Pencarian

Let Go 3

Let Go Karya Windhy Puspitadewi Bagian 3


"Kami mau minta maaf. Gara-gara kami, kamu begadang bikin tugas," kata Dhihan.
"Aku!" ralat Alfi. "Terutama, aku yang harus minta maaf."
"Sori, Ka, kami nggak bersikap jadi temen yang baik," timpal Doni. "Beberapa hari terakhir dan, terutama, tadi. Seharusnya, kamilah yang maju dan membelamu."
Doni mengalihkan pandangan ke arah Nathan yang hanya balas memandangnya dengan dingin. "Bukan dia. Karena kami yang temenan lebih lama sama kamu."
Raka menggaruk-garuk kepalanya. "Apa sih! Udahan, ah. Aku merinding dengarnya!"
"Oke, lanjutkan urusan kalian," kata Nathan hingga semua langsung terdiam. "Aku harus menyerahkan lembar jawaban ini ke Pak Anung."
Ketika Nathan sudah akan melangkah, Dhihan dan Alfi merangkulnya.
"Tunggu!" cegah Dhihan. "Gini, Than, tadi kami mendengar beberapa hal yang menarik."
"Bener! Bener!" timpal Alfi. "Bukannya kami bermaksud mencuri dengar, tapi tadi kedengaran gitu aja."
"Intinya"" tanya Nathan dingin.
"Aku denger kamu mau bantuin Raka menguasai semua pelajaran," kata Dhihan. "Gimana kalau kamu bantuin kami-kami ini juga" Jangan khawatir, kami semua nggak kalah bebalnya sama idiot itu, kok!"
"Hoi, aku masih bisa denger omongan kalian!" dengus Raka.
"Kamu nggak akan nyesel, deh, ngajarin kami," lanjut Dhihan.
"Daripada kamu cuma ngajarin seorang bebal, kan, lebih baik ngajarin banyak bebal," tambah Dhihan. "Dua kepala lebih baik daripada satu kepala."
Nathan menghela napas, lalu menggeleng. "Sungguh, ini bujukan paling aneh, nggak masuk akal, dan paling menggambarkan tingkat kecerdasan kalian saking idiotnya."
Dhihan dan Alfi hanya meringis.
"Tapi," katanya kemudian sambil melepaskan diri dari rangkulan kedua cowok itu, "akan aku coba."
"WOOOOW!!!" seru Dhihan diikuti teriakan dari yang lain.
"Oh, ya, kayaknya, tadi aku mendengar kata-kata 'mati'," kata Dhihan kemudian. "Siapa yang bakal mati""
Raka menelan ludah, lalu menatap Nathan yang walaupun sama terkejutnya, tetap dapat mengendalikan diri.
"Aku," jawab Nathan. Dhihan dan yang lain langsung terdiam. Nathan tersenyum sinis, lalu menunjuk Raka. "Dia ini, saking bodohnya, bikin aku hampir mati bunuh diri sewaktu ngajarin."
Mereka semua langsung tertawa, kecuali Raka. Dia menatap Nathan yang sedang memandang lurus ke depan. Nathan yang merasa diperhatikan, menoleh dan hanya tersenyum samar.
* * * - 15 - Kesalahpahaman tentang hubungan Raka dengan Sarah semakin menjadi-jadi ditambah provokasi dari teman-teman mereka. Hal itu membuat Raka merasa dia akan dicap cowok berengsek jika tega menolak Sarah. Namun, bagaimana dengan Nadya"
Hari Rabu itu, Raka sengaja mampir ke toko musik untuk mencari Nadya. Benar saja, cewek itu memang ada di sana sedang membaca buku sambil menyeruput secangkir latte.
"Hai." Nadya tampak terkejut melihat Raka. "Oh, hai."
Raka menarik kursi di depannya, lalu duduk. "Aku lagi cari CD The Used dan
kebetulan lihat kamu di sini, jadi aku gabung aja. Nggak keberatan, kan""
Nadya menggeleng. "Duduk aja."
Raka memesan secangkir besar cappucino dan mulai mencari-cari bahan pembicaraan.
"Baca buku apa"" tanyanya kehabisan ide.
"Sekali Merengkuh Dayung," jawabnya.
"Diah Marsidi""
Nadya membelalakkan mata. "Kamu udah baca""
"Nggak perlu sekaget itu, baca sampulnya juga ketahuan siapa yang ngarang," kata Raka sambil nyengir.
Nadya memonyongkan mulutnya dan Raka tertawa.
"Tapi, ya, aku emang udah baca, kok," kata Raka. "Menarik, mengunjungi tempat-tempat yang indah, tapi belum mendunia; menikmati alam dan penduduknya. Bikin aku pengin jadi backpacker."
"Kamu juga berpikir kayak gitu"" tanya Nadya senang.
"Emangnya kamu juga"" Dada Raka kembali berdebar-debar.
Nadya mengangguk. "Suatu saat... pasti..."
Raka tersenyum. Musik klasik mulai mengalun. Nadya menggerak-gerakkan kepalanya mengikuti irama yang didengarnya.
"'Fur Elise', Ludwig Van Beethoven." Raka mencoba menebak judulnya.
Nadya menatapnya kagum. "Kamu benar-benar orang yang di luar duagan."
Raka meringis. Kalau saja Nadya tahu, beberapa hari terakhir, dia jadi rajin mendengarkan musik klasik dan menghafalkan judulnya.
"Aku cuma orang yang akan mati-matian melakukan sesuatu demi mendapatkan apa yang aku inginkan."
"Hah"" Nadya mengangkat alis, tetapi Raka tidak mau menjelaskan lebih lanjut.
Teringat akan CD yang sudah dia pesan lewat toko musik online, Raka merogoh tasnya dan mengambil sebuah bungkusan.
"Ini," katanya sambil menyodorkan bungkusan itu.
"Apa ini"" tanya Nadya.
"Buka saja." "CD George Gershwin!" Nadya terpekik kecil melihat isi bungkusan itu.
"Jangan bilang kalau kamu udah punya," kata Raka khawatir.
"Belum," sahutnya. "Tapi, bagaimana kau..."
Raka mengangkat bahu. "Aku kebetulan lihat, jadi aku pikir sekalian aja."
"Tunggu..." Nadya menyipitkan mata. "Tadi, kamu bilang, kamu kebetulan melihatku di sini, tapi kenapa kamu udah siap bawa CD ini""
Raka menelan ludah. Sial! Ketahuan!
"Oke, aku emang sengaja ke sini." Raka mengaku. "Soalnya, aku lupa ngasih ini di sekolah. Kamu sendiri yang bilang kalau kamu ke sini tiap hari Rabu. Ya, kan""
Nadya mengangguk-angguk. "Tapi, kenapa kamu repot-repot" Beli CD ini untukku, bahkan sampai nyari aku ke sini"" Dia memandang Raka sambil tersenyum jail.
Raka menghela napas panjang. Dia sedang mengujiku!
"Karena aku suka kamu," jawab Raka kemudian. Air muka Nadya langsung berubah, tak menyangka akan diberi jawaban seperti itu. Senyumnya hilang digantikan wajah bingung dan rona yang makin lama makin memerah. Jantung Raka rasanya mau copot dan lututnya lemas.
Setelah itu mereka terdiam, tak ada satu pun kata terucap. Karena tak tahu lagi apa yang harus dilakukan atau dikatakan, Raka memutuskan untuk pergi.
"Aku," dia menelan ludah, lalu bangkit, "duluan, ya."
Tanpa menunggu reaksi Nadya, dia segera meninggalkan tempat itu sambil menikmati sensasi yang ditimbulkan oleh entah kebodohan atau keberanian yang baru saja dilakukannya. Namun, dia lega.
*** Saat Raka sedang memikirkan tentang bagaimana menegaskan perasaannya kepada Sarah, dia melihat Nadya sedang menempelkan pamflet di papan pengumuman di lantai dua. Tanpa pikir panjang, dia langsung menghampiri cewek itu.
"Hai," sapa Raka dengan terengah-engah.
"Hai," balas Nadya sambil menatapnya kaget bercampur heran, "kamu habis joging""
"Kayak yang kamu lihat," jawab Raka, "NGGAK."
Nadya meringis. Sepertinya, tak ada yang berubah dari diri cewek ini. Raka jadi khawatir apakah dia nggak menganggap serius ucapannya waktu itu.
"Itu ditempel di semua papan pengumuman"" tanya Raka. "Mau aku bantu""
"Please," kata Nadya sambil menyodorkan sebagian tumpukan pamflet di tangannya.
Mereka berjalan dari satu papan pengumuman ke papan pengumuman lain sambil ngobrol tentang banyak hal. Bagi Raka, berbicara dengan Nadya, memang selalu menyenangkan. Setiap berada di dekat cewek itu, dia selalu merasakan sensasi melayang dan perasaan yang berdebar-debar.
"O h, ya, pulang sekolah nanti, ada rapat Veritas," ujar Nadya sambil membubuhkan lem pada pamflet yang akan ditempel. "Tadi, Sarah bilang, tolong kasih tahu kalau aku ketemu kamu."
"Ooh..." Raka manggut-manggut.
"Kamu ke mana aja"" tanya Nadya.
"Hah"" "Kayaknya, akhir-akhir ini, kamu lumayan sering menghilang, kayak mau menghindari sesuatu," tambahnya.
Lebih tepatnya, menghindari seseorang, jawab Raka dalam hati. Dia nggak ingin kesalahpahaman yang terjadi semakin bertambah parah.
"Aku cuma lagi sibuk nyiapin masa depan." Raka mencoba memberi alasan.
Nadya mengangkat alis. "Hah""
"Nathan sekarang jadi tutor kami," jelasnya. "Dan, dia guru paling kejam yang pernah aku temui. Asli! Dia beratus-ratus kali jauh lebih kejam daripada Pak Anung. Dia ngasih kami 100 soal yang harus dikerjakan selama dua hari setiap minggu!"
Nadya tertawa. "Seenggaknya, dia nggak pernah meremehkanmu."
"Yah..." Raka mengangkat bahu. "Cuma satu itu sisi baiknya dia."
"Kamu benar-benar serius ingin memperbaiki nilai, ya"" tanya Nadya. "Padahal, menurutku, menguasai satu bidang saja sudah cukup hebat, kok."
"Kalau toh, nanti aku ngelanjutin kuliah yang nggak ada hubungannya sama sains sama sekali, aku tetep harus lulus SMA dulu, kan"" kata Raka.
"Benar juga," Nadya manggut-manggut. "Hidup emang nggak pernah adil." Kedua orang itu berjalan ke papan pengumuman berikutnya, papan terakhir.
"Oh, ya," kata Nadya kemudian. "Sejak pembicaraan kita waktu itu, kayaknya aku udah tahu aku mau jadi apa..."
"Apa"" tanya Raka antusias.
"Dokter," sahut Nadya. "Kamu nggak heran, kan"" tanyanya sambil tersenyum. "Karena kedua ortuku dokter, kamu pasti berpikir wajar kalau aku juga milih jadi dokter""
"Kamu benar-benar ahli membaca pikiran aku," kata Raka heran.
Nadya tertawa. "Tapi, setelah kupikir sungguh-sungguh, memang itulah yang ingin kulakukan. Aku suka pelajaran biologi, mengamati anatomi tubuh manusia, menemukan hal baru, dan bertemu banyak orang. Kalau aku bisa melakukan apa yang kusukai, sekaligus membantu orang lain, itu bakal jadi hal hebat, kan""
Raka tersenyum. "Pastinya."
Cowok ini merasa semakin kagum, tetapi juga jadi takut pada Nadya. Cewek ini selalu logis dalam pemikiran dan tegas dalam pendiriannya. Sesuatu yang membuat Raka jatuh cinta, tetapi terkadang juga membuatnya merasa kecil dan khawatir tak bisa mengimbangi.
"Kalau kamu," kata Raka sambil menatap kedua mata Nadya dalam, "apa pun yang kamu lakukan, pasti akan menjadi sesuatu yang hebat."
