Bukan Impian Semusim 2
Bukan Impian Semusim Karya Marga T Bagian 2
Rupanya bisikan itu cukup keras, sebab didengar oleh anak-anak. Mereka terbahak. Nina kembali merah mukanya. "Tentu, tentu! Aku takkan mengganggu!" janji Paul berulang-ulang. "Masa aku mau saingan sama Tuhan! Mana berani, ya kan, Mere"" Lalu diulurkannya tangannya.
Miki menginjak kakinya. "Namanya Nina, babi! Belum jadi Mere!"
"Oh, kalau begitu..." Paul menggosok-gosok tangannya, "...masih ada harapan!"
"Barusan kauhilang, 'Mana mungkin saingan sama Tuhan!' Sekarang sudah ada ide macam-macam!" kata cowok ketiga.
"Siapa bilang aku mau saingan"" teriak Paul. "Aku mau mohon belas kasihanNya. Siapa tahu... ehem..." Dia kembali menggosok-gosok tangan, sementara matanya yang bundar bergerak-gerak ke sana kemari seperti badut sedang ayan. Miki cepat-cepat menyeretnya keluar ruangan ditepuki riuh rendah oleh segenap juita.
"Mau apa sih sebenarnya kalian mengacau kemari"" tuntut Ita sambil berkacak pinggang.
Miki balas mendelik pada adiknya. "Eh, Non, kita kelaparan, nih. Mau minta makan! Memangnya kaukira kita mau apa"" Disapunya ruangan dengan pandang meremehkan seperti tadi dan ketika dia berhenti sedetik di wajah Nina, calon Mere itu membalas tatapannya dengan galak. Miki nyengir, ketawa hahahihi lalu menggiring teman-temannya ke dapur.
"Habis makan, lekas menggelinding pergi!" perintah Ita disambut oleh gelak terbahak dari arah dapur.
Nina melihat, di rumah itu Italah yang pegang peranan. Ibunya cuma merupakan simbol pimpinan dan kekuasaan. Tapi Ita yang menentukan misalnya hari ini masak apa, jambangan bunga yang itu taruhnya di mana, yang ini di mana.
Ketika melihat Miki muncul, ibunya cuma memandang sejenak dari balik kacamatanya, membalas sapaan teman-teman anaknya, tetap duduk tak bergerak, lalu melanjutkan jahitannya. Dia tidak menanyakan apakah mereka sudah makan. Diambilnya lonceng porselin kecil dari atas meja dan digoyangnya... kleniiing....
Seorang pembantu lelaki segera muncul dengan badan bungkuk, Nina mengira orang itu sakit TBC, tapi ketika sudah di belakang ternyata badannya lurus seperti papan.
"Sediakan makan!" perintah Nyonya tanpa mengangkat muka dari sulamannya,
Laki-laki "bungkuk" itu mengiyakan dengan khidmat lalu memandang tamu-tamu yang
baru muncul untuk menghitung jumlah piring.
Pengacauan acara itu sama sekali tidak menjengkelkan teman-teman Ita. Mereka malah gembira. "Eh, gimana nih kalau kita bikin studi-grup dengan mereka" Khusus Stereo sama Gordo," usul Sandra.
"Uh! Kaupikir mereka mau"" tanya Ita. "Aku kan pernah juga belajar dengan mereka. Dikit-dikit aku kena bentak. Miki bilang, 'Cewek-cewek susah belajar Ilmu Pasti. Otak mereka lamban dan tumpul, memperlambat kemajuan cowok-cowok yang dari sononya memang lebih cemerlang!' Panas enggak tuh dikatain begitu""
"Apa"" Loli melengking dengan mata melotot. "Eh, gue samperin ke dapur nih sekarang juga! Gue pingin tahu berapa pintarnya sih mereka""
"Yah, memang mesti diakui itu betul. Cowok kan pikirannya lebih penuh logika"" tukas Nina kalem. "Sedangkan cewek, seperti kita..."
"Kenapa cewek"" tantang Loli.
"Ya, cewek kan lebih mementingkan emosi""
"Apa""""
"Seperti kau!" Loli masih mau membantah tapi tahu-tahu ketiga pengacau itu sudah muncul lagi dengan wajah puas dan perut kenyang. "Itu betul, Mere... eh, Nina," kata Paul memberi salut dengan telunjuk menyentuh dahi. "Salam hangat dari kita"
"Apa yang betul"" teriak Loli sewot "Nanti kita kasih lihat kemampuan kita! Ayo bertanding bikin Stereo, siapa yang lebih cepat! Berani enggak sekarang""
Paul buru-buru mengangkat kedua tangannya. "Jangan, ah. Kita lagi banyak tugas nih. WO (Walk Out = mengaku kalah) aja, deh. Bye-bye!" Paul nyengir dan mengelak ketika Ita melempar gulungan koran kepadanya. Koran itu jatuh ke lantai dan Paul dengan ksatria memungutnya kembali lalu meletakkannya baik-baik di atas meja kecil.
"Ngapain susah-susah pakai bertanding segala!" tukas Miki menyeringai. "Liat aja nanti ujian, siapa yang dapat angka paling tinggi!"
Ita bergerak mau mengusir mereka, tapi ketiganya lebih cepat. "Ayo, ah," kata Miki melambai. "Sampai ketemu lagi, ya. Sori nih, enggak bisa nganterin pulang!" "Jangan merindukan kita, ya!" seru Paul.
"Memangnya siapa yang jatuh hati padamu"!" Ita melengking sewot.
Nina bangkit mau mengambil minum. Paul melihatnya dan mendadak timbul lagi niatnya untuk "berdosa". "Daaag, Mere!"
Suaranya dibikin semesra mungkin sementai tangannya disentuhkannya ke bibir seakan memberi Nina "kecup jarak jauh". Dia masil mau melanjutkan ulahnya dengan ocehan sinting, sayang Miki sudah keburu menyeretnya keluar.
Nina tertegun di tengah ruangan, salah tingkah. Mau marah tidak enak, mau ketawa, enggak lucu. Mukanya merah sekali karena malu. Ita jadi tidak enak hati. Dia paling sayang pada Nina dan tidak suka melihatnya dijadikan bulan-bulanan. "Sori, Nin. Aku pasti akan menegur Miki!" janjinya.
"Salahmu juga sih," tukas Nina tanpa marah. "Kenapa iseng, nyebut-nyebut calon Mere segala""
"Aku kan cuma main-main. Sori banget, deh." Ita menggaruk-garuk kepala dengan rupa menyesal, sehingga Nina yang manis jadi kasihan lalu cepat-cepat ketawa riang untuk memulihkan suasana. Tapi tidak bisa semeriah tadi, sebab tak ada lagi kation-kation untuk merangsang anion-anion tertawa. Mereka jadi makin lesu ketika Ketua Kelas tiba-tiba ingat bahwa besok ada ulangan Bahasa Indonesia. "Kita perlu ngapalin roman sepuluh biji, mek!" keluhnya.
"Ayo, Sitti Chadijah itu siapa"" tanya Loli engan senyum asam manis.
"Adiknya Sitti Nurbaya!" Mimi langsung menjawab.
"Gila lu! Sitti Nurbaya mana punya adik!"
"Siapa bilang" Nurbaya kan anak pertama bibiku, Chadijah anak kedua!" Mimi kesenangan berhasil membuat temannya mendongkol.
"Buset!" seru Loli melotot. "Gue dikibulin anak ingusan!"
Bab 8 MINGGU pagi itu cerah dan indah. Nina berdiri di depan jendela kamar, melayangkan pandang ke langit yang biru kehijauan dengan awan-awan putih yang cantik. Ada yang bentuknya mirip beruang besar sedang mengisap pipa. Nina hampir ketawa melihatnya. Sayang awan itu cepat bubar dan beruangnya hilang. Yang tinggal cuma seekor burung, entah burung apa, Diperhatikannya gumpalan awan yang lain, tapi mereka tidak berbentuk.
Pintu kedengaran dibuka orang. Nina menoleh. "Belum tukar baju"" tanya Ani seraya menarik keluar sepatu olahraganya dari bawah ran
jang. "Baru mau. Apa yang lain sudah datang""
"Anak-anak kita sudah. Anak-anak Theresia belum."
Nina pergi ke lemari dan mengeluarkan seragam olahraga yang berwarna putih kuning. Pagi itu ketiga kelas SMA akan bertanding melawan ketiga kelas SMA Theresia. Umum diperbolehkan hadir. Nina dan Ani memperkuat regu voli. Ani duduk di lantai memakai sepatunya. Nina menggelung rambutnya ke atas kepala lalu menjepitnya dengan jepit sanggul yang besar. Kemudian dipakainya juga sepatunya.
"Kenapa kau enggak mau tiap hari menggelung rambutmu begitu"" tanya Ani kagum. Sebelum Nina sempat menyahut, pintu sudah terbuka lagi dan Ana masuk. "Hei, sudah siap" Turunlah segera! Ibu sudah datang."
"Mereka sudah datang, belum"" tanya Nina.
"Sudah sebagian. Eh, kau tahu, si Magda datang!"
"Apa anehnya si Magdalena datang"" tukas Ani yang kurang menyukainya. Dia mengangkat bahu, acuh. "Aneh sih enggak. Tapi... anu, dia datang sama abang si Ita!"
"Hooo"!" seru Ani, sekarang melotot. "Sejak kapan dia kenal pelukis kita" Ini tentu kerjaan si Ita! Gue mah belum-belum juga dilukis!"
"Apa hebatnya sih dilukis" Kaupikir enak, disuruh duduk diam berjam-jam"" Nina ketawa sambil membetulkan tali sepatunya.
"Ya, kan setidak-tidaknya buat kenang-kenangan masa muda! Sayang sekali pacar gue enggak bisa melukis!" keluh Ani pilu.
"Nah, carilah yang bisa!" usul Ana.
"Jangan dong. Kasihan dia. Gue sih tipe setia, eh. Sekali dengan dia, tetap dengan dia!" ujar Ani setengah bersumpah, dengan tangan di dada. Nina tertawa, melirik Ana dengan misterius. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Ani digosipkan sangat getol gonta-ganti pacar sejak masih SMP di kotanya.
Ketika mereka muncul di lapangan voli, penonton sudah banyak. Anak-anak Theresia de ngan seragam putih-hijau sedang warming-up di lapangan. Kedatangan Nina dan Ani mendapat sambutan hangat baik dari regu mereka maupun dari supporter. Para penonton menoleh. Seseorang menghalangi jalan Nina sambil Ketawa. "Selamat pagi, Mere!" Nina mengerutkan kening, sama sekali tidak berniat membalas senyum Paul. Pada saat itulah dia melihat Magdalena bersama abang si Ita.
"Halo, Nina," sapa Miki sopan. Lalu Paul dihardiknya, "Menggelinding, lu! Bikin malu orang saja!"
Paul menyeringai, lalu menepi mau membiarkan Nina lewat. Magda menyentuh lengan Nina. "Kamu cakep, deh!" katanya sambil melirik Miki.
Nina tidak tahu apakah itu pujian atau cuma basa-basi. Tapi toh dia bilang terima kasih sekalian permisi mau bergabung dengan regunya.
Magda memandangi punggung temannya Ia lu menghela napas. "Huh! Cewek semanis itu mau mengurung diri dalam biara!" keluhnya sedih.
"Betulkah itu"" tanya Paul serius. "Iya, betul!"
'Tapi kenapa" Patah hati""
"Bukan. Nina sih enggak pernah jatuh cinta. Jadi enggak mungkin patah hati." "Lantas, kenapa""
"Mana aku tahu! Kalau manusia sudah ditakdirkan untuk menjadi orang suci, tak seorang pun yang tahu kenapa."
Miki mendengarkan tanpa komentar. Matanya terus mengikuti Nina. Dilihatnya gadis itu bercakap-cakap dengan anak-anak Theresia. Pasti banyak dari regu lawan yang dikenalnya. Sikapnya, gayanya... aaah, seandainya dia sanggup memindahkannya ke atas kanvas! Gerak kepala yang begitu menarik kalau dia tertawa! Begitu spontan, tidak kelihatan dibuat-buat. Menakjubkan.
Heran. Betulkah masih ada gadis polos pada zaman modern ini" Masih adakah yang tidak tahu bagaimana mesti ber-acting di depan orang banyak, terlebih di depan cowok"!
"Engkau lupa," tiba-tiba didengarnya suara Magda. "Anak itu kan calon Mere!"
Miki kaget, mengira Magda mendengar isi pikirannya barusan. Tapi ketika dia menoleh, dilihatnya gadis itu sedang menjawab Paul. Entah apa yang ditanyakan kawannya. Paul memang selalu tahu kalau ada barang bagus. Tidak heran bila Nina langsung menjadi sasaran-nya, Nina memang tidak cantik luar biasa, tapi menarik. Sangat menarik. Ada sesuatu padanya yang mempesona. Entah air mukanya yang manis. Entah bibirnya. Entah matanya. Entah hidungnya. Pokoknya, keseluruhannya serba menarik.
"Melamun"" tegur Magda menyentuh sikunya.
Miki terkejut lalu menoleh. Magda yang cantik dan pintar
bersolek itu menatapnya sambil tersenyum. Digandengnya Miki, diajaknya duduk di pinggir lapangan. Pertandingan voli sudah berjalan beberapa menit. Para supporter tidak henti-hentinya memberi semangat pada re-gu masing-masing. Karena supporter Ursula lebih banyak, dengan sendirinya yang lebih meriah adalah pekik sorak untuk regu Ani saja.
"Itu ruginya bertanding di kandang lawan," komentar Paul.
"Tapi anak-anak Theresia bermental baja," puji Miki. Memang mereka tidak kelihatan terpengaruh, tetap bermain dengan tenang dan pe-nuh semangat.
Sebuah teriakan lantang membuat Miki tiba-tiba menatap ke tengah lapangan. "Ayo, Nina! Sikat saja!" pekik seorang gadis yang pernah dilihatnya di rumah waktu adiknya ultah. Miki melihat Nina sedang melakukan serve. Paul bertepuk tangan melihat lambungan bola yang indah itu, sedangkan Magdalena terbatuk-batuk ketika mau ikut-ikutan memberi komentar. Miki begitu terpesona, sehingga lupa bertepuk. Seseorang menarik rambutnya dari belakang dan mengingatkannya supaya jadi supporter yang aktif. Dia menoleh dan mendapati adiknya tengah melotot padanya.
"Katamu, kau enggak mau datang!" tukasnya seraya membereskan rambut yang jadi acak-acakan.
"Ah, orang kan boleh berubah pikiran," sahut Ita membela diri.
"Wah, kalau hari ini kauhilang cinta, lalu besok enggak, payah dong," sindir Paul ketawa.
"Oh, itu sih lain. Kalau aku jatuh cinta, aku akan mencintai orang itu seumur hidupku! Setuju, Simon"" tanya Ita. Miki berlagak budek. Simon adalah saingannya di kelas. Dalam setiap ulangan mereka selalu berlomba untuk mendapat angka yang paling tinggi. Mereka bahkan pernah taruhan siapa yang akan menang. Meskipun demikian, keduanya tidak bermusuhan. Terlebih sejak Simon berhasil memikat Ita, Miki lebih menghormatinya dan tidak begitu aktif lagi bersaing.
Simon merah padam dicecer begitu. Sambil melingkarkan lengannya di bahu Ita, dia menunduk dan mengangguk tanpa bunyi. Ita tersenyum senang tanpa menyadari ada yang menatapnya dengan iri. "Miki enggak pernah memelukku!" pikir Magda pedih. Tapi ah, itu kan soal kecil! Yang penting, Miki sudah tertarik padanya!
Belasan -mungkin puluhan- gadis lain setengah mati ingin dilukis olehnya, atau bahkan mimpi merindukannya sebagai pacar!
Sesuatu yang hampir tercapai olehnya asal dia lebih sabar menunggu. Jadi buat apa pusing memikirkan soal kecil seperti peluk-memeluk"! Miki memang pendiam, tidak seperti Simon, yang romantis atau Paul yang senang colak-colek.
"Enggak lucu ah, pacaran dekat Miki," bisik Ita lalu mengajak Simon ke tempat lain. Miki tidak mempedulikan mereka. Sejak tadi matanya terpaku di tengah lapangan, pada Nina. Ketika dia melompat tinggi-tinggi untuk memasukkan bola ke daerah lawan dan berhasil!-, gelung rambutnya terlepas. Jepitannya terjatuh ke bawah. Miki begitu asyik memperhatikannya, sehingga dia dapat dengan tepat melihat ke mana benda itu jatuh dalam rerumputan. Rambut Nina yang hitam dan tebal terburai-burai setiap kali dia bergerak atau melompat. Miki nyaris menahan napas melihat pemandangan itu. Betapa indahnya rambut seperti itu di atas kanvas! pikirnya dipenuhi ilham. Maukah dia dilukis"
Miki merasa kecut. Calon Mere! Kalau betul apa yang digosipkan, barangkali dia takkan mau dilukis. Anak itu sudah ditakdirkan untuk dimiliki Tuhan sepenuh-penuhnya! Jelas kelihatan dari setiap gerak dan sikapnya. Cuma orang yang betul-betul dicintai Tuhan bisa tampak begitu menarik. Tapi seandainya Ita berhasil membujuknya... bukankah Ita teman baiknya" Terkadang, seorang suci pun tidak menolak untuk dilukis.
Nina tampak sedikit kewalahan menghadapi rambutnya yang panjang. Seorang penonton berlari ke dalam lapangan dengan sehelai sapu tangan putih. Nina tampak ketawa, mengangguk -pasti bilang trims- dan menerima pemberian itu. Ketika ada kesempatan, dia lekas-lekas mengikat rambutnya. Oh! Miki merasa tenggorokannya tersekat Obyek yang sangat indah! dia membatin. Bagaimanapun aku harus melukisnya!! Tiba-tiba dia menyadari bahwa Magda tengah membelai-belainya. Ditepuk-tepuknya jari-jarinya beberapa kali sebagai balasan. Namun sedetik kemudian
perhatiannya sudah terpukau lagi pada rambut panjang di depannya.
Magda bukan tidak mengerti. Matanya ikut-ikutan terpukau dan mendadak timbul takutnya. Nina terlalu menarik! Siapa yang bilang dia mau masuk biara" Itu kan ocehan anak-anak yang iseng saja"! Nina sendiri belum pernah bilang apa-apa. Seandainya itu cuma omong kosong, dan... seandainya, seandainya saja Miki menyukainya... aduh! Untuk pertama kalinya Magda merasa tidak senang terhadap Nina. Anak itu terlalu menarik. Sedangkan Miki...!
Magda melihat arloji. Sepuluh menit lagi per-tandingan pertama ini akan berakhir. Aku harus mengajaknya pergi dari sini, pikirnya.
Saat itu Theresia sudah leading dengan dua-satu. Angka satu itu dicetak oleh Nina ketika jepitnya terlepas tadi.
"Taruhan deh, Theresia pasti menang!" tukas Paul yang sudah melihat sepotong wajah manis dalam regu itu, dan sejak tadi sibuk menyusun siasat untuk berkenalan.
"Belum tentu!" sahut Miki yang masih mempertahankan Nina. "Mere itu... anu... anak itu... eh, siapa ya namanya" Ni...na" Lompatannya lihai, lho. Dalam babak kedua mungkin mereka akan berhasil menambah angka."
"Berani taruhan"" tantang Paul dengan gemetar seakan itu menyangkut kehormatan jantung hatinya.
"Kenapa enggak""
Wah, wah, itu tak boleh terjadi, pikir Magda kaget. Selesai pertandingan mungkin keduanya akan menghampiri si pemenang, yaitu Nina- sebagai sesama kawula Kakapura (Santa Ursula (Kaka dari K.K.= Kleine Klooster; G.K. = Grote Klooster=Santa Maria)), mau tak mau Magda tetap berharap sekolahnya yang bakal menang-dan... dan... Miki akan... oh! Tidak bisa!
"Jangan taruhan, ah." Kedua cowok itu me-natap Magda keheranan. Magda berlagak me ringis seraya memaksakan diri ketawa. "Sori deh, mendadak aku merasa mual. Habis ini, aku mau pulang, ah. Tentu saja..." Magda mengangkat bahu dan tangannya dengan gaya teateris yang sempurna, "...kau boleh terus di sini, Mik. Aku bisa pulang sendiri."
"Omong kosong!" sahut Miki kontan. "Tentu saja aku akan mengantarmu pulang!"
Magda diam-diam menarik napas lega, tapi meringisnya belum dihilangkarmya. "Sori, aku bikin gara-gara saja. Kalau kamu memang masih tngin nonton, biar deh aku pulang sendiri!"
"Enggak apa kok aku antar!" ujar Miki memperlihatkan senyum patent-nya, membuat hati Magda bersalto dua kali. Dia langsung berdoa semoga "pacarnya" tidak jatuh hati pada calon-calon Mere berambut hitam-panjang!
Bab 9 SEMINGGU setelah keluarganya tiba di Jakarta, Nina keluar dari asrama. Sebenarnya Ibu ingin dia terus tinggal di asrama supaya dapat belajar dengan tenang menghadapi ujian, tapi ayahnya menentang.
"Kenapa mesti menghamburkan uang yang enggak perlu"" dia menyalak. "Apa asrama itu tak usah dibayar" Dan kau enggak perlu obat"" sambungnya pada Ibu.
Ibunya langsung membisu mendengar kali-mat terakhir. Kepindahan mereka ke Jakarta terutama disebabkan oleh penyakit lumpuhnya. Dokter yang merawatnya di Palembang mena-sihatkan agar dia berobat ke Ibukota, di mana fasilitas peralatan serta obat-obatan lebih sempurna. Ayah Nina terpaksa melepas pekerjaannya sebagai pengawas perkebunan. Ekonomi mereka sudah beberapa tahun terakhir itu merosot dan kepala keluarga semakin kehilangan kontrol. Pak Neo Karimin jadi sering marah-marah tanpa alasan. Suka memukul anak-anak, memecahkan barang-barang, serta berjudi.
Mula-mula dia berjudi dengan harapan akan menang supaya dapat membayar utang-utang. Tapi kemudian, cuma sekadar menghilangkan kekesalan dan keruwetan pikiran. Seringkah sampai jauh malam dia belum pulang. Terkadang malah tidak pulang atau pulang pagi, dengan napas bau alkohol.
Semua ini tak pernah ditulis adiknya dalam surat-surat yang dikirimnya ke asrama, sebab Mama melarang. "Buat apa Nina dikasih tahu," kilahnya. "Cuma akan membuat dia khawatir tak keruan."
Tapi Nina segera melihat itu semua ketika dia tiba di rumah. Adik laki-lakinya -yang menjemputnya ke asrama- memang tidak bilang apa-apa (atas instruksi). Namun matanya segera bisa menilai keadaan.
Marisa yang membukakannya pintu. "Hei!" serunya dengan amat gembira lalu melempar kopernya dan memeluk adik peremp
uannya. Marisa tertawa lebar, membalas pelukan kakaknya dengan hangat Nina memegang kedua bahunya, lalu memandangnya dari jarak selengan. "Astaga! Kau hampir setinggi aku! Umur be-rapakah kau" Sepuluh tahun""
Marisa tersenyum malu. Bibirnya terkatup manis. Tak mungkin Nina lupa umurnya, pikirnya. Sebab tiga bulan yang lalu dia mengiriminya ucapan selamat.
"Makannya buuuanyaaak!" Kris menimpali seraya mengangkat kedua koper kakaknya ke dalam. Marisa makin tersipu mendengarnya. Nina menjewer Kris dengan tampang serius dan me-negurnya, meskipun dalam hati dia geli bukan main.
"Mana Mama dan Papa"" tanyanya mengalihkan perhatian.
Marisa seakan menghela napas ketika menggerakkan kepala ke arah kamar. Kasihan kau, katanya dalam hati, mengelus kepala adiknya. Mama sehari-harian tentunya berbaring saja sebab tak dapat bergerak. Kau pasti kesepian. Hidup yang menjemukan bagimu. Aku akan membuat rumah ini penuh kegembiraan dan kehangatan, janjinya dalam hati.
Dituntunnya adiknya ke dalam. "Mana Papa""
"Tadi pagi pergi, tahu ke mana." Suara adiknya apatis.
Rumah sewa mereka kecil. Cuma empat kali delapan meter. Tak ada air leding. "Untung ada listrik, meskipun kelap-kelip!" kata Kris. Lantai kelihatan bersih walaupun tidak berkilat. Nina tak berani bertanya siapa yang mengepel. Pasti Marisa. Kasihan anak itu, pikirnya. Terlalu kecil untuk ikut-ikut susah. Tapi apa mau dikata, mereka rupanya tidak mempunyai pembantu. Selesai meletakkan koper-koper, ternyata Kris diam-diam pergi ke dapur menjerang air.
Nina mengelus-elus rambut adiknya. Jangan khawatir, Risa, katanya dalam hati, kalau aku ada di sini, kau tak perlu ngepel lagi.
"Mama," kata Marisa di ambang pintu kamar, "Kak Nina datang, Ma."
Nina tahu, ibunya pasti sudah mendengar suaranya barusan. Rumah mereka begitu kecil. Ah, rasanya rumah besar di Palembang itu cuma bayangan belaka. Betulkah mereka pernah memilikinya"
Kedua gadis itu melangkah masuk. Ibu sudah lama menantikan mereka. Nina melepaskan adiknya dan memeluk ibunya. "Mama," bisiknya tersenyum sambil merebahkan kepalanya di atas dada perempuan itu.
"Nina," sapa ibunya dengan penuh cinta. "Bukan main senangnya Mama melihatmu. Rambutmu bagus sekali!"
"Terima kasih, Ma." Dia tersipu-sipu mendengar pujian itu. Diangkatnya kepala dan dipandangnya ibunya. Tiba-tiba ulu hatinya terasa nyeri seakan tertusuk sesuatu. Ibunya tampak jauh lebih kurus dan lebih tua dari yang ter-akhir dilihatnya tiga tahun yang lalu. Waktu itu Ibu belum lumpuh tapi sudah menderita tekanan darah tinggi.
Nina tidak berani melayangkan pandangnya ke sana kemari. Seluruh isi kamar itu sudah dilangkapnya ketika melangkah masuk. Matanya yang tajam melihat semua. Dan dia tak berani bertanya. Tiba-tiba dia merasa lemah dan takut. Ibunya bukan lagi ibu yang dikenalnya dulu. Adik-adiknya bukan adik-adik yang dulu. Bahkan semua barang asing baginya. Sarung bantal tempat istirahat kepala ibunya yang cantik itu kelihatan kuat dan warnanya putih kaku. Tidak putih berkilat seperti kain linen berenda yang biasa mereka miliki. Dari sela-sela rambut ibunya yang hitam terurai, dilihatnya lukisan dedaunan yang biasa ditemukan di tepi kolam. Juga ada huruf-huruf berwarna hijau. Nina yakin, di bawah kepala ibunya terdapat seekor katak dan tulisan Made in Australia.
Ditelannya ludah tanpa menghilangkan senyum di wajahnya. Dia tahu Marisa sedang mengawasinya dengan kritis. Khawatir jangan-jangan kakaknya akan mengritik serta mencemooh keadaan mereka.
Tanpa melihat pun, hanya dengan meraba saja, Nina sudah tahu, seprei ibunya bukan lagi sutera tapi kain belacu. Oh, Mama, apa yang sudah terjadi yang tidak saya ketahui"!
"Mama amat menyesal, kau terpaksa keluar dari asrama," bisik ibunya tanpa melepaskan pandangnya.
"Oh, Mam, saya mau keluar sendiri. Kan lebih enak di rumah"" Nina ketawa riang.
"Mama khawatir kau takkan dapat belajar di sini." Perempuan itu memandang ke langit-langit dan berhenti pada bola lampu. "Lampunya suram sekali, Nin."
"Enggak apa-apa. Mam. Bisa pakai pelita, kan" Lagi pula...," Nina ketawa geli, "...di asrama kita biasa belajar den
gan batere kecil, ditutupi bantal, takut ketahuan Mere!"
"Hiii...," tiba-tiba Marisa tergelak-gelak. Nina sekonyong-konyong merasa gembira sekali mendengar suara tertawa adiknya. Diraihnya anak itu dan dipijitnya lengannya. Sejak tadi dia khawatir kalau-kalau keadaan mereka telah membuat si Kecil menjadi pahit. Dia takut adiknya telah menjadi asing terhadapnya. Marisa adalah anak yang amat sensitif. Tapi ternyata si Kecil- mereka menamakannya begitu walaupun kini dia sudah tumbuh menjadi besar -masih belum berubah. Untunglah. Ibunya juga ikut tertawa.
"Ceritalah mengenai asrama, Nin. Mama ingin mendengar." Tapi Nina tidak' berhasrat untuk mendongeng panjang lebar. Dia berkisah sedikit mengenai teman-teman sekamarnya serta hobi mereka memanggil toge goreng atau membeli asinan sekalian berobat gigi. Tentang makanan yang kadang tidak menimbulkan selera atau ada kacoaknya, tidak disebutkannya.
Marisa terpingkal-pingkal mendengar ulah Ana serta Lili mengelabui Mere bila mereka harus ke dokter gigi. Atau ketika sepatu Loli berkenalan dengan kepala Bapak Aljabar! Atau ketika Ana digantungi dakochan yang berbunyi eeeiiik waktu dipijit oleh Bapak Kimia.
Kemudian ceritanya habis. Suasana sepi sejenak. Gelak Mama pun reda. Tanpa sadar jari-jari Nina sudah membelai-belai rambut ibunya. Dilihatnya beberapa rambut putih. Ah, umur berapakah ibuku" Belum empat puluh, bukan" Betapa menderitanya hidupmu kalau begitu, Mam, pikirnya. Dan selama ini aku tidak tahu apa-apa.
