Sang Pengintai 2
Kelompok 2 Dan 1 Sang Pengintai Karya Dwianto Setyawan Bagian 2
Sementara itu di luar-anggota Kelompok 2 & 1 tengah berunding.
Dede mengajak segera menyusul Pak Gumarang. Katanya, ia tahu letak tanah makam Pungkasan. Namun Yan - yang biasa berpikir panjang - tidak segera menanggapi usul itu. Anak berambut lebat itu tampak mempertimbangkan usul Dede dengan serius.
"Ayo, nanti kita terlambat!" ajak Dede sekali lagi.
Tiba-tiba Yan menggeleng.
Bola mata Dede seketika melebar. "Tidak"" gumamnya heran. "Kenapa, Yan" Ini kesempatan yang baik bagi kita untuk bertindak."
"Bertindak apa" Apa yang akan kaulakukan di sana - setelah urusan menjadi begini"" tukas Yan.
Dede yang tidak siap menghadapi pertanyaan itu, tidak bisa menjawab, ia memandang Yan sekilas, lalu memandang Ira.
"Urusan ini sudah berkembang menjadi sedemikian rupa sehingga kita tidak kebagian peranan lagi. Kau tahu sendiri. Pak Gumarang sudah ke sana. Polisi juga akan datang. Lalu apa yang bisa kita lakukan" Paling-paling cuma melihat."
"Ya, melihat!" Dede menggerakkan telunjuk. "Kita akan bisa menyaksikan sebuah keramaian yang jarang terjadi."
"Tapi itu sangat berbahaya, De," Yan mengingatkan. "Sebab tidak mustahil di tempat itu akan terjadi tembak-menembak."
"Itulah yang kutunggu!" seru Dede keras kepala.
Yan menggeleng tegas. "Tidak, kita tidak akan ke sana!"
"Yan!" teriak Dede, kesal. "Aku sependapat dengan Kak Yan. Kita tidak perlu ke sana. Kita tunggu saja hasilnya," kata Ira.
"Apa" Menunggu" Cuma menunggu" Bah!" Dede menepiskan tangan dengan gaya menghina. Matanya menatap Ira. "Susah-susah kita menyelidiki perkara ini. Setelah penyelesaiannya di depan mata, kalian justru mau mundur. Kalau begitu - apa gunanya kita bersusah payah melibatkan diri" Dasar penakut semuanya!"
"Aku bukannya takut!" tukas Ira keras. "Tapi sebagai anak-anak mestinya kita cukup tahu diri. Perkara ini - seperti kata Kak Yan - sudah berkembang menjadi bukan urusan kita lagi. Lalu mengapa kita memaksakan diri untuk ikut menyelesaikannya"" Ira diam sebentar. "Lagi pula aku tidak ingin melanggar janji pada Ibu. Ibu sudah berpesan, kami boleh melibatkan diri dalam perkara ini, dalam batas-batas tertentu. Apabila keadaan terasa mulai berbahaya, kita harus cepat-cepat menarik diri!"
Dede mendengus. Kelakuannya itu memanaskan hati Ira. Sebaliknya Yan tetap bersikap tenang. Yan sudah sangat mengenal perangai Dede. Biarkan saja, pikirnya.
"Baiklah. Kalau kalian tetap tidak mau, aku akan ke sana sendiri," Dede menggertak sambil berpura-pura mau melangkah.
"Silakan," jawab Yan ringan. Matanya melirik arloji di pergelangan Dede.
Dede ikut melirik. Pukul 12.25. Terlambat! Untuk mencapai pekuburan itu tak cukup waktu 35 menit, kalau naik kendaraan umum. Sebab letaknya cukup jauh. Dede menggeram marah. Matanya bagai ingin menelan Yan dan Ira bulat-bulat. Namun sesaat kemudian ketegangan berangsur-angsur lenyap dari mukanya.
"Ya sudahlah, kalian yang men
ang," ujarnya kemudian.
Ira dan kakaknya tertawa.
"Tapi - salanjutnya bagaimana"" tanya anak berkaca meta yang gampang naik darah itu. "Masa kita akan diam melulu""
Yan menjawab sambil tersenyum, "Ira kan sudah ngomong. Kita tunggu dulu."
"Maksudnya""
"Kalau urusan ini selesai, Huri sudah kembali, ya sudah! Berarti kita memang tidak jodoh dengan perkara ini. Tetapi seandainya tidak" Dan itu mungkin lho!" Yan menyambung, "Barangkali kita masih punya kesempatan untuk melakukan sesuatu lagi. Siapa tahu!"
Dede menghela napas dalam-dalam.
"Kak, sudah siang. Kita mau menunggu di sini terus, atau pulang"" tanya Ira.
"Sebaiknya kalian pulang dulu," kata Yaya yang muncul tiba-tiba.
Anak-anak memandang Yaya.
"Nenek mulai mempersoalkan kehadiran kalian. Aku jadi tidak enak." Febriya menjelaskan.
Yan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah. Tapi aku punya satu permintaan. Ya. Aku sangat ingin tahu akhir peristiwa ini. Maukah kamu segera memberi tahu kami setelah urusannya beres"" Yan membuka tangan. "Termasuk kalau terjadi perkembangan lain."
Febriya mengangguk. "Akan kuusahakan. Asa! aku punya kesempatan. Sekarang cepatlah pulang! Tuh, lihat, Nenek sedang memperhatikan kita," Yaya mendesak dengan gugup.
"Baik, baik! Ayo, sampai ketemu!"
Ketiga anak itu segera mengayunkan langkah, meninggalkan rumah keluarga Gumarang. Mereka terus pulang.
VIII. INFORMASI KEDUA DARI YAYA
19 Sepanjang siang sampai sore itu Yan dan kawan-kawan merasa gelisah. Kelakuan mereka tidak bisa tenang. Mereka serasa tak sabar, ingin mengetahui akhir drama penculikan Huri Gumarang, tetapi tidak tahu caranya.
Pada suatu saat mereka memutuskan untuk mendatangi lagi rumah keluarga Gumarang. Bertanya pada Yaya, bagaimana hasilnya" Namun kemudian niat itu batal dengan sendirinya. Sesudah mereka mempertimbangkan bahwa tindakan semacam itu bisa merugikan Yaya. Sebab, mungkin saja Yaya dimarahi gara-gara mereka bolak-balik datang.
Pada saat yang lain mereka mengatakan lebih baik kita menjumpai Letnan Dipa, dan mencari keterangan. Akan tetapi niat ini pun akhirnya mengendur. Gara-gara perasaan sungkan. Letnan Dipa sedang sibuk. Masa mereka mau mengganggunya dengan pertanyaan yang sebenarnya masih bisa ditunda" Tidak enak, ah!
Akhirnya mereka tidak melakukan apa-apa. Dede lalu pulang, ia mau tidur sebentar, katanya.
Yan juga masuk ke kamar, mencoba memicingkan mata. Sementara Ira membantu Ibu mendandani gorden jendela. Ibu mencoba mempraktekkan cara mendandani gorden menurut petunjuk buklet dari sebuah majalah.
Sekitar pukul lima sore, Dede kembali ke rumah Yan. Anak itu datang dengan sepeda, ia memakai jaket dan rambutnya tersisir rapi. Sesampainya di rumah Yan, Dede langsung menuju kamar temannya itu.
"Yan, bangun!" serunya.
Yan - yang baru bangun - menggeliat. Tubuhnya dimiringkannya menghadap pintu.
"Yan, antarkan aku ke rumah Danu." Dede berdiri di pinggir dipan.
"Ogah, ah!" Yan merentangkan lengannya. "Pergilah sendiri!"
"Ayo!" sentak Dede. "Kamu toh tidak punya acara."
"Mau apa ke sana""
"Mengambil buku Pahlawan Lingkungan Hidup. Danu sudah berjanji mau meminjamkan padaku. Katanya, bagus!" Dede memiringkan mukanya. "Ayolah!"
Akhirnya Yan mau. ia berdiri. Dilemaskannya otot-ototnya dengan cara memutar punggung ke kiri dan ke kanan. Lalu sambil berjalan ke kamar mandi, ia berkata, "Tunggu sebentar."
Sementara menunggu, Dede Sofyan menggabungkan diri dengan Ira dan ibunya. Dede memperhatikan gorden yang baru diatur, lalu memuji. Selanjutnya bahan percakapan tertuju lagi pada peristiwa penculikan Huri.
Ira mengatakan bahwa ia tadi mendengarkan Warta Berita Daerah dari radio, ia berharap akan mendengar berita yang melegakan tentang Huri. Namun lagi-lagi radio tidak menyiarkan berita tentang penculikan itu.
Dede heran melihat Ira berbangkis bangkis "Kenapa, Ir""
"Rupanya mau pilek," sahut Ira. Lubang hibungnya, sebelah, ditutupnya dengan ibu jari, lalu menyedot-nyedot. "Hidungku buntu."
"Itu namanya mau flu. Keluyuran terus sih!" celetuk Bu Minta.
"Keluyur an ke mana" Ira kan tidak ke mana-mana. Cuma tadi siang...." Ira memandang Ibu, kemudian tertawa.
"Cuma tadi siang! Seharian tidak berada di rumah!" Ibu bersungut-sungut. "Sesudah ini kamu harus istirahat!"
"Tapi - aku mau ikut Kak Yan dan Dede," bantah anak perempuan itu.
"Ala, cuma ke rumah Danu kok mau ikut. Tidak, tidak usah!" tolak Bu Mintaraga, tegas.
Ira cemberut, tapi tidak mendebat lagi.
Tak lama kemudian Yan ke luar. Yan memakai kaus tebal berlengan panjang dan berleher tinggi. "Ayo," katanya pada Dede. Lalu kepada Ibu, "Yan pergi sebentar. Bu."
"Jangan malam-malam."
"Nggak, cuma sebentar kok," Yan memandang adiknya. "Pileknya pakai pusing-pusing, tidak""
"Sedikit," kata Ira.
Yan memperhatikan wajah adiknya sebentar lagi, kemudian berpamitan, "Aku pergi dulu, ya." Kedua anak laki-laki itu pun keluar.
20 Kedua sahabat itu tidak terlalu lama di rumah Danu. Mengambil buku, mengobrol sebentar, lalu kembali.
Petang itu angin terasa kencang. Langit tidak jernih. Hanya beberapa gelintir bintang yang kelihatan. Kedua anak itu menjalankan sepedanya dengan santai. Kadang-kadang beriring-iringan, kadang-kadang berdampingan - kalau lalu lintas kebetulan agak sepi.
Mereka melewati Apotek Margi Rahayu.
Dede yang asyik mengayuh sepeda, tiba-tiba mengerem. Kepalanya menoleh ke belakang, mengawasi sebuah mobil yang diparkir di muka sebuah pohon, di sebelah kiri pintu pagar apotek. Kening anak itu berkerut. Sesaat kemudian ia memandang ke depan lagi dan berteriak memanggil Hardian.
Yan yang sedang meluncur beberapa meter di depan, menoleh.
"Yan!" teriak Dede lagi.
"Apa"" Sambil bertanya, Yan memutar arah sepeda, mendekati Dede.
Dede menunjuk mobil itu dengan tolehan. "Itu kan mobil Yaya," katanya.
Yan memperhatikan lebih cermat. "Oh ya!" katanya.
"Yaya, atau bukan, yang di apotek"" kata Dede.
"Mungkin Yaya. Ayo, kita lihat!" Yan mendahului menyeberang. Dikayuhnya sepeda memasuki halaman apotek. "Mudah-mudahan Yaya. Kalau dia ada di sini, aku bisa mencari keterangan," pikir Yan.
Yan masuk ke dalam apotek itu. Dede menyusul di belakangnya.
Dan benar. Ternyata Yaya! Anak perempuan itu duduk sendirian di bangku yang merapat ke dinding sebelah timur.
Kedua anak laki-laki itu bergegas-gegas menghampiri Febriya.
"Ahh, kalian! Kebetulan!" seru Yaya melihat kemunculan kedua temannya.
Yan celingukan memperhatikan keadaan dalam apotek, serta beberapa orang yang sedang menunggu obat. Kemudian sambil menatap Yaya, ia bertanya, "Kamu sendirian""
"Dengan Pak Asum."
Yan mengangguk. Berarti aman. ia bisa mengorek keterangan dari Yaya
"Mengambil obatnya siapa"" tanya Dede sambil duduk dekat anak perempuan yang mukanya bulat telur itu.
"Nenek. Penyakitnya kumat gara-gara terlalu khawatir."
"Maksudmu..." Yan sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya. Pantatnya diletakkannya pelan-pelan ke bangku.
Yaya menghela napas panjang, lalu menggeleng-geleng dengan muka suram. "Usaha Paman gagal. Gara-gara polisi ikut campur," katanya kemudian.
Dede dan Yan berpandangan.
"Apa yang terjadi" Ceritakan, Ya," pinta Dede.
Febriya pun bercerita: Seperti telah diketahui. Pak Gumarang berangkat ke pekuburan Pungkasan. ia berhasil tiba di sana tepat pada waktunya, ia juga berhasil menemukan pusara yang ditentukan oleh komplotan penculik. Tanpa berlama-lama. Pak Gumarang menaruh tas berisi uang di atas makam. Kemudian dengan tidak menoleh-noleh lagi, paman Febriya itu meninggalkan tempat itu. Pak Gumarang berjalan dengan langkah lebar kembali ke mobil.
Pada saat mengendarai mobil, pulang, kepala laki-laki itu dipenuhi pelbagai pikiran. Apakah si penculik sungguh-sungguh akan mengambil uang itu" Apakah sesudahnya Huri benar-benar akan dibebaskan" Bagaimana kalau tidak" Bagaimana kalau penculik itu hanya mau menipu saja" Mau uangnya, tapi tidak mau membebaskan Huri" Atau, bagaimana jika si penelepon yang menyuruhnya ke makam - bukan si penculik, tapi orang lain yang sengaja memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan"
Macam-macamlah pikirannya. Sampai-sampai ia
mengemudikan mobil seperti orang melamun.
Di samping itu Pak Bob Gumarang juga cemas. Mencemaskan tindakan Koptu Sahron. Tadi ia memang tidak melihat polisi di makam. Seorang pun - bahkan orang yang mencari rumput pun tidak tampak. Tapi siapa tahu Koptu Sahron dan rekan-rekannya bersembunyi, mengepung tempat itu. Kalau demikian... kalau penculik itu sampai tahu, apa yang akan terjadi" Terasa pening kepalanya memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi!
Pak Bob tiba kembali di rumah, ia langsung duduk termangu-mangu seperti orang kehilangan kesadaran.
Sementara itu waktu terus merambat. Kira-kira satu jam kemudian, tiba-tiba telepon berdering nyaring. Pak Bob Gumarang langsung meloncat dari kursi, dan menyambar gagang telepon.
Telepon itu datangnya dari penculik. Dan si penelepon berbicara dengan Pak Bob dengan suara berang. Katanya, ia telah melihat kehadiran polisi di sekitar makam Pungkasan. ia benar-benar marah, ia menuduh Pak Bob melanggar janji, mau menjebak, dan oleh karena itu Pak Bob harus merasakan akibatnya!
Pak Bob panik mendengar ancaman penculik itu. ia menjelaskan bahwa kehadiran polisi sungguh-sungguh di luar kehendaknya. Dengan setengah meratap ia mohon agar penculik jangan menyakiti Huri. ia minta diberi kesempatan sekali lagi, di luar pengetahuan polisi. Untuk itu Pak Bob minta agar penculik tidak memberikan instruksinya melalui telepon yang telah dipasangi alat perekam. Hendaknya penculik mencari cara lain. Untungnya, komplotan penculik itu mau mengerti. Mereka bilang, kali ini mereka masih mau memaafkan Pak Bob. Tapi hanya untuk sekali ini! Mereka berjanji akan memberi instruksi penyerahan uang tebusan melalui surat.
Febriya diam setelah bercerita panjang lebar Pandangannya menerawang ke langit melalui sudut pintu apotek.
"Lalu... apa yang terjadi"" tanya Dede Sofyan, setelah membiarkan Yaya diam cukup lama.
"Kemudian, sorenya Letnan Dipa datang. Dia membawa tas kopor berisi uang yang tidak jadi diambil oleh penculik. Rupanya komplotan itu sungguh-sungguh mengawasi makam. Setelah tahu ada polisi, mereka pun pergi dengan diam-diam, lalu menelepon pamanku." Febriya memandang kaca mata Dede. "Lalu""
"Begitulah," Yaya menggerakkan tangannya, "Paman Gumarang langsung menyambut kedatangan Letnan Dipa dengan penuh kemarahan, ia menuduh polisi tidak mementingkan keselamatan Huri. Entah apa saja yang disemburkan Paman. Aku tidak ingat seluruhnya."
"Bagaimana sikap Letnan Dipa"" tanya Yan ingin tahu.
"Letnan Dipa menanggapi kemarahan Paman dengan kepala dingin. Dia minta maaf atas kecerobohan Koptu Sahron. Rupanya Koptu Sahron telah melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan Letnan Dipa." Febriya melanjutkan, "Letnan Dipa berusaha menenangkan Paman. Katanya, pasti ada cara yang tepat untuk membebaskan Huri, sambil sekaligus menggulung komplotan itu."
"Ya, pasti ada," gumam Yan.
"Paman menyambut omongan Letnan Dipa dengan sikap dingin dan acuh tak acuh. Sebab, diam-diam dia sudah punya rencana sendiri." Febriya mengakhiri ceritanya dengan menegakkan punggung, ia melihat pegawai apotek mengangguk ke arahnya. "Itulah yang terjadi," katanya. Lalu ia berjalan untuk mengambil obat.
Dede dan Hardian termenung.
Setelah menerima obat, Yaya berjalan menuju pintu. Tetapi baru beberapa langkah, ia berhenti. Agaknya ia sedang mempertimbangkan sesuatu. Kemudian satelah memperoleh keputusan, ia berbelok kembali ke bangku tempat Yan dan Dede tetap duduk. Yaya memperhatikan kedua anak laki-laki itu. Yang diperhatikan balas memandang.
"Aku tidak tahu... sebaiknya kuceritakan atau tidak," gumam Yaya, lebih tertuju pada diri sendiri.
Kedua anak laki-laki itu menegakkan leher.
"Apa lagi. Ya" Ayo, ceritakan!" desak Yan. Tangannya menarik anak perempuan itu sampai terduduk. "Cerita tadi masih ada kelanjutannya, bukan""
Yaya mengangguk-angguk. "Ya, memang masih ada." ia tidak segera melanjutkan. Kedua anak laki-laki itu ditatapnya dengan serius. Lalu ia mengajukan syarat, "Aku mau menceritakannya pada kalian, tapi dengan satu syarat. Kalian tidak
boleh memberitahukannya kepada orang lain. Lebih-lebih pada polisi!"
"Janji!" sahut Yan langsung.
"Tadi kira-kira jam lima, tak lama setelah Letnan Dipa pulang. Paman Gumarang menerima surat," cerita Yaya.
"Dari penculik"" sela Dede cepat.
"Ya." "Wah, agaknya komplotan itu langsung memenuhi permintaan pamanmu. Menyampaikan instruksi melalui surat." Yan lebih menoleh ke arah Febriya. "Bagaimana surat itu bisa sampai""
"Tanpa sepengetahuan siapa pun surat itu dilemparkan ke halaman. Rupanya penculik itu masih sering keluyuran di sekitar rumahku." Febriya meremas-remas kantung tempat obat. "Setelah mengetahui adanya surat itu, Paman lalu mengambilnya, ia membacanya, dengan Bibi, dalam kamar. Sementara aku - yang selalu ingin tahu - tak mau ketinggalan. Diam-diam aku berusaha menguping."
"Apa isi instruksi itu"" tanya Dede dengan muka tegang.
"Besok jam setengah enam pagi. Paman harus sudah meletakkan uang tebusan di Jalan Tropika. Tepatnya di depan bangunan studio Radio MK-I yang belum selesai dibangun."
"Cuma itu"" tanya Van.
"Ya. Ditambah peringatan agar Paman tidak memberitahukan hal itu kepada siapa pun. Makanya tadi aku minta pada kalian..."
"Jangan khawatir. Ya. Kami akan menjaga rahasia ini baik-baik," Yan berjanji.
"Soalnya, jika kali ini gagal lagi - entah apa jadinya dengan Huri," ujar Yaya perlahan.
"Aku mengerti, aku mengerti...."
"Apakah pamanmu besok pasti ke sana"" Dede menyeletuk.
"Sudah pasti," jawab Yaya.
"Jalan Tropika, di mana itu"" gumam si Dede sambil membetulkan letak kaca matanya.
"Aku tahu. Tempat itu memang masih sepi," ujar Yan.
Yaya menatap kedua anak laki-laki berganti-ganti. "Apa yang akan kalian lakukan"" tanyanya waswas.
Yan tidak langsung menjawab. Lehernya dimi-ringkannya. Pandangannya tertuju pada sandal Yaya. "Kami masih harus memikirkannya," ujarnya kemudian. "Tapi kami pasti akan melakukan sesuatu." Matanya memandang Dede.
"Ya, pasti." Anak berkaca mata itu mengangguk mantap. Walaupun sebenarnya ia belum tahu sama sekali apa yang bisa diperbuatnya. "Aku juga ingin melihat Huri bisa kembali dengan selamat. Ya."
Yaya menghela napas panjang, lalu berdiri, ia memandang kedua temannya sekilas. Kemudian pergi tanpa menoleh-noleh lagi.
IX. MENENTUKAN LANGKAH 21 Kedua anak laki-laki itu menunggu beberapa saat. Setelah yakin bahwa Yaya sudah berangkat dengan mobilnya, mereka keluar.
Yan tidak langsung menaiki sepedanya. Anak yang hidungnya agak pesek itu memandang Dede, lalu berkata dengan suara prihatin, "Yaya menaruh kepercayaan begitu besar kepada kita, De. Jangan sampai kita mengecewakannya."
"Makanya, kita harus melakukan sesuatu." Dede menepuk-nepuk sadel. "Informasi yang paling akhir telah kita dapatkan. Soalnya, tinggal apa yang bisa kita lakukan" Apakah kita sampaikan saja kepada Letnan Dipa""
"Jangan," cegah Yan cepat.
"Ya..." Dede mendesah. "Kita sudah berjanji pada Febriya untuk merahasiakan masalah ini. Tapi - bagaimana dengan Ira""
"Ira lain! Dia anggota kita. Bagaimanapun dia harus mengetahui perkembangan ini." Yan mengusap-usap dagu sementara pandangannya tertuju pada neon di plafon teras apotek. "Jika polisi ikut campur lagi, memang bisa besar risikonya. Kalau berhasil sih tidak jadi soal. Tapi kalau gagal"" Yan melanjutkan, "Paling baik adalah jika komplotan itu bisa diringkus-sesudah Huri dibebaskan. Jadi tidak ada risiko lagi."