Nadya tertegun mendengar kata-kata Raka. Mereka terdiam selama beberapa saat dan hanya saling menatap. Ada perubahan warna di wajah Nadya.
*** "RAKA!!!" panggil seseorang.
Sial! umpat Raka dalam hati. Mengganggu saja!
"APA"" bentaknya jengkel sambil mendelik ke arah orang yang memanggil. Sarah.
Sarah tampak terkejut bercampur takut melihat reaksi Raka hingga dia menghentikan langkahnya.
"So-sori, ada apa"" ulang Raka dengan intonasi yang lebih lembut.
"I-itu," kata Sarah masih agak ketakutan, tetapi sorak-sorai teman-temannya yang berdiri tidak jauh dari tempat itu seperti membangkitkan keberanian cewek itu lagi. "Nanti, ada rapat Veritas, sepulang sekolah."
"Ya, tadi aku sudah diberi tahu Nad..." Raka menoleh ke tempat Nadya tadi berdiri, tetapi cewek itu sudah tidak ada di sana.
Raka menghela napas. "Sial!"
"Apanya"" tanya Sarah heran.
"Bukan apa-apa." Raka menggeleng dan mengikuti Sarah kembali ke kelas.
*** Tak disangka, rapat Veritas kali ini memegang rekor sebagai rapat terlama. Mungkin, karena edisi ulang tahun sekolah, jadi banyak yang harus dibahas. Setelah pembagian tugas-yang akhirnya menempatkan Raka di bagian dokumentasi-jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Raka langsung merasa itu kesempatan untuk mengajak Nadya pulang bersamanya.
"Pulang naik apa, Nad"" tanyanya sambil membereskan semua barang-barang yang tergeletak di meja.
"Angkot, mungkin," jawab Nadya.
"Nggak bahaya"" Raka mencoba memancingnya.
"Ah!" pekik Sarah tiba-tiba. "Benar! Sudah pukul sembilan malam, bagaimana
ini... aku pulang sendiri..."
Cewek itu memandang Raka penuh harap.
Raka menelan ludah dan berharap dia menjadi cowok berengsek yang berpura-pura tidak peka atau, setidaknya, berpura-pura tidak melihatnya. Mereka pun terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya dia menyerah.
"Aku antar kamu pulang," kata Raka.
"Benar"" tanya Sarah girang.
Raka mengangguk, lalu menoleh ke arah Nadya yang sedang sibuk memasukkan buku-buku ke dalam tasnya.
Nadya pasti ngerti, pikir Raka. Sarah lebih lemah daripada dia, jadi sudah sewajarnya aku mendahulukan Sarah. Kalau Nadya, kan, bisa bela diri, pasti nggak akan apa-apa.
"Aku pulang dulu," kata Nadya buru-buru.
"Tunggu!" sergah Nathan. "Aku antar kamu pulang."
"Eh"" Raka mendelik menatap Nathan, tetapi dia sepertinya tidak melihatnya.
"Aku bisa jaga diri," elak Nadya sambil memakai sepatu.
"Tapi, ini udah pukul sembilan malam dan kamu cewek," jawab Nathan. "Sehebat apa pun, kalau dikeroyok sepuluh orang cowok, kamu nggak akan bisa apa-apa."
Nadya menatap Nathan tajam. "Jangan mengada-ada, deh."
"Aku nggak mengada-ada dan aku nggak menerima kata 'NGGAK'." Nathan menyambar tas Nadya, lalu menghilang di balik pintu keluar.
"HEI!" teriak Nadya sambil mengejar Nathan.
Raka membatu. Apa yang barusan terjadi" Apa Nathan juga suka sama Nadya"
"Raka..." Suara Sarah membuyarkan lamunan Raka.
"Kita berangkat"" tanya cewek itu.
"Eh... oh. Ya..."
*** Perayaan ulang tahun sekolah Raka tinggal tiga hari lagi dan hampir semua orang di sekolah itu sibuk mempersiapkannya. Kelas Raka berencana membuat stan cokelat yang menjual berbagai makanan berbahan dasar cokelat. Itu ide cewek-cewek dan, akhirnya, memang merekalah yang paling repot. Para cowok setuju-setuju saja dan hanya membantu mempersiapkan dekorasinya.
"Sadar nggak, sih, kamu ngeliatin aku tuh udah kayak mau bunuh"" tanya Nathan ketika dia dan Raka tinggal berdua membuat backdrop.
"Masa"" Raka balik bertanya dengan nada kesal.
Nathan hanya menggeleng sambil tersenyum.
"Kamu suka sama Nadya"" tanya Raka, akhirnya, karena sudah tidak tahan.
Nathan mengangkat alis, lalu menyeringai. "Sudah kuduga..." ujarnya. "Tapi, sebelum aku jawab," katanya dengan tatapan yang sangat mencurigakan. "Aku mau tanya, apa pedulimu" Kamu, kan, udah punya Sarah""
"A-apa"" Raka mulai panik. "Bukan apa-apa. Aku cuma pengin tahu! Lagian, aku nggak ada hubungan apa-apa sama Sarah!"
"Lebih baik kamu nggak perlu tahu," kata Nathan tenang. "Kamu nggak bakal bisa menyaingiku, kamu sadar itu, kan" Lagian, kayaknya, Nadya juga nggak cukup penting buatmu. Buktinya, kemarin aja, Sarah yang kamu ajak pulang, bukan dia."
"Aku kan nggak bisa ngebiarin Sarah pulang sendiri," kilah Raka.
"Kan, ada aku," sahut Nathan. "Emangnya, kamu nggak berpikir kalau aku juga nggak bakal ngebiarin dia pulang sendiri kalau kamu ngajak Nadya""
Raka tercenung dan merasa bodoh kenapa tidak berpikir sampai ke situ.
"Raka..." Raka menoleh, Sarah sedang berjalan ke arahnya sambil membawa minuman.
"Ini," katanya sambil menyodorkan minuman yang dipegangnya.
"Oh, thanks," jawab Raka. "Lho, buat Nathan""
"Yah, aku lupa!" pekik Sarah. "Aku ambil lagi!" Lalu, dia bergegas pergi lagi.
"Bodoh..." desah Nathan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Oke, jujur! Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan," aku Raka menyerah. "Aku nggak mau jadi cowok berengsek yang nyakiti hati dia. Aku nggak tega nolak semua perlakuan baiknya, aku nggak sekejam itu. Aku nggak sesadis kamu!"
"Dan, Nadya"" tanya Nathan. "Apa kamu memikirkan perasaannya juga" Dan, bagaimana perasaanmu" Atau, perasaan Sarah saat akhirnya dia tahu siapa sebenarnya yang kamu sukai" Sikapmu yang nggak jelas ini justru menyakiti lebih banyak orang. Sekarang, mana sebenarnya yang lebih sadis""
Raka menelan ludah. Kata-kata Nathan menghujam tepat ke sasaran.
"Aku pernah bilang, kan, suatu saat, kamu akan melakukan sesuatu yang lebih sadis daripada yang kulakukan," tambahnya. "Lihat sekarang."
Raka langsung bangkit setelah mendengar kata-ka
ta Nathan. "Mau ke mana""
"Mencari Nadya," jawab Raka.
Nathan mengangkat bahu. "Oke."
"Than," kata Raka sebelum pergi. "Thanks, walaupun aku nggak tahu kenapa kamu melakukan ini semua."
"Anggap aja, persaingan sama lawan yang lemah nggak mengasyikkan buatku," jawabnya enteng.
Raka mendelik. "Jadi, kamu benar-benar..."
"Percayalah, kamu nggak bakal mau tahu," kata Nathan dengan pandangan misterius.
*** Raka tidak bertanya lebih lanjut, pikirannya sibuk mencari Nadya. Setelah mencari-cari dan bertanya sana-sini, akhirnya dia melihat cewek itu di gudang perlengkapan, sedang mengumpulkan peralatan pertukangan.
Nadya tampak terkejut melihat kedatangan Raka, tetapi kemudian bersikap tak peduli.
"Cari apa"" tanya Raka.
"Cari alat-alat buat teman-teman yang mau bikin dekor," jawab Nadya ketus.
"Aku bantu," kata Raka sambil ikut mencari-cari kira-kira alat apa saja yang diperlukan.
"Nggak usah," tolak Nadya. "Tenagamu lebih dibutuhkan di kelas daripada di sini."
"Jangan khawatir, di kelas, udah beres, kok."
"Nggak usah," tolak Nadya lagi ketika Raka menawarkan diri membantu membawa peralatan itu.
"Tapi, ini berat, Nad."
"KUBILANG NGGAK USAH!" bentak Nadya. Napasnya naik-turun dan dia memandang Raka dengan marah. Raka terpaku.
"Maaf," katanya setelah berhasil mengendalikan diri.
"Aku cuma nggak mau ada yang salah paham. Aku nggak enak sama Sarah."
"Tapi, aku-" "Tolong!" potongnya. "Berhentilah bersikap baik sama semua orang. Beberapa orang bisa salah arti sama kebaikanmu itu," lanjutnya. "Dan..." dia berhenti sejenak, "berhenti, deh, mengumbar kata 'suka' ke sembarang orang. Kamu bisa nyakiti hati seseorang tanpa kamu sadari." Lalu, dia berjalan meninggalkan Raka dengan membawa perangkat alat-alat itu.
Tepat saat dia sudah sampai di pintu, Raka menarik tangan Nadya, mencegahnya pergi.
"Yang aku suka bukan dia!"
"Siapa yang kamu sukai," kata Nadya dingin, "bukan urusanku." Dia menepis tangan Raka, lalu pergi.
Raka menghela napas dan jatuh terduduk. Semuanya hancur berantakan, Nadya membencinya.
Apa yang harus kulakukan" batinnya.
"Lho, Ka!" Raka mendongak dan melihat Dhihan dan Alfi menatapnya dengan heran.
"Lagi ngapain"" tanya Alfi. "Aku dan Dhihan cari ke mana-mana, ternyata kabur ke sini."
Raka terdiam sejenak. "Kamu mabuk, ya, Ka"" tanya Dhihan yang kemudian berjongkok dan menepuk-nepuk bahu temannya itu.
"Guys," kata Raka kemudian, "aku mau minta tolong..."
Dhihan dan Alfi langsung berpandangan tak mengerti.
*** "Sarah menunggumu di ruang Veritas," kata Nathan begitu jam sekolah usai. "Ada yang mau dia bicarakan."
"Hah"" Raka bengong menatapnya.
"Terima kasih kembali," jawab Nathan sambil berlalu meninggalkan Raka yang masih tak mengerti apa yang sedang terjadi. Raka bergegas pergi ke ruang Veritas.
"Kata Nathan, ada yang mau kamu bicarakan sama aku." Raka membuka percakapan.
Sarah mengangguk ragu-ragu. "I-iya."
"Sebenarnya, dia yang nyuruh." Sarah berjalan menghampiri Raka. "Bukan, lebih tepatnya mendorongku. Dia bilang, 'Raka itu otaknya bebal, jadi kamu harus bilang supaya dia tahu'."
"Apa maksudnya dia bilang begitu!" dengus Raka tersinggung.
"Ada beberapa hal yang harus dikatakan baru bisa dimengerti." Sarah menatap kedua mata Raka. "Dia juga bilang begitu."
"Hah"" "Kamu bisa balik badan"" pinta Sarah yang tambah membuat Raka bingung. "Aku agak kesulitan ngomonginnya kalau kamu menatapku kayak gitu."
Raka mengangkat bahu, lalu menuruti permintaan cewek itu walau masih tak mengerti maksudnya.
"Kamu menyukaiku"" tanya Sarah kemudian tanpa basa-basi hingga membuat Raka gelagapan.
