Ketika Barongsai Menari 1
Ketika Barongsai Menari Karya V. Lestari Bagian 1
KETIKA BARONGSAI MENARI Oleh: V. Lestari Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
Teruntuk Ikka Vertika Cerita ini merupakan khayalan belaka.
Setelah lebih dari tiga puluh dua tahun lamanya dikurung dan dipasung, liong dan barongsai diperbolehkan turun ke jalan untuk menari. Mereka meliuk-liuk dengan gagah dan penuh semangat. Bukan cuma menghibur, tapi juga mengharukan, karena menjadi simbol dari kembalinya harga diri dan martabat.
Semoga masa lalu yang mengerikan tak akan terjadi lagi.
Damailah di tanah merdeka, berbagi bersama, dalam suka dan duka.
I Jakarta Utara, kawasan Pantai Nyiur Melambai. Pertengahan bulan Mei 1999.
Baru sebulan Kristin menempati rumah barunya bersama Adam, suaminya, dan calon bayinya, yang diperkirakan akan lahir bulan depan. Sebelumnya mereka mengontrak sebuah rumah kecil. Toh mereka hanya bertiga dengan seorang pembantu. Rumah kecil lebih gampang diurus. Dan saat itu mereka memang tengah menunggu pembangunan rumah baru itu selesai. Kristin sangat berharap mereka dapat menempatinya sebelum bayinya lahir. Untunglah harapannya terwujud. Jadi ia punya cukup waktu untuk menyiapkan sebuah kamar bayi.
Membenahi rumah memang cukup merepotkan untuk Kristin yang sedang hamil tua. Tapi Adam dan Bi Iyah, pembantunya, tidak membiarkan ia bekerja terlalu keras. Adam tidak henti-hentinya mengingatkannya. Padahal kalau sedang asyik bekerja, Kristin sering kali lupa akan kondisinya.
Kristin sangat puas akan rumah itu. Hadiah luar biasa dari Adam. Begitu yang selalu dikatakan Adam
11 kepadanya. Padahal sesungguhnya rumah itu tetap milik Adam, bukan diberikan untuknya. Tetapi ia memang menganggapnya sebagai hadiah.
Rumah itu merupakan surprise bagi Kristin, karena Adam tak pernah mengajaknya untuk melihat proses, pembangunannya. Jadi ia tidak pernah tahu sampai di mana kemajuannya dan kapan kira-kira bisa ditempati. Adam cuma menjanjikan, "Sebentar lagi, Kris! Sabarlah!" Bahkan ia tidak diberitahu di mana lokasinya! Karena itu ia sempat berprasangka, jangan-jangan Adam cuma membual saja.
Lalu ketika hari memamerkan rumah itu tiba, Adam juga tidak memberitahu dia lebih dulu. Adam membawanya ke sana seakan sambil lewat saja usai berjalan-jalan. Lokasinya di Jakarta Utara, di sebuah kawasan perumahan bernama Pantai Nyiur Melambai.
Sebuah nama yang menggelitik perasaannya, sebab nama itu mengingatkannya kepada sebuah tragedi yang terjadi setahun yang lalu. Tragedi di pertengahan Mei tahun sembilan belas sembilan delapan. Sebuah^ tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Dan tempat itu, lokasi di mana rumahnya berada, sampai sekarang masih mengingatkan orang akan tragedi itu.
Dulu, sebelum tragedi itu terjadi, kawasan Pantai Nyiur Melambai merupakan lokasi pemukiman yang sangat nyaman dengan deretan rumah berdesain indah. Sebuah kawasan untuk golongan elite. Tapi sekarang, bahkan setelah lewat setahun, kawasan itu masih saja terlihat merana bagaikan habis mengalami perang atau terkena rudal. Ada rumah yang hancur lebur, ada yang cuma tinggal puing atau dinding
12 menghitam. Semua merupakan saksi bisu dari sejarah yang kelam.
Kristin terkejut melihat rumahnya berada di kawasan seperti itu. Memang tidak semua rumah dalam kondisi buruk. Hanya sekitar empat puluh persen saja yang ambruk dan karenanya tidak berpenghuni. Biarpun demikian, kesannya tetap tidak nyaman. Dengan tinggal di situ orang akan selalu diingatkan kepada tragedi itu. Jangankan empat puluh persen, satu-dua rumah saja yang hancur menghitam, akan jadi monumen. Kenangan abadi suatu tindak kekejian yang luar biasa. Bahwa manusia pada suatu ketika bisa berperilaku seolah dia bukan manusia.
Tetapi Kristin jatuh cinta kepada rumahnya. Adam pun menyodorkan alasan yang sangat masuk akal.
"Cepat atau lambat, pemilik rumah-rumah itu akan kembali dan merenovasi rumah mereka, atau menjualnya dan pemilik baru yang membangun. Lalu kondisi pemukiman ini akan pulih."
Kristin bisa menerima alasan itu. Ia tidak lagi risau karena rasa tertariknya pada rumah itu jauh lebih besar. Desain rumahnya sungg
uh unik. Bagus luar dan dalam. Adam, seorang arsitek, merancangnya sendiri. Kristin bangga akan rumahnya. Dan bangga pada Adam.
Beberapa hari setelah menempati rumah itu ia mulai bermimpi. Seperti halnya setiap mimpi, tak ada ujung-pangkalnya. Tetapi mimpi itu beberapa kali berulang sama. Di situ ia melihat dirinya terbaring di atas brankar yang dilarikan kencang. Ia tak bisa bergerak sedikit pun karena tangan dan kakinya terikat erat
13 ke sisi kereta. Yang mendorongnya Adam! Ia bisa melihatnya karena posisi Adam berada di bagian kakinya. Wajah Adam tampak aneh, mengerikan dan tidak manusiawi. Ia berteriak-teriak minta dilepaskan, tapi sedikit pun Adam tak menatap kepadanya. Pandangnya lurus ke depan.
Akhirnya mereka masuk ke sebuah ruang yang tampaknya seperti kamar bedah. Ia diletakkan di bawah lampu besar yang terang sekali nyalanya. Kemudian ia melihat Adam mengambil sebuah pisau besar yang ujungnya runcing. Pisau itu berkilat kena cahaya. Lalu Adam menjulurkan tangannya yang menggenggam pisau itu ke arah perutnya yang membuncit! Ia berteriak... Lalu terbangun dengan tubuh berkeringat dingin. Ternyata ia masih aman dan nyaman di atas tempat tidurnya. Sementara Adam di sisinya tetap tidur nyenyak tanpa terusik. Rupanya teriakannya kurang nyaring untuk bisa membangunkan Adam.
Ia tak pernah menceritakan mimpi-mimpinya kepada Adam. Takut Adam tersinggung. Juga takut kalau-kalau dicemooh. Menurut penilaiannya Adam memiliki ego yang tinggi. Superior dan cenderung otoriter. Suami adalah raja dalam rumah tangga. Pantang ditentang, apalagi dilawan. Tetapi Adam bisa menetralisir segi negatif itu dengan ekspresi cinta, dalam kata dan perbuatan! Itu juga salah satu sebab kenapa Kristin tak perlu menderita stres berkepanjangan. Obatnya adalah cinta! Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan.
Akhir bulan Mei. Mimpi itu tak datang lagi pada saat Kristin mulai
14 menerimanya sebagai bagian dari tidurnya. Ia tak lagi memikirkannya. Tapi muncul masalah lain. Yang ini bukan mimpi, tapi riil. Dan justru karena itu jadi menakutkan. Tiba-tiba ia tak lagi merasakan gerakan bayi di dalam perutnya. Padahal sebelum pindah ke rumah itu ia masih merasakan kuatnya gerakan si bayi. Dan dokter yang secara rutin memeriksanya menyatakan dirinya dan bayinya baik-baik saja. Ia jadi teringat lagi kepada mimpinya. Bagaimana kalau mimpi mengerikan itu benar-benar jadi kenyataan"
Bayangkan! Ia akan melahirkan bayi yang tak bernyawa! Betapa marahnya Adam! Suaminya itu pasti akan menyalahkannya karena telah melalaikan keselamatan si bayi. "Barangkali kau terlalu capek mendandani rumah ini! Sudah dibilang jangan capek-capek! Suruh saja Bi Iyah kalau perlu apa-apa!"
Mestinya ia segera memeriksakan dirinya lagi ke dokter. Cuma dokter yang bisa memastikan kondisi si bayi. Tetapi ia takut mengetahui kebenaran. Ia juga takut mengatakannya kepada Adam. Sepertinya memberitahu salah, tidak memberitahu juga salah. Maka ia cuma bisa berharap dan berdoa, semoga si bayi bergerak lagi. Ayolah, anakku! Jangan keenakan tidur betapapun nyamannya di dalam! Ayolah bergerak lagi!
Kristin membelai perutnya yang buncit. Sejak menyadari kelainan itu ia benar-benar mengurangi kegiatannya. Ia lebih banyak tidur-tiduran di kamar. Padahal ia masih ingin mendandani rumahnya, kamarnya dan kamar si bayi. Ia berharap istirahat bisa menjadi solusi kecemasannya.
Setelah bosan tiduran ia duduk di depan jendela
15 kamarnya yang terletak di loteng dan menghadap ke jalan. Dari sana ia bisa melihat objek bergerak. Sayang suasana di jalan dan sekitarnya sering kali sepi. Untuk orang yang menyukai ketenangan dan kenyamanan, tentunya kawasan ini dianggap ideal. Tetapi suasana sepi di situ kadang-kadang terasa keterlaluan. Sering kali ia berupaya mengatasinya dengan memutar musik keras-keras. Tapi sepanjang-panjangnya sebuah lagu, tetap ada akhirnya. Lalu sepi yang sama kembali menyergap.
"Bila anak kita lahir, rasa sepi itu akan hilang," hibur Adam. "Dia akan mengisi rumah kita dengan tangis dan teriakannya. Kau akan sibuk. Tidak seperti sekarang ini. Tak ada kegiatan. Jadi bersabarlah."
Tentu saja ia akan bersabar. Sebenarnya ia juga tidak menganggur sama sekali. Ia mengisi waktu dengan menjahit, baik pakaiannya sendiri maupun baju-baju kecil untuk si bayi. Ia memilih warna putih untuk baju bayi, dinding kamar, maupun perlengkapannya. Warna itu dianggapnya netral, untuk lelaki maupun perempuan. Ia dan Adam sudah memutuskan untuk tidak melakukan USG. Biarlah kemunculan si bayi menjadi surprise yang menyenangkan. Lelaki atau perempuan kan sama saja. Dalam hal itu ia dan Adam se-pendapat tanpa yang satu mempengaruhi yang lainnya.
Ketika memandang ke luar jendela dan melihat pemandangan di seputar pemukimannya, mau tak mau ia membayangkan kembali tragedi itu. Meskipun tidak mengalaminya secara langsung, tetapi dari tayangan televisi dan berita di koran ia bisa mem-
16 bayangkannya. Ketika itu sekelompok massa seperti kemasukan iblis. Mereka mengamuk, menjarah, menghancurkan, menganiaya, memerkosa, membunuh, dan membakar. Hampir berbarengan, di berbagai sudut kota Jakarta pun terjadi kerusuhan besar-besaran dengan cara yang mirip satu sama lain. Gedung dibakar, isinya dijarah ramai-ramai, sementara penghuninya dianiaya, diperkosa, atau dibunuh.
Sebagian besar korban adalah orang Tionghoa atau orang Indonesia keturunan Cina. Jelasnya kerusuhan itu bermotifkan rasialisme. Serangan ditujukan secara khusus kepada kelompok etnis tertentu. Dalam hal ini Tionghoa. Tragedi luar biasa itu menimbulkan kegemparan di seluruh dunia. CNN memberitakannya ke mana-mana. Menyakitkan tapi juga memalukan! Banyak orang Indonesia merasa malu mengaku sebagai orang Indonesia bila berada di luar negeri. Orang lain yang berbuat, diri sendiri kena getahnya. Mereka kerap kali ditanyai, "Mengapa Anda membiarkan saja penganiayaan berlangsung di depan mata Anda tanpa berusaha menolong Anda malah sibuk memasang label-label pengaman di depan rumah sendiri! Takut membela kebenaran""
Pertanyaan itu tentu saja sulit dijawab!
Saksi mata mengatakan para perusuh sangat ganas. Mereka seperti bukan manusia. Bahkan perempuan dan anak-anak yang ikut serta pun tidak kelihatan seperti manusia. Memang tidak masuk di akal, bagaimana mungkin orang bisa bergembira ria di atas penderitaan orang lain. Apakah mereka kerasukan setan" Cuma iblis yang bisa menari-nari di api neraka. Atau mungkinkah mereka dihinggapi sejenis
17 virus pengacau otak" Pertanyaan itu memang masih tetap menjadi pertanyaan lama kemudian. Tak ada yang bisa menjawabnya. Tak bisa atau tak mau" Konon, segala sesuatu yang berhubungan dengan setan memang tak bisa dijawab. Sementara yang namanya virus sering kali belum ditemukan obatnya. Dan kalaupun suatu saat berhasil ditemukan obat atau vaksinnya, ia telah memakan korban yang jumlahnya tak terhitung!
Kristin tahu betul tentang hal itu. Semua orang Indonesia, yang peduli maupun yang tak peduli akan negerinya, pasti tahu. Bagaimanapun semua berkepentingan karena identitas yang disandang. Bukan cuma Jakarta atau kota-kota lain yang dilanda kerusuhan, tapi juga seluruh pelosok negara. Bukan cuma korban langsung yang sakit hati, tapi juga mereka yang beruntung tidak menjadi korban. Bagaimana mungkin hal seperti itu bisa terjadi" Tapi nyatanya itu terjadi. Bahkan lebih buruk dari mimpi buruk atau khayalan yang mengerikan!
Khusus mengenai kompleks perumahan yang dihuninya sekarang ini, Kristin tidak tahu banyak. Ia mengetahui kisahnya dari Adam yang memang warga Jakarta sejak lahir. Kristin sendiri berasal dari Semarang. Baru dua tahun belakangan ia menetap di Jakarta. Ia pindah ke Jakarta karena mendapat promosi di kantor pusat perusahaan tempatnya bekerja, sebuah perusahaan telekomunikasi ternama. Orangtua-nya sebenarnya berat hati melepasnya ke Jakarta. Di Jakarta banyak bandit! Tetapi ia berkeras hati. Kalau tidak diambilnya kesempatan itu, maka rekan lain akan menyambarnya. Padahal zaman sekarang ini
18 pekerjaan susah dicari. Krisis moneter yang sudah berlangsung lama tak mungkin pulih dalam sekejap. Pengangguran pun berlipat ganda setelah pemecatan karyawan di mana-mana terus saja terjadi.
Lalu ia bertemu dengan Adam, berpacaran, dan kemudian me
nikah. Semuanya serba singkat. Tetapi ia yakin akan cintanya. Tak ada orang yang sempurna. Sama seperti dirinya sendiri. Setiap orang pun memiliki kelebihan dan kekurangan. Seperti Adam. Seperti dirinya.
Dulu, di kota kelahirannya dan kemudian saat indekos di Jakarta, ia tinggal di kawasan hunian yang padat. Banyak tetangga, ramai dengan celoteh kiri-kanan. Tak pernah sepi siang-malam. Tiba-tiba lingkungan barunya berbeda seperti bumi dan langit.
"Justru karena keadaannya begini, aku mampu membeli rumah ini," Adam menjelaskan. "Pemiliknya tak mau menempati lagi. Ia ingin segera menjualnya tapi tak kunjung laku. Jadi dia terpaksa menjual supermurah."
"Kenapa"" Kristin tak mengerti. "Bukankah tanah dan rumah di sini nilainya mahal""
"Mereka ingin melupakan pengalaman pahit yang mereka alami tahun lalu. Jadi tak ingin kembali ke sini. Sedang orang lain telanjur menganggap daerah ini kelam karena sejarahnya."
"Tapi toh ada yang kembali. Seperti para tetangga kita yang sedikit itu."
Adam tertawa. "Untung ada yang kembali, bukan" Jadi kita bisa punya tetangga. Yah, kukira mereka terpaksa kembali karena tak punya tempat lain."
19 Lalu Adam merengkuhnya dengan ekspresi cemas. "Kau tidak takut tinggal di sini, bukan""
"Takut" Ah, nggak. Cuma tidak biasa saja."
Adam tampak lega. "Sesuatu yang baru memang harus dibiasakan. Semua perlu waktu."
"Kukira begitu. Rumah ini bagus dan menyenangkan kok."
"Syukurlah. Tetangga sebelah tidak cerita macam-macam, kan""
"Macam-macam apa""
"Bukan apa-apa." Adam seperti kelepasan bicara. "Tapi mereka yang pernah mengalami kengerian masa lalu bisa saja mendramatisasi ceritanya."
"Aku yakin mereka akan berusaha sedapat mungkin membuatku betah di sini. Jadi tak mungkin menakut-nakuti dengan cerita-cerita ngeri."
Adam sangat lega. Kristin memang sungguh-sungguh. Ia senang pada rumah barunya. Dan sudah tidak sabar ingin membanggakan rumahnya itu pada Papa dan Mama. Mereka akan mengagumi. Tapi saat ini kedua orang tua itu masih sangat takut pada kota Jakarta. Mereka terlalu banyak mendengar dan melihat peristiwa mengerikan dari media massa. Mungkin kalau cucu mereka lahir nanti, barulah daya tarik untuk datang lebih besar daripada rasa takut itu.
Kristin teringat lagi. Ia membelai perutnya. Sudahkah terasa gerakan di dalam sana" Ketika sedang berkonsentrasi, tatapannya tertuju ke luar jendela. Langsung ke satu titik. Ia terkejut. Orang itu ada lagi di sana. Dia seorang lelaki bertubuh tinggi ramping dengan pakaian rapi seperti orang kantoran. Celana
20 panjang hitam dan kemeja putih lengan panjang. Cuma tak pakai dasi. Wajahnya tampan. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya tebal agak gondrong. Ia berdiri dengan posisi santai. Kedua tangan ke belakang. Ekspresinya seperti orang yang tengah meninjau situasi. Tubuhnya menghadap ke rumah Kristin. Sedang di belakangnya tegak sebuah rumah kosong yang sudah tak beratap dan sebagian dindingnya hancur.
Kristin tak ingat persis sudah berapa kali ia melihat orang itu di sana, di tempat yang sama dan dalam posisi yang sama. Pandangannya selalu ke arah rumahnya. Pada mulanya ia berpikir, orang itu sedang mencari rumah yang cocok mengingat di daerah itu" ada banyak rumah yang mau dijual. Atau mungkin juga ia sedang mengagumi rumahnya. Tapi, kenapa tak cukup sekali dua kali saja" Yang membuatnya terkejut sekarang adalah karena tatapan orang itu lurus kepadanya, langsung ke matanya. Mereka beradu pandang. Tak mungkin dibelokkan atau dialihkan. Padahal biasanya tak pernah begitu. Biasanya orang itu tak pernah mengarahkan matanya ke jendela kamarnya meskipun tatapannya berputar ke sana-sini. Karena itu biasanya Kristin tak begitu memedulikan. Tentunya sah-sah saja bagi siapa pun untuk berdiri di tepi jalan mengamati suasana. Yang penting orang itu tidak sedang mengamati dirinya.
Segera setelah beradu pandang orang itu tersenyum, mengangguk dan membungkuk dengan amat sopan. Kristin jadi tersipu dibuatnya. Cepat-cepat ia membalas senyumnya sambil menganggukkan kepala juga. Karena merasa tak enak untuk terus duduk di
21 situ sementara orang itu pun berada di seberang sana, ia
berdiri. Tampak olehnya tatapan orang itu masih tertuju kepadanya. Kristin tersenyum dan mengangguk lagi sebagai isyarat bahwa ia akan pergi dari situ. Tiba-tiba orang itu mengangkat sebelah tangannya lalu bergerak menyeberang jalan. Kristin tertegun sejenak. Kalau ia tak salah tangkap tampaknya orang itu berniat untuk mendatangi rumahnya. Setelah berpikir dan menimbang-nimbang, ia memutuskan untuk turun dan melihat.
Di ruang depan ia berpapasan dengan Bi Iyah, pembantunya, yang tampaknya baru saja masuk dari luar rumah. "Ada tamu ya, Bi"" tanyanya.
Bi Iyah diam sejenak, memandangnya dengan heran. Lalu ia menggeleng. "Tamu mana, Bu" Nggak ada."
"Tadi Bibi di luar""
"Iya, Bu. Tapi nggak ada siapa-siapa yang datang." "Coba lihat lagi, Bi."
Kristin mengikuti langkah Bi Iyah. Mereka keluar.
Memang tak ada siapa-siapa di depan pagar. Jalan depan rumah pun sepi. Hanya kendaraan bermotor melintas sesekali. Di seberang jalan pun tak ada siapa-siapa. Orang itu sudah tak tampak.
Kristin merasa kecele. Rupanya orang itu tidak bermaksud bertandang. Ia cuma menyeberang lalu pergi. Lalu Kristin menyadari tatapan Bi Iyah yang tampak bingung. Cepat-cepat ia tersenyum. "Tadi dari jendela aku melihat ada orang menyeberang dari sana." Ia menunjuk rumah di seberang. "Kukira dia mau ke sini. Mungkin mau nanya-nanya soal rumah."
22 Bi Iyah mengerutkan keningnya. "Rasanya mah nggak ada siapa-siapa, Bu. Lelaki atau perempuan, Bu""
"Lelaki." Bi Iyah menggeleng. "Nggak ada, Bu."
"Ya sudah. Mungkin Bibi lagi nyapu atau apa hingga tak melihat."
"Bibi nggak ngapa-ngapain tadi, Bu."
Kristin merasa seperti orang bodoh ketika menatap perempuan setengah baya di depannya. Siapa sebenarnya yang bodoh" "Ya sudah. Mungkin Bibi kebetulan saja nggak melihat ke seberang."
"Ah, Bibi justru lagi santai di depan pagar menghitung mobil lewat, Bu. Masa nggak melihat kalau ada orang," Bi Iyah berkeras.
Kristin tak mau lagi berdebat dengan Bi Iyah. Ia mengalihkan persoalan.
"Hati-hati sama orang yang tak dikenal, Kris," Adam mengingatkan ketika Kristin menceritakan hal itu.
"Tampaknya dia orang baik-baik, Mas. Sepertinya dia sedang bingung dan membutuhkan informasi. Habis sudah beberapa kali kulihat dia di sana, memandang ke sana-sini."
"Siapa tahu dia sedang mencari calon korban untuk dirampok atau ditipu. Jangan cepat mempercayai orang tak dikenal. Kelihatannya saja baik-baik. Dalamnya belum tentu."
"Jangan-jangan dia sedang mencari anggota keluarganya yang pernah jadi korban kerusuhan," kata Kristin penuh iba. "Lalu dia melihat keadaan di sini dan menjadi syok karenanya."
23 "Setelah lewat setahun" Kenapa menunggu begitu lama""
"Siapa tahu tadinya dia di luar negeri. Baru sekarang dia sempat ke sini," Kristin berimajinasi.
Adam mengerutkan kening. Sekarang tampak serius. "Apa dia orang Tionghoa""
Kristin berpikir sejenak. "Sepertinya iya. Kulitnya memang kuning. Rambutnya hitam lurus. Tapi matanya biasa-biasa saja. Seperti matamu dan mataku." Kristin tertawa. "Ya. Kita berdua juga punya darah Cina, ya" Biarpun fifty-fifty, tapi ada. Susah juga memastikan etnis seseorang. Bisa salah."
Adam tidak ikut tertawa. "Coba gambarkan dengan lebih jelas ciri-cirinya, Kris," katanya serius.
"Dia lebih tinggi sedikit darimu. Ramping. Wajahnya cakep juga. Alisnya tebal. Sorot matanya tampak ramah. Mungkin dari situ kusimpulkan dia orang baik-baik. Pakaiannya rapi. Langkahnya tegap. Ah... apa lagi, ya" Nantilah kalau dia muncul lagi dan kau kebetulan di rumah, kau bisa melihatnya sendiri."
"Lain kali hindarilah orang tak dikenal. Jangan suka berandai-andai."
Adam tampak tidak tertarik lagi. Masalah itu tak lagi dibicarakannya.
Kristin tak mengerti. Apakah Adam tidak senang"
Adam juga tak mengerti. Belakangan dia lebih intens memperhatikan Kristin. Secara diam-diam tentunya. Ia juga minta pada Bi Iyah agar lebih baik menjaga nyonyanya dan selalu melapor padanya bila terjadi sesuatu. Hal itu penting mengingat usia kandungan Kristin dan sikapnya yang terasa agak aneh belakang
24 an ini. Ia mengajari Bi Iyah bagaimana menggunakan telepon. Nomor teleponnya di kantor dan juga nomor te
lepon genggamnya ia tulis besar-besar dan ia tempelkan di dinding dekat meja telepon. Kalau sampai terjadi sesuatu dan Kristin tak bisa menelepon sendiri, maka Bi Iyah bisa melakukannya. Beberapa kali ia melatih Bi Iyah untuk mempraktekkan. Tentu saja dengan sepengetahuan Kristin yang memahami tindakan itu sebagai upaya melindunginya. Jadi wajar-wajar saja.
Adam sering mendapati Kristin mengusap-usap perutnya dengan pandangan melamun. Ekspresinya tampak cemas, seolah benaknya sedang dipenuhi pemikiran berat. Kalau ditanya, "Kenapa, Kris"", ia terkejut seolah pertanyaan itu bunyi geledek. Lalu tersipu sejenak sebelum menjawab, "Oh... nggak apa-apa."
"Betul nggak apa-apa""
"Betul. Memangnya kenapa""
Kristin suka sekali membalas pertanyaan dengan pertanyaan.
"Perutmu sakit""
"Perut"" ulang Kristin seolah itu pertanyaan yang tidak logis. "Ah, tentu saja perutku nggak apa-apa. Kau mengejutkan aku karena aku lagi asyik melamun."
"Belakangan ini kau suka melamun, ya" Sampai-sampai kehadiranku di sisimu tak kausadari."
"Ah, masa iya. Memangnya ada larangan melamun, Mas"" Kristin tertawa.
"Tentu saja tidak. Boleh tahu nggak, apa sih yang kaulamunkan""
25 Kristin tersenyum misterius. "Ih... rahasia dong."
Lalu Adam tak tahan lagi untuk tidak melemparkan pertanyaan yang mengganggu pikirannya. "Bukan lelaki yang suka kaupandangi dari jendela kamar, kan""
Kristin terkejut lagi. Nah, kedapatan! "Kenapa kau bertanya begitu"" "Nanya kan boleh, Kris."
"Pertanyaanmu seperti menuduh. Cemburu, ya""
"Wah, buat apa aku cemburu pada orang yang tidak mengenal dan dikenal olehmu""
"Kalau begitu, jangan bertanya yang bukan-bukan dong!"
Kristin tampak jengkel. Maka keingintahuan Adam tidak mendapatkan jawaban. Bila suasana sudah tidak menyenangkan seperti itu, tentu mustahil melanjutkan topik yang sama. Selanjutnya Adam jadi suka mengamati ke luar jendela kamarnya. Tentunya bila Kristin tak ada. Tetapi ia tak pernah melihat orang yang diceritakan Kristin itu. Mungkin saatnya tidak tepat. Orang itu hanya muncul pada jam kerja." Sungguh menyebalkan.
Ada kalanya ia menertawakan kelakuannya sendiri. Bila ia menilai kelakuan Kristin itu aneh dan tidak wajar, tentunya ia tidak boleh ikut-ikutan bersikap tak wajar juga. Mungkin perempuan yang sedang hamil memang suka begitu. Buktinya kalau hamil muda suka macam-macam, misalnya mengidam makanan yang tak masuk akal. Orang bilang, itu bawaan anak. Jadi mestinya tingkah Kristin itu tidak perlu dianggap aneh.
Ia berpikir tentang kemungkinan lain. Adakah
26 pengaruh buruk dari rumahnya" Rumah itu punya sejarah yang kelam. Mungkin ia menyimpan dan merekam kengerian. Padanya terpercik darah dan air mata. Mungkinkah hal itu menetap, tak bisa hilang dalam perjalanan waktu"
Tetapi ia sangat menyukai rumah itu. Kalau tidak karena tragedi itu, ia tak mungkin bisa memilikinya. Harganya mahal sekali. Walaupun saat ini ia harus mengeluarkan biaya tinggi untuk merenovasinya, hal itu masih bisa terjangkau kemampuannya. Apalagi arsitekturnya dirancang olehnya sendiri.
Sudah lama ia berangan-angan ingin punya rumah di situ. Angan-angan itu tak pernah padam meskipun rasanya mustahil. Jangankan rumah mewah di daerah elite, rumah kecil sederhana di gang pun belum mampu ia miliki. Siapa sangka bahwa ada saatnya angan-angan itu jadi kenyataan! Memang ironis dan menyedihkan bahwa tragedi berdarah harus terjadi lebih dulu sebelumnya.
Sesungguhnya, cerita Kristin tentang lelaki aneh itu membangkitkan nostalgia tentang dirinya sendiri. Dulu ia juga suka mengamati rumah-rumah di situ sambil melamun. Jangan-jangan orang yang dilihat Kristin itu pun sedang menaksir rumahnya! Ia merasa kagum lalu ingin meniru desainnya.
Tetapi Bi Iyah memastikan tak pernah melihat orang itu. Padahal pembantunya itu senang sekali berangin-angin di balik pagar sambil mengamati suasana jalan bila tak ada pekerjaan. Memang bisa saja kemunculan orang itu tidak bersamaan dengan kehadiran Bi Iyah di balik pagar. Tetapi kejadian terakhir tidak demikian. Bi Iyah ada di sana pada
27 saat Kristin melihat orang itu, lalu memutuskan untuk menemuinya!
Tapi ia tidak m au menyimpulkan hal-hal yang tidak rasional, baik kepada Bi Iyah maupun kepada Kristin. Itu berbahaya sekali. Bayangkan kalau mereka berdua ketakutan. Padahal sudah jelas dan terbukti bahwa mereka merasa nyaman di rumah itu. Baik Kristin maupun Bi Iyah sama-sama senang tinggal di situ. Mereka berdua juga tahu sejarah kawasan itu. Jadi tak perlu cemas berlebihan.
*** Kristin semakin sering meraba dan membelai perutnya. Sudah bergerakkah dia" Ayo dong, Sayang! Sepaklah perut Mama! Tendanglah! Ayo! Tetapi ia tidak merasakan apa pun. Ia mencoba menenangkan diri. Barangkali anak itu lebih suka bergerak di malam hari, saat ia tidur nyenyak dan tidak bisa merasakan. Atau dia lebih suka bergerak pelan-pelan karena tak mau menyakiti ibunya. Tetapi ia tahu itu cuma membohongi diri sendiri. Ia tidak boleh membiarkannya. Ia harus berbuat sesuatu.
