Pencarian

Ratu Kembang Mayat 2

Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat Bagian 2


buru terbang meninggalkan tempat tersebut.
Kejap berikutnya mereka saling tangan dan
keduanya sama-sama terpental setelah terdengar
bunyi ledakan, blaar...! Wuuus...! Bruuk...!
Kembang Mayat jatuh lebih dulu di samping
sebuah pohon, sedangkan tubuh Topeng Merah mem-
bentur dinding bukit cadas itu. Nafasnya terengah-
engah, dan ketika ia meludah, ternyata darah yang di-
ludahkan. Tapi Topeng Merah tidak tampak jera sedikit pun.
Bahkan ia kemudian membuka jurus pedang yang se-
jak tadi tidak digunakan la bersiap menyerang lawan-
nya. "Biadab kau, Iblis!" sentak Kembang Mayat yang masih berusia muda namun
sudah punya kesaktian cukup tinggi itu. "Jangan merasa ilmumu lebih tinggi
dariku setelah kau bisa membuat telapak tanganku hangus begini! Heh!"
Kembang Mayat melirik kembali pada telapak
tangannya, dan kemarahan semakin membara di da-
lam hatinya melihat telapak tangannya menjadi han-
gus. Ia segera menahan napas, menggerakkan tangan
kirinya yang hangus itu dengan kekuatan besar. Tan-
gan tersebut gemetar di depan dadanya. Pelan-pelan
meremas kuat. Tubuhnya ikut gemetar karena kuatnya
menggenggam, dan kejap selanjutnya genggaman itu
pun mengendur. Pelan-pelan telapak tangan yang han-
gus dan menggenggam itu bergerak membuka tanpa
kekuatan sekeras tadi. Ternyata warna hitam pada
tangan tersebut telah hilang, tidak hangus lagi, dan
hal itu membuat mata di balik topeng warna merah itu
terkesiap. Tapi tak satu pun orang yang tahu bahwa
mata itu sedang terkesiap melihat telapak tangan
Kembang Mayat mulus kembali.
Bahkan sekarang telapak tangan itu memercik-
kan api warna merah. Bunga-bunga api itu berlonca-
tan dari tengah telapak tangan. Jelas ada jurus baru
yang dilakukan Kembang Mayat dan siap untuk me-
nyerang lawannya.
Topeng Merah rupanya tidak gentar juga meli-
hat hal itu. Ia berlari dengan tanpa berteriak sedikit pun. Pedangnya siap
ditebaskan ke arah lawan, dan ia
pun melompat dengan bersalto satu kali. Tetapi pada
saat itu Kembang Mayat sentakkan tangan yang sudah
memercikkan bunga api itu ke depan, Wuuut...!
Zraaakk...! Berlarik-larik sinar merah berkelok bagaikan
rajutan benang maut itu terlepas dari telapak tangan
Kembang Mayat. Jumlah benang-benang membara ba-
gai serat petir itu lebih dari dua puluh larik. Gerakannya sangat cepat,
sasarannya menghantam tubuh To-
peng Merah yang sedang bersalto.
Namun agaknya manusia bertopeng merah su-
dah menduga akan terjadi serangan seperti tadi. Maka
dengan cepat ia gerakkan pedangnya berkelebat bebe-
rapa kali di depannya, memenggal rajutan benang
membara yang ingin menghantam tubuhnya.
Tret... tret... treeet.... Blaaar...!
Topeng Merah berhasil menangkis rajutan be-
nang merah tersebut. Ia melakukan dengan kibasan
pedangnya yang agaknya mampu dipakai untuk mene-
bas kekuatan dahsyat seperti itu. Tetapi ketika terjadi ledakan, tubuh Topeng
Merah tidak bisa bertahan dl
tempat, melainkan terlempar kembali ke belakang,
hampir mendekati tempat asalnya.
Kembang Mayat pun oleng ke belakang akibat
gelombang ledakan tersebut, namun ia tak sampai ja-
tuh. Tangan yang memegangi pedang berhasil menda-
pat pegangan sebatang pohon dan membuat tubuhnya
tertahan di sana.
"Jahanam...!" gerutu Kembang Mayat dalam
makian yang menggeram menahan amarah yang tak
mampu terlepaskan secara tuntas.
Topeng Merah hanya membatin, "Setan! Jurus-
nya yang kali ini sempat membuat napas ku sesak! Bo-
leh juga mainan setan perempuan itu! Tapi... oh, siapa yang berlari kemari itu"
Hmmm...! Sial! Dia lagi!"
Kembang Mayat baru mau melepaskan seran-
gan jarak jauhnya lagi, tetapi Topeng Merah sudah
menghilang. Berkelebat dengan cepat dan tertangkap
oleh pandangan mata Kembang Mayat Maka gadis itu
pun berseru dengan garangnya,
"Jangan lari kau, Iblis...!" lalu ia segera mengejarnya. Kembang Mayat tak tahu
bahwa Yoga sudah
ada di belakangnya dan sedang memburunya. Melihat
kedua orang yang bertarung itu saling kejar-mengejar
lagi, maka Pendekar Rajawali Merah pun kerahkan te-
naga untuk menyusul mereka.
Duaar...! Daaar .! Kembang Mayat lepaskan se-
rangan jarak jauh sambil mengejar lawannya. Topeng
Merah sedikit kebingungan menghindari pukulan jarak
jauh yang dapat menghancurkan tubuhnya itu. la ber-
lari terus mencari tempat yang menurutnya enak dipa-
kai untuk melanjut-kan pertarungannya.
Karena dihujani oleh pukulan-pukulan maut
lawannya, Topeng Merah tidak sengaja mengarahkan
pelariannya ke makam kakeknya Malaikat Gelang
Emas. Pada waktu itu, makam tersebut dijaga oleh
Nyali Kutu. Dan orang berwajah bundar itu hanya bisa
terbengong memandangi dua orang yang saling kejar.
Nyali Kutu tahu persis, mereka adalah orang-orang be-
rilmu tinggi, terlihat dari cara Kembang Mayat mele-
paskan serangan jarak jauhnya sambil lari, dan gera-
kan si Topeng Merah yang mampu melompat dalam la-
rinya berpindah-pindah tempat dengan hanya sedikit
menapakkan kaki dari tanah ke tanah.
Karena Nyali Kutu terbengong kagum, tak sa-
dar ia telah membiarkan kedua orang itu berlari ke
arah makam tersebut. Dan dengan mata terbuka lebar
dan mematung dl tempat, Nyali Kutu melihat jelas To-
peng Merah melompati makam tersebut untuk meng-
hindari serangan dari belakang. Jika ia tidak melom-
pat, maka ia akan menjadi sasaran pukulan ganas
Kembang Mayat. Wuuut...! Topeng Merah melangkahi makam
tersebut tak peduli makam siapa itu. Dan Nyali Kutu
hanya tersentak dengan mulut terbuka satu kali tanpa
bisa bersuara lagi. Sedangkan Kembang Mayat masih
terus mengejar Topeng Merah yang tetap melarikan diri itu.
Tinggallah Nyali Kutu mendelik dengan ketaku-
tan setelah kedua orang itu menghilang dari tempat
makam kakek Malaikat Gelang Emas. Jantung Nyali
Kutu menjadi berdetak-detak karena Topeng Merah te-
lah melangkahi makam tersebut. Padahal tugas Nyali
Kutu adalah menjaga supaya jangan ada orang me-
langkahi makam tersebut. Artinya ia harus menyerang
orang yang akan melangkahi makam. Ternyata ia tadi
justru hanya terbengong dengan rasa kagum dan ke-
mudian menjadi dicekam rasa takut.
"Celaka! Makam itu sudah dilangkahi orang!
Past! Malaikat Gelang Emas akan menghukumku jika
ia tahu bahwa makam kakeknya sudah dilangkahi
orang. Sebaiknya... sebaiknya aku tidak melaporkan
hal ini kepada Malaikat Gelang Emas. Toh dia tidak
melihatnya!" kata
Nyali Kutu dl dalam hatinya.
Matanya segera memandang ke arah setangkai
bunga kuning yang mirip mawar dan tumbuh di atas
kuburan itu. Mata Nyali Kutu terbuka lebar lagi, sebab bunga tersebut tiba-tiba
menciut, menjadi layu sedikit demi sedikit dalam perubahan yang jelas sekali.
Bunga yang se-mula mekar dan berdiri tegak itu kini menjadi meleng-kung ke bawah
dalam keadaan kelopaknya saling menguncup, namun belum terlihat kering betul.
'Wah, mati aku!" katanya dengan deg-degan.
"Bunga itu menjadi layu, dan Malaikat Gelang Emas pasti tahu bahwa kuburan
kakeknya sudah dilangkahi
orang! Aduh, celaka aku kalau begini...!"
Nyali Kutu memandang jauh, kembali meman-
dang bunga itu, lalu memandang sekelilingnya lagi
dengan cemas dan panik, lalu menatap ke arah gubuk
yang baru saja selesai dibetulkan atapnya itu. Ia bingung mencari cara agar
Malaikat Gelang Emas tidak
mengetahui apa yang telah terjadi pada makam ka-
keknya. Dengan tangan gemetar, Nyali Kutu menegak-
kan kembali setangkai bunga kuning itu. Tapi beru-
lang kali ditegakkan, berulang kali pula bunga tersebut meliuk turun dan
menunduk. Terkulai lemas tanpa tenaga apa pun.
