Bukan Impian Semusim 5
Bukan Impian Semusim Karya Marga T Bagian 5
Keduanya mengangguk. Nina membuka tas dan membayar jumlah yang disebutkan dokter. Ketika mau permisi, Nina merasa penasaran lalu menatap dokter sekali lagi. "Dokter, apa benjolan itu benar-benar bisa menghilang""
"Ya, dengan penyinaran benjolan itu akan menghilang. Kita coba saja dua minggu dulu."
Vonis, pikir Nina. Miki divonis dua minggu. Setiap hari kecuali Minggu atau hari libur, dia harus ke rumah sakit untuk disinar. Seluruh kur jumlahnya dua belas kali. Dan menunggu gilirannya sungguh memerlukan kesabaran maksimal
Diam-diam Miki kembali ke dokter esoknya Dokter Pujo tidak segan-segan menjawab semua pertanyaannya. Dengan tenang dikatakannya apa yang diderita Miki.
"Hodgkin. Saudara menderita Hodgkin!" katanya dengan nada biasa seakan dia tengah membicarakan dekorasi ruangan saja.
"Hodg... kin" Hodgkin"" Mulamula nama it tak berarti apaapa baginya. Tapi sedetik kemudian otaknya pulih dan mukanya pucat. Hodgkin! Setiap orang yang pernah duduk FK tingkat empat pasti tahu apa artinya itu. Hodgkin! Hodgkin, ya Tuhan! Hodgkin! Hodgkin. Aku kena Hodgkin, Nina. Aku kena Hodgkin. Betapa berat vonis yang Kaujatuhkan padaku. Tidak segera mematikan. Bukan sssrrrttt... beres! Tapi perlahan-lahan, namun pasti. Betapa mengerikan!
"Stadium berapa, Dok"" bisiknya parau.
"Menurut saya baru stadium dua. Masih ada hara
pan. Saudara kenal penyakit itu" Apa Saudara mahasiswa Kedokteran""
"Dulu pernah kuliah sampai tingkat empat"
"Kalau begitu, barangkali Saudara masih ingat sedikit-sedikit mengenai penyakit ini. Banyak harapan bisa terjadi remisi (penyakit tenang; lawannya kambuh). Tapi kita harus berjaga-jaga juga menghadapi kemungkinan eksasersi atau kambuh lagi. Saya rasa harapan Saudara baik sekali, sebab Saudara tidak punya keluhan seperti demam, sakit perut, pusing, gatal-gatal, dan sebagainya. Darah Saudara memang sedikit mengkhawatirkan, tapi dengan penyinaran nanti kita harapkan bisa timbul perbaikan."
Miki mengangguk. Ditatapnya dokter dengan tenang. "Berapa lama lagi, Dok""
Untuk sejenak laki-laki beruban itu kelihatan salah tingkah. Dibukanya kacamatanya, digosok-gosoknya matanya, ditekurinya kertas-kertas di atas meja, lalu dipakainya kembali kacamatanya. Dipandangnya Miki seakan menaksir-naksir, kemudian rupanya dia memutuskan untuk terus-terang. "Saudara benar-benar siap mendengar jawaban saya" Cukup tabah"" Melihat Miki mengangguk dengan bibir terkancing, dia menyambung, "Saudara tahu, ini adalah penyakit yang menahun. Pasien bisa hidup bertahun-tahun lagi, tapi bisa juga cuma tinggal beberapa bulan saja. Penyakit ini bisa berjalan cepat Tapi rasanya itu tidak akan terjadi pada Saudara. Melihat keadaan Saudara, saya kira penyakit ini sudah berlangsung lama, tapi tidak diperhatikan, sebab tidak menimbulkan keluhan-keluhan yang tadi saya katakan."
Tapi aku terkadang merasa demam, sakit pinggang, sakit perut, dan batuk-batuk, pikirnya cemas. Dia teringat kembali ketika Nina menemukan benjolan itu untuk pertama kali. Sebesar butir jagung. Sakit, enggak, Mik" tanya Nina waktu itu. Enggak, Nin, enggak sakit.
"Jadi setelah menghilang dengan penyinaran, dia masih bisa kambuh lagi, Dok""
Dokter menggangguk, mencari-cari dalam tumpukan kertas lain menarik keluar sehelai fotokopi. "Ini persentase remisinya" katanya menunjukkan tabel dan grafik.
Miki memperhatikan angka-angka itu tapi tidak bisa mengerti dengan benar, sebab pikirannya melayang ke mana-mana. "Dok," katanya mengangkat kepala dari kertas, "tolong jangan beritahu istri saya!"
Namun secara diam-diam Nina juga mencari info. Pada Radiolog yang menyinari Miki. Dokter Saksono masih muda, akhir tiga puluh, wajahnya bersih dan tenang, tubuhnya tegap tapi tidak gendut. Persis seperti Miki dulu, pikirnya, sebelum dia menjadi kurus begini. Dia tidak tahu entah berapa kilo berat suaminya menurun. Miki selalu menolak kalau disuruh naik di atas timbangan. "Kalau kau mau aku jadi sapi tambun, lebih baik kau coba-coba memasak lebih enak!" serunya ketawa.
Dokter Saksono tak mau segera terus terang. "Kalau Nyonya sudah mendengar semuanya, apa Nyonya takkan jadi khawatir berlebihan" Kalau Nyonya sampai depresi, itu tentunya tidak baik dilihat sang pasien. Salah-salah nanti dia ikut-ikutan jadi depresi, dan itu berbahaya."
"Percayalah, Dokter, saya akan tabah mendengar apa pun yang akan Dokter katakan." ujarnya mantap, walaupun jantungnya berdebar sangat kencang seakan mau menerjang keluar dari sangkarnya.
Dokter menatapnya sedetik, lalu mengangguk. "Baiklah," katanya serius. Dia berdiri, pergi ke tempat arsip, mencari-cari lalu balik ke meja dengan sebuah map hijau. Dibalik-baliknya sejenak seakan mau meyakinkan dirinya bahwa dia tidak salah mengambil file. Kemudian dilipatnya tangannya dan ditatapnya Nina yang sejak tadi mengawasi gerak-geriknya tanpa lengah.
"Nyonya, suami Anda menderita kanker kelenjar!" Suara dokter amat tenang, tapi di telinga Nina terasa bagaikan ledakan bom. Sejenak dipejamkannya matanya. Nyeri di hatinya seakan tak tertahankan. Tapi suara yang tenang itu menyadarkannya. "Apakah akan saya lanjutkan keterangan saya"" tanyanya lembut sekali.
Nina mengejap-ngejapkan matanya yang basah, lalu memaksa diri untuk menatap kembali orang di depannya. "Ya, ya, Dokter, tolong dijelaskan semua," pintanya tergagap. "Maafkan saya," sambungnya menyusut mata dengan saputangan.
Dokter mengangguk dan menunduk. "Yah! Rupanya suami Nyonya sudah agak lama menderita penyak
it ini tanpa diketahui. Mungkin dia tidak merasakan apa-apa. Itu memang sering terjadi. Ketika ditemukan secara kebetulan, tahu-tahu sudah besar!"
"Ya, dulu memang masih kecil. Dokter, kalau tidak salah, bukankah penyakit kanker itu ada stadiumnya permulaan atau lanjut" Bagaimana dengan suami saya""
"Suami Nyonya masih dalam stadium dua, menjurus ke stadium tiga."
Walaupun dia tidak mengerti apa-apa mengenai penyakit ini, tapi dari nada suara dokter, Nina menduga bahwa keadaan Miki cukup gawat. Dia ingin minta penegasan, tapi bibirnya mendadak jadi gemetar, tak bisa bersuara sedikit pun.
"Pada taraf sekarang, tak ada alasan untuk menjadi putus asa, atau hilang semangat. Nyonya selalu dapat membahagiakan suami Nyonya selama hari-harinya yang tersisa. Entah setahun lagi, atau tiga tahun atau lebih lama lagi. Bukan berapa lamanya yang penting, tapi berapa bahagianya dia. Kalau Nyonya ingin membahagiakan suami, Nyonya tak boleh bersedih. Penyakit apa pun selalu punya kemungkinan untuk sembuh. Ini bukanlah urusan matematik yang eksak. Bisa saja dia menghilang dan baru kambuh lagi setelah sepuluh tahun. Yang penting jangan sampai si sakit jadi depresi. Nyonya harus kelihatan gembira."
"Ya... ya... saya... mengerti," sahut Nina tersendat-sendat. Sukar sekali baginya menahan keluarnya air mata. Mik, hari-harimu kini mulai jadi angka-angka. Dihitung-hitung oleh para dokter. Kenapa, Mik" Kenapa engkau" Kenapa dia, Tuhan" Kenapa dia" Kenapa bukan saya" Kenapa dia yang dihukum padahal saya yang berdosa" Atau ini bukan hukuman" Oh, Tuhan, katakanlah bahwa ini bukan hukuman. Katakanlah. Katakanlah, Tuhan!
"Dokter, jangan beritahu suami saya. Jangan biarkan dia tahu!"
Dokter Saksono mengangguk dengan penuh pengertian.
Bab 27 MIKI dan Nina kini saling menyembunyikan pikiran dan perasaan masing-masing. Keduanya bersikap seakan tak ada apa-apa. Yang paling sulit adalah menyembunyikan semuanya terhadap buku harian mereka. Betapa tergodanya Nina untuk menuangkan seluruh kepedihan dan keputus-asaan di situ, tapi dikekangnya keinginannya. Cintanya pada Miki mencegah gerakan penanya. Tidak! Miki tak pernah boleh tahu! Sebagai perisai untuk melindungi perasaan Miki, ditulisnya berbaris-baris kalimat gembira serta lucu-lucu.
Miki juga berbuat serupa. Dia selalu menuliskan macam-macam rencana yang ingin dilakukannya seakan dia pasti hidup seratus tahun lagi. Dia ingin memancing di tengah laut bila sakitnya sudah sembuh. Ke Himalaya, kalau tabungannya sudah cukup. Ke Shangrila, di mana manusia tak pernah menjadi tua. Tentu membawa Nina ke sana sebelum keriputnya muncul, tulisnya. Ingin menyaksikan matahari dua puluh empat jam di Skandinavia. Dan masih banyak lagi keinginan lain.
Nina selalu meneteskan air mata bila membaca semua itu. Lama-lama dia cuma mau membuka buku mereka bila tak ada Miki di dekatnya. Kalau dia sedang sendirian di kamar pada saat Miki di kantor, barulah dia berani membaca tulisan-tulisan Miki.
Kau pasti tidak menduga nasib apa yang akan menimpamu, pikirnya pedih. Miki selalu penuh gairah hidup. Ketika sudah menjadi ayah, dia masih suka loncat-loncatan dan memanjat pohon untuk memetik mangga. Dia senang sekali bernyanyi dan bersiul, sehingga berdekatan dengannya orang sulit menjadi murung. Dia meremehkan semua kesusahan, yakin bila saatnya tiba, semuanya akan beres kembali. Tidak, Miki bukannya tidak serius, tapi dia adalah seorang optimis tulen. Dia tidak mudah patah semangat
Seharusnya aku yang kena, pikir Nina. Lebih gampang menderita sendiri daripada menyaksikan orang yang kita cintai lambat-lambat diseret pergi dari samping kita. Bila aku yang kena, pasti Miki akan berhasil menghiburku sehingga penderitaanku takkan terasa berat Tapi sekarang Miki yang sakit. Siapa yang akan menghiburnya" Dia menderita sendirian. Bahkan anak-anak tak bisa diberitahunya. Kedua mertuanya masih di Eropa, orangtuanya sendiri jauh di Bandung. Dia sendirian di sini dalam kesepian dan deritanya.
Pada suatu sore keduanya duduk-duduk di beranda belakang. Anak-anak sedang tidak di rumah. Miki membicarakan rencananya untuk memperbai
ki kebun belakang. Dia ingin membuat kolam ikan dengan air mancur, dikelilingi taman yang indah.
"Bunga-bunga apa ya yang akan kita tanam di sana"" tanyanya seakan pada diri sendiri. Lalu dijawabnya, "Ah, aku ingin sekali menanam palma di situ. Juga di depan studio. Ya, di sana akan manis sekali kalau diberi palma, ya, Nin."
Nina mengawasi profil Miki tanpa mendengarkan apa yang dikatakannya. Dia mereka-reka sudah berapa lama Miki sakit. Sudah berapa lama benjolan itu pertama kali dirabanya" Tinggal berapa hari lagi" Berapa bulan lagi"
Nina mengikuti liku-liku wajah suaminya dengan matanya Dia teringat pesan Dokter Saksono. Yang penting, membahagiakannya. Mik, aku cinta padamu. Tapi tak lama lagi kita akan berpisah. Untuk selamanya. Di dunia ini kita takkan ketemu lagi. Oh! Dia menjadi kaget ketika merasakan matanya mulai basah. Aku tak boleh bersedih! Nanti dia curiga! Dikejap-kejapkannya matanya Diam-diam disekanya dengan punggung tangan.
Tiba-tiba Miki menoleh. Rupanya dia menanyakan sesuatu dan merasa heran ketika tidak dijawab. Miki menatapnya dan mata mereka beradu. Untuk sekilas Nina merasa seolah-olah wajah Miki memucat dan menunjukkan kesedihan. Tapi cuma sekejap, dia sudah riang kembali, sehingga Nina meragukan penglihatannya.
"Hei," seru Miki ketawa. "Kenapa kau menatapku begitu" Apa belum kenal""
Nina tersentak. Dikutuknya dirinya. Kalau aku terus-terusan bersikap begini, pasti tak lama lagi Miki akan curiga dan menuntut penjelasan. Kan sudah tahu kau tak bisa bohong padanya! omelnya pada diri sendiri. Tolol kau! Nanti kan Miki jadi tahu!
"Kau menarik sekali, Mik," ujarnya ketawa. "Aku enggak bosan-bosannya mengagumi wajahmu!" "Gombal!" Miki nyengir.
"Aku enggak habis pikir kenapa kau bisa jatuh cinta padaku!"
"Wanita seumurmu memang suka kehilangan percaya diri!" tukas Miki serius.
"Habis aku heran sih. Kau dengan gampang bisa mendapat gadis lain yang yahud. Misalnya, Magda!" "Ah, ah, ah!" Miki terbahak-bahak. "Dokter gigi itu" Bisa-bisa aku dijadikannya budak belian atau mantri tukang daftarin pasien!"
"Tapi dia kan cantik!" ajuk Nina. "Siapa bilang enggak""
"Nah, tuh! Kan sebenarnya kau tertarik padanya, benar enggak"" Nina berlagak merajuk.
"Kunyuk! Siapa bilang aku ketarik" Bilang cantik saja enggak boleh, payah! Cowok sih selalu menilai wanita, Nin. Tapi itu kan enggak berarti dia mencintai setiap perempuan atau membandingkannya dengan istrinya!" 'Tapi kau enggak pernah bilang aku cantik!"
"Masya Allah! Dulu waktu kita baru kawin, barangkali sampai bosan kau mendengar aku mengatakannya, bukan"" "Itu kan dulu! Sekarang""
Miki ketawa. "Sekarang... mungkin aku yang bosan mengatakannya!"
Nina sudah mau marah, tapi dilihatnya mata hitam yang berbinar jenaka. "Lagi-lagi kau ngeledek!" "Masa bercanda enggak boleh" Oke, oke, jangan ngambek dong. Sekarang dan selamanya, Sayang, aku akan selalu melihatmu secantik dewi!"
"Ah, itu bohong lagi!" Nina pura-pura mendongkol, melepaskan diri dari pelukannya. "Anak-anak pun tahu, dewi itu enggak ada. Andaikan ada pun, aku pasti enggak secantik mereka! Kau bohong!"
Miki menghela napas kebingungan. Tapi diraihnya kembali Nina dan tidak dibiarkannya lepas lagi. "Wanita," katanya setengah tertawa, "apa sebenarnya yang kalian inginkan" Dipuji, salah. Enggak dipuji, salah juga!"
Nina tidak menjawab. Dia sudah amat senang bahwa Miki berhasil dialihkan perhatiannya. Tapi dalam hati dia berjanji, takkan pernah lagi seceroboh tadi. Miki tidak boleh sampai tahu apa penyakitnya.
"Mik, lusa Papa dan Mama akan tiba," katanya sesaat kemudian, memutar arah pembicaraan. "Ya," kata Miki, meletakkan kepala Nina pada bahunya.
Mereka duduk diam-diam tanpa bergerak, dengan pikiran masingmasing. Miki kembali menimbulkan soal kebun, dan Nina menanggapi dengan serius. "Kapan akan kaumulai""
"Selekasnya," sahut Miki, lalu setelah berpikir sejenak disambungnya, "kalau aku enggak repot lagi dengan penyakit ini. Coba kauraba, bukankah benjolan itu sudah mengecil""
Nina meraba. "Ya, betul, Mik!" seru Nina dengan gembira. "Benjolan itu memang mengecil. Tak lama lagi pasti akan h
ilang sama sekali. Cuma kulitmu jadi hitam mengerikan!"
"Ya, terbakar. Barangkali akan keriput dan jelek. Tapi...," Miki mengangkat dagu Nina, menatap matanya dalam jarak lima senti, "kau akan tetap cinta padaku, bukan" Sedikit hangus enggak apa-apa, kan""
Miki terbahak-bahak. Pasti dia girang sebab penyakitnya mulai sembuh, pikir Nina, ikut tertawa.
"Mik, jangan beritahu Papa dan Mama mengenai sakitmu," ujar Nina.
"Kenapa"" "Buat apa. Toh engkau sudah hampir sembuh. Membuat mereka khawatir enggak keruan saja nantinya. Kita kasih tahu anak-anak supaya tutup mulut."
"Ya, itu betul. Kau selamanya memang pantas jadi setan yang cerdik!" puji Miki ketawa.
"Baru saja kausebut aku dewi, lima menit kemudian aku sudah berubah jadi setan!" desis Nina jengkel dan Miki mengecupnya semanis mungkin. "Mama!" seru Andi tiba-tiba. "Papa!" teriak Joni.
Miki menoleh dan menyeringai. Kedua anak itu masuk dengan tangan penuh buku. Mereka baru saja dari studigrup.
"Lain kali ketok pintu dulu sebelum masuk!" bentak Nina.
"Mana pintunya, Mam"" tanya Joni ketawa,
dan Nina baru sadar bahwa dia ada di beranda belakang.
"Ayo sana, lekas mandi!" perintahnya untuk mengalihkan perhatian. "Sebentar lagi kita akan makan!" "Oke!" seru Andi, dan ditambahnya sambil berjalan, "Jon, kita mesti sopan dikit, ah. Masa orang sedang pacaran diganggu""
Nina berlagak tuli dan tidak menegur anaknya. Sebab dia tahu, itu yang ditunggu oleh Andi, supaya bisa menggodanya lebih lama. Seperti ayahnya, Andi senang bercanda dengan ibunya. Nina tersenyum dalam hati. Ah, terima kasih, Tuhan, untuk Andi dan Joni yang Kauanugerahkan bagi kami yang tidak pantas ini.
Mereka masih duduk-duduk beberapa menit lagi, kemudian Nina bangkit. "Rasanya aku lebih baik ke dapur sekarang melihat apa makanan sudah siap."
* * * Ketika orangtua Miki pulang, pukul dua belas hari itu sudah beres. Bulatan hitam di leher ditutupi oleh leher kemeja supaya tidak kelihatan. Sesuai dengan usul Nina, kedua orangtua itu tidak diberitahu sedikit pun tentang keadaan Miki. Paling tidak, untuk sementara waktu, kata Nina. Ayah dan ibunya juga tidak curiga kecuali berkomentar bahwa anak mereka kelihatan kurus, mungkin terlalu capek selama menjadi pengganti ayahnya.
Tak terasa, empat bulan sudah berlalu sejak Miki terakhir kali disinar. Benjolan di lehernya sudah lenyap, tapi kulitnya menjadi rusak. Hitam, keriput, dan mengerikan. Tapi kecuali itu, dia tampak sehat. Miki sendiri bilang, dia betul-betul merasa segar. Tawa dan selorohnya memenuhi rumah setiap kali dia hadir. Semangatnya pulih lagi. Anak-anak dilukisnya. Begitu juga Nina. Dan setiap waktu luang dipergunakannya untuk mengajar Andi melukis. Anak itu benar-benar mewarisi bakat ayahnya.
Pada uatu malam seisi rumah tengah berada di ruang keluarga Kedua anak itu asyik mengerjakan Stereo. Ibu merajut. Ayah membaca koran. Nina dan Miki membaca bersama sebuah majalah asing. Mendadak Miki berhenti pada sebuah halaman yang penuh dengan gambar-gambar masakan yang kelihatannya luar biasa menarik.
"Eh, kelihatannya masakan ini enak banget, Nin," katanya menunjuk beberapa potong daging di atas sebuah piring dikelilingi makaroni, sayur-sayuran hijau, serta disiram kuah kecoklatan.
Nina mencari nomor gambar itu lalu mencocokkannya dengan resepnya.
"Gimana kalau kaubuatkan aku makanan ini, Nin"!"
"Ah, sinting! Mana aku bisa. Namanya saja aku tak tahu!"
"Itu kan ada resepnya!"
"Mana bisa aku membaca resep bahasa Inggris!" "Alaa, pinjamlah kamus anak-anak!" kata Miki ngotot.
Nina tidak mengiyakan, tapi esoknya dicarinya kamus anak-anaknya. Sambil memasak diterjemahkannya resep itu. Banyak bahan-bahan yang tidak dikenalnya. Mau nangis rasanya dia karena putus asa. Pasti Miki akan kecewa sekali kalau makanan itu tak berhasil dibuatnya, padahal Dokter Saksono sudah bilang... ah, tentu saja dia ingin sekali membahagiakannya. Ingin sekali. Tapi bila dia tidak tahu nama-nama sayuran Inggris, apa boleh buat. Nina sudah mau menutup majalah itu ketika ibu mertuanya masuk mengadakan inspeksi.
"Apa itu, Nin""
"Ini, Ma, Miki mendadak kepingin makan mas
akan seperti dalam gambar ini. Tapi saya enggak tahu apa bahanbahannya dan bagaimana membuatnya."
Ibu mertuanya meneliti sebentar gambar dan resepnya, lalu berpikir-pikir dan akhirnya tersenyum. "Ini kan cuma bistik, Nin. Bikin saja seperti yang biasa kaubuat. Yang penting, tirulah cara menghiasnya semirip mungkin. Tambahkan makaroni."
Nina menuruti nasihat itu. Hasilnya memuaskan. Miki amat gembira melihatnya dan melahap hidangan itu sampai habis, padahal sebenarnya itu cuma bistik, seperti yang biasa dibuat oleh Nina.
Ketika Miki membaca dalam buku mereka bahwa dia kena tipu, dia meraung seperti macan luka. Tapi dia tertawa lebih keras lagi dan memeluk Nina demikian kerasnya, sehingga Nina merasa tulang-tulangnya pasti akan remuk.
'Dia betul-betul cerdik seperti setan!' tulis Miki. Dengan tinta merah, Nina menambahi komentar, 'Maksudnya, ibunya. Sebab resep itu diubah oleh ibunya!' Miki kembali meraung membacanya, sedangkan Nina bertepuk tangan dengan gembira.
* * * Tiga bulan lagi telah berlalu. Natal dan Tahun Baru sudah tiba. Miki sudah betul-betul sehat lagi. Nina yang masih waswas mengusulkan agar dia kontrol ke dokter. Sambil ketawa lebar Miki menolak, bahkan mencemoohkannya. Karena tidak ingin menimbulkan curiga, Nina tidak memaksa. Dia tahu, penyakit suaminya tengah 'menghilang untuk sementara', tapi kelak akan muncul kembali. Kapan"
Kebun yang direncanakan Miki belum juga terlaksana, sebab ayahnya ingin merombak rumah tua itu seluruhnya dan membangun yang modern, lengkap dengan kebun ala Miki.
"Kau boleh menghiasnya sesuka hatimu, Mik. Kau boleh melukisi semua dinding dan langit-langitnya kalau mau, sebab itu akan menjadi rumahmu."
Nina melirik Miki. Yang dilirik mengembalikan tatapannya sambil ketawa geli. Tanpa segan-segan dipeluknya Nina di depan seisi rumah dan mengguncang-guncangnya pergi datang.
"Kaudengar, Nin" Setelah menunggu puluhan tahun, akhirnya kita akan punya rumah sendiri. Rumah kita, Nin. Kita kan belum ketuaan untuk memiliki sebuah rumah pribadi, bukan" Ah, tidak senangkah hatimu, Nin""
"Oho, tak ada yang lebih menyenangkan daripada punya rumah sendiri! Kita boleh mengatur kamar-kamarnya sesuka hati, Pa""
Tentu saja!" angguk ayah mertuanya, sementara ibu Miki tersenyum gembira melihat kebahagiaan mereka. "Apa kita enggak terlalu tua..."" Miki mendadak jadi ragu.
"Tentu saja enggak, kunyuk!" tukas Nina sengit "Engkau kan belum beruban, kenapa ribut-ribut soal tua segala! Apalagi kalau kau tahu berapa ubanku! Kemarin saja ada..."
"Tapi kau kan memang sudah tua!" seru Miki terbahak membuat semua orang ikut tertawa geli.
"Mana mungkin.,,, bantah ibu mertua membelanya. "Kalian kan seumur! Kalau kau sendiri belum tua -menurut Nina-, berarti Nina sendiri juga belum tua dong!"
"Ah, Mama seperti bukan wanita saja! Masa enggak tahu sih, laki-laki biasanya awet muda" Karena itu orang selalu memilih istri yang jauh lebih muda, supaya enggak cepat tua!"
"Hiii!" seru Andi bertepuk tangan, membuat Nina melotot.
"Andi!!!" hardik Miki. "Jangan ikut-ikutan kalau orang dewasa sedang ngomong!"
Diam-diam Nina mencubiti Miki dan berbisik ke kupingnya, "Awas ya nanti malam!" Miki nyaris ketawa geli mendengarnya.
Malamnya Nina masuk ke kamar siang-siang sebab capek. Miki masih asyik melawan Joni di meja catur. Nina mengeluarkan buku harian mereka dari dalam lemari. Dia duduk di depan meja rias, lalu melembari halaman buku itu. Pena sudah tergenggam di tangan, tapi lama sekali tak sehuruf pun yang mampu ditulisnya. Dia duduk termangu dengan sebelah tangan menopang kepala. Tak ada yang bisa ditulisnya. Semua yang ingin dicurahkan hati, tak mungkin, dan tak boleh dibaca oleh Miki. Menulis soal lain, dia tak bisa. Pikiran serta perasaannya melulu dipenuhi oleh rahasia yang ditimbunnya sendirian dalam lubuk hati. Orang serumah tak boleh tahu. Pernah dipikirnya untuk menceritakan semua itu dalam surat pada ibunya. Tapi setelah dipikir-pikir, dibatalkannya. Dia tak ingin menyusahkan Ibu. Kata dokter dulu, ibunya tak boleh dilanda rasa khawatir, gelisah, atau stres lainnya. Penderita tekanan darah tinggi
harus hidup setenang mungkin.
Lalu apa yang akan kutulis" Miki kelihatan begitu sehat dan gembira, sehingga orang pasti takkan menyangka bahwa tubuhnya menyimpan bom waktu. Bahwa dia sudah di ambang kematian. Setetes air mata tahu-tahu sudah jatuh ke atas kertas, membuat lekuk kecil yang pasti akan meninggalkan bercak keriput Miki pasti akan tahu bercak apa itu. Dan dia pasti akan mau tahu kenapa dia sampai menangis. Nina melepaskan halaman itu sambil menahan isak. Miki tak boleh melihat matanya bengkak atau bedaknya luntur. Miki harus selalu mendapati dirinya gembira. Nina menyusut mata dan membersit hidung dengan kertas tisu. Dilemparnya kertas yang sudah jadi bola itu ke dalam keranjang sampah dekat meja. Lalu dia bangkit dan mengembalikan bukunya ke lemari. Malam ini dia tak bisa mengisinya. Dimatikannya lampu, lalu berbaring.