Barangkali ia akan ke dokter sendiri diam-diam. Tapi ia tak mungkin merahasiakannya dari Adam karena hasil pemeriksaan harus diketahuinya juga. Adam pasti akan marah besar_ dan menuduhnya sebagai istri dan ibu yang cuek. Padahal itu sama sekali tidak benar.
Ketakutannya menjadi ganda, yaitu perihal nasib si bayi dan kemarahan Adam. Ia perlu mengumpulkan
28 keberanian dulu untuk memberitahu Adam dan kemudian mengajaknya ke dokter, karena memang cuma itu solusi satu-satunya.
Keresahan itu membuatnya melupakan si orang misterius yang suka berdiri di seberang rumah. Seandainya ingat pun ia tak peduli lagi untuk menjenguknya melalui jendela. Buat apa" Ia sedang mengalami beribu kepusingan.
Tetapi pagi itu ketika bangun tidur dan membuka tirai jendela ia melihatnya lagi! Lelaki itu berdiri di sana dalam posisi biasa dan pakaian yang sama, menatap kepadanya dengan sorot mata yang ramah. Ia tersenyum, membuat wajahnya tampak segar dan ceria. Rambutnya yang hitam agak gondrong tampak sedikit basah. Hujankah tadi"
Lalu lelaki itu membungkuk dalam seperti kebiasaan orang Jepang saat menyampaikan hormatnya. Dan ketika ia menegakkan tubuhnya kembali tampak senyumnya melebar. Mulutnya komat-kamit mengatakan sesuatu. Suaranya tak sampai ke telinga Kristin. Tetapi dari gerakan bibirnya, Kristin yakin ucapannya adalah, "Selamat pagi!"
Spontan Kristin pun membungkuk dalam dan tersenyum sama cerianya. Ia senang diperlakukan seperti itu. Tetapi saat berikut ia tersipu malu. Ia menyadari penampilannya yang kusut karena baru saja bangun tidur. Pakaiannya pun cuma gaun tidur. Ia mundur dari jendela dan berpaling. Tatapannya tertuju ke tubuh Adam yang masih melingkar di tempat tidur. Inilah saat terbaik untuk membuktikan.
"Mas! Cepat! Dia ada di sana sekarang! Bukankah kau ingin melihatnya"" seru Kristin.
29 Adam bangun dengan cepat lalu melompat dan berlari ke jendela. Kristin mengikuti di belakangnya. Tetapi sesaat kemudian Adam menoleh kepadanya dan berkata, "Tak ada siapa-siapa di sana, Kris!"
Kristin terperangah. Lelaki itu sudah tak ada di sana. Cepat sekali perginya. Pasti pakai mobil. Tapi seingatnya tadi tak ada mobil di dekat orang itu. Ia jadi merasa bodoh menerima tatapan Adam.
"Dia sudah pergi, Kris. Sudahlah. Aku toh tak berminat lagi melihatnya," Adam menghibur.
Kristin merasa kecewa karena menganggap Adam sebenarnya tak percaya bahwa orang itu benar-benar ada. Mungkinkah dipikirnya ia mengalami halusinasi hingga melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada" Memang Adam tidak berkata begitu, tetapi pada suatu saat ia pernah memberi kesan seperti itu.
"Jangan-jangan dia tinggal di rumah seberang, Mas!"
"Rumah itu kosong. Siapa yang bisa tinggal di rumah tanpa atap dan dindingnya cuma beberapa potong""
Ya, memang tak mungkin, pikir Kristin. Cuma gelandangan yang mau tinggal di rumah seperti itu. Padahal lelaki itu rapi dan kelihatan intelek. Dia jadi malu dengan pemikirannya itu. Ah, dia memang merasa kacau..
Adam memeluknya dengan sikap penuh sayang. "Sudahlah. Kenapa kita mesti memusingkan orang lain" Kalau nanti kau melihatnya lagi, biarkan saja. Dia pasti punya urusan yang tak ada hubungannya dengan kita," hibur Adam.
"Tapi kenapa...""
30 Kristin tak meneruskan ucapannya. Adam membimbingnya ke tempat
tidur, lalu mendudukkannya di pinggiran. Ia juga duduk merapat, lalu merangkul bahu Kristin. "Ayo, jangan murung begitu, Sayang. Pagi ini cerah sekali. Lihat!" Ia menunjuk ke jendela. Lalu ia mengelus perut Kristin. "Kalau kau murung, nanti bayi kita jadi ikut murung."
Kristin ingin sekali menangis. Tapi ia harus tabah. Harus berani. Akan menjadi ibu dan kemudian batal menjadi ibu adalah risiko kehidupan. Bagaimana dengan orang-orang yang begitu menderita di rumah ini dan rumah-rumah sekitarnya dulu" Semua orang pernah mengalami bagaimana senangnya memiliki sesuatu dan betapa sedihnya ketika kehilangan.
Ia harus menceritakan dan menerima apa pun risikonya.
"Mas, aku..." Kristin tak meneruskan ucapannya. Ia tersentak dengan penuh kejutan. Matanya membelalak. Tangannya mengusap perut. Salahkah perasaannya" Benar-benar atau bohong-bohongan"
Adam terkejut dan menatap cemas. "Kenapa, Kris" Perutmu sakit""
"Dia bergerak, Mas! Dia bergeraaaak!"
Kristin bersorak-sorak dengan penuh kegembiraan. Di sampingnya Adam terbengong-bengong. Ia tak mengerti. Mungkin itu salah satu keanehan perempuan yang sedang hamil. Selalu berlebihan. Jadi tak perlu meminta penjelasan.
Kristin memang tak berniat menjelaskan. Sekarang hal itu tak perlu lagi. Itu tidak penting.
Setelah pagi hari yang menggembirakan itu Kristin
31 tak pernah lagi melihat si lelaki misterius. Dalam suasana hati yang berbeda ia masih suka duduk-duduk di depan jendela sambil membaca atau menjahit. Iseng ingin melihatnya. Senang melihat senyum dan sikapnya yang sopan. Ada juga rasa penasaran, ingin tahu ke mana perginya lelaki itu kalau ia sudah capek berdiri di seberang sana. Tidak seperti sebelumnya, ia akan duduk terus di situ dan menunggu. Tentunya tanpa memandangi secara langsung. Ia bisa berpura-pura sedang membaca. Sayangnya, lelaki itu tak terlihat lagi. Entah kenapa Kristin jadi merasa kehilangan. Tetapi ketika kemudian ia merasakan sepakan di dalam perutnya, ia akan tersenyum. Aduh, kenapa aku harus merasa kehilangan bila sesungguhnya dia sudah kembali"
32 II Kawasan Pantai Nyiur Melambai, akhir bulan Mei.
Maria menatap Kristin penuh simpati. Sebentar-sebentar tatapannya tertuju ke perut Kristin yang membuncit. Wajah Maria yang sudah dihiasi keriput memperlihatkan sikap keibuan. Keadaan Kristin mengingatkannya kepada Ike, putri sulungnya yang sudah berkeluarga. Mereka berdua sebaya.
"Ingat ya, Kris, kalau kau merasakan sesuatu, beritahu aku. Pasti aku bisa lebih cepat membantumu daripada Adam. Apalagi kalau jalanan macet. Dulu aku juga yang membawa Ike ke rumah sakit waktu dia mau melahirkan anak pertamanya."
"Beres, Tante. Terima kasih. Tapi nanti merepotkan."
"Ah, masa iya sih" Jangan berpikir begitu. Aku belum tua lho. Masih bisa nyetir. SIM-ku belum kedaluwarsa. Dan mobilku biar sudah tua, masih bisa dipakai mengantarmu ke rumah sakit."
Kristin tersenyum. Senang punya tetangga yang baik dan penuh perhatian.
Maria dan suaminya, Henry, atau keluarga Tan,
33 adalah tetangga sebelah rumahnya. Mereka juga tinggal bertiga dengan seorang pembantu karena Ike, si putri sulung, tinggal di rumah sendiri bersama suami dan dua anaknya di kawasan Jakarta Pusat. Sedangkan putri kedua, Susan, bersekolah di Selandia Baru.
Mobil keluarga itu cuma satu, tapi tak pernah digunakan Henry ke kantornya, sebuah perusahaan garmen dengan orientasi ekspor. Dia dijemput dan diantar sopir perusahaannya, yang melakukan hal yang sama bagi staf perusahaan yang lain. Dengan demikian perusahaan tidak perlu menyediakan fasilitas kendaraan bagi para stafnya. Juga uang bensin atau uang transpor. Perusahaan menganggap itu lebih efisien. Banyak penghematan harus dilakukan bila ingin bersaing dalam situasi perekonomian global. Yang penting, penghematan itu bukan di bidang kesejahteraan karyawan. Pimpinan perusahaan, orang Taiwan, sudah belajar banyak dari kerusuhan demi kerusuhan yang pernah terjadi di Jakarta dan daerah lain, terutama pada tahun 1998. Bahwa unjuk rasa yang dilakukan karyawan yang menuntut perbaikan nasib bisa menimbulkan kerugian jauh lebih banyak. Bukan cuma material, tapi juga mor
al, karena sulit bagi pemilik perusahaan untuk menilai secara positif karyawan yang pernah melakukan unjuk rasa, apalagi yang menghujat, kepadanya. Hubungan sudah telanjur rusak.
Ternyata tanpa fasilitas kendaraan pun para staf tidak mengeluh atau menuntut. Mungkin karena pemilik dan tingkat eksekutif pun diperlakukan sama dengan mereka. Tapi mungkin juga karena zaman sekarang pekerjaan sulit dicari. Terlalu cerewet me-
34 milih-milih malah tak dapat apa-apa. Padahal orang yang membutuhkan pekerjaan antre panjang. Sedang sebagian orang lain tegang menunggu kapan terkena giliran pemutusan hubungan kerja.
Henry baru setahun lebih bekerja sebagai akuntan di perusahaan itu. Ia lancar berbahasa Mandarin, suatu kelebihan yang membuatnya diterima bekerja padahal usianya sudah setengah baya. Dalam persaingan tajam di dunia kerja, orang harus memiliki suatu kelebihan dibanding lainnya supaya bisa diterima. Jadi sukar bagi seseorang untuk bisa langsung memasuki dunia kerja bila ia cuma mengandalkan ilmu dari perguruan tinggi.
Maria menceritakan hal-ikhwal suaminya itu kepada Kristin dengan setengah bangga, setengah sedih. Bangga karena suaminya masih bisa berguna dalam usia yang tak muda lagi. Mana ada perusahaan mau menerima karyawan baru yang sudah setengah baya" Dia juga sedih karena dulu Henry bukan kelas karyawan, melainkan majikan dari usahanya sendiri. Toserbanya di bilangan Kota cukup besar. Sebuah toko yang berkembang dari sebuah warung. Tetapi setelah menjadi besar tiba-tiba lenyap begitu saja bagai dilanda angin puting-beliung! Toko mereka merupakan salah satu korban kerusuhan Mei 1998. Isinya dijarah massa yang menyerbu dan kemudian membakar gedungnya. Sekarang bangunan toko itu masih saja dibiarkan hangus menghitam. Tak ada uang untuk membongkar dan membangunnya kembali. Apalagi untuk kemudian mengisinya dengan barang dagangan. Sementara mau dijual pun tak
35 kunjung laku. Hampir sama nasibnya dengan rumah-rumah di kawasan pemukiman mereka.
Henry sudah kehilangan semangat untuk kembali berdagang. Ia menganggap dirinya sudah terlalu tua untuk merangkak lagi dari bawah. Lagi pula dari mana modalnya" Berutang sangat riskan. Apalagi bank-bank sekarang ketat sekali menghadapi debitur. Tentu berkat pengalaman buruk puluhan bank yang dipaksa tutup oleh pemerintah beberapa waktu yang lalu. Klaim pada asuransi pun sulit setengah mati. Akhirnya yang mereka bayarkan hanya sepuluh persen dari jumlah yang seharusnya ia terima. Terpaksa ia menerimanya daripada tak dapat apa-apa sama sekali. Dengan uang itu ia bisa membayar pesangon para karyawannya.
Maria juga banyak bercerita mengenai nasib buruk yang dulu menimpa kawasan di mana mereka tinggal. Ceritanya lebih lengkap daripada Adam karena dia dan keluarganya mengalami sendiri. Sering kali ia mengulang-ulang cerita yang sama. Entah sengaja, entah lupa.
Kristin mendengarkan dengan sabar karena sadar Maria ingin melampiaskan kekesalan dan kesedihannya. Mungkin itu lebih baik daripada mendiamkannya saja dan menyimpannya terus, karena bisa meng-gerogoti tubuh dari dalam. Tahu-tahu badan jadi keropos dan kurus kering. Karena itu ia selalu bersikap seakan cerita Maria itu baru pernah didengarnya. Maria membutuhkan teman yang bisa memberikan simpati dan empati. Sedang dia sendiri membutuhkan hal yang sama. Memang ada Adam- Tetapi seorang suami tidak sama dengan teman Jadi dia
36 dan Maria bisa saling melengkapi, yang satu membutuhkan yang lain. Di kawasan itu tetangga adalah makhluk langka. Jadi mereka harus menjaga kerukunan dan pandai menyesuaikan diri. Kalau memang cocok, itu adalah keberuntungan tersendiri.
"Dulu rumah ini megah, Kris," cerita Maria. "Ya seperti rumah-rumah yang lain juga di masa lalu. Waktu pertama menempatinya aku serasa mimpi. Aduh, akhirnya aku bisa juga punya rumah bagus. Lepas dari mertua lagi. Memang mertua punya rumah besar dan bagus juga, tapi itu toh rumahnya. Bukan rumahku sendiri. Ternyata cuma beberapa tahun saja aku bisa menikmatinya. Bandit-bandit itu membakarnya setelah menjarah isinya habis-habisan. Rumahku dan rumahmu, eh, rumahmu yang dulu, sama-sa
ma hangus. Demikian pula banyak rumah lain. Kalau tak dibakar, dirusak dan dipereteli. Pintunya, jendelanya, kusennya, sampai gentengnya pun habis. Kalau nggak dibakar perbaikannya lebih gampang. Tapi rumahku mesti dibangun lagi dari awal. Maka tabung-an terpaksa dipakai. Padahal itu untuk hari tua."
Kristin menatap berkeliling selama Maria berceloteh. Rumah itu sederhana, tapi tidak jelek. Meskipun demikian tentunya menjadi jelek bila dibandingkan dengan keadaannya semula.
"Tapi Tante masih punya rumah, kan""
"Ya. Memang aku masih beruntung dibandingkan orang lain yang tak punya apa-apa lagi kecuali baju di badan pada saat kejadian. Ketika kami mengungsi ke rumah mertua yang daerahnya aman, kami masih bisa membawa pakaian dan beberapa barang lain. Untunglah Ike dan keluarganya baik-baik saja.
37 Mereka tinggal di kawasan yang penghuninya campur baur, terdiri atas berbagai suku," Maria mengakui.
"Dan Oom pun masih bisa mendapat pekerjaan pada saat banyak orang lain kehilangan pekerjaan."
Maria tersenyum sedih. "Oh ya, memang. Tapi kalau ingat toko kami, rasanya bisa gila deh, Kris. Ternyata harta itu memang tidak abadi, ya. Sekarang kita punya, tapi besok tidak lagi."
Kristin merangkul pundak Maria. "Tapi Tante dan Oom sudah terbukti sangat tabah karena berhasil mengatasi cobaan itu. Orang lain belum tentu."
"Ya, memang. Aku dengar, banyak orang menjadi gila setelah kejadian itu. Kenyataan seperti itu memang sulit diterima. Masa tak hujan tak angin, tak pula ada perang, tiba-tiba kita diserbu. Dirampok dan dibunuh. Tanpa alasan sama sekali. Cuma karena kita ini orang Tionghoa. Sungguh tidak adil, Kris."
"Ya, sangat tidak adil, Tante."
Maria mengamati wajah Kristin. "Ah, kau juga merasa begitu" Tapi kau tidak sama dengan kami. Papamu orang Jawa, kan""
"Sama saja, Tante. Saya dan Papa satu perasaan dengan Mama."
"Bagaimana sih rasanya jadi anak campuran ketika itu, Kris" Kau memihak siapa""
"Saya memihak kebenaran, Tante. Saya mengikuti hati nurani."
"Kenapa bandit-bandit itu tidak punya hati nurani, ya" Apa mereka pikir kita ini bukan manusia" Kok tega" Apa mereka bisa tidur nyenyak di malam hari""
Maria sudah sering mengutarakan keluhan itu.
38 Kristin merasa tak perlu menanggapinya lagi. Ia cuma membelai pundak Maria lalu meletakkan kepalanya di atas pundak Maria yang satunya lagi.
"Dulu Oom jadi bos dari usaha sendiri. Sekarang jadi kuli orang asing. Banyak yang begitu, Kris. Sekarang orang asing jadi bos. Rupanya mereka lebih suka bos orang asing daripada warga negara sendiri. Habis kita memang tidak pernah dianggap sebangsa. Kalau ada kerusuhan rasial yang disalahkan selalu kita. Katanya eksklusif lah, nggak mau gaul lah, suka menyuap pejabat lah, ini-itu lah. Habis gimana, coba" Gimana mau gaul kalau kita nggak diterima. Kita kan minoritas, Kris. Rasa takut pasti ada. Itu sebabnya kita lebih suka tinggal berkelompok. Supaya punya teman. Supaya lebih kuat. Rasanya itu wajar. Di mana-mana kaum pendatang juga begitu. Kenapa cuma kita yang disalahkan ya, Kris""
"Akan ada saatnya semua itu berakhir, Tante."
Maria mengerutkan keningnya. Wajahnya tampak pucat. "Kau percaya itu, Kris" Menurut sejarah, kejadian seperti itu selalu berulang dalam jangka waktu tertentu. Satu berbuat salah, semua menanggung akibat."
"Sejarah itu masa lalu, Tante. Sekarang kita punya masa depan karena kemungkinan besar "pemimpin kita berbeda dengan yang dulu."
"Ya, mungkin saja. Tapi bagiku rasanya sudah tak ada artinya. Aku dan suamiku sudah telanjur sakit hati. Harapan indah itu buat kalian yang muda-muda saja."
"Jangan pesimis, Tante."
"Dulu sih nggak pesimis, Kris. Dalam hidupku
39 aku sudah mengalami beberapa kali kejadian sama meskipun tak ada yang menandingi peristiwa Mei sembilan delapan itu. Dan kalau cuma sekadar pelecehan rasial sih cukup sering kualami. Tetapi sering kali aku berpikir, nanti pasti tidak begitu lagi. Kelak akan ada perubahan. Masa sih begini terus" Zaman kan berubah juga. Orang mestinya mengikuti zaman, kan" Kita sudah lama di sini. Lahir turun-temurun di sini. Sudah berabad-abad ada di sini. Masa sih nggak juga diteri
ma atau dianggap orang asing terus. Tapi ternyata optimisme itu cuma membohongi diri. Mungkin munculnya karena dambaan sendiri. Jadi aku menyerah. Tak mau berharap lagi. Sudah terserah gimana nasib saja, Kris. Terserah pada Yang Di Atas." Maria melepaskan rangkulan Kristin. Ia tersenyum sendu ketika beradu pandang.
Kristin merasa iba ketika melihat wajah pucat Maria basah oleh air mata. Tak terbayangkan bagaimana kondisinya ketika tragedi itu terjadi. Waktu memang tak selalu bisa menyembuhkan.
"Sori ya, Kris. Seharusnya kau tidak kujadikan keranjang sampah keluhan dan kesedihanku. Oh, aku menyesal! Lihat, kau jadi murung! Nanti anakmu ikut-ikutan murung."
Kristin menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, Tante. Ceritakan saja. Keluarkan beban Tante. Saya memang tidak mengalami sendiri apa yang telah dialami Tante atau orang lain. Tapi saya bisa merasakan. Saya ikut sedih, dan ingin membantu sebisa saya. Biarkan saya membantu Tante dengan berbagi perasaan."
Maria membelai lengan Kristin. "Kau baik sekali ya, Kris. Senang sekali punya kau sebagai tetanggaku.
40 Pasti Tuhan mengirimmu ke sini untuk menjadi temanku dan pengganti putriku yang jauh-jauh."
"Ya. Kita akan berteman, Tante. Saya sendiri juga kesepian."
"Aku akan cerita tentang dirimu kepada Susan. Dia pasti senang sekali. Sayang ceritanya mesti lewat surat. Dulu sih pakai e-mail lebih cepat."
"Kenapa sekarang tidak lagi, Tante""
"Kami nggak punya komputer lagi. Entah dijarah atau sudah jadi abu. Sekarang kami tak mampu beli lagi. Biarlah, itu tidak terlalu penting. Kalau ada uang sisa, lebih baik ditabung untuk hari tua."
"Biaya untuk Susan pasti mahal, ya Tante""
"Oh, Susan mendapat beasiswa, Kris!" Maria berbinar bangga. "Dia cerdas lho. Dia juga anak yang baik. Meskipun hidupnya pas-pasan, tapi dia menolak keras dikirimi uang. Katanya, kami lebih memerlukan. Apalagi sekolahnya juga tinggal beberapa bulan lagi. Di sana dia melakukan pekerjaan apa saja di waktu luang. Yang penting halal. Jadi pelayan, cuci piring di restoran. Dia juga tak pernah pulang sejak kasus Mei itu. Dan mungkin juga tak akan pulang...."
Ketika Barongsai Menari Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara Maria tersendat. Wajahnya yang semula ceria kembali murung.
Kristin tertegun. Suara hatinya mengatakan, sebaiknya topik pembicaraan diubah, tetapi dia terdorong rasa penasaran. "Kenapa begitu, Tante""
Maria tidak memandang kepadanya saat menjawab, "Hatinya terlalu sakit. Bukan cuma orangtuanya yang disakiti, tapi dia juga. Mungkin dia lebih lagi. Kami kehilangan harta dan harga diri, dia kehilangan kekasih yang sangat dicintainya."
41 Kristin terkejut. Ia tak tahu mesti bilang apa. Ia cuma bisa meraih tangan Maria. Sudahlah, kata hatinya. Cepat alihkan pembicaraan. Tetapi mulutnya bersuara, "Apa kekasihnya itu orang sini, Tante"" Sepertinya bukan dia yang bersuara begitu. Sesudah bertanya dia menyesal. Tapi sudah telanjur.
"Oh ya. Dia orang sini. Dekat lagi. Tinggalnya di situ." Tangan Maria menunjuk ke sebelah, arah rumah Kristin!
Kristin terkejut. Tambahan lagi ketika itu bayi di perutnya menyepak keras. Dia mengeluarkan pekik tertahan. Pekikannya itu juga mengejutkan Maria. Perempuan yang wajahnya sudah pucat itu menjadi tambah pucat. Ekspresinya penuh penyesalan dan kejutan.
"Di situ di mana, Tante" Rumah yang saya tempati"" tanya Kristin.
"Oh, bukan! Bukan! Arahnya sebelah sana. Masih kompleks ini." Suara Maria bergetar.
Kristin bernapas lega. "Dia menjadi korban tragedi itu""
Maria menggeleng kuat-kuat. "Lebih baik kita tidak membicarakan yang sedih-sedih, Kris. Tak habis-habisnya."
"Ya. Betul, Tante. Ah, saya ingin sekali berkenalan dengan Susan. Berapa umurnya, Tante""
"Dua empat." "Saya dua lima."
"Kalian sebaya. Pasti cocok. Sama-sama cerdas dan baik hati."
"Kenapa bukan Tante dan Oom saja yang ke sana menemuinya""
42 "Maunya sih begitu. Tapi Susan bilang, nanti saja ke sana kalau dia sudah mapan dan punya uang banyak. Katanya, kalau kami ke sana, tak boleh kembali lagi ke sini. Biar jadi orang sana saja! Tapi aku nggak mau begitu."
"Kenapa, Tante""
Aduh, aku banyak bertanya, pikir Kristin. Tapi dia tak bisa mengatasi keingintahuannya.
"Nanti ak u bisa bingung sama diriku sendiri, Kris. Aku ini sebenarnya orang apa sih" Di sini cuma sebagian orang saja yang tidak mengakui. Sebagian lainnya mengakui dan menerima kita kok. Tapi di sana" Aku sudah tua, masa mesti belajar dari nol untuk jadi orang sono."
"Mungkin orang sana tidak akan menjarah dan membakar."
"Entahlah. Kita kan tidak pernah tahu, Kris."
Diam sejenak. Kristin termenung. Tentunya sulit memahami jalan pikiran seseorang, apalagi bila orang itu telah mengalami trauma demikian berat. Selama ini ia mengagumi suami-istri Tan itu sebagai orang-orang yang tabah dan kuat mental. Ia mengira hal itu disebabkan karena optimisme. Bukan karena sekadar menjalani hidup. Apalagi keluarga itu masih memiliki modal untuk survive. Tidak seperti-sebagian orang lain yang sudah habis-habisan.
Melihat sikap Kristin muncul kembali penyesalan Maria. Seharusnya dia tidak emosional. Sering sekali dia lupa untuk mengendalikan diri. Bagaimana kalau Kristin menjadi stres karena berulang kali mendengarkan keluhannya lalu tak ingin bertandang lagi" Walaupun Kristin sudah mengakui dirinya juga membutuhkan
43 teman, tetapi tentunya bukan seseorang yang bisa membuatnya stres. Apalagi omongannya yang kelepasan mengenai kekasih Susan tadi sungguh mengerikan untuknya sendiri. Bagaimana kalau Kristin menjadi takut lalu memutuskan untuk pindah dari situ" Bila hal itu terjadi maka dia akan kehilangan teman yang begitu susah diperoleh. Dan bagaimana kalau Adam tahu padahal lelaki itu sudah memohon kepada mereka untuk tidak bercerita apa-apa" Mereka pun sudah berjanji! Tubuhnya menjadi dingin.
Ketika Kristin pamit pulang, Maria mengantarkannya sampai di depan pintu pagar. Bi Iyah sudah menunggu. Maria ragu-ragu, seolah berat berpisah. Kristin menyadari hal itu. Ia tidak merasa keberatan ditemani Maria. Keluhannya yang banyak tidak membuatnya stres. Sebaliknya, ia justru telah belajar banyak dari Maria! Penyesalan yang diperlihatkan Maria membuatnya iba. Ia tahu, Maria merasa cemas akan dirinya.
Kristin menggandeng lengan Maria. "Masuk, Tante"" ajaknya.
"Ah, Kris kan mau istirahat. Nanti terganggu lagi oleh omonganku."
Kristin tersenyum. "Saya nggak terganggu, Tante. Sungguh."
"Nggak, ah. Sampai di sini saja."
"Mau lihat kamar bayi, Tante""
Wajah Maria bercahaya. "Mau, Kris"" sahutnya antusias.
Maria selalu memandang berkeliling bila berada di dalam rumah Kristin
44 "Kenapa, Tante"" tanya Kristin. "Bagus! Lebih bagus daripada yang dulu." "Ini hasil rancangan Adam." "Dia arsitek, bukan" Pantas." Mereka menaiki tangga pelan-pelan. "Mestinya kau jangan sering-sering naik-turun tangga, Kris. Gimana kalau terpeleset"" "Hati-hati dong, Tante."
"Dulu ada satu kamar di bawah. Mestinya itu kaupakai selama masa kehamilan ini. Tapi tak kulihat lagi kamar itu." Maria memandang berkeliling dari atas tangga.
"Entahlah bagaimana dulunya, Tante. Saya kan nggak pernah lihat. Sekarang memang tak ada kamar tidur di bawah. Semua kamar di atas. Ada juga kamar pembantu di belakang."
"Ya, memang ruangannya jadi luas."
Maria merenung sejenak. Tak segera melangkah. Kristin mengamati tatapannya.
"Dulu Tante sering main ke sini rupanya."
"Oh ya." "Siapa saja yang tinggal di sini dulu, Tante""
Maria tampak enggan. "Suami-istri Lie dengan dua anak lelaki mereka."
"Ke mana mereka sekarang""
"Mereka pindah ke Amerika. Anak sulung mereka bekerja sebagai dokter di New York City."
"Wah! Pinter dong, Tante. Lulusan Indonesia""
"Bukan. Lulusan Columbia University."
"Wow!" seru Kristin kagum.
45 Maria seperti tersentak. "Aduh! Ada yang terlupakan, Kris! Nggak jadi deh lihat kamar bayinya. Besok juga bisa. Aku mau pulang, ya."
Kristin tertegun. Maria begitu cepat berubah pikiran. Padahal mereka sudah di tengah-tengah tangga. Tanpa menunggu jawaban, Maria tergesa-gesa menuruni tangga, terus melangkah ke pintu.
"Daaag Tante!" seru Kristin.
"Daaag!" sahut Maria tanpa menoleh. Segera ia lenyap dari pandangan.
Kristin masih di tempat semula. Belum lenyap herannya akan keanehan sikap Maria. Lalu terpikir, mungkin itu merupakan akibat trauma yang pernah dialaminya. Sesungguhnya banyak yang
harus dimaklumi dari sikap seseorang. Aneh atau tidak bukan pertanda sakit mental, tetapi lebih disebabkan pengalaman hidup.
Lalu dia teringat. "Bagaimana dengan anak yang kedua atau si bungsu, Tante"" katanya keras-keras.
Tentu ia tidak mengharapkan jawaban. Maria sudah keluar. Tapi ternyata ada yang bersuara. "Kok ngo-mong sendiri, Bu""
Kristin terkejut. Ia melihat Bi Iyah mengamatinya dari sudut rumah. Entah sejak kapan ia berdiri di sana. "Tolong dikunci pintunya, Bi. Barusan Bu Maria keluar," katanya, lalu melangkah perlahan menaiki tangga. Di belakangnya terdengar Bi Iyah menyahuti. Ia tak menoleh.
Tiba-tiba terasa sepakan di dalam perutnya. Ia terdiam. Ngilu sesaat. Kemudian ia tersenyum. Sudah saatnya kucarikan nama untukmu! Satu nama perempuan dan satu nama lelaki.
46 *** "Kau kenal keluarga yang dulu pernah tinggal di sini, Mas"" tanya Kristin saat mereka makan malam.
Adam meletakkan sendoknya. Ia mempelajari wajah Kristin sejenak sebelum menjawab, "Ya. Tapi tidak mendalam. Cuma sekadar tahu saja. Dulu kan aku pernah bekerja di proyek perumahan sini saat awal pembangunannya."
"Oh ya" Rasanya kau tak pernah bercerita" Kristin tampak tertarik.
"Malu sih. Aku sering cerita padamu tentang inginnya aku punya rumah di tempat ini, tapi tak bisa. Yah, mana mungkin" Gajinya cuma cukup untuk hidup."
Kristin mengangkat bahu. "Ah, kenapa mesti malu" Memangnya setiap orang yang bekerja di proyek perumahan, termasuk ikut merencanakan pembangunannya, harus mampu memiliki juga" Aku maklum kok. Nyatanya sekarang kau berhasil juga."
"Ya, memang. Tapi keberhasilan itu tercapai setelah tempat ini menjadi puing."
