Pencarian

Sang Pengintai 1

Kelompok 2 Dan 1 Sang Pengintai Karya Dwianto Setyawan Bagian 1


Dwianto Setyawan Kelompok 2 & 1 SANG PENGINTAI Penerbit PT Gramedia Jakarta, 1985 DJVU by: BBSC Edit & Convert to Txt, Pdf, Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
KELOMPOK 2 & 1: SANG PENGINTAI
oleh Dwianto Setyawan GM 85.045 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
All rights reserved Gambar sampul dan ilustrasi dalam oleh Amir K.
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Jakarta, Maret 1985
Anggota IKAPI Dilarang mengutip, menerjemahkan, memfotokopi atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia Jakarta
Daftar Isi I. Berita yang Menggelisahkan
II. Nasib Anak Orang Sibuk
III. Mulai Bergerak IV. Informasi dari Tangan Pertama
V. Menemui Letnan Dipa VI. Berhasil Masuk VII. Telepon dari "Sang Penyikat"
VIII. Informasi Kedua dari Yaya
IX. Menentukan Langkah X. Drama di Bangunan Setengah Jadi
XI. Perkembangan Terbaru XII. Kejutan untuk Letnan Dipa
XIII. Sergapan Kilat XIV. Serangkaian Rasa Terima Kasih
I. BERITA YANG MENGGELISAHKAN
1 Yan muncul di ruang makan, ia memakai kaus hitam. Mukanya kelihatan segar. Rambutnya yang lebat tersisir rapi. Rambut itu masih basah. Tampak kelimis. Dari sela-sela bagian depannya air meleleh turun, mengalir ke kening.
"Baru keramas"" tanya Pak Minta - ayahnya - sambil menoleh dari tempat duduknya di meja makan.
"Begitulah," sahut anak laki-laki bermata lebar itu. Lalu ia tertawa. Lagaknya itu memaksa ayahnya tersenyum geli.
"Eh. Yan, kemarin Bapak membaca berita tentang lomba menggambar tingkat SD se-propinsi. Pemenang keduanya anak dari SD mu ya""
Yan mengangguk. "Lesmana memang jago menggambar."
"Teman sekelas""
"Bukan. Lesmana kelas lima."
"Kalau begitu temannya Ira."
"Ya, tapi tidak sekelas." Yan menarik kursi, lalu duduk. Piring yang tertelungkup ditelentangkannya. Sementara matanya memperhatikan lauk-pauk di atas meja.
"Kamu tidak ingin ikut lomba semacam itu" Sekali-sekali cobalah! Siapa tahu menang!"
"Ah, Yan mana punya bakat menggambar" Kalau ada perlombaan memecahkan misteri - itu sih lain soal! Tanggung Yan ikut!" sahut anak itu sambil memandang jenaka pada ayahnya.
"Ah, kamu! Tahunya perkara misteri melulu!" Sambil berkata. Pak Mintaraga mengulurkan lengan menyeberangi meja makan, mendorong kepala putra sulungnya.
Yan terkekeh. "Iya ya, kenapa tidak pernah diadakan perlombaan semacam itu"" tanyanya kemudian.
"Usulkan saja ke depdikbud," Bapak berkelakar.
"Selamat pagi. Pak!" Ira muncul. Lalu setengah berlari anak perempuan yang rambutnya dikepang itu melintas ke belakang kursi Bapak. "Cup!" Ira mengecup pipi ayahnya. Laki-laki itu tertawa senang. Dipeluknya pinggang Ira yang ramping.
"Kukira kamu masih tidur." goda Bapak.
"Uuuuu...." Ira - yang memiliki mata seperti mata kakaknya - meruncingkan mulut. "Memangnya Ira pemalas""
Pak Minta tertawa. "Soalnya - hari ini kan hari pertama liburan. Bapak pikir kamu ingin bangun lebih siang."
Ira menggeleng. Kucirnya berayun. "Ira kepingin sarapan bersama Bapak." Lalu ia duduk.
Tepat pada saat Ira duduk. Bu Minta keluar dari dapur. Wanita itu membawa mangkuk sayur yang baru dipanasi. Melihat Yan dan Ira enak-enakan duduk, seketika matanya terbelalak.
"Bagus ya! Tidak seorang pun yang muncul di dapur untuk membantuku. Pinter, pinter sekali!" omel wanita itu.
Ira terkikik. "Ini kan hari libur. Bu."
"Yang libur kan sekolah." Ibu meletakkan mangkuk di atas tatakan. "Atau - baiknya jika sekolah libur, dapur juga kita liburkan"" sambungnya kemudian sambil berkacak pinggang dan memandang Ira.
"Terserahlah," Yan yang menyahut. Berlagak menganggap gertakan Ibu sebagai sesuatu yang tidak perlu dicemaskan.
Bu Minta langsung mendorong puncak kepala Yan. "Dasar...," sungut wanita itu dengan kata-kata yang tidak lengkap.
"Ayo, ah! Nanti aku terlambat," Bapak me-nyeletuk, lalu menyenduk nasi sebagai pembukaan acara sarapan itu.
2 Keluarga yang terdiri dari ayah-ibu dan dua anak i
tu menyelesaikan sarapan sambil bercakap-cakap. Suasana terasa riang. Langit yang terlihat dari jendela tampak bersih dan cerah. Radio mengalunkan lagu-lagu yang iramanya terasa pas dengan suasana pagi itu. Sampai dengan waktu Warta Berita Daerah.
Yan mendengarkan warta berita itu sekilas-sekilas. Kadang-kadang perhatiannya tertuju pada omongan penyiar yang membacakan siaran berita dengan suara bariton itu. Tetapi pada saat yang lain pikirannya terseret pada topik yang sedang dibicarakan orang tuanya. Tentang kemenangan Hastomo Arbi atas Han Jian dari RRC - dalam pertandingan bulu tangkis memperebutkan piala Thomas 1984, di Kuala Lumpur yang baru berlalu. Ibu memuji Hastomo yang tetap kelihatan rendah hati walaupun telah menjadi pahlawan dalam pertandingan sangat mencekam - yang berlangsung selama enam jam itu. Sementara Bapak berkata, "Bergembira karena kemenangan itu sih boleh-boleh saja. Asal jangan sampai kita terlena. Bagaimanapun dua tahun lagi piala Thomas harus diperebutkan kembali. Nah, bagaimana cara kita mempertahankan. Inilah yang harus benar-benar dipikirkan!"
Pikiran Yan masih terus berpindah-pindah dari berita radio ke percakapan tentang bulu tangkis, dan sebaliknya, hingga sang penyiar menyampaikan berita yang mengejutkan itu!
"Sttt, Bu, diam dulu. Bu," seru Hardian alias Yan. Telunjuknya menuding radio.
Ibu diam. Lalu semua memasang telinga.
"...Peristiwa penculikan putra Bob Gumarang, pengusaha kaya-raya itu, terjadi sekitar pukul 17.20 kemarin, di tempat senam Arita. Pada saat mana Nyonya Bob Gumarang sedang memberikan latihan senam, sementara Huri Gumarang bermain-main di halaman. Menurut pihak kepolisian hingga saat sebelum berita ini disiarkan, para penculik belum mengadakan, ataupun mengajukan tuntutannya. Dengan demikian belum jelas pula motif penculikan anak laki-laki tersebut. Bob Gumarang mengatakan, bersedia memenuhi tuntutan pihak penculik, asal putranya kembali dalam keadaan selamat. Untuk itu ia menghimbau pihak penculik agar segera menghubunginya."
Lalu sang penyiar mulai beralih membacakan hasil pertandingan bola basket antar perguruan tinggi.
"Huri diculik" Astagaaa..." Ira berseru sebagai komentar atas berita yang baru berlalu.
Yan mengangguk-angguk perlahan.
"Jadi kalian kenal dengan si korban"" tanya Pak Mintaraga dengan agak memiringkan kepala.
"Sama Huri" Tidak." Ira melanjutkan, "Tapi dengan Febriya - saudara sepupunya - Ira kenal."
"Huri masih kecil. Pak. Umurnya lima tahun kurang sedikit," Yan membantu menerangkan. "Kalau Febriya""
"Yaya, nama panggilan Febriya, temanku sekelas," kata Yan lagi.
"Ohh..." Bapak mengangguk-angguk.
"Kasihan." Bu Minta menghela napas, kemudian menggeleng-geleng. "Bagaimana akhir nasibnya nanti" Masih kecil, belum mengerti banyak, tapi sudah harus menderita karena perbuatan manusia yang berhati serakah." Mata wanita itu menyala. Dengan suara lebih keras ia melanjutkan, "Penculik adalah manusia berhati keji, sekaligus pengecut. Karena memanfaatkan cinta kasih orang tua terhadap anaknya untuk mendapat uang tebusan!"
"Penculik harus dihukum seberat mungkin!" Ira menimpali, tandas. Anak ini terpengaruh oleh emosi yang melanda ibunya. Di samping ia memang merasa benci pada orang jahat yang menyengsarakan anak-anak.
Bapak mendesah. "Belum tentu motifnya untuk memperoleh uang tebusan," katanya. Sementara tangannya memutar sendok kecil dalam kopi susu. Laki-laki itu melirik istrinya. "Bisa juga karena dendam."
"Aku berani taruhan. Pasti demi uang tebusan!" tukas istrinya yakin.
"Kukira - aku tidak bisa tinggal diam," gumam Yan tiba-tiba.
"Apa, Yan"" tanya ibunya.
Yan menyeringai, tidak menjawab.
"Tidak! Kali ini Ibu tidak memperbolehkan kalian ikut campur!" Bu Mintaraga tahu kegemaran anaknya akan misteri-misteri yang menyelubungi suatu peristiwa kejahatan, ia juga tahu bahwa sudah beberapa kali Yan, Ira. dan Dede - teman mereka - yang menamakan diri Kelompok 2 & 1, berhasil memecahkan misteri semacam itu. Entah sendirian, entah melalui kerja sama dengan Letnan Dipa. Biasanya ia tidak melarang. Aka
n tetapi kali ini hati kecilnya mengajukan pertimbangan lain. "Ikut campur dalam perkara penculikan sangat besar risikonya. Penculik itu biasanya kejam, Yan. Mereka tidak segan bertindak keras terhadap orang yang mengganggu rencana mereka."
"Aku tahu. Bu, aku tahu. Tapi sebaliknya Ibu juga harus memperhitungkan siapa kami. Dan bagaimana cara kerja kami! Masa kami akan bertindak gegabah"" ujar Yan dengan maksud menenangkan ibunya.
"Pokoknya tidak!" teriak Bu Minta sambil menepuk pinggir meja. Pandangannya menyambar Yan dan adiknya. Ira menunduk, sementara Yan tampak kesal. Anak laki-laki itu menatap piring dengan bibir merapat.
Bu Minta sadar akan sikapnya yang terlampau keras. Kemudian, setelah menarik napas, ia berkata, kali ini dengan suara lunak, "Jangan salah paham. Ibu hanya mengkhawatirkan keselamatan kalian." Lalu ia melirik suaminya dengan pandangan berharap agar larangannya diperkuat.
"Bapak pikir peringatan ibumu ada benarnya juga," kata laki-laki itu. Seperti sekedarnya. Tanpa nada mendukung yang tegas. "Wah, sudah lewat setengah delapan!" sambungnya kemudian sambil melirik arlojinya. Direngkuhnya cangkir dari meja, lalu isinya dihabiskannya dengan sekali teguk. "Bapak berangkat ya...." Dan ia meninggalkan ruang makan, menuju ke mobil yang telah disiapkannya di halaman.
Tak lama kemudian Pak Minta sudah dalam perjalanan menuju kampus, untuk memberi kuliah.
3 Hardian yang biasa dipanggil Yan membantu Ibu membenahi peralatan yang kotor. Kelakuannya seperti orang setengah melamun. Tanda bahwa pikirannya tidak sepenuhnya tertuju pada apa yang sedang dilakukannya.
Sementara itu diam-diam Ira memperhatikan gerak-gerik kakaknya, ia bisa menduga apa yang tengah berkecamuk dalam kepala kakaknya. Hehh, setelah mendengar tentang peristiwa penculikan Huri, mustahil jika Kak Yan bisa melupakan. Pasti diam-diam ia menyusun rencana, meskipun Ibu tidak suka.
