Pencarian

Tesa 1

Tesa Karya Marga T Bagian 1


Tesa Penulis: Marga T. sbook:otoy http://ebukita.wordpress.com
Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Asrama mahasiswa itu sangat luas, terdiri lebih dari tiga puluh blok. Masing-masing blok bertingkat lima dan setiap tingkat mempunyai tiga puluh delapan kamar. Tidak mengherankan bila banyak di antara penghuni yang tidak saling kenal, apalagi orang-orang Barat memang tidak begitu usil terhadap urusan orang lain.
Tesa sudah hampir setahun di Perth, namun kenalannya boleh dibilang cuma terbatas pada kawan-kawan setingkat yang kerap dijumpainya di da pur. Atina dan Sabita merupakan kawan eratnya, sama-sama dari Jakarta. Pika, toman Sabita, Juga menempati tingkat yang sama, tapi dia sudah hampir tiga tahun di situ, Jadi sudah lebih biasa dengan kehidupan asingnya.
Tesa kerap kali merasa rindu pada rumah, terlebih kalau dia teringat apa yang menyebab-kan dia pergi merantau sejauh itu. Memang terhadap orangtuanya dia berdalih tidak lulus Sipenmaru, ya sobaiknya belajar saja ke luar
negeri, toh biayanya tak bed a banyak dengan perguruan tinggi swasta.
Namun kini dia agak menyesal dan kerepot-an sendiri memikirkan biaya. Kidman dari ru-mah terlalu pas-pasan, kalau tak mau dibilang kurang. Dia tak berani menuntut lebih banyak, sebab tahu keadaan orangtuanya yang terus jatuh sejak merosotnya harga minyak dan deva-luasi rupiah yang berturutan sedari tahun tujuh puluh delapan. Sebelum mengizinkannya pergi, ibunya sudah bertanya belasan kali apakah dia akan sanggup hidup dengan ongkos sebegitu, dan dia sudah menyanggupi. Pokoknya waktu itu dia sudah bertekad: lebih baik mati kelaparan di Iuar negeri daripada hidup kenyang di depan hi dung seorang pengkhianat! Dan nama yang punya hidung itu adalah Goffar! Hidung-nya mancung, wajahnya ganteng, namun hati-nya culas.
Pada sebuah pesta, Tesa memperkenalkannya pada Shakira, teman sekelasnya. Tak dinyana, tak disangka, Goffar sampai hati mengecohnya. Shakira terpaksa mesti dinikahinya. Yah! Belum jodoh, bisik hatinya kalau sedang melamun. Tapi kalau sedang nasping, ingin rasanya me-racuni hati yang culas itu. Namun dia selalu merasa ngeri membayangkan sel penjara dan segala momok yang berkeliaran di sana dalam seragam. Akhirnya, seperti biasa cuma air mata yang meleleh turun. Setelah berpikir ribuan kali, dia nekat mau
pergi meninggalkan semua kenangan pahit di belakang. Dia bertekad mau melembari sejarah hidupnya dari mula lagi. Namun kini...!
Kalau dia tidak segera mendapat tambahan uang, dia harus angkat kaki dari sini, mcnyetop kuliah, balik ke rumah Mama, nangis tiap ma-lam memikirkan nasib!
Tesa menghela napas sambil mengaduk sop bening, makan siangnya hari itu. Dia begitu asyik dengan lamunannya, sehingga kedatangan Pika mengejutkannya.
"Hei, aku dengar orang menghela napas. Ka-mukah itu" Wajahmu keruh sekali, ada apa, sih" Urusan si dia""
"Boro-boro memikirkan orang lain, memikirkan hidup sendiri saja sudah kalang kabut Aku sih enggak mau deh pacaran sebelum sekolah beres. Enggak ada duit, Pik! Apa kata orangtua-ku kalau aku sampai gagal, padahal mereka sudah keluar uang begitu banyak"! Pacaran! Huh!" Sekejap pikirannya yang sedang pusing teringat pada Goffar, dan jengkelnya meletup.
"Heh, kau ini seperti yang pernah patah hati saja! Kelihatannya kamu anti cowok, ya! Kan enggak semuanya jelek, Tes. Coba, misalnya pacarku...!"
Tesa menghela napas. Sungguh Pika ini tak pernah peduli perasaan orang lain. Kalau sudah menduga orang pernah patah hati, ya tak usah dong pamer pacarnya yang nomor wahid itul Kan cuma bikin hati yang patah itu ma kin merana, bukan"! Tapi Tesa sudah tahu sifat Pika. Di mana saja, pada siapa saja, dia selalu ber-usaha membanggakan pacarnya yang tak pernah diperkenalkannya pada siapa pun. Alasan-nya, takut dirampok! Kalau soal begitu sih, kau tak perlu takut padaku, pikir Tesa sinis. Aku ini paling pantang merampok pacar orang, sebab sudah aku rasakan sendiri betapa pahitnya bila pacar kita dirampas teman! Dan, yah! Itulah sebenarya alasan utama yang membuatnya pergi merantau ke selatan. Sebab Goffar telah dirampas oleh Shakira, teman karibny
a di SMA yang kini telah berubah jadi musuhnya.
Tapi bukan itu yang memberati pikiran Tesa sekarang. Dia hampir kehabisan uang! Dan tak fahu mesti minta tolong pada siapa. Tentu saja bukan pada Pika, pikirnya kembali dengan sinis, ketika gadis berambut kribo yang lincah itu terus nyerocos menyebutkan semua atribut yang menjadi kebolehan sang pacar.
Sekadar basa-basi, Tesa menanggapi setengah hati. Pikirannya sendiri bagaikan pusaran air yang berputar-putar pada masalah yang itu-itu juga. Dia kehabisan duit. Kalau tidak bisa men-dapat kerjaan apa saja dia terpaksa bilang bye-bye dan mudik!
"...dan hari Minggu nanti dia akan menerima piala juara ten is di kampus! Setelah itu makan siang beramai-ramai, sudah tentu aku diundang juga. Wah, dia dipuji Setinggi langit, Iho, oleh profesornya. Liburan musim panas nanti dia
mau diajak tim uni-nya untuk pertandingan ke Darwin. Hebat, deh! Eh, ngomong-ngomong, masa kau cuma makan sop air doang" Mana kenyang, tun" Mari sini, aku barusan membell
ikan dan chips, enak, deh."
"Enggak ah, terima kasih. Aku punya telur dadar kok di kamar, sisa kemarin," sahut Tesa yang enggan menerima budi, lalu cepat-cepat berlalu ke kamarnya, sehingga Pika melongo, sebab biasanya mereka selalu makan di dapur sambil ngobrol. Tapi Tesa tidak mau dikasihani orang kalau ketahuan bahwa telurnya sebenar-nya sudah habis tiga hari yang lalu.
Dua minggu kemudian sisa uangnya tinggal dua puluh dolar. Kalau dia hemat sekali itu bisa untuk makan dua minggu. Tapi dia terpaksa jalan kaki ke kuliah. Apa boleh buat. Mungkin sekali-sekali bisa nebeng teman-teman yang punya mobil. Tapi tentunya tak bisa setiap hari.
Dering bel pintu kamar membuatnya gugup. Cepat-cepat dibenahinya dompetnya yang lusuh dan kempes itu, lalu dibukanya pintu.
"Halo, boleh aku masuk"" seru Pika seraya menerobos sebelum diberi izin. Tesa mcnutup pintu lalu menemani Pika yang sudah duduk di dipan. Sebelum dia sempat bertanya apa keper-luannya, gadis itu sudah nyerocos seperti petas-an disundut.
"Bukankah kau tempo hari ingin mencari uang, Tes" Maukah kau merawat orang sakit""
Tentu saja dia mau. Tapi sakit apa" Kalau perawatannya sulit, pasti dia tak mampu.
"Sakit apa, Pik" Kalau tidak terlalu sulit, boleh saja. Kalau perlu perawatan khusus, mung-kin aku enggak becus."
"Oh, soal itu sih enggak usah khawatir, deh. Be res. Orangnya sebenarnya tidak sakit, a r tiny a enggak diam terus di ranjang. Tapi dia butuh pertolongan, sebab... matanya buta! Kecelakaan dua minggu yang lalu. Dokter bilang, ada ha-rapan dengan operasi dia bisa disembuhkan. Tapi harus menunggu enam bulan lagi. Itu pun cuma sebelah. Yang lain, beberapa bulan kemudian. Jadi kira-kira baru setelah delapan-sembilan bulan dia akan bisa melihat lagi. Dan selama itu, dia perlu pertolongan."
"Pasiennya laki-laki""
"Ya." Tesa menjadi ragu. Sanggupkah dia" Meno-long orang itu ke kamar mandi, masuk ke tem-pat tidur... "Orangnya masih mud a""
"Dua tahun lebih tua dari aku." Berarti empat tahun selisihnya dengan dirinya sendiri. Se-muda itu"! Ah, dia tak bisa! Dia bukan perawat, tidak biasa melayani kebutuhan pribadi orang lain, apalagi laki-laki yang hampir sebaya dengannya.
"Aku tak bisa. Maaf, deh."
Pika menyebutkan jumlah honor yang lebih dari lumayan untuknya. Tesa berpikir lagi. Pera saannya ehggan, sebab dia pasti akan kikuk dan malu menghadapi pasien seperti itu. Belum lagi kalau orangnya kuat! Bukankah dia sebenarnya tidak sakit"! Berarti jasmaninya sehat! Berarti...! Ah, kau sombong, tuduh pikirannya yang cuma memikirkan soal uang. Kau lebih suka mati kelaparan daripada merendahkan diri sedikit men-jadi pelayan orang lain.
"Aku sungguh tak mampu, Pik."
"Memangnya kenapa""
"Ya, pikir saja olehmu. Kalau dia mau ke kamar mandi atau ke WC! Gimana aku harus menolongnya" Apakah aku harus memandikannya" Gimana kalau dia mencoba memperkosa aku""
Pika meledak ketawanya. "Mengenai. itu semua kau tak perlu khawatir, Tes. Waktu di rumah sakit dia sudah melatih dirinya ke kamar mandi dan WC sendiri. Dia mempunyai kursi roda yang bisa dijalankannya dengan mudah. Tapi dia perlu bantuan kalau mau p
ergi keluar, misalnya ke kuliah. Harus ada orang yang akan memperingatkannya bila ada bahaya di jalan. Dia juga perlu bantuan di dapur atau dalam mencari bab-bab di textbook. Tugas-tugas seperti itulah! Enggak susah, kan" Tapi ada syaratnya."
"Apa"" "Pertama, kau tak boleh memakai namamu kalau bekerja di sana. Kau harus mengaku bernama... Ina misalnya, atau Selina. Kedua, kau tak boleh mengatakan peri ha
1 dirimu pada pasien itu, seperti alamatmu di sini maupun di Jakarta, apa kuliahmu, dan
lain-lain. Pendeknya kau tak boleh menjadi intim dengannya. Dan begitu dia
berhasil dengan operasinya, kau harus berhenti, tak boleh sekali-kali
memperkenal-kan did padanya! Setuju""
Tesa bukan menjawab, tapi malahan bertanya lagi, "Siapakah pasien itu
sebenarnya"" Dia me-rasa agak mendongkol diberi syarat-syarat seru-mit itu.
Aneh sekali, pikirnya. "Namanya Pasha. Calon tunanganku!" Hm. Kini Tesa mengerti dan malahan
bisa merasa simpati terhadap kecemasan serta ke-khawatiran temannya. Dia
juga takkan mau calon tunangannya direbut orang... seandainya dia punya
calon! "Tapi, kalau kau begitu cemas dia nanti direbut olehku, kenapa enggak kaurawat dia sendiri saja" Dengan begitu, kau juga bisa meng-hemat, bukan""
Pika menghela napas. "Seharusnya memang begitu. Tapi masalahnya, aku ini enggak sabar-an. Dalam seminggu saja aku sudah naik darah entah berapa kali melihat dia berbuat kesalahan. Atau kalau dia kehilangan semangat dan tak mau lagi mencoba. Dia sangat tertekan karena musibah itu dan gampang marah-marah karena alasan sekecil apa pun. Selain itu, aku enggak unya waktu. Aku harus mengikuti kuliah fulltime Aku juga harus pergi berenang, labhan senam, dan lain-lain. Pendeknya, aku tidak sempat mendampinginya terus-menerus Nah, aku beri kau waktu sampai besok untuk memper-timbangkannya Aku jamin, deh, dia takkan memperkosamu!"
Bab 2 Tentu saja tidak, pikir Tesa ketika melihat pa-siennya. Pasha cuma punya waktu untuk memikirkan dirinya sendiri serta menangisi nasibnya. Mana dia sadar ada perempuan di dekatnya yang dengan mudah bisa dibekuknya. Dia cuma duduk saja di depan jendela dalam kamarnya di tingkat dua, dan sama sekali tidak mempeduli-kan kehadiran Tesa.
Pasha Solem bertubuh tinggi dan tegap. Wa-jahnya yang tampan dihiasi batang hidung yang kuat, rahang yang tegar, dan bibir yang selalu terkatup rapat. Alisnya yang tebal berwarna hi-tam menaungi matanya yang tak kelihatan, sebab ditutupi kacamata hitam. Lucu juga melihat orang memakai gelas berwarna pekat itu dalam ruangan yang tidak kemasukan cahaya matahari. Tapi barangkali itu perintah dokter" Tesa berniat menanyakannya suatu ketika.
Sifat Pasha yang cepat marah segera ketahuan waktu siangnya Tesa menyuruhnya minum obat.
"Pak Solem, Anda harus minum... "
Tapi gelegar suaranya memotong perintah Tesa. "Berapa kali harus kukatakan bahwa aku tak mau dipanggil Pak" Panggil aku Pasha saja, atau menggelindinglah kau dari sini! Enyah Sana!"
Tesa menggigil. "Ma... af... Ppp... eh, Pa... sha. Anda sekarang harus..."
"Jangan pakai Anda! Kau! Kau, kau, kau! Mengerti""
Tesa terdiam kaget, tak mampu bersuara.
"Mengertiii"!" gelegar Pasha Solem membuat perabot dan dinding nyaris bergetar bagaikan dilanda gempa. "Mengerti, Pa... sha."
"Nah, aku harus minum apa"" Suaranya lebih kalem. "Kau harus minum obatmu. Mari aku bantu."
"Tak usah!" Pasha mengibaskan lengan menghalaunya pergi. "Apakah obat itu bisa menyem-buhkan mataku"" "Aku... tak tahu."
"Nah, kalau tak bisa, percuma aku telan. Buang saja!" Lalu dia menghela napas dan kembali menatap ke luar jendela.
Tesa mendekati kemudian menyentuh lengan-nya dengan hati-hati, khawatir kena pukul lagi. "Obat ini pasti ada gunanya, sebab diberikan oleh
dokter yang merawatmu. Ayo, mari di-telan." Huh! Seperti membujuk anak kecil saja, keluhnya.
"Ada gunanya" Hm! Aku sudah menelannya
puluhan butir, tapi kok mataku masih begini-begini juga" Tidak! Buang saja ke tong sampah. Jangan suruh aku menelannya!"
"Pasha, kau harus sabar. Matamu pasti akan pulih kembali," bujuk Tesa sambil menyentuh lengannya sekali lagi.
"Huh! Sabar! Sabar! Gampang saja kaubilan
g begitu, sebab kau sendiri bisa melihat dengan kedua matamu! Coba seandainya kau yang di tempatku, belum tentu kau tidak akan melolong-lolong, bukan""
Tesa terdiam, tak bisa membantah.
"Ya, bukan"" desak Pasha dengan nada meng-ejek. "Kok tidak berani menjawab" Ayo katakan, ya tidak"" "Mungkin... ya," sahut Tesa pelan.
"Hm. Kau tak tahu betapa sengsaranya mesti tergantung pada orang lain seperti ini! Kau tak tahu betapa tidak sabarnya aku harus terikat di kursi begini! Aku tak pernah menghargai kedua mataku selama ini. Aku menerima mereka begitu saja. Telingaku, hidungku, mulutku, tangan-ku, kakiku, jantungku, hatiku, seluruh tubuhku! Aku menerimanya begitu saja, tanpa syukur se-dikit pun pada Tuhan Yang Mahakuasa. Kini setelah aku kehilangan penglihatanku, barulah aku sadari betapa bahagianya aku sebelum ini! Tapi sekarang segalanya sudah terlambat, Selina! Terlambat!"
Dan Tesa memperhatikan dengan rasa haru serta kaget ketika laki-laki gagah itu menunduk
menangis, menutupi wajah dengan kedua ngan. Tesa tertegun tak bisa berbuat apa pun. Akhirnya dikumpulkannya keberaniannya dan
ditariknya kedua tangan Pasha dari wajahnya. Lalu dibukanya kacamata yang basah itu dan dibersihkannya dengan saputangan Pasha yang tergeletak di atas meja.
"Ini saputanganmu, sekalah mukamu. Kemu-dian kita akan minum obat itu."
Mendadak Pasha ketawa, sehingga Tesa mun-dur ketakutan. Barusan menangis, air mata pun belum lagi kering di muka, kok sekarang malah ketawa"! Sudah gilakah pasiennya ini"!
Tapi dia segera mengerti dan bahkan ikut ketawa ketika Pasha berkata, "Betulkah kau akan ikut aku menelan obat itu" Kaubilang tadi 'kita'... "
"Oh, maksudku..." Tesa tersipu ditatap oleh pasiennya, seketika itu terlupa bahwa dia tak bisa melihat.
"Ha... ha... ha..."
"Ah, kau jahat! Maksudku, kau yang minum, aku cuma membantu memberikan pil serta air..." Tiba-tiba Tesa tertegun, sehingga gelas di tangannya tidak jadi diulurkannya kepada Pasha.
"Eh, kenapa kau jadi diam" Ada apa""
"Oh, eh... tak ada apa-apa. Mari, aku bersih-kan dulu wajahmu."
Diambilnya saputangan yang dipegang oleh Pasha, lalu dikeringkannya mata serta pipinya.
Dia melap dengan amat hati-hati seakan khawatir mata itu akan remuk kena sentuhan. Pasha .1 diam saja membiarkannya. Sebenarnya dia sudah setengah mabuk menghirup bau harum tubuh Tesa. Entah apa parfum dan sabunnya, pikirnya sesaat.