Kristin mengerutkan kening. Ucapan itu sepertinya kontradiktif dengan kebanggaan Adam akan rumah mereka itu. Ketika akan berbicara ia memekik pelan. Ada sepakan keras di perutnya. Ia cepat tersenyum menanggapi tatapan kaget Adam. "Biasa. Dia nyepak, Mas," katanya.
Mereka melanjutkan makan. Adam makan lebih cepat daripada sebelumnya.
Lalu Kristin teringat akan pertanyaannya tadi. "Apakah keluarga Lie pindah ke Amerika semuanya""
47 Kembali Adam meletakkan sendoknya dan menatap Kristin dengan selidik. "Siapa"" tanyanya.
"Keluarga yang dulu tinggal di rumah ini." Kristin merasa tak enak melihat ekspresi Adam. "Aku merasa simpati pada para penghuni kawasan ini. Kasihan sekali. Bagaimana rasanya kalau dibegitukan orang""
"Sudahlah, Kris. Sebaiknya jangan membicarakan itu kalau sedang makan. Jadi susah menelan nih."
"Jadi mereka pindah semuanya""
"Mereka siapa""
"Keluarga Lie itu."
"Mana aku tahu" Bukan urusanku," sahut Adam dengan ekspresi tak senang.
Kristin tak senang juga. Apa susahnya menjawab pertanyaan itu" Sebelum bereaksi, kembali ia merasakan sepakan di dalam perutnya. Seperti mengingatkan. Emosinya mereda.
"Sori," katanya singkat.
Mereka menyelesaikan makan dengan diam.
Adam berdiri. "Aku pergi dulu ya, Kris."
"Pergi"" Kristin terkejut. Tadi Adam tidak mengatakan akan pergi sesudah makan.
"Aku lupa memberitahu. Ada janji dengan rekan. Tapi nggak lama kok. Paling juga dua jam. Rumahnya nggak jauh," jelas Adam.
"Pakai mobil""
"Iya dong. Masa jalan kaki."
Adam mencium dahi Kristin. Lalu menekan bahunya. "Kau tak usah mengantarku keluar. Bi Iyah bisa membukakan pintu," katanya, lalu melangkah cepat sambil meneriaki Bi Iyah.
48 Kristin tertegun sejenak, tak tahu harus menjawab apa. Baru kemudian, setelah Adam tak tampak lagi ia berseru, "Hati-hati ya, Mas!" Tetapi suaranya tak bisa keras. Kristin tiba-tiba merasa seperti orang yang kehilangan semangat. Ia masih saja duduk di depan meja makan sampai terdengar deru mobil Adam yang menjauh. Sepakan di dalam perutnya menyadarkannya. Belakangan si bayi sering benar menyepak-nyepak. Waktunya memang sudah dekat. Sesaat terpikir olehnya, betapa teganya Adam meninggalkannya pada saat seperti itu.
Bi Iyah masuk, tertegun sejenak melihatnya. "Ibu kenapa"" tanyanya penuh perhatian.
"Ah, nggak apa-apa. Memangnya kenapa, Bi"" tanya Kristin kesal. Memang pertanyaan seperti itu menandakan perhatian, tapi kalau sering-sering diamati dan ditanyai, jadi menjengkelkan juga.
Bi Iyah tersipu. " Saya takut kalau-kalau sudah saatnya, Bu. Atau Ibu kenapa-kenapa."
"Lantas"" "Saya mesti menelepon Bapak."
"Oh, begitu" Memangnya tadi Bapak berpesan lagi ya, Bi" Ngomong apa dia"" Perasaan Kristin agak terhibur karena Adam masih memperhatikannya. Tetapi perasaan itu segera lenyap ketika mendengar jawaban Bi Iyah. "Kata Bapak, mestinya Ibu jangan sering-sering ngobrol sama Bu Maria."
"Lho, kenapa begitu, Bi""
"Katanya, Bu Maria itu begini...." Bi Iyah menempelkan telunjuknya di dahinya. Lalu tertawa geli. "Sembarangan!" bentak Kristin. Bi Iyah terkejut.
49 "Jangan melecehkan orang, Bi! Bibi tahu nggak apa saja yang telah dialami Ibu Maria""
"Nggak tahu, Bu." Bi Iyah bersiap diri mendengar cerita menggemparkan.
Tetapi Kristin tidak berminat menceritakan. "Nah, kalau nggak tahu jangan melecehkan."
Bi Iyah tersipu. "Maaf deh, Bu. Nggak tahu sih."
Kristin tak sampai hati. Bagaimanapun, Bi Iyah adalah teman dan pembantu satu-satunya. Ekspresinya melembut. "Ya sudah, Bi. Kita harus belajar menghargai orang karena kita tidak tahu tentang dia."
Bi Iyah tidak mengerti, tapi ia senang karena Kristin tidak marah lagi.
Saat melewati rumah Henry, Adam melihat Henry sedang berangin-angin di halaman rumahnya. Ia menghentikan mobilnya di tepi jalan lalu keluar dan mendekati Henry. Mereka berbincang sejenak kemudian Adam kembali ke mobilnya dan meluncur pergi.
Pada saat Henry mengamati kepergian Adam, Maria mendekatinya.
"Adam cerita apa, Pa""
"Dia cuma menitipkan Kristin sama kita."
"Cuma itu" Kok ngomongnya banyak""
"Dia juga minta kita memegang janji untuk tidak menceritakan perihal Sonny kepada Kristin. Katanya dia takut kau keceplosan bicara sama Kristin. Ingat-ingat ya, Ma. Jangan sampai melanggar janji. Kalau mereka sampai pindah, kita akan kehilangan tetangga yang baik."
Maria memonyongkan mulutnya. "Aku nggak
50 melanggar janji. Kenapa tiba-tiba dia mencurigai aku""
"Katanya, tiba-tiba saja Kristin bertanya perihal keluarga Lie. Apa kau yang bercerita tentang mereka""
"Sama sekali tidak. Kristin yang nanya duluan. Habis aku mesti gimana" Bilang nggak tahu" Kan aneh. Dia justru akan heran dan curiga. Semakin dia curiga semakin dia berusaha untuk tahu. Kalau bukan kita atau Adam yang jadi sumbernya, bisa saja dia mencari sumber lain. Misalnya dari ketua RT, si Mul. Atau tetangga yang lain. Jadi tidak seharusnya Adam cuma menyalahkan kita."
"Memang benar, Ma. Kata Adam, dia sudah minta sama Mul untuk menjanjikan hal yang sama. Sebagai ketua RT, si Mul akan menyampaikan permintaannya kepada warga sekitar kita."
Maria menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aneh si Adam itu. Apa salahnya sih berterus terang sama istrinya" Itu kan sudah risiko. Kenapa pula dia mau tinggal di situ""
"Orang yang tidak tahu tidak akan berpikir macam-macam."
"Tapi si Adam kan tahu."
"Dia sih berani, Ma."
"Ah, Papa kayak yang tahu aja"
Henry tertawa. "Nah, itu buktinya. Dengan tetap memilih rumah itu padahal tahu riwayatnya, sudah menandakan keberaniannya. Coba, ada banyak rumah kosong yang sama hancurnya, tapi dia justru memilih yang itu."
"Yang itu paling murah dibanding yang lain."
51 "Nyatanya dia masih punya duit untuk merenovasi."
"Justru itu. Sisa duitnya untuk renovasi."
"Tapi kalau dia nggak berani menempati juga percuma, Ma."
"Kalau dia memang berani, seharusnya dia terus terang sama Kristin."
"Dia akan menunggu sampai Kristin betah dan kerasan tinggal di situ."
"Kris senang tinggal di sini."
"Mungkin nanti kalau sudah melahirkan baru dia boleh tahu, Ma. Kan nggak lama lagi. Yang penting kita harus berusaha untuk tidak melanggar janji."
Maria menarik napas panjang. "Si Sonny memang anak yang baik."
Henry mengamati wajah istrinya dengan bingung. "Tentu saja dia memang baik. Lantas kenapa""
"Dia tidak akan mengganggu orang yang menempati rumahnya."
Henry terkejut. "Aduh, ngomong apa sih kau, Ma" Jangan sembarangan, ah. Ayo kita masuk!"
Dengan berbimbingan tangan mereka melangkah masuk rumah.
"Jadi mau nulis surat buat Susan, Ma""
"Jadi dong!" "Biar besok aku poskan. Mau cerita apa, Ma"" "Yang pasti cerita tentang tetangga baru kita." "Jangan singgung tent
ang si Sonny, ya"" "Maksudmu""
"Itu. Yang tadi kaukatakan sebelum masuk."
"Oh, itu. Nggak dong. Nanti dia jadi sedih. Oh ya, Pa. Apa perlu kuingatkan dia supaya jangan tergoda lelaki bule""
52 "Ah, jangan. Justru kalau diingat-ingatkan begitu dia malah berbuat sebaliknya. Apalagi kalau dilarang."
"Habis ceritanya yang terakhir itu kan tentang teman baiknya yang bule. Apakah teman baik itu sama artinya dengan teman dekat""
"Kayaknya begitu."
"Dan teman dekat sama artinya dengan pacar""
"Wah, nggak tahulah aku. Bisa iya, bisa nggak. Sudahlah. Bagaimana maunya dia saja. Dia sudah dewasa, kan" Sudah bagus dia mau bergaul. Itu artinya dia sudah pulih."
Maria tak sepenuhnya menyetujui. Tetapi ia akan mengikuti permintaan Henry. Oh, betapa dia merindukan Susan! Berubahkah anak itu setelah per-, jumpaan terakhir mereka dua tahun yang lalu" Masihkah dia selembut dulu"
Salah satu hal yang masih disesali Maria adalah ketidakmampuannya menghibur Susan saat berita duka di pertengahan bulan Mei tahun 1998 itu menerpanya. Kalau saja dia ada di sisinya saat itu, pastilah ia bisa memeluknya dan menghiburnya. Ia juga bisa tahu apa akibat berita itu bagi Susan. Pingsankah dia" Menangis berhari-hari" Kalau ada di sisinya, pasti ia bisa menolong atau melakukan apa saja untuk meringankan beban batinnya. Biarpun ia di Jakarta juga dalam keadaan menderita dan terguncang, tapi bila bersama-sama mereka bisa saling menghibur. Duka dan derita Susan pastilah lebih besar. Kehilangan harta masih bisa direlakan, tapi kehilangan kekasih"
"Papa dan Mama, bila kita selalu dimusuhi di negara
53 yang selama ini kita sebut Tanah Air, buat apa bertahan tinggal di sana" Mereka memang ingin kita pergi. Itulah tujuannya meneror, bukan" Prinsip saya, kalau saya tidak dikehendaki maka saya tidak akan merengek dan memohon agar diterima. Orang lain bisa saja bertahan dengan alasan mereka. Itu hak setiap orang. Biarlah saya dengan prinsip sendiri. Saya bersumpah, Ma! Bila nanti saya datang ke sana, maka saya bukan lagi orang Indonesia! Orang apa pun, warga negara mana pun, tak jadi soal. Yang penting saya dihargai sebagai manusia yang punya martabat dan harga diri...."
Kalimat-kalimat di dalam surat Susan itu sering muncul dalam pikiran Maria. Nadanya yang emosional bisa dipahami karena surat itu ditulis tak lama setelah terjadinya tragedi Mei 1998. Susan masih berkabung, masih diliputi dendam dan amarah. Tetapi dengan berlalunya waktu, ternyata prinsip Susan tak berubah. Ia masih bertahan dengan pendirian yang dinyatakannya dalam surat itu. Keras kepala!
Menilik hal itu memang besar kemungkinan Susan akan mencari jodoh di sana, karena dia akan menjadi warga negara sana. Jadi tipis kemungkinan dia akan beroleh menantu seseorang dari kalangan sendiri. Seperti suami Ike, Daniel. Dengan kesamaan yang ada, maka penyesuaian lebih mudah. Bila perbedaan terlalu banyak, risiko perpecahan juga besar. Tetapi Susan memang tak bisa disamakan dengan Ike. Keduanya memiliki keunikan sendiri-sendiri.
Sebelum mengenal Daniel, Ike pernah berpacaran
54 dengan Amir, seorang pemuda pribumi yang berbeda agama. Hubungan itu membuat dia dan Henry resah. Tetapi mereka tidak tega melarang. Henry selalu berpendapat, bila seseorang ditentang, maka tekadnya justru semakin mantap. Tak ada jalan lain mereka cuma bisa berharap dan berdoa semoga hubungan itu tidak langgeng. Mereka terpaksa bersikap munafik dengan bersikap ramah terhadap Amir dan menerimanya dengan tangan terbuka. Ike sendiri tidak pernah bercerita bagaimana tanggapan keluarga Amir terhadap dirinya.
Masalah itu baru jelas setelah mereka menerima telepon bernada makian yang mengandung penghinaan dari orang yang mengaku keluarga Amir. Telinga memerah dan bulu roma pun berdiri. Mereka dimaki sebagai Cina-Cina tak tahu diri dan sebagainya. Betapapun menyakitkan, mereka sepakat tidak akan memberitahu Ike. Bila benar keluarga Amir tidak menyukainya mustahil dia tidak tahu atau tidak merasakan. Biarlah Ike memutuskan dan berinisiatif sendiri. Sementara Amir sendiri tidak pernah mengungkapkan masalah itu. Dia selalu bersikap sopan dan pada t
empatnya. Tak ada alasan untuk membenci atau antipati kepadanya.
Henry dan istrinya sepakat untuk memasang re-ceiver pada pesawat telepon supaya dapat menyaring telepon yang masuk. Toh selama ini yang sering menerima telepon adalah Maria, yang paling banyak berada di rumah. Dan tampaknya si penelepon gelap itu pun sengaja memilih waktu dan orang yang mau diajaknya bicara. Pada hari dan jam Ike tak ada di rumah karena berada di kantornya. Mereka memper-
55 kirakan si penelepon ingin mereka menjadi marah lalu melarang Ike melanjutkan hubungannya dengan Amir.
Tetapi suatu ketika Maria lupa menghapus rekaman. Ike yang berniat mengecek telepon yang masuk mendengar makian itu. la menjadi pucat dan ter-mangu-mangu bagai orang kehilangan semangat.
"Mama! Jadi itu sebabnya dipasangi receiver" Oh, kenapa Mama tidak terus terang dari semula""
Maria tak tahu mesti bilang apa. Ia belum melakukan kesepakatan dengan Henry, apa yang harus dilakukan bila Ike mengetahui hal itu. "Mama... Mama... tak mau menyakiti hatimu," jawabnya kemudian.
Ike memeluknya. "Tapi saya tidak ingin menyakiti hati Mama," katanya sedih.
"Kau tidak pernah menyakiti hati Mama. Kenapa bilang begitu, Ke"" bantah Maria dengan perasaan pilu.
"Saya tidak mau Mama dan Papa dihina orang. Apalagi karena saya."
Maria tertegun. Ia takut memberi komentar. Takut salah. Padahal saat itu paling baik untuk mengeluarkan pemikirannya mengenai hubungan Ike dan Amir.
"Saya akan membicarakannya dengan Amir, Ma."
Apa yang diputuskan Ike sangat mengejutkan. Ia memutuskan hubungannya dengan Amir. "Saya memang harus tahu diri, Ma," jelasnya singkat.
Maria dan suaminya merasa iba tapi juga senang. Barangkali mereka perlu juga berterima kasih kepada si peneror itu. Biarpun demikian, rasa sakit di hati
56 karena dikatai sebagai Cina-Cina tak tahu diri tak bisa sembuh sepenuhnya. Padahal selama ini mereka yakin telah menjalani kehidupan sebagai warga negara dengan cukup tahu diri. Pajak selalu dibayar dengan sepatutnya, karyawan dan pembantu diperlakukan dengan baik, tak pernah ribut dengan siapa pun, tak pernah absen dalam kegiatan amal, siskamling, atau apa saja bila diminta. Mereka selalu berhati-hati karena sadar sepenuhnya, bila melakukan kesalahan maka bukan cuma mereka yang menanggung. Satu Cina berbuat buruk, maka semuanya ikut menanggung. Itu memang tidak adil. Tapi mau apa lagi" Mereka tidak punya kuasa untuk mengubah citra atau opini yang sudah terbentuk begitu lama.
Kemudian Amir menemuinya. Mereka cuma bicara berdua. Amir meminta maaf dan merasa menyesal. Ekspresinya memperlihatkan rasa malu dan khawatir. Mungkin takut dimarahi. Tetapi Maria menerimanya dengan baik dan juga respek. Sebenarnya Amir orang yang baik dan bertanggung jawab. Pantas kalau Ike memilihnya. Tetapi di Indonesia seseorang tak selalu bisa mandiri sepenuhnya. Seluruh keluarganya, besar atau kecil, merasa ikut memilikinya. Kemudian merasa berhak pula untuk ikut campur dalam masalah pribadinya. Dan bagi sebagian orang masalah membentuk keturunan itu sangat penting.
Maria memasukkan kertas ke dalam mesin tik. Benda itu dipinjam Henry dari kantornya. Aduh, kalau saja mereka bisa membeli komputer. Tetapi sekarang uang susah dicari. Ia juga menolak keras niat Susan untuk mengiriminya uang. Ia bukan tak memerlukan uang.
57 Selalu ada kebutuhan. Tetapi selama kebutuhan itu bukan kebutuhan primer, tak perlu dipenuhi. Ia juga bukan tak punya uang. Ada sedikit tabungan. Tapi itu penting untuk hari tua.
Kedua jari telunjuk Maria lincah menari-nari di atas tuts mesin tik. Ia punya cerita banyak untuk Susan. Sekarang biaya pos ke luar negeri sangat mahal. Jadi harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Tak boleh ada cerita yang terlupakan. Tentang situasi ekonomi, politik, anak-anak Ike, tetangga....
Tepukan Henry di pundaknya mengagetkan. "Ma, interupsi sebentar. Ada tamu."
"Tamu" Siapa"" Maria terkejut. Sekarang mereka sangat jarang kedatangan tamu. Teman-teman lama mereka entah pada ke mana.
"Pak Harun," bisik Henry dekat telinga Maria.
"Oh, dia. Ada apa" Mau ketemu aku""
Harun adalah mantan satpam di kawasan itu. Ketika
terjadi kerusuhan Mei 1998 di tempat itu dia masih menjadi satpam. Saat mereka mengungsi ke lapangan golf di dekat kawasan itu, Harun banyak membantu. Sejak itu mereka tak pernah bertemu lagi. Sekarang kawasan itu tak lagi memiliki satpam. Mereka menjaga sendiri lingkungan masing-masing.
"Iya, Ma. Ayolah."
Maria merasa segan menghentikan kegiatannya. "Pa, paling-paling dia mau pinjam uang. Berikan sajalah. Asal jangan banyak-banyak."
"Ah, kamu. Sembarang nyangka. Dia bilang, ingin ketemu karena kangen."
"Kangen"" Maria tak bisa menghilangkan nada
58 sinis dari suaranya. Kenapa orang seperti Harun bisa merasa kangen kepadanya" Jangan-jangan cuma ingin tahu apakah mereka berdua masih waras!
59 III Maria tak segera mengenali Harun. Lelaki setengah baya yang dulu selalu dilihatnya mengenakan seragam satpam berwarna putih kini bercelana panjang hitam dan kemeja batik lengan panjang. Rapi seperti mau ke resepsi. Rambutnya cepak seperti tentara. Kumisnya yang dulu lebat sekarang kelimis. Dan yang paling mencolok, tubuhnya yang dulu kerempeng sekarang gemuk. Perutnya tampak menggembung di balik kemejanya. Matanya yang kecil terlihat ceria di balik kacamata yang frame-nya modis. Dulu dia tak berkacamata. Sungguh penampilan yang berbeda. Demikian pula kesan yang ditimbulkannya. Dulu penampilannya cocok dengan profesinya, satpam yang tampak angker dan galak. Sekarang ia tampak intelek. Seperti dosen atau pejabat"
Kalau saja Henry tak mengatakan lebih dulu bahwa tamu ini adalah Harun, pastilah ia butuh waktu lama untuk bisa mengenalinya. Benar-benar pangling. Tetapi kesan berbeda itu mendadak terasa menyakitkan. Sepertinya ada hunjaman pisau tajam persis di tengah ulu hatinya. Nyeri dan ngilu. Menyakitkan dan memilukan. Kalau saja ia tak berusaha sekuatnya me-
60 nahan perasaan, pastilah ia sudah berbalik dan lari ke dalam. Dengan mengerahkan segala kekuatannya ia mampu menutupi perasaan sebenarnya, lalu tersenyum penuh keramahan. Ia menyambut uluran tangan Harun.
"Apa kabar, Bu Maria" Sehat-sehat saja"" tanya Harun.
"Oh, baik-baik saja, Pak. Anda sendiri pasti lebih dari sekadar baik, ya" Kelihatannya wah!"
Harun tersipu. Ia tak bisa memastikan apakah komentar itu pujian atau sindiran. "Sekarang saya memang sudah ganti profesi, Bu. Jadi sales. Maka penampilan nggak boleh galak lagi."
"Wah, jualan apa, Pak"" Maria ingin tahu.
Harun mengeluarkan kartu nama dari dalam dompetnya, lalu mengulurkannya kepada Henry. "Saya membantu Anwar, anak saya, mencari order. Dia punya percetakan kecil," jelasnya.
Henry mengingat-ingat. "Oh, si Anwar" Dulu dia pernah ke sini mengantarkan surat edaran siskamling. Ingat, Ma"" Henry menoleh kepada Maria.
Maria menggelengkan kepalanya. Dia tak ingat.
"Sekarang dia sudah sarjana muda, Pak. Lulusan akademi grafika," kata Harun bangga.
"Maju usahanya, Pak"" tanya Maria.
"Lumayan, Bu. Kalau Bapak dan Ibu sendiri bagaimana"" tanya Harun dengan nada simpati. Ia sudah mendengar tentang nasib toko Henry dari warga lain yang barusan dikunjunginya.
"Sekarang saya kerja, Pak. Jadi karyawan di pabrik garmen," sahut Henry tanpa beban. Tak ada gunanya merasa minder. Nasibnya sudah seperti itu.
61 "Terbalik ya, Pak"" kata Maria. "Dulu suami saya bos, sekarang kuli. Sedang Pak Harun dulu kuli, sekarang bos."
Henry melirik kurang setuju. Harun tersenyum canggung. "Saya bukan bos, Bu," katanya merendah. "Yang bos itu anak saya. Tapi dia cuma bos kecil, Bu. Oh ya, bagaimana Non Susan""
"Dia nggak mau pulang, Pak. Hatinya masih sakit."
"Saya maklum, Bu. Mudah-mudahan dia cepat pulih."
"Entahlah. Kayaknya susah," kata Maria sedih.
Henry mengalihkan persoalan. "Sudah ketemu Pak Mul di sebelah" Dia masih ketua RT, Pak."
"Belum. Tadi saya ke sana. Kata pembantunya lagi pergi."
"Sudah tahu siapa yang menghuni rumah sebelah sini, Pak"" Henry menunjuk arah rumah Adam.
Harun menggeleng. "Warga baru, Pak""
"Dia Adam Jaka yang dulu kerja di kantor proyek."
Harun tampak heran. "Insinyur Adam itu""
"Ya. Dia tinggal bersama istrinya yang sedang hamil. Anak pertama."
"Apakah dia tidak tahu bahwa Pak Sonny meninggal di situ"" Setelah ber
tanya baru Harun teringat bahwa Sonny adalah kekasih Susan atau calon menantu suami-istri Tan. Mestinya dia tidak mengungkit soal itu.
"Oh, dia tahu," sahut Henry.
"Kok dia berani tinggal di situ" Maksud saya, kan nggak enak rasanya." Harun merasa kelepasan ngo-mong.
Maria merasa tidak senang. Dia memang pernah
62 mempertanyakan masalah yang sama. Tapi bila Harun ikut-ikut mempertanyakan, dia menjadi jengkel. "Memangnya kenapa, Pak" Apakah Sonny menjadi hantu""
Henry menepuk lengan Maria yang duduk di sisinya di sofa. Menenangkan.
Harun tersipu. "Maaf, Bu. Bukan begitu maksud saya. Tapi... tapi..."
"Nggak apa-apa, Pak. Sebenarnya kami juga heran. Apalagi istrinya nggak diberitahu," Henry tidak keberatan menceritakan masalahnya.
Harun terperangah keheranan.
"Jadi kalau Bapak bermaksud ke sana, ingatlah akan hal itu. Jangan sampai membicarakannya di depan istrinya. Dia sudah meminta kami semua berjanji untuk merahasiakan hal itu. Sulit memang. Tapi mereka adalah tetangga yang baik."
"Wah, kalau begitu sebaiknya saya tidak ke sana. Takut kelepasan ngomong. Tapi boleh saya tahu, apakah Bu Adam sendiri betah tinggal di situ""
"Katanya sih betah. Dia akrab dengan kami."
"Masih banyak rumah kosong dan terbengkalai di kawasan ini. Waktu saya ke rumah Pak Gondo, saya juga ditawari untuk membeli salah satu. Katanya dijual murah. Tapi biar murah juga, mana sanggup saya beli"" Harun tertawa ringan. Dia juga teringat betapa geli perasaannya ketika berhadapan dengan Pak Gondo. Dulu Gondo suka melecehkannya. Sekarang dia dianggap bonafid hingga ditawari rumah. Kalau dulu, sewaktu dia masih menjadi satpam, siapa yang mau menawari kecuali bermaksud mengejek"
63 *** Maria lebih banyak diam mengamati dan mendengarkan pembicaraan suaminya dengan Harun. Tentu dia takkan lupa, bahwa pada hari celaka itu Harun lah yang tergopoh-gopoh menggedor pintu-pintu untuk memperingatkan penghuni mengenai bahaya serbuan perusuh. Dia juga yang menganjurkan dan membantu mengkoordinir pengungsian para warga ke lapangan golf. Lebih baik menyelamatkan jiwa daripada sia-sia berusaha mempertahankan harta dengan akibat cedera atau nyawa melayang. Para penjarah itu sudah kerasukan setan. Apalagi mereka pun didorong hasutan "Bunuh Cina!" Buktinya adalah apa yang telah dialami Sonny. Dia dan Henry tak pernah tahu kenapa Sonny tidak pergi mengungsi. Yang bisa menjawab pertanyaan itu cuma Sonny, padahal sudah jelas dia takkan mungkin bisa menjawab.
Ketika dia dan Henry, yang selamat pulang ke rumah meninggalkan toko yang sudah tak bisa dipertahankan lagi, tergopoh-gopoh memasukkan barang yang masih bisa dibawa ke dalam mobil, suasana sudah begitu menegangkan. Bagaikan dalam situasi perang. Mereka panik sekali. Sampai-sampai barang rongsokan yang justru mau dibawa. Tetapi dia sempat melongok ke halaman rumah Sonny yang tampak sepi. Ketika itu kedua orangtua Sonny, suami-istri Lie, kebetulan sedang berada di Amerika untuk mengunjungi Thomas, anak sulung mereka yang tinggal di sana. Sonny tinggal sendirian karena pembantunya juga sedang pulang kampung. Ketika itu Maria berteriak-teriak memanggil Sonny, tapi tak ada sahutan.
64 Dia juga menelepon, tapi tak ada yang mengangkat. Lalu Harun yang sempat membantu mereka memasukkan barang-barang ke dalam mobil mengatakan kemungkinan Sonny tak ada di rumah.
Belakangan, setelah suasana dianggap aman, mereka yang mengungsi berbondong-bondong kembali. Tentu saja mereka sangat syok melihat apa yang telah terjadi pada rumah-rumah mereka beserta isinya. Ada yang terbakar habis, ada yang terbakar tapi tak sampai habis, ada yang dirusak berat, ada yang cuma rusak ringan. Sedang harta di dalam rumah sudah tak ada lagi. Tetapi yang paling mengejutkan dan mengerikan adalah ditemukannya jenazah Sonny di dalam rumahnya yang sudah menjadi puing!
Maria jatuh pingsan melihat jasad Sonny yang mengenaskan. Tetapi Henry kuat bertahan meskipun sudah pucat pasi. Bagi mereka Sonny sudah seperti anak sendiri. Memang tak lama lagi dia akan jadi anak mereka juga bila sudah jadi menantu. Sonny akan menikah dengan Susan bila Susan sudah selesai sekolahnya
. Itu memang kehendak mereka berdua.
Ketika Barongsai Menari Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah kejutan dan guncangan teratasi, muncul kesulitan mahaberat. Bagaimana menyampaikan kabar itu kepada Susan" Betapa pun beratnya, kabar itu harus disampaikan. Sungguh menyiksa perasaan.
Lalu datang surat Susan yang menanyakan, kenapa dia dan Henry tidak mengajak Sonny ikut serta mengungsi" Kenapa begitu gampang menyimpulkan, bahwa Sonny sedang pergi hanya karena telepon tidak diangkat dan panggilan tidak disahuti" Siapa tahu ketika itu Sonny sedang tidur atau tidak enak badan hingga tidak mendengar berita kerusuhan itu.
65 Bukankah tidak masuk akal bila orang lain pergi mengungsi sementara dia sendiri tetap diam di rumah" Satu-satunya kemungkinan adalah dia terjebak dalam ketidaktahuan dan ketidaksiapan. Tahu-tahu sudah diserbu oleh massa yang haus darah.
Pertanyaan Susan itu menambah siksaan batinnya. Dia merasa bersalah. Dia dan Henry terlalu mementingkan diri sendiri. Cari selamat sendiri. Seharusnya mereka menggedor keras-keras pintu rumah Sonny, atau mendobraknya sekalian. Dengan demikian bisa diperoleh kepastian apakah Sonny ada di rumah atau tidak.
Kemudian surat Susan berikutnya menyusul. Isinya lebih tenang dan pasrah. Dia pun menyatakan penyesalan karena surat sebelumnya bernada emosional. Sesungguhnya dia. tidak bermaksud menyalahkan kedua orangtuanya. Tetapi Maria sudah telanjur merasa bersalah. Dia tahu, perasaan itu akan terus melekat padanya sepanjang hidupnya.
Maria mengangkat kepalanya yang tertunduk lalu menatap Harun. Yang dipandangi terkejut karena sorot mata Maria yang tajam menusuk seperti mau mengorek dan menembus sampai ke dalam benaknya.
"Ada apa, Bu"" tanya Harun waswas.
"Apakah Bapak menggedor pintunya dengan keras""
Harun bingung. Ia tak memahami makna pertanyaan Maria. Sepanjang pembicaraannya dengan Henry, Maria tak ikut berkomentar. Tahu-tahu bertanya begitu.
"Pintu siapa, Bu""
66 Henry segera memahami. "Maksudnya, pintu rumah Sonny waktu kerusuhan itu, Pak," katanya sebelum Maria keburu menjawab.