Nyali Kutu bertambah panik. Kemudian ia
mencari sebatang lidi. Ia menemukan sebatang lidi di
samping gubuk itu. Lidi tersebut di tancapkan di
samping bunga, lalu tangkai bunga diikatkan pada lidi tersebut dengan tali
gedebong pisang. Sepintas tak terlihat bunga itu telah layu karena bisa berdiri
tegak berkat bantuan lidi tersebut. Hanya kelopaknya saja
yang tak bisa mekar lagi, melainkan menguncup layu.
"Mudah-mudahan Malaikat Gelang Emas tidak
memperhatikan kemekaran bunga itu, melainkan kete-
gakkannya yang diperhatikan!" pikir Nyali Kutu sambil melangkah mundur sampai
mendekati gubuk. Tapi
mendadak matanya kembali melebar. Bunga itu terku-
lai kembali, tertunduk lemas dan lidi pengikatnya pa-
tah karena tertarik tangkai bunga yang terkulai lemah itu. Taak...!
"Yaaah... patah lidinya"! Sial betul bunga itu!"
gerutu Nyali Kutu. Ia menukar lidi tadi dengan lidi
yang lain, yang agak besar. Tapi Keadaannya menjadi
sama seperti tadi. Setelah tangkai bunga diikat dengan lidi, tiba-tiba bergerak
menunduk pelan-pelan dan lidi itu menjadi patah. Hal itu membuat Nyali Kutu
menjadi bertambah tegang dan berkeringat dingin.
"Hei, Nyali Kutu...!" sapa seseorang dari belakangnya.
Nyali Kutu terlonjak kaget dan terpekik mulut-
nya. Ia hampir saja melarikan diri. karena menyangka
orang yang menegurnya itu adalah Malaikat Gelang
Emas. Ternyata bukan!
Orang yang menegurnya adalah Pendekar Ra-
jawali Merah. Namun begitu melihat kehadiran Pende-
kar Rajawali Merah itu pun Nyali Kutu menjadi geme-
tar dan menggigil tubuhnya. la sangat ketakutan, ka-
rena menyangka Pendekar Rajawali Merah ingin me-
nyerangnya, sebab pada waktu bersama Rahang Baja
dan Panglima Makar, Nyali Kutu tahu persis bahwa
wajahnya sangat dikenali oleh Pendekar Rajawali Me-
rah. "Ddii... dia... dia sudah mati kok! Sud... sudah aman...!" kata Nyali Kutu
menceritakan keadaan Panglima Makar. Tetapi Pendekar Rajawali Merah itu
hanya tersenyum dengan tenang dan berkata,
"Siapa yang kau maksud sudah mati itu, Nyali
Kutu?" "Tuuu... tuan... Tuan Panglima Makar!" jawab Nyali Kutu menggeragap,
apalagi ketika Yoga mendekat, ia semakin menggigil tubuhnya.
"Aku kemari bukan untuk mencari Makar! Aku
mencari manusia bertopeng merah. Apakah kau meli-
hat manusia bertopeng merah yang sedang dikejar-
kejar oleh perempuan berjubah ungu?"
"O, hmmm... iya... betul, aku melihatnya! Be-
lum lama aku benar-benar melihatnya...," Nyali Kutu menjawab dengan bersemangat
bercampur rasa takut.
Ia berharap dengan menyebutkan arah pelarian si To-
peng Merah, ia akan mendapat pengampunan dari Yo-
ga dan tidak akan dicelakai sebagai pengganti dari
tuannya; Panglima Makar.
"Ke mana arah larinya mereka, Nyali Kutu"!"
"Ke sana...!" Nyali Kutu menuding ke arah selatan. Maka Pendekar Rajawali Merah
pun segera mene-
puk-nepuk punggung Nyali Kutu sambil berkata,
"Baik, baik...! Terima kasih!" setelah itu Pendekar Rajawali Merah berlari
menyusul Kembang Mayat
ke arah selatan. Nyali Kutu hanya memandanginya
dengan mulut dan mata masih terbengong.
Sementara itu, matanya segera berpindah ke
arah bunga. Ternyata keadaan bunga mulai kecoklat-
coklatan. Nyali Kutu takut hal itu akan menjadi tanda bagi Malaikat Gelang Emas.
Maka, sebelum orang sesat itu da-tang, Nyali Kutu lebih dulu meninggalkan
kuburan tersebut dan lari mencari tempat untuk ber-
sembunyi dari incaran Malaikat Gelang Emas. Sejauh
mana pun tempat yang dirasakannya aman ditempuh-
nya demi menyelamatkan diri dari amukan besar si
Malaikat Gelang Emas nanti.
Pada waktu itu, pengejaran Kembang Mayat
terhadap diri Topeng Merah pun terhenti di atas tanah datar yang menjadi bibir
tebing. Kembang Mayat berhenti, karena Topeng Merah terdesak ke bibir tebing
berjurang dalam. Ia tak punya jalan lagi untuk melarikan diri. Topeng Merah
terpaksa hams menghadapi la-
wannya dl situ, karena Kembang Mayat segera berkata,
"Habis sudah riwayatmu sampai di sini, Topeng
Iblis! Hiaah...!" tiba-tiba seberkas sinar merah pipih seperti daun segera
melesat dari tangan kiri Kembang
Mayat. Wuuut...! Zlaaap...!
Topeng Merah tahu-tahu sudah berpindah
tempat. Ia melesat lewat udara bagaikan terbang den-
gan cepat, tahu-tahu sudah berada di belakang Kem-
bang Mayat. Kakinya segera menendang Kembang
Mayat dan kena tepat di bagian punggung gadis ketua
perguruan itu. Buuhg...!
Wuuut...! tubuh Kembang Mayat terlempar.
Hampir saja ia terjungkal ke jurang. Untung ia mampu
menghentikan gerakan tubuhnya dengan menan-
capkan pedang di tanah dan berpegangan pedang ter-
sebut. Jika tidak, habislah riwayatnya masuk ke ju-
rang yang dalam itu.
Cepat-cepat la tegakkan kembali badannya dan
ia pijakan kembali kakinya dengan kokoh. Matanya
memandang tajam pada lawannya yang sejak tadi tak
terdengar suaranya. Pedang sudah dicabut dari tanah,
sekarang digenggam dengan tangan kanan dan dis-
ilang-kan ke depan dada. Tangan kirinya ada di atas,


Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siap lepaskan pukulan jarak jauh.
"Ke mana pun kau lari tetap kukejar, Topeng
Iblis! Karena kau harus menyusul nyawa-nyawa mu-
ridku ke alam baka sana!" geramnya.
Topeng Merah diam saja. Berdiri tegak meman-
dang Kembang Mayat dari balik topengnya. Tangan
kanannya juga tetap memegang pedang yang sudah
diangkat tegak di sisi pundak kanan. Dan tiba-tiba sa-ja dari mata topeng itu
keluar sinar biru dua larik seperti besi panjang membara biru. Zlaap !
"Tahaaan...!" teriak suara dari arah samping.
Yoga berkelebat menyambar tubuh Kembang
Mayat untuk menghindarkan diri dari sinar biru yang
tak di-sangka-sangka melesat dari mata topeng itu.
Wuuut...! Tapi bertepatan dengan gerakan itu, tubuh To-
peng Merah sedang berkelebat ingin menyusul seran-
gan sinar birunya yang gagal mengenai sasaran itu.
Gerakan Topeng Merah yang cepat itu dibarengi den-
gan tebasan pedang. Wuuut...! Craaas...!
"Aaa...! " teriakan itu bukan datang dari mulut Kembang Mayat, melainkan dari
mulut Pendekar Rajawali Merah.
Kembang Mayat terlempar dari raihan tangan
kanan Yoga, ia terpelanting dari cepat berdiri. Kini
Kembang Mayat dan Topeng Merah sama-sama terte-
gun dengan tak bergeming sedikit pun. Mereka bagai
tidak percaya melihat Pendekar Rajawali Merah itu
terpotong tangan kirinya dan sekarang dalam keadaan
berlutut menahan rasa sakit. Potongan tangan kiri se-
batas siku itu jatuh tergeletak satu langkah dl samping
Yoga. Mata Kembang Mayat tak berkedip melihat
pendekar tampan itu putus tangan kirinya. Darah
mengucur deras dari potongan tangan tersebut. Dan
hal itu membuat Yoga mulai berkunang-kunang ma-
tanya, untuk kejap berikut ia rubuh. Jatuh dan ping-
san. Topeng Merah tersentak mundur satu langkah.
Gerakan kepalanya yang patah-patah menandakan di-
rinya sedang gelisah. Sementara itu, napas Kembang
Mayat semakin terengah-engah dan pancaran matanya
membara penuh nafsu untuk membunuh Topeng Me-
rah. Ia berteriak dalam luapan murkanya,
"Iblis keji! Kau telah membuat cacat diaaa...!