Ketika Pasha meminta kacamatanya kembali, Tesa menoiak dengan halus. "Apakah gelas-gelas ini disuruh pakai oleh dokter""
"Ya, kalau ada sinar matahari. Mataku belum boleh dirangsang terlalu kuat".
"Tapi di sini cukup gelap. Sama sekali tak ada cahaya. Lampu juga dipadamkan. Lebih baik tak usah kaupakai ini. Tahukah kau, matamu indah sekali!"
"Jangan mengejek! Mataku buta! Mana mung-kin bisa bagus!"
"Aku enggak bohong, lho. Matamu sama sekali tidak kelihatan berbeda dengan mata biasa. Tetap bercahaya dan bagus sekali. Aku rasa kerusakannya pasti terletak di bagian dalam, sehingga tidak tampak dari luar. Betulkah""
"Ya. Dokter bilang, saraf dan retina, dan entah apa lagi, pokoknya, memang di sebelah dalam."
"Nah, ngomong-ngomong, kau tak boleh lupa obatmu, dong!"
"Hm. Kau menghibur aku supaya hatiku se-nang, ya, dan gampang dibujuk makan obat!" t sembur Pasha dengan nada kurang senang.
"Oh, sama sekali bukan begitu!" bantah Tesa.
"Obat ini kan demi kepentinganmu sendiri untuk... "
"Ah! Jangan sok mengajari! Aku kan mahasiswa FK! Pasti lebih tahu dari kau!"
Tiba-tiba hatinya merasa jengkel. Buat apa sih meladeni pasien kayak gini, lebih baik dia ber-henti saja!
"Baiklah kalau kau tak mau menelan obat ini, bagiku tak ada persoalan. Tapi aku tak mau ditegur oleh Pika. Karena itu, aku rasa sebaik-nya aku berlalu saja! Selamat siang, Pasha!"
"Eh, eh, eh, kau mau ke mana"" seru Pasha dengan nada sedikit panik ketika mendengar langkah Tesa menjauhinya.
"Aku mau pulang dan tidak kembali lagi!" cetusnya kesal.
"Ah, ah, ah, rupanya kau juga suka ngambek seperti aku, ya! Ha, ha, ha! Sama-sama, nih! Ayo, jangan marah, dong, Selina. Coba bujuk aku sekali lagi, pasti aku akan menurut. Meski-pun racun, asal kaubilan
g harus kutelan, akan kutelan! Ayo, mana obatnya"! Entah apa kha-siatnya, sih, sampai mesti dimakan terus tiap hari""
Tesa tersenyum sendiri, lalu berjalan balik ke jendela. Diraihnya pil serta gelas dari meja dan disorongkannya.
"Kalau kau mau, aku bisa menelepon dokter-mu untuk menanyakan. Tapi menurut dugaan-ku, mungkin obat itu untuk melancarkan. per-edaran darah di tempat yang luka supaya cepat
21 sembuh. Dan kapsul ini untuk menghalau infeksi
"Ya, ya, ya, aku rasa juga begitu." Dan seperti anak kecil yang patuh. Pasha menelan semua obat
"Nah, aku sudah jadi anak baik. Kau takkan meninggalkan aku lagi, kan"" Pasha ketawa petal. Rupanya hatinya sedang riang. Tapi bebe-rapa waktu kemudian ketika Tesa mengusulkan untuk membacakannya sesuatu, dia kembali meradang.
"Aku bukan anak kecil!" teriaknya. "Enyah kau dari hadapanku!"
Tesa beriaiu ke dapur dan duduk di sana sambil memperhatikan lalu lintas di bawah. Kemudian didengarnya lonceng berdentang tiga kali. Dia bangkit untuk membuat kopi dan me-nyiapkan makanan kecil.
Dari ruang depan tidak kedengaran bunyi apa pun. Berjingkat-jingkat dia mengintip. Ter-nyata Pasha tengah tidur di kursi rodanya. Ke-palanya terkulai ke dada. Tesa mengambilkan-nya selimut dan menutupi sebagian tubuhnya tanpa membangunkannya. Lalu dia kembali ke dapur.
Wangi kue dadar rupanya membangunkan-Pasha. Pika telah memberikan resep kue itu padanya. "ini makanan kebesaran Pasha. Biar tiap hari kau bikin pun dia takkan bosan. Jadi gam pang, seandainya kau tidak mau keluar membeli kue!" kata Pika.
Pasha mendengus-dengus sebelum dia yakin
bahwa itu bukan da tang dari a parti" men di atas-nya.
"Selina!" teriaknya memanggil. "Kau sedang bikin apa"" Lalu tiba-tiba teraba olehnya selimut yang menutupi kakinya. Hm. Dia ingal, tadi dia tidak pakai selimut. Jadi Selina...
"Oh, kau sudah bangun"" sapa Tesa yang muncul tergopoh-gopoh. "Aku sedang membuat kue dadar. Tapi enggak tahu nih jadi atau enggak, sebab aku belum pernah membuatnya."
"Tentu saja! Gadis ma cam kau mana suka ke dapur, bukan" Ha, ha, ha!"
"Ah, kau membuat aku jadi malu!" kata Tesa merajuk, lalu cepat memperingatkan dirinya siapa dia. Kau tak boleh bermanja-manja padanya, katanya dalam hati. Dia kan cuma pasienmu dan pacar orang lain!'
"Sabar, deh. Semenit lagi pasti sudah ma-tang!" Lalu dia bergegas kembali ke dapur, sebelum Pasha mendengar degup jantungnya.
Sore pertama itu mereka makan kue dadar berdua. Enak juga, walaupun sebagian keburu hangus sebelum diangkat Yang hang us tentu saja di makan semua oleh Tesa, sehingga Pasha tidak tahu akan kcgagalannya.
Tak lama setelah itu Pika datang untuk melihat bagaimana keadaan Tesa. Untung masih tersisa kue dua buah.
"Tumben kau sore-sore begini kemari!" tukas Pasha bukan dengan nada kurang scnang. "Mau
ngontrol, ya" Takut Selina sudah di makan ma-can, bukan"!"
"Ah, kau ini ada-ada saja. Aku kebetulan ka-ngen sama kamu, disangka yang enggak-enggak!" sahut Pika cemberut. Aneh bin ajaib, Pasha bisa jinak betul pada betinanya. Berbagai kata manis diobralnya supaya gadisnya jangan sampai ngambek.
Pika akhirnya berkenan ketawa lagi, lalu me-lejit ke dapur di mana Putri Sapu Abu sedang sibuk mencuci perabot bekas bikin kue.
"Bagaimana" Bisa betah"" bisik Pika sambil membantu mengeringkan piring dan gelas.
"Ya, dibetah-betahkan, deh!" bisik Tesa. "Tadi enggak meledak""
"Oh, aku sudah hampir lari pulang! Tapi ke-mudian teringat olehku uang yang kuperlukan." Tesa menghela napas. Pika membujuknya.
"Sabar, Sebenarnya dia baik, kok. Cuma ma-sih belum bisa menerima keadaannya ini. Kalau sudah di sini seminggu, kau pasti akan merasa terbiasa."
"Apakah... apakah... matanya takkan... pulih lagi""
"Ah, entahlah!" Pika menarik napas. "Dokter sih bilang, ada harapan. Tapi kita baru bisa bergembira setelah semuanya menjadi kenyata-an, bukan" Karena itu dia murung terus. Menurut anggapannya, dokter cuma ingin menghibur dirinya."
Tadi Pasha mengira, dia takkan pernah sembuh kembali"" bisik Tesa menggigil dalam hati Pika mengangguk. "Begitulah.
Bab 3 Demdoanlah hari demi hari Tesa mengunjungi apartemen Pasha dan lama
-kelamaan dia ter-biasa mendengar segala macam rajukan serta gelegar suaranya.
Ketika dia sudah hampir sebulan di sana, datang beberapa kawan kuliah Pasha, membu-juknya agar mau mengikuti pelajaran lagi.
"Kami sudah mengatur semuanya, Pas. Bahan-bahan kuliah akan kita rekam dan bisa kauulang-ulang sendiri di rumah."
Sudah berulang kali Pika membujuk Pasha agar mau kuliah lagi. Tapi laki-laki itu menolak dengan alasan percuma, toh dia takkan bisa mengikuti praktikum. "Itu kan bisa disusul bela-kangan," saran Pika. Sebenarnya dia khawatir melihat Pasha termenung terus sepanjang hari.
Bujukan Pika ternyata tidak mempan. Kini mendengar usul kawan-kawannya, sejenak dia kelihatan tertarik.
"Tapi dengan apa aku harus ke sana" Aku kan tak bisa membawa mobil lagi!"
Pada saat itu muncul Tesa dari dalam
sehingga tak ada yang menjawabnya. Mereka serentak keheranan melihatnya, sebab setahu
mereka, gadis Pasha adalah Pika yang dinamis, bukannya gadis molek semampai yang begini lembut.
"Siapa bidadari ini. Pas" Jangan bilang bahwa kau sudah mendapat Pika yang baru!"
"Ini Selina, kawan Pika. Dia membantu aku mengurus makanan dan... oh, dia pintar sekali memaksa aku agar minum obat! Tapi dia juga pandai membujuk dan menghibur kesusahan hatiku."
"Ha, kalau begitu pantas sekali dia disebut bidadarimu!" seru seseorang yang kacamatanya
tebal sekali. "Ya," sambut yang lain. "Bidadari Tuan Solem! Bagus kan nama itu, eh, Manis""
"Ayo, mari sini, Selina, aku ingin menatapmu dari dekat!"
Namun Tesa malah makin tersipu dijadikan pusat perhatian seperti itu. Akhirnya Pasha me-nyuruhnya bikin kopi agar dia bisa berlalu ke dapur.
"Wah! Kau curang!" tuduh yang lain. "Rupanya kau mau mencabut hak-hak asasi kami untuk berkenalan dengannya, selina. setelah bikin kopi nanti, kau harus menemani kami! Awas kau berani sembunyi di WC!"
Sejak itu Tesa dijuluki Bidadari Tuan Solem oleh kawan-kawan Pasha setiap kali mereka bertandang. Tesa tidak memprotes. Dia juga tak
27 pernah menyanggah setiap perintah Pasha yang dianggapnya sebagai majikannya. Dia merasa lumrah saja sebagai pelayan dia harus menger-jakan semua perintah walau yang secerewet apa pun.
Dan Pasha gemar memerintah, terkadang ma-lah keterlalan cerewetnya. Dia sama sekali tidak menunjukkan rasa simpati terhadap gadis malang yang terpaksa bekerja melayaninya de-mi menyambung kuliahnya. Tapi bagi Tesa hal itu rupanya tidak jadi soal. Dia memang tidak mengharapkan perhatian dari majikannya. Jus-tru dialah yang dianggapnya perlu melimpah-kan perhatian agar sang majikan lekas pulih tubuh dan jiwanya.
Tesa membujuk Pasha agar mau menuruti saran kawan-kawannya untuk kembali kuliah. Penyewa apartemen di lantai satu secara ke-betulan mendengar usul itu ketika dia mengun-jungi Pasha pada saat teman-temannya datang. Bob segera mengajukan tawaran untuk mengan-tar Pasha tiap pagi dengan mobilnya sampai kampus. Dari situ dia dapat berkursi roda sampai ruang kuliah, ditemani oleh Tesa.
"Aku harus memikirkannya dengan cermat," sahut Pasha mengelak.
Sebenarnya, dia merasa a mat enggan pergi ke kampus dalam keadaan begini. Biasanya dia kan gagah, senang jadi pusat perhatian gadis-gadis, yakin akan penampilannya sebagai bin-tang lapangan tenis yang selalu berjaya.
Masakan kini mesti merangkak di atas kursi roda dipandu oleh bocah ingusan, seperti kakek hampir jompo"! Enggak, ah! Lebih baik diam di rumah dulu sampai operasinya nanti berhasil.
"Tapi seandainya operas! itu tidak berhasil, bagaimana"" tanya Tesa saking jengkelnya melihat kesombongan pria itu. Dan dia segera me-nyesali kelancangannya begitu melihat air muka Pasha yang merah padam.
"Apa kaubilang"!" raungnya. "Kau berani ber-harap bahwa operasiku tidak akan berhasil nanti" Kau mau sok lebih pintar dari dokter atau kau sedang menyumpahi diriku" Siapa sih kau ini"! Kau di sini dibayar untuk melayani aku, bukannya untuk membuka mulutmu yang lan-cang itu! Kalau aku butuh nasihat, aku akan menanyakan pada Pika, enggak perlu kamu! Mengerti"! Pergi! Jangan dekat-dekat aku!"
Tesa menelan air matanya. Tanpa bunyi dia. melangkah ke dapur. Ditutupnya pintu dapur, l
alu duduk di meja dan menangis tersedu-sedu. Saat itu terbayang olehnya rumahnya yang sen-tosa, ayah-ibunya yang ramah serta adik-adik-nya yang selalu riang gembira, terlebih Markus, abangnya. Mau lah dia seketika itu juga terbang pulang. Oh, seandainya dia punya sayap! Apa yang dilakukannya di rantau orang begini" Di-maki-maki kayak budak yang hina dina!
Oh, apa sebenarnya yang diharapkannya di sini"! Hanya karena menuruti emosi maka dia. sudah datang kemari! Hanya karena patah hati!
Dan kini...'! Inilah upahnya, kena maki orang! Bahkan ayah serta ibu yang merawatnya sejak bayi tak pernah menghardiknya seperti itu! Apa sih hak si Pasha Solem itu sampai dia berbuat begitu padanya"!
Oh, kalau saja uang itu tidak sangat aku butuhkan, sekarang juga aku akan angkat kaki dari sini! Ya Tuhan, tabahkanlah hatiku!
Tesa begitu asyik terbenam dalam keluh ke-sahnya, sehingga tidak didengarnya pintu dapur terkuak pelan. Roda-roda kursi menggelinding tanpa bunyi di atas lantai linoleum. Ketika le-ngannya disentuh, Tesa mencelat kaget, nyaris berteriak. Selina..."
Tergopoh-gopoh diusapnya wajahnya dari air mata, Iupa sesaat bahwa Pasha tak bisa melihat-nya. Ditelannya ingusnya, sebab dia tak berani menimbulkan bunyi.
"Kau menangis""'
Dia menggeleng. Tapi kemudian segera ter-ingat bahwa Pasha tidak bisa melihat gerakan-nya. Sebelum dia sempat membantah, jari-jari Pasha sudah meluncur ke pipinya. Pasha seakan mengerti bahwa dia tadi telah menggeleng.
"Ah, benar. Kau telah menangis. Aku telah menyakiti hatimu, Selina. Maafkan aku, ya."
"Ah, kau tak perlu minta maaf," sahutnya tawar. "Memang seharusnya aku tidak boleh banyak omong. Bukankah aku di sini ini cuma untuk melayanimu""
"Dulu aku enggak sekasar ini. Heran, sekarang aku jadi gampang marah. Mungkin dalam keadaan darurat barulah seseorang itu ketahuan sifat aslinya!" Pasha tersenyum sinis. Dia mena-rik napas. "Barangkali kau takkan tahan terus-menerus menghadapiku begini, seperti Pika. Dia juga sudah tobat. Selina, apakah kau mau ber-henti""
Ya, aku ingin sekali berhenti! teriaknya dalam hati. Tapi dia tak punya keberanian untuk me-nyuarakan isi hatinya. Jadi Tesa membisu.
"Aku tahu, kau ingin berhenti. Tapi jangan katakan itu sekarang, Sel. Pikirkan dulu baik-baik sehari-dua hari. Aku sudah mulai terbiasa dengan kehadiranmu. Aku akan merasa amat kesepian kalau kau tidak datang lagi ke sini. Tinggal di rantau begini sungguh membuat hatiku merana. Kalau di rumah, pasti ada orang yang akan memanjakan diriku. Ah!"
"Kenapa kau tidak pulang saja kalau begitu"" tanya Tesa sedikit sinis. Dia mulai kurang me-nyukai pemuda ini yang ternyata cuma memikirkan dirinya melulu. Meminta dia jangan berhenti pun, semata-mata demi kebaikan dirinya. Sama sekali tidak dipikirkannya kepentingan Tesa.
"Aku malu, Selina. Apa kata orang melihat aku tak berdaya seperti ini" Ke mana-mana mesti ditolong orang lain. Bahkan ke WC, mi-salnya. Di sini keadaannya lebih gampang. Tapi di rumahku, WC-nya bersatu dengan kamar
mandi, licin setengah mati lantainya, dan mereka tidak memakai kertas. Bagaimana aku harus beranjak dari kursi roda ke atas WC, lalu mem-bersihkan diri" Selain itu, semua gadis cantik pasti akan mengejek diriku! Apalagi yang pernah aku sakiti hatinya, walaupun... tanpa sengaja...."
Hm. Tanpa sengaja"! Pasti pemuda ini tukang ganti-ganti pacar! Banyak sudah hati yang koyak-koyak karena ulahnya. Tesa merasa makin sebal terhadapnya. Yang diingat Pasha cuma tiga hal. Pertama, keagungan dirinya. Kedua, kekerenan dirinya. Ketiga, kegagahan dirinya! Malu, malu, malu!
"Selain itu, Selina, aku masih mengharapkan mukjizat dari operasi yang akan datang.... "
Mukjizat"! Huh! Kau sendiri yang menyebut-nya mukjizat! Dan kau pasti tahu, zaman sekarang sudah tak ada mukjizat!
"Selina, kenapa kau diam saja" Seandainya kau bersedia datang terus kemari, aku berjanji akan berusaha lebih mengekang diriku, teruta-ma mulutku. Aku takkan menghardikmu lagi. Bagaimana" Aku juga akan menaikkan gajimu. Dan kelak akan memberimu bonus. Setuju bukan, Sel" Kau takkan meninggalkan aku, kan""
Tesa merasa muak sekali. Tapi tidak
diper-lihatkannya itu dalam suaranya. "Kau tak perlu menaikkan gajiku, Pasha. Juga tak usah khawatir akan kutinggalkan. Aku takkan berhenti, sebab aku amat membutuhkan honor ini.