Kris masuk lalu duduk di ujung ranjang membelai-belai jari-jari kaki Ibu.
"Ke mana Papa"" tanya Nina untuk ketiga kali, sebab merasa belum mendapat jawab yang memuaskan. Sedetik dirasanya suasana menjadi tegang. Tapi Kris dengan cepat melarutkan ke-tegangan itu. "Ke mana lagi!" dia mendengus. "Pasti minum arak dan berjudi di tempat ka-wannya!"
"Krisss!!!" Suara Mama begitu keras, sehingga Nina terperanjat dan lekas-lekas memeluknya. Penderita tekanan darah tinggi tak boleh dibiarkan jadi marah.
Ibu tampak menyesal dengan sikapnya. Lengannya terulur mau menyentuh Kris. "Engkau maafkan Mama, bukan" Mama tidak bermaksud menghardikmu, Kris. Tapi Mama tidak mau mendengar kau menjelek-jelekkan Papa seperti itu. Papa adalah laki laki yang baik, Kris. Kau sendiri tahu betapa dia menyayangi kalian. Cuma sekarang ekonomi kita agak mundur gara-gara penyakit Mama. Papa tidak punya penghasilan sebaik dulu. Karena itu dia jadi bingung, gampang marah, dan tidak lagi seperti dulu sikapnya. Mama minta agar kalian bersabar menghadapi Papa dan tetap menghargainya sebagai orangtua. Mama tahu, dia berusaha keras memperbaiki keadaan kita. Sekarang Nina sudah ada di rumah. Pasti suasana akan lebih cerah. Kakakmu pintar mengurus rumah dan memasak." Kedua anak itu tersenyum gembira menyambut perkataan Ibu. Sudah lama sekali rasanya mereka tidak lagi makan enak! Mmm.
"Kris, kakakmu belum kauberi suguhan" Ayo sana, ambilkan air!"
"Ya, Mam." Tidak ada lagi yang membicarakan Papa. Nina melihat ibunya lelah dan perlu istirahat Dia segera minta diri dengan alasan mau mem-bongkar koper. Setiba di luar, dia berpandang-pandangan dengan Kris. Anak itu mengangkat bahu. "Mari kutunjukkan kamarmu," katanya meraih lengan kakaknya.
Marisa ikut. Kamar untuknya terletak di sebelah kamar ibu dan ayahnya. Luar biasa sempit dan sumpek. Baru selangkah dia masuk, sudah terasa sesak napasnya. Panasnya bukan main. Angin cuma bisa masuk sedikit dari sebuah jendela kecil.
Nina memandang berkeliling. Cuma ada satu ranjang. Tapi Marisa jelas tidur di situ juga. Tiba-tiba dilihatnya kedua adiknya menatapnya dengan waswas. Nina tertawa dengan kegembiraan yang dibuat-buat. "Kita akan tidur sama-sama lagi seperti dulu, Risa!" serunya.
Sekonyong-konyong adiknya memeluknya sambil menangis. "Oh! saya senang kau menyukai kamar ini, Kak Nina. Saya sangat khawatir jangan-jangan kau masih juga memimpikan kamar kita yang dulu!" Marisa terisak.
Ya, Nina memang masih ingat. Dipeluknya Marisa erat-erat Dan membayangkannya kini. Dibelai-belainya kepalanya yang cantik. Dan akan membayangkannya selalu. Diberikannya saputanganny
a untuk membersit hidung. Ah, kamar yang luas serta nyaman. Marisa membersihkan hidung dan mencecap matanya. Dua buah ranjang yang manis, terletak berdampingan, penuh renda dan selalu harum. Isaknya kini mereda. Mereka gemar main perang-perangan dengan bantal. Marisa menengadah dan Nina menyambutnya dengan senyum hangat. Bahkan kamar asrama masih jauh lebih mendingan. Senyum sendu merekah di wajah rawan. Apa yang sudah terjadi"
"Kenapa... kenapa... kita jadi semis..., jadi... jadi... begini"" bisiknya takut kedengaran Ibu. Dia tidak sanggup menyebut kata yang dimaksud-nya. Kris menolongnya. "Menjadi miskin, maksudmu"" bisiknya sinis. "Yah, kesatu ini karena Mama!"
"Ssst!" Nina meletakkan telunjuk di bibirnya sambil melirik dinding pemisah kedua kamar. Kris mengecilkan suaranya sampai hampir-hampir tidak terdengar. "Mama perlu banyak biaya. Papa menjuali barang-barang, tapi toh kita masih perlu berutang ke sana kemari. Kedua, Papa mulai suka main dan minum. Lebih banyak lagi barang dijual. Ketiga, Papa kehilangan kerja. Kita terpaksa pindah kemari. Juga supaya Mama bisa berobat lebih baik."
"Sekarang Papa kerja di mana""
Kris memberi isyarat agar mereka semua pindah ke dapur yang letaknya sedikit lebih jauh dari kuping Mama. "Enggak di mana-mana," sahut Kris begitu ketiganya duduk di meja kecil tempat meracik sayuran yang merangkap jadi meja makan. "Mondar-mandir saja ke sana kemari."
"Maksudmu""
"Ngobyek." "Ngobyek" Ngobyek apa""
"Apa saja. Motor. Barang-barang bekas seperti lemari es, mesin jahit, dinamo, trafo, radio, atau... yah! Buntut!"
"Bun... tut"" Matanya membelalak. Hanya bibirnya tampak bergerak-gerak, suaranya sendiri nyaris tak terdengar. Kris mengelakkan tatapannya dan pergi kembali ke kamar hendak membantu membereskan bawaan kakaknya. Nina mengikut, Marisa mengintil paling belakang.
Nina tertegun di ambang pintu kamar. Kertas-kertas yang melekat pada dinding papan itu sudah luntur catnya. Sebagian malah sudah ter-koyak. Mana meja riasnya yang elok itu" Ah, tentu saja tidak terbawa. Barangkali malah sudah lama dijual! Dan lemari-lemari pakaiannya. Rak-rak sepatunya. Boneka-bonekanya, lengkap dengan rumah serta perabot serba mini. Sepedanya. Lemari bukunya.
"Oh, Tuhan," bisiknya mengatupkan tangan di dada, siap untuk berkeluh kesah. Mendadak dari kamar sebelah terdengar ibunya berdehem membersihkan kerongkongan. Dia tersadar. Wajahnya tersenyum kecil. "Terima kasih, Tuhan, sebab Engkau masih membiarkan Mama di te-ngah-tengah kami."
Bab 10 NINA duduk setengah mengantuk di ruang depan. Catalan Kimia di depannya cuma samar-samar saja dilihatnya. Lonceng kecil di meja-pojok sudah menunjukkan jam setengah sembilan. Dan Papa belum juga pulang, pikir Nina. Adik-adiknya kelihatan tenang-tenang saja. Pasti ini kejadian biasa bagi mereka. Marisa sedang menghafal tanpa bunyi, sementara Kris asyik dengan radio transistornya. Nina masih belum menanyakan di mana anak itu tidur. Dugaannya, Kris tidur di ruang depan, sebab di sudut terdapat gulungan kasur dibungkus tikar.
Nina merindukan kamarnya di asrama serta teman-temannya. Juga lampu yang terang benderang. Dibayangkannya Ani sedang menulis surat cinta di balik buku Alam. Mere tentu mengira betapa rajinnya anak itu, menulis berjam-jam lamanya. Ana akan pura-pura membutuhkan pinsil atau karet penghapus. "Pinjam sebentar pinsilmu, Ni," dia akan bilang setelah cukup lama berdiri diam di belakangnya sampai terbaca olehnya beberapa kalimat yang bisa menjadi bahan warta berita seminggu lamanya. Terkejut, Ani akan menoleh, lalu setengah merengut memberikan apa yang diminta. Tentu saja dia tidak menyukai spionase macam begitu, tapi tidak berdaya melarangnya, sebab itu berarti konfrontasi dengan sekian banyak anak yang semuanya suka gosip. Melihat Ana tidak juga segera berlalu, dia gondok sekali. "Pergi, ah! Tunggu apa lagi" Nanti bintitan lu ngintip-ngintip, tahu rasa!"
Kris memandang kakaknya, mau coba-coba menebak, sudah ngantukkah dia" Sebab dia ingin tidur dan kursi-kursi perlu disingkirkan. Nina kelihatan melamun. Kris tidak berani bilang apa-apa. Dia men
oleh pada adiknya. Marisa sedang asyik. Mukanya tertutup buku. Ah, anak rajin, keluh Kris. Tentu si Kelinci itu takkan tidur sebelum Papa pulang. Supaya dipuji, tuduhnya suatu kali. Aku cuma ingin membukakan Papa pintu, bantah Marisa.
Nina melipat kaki sekecil-kecilnya supaya tidak jadi target gigitan nyamuk. Marisa ternyata kelupaan membeli obat nyamuk di waning.
"Kak Nina," tiba-tiba didengarnya suara Kris. "Kau masih ingat si Ogu""
"Ogu" Oh, maksudmu Deni. Kenapa""
"Masih ingat""
'Tentu. Kenapa""
"Ketika kami mau berangkat kemari, dia datang..." Kris berhenti mau melihat reaksi kakaknya, tapi Nina menunduk sehingga tidak kelihatan wajahnya, "...dan kirim salam untukmu."
Nina menahan napas. Hatinya berdebar-debar. Tak mungkin, pikirnya. Tak mungkin aku masih dihantui dia! Tiga tahun cukup lama. Dan tiga tahun sudah aku mencoba melupakannya. Aku pasti sudah melupakannya. Tapi... aku kira aku sudah melupakannya, keluhnya dalam hati. Ternyata... mendengar namanya saja sudah terlonjak hatiku....
"Oh, dia masih di sana"" tanyanya berlagak tak acuh.
"Ya. Dia kan sudah ditahbiskan tahun lalu. Lupa""
"Eh, aku kok enggak tahu! Kenapa kau enggak memberitahu""
"Ah, masa! Kalau begitu aku kelupaan. Sudah hampir setahun dia jadi imam."
Nina membisu. Di atas bukunya mendadak muncul wajah Deni. Seperti yang diingatnya. Rambut terbaur kena angin. Mata yang berkerut bila ketawa. Dan mata yang rajin menyelami hati orang. Bibir yang tak pernah kaku. Bibirnya selalu ramah dan manis.
Waktu itu Nina duduk di kelas enam. Dia mendapat hadiah kenaikan kelas berupa sepeda. Sudah lama dia merindukan sepeda jengki bercat hijau macam itu. Meski jarak rumahnya ke sekolah tidak jauh, dipakainya juga hadiahnya. Dan pada suatu pagi, dia terjatuh dari sepeda ketika hendak naik ke trotoar. Mata kaki kanan-nya terkilir. Sakitnya bukan main. Walaupun malu, dia terpaksa duduk saja di jalan. Dicobanya berdiri tapi gagal sebab nyeri sekali. Sedang dia berpikir-pikir ke mana hendak minta tolong, tiba-tiba seorang pemuda menghampi-rinya. Tanpa banyak bicara diangkatnya sepeda itu lalu diperiksanya kalau-kalau ada yang rusak. Ternyata hanya setangnya yang bengkok. Dengan cekatan pemuda itu meluruskannya kembali.
"Sepedamu enggak apa-apa," gumamnya seraya memasang standar supaya kendaraan itu dapat diparkir. Lalu dia berjongkok di depan Nina dan bertanya dengan suara yang luar biasa ramah, apakah ada yang sakit.
Nina mengangguk sambil menunjuk mata kaki yang sedang dipeganginya. Pemuda itu mengangguk juga dan menyingkirkan tangan Nina. Diperiksanya sebentar lalu tanpa aba-aba lagi ditariknya kaki Nina sehingga gadis itu menjerit kesakitan.
"Sakit sedikit," katanya menghibur. "Tapi setelah itu tidak lagi terasa nyeri. Coba, tidak nyeri lagi, bukan""
Nina diam sebentar merasakan nyerinya. Betul. Nyeri itu tak ada lagi. Ajaib sekali. Nina segera mengira bahwa laki-laki itu adalah seorang dokter. Dipandangnya dia dengan ka-gum. Betapa hitam dan jernih matanya. Mukanya penuh bopeng bekas cacar. Tapi senyumnya manis. Giginya putih dan rata.
"Nah," laki-laki muda itu menyadarkannya, "sekarang kau bisa ke sekolah lagi. Atau mau saya antar" Di mana sekolahmu""
Nina menyebutkan nama jalannya.
"Ya, lebih baik saya antar. Kebetulan saya mau ke arah sana." Tanpa menunggu persetujuan, orang itu sudah membimbingnya berdiri lalu menuntunnya sambil bertanya kalau-kalau masih terasa sakit.
"Enggak," sahutnya menggeleng. Maka dilepasnya pegangannya. Mereka berboncengan tanpa berkata apa-apa. Nina begitu terpesona dengan kenalan barunya itu, sehingga dia lupa bilang terima kasih ketika sudah tiba di sekolah. Dia bahkan lupa menanyakan nama orang itu. Dan orang itu pun tidak menanyakan namanya.
Tapi seminggu kemudian dengan tidak sengaja seorang temannya menyebutkan nama pemuda itu. Ogu.
"Aneh betul namanya," tukas Nina.
"Iya. Waktu kecil, kita suka main orang gagu dan dia selalu yang jadi si gagu, sebab paling lucu dan pintar berlagak bisu. Jadi kita sebut dia si Ogu. Nama sebenarnya Deni."
"Jadi kaukenal dia!" gumam Nina sambil melayangkan pandang ke sudut
toko buku itu, tempat mereka bertemu lagi.
Ogu sedang melihat-lihat entah buku apa. Rambutnya yang dicukur pendek tampak hitam berkilat. Dari belakang dia kelihatan seperti anak sekolah, tapi Nina diberitahu bahwa dia sudah tidak sekolah lagi.
"Kami dulu tetangga, tapi sudah hampir empat tahun kami pindah. Barangkali dia sudah lupa...."
Ternyata tidak. Sebab ketika Ogu melangkah mau pulang dan melewati mereka, dia berhenti, berseru gembira lalu menyapa keduanya. "Hei, Lila! Mau cari buku, nih" Ini kawanmu" Siapa sih namanya"" dia berkicau riang, lalu menceritakan sedikit perihal insiden dengan sepeda itu.
"Namanya Nina, teman sekelasku," sahut Lila.
Nina merasa bahagia sekali bahwa pemuda itu masih ingat saat dia terduduk kesakitan dijalan, bahwa dia telah menanyakan namanya dan bahwa dia menawarkan untuk mengantar mereka pulang.
"Sayang," sahut Lila, "kami masih mau memilih beberapa buku lagi. Nanti kelamaan." Jadi Ogu pun minta diri. "Umurnya sepuluh tahun lebih tua dari kita, lho," kata Lila tanpa ditanya.
"Dua puluh dua tahun"" Nina hampir tidak percaya. "Kelihatannya masih muda. Aku sangka baru tujuh belasan. Kenapa dia enggak sekolah lagi""
"Aku enggak tahu," sahut Lila." Beberapa tahun yang lalu, dia pergi sekolah ke Jawa, tapi orangtuanya menyuruhnya pulang kembali."
Nina tertegun. "Kok aneh, ada orangtua enggak suka anaknya sekolah""
"Itu bukan sekolah biasa, Nin. Itu sekolah buat calon-calon imam."
Oooh! Jadi Ogu ingin menjadi imam, pikirnya. Rasa kagumnya makin bertambah.
"Orangtuanya enggak setuju" Apa mereka bukan Katolik""
"Mereka memang bukan Katolik, tapi seandainya Katolik pun, mereka takkan setuju Ogu menjadi imam. Mereka sudah menyediakan jodoh yang kaya baginya." "Dan dia sudah menikah""
"Belum. Tapi pasti enggak lama lagi. Aku tahu, sebab kebetulan calon istrinya adalah anak sepupu ibuku."
Nina memikirkan hal itu sepanjang jalan. Dia selalu menyukai tembok-tembok bersih biara serta ketenangan yang meliputinya. Kadang dia malah berangan-angan untuk tinggal di sana. Betapa senang rasanya dikelilingi taman-taman yang indah-harum. Berdoa dalam keheningan, bercakap-cakap khusus berdua saja dengan Tu-han, menjadi sahabatNya, menjadi milikNya sepenuh-penuhnya. Betapa senangnya.
Dan Ogu! Dia juga mau hidup seperti itu. Ah, dia memang tahu, mereka berdua cocok sekali. Cita-cita yang sama. Pandangan hidup yang sama. Kepercayaan yang sama. Semua itu indah sekali untuk dipadukan dalam sebuah persahabatan. Bukankah Tuhan sendiri yang mempertemukan mereka berdua" Dia akan mencoba mendekati Ogu dan menanyakan tentang niatnya itu. Dia akan membantunya, kalau perlu memberinya dorongan untuk mengatasi segala rintangan.
Berkat bantuan Lila, mereka berdua jadi teman baik. Nina juga berkenalan dengan calon istri Ogu, seorang gadis yang manis dan sederhana. Dia pasti tidak mengerti, bahkan tidak tahu bahwa perkawinannya dengan Ogu akan membunuh masa depan pemuda itu.
Ogu bercerita mengenai hidupnya. Ketika dia mengutarakan niatnya untuk menjadi imam, ayahnya terkejut sekali.
"Tidak menikah"" teriaknya setinggi langit menyebabkan ibu Ogu tergopoh-gopoh masuk dari dapur.
"Ada apa" Ada apa"" tanyanya kalut.
"Coba dengar! Anak kurang ajar ini sudah berani melawan orangtua! Dia bilang, dia enggak mau menikah! Bayangkan!"
Ibunya ternganga tak mengerti ke mana mak-sud suaminya. Sedangkan Ogu diam saja tak mau membantah. "Kenapa kau tak mau menikah"" tanya ibunya akhirnya.
"Dia mau jadi imam!" sembur sang ayah dengan muka merah dan mata melotot. "Menjadi padri Katolik!"
"Aaah""" ibunya juga kaget Dia tak mengerti sedikit pun tentang agama itu dan para padri yang dilihatnya di sekolah anaknya selalu mengejutkan hatinya, seperti bila dia menatap para tuan-tuan Belanda dulu.
"Nah," kata ayahnya, senang bahwa ibunya tidak membela Ogu, "dia malah bilang, dia sudah masuk Katolik! Bayangkan! Bisakah kau membayangkannya" Tentu enggak! Dia masuk agama itu tanpa setahuku, tanpa izinku! Pasti dia bohong pada; pastor, mengatakan aku memberi izin! Ya, bukan" Engkau berdusta, kan" Ayo, mengaku!"
Ogu diam sejenak. Nin a menatapnya. "Apa kau bohong waktu itu""
"Ya, aku berdusta. Kukatakan pada pastor, orangtuaku memberi izin. Aku juga bohong pada ayahku ketika minta izin sekolah ke Jawa." "Kauhilang apa""
"Aku bilang, aku mau meneruskan sekolah. Nyatanya, aku masuk seminari!" Ogu tersenyum sedih, menunduk, menendang-nendang kerikil. "Akhirnya Ayah tahu juga. Dia menanyai pastor dan pastor menjelaskan semuanya. Aku dipaksa pulang. Dan... di sinilah aku!" Ogu melempar kerikil sejauh-jauhnya seraya menghela napas. Nina ingin sekali menanyakan tentang perkawinannya, tapi dia tak berani. Ogu seakan tahu apa yang dipikirkannya. "Sekarang aku harus kawin!"
"Apa itu betul"" Melihat Ogu mengangguk, Nina tak dapat menyembunyikan kecewanya. "Kalau begitu, kau tak tahan uji! Imanmu kurang! Masa cuma karena orangtua, kau jadi batal" Kenapa kau enggak berusaha membujuk orangtuamu supaya mengerti" Enggak setiap orang terpanggil untuk tugas yang mulia ini, Deni."
"Kau masih terlalu muda, Nin. Kau belum mengerti sepenuhnya kesulitanku. Aku memang harus menikah! Semoga Tuhan mengampuni aku karena aku sudah menolakNya."
"Tapi kenapa" Kenapa harus""
Lama Ogu tidak menjawab. Nina jadi sengit dan kecewa. "Aku tahu!" tuduhnya. "Karena kau akan dikucilkan dari keluargamu kalau kau enggak mau menikah!"
"Oh, kalau cuma itu, aku sungguh enggak peduli. Tapi ini menyangkut ayahku. Dia berutang budi pada calon mertuaku, lalu berjanji akan membalas budi itu dengan menjodohkan aku dengan anaknya. Kalau janji ini enggak dipenuhi, ayahku akan merasa hilang muka dan mengancam mau bunuh diri!"
"Oh!" tangannya tanpa sadar mengambil keriki-kerikil dari tangan Ogu lalu melemparnya satu per satu.
"Aku juga ingin masuk biara," Nina membuka rahasia, kemudian menambahkan dengan sengit, "tapi aku takkan membiarkan diriku dihalangi seperti kau! Aku takkan menjadi lemah! Aku pasti akan melaksanakan cita-citaku, apa pun yang terjadi!!!"
"Aku doakan semoga jalanmu takkan berduri. Tapi ingatlah selalu inti kepercayaan kita: cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri! Jangan membuat sesamamu menderita karena engkau. Apa gunanya mengabdi pada Tuhan kalau selusin manusia yang kautinggalkan merana karenanya" Kalau aku tetap bertekad meneruskan niatku, gadis itu pasti akan menderita. Ayahku juga mungkin benar-benar akan bunuh diri. Seluruh keluargaku akan terkena aib.
"Aku sudah mengenal gadis itu setahun lebih. Orangnya manis dan baik. Pikirannya terlalu sederhana. Dia tidak mengerti apa-apa di luar dunianya sendiri. Takkan terpikir olehnya ada laki-laki bercita-cita hidup membujang dalam biara! Tidak, dia takkan mengerti. Siang malam kupikirkan, betapa akan hancur hidupnya kalau aku menolaknya. Dia takkan mau percaya, aku menolaknya karena alasan pribadi yang tak ada sangkut pautnya dengan dirinya."
Nina tersentak oleh teguran adiknya. "Kalau mau melamun, lebih baik di ranjang, Kak. Supaya aku bisa tidur juga!" ujar Kris.
Nina menoleh dan melihat Marisa sedang membereskan buku-bukunya. Dengan lesu di bereskannya juga catatan Kimianya. Kok Ogu akhirnya berhasil mencapai cita-citanya" pikirnya. Dipandangnya Kris. "Kan Ogu sudah hampir menikah" Bagaimana dengan calonnya""
"Mereka memang menikah," sahut Kris meng-ganti sender radionya. "Lalu..."
"Ya, lalu..." Nina menunggu tidak sabaran.
"Istrinya meninggal ketika melahirkan."
"Oh! Anaknya""
"Meninggal juga. Dalam kandungan."
"Oh!" Hatinya berdebar. Kepalanya terasa ringan, berputar. Matanya berkunang-kunang. "Kalau Engkau menuntut hakMu, oh Tuhan, apa pun Kaulakukan! Kautunjukkan kebesaranMu!" gumamnya tanpa disadari. "Ngoceh apaan, nih"" tanya adiknya heran.
"Mari aku bantu kau membereskan tempat tidurmu!" katanya mengelak.
Meja kursi disingkirkan. Gulungan tikar dibuka di tengah ruangan. Kasur tipis diluruskan. Seprei dirapikan. Terakhir, kelambu dipasang. Kemudian Nina masuk ke kamar, berbaring di sebelah Marisa yang sudah hampir lelap. Nina mencoba melebarkan matanya untuk menantikan ayahnya pulang. Tapi dia tak sanggup. Sebentar saja dia pun sudah lelap seperti adiknya. Ayahnya tidak dijumpainya pada hari pertama d
ia pindah dari asrama. Tapi dia bermimpi ke-temu Ogu dengan rambutnya yang terburai-burai kena angin, dengan pipinya yang penuh bopeng serta jubahnya yang putih. Ogu ketawa manis padanya.
Bab 11 SORE itu ada pelajaran tambahan Alam. Nina sudah minta izin dari ibunya untuk ke rumah Ita siang itu supaya tidak terlalu lelah. Rumah Ita dekat sekolah. Lagi pula dia naik mobil. Jadi Nina dapat membiarkan sepedanya di sekolah dan baru mengambilnya sepulang les nanti.
Dia bangun lebih pagi dari biasa supaya dapat memasak sayur juga. Biasanya dia masak sepulang dari sekolah. Diletakkannya seteko air minum di samping ranjang ibunya, berikut makanan serta keperluan kecil-kecil lainnya. Tetangga sebelah sudah menawarkan diri untuk melihat-lihat ke rumah sementara anak-anak masih di sekolah.
Sambil bersandar dalam mobil Ita, Nina membayangkan ibunya di rumah entah sedang ngapain. Semoga adik-adiknya sudah pulang. Dia kelupaan menaruh air di bawah tempat gula. Mudah-mudahan enggak dikerumuni semut.
'Ah, semoga konco-konco abangku enggak muncul, supaya kita bisa latihan Stereo bersamanya," ujar Ita.
Nina cuma setengah mendengarkan. Pikirannya berada jauh di rumah, di samping ibunya. Apakah Mama sudah makan" Sayurnya dihangatkan lagi atau tidak oleh Tante sebelah" Dia tidak melihat Ita memperhatikannya sejak tadi. Apakah Mama menelan obatnya dengan betul" Ita punya alasan besar untuk membujuknya main ke rumah. Pil biru kecil dua, pil merah satu, tablet putih setengah. Kebetulan ada les Alam!
Setelah pertandingan voli-yang dimenangkan oleh Theresia-tempo hari, Miki bilang sepintas lalu bahwa dia ingin melukis Nina. Meski suara abangnya tidak kedengaran menggebu-gebu, Ita paham betul artinya. Miki tertarik pada Nina! Cowok yang satu ini -istilah Ita- enggak biasa tertarik pada cewek-cewek, walau yang segenit Magdalena sekalipun. Magda mengira, dia telah memegang ekor si Miki dalam telapak tangannya! Huh! Kalau dia tahu gimana Miki selalu mengeluh tentang sikapnya yang terlalu provokatip!
Tapi Nina lain. Anak ini halus, tenang. Seperti telaga jernih yang memukau setiap pengunjung. Tidak tergoda dan tidak terpengaruh polusi apa-apa. Bahkan cenderung kelihatan tak acuh terhadap cowok! Mungkin sifat-sifat itu merupakan tantangan bagi Miki, sehingga dia tertarik!
Karena letaknya tidak jauh, mereka tiba di rumah Ita dalam sepuluh menit Ita melayangkan mata ke seluruh halaman dan menarik napas lega. Tak ada sepeda motor satu pun! Berarti takkan ada yang nimbrung. Dia ingin pertemuan Nina dengan abangnya sekali ini berlangsung serapi mungkin.
"Ayo, Nin," dia mengajak turun dari mobil. Lalu sambungnya pada Pak Kebun yang membukakan pagar, "Miki udah pulang, Pak Kijen""
"Sudah, Non. Itu di dalam, lagi nungguin Non makan."
"Aaah!" seru Ita ketawa gembira menyambar lengan Nina. "Cepatlah! Aku udah lapaaar be'eng, nih!" Rumah besar itu sunyi sepi. Ita bilang, "Mami sedang pergi. Barangkali menengok rumah yatim piatu yang kemarin dulu kebakaran."
Seperti pada kunjungannya yang pertama waktu Ita ultah, kali ini pun Nina merasa kagum pada interior rumah, namun tak berani lancang menoleh-noleh ke sana kemari. Dia tahu, beberapa pembantu -ada berapa sih pembantu mereka" Astaga banyaknya! Coba berikan satu saja untuk Mama!- sedang mengawasinya dari dapur. Karena itu Nina melangkah lebih tegap dengan kepala tegak dan mata lurus ke depan. Akibatnya dia tidak melihat Miki yang sedang duduk di ruang tengah. Dia kaget setengah mati waktu disapa hai! Hampir dia ngusruk kesandung kaki kursi goyang.
Miki ketawa. "Sori. Kaget" Bi, ambilkan minum!"
Nina menjadi merah seperti kepiting rebus dan merasa dungu sekali sebab begitu gampang kagetan. Dia makin salah tingkah ketika seorang pembantu muncul dengan nampan dan gelas berisi sirop merah, lalu Miki mengambil gelas itu dan menyorongkannya padanya. "Minumlah, biar kagetmu hilang!" Memang cowok itu tidak ketawa, tapi pada perasaan Nina, dalam hati dia sedang tersenyum geli memperhatikannya. Sebab matanya seakan... suara Ita membuyarkan pikirannya, sekaligus menolongnya dari rasa malu yang mencekam. "
Tolong piring satu lagi, Bi!" teriaknya membuat para pembantu lari serabutan menyiapkan tempat di meja.
Bukan Impian Semusim Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka makan bertiga. Miki rupanya betul-betul anti cewek, pikir Nina. Dia tidak mau ikut ngobrol, asyik dengan makanannya saja. Kepalanya menekuri piring terus atau begitulah yang kelihatan oleh Nina. Tapi dia tidak tahu, sebenarnya Miki sering mencuri-curi meliriknya bila didengarnya Nina sedang berbicara dengan Ita.