Harun tertegun sejenak. Ia sadar apa yang tengah dipikirkan oleh Maria dalam diamnya barusan. "Saya sudah menggedornya, Bu. Setiap rumah saya gedor sampai saya bicara dengan penghuninya. Tetapi Sonny tidak keluar atau menyahut. Maka saya memastikan perkiraan sebelumnya bahwa dia memang tak ada di rumah."
"Perkiraan sebelumnya apa, Pak"" sambar Maria. Henry pun ikut menatap Harun dengan ekspresi tegang.
Melihat tatapan kedua orang itu Harun menjadi ragu-ragu. Mungkin lebih bijaksana bila ia tidak mengatakannya. Apa yang sudah terjadi tak bisa diubah lagi. Yang mati tak mungkin bisa hidup kembali. Masa lalu biarlah berlalu. Tetapi di mata Maria terlihat desakan dan permohonan yang membangkitkan iba. Ia tahu hubungan Sonny dengan keluarga Tan. Ia juga mengenal Susan yang pernah dijumpainya beberapa kali saat pulang berlibur. Gadis itu selalu bersikap ramah kepadanya.
"Eh, Bapak kok diam saja"" desak Maria dengan tatapan curiga.
Harun memperbaiki duduknya. Ia merasa gerah. Dulu di rumah ini ada AC. Sekarang tidak ada.
"Begini, Bu. Waktu itu saya baru keluar dari rumah Pak A Hok di ujung sana itu." Tangan Harun menunjuk. "Dia sudah pindah sekarang. Saya melihat seseorang keluar dari rumah Pak Sonny sambil mendorong motor, merapatkan pintu pagar, lalu menaiki-
67 nya dan pergi. Saya cuma lihat punggungnya. Dia pakai jaket dan helm. Perginya ke arah yang menjauhi tempat saya berdiri, hingga tidak sempat berpapasan. Coba kalau ketemu, tentu saya bisa sekalian memberi-tahu."
"Ya. Dia memang suka naik motor. Apa itu motornya"" tanya Henry.
"Wah, nggak jelas. Saya nggak tahu persis motornya apa," sahut Harun.
"Apa karena itu Bapak tidak menggedor pintu rumahnya"" tanya Maria.
Harun tertegun. Pertanyaan itu menjebak. "Oh, saya kan sudah bilang bahwa saya telah menggedor pintunya. Sama seperti yang lain. Soalnya saya tidak begitu pasti apakah dia memang Sonny. Saya kan lihatnya dari belakang. Pakai helm lagi. Baru setelah tak ada sahutan saya tambah yakin bahwa dia memang pergi."
"Lantas kalau dia memang pergi, yang mati terbakar itu siapa""
Maria meremas tangan Henry
, yang merasa betapa dingin tangan istrinya itu. Dia jadi ikut merasa dingin.
Harun bingung sesaat. Ia tak pernah berpikir ke sana. "Jenazahnya kan sudah diperiksa. Bener dia, kan""
"Jenazah itu sudah hangus, Pak. Bagaimana mengenalinya"" tanya Henry dengan perasaan aneh.
Maria tersentak. "Jangan-jangan Sonny masih hidup, Pa!" ia berseru penuh semangat.
Henry dan Harun sama-sama terkejut. Gagasan itu mengerikan.
68 "Tapi kalau dia masih hidup, kenapa tidak muncul setelah begitu lama" Dia tentu tidak akan pergi begitu saja meninggalkan Non Susan."
"Betul, Ma," Henry membenarkan. "Jangan sembarangan menyangka, ah. Apalagi yang mengerikan seperti itu. Mungkin orang yang dilihat Pak Harun itu bukan Sonny, melainkan tamunya."
"Kalau memang begitu, tentunya Sonny ada di rumah dan tidak sedang tidur. Kenapa tidak menyahuti panggilan atau gedoran pintu"" bantah Maria.
Henry tak bisa menjawab. "Saya pikir, Pak Sonny memang sempat pergi sebelum tahu apa yang akan terjadi. Lalu dia buru-buru kembali lagi karena situasi jalan tidak aman," Harun menyimpulkan.
Henry mengangguk. "Itu paling mungkin. Jadi dia kembali untuk menyelamatkan barang atau mungkin juga menengok kita, Ma. Tetapi para perusuh keburu datang sebelum dia sempat pergi."
Maria menutup muka dengan kedua tangannya karena ngeri. Ia membayangkan adegan seperti yang dikemukakan Henry itu. Kasihan Sonny. Setiap orang memang harus mati pada suatu saat. Tapi hendaknya jangan dengan cara yang mengerikan.
Pada saat Henry menghibur Maria, Harun pamitan. Ia merasa lega setelah keluar dari rumah itu. Rumah yang menyimpan kenangan duka dengan penghuni yang tabah tapi terluka. Kemunculannya telah menguak luka lama yang sulit sembuh.
Dulu dialah yang mendorong mereka semua pergi mengungsi meninggalkan harta benda yang mereka sayangi. Bahkan ada yang begitu panik hingga tak
69 sempat membawa apa-apa. Ternyata hal itu membuat para penjarah jadi leluasa mengambil apa saja dari rumah-rumah yang ditinggalkan tanpa perlawanan sama sekali. Semua yang bisa diambil mereka ambil. Yang tak bisa diambil mereka rusak. Maka warga yang tak sempat membawa milik mereka tak lagi memiliki apa-apa kecuali pakaian yang melekat di tubuh.
Harun tahu, ada di antara warga yang menyesali dan menyalahkannya. Tetapi apa artinya harta dibanding nyawa" Mereka takkan mampu melawan para penjarah yang begitu beringas, bagaikan serigala yang sudah kelaparan dan sangat bernafsu. Buktinya adalah kematian Sonny.
Sesungguhnya kunjungan yang dilakukannya ini bukan semata-mata untuk promosi. Ia juga ingin tahu, bagaimana kabarnya warga Pantai Nyiur Melambai di era reformasi" Apakah mereka sudah bangkit kembali" Masih adakah orang-orang yang dikenalnya di sana"
Ia mengagumi beberapa di antara mereka yang ulet bertahan meskipun mengajukan alasan tak punya rumah lain dan tak punya uang lagi. Bagaimanapun terpaksanya, tinggal di pemukiman yang sebagian masih porak-poranda itu membuat luka hati sulit sembuh. Orang dipaksa hidup dengan kenangan mengerikan yang selalu segar karena setiap hari terpampang di hadapan mata Mana mungkin bisa melupakan"
Ia bisa memaklumi mereka yang terus terang mengakui bahwa mereka telah mengutuk habis-habisan para penjarah. "Pak Harun! Orang-orang
70 yang menjarah dan membakar rumah kami itu tidak akan selamat! Tidak ada orang yang bisa bahagia di atas kesedihan orang lain. Tidak ada "yang bisa menikmati harta jarahan dengan kedamaian di hati. Tidak ada! Hukum karma akan berlaku, Pak Harun!" Ia bergidik. Kutukan itu mengerikan.
Harun mengamati rumah Adam. Rumah yang bagus, pikirnya dengan kagum. Jauh lebih bagus daripada rumah sebelumnya ketika ditempati oleh keluarga Lie. Coraknya sama sekali tidak mengikuti pola rumah pada awalnya dibangun. Arsitekturnya unik. Rupanya Adam mewujudkan kemampuan dan angan-angannya pada rumah pribadinya. Ia bebas melakukannya tanpa kekangan atau hambatan karena itu miliknya. Ia memang pintar. Pasti dia sudah kaya sekarang.
Beberapa tahun yang lalu Harun mengenal Adam sebagai anak muda yang selalu mengeluh kekurangan uang. Menurut Adam, pihak proyek perumahan tidak me
mberinya gaji memadai. Ia juga merasa dianggap sebagai arsitek yang masih hijau hingga cuma dipercaya sebagai asisten saja. Bahkan kadang-kadang cuma jadi mandor bangunan! Tetapi Harun sendiri menganggap keluhan Adam itu tidak pada tempatnya. Sebagai sarjana yang belum berpengalaman pantas saja kalau Adam diperlakukan begitu. Bukankah setiap orang seharusnya mulai dari bawah"
Tetapi pemikiran itu tentu saja tidak diungkapkannya kepada Adam. Hubungan mereka cukup dekat, hingga keterusterangan seperti itu bisa merusak hubungan yang sudah terbina. Adam sering membagi
71 rokok atau kue-kue. Dan cuma Adam satu-satunya arsitek yang memperlakukannya sebagai teman. Lainnya menjaga jarak. Ia toh cuma satpam.
Adam punya angan-angan. "Kalau aku punya uang, kubeli tanah di sini lalu kubangun sebuah rumah yang lain daripada yang lain!"
"Yang nyentrik" Bentuk bola atau kerucut""
"Ah, nggak begitu dong, Pak. Nggak aneh sih. Tapi sesuatu yang spesial. Karyaku sendiri."
"Kudoakan suatu saat keinginan itu terkabul, Pak Adam!"
Ternyata keinginan itu memang terkabul.
"Cari siapa, Pak""
Harun terlonjak kaget. Lalu tersipu malu. Teguran itu tertuju kepadanya. Datangnya dari seorang perempuan setengah baya yang berada di balik pintu gerbang sebelah pinggir, terlindung dan tak terlihat olehnya. Lagi pula pikirannya sedang mengembara ke mana-mana.
"Pak Adam Jaka, Bu. Ada di rumah""
"Bapak mah lagi pergi. Kalau Ibu ada," sahut Bi Iyah.
"Lain kali saja saya mampir lagi, Bu."
Kembali Harun mengeluarkan kartu namanya lalu menyodorkannya pada Bi Iyah. "Ini kartu nama saya. Tolong berikan pada Pak Adam ya, Bu" Saya kenalan lamanya."
Baru beberapa meter berjalan, Harun mendengar klakson mobil di belakangnya. Sebuah mobil sedan berada di depan pintu gerbang rumah Adam, minta dibukakan pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka
72 lebar dan mobil itu meluncur masuk. Tak tampak pengendaranya karena kacanya gelap. Ia tahu Adam sudah pulang. Tetapi waktunya tidak ideal lagi untuk berkunjung. Masih ada hari esok. Ia toh sudah menyerahkan kartu namanya. Bila Adam berminat ia bisa menghubunginya. Maka ia meneruskan langkahnya. Jalan kaki menuju halte bus. Ia sudah mengenal betul daerah itu. Tadi Anwar menganjurkan untuk menggunakan mobil Kijang-nya daripada susah-susah menunggu bus. Tetapi ia merasa kurang enak. Di situ warga mengenalnya sebagai satpam yang hidupnya sederhana. Kalau sekarang ia datang bermobil, sepertinya mengejek orang-orang yang telah kehilangan harta secara mengenaskan, atau disangka mau pamer.
"Adam sudah mendapatkan mimpi-mimpinya," gumamnya.
Kalau saja orang bisa melihat ke depan tentu Adam tidak perlu terlalu banyak mengeluh, apalagi berputus asa. Ia bertanya-tanya sendiri. Apakah dalam keadaannya yang sekarang ini Adam masih ingat akan perilakunya dulu"
"Kau tahu apa yang terpikir olehku ketika melihat Harun" Apa yang terpikir itu membuat hatiku sakit," kata Maria kepada Henry. "Tidak."
"Dia kelihatan makmur, kan"" "Lantas kenapa""
"Jangan-jangan dia dulu ikut menjarah!" Henry terkejut. Belum sempat berkomentar, Maria sudah menyambung dengan bersemangat, "Coba pikir!
73 Siapa yang tahu apa yang dilakukannya pada saat kita semua pergi meninggalkan rumah masing-masing""
"Apa dia tidak takut di antara para penjarah ada yang mengenalinya""
"Sudah tentu dia lepas dulu seragamnya. Dan kalau sudah menjarah beramai-ramai begitu, mana ada yang mau menuding yang lain" Nanti saling tuding dong. Maling teriak maling. Ya, sama-sama lah."
"Lalu"" "Hasil jarahan dia jadikan modal. Tentu dia sangat memahami, siapa yang paling kaya di sini."
Henry merasa tergetar. Sulit baginya untuk mempercayai tuduhan itu. Apalagi kalau ia membayangkan sosok Harun yang riil barusan. Sepintar itukah Harun berpura-pura"
"Zaman sekarang ini kulit manusia sudah semakin tebal. Tak ada rasa malu. Tak ada rasa bersalah," kata Maria setelah Henry mengemukakan pendapatnya. "Mungkin juga dia mau mengecek apakah kita mencurigainya."
"Kalau begitu, kau pintar juga berpura-pura, Ma," gurau Henry.
Maria tersenyum. "Mungkin kulitku juga sudah menebal."
"Tapi sudahlah. Kita tinggalkan s
aja topik itu. Toh tak ada buktinya. Yang menarik bagiku adalah ceritanya tentang Sonny."
"Betul sekali. Apa kau sepakat dengan gagasanku tadi""
"Yang mana""
74 "Kemungkinan Sonny masih hidup." "Lantas ke mana dia sekarang" Kenapa tidak muncul""
"Siapa tahu dia menderita amnesia di suatu tempat."
"Ah, yang begitu cuma ada dalam cerita fiksi! Lantas siapa yang hangus terbakar itu""
"Salah satu penjarah yang sial."
Henry menggelengkan kepala. "Mana mungkin Sonny menghilang begitu saja."
"Atau dia sudah bergabung dengan Thomas dan orangtuanya""
"Di Amerika" Tanpa memberi kabar apa-apa kepada kita atau Susan" Orang gila namanya itu!"
"Lalu menurutmu apa""
"Entahlah. Teori yang dikemukakan Harun itu kedengarannya logis. Tapi apa iya Sonny sebodoh itu membiarkan dirinya terperangkap" Sudah pergi kok kembali lagi."
"Ya sudahlah. Daripada pusing-pusing memikirkan sesuatu yang takkan bisa kuperoleh jawabannya, lebih baik aku melanjutkan suratku pada Susan. Ada tambahan cerita tentang pertemuan kita dengan Harun."
Henry terkejut. "Tapi jangan sekali-sekali kau-sampaikan gagasanmu barusan." Maria tidak menyahut.
Adam keluar dari mobilnya, disambut Kristin. Adam memeluknya, mencium pipinya, lalu mengelus perutnya. "Apa kabar anakku" Masih tenang di dalam, kan"" guraunya.
75 Kristin tertawa. Sikap mesra Adam menghapus kekesalannya barusan. "Tenang apaan" Dia semakin sering saja menyepak-nyepak, Mas!"
"Dia sudah tak sabar melihat dunia rupanya."
Adam membimbing Kristin memasuki rumah. Bi Iyah mendekat. "Tadi ada tamu, Pak," ia melapor.
"Oh ya, ini kartu namanya, Mas." Kristin merogoh saku dasternya. "Ketemunya sama Bibi tadi."
Adam mengamati kartu nama. "Harun"" gumamnya dengan kening berkerut. Lalu ia menatap Bi Iyah. "Sudah lama atau baru saja, Bi""
"Baru saja, Pak."
"Ya. Paling juga lima menit," Kristin membenarkan. "Pas Bibi menyerahkan kartu nama itu kepadaku, klakson mobil kedengaran."
"Wah, belum lama dong. Dia pakai mobil, Bi""
"Kelihatannya jalan kaki, Pak."
"Coba kususul, ya. Mungkin masih di halte. Pergi sebentar ya, Kris!"
Sebelum Kristin bersuara, Adam sudah berlari pergi. Kristin cuma sempat membuka mulutnya lalu menutupnya lagi. "Kayak apa sih orangnya, Bi"" tanyanya ingin tahu. Sejak tinggal di situ mereka sangat jarang mendapat tamu.
Bi Iyah menceritakan dengan detil. Kristin tahu, orang itu bukanlah si lelaki misterius di seberang jalan yang tak pernah dilihatnya lagi.
Adam berlari melewati rumah Henry. Ia melihat tetangganya itu sedang berdiri di halaman rumahnya. Larinya terpaksa melambat lalu berhenti karena Henry
76 bergegas keluar. "Ada apa, Dam"" tanya Henry dengan ekspresi cemas.
"Nggak ada apa-apa, Oom. Cuma mau ke situ!" sahut Adam. Tanpa menunggu pertanyaan berikut ia berlari lagi. Bisa buang waktu kalau ia menjelaskan lebih dulu. Dorongan untuk bertemu Harun saat itu juga sangat besar. Begitu melihat kartu namanya, begitu saja pertanyaan bermunculan di benaknya. Ia seperti tersengat oleh keingintahuan yang sangat besar. Kenapa dan mau apa Harun mencarinya" Bagaimana Harun bisa tahu bahwa ia tinggal di situ sekarang"
Tentu ia tak perlu menemuinya sekarang juga. Ia terlalu impulsif. Alamat dan nomor telepon Harun jelas tertera di kartunya. Ia bisa menghubunginya besok lusa di waktu luang. Tetapi dorongan itu terlalu besar. Ia tahu, pertanyaan-pertanyaan yang belum ada jawabannya itu bisa membuatnya tak bisa tidur malam nanti. Ia akan gelisah semalaman. Harun adalah bagian dari masa lalunya. Memang banyak orang di situ juga merupakan bagian dari masa lalunya. Seperti Henry, Maria, keluarga Mulyono, dan beberapa yang lain. Mereka semua dikenalnya ketika ia masih bekerja di proyek, tetapi hanya sepintas lalu.
Dulu hubungannya dengan Harun cukup akrab. Ia tak punya teman lain yang bisa dijadikan keranjang sampah dari segala unek-uneknya, atau sabar mendengarkan mimpi-mimpinya. Sekarang setelah situasi berbeda, jauh berbeda daripada dulu, ia tak berharap bisa bertemu dengan Harun lagi. Aneh rasanya. Sebenarnya kunjungan Harun itu bisa dianggap
77 wajar. Mungkin secara kebetulan Harun datang menemui salah seorang
warga atau mantan bosnya, lalu mendapat informasi perihal dirinya. Mungkin juga dia sedang membutuhkan bantuan materi. Tentu Harun menganggap dirinya sudah kaya. Mustahil rasanya kalau kunjungan itu sekadar untuk bersilaturahmi saja.
Kalau saja Adam menyempatkan diri berbincang sejenak dengan Henry dan mengutarakan tujuannya berlari itu, tentulah ia tak perlu tergesa-gesa. Ia juga tak perlu gelisah memikirkan jawaban atas pertanyaan yang bermunculan di benaknya. Ia bisa tenang menunggu sampai besok lusa untuk bertemu dengan Harun. Atau ia bisa juga tak perlu menghubungi Harun sama sekali. Tetapi ia merasa tak punya pilihan.
Henry membelalakkan matanya. Ia cepat-cepat keluar ke trotoar, mengamati arah larinya Adam. Tetapi ketika Adam berbelok ia kehilangan objek. Pikirannya bekerja. Apakah Kristin kenapa-kenapa" Tapi kalau Kristin akan melahirkan, kenapa Adam yang lari" Dan kalau Adam membutuhkan bantuan, kenapa tidak minta kepadanya"
Penuh rasa ingin tahu Henry menuju rumah Adam.
"Selamat malam, Oom," sapa Kristin yang melihatnya lebih dulu. Ia berada di depan pintu gerbang yang dibuka sedikit.
"Oh, malam, Kris. Baik-baik saja""
"Baik, Oom. Mau ke mana malam-malam, Oom""
"Tadi kulihat Adam berlari." Henry menunjuk. "Mau ke mana" Apa dia mengejar maling""
78 "Bukan, Oom. Dia mengejar tamu yang tak sempat ditemuinya." "Tamu""
Kristin menceritakan perihal Harun.
"Oh, Harun." Lalu giliran Henry bercerita tentang kunjungan Harun ke rumahnya. Tentu saja ia tidak menceritakan semua materi pembicaraannya dengan Harun. Lebih-lebih tentang Sonny. "Dulu Adam cukup dekat dengan Harun. Mungkin dia kangen kepengin ketemu, Kris."
"Kangen sih kangen, tapi kok seperti itu." Kristin masih sulit memahami.
Harun masih berada di halte bus. Ia duduk santai menikmati waktunya. Tidak merasa kesal atau ingin buru-buru. Tidak ada yang menyuruhnya cepat pulang atau menunggunya dengan tak sabar di rumah. Istrinya meninggal beberapa bulan yang lalu. Sekarang ia tinggal bersama Anwar dan keluarganya. Tapi ia menempati bagian pavilyun. Dia seorang duda yang bebas dan mandiri. Dia juga tidak menumpang atau dibiayai hidupnya. Ia sangat aktif membantu pekerjaan Anwar. Banyak order cetak yang telah diperolehnya dan untuk itu ia mendapat komisi. Ia bangga akan kemampuannya sendiri.
Pikirannya masih dipenuhi pengalamannya tadi ketika berkunjung ke pemukiman Pantai Nyiur Melambai. Yang paling mengesankan adalah suami-istri Tan. Terutama Maria yang begitu emosional ketika mereka membicarakan Sonny. Sikap Maria itu juga menggugah perasaannya dan menggoyang keyakinannya. Bagaimana kalau ternyata Maria benar" Sonny-
79 kah yang ditemukan tewas terpanggang itu" Kalau bukan Sonny, lantas siapa" Celakanya, pertanyaan itu sulit dijawab. Andaikata makamnya digali pun akan mustahil mendapatkan jawabannya.
Selama ini ia tak pernah memikirkan soal itu. Tak terpikir sedikit pun. Masalah itu, kalau memang merupakan masalah, sepertinya terlalu kecil jika dibandingkan dengan banyak peristiwa besar yang terjadi di tanah air. Sekarang masalah itu menyeruak ke dalam benaknya menuntut perhatian dan pemikiran. Ah, gara-gara Ibu Maria.
Ia memang tidak perlu terlibat atau merasa bertanggung jawab. Itu adalah urusan masa lalu yang tidak punya sangkut-paut dengan dirinya. Sonny dan keluarga Tan bukan apa-apanya. Tetapi emosi Maria yang begitu meluap membangkitkan juga rasa penasarannya. Ia seperti tergelitik dan terangsang untuk mencari jawaban atas pertanyaan tadi. Tapi bagaimana caranya" Orang yang sudah mati tak bisa ditanyai.
Pada saat itu ia melihat Adam tergopoh-gopoh mendekat ke halte. Matanya mencari-cari tapi cuma sebentar mengarah kepadanya lalu berpindah ke orang-orang lain di sekitarnya. Harun segera berdiri, lalu menghampiri Adam. "Pak Adam! Cari siapa"" tegurnya setengah bergurau.
Adam terbelalak. "Waduh! Pangling aku, Pak!"
"Ah, masa pangling" Mungkin penerangannya kurang. Kalau siang sih pasti jelas."
"Bapak sudah berubah. Jadi gemuk dan... mana kumisnya""
Mereka tertawa setelah bersalaman. Keakraban masa lalu terasa kembali.
80 "Ayo ke rumah, Pak. Nanti saya anterin
pulang," ajak Adam. Harun teringat akan peringatan Henry dan Maria. Ia menolak dengan alasan sudah malam. Lalu mengajak Adam untuk duduk berbincang sebentar. Adam menerima tawaran itu. Ia memang cuma berbasa-basi saja dengan ajakannya. Memang ia bisa mengingatkan Harun untuk tidak memperbincangkan masa lalu rumahnya di depan Kristin, tapi bagaimana kalau Harun keceplosan bicara" Yang penting baginya adalah mengetahui motivasi kedatangan Harun.
Henry masih menemani Kristin di luar pintu pagar rumahnya. Menunggu Adam.
"Lama juga perginya, ya"" kata Henry.
"Iya, Oom. Pasti ia berhasil menemukannya lalu mengobrol dulu. Heran, kenapa tak diajaknya saja ke sini"" keluh Kristin.
"Di sini banyak nyamuk, Kris. Di rumah Oom saja nunggunya. Kita bisa mengobrol."
"Tante ada""
"Ada dong." Kristin menganggap itu usul yang baik.
Maria sudah menyelesaikan suratnya. Besok bisa dibawa Henry untuk diposkan. Rasanya lega bisa bercerita banyak kepada Susan. Kata Susan, ia senang sekali membaca ceritanya. Semakin panjang semakin senang. Kalau menulis surat pendek-pendek, itu sama saja dengan tidak menulis surat.
Lalu seperti kebiasaannya, setiap selesai menulis surat ia mengeluarkan album foto yang disimpannya
81 di laci. Album itu berisi foto-foto keluarga. Ia membawanya ke sofa ruang depan. Selalu begitu. Sambil mengamati foto-foto Susan, ia membayangkan bagai-mana putrinya itu membaca cerita yang ditulisnya. Ia juga mengingat kembali ceritanya. Kalau sampai ke bagian yang satu itu, bagaimana kira-kira ekspresi Susan" Kata Susan, ia punya bakat jadi penulis. Ceritanya enak dibaca. Ah, anakku. Sebenarnya aku tidak mau terus-terusan menulis saja untukmu. Aku juga ingin bicara dan mendengar suaramu! Dan melihat langsung wajahmu, bukan fotomu! Apakah kau tidak punya keinginan yang sama terhadap diriku dan ayahmu"
Lalu ia mendengar suara Henry dan Kristin. Keningnya berkerut. Kenapa Kristin malam-malam ke sini" Apakah si Adam belum pulang" Atau Kristin memerlukan sesuatu" Cepat-cepat ditutupnya album dan diletakkannya di sofa, lalu ia berdiri untuk menyambut kedua orang itu.
Henry bercerita dengan cepat dan singkat perihal Adam yang pergi mengejar Harun. Lalu Maria membimbing Kristin duduk di sofa. "Betul sekali, Kris. Mendingan nunggu di sini saja. Kebetulan aku bermaksud membuat cokelat susu. Mau, ya" Mengobrollah dulu sama Oom."
Maria bergegas ke dapur. Henry menjadi agak canggung ditinggal berdua saja. Otaknya bekerja mencari bahan pembicaraan. Tetapi Kristin tidak merasakan kecanggungan Henry. Tatapannya tertuju kepada album foto di sebelahnya. Ia meraihnya.
"Itu album keluarga, Kris," Henry mendapat bahan pembicaraan. Ia pindah duduk ke sisi Kristin supaya
82 bisa menjelaskan foto siapa saja yang ada di dalam album. "Itu foto perkawinan Oom sama Tante. Sudah kuning, ya" Dan itu foto Ike dan Susan saat masih bayi. Itu Ike yang baru masuk TK di depan sekolahnya. Lalu Susan yang menyusul bersekolah di TK yang sama. Keduanya berbeda usia lima tahun."
"Aduh, lucu-lucu sekali ya, Oom. Sungguh suatu keluarga yang harmonis," puji Kristin. Terpikir apakah ibunya masih menyimpan foto-foto dirinya ketika masih bayi.
"Nah, itu mereka berdua sudah jadi gadis remaja."
"Cantik-cantik," kembali Kristin memuji.
"Itu foto perkawinan Ike dan Daniel. Lalu itu anak-anak mereka."
Kemudian Kristin teringat pada Susan dan kekasihnya. Ia tidak menanyakan melainkan membalik terus lembaran album untuk menemukannya sendiri. Tetapi ia menahan diri untuk tidak terang-terangan melakukannya. Pelan-pelan saja sambil mendengarkan penjelasan Henry. Mungkin juga sang kekasih tidak termasuk dalam album karena ia belum menjadi anggota keluarga, pikirnya.
Kemudian tiba halaman terakhir. Ada dua foto ukuran kartupos bersebelahan. Yang satu menampilkan sepasang gadis dan pemuda. Si gadis adalah Susan. Keduanya berdampingan dalam pose setengah badan. Wajah mereka penuh senyum. Yang satu lagi foto si pemuda yang sama sedang berdiri sendirian dalam pose seluruh badan. Dia pun sedang tersenyum. Kali ini tak terdengar penjelasan dari Henry. Entah enggan atau sudah capek bicara. Tetap
i Kristin tidak 83 memedulikannya. Tatapannya tajam mengarah kepada si pemuda dalam foto. Matanya tak mau berkedip. Ada kejutan luar biasa menyergapnya. Wajahnya memucat lalu ia memekik pelan.
Henry terkejut. Ia meraih lengan Kristin yang terasa dingin. "Kenapa, Kris" Kenapa"" tanyanya panik.
Kristin masih saja diam dengan tatapan tertuju kepada foto tadi. Ia mematung seperti kena sihir.
"Maa! Maaa...! Cepat ke sini!" teriak Henry memanggil istrinya. Ia bingung dan takut.
Maria yang memang sedang menuju ke ruang itu diiringi pembantunya yang membawa baki dengan cangkir-cangkir berisi cokelat susu segera mendekat dengan tergopoh-gopoh. Ia melompat menubruk Kristin dan memeluknya. Segera tatapannya tertuju ke halaman album di pangkuan Kristin. Ia juga sempat melihat ke mana arah tatapan Kristin yang begitu lekat. Jantungnya jadi bergetar.
"Kris! Kriiis!" panggilnya lembut. Tangannya menepuk-nepuk pelan punggung Kristin.
Kristin tersadar. "Apa itu... itu..." Tangannya menunjuk si pemuda dalam foto. "Apa itu kekasih Susan yang sudah meninggal"" tanyanya pelan tapi jelas.
Maria bertukar pandang sejenak dengan Henry. "Betul, Kris. Jelas, kan" Mereka berfoto bersama," sahut Maria dengan perasaan aneh.
"Apakah dia punya saudara kembar""
"Tidak." "Punya saudara lelaki""
"Oh ya. Ada seorang kakaknya."
"Mirip"" 84 "Sedikit saja. Tapi kakaknya lebih tua sepuluh tahun. Tidak secakep adiknya. Memangnya kenapa, Kris"" Maria merasa cemas.
Kristin tidak menjawab. Tubuhnya terasa lemas. Sepertinya melayang.
"Siapa namanya, Tante""
"Sonny." "Dulu dia tinggal di rumah saya, kan""
Maria berpandangan lagi dengan Henry. Maria menggeleng kuat-kuat. Bukan aku yang mengatakan, begitu kata ekpsresinya. Ia memalingkan muka, tak mau menjawab pertanyaan Kristin.
"Benar kan, Oom"" desak Kristin, mengalihkan tatapannya kepada Henry.
"Benar, Kris," sahut Henry dengan terpaksa. Biarlah kuterima risiko dimarahi Adam, pikirnya.
"Dari mana kau tahu, Kris" Kami tidak mengatakannya, kan"" Maria bertanya dengan penasaran.
Tetapi Kristin masih merenungi foto itu. Terbayang lagi lelaki misterius yang selalu dilihatnya berdiri di seberang jalan memandangi jendelanya. Senyumnya. Gaya berdirinya. Dia ada di foto itu! Dia adalah Sonny!
Tiba-tiba Kristin memekik lagi. Album di pangkuan jatuh ke lantai. Maria memeluknya. Henry melompat untuk memungut album dan meletakkannya kembali di sofa. Kali ini Kristin memegang perutnya dan wajahnya meringis kesakitan. "Saya kira sudah dekat, Tante. Ada kontraksi. Kuat sekali! Aduh!"