Nah, sekarang, biarkanlah aku berdiri untuk membuatkan engkau kopi."
"Ya, ya, ya, aku tahu kau sangat memerlukan uangku. Karena itu kau bersedia menemani aku
terus tiap hari. Kau datang bukan karena me-nyukai diriku! Yah!" Suaranya seakan kedengar-an getir, tapi Tesa mana peduli" Menyukai diri-mu"! Bah! Aku lebih suka mencium tikus got daripada menjabat tanganmu!
Hari-hari berlalu dengan kerutinan yang amat menjemukan Tesa. Pasha terus-menerus duduk termangu di depan jendela, berkacamata hitam. Dia tak mau mendengarkan musik, dia tak mau dibacakan buku. Tapi dia tak berarti menolak lagi kalau disuruh makan obat, sebab Tesa pernah mengancam akan berhenti saja dan-mencari kerja yang lain.
Untuk membunuh kesepian serta waktunya sendiri, Tesa membawa bahan bacaan atau jahit-an. Salah satu hobi dan bakatnya adalah membuat pakaian. Teman-teman di asrama segera sibuk memanfaatkan kepandaiannya ini. Upahnya pun lumayan walau tak ada sepersepuluh honor tukang jahit biasa.
Selama menemani Pasha, tentu saja dia tidak sempat mengikuti kuliah. Terpaksa disalinnya buku teman-temannya yang sama-sama mengikuti pendidikan sekretaris di Prince Edward
College. Pernah dia minta permisi untuk pergi
ke kampus, tapi Pasha tidak mengizinkan.
"Aku membayarmu untuk menemani aku di sini, bukannya untuk kautinggal-tinggal kapan saja kau mau!"
Aduh, pongahnya.' gerutu Tesa, tapi dia tak berani membantah. Ah, seandainya aku bisa
mendapat kerjaan lain, pikirnya berulang-ulang. Kalau sedang di dapur, makan pagi atau malam bersama yang lain-lain, Tesa acap kali menguta-rakan harapannya untuk mencari kerja. Tentu saja bila Pika tidak hadir, supaya jangan disam-paikannya pada pacarnya. Tesa merasa jemu dan bosan mengurus pasien yang satu itu, wa-lau bayarannya masih lumayan.
"Heran! Kau sekarang tak pernah lagi makan siang di dapur. Ke mana saja sih selama ini"" tegur Nopi, mahasiswa serba bisa yang sudah jadi inventaris asrama saking kelewat lama ber-mukim di situ.
"Ah, mau tau aja nih ye!" sambut Atina sam-bil mencolek sambal.
"Memangnya namamu Tesa"" tanya Nopi mangkel.
"Aku barusan enggak dengar kausebut-sebut nama!" balas Atina.
"Lantas, kaupikir jadinya aku sudah gan-drung mau tanya-tanya soal tetek bengekmu"" ejek Nopi mendengus.
"Brengsek kau! Apaku yang bengek, katamu"
Sejak kapan aku punya penyakit itu"" tanya Atina garang. Nopi menggeleng kewalahan. "Syusyah berurusan sama orang yang pernah setrip!" "Eh, aku dengar apa ya tadi"" tantang Atina mendekat pada Nopi.
Yang ditantang terpaksa mengelak sebab ta-ngan Atina bau terasi dan Nopi paling anti sambal terasi. "Kaubilang aku pernah gila""
"Enggak! Kuping apa jamur sih itu"! Aku bilang, susah ngomong sama anak manja, seperti kucingnya Mister Neumann yang jatuh cinta sama tikus. Tikusnya ketakutan, enggak mau. Kucing betina itu jadi patah hati, lalu gila. Terpaksa oleh pemiliknya diinternir di rumah sakit jiwa!"
"Kau nyindir siapa"" tegur Atina berang. "Siapa yang jatuh cinta" Siapa yang enggak mau" Mana ada sih rumah sakit jiwa untuk kucing"!!"
"Enggak percaya" Kapan-kapan aku ajak kau ke sana!"
Atina sudah merasa senang kembali, ketika tahu-tahu Nopi menambah, "Kalau langit sudah mau kiamat!"
"Kau! Kau!" Melihat Atina betul-betul mau memukul Nopi dengan tutup panci, Tesa cepat-cepat mene-ngahi. Dia akan merasa tidak enak sekali kalau sampai ada perang gara-gara dirinya. Apalagi Nopi juga sudah meraba garpu!
"Hei, kalau mau saling bunuh, biar aku pang-gil ambulans dan polisi dulu!" pekiknya dan itu menyadarkan kedua manusia edan itu untuk berhenti berkelahi.
Tesa menjatuhkan diri ke kursi di antara kedua temannya. "Aku sibuk mencari kerjaan!" Dia berdusta, sebab ingat janjinya pada Pika. Tak boleh ada
yang tahu bahwa dia bekerja untuk Pasha. Bahkan Sabita, teman karib Pika, tak boleh tahu juga.
"Sudah ketemu"" tanya Nopi.
"Apanya"" Atina masih mau nimbrung, rupanya belum kapok. "Memangnya nyariin pun-tung rokok, pake
ketemu segala"!" "Maksudku, sudah dapat kerjaannya"" Tesa menggeleng.
Nopi menatapnya lebih saksama, seakan te-ngah menaksir barang. "Kasih les bahasa Indonesia mau enggak"" "Mau!" jawab Tesa segera.
"Aku juga mau!" Atina membeo. ,"Bih, siapa yang nanya kamu! Enggak suka ngaca, nih ye!" ejek Nopi. "Memangnya aku ken a pa""
"Laa, tampangmu mau ngajar bahasa" Belon apa-apa juga semuanya sudah pada ngacir keta-kutan! Guru bahasa kan mesti lemah lembut, dan sabar. Dia harus banyak bicara, murid-murid selalu memandangi wajahnya, jadi... mukanya enggak boleh mirip tikus kecemplung dalam tepung, dong!"
"Iiih!" seru Atina dengan kesal sambil me-noleh kiri-kanan mencari penggebuk yang lebih ampuh daripada tutup panci. Sayang tak ada. Sementara itu Nopi sudah meneruskan bicara pada Tesa.
"Karena kau sudah setuju, nanti aku antarkan kau padanya. Dia seorang profesor tua, duda, mungkin nyentrik, tapi hatinya baik. Bagaimana kalau besok sore" Ada waktu""
Sebenarnya Pasha keberatan memberinya izin, sebab tak mau ditinggalkan sendirian. Heran sekali, laki-laki itu tampaknya jadi makin manja dari hari ke hari. Seakan di dunia ini cuma dia seorang yang ditimpa kemalangan. Tak ada sedikit pun usahanya untuk membuat dirinya lebih gembira. Kebalikannya, dia kelihatan tam-bah murung saja.
Tesa dengan tak berdaya sudah berniat me-raih telepon untuk mengabari Nopi bahwa ren-cana mereka terpaksa dibatalkan. Namun un-tung sekali Pika datang berkunjung. Dengan mencolok dikecupnya Pasha di hadapan Tesa, sehingga gadis itu melengos tersipu-sipu.
"Halo, Selina," sapa temannya dengan senyum dibuat-buat. "Kebetulan sore ini aku punya waktu. Kalau kau berniat pergi ke suatu tempat, misalnya belanja, kau boleh pergi."
Pasha kelihatan sudah mau mencegah lagi,
tapi Tesa dengan cepat mengucapkan terima
kasih. "Kebetulan, aku memang ingin mengun-jungi teman. Karena kau akan menemani Pasha, tentunya kini dia tak punya alasan lagi untuk melarangku pergi"
"Kenapa kau melarangnya pergi"" seru Pika seakan memarahi, namun sebenarnya dia cem-buru, menduga bahwa pacarnya sudah tak bisa lepas dari Tesa. "Kau ingin terus-terusan dite-mani Selina, ya!" tuduh Pika membahana.
"Tentu saja tidak!" bantah Pasha bersungut. "Anak itu terlalu banyak mulut. Kapan aku telah melarangnya" Aku tidak terkesan sedikit pun dengannya. Sekarang juga dia minta berhenti, aku luluskan!"
"Pasha! Kau enggak boleh ngomong begitu. Selina bisa tersinggung!"
Tesa mengambil tas dan mantelnya, lalu me-nyelinap keluar tanpa permisi. Hatinya sakit. Ma tanya panas. Setiap saat air matanya meng-ancam akan turun. Dia. tak mengerti kenapa Pasha begitu ketus sifatnya. Bahkan di depan Pika pun dia tak bisa bersikap lebih manis.
Tesa sudah hampir tiba di tempat tunggu bis. Dilihatnya ada tiga nenek sedang duduk di sana. Cepat-cepat disekanya matanya yang sete-ngah basah.
Dua hari kemudian Tesa berdiri lagi di depan
Pasha, menyodorkan obat yang mesti ditelan-nya. Setelah meletakkan gelas kembali di meja, Tesa duduk di depan pemuda itu. Sejenak di-awasinya wajahnya. Pasha sebenarnya amat me-narik. Tapi agaknya justru karena ketampanan-nya itu dia menjadi pongah dan membuat banyak orang tidak menyukainya. Namun terka-dang keadaannya menimbulkan iba. Kalau otak-nya sedang di tengah, kelihatan bahwa hatinya sebenarnya cukup baik.
Waktu itu pertengahan Juni. Udara sudah di-ngin, tapi di Australia sebelah barat memang tak pernah turun salju. Angin dingin tiba-tiba berembus keras dari jendela, membuat Tesa menggigil lalu bersin-bersin. Pasha menjalankan kursinya ke pinggir jendela, rupanya hendak menutupnya.
"Ah, biarkan saja terbuka," kata Tesa. "Kau butuh udara segar, sebab seharian berkurung terus di kamar."
"Tapi kau nanti masuk angin. Biarlah tutup saja."
"Jangan. Lebih baik aku pakai jaket dan duduk di dalam. Kalau kurang udara segar, nanti kau gampang sakit."
Pasha menurut. Mereka beralih duduk di meja dapur. Tesa menyetel radio supaya bisa mendengarkan lagu-lagu sambil menyetrika cu-cian, dan Pasha tidak keberatan. Paling sedikit dia tidak melarang. Mereka saling berhadapan, sebab Tesa menyetrika di meja


Tesa Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapur. Tapi tentu saja Pasha tak dapat melihatnya. Mereka berdiam diri beberapa saat. Pasha rupanya mulai tertarik pada lagu-lagu yang dide-ngarnya, sebab sesekali dia bersenandung atau ikut mengetuk-ngetukkan jari ke atas meja. Se-mentara itu Tesa teringat surat yang kemarin diterimanya dari rumah. Adiknya, Daniel, ma-suk rumah sakit untuk operasi usus buntu. Syu-kur, berhasil dengan baik. Mungkin sekarang sudah balik ke rumah. Ibunya tidak bilang apa-apa soal biaya, tapi pasti ratusan ribu. Alangkah baiknya kalau dia di sini bisa berhemat! Atau bahkan mencari biaya sendiri. Ibu memang ti-. dak pernah mengatakan bahwa mereka keku-rangan uang, tapi Tesa mengerti, membiayainya ke luar negeri cukup berat bagi orangtuanya. Karena itu tekadnya makin kuat untuk mencari uang. Ah, seandainya pekerjaan yang sekarang bisa ditambah dengan pemberian les pada Pro-fesor Meyer! Tapi dia tahu, dia harus memilih salah satu saja. Pasha pasti takkan mau di-tinggal-tinggal, sehingga dia akhirnya akan terpaksa melepas pekerjaannya. Memberi
les memang hasilnya tidak sebesar honor yang diterimanya dari Pasha, tapi dia cuma datang ke tempat murid dua kali dua jam seminggu. Sele-bihnya waktu nya bebas. Dia masih bisa ikut kuliah atau mencari murid lebih banyak! Cuma, dia harus meninggalkan Pasha!
Entah kenapa, dia merasa sedih atau barangkali terharu ketika sampai pada keputusan harus pergi dari Pasha. Dia takkan pernah melihatnya lagi. Takkan pernah mendengar rengek-annya minta kue dadar atau makiannya bila sesuatu hal bertentangan dengan kehendaknya. Sop yang sudah dingin, atau kopi yang kelewat cair, atau telur yang terlalu
keras.... Terkadang lagaknya itu seakan Tesa adalah istrinya yang wajib
merawatnya sebaik mungkin, bukan cuma sekadar pelayan yang setiap saat bisa minta berhenti.
Lagu di radio sudah berhenti. Di-je belum memutar lagu berikutnya. "Senangkah kau bila operasiku nanti berhasil""
Suaranya mengoyak tirai lamunan Tesa, sehingga membuatnya terkejut. Untung lagu baru segera berkumandang, dan suaranya yang mirip orang tercekik itu tidak sampai kedengaran oleh Pasha.
"Ya... dan tidak," dia nyeletuk tanpa dipikir lagi -
"Eh, kenapa begitu""
"Tentu saja aku senang kalau kau sudah sehat kembali. Bahagiakah engkau kalau bisa melihat lagi""
"Sudah tentu! Aku kan ingin melihat bagaimana rupa bidadariku ini!"
"Nah, karena kau senang, aku pun akan ikut senang. Tapi jangan terlalu membayangkan yang tidak-tidak, nanti kau kecewa. Sebab aku ini sebenarnya pernah kena cacar... "
"Kau... kau... bopeng" Ah, aku tak percaya! Tidak! Aku tak bisa percaya! Mana mungkin si Thomas akan bilang bidadari kalau mukamu... tidak, ah! Kau bohong!"
"Mungkin saja cita rasa kawanmu lain de-nganmu! Bagimu bopeng itu pasti jelek, tapi siapa tahu si Thomas menganggapnya cantik seperti *
Tesa ingin ketawa namun ditahannya. Walau-pun sedang bergurau, dia tak pernah bisa men-duga kapan ketel uap di kepala Pasha akan meledak. Sebaiknya dia berhati-hati selalu.
"Kaubilang, kau senang, tapi barusan kaubilang juga tidak. Kenapa begitu""
Tesa menghela napas. "Yah! Kalau kau sudah bisa melihat kembali, berarti kau tidak perlu bantuanku lagi. Dan aku... yah! Takkan dapat melihatmu lagi!" Tapi pada detik terakhir dira-latnya jadi: "Dan aku.. yah! Akan kehilangan tambahan uang saku yang kubutuhkan. Begitu-lah manusia, Pas, selalu ingat kepentingan sendiri dulu!" Tesa ketawa.
Pasha kelihatan melongo. Wajahnya seperti anak kecil yang baru saja menyusahkan ibu, dan merasa menyesal telah melakukannya. Tesa jadi tidak enak hati melihatnya. Saat itu Pasha
sungguh menimbulkan keharuan, polos, dan tak berdaya.
"Tak terpikir olehku bahwa kesembuhanku akan merupakan kabar jelek bagi orang lain!" gumamnya seakan pada diri sendiri. Lalu me-nambah dengan suara
yang lebih keras, "Kalau begitu, aku tidak mau dioperasi! Biar begini terus. Aku sudah terbiasa dengan keadaan ini, tidak apa-apa aku buta selamanya!"
"Tapi kau takkan bisa melihat diriku!" Tesa ketawa pelan.
Pasha mengangkat bahu. "Apa boleh buat. Tidak melihat pun, aku tetap percaya bahwa kau cantik. Seandainya tidak pun, tak
jadi soal. Kalau bopeng, malah kebetulan!"
"Lho!" "Berarti kemungkinan tak ada Orang mau pacaran denganmu! Jadi kau bisa datang terus ke-mari! Biarlah. Biar aku tetap buta. Asal kau tidak kehilangan penghasilan dan bisa datang ke sini tiap hari."
"Ah, kau ini egois!" Tesa nyeletuk tanpa sengaja.
Wajah Pasha jadi berkerut dan mendung. "Lho! Aku mau menolongmu kok malah ditu-duh egois""
"Habis apa kalau enggak"! Kalau kau terus begini, kapan kuliahmu akan selesai" Apa orangtuamu takkan sedih melihat kau jadi tuna-netra karena enggak mau dioperasi""
"Biarlah. Kalau sudah nasib! Aku rela!"
"Kasihan Pika, dong!"
"Kalau dia keberatan, aku relakan dia mencari pacar lain. Asal kau bisa terus berada di sam-pingku."
"Nah, bukankah itu egois juga namanya" Kalau aku harus terus-menerus menemani kau begini, mana aku bisa kuliah""
Pasha terdiam seakan baru menyadari keke-liruannya.
"Dan aku juga tak bisa selamanya merawatmu di sini. Suatu saat, aku akan kembali ke tanah"
Pasha tercenung, menopang dagu di atas ta-ngan kursinya. Akhirnya dia mengangguk. "Ya, ya, ya, benar juga. Tapi kalau aku sembuh, berarti kau akan kehilangan kerja...."
Tesa memarahi diri sendiri sebab sudah bicara sembarangan. "Tidak apa-apa. Aku pasti bisa mencari kerja lain-"
"Misalnya""
"Misalnya, mengajar bahasa Indonesia." "Kenapa sih kau enggak balik saja ke Jakarta!"
"Aku malu dong balik sebelum berhasil. Orangtua sudah bersusah payah mengongkosi agar aku bisa sampai ke sini! Mereka begitu baik, tak pernah memaksakan kehendak mereka pada anak-anak. Untuk mereka tentunya lebih mudah bila aku kuliah di Jakarta saja, biaya hidupnya lebih ringan. Tapi mereka menghargai niatku untuk hijrah kemari, mencari pengalam-an. Justru karena kepercayaan mereka itu, aku
ingin menyenangkan hati mereka. Aku ingin mereka bisa bangga melihat keberhasilanku nanti."
"Aku puji tekadmu yang kuat itu, Sel!"
Tesa menatap pemuda itu, lalu diam-diam menghela napas. Tidak. Dia tak mungkin mem-beritahu Pasha keputusannya saat ini. Biarlah besok saja.