"Ya...." Dede diam sebentar. Lalu dengan suara pelan ia melanjutkan, "Kalau saja kita bisa menyumbangkan sesuatu untuk memudahkan polisi meringkus komplotan itu...."
"Apa katamu"" tukas Yan. Agaknya omongan Dede menimbulkan sebuah gagasan dalam pikirannya.
Dede mengulangi perkataannya.
"Betul!" seru Yan sambil menepuk sadel. "Kalau saja kita bisa menyumbangkan sesuatu... dan kita bisa, De, bisa!"
"Bisa"" Dede mencondongkan mukanya ke arah Yan.
Yan pun menguraikan gagasannya, "Kita bisa mengikuti kejadian besok pagi dengan diam-diam. Kita bersembunyi, De." Yan melanjutkan, suaranya penuh semangat, "Besok pagi kita jogging ke Tropika. Sesudah
itu kita cari tempat persembunyian yang strategis. Kita tunggu sampai penculik itu muncul mengambil uang."
"Lalu, apa yang akan kita lakukan""
"Kita tidak melakukan apa-apa. Kita hanya berusaha merekam wujud dan ciri-ciri orang itu. Kukira memang hanya itu yang bisa kita lakukan. Apa kamu mau menangkapnya" Tidak mungkin, bukan""
"Sesudah itu" Kita melaporkannya kepada Letnan Dipa"" "Ya. Tapi tidak langsung." "Maksudmu""
"Kita lihat perkembangannya dulu. Kita baru akan melapor pada Letnan Dipa - setelah Huri dibebaskan."
"Tapi bagaimana kalau penjahat itu terburu melarikan diri""
"Apa boleh buat!" Yan menggerakkan bahunya. "Dia lari masih bisa dicari. Daripada kita tergesa-gesa lapor. Kemudian kita andaikan saja, polisi terus melakukan pencarian. Lalu komplotan itu mendengar, atau tahu. Apa jadinya dengan Huri yang masih di tangan mereka" Bisa gawat, De. Kita bisa disalahkan seandainya terjadi sesuatu yang buruk atas diri anak itu. Pokoknya Huri bebas dulu. Yang penting ciri-ciri penjahat itu sudah di sini." Yan mengetuk dahinya dengan telunjuk.
Dede bisa menerima alasan Yan. "Tapi..." gumamnya kemudian. "Apa lagi""
Seperti berkata pada diri sendiri, Dede berkata, "Kalau cuma mengandalkan ingatan apakah cukup...." Tiba-tiba Dede menjentikkan ibu jari dan telunjuknya, TIK! "Aku tahu cara yang lebih tepat, Yan!"
"Ya"" "Kita ambil fotonya!" Dede menyeringai puas. Merasa telah menelurkan gagasan yang cerdik.
"Dengan tustelmu yang kecil itu"" Yan menegaskan. "Ya!"
"Ya, kalau bisa kurasa lebih baik. Kita akan punya bukti yang tak terbantah. Di samping itu kita dapat memudahkan polisi dalam mencari cecunguk itu."
"Itulah yang terpikir olehku. Daripada mengandalkan ingatan saja," kata Dede.
"Jadi, pasti bisa ya, De""
"Pastil Aku sudah biasa mempergunakannya. Tustel itu tajam penangkapannya."
"Tidak perlu lampu""
"Tidak. Jam setengah enam sudah cukup terang. Kita tidak perlu pakai blitz."
"Bagus kalau begitu. Soalnya kalau pakai blitz, kilatnya bisa membuat kita ketahuan."
Kedua sahabat itu merasa puas atas perkembangan gagasan mereka. Mereka demikian tercekam membayangkan keasyikan patualangan yang akan mereka lakukan besok. Pura-pura lari pagi, lalu bersembunyi di suatu tempat, menunggu munculnya si penculik. Setelah itu mengambil foto, dan...
"Ayo, De. Kita sudah terlalu lamai" Yan menyengklak ke atas sadel, lalu menjalankan sepeda meninggalkan halaman Apotek Margi Rahayu.
Dede menyusul. Matanya berkilat-kilat senang.
22 "Aku terus pulang, Yan," kata Dede sesampainya di rumah Yan.
Yan mengangguk. "Besok pagi jam empat. Kalau berangkat jam empat dari sini, kutaksir jam 04.45 kita sudah tiba di Jalan Tropika. Jadi kita masih punya waktu untuk mencari tempat persembunyian yang strategis." Yan mengangkat empat buah jari. "Ingat, jam empat! Jangan sampai terlambat bangun!"
"Beres. Aku akan pesan pada Bu Rondo untuk membangunkan aku. Kalau terlambat, dia yang harus bertanggung jawab," sahut Dede.
Yan tertawa. "Tustelnya siapkan."
"Ya." "Filmnya ada""
"Aku masih punya dua rol. Yuk!" Dede menekan pedal. "Salamku buat Ira!" Dede meluncur di atas sepedanya.
Yan tiba bertepatan dengan waktu makan malam. Bapak, Ibu, dan Ira sudah berkumpul di meja makan.
Ibu merengut. "Hmmm, jam berapa baru pulang. Katanya cuma sebentar... sebentar!"
Yan menanggapi dengan tertawa. "Maaf, Bu. Soalnya ada sesuatu." katanya.
"Sesuatu apa"" Tanpa menunggu jawaban atas pertanyaannya sendiri. Bu Minta menyambung dengan perintah, "Ayo, cepat cuci tangan!"
Yan melaksanakan perintah Ibu dengan patuh. Setelah itu ia mengambil tempat duduk. Pada saat itulah Yan menuturkan perjumpaan dan percakapannya dengan Febriya di apotek.
Wajah Ibu berubah mendengar cerita itu. Kejengkelannya berangsur-angsur menghilang. Malahan kemudian ia bertanya penuh rasa ingin tahu, "Jadi, sampai begitu"" Wanita itu diam sebentar, lalu melanjutkan dengan suara lambat, "Aku tidak bisa menyalahkan kalau Pak Gumarang sampai marah-marah. Sebab, kalau sampai terjadi apa-apa, kan dia juga
yang paling kehilangan."
"Lalu bagaimana dengan Huri sekarang"" sela Pak Minta.
Yan hampir mengatakan bahwa untuk sementara nasib Huri tidak mengkhawatirkan. Karena komplotan masih memberi kesempatan sekali lagi pada Pak Bob untuk menyerahkan uang tebusan. Namun Yan tidak jadi menjelaskan panjang-lebar. Karena menjelaskan hal itu mau tidak mau akan menyinggung soal surat yang diterima Pak Gumarang. Padahal ia sudah berjanji pada Yaya untuk merahasiakannya. Maka akhirnya ia hanya mengangkat bahu sambil berkata, "Entahlah. Tapi semoga saja Huri tidak mereka apa-apakan."
Setelah berkata demikian Yan menunduk. Tak enak rasanya membohongi ayah dan ibunya. Tapi - apa boleh buat! Demi keamanan rencananya ia terpaksa tutup mulut.
Acara makan malam lalu berlangsung diwarnai pembicaraan tentang penyerahan uang tebusan yang gagal itu. Baik Pak Minta, Bu Minta, dan Ira - sangat khawatir memikirkan tindakan komplotan itu salanjutnya. Apa jadinya jika penculik itu sampai tidak bisa menguasai diri"
Selesai makan dan sesudah membantu Ibu membenahi serta membersihkan peralatan. Yan mendatangi Ira di kamar anak perempuan itu. Waktu Ibu dan Bapak sudah tenggelam dalam omong-omong yang mengasyikkan di teras.
Yan mengulangi ceritanya tentang informasi Febriya. Tapi kali ini secara lengkap. Termasuk surat dari penculik dan rencana pengintaian besok pagi.
Ira mendengarkan dengan mata melebar.
Yan mengangguk. "Jadi, besok pagi kita bergerak. Mau ikut""
"Tentu," sahut Ira kurang mantap. Sebab hatinya diliputi rasa waswas membayangkan pelaksanaan rencana itu, dan risikonya.
"Kelihatannya kamu kok kurang mantap. Takut"" tanya Yan.
"Sedikit," jawab Ira terus terang. "Aku takut kalau ketahuan."
"Tidak mungkin. Kita kan tidak ngawur, Ir. Semuanya akan kita atur serapi mungkin."
Ira mengiyakan. "Yang lebih kukhawatirkan," tambahnya, "bukan kalau kita tertangkap. Itu rasanya tidak mungkin. Kita toh bisa mengemukakan segudang alasan. Tapi - kalau penjahat itu tahu bahwa dia difoto. Akibatnya bagi Huri kan gawat."
"Aku mengerti kekhawatiranmu. Makanya besok kita harus bertindak dengan hati-hati." Yan menepiskan tangan. "Itu kita pikirkan besok. Yang penting sekarang - mari kita minta izin pada Bapak dan Ibu."
Bapak dan Ibu tidak heran mendengar pemberitahuan bahwa besok pagi anak-anak mau jogging. Karena Yan dan Ira sering melakukannya pada hari-hari libur. Ibu hanya keberatan memikirkan kesehatan Ira.
"Kamu kan sedang pilek. Tidak usah saja," kata Bu Minta.
"Ah, tidak apa-apa," sahut Ira tangkas sekaligus bernada tidak ingin dilarang. "Dibuat lari pagi justru bisa sembuh. Udara pagi kan baik untuk kesehatan. Bu." Matanya mengerjap Jenaka.
Pak Minta dan Yan terbahak mendengar jawaban itu. Sebaliknya Ibu bersungut-sungut, tapi sambil menahan senyum. Artinya, beres! Ira melirik kakaknya, lalu mengedipkan mata.
Dan. malam itu pun menjadi malam yang 'istimewa' bagi Yan, Dede, dan Ira. Waktunya merambat lama. Kegelisahan serta ketegangan bergelayut pada napasnya.
Yan tak dapat sagera memincingkan mata. Pikirannya dipenuhi oleh bermacam-macam rencana yang muncul dan tenggelam silih berganti.
Ira bergulak-gulik di tempat tidur. Bayangan peristiwa yang bakal dialaminya besok tergambar dalam benaknya.
Sementara Dede lebih sibuk lagi. Sesudah makan malam anak itu berpesan wanti-wanti pada Bu Rondo, pembantunya. Besok pagi dia minta dibangunkan setengah empat. Tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang! Kalau terlambat, awaasss! Kemudian ia mengunci diri dalam kamar. Film dipasang, tustel dipersiapkannya sehingga menjadi siap pakai Lalu ia mulai latihan mengambil gambar. Dalam bermacam-macam posisi: berdiri, berjongkok, barlutut, tiarap. Lagaknya seperti wartawan ulung saja. Setelah puas, ia pun naik ke tempat tidur. Berbaring dengan pikiran melayang-layang, dengan bibir menyungging senyum kemenangan.
X. DRAMA DI BANGUNAN SETENGAH JADI
23 Cahaya di langit belum merekah. Keadaan masih gelap. Lampu merkuri menyorotkan sinarnya yang kuning buram. Cahaya lampu kebun di halaman-halaman ber
pendar-pendar. Tiga orang anak tampak berlari santai. Kadang-kadang mereka meloncat, berusaha menggapai ranting pohon di tepi jalan raya yang menjuntai rendah. Siapa lagi mereka - kalau bukan Yan, Dede, dan Ira.
Dede tiba di rumah Yan jam empat kurang tiga menit. Pada saat mana Yan dan Ira pun telah siap. Ketiga anak itu memakai pakaian olahraga. Dede menyandang tas kecil yang berisi tustel. Begitu Dede tiba, Yan langsung memberi komando berangkat.
Ketiga anak itu terus berlari, tapi tanpa memaksa diri. Mereka tidak sendirian. Di jalan tampak pula beberapa orang yang juga sedang jogging.
Yan melirik adiknya. Melihat Ira agak terengah, ia pun menghentikan larinya. Berjalan.
"Aku kuat kok." kata Ira.
Tapi Yan memberi isyarat dengan menggerak-gerakkan tangannya, ia tidak ingin Ira memaksakan diri. Ira pun berhenti.
"Ayo! Nanti kita terlambat," seru Dede yang berlari sekian meter di depan.
"Kita masih punya cukup waktu," sahut Yan.
Dede terpaksa berjalan pula. Ketiganya lalu berjalan berdampingan.
"Nanti sesampainya di bangunan studio itu, kita harus segera memeriksa keadaan," kata Yan membentangkan rencana. "Kita harus tahu persis bahwa penculik itu tidak sedang bersembunyi. Jangan sampai kita yang diintai. Harus sebaliknya."
"Bagaimana caranya. Kak" Andaikata kita ketahuan seperti orang sedang memeriksa keadaan, pasti penjahat itu akan curiga. Maksudku kalau mereka sudah berada di situ sebelum kita," ujar Ira.
"Kita mesti pakai taktik," kata Dede.
"Taktik" Taktik bagaimana, De""
"Umpamanya saja - kita berhenti di muka bangunan yang belum jadi itu. Kemudian kita berpura-pura istirahat sambil melakukan senam ringan. Tapi mata ini..." Dede menuding kaca matanya, "harus tangkas memperhatikan keadaan. Kalau keadaan aman, artinya tidak ada seorang pun. kita cepat-cepat mencari tempat persembunyian. Tapi jika sebaliknya, kita harus berpura-pura melanjutkan jogging."
"Lalu nanti kembali lagi""
"Ya." Dede mengangguk pada Ira. "Kita cari akal lain."
"Usul Dede cukup baik," Yan memberi persetujuan.
"Lalu, di mana kamu akan bersembunyi untuk mengambil foto"" tanya Ira lagi.
"Aku belum tahu." Dede menggerakkan bahunya. "Melihat tempat itu pun belum. Tapi pasti ada suatu tempat yang strategis. Kita cari saja nanti." Anak yang rambutnya kemerah-merahan itu melihat arloji. "Jam 04.20. Waktu kita tidak banyak lagi. Ayo!" Sambil mengajak ia mendahului berlari.
Dua puluh menit kemudian ketiga anak itu mulai memasuki Jalan Tropika. Jalan ini direncanakan menjadi jalan raya yang lebar. Tapi sekarang masih tanah. Lapangan-lapangan yang luas terdapat di kanan kiri jalan itu. Sebagian di antaranya sudah ada bangunannya. Tapi kebanyakan masih setengah jadi. sebagian lain masih berupa tanah kosong. Lewet sepuluh menit selanjutnya - mereka sampai di depan bangunan studio Radio MK-I yang belum selesai pembangunannya. Bangunan ini bertingkat dua. Masih berwujud dinding kasar. Di sana-sini urat-urat baja, kerangkanya, nampak bersembulan.
Anak-anak berhenti di halaman bangunan itu. Mereka lalu beraksi seperti apa yang mereka rencanakan. Meloncat di tempat, merentangkan lengan di depan dada, membungkuk, dan sebagai-nya. Sambil berbuat demikian, mereka menjelajahi setiap sudut dengan pandangan tajam.
"Tidak ada siapa-siapa," bisik Ira pada kakaknya.
Yan mengangguk. Lalu ia berlari-lari mundur. Sesaat kemudian anak itu sudah menghilang ke dalam gedung.
Yan memeriksa keadaan di dalam. Sementara itu ia sudah mempersiapkan sikap seandainya tiba-tiba ia melihat ada orang di tempat itu. ia akan berpura-pura acuh tak acuh, lalu keluar dan mengajak teman-temannya meninggalkan tempat itu. Tetapi Yan tidak menjumpai seorang pun!
"Bagus," gumam anak itu puas. ia berjalan menghampiri lubang yang kelak akan menjadi jendela ruang tingkat dua. Dari situ ia menebarkan pandangan ke halaman, ke jalan, dan ke lapangan seberang. Benar-benar tak tampak seorang pun. Yan menarik napas lega.
Beberapa detik kemudian Ira dan Dede muncul di belakangnya.
Yan berkata, "Kukira cuma di sini satu-satunya te
mpat yang paling tepat untuk mencuri foto, De."
"Rasanya memang ya," sahut Dede, "Di halaman tidak mungkin. Tak ada tempat untuk barsembunyi."
"Memang." "Soalnya sekarang - di mana Pak Gumarang akan menaruh tas itu. Kalau di sana..." Ira menuding lapangan seberang, "apa daya tangkap tustelmu mampu menjangkau""
"Bisa sih bisa, tapi tidak akan jelas," Dede mengeluarkan tustelnya.
"Tidak mungkin kalau di sana," sanggah Yan. "Kukira di halaman ini. Kan dalam instruksinya, penculik itu memerintahkan Pak Gumarang meletakkan tas kopor di depan bangunan ini."
"Mudah-mudahan," gumam Ira.
Kelompok 2 Dan 1 Sang Pengintai Karya Dwianto Setyawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jam berapa"" tanya Yan pada Dede.
"Lima seperempat," jawab yang ditanya.
"Wah, sebentar lagi," kata Ira. Tiba-tiba dadanya terasa berdebar-debar.
"Lubang ini terlalu terbuka," kata Dede setelah mengernyit beberapa saat. "Bagaimana enaknya... ah ya!" Dede melihat setumpuk papan bekas dipakai yang berlumur semen kering. "Ayo bantu aku!" ajaknya pada Yan dan Ira.
Ketiga anak itu lalu memilih beberapa bilah papan yang terletak di sudut ruangan. Dede melintangkan sebilah papan di bagian bawah jendela. Yang lainnya diaturnya sedemikian rupa sehingga ruang yang berlubang tertutup sebagian.
"Nah!" Dede memperhatikan hasil pekerjaannya dengan puas.
"Apa penculik nanti tidak curiga"" gumam Yan, ragu-ragu.
"Ah, tidak! Mereka tidak punya banyak waktu setelah mengambil uang tebusan itu. Tidak bakal mereka memeriksa atau meneliti kemari. Papan yang bersilang-silang ini paling-paling dianggapnya pekerjaan tukang. Itu pun kalau mereka melihatnya," jawab Dede yakin.
"Asal jangan sampai tersenggol," celetuk Ira. "Kalau sampai roboh, gawat!"
"Makanya hati-hati."
"Sttt, dengar!" kata Yan tiba-tiba. Mukanya tampak tegang.
"Suara mobil," bisik Ira dengan suara agak tersekat.
Dede melirik arloji. Jam 05.25.
24 Suasana di luar sudah mulai terang. Sayup-sayup terdengar salak anjing. Sementara derum mobil yang didengar Yan pertama kali, terdengar makin dekat. Ketiga anak itu berjongkok dengan hati berdebar-debar.
Sebuah mobil Suzuki mini muncul. Dekat bangunan itu rodanya berputar kian pelan, sampai akhirnya berhenti sama sekali.
Pintu di sebelah sopir terbuka. Laki-laki yang mengemudikan mobil itu turun, ia berdiri tegak di samping mobil, memandang ke arah bangunan studio itu.
"Pak Gumarang," bisik Ira hampir tak terdengar.
KLIK! Dede membidikkan lensanya. Bidikan yang pertama.
Laki-laki - yang memang Pak Gumarang itu - membungkuk, mengambil sebuah tas kopor dari jok. ia lalu berjalan menuju gerumbul semak di depan bangunan. Dede bersorak dalam hati. Tempat tujuan Pak Gumarang berada dalam jangkauan pandangannya. Agak serong di bawah jendela tempatnya bersembunyi. Berarti kalau diambil dari atas, hasil fotonya akan tampak jelas. Dengan penuh semangat Dede membidikkan tustelnya beberapa kali, KLIK, KLIK!
"Jangan terus-terusan. Nanti filmnya habis," Ira memperingatkan sambil berbisik.
"Jangan khawatir," balas Dede berbisik. "Masih banyak. Isinya 36."
Pak Gumarang meletakkan tas kopor di balik semak-semak sebelah dalam sehingga tidak akan terlihat dari jalan. Seperti yang diperintahkan komplotan penculik dalam suratnya. Sesudah itu ia berbalik, kembali ke mobil.
Setibanya kembali dekat mobil, laki-laki itu tidak sagera masuk, ia memandang semak-semak itu dan sekitar bangunan. Agaknya ia sedang berusaha mengetahui ada tidaknya penculik yang akan mengambil uang tebusan. Tapi ia tidak melihat seorang pun. Laki-laki itu tampak menghela napas, lalu masuk ke mobil.
Yan memperhatikan bagaimana Suzuki itu berputar dan meluncur kembali ke arah datangnya.
"Bagaimana hasilnya, De"" tanyanya kemudian sambil menoleh pada Dede.
"Kujamin bagus. Sayangnya jaraknya agak jauh. Jika saja aku bisa mengambil dari jarak lebih dekat - hasilnya pasti akan lebih memuaskan."
"Mana mungkin," kata Yan.
"Ah, tidak apa-apa. Kecil sedikit pokoknya jelas. Kan nanti fotonya bisa dibesarkan," Ira menyambung.
"Aku tadi sudah khawatir kalau tempat yang dipilih bukan itu." Dede menuding gerumbul sem
ak itu. "Tapi di sana, misalnya." ia menunjuk ke halaman sebelah barat. "Kalau di situ susah memotretnya. Kita tidak bisa mendapatkan foto muka penjahat secara jelas."
Yan mengangguk-angguk sambil mengusap-usap mulut dan dagunya. Seperti Dede, muka anak berambut lebat itu mencerminkan kepuasan.
Bibir Ira bergerak akan membicarakan kemungkinan tibanya penculik untuk mengambil uang tebusan. Pada saat yang sama pendengarannya menangkap suara raung sepeda motor. Maka ia pun berkata, "Penculik"" Mukanya tegang.
Kedua anak laki-laki tidak menyahut. Mereka menempelkan muka ke sela-sela papan, mata mengintai ke luar.
Ira pun berbuat yang sama.
"Jangan mendesak. Aku butuh ruang yang longgar," kata Dede pada anak perempuan itu.
Ira bergeser ke kiri. 25 Suasana di luar sudah semakin terang. Permulaan kehangatan sinar matahari pagi telah dirasakan daun-daun dan rumput. Keadaan alam begitu tenang. Amat tidak sebanding dengan suasana di balik dada ketiga anggota Kelompok 2 & 1, yang hingar-bingar oleh detak jantung yang kencang.
Beberapa menit kemudian sebuah sepeda motor muncul dari arah barat. Penunggangnya dua orang.
Sampai di depan bangunan, sepeda motor berwarna merah itu langsung berbelok memasuki halaman. Kendaraan itu melaju ke arah semak-semak tempat tas kopor diletakkan oleh Pak Gumarang.
"Itu dia!" kata laki-laki yang menyetir.
Temannya melompat turun dari boncengan dan menghampiri tas kopor yang tersembunyi itu.
