Pencarian

Ketika Barongsai Menari 3

Ketika Barongsai Menari Karya V. Lestari Bagian 3


"Itu yang dikatakannya""
"Ya." Maria menahan kata-kata yang semula ingin diucapkannya. Dia cuma menghibur Kristin.
160 *** Tetapi kepada Henry, Maria mengatakannya, "Aku tahu kenapa Adam tidak mau memanggil Jason dengan sebutan 'Son' seperti kita. Son itu penggalan nama Sonny, kan" Dia tahu riwayat rumah yang ditempatinya. Dia juga kenal Sonny dan tahu kasusnya."
"Memangnya kenapa" Kita juga tahu. Dan Kristin juga. Justru Kristin yang memberi nama itu. Kalau Adam keberatan dengan nama itu, kenapa tidak dari awal dia melarang" Dan kalau dia takut, kenapa pula ditempatinya rumah itu""
"Ah, masa si Adam takut sama rumah itu"! Nggak cocok, Pa."
"Pusing, ah," Henry menolak untuk memikirkannya lebih jauh.
"Oh ya, Pa. Ada kabar dari Harun. Dia menelepon. Katanya dia sudah mulai dengan penyelidikannya ke pemukiman kumuh di belakang sana."
Henry terkejut. "Penyelidikan apa" Oh, yang menjarah dulu itu" Wah, buat apa sih""
"Katanya dia jadi penasaran tentang kematian Sonny."
Henry geleng-geleng kepala. "Wah, itu berbahaya. Pembunuh yang dikutik-kutik bisa membunuh lagi."
"Aku juga bilang begitu. Sudahlah, Pak Harun. Orang yang sudah mati kan tak bisa hidup lagi. Biarpun kita tahu siapa pembunuhnya, tapi kita tak punya bukti. Kejadiannya sudah lama. Apa ada saksinya""
"Oh, kau bilang begitu" Padahal waktu berbincang dengannya kau bersemangat sekali."
161 "Ya. Aku menyesal sekarang, Pa. Rupanya dia ketularan semangatku. Mudah-mudahan saja dia selamat, ya."
Tetapi diam-diam Maria juga berharap, semoga penyelidikan Harun membawa hasil dan dia segera diberitahu.
Bi Iyah menyambut kepulangan Kristin. Ia menatap majikannya penuh arti. Kristin memahami tatapan itu. Bi Iyah adalah mata-mata Adam. Tetapi ia tak peduli. Ia pura-pura tidak tahu. Ia juga tidak perlu membicarakan hal itu dengan Bi Iyah, misalnya dengan melarangnya atau memintanya untuk tidak melakukan hal itu. Ia merasa wibawanya sebagai majikan akan berkurang bila berbuat begitu. Maka ia pun tidak bersikap sembunyi-sembunyi bila akan pergi ke rumah Maria. Biar saja Adam tahu. Ia toh bukan orang yang terpenjara di dalam rumahnya sendiri.
Di ruang depan Kristin mengangkat Jason dari kereta bayi. Sudah saatnya menyusui, tapi anak itu masih tidur dengan manisnya. Maka ia tidak perlu buru-buru. Ia tidak biasa menyusui Jason di sembarang tempat. Selalu di kamar bayi. Ada kursi khusus yang sangat comfortable untuk keperluan itu. Bisa diatur kedudukannya dan bisa berfungsi sebagai kursi goyang. Ia pun bisa mendengarkan musik lembut di sana. Semuanya sudah diatur oleh Adam sebelum Jason lahir. Jelas betapa Adam pun merindukan kehadiran Jason. Tak mungkin ia tidak menyayanginya. Adam memang pantas kecewa. Tetapi Kristin menganggap Adam terlalu cepat putus asa.
162 Cobaan yang dialaminya itu baru berlangsung dalam hitungan hari. Kesimpulannya terlalu cepat dan keterlaluan. Tapi bagaimanapun jengkelnya, Kristin siap memaafkan kalau Adam memintanya. Mungkin saat itu Adam lupa diri. Tapi tadi pagi ucapan minta maaf sama sekali tidak keluar dari mulut Adam. Ia pergi dengan sikap dingin. Mungkinkah Adam perlu waktu lebih banyak untuk menyadari dan menyesali kesalahannya"
Kristin duduk di sofa sambil memangku Jason. Ia akan menunggu dulu sampai Jason terbangun, baru membawanya ke kamar bayi. Dalam keadaan lapar Jason akan mengisap lebih kuat hingga air susu akan keluar lebih banyak pula.
Sambil merenung tatapan Kristin terpaku ke lemari antik kecil yang terletak di sudut ruang. Lemari itu berpintu kaca. Tempatnya duduk bergaris lurus dengan pintu kaca itu. Ia bisa melihat pantulan dirinya di sana. Ia mengamati wajahnya leb
ih cermat. Ah, rambutnya kusut. Poninya berserakan di dahi. Dua bulan yang lalu ia menata rambutnya di salon. Ia memangkas rambutnya supaya praktis. Tetapi sekarang menjadi sulit diatur. Diikat tak cukup panjang, tapi dilepas pun cepat kusut. Mungkin bila ada waktu ia akan ke salon lagi untuk merapikan rambutnya itu.
Tiba-tiba ia terkejut. Tatapannya terpaku. Kaca di pintu lemari antik itu tidak lagi memantulkan wajahnya, melainkan wajah seseorang yang lain. Ia mengenalinya sebagai wajah Sonny! Wajah itu tersenyum ramah, seperti yang selalu dilihatnya ketika ia memandang dari jendela kamarnya di loteng ke seberang
163 jalan di tempat Sonny sedang berdiri. Wajah anak muda, kekasih Susan, seperti yang dilihatnya di album foto milik Maria!
Tetapi pemandangan itu cuma bertahan dalam waktu sekitar sepuluh detik. Lalu tampak wajahnya sendiri yang sedang bengong terpesona. Ia segera memalingkan muka. Itulah untuk pertama kalinya ia melihat tampilan Sonny di dalam rumahnya. Tetapi berbeda dengan kejutan yang terasa ketika pertama kali mengenali foto Sonny di rumah Maria, saat itu ia merasa biasa-biasa saja setelah kagetnya lewat. Tak ada perasaan merinding atau ketakutan. Ekspresi wajah Sonny yang terlihat tadi terlalu ramah dan bersahabat untuk bisa memancing rasa takutnya.
Sampai saat itu tak seorang pun yang pernah diceritainya mengenai hal itu. Pernah terpikir untuk bercerita kepada Maria. Tapi ia menganggap hal itu tak ada gunanya. Maria terlalu emosional dan juga punya hubungan emosional dengan Sonny. Bagaimana kalau Maria menceritakannya kepada Susan" Kasihan gadis itu.
Ia juga bersyukur karena tidak menceritakannya kepada Adam. Pada awalnya ia memang tidak ingin bercerita karena khawatir Adam menjadi takut pada rumah itu lalu mengajaknya pindah. Ia sudah kerasan di situ dan menyenanginya juga. Bahkan sesudah kejadian yang bisa dianggap aneh itu pun ia tidak merasa terganggu. Lagi pula ia cukup mengagumi ketabahan Adam yang tetap memutuskan memilih rumah itu meskipun sudah tahu riwayatnya. Ia tidak ingin meruntuhkan ketabahan itu dengan ceritanya. Tetapi sekarang ada tambahan motivasi lain lagi. Ia
164 ingin membalas tuduhan Adam yang semena-mena itu dengan memiliki rahasia!
Sesungguhnya bagi Kristin pengalaman anehnya seperti "melihat" Sonny itu bukan merupakan sesuatu yang baru. Beberapa kali dalam hidupnya di masa lalu ia pernah mengalami hal serupa meskipun tidak persis. Beberapa di antaranya cukup berkesan. Misalnya ia pernah dikunjungi emban buyutnya yang belum pernah dilihatnya, lalu diceritai macam-macam. Ketika ia menceritakan pengalamannya itu kepada ibu dan neneknya, mereka tercengang-cengang karena cerita emban buyutnya itu sesuatu yang pribadi, yang tak mungkin diketahui sembarang orang, apalagi oleh Kristin yang tidak mengenalnya. Sesudah itu ia pun sempat dikunjungi neneknya, tak lama setelah si nenek meninggal. Kemudian ibunya menyimpulkan bahwa ia memiliki kepekaan yang tak dimiliki kebanyakan orang. Itu bukan kelainan, melainkan kelebihan. Tetapi ibunya menasihati agar ia menyimpan kelebihan itu untuk dirinya sendiri saja. Jangan ceritakan kepada orang lain, siapa pun dia! Maksud ibunya semata-mata untuk kepentingannya sendiri. Jangan sampai dirinya dianggap orang aneh semacam paranormal lalu dimanfaatkan. Ia setuju dengan pendapat itu dan karenanya tidak merasa berat hati untuk menyimpan. Apalagi pengalaman seperti itu tidak sering terjadi.
Mungkin nasihat ibunya itu ikut pula mempengaruhinya saat ini. Tidak ada yang menakutkan dari Sonny meskipun kematiannya terjadi secara tragis. Yang terkesan dari Sonny adalah sikap ramah dan sopannya. Sayang Maria tak mau bercerita banyak tentang
165 dirinya. Ia juga tak mau bertanya karena nanti Maria akan balik bertanya. Ia cukup menyadari bahwa Maria menganggapnya sedikit aneh. Maka ia berusaha supaya di mata Maria "keanehannya" tidak berlanjut.
Baik Maria maupun Adam bertanya kepadanya kenapa ia memilih nama Jason untuk bayinya, padahal nama itu tidak ada di antara deretan nama yang sudah disiapkannya. Kepada mereka ia cuma mengatakan, "Nama itu lebih bagus!" Ke
napa tiba-tiba" Ah, sama sekali tidak tiba-tiba. Ia teringat pada nama bintang film pujaannya semasa remaja. Tampaknya mereka tidak percaya, lebih-lebih Adam. Tetapi mereka tidak mendesaknya lebih jauh. Mungkin karena sadar, tak bisa mengorek kebenaran dari mulutnya. Bukankah ia sendiri juga tidak tahu" Nama itu muncul begitu saja dalam pikirannya! Lalu ia menganggapnya bagus.
Adam tidak senang. Itu tampak jelas. Ia juga tidak mau memanggil "Son" seperti yang lain. Ia lebih suka memanggil "Jeis". Sebenarnya sama saja. Yang pertama adalah penggalan bagian belakang, yang kedua adalah penggalan bagian depan. Itu cuma masalah selera. Tapi naluri Kristin mengatakan, itu bukan masalah selera. Sepertinya Adam sengaja menghindari panggilan "Son" karena sesuatu yang lain. Apakah itu mengingatkannya kepada Sonny yang tewas di rumah itu" Adam mengenal Sonny. Mereka pernah bekerja sama meskipun cuma sebentar. Mungkin wajar kalau dia merasa tidak enak. Tapi kalau memang begitu kenapa Adam memilih rumah ini untuk dihuni" Dua hal itu menimbulkan kontradiksi.
Renungan Kristin terputus. Jason menangis.
166 VI New York City - awal bulan Juni.
Pukul enam pagi Susan dan Tom sudah mulai sarapan. Mereka sudah rapi berpakaian. Tom ada jadwal operasi pukul tujuh tiga puluh. Sedang Susan punya janji dengan orang yang harus diwawancarainya pukul sepuluh. Tapi ia bermaksud berangkat pagi-pagi karena ingin mengenali medan lebih dulu. Alamatnya di Ridgeport, New Jersey.
"Kenal nama Barnas Topan, Tom"" tanya Susan sambil mengunyah roti.
"Sepertinya pernah dengar. Diakah yang mau kau-temui""
"Ya. Dia terkenal di Indonesia. Mantan konglomerat, dulu salah satu orang terkaya di Indonesia. Sekarang bermukim bersama keluarganya di sana. Kabarnya dia berusaha di bidang hotel dan restoran."
"Jadi dia gerah di Indonesia""
Susan tertawa. "Mungkin."
"Itukah yang mau kauselidiki""
"Ah, bukan. Masalah penyelidikan bukan bagianku. Lagi pula aku sudah berjanji tidak akan bicara
167 politik. Semata-mata cuma masalah sosial dan human interest."
"Pantasnya menarik."
"Ya. Kukira begitu. Itu sebabnya Bos menugasiku."
"Ngomong-ngomong, Sus. Sudah konfirmasi lagi dengan orang itu tentang kedatanganmu nanti""
"Belum. Kukira perlu juga, ya" Boleh pinjam lagi teleponmu, Tom""
"Hei, jangan sungkan begitu. Pakai sajalah kalau kau membutuhkan."
Sementara Susan menelepon, Tom memberesi meja. Ia orang yang rapi dan sudah terbiasa mengerjakan segala urusan rumahnya sendiri.
Kemudian Susan kembali dengan wajah masam. "Untung saja konfirmasi dulu, Tom. Ia membatalkan rencana hari ini karena ada urusan mendadak. Katanya, aku bisa saja datang dan bertemu dengan istrinya. Tapi nggak lengkap dong. Aku perlu mewawancarai mereka secara utuh."
Diam-diam Tom malah mensyukuri hal itu. "Lantas kapan bisanya dia""
"Besok! Tapi besok konfirmasi lagi, katanya. Dasar!" Susan menggerutu.
Tom tersenyum. Itu berarti dia bisa mendapat waktu lebih lama lagi bersama Susan. Dan kalau besok batal lagi...
"Jangan kecewa, Sus. Ambil hikmahnya. Bukankah kau ingin jalan-jalan di sini" Nah, ini kesempatan!"
"Jalan-jalan sendiri" Kau mesti bekerja sekarang, kan"" Susan membelalak. Ia mengira Tom berniat bolos bekerja. Bagaimana pula nasib orang yang sudah dipersiapkan untuk operasi"
168 "Sekarang aku memang mesti bekerja. Tapi nanti sore aku sudah bebas. Paling sampai jam empat, Sus. Kuantar kau jalan-jalan berkeliling. Bagaimana""
"Oke!" seru Susan bersemangat.
"Sekarang kau santai saja di rumah. Atau jalan-jalan keliling apartemen."
"Aku ikut kau saja! Boleh""
"Tentu saja boleh. Asal jangan ikut masuk ruang bedah!"
Di lantai bawah mereka berpapasan dengan Ron yang berkeringat. Ia baru pulang lari pagi. Wajah Ron segera tampak ceria begitu berhadapan dengan Susan. "Wah, siap berangkat, Sus" Kau mengantarkannya, Tom""
"Mana bisa, Ron. Kau tahu betul aku punya jadwal!"
"Apa kau sendiri tidak punya jadwal pagi ini, Ron"" tanya Susan.
"Yang paling pagi jam sepuluh, Sus."
Setelah mengetahui bahwa Susan tidak jadi berangkat ke New Jersey, Ron memutuskan untuk ikut bersama mereka berdua menuju rumah sakit. Saat it
u udara tidak terlalu panas. Dan jarak ke rumah sakit cukup dekat untuk ditempuh berjalan kaki.
Sepanjang jalan mereka mengobrol bertiga. Dengan kehadiran Ron maka percakapan pun berlangsung dalam bahasa Inggris. Lalu terdengar suara orang memanggil-manggil dari belakang. "Tunggu aku!" Ternyata Danny Martin. Dia ingin ikut bergabung. Dari penampilannya jelas dia juga punya jadwal di rumah sakit.
169 Percakapan bertambah seru. Tetapi buat Tom suasana terlalu ramai. Kedua orang yang bergabung itu jelas cuma ingin mengajak Susan mengobrol. Maklum kenalan baru. Tom merasa kehilangan privasi. Tapi ia tidak punya alasan untuk mengeluh.