Selesai membantu Ibu, Ira mencari kakaknya. Yan ditemukannya sedang berbaring dalam kamar. Kepalanya berbantal lengan. Matanya menerawang ke langit-langit. Ira berhenti di samping tempat tidur.
"Bagaimana, kita tetap akan melibatkan diri"" tanya anak perempuan bermuka mungil itu.
"Masih perlukah pertanyaan itu"" Yan melirik adiknya sekilas. "Yaya temanku. Kini keluarganya sedang dalam kesusahan. Masa aku harus tinggal diam""
"Tapi..." "Aku tahu! Kamu merisaukan larangan Ibu, kan"" potong Yan- cepat. Melihat adiknya mengangguk, Yan meneruskan, "Nanti kita yakinkan Ibu. Sampai ia setuju kita melibatkan diri Tadi Ibu sedang emosi. Aku yakin sikapnya akan berubah jika perasaannya sudah lebih tenang."
Kata-kata Yan meyakinkan Ira. Ira mengangguk. "Lalu, apa yang harus kita kerjakan""
"Itulah yang sedang kupikirkan," jawab Yan. Lalu kembali ia merenungi langit-langit kamar.
II. NASIB ANAK ORANG SIBUK
4 Angin pagi berhembus masuk melalui jendela. Hardian berdiri di depan cermin tanpa maksud mengaca. Anak itu kelihatan tidak tenang. Perasaannya belum lepas dari berita penculikan Huri Gumarang. Ataukah ini merupakan akibat dari kerinduan akan misteri baru - yang kemudian mendorongnya untuk ikut memecahkan" Yan memandang cermin. Kedua tangannya yang tersimpan dalam saku celana meremas-remas kain kantung.
ia melirik weker, lalu bergumam, "Jam sembilan." Dan ia pun mendesah. "Apa yang bisa kulakukan""
Ketermenungannya membuyar, ketika pendengarannya menangkap suara anak penjaja koran. Yan cepat-cepat membuka kotak pensilnya, dan mengambil uang seratus lima puluh rupiah. Setelah itu ia keluar dari kamar, menuju halaman. Di situ ia berdiri menunggu si penjual koran.
"Koran!" Anak penjual koran yang tongos itu berbelok mendekati Yan. Dan Yan membeli selembar koran Aneka Berita.
Sambil membuka koran daerah itu Yan berjalan ke teras. Matanya menelusuri kolom demi kolom, mencari berita tentang penculikan Huri Guma-rang. Akhirnya berita yang dicarinya ketemu di halaman delapan. Yan membacanya dengan cepat. Namun alangkah kecewanya dia ketika mengetahui bahwa isi berita itu tidak berbeda dengan berita radio tadi
. "Huhhh..." Bibirnya meruncing, menghembus udara. "Tidak ada keterangan baru. Buat apa kubeli"" Dan koran pun dilipatnya dengan kasar, lalu dihempaskannya ke meja. "Irrr!" teriaknya memanggil adiknya.
"Sebentaarrr!" terdengar sahutan dari halaman belakang. Tak lama kemudian orangnya muncul. "Ada apa, Kak"" Bola mata Ira yang bening memperhatikan wajah kakaknya.
"Aku mau ke rumah Dede. Ikut""
Ira mengangguk. Matanya melihat koran di meja. "Baru beli"" tanyanya sambil mengangkat koran itu.
"Ya. Kukira ada sesuatu yang baru mengenai penculikan itu. Tapi nyatanya tidak. Wartawannya kurang gesit!" kata Yan tidak puas.
Ira menanggapi komentar itu dengan lirikan. Kemudian ia membaca berita tentang pencemaran lingkungan akibat kecerobohan sebuah pabrik deterjen. Sementara Yan masuk untuk berpamitan pada Ibu.
Yan keluar lagi. Melihat adiknya masih asyik membaca, Yan menepuk ujung koran. "Ayo!"
"Sebentar!" teriak Ira kesal.
Yan mendahului turun ke jalan. Ira menyelesaikan membaca, lalu berlari-lari menyusul kakaknya.
Rumah Dede Sofyan dekat saja. Hanya terpisah tiga rumah dengan rumah kakak-beradik itu. Ketika mereka sampai di situ tampak Bu Rondo, pembantu keluarga Dede, sedang menyapu beranda.
"Mencari Dede, ya"" sambut Bu Rondo begitu melihat Yan dan Ira.
"Memangnya kalau kemari - kami biasa mencari Bu Rondo"" Kejenakaan mewarnai nada sahutan Ira.
Bu Rondo - wanita setengah baya itu - terkekeh. "Mbok sekali-sekali mencariku. Masa Dede terus""
"Ya deh, kapan-kapan!" Ira tertawa lebar.
"Dee!" Yan yang terus nyelonong ke pintu, berteriak, "Deee!"
"Dede pergi," Bu Rondo memberi tahu.
"Pergi" Pergi ke mana"" Yan menoleh pada Bu Rondo dan bertanya dengan dahi mengernyit.
"Tamasya." "Tamasya" Wah, sama siapa"" "Sama Bapak dan Ibu."
"Wah, kok tumben"" seru Ira, terkejut bercampur heran.
"Nah, kalian heran, kan" Aku sendiri juga heran kok!" Bu Rondo menyahut, Jenaka. Kemudian dengan suara pelan ia meneruskan, "Tiba-tiba saja Bapak dan Ibu mengajak Dede bertamasya. Dede tadi juga kaget. Mimpi apa aku semalam" Demikian dia bilang kepadaku." Bu Rondo tertawa.
Yan dan Ira berpandangan.
Jika kedua anak itu menganggap pemberitahu-an Bu Rondo sebagai suatu kejutan - itu ada alasannya. Drang tua Dede adalah tipe orang tua yang selalu sibuk. Sebagai pengusaha yang berhasil ayah Dede jarang berada di rumah, ia selalu sibuk dengan urusan bisnisnya. Sehingga waktu yang bisa diberikan pada anak tunggalnya itu sedikit sekali. Demikian pula dengan ibu Dede. ia punya usaha sendiri. Usaha yang sungguh-sungguh menyita waktu dan pikiran. Akibatnya Dede hampir-hampir tidak mendapat perhatian.
Sikap kedua orang tuanya yang seperti itu sering membuat Dede mengeluh, dan merasa dirinya amat malang. Lebih-lebih jika ia melihat hubungan dalam keluarga Yan yang penuh kehangatan.
Setahu Yan, jarang sekali - atau hampir tidak pernah-kedua orang tua Dede mengajak anak itu berekreasi bersama-sama. Oleh sebab itulah Yan dan Ira merasa heran.
"Ini benar-benar kejutan," gumam Yan.
"Kejutan" Ya, ya, Dede tadi juga bilang begitu," sahut Bu Rondo. Lalu ia mengembalikan keset yang baru ditepuk-tepuknya dengan sapu ke tempatnya semula.
"Mungkin ayah dan ibu Dede sudah berubah. Kalau memang demikian, betapa bahagianya si Dede. Aku turut senang," kata Ira dengan mata bersinar.
"Aku juga lho!" sambung Bu Rondo tak mau kalah. "Biar Dede tidak terlalu kesepian lagi." Bu Rondo termenung sebentar. Lalu katanya, "Dede pernah mengutarakan niatnya padaku. Katanya, daripada di rumah jarang berkumpul dengan orang tua, mendingan ia minta dimasukkan asrama saja."
"Betul" Dede pernah punya niat seperti itu"" celetuk Ira. Bola matanya melebar.
"Ya. Tapi sebentar kemudian pikiran itu dibuangnya sendiri. Katanya, kalau ia tinggal di asrama di kota lain - berarti ia tidak bisa bersama-sama kalian lagi. Katanya pula, itu berarti ia tidak bisa mengusut perkara-perkara yang aneh bersama kalian lagi. Sejak itu Dede tidak pernah menyinggung lagi soal itu."
Yan tersenyum mendengar penuturan itu.
Dede sudah sering menikmati kepuasan setelah berhasil membongkar sebuah misteri. Kepuasan yang di samping menyenangkan, juga dapat membuat orang kecanduan. Dan itu hanya bisa diperoleh melalui keaktifan Kelompok 2 & 1. Jadi rasanya mustahil Dede akan bisa melepaskan diri dari kelompok, untuk pindah sekolah ke kota lain dan masuk asrama. Demikian pikir Yan.
Sementara itu Ira teringat pada Dede. Dede Sofyan yang berkaca mata, yang bandel, yang sering suka menang sendiri. Tapi juga berhati baik. Ah, betapa sepinya jika Dede benar-benar pergi.
"Mungkin ada baiknya kuyakinkan dia-supaya membuang niatnya itu jauh-jauh," pikir anak perempuan itu.
Pandangan Yan berpindah dari pagar ke Bu Rondo. "Aku pulang. Bu," katanya minta diri.
"Ada pesan buat Dede"" tanya wanita itu.
Yan menggeleng. "Eemmm - cuma ini. Nanti kalau sudah pulang, Dede suruh ke rumahku."
Bu Rondo berjanji akan menyampaikan pesan itu. Dan kedua kakak beradik itu pun pergi.
5 Dalam perjalanan pulang - sambil merangkul lengan kakaknya - Ira membicarakan masalah si Dede. "Kalau dipikir memang kasihan. Bayangkan, andaikata orang tua kita seperti Itu. Siang malam sibuk melulu. Apa artinya timbunan hadiah, jika kita tidak bisa mengobrol atau bercanda dengan Ayah atau Ibu" Idih, ngeri deh!"
Abangnya menanggapi kata-kata itu dengan komentar pendek, sebelum berkata, "Aku harus menemui Febriya. Perasaanku belum bisa tenang sebelum aku mendengar lebih banyak tentang penculikan Huri. Dan aku yakin Yaya tahu banyak." Lalu Yan mengayunkan langkahnya lebih cepat.
Yan berhenti di halaman. Mendengarkan lebih serius suara orang mengobrol dari dalam rumahnya. Ira berhenti di sampingnya.
"Lho, itu kan suara Dede"" kata Ira satelah mengenali suara dari dalam rumah, ia memandang abangnya. "Bagaimana si Kaca mata itu tiba-tiba bisa berada di rumah kita""
Yan menggerakkan bahunya, lalu masuk ke dalam.
"Del Katanya ngelencer, kok..."" seru Ira dari bahu kakaknya.
"Itulah. Tapi dalam soal begitu nasibku mana pernah mujur sih"" sahut Dede Sofyan. Matanya melirik Bu Minta yang menemaninya bercakap-cakap sambil memotong kain untuk blus Ira. Lalu anak berkaca mata yang rambutnya kemerah-merahan itu mengangkat bahu. Pandangannya menekuri lantai di bawah kursinya.
Ira heran. Jawaban Dede itu terasa membingungkan, ia melirik ibunya. Pada saat yang sama Bu Minta sedang memperhatikan Dede dengan sinar mata kasihan.
Yan berdiri di muka Dede. "Ada apa, De" Kamu merasa tidak pernah mujur dalam soal apa""
Dede mengangkat muka, memandang dari atas kaca mata. Lalu berkata, "Dalam soal ngelencer bersama orang tua, mana pernah aku bernasib mujur" Yang namanya hambatan - selalu ada saja!" Dede tersenyum getir. "Seperti yang baru terjadi. Huhh!" Anak laki-laki yang punya bakat menjadi jangkung itu mendesah kesal.
Yan menyandarkan punggungnya ke meja panjang, tempat Ibu memotong kain. Diam, menunggu kelanjutan cerita Dede.
"Kemarin tiba-tiba ayahku membuat kejutan, ia mengajak aku dan Ibu berekreasi bersama-sama. Wah, kegembiraanku meluap seketika. Apalagi setelah ibuku juga setuju. Kalian kan tahu - bagaimana sifat kedua orang tuaku. Maka ajakan seperti itu kuanggap sebagai sesuatu yang luar biasa!"
Ira mengangguk-angguk. Sementara Bu Minta menghentikan pekerjaannya. Hingga suara gunting yang tadi meramaikan ruangan kini berhenti. Suasana terasa hening.
"Begitulah, tadi pagi kami bertiga berangkat," lanjut Dede. "Tapi apa yang terjadi kemudian" Di tengah jalan Ayah bertemu dengan koleganya. Ayah lalu menghentikan mobil, dan mengobrol soal bisnis dengan pengacau itu!"