Seperempat jam kemudian santap siang itu usai, lalu mereka pindah ke ruang tengah yang nyaman dan luas. Nina merasa kekenyangan, sebab piringnya sudah telanjur diisi penuh oleh Ita dan dia tak berani menyisakannya, takut kurang sopan. Dalam hati dia merasa sedikit bersalah, siang ini dia sudah makan enak sedangkan ibu serta kedua adiknya cuma kebagian sayur bening serta dadar telur. Kapan mereka pernah makan semur daging segurih tadi, atau sosis dengan saus coklat, atau ayam goreng, atau... ah, rasanya Palembang letaknya sejuta tahun cahaya dari sini.
"Mik, bantuin dong kita bikin pe-er Stereo!" seru Ita memanggil abangnya yang sedang bercanda dengan anjing mereka.
Betulkah mereka pernah tinggal di sana, dalam rumah bagus, dengan perabot indah dan makanan enak"!
Tanpa komentar, Miki menyeret kursi, membujuk herdernya supaya permainan mereka ditunda dulu, lalu menemani mereka duduk di meja marmer bundar.
Ah, dia tinggal merengek saja minta perkedel atau pastel maka ibunya akan segera menuruti kehendaknya. Pulang sekolah, sudah siap di atas meja.
Miki ternyata bukan saja pintar, tapi juga berbakat mengajar. Orang gampang memahami penjelasan-pejelasannya.
"Sekarang aku tahu kenapa kau selalu dapat tujuh ke atas kalau ulangan. Rupanya kau punya guru yang hebat!" puji Nina. Marisa paling susah diajarin, terlebih matematik. Wah, anak itu paling suka pulut dengan kinca yang manis dan gurih. Ah, masa lalu yang nyaman!
"Oh, bapak guruku ini malas! Cuma tempo-tempo saja dia mau. Kalau ada yang istimewa, katanya," Ita berkicau sambil tersenyum melirik Miki.
"Jadi sekarang ini ada yang istimewa"" Nina terlambat menyadari betapa begonya pertanyaan itu. Lugu-lugu bodoh! kutuknya dalam hati. Wajahnya kembali merah matang ketika Miki mengangkat muka, menatapnya lalu menjawab lantang, "Ya, dong! Kau!" Matanya kembali kelihatan seperti mau ketawa. Mmm, jadi kau ini sebenarnya enggak alergi sama cewek toh, pikir Nina sengit-sengit senang.
"Eh, lalu kaukira aku enggak istimewa"" Ita merajuk dengan suara mencicit seperti tikus kejepit Ketiganya terbahak.
Ita bertubuh langsing dan tinggi. Wajahnya agak bulat tapi tidak tembem. Malah bagus untuk kekurusannya, sehingga dia tidak kelihatan seperti panji tengkorak. Rambutnya juga cocok sekali dipotong pendek, membuat lehernya yang jenjang lebih indah dari slang air.
Miki juga jangkung, tapi berbeda dengan adiknya, tubuhnya padat berotot. Wajahnya kekar bersegi nyaris mirip maling cinta gombal dalam film-film India, sayang kumisnya tak ada dan hidungnya kurang tinggi dua milimeter. Selain itu bibirnya terlalu kaku... Nina tersenyum sendiri memikirkan analisanya ini.
"Eiii!" Ita menepuk tangannya, membuatnya hampir gelagapan, kaget.
"Bikin Stereo mah perlu konsentrasi pol! Enggak bisa disambil sama ngelamun, Neng!" Ita berkotbah.
Ita brengsek! makinya dalam hati. Mukanya kembali matang. Dia tahu Miki pasti ketawa geli lagi (dalam hati) memperhatikannya. Heee, jangan-jangan disangkanya aku sedang melamunkan dirinya! Iiih, maunya!
"Aku bukannya lagi ngelamun, Nyet! (Sang monyet tetap nyengir, rupanya kurang percaya; biar aku kik balik abangnya yang suka ngetawain cewek lugu-lugu bodoh!) Aku lagi membandingkan abangmu dengan adikku. Si Kris udah mulai tumbuh kumis, lho! Kok abangmu kelihatannya kelimis betul, aku jadi berpikir apa ada kelainan..." Kena deh, pikirnya senang melihat kedua mata yang suka ketawa itu berubah jadi kelam seakan bertekad mau menelannya mentah-mentah! Ita sebaliknya, malah ketawa ngikik. "Kena lu, Mik! Makanya jangan suka ngelirikin orang diam-diam begitu! (Kini gantian Nina yang bersemu dadu; baru dia tahu dirinya sejak tadi rupanya jadi targ
et si mata kelam!) Apa aku bilang! Nina bukan cewek sembarang cewek. Coba kalau aku aduin ke Papi, disangkanya kau benar-benar ada kelainan! Pasti kau langsung diseretnya ke..."
Tapi Miki keburu memotong Ita dengan ucapannya yang tajam, "Kau ternyata bukan cuma istimewa, tapi juga sensasional! Di mana pernah kejadian ada cewek berani naksir-naksir kumis cowok! Ha... ha... ha..." Dan bibir serta matanya meledak ketawa memagut Nina yang tersipu-sipu, dalam pandangan berapi. Lewat sedetik dalam panggangan yang menyala itu, Nina terpaksa mengaku kalah dan membuang mukanya ke samping. Tapi gelak membahana itu terus mengikutinya tanpa ampun. Sampai akhirnya datang puding buah serta rujak petis pesanan Ita.
Setelah itu suasana menjadi lebih intim dan hangat. Nina bahkan sudah menganggap Miki sama baiknya dengan Kris. Dengan lancar ke tiganya membahas soal demi soal. Begitu asyiknya mereka, sehingga telepon berdering pun tak ada yang meladeni. "Paling-paling si Paul atau Luki!" gumam Miki sama sekali tak bergairah untuk beranjak dari samping Nina.
Ketika pe-er sudah beres, Ita mengusulkan agar mereka berdua dilukis. Nina ketawa tapi tidak menolak. "Lucu juga 'kali, ya. Aku belum pernah dilukis, lho. Ngeri, enggak""
"Nah, itulah! Sekali-sekali mesti nyobain, dong. Ditanggung enggak sakit! Iya, kan, Mik" Kau mau dong melukis kita berdua"" Ita menggoda abangnya dengan berlagak manja, padahal dia tahu betul betapa ngebetnya si amatir itu ingin melukis temannya.
"Oh, suatu kehormatan bagiku," sahutnya tersenyum, membungkuk serta menyapu udara dengan gerakan tangannya. "Dijamin, aku enggak menggigit, paling-paling cuma melotot kalau kalian terlalu banyak bergerak. Ngomong-ngomong, sanggupkah kalian duduk diam selama setengah jam" Aku akan membuat sketsa. Barangkali..." dipandangnya mereka bergantian, "kalian enggak bakal tahan!"
"Taruhan"" seru Ita sengit.
"Nantang, nih"" Nina berbareng menjawab.
Miki ketawa senang. Ita nyaris membeber rahasia abangnya, tapi hatinya enggak tega. Kakak beradik itu cuma selisih delapan bulan dan akrabnya bukan main. Setiap kali Ita jatuh cinta, dia pasti laporan pada abangnya, sekalian minta nasihat. Sebaliknya, Miki juga menceritakan kesulitan-kesulitannya. Cuma bukan masalah cinta. Cowok yang satu ini (sebutan kesayangan Ita untuk abangnya) belum pernah jatuh cinta. Belum pernah"! Memm... memm... memm... Ita bersenandung macam lebah berdengung.
Miki kelihatan sudah tidak sabaran. "Ayolah kita segera mulai, tunggu apa lagi" Kalian harus berangkat lagi, bukan""
"Oh, masih lama. Masih satu jam lagi," sahul Ita menghentikan sebentar senandungnya. Kemudian diajaknya Nina mengikuti Miki ke studio di sudut kebun belakang. Studio itu sama sekali terpisah dari rumah. Bangunannya artistik dari bambu yang dipelitur, ukurannya tiga kali enam meter. Dinding dan pintu juga dari bambu. Atapnya dari sirap. Pondok mungil itu hampir tidak terlihat dari luar, sebab ditutupi semaksemak rimbun. Ruang dalam pun penuh dengan rumput serta tanaman hias.
"Rupanya Kebun Raya Bogor pindah kemari," komentar Nina spontan. "Pantas kabarnya banyak tanaman di sana yang hilang!" "
"Ehem! Kebun Raya kan milik rakyat Indonesia! Berarti, milikku juga, bukan"" sahutnya sambil ketawa gelak. Rupanya Miki bisa menghargai humor, pikir Nina kagum. Ketawanya hangat, menyenangkan. "Ayo, kalian duduk di sini!" katanya mengatur kursi. "Akan kubuka jendela di sana."
"Bikin wajahku secantik mungkin, Mik!" pinta adiknya. Miki menoleh dari jendela yang barusan dibukanya, terpesona mendengar permintaan itu.
"Dan apakah aku juga harus membuat wajahmu secantik mungkin"" tanyanya sedikit sarkastis, menatap Nina dengan tajam.
"Oh, tentu!" sahut Nina seenaknya. "Kalau enggak, mendingan aku belajar Alam saja!"
"Iya, dong. Ngapain ngabisin waktu percuma!" Ita menimpali. "Kalau pelukis enggak becus nyulap wajah jadi cakep, lebih baik kita pergi ke tukang potret aja! Lebih cepat, lebih murah, dan gampang diperbesar atau diperbanyak. Mau ilangin jerawat, tinggal ditusir! Pokoknya sip!"
Miki menarik napas, kewalahan dikerubuti berdua. "Sudah engg
ak bayar, pake ngancam lagi! Yah, coba kita liat, apa yang bisa dihilangkan," gumamnya, lalu sebelum Nina sempat mengelak, telunjuknya sudah merabai pipinya. "Ehem! Enggak ada jerawat Kerut-kerut juga belum ada," ujarnya, menarik jarinya tepat pada saat Nina mengangkat tangan hendak memukulnya. "Tahi lalat ini," sambungnya, menunjuk dari jauh, "sebaiknya dibiarkan saja untuk pemanis. Cuma bibirmu terlalu kaku, kau mesti tersenyum sedikit Nah, begitu! Tahi lalat di sudut bibirmu sekarang kelihatan tambah manis!" Nina jadi merengut sedikit, sebab sebenarnya dia tersenyum tadi itu bukan karena disuruh, melainkan spontan saja, sebab geli mendengar analisa Miki.
"Jangan, jangan!" teriak Miki seakan panik. "Jangan merengut begitu! Sayang kanvasku, nanti rusak!" Nina terpaksa ketawa mendengar kesintingan cowok yang satu ini.
"Lalu aku... aku, gimana"" Ita merengek sambil menarik lengan Miki.
"Oh, jangan khawatir! Aku sudah apal betul wajahmu. Jerawatmu masih ada tiga. Tentu saja akan kuhilangkan kecuali kalau kau mau membiarkannya sebagai hiasan!"
"Aw!" raung Ita seolah kesakitan. "Siapa sih yang mau lukisannya dihiasi jerawat""
"Cerewet! Kan sudah aku bilang, bisul-bisul asmara itu akan dihilangkan!" Miki mengomeli adiknya sambil mengatur kertas dan pinsil.
Mulailah mereka berpose. Baru saja sepuluh menit Nina sudah tidak tahan. Rasanya ada saja yang gatal atau pedih seperti digigit semut, sebentar di lengan, nanti di betis, nanti lagi di tengkuk. Tapi ketika dia bergerak mau menggaruk, Miki langsung mengacungkan telunjuk menyuruhnya tenang. Nina merasa betul-betul tersiksa. Berlainan dengan Ita yang sangat antusias. Dia sudah mirip patung, duduk tak bergeming. Barangkali karena Ita mempunyai mission impossible! Dia mau nampang di kelas dan unjuk kebolehan di depan Simon!
Karena itu betapa kecewa dan marahnya kedua noni itu ketika mereka melihat hasil pengorbanan mereka selama setengah jam. Cuma coret-coretan yang tidak keruan bentuknya! "Apa itu"" teriak Ita. "Masih cakepan topeng monyet!"
Nina menggigit bibir untuk menahan kedongkolan. Jelas mereka tliah dipermainkan. Ita menyambar sketsa itu mau dirobek, tapi Miki dengan gesit menyelamatkannya ke belakang punggungnya.
"Keterlaluan kau!" Ita ngomel setengah mau nangis. "Masa kita disuruh duduk sampai pegal cuma buat coret-coretan begitu! Mendingan dirobek aja, deh!"
"Sabaaar!" Miki ketawa lebar sampai seluruh gigi-giginya yang putih kelihatan dipamerkan. "Sketsa ini bagus, coba lihat nanti hasilnya!"
"Bagus apanya" Cakepan monyet!" dengus Ita kesal.
"Ah, kau memang enggak tahu seni! Bagaimana pendapatmu, Nin""
"Lebih baik enggak kukatakan!" sahut Nina marah, lalu membuka pintu pondok diikuti Ita.
Dari jendela studio, pelukis amatir itu mengawasi keduanya berlalu. Senyum misterius menghiasi wajahnya. "Mmm, rupanya calon Mere bisa juga marah! Hiii...."
Bab 12 MALAM itu Miki menghilang setelah makan. "Mana kakakmu"" tanya ayahnya pada Ita. "Pasti di belakang."
"Melukis"" Ayahnya menaikkan alis sampai nyaris bertemu dengan rambut di puncak dahinya. "Apa dia enggak sadar, ujian sudah di ambang pintu" Apa dia enggak bakal malu kalau adiknya lulus, dia sendiri enggak"" ayahnya mengaum marah.
"Alaa, Papi ketakutan! Dia pasti lulus, deh! Dijamin!" Ita berkicau membela Miki, sebab dia tahu abangnya sedang sibuk menyelesaikan lukisan dirinya dengan Nina, dan itu tentunya lebih penting dari ujian.
"Dijamin! Siapa yang jamin"" hardik ayahnya. "Kau juga mesti lebih rajin, tahu! Aku dengar kau kelewat sering jalan dengan pemuda itu. Awas ujianmu!"
"Ah, Papi!" Ita merayu dengan manja. "Itu kan Simon, Pap. Kami bukan jalan-jalan, tapi belajar sama-sama buat ujian. Dia sekelas sama Miki. Masa orang hidup harus belajar melulu, enggak boleh pacaran" Itu namanya tirani, Pap. Masa Papi mau jadi tiran" Mendingan saya mati aja deh kalau begitu!"
"Kaudengar itu" Kaudengar"!" teriak ayahnya pada Ibu yang sedang membaca koran. Wanita itu kelihatan masih cantik walau sudah hampir empat puluh. Rambutnya dipotong pendek dan diberi ombak besar-besar. Tingginya sedang, tubuhnya tid
ak gemuk tapi padat. Kulitnya putih dan halus. Wajahnya tirus dengan mata hitam yang tajam serta bibir tipis yang kebanyakan selalu terkunci.
Berlainan dengan istrinya, Pak Rodan tinggi kurus, berkulit gelap dengan rambut lurus dan kumis melintang. Matanya sebenarnya besar, tapi saking kebiasaan memicing di balik kacamata, akhirnya kelihatan menyipit seperti celah kulit kerang. Ita mewarisi bakar ayahnya yang tinggi dan kurus, tapi untung kulitnya dari Ibu, putih halus kecuali di wajah yang seringkah berhiaskan jerawat
"Ya, aku dengar," sahut ibunya kalem tanpa mengangkat kepala. "Kalau dia bisa tetap sukses dalam pelajaran, apa salahnya belajar pacaran" Itu kan penting juga buat perkembangan jiwanya""
"Aduh! Kau sama gilanya!" tuding ayahnya geram.
"Biar amat! Yang penting, aku enggak mau menyiksa anak-anakku!"
Ita diam-diam menyelinap keluar dari medan pertempuran dan menghambur ke belakang.
Miki sedang asyik dengan lukisannya, tapi pikirannya sebentar-sebentar melayang pergi meninggalkan kanvas. Di pelupuk matanya terbayang kembali wajah Nina. Seraut wajah yang menarik dengan mata bening namun tajam. Nina kelihatan riang, tapi Miki dapat menangkap secercah selaput melankolis menutupi jiwa gadis itu. Entah apa sebabnya. Dia bermimpi suatu ketika akan berkesempatan untuk betul-betul melukis dara rupawan itu. Bukan sekadar sketsa singkat yang tergesa-gesa seperti sekarang.
Dia akan menarik keluar semua perasaan gadis itu dan menghiburnya kalau bisa. Terkadang sangat mengherankan bagaimana kepribadian seseorang dapat kelihatan jelas di atas sebuah lukisan. Seseorang yang sebenarnya kasar, tapi yang seharihari memaksa dirinya untuk bersikap lembut, takkan kelihatan lembut di atas kanvas. Dan gadis itu. Ya, gadis itu. Dia sebenarnya sama sekali tidak riang. Hatinya penuh kesedihan. Barangkali dia menangis setiap saat dalam dirinya. Kenapa" Kisah cinta yang putus" Atau perceraian orangtua" Atau... Pintu terbanting dengan keras dan sebelum Miki sempat menoleh, adiknya sudah terdengar suaranya.
"Mik, kau dicari Papi. Dimarahi, lho. Melukis terus sih!" Ita menggoda, padahal dia sendiri sangat ingin abangnya terus-terusan melukis supaya lukisan itu dapat dipamerkannya secepat mungkin di kelas. Dia berani bilang begitu sebab dia tahu, Miki sendiri ngebet ingin menyelesaikannya secepatnya. Apakah cowok yang satu ini jatuh hati pada calon Mere" pikirnya.
"Lantas, kau enggak bela aku"" tegurnya samif terus melukis.
"Tentu dong! Masa kambrat (teman, dari kamerad) sendiri enggak dibela"! Mami juga membela kita!"
"Oooh"!" Miki menoleh. Kalau Ibu membela, pasti adiknya yang dibela, bukan dia. Sebab dirinya bukan kesayangan ibu tiri. Ita tentu saja tidak tahu. Tapi Miki tahu bahwa ibunya meninggal waktu dia dilahirkan. Bahwa ayahnya segera mengawini sekretarisnya. Katanya, supaya bayinya ada yang merawat Tapi juga sebab Ita sudah dalam perjalanan. Biarpun bukan adik kandung, Miki menyayangi adiknya. Ibu tirinya juga tidak pernah menunjukkan perbedaan dalam perlakuannya terhadap mereka. Namun Miki toh tahu dan merasa, ibunya (baginya wanita itu satu-satunya ibu yang dikenalnya) tidak mencintai dia sebesar cintanya pada Ita.
"Maksudmu, Mami membela kamu"!" dia menegaskan.
"Iya," Ita mengangguk dan mendekat, memperhatikan karya abangnya.
"Urusan apa sih""
"Biasa, urusan apa lagi selain soal cowok. Diktator mana bisa lihat anak senang! Udahlah, stop aja deh lukisannya!" Ita merajuk.
"Eh, Non, perintah, nih" Aku stop kapan aku mau! Ilham kan susah dicari, kalau lagi datang aku mana bisa stop. Suruh deh Papi ke sini kalau berani. Aku mau dengar dia menyuruh aku belajar!"
Itu memang benar. Papi enggak mau (atau enggak berani") memerintah Miki, sebab dia anak emasnya. Ita terkadang jadi iri. Tapi Miki tidak pernah memberinya alasan untuk iri, sebab dia terus-menerus mencari gara-gara supaya Ayah marah, sehingga cinta yang melimpah ruah itu tidak mendapat kesempatan untuk diperlihatkan. Barangkali Miki merasa dendam pada ayahnya. Ketiga orang bibinya (saudara-saudara ibu kandungnya) menceritakan betapa menderitanya Ibu ketika tah
u permainan ayahnya dengan sekretarisnya. Mungkin karena kesal, Ibu tidak dapat mengatasi kelahirannya dan meninggal. Semua itu sesekali terpikir oleh Miki. Mungkin Ayah merasa bersalah atas kematian Ibu, sehingga tidak berani memaksanya begini-begitu" Entahlah. Yang jelas, dia sendiri tak mau mengakui bahwa dia membenci ayahnya.
Ita sangat gembira melihat lukisan yang hampir selesai itu. Bukan main bagusnya! Sudah bisa dibayangkannya, Ani bakal jadi setan penasaran! Juga anak-anak lain. Tapi mereka akan disuruhnya antri sampai habis ujian. Hei, betapa sedapnya mendengar jerit-pekik serta rengekan anak-anak! Apakah Ani akan menangis, mohon-mohon" Nah, ya, seandainya kau mau mencium ujung sepatuku, An! Hiii....
Ita bangga sekali pada kakaknya. Diam-diam diputuskannya bahwa Miki enggak boleh jatuh cinta pada gadis yang tidak disukainya!
"Mik, kau ada main sama Magda, ya"! Aku benci dia! Selalu gonta-ganti pacar. Selalu iri melihat kelebihan orang lain. Heran, gimana sih kau bisa dijadikannya barang mainan!"
"Kenapa kau punya kesimpulan begitu" Kaupikir, aku tertarik sama si genit itu" Bah! Etalase berjalan kayak gitu sih bukan seleraku. Biarpun dia tinggal satu-satunya cewek di kofong langit, rasanya aku masih akan pikir-pikir dulu beberapa kali."
"Dan setelah pikir-pikir beberapa kali itu, kamu akhirnya akan mau juga sama dia, bukan" Seperti sekarang" Nonton voli berdua. Ngapal berdua. Heran, apa sih yang diapalin dua-duaan" Rumus Kimia atau sajak cinta, sih" Rupanya kau sudah pikir-pikir, ya""
"Eh, apa salahnya berteman biasa" Kalau dia mau menganggap aku pacarnya, itu sih hak asasinya, mek! Asal tahu aje, aku enggak pernah bikin deklamasi cinta di depannya. Lagian, kita belon pernah belajar duaan wae, Paling dikit berempat. Anak-anak senang ke rumahnya.
Soalnya..." Miki melirik adiknya sambil tersenyum, "...di sana kita selalu disediain makanan enak-enak. Di sini ada apa" Mami pergi terus. Dapur segede lapangan bola isinya cuma bawang sama sagu! Koki dua, bisanya cuma goreng perkedel sama nyemur!"
Ita senang bercampur lega mendengar penjelasan Miki. Biar si Magda kunyuk itu tahu rasa! pikirnya hura-hura dalam hati. Dianggapnya dirinya yang paling cantik barangkali. Taruhlah benar! Tapi cowok yang satu ini kan belum tentu mau"!
"It, di mana sih rumah Nina""
"Di Kebon Kacang, tapi aku enggak tahu gang berapa. Katanya enggak ada nomor, cuma RT dan RW."
Mmm, jadi anak itu tidak kaya. Apakah itu yang menyedihkan hatinya"
"Belum apa-apa kok udah nanyain rumah"" goda Ita. "Pasti ada apa-apanya, nih!"
"Enggak ada apa-apa. Aku cuma pingin tahu keadaan keluarganya. Kok anak itu kelihatan murung terus, kenapa sih""
"Siapa murung" Nina" Astaga! Dia kan pelawak kita!"
Miki diam saja. Percuma. Orang lain takkan mengerti apa yang dilihatnya. Cewek itu pasti sedang sedih! Dan itu
memang betul. Tapi Miki takkan pernah bisa menduga apa sebabnya.
* * * Nina sedih karena cita-citanya untuk masuk biara kelihatannya takkan mudah terkabul. Ayahnya pasti akan menentang. Nina kehilangan jalan menuju ke hatinya. Laki-laki itu sudah terlalu banyak berubah dalam tiga tahun terakhir. Satu-satunya harapan adalah Ibu. Tapi Ibu begitu lemah fisiknya sekarang. Mungkin dia tak punya semangat lagi untuk menentang Ayah.
Berhari-hari Nina memikirkan masalah ini, sehingga pelajarannya agak terbengkalai. Ketika dia mendapat angka lima untuk latihan ujian Goniometri (Ilmu Ukur Sudut), barulah kesadarannya pulih dan dia mulai giat lagi belajar. Tapi tidak sedetik pun dilupakannya cita-citanya.
Suatu kali ditulisinya Ogu yang kini bernama Albertus. Pastor Albertus menyarankan agar dia membicarakan niatnya dengan bapak pengakuan dan dengan ibunya. Nina menuruti nasihat Bapak pengakuannya menganjurkan agar dia membicarakan masalah itu dengan kedua orang tuanya. Ini sulit Nina tak berani mendekati ayahnya. Dia sekarang cepat naik darah. Tinggal Ibu.
Setiap pagi dia bangun dengan niat teguh untuk membicarakannya dengan ibunya, tapi sepulang dari sekolah niat itu selalu berantakan. Keberaniannya hilang. Melihat ibunya terbaring begitu pasrah, be
gitu memerlukan bantuannya, hatinya menciut. Dia tidak tega menelantarkan ibunya dengan masuk biara. Terkadang, bila keberanian itu berubah jadi tekad, ibunya yang tidak siap mendengarkan. Dia tidur.
Tapi seminggu sebelum ujian, Nina memaksa dirinya. Dengan mengeraskan hati dia masuk ke kamar ibunya ketika Marisa dan Kris sedang pergi. Mereka bebas bercakap-cakap tanpa didengar orang ketiga. Nina menumpahkan seluruh isi hatinya. Di luar dugaannya, Ibu mengerti dan tidak menentang. Nina amat gembira, tapi cuma sesaat.
"Jadi setelah lulus SMA, kau mau masuk novisiat"" tanya ibunya dengan suara halus. Dielusnya kepala Nina yang tergolek dekat dadanya. Nina waktu itu berlutut di pinggir ranjang "Nina, anakku, seharusnya Mama bangga dan tidak menghalangi engkau. Tapi apa boleh buat keadaan kita begini jelek. Papa sudah enggak tentu penghasilannya. Dan adik-adikmu begitu rajin. Mereka pintar-pintar. Sayang sekali kalau mereka enggak bisa meneruskan sekolah sebab tak ada biaya. Mama sendiri kepingin melihatmu jadi sarjana. Tapi sebab itu bukan cita-citamu, ya Mama takkan memaksa. Cuma..." Ibunya memandangnya dengan senyum hangat. Lengan kirinya yang lumpuh seakan mengejang ingin naik dari seprei untuk mengelusnya, tapi tidak mampu. Nina meraih tangan yang mengurus itu (dibandingkan sebelah kanan yang normal) dan mendekapnya ke dada.
"Nin, dapatkah kautangguhkan niatmu beberapa tahun lagi""
"Maksud Mama""
"Menunggu Kris tamat SMA dulu. Engkau terpaksa harus bekerja untuk membantu Papa, Nin. Apa kau keberatan" Setelah Kris lulus dua tahun lagi, dia bisa bekerja menggantikanmu, dan kau bebas. Cita-citamu bisa kaulaksanakan. Sedangkan sekarang ini, tak mungkin mendekati Papa. Kita harap saja dalam dua tahun dia akan melunak."
"Oh, Mam! Terima kasih!" bisik Nina memeluk ibunya dengan air mata berlinang. Bagaimanapun, itu satu-satunya jalan. Dia tak mungkin mengharap lebih dari itu. Betapapun kecewa hatinya, dia tahu tak ada jalan lain. Jauh di dalam lubuk hatinya, Nina sudah lama tahu, dia harus bekerja untuk membantu keluarganya.
Bab 13 DUA hari sebelum pengumuman hasil ujian, Nina mengunjungi Ita untuk mendapat kepastian kapan tanggalnya. Selama libur, Nina sibuk mengambil kursus mengetik sehingga tidak sempat menemui siapa pun. Di samping itu, rumahnya memang tidak diketahui anak-anak. Terlalu sulit dicari, sebab tak ada nomornya, cuma RT dan RW. Juga tak ada jalan di depan rumahnya, kecuali tanah setengah meter yang berliku-liku dan selalu becek di musim hujan.
Tetangga mereka pun semuanya orang-orang sederhana tapi baik, siap menolong. Di sebelah kiri tinggal sopir truk, di sebelah kanan, tukang batu. Tidak ada kemewahan di sekitar mereka. Yang memiliki mesin jahit, misalnya, cuma tiga keluarga, di antaranya keluarga Nina. Ibunya berkeras tak mau menjual benda itu dan mengangkutnya ke Jakarta. Pada waktu-waktu tertentu benda itu dipinjam orang, sebab sulit menolak tetangga yang biasa baik terhadap kita. Sebenarnya ibu Nina tidak rela melihat harta pusakanya digotong-gotong ke rumah orang lain. Karena itu akhirnya diputuskan, si peminjam harus menggunakannya di rumah Nina. Agar tidak mengganggu yang sakit, mereka cuma boleh datang di luar jam tidur.
Mereka sekampung itu serba miskin. Nina tahu keluarganya perlu uang. Tapi hatinya masih bisa gembira sedikit melihat kemajuan Ibu. Kata dokter, bila dia dirawat dan diobati dengan betul, ada harapan dia akan dapat berjalan lagi.
Nina tiba di depan rumah Ita. Ini kunjungannya yang ketiga kali. Pintu gerbang tertutup rapat dan bel tidak berbunyi, memang ditempeli kertas dengan tulisan rusak. Nina semula mengira itu cuma untuk mencegah anakanak iseng. Ternyata betul rusak. Dipukulkannya tinjunya beberapa kali. Pintu segera dibuka oleh Pak Kebun.
"Cari siapa, Non"" sapanya hormat.
"Non Ita ada""
Seketika laki-laki itu menjadi pucat. Matanya membelalak sehingga cakar ayam di sudutsudut matanya nyaris menjadi licin. Buku-buku jarinya yang menggenggam pintu besi tampak memutih. Bibirnya menggeletar. "Apa... apa... Non... belum tahu"" bisiknya parau dengan mata berlinang.
"Tahu apa"" Nina keheranan.
"Non Ita... Kecelakaan...."