Susan mengagumi rumah sakit yang tampak begitu luas dan modern. Lebih-lebih waktu membaca tulisan di atas pintu masuk: For the Poor of New York, without Regard to Race, Creed, or Color. "Luar biasa!" serunya. Sayang Tom tidak punya cukup waktu untuk menjelaskan lebih banyak mengenai tempatnya bekerja itu. Ia harus berpisah dari Susan. Tapi Tom senang karena Susan bisa kembali pulang bersama Ron. Ada orang yang mengawal Susan. Memang lingkungan di situ terbilang aman, tetapi siapa tahu ada saja orang yang berniat mengganggu. Apalagi Susan orang baru.
Danny mengawasi kepergian Ron bersama Susan dengan ekspresi iri.
"Jadi dia berangkat ke New Jersey besok, Tom""
"Ya." "Kau mengantarkannya""
"Besok pagi aku ada jadwal, Dan. Dia toh mandiri. Tak perlu diantar-antar," sahut Tom. Dia agak kesal karena baik Ron maupun Danny sama-sama mengajukan pertanyaan yang sama seolah dia tidak bersikap gallant kepada Susan.
"Ya, ya. Tentu saja. Reporter harus mandiri, bukan""
Mereka masuk ke lift. "Nanti sore kau ada acara bersama Susan, Tom"" tanya Danny.
170 "Oh ya. Dia ingin sekali melihat New York. Belum pernah ke sini."
"Mau jalan-jalan, ya" Ikut dong. Kita pakai mobilku. Aku paham betul bagian-bagian menarik kota ini."
Tom mengerutkan keningnya. Dia sendiri tak punya mobil. Tetapi itu tidak penting. Yang paling penting adalah suasana privasi. Memang Susan bukan kekasih atau teman dekat, tapi dalam waktu yang singkat dan penuh keterbatasan itu ia merasakan kedekatan yang unik dengan Susan. Dia adalah seseorang dari latar belakang yang sama dan punya hubungan dengan Sonny. Sudah lama pula tak bertemu dan waktu kebersamaan mereka begitu mahal. Susan tak bisa disamakan dengan teman-temannya yang lain yang ditemuinya setiap hari dan setiap saat.
Danny memahami ekspresi Tom. Ia tertawa menggoda. "Oke! Aku paham hatimu! Bercanda saja kok. Kalau aku dibolehkan ikut, nanti aku cuma jadi pengganggu. Takut juga sih kalau-kalau kalian bicara dalam bahasa Indonesia."
Tom tersenyum lega. Ia memang akan sulit melarang Danny ikut. Apalagi bila Susan sendiri tidak keberatan.
"Terima kasih, Dan!" katanya.
"Kau boleh pakai mobilku, Tom!" Danny menawarkan.
"Ah, tidak. Terima kasih, Dan. Kau tahu aku tak mahir menyetir." "Payah, kau!"
Danny menyikut lengan Tom. Mereka tertawa. Tom memang serius mengakuinya. Semua temannya
171 tahu bahwa ia benar-benar tidak pandai menyetir mobil. Apalagi mobil berbodi besar. Sekadar menjalankannya saja tentu tak ada kesulitan. Tapi bila harus memperkirakan jarak ruang antara mobilnya dengan mobil lain atau benda apa saja, apalagi kalau ruangnya sempit, maka kesulitan akan muncul. Ia akan menabrak atau menyerempet kanan-kiri. Pengalaman sekali dua kali sudah cukup untuk membuatnya jera. Bodoh sekali kalau orang membiarkan diri jatuh berulang kali di lubang yang sama.
Mereka keluar di lantai delapan belas. Lalu bersama-sama menuju counter di mana seorang perawat wanita berada di belakang meja. Beberapa rekan dokter dan perawat berseliweran di ruang itu. Danny dan Tom berhadapan dengan Evita Lopez, perawat berusia tiga puluhan berwajah Latin. Kedua dokter dan Evita saling menyapa "Selamat pagi!" Tetapi Danny menambahkan, "Tambah cantik saja, Ev!" yang disambut Evita dengan senyum senang. Kebiasaan Danny yang suka memuji itu memang sudah dikenal para perawat yang biasa berhubungan dengan dia. Tetapi biarpun kualitasnya obralan, tetaplah kedengaran menyenangkan. Apalagi bila yang mengucapkannya setamp
an bintang film Kevin Costner.
Evita memiliki daftar kegiatan yang berlangsung di lantai delapan belas. Dia yang bertanggung jawab penuh mengatur semuanya. Dokter mana saja dengan kru asisten serta perawat siapa saja yang bertugas di ruang nomor berapa, operasi jenis apa dan pasiennya siapa, berlangsungnya jam berapa. Mereka yang punya tugas di lantai delapan belas harus berhubungan dengan Evita terlebih dulu.
172 Tak lama kemudian Tom dan Danny berpisah menuju ruang kerja masing-masing.
Susan dan Ron duduk di kantin lantai dasar bangunan apartemen. Mereka menikmati roti dengan kapucino hangat. Ron sudah mandi dan berpakaian rapi meskipun belum siap berangkat ke rumah sakit. Ia tak ingin tampak kontras dengan Susan yang tampak elegan dengan setelan celana panjang hitam, blus putih, dan blazer hitam, penampilan wanita eksekutif kantoran. Susan belum sempat ganti pakaian, bahkan belum kembali ke apartemen Tom. Kalau ia pulang, di samping untuk berganti pakaian, ia bermaksud sekalian merapikan apartemen Tom, membersihkan kamar mandi, dapur dan sebagainya. Lalu beristirahat sambil menunggu kepulangan Tom. Dengan demikian ia bisa mengefisienkan waktu.
Beberapa kali obrolan mereka diinterupsi teman-teman Ron seapartemen yang akan sarapan. Mereka mendekati dan menyapa, sengaja untuk diperkenalkan kepada Susan. Setiap wajah baru di situ segera menarik perhatian. Ron bangga tapi juga kesal. Seharusnya dia mengajak Susan sarapan di tempat lain, di mana tak banyak orang mengenalnya.
"Indonesia terkenal juga di sini ya, Ron""
"Oh iya. Kan ada Tom di sini. Dia adalah duta bangsa kalian."
Susan terdiam. Dalam situasinya sekarang ia tak ingin menjadi duta bangsa. Ia tak ingin bercerita mengenai keindahan tanah airnya. Tak ada lagi yang indah baginya sekarang.
Ron mengamati wajah Susan dengan simpati. Ia
173 Sudah mendengar cerita tentang tragedi yang menimpa adik Tom, Sonny, kekasih Susan.
"Ceritakan tentang Tom dengan Viv, Ron," pinta Susan. "Aku sudah tahu garis besarnya dari Tom sendiri. Tetapi bagaimana tentang mereka dari teman-temannya, aku ingin tahu juga."
Sebenarnya Ron tidak begitu suka mengulang cerita itu. Di samping menyedihkan, ia khawatir menghabiskan waktu yang begitu berharga. Ia tidak banyak mengenal wanita Asia. Satu-satunya yang akrab adalah Vivian. Di rumah sakit ada beberapa paramedis keturunan Asia. Ada Cina, Korea, Filipina, dan Jepang. Dari pengamatan sekilas ia menyimpulkan mereka rata-rata berperilaku halus dan lembut, peka dan penuh perasaan. Karena itu mereka disukai pasien. Apakah itu karena panggilan profesi"
"Tom itu luar biasa," Ron menyimpulkan ceritanya. "Ia bisa mengatasi stresnya dengan kekuatan sendiri. Tak ada ahli yang membantunya. Padahal banyak yang bersedia. Rumah sakit punya banyak, kan" Ya, mulanya dia mengerikan, Sus."
"Mengerikan"" Susan kaget.
"Oh, jangan cemas begitu. Kan sudah lewat," hibur Ron. "Maksudku, kami khawatir dia mencederai diri sendiri. Sebabnya, beberapa kali kami dapati dia termangu di taman, padahal saat itu musim dingin membekukan. Kami harus menyeretnya pulang. Lucunya, begitu pulang dia biasa lagi. Katanya, dia begitu intens berpikir sampai tidak merasakan udara dingin. Jadi bukan sengaja. Entah benar entah tidak. Tapi ngomongnya serius. Jadi selama waktu itu kami terus menjaga dia. Aku dan beberapa teman ber-
174 gantian menemaninya di apartemennya. Tetapi dalam soal pekerjaan dia tetap prima. Pasti karena tanggung jawabnya yang tinggi."
"Untunglah dia punya teman yang baik."
"Itu gunanya teman, Sus."
"Tapi teman juga yang menggoda Viv, bukan""
Ron tersipu. Untunglah aku berkulit hitam, pikirnya.
"Sori, Ron," Susan cepat-cepat menyambung ucapannya. "Bagaimanapun, dalam hidup ini kita membutuhkan teman."
"Ya. Aku yakin kau juga punya banyak teman di Wellington."
Susan tertawa. "Aku tidak punya teman, Ron."
Ron menatap tidak percaya. "Ah, masa"! Kau pasti membutuhkan teman. Apakah di sana cuma ada domba""
Susan tertawa lagi. "Oh, teman sih banyak, Ron. Tapi yang akrab tak ada."
Ron menggeleng. "Pasti bukan karena tak ada. Tapi kau yang tak memberi kesempatan. Keakraban
itu harus dibina dari kedua pihak."
Susan termenung. "Ya. Kukira kau benar. Mungkin aku orang yang tertutup, ya."
"Kelihatannya sih tidak. Kepadaku kau cerita banyak."
"Mungkin lihat orang juga. Kebetulan aku bisa bertemu dengan orang yang cocok."
Ron merasa hidungnya menggelembung. Senang juga dianggap cocok oleh Susan.
"Kalau kau tak punya teman, bagaimana kau bisa survive, Sus""
175 "Entahlah. Lupa tuh."
"Kau lebih hebat daripada Tom, Sus. Bisa mengatasi sendirian."
"Aku tidak sama dengan Tom, Ron. Pengalaman kami lain. Tom sudah terikat dengan Viv lewat janji suci perkawinan. Mereka sudah menjadi satu. Aku dengan Sonny belum. Sonny dipisahkan dariku oleh maut. Sesuatu yang tak terhindarkan. Tetapi Tom dipisahkan oleh pengkhianatan. Sakit Tom lebih berat daripada sakitku."
"Tapi kau masih sakit hati."
Sesudah mengatakan itu, Ron menyesal. Seharusnya ia tidak menyinggung. Tetapi Susan tidak tampak tersinggung. "Entahlah, Ron. Aku sudah tidak memikirkannya lagi. Orang bilang, waktu bisa menyembuhkan. Apa iya begitu" Waktu Tom membujukku untuk ikut pulang menjenguk orangtuaku, aku sempat ragu-ragu. Tapi kemudian aku mengeras lagi. Aku ingat sumpahku."
"Jadi karena itu""
"Antara iya dan tidak. Ingat sumpah berarti ingat semuanya. Maka aku pun kembali pada kondisiku dulu, meskipun tak begitu segar lagi. Aku tidak ingin kembali ke negara di mana aku ditolak dan tidak diakui. Kecuali aku datang sebagai warga negara dari negara lain."
"Yang melakukan hal itu adalah sekelompok kriminal, Sus."
"Oh iya. Tapi siapa dulu yang ada di baliknya. Ah, sudahlah, Ron. Nanti darahku jadi mendidih lagi."
"Ya, ya. Aku tak akan menyinggung lagi soal itu."
176 "Sekarang ceritalah tentang dirimu, Ron. Dari tadi melulu tentang diriku dan Tom."
Kupikir, kau tidak akan bertanya, pikir Ron. Memang tidak banyak yang bisa dibanggakan dari dirinya, tetapi pertanyaan itu menandakan perhatian.
"Aku dilahirkan di tengah kemiskinan di bagian kota New York yang paling kumuh. Pernah dengar tentang Harlem""
Susan mengangguk. "Ya. Pernah."
"Ayahku bekerja sebagai tukang angkut sampah kota. Ibuku jadi pembantu dan tukang masak sebuah keluarga kaya meskipun sama-sama berkulit hitam. Aku punya dua kakak lelaki dan seorang adik perempuan. Salah seorang kakakku jadi pengedar narkotik lalu ditembak polisi dan tewas. Kakak satunya lagi ikut kawanan geng berandal. Dalam pertempuran dengan geng lainnya ia juga tewas. Orangtuaku tentu saja sangat terpukul. Tinggal aku dan adikku yang tersisa. Mereka jadi hati-hati menjaga kami. Terutama ibuku yang tak henti-henti menasihati kami agar jadi orang baik-baik. Aku melihat ia berdoa siang-malam. Doanya diucapkan keras-keras. Yang didoakannya melulu kami, anak-anaknya."
Susan sangat tersentuh. "Doanya terkabul, bukan""
"Ya. Aku jadi diriku yang sekarang ini. Dan adikku sudah berkeluarga dengan kehidupan yang cukup mapan."
"Sungguh orangtua yang luar biasa."
"Mereka memang bukan manusia super, Sus. Tapi yang kukagumi adalah kemampuan mereka belajar dari kesalahan. Pada mulanya ayahku orang yang ringan tangan. Suka memukuli anak-anaknya. Setelah
177 ia kehilangan dua orang anak, ia benar-benar berubah. Ia belajar mencintai. Demikian pula ibuku. Cinta merekalah yang melindungi dan membimbing aku dan adikku hingga tidak sampai mengikuti jejak kedua kakakku. Padahal lingkungan tempat tinggal kami sungguh tidak mendukung. Di sana sarang penjahat, pengedar, pelacur, dan orang-orang yang dianggap sampah masyarakat."
Susan sangat terkesan. "Di mana mereka sekarang" Masih ada, kan""
"Ayahku sudah meninggal. Tapi ibuku masih hidup. Dia tinggal bersama adikku."
"Masih di Harlem""
"Oh, tidak. Mereka sudah pindah ke San Francisco."
"Menurutku, bukan cuma orangtuamu yang hebat. Tapi kau dan adikmu juga."
"Ah, biasa-biasa saja. Aku kebetulan mendapat beasiswa."
"Kau tentu pintar."
"Kau juga." Mereka sama-sama tersenyum. Lalu Ron melihat arlojinya.
"Sudah tiba saatnya"" tanya Susan.
"Ya. Sayang sekali. Betapa cepatnya waktu berlalu bila kita masih ingin menikmatinya."
Mereka berdiri, sama-sama berjalan ke lift.
"Nanti kita bisa surat-suratan
, Ron. Pakai e-mail, ya""
"Oh ya. Mungkin cuti nanti aku jalan-jalan ke tempatmu, ya""
Susan tampak bersemangat. "Kapan cutinya, Ron""
178 "Masih agak lama sih. September atau Oktober."
"Wah, musim semi! Kalau jadi, kuajak kau ke tempat yang sangat indah di sana."
"Oh ya"" Ron senang. "Betul, ya" Kau cuti juga""
Susan tersenyum, menangkap antusiasme Ron. Benarkah Ron serius" "Mudah-mudahan bisa, Ron. Aku senang bisa cuti di musim semi. Menikmati keindahan alam sungguh menyenangkan. Apalagi kalau bersama teman."
"Kuharap akulah teman itu."
"Ya. Mudah-mudahan."
"Tom tidak marah"" Ron mengamati wajah Susan.
Susan tersenyum. "Kukira tidak."
Sebenarnya Ron tidak puas. Ia belum yakin benar, apakah Susan bersungguh-sungguh. Sayang waktu tidak cukup banyak.
Mereka keluar dari lift. Ron menemani Susan menuju pintu apartemen Tom.
"Tidak ingin bekerja di New York Times, Sus""
"Wah, belum kepikir, Ron. Untuk bisa ke sana aku mesti bagus dulu dong. Sekarang aku belum apa-apa. Belum setahun pengalamanku."