"Terus"" celetuk Ira, yang tak tahan untuk diam melulu.
"Kemudian Ayah berkata padaku, 'De, aku harus menyelesaikan urusan penting dengan Pak Tanu. Tidak bisa ditunda, De. Maaf, ya. Tapi rekreasi ini tidak perlu batal. Kamu toh bisa pergi dengan Ibu.'" Dede merapatkan geraham, dan menyambung dengan suara geram, "Enak sekali! Sedikit pun Ayah tidak menghiraukan kekecewaanku! Malahan, untuk sekedar menghiburku diberinya aku uang. Uang itu langsung kuremas dan kubuang ke lantai m
obil. Siapa yang membutuhkan uang"!" Dede menjerit, matanya bernyala.
Yan tampak ikut sedih mendengar pengalaman sahabat karibnya itu. Kepalanya mengangguk-angguk samar, ia menunggu sesaat. Sampai emosi Dede agak mereda. Kemudian ia berkata, "Lalu" Kamu tetap melanjutkan rencana tamasya itu, bukan""
"Kalau jadi tamasya itu - masa aku berada di sini"" sergah Dede kasar. Lalu dengan suara pelan - sangat berlawanan dengan sergahan itu - Dede melanjutkan, "Tidak, kami tidak jadi bertamasya."
"Tapi kenapa"" pancing Ira, hati-hati.
"Setelah Ayah ikut mobil Pak Tanu, Ibu mengomel, panjang, panjaang sekali! Kata Ibu, Ayah mau enak sendiri... pokoknya macam-macamlah! Aku tahu. Ibu sebenarnya enggan melanjutkan perjalanan tanpa Ayah. Maka aku berkata dengan suara manis - yang tentu saja kubikin-bikin, 'Bu, sebaiknya kita batalkan saja rencana ini. Toh Ayah tidak ikut.' Seperti yang kuduga, ibuku menyambut usul itu dengan suara lega." "Apa kata ibumu""
"Ibu bertanya, apakah aku tidak kecewa. Aku jawab, tidak! Tidak apa-apa. Ibu lalu menerangkan bahwa sebenarnya pagi ini ia harus menghadiri rapat persiapan sebuah acara fashion show, yang akan diselenggarakannya bersama rekan-rekannya. Dan itu penting sekalil Silakan, Ibu, kataku. Dede turun sini saja. Jadi Ibu bisa langsung ke tempat rapat. Dede bisa pulang naik bemo. Oh, kamu memang anak yang baik dan penuh pengertian, kata Ibu. Lalu diberinya aku uang. Uang lagi!"
"Uang itu kau buang lagi"" sela Ira.
"Oh, tidak. Kupikir kali ini aku cukup cerdik." Dede tertawa. "Uang itu kuterima. Yang dari Ayah juga kupungut lagi. Kupikir aku bisa bikin acara sendiri dengan kalian, dengan uang ini." Dede menepuk saku sementara matanya memandang Yan dan Ira berganti-ganti.
Yan tersenyum. "Lalu kamu langsung kemari"" tanya Ira.
"Ya. Karena kalian masih di rumahku, maka aku mengobrol dengan Bu Minta yang baik hati, hahaha!" Dede tertawa sambil memandang ibu Yan dan Ira
Ira menarik napas dalam-dalam. Hatinya lega melihat Dede sudah bisa melepaskan diri dari kesedihan yang baru mencekamnya.
Sementara itu diam-diam Bu Minta termenung. Wanita itu tidak mengerti, bagaimana ayah dan ibu Dede bisa bersikap demikian terhadap anaknya, anak tunggal lagi! Menganggap urusan pekerjaan lebih penting daripada kebahagiaan si anak. Oh, betul batui keterlaluan! Bu Minta menghela napas. Tapi mau apa" Sifat dan pendirian orang memang berbeda-beda!
6 "Lalu apa acara kita sekarang, Yan"" tanya Dede tiba-tiba.
Yan memindahkan pandangannya dari halaman samping ke kaca mata temannya. Pertanyaan itu dilihatnya sebagai peluang yang baik. Peluang untuk membujuk ibunya sehubungan dengan keinginannya untuk melibatkan diri dalam peristiwa penculikan Huri Gumarang. Maka dengan cerdiknya anak yang berbadan tegap itu berkata,
"Sebenarnya kita punya kegiatan yang bisa mengasyikkan." Lalu dengan cepat ia menuturkan berita penculikan Huri. "Tetapi sayang Ibu tidak mengizinkan kita ikut campur!" Yan melirik ibunya dengan pandangan menyudutkan.
"Betulkah" Tapi kenapa tidak boleh"" tukas Dede bersemangat sambil ikut menatap Bu Minta.
"Nah, nah, kamu mulai memanfaatkan kesempatan, ya!" gerutu Ibu. Tatapan matanya menghunjam pada muka Yan. Namun demikian dalam hati sebenarnya diam-diam ia memuji kecerdikan Yan.
"Bu, Ibu harus memberi izin," desak Dede. "Seperti tadi dikatakan Yan, kegiatan itu dapat membuat kami asyik. Dapat menghibur hati saya yang kecewa karena perbuatan ayah dan ibu saya."
Bu Minta melatakkan gunting ke meja. Kepalanya mengangguk-angguk. "Kalian mau menyudutkan aku rupanya...."
"Bukan begitu. Bu, tapi..."
"Perkara itu sangat berbahaya. Risikonya besar."
"Kami tidak akan melibatkan diri secara langsung. Bu. Percayalah! Kami cuma ingin mencari informasi. Siapa tahu ada manfaatnya untuk membantu Latnan Dipa." Yan memandang penuh harap. Demikian pula Ira dan Dede.
Akhirnya Bu Minta tidak berdaya lagi menghadapi desakan anak-anak. ia menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, baiklah," katanya sambil menggerak-gerakkan telunjuk, "aku tidak melarang lagi. Ta
pi dengan satu syarat. Kalian hanya boleh berdiri di luar garis dalam kasus tersebut. Untuk sekedar mencari keterangan. Tetapi kalau rasanya sudah masuk daerah berbahaya, kalian harus lekas-lekas mengundurkan diri. Ibu akan marah jika kalian bertindak terlalu jauh. Mengerti""
"Mengertii!" jawab Yan, bersorak gembira karena izin itu akhirnya didapatnya juga. Lalu kepada Ira dan Dede ia berkata dengan suara tegas, "Kita harus segera bergerak!"
III. MULAI BERGERAK 7 Di jalan ketiga anak itu masih mempercakapkan keberhasilan Yan meyakinkan Ibu.
"Aku tadi hampir-hampir tidak percaya bahwa akhirnya Ibu mengizinkan kita pergi," ujar Ira.
"Soalnya karena ini." Yan menotol dahinya dengan ujung telunjuk.
"Bukan itu saja," sela Dede. ia mendorong bagian tengah kaca matanya ke atas. "Tapi juga karena pengalamanku tadi. Rupanya ibu kalian terpengaruh, dan tidak ingin membuatku sedih sekali lagi, hahaha!" Dede tertawa. Setelah tertawa keras, ia menyambung kata-katanya dengan suara bersungguh-sungguh, "Tapi ibu kalian memang penuh pengertian. Betapa bahagianya mempunyai ibu seperti Bu Minta."
Yan tahu apabila omongan itu ditanggapi, maka sekali lagi mereka akan terjerat dalam percakapan yang emosional. Yan tidak mau. Oleh sebab itu cepat-cepat ia mengalihkan bahan percakapan pada masalah penculikan yang hendak mereka ikuti.
"Kita harus bisa bertemu dengan Febriya. Darinya kuharap kita akan mendapat informasi lebih banyak daripada yang diberitakan radio dan koran."
"Ibumu pesan supaya kita tidak melibatkan diri terlalu jauh. Tapi apakah mungkin"" tanya Dede.
"Itu pula yang merisaukan hatiku," Ira menimpali. "Sekali kita sudah terjun, kita pasti akan terus terlibat!"
"Jangan terlalu risau. Kita lihat saja nanti. Yang penting, kita harus hati-hati." Yan menggandeng tangan adiknya menyeberangi jalan raya yang ramai. Setibanya di seberang mereka berdiri menunggu bemo. Tadi mereka sudah memutuskan untuk tidak naik sepeda. Karena Jalan Diponegoro, di mana rumah keluarga Gumarang terletak, jaraknya cukup jauh. Mendingan naik bemo saja.
Sebuah bemo - yang tampangnya sudah butut - berhenti di dekat mereka. Dua orang penumpangnya - seorang ibu dan seorang gadis - turun. Ketiga anak itu bergegas naik.
Kendaraan roda tiga yang bercat warna telur asin itu meluncur di aspal yang mulus. Hanyut dalam arus lalu lintas yang ramai dan penuh dengan suara hiruk-pikuk. Kendaraan-kendaraan hilir-mudik, berebut dulu-mendului. Seorang tukang becak yang becaknya nyaris terserempet jip berteriak menyumpah-nyumpah. Bis meraung-raung diiringi bunyi klaksonnya yang seakan ingin menyentakkan jantung. Kemudian untuk beberapa saat keributan di jalan raya itu tertelan oleh kegaduhan dari atas. Ketika sebuah pesawat terbang melintas dengan ketinggian hanya sedikit lebih tinggi dari pohon kelapa.
Suasana terasa hiruk-pikuk. Namun begitu Yan nyaris tak mendengarnya. Karena ia terlalu tenggelam dalam pikiran tentang penculikan Huri Gumarang. Pertanyaan demi pertanyaan sim-pang siur memenuhi benaknya. Siapa pelaku kejahatan itu" Sebuah komplotan atau perorangan" Serta apa pula motifnya" Uang, atau dendam" Dan apakah Febriya atau Yaya bisa memberi keterangan sebanyak yang diharapkannya"
Bemo berbelok ke kiri. Sopirnya rupanya kurang sabar. Banting setir seenaknya. Sehingga para penumpang nyaris kehilangan keseimbangan. Yan tersentak, ia melongok ke luar, lalu cepat-cepat memijit bel.
"Ayo turun!" ajaknya.
8 Rumah keluarga Bob Gumarang adalah sebuah bangunan yang luas dan kekar. Bergaya modern. Mencerminkan kemapanan pemiliknya. Halamannya yang tampak asri dikelilingi pagar tembok di kanan kirinya. Juga di bagian belakang. Sementara di bagian depan dibatasi pagar besi yang tinggi, dengan ujung seperti mata anak panah, dan kuning gading warnanya. Pintu gerbangnya terkunci.
Ketiga anggota Kelompok 2 & 1 memperhatikan keadaan. Rumah itu terasa lengang. Pintunya tertutup, tapi tidak terlalu rapat.
"Sepi ya," gumam Ira.
"Kelihatannya. Tapi siapa tahu di dalam," sahut Dede. Anak itu mengernyit karena sinar
matahari langsung menerpa ke mukanya.
"Ada apa di dalam"" "Aku membayangkan Pak Bob dan keluarganya duduk mengelilingi telepon. Menunggu perintah dari penculik dengan gelisah." Dede menggembungkan pipi, lalu menghembus pelan-pelan. Sementara tangannya mengebas-ngebaskan kerah baju untuk mengurangi rasa gerah.
Tidak jauh dari tempat katiga anak itu, tampak sekelompok remaja. Mereka berdiri menggerombol sambil mempercakapkan penculikan Huri Gumarang. Yang seorang - yang rupanya tahu paling banyak - tampak memberi tahu teman-temannya dengan suara bersemangat Sambil menuding-nuding ke arah rumah.
"Bagaimana sekarang"" tanya Ira pada abangnya.
"Ya - kita temui Yaya." Setelah berkata, Yan menghampiri pintu gerbang. Dimasukkannya lengannya ke sela-sela jeruji dan meraba-raba ke pilar samping, mencari tombol bel. Kemudian dipijitnya.
Pintu rumah terbuka. Seorang pemuda berumur dua puluh lima tahun yang kelihatan sok keluar, ia menyeberangi halaman dan menghampiri anak-anak.
"Mau apa kalian"" tanya pemuda itu, kasar.
"Mau bertemu Yaya," sahut Yan. Sambutan pemuda yang matanya sempit sebelah itu menyinggung perasaannya. Yan lebih mendongak. Ditatapnya muka pemuda itu, lurus-lurus.