"Ak-aku..." "Aku sebenarnya sudah tahu jawabannya," kata Sarah lirih. "Itulah sebabnya aku nggak pernah nanya langsung sama kamu. Aku suka kamu, kamu tahu""
Raka tidak menjawab. "Selama ini, aku nggak pernah bilang secara langsung karena aku takut ditolak," aku Sarah. "Karena itu, aku berusaha menunjukkannya. Tapi, ternyata, sikapku malah membuatmu susah. Kamu emang terlalu baik, kamu pasti nggak t
ega menyakiti hatiku. Maaf..."
"Aku yang seharusnya minta maaf, Sar," kata Raka. "Seharusnya, aku yang lebih tegas tentang perasaanku sendiri, seharusnya kamu nggak usah sampai ngomong kayak gini. Sori..."
Setelah itu, kedua orang itu terdiam. Raka tidak tahu bagaimana reaksinya saat ini, tetapi kemudian tiba-tiba dia merasakan kepala Sarah disandarkan ke punggungnya.
"Aku suka kamu," katanya dengan suara tergetar sambil menarik kemeja Raka.
Raka menelan ludah. "Suka..." ulang Sarah. Kali ini, diikuti oleh isakan. "Benar-benar suka."
Raka menghela napas. "Terima kasih."
"Suka..." "Iya..." Sarah mulai menangis. "Ini kali pertama, aku suka sama seseorang."
"Ini juga kali pertama ada yang bilang suka sama aku."
"Suka..." isak Sarah.
"Terima kasih..."
Dia tetap menangis di punggung Raka hingga setengah jam kemudian. Sekolah sudah agak sepi ketika akhirnya "pembicaraan" mereka selesai. Sarah pun sudah bisa tersenyum walaupun sedikit.
Ketika Raka menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, Sarah menolak dan berkata bahwa dia butuh waktu untuk sendiri.
Begitu Raka keluar dari ruang Veritas, Nathan sudah berdiri di sana. "Thanks," kata Raka sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Jawabannya sudah kuberikan sebelumnya," kata Nathan.
"Jujur aja, aku masih nggak ngerti kenapa kamu melakukan semua ini buatku." Raka menatapnya.
"Satu lagi perbuatan baik sebelum aku mati." Nathan menjawab dengan tenang. Mendengar jawaban seperti itu, entah kenapa, tiba-tiba Raka merasa kemarahan menyelimuti dirinya hingga dia memukul tembok.
"Aku udah bilang, kan, jangan bilang hal yang kayak gitu lagi!" geramnya.
"Melihatmu semarah ini," Nathan menatap kedua mata Raka, "artinya, aku udah terlalu jauh."
"Apa maksudmu""
Nathan hanya tersenyum sinis.
* * * Hari Rabu tepat sehari sebelum perayaan ulang tahun sekolah, Raka mampir ke toko musik tempat Nadya biasanya minum kopi sambil mendengarkan musik klasik yang biasanya dilantunkan di toko itu.
Dia sengaja datang karena kesulitan berbicara dengan cewek itu di sekolah. Nadya terkesan selalu menghindarinya. Namun, ternyata, hari ini pun, dia tidak datang ke toko itu.
*** "Dua jam lagi kita manggung!" Alfi memperingatkan.
Semua anak terlihat panik dan demam panggung yang sama. Ini kali pertama mereka unjuk gigi di depan sekian banyak orang. Kalau bisa, Raka ingin ditelan black hole sekarang juga daripada menyanyi di atas panggung dengan risiko dilempari telur dan tomat busuk-mengingat suaranya yang pas-pasan
"Kamu lihat Nadya"" tanya Raka pada Nathan yang saat itu sedang sibuk menyiapkan peralatan.
"Lagi dipanggil Bu Ratna," jawabnya.
Raka manggut-manggut gelisah. Dia sudah tidak sabar menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka.
"Jangan khawatir," kata Nathan seakan-akan bisa merasakan kegusarannya. "Aku akan bantu kamu menemukan dia saat kamu di panggung nanti."
Raka tampak tak percaya, bercampur senang.
"Yang perlu kamu lakukan cuma mengikuti ke mana aku pergi," lanjut Nathan. "Karena..." dia menyeringai lalu pergi sambil tertawa, "Nadya akan selalu ada di dekatku."
Raka hanya bisa melotot. Ketika akhirnya tiba waktunya tampil, Raka melihat Nathan benar-benar melakukan ucapannya. Dia berdiri di pojok yang agak jauh dari kerumunan bersama Nadya dan sesekali tersenyum penuh kemenangan. Bahkan, kedua orang itu terlihat tertawa-tawa, seakan-akan sengaja ingin membuat Raka marah.
Raka sudah nggak tahan hingga, pada saat menyanyikan refrain "Mr. Brightside"-nya The Killers, dia lepas kontrol dan berteriak-teriak sekuat tenaga.


Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"JEALOUSYYYY... turning saint into the sea! Swimming through sick lullaby...!"
Herannya, penonton malah memberikan tepuk tangan yang lebih meriah saat dia berteriak-teriak nggak keruan seperti itu. Sepertinya, mereka mengira itu bagian dari pertunjukan. Sebelum satu lagu terakhir, Raka meminta break sepuluh menit, kemudian memberi tanda pada Dhihan dan yang lain.
"Please Guys." Dia menatap mereka penuh harap.
Dhihan mengangkat bahu. "Mau gimana lagi" Go
od luck!" Dia mengacungkan ibu jarinya diikuti teman-temannya yang lain.
"Thanks," kata Raka lalu bergegas turun dari panggung. Dia tak peduli dengan pandangan heran orang-orang yang menonton dan langsung berlari ke tempat Nadya dan Nathan berada.
"Di mana Nathan"" tanya Raka dengan napas terengah-engah begitu sampai di depan Nadya.
"Beli minuman," jawab Nadya dingin seperti saat kali pertama mereka berbicara.
Apa Nathan sengaja membiarkan kami berdua" Raka bertanya-tanya dalam hati.
"Emangnya, boleh kamu lari dari panggung kayak gitu"" tanya Nadya.
"Mereka bisa lanjut tanpa aku."
"Nad, aku..." Raka menatap kedua mata Nadya dalam-dalam, menunjukkan yang akan dikatakannya adalah sesuatu yang serius. "Kamu tahu sendiri aku nggak begitu pinter ngomong. Kamu tahu sendiri ototku bicara lebih banyak daripada otakku. Dan, kamu tadi dengar sendiri kalau suaraku jelek. Jadi, kemungkinan, aku nyanyi kayak Heath Legder dalam 10 Things I Hate About You atau Jerry O' Connel dalam Scream 2 adalah nol persen."
Nadya mengulum senyumnya, berusaha menahan tawa.
"Baiklah!" Tiba-tiba, dari panggung, terdengar suara Dhihan. "Lagu berikutnya yang merupakan lagu terakhir merupakan request pribadi dari vokalis kami yang melarikan diri entah ke mana," katanya. "Mungkin, dia malu dengan suaranya dan nggak tega bikin lagu keren berikut jadi trauma buat kalian."
Riuh tawa dari kerumunan langsung terdengar. Kalau saja Raka nggak sedang bicara serius dengan Nadya, dia pasti sudah melompat ke panggung dan memukuli Dhihan untuk membuatnya diam.
"Kamu sudah dengar sendiri, kan, tadi"" tanyanya pada Nadya. Intro lagu itu mulai terdengar. "Aku minta mereka menyanyikan lagu ini buatmu."
Nadya terdiam. Sesaat kemudian, dia terperangah ketika Dhihan mulai bernyanyi.
"Hello, good morning,
how you do" What makes your rising sun so new"
I could use a fresh beginning too
All of my regrets are nothing new
So this is the way that I say I need you
This is the way that I'm"
Raka menatap lurus ke mata Nadya. "Inilah perasaanku."
"Learning to breathe
I'm learning to crawl I'm finding that you and you alone can break my fall
I'm living again, awake and alive
I'm dying to breathe in these abundant skies"
"Aku suka sama kamu, Nad," kata Raka, akhirnya. "Aku akan mengulanginya lagi sampai kamu percaya karena aku sungguh-sungguh. Aku nggak tahu sejak kapan, dari mana, dan apa yang aku sukai darimu. Tapi, aku tahu, di dekatmu, aku jadi menyukai diriku apa adanya."
Wajah Nadya memerah dan matanya berkaca-kaca. Dia menutup mulutnya.
"Hello, good morning, how you been"
Yesterday left my head kicked in
I never, never thought that
I would fall like that Never knew that I could hurt this bad"
Raka menghela napas, lega karena akhirnya dia menegaskan lagi apa yang selama ini dirasakannya. Apa yang akan terjadi selanjutnya sudah tidak ia pedulikan.
"So this is the way I say I need you
This is the way that I say I love you
This is the way that I say I'm yours
This is the way, this is the way"
Lagu selesai dinyanyikan.
"Aku balik ke sana lagi, ya," kata Raka sambil mengangguk-angguk kikuk, lalu berbalik.
"Tunggu!" sergah Nadya.
Raka menoleh, menatap orang yang disukainya itu penuh tanda tanya.
"Kamu curang!" katanya dengan suara tercekat. "Kamu udah bilang tentang perasaanmu, tapi kamu nggak memberiku kesempatan buat melakukan hal yang sama."
Raka mengangkat bahu. "Oke, aku tunggu!"
"Kamu pernah merasakan patah hati"" tanya Nadya.
Raka menghela napas. Dia merasa Nadya pasti akan membuatnya merasakannya sebentar lagi.
"Rasanya sakit sekali," kata Nadya. "Perih dan bikin mual, marah, dan sedih dalam satu waktu."
Raka masih mendengarkannya.
"Aku mengalaminya belum lama ini," lanjutnya.
"Saat kamu dekat sama Sarah setelah kamu bilang suka sama aku, rasanya..." Nadya terdiam sejenak, "seperti patah hati."
"Hah"" Raka tidak yakin dengan apa yang baru saja dia dengar.
"Itu perasaanku," kata Nadya.
Raka masih menatap cewek itu dengan bingung. "Serius"" tanyanya tanpa suara
. Dengan wajah memerah, Nadya mengangguk dan tersenyum. "If you ever break my heart again, I'll break your neck."
Saat itu juga, Raka merasa semua beban di pundaknya terangkat. Dia sampai jatuh terduduk saking leganya.
"Kamu nggak apa-apa"" tanya Nadya sambil berjongkok di dekatnya.
"Ternyata, merasa senang dan lega dalam satu waktu cukup menguras energi," katanya.
"Aku nggak nyangka lagu itu yang kamu pilih," kata Nadya.
"Kamu kaget""
Nadya mengangkat bahu. "Nathan udah memperingatkan kalau kamu bakal melakukan sesuatu yang norak, tapi aku nggak nyangka bakal senorak itu."
Raka mengernyit. "Nathan""
"Ternyata, kalian emang saling mengerti tanpa kalian sadari," ujar Nadya.
Raka terdiam. "Nad! Ditunggu di ruang OSIS!" panggil seseorang dari kejauhan. Nadya bangkit, tetapi sebelum dia pergi, Raka menarik tangannya.
"Nanti pulang bareng""
"Ah! Nggak usah, aku bisa pulang sendiri, aku..." Nadya terpaku selama beberapa saat, lalu tertawa kikuk. "Ya, ampun, aku emang sama sekali nggak manis."
Raka masih menunggu jawabannya.
"Aku nggak bawa helm," kata Nadya kemudian.
"Aku bawa," kata Raka. "Aku selalu bawa karena aku selalu nunggu-nunggu kesempatan kayak gini."
Nadya tersenyum, lalu mengangguk pasti.
"Satu lagi," cegah Raka sebelum Nadya menepis genggamannya. "Emangnya, yang tadi itu norak, ya""
"Banget," jawab Nadya sambil meringis. "Tapi, kupikir, seberani apa kamu berbuat norak, sebesar itulah rasa sukamu pada seseorang."
Raka mengangkat alis. "Jadi""
Nadya menghela napas, kemudian mempererat genggaman tangannya pada cowok itu.