Hiaaat...!"
Melihat Kembang Mayat mulai bergerak dengan
pedangnya, tangan Topeng Merah menyentak dengan
sangat cepat. Zlaaap...! Sinar ungu menghantam telak
da-da Kembang Mayat. Zruub...!
"Aaahg...!" Kembang Mayat terpekik sekejap, kemudian tubuhnya terlempar mundur
dan terjungkal ke dalam jurang tersebut.
"Aaaaa...!" jeritannya terdengar menggema panjang, makin lama semakin mengecil,
lalu hilang bagai
ditelan bumi. Topeng Merah diam terpaku beberapa saat dl
dekat tubuh Yoga yang pingsan. Keadaan Yoga yang
tanpa lengan itu membuat Topeng Merah mendekati
dan jongkok dengan pelan-pelan. Sikapnya tampak
serba salah, ingin menolong atau membiarkan pende-
kar tampan itu telentang begitu saja, sungguh meru-
pakan hal yang sulit dipastikan. Topeng Merah benar-
benar tak mengerti apa yang harus dilakukannya saat
itu. Dan tiba-tiba saja kepalanya menyentak ke bela-
kang, karena ia mendengar suara langkah orang me-
nuju ke arahnya.
Dengan cepat, Topeng Merah melesat pergi me-
ninggalkan Yoga yang terkapar berlumur darah. Ia se-
gera menghilang sebelum ada orang yang datang ke
tempat itu. * * * 5 PANCASONA alias si Tua Usil itu mempunyai
tempat tinggal di tengah hutan. Pondoknya itu terbuat dari kayu-kayu batang
pohon yang dibelah menjadi
dua bagian. Dengan belahan kayu itulah ia memban-
gun pondok yang tidak seberapa lebar, namun cukup
untuk berteduh enam orang.
Menurut pengakuannya yang disangsikan ke-
benarannya oleh Lili, si Tua Usil dulu mempunyai sau-
dara lima orang, tiga lelaki dan tiga perempuan. Si Tua Usil adalah anak bungsu
dari kelima saudaranya. Mereka bukan orang-orang baik. Mereka orang-orang se-
sat yang masing-masing mempunyai ilmu tinggi.
Hanya Pancasona yang tidak mau mengikuti jejak ke-
lima saudaranya itu. "Pernah dengar julukan Lima Perampok Kubur?" "Belum," jawab
Lili. "Sayang sekali," kata si Tua Usil. "Lima kakak-ku itu yang menamakan diri mereka
sebagai Lima Pe-
rampok Kubur! Kalau memenggal orang tidak pernah
tanggung-tanggung. Tak heran jika lawannya sering
didapati mati terpotong tiga belas bagian atau lebih.
Dan aku tidak mau seperti mereka, Nona! Aku bukan
keturunan perampok, melainkan keturunan orang
baik-baik!"
"Ke mana mereka sekarang?"
"Sudah kukirim ke neraka semua!"
"Kau yang membunuh mereka?"-
"Benar! Seorang satria dalam menegakkan ke-
benaran dan keadilan tidak memilih lawan dan tidak
pandang bulu! Biar saudara sendiri, tapi kalau hidup-
nya merugikan orang banyak, harus ditumpas habis!"
Entah benar atau tidak cerita itu, Pendekar Ra-
jawali Putih tidak mementingkannya. Yang ia penting-
kan adalah tempat tinggal untuk sementara. Si Tua
Usil tidak keberatan menerima Lembayung Senja dan
Lili di tempat tinggalnya itu. Ia justru sangat bersenang hati karena punya
harapan bisa membujuk Lili
agar diberi pelajaran cara berdiri di atas ilalang.
Pada dasarnya Lili hanya membutuhkan tempat
buat Lembayung Senja sebagai tempat istirahat. Luka
di dalam tubuh Lembayung Senja membutuhkan masa
istirahat yang agak lama. Sebenarnya Lili bisa saja tidak peduli lagi dengan
Lembayung Senja setelah ia me-
lakukan pengobatan. Tetapi karena ingin menunjuk-
kan kepada Yoga, bahwa ia menjalankan apa yang di-
perintahkan Yoga, maka Lili pun merawat Lembayung
Senja dengan balk-baik. Setidaknya hal itu diharapkan bisa menyenangkan hati
Pendekar Rajawali Merah. Karena Lili pun akan senang jika hati pendekar tampan
itu merasa gembira.
Tetapi kepergian Yoga ternyata mengundang
kecemasan yang cukup besar bagi Lili. Kecemasan itu
makin meresahkan hatinya setelah Lembayung Senja
berkata, 'Tak ada orang yang bisa mencegah Pendekar
Rajawali Merah untuk tidak mendekati sang Ketua.
Apa pun larangannya pasti akan diterjang oleh Yoga,
dan Yoga tetap ingin mendekati Kembang Mayat."
"Mengapa begitu?" tanya Lili.
Yoga telah terkena aji 'Candra Kasmaran' di
perjalanan. Aji 'Candra Kasmaran' pasti telah dilancarkan Kembang Mayat sewaktu
kami dalam perjalanan
menuju ke pesanggrahan, sebelum bertemu Rahsumi
yang akhirnya mati itu!"
"Apa keistimewaan aji 'Candra Kasmaran' itu?"
tanya Lili. "Memikat hati lelaki sehingga lelaki itu inginnya selalu memburu Kembang Mayat
ke mana pun pergi."
"Apakah sama dengan 'Racun Bunga Asmara'?"
"Tidak. Lebih berbahaya 'Racun Bunga Asmara'!
Tapi aji 'Candra Kasmaran' pun bisa membuat Yoga
enggan berpikir tentang wanita lain!"
Ha! itulah yang mencemaskan hati Lili, bahkan
diam-diam Lili menaruh rasa benci kepada Kembang
Mayat. Dalam hatinya, Lili berkata sendiri,
"Yoga harus kusingkirkan dari Kembang Mayat!
Aji 'Candra Kasmaran' akan membuat Yoga tidak mau
berpikir tentang diriku lagi! Oh, jangan sampai hal itu terjadi! Jangan
sampai...!"
Kecemasan itulah yang membuat Pendekar Ra-
jawali Putih bergegas pergi setelah menempatkan Lem-
bayung Senja di pondoknya si Tua Usil. ia pergi me-
nyusul Yoga, mengikuti arah kepergian pendekar tam-
pan itu, walau tak yakin apakah bisa bertemu atau ju-
stru tersesat di hutan.
Dan dalam pencariannya itulah, ia menemukan
sebuah tebing datar yang merupakan bibir sebuah ju-
rang yang dalam. Di situlah Lili terperanjat kaget menemukan Yoga terkapar dan
buntung tangannya. Ia ti-
dak tahu siapa yang membuntungi tangan Yoga, si To-
peng Merah atau Kembang Mayat. Bahkan ia tak tahu
di mana mereka berdua, karena sebelum Lili tiba di
tempat itu, Topeng Merah sudah lebih dulu pergi me-
ninggalkan Yoga.
Hati Lili menjadi sangat sedih. Ia sempat me-
nangis di samping tubuh Yoga yang masih terkapar
pingsan itu. Dendam dan tangisnya yang menggumpal
di dada, menghentak-hentak bagai ingin mendobrak
dadanya Lili hampir saja ingin membawa Yoga untuk
mencebur kan diri bersama-sama ke dalam jurang
yang amat dalam itu. Untunglah kesadarannya segera
datang, dan ia tak mau lakukan tindakan konyol se-
perti itu. Lili segera membawa Yoga pulang ke pondok
Pancasona. Kalau saja Lili tahu bahwa orang yang memo-
tong tangan Yoga adalah Topeng Merah, sudah pasti ia
akan memburu si Topeng Merah ke mana pun larinya
orang misterius itu. Sudah pasti pula Pendekar Raja-
wali Putih tak akan hentikan pertarungannya sebelum
Topeng Merah terpenggal kepala, tangan, dan kakinya.
Sayang sekali ia tidak tahu siapa pemenggal lengan
Yoga, sehingga ia tak bisa lampiaskan dendamnya.
Bukan hanya Lili yang menangisi nasib Yoga
yang sekarang menjadi pendekar buntung itu, melain-
kan Lembayung Senja juga turut memandangi Yoga
dengan hati sedih dan terharu. Bahkan di salah satu
tempat di bawah pohon, seorang gadis terisak-isak
menangis dengan air mata membasahi pipinya yang
halus mulus itu.
Gadis cantik berambut panjang yang diikat jadi
satu dengan tali merah itu, tak lain adalah Mutiara
Naga. Di bawah pohon itu rupanya Mutiara Naga su-
dah sejak tadi menangis seorang diri, sehingga ketika ia berhenti menangis,
matanya menjadi sembab dan
agak sipit. Mutiara Naga menangis karena kehadiran dua
orang yang berhenti dari larinya, tak berapa jauh dari tempatnya berada. Kedua
orang tersebut salah satunya
bertubuh tinggi, besar, dan kekar seperti raksasa. Wajahnya lebih lebar dari
ukuran wajah manusia biasa.