"Tidak bisa!" kata pemuda itu.
"Kenapa tidak bisa"" sergah Dede tajam. "Kami teman sekelasnya!"
"Aku tidak peduli kalian siapa," jawab pemuda itu. Makin sok saja dia kelihatannya. "Pokoknya hari-hari ini keluarga Pak Gumarang tidak menerima tamu. Termasuk Yaya. Ngerti""
Dede geram sekali, ia nyaris menyemprot pemuda itu. Tapi pada saat yang sama, Ira berkata, "Soalnya penting. Mas. Kami mau mengambil buku pelajaran..."
"Kapan-kapan kan bisa," potong si pemuda seenaknya.
"Mas ini siapa sih"" tanya Yan, panas.
"Apa hakmu melarang kami menemui Yaya"" Dede menimpali dengan mata melotot.
"Aku anggota hansip di lingkungan ini. Aku ditugaskan untuk menjaga ketenangan keluarga Pak Gumarang dari gangguan orang-orang yang ingin tahu..."
"Ingin tahu soal apa"" potong Yan pura-pura tidak mengerti.
"Jadi kalian belum tahu"" Hansip yang tidak berpakaian seragam itu mencondongkan mukanya ke arah Yan. "Anak Pak Bob diculik. Sejak itu banyak yang datang kemari. Ya wartawan, ya orang iseng yang selalu ingin tahu. Pak Bob dan pihak polisi menganggap keadaan itu bisa merugikan. Kemudian diputuskan siapa pun tidak boleh mengganggu keluarga ini. Kecuali dengan izin Letnan Dipa."
"Oh, begitu..." Muka Yan berubah cerah mendengar nama Letnan Dipa. Baik, aku akan minta izin kepada Letnan Dipa. Nanti akan kubikin orang sok ini melongo. Letnan Dipa kenalan baikku. Dia tidak tahu, pikir Yan.
Sementara itu si pemuda berbalik, hendak kembali ke rumah.
"Mas, sebentar!" teriak Dede.
"Apa lagi"" tanya pemuda itu jengkel.
"Apakah si penculik sudah menghubungi Pak Bob""
"Itu bukan urusanmu!" sergah si pemuda galak. Lalu ia kembali ke rumah. Dede menghentakkan kaki lantaran geramnya. "De, ayo kita temui Letnan Dipa," ajak Yan. "Sebentar."
"Tidak ada gunanya kita merengek-rengek kepada hansip yang sok itu. Tidak bakal dia memberi izin," kata Ira.
Akan tetapi Dede tidak bermaksud merengek-rengek minta dibukakan pintu, ia menunggu sampai pemuda itu menghilang ke dalam. Setelah itu ditekannya bel dengan pijitan panjang.
Si pemuda nongol lagi. Dede menertawakannya. "Anak gila!" umpat pemuda itu. Lalu ia berlari ke pintu gerbang.
Ira tersentak melihat kelakuan pemuda yang marah itu. Pada saat itu Yan menyentakkan lengannya, mengajaknya lari menyusul Dede.
Pemuda itu berhenti di balik pintu gerbang. Agaknya ia menganggap akan sia-sia saja mengejar anak berkaca mata yang usil tadi. ia berdiri dengan geram, lalu saat berikutnya ia kembali lagi ke rumah.
9 "De, lagi-lagi kau menuruti sifat usilmu yang menjengkelkan itu! Untung dia tidak mengejar. Kalau mengejar, dan kamu tertangkap - lalu ditempelengnya, bagaimana"" Di sela-sela napasnya yang terengah Ira terus mengomeli Dede, "Apa untungnya mempermainkan mas tadi. Aku tidak mengerti!" Ira melirik Dede dengan pandangan kesal.


Kelompok 2 Dan 1 Sang Pengintai Karya Dwianto Setyawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biar dia tahu. Begitu
lah rasanya dipermainkan."
"Dia tidak mempermainkan kita. Dia cuma sekedar menjalankan tugas. Kan tadi kaudengar sendiri alasannya," kata Ira, bernada menghardik. Dede melirik Ira sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke ujung trotoar. Lagaknya mengang-gap omongan 1ra seperti angin lalu.
Ira semakin jengkel dibuatnya. "Sudah, sudah, jangan ribut!" Hardian menengahi. "Kalau kalian terus ribut, aku tidak bisa berpikir."
"Tuh, dengar tidak"" goda Dede pada Ira sambil mencondongkan badan ke arah anak perempuan itu.
Ira melengos. Mulutnya meruncing.
Dede terkekeh. "Begitu saja marah...." Menyadari Ira tidak akan menanggapi ucapannya,
Dede lalu bertanya pada Yan, "Ke mana kita sekarang""
"Kores, Kita coba menemui Letnan Dipa," jawab Yan "Aku ingin mendapat surat dari Pak Dipa. Hingga kita bisa menjumpai Febriya. Kalau sudah demikian nanti - aku ingin tahu bagaimana sikap hansip itu."
"Mudah-mudahan seperti monyet bau terasi, hahahaha!" Dede Sofyan terbahak. Belum apa-apa kegeliannya sudah timbul, membayangkan kelakuan hansip tadi.
Anak-anak tiba di kantor polisi. Namun betapa kecewanya mereka sesudah mendengar bahwa Letnan Dipa sadang keluar. Mereka terpaksa kembali dengan tangan hampa.
"Dasar awak sedang sial!" gerutu Yan.
"Huuhhh," Dede ikut-ikutan mengeluh, "padahal aku sudah membayangkan pertemuan dengan Letnan Dipa. Kukira Letnan Dipa tahu cukup banyak mengenai kasus penculikan itu. Kita bisa mendapatkan keterangan tambahan darinya. Atau sekurang-kurangnya kita bisa menawarkan jasa untuk membantu penyelidikan polisi."
Ketiga anak itu berjalan menelusuri trotoar. Sampai di supermarket, Dede mengajak kedua temannya membeli es krim.
Sambil menghabiskan es krim yang lezat itu, Yan memimpin perundingan untuk menentukan langkah berikutnya. Namun pembicaraan terasa melingkar-lingkar saja. Soalnya karena mereka memang belum tahu banyak tentang penculikan itu. Akhirnya mereka kembali pada keputusan pertama. Yaitu, berusaha menemui Febriya, atau Letnan Dipa. Pendeknya mereka harus memperoleh bahan sebanyak-banyaknya dulu. Baru setelah itu mungkin mereka bisa melakukan sesuatu.
"Sudah siang. Kita pulang saja dulu," kata Yan sambil memandang langit. "Nanti sore, atau besok pagi, kita coba usaha itu sekali lagi."
IV. INFORMASI DARI TANGAN PERTAMA
10 Selesai mandi, Dede kembali lagi ke rumah Hardian. Sore itu mereka merencanakan untuk mengulangi usaha yang gagal tadi siang. Yaitu, menghubungi Febriya. Kalau tidak bisa, mereka akan terus menemui Letnan Dipa.
Mereka sudah begitu haus akan informasi tentang penculikan Huri.
"Kita harus segera mendapatkannya, De. Aku tidak sabar lagi. Herannya, setelah pemberitaan pertama tadi pagi, radio sama sekali tidak menyinggung-nyinggung peristiwa penculikan itu lagi," begitu ujar Yan.
Dede Sofyan memasuki halaman rumah Pak Mintaraga. ia melihat Yan dan Ira sedang duduk-duduk bersama ayahnya di teras. Ketiganya kelihatan tengah asyik bercakap-cakap.
"Hai, Del" sapa Pak Minta pada teman anaknya.
"Selamat sore. Pak! Tidak memberi kuliah"" tanyanya sambil menarik kursi.
"Nanti." Laki-laki yang pekerjaannya dosen itu mengangkat lengan kirinya, melirik arloji. "Masih cukup waktu."
Dede mengangguk-angguk. Pandangannya menelusuri wajah Pak Minta.
Pak Minta bertubuh semampai, dengan perut tidakterlalu buncit. Letak matanya dalam. Rambutnya lebat seperti rambut anak-anaknya.
"Tampaknya asyik sekali. Sedang membicarakan apa"" tanya Dede sambil melirik Yan dan Ira, yang rupanya juga baru mandi.
"Mengobrol tentang penculikan," sahut Ira. Lalu sambil melirik ayahnya, Ira menyambung, "Ternyata Bapak tahu banyak, De."
"Hahaha tapi aku bukan penculik lho. Juga tidak pernah terlibat dalam peristiwa penculikan," Pak Minta berkelakar. "Aku tahu dari bacaan."
"Jadi kira-kira bagaimana. Pak"" sela Yan, menyambung pembicaraan yang terputus karena kedatangan Dede. "Apa mungkin komplotan penculik itu membebaskan Huri dalam keadaan selamat""
"Justru itulah yang masih sukar dipastikan." Pak Minta menghadapkan muka pada Yan.
"Su karnya" Kukira kalau uang tebusan sudah dibayar, penculik akan segera membebaskan sanderanya. Bukan begitu"" Ira mencondongkan kepala ke arah ayahnya.
Pak Minta menggeleng-geleng. "Tidak segam pang itu, Ir. Aku pernah membaca sebuah kisah penculikan. Walaupun pihak keluarga si korban telah menyatakan bersedia memenuhi tuntutan penculik, toh mereka masih maju-mundur. Sementara si anak tidak segera dibebaskan. Masalahnya kenapa""
"Kenapa, Pak""
"Karena komplotan penculik itu takut pada polisi. Mereka takut masuk perangkap pada waktu penyerahan uang tebusan. Makanya mereka lalu mengulur-ulur waktu." Pak Minta menangkupkan kedua telapak tangannya dan mengangkatnya ke depan dada. "Mudah-mudahan Huri tidak jatuh ke tangan komplotan yang kejam. Karena memang ada penculik yang tujuannya semata-mata hanya ingin memperoleh uang tebusan. Mereka tidak mengganggu korbannya. Pokoknya uang tebusan dibayar, mereka akan mengembalikan sandera dalam keadaan baik-baik. Tapi, yang sebaliknya juga ada."
Ira mendesah keras. Kegelisahan tiba-tiba menyergapnya, ketika ia membayangkan keadaan Huri Gumarang. "Mengapa ada orang yang sampai hati membuat anak sekecil Huri menderita"" keluhnya.
"Peristiwa penculikan Huri sudah tersebar luas, dan reaksi masyarakat sangat hebat," lanjut Pak Minta. "Para orang tua mengutuk perbuatan keji itu. Mereka mendesak supaya polisi segera membekuk komplotan itu dan membebaskan Huri. Namun justru ini yang tidak gampang. Aku bisa membayangkan betapa risaunya hati Letnan Dipa."
"Kami tadi ke kantornya. Pak. Tapi tidak berhasil menemuinya," kata Dede.
Sesudah berpikir beberapa saat, Yan bertanya, "Pak, apa mungkin penculikan itu motifnya bukan karena uang. Tetapi karena ada orang yang tidak menyukai Pak Gumarang""
"Mungkin saja. Seperti yang kukatakan tadi pagi."
"Wah, kalau demikian - bagaimana nasib si Huri"" keluh Ira. Kecemasannya kian bertambah.
"Kita baru tahu, kalau penculik itu sudah mengadakan hubungan dengan Pak Bob Guma-rang. Soalnya, mereka sudah berhubungan atau belum"" Pak Minta berdiri.
"Kami tentu akan mengetahui, kalau saja tadi kami tidak dihalang-halangi oleh hansip yang sok itu!" Dede menggerutu. Lalu ia menoleh pada Yan. "Makanya - kita harus berusaha menemui Febriya sekali lagi."
"Sebentar lagi kita ke sana," sahut Yan.
Sementara itu Pak Minta masuk ke dalam. Sebab sebentar lagi ia harus berangkat untuk memberi kuliah malam.
11 Ira menyambar jaket dari gantungan. Tanpa memakainya lebih dulu ia langsung berlari ke luar kamar. Bapak sudah menunggu. Rencananya ia, Yan, dan Dede akan ikut mobil Bapak sampai di Jalan Diponegoro, untuk menemui Febriya.
"Cepat, Ir!" Yan berseru dari mobil.
"Bu, Ira pergi!" teriak anak perempuan itu sambil tetap berlari.