"Terima kasih, aku sangat tersanjung."
*** Malam semakin larut dan perayaan ulang tahun sekolah Raka sudah sampai di penghujung acara. Raka masih menunggu Nadya di tempat yang sama, memperhatikannya berlari ke sana kemari. Sesekali, Nadya berhenti dan menatap Raka sambil tersenyum. Dan, tak ada lagi yang membuat Raka lebih bahagia daripada itu. Namun, dalam hati, dia masih takut tidak bisa menjadi seperti yang diharapkan Nadya.
"Ka." "Uhm"" "Lagi mikirin apa"" tanya Nadya. "Serius banget."
Raka menggeleng. "Sesuatu yang nggak penting."
"Kayak biasanya, kan"" Nadya meringis. "Aku udah selesai."
"Pulang sekarang"" Raka berdiri dan mengambil tas. "Kamu udah ngambil barangmu""
Nadya mengangguk. Mereka berjalan menuju tempat parkir dalam diam. Pikiran Raka masih berkecamuk dengan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan setelah ini.
"Nad..." Raka akhirnya memutuskan untuk mengatakan isi benaknya. "Aku bukan orang yang romantis. Sebelumnya, aku belum pernah suka sama cewek dan aku emang belum pernah punya pacar. Aku nggak tahu apa yang orang pacaran biasa lakukan. Bahkan, aku nggak tahu gimana cara menunjukkan perasaanku. Jangan berharap terlalu banyak meski aku sungguh-sungguh ingin kamu bisa merasakannya."
Nadya tidak mengatakan apa-apa. Lapangan parkir masih kurang beberapa meter lagi, tetapi suasana sudah menjadi canggung. Raka menarik tangan Nadya dan menggenggamnya, mencoba mencairkan suasana.
"Ini sudah cukup," kata Nadya tiba-tiba.
Raka menghentikan langkahnya dan menoleh, wajah Nadya memerah.
"Ini saja sudah cukup," ulangnya. "Aku udah bisa merasakan perasaanmu."
Jantung Raka serasa berhenti selama beberapa saat.
Ternyata, emang hanya sesederhana ini, batinnya. Nggak perlu ciuman, pelukan, nyanyian, atau puisi. Kalau kamu menyukai seseorang dengan sangat, tindakan kecil seperti ini saja sudah cukup mewakilinya.
Raka tersenyum. Dia tidak perlu memikirkan pendapat orang karena apa yang dirasakannya adalah tentang dia dan Nadya, bukan tentang mereka. Memang hanya sesederhana ini.
*** Sebenarnya, Raka sempat mengkhawatirkan Sarah setelah kejadian itu, tetapi ternyata kekhawatirannya tak beralasan. Di edisi terbaru Veritas, Sarah menulis sesuatu yang menunjukkan bahwa dia lebih tegar daripada yang terlihat.
Saya baru sadar bahwa saya sangat beruntung
Saya beruntung masih bisa bernapas;
Saya beruntung dapat berlari, melihat, mendengar, berbicara, dan merasakan;
Saya beruntung bisa makan dan minum tanpa pernah kekurangan;
Saya beruntung memiliki keluarga yang mencintai saya;
Saya beruntung memiliki teman yang ada saat tawa dan tangis saya.
Saya sangat beruntung. Tetapi, kenapa baru sekarang saya sadar"
Mungkin, karena sebelumnya saya nggak pernah bersyukur.
Selesai membacanya, Raka tersenyum. Sarah akan baik-baik saja.
* * * "Kalau besok lusa aku nggak bisa, gimana kalau besok"" kata Nadya lewat telepon.
"Besok, aku ada belajar tambahan sama Nathan," keluh Raka.
"Kamu masih minta diajarin sama dia"" tanya Nadya. "Gimana kalau aku saja yang ngajarin kamu""
"Nggak!" tolak Raka tegas. "Aku nggak mau kamu bodoh-bodohin."
"Lha, kamu, kan, emang bodoh."
"Yang baru aja kamu katakan itu salah satu sebab aku nggak mau kamu ajarin," kata Raka.
Nadya tertawa. "Yah! Berusahalah," katanya kemudian. "Kalau kamu mau, kita lulus sama-sama."
"Aaargh... jangan bikin aku tambah depresi," desah Raka. Nadya tertawa lagi.
"Kalau gitu, kita nontonnya Jumat malam aja," usul Nadya.
"Boleh." "Oke." Lalu, mereka terdiam. Pembicaraan sudah berakhir dan seharusnya ini adalah saat ketika salah satu dari mereka mengatakan, "I love you" atau "Sweet dream" atau "Already miss you" atau "bla bla bla" yang lain. Namun, tak ada satu pun yang memulainya.
"Nad..." Akhirnya, Raka mencoba memulai.
"Uhm"" Raka berusaha sekuat tenaga, tetapi mulutnya berat.
"Bye." "Bye." KLIK! "ARRGGGHHHHH!!!" Raka menjerit kesal seraya membanting handphone-nya ke kasur.
Apa yang barusan kulakukan" Aku sama sekali nggak romantis.
Cowok itu menghela napas dalam-dalam, lalu menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur.
"Tapi, bukan begitu," gumam Raka. "Seharusnya, bukan begitu."
Pintu kamar tiba-tiba diketuk.
"Masuk, Ma," sahut Raka. "Ada apa, Ma"" tanyanya begitu mamanya membuka pintu dan berjalan ke arahnya.
"Seharusnya, Mama yang nanya kayak gitu," kata Mama yang kemudian duduk di kasur, di sampingnya. "Kenapa kamu teriak-teriak begitu""
"Bukan apa-apa," jawab Raka sambil menegakkan diri.
"Kenapa kamu nggak pernah cerita kalau kamu punya pacar"" tanya Mama.
Raka mengangkat alis. "Kok, Mama tahu""
"Mama ini emang nggak pintar, tapi juga nggak bodoh," jawab Mama sambil tersenyum sombong. "Mama lihat perubahan sikapmu belakangan ini dan gimana kamu jadi agak berbunga-bunga setiap nerima telepon dari yang bernama Nadya. Melihat itu, Mama nggak perlu nyewa Sherlock Holmes buat nyari tahu."
"Berubah" Aku"" tanya Raka tak percaya. "Masa, sih, Ma""
Mama mengangguk. "Sekarang, bilang kenapa kamu nggak pernah cerita tentang Nadya""
Raka mengangkat bahu. "Mama nggak pernah nanya dan emang nggak ada yang perlu diceritakan."
"Kamu salah," sahut Mama. "Tentang hidupmu, bagi Mama, selalu ada yang perlu diceritakan. Oke, kalau gitu, pertama-tama, kayak apa Nadya itu""
Raka bingung harus mulai dari mana menggambarkan pacarnya itu.
"Dia cantik," katanya kemudian. "Dia cewek paling cantik yang pernah kulihat. Dia juga pintar, dalam pelajaran olahraga maupun pelajaran yang lain. Aktif di hampir semua kegiatan sekolah, populer, tegas, mandiri."
Mama mengernyit. "Apa kedengarannya nggak terlalu sempurna""
"Dia emang sempurna," kata Raka sambil mengangguk-angguk.
"Dia benar-benar mau pacaran sama kamu"" tanya Mama tak percaya.
"Maksud Mama""
"Soalnya, kedengaran kayak Anastasia mau pacaran sama Rasputin atau Putri Salju pacaran sama salah satu kurcaci atau Timun Emas pacaran dengan Buta Ijo," ujar Mama jujur. "Beauty and the beast di dunia nyata."
"Sungguh! Kadang-kadang, dalam hati, aku juga nanya, apa benar aku anak kandung Mama," dengus Raka.
"Emangnya, kamu nggak merasa kayak gitu""
Raka mengangkat alis. "Bahwa aku bukan anak kandung Mama""
"Bukan!" Mama memutar bola matanya. "Bahwa dia terlalu sempurna buat kamu."
"Nggak sebelum Mama nanya tadi," jawab Raka agak kesal, lalu terdiam.
Benar juga, kenapa dia bisa suka sama aku, ya"
"Kamu maksa dia pacaran sama kamu"" tanya Mama.
"Nggaklah, Ma!"
"Sekarang, Mama mau tanya, apa yang membuatmu suka sama dia"" Mama bertanya lagi, kali ini dengan lembut. "Apa karena dia cantik, pintar, atau apa pun yang kamu sebutkan tadi itu""
Raka menggeleng tegas. "Itu jackpot," katanya. "Aku suka dia karena setiap kali bersama dia, aku jadi lebih suka diriku sendiri. Aku nyaman jadi aku apa adanya. Itu alasannya."
"Kalau begitu," Mama tersenyum, "mungkin, dia menyukaimu dengan alasan yang sama."
Raka menatap kedua mata Mama, mencoba mencari tahu apakah ibunya itu sedang bercanda. Setelah sadar mamanya serius, dia mengangguk.
"Mungkin juga."
"Oke, kalau begitu," Mama bangkit dari tempat tidur, "informasi tentang anak Mama, untuk sementara, sudah cukup."
"Mama benar-benar suka ikut campur," dengus Raka.
Mama menyeringai. "Emangnya, itu nggak menurun sama kamu""
Raka langsung membatu. Akhirnya, dia sadar dari mana dia mendapatkan sifat ikut campurnya.
"Oh, ya, Ka." Mama berbalik lagi begitu sampai di pintu. "Mama ada permintaan."
"Uhm"" "Tolonglah, kali ini, kamu mau mengunjungi papamu," pintanya sambil menatap Raka penuh harap. "Sudah dua tahun, Ka, papamu pasti sedih sekali."
"Kapan kamu bisa memaafkannya"" tanya Mama. "Bukan keinginan dia meninggalkan kita. Dia menyayangi kita, menyayangimu, kamu tahu itu, kan""
"Tetap aja dia meninggalkan kita," sahut Raka dingin, "meninggalkan Mama, padahal dia janji nggak akan meninggalkan kita secepat itu."
"Kamu tahu itu nggak mungkin!" jerit Mama setengah emosi. "Berhentilah bersikap kayak anak kecil."
"Aku bakal tetap bersikap kayak anak kecil," kata Raka. "Supaya Papa menyesal telah meninggalkanku tanpa sempat membimbingku. Tanpa sempat mengajariku bagaimana jadi dewasa. Tolong, Ma, aku sungguh belum siap. Aku belum siap pergi ke makam Papa."
Mama terdiam. Lalu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia keluar dan menutup pintu kamar pelan-pelan.
*** Dalam hati kecilnya, Raka tidak benar-benar membenci papanya. Sampai kapan pun, papanya adalah orang yang sempurna di matanya. Dia cerdas, ramah, baik, dan lucu. Di mana pun, dia selalu mampu mencairkan suasana dan menjadi magnet untuk menarik orang-orang berkumpul di dekatnya. Tidak ada yang jelek tentang papanya dan itu membuat Raka bangga sebagai anaknya. Namun, ternyata, justru itulah yang terburuk.
Suatu ketika, papa Raka itu jatuh sakit; batuk-batuk parah dan suhu badannya tinggi. Diagnosis awal menunjukkan gejala TBC, tetapi begitu foto rontgen paru-parunya keluar, semua dokter yang mereka temui sepakat papa Raka mengidap kanker paru-paru stadium akhir. Hati Raka hancur berkeping-keping mendengarnya dan diperparah oleh tangisan mamanya yang harus dia dengar setiap malam.
Berat badan papanya menyusut dalam sekejap. Matanya cekung, tulang pipinya menonjol, dan gairah hidupnya hilang. Sosok ceria yang selama ini mendampingi Raka hampir tak berbekas. Papa berjanji dia akan berjuang dan nggak akan meninggalkan mereka secepat itu.
Namun, nyatanya, dia tidak bisa memenuhi janji yang dibuatnya sendiri. Enam bulan kemudian, sejak vonis kanker itu diberikan, Papa pergi tanpa sepatah kata pun diucapkan. Tak ada kata maaf karena telah melanggar janji, tak ada kata maaf karena telah membuat Raka dan mamanya menderita, tak ada penyesalan karena telah meninggalkan mereka berdua seorang diri. Itulah yang membuat Raka sangat membencinya.