Tulang rahang, dagu, pipi, dan tulang hidungnya, se-
mua serba besar. Di keningnya ada dua benjolan sebe-
sar jeruk peras, terletak tepat di kanan-kiri kening.
Orang tersebut sangat dikenal oleh Mutiara Naga seba-
gai tokoh ganas yang berjuluk Tanduk Iblis.
Sedangkan pemuda yang lumayan tampan tapi
matanya tidak selembut dan seteduh Yoga itu tak lain
adalah Tamtama, saudara sepupu dari Mutiara Naga
sendiri. Tamtama terkesiap mata ketika melihat Mutia-
ra Naga menangis. Walaupun air mata sudah dikering-
kan, tapi sembabnya mata dan murungnya wajah
membuat Tamtama tahu bahwa Mutiara Naga habis
menangis. Maka menegurlah Tamtama dengan nada
sedih mengejek,
"Rupanya kau masih ingat untuk menangis ju-
ga, Mutiara Naga"! Hmmm...! Kalau boleh ku tahu,
mengapa kau menangis, Mutiara Naga?"
"Kau tak perlu tahu, Tamtama!"
"Sebagai saudara sepupu, aku perlu tahu ten-
tang kesulitanmu! Mungkin hatiku berkenan untuk
membantumu, Mutiara Naga!"
Dengan wajah masih murung dan memandang
ke arah lain, Mutiara Naga menjawab sedikit parau,
"Semua ini gara-gara si Pendekar Rajawali Me-
rah!" O, sangat kebetulan sekali kita punya masalah yang sama, Mutiara Naga!
Agaknya kau telah dikece-wakan olehnya dan perlu bikin perhitungan! Tapi ka-
lau boleh ku tahu, apa yang dilakukan oleh Yoga ter-
hadap diri mu, sehingga kau jadi menangis begitu" Ka-
takanlah, agar aku tidak tanggung-tanggung lagi da-
lam bergerak mencarinya bersama sahabatku; si Tan-
duk Iblis ini!"
"Ya, katakan apa yang dilakukan orang itu ke-
padamu, Mutiara Naga! Katakan saja!" desak Tanduk Iblis dengan suaranya yang
pelan tapi bernada besar.
Mutiara Naga diam, tundukkan kepala dengan
sedih. Hatinya bertanya-tanya kepada diri sendiri, "Haruskah aku menceritakan
kejadian yang sebenarnya"
Haruskah mereka berdua mengetahui masalah priba-
diku" Apakah mereka nanti tidak akan menertawai ku
jika aku bicara apa adanya kepada mereka?"
Cukup lama Mutiara Naga diam dan memper-
timbangkan keputusan batinnya. Tamtama tak sabar
dan segera berkata,
"Kalau kau tak mau menceritakan masalahnya,
aku tak bersedia membantumu, Mutiara Naga!"
"Pergilah! Tinggalkan aku sendirian di sini!" ka-ta Mutiara Naga.
"Ceritakan dulu apa yang terjadi!" desak Tamtama, diperkuat oleh bujukan dari
Tanduk Iblis yang
berwajah angker itu.
"Lekas ceritakan supaya tidak membuang
buang waktu!"
Mutiara Naga kembali diam. Matanya meman-
dang arah lain. Ia berdiri bersandar pada batang pohon dengan raut wajah makin


Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedih. Lalu, ia pun mencoba
memaksakan diri untuk mengungkapkan kesedihan-
nya di depan saudara sepupunya itu,
"Yoga, Pendekar Rajawali Merah itu, tidak mau
menghiraukan aku lagi! Ia telah terpikat dengan ke-
cantikan si Kembang Mayat!"
"Ha, ha, ha, ha...!" Tamtama tertawa keras. Mutiara Naga memandang dengan tajam
dan menden- guskan napas kejengkelannya.
"Rupanya tangis kesedihan mu itu karena ke-
cemburuan"! Hmmm...! Alangkah bodohnya kau ini,
Mutiara Naga! Orang seperti dia tidak perlu dicemburui dan jangan mau menangis
untuknya! Lelaki dl dunia
ini banyak dan...."
"Tapi tidak ada yang setampan dan sesakti dia!"
sahut Mutiara Naga dengan cepat dan menyentak.
"Dengar kataku, Mutiara Naga.... Kau memang
tidak layak berdampingan dengan Pendekar Rajawali
Merah! Dia watak lelaki yang gemar main perempuan!
Kalau kau jatuh cinta padanya, itu berarti kau lebih
bodoh daripada seekor kerbau!"
"Setan! Dengan berkata begitu, kau sama saja
menambah hatiku semakin sakit!"
"Ha, ha, ha, ha...! Maafkan aku kalau begitu,
Mutiara Naga! Tapi, apa pun kebodohanmu, aku tetap
akan mencari Yoga bersama Tanduk Iblis! Jangan ta-
kut, Yoga akan kubunuh begitu kami bertemu den-
gannya. Se-tidaknya sakit hatimu oleh sikapnya akan
terobati, Mutiara Naga! Diamlah. Jangan menangis la-
gi!" Tanduk Iblis menyahut, "Kalau aku tidak tahu
kau adalah saudara sepupunya Tamtama, aku tak su-
di membantumu, Mutiara Naga! Karena kau pernah
menyerang ku ketika aku bertarung melawan Jalak
Hutan!" "Aku tidak butuh bantuanmu, Manusia Gajah!"
ucap Mutiara Naga dengan mata menyipit benci. Tan-
duk Iblis mundur dua tindak dan tak mau membantah
dengan kata apa pun.
"Tanduk Iblis," kata Tamtama, kemudian."...
sebaiknya kita langsung saja ke Perguruan Belalang
Liar! Karena kurasa Yoga ada di sana, sedang bercum-
bu dengan Kembang Mayat!"
"Baik. Kita berangkat sekarang! Aku sudah tak
sabar, ingin segera menguliti tubuh Pendekar Rajawali Merah yang digembar-
gemborkan sebagai pendekar
yang tangguh itu!"
Tamtama dan Tanduk Iblis segera meninggal-
kan tempat tersebut. Tetapi tiba-tiba tubuh Mutiara
Naga cepat menjejak ke tanah dan melesat bagaikan
terbang. Di udara ia bersalto satu kali, kemudian mendarat dan jatuh di depan
langkah Tamtama dan Tan-
duk Iblis. "Hmmm...! Ada apa lagi, Mutiara Naga"!" tegur Tamtama.
"Kalau tujuanmu mencari Yoga untuk dibunuh,
kau harus berhadapan denganku dulu, Tamtama!"
Tamtama tidak langsung menyahut, melainkan
memandang ke arah Tanduk Iblis. Pada saat itu Tan-
duk Iblis memang sedang menatapnya. Tanduk Iblis
hanya angkat bahu, seakan terserah Tamtama mau
ambil kebijakan yang mana; menuruti kemauan Mutia-
ra Naga untuk tidak menyerang Yoga, atau menyerang
Yoga sesuai rencana dengan cara menyingkirkan Mu-
tiara Naga, sepupunya"
"Sebaiknya kita mengurus kepentingan diri
sendiri saja, Mutiara Naga! Aku pun akan mengurus
kepentinganku, bukan kepentinganmu!"
"Jika kepentinganmu adalah membunuh Yoga,
maka kau berarti berurusan denganku, Tamtama!"
"Minggirlah, Mutiara Naga! Jangan menghalangi
langkahku!" bentak Tamtama. "Nanti kalau kesaba-ranku hilang, kuhajar wajah
cantik mu itu!" "Mengapa tidak kau lakukan, hah"!" "Benar-benar perlu dihajar
kau ini! Hiahhh...!" Tamtama menghantam wajah Mutiara Naga dengan gerakan cepat,
tapi oleh Mutiara
Naga pukulan itu hanya ditangkis dengan tangan kiri.
Plak...! Dan tangan kanannya segera menyodok dagu
Tamtama Plook...! Maka terdongak wajah Tamtama
sambil menahan seringai kesakitan. Sedangkan kepala
yang terdongak itu belum sempat kembali turun tahu-
tahu sudah mendapat sentakan kuat di bagian perut-
nya, buuhg...! Tendangan Mutiara Naga mengenai pe-
rut itu dengan telaknya. Tamtama jatuh seketika da-
lam keadaan perut merasa muai.
'Tanduk Iblis! Mengapa diam saja"! Hajar dial"
seru Tamtama dengan berang. Tapi Tanduk Iblis hanya
diam saja dan berkata,
"Aku tak pernah melawan perempuan, Tamta-
ma! Maaf saja, aku tak bisa membantumu!"
"Aah!" Tamtama mendesah jengkel. Kemudian
ia menghantamkan tapak tangannya ke tanah. Buhg...!
Dan dari tanah memerciklah sinar merah yang melesat
naik ke arah dada Mutiara Naga. Seketika itu Mutiara
Naga melompat ke samping dan menghantam sinar
merah tersebut dengan sinar hijau dari punggung tan-
gannya yang disodokkan. Claap...! Biaaar!