"Jangan lama-lama!" balas Bu Minta yang berdiri di teras.
Ira masuk ke mobil. Pak Minta memasukkan perseneling. Tepat pada saat itu sebuah mobil lain berhenti di muka pagar. Sebuah Honda Accord yang kelihatannya masih baru.
Ketiga anak dalam mobil memperhatikan. Sementara pintu belakang Honda Accord terbuka, dan seorang anak perempuan keluar. Anak perempuan itu memasuki halaman. Seorang anak dengan tinggi sedang. Raut mukanya berbentuk bulat telur. Rambutnya dipotong sebatas bahu.
"Febriya!" seru Yan, terkejut dan heran. Lalu cepat-cepat ia keluar dari mobil ayahnya.
"Kebetulan!" Dede juga keluar.
Pak Minta menoleh pada Ira. "Dia Febriya" Mau apa ke sini""
Ira tidak menjawab, ia mengikuti jejak Yan dan Dede. Sementara Pak Minta mematikan mesin. Rasa ingin tahu membuat dosen itu menunda keberangkatannya.
"Oh, untung kamu ada di rumah, Yan," kata Febriya begitu berhadapan dengan Hardian. "Aku mau minta tolong...."
"Soal"" tanya Yan. Meskipun hatinya sudah bisa menebak maksud Yaya.
"Huri diculik. Kamu belum mendengar""
"Kami sudah tahu. Malahan tadi kami ke rumahmu untuk bertanya. Tapi tidak boleh masuk," Ira mendahului menjawab.
"0 ya"" Febriya memandang ke rumah.
Kegelisahan Febriya tidak luput dari perhatian Yan. "Kita bicara di dalam saja," ajaknya.
Febri ya mengikuti Yan masuk ke rumah. Ketika melewati Pak dan Bu Minta yang berdiri berdampingan, ia mengangguk.
"Duduklah yang tenang. Ya. Dan ceritakan maksud kedatanganmu," Yan menyilakan anak itu.
Febriya duduk pada kursi yang membelakangi jendela ruang tamu. Sapu tangannya diremas remasnya sampai lusuh. Yan dan Dede duduk bersebelahan. Ira di depan mereka. Sementara Pak dan Bu Minta juga ikut mendengarkan.
"Aku mau minta tolong sehubungan dengan penculikan Huri. Aku tahu, kalian bertiga sudah sering kali membongkar kejahatan. Siapa tahu kalian bisa membantu." Yaya menarik napas dalam-dalam. "Hatiku susah. Karena hilangnya Huri akibat kelalaianku."
Dede mengernyit mendengar pengakuan itu. "Ceritakan saja. Biar kami dengar. Jika kami sanggup, pasti akan kami bantu," katanya.
Janji Dede - yang diucapkan dengan gaya sangat meyakinkan itu - membuat Pak Minta dan istrinya saling melirik.
Yaya menghela napas panjang. Kemudian ia menuturkan jalannya peristiwa yang akhirnya menyebabkan hilangnya Huri Gumarang:
Kemarin sore - hari Selasa - Bu Gumarang mengajak Febriya ke tempat senam Arita Perlunya, Yaya harus mengemong Huri yang juga diajak, sementara Bu Gumarang membantu -memberikan latihan senam. Guru sekaligus pemi-lik tempat senam Arita adalah teman baik Bu Gumarang.
Begitulah. Sementara Bu Bob Gumarang sibuk di dalam, Yaya bermain-main dengan Huri di halaman. Tak lama sesudah itu Ima dan adiknya datang. Ima adalah anak tetangga Bu Arita. ia sudah kenal dengan Febriya. Ima berumur dua belas tahun. Sedang Emi, adiknya, sebaya dengan Huri.
"Mula-mula aku dan Ima sekedar mengobrol saja, sambil mengawasi Huri yang bermain ayunan di sudut halaman dengan Emi. Kemudian Ima mengajakku bermain bekel. Sudah lama aku tidak pernah main bekel lagi. Tapi aku mau juga. Maksudku sekedar untuk melewatkan waktu sementara menunggu Bibi. Namun kemudian aku keasyikan. Perhatianku pun tercurah sepenuhnya pada permainan itu. Aku tidak lagi memikirkan Huri," demikian kata Febriya.
Febriya tidak ingat persis berapa lama ia bermain. Hanya kemudian ia tersentak melihat Emi tahu-tahu duduk di sebelahnya. Serentak pandangannya ditujukannya ke sudut halaman, mencari Huri. Tetapi Huri tidak ada!
"Mana Huri"" tanyanya pada Emi.
Anak perempuan yang umurnya belum lima tahun itu tidak bisa menerangkan dengan jelas, ia cuma mengatakan, Huri ikut seorang bapak yang memberinya mobil-mobilan kecil. "Lewat sana!" Emi menuding pintu pagar samping.
Yaya seketika melompat dan berlari ke arah yang ditunjukkan Emi. ia benar-benar panik.
Pagar samping kanan rumah Bibi Arita - pemilik tempat senam itu - berbatasan dengan sebuah jalan yang ujungnya bermuara di jalan raya, sementara ujung lainnya berakhir pada sebuah tikungan. Yaya menebarkan pandangan dari ujung ke ujung. Namun Huri dan bapak yang disebutkan Emi tidak ada. Ketakutan dan kepanikan membuat tubuhnya serasa lumpuh.
Sementara itu Ima sudah memberi tahu Bu Gumarang bahwa Huri dibawa orang. Dalam waktu singkat kepanikan melanda tempat senam itu. Seperti orang histeris Bu Gumarang menjerit-jerit, mencaci-maki kesembronoan Yaya.
Bercerita sampai di situ, Febriya menunduk. Tampak tertekan.
Yan memperhatikan wajah teman sekelasnya itu dengan pandangan bersimpati. Yan dapat membayangkan bagaimana perasaan Yaya, setelah Yaya dianggap membuat kekeliruan sehingga menyebabkan Huri diculik.
Febriya - boleh dibilang - hanya menumpang di rumah keluarga Gumarang. Pak Bob Gumarang adalah saudara ayah Febriya, yang tinggalnya di Kepanjen. Sebagai orang yang menumpang niscaya tidak sebebas tinggal di rumah orang tua sendiri. Rasa tertekan pasti ada. Apalagi sekarang - setelah ia dianggap bersalah.
Yan mendesah, lalu berkata pada diri sendiri, "Aku harus menolongnya. Dan satu-satunya cara ialah dengan menemukan Huri!"
Yaya merasa telah berdiam diri cukup lama. ia mengangkat mukanya lagi dan melanjutkan penuturannya:
Kemudian Pak Bob - yang waktu itu belum pulang dari pabrik - ditelepon. Laki-laki itu sama paniknya dengan istrinya, ia langsung pulang. Sementara itu Bu
Bob dan Febriya juga pulang. Ketika tiba di rumah. Pak Bob melihat sebuah amplop kabinet berwarna putih tergeletak di atas rumput, kira-kira satu setengah meter dari pagar. Rupanya ada yang sengaja melemparkan surat itu dari luar. Di tempat yang mudah terlihat. Ketika dibuka - ternyata itu surat pertama dari penculik. Surat itu berbunyi demikian:
Sediakan uang 50 juta rupiah. Harus terdiri dari lima-ribuan dan sepuluh-ribuan saja. Siapkan secepatnya. Dalam tempo 2-3 hari kami akan menghubungi Anda lagi. Untuk memberi instruksi apa yang harus Anda kerjakan. Jangan menghubungi polisi. Jangan berting-kah macam-macam. Putra Anda akan kami kembalikan dalam keadaan baik-baik, apabila Anda menuruti permintaan kami. Kalau tidak- kami tidak tanggung!
Kini tak ada keraguan lagi, Huri memang diculik! Pak Bob memperingatkan keluarganya agar tidak membocorkan peristiwa penculikan Huri. Tapi mana mungkin" Sedangkan murid-murid tempat senam Arita sudah tahu semuanya.
Tidak lama kemudian polisi datang menemui keluarga Gumarang. Entah siapa yang menghubungi mereka. Pak Bob kelihatan enggan bekerja sama dengan polisi untuk menangkap para penculik itu. Sebab ia mengkhawatirkan keselamatan putranya.
V. MENEMUI LETNAN DIPA 12 Cericit roda motor menggurat jalan di muka rumah. Sedetik kemudian klakson mobil yang mengantarkan Febriya mendengking, membelah udara petang yang mulai mengambang. Febriya berdiri dan berteriak pada sopirnya melalui jendela, "Sebentar!" Lalu ia duduk lagi, menghadapi tuan rumahnya.
"Sebenarnya aku dilarang membicarakan masalah penculikan Huri kepada siapa pun," kata anak perempuan itu, memandang Yan, Ira dan Dede. "Tapi aku nekat. Tadi ketika Bibi menyuruhku mengantarkan surat kepada Bu Arita, aku memutuskan untuk menemui kalian. Siapa tahu kalian bisa ikut membantu menangani perkara ini. Untung Pak Asum, sopir itu, bersedia mengantarku kemari."
Ira mengangguk-angguk maklum, lalu berkata, "Surat untuk Bu Arita sudah kauantar""
"Sudah." "Surat apa sih"" celetuk Dede.
"Mana aku tahu."
"Yaya, sebaiknya kamu cepat pulang- Daripada dimarahi karena kelamaan di sini," kata Bu Minta yang sejak semula mengikuti pembicaraan dengan penuh perhatian.
"Ya, Bu. Saya memang tidak bisa lama-lama," sahut Febriya.
"Yaya, jadi sampai sekarang belum ada perkembangan baru"" sela Pak Minta yang belum berangkat juga.
"Belum, Pak. Penculik itu belum menghubungi Paman lagi."
"Hemm... aku mengerti sekarang," celetuk Yan sambil mengangguk-angguk.
Semua mata tertuju padanya.
Yan melanjutkan. "Aku mengerti-kenapa sejak pemberitaan melalui radio itu, tidak ada lagi kelanjutannya. Tentu karena tidak diizinkan."
"Memang," sahut Febriya. "Paman tidak menghendaki peristiwa penculikan Huri dibesar-besarkan terus oleh radio maupun oleh surat kabar. Pemberitaan pertama tadi pagi dianggapnya sebagai suatu kebobolan, yang bisa merugikan hubungannya dengan komplotan penculik."
"Kalau pamanmu menolak bekerja sama dengan polisi, bagaimana mungkin komplotan penculik itu bisa diringkus"" tanya Ira.
Febriya menggerakkan bahu.
"Kita harus bisa memaklumi perasaan Pak Bob. Ir," sela Pak Minta. "Dia sedang dalam keadaan panik. Baginya lebih penting mendapatkan Huri kembali daripada urusan menangkap penculik."
Febriya mau berdiri, pamitan. Akan tetapi lagi-lagi niatnya itu tertunda oleh perkataan Yan.
"Sebentar..." kata Yan. "Kalau tidak salah - kamu pernah bercerita padaku bahwa Huri punya pengasuh khusus. Yang selalu mengiringinya ke mana-mana..."
"Betul," potong Yaya sambil mengangguk.
"Kalau begitu kenapa harus kamu yang menemani Huri" Kenapa bukan dia""
"Itulah... dasar nasibku sedang sial," jawab Febriya. "Pada waktu itu seharusnya Bu Murti yang harus ikut ke tempat senam Arita Itu kan memang tugasnya! Tapi sesiang itu Bu Murti sakit perut, ke belakang terus-terusan. Akhirnya Bibi terpaksa mengalihkan tugas momong itu padaku." Yaya diam sebentar. "Kalau tidak, tentu aku tidak perlu menelan amarah dari kanan-kiri. Rasanya aku ingin menangisi" Air mata Yaya merembang ketika bil
ang begitu. "TIIINNNN!" bunyi klakson terdengar lagi.
Febriya melompat, lalu pamitan sambil berjalan ke luar. Sampai di anak tangga teras, ia berbalik dan berbicara kepada ketiga anggota Kelompok 2 & 1, "Tolonglah. Cari Huri sampai ketemu."
"Jangan khawatir. Kami pasti akan berusaha sekuat tenagal" sahut Dede meyakinkan.
Yaya berlari ke mobilnya. Sopirnya mengomel, "Lama betul. Kita bisa dimarahi nanti!"