Sementara kedua bandit itu beraksi, Dede juga beraksi dengan tustelnya. Suara klak-klik tustel terdengar berkali-kali. Suara itu terdengar nyaring, mendebarkan, di telinga Yan. Tetapi untungnya tak bisa didengar oleh kedua laki-laki di luar, karena hingar-bingar suara motor.
Jika Dede merekam dengan tustelnya, Ira berusaha merekam ciri-ciri kedua penjahat dengan ingatannya. Nomor motor - yang mungkin palsu - juga diingat-ingatnya. Ira hanya ingin berjaga-jaga, kalau-kalau ada kerewelan pada tustel Dede sehingga tak bisa merekam gambar. Jika demikian sekurang-kurangnya ia masih punya gambaran tentang kedua penjahat dalam otaknya.
Laki-laki yang menyetir berpotongan gemuk pendek. Mukanya bulat dengan pipi menggembung. Rambutnya ikal dan panjang, ia memakai kaca mata hitam dan jaket biru.
Temannya bertubuh tinggi besar. Tampang orang ini menyeramkan. Rambutnya pendek dan kaku. Mukanya lebar dengan tulang rahang yang mencuat. Dahinya menjorok ke depan, nyaris menyembunyikan sepasang matanya yang kecil dan dalam. Kalau berjalan agak membungkuk, sementara sepasang tangannya seakan-akan menyapu lutut. Ira yakin ia tidak akan lupa jika bertemu lagi dengan penjahat yang penampilan dan cara berjalannya mirip gorila itu.
Si Gorila telah mengambil tas kopor. Cepat-cepat ia kembali naik motor. Tas kopor dimasukkan ke dalam kantung terigu yang sudah disiapkannya. Setelah beres, temannya segera menginjak perseneling. Motor melaju sedikit, berputar, lalu terbang meninggalkan halaman bangunan studio itu.
"Huhhhhh!" tak sadar Ira menghembuskan napas kuat-kuat.
"Yihhuuuu! Kita telah berhasil mendapatkan foto Sang Penyikat," sorak Dede penuh kemenangan.
"Aku tidak mengira kita bisa melakukannya dengan begini gampang," kata Yan. "Kedua bandit tadi melirik kemari pun tidakl"
"Karena mereka tergesa-gesa, Yan. Mereka tidak punya waktu untuk memperhatikan tempat persembunyian kita," kata Dede.
"Yang kita takutkan kan kalau mereka bersembunyi di sekitar tempat ini," celetuk Ira. "Tetapi ternyata mereka datang dengan motor." Ira diam sebentar. "Apakah mereka juga mengawasi tempat ini sebelum kedatangan Pak Gumarang" Maksudku seperti ketika di makam Pungkasan."
"Kukira kali ini tidak. Sang Panyikat sudah yakin bahwa Pak Gumarang tak bakal memberi tahu polisi lagi."
"Untung ada kita!" ujar Dede menimpali perkataan Yan.
Ketiga anak itu bercakap-cakap sebentar lagi, lalu keluar dari bangunan setengah jadi itu. Dede memotret kedua temannya dengan latar belakang bangunan itu. Kemudian ganti dia yang dipotret. "Untuk kenang-kenangan," katanya sambil tertawa puas.
Cuac a semakin hangat. Ketiga anak itu meninggalkan gedung. Dengan langkah mantap dan dada gemuruh oleh dendang kemenangan!
XI. PERKEMBANGAN TERBARU 26 Anak-anak sampai di alun-alun. Di sebelah timur alun-alun terdapat sebuah photo studio yang melayani cuci dan cetak film 1 jam selesai. Tetapi karena masih pagi studio itu masih tutup.
Dede bermaksud mencetakkan filmnya. Akan tetapi Ira tidak setuju.
"Paling-paling setengah jam lagi buka. Masa kamu keberatan menunggu setengah jam"" sergah Dede pada Ira. "Daripada pulang, kemudian balik lagi ke sini. Kan lebih makan waktui"
"Aku bukan keberatan," kilah Ira.
"Lalu"" "Demi amannya," Ira menuding tas kecil berisi tustel yang dibawa Dede.
Dede memandang tidak mengerti.
"Maksudku begini," Ira menerangkan, "jika kita mencetakkan film itu ketika toko baru buka, ada kemungkinan fotonya akan menarik perhatian pegawai studio. Soalnya kan belum banyak pekerjaan. Orang yang tidak terlalu sibuk suka memperhatikan segala sesuatu. Padahal kita kan tidak ingin foto itu menarik perhatian siapa pun"" tambah Ira. "Maka demi amannya kita cetakkan saja waktu studio sedang sibuk. Itu berarti kita harus bersabar menunggu sampai lebih siang sedikit."
Dede mengangguk-angguk, ia mengakui usul Ira pantas untuk dipertimbangkan, meskipun hati kecilnya menolak.
"Usul yang baik," puji Yan pada adiknya. Lalu sambil menoleh pada Dede, "Kita pulang dulu saja," ajaknya.
Dede mendesah, "Aku tidak sabar lagi rasanya."
"Aku juga ingin lekas-lekas melihat hasil jepretanmu. Tapi demi keamanan - sebaiknya kita pulang dulu," kata Ira.
Dede tidak bisa menolak lagi.
Dalam perjalanan pulang, Ira mengungkapkan perasaannya. Katanya, "Ingin sekali aku menceritakan pekerjaan kita tadi pada Bapak dan Ibu. Namun aku tahu - itu tidak boleh."
"Sebaiknya memang jangan. Nanti kita bikin kejutan!" sahut Hardian.
"Yan, setelah foto selesai, bagaimana"" tanya Dede.
"Tetap seperti keputusan kita semula. Kita lihat perkembangan ke rumah Pak Gumarang. Kalau Huri sudah dibebaskan, terus saja kita temui Pak Dipa. Tapi sebelum itu..." Yan menggeleng-gelengkan kepalanya.
27 Pukul 10.00 pagi. Yan, Dede. dan Ira kembali ke photo studio itu. Ketiganya tampak rapi, segar, dan penuh semangat.
Dede menyerahkan tabung berisi film kepada seorang karyawati.
"Cetak semua. Satu lembar," katanya.
Gadis itu mengangguk, ia lalu menulis keterangan pada sebuah kantung kertas. Kantung itu kemudian diteruskannya ke bagian cuci dan cetak, sementara sobekannya diserahkan kepada Dede sebagai bukti.
Sambil membayar ongkos cuci dan cetak film, Dede bertanya, "Tidak sampai satu jam kan. Mbak""
"Satu jam. Soalnya banyak yang dikerjakan," jawab si karyawati.
Ketiga anak itu menunggu. Mata mereka terarah ke mesin cetak foto yang tampak di balik kaca lebar. Mesin itu berukuran besar. Seorang pemuda memasukkan film yang akan dicetak ke dalam mesin. Tak lama kemudian foto-foto ukuran postcard - yang telah jadi - keluar dari ujung yang lain. Foto-foto yang sudah jadi itu lalu diambil oleh seorang karyawan, dimasukkan ke dalam kantung berikut filmnya, kemudian diteruskan ke bagian pengambilan.
Yan memperhatikan kegiatan itu penuh rasa tertarik. Sementara hatinya diam-diam memuji ahli yang menemukan mesin yang sanggup mencetak foto berwarna dalam tempo yang singkat itu. Inilah hasil positif kemajuan teknologi, pikirnya.
Photo studio itu bertambah ramai. Orang banyak keluar-masuk. Yang mengambil foto, yang mencucikan, dan yang membeli film. Suasana terasa sibuk sekali.
"Kamu benar, Ir," kata Dede perlahan-lahan. "Karena sibuknya pegawai itu tidak terlalu memperhatikan foto-foto yang baru selesai dicetak."
"Aku memang hebat, De. Hebat dan penuh perhitungan," sambut Ira berkelakar.
"Nah, nah, terus besar kepala kamu!" Dede mendorong kepala anak perempuan itu.
Ira terkekeh. Satu jam telah lewat lima menit. Dede mulai kehabisan kesabaran, karena fotonya belum selesai juga. ia menanyakannya pada karyawati itu, "Punya saya sudah digarap apa belum sih""
"Sabar toh, D ik, sabar! Nanti kalau sudah selesai kan kuberikan!" jawab karyawati itu ketus. Keketusan yang timbul akibat terlalu sibuk melayani para langganan.
Dede tersinggung oleh jawaban yang tidak mengenakkan itu. "Katanya satu jam selesai. Ini sudah lewat sepuluh menit!" ujarnya tak kalah sinis. "Supaya tidak mengecewakan, ganti saja tulisan satu jam di papan nama itu. Cuci dan cetak foto, dua jam selesai!"
Si karyawati mendelik, tetapi tidak melayani lebih lanjut.
Ira menyepak kaki Dede, memberi isyarat supaya bersabar.
Akhirnya, foto itu selesai juga. Pada saat jam menunjukkan pukul 11.25.
Dede mundur ke sebuah sudut, lalu mengeluarkan foto dari kantungnya. Jumlah seluruhnya lima belas lembar. Berarti hanya separuh film yang terpakai.
Yan dan Ira ikut melihat.
"Yihuuu, memuaskan, bukan"" seru Dede menyaksikan hasil pekerjaannya. "Tidak ada yang kabur. Semuanya tampak jelas!"
"Lihat yang ini," kata Ira, "tampang bandit itu jelas sekali."
"Sttt!" Yan menyenggol dan memendeliki adiknya.
Ira cepat-cepat meletakkan jari ke bibirnya. Sadar bahwa ia telah keterlepasan bicara.
Agaknya kata-kata Ira tadi didengar oleh seorang bapak yang duduk tidak jauh dari tempat mereka. Sambil menoleh, si bapak bertanya, "Foto apa itu. Nak" Kelihatannya asyik sekali."
"Ohh ehh... foto, foto ulang tahun. Pak," jawab Dede gelagapan. Khawatir kalau bapak itu minta melihat, Dede cepat-cepet memasukkan foto ke dalam kantungnya. Karena terburu-buru, dua lembar foto sempat jatuh ke lantai. Yan cepat-cepat memungut dan menyerahkannya pada Dede.
"Foto ulang tahun" Kok ada banditnya segala"" desak si bapak, yang rupanya termasuk golongan orang yang selalu ingin tahu.
"Ohh, waktu itu kami mengadakan acara bandit-banditan," sahut Yan sekenanya. Sementara matanya memberi isyarat agar Dede dan Ira cepat-cepat keluar.
"Acara bandit-banditan" Acara apa pula itu"" gumam si bapak, tidak mengerti.
"Ya pokoknya bandit-banditan!" Dan Yan cepat-cepat keluar.
Bapak itu mengawasi dengan pandangan heran. Kemudian sambil menggumamkan sesuatu - ia mengangkat bahunya.
Yan mengomeli adiknya karena kesembronoan Ira waktu berbicara tadi.
"Aku tidak sengaja. Kak."
"Ya sudahlah. Pokoknya lain kali kita harus lebih barhati-hati."
"Ke mana kita sekarang"" tanya Ira mengalihkan kejengkelan kakaknya.
"Ke Jalan Diponegoro. Kita tengok keadaan di sana," sahut Yan. "Ayo!"
"Naik becak saja. Supaya cepat," kata Dede, yang selalu bertindak sebagai bendahara tapi dari uangnya sendiri.
28 Ketiga anak itu naik becak. Yan dan Dede di pinggir. Ira di tengah. Dede mendekap foto-foto itu seperti orang memperlakukan sesuatu yang tak ternilai harganya.
Kereta tak berkuda itu melewati pusat kota yang ramai. Kemudian mengambil jurusan ke balai kota. Terus belok kiri. Kini ia mulai memasuki kawasan yang jalan-jalannya memakai nama pahlawan.
Jalan Pattimura pun lewat. Becak tiba di mulut jalan Diponegoro dari arah selatan. Sedang enak-enaknya becak itu meluncur, seorang perempuan penjual rokok berteriak dari dalam rombongnya.
"Kang! Kang Bari!"
Pak Bari, tukang becak yang mengantarkan anak-anak, mengerem becaknya, ia berpaling ke rombong rokok yang bercat biru itu. Anak-anak ikut memandang.
Perempuan penjual rokok itu keluar.
"Kang, anak yang diculik itu sudah dikembalikan," katanya memberi tahu.
"Oh ya"" sahut Pak Bari, yang seperti perempuan penjual rokok itu-rupanya sudah tahu tentang penculikan Huri Gumarang. "Kapan ia dibebaskan""
Yan, Dede, dan Ira memasang telinga.
"Barusan. Tadi tahu-tahu ia ditemukan di Jalan Stasiun. Di pinggir jalan yang sepi." Ibu penjual rokok menuturkan dengan bersemangat. "Anak itu menangis. Lalu, seorang polisi lalu lintas yang sedang lewat melihatnya. Pak Polisi lalu menanyai anak itu. ia tidak bisa omong banyak. Kecuali bilang namanya Huri."
"Lalu"" celetuk Ira yang tidak tahan untuk tidak bertanya.
"Mengetahui namanya. Pak Polisi langsung tahu siapa dia. Lalu anak itu dibawanya ke kantor. Kemudian Pak Gumarang diberi tahu bahwa anaknya sudah ketemu." Ibu itu
menuding ke arah Jalan Diponegoro. "Rumah Pak Gumarang sedang jadi tontonan orang banyak sekarang."
"Kita turun sini saja," ujar Yan begitu ibu itu selesai bercerita.
"Ayo!" Dede memberi tahu Pak Bari, kemudian membayar ongkos becak. Setelah itu ia menyusul Yan dan Ira yang sudah melangkah.
XII. KEJUTAN UNTUK LETNAN DIPA
29 Benar apa yang dikatakan ibu penjual rokok. Rumah Pak Bob Gumarang menjadi tontonan orang banyak. Orang-orang itu berkerumun di muka rumah yang bagus itu. Beberapa di antaranya kelihatannya wartawan. Sementara di balik pintu gerbang yang tertutup, tampak Mas Ariyo, hansip itu. ia ditemani seorang polisi muda yang tampaknya baru dilantik. Mereka menjaga dan melarang siapa pun yang ingin masuk.
Orang banyak ribut membicarakan peristiwa penculikan Huri, mulai dari awal sampai ketika anak itu ditemukan seorang polantas di Jalan Stasiun. Pembicaraan terasa simpang siur akibat banyaknya bumbu-bumbu yang ditambahkan dari mulut ke mulut atas peristiwa itu.
Rupanya, penyerahan uang tebusan yang dilakukan oleh Pak Gumarang tadi pagi sudah diketahui pula. Tentang hal ini timbul pendapat pro dan kontra. Yang pro mengatakan apa yang dilakukan Pak Gumarang itu betul!
"Soalnya kan demi keselamatan anak itu!"
Sebaliknya yang kontra menyalahkan Pak Gumarang. Mereka menganggap Pak Gumarang bersikap lemah. Memberi angin pada komplotan penculik. Di samping itu Pak Gumarang dituduh menyepelekan polisi.
Di atas semua komentar itu, mereka rata-rata mempunyai harapan yang sama. Yaitu, agar komplotan penculik itu segera bisa ditangkap, dan dijatuhi hukuman seberat-beratnya!
"Itu harus! Kalau tidak komplotan itu pasti akan mencari sasaran lain," ujar seorang laki-laki muda.
"Ya. Di samping itu, kalau tidak - perbuatan penculik itu dapat mendorong penjahat lainnya untuk melakukan hal yang serupa. Kan gawati"
"Pihak kepolisian kini sungguh-sungguh tengah dihadapkan pada ujian yang berat," ujar bapak yang lain lagi. "Mampu tidak mereka menangkap cecunguk cecunguk itu""
Seorang wartawan muda menanyakan perasaan bapak itu. Dengan suara lantang dan tegas, bapak itu menjawab, "Saya benci, benci sekali pada penculik. Karena di samping menyusahkan orang tua, mereka telah membuat anak yang tidak tahu apa-apa, yang masih polos dan murni, terpaksa menderita."
Ira. Dede, dan Yan mengikuti percakapan-percakapan itu beberapa saat. Kemudian mereka merundingkan langkah yang akan mereka ambil.
"Huri sudah bebas. Berarti kita harus segera menyerahkan foto-foto ini kepada Letnan Dipa. Kita ke Kores sekarang"" tanya Dede Sofyan.
"Itu Letnan Dipa!" Ira menunjuk ke arah rumah.
Letnan Dipa tampak muncul sebentar di teras rumah Pak Gumarang. ia berbicara dengan seorang anak buahnya, lalu masuk lagi.
"Jadi beliau di sini. Ayo!" Yan mengajak teman-temannya ke pintu gerbang. "Mas, Mas Ariyo, permisi. Mas!" katanya pada Ariyo.
Ariyo menoleh dan memandangnya. Yan tersenyum. Dikiranya hansip itu akan langsung membukakan pintu untuknya. Namun hati anak laki-laki itu serentak berubah kecut mendengar jawaban Mas Ariyo, "Kali ini siapa pun dilarang masuk. Maaf!"
"Tapi..." "Tidak ada tapi tapian," potong Mas Ariyo. Sikap soknya kumat. "Pak Bob tidak bersedia untuk bertemu dengan siapa pun!"
"Siapa yang mau menemui Pak Bob" Kami mau berbicara dengan Letnan Dipa!" sentak Dede, kesal menyaksikan lagak Ariyo.
"Letnan Dipa sedang sibuk. Mau apa sih kalian" Ayo, pulang sana!" Polisi muda itu memperkuat larangan Mas Ariyo.
Ketiga anak itu merasa geram bukan main. Pada saat yang sama - Ira sekali lagi melihat kemunculan Letnan Dipa di pintu. Ira lalu berbisik-bisik kepada Yan dan Dede.
Kemudian, "Satu, dua, tiga..." Ira memberi komando. Dan serempak ketiga anak itu membuka mulut, "Pak Dipa! Pak Dipaaa!" Mereka berteriak-teriak memanggil Letnan Dipa.
"Huss! Apa-apaan kalian"" sentak Mas Ariyo marah.
Anak-anak tidak peduli. "Heh!" Ariyo menggertakkan gigi. "Dari semula aku tahu, kalian memang senang cari gara-gara!" Hansip itu menarik gerendel pintu gerbang.
Kali ini anak-an ak tidak gentar. Karena mereka melihat Letnan Dipa datang menghampiri. Mas Ariyo terpaksa membatalkan niatnya untuk mengusir anak-anak.
Pak Komandan menyeberangi halaman yang luas, lalu berdiri di balik gerbang, memandang anak-anak. Wajah polisi yang berdahi lebar itu nampak keruh, mencerminkan beban pikiran yang amat mengganggu hati.
"Ada apa"" tanyanya kemudian, lesu.
"Kami harus berbicara dengan Anda, Let." jawab Dede cepat.
"Bagaimana kalau lain kali, De" Aku sedang sibuk," ujar Letnan Dipa.
Dede terdiam. Bukan lazimnya Letnan Dipa bersikap demikian terhadapnya dan teman-teman. Akan tetapi Dede bisa memaklumi. Sebabnya tentu karena letnan itu sedang dirundung kerisauan. Kesal karena Pak Gumarang berhubungan dengan penculik tanpa memberi tahu sebelumnya. Dan risau karena memikirkan komplotan penculik yang masih bebas berkeliaran. Dede merapatkan kedua bibirnya.
"Begitu, ya"" Latnan Dipa mau berbalik.
"Pak!" panggil Ira cepat. "Anda masih percaya pada Kelompok 2 & 1, bukan"" Ira menatap Pak Dipa lurus-lurus. Pandangannya mengandung sejuta arti.
Latnan Dipa mengerutkan kening. Pelan-pelan paras mukanya berubah lebih terang. "Kalian tahu sesuatu"" tanyanya dengan kepala agak meneleng.
Ira mengangguk samar. "Let, Anda sudah kenal siapa kami. Tidak mungkin kami datang, kalau hanya sekedar untuk menggerecoki," Yan berkata sambil tersenyum penuh arti.
Tiba-tiba Letnan Dipa tertawa. "Seharusnya aku tahu dari tadi." Lalu kepada Ariyo ia berkata, "Biarkan anak-anak itu masuki"
Ariyo terpaksa melakukan perintah itu. Sekalipun dengan muka merengut.
Anak-anak mengikuti Letnan Dipa ke rumah.
30 Anak-anak memilih tempat yang sepi untuk menyampaikan informasi itu kepada Letnan Dipa. Tempat yang mereka pilih ialah kebun balakang.
Letnan Dipa duduk di bangku. "Nah, kita mau omong tentang apa sekarang"" tanyanya dengan nada sedikit berkelakar.
Anak-anak senang melihat perubahan sikap polisi itu. Mereka saling melirik. Lalu Yan mengangguk pada Dede.
"Kami mau membicarakan foto ulang tahun. Pak," kata Dede sambil tertawa.
"Foto ulang tahun""
"Hahahaha!" Yan dan Ira tertawa.
Sementara itu Dede menyodorkan selembar foto pada Letnan Dipa. Foto yang melukiskan kedatangan Pak Gumarang di depan bangunan yang setengah jadi itu.
"Tentunya Anda kenal siapa dia," kata anak berkaca mata itu, menyeringai.
Pak Letnan memperhatikan foto itu, lalu bergumam heran, "Pak Gumarang!"
Dede menyerahkan foto-foto selanjutnya, yang menggambarkan ketika Pak Gumarang menaruh tas kopor berisi uang tebusan.
"Nah, dari foto-foto itu - saya kira Anda sudah bisa menduga apa yang sedang dilakukan oleh Pak Bob Gumarang!"
"Masya Allah! Dari mana kalian memperoleh foto-foto ini"" seru Letnan Dipa antara kaget dan tercengang.
Dede terbahak. "Ir, Pak Komandan bertanya dari mana kita mendapatkan foto-foto ini... hahahaha!"
"Yang terang tidak beli di toko. Pak. Hahahaha!" Ira terbahak pula. Lalu tambahnya, "Dede kita yang menjepretnya."
Letnan Dipa memandang anak-anak. ia nyaris tidak percaya. Matanya melebar, bibirnya agak terbuka.
Anak-anak tertawa geli melihat keadaan Letnan Dipa. Lalu Dede menyerahkan foto berikutnya. Gambar ketika penculik datang dan mengambil uang tebusan dari balik semak-semak.
Letnan Dipa mengamat-amati foto-foto itu, kemudian berseru keras, "Telur busuk! Jadi dia orangnya!"
"Siapa"" "Anda sudah tahu tentang penculik itu""
Kali ini giliran anak-anak yang menunggu jawaban dengan perasean tegang.
"Bukan cuma tahu. Aku mengenalnya cukup baik. Ini." Letnan Dipa menuding foto penjahat yang mengambil tas kopor, "Mat Gorila! Residivis yang sudah beberapa kali berurusan dengan polisi, denganku!" Letnan Dipa menunjuk dadanya sendiri.