Dalam gelap, kesedihannya balik lagi, membuat matanya membasah. Dia mencoba memikirkan sesuatu yang riang-riang, namun tak dapat Bayangan Miki dalam sebuah... ah, stop! Dihardiknya dirinya. Dipaksanya membuang pikiran itu jauh-jauh. Kau harus selalu kelihatan gembira! Supaya dia tidak curiga. Pergunakanlah sebaik-baiknya waktumu bersamanya. Jangan berharap terlalu banyak.
Ya, dia akan selalu manis setiap saat bersamanya, Tapi ternyata itu tidak mudah.
Sambil bersiul-siul Miki membuka pintu kamar. "Astaga! Main gelap-gelapan, nih"" serunya geli. "Seperti berbulan madu saja!"
Nina merasa pipinya menjadi panas. Miki sudah apal betul kamarnya. Dia dapat berjalan leluasa tanpa lampu. Tapi itu tidak dilakukannya. Dia malah menyalakan lampu! Segera terlihat olehnya wajah istrinya yang kemalu-maluan karena komentarnya barusan. Nina kaget dan menjadi jengkel. Miki selalu menangkapnya dalam keadaan yang tidak nyaman. Dan dia seakan tahu semua isi pikirannya! Ini yang dikhawatirkannya!
"Hei, kekasihku!" Miki tersenyum penuh pesona, berjalan ke tempat tidur.
Nina mencoba mengelak, tapi Miki berhasil memenjarakannya di antara kedua lengannya yang ditapakkannya di samping tubuh Nina.
"Kalau kau enggak segera mengangkat tanganmu," ancam Nina, "aku akan keluar dan tidur di kamar anak-anak. Biar Joni tidur di sini!"
"Oho, bukan main! Taktik apaan, tuh" Asyiiik!" Miki ketawa haha hihi. Nina mengulangi ancamannya.
"Coba saja! Aku mau lihat!" Miki mengangkat kedua tangannya, lalu berdiri di samping tempat tidur menatap Nina. "Belum dua langkah kau pasti sudah berbalik dan kembali ke pelukanku!"
"Oh, ya"w Nina jadi panas ditantang begitu. Dia bangun, lalu dengan kaki telanjang melangkah ke pintu yang menembus ke kamar sebelah. Ketika tangannya hampir mencapai gerendel, Miki menyentuhnya.
"Jangan, Nina," cegahnya, tersenyum lembut. "Kita ini teman baik, bukan" Dan selamanya akan begitu, kan" Masa kau mau mencari perlindungan pada bocah-bocah cilik" Bukankah kau biasanya berlindung padaku" Aku minta maaf, Nin, untuk obrolan tadi sore."
"Tak ada yang perlu dimaafkan," bisik Nina dengan merdu.
"Lalu kenapa kau mengancam tadi, Awas nanti malam!'"" tanya Miki melingkarkan kedua lengan ke sekeliling tubuh istrinya.
"Karena aku suka mengatakannya!" sahut Nina ketawa cerah.
"Apa" Betul-betul setan! Jadi kau cuma bercanda" Padahal kau sudah tahu aku enggak tenang kalau diancam-ancam begitu! Ayo, minta maaf, enggak"" seru Miki dan nyaris meremuk Nina dalam pelukannya.
Bab 28 NINA mulai menduga-duga apakah pendapat dokter semuanya benar" Apa tidak salah diagnosa" Ataukah Miki termasuk penderita yang berumur panjang" Miki sama sekali tidak kelihatan sakit. Kecuali tubuhnya yang jelas mengurus. Bila Nina membelainya, yang teraba cuma tulang melulu. Kalau dia mengeluh, kurus amat sih kau! Maka suaminya menyarankan agar dia masak yang enak-enak atau pergi les masak dulu.
Nina terkadang berharap bahwa masa-masa yang baru saja lalu itu hanya mimpi buruk belaka Bahwa dia kini sudah terjaga dan mendapati Miki sehat-sehat saja, tak kenapa-kenapa. Dia berharap semua dokter itu salah. Tak apalah kekhawatiran yang telah mereka timbulkan. Dengan senang hati akan dimaafkannya mereka. Asal saja Miki salah didiagnosa.
Miki bahkan mengajak seluruh keluarganya ke Bandung menengok keluarga Nina. Dia sama sekali tidak tampak lelah dan tidak mengeluh. Ibu Nina yang penuh perhatian pun tidak melihat adanya kelainan pada diri Miki. Dia cuma mengatakan bahwa Miki terlalu kurus. Dan sambil tertawa, Miki menyalahkan ibu mertuanya sebab tidak mengajari anaknya masak. "Apa kau bisa masak, Risa"" tanyanya pada Marisa yang amat disayanginya seakan adiknya sendiri. Meskipun mereka tidak sering berkunjung, Miki kerap kali mengirimkan apa-apa untuk Marisa. Gadis itu kini sudah menikah dan mempunyai tiga anak perempuan yang manis-manis. Dia tetap tinggal bersama ibu dan ayahnya untuk mengurus mereka, sebab Ibu pernah mendapat serangan lagi dan kini kedua lengannya lumpuh tanpa daya.
Kris juga sudah berkeluarga dan tinggal di Balikpapan sebagai insinyur pertambangan. Mereka belum pernah berjumpa lagi sejak dia pergi beberapa tahun yang lalu.
Miki tentu saja segan ke dokter lagi. Buat apa, katanya. Dia kan sudah sehat lagi. Selain perasaan lemas dan terkadang agak sesak napas, dia tak punya keluhan yang berarti. Sudah tentu semua itu tidak dikatakannya pada Nina. Untuk apa. Cuma akan merusuhkan hatinya saja. Dia cuma kesal melihat badannya yang semakin hari makin kerempeng. Dia dulu bertubuh atletis, tapi sekarang sudah mirip tiang listrik berjalan. Terkadang sambil berkelakar Nina mengeluh kenapa dia sampai kawin dengan tiang listrik.
"Tapi tiang listrik ini tinggi voltasenya, Nyonya! Dan nyalanya bukan main terangnya!" sahut Miki melirik garang. "Nyonya kan sudah membuktikannya sendiri, bukan""
Anak-anak ketawa geli meskipun tidak mengerti. Cuma si nyonya yang menjadi merah mukanya.
Pada Minggu pagi itu Miki mengumumkan bahwa dia akan membersihkan gudang. Diminta bantuan sukarela. Namanya sukarela, tapi dia menggamit Nina dan membujuknya supaya ikut ke gudang.
"Aku janji deh, enggak bakal memperkosamu!"
"Tutup mulutmu, Mik!" bisik Nina dengan muka merah. "Tempo-tempo kupikir, aku kawin sama orang sinting!" "Kalau bukan orang sinting, mana mau denganmu!" sambut Miki dengan galak. "Ikutlah ke gudang. Nanti akan kutunjukkan padamu sesuatu."
Nina yang selalu ingin tahu apa-apa, merasa tergugah. "Tapi aku mesti masak," kilahnya. "Alaa, masak apa sih" Mama kan ada di situ. Kita goreng telur saja nanti, beres!" "Pergilah," kata ibu Miki, "siapa tahu kau menemukan gelang emas di gudang!"
Anak-anak sedang berenang. Ayah juga tidak di rumah. Mereka cuma berdua di gudang. Nina tidak memerlukan waktu lama untuk merasa tertipu. Yang dapat ditunjukkan oleh Miki cuma debu melulu serta koper-koper tua. "Entah sudah berapa tahun enggak pernah dibersihkan!" tukas Nina di antara bersinnya.
"Barangkali sudah dua puluh tahun lebih. Paling tidak, sejak kita kawin, kamar ini tak pernah dimasuki orang."
Miki rupanya tahan debu dan antusias sekali dengan tugas yang dicarinya sendiri. "Karena rumah akan dibongkar, maka gudang harus dibersihkan dulu. Siapa tahu ada isinya yang masih bisa diberikan pada orang lain."
Mereka bekerja tanpa banyak bicara, sebab ruangan berkabut oleh debu. Tidak enak rasanya bila setiap kali membuka mulut debu-debu berhamburan terisap ke tenggorokan.
Mau tidak mau, rasa ingin tahu membuat Nina akhirnya tertarik juga dengan kerjaan itu. Dia menjadi sama giatnya dengan Miki membongkar-bongkar koper-koper. Ada yang berisi buku-buku pelajaran Miki dulu. Ada yang berisi tetek bengek milik ayah Miki. Ada yang milik ibunya. Semuanya dipilih dan mana-mana yang masih terpakai disingkirkan. Yang sudah rongsokan dilempar ke keranjang sampah, Yang masih bisa dipakai akan dibawa oleh ibu Miki ke rumah-rumah piatu. Ada mainan yang masih bagus atau cuma rusak sedikit. Boneka Ita kehilangan sebelah matanya, tapi dengan setetes cat biru bisa dipulihkan lagi. Ada sepatu tenis yang sudah menguning tapi masih kuat Ada bola kasti dan pemukulnya.
Astaga, Nina membatin. Tak mungkin orang menyimpan barang-barang tua begini banyak! Suatu kali dia membuka koper dan mengeluarkan sehelai gaun. Hatinya berdetak keras. Dia teringat pakaian yang biasa dikenakan Ita k
e sekolah. Dibukanya lipatan gaun itu dan tanpa sadar dielus-elusnya. Semuanya terbayang kembali di depan mata. Jauh di masa silam. Ketika dia sebagai anak asrama, waktu diadakan pemutaran film, untuk pertama kali diperkenalkan pada Miki oleh Ita. Dan semua anak menyebutnya... calon Mere! Ah, Ita yang suaranya keras dalam kelas, tapi hatinya lembut Ita yang selalu dikerumuni anak-anak yang kepingin dilukis oleh abangnya. Terutama Loli dan Ani yang ingin betul memamerkan lukisan diri mereka pada pacar masing-masing. Mereka kini sudah di Amerika. Apakah keduanya benar-benar dilukis oleh Miki"
"Mik, apa... haaaciiih... haaaciiih... apa... kau... haaaciiih... dulu... haaaciiih... jadi melukis... haaaciiih... Ani dan... haaaciiih... Loli""
Miki menoleh dan melihat gaun yang dipegang Nina. Sejenak air mukanya menjadi guram dan dia tidak segera menjawab. Termangu-mangu ditatapnya gaun yang sudah mulai pudar itu.
"Ini baju Ita," ujar Nina setengah berbisik seakan takut mengejutkannya. "Ya, aku tahu." "Kau masih ingat Loli dan Ani""
"Ya. Aku melukis mereka. Sendiri-sendiri. Kenapa""
"Ah, enggak apa-apa. Aku cuma ingin tahu. Di kelas dulu, anak-anak selalu merayu padamu minta dilukis olehmu. Engkau populer sekali, tahu!" Nina meliriknya, tersenyum.
"Dan kaukira, kau sendiri enggak" Semua anak di kelasku selalu bilang, 'Di Ursula ada anak yang mau jadi Mere, anaknya cakep, deb!' Dan aku bilang, 'Hei, itu teman baik adikku!' Betapa inginnya aku mengatakan, 'Hei, itu pacarku! Kalian ngaco!'" Miki terbahak-bahak. Debu-debu tersedot masuk. Dia terbatuk-batuk.
Setengah harian mereka bekerja di situ. Keluar-keluar ketika Anis datang dikirim oleh Nyonya Besar, menyuruh mereka makan.
Ibu Miki amat senang melihat setumpuk pakaian bekas yang menjadi bagiannya. Baju-baju Ita berada di antaranya. "Akan kukecilkan untuk anak-anak," katanya tersenyum meraba gaun almarhumah putrinya. "Huh! Capek juga kiranya!" keluh Miki, menjatuhkan diri ke dalam kursi, menyeka debu dan keringat dengan handuk kecil.
Seluruhnya ada delapan koper besar. Yang masih bisa terpakai berjumlah tiga koper. Sisanya akan diangkut oleh truk sampah.
Mungkin karena kemasukan debu terlalu banyak, malamnya Miki batuk-batuk. Kerongkongannya kering dan sakit, katanya. Nina meraba dahinya. Cuma hangat sedikit. Ibunya menyeduhkan air jahe dengan bawang merah dan Miki terpaksa meneguknya (dengan dahi berkerut) untuk menyenangkan hati Nina yang tampak gelisah, tak bisa tidur mendengar suara batuknya.
Esoknya Miki sudah merasa baik kembali dan masuk kantor seperti biasa. Sebenarnya ayahnya ingin mengirim dia ke Medan untuk membicarakan kemungkinan membuka stasiun teleyisi swasta, tapi seorang anggota komite mendadak diserang typhus. Jadi mereka menangguhkan rencana itu untuk sementara.
Malamnya Miki merasa agak panas dingin dan membaca koran dalam kamar. Nina menemani sambil memperbaiki baju anak-anak yang robek atau lepas kancingnya. Suasana hening itu tiba-tiba dipecahkan oleh ketukan pada pintu.
"Tidak dikunci," kata Nina dan pintu dibuka.
Joni serta Andi muncul dengan rapor di tangan masingmasing. Dengan muka berseri-seri keduanya menghampiri sang ayah yang telah menurunkan koran dan tengah memperhatikan mereka dengan serius. Pandangannya segera jatuh pada kedua buku rapor.
"Rapor lagi"" tanyanya. "Kok sering amat kalian mendapat rapor""
"Ah, masa, Pa. Kan ini kwartalan, masa Papa lupa"" tukas Joni.
Miki meneliti kedua rapor itu seakan itu laporan tahunan dari perusahaan. Setelah memberi banyak komentar, diberikannya rapo-rrapor itu pada Nina. Kemudian "Joni menyorongkan sebuah pena dan Miki membubuhkan tanda tangan.
"Pa," didengarnya suara Andi, "gimana dengan janji Papa tempo hari"" "Janji apa sih""
Andi tidak segera menjawab. Dia menoleh pada Joni. Keduanya saling pandang. Nina melihat itu dan mendadak saja ketakutan merayapi hatinya, lalu menyebar ke seluruh tubuh. Dia nyaris menggigil. Dia tahu apa yang akan dikatakan Andi. Diliriknya Miki, tapi suaminya tengah mengawasi kedua anak mereka dengan air muka tenang. Tak mungkin kau bisa lupa! pikirnya. Tak mung
kin kau lupa, Mik! Beberapa detik lewat. Andi dan Joni kelihatan makin gelisah, sebentarsebentar bergeser di atas kaki mereka. Tangan-tangan mereka sebentar mengepal, sebentar terbuka, Akhirnya Joni membuka mulut
"Pa, kami ingin tahu apa keputusan Papa mengenai permintaan kami yang dulu""
"Permintaan apa sih"" Nina yakin, Miki cuma berlagak lupa. Sebab dia tahu, ingatan suaminya seperti gajah. "Ah, Papa berlagak lupa!" keluh Andi. "Kami ingin jadi pastor, Pa!" sahut Joni.
Nina melihat wajah Miki berubah pucat, tapi anak-anak seakan tidak melihatnya. Mereka terus menagih. "Papa kan bilang, kami harus tunggu sampai lulus SMA, baru boleh," tuntut Andi.
"Papa enggak bilang 'boleh. Papa bilang, kalau kalian masih belum melupakan cita-cita itu, setelah tamat SMA... tapi, apa kalian masih tetap ingin...""
"Ya, Pa. Masih!" sahut keduanya serempak.
"Masa berdua"" Miki coba menawar. "Kan cukup salah satu saja, bukan" Nah, siapa""
Tak ada jawaban. Miki menatap keduanya bergantian. Andi dan Joni saling tatap, lalu keduanya menekuri lantai, membisu. Tiba-tiba Miki menyadari bahwa Nina tengah memperhatikannya. Sesuatu pada mata Nina membuatnya mengelakkan pandangan. Dia menoleh lagi pada anak-anaknya.
"Enggak ada yang mau menjawab""
"Pa, kami berdua ingin jadi pastor. Berdua, Pa!" tukas Joni hampir berbisik.
"Siapa yang ikut-ikutan"" tegur Miki cukup keras, membuat Nina bangkit menghampirinya dan memeluk serta membelai lehernya dari belakang. Anak-anak kelihatan sedikit kaget dibentak begitu, dan Miki yang segera menjadi tenang dengan belaian Nina, menyesali kenapa dirinya harus marah-marah.
"Enggak ada yang ikut-ikutan, Pa," kata Andi tegas. "Kami masing-masing memang ingin masuk seminari. Suatu ketika secara kebetulan saya mengatakan pada Joni cita-cita saya. Ternyata dia juga mempunyai niat yang sama."
Nina tahu, sukar bagi Miki menerima kenyataan itu. Sejak mereka masih kecil, Miki selalu bermimpi akan melihat anak-anak menjadi insinyur atau dokter, menikah dengan perempuan sebaik ibu mereka, dan mempunyai anak-anak yang akan menjadi cucunya.
Miki menatap Joni dan Andi bergantian. Asal cuma seorang yang Kauminta, Tuhan, keluh Nina. Kenapa Kauminta keduanya"
"Jawablah mereka, Sayang," bisik Nina membelai-belai leher Miki.
"Baiklah," sahut Miki akhirnya menghela napas. "Papa akan merundingkannya dengan Mama. Tunggulah beberapa hari lagi. Menjadi pastor bukanlah tugas gampang. Kalian mesti betul-betul yakin dan serius, itu yang kalian inginkan. Mengerti""
* * * Lima hari sudah lewat. Nina melihat Miki masih bingung terus memikirkan permintaan anak-anaknya. Nina membuka buku harian mereka pada halaman ketika Joni dan Andi masuk sekolah untuk pertama kali. Miki menulis di situ bahwa dia akan membiarkan anak-anaknya memilih jalan hidup mereka sendiri. Dia takkan memaksakan kehendaknya seperti yang dilakukan ayahnya terhadap dirinya.
"Mik, bacalah ini," bujuk Nina dengan lembut, menghampiri Miki yang sedang berbaring di ranjang dengan mata menatap langitlangit
Miki tidak mau menyambutinya. Nina terpaksa memegangi buku itu sementara suaminya membaca kembali tulisannya. "Ow!" keluhnya, memejamkan mata.
"Tepatilah janjimu pada mereka, dan terutama pada dirimu sendiri," bisik Nina membelai pipinya.
Miki menangkap tangan halus itu dan menggenggamnya. Ditatapnya Nina dengan penuh cinta. "Apa akan kita kabulkan permintaan mereka"" tanyanya pelan.
"Apa kau menghendaki pendapatku""
"Ya," "Menurutku, sebaiknya kita kabulkan. Mereka memang serius, Mik."
Miki diam saja, asyik menatap langit-langit "Bolehkah aku merokok"" tanyanya tiba-tiba. Dia tak pernah merokok dalam kamar, sebab Nina melarang. Tapi sekarang Nina mengangguk, malah mengambilkan rokok itu dari kantong kemeja Miki dan menyalakan korek untuknya.
"Terima kasih," gumam Miki
Nina memperhatikannya. Tiba-tiba dia merasa terkejut. Miki kelihatan begitu kurus. Rasanya belum pernah dilihatnya suaminya sekurus itu, kerempeng, dan tampak tua. Bukan lagi pria yang segar dan tegap. Tapi lakilaki yang pucat dan lelah.
Nina merapikan rambut yang terjurai di dahi suaminy
a dan pelan-pelan direbahkannya kepalanya di atas dadanya.
"Aku tahu ini berat sekali bagimu, Mik. Bagiku juga. Lebih-lebih aku. Aku mengandung dan melahirkan mereka dengan penuh penderitaan. Memelihara dan merawat mereka dengan menyimpan banyak harapan. Ternyata sekarang semua itu akan musnah tanpa bekas. Belum lagi puas kita mengelus dan menciumi mereka, tahutahu mereka bilang, mereka harus pergi. Janganlah kita hancurkan hati mereka, Mik. Jangan kita rusakkan masa depan mereka. Dan terutama... jangan kita me...me...nentangNya." Air mata Nina menetes deras. Miki tiba-tiba merasakan dadanya basah dan hangat oleh air mata. Dipeluknya Nina dengan membisu. Rokoknya dibiarkannya jatuh ke lantai, menjadi abu di situ. Dilanda kenangan, tanpa sadar jari-jarinya sudah membelai-belai rambut Nina yang hitam berkilat.
"Aku sakit perut lagi!" keluhnya setelah mereka berdiam diri beberapa lama. Nina mengangkat kepala dari dada suaminya dan memandangnya. Miki tengah meringis.
"Di mana sakitnya, Mik""
"Tahu, deh. Sebentar di sini, sebentar di sana." Miki menggigit bibir keras-keras. Nina mengambil minyak angin dan mengolesi perut Miki. Yang kesakitan tidak merasa baikan, tapi untuk melenyapkan kekhawatiran istri, dikatakannya saja sudah baikan.
"Tidurlah," kata Nina, sedikit lega mendengar sakit itu sudah lenyap. "Kalau besok sakit lagi, kita harus ke dokter."
"Bah! Buat apa! Cuma sakit perut biasa, kok!"
Nina tidak mau berdebat, jadi tanpa komentar diselimutinya Miki. Baru saja dia mau merebahkan diri di sampingnya, Miki sudah mengeluh lagi. "Ow!" "Sakit lagi"" tanya Nina melihatnya meringis. "Ya. Pasti aku salah makan di kantor. Barangkali gado-gado itu!" "Aku punya obat sakit perut. Kauminum, ya""
"Obat sakit perut tiap bulan"" Miki sempat ketawa ketika nyerinya menghilang. "Enggak mau, ah. Aku bukan perempuan, kok."
"Siapa bilang ini untuk perempuan"" tukas Nina menunjukkan sebuah botol kecil yang diambilnya dari lemari. "Ini obat sakit perut biasa! Anak-anak juga pernah aku beri."
"Tapi aku enggak mau, enggak usah. Sakitnya sudah hilang."
"Untunglah. Beberapa hari lagi kita akan merayakan pesta tembaga. Kau mesti sehat!" "Pesta apa"" "Pesta tembaga!" "Pesta apa itu""
Nina mendelik. "Jangan bilang bahwa kau sudah lupa tanggal pernikahan kita!"
"Oho itu!" Miki tertawa geli. "Mana aku bisa lupa"! Pada halaman pertama buku kita, aku kan menulis, 'Malam ini buat pertama kalinya aku akan ber..."
"Cukup!" seru Nina dengan wajah merah. "Aku sudah hafal kalimat itu! Enggak perlu kauulangi!"
"Hei! Jadi kauhafalkan kalimat itu"! Bukan main! Barangkali kau juga sudah ngitung berapa kali aku menulis 'aku cinta padamu' di situ"" Miki tergelak-gelak, sementara Nina memandangnya dengan lebih galak. "Jadi kita akan kawin tembaga" Ho... ho... ho... rasanya aku baru dengar bahwa dua puluh tahun itu kawin tembaga. Lima tahun lagi, perak. Lima puluh tahun, emas. Enam puluh... apa""
"Intan." "Wow! Intan! Kalau seratus""
"Yang keseratus akan kita rayakan bersama di surga!" "Ya, kalau kau masuk surga! Kalau enggak""
"Aku sih jelas masuk, Mik!" kata Nina menjangkau bolpen mau mengisi buku mereka. 'Tapi aku memang khawatir mengenai dirimu. Kira-kira masuk, enggak, ya""
"Sudah begini kerempeng, masa sih Tuhan enggak kasihan padaku"! Kalau enggak boleh juga, ya aku maksa dong! Badanku sudah setipis papan begini,aku pasti bisa masuk celah-celah kecil. Bangunan setua surga pasti banyak celahnya!" Miki terbahak-bahak begitu gembira, sehingga mau tak mau Nina terpaksa ketawa juga.
"Mik, kau mau hadiah apa""
"Wah, aku duluan dong yang tanya. Istriku yang manis, kau mau kado apa"" "Tahu, deh. Rasanya aku sudah punya semua, enggak ingin apa-apa lagi."
"Itu egois namanya. Enggak memberi kesempatan pada orang lain untuk memberi. Aku juga kepingin disebut murah hati dong, bukan kau saja yang boleh memberi. Masa aku disuruh terima melulu. Ayo bilang deh, kau ingin apa!"
"Kau boleh beri aku apa saja, Mik, asal tulus dari hatimu. Kau sendiri mau apa"" "Kau boleh beri aku apa saja, Nin, asal tulus dari hatimu!"
Nina mendongkol betul diolok-olok b
egitu. Dia bergerak mau mencubit Miki, tapi tangannya malah ditangkap dan diremuk keras-keras sampai dia nyaris menjerit kesakitan.
* * * Beberapa hari lagi pesta tembaga mereka akan tiba. Masing-masing tetap tak mau bilang hadiah apa yang mereka inginkan. Miki cuma mengatakan bahwa dia tidak mau kue-kue, sebab perutnya masih morat-marit Tapi Nina berpendapat, kue ulang tahun harus tetap ada, walau enggak dimakan.
"Kau harus ke dokter memeriksakan pencernaanmu!" perintah Nina tegas.
"Ya, Bu," sahut Miki dengan lagak menurut.
'Tapi kau jangan ikut!" Sebenarnya dia tak ingin istrinya tahu rahasianya.
Miki pergi sendirian. Dan dokter tanpa segan membenarkan dugaannya. Penyakitnya kambuh. Kini sudah menjalar ke daerah perut. Di sebelah kanan sudah teraba benjolan-benjolan. Disinar di situ agak berbahaya, sebab ada sumsum tulang. Sel-sel darah dapat mati semua berikut manusianya nanti! Dokter menyuruh memeriksa darah. Miki tidak
mengatakan semua ini pada Nina. Dia cuma lapor bahwa itu sakit perut biasa, tak perlu dikhawatirkan.
* * * Ketika sore itu dia pulang dan masuk ke kamar, Miki melihat bunga-bunga mawar yang amat indah, dalam jambangan putih kristal di samping tempat tidur. Seakan punya firasat diraihnya kartu yang tergantung di salah tangkai, lalu dibacanya. 'Untuk suamiku yang tercinta, sekuntum mawar untuk setiap tahun penuh bahagia yang diberikannya padaku.'
Miki menelan ludah dengan susah payah. Matanya berlinanglinang. Dihitungnya bunga-bunga itu. Tepat dua puluh! Dua puluh mawar merah yang segar dan cantik. Secantik yang memberi, katanya dalam hati dengan pedih.
Dijatuhkannya dirinya ke atas kursi. Dia baru saja mengunjungi dokter untuk kedua kalinya. Hasil lab pemeriksaan darahnya tidak memuaskan. Bahkan fatal! Meskipun dokter tidak blak-blakan begitu, dia tahu, fatal. Sel-sel darah sudah berkurang dengan sangat mencolok. Menurut dokter, itu gejala kurang baik. Oh, bagaimana kalau Nina sampai tahu" Bagaimana bila waktunya cuma tinggal hari-hari melulu" Pasti akan hancur hatinya yang lembut itu!
Dan malam ini adalah malam pesta mereka. Rasanya dia tidak ingin pesta. Dia lelah dan cuma kepingin tidur saja, enggak mau lain-lainnya. Oh, asal saja itu tidak terjadi malam ini! Manusia memang bisa mati setiap saat, apalagi yang sudah diberi yonis. Tapi janganlah hendaknya malam ini. Oh, apa aku bisa tawar-menawar dengan Tuhan" Ah, aku cuma... suara langkah di luar menghentikan lamunannya. Dikenalinya itu langkah-langkah Nina.
Miki menoleh ke cermin. Disisirnya rambutnya, disekanya mukanya dengan saputangan, lalu dia berlagak asyik membuka sepatu. Tepat saat itu pintu terbuka dan Nina melangkah masuk.
"Hei," serunya riang. "Bungamu cantik sekali, Sayang. Tapi engkau masih jauh lebih cantik bagiku!" Miki berdiri, merentangkan kedua tangannya dan Nina berlari ke dalam pelukannya.