Yaya tidak menyahut, ia menutup pintu, lalu duduk dengan pandangan lurus ke depan.
Pak Mintaraga berkata kepada anak-anak, "Bukan main! Yaya tampaknya yakin sekali bahwa kalian bisa membantu."
"Soalnya dia tahu kemampuan kami," jawab Dede bernada sombong.
Mau tidak mau Bu Minta terkekeh melihat lagak si Dede.
"Terus terang, aku justru kurang yakin kalian akan bisa melakukan sesuatu yang berarti dalam urusan ini," kata wanita berpipi penuh itu. "Ini perkara serius..."
"Wah, Ibu menghina!" potong Yan tersinggung. "Apa Ibu anggap perkara-perkara sebelum ini - yang pernah kami selesaikan - tidak serius""
Pak Minta melirik istrinya. Tersenyum simpul. "Nah, apa jawabmu""
Bu Minta tidak menjawab. "Berangkat dulu, ah! Aku sudah terlambati" kata laki-laki itu.
"Kami ikut. Pak. Numpang sampai rumah Letnan Dipa," pinta Yan tiba-tiba.
"Mau apa ke sana"" tukas Ibu cepat-cepat.
"Mencari keterangan lebih lanjut - tentunya," jawab Yan sambil memandang ibunya.
"Tapi ini sudah petang, Van!" kata Bu Minta bernada melarang.
"Ayolah, Bu. Jangan terus-terusan melarang. Ini menyangkut keselamatan seorang anak. Ibu ingin Huri bisa kembali dengan selamat, bukan"" ujar Yan. Setengah membujuk dan setengah mendesak.
Bu Minta mendesah, lalu melirik suaminya. Suaminya tidak menunjukkan rasa keberatan. Wanita itu lalu berkata, "Ya, sudahlah! Tapi kalian lebih baik makan dulu."
"Soal makan gampang. Ayo, Pak!" Yan menarik lengan ayahnya. Mereka menuju mobil. Ira dan Dede cepat-cepat menyusul.
Bu Mintaraga menyaksikan keberangkatan anak-anak. Kepalanya digeleng-gelengkannya. Sebenarnya ia tidak keberatan anak-anak melakukan sesuatu yang menyenangkan mereka, ia hanya khawatir kalau anak-anak akan jatuh ke dalam keadaan yang berbahaya. Wanita itu menarik napas panjang, lalu berjalan ke dalam.
13 Pak Mintaraga menurunkan anak-anak di mulut jalan di mana rumah Letnan Dipa terletak. Setelah itu ia terus melanjutkan perjalanan.
Yan langsung menuju ke rumah komandan polisi itu. Dede dan Ira berjalan di kanan-kirinya. Mereka tiba tepat ketika televisi baru selesai menyiarkan film kartun. Letnan Dipa sendiri yang membukakan pintu.
Letnan polisi yang berdahi lebar dan berambut agak jarang itu masih mengenakan seragam lengkap. Wajahnya kelihatan letih. Agaknya ia juga baru tiba di rumah.
"Ehh... kalian! Tumben, petang-petang kemari. Ayo masuk... masuk!" sambut polisi itu sambil mendorong bahu Yan dan Ira.
"Baru pulang. Let"" tanya Dede. berjalan menuju kursi, lalu duduk. Matanya yang terlindung kaca mata mengawasi wajah Letnan Dipa.
Letnan Dipa menjawab pertanyaan itu dengan anggukan. Lalu ia pun duduk.
"Mengusut perkara penculikan Huri Gumarang"" tanya Dede lagi. Kelakuan Dede Sofyan tampak tidak canggung. Demikian pula Yan dan Ira. Hubungan ketiga anak itu dengan Letnan Dipa memang sudah akrab. Mereka juga sudah beberapa kali ke rumah polisi itu.
"Betul. Wah, rupanya kalian sudah mendengar juga," kata letnan itu. "Dari siapa" Dari radio, atau koran""
Bukannya menjawab, Dede malahan bertanya dengan suara bertekanan, "Bagaimana pula hasilnya" Pak Gumarang masih tetap menolak bekerja sama dengan polisi"" Mata Dede mengerjap lucu.
Letnan Dipa mengangkat alis. "Dari mana kalian tahu"" tanya polisi itu heran. Ketiga anak itu tertawa.
"Aaaa, aaa... rupanya kalian sudah bergerak nih!" polisi itu menyambung sambil menggerak-gerakkan sebuah telunjuknya.
Ira terkekeh, sementara Dede menyahut dengan dada dibusungkan, "Setelah mengetahui peristiwa macam begitu - mana mungkin kami tinggal diam. Let""
"Ya, ya, seharusnya aku sudah bisa memperkirakan." ujar Pak Letnan. Ke
palanya menggang-guk-angguk panjang sementara mulutnya tertawa lebar. "Perkara semacam itu mana mungkin lolos dari perhatian Kelompok 2 & 1!"
"Itu dia!" cetus Dede. Jempolnya digerakkannya kuat-kuat.
"Kami tadi ke kantor Bapak, tapi Bapak tidak ada," Ira memberi tahu setelah merasa cukup bersenda-gurau. Tanpa menunggu diminta lagi anak perempuan itu menceritakan pengalamannya dari pagi sampai kedatangan Yaya tadi.
Yan menunggu sampai adiknya selesai berceri ta. Setelah itu ia berkata, "Kedatangan kami ini untuk mencari informasi lebih lanjut. Pak. Siapa tahu sesudah itu kami dapat melakukan sesuatu untuk membantu Anda."
Sambil tersenyum Letnan Dipa mengangguk-angguk maklum.
"Kembali pada pertanyaan saya tadi. Apakah Pak Gumarang tetap menolak kerja sama dengan polisi"" tanya Dede.
"Sebenarnya dia tidak menolak, De. Hanya waktu itu dia sedang panik. Jadi tidak bisa berpikir dengan kepala dingin. Tetapi setelah kemudian kuberi penjelasan, akhirnya dia mau mengerti." Pak Letnan menyilangkan kakinya. Tangan kirinya bertelekan pada tepi kursi. "Kukatakan, kita sama-sama menginginkan Huri kembali dengan selamat. Oleh karena itu polisi tentu tidak akan bertindak secara gegabah. Bagaimanapun Pak Gumarang tidak bisa bertindak sendiri. Komplotan penculik itu harus diringkus. Setelah Huri mereka lepaskan."
"Lalu, apakah Pak Gumarang bersedia membayar tebusan yang jumlahnya sangat besar itu"" sela Ira.
"Dia akan berusaha menyediakannya."
"Lima puluh juta... astagaaa!"
"Famili Gumarang adalah orang-orang kaya, Yan. Kukira mereka akan dapat menyediakannya. Walaupun mungkin dengan susah payah. Itulah - makanya kita tidak boleh membiarkan penjahat semacam itu merajalela." Letnan Dipa menurunkan kakinya. "Kami sedang memikirkan cara untuk meringkus komplotan itu. Tanpa merugikan Pak Gumarang. Juga tanpa membahayakan keselamatan Huri." Sebagai tambahan keterangan Pak Dipa berkata, "Kami juga sudah memasang alat perekam pada pesawat telepon Pak Gumarang."
"Oh ya" Lalu bagaimana, Pak" Apakah komplotan itu sudah menghubungi Pak Bob"" tanya Yan ingin tahu.
Letnan Dipa mengangguk. "Kapan"" tanya Yan dan Ira serempak.
"Baru saja." Ira menoleh pada Dede, "Tentu waktu Febriya menemui kita. Sehingga Yaya tidak tahu kalau komplotan itu sudah menghubungi pamannya."
"Ya," Dede bergumam. Lalu katanya pada Letnan Dipa, "Apakah penculik memberi instruksi tentang penyerahan uang tebusan""
"Tidak. Penculik yang menelepon itu cuma marah-marah, ia menuduh Pak Gumarang melanggar permintaan mereka dengan menyebarluaskan berita penculikan Huri, hingga sampai masuk warta berita dan surat kabar. Penculik itu menggertak dan mengancam macam-macam." Letnan Dipa diam sebentar, menyandarkan punggung. "Untungnya Pak Gumarang cukup tegas, ia menjawab, soal menyebarnya kabar penculikan Huri bukan salahnya. Karena penculikan itu terjadi di tempat umum. Sehingga banyak yang tahu."
"Kemudian""
"Cuma itu. Penculik lalu memutuskan hubungan. Aku sudah minta bantuan operator kantor telepon untuk melacak dari mana penjahat itu menelepon. Sayang tidak berhasil. Hanya bisa dipastikan dia menelepon dari tempat telepon umum."
"Sayang," kata Dede ikut-ikutan.
Percakapan terputus sebentar. Suasana menjadi hening. Hanya bunyi tik-tok penjual bakso terdengar dijalan. Anak-anak diam berpikir. Letnan Dipa mengusap-usap ujung bibirnya.
Ira teringat keluhan Febriya. ia segera membicarakannya dengan Letnan Dipa.
"Pak, apakah Anda sudah punya daftar orang yang bisa dicurigai," katanya. "Soalnya tadi Yaya bercerita tentang Bu Murti, pengasuh Huri. Seharusnya ia yang ikut Ibu Gumarang ke tempat senam itu. Tetapi akhirnya tidak jadi. Karena tiba-tiba ia sakit perut. Saya pikir... apakah itu bukan suatu taktik saja" Supaya dia tidak tampak terlibat pada waktu penculikan terjadi."
Letnan Dipa yang memahami arah perkataan Ira, menjawab, "Aku sudah menanyai seluruh penghuni rumah itu. Termasuk Bu Murti. Namun hingga detik ini semuanya nampaknya 'bersih'." Letnan Dipa menggerakkan telunjuknya. "Namun itu tidak berarti akan demik
ian seterusnya. Perkembangan baru selalu mungkin terjadi."
"Pak..." "Apa, Yan""
"Apakah kira-kira ada yang bisa kami lakukan untuk membantu Anda"" tanya anak itu ragu-ragu. Diam-diam Yan heran pada sikapnya sendiri. Sebelum ini ia begitu bersemangat untuk menyelidiki masalah penculikan itu. Namun kini ia justru ragu-ragu sendiri. Apakah itu karena ia mulai melihat bahwa masalahnya tidak sesederhana yang dibayangkannya"
"Untuk sementara ini tidak, Yan. Namun begitu ada yang kuanggap dapat kalian lakukan, aku pasti akan menghubungi kalian." Letnan Dipa melirik jam dinding.
Anak-anak cukup tahu diri. Mereka memang sudah cukup lama menyita waktu Letnan Dipa. Yan lalu mewakili teman-temannya, minta diri pada polisi itu.
Sebelum sungguh-sungguh meninggalkan rumah itu, Dede minta bantuan Letnan Dipa - supaya mereka dapat masuk ke rumah Pak Gumarang. Setidak-tidaknya untuk menjumpai Febriya. Hal itu dirasakannya sulit selama masih ada hansip muda yang sok itu. Letnan Dipa berjanji akan memberi tahu hansip itu. Agar supaya ia bersikap lebih ramah terhadap anak-anak.
Dede merasa puas mendengar janji itu.
Ira melirik langit. Bulan tidak terlalu gemilang cahayanya. Tersaingi oleh lampu-lampu kota. Anak itu mengajak Yan dan Dede untuk lebih bergegas mencari bemo. ia tidak ingin Ibu terlalu lama gelisah menunggu.
VI. BERHASIL MASUK 14 "Apa akal kita jika kali ini kita tetap tidak diizinkan masuk, menemui Yaya"" tanya Ira. ia gentar apabila teringat kegalakan hansip yang menjaga rumah keluarga Gumarang. Seperti yang terjadi kemarin.
"Aku akan menjerit-jerit memanggil Yaya. Lalu kita lihat hasilnya. Masa tetap tidak boleh masuk"" sahut Dede. Kakinya melangkah turun ke jalan, tapi hanya untuk beberapa langkah. Kemudian ia naik lagi ke trotoar.
"Jangan ngawur!" Ira mengingatkan, tidak setuju dengan cara itu.
"Habis" Apa kamu punya akal lain"" jawab Dede. Tangannya mendorong kaca matanya ke atas.
Yan menepis butir-butir peluh yang meleleh di depan telinganya. Dengan pandangan tetap tertuju ke depan ia menenangkan adiknya, "Tenang saja. Siapa tahu Letnan Dipa sungguh-sungguh memberi tahu hansip itu. Sehingga tidak ada alasan lagi baginya untuk mencegah kita menemui Yaya."