"Oh" Di mana" Kapan""
"Kemarin sore, Non. Boncengan motor dengan temannya yang sering kemari itu. Motornya tabrakan sama mobil."
"Aduh! Apanya yang luka""
"Enggak tahu, Non," sahutnya menunduk.
"Di mana dia sekarang""
"RSCM, Non." Wah, dia tak punya uang cukup untuk ke sana. Sedang dia berpikir-pikir mencari jalan keluar, tibatiba muncul mobil sedan dari samping rumah.
"Non, ikut mobil saja, Non," saran Pak Kebun.
Nina melihat penumpangnya adalah para pembantu. Astaga! Rupanya Ita menjadi kesayangan seisi rumah, pikirnya hampir-hampir tersenyum. Baru saja jatuh dari motor, sudah ditengok oleh mereka semua!
Pak Kebun menyuruh mobil berhenti dan minta Mbak Koki pindah dari samping sopir. Nina dipersilakan masuk. Sepanjang jalan tak seorang pun yang bersuara. Nina agak heran, sebab biasanya para pembantu Ita semuanya tukang ngoceh dan bercanda. Dia ingin menanyakan bagaimana keadaan Ita, namun tidak jadi. Dipikir-pikir, mana mungkin mereka bisa lebih tahu dari Pak Kebun" Tapi kenapa sih mereka begitu alim" Biasanya kan suka berseloroh dengan sopir. Apa kehadirannya telah membuat mereka jadi kikuk"
Ketika mobil tidak membelok ke halaman rumah sakit, Nina sudah membuka mulut hendak bertanya, tapi entah kenapa, tidak jadi. Kendaraan terus melaju dengan tenang, membelok ke kiri ke Salemba Raya. Ketika mobil dibelokkan di antara gedung Kedokteran dan Hukum, Nina rasanya bagaikan disambar petir. Denyut jantungnya langsung bertambah duatiga kali lipat, begitu cepatnya. Lehernya, kepalanya, semua . terasa berdenyut. Tidak! pikirnya. Tidak mungkin! Ini main-main. Pak Sopir tentunya sedang membuat lelucon untuk menakut-nakuti para pembantu. Tidak mungkin! Tidak mungkiiin!
Mobil berhenti. Nina menjadi lemas. Ketika pintu dibuka orang, dia keluar. Ani berdiri memegangi pintu mobil, menatapnya tanpa kata. Di sebelahnya berdiri Ana, menunduk. Lalu dalam kekaburan air mata, dikenalinya juga Lili, Mimi, Ketua Kelas, Loli, Nadia, bahkan Magda.
Nina tidak begitu ingat lagi apa yang terjadi selanjutnya. Tahu-tahu dia sudah masuk ke dalam ruangan yang tidak menyenangkan. Entah apanya yang tidak menyenangkan, dia tak bisa mengatakannya. Mungkin suasananya atau baunya. Bau kemenyan dan bebungaan yang bercampur dengan bau amis yang rupanya datang dari kamar jenazah di bagian belakang.
Teman-temannya menuntunnya ke depan. Nina mendengar beberapa di antara mereka terisak-isak. Nina menengok ke dalam keranda. Bibirnya menggeletar seakan menahan senyum. Tapi dia tahu, dia menangis, meskipun tanpa suara.
Aku mempunyai banyak teman, tapi sedikit sekali sahabat, katanya dalam hati. Engkaulah satu di antaranya, Ita. Selama tiga tahun kita menanggung susah dan senang bersama. Tapi kini engkau pergi begitu saja meninggalkan aku. Meninggalkan kita semua. Ita, kau kejam! Kau tidak setia. Kau tidak memikirkan kita.
Tiba-tiba terdengar sedu sedan yang keras sampingnya. Seorang memeluknya dari be kang dan mengalungi lehernya dengan ked lengannya. Seseorang yang lain menarik ora itu sambil membujuk. "Sudahlah, Ani. Sudah. Nanti Nina jatuh kaupeluk begitu," didengarnya suara Ibu Gerak Badan. Beberapa anak terdengar pula tersedu sedan seperti Ani. Nina tetap menangis tanpa bunyi, air matanya saja yang turun tak sudah-sudah. Dia berdiri diam di samping keranda, mengawasi Ita dengan bahu naik turun. Kemudian seseorang-mungkin salah seorang guru-
membimbingnya ke pinggir dan menyuruhnya duduk. Dilihatnya di barisan seberang banyak teman-teman Miki, tapi Miki sendiri tidak kelihatan.
Mere Rosa datang, berdoa di depan keranda, lalu menghampiri kedua orangtua Ita. Dijabatnya tangan ayah Ita, dipeluknya ibunya yang kelihatan dengan susah payah menahan luapan air matanya. Kemudian Mere duduk menemani mereka.
Ita terbaring sendirian di tengah ruangan, di apit oleh dua batang lilin putih. Nina menatap ukiran kerandanya yang amat indah. Dia dapat membayangkannya dengan jelas. Gaun panjang merah jambu. Sepatu satin putih-pernah dipakainya sekali waktu pesta-dengan kaus putih. Sarung tangan putih di an
tara jarijarinya. Tiara dari mutiara menghias kepalanya. Bibir mungil terpoles lipstik merah muda. Kelopak mata terpejam rapat, bersemu liijau kebirubiruan. Bulu mata lentik, hitam dan kaku, terpoles maskara. (Ita memang terkenal dengan bulu matanya yang indah, yang sering menimbulkan iri hati. Alisnya juga indah.) Pipinya yang licin tidak kelihatan pucat dilapisi bedak dan rouge merah jambu.
Engkau takkan pernah ketawa lagi, pikir Nina, lalu tahu-tahu jantungnya terasa nyeri. Temanku yang periang, kau takkan terbahak-bahak lagi. Nina menekan dadanya.
"Kenapa"" tanya Lili yang duduk di sebelahnya. Tapi nyeri itu sudah lenyap. "Enggak apa-apa," sahutnya, berusaha menahan air mata seperti yang dilakukan Ani serta anak-anak lain.
Tak seorang pun yang menyebut-nyebut soal pengumuman ujian. Bahkan mereka yang merasa takkan lulus pun seakan lupa pada kemungkinan nasib jelek itu.
"Gimana sebenarnya kecelakaan itu terjadi"" tanya Nina pada Ani yang duduk di sebelah kanannya.
"Aku juga enggak tahu. Mereka bilang, Ita boncengan Vespa dengan Simon. Dekat Stasiun Gambir ditabrak truk dari belakang. Ita terpental, kepalanya menghantam trotoar. Dia langsung pingsan dan meninggal tiga jam kemudian, jam dua puluh satu lewat dua belas menit."
"Dan Simon""
"Dia cuma jatuh saja. Kepalanya kena aspal Masih pingsan sampai sekarang."
"Gegar otak""
"Mungkin." Kemudian hari Nina mendengar kelanjutan nasib Simon dari Miki. Sebulan setelah kecelakaan itu Simon diperbolehkan pulang. Jasmaninya sudah sehat. Tapi rohaninya tetap sakit. Setiap hari dia menanyakan di mana Ita, bagaimana keadaannya. Semua orang menjawab bahwa Ita baik-baik saja, dan mengira dia percaya. Ita sedang belajar di luar negeri, sibuk, tak sempat menulis surat.
Tapi ternyata dia punya firasat tajam dan mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Dalam surat perpisahan pada orang tuanya dia menulis bahwa dia tahu, Ita sudah tiada. Dia ingin menebus dosa, sebab merasa amat berdosa tela membunuh sebuah kehidupan yang masih begitu muda serta penuh semangat. Tapi dia juga tak bisa hidup tanpa Ita yang amat dicintainya Kedua hal itu mendorongnya untuk memutuskan hidupnya sendiri. Dia menyusul Ita dengan kedua pergelangan terputus.
Bab 14 MALAM itu udara cerah dan sejuk. Bulan tidak penuh namun sudah mulai terang cahayanya. Dalam satu dua hari lagi dia pasti akan purnama. Halo raksasa menyelimutinya, merah keunguan. Bagian luarnya dikitari lagi oleh halo kehijauan.
Bunga-bunga melati di luar studionya menyebarkan harum yang tercium oleh Miki dari dalam. Dia tengah bersandar pada jendela, tidak tahu harus melakukan kerja apa. Pada waktu-waktu seperti itu, ketika dia teringat akan adiknya, dia tak mampu mengerjakan apa pun kecuali melamun serta menghidupkan kembali semua kenangan manis mereka. Bagaimanapun keduanya cuma berbeda delapan bulan dan selama hidupnya, Ita adalah seorang adik yang manis dan lembut. Dia selalu tahu kapan Miki perlu dihibur dan kapan dia perlu ditinggalkan. Miki merasa amat kehilangan serta kesepian. Dengan kedua orangtuanya dia tak pernah akrab. Dan sejak kepergian Ita, ayah ibunya terpisah makin jauh satu sama lain. Seperti malam itu. Satu di antara sekian banyak malam.
Ibu tirinya sudah seminggu pulang ke rumah orang tuanya di Jawa Tengah. Ayahnya tidak mempedulikan dirinya. Mereka bertemu di meja makan tiga kali sehari. Sudah. Itu saja.
Malam tadi mereka bertiga dengan seorang tamu. Tanpa diperkenalkan pun Miki sudah tahu siapa wanita itu. Dia masih belum lupa sebuah gambar dalam majalah pria di mana wanita itu berpose sedemikian hingga pakaian dalamnya kelihatan. Entah apa untungnya dipotret seperti barang picisan begitu. Barangkali guna menarik studio rekaman untuk mengundangnya bikin album" Atau produser tanpa selera supaya mau mengorbitkannya jadi bintang" Atau laki-laki tua dan kaya supaya mau... hm... apakah ayahnya salah satu ikan dalam jalanya"
Miki menghela napas sambil mengertakkan gigi. Ditekannya puntung rokoknya di kusen jendela lalu dilemparnya ke luar. Sambil memasukkan kedua tangan dalam saku celana dia berbalik dan mengawasi
isi studionya. Karya-karyanya berserakan di mana-mana. Banyak yang setengah jadi. Sejak malapetaka itu dia hampir-hampir tak dapat melukis lagi. Terkadang dia mencoba juga tapi tak pernah bisa selesai. Seakan bakat dan kemauannya ikut terkubur bersama adiknya. Mungkin untuk selamanya aku takkan pernah melukis lagi, keluhnya.
Matanya tertumbuk pada sebuah lukisan yang tergantung di dinding. Ita dan temannya, Nina. Calon Mere" Seorang calon yang amat manis dan menarik. Melankolis serta penuh rahasia. Tanpa terasa Miki tersenyum sendiri ketika terkenang akan siang itu. Berapa bulan yang lalukah itu" Delapan" Lebih" Pasti lebih, sebab rasanya sudah seabad. Entah di mana anak itu kini. Siang penuh kenangan, Mereka makan bertiga. Ita berlagak mau mengajaknya bikin pe-er. Padahal sebenarnya Miki yang ingin Nina diundang agar bisa dilukisnya. Ah, Ita memang adik yang selalu bersedia membantu kakaknya. Dia berhasil membujuk Nina agar mau berpose... Di mana anak itu sekarang" Menyesal sekali, kenapa dia dulu tidak menanyakan alamatnya. Yang diingatnya cuma Kebon Kacang, tanpa nomor. Kebon Kacang gang berapa"
Ketika Ita meninggal, anak itu datang melawat dan mengantar ke kubur. Seharusnya dia mendekati gadis itu serta mengantarnya pulang. Tapi waktu itu dia panik serta bingung, sedih sampai rasanya mau gila. Kesempatan baik itu disia-siakannya. Gadis yang dicintainya dibiarkannya berlalu, pulang dengan teman-temannya yang lain. Kesempatan satu-satunya....
Dia sudah berusaha mencari info ke sana kemari baik pada teman-temannya sendiri maupun pada teman-teman adiknya. Namun tak seorang pun yang tahu di mana Nina berada.
Mungkinkah dia sudah masuk biara" Biara mana" Haruskah dia mendobrak semua pintu biara untuk mencarinya" Lalu... apakah dia berhak memintanya keluar"
Miki berjalan mondar-mandir. Dia berhenti di depan lukisan itu. Pandangannya menyapu wajah Nina dengan lembut Memintamu keluar" tanyanya dalam hati. Ya, gumamnya. Itu yang akan kulakukan. Memintamu keluar! Menculikmu kalau perlu! Oh, keluhnya menjatuhkan dirinya ke kursi. Tuhan, Engkau takkan merampas gadis yang saya cintai, bukan" Engkau tidak berniat menyembunyikan bunga semanis itu di antara tembok-tembok tebal hanya untuk pandangan mataMu sendiri, bukan" Oh kalau saja saya tahu apa yang harus saya lakukan!
Miki terlena sejenak. Dia terjaga oleh suara gelak ketawa yang datang dari beranda belakang. Sayup-sayup didengarnya suara orang berkelakar. Perempuan itu! Bah! Yang dicarinya cuma uang. Laki-laki tua yang beruang.
Angin dingin tiba-tiba menerpa wajahnya. Miki menoleh. Jendela masih terbuka. Dilihatnya arloji. Sudah jam dua belas lewat Dan Ayah masih juga duduk-duduk di beranda. Besok pagi dia akan uringuringan, tidak jadi rapat ini, batal ke pertemuan itu. Huh! Dia berdiri menutup jendela. NINA. Mendadak saja nama itu berkumandang dalam hatinya. Miki menggeleng. Tidak mungkin. Tidak mungkin mencintainya. Nina pasti sudah masuk biara. Tapi, kenapa" Bila itu memang tak bisa dihindarkan, setidak-tidaknya dia ingin tahu kenapa. Kenapa kau masuk biara, Nina" Kenapa kaututup hatimu untuk seorang manusia"
Miki menghela napas. Dia kesal sebab tak dapat melenyapkan pikiran yang menghantuinya itu dari benaknya. Dia menatap kembali lukisan di hadapannya. Seakan dilihatnya gadis itu tersenyum. Tapi dia tahu, itu senyum ciptaannya sendiri, dalam benaknya, bukan dari lukisan.
Miki ingin tidur. Tapi bila dia masuk ke rumah, dia terpaksa harus melewati beranda itu. Ah, dia ogah menemui mereka. Akhirnya diputuskannya untuk tidur di studio saja. Terkadang itu dilakukannya bila harus bekerja hingga larut malam. Yaitu ketika adiknya masih ada dan dia masih dapat melukis dengan penuh gairah.
Diambilnya selimut dari dalam laci meja lalu dipasangnya obat nyamuk dibawah dipan. Dalam kegelapan yang tenang, seakan dia kembali lagi ke masa silam dan Ita muncul dengan lincah. Semua kejadian yang mengesankan bagi mereka seolah terulang di depan mata. Ita yang manja, riang, dan baik hati. Gadis kecil yang takut gelap. Ita selalu menyelinap ke dalam kamarnya sebab tak berani tidur sen
dirian. Hal itu berlangsung sampai dia lulus Sekolah Dasar. Kemudian Ibu memaksanya tidur sendiri. Tapi terkadang dia masih minta ditemani oleh pembantu.
Sekarang kau sendirian. Apakah kau takut, Ita" Adikku yang tercinta! Sendirian. Semoga di sana terang benderang. Semoga kau berjumpa lagi dengan Simon. Kalau dipikir-pikir, It, aku sebenarnya menyukai Simon. Cuma dia satu-
satunya yang berani bersaing denganku, meskipun Bapak Stereo sudah memproklamirkan aku sebagai juara kelas. It, kau ambisius, tapi juga enggak iri melihat keberhasilan orang lain. Simon. Semoga kalian ketemu lagi. Lalu, temanmu yang lain. Yang rambutnya panjang itu. Yang mencetak gol-gol pada pertandingan tahunan dengan Theresia. Yang kalian sebut-sebut calon Mere. Di mana dia sekarang" Di mana aku dapat menjumpainya kembali" Ita seakan terharu melihat kerinduannya pada sahabatnya. Dia mengatakan sesuatu yang tidak jelas. Ketika Miki ingin menegaskan, dia sudah berlalu. Kemudian dia datang lagi, tapi Miki sudah melupakan pertanyaannya tadi.
Mereka asyik bermain seperti masa kecil. Mereka juga sibuk membuat soal-soal dan Ita kerjanya menyontek terus. Suatu kali, Miki menggodanya dengan membuat jawab yang salah. Anak manis itu menyalinnya dengan rapi. Ita sama sekali tidak curiga bahwa dia kena tipu, sebab dia memang tidak mempelajari soal tersebut. Ngebut nyontek membabi buta. Setelah adiknya selesai menyalin, barulah Miki mengatakan bahwa soal itu salah. Bukan main marahnya Ita dan bukan main senangnya Miki. Dia tergelak-gelak sampai keluar air mata. Tapi ketika hendak ditangkapnya gadis itu, betapa kecewanya dia sebab adiknya tidak ada.
Sejenak dia tertegun. Rupanya dia telah bermimpi. Pelan-pelan air matanya mengalir turun membasahi dipan. Terang tanah tampak muncul dari sela-sela dinding papan studio. Dihapusnya matanya lalu berdiri. Arloji menunjukkan jam lima kurang. Miki mengenakan kembali Tshirt birunya yang dilepasnya waktu tidur. Kemudian dipakainya sepatu olahraga. Dimatikannya obat nyamuk yang masih tersisa sedikit Lalu diajaknya anjingnya keluar.
Miki biasa berlari-lari pagi barang sejam-dua jam. Sejak kematian adiknya, hampir tiap hari dia melakukannya. Untuk menghilangkan kekusutan pikiran dan menenteramkan hatinya yang selalu gundah mengenang adik tersayang.
Sepulang dari lari-lari dia langsung mandi. Lalu sarapan, kemudian berangkat kuliah. Miki terdaftar di dua fakultas. Sebagai donor yang amat dermawan, ayahnya mendapat jatah sebuah kursi pada sebuah Kedokteran swasta. "Kenapa bukan Papa saja yang kuliah"! Bangku itu kan diberikan buat Papa!" serunya kesal ketika dipaksa masuk FK. Dia lebih suka jurusan Pertambangan, tapi ayahnya tak mau mendengar sedikit pun apa kehendaknya. "Nanti kau kena gas alam!" teriak ayahnya. "Dan yang pulang cuma nama melulu!" Mendengar itu, Miki terdiam. Semangatnya untuk membantah jadi padam. Dia ingat adiknya. Bagaimanapun, kini tinggal dia satu-satunya anak ayahnya. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya, oh! Tak dapat ditimpakannya kesedihan lagi ke atas bahu ayahnya. Dia tak sampai hati membiarkannya menderita, meskipun ayahnya sendiri telah menyebabkan kematian ibu kandungnya.
Dia mengalah dan masuk Kedokteran. Tapi diam-diam dia juga mendaftar di Akademi Pertamanan dan diterima. Hampir tiap hari dia pergi kuliah, tapi lebih sering ke Pertamanan daripada ke FK. Dia kesal kuliah di Kedokteran swasta. Duduk berjam-jam menunggu kuliah yang cuma satu dua jam. Itu pun kalau dosennya tidak berhalangan, sebab sang dosen harus membagi waktu mengajar ke tempat lain. Belum lagi jarak waktu antara dua kuliah yang sering tidak menyenangkan. Kuliah pertama jam tujuh pagi, sebab jam delapan dosennya harus mengajar di tempat lain. Kuliah berikutnya jam satu siang. Mau pulang, tanggung. Mau nunggu, buang waktu. Jadi lebih praktis, bolos saja! Atau, pergi kuliah ke Pertamanan.
Kemudian, ayahnya rupanya ingin anaknya mewarisi semua usahanya. Disuruhnya Miki masuk Ekonomi Extension. Jadi Miki akhirnya kuliah di tiga tempat.
Pagi itu ada kuliah Kimia Organik. Tapi Miki tahu, dia takkan pergi mendengarkan s
i Kacamata, sebab ayahnya pasti akan menyuruhnya mengurus sesuatu di kantor. Itu biasa kalau Ayah kesiangan atau "berhalangan" ngantor.
Tubuhnya yang tinggi menguntungkannya. Pegawai-pegawai Ayah-walau yang tua-tua sekalipun-tidak lagi memperhatikan usianya. Mereka menyeganinya karena sikapnya seperti seorang manajer yang serius menanggapi tugasnya. Mungkin dia berbakat untuk menjadi manajer yang baik.
"Miki," kata ayahnya di meja makan, "pergilah ke kantor. Sebentar Pak Isman akan datang, sekitar jam sembilan. Pelajari dulu catatan transaksi sebelum dia datang. Minta pada Husen. Bila kredit dari pemerintah bisa kita peroleh dalam tiga bulan ini, maka semuanya akur. Asese."
"Oke," sahutnya tanpa bertanya sedikit pun Dia tahu, ayahnya tidak suka ditanya-tanya bila sedang mabuk-mabukan seperti itu.
"Jam berapa Papa akan ke kantor"" tukasnya sekadar memperlihatkan perhatian.
"Hmm... nanti aku telepon," sahut ayahnya melirik wanita di sampingnya, Miki meletakkan gelasnya, dan berlalu tanpa menoleh pada siapa pun.
"Kenapa dia enggak menyukai aku"" wanita itu merajuk. "Ah, dia masih bocah!"
* * * Miki duduk di atas kursi ayahnya. Dilipatnya tungkainya. Diambilnya rokok dari dalam kotak di atas meja. Ketika dia tengah menyulutnya, Husen muncul melapor. Miki menawarkan sigaret. Husen tua itu jadi tersipu diberi perhatian. Miki memang senang mengobral hadiah pada orang-orang yang bekerja untuknya. Karena itu dia disenangi mereka. Misalnya tukang-tukang batu yang membangun studionya. Atau koki yang merawat anjingnya. Atau sopir yang mengurus mobilnya.
"Aku perlu file mengenai rencana perakitan motor," katanya setelah menyalakan korek api untuk Husen. "Ya, ya, Pak. File transaksi dengan Pak Isman, kan"" "Ya, itu. Jam berapa dia akan datang"" "Jam sembilan, Pak."
"Oke. Aku mau pelajari dulu hasil pembicaraan pertama ayahku dengan Pak Isman." "Akan segera saya antarkan, Pak. Ada yang lain""
"Pesan minuman dan makanan ringan. Apakah Pak Isman akan datang sendiri" Berapa lama biasanya pembicaraan semacam itu berlangsung""
"Pak Isman biasanya datang sendiri, Pak. Kalau semuanya beres, sejam pun sudah bubar, Pak." "Baiklah. Ambilkan file itu secepatnya." "Baik, Pak."
Miki bangkit dan pergi ke jendela. Ditariknya kerei plastik yang menutupi pemandangan. Hari yang cerah, gumamnya. Hari yang menjanjikan seribu satu masalah baginya. Dia punya firasat bahwa dia akan tinggal di kantor sampai sore. Ayahnya mungkin ingin pergi ke luar kota bersama pacarnya, sebab ini hari Jumat. Besok kantor cuma setengah hari. Berarti bolos kuliah lagi.
Tiba-tiba dilihatnya jari-jarinya yang mengurus. Terlalu banyak kerja, pikirnya menghibur sendiri. Atau kebanyakan problem" Dibayangkannya ayahnya menguliahi dirinya, "Mik, kau telah bekerja keras. Carilah seorang gadis. Pergilah berlibur!"
Itukah yang diingininya" Seorang gadis untuk berlibur" Miki tersenyum sendiri. Pintu terbuka tanpa bunyi. Miki menoleh ketika mendengar orang mengucapkan selamat pagi. Sambil tersenyum diulurkannya tangannya. Dipandangnya gadis yang menjadi asisten Pak Husen. Raut muka bujur telur, mata bulat dan hitam cerah, pipi yang segar, bibir mungil merekah merah, rambut berbuntut kuda diikat pita kuning, alis hitam... mendadak senyumnya membeku di udara. Tangan gadis yang tengah terjulur itu pun lumpuh setengah jalan. Sama-sama kaget. Tapi sedetik kemudian gadis itu sudah sadar lagi dan senyum patennya merekah manis. "Ah, saya kira Pak Rodan tu... anu, ayah... anu... Bapak. Ini file yang diminta, Pak." Diulurkannya berkas map yang dibawanya. Miki merenggut map merah itu setengah marah. "Jangan panggil aku 'Pak'! Kau kan tahu namaku, bukan""
"Setiap pegawai di sini tahu nama Ba... mu," sahut Nina tanpa emosi. "Apa mereka semua memanggil nama... mu saja""
"Kita kan lain, Nin. Kita kan sahabat lama!"
Nina diam saja, siap untuk permisi. Miki menahannya dengan gerakan tangannya. Setiap hari dirindukannya, begitu lama sudah dicari-carinya, siapa sangka Nina sebenarnya ada di dekatnya! Rasanya dia kepingin ketawa dan menjerit sekaligus. Perasaannya begitu sukar dilukiskannya
. "Duduklah, Nin. Mari kita ngobrol-ngobrol sebentar."
"Nanti aku dicari Pak Husen."
"Ah, persetan dengannya!" Miki ketawa sambil menarikkan kursi bagi tamunya. Lalu dia sendiri duduk di depannya. "Sudah berapa lama kau di sini"" "Empat bulan."
"Sudah empat bulan" Dan aku belum pernah melihatmu""
"Tapi aku melihatmu setiap kali kau datang!" Nina menyunggingkan senyumnya yang khas. Miki berdebar menatapnya. Ah, betapa masih seperti dulu!
"Dan kau tak mau menyapa!" tuduhnya. "Rupanya kau gampang melupakan orang!"
Wajah Nina berubah merah di bawah tatapan Miki. Bergegas dia bangkit "Jangan pergi dulu!" cegah Miki.
"Aku banyak tugas," kilahnya lalu menghilang di balik pintu.
Miki menghela napas, tapi tersenyum lega. Jadi dia ada di sini! Dia belum masuk biara. Ah, bukan belum tapi tidak! Dia tidak masuk biara. Dan takkan masuk. Batal! Ada kesempatan, pikirnya. Entah mengapa, mendadak dia merasa betul-betul gembira untuk pertama kalinya sejak kematian Ita. Nina ada di luar. Ah. Begitu dekat, tapi nyaris tak diketahuinya. Mungkin Nina mengira dirinya sombong, sebab tak pernah menengok ke arahnya. Miki memang tidak biasa menoleh ke sana kemari. Dia selalu masuk kamar ayahnya dan pulangnya direk turun ke bawah, ke tempat parkir di basement. Dia tak pernah berharap akan menemukan seorang wanita di situ yang akan mampu memikat hatinya. Yang akan sanggup menggantikan Nina dalam pelukan mimpinya.
Oh, betapa bahagianya dia. Hidup mendadak tampak cerah. Jauh lebih menyenangkan. Mungkin itu sebabnya Simon tidak keberatan meninggalkan dunia ini, asal bisa tetap bersama Ita.
Seharian itu Miki kelihatan seakan linglung atau kena sihir. Entah berapa kali dia kedapatan tidak mendengar apa yang dikatakan orang. Cuma selama pertemuan dengan Pak Isman, dipaksanya dirinya untuk memusatkan segenap perhatian. Untunglah pertemuan itu tidak berlangsung lama. Perundingan sudah dilakukan minggu lalu antara Pak Isman dan ayahnya. Sekarang mereka tinggal menyetujui dan mengesahkan semua syarat dan pasal. Begitu Pak Isman berlalu, Miki pun sudah melupakan berapa nol yang ada di kertas. Dia bahkan tidak bisa menyebutkan berapa jumlah kredit yang akan diperoleh ayahnya. Tapi dia ingat betul bahwa gaun Nina berkancing enam, berlengan panjang dengan manset, warnanya coklat putih bergaris-garis, dan dalam garis putih terdapat bunga kecilkecil berwarna merah dengan daun-daun hijau; dalam garis coklat terdapat bunga-bunga serupa tapi warnanya kuning. Rambutnya masih dibuntut kuda, pita kuningnya serasi dengan gaunnya. Anting-antingnya masih yang dulu, ketika di SMA. Sepatunya berwarna coklat muda dengan kancing hitam seperti sepatu anak-anak, cuma bedanya, haknya lebih tinggi lima senti.
Miki ingin sekali memanggil Nina ke kamarnya untuk makan bersama. Setelah dipikir-pikir, terpaksa dibatalkannya. Dia tidak ingin gadis itu mendapat nama jelek di antara rekan-rekannya. Tapi makan sendirian terasa mengganggu selera. Nafsu makannya lenyap.
"Mau pesan bistik atau ayam goreng, Pak"" tanya Husen.
"Ah, bosan. Kopi saja segelas dan sandwich sepotong."
Ketika Husen muncul lagi mengantarkan pesanannya, Mild bertanya seakan sepintas lalu, "Sudah berapa lama pembantumu itu di sini""
Husen menatapnya sedikit tercengang. Tidakkah dia tahu bahwa pembantunya ada tiga" Dan dua di antaranya- laki-laki-sudah tahunan di sini" "Pembantu yang mana, Pak" Pembantu saya ada tiga...."
"Ehem," Miki berdehem malu. "Pembantumu yang barusan mengantarkan filenya Pak Isman."
"Oh, si Nina!" sahutnya serius padahal dalam hati ketawa geli. Lagi-lagi dia! Majikan tuanya sendiri kelihatan gandrung padanya. Cuma Nina saja yang tahan harga atau memang tak punya perhatian. Tamu-tamu seperti Pak Isman pun lapar pula matanya, tahu mereka yang mana barang bagus! Dan sekarang, rupanya majikan mudanya yang tergoda!