"Jadi kau suka"" tanyanya menengadah dan setiap kali berbuat begitu dia selalu teringat pertama kali melihat abang Ita: anak-anak menamakannya si Jangkung. "Kau suka, Mik" Aku sendiri yang mengaturnya."
"Suka" Lebih dari itu! Aku akan melukismu bersama mawar-mawarmu!"
"Wah!" Nina ketawa gembira dan memeluknya lebih erat.
"Itu akan menjadi hadiahku bagimu! Hadiah yang enggak bisa dibeli di toko!"
"Benar, nih"" seru Nina. Lalu selang sesaat menambah, "Kau harus membuat lukisan itu seindah mungkin, lho! Sebab aku mau memamerkannya pada teman-temanku, terutama si Magda, bekas pacarmu!" "Setan, kau!" seru Miki ketawa. "Magda tak pernah jadi pacarku!"
"Enggak pernah, ya sudah," tukasnya terengah-engah. "Tapi jangan pijit hidungku dong!"
Miki mendadak sesak napas. Masa teriak sebentar saja sudah habis napas, pikirnya sengit dan tak mau mengatakannya pada Nina. Setenang mungkin dia pergi mandi. Miki diam-diam bersyukur bahwa Nina sudah menyediakan air panas. Dia merasa panas dingin mendadak, sehingga pasti takkan tahan air dingin. Kalau minta air panas, pasti akan menimbulkan curiga atau malah panik!
* * * Malamnya dengan senyum gembira kedua manusia yang berbahagia itu bersama-sama meniup lilinlilin mereka disaksikan seisi rumah.
Sesuai dengan keinginan mereka berdua, tidak diadakan pesta dan tak ada seorang pun tamu yang diundang. Tak ada ucapan selamat dari luar rumah kecuali dari keluarga Nina di Bandung dan dari Kris.
Setelah meniup lilin dan makan kue-Miki ikut makan juga untuk membuktikan bahwa sakit perutnya sudah benar-benar sembuh-mereka duduk di ruang tengah. Miki dan Nina berpelukan di sofa. Senyum bahagia masih menghias wajah mereka ketika Miki memanggil kedua anaknya. Joni bersama Andi segera berlari muncul dari tempat mereka membuat pe-er. lalu berhenti di depan mereka. Nenek dan Kakek sedang berjalan-jalan di kebun menikmati bulan purnama. Mereka cuma berempat di ruang itu.
Bukan Impian Semusim Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Miki menatap anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Diraihnya tangan kedua anak itu dan digenggamnya. "Joni dan Andi," katanya menatap mereka dengan lembut, "Papa mengabulkan permintaan kalian. Engkau boleh masuk seminari, Jon."
"Saya juga"" tanya Andi dengan cepat
"Ya, kamu juga." Miki mengangguk tersenyum.
"Terima... kasih, Pa," bisik keduanya, parau tapi senang. Mata mereka berbinar-binar.
Miki mengangguk. "Oke. Tapi kalian mesti berjanji akan melakukan tugas kalian kelak dengan sepenuh hati dan serius! Menjadi imam bukanlah hal sepele! Imam adalah pembantu utama, pembantu pribadi Allah. Kalian harus membawakan semua pesan-pesanNya. Berjanji"" "Berjanji, Pa," bisik keduanya serentak, sambil melirik ibu mereka yang tengah mengawasi sambil tersenyum.
"Baiklah. Sudah sana, bereskan pe-er kalian!"
"Oh, aku sangat bangga padamu, Mik!" bisik Nina ketika anak-anak sudah berlalu.
Bab 29 MIKI mula-mula ingin melukis Nina dan bunga-bunga mawarnya malam itu juga. Namun kemudian dibatalkannya, sebab dia merasa amat lelah.
"Sabarlah sampai besok, Nin," katanya seakan membujuk padahal Nina tidak ingin dilukis. "Aku kan sudah mengambil cuti seminggu."
Sebenarnya mereka merencanakan mau mengajak anak-anak liburan akhir pekan ke pondok Rudi dan Ola di tepi laut. Tapi melihat keadaan Miki, Nina menangguhkan. Dilihatnya suaminya makin pucat dari hari ke hari. Terkadang sesak napas walau cuma sebentar. Tapi yang sakit sendiri selalu meremehkan kekhawatirannya dan dengan terbahak riang memeluknya seakan itu bisa menghalau pergi semua rasa gundah.
"Aku enggak kenapa-kenapa, percayalah!" serunya. Namun tak dapat disangkal bahwa kerjanya sekarang agak lamban. Nina menghitung sudah lima kali dia berpose Hap pagi di studio, tapi lukisan itu belum juga selesai. Mawar-mawarnya sudah mulai layu sehingga Nina mengusulkan untuk membeli yang baru. Tapi Miki tidak mau.
"Aku mau melukis mawar-mawar pemberianmu, Nin. Bukan yang bisa kita beli di toko."
Miki amat tekun dengan kerjanya. Setiap pagi mereka berdua mengunci diri dalam studio sampai makan siang. Setelah itu Nina melarangnya bekerja terus. Dibujuknya dia untuk tidur. Miki tak mau membantah istri atau dia sudah terlalu lelah untuk menolak.
Setiap pagi, bila Miki sedang asyik dengan cat-catnya dan tidak melihat, Nina asyik pula memandanginya. Entah kenapa, dia punya dugaan bahwa penyakit Miki kambuh lagi. Mukanya yang pucat, batuk-batuknya, sesak napas, pegal-pinggangnya, demamnya. Malah dia pernah mimisan sekali lagi, tapi untung lekas berhenti dan Miki menolak diajak ke dokter.
Siang itu Miki sedang tidur. Nina pergi ke studio dan duduk di depart lukisan yang akan menjadi hadiah ultah perkawinannya. Dua puluh tangkai mawar merah yang indah dan cantik. Di dalam kursi beledu merah duduk seorang wanita bergaun kuning muda. Wanita itu berusia sekitar akhir tiga puluh. Wajahnya putih bersih, sayu, penuh rahasia. Senyum kecilnya menawan sekali. Lengkung alisnya sempurna. Matanya tajam namun lembut. Tapi leher dan bagian atas tubuhnya belum lagi terbentuk.
Nina menahan napas, Dia hampir tidak mengenali diri sendiri di atas kanyas. Terlalu bagus! pikirnya seketika. Ini terlalu cantik! Ini bukan diriku! Ah, Miki selalu melebih-lebihkan penampilanku! Air mukaku tidak seharusnya begitu berseri-seri! Aku yakin wajahku kini cuma memancarkan kedukaan belaka. Sebab aku tahu tak lama lagi... ah, kenapa aku jadi memikirkan hal
-hal yang buruk" Apa kata Dokter Saksono tempo hari" Bergembiralah selalu supaya si sakit jangan curiga....
Yah! Miki sakit. Dia tahu, penyakitnya sedang kambuh. Apakah ini pangkal dari ujung perjalanannya" Kalau saya boleh memohon, ya Tuhan, saya ingin memohon agar terjadi keajaiban yaitu supaya Miki jangan binasa. Sembuhkanlah dia ya, Tuhan! Engkau yang telah membuat Sara, istri Ibrahim, mengandung ketika dia sudah mati-haid, Engkau yang telah membangkitkan Lazarus dari kematiannya yang sudah empat hari, kasihanilah kami, Tuhan. Kasihanilah Miki. Dia sudah menyerahkan dengan rela kedua anaknya untuk menjadi pekerja-pekerja di ladangMu, janganlah Kauabaikan kesetiaan dan pasrahnya padaMu. Penyakitnya kambuh lagi, Tuhan. Semalam saya meraba sebuah benjolan baru di leher. Di belakang telinga, sebuah lagi. Juga pada perut sebelah kanan. Oh, mengerikan, Tuhan. Benjolan di situ bukan main banyaknya, bersambung-sambung seperti rosario. Saya tak berani bilang apa-apa, khawatir Miki nanti curiga bahwa sakitnya kambuh lagi dan menjadi depresi.
Nina mengelus kanvas di depannya. Dia tahu, lukisan itu mungkin takkan selesai. Tadi pagi bunga-bunga itu sudah dibuangnya ke tempat sampah, dan Senin depan Miki sudah ngantor lagi. Mereka takkan sempat berpose-pose lagi. Ketika dia membuka lemari, agak terkejut hatinya melihat sekuntum mawar tergeletak di atas pakaian Miki.
"Apa kau sudah jadi pesolek sekarang, Mik" Pakai mengharum-harumkan pakaian segala!" tegurnya ketawa.
"Ah, masa aku enggak boleh menyimpan tanda mata buat hari tua"" Miki balik bertanya sambil menyeringai.
Ah, Tuhan, apakah akan ada hari tua baginya" Dan bagi kami berdua" Tuhan, Tuhan, Engkau yang begitu Pengasih dan Penyayang, dengarkanlah jeritan hatiku ini.... Ketukan di pintu mengejutkannya. Dilihatnya sekilas arloji. Astaga! Dia sudah tiga jam melamun di sini! Dari jendela dilihatnya langit yang sudah mulai kelabu dan daundaun flamboyan yang bergoang pelan seakan mengucapkan selamat jalan ada matahari.
Disapunya matanya dengan punggung tagan, lalu bergegas bangkit. Diputarnya gerenel. Miki langsung menyerbu masuk, langsung memeluknya. "Hei," serunya ketawa riang, Apa-apaan nih, main sembunyi-sembunyian di sini" Sampai payah aku mencarimu ke seluruh rumah. Kusangka kau sudah minggat, untung Anis memberitahukan bahwa kau kemari. Eh tahu enggak nih, ada larangan menginjak milik pribadi orang lain" Tahu enggak apa sanksinya kalau ada yang melanggar"" ancam Miki mendelik. Tentu saja Nina tahu, dia cuma bercanda.
"Ah, ini kan bukan milik orang lain, tap milik suami saya sendiri, Pak. Mengenai sanksi ah, saya enggak takut. Apa sih yang bisa di lakukan seorang suami terhadap istrinya" Paling-paling cuma..." Nina tidak melanjutkan kata-katanya, sebab Andi mendadak muncul d ngan segulung kertas. Dia lupa, anak itu biasa latihan menggambar sore-sore.
"Selamat sore, Ma, Pa," sapanya tenang seakan tidak dilihatnya kedua orangtuanya tengah berpelukan. "Selamat sore, Di," balas Nina, tapi Miki cuma mengangguk. Nina mencoba melepaska diri, tapi pelukan malah dipererat. Wajah Nina menjadi merah, malu terlihat oleh Andi, walaupun anak itu tidak memperhatikan mereka. "Mik, gila kau!" bisiknya ke kuping.
Miki cuma terkekeh. Dan seakan itu rahasia antara laki-laki dengan laki-laki, dilihatnya Andi saling melirik dengan ayahnya lalu Miki mengedip sebelah. Ini sudah keterlaluan, piki Nina. Tanpa berpikir lagi digigitnya lengan Miki. "Aw, aw!" jerit korban mengibaskan tangannya yang sakit. Nina mengambil kesempatan ini untuk melepaskan diri, lalu lari keluar. Miki tidak mencegah.
Miki tak dapat mencegahnya lagi sejak itu. Dia terus berbaring saja walaupun hatinya jengkel. Dia tidak betah diam terus di ranjang tanpa berbuat apa-apa kecuali melamun, memikirkan yang tidak-tidak. Tapi apa boleh buat. Kalau dia mencoba berdiri, rasanya dunia mutar-mutar seperti kincir angin. Kalau dia bicara kelamaan, napasnya agak sesak. Tubuhnya penuh bercak-bercak perdarahan di bawah kulit. Tapi Miki masih berkelakar dengan dokter yang dipanggil ke rumah. Karena Nina selalu hadir bila dokter meme
riksa Miki, maka Dokter Pujo tak mau banyak omong, khawatir bertentangan dengan kehendak pasien. Dia masih ingat pesan Miki agar istrinya jangan sampai tahu apa penyakitnya. Setiap kali Nina bertanya, "Bagaimana, Dok"" maka dia menjawab sungguh-sungguh, tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Terkadang Miki sakit perut tanpa sebab. Nina mengolesinya dengan balsam sementara si sakit meringis-ringis kesakitan. Tapi begitu nyerinya hilang, Miki kembali berkelakar lagi atau menggoda Nina.
'Kemarin,' tulis Nina dalam buku mereka, 'Miki mencoba bangun untuk menyelesaikan lukisan hadiahnya. Tapi ketika berdiri, dia langsung oleng dan jatuh lagi ke atas ranjang. Aku sedang membereskan meja toilet dan melihatnya dalam cermin. Semula kusangka dia akan mengeluh. Tahunya dia malah ketawa. "Uh, brengsek betul," pekiknya. "Masa aku enggak bisa berdiri" Kalah bayi enam bulan! Wah, apa ini enggak gawat, Nin" Seandainya kau minggat, gimana aku harus mengejarmu""
"Aku kan enggak bakal minggat," kataku ketawa, walau dalam hati aku..,' Nina lekas-lekas mencoret kalimat terakhir, mendadak teringat bahwa Miki akan membaca tulisannya nanti malam. Saat itu Miki sedang tidur dan Nina menungguinya. Sudah sepuluh hari dia terbaring terus. Orang-orang serumah bergantian menghadapnya, sehingga dia berseru terbahak-bahak bahwa dia sudah diperlakukan seperti raja.
Bila Miki sudah lelah membaca, Nina akan memutarkan musik atau membacakan sesuatu. Miki akan berlagak memejamkan mata, namun sebenarnya mengintip dan memperhatikan Nina yang tengah asyik membaca. Tentu saja yang diperhatikan tidak tahu. Miki lalu akan terbenam dalam segala macam kenangan dan lamunan. Bila Nina tiba-tiba mengajukan pertanyaan, "Apa kau sedang mendengarkan"" dia akan gelagapan. Sedikit pun tidak masuk ke otaknya apa yang dibaca Nina. Untung Nina tak pernah mengecek apa dia betul mendengarkan atau tidak.
Melihat Miki gelagapan, Nina tersenyum. Sungguh mati, kau masih tetap simpatik walau rupamu sudah mirip tulang dibalut kulit saja, pikirnya.
"Aku tahu, kau enggak mendengarkan apa yang kubacakan!" tuduhnya.
'Dan dia minta maaf seribu maaf,' tulis Nina pada hari lain, 'sehingga aku merasa iba dan cepat-cepat tersenyum lagi. Aku tahu, dia lelah. Tapi waktu disuruh tidur, dia enggak mau, dan memaksa aku meneruskan bacaanku seakan dia ingin mendengar suaraku terus-menerus.'
Miki membaca tulisannya sambil berbaring, lalu menambah di bawahnya: 'Memang aku selalu ingin mendengar suaramu, Sayang. Tak ada lagu mana pun yang lebih merdu dari suaramu. Aku memang lelah, tapi jangan mengira diriku sudah kehabisan tenaga! Coba-cobalah menipuku, dan kau akan tahu akibatnya!!!' Nina terkekeh-kekeh membacanya. "Kauingat Pak Isman"" tanyanya dengan senyum misterius.
"Ya. Kenapa"" sahut Miki yang mendadak curiga melihat senyum istrinya yang aneh.
Nina tidak menjawab, tapi terus saja tersenyum. Miki mengulangi pertanyaannya, namun Nina masih tetap membisu.
"Hei, kemari kau!'* perintahnya menggelegar.
Nina melenggok manja sambil masih mengulum senyum. Miki meraih kedua tangannya dan menggenggamnya erat-erat Dengan berlagak bengis ditatapnya Nina. "Dengarlah, Nyonya manis! Kau adalah milik Tuan Besar ini!" serunya menepuk dada. "Mengerti" Mengerti"!"
Nina mengangguk, pura-pura ketakutan. Miki menyeringai senang.
"Nah, lebih baik begitu! Lebih baik kau jinak-jinak padaku. Kau adalah milik pribadi yang tak bisa diperjualbelikan, mengerti! Jangan coba-coba mengambil keuntungan pada saat-saat begini! Tahu apa hukumannya kalau istri main pintu belakang" Nih!" serunya menjalankan telunjuk di seputar leher. Nina nyaris mau ketawa.
"Kalau begitu, sebaiknya kau lekas sembuh! Aku enggak tahan kesepian," rajuknya.
"Ooh! Berani taruhan! Iris kupingku, kalau aku enggak sembuh minggu depan! Atau paling lama, bulan depan!" serunya garang.
Nina ketawa, memeluknya, seakan mau meyakinkan Miki akan cinta sucinya. Tapi dalam hati dia meratap. Miki rupanya betul-betul tidak tahu apa-apa, pikirnya. Bagaimana bila minggu depan atau bulan depan takkan pernah tiba baginya"!
'Miki mengajak taruhan, minggu depan d
ia pasti akan sembuh,' tulis Nina dalam buku. 'Kalau dia kalah, aku boleh memotong telinganya. Aku sekarang sedang bingung memikirkan cara memotong telinga yang sebai-kbaiknya. Sebab aku kan enggak mau dia jadi jelek setelah enggak punya kuping sebelah! Tapi kalau dipikir-pikir, aku lebih suka kalah saja. Apa gunanya kupingnya kalau sudah terpisah begitu" Aku takkan bisa menjewernya lagi. Aku tak bisa membelainya. Atau menggigitnya. Oh, aku lebih suka bila Miki sembuh saja dan dia boleh tetap memiliki kedua telinganya. Kita akan berlibur ke pantai. Kali ini berempat dengan anak-anak.'
Setelah membaca tulisan itu, Miki ingin langsung menambah. Tapi tangannya mendadak gemetar begitu hebat sehingga bolpennya terlepas.
"Wah, celaka! Rupanya sarafku sudah mulai enggak beres. Nin, tolong dong tuliskan bagiku. Awas, jangan ceker ayam, ya. Hitung-hitung kita main sekolah-sekolahan!" Miki terkekeh membuat Nina terpaksa ikut geli.
"Kali ini aku memakai sekretaris. Dia bukan seorang sekretaris yang baik, sebab nulisnya lambat dan aku sering harus mengulang apa yang kukatakan. Tapi seperti biasa, dia telah berhasil memikat hatiku. Cerita direktur makan... eh, bukan makan, tapi,., nipu... ah, juga bukan... ya lebih baik,., makan!
'Cerita direktur makan sekretaris itu rupanya mungkin betul, sebab aku rasanya kepingin memakannya. Cuma enggak tahu gimana caranya. Aku ingin sekali cepat sembuh, setidak-tidaknya, bisa berdiri lagi, supaya aku bisa menyelesaikan lukisan istriku, yang kunamakan Bukan Impian Semusim. Kenapa aku namakan begitu" Aku sendiri enggak tahu. Barangkali karena istriku amat suka istilah itu. Menurutku, cita-cita Joni dan Andi untuk masuk biara
hanyalah impian semusim belaka, yaitu sesuatu yang rasanya diinginkan tapi sebenarnya tidak. Waktu akan menghapus bersih keinginan itu hingga tak bersisa sedikit pun lagi.
Ternyata aku keliru. Cita-cita mereka bukanlah impian semusim! Ya, aku memang banyak keliru. Misalnya tentang cintaku padamu, Nin. Aku tak pernah yakin bahwa orang bisa mencintai seseorang terus-menerus selama puluhan tahun. Malah makin hari makin mencintainya. Semula kukira cinta tak pernah kekal. Karena itu waktu kita menikah, aku enggak berharap akan mencintaimu selamanya. Maaf, ya, Nin, jangan marah. Tapi kan memang di dunia ini tak ada yang kekal, bukan" Memang waktu itu aku sungguh-sungguh mencintaimu. Tapi kukira semula bahwa itu cuma impian semusim belaka. Suatu ketika, musim akan berganti dan aku tak lagi menghendakimu. Tapi ternyata aku keliru besar. Bukan saja aku tak pernah berhenti mencintaimu, aku bahkan makin menyayangimu dari hari ke hari. Mungkin mukamu sudah mulai berkeriput, mungkin kulitmu sudah mulai dihinggapi bercak-bercak ketuaan, tapi aku tidak mempedulikannya. Bagiku kau tetap menarik seperti ketika aku pertama kali melihatmu. Mendengar suaramu saja bisa membuat jantungku berdegup lebih cepat. Hari terasa lebih cerah bila aku melihat senyummu, dan lenyap sakit perutku. Kau adalah obat yang paling mujarab untukku. Nin, aku bersyukur pada Tuhan karena telah dipertemukan denganmu.'
'Nin, barangkali setiap orang dalam hidupnya pernah mempunyai impian. Impian semusim yang akan berlalu begitu saja. Tapi mungkin juga dia salah menafsirkan impiannya yang ternyata bukan sekadar impian semusim. Mungkin impian itu terhalang sementara waktu atau seumur hidup, tapi dia akan mengendap selamanya dalam hati dan sesekali akan teringat kembali... bisa menimbulkan penyesalan atau sekadar tanda tanya 'kenapa enggak terlaksana"' Pada akhir tahun atau akhir hidup, manusia biasa membuat neraca kenapa begini, kenapa begitu....'
'Nin, cintaku padamu ternyata bukan impian semusim, seperti juga cita-cita anak-anak kita...,'
Jari-jari Nina tiba-tiba gemetar sehingga tulisannya menceng. Miki memegangi tangannya seakan mau menenangkan tremornya. Nina mengejap-ngejapkan mata untuk membendung tangisnya.
"Kau percaya, bukan"" bisik Miki lembut.
Dengan lemah lunglai Nina menelungkup di atas dada suaminya serta memeluk lehernya. Air matanya bertetes-tetes membasahi selimut. Pena dan buku mereka dibiarkannya
terjatuh ke lantai. "Aku percaya, Mik," bisiknya hampir tak terdengar.
"Kenapa kau menangis, Nina"" tanya Miki sambil membelaibelai rambutnya dengan penuh sayang. "Aku kan enggak kenapa-kenapa. Sebentar lagi juga pasti sembuh. Kau ini seperti ibuku. Sedikit saja ada yang sakit dalam rumah, rusuhlah hatinya."
"Aku menangis karena bahagia, Mik."
"Ya, aku juga," bisik Miki dengan mata berkaca-kaca. "Apa pun yang terjadi, ingatlah, Nin, impian kita telah terwujud menjadi kenyataan sepanjang musim. Bukan cuma semusim. Apa pun yang akan terjadi, kenangan manis kita takkan pernah lapuk. Matahari akan selalu bersinar bagi kita berdua. Takkan pernah ada kesulitan yang tidak mungkin kita atasi. Dalam cinta ini, kita akan menjadi kuat, Sayang. Karena cinta kita bersatu di dalam Tuhan. Dialah sumber segalanya bagi kita. Jangan pernah meninggalkanNya."
Miki terus membelai-belai kepala Nina. Ingin sekali ditumpahkannya seluruh isi hatinya, tapi tak mungkin. Dia tidak ingin Nina tahu apa yang tengah dideritanya.
"Mik, aku ingin membuat sebuah pengakuan. Tapi sebelumnya, aku minta kau jangan marah dan mau memaafkanku."
"Kau tahu, aku akan selalu memaafkanmu, apa pun yang telah kaulakukan."
"Mik," bisik Nina merebahkan pipinya yang basah di atas selimut suaminya, "aku juga pernah punya impian semusim seperti anak-anak. Kau tahu itu, kan" Aku betul-betul serius mau jadi suster, hidup penuh pengorbanan. Karena itu ketika kau menghendaki aku sebagai istrimu, aku cuma menganggapmu sebagai suatu jalan pengorbanan belaka. Pikirku, kalau enggak menjadi suster, baiklah aku kawin dengan orang yang sama sekali tidak kucintai. Aku yakin hidupku akan penuh pengorbanan. Aku yakin cita-citaku akan menghantuiku seumur hidup.
"Tapi ternyata aku salah, seperti engkau! Impianku ternyata tidak menghantuiku. Bahkan lambat laun tanpa kusadari, aku sudah jatuh cinta padamu. Aku tak pernah tahu bahwa aku dapat mencintai orang lain sebesar itu, sampai-sampai aku lebih sering memikirkan engkau daripada diriku sendiri."
"Setelah mengenalmu dengan baik, aku insyaf, dulu itu aku cuma memikirkan diriku semata-mata. Aku cuma memikirkan bagaimana bisa menjadi suci, bagaimana bisa masuk surga dan mendapat kelas satu di sana. Aku tak pernah sungguh-sungguh memikirkan bagaimana membahagiakan orang lain. Bagaimana mengasihi orang lain. Aku pelajari itu semua darimu. Terima kasih, Mik, untuk semua yang telah kauberikan padaku. Perhatianmu, cintamu, dan seluruh hidupmu."
Nina mengangkat mukanya dan menatap Miki dari balik air mata.
"Percayakah kau bila kukatakan, aku betul-betul mencintaimu""
"Aku percaya," sahut Miki dengan mata berlinang, sambil menghapus air mata Nina dengan jari-jarinya yang amat kurus.
Oh, Mik, betapa kurusnya kau! keluh Nina dalam hati. Bukan main pucatnya wajahmu. Miki, Miki! Seandainya kau tahu, bahwa hariharimu sudah dihitung-hitung olehNya! Bila kau tahu!
Bab 30 PADA suatu hari Andi mendekati ibunya ketika Nina sedang duduk-duduk dalam studio memandangi lukisan hadiahnya yang tak kunjung selesai. Miki sedang tidur siang.
Tanpa aba-aba lagi anak itu langsung menggenggam kedua tangan ibunya dalam kedua telapak tangannya. Ditatapnya Nina dengan matanya yang bulat jernih dan masih kekanakkanakan.
"Ma, percayakah Mama, Tuhan itu Maha Pemurah dan Maha Pengasih" Percayakah Mama, Tuhan selalu murah hati pada orang-orang yang murah hati padaNya" Ma, jangan nangis, Ma. Percayalah, Papa pasti akan sembuh, Ma. Joni dan saya mendoakannya setiap hari. Papa sudah mengizinkan kami masuk seminari. Ini kan pengorbanan yang amat besar buat Papa. Tuhan pasti akan membalas pengorbanan Papa. Tuhan pasti akan melindunginya. Ma, sudah, Ma, jangan nangis."
"Oh, Andi, anakku!" Nina mendekapnya sambil tersedu-sedan, tidak mampu berkata-kata lebih dari itu.
* * * Pada suatu malam, dua hari kemudian, Miki merasa lelah dan siang-siang sudah tidur. Nina belum mengantuk. Jadi dia menemani sambil membaca-baca buku harian mereka, dengan niatan mau mengisinya nanti.
Dia begitu keasyikan membaca, sehingga dering telepon tidak langsung menyentakkan perhatian
nya. Pesawat itu memang sudah disetel, sehingga deringnya cuma kedengaran seperti dengung lebah, untuk mencegah Miki terganggu tidurnya. Sudah hampir seminggu dia susah tidur, sehingga Dokter Pujo memberinya obat tidur. Tapi setelah diminum dua kali, dia merasa begitu lesu siangnya, sehingga akhirnya dia tidak mau lagi menelannya.
Perhatian Nina terpusat pada buku di depannya. Dia sama sekali tak pernah mempedulikan pesawat di atas meja riasnya, sebab tak pernah diperlukannya. Bila ada telepon masuk, biasanya pesawat di ruang keluarga yang diangkat, bukan yang di kaniar.
Setelah berdengung beberapa kali, mendadak Nina tersentak. Telepon berbunyi. Kenapa tak ada yang mengangkat" Ah, mungkin Papa dan Mama sedang berjalanjalan di kebun membicarakan rencana untuk merombak rumah serta tanaman. Dan anak-anak" Pasti mereka sedang di dalam kamar, menyetel musik keras-keras sehingga tak ada suara lain yang bisa mereka dengar.
Nina meletakkan bolpen di tangannya, lalu meraih pesawat
"Halo"" Suara laki-laki itu tidak dikenalnya dengan segera. "Saya Dokter Pujo."
Pantas, dia memang sudah cukup lama tidak melihatnya, dia sudah agak lupa seperti apa suaranya. "Oh, selamat malam, Dok."
"Selamat malam. Dapatkah saya bicara dengan Pak Miki Rodan"" "Dia sedang tidur. Ada perlu penting, Dok"" "Tidak bisa dibangunkan, saya kira""
"Barusan saja pulas, Dok. Dia susah tidur sekarang," bisik Nina seakan minta maaf karena tak mau membangunkannya.
