaui batas dini hari. Perihal melek sepanjang malam bukan perkara asing bagi seorang ronggeng. Biasanya Srintil bergadang dalam suasana gairah dengan ciu, dengan uang, dan dengan berahi. Kali ini lain, sangat lain. S
rintil sedang berada dalam haribaan Dukuh Paruk yang tengah tidur lelap selelap-lelapnya, merenung dan merenung. Dan Srintil tidak bisa ingkar bahwa awal
segala permenungannya adalah kenangannya bersama Rasus. Rasus yang semasa kanak-kanak bermain bersama di bawah pohon nangka, Rasus yang diserahi keperawanannya, dan Rasus yang kemudian menjadi tentara tetapi kini berada entah di mana. Tetapi Srintil merasa setiap kali permenungannya berakhir pada titik antah berantah. Terutama setelah dia sampai kepada pertanyaan: apa yang bakal terjadi atas dirinya setelah Rasus pergi. Apa pula yang bakal dialaminya setelah " entah mengapa " dia memutuskan menolak laki-laki bernama Marsusi yang bersedia memberinya kalung emas bermata berlian. Dukuh Paruk sepanjang zaman mengajarkan, kehidupan adalah pakem; manusia tinggal menjadi pelaku-pelaku yang bermain atas kehendak dalang.
Maka bagi Srintil kepergian Rasus tidak bisa dipahami secara lain kecuali atas kehendak Sang Dalang juga. Meskipun sebagai akibatnya Srintil harus merasakan kegetiran dalam hatinya. Lain lagi perihal penolakannya atas Marsusi. Srintil khawatir jangan-jangan penolakannya itu berarti penentangan terhadap pakem hidup. Dan sepanjang yang dipercayainya sikap semacam ini akan membawa akibat buruk. Barangkali Srintil akan tetap dalam kekhawatirannya bila dia tidak sempat teringat hal-hal keseharian yang sering dilihatnya. Misalnya toh tidak semua ayam betina tunduk kepada jago yang mengejar hendak mengawininya. Demikian juga kambing, kucing, dan juga burung-burung. Tentulah hewan-hewan betina itu tidak bisa dikatakan telah melanggar perintah alam. Atau, memang alam jugalah yang mengatur segala perilaku seluruh warganya. Tak terkecuali Srintil, ketika dia menampik kehadiran Marsusi.
Ketika pada ujung permenungannya Srintil memperoleh sedikit ketenangan, matanya mulai terasa mengantuk. Sementara itu cecet pertama burung sikatan sudah terdengar. Disusul kemudian oleh kokok ayam jantan. Bunyi keresek daun pisang kering yang menerima kedatangan codot yang hendak menyembunyikan diri. Samar-samar, karena matanya mulai terpejam, Srintil masih sempat melihat seekor bangkong melompat-lompat. kemudian menerobos celah dinding di dekat umpak tiang. Kodok longan itu akan bersembunyi sepanjang hari di kolong balai-balai, tepat di bawah kepala Srintil. Gangsir dan orong-orong menghentikan suaranya, membuat Dukuh Paruk menyambut kedatangan hari baru dalam suasana yang begitu lengang. Demikian lengang sehingga suara tetes embun jelas terdengar ketika jatuh ke atas daun iles-iles yang tumbuh semarak di belakang rumah.
Pedang Kunang Kunang 11 Harry Potter Dan Piala Api Harry Potter And The Goblet Of Fire Karya J.k. Rowling Tukar Tubuh 2