"Mat Gorila... tapi dia memang seperti gorila," gumam Ira sambil membayangkan penculik yang bertubuh tinggi beser itu.
"Lalu, yang menyetir motor itu siapa. Pak"" tanya Yan.
"Yang itu aku belum pernah tahu." Letnan Dipa melanjutkan dengan nada bersungguh-sungguh, "Anak-anak, kini jangan mempermainkan aku lagi. Cerit
akan, bagaimana awalnya sehingga kalian bisa mendapatkan bukti yang tak terbantah ini," katanya sambil mengangkat foto ke atas.
Anak-anak pun bercerita. Mulai dari pertemuan Yan dan Dede dengan Febriya di apotek, informasi tentang surat dari penculik yang diterima oleh Pak Gumarang, hingga apa yang mereka lakukan di bangunan setengah jadi pagi-pagi tadi.
"Bukan main kalian ini!" Letnan Dipa menggeleng-geleng. "Aku tidak tahu lagi - bagaimana caranya harus memuji kalian."
Anak-anak tertawa. "Anak-anak sering diremehkan. Tetapi justru dari mereka kadang-kadang timbul sesuatu yang tak terpikir oleh orang dewasa," lanjut Letnan Dipa setengah tercenung.
"Makanya jangan meremehkan anak-anak," Yan menimpali.
"Apakah aku pernah meremehkan kalian"" "Pernah saja. Tadi"" tukas Ira. "Anda hampir menolak kami."
"Ya deh, aku minta maaf," jawab Letnan Dipa. Suaranya dilagukan.
"Pak, apa masih mungkin menangkap Mat Gorila dan kawannya itu"" tanya Dede.
"Dengan petunjuk foto ini..." Letnan Dipa menepuk kantung foto itu, "kenapa tidak"" Letnan diam sejenak. "Karena Mat Gorila seorang residivis, kami punya arsip yang lengkap tentang dirinya. Juga tempat-tempat yang biasanya ia pakai sebagai persembunyian. Kami tinggal minta keterangan dari informan, lalu menggerebeknya!"
"Saya khawatir kalau dia sudah kabur," kata Dede.
"Dia tidak akan kabur. Sekurang-kurangnya tidak pada hari ini. Karena kalau dia tiba-tiba pergi dari kota ini sekarang, orang bisa curiga Jangan-jangan ia terlibat dalam perkara penculikan Huri. Kalau toh mau kabur, dia pasti menunggu sampai suasana benar-benar dianggapnya sudah aman. Dan itu berarti kita masih punya kesempatan untuk menangkapnya," menjelaskan Letnan Dipa dengan penuh keyakinan.
"Apakah Huri tidak bisa menceritakan bagaima na ciri-ciri orang yang menculiknya"" tanya Yan.
"Bisa sih bisa. Tapi sama sekali tidak jelas. Aku tidak bisa mendapat gambaran yang meyakinkan dari omongannya. Juga tidak tentang tempat di mana dia disekap. Huri cuma bilang, tempatnya sepi sekali. Maklumlah, dia masih kanak-kanak."
"Tetapi Huri tidak diapa-apakan, bukan"" tanya Ira.
"Tidak. Komplotan itu agaknya memperlakukannya cukup baik." Letnan Dipa menaikkan nada suaranya, "Nah, Anak-anak, kini tiba saatnya bagiku untuk melakukan penggerebekan. Dan foto-foto ini kupinjam dulu ya, De."
Dede mengangguk, "Foto itu saya berikan untuk kepentingan penyidikan. Let. Tapi..."
"Tapi apa""
"Untuk mencuci dan mencetaknya saya mengeluarkan uang cukup banyak...." "Maksudmu""
"Oh, tidak, tidak, saya tidak minta ganti uang." Dede menyeringai. "Sebagai gantinya - kalau boleh - kami bertiga ingin ikut dalam penggerebekan itu. Hehehe, supaya kami tahu penyelesaian perkara ini hingga tuntas. Let"
Letnan Dipa tampak mempertimbangkan permintaan Dede. Lalu katanya, "Baiklah. Kalian boleh ikut menyaksikan. Tapi dari jauh saja, ya""
"Yihuuul" Dede bersorak girang.
Yan dan Ira pun ikut senang.
"Cerdik juga kamu. De," puji Yan sambil menepuk punggung temannya kuat-kuat.
"Ayo!" Letnan Dipa mengajak anak-anak.
Sebelum kembali ke markasnya, Letnan Dipa berbicara kepada anak buahnya yang tetap ditugaskannya menjaga rumah Pak Gumarang.
Sementara itu anak-anak berjumpa dengan Febriya.
"Huri sudah kembali dengan selamat. Hatiku lega sekali," kata si Yaya. "Tetapi di samping itu aku juga tidak puas. Karena ternyata komplotan penculik itu masih berkeliaran dengan bebas!" Ketika berkata demikian - Yaya menatap ketiga anggota Kelompok 2 & 1 satu per satu. Pandangannya seolah-olah mengatakan: ternyata kalian tidak becus membekuk mereka!
Yan yang menangkap arti pandangan Febriya. berkata, "Penculik-penculik itu akan tertangkap. Ya. Sebentar lagi!"
"Omong kosong!" tukas Yaya melecehkan.
"Kamu boleh meragukan kata-kataku. Tapi satu hal perlu kauingat." Yan mengangkat telunjuknya. "Kamu tidak salah ketika memutuskan untuk minta bantuan kami."
Yaya memandang Yan. Pandangan orang bimbang.
"Ayo!" ajak Letnan Dipa.
"Sayang, aku tidak punya waktu untuk menjelaskan. Nantilah, aku aka
n datang lagi untuk menceritakannya kepadamu. Yuk, aku pergi dulu!" Dan Yan beserta kedua anak yang lain meninggalkan Febriya yang memandang dengan ragu ragu
XIII. SERGAPAN KILAT 31 Yang mula-mula dilakukan Letnan Dipa adalah kembali ke ruang kerjanya, kemudian menekan tombol intercom. Melalui pesawat penghubung itu ia memanggil seorang polisi berpangkat sersan.
Beberapa saat kemudian sersan yang dipanggil datang menghadap. Kepadanya Letnan Dipa menerangkan perkembangan terakhir peristiwa penculikan Huri Gumarang. Letnan menyuruh sersan itu menghubungi para informan yang selalu membantu polisi. Agar mereka menyelidiki dan mencari keterangan tentang tempat tinggal Mat Gorila sekarang. Harus secepat mungkinl
"Siap, Pak!" kata sersan itu setelah memahami maksud atasannya. "Kerjakan!" Lalu ia meninggalkan ruangan.
Kemudian Letnan Dipa memanggil Koptu Sahron dan empat anak buahnya yang lain. Setelah mereka menghadap. Letnan Dipa memberi penerangan. Bicaranya singkat, tidak bertele-tele, dan tegas.
"Jadi, begitu informasi tempat tinggal Mat Gorila masuk, kita harus segera bergerak. Rencana penyergapan kita tentukan setelah lokasinya kita ketahui secara pasti. Hanya satu pesan saya. Sedapat mungkin hindarkan tembak-menembak. Untuk itu kita harus mengadakan penyergapan kilat. Mat Gorila dan komplotannya harus sudah teringkus sebelum mereka menyadari apa yang sesungguhnya telah terjadi. Sekarang - adakan persiapan. Kerjakan!"
"Kerjakan!" Polisi-polisi itu memberi salut, lalu meninggalkan ruangan.
Semua kejadian di atas diikuti dengan cermat oleh Yan, Dede. dan Ira yang duduk di bangku di sudut ruangan. Ketiga anak itu menyaksikan dengan hati diliputi pelbagai macam perasaan: puas, lega, senang, tetapi juga waswas dan tegang.
"Nah, sekarang tidak ada yang harus kita lakukan - kecuali menunggu," Letnan Dipa berkata pada ketiga anak itu.
Ketiga anak itu mengangguk-angguk.
"Aku keluar sebentar, ya. Kalian jangan ke mana-mana." Letnan Dipa tersenyum, lalu membuka pintu.
"Let!" Letnan Dipa menoleh mendengar panggilan Dede.
"Bolehkah saya meminjam telepon" Saya pikir sebaiknya saya memberi kabar ke rumah. Supaya Bu Rondo dan orang tua Yan tidak cemas jika nanti kami terpaksa pulang terlambat," pinta Dede.
Kelompok 2 Dan 1 Sang Pengintai Karya Dwianto Setyawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Silakan." Letnan Dipa menunjuk pesawat telepon di atas meja, lalu keluar.
Dede menghampiri meja Letnan Dipa. Dengan bergaya - seolah-olah dirinya komandan - ia memutar nomor telepon rumahnya.
"Halo!" Lagak si Dede membuat Ira dan Yan terpingkal-pingkal.
Dede berbicara dengan Bu Rondo, pembantunya. Dikatakannya mungkin nanti ia pulang sore. Ada urusan penting! Puueentiing sekali! Bu Rondo disuruhnya ke rumah Yan untuk memberi tahu Bu Minta. Ketika Bu Rondo menanyakan, di mana Dede sekarang" Dede menjawab pendek, di suatu tempat! Lalu ia memutuskan hubungan.
"Bukan main lagakmu, De!" ejek Ira.
"Kenapa" Pantas kan kalau aku menjadi seperti Letnan Dipa"" tanya Dede, bergaya.
"Kamu tidak pantas! Sungguh!" tukas Yan. "Soalnya kamu terlalu sok! Kukira aku lebih cocok untuk menjadi seperti Letnan Dipa."
Dede meruncingkan mulutnya.
"Oh, sungguh mengasyikkan pengalaman kita hari ini," kata Ira. Matanya berbinar.
Omongan itu memancing pembicaraan tentang pengalaman mereka mulai tadi pagi. Dan mereka pun mengobrol, kadang-kadang diselingi tawa yang ramai.
Kira-kira setengah jam kemudian seorang gadis - pegawai sipil - masuk ke ruang itu. ia mengantarkan nasi bungkus dan teh botol untuk anak-anak. Dengan pesan dari Letnan Dipa supaya mereka cepat-cepat makan.
Anak-anak menerima kiriman itu, kemudian menyikatnya sampai licin tandas. Soalnya di samping lapar, nasi campur itu memang enak.
Jam 14.30. Letnan Dipa membuka pintu ruang kerjanya.
"Informasi sudah masuk. Anak-anak. Kita berangkat sekarang!"
Anak-anak meloncat berdiri dari bangku. Lalu dengan tergesa-gesa mereka mengikuti Letnan Dipa.
32 Anak-anak berada dalam satu jip dengan Letnan Dipa. Sementara Koptu Sahron dan rekan-rekannya berada di mobil yang lain.
Setelah semua siap. Let nan Dipa memberi isyarat berangkat.
Dalam perjalanan menuju sasaran. Letnan Dipa memberi tahu anak-anak bahwa Mat Gorila tinggal di sebuah rumah di kawasan pinggir kota. ia tinggal bersama dua orang temannya.
"Lokasinya sudah jelas. Let"" tanya Yan.
"Jelas sekali. Strategi penyergapan sudah kami atur. Rapi pokoknya!"
"Jadi pasti berhasil. Pak"" tanya Ira tegang dan waswas.
"Pasti! Dia tidak akan bisa lari ke mana-mana," jawab Letnan Dipa penuh rasa percaya diri.
Untuk mencapai daerah pinggiran kota itu dibutuhkan waktu 25 menit. Begitu mendekati daerah sasaran. Letnan Dipa menghubungi Koptu Sahron dengan radio mobil, ia memberi instruksi terakhir.
Beberapa detik kemudian anak-anak melihat mobil Koptu Sahron - yang meluncur di depan - mempercepat larinya. Lalu belok kanan, memasuki sebuah jalan tanah yang lebar.
Jip Letnan Dipa mengikuti jejak mobil di depan. Radionya mengumandangkan laporan Koptu Sahron.
"Sasaran sudah tampak. Kami mulai!"
Tiba-tiba mobil Koptu Sahron berbelok masuk ke halaman sebuah rumah. Melaju kencang, lalu berhenti secara mendadakdi muka pintu. Sebelum mobil itu berhenti sepenuhnya - Koptu Sahron dan rekan-rekannya sudah berloncatan keluar. Koptu Sahron dan seorang polisi langsung mendobrak pintu. Polisi lainnya mengitar lewat samping rumah. Seorang menodongkan senjatanya melalui jendela. Yang lain menyerbu lewat pintu belakang.
Benar-benar serangan kilat!
Letnan Dipa mematikan mesin jipnya.
"Merunduk, merunduk," perintahnya pada anak-anak. "Jangan keluar, apa pun yang terjadi. Juga nanti kalau Mat Gorila sudah tertangkap. Aku tidak ingin penjahat-penjahat itu mengenali kalian."
Sesudah berpesan demikian. Letnan Dipa membuka pintu. Lalu ia berlari ke arah belakang mobil Koptu Sahron. ia berlari sambil merunduk dengan pistol siap di tangan.
Yan, Dede, dan Ira mematuhi perintah Letnan Dipa. Mereka merunduk dalam-dalam, sambil berusaha mengintip kejadian di luar. Dada mereka terasa berdebar kencang. Keringat tiba-tiba mengalir tanpa sebab. Mereka memang sudah sering menangani perkara kejahatan. Akan tetapi ikut menyergap penjahat di sarangnya, baru sekali ini. Maka wajarlah jikalau perasaan tercekam oleh kekhawatiran yang menakutkan.
Ira bahkan diam-diam membayangkan, bagaimana seandainya polisi gagal dalam penyergapan ini" Bagaimana seandainya Mat Gorila berhasil meloloskan diri, dan lari justru ke arah jip tempatnya mengikuti kejadian bersama Yan dan Dede" Bagaimana, dan apa jadinya" Ira mendadak merasa perutnya kaku.
"Berhasil!" tiba-tiba Yan berseru.
Seruan Yan serentak mencairkan ketegangan yang terasa semakin kental. Ira lebih menjulurkan lehernya, mengawasi rumah dari balik kaca jip. Begitu pula yang diperbuat oleh Dede dan Yan sendiri.
Dari dalam rumah, tampak Koptu Sahron dan rekan-rekannya menggiring tiga laki-laki yang tangannya sudah diborgol Anak-anak segera mengenali. Yang paling depan adalah Mat Gorila. Yang kedua tak lain temannya yang menyetir sepeda motor. Paling belakang adalah seorang laki-laki yang belum pernah dilihat oleh anak-anak.
Letnan Dipa menyimpan pistol ke dalam sarungnya, ia berjalan menghampiri Mat Gorila. Mat Gorila menunduk. Ira agak heran menyaksikan sikap penjahat itu di hadapan Letnan Dipa.
"Potongannya tinggi besar, menyeramkan. Namun agaknya dia amat segan pada Pak Dipa," pikirnya. "Berarti Letnan Dipa memang hebat!" Diam-diam Ira memandang kagum pada letnan polisi itu.
Terdengar Letnan Dipa berbicara kepada penjahat bertubuh tinggi besar itu, "Mat, Mat! Mat Gorila... untuk kesekian kalinya kita saling berurusan lagi. Kapan kamu mau insyaf. Mat""
Mat Gorila menghindari mata Letnan Dipa. ia diam saja. Namun kemudian sambil mengangkat muka, ia bertanya, "Pak, bagaimana Bapak bisa tahu""
"Bahwa kamu pelaku penculikan itu"" tukas Letnan Dipa. "Sayang aku tidak bisa menjelaskannya. Mat. Itu rahasia kami." Letnan Dipa dan Mat Gorila berpandangan. Mat Gorila nampak tidak puas memperoleh jawaban seperti itu. Letnan Dipa lalu memberi isyarat kepada anak buahnya, "Bawa mereka!"
Koptu Sahron menyuruh ketiga anggota komplotan itu naik ke mobil. Tetapi ia sendiri tidak ikut. Setelah Mat Gorila dan kawan-kawannya naik, polisi-polisi yang bertugas mengawal menyusul naik. Dan, mobil pun berangkat meninggalkan tempat itu.
Ketika mobil yang membawa Mat Gorila dan kawan-kawan berlalu di dekat jip, anak-anak merunduk dalam-dalam. Pesan Letnan Dipa mereka lakukan dengan baik. Bagaimanapun memang lebih aman jika para penjahat itu tidak tahu siapa orang di belakang layar, yang akhirnya menyebabkan mereka tertangkap.
XIV. SERANGKAI RASA TERIMA KASIH
33 "Anak-anak, kalian boleh keluar sekarang," kata Letnan Dipa dari jendela jip.
Ketiga anak itu menghela napas lega. Mereka turun dari jip.
Koptu Sahron langsung menyambut dengan menjabat tangan mereka satu per satu.
"Terima kasih. Adik-adik, atas bantuan kalian," kata kopral polisi itu. "Kalian telah memberi kesempatan kepadaku untuk menebus kekeliruanku - ketika mengadakan penyergapan di makam Pungkasan."
Yan dan kawan-kawan tersenyum bangga.
"Mereka memang pantas mendapat ucapan terima kasih dari kita, Ron. Dariku juga," sambung Letnan Dipa. "Sebab mereka sungguh-sungguh telah menyelamatkan mukaku - karena foto-foto itu. Coba kalau tidak. Andaikata kita tidak berhasil menggulung komplotan Mat Gorila. Apa yang akan terjadi" Masyarakat pasti akan melecehkan kemampuan kita sebagai polisi. Tapi syukurlah - semua sudah beres!"
"Ya." Koptu Sahron memandang Dede. "Kamu cukup ahli membuat foto rupanya
"Apa boleh buat! Bakat saya dalam bidang itu memang besar sekali!" Dede tertawa keras.
"Uuuuuu!" Ira mendorong punggung Dede. Dede berpura-pura mau terjerunuk.
Semua tertawa melihat lawakan Dede.
"Oh ya, apa sebenarnya yang terjadi waktu Anda menyerbu ke rumah tadi"" tanya Yan pada Koptu Sahron.
"Ohh! Waktu kami masuk, Mat Gorila dan seorang temannya sedang main kartu. Sementara temannya yang lain berada di dapur, mau mengambil minuman. Mereka sama sekali tidak menyangka akan datangnya penyergapan yang tiba-tiba itu." Koptu Sahron membuka tangan. "Jadi, segalanya berlangsung dengan amat mudah. Tak ada perlawanan sedikit pun. Kami tinggal memborgol."
"Lalu, Pak, bagaimana caranya sehingga informasi tentang rumah ini dapat diketahui demikian cepat"" tanya Yan lagi.
"Begitu kami mendapat perintah dari Pak Dipa, kami langsung menghubungi para informan. Dari salah seorang informan yang bernama Dubri, diperoleh keterangan bahwa Mat Gorila tinggal di sini." Koptu Sahron menuding tanah. "Dubri lalu kami suruh mengawasi dan mencatat kegiatan yang sedang dilakukan Mat Gorila. Informasi lebih lanjut menyebutkan bahwa Mat Gorila dan kawan-kawan terlihat ada di rumah. Penyergapan bisa dilakukan secepatnya! Lalu, Letnan Dipa menentukan taktik penyergapan. Selanjutnya Adik-adik tahu sendiri."
Yan merasa puas dengan penjelasan itu "Ayo, kita lihat-lihat keadaan di dalam," ajak Dede. ia mendahului masuk ke rumah, menyusul Letnan Dipa yang sudah di dalam untuk memeriksa keadaan.
34 Ketiga anggota Kelompok 2 & 1 melihat Letnan Dipa di dalam kamar, yang rupanya merupakan kamar Mat Gorila. Letnan polisi itu sedang memeriksa tas kopor yang berisi uang tebusen.
"Masih utuh," kata Letnan Dipa sambil menunjuk isi tas kopor itu.
"Fuuuiii! Banyak sekali!" seru Yan melihat tumpukan uang di dalamnya.
"Siapa bilang lima puluh juta itu sedikit, Yan"" Letnan Dipa menutup tas kopor itu dan berkata, "Sudah sewajarnya kalau nanti Pak Bob juga menyatakan rasa terima kasih kepada kalian. Karena berkat jasa kalian, ia dapat memperoleh hartanya kembali."
"Dan tidak berkurang sepeser pun!" sambung Koptu Sahron sambil tertawa. "Rupanya Mat Gorila belum sempat membagi-bagi uang tebusan itu."
Letnan Dipa mengangguk. Kemudian anak-anak diajaknya ke kamar sebelah. Di kamar ini Yan dan kawan-kawan melihat mainan anak-anak yang berserakan. Di atas meja ada susu kaleng, biskuit, permen loli, dan coklat.
"Jadi di sini Huri disekap," gumam Ira.
"Ya. Tapi tempat ini memang cocok untuk menyembunyikan seorang anak." Letnan Dipa memandang ke luar. "Kea
daannya sepi dan berjauhan dengan tetangga," lanjutnya.
Ira menegakkan sebuah mobil-mobilan yang terguling di lantai. Katanya, "Rupanya mereka memperlakukan Huri cukup baik."
"Aku tidak tahu kalau Mat Gorila juga punya bakat jadi tukang momong. Hahahaha!" Koptu Sahron tertawa keras.
"Let," panggil Yan.
"Hmm"" "Masih ada satu soal yang mengganggu pikiran saya. Bagaimana komplotan itu mengetahui jadwal acara Bu Gumarang. Umpamanya kebiasaan Bu Gumarang ke tempat senam Arita dengan mengajak Huri" Apakah benar mereka tidak mempunyai hubungan dengan orang dalam""
"Untuk mengetahui jadwal acara keluarga Gumarang, orang bisa hanya mengamati dari luar, Yan. Mencatat jam berapa biasanya ia pergi. Membuntuti hingga tahu tujuannya, dan seterusnya. Sampai sekarang aku tetap tidak menemukan bukti adanya hubungan antara para pembantu keluarga Gumarang dengan komplotan. Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa komplotan itu bekerja sendiri." Letnan Dipa mempertemukan kedua telapak tangan lalu menggosok-gosokkannya. "Kita sudah cukup lama di sini. Ron, kaujaga tempat ini dulu sementara menunggu kedatangan rekan-rekan dari bagian penyidikan. Aku akan mengantarkan anak-anak."
"Siap, Pak!" "Mari!" Letnan Dipa mengangkat tas kopor dan keluar.
"Kita terus ke Febriya"" tanya Dede pada Yan.
"Nanti saja. Tak perlu tergesa."
"Soalnya aku ingin melihat reaksinya setelah mengetahui peranan kita dalam penyelesaian perkara ini. Masa dia masih kecewa""
Yan tertawa. Ketiga anak itu menyusul Letnan Dipa ke mobil. Angin sore menyambut mereka, dengan hembusan lembut hingga terasa bagai belaian. Dada lalu terasa lapang. Dan ayunan langkah pun terasa lebih ringan.