"Kau pasti bisa, Sus. Niatkan saja dulu."
Susan menggelengkan kepala.
"Kau tak ingin dekat dengan Tom"" Ron balas bertanya.
Susan tertegun di depan pintu. Ia menatap Ron dengan heran. "Kenapa kau bertanya begitu""
Ron tersipu. "Apakah aku lancang bertanya begitu, Sus""
"Ah, nggak. Cuma aku ingin tahu saja kenapa kau bertanya begitu."
179 "Kukira kau akrab dengan Tom. Senang dong berdekatan dengan orang yang diakrabi."
"Oh, begitu. Ya, tentu saja senang. Tapi aku tak ingin bergantung kepadanya. Aku khawatir nanti jadi manja dan sedikit-sedikit minta ditolong. Payah, kan"" Susan tertawa.
"Kan nggak apa-apa begitu, Sus. Tom juga akan senang."
"Dia senang karena kami sudah lama sekali tidak ketemu. Kalau berdekatan terus pasti dia pun jengkel. Ada peribahasa Indonesia. Jauh bau bunga, dekat bau tahi."
Ron tidak mengerti. "Ah, masa Tom begitu"!"
"Kau tak mengerti, ya" Tom itu kakakku. Dan aku adiknya."
Ron mengangakan mulutnya.
"Selamat bekerja, Ron!" kata Susan sambil membuka pintu.
Ron sampai lupa menyahut. Susan sudah masuk lalu menutup pintu tanpa menunggu jawaban Ron. Setelah menyimak kembali ucapan Susan yang terakhir, Ron buru-buru beranjak dari situ. Ia melangkah lebar-lebar dengan kakinya yang panjang sambil berpikir. Seriuskah Susan bahwa Tom adalah kakaknya dan tak lebih dari itu" Bila Susan beranggapan begitu, bagaimana dengan Tom"
Setelah mengganti pakaiannya dengan celana pendek dan kaus oblong Susan segera bekerja seperti yang ia rencanakan. Ia membersihkan apartemen Tom. Mumpung ada di situ ia ingin melakukan sesuatu untuk Tom. Ia tak ingin bermalas-malasan. Tetapi
180 tak terlalu banyak yang bisa ia kerjakan. Dapur cukup bersih, demikian pula kamar mandi. Yang bisa dilakukannya adalah membuatnya mengilat. Bila tidak begitu Tom tidak akan melihat perbedaannya.
Sesudah selesai ia merasa capek. Barulah tiba saatnya istirahat. Dan itu terasa nikmat sekali. Kerja dulu, baru istirahat. Ia mencari makanan di dalam kulkas, menemukan crackers dan susu, lalu membawanya ke depan televisi.
Pada saat itu telepon berdering. Pasti Tom, pikirnya sambil melompat bangun. Jangan-jangan Tom tak bisa pulang seperti yang direncanakan. Apakah rumah sakit kebanjiran pasien yang perlu dioperasi"
Tetapi itu bukan Tom. Suara Danny yang ceria menyambutnya.
"Sudah makan, Sus""
"Sedang makan. Kau""
"Akan makan." Tawa Danny berderai. "Tidak makan di luar" Kantin misalnya" Eh, di situ bisa menyediakan nasi goreng, Sus! Apa Tom tidak bilang""
Susan heran kenapa Danny begitu meributkan soal makan. Ia sendiri sudah lama tidak lagi memperhitungkan selera bila akan makan. Yang penting perutnya tidak lapar lagi. Baginya masalah selera baru diperhitungkan bila situasi memungkinkan.
"Tom lagi ngapain, Dan""
"Ah, Tom melulu yang ditanyakan. Kenapa aku juga tidak ditanyakan sekalian""
Susan tertawa. Teman-teman Tom rupanya memiliki karakter berbeda-beda. Bagaimana mungkin orang seperti Danny bisa jadi ahli bedah"
181 "Katanya nanti mau jalan-jalan ya, Sus" Aku tanya sama Tom, apakah aku boleh ikut. Langsung mukanya ditekuk! Padahal aku cuma bercanda saja."
"Maklu m, Dan. Kami sudah lama sekali tidak bertemu. Jadi ada banyak yang perlu dibicarakan. Masalah kampung halaman, keluarga, dan banyak lagi. Kalau kau ikut mendengarkan, tak akan mengerti. Nanti cuma jadi kambing congek'!"
Susan mengatakan "kambing congek" dalam bahasa Indonesia karena susah mencari pemahamannya dalam bahasa Inggris. Seperti perkiraannya Danny berteriak menanyakan apa maksudnya.
"Oh, itu adalah kambing yang bingung!" sahutnya ringan.
"Ya, ya. Aku mengerti maksudmu. Tapi biarpun bingung, dia tidak akan menanduk, bukan""
"Entahlah. Tergantung kambingnya."
Danny tertawa. "Kau lucu ya, Sus" Eh, kelamaan bergurau aku jadi lupa maksudku menelepon. Begini, Sus. Besok kau jadi ke New Jersey, kan""
"Jadi." "Pergi sendiri, kan"" "Ya."
"Besok kebetulan aku tak ada jadwal pagi dan siang. Malam jaga di Emergency. Dan kebetulan aku ada urusan juga di New Jersey. Bagaimana kalau kita pergi sama-sama saja" Kita jadi bisa saling menemani. Ada kawan mengobrol. Oh ya, aku pakai mobil."
Susan berpikir sejenak. Dia ingin membicarakannya dulu dengan Tom, tapi tak ingin mengecewakan Danny yang kedengaran antusias. Yang terasa janggal adalah serba kebetulan itu.
182 "Aku senang ada kawan, Dan." "Jadi oke, Sus""
"Susahnya begini, Dan. Orang yang harus kutemui di New Jersey itu kelihatannya susah menepati janji. Nanti malam aku harus konfirmasi lagi. Jadi atau tidak."
"Kalau begitu, oke dong" Aku tunggu kabar nanti malam saja."
Setelah meletakkan telepon Susan membayangkan wajah Danny Martin yang tampan. Sepertinya ia mengenang wajah Kevin Costner dalam film The Bodyguard. Ia tersenyum.
Kemudian ia teringat pada pemikirannya selintas tadi setelah mendengar usul Danny. Begitu saja ia ingin menanyakannya dulu kepada Tom. Bukankah seharusnya ia tidak perlu melakukan hal itu" Ia berhak memutuskan sendiri.
"Oh ya, tadi Danny juga memberitahu aku," Tom berkata setelah pulang. "Kupikir, bagus sekali kalau kau punya teman."
"Jadi dia bisa dipercaya, Tom""
Tom tertawa. "Tentu saja. Apa kau takut diculik""
"Ah, nggak. Cuma pengalamanku mengatakan, lelaki Barat tidak boleh terlalu dikasih hati. Nanti dia kira boleh minta jantung juga."
"Wah, sudah berpengalaman rupanya, Sus."
Susan tersipu. "Bukan begitu, Tom. Maksudku bukan pengalaman, tapi pengamatan."
"Ya, aku paham. Wartawan pantas bermata tajam."
"Apakah teman-temanmu baik kepadaku karena mereka sahabatmu, Tom"" Susan ingin tahu.
183 "Bisa jadi. Tapi hal lain yang penting buat mereka adalah dirimu sendiri. Kau gadis cantik, masih single. Mereka juga. Jadi logis saja. Kau tentu bisa menerka
juga."

Ketika Barongsai Menari Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, memang." "Apakah para pemuda di Selandia Baru tidak melakukan hal yang sama kepadamu"" "Ih, mau tahu saja."
Tom tertawa lepas. Kepalanya agak mendongak dan mulutnya terbuka menampakkan deretan giginya yang bagus. Ekspresi seseorang yang sudah terbebas dari stres. Susan merasa senang melihatnya. Tapi kemudian ia teringat, cara Tom tertawa mengingatkannya kepada Sonny. Sesaat ia merasa sedih.
Tom dan Susan sama-sama mengenakan celana jins. Karena Susan tidak membawa pakaian lebih ia pakai lagi celana yang sama pada saat datang. Lalu Tom meminjaminya blus milik Vivian yang tertinggal dan masih tersimpan selama bertahun-tahun di sudut lemari. Baunya sedikit apek, tapi setelah diciprati minyak wangi bau itu hilang.
Begitu melihat Susan mengenakan blus itu, Tom tertegun sejenak. Susan bisa menangkap pandangannya. Ia tidak tahu apakah penampilannya membangkitkan nostalgia atau kesedihan bagi Tom. Tetapi dengan cepat Tom sudah kembali seperti sediakala. "Kau kelihatan cantik dan segar. Seperti... seperti bunga mawar!" Tom memuji dengan caranya sendiri.
Di lantai dasar bangunan apartemen mereka berpapasan dengan Danny yang juga berpakaian santai. Begitu melihat Susan, Danny terperangah sejenak sebelum tersenyum lebar. Meskipun waktunya cuma
184 singkat, Susan memahami makna pandangan Danny. Ia yakin Danny pun mengenali blus milik Vivian yang dikenakannya. Blus itu memang memiliki motif mencolok. Bola-bola merah biru di atas dasar hitam. Ia suka motifnya. Tadi di cermin ia merasa dirinya cantik dengan
penampilannya saat itu. Pujian Tom tadi pasti ada benarnya. Bukan sekadar basa-basi.
Danny tersadar dari pesona. "Aku pangling," ia mengakui. Kemudian ia menahan diri untuk bicara lebih banyak lagi ketika melihat sorot mata Tom. Lebih baik jangan menyinggung Vivian.
"Pergi dulu, ya," kata Susan.
Tom menepuk pundak Danny.
"Selamat bersenang-senang, ya!" seru Danny. "Nanti kutunggu kabar darimu, Sus!"
Susan mengangkat tangannya. "Ya. Terima kasih!"
Danny memandangi keduanya sampai tak terlihat lagi. Lalu seorang gadis cantik berambut merah melewatinya dan tersenyum kepadanya. Danny tak segera melihatnya karena konsentrasinya tertuju kepada Tom dan Susan.
"Hai!" sapa si gadis. Tanpa menunggu reaksi Danny ia berjalan terus menuju lift. Tampak baju putih seragam perawat.
Danny tersentak. "Oh, hai!" Kemudian ia berlari mengejar si gadis.
Tom menyewa limusin untuk mengajak Susan berjalan-jalan. Mulanya Susan protes karena biayanya akan mahal. Tetapi Tom mengatakan peristiwa itu tidak terjadi setiap bulan. Susan adalah tamu istimewanya.
185 "Aku punya usul, Tom. Nanti sebagian perjalanan kita naik subway, ya" Bukan mau irit lho. Tetapi aku ingin merasakan kereta bawah tanah di sini."
Tom setuju meskipun pada mulanya keberatan. Yang dikhawatirkannya adalah segi keamanan. Ketika dulu naik subway bersama Vivian, mereka pernah ditodong bandit, tanpa mendapat pertolongan dari penumpang lain. Rupanya penghuni kota besar hampir sama saja di mana-mana. Mereka lebih mementingkan diri sendiri dan masa bodoh dengan orang lain.
Sopir limusin orang Kuba. Ia mengenalkan dirinya sendiri dengan bahasa Inggris yang hampir sulit dipahami. Tetapi ia mengaku sudah mengenali segala pelosok kota dengan baik. Untuk memperkuat pengakuannya itu ia memperlihatkan peta kota New York. "Jadi tak mungkin kesasar!" begitu kesimpulannya.
Mereka tidak merasa perlu menutup kaca pembatas dengan sopir. Tak ada yang perlu disembunyikan. Mereka bicara dalam bahasa Indonesia dan juga tidak melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya dilihat orang lain. Lagi pula lebih gampang bagi Tom untuk memberi instruksi ini itu kepada si sopir.
Beberapa kali sopir melirik lewat kaca spion. Rupanya ia tak tahan untuk ikut nimbrung.
"Bahasa apa itu, Sir"" tanyanya sopan.
"Indonesia," sahut Tom.
"Oh, Indonesia. Yang dulu banyak ribut itu"" Sopir geleng-geleng kepala seolah tak habis pikir.
Tom berpandangan dengan Susan. Kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia sepanjang tahun 1998, terutama tragedi bulan Mei di Jakarta, disiarkan oleh CNN ke seluruh dunia. Tak meng-
186 herankan kalau si sopir mengetahuinya. Tetapi kesannya tak mengenakkan. Mereka tak ingin ditanyai lebih banyak atau memperbincangkan hal itu. Maka Tom menutup kaca pembatas.
Mobil meluncur melintasi Washington Bridge menuju Manhattan. Susan memasang matanya ke sana kemari. Tetapi perjalanan tak begitu mulus karena jembatan dipadati kendaraan. Saat itu mereka gunakan untuk mengobrol.
"Jadi teman akrabmu yang tinggal satu atap denganmu tinggal dua orang itu saja ya, Tom."
"Ya. Yang lain sudah berkeluarga lalu pindah ke tempat lain di mana tak ada kebisingan rumah sakit. Ada baiknya juga untuk mereka karena bisa menikmati situasi yang berbeda."
"Tinggal Ron, Danny, dan kau yang masih bujangan. Aku tak mau bertanya tentang kau karena terlalu pribadi, ya. Tapi mereka berdua itu, apakah mereka normal""
"Ya. Mereka bukan gay. Ron pernah berhubungan serius dengan seorang perempuan sesama kulit hitam, tapi kemudian putus. Perempuan itu kawin dengan lelaki lain. Sejak itu ia tidak memperlihatkan perhatian lagi pada perempuan lain. Mungkin belum ketemu jodohnya. Sedang Danny" Dia tidak pernah serius. Mungkin senangnya begitu."
"Dia sok tampan sih, Tom." Susan tergelak.
"Ah, betulkah begitu" Kau menganggapnya tampan juga""
"Tentu. Kenyataannya kan begitu. Tapi setampan-tampannya kalau terlalu pede, dia jadi memuakkan." Tom tampak lega mendengar perkataan Susan.
187 "Dengan demikian kau punya pertahanan diri yang kuat menghadapinya, Sus. Siapa tahu dia naksir dan merayumu."
"Kaukira itu tujuannya dengan menawariku ik
ut dengannya besok"" "Siapa tahu."
"Tapi kau tidak berkeberatan."
"Aku tidak berhak, Sus. Kau sudah dewasa, kan""
"Sebagai kakak, kau harusnya merasa bertanggung jawab juga dong."
"Oh ya. Tentu. Cuma aku tak berani melarang-larang. Kata ibumu, kau tak bisa dihadapi dengan larangan."
"Mama bilang begitu"" Susan tertawa. Tapi kemudian ia menggigit bibirnya. Tiba-tiba ia merasa rindu kepada ibunya. Rindu akan ciuman dan dekapannya. Ia diam, bergulat dengan emosinya.
Tom melirik, merasakan perubahan suasana. Ia bisa menduga apa yang tengah dirasakan Susan. Mata Susan berkejap-kejap dan tiba-tiba diam dan memandang ke luar jendela. Sebaiknya ia tidak menginterupsi dengan simpati, walaupun ia sangat ingin memeluk dan menghiburnya. Biarkan Susan mengatasinya sendiri. Solusi dari kemelut yang dirasakan Susan harus datang dari dirinya sendiri.
"Nanti bilang sama Mama dan Papa, aku juga rindu sama mereka, Tom!" kata Susan akhirnya.
"Oh ya. Tentu saja."
"Dan jangan lupa pesan-pesanku itu."
"Kan sudah kucatat semuanya. Aku sendiri juga sangat ingin tahu tentang hal-hal yang kauceritakan itu. Nah, kita sudah sampai di pusat Manhattan."