Sraang...! Tamtama mencabut pedangnya, dan
Mutiara Naga pun Udak mau kalah, ia segera menca-
but pedangnya juga. Sreet...! Sedangkan Tanduk Iblis
mundur beberapa tindak, memandangi pertarungan
itu dengan sikap tenang sekali.
"Apakah kau benar-benar sudah siap korban-
kan nyawamu untuk melindungi si kunyuk itu, Mutia-
ra Naga"!"
'Ya! Aku siap!" katanya dengan menggeram. Pe-
dangnya pun segera berkelebat ke samping kiri dan di
sambut dengan tangan kirinya, sehingga pedang itu
menempel rapat di telapak tangan kirinya, di atas
pundaknya. "Baiklah kalau kau memang siap mati untuk
kunyuk itu! Aku pun tak merasa sayang kehilangan
saudara sepupu sendiri! Hiaaah...!"
Tamtama maju dengan menghujam pedangnya,
tapi pedang Mutiara Naga segera menebas ke bawah,
traang...! Trang...! Wuuut...! Kaki Tamtama menendang wajah Mutiara Naga, namun
segera dapat dielakkan.
Sebaliknya, ketika itu Mutiara Naga lekas putarkan
badan dan kakinya berkelebat menendang, wuuut...!
Plook...! Wajah Tamtama menjadi sasaran empuk bagi
kaki itu. Tamtama sempoyongan. Mutiara Naga segera
mengejar untuk menebaskan pedangnya merobek dada
Tamtama. Wuuut...! Traaang...! Pedang Mutiara Naga tertangkis, tapi bukan
oleh pedang Tamtama, melainkan tertangkis oleh pe-
dang Jalak Hutan. Lelaki itu muncul pada saat Tam-
tama mestinya robek dadanya oleh pedang Mutiara
Naga. Melihat kehadiran Jalak Hutan, Mutiara Naga
segera mundur dua tindak dan hentikan serangannya.
"Mengapa Paman halangi seranganku"!" sentak Mutiara Naga dengan wajah
memancarkan kekecewaan. Jalak Hutan yang tidak lagi mendongak kepa-
lanya itu segera memasukkan pedangnya sendiri ke
sarung pedang. "Jangan kalian saling membunuh! Tamtama
adalah saudara sepupu mu juga, Mutia!"
"Tapi dia ingin membunuh Pendekar Rajawali
Merah, Paman! Aku harus melindungi Yoga dan meng-
gagalkan rencananya!"
Tamtama segera tegak dan berkata kepada Ja-
lak Hutan, "Uruslah keponakanmu itu, jangan sampai dia mati di tanganku, Paman
Jalak Hutan! Aku bosan
bertarung dengannya!"
"Itu pertanda kau tidak bisa mengalahkan dia,
Tamtama!" kata Jalak Hutan bernada membela Mutia-ra Naga.
Tanduk Iblis geram melihat kemunculan Jalak
Hutan. Ia ingin menyerang, meneruskan pertarungan-
nya yang tertunda tempo hari. Tetapi ia melirik Mutia-ra Naga dan segera
membatalkan niatnya, karena pi-
kirnya percuma melawan Jalak Hutan saat itu, pasti
Mutiara Naga akan ikut campur lagi.
"Tanduk iblis, cepat kita pergi dari sini!" kata Tamtama bagai seorang ketua
yang memberikan perintah pada bawahannya. Tanduk Iblis menurut. Kedua-
nya segera melesat pergi dengan menggunakan tenaga
peringan tubuh.
Mutiara Naga ingin mengejar Tamtama, tapi di-
hadang oleh Jalak Hutan. Mutiara Naga menjadi tam-
bah jengkel dan cemberut.
"Aku akan mengikutinya. Paman! Jika dia mau
bunuh Yoga, aku yang akan melindunginya!"
"Itu tak perlu kau lakukan, Mutia!" kata Jalak Hutan. "Kenapa tak perlu"!
Sekalipun Paman tadi sudah memberitahukan padaku tentang hubungan Yoga
dengan Kembang Mayat, tapi aku tetap mencintainya,
Paman" "Iya! Aku tahu itu! Tapi kau tak perlu bersikap begitu, Mutia! Pendekar
Rajawali Merah bisa jaga diri sendiri dan dia lebih hebat dari kau! Jadi kalau
kupi-kir-pikir, kau ini bukan mau lindungi dia malah mau
bikin repot dia saja, Mutia!"
"Macam mana aku bikin repot, karena aku yang
akan bunuh Tamtama kalau Tamtama mau bunuh di-
al" "Ah, sudahlah...!" Jalak Hutan menepiskan tangan sendiri. "Lupakan saja soal
itu! Tak perlu kau cemaskan. jiwanya, Mutia! Sekarang yang perlu kau pi-
kirkan, bagaimana menarik perhatian Pendekar Raja-
wali Merah supaya pindahkan hatinya dari Kembang
Mayat kepada dirimu!"
"Maksud Paman bagaimana?" Mutiara Naga be-
rubah sikap dan menjadi lebih bersemangat lagi.
"Aku punya sahabat, dan kau kenal dengan
orang itu pasti! Aku bisa mintakan padanya agar dia
mau ajarkan jurus kemesraan padamu, supaya kau
bisa lawan Pendekar Rajawali Merah pakai jurus ke-
mesraan itu, dan Pendekar Rajawali Merah akan jatuh
cinta padamu!"
"Maksud Paman, semacam ilmu pelet, begitu"!"
"Ya! Betul, betul...! Ah, bagaimana" Kau setu-
ju"!" Jalak Hutan berseri-seri dalam seringainya.
Mutiara Naga diam, memunggungi pamannya.
Agaknya ada sesuatu yang ia pertimbangkan.
"Jurus itu bisa bikin Yoga bertekuk lutut pa-
damu saat itu juga, Mutia! Jurus itu lebih berbahaya
daripada 'Racun Bunga Asmara'," kata Jalak Hutan, lalu ia mendekat punggung
Mutiara Naga dan berbisik,
"Terus terang saja, jurus itu membuat Yoga
akan terpikat padamu dan gairah kejantanannya akan
tumbuh dan mengejarmu sepanjang masa! He, he, he,
he...! Bagaimana" Kau bersedia?"
"Itu namanya aku berbuat jahat padanya, Pa-
man!" hanya itu jawaban Mutiara Naga yang membuat Jalak Hutan tertegun bengong
* * * 6 PENDEKAR Rajawali Merah baru saja siuman
dari pingsannya. Hampir seharian penuh ia tak sadar-
kan diri. Ketika ia siuman, bumi telah dikelilingi oleh selubung hitam karena
datangnya malam. Pertama kali
la membuka mata yang ia pandang adalah seraut wa-
jah cantik melebihi bidadari. Tentu saja wajah itu adalah wajah Guru Lili.
Itulah sebabnya, dalam kereman-
gan cahaya pelita penerang rumah pondok Pancasona,
Yoga menyipitkan matanya untuk menangkap lebih je-
las lagi wajah ayu itu, lalu ia berucap pelan, "Guru...!"
Hampir saja Lili mencucurkan air mata kembali
mendengar sapaan pelan itu. Seolah-olah ia menden-
gar rintihan memelas dari seorang pendekar yang telah tak berdaya lagi itu. Lili
hanya mengeraskan hatinya
untuk tidak menitikkan air mata lagi. Ia menggenggam
tangan kanan Yoga kuat-kuat. Di sanalah sebenarnya
tangis itu ditahan sekuat mungkin.
"Guru Li..., tanganku hilang satu. Guru...!"
Lembayung Senja yang mendengar ucapan itu
menjadi tak mampu menahan air matanya. Ia menan-
gis dengan tundukkan kepala dan memalingkan wajah.
Hatinya iba mendengar ucapan seorang pendekar tam-
pan yang memikat hati setiap wanita itu, kini dalam
keadaan buntung tangannya. Duka yang ada di hati
mereka itu sebenarnya adalah duka yang timbul akibat
rasa sayang, kasihan, dan dendam kepada si pemeng-
gal tangan tersebut. Tega-teganya orang itu membun-
tungi tangan seorang pemuda tampan yang begitu
memukaunya jika dipandang walau sampai berapa la-
manya. "Siapa yang melakukannya, Yo"!" tanya Lili dengan suara pelan.
Pertanyaan itulah yang sampai dua hari tidak
terjawab oleh Yoga. Setiap Lili mendesaknya dengan
pertanyaan itu, Yoga selalu menjawabnya,
"Aku tidak ingat lagi. Guru Li! Pandangan ma-
taku gelap ketika itu dan aku tak tahu siapa yang me-
nebaskan pedangnya hingga tangan kiriku menjadi
buntung begini!"
"Apakah kau diserang dari belakang, dan tahu-
tahu orang itu memenggal tanganmu"!"
"Mungkin begitu!" jawab Yoga dengan tenang.