-END- Petualangan Tiga Garrideb 1 Bayi Pinjaman Baby On Loan Karya Liz Fielding Pengorbanan The Sacrifice 2
Sementara itu di luar-anggota Kelompok 2 & 1 tengah berunding.
Dede mengajak segera menyusul Pak Gumarang. Katanya, ia tahu letak tanah makam Pungkasan. Namun Yan - yang biasa berpikir panjang - tidak segera menanggapi usul itu. Anak berambut lebat itu tampak mempertimbangkan usul Dede dengan serius.
"Ayo, nanti kita terlambat!" ajak Dede sekali lagi.
Tiba-tiba Yan menggeleng.
Bola mata Dede seketika melebar. "Tidak"" gumamnya heran. "Kenapa, Yan" Ini kesempatan yang baik bagi kita untuk bertindak."
"Bertindak apa" Apa yang akan kaulakukan di sana - setelah urusan menjadi begini"" tukas Yan.
Dede yang tidak siap menghadapi pertanyaan itu, tidak bisa menjawab, ia memandang Yan sekilas, lalu memandang Ira.
"Urusan ini sudah berkembang menjadi sedemikian rupa sehingga kita tidak kebagian peranan lagi. Kau tahu sendiri. Pak Gumarang sudah ke sana. Polisi juga akan datang. Lalu apa yang bisa kita lakukan" Paling-paling cuma melihat."
"Ya, melihat!" Dede menggerakkan telunjuk. "Kita akan bisa menyaksikan sebuah keramaian yang jarang terjadi."
"Tapi itu sangat berbahaya, De," Yan mengingatkan. "Sebab tidak mustahil di tempat itu akan terjadi tembak-menembak."
"Itulah yang kutunggu!" seru Dede keras kepala.
Yan menggeleng tegas. "Tidak, kita tidak akan ke sana!"
"Yan!" teriak Dede, kesal. "Aku sependapat dengan Kak Yan. Kita tidak perlu ke sana. Kita tunggu saja hasilnya," kata Ira.
"Apa" Menunggu" Cuma menunggu" Bah!" Dede menepiskan tangan dengan gaya menghina. Matanya menatap Ira. "Susah-susah kita menyelidiki perkara ini. Setelah penyelesaiannya di depan mata, kalian justru mau mundur. Kalau begitu - apa gunanya kita bersusah payah melibatkan diri" Dasar penakut semuanya!"
"Aku bukannya takut!" tukas Ira keras. "Tapi sebagai anak-anak mestinya kita cukup tahu diri. Perkara ini - seperti kata Kak Yan - sudah berkembang menjadi bukan urusan kita lagi. Lalu mengapa kita memaksakan diri untuk ikut menyelesaikannya"" Ira diam sebentar. "Lagi pula aku tidak ingin melanggar janji pada Ibu. Ibu sudah berpesan, kami boleh melibatkan diri dalam perkara ini, dalam batas-batas tertentu. Apabila keadaan terasa mulai berbahaya, kita harus cepat-cepat menarik diri!"
Dede mendengus. Kelakuannya itu memanaskan hati Ira. Sebaliknya Yan tetap bersikap tenang. Yan sudah sangat mengenal perangai Dede. Biarkan saja, pikirnya.
"Baiklah. Kalau kalian tetap tidak mau, aku akan ke sana sendiri," Dede menggertak sambil berpura-pura mau melangkah.
"Silakan," jawab Yan ringan. Matanya melirik arloji di pergelangan Dede.
Dede ikut melirik. Pukul 12.25. Terlambat! Untuk mencapai pekuburan itu tak cukup waktu 35 menit, kalau naik kendaraan umum. Sebab letaknya cukup jauh. Dede menggeram marah. Matanya bagai ingin menelan Yan dan Ira bulat-bulat. Namun sesaat kemudian ketegangan berangsur-angsur lenyap dari mukanya.
"Ya sudahlah, kalian yang men
ang," ujarnya kemudian.
Ira dan kakaknya tertawa.
"Tapi - salanjutnya bagaimana"" tanya anak berkaca meta yang gampang naik darah itu. "Masa kita akan diam melulu""
Yan menjawab sambil tersenyum, "Ira kan sudah ngomong. Kita tunggu dulu."
"Maksudnya""
"Kalau urusan ini selesai, Huri sudah kembali, ya sudah! Berarti kita memang tidak jodoh dengan perkara ini. Tetapi seandainya tidak" Dan itu mungkin lho!" Yan menyambung, "Barangkali kita masih punya kesempatan untuk melakukan sesuatu lagi. Siapa tahu!"
Dede menghela napas dalam-dalam.
"Kak, sudah siang. Kita mau menunggu di sini terus, atau pulang"" tanya Ira.
"Sebaiknya kalian pulang dulu," kata Yaya yang muncul tiba-tiba.
Anak-anak memandang Yaya.
"Nenek mulai mempersoalkan kehadiran kalian. Aku jadi tidak enak." Febriya menjelaskan.
Yan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah. Tapi aku punya satu permintaan. Ya. Aku sangat ingin tahu akhir peristiwa ini. Maukah kamu segera memberi tahu kami setelah urusannya beres"" Yan membuka tangan. "Termasuk kalau terjadi perkembangan lain."
Febriya mengangguk. "Akan kuusahakan. Asa! aku punya kesempatan. Sekarang cepatlah pulang! Tuh, lihat, Nenek sedang memperhatikan kita," Yaya mendesak dengan gugup.
"Baik, baik! Ayo, sampai ketemu!"
Ketiga anak itu segera mengayunkan langkah, meninggalkan rumah keluarga Gumarang. Mereka terus pulang.
VIII. INFORMASI KEDUA DARI YAYA
19 Sepanjang siang sampai sore itu Yan dan kawan-kawan merasa gelisah. Kelakuan mereka tidak bisa tenang. Mereka serasa tak sabar, ingin mengetahui akhir drama penculikan Huri Gumarang, tetapi tidak tahu caranya.
Pada suatu saat mereka memutuskan untuk mendatangi lagi rumah keluarga Gumarang. Bertanya pada Yaya, bagaimana hasilnya" Namun kemudian niat itu batal dengan sendirinya. Sesudah mereka mempertimbangkan bahwa tindakan semacam itu bisa merugikan Yaya. Sebab, mungkin saja Yaya dimarahi gara-gara mereka bolak-balik datang.
Pada saat yang lain mereka mengatakan lebih baik kita menjumpai Letnan Dipa, dan mencari keterangan. Akan tetapi niat ini pun akhirnya mengendur. Gara-gara perasaan sungkan. Letnan Dipa sedang sibuk. Masa mereka mau mengganggunya dengan pertanyaan yang sebenarnya masih bisa ditunda" Tidak enak, ah!
Akhirnya mereka tidak melakukan apa-apa. Dede lalu pulang, ia mau tidur sebentar, katanya.
Yan juga masuk ke kamar, mencoba memicingkan mata. Sementara Ira membantu Ibu mendandani gorden jendela. Ibu mencoba mempraktekkan cara mendandani gorden menurut petunjuk buklet dari sebuah majalah.
Sekitar pukul lima sore, Dede kembali ke rumah Yan. Anak itu datang dengan sepeda, ia memakai jaket dan rambutnya tersisir rapi. Sesampainya di rumah Yan, Dede langsung menuju kamar temannya itu.
"Yan, bangun!" serunya.
Yan - yang baru bangun - menggeliat. Tubuhnya dimiringkannya menghadap pintu.
"Yan, antarkan aku ke rumah Danu." Dede berdiri di pinggir dipan.
"Ogah, ah!" Yan merentangkan lengannya. "Pergilah sendiri!"
"Ayo!" sentak Dede. "Kamu toh tidak punya acara."
"Mau apa ke sana""
"Mengambil buku Pahlawan Lingkungan Hidup. Danu sudah berjanji mau meminjamkan padaku. Katanya, bagus!" Dede memiringkan mukanya. "Ayolah!"
Akhirnya Yan mau. ia berdiri. Dilemaskannya otot-ototnya dengan cara memutar punggung ke kiri dan ke kanan. Lalu sambil berjalan ke kamar mandi, ia berkata, "Tunggu sebentar."
Sementara menunggu, Dede Sofyan menggabungkan diri dengan Ira dan ibunya. Dede memperhatikan gorden yang baru diatur, lalu memuji. Selanjutnya bahan percakapan tertuju lagi pada peristiwa penculikan Huri.
Ira mengatakan bahwa ia tadi mendengarkan Warta Berita Daerah dari radio, ia berharap akan mendengar berita yang melegakan tentang Huri. Namun lagi-lagi radio tidak menyiarkan berita tentang penculikan itu.
Dede heran melihat Ira berbangkis bangkis "Kenapa, Ir""
"Rupanya mau pilek," sahut Ira. Lubang hibungnya, sebelah, ditutupnya dengan ibu jari, lalu menyedot-nyedot. "Hidungku buntu."
"Itu namanya mau flu. Keluyuran terus sih!" celetuk Bu Minta.
"Keluyur an ke mana" Ira kan tidak ke mana-mana. Cuma tadi siang...." Ira memandang Ibu, kemudian tertawa.
"Cuma tadi siang! Seharian tidak berada di rumah!" Ibu bersungut-sungut. "Sesudah ini kamu harus istirahat!"
"Tapi - aku mau ikut Kak Yan dan Dede," bantah anak perempuan itu.
"Ala, cuma ke rumah Danu kok mau ikut. Tidak, tidak usah!" tolak Bu Mintaraga, tegas.
Ira cemberut, tapi tidak mendebat lagi.
Tak lama kemudian Yan ke luar. Yan memakai kaus tebal berlengan panjang dan berleher tinggi. "Ayo," katanya pada Dede. Lalu kepada Ibu, "Yan pergi sebentar. Bu."
"Jangan malam-malam."
"Nggak, cuma sebentar kok," Yan memandang adiknya. "Pileknya pakai pusing-pusing, tidak""
"Sedikit," kata Ira.
Yan memperhatikan wajah adiknya sebentar lagi, kemudian berpamitan, "Aku pergi dulu, ya." Kedua anak laki-laki itu pun keluar.
20 Kedua sahabat itu tidak terlalu lama di rumah Danu. Mengambil buku, mengobrol sebentar, lalu kembali.
Petang itu angin terasa kencang. Langit tidak jernih. Hanya beberapa gelintir bintang yang kelihatan. Kedua anak itu menjalankan sepedanya dengan santai. Kadang-kadang beriring-iringan, kadang-kadang berdampingan - kalau lalu lintas kebetulan agak sepi.
Mereka melewati Apotek Margi Rahayu.
Dede yang asyik mengayuh sepeda, tiba-tiba mengerem. Kepalanya menoleh ke belakang, mengawasi sebuah mobil yang diparkir di muka sebuah pohon, di sebelah kiri pintu pagar apotek. Kening anak itu berkerut. Sesaat kemudian ia memandang ke depan lagi dan berteriak memanggil Hardian.
Yan yang sedang meluncur beberapa meter di depan, menoleh.
"Yan!" teriak Dede lagi.
"Apa"" Sambil bertanya, Yan memutar arah sepeda, mendekati Dede.
Dede menunjuk mobil itu dengan tolehan. "Itu kan mobil Yaya," katanya.
Yan memperhatikan lebih cermat. "Oh ya!" katanya.
"Yaya, atau bukan, yang di apotek"" kata Dede.
"Mungkin Yaya. Ayo, kita lihat!" Yan mendahului menyeberang. Dikayuhnya sepeda memasuki halaman apotek. "Mudah-mudahan Yaya. Kalau dia ada di sini, aku bisa mencari keterangan," pikir Yan.
Yan masuk ke dalam apotek itu. Dede menyusul di belakangnya.
Dan benar. Ternyata Yaya! Anak perempuan itu duduk sendirian di bangku yang merapat ke dinding sebelah timur.
Kedua anak laki-laki itu bergegas-gegas menghampiri Febriya.
"Ahh, kalian! Kebetulan!" seru Yaya melihat kemunculan kedua temannya.
Yan celingukan memperhatikan keadaan dalam apotek, serta beberapa orang yang sedang menunggu obat. Kemudian sambil menatap Yaya, ia bertanya, "Kamu sendirian""
"Dengan Pak Asum."
Yan mengangguk. Berarti aman. ia bisa mengorek keterangan dari Yaya
"Mengambil obatnya siapa"" tanya Dede sambil duduk dekat anak perempuan yang mukanya bulat telur itu.
"Nenek. Penyakitnya kumat gara-gara terlalu khawatir."
"Maksudmu..." Yan sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya. Pantatnya diletakkannya pelan-pelan ke bangku.
Yaya menghela napas panjang, lalu menggeleng-geleng dengan muka suram. "Usaha Paman gagal. Gara-gara polisi ikut campur," katanya kemudian.
Dede dan Yan berpandangan.
"Apa yang terjadi" Ceritakan, Ya," pinta Dede.
Febriya pun bercerita: Seperti telah diketahui. Pak Gumarang berangkat ke pekuburan Pungkasan. ia berhasil tiba di sana tepat pada waktunya, ia juga berhasil menemukan pusara yang ditentukan oleh komplotan penculik. Tanpa berlama-lama. Pak Gumarang menaruh tas berisi uang di atas makam. Kemudian dengan tidak menoleh-noleh lagi, paman Febriya itu meninggalkan tempat itu. Pak Gumarang berjalan dengan langkah lebar kembali ke mobil.
Pada saat mengendarai mobil, pulang, kepala laki-laki itu dipenuhi pelbagai pikiran. Apakah si penculik sungguh-sungguh akan mengambil uang itu" Apakah sesudahnya Huri benar-benar akan dibebaskan" Bagaimana kalau tidak" Bagaimana kalau penculik itu hanya mau menipu saja" Mau uangnya, tapi tidak mau membebaskan Huri" Atau, bagaimana jika si penelepon yang menyuruhnya ke makam - bukan si penculik, tapi orang lain yang sengaja memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan"
Macam-macamlah pikirannya. Sampai-sampai ia
mengemudikan mobil seperti orang melamun.
Di samping itu Pak Bob Gumarang juga cemas. Mencemaskan tindakan Koptu Sahron. Tadi ia memang tidak melihat polisi di makam. Seorang pun - bahkan orang yang mencari rumput pun tidak tampak. Tapi siapa tahu Koptu Sahron dan rekan-rekannya bersembunyi, mengepung tempat itu. Kalau demikian... kalau penculik itu sampai tahu, apa yang akan terjadi" Terasa pening kepalanya memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi!
Pak Bob tiba kembali di rumah, ia langsung duduk termangu-mangu seperti orang kehilangan kesadaran.
Sementara itu waktu terus merambat. Kira-kira satu jam kemudian, tiba-tiba telepon berdering nyaring. Pak Bob Gumarang langsung meloncat dari kursi, dan menyambar gagang telepon.
Telepon itu datangnya dari penculik. Dan si penelepon berbicara dengan Pak Bob dengan suara berang. Katanya, ia telah melihat kehadiran polisi di sekitar makam Pungkasan. ia benar-benar marah, ia menuduh Pak Bob melanggar janji, mau menjebak, dan oleh karena itu Pak Bob harus merasakan akibatnya!
Pak Bob panik mendengar ancaman penculik itu. ia menjelaskan bahwa kehadiran polisi sungguh-sungguh di luar kehendaknya. Dengan setengah meratap ia mohon agar penculik jangan menyakiti Huri. ia minta diberi kesempatan sekali lagi, di luar pengetahuan polisi. Untuk itu Pak Bob minta agar penculik tidak memberikan instruksinya melalui telepon yang telah dipasangi alat perekam. Hendaknya penculik mencari cara lain. Untungnya, komplotan penculik itu mau mengerti. Mereka bilang, kali ini mereka masih mau memaafkan Pak Bob. Tapi hanya untuk sekali ini! Mereka berjanji akan memberi instruksi penyerahan uang tebusan melalui surat.
Febriya diam setelah bercerita panjang lebar Pandangannya menerawang ke langit melalui sudut pintu apotek.
"Lalu... apa yang terjadi"" tanya Dede Sofyan, setelah membiarkan Yaya diam cukup lama.
"Kemudian, sorenya Letnan Dipa datang. Dia membawa tas kopor berisi uang yang tidak jadi diambil oleh penculik. Rupanya komplotan itu sungguh-sungguh mengawasi makam. Setelah tahu ada polisi, mereka pun pergi dengan diam-diam, lalu menelepon pamanku." Febriya memandang kaca mata Dede. "Lalu""
"Begitulah," Yaya menggerakkan tangannya, "Paman Gumarang langsung menyambut kedatangan Letnan Dipa dengan penuh kemarahan, ia menuduh polisi tidak mementingkan keselamatan Huri. Entah apa saja yang disemburkan Paman. Aku tidak ingat seluruhnya."
"Bagaimana sikap Letnan Dipa"" tanya Yan ingin tahu.
"Letnan Dipa menanggapi kemarahan Paman dengan kepala dingin. Dia minta maaf atas kecerobohan Koptu Sahron. Rupanya Koptu Sahron telah melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan Letnan Dipa." Febriya melanjutkan, "Letnan Dipa berusaha menenangkan Paman. Katanya, pasti ada cara yang tepat untuk membebaskan Huri, sambil sekaligus menggulung komplotan itu."
"Ya, pasti ada," gumam Yan.
"Paman menyambut omongan Letnan Dipa dengan sikap dingin dan acuh tak acuh. Sebab, diam-diam dia sudah punya rencana sendiri." Febriya mengakhiri ceritanya dengan menegakkan punggung, ia melihat pegawai apotek mengangguk ke arahnya. "Itulah yang terjadi," katanya. Lalu ia berjalan untuk mengambil obat.
Dede dan Hardian termenung.
Setelah menerima obat, Yaya berjalan menuju pintu. Tetapi baru beberapa langkah, ia berhenti. Agaknya ia sedang mempertimbangkan sesuatu. Kemudian satelah memperoleh keputusan, ia berbelok kembali ke bangku tempat Yan dan Dede tetap duduk. Yaya memperhatikan kedua anak laki-laki itu. Yang diperhatikan balas memandang.
"Aku tidak tahu... sebaiknya kuceritakan atau tidak," gumam Yaya, lebih tertuju pada diri sendiri.
Kedua anak laki-laki itu menegakkan leher.
"Apa lagi. Ya" Ayo, ceritakan!" desak Yan. Tangannya menarik anak perempuan itu sampai terduduk. "Cerita tadi masih ada kelanjutannya, bukan""
Yaya mengangguk-angguk. "Ya, memang masih ada." ia tidak segera melanjutkan. Kedua anak laki-laki itu ditatapnya dengan serius. Lalu ia mengajukan syarat, "Aku mau menceritakannya pada kalian, tapi dengan satu syarat. Kalian tidak
boleh memberitahukannya kepada orang lain. Lebih-lebih pada polisi!"
"Janji!" sahut Yan langsung.
"Tadi kira-kira jam lima, tak lama setelah Letnan Dipa pulang. Paman Gumarang menerima surat," cerita Yaya.
"Dari penculik"" sela Dede cepat.
"Ya." "Wah, agaknya komplotan itu langsung memenuhi permintaan pamanmu. Menyampaikan instruksi melalui surat." Yan lebih menoleh ke arah Febriya. "Bagaimana surat itu bisa sampai""
"Tanpa sepengetahuan siapa pun surat itu dilemparkan ke halaman. Rupanya penculik itu masih sering keluyuran di sekitar rumahku." Febriya meremas-remas kantung tempat obat. "Setelah mengetahui adanya surat itu, Paman lalu mengambilnya, ia membacanya, dengan Bibi, dalam kamar. Sementara aku - yang selalu ingin tahu - tak mau ketinggalan. Diam-diam aku berusaha menguping."
"Apa isi instruksi itu"" tanya Dede dengan muka tegang.
"Besok jam setengah enam pagi. Paman harus sudah meletakkan uang tebusan di Jalan Tropika. Tepatnya di depan bangunan studio Radio MK-I yang belum selesai dibangun."
"Cuma itu"" tanya Van.
"Ya. Ditambah peringatan agar Paman tidak memberitahukan hal itu kepada siapa pun. Makanya tadi aku minta pada kalian..."
"Jangan khawatir. Ya. Kami akan menjaga rahasia ini baik-baik," Yan berjanji.
"Soalnya, jika kali ini gagal lagi - entah apa jadinya dengan Huri," ujar Yaya perlahan.
"Aku mengerti, aku mengerti...."
"Apakah pamanmu besok pasti ke sana"" Dede menyeletuk.
"Sudah pasti," jawab Yaya.
"Jalan Tropika, di mana itu"" gumam si Dede sambil membetulkan letak kaca matanya.
"Aku tahu. Tempat itu memang masih sepi," ujar Yan.
Yaya menatap kedua anak laki-laki berganti-ganti. "Apa yang akan kalian lakukan"" tanyanya waswas.
Yan tidak langsung menjawab. Lehernya dimi-ringkannya. Pandangannya tertuju pada sandal Yaya. "Kami masih harus memikirkannya," ujarnya kemudian. "Tapi kami pasti akan melakukan sesuatu." Matanya memandang Dede.
"Ya, pasti." Anak berkaca mata itu mengangguk mantap. Walaupun sebenarnya ia belum tahu sama sekali apa yang bisa diperbuatnya. "Aku juga ingin melihat Huri bisa kembali dengan selamat. Ya."
Yaya menghela napas panjang, lalu berdiri, ia memandang kedua temannya sekilas. Kemudian pergi tanpa menoleh-noleh lagi.
IX. MENENTUKAN LANGKAH 21 Kedua anak laki-laki itu menunggu beberapa saat. Setelah yakin bahwa Yaya sudah berangkat dengan mobilnya, mereka keluar.
Yan tidak langsung menaiki sepedanya. Anak yang hidungnya agak pesek itu memandang Dede, lalu berkata dengan suara prihatin, "Yaya menaruh kepercayaan begitu besar kepada kita, De. Jangan sampai kita mengecewakannya."
"Makanya, kita harus melakukan sesuatu." Dede menepuk-nepuk sadel. "Informasi yang paling akhir telah kita dapatkan. Soalnya, tinggal apa yang bisa kita lakukan" Apakah kita sampaikan saja kepada Letnan Dipa""
"Jangan," cegah Yan cepat.
"Ya..." Dede mendesah. "Kita sudah berjanji pada Febriya untuk merahasiakan masalah ini. Tapi - bagaimana dengan Ira""
"Ira lain! Dia anggota kita. Bagaimanapun dia harus mengetahui perkembangan ini." Yan mengusap-usap dagu sementara pandangannya tertuju pada neon di plafon teras apotek. "Jika polisi ikut campur lagi, memang bisa besar risikonya. Kalau berhasil sih tidak jadi soal. Tapi kalau gagal"" Yan melanjutkan, "Paling baik adalah jika komplotan itu bisa diringkus-sesudah Huri dibebaskan. Jadi tidak ada risiko lagi."