Tapi besok pun keberaniannya tidak terkum-pul juga. Nopi menanyakan ketika mereka ber-dua makan di dapur asrama apakah dia jadi mulai pada Profesor Meyer tanggal satu Juli"! Tesa mengiakan, tapi dalam hati dia kurang yakin. Dia belum berhasil menemukan kesem-patan untuk memberitahu Pasha. Barangkali lebih baik mengatakan pada Pika saja dan mem-biarkan gadis itu menyampaikannya pada Pasha"!
Ternyata hal itu tidak mudah juga. Pika kelihatan begitu sibuk dan pikuk ketika mereka ketemu di dapur. Dia muncul dengan seorang pemuda Australia.
"Pik, aku mau ngomong sebentar," kata Tesa, tapi gadis itu melambaikan tangan sementara mulutnya menggigit roti berlapis sardencis yang barusan dibuatnya.
"Nanti saja, Tes. O ya, kenalkan nih, kawan kuliahku, Michael. Dan Michael, ini Tesa, dari Jakarta juga."
Michael menjabat tangannya begitu keras, sehingga Tesa nyaris meringis. Pemuda itu bertubuh kekar, tingginya sedang, matanya kelihatan ramah, wajahnya penuh bintik-bintik coklat. Sebelum Tesa sempat mengulangi permintaan-nya, Pika sudah melambai lagi, lalu bersama temannya menghilang ke arah kamarnya.
Pemandangan dari jendela dapur tidak banyak menghibur hati. Udara di luar dingin, la-ngit kelabu, dan puncak-puncak pencakar langit tampak menambah keasingan di hati yang ra-wan. Hari itu matahari cuma muncul sebentar, kehangatannya pun tak bersisa lama. Dedaunan meliuk menuruti kehendak sang angin yang berembus lalu tak mau singgah, namun cukup membuat repot mereka yang di jalan. Masing-masing berusaha merapatkan mantel serta menyembunyikan tangan dalam saku.
Tesa duduk termangu. Dilihatnya kalender yang tergantung di depan meja makan. Minggu depan sudah tanggal satu. Dia harus segera menyampaikan keputusannya pada Pasha! Be-sokkk!
Bab 4 "Tidak bisa! Kau tidak bisa berhenti dari sini!" protes Pasha setengah kalap.
Tesa melambaikan tangan memintanya supaya lebih tenang, walaupun tentu saja pemuda itu tidak bisa melihatnya (dan dia baru teringat kemudian).
"Dengarlah baik-baik, Pasha. Jangan protes dulu. Coba kaupikirkari dengan tenang, apa tugasku sebenarn
ya di sini: membereskan kamar dan membereskan ranjang; memasak sekadar-nya atau memesankan makanan melalui telepon ataupun membelinya ke toko; membuat kopi, menyediakan -biskuit dan nyamikan, mengatur suhu ruangan; mencuci baju serta menyetrika; membersihkan dapur dan perabot sehabis ma-sak. Nah, apa lagi" Rasanya cuma itu doang. Membersihkan kamar mandi serta ngepel lantai, itu tugas Nyonya Allison yang datang seming-gu dua kali. O ya, menyirami tanaman di pot-pot dekat jendela. Cuma itu."
"Belanja bahan makanan tiap minggu"" sambung Pasha dengan nada penasaran.
"Ya, itu juga."
"Memasukkan surat-surat ke pos"" "Ya, betul." "Membayar rekening-rekening"''
Tesa mengangguk, lalu ingat Pasha tak bisa melihatnya. "Ya."
"Membacakan surat-suratku, terutama dari rumah""
"Ya," sahutnya meringis. Sebenarnya tugas terakhir ini lebih pantas diserahkan pada Pika, yang rasanya lebih berhak untuk itu. Susahnya, temannya itu tidak bisa diharapkan akan datang pada waktu-waktu tertentu. Pika tampaknya terlalu sibuk di kampus, dan muncul ke sini sembarang waktu, bisa setiap saat, tapi lebih sering lagi, berhari-hari tidak datang, paling cuma menelepon tanya keadaan. Sedangkan Pasha seorang yang tidak sabaran. Begitu surat datang, saat itu juga dia harus tahu isinya. Tesa bisa mengerti, sebab dia sendiri pun selalu me-rindukan surat dari rumah.
"Nah, begitu banyak tugasmu, kaubilang kau di sini tidak aku perlukan""
"Tapi semua tugas itu tidak mutlak harus aku yang melakukan. Sebagian besar bisa kaukerja-kan sendiri, Pasha,"
"Misalnya"" tantang Pasha setengah mengejek.
"Membereskan seprai, memasukkan cucian ke dalam mesin, pesan makanan lewat telepon, mengatur suhu... itu semua bisa kaukerjakan sendiri dengan latihan."
"Membuat kopi" Memasak air""
"Pika bisa memasak air kalau dia datang, lalu
menyimpannya dalam termos. Nah, tiap kali kau ingin membuat kopi, tinggal menuang air panas ke dalam cangkir, apa susahnya"" "Dengan latihan, tentu!" angguk Pasha sedikit sinis.
"Pasha, kau kan tidak mau menggantungkan hidupmu selamanya pada orang lain""
"Padamu, maksudmu"! Tidak! Tentu saja tidak! Mana aku berani! Pasti sebal sekali rasanya bagimu mengurus aku tiap hari seperti sekarang ini! Menemani diriku sehari suntuk! Tak bisa kuliah, tak bisa... ehem! pacaran, tak bisa segala macam! Tentu saja kau ingin secepatnya bebas dari aku!"
Tesa menggigit bibir, sementara matanya ber-linang-linang. Hatinya pedih bagai ditusuk-tusuk sembilu.
"Pasha, kau salah paham! Bukan itu alasanku untuk berhenti dari sini dan mengajar... "
"Apa profesor itu membayarmu jauh lebih tinggi dari aku"" tanya Pasha tanpa kenal kasih-an. "Kau kan merawatku semata-mata karena uang, bukan" Nah, pasti orang itu telah mena-warkan honor yang lebih tinggi! Iya, kan""
"Pasha...," tukas Tesa dengan suara tercekik air mata. Sakit hatinya dituduh mata duitan seperti itu. Tapi Pasha rupanya sudah kalap.
"Bagaimana kalau aku naikkan honormu"
Tapi kau enggak boleh kasih les segala macam! Kau cuma boleh mengurus diriku tok!" "Sampai kapan""
Pasha tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia mulai menyebutkan semua tugas yang takkan mungkin dilakukannya sendirian.
"Gimana aku harus belanja makanan setiap minggu" Memasukkan surat-surat ke pos" Siapa yang akan membacakan aku surat-surat dan mengurus tagihan rekening" Siapa... "
"Pasha," kata Tesa sesabar mungkin, "untuk beli bahan makanan seperti telur, susu, dan barang kaleng, kau bisa minta tolong Nyonya Allison. Pasti dia mau, dengan imbalan sedikit. Begitu Juga pergi ke pos serta mengurus rekening. Membacakan surat dari rumahmu, seperti dulu pernah aku bilang, memang lebih cocok dilakukan oleh Pika daripada aku. Bukankah dia itu calon istrimu" Dia lebih berhak... "
"Ah," tinggalkan Pika!" potong Pasha menge-luh. "Dia tak pernah punya waktu lebih untuk-ku."
"Aku rasa, dia akan bersedia seandainya ke-adaan memaksa."
Pasha menghela napas, lalu menjulurkan ba-dan ke depan. "Selina, sebenarnya apa sih alas-anmu sampai kau begitu nekat mau berhenti dari sini" Sudah kukatakan, aku bersedia menaikkan honormu!"
Tesa kembali menggigit bibir. Rupanya ora
ng ini cuma berhitung lewat uang semata. Dia
tidak memikirkan bahwa seorang manusia juga bisa disetir oleh perasaan. Dan perasaan yang bagaimana!
Tidak. Dia harus lekas berlalu dari sini, pikir-nya. Makin lama akan makin sulit baginya me-lepaskan diri!
"Bagaimana, Selina" Kau setuju bukan dengan kenaikan honor" Tapi kaubatalkan rencana untuk kasi les! Kau cuma boleh mengurus aku
saja!" "Sampai kapan"" jerit Tesa putus asa.
"Sampai... ya, paling tidak, sampai operasiku berhasil. Itu kan cuma tinggal lima bulan lagi. Mau dong, Sel" Setelah itu kau bisa kuliah kembali. Sekarang pun kau sedang libur, bukan" Setelah operasiku sukses, aku berjanji takkan menyusahkan engkau lagi! Oke""
Tapi, kau justru akan menyusahkan hatiku, jeritnya dalam hati.
"Dan kalau aku memaksa berhenti juga, gimana" Apa kau bisa menahanku""
Pasha terkulai lemas. Wajahnya memucat. Dia menggeleng. "Tidak, Sel," bisiknya parau. "Aku takkan bisa menahanmu!"
*** Akhirnya Pika yang menengahi. Dia mema-rahi Tesa yang dianggapnya terlalu ingat kepen-tingan sendiri.
"Tapi itu justru demi kepentingannya, Pik!"
bantah Tesa. "Aku tidak mau dia menjadi ter-gantung seratus persen padaku.' Sekarang pun sudah sulit aku minta izin untuk ke mana-mana. Maunya ditemani terus olehku. Itu kan sebenarnya tugasmu""
"Ah, kau tahu sendiri betapa sibuknya aku! Sekolah kedokteran kan enggak seenak sekolah sekretaris, Tes!"
"Maksudmu, enggak segampang sekolahku!" tukas Tesa sinis. Memang diakuinya Pika itu orangnya dinamis, hebat, lincah, dan otaknya encer, enggak seperti dirinya yang pas-pasan. Tapi betapapun hebatnya Pika, seharusnya dia lebih banyak menyisakan waktu untuk pacar-nya, bukan" Apalagi dalam keadaannya yang sekarang ini!
"Apa lantaran kau sibuk, aku jadi harus me-ngorbankan semua kepentinganku""
"Lho! Apakah kita salah paham" Bukankah kau butuh uang, lalu aku tawari kerjaan! Ya, kan""
"Ya. Tapi aku tidak bermaksud menyerahkan seluruh waktuku untuk mengurus Pasha! Sekarang aku telah menemukan kerjaan baru. Mem-beri les bahasa seminggu dua kali. Memang honornya jauh lebih kecil, tapi aku tidak begitu terikat Waktuku selebihnya bebas kupakai untuk keperluan lain."
Pika kelihatan bingung juga mendengar Tesa sudah mendapat sumber penghasilan baru. Dia insaf kalau gadis itu memaksa mau berhenti,
dia takkan bisa menahan. Karena itu digantinya
suaranya yang marah-marah tadi dengan bujuk-an halus.
"Tes, apa kau tega meninggalkan Pasha sekarang ini" Aku justru lagi sibuk-sibuknya me-nyiapkan diri untuk ujian. Selain itu, aku juga sudah mulai tugas di rumah sakit. Temanilah Pasha beberapa bulan lagi. Sampai dia dioperasi. Setelah itu kau boleh bebas, deh. Dan kami tidak akan melupakan pengorbananmu, Tes!"
Enak saja, pikir Tesa dengan pahit. Mentang-mentang punya duit! Setelah operasi berhasil, aku dibebaskan, tapi sementara itu hatiku sudah... barangkali sudah luka parah! Adakah yang akan peduli"!
"Aku bersedia mengurus Pasha sampai ope-rasinya sukses, tapi kukatakan padanya, aku minta izin untuk memberi les seminggu dua kali. Dan dia keberatan. Jadi, yah! Kalau dia begitu egois...!" Tesa mengangkat bahu.
"Aku berjanji akan membujuknya. Dia pasti setuju. Kau boleh memberi les seminggu dua kali. Tapi Pasha jangan kautinggalkan. Setuju""
Entah bagaimana caranya Pika membujuk Pasha, tapi nyatanya pemuda itu setuju dengan kehendak Tesa. Demikianlah minggu demi minggu berlalu. Udara masih cukup dingin wa-laupun tidak sedingin di daerah bagian timur.
Tesa masih menjalankan tugasnya membeli barang-barang makanan seminggu sekali. Terka-dang belanjaannya cukup banyak, termuat dalam dua kantong, dan dia tak dapat mengha-ngatkan tangannya bergantian ke dalam saku jaket. Biasanya Pika suka menemuinya di dapur asrama pada malam hari kalau dia mempunyai titipan khusus untuk akhir pekan. Seperti minggu lalu.
"Tes, belikan dada ayam ya barang tiga po-tong. Lalu atinya satu kotak yang setengah kilo. Juga jamur sekotak. Pasha kepingin makan sate hari Minggu besok. Jamur itu mau aku semur boat makan dengan supermi."
Khusus hari Minggu, dia memang libur, sebab itu hari untuk Pika dan Pasha berd
uaan. Pika sering masak-masak dan terkadang meng-undang teman-teman, tapi Tesa sendiri belum pernah dipersilakan datang. Dia maklum. Pika tidak
mau Pasha memperlakukannya sebagai teman. Ah, dia juga lebih senang dibiarkan sendiri, bisa menikmati tidur sampai puas.
Setelah pesta sate ayam itu, Senin berikutnya seperti biasa Tesa muncul di tempat Pasha. Udara pagi itu hangat sekali terutama embusan anginnya. Matahari bersinar cerah.
Pasha tengah duduk di depan jendela, tidak berbuat apa-apa. Wajahnya menatap ke bawah, seakan tengah memperhatikan orang-orang yang hilir mudik dengan berbagai urusan masing-masing.
"Kau mau sarapan apa pagi ini, Pasha" Sudah bosan dengan roti dan ham" Aku bisa mem-buatkan engkau nasi goreng yang enak. Mau""
"Asal kau juga ikut makan," sahut Pasha te
senyum samar. "Oh, enggak keberatan. Sebenarnya sih, aku sudah melahap roti kacang setangkup. Tapi dalam udara seperti ini, perut memang cepat lapar, ya." Tesa beranjak mau ke dapur, ketika suara Pasha menghentikan langkahnya.
"Sakitmu sudah sembuh""
Tesa keheranan. Sakit" Dia sakit" Sebelum hilang bingungnya, Pasha sudah meneruskan, "Kemarin kau enggak datang! Kan sudah aku bilang, kau harus datang! Kita mau memang-gang sate. Kata Pika kau sakit kepala!"
Hm. Jadi aku kemarin sakit kepala"! Apa boleh buat, kalau Pika sudah bilang begitu. Pasha memang menyuruhnya datang, tapi dianggapnya itu basa-basi belaka. Mungkin dia kasihan mendengar napasnya ngos-ngosan setelah me-naiki tangga dengan belasan kilo bahan makanan. Dia sama sekali tidak menganggap undang-an itu sungguh-sungguh. Terlebih karena Pika tidak ikut mengundang. Tahunya, dia dibilang sakit! Ya, deh, enggak apa.
"Memang, aku pening kemarin. Terlalu sering masuk angin, mungkin."
"Sekarang sudah baik""
"Mendingan. Tapi kalau pulang terlalu malam, suka kambuh lagi!" Dia berdusta deh se-kalian, biar diizinkan pulang sorean. "Sebenarnya sudah kusisakan sepuluh tusuk
untukmu, tapi menurut Pika, sate enggak bisa disimpan dalam kulkas. Bumbunya pasti basi."
Tesa ketawa sambil meringis dalam hati. "Tentu saja. Aku juga enggak mau makan sate sisa! Kering, enggak enak! Oke deh, sekarang aku mau bikin nasi goreng. Kau tunggu di sini anteng-anteng, ya. Jangan melompat dari jendela!" Tesa ketawa, lalu menyingkir dari bantal kecil yang dilemparkan oleh Pasha ke arahnya.
Rupanya otak Pasha hari itu sedang di tengah. Sikapnya ramah, mudah diatur, dan tidak cerewet Tesa segera sibuk di dapur mengiris bawang, cabe, dan lain lain. Dalam beberapa menit saja wangi nasi goreng sudah memenuhi seluruh apartemen. Pasha rupanya menjadi tidak sabar menahan lapar, lalu muncul dalam kursinya di ambang pintu dapur.
"Nah, bolehkah aku masuk""
"Tentu. Aku baru saja mau memanggilmu. piringmu sudah aku letakkan, juga gelasmu. Dan ini... nasi gorengnya!"
Mereka makan berdua dengan lahap sekali. Pasha tidak henti-hentinya berdecah memuji masakan Tesa. Lalu tiba-tiba saja dia berhenti menyuap dan memandang ke arah Tesa dari balik kacamata hitamnya.
"Minggu depan aku akan dioperasi," katanya tanpa emosi. "Maukah kau mengantarkan aku ke rumah sakit""
Tesa mencioba ketawa ringan, tapi bunyinya malah kedengaran gugup serta penuh khawatir.
"Mau sih mau," katanya kemudian. "Tapi, aku paling takut pergi ke sana. Kan ada Pika, apa enggak mendingan dia saja yang mengantarmu" Biarlah aku menunggu beritanya saja."
Pasha - menghela napas. Dia menunduk dan mengacau nasi goreng di piringnya. Karena ke-biasaan, Tesa memberitahukan, "Tomatmu ada di pukul dua. Mentimun di pukul sepuluh."
Tapi Pasha tidak mengacuhkan petunjuknya. Dia terus mengaduk-aduk nasinya tanpa menyendoknya ke mulut. Tesa jadi khawatir jangan-jangan bocah gede itu ngambek lagi. Betapa mudahnya Pasha tersinggung, pikirnya nasping.
"Pika ada praktikum hari itu, Selina. Dia enggak bisa bolos," katanya dengan suara kecil seakan kecewa sekali.
Tesa tidak berani menyanggah lagi, takut nanti "momongannya" itu benar-benar ngambek. "Nah, tentu saja kalau Pika berhalangan, aku yang akan mengantarmu. Pokoknya, jangan sampai Pika merasa haknya dirampas olehku!"
"Hak apa"" Pasha me
ngangkat muka dan memandang ke depan dengan rupa bingung.
Tesa mengangkat bahu. "Ya, hak seorang pacar, dong! Hak apa lagi"!"
Pasha melongo sejenak, kemudian ketawa ter-bahak. "Selina! Kau ini pikirannya macam-macam saja. Kita kan hidup di zaman modern, masa sih masih penuh prasangka begitu""
Panas terasa wajah Tesa ditertawakan begitu.