Imam Tanpa Bayangan 8 Pendekar Rajawali Sakti 92 Kucing Siluman Pena Wasiat 9
Rupanya bisikan itu cukup keras, sebab didengar oleh anak-anak. Mereka terbahak. Nina kembali merah mukanya. "Tentu, tentu! Aku takkan mengganggu!" janji Paul berulang-ulang. "Masa aku mau saingan sama Tuhan! Mana berani, ya kan, Mere"" Lalu diulurkannya tangannya.
Miki menginjak kakinya. "Namanya Nina, babi! Belum jadi Mere!"
"Oh, kalau begitu..." Paul menggosok-gosok tangannya, "...masih ada harapan!"
"Barusan kauhilang, 'Mana mungkin saingan sama Tuhan!' Sekarang sudah ada ide macam-macam!" kata cowok ketiga.
"Siapa bilang aku mau saingan"" teriak Paul. "Aku mau mohon belas kasihanNya. Siapa tahu... ehem..." Dia kembali menggosok-gosok tangan, sementara matanya yang bundar bergerak-gerak ke sana kemari seperti badut sedang ayan. Miki cepat-cepat menyeretnya keluar ruangan ditepuki riuh rendah oleh segenap juita.
"Mau apa sih sebenarnya kalian mengacau kemari"" tuntut Ita sambil berkacak pinggang.
Miki balas mendelik pada adiknya. "Eh, Non, kita kelaparan, nih. Mau minta makan! Memangnya kaukira kita mau apa"" Disapunya ruangan dengan pandang meremehkan seperti tadi dan ketika dia berhenti sedetik di wajah Nina, calon Mere itu membalas tatapannya dengan galak. Miki nyengir, ketawa hahahihi lalu menggiring teman-temannya ke dapur.
"Habis makan, lekas menggelinding pergi!" perintah Ita disambut oleh gelak terbahak dari arah dapur.
Nina melihat, di rumah itu Italah yang pegang peranan. Ibunya cuma merupakan simbol pimpinan dan kekuasaan. Tapi Ita yang menentukan misalnya hari ini masak apa, jambangan bunga yang itu taruhnya di mana, yang ini di mana.
Ketika melihat Miki muncul, ibunya cuma memandang sejenak dari balik kacamatanya, membalas sapaan teman-teman anaknya, tetap duduk tak bergerak, lalu melanjutkan jahitannya. Dia tidak menanyakan apakah mereka sudah makan. Diambilnya lonceng porselin kecil dari atas meja dan digoyangnya... kleniiing....
Seorang pembantu lelaki segera muncul dengan badan bungkuk, Nina mengira orang itu sakit TBC, tapi ketika sudah di belakang ternyata badannya lurus seperti papan.
"Sediakan makan!" perintah Nyonya tanpa mengangkat muka dari sulamannya,
Laki-laki "bungkuk" itu mengiyakan dengan khidmat lalu memandang tamu-tamu yang
baru muncul untuk menghitung jumlah piring.
Pengacauan acara itu sama sekali tidak menjengkelkan teman-teman Ita. Mereka malah gembira. "Eh, gimana nih kalau kita bikin studi-grup dengan mereka" Khusus Stereo sama Gordo," usul Sandra.
"Uh! Kaupikir mereka mau"" tanya Ita. "Aku kan pernah juga belajar dengan mereka. Dikit-dikit aku kena bentak. Miki bilang, 'Cewek-cewek susah belajar Ilmu Pasti. Otak mereka lamban dan tumpul, memperlambat kemajuan cowok-cowok yang dari sononya memang lebih cemerlang!' Panas enggak tuh dikatain begitu""
"Apa"" Loli melengking dengan mata melotot. "Eh, gue samperin ke dapur nih sekarang juga! Gue pingin tahu berapa pintarnya sih mereka""
"Yah, memang mesti diakui itu betul. Cowok kan pikirannya lebih penuh logika"" tukas Nina kalem. "Sedangkan cewek, seperti kita..."
"Kenapa cewek"" tantang Loli.
"Ya, cewek kan lebih mementingkan emosi""
"Apa""""
"Seperti kau!" Loli masih mau membantah tapi tahu-tahu ketiga pengacau itu sudah muncul lagi dengan wajah puas dan perut kenyang. "Itu betul, Mere... eh, Nina," kata Paul memberi salut dengan telunjuk menyentuh dahi. "Salam hangat dari kita"
"Apa yang betul"" teriak Loli sewot "Nanti kita kasih lihat kemampuan kita! Ayo bertanding bikin Stereo, siapa yang lebih cepat! Berani enggak sekarang""
Paul buru-buru mengangkat kedua tangannya. "Jangan, ah. Kita lagi banyak tugas nih. WO (Walk Out = mengaku kalah) aja, deh. Bye-bye!" Paul nyengir dan mengelak ketika Ita melempar gulungan koran kepadanya. Koran itu jatuh ke lantai dan Paul dengan ksatria memungutnya kembali lalu meletakkannya baik-baik di atas meja kecil.
"Ngapain susah-susah pakai bertanding segala!" tukas Miki menyeringai. "Liat aja nanti ujian, siapa yang dapat angka paling tinggi!"
Ita bergerak mau mengusir mereka, tapi ketiganya lebih cepat. "Ayo, ah," kata Miki melambai. "Sampai ketemu lagi, ya. Sori nih, enggak bisa nganterin pulang!" "Jangan merindukan kita, ya!" seru Paul.
"Memangnya siapa yang jatuh hati padamu"!" Ita melengking sewot.
Nina bangkit mau mengambil minum. Paul melihatnya dan mendadak timbul lagi niatnya untuk "berdosa". "Daaag, Mere!"
Suaranya dibikin semesra mungkin sementai tangannya disentuhkannya ke bibir seakan memberi Nina "kecup jarak jauh". Dia masil mau melanjutkan ulahnya dengan ocehan sinting, sayang Miki sudah keburu menyeretnya keluar.
Nina tertegun di tengah ruangan, salah tingkah. Mau marah tidak enak, mau ketawa, enggak lucu. Mukanya merah sekali karena malu. Ita jadi tidak enak hati. Dia paling sayang pada Nina dan tidak suka melihatnya dijadikan bulan-bulanan. "Sori, Nin. Aku pasti akan menegur Miki!" janjinya.
"Salahmu juga sih," tukas Nina tanpa marah. "Kenapa iseng, nyebut-nyebut calon Mere segala""
"Aku kan cuma main-main. Sori banget, deh." Ita menggaruk-garuk kepala dengan rupa menyesal, sehingga Nina yang manis jadi kasihan lalu cepat-cepat ketawa riang untuk memulihkan suasana. Tapi tidak bisa semeriah tadi, sebab tak ada lagi kation-kation untuk merangsang anion-anion tertawa. Mereka jadi makin lesu ketika Ketua Kelas tiba-tiba ingat bahwa besok ada ulangan Bahasa Indonesia. "Kita perlu ngapalin roman sepuluh biji, mek!" keluhnya.
"Ayo, Sitti Chadijah itu siapa"" tanya Loli engan senyum asam manis.
"Adiknya Sitti Nurbaya!" Mimi langsung menjawab.
"Gila lu! Sitti Nurbaya mana punya adik!"
"Siapa bilang" Nurbaya kan anak pertama bibiku, Chadijah anak kedua!" Mimi kesenangan berhasil membuat temannya mendongkol.
"Buset!" seru Loli melotot. "Gue dikibulin anak ingusan!"
Bab 8 MINGGU pagi itu cerah dan indah. Nina berdiri di depan jendela kamar, melayangkan pandang ke langit yang biru kehijauan dengan awan-awan putih yang cantik. Ada yang bentuknya mirip beruang besar sedang mengisap pipa. Nina hampir ketawa melihatnya. Sayang awan itu cepat bubar dan beruangnya hilang. Yang tinggal cuma seekor burung, entah burung apa, Diperhatikannya gumpalan awan yang lain, tapi mereka tidak berbentuk.
Pintu kedengaran dibuka orang. Nina menoleh. "Belum tukar baju"" tanya Ani seraya menarik keluar sepatu olahraganya dari bawah ran
jang. "Baru mau. Apa yang lain sudah datang""
"Anak-anak kita sudah. Anak-anak Theresia belum."
Nina pergi ke lemari dan mengeluarkan seragam olahraga yang berwarna putih kuning. Pagi itu ketiga kelas SMA akan bertanding melawan ketiga kelas SMA Theresia. Umum diperbolehkan hadir. Nina dan Ani memperkuat regu voli. Ani duduk di lantai memakai sepatunya. Nina menggelung rambutnya ke atas kepala lalu menjepitnya dengan jepit sanggul yang besar. Kemudian dipakainya juga sepatunya.
"Kenapa kau enggak mau tiap hari menggelung rambutmu begitu"" tanya Ani kagum. Sebelum Nina sempat menyahut, pintu sudah terbuka lagi dan Ana masuk. "Hei, sudah siap" Turunlah segera! Ibu sudah datang."
"Mereka sudah datang, belum"" tanya Nina.
"Sudah sebagian. Eh, kau tahu, si Magda datang!"
"Apa anehnya si Magdalena datang"" tukas Ani yang kurang menyukainya. Dia mengangkat bahu, acuh. "Aneh sih enggak. Tapi... anu, dia datang sama abang si Ita!"
"Hooo"!" seru Ani, sekarang melotot. "Sejak kapan dia kenal pelukis kita" Ini tentu kerjaan si Ita! Gue mah belum-belum juga dilukis!"
"Apa hebatnya sih dilukis" Kaupikir enak, disuruh duduk diam berjam-jam"" Nina ketawa sambil membetulkan tali sepatunya.
"Ya, kan setidak-tidaknya buat kenang-kenangan masa muda! Sayang sekali pacar gue enggak bisa melukis!" keluh Ani pilu.
"Nah, carilah yang bisa!" usul Ana.
"Jangan dong. Kasihan dia. Gue sih tipe setia, eh. Sekali dengan dia, tetap dengan dia!" ujar Ani setengah bersumpah, dengan tangan di dada. Nina tertawa, melirik Ana dengan misterius. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Ani digosipkan sangat getol gonta-ganti pacar sejak masih SMP di kotanya.
Ketika mereka muncul di lapangan voli, penonton sudah banyak. Anak-anak Theresia de ngan seragam putih-hijau sedang warming-up di lapangan. Kedatangan Nina dan Ani mendapat sambutan hangat baik dari regu mereka maupun dari supporter. Para penonton menoleh. Seseorang menghalangi jalan Nina sambil Ketawa. "Selamat pagi, Mere!" Nina mengerutkan kening, sama sekali tidak berniat membalas senyum Paul. Pada saat itulah dia melihat Magdalena bersama abang si Ita.
"Halo, Nina," sapa Miki sopan. Lalu Paul dihardiknya, "Menggelinding, lu! Bikin malu orang saja!"
Paul menyeringai, lalu menepi mau membiarkan Nina lewat. Magda menyentuh lengan Nina. "Kamu cakep, deh!" katanya sambil melirik Miki.
Nina tidak tahu apakah itu pujian atau cuma basa-basi. Tapi toh dia bilang terima kasih sekalian permisi mau bergabung dengan regunya.
Magda memandangi punggung temannya Ia lu menghela napas. "Huh! Cewek semanis itu mau mengurung diri dalam biara!" keluhnya sedih.
"Betulkah itu"" tanya Paul serius. "Iya, betul!"
'Tapi kenapa" Patah hati""
"Bukan. Nina sih enggak pernah jatuh cinta. Jadi enggak mungkin patah hati." "Lantas, kenapa""
"Mana aku tahu! Kalau manusia sudah ditakdirkan untuk menjadi orang suci, tak seorang pun yang tahu kenapa."
Miki mendengarkan tanpa komentar. Matanya terus mengikuti Nina. Dilihatnya gadis itu bercakap-cakap dengan anak-anak Theresia. Pasti banyak dari regu lawan yang dikenalnya. Sikapnya, gayanya... aaah, seandainya dia sanggup memindahkannya ke atas kanvas! Gerak kepala yang begitu menarik kalau dia tertawa! Begitu spontan, tidak kelihatan dibuat-buat. Menakjubkan.
Heran. Betulkah masih ada gadis polos pada zaman modern ini" Masih adakah yang tidak tahu bagaimana mesti ber-acting di depan orang banyak, terlebih di depan cowok"!
"Engkau lupa," tiba-tiba didengarnya suara Magda. "Anak itu kan calon Mere!"
Miki kaget, mengira Magda mendengar isi pikirannya barusan. Tapi ketika dia menoleh, dilihatnya gadis itu sedang menjawab Paul. Entah apa yang ditanyakan kawannya. Paul memang selalu tahu kalau ada barang bagus. Tidak heran bila Nina langsung menjadi sasaran-nya, Nina memang tidak cantik luar biasa, tapi menarik. Sangat menarik. Ada sesuatu padanya yang mempesona. Entah air mukanya yang manis. Entah bibirnya. Entah matanya. Entah hidungnya. Pokoknya, keseluruhannya serba menarik.
"Melamun"" tegur Magda menyentuh sikunya.
Miki terkejut lalu menoleh. Magda yang cantik dan pintar
bersolek itu menatapnya sambil tersenyum. Digandengnya Miki, diajaknya duduk di pinggir lapangan. Pertandingan voli sudah berjalan beberapa menit. Para supporter tidak henti-hentinya memberi semangat pada re-gu masing-masing. Karena supporter Ursula lebih banyak, dengan sendirinya yang lebih meriah adalah pekik sorak untuk regu Ani saja.
"Itu ruginya bertanding di kandang lawan," komentar Paul.
"Tapi anak-anak Theresia bermental baja," puji Miki. Memang mereka tidak kelihatan terpengaruh, tetap bermain dengan tenang dan pe-nuh semangat.
Sebuah teriakan lantang membuat Miki tiba-tiba menatap ke tengah lapangan. "Ayo, Nina! Sikat saja!" pekik seorang gadis yang pernah dilihatnya di rumah waktu adiknya ultah. Miki melihat Nina sedang melakukan serve. Paul bertepuk tangan melihat lambungan bola yang indah itu, sedangkan Magdalena terbatuk-batuk ketika mau ikut-ikutan memberi komentar. Miki begitu terpesona, sehingga lupa bertepuk. Seseorang menarik rambutnya dari belakang dan mengingatkannya supaya jadi supporter yang aktif. Dia menoleh dan mendapati adiknya tengah melotot padanya.
"Katamu, kau enggak mau datang!" tukasnya seraya membereskan rambut yang jadi acak-acakan.
"Ah, orang kan boleh berubah pikiran," sahut Ita membela diri.
"Wah, kalau hari ini kauhilang cinta, lalu besok enggak, payah dong," sindir Paul ketawa.
"Oh, itu sih lain. Kalau aku jatuh cinta, aku akan mencintai orang itu seumur hidupku! Setuju, Simon"" tanya Ita. Miki berlagak budek. Simon adalah saingannya di kelas. Dalam setiap ulangan mereka selalu berlomba untuk mendapat angka yang paling tinggi. Mereka bahkan pernah taruhan siapa yang akan menang. Meskipun demikian, keduanya tidak bermusuhan. Terlebih sejak Simon berhasil memikat Ita, Miki lebih menghormatinya dan tidak begitu aktif lagi bersaing.
Simon merah padam dicecer begitu. Sambil melingkarkan lengannya di bahu Ita, dia menunduk dan mengangguk tanpa bunyi. Ita tersenyum senang tanpa menyadari ada yang menatapnya dengan iri. "Miki enggak pernah memelukku!" pikir Magda pedih. Tapi ah, itu kan soal kecil! Yang penting, Miki sudah tertarik padanya!
Belasan -mungkin puluhan- gadis lain setengah mati ingin dilukis olehnya, atau bahkan mimpi merindukannya sebagai pacar!
Sesuatu yang hampir tercapai olehnya asal dia lebih sabar menunggu. Jadi buat apa pusing memikirkan soal kecil seperti peluk-memeluk"! Miki memang pendiam, tidak seperti Simon, yang romantis atau Paul yang senang colak-colek.
"Enggak lucu ah, pacaran dekat Miki," bisik Ita lalu mengajak Simon ke tempat lain. Miki tidak mempedulikan mereka. Sejak tadi matanya terpaku di tengah lapangan, pada Nina. Ketika dia melompat tinggi-tinggi untuk memasukkan bola ke daerah lawan dan berhasil!-, gelung rambutnya terlepas. Jepitannya terjatuh ke bawah. Miki begitu asyik memperhatikannya, sehingga dia dapat dengan tepat melihat ke mana benda itu jatuh dalam rerumputan. Rambut Nina yang hitam dan tebal terburai-burai setiap kali dia bergerak atau melompat. Miki nyaris menahan napas melihat pemandangan itu. Betapa indahnya rambut seperti itu di atas kanvas! pikirnya dipenuhi ilham. Maukah dia dilukis"
Miki merasa kecut. Calon Mere! Kalau betul apa yang digosipkan, barangkali dia takkan mau dilukis. Anak itu sudah ditakdirkan untuk dimiliki Tuhan sepenuh-penuhnya! Jelas kelihatan dari setiap gerak dan sikapnya. Cuma orang yang betul-betul dicintai Tuhan bisa tampak begitu menarik. Tapi seandainya Ita berhasil membujuknya... bukankah Ita teman baiknya" Terkadang, seorang suci pun tidak menolak untuk dilukis.
Nina tampak sedikit kewalahan menghadapi rambutnya yang panjang. Seorang penonton berlari ke dalam lapangan dengan sehelai sapu tangan putih. Nina tampak ketawa, mengangguk -pasti bilang trims- dan menerima pemberian itu. Ketika ada kesempatan, dia lekas-lekas mengikat rambutnya. Oh! Miki merasa tenggorokannya tersekat Obyek yang sangat indah! dia membatin. Bagaimanapun aku harus melukisnya!! Tiba-tiba dia menyadari bahwa Magda tengah membelai-belainya. Ditepuk-tepuknya jari-jarinya beberapa kali sebagai balasan. Namun sedetik kemudian
perhatiannya sudah terpukau lagi pada rambut panjang di depannya.
Magda bukan tidak mengerti. Matanya ikut-ikutan terpukau dan mendadak timbul takutnya. Nina terlalu menarik! Siapa yang bilang dia mau masuk biara" Itu kan ocehan anak-anak yang iseng saja"! Nina sendiri belum pernah bilang apa-apa. Seandainya itu cuma omong kosong, dan... seandainya, seandainya saja Miki menyukainya... aduh! Untuk pertama kalinya Magda merasa tidak senang terhadap Nina. Anak itu terlalu menarik. Sedangkan Miki...!
Magda melihat arloji. Sepuluh menit lagi per-tandingan pertama ini akan berakhir. Aku harus mengajaknya pergi dari sini, pikirnya.
Saat itu Theresia sudah leading dengan dua-satu. Angka satu itu dicetak oleh Nina ketika jepitnya terlepas tadi.
"Taruhan deh, Theresia pasti menang!" tukas Paul yang sudah melihat sepotong wajah manis dalam regu itu, dan sejak tadi sibuk menyusun siasat untuk berkenalan.
"Belum tentu!" sahut Miki yang masih mempertahankan Nina. "Mere itu... anu... anak itu... eh, siapa ya namanya" Ni...na" Lompatannya lihai, lho. Dalam babak kedua mungkin mereka akan berhasil menambah angka."
"Berani taruhan"" tantang Paul dengan gemetar seakan itu menyangkut kehormatan jantung hatinya.
"Kenapa enggak""
Wah, wah, itu tak boleh terjadi, pikir Magda kaget. Selesai pertandingan mungkin keduanya akan menghampiri si pemenang, yaitu Nina- sebagai sesama kawula Kakapura (Santa Ursula (Kaka dari K.K.= Kleine Klooster; G.K. = Grote Klooster=Santa Maria)), mau tak mau Magda tetap berharap sekolahnya yang bakal menang-dan... dan... Miki akan... oh! Tidak bisa!
"Jangan taruhan, ah." Kedua cowok itu me-natap Magda keheranan. Magda berlagak me ringis seraya memaksakan diri ketawa. "Sori deh, mendadak aku merasa mual. Habis ini, aku mau pulang, ah. Tentu saja..." Magda mengangkat bahu dan tangannya dengan gaya teateris yang sempurna, "...kau boleh terus di sini, Mik. Aku bisa pulang sendiri."
"Omong kosong!" sahut Miki kontan. "Tentu saja aku akan mengantarmu pulang!"
Magda diam-diam menarik napas lega, tapi meringisnya belum dihilangkarmya. "Sori, aku bikin gara-gara saja. Kalau kamu memang masih tngin nonton, biar deh aku pulang sendiri!"
"Enggak apa kok aku antar!" ujar Miki memperlihatkan senyum patent-nya, membuat hati Magda bersalto dua kali. Dia langsung berdoa semoga "pacarnya" tidak jatuh hati pada calon-calon Mere berambut hitam-panjang!
Bab 9 SEMINGGU setelah keluarganya tiba di Jakarta, Nina keluar dari asrama. Sebenarnya Ibu ingin dia terus tinggal di asrama supaya dapat belajar dengan tenang menghadapi ujian, tapi ayahnya menentang.
"Kenapa mesti menghamburkan uang yang enggak perlu"" dia menyalak. "Apa asrama itu tak usah dibayar" Dan kau enggak perlu obat"" sambungnya pada Ibu.
Ibunya langsung membisu mendengar kali-mat terakhir. Kepindahan mereka ke Jakarta terutama disebabkan oleh penyakit lumpuhnya. Dokter yang merawatnya di Palembang mena-sihatkan agar dia berobat ke Ibukota, di mana fasilitas peralatan serta obat-obatan lebih sempurna. Ayah Nina terpaksa melepas pekerjaannya sebagai pengawas perkebunan. Ekonomi mereka sudah beberapa tahun terakhir itu merosot dan kepala keluarga semakin kehilangan kontrol. Pak Neo Karimin jadi sering marah-marah tanpa alasan. Suka memukul anak-anak, memecahkan barang-barang, serta berjudi.
Mula-mula dia berjudi dengan harapan akan menang supaya dapat membayar utang-utang. Tapi kemudian, cuma sekadar menghilangkan kekesalan dan keruwetan pikiran. Seringkah sampai jauh malam dia belum pulang. Terkadang malah tidak pulang atau pulang pagi, dengan napas bau alkohol.
Semua ini tak pernah ditulis adiknya dalam surat-surat yang dikirimnya ke asrama, sebab Mama melarang. "Buat apa Nina dikasih tahu," kilahnya. "Cuma akan membuat dia khawatir tak keruan."
Tapi Nina segera melihat itu semua ketika dia tiba di rumah. Adik laki-lakinya -yang menjemputnya ke asrama- memang tidak bilang apa-apa (atas instruksi). Namun matanya segera bisa menilai keadaan.
Marisa yang membukakannya pintu. "Hei!" serunya dengan amat gembira lalu melempar kopernya dan memeluk adik peremp
uannya. Marisa tertawa lebar, membalas pelukan kakaknya dengan hangat Nina memegang kedua bahunya, lalu memandangnya dari jarak selengan. "Astaga! Kau hampir setinggi aku! Umur be-rapakah kau" Sepuluh tahun""
Marisa tersenyum malu. Bibirnya terkatup manis. Tak mungkin Nina lupa umurnya, pikirnya. Sebab tiga bulan yang lalu dia mengiriminya ucapan selamat.
"Makannya buuuanyaaak!" Kris menimpali seraya mengangkat kedua koper kakaknya ke dalam. Marisa makin tersipu mendengarnya. Nina menjewer Kris dengan tampang serius dan me-negurnya, meskipun dalam hati dia geli bukan main.
"Mana Mama dan Papa"" tanyanya mengalihkan perhatian.
Marisa seakan menghela napas ketika menggerakkan kepala ke arah kamar. Kasihan kau, katanya dalam hati, mengelus kepala adiknya. Mama sehari-harian tentunya berbaring saja sebab tak dapat bergerak. Kau pasti kesepian. Hidup yang menjemukan bagimu. Aku akan membuat rumah ini penuh kegembiraan dan kehangatan, janjinya dalam hati.
Dituntunnya adiknya ke dalam. "Mana Papa""
"Tadi pagi pergi, tahu ke mana." Suara adiknya apatis.
Rumah sewa mereka kecil. Cuma empat kali delapan meter. Tak ada air leding. "Untung ada listrik, meskipun kelap-kelip!" kata Kris. Lantai kelihatan bersih walaupun tidak berkilat. Nina tak berani bertanya siapa yang mengepel. Pasti Marisa. Kasihan anak itu, pikirnya. Terlalu kecil untuk ikut-ikut susah. Tapi apa mau dikata, mereka rupanya tidak mempunyai pembantu. Selesai meletakkan koper-koper, ternyata Kris diam-diam pergi ke dapur menjerang air.
Nina mengelus-elus rambut adiknya. Jangan khawatir, Risa, katanya dalam hati, kalau aku ada di sini, kau tak perlu ngepel lagi.
"Mama," kata Marisa di ambang pintu kamar, "Kak Nina datang, Ma."
Nina tahu, ibunya pasti sudah mendengar suaranya barusan. Rumah mereka begitu kecil. Ah, rasanya rumah besar di Palembang itu cuma bayangan belaka. Betulkah mereka pernah memilikinya"
Kedua gadis itu melangkah masuk. Ibu sudah lama menantikan mereka. Nina melepaskan adiknya dan memeluk ibunya. "Mama," bisiknya tersenyum sambil merebahkan kepalanya di atas dada perempuan itu.
"Nina," sapa ibunya dengan penuh cinta. "Bukan main senangnya Mama melihatmu. Rambutmu bagus sekali!"
"Terima kasih, Ma." Dia tersipu-sipu mendengar pujian itu. Diangkatnya kepala dan dipandangnya ibunya. Tiba-tiba ulu hatinya terasa nyeri seakan tertusuk sesuatu. Ibunya tampak jauh lebih kurus dan lebih tua dari yang ter-akhir dilihatnya tiga tahun yang lalu. Waktu itu Ibu belum lumpuh tapi sudah menderita tekanan darah tinggi.
Nina tidak berani melayangkan pandangnya ke sana kemari. Seluruh isi kamar itu sudah dilangkapnya ketika melangkah masuk. Matanya yang tajam melihat semua. Dan dia tak berani bertanya. Tiba-tiba dia merasa lemah dan takut. Ibunya bukan lagi ibu yang dikenalnya dulu. Adik-adiknya bukan adik-adik yang dulu. Bahkan semua barang asing baginya. Sarung bantal tempat istirahat kepala ibunya yang cantik itu kelihatan kuat dan warnanya putih kaku. Tidak putih berkilat seperti kain linen berenda yang biasa mereka miliki. Dari sela-sela rambut ibunya yang hitam terurai, dilihatnya lukisan dedaunan yang biasa ditemukan di tepi kolam. Juga ada huruf-huruf berwarna hijau. Nina yakin, di bawah kepala ibunya terdapat seekor katak dan tulisan Made in Australia.
Ditelannya ludah tanpa menghilangkan senyum di wajahnya. Dia tahu Marisa sedang mengawasinya dengan kritis. Khawatir jangan-jangan kakaknya akan mengritik serta mencemooh keadaan mereka.
Tanpa melihat pun, hanya dengan meraba saja, Nina sudah tahu, seprei ibunya bukan lagi sutera tapi kain belacu. Oh, Mama, apa yang sudah terjadi yang tidak saya ketahui"!
"Mama amat menyesal, kau terpaksa keluar dari asrama," bisik ibunya tanpa melepaskan pandangnya.
"Oh, Mam, saya mau keluar sendiri. Kan lebih enak di rumah"" Nina ketawa riang.
"Mama khawatir kau takkan dapat belajar di sini." Perempuan itu memandang ke langit-langit dan berhenti pada bola lampu. "Lampunya suram sekali, Nin."
"Enggak apa-apa. Mam. Bisa pakai pelita, kan" Lagi pula...," Nina ketawa geli, "...di asrama kita biasa belajar den
gan batere kecil, ditutupi bantal, takut ketahuan Mere!"
"Hiii...," tiba-tiba Marisa tergelak-gelak. Nina sekonyong-konyong merasa gembira sekali mendengar suara tertawa adiknya. Diraihnya anak itu dan dipijitnya lengannya. Sejak tadi dia khawatir kalau-kalau keadaan mereka telah membuat si Kecil menjadi pahit. Dia takut adiknya telah menjadi asing terhadapnya. Marisa adalah anak yang amat sensitif. Tapi ternyata si Kecil- mereka menamakannya begitu walaupun kini dia sudah tumbuh menjadi besar -masih belum berubah. Untunglah. Ibunya juga ikut tertawa.
"Ceritalah mengenai asrama, Nin. Mama ingin mendengar." Tapi Nina tidak' berhasrat untuk mendongeng panjang lebar. Dia berkisah sedikit mengenai teman-teman sekamarnya serta hobi mereka memanggil toge goreng atau membeli asinan sekalian berobat gigi. Tentang makanan yang kadang tidak menimbulkan selera atau ada kacoaknya, tidak disebutkannya.
Marisa terpingkal-pingkal mendengar ulah Ana serta Lili mengelabui Mere bila mereka harus ke dokter gigi. Atau ketika sepatu Loli berkenalan dengan kepala Bapak Aljabar! Atau ketika Ana digantungi dakochan yang berbunyi eeeiiik waktu dipijit oleh Bapak Kimia.
Kemudian ceritanya habis. Suasana sepi sejenak. Gelak Mama pun reda. Tanpa sadar jari-jari Nina sudah membelai-belai rambut ibunya. Dilihatnya beberapa rambut putih. Ah, umur berapakah ibuku" Belum empat puluh, bukan" Betapa menderitanya hidupmu kalau begitu, Mam, pikirnya. Dan selama ini aku tidak tahu apa-apa.