Pedang Penakluk Iblis 9 Roro Centil 15 Langkah-langkah Manusia Beracun Ratu Kembang Mayat 2
KETIKA BARONGSAI MENARI Oleh: V. Lestari Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
Teruntuk Ikka Vertika Cerita ini merupakan khayalan belaka.
Setelah lebih dari tiga puluh dua tahun lamanya dikurung dan dipasung, liong dan barongsai diperbolehkan turun ke jalan untuk menari. Mereka meliuk-liuk dengan gagah dan penuh semangat. Bukan cuma menghibur, tapi juga mengharukan, karena menjadi simbol dari kembalinya harga diri dan martabat.
Semoga masa lalu yang mengerikan tak akan terjadi lagi.
Damailah di tanah merdeka, berbagi bersama, dalam suka dan duka.
I Jakarta Utara, kawasan Pantai Nyiur Melambai. Pertengahan bulan Mei 1999.
Baru sebulan Kristin menempati rumah barunya bersama Adam, suaminya, dan calon bayinya, yang diperkirakan akan lahir bulan depan. Sebelumnya mereka mengontrak sebuah rumah kecil. Toh mereka hanya bertiga dengan seorang pembantu. Rumah kecil lebih gampang diurus. Dan saat itu mereka memang tengah menunggu pembangunan rumah baru itu selesai. Kristin sangat berharap mereka dapat menempatinya sebelum bayinya lahir. Untunglah harapannya terwujud. Jadi ia punya cukup waktu untuk menyiapkan sebuah kamar bayi.
Membenahi rumah memang cukup merepotkan untuk Kristin yang sedang hamil tua. Tapi Adam dan Bi Iyah, pembantunya, tidak membiarkan ia bekerja terlalu keras. Adam tidak henti-hentinya mengingatkannya. Padahal kalau sedang asyik bekerja, Kristin sering kali lupa akan kondisinya.
Kristin sangat puas akan rumah itu. Hadiah luar biasa dari Adam. Begitu yang selalu dikatakan Adam
11 kepadanya. Padahal sesungguhnya rumah itu tetap milik Adam, bukan diberikan untuknya. Tetapi ia memang menganggapnya sebagai hadiah.
Rumah itu merupakan surprise bagi Kristin, karena Adam tak pernah mengajaknya untuk melihat proses, pembangunannya. Jadi ia tidak pernah tahu sampai di mana kemajuannya dan kapan kira-kira bisa ditempati. Adam cuma menjanjikan, "Sebentar lagi, Kris! Sabarlah!" Bahkan ia tidak diberitahu di mana lokasinya! Karena itu ia sempat berprasangka, jangan-jangan Adam cuma membual saja.
Lalu ketika hari memamerkan rumah itu tiba, Adam juga tidak memberitahu dia lebih dulu. Adam membawanya ke sana seakan sambil lewat saja usai berjalan-jalan. Lokasinya di Jakarta Utara, di sebuah kawasan perumahan bernama Pantai Nyiur Melambai.
Sebuah nama yang menggelitik perasaannya, sebab nama itu mengingatkannya kepada sebuah tragedi yang terjadi setahun yang lalu. Tragedi di pertengahan Mei tahun sembilan belas sembilan delapan. Sebuah^ tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Dan tempat itu, lokasi di mana rumahnya berada, sampai sekarang masih mengingatkan orang akan tragedi itu.
Dulu, sebelum tragedi itu terjadi, kawasan Pantai Nyiur Melambai merupakan lokasi pemukiman yang sangat nyaman dengan deretan rumah berdesain indah. Sebuah kawasan untuk golongan elite. Tapi sekarang, bahkan setelah lewat setahun, kawasan itu masih saja terlihat merana bagaikan habis mengalami perang atau terkena rudal. Ada rumah yang hancur lebur, ada yang cuma tinggal puing atau dinding
12 menghitam. Semua merupakan saksi bisu dari sejarah yang kelam.
Kristin terkejut melihat rumahnya berada di kawasan seperti itu. Memang tidak semua rumah dalam kondisi buruk. Hanya sekitar empat puluh persen saja yang ambruk dan karenanya tidak berpenghuni. Biarpun demikian, kesannya tetap tidak nyaman. Dengan tinggal di situ orang akan selalu diingatkan kepada tragedi itu. Jangankan empat puluh persen, satu-dua rumah saja yang hancur menghitam, akan jadi monumen. Kenangan abadi suatu tindak kekejian yang luar biasa. Bahwa manusia pada suatu ketika bisa berperilaku seolah dia bukan manusia.
Tetapi Kristin jatuh cinta kepada rumahnya. Adam pun menyodorkan alasan yang sangat masuk akal.
"Cepat atau lambat, pemilik rumah-rumah itu akan kembali dan merenovasi rumah mereka, atau menjualnya dan pemilik baru yang membangun. Lalu kondisi pemukiman ini akan pulih."
Kristin bisa menerima alasan itu. Ia tidak lagi risau karena rasa tertariknya pada rumah itu jauh lebih besar. Desain rumahnya sungg
uh unik. Bagus luar dan dalam. Adam, seorang arsitek, merancangnya sendiri. Kristin bangga akan rumahnya. Dan bangga pada Adam.
Beberapa hari setelah menempati rumah itu ia mulai bermimpi. Seperti halnya setiap mimpi, tak ada ujung-pangkalnya. Tetapi mimpi itu beberapa kali berulang sama. Di situ ia melihat dirinya terbaring di atas brankar yang dilarikan kencang. Ia tak bisa bergerak sedikit pun karena tangan dan kakinya terikat erat
13 ke sisi kereta. Yang mendorongnya Adam! Ia bisa melihatnya karena posisi Adam berada di bagian kakinya. Wajah Adam tampak aneh, mengerikan dan tidak manusiawi. Ia berteriak-teriak minta dilepaskan, tapi sedikit pun Adam tak menatap kepadanya. Pandangnya lurus ke depan.
Akhirnya mereka masuk ke sebuah ruang yang tampaknya seperti kamar bedah. Ia diletakkan di bawah lampu besar yang terang sekali nyalanya. Kemudian ia melihat Adam mengambil sebuah pisau besar yang ujungnya runcing. Pisau itu berkilat kena cahaya. Lalu Adam menjulurkan tangannya yang menggenggam pisau itu ke arah perutnya yang membuncit! Ia berteriak... Lalu terbangun dengan tubuh berkeringat dingin. Ternyata ia masih aman dan nyaman di atas tempat tidurnya. Sementara Adam di sisinya tetap tidur nyenyak tanpa terusik. Rupanya teriakannya kurang nyaring untuk bisa membangunkan Adam.
Ia tak pernah menceritakan mimpi-mimpinya kepada Adam. Takut Adam tersinggung. Juga takut kalau-kalau dicemooh. Menurut penilaiannya Adam memiliki ego yang tinggi. Superior dan cenderung otoriter. Suami adalah raja dalam rumah tangga. Pantang ditentang, apalagi dilawan. Tetapi Adam bisa menetralisir segi negatif itu dengan ekspresi cinta, dalam kata dan perbuatan! Itu juga salah satu sebab kenapa Kristin tak perlu menderita stres berkepanjangan. Obatnya adalah cinta! Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan.
Akhir bulan Mei. Mimpi itu tak datang lagi pada saat Kristin mulai
14 menerimanya sebagai bagian dari tidurnya. Ia tak lagi memikirkannya. Tapi muncul masalah lain. Yang ini bukan mimpi, tapi riil. Dan justru karena itu jadi menakutkan. Tiba-tiba ia tak lagi merasakan gerakan bayi di dalam perutnya. Padahal sebelum pindah ke rumah itu ia masih merasakan kuatnya gerakan si bayi. Dan dokter yang secara rutin memeriksanya menyatakan dirinya dan bayinya baik-baik saja. Ia jadi teringat lagi kepada mimpinya. Bagaimana kalau mimpi mengerikan itu benar-benar jadi kenyataan"
Bayangkan! Ia akan melahirkan bayi yang tak bernyawa! Betapa marahnya Adam! Suaminya itu pasti akan menyalahkannya karena telah melalaikan keselamatan si bayi. "Barangkali kau terlalu capek mendandani rumah ini! Sudah dibilang jangan capek-capek! Suruh saja Bi Iyah kalau perlu apa-apa!"
Mestinya ia segera memeriksakan dirinya lagi ke dokter. Cuma dokter yang bisa memastikan kondisi si bayi. Tetapi ia takut mengetahui kebenaran. Ia juga takut mengatakannya kepada Adam. Sepertinya memberitahu salah, tidak memberitahu juga salah. Maka ia cuma bisa berharap dan berdoa, semoga si bayi bergerak lagi. Ayolah, anakku! Jangan keenakan tidur betapapun nyamannya di dalam! Ayolah bergerak lagi!
Kristin membelai perutnya yang buncit. Sejak menyadari kelainan itu ia benar-benar mengurangi kegiatannya. Ia lebih banyak tidur-tiduran di kamar. Padahal ia masih ingin mendandani rumahnya, kamarnya dan kamar si bayi. Ia berharap istirahat bisa menjadi solusi kecemasannya.
Setelah bosan tiduran ia duduk di depan jendela
15 kamarnya yang terletak di loteng dan menghadap ke jalan. Dari sana ia bisa melihat objek bergerak. Sayang suasana di jalan dan sekitarnya sering kali sepi. Untuk orang yang menyukai ketenangan dan kenyamanan, tentunya kawasan ini dianggap ideal. Tetapi suasana sepi di situ kadang-kadang terasa keterlaluan. Sering kali ia berupaya mengatasinya dengan memutar musik keras-keras. Tapi sepanjang-panjangnya sebuah lagu, tetap ada akhirnya. Lalu sepi yang sama kembali menyergap.
"Bila anak kita lahir, rasa sepi itu akan hilang," hibur Adam. "Dia akan mengisi rumah kita dengan tangis dan teriakannya. Kau akan sibuk. Tidak seperti sekarang ini. Tak ada kegiatan. Jadi bersabarlah."
Tentu saja ia akan bersabar. Sebenarnya ia juga tidak menganggur sama sekali. Ia mengisi waktu dengan menjahit, baik pakaiannya sendiri maupun baju-baju kecil untuk si bayi. Ia memilih warna putih untuk baju bayi, dinding kamar, maupun perlengkapannya. Warna itu dianggapnya netral, untuk lelaki maupun perempuan. Ia dan Adam sudah memutuskan untuk tidak melakukan USG. Biarlah kemunculan si bayi menjadi surprise yang menyenangkan. Lelaki atau perempuan kan sama saja. Dalam hal itu ia dan Adam se-pendapat tanpa yang satu mempengaruhi yang lainnya.
Ketika memandang ke luar jendela dan melihat pemandangan di seputar pemukimannya, mau tak mau ia membayangkan kembali tragedi itu. Meskipun tidak mengalaminya secara langsung, tetapi dari tayangan televisi dan berita di koran ia bisa mem-
16 bayangkannya. Ketika itu sekelompok massa seperti kemasukan iblis. Mereka mengamuk, menjarah, menghancurkan, menganiaya, memerkosa, membunuh, dan membakar. Hampir berbarengan, di berbagai sudut kota Jakarta pun terjadi kerusuhan besar-besaran dengan cara yang mirip satu sama lain. Gedung dibakar, isinya dijarah ramai-ramai, sementara penghuninya dianiaya, diperkosa, atau dibunuh.
Sebagian besar korban adalah orang Tionghoa atau orang Indonesia keturunan Cina. Jelasnya kerusuhan itu bermotifkan rasialisme. Serangan ditujukan secara khusus kepada kelompok etnis tertentu. Dalam hal ini Tionghoa. Tragedi luar biasa itu menimbulkan kegemparan di seluruh dunia. CNN memberitakannya ke mana-mana. Menyakitkan tapi juga memalukan! Banyak orang Indonesia merasa malu mengaku sebagai orang Indonesia bila berada di luar negeri. Orang lain yang berbuat, diri sendiri kena getahnya. Mereka kerap kali ditanyai, "Mengapa Anda membiarkan saja penganiayaan berlangsung di depan mata Anda tanpa berusaha menolong Anda malah sibuk memasang label-label pengaman di depan rumah sendiri! Takut membela kebenaran""
Pertanyaan itu tentu saja sulit dijawab!
Saksi mata mengatakan para perusuh sangat ganas. Mereka seperti bukan manusia. Bahkan perempuan dan anak-anak yang ikut serta pun tidak kelihatan seperti manusia. Memang tidak masuk di akal, bagaimana mungkin orang bisa bergembira ria di atas penderitaan orang lain. Apakah mereka kerasukan setan" Cuma iblis yang bisa menari-nari di api neraka. Atau mungkinkah mereka dihinggapi sejenis
17 virus pengacau otak" Pertanyaan itu memang masih tetap menjadi pertanyaan lama kemudian. Tak ada yang bisa menjawabnya. Tak bisa atau tak mau" Konon, segala sesuatu yang berhubungan dengan setan memang tak bisa dijawab. Sementara yang namanya virus sering kali belum ditemukan obatnya. Dan kalaupun suatu saat berhasil ditemukan obat atau vaksinnya, ia telah memakan korban yang jumlahnya tak terhitung!
Kristin tahu betul tentang hal itu. Semua orang Indonesia, yang peduli maupun yang tak peduli akan negerinya, pasti tahu. Bagaimanapun semua berkepentingan karena identitas yang disandang. Bukan cuma Jakarta atau kota-kota lain yang dilanda kerusuhan, tapi juga seluruh pelosok negara. Bukan cuma korban langsung yang sakit hati, tapi juga mereka yang beruntung tidak menjadi korban. Bagaimana mungkin hal seperti itu bisa terjadi" Tapi nyatanya itu terjadi. Bahkan lebih buruk dari mimpi buruk atau khayalan yang mengerikan!
Khusus mengenai kompleks perumahan yang dihuninya sekarang ini, Kristin tidak tahu banyak. Ia mengetahui kisahnya dari Adam yang memang warga Jakarta sejak lahir. Kristin sendiri berasal dari Semarang. Baru dua tahun belakangan ia menetap di Jakarta. Ia pindah ke Jakarta karena mendapat promosi di kantor pusat perusahaan tempatnya bekerja, sebuah perusahaan telekomunikasi ternama. Orangtua-nya sebenarnya berat hati melepasnya ke Jakarta. Di Jakarta banyak bandit! Tetapi ia berkeras hati. Kalau tidak diambilnya kesempatan itu, maka rekan lain akan menyambarnya. Padahal zaman sekarang ini
18 pekerjaan susah dicari. Krisis moneter yang sudah berlangsung lama tak mungkin pulih dalam sekejap. Pengangguran pun berlipat ganda setelah pemecatan karyawan di mana-mana terus saja terjadi.
Lalu ia bertemu dengan Adam, berpacaran, dan kemudian me
nikah. Semuanya serba singkat. Tetapi ia yakin akan cintanya. Tak ada orang yang sempurna. Sama seperti dirinya sendiri. Setiap orang pun memiliki kelebihan dan kekurangan. Seperti Adam. Seperti dirinya.
Dulu, di kota kelahirannya dan kemudian saat indekos di Jakarta, ia tinggal di kawasan hunian yang padat. Banyak tetangga, ramai dengan celoteh kiri-kanan. Tak pernah sepi siang-malam. Tiba-tiba lingkungan barunya berbeda seperti bumi dan langit.
"Justru karena keadaannya begini, aku mampu membeli rumah ini," Adam menjelaskan. "Pemiliknya tak mau menempati lagi. Ia ingin segera menjualnya tapi tak kunjung laku. Jadi dia terpaksa menjual supermurah."
"Kenapa"" Kristin tak mengerti. "Bukankah tanah dan rumah di sini nilainya mahal""
"Mereka ingin melupakan pengalaman pahit yang mereka alami tahun lalu. Jadi tak ingin kembali ke sini. Sedang orang lain telanjur menganggap daerah ini kelam karena sejarahnya."
"Tapi toh ada yang kembali. Seperti para tetangga kita yang sedikit itu."
Adam tertawa. "Untung ada yang kembali, bukan" Jadi kita bisa punya tetangga. Yah, kukira mereka terpaksa kembali karena tak punya tempat lain."
19 Lalu Adam merengkuhnya dengan ekspresi cemas. "Kau tidak takut tinggal di sini, bukan""
"Takut" Ah, nggak. Cuma tidak biasa saja."
Adam tampak lega. "Sesuatu yang baru memang harus dibiasakan. Semua perlu waktu."
"Kukira begitu. Rumah ini bagus dan menyenangkan kok."
"Syukurlah. Tetangga sebelah tidak cerita macam-macam, kan""
"Macam-macam apa""
"Bukan apa-apa." Adam seperti kelepasan bicara. "Tapi mereka yang pernah mengalami kengerian masa lalu bisa saja mendramatisasi ceritanya."
"Aku yakin mereka akan berusaha sedapat mungkin membuatku betah di sini. Jadi tak mungkin menakut-nakuti dengan cerita-cerita ngeri."
Adam sangat lega. Kristin memang sungguh-sungguh. Ia senang pada rumah barunya. Dan sudah tidak sabar ingin membanggakan rumahnya itu pada Papa dan Mama. Mereka akan mengagumi. Tapi saat ini kedua orang tua itu masih sangat takut pada kota Jakarta. Mereka terlalu banyak mendengar dan melihat peristiwa mengerikan dari media massa. Mungkin kalau cucu mereka lahir nanti, barulah daya tarik untuk datang lebih besar daripada rasa takut itu.
Kristin teringat lagi. Ia membelai perutnya. Sudahkah terasa gerakan di dalam sana" Ketika sedang berkonsentrasi, tatapannya tertuju ke luar jendela. Langsung ke satu titik. Ia terkejut. Orang itu ada lagi di sana. Dia seorang lelaki bertubuh tinggi ramping dengan pakaian rapi seperti orang kantoran. Celana
20 panjang hitam dan kemeja putih lengan panjang. Cuma tak pakai dasi. Wajahnya tampan. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya tebal agak gondrong. Ia berdiri dengan posisi santai. Kedua tangan ke belakang. Ekspresinya seperti orang yang tengah meninjau situasi. Tubuhnya menghadap ke rumah Kristin. Sedang di belakangnya tegak sebuah rumah kosong yang sudah tak beratap dan sebagian dindingnya hancur.
Kristin tak ingat persis sudah berapa kali ia melihat orang itu di sana, di tempat yang sama dan dalam posisi yang sama. Pandangannya selalu ke arah rumahnya. Pada mulanya ia berpikir, orang itu sedang mencari rumah yang cocok mengingat di daerah itu" ada banyak rumah yang mau dijual. Atau mungkin juga ia sedang mengagumi rumahnya. Tapi, kenapa tak cukup sekali dua kali saja" Yang membuatnya terkejut sekarang adalah karena tatapan orang itu lurus kepadanya, langsung ke matanya. Mereka beradu pandang. Tak mungkin dibelokkan atau dialihkan. Padahal biasanya tak pernah begitu. Biasanya orang itu tak pernah mengarahkan matanya ke jendela kamarnya meskipun tatapannya berputar ke sana-sini. Karena itu biasanya Kristin tak begitu memedulikan. Tentunya sah-sah saja bagi siapa pun untuk berdiri di tepi jalan mengamati suasana. Yang penting orang itu tidak sedang mengamati dirinya.
Segera setelah beradu pandang orang itu tersenyum, mengangguk dan membungkuk dengan amat sopan. Kristin jadi tersipu dibuatnya. Cepat-cepat ia membalas senyumnya sambil menganggukkan kepala juga. Karena merasa tak enak untuk terus duduk di
21 situ sementara orang itu pun berada di seberang sana, ia
berdiri. Tampak olehnya tatapan orang itu masih tertuju kepadanya. Kristin tersenyum dan mengangguk lagi sebagai isyarat bahwa ia akan pergi dari situ. Tiba-tiba orang itu mengangkat sebelah tangannya lalu bergerak menyeberang jalan. Kristin tertegun sejenak. Kalau ia tak salah tangkap tampaknya orang itu berniat untuk mendatangi rumahnya. Setelah berpikir dan menimbang-nimbang, ia memutuskan untuk turun dan melihat.
Di ruang depan ia berpapasan dengan Bi Iyah, pembantunya, yang tampaknya baru saja masuk dari luar rumah. "Ada tamu ya, Bi"" tanyanya.
Bi Iyah diam sejenak, memandangnya dengan heran. Lalu ia menggeleng. "Tamu mana, Bu" Nggak ada."
"Tadi Bibi di luar""
"Iya, Bu. Tapi nggak ada siapa-siapa yang datang." "Coba lihat lagi, Bi."
Kristin mengikuti langkah Bi Iyah. Mereka keluar.
Memang tak ada siapa-siapa di depan pagar. Jalan depan rumah pun sepi. Hanya kendaraan bermotor melintas sesekali. Di seberang jalan pun tak ada siapa-siapa. Orang itu sudah tak tampak.
Kristin merasa kecele. Rupanya orang itu tidak bermaksud bertandang. Ia cuma menyeberang lalu pergi. Lalu Kristin menyadari tatapan Bi Iyah yang tampak bingung. Cepat-cepat ia tersenyum. "Tadi dari jendela aku melihat ada orang menyeberang dari sana." Ia menunjuk rumah di seberang. "Kukira dia mau ke sini. Mungkin mau nanya-nanya soal rumah."
22 Bi Iyah mengerutkan keningnya. "Rasanya mah nggak ada siapa-siapa, Bu. Lelaki atau perempuan, Bu""
"Lelaki." Bi Iyah menggeleng. "Nggak ada, Bu."
"Ya sudah. Mungkin Bibi lagi nyapu atau apa hingga tak melihat."
"Bibi nggak ngapa-ngapain tadi, Bu."
Kristin merasa seperti orang bodoh ketika menatap perempuan setengah baya di depannya. Siapa sebenarnya yang bodoh" "Ya sudah. Mungkin Bibi kebetulan saja nggak melihat ke seberang."
"Ah, Bibi justru lagi santai di depan pagar menghitung mobil lewat, Bu. Masa nggak melihat kalau ada orang," Bi Iyah berkeras.
Kristin tak mau lagi berdebat dengan Bi Iyah. Ia mengalihkan persoalan.
"Hati-hati sama orang yang tak dikenal, Kris," Adam mengingatkan ketika Kristin menceritakan hal itu.
"Tampaknya dia orang baik-baik, Mas. Sepertinya dia sedang bingung dan membutuhkan informasi. Habis sudah beberapa kali kulihat dia di sana, memandang ke sana-sini."
"Siapa tahu dia sedang mencari calon korban untuk dirampok atau ditipu. Jangan cepat mempercayai orang tak dikenal. Kelihatannya saja baik-baik. Dalamnya belum tentu."
"Jangan-jangan dia sedang mencari anggota keluarganya yang pernah jadi korban kerusuhan," kata Kristin penuh iba. "Lalu dia melihat keadaan di sini dan menjadi syok karenanya."
23 "Setelah lewat setahun" Kenapa menunggu begitu lama""
"Siapa tahu tadinya dia di luar negeri. Baru sekarang dia sempat ke sini," Kristin berimajinasi.
Adam mengerutkan kening. Sekarang tampak serius. "Apa dia orang Tionghoa""
Kristin berpikir sejenak. "Sepertinya iya. Kulitnya memang kuning. Rambutnya hitam lurus. Tapi matanya biasa-biasa saja. Seperti matamu dan mataku." Kristin tertawa. "Ya. Kita berdua juga punya darah Cina, ya" Biarpun fifty-fifty, tapi ada. Susah juga memastikan etnis seseorang. Bisa salah."
Adam tidak ikut tertawa. "Coba gambarkan dengan lebih jelas ciri-cirinya, Kris," katanya serius.
"Dia lebih tinggi sedikit darimu. Ramping. Wajahnya cakep juga. Alisnya tebal. Sorot matanya tampak ramah. Mungkin dari situ kusimpulkan dia orang baik-baik. Pakaiannya rapi. Langkahnya tegap. Ah... apa lagi, ya" Nantilah kalau dia muncul lagi dan kau kebetulan di rumah, kau bisa melihatnya sendiri."
"Lain kali hindarilah orang tak dikenal. Jangan suka berandai-andai."
Adam tampak tidak tertarik lagi. Masalah itu tak lagi dibicarakannya.
Kristin tak mengerti. Apakah Adam tidak senang"
Adam juga tak mengerti. Belakangan dia lebih intens memperhatikan Kristin. Secara diam-diam tentunya. Ia juga minta pada Bi Iyah agar lebih baik menjaga nyonyanya dan selalu melapor padanya bila terjadi sesuatu. Hal itu penting mengingat usia kandungan Kristin dan sikapnya yang terasa agak aneh belakang
24 an ini. Ia mengajari Bi Iyah bagaimana menggunakan telepon. Nomor teleponnya di kantor dan juga nomor te
lepon genggamnya ia tulis besar-besar dan ia tempelkan di dinding dekat meja telepon. Kalau sampai terjadi sesuatu dan Kristin tak bisa menelepon sendiri, maka Bi Iyah bisa melakukannya. Beberapa kali ia melatih Bi Iyah untuk mempraktekkan. Tentu saja dengan sepengetahuan Kristin yang memahami tindakan itu sebagai upaya melindunginya. Jadi wajar-wajar saja.
Adam sering mendapati Kristin mengusap-usap perutnya dengan pandangan melamun. Ekspresinya tampak cemas, seolah benaknya sedang dipenuhi pemikiran berat. Kalau ditanya, "Kenapa, Kris"", ia terkejut seolah pertanyaan itu bunyi geledek. Lalu tersipu sejenak sebelum menjawab, "Oh... nggak apa-apa."
"Betul nggak apa-apa""
"Betul. Memangnya kenapa""
Kristin suka sekali membalas pertanyaan dengan pertanyaan.
"Perutmu sakit""
"Perut"" ulang Kristin seolah itu pertanyaan yang tidak logis. "Ah, tentu saja perutku nggak apa-apa. Kau mengejutkan aku karena aku lagi asyik melamun."
"Belakangan ini kau suka melamun, ya" Sampai-sampai kehadiranku di sisimu tak kausadari."
"Ah, masa iya. Memangnya ada larangan melamun, Mas"" Kristin tertawa.
"Tentu saja tidak. Boleh tahu nggak, apa sih yang kaulamunkan""
25 Kristin tersenyum misterius. "Ih... rahasia dong."
Lalu Adam tak tahan lagi untuk tidak melemparkan pertanyaan yang mengganggu pikirannya. "Bukan lelaki yang suka kaupandangi dari jendela kamar, kan""
Kristin terkejut lagi. Nah, kedapatan! "Kenapa kau bertanya begitu"" "Nanya kan boleh, Kris."
"Pertanyaanmu seperti menuduh. Cemburu, ya""
"Wah, buat apa aku cemburu pada orang yang tidak mengenal dan dikenal olehmu""
"Kalau begitu, jangan bertanya yang bukan-bukan dong!"
Kristin tampak jengkel. Maka keingintahuan Adam tidak mendapatkan jawaban. Bila suasana sudah tidak menyenangkan seperti itu, tentu mustahil melanjutkan topik yang sama. Selanjutnya Adam jadi suka mengamati ke luar jendela kamarnya. Tentunya bila Kristin tak ada. Tetapi ia tak pernah melihat orang yang diceritakan Kristin itu. Mungkin saatnya tidak tepat. Orang itu hanya muncul pada jam kerja." Sungguh menyebalkan.
Ada kalanya ia menertawakan kelakuannya sendiri. Bila ia menilai kelakuan Kristin itu aneh dan tidak wajar, tentunya ia tidak boleh ikut-ikutan bersikap tak wajar juga. Mungkin perempuan yang sedang hamil memang suka begitu. Buktinya kalau hamil muda suka macam-macam, misalnya mengidam makanan yang tak masuk akal. Orang bilang, itu bawaan anak. Jadi mestinya tingkah Kristin itu tidak perlu dianggap aneh.
Ia berpikir tentang kemungkinan lain. Adakah
26 pengaruh buruk dari rumahnya" Rumah itu punya sejarah yang kelam. Mungkin ia menyimpan dan merekam kengerian. Padanya terpercik darah dan air mata. Mungkinkah hal itu menetap, tak bisa hilang dalam perjalanan waktu"
Tetapi ia sangat menyukai rumah itu. Kalau tidak karena tragedi itu, ia tak mungkin bisa memilikinya. Harganya mahal sekali. Walaupun saat ini ia harus mengeluarkan biaya tinggi untuk merenovasinya, hal itu masih bisa terjangkau kemampuannya. Apalagi arsitekturnya dirancang olehnya sendiri.
Sudah lama ia berangan-angan ingin punya rumah di situ. Angan-angan itu tak pernah padam meskipun rasanya mustahil. Jangankan rumah mewah di daerah elite, rumah kecil sederhana di gang pun belum mampu ia miliki. Siapa sangka bahwa ada saatnya angan-angan itu jadi kenyataan! Memang ironis dan menyedihkan bahwa tragedi berdarah harus terjadi lebih dulu sebelumnya.
Sesungguhnya, cerita Kristin tentang lelaki aneh itu membangkitkan nostalgia tentang dirinya sendiri. Dulu ia juga suka mengamati rumah-rumah di situ sambil melamun. Jangan-jangan orang yang dilihat Kristin itu pun sedang menaksir rumahnya! Ia merasa kagum lalu ingin meniru desainnya.
Tetapi Bi Iyah memastikan tak pernah melihat orang itu. Padahal pembantunya itu senang sekali berangin-angin di balik pagar sambil mengamati suasana jalan bila tak ada pekerjaan. Memang bisa saja kemunculan orang itu tidak bersamaan dengan kehadiran Bi Iyah di balik pagar. Tetapi kejadian terakhir tidak demikian. Bi Iyah ada di sana pada
27 saat Kristin melihat orang itu, lalu memutuskan untuk menemuinya!
Tapi ia tidak m au menyimpulkan hal-hal yang tidak rasional, baik kepada Bi Iyah maupun kepada Kristin. Itu berbahaya sekali. Bayangkan kalau mereka berdua ketakutan. Padahal sudah jelas dan terbukti bahwa mereka merasa nyaman di rumah itu. Baik Kristin maupun Bi Iyah sama-sama senang tinggal di situ. Mereka berdua juga tahu sejarah kawasan itu. Jadi tak perlu cemas berlebihan.
*** Kristin semakin sering meraba dan membelai perutnya. Sudah bergerakkah dia" Ayo dong, Sayang! Sepaklah perut Mama! Tendanglah! Ayo! Tetapi ia tidak merasakan apa pun. Ia mencoba menenangkan diri. Barangkali anak itu lebih suka bergerak di malam hari, saat ia tidur nyenyak dan tidak bisa merasakan. Atau dia lebih suka bergerak pelan-pelan karena tak mau menyakiti ibunya. Tetapi ia tahu itu cuma membohongi diri sendiri. Ia tidak boleh membiarkannya. Ia harus berbuat sesuatu.