"Ya, saya mengerti. Kalau begitu, baiklah saya akan bel lagi besok pagi."
Besok pagi" Sekiranya ada sesuatu yang sangat penting" Kenapa harus tunggu sampai besok"
"Saya ini istrinya, Dok. Barangkali Dokter bisa menyampaikannya pada saya untuk nanti saya teruskan""
Dokter Pujo tidak segera menjawab. Hening di seberang sana, sehingga Nina seketika khawatir jangan-jangan pesawat sudah diletakkan.
Untung tidak. Setelah beberapa detik, kedengaran suara batuk kecil, lalu dokter menyambung lagi. "Hm, saya tidak tahu apakah saya sebaiknya bicara pada Pak Miki saja atau boleh saja Ibu...."
"Kalau ini mengenai sakitnya," bisik Nina ke dalam pesawat, "Dokter tak usah ragu. Saya tahu semua!"
Terdengar suara seperti orang keselak. Dokter Pujo tentu saja masih ingat pesan Miki. Kalau sekarang istrinya sudah tahu; yah mungkin diberitahu sendiri oleh pasiennya (walaupun ketika terakhir dia kunjungan-rumah, tak ada tanda-tanda bahwa Ibu Rodan mengerti sampai di mana penyakit suaminya sebenarnya). Bagaimanapun, sekarang keadaan akan menjadi lain. Setelah dia mengatakan pesannya ini, semua orang di rumah Pak Rodan pasti akan tahu apa penyakitnya. Jadi, tak ada salahnya kalau dia bicara langsung pada Ibu Rodan.
"Hm. Baiklah, Bu Rodan. Kalau Ibu menyatakan sudah tahu, saya pun tak usah panjang lebar lagi menerangkan. Saya mau to the point saja. Begini, Bu. Beberapa hari yang lalu saya kebetulan bertemu dengan sejawat yang baru pulang dari Amerika. Dalam diskusi, kami sempat membincangkan penyakitpenyakit, antara lain seperti yang diderita oleh Pak Rodan. Rekan saya itu memberitahukan sesuatu yang mengejutkan sekaligus memberi harapan. Katanya, di sana tengah dilakukan riset besar-besaran mengenai penyakit-penyakit beginian, dan hasilnya banyak yang mengagumkan. Bahkan ada yang sudah dimuat resmi dalam majalah-majalah ilmiah. Pengobatan yang sedang diriset ini sungguh ultramodern, sayang kurang saya mengerti, sehingga tak bisa saya jelaskan pada Ibu. Tapi intinya adalah begini: rekan saya mengusulkan agar Pak Rodan dibawa saja ke sana. Kebetulan dia kenal pribadi dengan ketua tim risetnya. Dia bersedia menuliskan surat ke sana. Ibu cuma perlu mengurus tiketnya saja. Akomodasi di sana dan lain-lain akan mereka sediakan. Biayanya memang mahal sekali, tapi saya tahu takkan jadi masalah bagi keluarga Ibu. Saya tidak menjanjikan keajaiban atau apa pun, Bu, tapi apa salahnya bila kita coba, bukan" Baiklah nanti-besok- Ibu rundingkan dengan Bapak, dan saya tunggu kabar. Kalau bisa, sebelum jam delapan besok, agar saya bisa mengontak rekan saya segera."
Nina tak tahu lagi di mana jantungnya. Rasanya sekujur tubuhnya
berdenyut tak keruan. Tangan yang menggenggam pesawat basah berkeringat, sehingga tangkai telepon itu nyaris terlepas. Dipereratnya genggamannya. Suaranya berdesah seperti orang barn lari maraton.
"Dokter," bisiknya terengah. "Tak usah tunggu besok. Saya bisa mengiyakan sekarang juga. Saya setuju dengan rencana itu. Ke mana pun akan saya bawa dia, asal bisa disembuhkan."
"Oh, ini lebih baik lagi. Oke, kalau begitu Ibu boleh segera mulai dengan persiapan keberangkatan. Kalau Ibu memerlukan surat keterangan dokter untuk minta visa, Ibu tinggal bel saja, nanti saya buatkan."
"Baik, Dokter. Oh, banyak terima kasih. Dokter," Dan begitu pesawat diletakkan, Nina berseru lantang, "Oh, terima kasih, Tuhanku!" Air matanya langsung menetes turun.
"Hei, bicara dengan siapa kau" Kedengarannya seperti menyebut-nyebut nama dokter begitu""
Nina terperanjat mendengar suara Miki dari ranjang, Astaga! Rupanya dia terjaga! Apa suaranya di telepon terlalu keras sampai dia telah membangunkannya" Cepat-cepat disekanya matanya dengan tangan sebelum dia berani berbalik ke arah Miki.
"Ayo, ceritakan semuanya! Suaramu seperti semut, aku tak bisa menangkap apa-apa."
Nina melangkah ke ranjang tanpa melepaskan Miki dari pandangannya. Jadi kau sebenarnya sudah tahu apa penyakitmu, Mik" Tapi kau berlagak tidak kenapa-kenapa" Apa kau mau menipu dirimu atau ingin menghibur aku"
Nina duduk di pinggir tempat tidur, menggenggam sebelah tangan Miki. Mereka saling bertatapan sejenak.
"Hei, kelihatannya seperti habis nangis!" tuduh Miki dengan nada mau bercanda. Tapi Nina tidak kepingin meladeninya saat itu. Bicaranya serius sekali.
"Dokter Pujo tadi mengatakan, kau harus dibawa ke Amerika. Mungkin bisa sembuh!"
"Hei, ngaco belo apaan, nih"! Memangnya aku sakit apa" Dokter Pujo ngaco, tuh! Barangkali dia salah sambung! Aku kan enggak kenapa-kenapa, Nin. Kau tak usah khawatir enggak keruan. Sebentar lagi juga aku pasti akan sembuh! Sekarang pun sudah mendingan...." Dan seakan mau menguatkan perkataannya, Miki ketawa lebar. Tapi Nina tetap serius.
"Dokter Pujo dengan jelas mengatakan bahwa Pak Miki Rodan sebaiknya dibawa ke Amerika. Rekannya yang baru pulang dari sana menceritakan mengenai riset pengobatan penyakit-penyakit seperti yang kauderita ini. Dan aku sudah mengiyakan, setuju!"
Miki terdiam dengan mata terbuka lebar. Entah apa yang berkecamuk dalam pikirannya saat itu. Matanya menatap Nina tanpa berkedip. Ketika sesaat kemudian dia bicara, suaranya lugu seperti bocah.
"Jadi... kau sebenarnya sudah tahu... apa sakitku" Sebenarnya aku tidak ingin kau tahu! Dokter Pujo sudah aku..."
"Rupanya karena itu dia ragu bicara terus terang padaku! Aku kan istrimu" Atau bukan" Kenapa merahasiakannya terhadapku"" Nina hampir mengisak sebab penuh emosi.
"Aku tidak ingin kau tahu, lalu menjadi gelisah, Nin," bisik Miki dengan nada minta maaf sambil membelai-belai lengan Nina. "Kusangka selama ini kau belum tahu!"
"Aku minta info sama Dokter Saksono... kusangka engkau pun belum tahu!"
"Jadi kita sama-sama sudah tidak jujur"" Miki menegaskan seakan cuma Nina yang bersalah. Mereka saling bertatapan, kemudian meledak ketawa bersama.
"Sudahlah, biarkan aku keluar menemui orangtuamu. Aku ingin mengabarkan perkembangan ini pada mereka dan anak-anak."
"Semuanya tahu""
Nina menggeleng. "Tak ada yang menduga bahwa kau sudah... sudah... mereka menyangka sakitmu biasa-biasa saja, radang usus dan batuk... seperti begitulah. Tunggulah, aku keluar sebentar. Soalnya besok segala surat-surat sudah harus mulai aku urus,"
Dan minggu itu adalah minggu yang paling hektik bagi Nina. Dia sampai tidak ingat makan lagi, kalau tidak diingatkan oleh ibu mertua berkali-kali.
Yang terberat adalah malam itu ketika dia harus membeberkan keadaan Miki yang sebenarnya di depan seluruh keluarga, Ayah-Ibu dan anak-anak. Mereka kelihatan kaget dan sedih. Ibu mertuanya berulang kali bergumam sendirian, "Astaga! Tidak kusangka Miki jadi begitu!" Namun untunglah tak ada yang menyalahkannya atau menyesali Miki kenapa sok berahasia-rahasiaan.
Setelah perundingan mengenai keberangkatan M
iki selesai dibicarakan, kedua orangtuanya mengundurkan diri ke teras belakang. Joni dan Andi mendekati ibu mereka.
"Jangan khawatir, Ma. Kami akan berdoa setiap hari untuk Papa. Kami akan berdoa rosario tiap hari. Ma!" kata Joni memeluknya.
"Iya, Ma, percaya pada Tuhan di surga, Ma. Papa pasti bisa sembuh! Kami akan berdoa tiap pagi dan malam, Ma," ujar Andi, memeluknya di sebelah yang lain.
"Terima kasih, anak-anakku," Nina memaksakan diri tersenyum. "Papa memang sangat memerlukan doa-doa kalian."
* * * Tepat seminggu kemudian Miki bersama Nina naik pesawat PANAM menuju New York. Miki sebenarnya dianjurkan oleh dokter agar minta kursi roda, tapi dia menolak keras. Dalam keadaan payah pun dia masih belum kehilangan humornya.
"Wah, jangan dong! Dikira aku ini sudah tua renta nanti! Kita kan mau pergi naik PANAM, Nin, bukannya naik kereta barang! Kalau dilihat cewek-cewek bahenol gimana"! Cowok pakai kursi roda" Pasti impoten! Melirik pun mereka pasti ogah! Hilang dong kegembiraanku bertamasya kalau begitu! Huh, setua ini, ke Bali pun belum pernah! Eh, sekali-kalinya bisa ke luar negeri, ternyata cuma buat berobat! Huh, nasib!" keluhnya tapi dengan mimik Jenaka, sehingga Nina mencubit pipinya dengan gemas.
"Kau tentu senang nih, mau ke Amerika!" tuduhnya berlagak keki. "Begitu sampai pasti kau langsung menyerbu toko, biar deh aku dititipkan saja di rumah sakit! Shopping!. Itu penyakit cewek!"
"Tahu saja!" Nina menanggapi, tersenyum.
Karena itu perjalanan lama, sedangkan Miki sangat perlu istirahat, maka mereka minta kelas satu dengan kabin. Jadi Miki bisa tidur. Tapi dia lebih senang duduk melonjor, memperhatikan pramugari-pramugari cakep hilir-mudik.
Penumpang kelas satu jumlahnya tidak sampai tiga puluh, tapi yang melayani mereka seakan tak terhitung banyaknya, saking seringnya mereka muncul. Ada-ada saja yang ditawarkan. Dan mereka semua hapal nama setiap penumpang.
Miki kelihatan tercengang ketika untuk pertama kalinya seorang cewek cantik membungkuk di sebelah kursinya, lalu menyebut namanya.
"Mister Rodan... mau minum apa""
Sejenak dia tergugu, sehingga Nina terpaksa menolong. "Susu hangat, kalau bisa."
Setelah nona manis itu mengangguk dan berlalu dengan meninggalkan sepotong senyum yang menggiurkan, Miki menoleh dan melotot pada Nina.
"Susu! Gila kau! Disangkanya aku idiot yang masih nyusu! Lain kali biarkan aku ngomong sendiri, lidahku masih bagus!"
Nina ingin ketawa tapi tidak jadi melihat Miki uring-uringan.
"Maaf, deh. Habis, orang menunggu jawaban, kau cuma celangap saja!"
"Habis, aku kaget banget, dia sampai tahu namaku! Mana cakepnya kayak...!"
"Duh, baru berapa meter dari rumah, matamu sudah jadi keranjang! Apalagi nanti di rumah sakit, seharian dikerumuni selusin suster-suster cakep! Ce, ce, ce!"
"Jangan khawatir. Hatiku tetap padamu. Tapi meluaskan pemandangan kan boleh"! Ini namanya keistimewaan kelas satu! Senyum dan keramahan itu bisa dibeli, Nin! Coba lihat kelas ekonomi, orang ditumpuk kayak sarden, melonjorkan kaki saja belum tentu leluasa!
"Eh, kaupikir kalau aku tepak bokong cewek tadi, dia akan marah enggak, ya"" Miki nyengir. "Aku rasa dia takkan marah. Habis, kan penumpang dianggap raja kalau di kelas satu""
"Mana aku tahu! Harus kaubuktikan sendiri, kalau berani!"
"Kaupikir aku enggak berani""
Nina mengangkat bahu. Miki kelihatan mikir-mikir. Mungkin dia akhirnya akan bertekad membuktikan teorinya bahwa cewek itu takkan marah. Namun sayang tekadnya tidak terlaksana. Sebelum pramugari itu kembali, dari mik sudah terdengar peringatan agar penumpang bersiaga menghadapi cuaca yang memburuk. Tinggal di kursi, kenakan sabuk pengaman, tegakkan sandaran, matikan rokok. Pesawat oleng ke kiri lalu meliuk ke kanan, kemudian menukik terjun ke bawah.
"Aw, isi perut serasa mau copot!" komentar Miki sambil berpegangan ke tangan kursi. Nina menoleh tapi membisu. Wajahnya kelihatan cemas. Miki menjangkau tangannya dan menggenggamnya erat-erat.
"Jangan khawatir, Nin. Enggak apa-apa. Ini mungkin cuma kantong udara yang kosong. Tuh, lihat, pramugariku datang dengan segelas susu, lenggan
gnya anteng saja. Dia enggak kelihatan takut. Jangan mau kalah dong, Nin. Nanti ketahuan kita ini udik, baru pertama kali terbang!" Miki terkekeh geli, membuat Nina ikut tersenyum.
Memang benar. Noni cantik bercelemek putih itu muncul dengan senyum patennya, menyorongkan gelas susu bagi Mister Rodan.
"Kalau perlu apa-apa, tekan saja tombol ini, Mister Rodan,"
Miki mengangguk dengan gaya eksekutif tulen, sayang kurang ditunjang oleh porsi tubuhnya yang kerempeng. "Aku mesti makan banyak di sini, Nin. Aku akan minta tambah. Mana ada sih bos badannya seperti cecak kering" Dan aku terang harus dianggap bos, dong. Kalau enggak, percuma saja beli kelas satu, mahal-mahal."
"Jangan khawatir. Setiap penumpang di kelas satu pasti dianggap bos walaupun kenyataannya dibayarin perusahaan!" ujar Nina menenteramkan Miki. "Kan memang perlu makan banyak. Sayang kan bayar begini mahal kalau enggak dihabiskan. Malah Dokter Pujo bilang, kau enggak perlu pantang. Boleh makan apa saja."
Untung cuaca lekas pulih kembali. Kedengaran suara Kapten minta maaf atas ketidaknyamanan tadi, seakan dialah penyebab udara yang buruk itu. Penumpang dipersilakan bergerak kembali, tapi kalau mau tetap duduk, dianjurkan supaya mengenakan sabuk pengaman.
"Dengar tuh, Nin! Jangan lepaskan sabukmu. Pernah kejadian, kan, orang tersedot keluar pintu karena enggak pakai sabuk!"
"Habis enggak betah sih diikat-ikat begini," keluh Nina.
"Longgarkan saja jadi kau enggak merasa dibatasi." Nina membiarkan Miki melonggarkan sabuknya lalu memasangnya kembali.
Rasanya baru saja mereka duduk santai menyandarkan punggung ke belakang serta memejamkan mata, ketika sudah muncul lagi dua orang pramugara dan pramugari menawarkan minuman.
"Mister Rodan," tanya pramugari (yang lain lagi) tersenyum ala iklan Pepsodent, "mau anggur, bir, atau Coca-Cola""
"Nyonya Rodan," sapa pramugara yang tampangnya mirip Rock Hudson, sudah tentu dengan senyum istimewa pula, "mau anggur, bir, atau Coca-Cola"" "Coca-Cola, plis."
Miki melirik Nina dengan lagak membodohi. Nina menangkap arti pandangannya. Huh! Kayak bocah! Kalau Coca-Cola sih, di rumah juga bisa minum sampai puas!
Miki minta anggur. Dan untuk makan, dia pesan champagne! Bukan main suamiku, pikir Nina geli. Dasar baru pernah keluar kandang!
Tak lama setelah itu, muncul pramugari lain. Wajahnya memang tidak sama, tapi senyum dan perhatiannya, aduhai! Begini rasanya kalau orang dianggap banyak duit!
"Enggak heran, ya, Mik, semua orang berlomba mau jadi milyuner, sampai-sampai segala jalan dihalalkan. Menjual narkotik, menjual senjata, menjual racun!" Nina menggeleng-geleng.
"Tapi kan memang sedap diperlakukan seperti raja, bukan"" Miki menyeringai.
Pramugari itu tiba di barisan mereka. Dia membungkuk di samping kursi Miki. "Mister Rodan, kaviar"" Miki kelihatan tertegun cuma sedetik, lalu segera mengangguk. Ketika pramugari itu tengah membelakangi untuk menyendok kaviar dari meja dorongnya, Miki menoleh, dan melelerkan lidah pada Nina.
"Buset! Semua orang apal namaku!"
Dari sisi yang lain, Nina juga ditawari hidangan yang sama oleh pramugari lain. Terpaksa dia mengangguk supaya tidak kelihatan kampungan, juga sebab dia ingin mencoba, juga sebab tak ada pilihan lain yang lebih menarik. Sejumput warna hitam diletakkan di hadapan mereka. Sudah tentu dengan makanan kecil pengantarnya. "Kaya apa sih rasanya kayiar yang selalu disohorkan orang"" gumam Nina.
"Pokoknya, selania bukan racun yang ditawarkan, kita harus terima saja, Nin, supaya jangan diketawain mereka!" Nina mencicip hidangan pembuka itu, lalu mendesah, "Ah, biasa saja rasanya."
"Untunglah," sambut Miki. "Kalau kau sampai tergila-gila pada telur ikan ini, bisa bangkrut aku! Ini kan mahal, Nin."
Setelah kayiar, maka berderet-deretlah hidangan lain ditawarkan, seakan itu sebuah pesta makan yang takkan berhenti. Begitu banyak ragamnya, sehingga Miki sudah kekenyangan sebelum sempat minta tambah.
Begitulah perjalanan yang melelahkan itu dilewatkan dengan cukup menyenangkan, padat dengan acara-acara makan, minum, membaca-baca majalah, mendengarkan musik, menonton f
ilm, tiduran, makan lagi, minum lagi, membaca-baca....
* * * Miki tertidur, melonjor di atas kursi. Kelihatannya begitu nyenyak, sehingga Nina tidak sampai hati membangunkannya agar pindah ke kabin. Jadi ditungguinya saja tidur di kursi. Dia juga menyorong sandaran kursinya ke belakang, lalu berbaring dengan kaki lurus ke depan. Matanya terpejam. Telinganya mendengarkan musik lembut melalui earphone. Niatnya cuma mau istirahat, sebab yakin bahwa dia tidak bisa tidur dalam pakaian lengkap di tengah-tengah banyak orang asing. Walaupun lampu diredupkan, baginya masih kurang gelap. Tapi tidak tahunya dia terlelap juga. Rupanya saking lelahnya.
Dia terjaga kembali beberapa jam kemudian karena lampu dinyalakan. 'Perasaannya cukup segar, walau tubuhnya ngilu-ngilu sedikit. Seorang pramugari mendekati kursi Miki. Nina barusan melihat suaminya masih begitu nyenyak, sehingga dia belum mau membangunkannya. Tapi noni berpakaian blus putih itu dengan tenang membungkuk di depan Miki lalu berbisik lembut, "Mister Rodan, Anda sudah tiba di akhir perjalanan Anda!"
Nina melihat Miki langsung terjaga, membelalak, menatap cewek itu dengan rupa ketakutan, mulutnya setengah celangap. Jelas dia kaget. Nina buru-buru meraih tangannya dan menggenggamnya. Miki menoleh. Dengan suara parau dia berbisik, "Jadi aku belum mati!""
Pramugari cakep itu memperhatikan sikap Miki. "Maaf, rupanya saya telah mengejutkan Anda. Bolehkah saya bawakan Anda segelas sari buah""
Miki mengangguk tanpa bersuara, rupanya semangatnya belum pulih betul. Ketika pramugari sudah berlalu mengambilkan pesanannya, Nina bertanya, "Kenapa kauhilang begitu tadi""
"Habis aku sedang enak-enaknya bermimpi, tahu-tahu kedengaran suara yang bilang, 'Mister Rodan, Anda sudah tiba di akhir perjalanan Anda!' Aku kira, akhir perjalanan hidupkul Dan ketika mataku melihat pakaian putih-putih, tahu kenapa, mendadak aku punya perasaan bahwa itu malaikat dan aku... sudah mati!"
Nina menggeleng, tersenyum. Dalam hati dia ketawa geli, tapi melihat Miki betul-betul gelagapan, dia tak berani bergurau. Tak lama kemudian pesanan pun muncul.
"Nah, tuh, malaikatmu datang lagi!" tukas Nina tak dapat menahan hati untuk tidak menggoda Miki.
Epilog ANAK-ANAKKU tercinta, Tidak terasa sudah hampir tiga bulan Papa dan Mama berada di Amerika. Bagaimana kabar kalian" Apa surat Mama yang penghabisan telah tiba" Surat kalian juga sudah kami terima dua hari yang lalu. Mama harap batukmu sudah mendingan, Jon. Jangan lupa minum obat yang dibelikan Nenek. Dan kau, Andi, bagaimana bengkak di kakimu" Kalau menyepak bola harus pakai perhitungan dong, jangan asal tendang saja."
Mama senang mendengar Nenek dan Kakek sehat-sehat saja, dan perombakan rumah sudah dimulai. Mudah-mudahan kalau kami pulang nanti debu-debunya sudah berkurang, sehingga tidak mengganggu Papa. Mama juga sebenarnya alergi dengan debu. Tapi jangan kaukatakan ini pada Kakek, Jon.
Nah, kalian tentunya sudah enggak sabar hendak mendengar kabar mengenai Papa, bukan" Saat ini dia sedang tidur nyenyak, sehingga Mama punya waktu untuk menulis surat ini.
Joni dan Andi yang Mama cintai, Mama punya kabar jelek dan kabar baik untuk kalian. Biarlah kabar jeleknya dulu, ya. Seperti sudah Mama kabarkan dalam surat-surat terdahulu, pengobatan ultramodern ini ternyata tidak berhasil menyembuhkan Papa. Mereka semua putus asa. Papa sudah menyerah. Kemudian ternyata, penyakit Papa telah salah didiagnosa! Pantas enggak sembuh-sembuh dengan pengobatan tertentu itu! Untuk beberapa lamanya tak ada yang tahu, Papa sebenarnya sakit apa.
Nah, anak-anakku. Sekarang kabar baiknya! Mereka sudah membuat diagnosa yang tepat! Ternyata penyakit Papa enggak fatal, artinya bisa disembuhkan dengan tuntas! Oh, Jon, Di, bukan main bahagianya Mama ketika mendengar berita itu! Rasanya seperti menemukan Papa hidup kembali setelah hilang entah ke mana! Papa juga kelihatan penuh semangat lagi. Tadinya sih sudah loyo, tak mau lagi minum obat, ogah dibawa ke rumah sakit (ketika sudah merasa tak ada harapan lagi, Papa kan menolak tinggal di rumah sakit, katanya depresi mengha
dapi pasien-pasien lain. Jadi sekarang Papa tinggal di apartemen bersama Mama). Sekarang dia rajin kontrol, rajin menelan semua obat. Sejak dua minggu yang lalu. Papa diberi pengobatan baru sesuai dengan penyakitnya yang sebenarnya. Dan sungguh ajaib, puji Tuhan!
Papa langsung menunjukkan perbaikan. Dokter-dokternya bilang, kalau semua tes dan cukup memuaskan, enam minggu mendatang kami sudah boleh pulang ke tanah air. Ah, bukan main senangnya kami boleh lekas balik ke rumah. Sesenang-senangnya di sini, Papa-Mama enggak betah. Rasanya sudah kangen pada kalian, pada Kakek dan Nenek, dan si Bleki.
Waktu Mama tanyakan, kapan perlu kontrol, dokter yang ditanya ketawa lebar. 'Kapan-kapan saja,' katanya. 'Kalau Anda jalan-jalan lagi ke sini!' Berarti, enggak perlu kontrol, lho! Aduh, senangnya kami.
Mama yakin, ini semua berkat doa-doa kalian. Mama yakin, Tuhanlah yang sudah bermurah hati mau menyembuhkan Papa. Sekarang dia bisa hidup seperti biasa lagi. Badannya juga sudah tambah belasan kilo! Habisnya makanan di sini daging berlemak terus dan Papa, tahu sendiri, amat suka bistik! Dokter juga tidak mencegah, sebab kata mereka. Papa perlu membangun kembali tubuhnya yang sudah kerempeng.
O ya, mungkin kapan-kapan, sebelum pulang, Mama dan Papa akan menelepon ke rumah. Sebenarnya Papa sudah kepingin sekali mendengar suara kalian, tapi Mama bilang, nanti Nenek ribut, rekeningnya berapa duit! Sedangkan buat ongkos berobat ini saja, sudah menghabiskan berapa puluh ribu dolar! Jadi nanti saja, pas sebelum pulang. Kalau kalian masih punya pesanan yang ingin dibelikan -tanyakan juga Nenek dan Kakek; Mama juga akan menyurati mereka, tapi takut kalau-kalau kelupaan menanyakan nanti, maklum kalau nulis surat sering ada hal-hal yang kelupaan ditulis- tuliskan saja dalam surat mendatang. Kalau masih juga ada yang ketinggalan, sebutkan nanti dalam telepon. Sekarang Mama banyak waktu untuk belanja, sebab tak ada lagi yang harus ditemani. Papa sudah berjalan ke sana kemari, malahan lebih getol dari Mama. Jadi kami bisa belanja berdua. Papa sudah sanggup bantu membawakan kotak-kotak belanjaan. Wah, anak-anak, New York ini sungguh tak bisa dibandingkan dengan Jakarta. Shopping di sini, dalam setahun pun belum tentu selesai! Begitu banyaknya toko, begitu banyaknya barang-barang bagus! Di sini kita harus pintar-pintar menahan diri kalau enggak mau bangkrut! Apalagi kalau belanjanya pakai kartu kredit, rasanya enak sekali, sratsretsratsret, semua main diambil, soal bayar, urusan belakangan! Tapi Mama sih tidak mau begitu. Mama masih dalam suasana bersyukur pada Tuhan, Mama enggak mau menghambur-hamburkan uang keterlaluan. Cukup untuk sekadar oleh-oleh dan tanda mata saja. Uang lebihnya mau Mama sumbangkan untuk gereja.
Wah, tidak terasa sudah hampir tengah malam. Terpaksa Mama stop dulu, sebab sudah ngantuk. Besok Mama sambung lagi surat ini sebelum diposkan. Mungkin Papa mau menambahkan sesuatu, besok.
Nina meletakkan bolpen. Surat itu dibiarkannya di meja, belum diakhiri supaya bisa diteruskan besok.
Dari radio mengalun sebuah lagu sendu yang dikenalnya sejak dia tinggal di situ. Lagu itu amat menggugah perasaarmya. Walaupun penyanyinya mungkin bermaksud lain, baginya lagu itu membawakan suara dari surga.
Datanglah kau padaKu Kenapa ragu"
Walau kau telah mengingkariKu,
Jangan mengira Aku tak lagi mencintaimu.
Hampirlah kau kemari. Ke hatiKu yang sunyi, sepi.
Kegagalan jangan kautangisi,
Sebab cintaKu setia dan abadi.