188 Susan menyisihkan rasa sendunya dan mulai mengagumi dunia baru yang dilihatnya untuk pertama kali. Tampak bangunan-bangunan menjulang bagai hendak mencakar langit. Ada Empire State Building yang pernah dilihatnya dalam film King Kong. Lalu Chrysler Building, Citicorp Building, gedung kembar raksasa World Trade Center. Kemudian mereka berkeliling blok-blok perkantoran Wall Street yang terkenal lewat film berjudul sama yang diperankan oleh Michael Douglas. Jalanan macet di beberapa tempat. Orang-orang perkantoran berhamburan ke luar bagai semut keluar dari sarang.
Mereka juga pergi ke Broadway, tapi tak menonton apa-apa di sana. Cuma lewat saja. Lalu mampir sebentar di toko kue untuk membeli pastry dan minuman. Mereka menyantapnya di dalam mobil dan membagi sopir beberapa potong pastry berikut kapucino dalam karton. Sopir menerimanya dengan senang hati. Bila berkendaraan santai, apalagi diselingi kemacetan, ia bisa menyantapnya sambil menyetir. Lumayan untuk mengisi perut.
Mereka menyusuri pertokoan dan butik di Madi-son.
"Mau lihat-lihat, Sus" Barangkali ada yang menarik minatmu. Aku bawa kartu kredit kok," Tom menawarkan.
Susan tertawa. Kehidupan sederhana dan berhemat-hemat sudah mendarah daging padanya. "Nggak, ah. Terima kasih, Tom. Nanti sajalah kalau uangku sudah berkarung-karung."
"Jangan begitu, Sus. Hidup ini perlu juga dinikmati. Berhenti, ya""
189 Tom membuka kaca pembatas menyuruh sopir untuk parkir. Tapi Susan segera menggoyangkan tangan dan meminta sopir jalan terus. Sopir tampak bingung.
"Oke. Terus sajalah," kata Tom.
Mobil meluncur lagi. Tom kembali menutup kaca pembatas.
"Percayalah, Tom. Aku sudah menikmati hidupku yang sekarang."
Lalu tiba saatnya menghentikan perjalanan dengan limusin. Mereka ke Soho naik subway. Di tempat ini Susan benar-benar menikmati situasi. Soho dipenuhi orang-orang yang menyebut diri mereka seniman. Di sana mereka seolah membentuk komunitas tersendiri. Bukan cuma orang-orangnya yang menarik perhatian Susan, tapi juga barang-barangnya. Ada pasar seni, pasar sayur, dan berbagai kebutuhan lainnya. Kadang-kadang muncul dorongan ingin memiliki ini itu, tetapi ia sadar itu bukan saatnya untuk berbelanja.
"Masih ada banyak kesempatan lain, Sus. Kita memang tak mungkin puas menjelajahi tempat ini dalam waktu beberapa jam. Apalagi seisi kota. Nanti kan ke sini lagi, ya, Sus"" kata Tom setengah membujuk.
"Ya. Kukira begitu. Tapi umur kita rasanya nggak cukup kalau ingin puas menjelajahi seluruh dunia, ya""
Susan tertawa, disambut Tom. Mereka bergandengan. Suasana menimbulkan keakraban. Ke mana mata mereka memandang, tampak banyak pasangan muda yang berjalan dengan berpelukan mesra. Hal itu menambah dorongan. Terasa bahwa mereka pun salah satu dari orang-orang yang ada di situ.
190 Mereka ke kafe, minum espresso sambil memandangi orang-orang dan burung-burung dara yang sibuk mematuk-matuk lantai dan terbang ke sana kemari.
"Terima kasih ya, Tom," kata Susan. "Untuk
apa"" Tom heran. "Untuk semua ini."
"Ah, ini kan belum apa-apa. Aku juga berterima kasih." "Untuk apa""
"Untuk kehadiranmu di sini. Kau telah memberiku kehangatan di sini." Tom menunjuk dadanya.
Susan tertawa. "Betapa senangnya karena aku dianggap berarti!" Lalu ia melompat dari duduknya, mendekati Tom di kursinya. Ia membungkuk kemudian mencium Tom di kedua belah pipinya! Tom terperangah. Benar-benar kejutan untuknya. Pipinya bersemu merah. Lalu ia tersipu dan salah tingkah sejenak. Orang-orang yang melihat tersenyum. Di situ pemandangan romantis sudah biasa. Tapi setiap pasangan punya keunikan sendiri-sendiri.
Tom memang belum sepenuhnya membaur dengan kebiasaan setempat. Dia tergolong orang Asia yang masih sedikit "kolot". Tetapi sesungguhnya ia senang. Ia tahu, kelakuan Susan itu adalah spontanitas.
"Sori, Tom. Apakah kau tidak suka"" tanya Susan khawatir.
Tom tersenyum lebar. "Oh, aku suka! Terima kasih, Sus! Cuma aku kaget saja."
"Kau lucu tadi." Susan masih geli.
"Oh ya" Belum pernah ada orang yang menyebutku lucu."
191 "Ah, masa" Ada kok."
"Siapa"" "Sonny." Setelah kata itu terucap, Susan terdiam sejenak. Nama Sonny spontan saja keluar. Padahal sejak awal dia sudah berusaha menghindari perbincangan tentang Sonny dengan Tom. Padahal dengan orang lain, seperti Ron misalnya, ia bisa bercerita tanpa beban. Mungkin sebagai abang Sonny, Tom punya hubungan khusus dengannya. Sedang Ron tidak kenal Sonny.
Tom mengamati wajah Susan, mencoba memperkirakan apa yang tengah dipikirkannya. Wajah Susan tiba-tiba berubah murung. Masihkah ia berduka perihal Sonny" Tom mengulurkan tangan yang segera disambut oleh Susan. Tom merasa, Susan tak memerlukan kata-kata penghiburan. Ia sendiri juga tidak tahu kata apa yang pantas untuk diucapkan. Padahal sebenarnya ia ingin membicarakan Sonny. Ia ingin tahu apa saja yang diceritakan Sonny tentang dirinya. Mungkin sekarang belum saatnya. Ia sudah mengalaminya sendiri waktu disakiti Viv. Cukup banyak waktu yang dibutuhkannya untuk mereparasi diri. Setelah itu barulah ia bisa bicara lagi tentang Viv tanpa beban.
"Kau sudah lapar, Sus" Kita cari restoran untuk makan malam, yuk" Kau suka makanan Italia"" Tom mengalihkan masalah.
"Belum terlalu lapar, Tom. Barusan ngemil, kan""
"Kalau begitu kita jalan-jalan lagi. Sesudah lapar baru cari tempat untuk makan. Sebenarnya aku ingin mengajakmu makan di sebuah restoran yang letaknya
192 di lantai empat puluh lima. Dulu aku pernah makan di sana bersama Viv. Pemandangan dari sana hebat sekali, Sus! Kita bisa melihat patung Liberty dari sana. Tapi sayang, kita mesti berpakaian lengkap dulu."
"Tapi aku punya ide lain, Tom."
"Bilang saja. Aku pasti setuju."
"Sekarang kita belanja bahan makanan. Di sini semuanya komplet tuh. Lalu kita pulang dan masak sendiri. Bagaimana""
Tom terlonjak senang. Itu adalah ide yang paling menyenangkan.
Mereka tiba sekitar pukul delapan. Masih siang untuk ukuran orang New York. Tetapi jam makan malam sudah lewat. Untuk mereka tentu saja tak berlaku aturan seperti itu. Mau makan jam berapa pun terserah, tergantung tuntutan perut.
Keduanya menggendong kantong kertas penuh berisi belanjaan. Tom sekalian mengisi lumbung makanannya. Mereka sangat gembira dan penuh semangat. Kegembiraan itu tidak sampai menyurut ketika mereka melihat Ron dan Danny mendekati. Kedua orang itu sepertinya sedang menunggu kepulangan mereka.
Sepertinya dua orang itu, atau salah satu dari keduanya, selalu saja muncul bila ia bersama Susan, pikir Tom. Tapi ia tidak kesal lagi seperti yang dirasakan pada awalnya. Seperti dulu terhadap Viv, ia tidak berhak melarang Susan bergaul dengan siapa saja. Apalagi dengan teman-temannya sendiri.
"Sini, kami bantu," Danny menawarkan jasanya. Tanpa menunggu komentar ia mengambil alih bawaan
193 Susan lalu menyorongkannya kepada Ron. Ia sendiri mengambil alih bawaan Tom. "Kalian kan sudah capek. Biar melenggang bebas."
"Kok tumben kalian pulang sore," kata Ron sambil berjalan ke lift.
"Kami bermaksud makan di rumah saja," sahut Susan.
"Wah, pasti makannya enak sekali." Danny melongok ke dalam kantong bawaannya. "Mau bikin
apa" Chinese food" Indonesian food""
Mereka masuk lift. Susan dan Tom di belakang kedua orang yang membawa kantong. Tom berbisik kepada Susan yang kemudian mengangguk.
"Ikut makan yuk"" Susan mengundang. Ia menyuarakan bisikan Tom tadi.
"Wow! Dengan senang hati!"
Ron dan Danny bersorak. Mereka tertawa. Memang keterlaluan bila tidak mengundang orang yang sudah amat berharap. Apalagi bila sudah berada di depan pintu.
Apartemen Tom menjadi riuh. Melihat Susan begitu gembira, Tom merasa harus ikut pula bergembira. Ada saatnya ia bisa berduaan saja dengan Susan di mana mereka bisa berbicara tanpa dicampuri orang yang tidak terlibat. Tetapi selalu ada saat lain di mana keadaan itu tak bisa dipertahankan betapapun waktu begitu terbatas. Ia membutuhkan teman, dan tak mungkin mencampakkan mereka kalau sedang tidak membutuhkan.
*** 194 Pagi esoknya, mereka berempat sarapan bersama di apartemen Tom sesuai perjanjian semalam. Keempatnya sudah berpakaian rapi. Susan mengenakan setelan yang dipakainya kemarin. Semalam sudah ada konfirmasi dari New Jersey bahwa Barnas Topan bisa ditemui untuk wawancara pagi itu. Danny akan mengantarkannya. Sedang Tom dan Ron akan berangkat ke rumah sakit untuk pekerjaan rutin mereka.
Mereka keluar bersama. Tom dan Ron melepas keberangkatan Susan dan Danny. Susan membawa serta travel bag-nya karena ia takkan kembali lagi ke situ seusai wawancara. Ia akan langsung terbang kembali ke Wellington setelah tugasnya selesai.
Sebelum masuk ke mobil Danny, Susan memeluk Tom dan mencium pipinya kiri-kanan. Ia juga memperlakukan Ron dengan cara yang sama.
"Terima kasih untuk semuanya," kata Susan terharu. "Kalian sudah memberiku kehangatan yang tulus."
"Selamat jalan, Sus! Mudah-mudahan sukses wawancaranya, ya!" kata Tom.
"Jangan lupa titipan dan pesanku untuk urusan Jakarta, Tom!" kata Susan untuk kesekian kalinya.
"Selamat jalan, Sus! Ingat, kirimi aku e-mail, ya"" pesan Ron.
"Jangan ngebut ya, Dan! Baik-baik menjaga Susan!" seru Tom.
Danny tersenyum saja. Bagaimanapun ia mendapat kelebihan dibanding kedua orang itu. Dialah orang yang paling akhir berpisah dari Susan. Mobilnya melaju.
"Bye-bye! Bye-bye!"
195 *** Danny melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Jembatan George Washington yang dilintasi sudah padat dengan kendaraan.
"Sedih berpisah dari Tom, Sus"" tanya Danny sambil melirik mengamati wajah Susan.
"Sedih"" Susan balas bertanya. "Apa aku kelihatan sedih""
"Soalnya kau diam saja."
"Oh, itu. Aku nggak sedih. Aku terkesan dengan kebaikan kalian, teman-teman Tom. Apakah kalian selalu begitu kepada kerabat masing-masing""
"Ya." Susan menoleh, tak percaya. Danny tertawa. "Khususnya pada kerabat Tom dong. Dia sahabat khusus kami." "Khusus""
"Apa yang dialaminya itu sangat menyedihkan. Kasihan."
Susan diam sejenak. Lalu diajukannya pertanyaan yang tidak atau belum diajukannya kepada Ron. "Apa kau punya perkiraan siapa yang menjadi ayah Debbie""
Danny tertegun, tak menyangka. "Wah, kalaupun aku punya perkiraan atau dugaan, itu takkan kukatakan, Sus. Sori saja. Itu tidak etis. Bagaimana kalau salah""
"Ya, ya. Aku mengerti." Susan sudah menduga jawaban itu. Bahkan Ron pun bisa dipastikan akan berkata seperti itu. Ia cuma ingin memancing saja. "Cuma Viv yang bisa mengatakannya, bukan""
196 "Kau kenal Viv"" tanya Danny. "Tentu saja kenal. Tapi secara mendalam sih tidak. Habis jarang ketemu." "Aku mengerti."
"Menurut pengamatanmu, apakah hubungan mereka berdua harmonis pada awalnya""
"Oh iya. Mereka kelihatan begitu saling memperhatikan dan mencintai hingga aku jadi iri. Rasanya jadi ingin kawin juga."
Susan tertawa. "Lantas kenapa kau tidak kawin-kawin" Lelaki setampan kau pasti banyak disukai perempuan."
Danny tertawa. "Jadi kau menganggapku tampan" Apakah itu pujian""
"Bukan. Aku cuma mengatakan sesuai adanya."
"Aku bilang kau cantik dan menarik. Itu adalah pujian, bukan komentar sesuai apa adanya."
"Itu tak bisa disamakan, Dan. Tergantung juga pada orang yang mengatakannya."
"Maksudmu, kau pelit dengan pujian""
"Yang pasti aku tidak mengobral pujian. Apalagi dengan tujuan mendapatkan sesuatu demi kepent
ingan sendiri." "Jadi kau tidak melihat sesuatu pada diriku yang pantas dipuji"" gurau Danny. "Wah, kulitmu tebal, ya""
Danny tertawa keras. Susan terbawa keriangan Danny. Teman seperti itu menyenangkan dalam perjalanan. Dia bisa mengawali hari itu dengan optimis. Mungkin pertanda baik bahwa pekerjaannya nanti bisa berlangsung dengan mulus.
"Aku yakin, setiap orang pasti punya kelebihan
197 yang layak dipuji. Sayang aku tidak tahu banyak tentang dirimu. Pantasnya dipuji atau tidak, ya""
Danny tertawa. Ia suka jawaban itu. "Kalau begitu kau harus mengenalku lebih banyak."
"Cuma untuk menyimpulkan itu" Repot amat. Tapi dari pengenalan sebentar ini aku bisa melontarkan pujian untukmu. Nggak perlu lama-lama."
"Oh ya" Apa itu"" Danny antusias
"Otakmu pasti encer. Kau pintar. Kalau tidak mustahil kau bisa jadi ahli bedah. Apalagi bertahan lama di rumah sakit besar seperti Columbia Presby-terian. Kalau bodoh dan sering melakukan kekeliruan, pasti sudah didepak dari dulu-dulu, ya""
Danny tertawa keras lagi. Susan tidak sampai hati untuk menyampaikan penilaian negatifnya.
Lalu Danny berubah serius. "Apakah Tom akan menjumpai Viv di Jakarta nanti" Barangkali dia bilang padamu""
"Banyak sekali hal-hal yang mau dilakukannya di sana. Kalau dia punya waktu lebih kukira dia cukup jantan untuk menghadapi Viv."
"Ron suka berhubungan dengan Viv lewat e-mail. Barangkali dia sudah cerita padamu."
"Ya. Ron memang tipe orang yang bisa diajak berbagi."
Danny menoleh. Ekspresi iri tampak di wajahnya. "Apakah itu pujian bagi Ron""
"Itu tergantung penilaianmu. Bisa ya, bisa tidak. Tapi jangan menyimpang, ah. Kita kan sedang membicarakan Viv. Bukan Ron."