57 Lebih merah lagi ketika Pasha menyambung, "Seandainya dia mencurigai engkau, tentunya dia takkan membiarkan engkau datang ke sini tiap hari, bukan""
"Baiklah! Minggu depan aku akan mengantarmu, kata Tesa cepat untuk mengakhiri perbin-cangan yang sensitif itu.
Bab 5 Tesa mengantar Pasha sampai ke dalam kamar. Lalu dipegangnya lengannya ketika pemuda itu beralih dari kursi roda ke atas ranjang rumah sakit yang putih bersih. Dia tidak segera berba-ring, sebab masih memakai baju jalanan, belum berganti dengan daster rumah sakit yang ter-lipat rapi di ujung tempat tidur.
Tesa berpendapat sebaiknya dia berlalu sekarang, dan berniat mendorong kursi keluar. Tapi tahu-tahu Pasha menangkap tangannya serta menggenggamnya erat-erat.
"Berjanjilah bahwa kau akan berada di sini ketika aku sadar kembali, Sel!"
Tesa tergugu. Seketika dia panik. Apa yang akan dijawabnya" Dia tidak tahu apakah Pika takkan keberatan dia menunggui Pasha dioperasi" Rasanya kok agak berbau intim dan membuat hatinya resah. Bagaimana kalau Pika nanti marah" Disangkanya, dia bisa-bisaan sendiri! Menunggui Pasha kan haknya. Masa sih begitu arna dia praktikum" Kalau operasi selesai, pasti Praktikumnya juga sudah lama bubar, bukan"!
Apa Pika enggak keberatan" Aku takut dia nanti kurang senang!"
"Ah, Sel! Kau ini kok kuno sekali, sih" Kau kan temanku juga. Apa salahnya teman menunggui teman dioperasi" Hitung-hitung memberi semangat dan ikut mendoakan supaya berhasil""
Pikiran Pasha benar juga. Dia tidak menemu-kan alasan untuk mengelak. "Baiklah. Aku akan diam di sini sampai operasimu beres!" janjinya, lalu dengan lembut ditariknya kembali tangan-nya yang sejak tadi digenggam oleh Pasha. Dan itu dilakukannya tepat pada waktunya. Sebab sedetik kemudian terdengar pintu dibuka, lalu suara Pika yang nyaring penuh ketegangan me-nerobos masuk.
"Ah, untunglah kau belum apa-apa!" serunya menghampiri Pasha.
Tesa minggir sambil menoleh ke pintu. Pika muncul dengan lab-jas putih berkibaran tanpa dikancing. Di belakangnya berdiri mematung si Michael dengan kedua tangan masuk kantong. Dia kelihatan ragu, akan masuk atau tetap di ambang pintu.
Pika langsung memeluk Pasha dan mengecup pipinya dua kali kanan dan kiri. Tesa menun-duk agar tak usah menyaksikan terlalu lama. Kemudian didengarnya suara Pika memperke-nalkan temannya,
"Aku membawa Michael, Sha. Michael, ke-mari, beri selamat OP sama Pasha! Dan ini,
ngng... Ttt... Selina! Kau sudah kenal, bukan"
Tempo hari di dapur""
Michael menjabat tangan Pasha, lalu menoleh pada Tesa dan tersenyum sambil mengangguk. Tesa jadi kegerahan. Dia teringat, tempo hari Pika menyebutnya sebagai Tesa, lalu kini ber-ubah jadi Selina. Dia khawatir sekali jangan-jangan Michael nanti keheranan dan bertanya. Tapi untunglah pemuda itu diam saja. Mungkin sudah lupa namanya, mungkin juga tidak mau usil.
Tesa sudah tidak betah di situ, macam cacing terkubur abu. Dia gelisah, namun tidak me-nemukan alasan untuk melangkah keluar. Pika kelihatannya anteng saja duduk di samping Pasha di ranjang, sementara Michael berdiri di kaki ranjang dengan siku bertumpu ke besi. Cuma Tesa sendiri yang merasa kelebihan, berdiri dekat wastafel, ganti berganti kaki, seolah kecapekan.
Untung sekali masuk suster membawa nam-pan berisi suntikan dan beberapa ampul. Mereka dihalau semua. Tesa diam-diam menarik napas lega, dan cepat-cepat menghampiri pintu.
"Ingat janjimu barusan, Sel!" seru Pasha mengingatkan.
"Janji apa, sih"" tanya Pika dengan kening berkerut, setibanya mereka di luar kamar. Dengan lagak interogator Pika menghadapinya sambil berkacak pinggang.
Tesa menatapnya dan tiba-tiba entah kenapa.
dia merasa iri pada temannya. Pika begitu cantik, lincah, anggun, dan penuh gaya dalam jas putihnya. Dia ad a lah segala-galanya yang per
nah didambakan oleh Tesa namun takkan didapatnya: gadis dengan orangtua yang kaya, otak yang encer, dan kepandaian bergaul yang mengagumkan. Wajahnya yang cantik begitu mempesona. Wajahnya sendiri terasa buram dan lecek. Be be ra pa orang memang pernah meyakin-kan hatinya yang rapuh, bahwa mukanya manis serta menarik, bahkan cantik. Namun Tesa tak pernah yakin. Bagaimana dia akan yakin. Satu-satunya orang yang diharapkan mampu meyakinkan harga dirinya yang penuh ragu itu, ter-nyata malah kepincuk oleh Shakira, sahabatnya! Oh, dia tak sudi lagi mengingat-ingat tentang Goffar! Buat apa menyusahkan hati sendiri untuk seorang pengkhianat"!
"O, itu! Pasha minta supaya aku menunggui-nya di sini sampai dia siuman
lagi." Diam-diam Tesa menghela napas. O, betapa didambakannya selingkar lengan perkasa yang akan memeluk bahunya saat-saat begini, seperti yang tengah dilakukan Michael terhadap Pika. Betapa sentosa dan aman rasanya hati....
"Oooh!" Pika kelihatan lega kembali. Dia malah ketawa manis. "Kalau begitu, kebetulan sekali. Aku bisa ikut grup belajarku. Semula aku pikir, sudah tak mungkin. Tapi sekarang, lan-taran sudah ada engkau yang akan menjaganya nanti, aku jadi lega dan enggak usah bolos.
Kalau ada sesuatu yang penting, tolong aku dihubungi di nomor ini ya, Tes." Pika menyo-dorkan secarik kertas yang ditulisinya cepat-cepat dengan beberapa angka.
"Ini tempat Michael. Kalau enggak ada apa-apa sih, enggak usah deh mengganggu. Nanti aku datang selesai study-group."
Tesa menyambut nomor telepon itu dengan mendongkol. Jangan mengganggu katanya! pi-kirnya. Demi untuk kepentingannya, dikatakan-nya mengganggu. Apakah grup belajarnya itu lebih penting dari nasib pacarnya"!
"Sudah, ya. Bye-bye."
Dan menghilanglah Pika bersama Michael dengan langkah-langkah meyakinkan yang membuat iri serta kagum orang yang melihat. Maka tinggallah Tesa di ruang tunggu, seperti Sapu Abu duduk menantikan utusan Pangeran yang akan membawa sepatu gelasnya yang tertinggal semalam di istana.
Di ruangan itu kebetulan tak ada orang lain, jadi dia tidak bisa ngobrol-ngobrol. Diraihnya sebuah majalah wanita. Dibuka-bukanya dari depan sampai ke belakang, namun minatnya tak ada untuk membaca. Hatinya terasa resah, entah kenapa. Diambilnya majalah yang lain. Dilembarinya seperti yang pertama. Demikian-lah dia melewatkan waktu. Setelah kesal me-lihat-lihat gambar iklan, ditumpuknya kembali majalah-majalah itu ke tempat asal mereka, lain dia berdiri meluruskan pinggang.
Mulailah dia berjaian mondar-mandir sepan-jang lorong, seperti calon ayah tengah menung-gu kelahiran bayinya yang pertama.
Akhirnya dia kesal diam di situ terus. Dicari-nya seorang perawat dan ditanyakannya di mana kantin.
"Di lantai bawah, lorong sebelah kanan."
"Terima kasih," dia mengangguk, lalu mencari lift dan turun. Kantin itu tidak sulit dicari. Dari jauh pun wangi masakan sudah menerpa pen-ciuman. Dituntun oleh hidungnya, Tesa tiba pada sebuah pintu kaca yang penuh ditempeli kertas-kertas penawaran barang-barang bekas serta operan kamar sewa bagi mahasiswa.
Tesa mendorong pintu dengan kedua tangan. Udara sejuk langsung menyelubungi tubuhnya. Di tembok sudah ditempelkan hiasan-hiasan Natal, sebab sekarang sudah bulan Desember. Kantin itu cukup luas. Paling sedikit ada tiga puluh meja. Musik lembut mengalun menyen-tuh kalbu. Cuma ada beberapa orang kelihatan tengah minum kopi atau makan nyamikan. Rupanya memang belum waktu makan. Yang minum kopi itu mungkin para dokter. Mereka agaknya baru selesai jaga malam, sebab tarn-pang mereka lusuh seperti orang kurang tidur.
Tesa pergi ke counter mengambil secangkir kopi pahit dan sepotong kue tar aprikot. Lalu dipilihnya meja yang sepi dekat pot tanaman. Dia duduk menghadap ke pintu, asyik meng-awasi orang-orang yang hilir mudik di lorong
depan kantin. Beberapa pendatang baru mema-suki ruangan dengan sikap tergesa-gesa, ada yang cuma meneguk secangkir kopi lalu pergi lagi. Rupanya tempo kerja para dokter serta perawat amat tinggi. Tesa bersyukur dia tidak jadi memilih kedokteran. Bisa kedodoran pakai-annya kalau dia mesti melangkah setengah ber-.
lari seperti mereka! Dia lebih suka hidup yang rileks dan santai. Karena itu dia merasa cukup masuk college saja.
Tapi Pasha dan Pika adalah manusia-manusia jempolan, pikirnya setengah kagum dan iri. Ka-gum untuk Pasha. Iri pada Pika. Keduanya adalah calon dokter yang heiiibat!
Sambil makan kue dan menghirup kopi, Tesa membiarkan dirinya melamUn kian kemari, hingga pada Goffar sekalipun. Namun peng-khianat itu tidak dibiarkannya berlama-lama menyita pikirannya. Dia segan kembali ke masa lalu, mengasihani diri bertalu-talu. Tapi kalau dia teringat nasibnya kini serta kesulitan yang tengah melibat dirinya, mau tak mau hatinya terasa pedih. Dia berusaha memikirkan jalan ke-luar namun tidak diperolehnya. Hatinya tidak tega meninggalkan Pasha begitu saja, walaupun dia hanya pelayannya belaka, yang dibayar untuk merawat serta menemaninya selama dia tak berdaya....
Seandainya saat ini dia berlalu dari rumah sakit, pulang ke asrama dan tidak mengunjungi Pasha lagi sebab sudah tak diperlukan; dia
yaicin operasi ini akan berhasil mengembalikah penglihatan Pasha siapakah yang akan marah padanya". Siapakah yang akan mencegahnya" Siapakah yang akan merasa kehilangan" Jawab-nya tidak ada, tidak ada, tidak ada!
Tapi hatinya tidak tega. Selain itu, dia sudah berjanji. Baginya, janji adalah sepotong ucapan yang teramat berat tanggung jawabnya. Bagai-manapun, mesti dipenuhi! Sebab kalau tidak, mungkin bisa membawa akibat buruk,
bahkan bisa menghancurkan sepotong hati seperti yang pernah dialaminya sendiri!
Janji seorang lelaki! Seorang Goffar yang tak punya kepribadian, persis "terang bulan terang di kali buaya timbul disangka mati jangan percaya mulut lelaki berani sumpah takut mati!!!"
"Ampunilah aku, Tes. Aku mata gelap, aku lupa da rata n, aku bod oh, aku egois. Shakira itu mana nempil dibandingkan sama dirimu. Sifat-nya juga enggak lembut, serakah, dan tak pernah peduli perasaan orang lain. Aku enggak yakin perkawinan kami bisa bertahan lama, tapi saat ini kami harus menikah! Kalau enggak, aku bisa dicincang sama bapaknya! Sebab Shakira
sudah telanjur hamil"
"Oh, Goffar! Mana janjimu mau setia, mana sifat jantanmu menolak godaan, mana kekuatan imanmu, mana... mana..." Kau mau saja dicocok hidung, disuruh masuk ke mobil, diangkut ke Puncak! Katamu, kau mata gelap" Lupa daratan" Katamu, kau terdorong rasa ingin tahu" Katamu, kau diberi obat" Katamu, kau akan cerai begitu anakmu lahir" Katamu, kau pasti akan balik padaku"
"Kaupikir, aku mau menampung sampah" Kaukira, dunia cuma selebar telapak tangan"
Kaupikir, kau ini enggak bisa digantikan- oleh orang lain" Kaukira, aku sudi cinta murahan seperti cintamu" Kauduga aku takkan bisa hidup tanpa dirimu"
"Bah! Aku lebih suka patah hati berkeping-keping daripada kehilangan harga diri! Aku lebih suka mandi air mata setiap malam daripada merampas ayah seorang anak kecil. Kalau kelak kau cerai juga, itu urusanmu, asal jangan kawin lagi dengan aku!"
Goffar memberikannya sehelai kartu undang-an yang segera dilemparnya ke keranjang sampah tanpa dibaca lagi. Dia menolak pergi ke pesta kawin mereka. Minggu sore itu dia me-ngunci diri dalam kamar memutar lagu-lagu sendu dan yakin matahari takkan terbit lagi esoknya.
Tapi ternyata matahari tetap bersinar cerah, burung-burung masih meriah dan setelah pen-deritaan batinnya mengendap di dasar hati, timbul hasratnya hendak merantau ke selatan.
Goffar hampir kalap ketika tahu berita itu dari Daniel, adiknya. Seharian dia duduk dalam mobil hadiah mertua di depan rumah, me-nunggu Tesa keluar. Tapi yang ditunggu
muncul. Goffar pulang. Besoknya pagi-pagi jam enam sudah parkir lagi, begitu juga besoknya dan besoknya, sehingga akhirnya les a terganggu dan hilang kesabaran. Dia tidak bisa keluar rumah, padahal banyak yang haras diurus dan dibelinya.
Terpaksa abangnya Markus, membawa ka-wannya yang punya seragam hijau. dan pemuda berkarakter tempe itu pun takut dengan ancaman entah apa yang dilontarkan abangnya. Pendeknya, petuah teman abangnya agar dia segera sirna dari situ dan jangan muncul lagi, dituntutya hingga tuntas. Namun dengan surat kilat khusus masih
dicobanya menyentuh hatinya. Diserahkannya
surat itu ke tangan abangnya, utuh, dengan permintaan supaya dikem-bafikan. Sejak itu Goffar bagaikan sudah ditelan burnt tak ada kabar ceritanva lagi. Dan kisah mereka pun tamatiah sudah.
Setelah kopi serta kue masuk ke dalam perut, Tesa merasa lebih nyaman dan keresahan yang tadi melanda, kini lenyap sebagian.
Dilihatnya arfoji. Dia sudah setengah jam di situ. Diambiinya tasnya dari atas meja, lalu di-gesernya kakinya mau berdiri, ketika pintu kantin didorong dari luar dan... dilihatnya Pika j serta Michael masuk sambil ketawa, ketawa
Tesa membatalkan niatnya dan berusaha mendutkan diri supaya tidak kelihatan. Kedua orang itu langsung ke counter memilih makan- ,
an. Tengah keduanya membelakanginya, Tesa cepat-cepat bangkit, lalu seakan dike jar setan, melangkah setengah berlari ke pintu, mendo-rongnya dengan kedua tangan dan keluar. Tanpa menoieh lagi dia langsung pergi ke lift untuk kembali ke ruang tunggu di lantai tiga.
Dua jam kemudian seorang perawat meng-hampirinya dan dengan manis memberi tahu kan bahwa pasien sudah sadar.
"Tuan Solem sudah berada di kamarnya lagi.
Dia menanyakan Anda." "Oh. terima kasih."
Tergesa-gesa diletakkannya majalah yang tengah dinikmati iklan-iklannya, lalu menyandang tasnya dan melangkah ke kamar Pasha.
Dihampirinya ranjang pelan-pelan seakan takut membangunkan yang tidur. Tapi Pasha tcr-nyata sedang menunggunya.
"Pasha," bisiknya sambil menyentuh tangan di atas selimut "Bagaimana perasaanmu""
"Air," erangnya hampir tak kedengaran.
Tesa mengambil gelas yang sudah tersedia di atas meja dengan sendok teh kecil. Disuapkan-nya air bening itu sesendok ke dalam mulut Pasha. Perawat tadi sudah berpesan bahwa pasien belum boleh minum banyak-banyak.
Diletakkannya sendok dan gelas kembali ke atas meja.
"Lagi," tun tut Pasha dengan suara lemah. Tesa memberinya sesendok lagi. "Cukup dulu, Pasha. Enggak boleh sekaligus banyak."
Setelah itu dia duduk di atas kursi di sam-ping ranjang, memperhatikan Pasha dengan rasa kasihan. Kedua matanya dibalut. Dia kelihatan begitu tak berdaya. Ah, Tesa sungguh berha-rap operasi itu akan berhasil walaupun akibat-nya dia akan kehilangan gajinya yang besar.
Tesa teringat pada Pika di kantin.
"Pasha, apakah kau mau aku panggilkan Pika" Tadi aku diberinya nomor telepon... " Men-dadak dia teringat pes an Pika agar jangan mengganggu kalau tak ada apa-apa yang luar biasa. Misalnya"!
Pasha menggoyang tangan. "Tak... u... sah. Dia... si... buk. Cukup... kau sa... ja... di... si... ni_"
Beberapa menit kemudian Pasha minta minum lagi. Rupanya obat yang disuntikkan padanya membuat mulut dan tenggorokannya ke-ring.
Tesa kembali menyuapinya seperti bayi. De-mikianlah dia duduk di situ, merawat serta me-layani "majikannya" sampai hari petang.