"Ya...." Dede diam sebentar. Lalu dengan suara pelan ia melanjutkan, "Kalau saja kita bisa menyumbangkan sesuatu untuk memudahkan polisi meringkus komplotan itu...."
"Apa katamu"" tukas Yan. Agaknya omongan Dede menimbulkan sebuah gagasan dalam pikirannya.
Dede mengulangi perkataannya.
"Betul!" seru Yan sambil menepuk sadel. "Kalau saja kita bisa menyumbangkan sesuatu... dan kita bisa, De, bisa!"
"Bisa"" Dede mencondongkan mukanya ke arah Yan.
Yan pun menguraikan gagasannya, "Kita bisa mengikuti kejadian besok pagi dengan diam-diam. Kita bersembunyi, De." Yan melanjutkan, suaranya penuh semangat, "Besok pagi kita jogging ke Tropika. Sesudah
itu kita cari tempat persembunyian yang strategis. Kita tunggu sampai penculik itu muncul mengambil uang."
"Lalu, apa yang akan kita lakukan""
"Kita tidak melakukan apa-apa. Kita hanya berusaha merekam wujud dan ciri-ciri orang itu. Kukira memang hanya itu yang bisa kita lakukan. Apa kamu mau menangkapnya" Tidak mungkin, bukan""
"Sesudah itu" Kita melaporkannya kepada Letnan Dipa"" "Ya. Tapi tidak langsung." "Maksudmu""
"Kita lihat perkembangannya dulu. Kita baru akan melapor pada Letnan Dipa - setelah Huri dibebaskan."
"Tapi bagaimana kalau penjahat itu terburu melarikan diri""
"Apa boleh buat!" Yan menggerakkan bahunya. "Dia lari masih bisa dicari. Daripada kita tergesa-gesa lapor. Kemudian kita andaikan saja, polisi terus melakukan pencarian. Lalu komplotan itu mendengar, atau tahu. Apa jadinya dengan Huri yang masih di tangan mereka" Bisa gawat, De. Kita bisa disalahkan seandainya terjadi sesuatu yang buruk atas diri anak itu. Pokoknya Huri bebas dulu. Yang penting ciri-ciri penjahat itu sudah di sini." Yan mengetuk dahinya dengan telunjuk.
Dede bisa menerima alasan Yan. "Tapi..." gumamnya kemudian. "Apa lagi""
Seperti berkata pada diri sendiri, Dede berkata, "Kalau cuma mengandalkan ingatan apakah cukup...." Tiba-tiba Dede menjentikkan ibu jari dan telunjuknya, TIK! "Aku tahu cara yang lebih tepat, Yan!"
"Ya"" "Kita ambil fotonya!" Dede menyeringai puas. Merasa telah menelurkan gagasan yang cerdik.
"Dengan tustelmu yang kecil itu"" Yan menegaskan. "Ya!"
"Ya, kalau bisa kurasa lebih baik. Kita akan punya bukti yang tak terbantah. Di samping itu kita dapat memudahkan polisi dalam mencari cecunguk itu."
"Itulah yang terpikir olehku. Daripada mengandalkan ingatan saja," kata Dede.
"Jadi, pasti bisa ya, De""
"Pastil Aku sudah biasa mempergunakannya. Tustel itu tajam penangkapannya."
"Tidak perlu lampu""
"Tidak. Jam setengah enam sudah cukup terang. Kita tidak perlu pakai blitz."
"Bagus kalau begitu. Soalnya kalau pakai blitz, kilatnya bisa membuat kita ketahuan."
Kedua sahabat itu merasa puas atas perkembangan gagasan mereka. Mereka demikian tercekam membayangkan keasyikan patualangan yang akan mereka lakukan besok. Pura-pura lari pagi, lalu bersembunyi di suatu tempat, menunggu munculnya si penculik. Setelah itu mengambil foto, dan...
"Ayo, De. Kita sudah terlalu lamai" Yan menyengklak ke atas sadel, lalu menjalankan sepeda meninggalkan halaman Apotek Margi Rahayu.
Dede menyusul. Matanya berkilat-kilat senang.
22 "Aku terus pulang, Yan," kata Dede sesampainya di rumah Yan.
Yan mengangguk. "Besok pagi jam empat. Kalau berangkat jam empat dari sini, kutaksir jam 04.45 kita sudah tiba di Jalan Tropika. Jadi kita masih punya waktu untuk mencari tempat persembunyian yang strategis." Yan mengangkat empat buah jari. "Ingat, jam empat! Jangan sampai terlambat bangun!"
"Beres. Aku akan pesan pada Bu Rondo untuk membangunkan aku. Kalau terlambat, dia yang harus bertanggung jawab," sahut Dede.
Yan tertawa. "Tustelnya siapkan."
"Ya." "Filmnya ada""
"Aku masih punya dua rol. Yuk!" Dede menekan pedal. "Salamku buat Ira!" Dede meluncur di atas sepedanya.
Yan tiba bertepatan dengan waktu makan malam. Bapak, Ibu, dan Ira sudah berkumpul di meja makan.
Ibu merengut. "Hmmm, jam berapa baru pulang. Katanya cuma sebentar... sebentar!"
Yan menanggapi dengan tertawa. "Maaf, Bu. Soalnya ada sesuatu." katanya.
"Sesuatu apa"" Tanpa menunggu jawaban atas pertanyaannya sendiri. Bu Minta menyambung dengan perintah, "Ayo, cepat cuci tangan!"
Yan melaksanakan perintah Ibu dengan patuh. Setelah itu ia mengambil tempat duduk. Pada saat itulah Yan menuturkan perjumpaan dan percakapannya dengan Febriya di apotek.
Wajah Ibu berubah mendengar cerita itu. Kejengkelannya berangsur-angsur menghilang. Malahan kemudian ia bertanya penuh rasa ingin tahu, "Jadi, sampai begitu"" Wanita itu diam sebentar, lalu melanjutkan dengan suara lambat, "Aku tidak bisa menyalahkan kalau Pak Gumarang sampai marah-marah. Sebab, kalau sampai terjadi apa-apa, kan dia juga
yang paling kehilangan."
"Lalu bagaimana dengan Huri sekarang"" sela Pak Minta.
Yan hampir mengatakan bahwa untuk sementara nasib Huri tidak mengkhawatirkan. Karena komplotan masih memberi kesempatan sekali lagi pada Pak Bob untuk menyerahkan uang tebusan. Namun Yan tidak jadi menjelaskan panjang-lebar. Karena menjelaskan hal itu mau tidak mau akan menyinggung soal surat yang diterima Pak Gumarang. Padahal ia sudah berjanji pada Yaya untuk merahasiakannya. Maka akhirnya ia hanya mengangkat bahu sambil berkata, "Entahlah. Tapi semoga saja Huri tidak mereka apa-apakan."
Setelah berkata demikian Yan menunduk. Tak enak rasanya membohongi ayah dan ibunya. Tapi - apa boleh buat! Demi keamanan rencananya ia terpaksa tutup mulut.
Acara makan malam lalu berlangsung diwarnai pembicaraan tentang penyerahan uang tebusan yang gagal itu. Baik Pak Minta, Bu Minta, dan Ira - sangat khawatir memikirkan tindakan komplotan itu salanjutnya. Apa jadinya jika penculik itu sampai tidak bisa menguasai diri"
Selesai makan dan sesudah membantu Ibu membenahi serta membersihkan peralatan. Yan mendatangi Ira di kamar anak perempuan itu. Waktu Ibu dan Bapak sudah tenggelam dalam omong-omong yang mengasyikkan di teras.
Yan mengulangi ceritanya tentang informasi Febriya. Tapi kali ini secara lengkap. Termasuk surat dari penculik dan rencana pengintaian besok pagi.
Ira mendengarkan dengan mata melebar.
Yan mengangguk. "Jadi, besok pagi kita bergerak. Mau ikut""
"Tentu," sahut Ira kurang mantap. Sebab hatinya diliputi rasa waswas membayangkan pelaksanaan rencana itu, dan risikonya.
"Kelihatannya kamu kok kurang mantap. Takut"" tanya Yan.
"Sedikit," jawab Ira terus terang. "Aku takut kalau ketahuan."
"Tidak mungkin. Kita kan tidak ngawur, Ir. Semuanya akan kita atur serapi mungkin."
Ira mengiyakan. "Yang lebih kukhawatirkan," tambahnya, "bukan kalau kita tertangkap. Itu rasanya tidak mungkin. Kita toh bisa mengemukakan segudang alasan. Tapi - kalau penjahat itu tahu bahwa dia difoto. Akibatnya bagi Huri kan gawat."
"Aku mengerti kekhawatiranmu. Makanya besok kita harus bertindak dengan hati-hati." Yan menepiskan tangan. "Itu kita pikirkan besok. Yang penting sekarang - mari kita minta izin pada Bapak dan Ibu."
Bapak dan Ibu tidak heran mendengar pemberitahuan bahwa besok pagi anak-anak mau jogging. Karena Yan dan Ira sering melakukannya pada hari-hari libur. Ibu hanya keberatan memikirkan kesehatan Ira.
"Kamu kan sedang pilek. Tidak usah saja," kata Bu Minta.
"Ah, tidak apa-apa," sahut Ira tangkas sekaligus bernada tidak ingin dilarang. "Dibuat lari pagi justru bisa sembuh. Udara pagi kan baik untuk kesehatan. Bu." Matanya mengerjap Jenaka.
Pak Minta dan Yan terbahak mendengar jawaban itu. Sebaliknya Ibu bersungut-sungut, tapi sambil menahan senyum. Artinya, beres! Ira melirik kakaknya, lalu mengedipkan mata.
Dan. malam itu pun menjadi malam yang 'istimewa' bagi Yan, Dede, dan Ira. Waktunya merambat lama. Kegelisahan serta ketegangan bergelayut pada napasnya.
Yan tak dapat sagera memincingkan mata. Pikirannya dipenuhi oleh bermacam-macam rencana yang muncul dan tenggelam silih berganti.
Ira bergulak-gulik di tempat tidur. Bayangan peristiwa yang bakal dialaminya besok tergambar dalam benaknya.
Sementara Dede lebih sibuk lagi. Sesudah makan malam anak itu berpesan wanti-wanti pada Bu Rondo, pembantunya. Besok pagi dia minta dibangunkan setengah empat. Tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang! Kalau terlambat, awaasss! Kemudian ia mengunci diri dalam kamar. Film dipasang, tustel dipersiapkannya sehingga menjadi siap pakai Lalu ia mulai latihan mengambil gambar. Dalam bermacam-macam posisi: berdiri, berjongkok, barlutut, tiarap. Lagaknya seperti wartawan ulung saja. Setelah puas, ia pun naik ke tempat tidur. Berbaring dengan pikiran melayang-layang, dengan bibir menyungging senyum kemenangan.
X. DRAMA DI BANGUNAN SETENGAH JADI
23 Cahaya di langit belum merekah. Keadaan masih gelap. Lampu merkuri menyorotkan sinarnya yang kuning buram. Cahaya lampu kebun di halaman-halaman ber
pendar-pendar. Tiga orang anak tampak berlari santai. Kadang-kadang mereka meloncat, berusaha menggapai ranting pohon di tepi jalan raya yang menjuntai rendah. Siapa lagi mereka - kalau bukan Yan, Dede, dan Ira.
Dede tiba di rumah Yan jam empat kurang tiga menit. Pada saat mana Yan dan Ira pun telah siap. Ketiga anak itu memakai pakaian olahraga. Dede menyandang tas kecil yang berisi tustel. Begitu Dede tiba, Yan langsung memberi komando berangkat.
Ketiga anak itu terus berlari, tapi tanpa memaksa diri. Mereka tidak sendirian. Di jalan tampak pula beberapa orang yang juga sedang jogging.
Yan melirik adiknya. Melihat Ira agak terengah, ia pun menghentikan larinya. Berjalan.
"Aku kuat kok." kata Ira.
Tapi Yan memberi isyarat dengan menggerak-gerakkan tangannya, ia tidak ingin Ira memaksakan diri. Ira pun berhenti.
"Ayo! Nanti kita terlambat," seru Dede yang berlari sekian meter di depan.
"Kita masih punya cukup waktu," sahut Yan.
Dede terpaksa berjalan pula. Ketiganya lalu berjalan berdampingan.
"Nanti sesampainya di bangunan studio itu, kita harus segera memeriksa keadaan," kata Yan membentangkan rencana. "Kita harus tahu persis bahwa penculik itu tidak sedang bersembunyi. Jangan sampai kita yang diintai. Harus sebaliknya."
"Bagaimana caranya. Kak" Andaikata kita ketahuan seperti orang sedang memeriksa keadaan, pasti penjahat itu akan curiga. Maksudku kalau mereka sudah berada di situ sebelum kita," ujar Ira.
"Kita mesti pakai taktik," kata Dede.
"Taktik" Taktik bagaimana, De""
"Umpamanya saja - kita berhenti di muka bangunan yang belum jadi itu. Kemudian kita berpura-pura istirahat sambil melakukan senam ringan. Tapi mata ini..." Dede menuding kaca matanya, "harus tangkas memperhatikan keadaan. Kalau keadaan aman, artinya tidak ada seorang pun. kita cepat-cepat mencari tempat persembunyian. Tapi jika sebaliknya, kita harus berpura-pura melanjutkan jogging."
"Lalu nanti kembali lagi""
"Ya." Dede mengangguk pada Ira. "Kita cari akal lain."
"Usul Dede cukup baik," Yan memberi persetujuan.
"Lalu, di mana kamu akan bersembunyi untuk mengambil foto"" tanya Ira lagi.
"Aku belum tahu." Dede menggerakkan bahunya. "Melihat tempat itu pun belum. Tapi pasti ada suatu tempat yang strategis. Kita cari saja nanti." Anak yang rambutnya kemerah-merahan itu melihat arloji. "Jam 04.20. Waktu kita tidak banyak lagi. Ayo!" Sambil mengajak ia mendahului berlari.
Dua puluh menit kemudian ketiga anak itu mulai memasuki Jalan Tropika. Jalan ini direncanakan menjadi jalan raya yang lebar. Tapi sekarang masih tanah. Lapangan-lapangan yang luas terdapat di kanan kiri jalan itu. Sebagian di antaranya sudah ada bangunannya. Tapi kebanyakan masih setengah jadi. sebagian lain masih berupa tanah kosong. Lewet sepuluh menit selanjutnya - mereka sampai di depan bangunan studio Radio MK-I yang belum selesai pembangunannya. Bangunan ini bertingkat dua. Masih berwujud dinding kasar. Di sana-sini urat-urat baja, kerangkanya, nampak bersembulan.
Anak-anak berhenti di halaman bangunan itu. Mereka lalu beraksi seperti apa yang mereka rencanakan. Meloncat di tempat, merentangkan lengan di depan dada, membungkuk, dan sebagai-nya. Sambil berbuat demikian, mereka menjelajahi setiap sudut dengan pandangan tajam.
"Tidak ada siapa-siapa," bisik Ira pada kakaknya.
Yan mengangguk. Lalu ia berlari-lari mundur. Sesaat kemudian anak itu sudah menghilang ke dalam gedung.
Yan memeriksa keadaan di dalam. Sementara itu ia sudah mempersiapkan sikap seandainya tiba-tiba ia melihat ada orang di tempat itu. ia akan berpura-pura acuh tak acuh, lalu keluar dan mengajak teman-temannya meninggalkan tempat itu. Tetapi Yan tidak menjumpai seorang pun!
"Bagus," gumam anak itu puas. ia berjalan menghampiri lubang yang kelak akan menjadi jendela ruang tingkat dua. Dari situ ia menebarkan pandangan ke halaman, ke jalan, dan ke lapangan seberang. Benar-benar tak tampak seorang pun. Yan menarik napas lega.
Beberapa detik kemudian Ira dan Dede muncul di belakangnya.
Yan berkata, "Kukira cuma di sini satu-satunya te
mpat yang paling tepat untuk mencuri foto, De."
"Rasanya memang ya," sahut Dede, "Di halaman tidak mungkin. Tak ada tempat untuk barsembunyi."
"Memang." "Soalnya sekarang - di mana Pak Gumarang akan menaruh tas itu. Kalau di sana..." Ira menuding lapangan seberang, "apa daya tangkap tustelmu mampu menjangkau""
"Bisa sih bisa, tapi tidak akan jelas," Dede mengeluarkan tustelnya.
"Tidak mungkin kalau di sana," sanggah Yan. "Kukira di halaman ini. Kan dalam instruksinya, penculik itu memerintahkan Pak Gumarang meletakkan tas kopor di depan bangunan ini."
"Mudah-mudahan," gumam Ira.
Kelompok 2 Dan 1 Sang Pengintai Karya Dwianto Setyawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jam berapa"" tanya Yan pada Dede.
"Lima seperempat," jawab yang ditanya.
"Wah, sebentar lagi," kata Ira. Tiba-tiba dadanya terasa berdebar-debar.
"Lubang ini terlalu terbuka," kata Dede setelah mengernyit beberapa saat. "Bagaimana enaknya... ah ya!" Dede melihat setumpuk papan bekas dipakai yang berlumur semen kering. "Ayo bantu aku!" ajaknya pada Yan dan Ira.
Ketiga anak itu lalu memilih beberapa bilah papan yang terletak di sudut ruangan. Dede melintangkan sebilah papan di bagian bawah jendela. Yang lainnya diaturnya sedemikian rupa sehingga ruang yang berlubang tertutup sebagian.
"Nah!" Dede memperhatikan hasil pekerjaannya dengan puas.
"Apa penculik nanti tidak curiga"" gumam Yan, ragu-ragu.
"Ah, tidak! Mereka tidak punya banyak waktu setelah mengambil uang tebusan itu. Tidak bakal mereka memeriksa atau meneliti kemari. Papan yang bersilang-silang ini paling-paling dianggapnya pekerjaan tukang. Itu pun kalau mereka melihatnya," jawab Dede yakin.
"Asal jangan sampai tersenggol," celetuk Ira. "Kalau sampai roboh, gawat!"
"Makanya hati-hati."
"Sttt, dengar!" kata Yan tiba-tiba. Mukanya tampak tegang.
"Suara mobil," bisik Ira dengan suara agak tersekat.
Dede melirik arloji. Jam 05.25.
24 Suasana di luar sudah mulai terang. Sayup-sayup terdengar salak anjing. Sementara derum mobil yang didengar Yan pertama kali, terdengar makin dekat. Ketiga anak itu berjongkok dengan hati berdebar-debar.
Sebuah mobil Suzuki mini muncul. Dekat bangunan itu rodanya berputar kian pelan, sampai akhirnya berhenti sama sekali.
Pintu di sebelah sopir terbuka. Laki-laki yang mengemudikan mobil itu turun, ia berdiri tegak di samping mobil, memandang ke arah bangunan studio itu.
"Pak Gumarang," bisik Ira hampir tak terdengar.
KLIK! Dede membidikkan lensanya. Bidikan yang pertama.
Laki-laki - yang memang Pak Gumarang itu - membungkuk, mengambil sebuah tas kopor dari jok. ia lalu berjalan menuju gerumbul semak di depan bangunan. Dede bersorak dalam hati. Tempat tujuan Pak Gumarang berada dalam jangkauan pandangannya. Agak serong di bawah jendela tempatnya bersembunyi. Berarti kalau diambil dari atas, hasil fotonya akan tampak jelas. Dengan penuh semangat Dede membidikkan tustelnya beberapa kali, KLIK, KLIK!
"Jangan terus-terusan. Nanti filmnya habis," Ira memperingatkan sambil berbisik.
"Jangan khawatir," balas Dede berbisik. "Masih banyak. Isinya 36."
Pak Gumarang meletakkan tas kopor di balik semak-semak sebelah dalam sehingga tidak akan terlihat dari jalan. Seperti yang diperintahkan komplotan penculik dalam suratnya. Sesudah itu ia berbalik, kembali ke mobil.
Setibanya kembali dekat mobil, laki-laki itu tidak sagera masuk, ia memandang semak-semak itu dan sekitar bangunan. Agaknya ia sedang berusaha mengetahui ada tidaknya penculik yang akan mengambil uang tebusan. Tapi ia tidak melihat seorang pun. Laki-laki itu tampak menghela napas, lalu masuk ke mobil.
Yan memperhatikan bagaimana Suzuki itu berputar dan meluncur kembali ke arah datangnya.
"Bagaimana hasilnya, De"" tanyanya kemudian sambil menoleh pada Dede.
"Kujamin bagus. Sayangnya jaraknya agak jauh. Jika saja aku bisa mengambil dari jarak lebih dekat - hasilnya pasti akan lebih memuaskan."
"Mana mungkin," kata Yan.
"Ah, tidak apa-apa. Kecil sedikit pokoknya jelas. Kan nanti fotonya bisa dibesarkan," Ira menyambung.
"Aku tadi sudah khawatir kalau tempat yang dipilih bukan itu." Dede menuding gerumbul sem
ak itu. "Tapi di sana, misalnya." ia menunjuk ke halaman sebelah barat. "Kalau di situ susah memotretnya. Kita tidak bisa mendapatkan foto muka penjahat secara jelas."
Yan mengangguk-angguk sambil mengusap-usap mulut dan dagunya. Seperti Dede, muka anak berambut lebat itu mencerminkan kepuasan.
Bibir Ira bergerak akan membicarakan kemungkinan tibanya penculik untuk mengambil uang tebusan. Pada saat yang sama pendengarannya menangkap suara raung sepeda motor. Maka ia pun berkata, "Penculik"" Mukanya tegang.
Kedua anak laki-laki tidak menyahut. Mereka menempelkan muka ke sela-sela papan, mata mengintai ke luar.
Ira pun berbuat yang sama.
"Jangan mendesak. Aku butuh ruang yang longgar," kata Dede pada anak perempuan itu.
Ira bergeser ke kiri. 25 Suasana di luar sudah semakin terang. Permulaan kehangatan sinar matahari pagi telah dirasakan daun-daun dan rumput. Keadaan alam begitu tenang. Amat tidak sebanding dengan suasana di balik dada ketiga anggota Kelompok 2 & 1, yang hingar-bingar oleh detak jantung yang kencang.
Beberapa menit kemudian sebuah sepeda motor muncul dari arah barat. Penunggangnya dua orang.
Sampai di depan bangunan, sepeda motor berwarna merah itu langsung berbelok memasuki halaman. Kendaraan itu melaju ke arah semak-semak tempat tas kopor diletakkan oleh Pak Gumarang.
"Itu dia!" kata laki-laki yang menyetir.
Temannya melompat turun dari boncengan dan menghampiri tas kopor yang tersembunyi itu.
Sementara kedua bandit itu beraksi, Dede juga beraksi dengan tustelnya. Suara klak-klik tustel terdengar berkali-kali. Suara itu terdengar nyaring, mendebarkan, di telinga Yan. Tetapi untungnya tak bisa didengar oleh kedua laki-laki di luar, karena hingar-bingar suara motor.