*** "Kamu ini benar-benar bebal," desah Nathan saat dia memberi Raka pelajaran tambahan. "Yang lainnya udah selesai dari tadi."
Kelas sudah sepi. Tadinya, ada delapan anak yang berkumpul, tetapi sekarang, tinggal Raka dan Nathan.
"Berisik!" dengus Raka. "Kalau kamu mau pulang, pulang aja!"
"Dan, bikin semua waktuku yang kubuang buatmu sia-sia"" tanya Nathan sinis. "Cepat selesaikan!"
"I'M DOING IT!!!" gerutu Raka. Soal termodinamika yang diberikan Nathan membuat perutnya mual. Hingga detik ini, Raka tak mengerti kenapa dia harus mempelajari hal yang tidak disukainya dan terlebih yang tidak ada hubungannya dengan jurusan yang dia tuju nanti.
"Waktu perayaan kemarin, kamu ke mana"" tanya Raka.
" Kalau kamu sempat nanya kayak gitu, seharusnya soal-soal yang kuberikan itu sudah selesai kamu kerjakan dari tadi," ujar Nathan.
"Intermezo!" sahut Raka jengkel. "Anggap itu intermezo! Otakku bisa meledak kalau difokuskan menyelesaikan soal-soal najis ini aja."
Nathan menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Aku menyingkir, mengalah buatmu."
"Nggak ada yang namanya mengalah," kata Raka sambil masih berusaha menyelesaikan soal biadab itu.
"Jadi, maksudmu, aku emang dikalahkan olehmu"" tanya Nathan.
"Bukan," Raka menggeleng, "kalau masalah perasaan, nggak ada yang namanya mengalah, juga nggak ada yang namanya kalah atau menang, termasuk siapa yang datang duluan atau menyatakan lebih dulu. Yang namanya perasaan nggak bisa diatur kayak gitu. Aku bisa jadian sama Nadya karena aku suka dia dan dia suka aku. Gitu, kan""
Nathan tidak mengatakan apa-apa, Raka sampai mendongak untuk melihat reaksi cowok itu.
"Kamu itu..." kata Nathan dengan wajah masih tertegun, "kadang-kadang, kata-kata yang kamu ucapkan emang nggak sesuai sama mukamu."
Raka menyipitkan mata. "Maksudmu""
"Kata-katamu itu terlalu dalam buat seseorang dengan muka bodoh kayak kamu."
"Kurang ajar!" gerutu Raka. "Bukannya kamu juga sama""
"Apanya"" "Tindakanmu sering beda sama ucapanmu."
"Buktikan!" tantang Nathan.
"Kamu selalu sok nggak peduli, tapi ternyata selama ini kamu memperhatikan aku, ya, kan""
"Jangan membuatku merinding," sahut Nathan dingin.
"Kamu membantuku menyelesaikan masalah Sarah," ujar Raka. "Terus... masalah Nadya juga. Nggak perlu mengelak, Nadya sendiri yang bilang ke aku."
Nathan terdiam. Seolah-olah, dia tidak bisa berkata apa-apa untuk menyangkalnya.
"Kamu sendiri juga begitu, kan"" tanya cowok itu kemudian sambil membetulkan kacamatanya.
"Hah"" "Kamu selalu bilang ke semua orang kalau kamu benci ayahmu, tapi kenyataannya bukan kayak gitu, kan"" lanjut Nathan.
Raka menghentikan kegiatannya. Membatu.
"Kamu cuma ngomong dan berbohong sama semua orang buat melindungi dirimu." Tatapan Nathan seakan-akan menembus ke dalam kepala Raka. "Kamu ini sebenarnya pengecut."
"Aku nggak mau dengar omong kosong ini," ujar Raka sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
"Kamu nggak mau dengar karena itu kebenarannya," kata Nathan tajam. "Pengecut."
"Berisik!" Raka bangkit. "Aku nggak mau dengar kata-katamu."
"Kapan kamu berhenti pura-pura" Dasar pengecut!"
"BERISIK!" Kesabaran Raka sudah sampai batasnya. Bahkan, dia lupa Nathan sedang mengidap penyakit dan tanpa sadar dia melayangkan tinju ke mukanya hingga cowok itu terjatuh dari kursi. Kacamatanya sampai terlepas dan ikut jatuh.
Nathan memegangi dagunya, lalu tersenyum sinis. "Kenapa" Kamu nggak berani mendengar kebenarannya, kan""
"Kamu nggak benci ayahmu," kata Nathan sambil berusaha berdiri. "Kamu pura-pura benci justru karena kamu sangat mencintainya. Kamu nggak sanggup menerima kenyataan kalau dia sudah meninggal. Begitu, kan""
"DIAAAAM!!!" Raka melayangkan tinju lagi hingga Nathan roboh sebelum sempat berdiri tegak. Nathan tidak membalas, tetapi hal itu justru membuat Raka kalap dan memukulnya bertubi-tubi.
"Tapi, waktu terus berjalan, Ka!" teriak Nathan sambil berusaha melindungi kepalanya dari pukulan-pukulan Raka. "Ayahmu udah mati, tapi kamu masih hidup! Sampai kapan kamu akan terikat dengan masa lalu""
Raka terus memukulnya, berharap agar cowok itu diam. Agar Nathan tidak mengatakan hal yang selama ini paling tidak ingin didengarnya: kebenaran. Akhirnya, Raka kehabisan tenaga dan jatuh terlentang dengan napas terengah-engah di sebelah Nathan.
Nathan berusaha untuk duduk, sudut bibrnya berdarah dan dia terbatuk-batuk. Kalau dia mau, sebetulnya, dia bisa saja membalas Raka, bahkan menjatuhkannya dengan sekali serangan.
"Kamu harus mencoba melepaskannya," kata Nathan sambil memasang kacamata. "Buat ayahmu, untuk ibumu dan-terutama-buat dirimu sendiri. Mencoba melindungi hatimu dengan cara membenci orang yang kamu cintai" Kamu menyiksa dirimu sendiri." Lalu, Nathan berdiri dan mengam
bil tasnya. "Besok hari kematian ayahmu, kan" Waktu yang tepat buat menuntaskan semuanya," kata Nathan sebelum pergi.
"Bagaimana kamu bisa tahu besok hari kematian papaku"" tanya Raka sambil menelungkupkan tangannya ke muka.
"Kamu ingat waktu aku pingsan dan kamu membawaku ke rumahmu"" tanya Nathan. "Saat kamu keluar membeli makan malam, ibumu cerita tentang semuanya padaku. Dia sangat mengkhawatirkanmu, kamu tahu""
Raka menelan ludah. Dia tahu. Sangat tahu. Selama ini, dia hanya berpura-pura tidak menyadarinya.
*** "And the hardest part
Was letting go, not taking part
Was the hardest part"
Raka termenung di kamar sambil memutar lagu Coldplay itu berulang-ulang, mencoba menenangkan diri.
"And the strangest thing
Was waiting for that bell to ring
It was the strangest start"
Apa yang diucapkan Nathan siang tadi terasa seperti sebuah hantaman bagi Raka. Nathan memperlihatkan kebenaran yang selama ini tidak ingin dia lihat. Dia memang tidak pernah membenci papanya. Tidak akan pernah bisa. Dia melakukan semua itu karena tidak ingin kehilangan sosok papanya itu di dalam benaknya.
"I could feel it go down
Bittersweet, I could taste in my mouth
Silver lining the cloud Oh and I I wish that I could work it out"
Setiap kali seseorang membicarakan papanya, Raka seperti selalu diingatkan akan kematiannya. Namun, Raka takut. Semakin dia sadar bahwa papanya sudah meninggal, sosok papanya akan semakin kabur dalam ingatan. Raka tidak mau hal itu terjadi. Dia tidak mau papanya hanya menjadi sebuah kenangan. Baginya, papanya masih hidup.
"And the hardest part
Was letting go, not taking part
You really broke my heart"
Namun, waktu terus berjalan. Mau tak mau, Raka memang harus menerima kenyataan bahwa papanya sudah meninggal. Waktu papanya sudah habis, sementara waktu dia masih panjang. Dia masih hidup, seperti kata Nathan. Akan datang saat-mungkin-dia tidak lagi bagaimana wajah papanya, suaranya, caranya tertawa, caranya berjalan, tetapi tentu saja dia harus menghadapinya. Sudah bukan saatnya melarikan diri lagi. Raka merasa sudah cukup terikat oleh kematian yang bukan miliknya.


Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Papa, maafkan aku," lirih Raka. Berpura-pura membenci seseorang yang sangat dicintai memang sangat menyakitkan. Papanya pun pasti merasakan sakit yang sama.
Aku sungguh-sungguh minta maaf, kata Raka dalam hati. Kurasa memang sudah saatnya aku melepasmu.
*** Mama Raka sedang menonton TV sendirian ketika Raka menuruni tangga.
"Ma." Mama menoleh. "Uhm""
"Besok..." Raka terdiam sejenak. "Besok, aku ikut Mama ke makam Papa."
Mama Raka langsung terpaku, sejurus kemudian, air matanya menetes. Tanpa mengatakan apa-apa, dia mengangguk. Sebuah senyum terukir di bibirnya.
Sudah tiga hari terhitung sejak Raka memukul Nathan, cowok itu tidak masuk sekolah. Nadya bilang dia sakit dan Raka langsung merasa bersalah. Dia takut pukulannya telah membuat penyakit Nathan tambah parah. Akhirnya, Raka, Nadya, Sarah, dan Dhihan berniat menjenguknya.
"Mau ke tempat Nathan"" tanya Nadya yang pagi itu langsung menghampiri meja Raka begitu melihatnya datang.
Raka mengangguk. "Ikut""
"Ya," jawab Nadya. "Hari ini, sepulang sekolah""
"Aku juga ikut!" Sarah yang hari itu duduk di depan meja Raka langsung berseru.
"Tapi, naik apa"" tanya Raka. "Masa mau naik motor bertiga" Selain sudah pasti akan ditangkap polisi, motorku nggak muat."
"Aku juga ikut," sahut Dhihan yang langsung membuat mereka bertiga menoleh ke arahnya karena tak ada satu pun yang sadar kapan dia datang.
"Dia, kan, sobat aku juga, guru aku, malah." Dhihan memberi alasan.
"Kalau begitu, masalah transportasi udah beres." Raka manggut-manggut. "Oh, ya! Kita lupa hal yang penting! Ada yang tahu alamat rumahnya""
"Ya, ampuuun," keluh Nadya. "Itu malah jadi hal terakhir yang kamu pikirkan"" dia menggeleng sambil menepuk-nepuk bahu Raka. "Tenang, aku udah punya!"
*** Rumah Nathan cukup membuat mereka semua ternganga. Gosip dia anak orang kaya, ternyata memang hanya gosip belaka. Kenyataannya, dia adalah anak orang yang SANGAT SANGAT K
AYA. Bahkan, ruang tamunya hampir sama luas dengan rumah Raka.
Seorang pria setengah baya dengan penampilan tenang, tetapi berwibawa masuk saat keempat orang itu sedang mengagumi benda-benda yang terpajang di ruangan itu.
"Saya ayahnya Nathan." Dia memperkenalkan diri sambil menyalami mereka satu per satu. Begitu sampai giliran Raka, pria itu langsung memotong.
"Caraka," katanya sambil tersenyum. "Saya sudah tau."
Raka melongo, tetapi tidak berniat bertanya lebih lanjut tentang hal itu.
"Bagaimana keadaan Nathan, Om"" Raka buka suara.
Air muka ayah Nathan langsung berubah. Senyumnya menghilang, dia tampak sedih.
"Memburuk," jawab pria itu. "Kesehatannya turun drastis tiga hari terakhir."