Pika akhirnya muncul. Sendirian. Langsung mengecup dahi Pasha sambil melontarkan beberapa kata sera yang dramatis. Rambutnya dielus penuh sayang. Sendok dan gelas direbutnya dari tangan Tesa, lalu dianjurkannya agar temannya itu pulang saja.
"Kau boleh istirahat, Ttt... Sel. Kan sudah ada
aku di sini." Tanpa pamit pada Pasha, gadis itu melangkah pergi. Sambil berjalan disesalinya hatinya yang merasa terusir oleh ucapan Pika. Mengerti dong, katanya sendirian, sudah ada dia, kau jadi kelebihan!! Tadi waktu betul-betul diperlu-kan, dia tidak ada, gerutunya dalam hati. Sekarang, setelah rasa haus Pasha hilang, dia baru datang dengan jas berkibaran! Ah, mengerti dong, kau kan cuma pelayan belaka, orang yang digaji. Dia kan pacar, calon tunangan dan istri! Walaupun Pasha kelihatannya ingin di-temani olehnya, itu kan tidak lebih dari rasa ketergantungan belaka pada perawat seperti kanak-kanak pada inang pengasuhnya! Bagai-manapun, dia harus tahu diri, jangan sampai hati yang sudah pecah gara-gara Goffar jadi makin hancur...!
Hari demi hari Tesa datang ke rumah sakit menjenguk Pasha. Sekarang dia tak boleh menemani terlalu lama, sebab sang pasien sudah segar dan bisa minum-makan sendiri. Kalau perlu bantuan dia cukup menekan bel. Selalu ada perawat yang siap datang menolong.
Pada suatu hari Pasha membe
ritahukannya sebuah berita gembira.
"Kemarin perbanku diganti. Dan Selina, mataku bisa melihat kembali! Bukankah itu sebuah mukjizat" Aku bisa normal lagi! Memang saat ini penglihatanku masih agak buram, tapi itu pun normal. Kalau perlu, mereka akan melaku-kan operasi kedua dalam enam bulan. Tapi sekarang pun aku sudah boleh kuliah lagi. Dan yang lebih penting, aku akan segera bisa meli-hatmu!"
Pasha ketawa gelak-gelak sementara tangan Tesa makin lama makin d ingin. Dia mencoba ikut ketawa agar tidak mencurigakan. Rupanya Pasha belum tahu rencana Pika. Dia takkan di-perbolehkannya melihat wajah "Selina".
Siang itu datang tiga orang teman kuliah Pasha yang dulu pernah membujuknya agar mau kuliah lagi. Semuanya mahasiswa Australia. Mereka ketawa riang melihat Tesa.
"Aha, halo!" seru mereka padanya. Lalu me-nyambung, "Rupanya Bidadari Tuan Solem setia banget menjaga asuhannya!"
Seorang di antara mereka yang bernama Thomas dan berambut kuning jagung segera menepuk bahu Pasha. "Eh, kau kan bakal segera sembuh lagi. Sudah saatnya nih, bidadarimu kauoper padaku! Aku rasanya mau segera sakit! Beeerat!"
"Melalui mayatku!" Pasha menggerung membuat teman-temannya tertawa riuh dan Tesa menjadi merah wajahnya.
Malam harinya Pika sengaja menemui Tesa di dapur asrama. Kebetulan saat itu cuma ada
mereka berdua. Tanpa sungkan Pika langsung saja mengatakan apa yang ada dalam hatinya. "Tes, lantaran Pasha sudah sukses operasinya, kau tak usah deh datang lagi menemuinya!"
Tesa sudah tahu, larangan ini akan diucap-kan, tapi toh dia terkejut juga. Tidak disangka-nya akan begitu cepat! Untung dia bisa lekas menutupi rasa kecewanya dengan senyum bia-sa, sehingga Pika tidak menyadari bahwa temannya kaget.
"Tentu saja kami berdua sangat berterima ka-sih sekali atas segala pengorbananmu selama ini."
"Ah, tak perlu, Pik. Bukankah aku sudah di-bayar dengan cukup" Kapan... Pasha akan di-perbolehkan pulang"" Dia berusaha bicara sete-nang mungkin, namun tidak urung suaranya bergetar juga.
"Besok, Tes. Setelah perbannya boleh dibuka. Karena itu... aku terpaksa minta agar kau jangan muncul lagi. Kau mengerti, bukan""
Tesa mengangguk lesu. "Kalau begitu, tolong ambilkan buku bacaanku yang masih tertinggal di sana."
"Oke. Kau enggak marah, bukan, Tes"" i "Tentu saja tidak. Apa sih hakku untuk marah"" sahutnya dengan tawar.
Pika menarik keluar sebuah amplop dari saku bajunya lalu meletakkannya di atas meja. "O ya, ini bonus dari kami seperti yang pernah dijanji-kan."


Tesa Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tesa menampik dengan gelengan kepala. "Tidak, ah. Aku tak bisa menerimanya. Aku sudah dibayar dengan cukup "Kami sudah berjanji!" "Tapi aku tidak menanggapinya, bukan"" . "Ayo, ambil! Kalau enggak, Pasha nanti ter-singgungP
"Apa kalian begitu kelebihan duit sampai mau dibuang-buang begini""
"Ini kan bukan pemborosan, Tes. Ambillah. Nanti. aku ma rah, nih!"
Tesa merasa serba salah. Dia memang butuh uang. Tapi kalau dia terima pemberian itu, rasanya dia jadi seperti bawahan yang diberi per-sen!
Dari luar dapur mereka melihat Atina, Sabita, dan Nopi mendatangi. Pika makin sibuk men-desak. Diambilnya sampul itu dari meja dan dijejalkannya ke dalam kantong sweter Tesa. "Ayo, lekas amankan, nanti mereka semua jadi tahu!" desahnya memaksa.
Tesa tahu Pika tak bisa dibantah. Melihat suasana yang gawat, dengan terpaksa dia menerima dan mengucap terima kasih.
Dua hari kemudian mereka ketemu lagi di ruang cucian di bawah tan ah. Mula-mula Pika seakan tidak mengacuhkannya. Wajahnya agak keruh. Tapi ketika Tesa menyapanya duluan ba-rulah dia mau membalas dengan "Selamat
pagi". "Apa kabar Pasha"" tanya Tesa setenang mungkin. Dia sadar, sebaiknya dia jangan bertanya sama sekali. Tapi rasa ingin tahunya tidak
bisa dibendung. "Oh, dia sudah bisa membaca lagi."
"Sudah mulai kuliah kembali"" Semester depan."
Pika terdiam, menatap Tesa, lalu tiba-tiba dia menghela napas.
' "Ah, kesal, deh. Dia terus-terusan menanya-kan engkau. Akhirnya aku terpaksa bohong. Aku bilang, kau sudah pergi ke Jakarta! Sorry, ya, aku bilang begitu."
"Ah, enggak apa-apa," sahut Tesa mencoba ketawa wajar. "Aku rasa malah itu yang paling b
aik. Pasha itu cuma ingin tahu kayak apa sih tampangku! Hahaha! Eh, teman-temannya sudah tahu lho yang mana Selina! Jadi, sebaiknya aku juga menghindar dari mereka!"
"Oh! Ada yang tahu siapa kau"" Pika kelihatan terkejut.
"Ya. Mereka pernah datang ke tempat Pasha membujuknya supaya kuliah lagi. Tapi Pasha ngotot mau tunggu operasi dulu. Waktu itu aku ada di sana. Dan beberapa hari yang lalu, pas sebelum dia diizinkan pulang, mereka datang menjenguknya!"
"Dan kau kebetulan ada di sana juga!" sam-bung Pika dengan nada kesal. Tesa mengangguk tak berdaya. "Bukan salah-ku, kan" Mana aku tahu mereka bakal datang."
Pika tidak menanggapi, rupanya asyik dengan pikiran sendiri. Kemudian dia menghela sekali lagi. Setelah mengeluarkan semua cuciannya dari mesin, dia menoleh pada Tesa. | "Tesa, minggu depan Pasha ulang tahun. S'!e. benarnya aku ingin mengundangmu dan mera. perkenalkan kau pada Pasha sebagai Tesa. Kan anak-anak Melayu enggak ada yang tahu, kau pernah kerja di tempat Pasha. Jadi sip. Maksud-ku, agar kau punya kesempatan sekali lagi un--tuk melihat Pasha dan mungkijn- kau akan ikut gembira melihat diaAsudah pulih kembali seperti dulu. Tapiii; "Tasha juga sudah mengundang kawan-kawan kuliahnya yang karib. Dan aku baru tahu bahwa mereka pernah melihatmu dua .-kali. Sekarang, yah! Rencanaku terpaksa batal. Tes, maafkan aku. Aku tidak berani mengundangmu. Sebab pasti ketahuan bahwa aku sudah bohong. Pasha paling benci orang yang suka bohong. JadL.." Pika menatap Tesa dengan wajah lugu, mohon pengertian.
Tesa mengangguk tanpa diminta. Dia men-coba ketawa walaupun rasanya kedengaran sumbang. "Ah, pesta dokter-dokter, mana se-dap! Jangan-jangan yang mereka bicarakan cu-ma penyakit-penyakit fatal melulu. Kan bosan tuh dengarnya kalau yang enggak ngerti macam aku!" Lalu dia melambai dan melenggang pergi sebelum Pika sempat bilang terima kasih (atau sebelum air matanya keluar").
Bab 6 Musim dingin telah berlalu. Kuliah sudah di-mulai kembali. Bagi Tesa, hidup menjadi rutin lagi seperti dulu. Pergi kuliah, kasih les bahasa, belajar, ngobrol-ngobrol di dapur dengan teman-teman setanah air, makan bersama, me-nunggu surat dari rumah, belanja bahan makan-an, pergi kuliah lagi, kasih les...
Memang menyenangkan bisa selalu bicara dengan teman-teman se-Jakarta, namun akibatnya, bahasa Inggrisnya kurang dipakai, karena itu dia senang sekali bisa mempraktekkannya dengan muridnya.
Profesor Meyer orangnya sudah tua, kurus kering, wajahnya tirus, hidungnya runcing. Dia hidup sendirian, katanya sudah cerai dua belas tahun yang lalu ketika anaknya masih berumur dua tahun.
Tesa kurang jelas apa keahlian si Prof. Kalau tidak salah, Nopi pernah bilang, ahli ilmu poli-tik. Yang pasti, bukan profesor kedokteran.
Profesor Meyer memperlakukannya seperti anak sendiri, bukan sebagai orane asine. Setia
kali selesai les, pasti ada acara minum-minum kopi atau teh. Karena ingin mempraktekkan bahasa Inggrisnya, Tesa tidak keberatan memper-panjang setiap kunjungan. Lambat laun, les itu seakan terbagi dua. Pertama, yang sesungguh-nya: Tesa mengajar. Tapi setelah itu, sambil milium dan makan kue, Profesor Meyer-lah yang mengajarnya bahasa Inggris. Mula-mula cuma percakapan biasa, lisan. Kemudian Prof, meng-usulkan agar dia membawa buku-buku. Dise-butkannya judulnya. Setelah itu, Tesa dianjur-kannya untuk membeli buku tulis. Dan dia pun mendapat PR.
Ketika Tesa menyatakan ingin memberi honor, Prof, menolak "Kalau begitu, kita sama-sama deh tidak menerima honor," usulnya.
Prof, berkeras menolak. "Kau harus tetap mendapat honor!" katanya setengah marah. "Kalau tidak, kau tak usah da tang lagi ke sini!"
Terpaksalah Tesa menerima saja keadaan yang "berat sebelah" itu. Dirinya memang tidak dirugikan, tapi hatinya merasa malu. Untuk membalas jasa diam-diam, Tesa sering kali membawa kue atau masakan yang dibuatnya sendiri. Laki-laki tua itu kelihatan terharu atas perhatiannya, dan tak pernah menampik setiap oleh-olehnya.
Demikianlah les itu berlangsung tan pa absen dari bulan ke bulan. Tak terasa, setengah tahun telah berlalu sejak Pasha dioperasi. Mungkin dia sudah d
ioperasi untuk kedua kali dan penglihatannya sudah sempurna betul. Tesa ingin sekali tahu, namun dia sungkan menanyakan-nya pada Pika. Sementara itu hubungan guru dan murid ini pun bertambah erat juga. : Sampai pada suatu hari....
Sore itu Pasha berjalan kaki menuju perhen-tian bis dengan menenteng dua kantong berisi sayur-mayur. Mobilnya rusak, harus masuk bengkel, sedangkan makanannya sudah habis. Jadi terpaksa dia naik bis.
Lonceng gereja sudah menunjukkan jam enam kurang. Penumpang sudah sepi. Dari jauh dilihatnya cuma ada seorang gadis, tengah du-duk termenung. Ketika sudah dekat, didapati-nya bahwa itu orang setanah air. Betapa gem-bira hatinya. Setiap kali melihat teman setanah air yang belum dikenalnya, hatinya selalu dipe-nuhi harapan kalau-kalau saja dia tahu....
Gadis itu berbuntut kuda, mengenakan jeans dan blus longgar berwarna biru. Bibirnya tidak dipoles dan pipinya juga tidak kena pupur. Namun demikian, wajahnya yang bulat telur kelihatan menarik sekali. Dan matanya yang bulat... oh! Matanya tampak terkejut dan bibirnya yang mungil kelihatan bergerak-gerak seolah mau menyapa, namun entah kenapa, batal.
Pasha tidak merasa heran melihat gadis itu kaget atau malah sedikit ketakutan. Memang terkadang begitu sikap gadis-gadis manis yang baru saja tiba dari Jakarta atau kota lainnya.
Mereka masih canggung merighadapi laki-laki yang tidak dikenalnya, walaupun orang setanah air. Terlebih kalau gadis itu sendirian!
Dengan hasrat hendak menghalau ketakutan pada wajah gadis itu, serta membuktikan bahwa dirinya bukan serigala, Pasha sengaja duduk dekat di sampingnya, lalu menyapa duluan.
"Dari Jakarta""
"Ya," Tesa mengangguk.
"Boleh tahu namanya" Saya sendiri dipanggil Pasha." Sejenak Tesa terlupa. Hampir saja dia salah sebut, sebab sudah kebiasaan dinamakan Selina di depan Pasha. "Nama saya Sss... Tesa!"
Alangkah manisnya dia kalau gugup begitu, pikir Pasha tersenyum dalam hati. Tapi kasihan ah, kalau dibikin gugup terus. Dan suaranya kecil banget, seakan takut kedengaran! Ah, lucu sekali sifatnya! Penggugup dan segan bicara!
Sebenarnya Tesa memang takut jangan-jangan suaranya dikenali. Tapi untunglah suaranya itu biasa-biasa saja, tidak mencolok dan sepintas lalu sukar dibedakan dari orang lain. Namun kalau diperhatikan, bagaimana" Mungkin bisa ke tahu an juga, kan"!
"SMA-nya dulu di mana""
Aduh! Apakah Selina pernah ditanyai begitu juga" Kalau pernah, apa ya jawabnya dulu" Tentu saja dia tak boleh sampai ketahuan satu
sekolah dengan Selina! Kenal pun enggak boleh. Namanya pun sebisanya belum pernah dengar!
"Di Budi Utomo," sahutnya akhirnya, sebab Pasha sudah mulai menatapnya penuh heran. Kan aneh kalau orang tidak bisa ingat nama sekolah sendiri"! Sebenarnya dia ingin memilih nama yang lain, tapi karena mendadak begitu, dia tidak siap untuk berbohong. Untunglah rupanya Selina belum pernah ditanya sekolah di mana. Dulu Pasha itu kan sibuk dengan diri sendiri, siang dan malam kerjanya cuma duduk di depan jendela, mengasihani nasibnya yang malang. Mana dia peduli mau tanya-tanya ten-tang orang lain!
"Wa'h! Kenal enggak sama Sosro, Sanu, dan Sambit" Di kelas kami ada jagoan PS3. Mereka itu tiga S-nya." Pasha nyengir.
Dan kaulah P-nya, kata Tesa dalam hati.
"Cuma dengar nama-namanya," sahut Tesa netral agar tidak mencurigakan.
Kalau bilang kenal, tentunya mesti kenal juga dengan jagoan yang keempat,
bukan" Sebenarnya Tesa memang tidak kenal, sebab mereka empat tahun di
atasnya, jadi sudah keluar waktu dia masuk SMA.
"Kami dulu badung sekali," kata Pasha, secara tidak langsung mengatakan
bahwa dia termasuk gang PS3 itu. "Cewek-cewek sekelas, kami beri nama
bagus. Namarnama Jepang. Michiko-san, Mariko-san, Yuriko-san, Ingusan...!
Ha, ha, ha! Tentu saja cewek yang disebut Ingusan itu enggak mau terima nama bagusnya. Tapi apa boleh buat, kami enggak mau
mengubahnya dan ka-milah yang berkuasa. Akhirnya dia nekat berji-baku.
Sambit dibuatnya jatuh cinta, lalu dia di-pakenya meralat nama bagusnya.
Jagoan-jagoan lain keberatan. Gang terpaksa bubar...." Pasha menggeleng,
tersenyum sendirian, rupanya ter-kenang masa lalu yang
manis. "Dan sekarang mereka sudah punya gadis manis yang mungil. Sanu dan Sosro juga sudah punya tambatan hati. Tinggal aku...!" Pasha menghela napas.
"Eh, kan kau juga sudah ada Pika!" cetus Tesa tanpa dipikir lagi, dan ketika dilihatnya keheranan pada wajah Pasha, barulah disadari-nya kesalahannya.
"Oh, jangan heran!" tukasnya seakan menje-laskan. "Begitu dengar namamu, aku langsung tahu, kau pacarnya Pika! Semua orang sudah tahu kisahmu yang mirip Romeo dan Juliet!"
"Yah!" Pasha mengangguk seraya mengeluh. Tapi sebenarnya bukan itu yang' menyebabkan dia heran. Di antara sesama mahasiswa mana ada rahasia mengenai soal pacaran. Sebelum orangtua tahu, teman-teman sudah lebih dulu paham. Yang membuatnya heran adalah...
"Pika itu kawanku seasrama," Tesa sudah me-nyambung, memutus pikiran Pasha. "Dia sering mengeluh mengenai keadaan keluarga kalian. Mengenaskan, memang."