Kris masuk lalu duduk di ujung ranjang membelai-belai jari-jari kaki Ibu.
"Ke mana Papa"" tanya Nina untuk ketiga kali, sebab merasa belum mendapat jawab yang memuaskan. Sedetik dirasanya suasana menjadi tegang. Tapi Kris dengan cepat melarutkan ke-tegangan itu. "Ke mana lagi!" dia mendengus. "Pasti minum arak dan berjudi di tempat ka-wannya!"
"Krisss!!!" Suara Mama begitu keras, sehingga Nina terperanjat dan lekas-lekas memeluknya. Penderita tekanan darah tinggi tak boleh dibiarkan jadi marah.
Ibu tampak menyesal dengan sikapnya. Lengannya terulur mau menyentuh Kris. "Engkau maafkan Mama, bukan" Mama tidak bermaksud menghardikmu, Kris. Tapi Mama tidak mau mendengar kau menjelek-jelekkan Papa seperti itu. Papa adalah laki laki yang baik, Kris. Kau sendiri tahu betapa dia menyayangi kalian. Cuma sekarang ekonomi kita agak mundur gara-gara penyakit Mama. Papa tidak punya penghasilan sebaik dulu. Karena itu dia jadi bingung, gampang marah, dan tidak lagi seperti dulu sikapnya. Mama minta agar kalian bersabar menghadapi Papa dan tetap menghargainya sebagai orangtua. Mama tahu, dia berusaha keras memperbaiki keadaan kita. Sekarang Nina sudah ada di rumah. Pasti suasana akan lebih cerah. Kakakmu pintar mengurus rumah dan memasak." Kedua anak itu tersenyum gembira menyambut perkataan Ibu. Sudah lama sekali rasanya mereka tidak lagi makan enak! Mmm.
"Kris, kakakmu belum kauberi suguhan" Ayo sana, ambilkan air!"
"Ya, Mam." Tidak ada lagi yang membicarakan Papa. Nina melihat ibunya lelah dan perlu istirahat Dia segera minta diri dengan alasan mau mem-bongkar koper. Setiba di luar, dia berpandang-pandangan dengan Kris. Anak itu mengangkat bahu. "Mari kutunjukkan kamarmu," katanya meraih lengan kakaknya.
Marisa ikut. Kamar untuknya terletak di sebelah kamar ibu dan ayahnya. Luar biasa sempit dan sumpek. Baru selangkah dia masuk, sudah terasa sesak napasnya. Panasnya bukan main. Angin cuma bisa masuk sedikit dari sebuah jendela kecil.
Nina memandang berkeliling. Cuma ada satu ranjang. Tapi Marisa jelas tidur di situ juga. Tiba-tiba dilihatnya kedua adiknya menatapnya dengan waswas. Nina tertawa dengan kegembiraan yang dibuat-buat. "Kita akan tidur sama-sama lagi seperti dulu, Risa!" serunya.
Sekonyong-konyong adiknya memeluknya sambil menangis. "Oh! saya senang kau menyukai kamar ini, Kak Nina. Saya sangat khawatir jangan-jangan kau masih juga memimpikan kamar kita yang dulu!" Marisa terisak.
Ya, Nina memang masih ingat. Dipeluknya Marisa erat-erat Dan membayangkannya kini. Dibelai-belainya kepalanya yang cantik. Dan akan membayangkannya selalu. Diberikannya saputanganny
a untuk membersit hidung. Ah, kamar yang luas serta nyaman. Marisa membersihkan hidung dan mencecap matanya. Dua buah ranjang yang manis, terletak berdampingan, penuh renda dan selalu harum. Isaknya kini mereda. Mereka gemar main perang-perangan dengan bantal. Marisa menengadah dan Nina menyambutnya dengan senyum hangat. Bahkan kamar asrama masih jauh lebih mendingan. Senyum sendu merekah di wajah rawan. Apa yang sudah terjadi"
"Kenapa... kenapa... kita jadi semis..., jadi... jadi... begini"" bisiknya takut kedengaran Ibu. Dia tidak sanggup menyebut kata yang dimaksud-nya. Kris menolongnya. "Menjadi miskin, maksudmu"" bisiknya sinis. "Yah, kesatu ini karena Mama!"
"Ssst!" Nina meletakkan telunjuk di bibirnya sambil melirik dinding pemisah kedua kamar. Kris mengecilkan suaranya sampai hampir-hampir tidak terdengar. "Mama perlu banyak biaya. Papa menjuali barang-barang, tapi toh kita masih perlu berutang ke sana kemari. Kedua, Papa mulai suka main dan minum. Lebih banyak lagi barang dijual. Ketiga, Papa kehilangan kerja. Kita terpaksa pindah kemari. Juga supaya Mama bisa berobat lebih baik."
"Sekarang Papa kerja di mana""
Kris memberi isyarat agar mereka semua pindah ke dapur yang letaknya sedikit lebih jauh dari kuping Mama. "Enggak di mana-mana," sahut Kris begitu ketiganya duduk di meja kecil tempat meracik sayuran yang merangkap jadi meja makan. "Mondar-mandir saja ke sana kemari."
"Maksudmu""
"Ngobyek." "Ngobyek" Ngobyek apa""
"Apa saja. Motor. Barang-barang bekas seperti lemari es, mesin jahit, dinamo, trafo, radio, atau... yah! Buntut!"
"Bun... tut"" Matanya membelalak. Hanya bibirnya tampak bergerak-gerak, suaranya sendiri nyaris tak terdengar. Kris mengelakkan tatapannya dan pergi kembali ke kamar hendak membantu membereskan bawaan kakaknya. Nina mengikut, Marisa mengintil paling belakang.
Nina tertegun di ambang pintu kamar. Kertas-kertas yang melekat pada dinding papan itu sudah luntur catnya. Sebagian malah sudah ter-koyak. Mana meja riasnya yang elok itu" Ah, tentu saja tidak terbawa. Barangkali malah sudah lama dijual! Dan lemari-lemari pakaiannya. Rak-rak sepatunya. Boneka-bonekanya, lengkap dengan rumah serta perabot serba mini. Sepedanya. Lemari bukunya.
"Oh, Tuhan," bisiknya mengatupkan tangan di dada, siap untuk berkeluh kesah. Mendadak dari kamar sebelah terdengar ibunya berdehem membersihkan kerongkongan. Dia tersadar. Wajahnya tersenyum kecil. "Terima kasih, Tuhan, sebab Engkau masih membiarkan Mama di te-ngah-tengah kami."
Bab 10 NINA duduk setengah mengantuk di ruang depan. Catalan Kimia di depannya cuma samar-samar saja dilihatnya. Lonceng kecil di meja-pojok sudah menunjukkan jam setengah sembilan. Dan Papa belum juga pulang, pikir Nina. Adik-adiknya kelihatan tenang-tenang saja. Pasti ini kejadian biasa bagi mereka. Marisa sedang menghafal tanpa bunyi, sementara Kris asyik dengan radio transistornya. Nina masih belum menanyakan di mana anak itu tidur. Dugaannya, Kris tidur di ruang depan, sebab di sudut terdapat gulungan kasur dibungkus tikar.
Nina merindukan kamarnya di asrama serta teman-temannya. Juga lampu yang terang benderang. Dibayangkannya Ani sedang menulis surat cinta di balik buku Alam. Mere tentu mengira betapa rajinnya anak itu, menulis berjam-jam lamanya. Ana akan pura-pura membutuhkan pinsil atau karet penghapus. "Pinjam sebentar pinsilmu, Ni," dia akan bilang setelah cukup lama berdiri diam di belakangnya sampai terbaca olehnya beberapa kalimat yang bisa menjadi bahan warta berita seminggu lamanya. Terkejut, Ani akan menoleh, lalu setengah merengut memberikan apa yang diminta. Tentu saja dia tidak menyukai spionase macam begitu, tapi tidak berdaya melarangnya, sebab itu berarti konfrontasi dengan sekian banyak anak yang semuanya suka gosip. Melihat Ana tidak juga segera berlalu, dia gondok sekali. "Pergi, ah! Tunggu apa lagi" Nanti bintitan lu ngintip-ngintip, tahu rasa!"
Kris memandang kakaknya, mau coba-coba menebak, sudah ngantukkah dia" Sebab dia ingin tidur dan kursi-kursi perlu disingkirkan. Nina kelihatan melamun. Kris tidak berani bilang apa-apa. Dia men
oleh pada adiknya. Marisa sedang asyik. Mukanya tertutup buku. Ah, anak rajin, keluh Kris. Tentu si Kelinci itu takkan tidur sebelum Papa pulang. Supaya dipuji, tuduhnya suatu kali. Aku cuma ingin membukakan Papa pintu, bantah Marisa.
Nina melipat kaki sekecil-kecilnya supaya tidak jadi target gigitan nyamuk. Marisa ternyata kelupaan membeli obat nyamuk di waning.
"Kak Nina," tiba-tiba didengarnya suara Kris. "Kau masih ingat si Ogu""
"Ogu" Oh, maksudmu Deni. Kenapa""
"Masih ingat""
'Tentu. Kenapa""
"Ketika kami mau berangkat kemari, dia datang..." Kris berhenti mau melihat reaksi kakaknya, tapi Nina menunduk sehingga tidak kelihatan wajahnya, "...dan kirim salam untukmu."
Nina menahan napas. Hatinya berdebar-debar. Tak mungkin, pikirnya. Tak mungkin aku masih dihantui dia! Tiga tahun cukup lama. Dan tiga tahun sudah aku mencoba melupakannya. Aku pasti sudah melupakannya. Tapi... aku kira aku sudah melupakannya, keluhnya dalam hati. Ternyata... mendengar namanya saja sudah terlonjak hatiku....
"Oh, dia masih di sana"" tanyanya berlagak tak acuh.
"Ya. Dia kan sudah ditahbiskan tahun lalu. Lupa""
"Eh, aku kok enggak tahu! Kenapa kau enggak memberitahu""
"Ah, masa! Kalau begitu aku kelupaan. Sudah hampir setahun dia jadi imam."
Nina membisu. Di atas bukunya mendadak muncul wajah Deni. Seperti yang diingatnya. Rambut terbaur kena angin. Mata yang berkerut bila ketawa. Dan mata yang rajin menyelami hati orang. Bibir yang tak pernah kaku. Bibirnya selalu ramah dan manis.
Waktu itu Nina duduk di kelas enam. Dia mendapat hadiah kenaikan kelas berupa sepeda. Sudah lama dia merindukan sepeda jengki bercat hijau macam itu. Meski jarak rumahnya ke sekolah tidak jauh, dipakainya juga hadiahnya. Dan pada suatu pagi, dia terjatuh dari sepeda ketika hendak naik ke trotoar. Mata kaki kanan-nya terkilir. Sakitnya bukan main. Walaupun malu, dia terpaksa duduk saja di jalan. Dicobanya berdiri tapi gagal sebab nyeri sekali. Sedang dia berpikir-pikir ke mana hendak minta tolong, tiba-tiba seorang pemuda menghampi-rinya. Tanpa banyak bicara diangkatnya sepeda itu lalu diperiksanya kalau-kalau ada yang rusak. Ternyata hanya setangnya yang bengkok. Dengan cekatan pemuda itu meluruskannya kembali.
"Sepedamu enggak apa-apa," gumamnya seraya memasang standar supaya kendaraan itu dapat diparkir. Lalu dia berjongkok di depan Nina dan bertanya dengan suara yang luar biasa ramah, apakah ada yang sakit.
Nina mengangguk sambil menunjuk mata kaki yang sedang dipeganginya. Pemuda itu mengangguk juga dan menyingkirkan tangan Nina. Diperiksanya sebentar lalu tanpa aba-aba lagi ditariknya kaki Nina sehingga gadis itu menjerit kesakitan.
"Sakit sedikit," katanya menghibur. "Tapi setelah itu tidak lagi terasa nyeri. Coba, tidak nyeri lagi, bukan""
Nina diam sebentar merasakan nyerinya. Betul. Nyeri itu tak ada lagi. Ajaib sekali. Nina segera mengira bahwa laki-laki itu adalah seorang dokter. Dipandangnya dia dengan ka-gum. Betapa hitam dan jernih matanya. Mukanya penuh bopeng bekas cacar. Tapi senyumnya manis. Giginya putih dan rata.
"Nah," laki-laki muda itu menyadarkannya, "sekarang kau bisa ke sekolah lagi. Atau mau saya antar" Di mana sekolahmu""
Nina menyebutkan nama jalannya.
"Ya, lebih baik saya antar. Kebetulan saya mau ke arah sana." Tanpa menunggu persetujuan, orang itu sudah membimbingnya berdiri lalu menuntunnya sambil bertanya kalau-kalau masih terasa sakit.
"Enggak," sahutnya menggeleng. Maka dilepasnya pegangannya. Mereka berboncengan tanpa berkata apa-apa. Nina begitu terpesona dengan kenalan barunya itu, sehingga dia lupa bilang terima kasih ketika sudah tiba di sekolah. Dia bahkan lupa menanyakan nama orang itu. Dan orang itu pun tidak menanyakan namanya.
Tapi seminggu kemudian dengan tidak sengaja seorang temannya menyebutkan nama pemuda itu. Ogu.
"Aneh betul namanya," tukas Nina.
"Iya. Waktu kecil, kita suka main orang gagu dan dia selalu yang jadi si gagu, sebab paling lucu dan pintar berlagak bisu. Jadi kita sebut dia si Ogu. Nama sebenarnya Deni."
"Jadi kaukenal dia!" gumam Nina sambil melayangkan pandang ke sudut
toko buku itu, tempat mereka bertemu lagi.
Ogu sedang melihat-lihat entah buku apa. Rambutnya yang dicukur pendek tampak hitam berkilat. Dari belakang dia kelihatan seperti anak sekolah, tapi Nina diberitahu bahwa dia sudah tidak sekolah lagi.
"Kami dulu tetangga, tapi sudah hampir empat tahun kami pindah. Barangkali dia sudah lupa...."
Ternyata tidak. Sebab ketika Ogu melangkah mau pulang dan melewati mereka, dia berhenti, berseru gembira lalu menyapa keduanya. "Hei, Lila! Mau cari buku, nih" Ini kawanmu" Siapa sih namanya"" dia berkicau riang, lalu menceritakan sedikit perihal insiden dengan sepeda itu.
"Namanya Nina, teman sekelasku," sahut Lila.
Nina merasa bahagia sekali bahwa pemuda itu masih ingat saat dia terduduk kesakitan dijalan, bahwa dia telah menanyakan namanya dan bahwa dia menawarkan untuk mengantar mereka pulang.
"Sayang," sahut Lila, "kami masih mau memilih beberapa buku lagi. Nanti kelamaan." Jadi Ogu pun minta diri. "Umurnya sepuluh tahun lebih tua dari kita, lho," kata Lila tanpa ditanya.
"Dua puluh dua tahun"" Nina hampir tidak percaya. "Kelihatannya masih muda. Aku sangka baru tujuh belasan. Kenapa dia enggak sekolah lagi""
"Aku enggak tahu," sahut Lila." Beberapa tahun yang lalu, dia pergi sekolah ke Jawa, tapi orangtuanya menyuruhnya pulang kembali."
Nina tertegun. "Kok aneh, ada orangtua enggak suka anaknya sekolah""
"Itu bukan sekolah biasa, Nin. Itu sekolah buat calon-calon imam."
Oooh! Jadi Ogu ingin menjadi imam, pikirnya. Rasa kagumnya makin bertambah.
"Orangtuanya enggak setuju" Apa mereka bukan Katolik""
"Mereka memang bukan Katolik, tapi seandainya Katolik pun, mereka takkan setuju Ogu menjadi imam. Mereka sudah menyediakan jodoh yang kaya baginya." "Dan dia sudah menikah""
"Belum. Tapi pasti enggak lama lagi. Aku tahu, sebab kebetulan calon istrinya adalah anak sepupu ibuku."
Nina memikirkan hal itu sepanjang jalan. Dia selalu menyukai tembok-tembok bersih biara serta ketenangan yang meliputinya. Kadang dia malah berangan-angan untuk tinggal di sana. Betapa senang rasanya dikelilingi taman-taman yang indah-harum. Berdoa dalam keheningan, bercakap-cakap khusus berdua saja dengan Tu-han, menjadi sahabatNya, menjadi milikNya sepenuh-penuhnya. Betapa senangnya.
Dan Ogu! Dia juga mau hidup seperti itu. Ah, dia memang tahu, mereka berdua cocok sekali. Cita-cita yang sama. Pandangan hidup yang sama. Kepercayaan yang sama. Semua itu indah sekali untuk dipadukan dalam sebuah persahabatan. Bukankah Tuhan sendiri yang mempertemukan mereka berdua" Dia akan mencoba mendekati Ogu dan menanyakan tentang niatnya itu. Dia akan membantunya, kalau perlu memberinya dorongan untuk mengatasi segala rintangan.
Berkat bantuan Lila, mereka berdua jadi teman baik. Nina juga berkenalan dengan calon istri Ogu, seorang gadis yang manis dan sederhana. Dia pasti tidak mengerti, bahkan tidak tahu bahwa perkawinannya dengan Ogu akan membunuh masa depan pemuda itu.
Ogu bercerita mengenai hidupnya. Ketika dia mengutarakan niatnya untuk menjadi imam, ayahnya terkejut sekali.
"Tidak menikah"" teriaknya setinggi langit menyebabkan ibu Ogu tergopoh-gopoh masuk dari dapur.
"Ada apa" Ada apa"" tanyanya kalut.
"Coba dengar! Anak kurang ajar ini sudah berani melawan orangtua! Dia bilang, dia enggak mau menikah! Bayangkan!"
Ibunya ternganga tak mengerti ke mana mak-sud suaminya. Sedangkan Ogu diam saja tak mau membantah. "Kenapa kau tak mau menikah"" tanya ibunya akhirnya.
"Dia mau jadi imam!" sembur sang ayah dengan muka merah dan mata melotot. "Menjadi padri Katolik!"
"Aaah""" ibunya juga kaget Dia tak mengerti sedikit pun tentang agama itu dan para padri yang dilihatnya di sekolah anaknya selalu mengejutkan hatinya, seperti bila dia menatap para tuan-tuan Belanda dulu.
"Nah," kata ayahnya, senang bahwa ibunya tidak membela Ogu, "dia malah bilang, dia sudah masuk Katolik! Bayangkan! Bisakah kau membayangkannya" Tentu enggak! Dia masuk agama itu tanpa setahuku, tanpa izinku! Pasti dia bohong pada; pastor, mengatakan aku memberi izin! Ya, bukan" Engkau berdusta, kan" Ayo, mengaku!"
Ogu diam sejenak. Nin a menatapnya. "Apa kau bohong waktu itu""
"Ya, aku berdusta. Kukatakan pada pastor, orangtuaku memberi izin. Aku juga bohong pada ayahku ketika minta izin sekolah ke Jawa." "Kauhilang apa""
"Aku bilang, aku mau meneruskan sekolah. Nyatanya, aku masuk seminari!" Ogu tersenyum sedih, menunduk, menendang-nendang kerikil. "Akhirnya Ayah tahu juga. Dia menanyai pastor dan pastor menjelaskan semuanya. Aku dipaksa pulang. Dan... di sinilah aku!" Ogu melempar kerikil sejauh-jauhnya seraya menghela napas. Nina ingin sekali menanyakan tentang perkawinannya, tapi dia tak berani. Ogu seakan tahu apa yang dipikirkannya. "Sekarang aku harus kawin!"
"Apa itu betul"" Melihat Ogu mengangguk, Nina tak dapat menyembunyikan kecewanya. "Kalau begitu, kau tak tahan uji! Imanmu kurang! Masa cuma karena orangtua, kau jadi batal" Kenapa kau enggak berusaha membujuk orangtuamu supaya mengerti" Enggak setiap orang terpanggil untuk tugas yang mulia ini, Deni."
"Kau masih terlalu muda, Nin. Kau belum mengerti sepenuhnya kesulitanku. Aku memang harus menikah! Semoga Tuhan mengampuni aku karena aku sudah menolakNya."
"Tapi kenapa" Kenapa harus""
Lama Ogu tidak menjawab. Nina jadi sengit dan kecewa. "Aku tahu!" tuduhnya. "Karena kau akan dikucilkan dari keluargamu kalau kau enggak mau menikah!"
"Oh, kalau cuma itu, aku sungguh enggak peduli. Tapi ini menyangkut ayahku. Dia berutang budi pada calon mertuaku, lalu berjanji akan membalas budi itu dengan menjodohkan aku dengan anaknya. Kalau janji ini enggak dipenuhi, ayahku akan merasa hilang muka dan mengancam mau bunuh diri!"
"Oh!" tangannya tanpa sadar mengambil keriki-kerikil dari tangan Ogu lalu melemparnya satu per satu.
"Aku juga ingin masuk biara," Nina membuka rahasia, kemudian menambahkan dengan sengit, "tapi aku takkan membiarkan diriku dihalangi seperti kau! Aku takkan menjadi lemah! Aku pasti akan melaksanakan cita-citaku, apa pun yang terjadi!!!"
"Aku doakan semoga jalanmu takkan berduri. Tapi ingatlah selalu inti kepercayaan kita: cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri! Jangan membuat sesamamu menderita karena engkau. Apa gunanya mengabdi pada Tuhan kalau selusin manusia yang kautinggalkan merana karenanya" Kalau aku tetap bertekad meneruskan niatku, gadis itu pasti akan menderita. Ayahku juga mungkin benar-benar akan bunuh diri. Seluruh keluargaku akan terkena aib.
"Aku sudah mengenal gadis itu setahun lebih. Orangnya manis dan baik. Pikirannya terlalu sederhana. Dia tidak mengerti apa-apa di luar dunianya sendiri. Takkan terpikir olehnya ada laki-laki bercita-cita hidup membujang dalam biara! Tidak, dia takkan mengerti. Siang malam kupikirkan, betapa akan hancur hidupnya kalau aku menolaknya. Dia takkan mau percaya, aku menolaknya karena alasan pribadi yang tak ada sangkut pautnya dengan dirinya."
Nina tersentak oleh teguran adiknya. "Kalau mau melamun, lebih baik di ranjang, Kak. Supaya aku bisa tidur juga!" ujar Kris.
Nina menoleh dan melihat Marisa sedang membereskan buku-bukunya. Dengan lesu di bereskannya juga catatan Kimianya. Kok Ogu akhirnya berhasil mencapai cita-citanya" pikirnya. Dipandangnya Kris. "Kan Ogu sudah hampir menikah" Bagaimana dengan calonnya""
"Mereka memang menikah," sahut Kris meng-ganti sender radionya. "Lalu..."
"Ya, lalu..." Nina menunggu tidak sabaran.
"Istrinya meninggal ketika melahirkan."
"Oh! Anaknya""
"Meninggal juga. Dalam kandungan."
"Oh!" Hatinya berdebar. Kepalanya terasa ringan, berputar. Matanya berkunang-kunang. "Kalau Engkau menuntut hakMu, oh Tuhan, apa pun Kaulakukan! Kautunjukkan kebesaranMu!" gumamnya tanpa disadari. "Ngoceh apaan, nih"" tanya adiknya heran.
"Mari aku bantu kau membereskan tempat tidurmu!" katanya mengelak.
Meja kursi disingkirkan. Gulungan tikar dibuka di tengah ruangan. Kasur tipis diluruskan. Seprei dirapikan. Terakhir, kelambu dipasang. Kemudian Nina masuk ke kamar, berbaring di sebelah Marisa yang sudah hampir lelap. Nina mencoba melebarkan matanya untuk menantikan ayahnya pulang. Tapi dia tak sanggup. Sebentar saja dia pun sudah lelap seperti adiknya. Ayahnya tidak dijumpainya pada hari pertama d
ia pindah dari asrama. Tapi dia bermimpi ke-temu Ogu dengan rambutnya yang terburai-burai kena angin, dengan pipinya yang penuh bopeng serta jubahnya yang putih. Ogu ketawa manis padanya.
Bab 11 SORE itu ada pelajaran tambahan Alam. Nina sudah minta izin dari ibunya untuk ke rumah Ita siang itu supaya tidak terlalu lelah. Rumah Ita dekat sekolah. Lagi pula dia naik mobil. Jadi Nina dapat membiarkan sepedanya di sekolah dan baru mengambilnya sepulang les nanti.
Dia bangun lebih pagi dari biasa supaya dapat memasak sayur juga. Biasanya dia masak sepulang dari sekolah. Diletakkannya seteko air minum di samping ranjang ibunya, berikut makanan serta keperluan kecil-kecil lainnya. Tetangga sebelah sudah menawarkan diri untuk melihat-lihat ke rumah sementara anak-anak masih di sekolah.
Sambil bersandar dalam mobil Ita, Nina membayangkan ibunya di rumah entah sedang ngapain. Semoga adik-adiknya sudah pulang. Dia kelupaan menaruh air di bawah tempat gula. Mudah-mudahan enggak dikerumuni semut.
'Ah, semoga konco-konco abangku enggak muncul, supaya kita bisa latihan Stereo bersamanya," ujar Ita.
Nina cuma setengah mendengarkan. Pikirannya berada jauh di rumah, di samping ibunya. Apakah Mama sudah makan" Sayurnya dihangatkan lagi atau tidak oleh Tante sebelah" Dia tidak melihat Ita memperhatikannya sejak tadi. Apakah Mama menelan obatnya dengan betul" Ita punya alasan besar untuk membujuknya main ke rumah. Pil biru kecil dua, pil merah satu, tablet putih setengah. Kebetulan ada les Alam!
Setelah pertandingan voli-yang dimenangkan oleh Theresia-tempo hari, Miki bilang sepintas lalu bahwa dia ingin melukis Nina. Meski suara abangnya tidak kedengaran menggebu-gebu, Ita paham betul artinya. Miki tertarik pada Nina! Cowok yang satu ini -istilah Ita- enggak biasa tertarik pada cewek-cewek, walau yang segenit Magdalena sekalipun. Magda mengira, dia telah memegang ekor si Miki dalam telapak tangannya! Huh! Kalau dia tahu gimana Miki selalu mengeluh tentang sikapnya yang terlalu provokatip!
Tapi Nina lain. Anak ini halus, tenang. Seperti telaga jernih yang memukau setiap pengunjung. Tidak tergoda dan tidak terpengaruh polusi apa-apa. Bahkan cenderung kelihatan tak acuh terhadap cowok! Mungkin sifat-sifat itu merupakan tantangan bagi Miki, sehingga dia tertarik!
Karena letaknya tidak jauh, mereka tiba di rumah Ita dalam sepuluh menit Ita melayangkan mata ke seluruh halaman dan menarik napas lega. Tak ada sepeda motor satu pun! Berarti takkan ada yang nimbrung. Dia ingin pertemuan Nina dengan abangnya sekali ini berlangsung serapi mungkin.
"Ayo, Nin," dia mengajak turun dari mobil. Lalu sambungnya pada Pak Kebun yang membukakan pagar, "Miki udah pulang, Pak Kijen""
"Sudah, Non. Itu di dalam, lagi nungguin Non makan."
"Aaah!" seru Ita ketawa gembira menyambar lengan Nina. "Cepatlah! Aku udah lapaaar be'eng, nih!" Rumah besar itu sunyi sepi. Ita bilang, "Mami sedang pergi. Barangkali menengok rumah yatim piatu yang kemarin dulu kebakaran."
Seperti pada kunjungannya yang pertama waktu Ita ultah, kali ini pun Nina merasa kagum pada interior rumah, namun tak berani lancang menoleh-noleh ke sana kemari. Dia tahu, beberapa pembantu -ada berapa sih pembantu mereka" Astaga banyaknya! Coba berikan satu saja untuk Mama!- sedang mengawasinya dari dapur. Karena itu Nina melangkah lebih tegap dengan kepala tegak dan mata lurus ke depan. Akibatnya dia tidak melihat Miki yang sedang duduk di ruang tengah. Dia kaget setengah mati waktu disapa hai! Hampir dia ngusruk kesandung kaki kursi goyang.
Miki ketawa. "Sori. Kaget" Bi, ambilkan minum!"
Nina menjadi merah seperti kepiting rebus dan merasa dungu sekali sebab begitu gampang kagetan. Dia makin salah tingkah ketika seorang pembantu muncul dengan nampan dan gelas berisi sirop merah, lalu Miki mengambil gelas itu dan menyorongkannya padanya. "Minumlah, biar kagetmu hilang!" Memang cowok itu tidak ketawa, tapi pada perasaan Nina, dalam hati dia sedang tersenyum geli memperhatikannya. Sebab matanya seakan... suara Ita membuyarkan pikirannya, sekaligus menolongnya dari rasa malu yang mencekam. "
Tolong piring satu lagi, Bi!" teriaknya membuat para pembantu lari serabutan menyiapkan tempat di meja.
Bukan Impian Semusim Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka makan bertiga. Miki rupanya betul-betul anti cewek, pikir Nina. Dia tidak mau ikut ngobrol, asyik dengan makanannya saja. Kepalanya menekuri piring terus atau begitulah yang kelihatan oleh Nina. Tapi dia tidak tahu, sebenarnya Miki sering mencuri-curi meliriknya bila didengarnya Nina sedang berbicara dengan Ita.