"Kau duluan yang memulai. Oke, kita kembali. Apakah Tom masih mencintai Viv""
198 "Hei, kok tanya aku" Tanya orangnya dong!"
"Siapa tahu dia ngomong padamu. Kulihat dia sayang padamu. Kentara dari caranya memandang dan memperlakukanmu."
"Aku adalah ganti adiknya. Wajar saja."
"Jadi kalian seperti kakak dan adik""
"Bisa juga begitu."
"Jadi bisa juga tidak."
"Kau cerewet." "Sori. Aku senang kalau Tom mendapatkan ganti Viv. Sudah cukup lama dia sendirian terus. Hidupnya kayak pertapa."
Susan mengamati wajah Danny. Tuluskah ucapan itu" Atau sekadar pancingan"
"Kalian orang Timur memang tertutup, ya"" Danny mulai lagi.
Susan tersenyum. Ia tahu maksud Danny. Tetapi ia tidak akan membuka diri kepada sembarang orang yang baru dikenal. Kepada Tom saja ia tidak seperti itu.
"Kabarnya anak Viv, Debbie, cantik sekali, Dan. Menurut ibuku, dia kayak boneka Barbie." "Oh ya""
"Rupanya gen bapaknya dominan, ya"" "Kukira begitu."
"Di Indonesia dia bisa jadi bintang film atau artis."
"Oh ya" Segampang itu" Nyatanya aku tidak jadi bintang film."
"Di sini banyak yang cakep. Bukan cuma kau."
"Apa kebanyakan orang Indonesia jelek""
Susan tertawa. Ia menikmati perjalanannya bersama
199 Danny. Pendapat Tom benar, bahwa kehadiran Danny bisa bermanfaat. Tom beruntung bisa punya teman-teman yang baik. Ia mengatakan hal itu kepada Danny.
"Kami berteman karena merasa cocok. Perbedaan-perbedaan malah membuat kami belajar hal-hal yang baru. Biar tidak ke mana-mana, tapi tidak merasa seperti katak dalam tempurung."
"Sayangnya ada yang selingkuh, ya" Kayak musuh dalam selimut."
Danny terdiam. Wajahnya tampak mengeras sejenak.
"Dalam hal itu sebenarnya Tom juga salah."
"Salah apa"" Susan ingin tahu.
"Seharusnya ia tidak membiarkan Viv tinggal di situ. Kalau aku jadi dia dan punya istri cantik, aku tidak mau membiarkan istriku dikerumuni cowok-cowok lapar setiap hari."
Susan tertegun oleh komentar yang serius itu. Sulit dipercaya bahwa kata-kata itu bisa keluar dari mulut seorang Danny. "Yang kaumaksud cowok-cowok itu kan bukan sembarang cowok Dan. Mereka adalah teman-teman Tom."
"Teman itu kan manusia juga."
"Pernahkah kau mengatakannya kepada Tom""
"Tentu saja tidak. Itu cuma menambah penderitaannya."
Susan yakin, ucapan Danny itu akan menetap di benaknya.
Malam itu juga Tom mendapat kiriman e-mail dari Susan yang mengabarkan bahwa ia sudah selamat
200 tiba di rumah dan sibuk membuat laporan. Wawancaranya berlangsung cukup sukses.
Barnas Topan dan keluarganya sangat terbuka. Mungkin karena mereka yakin sudah berada di tempat yang aman. Walaupun tema yang mau digali dibatasi pada masalah human interest dan sosial saja, tapi ada juga hubungannya dengan politik. Maka sedikit-banyak disinggung juga. Sesungguhnya keluarga Barnas Topan juga merupakan orang-orang yang tersingkir dari tanah air mereka karena masalah politik.
Susan juga menceritakan bahwa Danny sangat memperhatikan dirinya. Dengan setia Danny menunggu di mobil sampai ia selesai wawancara, mengajaknya makan siang, lalu mengantarkannya ke bandara. Sepertinya Danny memang tidak punya urusan lain di New Jersey seperti yang dikatakannya semula.
"Kukira dia memang punya kelemahan terhadap kecantikan perempuan, Tom! Kasihan juga, ya. Kuperhatikan matanya selalu melotot kalau melihat perempuan cantik. Kalau sudah begitu, dia seperti lupa akan keadaan. Pikir-pikir, bagaimana kalau saat dia sedang membedah orang ada perempuan cantik melintas, ya"" Begitu gurau Susan.
Tom tersenyum membacanya. Tentu Susan cukup memahami suasana di kamar bedah. Di sana biarpun perawatnya secantik bidadari, takkan kelihatan cantiknya karena sebagian mukanya tertutup masker.
"Pantas dia tidak kawin-kawin ya, Tom" Mungkin dia punya tanggung jawab dan tenggang rasa kepada perempuan yang akan jadi istrinya!" Susan menyimpulkan.
Kesimpulan itu membuat Tom merenung sejenak
201 sebelum meneruskan membaca surat Susan. Selanjutnya Susan masih menyampaikan terima kasihnya atas bantuan dan perhatian yang diterimanya. Ia juga cukup terbuka saat bercerita perihal Ron.
"Kau teman baiknya, Tom. Menurutmu, apakah dia lelaki yang bisa dipercaya" Dia mengatakan ingin berlibur di sini kalau cuti nanti. Aku tidak tahu apa dia serius atau cuma basa-basi saja. Aku belum begitu mengenalnya, bukan" Pertemuan dan perbincangan sejenak tak mungkin dijadikan pegangan. Biarpun aku membutuhkan seorang teman, tapi aku tidak mau sembarangan. Tolong berikan penilaian, Tom!"
Tom merasa senang karena Susan mempercayainya. Tapi ia semakin disadarkan, bahwa Susan menyayangi dan menganggapnya sebagai seorang kakak. Tidak lebih dari itu.
202 VII Jakarta, akhir bulan Juni.
Hari pertama di Jakarta dihabiskan Tom semata-mata untuk orangtuanya. Begitu tiba di rumah ia tak keluar lagi. Mereka saling melepas kerinduan dengan bercerita banyak-banyak. Sepertinya cerita mereka tak habis-habis. Banyak kejadian, banyak pula ceritanya. Waktu sehari pun tak cukup.
Lien Nio dan Bun Liong, ayah dan ibu Tom, meninggalkan pekerjaan mereka supaya bisa bersama anak mereka yang tinggal satu-satunya itu. Sehari-hari mereka memang tak perlu meninggalkan rumah karena cukup bekerja di rumah dengan perangkat komputer, printer, scanner, dan faks. Mereka bergabung dengan perusahaan yang memproduksi soft-ware sebagai programmer freelance. Dalam usia yang sudah senja, enam puluh, mereka masih memiliki keahlian itu. Bahkan selama berada di Amerika, negaranya Bill Gates, mereka terus mengikuti perkembangan ilmu itu.
Pada hari kedua, Tom diajak kedua orangtuanya berkeliling Jakarta untuk mengunjungi sanak keluarga. Tom sebenarnya agak segan, tapi memaklumi se-
203 mangat orangtuanya. Mereka masih punya keinginan membanggakan dirinya. Di samping itu ia sadar sepenuhnya bahwa ia harus berbaik-baik kepada para kerabat karena hanya merekalah yang bisa membantu orangtuanya seandainya terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Memang sekarang ini kedua orangtuanya masih sehat dan kuat. Tetapi orang tak pernah bisa tahu tentang apa yang akan terjadi.
Barulah pada hari ketiga Tom berencana untuk mengunjungi Maria. Kali ini ia memutuskan pergi sendiri. Orangtuanya memahami meskipun ibunya ingin tahu juga bagaimana reaksi Maria saat bertemu dengan Tom. Dengan antusias pagi-pagi Lien menelepon Maria untuk memberitahu perihal rencana kunjungan Tom.
"Sayang Henry tak bisa bolos kerja," Lien memberitahu. "Padahal dia ingin juga bertemu denganmu."
"Tak apalah. Saya bisa ke sana lagi di waktu yang lain. Ada paket titipan Susan yang mesti saya antarkan."
"Maria senang sekali mendengar Susan bersamamu tempo h
ari," Lien tersenyum penuh arti.
"Dia menganggapku sebagai abangnya, Ma. Tak ada orang lain yang dikenalnya di New York."
"Dan kau sendiri""
"Ah, Mama." Tom hanya tersenyum.
"Kata Maria, kalian berdua pasti cocok." Lien tertawa. Sementara suaminya tersenyum-senyum saja.
"Susan bilang, mamanya memang takut kalau-kalau dia disunting bule," kata Tom.
"Ah, jangan mau sama bule. Orang-orang itu gampang selingkuh!" komentar Bun Liong.
204 Tom hanya tersenyum. Tak ingin mengomentari.
"Bukan begitu, Pa," protes Lien. "Orang yang suka selingkuh itu ya siapa saja. Bukan cuma bangsa ini atau bangsa itu. Juga bukan cuma lelaki. Perempuan juga. Kayak si Vivian!"
Lalu Lien tertegun sambil menatap Tom. Apakah Tom tersinggung" Tapi Tom tetap tersenyum.
"Apakah Susan sudah punya pacar"" tanya Lien.
"Entahlah. Dia tidak pernah cerita soal itu. Saya nggak enak menanyakan. Itu kan pribadi."
Kedua orangtuanya mengangguk setuju.
"Tapi terus terang, Tom. Kami juga senang kalau kau berpasangan dengan Susan," Lien berkata setelah diberi isyarat oleh suaminya.
"Jodoh itu di tangan Tuhan, Ma," Tom berkelit.
"Memang sih. Tapi kan mesti diusahakan juga."
Tom hanya tersenyum. Setelah Tom pamit berangkat, kedua orangtuanya bertukar pandang dengan ekspresi sendu.
"Kasihan anak kita ya, Pa. Lama sekali dia hidup menduda. Padahal dia kan masih muda. Kalau begitu terus, kapan kita bisa punya cucu"" keluh Lien.
"Jangan bicara soal itu di depannya. Nanti dia stres lagi."
"Aku khawatir juga lho, Pa. Jangan-jangan..." "Jangan-jangan apa""
"Di Amerika itu kan banyak yang aneh-aneh. Bebasnya kebangetan lagi."
"Jangan-jangan apa, Ma"" desak Bun Liong. Dia ikut khawatir.
"Jangan-jangan dia jadi homo," kata Lien pelan.
205 Bun Liong terkejut. Ia menggeleng kuat-kuat. "Tidak mungkin!" serunya.
"Kau tidak tahu pasti."
"Akan kutanyakan sendiri kepadanya."


Ketika Barongsai Menari Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nanti dia jadi stres. Kita jangan menuntut terlalu banyak. Jangan menuduh atau menyangka macam-macam."
"Habis bagaimana kita bisa tahu, Ma""
"Tanyakan Susan saja. Pakai e-mail!"
Mereka berpandangan dengan wajah lebih cerah.
Tom naik taksi dari rumah orangtuanya di bilangan Slipi, Jakarta Barat, menuju kawasan Pantai Nyiur Melambai di Jakarta Utara. Ia membawa paket titipan Susan yang dimasukkan ke dalam kantong plastik yang bagus, pemberian ibunya. "Nanti berikan sama kantongnya sekalian," begitu pesan Lien.
Tom turun beberapa blok jauhnya dari rumah Maria. Sudah begitu lama ia tak ke tempat itu hingga ia tak ingat lagi belokan-belokannya. Tapi sambil berjalan pelan-pelan dan mengingat-ingat ia bisa mengenali kembali situasi tanpa perlu bertanya sana-sini. Melihat kondisi rumah-rumah kosong yang dilewatinya ia merasa sedih. Untunglah Susan tak melihat, pikirnya.
Ia berjalan di trotoar seberang blok tempat tinggal Maria. Ia sengaja berjalan di situ supaya bisa lebih jelas melihat rumah yang dulu ditempati orangtuanya bersama Sonny. Menurut orangtuanya, rumah itu sekarang sudah menjadi jauh lebih bagus dibanding dulu.
Setelah melihatnya, ia harus mengakui kebenaran
206 ucapan orangtuanya. Ada juga rasa syukur bahwa ia tidak perlu melihat kondisi rumah itu sebelumnya, ketika masih hancur dan hangus. Kalau ia sampai melihatnya, pastilah hatinya ikut hancur. Apalagi sambil membayangkan Sonny di dalamnya.
Ia berdiri dengan kedua tangan ke belakang, berikut kantong plastik dalam pegangan. Sambil mengamati rumah di seberangnya ia membiarkan pikirannya mengembara dalam kesedihan. Terkenang pada masa kecil dan remajanya bersama Sonny. Hubungan mereka berdua rukun-rukun saja. Tak ada yang namanya persaingan berkat perlakuan orangtua mereka yang tidak menimbulkan rasa iri di antara mereka. Di samping itu perbedaan usia yang besar membuat ia lebih bersikap melindungi Sonny.
Kristin baru selesai memandikan Jason. Adam sudah berangkat ke kantornya sejam yang lalu. Ia merapikan kamarnya. Kemudian menuju jendela untuk membuka semua daunnya, supaya udaranya lebih segar. Tapi ia terkejut waktu pandangannya tertuju ke luar jendela. Untuk sesaat ia mematung saja menatap ke seberang jalan. Di sana, di depan rumah yang masih berantakan,
berdiri seorang lelaki jangkung bertubuh ramping. Ia mengenakan celana panjang hitam dan berkemeja putih lengan panjang. Rambutnya sedikit kusut, helai rambut berjatuhan di dahi. Kedua tangannya ke belakang. Lalu pandang mereka beradu. Lelaki itu tertegun sejenak kemudian mengangguk, tersenyum ramah dan membungkukkan tubuhnya. Sonny-kah"
Kristin menajamkan pandangannya. Khayalan atau
207 bukan" Lelaki itu mirip dengan Sonny tapi tampaknya lebih tua. Apakah arwah, hantu, atau apalah namanya bisa menua" Saking terpesonanya ia tidak berniat untuk membalas anggukan atau senyuman lelaki di sana itu. Ia cuma melotot, mengamati setajam-tajam-nya. Dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Dulu ia tak pernah melakukan hal itu. Tentu saja. Dulu ia tak pernah menyangka bahwa sosok itu adalah hantu. Jadi seperti itukah hantu" Ia mengucek matanya. Lalu melotot lagi. Nah, dia masih di sana. Utuh dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.
Pikirannya bekerja dengan cepat. Ia tidak puas dengan hanya melihatnya di kaca lemari atau di seberang jalan. Ia ingin berhadapan. Ia harus melihatnya dari dekat. Barangkali berdialog juga. Aneh, kenapa dia selalu muncul di sana dalam keadaan utuh padahal di rumah ini, di hadapannya, dia muncul sepotong saja" Itu pun cuma bayangannya di kaca lemari. Manusia takut kepada hantu atau sebaliknya"
Ia segera memutuskan. Cepat-cepat ia berlari menjenguk Jason di kamarnya. Ia melihat bayinya tidur tenang. Sesudah itu ia berlari lagi, bertelanjang kaki, terus menuruni tangga ke bawah.
Bi Iyah menyapanya dengan heran, "Ada apa, Bu""
Kristin tak memedulikan. Ia terus berlari ke pintu depan.
Tom baru menyadari bahwa ia sudah berdiri terlalu lama di situ setelah melihat jendela loteng rumah di seberang itu terbuka dan sosok serta wajah seorang perempuan muncul. Ia heran melihat sikap perempuan itu, yang seolah terkejut melihatnya. Bahkan tak
208 membalas sikap hormatnya. Lalu muncul kekhawatiran jangan-jangan perempuan itu mengira ia berniat jahat. Apalagi setelah sosok perempuan itu menghilang. Jangan-jangan memanggil orang sekitar. Ia sudah mendengar cerita-cerita mengerikan tentang keberingasan massa di Jakarta yang suka menghakimi orang yang disangka berbuat kejahatan secara sadis. Buru-buru Tom menyeberang menuju rumah Maria.