"Ayah kami tak mau saling mengalah. Padahal masalahnya cuma soal gengsi dan persaing-an dagang." "Kalau disatukan malah menguntungkan, bukan""
"Begitu pikiran kita yang muda dan waras. Tapi orang yang sudah tua sulit sekali mengalah atau mau mengerti. Kami sebenarnya sudah pacaran dari SMA, tapi selalu sembunyi-sembunyi, sebab dilarang. Barulah setelah di sini, eh... kenapa aku jadi cerita soal riwayat hidup! Kau tentu sebal mendengarnya!"
"Sama sekali, tidak!" Tesa tersenyum. "Mena-rik sekali. Aku harap moga-moga kalian bisa... bahagia...." Suaranya mendadak jadi kecil, se-hingga dia cepat-cepat menunduk takut ketahu-an matanya berlinang.
"Sejak aku kecelakaan, memang mereka lebih lunak. Aku terus-menerus menulis surat me-nyatakan bahwa Pika-lah yang banyak mengu-rus diriku selama aku tak berdaya. Tapi sebenarnya sih, bukan..."
Tesa sudah ingin mencegah Pasha bicara te-rus, tapi kemudian dia teringat, Pasha tentu saja tidak diberitahu oleh Pika bahwa kehadiran Selina harus dirahasiakan.
"Yang berjasa besar adalah seorang gadis manis bernama Selina. Dia... "
"Dari mana kau tahu Selina itu manis"" Tesa tak dapat menahan diri untuk tidak bertanya.
"0, aku tahu begitu saja. Dari suaranya. Dari
sentuhannya. Eh, kau pasti kenal dengasnya, bukan" Bagaimana sih wajahnya sebenarnya""
"Wah, cewek pan tang dong menilai sesama-nya!" sahut Tesa ketawa geli. "Nanti kan bisa berat sebelah!"
"Ya, betul juga. Sayang ya, dia sudah balik ke Jakarta." Suara Pasha begitu menyedihkan sehingga hampir saja tercetus dari bibir Tesa sepotong kebenaran, tapi kemudian dia teringat janjinya pada Pika dan bibirnya pun terkatup kembali.
"Barangkali kau tahu alamatnya di sana""
Tesa menggeleng. "Sayang, tidak."
Pasha menghela napas. "Heran. Rupanya tak ada seorang pun yang tahu mengenai dia! Ma-lah semuanya belum pernah mendengar namanya kecuali engkau."
Tesa menunduk untuk menyembunyikan ga-lau di hatinya. Tentu saja cuma dia yang tahu! Habis, Pika tak pernah cerita pada siapa pun mengenai kehadiran Selina!
Pasha mengawasi Tesa yang sedang menunduk. Perasaan aneh kembali melanda dirinya. Ada sesuatu pada gadis itu yang rasanya tidak asing lagi baginya. Seakan mereka pernah ke-temu... apakah ini suatu de ja vu, pikirnya. Merasa sedang ditatap, Tesa menoleh. Mereka
perasaan sudah pernah mengalami
beradu pandang. Pasha heran melihat wajah gadis itu muram terus sejak tadi.
"Ngomong-ngomong, kenapa sih kau kelihat-annya begitu sedih" Barangkali aku bisa mem-bantu""
Berada di rantau orang sendirian, mendengar suara yang begitu simpatik yang sudah lama dikenalnya, membuat Tesa pecah tanggul per-tahanannya. Diceritakannya mengenai Profesor Meyer yang belajar bahasa padanya. Dalam hati dia bersyukur, dulu tidak sampai membocorkan pada Pasha maupun Pika, siapa nama calon muridnya.
"Hubungan kami sudah akrab. Aku sudah menaruh kepercayaan padanya. Dia begitu baik, sehingga aku pun tidak segan-segan membuat-kannya berbagai penganan setiap kali les, mula-mula seminggu dua kali. Kemudian dia minta ditambah jadi tiga kali. Katanya, biar lekas pin-tar, sebab dia punya rencana mau ke Indonesia. Katanya, temannya ada yang jadi penasihat di Departemen Keuangan. Mungkin dia juga ingin jadi penasihat poli
tik, kali! Tapi aku tak pernah bertanya. Eh, tahunya dia salah menafsirkan perhatianku. Mungkin sangkanya aku jatuh hati padanya. Dan tadi... dia... memeluk aku begitu erat sambil membelai-belai serta membisikkan segala omong kosong. Aku begitu kaget dan takut, sampai aku berontak dan lari ke jalan. Padahal had ini mestinya aku gajian! Sekarar
aku enggak berani da tang lagi untuk mints uangku...."
"Pantas kau begitu sedih! Bagaimana kalau aku antarkan kau ke sana" Apa yang menjadi hakmu, lebih baik kau tun tut!"
"Ah, jangan. Enggak usah. Aku lebih suka kelaparan daripada melihatnya sekali lagi."
Mereka berdiam diri sejenak. Bis berhenti di depan mereka. Tesa memperhatikan nomornya. Sayang, bukan untuknya.
"Itu bismu sudah datang," katanya pada Pasha.
"Biarlah. Aku masih ingin ngobrol dengan-mu," sahut pemuda itu menggeleng. Kemudian dia terkejut sendiri. Bagaimana gadis ini bisa tahu bahwa itu bis yang jalan ke jurusan tempat tinggalnya"! Apakah namanya sudah begitu te-nar di samping nama Pika"! Tapi kemudian dijelaskannya sendiri, pasti Tesa mengetahuinya dari Pika. Mereka kan satu asrama. Kalau ma-lam, tidak ada kerjaan, ngobrol di dapur, apa lagi yang jadi topik selain pacar
masing-masing"! Pasha tersenyum dalam hati. Tapi, ke-lihatannya gadis ini kok seperti belum punya gandengan"!
Di tengah lamunannya, tiba-tiba Pasha teringat sesuatu dan menepuk dahinya. "Eh, gima-na kalau kau kasih les pada teman-temanku di kos" Suami-istri setengah umur. Mereka baik sekali dan pasti takkan coba-coba melalapmu seperti Prof. tadi. Sudah lama mereka merengek
minta les padaku, tapi aku mana ada waktu
luang" Kalau aku enggak bisa lulus dalam dua tahun mendatang, bisa-bisa ayahku akan me-nyatroni kemari, membawa pistol! Aku sudah memboroskan banyak uang katanya!" Pasha ke-tawa kecil, lalu serius lagi.
"Gimana" Mau, ya" Nanti aku hubungi mereka dulu. Pasti mereka akan kegirangan mendapat guru secantik ini! Eh, kok merah muka-mu"!" goda Pasha ketawa.
"Kalau aku adukan pada Pika, tahu rasa kau!" ancam Tesa geli bercampur sengit. Dia seenak-nya saja menggoda, tidak tahu di dalam, hatiku sudah jungkir balik! pikirnya.
"Wah, jangan dong, aku minta maaf, deh, enggak berani lagi menggodamu. Tapi kalau kau memang mau kasih les, nanti aku minta mereka meneleponmu. Beritahukan saja nomor kamarmu. Teleponmu sama kan sama Pika""
Tesa terpaksa menerima tawaran itu, sebab dia memang butuh murid.
"Kamarku di tingkat dua, nomor tiga."
"Dan suami-istri itu tinggal di tingkat ketiga, di atas kamarku. Keduanya ramah sekali, kau pasti segera betah bersama mereka."
Sebuah bis kembali berhenti. Sekali ini, untuk Tesa. Dia pun bangkit sambil mengulurkan ta-ngan. Terima kasih banyak, Pasha," katanya setengah berbisik.
Pasha menjabatnya erat sekali, seakan segan melepas. "Sampai jumpa lagi," katanya. Tapi
Tesa tidak menjawab. Dia tahu, mereka takkan berjumpa lagi. Tanpa menoleh dia melangkah naik ke dalam bis
*** Ketika Pasha tiba di rumah, ternyata Pika sudah menunggu. Dari arah dapur tercium wa-ngi masakan. Em. Udang rendang kesukaannya.
Pika mengecupnya dengan mesra sambil me-meluk lengannya dengan manja. "Ke mana saja sih, kok sampai telat begini" Apa kau-lupa" Ini kan Jumat sore, dan aku selalu kabur dari kuliah supaya bisa cepat-cepat ke sini!"
"Sorry, Pik, aku kelupaan. Soalnya, aku ke-temu kawanmu yang sedang kesusahan. Jadi aku bicara dulu sama dia untuk menolongnya."
"Kawanku" Siapa, sih"" tanya Pika dengan kening berkerut.
"Namanya Tesa. Dia hampir saja diperkosa oleh muridnya, sampai dia melarikan diri dan enggak bisa gajian. Aku kasihan melihatnya, jadi aku tawarkan murid-murid." Pasha menun-juk ke loteng. "Tuan dan Nyonya Graham kan sudah lama ingin belajar bahasa Indonesia" Jadi aku usulkan supaya dia saja yang mengajar. Nanti akan kutelepon mereka untuk memberi-tahu."
Pika mendengarkan dengan bibir terkatup. Tapi di dalam, makin lama dia
makin bertambah kaget serta cemas. Jadi Tesa akhirnya ber-hasil juga kenalan dengan
Pasha-nya"! Tahukah Pasha siapa Tesa sebenarnya" Itu harus diselidikinya! Segera! Begitu selesai makan, Pika menyuruh Pasha m
enelepon Tuan Graham. "Jadi malam ini juga aku bisa memberi kabar pada Tesa," dalihnya. Sebenarnya, dia tidak ingin Pasha sampai harus menelepon Tesa pri-badi.
Pasha menurut. Ternyata Tuan Graham me-nyambut dengan baik. Bahkan minta les dimulai besok atau sesegera mungkin.
Pika pulang ke asrama membawa berita gem-bira itu, dan langsung mengetuk pintu kamar Tesa. Dia dipersilakan masuk baik-baik. Tapi begitu pintu sudah ditutup, meledak marahnya sampai Tesa mundur ketakutan.
"Jadi di belakangku kau masih coba-coba mendekati Pasha, ya" Kau ingkar janji kalau begitu! Bukankah dulu kau sudah setuju untuk menjauhi Pasha begitu tugasmu beres" Apa kau sekarang berniat merebutnya, setelah kaulihat betapa gantengnya dia" Setelah matanya sem-buh kembali""
Tesa memegang lehernya seakan mau mene-nangkan jantungnya yang terasa meloncat sampai ke situ. Matanya berlinang dituduh yang bukan-bukan begitu. Terlebih karena dia di-ingatkan pada nasibnya sendiri. Dengan kekerasan hati dicobanya menahan air mata dan menjawab dengan tenang.
"Pik, aku tidak berniat melakukan hal seperti itu. Dulu aku juga pernah punya pacar segan-teng pacarmu. Tapi teman baikku merebutnya. Aku tahu bukan main sakitnya hati kehilangan pacar. Karena itu kau tak usah cemas. Aku takkan me rebut Pasha-mu!"
"Tahukah dia siapa kau sebenarnya"" Tesa menggeleng. "Dia memang menanyakan tentang Selina. Aku bilang anak itu sudah balik ke Jakarta. Dia tanya alamatnya di sana. Aku bilang, enggak tahu."
"Hm. Nih! Ada kabar buatmu! Besok atau lusa kau sudah boleh mulai kasih les pada suami-istri Graham. Tapi awas, jangan main mata sama Pasha!"
Bab 7 Tuan dan Nyonya Graham adalah sepasang merpati di ambang lima puluhan. Mereka me-nikah empat tahun yang lalu, masing-masing untuk kedua kali. Suami Maureen Graham me-ninggal hampir sepuluh tahun berselang karena komplikasi kencing manis. Sedangkan istri Roger ketabrak lori enam tahun yang lalu. Dari perkawinan terdahulu masing-masing mempu-nyai dua orang anak yang sudah dewasa dan berkeluarga.
Kakek dan nenek berambut kelabu itu sangat ramah, sehingga sebentar saja Tesa sudah merasa betah mengajar mereka. Selain suka melucu dan penuh humor, Nenek Graham juga senang memasak Setiap kali les, pasti ada suguhan. Berlainan dengan di tempat Profesor Meyer, di W Tesa bisa melahap semuanya dengan santai. ~k tahu, suguhan itu tidak mengandung udang di balik batu.
Nenek Maureen kelihatan lebih cepat menguasai bahasa asing daripada Kakek Roger.
Atas permintaan mereka, pelajaran itu disertai peragaan benda-benda.
Pada suatu kali Tesa menunjuk korek api, lalu mempersilakan si kakek untuk memintanya, Dengan serius dia bilang, "Berilah saya kereta api, saya mau merokok."
Ketawalah Tesa bersama Nenek Maureen, sehingga Kakek Roger tersipu-sipu. Pada les yang berikut, Tesa menunjukkan peta Pulau Jawa.
"Saya mau pergi dari Jakarta ke Surabaya naik..." Dan dia menunggu Kakek menjawab.
Dengan lantang dan gagah dia berseru, "...naik kereta man!"
Grrr. Yang lain ketawa. Kakek kebingungan, menoleh kiri-kanan seolah mau tanya di mana salahnya, kan jawaban itu sudah betul!
Begitulah setiap kali les ada saja kalimat yang aneh dan lucu. Seperti, "Maureen, bunuh lampu di da pur," atau "Bunuh lemari pendingin!"
Tesa jadi teringat pada Ria, teman asrama yang berasal dari Sulawesi Selatan. Bicaranya per sis begitu.
Kebalikannya, waktu harus pakai "bunuh", si kakek linglung dengan yakin memakai kata lain. "Orang itu dipadamkan oleh penjahat dengan pistol." Atau, "Orang itu padam ditabrak. mobil."
"Huss!" sera Nenek Maureen cepat-cepat. "Orang itu tewas tewas, mengerti"! Bukannya padam! ditabrak mobil!"
Walaupun sering salah, sebenarnya Kakek
pun cukup serius belajar, seperti istrinya. PR-nya tak pernah kelupaan dibikin. Tapi yang paling menggelikan Tesa terjadi pada suatu siang. Setelah makan kue dan membenahi
catatan-catatannya ke dalam tas, Tesa pamit. Kedua muridnya mengantar sampai ke pintu.
"Bye-bye, dear," kata Nenek dengan mesra, tapi Kakek ingin menunjukkan kepandaiannya. Sam-bil melambai dengan antusias dia berseru, "Bye-bye\ Sampai mati!"
"Eh!" tegur istrinya. "Bukan begitu! Sampai nanti! Bukan mati!"
Sambil menahan geli Tesa menuruni anak tangga ke bawah. Setibanya di tingkat dua, alangkah kagetnya dia ketika ditegur, "Apaan, tuh! Kok mesem-mesem sendirian"!"
Diangkatnya wajahnya. Kiranya Pasha tengah berdiri di anak tangga paling bawah. Sebelah tangannya bertumpu pada pinggir tangga. Ta-ngan yang lain di dalam saku. Dan ketika Tesa berusaha mau jalan terus, tangannya melejit keluar untuk menahannya.
"Eeiiit, disapa kok enggak nyahut" Budek, ya""
Tesa jadi ketawa walaupun tak ingin. Dia sungguh belum lupa teguran Pika yang begitu pedas di kamarnya ketika tahu bahwa dia telah berkenalan dengan Pasha. Tesa tidak mau hal itu terulang lagi.
"Kau sendiri apa-apaan menahan orang le-wat""
"Lantaran aku mau ngomong denganmu." "Lain kali aja, deh. Aku masih harus member! les di tempat lain, nih!"
"Batalkan saja!" - "Enaknya. Mana bisa main batal-batal begitu! Memangnya ini di Melayu"!"
Pasha tetap tidak mau melepaskan ceng-keramannya dan Tesa tidak sudi berontak-berontak kayak adegan film kampungan. Di-pelototinya Pasha sambil berusaha mengirim su-gesti agar laki-laki itu mau melepasnya. Tapi rupanya ilmu penyaluran pikirannya masih per-lu banyak latihan. Dia tak berhasil. Pasha ma-lahan menyeretnya ke arah pintu apartemennya. "Eh, eh, apa-apaan ini"" serunya agak panik. "Telepon saja muridmu dari sini. Katakan, kau migrain! Dia pasti takkan marah." "Apa itu migrain"" "Sakit kepala sebelah." "Sebelah mana""
"Sebelah mana saja maumu. Boleh kiri, boleh kanan asal jangan dua-duanya. Nanti namanya sudah lain."
Tesa mencoba memperkuat kuda-kudanya di lantai. Bagaimanapun, saudara tetangganya di Jakarta pernah berguru pada ahli silat di Kam-pung Melayu, kalau tidak salah, golongan Ga-gak Hi tarn. Dan dia sampai bosan menyaksikannya berlatih. Kalau kuda-kudanya sudah di tan-cap di tanah, dua orang laki-laki tegap pun tak
bisa mendorongnya apalagi menggeser dari
tempatnya. Kelihatannya sih seperti begini caranya, pikir-nya sambil mengatupkan geraham dan mene-kankan kedua kakinya kuat-kuat ke lantai. Pe-luhnya sampai merembes keluar di dahi. Namun kok rasanya Pasha tetap berhasil menarik-nya"!
"Eh," seru Pasha ketika menoleh padanya. "Kenapa kau ngejan-ngejan begitu sampai man-di keringat" Apa belum tahu, itu bisa menye-babkan timbulnya wasir""
Brengsek! kutuk Tesa dalam hati. Kok dia bisa tahu sih salah satu ketakutannya yang ter-besar"! Wasir! Kata orang, penyakit itu ketu-runan. Dan ayah, ibu, kakek, serta abangnya semua sudah dapat. Tinggal dia yang belum dikunjungi jurik wasir! Sudah beberapa tahun ini dia waswas terus, takut kebagian! Iiih, amit-amit!
Terpaksa dihentikannya percobaan latihan ju-rus Kuda Besi Menghantam Pintu Neraka.
Mereka sudah tiba kini di depan pintu. Pasha mendorongnya dengan sebelah kaki sampai tep> jeblak lebar. Seperti kerbau dungu, Tesa mem-biarkan dirinya diajak masuk. Setelah di dalam barulah timbul paniknya. Dia mencoba melepaskan diri dan meraih daun pintu, tapi Pasha malah mendorongnya lebih jauh ke dalam sambil ketawa geli. Lalu ditutupnya pintu.