Tetapi hati kecil Pendekar Rajawali Putih sangsi
dengan pengakuan Yoga itu. Ia tak percaya kalau Yoga
bisa diserang dari belakang. Seingatnya, guru Yoga
yang bernama Dewa Geledek itu orang yang paling su-
lit diserang dari belakang karena mempunyai ilmu
yang dinamakan 'Sandi Indera'. Ilmu itu membuat De-
wa Geledek selalu punya gerakan cepat untuk meng-
hindar atau menangkis jika diserang dari belakang se-
cara sembunyi-sembunyi. Apakah jurus 'Sandi Indera'
tidak diturunkan kepada Yoga" Rasa-rasanya itu tak
mungkin menurut hati nurani Lili. Jadi sangat aneh ji-ka Yoga mengaku diserang


Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang dari belakang se-
hingga tangan kirinya putus sebatas siku.
"Ada sesuatu yang kau sembunyikan, Yo!" de-
sak Lili lagi. "Aku tidak menyembunyikan apa-apa," jawab
Yoga "Pengakuanmu itu palsu! Aku tak percaya kau tidak mengenali si penyerang mu
itu! Kau berlari mengejar Kembang Mayat, Kembang Mayat berlari menge-
jar Topeng Merah. Lalu siapa di antara mereka berdua
yang ganti melawanmu dan memenggal tangan kirimu
sebenarnya?"
"Aku tak jumpa mereka!"
"Tak mungkin!"
"Mereka berlari dengan cepat dan aku tak
sanggup mengejar!"
"Itu semakin tak mungkin!" bantah Pendekar
Rajawali Putih. "Kau punya jurus 'Petir Selaksa' yang mampu bergerak melebihi
gerakan kilat! Aku pun juga
punya! Tak mungkin kau tak berhasil kejar mereka,
Yo! Tak mungkin!" Lili geleng-gelengkan kepalanya.
Pendekar Rajawali Merah tidak membantah. Ia
diam saja, hanya menghela napas dan memandang ca-
haya pagi dengan embun-embunnya yang belum ker-
ing di permukaan dedaunan. Terdengar lagi Pendekar
Rajawali Putih berkata,
"Apalagi kita sama-sama mempunyai jurus
"Langkah Bayu', yang membuat kita bagai menghilang dalam satu kali sentakan
kaki, ini jelas tidak mungkin membuat mu kehilangan jejak mereka atau tak mampu
mengejar mereka!"
"Aku tersesat, Guru Li!" kata Yoga, bagaikan baru saja menemukan gagasan dan
alasan yang kuat.
"Mungkin mereka membelok ke timur sedangkan aku
membelok ke barat, atau sebaliknya"
Sekarang Lili yang termenung. Alasan itu me-
mang masuk akal. Tapi apakah Yoga tidak bisa mela-
cak dari bau wewangian yang dimiliki oleh Kembang
Mayat" Lili sendiri sampai sekarang masih hapal den-
gan wewangian khas yang ada di tubuh Kembang
Mayat, padahal kala itu ia datang menemui Yoga ma-
nakala Kembang Mayat telah pergi beberapa saat yang
lalu, yaitu sebelum mereka berdua akhirnya membu-
nuh Mata Neraka.
Sebenarnya Yoga tak bisa berbohong terlalu
banyak kepada Lili. Tapi agaknya hal itu memang per-
lu ia lakukan, supaya Lili tidak lampiaskan dendam-
nya kepada orang yang membuat tangan Yoga putus.
Padahal di dalam hati, Yoga tahu persis siapa orang
yang memutuskan tangannya. Dia adalah Topeng Me-
rah. Ya, memang Topeng Merah. Tetapi Yoga melihat
sinar penyesalan yang dalam dari gerakan mata di ba-
lik topeng itu. Hanya sekilas dan memang tak seberapa jelas diterima oleh
pandangan mata Yoga. Tetapi pada
saat itu Yoga punya naluri yang mengatakan, bahwa
Topeng Merah menyesal sekali atas jurusnya yang sa-
lah tebas itu. Yoga yakin seyakin-yakinnya, bahwa To-
peng Merah tidak bermaksud membuntungi tangan-
nya. Tetapi apakah alasan seperti itu bisa diterima oleh Lili jika Yoga
mengatakan yang sebenarnya"
"Tidak. Lili tidak bisa menerima kenyataan ini,"
pikir Pendekar Rajawali Merah. "Kalau kukatakan yang sebenarnya, Lili pasti akan
memburu Topeng Merah
dan membantainya lebih keji dari putusnya tanganku
ini! Sedangkan naluri ku mengatakan, Topeng Merah
tidak punya maksud jahat kepadaku, justru ia selalu
melindungi ku! Tapi Lili pasti tidak akan peduli jika kukatakan bahwa Topeng
Merah memutuskan tangan
kiriku dengan satu tindakan yang tidak sengaja! Aku
tahu persis, Lili kecewa padaku karena aku tidak mau
menyebutkan siapa orangnya. Namun rasa-rasanya
memang lebih baik merahasiakan hal itu, dari pada
timbul peristiwa yang tak kuinginkan.!"
Yoga pun sebenarnya tahu bahwa Kembang
Mayat mati karena jatuh ke jurang pada saat ia belum
pingsan. Tetapi demi menjaga rahasianya, Yoga men-
gaku tidak mengetahui bagaimana nasib Kembang
Mayat ketika Lembayung Senja menanyakannya di de-
pan Lili juga. "Kalau aku bertemu dengan mereka, maka aku
pasti tahu bagaimana nasib mereka; Kembang Mayat
di bunuh Topeng Merah, atau Topeng Merah yang di-
bunuh Kembang Mayat! Karena aku tak bertemu den-
gan mereka, maka aku tak tahu nasib mereka!"
Lembayung Senja juga merasa kecewa atas ja-
waban itu. Namun lambat laun ia mulai percaya. Satu
saat ia menghampiri Yoga yang sedang dalam keadaan
sendirian, di bawah sebuah pohon yang ada di samp-
ing rumah si Tua Usil itu.
"Lukamu belum kering juga dan akan menjadi
busuk kalau tak segera diobati," kata Lembayung Senja.
"Agaknya memang begitu," jawab Yoga tetap tenang. "Ini pun sudah ditangani oleh
Guru Lili, kalau belum pasti sudah sejak kemarin menjadi busuk dan
menjalar ke seluruh tubuh."
"Racun itu agaknya hanya bisa dilenyapkan
oleh sang Ketua! Dia tahu persis soal racun, karena
neneknya dulu, yaitu Guru Sangkal Pati, adalah jago
racun yang mendapat julukan Ratu Racun. Ilmu itu di
turunkan semuanya kepada Kembang Mayat. Kalau
sekarang kau tahu di mana Kembang Mayat, kau bisa
minta bantuan kepadanya untuk menangkal racun da-
lam lukamu. Pedang orang itu pasti beracun dan san-
gat berbahaya jika tergores sedikit pun! Kalau pedang itu tidak beracun, maka
lukamu itu tidak akan mempunyai warna biru pada tepiannya!"
"Aku percaya."
"Karena itu kusarankan pergilah kepada Kem-
bang Mayat dan mintalah bantuannya agar dia mau
mengobati lukamu!"
"Ke mana?" Pendekar Rajawali Merah berlagak bodoh. "Yah... ke mana sajalah, aku
tak tahu di mana sang Ketua sekarang berada!" kata Lembayung Senja.
"Apakah kau tak bisa mencarinya sendiri" Tentunya kau tahu di mana dia
bersembunyi, sebab jika dalam
keadaan darurat, sang Ketua selalu memberitahukan
kepada salah satu orang yang dipercaya tentang di
mana dia berada. Orang itulah yang akan dipakai se-
bagai perantara antara dirinya dengan orang lain!"
"Kalau aku tahu di mana Kembang Mayat bera-
da, aku akan ke sana!" kata Yoga dengan suara pelan dan mata menerawang.
"Jadi kau benar-benar tidak tahu?"
"Tidak! Mungkin kau tahu" Karena biasanya
sebagai murid atau anggotanya, kau tahu di mana ha-
rus bersembunyi jika dalam keadaan yang sangat ber-
bahaya!" Yoga membalikkan tuduhan tak langsung itu.
"Aku tidak tahu! Kami tidak punya tempat se-
perti itu!"
"Berarti aku memang tidak punya kesempatan
untuk sembuh!" Yoga berkata bagaikan orang patah semangat. Hal itu membuat
Lembayung Senja menarik
napas dalam-dalam karena kasihan melihat nasib
Pendekar Rajawali Merah yang sangat gagah dan ru-
pawan itu. "Aku berani bersumpah, aku tidak tahu di ma-
na dia berada!" kata Lembayung Senja sambil melangkah pergi meninggalkan Yoga,
ia masuk ke dalam ru-
mah, dan segera menemui Lili di sana. Yoga melihat
sekelebat pakaian Lili didekati Lembayung Senja, lalu mereka merapat di tempat
yang tak terlihat dari luar rumah. Yoga hanya tersenyum dalam hati. Ia tahu,
pertanyaan Lembayung Senja tadi adalah atas perintah
Lili, yaitu perintah untuk memancing keberadaan
Kembang Mayat ataupun Topeng Merah.
"Menurutku," kata Lembayung Senja kepada Li-li, "Dia benar-benar jujur dan tak
bertemu dengan Kembang Mayat ataupun si Topeng Merah!"