-Tamat- Djvu: http://ebukita.wordpress.com
Edit & Convert to Jar, Txt, Pdf: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Bunga Abadi Gunung Kembaran 3 Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen Pedang Dan Kitab Suci 14
Keduanya mengangguk. Nina membuka tas dan membayar jumlah yang disebutkan dokter. Ketika mau permisi, Nina merasa penasaran lalu menatap dokter sekali lagi. "Dokter, apa benjolan itu benar-benar bisa menghilang""
"Ya, dengan penyinaran benjolan itu akan menghilang. Kita coba saja dua minggu dulu."
Vonis, pikir Nina. Miki divonis dua minggu. Setiap hari kecuali Minggu atau hari libur, dia harus ke rumah sakit untuk disinar. Seluruh kur jumlahnya dua belas kali. Dan menunggu gilirannya sungguh memerlukan kesabaran maksimal
Diam-diam Miki kembali ke dokter esoknya Dokter Pujo tidak segan-segan menjawab semua pertanyaannya. Dengan tenang dikatakannya apa yang diderita Miki.
"Hodgkin. Saudara menderita Hodgkin!" katanya dengan nada biasa seakan dia tengah membicarakan dekorasi ruangan saja.
"Hodg... kin" Hodgkin"" Mulamula nama it tak berarti apaapa baginya. Tapi sedetik kemudian otaknya pulih dan mukanya pucat. Hodgkin! Setiap orang yang pernah duduk FK tingkat empat pasti tahu apa artinya itu. Hodgkin! Hodgkin, ya Tuhan! Hodgkin! Hodgkin. Aku kena Hodgkin, Nina. Aku kena Hodgkin. Betapa berat vonis yang Kaujatuhkan padaku. Tidak segera mematikan. Bukan sssrrrttt... beres! Tapi perlahan-lahan, namun pasti. Betapa mengerikan!
"Stadium berapa, Dok"" bisiknya parau.
"Menurut saya baru stadium dua. Masih ada hara
pan. Saudara kenal penyakit itu" Apa Saudara mahasiswa Kedokteran""
"Dulu pernah kuliah sampai tingkat empat"
"Kalau begitu, barangkali Saudara masih ingat sedikit-sedikit mengenai penyakit ini. Banyak harapan bisa terjadi remisi (penyakit tenang; lawannya kambuh). Tapi kita harus berjaga-jaga juga menghadapi kemungkinan eksasersi atau kambuh lagi. Saya rasa harapan Saudara baik sekali, sebab Saudara tidak punya keluhan seperti demam, sakit perut, pusing, gatal-gatal, dan sebagainya. Darah Saudara memang sedikit mengkhawatirkan, tapi dengan penyinaran nanti kita harapkan bisa timbul perbaikan."
Miki mengangguk. Ditatapnya dokter dengan tenang. "Berapa lama lagi, Dok""
Untuk sejenak laki-laki beruban itu kelihatan salah tingkah. Dibukanya kacamatanya, digosok-gosoknya matanya, ditekurinya kertas-kertas di atas meja, lalu dipakainya kembali kacamatanya. Dipandangnya Miki seakan menaksir-naksir, kemudian rupanya dia memutuskan untuk terus-terang. "Saudara benar-benar siap mendengar jawaban saya" Cukup tabah"" Melihat Miki mengangguk dengan bibir terkancing, dia menyambung, "Saudara tahu, ini adalah penyakit yang menahun. Pasien bisa hidup bertahun-tahun lagi, tapi bisa juga cuma tinggal beberapa bulan saja. Penyakit ini bisa berjalan cepat Tapi rasanya itu tidak akan terjadi pada Saudara. Melihat keadaan Saudara, saya kira penyakit ini sudah berlangsung lama, tapi tidak diperhatikan, sebab tidak menimbulkan keluhan-keluhan yang tadi saya katakan."
Tapi aku terkadang merasa demam, sakit pinggang, sakit perut, dan batuk-batuk, pikirnya cemas. Dia teringat kembali ketika Nina menemukan benjolan itu untuk pertama kali. Sebesar butir jagung. Sakit, enggak, Mik" tanya Nina waktu itu. Enggak, Nin, enggak sakit.
"Jadi setelah menghilang dengan penyinaran, dia masih bisa kambuh lagi, Dok""
Dokter menggangguk, mencari-cari dalam tumpukan kertas lain menarik keluar sehelai fotokopi. "Ini persentase remisinya" katanya menunjukkan tabel dan grafik.
Miki memperhatikan angka-angka itu tapi tidak bisa mengerti dengan benar, sebab pikirannya melayang ke mana-mana. "Dok," katanya mengangkat kepala dari kertas, "tolong jangan beritahu istri saya!"
Namun secara diam-diam Nina juga mencari info. Pada Radiolog yang menyinari Miki. Dokter Saksono masih muda, akhir tiga puluh, wajahnya bersih dan tenang, tubuhnya tegap tapi tidak gendut. Persis seperti Miki dulu, pikirnya, sebelum dia menjadi kurus begini. Dia tidak tahu entah berapa kilo berat suaminya menurun. Miki selalu menolak kalau disuruh naik di atas timbangan. "Kalau kau mau aku jadi sapi tambun, lebih baik kau coba-coba memasak lebih enak!" serunya ketawa.
Dokter Saksono tak mau segera terus terang. "Kalau Nyonya sudah mendengar semuanya, apa Nyonya takkan jadi khawatir berlebihan" Kalau Nyonya sampai depresi, itu tentunya tidak baik dilihat sang pasien. Salah-salah nanti dia ikut-ikutan jadi depresi, dan itu berbahaya."
"Percayalah, Dokter, saya akan tabah mendengar apa pun yang akan Dokter katakan." ujarnya mantap, walaupun jantungnya berdebar sangat kencang seakan mau menerjang keluar dari sangkarnya.
Dokter menatapnya sedetik, lalu mengangguk. "Baiklah," katanya serius. Dia berdiri, pergi ke tempat arsip, mencari-cari lalu balik ke meja dengan sebuah map hijau. Dibalik-baliknya sejenak seakan mau meyakinkan dirinya bahwa dia tidak salah mengambil file. Kemudian dilipatnya tangannya dan ditatapnya Nina yang sejak tadi mengawasi gerak-geriknya tanpa lengah.
"Nyonya, suami Anda menderita kanker kelenjar!" Suara dokter amat tenang, tapi di telinga Nina terasa bagaikan ledakan bom. Sejenak dipejamkannya matanya. Nyeri di hatinya seakan tak tertahankan. Tapi suara yang tenang itu menyadarkannya. "Apakah akan saya lanjutkan keterangan saya"" tanyanya lembut sekali.
Nina mengejap-ngejapkan matanya yang basah, lalu memaksa diri untuk menatap kembali orang di depannya. "Ya, ya, Dokter, tolong dijelaskan semua," pintanya tergagap. "Maafkan saya," sambungnya menyusut mata dengan saputangan.
Dokter mengangguk dan menunduk. "Yah! Rupanya suami Nyonya sudah agak lama menderita penyak
it ini tanpa diketahui. Mungkin dia tidak merasakan apa-apa. Itu memang sering terjadi. Ketika ditemukan secara kebetulan, tahu-tahu sudah besar!"
"Ya, dulu memang masih kecil. Dokter, kalau tidak salah, bukankah penyakit kanker itu ada stadiumnya permulaan atau lanjut" Bagaimana dengan suami saya""
"Suami Nyonya masih dalam stadium dua, menjurus ke stadium tiga."
Walaupun dia tidak mengerti apa-apa mengenai penyakit ini, tapi dari nada suara dokter, Nina menduga bahwa keadaan Miki cukup gawat. Dia ingin minta penegasan, tapi bibirnya mendadak jadi gemetar, tak bisa bersuara sedikit pun.
"Pada taraf sekarang, tak ada alasan untuk menjadi putus asa, atau hilang semangat. Nyonya selalu dapat membahagiakan suami Nyonya selama hari-harinya yang tersisa. Entah setahun lagi, atau tiga tahun atau lebih lama lagi. Bukan berapa lamanya yang penting, tapi berapa bahagianya dia. Kalau Nyonya ingin membahagiakan suami, Nyonya tak boleh bersedih. Penyakit apa pun selalu punya kemungkinan untuk sembuh. Ini bukanlah urusan matematik yang eksak. Bisa saja dia menghilang dan baru kambuh lagi setelah sepuluh tahun. Yang penting jangan sampai si sakit jadi depresi. Nyonya harus kelihatan gembira."
"Ya... ya... saya... mengerti," sahut Nina tersendat-sendat. Sukar sekali baginya menahan keluarnya air mata. Mik, hari-harimu kini mulai jadi angka-angka. Dihitung-hitung oleh para dokter. Kenapa, Mik" Kenapa engkau" Kenapa dia, Tuhan" Kenapa dia" Kenapa bukan saya" Kenapa dia yang dihukum padahal saya yang berdosa" Atau ini bukan hukuman" Oh, Tuhan, katakanlah bahwa ini bukan hukuman. Katakanlah. Katakanlah, Tuhan!
"Dokter, jangan beritahu suami saya. Jangan biarkan dia tahu!"
Dokter Saksono mengangguk dengan penuh pengertian.
Bab 27 MIKI dan Nina kini saling menyembunyikan pikiran dan perasaan masing-masing. Keduanya bersikap seakan tak ada apa-apa. Yang paling sulit adalah menyembunyikan semuanya terhadap buku harian mereka. Betapa tergodanya Nina untuk menuangkan seluruh kepedihan dan keputus-asaan di situ, tapi dikekangnya keinginannya. Cintanya pada Miki mencegah gerakan penanya. Tidak! Miki tak pernah boleh tahu! Sebagai perisai untuk melindungi perasaan Miki, ditulisnya berbaris-baris kalimat gembira serta lucu-lucu.
Miki juga berbuat serupa. Dia selalu menuliskan macam-macam rencana yang ingin dilakukannya seakan dia pasti hidup seratus tahun lagi. Dia ingin memancing di tengah laut bila sakitnya sudah sembuh. Ke Himalaya, kalau tabungannya sudah cukup. Ke Shangrila, di mana manusia tak pernah menjadi tua. Tentu membawa Nina ke sana sebelum keriputnya muncul, tulisnya. Ingin menyaksikan matahari dua puluh empat jam di Skandinavia. Dan masih banyak lagi keinginan lain.
Nina selalu meneteskan air mata bila membaca semua itu. Lama-lama dia cuma mau membuka buku mereka bila tak ada Miki di dekatnya. Kalau dia sedang sendirian di kamar pada saat Miki di kantor, barulah dia berani membaca tulisan-tulisan Miki.
Kau pasti tidak menduga nasib apa yang akan menimpamu, pikirnya pedih. Miki selalu penuh gairah hidup. Ketika sudah menjadi ayah, dia masih suka loncat-loncatan dan memanjat pohon untuk memetik mangga. Dia senang sekali bernyanyi dan bersiul, sehingga berdekatan dengannya orang sulit menjadi murung. Dia meremehkan semua kesusahan, yakin bila saatnya tiba, semuanya akan beres kembali. Tidak, Miki bukannya tidak serius, tapi dia adalah seorang optimis tulen. Dia tidak mudah patah semangat
Seharusnya aku yang kena, pikir Nina. Lebih gampang menderita sendiri daripada menyaksikan orang yang kita cintai lambat-lambat diseret pergi dari samping kita. Bila aku yang kena, pasti Miki akan berhasil menghiburku sehingga penderitaanku takkan terasa berat Tapi sekarang Miki yang sakit. Siapa yang akan menghiburnya" Dia menderita sendirian. Bahkan anak-anak tak bisa diberitahunya. Kedua mertuanya masih di Eropa, orangtuanya sendiri jauh di Bandung. Dia sendirian di sini dalam kesepian dan deritanya.
Pada suatu sore keduanya duduk-duduk di beranda belakang. Anak-anak sedang tidak di rumah. Miki membicarakan rencananya untuk memperbai
ki kebun belakang. Dia ingin membuat kolam ikan dengan air mancur, dikelilingi taman yang indah.
"Bunga-bunga apa ya yang akan kita tanam di sana"" tanyanya seakan pada diri sendiri. Lalu dijawabnya, "Ah, aku ingin sekali menanam palma di situ. Juga di depan studio. Ya, di sana akan manis sekali kalau diberi palma, ya, Nin."
Nina mengawasi profil Miki tanpa mendengarkan apa yang dikatakannya. Dia mereka-reka sudah berapa lama Miki sakit. Sudah berapa lama benjolan itu pertama kali dirabanya" Tinggal berapa hari lagi" Berapa bulan lagi"
Nina mengikuti liku-liku wajah suaminya dengan matanya Dia teringat pesan Dokter Saksono. Yang penting, membahagiakannya. Mik, aku cinta padamu. Tapi tak lama lagi kita akan berpisah. Untuk selamanya. Di dunia ini kita takkan ketemu lagi. Oh! Dia menjadi kaget ketika merasakan matanya mulai basah. Aku tak boleh bersedih! Nanti dia curiga! Dikejap-kejapkannya matanya Diam-diam disekanya dengan punggung tangan.
Tiba-tiba Miki menoleh. Rupanya dia menanyakan sesuatu dan merasa heran ketika tidak dijawab. Miki menatapnya dan mata mereka beradu. Untuk sekilas Nina merasa seolah-olah wajah Miki memucat dan menunjukkan kesedihan. Tapi cuma sekejap, dia sudah riang kembali, sehingga Nina meragukan penglihatannya.
"Hei," seru Miki ketawa. "Kenapa kau menatapku begitu" Apa belum kenal""
Nina tersentak. Dikutuknya dirinya. Kalau aku terus-terusan bersikap begini, pasti tak lama lagi Miki akan curiga dan menuntut penjelasan. Kan sudah tahu kau tak bisa bohong padanya! omelnya pada diri sendiri. Tolol kau! Nanti kan Miki jadi tahu!
"Kau menarik sekali, Mik," ujarnya ketawa. "Aku enggak bosan-bosannya mengagumi wajahmu!" "Gombal!" Miki nyengir.
"Aku enggak habis pikir kenapa kau bisa jatuh cinta padaku!"
"Wanita seumurmu memang suka kehilangan percaya diri!" tukas Miki serius.
"Habis aku heran sih. Kau dengan gampang bisa mendapat gadis lain yang yahud. Misalnya, Magda!" "Ah, ah, ah!" Miki terbahak-bahak. "Dokter gigi itu" Bisa-bisa aku dijadikannya budak belian atau mantri tukang daftarin pasien!"
"Tapi dia kan cantik!" ajuk Nina. "Siapa bilang enggak""
"Nah, tuh! Kan sebenarnya kau tertarik padanya, benar enggak"" Nina berlagak merajuk.
"Kunyuk! Siapa bilang aku ketarik" Bilang cantik saja enggak boleh, payah! Cowok sih selalu menilai wanita, Nin. Tapi itu kan enggak berarti dia mencintai setiap perempuan atau membandingkannya dengan istrinya!" 'Tapi kau enggak pernah bilang aku cantik!"
"Masya Allah! Dulu waktu kita baru kawin, barangkali sampai bosan kau mendengar aku mengatakannya, bukan"" "Itu kan dulu! Sekarang""
Miki ketawa. "Sekarang... mungkin aku yang bosan mengatakannya!"
Nina sudah mau marah, tapi dilihatnya mata hitam yang berbinar jenaka. "Lagi-lagi kau ngeledek!" "Masa bercanda enggak boleh" Oke, oke, jangan ngambek dong. Sekarang dan selamanya, Sayang, aku akan selalu melihatmu secantik dewi!"
"Ah, itu bohong lagi!" Nina pura-pura mendongkol, melepaskan diri dari pelukannya. "Anak-anak pun tahu, dewi itu enggak ada. Andaikan ada pun, aku pasti enggak secantik mereka! Kau bohong!"
Miki menghela napas kebingungan. Tapi diraihnya kembali Nina dan tidak dibiarkannya lepas lagi. "Wanita," katanya setengah tertawa, "apa sebenarnya yang kalian inginkan" Dipuji, salah. Enggak dipuji, salah juga!"
Nina tidak menjawab. Dia sudah amat senang bahwa Miki berhasil dialihkan perhatiannya. Tapi dalam hati dia berjanji, takkan pernah lagi seceroboh tadi. Miki tidak boleh sampai tahu apa penyakitnya.
"Mik, lusa Papa dan Mama akan tiba," katanya sesaat kemudian, memutar arah pembicaraan. "Ya," kata Miki, meletakkan kepala Nina pada bahunya.
Mereka duduk diam-diam tanpa bergerak, dengan pikiran masingmasing. Miki kembali menimbulkan soal kebun, dan Nina menanggapi dengan serius. "Kapan akan kaumulai""
"Selekasnya," sahut Miki, lalu setelah berpikir sejenak disambungnya, "kalau aku enggak repot lagi dengan penyakit ini. Coba kauraba, bukankah benjolan itu sudah mengecil""
Nina meraba. "Ya, betul, Mik!" seru Nina dengan gembira. "Benjolan itu memang mengecil. Tak lama lagi pasti akan h
ilang sama sekali. Cuma kulitmu jadi hitam mengerikan!"
"Ya, terbakar. Barangkali akan keriput dan jelek. Tapi...," Miki mengangkat dagu Nina, menatap matanya dalam jarak lima senti, "kau akan tetap cinta padaku, bukan" Sedikit hangus enggak apa-apa, kan""
Miki terbahak-bahak. Pasti dia girang sebab penyakitnya mulai sembuh, pikir Nina, ikut tertawa.
"Mik, jangan beritahu Papa dan Mama mengenai sakitmu," ujar Nina.
"Kenapa"" "Buat apa. Toh engkau sudah hampir sembuh. Membuat mereka khawatir enggak keruan saja nantinya. Kita kasih tahu anak-anak supaya tutup mulut."
"Ya, itu betul. Kau selamanya memang pantas jadi setan yang cerdik!" puji Miki ketawa.
"Baru saja kausebut aku dewi, lima menit kemudian aku sudah berubah jadi setan!" desis Nina jengkel dan Miki mengecupnya semanis mungkin. "Mama!" seru Andi tiba-tiba. "Papa!" teriak Joni.
Miki menoleh dan menyeringai. Kedua anak itu masuk dengan tangan penuh buku. Mereka baru saja dari studigrup.
"Lain kali ketok pintu dulu sebelum masuk!" bentak Nina.
"Mana pintunya, Mam"" tanya Joni ketawa,
dan Nina baru sadar bahwa dia ada di beranda belakang.
"Ayo sana, lekas mandi!" perintahnya untuk mengalihkan perhatian. "Sebentar lagi kita akan makan!" "Oke!" seru Andi, dan ditambahnya sambil berjalan, "Jon, kita mesti sopan dikit, ah. Masa orang sedang pacaran diganggu""
Nina berlagak tuli dan tidak menegur anaknya. Sebab dia tahu, itu yang ditunggu oleh Andi, supaya bisa menggodanya lebih lama. Seperti ayahnya, Andi senang bercanda dengan ibunya. Nina tersenyum dalam hati. Ah, terima kasih, Tuhan, untuk Andi dan Joni yang Kauanugerahkan bagi kami yang tidak pantas ini.
Mereka masih duduk-duduk beberapa menit lagi, kemudian Nina bangkit. "Rasanya aku lebih baik ke dapur sekarang melihat apa makanan sudah siap."
* * * Ketika orangtua Miki pulang, pukul dua belas hari itu sudah beres. Bulatan hitam di leher ditutupi oleh leher kemeja supaya tidak kelihatan. Sesuai dengan usul Nina, kedua orangtua itu tidak diberitahu sedikit pun tentang keadaan Miki. Paling tidak, untuk sementara waktu, kata Nina. Ayah dan ibunya juga tidak curiga kecuali berkomentar bahwa anak mereka kelihatan kurus, mungkin terlalu capek selama menjadi pengganti ayahnya.
Tak terasa, empat bulan sudah berlalu sejak Miki terakhir kali disinar. Benjolan di lehernya sudah lenyap, tapi kulitnya menjadi rusak. Hitam, keriput, dan mengerikan. Tapi kecuali itu, dia tampak sehat. Miki sendiri bilang, dia betul-betul merasa segar. Tawa dan selorohnya memenuhi rumah setiap kali dia hadir. Semangatnya pulih lagi. Anak-anak dilukisnya. Begitu juga Nina. Dan setiap waktu luang dipergunakannya untuk mengajar Andi melukis. Anak itu benar-benar mewarisi bakat ayahnya.
Pada uatu malam seisi rumah tengah berada di ruang keluarga Kedua anak itu asyik mengerjakan Stereo. Ibu merajut. Ayah membaca koran. Nina dan Miki membaca bersama sebuah majalah asing. Mendadak Miki berhenti pada sebuah halaman yang penuh dengan gambar-gambar masakan yang kelihatannya luar biasa menarik.
"Eh, kelihatannya masakan ini enak banget, Nin," katanya menunjuk beberapa potong daging di atas sebuah piring dikelilingi makaroni, sayur-sayuran hijau, serta disiram kuah kecoklatan.
Nina mencari nomor gambar itu lalu mencocokkannya dengan resepnya.
"Gimana kalau kaubuatkan aku makanan ini, Nin"!"
"Ah, sinting! Mana aku bisa. Namanya saja aku tak tahu!"
"Itu kan ada resepnya!"
"Mana bisa aku membaca resep bahasa Inggris!" "Alaa, pinjamlah kamus anak-anak!" kata Miki ngotot.
Nina tidak mengiyakan, tapi esoknya dicarinya kamus anak-anaknya. Sambil memasak diterjemahkannya resep itu. Banyak bahan-bahan yang tidak dikenalnya. Mau nangis rasanya dia karena putus asa. Pasti Miki akan kecewa sekali kalau makanan itu tak berhasil dibuatnya, padahal Dokter Saksono sudah bilang... ah, tentu saja dia ingin sekali membahagiakannya. Ingin sekali. Tapi bila dia tidak tahu nama-nama sayuran Inggris, apa boleh buat. Nina sudah mau menutup majalah itu ketika ibu mertuanya masuk mengadakan inspeksi.
"Apa itu, Nin""
"Ini, Ma, Miki mendadak kepingin makan mas
akan seperti dalam gambar ini. Tapi saya enggak tahu apa bahanbahannya dan bagaimana membuatnya."
Ibu mertuanya meneliti sebentar gambar dan resepnya, lalu berpikir-pikir dan akhirnya tersenyum. "Ini kan cuma bistik, Nin. Bikin saja seperti yang biasa kaubuat. Yang penting, tirulah cara menghiasnya semirip mungkin. Tambahkan makaroni."
Nina menuruti nasihat itu. Hasilnya memuaskan. Miki amat gembira melihatnya dan melahap hidangan itu sampai habis, padahal sebenarnya itu cuma bistik, seperti yang biasa dibuat oleh Nina.
Ketika Miki membaca dalam buku mereka bahwa dia kena tipu, dia meraung seperti macan luka. Tapi dia tertawa lebih keras lagi dan memeluk Nina demikian kerasnya, sehingga Nina merasa tulang-tulangnya pasti akan remuk.
'Dia betul-betul cerdik seperti setan!' tulis Miki. Dengan tinta merah, Nina menambahi komentar, 'Maksudnya, ibunya. Sebab resep itu diubah oleh ibunya!' Miki kembali meraung membacanya, sedangkan Nina bertepuk tangan dengan gembira.
* * * Tiga bulan lagi telah berlalu. Natal dan Tahun Baru sudah tiba. Miki sudah betul-betul sehat lagi. Nina yang masih waswas mengusulkan agar dia kontrol ke dokter. Sambil ketawa lebar Miki menolak, bahkan mencemoohkannya. Karena tidak ingin menimbulkan curiga, Nina tidak memaksa. Dia tahu, penyakit suaminya tengah 'menghilang untuk sementara', tapi kelak akan muncul kembali. Kapan"
Kebun yang direncanakan Miki belum juga terlaksana, sebab ayahnya ingin merombak rumah tua itu seluruhnya dan membangun yang modern, lengkap dengan kebun ala Miki.
"Kau boleh menghiasnya sesuka hatimu, Mik. Kau boleh melukisi semua dinding dan langit-langitnya kalau mau, sebab itu akan menjadi rumahmu."
Nina melirik Miki. Yang dilirik mengembalikan tatapannya sambil ketawa geli. Tanpa segan-segan dipeluknya Nina di depan seisi rumah dan mengguncang-guncangnya pergi datang.
"Kaudengar, Nin" Setelah menunggu puluhan tahun, akhirnya kita akan punya rumah sendiri. Rumah kita, Nin. Kita kan belum ketuaan untuk memiliki sebuah rumah pribadi, bukan" Ah, tidak senangkah hatimu, Nin""
"Oho, tak ada yang lebih menyenangkan daripada punya rumah sendiri! Kita boleh mengatur kamar-kamarnya sesuka hati, Pa""
Tentu saja!" angguk ayah mertuanya, sementara ibu Miki tersenyum gembira melihat kebahagiaan mereka. "Apa kita enggak terlalu tua..."" Miki mendadak jadi ragu.
"Tentu saja enggak, kunyuk!" tukas Nina sengit "Engkau kan belum beruban, kenapa ribut-ribut soal tua segala! Apalagi kalau kau tahu berapa ubanku! Kemarin saja ada..."
"Tapi kau kan memang sudah tua!" seru Miki terbahak membuat semua orang ikut tertawa geli.
"Mana mungkin.,,, bantah ibu mertua membelanya. "Kalian kan seumur! Kalau kau sendiri belum tua -menurut Nina-, berarti Nina sendiri juga belum tua dong!"
"Ah, Mama seperti bukan wanita saja! Masa enggak tahu sih, laki-laki biasanya awet muda" Karena itu orang selalu memilih istri yang jauh lebih muda, supaya enggak cepat tua!"
"Hiii!" seru Andi bertepuk tangan, membuat Nina melotot.
"Andi!!!" hardik Miki. "Jangan ikut-ikutan kalau orang dewasa sedang ngomong!"
Diam-diam Nina mencubiti Miki dan berbisik ke kupingnya, "Awas ya nanti malam!" Miki nyaris ketawa geli mendengarnya.
Malamnya Nina masuk ke kamar siang-siang sebab capek. Miki masih asyik melawan Joni di meja catur. Nina mengeluarkan buku harian mereka dari dalam lemari. Dia duduk di depan meja rias, lalu melembari halaman buku itu. Pena sudah tergenggam di tangan, tapi lama sekali tak sehuruf pun yang mampu ditulisnya. Dia duduk termangu dengan sebelah tangan menopang kepala. Tak ada yang bisa ditulisnya. Semua yang ingin dicurahkan hati, tak mungkin, dan tak boleh dibaca oleh Miki. Menulis soal lain, dia tak bisa. Pikiran serta perasaannya melulu dipenuhi oleh rahasia yang ditimbunnya sendirian dalam lubuk hati. Orang serumah tak boleh tahu. Pernah dipikirnya untuk menceritakan semua itu dalam surat pada ibunya. Tapi setelah dipikir-pikir, dibatalkannya. Dia tak ingin menyusahkan Ibu. Kata dokter dulu, ibunya tak boleh dilanda rasa khawatir, gelisah, atau stres lainnya. Penderita tekanan darah tinggi
harus hidup setenang mungkin.
Lalu apa yang akan kutulis" Miki kelihatan begitu sehat dan gembira, sehingga orang pasti takkan menyangka bahwa tubuhnya menyimpan bom waktu. Bahwa dia sudah di ambang kematian. Setetes air mata tahu-tahu sudah jatuh ke atas kertas, membuat lekuk kecil yang pasti akan meninggalkan bercak keriput Miki pasti akan tahu bercak apa itu. Dan dia pasti akan mau tahu kenapa dia sampai menangis. Nina melepaskan halaman itu sambil menahan isak. Miki tak boleh melihat matanya bengkak atau bedaknya luntur. Miki harus selalu mendapati dirinya gembira. Nina menyusut mata dan membersit hidung dengan kertas tisu. Dilemparnya kertas yang sudah jadi bola itu ke dalam keranjang sampah dekat meja. Lalu dia bangkit dan mengembalikan bukunya ke lemari. Malam ini dia tak bisa mengisinya. Dimatikannya lampu, lalu berbaring.