"Nah," katanya berdiri dengan tangan terlipat
di dada. "Silakan menelepon muridmu. Itu tele-ponnya."
"Tidak. Aku harus pergi 1" sahut Tesa meng-geleng. Dia mau menelepon siapa" Hari ini tak ada les lain! Besok baru ada.
"Kenapa sih kau kelihatannya macam orang ketakutan begitu" Aku ini bukan pemakan orang. Duduklah. Aku cuma ingin membangga-kan hasil karyaku. Kue dadar! Tak ada orang lain yang bisa kupanggil untuk memujiku. Jadi kau saja yang aku sandera. Masa sih kau enggak mau memberikan sedikit kegembiraan pada orang lain" Jam berapa kau harus memberi les" Kau boleh segera pergi setelah mencicipi kueku. Tapi jangan harap, sebelumnya!"
Tesa jadi merasa geli dalam hati namun tidak diperlihatkannya. Tapi dia sekarang tidak mela-wan lagi disuruh ikut ke dapur, setelah tahu maksud Pasha yang sebenarnya. Di samping itu, dia kepingin sekali melihat kembali daerah kekuasaannya beberapa bulan yang lalu.
Masih seperti dulu. Cuma agak berantakan. Di sana-sini ada perabot yang terlupa dibenahi. Misalnya timbanga
n kue yang seharusnya ada di lemari bawah sebelah kiri. Kocokan telur yang baru saja dipakai bikin kue dadar, masih tergeletak di meja, belum turun ke tempat cuci piring. Panggangan roti yang penuh remah-remah belum dibersihkan. Bagaimana keadaan kulkas"! Ketika dia datang untuk pertama kali, lemari es itu kotor banget Rupanya baik Pika
maupun Pasha sama-sama kelewat sibuk, tak pernah punya waktu untuk mengurus dapur.
Di atas meja dilihatnya setumpuk kue dadar berwarna kuning yang kelihatannya amat meng-goda perut. Harumnya, oooi! Tesa melangkah seakan mau menghampiri meja, namun ketika lewat di depan kulkas, tanpa disadari tangannya sudah menjangkau pintu dan... membuka-nya.
Amboi! Sudah kembali kotor seperti sedia-kala! Mentega terbuka begitu saja, menyemiri pinggir-pinggir pintu. Sayuran setengah busuk masih dibiarkan di situ. Ham sebesar paha bayi menggeletak di tengah rak, menyita tempat dan menumpahkan saus dalam mangkuk.
Dia tahu, makanan Pasha memang cuma ham dan selada. Dia malas masak. Andaikan rajin pun, dia tidak becus, menurut Pika.
Hm. Rupanya karena itu dia perlu betul mendengar pujian orang lain untuk kue dadar yang barangkali baru pertama kali dibuatnya dalam hidupnya.
"Kau mencari makanan" Lapar""
Dia terkejut ketika tahu-tahu disadarinya tuan rumah sudah berdiri di belakangnya. Habis! Biasanya kan dia cuma jadi patung, tak berge-ming dari jendela! Jadi dia terlupa!
"Aku tidak punya apa-apa. Cuma ham dan selada setengah busuk!"
Tesa segera menutup pintu dengan sikap ber-salah, lalu menoleh. Dilihatnya Pasha sedang
menyeringai malu, enggak bisa menawarkan
yang lebih baik pada tamu istimewanya.
"Kita makan kue saja deh, ya"" katanya setengah membujuk.
Tesa tiba-tiba tersenyum. "Aku enggak lapar, kok. Barusan di atas, perutku sudah pol dijejali kue apel."
"Tapi kau harus mencicipi kue dadarku!" kata Pasha dengan cepat, khawatir barangkali perut Tesa yang sudah pol akan menolak.
"Oke, deh tukas gadis itu mengangguk se-raya menarik kursi untuk duduk. "Ada rezeki, masa sih mau ditampik""
"Nah, gitu dong!" sambut Pasha kegirangan. Setelah menyodorkan piring kue yang se-tinggi gunung itu ke hadapan Tesa, dia pergi ke pojok dapur untuk membuat kopi. Maka di siang cerah itu mereka pun mengunyah kue dan menghirup kopi.
"Enak"" tanya Pasha dengan nada khawatir. Tesa mengangguk, lalu nyeletuk, "Punya ba-kat terpendam juga nih rupanya!"
Pasha menunduk dan menghela napas diam-diam, tapi terlihat juga oleh Tesa. "Dulu," katanya tanpa mengangkat muka, "ada orang yang sering membuatkan aku kue ini. Setiap kali dia bikin, aku selalu berada di sampingnya men-dengarkan dia menyebutkan bahan-bahan yang diperlukan, terigu berapa, men teg a berapa, te-lur, gula berapa, susu berapa. Saking kesering-an, lama-lama aku jadi hafal."
Pasha mengangkat kepala dan memandang-nya dengan senyum sendu menghias wajah. Tesa kontan berdebar-debar ditatap begitu. Lekas-lekas dia menunduk, menyembunyikan salah tingkahnya dalam cangkir kopi. Namun rasa ingin tahunya terlalu besar. Diletakkannya cangkir itu, lalu tanpa berpikir lagi sudah nyeletuk, "Siapa sih orang itu" Ibumu""
"Bukan." Pasha menggeleng. "Itu terjadi di sini. Namanya, Selina. Yang tempo hari sudah aku sebutkan. Seorang gadis yang amat manis!"
"Ah! Selina lagi!" seru Tesa dengan lagak jemu. "Dari mana kau tahu dia itu manis sekali" Rupanya kau belum pernah melihatnya, ya. Selina itu bopengan, tahu!"
Seketika suasana jadi hening. Cangkir di ta-ngan Pasha nyaris terbanting ke meja. Suap di mulutnya nyaris mencekik tenggorokan. Matanya melotot seakan melihat-setan gentayangan. Tesa hampir menyesal telah membunuh ilusi yang selama itu disayang-sayang dan dipuja oleh Pasha.
Tapi Pasha ternyata tidak marah atau kecewa. Dia hanya menghela napas. "Pantas," gumam-nya. "Pantas dia tak mau menemui aku! Begitu aku bisa melihat lagi, dia langsung kabur ke Jakarta. Kabarnya dia minder!"
Hampir tercetus pertanyaan dari bibirnya, "Siapa bilang"" Tentu saja dia marah disebut minder, tapi sesaat kemudian dia tenang kembali. Biar saja mau dibilang apa kek, yang penting dia tahu itu tidak benar. Sia
pa lagi yang tega bikin isu begitu"! Pasti...
"Ya, ya, ya, kalau begitu perkataan Pika benar," sambung Pasha pelan seakan pada diri sendiri. "Selina itu minder. Cuma waktu itu aku belum tahu kenapa. Kiranya dia bopeng!"
Hm. Jadi benar dugaannya. Ular juga si Pika itu! Sudah aku tolong menjagai buah hatinya, eh, di belakangku dia jelek-jelekkan aku! Minder, katanya! Hm. Lantaran enggak punya pacar seganteng pacarnya"!
"Ah, orang sebaik itu! Kau tahu, Tesa, dulu itu aku sering kali memarahinya. Ini enggak benar, itu salah. Tapi dia selalu sabar dan tetap ramah. Ah, rasanya seratus tahun pun aku be-tah hidup bersamanya. Seandainya saja aku bisa ketemu dia lagi. Ah! Aku akan rela sekali men-dampinginya, walaupun orang lain tak ada yang sudi padanya!"
Tesa jadi bengong menatapnya. Dilihatnya mata Pasha yang hitam dan indah itu berlinang. Hei! Tidak disangkanya leluconnya bisa jadi serins kayak gini! Mau ketawa pun sekarang sudah susah! Telanjur! Apa yang harus diperbuat-nya
kini"! Tiba-tiba dia teringat kawan-kawan kuliah Pasha yang pernah melihatnya. Keringat dingin mendadak mengucur di balik bajunya. Oh, ya! Untung sekali
Pasha rupanya tidak sampai tanya-tanya pada Thomas seperti apa tampang "bidadarinya" dulu itu!
"Lantas, Pika mau dikemanakan"" tanyam tidak tanggung-tanggung, kepalang bohong, baiknya diteruskan saja memuaskan rasa ingin tahunya. Yang namanya Pasha ini kan tempo
hari, aduh cerewetnya, mentang-mentang maji-kan yang bayar gaji! Biar sekarang dikilik-kilik-nya sedikit rasa ibanya. Kalau bisa sampai me-wek, lebih bagus!
Tapi Pasha mungkin tidak mendengar. Dia tidak menjawab. Sebaliknya, seakan. tersadar ada tamu, didorongnya kembali piring kue dan memaksa Tesa mengambil lagi. Ditungguinya sampai gadis itu menggigit dan mengunyah, lalu dilontarkannya pertanyaan sekali lagi, "Enak""
Tesa mengangguk, tersenyum. Tak ada lagi yang ingat soal memberi les. Nyaman juga ber-handai-handai begini. Tapi ah, mendadak dia teringat kemungkinan Pika muncul di situ. Dia mesti hengkang cepat-cepat kalau tidak mau dimaki orang!
Dia berlagak melihat arloji, mengerutkan ke-ning, lalu berdiri.
"Ayo, ah. Aku betul-betul harus pergi sekarang. Tapi sebelum itu, biarlah aku cuci dulu gelas-gelas ini. Kuemu sungguh enak. Kapan-kapan aku minta resepnya, ya!"
"Oh, enggak boleh! Kalau kau mau makan kue dadar, kau mesti datang ke sini!
"Huh!. Pelit!" Tesa mencibir heran, gampang betui orang jadi manja di depan cowok simpatik
seperti ini! sambil mengangkut gelas-gelas ke bak cuci piling.
"Bukan pelit, Tes. Ilmu rahasia itu cuma ditu-runkan padaku seorang dengan pesan, katanya enggak boleh dikasih tahu ke siapa-siapa!" ujar Pasha dengan serius seakan itu ilmu hitam yang berbahaya.
"Ah, ngibuU" sambut Tesa setengah geli. Se-ingatnya, dia tak pernah berpesan begitu pada Pasha Solem.
"Betui, kok. Tapi Selina juga berpesan lagi, kalau ada gadis manis yang mau jadi pacarku yang setia dia boleh dikasih tahu...!"
"Wah, rupanya kau ini mata keranjang, ya! Sudah ada Pika, dan tadi masih merindukan cewek bopeng yang kauanggap sama cantik dengan dewi kayangan. Eh, masih kepingin pacar lain lagi yang mau kaupincuk dengan sepotong resep rahasia...."
"Habis! Aku kesepian!" keluhnya seakan ke-sakitan. "Pika terlalu sibuk dengan kuliah dan praktikum. Sekarang saja sudah begini, apalagi nanti kalau sudah lulus"! Pagi praktek, siang praktek, malam pun praktek. Kapan dia mau membagi waktu untuk keluarga" Barangkali aku salah, sudah menganjurkan supaya dia ikut aku masuk kedokteran!" Pasha menarik napas pan-jang pendek seperti orang dililit utang yang. ditunggui juru sita di depan rumah. Kelihatannya dia masih mau bikin pengakuan sejam-dua jam lagi, tapi Tesa merasa tidak sanggup jadi
hakim yang tidak berat sebelah. Lebih baik dia pergi saja sekarang juga.
"Maksudku dulu, supaya kami bisa belajar sama-sama. Lalu nanti, prakteknya juga sama-sama...."
Tesa mengeringkan gelas yang terakhir. Dilihatnya sekali lagi arlojinya yang sebenarnya sudah mati sejak tadi (mungkin baterenya sudah habis, terpaksa dia langsung ke toko dari sini), lalu mengambil tas berisi domp
et dan catatan mengajarnya. Dipandangnya Pasha (mungkin untuk terakhir kali, pikirnya) lekat-lekat seakan mau mematri wajahnya dalam hati.
"Sorry banget deh, Pas. Aku betul-betul mesti pergi. Sudah cukup lama aku di sini. Kalau ketahuan Pika, bisa perang nuklir, nih!"
"Dia takkan tahu!" suara Pasha begitu keras seperti geledek, sampai Tesa terperanjat. "Kalau tahu pun, enggak apa-apa. Seandainya dia berani marah, aku bisa lebih marah lagi. Aku punya banyak alasan...."
Walah, walah! Tesa enggak mau jadi saksi-dengar kericuhan dalam negeri orang. Cepat-cepat diputarnya gerehdel pintu, lalu melambai.
"Bye!" "Nanti datang lagi!" seru Pasha.
Maksudnya sih terang mengundang, tapi na-danya kok setengah mengancam, pikir Tesa geli. Dia berlagak tidak mendengar dan tidak menanggapi.
Tapi dari sekali jadi dua kali. Dua kali jadi empat kali, lima kali, enam kali... Akhirnya, hampir setiap kali selesai memberi les di tingkat tiga, Tesa sudah ditunggu oleh Pasha di tingkat dua. Dan dia mau masuk memenuhi undangan-nya. Ketika dipikir-pikimya di kemudian hari, dia sungguh tidak tahu apa sebabnya dia mau saja diajak mampir. Padahal dia sadar bahwa Pasha itu milik orang lain dan dia sendiri tidak sudi dijadikan ban serep. Mungkin dia juga sama-sama kesepian seperti Pasha" Di rantau orang tanpa sanak keluarga"
Bagaimanapun, dia jadi senang bertandang. Malah rasanya makin giat mengajar suami-istri Graham, walaupun hal ini dibantahnya mati-matian (dalam hati).
Tentu saja Pasha jarang sekali bikin kue dadar. "Seenak-enaknya pun pasti bosan juga akhirnya," dalihnya, lalu memancing Tesa agar suka menunjukkan kemahirannya.
Herannya, gadis itu tidak menolak. Kalau si-angnya habis bertandang ke tempat Pasha, lalu malamnya ketemu Pika di dapur, dia merasa sedikit bersalah, kikuk, dan tidak banyak bicara. Tapi esoknya dia sudah lupa. Dan ketika datang lagi ke tempat Kakek-Nenek Graham, Pika sudah jauh di awang-awang, tak teringat lagi olehnya.
Begitulah dia jadi sering main ke tempat Pasha. Acaranya tak banyak variasi. Biasanya Pasha duduk membaca buku atau membuat
laporan, sementara Tesa sibuk di dapur bikin kue. Kalau kue yang dipanggang atau-digoreng sudah berbau harum, Pasha akan terbirit-birit datang, menawarkan 'bantuan'. Tesa akan ketawa terpingkal-pingkal melihat tingkah Pasha yang berlagak mau menolong sungguhan. Kalau Tesa bilang semua sudah beres, tinggal tunggu matang, dia akan balik menengok kue setiap lima menit. Setelah kue siap, Pasha akan berhenti sebentar dari belajarnya,
lalu mereka duduk di meja atau di lantai, melahap kue buatan Tesa sambil mendengarkan musik.
Pasha kelihatan ramah, berlainan sekali dengan masa ketika dia masih cacat. Dia juga selalu menanyakan kemajuan kuliah Tesa serta kepandaian murid-murid di loteng Pasha me-nunjuk ke atas tempat tetangganya dan Tesa selalu melaporkan kalimat-kalimat lucu yang di-katakan oleh Kakek Graham.
Walaupun Pasha penuh perhatian, namun Tesa tidak menjadi lengah. Dia tahu, pemuda itu masih mencintai Pika. Dia cuma kesepian belaka. Atau barangkali sengaja mengundang-nya ke situ untuk memancing rasa cemburu Pika"! Memang dia sering heran kenapa Pasha selalu mau menahannya lebih lama dan lebih lama lagi di tempatnya seakan berat berpisah. Apa dia mau tunggu sampai Pika muncul"! Awas saja kalau dia sampai memperalatnya!
Tidak. Dia tak boleh terjerumus ke dalam perangkap apa pun yang dipasang oleh Pas
ki-Iaki tak boleh terlalu dipercaya, pikirnya teringat pengalaman getir. Bahkan Selina pun sekarang sudah tidak dtingatnya lagi, padahal baru beberapa bulan berselang masih dirindu-kannya siang malam! Pasha milik Pika, titik. Dia main ke tempat laki-laki itu sekadar meng-isi kejenuhan hati (atau kekosongan"!).
Yang membuat Tesa terkadang gemetar (dalam hati) adalah stkap Pasha. Tanpa hujan tanpa angin dia suka berhenti mengunyah, mena-tapnya dengan aneh lalu bergumam hampir tak nyata, "Aku teringat pada seseorang...." atau, "Kau mengingatkan aku pada seseorang!"
Tentu saja Tesa tidak berani bertanya siapa orangnya, walaupun rasa ingin tahu membakar dadanya. Alih-alih, dia malah jadi ketakuta
n, jangan-jangan... ah! Jangan coba-coba main api, kalau tidak mau terbakar, katanya memperingatkan diri.
"Siang ini aku mau bikin kue serabi!" katanya seakan memproklamasikan sebuah produk baru di bidang persabunan. "Dengan santan manis yang gurih""
Mata Pasha langsung berbinar. Tesa jadi ka-sihan melihat laki-laki ganteng setegap itu masih berlagak seperti anak kecil saking kesepian-nya. Betapa telantarnya dia! Sampai ngidam santan gurih yang manis!!
Dalam hati dia menyesali Pika yang tidak tahu diuntung. Berapa banyak cewek yang iri padanya. Coba hitung yang gampang: di dapur asrama saja sudah didengarnya Atina dan Sabita, sahabat Pika, yang hampir menceburkan diri ke Sungai Swan gara-gara cinta. tak sampai (pada Pasha Solem). Belum lagi gadis-gadis lain yang tidak didengar atau dikenalnya. Tapi pe-milik asli justru tak peduli atau tidak berusaha menyenangkan hati kekasih. Pika tidak kelihatan ada kemauan untuk mempertahankan cinta-nya. Mungkin sangkanya Pasha sudah jadi mi-liknya sejak penitisan yang lalu!
Pesanggrahan Keramat 3 Wiro Sableng 091 Tua Gila Dari Andalas The Truth About Forever 4
^