"Apa itu gara-gara..." Raka menelan ludah, "pukulan saya" Om tahu, kan, kalau saya yang mukul dia" Apa karena itu dia..."
"Oh, bukan! Bukan!" sergah ayah Nathan buru-buru. "Saya tahu tentang pemukulan itu, tetapi bukan itu penyebab kesehatannya menurun. Nathan jago bela diri, jadi dia pasti bisa melindungi bagian-bagian yang vital dari pukulanmu."
Raka langsung menyandarkan diri ke kursi, merasa sangat lega.
"Kalian pasti sudah tahu kalau Nathan sakit," kata ayah Nathan.
Raka mengangguk. "Kanker otak," ujarnya pelan.
Ayah Nathan terdiam sesaat. "Lebih tepatnya, ada tumor di otaknya."
Hening seketika. "HAAAAAAAAAAAAAAHH"" teriak Dhihan tak percaya.
"Tumor"" ulang Sarah. Matanya mulai berkaca-kaca.
Ayah Nathan mengangguk. "Sejak kapan di-dia... Pe-penyakitnya..." Nadya tergagap, lalu menoleh ke arah Raka. "Kamu udah tahu tentang ini, Ka""
Raka memegang tangan Nadya, mencoba menenangkannya. "Ya."
"Sejak kapan dia tahu tentang penyakitnya"" tanya Nadya kemudian, kepada ayah Nathan.
"Sejak kelas tiga SMP," jawab ayah Nathan dengan pandangan mata menerawang-ia tampak sedang mengingat-ingat suatu kisah sedih. "Tepat setahun sejak ibunya meninggal."
"Ibunya meninggal"" ulang Dhihan.
"Orang yang sangat dekat sama Nathan." Ayah Nathan menghela napas. "Waktu itu, saya sungguh merasa Tuhan tidak adil kepadanya."
Mereka semua terdiam. "Saya bukan ayah yang baik," lanjutnya. "Saya terlalu sibuk mengurusi bisnis saya hingga hampir tidak pernah ada untuknya. Itulah sebabnya Nathan sangat dekat dengan ibunya. Dari ibunya, dia mendapatkan cinta dari yang seharusnya juga saya berikan. Kematian ibunya betul-betul memukulnya." Tiba-tiba saja, ayah Nathan mulai bercerita, tampak ingin berbagi.
"Dia yang semula sangat ceria, humoris, cerdas, jago olahraga, dan pandai bergaul langsung berubah jadi anak yang pemurung dan mudah marah. Nilai-nilainya pun turun drastis dan dia jadi anak yang nakal." Ayah Nathan bercerita panjang-lebar.
"Tapi, akhirnya, dia sembuh"" tanya Raka.
"Ya," ayah Nathan mencoba tersenyum. "Dia lebih tegar daripada yang semula saya kira. Dia justru lebih cepat belajar 'melepaskan' daripada saya. Sekarang saja, saya masih belum bisa merelakan kematian istri saya."
Raka sekarang mengerti kenapa Nathan memintanya untuk merelakan kematian papanya. Si jago segala bidang itu sudah pernah mengalaminya.
"Butuh satu tahun hingga dia akhirnya bisa bangkit lagi," kata ayah Nathan. "Tapi, teman-temannya sudah telanjur menjauhinya. Nilai-nilainya pun hampir tak tertolong lagi. Seakan-akan semua itu belum cukup, penyakit itu pun datang. Karena penyakit itu, dia tidak diperbolehkan lagi melakukan olahraga yang menguras tenaga seperti basket dan sepak bola. Padahal, olahraga adalah satu-satunya yang tersisa yang dia miliki." Ayah Nathan tampak menerawang, seperti menyesali sesuatu.
"Apa memang sudah tak bisa ditolong lagi, Om"" tanya Nadya.
"Kata dokter, tumornya bisa diangkat dengan operasi," jawab ayah Nathan. "Tapi, dalam operasi, selain ada kemungkinan gagal, masih ada lagi kemungkinan meninggal di meja operasi."
"Kalau begitu, kenapa Nathan nggak dioperasi"" tanya Raka heran.
Ayah Nathan menatapnya cukup lama sebelum menjawab. "Dia nggak mau."
"Hah"" "Selama ini, pengobatannya hanya lewat obat-obatan yang diminum," jelasnya. "Bahkan, dia menolak
melakukan kemoterapi."
"Kenapa" Kenapa dia nggak mau dioperasi"" tanya Nadya tak habis pikir. "Dia nggak mau sembuh""
"Mungkin," ayah Nathan tersenyum getir. "Ibu yang sangat dia sayangi sudah meninggalkannya. Semua miliknya sudah tidak ada lagi. Mungkin sudah tidak ada lagi alasan untuk tetap hidup."
"Bagaimana dengan Om"" tanya Raka. "Memangnya, Om nggak bisa jadi alasan yang cukup buat Nathan tetap hidup" Kenapa Om nggak maksa Nathan" Di-dia, kan, anak Om satu-satunya..." Raka tidak habis pikir dan mulai emosi.
"Kamu tahu saya tidak mungkin memaksa dia," kata ayah Nathan kalem walaupun dari nada suaranya tampak sedang sekuat tenaga menahan perasaan. "Saya telah terlalu lama tidak memedulikannya. Saat saya sadari betapa pentingnya Nathan bagi saya, semuanya sudah terlambat. Saya tidak mungkin menjadi alasannya untuk hidup. Saya juga tidak mungkin memaksanya untuk operasi kalau dia sendiri tidak menginginkannya."
"Apa Om nggak mau dia sembuh" Apa Om nggak cinta sama anak Om sendiri"" Raka semakin emosi. "Maaf, tapi saya nggak ngerti dengan cinta yang kayak gitu. Cinta yang justru membiarkan orang yang mereka cintai mati. Memangnya, ada cinta yang kayak gitu""
Nadya mempererat genggamannya pada Raka sambil tersenyum, menenangkannya.
"Kamu bilang saya tidak mencintainya"" tanya ayah Nathan, kali ini nadanya mulai meninggi. "Kamu pikir saya tidak ingin dia sembuh" Saya ayahnya. Demi Tuhan! Tentu saja saya ingin dia sembuh! Tapi, memaksanya berjuang untuk hidup, padahal sebenarnya dia tidak menginginkannya, itu sama saja membunuhnya. Ini hidupnya, saya tidak mungkin ikut campur. Dia yang harus menjalaninya, bukan saya atau siapa pun. Dia sudah cukup dewasa untuk membuat keputusannya sendiri. Apa saya masih berhak memaksanya""
Napas Raka naik turun. Ayah Nathan mulai kehilangan kontrol akan emosinya. Tak ada satu pun dari mereka yang mengeluarkan kata-kata setelah itu.
"Saya mau ketemu Nathan, Om," kata Raka kemudian.
Ayah Nathan yang telah berhasil menenangkan diri mengangguk, lalu mengantar Raka dan teman-temannya ke depan kamar Nathan. Sebelum mengetuk pintu, Raka meminta kepada yang lain agar membiarkan dirinya sendiri saja.
*** Nathan sedang membaca di tempat tidurnya. Dia tampak lebih kurus daripada kali terakhir Raka melihatnya. Matanya agak cekung dan tampak lelah, yang tak berubah hanya sorot matanya yang tetap dingin dan tajam.
"Hai," sapa Raka. "Kamu nggak kaget melihatku""
"Apa kamu sadar kalau suaramu itu keras banget"" tanya Nathan sinis. Dia menutup bukunya dan melepas kacamatanya, lalu menaruhnya di meja samping tempat tidur.
Raka duduk di satu-satunya kursi yang ada di situ. "Bagaimana kabarmu"" tanyanya.
"Kayak yang kamu lihat sendiri," jawab Nathan singkat. "Buat apa kamu ke sini""
"Jenguk." Raka menaruh tasnya di lantai. "Nggak cuma aku, ada Nadya, Sarah, dan Dhihan juga. Mereka lagi di bawah sekarang. Kami semua khawatir sama kamu."
"Khawatir" Kenapa"" tanya Nathan, tidak antusias.
"Karena kamu sahabat kami!" jawab Raka dengan nada tinggi.
"Sahabat"" Nathan tersenyum sinis.
"Kamu nggak nganggap kami sahabatmu""
"Itu terdengar lebih baik," jawabnya "Mulai sekarang, tolong jangan menemuiku lagi. Persahabatan kita berakhir sampai di sini saja."
"Kenap-" "Kita berdua," potong Nathan, "tahu bagaimana sulitnya melepaskan orang yang dekat dengan kita. Kamu sudah tahu tentang penyakitku ini, jadi tolong jangan membuatnya sulit untuk kita berdua."
"Aku benci cara bicaramu yang seakan-akan udah nggak ada harapan lagi," kata Raka kesal. "Masih ada operasi, kamu masih ada kemungkinan sembuh."
"Lalu, kalau aku sembuh, terus apa"" tanya Nathan tajam. "Aku sudah kehilangan semuanya, aku tak tahu lagi apa hidupku ini layak diperjuangkan."
Raka tak bisa berkata apa-apa.
"Aku sudah merencanakannya sejak semula," lanjutnya. "Aku mau mati perlahan-lahan, tanpa penyesalan, tanpa terikat oleh siapa pun, atau apa pun yang akan membuatku tak rela meninggalkan dunia ini."
"Jadi, ini sebabnya kamu jaga jarak sama orang-orang yang mau dekat sama
kamu"" tanya Raka.
"Ya, dan itu cukup berhasil." Nathan menatap kedua mata Raka dalam-dalam. "Sampai kamu datang."
Raka menelan ludah. "Kamu merusak semuanya," katanya dengan suara serak, berusaha menahan emosi. "Kamu datang dengan segala mimpimu, kehidupanmu, dan teman-temanmu, lalu menyeretku ke dalamnya. Kamu seakan mengejekku dengan memperlihatkan semua hal yang udah nggak mungkin bisa kumiliki. Kamu membuatku merasa tak rela harus meninggalkan dunia ini. Kamu telah menggagalkan rencanaku."
"Kamu masih bisa!" teriak Raka. "Kamu masih bisa memiliki dan merasakannya!"
"Berhentilah menyeretku ke kehidupanmu," kata Nathan dingin. "Ini bukan hidupmu yang sedang kita bicarakan. Ini hidupku dan biarkan aku membuat keputusan sendiri. Kali ini, kamu salah memilih orang buat melampiaskan hobi ikut campurmu."
Raka tertegun. Nathan merebahkan dirinya. "Aku capek, aku mau tidur."
Dia memalingkan wajahnya.
"Kalau saja saat itu kamu menuruti kata-kataku," katanya lagi. "Buat tetap cuma jadi teman sekelas, nggak kurang dan nggak lebih. Pasti nggak akan sesakit ini. Kamu merasakan sakitnya juga, kan" Tapi, semuanya belum terlambat, Ka. Mulai sekarang, aku bukan sahabatmu lagi dan jangan datang menemuiku lagi. Ini yang terbaik untukmu. Pulanglah."
Namun, Raka tidak ke mana-mana. Dia terpaku di tempat itu cukup lama hingga Nathan benar-benar tertidur. Pikirannya kacau dan dadanya sesak. Dia tidak tahu sejak kapan dia mulai peduli pada Nathan. Yang dia tahu, dia nggak ingin Nathan pergi. Rasanya sangat menyakitkan. Lebih menyakitkan lagi karena cowok itu meminta dirinya menjauh di saat-saat terakhirnya.
*** "Ibu sudah tahu tentang hal ini"" tanya Raka pada Bu Ratna keesokan harinya.
Bu Ratna mengangguk. "Tentu saja, ibu kan wali kelasnya. Ibulah yang meminta dispensasi untuknya saat pelajaran olahraga dan upacara."