Ira menggumamkan sesuatu yang tidak jelas terdengar.
Sebuah mobil bercat mengkilat meluncur pelan dari arah depan. Bumper-nya memantulkan cahaya matahari Kamis siang.
Tadi ketiga anak itu berunding lama Mereka membicarakan informasi yang mereka kumpulkan dari Febriya dan Letnan Dipa kemarin. Mereka berusaha menemukan kesimpulan yang sekiranya dapat dijadikan titik tolak penyelidikan. Namun hasilnya tidak ada. Perundingan untuk menentukan langkah lebih lanjut itu akhirnya macet.
Dengan kecewa dan jengkel Yan mengatakan, "Masalahnya kita belum pernah berjumpa dengan Pak Gumarang dan semua penghuni rumahnya. Jika saja kita bisa bertemu muka dengan para penghuni rumah itu, apalagi jika bisa berwawancara dengan mereka, barangkali soalnya akan menjadi lebih jelas. Mungkin kita akan melihat adanya petunjuk - yang bisa kita pakai sebagai landasan penyelidikan kita."
"Kalau begitu - kita ke sana saja," ajak Dede Sofyan.
Berdasarkan omong-omong itulah maka kemudian ketiga anak itu berangkat ke Jalan Diponegoro. Mereka akan mencoba sekali lagi untuk bisa masuk ke rumah keluarga Gumarang.
"Nah, itu dia! Hansip yang sok itu rupanya sudah merasa bahwa kita akan datang. Makanya ia sengaja menunggu di pintu," kata Dede berkelakar. Sementara telunjuknya menuding pintu pagar rumah Pak Gumarang yang sudah kelihatan. Di baliknya tampak hansip muda itu sedang berdiri sambil merokok, ia tetap tidak memakai seragam seperti kemarin.
Ira tidak menanggapi kelakar Dede. Pandangannya yang mencerminkan rasa waswas memperhatikan si hansip, yang kemudian diketahui bernama Ariyo. Tak sadar anak perempuan itu memperlambat langkahnya.
Sebaliknya Dede bersikap lain. Dengan berlagak sombong ia menghampiri pintu gerbang, ia berdiri berhadap-hadapan dengan Ariyo.
"Tolong bukakan pintu. Aku mau menemui Febriya," katanya mantap. S
edikit pun Dede tidak menunjukkan rasa gentar. Justru matanya menatap hansip itu lurus-lurus.
Ira yang berdiri tiga langkah di belakang Dede menanti jawaban orang itu. Pikirannya sudah membayangkan bagaimana sambutan hansip Ariyo, juga kata-kata yang bakal disemburkannya.
Akan tetapi betapa herannya anak perempuan itu ketika dilihatnya Mas Ariyo tidak marah. Malahan ia justru membuka gembok yang mengunci pintu gerbang.
"Aneh," pikir Ira.
Pikiran yang sama dengan yang dirasakan Dede dan Yan. Namun kemudian Yan bisa menduga apa yang menyebabkan Ariyo tiba-tiba berubah jinak. Pasti karena omongan Letnan Dipa.
Sementara itu sambil membuka gerbang, Ariyo berkata, "Aku tidak tahu bahwa kalian kemenakan Pak Dipa. Ayo masuk!"
Ketiga anak itu saling melirik. Agaknya Letnan Dipa tidak lupa pada janjinya. Yan tersenyum dikulum. Sedang Ira menghela napas lega.
"Hai!" Yaya muncul di pintu sambil melambaikan tangannya.
15 Lewat halaman samping Yaya mengajak ketiga anak itu ke belakang. Yaya tidak berani memperkenalkan ketiga anak itu kepada paman dan bibinya yang sedang gundah-gulana.
Yan dan kawan-kawan berhenti sebentar di samping jendela ruang keluarga, dan memperhatikan ke dalam. Di dalam ruangan yang mewah itu tampak tiga orang sedang duduk. Mereka adalah Pak Bob Gumarang, istrinya, dan Nenek. Nenek adalah ibu Pak Bob.
Pak Bob bermuka bersih dan kelihatan sehat. Sebagian pipi dan dagunya tampak kebiru-biruan karena baru bercukur. Dari penglihatan sekilas anak-anak mendapat kesan bahwa laki-laki itu termasuk tipe orang yang angkuh, ia menduduki kursi yang besar dan bagus di samping pesawat telepon. Sebentar-sebentar matanya melirik telepon, sementara tangannya saling meremas gelisah.
Bu Bob duduk tidak jauh dari suaminya. Sandalnya dilepas. Kakinya digesek-gesekkannya pada permadani buatan Kashmir yang melapisi lantai ruang itu. Bu Bob bertubuh padat dengan tinggi sedang. Mukanya berlapis rias berat. Bedak tebal. Bibirnya berkilat oleh pengaruh pemerah bibir.
Sedangkan Nenek tampak duduk lesu. Mukanya yang penuh keriput kelihatan letih. Sanggulnya kecil karena rambutnya cuma tinggal sedikit, dan penuh uban.
Anak-anak berharap ketiga orang dalam ruangan itu mau menoleh, atau memandang mereka. Sehingga mereka punya kesempatan untuk memulai sebuah percakapan. Namun itu tidak terjadi. Ketiga orang tua itu bersikap seakan-akan tidak menyadari kehadiran mereka.
Menyadari suasana muram yang jelas akan menghalangi maksudnya untuk beromong-o-mong dengan Pak Gumarang, Yan mendesah kecewa.
"Ayo!" ajak Febriya setengah berbisik.
"Apakah mereka memang biasa bersikap demikian terhadap tamumu"" tanya Dede dengan suara sengaja dikeraskan. Dede kesal pada sikap paman dan bibi Yaya. Huhh!
"Sttt!" Yaya melotot. Tangan Dede ditariknya, menjauhi jendela. "Kamu ingin aku dimarahi""
Dede Sofyan melirik Yaya. Kepalanya agak meneleng. "Maaf... soalnya aku..."
"Aku tahu," potong Yaya. Anak perempuan yang rambutnya sebahu itu mendesis, "Mereka memang begitu. Lebih-lebih setelah Huri hilang. Rasanya enggan berbicara dengan siapa pun. Tapi kamu harus maklum, De."
"Ya, ya. aku bisa mengerti."
Kedua anak itu terus ke belakang. Ira dan Yan menyusul.
"Jangankan Paman dan Bibi sebagai orang tua Huri, aku sendiri - biarpun cuma saudara sepupu - rasanya tak putus bersedih." Yaya menoleh pada Dede. "Aku sangat khawatir kalau terjadi apa-apa atas diri anak itu."
Dede mendesah. Matanya memandang kebun belakang yang teduh dan terawat baik.
Ira menyeletuk, "Kamu masih terus dimarahi""
"Tidak. Tapi terasa sekali - sikap Paman dan Bibi sangat berubah terhadapku," jawab Febriya murung. "Kalian belum berhasil"" tanyanya setelah diam sambil berpaling pada Yan.
Yan mengangkat bahu. "Mana bisa kami bertindak jika datanya kurang"" jawabnya.
"Apakah keterangan yang kuberikan belum cukup"" tanya Yaya.
"Itu baru merupakan pemberitahuan. Ya. Akan lebih baik jika kami bisa bertanya langsung pada paman atau bibimu."
"Jangan. Itu tidak mungkin!" cegah Yaya cepat. "Kaulihat sendiri bagaimana ke
adaan mereka. Tidak bakal mereka mau menganggapmu, apalagi menjawab pertanyaanmu."
"Itulah susahnya," Yan mengeluh. Yaya mengajak ketiga anak itu ke tempat duduk-duduk di sudut kebun. Di sana terdapat bangku-bangku dari kayu yang dipernis mengkilat. Yaya duduk di atas sebuah bangku. Ketiga anggota Kelompok 2 & 1 mengikuti jejaknya.
"Apakah tadi Letnan Dipa ke sini"" tanya Ira.
"Ya." Yan memandang adiknya. "Percaya tidak" Letnan Dipa pasti memberi tahu hansip itu tentang kita." Lalu, sambil menoleh pada Yaya, "Siapa nama hansip yang menjaga pintu itu""
"Ariyo." Yaya memandang ketiga anak itu berganti-ganti. "Kukira kalian sudah menemukan sesuatu yang dapat mengakhiri peristiwa penculikan Huri," katanya kecewa.
Yan berpandangan dengan Dede. Lalu Dede berkata, "Sabar, Ya. Kami pasti berhasil. Tapi untuk itu tentu saja butuh waktu." Untuk lebih meyakinkan, Dede menambahkan, "Kami sudah mulai bergerak. Kemarin kami ke rumah Letnan Dipa untuk mencari keterangan. Percayalah. Kamu tidak salah alamat minta tolong pada Kelompok 2 & 1 untuk membantu menangani perkara itu."
"Kalau terlalu lama - aku khawatir akan keselamatan Huri," ujar Yaya pelan.
"Itu kami tahu. Bagi kami sendiri - perkara itu bisa selesai lebih cepat, lebih baiki" tukas Dede dengan gaya seorang profesional.
Ira memperhatikan pot-pot tanaman anggrek yang diletakkan mengelompok. Sesaat kemudian ia memandang Yaya, dan bertanya, "Kata Letnan Dipa, kemarin komplotan itu menelepon dan marah-marah kepada pamanmu, Benar""
"Ya. Mereka menuduh kami sengaja menyebarluaskan berita penculikan Huri. Padahal kan bukan salah kami"" kata Yaya.
"Yaya," kini giliran Yan bertanya, "selain Paman, Bibi, dan Nenek, siapa lagi penghuni rumah ini""
"Tiga orang pembantu. Dua perempuan dan satu laki-laki. Lalu Bu Murti dan Pak Asum, sopir."
"Tidak ada lagi""
"Tidak... eh, sekarang tambah dua. Mas Ariyo dan Koptu Sahron, pembantu Pak Dipa. Mulai kemarin ia ditugaskan di sini."
"Koptu Sahron" Mana dia"" tanya Dede.


Kelompok 2 Dan 1 Sang Pengintai Karya Dwianto Setyawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di dalam." "Hemmm." Yan mengangguk. "Lalu, bagaimana tentang Bu Murti""
"Ya," Ira menimpali.
"Bu Murti" Tentang apa"" tanya Yaya kurang mengerti.
"Begini, Ya," Ira mendahului kakaknya, "kemarin kamu kan bercerita bahwa sebenarnya dia yang harus menemani Huri. Tapi katamu, mendadak ia sakit perut sehingga tidak bisa ikut. Sehingga terpaksa kamu yang ikut ke tempat senam Arita. Soalnya, apakah dia betul-betul sakit""
"Dia memang sakit. Beberapa kali ke belakang. Aku tahu sendiri," jawab Yaya.
"Aku percaya bahwa kamu melihat dia ke belakang. Tapi kamu kan tidak tahu apa yang dilakukannya dalam WC" Siapa tahu dia cuma berdiri diam-diami" ujar Ira.
"Oh, jadi kamu mencurigai Bu Murti" Bahwa dia sengaja berpura-pura sakit perut. Bahwa komplotan itu mempunyai hubungan dengannya""
"Siapa tahu!" "Tidak mungkin, Ir. Bu Murti memang sakit. Kemarin malam ia diperiksa Pak Dasril, dokter keluarga. Dan Dokter Dasril mengatakan dia memang sakit. Aku tidak percaya kalau Bu Murti terlibat," tambah Yaya tegas. "Dia orang baik dan sangat menyayangi Huri."
Ira melipat-lipat bibirnya.
"Dan sakitnya itu tidak mendadak lho. Jangan salah paham. Dia sakit mulai pagi."
"Yaya begitu yakin bahwa Bu Murti tidak terlibat. Percuma aku berdebat dengannya. Yang paling baik adalah jika aku dapat berbicara sendiri dengan wanita itu." pikir Ira. Lalu anak perempuan bermuka mungil itu bertanya, "Di mana Bu Murti sekarang""
"Tidur. Dokter menyuruhnya banyak beristirahat."