Kristin membuka pintu pagar dengan tergesa-gesa. Bi Iyah mengikuti di belakangnya.
Ternyata tak ada siapa pun berdiri di seberang jalan seperti yang tadi dilihat Kristin. Demikian pula di kiri dan kanan jalan. Ia mengeluh kecewa. Apakah Sonny gemar main kucing-kucingan semasa kecil"
"Cari siapa sih, Bu"" Bi Iyah tak tahan bertanya.
"Oh, tadi kukira ada orang yang kukenal, Bi. Tahunya bukan."
Kristin cepat-cepat masuk rumah lagi untuk menghindari pertanyaan Bi Iyah berikutnya. Di belakang Kristin, Bi Iyah menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lama-lama dia jadi seperti tetangga sebelah," gumamnya.
Maria menyambut Tom dengan hangat, disertai tawa dan tangis. Ia memeluk Tom lalu Tom mencium pipinya kiri dan kanan. Maria tampak kecil dalam pelukannya. Perlakuan Tom yang menyentuh itulah yang membuat air mata Maria tumpah. Rasanya ia sudah mendapat ganti Sonny! Sayang Susan tak ada!
Kemudian Tom menyerahkan titipan Susan. Dengan air mata bercucuran Maria membuka bungkusan.
209 Tom duduk di sampingnya, ikut mengamati. Ia juga ingin tahu barang apa yang diberikan Susan itu karena Susan tak mau mengatakannya. "Nanti juga kau tahu sendiri," kata Susan waktu itu.
Bungkusan terbuka. Isinya dua helai sweter rajutan benang wol lengan panjang. Satu berwarna merah, satu lagi biru. Maria menoleh kepada Tom sambil memperlihatkan benda itu. Ekspresinya bangga.
"Itu ada suratnya, Tante!" Tom menunjuk lipatan kertas yang terselip.
Maria meraih kertas itu cepat-cepat, seolah takut nanti diterbangkan angin. Ia membacanya keras-keras.
"Mama dan Papa tersayang, sweter ini hasil rajutan saya sendiri, dari benang wol domba asli Selandia Baru! Karya saya yang pertama. Makanya kurang begitu bagus jadinya. Bikinnya juga lama. Bertahun-tahun. Jangan heran ya, Ma. Saya belajar merajut dari seorang nenek yang pernah saya rawa
t. Dulu saya pernah nyambi kerja jadi perawat orang lanjut usia. Ternyata menyenangkan juga merajut itu. Mama bisa" Saya mengerjakan sweter ini di waktu malam menjelang tidur. Jadinya cepat mengantuk. Dan kalau tak bisa tidur, saya nerusin. Karena itu jadinya lama. Tapi toh jadi dan bisa dititipkan sama Tom.
"Kalau cuaca kebetulan dingin di Jakarta, dipakai ya, Ma, Pa" Tapi cuci dulu. Kucek pelan-pelan saja. Jangan masukin mesin cuci.
"Saya juga titip cerita sama Tom. Kalau ditulis kan panjang.
"Papa dan Mama, tetap semangat, ya" Jaga kesehatan! Saya sayang sama Papa dan Mama! Peluk-cium dari Susan."
210 Semakin lama membaca suara Maria semakin pelan. Lalu ia menutupnya dengan terisak. "Aduh, Tom! Dia membuat ini sendiri. Bayangin. Susan bisa merajut! Oh, Tom...."
Tom merangkul Maria. Ia membiarkan Maria terisak. Setelah emosi Maria mereda, ia mengatakan, "Tante senang, kan""
Maria melepaskan dirinya dari rangkulan, lalu bergegas mengambil tisu dari meja. Ia mengeringkan dulu mata dan hidungnya, lalu meraih sweter yang teronggok dan melipatnya dengan rapi.
"Tentu saja aku senang, Tom. Tapi pasti aku akan lebih bahagia kalau Susan sendiri yang datang. Bukan barang titipannya," katanya dengan suara masih tersendat.
"Saya mengerti, Tante. Itu juga saya katakan kepadanya. Bersabarlah, Tante."
"Ceritakanlah tentang dia, Tom. Bagaimana dia sekarang" Apa masih kayak dulu" Tambah gemuk atau malah tambah kurus""
Selama dua jam mereka membicarakan Susan
"Berani sekali dia ke sana ke sini sendirian. Dia kan perempuan," keluh Maria.
"Kalau jadi wartawan memang harus berani, Tante."
"Kenapa pula jadi wartawan" Kan banyak pekerjaan lain. Ah, sudahlah. Yang penting dia baik-baik saja dan selamat."
"Betul, Tante."
Lalu telepon berdering. Dari Henry yang ingin bicara dengan Tom. Mereka berbincang sejenak lewat
211 telepon. Tom berjanji akan datang lagi di saat lain untuk bisa bertatap muka dengan Henry.
Maria memandangi Tom saat dia berbicara di telepon. Tom kelihatan lebih tua sebab uban-ubannya bertambah banyak, pikir Maria. Tapi hal itu justru membuat Tom tampak bijak dan penuh pengertian. Sonny lebih gagah dan tampan, tapi kadang-kadang suka bertingkah kekanakan dan jail. Mungkin faktor umur jadi penyebab. Tapi hal itu tak masalah. Tom bisa menjadi pelindung yang baik bagi Susan. Dan bagi Tom, Susan pun bisa menjadi istri yang baik pula. Mereka sama-sama punya karier yang menyibukkan, hingga yang satu tak akan dibuat kesepian oleh yang lain. Dan yang penting, Susan bukan tipe perempuan yang suka selingkuh seperti si "Vivian!
Tom kembali ke sisi Maria.
"Melamun, Tante""
"Oh, eh... nggak, Tom. Cuma mikirin Susan."
"Mikirnya yang baik-baik saja, Tante. Oh ya, ada pesan khusus dari Susan. Dia sangat tertarik pada cerita perihal tetangga sebelah itu. Jadi ingin tahu lebih banyak lagi."
"Oh itu!" Semangat Maria memuncak lagi. Cerita mengenai Kristin dan Adam serta bayi mereka memang unik. Maka ia pun bercerita panjang. Dimulai sejak awal perkenalannya dengan mereka. Dan berakhir dengan konflik yang terjadi antara Kristin dan Adam yang disebabkan oleh Jason. Kalau tadi Tom yang banyak bercerita, maka sekarang giliran Maria. Dan berbeda dengan tadi, sekarang Maria tak lagi berurai air mata.
212 Tom menyimak baik-baik. Nanti malam ia akan mengirim e-mail kepada Susan.
"Jadi keanehan Kristin itu dimulai pada saat ia melihat foto Sonny"" tanya Tom.
"Ya. Dia menatap foto itu seperti kena sihir, lalu memekik dan menjatuhkan album," Maria memperagakan. "Beberapa menit sesudah itu dia memekik lagi. Perutnya sakit karena rahimnya berkontraksi. Padahal belum saatnya. Menurutmu, apakah karena dia kaget melihat foto Sonny maka dia terdorong melahirkan lebih cepat""
"Entahlah. Susah menyimpulkan, Tante. Apakah dia kenal Sonny sebelumnya""
"Katanya sih nggak."
"Itu kan katanya. Siapa tahu."
Maria merenung. "Ya. Kagetnya itu seperti orang yang mengenali. Tapi masa sih sampai sebegitu kagetnya" Memangnya Sonny pernah punya pacar lain sebelum Susan""
Tom menggeleng. "Saya nggak tahu soal itu, Tante. Dia sendiri tak pernah bercerita. Memang kami berjauhan. T
api kami rutin berhubungan lewat e-mail. Apakah Tante tidak bertanya kepada Kristin kenapa dia kaget melihat foto Sonny""
"Saat itu tidak ada waktu untuk bertanya. Kami sudah sangat sibuk mengantarkannya ke rumah sakit. Sesudah itu aku tidak sampai hati bertanya. Dia sendiri tidak pernah lagi menyinggung soal itu."
"Sesudah itu dia tahu bahwa Sonny tewas mengenaskan di rumah yang ditempatinya tapi tidak mengeluh apa-apa seperti yang dikhawatirkan suaminya""
213 "Ya. Anehnya Adam masih jengkel kepada kami, padahal Kristin baik-baik saja setelah tahu. Apalagi bukan kami yang cerita. Adam lupa bahwa kami telah banyak membantu istrinya," kata Maria jengkel.
"Dan anaknya diberi nama Jason. Menurut Tante, itu aneh""
"Ya." "Kan bukan Sonny." Tom tertawa.
"Tapi ada penggalan kata Son. Dipanggilnya pun 'Son'." Maria tidak ikut tertawa. "Anehnya, Adam tidak mau memanggil begitu. Ia memanggilnya 'Jeis', lalu ditanggapi bayi itu dengan tangisan."
Tom malah tertawa lagi. Maria menatapnya dengan heran, tak mengerti di mana letak lucunya. Tom segera berhenti tertawa. Ia merasa bersalah. "Maaf, Tante. Saya melihat segi humornya."
"Ah, kau tidak tahu seperti apa kacaunya mereka, Tom. Kasihan Kristin. Gara-gara Jason tidak mau didekati bapaknya, dengan gampang si bapak menyimpulkan bahwa anak itu pasti bukanlah anak kandungnya!"
Tom terkejut. Bagian yang itu memang belum diceritakan Maria. Dan tentu saja hal itu jauh dari lucu. Bagaimana mungkin kesimpulan seperti itu diambil demikian gampang" Tentu kasusnya berbeda dibanding kasus dia dengan Vivian. Tanpa harus melakukan pemeriksaan DNA, sudah jelas Debbie bukanlah anaknya.
"Nah, keterlaluan, bukan"" kata Maria, menanggapi keterkejutan Tom.
Tom mengangguk. Ia teringat kepada perempuan yang tampak di jendela loteng. Pasti itulah Kristin.
214 Lalu muncul keinginan untuk berkenalan. Dengan berhadapan dan berbicara langsung, pasti ia akan memperoleh bahan lebih banyak untuk diceritakan kepada Susan. Sebelum ia mengutarakan niatnya, terdengar suara-suara dari luar rumah.
Maria berdiri dan memandang ke luar. "Itu Kristin, Tom! Dia memang suka main ke sini. Bagus! Dia membawa Jason."
Tom cepat berdiri. Ia mengikuti langkah Maria ke pintu.
"Ayo masuk, Kris! Mana cucuku, si Jason"" seru Maria.
Tom tertegun sejenak. Sejak kapan Maria mengadopsi anak orang lain sebagai cucunya" Tiba-tiba Maria menyikutnya pelan sambil tertawa. "Hei, aku cuma bercanda kok, Tom. Kalau didengar si Adam, dia pasti berang!"
Segera Kristin muncul bersama Jason di dalam keretanya.
"Kenalkan, Kris!" kata Maria sambil mendorong Tom ke depan Kristin. "Ini Tom, abang Sonny!"
Tom tersenyum ramah sambil mengulurkan tangannya. Tetapi Kristin terkejut dan membelalakkan matanya. Ia tidak segera membalas uluran tangan Tom karena masih diliputi kejutan. Jadi inilah sosok yang dilihatnya tadi pagi di seberang rumahnya. Bukan hantu melainkan manusia.
"Tadi Anda melihat saya dari jendela, bukan"" Tom memaklumi sikap Kristin.
Kristin tersadar. Ia tersipu. Lalu cepat-cepat menyalami tangan Tom. "Maaf, Mas. Saya... saya...," ia gugup.
215 "Panggil saja Tom."
"Ayolah duduk sana. Kalian bisa mengobrol," Maria menganjurkan. Ia memahami sikap Kristin tadi. Pasti Kristin menemukan persamaan fisik antara Tom dengan Sonny. Lalu ia mengalihkan perhatian kepada Jason. la membungkuk dan berceloteh menyapa Jason.
Tom tak segera memenuhi anjuran Maria. Ia ikut menjenguk isi kereta bayi. Tampak olehnya wajah mungil dengan sepasang mata bulat jernih membalas tatapannya. Ia tersenyum dengan ramah. Lalu mengulurkan tangan untuk membelai kepala Jason. Dan sesudah menyentuh, rasanya ia tak ingin menarik tangannya kembali. Segenap perasaannya tercurah kepada bayi itu. Suka sekali. Ia tak ubahnya kaum perempuan dengan naluri keibuan mereka. Padahal ia sudah sering melihat bayi, bahkan yang lebih manis dan lucu daripada Jason. Tetapi tak pernah ada perasaan apa-apa. Justru yang sering muncul adalah perasaan getir karena ia jadi diingatkan kepada Debbie. Kenapa yang lahir dari rahim Vivian bukan anaknya, melainkan anak orang lain"
Maria dan Kristin sama-sama m
engamati tingkah Tom. Sama-sama tertarik tapi dengan pikiran berbeda-beda. Maria berpikir, Tom tentu teringat kepada anak yang bukan anaknya. Sedang Kristin yang tidak tahu riwayat Tom berpikir, bila Tom begitu kebapakan, tentunya si Sonny juga begitu. Pantaslah kalau dia sampai mendapat ide mendadak untuk memberi nama Jason kepada anaknya. Lalu Kristin menjadi sedih ketika teringat pada Adam yang tak bisa menyalurkan naluri kebapakannya kepada Ja-
216 son. Kenapa Jason yang menolak ayahnya sendiri justru menerima orang asing seperti Tom" Lihatlah, matanya berbinar menerima belaian tangan Tom yang baru pertama kali itu melihatnya.
Kemudian Tom menyadari tatapan kedua perempuan itu kepadanya, la menarik tangannya lalu tersenyum malu. "Anak Anda cakep sekali," katanya kepada Kristin.
"Namanya Jason."
"Nama yang bagus. Cocok sekali."
Kristin menatap Maria dengan pandang bertanya. Mengingat hubungan Tom dengan Sonny, sudahkah Maria menceritakan hal-ihwal dirinya kepada Tom" Memahami arti pandangan Kristin itu, Maria memalingkan muka. Ia mendorong kereta bayi ke dekat sofa. "Ayolah, duduk! Masa berdiri terus di situ"!" katanya mengajak.
Maria memberi kesempatan kepada Tom dan Kristin untuk berbincang berdua. Ia ke dalam untuk menyiapkan makan siang. Masakan yang dipesankan Henry dari restoran sudah datang. Tom dan Kristin harus makan bersama karena ia tak mungkin menghabiskannya sendiri. Tentu saja Tom dan Kristin harus menghargai kebaikan nyonya rumah dan tak menolaknya.
"Jadi Anda kaget sekali melihatku tadi"" Tom memulai.
"Ah, jangan ber-Anda. Nanti aku juga begitu. Panggil Kristin saja."
"Baik, Kris. Boleh aku tahu, kenapa tadi kau begitu kaget" Apa aku disangka maling atau mirip Sonny"" Tom bertanya langsung.
217 Kristin mengarahkan tatapannya kepada Jason di dalam keretanya. Anak itu tidur dengan manis sekali. "Kau mirip dia. Tapi bukan fisik." "Maksudmu""
Kristin menoleh ke dalam rumah. Terdengar bunyi piring berdentang-denting. Maria tak akan segera keluar.
"Aku melihat "dia", Tom. Gayamu berdiri dan tempatmu berdiri itu persis dia!" kata Kristin. Itulah pertama kalinya dia mengutarakan hal itu* kepada orang lain. Begitu saja terpikir bahwa Tom adalah orang yang cocok untuk tempatnya bercerita. Tom itu abang Sonny. Jadi paling pas. Senang rasanya menemukan orang yang pas. Ia memang sudah sangat ingin membagi pengalamannya itu dengan orang lain. Kali ini ia sulit menerima nasihat ibunya untuk-menyimpan hal itu untuk dirinya sendiri.