Dalam gelap, kesedihannya balik lagi, membuat matanya membasah. Dia mencoba memikirkan sesuatu yang riang-riang, namun tak dapat Bayangan Miki dalam sebuah... ah, stop! Dihardiknya dirinya. Dipaksanya membuang pikiran itu jauh-jauh. Kau harus selalu kelihatan gembira! Supaya dia tidak curiga. Pergunakanlah sebaik-baiknya waktumu bersamanya. Jangan berharap terlalu banyak.
Ya, dia akan selalu manis setiap saat bersamanya, Tapi ternyata itu tidak mudah.
Sambil bersiul-siul Miki membuka pintu kamar. "Astaga! Main gelap-gelapan, nih"" serunya geli. "Seperti berbulan madu saja!"
Nina merasa pipinya menjadi panas. Miki sudah apal betul kamarnya. Dia dapat berjalan leluasa tanpa lampu. Tapi itu tidak dilakukannya. Dia malah menyalakan lampu! Segera terlihat olehnya wajah istrinya yang kemalu-maluan karena komentarnya barusan. Nina kaget dan menjadi jengkel. Miki selalu menangkapnya dalam keadaan yang tidak nyaman. Dan dia seakan tahu semua isi pikirannya! Ini yang dikhawatirkannya!
"Hei, kekasihku!" Miki tersenyum penuh pesona, berjalan ke tempat tidur.
Nina mencoba mengelak, tapi Miki berhasil memenjarakannya di antara kedua lengannya yang ditapakkannya di samping tubuh Nina.
"Kalau kau enggak segera mengangkat tanganmu," ancam Nina, "aku akan keluar dan tidur di kamar anak-anak. Biar Joni tidur di sini!"
"Oho, bukan main! Taktik apaan, tuh" Asyiiik!" Miki ketawa haha hihi. Nina mengulangi ancamannya.
"Coba saja! Aku mau lihat!" Miki mengangkat kedua tangannya, lalu berdiri di samping tempat tidur menatap Nina. "Belum dua langkah kau pasti sudah berbalik dan kembali ke pelukanku!"
"Oh, ya"w Nina jadi panas ditantang begitu. Dia bangun, lalu dengan kaki telanjang melangkah ke pintu yang menembus ke kamar sebelah. Ketika tangannya hampir mencapai gerendel, Miki menyentuhnya.
"Jangan, Nina," cegahnya, tersenyum lembut. "Kita ini teman baik, bukan" Dan selamanya akan begitu, kan" Masa kau mau mencari perlindungan pada bocah-bocah cilik" Bukankah kau biasanya berlindung padaku" Aku minta maaf, Nin, untuk obrolan tadi sore."
"Tak ada yang perlu dimaafkan," bisik Nina dengan merdu.
"Lalu kenapa kau mengancam tadi, Awas nanti malam!'"" tanya Miki melingkarkan kedua lengan ke sekeliling tubuh istrinya.
"Karena aku suka mengatakannya!" sahut Nina ketawa cerah.
"Apa" Betul-betul setan! Jadi kau cuma bercanda" Padahal kau sudah tahu aku enggak tenang kalau diancam-ancam begitu! Ayo, minta maaf, enggak"" seru Miki dan nyaris meremuk Nina dalam pelukannya.
Bab 28 NINA mulai menduga-duga apakah pendapat dokter semuanya benar" Apa tidak salah diagnosa" Ataukah Miki termasuk penderita yang berumur panjang" Miki sama sekali tidak kelihatan sakit. Kecuali tubuhnya yang jelas mengurus. Bila Nina membelainya, yang teraba cuma tulang melulu. Kalau dia mengeluh, kurus amat sih kau! Maka suaminya menyarankan agar dia masak yang enak-enak atau pergi les masak dulu.
Nina terkadang berharap bahwa masa-masa yang baru saja lalu itu hanya mimpi buruk belaka Bahwa dia kini sudah terjaga dan mendapati Miki sehat-sehat saja, tak kenapa-kenapa. Dia berharap semua dokter itu salah. Tak apalah kekhawatiran yang telah mereka timbulkan. Dengan senang hati akan dimaafkannya mereka. Asal saja Miki salah didiagnosa.
Miki bahkan mengajak seluruh keluarganya ke Bandung menengok keluarga Nina. Dia sama sekali tidak tampak lelah dan tidak mengeluh. Ibu Nina yang penuh perhatian pun tidak melihat adanya kelainan pada diri Miki. Dia cuma mengatakan bahwa Miki terlalu kurus. Dan sambil tertawa, Miki menyalahkan ibu mertuanya sebab tidak mengajari anaknya masak. "Apa kau bisa masak, Risa"" tanyanya pada Marisa yang amat disayanginya seakan adiknya sendiri. Meskipun mereka tidak sering berkunjung, Miki kerap kali mengirimkan apa-apa untuk Marisa. Gadis itu kini sudah menikah dan mempunyai tiga anak perempuan yang manis-manis. Dia tetap tinggal bersama ibu dan ayahnya untuk mengurus mereka, sebab Ibu pernah mendapat serangan lagi dan kini kedua lengannya lumpuh tanpa daya.
Kris juga sudah berkeluarga dan tinggal di Balikpapan sebagai insinyur pertambangan. Mereka belum pernah berjumpa lagi sejak dia pergi beberapa tahun yang lalu.
Miki tentu saja segan ke dokter lagi. Buat apa, katanya. Dia kan sudah sehat lagi. Selain perasaan lemas dan terkadang agak sesak napas, dia tak punya keluhan yang berarti. Sudah tentu semua itu tidak dikatakannya pada Nina. Untuk apa. Cuma akan merusuhkan hatinya saja. Dia cuma kesal melihat badannya yang semakin hari makin kerempeng. Dia dulu bertubuh atletis, tapi sekarang sudah mirip tiang listrik berjalan. Terkadang sambil berkelakar Nina mengeluh kenapa dia sampai kawin dengan tiang listrik.
"Tapi tiang listrik ini tinggi voltasenya, Nyonya! Dan nyalanya bukan main terangnya!" sahut Miki melirik garang. "Nyonya kan sudah membuktikannya sendiri, bukan""
Anak-anak ketawa geli meskipun tidak mengerti. Cuma si nyonya yang menjadi merah mukanya.
Pada Minggu pagi itu Miki mengumumkan bahwa dia akan membersihkan gudang. Diminta bantuan sukarela. Namanya sukarela, tapi dia menggamit Nina dan membujuknya supaya ikut ke gudang.
"Aku janji deh, enggak bakal memperkosamu!"
"Tutup mulutmu, Mik!" bisik Nina dengan muka merah. "Tempo-tempo kupikir, aku kawin sama orang sinting!" "Kalau bukan orang sinting, mana mau denganmu!" sambut Miki dengan galak. "Ikutlah ke gudang. Nanti akan kutunjukkan padamu sesuatu."
Nina yang selalu ingin tahu apa-apa, merasa tergugah. "Tapi aku mesti masak," kilahnya. "Alaa, masak apa sih" Mama kan ada di situ. Kita goreng telur saja nanti, beres!" "Pergilah," kata ibu Miki, "siapa tahu kau menemukan gelang emas di gudang!"
Anak-anak sedang berenang. Ayah juga tidak di rumah. Mereka cuma berdua di gudang. Nina tidak memerlukan waktu lama untuk merasa tertipu. Yang dapat ditunjukkan oleh Miki cuma debu melulu serta koper-koper tua. "Entah sudah berapa tahun enggak pernah dibersihkan!" tukas Nina di antara bersinnya.
"Barangkali sudah dua puluh tahun lebih. Paling tidak, sejak kita kawin, kamar ini tak pernah dimasuki orang."
Miki rupanya tahan debu dan antusias sekali dengan tugas yang dicarinya sendiri. "Karena rumah akan dibongkar, maka gudang harus dibersihkan dulu. Siapa tahu ada isinya yang masih bisa diberikan pada orang lain."
Mereka bekerja tanpa banyak bicara, sebab ruangan berkabut oleh debu. Tidak enak rasanya bila setiap kali membuka mulut debu-debu berhamburan terisap ke tenggorokan.
Mau tidak mau, rasa ingin tahu membuat Nina akhirnya tertarik juga dengan kerjaan itu. Dia menjadi sama giatnya dengan Miki membongkar-bongkar koper-koper. Ada yang berisi buku-buku pelajaran Miki dulu. Ada yang berisi tetek bengek milik ayah Miki. Ada yang milik ibunya. Semuanya dipilih dan mana-mana yang masih terpakai disingkirkan. Yang sudah rongsokan dilempar ke keranjang sampah, Yang masih bisa dipakai akan dibawa oleh ibu Miki ke rumah-rumah piatu. Ada mainan yang masih bagus atau cuma rusak sedikit. Boneka Ita kehilangan sebelah matanya, tapi dengan setetes cat biru bisa dipulihkan lagi. Ada sepatu tenis yang sudah menguning tapi masih kuat Ada bola kasti dan pemukulnya.
Astaga, Nina membatin. Tak mungkin orang menyimpan barang-barang tua begini banyak! Suatu kali dia membuka koper dan mengeluarkan sehelai gaun. Hatinya berdetak keras. Dia teringat pakaian yang biasa dikenakan Ita k
e sekolah. Dibukanya lipatan gaun itu dan tanpa sadar dielus-elusnya. Semuanya terbayang kembali di depan mata. Jauh di masa silam. Ketika dia sebagai anak asrama, waktu diadakan pemutaran film, untuk pertama kali diperkenalkan pada Miki oleh Ita. Dan semua anak menyebutnya... calon Mere! Ah, Ita yang suaranya keras dalam kelas, tapi hatinya lembut Ita yang selalu dikerumuni anak-anak yang kepingin dilukis oleh abangnya. Terutama Loli dan Ani yang ingin betul memamerkan lukisan diri mereka pada pacar masing-masing. Mereka kini sudah di Amerika. Apakah keduanya benar-benar dilukis oleh Miki"
"Mik, apa... haaaciiih... haaaciiih... apa... kau... haaaciiih... dulu... haaaciiih... jadi melukis... haaaciiih... Ani dan... haaaciiih... Loli""
Miki menoleh dan melihat gaun yang dipegang Nina. Sejenak air mukanya menjadi guram dan dia tidak segera menjawab. Termangu-mangu ditatapnya gaun yang sudah mulai pudar itu.
"Ini baju Ita," ujar Nina setengah berbisik seakan takut mengejutkannya. "Ya, aku tahu." "Kau masih ingat Loli dan Ani""
"Ya. Aku melukis mereka. Sendiri-sendiri. Kenapa""
"Ah, enggak apa-apa. Aku cuma ingin tahu. Di kelas dulu, anak-anak selalu merayu padamu minta dilukis olehmu. Engkau populer sekali, tahu!" Nina meliriknya, tersenyum.
"Dan kaukira, kau sendiri enggak" Semua anak di kelasku selalu bilang, 'Di Ursula ada anak yang mau jadi Mere, anaknya cakep, deb!' Dan aku bilang, 'Hei, itu teman baik adikku!' Betapa inginnya aku mengatakan, 'Hei, itu pacarku! Kalian ngaco!'" Miki terbahak-bahak. Debu-debu tersedot masuk. Dia terbatuk-batuk.
Setengah harian mereka bekerja di situ. Keluar-keluar ketika Anis datang dikirim oleh Nyonya Besar, menyuruh mereka makan.
Ibu Miki amat senang melihat setumpuk pakaian bekas yang menjadi bagiannya. Baju-baju Ita berada di antaranya. "Akan kukecilkan untuk anak-anak," katanya tersenyum meraba gaun almarhumah putrinya. "Huh! Capek juga kiranya!" keluh Miki, menjatuhkan diri ke dalam kursi, menyeka debu dan keringat dengan handuk kecil.
Seluruhnya ada delapan koper besar. Yang masih bisa terpakai berjumlah tiga koper. Sisanya akan diangkut oleh truk sampah.
Mungkin karena kemasukan debu terlalu banyak, malamnya Miki batuk-batuk. Kerongkongannya kering dan sakit, katanya. Nina meraba dahinya. Cuma hangat sedikit. Ibunya menyeduhkan air jahe dengan bawang merah dan Miki terpaksa meneguknya (dengan dahi berkerut) untuk menyenangkan hati Nina yang tampak gelisah, tak bisa tidur mendengar suara batuknya.
Esoknya Miki sudah merasa baik kembali dan masuk kantor seperti biasa. Sebenarnya ayahnya ingin mengirim dia ke Medan untuk membicarakan kemungkinan membuka stasiun teleyisi swasta, tapi seorang anggota komite mendadak diserang typhus. Jadi mereka menangguhkan rencana itu untuk sementara.
Malamnya Miki merasa agak panas dingin dan membaca koran dalam kamar. Nina menemani sambil memperbaiki baju anak-anak yang robek atau lepas kancingnya. Suasana hening itu tiba-tiba dipecahkan oleh ketukan pada pintu.
"Tidak dikunci," kata Nina dan pintu dibuka.
Joni serta Andi muncul dengan rapor di tangan masingmasing. Dengan muka berseri-seri keduanya menghampiri sang ayah yang telah menurunkan koran dan tengah memperhatikan mereka dengan serius. Pandangannya segera jatuh pada kedua buku rapor.
"Rapor lagi"" tanyanya. "Kok sering amat kalian mendapat rapor""
"Ah, masa, Pa. Kan ini kwartalan, masa Papa lupa"" tukas Joni.
Miki meneliti kedua rapor itu seakan itu laporan tahunan dari perusahaan. Setelah memberi banyak komentar, diberikannya rapo-rrapor itu pada Nina. Kemudian "Joni menyorongkan sebuah pena dan Miki membubuhkan tanda tangan.
"Pa," didengarnya suara Andi, "gimana dengan janji Papa tempo hari"" "Janji apa sih""
Andi tidak segera menjawab. Dia menoleh pada Joni. Keduanya saling pandang. Nina melihat itu dan mendadak saja ketakutan merayapi hatinya, lalu menyebar ke seluruh tubuh. Dia nyaris menggigil. Dia tahu apa yang akan dikatakan Andi. Diliriknya Miki, tapi suaminya tengah mengawasi kedua anak mereka dengan air muka tenang. Tak mungkin kau bisa lupa! pikirnya. Tak mung
kin kau lupa, Mik! Beberapa detik lewat. Andi dan Joni kelihatan makin gelisah, sebentarsebentar bergeser di atas kaki mereka. Tangan-tangan mereka sebentar mengepal, sebentar terbuka, Akhirnya Joni membuka mulut
"Pa, kami ingin tahu apa keputusan Papa mengenai permintaan kami yang dulu""
"Permintaan apa sih"" Nina yakin, Miki cuma berlagak lupa. Sebab dia tahu, ingatan suaminya seperti gajah. "Ah, Papa berlagak lupa!" keluh Andi. "Kami ingin jadi pastor, Pa!" sahut Joni.
Nina melihat wajah Miki berubah pucat, tapi anak-anak seakan tidak melihatnya. Mereka terus menagih. "Papa kan bilang, kami harus tunggu sampai lulus SMA, baru boleh," tuntut Andi.
"Papa enggak bilang 'boleh. Papa bilang, kalau kalian masih belum melupakan cita-cita itu, setelah tamat SMA... tapi, apa kalian masih tetap ingin...""
"Ya, Pa. Masih!" sahut keduanya serempak.
"Masa berdua"" Miki coba menawar. "Kan cukup salah satu saja, bukan" Nah, siapa""
Tak ada jawaban. Miki menatap keduanya bergantian. Andi dan Joni saling tatap, lalu keduanya menekuri lantai, membisu. Tiba-tiba Miki menyadari bahwa Nina tengah memperhatikannya. Sesuatu pada mata Nina membuatnya mengelakkan pandangan. Dia menoleh lagi pada anak-anaknya.
"Enggak ada yang mau menjawab""
"Pa, kami berdua ingin jadi pastor. Berdua, Pa!" tukas Joni hampir berbisik.
"Siapa yang ikut-ikutan"" tegur Miki cukup keras, membuat Nina bangkit menghampirinya dan memeluk serta membelai lehernya dari belakang. Anak-anak kelihatan sedikit kaget dibentak begitu, dan Miki yang segera menjadi tenang dengan belaian Nina, menyesali kenapa dirinya harus marah-marah.
"Enggak ada yang ikut-ikutan, Pa," kata Andi tegas. "Kami masing-masing memang ingin masuk seminari. Suatu ketika secara kebetulan saya mengatakan pada Joni cita-cita saya. Ternyata dia juga mempunyai niat yang sama."
Nina tahu, sukar bagi Miki menerima kenyataan itu. Sejak mereka masih kecil, Miki selalu bermimpi akan melihat anak-anak menjadi insinyur atau dokter, menikah dengan perempuan sebaik ibu mereka, dan mempunyai anak-anak yang akan menjadi cucunya.
Miki menatap Joni dan Andi bergantian. Asal cuma seorang yang Kauminta, Tuhan, keluh Nina. Kenapa Kauminta keduanya"
"Jawablah mereka, Sayang," bisik Nina membelai-belai leher Miki.
"Baiklah," sahut Miki akhirnya menghela napas. "Papa akan merundingkannya dengan Mama. Tunggulah beberapa hari lagi. Menjadi pastor bukanlah tugas gampang. Kalian mesti betul-betul yakin dan serius, itu yang kalian inginkan. Mengerti""
* * * Lima hari sudah lewat. Nina melihat Miki masih bingung terus memikirkan permintaan anak-anaknya. Nina membuka buku harian mereka pada halaman ketika Joni dan Andi masuk sekolah untuk pertama kali. Miki menulis di situ bahwa dia akan membiarkan anak-anaknya memilih jalan hidup mereka sendiri. Dia takkan memaksakan kehendaknya seperti yang dilakukan ayahnya terhadap dirinya.
"Mik, bacalah ini," bujuk Nina dengan lembut, menghampiri Miki yang sedang berbaring di ranjang dengan mata menatap langitlangit
Miki tidak mau menyambutinya. Nina terpaksa memegangi buku itu sementara suaminya membaca kembali tulisannya. "Ow!" keluhnya, memejamkan mata.
"Tepatilah janjimu pada mereka, dan terutama pada dirimu sendiri," bisik Nina membelai pipinya.
Miki menangkap tangan halus itu dan menggenggamnya. Ditatapnya Nina dengan penuh cinta. "Apa akan kita kabulkan permintaan mereka"" tanyanya pelan.
"Apa kau menghendaki pendapatku""
"Ya," "Menurutku, sebaiknya kita kabulkan. Mereka memang serius, Mik."
Miki diam saja, asyik menatap langit-langit "Bolehkah aku merokok"" tanyanya tiba-tiba. Dia tak pernah merokok dalam kamar, sebab Nina melarang. Tapi sekarang Nina mengangguk, malah mengambilkan rokok itu dari kantong kemeja Miki dan menyalakan korek untuknya.
"Terima kasih," gumam Miki
Nina memperhatikannya. Tiba-tiba dia merasa terkejut. Miki kelihatan begitu kurus. Rasanya belum pernah dilihatnya suaminya sekurus itu, kerempeng, dan tampak tua. Bukan lagi pria yang segar dan tegap. Tapi lakilaki yang pucat dan lelah.
Nina merapikan rambut yang terjurai di dahi suaminy
a dan pelan-pelan direbahkannya kepalanya di atas dadanya.
"Aku tahu ini berat sekali bagimu, Mik. Bagiku juga. Lebih-lebih aku. Aku mengandung dan melahirkan mereka dengan penuh penderitaan. Memelihara dan merawat mereka dengan menyimpan banyak harapan. Ternyata sekarang semua itu akan musnah tanpa bekas. Belum lagi puas kita mengelus dan menciumi mereka, tahutahu mereka bilang, mereka harus pergi. Janganlah kita hancurkan hati mereka, Mik. Jangan kita rusakkan masa depan mereka. Dan terutama... jangan kita me...me...nentangNya." Air mata Nina menetes deras. Miki tiba-tiba merasakan dadanya basah dan hangat oleh air mata. Dipeluknya Nina dengan membisu. Rokoknya dibiarkannya jatuh ke lantai, menjadi abu di situ. Dilanda kenangan, tanpa sadar jari-jarinya sudah membelai-belai rambut Nina yang hitam berkilat.
"Aku sakit perut lagi!" keluhnya setelah mereka berdiam diri beberapa lama. Nina mengangkat kepala dari dada suaminya dan memandangnya. Miki tengah meringis.
"Di mana sakitnya, Mik""
"Tahu, deh. Sebentar di sini, sebentar di sana." Miki menggigit bibir keras-keras. Nina mengambil minyak angin dan mengolesi perut Miki. Yang kesakitan tidak merasa baikan, tapi untuk melenyapkan kekhawatiran istri, dikatakannya saja sudah baikan.
"Tidurlah," kata Nina, sedikit lega mendengar sakit itu sudah lenyap. "Kalau besok sakit lagi, kita harus ke dokter."
"Bah! Buat apa! Cuma sakit perut biasa, kok!"
Nina tidak mau berdebat, jadi tanpa komentar diselimutinya Miki. Baru saja dia mau merebahkan diri di sampingnya, Miki sudah mengeluh lagi. "Ow!" "Sakit lagi"" tanya Nina melihatnya meringis. "Ya. Pasti aku salah makan di kantor. Barangkali gado-gado itu!" "Aku punya obat sakit perut. Kauminum, ya""
"Obat sakit perut tiap bulan"" Miki sempat ketawa ketika nyerinya menghilang. "Enggak mau, ah. Aku bukan perempuan, kok."
"Siapa bilang ini untuk perempuan"" tukas Nina menunjukkan sebuah botol kecil yang diambilnya dari lemari. "Ini obat sakit perut biasa! Anak-anak juga pernah aku beri."
"Tapi aku enggak mau, enggak usah. Sakitnya sudah hilang."
"Untunglah. Beberapa hari lagi kita akan merayakan pesta tembaga. Kau mesti sehat!" "Pesta apa"" "Pesta tembaga!" "Pesta apa itu""
Nina mendelik. "Jangan bilang bahwa kau sudah lupa tanggal pernikahan kita!"
"Oho itu!" Miki tertawa geli. "Mana aku bisa lupa"! Pada halaman pertama buku kita, aku kan menulis, 'Malam ini buat pertama kalinya aku akan ber..."
"Cukup!" seru Nina dengan wajah merah. "Aku sudah hafal kalimat itu! Enggak perlu kauulangi!"
"Hei! Jadi kauhafalkan kalimat itu"! Bukan main! Barangkali kau juga sudah ngitung berapa kali aku menulis 'aku cinta padamu' di situ"" Miki tergelak-gelak, sementara Nina memandangnya dengan lebih galak. "Jadi kita akan kawin tembaga" Ho... ho... ho... rasanya aku baru dengar bahwa dua puluh tahun itu kawin tembaga. Lima tahun lagi, perak. Lima puluh tahun, emas. Enam puluh... apa""
"Intan." "Wow! Intan! Kalau seratus""
"Yang keseratus akan kita rayakan bersama di surga!" "Ya, kalau kau masuk surga! Kalau enggak""
"Aku sih jelas masuk, Mik!" kata Nina menjangkau bolpen mau mengisi buku mereka. 'Tapi aku memang khawatir mengenai dirimu. Kira-kira masuk, enggak, ya""
"Sudah begini kerempeng, masa sih Tuhan enggak kasihan padaku"! Kalau enggak boleh juga, ya aku maksa dong! Badanku sudah setipis papan begini,aku pasti bisa masuk celah-celah kecil. Bangunan setua surga pasti banyak celahnya!" Miki terbahak-bahak begitu gembira, sehingga mau tak mau Nina terpaksa ketawa juga.
"Mik, kau mau hadiah apa""
"Wah, aku duluan dong yang tanya. Istriku yang manis, kau mau kado apa"" "Tahu, deh. Rasanya aku sudah punya semua, enggak ingin apa-apa lagi."
"Itu egois namanya. Enggak memberi kesempatan pada orang lain untuk memberi. Aku juga kepingin disebut murah hati dong, bukan kau saja yang boleh memberi. Masa aku disuruh terima melulu. Ayo bilang deh, kau ingin apa!"
"Kau boleh beri aku apa saja, Mik, asal tulus dari hatimu. Kau sendiri mau apa"" "Kau boleh beri aku apa saja, Nin, asal tulus dari hatimu!"
Nina mendongkol betul diolok-olok b
egitu. Dia bergerak mau mencubit Miki, tapi tangannya malah ditangkap dan diremuk keras-keras sampai dia nyaris menjerit kesakitan.
* * * Beberapa hari lagi pesta tembaga mereka akan tiba. Masing-masing tetap tak mau bilang hadiah apa yang mereka inginkan. Miki cuma mengatakan bahwa dia tidak mau kue-kue, sebab perutnya masih morat-marit Tapi Nina berpendapat, kue ulang tahun harus tetap ada, walau enggak dimakan.
"Kau harus ke dokter memeriksakan pencernaanmu!" perintah Nina tegas.
"Ya, Bu," sahut Miki dengan lagak menurut.
'Tapi kau jangan ikut!" Sebenarnya dia tak ingin istrinya tahu rahasianya.
Miki pergi sendirian. Dan dokter tanpa segan membenarkan dugaannya. Penyakitnya kambuh. Kini sudah menjalar ke daerah perut. Di sebelah kanan sudah teraba benjolan-benjolan. Disinar di situ agak berbahaya, sebab ada sumsum tulang. Sel-sel darah dapat mati semua berikut manusianya nanti! Dokter menyuruh memeriksa darah. Miki tidak
mengatakan semua ini pada Nina. Dia cuma lapor bahwa itu sakit perut biasa, tak perlu dikhawatirkan.
* * * Ketika sore itu dia pulang dan masuk ke kamar, Miki melihat bunga-bunga mawar yang amat indah, dalam jambangan putih kristal di samping tempat tidur. Seakan punya firasat diraihnya kartu yang tergantung di salah tangkai, lalu dibacanya. 'Untuk suamiku yang tercinta, sekuntum mawar untuk setiap tahun penuh bahagia yang diberikannya padaku.'
Miki menelan ludah dengan susah payah. Matanya berlinanglinang. Dihitungnya bunga-bunga itu. Tepat dua puluh! Dua puluh mawar merah yang segar dan cantik. Secantik yang memberi, katanya dalam hati dengan pedih.
Dijatuhkannya dirinya ke atas kursi. Dia baru saja mengunjungi dokter untuk kedua kalinya. Hasil lab pemeriksaan darahnya tidak memuaskan. Bahkan fatal! Meskipun dokter tidak blak-blakan begitu, dia tahu, fatal. Sel-sel darah sudah berkurang dengan sangat mencolok. Menurut dokter, itu gejala kurang baik. Oh, bagaimana kalau Nina sampai tahu" Bagaimana bila waktunya cuma tinggal hari-hari melulu" Pasti akan hancur hatinya yang lembut itu!
Dan malam ini adalah malam pesta mereka. Rasanya dia tidak ingin pesta. Dia lelah dan cuma kepingin tidur saja, enggak mau lain-lainnya. Oh, asal saja itu tidak terjadi malam ini! Manusia memang bisa mati setiap saat, apalagi yang sudah diberi yonis. Tapi janganlah hendaknya malam ini. Oh, apa aku bisa tawar-menawar dengan Tuhan" Ah, aku cuma... suara langkah di luar menghentikan lamunannya. Dikenalinya itu langkah-langkah Nina.
Miki menoleh ke cermin. Disisirnya rambutnya, disekanya mukanya dengan saputangan, lalu dia berlagak asyik membuka sepatu. Tepat saat itu pintu terbuka dan Nina melangkah masuk.
"Hei," serunya riang. "Bungamu cantik sekali, Sayang. Tapi engkau masih jauh lebih cantik bagiku!" Miki berdiri, merentangkan kedua tangannya dan Nina berlari ke dalam pelukannya.
"Jadi kau suka"" tanyanya menengadah dan setiap kali berbuat begitu dia selalu teringat pertama kali melihat abang Ita: anak-anak menamakannya si Jangkung. "Kau suka, Mik" Aku sendiri yang mengaturnya."