Seperempat jam kemudian santap siang itu usai, lalu mereka pindah ke ruang tengah yang nyaman dan luas. Nina merasa kekenyangan, sebab piringnya sudah telanjur diisi penuh oleh Ita dan dia tak berani menyisakannya, takut kurang sopan. Dalam hati dia merasa sedikit bersalah, siang ini dia sudah makan enak sedangkan ibu serta kedua adiknya cuma kebagian sayur bening serta dadar telur. Kapan mereka pernah makan semur daging segurih tadi, atau sosis dengan saus coklat, atau ayam goreng, atau... ah, rasanya Palembang letaknya sejuta tahun cahaya dari sini.
"Mik, bantuin dong kita bikin pe-er Stereo!" seru Ita memanggil abangnya yang sedang bercanda dengan anjing mereka.
Betulkah mereka pernah tinggal di sana, dalam rumah bagus, dengan perabot indah dan makanan enak"!
Tanpa komentar, Miki menyeret kursi, membujuk herdernya supaya permainan mereka ditunda dulu, lalu menemani mereka duduk di meja marmer bundar.
Ah, dia tinggal merengek saja minta perkedel atau pastel maka ibunya akan segera menuruti kehendaknya. Pulang sekolah, sudah siap di atas meja.
Miki ternyata bukan saja pintar, tapi juga berbakat mengajar. Orang gampang memahami penjelasan-pejelasannya.
"Sekarang aku tahu kenapa kau selalu dapat tujuh ke atas kalau ulangan. Rupanya kau punya guru yang hebat!" puji Nina. Marisa paling susah diajarin, terlebih matematik. Wah, anak itu paling suka pulut dengan kinca yang manis dan gurih. Ah, masa lalu yang nyaman!
"Oh, bapak guruku ini malas! Cuma tempo-tempo saja dia mau. Kalau ada yang istimewa, katanya," Ita berkicau sambil tersenyum melirik Miki.
"Jadi sekarang ini ada yang istimewa"" Nina terlambat menyadari betapa begonya pertanyaan itu. Lugu-lugu bodoh! kutuknya dalam hati. Wajahnya kembali merah matang ketika Miki mengangkat muka, menatapnya lalu menjawab lantang, "Ya, dong! Kau!" Matanya kembali kelihatan seperti mau ketawa. Mmm, jadi kau ini sebenarnya enggak alergi sama cewek toh, pikir Nina sengit-sengit senang.
"Eh, lalu kaukira aku enggak istimewa"" Ita merajuk dengan suara mencicit seperti tikus kejepit Ketiganya terbahak.
Ita bertubuh langsing dan tinggi. Wajahnya agak bulat tapi tidak tembem. Malah bagus untuk kekurusannya, sehingga dia tidak kelihatan seperti panji tengkorak. Rambutnya juga cocok sekali dipotong pendek, membuat lehernya yang jenjang lebih indah dari slang air.
Miki juga jangkung, tapi berbeda dengan adiknya, tubuhnya padat berotot. Wajahnya kekar bersegi nyaris mirip maling cinta gombal dalam film-film India, sayang kumisnya tak ada dan hidungnya kurang tinggi dua milimeter. Selain itu bibirnya terlalu kaku... Nina tersenyum sendiri memikirkan analisanya ini.
"Eiii!" Ita menepuk tangannya, membuatnya hampir gelagapan, kaget.
"Bikin Stereo mah perlu konsentrasi pol! Enggak bisa disambil sama ngelamun, Neng!" Ita berkotbah.
Ita brengsek! makinya dalam hati. Mukanya kembali matang. Dia tahu Miki pasti ketawa geli lagi (dalam hati) memperhatikannya. Heee, jangan-jangan disangkanya aku sedang melamunkan dirinya! Iiih, maunya!
"Aku bukannya lagi ngelamun, Nyet! (Sang monyet tetap nyengir, rupanya kurang percaya; biar aku kik balik abangnya yang suka ngetawain cewek lugu-lugu bodoh!) Aku lagi membandingkan abangmu dengan adikku. Si Kris udah mulai tumbuh kumis, lho! Kok abangmu kelihatannya kelimis betul, aku jadi berpikir apa ada kelainan..." Kena deh, pikirnya senang melihat kedua mata yang suka ketawa itu berubah jadi kelam seakan bertekad mau menelannya mentah-mentah! Ita sebaliknya, malah ketawa ngikik. "Kena lu, Mik! Makanya jangan suka ngelirikin orang diam-diam begitu! (Kini gantian Nina yang bersemu dadu; baru dia tahu dirinya sejak tadi rupanya jadi targ
et si mata kelam!) Apa aku bilang! Nina bukan cewek sembarang cewek. Coba kalau aku aduin ke Papi, disangkanya kau benar-benar ada kelainan! Pasti kau langsung diseretnya ke..."
Tapi Miki keburu memotong Ita dengan ucapannya yang tajam, "Kau ternyata bukan cuma istimewa, tapi juga sensasional! Di mana pernah kejadian ada cewek berani naksir-naksir kumis cowok! Ha... ha... ha..." Dan bibir serta matanya meledak ketawa memagut Nina yang tersipu-sipu, dalam pandangan berapi. Lewat sedetik dalam panggangan yang menyala itu, Nina terpaksa mengaku kalah dan membuang mukanya ke samping. Tapi gelak membahana itu terus mengikutinya tanpa ampun. Sampai akhirnya datang puding buah serta rujak petis pesanan Ita.
Setelah itu suasana menjadi lebih intim dan hangat. Nina bahkan sudah menganggap Miki sama baiknya dengan Kris. Dengan lancar ke tiganya membahas soal demi soal. Begitu asyiknya mereka, sehingga telepon berdering pun tak ada yang meladeni. "Paling-paling si Paul atau Luki!" gumam Miki sama sekali tak bergairah untuk beranjak dari samping Nina.
Ketika pe-er sudah beres, Ita mengusulkan agar mereka berdua dilukis. Nina ketawa tapi tidak menolak. "Lucu juga 'kali, ya. Aku belum pernah dilukis, lho. Ngeri, enggak""
"Nah, itulah! Sekali-sekali mesti nyobain, dong. Ditanggung enggak sakit! Iya, kan, Mik" Kau mau dong melukis kita berdua"" Ita menggoda abangnya dengan berlagak manja, padahal dia tahu betul betapa ngebetnya si amatir itu ingin melukis temannya.
"Oh, suatu kehormatan bagiku," sahutnya tersenyum, membungkuk serta menyapu udara dengan gerakan tangannya. "Dijamin, aku enggak menggigit, paling-paling cuma melotot kalau kalian terlalu banyak bergerak. Ngomong-ngomong, sanggupkah kalian duduk diam selama setengah jam" Aku akan membuat sketsa. Barangkali..." dipandangnya mereka bergantian, "kalian enggak bakal tahan!"
"Taruhan"" seru Ita sengit.
"Nantang, nih"" Nina berbareng menjawab.
Miki ketawa senang. Ita nyaris membeber rahasia abangnya, tapi hatinya enggak tega. Kakak beradik itu cuma selisih delapan bulan dan akrabnya bukan main. Setiap kali Ita jatuh cinta, dia pasti laporan pada abangnya, sekalian minta nasihat. Sebaliknya, Miki juga menceritakan kesulitan-kesulitannya. Cuma bukan masalah cinta. Cowok yang satu ini (sebutan kesayangan Ita untuk abangnya) belum pernah jatuh cinta. Belum pernah"! Memm... memm... memm... Ita bersenandung macam lebah berdengung.
Miki kelihatan sudah tidak sabaran. "Ayolah kita segera mulai, tunggu apa lagi" Kalian harus berangkat lagi, bukan""
"Oh, masih lama. Masih satu jam lagi," sahul Ita menghentikan sebentar senandungnya. Kemudian diajaknya Nina mengikuti Miki ke studio di sudut kebun belakang. Studio itu sama sekali terpisah dari rumah. Bangunannya artistik dari bambu yang dipelitur, ukurannya tiga kali enam meter. Dinding dan pintu juga dari bambu. Atapnya dari sirap. Pondok mungil itu hampir tidak terlihat dari luar, sebab ditutupi semaksemak rimbun. Ruang dalam pun penuh dengan rumput serta tanaman hias.
"Rupanya Kebun Raya Bogor pindah kemari," komentar Nina spontan. "Pantas kabarnya banyak tanaman di sana yang hilang!" "
"Ehem! Kebun Raya kan milik rakyat Indonesia! Berarti, milikku juga, bukan"" sahutnya sambil ketawa gelak. Rupanya Miki bisa menghargai humor, pikir Nina kagum. Ketawanya hangat, menyenangkan. "Ayo, kalian duduk di sini!" katanya mengatur kursi. "Akan kubuka jendela di sana."
"Bikin wajahku secantik mungkin, Mik!" pinta adiknya. Miki menoleh dari jendela yang barusan dibukanya, terpesona mendengar permintaan itu.
"Dan apakah aku juga harus membuat wajahmu secantik mungkin"" tanyanya sedikit sarkastis, menatap Nina dengan tajam.
"Oh, tentu!" sahut Nina seenaknya. "Kalau enggak, mendingan aku belajar Alam saja!"
"Iya, dong. Ngapain ngabisin waktu percuma!" Ita menimpali. "Kalau pelukis enggak becus nyulap wajah jadi cakep, lebih baik kita pergi ke tukang potret aja! Lebih cepat, lebih murah, dan gampang diperbesar atau diperbanyak. Mau ilangin jerawat, tinggal ditusir! Pokoknya sip!"
Miki menarik napas, kewalahan dikerubuti berdua. "Sudah engg
ak bayar, pake ngancam lagi! Yah, coba kita liat, apa yang bisa dihilangkan," gumamnya, lalu sebelum Nina sempat mengelak, telunjuknya sudah merabai pipinya. "Ehem! Enggak ada jerawat Kerut-kerut juga belum ada," ujarnya, menarik jarinya tepat pada saat Nina mengangkat tangan hendak memukulnya. "Tahi lalat ini," sambungnya, menunjuk dari jauh, "sebaiknya dibiarkan saja untuk pemanis. Cuma bibirmu terlalu kaku, kau mesti tersenyum sedikit Nah, begitu! Tahi lalat di sudut bibirmu sekarang kelihatan tambah manis!" Nina jadi merengut sedikit, sebab sebenarnya dia tersenyum tadi itu bukan karena disuruh, melainkan spontan saja, sebab geli mendengar analisa Miki.
"Jangan, jangan!" teriak Miki seakan panik. "Jangan merengut begitu! Sayang kanvasku, nanti rusak!" Nina terpaksa ketawa mendengar kesintingan cowok yang satu ini.
"Lalu aku... aku, gimana"" Ita merengek sambil menarik lengan Miki.
"Oh, jangan khawatir! Aku sudah apal betul wajahmu. Jerawatmu masih ada tiga. Tentu saja akan kuhilangkan kecuali kalau kau mau membiarkannya sebagai hiasan!"
"Aw!" raung Ita seolah kesakitan. "Siapa sih yang mau lukisannya dihiasi jerawat""
"Cerewet! Kan sudah aku bilang, bisul-bisul asmara itu akan dihilangkan!" Miki mengomeli adiknya sambil mengatur kertas dan pinsil.
Mulailah mereka berpose. Baru saja sepuluh menit Nina sudah tidak tahan. Rasanya ada saja yang gatal atau pedih seperti digigit semut, sebentar di lengan, nanti di betis, nanti lagi di tengkuk. Tapi ketika dia bergerak mau menggaruk, Miki langsung mengacungkan telunjuk menyuruhnya tenang. Nina merasa betul-betul tersiksa. Berlainan dengan Ita yang sangat antusias. Dia sudah mirip patung, duduk tak bergeming. Barangkali karena Ita mempunyai mission impossible! Dia mau nampang di kelas dan unjuk kebolehan di depan Simon!
Karena itu betapa kecewa dan marahnya kedua noni itu ketika mereka melihat hasil pengorbanan mereka selama setengah jam. Cuma coret-coretan yang tidak keruan bentuknya! "Apa itu"" teriak Ita. "Masih cakepan topeng monyet!"
Nina menggigit bibir untuk menahan kedongkolan. Jelas mereka tliah dipermainkan. Ita menyambar sketsa itu mau dirobek, tapi Miki dengan gesit menyelamatkannya ke belakang punggungnya.
"Keterlaluan kau!" Ita ngomel setengah mau nangis. "Masa kita disuruh duduk sampai pegal cuma buat coret-coretan begitu! Mendingan dirobek aja, deh!"
"Sabaaar!" Miki ketawa lebar sampai seluruh gigi-giginya yang putih kelihatan dipamerkan. "Sketsa ini bagus, coba lihat nanti hasilnya!"
"Bagus apanya" Cakepan monyet!" dengus Ita kesal.
"Ah, kau memang enggak tahu seni! Bagaimana pendapatmu, Nin""
"Lebih baik enggak kukatakan!" sahut Nina marah, lalu membuka pintu pondok diikuti Ita.
Dari jendela studio, pelukis amatir itu mengawasi keduanya berlalu. Senyum misterius menghiasi wajahnya. "Mmm, rupanya calon Mere bisa juga marah! Hiii...."
Bab 12 MALAM itu Miki menghilang setelah makan. "Mana kakakmu"" tanya ayahnya pada Ita. "Pasti di belakang."
"Melukis"" Ayahnya menaikkan alis sampai nyaris bertemu dengan rambut di puncak dahinya. "Apa dia enggak sadar, ujian sudah di ambang pintu" Apa dia enggak bakal malu kalau adiknya lulus, dia sendiri enggak"" ayahnya mengaum marah.
"Alaa, Papi ketakutan! Dia pasti lulus, deh! Dijamin!" Ita berkicau membela Miki, sebab dia tahu abangnya sedang sibuk menyelesaikan lukisan dirinya dengan Nina, dan itu tentunya lebih penting dari ujian.
"Dijamin! Siapa yang jamin"" hardik ayahnya. "Kau juga mesti lebih rajin, tahu! Aku dengar kau kelewat sering jalan dengan pemuda itu. Awas ujianmu!"
"Ah, Papi!" Ita merayu dengan manja. "Itu kan Simon, Pap. Kami bukan jalan-jalan, tapi belajar sama-sama buat ujian. Dia sekelas sama Miki. Masa orang hidup harus belajar melulu, enggak boleh pacaran" Itu namanya tirani, Pap. Masa Papi mau jadi tiran" Mendingan saya mati aja deh kalau begitu!"
"Kaudengar itu" Kaudengar"!" teriak ayahnya pada Ibu yang sedang membaca koran. Wanita itu kelihatan masih cantik walau sudah hampir empat puluh. Rambutnya dipotong pendek dan diberi ombak besar-besar. Tingginya sedang, tubuhnya tid
ak gemuk tapi padat. Kulitnya putih dan halus. Wajahnya tirus dengan mata hitam yang tajam serta bibir tipis yang kebanyakan selalu terkunci.
Berlainan dengan istrinya, Pak Rodan tinggi kurus, berkulit gelap dengan rambut lurus dan kumis melintang. Matanya sebenarnya besar, tapi saking kebiasaan memicing di balik kacamata, akhirnya kelihatan menyipit seperti celah kulit kerang. Ita mewarisi bakar ayahnya yang tinggi dan kurus, tapi untung kulitnya dari Ibu, putih halus kecuali di wajah yang seringkah berhiaskan jerawat
"Ya, aku dengar," sahut ibunya kalem tanpa mengangkat kepala. "Kalau dia bisa tetap sukses dalam pelajaran, apa salahnya belajar pacaran" Itu kan penting juga buat perkembangan jiwanya""
"Aduh! Kau sama gilanya!" tuding ayahnya geram.
"Biar amat! Yang penting, aku enggak mau menyiksa anak-anakku!"
Ita diam-diam menyelinap keluar dari medan pertempuran dan menghambur ke belakang.
Miki sedang asyik dengan lukisannya, tapi pikirannya sebentar-sebentar melayang pergi meninggalkan kanvas. Di pelupuk matanya terbayang kembali wajah Nina. Seraut wajah yang menarik dengan mata bening namun tajam. Nina kelihatan riang, tapi Miki dapat menangkap secercah selaput melankolis menutupi jiwa gadis itu. Entah apa sebabnya. Dia bermimpi suatu ketika akan berkesempatan untuk betul-betul melukis dara rupawan itu. Bukan sekadar sketsa singkat yang tergesa-gesa seperti sekarang.
Dia akan menarik keluar semua perasaan gadis itu dan menghiburnya kalau bisa. Terkadang sangat mengherankan bagaimana kepribadian seseorang dapat kelihatan jelas di atas sebuah lukisan. Seseorang yang sebenarnya kasar, tapi yang seharihari memaksa dirinya untuk bersikap lembut, takkan kelihatan lembut di atas kanvas. Dan gadis itu. Ya, gadis itu. Dia sebenarnya sama sekali tidak riang. Hatinya penuh kesedihan. Barangkali dia menangis setiap saat dalam dirinya. Kenapa" Kisah cinta yang putus" Atau perceraian orangtua" Atau... Pintu terbanting dengan keras dan sebelum Miki sempat menoleh, adiknya sudah terdengar suaranya.
"Mik, kau dicari Papi. Dimarahi, lho. Melukis terus sih!" Ita menggoda, padahal dia sendiri sangat ingin abangnya terus-terusan melukis supaya lukisan itu dapat dipamerkannya secepat mungkin di kelas. Dia berani bilang begitu sebab dia tahu, Miki sendiri ngebet ingin menyelesaikannya secepatnya. Apakah cowok yang satu ini jatuh hati pada calon Mere" pikirnya.
"Lantas, kau enggak bela aku"" tegurnya samif terus melukis.
"Tentu dong! Masa kambrat (teman, dari kamerad) sendiri enggak dibela"! Mami juga membela kita!"
"Oooh"!" Miki menoleh. Kalau Ibu membela, pasti adiknya yang dibela, bukan dia. Sebab dirinya bukan kesayangan ibu tiri. Ita tentu saja tidak tahu. Tapi Miki tahu bahwa ibunya meninggal waktu dia dilahirkan. Bahwa ayahnya segera mengawini sekretarisnya. Katanya, supaya bayinya ada yang merawat Tapi juga sebab Ita sudah dalam perjalanan. Biarpun bukan adik kandung, Miki menyayangi adiknya. Ibu tirinya juga tidak pernah menunjukkan perbedaan dalam perlakuannya terhadap mereka. Namun Miki toh tahu dan merasa, ibunya (baginya wanita itu satu-satunya ibu yang dikenalnya) tidak mencintai dia sebesar cintanya pada Ita.
"Maksudmu, Mami membela kamu"!" dia menegaskan.
"Iya," Ita mengangguk dan mendekat, memperhatikan karya abangnya.
"Urusan apa sih""
"Biasa, urusan apa lagi selain soal cowok. Diktator mana bisa lihat anak senang! Udahlah, stop aja deh lukisannya!" Ita merajuk.
"Eh, Non, perintah, nih" Aku stop kapan aku mau! Ilham kan susah dicari, kalau lagi datang aku mana bisa stop. Suruh deh Papi ke sini kalau berani. Aku mau dengar dia menyuruh aku belajar!"
Itu memang benar. Papi enggak mau (atau enggak berani") memerintah Miki, sebab dia anak emasnya. Ita terkadang jadi iri. Tapi Miki tidak pernah memberinya alasan untuk iri, sebab dia terus-menerus mencari gara-gara supaya Ayah marah, sehingga cinta yang melimpah ruah itu tidak mendapat kesempatan untuk diperlihatkan. Barangkali Miki merasa dendam pada ayahnya. Ketiga orang bibinya (saudara-saudara ibu kandungnya) menceritakan betapa menderitanya Ibu ketika tah
u permainan ayahnya dengan sekretarisnya. Mungkin karena kesal, Ibu tidak dapat mengatasi kelahirannya dan meninggal. Semua itu sesekali terpikir oleh Miki. Mungkin Ayah merasa bersalah atas kematian Ibu, sehingga tidak berani memaksanya begini-begitu" Entahlah. Yang jelas, dia sendiri tak mau mengakui bahwa dia membenci ayahnya.
Ita sangat gembira melihat lukisan yang hampir selesai itu. Bukan main bagusnya! Sudah bisa dibayangkannya, Ani bakal jadi setan penasaran! Juga anak-anak lain. Tapi mereka akan disuruhnya antri sampai habis ujian. Hei, betapa sedapnya mendengar jerit-pekik serta rengekan anak-anak! Apakah Ani akan menangis, mohon-mohon" Nah, ya, seandainya kau mau mencium ujung sepatuku, An! Hiii....
Ita bangga sekali pada kakaknya. Diam-diam diputuskannya bahwa Miki enggak boleh jatuh cinta pada gadis yang tidak disukainya!
"Mik, kau ada main sama Magda, ya"! Aku benci dia! Selalu gonta-ganti pacar. Selalu iri melihat kelebihan orang lain. Heran, gimana sih kau bisa dijadikannya barang mainan!"
"Kenapa kau punya kesimpulan begitu" Kaupikir, aku tertarik sama si genit itu" Bah! Etalase berjalan kayak gitu sih bukan seleraku. Biarpun dia tinggal satu-satunya cewek di kofong langit, rasanya aku masih akan pikir-pikir dulu beberapa kali."
"Dan setelah pikir-pikir beberapa kali itu, kamu akhirnya akan mau juga sama dia, bukan" Seperti sekarang" Nonton voli berdua. Ngapal berdua. Heran, apa sih yang diapalin dua-duaan" Rumus Kimia atau sajak cinta, sih" Rupanya kau sudah pikir-pikir, ya""
"Eh, apa salahnya berteman biasa" Kalau dia mau menganggap aku pacarnya, itu sih hak asasinya, mek! Asal tahu aje, aku enggak pernah bikin deklamasi cinta di depannya. Lagian, kita belon pernah belajar duaan wae, Paling dikit berempat. Anak-anak senang ke rumahnya.
Soalnya..." Miki melirik adiknya sambil tersenyum, "...di sana kita selalu disediain makanan enak-enak. Di sini ada apa" Mami pergi terus. Dapur segede lapangan bola isinya cuma bawang sama sagu! Koki dua, bisanya cuma goreng perkedel sama nyemur!"
Ita senang bercampur lega mendengar penjelasan Miki. Biar si Magda kunyuk itu tahu rasa! pikirnya hura-hura dalam hati. Dianggapnya dirinya yang paling cantik barangkali. Taruhlah benar! Tapi cowok yang satu ini kan belum tentu mau"!
"It, di mana sih rumah Nina""
"Di Kebon Kacang, tapi aku enggak tahu gang berapa. Katanya enggak ada nomor, cuma RT dan RW."
Mmm, jadi anak itu tidak kaya. Apakah itu yang menyedihkan hatinya"
"Belum apa-apa kok udah nanyain rumah"" goda Ita. "Pasti ada apa-apanya, nih!"
"Enggak ada apa-apa. Aku cuma pingin tahu keadaan keluarganya. Kok anak itu kelihatan murung terus, kenapa sih""
"Siapa murung" Nina" Astaga! Dia kan pelawak kita!"
Miki diam saja. Percuma. Orang lain takkan mengerti apa yang dilihatnya. Cewek itu pasti sedang sedih! Dan itu
memang betul. Tapi Miki takkan pernah bisa menduga apa sebabnya.
* * * Nina sedih karena cita-citanya untuk masuk biara kelihatannya takkan mudah terkabul. Ayahnya pasti akan menentang. Nina kehilangan jalan menuju ke hatinya. Laki-laki itu sudah terlalu banyak berubah dalam tiga tahun terakhir. Satu-satunya harapan adalah Ibu. Tapi Ibu begitu lemah fisiknya sekarang. Mungkin dia tak punya semangat lagi untuk menentang Ayah.
Berhari-hari Nina memikirkan masalah ini, sehingga pelajarannya agak terbengkalai. Ketika dia mendapat angka lima untuk latihan ujian Goniometri (Ilmu Ukur Sudut), barulah kesadarannya pulih dan dia mulai giat lagi belajar. Tapi tidak sedetik pun dilupakannya cita-citanya.
Suatu kali ditulisinya Ogu yang kini bernama Albertus. Pastor Albertus menyarankan agar dia membicarakan niatnya dengan bapak pengakuan dan dengan ibunya. Nina menuruti nasihat Bapak pengakuannya menganjurkan agar dia membicarakan masalah itu dengan kedua orang tuanya. Ini sulit Nina tak berani mendekati ayahnya. Dia sekarang cepat naik darah. Tinggal Ibu.
Setiap pagi dia bangun dengan niat teguh untuk membicarakannya dengan ibunya, tapi sepulang dari sekolah niat itu selalu berantakan. Keberaniannya hilang. Melihat ibunya terbaring begitu pasrah, be
gitu memerlukan bantuannya, hatinya menciut. Dia tidak tega menelantarkan ibunya dengan masuk biara. Terkadang, bila keberanian itu berubah jadi tekad, ibunya yang tidak siap mendengarkan. Dia tidur.
Tapi seminggu sebelum ujian, Nina memaksa dirinya. Dengan mengeraskan hati dia masuk ke kamar ibunya ketika Marisa dan Kris sedang pergi. Mereka bebas bercakap-cakap tanpa didengar orang ketiga. Nina menumpahkan seluruh isi hatinya. Di luar dugaannya, Ibu mengerti dan tidak menentang. Nina amat gembira, tapi cuma sesaat.
"Jadi setelah lulus SMA, kau mau masuk novisiat"" tanya ibunya dengan suara halus. Dielusnya kepala Nina yang tergolek dekat dadanya. Nina waktu itu berlutut di pinggir ranjang "Nina, anakku, seharusnya Mama bangga dan tidak menghalangi engkau. Tapi apa boleh buat keadaan kita begini jelek. Papa sudah enggak tentu penghasilannya. Dan adik-adikmu begitu rajin. Mereka pintar-pintar. Sayang sekali kalau mereka enggak bisa meneruskan sekolah sebab tak ada biaya. Mama sendiri kepingin melihatmu jadi sarjana. Tapi sebab itu bukan cita-citamu, ya Mama takkan memaksa. Cuma..." Ibunya memandangnya dengan senyum hangat. Lengan kirinya yang lumpuh seakan mengejang ingin naik dari seprei untuk mengelusnya, tapi tidak mampu. Nina meraih tangan yang mengurus itu (dibandingkan sebelah kanan yang normal) dan mendekapnya ke dada.
"Nin, dapatkah kautangguhkan niatmu beberapa tahun lagi""
"Maksud Mama""
"Menunggu Kris tamat SMA dulu. Engkau terpaksa harus bekerja untuk membantu Papa, Nin. Apa kau keberatan" Setelah Kris lulus dua tahun lagi, dia bisa bekerja menggantikanmu, dan kau bebas. Cita-citamu bisa kaulaksanakan. Sedangkan sekarang ini, tak mungkin mendekati Papa. Kita harap saja dalam dua tahun dia akan melunak."
"Oh, Mam! Terima kasih!" bisik Nina memeluk ibunya dengan air mata berlinang. Bagaimanapun, itu satu-satunya jalan. Dia tak mungkin mengharap lebih dari itu. Betapapun kecewa hatinya, dia tahu tak ada jalan lain. Jauh di dalam lubuk hatinya, Nina sudah lama tahu, dia harus bekerja untuk membantu keluarganya.
Bab 13 DUA hari sebelum pengumuman hasil ujian, Nina mengunjungi Ita untuk mendapat kepastian kapan tanggalnya. Selama libur, Nina sibuk mengambil kursus mengetik sehingga tidak sempat menemui siapa pun. Di samping itu, rumahnya memang tidak diketahui anak-anak. Terlalu sulit dicari, sebab tak ada nomornya, cuma RT dan RW. Juga tak ada jalan di depan rumahnya, kecuali tanah setengah meter yang berliku-liku dan selalu becek di musim hujan.
Tetangga mereka pun semuanya orang-orang sederhana tapi baik, siap menolong. Di sebelah kiri tinggal sopir truk, di sebelah kanan, tukang batu. Tidak ada kemewahan di sekitar mereka. Yang memiliki mesin jahit, misalnya, cuma tiga keluarga, di antaranya keluarga Nina. Ibunya berkeras tak mau menjual benda itu dan mengangkutnya ke Jakarta. Pada waktu-waktu tertentu benda itu dipinjam orang, sebab sulit menolak tetangga yang biasa baik terhadap kita. Sebenarnya ibu Nina tidak rela melihat harta pusakanya digotong-gotong ke rumah orang lain. Karena itu akhirnya diputuskan, si peminjam harus menggunakannya di rumah Nina. Agar tidak mengganggu yang sakit, mereka cuma boleh datang di luar jam tidur.
Mereka sekampung itu serba miskin. Nina tahu keluarganya perlu uang. Tapi hatinya masih bisa gembira sedikit melihat kemajuan Ibu. Kata dokter, bila dia dirawat dan diobati dengan betul, ada harapan dia akan dapat berjalan lagi.
Nina tiba di depan rumah Ita. Ini kunjungannya yang ketiga kali. Pintu gerbang tertutup rapat dan bel tidak berbunyi, memang ditempeli kertas dengan tulisan rusak. Nina semula mengira itu cuma untuk mencegah anakanak iseng. Ternyata betul rusak. Dipukulkannya tinjunya beberapa kali. Pintu segera dibuka oleh Pak Kebun.
"Cari siapa, Non"" sapanya hormat.
"Non Ita ada""
Seketika laki-laki itu menjadi pucat. Matanya membelalak sehingga cakar ayam di sudutsudut matanya nyaris menjadi licin. Buku-buku jarinya yang menggenggam pintu besi tampak memutih. Bibirnya menggeletar. "Apa... apa... Non... belum tahu"" bisiknya parau dengan mata berlinang.
"Tahu apa"" Nina keheranan.
"Non Ita... Kecelakaan...."