"Kalau begitu, siapa yang memutuskan tangan-
nya itu"!" gigi Lili menggeletuk pertanda menahan dendam untuk suatu pembalasan.
"Nona Lili...!" si Tua Usil muncul dari dapur.
"Saya sudah buatkan air hangat untuk mandi Tuan
Yoga!" "Bagus!"
"Jadi kapan saya akan mendapat pelajaran ten-
tang bagaimana bisa berdiri di atas ilalang"!"
"Mintalah pada Yoga! Dia punya jurus begitu
juga!" kata Lili.
Si Tua Usil bernada kecewa, "Oh, Nona Lili...
kau masih saja tak mau mengajari ku untuk bisa ber-
diri di atas ilalang! Lama-lama aku bisa bunuh diri jika kau selalu menolaknya!"
"Bunuh dirilah! Mungkin itu pilihan terbaik
menurut selera mu!" jawab Lili sambil bergegas pergi dan menghampiri Yoga,
menyuruhnya mandi dengan
air hangat. Racun dalam luka memang cukup berbahaya.
Sekalipun Lili telah menangkalnya dengan menyalur-
kan hawa murninya dan menutup kulit luka dengan
hawa sakti yang dapat mempercepat keringnya luka,
tapi nyatanya racun itu masih mampu menembus ha-
wa sakti walau tidak secepat biasanya. Luka busuk
akan terjadi bukan hanya pada bagian yang terpotong
saja, namun juga pada seluruh lengan, sampai ketiak
apabila racun busuk itu mulai merayap ke sana, diba-
wa oleh peredaran darah. Bahkan bisa membuat bu-
suk sekujur tubuhnya.
"Aku harus menemui Tabib Perawan!" kata Yo-
ga. "Kurasa dia bisa menyembuhkan luka ini, termasuk menangkal keganasan racun
ini!" 'Tabib Perawan..."! Sepertinya aku pernah den-
gar kau menyebutkan nama itu!" kata Lili.
"Ya. Tabib Perawan bernama Sendang Suci, dia
bibinya Mahligai!"
"Ooo... jadi kau ingin menjenguk Mahligai, si
gadis gila itu, dengan alasan menemui Tabib Pera-
wan"!" "Kecemburuan mu berlebihan, Guru! Ini akan membahayakan diriku sendiri!"
"Siapa yang cemburu padamu!" sentaknya
sambil ia berhenti menyisir rambut Yoga.
"Baik. Baiklah... kau tidak cemburu, lantas apa
namanya jika kau selalu curiga apabila aku menemui
Mahligai"!"
"Aku... aku hanya sekadar menggoda mu saja!"
Lili memaksakan diri untuk tersenyum, biar ada kesan
kata katanya tadi hanya bercanda. Tetapi senyum itu
kaku, canda itu tak enak dilihat dan didengar, karena Yoga pun berkata,
"Hilangkan kecurigaan seperti itu. Nanti akan
menyiksa-dirimu sendiri, Guru!"
"Aku tidak curiga!" tandasnya tegas.
"Kau curiga!"
"Tidak!"
"Kau mencintai ku, Guru!"
"Yo...! Jangan bicara selancang itu!"
"Kau tak mau mengakuinya"!"
"Aku sedang tak berselera bicara soal itu!" jawab Lili menutupi perasaan
sebenarnya. "Tapi... sayang sekarang tanganku sudah bun-
tung satu, sehingga mengurangi rasa cinta seseorang
pada diriku!"
"Jangan berkata begitu!" tegasnya lagi.
"Memang nyatanya aku kehilangan tangan satu
begini! Aku sekarang sudah cacat dan buntung! Tak
layak mendapatkan cinta dari seseorang!"
"Siapa bilang"!"
"Tak ada lagi orang menaruh hati padaku,
Guru!" "Masih ada!"
"Siapa?"
"Siapa saja!" jawab Lili sambil berlagak acuh tak acuh.
"Orang yang menaruh hati, jika besar kecembu-
ruannya akan menyiksa diri sendiri! Dan itulah orang
yang bodoh!"
"Aku tidak curiga, tidak cemburu, tidak apa-
apa padamu! Kalau kau mau pergi ke Tabib Perawan
pergilah sana! Kalau kau mau bertemu dengan Mahli-
gai untuk melepas rindu, bertemulah sana! Aku pun
tidak mau dibuat susah oleh anggapan-anggapan mu
tadi. Aku punya urusan sendiri, aku punya tugas sen-
diri untuk mencari pemandu hatiku!"
Pendekar Rajawali Putih memang bicara den-
gan santai, seakan tidak mempunyai tekanan kecewa,
tidak mempunyai nada cemburu, tidak mempunyai si-
kap marah, tapi mempunyai arti yang cukup dalam da-
ri seluruh kata-katanya itu. Yoga menyadarinya, tapi
Yoga tidak mau bilang apa-apa kecuali hanya menga-
takan, "Aku boleh berangkat ke rumah Tabib Perawan sekarang juga?"
"Berangkatlah," jawab Lili sambil merapikan
pakaian Yoga "Hati-hati di perjalanan, jangan sampai tangan kananmu ganti yang
terpotong oleh kebodohanmu!"
"Kebodohan ku?" Yoga tersenyum. Geli sendiri mendengar ucapan Lili yang masih
bernada meremeh-kan dirinya.
"Rasa sakit mu bagaimana?"
"Bisa ku atasi sendiri, Guru!"
"Ajaklah si Tua Usil itu buat jaga-jaga dirimu di perjalanan!"
"Apakah dia tidak akan merepotkan diriku den-
gan keusilannya?"
"Kurasa dia tidak berani bertingkah macam-
macam. Dan kalau dia minta diajarkan bagaimana ca-
ra berdiri di atas ilalang, katakan saja, hanya aku yang bisa melakukannya!
Jangan kau ajarkan ilmu itu kepadanya. Paham?"
"Sangat paham, karena aku tahu kau tidak in-
gin lebih rendah dariku. Guru Li...!I"
"Bukan soal itu! Tua Usil tak pernah mau jujur
tentang dirinya. Sebatas apa kebisaannya, setinggi apa ilmunya, dia tak pernah
mau tunjukkan sedikit pun
pada ku. Tapi aku punya naluri mencurigainya, bahwa
sebenarnya dia itu berilmu tinggi! Tak banyak orang
tahu tentang tingginya ilmu si Tua Usil."
"Kau ingin dia jujur padamu?"
"Ya!" jawabnya dengan tegas dan pendek.
Maka berangkatlah Yoga bersama si Tua Usil
menuju ke lembah Bukit Berhala, tempat kediaman si


Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tabib Perawan alias Sendang Suci. Dalam perjalanan-
nya, Tua Usil selalu bertanya ini-itu tentang hubungan Yoga dengan UN, atau
hubungan Yoga dengan Kembang Mayat, atau bertanya tentang jurus-jurus yang di
miliki oleh Lili. Tak ketinggalan pula ia bertanya,
"Jadi, siapa orang yang memutuskan lenganmu
itu, Tuan Yo?"
"Seseorang yang mempunyai pedang!"
"Siapa orang itu?"
"Aku tak tahu! Kurasa kau pun tak perlu tahu,
Tua Usil."
"Tapi aku bisa menduga," katanya. "Bagaimana dugaanmu?"
"Kulihat ilmu pedang Kembang Mayat cukup
hebat. Topeng Merah melarikan diri karena terdesak
oleh ilmu pedang Kembang Mayat. Lalu kau mengejar-
nya dan bermaksud mencegah pertarungan itu. Tinda-
kanmu itu, sangat mengecewakan hati Kembang
Mayat, Tuan Yo. Tak heran jika Kembang Mayat marah
padamu. Tapi ia pun diserang oleh Topeng Merah. Ge-
rakan pedang Kembang Mayat dapat menghindari dan
menangkis jurus pedang Topeng Merah. Dan pada saat
itulah, Topeng Merah kehilangan kendali geraknya, se-
hingga memotong lenganmu yang mungkin waktu itu
ada di dekat Kembang Mayat!"
Dalam hati Yoga terkejut mendengar penjaba-
ran si Tua Usil itu. Cara berpikirnya agak simpang siur tapi akhirnya ke arah
jawaban yang benar. Diam-diam
Yoga menjadi cemas, kalau-kalau mulut Tua Usil tidak
bisa dijaga dan bocor ke telinga Lili. Karenanya, Yoga berlagak menertawakan
dugaan Tua Usil.
"Dugaanmu sama sekali meleset, Tua Usil!"
"Baiklah kalau memang itu kau anggap dugaan
yang meleset, Tuan Yo. Tapi bagaimana jika dugaan itu kubicarakan dengan Nona
Li?" Terkesiap mata Yoga, terhenti langkahnya seke-
tika itu. Kemudian ia berkata sambil memandang Tua
Usil yang tersenyum-senyum memamerkan satu gi-
ginya yang ompong sebelah kanan itu.
"Jaga mulut usil mu itu, nanti bikin perkara di
hati Guru Li!"
"He, he, he, he...! Kau takut aku bicara yang
sebenarnya, bukan?"