Barangkali ia akan ke dokter sendiri diam-diam. Tapi ia tak mungkin merahasiakannya dari Adam karena hasil pemeriksaan harus diketahuinya juga. Adam pasti akan marah besar_ dan menuduhnya sebagai istri dan ibu yang cuek. Padahal itu sama sekali tidak benar.
Ketakutannya menjadi ganda, yaitu perihal nasib si bayi dan kemarahan Adam. Ia perlu mengumpulkan
28 keberanian dulu untuk memberitahu Adam dan kemudian mengajaknya ke dokter, karena memang cuma itu solusi satu-satunya.
Keresahan itu membuatnya melupakan si orang misterius yang suka berdiri di seberang rumah. Seandainya ingat pun ia tak peduli lagi untuk menjenguknya melalui jendela. Buat apa" Ia sedang mengalami beribu kepusingan.
Tetapi pagi itu ketika bangun tidur dan membuka tirai jendela ia melihatnya lagi! Lelaki itu berdiri di sana dalam posisi biasa dan pakaian yang sama, menatap kepadanya dengan sorot mata yang ramah. Ia tersenyum, membuat wajahnya tampak segar dan ceria. Rambutnya yang hitam agak gondrong tampak sedikit basah. Hujankah tadi"
Lalu lelaki itu membungkuk dalam seperti kebiasaan orang Jepang saat menyampaikan hormatnya. Dan ketika ia menegakkan tubuhnya kembali tampak senyumnya melebar. Mulutnya komat-kamit mengatakan sesuatu. Suaranya tak sampai ke telinga Kristin. Tetapi dari gerakan bibirnya, Kristin yakin ucapannya adalah, "Selamat pagi!"
Spontan Kristin pun membungkuk dalam dan tersenyum sama cerianya. Ia senang diperlakukan seperti itu. Tetapi saat berikut ia tersipu malu. Ia menyadari penampilannya yang kusut karena baru saja bangun tidur. Pakaiannya pun cuma gaun tidur. Ia mundur dari jendela dan berpaling. Tatapannya tertuju ke tubuh Adam yang masih melingkar di tempat tidur. Inilah saat terbaik untuk membuktikan.
"Mas! Cepat! Dia ada di sana sekarang! Bukankah kau ingin melihatnya"" seru Kristin.
29 Adam bangun dengan cepat lalu melompat dan berlari ke jendela. Kristin mengikuti di belakangnya. Tetapi sesaat kemudian Adam menoleh kepadanya dan berkata, "Tak ada siapa-siapa di sana, Kris!"
Kristin terperangah. Lelaki itu sudah tak ada di sana. Cepat sekali perginya. Pasti pakai mobil. Tapi seingatnya tadi tak ada mobil di dekat orang itu. Ia jadi merasa bodoh menerima tatapan Adam.
"Dia sudah pergi, Kris. Sudahlah. Aku toh tak berminat lagi melihatnya," Adam menghibur.
Kristin merasa kecewa karena menganggap Adam sebenarnya tak percaya bahwa orang itu benar-benar ada. Mungkinkah dipikirnya ia mengalami halusinasi hingga melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada" Memang Adam tidak berkata begitu, tetapi pada suatu saat ia pernah memberi kesan seperti itu.
"Jangan-jangan dia tinggal di rumah seberang, Mas!"
"Rumah itu kosong. Siapa yang bisa tinggal di rumah tanpa atap dan dindingnya cuma beberapa potong""
Ya, memang tak mungkin, pikir Kristin. Cuma gelandangan yang mau tinggal di rumah seperti itu. Padahal lelaki itu rapi dan kelihatan intelek. Dia jadi malu dengan pemikirannya itu. Ah, dia memang merasa kacau..
Adam memeluknya dengan sikap penuh sayang. "Sudahlah. Kenapa kita mesti memusingkan orang lain" Kalau nanti kau melihatnya lagi, biarkan saja. Dia pasti punya urusan yang tak ada hubungannya dengan kita," hibur Adam.
"Tapi kenapa...""
30 Kristin tak meneruskan ucapannya. Adam membimbingnya ke tempat
tidur, lalu mendudukkannya di pinggiran. Ia juga duduk merapat, lalu merangkul bahu Kristin. "Ayo, jangan murung begitu, Sayang. Pagi ini cerah sekali. Lihat!" Ia menunjuk ke jendela. Lalu ia mengelus perut Kristin. "Kalau kau murung, nanti bayi kita jadi ikut murung."
Kristin ingin sekali menangis. Tapi ia harus tabah. Harus berani. Akan menjadi ibu dan kemudian batal menjadi ibu adalah risiko kehidupan. Bagaimana dengan orang-orang yang begitu menderita di rumah ini dan rumah-rumah sekitarnya dulu" Semua orang pernah mengalami bagaimana senangnya memiliki sesuatu dan betapa sedihnya ketika kehilangan.
Ia harus menceritakan dan menerima apa pun risikonya.
"Mas, aku..." Kristin tak meneruskan ucapannya. Ia tersentak dengan penuh kejutan. Matanya membelalak. Tangannya mengusap perut. Salahkah perasaannya" Benar-benar atau bohong-bohongan"
Adam terkejut dan menatap cemas. "Kenapa, Kris" Perutmu sakit""
"Dia bergerak, Mas! Dia bergeraaaak!"
Kristin bersorak-sorak dengan penuh kegembiraan. Di sampingnya Adam terbengong-bengong. Ia tak mengerti. Mungkin itu salah satu keanehan perempuan yang sedang hamil. Selalu berlebihan. Jadi tak perlu meminta penjelasan.
Kristin memang tak berniat menjelaskan. Sekarang hal itu tak perlu lagi. Itu tidak penting.
Setelah pagi hari yang menggembirakan itu Kristin
31 tak pernah lagi melihat si lelaki misterius. Dalam suasana hati yang berbeda ia masih suka duduk-duduk di depan jendela sambil membaca atau menjahit. Iseng ingin melihatnya. Senang melihat senyum dan sikapnya yang sopan. Ada juga rasa penasaran, ingin tahu ke mana perginya lelaki itu kalau ia sudah capek berdiri di seberang sana. Tidak seperti sebelumnya, ia akan duduk terus di situ dan menunggu. Tentunya tanpa memandangi secara langsung. Ia bisa berpura-pura sedang membaca. Sayangnya, lelaki itu tak terlihat lagi. Entah kenapa Kristin jadi merasa kehilangan. Tetapi ketika kemudian ia merasakan sepakan di dalam perutnya, ia akan tersenyum. Aduh, kenapa aku harus merasa kehilangan bila sesungguhnya dia sudah kembali"
32 II Kawasan Pantai Nyiur Melambai, akhir bulan Mei.
Maria menatap Kristin penuh simpati. Sebentar-sebentar tatapannya tertuju ke perut Kristin yang membuncit. Wajah Maria yang sudah dihiasi keriput memperlihatkan sikap keibuan. Keadaan Kristin mengingatkannya kepada Ike, putri sulungnya yang sudah berkeluarga. Mereka berdua sebaya.
"Ingat ya, Kris, kalau kau merasakan sesuatu, beritahu aku. Pasti aku bisa lebih cepat membantumu daripada Adam. Apalagi kalau jalanan macet. Dulu aku juga yang membawa Ike ke rumah sakit waktu dia mau melahirkan anak pertamanya."
"Beres, Tante. Terima kasih. Tapi nanti merepotkan."
"Ah, masa iya sih" Jangan berpikir begitu. Aku belum tua lho. Masih bisa nyetir. SIM-ku belum kedaluwarsa. Dan mobilku biar sudah tua, masih bisa dipakai mengantarmu ke rumah sakit."
Kristin tersenyum. Senang punya tetangga yang baik dan penuh perhatian.
Maria dan suaminya, Henry, atau keluarga Tan,
33 adalah tetangga sebelah rumahnya. Mereka juga tinggal bertiga dengan seorang pembantu karena Ike, si putri sulung, tinggal di rumah sendiri bersama suami dan dua anaknya di kawasan Jakarta Pusat. Sedangkan putri kedua, Susan, bersekolah di Selandia Baru.
Mobil keluarga itu cuma satu, tapi tak pernah digunakan Henry ke kantornya, sebuah perusahaan garmen dengan orientasi ekspor. Dia dijemput dan diantar sopir perusahaannya, yang melakukan hal yang sama bagi staf perusahaan yang lain. Dengan demikian perusahaan tidak perlu menyediakan fasilitas kendaraan bagi para stafnya. Juga uang bensin atau uang transpor. Perusahaan menganggap itu lebih efisien. Banyak penghematan harus dilakukan bila ingin bersaing dalam situasi perekonomian global. Yang penting, penghematan itu bukan di bidang kesejahteraan karyawan. Pimpinan perusahaan, orang Taiwan, sudah belajar banyak dari kerusuhan demi kerusuhan yang pernah terjadi di Jakarta dan daerah lain, terutama pada tahun 1998. Bahwa unjuk rasa yang dilakukan karyawan yang menuntut perbaikan nasib bisa menimbulkan kerugian jauh lebih banyak. Bukan cuma material, tapi juga mor
al, karena sulit bagi pemilik perusahaan untuk menilai secara positif karyawan yang pernah melakukan unjuk rasa, apalagi yang menghujat, kepadanya. Hubungan sudah telanjur rusak.
Ternyata tanpa fasilitas kendaraan pun para staf tidak mengeluh atau menuntut. Mungkin karena pemilik dan tingkat eksekutif pun diperlakukan sama dengan mereka. Tapi mungkin juga karena zaman sekarang pekerjaan sulit dicari. Terlalu cerewet me-
34 milih-milih malah tak dapat apa-apa. Padahal orang yang membutuhkan pekerjaan antre panjang. Sedang sebagian orang lain tegang menunggu kapan terkena giliran pemutusan hubungan kerja.
Henry baru setahun lebih bekerja sebagai akuntan di perusahaan itu. Ia lancar berbahasa Mandarin, suatu kelebihan yang membuatnya diterima bekerja padahal usianya sudah setengah baya. Dalam persaingan tajam di dunia kerja, orang harus memiliki suatu kelebihan dibanding lainnya supaya bisa diterima. Jadi sukar bagi seseorang untuk bisa langsung memasuki dunia kerja bila ia cuma mengandalkan ilmu dari perguruan tinggi.
Maria menceritakan hal-ikhwal suaminya itu kepada Kristin dengan setengah bangga, setengah sedih. Bangga karena suaminya masih bisa berguna dalam usia yang tak muda lagi. Mana ada perusahaan mau menerima karyawan baru yang sudah setengah baya" Dia juga sedih karena dulu Henry bukan kelas karyawan, melainkan majikan dari usahanya sendiri. Toserbanya di bilangan Kota cukup besar. Sebuah toko yang berkembang dari sebuah warung. Tetapi setelah menjadi besar tiba-tiba lenyap begitu saja bagai dilanda angin puting-beliung! Toko mereka merupakan salah satu korban kerusuhan Mei 1998. Isinya dijarah massa yang menyerbu dan kemudian membakar gedungnya. Sekarang bangunan toko itu masih saja dibiarkan hangus menghitam. Tak ada uang untuk membongkar dan membangunnya kembali. Apalagi untuk kemudian mengisinya dengan barang dagangan. Sementara mau dijual pun tak
35 kunjung laku. Hampir sama nasibnya dengan rumah-rumah di kawasan pemukiman mereka.
Henry sudah kehilangan semangat untuk kembali berdagang. Ia menganggap dirinya sudah terlalu tua untuk merangkak lagi dari bawah. Lagi pula dari mana modalnya" Berutang sangat riskan. Apalagi bank-bank sekarang ketat sekali menghadapi debitur. Tentu berkat pengalaman buruk puluhan bank yang dipaksa tutup oleh pemerintah beberapa waktu yang lalu. Klaim pada asuransi pun sulit setengah mati. Akhirnya yang mereka bayarkan hanya sepuluh persen dari jumlah yang seharusnya ia terima. Terpaksa ia menerimanya daripada tak dapat apa-apa sama sekali. Dengan uang itu ia bisa membayar pesangon para karyawannya.
Maria juga banyak bercerita mengenai nasib buruk yang dulu menimpa kawasan di mana mereka tinggal. Ceritanya lebih lengkap daripada Adam karena dia dan keluarganya mengalami sendiri. Sering kali ia mengulang-ulang cerita yang sama. Entah sengaja, entah lupa.
Kristin mendengarkan dengan sabar karena sadar Maria ingin melampiaskan kekesalan dan kesedihannya. Mungkin itu lebih baik daripada mendiamkannya saja dan menyimpannya terus, karena bisa meng-gerogoti tubuh dari dalam. Tahu-tahu badan jadi keropos dan kurus kering. Karena itu ia selalu bersikap seakan cerita Maria itu baru pernah didengarnya. Maria membutuhkan teman yang bisa memberikan simpati dan empati. Sedang dia sendiri membutuhkan hal yang sama. Memang ada Adam- Tetapi seorang suami tidak sama dengan teman Jadi dia
36 dan Maria bisa saling melengkapi, yang satu membutuhkan yang lain. Di kawasan itu tetangga adalah makhluk langka. Jadi mereka harus menjaga kerukunan dan pandai menyesuaikan diri. Kalau memang cocok, itu adalah keberuntungan tersendiri.
"Dulu rumah ini megah, Kris," cerita Maria. "Ya seperti rumah-rumah yang lain juga di masa lalu. Waktu pertama menempatinya aku serasa mimpi. Aduh, akhirnya aku bisa juga punya rumah bagus. Lepas dari mertua lagi. Memang mertua punya rumah besar dan bagus juga, tapi itu toh rumahnya. Bukan rumahku sendiri. Ternyata cuma beberapa tahun saja aku bisa menikmatinya. Bandit-bandit itu membakarnya setelah menjarah isinya habis-habisan. Rumahku dan rumahmu, eh, rumahmu yang dulu, sama-sa
ma hangus. Demikian pula banyak rumah lain. Kalau tak dibakar, dirusak dan dipereteli. Pintunya, jendelanya, kusennya, sampai gentengnya pun habis. Kalau nggak dibakar perbaikannya lebih gampang. Tapi rumahku mesti dibangun lagi dari awal. Maka tabung-an terpaksa dipakai. Padahal itu untuk hari tua."
Kristin menatap berkeliling selama Maria berceloteh. Rumah itu sederhana, tapi tidak jelek. Meskipun demikian tentunya menjadi jelek bila dibandingkan dengan keadaannya semula.
"Tapi Tante masih punya rumah, kan""
"Ya. Memang aku masih beruntung dibandingkan orang lain yang tak punya apa-apa lagi kecuali baju di badan pada saat kejadian. Ketika kami mengungsi ke rumah mertua yang daerahnya aman, kami masih bisa membawa pakaian dan beberapa barang lain. Untunglah Ike dan keluarganya baik-baik saja.
37 Mereka tinggal di kawasan yang penghuninya campur baur, terdiri atas berbagai suku," Maria mengakui.
"Dan Oom pun masih bisa mendapat pekerjaan pada saat banyak orang lain kehilangan pekerjaan."
Maria tersenyum sedih. "Oh ya, memang. Tapi kalau ingat toko kami, rasanya bisa gila deh, Kris. Ternyata harta itu memang tidak abadi, ya. Sekarang kita punya, tapi besok tidak lagi."
Kristin merangkul pundak Maria. "Tapi Tante dan Oom sudah terbukti sangat tabah karena berhasil mengatasi cobaan itu. Orang lain belum tentu."
"Ya, memang. Aku dengar, banyak orang menjadi gila setelah kejadian itu. Kenyataan seperti itu memang sulit diterima. Masa tak hujan tak angin, tak pula ada perang, tiba-tiba kita diserbu. Dirampok dan dibunuh. Tanpa alasan sama sekali. Cuma karena kita ini orang Tionghoa. Sungguh tidak adil, Kris."
"Ya, sangat tidak adil, Tante."
Maria mengamati wajah Kristin. "Ah, kau juga merasa begitu" Tapi kau tidak sama dengan kami. Papamu orang Jawa, kan""
"Sama saja, Tante. Saya dan Papa satu perasaan dengan Mama."
"Bagaimana sih rasanya jadi anak campuran ketika itu, Kris" Kau memihak siapa""
"Saya memihak kebenaran, Tante. Saya mengikuti hati nurani."
"Kenapa bandit-bandit itu tidak punya hati nurani, ya" Apa mereka pikir kita ini bukan manusia" Kok tega" Apa mereka bisa tidur nyenyak di malam hari""
Maria sudah sering mengutarakan keluhan itu.
38 Kristin merasa tak perlu menanggapinya lagi. Ia cuma membelai pundak Maria lalu meletakkan kepalanya di atas pundak Maria yang satunya lagi.
"Dulu Oom jadi bos dari usaha sendiri. Sekarang jadi kuli orang asing. Banyak yang begitu, Kris. Sekarang orang asing jadi bos. Rupanya mereka lebih suka bos orang asing daripada warga negara sendiri. Habis kita memang tidak pernah dianggap sebangsa. Kalau ada kerusuhan rasial yang disalahkan selalu kita. Katanya eksklusif lah, nggak mau gaul lah, suka menyuap pejabat lah, ini-itu lah. Habis gimana, coba" Gimana mau gaul kalau kita nggak diterima. Kita kan minoritas, Kris. Rasa takut pasti ada. Itu sebabnya kita lebih suka tinggal berkelompok. Supaya punya teman. Supaya lebih kuat. Rasanya itu wajar. Di mana-mana kaum pendatang juga begitu. Kenapa cuma kita yang disalahkan ya, Kris""
"Akan ada saatnya semua itu berakhir, Tante."
Maria mengerutkan keningnya. Wajahnya tampak pucat. "Kau percaya itu, Kris" Menurut sejarah, kejadian seperti itu selalu berulang dalam jangka waktu tertentu. Satu berbuat salah, semua menanggung akibat."
"Sejarah itu masa lalu, Tante. Sekarang kita punya masa depan karena kemungkinan besar "pemimpin kita berbeda dengan yang dulu."
"Ya, mungkin saja. Tapi bagiku rasanya sudah tak ada artinya. Aku dan suamiku sudah telanjur sakit hati. Harapan indah itu buat kalian yang muda-muda saja."
"Jangan pesimis, Tante."
"Dulu sih nggak pesimis, Kris. Dalam hidupku
39 aku sudah mengalami beberapa kali kejadian sama meskipun tak ada yang menandingi peristiwa Mei sembilan delapan itu. Dan kalau cuma sekadar pelecehan rasial sih cukup sering kualami. Tetapi sering kali aku berpikir, nanti pasti tidak begitu lagi. Kelak akan ada perubahan. Masa sih begini terus" Zaman kan berubah juga. Orang mestinya mengikuti zaman, kan" Kita sudah lama di sini. Lahir turun-temurun di sini. Sudah berabad-abad ada di sini. Masa sih nggak juga diteri
ma atau dianggap orang asing terus. Tapi ternyata optimisme itu cuma membohongi diri. Mungkin munculnya karena dambaan sendiri. Jadi aku menyerah. Tak mau berharap lagi. Sudah terserah gimana nasib saja, Kris. Terserah pada Yang Di Atas." Maria melepaskan rangkulan Kristin. Ia tersenyum sendu ketika beradu pandang.
Kristin merasa iba ketika melihat wajah pucat Maria basah oleh air mata. Tak terbayangkan bagaimana kondisinya ketika tragedi itu terjadi. Waktu memang tak selalu bisa menyembuhkan.
"Sori ya, Kris. Seharusnya kau tidak kujadikan keranjang sampah keluhan dan kesedihanku. Oh, aku menyesal! Lihat, kau jadi murung! Nanti anakmu ikut-ikutan murung."
Kristin menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, Tante. Ceritakan saja. Keluarkan beban Tante. Saya memang tidak mengalami sendiri apa yang telah dialami Tante atau orang lain. Tapi saya bisa merasakan. Saya ikut sedih, dan ingin membantu sebisa saya. Biarkan saya membantu Tante dengan berbagi perasaan."
Maria membelai lengan Kristin. "Kau baik sekali ya, Kris. Senang sekali punya kau sebagai tetanggaku.
40 Pasti Tuhan mengirimmu ke sini untuk menjadi temanku dan pengganti putriku yang jauh-jauh."
"Ya. Kita akan berteman, Tante. Saya sendiri juga kesepian."
"Aku akan cerita tentang dirimu kepada Susan. Dia pasti senang sekali. Sayang ceritanya mesti lewat surat. Dulu sih pakai e-mail lebih cepat."
"Kenapa sekarang tidak lagi, Tante""
"Kami nggak punya komputer lagi. Entah dijarah atau sudah jadi abu. Sekarang kami tak mampu beli lagi. Biarlah, itu tidak terlalu penting. Kalau ada uang sisa, lebih baik ditabung untuk hari tua."
"Biaya untuk Susan pasti mahal, ya Tante""
"Oh, Susan mendapat beasiswa, Kris!" Maria berbinar bangga. "Dia cerdas lho. Dia juga anak yang baik. Meskipun hidupnya pas-pasan, tapi dia menolak keras dikirimi uang. Katanya, kami lebih memerlukan. Apalagi sekolahnya juga tinggal beberapa bulan lagi. Di sana dia melakukan pekerjaan apa saja di waktu luang. Yang penting halal. Jadi pelayan, cuci piring di restoran. Dia juga tak pernah pulang sejak kasus Mei itu. Dan mungkin juga tak akan pulang...."
Ketika Barongsai Menari Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara Maria tersendat. Wajahnya yang semula ceria kembali murung.
Kristin tertegun. Suara hatinya mengatakan, sebaiknya topik pembicaraan diubah, tetapi dia terdorong rasa penasaran. "Kenapa begitu, Tante""
Maria tidak memandang kepadanya saat menjawab, "Hatinya terlalu sakit. Bukan cuma orangtuanya yang disakiti, tapi dia juga. Mungkin dia lebih lagi. Kami kehilangan harta dan harga diri, dia kehilangan kekasih yang sangat dicintainya."
41 Kristin terkejut. Ia tak tahu mesti bilang apa. Ia cuma bisa meraih tangan Maria. Sudahlah, kata hatinya. Cepat alihkan pembicaraan. Tetapi mulutnya bersuara, "Apa kekasihnya itu orang sini, Tante"" Sepertinya bukan dia yang bersuara begitu. Sesudah bertanya dia menyesal. Tapi sudah telanjur.
"Oh ya. Dia orang sini. Dekat lagi. Tinggalnya di situ." Tangan Maria menunjuk ke sebelah, arah rumah Kristin!
Kristin terkejut. Tambahan lagi ketika itu bayi di perutnya menyepak keras. Dia mengeluarkan pekik tertahan. Pekikannya itu juga mengejutkan Maria. Perempuan yang wajahnya sudah pucat itu menjadi tambah pucat. Ekspresinya penuh penyesalan dan kejutan.
"Di situ di mana, Tante" Rumah yang saya tempati"" tanya Kristin.
"Oh, bukan! Bukan! Arahnya sebelah sana. Masih kompleks ini." Suara Maria bergetar.
Kristin bernapas lega. "Dia menjadi korban tragedi itu""
Maria menggeleng kuat-kuat. "Lebih baik kita tidak membicarakan yang sedih-sedih, Kris. Tak habis-habisnya."
"Ya. Betul, Tante. Ah, saya ingin sekali berkenalan dengan Susan. Berapa umurnya, Tante""
"Dua empat." "Saya dua lima."
"Kalian sebaya. Pasti cocok. Sama-sama cerdas dan baik hati."
"Kenapa bukan Tante dan Oom saja yang ke sana menemuinya""
42 "Maunya sih begitu. Tapi Susan bilang, nanti saja ke sana kalau dia sudah mapan dan punya uang banyak. Katanya, kalau kami ke sana, tak boleh kembali lagi ke sini. Biar jadi orang sana saja! Tapi aku nggak mau begitu."
"Kenapa, Tante""
Aduh, aku banyak bertanya, pikir Kristin. Tapi dia tak bisa mengatasi keingintahuannya.
"Nanti ak u bisa bingung sama diriku sendiri, Kris. Aku ini sebenarnya orang apa sih" Di sini cuma sebagian orang saja yang tidak mengakui. Sebagian lainnya mengakui dan menerima kita kok. Tapi di sana" Aku sudah tua, masa mesti belajar dari nol untuk jadi orang sono."
"Mungkin orang sana tidak akan menjarah dan membakar."
"Entahlah. Kita kan tidak pernah tahu, Kris."
Diam sejenak. Kristin termenung. Tentunya sulit memahami jalan pikiran seseorang, apalagi bila orang itu telah mengalami trauma demikian berat. Selama ini ia mengagumi suami-istri Tan itu sebagai orang-orang yang tabah dan kuat mental. Ia mengira hal itu disebabkan karena optimisme. Bukan karena sekadar menjalani hidup. Apalagi keluarga itu masih memiliki modal untuk survive. Tidak seperti-sebagian orang lain yang sudah habis-habisan.
Melihat sikap Kristin muncul kembali penyesalan Maria. Seharusnya dia tidak emosional. Sering sekali dia lupa untuk mengendalikan diri. Bagaimana kalau Kristin menjadi stres karena berulang kali mendengarkan keluhannya lalu tak ingin bertandang lagi" Walaupun Kristin sudah mengakui dirinya juga membutuhkan
43 teman, tetapi tentunya bukan seseorang yang bisa membuatnya stres. Apalagi omongannya yang kelepasan mengenai kekasih Susan tadi sungguh mengerikan untuknya sendiri. Bagaimana kalau Kristin menjadi takut lalu memutuskan untuk pindah dari situ" Bila hal itu terjadi maka dia akan kehilangan teman yang begitu susah diperoleh. Dan bagaimana kalau Adam tahu padahal lelaki itu sudah memohon kepada mereka untuk tidak bercerita apa-apa" Mereka pun sudah berjanji! Tubuhnya menjadi dingin.
Ketika Kristin pamit pulang, Maria mengantarkannya sampai di depan pintu pagar. Bi Iyah sudah menunggu. Maria ragu-ragu, seolah berat berpisah. Kristin menyadari hal itu. Ia tidak merasa keberatan ditemani Maria. Keluhannya yang banyak tidak membuatnya stres. Sebaliknya, ia justru telah belajar banyak dari Maria! Penyesalan yang diperlihatkan Maria membuatnya iba. Ia tahu, Maria merasa cemas akan dirinya.
Kristin menggandeng lengan Maria. "Masuk, Tante"" ajaknya.
"Ah, Kris kan mau istirahat. Nanti terganggu lagi oleh omonganku."
Kristin tersenyum. "Saya nggak terganggu, Tante. Sungguh."
"Nggak, ah. Sampai di sini saja."
"Mau lihat kamar bayi, Tante""
Wajah Maria bercahaya. "Mau, Kris"" sahutnya antusias.
Maria selalu memandang berkeliling bila berada di dalam rumah Kristin
44 "Kenapa, Tante"" tanya Kristin. "Bagus! Lebih bagus daripada yang dulu." "Ini hasil rancangan Adam." "Dia arsitek, bukan" Pantas." Mereka menaiki tangga pelan-pelan. "Mestinya kau jangan sering-sering naik-turun tangga, Kris. Gimana kalau terpeleset"" "Hati-hati dong, Tante."
"Dulu ada satu kamar di bawah. Mestinya itu kaupakai selama masa kehamilan ini. Tapi tak kulihat lagi kamar itu." Maria memandang berkeliling dari atas tangga.
"Entahlah bagaimana dulunya, Tante. Saya kan nggak pernah lihat. Sekarang memang tak ada kamar tidur di bawah. Semua kamar di atas. Ada juga kamar pembantu di belakang."
"Ya, memang ruangannya jadi luas."
Maria merenung sejenak. Tak segera melangkah. Kristin mengamati tatapannya.
"Dulu Tante sering main ke sini rupanya."
"Oh ya." "Siapa saja yang tinggal di sini dulu, Tante""
Maria tampak enggan. "Suami-istri Lie dengan dua anak lelaki mereka."
"Ke mana mereka sekarang""
"Mereka pindah ke Amerika. Anak sulung mereka bekerja sebagai dokter di New York City."
"Wah! Pinter dong, Tante. Lulusan Indonesia""
"Bukan. Lulusan Columbia University."
"Wow!" seru Kristin kagum.
45 Maria seperti tersentak. "Aduh! Ada yang terlupakan, Kris! Nggak jadi deh lihat kamar bayinya. Besok juga bisa. Aku mau pulang, ya."
Kristin tertegun. Maria begitu cepat berubah pikiran. Padahal mereka sudah di tengah-tengah tangga. Tanpa menunggu jawaban, Maria tergesa-gesa menuruni tangga, terus melangkah ke pintu.
"Daaag Tante!" seru Kristin.
"Daaag!" sahut Maria tanpa menoleh. Segera ia lenyap dari pandangan.
Kristin masih di tempat semula. Belum lenyap herannya akan keanehan sikap Maria. Lalu terpikir, mungkin itu merupakan akibat trauma yang pernah dialaminya. Sesungguhnya banyak yang
harus dimaklumi dari sikap seseorang. Aneh atau tidak bukan pertanda sakit mental, tetapi lebih disebabkan pengalaman hidup.
Lalu dia teringat. "Bagaimana dengan anak yang kedua atau si bungsu, Tante"" katanya keras-keras.
Tentu ia tidak mengharapkan jawaban. Maria sudah keluar. Tapi ternyata ada yang bersuara. "Kok ngo-mong sendiri, Bu""
Kristin terkejut. Ia melihat Bi Iyah mengamatinya dari sudut rumah. Entah sejak kapan ia berdiri di sana. "Tolong dikunci pintunya, Bi. Barusan Bu Maria keluar," katanya, lalu melangkah perlahan menaiki tangga. Di belakangnya terdengar Bi Iyah menyahuti. Ia tak menoleh.
Tiba-tiba terasa sepakan di dalam perutnya. Ia terdiam. Ngilu sesaat. Kemudian ia tersenyum. Sudah saatnya kucarikan nama untukmu! Satu nama perempuan dan satu nama lelaki.
46 *** "Kau kenal keluarga yang dulu pernah tinggal di sini, Mas"" tanya Kristin saat mereka makan malam.
Adam meletakkan sendoknya. Ia mempelajari wajah Kristin sejenak sebelum menjawab, "Ya. Tapi tidak mendalam. Cuma sekadar tahu saja. Dulu kan aku pernah bekerja di proyek perumahan sini saat awal pembangunannya."
"Oh ya" Rasanya kau tak pernah bercerita" Kristin tampak tertarik.
"Malu sih. Aku sering cerita padamu tentang inginnya aku punya rumah di tempat ini, tapi tak bisa. Yah, mana mungkin" Gajinya cuma cukup untuk hidup."
Kristin mengangkat bahu. "Ah, kenapa mesti malu" Memangnya setiap orang yang bekerja di proyek perumahan, termasuk ikut merencanakan pembangunannya, harus mampu memiliki juga" Aku maklum kok. Nyatanya sekarang kau berhasil juga."
"Ya, memang. Tapi keberhasilan itu tercapai setelah tempat ini menjadi puing."