"Jadi karena itu kau sangat kaget melihat foto Sonny. Tak mengherankan," Tom menyimpulkan dengan takjub.
"Ya. Siapa yang takkan kaget"!"
Pandang Tom melembut ketika menatap Kristin. "Kau punya keistimewaan, Kris! Kau punya kelebihan!"
Kristin tersipu menerima tatapan Tom yang terkesan begitu mengaguminya. "Ah, itu sudah dari sononya. Tak ada yang perlu dibanggakan. Aku justru malah jadi susah."
"Kenapa tak kaujelaskan saja kepada suamimu""
"Menjelaskan" Bagaimana menjelaskannya" Bagaimana kalau dia memaksa pindah dari rumah itu""
"Kau suka tinggal di sana""
218 "Oh, ya." "Biarpun punya riwayat tak menyenangkan""
"Apa peduliku dengan riwayatnya" Yang penting aku merasa senang di situ."
"Apakah Adam juga senang di situ""
"Tentu saja. Kalau tidak buat apa dia merenovasinya" Dari dulu dia sangat ingin tinggal di kawasan ini."
"Katanya Adam kenal baik dengan Sonny."
"Ya. Mereka tadinya akan bekerja sama untuk suatu proyek BUMN. Tapi dengan meninggalnya Sonny dan terjadinya kerusuhan maka proyek itu batal."
"Jadi tak ada orang lain yang tahu tentang pengalamanmu itu"" kata Tom. Ada perasaan diistimewakan.
"Ya. Ibuku adalah kekecualian. Karena kau abang Sonny maka kupikir kau pantas tahu. Lagi pula aku punya feeling kau tidak akan melecehkan pengalamanku itu. Orang lain, misalnya Adam, bisa saja mengatakan bahwa aku sudah tidak beres. Sedang Tante Maria mungkin saja percaya, tapi dia akan bercerita kepada orang lain."
Tom mengangguk, tersenyum. "Aku takkan menceritakannya kepada orang lain, Kris. Janji. Itu cuma di antara kita."
"Terima kasih, Tom," Kristin bersyukur. Tampaknya ia tidak salah memi
lih orang. Ada penyesalan, kenapa bukan Adam"
Tom menatap si bayi. Jason tidur pulas dan nyaman.
"Maukah kau berjanji juga, Kris""
219 "Janji apa dulu"" Kristin tak mau sembarangan. "Bila kau membutuhkan sesuatu, jangan ragu minta bantuanku."
"Tapi kau jauh."
"Aku sebulan di Jakarta. Tante Maria tahu alamat dan nomor telepon orangtuaku. Minta kepadanya, ya""
"Ya. Selama ini Tante memang selalu membantuku. Senang ada yang mau membantu. Terima kasih, Tom."
"Aku juga berterima kasih karena kau mempercayaiku. Ngomong-ngomong, apakah Adam ada di rumah sekarang" Aku ingin juga berkenalan dengannya. Bincang-bincang tentang Sonny, misalnya."
Kristin terkejut. "Wah, kukira dia tidak akan mau, Tom."
"Tidak mau berkenalan denganku"" Tom heran.
"Bukan. Maksudku, tidak mau membicarakan Sonny. Dia marah kalau aku bertanya tentang Sonny."
"Kalau begitu aku tidak akan bertanya soal itu. Cukup berkenalan saja, ya""
"Ya. Tapi sekarang dia tak ada, Tom. Pulangnya sore. Aku main ke sini justru karena dia tak ada," Kristin bercerita tanpa merasa risi. Entah kenapa, Tom yang baru saja dikenalnya ini bisa membuatnya aman. Apakah karena dia abang Sonny" Padahal ia juga tidak mengenal Sonny.
"Lain kali aku akan ke sini lagi. Aku juga perlu bertemu dengan Oom Henry. Barusan aku membawakan titipan dari Susan."
"Oh ya, aku melihat fotonya. Bagaimana dia, Tom""
"Dia baik-baik saja. Kurang-lebih dua minggu
220 yang lalu aku ketemu dia di New York. Dia jadi wartawan."
"Hebat, ya." Kristin kagum. Lalu dia ingin tahu. "Apakah dia masih merasa kehilangan Sonny""
"Kelihatannya masih, tapi sudah bisa mengatasi."
"Syukurlah. Aku mendengar ceritanya dari Tante."
Maria muncul, mengajak mereka makan. Kereta bayi didorong ke dalam.
Selesai makan, mereka berbincang lagi sejenak. Kemudian Kristin pamitan karena tak lama lagi tiba saat menyusui bagi Jason yang selama itu bersikap manis, seakan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada ibunya untuk bersosialisasi.
Tom pun ikut pamitan. Sudah cukup lama dia di situ. Masih ada rencana lain. Dia dan Kristin keluar bersama dari rumah Maria. Mereka berjalan di trotoar. Tom menawarkan untuk mendorong kereta bayi. Dengan senang hati Kristin membiarkan. Sambil berjalan ia sempat mengamati bagaimana ekspresi Tom saat itu. Tampak Tom senang sekali. Tatapannya terus tertuju kepada Jason. Dan anak itu pun menatap kepadanya. Kristin merasa, Jason pun menaruh kepercayaan kepada Tom. Maka berulang pertanyaan yang sama. Kenapa Jason tidak berbuat sama kepada Adam, ayahnya sendiri"
Mereka tiba di depan rumah Kristin. Bi Iyah membukakan pintu pagar. Tatapannya segera tertuju kepada Tom. Tetapi Kristin dan Tom tidak memperhatikan ekspresinya. Mereka sibuk berbincang.
"Tak mampir dulu, Tom""
"Terima kasih, Kris. Kan Jason perlu juga diper-
221 hatikan. Bukan begitu, Son"" Tom mengarahkan perhatiannya kepada Jason.
"Kalau begitu sampai nanti saja. Kapan mau ke sini lagi"" tanya Kristin.
"Aku telepon dulu saja, ya" Yang pasti waktunya sore hari."
Mereka berpisah. Kristin tak segera masuk rumah. Ia mengamati sejenak punggung Tom saat melangkah pergi, semakin menjauh. Lalu tatapannya beralih ke seberang rumah. Ia yakin sekarang, mulai saat itu tidak akan lagi melihat sosok Sonny berdiri di sana.
Sore itu Adam tidak segera pulang ke rumah seke-luarnya dari kantor. Ia punya janji dengan Harun. Menurut Harun, lewat telepon, ia menemukan sesuatu dari penyelidikannya ke Kampung Belakang, begitu nama kampung yang lokasinya tak jauh dari kawasan Pantai Nyiur Melambai. Suara tegang Harun di telepon membuatnya ikut tegang. Apakah gerangan yang ditemukan Harun"
Ia menelepon Kristin untuk memberitahu bahwa sore itu ia pulang lambat karena ada urusan di luar kantor yang harus dikerjakan. Kristin tidak menanyakan urusan apa atau jam berapa kira-kira pulangnya. Bagi Adam itu lebih baik. Pada saat itu kecerewetan tidak akan dianggapnya sebagai perhatian, melainkan sikap usil semata-mata. Ia sudah siap membentak bila Kristin banyak bertanya. Tapi rupanya Kristin cukup tahu diri.
Ia menuju alamat Harun yang tinggal bersama keluarga putranya di bilangan Tan
ah Abang, Jakarta Pusat. Untuk menuju ke sana ia melewati Jalan
222 Thamrin yang terkenal dengan kemacetan lalu lintasnya, lebih-lebih pada sore hari usai jam kantor. Ia memaki-maki, mendamprat sana-sini, mengomel, menggerutu sepanjang jalan. Sarafnya yang sudah tegang benar-benar terganggu oleh kemacetan itu.
Alamat Harun cukup sukar dicari. Ia harus membelok keluar-masuk gang yang membingungkan. Belok kanan, belok kiri. Kanan lagi, kiri lagi. Padahal gangnya pas untuk dua mobil saja. Sedang ganggang itu pun tidak kosong. Ada saja kendaraan yang parkir di kiri atau kanan badan jalan. Ia harus hati-hati melewatinya. Belum lagi kalau parkirnya semrawut hingga ia harus berzig-zag. Maka ia menyumpah-nyumpah atau membunyikan klaksonnya keras-keras. Warga tak tahu diri! Kalau tak punya garasi jangan punya mobil!
Ketika akhirnya ia menemukan rumah Harun, ia benar-benar terkuras. Lemas. Stres.
Senyum Harun yang ramah malah membuatnya merasa diejek. Ia harus berupaya sekuat-kuatnya untuk tampil berbeda daripada perasaannya.
"Susah nyari rumah ini, Pak Adam""
"Ah, nggak. Tanya orang saja. Bapak banyak yang kenal rupanya."
"Oh ya, saya di sini ketua RT, Pak Adam." Harun terlihat bangga.
Adam mengangguk. "Pantas," katanya. Dalam hati ia mencemooh. Baru sebegitu saja sudah bangga!
"Pak Adam mau minum apa""
"Wah, tak usah repot-repot, Pak. Kan nggak lama. Saya belum pulang ke rumah nih. Entar pulang saya diomelin istri."
223 "Kalau begitu langsung ke tujuan saja ya, Pak." "Betul, Pak. Apa yang Bapak temukan itu"" "Sebentar, ya."
Saat itu mereka duduk di teras depan pavilyun sebuah rumah besar. Rupanya Harun menempati pavilyun sedang keluarga putranya di rumah utama. Dengan demikian mereka bisa berbincang tanpa terganggu. Di belakang teras tampak suasana kamar lewat tirai tipis yang menutupi jendela. Terlihat Harun di kamarnya menuju lemari lalu membukanya. Ketika keluar ia membawa sebuah benda yang terbungkus taplak meja katun kembang-kembang.
Harun duduk di depan Adam lalu membuka taplak pembungkus benda itu. Segera mata Adam terbelalak dengan penuh kengerian. Susah payah ia berusaha supaya tidak sampai menjerit. Benda yang terbungkus itu adalah guci antik milik nenek moyang keluarga Sonny, yang digunakannya untuk memukul kepala Sonny! Tanpa meneliti atau mengamati dengan cermat pun ia langsung mengenali benda itu. Dan ia tak berminat untuk menyentuhnya.
"Pak Adam kenal benda ini apa nggak""
Harun menyodorkannya tetapi Adam menggelengkan kepala. Ia segan menyentuhnya. Harun membungkusnya lagi lalu meletakkannya di atas meja.
Ekspresi Adam sudah biasa lagi. Dalam waktu yang singkat Adam sudah bisa menemukan jawaban. "Kalau nggak salah saya pernah melihat barang itu di ruang tamu rumah Sonny. Betul, Pak""
"Betul sekali, Pak." Harun tersenyum. Tampak senang.
"Dari mana Bapak mendapatkannya" Pasti itu
224 hasil jarahan dulu, Pak. Barang seperti itu tak mungkin dijual keluarga Lie. Kata Sonny, itu warisan turun-temurun. Dan digunakan untuk menyimpan abu jenazah."
"Ya. Ini memang barang jarahan. Tapi bukan saya yang menjarahnya."
"Lalu siapa"" tanya Adam bernafsu. Tiba-tiba ia gemetar. Orang yang memasuki rumah Sonny dan kemudian menjarah isinya pasti menemukan jenazah Sonny di situ. Apalagi orang yang mengambil guci itu.
"Wah, mana saya tahu""
"Habis Bapak mendapatnya dari mana""
"Ketika saya ke Kampung Belakang dan mengobrol dengan orang sana, sambil lalu saja saya menyinggung kembali soal penjarahan bulan Mei dulu itu. Tahu-tahu si Angga mendekati saya..."
"Si Angga"" potong Adam terkejut. Ia masih ingat bagaimana Angga berjasa kepadanya dulu waktu ia terjebak dalam kerusuhan.
"Ya. Masih ingat si Angga, ya Pak" Anak itu bilang sama saya, ada orang mau menyerahkan barang jarahan dengan sedikit imbalan saja. Katanya barang itu dari rumah Oom Sonny. Saya memberikan sedikit uang kepada si Angga, lalu saya disuruh menunggu. Kemudian dia datang lagi dengan membawa barang ini. Ketika ditanya dari siapa ia mendapatkannya, ia tak mau bilang. Tapi dengan bisik-bisik dia bilang, orang yang memberikan itu pun mendapatkannya dari membeli. Jadi suda
h beberapa kali pindah tangan. Entah benar entah tidak. Saya belum menyelidiki lagi. Tapi kata si Angga barang itu membawa sial. Kurang ajarnya dia baru berkata
225 begitu setelah menyerahkannya kepada saya. Tidak apa-apa. Kan bukan saya yang menjarahnya. Maksud saya baik kok."
"Sekarang mau diapakan benda itu, Pak""
"Ini bukan milik saya melainkan milik keluarga Lie. Sonny memang sudah tak ada. Tapi orangtuanya sudah berada di Jakarta. Alamatnya akan saya tanyakan kepada Bu Maria."
"Jadi Bapak mau mengembalikan kepada mereka."
"Ya. Harus, kan" Ini milik mereka. Pasti mereka senang sekali menerimanya."
"Daripada Bapak repot, biar saya saja yang memberikannya. Alamat mereka akan saya tanyakan kepada Bu Maria. Jangan khawatir. Saya akan sebut nama Bapak."
Sebenarnya Adam tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya itu. Bagaimana mungkin ia mem-bawa benda itu ke rumahnya" Memegangnya saja ia takkan mau. Sebenarnya ia cuma ingin mengecek reaksi Harun saja. Setulus itukah niat Harun"
Harun menggeleng. "Saya tidak mau merepotkan Pak Adam. Biarlah. Itu pekerjaan saya."
Cepat-cepat Harun meraih bungkusan berisi guci dari meja lalu meletakkannya di atas pangkuannya. Sepertinya dia khawatir kalau-kalau benda itu diambil Adam. Sikapnya itu membuat Adam tertawa dalam hati.
"Apa lagi yang dikatakan si Angga, Pak""
"Apa lagi, ya"" Harun berpikir sejenak. "Oh ya, dia menyinggung Pak Adam juga."
"Menyinggung saya" Apa katanya"" tanya Adam bernafsu.
226 Harun tak segera menjawab. Ia tampak merenung. "Ah, sudahlah. Anak itu memang banyak omong. Dari dulu omongannya suka ngelantur. Susah dipercaya."
"Tidak apa-apa, Pak. Ngomong apa sih dia"" desak Adam. Ia penasaran.
"Sudahlah. Nggak apa-apa, Pak," Harun tegas menolak.
Adam sadar, ia tak bisa memaksa. Bila hal itu dilakukannya kemungkinan Harun akan curiga. Tetapi ia merasa heran, kenapa Harun tak mengatakannya saja" Apakah ada yang salah dengan peristiwa dulu ketika ia hampir menjadi korban massa yang beringas" Banyak orang mengalami hal yang sama. Dia adalah korban, bukan pelaku kejahatan dalam peristiwa di mana Angga ikut menyaksikan. Apa salahnya Harun membicarakan hal itu, atau sekadar menunjukkan simpatinya" Tapi Harun seperti kurang enak kalau menyampaikan apa yang diceritakan Angga kepadanya. Betapapun penasaran, ia berusaha menyembunyikannya.
"Ya, si Angga itu memang berengsek," kata Adam penuh maklum. "Bagaimana dia sekarang, Pak" Sekolah, kerja, atau apa""
"Wah, itu belum sempat saya tanyakan. Tapi kelihatannya tidak kedua-duanya. Sekolah nggak, kerja apalagi."