"Bukan takut kau bicara sebenarnya, tapi takut
dugaan bodoh mu itu dipercaya oleh guruku, sehingga
akan timbul pertarungan salah sasaran, Tua Usil!"
"Aku tetap akan bicara pada Nona Li, kecuali
kau mau ajarkan aku tentang bagaimana bisa berdiri
di atas ilalang!"
"Apakah kau pernah lihat aku berdiri di atas
ilalang?" "Belum. Hanya Nona Li yang kulihat berdiri di
atas ilalang!"
"Kalau begitu, mintalah belajar padanya! Jan-
gan padaku!"
"Tapi menurut cerita Nona Li, kalian berdua
punya ilmu yang sama! Pendekar Rajawali Putih den-
gan Pendekar Rajawali Merah, dan jika Nona Li bisa
berdiri di atas ilalang, tentunya kau pun bisa, Tuan
Yo!" Guru Li punya ilmu sendiri yang tidak kumiliki!
Jadi kau bisa minta diajarkan ilmu berdiri di atas ilalang kepadanya! Karena itu
adalah salah satu kelebi-
hannya yang tidak kumiliki!"
"Baiklah kalau kau tak mau mengajarkannya
padaku, aku tetap akan bicara tentang dugaanku itu
kepada Nona Li!"
Tua Usil melangkah lebih dulu dengan rasa
bangga, seakan ia yakin betul siasatnya itu akan men-
jerat Yoga dan membuat keinginannya terpenuhi. Se-
mentara itu, Yoga sendiri memang menjadi cemas dan
gelisah. Lili berpesan agar jangan ajarkan ilmu berdiri di atas ilalang,
sementara itu Tua Usil mulai mengan-
cam dengan sesuatu yang dirahasiakan baik-baik agar
tak diketahui Lili Jika sudah begini, Yoga tak tahu
mana yang harus dilakukan" Membocorkan raha-
sianya sendiri melalui mulut si Tua Usil itu, atau melanggar larangan sang Guru"
* * * 7 SENDANG Suci terperanjat ketika keluar dari
rumahnya, tahu-tahu Yoga sudah berjalan mendekati
pintu rumah tersebut. Untuk beberapa saat Sendang
Suci tertegun memandangi tangan Yoga yang buntung
itu dan masih membasah pada lukanya. Wajah Sen-
dang Suci menjadi pucat, terbungkus oleh kesedihan
yang nyaris tak bisa ditahan lagi. Bahkan ia menjadi
serba salah dalam memandang ketika Yoga menatap-
nya dengan lembut dan berkata,
"Maaf, aku belum bisa dapatkan bunga Teratai
Hitam itu, Bi!"
Menelan ludah pun terasa sulit bagi Sendang
Suci. Namun ia paksakan diri sedapat mungkin, dan
berkata, "Masuklah, Yo!"
Ketika Sendang Suci mendahului masuk ke da-
lam rumah, dan Pendekar Rajawali Merah bergegas
mengikutinya, si Tua Usil berkata,
'Tuan Yo, kalau Tuan berkenan, izinkan aku di
luar saja!"
"Kenapa?"
"Aku... aku... aku tak mau campuri pembica-
raanmu dengan Tabib Perawan itu, Tuan Yo!"
Pendekar Rajawali Merah menghembuskan na-
pas panjang lalu berkata kepada si Tua Usil itu,
"Jangan jauh-jauh dari tempat ini! Aku tak la-
ma di sini!"
"Baik, Tuan Yo!"
Hati Yoga menjadi lebih haru lagi melihat Mah-
ligai terkapar lemah di atas sebuah dipan kayu. Tan-
gan dan kakinya dipasung, sementara ketika ia melihat kehadiran Yoga, ia hanya
menyeringai. Seringai itu bukan seringai keramahan, melainkan seringai kegana-
san. "Saya mendapat halangan, Bi!" kata Pendekar Rajawali Merah sebagai
pemberitahuan, bukan sebagai
keluhan. "Hanya untuk bunga Teratai Hitam saja kau
sampai korbankan tanganmu begitu, Yo! Sungguh sua-
tu pengorbanan yang mahal!"
"Hanya sebuah kecelakaan kecil saja," kata Yo-ga dengan sikap tenang dan tabah.
"Barangkali Dewata sudah menggariskan saya harus mengalami perjalanan
hidup selanjutnya dengan satu tangan! Saya tak boleh
menolaknya, bukan?"
"Ya, memang! Tak ada yang bisa menolak ke-
hendak Dewata yang merupakan jalur garis takdir itu!"
"Cuma, kalau saja suatu saat aku bertemu
dengan si Topeng Merah, dia akan kupenggal menjadi
beberapa potong, Bi!"
Terkesiap mata Sendang Suci saat itu, lalu dia
berkata, "Apakah dendam seperti itu akan mengembalikan tanganmu yang sudah putus
begitu?" "Memang tidak. Tapi...."
"Jangan mau diperbudak oleh dendam, Yo! Hi-
dup ini bukan berisi dendam dan pembalasan saja, ta-
pi juga ada kebaikan dan kebijakan. Bagiku, hilangnya
tangan mu itu sangat membuat sedih di dalam hati.
Tetapi toh kesedihan itu hanyalah kesedihan, tak bisa membuat tanganmu utuh
kembali!" "Memang begitu."
"Dan jika kau tambah dengan dendam, maka
kau akan semakin terjerumus dalam penentangan ter-
hadap sang takdir!"
"Benarkah dendam itu tak baik dilakukan oleh
seseorang jika demi menjaga kewibawaan dan harga
dirinya?" Sendang Suci terbungkam untuk beberapa
saat. Matanya berkaca-kaca ketika memandangi luka
di lengan Yoga. Sejenak kemudian barulah terdengar ia bicara dengan suara lemah,
"Kadang-kadang memang kita tak bisa membe-
dakan antara dendam dan harga diri. Di dalam den-
dam itu memang ada harga diri, tetapi tidak selamanya lahir harga diri dari
segumpal dendam."
"Jadi, bagaimana menurutmu, Bi" Apakah aku
harus membalas hal ini kepada Topeng Merah?"
Diam sekejap Sendang Suci, lalu menjawab,
"Kalau itu sesuatu yang baik buat harga dirimu, laku-kanlah! Apa yang kau
rasakan berbeda dengan apa
yang ku rasakan. Sama-sama sedih, tapi pasti beda
kadar kesedihannya antara aku dan kau, Yo! Jadi aku
tak berani kasih keputusan apa pun, karena itu me-
nyangkut pribadi dan harga dirimu! Kaulah yang bisa
mengukurnya sendiri, Yo!"
Pendekar Rajawali Merah mengangguk-
anggukkan kepala sambil menggumam beberapa saat.
Setelah itu, dipandanginya Mahligai yang masih mena-
tapnya liar sejak tadi. Yoga pun berkata kepada Sen-
dang Suci, "Menyedihkan sekali keadaan Mahligai itu, Bi!
Aku bertekad untuk mendapatkan Teratai Hitam sete-
lah luka tanganku mulai sembuh nanti! Kudengar
Kembang Mayat mempunyai Teratai Hitam sehingga
aku ingin memintanya secara baik-baik darinya. Jadi
aku tak perlu lagi ke Telaga Bangkai di Gunung Tam-
bak Petir itu, Bi!"
"Kembang Mayat..."! Mengapa kau begitu per-
caya dengan Kembang Mayat yang cantik dan muda
itu?" "Maksud Bibi bagaimana?" Yoga kerutkan dahinya. "Kembang Mayat tidak
mempunyai bunga Teratai Hitam, Yo! Teratai Hitam hanya ada di Telaga
Bangkai, di dalam Gua Mulut Iblis! Hanya ada satu
tempat yang terdapat bunga Teratai Hitam."
"Jadi... Kembang Mayat tidak mempunyainya?"
"kurasa dia menipumu untuk menarik perha-
tianmu! Kembang Mayat sama sekali tidak mempunyai
bunga itu! Neneknya dulu pernah mencangkok bunga
tersebut yang diambil dari telaga di dalam Gua Mulut
Iblis, tetapi ketika sampai di tempatnya bunga itu mati dan tak bisa ditanam di
mana pun juga!"
Pendekar Rajawali Merah tercengang dan kini
termenung sendiri. Hatinya membatin dalam geram
kedongkolan, "Sial betul sang Ketua itu! Jika memang benar
dia tidak memiliki bunga itu, berarti dia hanya ingin mempermainkan diriku saja!
Dia pasti punya maksud-maksud tertentu yang bersifat pribadi. Aku telah ter-
kecoh dan terpedaya olehnya! Kecemasan ku yang
membuat aku menyelamatkan dia dari Topeng Merah
itu ternyata sia-sia saja. Dan berarti pengorbanan ku ini juga sia-sia belaka!
Aku seperti mengejar impian
yang tak pernah menjadi nyata di depan Kembang
Mayat! Mestinya aku tak mudah percaya pada dia! Sial!
Hina Kelana 21 Dewa Iblis Karya Tak Diketahui Misteri Pulau Neraka 6
^