"Kenapa Ibu tidak pernah cerita pada siapa pun""
"Karena bukan Ibu yang berhak memberi tahu tentang hal itu," jawab Bu Ratna tegas. "Nathan lah yang punya hak untuk menceritakannya. Lagi pula, bukankah kamu juga sudah tahu dari dia""
Raka terdiam. "Kamu menyesal sudah terlalu dekat dengan dia"" tanya Bu Ratna seakan bisa membaca pikiran muridnya itu. "Kalau tidak, saat tiba waktunya Nathan pergi, kamu tidak akan merasa sangat kehilangan seperti sekarang""
"Sebenarnya..." Raka tertunduk. "Dia sudah memperingatkan saya."
Bu Ratna menghela napas. "Ayahnya menemui Ibu waktu dia kali pertama masuk ke sekolah ini. Dia minta Ibu membujuk Nathan supaya mau dioperasi. Ayahnya benar-benar putus asa."
"Ibu membujuknya"" tanya Raka.
"Ya." Bu Ratna mengangguk. "Tapi, tidak berhasil. Dia bilang, 'hanya keajaiban yang bisa membuat saya mau dioperasi'. Nathan sangat tegas dengan keputusannya itu hingga Ibu tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ibu pun jadi berpikir mungkin dia memang ingin mati." Bu Ratna terdiam. "Tapi, kemudian Ibu sadar Ibu salah," lanjutnya. "Dia bukannya ingin mati, dia hanya tidak tahu lagi untuk apa dia hidup."
Raka mengernyit. "Memangnya itu beda""
"Tentu saja beda," Bu Ratna tersenyum. "Mamamu pasti tahu jawabannya."
Raka mengangguk-angguk. "Sekarang, apa hubungannya semua ini sama saya" Apa ini juga ada kaitannya dengan alasan Ibu memasukkan saya ke Veritas" Waktu itu, Ibu bilang, karena saya bisa membuat keajaiban."
Bu Ratna mengangguk, lalu tersenyum. "Benar, masuknya kamu ke Veritas memang ada hubungannya dengan ini."
Raka masih menunggu kelanjutan kalimatnya.
"Ibu yakin, hanya kamu yang bisa menyadarkan Nathan tentang apa yang layak diperjuangkan dalam hidup."
"Hah"" Raka melongo. "Saya" Memangnya, sejak kapan, saya punya kemampuan seperti itu""
"Raka..." kata Bu Ratna lembut. "Bahkan, setelah apa yang kamu lakukan pada Sarah dan Nadya, kamu masih tidak tahu kelebihanmu""
Raka menggeleng keras. "Kamu punya kemampuan untuk masuk ke kehidupan orang lain," jelas Bu Ratna.
"Suka ikut campur, maksud Ibu"" tanya Raka sambil memicingkan mata.
Bu Ratna tersenyum. "Yah... itu istilah lainnya. Tapi ikut campurmu ini justru meno
long orang yang kamu masuki hidupnya. Kamu menyadarkan mereka akan sesuatu yang selama ini mereka lupa atau pura-pura tak mereka sadari." Guru ini menatap Raka. "Ditambah dengan sifatmu yang bertindak sebelum berpikir itu, orang akan bisa langsung melihat ketulusanmu dalam melakukannya," tambahnya. "Itulah kelebihanmu. Tanpa kamu sadari, kamu sudah banyak membantu orang dengan sifat ikut campurmu itu."
Kedua orang itu terdiam selama beberapa saat. Raka tertunduk, lalu menghela napas.
"Jadi, Ibu berharap, saya bisa memengaruhi Nathan dengan apa yang Ibu sebut kelebihan saya itu"" desah Raka. Dia menutup mukanya dengan kedua belah tangannya.
"Ya," jawab Bu Ratna tegas.
Diam, lagi-lagi. "Maaf," lirih Raka. "Saya gagal. Saya nggak berhasil menyadarkan dia. Saya emang nggak bisa membuat keajaiban."
"Belum," kata Bu Ratna lembut. "Kamu belum gagal. Tapi, semua tetap bergantung padamu. Tergantung sekeras apa usahamu untuk menyadarkan dia. Kalau kamu memang menganggap Nathan penting, kamu pasti tahu caranya."
Raka mendongak dan melihat Bu Ratna memandangnya dengan keyakinan penuh.
"Manusia itu lebih berani menghadapi apa pun kalau melakukannya demi orang yang dia sayangi," tambah Bu Ratna. "Mamamu adalah salah satu contohnya."
Raka tercenung. Bu Ratna hanya mengangguk tanpa mengatakan apa-apa.
*** "Ada apa, Raka"" tanya mamanya khawatir sambil menyalakan lampu kamar. "Kayak nggak ada orang rumah waktu Mama pulang. Kenapa lampu kamarmu nggak kamu nyalakan" Ada apa" Kamu sakit""
Mama bergegas menaruh telapak tangannya ke dahi anaknya itu.
"Nggak apa-apa, Ma," kata Raka sambil menegakkan badan untuk duduk. "Aku cuma pengin tidur cepat."
"Kamu ini nggak pintar berbohong," desah Mama. "Mama sudah hafal tabiatmu. Kamu cuma tidur cepat kalau ada masalah. Coba ceritakan pada Mama ada apa."
Raka tetap diam. "Raka," kata sang Mama lembut, "mana tahu Mama bisa bantu. Lagi pula, Mama merasa Mama berhak untuk tahu tentang kehidupanmu. Kehidupan seseorang yang selama tujuh belas tahun ini selalu berada di samping Mama."
Raka menghela napas, menyerah. Bagaimanapun, dia sedang berhadapan dengan orang yang mengandung dan membesarkannya. Mama memang berhak untuk tahu setiap detik kehidupannya.
Raka mulai menceritakan tentang apa yang terjadi. Tentang penyakit Nathan, tentang bagaimana dia menolak dioperasi, tentang persahabatan mereka. Tentang kenyataan bahwa dia baru sadar kalau dia sangat menyayangi Nathan. Juga tentang apa yang dikatakan Bu Ratna serta bagaimana guru itu masih percaya dia bisa meyakinkan Nathan.
"Ingin mati dan nggak tahu hidup untuk apa, apa bedanya"" tanya Raka mengulang pertanyaan Bu Ratna. "Terus, kenapa Bu Ratna juga bilang kalau Mama adalah contoh manusia yang lebih berani menghadapi apa pun demi orang yang dia sayangi""
Mama terdiam sejenak, lalu tersenyum.
"Saat papamu meninggal," mama Raka mulai menjelaskan, "Mama sebenarnya ingin ikut mati bersamanya. Kepergian papamu seakan-akan membawa separuh jiwa Mama. Mama nggak sanggup hidup sendirian, bahkan ide ikut mati itu pun benar-benar hampir pasti dijalankan."
Raka menelan ludah. "Tapi, kenyataannya, Mama nggak melakukannya..." lanjut Mama, "karena ada kamu. Kamulah alasan Mama tetap berjuang untuk hidup. Saat itu, Mama ingin mati, sungguh. Tapi, kamu membuat hidup layak diperjuangkan. Walau Mama harus bekerja lagi, membanting tulang demi membiayaimu, membesarkanmu seorang diri, Mama rela melakukannya demi kamu. Mungkin, itulah bedanya antara ingin mati dan tak tahu hidup untuk apa."
"Kalau aku nggak ada, mungkin Mama memilih ikut mati bersama Papa"" tanya Raka.
"Mungkin," jawab Mama sambil tersenyum, "hidup terlalu keras untuk dilalui seorang diri."
"Walaupun hidup sangat keras, Mama tetap berjuang demi aku," Raka bergumam. "Manusia memang lebih berani menghadapi apa pun demi orang yang disayanginya."
Raka menggenggam tangan mamanya, menunjukkan bagaimana dia sangat berterima kasih atas semua yang perempuan itu lakukan untuknya.
"Nathan juga manusia," kata mama lembut. "Kalau dia berhas
il menemukan apa yang patut diperjuangkan dalam hidup, Mama yakin dia akan mau menjalani operasi itu."
"Tapi, apa"" tanya Raka putus asa.
"Bukan 'apa', tapi 'siapa'," ralat sang Mama.
Raka mengangkat alis, tak mengerti maksudnya.
"Kamu, Caraka," jelas sang Mama. "Kamu yang harus jadi alasan Nathan untuk hidup."
"Sejak kali pertama Mama melihat Nathan," lanjut Mama. "Sorot matanya, bukan sorot mata orang yang ingin mati. Sorot matanya adalah sorot pejuang, dia hanya belum menemukan alasan perjuangannya. Tugasmu adalah menyadarkannya. Bu Ratna pasti juga berpikir seperti itu."
"Tapi, bagaimana"" tanya Raka. "Dia itu keras kepala!"
"Bukannya itu seperti melihat dirimu sendiri"" tanya mamanya sambil tersenyum. "Kamu pasti tahu apa yang bisa melunakkannya."
Raka menggaruk-garuk kepalanya.
"Kamu menyayanginya, kan"" tanya sang Mama.
"Aku cuma tahu dia udah jadi sahabat yang sangat penting bagiku," jawab Raka. "Sejak kenal dia, aku merasa sudah jauh berubah jadi seseorang yang lebih baik. Dia banyak membantuku dan menyadarkan sesuatu yang sangat penting."
"Kalau begitu, sekarang giliranmu," kata Mama. "Dia membantumu jadi kamu yang seperti sekarang, maka kamu juga harus membantu dia."
"Percayalah, Ma," kata Raka. "Itu adalah hal yang paling ingin kulakukan."
*** "Kamu bakal coba meyakinkan dia lagi"" tanya Nadya ketika Raka meneleponnya.
"Ya, walaupun aku nggak yakin sama hasilnya."
"Kok nggak yakin""
"Dia, bahkan, nggak mau hidup demi ayahnya," jelas Raka. "Kenapa dia harus mendengarkan aku" Mungkin, bagi dia, emang udah nggak ada siapa-siapa lagi."
Tak ada suara dari Nadya selama beberapa saat.
"Dia punya kamu," katanya kemudian.
"Aku"" tanya Raka tak mengerti.
"Seperti halnya Brahms punya Joseph, Mozart punya Leopold, dan Edmund Hillary punya Tenzing Norgay," jelas Nadya. "Nathan punya Caraka. Kamu yang akan membantunya menjalani hidup yang dia perjuangkan."
"Menurutmu, aku bisa""
"Aku yakin," jawab Nadya. "Dalam hal ini, cuma kamu yang bisa."
Raka menghela napas. "Kenapa kamu memercayaiku sampai sebesar itu""
"Karena aku tahu, kamu nggak akan mengecewakan aku," jawab Nadya dengan nada tegas. Tanpa sadar, Raka tersenyum.
Nathan sedang tidur ketika Raka datang ke rumahnya lagi. Ayah Nathan mempersilakan Raka menunggu di kamar anaknya itu, menunggu sampai akhirnya Nathan terbangun.
"Kamu..." ujar Nathan dengan suara serak sambil berusaha untuk duduk, kaget mendapati Raka duduk di kursi dekat tempat tidur. "Mau apa ke sini""
"Menemuimu," jawab Raka.
Nathan terdiam sejenak, lalu memandang "sahabatnya" itu tajam.
"Bukannya udah kubilang supaya berhenti menemuiku""
Raka hanya diam. "Setelah ini, jangan datang lagi!" kata Nathan dengan nada tinggi. "Persahabatan kita sudah berakhir. Jangan pernah menemuiku lagi!"
"Berisik!" bentak Raka. "Kalau kamu nggak mau ketemu aku lagi, itu terserah kamu! Kalau bagimu persahabatan kita udah berakhir, itu juga terserah kamu! Tapi, bagiku nggak!" lanjut Raka, berusaha merendahkan nada suaranya. "Berhenti bikin keputusan buat orang lain. Aku menemuimu atau nggak, aku yang memutuskan sendiri."
"Kamu ini benar-benar keras kepala!" teriak Nathan emosi.