"Oh" Di mana" Kapan""
"Kemarin sore, Non. Boncengan motor dengan temannya yang sering kemari itu. Motornya tabrakan sama mobil."
"Aduh! Apanya yang luka""
"Enggak tahu, Non," sahutnya menunduk.
"Di mana dia sekarang""
"RSCM, Non." Wah, dia tak punya uang cukup untuk ke sana. Sedang dia berpikir-pikir mencari jalan keluar, tibatiba muncul mobil sedan dari samping rumah.
"Non, ikut mobil saja, Non," saran Pak Kebun.
Nina melihat penumpangnya adalah para pembantu. Astaga! Rupanya Ita menjadi kesayangan seisi rumah, pikirnya hampir-hampir tersenyum. Baru saja jatuh dari motor, sudah ditengok oleh mereka semua!
Pak Kebun menyuruh mobil berhenti dan minta Mbak Koki pindah dari samping sopir. Nina dipersilakan masuk. Sepanjang jalan tak seorang pun yang bersuara. Nina agak heran, sebab biasanya para pembantu Ita semuanya tukang ngoceh dan bercanda. Dia ingin menanyakan bagaimana keadaan Ita, namun tidak jadi. Dipikir-pikir, mana mungkin mereka bisa lebih tahu dari Pak Kebun" Tapi kenapa sih mereka begitu alim" Biasanya kan suka berseloroh dengan sopir. Apa kehadirannya telah membuat mereka jadi kikuk"
Ketika mobil tidak membelok ke halaman rumah sakit, Nina sudah membuka mulut hendak bertanya, tapi entah kenapa, tidak jadi. Kendaraan terus melaju dengan tenang, membelok ke kiri ke Salemba Raya. Ketika mobil dibelokkan di antara gedung Kedokteran dan Hukum, Nina rasanya bagaikan disambar petir. Denyut jantungnya langsung bertambah duatiga kali lipat, begitu cepatnya. Lehernya, kepalanya, semua . terasa berdenyut. Tidak! pikirnya. Tidak mungkin! Ini main-main. Pak Sopir tentunya sedang membuat lelucon untuk menakut-nakuti para pembantu. Tidak mungkin! Tidak mungkiiin!
Mobil berhenti. Nina menjadi lemas. Ketika pintu dibuka orang, dia keluar. Ani berdiri memegangi pintu mobil, menatapnya tanpa kata. Di sebelahnya berdiri Ana, menunduk. Lalu dalam kekaburan air mata, dikenalinya juga Lili, Mimi, Ketua Kelas, Loli, Nadia, bahkan Magda.
Nina tidak begitu ingat lagi apa yang terjadi selanjutnya. Tahu-tahu dia sudah masuk ke dalam ruangan yang tidak menyenangkan. Entah apanya yang tidak menyenangkan, dia tak bisa mengatakannya. Mungkin suasananya atau baunya. Bau kemenyan dan bebungaan yang bercampur dengan bau amis yang rupanya datang dari kamar jenazah di bagian belakang.
Teman-temannya menuntunnya ke depan. Nina mendengar beberapa di antara mereka terisak-isak. Nina menengok ke dalam keranda. Bibirnya menggeletar seakan menahan senyum. Tapi dia tahu, dia menangis, meskipun tanpa suara.
Aku mempunyai banyak teman, tapi sedikit sekali sahabat, katanya dalam hati. Engkaulah satu di antaranya, Ita. Selama tiga tahun kita menanggung susah dan senang bersama. Tapi kini engkau pergi begitu saja meninggalkan aku. Meninggalkan kita semua. Ita, kau kejam! Kau tidak setia. Kau tidak memikirkan kita.
Tiba-tiba terdengar sedu sedan yang keras sampingnya. Seorang memeluknya dari be kang dan mengalungi lehernya dengan ked lengannya. Seseorang yang lain menarik ora itu sambil membujuk. "Sudahlah, Ani. Sudah. Nanti Nina jatuh kaupeluk begitu," didengarnya suara Ibu Gerak Badan. Beberapa anak terdengar pula tersedu sedan seperti Ani. Nina tetap menangis tanpa bunyi, air matanya saja yang turun tak sudah-sudah. Dia berdiri diam di samping keranda, mengawasi Ita dengan bahu naik turun. Kemudian seseorang-mungkin salah seorang guru-
membimbingnya ke pinggir dan menyuruhnya duduk. Dilihatnya di barisan seberang banyak teman-teman Miki, tapi Miki sendiri tidak kelihatan.
Mere Rosa datang, berdoa di depan keranda, lalu menghampiri kedua orangtua Ita. Dijabatnya tangan ayah Ita, dipeluknya ibunya yang kelihatan dengan susah payah menahan luapan air matanya. Kemudian Mere duduk menemani mereka.
Ita terbaring sendirian di tengah ruangan, di apit oleh dua batang lilin putih. Nina menatap ukiran kerandanya yang amat indah. Dia dapat membayangkannya dengan jelas. Gaun panjang merah jambu. Sepatu satin putih-pernah dipakainya sekali waktu pesta-dengan kaus putih. Sarung tangan putih di an
tara jarijarinya. Tiara dari mutiara menghias kepalanya. Bibir mungil terpoles lipstik merah muda. Kelopak mata terpejam rapat, bersemu liijau kebirubiruan. Bulu mata lentik, hitam dan kaku, terpoles maskara. (Ita memang terkenal dengan bulu matanya yang indah, yang sering menimbulkan iri hati. Alisnya juga indah.) Pipinya yang licin tidak kelihatan pucat dilapisi bedak dan rouge merah jambu.
Engkau takkan pernah ketawa lagi, pikir Nina, lalu tahu-tahu jantungnya terasa nyeri. Temanku yang periang, kau takkan terbahak-bahak lagi. Nina menekan dadanya.
"Kenapa"" tanya Lili yang duduk di sebelahnya. Tapi nyeri itu sudah lenyap. "Enggak apa-apa," sahutnya, berusaha menahan air mata seperti yang dilakukan Ani serta anak-anak lain.
Tak seorang pun yang menyebut-nyebut soal pengumuman ujian. Bahkan mereka yang merasa takkan lulus pun seakan lupa pada kemungkinan nasib jelek itu.
"Gimana sebenarnya kecelakaan itu terjadi"" tanya Nina pada Ani yang duduk di sebelah kanannya.
"Aku juga enggak tahu. Mereka bilang, Ita boncengan Vespa dengan Simon. Dekat Stasiun Gambir ditabrak truk dari belakang. Ita terpental, kepalanya menghantam trotoar. Dia langsung pingsan dan meninggal tiga jam kemudian, jam dua puluh satu lewat dua belas menit."
"Dan Simon""
"Dia cuma jatuh saja. Kepalanya kena aspal Masih pingsan sampai sekarang."
"Gegar otak""
"Mungkin." Kemudian hari Nina mendengar kelanjutan nasib Simon dari Miki. Sebulan setelah kecelakaan itu Simon diperbolehkan pulang. Jasmaninya sudah sehat. Tapi rohaninya tetap sakit. Setiap hari dia menanyakan di mana Ita, bagaimana keadaannya. Semua orang menjawab bahwa Ita baik-baik saja, dan mengira dia percaya. Ita sedang belajar di luar negeri, sibuk, tak sempat menulis surat.
Tapi ternyata dia punya firasat tajam dan mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Dalam surat perpisahan pada orang tuanya dia menulis bahwa dia tahu, Ita sudah tiada. Dia ingin menebus dosa, sebab merasa amat berdosa tela membunuh sebuah kehidupan yang masih begitu muda serta penuh semangat. Tapi dia juga tak bisa hidup tanpa Ita yang amat dicintainya Kedua hal itu mendorongnya untuk memutuskan hidupnya sendiri. Dia menyusul Ita dengan kedua pergelangan terputus.
Bab 14 MALAM itu udara cerah dan sejuk. Bulan tidak penuh namun sudah mulai terang cahayanya. Dalam satu dua hari lagi dia pasti akan purnama. Halo raksasa menyelimutinya, merah keunguan. Bagian luarnya dikitari lagi oleh halo kehijauan.
Bunga-bunga melati di luar studionya menyebarkan harum yang tercium oleh Miki dari dalam. Dia tengah bersandar pada jendela, tidak tahu harus melakukan kerja apa. Pada waktu-waktu seperti itu, ketika dia teringat akan adiknya, dia tak mampu mengerjakan apa pun kecuali melamun serta menghidupkan kembali semua kenangan manis mereka. Bagaimanapun keduanya cuma berbeda delapan bulan dan selama hidupnya, Ita adalah seorang adik yang manis dan lembut. Dia selalu tahu kapan Miki perlu dihibur dan kapan dia perlu ditinggalkan. Miki merasa amat kehilangan serta kesepian. Dengan kedua orangtuanya dia tak pernah akrab. Dan sejak kepergian Ita, ayah ibunya terpisah makin jauh satu sama lain. Seperti malam itu. Satu di antara sekian banyak malam.
Ibu tirinya sudah seminggu pulang ke rumah orang tuanya di Jawa Tengah. Ayahnya tidak mempedulikan dirinya. Mereka bertemu di meja makan tiga kali sehari. Sudah. Itu saja.
Malam tadi mereka bertiga dengan seorang tamu. Tanpa diperkenalkan pun Miki sudah tahu siapa wanita itu. Dia masih belum lupa sebuah gambar dalam majalah pria di mana wanita itu berpose sedemikian hingga pakaian dalamnya kelihatan. Entah apa untungnya dipotret seperti barang picisan begitu. Barangkali guna menarik studio rekaman untuk mengundangnya bikin album" Atau produser tanpa selera supaya mau mengorbitkannya jadi bintang" Atau laki-laki tua dan kaya supaya mau... hm... apakah ayahnya salah satu ikan dalam jalanya"
Miki menghela napas sambil mengertakkan gigi. Ditekannya puntung rokoknya di kusen jendela lalu dilemparnya ke luar. Sambil memasukkan kedua tangan dalam saku celana dia berbalik dan mengawasi
isi studionya. Karya-karyanya berserakan di mana-mana. Banyak yang setengah jadi. Sejak malapetaka itu dia hampir-hampir tak dapat melukis lagi. Terkadang dia mencoba juga tapi tak pernah bisa selesai. Seakan bakat dan kemauannya ikut terkubur bersama adiknya. Mungkin untuk selamanya aku takkan pernah melukis lagi, keluhnya.
Matanya tertumbuk pada sebuah lukisan yang tergantung di dinding. Ita dan temannya, Nina. Calon Mere" Seorang calon yang amat manis dan menarik. Melankolis serta penuh rahasia. Tanpa terasa Miki tersenyum sendiri ketika terkenang akan siang itu. Berapa bulan yang lalukah itu" Delapan" Lebih" Pasti lebih, sebab rasanya sudah seabad. Entah di mana anak itu kini. Siang penuh kenangan, Mereka makan bertiga. Ita berlagak mau mengajaknya bikin pe-er. Padahal sebenarnya Miki yang ingin Nina diundang agar bisa dilukisnya. Ah, Ita memang adik yang selalu bersedia membantu kakaknya. Dia berhasil membujuk Nina agar mau berpose... Di mana anak itu sekarang" Menyesal sekali, kenapa dia dulu tidak menanyakan alamatnya. Yang diingatnya cuma Kebon Kacang, tanpa nomor. Kebon Kacang gang berapa"
Ketika Ita meninggal, anak itu datang melawat dan mengantar ke kubur. Seharusnya dia mendekati gadis itu serta mengantarnya pulang. Tapi waktu itu dia panik serta bingung, sedih sampai rasanya mau gila. Kesempatan baik itu disia-siakannya. Gadis yang dicintainya dibiarkannya berlalu, pulang dengan teman-temannya yang lain. Kesempatan satu-satunya....
Dia sudah berusaha mencari info ke sana kemari baik pada teman-temannya sendiri maupun pada teman-teman adiknya. Namun tak seorang pun yang tahu di mana Nina berada.
Mungkinkah dia sudah masuk biara" Biara mana" Haruskah dia mendobrak semua pintu biara untuk mencarinya" Lalu... apakah dia berhak memintanya keluar"
Miki berjalan mondar-mandir. Dia berhenti di depan lukisan itu. Pandangannya menyapu wajah Nina dengan lembut Memintamu keluar" tanyanya dalam hati. Ya, gumamnya. Itu yang akan kulakukan. Memintamu keluar! Menculikmu kalau perlu! Oh, keluhnya menjatuhkan dirinya ke kursi. Tuhan, Engkau takkan merampas gadis yang saya cintai, bukan" Engkau tidak berniat menyembunyikan bunga semanis itu di antara tembok-tembok tebal hanya untuk pandangan mataMu sendiri, bukan" Oh kalau saja saya tahu apa yang harus saya lakukan!
Miki terlena sejenak. Dia terjaga oleh suara gelak ketawa yang datang dari beranda belakang. Sayup-sayup didengarnya suara orang berkelakar. Perempuan itu! Bah! Yang dicarinya cuma uang. Laki-laki tua yang beruang.
Angin dingin tiba-tiba menerpa wajahnya. Miki menoleh. Jendela masih terbuka. Dilihatnya arloji. Sudah jam dua belas lewat Dan Ayah masih juga duduk-duduk di beranda. Besok pagi dia akan uringuringan, tidak jadi rapat ini, batal ke pertemuan itu. Huh! Dia berdiri menutup jendela. NINA. Mendadak saja nama itu berkumandang dalam hatinya. Miki menggeleng. Tidak mungkin. Tidak mungkin mencintainya. Nina pasti sudah masuk biara. Tapi, kenapa" Bila itu memang tak bisa dihindarkan, setidak-tidaknya dia ingin tahu kenapa. Kenapa kau masuk biara, Nina" Kenapa kaututup hatimu untuk seorang manusia"
Miki menghela napas. Dia kesal sebab tak dapat melenyapkan pikiran yang menghantuinya itu dari benaknya. Dia menatap kembali lukisan di hadapannya. Seakan dilihatnya gadis itu tersenyum. Tapi dia tahu, itu senyum ciptaannya sendiri, dalam benaknya, bukan dari lukisan.
Miki ingin tidur. Tapi bila dia masuk ke rumah, dia terpaksa harus melewati beranda itu. Ah, dia ogah menemui mereka. Akhirnya diputuskannya untuk tidur di studio saja. Terkadang itu dilakukannya bila harus bekerja hingga larut malam. Yaitu ketika adiknya masih ada dan dia masih dapat melukis dengan penuh gairah.
Diambilnya selimut dari dalam laci meja lalu dipasangnya obat nyamuk dibawah dipan. Dalam kegelapan yang tenang, seakan dia kembali lagi ke masa silam dan Ita muncul dengan lincah. Semua kejadian yang mengesankan bagi mereka seolah terulang di depan mata. Ita yang manja, riang, dan baik hati. Gadis kecil yang takut gelap. Ita selalu menyelinap ke dalam kamarnya sebab tak berani tidur sen
dirian. Hal itu berlangsung sampai dia lulus Sekolah Dasar. Kemudian Ibu memaksanya tidur sendiri. Tapi terkadang dia masih minta ditemani oleh pembantu.
Sekarang kau sendirian. Apakah kau takut, Ita" Adikku yang tercinta! Sendirian. Semoga di sana terang benderang. Semoga kau berjumpa lagi dengan Simon. Kalau dipikir-pikir, It, aku sebenarnya menyukai Simon. Cuma dia satu-
satunya yang berani bersaing denganku, meskipun Bapak Stereo sudah memproklamirkan aku sebagai juara kelas. It, kau ambisius, tapi juga enggak iri melihat keberhasilan orang lain. Simon. Semoga kalian ketemu lagi. Lalu, temanmu yang lain. Yang rambutnya panjang itu. Yang mencetak gol-gol pada pertandingan tahunan dengan Theresia. Yang kalian sebut-sebut calon Mere. Di mana dia sekarang" Di mana aku dapat menjumpainya kembali" Ita seakan terharu melihat kerinduannya pada sahabatnya. Dia mengatakan sesuatu yang tidak jelas. Ketika Miki ingin menegaskan, dia sudah berlalu. Kemudian dia datang lagi, tapi Miki sudah melupakan pertanyaannya tadi.
Mereka asyik bermain seperti masa kecil. Mereka juga sibuk membuat soal-soal dan Ita kerjanya menyontek terus. Suatu kali, Miki menggodanya dengan membuat jawab yang salah. Anak manis itu menyalinnya dengan rapi. Ita sama sekali tidak curiga bahwa dia kena tipu, sebab dia memang tidak mempelajari soal tersebut. Ngebut nyontek membabi buta. Setelah adiknya selesai menyalin, barulah Miki mengatakan bahwa soal itu salah. Bukan main marahnya Ita dan bukan main senangnya Miki. Dia tergelak-gelak sampai keluar air mata. Tapi ketika hendak ditangkapnya gadis itu, betapa kecewanya dia sebab adiknya tidak ada.
Sejenak dia tertegun. Rupanya dia telah bermimpi. Pelan-pelan air matanya mengalir turun membasahi dipan. Terang tanah tampak muncul dari sela-sela dinding papan studio. Dihapusnya matanya lalu berdiri. Arloji menunjukkan jam lima kurang. Miki mengenakan kembali Tshirt birunya yang dilepasnya waktu tidur. Kemudian dipakainya sepatu olahraga. Dimatikannya obat nyamuk yang masih tersisa sedikit Lalu diajaknya anjingnya keluar.
Miki biasa berlari-lari pagi barang sejam-dua jam. Sejak kematian adiknya, hampir tiap hari dia melakukannya. Untuk menghilangkan kekusutan pikiran dan menenteramkan hatinya yang selalu gundah mengenang adik tersayang.
Sepulang dari lari-lari dia langsung mandi. Lalu sarapan, kemudian berangkat kuliah. Miki terdaftar di dua fakultas. Sebagai donor yang amat dermawan, ayahnya mendapat jatah sebuah kursi pada sebuah Kedokteran swasta. "Kenapa bukan Papa saja yang kuliah"! Bangku itu kan diberikan buat Papa!" serunya kesal ketika dipaksa masuk FK. Dia lebih suka jurusan Pertambangan, tapi ayahnya tak mau mendengar sedikit pun apa kehendaknya. "Nanti kau kena gas alam!" teriak ayahnya. "Dan yang pulang cuma nama melulu!" Mendengar itu, Miki terdiam. Semangatnya untuk membantah jadi padam. Dia ingat adiknya. Bagaimanapun, kini tinggal dia satu-satunya anak ayahnya. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya, oh! Tak dapat ditimpakannya kesedihan lagi ke atas bahu ayahnya. Dia tak sampai hati membiarkannya menderita, meskipun ayahnya sendiri telah menyebabkan kematian ibu kandungnya.
Dia mengalah dan masuk Kedokteran. Tapi diam-diam dia juga mendaftar di Akademi Pertamanan dan diterima. Hampir tiap hari dia pergi kuliah, tapi lebih sering ke Pertamanan daripada ke FK. Dia kesal kuliah di Kedokteran swasta. Duduk berjam-jam menunggu kuliah yang cuma satu dua jam. Itu pun kalau dosennya tidak berhalangan, sebab sang dosen harus membagi waktu mengajar ke tempat lain. Belum lagi jarak waktu antara dua kuliah yang sering tidak menyenangkan. Kuliah pertama jam tujuh pagi, sebab jam delapan dosennya harus mengajar di tempat lain. Kuliah berikutnya jam satu siang. Mau pulang, tanggung. Mau nunggu, buang waktu. Jadi lebih praktis, bolos saja! Atau, pergi kuliah ke Pertamanan.
Kemudian, ayahnya rupanya ingin anaknya mewarisi semua usahanya. Disuruhnya Miki masuk Ekonomi Extension. Jadi Miki akhirnya kuliah di tiga tempat.
Pagi itu ada kuliah Kimia Organik. Tapi Miki tahu, dia takkan pergi mendengarkan s
i Kacamata, sebab ayahnya pasti akan menyuruhnya mengurus sesuatu di kantor. Itu biasa kalau Ayah kesiangan atau "berhalangan" ngantor.
Tubuhnya yang tinggi menguntungkannya. Pegawai-pegawai Ayah-walau yang tua-tua sekalipun-tidak lagi memperhatikan usianya. Mereka menyeganinya karena sikapnya seperti seorang manajer yang serius menanggapi tugasnya. Mungkin dia berbakat untuk menjadi manajer yang baik.
"Miki," kata ayahnya di meja makan, "pergilah ke kantor. Sebentar Pak Isman akan datang, sekitar jam sembilan. Pelajari dulu catatan transaksi sebelum dia datang. Minta pada Husen. Bila kredit dari pemerintah bisa kita peroleh dalam tiga bulan ini, maka semuanya akur. Asese."
"Oke," sahutnya tanpa bertanya sedikit pun Dia tahu, ayahnya tidak suka ditanya-tanya bila sedang mabuk-mabukan seperti itu.
"Jam berapa Papa akan ke kantor"" tukasnya sekadar memperlihatkan perhatian.
"Hmm... nanti aku telepon," sahut ayahnya melirik wanita di sampingnya, Miki meletakkan gelasnya, dan berlalu tanpa menoleh pada siapa pun.
"Kenapa dia enggak menyukai aku"" wanita itu merajuk. "Ah, dia masih bocah!"
* * * Miki duduk di atas kursi ayahnya. Dilipatnya tungkainya. Diambilnya rokok dari dalam kotak di atas meja. Ketika dia tengah menyulutnya, Husen muncul melapor. Miki menawarkan sigaret. Husen tua itu jadi tersipu diberi perhatian. Miki memang senang mengobral hadiah pada orang-orang yang bekerja untuknya. Karena itu dia disenangi mereka. Misalnya tukang-tukang batu yang membangun studionya. Atau koki yang merawat anjingnya. Atau sopir yang mengurus mobilnya.
"Aku perlu file mengenai rencana perakitan motor," katanya setelah menyalakan korek api untuk Husen. "Ya, ya, Pak. File transaksi dengan Pak Isman, kan"" "Ya, itu. Jam berapa dia akan datang"" "Jam sembilan, Pak."
"Oke. Aku mau pelajari dulu hasil pembicaraan pertama ayahku dengan Pak Isman." "Akan segera saya antarkan, Pak. Ada yang lain""
"Pesan minuman dan makanan ringan. Apakah Pak Isman akan datang sendiri" Berapa lama biasanya pembicaraan semacam itu berlangsung""
"Pak Isman biasanya datang sendiri, Pak. Kalau semuanya beres, sejam pun sudah bubar, Pak." "Baiklah. Ambilkan file itu secepatnya." "Baik, Pak."
Miki bangkit dan pergi ke jendela. Ditariknya kerei plastik yang menutupi pemandangan. Hari yang cerah, gumamnya. Hari yang menjanjikan seribu satu masalah baginya. Dia punya firasat bahwa dia akan tinggal di kantor sampai sore. Ayahnya mungkin ingin pergi ke luar kota bersama pacarnya, sebab ini hari Jumat. Besok kantor cuma setengah hari. Berarti bolos kuliah lagi.
Tiba-tiba dilihatnya jari-jarinya yang mengurus. Terlalu banyak kerja, pikirnya menghibur sendiri. Atau kebanyakan problem" Dibayangkannya ayahnya menguliahi dirinya, "Mik, kau telah bekerja keras. Carilah seorang gadis. Pergilah berlibur!"
Itukah yang diingininya" Seorang gadis untuk berlibur" Miki tersenyum sendiri. Pintu terbuka tanpa bunyi. Miki menoleh ketika mendengar orang mengucapkan selamat pagi. Sambil tersenyum diulurkannya tangannya. Dipandangnya gadis yang menjadi asisten Pak Husen. Raut muka bujur telur, mata bulat dan hitam cerah, pipi yang segar, bibir mungil merekah merah, rambut berbuntut kuda diikat pita kuning, alis hitam... mendadak senyumnya membeku di udara. Tangan gadis yang tengah terjulur itu pun lumpuh setengah jalan. Sama-sama kaget. Tapi sedetik kemudian gadis itu sudah sadar lagi dan senyum patennya merekah manis. "Ah, saya kira Pak Rodan tu... anu, ayah... anu... Bapak. Ini file yang diminta, Pak." Diulurkannya berkas map yang dibawanya. Miki merenggut map merah itu setengah marah. "Jangan panggil aku 'Pak'! Kau kan tahu namaku, bukan""
"Setiap pegawai di sini tahu nama Ba... mu," sahut Nina tanpa emosi. "Apa mereka semua memanggil nama... mu saja""
"Kita kan lain, Nin. Kita kan sahabat lama!"
Nina diam saja, siap untuk permisi. Miki menahannya dengan gerakan tangannya. Setiap hari dirindukannya, begitu lama sudah dicari-carinya, siapa sangka Nina sebenarnya ada di dekatnya! Rasanya dia kepingin ketawa dan menjerit sekaligus. Perasaannya begitu sukar dilukiskannya
. "Duduklah, Nin. Mari kita ngobrol-ngobrol sebentar."
"Nanti aku dicari Pak Husen."
"Ah, persetan dengannya!" Miki ketawa sambil menarikkan kursi bagi tamunya. Lalu dia sendiri duduk di depannya. "Sudah berapa lama kau di sini"" "Empat bulan."
"Sudah empat bulan" Dan aku belum pernah melihatmu""
"Tapi aku melihatmu setiap kali kau datang!" Nina menyunggingkan senyumnya yang khas. Miki berdebar menatapnya. Ah, betapa masih seperti dulu!
"Dan kau tak mau menyapa!" tuduhnya. "Rupanya kau gampang melupakan orang!"
Wajah Nina berubah merah di bawah tatapan Miki. Bergegas dia bangkit "Jangan pergi dulu!" cegah Miki.
"Aku banyak tugas," kilahnya lalu menghilang di balik pintu.
Miki menghela napas, tapi tersenyum lega. Jadi dia ada di sini! Dia belum masuk biara. Ah, bukan belum tapi tidak! Dia tidak masuk biara. Dan takkan masuk. Batal! Ada kesempatan, pikirnya. Entah mengapa, mendadak dia merasa betul-betul gembira untuk pertama kalinya sejak kematian Ita. Nina ada di luar. Ah. Begitu dekat, tapi nyaris tak diketahuinya. Mungkin Nina mengira dirinya sombong, sebab tak pernah menengok ke arahnya. Miki memang tidak biasa menoleh ke sana kemari. Dia selalu masuk kamar ayahnya dan pulangnya direk turun ke bawah, ke tempat parkir di basement. Dia tak pernah berharap akan menemukan seorang wanita di situ yang akan mampu memikat hatinya. Yang akan sanggup menggantikan Nina dalam pelukan mimpinya.
Oh, betapa bahagianya dia. Hidup mendadak tampak cerah. Jauh lebih menyenangkan. Mungkin itu sebabnya Simon tidak keberatan meninggalkan dunia ini, asal bisa tetap bersama Ita.
Seharian itu Miki kelihatan seakan linglung atau kena sihir. Entah berapa kali dia kedapatan tidak mendengar apa yang dikatakan orang. Cuma selama pertemuan dengan Pak Isman, dipaksanya dirinya untuk memusatkan segenap perhatian. Untunglah pertemuan itu tidak berlangsung lama. Perundingan sudah dilakukan minggu lalu antara Pak Isman dan ayahnya. Sekarang mereka tinggal menyetujui dan mengesahkan semua syarat dan pasal. Begitu Pak Isman berlalu, Miki pun sudah melupakan berapa nol yang ada di kertas. Dia bahkan tidak bisa menyebutkan berapa jumlah kredit yang akan diperoleh ayahnya. Tapi dia ingat betul bahwa gaun Nina berkancing enam, berlengan panjang dengan manset, warnanya coklat putih bergaris-garis, dan dalam garis putih terdapat bunga kecilkecil berwarna merah dengan daun-daun hijau; dalam garis coklat terdapat bunga-bunga serupa tapi warnanya kuning. Rambutnya masih dibuntut kuda, pita kuningnya serasi dengan gaunnya. Anting-antingnya masih yang dulu, ketika di SMA. Sepatunya berwarna coklat muda dengan kancing hitam seperti sepatu anak-anak, cuma bedanya, haknya lebih tinggi lima senti.
Miki ingin sekali memanggil Nina ke kamarnya untuk makan bersama. Setelah dipikir-pikir, terpaksa dibatalkannya. Dia tidak ingin gadis itu mendapat nama jelek di antara rekan-rekannya. Tapi makan sendirian terasa mengganggu selera. Nafsu makannya lenyap.
"Mau pesan bistik atau ayam goreng, Pak"" tanya Husen.
"Ah, bosan. Kopi saja segelas dan sandwich sepotong."
Ketika Husen muncul lagi mengantarkan pesanannya, Mild bertanya seakan sepintas lalu, "Sudah berapa lama pembantumu itu di sini""
Husen menatapnya sedikit tercengang. Tidakkah dia tahu bahwa pembantunya ada tiga" Dan dua di antaranya- laki-laki-sudah tahunan di sini" "Pembantu yang mana, Pak" Pembantu saya ada tiga...."
"Ehem," Miki berdehem malu. "Pembantumu yang barusan mengantarkan filenya Pak Isman."
"Oh, si Nina!" sahutnya serius padahal dalam hati ketawa geli. Lagi-lagi dia! Majikan tuanya sendiri kelihatan gandrung padanya. Cuma Nina saja yang tahan harga atau memang tak punya perhatian. Tamu-tamu seperti Pak Isman pun lapar pula matanya, tahu mereka yang mana barang bagus! Dan sekarang, rupanya majikan mudanya yang tergoda!
Imam Tanpa Bayangan 8 Pendekar Rajawali Sakti 92 Kucing Siluman Pena Wasiat 9