Kristin mengerutkan kening. Ucapan itu sepertinya kontradiktif dengan kebanggaan Adam akan rumah mereka itu. Ketika akan berbicara ia memekik pelan. Ada sepakan keras di perutnya. Ia cepat tersenyum menanggapi tatapan kaget Adam. "Biasa. Dia nyepak, Mas," katanya.
Mereka melanjutkan makan. Adam makan lebih cepat daripada sebelumnya.
Lalu Kristin teringat akan pertanyaannya tadi. "Apakah keluarga Lie pindah ke Amerika semuanya""
47 Kembali Adam meletakkan sendoknya dan menatap Kristin dengan selidik. "Siapa"" tanyanya.
"Keluarga yang dulu tinggal di rumah ini." Kristin merasa tak enak melihat ekspresi Adam. "Aku merasa simpati pada para penghuni kawasan ini. Kasihan sekali. Bagaimana rasanya kalau dibegitukan orang""
"Sudahlah, Kris. Sebaiknya jangan membicarakan itu kalau sedang makan. Jadi susah menelan nih."
"Jadi mereka pindah semuanya""
"Mereka siapa""
"Keluarga Lie itu."
"Mana aku tahu" Bukan urusanku," sahut Adam dengan ekspresi tak senang.
Kristin tak senang juga. Apa susahnya menjawab pertanyaan itu" Sebelum bereaksi, kembali ia merasakan sepakan di dalam perutnya. Seperti mengingatkan. Emosinya mereda.
"Sori," katanya singkat.
Mereka menyelesaikan makan dengan diam.
Adam berdiri. "Aku pergi dulu ya, Kris."
"Pergi"" Kristin terkejut. Tadi Adam tidak mengatakan akan pergi sesudah makan.
"Aku lupa memberitahu. Ada janji dengan rekan. Tapi nggak lama kok. Paling juga dua jam. Rumahnya nggak jauh," jelas Adam.
"Pakai mobil""
"Iya dong. Masa jalan kaki."
Adam mencium dahi Kristin. Lalu menekan bahunya. "Kau tak usah mengantarku keluar. Bi Iyah bisa membukakan pintu," katanya, lalu melangkah cepat sambil meneriaki Bi Iyah.
48 Kristin tertegun sejenak, tak tahu harus menjawab apa. Baru kemudian, setelah Adam tak tampak lagi ia berseru, "Hati-hati ya, Mas!" Tetapi suaranya tak bisa keras. Kristin tiba-tiba merasa seperti orang yang kehilangan semangat. Ia masih saja duduk di depan meja makan sampai terdengar deru mobil Adam yang menjauh. Sepakan di dalam perutnya menyadarkannya. Belakangan si bayi sering benar menyepak-nyepak. Waktunya memang sudah dekat. Sesaat terpikir olehnya, betapa teganya Adam meninggalkannya pada saat seperti itu.
Bi Iyah masuk, tertegun sejenak melihatnya. "Ibu kenapa"" tanyanya penuh perhatian.
"Ah, nggak apa-apa. Memangnya kenapa, Bi"" tanya Kristin kesal. Memang pertanyaan seperti itu menandakan perhatian, tapi kalau sering-sering diamati dan ditanyai, jadi menjengkelkan juga.
Bi Iyah tersipu. " Saya takut kalau-kalau sudah saatnya, Bu. Atau Ibu kenapa-kenapa."
"Lantas"" "Saya mesti menelepon Bapak."
"Oh, begitu" Memangnya tadi Bapak berpesan lagi ya, Bi" Ngomong apa dia"" Perasaan Kristin agak terhibur karena Adam masih memperhatikannya. Tetapi perasaan itu segera lenyap ketika mendengar jawaban Bi Iyah. "Kata Bapak, mestinya Ibu jangan sering-sering ngobrol sama Bu Maria."
"Lho, kenapa begitu, Bi""
"Katanya, Bu Maria itu begini...." Bi Iyah menempelkan telunjuknya di dahinya. Lalu tertawa geli. "Sembarangan!" bentak Kristin. Bi Iyah terkejut.
49 "Jangan melecehkan orang, Bi! Bibi tahu nggak apa saja yang telah dialami Ibu Maria""
"Nggak tahu, Bu." Bi Iyah bersiap diri mendengar cerita menggemparkan.
Tetapi Kristin tidak berminat menceritakan. "Nah, kalau nggak tahu jangan melecehkan."
Bi Iyah tersipu. "Maaf deh, Bu. Nggak tahu sih."
Kristin tak sampai hati. Bagaimanapun, Bi Iyah adalah teman dan pembantu satu-satunya. Ekspresinya melembut. "Ya sudah, Bi. Kita harus belajar menghargai orang karena kita tidak tahu tentang dia."
Bi Iyah tidak mengerti, tapi ia senang karena Kristin tidak marah lagi.
Saat melewati rumah Henry, Adam melihat Henry sedang berangin-angin di halaman rumahnya. Ia menghentikan mobilnya di tepi jalan lalu keluar dan mendekati Henry. Mereka berbincang sejenak kemudian Adam kembali ke mobilnya dan meluncur pergi.
Pada saat Henry mengamati kepergian Adam, Maria mendekatinya.
"Adam cerita apa, Pa""
"Dia cuma menitipkan Kristin sama kita."
"Cuma itu" Kok ngomongnya banyak""
"Dia juga minta kita memegang janji untuk tidak menceritakan perihal Sonny kepada Kristin. Katanya dia takut kau keceplosan bicara sama Kristin. Ingat-ingat ya, Ma. Jangan sampai melanggar janji. Kalau mereka sampai pindah, kita akan kehilangan tetangga yang baik."
Maria memonyongkan mulutnya. "Aku nggak
50 melanggar janji. Kenapa tiba-tiba dia mencurigai aku""
"Katanya, tiba-tiba saja Kristin bertanya perihal keluarga Lie. Apa kau yang bercerita tentang mereka""
"Sama sekali tidak. Kristin yang nanya duluan. Habis aku mesti gimana" Bilang nggak tahu" Kan aneh. Dia justru akan heran dan curiga. Semakin dia curiga semakin dia berusaha untuk tahu. Kalau bukan kita atau Adam yang jadi sumbernya, bisa saja dia mencari sumber lain. Misalnya dari ketua RT, si Mul. Atau tetangga yang lain. Jadi tidak seharusnya Adam cuma menyalahkan kita."
"Memang benar, Ma. Kata Adam, dia sudah minta sama Mul untuk menjanjikan hal yang sama. Sebagai ketua RT, si Mul akan menyampaikan permintaannya kepada warga sekitar kita."
Maria menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aneh si Adam itu. Apa salahnya sih berterus terang sama istrinya" Itu kan sudah risiko. Kenapa pula dia mau tinggal di situ""
"Orang yang tidak tahu tidak akan berpikir macam-macam."
"Tapi si Adam kan tahu."
"Dia sih berani, Ma."
"Ah, Papa kayak yang tahu aja"
Henry tertawa. "Nah, itu buktinya. Dengan tetap memilih rumah itu padahal tahu riwayatnya, sudah menandakan keberaniannya. Coba, ada banyak rumah kosong yang sama hancurnya, tapi dia justru memilih yang itu."
"Yang itu paling murah dibanding yang lain."
51 "Nyatanya dia masih punya duit untuk merenovasi."
"Justru itu. Sisa duitnya untuk renovasi."
"Tapi kalau dia nggak berani menempati juga percuma, Ma."
"Kalau dia memang berani, seharusnya dia terus terang sama Kristin."
"Dia akan menunggu sampai Kristin betah dan kerasan tinggal di situ."
"Kris senang tinggal di sini."
"Mungkin nanti kalau sudah melahirkan baru dia boleh tahu, Ma. Kan nggak lama lagi. Yang penting kita harus berusaha untuk tidak melanggar janji."
Maria menarik napas panjang. "Si Sonny memang anak yang baik."
Henry mengamati wajah istrinya dengan bingung. "Tentu saja dia memang baik. Lantas kenapa""
"Dia tidak akan mengganggu orang yang menempati rumahnya."
Henry terkejut. "Aduh, ngomong apa sih kau, Ma" Jangan sembarangan, ah. Ayo kita masuk!"
Dengan berbimbingan tangan mereka melangkah masuk rumah.
"Jadi mau nulis surat buat Susan, Ma""
"Jadi dong!" "Biar besok aku poskan. Mau cerita apa, Ma"" "Yang pasti cerita tentang tetangga baru kita." "Jangan singgung tent
ang si Sonny, ya"" "Maksudmu""
"Itu. Yang tadi kaukatakan sebelum masuk."
"Oh, itu. Nggak dong. Nanti dia jadi sedih. Oh ya, Pa. Apa perlu kuingatkan dia supaya jangan tergoda lelaki bule""
52 "Ah, jangan. Justru kalau diingat-ingatkan begitu dia malah berbuat sebaliknya. Apalagi kalau dilarang."
"Habis ceritanya yang terakhir itu kan tentang teman baiknya yang bule. Apakah teman baik itu sama artinya dengan teman dekat""
"Kayaknya begitu."
"Dan teman dekat sama artinya dengan pacar""
"Wah, nggak tahulah aku. Bisa iya, bisa nggak. Sudahlah. Bagaimana maunya dia saja. Dia sudah dewasa, kan" Sudah bagus dia mau bergaul. Itu artinya dia sudah pulih."
Maria tak sepenuhnya menyetujui. Tetapi ia akan mengikuti permintaan Henry. Oh, betapa dia merindukan Susan! Berubahkah anak itu setelah per-, jumpaan terakhir mereka dua tahun yang lalu" Masihkah dia selembut dulu"
Salah satu hal yang masih disesali Maria adalah ketidakmampuannya menghibur Susan saat berita duka di pertengahan bulan Mei tahun 1998 itu menerpanya. Kalau saja dia ada di sisinya saat itu, pastilah ia bisa memeluknya dan menghiburnya. Ia juga bisa tahu apa akibat berita itu bagi Susan. Pingsankah dia" Menangis berhari-hari" Kalau ada di sisinya, pasti ia bisa menolong atau melakukan apa saja untuk meringankan beban batinnya. Biarpun ia di Jakarta juga dalam keadaan menderita dan terguncang, tapi bila bersama-sama mereka bisa saling menghibur. Duka dan derita Susan pastilah lebih besar. Kehilangan harta masih bisa direlakan, tapi kehilangan kekasih"
"Papa dan Mama, bila kita selalu dimusuhi di negara
53 yang selama ini kita sebut Tanah Air, buat apa bertahan tinggal di sana" Mereka memang ingin kita pergi. Itulah tujuannya meneror, bukan" Prinsip saya, kalau saya tidak dikehendaki maka saya tidak akan merengek dan memohon agar diterima. Orang lain bisa saja bertahan dengan alasan mereka. Itu hak setiap orang. Biarlah saya dengan prinsip sendiri. Saya bersumpah, Ma! Bila nanti saya datang ke sana, maka saya bukan lagi orang Indonesia! Orang apa pun, warga negara mana pun, tak jadi soal. Yang penting saya dihargai sebagai manusia yang punya martabat dan harga diri...."
Kalimat-kalimat di dalam surat Susan itu sering muncul dalam pikiran Maria. Nadanya yang emosional bisa dipahami karena surat itu ditulis tak lama setelah terjadinya tragedi Mei 1998. Susan masih berkabung, masih diliputi dendam dan amarah. Tetapi dengan berlalunya waktu, ternyata prinsip Susan tak berubah. Ia masih bertahan dengan pendirian yang dinyatakannya dalam surat itu. Keras kepala!
Menilik hal itu memang besar kemungkinan Susan akan mencari jodoh di sana, karena dia akan menjadi warga negara sana. Jadi tipis kemungkinan dia akan beroleh menantu seseorang dari kalangan sendiri. Seperti suami Ike, Daniel. Dengan kesamaan yang ada, maka penyesuaian lebih mudah. Bila perbedaan terlalu banyak, risiko perpecahan juga besar. Tetapi Susan memang tak bisa disamakan dengan Ike. Keduanya memiliki keunikan sendiri-sendiri.
Sebelum mengenal Daniel, Ike pernah berpacaran
54 dengan Amir, seorang pemuda pribumi yang berbeda agama. Hubungan itu membuat dia dan Henry resah. Tetapi mereka tidak tega melarang. Henry selalu berpendapat, bila seseorang ditentang, maka tekadnya justru semakin mantap. Tak ada jalan lain mereka cuma bisa berharap dan berdoa semoga hubungan itu tidak langgeng. Mereka terpaksa bersikap munafik dengan bersikap ramah terhadap Amir dan menerimanya dengan tangan terbuka. Ike sendiri tidak pernah bercerita bagaimana tanggapan keluarga Amir terhadap dirinya.
Masalah itu baru jelas setelah mereka menerima telepon bernada makian yang mengandung penghinaan dari orang yang mengaku keluarga Amir. Telinga memerah dan bulu roma pun berdiri. Mereka dimaki sebagai Cina-Cina tak tahu diri dan sebagainya. Betapapun menyakitkan, mereka sepakat tidak akan memberitahu Ike. Bila benar keluarga Amir tidak menyukainya mustahil dia tidak tahu atau tidak merasakan. Biarlah Ike memutuskan dan berinisiatif sendiri. Sementara Amir sendiri tidak pernah mengungkapkan masalah itu. Dia selalu bersikap sopan dan pada t
empatnya. Tak ada alasan untuk membenci atau antipati kepadanya.
Henry dan istrinya sepakat untuk memasang re-ceiver pada pesawat telepon supaya dapat menyaring telepon yang masuk. Toh selama ini yang sering menerima telepon adalah Maria, yang paling banyak berada di rumah. Dan tampaknya si penelepon gelap itu pun sengaja memilih waktu dan orang yang mau diajaknya bicara. Pada hari dan jam Ike tak ada di rumah karena berada di kantornya. Mereka memper-
55 kirakan si penelepon ingin mereka menjadi marah lalu melarang Ike melanjutkan hubungannya dengan Amir.
Tetapi suatu ketika Maria lupa menghapus rekaman. Ike yang berniat mengecek telepon yang masuk mendengar makian itu. la menjadi pucat dan ter-mangu-mangu bagai orang kehilangan semangat.
"Mama! Jadi itu sebabnya dipasangi receiver" Oh, kenapa Mama tidak terus terang dari semula""
Maria tak tahu mesti bilang apa. Ia belum melakukan kesepakatan dengan Henry, apa yang harus dilakukan bila Ike mengetahui hal itu. "Mama... Mama... tak mau menyakiti hatimu," jawabnya kemudian.
Ike memeluknya. "Tapi saya tidak ingin menyakiti hati Mama," katanya sedih.
"Kau tidak pernah menyakiti hati Mama. Kenapa bilang begitu, Ke"" bantah Maria dengan perasaan pilu.
"Saya tidak mau Mama dan Papa dihina orang. Apalagi karena saya."
Maria tertegun. Ia takut memberi komentar. Takut salah. Padahal saat itu paling baik untuk mengeluarkan pemikirannya mengenai hubungan Ike dan Amir.
"Saya akan membicarakannya dengan Amir, Ma."
Apa yang diputuskan Ike sangat mengejutkan. Ia memutuskan hubungannya dengan Amir. "Saya memang harus tahu diri, Ma," jelasnya singkat.
Maria dan suaminya merasa iba tapi juga senang. Barangkali mereka perlu juga berterima kasih kepada si peneror itu. Biarpun demikian, rasa sakit di hati
56 karena dikatai sebagai Cina-Cina tak tahu diri tak bisa sembuh sepenuhnya. Padahal selama ini mereka yakin telah menjalani kehidupan sebagai warga negara dengan cukup tahu diri. Pajak selalu dibayar dengan sepatutnya, karyawan dan pembantu diperlakukan dengan baik, tak pernah ribut dengan siapa pun, tak pernah absen dalam kegiatan amal, siskamling, atau apa saja bila diminta. Mereka selalu berhati-hati karena sadar sepenuhnya, bila melakukan kesalahan maka bukan cuma mereka yang menanggung. Satu Cina berbuat buruk, maka semuanya ikut menanggung. Itu memang tidak adil. Tapi mau apa lagi" Mereka tidak punya kuasa untuk mengubah citra atau opini yang sudah terbentuk begitu lama.
Kemudian Amir menemuinya. Mereka cuma bicara berdua. Amir meminta maaf dan merasa menyesal. Ekspresinya memperlihatkan rasa malu dan khawatir. Mungkin takut dimarahi. Tetapi Maria menerimanya dengan baik dan juga respek. Sebenarnya Amir orang yang baik dan bertanggung jawab. Pantas kalau Ike memilihnya. Tetapi di Indonesia seseorang tak selalu bisa mandiri sepenuhnya. Seluruh keluarganya, besar atau kecil, merasa ikut memilikinya. Kemudian merasa berhak pula untuk ikut campur dalam masalah pribadinya. Dan bagi sebagian orang masalah membentuk keturunan itu sangat penting.
Maria memasukkan kertas ke dalam mesin tik. Benda itu dipinjam Henry dari kantornya. Aduh, kalau saja mereka bisa membeli komputer. Tetapi sekarang uang susah dicari. Ia juga menolak keras niat Susan untuk mengiriminya uang. Ia bukan tak memerlukan uang.
57 Selalu ada kebutuhan. Tetapi selama kebutuhan itu bukan kebutuhan primer, tak perlu dipenuhi. Ia juga bukan tak punya uang. Ada sedikit tabungan. Tapi itu penting untuk hari tua.
Kedua jari telunjuk Maria lincah menari-nari di atas tuts mesin tik. Ia punya cerita banyak untuk Susan. Sekarang biaya pos ke luar negeri sangat mahal. Jadi harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Tak boleh ada cerita yang terlupakan. Tentang situasi ekonomi, politik, anak-anak Ike, tetangga....
Tepukan Henry di pundaknya mengagetkan. "Ma, interupsi sebentar. Ada tamu."
"Tamu" Siapa"" Maria terkejut. Sekarang mereka sangat jarang kedatangan tamu. Teman-teman lama mereka entah pada ke mana.
"Pak Harun," bisik Henry dekat telinga Maria.
"Oh, dia. Ada apa" Mau ketemu aku""
Harun adalah mantan satpam di kawasan itu. Ketika
terjadi kerusuhan Mei 1998 di tempat itu dia masih menjadi satpam. Saat mereka mengungsi ke lapangan golf di dekat kawasan itu, Harun banyak membantu. Sejak itu mereka tak pernah bertemu lagi. Sekarang kawasan itu tak lagi memiliki satpam. Mereka menjaga sendiri lingkungan masing-masing.
"Iya, Ma. Ayolah."
Maria merasa segan menghentikan kegiatannya. "Pa, paling-paling dia mau pinjam uang. Berikan sajalah. Asal jangan banyak-banyak."
"Ah, kamu. Sembarang nyangka. Dia bilang, ingin ketemu karena kangen."
"Kangen"" Maria tak bisa menghilangkan nada
58 sinis dari suaranya. Kenapa orang seperti Harun bisa merasa kangen kepadanya" Jangan-jangan cuma ingin tahu apakah mereka berdua masih waras!
59 III Maria tak segera mengenali Harun. Lelaki setengah baya yang dulu selalu dilihatnya mengenakan seragam satpam berwarna putih kini bercelana panjang hitam dan kemeja batik lengan panjang. Rapi seperti mau ke resepsi. Rambutnya cepak seperti tentara. Kumisnya yang dulu lebat sekarang kelimis. Dan yang paling mencolok, tubuhnya yang dulu kerempeng sekarang gemuk. Perutnya tampak menggembung di balik kemejanya. Matanya yang kecil terlihat ceria di balik kacamata yang frame-nya modis. Dulu dia tak berkacamata. Sungguh penampilan yang berbeda. Demikian pula kesan yang ditimbulkannya. Dulu penampilannya cocok dengan profesinya, satpam yang tampak angker dan galak. Sekarang ia tampak intelek. Seperti dosen atau pejabat"
Kalau saja Henry tak mengatakan lebih dulu bahwa tamu ini adalah Harun, pastilah ia butuh waktu lama untuk bisa mengenalinya. Benar-benar pangling. Tetapi kesan berbeda itu mendadak terasa menyakitkan. Sepertinya ada hunjaman pisau tajam persis di tengah ulu hatinya. Nyeri dan ngilu. Menyakitkan dan memilukan. Kalau saja ia tak berusaha sekuatnya me-
60 nahan perasaan, pastilah ia sudah berbalik dan lari ke dalam. Dengan mengerahkan segala kekuatannya ia mampu menutupi perasaan sebenarnya, lalu tersenyum penuh keramahan. Ia menyambut uluran tangan Harun.
"Apa kabar, Bu Maria" Sehat-sehat saja"" tanya Harun.
"Oh, baik-baik saja, Pak. Anda sendiri pasti lebih dari sekadar baik, ya" Kelihatannya wah!"
Harun tersipu. Ia tak bisa memastikan apakah komentar itu pujian atau sindiran. "Sekarang saya memang sudah ganti profesi, Bu. Jadi sales. Maka penampilan nggak boleh galak lagi."
"Wah, jualan apa, Pak"" Maria ingin tahu.
Harun mengeluarkan kartu nama dari dalam dompetnya, lalu mengulurkannya kepada Henry. "Saya membantu Anwar, anak saya, mencari order. Dia punya percetakan kecil," jelasnya.
Henry mengingat-ingat. "Oh, si Anwar" Dulu dia pernah ke sini mengantarkan surat edaran siskamling. Ingat, Ma"" Henry menoleh kepada Maria.
Maria menggelengkan kepalanya. Dia tak ingat.
"Sekarang dia sudah sarjana muda, Pak. Lulusan akademi grafika," kata Harun bangga.
"Maju usahanya, Pak"" tanya Maria.
"Lumayan, Bu. Kalau Bapak dan Ibu sendiri bagaimana"" tanya Harun dengan nada simpati. Ia sudah mendengar tentang nasib toko Henry dari warga lain yang barusan dikunjunginya.
"Sekarang saya kerja, Pak. Jadi karyawan di pabrik garmen," sahut Henry tanpa beban. Tak ada gunanya merasa minder. Nasibnya sudah seperti itu.
61 "Terbalik ya, Pak"" kata Maria. "Dulu suami saya bos, sekarang kuli. Sedang Pak Harun dulu kuli, sekarang bos."
Henry melirik kurang setuju. Harun tersenyum canggung. "Saya bukan bos, Bu," katanya merendah. "Yang bos itu anak saya. Tapi dia cuma bos kecil, Bu. Oh ya, bagaimana Non Susan""
"Dia nggak mau pulang, Pak. Hatinya masih sakit."
"Saya maklum, Bu. Mudah-mudahan dia cepat pulih."
"Entahlah. Kayaknya susah," kata Maria sedih.
Henry mengalihkan persoalan. "Sudah ketemu Pak Mul di sebelah" Dia masih ketua RT, Pak."
"Belum. Tadi saya ke sana. Kata pembantunya lagi pergi."
"Sudah tahu siapa yang menghuni rumah sebelah sini, Pak"" Henry menunjuk arah rumah Adam.
Harun menggeleng. "Warga baru, Pak""
"Dia Adam Jaka yang dulu kerja di kantor proyek."
Harun tampak heran. "Insinyur Adam itu""
"Ya. Dia tinggal bersama istrinya yang sedang hamil. Anak pertama."
"Apakah dia tidak tahu bahwa Pak Sonny meninggal di situ"" Setelah ber
tanya baru Harun teringat bahwa Sonny adalah kekasih Susan atau calon menantu suami-istri Tan. Mestinya dia tidak mengungkit soal itu.
"Oh, dia tahu," sahut Henry.
"Kok dia berani tinggal di situ" Maksud saya, kan nggak enak rasanya." Harun merasa kelepasan ngo-mong.
Maria merasa tidak senang. Dia memang pernah
62 mempertanyakan masalah yang sama. Tapi bila Harun ikut-ikut mempertanyakan, dia menjadi jengkel. "Memangnya kenapa, Pak" Apakah Sonny menjadi hantu""
Henry menepuk lengan Maria yang duduk di sisinya di sofa. Menenangkan.
Harun tersipu. "Maaf, Bu. Bukan begitu maksud saya. Tapi... tapi..."
"Nggak apa-apa, Pak. Sebenarnya kami juga heran. Apalagi istrinya nggak diberitahu," Henry tidak keberatan menceritakan masalahnya.
Harun terperangah keheranan.
"Jadi kalau Bapak bermaksud ke sana, ingatlah akan hal itu. Jangan sampai membicarakannya di depan istrinya. Dia sudah meminta kami semua berjanji untuk merahasiakan hal itu. Sulit memang. Tapi mereka adalah tetangga yang baik."
"Wah, kalau begitu sebaiknya saya tidak ke sana. Takut kelepasan ngomong. Tapi boleh saya tahu, apakah Bu Adam sendiri betah tinggal di situ""
"Katanya sih betah. Dia akrab dengan kami."
"Masih banyak rumah kosong dan terbengkalai di kawasan ini. Waktu saya ke rumah Pak Gondo, saya juga ditawari untuk membeli salah satu. Katanya dijual murah. Tapi biar murah juga, mana sanggup saya beli"" Harun tertawa ringan. Dia juga teringat betapa geli perasaannya ketika berhadapan dengan Pak Gondo. Dulu Gondo suka melecehkannya. Sekarang dia dianggap bonafid hingga ditawari rumah. Kalau dulu, sewaktu dia masih menjadi satpam, siapa yang mau menawari kecuali bermaksud mengejek"
63 *** Maria lebih banyak diam mengamati dan mendengarkan pembicaraan suaminya dengan Harun. Tentu dia takkan lupa, bahwa pada hari celaka itu Harun lah yang tergopoh-gopoh menggedor pintu-pintu untuk memperingatkan penghuni mengenai bahaya serbuan perusuh. Dia juga yang menganjurkan dan membantu mengkoordinir pengungsian para warga ke lapangan golf. Lebih baik menyelamatkan jiwa daripada sia-sia berusaha mempertahankan harta dengan akibat cedera atau nyawa melayang. Para penjarah itu sudah kerasukan setan. Apalagi mereka pun didorong hasutan "Bunuh Cina!" Buktinya adalah apa yang telah dialami Sonny. Dia dan Henry tak pernah tahu kenapa Sonny tidak pergi mengungsi. Yang bisa menjawab pertanyaan itu cuma Sonny, padahal sudah jelas dia takkan mungkin bisa menjawab.
Ketika dia dan Henry, yang selamat pulang ke rumah meninggalkan toko yang sudah tak bisa dipertahankan lagi, tergopoh-gopoh memasukkan barang yang masih bisa dibawa ke dalam mobil, suasana sudah begitu menegangkan. Bagaikan dalam situasi perang. Mereka panik sekali. Sampai-sampai barang rongsokan yang justru mau dibawa. Tetapi dia sempat melongok ke halaman rumah Sonny yang tampak sepi. Ketika itu kedua orangtua Sonny, suami-istri Lie, kebetulan sedang berada di Amerika untuk mengunjungi Thomas, anak sulung mereka yang tinggal di sana. Sonny tinggal sendirian karena pembantunya juga sedang pulang kampung. Ketika itu Maria berteriak-teriak memanggil Sonny, tapi tak ada sahutan.
64 Dia juga menelepon, tapi tak ada yang mengangkat. Lalu Harun yang sempat membantu mereka memasukkan barang-barang ke dalam mobil mengatakan kemungkinan Sonny tak ada di rumah.
Belakangan, setelah suasana dianggap aman, mereka yang mengungsi berbondong-bondong kembali. Tentu saja mereka sangat syok melihat apa yang telah terjadi pada rumah-rumah mereka beserta isinya. Ada yang terbakar habis, ada yang terbakar tapi tak sampai habis, ada yang dirusak berat, ada yang cuma rusak ringan. Sedang harta di dalam rumah sudah tak ada lagi. Tetapi yang paling mengejutkan dan mengerikan adalah ditemukannya jenazah Sonny di dalam rumahnya yang sudah menjadi puing!
Maria jatuh pingsan melihat jasad Sonny yang mengenaskan. Tetapi Henry kuat bertahan meskipun sudah pucat pasi. Bagi mereka Sonny sudah seperti anak sendiri. Memang tak lama lagi dia akan jadi anak mereka juga bila sudah jadi menantu. Sonny akan menikah dengan Susan bila Susan sudah selesai sekolahnya
. Itu memang kehendak mereka berdua.
Ketika Barongsai Menari Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah kejutan dan guncangan teratasi, muncul kesulitan mahaberat. Bagaimana menyampaikan kabar itu kepada Susan" Betapa pun beratnya, kabar itu harus disampaikan. Sungguh menyiksa perasaan.
Lalu datang surat Susan yang menanyakan, kenapa dia dan Henry tidak mengajak Sonny ikut serta mengungsi" Kenapa begitu gampang menyimpulkan, bahwa Sonny sedang pergi hanya karena telepon tidak diangkat dan panggilan tidak disahuti" Siapa tahu ketika itu Sonny sedang tidur atau tidak enak badan hingga tidak mendengar berita kerusuhan itu.
65 Bukankah tidak masuk akal bila orang lain pergi mengungsi sementara dia sendiri tetap diam di rumah" Satu-satunya kemungkinan adalah dia terjebak dalam ketidaktahuan dan ketidaksiapan. Tahu-tahu sudah diserbu oleh massa yang haus darah.
Pertanyaan Susan itu menambah siksaan batinnya. Dia merasa bersalah. Dia dan Henry terlalu mementingkan diri sendiri. Cari selamat sendiri. Seharusnya mereka menggedor keras-keras pintu rumah Sonny, atau mendobraknya sekalian. Dengan demikian bisa diperoleh kepastian apakah Sonny ada di rumah atau tidak.
Kemudian surat Susan berikutnya menyusul. Isinya lebih tenang dan pasrah. Dia pun menyatakan penyesalan karena surat sebelumnya bernada emosional. Sesungguhnya dia. tidak bermaksud menyalahkan kedua orangtuanya. Tetapi Maria sudah telanjur merasa bersalah. Dia tahu, perasaan itu akan terus melekat padanya sepanjang hidupnya.
Maria mengangkat kepalanya yang tertunduk lalu menatap Harun. Yang dipandangi terkejut karena sorot mata Maria yang tajam menusuk seperti mau mengorek dan menembus sampai ke dalam benaknya.
"Ada apa, Bu"" tanya Harun waswas.
"Apakah Bapak menggedor pintunya dengan keras""
Harun bingung. Ia tak memahami makna pertanyaan Maria. Sepanjang pembicaraannya dengan Henry, Maria tak ikut berkomentar. Tahu-tahu bertanya begitu.
"Pintu siapa, Bu""
66 Henry segera memahami. "Maksudnya, pintu rumah Sonny waktu kerusuhan itu, Pak," katanya sebelum Maria keburu menjawab.
Harun tertegun sejenak. Ia sadar apa yang tengah dipikirkan oleh Maria dalam diamnya barusan. "Saya sudah menggedornya, Bu. Setiap rumah saya gedor sampai saya bicara dengan penghuninya. Tetapi Sonny tidak keluar atau menyahut. Maka saya memastikan perkiraan sebelumnya bahwa dia memang tak ada di rumah."