"Emang, tapi aku nggak kepala batu kayak kamu!" balas Raka. "Kalau emang kamu merasa seberat itu buat pisah sama teman-teman, kenapa nggak berusaha mempertahankan hidupmu sekarang""
"Gampang kalau ngomong!" Mata Nathan memerah dan dadanya naik-turun. "Bukan kamu yang dihadapkan pada kematian. Emangnya, kalau kamu di posisiku, kamu mau dioperasi dengan risiko mati di meja operasi" Hah""
Raka menatap kedua mata Nathan dalam-dalam.
"Aku mau," jawabnya serius. "Aku mau melakukannya. Kesempatan sekecil apa pun yang memungkinkan aku bisa berkumpul lagi sama orang-orang yang aku cintai akan aku ambil, bahkan walaupun risikonya mati di meja operasi. Harapan sekecil apa pun akan kuperjuangkan demi orang-orang yang aku cintai dan mencintaiku."
Nathan tertegun mendengar jawaban Raka, tak menyangka. Emosinya menurun.
"Tapi, itu kamu," katanya, m
ulai melunak. "Jumlah orang-orang yang kamu cintai dan mencintaimu emang membuat hidupmu patut diperjuangkan. Beda denganku. Sejak semula, saat ibuku meninggalkan aku, aku emang pengin mati. Orang yang kucintai dan mencintaiku sudah nggak ada lagi."
"Pembohong!" sembur Raka. "Kalau emang kamu pengin mati, kenapa kamu masuk sekolah" Bukannya lebih baik diam di kamar dan nunggu sampai waktumu datang" Dengan begitu, kan, kamu nggak bakal terikat sama kehidupan siapa pun yang bikin kamu kayak sekarang, berat melepaskannya. Jangan bilang kamu melakukannya gara-gara kamu nggak mau dikasihani. Aku tahu bukan itu alasanmu."
Raka menatap Nathan yang tidak berkomentar apa-apa.
"Kamu masuk sekolah justru karena kamu masih pengin hidup," lanjutnya. "Kamu pengin ada sesuatu atau seseorang mengingatkanmu tentang hidup yang layak diperjuangkan. Jadi, sebenarnya, bukan aku yang menyeretmu ke kehidupanku, kamu sendiri yang membiarkan dirimu terseret."
Nathan masih terdiam. "Dan, kamu bilang, setelah kematian ibumu, nggak ada lagi yang kamu cintai dan mencintaimu." Raka menatapnya. "Lalu, kamu pikir kami itu apa""
"Ayahmu, aku, Nadya, Sarah, Dhihan, Alfi," jelas Raka. "Kamu mau aku menyebutkan nama anak-anak satu kelas""
Nathan masih tidak mengatakan apa-apa.
"Kamu udah jadi bagian dari kami," kata Raka mencoba meyakinkan. "Dan, aku tahu, walaupun selama ini kamu selalu kelihatan nggak peduli, sebenarnya nggak ada yang lebih peduli pada kami daripada kamu. Apa yang udah kamu lakukan padaku, Sarah, Nadya, Dhihan, dan yang lainnya jadi bukti semua itu. Sikap dinginmu pun, aku tahu, sebenarnya buat melindungi kami. Jadi, apa kami nggak cukup layak diperjuangkan""
Mereka terdiam selama beberapa saat.
Raka mendesah. "Kamu bilang persahabatan kita ini bakal menyakitkan buat kita berdua kalau diteruskan. Kamu benar, ini emang menyakitkan. Sangat, malah. Kenyataan bahwa aku bakal kehilangan kamu adalah hal paling menyakitkan setelah kematian papaku. Tapi, karena menyakitkan, aku jadi sadar kalau kamu udah jadi bagian terpenting dalam hidupku. Kamu jadi sesuatu yang layak diperjuangkan bagiku." Raka bicara panjang-lebar, dari lubuk hatinya.
"Sungguh, Than," dia menunduk, menopang kepalanya dengan kedua tangan, "kalau emang menyakitkan, kalau emang berat buat pergi dan melepaskan persahabatan kita, jangan lakukan. Ambil kesempatan sekecil apa pun itu demi dirimu sendiri dan..." Dia menelan ludah. "Demi aku."
Nathan tak bersuara dalam waktu yang cukup lama.
"Kamu ini banyak omong," katanya kemudian.
Gantian Raka yang terdiam.
"Kalau aku mati di meja operasi," lanjutnya, "aku akan menghantuimu."
Raka mendongak dan melihat cowok itu tersenyum.
"Beneran"" tanya Raka tak percaya.
"Aku udah nggak sanggup melawan kepalamu yang keras itu," desahnya. "Mungkin, kalau aku menuruti omonganmu, kamu bakal berhenti menggangguku."
Raka meringis. "Kenapa kamu melakukan ini semua"" tanya Nathan.
"Hah"" "Berusaha keras supaya aku mau dioperasi." Nathan menatap Raka. "Kenapa kamu melakukannya" Apa karena kamu menganggapku sahabatmu""
Raka mengangkat bahu. "Aku cuma nggak bisa membiarkanmu begitu aja."
Nathan tersenyum sinis seperti yang biasa dia lakukan.
"Plagiat!" ujarnya.
Raka tertawa. *** Operasi Nathan sudah dijadwalkan, tiga bulan lagi. Selama tiga bulan itu, dia tidak pernah dibiarkan sendirian meskipun sehari. Raka, Nadya, dan Sarah bergantian menjaganya. Cuma, karena setiap kali melihat Nathan, Sarah pasti menangis, akhirnya setiap giliran Sarah, Raka atau Nadya ikut menemaninya. Sementara itu, Dhihan dan yang lain datang setiap akhir minggu. Nathan benar-benar telah menjadi bagian dari mereka.
Nathan mengalami banyak sekali perubahan tiga bulan terakhir itu-selain kepalanya yang jadi gundul dan berat badannya yang menyusut tajam. Dia tampak lebih ceria dan sering melontarkan lelucon-lelucon yang selalu bisa membuat teman-temannya tertawa. Dia jauh lebih menyenangkan daripada yang mereka kenal selama ini. Mungkin sebenarnya, itulah sifat aslinya sebelum maut merenggut ibuny
a dan penyakit itu datang.
Teman-temannya pun jadi semakin menyayanginya dan sangat berharap operasinya berjalan lancar. Mereka, terutama Raka, tidak rela melepas Nathan pergi.
*** "Tiba-tiba aku merasa bego banget," keluh Raka ketika hanya dia dan Nathan di kamar menunggu operasi. Nathan sudah di bawah pengaruh obat bius, tetapi kesadarannya belum hilang.
"Ngapain juga aku susah-susah membujukmu ikut operasi ini," kata Raka dengan nada menyesal. "Padahal, kalau orang yang punya segala hal yang diinginkan cewek sepertimu nggak ada di dunia ini, persaingan nggak akan terlalu ketat lagi."
Nathan hanya tersenyum lemah. Tidak lama kemudian, beberapa suster datang untuk membawanya ke ruang operasi.
"Jangan pergi," kata Raka sambil menggenggam erat tangan Nathan sebelum dia dibawa pergi. "Kalau kamu pergi, aku akan membencimu seumur hidupku. Berjanjilah kamu akan berjuang dalam operasi ini!"
Nathan tidak menjawab. Kesadarannya sudah berangsur-angsur menghilang, tetapi dari sorot mata cowok itu, Raka tahu sahabatnya itu tidak akan mengecewakannya.
- Epilog - The flowers cut and brought inside
Black cars in a single line
Your family in suits and ties
And you're free Nathan meninggal satu tahun kemudian. Operasi yang dijalani berhasil mengangkat tumornya. Namun, karena sudah telanjur menyebar ke daerah-daerah vital, nyawanya tidak terselamatkan lagi. Hari ini adalah hari pemakamannya.
The ache I feel inside Is where the life has left your eyes
I'm alone for our last goodbye
But you're free Raka berdiri jauh dari tempat pemakaman. Dia tidak sanggup melihat jasad Nathan dikebumikan. Saat sedang memperhatikan prosesi pemakaman dari tempatnya berdiri, tiba-tiba seseorang menyentuh pundak cowok itu. Raka menoleh dan melihat Bu Ratna sudah berdiri di belakangnya.
"Ada apa, Bu"" tanyanya sambil melepas earphone setelah memencet tombol pause di iPod-nya.
"Sedang apa kamu di sini"" tanya Bu Ratna heran. "Kenapa kamu tidak mendekat ke sana""
Raka membalikkan badannya lagi, menatap lurus ke depan.
"Nggak apa-apa," katanya. "Dari sini sudah cukup. Nathan pasti tahu saya datang ke pemakamannya."
Bu Ratna tidak mengatakan apa-apa. Dia sudah menduga alasan sebenarnya.
"Ini ada titipan dari ayah Nathan untukmu," kata Bu Ratna sambil menyodorkan selembar amplop.
"Apa ini"" Raka mengambil amplop itu.
"Sesuatu yang Nathan tulis untukmu di hari-hari terakhir hidupnya," jawab Bu Ratna. "Ibu pergi dulu."
Sebelum pergi, Bu Ratna menepuk-nepuk pundak Raka dengan lembut. Raka memasang earphone dan memutar lagu lagi. Kemudian, dia mulai membaca kata-kata yang tertulis di sampul depan: "To Caraka".
I remember you like yesterday


Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yesterday I still can't believe you're gone
Oh I remember you like yesterday
Yesterday And until I'm with you, I carry on
Ketika kamu membaca surat ini, bisa dipastikan saat itu aku sudah nggak ada lagi di dunia ini. Kamu pasti heran kenapa aku menulis surat untukmu-kenyataannya, aku sendiri juga nggak tahu. Mengingat betapa bodohnya dirimu, kayaknya sejelas apa pun aku memberi tahu, kamu pasti nggak akan mengerti.
Raka tersenyum. Dasar. Adrift on your ocean floor
I feel weightless numb and sore
A part of you and me is torn
You're free Aku ingin memberi tahu betapa aku sangat berterima kasih. Selama ini, aku selalu mencari-cari keajaiban yang bisa memberiku alasan buat hidup. Ketika bertemu denganmu, Nadya, Sarah, dan yang lain, aku disadarkan kalau sebenarnya aku nggak perlu mencarinya. Ternyata, keajaiban itu justru sedang kualami, kurasakan, dan kujalani. Ternyata, hidup adalah keajaiban itu sendiri.
I woke from a dream last night
I dreamt that you were by my side
Reminding me I still had life
In me Aku sangat berterima kasih karena itu.
Raka menelan ludah. Melihat tinta yang memudar dari bekas bulatan titik air, dia bisa menduga Nathan menangis ketika menulis surat itu.
I remember you like yesterday
Yesterday I still can't believe you're gone
Oh I remember you like yesterday
Yesterday And until I'm with you, I carry on
p.s. Jangan membenciku. Waktu terus berjalan, aku sudah mati, tapi kamu masih hidup. Tak perlu terikat masa lalu. Sungguh, nggak apa-apa bagiku kalau kelak kamu melupakanku. Biar aku saja yang mengingatmu, itu sudah lebih dari cukup bagiku.
"Sial!" geram Raka sambil meremas kertas di tangannya itu. Dia jatuh terduduk di tanah, lalu menutupi wajahnya, mencoba menahan air mata yang sudah hampir tak terbendung. "Aku akan membencimu! Aku akan membencimu seumur hidupku!"
Air mata Raka mulai menetes. Akhirnya, untuk kali pertama setelah sekian lama, dia menangis.
Raka bersumpah, dia tidak akan pernah membiarkan kenangan tentang Nathan hilang. Dia tidak akan pernah melupakannya.
Dalam edisi Veritas yang ditujukan untuk Nathan, Sarah mengutip kata-kata George Bernard Shaw: "Aku bisa kehilangan seorang teman seperti itu dengan kematianku, tetapi tidak dengan kematiannya."
"...And In the End, the Love We Take Is Equal To the Love We Make." (The Beatles)
* * * Pendekar Patung Emas 8 Dewa Arak 96 Malaikat Tanpa Wajah Darah Dan Cinta Di Kota Medang 16
^