"Suka" Lebih dari itu! Aku akan melukismu bersama mawar-mawarmu!"
"Wah!" Nina ketawa gembira dan memeluknya lebih erat.
"Itu akan menjadi hadiahku bagimu! Hadiah yang enggak bisa dibeli di toko!"
"Benar, nih"" seru Nina. Lalu selang sesaat menambah, "Kau harus membuat lukisan itu seindah mungkin, lho! Sebab aku mau memamerkannya pada teman-temanku, terutama si Magda, bekas pacarmu!" "Setan, kau!" seru Miki ketawa. "Magda tak pernah jadi pacarku!"
"Enggak pernah, ya sudah," tukasnya terengah-engah. "Tapi jangan pijit hidungku dong!"
Miki mendadak sesak napas. Masa teriak sebentar saja sudah habis napas, pikirnya sengit dan tak mau mengatakannya pada Nina. Setenang mungkin dia pergi mandi. Miki diam-diam bersyukur bahwa Nina sudah menyediakan air panas. Dia merasa panas dingin mendadak, sehingga pasti takkan tahan air dingin. Kalau minta air panas, pasti akan menimbulkan curiga atau malah panik!
* * * Malamnya dengan senyum gembira kedua manusia yang berbahagia itu bersama-sama meniup lilinlilin mereka disaksikan seisi rumah.
Sesuai dengan keinginan mereka berdua, tidak diadakan pesta dan tak ada seorang pun tamu yang diundang. Tak ada ucapan selamat dari luar rumah kecuali dari keluarga Nina di Bandung dan dari Kris.
Setelah meniup lilin dan makan kue-Miki ikut makan juga untuk membuktikan bahwa sakit perutnya sudah benar-benar sembuh-mereka duduk di ruang tengah. Miki dan Nina berpelukan di sofa. Senyum bahagia masih menghias wajah mereka ketika Miki memanggil kedua anaknya. Joni bersama Andi segera berlari muncul dari tempat mereka membuat pe-er. lalu berhenti di depan mereka. Nenek dan Kakek sedang berjalan-jalan di kebun menikmati bulan purnama. Mereka cuma berempat di ruang itu.
Bukan Impian Semusim Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Miki menatap anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Diraihnya tangan kedua anak itu dan digenggamnya. "Joni dan Andi," katanya menatap mereka dengan lembut, "Papa mengabulkan permintaan kalian. Engkau boleh masuk seminari, Jon."
"Saya juga"" tanya Andi dengan cepat
"Ya, kamu juga." Miki mengangguk tersenyum.
"Terima... kasih, Pa," bisik keduanya, parau tapi senang. Mata mereka berbinar-binar.
Miki mengangguk. "Oke. Tapi kalian mesti berjanji akan melakukan tugas kalian kelak dengan sepenuh hati dan serius! Menjadi imam bukanlah hal sepele! Imam adalah pembantu utama, pembantu pribadi Allah. Kalian harus membawakan semua pesan-pesanNya. Berjanji"" "Berjanji, Pa," bisik keduanya serentak, sambil melirik ibu mereka yang tengah mengawasi sambil tersenyum.
"Baiklah. Sudah sana, bereskan pe-er kalian!"
"Oh, aku sangat bangga padamu, Mik!" bisik Nina ketika anak-anak sudah berlalu.
Bab 29 MIKI mula-mula ingin melukis Nina dan bunga-bunga mawarnya malam itu juga. Namun kemudian dibatalkannya, sebab dia merasa amat lelah.
"Sabarlah sampai besok, Nin," katanya seakan membujuk padahal Nina tidak ingin dilukis. "Aku kan sudah mengambil cuti seminggu."
Sebenarnya mereka merencanakan mau mengajak anak-anak liburan akhir pekan ke pondok Rudi dan Ola di tepi laut. Tapi melihat keadaan Miki, Nina menangguhkan. Dilihatnya suaminya makin pucat dari hari ke hari. Terkadang sesak napas walau cuma sebentar. Tapi yang sakit sendiri selalu meremehkan kekhawatirannya dan dengan terbahak riang memeluknya seakan itu bisa menghalau pergi semua rasa gundah.
"Aku enggak kenapa-kenapa, percayalah!" serunya. Namun tak dapat disangkal bahwa kerjanya sekarang agak lamban. Nina menghitung sudah lima kali dia berpose Hap pagi di studio, tapi lukisan itu belum juga selesai. Mawar-mawarnya sudah mulai layu sehingga Nina mengusulkan untuk membeli yang baru. Tapi Miki tidak mau.
"Aku mau melukis mawar-mawar pemberianmu, Nin. Bukan yang bisa kita beli di toko."
Miki amat tekun dengan kerjanya. Setiap pagi mereka berdua mengunci diri dalam studio sampai makan siang. Setelah itu Nina melarangnya bekerja terus. Dibujuknya dia untuk tidur. Miki tak mau membantah istri atau dia sudah terlalu lelah untuk menolak.
Setiap pagi, bila Miki sedang asyik dengan cat-catnya dan tidak melihat, Nina asyik pula memandanginya. Entah kenapa, dia punya dugaan bahwa penyakit Miki kambuh lagi. Mukanya yang pucat, batuk-batuknya, sesak napas, pegal-pinggangnya, demamnya. Malah dia pernah mimisan sekali lagi, tapi untung lekas berhenti dan Miki menolak diajak ke dokter.
Siang itu Miki sedang tidur. Nina pergi ke studio dan duduk di depart lukisan yang akan menjadi hadiah ultah perkawinannya. Dua puluh tangkai mawar merah yang indah dan cantik. Di dalam kursi beledu merah duduk seorang wanita bergaun kuning muda. Wanita itu berusia sekitar akhir tiga puluh. Wajahnya putih bersih, sayu, penuh rahasia. Senyum kecilnya menawan sekali. Lengkung alisnya sempurna. Matanya tajam namun lembut. Tapi leher dan bagian atas tubuhnya belum lagi terbentuk.
Nina menahan napas, Dia hampir tidak mengenali diri sendiri di atas kanyas. Terlalu bagus! pikirnya seketika. Ini terlalu cantik! Ini bukan diriku! Ah, Miki selalu melebih-lebihkan penampilanku! Air mukaku tidak seharusnya begitu berseri-seri! Aku yakin wajahku kini cuma memancarkan kedukaan belaka. Sebab aku tahu tak lama lagi... ah, kenapa aku jadi memikirkan hal
-hal yang buruk" Apa kata Dokter Saksono tempo hari" Bergembiralah selalu supaya si sakit jangan curiga....
Yah! Miki sakit. Dia tahu, penyakitnya sedang kambuh. Apakah ini pangkal dari ujung perjalanannya" Kalau saya boleh memohon, ya Tuhan, saya ingin memohon agar terjadi keajaiban yaitu supaya Miki jangan binasa. Sembuhkanlah dia ya, Tuhan! Engkau yang telah membuat Sara, istri Ibrahim, mengandung ketika dia sudah mati-haid, Engkau yang telah membangkitkan Lazarus dari kematiannya yang sudah empat hari, kasihanilah kami, Tuhan. Kasihanilah Miki. Dia sudah menyerahkan dengan rela kedua anaknya untuk menjadi pekerja-pekerja di ladangMu, janganlah Kauabaikan kesetiaan dan pasrahnya padaMu. Penyakitnya kambuh lagi, Tuhan. Semalam saya meraba sebuah benjolan baru di leher. Di belakang telinga, sebuah lagi. Juga pada perut sebelah kanan. Oh, mengerikan, Tuhan. Benjolan di situ bukan main banyaknya, bersambung-sambung seperti rosario. Saya tak berani bilang apa-apa, khawatir Miki nanti curiga bahwa sakitnya kambuh lagi dan menjadi depresi.
Nina mengelus kanvas di depannya. Dia tahu, lukisan itu mungkin takkan selesai. Tadi pagi bunga-bunga itu sudah dibuangnya ke tempat sampah, dan Senin depan Miki sudah ngantor lagi. Mereka takkan sempat berpose-pose lagi. Ketika dia membuka lemari, agak terkejut hatinya melihat sekuntum mawar tergeletak di atas pakaian Miki.
"Apa kau sudah jadi pesolek sekarang, Mik" Pakai mengharum-harumkan pakaian segala!" tegurnya ketawa.
"Ah, masa aku enggak boleh menyimpan tanda mata buat hari tua"" Miki balik bertanya sambil menyeringai.
Ah, Tuhan, apakah akan ada hari tua baginya" Dan bagi kami berdua" Tuhan, Tuhan, Engkau yang begitu Pengasih dan Penyayang, dengarkanlah jeritan hatiku ini.... Ketukan di pintu mengejutkannya. Dilihatnya sekilas arloji. Astaga! Dia sudah tiga jam melamun di sini! Dari jendela dilihatnya langit yang sudah mulai kelabu dan daundaun flamboyan yang bergoang pelan seakan mengucapkan selamat jalan ada matahari.
Disapunya matanya dengan punggung tagan, lalu bergegas bangkit. Diputarnya gerenel. Miki langsung menyerbu masuk, langsung memeluknya. "Hei," serunya ketawa riang, Apa-apaan nih, main sembunyi-sembunyian di sini" Sampai payah aku mencarimu ke seluruh rumah. Kusangka kau sudah minggat, untung Anis memberitahukan bahwa kau kemari. Eh tahu enggak nih, ada larangan menginjak milik pribadi orang lain" Tahu enggak apa sanksinya kalau ada yang melanggar"" ancam Miki mendelik. Tentu saja Nina tahu, dia cuma bercanda.
"Ah, ini kan bukan milik orang lain, tap milik suami saya sendiri, Pak. Mengenai sanksi ah, saya enggak takut. Apa sih yang bisa di lakukan seorang suami terhadap istrinya" Paling-paling cuma..." Nina tidak melanjutkan kata-katanya, sebab Andi mendadak muncul d ngan segulung kertas. Dia lupa, anak itu biasa latihan menggambar sore-sore.
"Selamat sore, Ma, Pa," sapanya tenang seakan tidak dilihatnya kedua orangtuanya tengah berpelukan. "Selamat sore, Di," balas Nina, tapi Miki cuma mengangguk. Nina mencoba melepaska diri, tapi pelukan malah dipererat. Wajah Nina menjadi merah, malu terlihat oleh Andi, walaupun anak itu tidak memperhatikan mereka. "Mik, gila kau!" bisiknya ke kuping.
Miki cuma terkekeh. Dan seakan itu rahasia antara laki-laki dengan laki-laki, dilihatnya Andi saling melirik dengan ayahnya lalu Miki mengedip sebelah. Ini sudah keterlaluan, piki Nina. Tanpa berpikir lagi digigitnya lengan Miki. "Aw, aw!" jerit korban mengibaskan tangannya yang sakit. Nina mengambil kesempatan ini untuk melepaskan diri, lalu lari keluar. Miki tidak mencegah.
Miki tak dapat mencegahnya lagi sejak itu. Dia terus berbaring saja walaupun hatinya jengkel. Dia tidak betah diam terus di ranjang tanpa berbuat apa-apa kecuali melamun, memikirkan yang tidak-tidak. Tapi apa boleh buat. Kalau dia mencoba berdiri, rasanya dunia mutar-mutar seperti kincir angin. Kalau dia bicara kelamaan, napasnya agak sesak. Tubuhnya penuh bercak-bercak perdarahan di bawah kulit. Tapi Miki masih berkelakar dengan dokter yang dipanggil ke rumah. Karena Nina selalu hadir bila dokter meme
riksa Miki, maka Dokter Pujo tak mau banyak omong, khawatir bertentangan dengan kehendak pasien. Dia masih ingat pesan Miki agar istrinya jangan sampai tahu apa penyakitnya. Setiap kali Nina bertanya, "Bagaimana, Dok"" maka dia menjawab sungguh-sungguh, tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Terkadang Miki sakit perut tanpa sebab. Nina mengolesinya dengan balsam sementara si sakit meringis-ringis kesakitan. Tapi begitu nyerinya hilang, Miki kembali berkelakar lagi atau menggoda Nina.
'Kemarin,' tulis Nina dalam buku mereka, 'Miki mencoba bangun untuk menyelesaikan lukisan hadiahnya. Tapi ketika berdiri, dia langsung oleng dan jatuh lagi ke atas ranjang. Aku sedang membereskan meja toilet dan melihatnya dalam cermin. Semula kusangka dia akan mengeluh. Tahunya dia malah ketawa. "Uh, brengsek betul," pekiknya. "Masa aku enggak bisa berdiri" Kalah bayi enam bulan! Wah, apa ini enggak gawat, Nin" Seandainya kau minggat, gimana aku harus mengejarmu""
"Aku kan enggak bakal minggat," kataku ketawa, walau dalam hati aku..,' Nina lekas-lekas mencoret kalimat terakhir, mendadak teringat bahwa Miki akan membaca tulisannya nanti malam. Saat itu Miki sedang tidur dan Nina menungguinya. Sudah sepuluh hari dia terbaring terus. Orang-orang serumah bergantian menghadapnya, sehingga dia berseru terbahak-bahak bahwa dia sudah diperlakukan seperti raja.
Bila Miki sudah lelah membaca, Nina akan memutarkan musik atau membacakan sesuatu. Miki akan berlagak memejamkan mata, namun sebenarnya mengintip dan memperhatikan Nina yang tengah asyik membaca. Tentu saja yang diperhatikan tidak tahu. Miki lalu akan terbenam dalam segala macam kenangan dan lamunan. Bila Nina tiba-tiba mengajukan pertanyaan, "Apa kau sedang mendengarkan"" dia akan gelagapan. Sedikit pun tidak masuk ke otaknya apa yang dibaca Nina. Untung Nina tak pernah mengecek apa dia betul mendengarkan atau tidak.
Melihat Miki gelagapan, Nina tersenyum. Sungguh mati, kau masih tetap simpatik walau rupamu sudah mirip tulang dibalut kulit saja, pikirnya.
"Aku tahu, kau enggak mendengarkan apa yang kubacakan!" tuduhnya.
'Dan dia minta maaf seribu maaf,' tulis Nina pada hari lain, 'sehingga aku merasa iba dan cepat-cepat tersenyum lagi. Aku tahu, dia lelah. Tapi waktu disuruh tidur, dia enggak mau, dan memaksa aku meneruskan bacaanku seakan dia ingin mendengar suaraku terus-menerus.'
Miki membaca tulisannya sambil berbaring, lalu menambah di bawahnya: 'Memang aku selalu ingin mendengar suaramu, Sayang. Tak ada lagu mana pun yang lebih merdu dari suaramu. Aku memang lelah, tapi jangan mengira diriku sudah kehabisan tenaga! Coba-cobalah menipuku, dan kau akan tahu akibatnya!!!' Nina terkekeh-kekeh membacanya. "Kauingat Pak Isman"" tanyanya dengan senyum misterius.
"Ya. Kenapa"" sahut Miki yang mendadak curiga melihat senyum istrinya yang aneh.
Nina tidak menjawab, tapi terus saja tersenyum. Miki mengulangi pertanyaannya, namun Nina masih tetap membisu.
"Hei, kemari kau!'* perintahnya menggelegar.
Nina melenggok manja sambil masih mengulum senyum. Miki meraih kedua tangannya dan menggenggamnya erat-erat Dengan berlagak bengis ditatapnya Nina. "Dengarlah, Nyonya manis! Kau adalah milik Tuan Besar ini!" serunya menepuk dada. "Mengerti" Mengerti"!"
Nina mengangguk, pura-pura ketakutan. Miki menyeringai senang.
"Nah, lebih baik begitu! Lebih baik kau jinak-jinak padaku. Kau adalah milik pribadi yang tak bisa diperjualbelikan, mengerti! Jangan coba-coba mengambil keuntungan pada saat-saat begini! Tahu apa hukumannya kalau istri main pintu belakang" Nih!" serunya menjalankan telunjuk di seputar leher. Nina nyaris mau ketawa.
"Kalau begitu, sebaiknya kau lekas sembuh! Aku enggak tahan kesepian," rajuknya.
"Ooh! Berani taruhan! Iris kupingku, kalau aku enggak sembuh minggu depan! Atau paling lama, bulan depan!" serunya garang.
Nina ketawa, memeluknya, seakan mau meyakinkan Miki akan cinta sucinya. Tapi dalam hati dia meratap. Miki rupanya betul-betul tidak tahu apa-apa, pikirnya. Bagaimana bila minggu depan atau bulan depan takkan pernah tiba baginya"!
'Miki mengajak taruhan, minggu depan d
ia pasti akan sembuh,' tulis Nina dalam buku. 'Kalau dia kalah, aku boleh memotong telinganya. Aku sekarang sedang bingung memikirkan cara memotong telinga yang sebai-kbaiknya. Sebab aku kan enggak mau dia jadi jelek setelah enggak punya kuping sebelah! Tapi kalau dipikir-pikir, aku lebih suka kalah saja. Apa gunanya kupingnya kalau sudah terpisah begitu" Aku takkan bisa menjewernya lagi. Aku tak bisa membelainya. Atau menggigitnya. Oh, aku lebih suka bila Miki sembuh saja dan dia boleh tetap memiliki kedua telinganya. Kita akan berlibur ke pantai. Kali ini berempat dengan anak-anak.'
Setelah membaca tulisan itu, Miki ingin langsung menambah. Tapi tangannya mendadak gemetar begitu hebat sehingga bolpennya terlepas.
"Wah, celaka! Rupanya sarafku sudah mulai enggak beres. Nin, tolong dong tuliskan bagiku. Awas, jangan ceker ayam, ya. Hitung-hitung kita main sekolah-sekolahan!" Miki terkekeh membuat Nina terpaksa ikut geli.
"Kali ini aku memakai sekretaris. Dia bukan seorang sekretaris yang baik, sebab nulisnya lambat dan aku sering harus mengulang apa yang kukatakan. Tapi seperti biasa, dia telah berhasil memikat hatiku. Cerita direktur makan... eh, bukan makan, tapi,., nipu... ah, juga bukan... ya lebih baik,., makan!
'Cerita direktur makan sekretaris itu rupanya mungkin betul, sebab aku rasanya kepingin memakannya. Cuma enggak tahu gimana caranya. Aku ingin sekali cepat sembuh, setidak-tidaknya, bisa berdiri lagi, supaya aku bisa menyelesaikan lukisan istriku, yang kunamakan Bukan Impian Semusim. Kenapa aku namakan begitu" Aku sendiri enggak tahu. Barangkali karena istriku amat suka istilah itu. Menurutku, cita-cita Joni dan Andi untuk masuk biara
hanyalah impian semusim belaka, yaitu sesuatu yang rasanya diinginkan tapi sebenarnya tidak. Waktu akan menghapus bersih keinginan itu hingga tak bersisa sedikit pun lagi.
Ternyata aku keliru. Cita-cita mereka bukanlah impian semusim! Ya, aku memang banyak keliru. Misalnya tentang cintaku padamu, Nin. Aku tak pernah yakin bahwa orang bisa mencintai seseorang terus-menerus selama puluhan tahun. Malah makin hari makin mencintainya. Semula kukira cinta tak pernah kekal. Karena itu waktu kita menikah, aku enggak berharap akan mencintaimu selamanya. Maaf, ya, Nin, jangan marah. Tapi kan memang di dunia ini tak ada yang kekal, bukan" Memang waktu itu aku sungguh-sungguh mencintaimu. Tapi kukira semula bahwa itu cuma impian semusim belaka. Suatu ketika, musim akan berganti dan aku tak lagi menghendakimu. Tapi ternyata aku keliru besar. Bukan saja aku tak pernah berhenti mencintaimu, aku bahkan makin menyayangimu dari hari ke hari. Mungkin mukamu sudah mulai berkeriput, mungkin kulitmu sudah mulai dihinggapi bercak-bercak ketuaan, tapi aku tidak mempedulikannya. Bagiku kau tetap menarik seperti ketika aku pertama kali melihatmu. Mendengar suaramu saja bisa membuat jantungku berdegup lebih cepat. Hari terasa lebih cerah bila aku melihat senyummu, dan lenyap sakit perutku. Kau adalah obat yang paling mujarab untukku. Nin, aku bersyukur pada Tuhan karena telah dipertemukan denganmu.'
'Nin, barangkali setiap orang dalam hidupnya pernah mempunyai impian. Impian semusim yang akan berlalu begitu saja. Tapi mungkin juga dia salah menafsirkan impiannya yang ternyata bukan sekadar impian semusim. Mungkin impian itu terhalang sementara waktu atau seumur hidup, tapi dia akan mengendap selamanya dalam hati dan sesekali akan teringat kembali... bisa menimbulkan penyesalan atau sekadar tanda tanya 'kenapa enggak terlaksana"' Pada akhir tahun atau akhir hidup, manusia biasa membuat neraca kenapa begini, kenapa begitu....'
'Nin, cintaku padamu ternyata bukan impian semusim, seperti juga cita-cita anak-anak kita...,'
Jari-jari Nina tiba-tiba gemetar sehingga tulisannya menceng. Miki memegangi tangannya seakan mau menenangkan tremornya. Nina mengejap-ngejapkan mata untuk membendung tangisnya.
"Kau percaya, bukan"" bisik Miki lembut.
Dengan lemah lunglai Nina menelungkup di atas dada suaminya serta memeluk lehernya. Air matanya bertetes-tetes membasahi selimut. Pena dan buku mereka dibiarkannya
terjatuh ke lantai. "Aku percaya, Mik," bisiknya hampir tak terdengar.
"Kenapa kau menangis, Nina"" tanya Miki sambil membelaibelai rambutnya dengan penuh sayang. "Aku kan enggak kenapa-kenapa. Sebentar lagi juga pasti sembuh. Kau ini seperti ibuku. Sedikit saja ada yang sakit dalam rumah, rusuhlah hatinya."
"Aku menangis karena bahagia, Mik."
"Ya, aku juga," bisik Miki dengan mata berkaca-kaca. "Apa pun yang terjadi, ingatlah, Nin, impian kita telah terwujud menjadi kenyataan sepanjang musim. Bukan cuma semusim. Apa pun yang akan terjadi, kenangan manis kita takkan pernah lapuk. Matahari akan selalu bersinar bagi kita berdua. Takkan pernah ada kesulitan yang tidak mungkin kita atasi. Dalam cinta ini, kita akan menjadi kuat, Sayang. Karena cinta kita bersatu di dalam Tuhan. Dialah sumber segalanya bagi kita. Jangan pernah meninggalkanNya."
Miki terus membelai-belai kepala Nina. Ingin sekali ditumpahkannya seluruh isi hatinya, tapi tak mungkin. Dia tidak ingin Nina tahu apa yang tengah dideritanya.
"Mik, aku ingin membuat sebuah pengakuan. Tapi sebelumnya, aku minta kau jangan marah dan mau memaafkanku."
"Kau tahu, aku akan selalu memaafkanmu, apa pun yang telah kaulakukan."
"Mik," bisik Nina merebahkan pipinya yang basah di atas selimut suaminya, "aku juga pernah punya impian semusim seperti anak-anak. Kau tahu itu, kan" Aku betul-betul serius mau jadi suster, hidup penuh pengorbanan. Karena itu ketika kau menghendaki aku sebagai istrimu, aku cuma menganggapmu sebagai suatu jalan pengorbanan belaka. Pikirku, kalau enggak menjadi suster, baiklah aku kawin dengan orang yang sama sekali tidak kucintai. Aku yakin hidupku akan penuh pengorbanan. Aku yakin cita-citaku akan menghantuiku seumur hidup.
"Tapi ternyata aku salah, seperti engkau! Impianku ternyata tidak menghantuiku. Bahkan lambat laun tanpa kusadari, aku sudah jatuh cinta padamu. Aku tak pernah tahu bahwa aku dapat mencintai orang lain sebesar itu, sampai-sampai aku lebih sering memikirkan engkau daripada diriku sendiri."
"Setelah mengenalmu dengan baik, aku insyaf, dulu itu aku cuma memikirkan diriku semata-mata. Aku cuma memikirkan bagaimana bisa menjadi suci, bagaimana bisa masuk surga dan mendapat kelas satu di sana. Aku tak pernah sungguh-sungguh memikirkan bagaimana membahagiakan orang lain. Bagaimana mengasihi orang lain. Aku pelajari itu semua darimu. Terima kasih, Mik, untuk semua yang telah kauberikan padaku. Perhatianmu, cintamu, dan seluruh hidupmu."
Nina mengangkat mukanya dan menatap Miki dari balik air mata.
"Percayakah kau bila kukatakan, aku betul-betul mencintaimu""
"Aku percaya," sahut Miki dengan mata berlinang, sambil menghapus air mata Nina dengan jari-jarinya yang amat kurus.
Oh, Mik, betapa kurusnya kau! keluh Nina dalam hati. Bukan main pucatnya wajahmu. Miki, Miki! Seandainya kau tahu, bahwa hariharimu sudah dihitung-hitung olehNya! Bila kau tahu!
Bab 30 PADA suatu hari Andi mendekati ibunya ketika Nina sedang duduk-duduk dalam studio memandangi lukisan hadiahnya yang tak kunjung selesai. Miki sedang tidur siang.
Tanpa aba-aba lagi anak itu langsung menggenggam kedua tangan ibunya dalam kedua telapak tangannya. Ditatapnya Nina dengan matanya yang bulat jernih dan masih kekanakkanakan.
"Ma, percayakah Mama, Tuhan itu Maha Pemurah dan Maha Pengasih" Percayakah Mama, Tuhan selalu murah hati pada orang-orang yang murah hati padaNya" Ma, jangan nangis, Ma. Percayalah, Papa pasti akan sembuh, Ma. Joni dan saya mendoakannya setiap hari. Papa sudah mengizinkan kami masuk seminari. Ini kan pengorbanan yang amat besar buat Papa. Tuhan pasti akan membalas pengorbanan Papa. Tuhan pasti akan melindunginya. Ma, sudah, Ma, jangan nangis."
"Oh, Andi, anakku!" Nina mendekapnya sambil tersedu-sedan, tidak mampu berkata-kata lebih dari itu.
* * * Pada suatu malam, dua hari kemudian, Miki merasa lelah dan siang-siang sudah tidur. Nina belum mengantuk. Jadi dia menemani sambil membaca-baca buku harian mereka, dengan niatan mau mengisinya nanti.
Dia begitu keasyikan membaca, sehingga dering telepon tidak langsung menyentakkan perhatian
nya. Pesawat itu memang sudah disetel, sehingga deringnya cuma kedengaran seperti dengung lebah, untuk mencegah Miki terganggu tidurnya. Sudah hampir seminggu dia susah tidur, sehingga Dokter Pujo memberinya obat tidur. Tapi setelah diminum dua kali, dia merasa begitu lesu siangnya, sehingga akhirnya dia tidak mau lagi menelannya.
Perhatian Nina terpusat pada buku di depannya. Dia sama sekali tak pernah mempedulikan pesawat di atas meja riasnya, sebab tak pernah diperlukannya. Bila ada telepon masuk, biasanya pesawat di ruang keluarga yang diangkat, bukan yang di kaniar.
Setelah berdengung beberapa kali, mendadak Nina tersentak. Telepon berbunyi. Kenapa tak ada yang mengangkat" Ah, mungkin Papa dan Mama sedang berjalanjalan di kebun membicarakan rencana untuk merombak rumah serta tanaman. Dan anak-anak" Pasti mereka sedang di dalam kamar, menyetel musik keras-keras sehingga tak ada suara lain yang bisa mereka dengar.
Nina meletakkan bolpen di tangannya, lalu meraih pesawat
"Halo"" Suara laki-laki itu tidak dikenalnya dengan segera. "Saya Dokter Pujo."
Pantas, dia memang sudah cukup lama tidak melihatnya, dia sudah agak lupa seperti apa suaranya. "Oh, selamat malam, Dok."
"Selamat malam. Dapatkah saya bicara dengan Pak Miki Rodan"" "Dia sedang tidur. Ada perlu penting, Dok"" "Tidak bisa dibangunkan, saya kira""
"Barusan saja pulas, Dok. Dia susah tidur sekarang," bisik Nina seakan minta maaf karena tak mau membangunkannya.