"Perkiraan sebelumnya apa, Pak"" sambar Maria. Henry pun ikut menatap Harun dengan ekspresi tegang.
Melihat tatapan kedua orang itu Harun menjadi ragu-ragu. Mungkin lebih bijaksana bila ia tidak mengatakannya. Apa yang sudah terjadi tak bisa diubah lagi. Yang mati tak mungkin bisa hidup kembali. Masa lalu biarlah berlalu. Tetapi di mata Maria terlihat desakan dan permohonan yang membangkitkan iba. Ia tahu hubungan Sonny dengan keluarga Tan. Ia juga mengenal Susan yang pernah dijumpainya beberapa kali saat pulang berlibur. Gadis itu selalu bersikap ramah kepadanya.
"Eh, Bapak kok diam saja"" desak Maria dengan tatapan curiga.
Harun memperbaiki duduknya. Ia merasa gerah. Dulu di rumah ini ada AC. Sekarang tidak ada.
"Begini, Bu. Waktu itu saya baru keluar dari rumah Pak A Hok di ujung sana itu." Tangan Harun menunjuk. "Dia sudah pindah sekarang. Saya melihat seseorang keluar dari rumah Pak Sonny sambil mendorong motor, merapatkan pintu pagar, lalu menaiki-
67 nya dan pergi. Saya cuma lihat punggungnya. Dia pakai jaket dan helm. Perginya ke arah yang menjauhi tempat saya berdiri, hingga tidak sempat berpapasan. Coba kalau ketemu, tentu saya bisa sekalian memberi-tahu."
"Ya. Dia memang suka naik motor. Apa itu motornya"" tanya Henry.
"Wah, nggak jelas. Saya nggak tahu persis motornya apa," sahut Harun.
"Apa karena itu Bapak tidak menggedor pintu rumahnya"" tanya Maria.
Harun tertegun. Pertanyaan itu menjebak. "Oh, saya kan sudah bilang bahwa saya telah menggedor pintunya. Sama seperti yang lain. Soalnya saya tidak begitu pasti apakah dia memang Sonny. Saya kan lihatnya dari belakang. Pakai helm lagi. Baru setelah tak ada sahutan saya tambah yakin bahwa dia memang pergi."
"Lantas kalau dia memang pergi, yang mati terbakar itu siapa""
Maria meremas tangan Henry
, yang merasa betapa dingin tangan istrinya itu. Dia jadi ikut merasa dingin.
Harun bingung sesaat. Ia tak pernah berpikir ke sana. "Jenazahnya kan sudah diperiksa. Bener dia, kan""
"Jenazah itu sudah hangus, Pak. Bagaimana mengenalinya"" tanya Henry dengan perasaan aneh.
Maria tersentak. "Jangan-jangan Sonny masih hidup, Pa!" ia berseru penuh semangat.
Henry dan Harun sama-sama terkejut. Gagasan itu mengerikan.
68 "Tapi kalau dia masih hidup, kenapa tidak muncul setelah begitu lama" Dia tentu tidak akan pergi begitu saja meninggalkan Non Susan."
"Betul, Ma," Henry membenarkan. "Jangan sembarangan menyangka, ah. Apalagi yang mengerikan seperti itu. Mungkin orang yang dilihat Pak Harun itu bukan Sonny, melainkan tamunya."
"Kalau memang begitu, tentunya Sonny ada di rumah dan tidak sedang tidur. Kenapa tidak menyahuti panggilan atau gedoran pintu"" bantah Maria.
Henry tak bisa menjawab. "Saya pikir, Pak Sonny memang sempat pergi sebelum tahu apa yang akan terjadi. Lalu dia buru-buru kembali lagi karena situasi jalan tidak aman," Harun menyimpulkan.
Henry mengangguk. "Itu paling mungkin. Jadi dia kembali untuk menyelamatkan barang atau mungkin juga menengok kita, Ma. Tetapi para perusuh keburu datang sebelum dia sempat pergi."
Maria menutup muka dengan kedua tangannya karena ngeri. Ia membayangkan adegan seperti yang dikemukakan Henry itu. Kasihan Sonny. Setiap orang memang harus mati pada suatu saat. Tapi hendaknya jangan dengan cara yang mengerikan.
Pada saat Henry menghibur Maria, Harun pamitan. Ia merasa lega setelah keluar dari rumah itu. Rumah yang menyimpan kenangan duka dengan penghuni yang tabah tapi terluka. Kemunculannya telah menguak luka lama yang sulit sembuh.
Dulu dialah yang mendorong mereka semua pergi mengungsi meninggalkan harta benda yang mereka sayangi. Bahkan ada yang begitu panik hingga tak
69 sempat membawa apa-apa. Ternyata hal itu membuat para penjarah jadi leluasa mengambil apa saja dari rumah-rumah yang ditinggalkan tanpa perlawanan sama sekali. Semua yang bisa diambil mereka ambil. Yang tak bisa diambil mereka rusak. Maka warga yang tak sempat membawa milik mereka tak lagi memiliki apa-apa kecuali pakaian yang melekat di tubuh.
Harun tahu, ada di antara warga yang menyesali dan menyalahkannya. Tetapi apa artinya harta dibanding nyawa" Mereka takkan mampu melawan para penjarah yang begitu beringas, bagaikan serigala yang sudah kelaparan dan sangat bernafsu. Buktinya adalah kematian Sonny.
Sesungguhnya kunjungan yang dilakukannya ini bukan semata-mata untuk promosi. Ia juga ingin tahu, bagaimana kabarnya warga Pantai Nyiur Melambai di era reformasi" Apakah mereka sudah bangkit kembali" Masih adakah orang-orang yang dikenalnya di sana"
Ia mengagumi beberapa di antara mereka yang ulet bertahan meskipun mengajukan alasan tak punya rumah lain dan tak punya uang lagi. Bagaimanapun terpaksanya, tinggal di pemukiman yang sebagian masih porak-poranda itu membuat luka hati sulit sembuh. Orang dipaksa hidup dengan kenangan mengerikan yang selalu segar karena setiap hari terpampang di hadapan mata Mana mungkin bisa melupakan"
Ia bisa memaklumi mereka yang terus terang mengakui bahwa mereka telah mengutuk habis-habisan para penjarah. "Pak Harun! Orang-orang
70 yang menjarah dan membakar rumah kami itu tidak akan selamat! Tidak ada orang yang bisa bahagia di atas kesedihan orang lain. Tidak ada "yang bisa menikmati harta jarahan dengan kedamaian di hati. Tidak ada! Hukum karma akan berlaku, Pak Harun!" Ia bergidik. Kutukan itu mengerikan.
Harun mengamati rumah Adam. Rumah yang bagus, pikirnya dengan kagum. Jauh lebih bagus daripada rumah sebelumnya ketika ditempati oleh keluarga Lie. Coraknya sama sekali tidak mengikuti pola rumah pada awalnya dibangun. Arsitekturnya unik. Rupanya Adam mewujudkan kemampuan dan angan-angannya pada rumah pribadinya. Ia bebas melakukannya tanpa kekangan atau hambatan karena itu miliknya. Ia memang pintar. Pasti dia sudah kaya sekarang.
Beberapa tahun yang lalu Harun mengenal Adam sebagai anak muda yang selalu mengeluh kekurangan uang. Menurut Adam, pihak proyek perumahan tidak me
mberinya gaji memadai. Ia juga merasa dianggap sebagai arsitek yang masih hijau hingga cuma dipercaya sebagai asisten saja. Bahkan kadang-kadang cuma jadi mandor bangunan! Tetapi Harun sendiri menganggap keluhan Adam itu tidak pada tempatnya. Sebagai sarjana yang belum berpengalaman pantas saja kalau Adam diperlakukan begitu. Bukankah setiap orang seharusnya mulai dari bawah"
Tetapi pemikiran itu tentu saja tidak diungkapkannya kepada Adam. Hubungan mereka cukup dekat, hingga keterusterangan seperti itu bisa merusak hubungan yang sudah terbina. Adam sering membagi
71 rokok atau kue-kue. Dan cuma Adam satu-satunya arsitek yang memperlakukannya sebagai teman. Lainnya menjaga jarak. Ia toh cuma satpam.
Adam punya angan-angan. "Kalau aku punya uang, kubeli tanah di sini lalu kubangun sebuah rumah yang lain daripada yang lain!"
"Yang nyentrik" Bentuk bola atau kerucut""
"Ah, nggak begitu dong, Pak. Nggak aneh sih. Tapi sesuatu yang spesial. Karyaku sendiri."
"Kudoakan suatu saat keinginan itu terkabul, Pak Adam!"
Ternyata keinginan itu memang terkabul.
"Cari siapa, Pak""
Harun terlonjak kaget. Lalu tersipu malu. Teguran itu tertuju kepadanya. Datangnya dari seorang perempuan setengah baya yang berada di balik pintu gerbang sebelah pinggir, terlindung dan tak terlihat olehnya. Lagi pula pikirannya sedang mengembara ke mana-mana.
"Pak Adam Jaka, Bu. Ada di rumah""
"Bapak mah lagi pergi. Kalau Ibu ada," sahut Bi Iyah.
"Lain kali saja saya mampir lagi, Bu."
Kembali Harun mengeluarkan kartu namanya lalu menyodorkannya pada Bi Iyah. "Ini kartu nama saya. Tolong berikan pada Pak Adam ya, Bu" Saya kenalan lamanya."
Baru beberapa meter berjalan, Harun mendengar klakson mobil di belakangnya. Sebuah mobil sedan berada di depan pintu gerbang rumah Adam, minta dibukakan pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka
72 lebar dan mobil itu meluncur masuk. Tak tampak pengendaranya karena kacanya gelap. Ia tahu Adam sudah pulang. Tetapi waktunya tidak ideal lagi untuk berkunjung. Masih ada hari esok. Ia toh sudah menyerahkan kartu namanya. Bila Adam berminat ia bisa menghubunginya. Maka ia meneruskan langkahnya. Jalan kaki menuju halte bus. Ia sudah mengenal betul daerah itu. Tadi Anwar menganjurkan untuk menggunakan mobil Kijang-nya daripada susah-susah menunggu bus. Tetapi ia merasa kurang enak. Di situ warga mengenalnya sebagai satpam yang hidupnya sederhana. Kalau sekarang ia datang bermobil, sepertinya mengejek orang-orang yang telah kehilangan harta secara mengenaskan, atau disangka mau pamer.
"Adam sudah mendapatkan mimpi-mimpinya," gumamnya.
Kalau saja orang bisa melihat ke depan tentu Adam tidak perlu terlalu banyak mengeluh, apalagi berputus asa. Ia bertanya-tanya sendiri. Apakah dalam keadaannya yang sekarang ini Adam masih ingat akan perilakunya dulu"
"Kau tahu apa yang terpikir olehku ketika melihat Harun" Apa yang terpikir itu membuat hatiku sakit," kata Maria kepada Henry. "Tidak."
"Dia kelihatan makmur, kan"" "Lantas kenapa""
"Jangan-jangan dia dulu ikut menjarah!" Henry terkejut. Belum sempat berkomentar, Maria sudah menyambung dengan bersemangat, "Coba pikir!
73 Siapa yang tahu apa yang dilakukannya pada saat kita semua pergi meninggalkan rumah masing-masing""
"Apa dia tidak takut di antara para penjarah ada yang mengenalinya""
"Sudah tentu dia lepas dulu seragamnya. Dan kalau sudah menjarah beramai-ramai begitu, mana ada yang mau menuding yang lain" Nanti saling tuding dong. Maling teriak maling. Ya, sama-sama lah."
"Lalu"" "Hasil jarahan dia jadikan modal. Tentu dia sangat memahami, siapa yang paling kaya di sini."
Henry merasa tergetar. Sulit baginya untuk mempercayai tuduhan itu. Apalagi kalau ia membayangkan sosok Harun yang riil barusan. Sepintar itukah Harun berpura-pura"
"Zaman sekarang ini kulit manusia sudah semakin tebal. Tak ada rasa malu. Tak ada rasa bersalah," kata Maria setelah Henry mengemukakan pendapatnya. "Mungkin juga dia mau mengecek apakah kita mencurigainya."
"Kalau begitu, kau pintar juga berpura-pura, Ma," gurau Henry.
Maria tersenyum. "Mungkin kulitku juga sudah menebal."
"Tapi sudahlah. Kita tinggalkan s
aja topik itu. Toh tak ada buktinya. Yang menarik bagiku adalah ceritanya tentang Sonny."
"Betul sekali. Apa kau sepakat dengan gagasanku tadi""
"Yang mana""
74 "Kemungkinan Sonny masih hidup." "Lantas ke mana dia sekarang" Kenapa tidak muncul""
"Siapa tahu dia menderita amnesia di suatu tempat."
"Ah, yang begitu cuma ada dalam cerita fiksi! Lantas siapa yang hangus terbakar itu""
"Salah satu penjarah yang sial."
Henry menggelengkan kepala. "Mana mungkin Sonny menghilang begitu saja."
"Atau dia sudah bergabung dengan Thomas dan orangtuanya""
"Di Amerika" Tanpa memberi kabar apa-apa kepada kita atau Susan" Orang gila namanya itu!"
"Lalu menurutmu apa""
"Entahlah. Teori yang dikemukakan Harun itu kedengarannya logis. Tapi apa iya Sonny sebodoh itu membiarkan dirinya terperangkap" Sudah pergi kok kembali lagi."
"Ya sudahlah. Daripada pusing-pusing memikirkan sesuatu yang takkan bisa kuperoleh jawabannya, lebih baik aku melanjutkan suratku pada Susan. Ada tambahan cerita tentang pertemuan kita dengan Harun."
Henry terkejut. "Tapi jangan sekali-sekali kau-sampaikan gagasanmu barusan." Maria tidak menyahut.
Adam keluar dari mobilnya, disambut Kristin. Adam memeluknya, mencium pipinya, lalu mengelus perutnya. "Apa kabar anakku" Masih tenang di dalam, kan"" guraunya.
75 Kristin tertawa. Sikap mesra Adam menghapus kekesalannya barusan. "Tenang apaan" Dia semakin sering saja menyepak-nyepak, Mas!"
"Dia sudah tak sabar melihat dunia rupanya."
Adam membimbing Kristin memasuki rumah. Bi Iyah mendekat. "Tadi ada tamu, Pak," ia melapor.
"Oh ya, ini kartu namanya, Mas." Kristin merogoh saku dasternya. "Ketemunya sama Bibi tadi."
Adam mengamati kartu nama. "Harun"" gumamnya dengan kening berkerut. Lalu ia menatap Bi Iyah. "Sudah lama atau baru saja, Bi""
"Baru saja, Pak."
"Ya. Paling juga lima menit," Kristin membenarkan. "Pas Bibi menyerahkan kartu nama itu kepadaku, klakson mobil kedengaran."
"Wah, belum lama dong. Dia pakai mobil, Bi""
"Kelihatannya jalan kaki, Pak."
"Coba kususul, ya. Mungkin masih di halte. Pergi sebentar ya, Kris!"
Sebelum Kristin bersuara, Adam sudah berlari pergi. Kristin cuma sempat membuka mulutnya lalu menutupnya lagi. "Kayak apa sih orangnya, Bi"" tanyanya ingin tahu. Sejak tinggal di situ mereka sangat jarang mendapat tamu.
Bi Iyah menceritakan dengan detil. Kristin tahu, orang itu bukanlah si lelaki misterius di seberang jalan yang tak pernah dilihatnya lagi.
Adam berlari melewati rumah Henry. Ia melihat tetangganya itu sedang berdiri di halaman rumahnya. Larinya terpaksa melambat lalu berhenti karena Henry
76 bergegas keluar. "Ada apa, Dam"" tanya Henry dengan ekspresi cemas.
"Nggak ada apa-apa, Oom. Cuma mau ke situ!" sahut Adam. Tanpa menunggu pertanyaan berikut ia berlari lagi. Bisa buang waktu kalau ia menjelaskan lebih dulu. Dorongan untuk bertemu Harun saat itu juga sangat besar. Begitu melihat kartu namanya, begitu saja pertanyaan bermunculan di benaknya. Ia seperti tersengat oleh keingintahuan yang sangat besar. Kenapa dan mau apa Harun mencarinya" Bagaimana Harun bisa tahu bahwa ia tinggal di situ sekarang"
Tentu ia tak perlu menemuinya sekarang juga. Ia terlalu impulsif. Alamat dan nomor telepon Harun jelas tertera di kartunya. Ia bisa menghubunginya besok lusa di waktu luang. Tetapi dorongan itu terlalu besar. Ia tahu, pertanyaan-pertanyaan yang belum ada jawabannya itu bisa membuatnya tak bisa tidur malam nanti. Ia akan gelisah semalaman. Harun adalah bagian dari masa lalunya. Memang banyak orang di situ juga merupakan bagian dari masa lalunya. Seperti Henry, Maria, keluarga Mulyono, dan beberapa yang lain. Mereka semua dikenalnya ketika ia masih bekerja di proyek, tetapi hanya sepintas lalu.
Dulu hubungannya dengan Harun cukup akrab. Ia tak punya teman lain yang bisa dijadikan keranjang sampah dari segala unek-uneknya, atau sabar mendengarkan mimpi-mimpinya. Sekarang setelah situasi berbeda, jauh berbeda daripada dulu, ia tak berharap bisa bertemu dengan Harun lagi. Aneh rasanya. Sebenarnya kunjungan Harun itu bisa dianggap
77 wajar. Mungkin secara kebetulan Harun datang menemui salah seorang
warga atau mantan bosnya, lalu mendapat informasi perihal dirinya. Mungkin juga dia sedang membutuhkan bantuan materi. Tentu Harun menganggap dirinya sudah kaya. Mustahil rasanya kalau kunjungan itu sekadar untuk bersilaturahmi saja.
Kalau saja Adam menyempatkan diri berbincang sejenak dengan Henry dan mengutarakan tujuannya berlari itu, tentulah ia tak perlu tergesa-gesa. Ia juga tak perlu gelisah memikirkan jawaban atas pertanyaan yang bermunculan di benaknya. Ia bisa tenang menunggu sampai besok lusa untuk bertemu dengan Harun. Atau ia bisa juga tak perlu menghubungi Harun sama sekali. Tetapi ia merasa tak punya pilihan.
Henry membelalakkan matanya. Ia cepat-cepat keluar ke trotoar, mengamati arah larinya Adam. Tetapi ketika Adam berbelok ia kehilangan objek. Pikirannya bekerja. Apakah Kristin kenapa-kenapa" Tapi kalau Kristin akan melahirkan, kenapa Adam yang lari" Dan kalau Adam membutuhkan bantuan, kenapa tidak minta kepadanya"
Penuh rasa ingin tahu Henry menuju rumah Adam.
"Selamat malam, Oom," sapa Kristin yang melihatnya lebih dulu. Ia berada di depan pintu gerbang yang dibuka sedikit.
"Oh, malam, Kris. Baik-baik saja""
"Baik, Oom. Mau ke mana malam-malam, Oom""
"Tadi kulihat Adam berlari." Henry menunjuk. "Mau ke mana" Apa dia mengejar maling""
78 "Bukan, Oom. Dia mengejar tamu yang tak sempat ditemuinya." "Tamu""
Kristin menceritakan perihal Harun.
"Oh, Harun." Lalu giliran Henry bercerita tentang kunjungan Harun ke rumahnya. Tentu saja ia tidak menceritakan semua materi pembicaraannya dengan Harun. Lebih-lebih tentang Sonny. "Dulu Adam cukup dekat dengan Harun. Mungkin dia kangen kepengin ketemu, Kris."
"Kangen sih kangen, tapi kok seperti itu." Kristin masih sulit memahami.
Harun masih berada di halte bus. Ia duduk santai menikmati waktunya. Tidak merasa kesal atau ingin buru-buru. Tidak ada yang menyuruhnya cepat pulang atau menunggunya dengan tak sabar di rumah. Istrinya meninggal beberapa bulan yang lalu. Sekarang ia tinggal bersama Anwar dan keluarganya. Tapi ia menempati bagian pavilyun. Dia seorang duda yang bebas dan mandiri. Dia juga tidak menumpang atau dibiayai hidupnya. Ia sangat aktif membantu pekerjaan Anwar. Banyak order cetak yang telah diperolehnya dan untuk itu ia mendapat komisi. Ia bangga akan kemampuannya sendiri.
Pikirannya masih dipenuhi pengalamannya tadi ketika berkunjung ke pemukiman Pantai Nyiur Melambai. Yang paling mengesankan adalah suami-istri Tan. Terutama Maria yang begitu emosional ketika mereka membicarakan Sonny. Sikap Maria itu juga menggugah perasaannya dan menggoyang keyakinannya. Bagaimana kalau ternyata Maria benar" Sonny-
79 kah yang ditemukan tewas terpanggang itu" Kalau bukan Sonny, lantas siapa" Celakanya, pertanyaan itu sulit dijawab. Andaikata makamnya digali pun akan mustahil mendapatkan jawabannya.
Selama ini ia tak pernah memikirkan soal itu. Tak terpikir sedikit pun. Masalah itu, kalau memang merupakan masalah, sepertinya terlalu kecil jika dibandingkan dengan banyak peristiwa besar yang terjadi di tanah air. Sekarang masalah itu menyeruak ke dalam benaknya menuntut perhatian dan pemikiran. Ah, gara-gara Ibu Maria.
Ia memang tidak perlu terlibat atau merasa bertanggung jawab. Itu adalah urusan masa lalu yang tidak punya sangkut-paut dengan dirinya. Sonny dan keluarga Tan bukan apa-apanya. Tetapi emosi Maria yang begitu meluap membangkitkan juga rasa penasarannya. Ia seperti tergelitik dan terangsang untuk mencari jawaban atas pertanyaan tadi. Tapi bagaimana caranya" Orang yang sudah mati tak bisa ditanyai.
Pada saat itu ia melihat Adam tergopoh-gopoh mendekat ke halte. Matanya mencari-cari tapi cuma sebentar mengarah kepadanya lalu berpindah ke orang-orang lain di sekitarnya. Harun segera berdiri, lalu menghampiri Adam. "Pak Adam! Cari siapa"" tegurnya setengah bergurau.
Adam terbelalak. "Waduh! Pangling aku, Pak!"
"Ah, masa pangling" Mungkin penerangannya kurang. Kalau siang sih pasti jelas."
"Bapak sudah berubah. Jadi gemuk dan... mana kumisnya""
Mereka tertawa setelah bersalaman. Keakraban masa lalu terasa kembali.
80 "Ayo ke rumah, Pak. Nanti saya anterin
pulang," ajak Adam. Harun teringat akan peringatan Henry dan Maria. Ia menolak dengan alasan sudah malam. Lalu mengajak Adam untuk duduk berbincang sebentar. Adam menerima tawaran itu. Ia memang cuma berbasa-basi saja dengan ajakannya. Memang ia bisa mengingatkan Harun untuk tidak memperbincangkan masa lalu rumahnya di depan Kristin, tapi bagaimana kalau Harun keceplosan bicara" Yang penting baginya adalah mengetahui motivasi kedatangan Harun.
Henry masih menemani Kristin di luar pintu pagar rumahnya. Menunggu Adam.
"Lama juga perginya, ya"" kata Henry.
"Iya, Oom. Pasti ia berhasil menemukannya lalu mengobrol dulu. Heran, kenapa tak diajaknya saja ke sini"" keluh Kristin.
"Di sini banyak nyamuk, Kris. Di rumah Oom saja nunggunya. Kita bisa mengobrol."
"Tante ada""
"Ada dong." Kristin menganggap itu usul yang baik.
Maria sudah menyelesaikan suratnya. Besok bisa dibawa Henry untuk diposkan. Rasanya lega bisa bercerita banyak kepada Susan. Kata Susan, ia senang sekali membaca ceritanya. Semakin panjang semakin senang. Kalau menulis surat pendek-pendek, itu sama saja dengan tidak menulis surat.
Lalu seperti kebiasaannya, setiap selesai menulis surat ia mengeluarkan album foto yang disimpannya
81 di laci. Album itu berisi foto-foto keluarga. Ia membawanya ke sofa ruang depan. Selalu begitu. Sambil mengamati foto-foto Susan, ia membayangkan bagai-mana putrinya itu membaca cerita yang ditulisnya. Ia juga mengingat kembali ceritanya. Kalau sampai ke bagian yang satu itu, bagaimana kira-kira ekspresi Susan" Kata Susan, ia punya bakat jadi penulis. Ceritanya enak dibaca. Ah, anakku. Sebenarnya aku tidak mau terus-terusan menulis saja untukmu. Aku juga ingin bicara dan mendengar suaramu! Dan melihat langsung wajahmu, bukan fotomu! Apakah kau tidak punya keinginan yang sama terhadap diriku dan ayahmu"
Lalu ia mendengar suara Henry dan Kristin. Keningnya berkerut. Kenapa Kristin malam-malam ke sini" Apakah si Adam belum pulang" Atau Kristin memerlukan sesuatu" Cepat-cepat ditutupnya album dan diletakkannya di sofa, lalu ia berdiri untuk menyambut kedua orang itu.
Henry bercerita dengan cepat dan singkat perihal Adam yang pergi mengejar Harun. Lalu Maria membimbing Kristin duduk di sofa. "Betul sekali, Kris. Mendingan nunggu di sini saja. Kebetulan aku bermaksud membuat cokelat susu. Mau, ya" Mengobrollah dulu sama Oom."
Maria bergegas ke dapur. Henry menjadi agak canggung ditinggal berdua saja. Otaknya bekerja mencari bahan pembicaraan. Tetapi Kristin tidak merasakan kecanggungan Henry. Tatapannya tertuju kepada album foto di sebelahnya. Ia meraihnya.
"Itu album keluarga, Kris," Henry mendapat bahan pembicaraan. Ia pindah duduk ke sisi Kristin supaya
82 bisa menjelaskan foto siapa saja yang ada di dalam album. "Itu foto perkawinan Oom sama Tante. Sudah kuning, ya" Dan itu foto Ike dan Susan saat masih bayi. Itu Ike yang baru masuk TK di depan sekolahnya. Lalu Susan yang menyusul bersekolah di TK yang sama. Keduanya berbeda usia lima tahun."
"Aduh, lucu-lucu sekali ya, Oom. Sungguh suatu keluarga yang harmonis," puji Kristin. Terpikir apakah ibunya masih menyimpan foto-foto dirinya ketika masih bayi.
"Nah, itu mereka berdua sudah jadi gadis remaja."
"Cantik-cantik," kembali Kristin memuji.
"Itu foto perkawinan Ike dan Daniel. Lalu itu anak-anak mereka."
Kemudian Kristin teringat pada Susan dan kekasihnya. Ia tidak menanyakan melainkan membalik terus lembaran album untuk menemukannya sendiri. Tetapi ia menahan diri untuk tidak terang-terangan melakukannya. Pelan-pelan saja sambil mendengarkan penjelasan Henry. Mungkin juga sang kekasih tidak termasuk dalam album karena ia belum menjadi anggota keluarga, pikirnya.
Kemudian tiba halaman terakhir. Ada dua foto ukuran kartupos bersebelahan. Yang satu menampilkan sepasang gadis dan pemuda. Si gadis adalah Susan. Keduanya berdampingan dalam pose setengah badan. Wajah mereka penuh senyum. Yang satu lagi foto si pemuda yang sama sedang berdiri sendirian dalam pose seluruh badan. Dia pun sedang tersenyum. Kali ini tak terdengar penjelasan dari Henry. Entah enggan atau sudah capek bicara. Tetap
i Kristin tidak 83 memedulikannya. Tatapannya tajam mengarah kepada si pemuda dalam foto. Matanya tak mau berkedip. Ada kejutan luar biasa menyergapnya. Wajahnya memucat lalu ia memekik pelan.
Henry terkejut. Ia meraih lengan Kristin yang terasa dingin. "Kenapa, Kris" Kenapa"" tanyanya panik.
Kristin masih saja diam dengan tatapan tertuju kepada foto tadi. Ia mematung seperti kena sihir.
"Maa! Maaa...! Cepat ke sini!" teriak Henry memanggil istrinya. Ia bingung dan takut.
Maria yang memang sedang menuju ke ruang itu diiringi pembantunya yang membawa baki dengan cangkir-cangkir berisi cokelat susu segera mendekat dengan tergopoh-gopoh. Ia melompat menubruk Kristin dan memeluknya. Segera tatapannya tertuju ke halaman album di pangkuan Kristin. Ia juga sempat melihat ke mana arah tatapan Kristin yang begitu lekat. Jantungnya jadi bergetar.
"Kris! Kriiis!" panggilnya lembut. Tangannya menepuk-nepuk pelan punggung Kristin.
Kristin tersadar. "Apa itu... itu..." Tangannya menunjuk si pemuda dalam foto. "Apa itu kekasih Susan yang sudah meninggal"" tanyanya pelan tapi jelas.
Maria bertukar pandang sejenak dengan Henry. "Betul, Kris. Jelas, kan" Mereka berfoto bersama," sahut Maria dengan perasaan aneh.
"Apakah dia punya saudara kembar""
"Tidak." "Punya saudara lelaki""
"Oh ya. Ada seorang kakaknya."
"Mirip"" 84 "Sedikit saja. Tapi kakaknya lebih tua sepuluh tahun. Tidak secakep adiknya. Memangnya kenapa, Kris"" Maria merasa cemas.
Kristin tidak menjawab. Tubuhnya terasa lemas. Sepertinya melayang.
"Siapa namanya, Tante""
"Sonny." "Dulu dia tinggal di rumah saya, kan""
Maria berpandangan lagi dengan Henry. Maria menggeleng kuat-kuat. Bukan aku yang mengatakan, begitu kata ekpsresinya. Ia memalingkan muka, tak mau menjawab pertanyaan Kristin.
"Benar kan, Oom"" desak Kristin, mengalihkan tatapannya kepada Henry.
"Benar, Kris," sahut Henry dengan terpaksa. Biarlah kuterima risiko dimarahi Adam, pikirnya.
"Dari mana kau tahu, Kris" Kami tidak mengatakannya, kan"" Maria bertanya dengan penasaran.
Tetapi Kristin masih merenungi foto itu. Terbayang lagi lelaki misterius yang selalu dilihatnya berdiri di seberang jalan memandangi jendelanya. Senyumnya. Gaya berdirinya. Dia ada di foto itu! Dia adalah Sonny!
Tiba-tiba Kristin memekik lagi. Album di pangkuan jatuh ke lantai. Maria memeluknya. Henry melompat untuk memungut album dan meletakkannya kembali di sofa. Kali ini Kristin memegang perutnya dan wajahnya meringis kesakitan. "Saya kira sudah dekat, Tante. Ada kontraksi. Kuat sekali! Aduh!"
Pedang Penakluk Iblis 9 Roro Centil 15 Langkah-langkah Manusia Beracun Ratu Kembang Mayat 2