Jika Dede merekam dengan tustelnya, Ira berusaha merekam ciri-ciri kedua penjahat dengan ingatannya. Nomor motor - yang mungkin palsu - juga diingat-ingatnya. Ira hanya ingin berjaga-jaga, kalau-kalau ada kerewelan pada tustel Dede sehingga tak bisa merekam gambar. Jika demikian sekurang-kurangnya ia masih punya gambaran tentang kedua penjahat dalam otaknya.
Laki-laki yang menyetir berpotongan gemuk pendek. Mukanya bulat dengan pipi menggembung. Rambutnya ikal dan panjang, ia memakai kaca mata hitam dan jaket biru.
Temannya bertubuh tinggi besar. Tampang orang ini menyeramkan. Rambutnya pendek dan kaku. Mukanya lebar dengan tulang rahang yang mencuat. Dahinya menjorok ke depan, nyaris menyembunyikan sepasang matanya yang kecil dan dalam. Kalau berjalan agak membungkuk, sementara sepasang tangannya seakan-akan menyapu lutut. Ira yakin ia tidak akan lupa jika bertemu lagi dengan penjahat yang penampilan dan cara berjalannya mirip gorila itu.
Si Gorila telah mengambil tas kopor. Cepat-cepat ia kembali naik motor. Tas kopor dimasukkan ke dalam kantung terigu yang sudah disiapkannya. Setelah beres, temannya segera menginjak perseneling. Motor melaju sedikit, berputar, lalu terbang meninggalkan halaman bangunan studio itu.
"Huhhhhh!" tak sadar Ira menghembuskan napas kuat-kuat.
"Yihhuuuu! Kita telah berhasil mendapatkan foto Sang Penyikat," sorak Dede penuh kemenangan.
"Aku tidak mengira kita bisa melakukannya dengan begini gampang," kata Yan. "Kedua bandit tadi melirik kemari pun tidakl"
"Karena mereka tergesa-gesa, Yan. Mereka tidak punya waktu untuk memperhatikan tempat persembunyian kita," kata Dede.
"Yang kita takutkan kan kalau mereka bersembunyi di sekitar tempat ini," celetuk Ira. "Tetapi ternyata mereka datang dengan motor." Ira diam sebentar. "Apakah mereka juga mengawasi tempat ini sebelum kedatangan Pak Gumarang" Maksudku seperti ketika di makam Pungkasan."
"Kukira kali ini tidak. Sang Panyikat sudah yakin bahwa Pak Gumarang tak bakal memberi tahu polisi lagi."
"Untung ada kita!" ujar Dede menimpali perkataan Yan.
Ketiga anak itu bercakap-cakap sebentar lagi, lalu keluar dari bangunan setengah jadi itu. Dede memotret kedua temannya dengan latar belakang bangunan itu. Kemudian ganti dia yang dipotret. "Untuk kenang-kenangan," katanya sambil tertawa puas.
Cuac a semakin hangat. Ketiga anak itu meninggalkan gedung. Dengan langkah mantap dan dada gemuruh oleh dendang kemenangan!
XI. PERKEMBANGAN TERBARU 26 Anak-anak sampai di alun-alun. Di sebelah timur alun-alun terdapat sebuah photo studio yang melayani cuci dan cetak film 1 jam selesai. Tetapi karena masih pagi studio itu masih tutup.
Dede bermaksud mencetakkan filmnya. Akan tetapi Ira tidak setuju.
"Paling-paling setengah jam lagi buka. Masa kamu keberatan menunggu setengah jam"" sergah Dede pada Ira. "Daripada pulang, kemudian balik lagi ke sini. Kan lebih makan waktui"
"Aku bukan keberatan," kilah Ira.
"Lalu"" "Demi amannya," Ira menuding tas kecil berisi tustel yang dibawa Dede.
Dede memandang tidak mengerti.
"Maksudku begini," Ira menerangkan, "jika kita mencetakkan film itu ketika toko baru buka, ada kemungkinan fotonya akan menarik perhatian pegawai studio. Soalnya kan belum banyak pekerjaan. Orang yang tidak terlalu sibuk suka memperhatikan segala sesuatu. Padahal kita kan tidak ingin foto itu menarik perhatian siapa pun"" tambah Ira. "Maka demi amannya kita cetakkan saja waktu studio sedang sibuk. Itu berarti kita harus bersabar menunggu sampai lebih siang sedikit."
Dede mengangguk-angguk, ia mengakui usul Ira pantas untuk dipertimbangkan, meskipun hati kecilnya menolak.
"Usul yang baik," puji Yan pada adiknya. Lalu sambil menoleh pada Dede, "Kita pulang dulu saja," ajaknya.
Dede mendesah, "Aku tidak sabar lagi rasanya."
"Aku juga ingin lekas-lekas melihat hasil jepretanmu. Tapi demi keamanan - sebaiknya kita pulang dulu," kata Ira.
Dede tidak bisa menolak lagi.
Dalam perjalanan pulang, Ira mengungkapkan perasaannya. Katanya, "Ingin sekali aku menceritakan pekerjaan kita tadi pada Bapak dan Ibu. Namun aku tahu - itu tidak boleh."
"Sebaiknya memang jangan. Nanti kita bikin kejutan!" sahut Hardian.
"Yan, setelah foto selesai, bagaimana"" tanya Dede.
"Tetap seperti keputusan kita semula. Kita lihat perkembangan ke rumah Pak Gumarang. Kalau Huri sudah dibebaskan, terus saja kita temui Pak Dipa. Tapi sebelum itu..." Yan menggeleng-gelengkan kepalanya.
27 Pukul 10.00 pagi. Yan, Dede. dan Ira kembali ke photo studio itu. Ketiganya tampak rapi, segar, dan penuh semangat.
Dede menyerahkan tabung berisi film kepada seorang karyawati.
"Cetak semua. Satu lembar," katanya.
Gadis itu mengangguk, ia lalu menulis keterangan pada sebuah kantung kertas. Kantung itu kemudian diteruskannya ke bagian cuci dan cetak, sementara sobekannya diserahkan kepada Dede sebagai bukti.
Sambil membayar ongkos cuci dan cetak film, Dede bertanya, "Tidak sampai satu jam kan. Mbak""
"Satu jam. Soalnya banyak yang dikerjakan," jawab si karyawati.
Ketiga anak itu menunggu. Mata mereka terarah ke mesin cetak foto yang tampak di balik kaca lebar. Mesin itu berukuran besar. Seorang pemuda memasukkan film yang akan dicetak ke dalam mesin. Tak lama kemudian foto-foto ukuran postcard - yang telah jadi - keluar dari ujung yang lain. Foto-foto yang sudah jadi itu lalu diambil oleh seorang karyawan, dimasukkan ke dalam kantung berikut filmnya, kemudian diteruskan ke bagian pengambilan.
Yan memperhatikan kegiatan itu penuh rasa tertarik. Sementara hatinya diam-diam memuji ahli yang menemukan mesin yang sanggup mencetak foto berwarna dalam tempo yang singkat itu. Inilah hasil positif kemajuan teknologi, pikirnya.
Photo studio itu bertambah ramai. Orang banyak keluar-masuk. Yang mengambil foto, yang mencucikan, dan yang membeli film. Suasana terasa sibuk sekali.
"Kamu benar, Ir," kata Dede perlahan-lahan. "Karena sibuknya pegawai itu tidak terlalu memperhatikan foto-foto yang baru selesai dicetak."
"Aku memang hebat, De. Hebat dan penuh perhitungan," sambut Ira berkelakar.
"Nah, nah, terus besar kepala kamu!" Dede mendorong kepala anak perempuan itu.
Ira terkekeh. Satu jam telah lewat lima menit. Dede mulai kehabisan kesabaran, karena fotonya belum selesai juga. ia menanyakannya pada karyawati itu, "Punya saya sudah digarap apa belum sih""
"Sabar toh, D ik, sabar! Nanti kalau sudah selesai kan kuberikan!" jawab karyawati itu ketus. Keketusan yang timbul akibat terlalu sibuk melayani para langganan.
Dede tersinggung oleh jawaban yang tidak mengenakkan itu. "Katanya satu jam selesai. Ini sudah lewat sepuluh menit!" ujarnya tak kalah sinis. "Supaya tidak mengecewakan, ganti saja tulisan satu jam di papan nama itu. Cuci dan cetak foto, dua jam selesai!"
Si karyawati mendelik, tetapi tidak melayani lebih lanjut.
Ira menyepak kaki Dede, memberi isyarat supaya bersabar.
Akhirnya, foto itu selesai juga. Pada saat jam menunjukkan pukul 11.25.
Dede mundur ke sebuah sudut, lalu mengeluarkan foto dari kantungnya. Jumlah seluruhnya lima belas lembar. Berarti hanya separuh film yang terpakai.
Yan dan Ira ikut melihat.
"Yihuuu, memuaskan, bukan"" seru Dede menyaksikan hasil pekerjaannya. "Tidak ada yang kabur. Semuanya tampak jelas!"
"Lihat yang ini," kata Ira, "tampang bandit itu jelas sekali."
"Sttt!" Yan menyenggol dan memendeliki adiknya.
Ira cepat-cepat meletakkan jari ke bibirnya. Sadar bahwa ia telah keterlepasan bicara.
Agaknya kata-kata Ira tadi didengar oleh seorang bapak yang duduk tidak jauh dari tempat mereka. Sambil menoleh, si bapak bertanya, "Foto apa itu. Nak" Kelihatannya asyik sekali."
"Ohh ehh... foto, foto ulang tahun. Pak," jawab Dede gelagapan. Khawatir kalau bapak itu minta melihat, Dede cepat-cepet memasukkan foto ke dalam kantungnya. Karena terburu-buru, dua lembar foto sempat jatuh ke lantai. Yan cepat-cepat memungut dan menyerahkannya pada Dede.
"Foto ulang tahun" Kok ada banditnya segala"" desak si bapak, yang rupanya termasuk golongan orang yang selalu ingin tahu.
"Ohh, waktu itu kami mengadakan acara bandit-banditan," sahut Yan sekenanya. Sementara matanya memberi isyarat agar Dede dan Ira cepat-cepat keluar.
"Acara bandit-banditan" Acara apa pula itu"" gumam si bapak, tidak mengerti.
"Ya pokoknya bandit-banditan!" Dan Yan cepat-cepat keluar.
Bapak itu mengawasi dengan pandangan heran. Kemudian sambil menggumamkan sesuatu - ia mengangkat bahunya.
Yan mengomeli adiknya karena kesembronoan Ira waktu berbicara tadi.
"Aku tidak sengaja. Kak."
"Ya sudahlah. Pokoknya lain kali kita harus lebih barhati-hati."
"Ke mana kita sekarang"" tanya Ira mengalihkan kejengkelan kakaknya.
"Ke Jalan Diponegoro. Kita tengok keadaan di sana," sahut Yan. "Ayo!"
"Naik becak saja. Supaya cepat," kata Dede, yang selalu bertindak sebagai bendahara tapi dari uangnya sendiri.
28 Ketiga anak itu naik becak. Yan dan Dede di pinggir. Ira di tengah. Dede mendekap foto-foto itu seperti orang memperlakukan sesuatu yang tak ternilai harganya.
Kereta tak berkuda itu melewati pusat kota yang ramai. Kemudian mengambil jurusan ke balai kota. Terus belok kiri. Kini ia mulai memasuki kawasan yang jalan-jalannya memakai nama pahlawan.
Jalan Pattimura pun lewat. Becak tiba di mulut jalan Diponegoro dari arah selatan. Sedang enak-enaknya becak itu meluncur, seorang perempuan penjual rokok berteriak dari dalam rombongnya.
"Kang! Kang Bari!"
Pak Bari, tukang becak yang mengantarkan anak-anak, mengerem becaknya, ia berpaling ke rombong rokok yang bercat biru itu. Anak-anak ikut memandang.
Perempuan penjual rokok itu keluar.
"Kang, anak yang diculik itu sudah dikembalikan," katanya memberi tahu.
"Oh ya"" sahut Pak Bari, yang seperti perempuan penjual rokok itu-rupanya sudah tahu tentang penculikan Huri Gumarang. "Kapan ia dibebaskan""
Yan, Dede, dan Ira memasang telinga.
"Barusan. Tadi tahu-tahu ia ditemukan di Jalan Stasiun. Di pinggir jalan yang sepi." Ibu penjual rokok menuturkan dengan bersemangat. "Anak itu menangis. Lalu, seorang polisi lalu lintas yang sedang lewat melihatnya. Pak Polisi lalu menanyai anak itu. ia tidak bisa omong banyak. Kecuali bilang namanya Huri."
"Lalu"" celetuk Ira yang tidak tahan untuk tidak bertanya.
"Mengetahui namanya. Pak Polisi langsung tahu siapa dia. Lalu anak itu dibawanya ke kantor. Kemudian Pak Gumarang diberi tahu bahwa anaknya sudah ketemu." Ibu itu
menuding ke arah Jalan Diponegoro. "Rumah Pak Gumarang sedang jadi tontonan orang banyak sekarang."
"Kita turun sini saja," ujar Yan begitu ibu itu selesai bercerita.
"Ayo!" Dede memberi tahu Pak Bari, kemudian membayar ongkos becak. Setelah itu ia menyusul Yan dan Ira yang sudah melangkah.
XII. KEJUTAN UNTUK LETNAN DIPA
29 Benar apa yang dikatakan ibu penjual rokok. Rumah Pak Bob Gumarang menjadi tontonan orang banyak. Orang-orang itu berkerumun di muka rumah yang bagus itu. Beberapa di antaranya kelihatannya wartawan. Sementara di balik pintu gerbang yang tertutup, tampak Mas Ariyo, hansip itu. ia ditemani seorang polisi muda yang tampaknya baru dilantik. Mereka menjaga dan melarang siapa pun yang ingin masuk.
Orang banyak ribut membicarakan peristiwa penculikan Huri, mulai dari awal sampai ketika anak itu ditemukan seorang polantas di Jalan Stasiun. Pembicaraan terasa simpang siur akibat banyaknya bumbu-bumbu yang ditambahkan dari mulut ke mulut atas peristiwa itu.
Rupanya, penyerahan uang tebusan yang dilakukan oleh Pak Gumarang tadi pagi sudah diketahui pula. Tentang hal ini timbul pendapat pro dan kontra. Yang pro mengatakan apa yang dilakukan Pak Gumarang itu betul!
"Soalnya kan demi keselamatan anak itu!"
Sebaliknya yang kontra menyalahkan Pak Gumarang. Mereka menganggap Pak Gumarang bersikap lemah. Memberi angin pada komplotan penculik. Di samping itu Pak Gumarang dituduh menyepelekan polisi.
Di atas semua komentar itu, mereka rata-rata mempunyai harapan yang sama. Yaitu, agar komplotan penculik itu segera bisa ditangkap, dan dijatuhi hukuman seberat-beratnya!
"Itu harus! Kalau tidak komplotan itu pasti akan mencari sasaran lain," ujar seorang laki-laki muda.
"Ya. Di samping itu, kalau tidak - perbuatan penculik itu dapat mendorong penjahat lainnya untuk melakukan hal yang serupa. Kan gawati"
"Pihak kepolisian kini sungguh-sungguh tengah dihadapkan pada ujian yang berat," ujar bapak yang lain lagi. "Mampu tidak mereka menangkap cecunguk cecunguk itu""
Seorang wartawan muda menanyakan perasaan bapak itu. Dengan suara lantang dan tegas, bapak itu menjawab, "Saya benci, benci sekali pada penculik. Karena di samping menyusahkan orang tua, mereka telah membuat anak yang tidak tahu apa-apa, yang masih polos dan murni, terpaksa menderita."
Ira. Dede, dan Yan mengikuti percakapan-percakapan itu beberapa saat. Kemudian mereka merundingkan langkah yang akan mereka ambil.
"Huri sudah bebas. Berarti kita harus segera menyerahkan foto-foto ini kepada Letnan Dipa. Kita ke Kores sekarang"" tanya Dede Sofyan.
"Itu Letnan Dipa!" Ira menunjuk ke arah rumah.
Letnan Dipa tampak muncul sebentar di teras rumah Pak Gumarang. ia berbicara dengan seorang anak buahnya, lalu masuk lagi.
"Jadi beliau di sini. Ayo!" Yan mengajak teman-temannya ke pintu gerbang. "Mas, Mas Ariyo, permisi. Mas!" katanya pada Ariyo.
Ariyo menoleh dan memandangnya. Yan tersenyum. Dikiranya hansip itu akan langsung membukakan pintu untuknya. Namun hati anak laki-laki itu serentak berubah kecut mendengar jawaban Mas Ariyo, "Kali ini siapa pun dilarang masuk. Maaf!"
"Tapi..." "Tidak ada tapi tapian," potong Mas Ariyo. Sikap soknya kumat. "Pak Bob tidak bersedia untuk bertemu dengan siapa pun!"
"Siapa yang mau menemui Pak Bob" Kami mau berbicara dengan Letnan Dipa!" sentak Dede, kesal menyaksikan lagak Ariyo.
"Letnan Dipa sedang sibuk. Mau apa sih kalian" Ayo, pulang sana!" Polisi muda itu memperkuat larangan Mas Ariyo.
Ketiga anak itu merasa geram bukan main. Pada saat yang sama - Ira sekali lagi melihat kemunculan Letnan Dipa di pintu. Ira lalu berbisik-bisik kepada Yan dan Dede.
Kemudian, "Satu, dua, tiga..." Ira memberi komando. Dan serempak ketiga anak itu membuka mulut, "Pak Dipa! Pak Dipaaa!" Mereka berteriak-teriak memanggil Letnan Dipa.
"Huss! Apa-apaan kalian"" sentak Mas Ariyo marah.
Anak-anak tidak peduli. "Heh!" Ariyo menggertakkan gigi. "Dari semula aku tahu, kalian memang senang cari gara-gara!" Hansip itu menarik gerendel pintu gerbang.
Kali ini anak-an ak tidak gentar. Karena mereka melihat Letnan Dipa datang menghampiri. Mas Ariyo terpaksa membatalkan niatnya untuk mengusir anak-anak.
Pak Komandan menyeberangi halaman yang luas, lalu berdiri di balik gerbang, memandang anak-anak. Wajah polisi yang berdahi lebar itu nampak keruh, mencerminkan beban pikiran yang amat mengganggu hati.
"Ada apa"" tanyanya kemudian, lesu.
"Kami harus berbicara dengan Anda, Let." jawab Dede cepat.
"Bagaimana kalau lain kali, De" Aku sedang sibuk," ujar Letnan Dipa.
Dede terdiam. Bukan lazimnya Letnan Dipa bersikap demikian terhadapnya dan teman-teman. Akan tetapi Dede bisa memaklumi. Sebabnya tentu karena letnan itu sedang dirundung kerisauan. Kesal karena Pak Gumarang berhubungan dengan penculik tanpa memberi tahu sebelumnya. Dan risau karena memikirkan komplotan penculik yang masih bebas berkeliaran. Dede merapatkan kedua bibirnya.
"Begitu, ya"" Latnan Dipa mau berbalik.
"Pak!" panggil Ira cepat. "Anda masih percaya pada Kelompok 2 & 1, bukan"" Ira menatap Pak Dipa lurus-lurus. Pandangannya mengandung sejuta arti.
Latnan Dipa mengerutkan kening. Pelan-pelan paras mukanya berubah lebih terang. "Kalian tahu sesuatu"" tanyanya dengan kepala agak meneleng.
Ira mengangguk samar. "Let, Anda sudah kenal siapa kami. Tidak mungkin kami datang, kalau hanya sekedar untuk menggerecoki," Yan berkata sambil tersenyum penuh arti.
Tiba-tiba Letnan Dipa tertawa. "Seharusnya aku tahu dari tadi." Lalu kepada Ariyo ia berkata, "Biarkan anak-anak itu masuki"
Ariyo terpaksa melakukan perintah itu. Sekalipun dengan muka merengut.
Anak-anak mengikuti Letnan Dipa ke rumah.
30 Anak-anak memilih tempat yang sepi untuk menyampaikan informasi itu kepada Letnan Dipa. Tempat yang mereka pilih ialah kebun balakang.
Letnan Dipa duduk di bangku. "Nah, kita mau omong tentang apa sekarang"" tanyanya dengan nada sedikit berkelakar.
Anak-anak senang melihat perubahan sikap polisi itu. Mereka saling melirik. Lalu Yan mengangguk pada Dede.
"Kami mau membicarakan foto ulang tahun. Pak," kata Dede sambil tertawa.
"Foto ulang tahun""
"Hahahaha!" Yan dan Ira tertawa.
Sementara itu Dede menyodorkan selembar foto pada Letnan Dipa. Foto yang melukiskan kedatangan Pak Gumarang di depan bangunan yang setengah jadi itu.
"Tentunya Anda kenal siapa dia," kata anak berkaca mata itu, menyeringai.
Pak Letnan memperhatikan foto itu, lalu bergumam heran, "Pak Gumarang!"
Dede menyerahkan foto-foto selanjutnya, yang menggambarkan ketika Pak Gumarang menaruh tas kopor berisi uang tebusan.
"Nah, dari foto-foto itu - saya kira Anda sudah bisa menduga apa yang sedang dilakukan oleh Pak Bob Gumarang!"
"Masya Allah! Dari mana kalian memperoleh foto-foto ini"" seru Letnan Dipa antara kaget dan tercengang.
Dede terbahak. "Ir, Pak Komandan bertanya dari mana kita mendapatkan foto-foto ini... hahahaha!"
"Yang terang tidak beli di toko. Pak. Hahahaha!" Ira terbahak pula. Lalu tambahnya, "Dede kita yang menjepretnya."
Letnan Dipa memandang anak-anak. ia nyaris tidak percaya. Matanya melebar, bibirnya agak terbuka.
Anak-anak tertawa geli melihat keadaan Letnan Dipa. Lalu Dede menyerahkan foto berikutnya. Gambar ketika penculik datang dan mengambil uang tebusan dari balik semak-semak.
Letnan Dipa mengamat-amati foto-foto itu, kemudian berseru keras, "Telur busuk! Jadi dia orangnya!"
"Siapa"" "Anda sudah tahu tentang penculik itu""
Kali ini giliran anak-anak yang menunggu jawaban dengan perasean tegang.
"Bukan cuma tahu. Aku mengenalnya cukup baik. Ini." Letnan Dipa menuding foto penjahat yang mengambil tas kopor, "Mat Gorila! Residivis yang sudah beberapa kali berurusan dengan polisi, denganku!" Letnan Dipa menunjuk dadanya sendiri.
"Mat Gorila... tapi dia memang seperti gorila," gumam Ira sambil membayangkan penculik yang bertubuh tinggi beser itu.