"Ya, saya mengerti. Kalau begitu, baiklah saya akan bel lagi besok pagi."
Besok pagi" Sekiranya ada sesuatu yang sangat penting" Kenapa harus tunggu sampai besok"
"Saya ini istrinya, Dok. Barangkali Dokter bisa menyampaikannya pada saya untuk nanti saya teruskan""
Dokter Pujo tidak segera menjawab. Hening di seberang sana, sehingga Nina seketika khawatir jangan-jangan pesawat sudah diletakkan.
Untung tidak. Setelah beberapa detik, kedengaran suara batuk kecil, lalu dokter menyambung lagi. "Hm, saya tidak tahu apakah saya sebaiknya bicara pada Pak Miki saja atau boleh saja Ibu...."
"Kalau ini mengenai sakitnya," bisik Nina ke dalam pesawat, "Dokter tak usah ragu. Saya tahu semua!"
Terdengar suara seperti orang keselak. Dokter Pujo tentu saja masih ingat pesan Miki. Kalau sekarang istrinya sudah tahu; yah mungkin diberitahu sendiri oleh pasiennya (walaupun ketika terakhir dia kunjungan-rumah, tak ada tanda-tanda bahwa Ibu Rodan mengerti sampai di mana penyakit suaminya sebenarnya). Bagaimanapun, sekarang keadaan akan menjadi lain. Setelah dia mengatakan pesannya ini, semua orang di rumah Pak Rodan pasti akan tahu apa penyakitnya. Jadi, tak ada salahnya kalau dia bicara langsung pada Ibu Rodan.
"Hm. Baiklah, Bu Rodan. Kalau Ibu menyatakan sudah tahu, saya pun tak usah panjang lebar lagi menerangkan. Saya mau to the point saja. Begini, Bu. Beberapa hari yang lalu saya kebetulan bertemu dengan sejawat yang baru pulang dari Amerika. Dalam diskusi, kami sempat membincangkan penyakitpenyakit, antara lain seperti yang diderita oleh Pak Rodan. Rekan saya itu memberitahukan sesuatu yang mengejutkan sekaligus memberi harapan. Katanya, di sana tengah dilakukan riset besar-besaran mengenai penyakit-penyakit beginian, dan hasilnya banyak yang mengagumkan. Bahkan ada yang sudah dimuat resmi dalam majalah-majalah ilmiah. Pengobatan yang sedang diriset ini sungguh ultramodern, sayang kurang saya mengerti, sehingga tak bisa saya jelaskan pada Ibu. Tapi intinya adalah begini: rekan saya mengusulkan agar Pak Rodan dibawa saja ke sana. Kebetulan dia kenal pribadi dengan ketua tim risetnya. Dia bersedia menuliskan surat ke sana. Ibu cuma perlu mengurus tiketnya saja. Akomodasi di sana dan lain-lain akan mereka sediakan. Biayanya memang mahal sekali, tapi saya tahu takkan jadi masalah bagi keluarga Ibu. Saya tidak menjanjikan keajaiban atau apa pun, Bu, tapi apa salahnya bila kita coba, bukan" Baiklah nanti-besok- Ibu rundingkan dengan Bapak, dan saya tunggu kabar. Kalau bisa, sebelum jam delapan besok, agar saya bisa mengontak rekan saya segera."
Nina tak tahu lagi di mana jantungnya. Rasanya sekujur tubuhnya
berdenyut tak keruan. Tangan yang menggenggam pesawat basah berkeringat, sehingga tangkai telepon itu nyaris terlepas. Dipereratnya genggamannya. Suaranya berdesah seperti orang barn lari maraton.
"Dokter," bisiknya terengah. "Tak usah tunggu besok. Saya bisa mengiyakan sekarang juga. Saya setuju dengan rencana itu. Ke mana pun akan saya bawa dia, asal bisa disembuhkan."
"Oh, ini lebih baik lagi. Oke, kalau begitu Ibu boleh segera mulai dengan persiapan keberangkatan. Kalau Ibu memerlukan surat keterangan dokter untuk minta visa, Ibu tinggal bel saja, nanti saya buatkan."
"Baik, Dokter. Oh, banyak terima kasih. Dokter," Dan begitu pesawat diletakkan, Nina berseru lantang, "Oh, terima kasih, Tuhanku!" Air matanya langsung menetes turun.
"Hei, bicara dengan siapa kau" Kedengarannya seperti menyebut-nyebut nama dokter begitu""
Nina terperanjat mendengar suara Miki dari ranjang, Astaga! Rupanya dia terjaga! Apa suaranya di telepon terlalu keras sampai dia telah membangunkannya" Cepat-cepat disekanya matanya dengan tangan sebelum dia berani berbalik ke arah Miki.
"Ayo, ceritakan semuanya! Suaramu seperti semut, aku tak bisa menangkap apa-apa."
Nina melangkah ke ranjang tanpa melepaskan Miki dari pandangannya. Jadi kau sebenarnya sudah tahu apa penyakitmu, Mik" Tapi kau berlagak tidak kenapa-kenapa" Apa kau mau menipu dirimu atau ingin menghibur aku"
Nina duduk di pinggir tempat tidur, menggenggam sebelah tangan Miki. Mereka saling bertatapan sejenak.
"Hei, kelihatannya seperti habis nangis!" tuduh Miki dengan nada mau bercanda. Tapi Nina tidak kepingin meladeninya saat itu. Bicaranya serius sekali.
"Dokter Pujo tadi mengatakan, kau harus dibawa ke Amerika. Mungkin bisa sembuh!"
"Hei, ngaco belo apaan, nih"! Memangnya aku sakit apa" Dokter Pujo ngaco, tuh! Barangkali dia salah sambung! Aku kan enggak kenapa-kenapa, Nin. Kau tak usah khawatir enggak keruan. Sebentar lagi juga aku pasti akan sembuh! Sekarang pun sudah mendingan...." Dan seakan mau menguatkan perkataannya, Miki ketawa lebar. Tapi Nina tetap serius.
"Dokter Pujo dengan jelas mengatakan bahwa Pak Miki Rodan sebaiknya dibawa ke Amerika. Rekannya yang baru pulang dari sana menceritakan mengenai riset pengobatan penyakit-penyakit seperti yang kauderita ini. Dan aku sudah mengiyakan, setuju!"
Miki terdiam dengan mata terbuka lebar. Entah apa yang berkecamuk dalam pikirannya saat itu. Matanya menatap Nina tanpa berkedip. Ketika sesaat kemudian dia bicara, suaranya lugu seperti bocah.
"Jadi... kau sebenarnya sudah tahu... apa sakitku" Sebenarnya aku tidak ingin kau tahu! Dokter Pujo sudah aku..."
"Rupanya karena itu dia ragu bicara terus terang padaku! Aku kan istrimu" Atau bukan" Kenapa merahasiakannya terhadapku"" Nina hampir mengisak sebab penuh emosi.
"Aku tidak ingin kau tahu, lalu menjadi gelisah, Nin," bisik Miki dengan nada minta maaf sambil membelai-belai lengan Nina. "Kusangka selama ini kau belum tahu!"
"Aku minta info sama Dokter Saksono... kusangka engkau pun belum tahu!"
"Jadi kita sama-sama sudah tidak jujur"" Miki menegaskan seakan cuma Nina yang bersalah. Mereka saling bertatapan, kemudian meledak ketawa bersama.
"Sudahlah, biarkan aku keluar menemui orangtuamu. Aku ingin mengabarkan perkembangan ini pada mereka dan anak-anak."
"Semuanya tahu""
Nina menggeleng. "Tak ada yang menduga bahwa kau sudah... sudah... mereka menyangka sakitmu biasa-biasa saja, radang usus dan batuk... seperti begitulah. Tunggulah, aku keluar sebentar. Soalnya besok segala surat-surat sudah harus mulai aku urus,"
Dan minggu itu adalah minggu yang paling hektik bagi Nina. Dia sampai tidak ingat makan lagi, kalau tidak diingatkan oleh ibu mertua berkali-kali.
Yang terberat adalah malam itu ketika dia harus membeberkan keadaan Miki yang sebenarnya di depan seluruh keluarga, Ayah-Ibu dan anak-anak. Mereka kelihatan kaget dan sedih. Ibu mertuanya berulang kali bergumam sendirian, "Astaga! Tidak kusangka Miki jadi begitu!" Namun untunglah tak ada yang menyalahkannya atau menyesali Miki kenapa sok berahasia-rahasiaan.
Setelah perundingan mengenai keberangkatan M
iki selesai dibicarakan, kedua orangtuanya mengundurkan diri ke teras belakang. Joni dan Andi mendekati ibu mereka.
"Jangan khawatir, Ma. Kami akan berdoa setiap hari untuk Papa. Kami akan berdoa rosario tiap hari. Ma!" kata Joni memeluknya.
"Iya, Ma, percaya pada Tuhan di surga, Ma. Papa pasti bisa sembuh! Kami akan berdoa tiap pagi dan malam, Ma," ujar Andi, memeluknya di sebelah yang lain.
"Terima kasih, anak-anakku," Nina memaksakan diri tersenyum. "Papa memang sangat memerlukan doa-doa kalian."
* * * Tepat seminggu kemudian Miki bersama Nina naik pesawat PANAM menuju New York. Miki sebenarnya dianjurkan oleh dokter agar minta kursi roda, tapi dia menolak keras. Dalam keadaan payah pun dia masih belum kehilangan humornya.
"Wah, jangan dong! Dikira aku ini sudah tua renta nanti! Kita kan mau pergi naik PANAM, Nin, bukannya naik kereta barang! Kalau dilihat cewek-cewek bahenol gimana"! Cowok pakai kursi roda" Pasti impoten! Melirik pun mereka pasti ogah! Hilang dong kegembiraanku bertamasya kalau begitu! Huh, setua ini, ke Bali pun belum pernah! Eh, sekali-kalinya bisa ke luar negeri, ternyata cuma buat berobat! Huh, nasib!" keluhnya tapi dengan mimik Jenaka, sehingga Nina mencubit pipinya dengan gemas.
"Kau tentu senang nih, mau ke Amerika!" tuduhnya berlagak keki. "Begitu sampai pasti kau langsung menyerbu toko, biar deh aku dititipkan saja di rumah sakit! Shopping!. Itu penyakit cewek!"
"Tahu saja!" Nina menanggapi, tersenyum.
Karena itu perjalanan lama, sedangkan Miki sangat perlu istirahat, maka mereka minta kelas satu dengan kabin. Jadi Miki bisa tidur. Tapi dia lebih senang duduk melonjor, memperhatikan pramugari-pramugari cakep hilir-mudik.
Penumpang kelas satu jumlahnya tidak sampai tiga puluh, tapi yang melayani mereka seakan tak terhitung banyaknya, saking seringnya mereka muncul. Ada-ada saja yang ditawarkan. Dan mereka semua hapal nama setiap penumpang.
Miki kelihatan tercengang ketika untuk pertama kalinya seorang cewek cantik membungkuk di sebelah kursinya, lalu menyebut namanya.
"Mister Rodan... mau minum apa""
Sejenak dia tergugu, sehingga Nina terpaksa menolong. "Susu hangat, kalau bisa."
Setelah nona manis itu mengangguk dan berlalu dengan meninggalkan sepotong senyum yang menggiurkan, Miki menoleh dan melotot pada Nina.
"Susu! Gila kau! Disangkanya aku idiot yang masih nyusu! Lain kali biarkan aku ngomong sendiri, lidahku masih bagus!"
Nina ingin ketawa tapi tidak jadi melihat Miki uring-uringan.
"Maaf, deh. Habis, orang menunggu jawaban, kau cuma celangap saja!"
"Habis, aku kaget banget, dia sampai tahu namaku! Mana cakepnya kayak...!"
"Duh, baru berapa meter dari rumah, matamu sudah jadi keranjang! Apalagi nanti di rumah sakit, seharian dikerumuni selusin suster-suster cakep! Ce, ce, ce!"
"Jangan khawatir. Hatiku tetap padamu. Tapi meluaskan pemandangan kan boleh"! Ini namanya keistimewaan kelas satu! Senyum dan keramahan itu bisa dibeli, Nin! Coba lihat kelas ekonomi, orang ditumpuk kayak sarden, melonjorkan kaki saja belum tentu leluasa!
"Eh, kaupikir kalau aku tepak bokong cewek tadi, dia akan marah enggak, ya"" Miki nyengir. "Aku rasa dia takkan marah. Habis, kan penumpang dianggap raja kalau di kelas satu""
"Mana aku tahu! Harus kaubuktikan sendiri, kalau berani!"
"Kaupikir aku enggak berani""
Nina mengangkat bahu. Miki kelihatan mikir-mikir. Mungkin dia akhirnya akan bertekad membuktikan teorinya bahwa cewek itu takkan marah. Namun sayang tekadnya tidak terlaksana. Sebelum pramugari itu kembali, dari mik sudah terdengar peringatan agar penumpang bersiaga menghadapi cuaca yang memburuk. Tinggal di kursi, kenakan sabuk pengaman, tegakkan sandaran, matikan rokok. Pesawat oleng ke kiri lalu meliuk ke kanan, kemudian menukik terjun ke bawah.
"Aw, isi perut serasa mau copot!" komentar Miki sambil berpegangan ke tangan kursi. Nina menoleh tapi membisu. Wajahnya kelihatan cemas. Miki menjangkau tangannya dan menggenggamnya erat-erat.
"Jangan khawatir, Nin. Enggak apa-apa. Ini mungkin cuma kantong udara yang kosong. Tuh, lihat, pramugariku datang dengan segelas susu, lenggan
gnya anteng saja. Dia enggak kelihatan takut. Jangan mau kalah dong, Nin. Nanti ketahuan kita ini udik, baru pertama kali terbang!" Miki terkekeh geli, membuat Nina ikut tersenyum.
Memang benar. Noni cantik bercelemek putih itu muncul dengan senyum patennya, menyorongkan gelas susu bagi Mister Rodan.
"Kalau perlu apa-apa, tekan saja tombol ini, Mister Rodan,"
Miki mengangguk dengan gaya eksekutif tulen, sayang kurang ditunjang oleh porsi tubuhnya yang kerempeng. "Aku mesti makan banyak di sini, Nin. Aku akan minta tambah. Mana ada sih bos badannya seperti cecak kering" Dan aku terang harus dianggap bos, dong. Kalau enggak, percuma saja beli kelas satu, mahal-mahal."
"Jangan khawatir. Setiap penumpang di kelas satu pasti dianggap bos walaupun kenyataannya dibayarin perusahaan!" ujar Nina menenteramkan Miki. "Kan memang perlu makan banyak. Sayang kan bayar begini mahal kalau enggak dihabiskan. Malah Dokter Pujo bilang, kau enggak perlu pantang. Boleh makan apa saja."
Untung cuaca lekas pulih kembali. Kedengaran suara Kapten minta maaf atas ketidaknyamanan tadi, seakan dialah penyebab udara yang buruk itu. Penumpang dipersilakan bergerak kembali, tapi kalau mau tetap duduk, dianjurkan supaya mengenakan sabuk pengaman.
"Dengar tuh, Nin! Jangan lepaskan sabukmu. Pernah kejadian, kan, orang tersedot keluar pintu karena enggak pakai sabuk!"
"Habis enggak betah sih diikat-ikat begini," keluh Nina.
"Longgarkan saja jadi kau enggak merasa dibatasi." Nina membiarkan Miki melonggarkan sabuknya lalu memasangnya kembali.
Rasanya baru saja mereka duduk santai menyandarkan punggung ke belakang serta memejamkan mata, ketika sudah muncul lagi dua orang pramugara dan pramugari menawarkan minuman.
"Mister Rodan," tanya pramugari (yang lain lagi) tersenyum ala iklan Pepsodent, "mau anggur, bir, atau Coca-Cola""
"Nyonya Rodan," sapa pramugara yang tampangnya mirip Rock Hudson, sudah tentu dengan senyum istimewa pula, "mau anggur, bir, atau Coca-Cola"" "Coca-Cola, plis."
Miki melirik Nina dengan lagak membodohi. Nina menangkap arti pandangannya. Huh! Kayak bocah! Kalau Coca-Cola sih, di rumah juga bisa minum sampai puas!
Miki minta anggur. Dan untuk makan, dia pesan champagne! Bukan main suamiku, pikir Nina geli. Dasar baru pernah keluar kandang!
Tak lama setelah itu, muncul pramugari lain. Wajahnya memang tidak sama, tapi senyum dan perhatiannya, aduhai! Begini rasanya kalau orang dianggap banyak duit!
"Enggak heran, ya, Mik, semua orang berlomba mau jadi milyuner, sampai-sampai segala jalan dihalalkan. Menjual narkotik, menjual senjata, menjual racun!" Nina menggeleng-geleng.
"Tapi kan memang sedap diperlakukan seperti raja, bukan"" Miki menyeringai.
Pramugari itu tiba di barisan mereka. Dia membungkuk di samping kursi Miki. "Mister Rodan, kaviar"" Miki kelihatan tertegun cuma sedetik, lalu segera mengangguk. Ketika pramugari itu tengah membelakangi untuk menyendok kaviar dari meja dorongnya, Miki menoleh, dan melelerkan lidah pada Nina.
"Buset! Semua orang apal namaku!"
Dari sisi yang lain, Nina juga ditawari hidangan yang sama oleh pramugari lain. Terpaksa dia mengangguk supaya tidak kelihatan kampungan, juga sebab dia ingin mencoba, juga sebab tak ada pilihan lain yang lebih menarik. Sejumput warna hitam diletakkan di hadapan mereka. Sudah tentu dengan makanan kecil pengantarnya. "Kaya apa sih rasanya kayiar yang selalu disohorkan orang"" gumam Nina.
"Pokoknya, selania bukan racun yang ditawarkan, kita harus terima saja, Nin, supaya jangan diketawain mereka!" Nina mencicip hidangan pembuka itu, lalu mendesah, "Ah, biasa saja rasanya."
"Untunglah," sambut Miki. "Kalau kau sampai tergila-gila pada telur ikan ini, bisa bangkrut aku! Ini kan mahal, Nin."
Setelah kayiar, maka berderet-deretlah hidangan lain ditawarkan, seakan itu sebuah pesta makan yang takkan berhenti. Begitu banyak ragamnya, sehingga Miki sudah kekenyangan sebelum sempat minta tambah.
Begitulah perjalanan yang melelahkan itu dilewatkan dengan cukup menyenangkan, padat dengan acara-acara makan, minum, membaca-baca majalah, mendengarkan musik, menonton f
ilm, tiduran, makan lagi, minum lagi, membaca-baca....
* * * Miki tertidur, melonjor di atas kursi. Kelihatannya begitu nyenyak, sehingga Nina tidak sampai hati membangunkannya agar pindah ke kabin. Jadi ditungguinya saja tidur di kursi. Dia juga menyorong sandaran kursinya ke belakang, lalu berbaring dengan kaki lurus ke depan. Matanya terpejam. Telinganya mendengarkan musik lembut melalui earphone. Niatnya cuma mau istirahat, sebab yakin bahwa dia tidak bisa tidur dalam pakaian lengkap di tengah-tengah banyak orang asing. Walaupun lampu diredupkan, baginya masih kurang gelap. Tapi tidak tahunya dia terlelap juga. Rupanya saking lelahnya.
Dia terjaga kembali beberapa jam kemudian karena lampu dinyalakan. 'Perasaannya cukup segar, walau tubuhnya ngilu-ngilu sedikit. Seorang pramugari mendekati kursi Miki. Nina barusan melihat suaminya masih begitu nyenyak, sehingga dia belum mau membangunkannya. Tapi noni berpakaian blus putih itu dengan tenang membungkuk di depan Miki lalu berbisik lembut, "Mister Rodan, Anda sudah tiba di akhir perjalanan Anda!"
Nina melihat Miki langsung terjaga, membelalak, menatap cewek itu dengan rupa ketakutan, mulutnya setengah celangap. Jelas dia kaget. Nina buru-buru meraih tangannya dan menggenggamnya. Miki menoleh. Dengan suara parau dia berbisik, "Jadi aku belum mati!""
Pramugari cakep itu memperhatikan sikap Miki. "Maaf, rupanya saya telah mengejutkan Anda. Bolehkah saya bawakan Anda segelas sari buah""
Miki mengangguk tanpa bersuara, rupanya semangatnya belum pulih betul. Ketika pramugari sudah berlalu mengambilkan pesanannya, Nina bertanya, "Kenapa kauhilang begitu tadi""
"Habis aku sedang enak-enaknya bermimpi, tahu-tahu kedengaran suara yang bilang, 'Mister Rodan, Anda sudah tiba di akhir perjalanan Anda!' Aku kira, akhir perjalanan hidupkul Dan ketika mataku melihat pakaian putih-putih, tahu kenapa, mendadak aku punya perasaan bahwa itu malaikat dan aku... sudah mati!"
Nina menggeleng, tersenyum. Dalam hati dia ketawa geli, tapi melihat Miki betul-betul gelagapan, dia tak berani bergurau. Tak lama kemudian pesanan pun muncul.
"Nah, tuh, malaikatmu datang lagi!" tukas Nina tak dapat menahan hati untuk tidak menggoda Miki.
Epilog ANAK-ANAKKU tercinta, Tidak terasa sudah hampir tiga bulan Papa dan Mama berada di Amerika. Bagaimana kabar kalian" Apa surat Mama yang penghabisan telah tiba" Surat kalian juga sudah kami terima dua hari yang lalu. Mama harap batukmu sudah mendingan, Jon. Jangan lupa minum obat yang dibelikan Nenek. Dan kau, Andi, bagaimana bengkak di kakimu" Kalau menyepak bola harus pakai perhitungan dong, jangan asal tendang saja."
Mama senang mendengar Nenek dan Kakek sehat-sehat saja, dan perombakan rumah sudah dimulai. Mudah-mudahan kalau kami pulang nanti debu-debunya sudah berkurang, sehingga tidak mengganggu Papa. Mama juga sebenarnya alergi dengan debu. Tapi jangan kaukatakan ini pada Kakek, Jon.
Nah, kalian tentunya sudah enggak sabar hendak mendengar kabar mengenai Papa, bukan" Saat ini dia sedang tidur nyenyak, sehingga Mama punya waktu untuk menulis surat ini.
Joni dan Andi yang Mama cintai, Mama punya kabar jelek dan kabar baik untuk kalian. Biarlah kabar jeleknya dulu, ya. Seperti sudah Mama kabarkan dalam surat-surat terdahulu, pengobatan ultramodern ini ternyata tidak berhasil menyembuhkan Papa. Mereka semua putus asa. Papa sudah menyerah. Kemudian ternyata, penyakit Papa telah salah didiagnosa! Pantas enggak sembuh-sembuh dengan pengobatan tertentu itu! Untuk beberapa lamanya tak ada yang tahu, Papa sebenarnya sakit apa.
Nah, anak-anakku. Sekarang kabar baiknya! Mereka sudah membuat diagnosa yang tepat! Ternyata penyakit Papa enggak fatal, artinya bisa disembuhkan dengan tuntas! Oh, Jon, Di, bukan main bahagianya Mama ketika mendengar berita itu! Rasanya seperti menemukan Papa hidup kembali setelah hilang entah ke mana! Papa juga kelihatan penuh semangat lagi. Tadinya sih sudah loyo, tak mau lagi minum obat, ogah dibawa ke rumah sakit (ketika sudah merasa tak ada harapan lagi, Papa kan menolak tinggal di rumah sakit, katanya depresi mengha
dapi pasien-pasien lain. Jadi sekarang Papa tinggal di apartemen bersama Mama). Sekarang dia rajin kontrol, rajin menelan semua obat. Sejak dua minggu yang lalu. Papa diberi pengobatan baru sesuai dengan penyakitnya yang sebenarnya. Dan sungguh ajaib, puji Tuhan!
Papa langsung menunjukkan perbaikan. Dokter-dokternya bilang, kalau semua tes dan cukup memuaskan, enam minggu mendatang kami sudah boleh pulang ke tanah air. Ah, bukan main senangnya kami boleh lekas balik ke rumah. Sesenang-senangnya di sini, Papa-Mama enggak betah. Rasanya sudah kangen pada kalian, pada Kakek dan Nenek, dan si Bleki.
Waktu Mama tanyakan, kapan perlu kontrol, dokter yang ditanya ketawa lebar. 'Kapan-kapan saja,' katanya. 'Kalau Anda jalan-jalan lagi ke sini!' Berarti, enggak perlu kontrol, lho! Aduh, senangnya kami.
Mama yakin, ini semua berkat doa-doa kalian. Mama yakin, Tuhanlah yang sudah bermurah hati mau menyembuhkan Papa. Sekarang dia bisa hidup seperti biasa lagi. Badannya juga sudah tambah belasan kilo! Habisnya makanan di sini daging berlemak terus dan Papa, tahu sendiri, amat suka bistik! Dokter juga tidak mencegah, sebab kata mereka. Papa perlu membangun kembali tubuhnya yang sudah kerempeng.
O ya, mungkin kapan-kapan, sebelum pulang, Mama dan Papa akan menelepon ke rumah. Sebenarnya Papa sudah kepingin sekali mendengar suara kalian, tapi Mama bilang, nanti Nenek ribut, rekeningnya berapa duit! Sedangkan buat ongkos berobat ini saja, sudah menghabiskan berapa puluh ribu dolar! Jadi nanti saja, pas sebelum pulang. Kalau kalian masih punya pesanan yang ingin dibelikan -tanyakan juga Nenek dan Kakek; Mama juga akan menyurati mereka, tapi takut kalau-kalau kelupaan menanyakan nanti, maklum kalau nulis surat sering ada hal-hal yang kelupaan ditulis- tuliskan saja dalam surat mendatang. Kalau masih juga ada yang ketinggalan, sebutkan nanti dalam telepon. Sekarang Mama banyak waktu untuk belanja, sebab tak ada lagi yang harus ditemani. Papa sudah berjalan ke sana kemari, malahan lebih getol dari Mama. Jadi kami bisa belanja berdua. Papa sudah sanggup bantu membawakan kotak-kotak belanjaan. Wah, anak-anak, New York ini sungguh tak bisa dibandingkan dengan Jakarta. Shopping di sini, dalam setahun pun belum tentu selesai! Begitu banyaknya toko, begitu banyaknya barang-barang bagus! Di sini kita harus pintar-pintar menahan diri kalau enggak mau bangkrut! Apalagi kalau belanjanya pakai kartu kredit, rasanya enak sekali, sratsretsratsret, semua main diambil, soal bayar, urusan belakangan! Tapi Mama sih tidak mau begitu. Mama masih dalam suasana bersyukur pada Tuhan, Mama enggak mau menghambur-hamburkan uang keterlaluan. Cukup untuk sekadar oleh-oleh dan tanda mata saja. Uang lebihnya mau Mama sumbangkan untuk gereja.
Wah, tidak terasa sudah hampir tengah malam. Terpaksa Mama stop dulu, sebab sudah ngantuk. Besok Mama sambung lagi surat ini sebelum diposkan. Mungkin Papa mau menambahkan sesuatu, besok.
Nina meletakkan bolpen. Surat itu dibiarkannya di meja, belum diakhiri supaya bisa diteruskan besok.
Dari radio mengalun sebuah lagu sendu yang dikenalnya sejak dia tinggal di situ. Lagu itu amat menggugah perasaarmya. Walaupun penyanyinya mungkin bermaksud lain, baginya lagu itu membawakan suara dari surga.
Datanglah kau padaKu Kenapa ragu"
Walau kau telah mengingkariKu,
Jangan mengira Aku tak lagi mencintaimu.
Hampirlah kau kemari. Ke hatiKu yang sunyi, sepi.
Kegagalan jangan kautangisi,
Sebab cintaKu setia dan abadi.
-Tamat- Djvu: http://ebukita.wordpress.com
Edit & Convert to Jar, Txt, Pdf: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Bunga Abadi Gunung Kembaran 3 Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen Pedang Dan Kitab Suci 14