"Dia menginap di sini, atau pulang""
"Dia tinggal di sini. Rumahnya jauh. Bu Murti seorang janda. Suaminya sudah meninggal, dan ia tidak punya anak. Makanya ia amat sayang pada Huri," tambah Febriya.
Hardian melirik adiknya. Satelah yakin bahwa Ira tidak mengajukan pertanyaan lagi, ia pun menanyakan perihal ketiga pembantu dan sopir keluarga Gumarang. Yaya menjawab semua pertanyaan Yan. Dari tanya-jawab itu Yan mendapat kesan bahwa agaknya tidak seorang pun dari antara mereka yang bisa dicurigai mempunyai hubungan dengan penculik.
"Letnan Dipa juga punya
anggapan demikian. Bahwa seluruh penghuni rumah ini 'bersih'. Tidak ada yang bisa dicurigai mempunyai hubungan dengan komplotan. Kalau begitu - lalu siapa yang memberi tahu penculik tentang jadwal acara dan kebiasaan-kebiasaah Bu Gumarang" Siapa pula yang memberi mereka informasi bahwa pada hari Selasa kemarin Bu Gumarang akan ke Arita dengan Huri" Kalau saja orang itu bisa kutemukan. Pasti selanjutnya akan lebih mudah. Tempat persembunyian penculik itu akan bisa diketahui. Namun bagaimana caranya" Sedangkan kesempatan untuk mengadakan penyelidikan di rumah ini nyaris tak ada."
Kepala Yan dipenuhi oleh pelbagai pikiran dan pertanyaan. Kesemuanya itu membuat mukanya kelihatan serius. Sinar matanya berubah-ubah. Kadang-kadang terang, kadang-kadang meredup.
"KRIINGNG!" tiba-tiba terdengar dering telepon.
Sebenarnya suara itu sayup-sayup saja kedengarannya. Karena jarak yang cukup jauh antara rumah dan kebun tempat anak-anak itu berada. Namun demikian bagi anak-anak suara itu kedengarannya seperti bunyi bom yang tiba-tiba meledak. Keempat anak itu tersentak.
"Dari penculik"" tanya Dede tegang.
"Mungkin," jawab Yaya tidak kalah tegang. Lalu Yaya meninggalkan bangkunya. Mau memastikan.
Ketiga anggota Kelompok 2 & 1 berdiri pula. Yaya menoleh dan memberi tahu, kalau mereka juga ingin mendengarkan percakapan, sebaiknya dari luar jendela dan jangan sampai kelihatan. Lalu Yaya berlari-lari ke rumah.
VII. TELEPON DARI "SANG PENYIKAT"
16 Yan, Dede, dan Ira berjongkok di bawah jendela ruang keluarga. Jantung ketiga anak Itu berdebar kencang. Ira dan Yan dalam posisi membelakangi dinding di bawah jendela, menghadap ke kebun samping. Namun radar pendengaran mereka terpusat penuh ke ruang dalam. Sementara Dede tidak tahan diam-diam begitu. Perlahan-lahan Dede mengangkat kepalanya. Melalui sudut bawah jendela, ia mengintip keadaan di dalam ruang keluarga.
Pak Gumarang tampak sedang berbicara dengan suara tegang. Jari-jarinya mencengkeram gagang telepon kuat sekali. Bu Gumarang berdiri di sebelah suaminya. Jari-jarinya saling meremas. Nenek tetap di tempat duduknya semula. Hanya kali ini wanita tua itu duduk dengan leher tegak.
Selain ketiga orang itu, Dede juga melihat kehadiran Koptu Sahron, anak buah Letnan Dipa. Juga Mas Ariyo. Febriya cuma kelihatan kepalanya. Anak itu ikut mendengar dari ambang pintu ruang sebelah dengan seorang pembantu.
Terdengar suara Pak Gumarang, "Baik, akan saya turuti instruksi Anda. Tapi jangan sekali-kali Anda menipu saya. Huri harus kembali dalam keadaan selamat.... Saya ingin mendengar suara anak saya.... Tunggu! Jangan letakkan dulu!... Setan!" Dan Pak Gumarang membanting telepon dengan muka galau.
Koptu Sahron memutar rekaman percakapan telepon itu. Tak lama kemudian pembicaraan penculik dan Pak Gumarang terdengar jelas, dan lengkap:
"Halo, di sini Sang Penyikat," suara seorang pria. "Kami akan memberi instruksi kepada Anda, Tuan Gumarang. Dengarkan baik-baik!"
"Tunggu! Bagaimana keadaan anak saya"" sela Pak Gumarang tergesa.
"Dia dalam keadaan baik-baik. Putra Anda anak yang cerdas dan menyenangkan. Anda layak bangga punya anak seperti dia."
"Betul" Huri tidak apa-apa"" tukas Pak Gumarang antara percaya dan tidak.
"Huri baik-baik saja! Anda harus percaya pada kami!" sentak si penculik. Suaranya bernada mengancam. Rupanya ia tidak senang mendengar kecurigaan Pak Gumarang.
Hening beberapa saat. Lalu suara pria itu kembali terdengar, "Kami tahu perasaan Anda, Tuan Gumarang. Dan kami pun tidak ingin mengecewakan Anda. Asal-Anda lakukan semua perintah kami.... Nah, sekarang dengarkan baik-baik!" Hening lagi beberapa detik. Agaknya si Penculik memberi kesempatan pada Pak Gumarang untuk bersiap-siap mendengarkan instruksinya.
"Tuan Gumarang. Anda masih mendengarkan""
"Ya, ya!" "Taruh uang yang kami minta - jangan kurang serupiah pun - dalam tas kopor. Kemudian bawalah ke pekuburan Pungkasan. Di sana Anda harus mencari makam Sosromangkuyono. Letaknya di sebelah selatan, di tempat yang paling tinggi. Taruh tas di atas makam. Dan setel
ah itu Anda harus cepat-cepat menyingkir. Uang itu sudah harus berada di makam itu pukul satu siang ini! Pukul satu siang ini! Anda mengerti""
"Ya, ya!" "Ingat, Tuan Gumarang, Anda harus ke kuburan itu sendirian! Sendirian!" penculik mengulangi dengan penuh tekanan. "Tempat itu sudah kami awasi. Jika kami sampai melihat orang lain yang mencurigakan, atau polisi sampai ikut campur, jangan harap Anda bisa bertemu dengan putra Anda lagi!"
"Anda tidak perlu khawatir. Saya tidak akan membawa polisi."
"Bagus! Kami senang Anda tahu bagaimana caranya harus bekerja sama dengan orang macam kami."
"Lalu bagaimana dengan Huri" Kapan kami bisa mendapatkannya kembali"" tanya Pak Gumarang.
"Itu sudah kami atur. Kami pasti akan mengembalikan Huri setelah uang kami terima."
"Tapi..." "Cuma itu yang bisa kami janjikan. Anda harus percaya pada kami!" potong suara penculik, menyentak.
Kemudian bagian akhir dari percakapan yang tadi telah didengar anak-anak. berkumandang kembali.
Suara Pak Gumarang, "Baik, akan saya turuti instruksi Anda. Tapi jangan sekali-kali Anda menipu saya. Huri harus kembali dalam keadaan selamat."
"Pasti, pasti. Tuan Gumarang. Pokoknya beres!"
"Saya ingin mendengar suara anak saya...."
"Tidak mungkin sekarang. Huri kami simpan di tempat yang jauh. Saya kira sudah cukup...."
"Tunggu! Jangan letakkan dulu!" cegah Pak Gumarang.
"KUK!" "Setan!" Dan terdengar bunyi telepon dibanting.
Tak ada suara lagi, kecuali bunyi pita rekaman yang mendesis desis Koptu polisi Sahron mematikan alat perekam.
17 Sepi beberapa saat. Ketiga anak di luar jendela menunggu kejadian berikutnya. Lalu, Pak Gumarang berkata kepada istrinya, "Aku harus segera berangkat." Laki-laki itu melirik arlojinya. "Jam 12.10... waktu kita tinggal 50 menit." Pak Gumarang berjalan ke kamar untuk mengambil uang yang sudah disediakannya.
"Tunggu, Pak," cegah Koptu Sahron. "Kita harus mengatur rencana."
"Rencana" Rencana apa"" Pak Bob Gumarang berbalik. menghadap polisi muda itu. "Dengar! Saya tidak ingin polisi ikut campur dalam urusan ini. Anda sendiri sudah mendengar ancaman komplotan itu. Saya tidak menghendaki anak saya celaka!"
"Tentu saja. Kami juga tidak!" jawab Koptu Sahron tersinggung. "Ingat, Pak, Anda sudah berjanji pada Letnan Dipa untuk bekerja sama. Kita harus meringkus komplotan itu. Dan sekaranglah saatnya yang paling baik!"
"Tidak, tidak bisa! Saya berkeberatan kalau Anda ikut campur dalam urusan ini. Kopral!" Pak Bob melanjutkan dengan suara makin nyaring. Tangannya bergerak-gerak. "Penculik itu cukup cerdik. Buktinya mereka sengaja memberi waktu yang sempit pada saya untuk pergi ke makam Pungkasan. Tentu maksudnya supaya saya tidak punya waktu lagi untuk menghubungi polisi."
"Saya tahu...."
"Dan mereka mengatakan telah mengawasi kuburan itu. Mereka tentu tahu kalau polisi datang, meskipun Anda memakai pakaian preman. Tidak, saya tidak ingin anak saya celaka. Huri anak saya. Anak saya satu-satunya! Saya tidak berkeberatan kehilangan uang itu, asal Huri kembali dengan selamat!"
"Soalnya bukan itu. Bukan Anda rela atau tidak kehilangan uang lima puluh juta. Tapi - polisi tidak mungkin membiarkan penjahat-penjahat itu berkeliaran dengan bebas, setelah menerima uang Anda," sahut Pak Sahron. Darah muda membuat polisi itu kurang sabar.
"Urusan penangkapan adalah urusan Anda. Tapi saya minta jangan lakukan itu sekarang. Huri bisa celaka!"
"Kalau tidak sekarang, nanti pasti sulit," tukas Koptu Sahron berkeras. "Anda tidak perlu khawatir. Apakah Anda pikir polisi akan bergerak secara sembrono" Kami tahu caranya. Pak Gumarang!"
Pak Gumarang mengangkat telunjuknya ke muka. lalu menggerakkannya ke arah Koptu Sahron. "Saya peringatkan Anda, Kopral. Saya sudah menolak kerja sama ini..."
"Maaf, kami harus segera bertindak." Tanpa mengacuhkan Pak Gumarang lebih lanjut, Koptu Sahron berjalan ke luar. ia mau mengatur rencana sendiri karena Pak Gumarang tetap menolak uluran bantuannya.
"Kopral! Kopral!" teriak Pak Gumarang. Menyadari bahwa kopral itu tidak mungkin dice
gah lagi, Pak Gumarang menghajar meja dengan kepalanya. "BRAKK!"
"Pak, tunggu apa lagi"" seru Bu Gumarang mengingatkan. "Waktumu tinggal sedikit."
Pak Gumarang tersentak. Setengah berlari ia mengambil tas kopor di kamar. Lalu ia menuju ke mobil Pak Asum memberi tahu arah ke tanah pekuburan yang dimaksudkan penculik. Setelah jelas. Pak Gumarang pun menjalankan mobilnya, ia berangkat, sendiri!
18 Ketegangan yang menyelimuti semua orang seakan memperoleh lubang penyaluran setelah Pak Gumarang berangkat. Suasana tiba-tiba berubah bising. Di dalam rumah Bu Gumarang berbicara dengan suara cepat kepada Nenek dan Mas Ariyo- Wanita itu antara berharap dan khawatir memikirkan hasil pertemuan suaminya dengan penculik. Apakah penculik sungguh sungguh akan membebaskan Huri setelah menerima uang tebusan"
Mas Ariyo khawatir usaha Pak Gumarang akan gagal. Karena sikap Koptu Sahron. Apa jadinya kalau nanti komplotan mengetahui kehadiran Koptu Sahron dan kawan-kawan"
Kata-kata yang bernada pesimis itu menambah kekhawatiran Bu Gumarang dan Nenek. Febriya dan para pembantu ketularan. Masing-masing lalu mengemukakan komentar dan pendapat yang berbeda-beda.
Perawan Lembah Wilis 20 Dewa Linglung 1 Raja Raja Gila Kelelawar Hijau 12
^