"Dia masih tinggal di Kampung Belakang""
"Saya nggak tahu juga tuh. Dia ngomong cepat, pergi cepat juga. Mana sempat berbincang-bincang. Terus terang, saya nggak peduli dia mau tinggal di mana atau apa kerjanya."
227 Adam tertegun mendengar ucapan yang terkesan kasar itu. Sepertinya itu bukan mencerminkan sifat Harun yang dikenalnya. Dulu ia mengenal Harun sebagai orang yang suka menolong meskipun dirinya kekurangan. Karena sifat Harun itulah maka ia menjadikannya sebagai tempat pelampiasan unek-unek dan berbagi derita. Tetapi sekarang tampaknya ada perubahan. Padahal beberapa waktu yang lalu, ketika baru bertemu, sepertinya Harun tidak berubah. Sekarang ada sesuatu dalam ekspresi Harun yang membuatnya lain. Sorot matanya tajam kalau menatap dan gaya bicaranya penuh semangat. Gerak-geriknya terkadang gelisah. Dia seperti menyimpan ketegangan yang memerlukan pelampiasan.
Harun berdiri. "Saya simpan ini dulu, Pak. Tunggu sebentar, ya."
"Ya, Pak. Silakan." Adam tidak keberatan menunggu. Berbeda daripada tadi, dia merasa tidak perlu buru-buru. Dia harus mendapatkan kejelasan dari sikap misterius Harun. Mengulur waktu dalam persoalan ini pasti buruk akibatnya.
Harun menyimpan kembali guci terbungkus taplak itu ke dalam lemari di kamarnya. Ia keluar lagi. Sikapnya lebih lembut. "Betul Pak Adam tidak mau minum dulu""
"Betul, Pak. Saya baru saja minum di mobil tadi." Adam menganggap tawaran itu sebagai basa-basi belaka.
Harun duduk kembali. Ketika ia menatap Adam, tampak keseriusan ekspresinya. Adam menunggu dengan tegang. Tentu tu
juan Harun bukan sekadar untuk memperlihatkan temuannya itu saja.
228 "Menurut Pak Adam, berapakah nilai guci itu sebenarnya"" tanya Harun dengan suara dalam.
"Wah, yang pasti mahal sekali, Pak. Maklum benda antik. Tapi pastinya saya susah menilai. Relatif sih."
"Jadi yang pasti mahal. Lebih-lebih buat pemilik aslinya, karena itu merupakan warisan turun-temurun."
"Betul, Pak. Bila suami-istri Lie melihatnya pasti mereka girang sekali. Apakah Bapak serius ingin mengembalikan kepada mereka""
Harun tersenyum. Adam merasa melihat kelicikan dalam senyum Harun itu.
"Oh ya, saya serius. Tapi kalau diberikan begitu saja, keenakan mereka dong!"
Adam tersadar. Ia sekarang memahami maksud Harun yang sesungguhnya. "Maksud Bapak, akan meminta imbalan pada mereka""
"Ya. Begitulah. Tapi untuk itu kita harus bekerja sama, Pak Adam."
"Kerja sama bagaimana""
"Saya merasa kurang enak kalau begitu saja minta imbalan. Salah-salah nanti disangka sayalah yang menjarah. Sedang Pak Adam punya hubungan akrab dengan keluarga Bu Maria, kerabat mereka."
"Saya tidak akrab, Pak. Yang akrab itu istri saya."
"Sama-sama lah."
"Lantas caranya bagaimana, Pak" Saya jadi perantara begitu""
Harun tertawa. "Bolehlah dibilang begitu, Pak. Orang terhormat seperti Pak Adam kan bisa lebih dipercaya. Apalagi segolongan."
"Ah, saya tidak merasa segolongan. Jangan ngomong begitu, Pak."
229 "Ya, ya. Maaf deh. Kita langsung saja. Begini. Selama ini selain Pak Adam, saya juga suka mengontak Bu Maria. Dia juga tahu bahwa saya sedang melakukan penyelidikan tentang Sonny..."
Adam mengerutkan kening. "Penyelidikan tentang Sonny yang bagaimana, Pak"" ia memotong.


Ketika Barongsai Menari Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia penasaran, benarkah Sonny yang keluar dari rumahnya sebelum musibah itu" Kan sudah saya ceritakan."
"Mana mungkin, Pak" Orang yang sudah mati kan tak bisa ditanyai."
"Tentu saja. Saya juga bilang begitu kepadanya. Tapi yang ingin diketahuinya, apakah ada orang lain yang juga melihat waktu itu""
"Kayaknya susah juga, ya" Sebaiknya kembali ke masalah tadi saja, Pak."
"Ya. Karena dia tahu saya sedang menyelidiki itu jadinya wajar saja kalau nanti saya muncul dengan benda itu. Berarti saya sudah mendapatkan titik terang, bukan""
"Lantas"" "Saya mendapatkannya bukan dengan cara yang gampang, Pak Adam. Takut juga nanya soal-soal seperti itu. Seperti mengorek kuburan saja. Jadi wajar dong kalau saya mengharapkan imbalan. Mereka senang, saya juga puas."
"Saya kira mereka dengan senang hati akan memberikan imbalan sesuai keinginan Bapak. Jadi bantuan saya tak perlu."
"Memang sepertinya begitu. Tapi sudah saya bilang tadi, saya takut mereka akan menyangka sayalah penjarahnya. Akan lain halnya kalau Pak Adam
230 membantu. Caranya tak susah. Saya akan menghubungi Bu Maria dan memberitahu padanya perihal penemuan ini. Lalu saya bilang padanya, saya meminjam uang Pak Adam untuk menebusnya. Uang itu mesti diganti, tentu saja. Nah, Pak Adam tinggal tunggu konfirmasi soal kebenaran keterangan itu. Nanti Bu Maria pasti akan menyampaikannya pada Pak Bun atau istrinya. Kalau dibayar, tentu Pak Adam akan mendapat bagian juga. Bagaimana"" tanya Harun dengan sorot mata berkilat.
Adam tertegun. Ia tak menyangka bahwa Harun bisa selicik itu.
"Bagaimana kalau dia tak percaya""
"Ya sudah. Barang itu tidak kita serahkan. Bilang saja, terpaksa dikembalikan kepada penjualnya dan uang pembayaran diminta lagi."
"Berapa duit mintanya""
"Bagaimana kalau lima juta" Tiga juta buat saya, dua juta buat Pak Adam."
"Dia akan menyangka Bapak mencatut."
"Terserah dia mau menyangka apa. Tapi saya yakin, Bu Maria tidak akan menuduh macam-macam. Dia masih membutuhkan jasa saya untuk menyelidiki."
Yang tidak menyenangkan bagi Adam adalah berurusan dengan Maria atau melibatkan Kristin dalam masalah itu. Tapi uang dua juta rupiah cukup menarik bila diperoleh dengan gampang dan singkat.
"Bagaimana, Pak Adam" Cari uang sekarang kan susah. Mereka masih cukup kaya kok. Uang sebegitu tak ada artinya buat mereka."
Ucapan itu membuat Adam terkenang kepada uang
231 dolar Sonny yang dirampoknya. Uang sebanyak itu disimpan saja di dalam laci, bahkan dipertontonkan kep
adanya tanpa kekhawatiran. Arogansi orang kaya.
"Saya pikir dulu ya, Pak," sahutnya kemudian. Ia tak ingin terlihat terlalu bernafsu.
"Jangan lama-lama dong, Pak Adam."
"Besok saya beri kabar, ya."
Harun melepaskan kepergian Adam dengan senyum kemenangan.
Berbeda dengan sebelumnya, perjalanan pulang ditempuh Adam dengan sabar. Meskipun kemacetan masih dijumpainya di beberapa ruas jalan, tapi tak ada lagi kata umpatan keluar dari mulutnya. Ia justru memanfaatkan saat-saat macet itu untuk berpikir.
Sampai akhir pertemuannya dengan Harun tadi, ia masih belum memperoleh jawaban dari pertanyaan apa sebenarnya yang diceritakan Angga tentang dirinya. Mungkin Harun tidak menganggap cerita Angga itu penting atau mengandung kebenaran. Mungkin juga Harun khawatir kalau menceritakannya, nanti ia tak bersedia diajak kerja sama. Tapi apa pun kemungkinannya, ia tetap tidak yakin apa sebenarnya materi cerita Angga itu.
Ia merenungi lagi kejadian yang penuh kekacauan di pertengahan bulan Mei sembilan delapan itu. Ketika itu dadanya memang gembung oleh kantong plastik berisi bundelan uang dolar, tapi rapat tertutup oleh jaket kulit. Tak ada yang bisa atau berusaha melihat isinya. Lagi pula sudah terbiasa pengendara motor membawa barang di dalam jaketnya karena
232 lebih aman. Para perusuh itu lebih tertarik kepada motornya. Sebelum menjauh dari tempat itu ia sempat menoleh ke belakang. Ia melihat Angga bersama orang-orang lainnya membakar motornya. Ah, bukan motornya! Itu motor Sonny!
Adam merasa dingin dengan tiba-tiba ketika terpikir akan kemungkinan bahwa Angga mengenali motor Sonny. Tapi, mana mungkin Angga bisa mengenali" Setahu Adam, Sonny tidak dekat dengan Angga. Mungkin Angga pernah juga meminta uang kepada Sonny sesekali, seperti kepadanya juga. Tetapi itu tak ada hubungannya dengan motor. Sonny memang senang naik motor, tapi ada kalanya ia juga menggunakan mobil. Motor itu pun biasa saja. Tidak ada aksesori yang aneh-aneh hingga gampang dikenali. Ataukah nomor polisinya" Mustahil Angga mengenali nomornya. Ia sendiri tidak tahu.
Kalau bukan masalah motor itu, apa lagi yang bisa membuat Harun merasa risi untuk mengulang cerita Angga" Ia harus mempersiapkan diri seandainya cerita itu nanti muncul ke permukaan. Sebelumnya ia harus berbaik-baik kepada Harun. Jangan sampai timbul masalah.
Setelah Adam pergi, Harun masuk ke kamarnya lalu mengunci pintunya. Ia juga menutup jendela. Ia mengeluarkan guci antik itu dari dalam lemari kemudian meletakkannya di atas meja. Ia duduk menghadapinya, memakai kacamata, lalu mengamati dekat-dekat tanpa menyentuhnya. Tampak mengilat dan berkilau. Indah sekali. Pasti sudah dicuci dan digosok. Orang yang menjarahnya sudah siap menjualnya
233 dengan harga setinggi mungkin. Kenapa ia tak melakukannya" Kenapa menunggu waktu begitu lama untuk melepaskan barang begitu bernilai" Apakah di zaman susah ini tak ada lagi orang yang berminat pada barang antik" Mungkin sekarang orang lebih suka membeli barang kebutuhan pokok daripada barang pajangan.
Sebenarnya kejadiannya tidaklah seperti yang diceritakannya kepada Adam. Ia memang bertemu dengan Angga ketika sedang berjalan-jalan di Kampung Belakang. Dulu pihak pengembang Pantai Nyiur Melambai banyak menggunakan buruh bangunan dari situ. Pemukiman di situ masih seperti dulu. Kumuh dan padat. Dalam waktu beberapa bulan terakhir kabarnya pemukiman itu sudah dua kali kena musibah kebakaran.
Angga sudah tumbuh lebih tinggi sedikit. Mungkin umurnya dua puluh sekarang. Tapi dia tampak lebih kurus. Wajahnya kuyu dan tatapannya terkadang seperti hampa. Harun curiga, jangan-jangan remaja itu kecanduan narkotika atau obat terlarang.
Seperti dulu, Angga minta uang rokok kepadanya. Ia memberinya seribu rupiah. Tapi remaja kurus itu minta tambah. Ia berjanji akan memberi tambah bila Angga mau memberi informasi. Semakin banyak informasinya, maka tambahan uangnya pun semakin banyak pula. Angga tertarik sekali.
Harun mengajaknya ke restoran Padang dan mentraktirnya makan. Angga senang sekali. Makannya lahap seperti orang kelaparan. Sesudah itu Harun menanyainya perihal penjarah
an yang terjadi di Pantai Nyiur Melambai pada bulan Mei tahun sembilan
234 delapan. Angga kaget sekali hingga dia tersedak-sedak. Tetapi Harun cepat menenteramkannya.
"Tenang, Ngga. Aku bukan mau mengorek masa lalu. Yang sudah ya sudah. Apalagi soal harta yang sudah lenyap. Tapi ini soal nyawa."
Angga kaget lagi. "Nyawa siapa, Pak""
"Masih ingat sama Oom Sonny""
Angga ternganga. Tampak jelek sekali. "Wah, saya mah nggak tahu soal itu, Pak. Jangan nanya sama saya. Udah ya, Pak. Terima kasih makanannya."
Angga berdiri, tapi Harun menariknya kembali duduk. "Sudah kukatakan kamu nggak usah takut. Biarpun misalnya aku tahu siapa yang membunuh Sonny, aku tidak akan memasalahkan. Buat apa" Aku bukan polisi kok. Tapi aku cuma ingin tahu saja."
Angga menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Tapi saya nggak tahu, Pak. Sumpah. Saya nggak tahu siapa yang membunuh Oom Sonny."
"Kamu nggak usah takut. Biarpun kamu bilang, toh aku nggak akan berbuat apa-apa."
"Tapi saya bener-bener nggak tahu. Sumpah, Pak!"
Harun menyadari, percuma memaksa dan mendesak. Mungkin Angga benar. Tapi mungkin juga tidak benar. "Kalau begitu nggak ada uang tambahan dong, Ngga. Habis kamu nggak mau cerita sih."
Angga tertegun. Ia tampak menyesal. "Memangnya buat apa sih Bapak nanya-nanya soal itu" Kan udah lama kejadiannya. Apa Bapak disuruh polisi""
Harun tertawa. "Apa kaukira aku ini cecunguk" Sebenarnya aku diminta beberapa keluarga yang tinggal di Pantai Nyiur Melambai, yang dulu mengungsi
235 tapi sekarang kembali lagi. Mereka ingin mencari barang kesayangan mereka yang dulu hilang. Siapa tahu ada yang mau mengembalikan. Imbalannya sih ada meskipun tak seberapa. Tapi lumayanlah daripada menyimpan barang jarahan. Untuk itu tentu saja aku juga dapat imbalan. Kalau kamu bisa mendapatkan, yang sungguh-sungguh bagus tentunya, kamu pasti dapat bagian."
Angga ragu-ragu. "Wah, sudah terlalu lama, Pak. Jangan-jangan barangnya udah dijualin. Mana mungkin disimpan begitu lama."
"Kalau nggak ada ya sudah. Tapi siapa tahu. Untung-untungan saja."
"Nanti saya tanya-tanya ya, Pak."
"Benar lho, Ngga. Aku serius."
"Uang mukanya dulu dong, Pak."
"Gimana kamu ini" Barang belum tentu ada sudah minta uang muka," Harun menggerutu tapi ia memberi sepuluh ribu kepada Angga.
"Besok saya kasih kabar ya, Pak," kata Angga senang.
Harun memberikan nomor teleponnya. Ternyata esoknya Angga memenuhi janjinya. Mungkin saking ingin mendapat uang lagi. Waktu itu ia belum membawa guci tersebut. "Pemiliknya minta uang seratus ribu saja. Kalau dikasih dia lepaskan barangnya. Dia takut kalau barangnya dilepas duluan nanti duitnya nggak dikasih."
Ketika itu Harun ragu-ragu. Uang seratus ribu tidak sedikit. Bagaimana kalau ia dibohongi" Setelah diberi uang bisa jadi Angga tak kembali lagi. Ternyata sekali lagi Angga memenuhi janji. Ia kembali
Abarat 1 Dragon Keeper Karya Colore Wilkinson Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 34
^