"Lalu, yang menyetir motor itu siapa. Pak"" tanya Yan.
"Yang itu aku belum pernah tahu." Letnan Dipa melanjutkan dengan nada bersungguh-sungguh, "Anak-anak, kini jangan mempermainkan aku lagi. Cerit
akan, bagaimana awalnya sehingga kalian bisa mendapatkan bukti yang tak terbantah ini," katanya sambil mengangkat foto ke atas.
Anak-anak pun bercerita. Mulai dari pertemuan Yan dan Dede dengan Febriya di apotek, informasi tentang surat dari penculik yang diterima oleh Pak Gumarang, hingga apa yang mereka lakukan di bangunan setengah jadi pagi-pagi tadi.
"Bukan main kalian ini!" Letnan Dipa menggeleng-geleng. "Aku tidak tahu lagi - bagaimana caranya harus memuji kalian."
Anak-anak tertawa. "Anak-anak sering diremehkan. Tetapi justru dari mereka kadang-kadang timbul sesuatu yang tak terpikir oleh orang dewasa," lanjut Letnan Dipa setengah tercenung.
"Makanya jangan meremehkan anak-anak," Yan menimpali.
"Apakah aku pernah meremehkan kalian"" "Pernah saja. Tadi"" tukas Ira. "Anda hampir menolak kami."
"Ya deh, aku minta maaf," jawab Letnan Dipa. Suaranya dilagukan.
"Pak, apa masih mungkin menangkap Mat Gorila dan kawannya itu"" tanya Dede.
"Dengan petunjuk foto ini..." Letnan Dipa menepuk kantung foto itu, "kenapa tidak"" Letnan diam sejenak. "Karena Mat Gorila seorang residivis, kami punya arsip yang lengkap tentang dirinya. Juga tempat-tempat yang biasanya ia pakai sebagai persembunyian. Kami tinggal minta keterangan dari informan, lalu menggerebeknya!"
"Saya khawatir kalau dia sudah kabur," kata Dede.
"Dia tidak akan kabur. Sekurang-kurangnya tidak pada hari ini. Karena kalau dia tiba-tiba pergi dari kota ini sekarang, orang bisa curiga Jangan-jangan ia terlibat dalam perkara penculikan Huri. Kalau toh mau kabur, dia pasti menunggu sampai suasana benar-benar dianggapnya sudah aman. Dan itu berarti kita masih punya kesempatan untuk menangkapnya," menjelaskan Letnan Dipa dengan penuh keyakinan.
"Apakah Huri tidak bisa menceritakan bagaima na ciri-ciri orang yang menculiknya"" tanya Yan.
"Bisa sih bisa. Tapi sama sekali tidak jelas. Aku tidak bisa mendapat gambaran yang meyakinkan dari omongannya. Juga tidak tentang tempat di mana dia disekap. Huri cuma bilang, tempatnya sepi sekali. Maklumlah, dia masih kanak-kanak."
"Tetapi Huri tidak diapa-apakan, bukan"" tanya Ira.
"Tidak. Komplotan itu agaknya memperlakukannya cukup baik." Letnan Dipa menaikkan nada suaranya, "Nah, Anak-anak, kini tiba saatnya bagiku untuk melakukan penggerebekan. Dan foto-foto ini kupinjam dulu ya, De."
Dede mengangguk, "Foto itu saya berikan untuk kepentingan penyidikan. Let. Tapi..."
"Tapi apa""
"Untuk mencuci dan mencetaknya saya mengeluarkan uang cukup banyak...." "Maksudmu""
"Oh, tidak, tidak, saya tidak minta ganti uang." Dede menyeringai. "Sebagai gantinya - kalau boleh - kami bertiga ingin ikut dalam penggerebekan itu. Hehehe, supaya kami tahu penyelesaian perkara ini hingga tuntas. Let"
Letnan Dipa tampak mempertimbangkan permintaan Dede. Lalu katanya, "Baiklah. Kalian boleh ikut menyaksikan. Tapi dari jauh saja, ya""
"Yihuuul" Dede bersorak girang.
Yan dan Ira pun ikut senang.
"Cerdik juga kamu. De," puji Yan sambil menepuk punggung temannya kuat-kuat.
"Ayo!" Letnan Dipa mengajak anak-anak.
Sebelum kembali ke markasnya, Letnan Dipa berbicara kepada anak buahnya yang tetap ditugaskannya menjaga rumah Pak Gumarang.
Sementara itu anak-anak berjumpa dengan Febriya.
"Huri sudah kembali dengan selamat. Hatiku lega sekali," kata si Yaya. "Tetapi di samping itu aku juga tidak puas. Karena ternyata komplotan penculik itu masih berkeliaran dengan bebas!" Ketika berkata demikian - Yaya menatap ketiga anggota Kelompok 2 & 1 satu per satu. Pandangannya seolah-olah mengatakan: ternyata kalian tidak becus membekuk mereka!
Yan yang menangkap arti pandangan Febriya. berkata, "Penculik-penculik itu akan tertangkap. Ya. Sebentar lagi!"
"Omong kosong!" tukas Yaya melecehkan.
"Kamu boleh meragukan kata-kataku. Tapi satu hal perlu kauingat." Yan mengangkat telunjuknya. "Kamu tidak salah ketika memutuskan untuk minta bantuan kami."
Yaya memandang Yan. Pandangan orang bimbang.
"Ayo!" ajak Letnan Dipa.
"Sayang, aku tidak punya waktu untuk menjelaskan. Nantilah, aku aka
n datang lagi untuk menceritakannya kepadamu. Yuk, aku pergi dulu!" Dan Yan beserta kedua anak yang lain meninggalkan Febriya yang memandang dengan ragu ragu
XIII. SERGAPAN KILAT 31 Yang mula-mula dilakukan Letnan Dipa adalah kembali ke ruang kerjanya, kemudian menekan tombol intercom. Melalui pesawat penghubung itu ia memanggil seorang polisi berpangkat sersan.
Beberapa saat kemudian sersan yang dipanggil datang menghadap. Kepadanya Letnan Dipa menerangkan perkembangan terakhir peristiwa penculikan Huri Gumarang. Letnan menyuruh sersan itu menghubungi para informan yang selalu membantu polisi. Agar mereka menyelidiki dan mencari keterangan tentang tempat tinggal Mat Gorila sekarang. Harus secepat mungkinl
"Siap, Pak!" kata sersan itu setelah memahami maksud atasannya. "Kerjakan!" Lalu ia meninggalkan ruangan.
Kemudian Letnan Dipa memanggil Koptu Sahron dan empat anak buahnya yang lain. Setelah mereka menghadap. Letnan Dipa memberi penerangan. Bicaranya singkat, tidak bertele-tele, dan tegas.
"Jadi, begitu informasi tempat tinggal Mat Gorila masuk, kita harus segera bergerak. Rencana penyergapan kita tentukan setelah lokasinya kita ketahui secara pasti. Hanya satu pesan saya. Sedapat mungkin hindarkan tembak-menembak. Untuk itu kita harus mengadakan penyergapan kilat. Mat Gorila dan komplotannya harus sudah teringkus sebelum mereka menyadari apa yang sesungguhnya telah terjadi. Sekarang - adakan persiapan. Kerjakan!"
"Kerjakan!" Polisi-polisi itu memberi salut, lalu meninggalkan ruangan.
Semua kejadian di atas diikuti dengan cermat oleh Yan, Dede. dan Ira yang duduk di bangku di sudut ruangan. Ketiga anak itu menyaksikan dengan hati diliputi pelbagai macam perasaan: puas, lega, senang, tetapi juga waswas dan tegang.
"Nah, sekarang tidak ada yang harus kita lakukan - kecuali menunggu," Letnan Dipa berkata pada ketiga anak itu.
Ketiga anak itu mengangguk-angguk.
"Aku keluar sebentar, ya. Kalian jangan ke mana-mana." Letnan Dipa tersenyum, lalu membuka pintu.
"Let!" Letnan Dipa menoleh mendengar panggilan Dede.
"Bolehkah saya meminjam telepon" Saya pikir sebaiknya saya memberi kabar ke rumah. Supaya Bu Rondo dan orang tua Yan tidak cemas jika nanti kami terpaksa pulang terlambat," pinta Dede.
Kelompok 2 Dan 1 Sang Pengintai Karya Dwianto Setyawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Silakan." Letnan Dipa menunjuk pesawat telepon di atas meja, lalu keluar.
Dede menghampiri meja Letnan Dipa. Dengan bergaya - seolah-olah dirinya komandan - ia memutar nomor telepon rumahnya.
"Halo!" Lagak si Dede membuat Ira dan Yan terpingkal-pingkal.
Dede berbicara dengan Bu Rondo, pembantunya. Dikatakannya mungkin nanti ia pulang sore. Ada urusan penting! Puueentiing sekali! Bu Rondo disuruhnya ke rumah Yan untuk memberi tahu Bu Minta. Ketika Bu Rondo menanyakan, di mana Dede sekarang" Dede menjawab pendek, di suatu tempat! Lalu ia memutuskan hubungan.
"Bukan main lagakmu, De!" ejek Ira.
"Kenapa" Pantas kan kalau aku menjadi seperti Letnan Dipa"" tanya Dede, bergaya.
"Kamu tidak pantas! Sungguh!" tukas Yan. "Soalnya kamu terlalu sok! Kukira aku lebih cocok untuk menjadi seperti Letnan Dipa."
Dede meruncingkan mulutnya.
"Oh, sungguh mengasyikkan pengalaman kita hari ini," kata Ira. Matanya berbinar.
Omongan itu memancing pembicaraan tentang pengalaman mereka mulai tadi pagi. Dan mereka pun mengobrol, kadang-kadang diselingi tawa yang ramai.
Kira-kira setengah jam kemudian seorang gadis - pegawai sipil - masuk ke ruang itu. ia mengantarkan nasi bungkus dan teh botol untuk anak-anak. Dengan pesan dari Letnan Dipa supaya mereka cepat-cepat makan.
Anak-anak menerima kiriman itu, kemudian menyikatnya sampai licin tandas. Soalnya di samping lapar, nasi campur itu memang enak.
Jam 14.30. Letnan Dipa membuka pintu ruang kerjanya.
"Informasi sudah masuk. Anak-anak. Kita berangkat sekarang!"
Anak-anak meloncat berdiri dari bangku. Lalu dengan tergesa-gesa mereka mengikuti Letnan Dipa.
32 Anak-anak berada dalam satu jip dengan Letnan Dipa. Sementara Koptu Sahron dan rekan-rekannya berada di mobil yang lain.
Setelah semua siap. Let nan Dipa memberi isyarat berangkat.
Dalam perjalanan menuju sasaran. Letnan Dipa memberi tahu anak-anak bahwa Mat Gorila tinggal di sebuah rumah di kawasan pinggir kota. ia tinggal bersama dua orang temannya.
"Lokasinya sudah jelas. Let"" tanya Yan.
"Jelas sekali. Strategi penyergapan sudah kami atur. Rapi pokoknya!"
"Jadi pasti berhasil. Pak"" tanya Ira tegang dan waswas.
"Pasti! Dia tidak akan bisa lari ke mana-mana," jawab Letnan Dipa penuh rasa percaya diri.
Untuk mencapai daerah pinggiran kota itu dibutuhkan waktu 25 menit. Begitu mendekati daerah sasaran. Letnan Dipa menghubungi Koptu Sahron dengan radio mobil, ia memberi instruksi terakhir.
Beberapa detik kemudian anak-anak melihat mobil Koptu Sahron - yang meluncur di depan - mempercepat larinya. Lalu belok kanan, memasuki sebuah jalan tanah yang lebar.
Jip Letnan Dipa mengikuti jejak mobil di depan. Radionya mengumandangkan laporan Koptu Sahron.
"Sasaran sudah tampak. Kami mulai!"
Tiba-tiba mobil Koptu Sahron berbelok masuk ke halaman sebuah rumah. Melaju kencang, lalu berhenti secara mendadakdi muka pintu. Sebelum mobil itu berhenti sepenuhnya - Koptu Sahron dan rekan-rekannya sudah berloncatan keluar. Koptu Sahron dan seorang polisi langsung mendobrak pintu. Polisi lainnya mengitar lewat samping rumah. Seorang menodongkan senjatanya melalui jendela. Yang lain menyerbu lewat pintu belakang.
Benar-benar serangan kilat!
Letnan Dipa mematikan mesin jipnya.
"Merunduk, merunduk," perintahnya pada anak-anak. "Jangan keluar, apa pun yang terjadi. Juga nanti kalau Mat Gorila sudah tertangkap. Aku tidak ingin penjahat-penjahat itu mengenali kalian."
Sesudah berpesan demikian. Letnan Dipa membuka pintu. Lalu ia berlari ke arah belakang mobil Koptu Sahron. ia berlari sambil merunduk dengan pistol siap di tangan.
Yan, Dede, dan Ira mematuhi perintah Letnan Dipa. Mereka merunduk dalam-dalam, sambil berusaha mengintip kejadian di luar. Dada mereka terasa berdebar kencang. Keringat tiba-tiba mengalir tanpa sebab. Mereka memang sudah sering menangani perkara kejahatan. Akan tetapi ikut menyergap penjahat di sarangnya, baru sekali ini. Maka wajarlah jikalau perasaan tercekam oleh kekhawatiran yang menakutkan.
Ira bahkan diam-diam membayangkan, bagaimana seandainya polisi gagal dalam penyergapan ini" Bagaimana seandainya Mat Gorila berhasil meloloskan diri, dan lari justru ke arah jip tempatnya mengikuti kejadian bersama Yan dan Dede" Bagaimana, dan apa jadinya" Ira mendadak merasa perutnya kaku.
"Berhasil!" tiba-tiba Yan berseru.
Seruan Yan serentak mencairkan ketegangan yang terasa semakin kental. Ira lebih menjulurkan lehernya, mengawasi rumah dari balik kaca jip. Begitu pula yang diperbuat oleh Dede dan Yan sendiri.
Dari dalam rumah, tampak Koptu Sahron dan rekan-rekannya menggiring tiga laki-laki yang tangannya sudah diborgol Anak-anak segera mengenali. Yang paling depan adalah Mat Gorila. Yang kedua tak lain temannya yang menyetir sepeda motor. Paling belakang adalah seorang laki-laki yang belum pernah dilihat oleh anak-anak.
Letnan Dipa menyimpan pistol ke dalam sarungnya, ia berjalan menghampiri Mat Gorila. Mat Gorila menunduk. Ira agak heran menyaksikan sikap penjahat itu di hadapan Letnan Dipa.
"Potongannya tinggi besar, menyeramkan. Namun agaknya dia amat segan pada Pak Dipa," pikirnya. "Berarti Letnan Dipa memang hebat!" Diam-diam Ira memandang kagum pada letnan polisi itu.
Terdengar Letnan Dipa berbicara kepada penjahat bertubuh tinggi besar itu, "Mat, Mat! Mat Gorila... untuk kesekian kalinya kita saling berurusan lagi. Kapan kamu mau insyaf. Mat""
Mat Gorila menghindari mata Letnan Dipa. ia diam saja. Namun kemudian sambil mengangkat muka, ia bertanya, "Pak, bagaimana Bapak bisa tahu""
"Bahwa kamu pelaku penculikan itu"" tukas Letnan Dipa. "Sayang aku tidak bisa menjelaskannya. Mat. Itu rahasia kami." Letnan Dipa dan Mat Gorila berpandangan. Mat Gorila nampak tidak puas memperoleh jawaban seperti itu. Letnan Dipa lalu memberi isyarat kepada anak buahnya, "Bawa mereka!"
Koptu Sahron menyuruh ketiga anggota komplotan itu naik ke mobil. Tetapi ia sendiri tidak ikut. Setelah Mat Gorila dan kawan-kawannya naik, polisi-polisi yang bertugas mengawal menyusul naik. Dan, mobil pun berangkat meninggalkan tempat itu.
Ketika mobil yang membawa Mat Gorila dan kawan-kawan berlalu di dekat jip, anak-anak merunduk dalam-dalam. Pesan Letnan Dipa mereka lakukan dengan baik. Bagaimanapun memang lebih aman jika para penjahat itu tidak tahu siapa orang di belakang layar, yang akhirnya menyebabkan mereka tertangkap.
XIV. SERANGKAI RASA TERIMA KASIH
33 "Anak-anak, kalian boleh keluar sekarang," kata Letnan Dipa dari jendela jip.
Ketiga anak itu menghela napas lega. Mereka turun dari jip.
Koptu Sahron langsung menyambut dengan menjabat tangan mereka satu per satu.
"Terima kasih. Adik-adik, atas bantuan kalian," kata kopral polisi itu. "Kalian telah memberi kesempatan kepadaku untuk menebus kekeliruanku - ketika mengadakan penyergapan di makam Pungkasan."
Yan dan kawan-kawan tersenyum bangga.
"Mereka memang pantas mendapat ucapan terima kasih dari kita, Ron. Dariku juga," sambung Letnan Dipa. "Sebab mereka sungguh-sungguh telah menyelamatkan mukaku - karena foto-foto itu. Coba kalau tidak. Andaikata kita tidak berhasil menggulung komplotan Mat Gorila. Apa yang akan terjadi" Masyarakat pasti akan melecehkan kemampuan kita sebagai polisi. Tapi syukurlah - semua sudah beres!"
"Ya." Koptu Sahron memandang Dede. "Kamu cukup ahli membuat foto rupanya
"Apa boleh buat! Bakat saya dalam bidang itu memang besar sekali!" Dede tertawa keras.
"Uuuuuu!" Ira mendorong punggung Dede. Dede berpura-pura mau terjerunuk.
Semua tertawa melihat lawakan Dede.
"Oh ya, apa sebenarnya yang terjadi waktu Anda menyerbu ke rumah tadi"" tanya Yan pada Koptu Sahron.
"Ohh! Waktu kami masuk, Mat Gorila dan seorang temannya sedang main kartu. Sementara temannya yang lain berada di dapur, mau mengambil minuman. Mereka sama sekali tidak menyangka akan datangnya penyergapan yang tiba-tiba itu." Koptu Sahron membuka tangan. "Jadi, segalanya berlangsung dengan amat mudah. Tak ada perlawanan sedikit pun. Kami tinggal memborgol."
"Lalu, Pak, bagaimana caranya sehingga informasi tentang rumah ini dapat diketahui demikian cepat"" tanya Yan lagi.
"Begitu kami mendapat perintah dari Pak Dipa, kami langsung menghubungi para informan. Dari salah seorang informan yang bernama Dubri, diperoleh keterangan bahwa Mat Gorila tinggal di sini." Koptu Sahron menuding tanah. "Dubri lalu kami suruh mengawasi dan mencatat kegiatan yang sedang dilakukan Mat Gorila. Informasi lebih lanjut menyebutkan bahwa Mat Gorila dan kawan-kawan terlihat ada di rumah. Penyergapan bisa dilakukan secepatnya! Lalu, Letnan Dipa menentukan taktik penyergapan. Selanjutnya Adik-adik tahu sendiri."
Yan merasa puas dengan penjelasan itu "Ayo, kita lihat-lihat keadaan di dalam," ajak Dede. ia mendahului masuk ke rumah, menyusul Letnan Dipa yang sudah di dalam untuk memeriksa keadaan.
34 Ketiga anggota Kelompok 2 & 1 melihat Letnan Dipa di dalam kamar, yang rupanya merupakan kamar Mat Gorila. Letnan polisi itu sedang memeriksa tas kopor yang berisi uang tebusen.
"Masih utuh," kata Letnan Dipa sambil menunjuk isi tas kopor itu.
"Fuuuiii! Banyak sekali!" seru Yan melihat tumpukan uang di dalamnya.
"Siapa bilang lima puluh juta itu sedikit, Yan"" Letnan Dipa menutup tas kopor itu dan berkata, "Sudah sewajarnya kalau nanti Pak Bob juga menyatakan rasa terima kasih kepada kalian. Karena berkat jasa kalian, ia dapat memperoleh hartanya kembali."
"Dan tidak berkurang sepeser pun!" sambung Koptu Sahron sambil tertawa. "Rupanya Mat Gorila belum sempat membagi-bagi uang tebusan itu."
Letnan Dipa mengangguk. Kemudian anak-anak diajaknya ke kamar sebelah. Di kamar ini Yan dan kawan-kawan melihat mainan anak-anak yang berserakan. Di atas meja ada susu kaleng, biskuit, permen loli, dan coklat.
"Jadi di sini Huri disekap," gumam Ira.
"Ya. Tapi tempat ini memang cocok untuk menyembunyikan seorang anak." Letnan Dipa memandang ke luar. "Kea
daannya sepi dan berjauhan dengan tetangga," lanjutnya.
Ira menegakkan sebuah mobil-mobilan yang terguling di lantai. Katanya, "Rupanya mereka memperlakukan Huri cukup baik."
"Aku tidak tahu kalau Mat Gorila juga punya bakat jadi tukang momong. Hahahaha!" Koptu Sahron tertawa keras.
"Let," panggil Yan.
"Hmm"" "Masih ada satu soal yang mengganggu pikiran saya. Bagaimana komplotan itu mengetahui jadwal acara Bu Gumarang. Umpamanya kebiasaan Bu Gumarang ke tempat senam Arita dengan mengajak Huri" Apakah benar mereka tidak mempunyai hubungan dengan orang dalam""
"Untuk mengetahui jadwal acara keluarga Gumarang, orang bisa hanya mengamati dari luar, Yan. Mencatat jam berapa biasanya ia pergi. Membuntuti hingga tahu tujuannya, dan seterusnya. Sampai sekarang aku tetap tidak menemukan bukti adanya hubungan antara para pembantu keluarga Gumarang dengan komplotan. Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa komplotan itu bekerja sendiri." Letnan Dipa mempertemukan kedua telapak tangan lalu menggosok-gosokkannya. "Kita sudah cukup lama di sini. Ron, kaujaga tempat ini dulu sementara menunggu kedatangan rekan-rekan dari bagian penyidikan. Aku akan mengantarkan anak-anak."
"Siap, Pak!" "Mari!" Letnan Dipa mengangkat tas kopor dan keluar.
"Kita terus ke Febriya"" tanya Dede pada Yan.
"Nanti saja. Tak perlu tergesa."
"Soalnya aku ingin melihat reaksinya setelah mengetahui peranan kita dalam penyelesaian perkara ini. Masa dia masih kecewa""
Yan tertawa. Ketiga anak itu menyusul Letnan Dipa ke mobil. Angin sore menyambut mereka, dengan hembusan lembut hingga terasa bagai belaian. Dada lalu terasa lapang. Dan ayunan langkah pun terasa lebih ringan.
-END- Petualangan Tiga Garrideb 1 Bayi Pinjaman Baby On Loan Karya Liz Fielding Pengorbanan The Sacrifice 2